bab 2 landasan teori 2.1 pengenalan citra citra adalah suatu

16
BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Pengenalan Citra Citra adalah suatu representasi (gambaran), kemiripan atau imitasi dari suatu objek. Citra sebagai keluaran suatu sistem perekaman data dapat bersifat optik berupa foto, bersifat analog berupa sinyal-sinyal video seperti gambar pada monitor televisi, atau bersifat digital yang dapat langsung disimpan pada suatu media penyimpanan (Astuti & Hermawati, 2013). Citra secara umum terbagi menjadi dua bagian, yaitu citra analog dan citra digital. 2.1.1 Citra Analog Citra analog adalah citra yang bersifat kontinu, seperti gambar pada monitor televise, foto sinar-X, foto yang tercetak di kertas foto, lukisan, pemandangan alam, hasil CT scan, gambar-gambar yang terekam pada pita kaset, dan lain sebagainya (Sutoyo & Mulyanto, 2009). Citra analog tidak dapat direpresentasikan dalam komputer sehingga tidak bisa diproses di komputer secara langsung. Oleh sebab itu, agar citra ini dapat diproses di komputer, proses konversi analog ke digital harus dilakukan terlebih dahulu. Citra analog dihasilkan dari alat-alat analog diantaranya adalah video kamera analog, kamera foto analog dan CT scan. Salah satu contoh citra analog yang telah didapatkan dari proses scan dapat dilihat pada Gambar 2.1 sebagai berikut : Universitas Sumatera Utara

Upload: dinhnhan

Post on 20-Jan-2017

254 views

Category:

Documents


4 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Pengenalan Citra Citra adalah suatu

BAB 2

LANDASAN TEORI

2.1 Pengenalan Citra

Citra adalah suatu representasi (gambaran), kemiripan atau imitasi dari suatu objek. Citra

sebagai keluaran suatu sistem perekaman data dapat bersifat optik berupa foto, bersifat

analog berupa sinyal-sinyal video seperti gambar pada monitor televisi, atau bersifat

digital yang dapat langsung disimpan pada suatu media penyimpanan (Astuti &

Hermawati, 2013). Citra secara umum terbagi menjadi dua bagian, yaitu citra analog dan

citra digital.

2.1.1 Citra Analog

Citra analog adalah citra yang bersifat kontinu, seperti gambar pada monitor televise, foto

sinar-X, foto yang tercetak di kertas foto, lukisan, pemandangan alam, hasil CT scan,

gambar-gambar yang terekam pada pita kaset, dan lain sebagainya (Sutoyo & Mulyanto,

2009).

Citra analog tidak dapat direpresentasikan dalam komputer sehingga tidak bisa

diproses di komputer secara langsung. Oleh sebab itu, agar citra ini dapat diproses di

komputer, proses konversi analog ke digital harus dilakukan terlebih dahulu. Citra analog

dihasilkan dari alat-alat analog diantaranya adalah video kamera analog, kamera foto

analog dan CT scan. Salah satu contoh citra analog yang telah didapatkan dari proses

scan dapat dilihat pada Gambar 2.1 sebagai berikut :

Universitas Sumatera Utara

Page 2: BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Pengenalan Citra Citra adalah suatu

7

Gambar 2.1 Citra Analog

2.1.2 Citra Digital

Citra digital adalah suatu matriks dimana indeks baris dan kolomnya menyatakan suatu

titik pada citra tersebut dan elemen matriksnya (yang disebut sebagai elemen gambar /

pixel) menyatakan tingkat keabuan pada titik tersebut (Sutoyo & Mulyanto, 2009). Citra

digital merupakan citra yang dapat diproses oleh perangkat komputer (Ahmad, 2005).

