bab 2 tinjauan pustaka

Upload: mc-yayan

Post on 13-Oct-2015

29 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

yiu

TRANSCRIPT

BAB 2TINJAUAN PUSTAKA2.1 Fisiologi Sekresi Asam Lambung

Lambung melaksanakan 3 fungsi utama. Fungsi utama lambung yang paling penting adalah menyimpan makanan yang telah dicerna hingga makanan tersebut dapat dikosongkan kedalam usus halus pada kecepatan normal untuk proses cerna dan absorpsi. Lambung akan mensekresikan asam hidroklorida (HCl) dan enzim untuk memulai pencernaan protein. Lambung memiliki motilitas khusus untuk gerakan pencampuran antara makanan yang dicerna dan cairan lambung untuk membentuk cairan padat yang dinamakan kimus. Seluruh isi lambung harus diubah menjadi kimus sebelum dikosongkan ke duodenum (Sheerwood, 2007).

Sel-sel lambung mensekresikan sekitar 2500 ml cairan lambung setiap hari. Cairan lambung ini mengandung bermacam-macam zat, diantaranya adalah HCl dan pepsinogen (Gambar 2.1.). HCl yang disekresikan oleh kelenjar di korpus lambung membunuh sebagian besar bakteri yang masuk, membantu pencernaan protein, menghasilkan pH yang diperlukan pepsin untuk mencerna protein, serta merangsang aliran empedu dan cairan pankreas. Asam ini cukup pekat untuk dapat menyebabkan kerusakan jaringan, tetapi pada orang normal mukosa lambung tidak mengalami iritasi atau tercerna karena sebagian cairan lambung juga mengandung mukus (Ganong, 2003).

Gambar 2.1. Sekresi Asam Lambung

Sumber: Color Atlas of Pathophysiology, 2000

Lambung memiliki mekanisme protektif sendiri, diantaranya adalah mukus yang melapisi permukaan mukosa lambung (Gambar 2.2). Mukus ini berperan sebagai pelindung dari berbagai macam kerusakan potensial pada mukosa lambung dengan sifat lubrikasinya untuk mencegah kerusakan mekanis. Mukus juga membantu melindungi mukosa lambung agar tidak mencerna dirinya sendiri dengan menginhibisi pepsin saat bersentuhan dengan lapisannya. Sebagai substansi alkali, mukus juga membantu mekanisme perlindungan mukosa dari kerusakan akibat asam dengan menetralisir HCl di sekitarnya tanpa mempengaruhi HCl pada lumen (Sheerwood, 2007).

Seluruh permukaan mukosa lambung di antara kelenjar-kelenjar memiliki lapisan yang bersambungan dari jenis sel mukus yang istimewa, yang secara sederhana disebut sel mukus permukaan. Sel-sel tersebut menyekresikan sejumlah mukus kental yang melapisi mukosa lambung dengan suatu lapisan gel khusus, seringkali dengan ketebalan lebih dari 1 milimeter, sehingga menyediakan suatu cangkang proteksi utama bagi dinding lambung yang juga berperan dalam melumaskan transpor makanan (Guyton, 2007)

Ciri lain dari mukus adalah alkalis. Oleh karena itu dinding normal lambung tidak secara langsung terpapar dengan sekresi lambung yang sangat asam dan proteolitik. Bahkan kontak dengan yang ringan sekali pun dengan makanan atau iritasi mukosa apa pun, secara langsung akan merangsang sel-sel mukus permukaan untuk menyekresikan mukus tambahan yang lengket, alkalis dan kental ini (Guyton, 2007)

Gambar 2.2. Pertahanan Mukosa Lambung

Sumber: Color Atlas of Pathophysiology, 2000

Motilitas dan sekresi lambung diatur oleh mekanisme persarafan dan humoral. Komponen saraf adalah otonom lokal yang melibatkan neuron-neuron kolinergik dan impuls-impuls dari SSP melalui nervus vagus. Pengaturan fisiologik sekresi lambung biasanya dibahas berdasarkan pengaruh otak (sefalik), lambung, dan usus (Ganong, 2003).

