bab 2 tinjauan pustaka
TRANSCRIPT
-
2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Production Planning & Inventory Control (PPIC)
Production Planning and Inventory Control (umumnya disingkat dengan
PPIC) adalah bagian dari kegiatan manajemen produksi dan persediaan. Tujuan
dari kegiatan PPIC adalah untuk dapat melakukan perencanaan produksi dan
persediaan. Kegiatan ini dilakukan dalam rangka pemanfaatan sumber secara
efektif serta dapat melakukan pengendalian produksi dan persediaan dengan
melakukan penyesuaian dari perencanaan yang telah dibuat dengan kegiatan
produksi sehari-hari. Permasalahan yang harus dihadapi dalam PPIC antara lain
adalah : penyesuaian apa (dilakukan pada level sistem manufaktur), berapa
banyak, kapan, siapa serta bagaimana penyesuaian harus dilakukan.
Dalam arah pengembangan sistem perencanaan dan pengendalian produksi,
Bedworth menggambarkan PPIC sebagai aliran material dan informasi fungsi
pengendalian produksi dalam kegiatan perencanaan sumber daya manufaktur pada
perusahaan.
Perkembangan fungsi perencanaan produksi dan pengendalian persediaan
diawali oleh Oliver Wigth dan Joseph Orlicky pada tahun 1960 yang
memperkenalkan Material Requirement Planning (MRP) untuk membantu
menyediakan bahan baku yang tepat untuk menghasilkan produk jadi yang tepat
dengan jumlah yang sesuai sehingga produsen dapat mengirimkan produk sesuai
dengan permintaan konsumen (Koh, 2006).
Pada tahun 1975, sistem MRP diperluas menjadi sistem Manufacturing
Resources Planning yang sering disebut dengan MRP II, dimana MRP merupakan
fungsi utama sistem MRP II. MRP II mengintegrasikan informasi, teknologi
manufaktur, rencana dan sumber daya untuk perbaikan efisiensi pada perusahaan
manufaktur. MRP II berisi berbagai fungsi yang saling terkait meliputi :
perencanaan bisnis, perencanaan penjualan dan operasional, perencanaan produksi,
Master Production Scheduling (MPS), MRP, perencanaan kebutuhan kapasitas
serta sistem pendukung untuk operasionalisasi kapasitas dan bahan baku. Output
dari sistem ini terintegrasi dengan laporan finansial seperti rencana bisnis, laporan
pembelian, anggaran pengiriman dan proyeksi persediaan dalam nilai finansial.
-
8
Konsep Enterprise Resource Planning (ERP) mulai dikembangkan pada
sekitar tahun 1990 dan makin berkembang menjadi versi lengkap MRP II
(Davenport, 2000 dalam Koh, 2006). Sistem ini mengintegrasikan sejumlah
fungsi bisnis seperti penjualan, pemasaran, akuntansi, pembelian, logistik dan
sumber daya manusia. Terkait dengan sistem ERP, dinyatakan oleh Berchat &
Habechi (2005) bahwa perencanaan produksi merupakan modul terpenting yang
mendukung sistem Enterprise Resources Planning (ERP). Dalam makalah
tersebut, dinyatakan oleh Stadtler (2005) bahwa kekuatan ERP bukan berada pada
area perencanaan, melainkan cenderung untuk fokus pada aspek integrasi.
Fogarty (1991) memperjelas kegiatan perencanaan produksi dan
pengendalian persediaan dengan menggambarkan secara detil kegiatan PPIC
dalam framework Manufacturing Resources Planning (MRP II) sesuai dengan
gambar 1 berikut. Sesuai dengan konsep MRP II yang telah dikembangkan oleh
Fogarty (1991), diketahui bahwa lingkup kegiatan Production Planning &
Inventory Control (PPIC) pada industri manufaktur meliputi kegiatan
perencanaan dan pengendalian produksi yang bersifat jangka panjang, jangka
menengah dan jangka pendek, tergantung dari waktu yang dibutuhkan untuk
menyelesaikan pelaksanaan produksi. Perencanaan jangka panjang mencakup
kegiatan : Business Forecasting, Product & Sales Planning, Resources
Requirement Planning dan Financial Planning. Kegiatan yang termasuk dalam
perencanaan jangka menengah meliputi : Distribution Resources Planning (DRP),
Demand Management, Master Production Scheduling (MPS), Rough Cut
Capacity Planning (RCCP), Material Requirement Planning (MRP) dan Capacity
Requirement Planning (CRP). Perencanaan jangka pendek terdiri atas : Final
Assembly Scheduling (FAS) dan Input/Output Planning & Control (meliputi
kegiatan Production Activity Control / PAC dan Purchase Planning & Control).
Kegiatan PPIC dimulai dari kegiatan Perencanaan Produksi yang telah
mempertimbangkan Perencanaan Produk dan Penjualan, Perencanaan Kebutuhan
Sumber Daya dan Perencanaan Finansial. Kegiatan ini umumnya dilakukan pada
awal perusahaan mulai melakukan kegiatannya dalam berproduksi untuk
mengetahui strategi berproduksi yang sesuai untuk diterapkan perusahaan dengan
mempertimbangkan keterbatasan dan ketersediaan sumber daya yang dimiliki
-
9
perusahaan termasuk rencana penjualan dan produk yang dilakukan perusahaan.
Kegiatan Perencanaan Produksi ini akan dilakukan peninjauan kembali apabila
terjadi perubahan cukup radikal dari rencana produk dan penjualan perusahaan
ataupun kondisi finansial dan sumber daya yang dimiliki perusahaan.
Sasaran OrganisasiPerencanaan
Kebutuhan Sumber
Daya
Perencanaan Produk
dan Penjualan
Perencanaan Produksi
Perencanaan Finansial
Peramalan Bisnis
Perencanaan Sumberdaya
Distribusi
Manajemen
Permintaan
Penjadwalan Induk
Produksi
Perencanaan
Kapasitas Kasar
Perencanaan
Kebutuhan Bahan
Baku
Perencanaan
Kebutuhan Kapasitas
Pengendalian
Kegiatan Produksi
Pengendalian dan
Perencanaan
Pembelian
Penjadwalan
Perakitan Akhir
JANGKA PANJANG
JANGKA MENENGAH
JANGKA PENDEK
PERENCANAAN DAN PENGENDALIAN
MASUKAN/LUARAN
Kegiatan
Production Planning & Inventory Control
(PPIC)
Gambar 1 Lingkup kegiatan Production Planning & Inventory Control (PPIC)
sebagai bagian dari Manufacturing Resources Planning (MRP II)
(Fogarty, 1991).
-
10
Setelah diketahui strategi berproduksi yang diterapkan perusahaan, dengan
mempertimbangkan permintaan produk, dilakukan kegiatan manajemen
permintaan dengan melakukan prakiraan permintaan, dilanjutkan dengan kegiatan
penjadwalan induk produksi yang juga telah mempertimbangkan rencana
sumberdaya distribusi.
