bab 2 tinjauan pustaka 2.1 landasan teori agency...

22
9 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Teori Agensi (Agency Theory) Teori agensi adalah teori yang muncul ketika ada dua pihak yang saling terikat, dimana kedua belah pihak sepakat untuk memakai jasa. Hubungan keagenan adalah sebagai kontrak, dimana satu atau beberapa orang (principal) mempekerjakan orang atau pihak lain (agen) untuk melaksanakan sejumlah jasa dan mendelegasikan wewenang untuk mengambil keputusan. Dari sini dapat diketahui bahwa manajemen wajib mempertanggungjawabkan semua keputusan terhadap pengguna laporan keuangan, termasuk investor,stakeholders, pemegang saham, dan kreditor Jensen dan Meckling (1976) dalam Yuniasih (2012) menjelakan hubungan keagenan didalam teori agensi (agency theory) antara perusahaan merupakan kumpulan kontrak (nexus of contract) antara pemilik sumber daya ekonomis (principal) dan manajer (agen) yang mengurus penggunaan dan pengendalian sumber daya tersebut. Beberapa faktor yang menyebabkan munculnya masalah keagenan (Colgan, 2001) dalam Yuniasih (2012) yaitu : 1. Moral Hazard. Hal ini umumnya terjadi pada perusahaan besar (kompleksitas yang tinggi). Dimana seorang manajer melakukan kegiatan yang tidak seluruhnya diketahui oleh pemegang saham maupun pemberi pinjaman. Manajer dapat melakukan tindakan diluar pegetahuan pemegang saham yang melanggar kontrak dan secara etika atau norma tidak layak untuk dilakukan. 2. Penahanan Laba (Earnings Relations) Masalah ini berkisar pada kecenderungan untuk melakukan investasi yang berlebihan oleh pihak manajemen (agen) melalui peningkatan dan pertumbuhan dengan tujuan untuk memperbesar kekuasaan, presitse, atau

Upload: others

Post on 06-Feb-2021

4 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • 9

    BAB 2

    TINJAUAN PUSTAKA

    2.1 Landasan Teori

    2.1.1 Teori Agensi (Agency Theory)

    Teori agensi adalah teori yang muncul ketika ada dua pihak yang

    saling terikat, dimana kedua belah pihak sepakat untuk memakai jasa.

    Hubungan keagenan adalah sebagai kontrak, dimana satu atau beberapa orang

    (principal) mempekerjakan orang atau pihak lain (agen) untuk melaksanakan

    sejumlah jasa dan mendelegasikan wewenang untuk mengambil keputusan.

    Dari sini dapat diketahui bahwa manajemen wajib mempertanggungjawabkan

    semua keputusan terhadap pengguna laporan keuangan, termasuk

    investor,stakeholders, pemegang saham, dan kreditor

    Jensen dan Meckling (1976) dalam Yuniasih (2012) menjelakan

    hubungan keagenan didalam teori agensi (agency theory) antara perusahaan

    merupakan kumpulan kontrak (nexus of contract) antara pemilik sumber daya

    ekonomis (principal) dan manajer (agen) yang mengurus penggunaan dan

    pengendalian sumber daya tersebut. Beberapa faktor yang menyebabkan

    munculnya masalah keagenan (Colgan, 2001) dalam Yuniasih (2012) yaitu :

    1. Moral Hazard.

    Hal ini umumnya terjadi pada perusahaan besar (kompleksitas yang

    tinggi). Dimana seorang manajer melakukan kegiatan yang tidak seluruhnya

    diketahui oleh pemegang saham maupun pemberi pinjaman. Manajer dapat

    melakukan tindakan diluar pegetahuan pemegang saham yang melanggar

    kontrak dan secara etika atau norma tidak layak untuk dilakukan.

    2. Penahanan Laba (Earnings Relations)

    Masalah ini berkisar pada kecenderungan untuk melakukan investasi

    yang berlebihan oleh pihak manajemen (agen) melalui peningkatan dan

    pertumbuhan dengan tujuan untuk memperbesar kekuasaan, presitse, atau

  • 10

    penghargaan dari dirinya, namun dapat menghancurkan kesejahteraan

    pemegang saham.

    3. Horison Waktu

    Konflik ini muncul sebagai akibat dari kondisi arus kas, dengan masa

    prinsipal lebih menekankan pada arus kas untuk masa depan yang kondisinya

    belum pasti, sedangkan manajemen cenderung menekankan kepada hal-hal

    yang berkaitan dengan pekerjaan mereka.

    4. Penghindaran Risiko Manajerial

    Masalah ini muncul ketika ada batas diversifikasi portofolio yang

    berhubungan dengan pendapatan manajerial atas kinerja yang dicapainya,

    sehingga manajer akan berusaha meminimalkan risiko saham perusahaan dari

    keputusan investasi yang meningkatkan risikonya. Misalnya manajemen lebih

    senang dengan pendanaan ekuitas dan berusaha menghindari peminjaman

    utang, karena mengalami kebangkuratan atau kegagalan.

    Dalam upaya mengatasi atau mengurangi masalah keagenan sehingga

    dapat menimbulkan biaya keagenan (agency cost) yang akan ditanggung oleh

    pihak prinsipal atau agen itu sendiri. Jensen & Meckling (1976) dalam

    Pramana (2014) membagi biaya keagenan menjadi monitoring cost, bonding

    cost dan residual loss. Monitoring cost adalah biaya yang timbul dan

    ditanggung oleh prinsipal untuk memonitor perilaku agen, yaitu untuk

    mengukur, mengamati dan mengontrol perilaku agen. Bonding Cost adalah

    biaya yang ditanggung oleh agen untuk menetapkan dan mematuhi

    mekanisme yang menjamin bahwa agen akan bertindak untuk kepentingan

    prinsipal. Residual loss adalah pengorbanan yang berupa berkurangnya

    kemakmuran prinsipal sebagai akibat dari perbedaan keputusan agen dan

    keputusan prinsipal.

