bab 2 tinjauan pustaka 2.1 diabetes mellitusrepository.ub.ac.id/124524/3/bab_2.pdf · langerhans...
TRANSCRIPT
6
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Diabetes Mellitus
2.1.1 Definisi, Etiologi, dan Klasifikasi Diabetes Mellitus
Diabetes Mellitus adalah keadaan hiperglikemia (peningkatan
glukosa darah) kronik disertai berbagai kelainan metabolik akibat
gangguan hormonal, yang menimbulkan berbagai komplikasi kronik
pada mata, ginjal, saraf, dan pembuluh darah, disertai lesi pada
membran basalis dalam pemeriksaan dengan mikroskop elektron
(Mansjoer, 2007). Umumnya diabetes melitus disebabkan oleh rusaknya
sebagian kecil atau sebagian besar dari sel-sel betha dari pulau-pulau
Langerhans pada pankreas yang berfungsi menghasilkan insulin,
akibatnya terjadi kekurangan insulin. Di samping itu diabetes melittus
juga dapat terjadi karena gangguan terhadap fungsi insulin dalam
memasukan glukosa ke dalam sel. Gangguan itu dapat terjadi karena
kegemukan atau sebab lain yang belum diketahui (Suriani, 2012).
Namun jika dirunut lebih lanjut, ada beberapa faktor yang menyebabkan
DM diantaranya adalah genetik atau faktor keturunan, sindrom ovarium
polikistik, virus dan bakteri, bahan toksik atau beracun (Suriani, 2012).
Diabetes mellitus bisa diklasifikasikan secara etiologi menjadi
diabetes tipe I atau biasa dikenal Insulin Dependent Diabetes Mellitus
(IDDM), diabetes tipe II atau Non-Insulin Dependent Diabetes Mellitus
(NIDDM), diabetes dalam kehamilan, dan diabetes tipe lain (Mansjoer,
7
2007). Insulin adalah hormon yang diproduksi sel ß di pankreas, sebuah
kelenjar yang terletak di belakang lambung, yang berfungsi mengatur
metabolisme glukosa menjadi energi serta mengubah kelebihan glukosa
menjadi glikogen yang disimpan di dalam hati dan otot. Tidak keluarnya
insulin dari kelenjar pankreas penderita DM tipe I bisa disebabkan oleh
reaksi autoimun berupa serangan antibodi terhadap sel ß pankreas.
Pada penderita DM tipe II, insulin yang ada tidak bekerja dengan baik
karena reseptor insulin pada sel berkurang atau berubah struktur
sehingga hanya sedikit glukosa yang berhasil masuk sel. Akibatnya, sel
mengalami kekurangan glukosa, di sisi lain glukosa menumpuk dalam
darah. Kondisi ini dalam jangka panjang akan merusak pembuluh darah
dan menimbulkan berbagai komplikasi (Suriani, 2012).
DM tipe II merupakan 90% dari kasus DM dan mempunyai pola
familial yang kuat (Price, 2006). Di Indonesia, diperkirakan tahun 2020
nanti akan ada 178 juta penduduk di atas umur 20 tahun, dan dari
jumlah tersebut bila diasumsikan prevalensi DM adalah 5%, maka akan
didapatkan 9 juta penderita DM (Departemen Kesehatan Republik
Indonesia, 2007).
2.1.2 Patofisiologi Diabetes Mellitus
2.1.2.1 Diabetes Mellitus tipe I
DM tipe I adalah penyakit autoimun kronis yang berhubungan
dengan kerusakan sel-sel ß pada pankreas secara selektif. Onset
penyakit secara klinis menandakan bahwa kerusakan sel-sel ß telah
mencapai status terakhir. Beberapa fitur mencirikan bahwa diabetes tipe
merupakan penyakit autoimun. Ini termasuk:
8
1. Kehadiran sel-immuno kompeten dan sel aksesori di pulau
pankreas yang diinfiltrasi.