Kegiatan penjadwalan induk produksi yang telah mempertimbangkan
kapasitas produksi yang dimiliki perusahaan menghasilkan rencana jadwal induk
produksi dan berikutnya dapat dilakukan perencanaan kebutuhan bahan baku.
Rencana jadwal induk produksi ini akan menjadi dasar dalam kegiatan
penjadwalan produksi. Kegiatan perencanaan bahan baku menjadi masukan
dalam kegiatan pengendalian kegiatan produksi serta perencanaan dan
pengendalian kegiatan pembelian.
2.2 Ketidakpastian dalam PPIC
Bonney (2000) dalam makalahnya yang berjudul : Deflection on
Production Planning & Control (PPC) telah mengidentifikasi beberapa
perubahan sistem PPC untuk mengantisipasi kebutuhan pasar. PPC diharapkan
menjadi lebih fleksibel untuk dapat merespon secara efektif perubahan internal
dan eksternal. Untuk menjalankan sistem PPC dibutuhkan perbaikan prosedur
perencanaan serta perbaikan pengendalian operasional pada lantai produksi
sedemikian sehingga dapat merespon ketidakpastian dalam lingkungan produksi
dan pasar. Koh dan Saad (2003) mendukung yang disampaikan oleh Bonney dan
menyatakan bahwa performansi ERP kurang baik dalam menghadapi
ketidakpastian. Untuk itu dibutuhkan tambahan fasilitas pendukung keputusan
dalam area perencanaan ERP.
Mula, J. et al. (2006) dalam makalahnya mengatakan bahwa Galbraith
(1973) mendefinisikan ketidakpastian sebagai perbedaan antara kebutuhan
informasi untuk melakukan kegiatan dengan informasi yang telah dimiliki.
Terdapat berbagai bentuk ketidakpastian yang mempengaruhi proses produksi
yang dikategorikan oleh Ho (1989) menjadi 2 kelompok besar yaitu :
a. Environmental uncertainty : meliputi demand uncertainty dansupply
uncertainty
-
11
b. System uncertainty, meliputi antara lain : operation yield uncertainty
danproduction lead time uncertainty.
Dalam makalah tersebut, Yano dan Lee (1995) juga Sethi, et.al. (2002)
memformalisasikan berbagai model ketidakpastian dalam sistem manufaktur yang
memanfaatkan antara lain konsep safety stocks dan safety lead time dengan
menggunakan pendekatan berbasis intelijensia buatan maupun model analitis.
Berikutnya dinyatakan oleh Koh et al. (2002) bahwa ketidakpastian dalam
lingkungan ERP belum dipelajari secara sistematis sehingga banyak peneliti
berusaha menemukan cara untuk menghadapi ketidakpastian dan bukannya
mendiagnosa penyebab terjadinya ketidakpastian tersebut. Menurut Koh et al.
(2000), terdapat asumsi-asumsi yang mendasari MRP sehingga menjadi
keterbatasan MRP, yaitu : waktu ancang yang tetap dalam pembelian bahan baku
dan produksi, urutan proses dan aliran material yang tetap yang tidak
memungkinkan adanya terhentinya mesin atau terjadinya keterlambatan waktu
proses, serta jumlah produk dengan prosentase cacat yang tetap sehingga tidak
memungkinkan terjadinya kejadian tak terduga yang sebenarnya dapat menambah
jumlah produk cacat. Asumsi-asumsi ini menyebabkan ketidakmampuan MRP
dalam mengantisipasi ketidakpastian yang terjadi pada lingkungan nyata
manufaktur, sehingga perencana harus menggunakan beberapa teknik lain seperti
penjadwalan ulang, subkontrak atau teknik lainnya untuk mengantisipasi
ketidakpastian yang terjadi (Mandal dan Gunasekaran, 2003).
Vollman et al. (1999) mengkategorikan 4 tipe ketidakpastian yang terjadi
disebabkan karena kebutuhan pergantian antar periode, kekurangan atau kelebihan
bahan baku dari yang direncanakan, pemasok tidak mengirimkan pesanan bahan
baku tepat waktu serta adanya ketidaksesuaian jumlah pesanan yang diterima dari
pemasok. Koh et al. (2002) juga mengkategorikan ketidakpastian menjadi
ketidakpastian input dan ketidakpastian proses meliputi :
kekurangan/ketidaktersediaan bahan baku, kekurangan/ketidaktersediaan operator
produksi, kekurangan/ketidaktersediaan kapasitas mesin, produk rusak/cacat dan
keterlambatan pengiriman produk.
-
12
Mengantisipasi permasalahan ketidakpastian yang terjadi dalam
lingkungan manufakatur tersebut, Koh dan Saad telah mengembangkan rencana
kontingensi yang dapat memudahkan proses diagnosa dan antisipasi
ketidakpastian yang terjadi dalam lingkungan manufaktur MRP/MRP II/ERP
dengan merekomendasikan pemberian persediaan penyangga (buffering) atau
penambahan waktu ancang (dampening).
Edmund (2005) dalam penelitiannya berjudul A framework for
Understanding the Interaction of Uncertainty and Information System on Supply
Chains menyatakan adanya ketidakpastian dalam rantai pasok dan
menyampaikan pemikirannya mengenai alternatif pemecahan dan metode yang
tepat untuk menyelesaikan permasalahan ketidakpastian pada rantai pasok.
Datta, Partha Priya (2007) dalam penelitiannya yang berjudul : A
Complex System, Agen Based Model for Studying and Improving the Resiliance
of Production and Distribution Networks, mengupas berbagai permasalahan
mengenai resiliansi dalam rantai pasok dengan berbagai pendekatan dan metode
penyelesaiannya lengkap dengan ulasan mengenai kelebihan dan keterbatasannya.
Peneliti sekaligus memberikan ulasan teoritis untuk penelitian lanjutan dalam
resiliansi rantai pasok yang membantu dalam mengembangkan prosedur yang
efektif untuk mengelola berbagai situasi ketidakpastian dengan kasus pada rantai
pasok manufaktur kertas tissue. Pada penelitian tersebut juga diuraikan beberapa
penelitian yang juga dikembangkan berdasarkan pendekatan sistem agen, antara
lain oleh Parunak et al. (1998) yang mengeksplorasi kemampuan model berbasis
agen dalam permasalahan jaringan pasokan manufaktur. Schicritz dan Grobler
(2003) mencoba mengintegrasikan pemodelan dinamika sistem dan pemodelan
berbasis agen, juga Ahn et al. (2003) yang mengusulkan sistem agen yang
fleksibel yang dapat beradaptasi dengan perubahan-perubahan dinamis pada
transaksi di suatu rantai pasok.
-
13
2.3 Industri Pangan
Industri pangan adalah bagian dari sistem pangan yang mencakup kegiatan
produksi, pemrosesan, distribusi dan konsumsi produk-produk pangan dalam
agroindustri. Bahan baku untuk industri pangan mencakup hasil-hasil pertanian,
peternakan, produk-produk laut, bahan pengemas, perasa makanan dan bahan
kimia untuk makanan. Industri ini umumnya memiliki karakteristik yang
membutuhkan perhatian khusus dibandingkan agroindustri yang lainnya dalam hal
tingkat variabilitas dan sensitivitas bahan baku utamanya disamping adanya
kebutuhan perhatian untuk masalah kualitas dan standard produk yang harus
mempertimbangkan masalah kesehatan dan keselamatan konsumennya.