Pengaruh sefalik adalah respon yang diperantarai oleh nervus vagus dan diinduksi oleh aktivitas di SSP. Adanya makanan dalam mulut secara refleks akan merangsang sekresi lambung. Serat-serat eferen untuk refleks ini adalah nervus vagus. Pada manusia, melihat, mencium, dan memikirkan makanan akan meningkatkan sekresi lambung. Peningkatan ini disebabkan oleh refleks bersyarat saluran cerna yang telah berkembang sejak awal masa kehidupan. Rangsang hipotalamus anterior dan bagian-bagian korteks frontalis orbital disekitarnya meningkatkan aktivitas eferen vagus dan sekresi lambung. Pengaruh otak menentukan sepertiga sampai separuh dari asam yang disekresikan sebagai respon terhadap makanan normal (Ganong, 2003).

Pengaruh lambung terutama adalah respon-respon refleks lokal dan respon terhadap gastrin. Adanya makanan dalam lambung mempercepat peningkatan sekresi lambung yang disebabkan oleh penglihatan, bau makanan, dan adanya makanan di mulut. Reseptor di dinding lambung dan mukosa berespon terhadap peregangan dan rangsang kimia, terutama asam-asam amino dan produk pencernaan terkait lain. Produk-produk pencernaan protein juga menyebabkan peningkatan sekresi gastrin, dan hal ini meningkatkan aliran asam (Ganong, 2003).

Pengaruh usus adalah efek umpan balik hormonal dan refleks pada sekresi lambung yang dicetuskan dari mukosa usus halus. Walaupun di mukosa usus halus dan lambung terdapat sel-sel yang berisi gastrin, pemberian asam amino langsung ke dalam duodenum tidak akan meningkatkan kadar gastrin dalam darah. Sekresi asam lambung meningkat bisa sebagian besar usus halus diangkat, sehingga sumber hormon-hormon yang menghambat sekresi asam menghilang (Ganong, 2003).

Sekresi lambung akan menurun secara bertahap ketika makanan mulai masuk dari lambung menuju usus halus. Mekanisme penurunan sekresi lambung ada 3 jenis. Saat makanan mulai dikosongkan ke duodenum secara bertahap, stimulus utama yang merangsang sekresi lambung, yaitu protein, telah ditarik. Setelah makanan meninggalkan lambung, cairan lambung akan terus terakumulasi hingga pH lambung akan menurun sangat rendah dan akhirnya akan merangsang somatostatin sebagai pemberi respon balik negatif untuk menghambat sekresi lambung. Penurunan motilitas lambung juga akan menurunkan sekresi asam lambung (Sheerwood, 2007).

2.2 Dispepsia

2.2.1 Definisi Dispepsia

Dispepsia adalah sebuah turunan kata bahasa Yunani yang artinya indigestion atau kesulitan dalam mencerna. Semua gejala-gejala gastrointestinal yang berhubungan dengan masukan makanan disebut dispepsia, contohnya mual, heartburn, nyeri epigastrium, rasa tidak nyaman, atau distensi (Davidson, 1975).

Dispepsia umumnya terjadi akibat adanya masalah pada bagian lambung dan duodenum. Penyakit yang memiliki sindroma seperti dispepsia seperti gastro-esophageal reflux disease dan irritable bowel syndrome yang melibatkan esofagus dan bagian saluran cerna lainnya tidak dimasukkan ke dalam bagian dispepsia (Djojoningrat, 2007).

Dispepsia merupakan kumpulan gejala atau sindrom yang terdiri dari nyeri ulu hati, mual, kembung, muntah, rasa penuh, atau cepat kenyang, dan sendawa. Keluhan ini sangat bervariasi, baik dalam jenis gejala maupun intensitas gejala tersebut dari waktu ke waktu (Djojoningrat, 2007).

