bab 2 tinjauan pustaka

26
 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Production Planning & Inventory Control  (PPIC)  Production Planning and Inventory Control  (umumnya disingkat dengan PPIC) adalah bagian dari kegiatan manajemen produksi dan persediaan. Tujuan dari kegiatan PPIC adalah untuk dapat melakukan perencanaan produksi dan  persediaan. Kegiatan ini dilakukan dalam rangka pemanfaatan sumber secara efektif serta dapat melakukan pengendalian produksi dan persediaan dengan melakukan penyesuaian dari perencanaan yang telah dibuat dengan kegiatan  produksi sehari-hari. Permasalahan yang harus dihadapi dalam PPIC antara lain adalah : penyesuaian apa (dilakukan pada level sistem manufaktur), berapa  banyak, kapan, siapa serta bagaimana peny esuaian harus dilakukan. Dalam arah pengembangan sistem perencanaan dan pengendalian produksi, Bedworth menggambarkan PPIC sebag ai aliran material d an informasi fungsi  pengendalian produksi dalam kegiatan perencanaan sumber daya manufaktur pada  perusahaan. Perkembangan fungsi perencanaan produksi dan pengendalian persediaan diawali oleh Oliver Wigth dan Joseph Orlicky pada tahun 1960 yang memperkenalkan  Material Requirement Planning  (MRP) untuk membantu menyediakan bahan baku yang tepat untuk menghasilkan produk jadi yang tepat dengan jumlah yang sesuai sehingga produsen dapat mengirimkan produk sesuai dengan permintaan konsumen (Koh, 2006). Pada tahun 1975, sistem MRP diperluas menjadi sistem  Manufacturing  Resources Planning  yang sering disebut dengan MRP II, dimana MRP merupakan fungsi utama sistem MRP II. MRP II mengintegrasikan informasi, teknologi manufaktur, rencana dan sumber daya untuk perbaikan efisiensi pada perusahaan manufaktur. MRP II berisi berbagai fungsi yang saling terkait meliputi :  perencanaan bisnis, perencanaan penjualan dan operasional, perencanaan produksi, Master Production Scheduling (MPS), MRP, perencanaan kebutuhan kapasitas serta sistem pendukung untuk operasionalisasi kapasitas dan bahan baku. Output dari sistem ini terintegrasi dengan laporan finansial seperti rencana bisnis, laporan  pembelian, anggaran pengiriman d an proyeksi persediaan dalam nilai finansial.

Upload: andika-saputra

Post on 10-Oct-2015

73 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • 2 TINJAUAN PUSTAKA

    2.1 Production Planning & Inventory Control (PPIC)

    Production Planning and Inventory Control (umumnya disingkat dengan

    PPIC) adalah bagian dari kegiatan manajemen produksi dan persediaan. Tujuan

    dari kegiatan PPIC adalah untuk dapat melakukan perencanaan produksi dan

    persediaan. Kegiatan ini dilakukan dalam rangka pemanfaatan sumber secara

    efektif serta dapat melakukan pengendalian produksi dan persediaan dengan

    melakukan penyesuaian dari perencanaan yang telah dibuat dengan kegiatan

    produksi sehari-hari. Permasalahan yang harus dihadapi dalam PPIC antara lain

    adalah : penyesuaian apa (dilakukan pada level sistem manufaktur), berapa

    banyak, kapan, siapa serta bagaimana penyesuaian harus dilakukan.

    Dalam arah pengembangan sistem perencanaan dan pengendalian produksi,

    Bedworth menggambarkan PPIC sebagai aliran material dan informasi fungsi

    pengendalian produksi dalam kegiatan perencanaan sumber daya manufaktur pada

    perusahaan.

    Perkembangan fungsi perencanaan produksi dan pengendalian persediaan

    diawali oleh Oliver Wigth dan Joseph Orlicky pada tahun 1960 yang

    memperkenalkan Material Requirement Planning (MRP) untuk membantu

    menyediakan bahan baku yang tepat untuk menghasilkan produk jadi yang tepat

    dengan jumlah yang sesuai sehingga produsen dapat mengirimkan produk sesuai

    dengan permintaan konsumen (Koh, 2006).

    Pada tahun 1975, sistem MRP diperluas menjadi sistem Manufacturing

    Resources Planning yang sering disebut dengan MRP II, dimana MRP merupakan

    fungsi utama sistem MRP II. MRP II mengintegrasikan informasi, teknologi

    manufaktur, rencana dan sumber daya untuk perbaikan efisiensi pada perusahaan

    manufaktur. MRP II berisi berbagai fungsi yang saling terkait meliputi :

    perencanaan bisnis, perencanaan penjualan dan operasional, perencanaan produksi,

    Master Production Scheduling (MPS), MRP, perencanaan kebutuhan kapasitas

    serta sistem pendukung untuk operasionalisasi kapasitas dan bahan baku. Output

    dari sistem ini terintegrasi dengan laporan finansial seperti rencana bisnis, laporan

    pembelian, anggaran pengiriman dan proyeksi persediaan dalam nilai finansial.

  • 8

    Konsep Enterprise Resource Planning (ERP) mulai dikembangkan pada

    sekitar tahun 1990 dan makin berkembang menjadi versi lengkap MRP II

    (Davenport, 2000 dalam Koh, 2006). Sistem ini mengintegrasikan sejumlah

    fungsi bisnis seperti penjualan, pemasaran, akuntansi, pembelian, logistik dan

    sumber daya manusia. Terkait dengan sistem ERP, dinyatakan oleh Berchat &

    Habechi (2005) bahwa perencanaan produksi merupakan modul terpenting yang

    mendukung sistem Enterprise Resources Planning (ERP). Dalam makalah

    tersebut, dinyatakan oleh Stadtler (2005) bahwa kekuatan ERP bukan berada pada

    area perencanaan, melainkan cenderung untuk fokus pada aspek integrasi.

    Fogarty (1991) memperjelas kegiatan perencanaan produksi dan

    pengendalian persediaan dengan menggambarkan secara detil kegiatan PPIC

    dalam framework Manufacturing Resources Planning (MRP II) sesuai dengan

    gambar 1 berikut. Sesuai dengan konsep MRP II yang telah dikembangkan oleh

    Fogarty (1991), diketahui bahwa lingkup kegiatan Production Planning &

    Inventory Control (PPIC) pada industri manufaktur meliputi kegiatan

    perencanaan dan pengendalian produksi yang bersifat jangka panjang, jangka

    menengah dan jangka pendek, tergantung dari waktu yang dibutuhkan untuk

    menyelesaikan pelaksanaan produksi. Perencanaan jangka panjang mencakup

    kegiatan : Business Forecasting, Product & Sales Planning, Resources

    Requirement Planning dan Financial Planning. Kegiatan yang termasuk dalam

    perencanaan jangka menengah meliputi : Distribution Resources Planning (DRP),

    Demand Management, Master Production Scheduling (MPS), Rough Cut

    Capacity Planning (RCCP), Material Requirement Planning (MRP) dan Capacity

    Requirement Planning (CRP). Perencanaan jangka pendek terdiri atas : Final

    Assembly Scheduling (FAS) dan Input/Output Planning & Control (meliputi

    kegiatan Production Activity Control / PAC dan Purchase Planning & Control).

    Kegiatan PPIC dimulai dari kegiatan Perencanaan Produksi yang telah

    mempertimbangkan Perencanaan Produk dan Penjualan, Perencanaan Kebutuhan

    Sumber Daya dan Perencanaan Finansial. Kegiatan ini umumnya dilakukan pada

    awal perusahaan mulai melakukan kegiatannya dalam berproduksi untuk

    mengetahui strategi berproduksi yang sesuai untuk diterapkan perusahaan dengan

    mempertimbangkan keterbatasan dan ketersediaan sumber daya yang dimiliki

  • 9

    perusahaan termasuk rencana penjualan dan produk yang dilakukan perusahaan.

