bab 2 tinjauan pustaka 2.1. 2.1.1.repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/60877/4/chapter...

17
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Seksio Sesarea 2.1.1. Definisi Seksio Sesarea Seksio sesarea merupakan tindakan pengeluaran bayi melalui insisi pada dinding abdomen dan uterus (Joy, 2009) Seksio sesarea atau kelahiran sesarea adalah melahirkan janin melalui irisan pada dinding perut (laparatomi) dan dinding uterus (histerektomi) (Wiknjosastro, 2006). Definisi ini tidak termasuk melahirkan janin dari rongga perut pada kasus ruptura uteri atau kehamilan (Williams, 2010). 2.1.2. Sejarah Seksio Sesarea Hingga saat ini, terdapat tiga prinsip yang kini dijadikan sebagai penjelasan atas munculnya prosedur proses kelahiran secara seksio sesarea. Pertama, berkaitan dengan legenda, Julius Caesar dilahirkan dengan prosedur ini, sehingga akhirnya proses ini dikenal dengan nama operasi sesarea. Namun, ada beberapa fakta yang kemudian melemahkan pernyataan ini. Ibu dari Julius Caesar hidup dalam beberapa tahun yang cukup lama sejak kelahiran dari Julius Caesar pada tahun 100 BC, dan sebelum abad ke-17, prosedur operasi sesarea masih dianggap berakibat fatal. Kedua, kata Cesarean berasal dari hukum Romawi, yang diciptakan pada abad ke 8 oleh Numa Pompilius, yang memerintahkan bahwa prosedur ini dilakukan pada ibu hamil yang berada dalam keadaan sekarat, semata-mata untuk menyelamatkan janin yang tengah dikandung. Hukum yang awalnya dikenal dengan nama Lex Regia, kemudia berganti nama menjadi Lex Caesarea, karena adanya pergantian pemimpin Romawi, sehingga prosedur tersebut akhirnya dikenal dengan sebutan Caesarean Operation. Istilah dari Bahasa Jerman, Kaiserschnitt (Kaiser Cut) juga merefleksikan asal mula nama Sesarea. Terakhir, asal mula kata Caesarean diambil dari sebuah kata Latin, caedere, yang berarti memotong. Kata Section berasal dari bahasa Latin “Seco”, Universitas Sumatera Utara

Upload: others

Post on 16-Jan-2020

14 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Seksio Sesarea

2.1.1. Definisi Seksio Sesarea

Seksio sesarea merupakan tindakan pengeluaran bayi melalui insisi pada

dinding abdomen dan uterus (Joy, 2009)

Seksio sesarea atau kelahiran sesarea adalah melahirkan janin melalui

irisan pada dinding perut (laparatomi) dan dinding uterus (histerektomi)

(Wiknjosastro, 2006). Definisi ini tidak termasuk melahirkan janin dari rongga

perut pada kasus ruptura uteri atau kehamilan (Williams, 2010).

2.1.2. Sejarah Seksio Sesarea

Hingga saat ini, terdapat tiga prinsip yang kini dijadikan sebagai

penjelasan atas munculnya prosedur proses kelahiran secara seksio sesarea.

Pertama, berkaitan dengan legenda, Julius Caesar dilahirkan dengan

prosedur ini, sehingga akhirnya proses ini dikenal dengan nama operasi sesarea.

Namun, ada beberapa fakta yang kemudian melemahkan pernyataan ini. Ibu dari

Julius Caesar hidup dalam beberapa tahun yang cukup lama sejak kelahiran dari

Julius Caesar pada tahun 100 BC, dan sebelum abad ke-17, prosedur operasi

sesarea masih dianggap berakibat fatal.

Kedua, kata Cesarean berasal dari hukum Romawi, yang diciptakan pada

abad ke – 8 oleh Numa Pompilius, yang memerintahkan bahwa prosedur ini

dilakukan pada ibu hamil yang berada dalam keadaan sekarat, semata-mata untuk

menyelamatkan janin yang tengah dikandung. Hukum yang awalnya dikenal

dengan nama Lex Regia, kemudia berganti nama menjadi Lex Caesarea, karena

adanya pergantian pemimpin Romawi, sehingga prosedur tersebut akhirnya

dikenal dengan sebutan Caesarean Operation. Istilah dari Bahasa Jerman,

Kaiserschnitt (Kaiser Cut) juga merefleksikan asal mula nama Sesarea.

Terakhir, asal mula kata Caesarean diambil dari sebuah kata Latin,

caedere, yang berarti memotong. Kata Section berasal dari bahasa Latin “Seco”,

Universitas Sumatera Utara

yang juga berarti memotong, sehingga akhirnya untuk menyebut prosedur ini,

digunakan istilah Cesarean Section (Seksio Sesarea) (Williams, 2010).