Dispepsia dapat muncul meskipun tidak ada perubahan struktural pada saluran cerna, yang biasanya dikenal sebagai fungsional dan gejalanya dapat berasal dari psikologis ataupun akibat intoleransi terhadap makanan tertentu. Di sisi lain, dispepsia dapat merupakan gejala dari gangguan organik pada saluran cerna, dan dapat juga disebabkan oleh gangguan di sekitar dari saluran cerna, misalnya pankres, kandung empedu, dan sebagainya (Davidson, 1975).

2.2.2 Etiologi Dispepsia

Secara garis besar sebagai suatu gejala ataupun sindrom, dispepsia dapat disebabkan oleh berbagai penyakit, baik yang bersifat organik maupun yang fungsional atau yang tidak terdapat kelainan secara struktural ataupun biokimiawi setelah dilakukan pemeriksaan penunjang (Djojoningrat, 2007).

Tabel 2.1. Penyebab Dispepsia

Dalam lumen saluran cerna

Tukak peptic

Gastritis

Keganasan Pankreas

Pankreatritis

Keganasan

GastroparesisKeadaan sistemik

Dibetes mellitus

Penyakit tiroid

Gagal ginjal

Kehamilan

Penyakit jantung iskemik

Obat-obatan - Penyakit tiroid

Anti inflamasi non steroid

Teofilin

Digitalis

AntibiotikGangguan fungsional

Dyspepsia fungsional

Sindrom kolon iritatif

Hepato-bilier Gangguan fungsional

Hepatitis

Kolesistitis

Kolelitiasis

Keganasan

Disfungsi sphincter Odli

Sumber: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam , 2007

Berdasarkan hasil pemeriksaan esofagogastroduodenoskopi pada 591 kasus dispepsia di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta, ditemukan adanya lesi pada esophagus, gastritis, gaster, duodeni, dan lain-lain. Sebagian besar ditemukan kasus dispepsia dengan hasil esofagogastroduodenoskopi yang normal (Djojoningrat, 2007).

Tabel 2.2 Hasil Pemeriksaan Esofagogastroduodenoskopi pada 591

Kasus Dispepsia di RSUPN Dr Cipto Mangunkusumo Jakarta

Lesi Jumlah Kasus%

Normal 16828,43

Esofagitis 355,91

Gastritis 29549,91

Ulkus gaster132,20

Ulkus duodeni213,55

Tumor esofagus10,16

Tumor gaster61,01

Lain-lain528,83

Keterangan: Data Subbagian Gastroenterologi RSCM tahun 1994

Sumber: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, 2007

Gastritis adalah proses inflamasi pada lapisan mukosa dan submukosa lambung. Secara histopatologi dapat dibuktikan dengan adanya infiltrasi sel-sel radang pada daerah tersebut. Berdasarkan pada manifestasi klinis, gastritis dapat dibagi menjadi akut dan kronik, tetapi keduanya tidak saling berhubungan (Djojoningrat, 2007).

Gastritis akut dapat terjadi tanpa diketahui penyebabnya. Kira-kira 80-90% pasien yang dirawat di ruang intensif menderita gastritis akut erosif yang sering disebut gastritis akut stress. Penyebab lain adalah obat-obatan. Obat yang sering dihubungkan dengan gastritis erosive adalah aspirin dan sebagian besar obat anti inflamasi non steroid (NSAID) (Hirlan, 2001).

Ulkus peptikum ialah suatu istilah untuk menunjuk kepada suatu kelompok penyakit ulserativa saluran makanan bagian atas yang melibatkan terutama bagian proksimal duodenum dan lambung, yang mempunyai patogenesis yang sama-sama melibatkan asam-pepsin (Gambar 2.3.). Bentuk utama ulkus peptikum adalah ulkus duodeni dan ulkus lambung. Ulkus peptikum terjadi bila efek-efek korosif asam dan pepsin lebih banyak daripada efek protektif pertahanan mukosa lambung atau mukosa duodenum (McGuigan, 1995).