Salah satu industri di sektor pangan yang mengalami pertumbuhan cukup
pesat adalah industri yang berbasis tepung terigu. Pertumbuhan industri ini di
Indonesia dipacu oleh beberapa faktor, antara lain adalah adanya peningkatan
kesadaran bahwa tepung terigu adalah makanan yang sehat dan bergizi serta
peningkatan kesadaran makanan berbasis tepung terigu sebagai alternatif
diversifikasi pangan.
Industri roti adalah contoh industri pangan berbasis tepung terigu.
Berdasarkan data yang bersumber dari Asosiasi Produsen Tepung Terigu
Indonesia (APTINDO) tahun 2001 diketahui bahwa 25% dari industri berbasis
tepung terigu adalah industri roti. Tingkat persaingan industri ini dari tahun ke
tahun semakin ramai dengan makin banyaknya industri yang bergerak pada
bidang ini. Bersumber dari Bisnis Indonesia Online, diketahui bahwa hingga
akhir tahun 2007, terdapat lebih dari 15.000 UKM di tingkat nasional dan 2.000
unit industri menengah besar dan modern yang masuk dalam persaingan industri
roti ini (Sekarasih, 2008).
Kebanyakan perusahaan besar pada industri pangan menghasilkan produk-
produk makanan setengah jadi atau produk jadi yang akan dikonsumsi langsung
dalam suatu kegiatan operasional produksi yang memiliki aliran produksi
kontinyu yang sesuai dengan karakteristik industri proses. Industri-industri ini
membutuhkan investasi modal yang besar untuk melakukan produksi dan
mengendalikan peralatan yang akan digunakan secara kontinyu. Untuk itu,
-
14
aplikasi komputer akan membantu kegiatan pemrosesan dan meningkatkan
efisiensi dalam operasional pabrik (Connor, 1997).
Dengan karakteristik sistem produksi yang bersifat kontinyu, dibutuhkan
ketersediaan yang kontinyu pula dari input-input sistem produksinya (seperti
mesin/peralatan dan material). Sehingga terhentinya kegiatan produksi yang
diakibatkan adanya gangguan yang menyebabkan ketidaktersediaan input
pendukung kegiatan produksi akan menyebabkan kerugian ekonomis yang sangat
besar bagi perusahaan.
APICS mendefinisikan industri proses sebagai bisnis yang menambah nilai
pada materia melalui proses pencampuran, pemisahan, pembentukan ataupun
reaksi kimia. (Fransoo, 1994). Proses-proses tersebut dapat bersifat kontinyu atau
batch dan umumnya membutuhkan pengendalian proses yang ketat dan investasi
modal yang tinggi. Proses-proses tersebut juga sulit untuk dikendalikan dan sering
menyebabkan dihasilkannya output yang bervariasi.
Burt dan Kraemer dalam Fransoo (1994) menunjukkan strategi untuk
mengantisipasi output yang bervariasi , antara lain dengan menyediakan
persediaan pengaman (safety stock) untuk bahan baku yang paling banyak
menyebabkan terjadinya variasi output. Bahan baku pada industri proses juga
bervariasi dalam kualitas mengakibatkan output ataupun potensi kerusakan
kualitas umumnya tidak diketahui ataupun tidak terukur hingga dimulainya proses.
Variabilitas dari kualitas bahan baku juga sering digunakan sebagai informasi
untuk menentukan produk yang akan dihasilkan. Bila didapatkan kualitas yang
tidak standard, maka dapat dilakukan pemesanan kembali atau proses daur ulang
yang menyebabkan terjadinya kekurangan persediaan. Terjadinya kekurangan
persediaan ini dapat dikendalikan dengan adanya persediaan pengaman.
Berikutnya disampaikan oleh Rutten dalam Fransoo (1994) bahwa variasi
dalam kualitas bahan baku dapat menyebabkan timbulnya variasi dalam struktur
produk (recipes).
Pada industri proses, umumnya digunakan lini produksi yang akan
menghasilkan berbagai varian produk dengan variasi yang rendah diantara produk.
Variasi yang rendah, kompleksitas produk yang rendah dan tahapan proses yang
-
15
relatif tidak banyak menyebabkan seluruh produk memiliki urutan proses
(routing) yang sama.
Berikutnya disampaikan bahwa dengan penggunaan lini produksi pada
industri proses secara kontinyu, maka perhitungan penentuan ketersediaan
kapasitas produksi untuk industri proses menjadi lebih sederhana.
Metode penjadwalan produksi yang dikembangkan untuk industri proses
adalah metode yang sesuai untuk permasalahan penjadwalan mesin tunggal -
banyak produk (single machine multiproduct). Leachman dan Gascon dalam
Fransoo (1994) telah melakukan investigasi mengenai aplikasi model-model
deterministik pada situasi stokastik dan mengusulkan pendekatan heuristik untuk
mengantisipasi adanya ketidakpastian.
2.4 Persediaan (Inventory)
Persediaan adalah sumber daya menganggur yang dipandang sebagai
pemborosan karena dapat menimbulkan biaya persediaan yang tinggi jika terdapat
dalam jumlah yang berlebihan. Keberadaan persediaan harus diminimalkan,
dengan tetap menjamin terpenuhinya permintaan produk dari pelanggan. Efisiensi
produksi (salah satu muaranya adalah penurunan biaya produksi) dapat
ditingkatkan melalui pengendalian sistem persediaan. Menurut Baroto (2002 )
terdapat beberapa fungsi persediaan sebagai berikut :
1. Fungsi independensi. Persediaan barang jadi diperlukan untuk memenuhi
permintaan pelanggan yang tidak pasti. Permintaan pasar tidak dapat
diduga dengan tepat, demikian pula dengan pasokan dari pemasok.
2. Fungsi ekonomis. Seringkali dalam kondisi tertentu, memproduksi dengan
jumlah produksi tertentu (lot) akan lebih ekonomis daripada memproduksi
secara berulang atau sesuai permintaan. Pada beberapa kasus, membeli
dengan jumlah tertentu juga akan lebih ekonomis daripada membeli sesuai
kebutuhan.
3. Fungsi antisipasi. Fungsi ini diperlukan untuk mengantisipasi perubahan
permintaan atau pasokan.
-
16
4. Fungsi fleksibilitas. Bila dalam proses produksi terdiri atas beberapa
tahapan proses operasi dan kemudian terjadi kerusakan pada satu tahapan
proses operasi, maka akan diperlukan waktu untuk melakukan perbaikan.
Persediaan barang setengah jadi (work in process) pada situasi ini akan
merupakan faktor penolong untuk kelancaran proses operasi.
Untuk mengatur persediaan permintaan (demand) diperlukan strategi yang
tepat mempertimbangkan bahwa permintaan dipengaruhi oleh faktor-faktor
eksternal yang sulit dikendalikan. Dalam sistem pengendalian persediaan terdapat
dua pendekatan yaitu : Continuous Review System (sering disebut dengan Q
system) dan Periodic Review System (sering disebut dengan P system).