2.1.3. Epidemiologi Seksio Sesarea

2.1.3.1. Distribusi dan Frekuensi

Pada tahun-tahun terakhir ini seksio sesarea meningkat tajam, meskipun

persalinan dengan seksio sesarea memiliki kemungkinan risiko lima kali lebih

besar terjadi komplikasi dibandingkan persalinan normal (Williams, 2010). Faktor

risiko paling banyak dari seksio sesarea adalah akibat tindakan anestesi, jumlah

darah yang dikeluarkan oleh ibu selama operasi berlangsung.

Peningkatan angka seksio sesarea juga terjadi di Indonesia. Meskipun

diktum “once a cesarean alwayas a cesarean” di Indonesia tidak dianut, tetapi

sejak dua dekade terakhir ini telah terjadi perubahan trend seksio sesarea di

Indonesia. Dalam 20 tahun terakhir ini terjadi kenaikan proporsi seksio sesarea

dari 5% menjadi 20%. Seksio sesarea ini terlalu sering dilakukan sehingga para

kritikus menyebutnya sebagai panacea (obat mujarab) praktek kebidanan (Scotts,

2002). Di RS Cipto Mangunkusumo Jakarta, proporsi seksio sesarea pada tahun

1981 adalah 15,35%, dan pada tahun 1986 meningkat menjadi 23,23% (Kasdu,

2005). Di RSU dr. Pirngadi Medan tahun 2005 proporsi persalinan dengan seksio

sesarea tercatat 36,22% yaitu sebanyak 293 kasus dari 809 persalinan, dengan

indikasi medis 94,7% dan indikasi sosial 5,3% (Ginting, 2007).

2.1.3.2. Faktor Determinan

Faktor determinan seksio sesarea adalah faktor-faktor yang mempengaruhi

tindakan pengeluaran janin dengan cara pembedahan. Faktor-faktor tersebut

antara lain:

1. Faktor Sosiodemografi

a. Faktor Umur Ibu

Umur reproduksi optimal bagi seorang ibu adalah antara 20-35 tahun, di

bawah dan di atas umur tersebut akan meningkatkan risiko kehamilan dan

Universitas Sumatera Utara

persalinan. Kehamilan di bawah usia 20 tahun memiliki risiko terjadinya

komplikasi obstetri yang dapat meningkatkan angka kematian ibu dan perinatal.

Kehamilan di atas umur 35 tahun mempunyai risiko 3 kali lebih besar terjadinya

persalinan seksio sesarea dibandingkan dengan umur di bawah 35 tahun (Rochjati,

2003).

b. Suku

Menurut Philip Kotler, suku termasuk bagian dari budaya yang tentunya

akan mempengaruhi perilaku dalam menggunakan pelayanan kesehatan termasuk

pelayanan kebidanan (Christina, 2006). Meningkatnya kecenderungan wanita

untuk melahirkan dengan seksio sesarea berhubungan dengan semakin

meningkatnya perhatian mereka terhadap kehamilannya (antenatal care) dan

prosedur keamanan operasi yang semakin baik (Kasdu, 2005) .

c. Tingkat Pendidikan

Semakin tinggi pendidikan formal seorang ibu diharapkan semakin

meningkat pengetahuan dan kesadarannya dalam mengantisipasi kesulitan dalam

kehamilan dan persalinannya, sehingga timbul dorongan untuk melakukan

pengawasan kehamilan secara berkala dan teratur. Persalinan seksio sesarea lebih

sering terjadi pada ibu yang mempunyai pendidikan yang lebih rendah (Christina,

2006).

d. Pekerjaan

Beberapa alasan yang mendasari kecenderungan melahirkan dengan seksio

sesarea semakin meningkat terutama di kota-kota besar, seperti di Jakarta banyak

para ibu yang bekerja. Mereka sangat terikat dengan waktu. Mereka sudah

memiliki jadwal tertentu, misalnya kapan harus kembali bekerja (Kasdu, 2005).

e. Sumber Biaya

Biaya persalinan bersumber dari pendapatan keluarga/biaya sendiri, atau

ditanggung oleh pihak asuransi kesehatan baik yang dikeluarkan oleh pemerintah

Universitas Sumatera Utara

maupun perusahaan (Christina, 2006). Dibandingkan dengan persalinan

pervaginam, biaya seksio sesarea jauh lebih tinggi. Di Medan lebih kurang 2,5-3

kali biaya persalinan pervaginam.