    Kegiatan Perencanaan Produksi ini akan dilakukan peninjauan kembali apabila

    terjadi perubahan cukup radikal dari rencana produk dan penjualan perusahaan

    ataupun kondisi finansial dan sumber daya yang dimiliki perusahaan.

    Sasaran OrganisasiPerencanaan

    Kebutuhan Sumber

    Daya

    Perencanaan Produk

    dan Penjualan

    Perencanaan Produksi

    Perencanaan Finansial

    Peramalan Bisnis

    Perencanaan Sumberdaya

    Distribusi

    Manajemen

    Permintaan

    Penjadwalan Induk

    Produksi

    Perencanaan

    Kapasitas Kasar

    Perencanaan

    Kebutuhan Bahan

    Baku

    Perencanaan

    Kebutuhan Kapasitas

    Pengendalian

    Kegiatan Produksi

    Pengendalian dan

    Perencanaan

    Pembelian

    Penjadwalan

    Perakitan Akhir

    JANGKA PANJANG

    JANGKA MENENGAH

    JANGKA PENDEK

    PERENCANAAN DAN PENGENDALIAN

    MASUKAN/LUARAN

    Kegiatan

    Production Planning & Inventory Control

    (PPIC)

    Gambar 1 Lingkup kegiatan Production Planning & Inventory Control (PPIC)

    sebagai bagian dari Manufacturing Resources Planning (MRP II)

    (Fogarty, 1991).

  • 10

    Setelah diketahui strategi berproduksi yang diterapkan perusahaan, dengan

    mempertimbangkan permintaan produk, dilakukan kegiatan manajemen

    permintaan dengan melakukan prakiraan permintaan, dilanjutkan dengan kegiatan

    penjadwalan induk produksi yang juga telah mempertimbangkan rencana

    sumberdaya distribusi.

    Kegiatan penjadwalan induk produksi yang telah mempertimbangkan

    kapasitas produksi yang dimiliki perusahaan menghasilkan rencana jadwal induk

    produksi dan berikutnya dapat dilakukan perencanaan kebutuhan bahan baku.

    Rencana jadwal induk produksi ini akan menjadi dasar dalam kegiatan

    penjadwalan produksi. Kegiatan perencanaan bahan baku menjadi masukan

    dalam kegiatan pengendalian kegiatan produksi serta perencanaan dan

    pengendalian kegiatan pembelian.

    2.2 Ketidakpastian dalam PPIC

    Bonney (2000) dalam makalahnya yang berjudul : Deflection on

    Production Planning & Control (PPC) telah mengidentifikasi beberapa

    perubahan sistem PPC untuk mengantisipasi kebutuhan pasar. PPC diharapkan

    menjadi lebih fleksibel untuk dapat merespon secara efektif perubahan internal

    dan eksternal. Untuk menjalankan sistem PPC dibutuhkan perbaikan prosedur

    perencanaan serta perbaikan pengendalian operasional pada lantai produksi

    sedemikian sehingga dapat merespon ketidakpastian dalam lingkungan produksi

    dan pasar. Koh dan Saad (2003) mendukung yang disampaikan oleh Bonney dan

    menyatakan bahwa performansi ERP kurang baik dalam menghadapi

    ketidakpastian. Untuk itu dibutuhkan tambahan fasilitas pendukung keputusan

    dalam area perencanaan ERP.

    Mula, J. et al. (2006) dalam makalahnya mengatakan bahwa Galbraith

    (1973) mendefinisikan ketidakpastian sebagai perbedaan antara kebutuhan

    informasi untuk melakukan kegiatan dengan informasi yang telah dimiliki.

    Terdapat berbagai bentuk ketidakpastian yang mempengaruhi proses produksi

    yang dikategorikan oleh Ho (1989) menjadi 2 kelompok besar yaitu :

    a. Environmental uncertainty : meliputi demand uncertainty dansupply

    uncertainty

  • 11

    b. System uncertainty, meliputi antara lain : operation yield uncertainty

    danproduction lead time uncertainty.

    Dalam makalah tersebut, Yano dan Lee (1995) juga Sethi, et.al. (2002)

    memformalisasikan berbagai model ketidakpastian dalam sistem manufaktur yang

    memanfaatkan antara lain konsep safety stocks dan safety lead time dengan

    menggunakan pendekatan berbasis intelijensia buatan maupun model analitis.

    Berikutnya dinyatakan oleh Koh et al. (2002) bahwa ketidakpastian dalam

    lingkungan ERP belum dipelajari secara sistematis sehingga banyak peneliti

    berusaha menemukan cara untuk menghadapi ketidakpastian dan bukannya

    mendiagnosa penyebab terjadinya ketidakpastian tersebut. Menurut Koh et al.

    (2000), terdapat asumsi-asumsi yang mendasari MRP sehingga menjadi

    keterbatasan MRP, yaitu : waktu ancang yang tetap dalam pembelian bahan baku

    dan produksi, urutan proses dan aliran material yang tetap yang tidak

    memungkinkan adanya terhentinya mesin atau terjadinya keterlambatan waktu

    proses, serta jumlah produk dengan prosentase cacat yang tetap sehingga tidak

    memungkinkan terjadinya kejadian tak terduga yang sebenarnya dapat menambah

    jumlah produk cacat. Asumsi-asumsi ini menyebabkan ketidakmampuan MRP

    dalam mengantisipasi ketidakpastian yang terjadi pada lingkungan nyata

    manufaktur, sehingga perencana harus menggunakan beberapa teknik lain seperti

    penjadwalan ulang, subkontrak atau teknik lainnya untuk mengantisipasi

    ketidakpastian yang terjadi (Mandal dan Gunasekaran, 2003).

    Vollman et al. (1999) mengkategorikan 4 tipe ketidakpastian yang terjadi

    disebabkan karena kebutuhan pergantian antar periode, kekurangan atau kelebihan

    bahan baku dari yang direncanakan, pemasok tidak mengirimkan pesanan bahan

    baku tepat waktu serta adanya ketidaksesuaian jumlah pesanan yang diterima dari

    pemasok. Koh et al. (2002) juga mengkategorikan ketidakpastian menjadi

    ketidakpastian input dan ketidakpastian proses meliputi :

    kekurangan/ketidaktersediaan bahan baku, kekurangan/ketidaktersediaan operator

    produksi, kekurangan/ketidaktersediaan kapasitas mesin, produk rusak/cacat dan

    keterlambatan pengiriman produk.

  • 12

    Mengantisipasi permasalahan ketidakpastian yang terjadi dalam

    lingkungan manufakatur tersebut, Koh dan Saad telah mengembangkan rencana

    kontingensi yang dapat memudahkan proses diagnosa dan antisipasi

    ketidakpastian yang terjadi dalam lingkungan manufaktur MRP/MRP II/ERP

    dengan merekomendasikan pemberian persediaan penyangga (buffering) atau

    penambahan waktu ancang (dampening).

    Edmund (2005) dalam penelitiannya berjudul A framework for

    Understanding the Interaction of Uncertainty and Information System on Supply

    Chains menyatakan adanya ketidakpastian dalam rantai pasok dan

    menyampaikan pemikirannya mengenai alternatif pemecahan dan metode yang

    tepat untuk menyelesaikan permasalahan ketidakpastian pada rantai pasok.