Sistem persediaan berdasarkan pendekatan Continuous Review System
sering disebut dengan sistem Reorder Point (sistem ROP atau sistem Fixed Order
Quantity/FOQ). Dalam prakteknya, pengamatan (review) dilakukan secara berkala
(misalnya hari-an) dan kontinyu. Dalam setiap pengamatan, dilakukan
pengambilan keputusan berdasarkan posisi persediaan item. Jika jumlah
persediaan dipertimbangkan terlalu rendah, sistem merekomendasikan
dilakukannya pemesanan (order baru). Pada saat posisi persediaan mencapai
tingkat minimum persediaan yang telah ditentukan (ROP), dilakukan pemesanan
item sejumlah kuantitas tertentu (Q). Q dapat ditentukan berdasarkan rumus
Economic Order Quantity (EOQ), ukuran lot minimum, ukuran kontainer atau
kuantitas lainnya sesuai dengan pertimbangan pihak manajemen (Krajewski,
2002).
Kim C.O., et.al (2005) dalam makalahnya yang berjudulAdaptive
Inventory Control Models for Supply Chain Management mengamati
permasalahan pengendalian persediaan pada sistem rantai pasok yang terdiri dari
pemasok tunggal dan banyak retailer. Untuk menghadapi situasi permintaan yang
dinamis, mereka mengusulkan dua model pengendalian persediaan adaptif dengan
asumsi bahwa supplier mampu mengakses informasi mengenai permintaan
pelanggan dan posisi persediaan tiap retailer secara on line. Dengan menggunakan
teknik reinforcement-learning, parameter pengendali dari kedua model
pengendalian persediaan dirancang untuk dapat berubah secara adaptif sesuai
dengan perubahan pola permintaan pelanggan.
-
17
Tersine dalam bukunya Principles of Inventory and Materials
Management (1994) menyatakan bahwa resiko dan ketidakpastian termasuk
dalam analisis persediaan yang melibatkan banyak peubah(variable). Namun yang
paling berperan sebagai resiko dan ketidakpastian adalah variasi dalam
permintaan dan waktu ancang-ancang (lead time). Variasi tersebut diserap dalam
bentuk persediaan pengaman (safety stock) atau buffer stock atau fluctuation stock.
Persediaan pengaman (safety stock) adalah persediaan tambahan yang
disimpan sebagai penyangga untuk mencegah terjadinya kekurangan persediaan
(stockout) disebabkan adanya gangguan acak dari alam atau lingkungan.
Persediaan pengaman dibutuhkan untuk menangani permintaan selama waktu
ancang-ancang pemesanan pada saat permintaan aktual melebihi permintaan yang
diharapkan atau dapat juga disebabkan waktu ancang-ancang (lead time) aktual
melampaui waktu ancang-ancang yang diharapkan. Di samping itu, persediaan
pengaman dibutuhkan karena prakiraan permintaan kurang sempurna dan supplier
kadang-kadang gagal untuk mengirimkan barang tepat waktu.
Dalam kenyataannya, permintaan dan waktu ancang-ancang tidak selalu
dapat diprediksi. Situasi ini mendukung kebutuhan adanya persediaan pengaman.
Dalam upaya mempertahankan pelayanan terhadap permintaan yang tidak pasti
(uncertain) diperlukan tingkat pelayanan (service level).Tingkat pelayanan adalah
kemungkinan bahwa kekurangan persediaan tidak akan terjadi selama waktu
ancang-ancang. Jika permintaan bervariasi kecil di sekitar rata-rata permintaan,
persediaan pengaman adalah kecil, dan berlaku sebaliknya. Variabilitas diukur
berdasarkan distribusi probabilitas yang ditunjukkan berdasarkan nilai rata-rata
(mean) dan variansinya (variance). Menurut Tersine (1994), persediaan pengaman
ditentukan oleh pihak manajemen dengan mempertimbangkan kebijakan tingkat
pelayanan (service level) yang logis .
2.5 Manajemen Permintaan
Fungsinya adalah untuk menentukan permintaan produk. Penentuan ini
mencerminkan prakiraan permintaan (forecast) dan mencakup pesanan pelanggan
yang diterima, pesanan dari outlet gudang, promosi khusus, kebutuhan persediaan
pengaman serta komponen-komponen pelayanan dan persediaan untuk
-
18
mengantisipasi kebutuhan permintaan yang tinggi. Output dari kegiatan ini adalah
penjumlahan dari permintaan produk per-periode (Fogarty, 1991).
Kegiatan perencanaan dan pengendalian produksi dimulai dengan fungsi
prakiraan permintaan berdasarkan plot data riwayat penjualan produk. Analisis
plot data akan merujuk beberapa metode pengujian prakiraan permintaan yang
sesuai dengan hasil analisis plot data permintaan. Metode prakiraan permintaan
yang akurat adalah metode yang memberikan nilai kesalahan minimum.
Terdapat berbagai alternatif metode prakiraan permintaan yang layak
untuk digunakan dalam pengujian prakiraan permintaan. Metode deret waktu,
regresi linier, dan dekomposisi adalah beberapa metode yang banyak
diaplikasikan oleh industri karena kesederhanaannya dalam perhitungan. Metode
Jaringan Syaraf Tiruan (Artificial Neural Network) menjadi metode yang mulai
banyak diaplikasikan untuk pengenalan pola data karena dapat menghasilkan
prakiraan permintaan dengan nilai akurasi yang baik.
Pada model deret waktu ini permintaan merupakan fungsi dari waktu. Pola
permintaan pada masa yang akan datang diperkirakan identik dengan pola data
masa lalu. Model ini dikembangkan berdasarkan informasi masa lalu, dengan
variabel tidak bebas dan asumsi, bahwa variabel tidak bebas ini akan memiliki
pola yang sama dengan masa lalu. Metode deret waktu yang banyak diaplikasikan
industri antara lain adalah metode rata-rata bergerak (moving average) dan
metode pemulusan eksponensial (exponential smoothing).
Salah satu bentuk peramalan yang paling sederhana adalah regresi linier.
Dalam aplikasi regresi linier diasumsikan bahwa terdapat hubungan antara
variabel yang ingin diramalkan (variabel dependen) dengan variabel lain (variabel
independen). Selanjutnya, peramalan ini didasarkan pada asumsi bahwa pola
pertumbuhan dari data historis bersifat linier. Pola pertumbuhan ini didekati
dengan suatu model yang menggambarkan hubungan-hubungan yang terkait
dalam suatu keadaan.
Metode dekomposisi merupakan metode peramalan time series dengan
pendekatan yang digunakan bila data historis memiliki pola kecenderungan(trend),
siklis atau musiman. Metode dekomposisi mencoba memisahkan faktor trend
(kecenderungan) dan faktor musiman dari pola dasar. Faktor kecenderungan
-
19
menggambarkan perilaku data dalam jangka panjang yang dapat meningkat,
menurun atau tidak berubah. Faktor musiman berkaitan dengan fluktuasi periodik
dengan panjang konstan yang disebabkan oleh hal-hal seperti curah hujan, saat
liburan dan lain-lain (Fogarty, 1991).