2. Faktor Mediko-Obstetrik

Hal-hal yang perlu diperhatikan pada faktor mediko obstetri adalah paritas,

jarak persalinan, riwayat obstetri jelek, dimana hal ini akan memberi gambaran

atau prognosis pada kehamilan dan persalinan berikutnya.

a. Paritas

Paritas adalah jumlah persalinan yang pernah dialami oleh ibu sebelum

kehamilan atau persalinan saat ini. Paritas dikategorikan menjadi 4 kelompok

yaitu (Christina, 2006) :

(1) Nullipara adalah ibu dengan paritas 0

(2) Primipara adalah ibu dengan paritas 1

(3) Multipara adalah ibu dengan paritas 2 - 5

(4) Grande Multipara adalah ibu dengan paritas > 5

Paritas yang paling aman jika ditinjau dari sudut kematian maternal adalah

paritas 2 dan 3. Risiko untuk terjadinya persalinan seksio sesarea pada primipara 2

kali lebih besar dari pada multipara (Wiknjosastro, 2006).

b. Jarak Persalinan

Seorang wanita setelah melahirkan membutuhkan 2 sampai 3 tahun untuk

memulihkan tubuhnya dan mempersiapkan dirinya pada persalinan berikutnya

dan memberi kesempatan pada luka untuk sembuh dengan baik (Christina, 2006).

c. Riwayat Obstetrik Jelek

Riwayat kehamilan yang berhubungan dengan penyakit seperti Hepatitis,

TBC, Diabetes Melitus, Penyakit Jantung, Asma Bronkial, Hipertensi dan

Penyakit Infeski dapat dikategorikan sebagai kehamilan berisiko tinggi sehingga

dapat mempengaruhi proses persalinannya (Christina, 2006).

Universitas Sumatera Utara

Riwayat kehamilan yang berhubungan dengan risiko adalah pernah

mengalami hiperemesis, perdarahan, abortus, pre-eklampsia dan eklampsia.

Dengan memperoleh informasi tentang ibu secara lengkap pada masa lalu,

diharapkan risiko kehamilan yang dapat memperberat keadaan ibu dan janin dapat

diatasi dengan pengawasan obstetrik yang lebih baik (Mansjoer, 2009).

Riwayat persalinan yang berisiko tinggi adalah persalinan yang pernah

mengalami seksio sesarea sebelumnya, ekstraksi vakum, forcep, melahirkan

prematur/BBLR, partus lama, ketuban pecah dini dan melahirkan bayi lahir mati.

Riwayat persalinan seksio sesarea mempunyai risiko 6 kali lebih besar untuk

terjadinya persalinan seksio sesarea pada kehamilan berikutnya (Mansjoer, 2009).

2.1.4. Klasifikasi Seksio Sesarea

Ada beberapa jenis seksio sesarea yaitu seksio sesarea klasik atau corporal

yaitu insisi pada segmen atas uterus atau korpus uteri. Pembedahan ini dilakukan

bila segmen bawah rahim tidak dapat dicapai dengan aman, bayi besar dengan

kelainan letak terutama jika selaput ketuban sudah pecah. Seksio sesarea

profundal (low cervical dengan insisi pada segmen bawah rahim) merupakan

suatu pembedahan dengan melakukan insisi pada segmen bawah uterus

(Prawiroharjo, 2006). Hampir 99 % dari seluruh kasus seksio sesarea memilih

teknik ini karena memiliki beberapa keunggulan seperti kesembuhan lebih baik

dan tidak banyak menimbulkan perlekatan.

2.1.5. Indikasi Seksio Sesarea

2.1.5.1. Indikasi Medis

Melahirkan dengan cara seksio sesarea sebaiknya dilakukan atas

pertimbangan medis dengan memperhatikan kesehatan ibu maupun bayinya.

Artinya, janin atau ibu dalam keadaan gawat dan hanya dapat diselamatkan jika

persalinan dilakukan dengan jalan seksio sesarea, dengan tujuan untuk

memperkecil terjadinya risiko yang membahayakan jiwa ibu dan bayinya (Scotts,

2002).

Universitas Sumatera Utara

a. Faktor Janin

a. Bayi terlalu besar (fetal macrosomia)

Bayi besar akan dilahirkan dengan seksio sesarea karena sering

mengakibatkan adanya cephalopelvic disproportion (Jazayeri, 2007).

b. Kelainan kongenital

Seksio sesarea merupakan indikasi dengan bayi yang memiliki

kelainan, seperti hidrosefalus dengan pembesaran diameter biparietal

(Williams, 2010).

c. Kelainan Letak Bayi

i. Letak Sungsang

Ada kecenderungan melakukan seksio sesarea pada kehamilan

dengan letak sungsang dan persalinan normal mungkin tidak

akan dilakukan dalam menangani persalinan sungsang ini

(Fischer, 2006).

ii. Letak Lintang

Menurut Pitkin (2003), hal ini sering terjadi pada ibu yang

sudah melahirkan lebih dari sekali, kehamilan prematur dan

polihidramnion.

d. Ancaman Gawat Janin (Fetal Distress)

Fetal distress sering dihubungkan dengan kehamilan lewat waktu atau

dengan komplikasi yang berdampak pada ibu dan janin (Beers, 2004).

e. Bayi Kembar

Kehamilan kembar dapat memberi risiko yang lebih tinggi terhadap

ibu dan bayi, sehingga harus dilakukan pengawasan kehamilan yang

lebih intensif (Wiknjosastro, 2006).