    Datta, Partha Priya (2007) dalam penelitiannya yang berjudul : A

    Complex System, Agen Based Model for Studying and Improving the Resiliance

    of Production and Distribution Networks, mengupas berbagai permasalahan

    mengenai resiliansi dalam rantai pasok dengan berbagai pendekatan dan metode

    penyelesaiannya lengkap dengan ulasan mengenai kelebihan dan keterbatasannya.

    Peneliti sekaligus memberikan ulasan teoritis untuk penelitian lanjutan dalam

    resiliansi rantai pasok yang membantu dalam mengembangkan prosedur yang

    efektif untuk mengelola berbagai situasi ketidakpastian dengan kasus pada rantai

    pasok manufaktur kertas tissue. Pada penelitian tersebut juga diuraikan beberapa

    penelitian yang juga dikembangkan berdasarkan pendekatan sistem agen, antara

    lain oleh Parunak et al. (1998) yang mengeksplorasi kemampuan model berbasis

    agen dalam permasalahan jaringan pasokan manufaktur. Schicritz dan Grobler

    (2003) mencoba mengintegrasikan pemodelan dinamika sistem dan pemodelan

    berbasis agen, juga Ahn et al. (2003) yang mengusulkan sistem agen yang

    fleksibel yang dapat beradaptasi dengan perubahan-perubahan dinamis pada

    transaksi di suatu rantai pasok.

  • 13

    2.3 Industri Pangan

    Industri pangan adalah bagian dari sistem pangan yang mencakup kegiatan

    produksi, pemrosesan, distribusi dan konsumsi produk-produk pangan dalam

    agroindustri. Bahan baku untuk industri pangan mencakup hasil-hasil pertanian,

    peternakan, produk-produk laut, bahan pengemas, perasa makanan dan bahan

    kimia untuk makanan. Industri ini umumnya memiliki karakteristik yang

    membutuhkan perhatian khusus dibandingkan agroindustri yang lainnya dalam hal

    tingkat variabilitas dan sensitivitas bahan baku utamanya disamping adanya

    kebutuhan perhatian untuk masalah kualitas dan standard produk yang harus

    mempertimbangkan masalah kesehatan dan keselamatan konsumennya.

    Salah satu industri di sektor pangan yang mengalami pertumbuhan cukup

    pesat adalah industri yang berbasis tepung terigu. Pertumbuhan industri ini di

    Indonesia dipacu oleh beberapa faktor, antara lain adalah adanya peningkatan

    kesadaran bahwa tepung terigu adalah makanan yang sehat dan bergizi serta

    peningkatan kesadaran makanan berbasis tepung terigu sebagai alternatif

    diversifikasi pangan.

    Industri roti adalah contoh industri pangan berbasis tepung terigu.

    Berdasarkan data yang bersumber dari Asosiasi Produsen Tepung Terigu

    Indonesia (APTINDO) tahun 2001 diketahui bahwa 25% dari industri berbasis

    tepung terigu adalah industri roti. Tingkat persaingan industri ini dari tahun ke

    tahun semakin ramai dengan makin banyaknya industri yang bergerak pada

    bidang ini. Bersumber dari Bisnis Indonesia Online, diketahui bahwa hingga

    akhir tahun 2007, terdapat lebih dari 15.000 UKM di tingkat nasional dan 2.000

    unit industri menengah besar dan modern yang masuk dalam persaingan industri

    roti ini (Sekarasih, 2008).

    Kebanyakan perusahaan besar pada industri pangan menghasilkan produk-

    produk makanan setengah jadi atau produk jadi yang akan dikonsumsi langsung

    dalam suatu kegiatan operasional produksi yang memiliki aliran produksi

    kontinyu yang sesuai dengan karakteristik industri proses. Industri-industri ini

    membutuhkan investasi modal yang besar untuk melakukan produksi dan

    mengendalikan peralatan yang akan digunakan secara kontinyu. Untuk itu,

  • 14

    aplikasi komputer akan membantu kegiatan pemrosesan dan meningkatkan

    efisiensi dalam operasional pabrik (Connor, 1997).

    Dengan karakteristik sistem produksi yang bersifat kontinyu, dibutuhkan

    ketersediaan yang kontinyu pula dari input-input sistem produksinya (seperti

    mesin/peralatan dan material). Sehingga terhentinya kegiatan produksi yang

    diakibatkan adanya gangguan yang menyebabkan ketidaktersediaan input

    pendukung kegiatan produksi akan menyebabkan kerugian ekonomis yang sangat

    besar bagi perusahaan.

    APICS mendefinisikan industri proses sebagai bisnis yang menambah nilai

    pada materia melalui proses pencampuran, pemisahan, pembentukan ataupun

    reaksi kimia. (Fransoo, 1994). Proses-proses tersebut dapat bersifat kontinyu atau

    batch dan umumnya membutuhkan pengendalian proses yang ketat dan investasi

    modal yang tinggi. Proses-proses tersebut juga sulit untuk dikendalikan dan sering

    menyebabkan dihasilkannya output yang bervariasi.

    Burt dan Kraemer dalam Fransoo (1994) menunjukkan strategi untuk

    mengantisipasi output yang bervariasi , antara lain dengan menyediakan

    persediaan pengaman (safety stock) untuk bahan baku yang paling banyak

    menyebabkan terjadinya variasi output. Bahan baku pada industri proses juga

    bervariasi dalam kualitas mengakibatkan output ataupun potensi kerusakan

    kualitas umumnya tidak diketahui ataupun tidak terukur hingga dimulainya proses.

    Variabilitas dari kualitas bahan baku juga sering digunakan sebagai informasi

    untuk menentukan produk yang akan dihasilkan. Bila didapatkan kualitas yang

    tidak standard, maka dapat dilakukan pemesanan kembali atau proses daur ulang

    yang menyebabkan terjadinya kekurangan persediaan. Terjadinya kekurangan

    persediaan ini dapat dikendalikan dengan adanya persediaan pengaman.

    Berikutnya disampaikan oleh Rutten dalam Fransoo (1994) bahwa variasi

    dalam kualitas bahan baku dapat menyebabkan timbulnya variasi dalam struktur

    produk (recipes).

    Pada industri proses, umumnya digunakan lini produksi yang akan

    menghasilkan berbagai varian produk dengan variasi yang rendah diantara produk.

    Variasi yang rendah, kompleksitas produk yang rendah dan tahapan proses yang

  • 15

    relatif tidak banyak menyebabkan seluruh produk memiliki urutan proses

    (routing) yang sama.

    Berikutnya disampaikan bahwa dengan penggunaan lini produksi pada

    industri proses secara kontinyu, maka perhitungan penentuan ketersediaan

    kapasitas produksi untuk industri proses menjadi lebih sederhana.

    Metode penjadwalan produksi yang dikembangkan untuk industri proses

    adalah metode yang sesuai untuk permasalahan penjadwalan mesin tunggal -

    banyak produk (single machine multiproduct). Leachman dan Gascon dalam

    Fransoo (1994) telah melakukan investigasi mengenai aplikasi model-model

    deterministik pada situasi stokastik dan mengusulkan pendekatan heuristik untuk

    mengantisipasi adanya ketidakpastian.

    2.4 Persediaan (Inventory)

    Persediaan adalah sumber daya menganggur yang dipandang sebagai

    pemborosan karena dapat menimbulkan biaya persediaan yang tinggi jika terdapat

    dalam jumlah yang berlebihan. Keberadaan persediaan harus diminimalkan,

    dengan tetap menjamin terpenuhinya permintaan produk dari pelanggan. Efisiensi

    produksi (salah satu muaranya adalah penurunan biaya produksi) dapat

    ditingkatkan melalui pengendalian sistem persediaan. Menurut Baroto (2002 )

    terdapat beberapa fungsi persediaan sebagai berikut :

    1. Fungsi independensi. Persediaan barang jadi diperlukan untuk memenuhi

    permintaan pelanggan yang tidak pasti. Permintaan pasar tidak dapat

    diduga dengan tepat, demikian pula dengan pasokan dari pemasok.