Menurut Makridakis (1983), dalam melakukan prakiraan permintaan, hasil
prakiraan permintaan yang diperoleh tidak mungkin benar-benar tepat. Selisih
yang terjadi antara nilai prakiraan permintaan dengan nilai aktual disebut sebagai
galat atau kesalahan (error). Melalui nilai kesalahan ini dilakukan beberapa
analisa sehingga dapat ditentukan metode prakiraan permintaan yang paling sesuai
dengan data yang dimiliki serta seberapa baik metode yang digunakan tersebut.
Metode yang terbaik adalah metode yang memberikan nilai prakiraan permintaan
paling sesuai dengan data aktual, berarti memiliki nilai kesalahan prakiraan
permintaan yang paling kecil.
2.6 Metode Jaringan Syaraf Tiruan
Metode Jaringan Syaraf Tiruan (JST) merupakan metode prakiraan
permintaan yang banyak diaplikasikan karena memiliki hasil prakiraan
permintaan yang optimal dan akurat. JST atau Artificial Neural Network (ANN)
merupakan salah satu representasi buatan otak manusia yang selalu mencoba
mensimulasikan proses pembelajaran pada otak manusia. Keunggulan utama
metode ini adalah kemampuan untuk belajar dari contoh yang diberikan. Selain
itu, dalam proses belajarnya metode JST dapat melakukan pengolahan terhadap
data yang non-linier (Siang, 2009).
Bakhary (2004) dalam makalahnya menyampaikan bahwa JST mampu
memberikan model terbaik dibandingkan dengan model regresi dan multi-regresi.
Kemampuan untuk menggeneralisasi memungkinkan jaringan syaraf tiruan untuk
belajar bahkan dalam kasus data pencilan ataupun tidak adanya data.
Zhang (2005) menyatakan bahwa variasi musiman dan kecenderungan
(trend) merupakan dua gejala yang selalu terjadi dan harus dihadapi dalam
berbagai sektor ekonomi dan bisnis. Bagaimana memodelkan dan melakukan
prakiraan permintaan variasi-variasi yang terjadi merupakan hal yang penting
dalam kegiatan perencanaan dan pengambilan keputusan. JST merupakan metode
-
20
yang sesuai untuk digunakan dalam peramalan data yang sifatnya musiman dan
kecenderungan dengan tingkat akurasi yang tinggi. Dinyatakan dalam makalah
terkait oleh Zhang (1998) bahwa meskipun JST merupakan model non linier,
namun JST memiliki kemampuan untuk memodelkan proses-proses yang linier
juga. Gorr (1994) bahkan menyatakan bahwa JST mampu secara simultan
mendeteksi kecenderungan maupun musiman data yang tidak linier. Sharda dan
Patil (1992) mendapatkan hasil pengujian bahwa JST dapat memodelkan data
musiman secara efektif. Hansen dan Nelson (2003) berikutnya menemukan bahwa
kombinasi transformasi dan jaringan syaraf melalui konsep generalisasi sehingga
memberikan hasil prakiraan permintaan yang lebih akurat dibandingkan model
Dekomposisi maupun ARIMA.
Propagasi Balik (Backpropagation)
Seperti halnya model JST lain, Backpropagation melatih jaringan untuk
mendapatkan keseimbangan antara kemampuan jaringan untuk mengenali pola
yang digunakan selama pelatihan serta kemampuan jaringan untuk memberikan
respon yang benar terhadap pola masukan yang serupa (tetapi tidak sama) dengan
pola yang dipakai selama pelatihan.
Arsitektur propagasi balik memiliki beberapa unit tersembunyi. Gambar 2
adalah contoh gambar arsitektur propagasi balik dengan 3 buah masukan
(ditambah sebuah bias), sebuah lapisan tersembunyi yang terdiri dari 2 unit
(ditambah sebuah bias), serta 1 buah unit keluaran. vji merupakan bobot garis
dari unit masukan xi ke unit lapisan tersembunyi zj (vj0 merupakan bobot garis
yang menghubungkan bias di unit masukan ke unit lapisan tersembunyi zj). Wkj
merupakan bobot dari unit lapisan tersembunyi zj ke unit keluaran yk ( wk0
merupakan bobot dari bias di lapisan tersembunyi ke unit keluaran yk)
(Siang,2009).
-
21
x1 x2 x3
z1 z2
y
Nilai Input
Input
Matriks Bobot Input
ke Lapisan
Tersembunyi
Lapisan
Tersembunyi
Matriks Bobot Lapisan
Tersembunyi ke Output
Output
Nilai Output
wi w2
v32v31v22v21
v12v11
Gambar 2 Struktur jaringan syaraf tiruan (Hermawan, 2006).
Dalam propagasi balik, fungsi aktivasi yang dipakai harus memenuhi
beberapa syarat yaitu : kontinyu, terdiferensial dengan mudah dan tidak menurun
secara monoton. Salah satu fungsi yang memenuhi ketiga syarat tersebut sehingga
sering dipakai adalah fungsi sigmoid biner yang memiliki range (0,1)
(Siang,2009).
Fungsi ini merupakan fungsi yang umum digunakan untuk aplikasi JST
dalam prakiraan permintaan. Kisaran nilai yang digunakan pada fungsi ini adalah
(0,1) dan didefinisikan sebagai f1(x) dengan fungsi turunan f1(x).
xe
xf
1
1)(1 ........................................................................................(1)
))(1)(()( 11'
1 xfxfxf ..........................................................................(2)
f(x)
1
0X
Gambar 3 Fungsi sigmoid biner.
-
22
2.7 Penentuan Jadwal Induk Produksi (Master Production Schedulling /
MPS)
Jadwal induk produksi merupakan suatu pernyataan tentang produk akhir
dari suatu perusahaan industri manufaktur yang merencanakan memproduksi
produk berkaitan dengan kuantitas dan periode waktu (Fogarty, 1991).
Vasant (2004) dalam makalahnya berjudul Application of Multi
Objective Fuzzy Linear Programming in Supply Production Planning Problem
menyatakan bahwa terdapat beberapa kesulitan dalam pemilihan solusi dalam
menyatakan permasalahan dalam suatu fungsi keanggotaan linier. Untuk itu, pada
makalahnya diusulkan suatu fungsi keanggotaan kurva-s dimodifikasi untuk
mengatasi defisiensi yang dihadapi fungsi keanggotaan linier. Dinyatakan juga
oleh peneliti bahwa fungsi keanggotaan kurva-s lebih fleksibel untuk
menggambarkan kesamaran dalam parameter fuzzy untuk permasalahan
penyediaan untuk kebutuhan perencanaan produksi.