Citra digital adalah citra yang dinyatakan secara diskrit (tidak kontinu), baik untuk

posisi koordinatnya maupun warnanya. Dengan demikian, citra digital dapat digambarkan

sebagai suatu matriks, dimana indeks baris dan indeks kolom dari matriks menyatakan

posisi suatu titik di dalam citra dan harga dari elemen matriks menyatakan warna citra

pada titik tersebut. Dalam citra digital yang dinyatakan sebagai susunan matriks seperti

ini, elemen-elemen matriks tadi disebut juga dengan istilah piksel yang berasal dari kata

picture element. Citra juga dapat didefinisikan fungsi dua variabel, ƒ(x,y), di mana x dan y

adalah koordinat spasial sedangkan nilai ƒ(x,y) adalah intensitas citra pada koordinat

tersebut (Kadir & Susanto 2013, 2013).

Suatu citra dapat didefinisikan sebagai fungsi ƒ(x,y) berukuran M baris dan N

kolom, dengan x dan y adalah koordinat spasial, dan amplitudo f di titik koordinat (x,y)

dinamakan intensitas atau tingkat keabuan dari citra pada titik tersebut. Apabila (x,y) dan

Universitas Sumatera Utara

Page 3: BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Pengenalan Citra Citra adalah suatu

8

nilai amplitude f secara keseluruhan berhingga (finite) dan bernilai diskrit maka dapat

dikatakan bahwa citra tersebut adalah citra digital (Putra, 2010).

Warna citra sendiri dibentuk oleh kombinasi citra 2-D individual . Misalnya dalam

sistem warna Red Green Blue ( RGB) , warna citra terdiri dari tiga komponen individu

warna (merah, hijau, biru). Asumsikan bahwa citra dicoba sehingga menghasilkan citra

yang mempunyai baris M dan kolom N, sehingga disebut citra berukuran M x N. Nilai

dari koordinat (x,y) adalah kuantitas diskrit. Untuk kejelasan notasi dan kemudahan maka

digunakan nilai integer untuk koordinat ini. Titik awal citra didefenisikan pada (x,y) =

(0,0). Nilai koordinat berikutnya sepanjang baris pertama citra adalah (x,y) = (0,1)

(Prasetyo, 2011). Pada Gambar 2.2 menunjukkan posisi koordinat citra digital. (Putra,

2010).

Koordinat asal

1 2 3 . . . . . . . N – 1

y

1 . . . . . . . . . . .

2 . . . . . . . . . . .

3 . . . . . . . . . . .

. . . . . . . . . . . .

. . . . . . . . . . . .

. . . . . . . . . . . .

. . . . . . . . . . . .

. . . . . . . . . . . .

. . . . . . . . . . . .

. . . . . . . . . . . .

. . . . . . . . . . . .

M - 1 . . . . . . . . . . .

ƒ(x,y)

x Sebuah Pixel

Gambar 2.2 Koordinat Citra Digital

0

Universitas Sumatera Utara

Page 4: BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Pengenalan Citra Citra adalah suatu

9

Sistem koordinat citra digital pada Gambar 2.2 tersebut dapat ditulis dalam bentuk

matriks pada persamaan (1) sebagai berikut:

𝑓(𝑥, 𝑦) =

𝑓(0,0) 𝑓(0,1) … 𝑓(0, 𝑁 − 1)𝑓(1,0) 𝑓(1,1) … 𝑓(1, 𝑁 − 1)

. . . .

. . . .𝑓(𝑀 − 1,0) 𝑓 𝑀 − 1,1 . … 𝑓(𝑀 − 1, 𝑁 − 1)

.................(1)

Nilai pada suatu irisan antara baris dan kolom (pada posisi x,y) disebut dengan picture

elements, image elements, pels, atau pixels. Namun istilah yang sering digunakan dalam

citra digital adalah pixels (Sutoyo & Mulyanto, 2009).