Dispepsia dengan temuan penyebab organik ataupun adanya kelainan sistemik yang jelas akan berdampak pada pengobatan yang definitif perdasarkan patogenesis yang ada. Dalam kenyataan sehari-hari didapatkan keluhan dispepsia yang tidak ada kelainan sistemik yang mendasarinya, pemeriksaan radiologi dalam batas normal dan pada pemeriksaan endoskopi tidak dijumpai lesi mukosa. Hal inilah yang melahirkan istilah dispepsia non-ulkus atau dispepsia fungsional.

Gambar 2.3. Mekanisme Pembentukan Ulkus

Sumber: Color Atlas of Pathophysiology, 2000

2.2.3 Diagnosa dyspepsia

Berdasarkan kriteria diagnosa Roma III, sindroma dispepsia didiagnosa dengan gejala rasa penuh yang mengganggu, cepat kenyang, rasa tidak enak atau nyeri epigastrium, dan rasa terbakar pada epigastrium. Pada kriteria tersebut juga dinyatakan bahwa dispepsia ditandai dengan adanya satu atau lebih dari gejala dispepsia yang diperkirakan berasal dari daerah gastroduodenal (Anonim, 2006).

Untuk menegakkan diagnosa, diperlukan data dan pemeriksaan penunjang untuk melihat adanya kelainan organik/struktural, ataupun mengesklusinya untuk menegakkan diagnosa dispepsia fungsional. Adanya keluhan tambahan yang mengancam seperti penurunan berat badan, anemia, kesulitan menelan, perdarahan, dan lain-lainnya, mengindikasikan agar dilakukan eksplorasi diagnostik secepatnya. Selain radiologi, pemeriksaan yang bisa dilakukan diantaranya adalah laboratorium, endoskopi, manometri esofago-gastro-duodenum, dan waktu pengosongan lambung (Djojoningrat, 2007).

2.3 Cemas

2.3.1 Definisi

Kecemasan adalah suatu penyerta yang normal dari pertumbuhan, dari perubahan, dari pengalaman sesuatu yang baru dan belum dicoba, dan dari penemuan identitasnya sendiri dan arti hidup. Sebaliknya, kecemasan patologis adalah respons yang tidak sesuai terhadap stimulus yang diberikan berdasarkan pada intensitas atau durasinya (Kaplan, 2010).2.3.2 Etiologi 2.3.2.1 Teori psikologis

Tiga bidang utama teori psikologi ---psikoanalitik, perilaku, dan eksistansial telah menyumbang teori tentang penyebab kecemasan.

Teori psikoanalitik. Menurut Freud, kecemasan adalah suatu sinyal kepada ego bahwa suatu dorongan yang tidak dapat diterima menekan untuk mendapatkan dan pelepasan sadar. Sebagai suatu sinyal, kecemasan menyadarkan ego untuk mengambil tindakan defensive terhadap tekanan dari dalam (Kaplan, 2010).Di dalam teori psikoanalitik, kecemasan dipandang sebagai masuk ke dalam empat kategori utama, tergantung pada sifat akibat yang ditakutinya: kecemasan id atau impuls, kecemasan perpisahan, kecemasan kastrasi, dan kecemasan super ego (Kaplan, 2010).Teori perilaku. Teori perilaku menyatakan bahwa kecemasan adalah suatu respon yang dibiasakan terhadap stimuli lingkungan spesifik. Teori eksistensial. Teori eksistensial tentang kecemasan memberikan model untuk gangguan kecemasan umum (generalized anxiety disorder), dimana tidak terdapat stimulus yang dapat diidentifikasikan secara spesifik untuk suatu perasaan kecemasan yang kronis (Kaplan, 2010).2.3.2.2 Teori biologis