2.7.1 Model Fuzzy Multi Objective Linear Programming
Dalam pengambilan keputusan dengan menggunakan model Fuzzy Linear
Programming (FLP), variable sumber daya mungkin saja tidak pasti (fuzzy),
walaupun dalam model linier programming non fuzzy (crisp Linear
Programming), angka yang digunakan sudah merupakan angka yang mendekati
kenyataannya ; karena pada kondisi nyata bisa saja terdapat potensi
ketidaklengkapan informasi dan ketidakpastian pada berbagai lingkungan dan
pemasok. Itu sebabnya angka tersebut sebaiknya dipertimbangkan sebagai angka
sumber daya fuzzy. Permasalahan ini dapat dijadikan permasalahan FLP yang
akan diselesaikan dengan menggunakan teori himpunan fuzzy (Vasant, 2004).
Permasalahan FLP diformulasikan sebagai :
Max z = c~ x .......................................................................................(3)
s/t : A~
x b~
.......................................................................................(4)
x 0 .......................................................................................(5)
dimana :
x adalah vektor variabel keputusan
A~
, b~
dan c~ adalah angka fuzzy
-
23
Dalam persamaan tersebut, operasional penjumlahan dan perkalian angka
fuzzy dinyatakan dengan berdasarkan prinsip-prinsip yang dikembangkan oleh
Zadeh (1975). Berikutnya, hubungan pertidaksamaan (0. Makin besar nilai parameter , makin kecil nilai
ketidakjelasan (vagueness). Parameter seharusnya ditentukan oleh pakar
berdasarkan hasil percobaan secara heuristic.
Menurut Watada dalam Vasant (2004), fungsi keanggotan triangular atau
trapezoidal menunjukkan batas bawah dan batas atas untuk pada tingkat 0 - 1.
Disamping itu, dengan mempertimbangkan fungsi keanggotaan non linier seperti
fungsi logistic, batas bawah dan batas atas mungkin didekati dengan nilai 0.001
dan 0.999. Untuk itu, kurva dimodifikasi dengan menentukan skala sumbu x
sebagai xa
= 0dan xb
= 1 untuk menemukan nilai B, C dan , Novakowska dalam
Vasant (2004) juga telah menunjukkan hasil yang sama dalam penelitiannya di
area sosial. Berdasarkan persamaan di atas diperoleh nilai-nilai sebagai berikut :
B = 1 ; C = 0.001001001 dan adalah konstanta dan = 13.8131
-
24
Fungsi keanggotaan kurva-s termodifikasi memiliki bentuk yang sama
dengan fungsi logistik sesuai dengan yang disampaikan pada penelitian Watada
dan juga sama dengan fungsi hiperbolik tangent seperti yang disampaikan pada
penelitian Leberling. Disamping itu, fungsi keanggotaan trapezoidal dan
triangular merupakan pendekatan dari fungsi logistic, sehingga fungsi sigmoid
lebih sesuai untuk digunakan pada penyelesaian masalah dengan sasaran yang
tidak jelas (vague). Disamping itu dalam hal ini fungsi keanggotaan kurva s
mungkin untuk merubah bentuknya sesuai dengan nilai parameternya.
Dengan menggunakan fungsi keanggotan non-linear sesuai dengan fungsi
kurva-S (Bells, 1999) dalam Vasant (2004), fungsi keanggotaan bi dan interval
fuzzy, bai hingga b
bi adalah sesuai dengan gambar berikut :
Gambar 4 Fungsi keanggotaan bi dan interval fuzzy bi.
Untuk variabel sumber daya ib~
; untuk interval bai < bi < b
bi, , berlaku :
ai
bi
ai
bb
bbibi
Ce
B
1
......................................................................................(7)
Berikutnya persamaan diatas dapat diselesaikan hingga diperoleh nilai bi sebagai
berikut :
-
25
1
1ln
bi
a
i
b
ii
a
B
C
bbbbi
......................................................................(8)
Karena bi adalah variabel fuzzy yang dituliskan sebagai ib~
, maka persamaan
diatas dapat dituliskan menjadi :
1
1ln
~
bi
a
i
b
ii
ai
B
C
bbbb
......................................................................(9)
2.8 Perencanaan Kebutuhan Bahan Baku / Material Requirement Planning
(MRP)
Fogarty dan Hoffman (1983) dalam tesis yang disusun oleh Scott Wright
(2007) menyatakan bahwa Material Requirement Planning (MRP) menjadi hasil
pengembangan metode yang paling berarti dalam kegiatan pengendalian produksi
dan persediaan dalam lima hingga 20 tahun. MRP menjadi pendukung yang
sangat penting dalam kegiatan pengendalian produksi dan persediaan untuk bisnis
manufaktur. Konsep ini dikembangkan pada area bisnis yang lain yang disebut
dengan MRP II. Mabert (2007) juga menyampaikan bahwa sistem MRP telah
menjadi pendekatan yang menonjol performansinya untuk mengatur aliran bahan
baku maupun komponen pada lantai produksi hingga akhir abad ke-20 .
Sistem perencanaan kebutuhan bahan baku (Material Requirement
Planning/MRP) umum dilakukan pada industri, khususnya industri manufaktur
yang menghasilkan produk jadi yang memiliki struktur berjenjang. MRP
(Material Requirement Planning) menjadi teknik perencanaan dan pengendalian
produksi dengan memanfaatkan data Jadwal Induk Produksi, data status
persediaan dan struktur produk,untuk membuat atau membeli material/ item
permintaan yang bersifat tidak memiliki ketergantungan. Sistem MRP bermanfaat
dalam mengatur kebutuhan bahan baku dan komponen-komponen supaya dapat
tersedia dalam jumlah dan waktu yang tepat (Fogarty, 1991).
Menurut Jonsson, perencanaan bahan baku dapat dilihat sebagai tingkat
perencanaan taktis yang fokus pada penyeimbangan antara pasokan (supply) dan
permintaan (demand). Fungsi ini berkaitan dengan kegiatan persiapan,
pengendalian, pengawasan manufaktur dan order pembelian dalam rangka
-
26
menjaga aliran material serta kegiatan yang memberikan nilai tambah dalam
pelaksanaan proses manufaktur tanpa interupsi. Menurut Jonsson, Material
Requirement Planning (MRP) dan sistem Re Order Point (ROP) merupakan
metode-metode yang paling banyak dikenal dan digunakan oleh masyarakat
industri.
Selanjutnya disampaikan bahwa ketidakpastian dalam pasokan dan
permintaan pada dasarnya dapat dikelola dengan menggunakan dua cara yang
berbeda, yakni dengan menambah persediaan pengaman (safety stock) atau
dengan menambah penyangga waktu (time buffers) berupa waktu pengaman
(safety lead time). Ketidakpastian waktu biasanya dikelola secara efisien dengan
mekanisme berdasarkan waktu, sedangkan ketidakpastian dalam jumlah lebih
efisien bila dikelola dengan mekanisme berdasarkan jumlah. Berdasarkan hasil
survai, cara yang paling banyak digunakan untuk menentukan safety stock dan
safety lead times masih menggunakan pertimbangan pengalaman.
Menurut Tersine (1994), dunia nyata kadang digambarkan sebagai model
deterministik dengan menganggap beberapa hal bersifat probabilistik (contohnya
model stokastik yang beberapa atau seluruh variabelnya adalah probabilistik).