  • 11

    2.1.2 Teori Akutansi Positif

    Watss dan Zimmerman (1986) dalam Pramana (2014) mengenai

    positive accounting theory menyebutkan teori akuntansi positif dapat

    menjelaskan mengapa kebijakan akuntansi menjadi suatu masalah bagi

    perusahaan dan pihak-pihak yang berkepentingan dengan laporan keuangan,

    dan untuk memprediksi kebijakan akuntansi yang hendak dipilih oleh

    perusahaan dalam kondisi tertentu. Teori akuntansi positif mengusulkan tiga

    hipotesis menajemen laba yaitu : Hipotesis program bonus (the bonus plan

    hypothesis), hipotesis perjanjian hutang (the debt covenant hypothesis), dan

    hipotesis biaya politik (the political cost hyphotesis). Hipotesis-hipotesis

    tersebut dapat dijelasakan sebagai berikut :

    1. Hipotesis Rencana Bonus (the bonus plan hyphotesis)

    Hipotesis ini menjelaskan bahwa para manajer perusahaan dengan

    rencana bonus cenderung untuk memilih prosedur akuntansi dengan

    perubahan laba yang dilaporkan dari periode masa depan ke periode masa

    kini. Para manajer menginginkan imbalan yang tinggi dalam setiap periode.

    Jika imbalan mereka bergantung pada pendapatan bersih, maka kemungkinan

    mereka bisa meningkatkan bonus pada periode tersebut dengan melaporkan

    pendapatan bersih setinggi mungkin. Salah satu cara untuk melakukan hal

    tersebut adalah dengan memilih kebijakan akuntansi yang meningkatkan laba

    yang dilaporkan pada periode tersebut. Sesuai dengan karakter dari proses

    akrual, hal ini akan cenderung menyebabkan penurunan pada laba dan bonus-

    bonus yang dilaporkan pada masa yang akan datang, dengan faktor-faktor

    lain tetap sama. Namun nilai masa kini (present value) dari kegunaan manajer

    dari lini bonus masa depan yang dimiliknya akan meningkat dengan

    memberikan perubahan menuju masa kini.

  • 12

    2. Hipotesis Kontrak Hutang (the debt covenant hyphotesis)

    Dalam hipotesis ini semua hal lain dalam keadaan tetap, makin dekat

    suatu perusahaan terhadap pelanggaran pada akuntansi yang didasarkan pada

    kesepakatan utang, maka kecenderungannya adalah semakin besar

    kemungkinan manajer perusahaan memilih prosedur akuntansi dengan

    perubahan laba yang dilaporkan periode masa depan ke periode masa kini.

    Jika laba yang dilaporkan meningkat maka akan menurunkan kelalaian

    teknis. Sebagian besar dari perjanjian hutang berisi kesepakatan bahwa

    pemberi pinjaman harus bertemu selama masa perjanjian. Sebagai contoh,

    perusahaan yang mendapat pinjaman boleh sepakat memelihara level tertentu

    dari hutang terhadap harta, laporan bunga, modal kerja dan harta pemilik

    saham. Jika kesepakatan semacam itu tidak terpenuhi, perjanjian hutang

    tersebut bisa memberikan/ mengeluarkan pinalti, seperti pembatasan dividen

    atau tambahan pinjaman.

    Kontrak hutang merupakan salah satu penyebab kegiatan operasional

    perusahaan menjadi terbatasi. Untuk mencegah atau menunda pelanggaran

    semacam itu, perusahaan cenderung untuk memilih kebijakan akuntansi

    tertentu yang bisa meningkatakan laba masa kini. Berdasarkan hipotesis

    kesepakatan hutang, ketika perusahaan mendekati kelalaian, atau memang

    sudah berada dalam lalai/cacat, lebih cenderung untuk melakukan kegiatan

    yang melanggar dari ketentuan.

    3. Hipotesis biaya politik (the political cost hyphotesis)

    Dalam hipotesis ini semua hal lain dalam keadaan tetap, makin besar

    biaya politik yang mesti ditanggung oleh perusahaan, manajer cenderung

    lebih memilih prosedur akuntansi yang menyerah pada laba yang dilaporkan

    dari masa sekarang menuju masa depan. Hipotesis biaya politik

    memperkenalkan suatu dimensi politik pada pemilihan kebijakan akuntansi.

    Perusahaan-perusahaan yang ukurannya sangat besar mungkin dikenakan

    standar kinerja yang lebih tinggi, dengan penghargaan terhadap tanggung

    jawab lingkungan, hanya karena mereka merasa bahwa mereka besar dan

    berkuasa. Jika perusahaan besar juga memiliki kemampuan meraih profit

    yang tinggi, maka biaya politik bisa diperbesar. Perusahaan-perusahaan juga

  • 13

    mungkin akan menghadapi biaya politik pada poin-poin waktu tertentu.

    Persaingan luar negeri mungkin mengarah pada menurunnya profitabilitas

    kecuali perusahaan yang terkena dampaknya ini bisa mempengaruhi proses

    politik untuk bisa melindungi impor secara keseluruhan. Salah satu cara

    untuk melakukan ini adalah dengan mengadopsi kebijakan akuntansi income-

    decreasing (pendapatan menurun) dalam rangka menyakinkan pemerintah

    bahwa profit sedang turun.

    2.2 Transfer Pricing

    2.2.1 Pengertian Transfer Pricing

    Definisi transfer pricing menurut para ahli :

    Menurut Gunadi Transfer pricing merupakan harga atas transfer

    barang atau jasa dengan nama dan dalam bentuk apapun antar perusahaan

    yang memiliki hubungan istimewa (assosiates) baik dalam negeri maupun

    luar negeri.