Satu kutub pikiran menyatakan bahwa perubahan biologis yang dapat diukur pada pasien dengan gangguan kecemasan mencerminkan akibat konflik psikologis; kutub yang berlawanan menyatakan bahwa peristiwa biologis mendahului konflik psikologis. Kedua situasi mungkin terdapat pada orang tertentu, dan berbagai macam kepekaan yang didasarkan secara biologis mungkin bervariasi diantara orang-orang dengan gejala gangguan kecemasan (Kaplan, 2010).Sistem saraf otonom. Stimulasi system saraf otonom menyebabkan gejala tertentu kardiovaskular, muscular, gastrointestinal, dan pernapasan. Manifestasi kecemasan perifer tersebut tidak khusus terdapat kecemasan maupun tidak selalu berhubungan dengan pengalaman kecemasan subjektif (Kaplan, 2010).Neurotransmiter. Tiga neurotransmitter utama yang berhubungan dengan kecemasan berdasarkan penelitian pada binatang dan respon terhadap terapi obat adalah norepinefrin, serotonin, gamma-aminobutyric acid (GABA). Sebagian besar informasi neurologi dasar tentang kecemasan berasal dari percobaan binatang yang melibatkan paradigma perilaku dan obat psikoaktif (Kaplan, 2010).2.3.3 Klasifikasi CemasDSM-IV menuliskan gangguan kecemasan berikut ini: gangguan panik dengan dan tanpa agoraphobia, agoraphobia tanpa riwayat gangguan panik, fobia spesifik dan sosial, gangguan obsesif-kompulsif, gangguan stress pascatraumatik, gangguan stress akut, gangguan kecemasan umum, gangguan kecemasan karena kondisi medis umum, gangguan kecemasan akibat zat, dan gangguan kecemasan yang tidak ditentukan, termasuk gangguan kecemasan-depresif campuran (Kaplan, 2010).

2.3.4 Gambaran Tentang Kecemasan

Neale dkk (2001) mengatakan bahwa kecemasan sebagai perasaan takut yang tidak menyenangkan dan apprehension, dapat menimbulkan beberapa keadaan psikopatologis sehingga mengalami apa yang disebut gangguan kecemasan. Walaupun sebagai orang normal, diakui atau tidak, kita dapat saja mengalami kecemasan, namun kecemasan pada orang normal berlangsung dalam intensitas atau durasi yang tidak berkepanjangan sehingga individu dapat tetap memberikan respon yang adaptif (Kaplan, 1998).Untuk memahami kecemasan yang mempengaruhi beberapa area dari fungsi-fungsi individu, Acocella dkk (1996) mengatakan bahwa kecemasan seharusnya melibatkan atau memiliki 3 komponen dasar, yaitu : (Tomb, 2000)

1. Adanya ungkapan yang subjektif (subjective reports) mengenai ketegangan, ketakutan dan tidak adanya harapan untuk mengatasinya.

2. Respon-respon perilaku (behavioral rensponses), seperti menghindari situasi yang ditakuti, kerusakan pada fungsi bicara dan motorik dan kerusakan tampilan untuk tugas-tugas kognitif yang kompleks.

3. Respon-respon fisiologis (physiological responses), termasuk ketegangan otot, peningkatan detak jantung dan tekanan darah, nafas yang cepat, mulut yang kering nausea, diare, dan dizziness.2.4 Hubungan Gangguan Kecemasan Dengan DispepsiaPenyebab timbulnya dispepsia diantaranya adalah faktor diet dan lingkungan, sekresi cairan asam lambung, fungsi motorik lambung, persepsi viseral lambung, psikologi, dan infeksi Helicobacter pylori (Djojoningrat, 2007). Dispepsia merupakan permasalahan diagnostic yang menantang dan sulit karena sifatnya yang nonspesifik. Faktor-faktor psikologi dapat memainkan peranan sebagai penyebab atau kontributor, dan keberadaan ansietas, gejala depresi atau histeria (Fauci, 2008).Menurut definisi, ulkus peptikum dapat terletak di di setiap bagian saluran cerna yang terkena getah asam lambung, yaitu esofagus, lambung, duodenum, dan setelah gastroenterostomi, juga jejunum. Walaupun faktor penyebab yang penting adalah aktifitas pencernaan peptik oleh getah lambung, namun terdapat bukti yang menunjukkan bahwa banyak factor yang berperan dalam patogenesis ulkus peptikum. Misalnya, bakteri H. pylori dijumpai pada sekitar 90% penderita ulkus duodenum. Penyebab ulkus peptikum lainnya adalah sekresi bikarbonat mukosa, ciri genetic, dan stress. Stress bisa terjadi akibat stress psikologis atau fisiologis yang berlangsung lama (Price, 2006).