    2. Fungsi ekonomis. Seringkali dalam kondisi tertentu, memproduksi dengan

    jumlah produksi tertentu (lot) akan lebih ekonomis daripada memproduksi

    secara berulang atau sesuai permintaan. Pada beberapa kasus, membeli

    dengan jumlah tertentu juga akan lebih ekonomis daripada membeli sesuai

    kebutuhan.

    3. Fungsi antisipasi. Fungsi ini diperlukan untuk mengantisipasi perubahan

    permintaan atau pasokan.

  • 16

    4. Fungsi fleksibilitas. Bila dalam proses produksi terdiri atas beberapa

    tahapan proses operasi dan kemudian terjadi kerusakan pada satu tahapan

    proses operasi, maka akan diperlukan waktu untuk melakukan perbaikan.

    Persediaan barang setengah jadi (work in process) pada situasi ini akan

    merupakan faktor penolong untuk kelancaran proses operasi.

    Untuk mengatur persediaan permintaan (demand) diperlukan strategi yang

    tepat mempertimbangkan bahwa permintaan dipengaruhi oleh faktor-faktor

    eksternal yang sulit dikendalikan. Dalam sistem pengendalian persediaan terdapat

    dua pendekatan yaitu : Continuous Review System (sering disebut dengan Q

    system) dan Periodic Review System (sering disebut dengan P system).

    Sistem persediaan berdasarkan pendekatan Continuous Review System

    sering disebut dengan sistem Reorder Point (sistem ROP atau sistem Fixed Order

    Quantity/FOQ). Dalam prakteknya, pengamatan (review) dilakukan secara berkala

    (misalnya hari-an) dan kontinyu. Dalam setiap pengamatan, dilakukan

    pengambilan keputusan berdasarkan posisi persediaan item. Jika jumlah

    persediaan dipertimbangkan terlalu rendah, sistem merekomendasikan

    dilakukannya pemesanan (order baru). Pada saat posisi persediaan mencapai

    tingkat minimum persediaan yang telah ditentukan (ROP), dilakukan pemesanan

    item sejumlah kuantitas tertentu (Q). Q dapat ditentukan berdasarkan rumus

    Economic Order Quantity (EOQ), ukuran lot minimum, ukuran kontainer atau

    kuantitas lainnya sesuai dengan pertimbangan pihak manajemen (Krajewski,

    2002).

    Kim C.O., et.al (2005) dalam makalahnya yang berjudulAdaptive

    Inventory Control Models for Supply Chain Management mengamati

    permasalahan pengendalian persediaan pada sistem rantai pasok yang terdiri dari

    pemasok tunggal dan banyak retailer. Untuk menghadapi situasi permintaan yang

    dinamis, mereka mengusulkan dua model pengendalian persediaan adaptif dengan

    asumsi bahwa supplier mampu mengakses informasi mengenai permintaan

    pelanggan dan posisi persediaan tiap retailer secara on line. Dengan menggunakan

    teknik reinforcement-learning, parameter pengendali dari kedua model

    pengendalian persediaan dirancang untuk dapat berubah secara adaptif sesuai

    dengan perubahan pola permintaan pelanggan.

  • 17

    Tersine dalam bukunya Principles of Inventory and Materials

    Management (1994) menyatakan bahwa resiko dan ketidakpastian termasuk

    dalam analisis persediaan yang melibatkan banyak peubah(variable). Namun yang

    paling berperan sebagai resiko dan ketidakpastian adalah variasi dalam

    permintaan dan waktu ancang-ancang (lead time). Variasi tersebut diserap dalam

    bentuk persediaan pengaman (safety stock) atau buffer stock atau fluctuation stock.

    Persediaan pengaman (safety stock) adalah persediaan tambahan yang

    disimpan sebagai penyangga untuk mencegah terjadinya kekurangan persediaan

    (stockout) disebabkan adanya gangguan acak dari alam atau lingkungan.

    Persediaan pengaman dibutuhkan untuk menangani permintaan selama waktu

    ancang-ancang pemesanan pada saat permintaan aktual melebihi permintaan yang

    diharapkan atau dapat juga disebabkan waktu ancang-ancang (lead time) aktual

    melampaui waktu ancang-ancang yang diharapkan. Di samping itu, persediaan

    pengaman dibutuhkan karena prakiraan permintaan kurang sempurna dan supplier

    kadang-kadang gagal untuk mengirimkan barang tepat waktu.

    Dalam kenyataannya, permintaan dan waktu ancang-ancang tidak selalu

    dapat diprediksi. Situasi ini mendukung kebutuhan adanya persediaan pengaman.

    Dalam upaya mempertahankan pelayanan terhadap permintaan yang tidak pasti

    (uncertain) diperlukan tingkat pelayanan (service level).Tingkat pelayanan adalah

    kemungkinan bahwa kekurangan persediaan tidak akan terjadi selama waktu

    ancang-ancang. Jika permintaan bervariasi kecil di sekitar rata-rata permintaan,

    persediaan pengaman adalah kecil, dan berlaku sebaliknya. Variabilitas diukur

    berdasarkan distribusi probabilitas yang ditunjukkan berdasarkan nilai rata-rata

    (mean) dan variansinya (variance). Menurut Tersine (1994), persediaan pengaman

    ditentukan oleh pihak manajemen dengan mempertimbangkan kebijakan tingkat

    pelayanan (service level) yang logis .

    2.5 Manajemen Permintaan

    Fungsinya adalah untuk menentukan permintaan produk. Penentuan ini

    mencerminkan prakiraan permintaan (forecast) dan mencakup pesanan pelanggan

    yang diterima, pesanan dari outlet gudang, promosi khusus, kebutuhan persediaan

    pengaman serta komponen-komponen pelayanan dan persediaan untuk

  • 18

    mengantisipasi kebutuhan permintaan yang tinggi. Output dari kegiatan ini adalah

    penjumlahan dari permintaan produk per-periode (Fogarty, 1991).

    Kegiatan perencanaan dan pengendalian produksi dimulai dengan fungsi

    prakiraan permintaan berdasarkan plot data riwayat penjualan produk. Analisis

    plot data akan merujuk beberapa metode pengujian prakiraan permintaan yang

    sesuai dengan hasil analisis plot data permintaan. Metode prakiraan permintaan

    yang akurat adalah metode yang memberikan nilai kesalahan minimum.

    Terdapat berbagai alternatif metode prakiraan permintaan yang layak

    untuk digunakan dalam pengujian prakiraan permintaan. Metode deret waktu,

    regresi linier, dan dekomposisi adalah beberapa metode yang banyak

    diaplikasikan oleh industri karena kesederhanaannya dalam perhitungan. Metode

    Jaringan Syaraf Tiruan (Artificial Neural Network) menjadi metode yang mulai

    banyak diaplikasikan untuk pengenalan pola data karena dapat menghasilkan

    prakiraan permintaan dengan nilai akurasi yang baik.

    Pada model deret waktu ini permintaan merupakan fungsi dari waktu. Pola

    permintaan pada masa yang akan datang diperkirakan identik dengan pola data

    masa lalu. Model ini dikembangkan berdasarkan informasi masa lalu, dengan

    variabel tidak bebas dan asumsi, bahwa variabel tidak bebas ini akan memiliki

    pola yang sama dengan masa lalu. Metode deret waktu yang banyak diaplikasikan

    industri antara lain adalah metode rata-rata bergerak (moving average) dan

    metode pemulusan eksponensial (exponential smoothing).