2.2 Jenis Citra Digital

Nilai suatu piksel memiliki nilai dalan rentang tertentu, dari nilai minimum sampai nilai

maksimum. Jangkauan yang digunakan berbeda-beda tergantung dari jenis warnanya,

namun secara umum jangkauannya adalah 0-255. Citra dengan penggambaran seperti ini

digolongkan ke dalam citra integer (Putra, 2010). Berikut ada jenis-jenis citra berdasarkan

nilai pikselnya sebagai berikut :

1. Citra Biner

Citra biner adalah citra digital yang hanya memiliki dua kemungkinan nilai piksel

yaitu hitam dan putih. Citra biner juga disebut sebagai citra B&W (black and

white) atau citra monokrom. Hanya dibutuhkan 1 bit untuk mewakili nilai setiap

pixel dari citra biner.

Citra biner seringkali muncul sebagai hasil dari proses pengolahan seperti

segmentasi, pengambangan, morfologi, ataupun dithering (Putra, 2010).

Gradasi Warna :

0 1

Contoh dari citra biner dapat dilihat pada Gambar 2.3 sebagai berikut.

Universitas Sumatera Utara

Page 5: BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Pengenalan Citra Citra adalah suatu

10

Gambar 2.3 Citra Biner

2. Citra abu-abu (Grayscale)

Citra grayscale merupakan citra digital yang hanya memiliki satu nilai kanal pada

setiap pikselnya, dengan kata lain nilai bagian RED = GREEN = BLUE. Nilai

tersebut digunakan untuk menunjukkan tingkat intensitas. Warna yang dimiliki

adalah warna dari hitam, keabuan, dan putih. Tingkatan keabuan di sini

merupakan warna abu dengan berbagai tingkatan dari hitam hingga mendekati

putih. Citra grayscale berikut memiliki kedalaman warna 8 bit (256 kombinasi

warna keabuan) (Putra, 2010). Berikut citra grayscale 2 bit mewakili 4 warna

dengan gradasi warna sebagai berikut :

0 1 2 3

Contoh citra abu-abu (grayscale) dapat dilihat pada Gambar 2.4.

Gambar 2.4 Citra abu-abu (grayscale)

Universitas Sumatera Utara

Page 6: BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Pengenalan Citra Citra adalah suatu

11

3. Citra warna (RGB)

Citra RGB merupakan jenis citra yang menyajikan warna dalam bentuk komponen

R (merah), G (hijau), B (biru). Setiap komponen warna menggunakan delapan bit

(nilainya berkisar antara 0 sampai dengan 255). Dengan demikian, kemungkinan

warna yang dapat disajikan mencapai 255 x 255 x 255 atau 16.581.375 warna

(Kadir & Susanto, 2013). Nilai intensitas warna atau penyusun warna dapat dilihat

pada Tabel 2.1 sebagai berikut :

Tabel 2.1 Warna dan nilai penyusunan warna

Warna R G B

Merah 255 0 0

Hijau 0 255 0

Biru 0 0 255

Hitam 0 0 0

Putih 255 255 255

Kuning 0 255 255

Contoh citra warna atau citra RGB dapat dilihat pada gambar 2.5.

Gambar 2.5 Citra warna (citra RGB)

Universitas Sumatera Utara

Page 7: BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Pengenalan Citra Citra adalah suatu

12

2.3 Format File Citra

Format File citra standar yang digunakan saat ini terdiri dari beberapa jenis. Format ini

sering digunakan dalam menyimpan citra pada sebuah file. Setiap format file citra

memiliki karakteristik masing-masing (Putra, 2010).

2.3.1 Format bitmap (.bmp)

Format bitmap (.bmp) adalah format penyimpanan standar tanpa kompresi yang umum

dapat digunakan untuk menyimpan citra biner hingga citra warna. Format ini terdiri dari

beberapa jenis yang setiap jenisnya ditentukan dengan jumlah bit yang digunakan untuk

menyimpan sebuah nilai piksel (Putra, 2010). Format ini juga memiliki ukuran yang jauh

lebih besar dibandingkan dengan format yang lain. Salah satu contoh citra berwarna

dengan format bitmap dapat dilihat pada Gambar 2.6 sebagai berikut.