Dalam ilmu psikologi, stres diartikan sebagai suatu kondisi kebutuhan tidak terpenuhi secara adekuat, sehingga menimbulkan adanya ketidakseimbangan. Taylor (1995) mendeskripsikan stres sebagai pengalaman emosional negatif disertai perubahan reaksi biokimiawi, fisiologis, kognitif dan perilaku yang bertujuan untuk mengubah atau menyesuaikan diri terhadap situasi yang menyebabkan stres (Gunawan, 2007).Faktor-faktor yang dapat menimbulkan stres disebut stresor. Stresor dibedakan atas 3 golongan yaitu : (Gunawan, 2007)a. Stresor fisikbiologik : dingin, panas, infeksi, rasa nyeri, pukulan dan lain-lain.

b. Stresor psikologis : takut, khawatir, cemas, marah, kekecewaan, kesepian, jatuh cinta dan lain-lain.

c. Stresor sosial budaya : menganggur, perceraian, perselisihan dan lain-lain. Stresor pertama kali ditampung oleh pancaindera dan diteruskan ke pusat emosi yang terletak di sistem saraf pusat. Dari sini, stres akan dialirkan ke organ tubuh melalui saraf otonom. Organ yang antara lain dialiri stres adalah kelenjar hormon dan terjadilah perubahan keseimbangan hormon, yang selanjutnya akan menimbulkan perubahan fungsional berbagai organ target. Beberapa peneliti membuktikan stres telah menyebabkan perubahan neurotransmitter neurohormonal melalui berbagai aksis seperti HPA (Hypothalamic-Pituitary Adrenal Axis), HPT (Hypothalamic-Pituitary-Thyroid Axis) dan HPO (Hypothalamic-Pituitary-Ovarial Axis). HPA merupakan teori mekanisme yang paling banyak diteliti (Gunawan, 2007).Aksis limbic-hypothalamo-pitutary-adrenal (LHPA) menerima berbagai input, termasuk stresor yang akan mempengaruhi neuron bagian medial parvocellular nucleus paraventricular hypothalamus (mpPVN). Neuron tersebut akan mensintesis corticotropin releasing hormone (CRH) dan arginine vasopressin (AVP), yang akan melewati sistem portal untuk dibawa ke hipofisis anterior. Reseptor CRH dan AVP akan menstimulasi hipofisis anterior untuk mensintesis adrenocorticotropin hormon (ACTH) dari prekursornya, POMC (propiomelanocortin) serta mengsekresikannya. Kemudian ACTH mengaktifkan proses biosintesis dan melepaskan glukokortikoid dari korteks adrenal kortison pada roden dan kortisol pada primata. Steroid tersebut memiliki banyak fungsi yang diperantarai reseptor penting yang mempengaruhi ekspresi gen dan regulasi tubuh secara umum serta menyiapkan energi dan perubahan metabolik yang diperlukan organisme untuk proses coping terhadap stressor. Pada kondisi stres, aksis LHPA meningkat dan glukokortikoid disekresikan walaupun kemudian kadarnya kembali normal melalui mekanisme umpan balik negative (Gunawan, 2007).Interaksi faktor psikis dengan gangguan saluran cerna diyakini melalui mekanisme brain gut axis. Adanya stimulasi atau stresor psikis mempengaruhi keseimbangan sistem syaraf otonom, mempengaruhi fungsi hormonal, serta sistem imun ( psiko neuro- imun - endokrin ). Jalur tersebut secara langsung atau tidak langsung, terpisah atau bersamaan dapat mempengaruhi saluran cerna, mempengaruhi sekresi, motilitas, vaskularisasi dan menurunkan ambang rasa nyeri. (Murni, 2011)Gangguan sekresi pada lambung dapat terjadi karena gangguan jalur endokrin melalui poros hipotalamus pituitary adrenal (HPA axis). Pada keadaan ini terjadi peningkatan kortisol dari korteks adrenal akibat rangsangan dari korteks serebri diteruskan ke hipofisis anterior sehingga terjadi pengeluaran hormon kortikotropin. Peningkatan kortisol ini akan merangsang produksi asam lambung dan dapat menghambat Prostaglandin E yang merupakan penghambat enzim adenil siklase pada sel parietal yang bersifat protektif terhadap mukosa lambung. Dengan demikian akan terjadi gangguan keseimbangan antara peningkatan asam lambung (faktor agresif) dengan penurunan prostaglandin (faktor defensif) sehingga menimbulkan keluhan sebagai sindroma dispepsia. (Murni, 2011)2.5 Hipotesis