    Salah satu bentuk peramalan yang paling sederhana adalah regresi linier.

    Dalam aplikasi regresi linier diasumsikan bahwa terdapat hubungan antara

    variabel yang ingin diramalkan (variabel dependen) dengan variabel lain (variabel

    independen). Selanjutnya, peramalan ini didasarkan pada asumsi bahwa pola

    pertumbuhan dari data historis bersifat linier. Pola pertumbuhan ini didekati

    dengan suatu model yang menggambarkan hubungan-hubungan yang terkait

    dalam suatu keadaan.

    Metode dekomposisi merupakan metode peramalan time series dengan

    pendekatan yang digunakan bila data historis memiliki pola kecenderungan(trend),

    siklis atau musiman. Metode dekomposisi mencoba memisahkan faktor trend

    (kecenderungan) dan faktor musiman dari pola dasar. Faktor kecenderungan

  • 19

    menggambarkan perilaku data dalam jangka panjang yang dapat meningkat,

    menurun atau tidak berubah. Faktor musiman berkaitan dengan fluktuasi periodik

    dengan panjang konstan yang disebabkan oleh hal-hal seperti curah hujan, saat

    liburan dan lain-lain (Fogarty, 1991).

    Menurut Makridakis (1983), dalam melakukan prakiraan permintaan, hasil

    prakiraan permintaan yang diperoleh tidak mungkin benar-benar tepat. Selisih

    yang terjadi antara nilai prakiraan permintaan dengan nilai aktual disebut sebagai

    galat atau kesalahan (error). Melalui nilai kesalahan ini dilakukan beberapa

    analisa sehingga dapat ditentukan metode prakiraan permintaan yang paling sesuai

    dengan data yang dimiliki serta seberapa baik metode yang digunakan tersebut.

    Metode yang terbaik adalah metode yang memberikan nilai prakiraan permintaan

    paling sesuai dengan data aktual, berarti memiliki nilai kesalahan prakiraan

    permintaan yang paling kecil.

    2.6 Metode Jaringan Syaraf Tiruan

    Metode Jaringan Syaraf Tiruan (JST) merupakan metode prakiraan

    permintaan yang banyak diaplikasikan karena memiliki hasil prakiraan

    permintaan yang optimal dan akurat. JST atau Artificial Neural Network (ANN)

    merupakan salah satu representasi buatan otak manusia yang selalu mencoba

    mensimulasikan proses pembelajaran pada otak manusia. Keunggulan utama

    metode ini adalah kemampuan untuk belajar dari contoh yang diberikan. Selain

    itu, dalam proses belajarnya metode JST dapat melakukan pengolahan terhadap

    data yang non-linier (Siang, 2009).

    Bakhary (2004) dalam makalahnya menyampaikan bahwa JST mampu

    memberikan model terbaik dibandingkan dengan model regresi dan multi-regresi.

    Kemampuan untuk menggeneralisasi memungkinkan jaringan syaraf tiruan untuk

    belajar bahkan dalam kasus data pencilan ataupun tidak adanya data.

    Zhang (2005) menyatakan bahwa variasi musiman dan kecenderungan

    (trend) merupakan dua gejala yang selalu terjadi dan harus dihadapi dalam

    berbagai sektor ekonomi dan bisnis. Bagaimana memodelkan dan melakukan

    prakiraan permintaan variasi-variasi yang terjadi merupakan hal yang penting

    dalam kegiatan perencanaan dan pengambilan keputusan. JST merupakan metode

  • 20

    yang sesuai untuk digunakan dalam peramalan data yang sifatnya musiman dan

    kecenderungan dengan tingkat akurasi yang tinggi. Dinyatakan dalam makalah

    terkait oleh Zhang (1998) bahwa meskipun JST merupakan model non linier,

    namun JST memiliki kemampuan untuk memodelkan proses-proses yang linier

    juga. Gorr (1994) bahkan menyatakan bahwa JST mampu secara simultan

    mendeteksi kecenderungan maupun musiman data yang tidak linier. Sharda dan

    Patil (1992) mendapatkan hasil pengujian bahwa JST dapat memodelkan data

    musiman secara efektif. Hansen dan Nelson (2003) berikutnya menemukan bahwa

    kombinasi transformasi dan jaringan syaraf melalui konsep generalisasi sehingga

    memberikan hasil prakiraan permintaan yang lebih akurat dibandingkan model

    Dekomposisi maupun ARIMA.

    Propagasi Balik (Backpropagation)

    Seperti halnya model JST lain, Backpropagation melatih jaringan untuk

    mendapatkan keseimbangan antara kemampuan jaringan untuk mengenali pola

    yang digunakan selama pelatihan serta kemampuan jaringan untuk memberikan

    respon yang benar terhadap pola masukan yang serupa (tetapi tidak sama) dengan

    pola yang dipakai selama pelatihan.

    Arsitektur propagasi balik memiliki beberapa unit tersembunyi. Gambar 2

    adalah contoh gambar arsitektur propagasi balik dengan 3 buah masukan

    (ditambah sebuah bias), sebuah lapisan tersembunyi yang terdiri dari 2 unit

    (ditambah sebuah bias), serta 1 buah unit keluaran. vji merupakan bobot garis

    dari unit masukan xi ke unit lapisan tersembunyi zj (vj0 merupakan bobot garis

    yang menghubungkan bias di unit masukan ke unit lapisan tersembunyi zj). Wkj

    merupakan bobot dari unit lapisan tersembunyi zj ke unit keluaran yk ( wk0

    merupakan bobot dari bias di lapisan tersembunyi ke unit keluaran yk)

    (Siang,2009).

  • 21

    x1 x2 x3

    z1 z2

    y

    Nilai Input

    Input

    Matriks Bobot Input

    ke Lapisan

    Tersembunyi

    Lapisan

    Tersembunyi

    Matriks Bobot Lapisan

    Tersembunyi ke Output

    Output

    Nilai Output

    wi w2

    v32v31v22v21

    v12v11

    Gambar 2 Struktur jaringan syaraf tiruan (Hermawan, 2006).

    Dalam propagasi balik, fungsi aktivasi yang dipakai harus memenuhi

    beberapa syarat yaitu : kontinyu, terdiferensial dengan mudah dan tidak menurun

    secara monoton. Salah satu fungsi yang memenuhi ketiga syarat tersebut sehingga

    sering dipakai adalah fungsi sigmoid biner yang memiliki range (0,1)

    (Siang,2009).

    Fungsi ini merupakan fungsi yang umum digunakan untuk aplikasi JST

    dalam prakiraan permintaan. Kisaran nilai yang digunakan pada fungsi ini adalah

    (0,1) dan didefinisikan sebagai f1(x) dengan fungsi turunan f1(x).

    xe

    xf

    1

    1)(1 ........................................................................................(1)

    ))(1)(()( 11'

    1 xfxfxf ..........................................................................(2)

    f(x)

    1

    0X

    Gambar 3 Fungsi sigmoid biner.

  • 22

    2.7 Penentuan Jadwal Induk Produksi (Master Production Schedulling /

    MPS)

    Jadwal induk produksi merupakan suatu pernyataan tentang produk akhir

    dari suatu perusahaan industri manufaktur yang merencanakan memproduksi

    produk berkaitan dengan kuantitas dan periode waktu (Fogarty, 1991).