Gambar 2.6 Citra RGB dengan format bitmap

2.4 Pengolahan Citra Digital

Pengolahan citra digital adalah sebuah disiplin ilmu yang mempelajari hal-hal yang

berkaitan dengan perbaikan kualitas gambar (peningkatan kontras, transformasi warna,

restorasi citra), transformasi gambar (rotasi, translasi, skala, transformasi geometri),

melakukan pemilihan ciri citra (feature images) yang optimal untuk tujuan analisis,

melakukan proses penarikan informasi atau dekripsi objek atau pengenalan objek yang

terkandung dalam citra, melakukan kompresi atau reduksi data untuk tujuan penyimpanan

data, transmisi data, dan waktu proses data. Input dari pengolahan citra adalah citra, dan

output-nya adalah citra hasil pengolahan (Sutoyo & Mulyanto, 2009).

Universitas Sumatera Utara

Page 8: BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Pengenalan Citra Citra adalah suatu

13

Dalam mempelajari pengolahan citra digital sering kita jumpai empat istilah

sebagai berikut (Putra, 2010) :

1. Image Processing memiliki input dan output-nya berupa citra. Sebagai contoh,

suatu citra ditransformasi ke bentuk citra yang lainnya.

2. Image Analysis memiliki input berupa citra dengan output bukan citra akan

tetapi berupa hasil pengukuran terhadap citra tersebut. Sebagai contoh, suatu

citra wajah dianalisis untuk mendapatkan fitur wajah seperti jarak kedua mata

dan jarak mata dengan hidung.

3. Image Understanding memiliki input berupa citra dengan output-nya adalah

deskripsi tingkat tinggi dari citra tersebut (output bukan berupa citra). Sebagai

contoh, diberikan suatu input citra seseorang, keluarannya deskripsi dari orang

tersebut dapat berupa seperti : orang tersebut sedang menangis, sedih, senyum,

atau tertawa lebar.

4. Computer vision bertujuan untuk mengkomputerisasi penglihatan manusia

atau dengan kata lain membuat citra digital dari citra sebenarnya (sesuai

dengan penglihatan manusia). Hal tersebut dapat disimpulkan input dari

computer vision adalah berupa citra penglihatan manusia sedangkan output-

nya berupa citra digital.

2.5 Watermark

Watermark adalah sebuah tulisan atau logo yang biasa ditemukan pada sebuah karya

digital atau manual, watermark ini menunjukkan identitas dari seseorang yang

menciptakan karya tersebut. Bentuk dari watermark ini bermacam-macam ada yang

berupa tulisan singkat atau ada juga berupa logo yang berisi rincian lengkap dari identitas

si pencipta karya. Dengan adanya watermark ini maka pencipta karya sekaligus bisa

berpromosi. Data digital tertanam dengan watermark terlihat akan dapat dikenali tapi pola

mengganggu hak cipta, dan rincian data host harus tetap ada (Huang & Wu, 2004).

Universitas Sumatera Utara

Page 9: BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Pengenalan Citra Citra adalah suatu

14

2.5.1 Jenis-jenis watermark

Citra watermark dapat dibedakan berdasarkan persepsi manusia menjadi beberapa

kategori berikut. (Sutoyo & Mulyanto, 2009).

a. Visible watermark

Visible watermark adalah sebuah watermark terlihat persis bahwa itu merupakan

sebuah teks atau logo yang jelas mengidentifikasi pemilik gambar dan itu hak

cipta yang biasanya berisi nama fotografer atau situs. Visible watermark adalah

cara termudah untuk mengidentifikasikan keaslian dari konten digital sejak tidak

adanya perangkat khusus yang diperlukan untuk mengekstrak informasi hak cipta

dari konten watermark (Yang, et al. 2008). Salah satu contoh citra berwarna yang

telah disisipkan visible watermark dapat dilihat pada Gambar 2.7 sebagai berikut.