Model deterministik/tertentu dapat menjadi pendekatan yang berhasil dengan
menjadi titik awal yang baik untuk menggambarkan fenomena persediaan .
Berikutnya disampaikan oleh Tersine (1994) mengenai alasan utama
dibutuhkannya persediaan adalah karena perusahaan mampu membeli atau
memproduksi persediaan dalam ukuran yang ekonomis. Model penentuan ukuran
lot (lot sizing) berdasarkan rumus Economic Order Quantity (EOQ )merupakan
model persediaan yang sudah banyak diaplikasikan untuk mendapatkan ukuran
pemesanan yang ekonomis dalam perencanaan kebutuhan bahan baku. Model
persediaan klasik ini merupakan model deterministik yang mengasumsikan bahwa
untuk memenuhi permintaan produk yang konstan dan tertentu, akan dilakukan
pengambilan bahan baku dari persediaan dan mengurangi jumlah persediaan. Bila
jumlah persediaan telah mencapai titik pemesanan kembali (reorder point), harus
dilakukan pemesanan sejumlah EOQ dan pada waktunya akan diterima bahan
baku sejumlah EOQ sekaligus yang akan menambah kembali jumlah persediaan.
-
27
2.9 Penjadwalan Flow Shop Genetic Algorithm
Baker (1974) mengatakan bahwa penentuan urutan job produksi atau
sering disebut dengan penjadwalan merupakan alokasi dari sumber daya terhadap
waktu untuk menghasilkan sejumlah pekerjaan (job). Penjadwalan dibutuhkan
untuk memproduksi pesanan dengan pengalokasian sumber daya yang tepat,
seperti mesin yang digunakan, jumlah operator yang bekerja, urutan pengerjaan
part, dan kebutuhan material. Penjadwalan yang baik akan memaksimumkan
efektivitas pemanfaatan setiap sumber daya yang ada, sehingga penjadwalan
merupakan kegiatan yang penting dalam perencanaan dan pengendalian produksi
(Bedworth, 1987).
Permasalahan penjadwalan flowshop fokus pada pemrosesan sejumlah job
berupa lot produksi pada sejumlah mesin. Permasalahan ini memiliki keterbatasan
tambahan bahwa pemrosesan setiap job haruslah kontinyu. Tujuan yang biasanya
digunakan untuk mendapatkan urutan job terbaik adalah minimasi waktu
penyelesaian (makespan) (Baker 1974, Nawaz et.al. 1983 dalam Rajkumar, 2009).
Rajkumar (2009) dalam makalah yang berjudul An Improved Genetic
Algorithm for the Flowshop Scheduling Problem mencoba mempertimbangkan
permutasi dalam permasalahan penjadwalan flowshop dengan tujuan untuk
meminimasi waktu penyelesaian pekerjaan (makespan). Genetic Algorithm (GA)
merupakan salah satu penelitian heuristik yang digunakan untuk menyelesaikan
permasalahan global dalam area penelitian yang rumit. Berdasarkan observasi
yang dilakukan diketahui bahwa efisiensi GA dalam menyelesaikan permasalahan
flowshop dapat diperbaiki secara signifikan dengan mencoba berbagai operator
GA untuk menyesuaikan struktur permasalahan.
Algoritma Genetika (Genetic Algorithm) adalah algoritma pencarian yang
didasarkan atas mekanisme seleksi alam dan proses genetika secara alamiah.
Algoritma ini dilakukan atas dasar populasi dari solusi dan berusaha untuk
mengarahkan pencarian menuju perbaikan dengan menggunakan kemampuan
bertahan berdasarkan fungsi kebugaran (fitness function).
Menurut Goldberg 1989 dalam Rajkumar (2009), algoritma genetika
terdiri atas tahapan berikut :
Tahap 1 : Penentuan populasi awal dari sejumlah kromosom.
-
28
Tahap 2 : Evaluasi nilai kebugaran (fitness) untuk tiap kromosom.
Tahap 3 : Kembangkan kromosom-kromosom baru dengan menggunakan
operator genetika yakni pertukaran silang (crossover) dan proses mutasi
untuk kromosom yang tersedia.
Tahap 4 : Evaluasi nilai kebugaran untuk populasi baru dari kromosom-
kromosom.
Tahap 5: Bila kondisi penghentian telah terpenuhi, berhenti dan kembali pada
kromosom terbaik, bila tidak kembali ke tahap 3.
Secara tradisional, penentuan populasi awal dibangkitkan secara acak.
Berikutnya dalam fungsi evaluasi kebugaran (fitness), untuk mengikuti proses
alamiah dari kemampuan bertahan, fungsi evaluasi kebugaran dihitung untuk tiap
anggota populasi. Fungsi evaluasi ini adalah nilai yang merefleksikan superioritas
relatif yang dimiliki. Setiap kromosom memiliki kriteria evaluasi berdasarkan
fungsi obyektif. Permasalahan minimasi dapat dikonversi menjadi permasalahan
maksimasi dengan menggunakan fungsi kebugaran. Fungsi kebugaran dinyatakan
sebagai :
.....................................................................................(10)
Dimana Cmax(makespan ) merupakan waktu penyelesaian seluruh pekerjaan (job)
yang harus diminimasi.
Rumus untuk menghitung makespan menurut Bedworth (1987) adalah sebagai
berikut :
n
i
is tM1
..................................................................................................(11)
Ms adalah Makespan untuk n pekerjaan dalam jadwal S
ti adalah waktu proses pekerjaan i
Boukef (2007) dengan makalah yang berjudul A Proposed Genetic
Algorithm Coding for Flow-Shop Scheduling Problems mengusulkan proses
pengkodean GA yang baru untuk menyelesaikan permasalahan penjadwalan
flowhop. Diusulkan penggunaan optimasi dengan fungsi jamak untuk
-
29
menunjukkan efisiensi dari pendekatan yang digunakan pada industri makanan
dan farmasi .
Hejazi (2005) menyampaikan bahwa kebanyakan penelitian dalam
penjadwalan flowshop menggunakan kriteria makespan. Berdasarkan hasil ulasan
berbagai makalah dengan permasalahan dan kriteria yang sama diketahui bahwa
dikarenakan permasalahan penjadwalan flowshop n-job m-mesin merupakan
permasalahan yang termasuk kelompok NP-hard (Ronnooy Kan 1976, Lentra et al.
1977, Gonzales dan Sahni 1978), kebutuhan komputasi untuk mendapatkan solusi
optimal meningkat secara eksponensial linier dengan peningkatan ukuran
permasalahan. Akibatnya adalah beberapa pendekatan heurisik konstruktif
dikembangkan untuk permasalahan tersebut. Sebagai tambahan, disampaikan
bahwa beberapa pendekatan heuristik modern atau sering disebut dengan meta
heuristik dan beberapa algoritma evolutionary telah diterapkan untuk
menyelesaikan permasalahan flowshop pada banyak penelitian, meliputi
pendekatan Simulated Annealing (SA), Genetic Algorithm (GA), Tabu Search
(TS), Ant Colony System (ACS), Artificial Neural Network (ANN) serta berbagai
pendekatan penelitian terdekat lainnya.