2. Asosiasi dari kerentanan terhadap penyakit dengan kelas ii (respon
imun) gen mayor histokompatibilitas kompleks (mhc; leukosit
manusia antigen hla).
3. Kehadiran autoantibodies yang spesifik terhadap sel islet of
lengerhans;
4. Perubahan pada immunoregulasi sel-mediated t, khususnya di cd4
+ kompartemen.
5. Keterlibatan monokines dan sel th1 yang memproduksi interleukin
dalam proses penyakit.
6. Respons terhadap immunotherapy, dan
7. Sering terjadi reaksi autoimun pada organ lain yang pada penderita
diabetes tipe I atau anggota keluarga mereka.
8. Mekanisme yang menyebabkan sistem kekebalan tubuh untuk
berespon terhadap sel-sel ß sedang dikaji secara intensif.
2.1.2.2 Diabetes Mellitus tipe II
Patofisiologi Diabetes Mellitus Tipe II sangat kompleks. Pada
awalnya, terjadi kegagalan aksi insulin dalam upaya menurunkan gula
darah, mengakibatkan sel ß pankreas akan mensekresikan insulin lebih
banyak untuk mengatasi kekurangan insulin. Dalam keadaan ini
toleransi glukosa masih normal, dan suatu saat akan terjadi gangguan
dan menyebabkan gangguan toleransi glukosa (IGT) dan belum terjadi
diabetes (Price, 2006). Apabila keadaan resistensi insulin bertambah
9
berat disertai beban glukosa yang terus menerus terjadi, sel ß pankreas
dalam jangka waktu yang lama tidak mampu mensekresikan insulin
untuk menurunkan kadar gula darah. Akhirnya sekresi insulin oleh sel ß
pankreas akan menurun dan terjadi hiperglikemia yang bertambah berat
dan terus menerus berlangsung (Ostenson, 2001).
2.1.3 Komplikasi Diabetes Mellitus
Komplikasi diabetes mellitus meliputi komplikasi akut dan
komplikasi kronis. Komplikasi akut diabetes mellitus yaitu diabetic
ketoacidosis (DKA) dan juga hyperosmolar hiperglicemic state (HHS).
Diabetic Ketoacidosis lebih banyak terjadi pada diabetes mellitus tipe I
dimana pada diabetes tipe ini terjadi kondisi insufisiensi absolut dari
insulin sehingga tubuh akan mengalami kondisi asam yang berlebihan.
Sedangkan HHS atau hyperosmolar hyperglycemic state lebih banyak
terjadi pada diabetes melltus tipe II dimana terjadi kondisi insufisiensi
insulin relative yang terutama ditandai oleh dehidrasi. Selain DKA dan
HHS, hipoglikemi juga merupakan komplikasi akut dari diabetes mellitus.
Hipoglikemi merupakan kondisi dimana kadar glukosa darah sangat
rendah jauh dibawah normal sehingga sangat membahayakan karena
bias timbul koma seperti halnya pada Diabetic Ketoacidosis (Fauci et al,
2008).
Komplikasi kronis diabetes mellitus meliputi berbagai organ dalam
tubuh serta sangat menentukan mortalitas dan morbiditas dari diabetes
mellitus. Komplikasi kronis ini dibagi menjadi mikrovaskular dan
makrovaskular. Komplikasi mikrovaskular terjadi pada pembuluh darah
terkecil, kapiler, dan arteriole prekapiler. Hal ini terjadi karena penebalan
10
membrane basalis dari kapiler. Komplikasi ini meliputi retina, ginjal, saraf
tepi. Komplikasi makrovaskular diabetes mellitus penyakit
cerebrovascular, penyakit arteri coroner, dan penyakit arteri perifer.
Selain mikrovaskular dan makrovaskular, juga terdapat komplikasi non
vaskular seperti gastroparesis, infeksi dan juga perubahan pada kulit
(Fauci et al, 2008).