Gambar 2.7 Citra visible watermark

b. Invisible watermark

Invisible watermark adalah sebuah watermark tak terlihat oleh mata manusia.

Watermark ini agak berbeda dengan watermark pada uang kertas. Watermark

pada uang kertas masih dapat kelihatan oleh mata telanjang manusia (mungkin

dalam posisi kertas yang tertentu), tetapi watermarking pada media digital disini

dimaksudkan tak akan dirasakan kehadirannya oleh manusia tanpa alat bantu

mesin pengolahan digital seperti komputer, dan sejenisnya (Putra, 2008).

Universitas Sumatera Utara

Page 10: BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Pengenalan Citra Citra adalah suatu

15

2.6 Perbaikan Kualitas Citra

Perbaikan kualitas citra (image enhancement) adalah suatu proses untuk mengubah

sebuah citra menjadi citra baru sesuai dengan kebutuhan melalui berbagai cara. Cara-cara

yang bisa dilakukan misalnya dengan fungsi transformasi, operasi matematis, pemfilteran,

dan lain-lain. Tujuan utama dari peningkatan kualitas citra adalah untuk memproses citra

sehingga citra yang dihasilkan lebih baik daripada citra aslinya untuk aplikasi tertentu.

(Sutoyo & Mulyanto, 2009).

Peningkatan kualitas citra dibagi dalam dua kategori, yaitu metode domain spasial

(ruang atau waktu) dan metode domain frekuensi. Teknik pemrosesan metode domain

spasial adalah berdasarkan manipulasi langsung dari piksel di dalam citra. Sedangkan

teknik pemrosesan metode domain frekuensi adalah berdasarkan perubahan transformasi

fourier pada citra (Sutoyo & Mulyanto, 2009).

2.6.1 Kernel (mask)

Kernel adalah matrik yang pada umumnya berukuran kecil dengan elemen-elemennya

adalah berupa bilangan. Kernel digunakan pada proses konvolusi. Oleh karena itu kernel

juga disebut dengan convolution window (jendela konvolusi ). Ukuran kernel dapat

berbeda-beda seperti 2x2, 3x3, 5x5, dan sebagainya. Elemen-elemen kernel juga disebut

sebagai bobot (weight) merupakan bilangan-bilangan yang membentuk pola tertentu.

Kernel juga biasa disebut dengan tapis (filter), template, mask, serta sliding window

(Putra, 2010). Gambar 2.8 menyajikan contoh kernel 2x2 dan 3x3. Warna abu-abu pada

gambar tersebut menunjukkan pusat koordinat {0,0}, yang pada proses konvolusi

menunjukkan koordinat piksel dari citra yang diproses (Putra, 2010).

Universitas Sumatera Utara

Page 11: BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Pengenalan Citra Citra adalah suatu

16

1 0

0 1

(a)

(b)

Gambar 2.8 (a) Kernel 2x2 (b) Kernel 3x3

2.6.2 Metode Image Averaging

Metode Image Averaging adalah suatu metode untuk perbaikan kualitas citra (image

enhancement) yang mengambil nilai rata-rata dari nilai piksel pada jendela ketetanggaan.

Metode Image Averaging ini merupakan salah satu metode yang melakukan

pencarian nilai rata-rata piksel dari beberapa frame citra pada posisi piksel yang

bersesuaian. Pencarian nilai rata-rata piksel dilakukan dengan menjumlahkan nilai piksel

yang bersesuaian pada beberapa frame citra yang mengalami transformasi geometris,

kemudian membaginya dengan banyaknya frame citra.

Mekanisme metode Image Averaging dengan citra ƒ(x,y) berukuran M x N ini

punya nilai 1 di semua piksel, kemudian dikalikan dengan 1/mn. Contoh pemrosesan

dengan metode ini dapat kita lihat pada Gambar 2.9 sebagai berikut (Sutoyo & Mulyono,

2009).