    Darussalam dan Danny Septriadi mendefinisikan Transfer pricing

    merupakan bagian dari suatu kegiatan usaha dan perpajakan yang bertujuan

    untuk memastikan apakah harga yang diterapkan dalam transaksi antara

    perusahaan yang mempunyai hubungan istimewa telah didasarkan atas

    prinsip harga pasar yang wajar (arm’s lengh price principle).

    Menurut Zain dalam bukunya manajemen perpajakan mendefinisikan

    bahwa transfer pricing atau harga transfer merupakan harga yang

    diperhitungkan untuk pengendalian manajemen atas transfer barang dan jasa

    antar pusat pertanggung jawaban laba atau biaya, termasuk determinasi harga

    untuk barang, imbalan atas jasa, tingkat bunga pinjaman, beban atas

    persewaan dan metode pembayaran serta pengiriman uang.

    Menuurt Robert Feinschreiber dalam bukunya yang berjudul Transfer

    Pricing Methods mendefinisikan bahwa Transfer pricing, for tax purposes, is

    the pricing of intercompany transactions that take place between affiliated

    businesses. The transfer pricing process determines the amount of income

    that each party earns from that transaction. These performance measures are

    most often reflected by personnel policies, incentives, bonuses, and the like.

    Memiliki arti adalah harga transfer untuk tujuan perpajakan, adalah harga

    transaksi antar perusahaan yang dilakukan antara perusahaan afiliasi. Proses

  • 14

    penetapan harga transfer menentukan jumlah pendapatan yang diperoleh

    masing-masing pihak dari transaksi tersebut. Transaksi dalam konteks ini

    ditentukan secara luas dan mencakup penjualan, perizinan, leasing, layanan,

    dan bunga.

    Transfer pricing biasanya ditetapkan untuk produk-produk antara

    (intermediate product) yang merupakan barang-barang dan jasa-jasa yang

    dipasok oleh divisi penjual kepada divisi pembeli. Pasal 1 ayat (8) Peraturan

    Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-43/PJ./2010 yang diubah terakhir

    dengan PER32/PJ./2011, mendefinisikan penentuan transfer pricing sebagai

    penentuan harga dalam transaksi antara pihak-pihak yang mempunyai

    hubungan istimewa (Desriana, 2012).

    Menurut pengertian yang dikemukan para ahli di atas dapat ditarik

    kesimpulan bahwa transfer pricing terdiri dari tiga point utama yaitu harga,

    perusahaan yang mempunyai hubungan istimewa, dan transaksi penjualan

    antar cabang dan induk perusahaan. Transfer pricing adalah harga yang

    timbul karena transaksi jual beli yang terjadi diantara perusahaan yang

    memiliki hubungan istimewa.

    2.2.2 Tujuan Transfer Pricing

    Dengan globalisasi bisnis, aspek internasional dari harga transfer

    menjadi suatu perhatian yang lebih kritis, terutama dengan adanya isu-isu

    pajak. Tujuan internasional yang lain mencakup meminimalkan beban-beban

    pajak, pengendalian devisa, dan berkenaan dengan risiko pengambil alihan

    oleh pemerintah asing. Fenomena perusahaan multinasional dalam

    ekspansinya enderung mengoperasikan usahanya secara desentralisasi dan

    melaksanakan konsep cost revenue profit atau corporate profit centre concept

    yang dapat mengukur dan menilai kinerja dan motivasi setiap divisi/unit yang

    bersangkutan dalam rangka mencapai tujuan perusahaan. Untuk mencapai

    tujuan tersebut antara lain digunakan system harga transfer

    (Suandy,2016:78).

    Harga transfer multinasional berhubungan dengan transaksi antar

    divisi dalam suatu unit hukum (entitas atau antar entitas dalam satu kesatuan

  • 15

    ekonomi yang meliputi berbagai wilayah kedaulatan negara. Tujuan yang

    ingin dicapai dalam harga transfer adalah: (Suandy, 2016: 79)

    1. Memaksimalkan penghasilan global.

    2. Mengamankan posisi kompetitif anak/ cabang perusahaan dan

    penetrasi pasar.

    3. Mengevaluasi kinerja anak/ cabang perusahaan mancanegara.

    4. Menghindarkan pengendalian devisa.

    5. Mengontrol kredibilitas asosiasi.

    6. Mengurangi risiko moneter.

    7. Mengatur arus kas anak/cabang perusahaan yang memadai.

    8. Membina hubungan baik dengan administrasi setempat.

    9. Mengurangi beban pengenaan pajak dan bea masuk.

    10. Mengurangi risiko pengambil alihan oleh pemerintah.

    2.2.3 Penentuan Transfer Pricing

    Menurut Matz dan Usry (Suandy, 2016:79), terdapat empat dasar

    untuk penentuan harga transfer, yaitu penentuan harga transfer berdasarkan

    biaya, penentuan harga transfer berdasarkan harga pasar, penentuan harga

    transfer berdasarkan negosiasi, dan penentuan harga transfer berdasarkan

    arbitrase. Keempat harga transfer tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut

    (Suandy, 2016:79):

    1. Penentuan harga transfer berdasarkan biaya (cost basis transfer pricing).

    Transfer pricing yang didasarkan pada biaya, dikenakan berdasarkan

    biaya produksi (standard cost). Cost basis biasanya dilakukan antar divisi

    pada tingkat yang sama pada aktivitas produksi dan distribusi (transfer

    horizontal). Basis ini digunakan apabila harga pasar tidak tersedia atau

    kurang tepat

    2. Penentuan harga transfer berdasarkan harga pasar (market based transfer

    pricing)

    Variasi dari basis ini dapat berkisar antara harga pasar yang berlaku

    (current market price) dan harga pasar dikurangi diskon (market price

    minus discount). Basis ini dipakai bila pasar perantara cukup bersaing dan

    saling ketergantungan antar unit.