Universitas Sumatera Utara

f. Faktor Plasenta

i. Plasenta Previa

Menurut Wiknjosastro (2006), plasenta previa adalah plasenta

yang letaknya abnormal yaitu pada segmen bawah uterus

sehingga dapat menutupi sebagian atau seluruh pembukaan

jalan lahir.

ii. Solusio Plasenta

Seksio sesarea dilakukan untuk mencegah kekurangan oksigen

atau keracunan air ketuban pada janin (Wiknjosastro, 2006).

b. Faktor Ibu

a. Disproporsi Sefalo-Pelvik

Disproporsi sefalo-pelvik adalah ketidakseimbangan kepala dan

panggul ibu (Wiknjosastro, 2006).

b. Disfungsi Uterus

Disfungsi uterus mencakup kerja uterus yang tidak terkoordinasi, hal

ini menyebabkan tidak adanya kekuatan untuk mendorong bayi keluar

dari rahim (Wiknjosastro, 2006).

c. Ruptura Uteri

Ruptura uteri adalah keadaan robekan pada rahim dimana telah terjadi

hubungan langsung antara rongga amnion dengan rongga peritoneum

(Mansjoer, 2009). Robekan rahim violenta terjadi karena trauma

pertolongan versi dan ekstraksi, ekstraksi forsep, kuretase, manual

plasenta (Okudaira, 2003).

d. Partus tak maju

Universitas Sumatera Utara

Partus tak maju, juga dikenal partus memanjang, merupakan keadaan

dimana seorang ibu hamil tidak dapat melahirkan 18 jam setelah awal

kontraksi (Mukherjee, 2006).

e. Infeksi pada Ibu

Ibu dengan infeksi herpes genital aktif cenderung untuk melakukan

seksio sesarea (Brown, 2003 dalam Joy, 2009).

Pada wanita yang sedang melakukan perawatan terhadap virus HIV,

bila dilakukan seksio sesarea menunjukkan penurunan angka transmisi

pada bayi (Clinical Guidelines dalam Joy, 2009).

f. Pre-eklampsia dan eklampsia (PE/E)

Penyakit preeklampsia biasanya ditandai dengan timbulnya gejala

yang berurutan diawali dengan bertambahnya berat badan yang

berlebihan, diikuti dengan adanya edema, hipertensi dan diakhiri

dengan proteinuria (Tanjung, 2004)

2.1.5.2. Indikasi Sosial

Selain indikasi medis terdapat indikasi sosial untuk melakukan seksio

sesarea. Indikasi sosial timbul oleh karena permintaan ibu walaupun tidak ada

masalah atau kesulitan dalam persalinan normal. Menurut Mackenzie et al (1996)

dalam Mukherjee (2006), permintaan ibu merupakan suatu faktor yang berperan

dalam angka kejadian seksio sesarea yaitu mencapai angka 23%. Diketahui karena

kurangnya pengetahuan tentang keuntungan dan kerugian dari prosedur juga

menjadi penyebab ibu sering dengan mudah meminta dilakukannya seksio

sesarea. Disamping itu, selain untuk menghindari sakit, alasan untuk melakukan

seksio sesarea adalah untuk menjaga tonus otot vagina. Persalinan yang dilakukan

dengan seksio sesarea sering dikaitkan dengan masalah kepercayaan yang masih

berkembang di Indonesia. Tentunya tindakan seksio sesarea dilakukan dengan

harapan apabila anak dilahirkan pada tanggal dan jam sekian, maka akan

memperoleh rezeki dan kehidupan yang baik (Wiknjosastro, 2006).

Universitas Sumatera Utara

Adanya ketakutan ibu-ibu akan kerusakan jalan lahir (vagina) sebagai akibat

dari persalinan normal, menjadi alasan ibu memilih bersalin dengan cara seksio

sesarea. Padahal penelitian membuktikan bahwa mitos tersebut tidak benar karena

penyembuhan luka di daerah vagina hampir sempurna (Wiknjosastro,2006).

Di sisi lain, persalinan dengan seksio sesarea dipilih oleh ibu bersalin karena

tidak mau mengalami rasa sakit dalam waktu yang lama. Hal ini terjadi karena

kekhawatiran atau kecemasan menghadapi rasa sakit pada persalinan normal

(Wiknjosastro,2006). Walaupun begitu, menurut FIGO (1999) dalam Mukherjee

(2006), pelaksanaan seksio sesarea tanpa indikasi medis tidak di-benarkan secara

etik.