2.2 Glukosa Darah
Glukosa, disebut juga dekstrosa atau gula anggur, terdapat luas di
alam dalam jumlah sedikit, yaitu di dalam sayur, buah, sirup jagung, sari
pohon, dan bersamaan dengan fruktosa dalam madu. Tubuh hanya
dapat menggunakan glukosa dalam bentuk dekstro. Glukosa merupakan
hasil akhir pencernaan pati, sukrosa, maltosa, dan laktosa pada hewan
dan manusia. Dalam proses metabolisme, glukosa merupakan bentuk
karbohidrat yang beredar di dalam tubuh dan di dalam sel merupakan
sumber energi. Dalam keadaan normal sistem syaraf pusat hanya dapat
menggunakan glukosa sebagai sumber energi. Glukosa dalam bentuk
bebas hanya terdapat dalam jumlah terbatas dalam bahan makanan.
Glukosa dapat dimanfaatkan untuk energi tinggi. Tingkat kemanisan
glukosa hanya separuh sukrosa, sehingga dapat digunakan lebih
banyak untuk tingkat kemanisan yang sama (Almatsier, 2009).
Pada keadaan setelah penyerapan makanan, kadar glukosa darah
pada manusia dan mamalia berkisar antara 4,5 – 5,5 mmol/L . Setelah
ingesti makanan yang mengandung karbohidrat, kadar tersebut naik
hingga 6,5 – 7,2 mmol/L. Saat puasa kadar glukosa darah akan turun
11
menjadi sekitar 3,3 – 3,9 mmol/L. Penurunan mendadak kadar glukosa
darah akan menyebabkan konvulsi, seperti terlihat pada keadaan
overdosis insulin, karena pengaturan otak secara langsung pada
pasokan glukosa. Namun, kadar yang jauh lebih rendah dapat
ditoleransi asalkan terdapat adaptasi yang progressif (Stryer, 2000)
Sebagian besar karbohidrat yang dapat dicerna di dalam makanan
akhirnya akan membentuk glukosa. Karbohidrat di dalam makanan yang
dicerna secara aktif mengandung residu glukosa, galaktosa, dan
fruktosa yang akan dilepas di intestinum. Zat – zat ini lalu diangkut ke
hati lewat vena porta hati. Galaktosa dan fruktosa segera dikonversi
menjadi glukosa di hati (Stryer, 2000).
Glukosa dibentuk dari senyawa – senyawa glukogenik yang
mengalami glukoneogenesis. Senyawa ini dapat di golongkan menjadi
dua kategori yaitu: senyawa yang melibatkan konversi neto langsung
menjadi glukosa tanpa daur ulang yang bermakna, seperti beberapa
asam amino serta propionat dan senyawa yang merupakan produk
metabolisme parsial glukosa pada jaringan tertentu dan yang diangkut
ke hati serta ginjal untuk disintesis kembali menjadi glukosa (Stryer,
2000).
Naik turunnya kadar glukosa darah dalam tubuh dipengaruhi oleh
beberapa hormone diantaranya adalah :
Hormon Insulin
Diproduksi oleh sel-sel pulau Langerhans pankreas yang menurunkan
glukosa darah. Mekanisme penurunan glukosa darah oleh insulin
12
meliputi peningkatan laju penggunaan glukosa melalui oksidasi,
glikogenesis (perubahan glukosa menjadi glikogen) dan lipogenesis
(perubahan glukosa menjadi lemak).
Glukagon
Diproduksi oleh sel-sel alfa pulai Langerhans mempunyai pengaruh
kebalikan dari insulin. Glukoagon meningkatkan gula darah melalui
peningkatan glikogenolisis (perubahan glikogen menjadi glukosa) dan
gluconeogenesis. Insulin dan glukagon ini bekerja antagonis dan
pengaruh berlawanan ini bekerja untuk keseimbangan metabolism
karbohidrat.