  • 16

    3. Penentuan harga transfer berdasarkan negosiasi (the negotiated price)

    Pendekatan ini mengasumsikan bahwa kedua divisi mempunyai posisi

    tawar menawar (bargaining position) yang sama. Penentuan harga

    didasarkan pada pemberian otoritas salah satu pihak untuk menentukan

    harga transfer, berdasarkan persetujuan kedua divisi. Namun hal ini akan

    memakan waktu negosiasi, mengulang pemeriksaan serta revisi harga

    transfer.

    4. Penentuan harga transfer berdasarkan arbitrase (arbitration transfer

    pricing)

    Harga yang digunakan berdasarkan interaksi kedua divisi pada tingkat

    yang dianggap baik bagi kepentingan perusahaan, tanpa adanya paksaan

    dari salah satu divisi mengenai keputusan akhir penentuan harga.

    Negara-nega seperti Jerman, Inggirs, Kanda dan Amerika Serikat

    mempunyai metode untuk menguji apakah harga transfer dari perusahaan

    multinasional sama dengan harga pasar wajar (arm’s-length price). Menurut

    arm’s length standard, harga-harga pasar transfer seharusnya ditetapkan

    suapaya dapat mencerminkan harga yang akan disusun oleh pihak-pihak yang

    tidak terkait yang bertindak secara bebas. Arms’ length standard diterapkan

    dalam banyak cara, tetapi metode yang paling banyak digunakan adalah

    sebagai berikut (Suandy, 2016: 81):

    1. Metode perbandingan harga antara pihak yang independen (comparable

    uncontrolled price/CUP).

    Metode perbandingan harga antara pihak yang independen (comparable

    uncontrolled price) atau disingkat metode CUP adalah metode penentuan

    harga transfer yang dilakukan dengan membandingkan harga dalam

    transaksi yang dilakukan antara pihak-pihak yang mempunyai hubungan

    istimewa dengan harga dalam transaksi yang dilakukan antara pihak-

    pihak yang tidak mempunyai hubungan istimewa dalam kondisi atau

    keadaan yang sebanding.

    2. Metode harga penjualan kembali (resale price method/RPM).

    Metode harga penjualan kembali (resale price method) atau disingkat

    metode RPM adalah metode Penentuan Harga Transfer yang dilakukan

    dengan membandingkan harga dalam transaksi suatu produk yang

    dilakukan antara pihak - pihak yang mempunyai hubungan istimewa

  • 17

    dengan harga jual kembali produk tersebut setelah dikurangi laba kotor

    wajar, yang mencerminkan fungsi, aset dan risiko, atas penjualan kembali

    produk tersebut kepada pihak lain yang tidak mempunyai Hubungan

    Istimewa atau penjualan kembali produk yang dilakukan dalam kondisi

    wajar.

    3. Metode biayaplus (cost plus method/CPM).

    Metode biaya plus (cost plus method) atau metode CPM adalah metode

    penentuan harga transfer yang dilakukan dengan menambahkan tingkat

    laba kotor wajar yang diperoleh perusahaan yang sama dari transaksi

    dengan pihak yang tidak mempunyai hubungan istimewa atau tingkat laba

    kotor wajar yang diperoleh perusahaan lain dari transaksi sebanding

    dengan pihak yang tidak mempunyai hubungan istimewa pada harga

    pokok penjualan yang telah sesuai dengan prinsip kewajaran dan

    kelaziman usaha.

    4. Other Method

    Dalam keadaan tertentu, kombinasi ketiga metode diatas perlu diterapkan,

    atau mungkin metode lain, misalnya alokasi laba yang diperoleh grup

    perusahaan dalam transaksi tertentu, kalkulasi tingkat keuntungan yang

    pantas pada investasi wajib pajak.

    2.2.4 Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha

    Prinsip kewajaran dan kelaziman usaha merupakan prinsip yang

    mengatur mengenai kondisi dalam transaksi yang dilakukan antara pihak-

    pihak yang mempunyai hubungan istimewa sama atau sebanding dengan

    transaksi yang dilakukan antara pihak yang tidak memiliki hubungan

    istimewa yang menjadi pembanding, untuk itu harga yang dikeluarkan harus

    sama dan sebanding antara harga untuk pihak yang mempunyai hubungan

    istimewa dengan harga untuk pihak yang tidak mempunyai hubungan apapun.

    Prinsip kewajaran (Arm’s length principle) adalah sebuah prinsip

    yang mengatur bahwa dalam hal kondisi transaksi afiliasi (ada hubungan

    istimewa) sama dengan kondisi transaksi independen yang menjadi

    pembanding, maka harga dan keberadaan transaksi afiliasi tersebut harus

    sama dengan harga dan keberadaan transaksi independen yang menjadi

    pembanding (Suandy, 2016).

  • 18

    Prinsip kewajaran dan kelaziman usaha diatur dalam pasal 18 ayat (3)

    Undang-Undang Pajak Penghasilan yang merupakan salah satu pasal anti

    penghindaran pajak. Dalam ketentuan tersebut dijelaskan bahwa Direktur

    Jenderal Pajak berwenang untuk menentukan kembali besaranya penghasilan

    dan pengurangan serta menentukan utang sebagai modal untuk menghitung

    besarnya penghasilan kena pajak bagi wajib pajak yang mempunyai

    hubungan istimewa dengan wajib pajak lainnya sesuai dengna kewajaran dan

    kelaziman usaha yang tidak dipengaruhi oleh hubungan istimewa dengan

    menggunakan metode perbandingan harga antara pihak yang independen,

    metode harga penjualan kembali, dan metode biaya cost plus atau metode

    lainnya.

    Untuk melaksanakan ketentuan Pasal 18 ayat (3) Undang-Undang

    Pajak Penghasilan, Direktur Jenderal Pajak telah menerbitkan Peraturan

    Dirjen Pajak Nomor PER-43/PJ/2010 tentang Penerapan Prinsip Kewajaran

    dan Kelaziman Usaha Dalam Transaksi Antar Wajib Pajak Dengan Pihak

    Yang Mempunyai Hubungan Istimewa.