Selanjutnya disampaikan juga dalam makalah terkait bahwa selama
beberapa dekade terakhir, GA telah banyak digunakan secara luas untuk berbagai
area optimasi (antara lain permasalahan Travelling Salesman Problem /TSP dan
penjadwalan). Implementasi dari GA untuk permasalahan penjadwalan flowshop
makin banyak dilakukan di berbagai makalah ( antara lain Reeves 1995, Murata et
al. 1996, Reeves dan Yamada 1998, Ponnambalam et al. 2001, Wang dan Zheng
2003). Reeves, 1998 dalam Hejazi (2005) telah membandingkan performansi SA
dan GA untuk menguji permasalahan flowshop dengan kisaran 20 job dan 5 mesin
hingga 500 job dan 20 mesin. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa GA
unggul sebagai solusi untuk permasalahan dengan kasus yang besar. Murata et al.
(1996) dalam Hejazi (2005) juga mendapatkan hasil yang sama .
Dalam kaitannya dengan pemanfaatan algoritma genetika untuk
permasalahan penentuan rute pengiriman (Travelling Salesman Problem/TSP),
Al-Dulaimi (2008) menyampaikan dalam makalahnya bahwa banyak pendekatan
yang telah digunakan untuk penyelesaian permasalahan TSP. Pendekatan yang
-
30
digunakan antara lain dengan menggunakan Simulated Annealing, Genetic
Algorithm (GA) dan Neural Network. Dalam perkembangan pemanfaatan GA,
banyak pencapaian yang telah diperoleh peneliti untuk permasalahan TSP.
Philip (2011) dalam makalahnya berjudul A Genetic Algorithm for
Solving Travelling Salesman Problem menunjukkan bahwa GA merupakan
algoritma penelitian lokal yang sangat baik untuk digunakan untuk menyelesaikan
permasalahan TSP dengan membangkitkan sejumlah angka acak dan berikutnya
memperbaiki populasi hingga kondisi penghentiannya terpenuhi dan terpilih
kromosom terbaik sebagai solusi.
2.10 Sistem Pendukung Keputusan Intelijen
Sistem Pendukung Keputusan (Decision Support System) membantu
pengambil keputusan memilih berbagai alternatif keputusan yang merupakan hasil
pengolahan informasi-informasi yang diperoleh/tersedia dengan menggunakan
model-model pengambilan keputusan. Ciri utama sekaligus keunggulan dari
Sistem Pendukung Keputusan/SPK adalah kemampuannya untuk menyelesaikan
masalah-masalah yang tidak terstruktur (Kadarsah, 1998).
SPK mulai melibatkan banyak teknik-teknik baru seperti data warehouse,
OLAP, data mining dan teknologi web dalam perancangan dan pengembangan
SPK sejak awal tahun 1970. Pada tahun 1980, model-model optimasi Operation
Research dan Management Science telah banyak dimasukkan dalam rancangan
SPK. Di tahun 1990, teknik-teknik Artificial Intelligence dan Statistik banyak
dimanfaatkan dalam aplikasi SPK.
Holsapple (2008) mendeskripsikan SPK sebagai teknologi mendapatkan
pengetahuan bagi pengambil keputusan secara tepat, pada waktu yang tepat dalam
representasi yang tepat dengan biaya yang tepat Perkembangan teknik-teknik
pemrosesan informasi dan teknologi digital dalam mendukung kegiatan
penyelesaian masalah dan pengambilan keputusan makin mendorong munculnya
sistem pendukung keputusan yang cerdas.
Menurut Power, 2004 dalam Jain, 2010, terdapat 5 tipe Sistem Pendukung
Keputusan (SPK), yaitu : 1) SPK berbasis Komunikasi untuk mendapatkan
kolaborasi yang efisien, 2) SPK berbasis Data yang berguna untuk mencari basis
-
31
data atau gudang data untuk mendapatkan jawaban khusus suatu tujuan tertentu,
3) SPK berbasis dokumen yang digunakan untuk mencari halaman web dan
menemukan dokumen berdasarkan sekumpulan kata kunci atau istilah penelitian
tertentu. 4) SPK berbasis Pengetahuan untuk membantu mengambil keputusan
berdasarkan berbagai paradigma dalam intelijensia buatan, serta 5) SPK berbasis
Model yang merupakan pengembangan sistem kompleks berdasarkan beberapa
model (model matematis atau model analitis) untuk membantu menganalisis
keputusan atau memilih diantara alternatif yang berbeda.
SPK menggunakan sistem informasi berbasis komputer yang fleksibel,
interaktif, dan dapat diadaptasi yang dikembangkan untuk mendukung solusi
untuk masalah manajemen spesifik yang tidak terstruktur. Sistem ini memiliki
tiga subsistem utama yang menentukan kapabilitas teknis sistem tersebut, yaitu :
subsistem manajemen data, subsistem manajemen model, dan subsistem
perangkat lunak penyelenggara dialog untuk antar muka pengguna. Selain itu,
SPK dapat memiliki subsistem manajemen berbasis pengetahuan sebagai opsional,
yang dapat memberikan manfaat karena memberikan intelijensia bagi ketiga
subsistem utama tersebut, mengingat banyak masalah tak terstruktur dan semi
terstruktur yang sangat kompleks sehingga solusinya memerlukan keahlian
(Turban, 2005).
Dalam kaitannya dengan SPK berbasis Pengetahuan dan SPK berbasis
Model, sejumlah teknik intelijensia buatan seperti Jaringan Syaraf Tiruan,
Algoritma Genetika, sistem Fuzzy, Case base reasoning, dan sistem berbasis agen
dapat diaplikasikan untuk merancang dan mengembangkan SPK Intelijen. Dalam
pemanfaatan SPK Intelijen untuk menyelesaikan permasalahan dunia nyata,
direkomendasikan untuk menggunakan kombinasi beberapa teknik intelijensia
buatan tersebut supaya diperoleh solusi yang efektif (Jain, 2010).
2.11 Teknik Klasifikasi dalam Data Mining
Data mining adalah sebuah proses percarian secara otomatis informasi
yang berguna dalam tempat penyimpanan data berukuran besar. Teknik data
mining digunakan untuk memeriksa basis data berukuran besar sebagai cara untuk
-
32
menemukan pola yang baru dan berguna. Teknik-teknik data mining dapat
digunakan untuk meningkatkan kemampuan sistem-sistem dalam menemukan
informasi (information retrieval).
Klasifikasi adalah proses menemukan model (fungsi) yang menjelaskan
dan membedakan kelas-kelas atau konsep, dengan tujuan agar model yang
diperoleh dapat digunakan untuk memprediksikan kelas atau objek yang memiliki
label kelas tidak diketahui. Model yang diturunkan didasarkan pada analisis dari
pelatihan data (yaitu objek data yang memiliki label kelas yang diketahui serta
dapat direpresentasikan dalam berbagai bentuk seperti aturan IF-THEN , pohon
keputusan, formula matematika atau jaringan syaraf (Tan, 2006).