2.1.6. Komplikasi

Komplikasi yang terjadi setelah tindakan seksio sesarea adalah sebagai

berikut:

2.1.6.1. Infeksi Puerperal (nifas)

Hal ini sering kita jumpai pada partus terlantar, dimana sebelumnya telah

terjadi infeksi intrapartal karena ketuban yang telah pecah terlalu lama

(Wiknjosastro, 2006).

2.1.6.2. Perdarahan

Perdarahan dapat disebabkan karena banyaknya pembuluh darah yang

terputus dan terbuka, atonia uteri, dan perdarahan pada placental bed

(Wiknjosastro, 2006).

2.1.6.3. Luka Kandung Kemih

Tindakan seksio sesarea, apabila dilakukan dengan tidak hati-hati dapat

mengakibatkan luka pada organ lain seperti kandung kemih, yang dapat

menyebabkan infeksi (Wiknjosastro, 2006).

2.1.6.4. Komplikasi pada Bayi

Menurut statistik di negara dengan pengawasan antenatal dan intranatal

Universitas Sumatera Utara

yang baik, kematian perinatal paska seksio sesarea berkisar antara 4-7%.

(Wiknjosastro, 2006)

2.1.7. Prognosis

Dulu angka morbiditas dan mortalitas untuk ibu dan janin tinggi. Pada masa

sekarang, oleh karena kemajuan yang pesat dalam teknik operasi, anestesi,

penyediaan cairan dan darah, indikasi dan antibiotika, angka ini sangat menurun.

Angka kematian pada rumah-rumah sakit dengan fasilitas operasi yang baik dan

oleh tenaga-tenaga yang cekatan adalah kurang dari 2 per 1000 (Wiknjosastro,

2006).

Nasib janin yang ditolong secara seksio sesarea sangat tergantung dari

keadaan janin sebelum dilakukan operasi. Menurut data dari Negara dengan

pengawasan antenatal yang baik dan fasilitas neonatal sempurna, angka kematian

perinatal sekitar 4-7% (Wiknjosastro, 2006).

2.2. Seksio Sesarea Berulang

2.2.1. Sejarah Seksio Sesarea Berulang

Beberapa isu dalam dunia obstetrik modern telah menjadi kontroversi yang

berkepanjangan dalam hal manajemen untuk wanita yang memiliki riwayat proses

melahirkan secara seksio sesarea. Dalam beberapa tahun belakangan, jaringan

parut pada uterus telah diyakini sebagai kontraindikasi paling serius dalam

pelaksanaan proses kelahiran pervaginam setelah seksio sesarea, karena adanya

risiko ruptura uteri (Williams, 2010).

Diawali pada tahun 1989, di saat yang bersamaan dengan meningkatnya

angka kejadian wanita yang mencoba melakukan proses melahirkan secara

pervaginam, terdapat peningkatan dalam jumlah laporan yang menunjukkan

peningkatan angka kejadian ruptura uteri dan morbiditas serta mortalitas perinatal

yang memunculkan kesimpulan bahwa proses melahirkan secara pervaginam

setelah menjalani seksio sesarea pada kehamilan sebelumnya (Vaginal Birth After

Cesarean – VBAC ) memiliki risiko lebih tinggi daripada yang diantisipasi

sebelumnya (Williams, 2010).

Universitas Sumatera Utara

2.2.2. Risiko pada Fetus

Risiko ruptura uteri dan komplikasi yang juga terasosiasi jelas meningkat

dengan dilakukannya percobaan proses melahirkan secara pervaginam (Smith,

2005). Namun, beberapa orang berpendapat bahwa faktor-faktor ini tidak

memiliki andil yang terlalu besar dalam hal mengambil keputusan proses

kelahiran yang akan dipilih, karena risiko absolutnya rendah. Salah satu studi

mengenai risiko yang berkaitan dengan Vaginal Birth After Cesarean (VBAC)

yang terbesar dan paling komprehensif dilakukan oleh Maternal-Fetal Medicine

Units (MFMU) Network dan dilaporkan oleh Landon dkk. (2006). Dalam studi

prospektif yang dilakukan di 19 pusat kesehatan akademis, ditemukan bahwa

risiko ruptura uteri jauh lebih tinggi pada wanita yang melakukan VBAC, namun

risiko absolutnya sangat kecil, yaitu 7 dari 1000 kejadian. Namun, pada penelitian

tersebut, sama sekali tidak ditemukan adanya kejadian ruptura uteri pada

kelompok wanita yang melakukan seksio sesarea secara elektif. Justru ditemukan

angka kejadian ensefalopati iskemik hipoksia yang lebih tinggi daripada

kelompok wanita yang menjalani VBAC (Spong, 2007)

2.2.3. Risiko pada Ibu

Argumen yang berpotensi untuk mendukung VBAC adalah bahwa proses

kelahiran secara pervaginam telah diasosiasikan dengan penurunan risiko pada ibu

jika dibandingkan dengan ibu yang menjalani proses seksio sesarea berulang.