    PER-43/PJ/2010 memberikan pengertian Prinsip Kewajaran dan Kelaziman

    Usaha (arm’s length principle/ALP) sebagai prinsip yang mengatur bahwa

    apabila kondisi dalam transaksi yang dilakukan antara pihak-pihak yang

    mempunyai Hubungan Istimewa sama atau sebanding dengan kondisi dalam

    transaksi yang dilakukan antara pihak-pihak yang tidak mempunyai

    hubungan istimewa yang menjadi pembanding, maka harga atau laba dalam

    transaksi yang dilakukan antara pihak-pihak yang mempunyai Hubungan

    Istimewa harus sama dengan atau berada dalam rentang harga atau laba

    dalam transaksi yang dilakukan antara pihak-pihak yang tidak mempunyai

    Hubungan Istimewa yang menjadi pembanding

    2.2.5 Hubungan Istimewa

    Hubungan istimewa terjadi antar induk perusahaan dengan anak

    perusahaan atau dengan cabang-cabangnya atau perwakilannya yang berada

    di dalam negeri maupun yang berada diluar negeri atau di Indonesia. Dalam

    pasal 18 ayat 3, 3a, dan 4 Undang-Undang Pajak Penghasilan, yang

    menyatakan sebagai berikut: (Suandy, 2016: 77)

  • 19

    1. Dirjen pajak berwenang menentukan kembali besarnya penghasilan

    dan pengurangan serta menentukan utang sebagai modal untuk

    menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak yang

    mempunyai hubungan istimewa dengan Wajib Pajak lainnya sesuai

    dengan kewajaran dan kelaziman usaha yang tidak dipengaruhi oleh

    hubungan istimewa.

    2. Dirjen Pajak berwenang melakukan perjanjian dengan Wajib Pajak

    dan bekerja sama dengan otoritas pajak negara lain untuk menentukan

    harga transaksi antar pihak yang mempunyai hubungan istimewa

    sebagaimana dimaksud dalam ayat 4, yang berlaku selama suatu

    periode tertentu dan mengawasi pelaksanaanya serta melakukan

    regenerasi setelah periode tertentu tersebut berakhir.

    3. Hubungan istimewa dianggap ada apablia :

    1) Wajib Pajak mempunyai penyertaan modal langsung atau tidak

    langsung paling rendah 25% pada Wajib Pajak lain, atau hubungan

    antara Wajib Pajak dengan penyertaan paling rendah 25% pada dua

    Wajib Pajak atau lebih, demikian pula hubungan antara dua Wajib

    Pajak atau lebih yang disebut terakhir; atau

    2) Wajib Pajak menguasai Wajib Pajak lainnya atau dua atau lebih

    Wajib Pajak berada di bawah penguasaan yang sama baik langsung

    maupun tidak langsung; atau

    3) terdapat hubungan keluarga baik sedarah maupun semenda dalam

    garis keturunan lurus dan/atau ke samping satu derajat.

    Hubungan istimewa tersebut dapat mengakibatkan kekurangwajaran

    harga, biaya, atau imbalan lain yang direalisaikan dalam suatu transaksi

    usaha. Harga transfer tersebut dapat mengakibatkan terjadinya penggalian

    penghasilan atau dasar pengenaan pajak dan biaya dari satu Wajib Pajak ke

    Wajib Pajak yang lain, yang dapat direkayasa untuk menekan keseluruhan

    jumlah pajak terutang atas Wajib Pajak yang mempunyai tujuan istimewa

    baik nasional maupun multinasional. (Suandy, 2016: 84). Kekurangwajaran

    harga tersebut dapat terjadi pada:

    1. Harga penjualan

    2. Harga pembelian

  • 20

    3. Alokasi biaya administrasi dan umum

    4. Pembebanan bunga atas pemberian pinjaman oleh pemegang saham

    5. Pembayaran komisi, lisensi, waralaba, sewa, royalty, imbalan jasa

    manajemen, imbalan jasa teknik, dan imbalan jasa yang lain.

    2.3 Pajak

    Para ahli dalam bidang perpajakan memberikan definisi yang

    berbeda-beda mengenai pajak. Menurut Waluyo (2013:2) pajak adalah iuran

    kepada negara yang dapat dipaksakan yang terutang oleh wajib pajak

    membayarnya menurut peraturan-peraturan, dengan tidak mendapat prestasi

    kembali, yang langsung dapat ditunjuk dan yang berguna untuk membiayai

    pengeluaran umum yang berhubungan dengan tugas Negara yang

    diselenggarakan pemerintah.

    Menurut Priantara (2011:2), pajak adalah iuran partisipasi seluruh

    anggota masyarakat kepada negara berdasarkan kemampuan (daya pikulnya)

    masing-masing yang dapat dipaksakan untuk membiayai kegiatan

    pemerintahan dan pembangunan dan pembayar pajak tidak menerima

    imbalan atau kontribusi yang dapat dihubungkan secara langsung dengan

    pajak yang telah dibayarnya.

    Definisi lain mengenai pajak juga dikemukakan oleh Soeparman

    Soemahamidjaja dalam Syamsudin (2015) yang menyatakan bahwa pajak

    adalah iuran wajib, berupa uang atau barang yang dipungut oleh penguasa

    berdasarkan norma-norma hukum, guna menutup biaya produksi barang-

    barang dan jasa kolektif dalam mencapai kesejahteraan umum.

    Berdasarkan definisi-definisi pajak menurut para ahli diatas, maka

    dapat disimpulkan bahwa pajak adalah iuran yang dibayarkan kepada negara

    yang disesuaikan dengan kemampuan masing-masing wajib pajak yang

    sifatnya bisa dipaksakan dan dipergunakan untuk keperluan negara. Pajak

    mempunyai ciri-ciri sebagai berikut (Waluyo, 2013:3) :

    1. Pajak dipungut berdasarkan undang-undang serta aturan pelaksanaanya

    yang sifatnya dapat dipaksakan

  • 21

    2. Dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjukan adanya kontraprestasi

    individual oleh pemerintah

    3. Pajak dipungut oleh Negara baik pemerintah pusat maupun pemerintah

    daerah

    4. Pajak diperuntukan bagi pengeluaran – pengeluaran pemerintah, yang bila

    dan pemasukannya masih terdapat surplus, yang dipergunakan untuk

    membiayai investasi publik.