    Vasant (2004) dalam makalahnya berjudul Application of Multi

    Objective Fuzzy Linear Programming in Supply Production Planning Problem

    menyatakan bahwa terdapat beberapa kesulitan dalam pemilihan solusi dalam

    menyatakan permasalahan dalam suatu fungsi keanggotaan linier. Untuk itu, pada

    makalahnya diusulkan suatu fungsi keanggotaan kurva-s dimodifikasi untuk

    mengatasi defisiensi yang dihadapi fungsi keanggotaan linier. Dinyatakan juga

    oleh peneliti bahwa fungsi keanggotaan kurva-s lebih fleksibel untuk

    menggambarkan kesamaran dalam parameter fuzzy untuk permasalahan

    penyediaan untuk kebutuhan perencanaan produksi.

    2.7.1 Model Fuzzy Multi Objective Linear Programming

    Dalam pengambilan keputusan dengan menggunakan model Fuzzy Linear

    Programming (FLP), variable sumber daya mungkin saja tidak pasti (fuzzy),

    walaupun dalam model linier programming non fuzzy (crisp Linear

    Programming), angka yang digunakan sudah merupakan angka yang mendekati

    kenyataannya ; karena pada kondisi nyata bisa saja terdapat potensi

    ketidaklengkapan informasi dan ketidakpastian pada berbagai lingkungan dan

    pemasok. Itu sebabnya angka tersebut sebaiknya dipertimbangkan sebagai angka

    sumber daya fuzzy. Permasalahan ini dapat dijadikan permasalahan FLP yang

    akan diselesaikan dengan menggunakan teori himpunan fuzzy (Vasant, 2004).

    Permasalahan FLP diformulasikan sebagai :

    Max z = c~ x .......................................................................................(3)

    s/t : A~

    x b~

    .......................................................................................(4)

    x 0 .......................................................................................(5)

    dimana :

    x adalah vektor variabel keputusan

    A~

    , b~

    dan c~ adalah angka fuzzy

  • 23

    Dalam persamaan tersebut, operasional penjumlahan dan perkalian angka

    fuzzy dinyatakan dengan berdasarkan prinsip-prinsip yang dikembangkan oleh

    Zadeh (1975). Berikutnya, hubungan pertidaksamaan (0. Makin besar nilai parameter , makin kecil nilai

    ketidakjelasan (vagueness). Parameter seharusnya ditentukan oleh pakar

    berdasarkan hasil percobaan secara heuristic.

    Menurut Watada dalam Vasant (2004), fungsi keanggotan triangular atau

    trapezoidal menunjukkan batas bawah dan batas atas untuk pada tingkat 0 - 1.

    Disamping itu, dengan mempertimbangkan fungsi keanggotaan non linier seperti

    fungsi logistic, batas bawah dan batas atas mungkin didekati dengan nilai 0.001

    dan 0.999. Untuk itu, kurva dimodifikasi dengan menentukan skala sumbu x

    sebagai xa

    = 0dan xb

    = 1 untuk menemukan nilai B, C dan , Novakowska dalam

    Vasant (2004) juga telah menunjukkan hasil yang sama dalam penelitiannya di

    area sosial. Berdasarkan persamaan di atas diperoleh nilai-nilai sebagai berikut :

    B = 1 ; C = 0.001001001 dan adalah konstanta dan = 13.8131

  • 24

    Fungsi keanggotaan kurva-s termodifikasi memiliki bentuk yang sama

    dengan fungsi logistik sesuai dengan yang disampaikan pada penelitian Watada

    dan juga sama dengan fungsi hiperbolik tangent seperti yang disampaikan pada

    penelitian Leberling. Disamping itu, fungsi keanggotaan trapezoidal dan

    triangular merupakan pendekatan dari fungsi logistic, sehingga fungsi sigmoid

    lebih sesuai untuk digunakan pada penyelesaian masalah dengan sasaran yang

    tidak jelas (vague). Disamping itu dalam hal ini fungsi keanggotaan kurva s

    mungkin untuk merubah bentuknya sesuai dengan nilai parameternya.

    Dengan menggunakan fungsi keanggotan non-linear sesuai dengan fungsi

    kurva-S (Bells, 1999) dalam Vasant (2004), fungsi keanggotaan bi dan interval

    fuzzy, bai hingga b

    bi adalah sesuai dengan gambar berikut :

    Gambar 4 Fungsi keanggotaan bi dan interval fuzzy bi.

    Untuk variabel sumber daya ib~

    ; untuk interval bai < bi < b

    bi, , berlaku :

    ai

    bi

    ai

    bb

    bbibi

    Ce

    B

    1

    ......................................................................................(7)

    Berikutnya persamaan diatas dapat diselesaikan hingga diperoleh nilai bi sebagai

    berikut :

  • 25

    1

    1ln

    bi

    a

    i

    b

    ii

    a

    B

    C

    bbbbi

    ......................................................................(8)

    Karena bi adalah variabel fuzzy yang dituliskan sebagai ib~

    , maka persamaan

    diatas dapat dituliskan menjadi :

    1

    1ln

    ~

    bi

    a

    i

    b

    ii

    ai

    B

    C

    bbbb

    ......................................................................(9)

    2.8 Perencanaan Kebutuhan Bahan Baku / Material Requirement Planning

    (MRP)

    Fogarty dan Hoffman (1983) dalam tesis yang disusun oleh Scott Wright

    (2007) menyatakan bahwa Material Requirement Planning (MRP) menjadi hasil

    pengembangan metode yang paling berarti dalam kegiatan pengendalian produksi

    dan persediaan dalam lima hingga 20 tahun. MRP menjadi pendukung yang

    sangat penting dalam kegiatan pengendalian produksi dan persediaan untuk bisnis

    manufaktur. Konsep ini dikembangkan pada area bisnis yang lain yang disebut

    dengan MRP II. Mabert (2007) juga menyampaikan bahwa sistem MRP telah

    menjadi pendekatan yang menonjol performansinya untuk mengatur aliran bahan

    baku maupun komponen pada lantai produksi hingga akhir abad ke-20 .

    Sistem perencanaan kebutuhan bahan baku (Material Requirement

    Planning/MRP) umum dilakukan pada industri, khususnya industri manufaktur

    yang menghasilkan produk jadi yang memiliki struktur berjenjang. MRP

    (Material Requirement Planning) menjadi teknik perencanaan dan pengendalian

    produksi dengan memanfaatkan data Jadwal Induk Produksi, data status

    persediaan dan struktur produk,untuk membuat atau membeli material/ item

    permintaan yang bersifat tidak memiliki ketergantungan. Sistem MRP bermanfaat

    dalam mengatur kebutuhan bahan baku dan komponen-komponen supaya dapat

    tersedia dalam jumlah dan waktu yang tepat (Fogarty, 1991).

    Menurut Jonsson, perencanaan bahan baku dapat dilihat sebagai tingkat

    perencanaan taktis yang fokus pada penyeimbangan antara pasokan (supply) dan

    permintaan (demand). Fungsi ini berkaitan dengan kegiatan persiapan,

    pengendalian, pengawasan manufaktur dan order pembelian dalam rangka

  • 26

    menjaga aliran material serta kegiatan yang memberikan nilai tambah dalam

    pelaksanaan proses manufaktur tanpa interupsi. Menurut Jonsson, Material

    Requirement Planning (MRP) dan sistem Re Order Point (ROP) merupakan

    metode-metode yang paling banyak dikenal dan digunakan oleh masyarakat

    industri.