ƒ 𝑥, 𝑦 =

(a)

1 -1 1

-1 4 -1

1 -1 1

(x-1, y-1) (x-1, y) (x-1, y+1)

(x, y-1) (x, y) (x, y+1)

(x+1, y-1) (x+1, y) (x+1, y+1)

M

N

Universitas Sumatera Utara

Page 12: BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Pengenalan Citra Citra adalah suatu

17

1

𝑀 𝑥 𝑁 𝑔(𝑥, 𝑦)=

(b)

Gambar 2.9 (a) Citra ƒ(x,y) berukuran M x N dan (b) g(x, y) berukuran 3x3

Maka hasil mekanisme proses metode ini pada titik (x,y) dapat ditulis dalam persamaan

(2) :

𝑕(𝑥, 𝑦) = w0. 𝑓(𝑥, 𝑦) + w1. 𝑓(𝑥 − 1, 𝑦 − 1) + w2. 𝑓(𝑥 − 1, 𝑦) +

w3. 𝑓(𝑥 − 1, 𝑦 + 1) + w4. 𝑓(𝑥, 𝑦 + 1) + w5. 𝑓(𝑥 + 1, 𝑦 + 1) + ..........(2)

w6. 𝑓(𝑥 + 1, 𝑦) + w7. 𝑓(𝑥 + 1, 𝑦 − 1) + w8. 𝑓(𝑥, 𝑦 − 1)

Pada metode ini, nilai intensitas setiap piksel diganti dengan rata-rata dari nilai

intensitas piksel tersebut dengan tetangganya. Jumlah tetangga yang dilibatkan tergantung

pada matriks kernel yang digunakan.

Metode Image Averaging dengan matriks kernel berukuran 5x5 dan memiliki nilai

M = 5, N = 5 dapat dilihat pada persamaan (3) sebagai berikut :

1 1 1 1 1

1 1 1 1 1

𝑔 𝑥, 𝑦 = 1

25 1 1 1 1 1 …................(3)

1 1 1 1 1

1 1 1 1 1

Contoh perhitungan menggunakan metode Image Averaging, misalnya nilai ƒ(x,y)

diambil dari sebuah citra dan g(x, y) berukuran 5x5 sebagai berikut :

W1 W2 W3

W8 W0 W4

W7 W6 W5

Universitas Sumatera Utara

Page 13: BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Pengenalan Citra Citra adalah suatu

18

Citra RGB 300 x 300 piksel

Intensitas piksel pada matriks 10 x 10 piksel

103 81 73 88 97

78 74 84 80 107

ƒ 𝑥, 𝑦 = 56 52 56 62 100

52 44 40 67 92

55 55 70 95 109

x

1 1 1 1 1

1 1 1 1 1

𝑔 𝑥, 𝑦 = 1

25 1 1 1 1 1

1 1 1 1 1

1 1 1 1 1

Universitas Sumatera Utara

Page 14: BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Pengenalan Citra Citra adalah suatu

19

Maka menggunakan persamaan (2) dan persamaan (3) diperoleh :

[(1x103) + (1x81) + (1x73) + (1x88) + (1x97) + (1x78) + (1x74) +

(1x84) + (1x80) + (1x107) + (1x56) + (1x52) + (1x56) + (1x62) +

dcedcedcd(1x100) + (1x52) + (1x44) + (1x40) + (1x67) + (1x92) + (1x55) + (1x55) +

gubhbhbuy(1x70) + (1x95) + (1x109)]

h(1, 1) =

25

h(1, 1) = 74

Maka hasil konvolusi Image Averaging pada f(1,1) adalah h(1,1) = 74, sehingga nilai

intensitas piksel sebelumnya adalah 56 akan terganti dengan nilai intensitas piksel yaitu

74, sehingga diperoleh hasil citra yang memiliki intensitas piksel yang baru yaitu,