    Pajak memiliki unsur-unsur yaitu iuran dari rakyat kepada neagara,

    berdasarkan pada undang-undang , tanpa adanya kontraprestasi secara

    langsung dari Negara, dan dipergunakan untuk membiayai rumah tangga

    Negara. Fungsi pajak menurut Siti Resmi (2014) :

    1. Fungsi anggaran (budgetair)

    Pajak sebagai sumber dana bagi pemerintah untuk membiayai

    pengeluaran-pengeluarannya.

    2. Fungsi mengatur (regulerend).

    Pajak sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijaksanaan

    pemerintah dalam bidang sosial dan ekonomi.

    2.4 Debt Covenant

    Debt covenant adalah kontrak yang ditunjukan pada peminjam oleh

    kreditur untuk membatasi aktivitas yng mungkin merusak nilai pinjaman dan

    recovery pinjaman (Cochran, 2001 dalam Pambudi 2014). Perusahaan yang

    telah go public tentunya tidak akan lepas dari hutang yang digunakan untuk

    memperluas usahaanya. Fatmariani (2013) mengindikasikan bahwa manajer

    cenderung untuk menyatakan secara berlebihan laba dan aset untuk

    mengurangi renegosiasi biaya kontrak hutang.

    Kontrak utang (debt covenant) merupakan perjanjian untuk

    melindungi pemberi pinjaman (lender atau kreditur) dari tindakan-tindakan

    manajer terhadap kepentingan kreditur, seperti deviden yang berlebihan,

    pinjaman tambahan, atau membiarkan modal kerja dan kekayaan pemilik

    berada di bawah tingkat yang telah ditentukan, yang mana semuanya

    menurunkan keamanan atau menaikkan resiko bagi kreditur yang telah ada.

  • 22

    Watss dan Zimmerman (1986) dalam Pambudi (2014) Debt covenat

    hypothesis dalam possitive accounting theory memprediksikan bahwa

    semakin tinggi jumlah hutang atau pinjaman yang ingin diperoleh perusahan

    maka perusahaan berupaya menunjukan kinerja yang baik kepada

    debtholders. Upaya tersebut dilakukan dengan menyejikan aset dan laba

    setinggi mungkin, serta liabilitas dan beban serendah mungkin. (Fatmariani,

    2013). Hal ini dikarenakan perusahaan ingin menunjukan kinerja yang baik

    pada pihak eksternal, agar pihak eksternal yakin bahwa keamanan dananya

    terjamin.

    Dalam hipotesis ini semua hal lain dalam keadaan tetap, makin dekat

    suatu perusahaan terhadap pelanggaran pada akuntansi yang didasarkan pada

    kesepakatan utang, maka kecenderungannya adalah semakin besar

    kemungkinan manajer perusahaan memilih prosedur akuntansi dengan

    perubahan laba yang dilaporkan dari periode masa depan ke periode masa

    kini. Alasannya adalah laba yang dilaporkan yang makin meningkat akan

    menurunkan kelalaian teknis. Sebagian besar dari perjanjian hutang berisi

    kesepakatan bahwa pemberi pinjaman harus bertemu selama masa perjanjian.

    Sebagai contoh, perusahaan yang mendapat pinjaman boleh sepakat

    memelihara level tertentu dari hutang terhadap harta, laporan bunga, modal

    kerja, dan harta pemilik saham. Jika kesepakatan semacam itu dikhianati,

    perjanjian hutang tersebut bisa memberikan/mengeluarkan penalti, seperti

    pembatasan dividen atau tambahan pinjaman.

    Dengan jelas, prospek dari pelanggaran kesepakatan membatasi

    kegiatan perusahaan dalam operasional perusahaan itu sendiri. Untuk

    mencegah, atau paling tidak menunda, pelanggaran semacam itu, perusahaan

    bisa memilih kebijakan akuntansi tertentu yang bisa meningkatkan laba masa

    kini. Berdasarkan hipotesis kesepakatan hutang, ketika perusahaan mendekati

    kelalaian, atau memang sudah berada dalam lalai/cacat, lebih cenderung

    untuk melakukan hal ini.

  • 23

    2.5 Ukuran Perusahaan

    Suatu perusahaan bisa saja dikatakan sebagai perusahaan besar jika

    aset yang dimilikinya besar. Demikian pula sebaliknya, jika aset yang

    dimiliki sedikit, maka perusahaan itu dikatakan sebagai perusahaan kecil.

    Ukuran secara umum dapat diartikan sebagai suatu perbandingan besar

    kecilnya suatu objek. Menurut sawir (2004) dalam Putri (2016) ukuran

    perusahaan dinyatakan sebagai determinan dari struktur keuangan dalam

    hampir setiap studi untuk alasan yang berbeda.

    Ketentuan untuk ukuran perusahaan diatur dalam UU RI No. 20 tahun

    2008 tetang usaha mikra, kecil dan menengah. Peraturan tersebut

    menjelaskan empat jenis ukuran perusahaan yang dapat dinilai dari jumlah

    penjualan dan aset yang dimiliki oleh perusahaan tersebut. Empat jenis

    ukuran perusahaan tersebut antara lain (Putri, 2016) :

    1. Perusahaan dengan usaha ukuran mikro

    Perusahaan yang memiliki kekayaan bersih < Rp. 50,000,000,- (tidak

    termasuk tanah dan bangunan) dan memiliki jumlah penjualan <

    Rp.300,000,000,-.