Epinefrin
Adalah hormone yang dikeluarkan oleh medulla kelenjar adrenal
mempengaruhi pemecahan glikogen dalam hati dan otot menjadi
glukosa (glukogenolisis) dan menurunkan pengeluaran insulin dari
pangkreas. Jadi hormone epinefrin ini meningkatkan glukosa darah.
Sekresi epinefrin meningkat bila marah dan ketakutan.
Glukokortikoid
Hormon steroid yang diproduksi oleh korteks adrenal, mempengaruhi
glukosa darah dengan merangsang gluconeogenesis. Hormon ini
mempengaruhi penggunaan glukosa dan meningkatkan laju perubahan
protein menjadi glukosa. Jadi berlawanan dengan insulin.
Hormon Pertumbuhan
Dikelurkan oleh kelenjar pituitary atereor juga meningkatkan glukosa
darah dengan cara meningkatkan pengambilan asam amino dan sintesis
13
protein oleh semua sel, menurunkan pengambilan glukosa oleh sel dan
meningkatkan mobilisasi lemak untuk energi (Almatsier, 2009).
2.3 Resistensi Insulin
Resistensi insulin dikenali sebagai kerusakan mendasar yang
terjadi pada obesitas, sindrom metabolik dan diabetes Mellitus tipe II.
Pada beberapa keadaan banyaknya ekspresi protein kinase A, PKC,
casein kinase 2, P38 MAPK, cdc2 kinase, PKB, Mos/Raf kinase dari
MEKK, JNK (c-jun N-terminal kinase), PKC, IKKβ, P70S6 kinase dan
TNFα menyebabkan fosforilasi serine meningkat dan menghambat atau
menurunkan fosforilasi tirosin pada IRS-1 dan akhirnya menurunkan
signaling insulin yang pada akhirnya menyebabkan resistensi insulin
(Krans, 2007).
2.4 Terapi Diabetes Mellitus Tipe II
Dalam terapi diabetes mellitus tipe II, obat yang digunakan yakni
berjenis:
Induktor Sekresi Insulin
Sulfonylurea: Merupakan obat anti hiperglikemi yang bekerja
dengan cara memicu sekresi insulin dengan reaksi pada KATP channel
pada sel ß pankreas. Sulfonylurea hanya berguna pada penderita
diabetes mellitus tipe II. Efek samping yang seringakali terjadi yakni
kondisi hipoglikemi dalam pemakaian jangka panjang (Plosker, 2007).
14
Perbaikan Sensivitas Reseptor Insulin
Thiazolidinedione: merupakan obat yang berikatan dengan PPARγ
yang nantinya akan mengaktivasi transkripsi protein PPRE. PPRE
mampu meningkatkan produksi mRNA insulin dependent enzyme yang
memperbaiki intake glukosa oleh sel. Namun, obat ini memiliki efek
samping peningkatan (Ligaray, 2009).
2.5 Kemangi (Ocimum sanctum)
2.5.1 Taksonomi
Berikut adalah taksonomi kemangi:
Kingdom : Plantae
Subkingdom : Tracheobionta
Superdivisio : Spermatophyta
Divisio : Magnoliophyta
Kelas : Magnoliopsida
Ordo : Lamiales
Familia : Lamiaceae (Labiatae)
Genus : Ocimum
Spesies : Ocimum sanctum
(Rignanese, 2009)
Batang Ocimum santcum berbentuk bulat, berbulu berwarna hijau
dan kadang keunguan. Memiliki aroma yang khas dengan tinggi
Gambar 2.1 Ocimum sanctum
(Rignanese, 2009).