Namun dalam berbagai studi yang telah dilakukan untuk memperkirakan angka

morbiditas dan mortalitas ibu terkait dengan VBAC ataupun seksio sesarea

berulang, tidak diketahui dengan pasti berapa angka kejadian morbiditas dan

mortalitas tersebut (Williams, 2010).

2.2.4. Indikasi Seksio Sesarea Berulang

2.2.4.1. Jenis Insisi Uteri Sebelumnya

Wanita dengan bekas insisi uteri secara transversal pada segmen bawah

uteri memiliki risiko paling rendah dalam hal pemisahan jaringan parut yang

Universitas Sumatera Utara

simptomatik pada kehamilan berikutnya. Menurut Shipp (1999) dalam Williams

(2010), wanita dengan riwayat insisi uteri secara vertikal di bagian bawah tidak

mengalami peningkatan risiko ruptura uteri bila dibandingkan dengan wanita yang

memiliki riwayat insisi uteri segmen bawah secara transversal. The American

College of Obstetricians and Gynecologists (2004) menyimpulkan bahwa, meski

dengan bukti yang terbatas, wanita dengan riwayat insisi secara vertikal pada

bagian bawah segmen uteri tanpa ekstensi ke bagian fundus merupakan kandidat

yang baik untuk menjalani prosedur VBAC. Hal ini sangat bertolak belakang

dengan riwayat insisi uteri klasik, yang merupakan kontraindikasi terhadap proses

kelahiran secara pervaginam.

2.2.4.2. Riwayat Ruptura Uteri

Wanita yang memiliki riwayat ruptura uteri memiliki risiko yang lebih

tinggi untuk rekurensi kejadian ruptura uteri pada saat menjalani prosedur VBAC.

Menurut Ritchie (1971) dalam Williams (2010), wanita yang memiliki riwayat

ruptura pada segmen bagian bawah uteri memiliki risiko rekurensi 6 persen,

sedangkan wanita yang memiliki riwayat ruptura pada uterus bagian atas memiliki

risiko rekurensi yang jauh lebih tinggi, yakni 32 persen.

2.2.4.3. Jarak Persalinan

Stamilio et al (2007) menyatakan bahwa risiko ruptura uteri meningkat 3

kali lipat pada wanita dengan jarak kehamilan kurang dari 6 bulan bila

dibandingkan dengan wanita dengan jarak kehamilan di atas 6 bulan dan pada

penelitian terbaru, Bujold et al (2010) menyatakan bahwa terjadi peningkatan

risiko kejadian ruptura uteri pada ibu dengan jarak kehamilan di bawah 18 bulan,

sehingga dapat disimpulkan bahwa jarak kehamilan dengan risiko kejadian

ruptura uteri yang minimum adalah jarak kehamilan di atas 18 bulan.

2.2.4.4. Riwayat Melahirkan Pervaginam

Riwayat melahirkan secara pervaginam, baik sebelum ataupun sesudah

prosedur seksio sesarea, secara signifikan meningkatkan prognosis kejadian

Universitas Sumatera Utara

kelahiran secara pervaginam baik spontan maupun diinduksi (Mercer et al , 2008).

2.2.4.5. Riwayat Distosia

Pada lebih dari 1900 wanita, Peaceman et al (2006) menemukan bahwa

wanita dengan riwayat distosia sebagai indikasi orisinal memiliki tingkat

kesuksesan yang lebih rendah dibandingkan dengan indikasi-indikasi lainnya.

2.2.4.6. Obesitas pada Ibu

Obesitas pada ibu menurunkan tingkat kesuksesan pada VBAC. Hibbard et

al (2006) melaporkan tingkat kesuksesan sebagai berikut :

85 persen kesuksesan VBAC pada ibu dengan IMT normal

78 persen kesuksesan VBAC pada ibu dengan IMT diantara 25 sampai

30

70 persen kesuksesan VBAC pada ibu dengan IMT diantara 30 sampai

40

61 persen kesuksesan VBAC pada ibu dengan IMTdi atas 40

2.2.5. Komplikasi Seksio Sesarea Berulang

Dikarenakan tingginya kekhawatiran akan risiko ruptura uteri pada

percobaan persalinan secara pervaginam setelah menjalani prosedur seksio

sesarea pada kehamilan sebelumnya, banyak ibu hamil yang akhirnya lebih

memilih untuk menjalani prosedur seksio sesarea yang direncanakan, meski

sebenarnya akan meningkatkan risiko komplikasi secara signifikan pada ibu hamil

yang telah menjadi prosedur seksio sesarea berulang kali (Williams, 2010).