    2. Perusahaan dengan usaha ukuran kecil

    Perusahaan yang memiliki kekayaan bersih Rp.50,000,000,- sampai

    Rp.500,000,000,- (tidak termasuk tanah dan bangunan) serta memiliki

    jumlah penjualan Rp.300,000,000,- sampai dengan Rp. 2,500,000,000,-

    3. Perusahaan dengan usaha ukuran menengah

    Perusahaan dapat dikategorikan perusahaan menengah apabila memiliki

    kekayaan bersih lebih dari Rp 500.000.000,- sampai dengan paling

    banyak Rp 10.000.000.000,- tidak termasuk bangunan tempat usaha, atau

    memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp 2.500.000.000,- sampai

    dengan paling banyak Rp 50.000.000.000,-.

    4. Perusahaan dengan usaha ukuran besar

    Perusahaan dapat dikategorikan perusahaan besar apabila memiliki

    kekayaan bersih lebih dari Rp 10.000.000.000,- tidak termasuk bangunan

    tempat usaha atau memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp

    50.000.000.000,-.

  • 24

    Besar kecilnya ukuran perusaahan juga dapat terlihat dari nilai total

    aset perusahaan pada neraca akhir tahun (Sujoko dan Soebiantoro, 2007).

    Perusahaan yang memiliki total aset besar menunjukkan bahwa perusahaan

    tersebut mencapai tahap kedewasaan dimana dalam tahap ini arus kas

    perusahaan sudah bertambah dan dianggap memiliki prospek yang baik

    dalam jangka waktu yang relatif lama, selain itu juga mencerminkan bahwa

    perusahaan besar relatif lebih stabil dan lebih mampu menghasilkan laba

    dibandingkan perusahaan dengan aset yang kecil (Sulistiono, 2010) dalam

    Purwanigsih (2014).

    Dalam penelitian ini akan digunakan total aset untuk mengukur

    ukuran perusahaan karena nilai aset relatif lebih stabil dibandingkan

    penjualan (Sudarmaji dan Sularto, 2007). Ukuran perusahaan yang

    menunjukkan besar kecilnya perusahaan dapat dilihat dari besar kecilnya total

    aset yang dimiliki. Total aset adalah segala sumber daya yang dikuasai oleh

    perusahaan sebagai akibat dari transaksi masa lalu dan diharapkan akan

    memberi manfaat ekonomi bagi perusahaan di masa yang akan datang

    (Sulistiono, 2010) dalam Purwaningsih (2014).

    2.6 Pengembangan Hipotesis

    2.6.1 Pengaruh Pajak Terhadap Transfer Pricing

    Pajak merupakan salah satu alasan perusahaan memutuskan untuk

    melakukan transfer pricing. Beban pajak tinggi yang harus ditanggung

    perusahaan menjadikan alasan perusahaan melakukan transaksi transfer

    pricing agar dapat memperkecil beban pajak yang seharusnya dapat

    dibayarkan. Dalam transfer pricing, perusahaan cenderung menggeser

    kewajiban perpajakan dari negara-negara yang memiliki tarif pajak tinggi ke

    negara yang memiliki tarif pajak rendah yang dilakukan dengan cara

    memperkecil harga jual antar perusahaan dalam satu group.

    Penelitian yang dilakukan oleh Noviastika (2014) menemukan bahwa

    beban pajak berpengaruh terhadap keputusan transfer pricing, hal ini sejalan

    dengan penelitian yang dilakukan Yuniasih (2012) dan penelitian yang

    dilakukan oleh Kiswanto (2014) mendapatkan hasil bahwa pajak berpengaruh

    terhadap transfer pricing.

  • 25

    Berdasarkan rumusan diatas maka hipotesis dalam penelitian ini

    adalah

    H1 : Beban pajak berpengaruh terhadap keputusan transfer pricing

    2.6.2 Pengaruh Debt Covenant Terhadap Transfer Pricing

    Rasio hutang dan ekuitas yang semakin tinggi akan dapat

    menimbulkan kesempatan besar untuk manajer dalam memilih metode

    akutansi yang dapat menaikan laba. Salah satu cara yang digunakan

    perusahaan untuk dapat menaikan laba dan menghindari peraturan kredit

    adalah dengan transfer pricing. Dalam debt covenant hypothesis makin dekat

    suatu perusahaan terhadap pelanggaran pada akuntansi yang didasarkan pada

    kesepakatan utang, maka kecenderungannya adalah semakin besar

    kemungkinan manajer perusahaan memilih prosedur akuntansi dengan

    perubahan laba yang dilaporkan dari periode masa depan ke periode masa

    kini.

    Penelitian yang dilakukan Pramana (2014) menemukan bahwa debt

    covenant berpengaruh terhadap transfer pricing. Berbeda dari penelitian

    Pramana (2014) penelitian yang dilakukan Putri (2016) menemukan bahwa

    leverage tidak berpengaruh terhadap transfer pricing. Untuk itu perlu

    dilakukan penelitian kembali mengenai pengaruh debt covenant terhadap

    keputusan transfer pricing.

    Berdasarkan rumusan diatas maka hipotesis dalam penelitian ini

    adalah

    H2 : Debt Covenant berpengaruh terhadap keputusan transfer pricing

    2.6.3 Pengaruh Ukuran Perusahaan Terhadap Transfer Pricing

    Ukuran perusahaan merupakan cara untuk mengukur besar kecilnya

    sebuah perusahaan. Pada umumnya penelitian di Indonesia menggunakan

    total aset sebagai proksi dari ukuran perusahaan. Perusahaan yang memiliki

    total aset besar menunjukkan bahwa perusahaan tersebut telah mencapai

    tahap kedewasaan dimana dalam tahap ini arus kas perusahaan sudah positif

    dan dianggap memiliki prospek yang baik dalam jangka waktu yang relatif

    lebih lama (Kiswanto, 2014).