15
tanaman antara 60–70 cm dari permukaan tanah. Memiliki bunga yang
bergerombol, mahkota bunganya berwarna keunguan. Selain memiliki
bunga, kemangi juga memiliki biji dengan ukuran 0,1 mm. Bijinya bulat
berwarna cokelat dengan berat 100 butir sekitar 0,026 g. Hasil terna
selama satu periode musim tanam (tiga kali panen) berkisar antara
34.117 – 83.958 kg/plot untuk 50 tanaman (Hadipoentyanti dan
Wahyoeni, 2008)
2.5.2 Persebaran
Ocimum santcum dapat tumbuh di semua wilayah Indonesia,
banyak dijumpai di daerah dataran rendah hingga ketinggian 1.100 m
dari permukaan laut. Ocimum santcum dapat tumbuh pada tanah yang
memiliki pH antara 5-7, pada kondisi tanah yang masam, Ocimum
sanctum-pun dapat tumbuh dengan baik (Hadipoentyanti dan Wahyoeni,
2008). Kemangi seringkali dijual di pasaran sebagai lalapan dan
harganya relatif terjangkau.
2.5.3 Kandungan Komponen Kimia
Ocimum santcum telah terbukti memiliki sifat antioksidan,
antikanker, antijamur, antimikrobial, analgesik (Uma, 2000). Zat aktif dari
Ocimum sanctum ialah eugenol (1-hydroxy-2-methoxy-4-allylbenzene)
yang paling berpotensi farmakologis (Raghavendra, 2009). Kandungan
eugenol pada minyak atsiri daun Ocimum sanctum berkisar antara 40%-
71% (Gupta dan Prakash, 2004). Hasil panen selama satu periode
musim tanam berkisar antara 34.117 – 83.958 kg/plot untuk 50 tanaman
(Hadipoentyanti dan Wahyuni, 2008).
16
2.5.3.1 Eugenol
Salah satu zat aktif dari Ocimum santcum, yaitu eugenol (1-
hydroxy-2-methoxy-4-allylbenzene) adalah yang paling berpotensi
farmakologis (Vidhya dan Devaraj, 1999). Kandungan eugenol dari
Ocimum santcum berkisar antara 40% hingga 71% (Prakash dan Gupta,
2004). Selain eugenol, Ocimum santcum juga mengandung zat
farmakologis lainnya sepeti ocimene, alfa-pinene, geraniol (Kardinan,
2003).
Eugenol (1-hydroxy-2-methoxy-4-allylbenzene) merupakan zat
aktif yang sering digunakan oleh pabrik farmasi (Prakash, 2005).
Eugenol seringkali merupakan hasil ekstraksi dari Eugenia caryophyllata
dan Cinnamomum zeylanicum Breyn, dengan kandungan eugenolnya
50%-70%. Meskipun tanaman tersebut memiliki kandungan eugenol
yang tinggi, namun tanaman tersebut tergolong langka dan mahal
(Mukherji, 1995). Eugenol sangat berpotensi terhadap manajemen
berbagai macam terapi untuk penyembuhan penyakit. Eugenol memiliki
potensi sebagai anti-inflamasi karena terbukti mampu memblok
pelepasan IL-1β, TNF-α dan prostaglandin E2 dari makrofag (Lee,
2001). Eugenol juga dipercaya memiliki sifat antioksidan (Vidhya and
Devaraj, 1999).
2.6 Penggorengan Vakum
Penggorengan vakum merupakan suatu proses penghilangan
atau pengeluaran sebagian air dari bahan pangan sampai batas mikroba
17
tidak dapat hidup dan mampu mempertahankan sayuran dalam jangka
panjang (Winarno, 1997). Metode penggorengan ini termasuk ke dalam
jenis deep-fat frying dengan modifikasi tekanan dibawah level atmosfer
(biasanya dibawah 6,65 kPa) (Garayo and Moreira, 2002).
Keuntungannya yakni bahan pangan menjadi lebih awet, volume bahan
menjadi lebih kecil dan ringan serta mempermudah dan menghemat
ruang pengangkutan dan penyimpanan, sehingga pada akhirnya dapat
memperkecil biaya produksi, terutama apabila dilakukan dalam jumlah
besar (Setyawan dkk., 2007).
Gambar 2.2 Mesin Penggorengan Vakum (Setyawan et al., 2007).