Beberapa komplikasi umum yang mungkin terjadi pada ibu hamil dengan

riwayat seksio sesarea berulang adalah :

Infeksi Uterus

Placenta Previa

Transfusi Darah

Placenta Accreta

Universitas Sumatera Utara

Histerektomi

Komplikasi yang paling menimbulkan kekhawatiran adalah peningkatan

risiko terjadinya placenta previa diakibatkan riwayat seksio sesarea berulang

dikaitkan dengan bekas luka operasi seksio sesarea tersebut. Dalam beberapa

kasus, perkreta dapat menginvasi kandung kemih ataupun organ di sekitarnya.

Reseksi yang sulit meningkatkan risiko histerektomi, perdarahan masif yang

membutuhkan transfusi dan mortalitas ibu (Jang, 2011).

2.3. Ruptura Uteri

2.3.1. Definisi

Ruptur uteri adalah robekan pada rahim sehingga rongga uterus dan rongga

peritoneum dapat berhubungan. Yang dimaksud dengan ruptur uteri komplit

adalah keadaan robekan pada rahim dimana telah terjadi hubungan langsung

antara rongga amnion dan rongga peritoneum. Peritoneum viseral dan kantong

ketuban keduanya ikut ruptur dengan demikian janin sebagian atau seluruh

tubuhnya telah keluar oleh kontraksi terakhir rahim dan berada dalam kavum

peritoneum atau rongga abdomen (Williams, 2010).

Pada ruptura uteri inkomplit, hubungan kedua rongga tersebut masih

dibatasi oleh peritoneum viserale. Pada keadaan yang demikian, janin belum

masuk ke dalam rongga peritoneum.

Pada dehisens (regangan) dari parut bekas bedah sesar, kantong ketuban

juga belum robek, tetapi jika kantong ketuban ikut robek maka disebut telah

terjadi ruptura uteri pada parut. Dehisens bisa berubah menjadi ruptur pada waktu

partus atau akibat manipulasi pada rahim yang berparut, biasanya bekas bedah

sesar yang lalu (Soon, 2011).

2.3.2. Etiologi

Ruptura uteri bisa disebabkan oleh anomali atau kerusakan yang telah ada

sebelumnya, karena trauma, atau sebagai komplikasi persalinan pada rahim yang

masih utuh (Nahum, 2005).

Pasien yang berisiko tinggi antara lain :

Universitas Sumatera Utara

a. Persalinan yang mengalami distosia, grandemultipara, penggunaaan oksitosin

atau prostaglandin untuk mempercepat persalinan

b. Pasien hamil yang pernah melahirkan sebelumnya melalui bedah seksio

sesarea atau operasi lain pada rahimnya

c. Pernah histerorafi

d. Pelaksanaan trial of labor terutama pada pasien bekas seksio sesarea, dan

sebagainya.

Oleh sebab itu, untuk pasien dengan panggul sempit atau bekas seksio

sesarea klasik berlaku adagium “Once a cesarean, always cesarean”. Pada

keadaan tertentu seperti ini dapat dipilih elective cesarean section (ulangan) untuk

mencegah ruptura uteri dengan syarat janin sudah matang (Fitzpatrick et al, 2012).

2.3.3. Patofisiologi

Saat his korpus uteri berkontraksi dan mengalami retraksi, dengan demikian,

dinding korpus uteri atau segmen atas rahim menjadi lebih tebal dan volume

korpus uteri menjadi lebih kecil. Akibatnya tubuh janin yang menempati korpus

uteri terdorong ke dalam segmen bawah rahim. Segmen bawah rahim menjadi

lebih lebar dan karenanya dindingnya menjadi lebih tipis karena tertarik ke atas

oleh kontraksi segmen atas rahim yang kuat, berulang dan sering sehingga

lingkaran retraksi yang membatasi kedua segmen semakin bertambah tinggi.

Jika his berlangsung terus menerus kuat, tetapi bagian terbawah janin tidak

kunjung turun lebih ke bawah, maka lingkaran retraksi semakin lama semakin

tinggi dan segmen bawah rahim semakin tertarik ke atas dan dindingnya menjadi

sangat tipis. Ini menandakan telah terjadi rupture uteri iminens dan rahim

terancam robek. Pada saat dinding segmen bawah rahim robek spontan dan his

berikutnya datang, terjadilah perdarahan yang banyak (spontaneous uterine

rupture) (Williams, 2010).