Ada hubungan antara gangguan cemas dengan sindroma dispepsia pada remaja perempuan di SMA N 1 Selong Lombok Timur.

Ganong, W.F., 2000. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran: Review of Medical Physiology. edisi 20. EGC : Jakarta.

Anonim. (2006), The Rome Criteria for the Functional GI Disorders. Medscape.

Available from: http://www.medscape.com/viewarticle/533460.

Davidson S.S., Passmore R, Brock J.R., Truswell A.S. (1975), Human Nutrition and Dietetics. edisi 6. Churchill Livingstone : Edinburgh.

Fauci, et al. (2008). Harrison's Principles of Internal Medicine. 17th ed. New York: The McGraw-Hill Companies.

Guyton and Hall. (2007), Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. edisi 11. EGC : Jakarta.Hirlan, 2001. Gastritis. dalam: Suyono, S.H., Buku Ajar: Ilmu Penyakit Dalam. edisi 5. Balai Penerbit FKUI : Jakarta.Kaplan, Harold, et al. 2010. Sinopsis Psikiatri, Jilid 2. Jakarta: Binarupa Aksara Publisher.Maslim, Rusdi. (2001). Diagnosis Gangguan Jiwa, Rujukan Ringkas PPDGJ-III. Jakarta: Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK Unika Atma Jaya.

McGuigan J.E. (1995), Ulkus Peptikum dan Gastritis. dalam: Isselbacher J.K., Braunwald E, Wilson J.D., Martin J.B., Fauci A.S., Kasper D.L., Harrison: Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam. vol 4. edisi 13. EGC : Jakarta.

Price, Sylvia Anderson & Lorraine McCarty Wilson. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Volume 1. Edisi 6. EGC: Jakarta.Sheerwood L. ( 2007), Fisiologi Manusia: Dari Sel ke Manusia. edisi 6. EGC : Jakarta.1. Kaplan, Harold. I. 1998. Ilmu Kedokteran Jiwa Darurat. Jakarta: Widya Medika. Hal. 145-54

2. Tomb, D. A. 2000. Buku Saku Psikiatri Edisi 6. Jakarta : EGC. Hal. 96-110

Murni, Arina Widya, et al. 2011. Plasma Cortisol Levels In Dyspepsia With Psychosomatic Patients, Sub division of Gastroenterology Department of Internal Medicine Faculty of Medicine Andalas University Padang.

Available from: http://repository.unand.ac.id/18327/1/PLASMA%20CORTISOL%20LEVELS%20IN%20DYSPEPSIA.pdf (accesed 12 November 2012)

Gunawan, Bambang & Sumadiono. 2007. Stres dan Sistem Imun Tubuh: Suatu Pendekatan Psikoneuroimunologi, Sub Bagian Alergi Imunologi, Bagian Ilmu Kesehatan Anak, Fakultas Kedokteran Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. Cermin Dunia Kedokteran No. 154.

Faktor diet

Lingkungan

Sekresi asam lambung

Sindroma Dispepsia

Fungsi motorik laambung

Infeksi Helicobacter pylori

Remaja Perempuan

Merangsang Sekresi asam lambung dan Menghambat Prostaglandin

Stresor Psikologi

Cemas

Gangguan Aksis Hipotalamus-Pituitary-Adrenal

Peningkatan Kortisol

Pusat emosi di Sistem Saraf Pusat

22