    Selanjutnya disampaikan bahwa ketidakpastian dalam pasokan dan

    permintaan pada dasarnya dapat dikelola dengan menggunakan dua cara yang

    berbeda, yakni dengan menambah persediaan pengaman (safety stock) atau

    dengan menambah penyangga waktu (time buffers) berupa waktu pengaman

    (safety lead time). Ketidakpastian waktu biasanya dikelola secara efisien dengan

    mekanisme berdasarkan waktu, sedangkan ketidakpastian dalam jumlah lebih

    efisien bila dikelola dengan mekanisme berdasarkan jumlah. Berdasarkan hasil

    survai, cara yang paling banyak digunakan untuk menentukan safety stock dan

    safety lead times masih menggunakan pertimbangan pengalaman.

    Menurut Tersine (1994), dunia nyata kadang digambarkan sebagai model

    deterministik dengan menganggap beberapa hal bersifat probabilistik (contohnya

    model stokastik yang beberapa atau seluruh variabelnya adalah probabilistik).

    Model deterministik/tertentu dapat menjadi pendekatan yang berhasil dengan

    menjadi titik awal yang baik untuk menggambarkan fenomena persediaan .

    Berikutnya disampaikan oleh Tersine (1994) mengenai alasan utama

    dibutuhkannya persediaan adalah karena perusahaan mampu membeli atau

    memproduksi persediaan dalam ukuran yang ekonomis. Model penentuan ukuran

    lot (lot sizing) berdasarkan rumus Economic Order Quantity (EOQ )merupakan

    model persediaan yang sudah banyak diaplikasikan untuk mendapatkan ukuran

    pemesanan yang ekonomis dalam perencanaan kebutuhan bahan baku. Model

    persediaan klasik ini merupakan model deterministik yang mengasumsikan bahwa

    untuk memenuhi permintaan produk yang konstan dan tertentu, akan dilakukan

    pengambilan bahan baku dari persediaan dan mengurangi jumlah persediaan. Bila

    jumlah persediaan telah mencapai titik pemesanan kembali (reorder point), harus

    dilakukan pemesanan sejumlah EOQ dan pada waktunya akan diterima bahan

    baku sejumlah EOQ sekaligus yang akan menambah kembali jumlah persediaan.

  • 27

    2.9 Penjadwalan Flow Shop Genetic Algorithm

    Baker (1974) mengatakan bahwa penentuan urutan job produksi atau

    sering disebut dengan penjadwalan merupakan alokasi dari sumber daya terhadap

    waktu untuk menghasilkan sejumlah pekerjaan (job). Penjadwalan dibutuhkan

    untuk memproduksi pesanan dengan pengalokasian sumber daya yang tepat,

    seperti mesin yang digunakan, jumlah operator yang bekerja, urutan pengerjaan

    part, dan kebutuhan material. Penjadwalan yang baik akan memaksimumkan

    efektivitas pemanfaatan setiap sumber daya yang ada, sehingga penjadwalan

    merupakan kegiatan yang penting dalam perencanaan dan pengendalian produksi

    (Bedworth, 1987).

    Permasalahan penjadwalan flowshop fokus pada pemrosesan sejumlah job

    berupa lot produksi pada sejumlah mesin. Permasalahan ini memiliki keterbatasan

    tambahan bahwa pemrosesan setiap job haruslah kontinyu. Tujuan yang biasanya

    digunakan untuk mendapatkan urutan job terbaik adalah minimasi waktu

    penyelesaian (makespan) (Baker 1974, Nawaz et.al. 1983 dalam Rajkumar, 2009).

    Rajkumar (2009) dalam makalah yang berjudul An Improved Genetic

    Algorithm for the Flowshop Scheduling Problem mencoba mempertimbangkan

    permutasi dalam permasalahan penjadwalan flowshop dengan tujuan untuk

    meminimasi waktu penyelesaian pekerjaan (makespan). Genetic Algorithm (GA)

    merupakan salah satu penelitian heuristik yang digunakan untuk menyelesaikan

    permasalahan global dalam area penelitian yang rumit. Berdasarkan observasi

    yang dilakukan diketahui bahwa efisiensi GA dalam menyelesaikan permasalahan

    flowshop dapat diperbaiki secara signifikan dengan mencoba berbagai operator

    GA untuk menyesuaikan struktur permasalahan.

    Algoritma Genetika (Genetic Algorithm) adalah algoritma pencarian yang

    didasarkan atas mekanisme seleksi alam dan proses genetika secara alamiah.

    Algoritma ini dilakukan atas dasar populasi dari solusi dan berusaha untuk

    mengarahkan pencarian menuju perbaikan dengan menggunakan kemampuan

    bertahan berdasarkan fungsi kebugaran (fitness function).

    Menurut Goldberg 1989 dalam Rajkumar (2009), algoritma genetika

    terdiri atas tahapan berikut :

    Tahap 1 : Penentuan populasi awal dari sejumlah kromosom.

  • 28

    Tahap 2 : Evaluasi nilai kebugaran (fitness) untuk tiap kromosom.

    Tahap 3 : Kembangkan kromosom-kromosom baru dengan menggunakan

    operator genetika yakni pertukaran silang (crossover) dan proses mutasi

    untuk kromosom yang tersedia.

    Tahap 4 : Evaluasi nilai kebugaran untuk populasi baru dari kromosom-

    kromosom.

    Tahap 5: Bila kondisi penghentian telah terpenuhi, berhenti dan kembali pada

    kromosom terbaik, bila tidak kembali ke tahap 3.

    Secara tradisional, penentuan populasi awal dibangkitkan secara acak.

    Berikutnya dalam fungsi evaluasi kebugaran (fitness), untuk mengikuti proses

    alamiah dari kemampuan bertahan, fungsi evaluasi kebugaran dihitung untuk tiap

    anggota populasi. Fungsi evaluasi ini adalah nilai yang merefleksikan superioritas

    relatif yang dimiliki. Setiap kromosom memiliki kriteria evaluasi berdasarkan

    fungsi obyektif. Permasalahan minimasi dapat dikonversi menjadi permasalahan

    maksimasi dengan menggunakan fungsi kebugaran. Fungsi kebugaran dinyatakan

    sebagai :

    .....................................................................................(10)

    Dimana Cmax(makespan ) merupakan waktu penyelesaian seluruh pekerjaan (job)

    yang harus diminimasi.

    Rumus untuk menghitung makespan menurut Bedworth (1987) adalah sebagai

    berikut :

    n

    i

    is tM1

    ..................................................................................................(11)

    Ms adalah Makespan untuk n pekerjaan dalam jadwal S

    ti adalah waktu proses pekerjaan i

    Boukef (2007) dengan makalah yang berjudul A Proposed Genetic

    Algorithm Coding for Flow-Shop Scheduling Problems mengusulkan proses

    pengkodean GA yang baru untuk menyelesaikan permasalahan penjadwalan

    flowhop. Diusulkan penggunaan optimasi dengan fungsi jamak untuk

  • 29

    menunjukkan efisiensi dari pendekatan yang digunakan pada industri makanan

    dan farmasi .

    Hejazi (2005) menyampaikan bahwa kebanyakan penelitian dalam

    penjadwalan flowshop menggunakan kriteria makespan. Berdasarkan hasil ulasan

    berbagai makalah dengan permasalahan dan kriteria yang sama diketahui bahwa

    dikarenakan permasalahan penjadwalan flowshop n-job m-mesin merupakan

    permasalahan yang termasuk kelompok NP-hard (Ronnooy Kan 1976, Lentra et al.