Ruptur uteri pada bekas seksio sesarea lebih sering terjadi terutama pada

parut pada bekas seksio sesarea klasik dibandingkan pada parut bekas seksio

sesarea profunda. Hal ini disebabkan oleh karena luka pada segmen bawah uterus

Universitas Sumatera Utara

yang tenang pada saat nifas memiliki kemampuan sembuh lebih cepat sehingga

parut lebih kuat. Ruptur uteri pada bekas seksio klasik juga lebih sering terjadi

pada kehamilan tua sebelum persalinan dimulai, sedangkan pada bekas seksio

profunda lebih sering terjadi saat persalinan. Ruptura uteri biasanya terjadi lambat

laun pada jaringan-jaringan di sekitar luka yang menipis kemudian terpisah sama

sekali. Disini biasanya peritoneum tidak ikut serta, sehingga terjadi ruptura uteri

inkompleta. Pada peristiwa ini perdarahan banyak berkumpul di ligamentum

latum dan sebagian lainnya keluar (Locatelli et al, 2004).

2.3.4. Diagnosis

Ruptura uteri iminens mudah dikenal pada ring van Bandl yang semakin

tinggi dan segmen bawah rahim yang tipis dan keadaan ibu yang gelisah takut

karena nyeri abdomen atau his kuat yang berkelanjutan disertai tanda-tanda gawat

janin. Gambaran klinik ruptura uteri sangatlah khas. Oleh sebab itu pada

umumnya tidak sukar menetapkan diagnosisnya atas dasar tanda-tanda klinik

yang telah diuraikan. Untuk menetapkan apakah ruptura uteri itu komplit perlu

dilanjutkan dengan periksa dalam (Williams, 2010).

Pada ruptura uteri komplit, jari-jari tangan pemeriksa dapat menemukan

beberapa hal sebagai berikut (Williams, 2010) :

Jari-jari tangan dalam bisa meraba permukaan rahim dan dinding perut yang

licin

Dapat meraba pinggir robekan, biasanya terdapat pada bagian depan di

segmen bawah rahim

Dapat memegang usus halus atau omentum melalui robekan

Dinding perut ibu dapat ditekan menonjol ke atas oleh ujung-ujung jari tangan

dalam sehingga ujung jari-jari tangan luar saling meraba ujung jari-jari tangan

dalam.

2.3.5. Gejala Klinis

Ruptura uteri harus selalu diantisipasi bila pasien memberikan suatu riwayat

paritas tinggi, pembedahan uterus sebelumnya, seksio sesarea ataupun

Universitas Sumatera Utara

miomektomi (Jang, 2011). Namun, ruptura uteri umumnya terjadi sewaktu

persalinan sedang berlangsung. Banyak gejala yang akan tampak ketika ruptura

uteri terjadi, yaitu (Williams, 2010):

Nyeri abdomen yang tiba-tiba.

Adanya nyeri uterus yang menetap.

Dijumpai takikardi dan hipotensi, yang merupakan indikasi dari kehilangan

darah akut.

Kontur uterus yang tiba-tiba berubah, kontraksi uterus dapat berhenti

mendadak dan bunyi jantung janin tiba-tiba menghilang.

Dijumpai abdomen yang sering sangat lunak dan adanya nyeri lepas.

2.3.6. Komplikasi

Syok hipovolemik karena perdarahan yang hebat dan sepsis akibat infeksi

adalah dua komplikasi yang fatal pada peristiwa ruptura uteri. Syok hipovolemik

terjadi bila pasien tidak segera mendapat infus cairan kristaloid yang banyak

untuk selanjutnya dalam waktu yang cepat digantikan dengan transfusi darah

segar (Gupta, 2011).

Infeksi berat umumnya terjadi pada pasien kiriman dimana ruptura uteri

telah terjadi sebelum tiba di rumah sakit dan telah mengalami berbagai manipulasi

termasuk periksa dalam yang berulang. Jika dalam keadaan yang demikian pasien

tidak segera memperoleh terapi antibiotika yang sesuai, hampir pasti pasien akan

menderita peritonitis yang luas dan menjadi sepsis pasca bedah. Sayangnya hasil

pemeriksaan kultur dan resistensi bakteriologik dari sampel darah pasien baru

diperoleh beberapa hari kemudian. Antibiotika spektrum luas dalam dosis tinggi

biasanya diberikan untuk mengantisipasi kejadian sepsis. Syok hipovolemik dan

sepsis merupakan sebab-sebab utama yang meninggikan angka kematian maternal

dalam obstetrik. Namun, meskipun pasien bisa diselamatkan, morbiditas dan

kecacatan akibat terjadinya ruptura uteri tetap tinggi (Gupta, 2011).

Universitas Sumatera Utara