93 92 93 93 103 103 92 130 192 218 57 55 57 60 71 86 93 111 157 206 64 70 76 67 55 57 78 87 122 188 69 76 79 80 82 92 73 61 86 137 76 74 80 84 94 123 122 89 68 103 103 81 73 88 97 129 139 119 88 93 78 74 84 80 107 131 125 112 106 104 56 52 74 62 100 123 106 101 115 122 52 44 40 67 92 108 108 115 127 133 55 55 70 95 109 119 125 131 131 131

2.7 Mean Square Error (MSE), Peak Signal to Noise Ratio (PSNR)

Ada beberapa parameter pengukuran kesalahan atau error dalam pemrosesan citra. Dua

parameter yang paling umum digunakan adalah Mean Square Error (MSE) dan Peak

Signal to Noise Ratio (PNSR). Kedua besaran tersebut membandingkan piksel-piksel pada

posisi yang sama dari dua citra yang berbeda.

2.7.1 Mean Square Error (MSE)

Mean Square Error (MSE) adalah kesalahan kuadrat rata-rata. Nilai MSE didapat dengan

membandingkan nilai selisih piksel citra asal dengan citra hasil pada posisi piksel yang

sama. Semakin besar nilai MSE, maka tampilan pada citra hasil akan semakin buruk.

Universitas Sumatera Utara

Page 15: BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Pengenalan Citra Citra adalah suatu

20

Sebaliknya, semakin kecil nilai MSE, maka tampilan pada citra hasil akan semakin baik.

MSE dapat dihitung dengan menggunakan rumus:

2

𝑀𝑆𝐸 = 1

𝑀. 𝑁 𝑓 𝑥, 𝑦 – f̂ (𝑥, 𝑦) 𝑁−1

𝑗=1𝑀−1𝑖=0 ...............(4)

Keterangan :

M, N : nilai besar piksel citra M x N

f(x,yƒ) : intensitas citra asli

f̂ (x,y) : intensitas citra hasil

Semakin kecil nilai MSE, semakin bagus perbaikan citra yang digunakan (Sutoyo &

Mulyono, 2009).

2.7.2 Peak Signal to Noise Error (PSNR)

Peak Signal to Noise Error (PSNR) adalah perbandingan antara nilai maksimum dari

sinyal yang diukur dengan besarnya derau yang berpengaruh pada sinyal tersebut. PSNR

biasanya diukur dalam satuan deciBell (dB) (Sutoyo & Mulyanto 2009).

Semakin besar nilai PSNR, semakin baik pula hasil yang diperoleh pada tampilan

citra hasil. Sebaliknya, semakin kecil nilai PSNR, maka semakin buruk pula hasil yang

diperoleh pada tampilan citra hasil. Secara matematis, nilai PSNR dapat dinyatakan

dengan persamaan berikut :

atau

......................................(5)

Keterangan :

PSNR : nilai Peak Signal to Noise Ratio

MSE : nilai Mean Squared Error

MAX : nilai skala keabuan citra maksimal yaitu 255

) ( 10 * 10 Log PSNR MAX

2

MSE

) MAX

( 10 * 20 MSE

Log PSNR

Universitas Sumatera Utara

Page 16: BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Pengenalan Citra Citra adalah suatu

21

Tidak seperti MSE, nilai PSNR yang lebih besar mengindikasikan bahwa kualitas tersebut

lebih baik.

2.8 Running Time

Proses waktu dari awal sampai akhir waktu biasa disebut dengan running time. Jika nilai

running time semakin kecil maka waktu yang digunakan untuk proses akan semakin

cepat, dan sebaliknya jika nilai running time semakin besar waktu yang digunakan untuk

proses akan semakin lama (Nasir, 2014). Secara matematis untuk mengestimasi running

time T(n) suatu program dirumuskan pada persamaan (6)

T(n) ≈ cop C (n) ............................................... (6)

T(n) : running time

cop : waktu eksekusi sebuah basic operation

C (n) : jumlah basic operation

n : input size

Universitas Sumatera Utara