  • 26

    Transfer pricing dilakukan antar pihak berelasi atau yang mempunyai

    hubungan istimewa. Hubungan istimewa biasanya dimiliki oleh perusahaan-

    perusahaan besar, yang mana perusahaan besar lebih memiliki banyak cabang

    atau pun asosiasi (grup perusahaan). Sehingga kemungkinan perusahaan

    melakukan transfer pricing akan lebih besar peluangnya dibandingkan

    dengan perusahaan kecil yang tidak memiliki grup atau perusahaan tunggal.

    Penelitian yang dilakukan oleh Wijaya (2009) dalam Kiswanto (2014)

    menunjukan bahwa ukuran perusahaan berpengaruh negatif terhadap

    transaksi pihak berelasi. Penelitian ini beranggapan bahwa ukuran perusahaan

    berpengaruh negatif terhadap besaran pengelolaan laba, artinya semakin besar

    ukuran perusahaan semakin kecil besaran pengelolaan labanya. Manajer yang

    memimpin perusahaan besar kurang memiliki dorongan untuk melakukan

    pengelolaan laba, salah satunya dengan melakukan transfer pricing,

    dibandingkan manajer di perusahaan kecil sebab perusahaan yang besar lebih

    diperhatikan masyarakat sehingga perusahaan besar akan lebih berhati-hati

    dalam melakukan pelaporan keuangan.

    Berbeda dengan Kiswanto penelitian yang dilakukan oleh Putri (2016)

    menemukan bahwa ukuran perusahan berpengaruh positif terhadap transfer

    pricing. Perusahaan-perusahaan besar yang memiliki keuntungan besar

    cenderung akan terlibat dalam transaksi untuk penghindaran pajak

    dikarenakan keuntungan besar sehingga beban pajaknya juga akan besar.

    Dibeberapa kasus perusahaan besar cenderung memiliki masalah pembayaran

    pajak yang tinggi. Oleh seba itu beberapa perusahaan melakukan berbagai

    cara agar pembayaran pajak menjadi rendah yaitu dengna melakukan transfer

    pricing Untuk itu perlu dilakukan penelitian kembali mengenai pengaruh

    ukuran perusahaan terhadap keputusan transfer pricing.

    Berdasarkan rumusan diatas maka hipotesis dalam penelitian ini

    adalah

    H3 : Ukuran perusahaan berpengaruh terhadap keputusan transfer

    pricing

  • 27

    2.7 Penelitian Terdahulu

    Penelitian mengenai topik yang berkaitan dengan penelitain mengenai

    transfer pricing dapat dilihat dalam tabel 2.1

    Tabel 2.1

    Penelitian Terdahulu

    Peneliti Judul Hasil

    Nancy Kiswanto dan

    Anna Purwaningsih

    (2014)

    Pengaruh Pajak,

    Kepemilikan Asing, dan

    Ukuran Perusahaan

    terhadap Transfer

    Pricing Pada

    Perusahaan Manufaktur

    di BEI Tahun 2010 –

    2013

    Variabel pajak dan

    kepemilikan asing

    berpengaruh positif

    terhadap Transfer

    Pricing, dan Ukuran

    Perusahaan

    berpengaruh negatif

    terhadap transfer

    pricing

    Ni Wayan Yuniasih, Ni

    Ketut Rasmini dan

    Made Gede

    Wirakusuma (2012)

    Pengaruh Pajak dan

    Tunnelling Incentive

    terahdap keputusan

    Transfe Pricing

    perusahaan manufaktur

    yang listing di Bursa

    Efek Indonesia periode

    tahun 2008-2010

    Pajak dan tunneling

    incentive berpengaruh

    positif terhadap

    keputusan transer

    pricing pada perusahaan

    Dwi Noviastika F.,

    Yuniadi Mayowan, dan

    Suhartini Karjo (2016)

    Pengaruh Pajak,

    Tunnelling Incentive

    dan Good Corporate

    Governance terhadap

    indikasi melakukan

    transfer pricing pada

    perusahaan manufaktur

    yang terdaftar di Bursa

    Pajak dan tunnelling

    incentive berpengaruh

    signifikan terhadap

    indikasi melakukan

    transfer pricing, dan

    GCG tidak berpengaruh

    signifikan terhadap

  • 28

    Efek Indonesia (Studi

    Pada Bursa Efek

    Indonesia yang

    berkaitan dengan

    perusahaan asing)

    transfer pricing.

    Elsa Kisari Putri (2016) Pengaruh Kepemilikan

    Asing, Ukuran

    Perusahaan, dan

    Leverage Terhadap

    Keputusan Perusahaan

    Untuk Melakukan

    Transfer Pricing (Studi

    pada Perusahaan Non

    Keuangan yang

    Terdaftar di Bursa Efek

    Indonesia Periode 2014)

    Ukuran perusahaan

    berpengaruh positif

    terhadap keputusan

    untuk melakukan

    transfer pricing,

    sedangkan kepemilikan

    asing dan levearge tidak

    berpengaruh terhadap

    keputusan perusahaan

    untuk melakukan

    transfer pricing.

    Erny Syamsudin (2016) Pengaruh Beban Pajak,

    Tunnelling incentive,

    dan Karakter Eksekutif

    terhadap keputusan

    transfer pricing

    perusahaan (studi

    empiris pada

    perusahaan manufaktur

    yang terdafatar di BEI

    periode 2011-2014)

    Beban pajak dan

    tunneling incentive

    berpengaruh positif

    terhadap transfer

    pricing, dan risk taker

    tidak berpengaruh

    terhadap transfer

    pricing.

  • 29

    2.8 Kerangka Konseptual

    Kerangka pemikiran dalam penelitian ini menjelasakan mengenai

    sistematika kerangka konseptual mengenai pengaruh pajak, debt covenant ,

    dan ukuran perusahaan terhadap transfer pricing yang ditunjukan pada

    gambar 2.1.

    Gambar 2.1

    Kerangka Konseptual

  • 30