    1977, Gonzales dan Sahni 1978), kebutuhan komputasi untuk mendapatkan solusi

    optimal meningkat secara eksponensial linier dengan peningkatan ukuran

    permasalahan. Akibatnya adalah beberapa pendekatan heurisik konstruktif

    dikembangkan untuk permasalahan tersebut. Sebagai tambahan, disampaikan

    bahwa beberapa pendekatan heuristik modern atau sering disebut dengan meta

    heuristik dan beberapa algoritma evolutionary telah diterapkan untuk

    menyelesaikan permasalahan flowshop pada banyak penelitian, meliputi

    pendekatan Simulated Annealing (SA), Genetic Algorithm (GA), Tabu Search

    (TS), Ant Colony System (ACS), Artificial Neural Network (ANN) serta berbagai

    pendekatan penelitian terdekat lainnya.

    Selanjutnya disampaikan juga dalam makalah terkait bahwa selama

    beberapa dekade terakhir, GA telah banyak digunakan secara luas untuk berbagai

    area optimasi (antara lain permasalahan Travelling Salesman Problem /TSP dan

    penjadwalan). Implementasi dari GA untuk permasalahan penjadwalan flowshop

    makin banyak dilakukan di berbagai makalah ( antara lain Reeves 1995, Murata et

    al. 1996, Reeves dan Yamada 1998, Ponnambalam et al. 2001, Wang dan Zheng

    2003). Reeves, 1998 dalam Hejazi (2005) telah membandingkan performansi SA

    dan GA untuk menguji permasalahan flowshop dengan kisaran 20 job dan 5 mesin

    hingga 500 job dan 20 mesin. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa GA

    unggul sebagai solusi untuk permasalahan dengan kasus yang besar. Murata et al.

    (1996) dalam Hejazi (2005) juga mendapatkan hasil yang sama .

    Dalam kaitannya dengan pemanfaatan algoritma genetika untuk

    permasalahan penentuan rute pengiriman (Travelling Salesman Problem/TSP),

    Al-Dulaimi (2008) menyampaikan dalam makalahnya bahwa banyak pendekatan

    yang telah digunakan untuk penyelesaian permasalahan TSP. Pendekatan yang

  • 30

    digunakan antara lain dengan menggunakan Simulated Annealing, Genetic

    Algorithm (GA) dan Neural Network. Dalam perkembangan pemanfaatan GA,

    banyak pencapaian yang telah diperoleh peneliti untuk permasalahan TSP.

    Philip (2011) dalam makalahnya berjudul A Genetic Algorithm for

    Solving Travelling Salesman Problem menunjukkan bahwa GA merupakan

    algoritma penelitian lokal yang sangat baik untuk digunakan untuk menyelesaikan

    permasalahan TSP dengan membangkitkan sejumlah angka acak dan berikutnya

    memperbaiki populasi hingga kondisi penghentiannya terpenuhi dan terpilih

    kromosom terbaik sebagai solusi.

    2.10 Sistem Pendukung Keputusan Intelijen

    Sistem Pendukung Keputusan (Decision Support System) membantu

    pengambil keputusan memilih berbagai alternatif keputusan yang merupakan hasil

    pengolahan informasi-informasi yang diperoleh/tersedia dengan menggunakan

    model-model pengambilan keputusan. Ciri utama sekaligus keunggulan dari

    Sistem Pendukung Keputusan/SPK adalah kemampuannya untuk menyelesaikan

    masalah-masalah yang tidak terstruktur (Kadarsah, 1998).

    SPK mulai melibatkan banyak teknik-teknik baru seperti data warehouse,

    OLAP, data mining dan teknologi web dalam perancangan dan pengembangan

    SPK sejak awal tahun 1970. Pada tahun 1980, model-model optimasi Operation

    Research dan Management Science telah banyak dimasukkan dalam rancangan

    SPK. Di tahun 1990, teknik-teknik Artificial Intelligence dan Statistik banyak

    dimanfaatkan dalam aplikasi SPK.

    Holsapple (2008) mendeskripsikan SPK sebagai teknologi mendapatkan

    pengetahuan bagi pengambil keputusan secara tepat, pada waktu yang tepat dalam

    representasi yang tepat dengan biaya yang tepat Perkembangan teknik-teknik

    pemrosesan informasi dan teknologi digital dalam mendukung kegiatan

    penyelesaian masalah dan pengambilan keputusan makin mendorong munculnya

    sistem pendukung keputusan yang cerdas.

    Menurut Power, 2004 dalam Jain, 2010, terdapat 5 tipe Sistem Pendukung

    Keputusan (SPK), yaitu : 1) SPK berbasis Komunikasi untuk mendapatkan

    kolaborasi yang efisien, 2) SPK berbasis Data yang berguna untuk mencari basis

  • 31

    data atau gudang data untuk mendapatkan jawaban khusus suatu tujuan tertentu,

    3) SPK berbasis dokumen yang digunakan untuk mencari halaman web dan

    menemukan dokumen berdasarkan sekumpulan kata kunci atau istilah penelitian

    tertentu. 4) SPK berbasis Pengetahuan untuk membantu mengambil keputusan

    berdasarkan berbagai paradigma dalam intelijensia buatan, serta 5) SPK berbasis

    Model yang merupakan pengembangan sistem kompleks berdasarkan beberapa

    model (model matematis atau model analitis) untuk membantu menganalisis

    keputusan atau memilih diantara alternatif yang berbeda.

    SPK menggunakan sistem informasi berbasis komputer yang fleksibel,

    interaktif, dan dapat diadaptasi yang dikembangkan untuk mendukung solusi

    untuk masalah manajemen spesifik yang tidak terstruktur. Sistem ini memiliki

    tiga subsistem utama yang menentukan kapabilitas teknis sistem tersebut, yaitu :

    subsistem manajemen data, subsistem manajemen model, dan subsistem

    perangkat lunak penyelenggara dialog untuk antar muka pengguna. Selain itu,

    SPK dapat memiliki subsistem manajemen berbasis pengetahuan sebagai opsional,

    yang dapat memberikan manfaat karena memberikan intelijensia bagi ketiga

    subsistem utama tersebut, mengingat banyak masalah tak terstruktur dan semi

    terstruktur yang sangat kompleks sehingga solusinya memerlukan keahlian

    (Turban, 2005).

    Dalam kaitannya dengan SPK berbasis Pengetahuan dan SPK berbasis

    Model, sejumlah teknik intelijensia buatan seperti Jaringan Syaraf Tiruan,

    Algoritma Genetika, sistem Fuzzy, Case base reasoning, dan sistem berbasis agen

    dapat diaplikasikan untuk merancang dan mengembangkan SPK Intelijen. Dalam

    pemanfaatan SPK Intelijen untuk menyelesaikan permasalahan dunia nyata,

    direkomendasikan untuk menggunakan kombinasi beberapa teknik intelijensia

    buatan tersebut supaya diperoleh solusi yang efektif (Jain, 2010).

    2.11 Teknik Klasifikasi dalam Data Mining

    Data mining adalah sebuah proses percarian secara otomatis informasi

    yang berguna dalam tempat penyimpanan data berukuran besar. Teknik data

    mining digunakan untuk memeriksa basis data berukuran besar sebagai cara untuk

  • 32

    menemukan pola yang baru dan berguna. Teknik-teknik data mining dapat

    digunakan untuk meningkatkan kemampuan sistem-sistem dalam menemukan

    informasi (information retrieval).

    Klasifikasi adalah proses menemukan model (fungsi) yang menjelaskan

    dan membedakan kelas-kelas atau konsep, dengan tujuan agar model yang

    diperoleh dapat digunakan untuk memprediksikan kelas atau objek yang memiliki

    label kelas tidak diketahui. Model yang diturunkan didasarkan pada analisis dari

    pelatihan data (yaitu objek data yang memiliki label kelas yang diketahui serta

    dapat direpresentasikan dalam berbagai bentuk seperti aturan IF-THEN , pohon

    keputusan, formula matematika atau jaringan syaraf (Tan, 2006).