bab ii kajian pustaka 2.1 psoriasis - sinta.unud.ac.id ii.pdf · mungkin merupakan varian dari...

42
7 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Psoriasis 2.1.1 Definisi Psoriasis vulgaris adalah penyakit peradangan kronik yang ditandai oleh gangguan diferensiasi dan hiperproliferasi epidermis dengan gambaran klinis berupa plak eritema yang berbatas tegas ditutupi skuama putih berlapis, dengan tanda Autpitz dan fenomena Koebner positif. Penyakit ini umumnya mengenai daerah ekstensor ekstremitas terutama siku dan lutut, kulit kepala, lumbosakral, bokong, dan paha (Griffiths dkk., 2010; Gudjonsson dan Elder, 2012). 2.1.2 Epidemiologi Psoriasis ditemukan di seluruh dunia, dengan prevalensi bervariasi dari 0,1% hingga 11,8%. Insiden psoriasis tertinggi dilaporkan terjadi di Denmark mencapai 2,9%. Insiden psoriasis di Amerika Serikat mencapai 2,2% hingga 2,6%, sedangkan insiden psoriasis di Asia termasuk rendah yakni sekitar 0,4% (Gudjonsson dan Elder, 2012). Data dari beberapa rumah sakit di Indonesia dari tahun 2003-2006 menunjukkan insiden psoriasis rata-rata mencapai 96 kasus atau 0,4% dari 22.070 kunjungan kasus baru (Sugito, 2008). Budiastuti dkk. melaporkan di RSUP Kariadi terdapat 198 kasus selama rentang waktu 5 tahun (2003-2007) (Budiastuti dkk., 2009).

Upload: doandieu

Post on 16-Feb-2018

228 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

7

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Psoriasis

2.1.1 Definisi

Psoriasis vulgaris adalah penyakit peradangan kronik yang ditandai oleh

gangguan diferensiasi dan hiperproliferasi epidermis dengan gambaran klinis

berupa plak eritema yang berbatas tegas ditutupi skuama putih berlapis, dengan

tanda Autpitz dan fenomena Koebner positif. Penyakit ini umumnya mengenai

daerah ekstensor ekstremitas terutama siku dan lutut, kulit kepala, lumbosakral,

bokong, dan paha (Griffiths dkk., 2010; Gudjonsson dan Elder, 2012).

2.1.2 Epidemiologi

Psoriasis ditemukan di seluruh dunia, dengan prevalensi bervariasi dari 0,1%

hingga 11,8%. Insiden psoriasis tertinggi dilaporkan terjadi di Denmark mencapai

2,9%. Insiden psoriasis di Amerika Serikat mencapai 2,2% hingga 2,6%,

sedangkan insiden psoriasis di Asia termasuk rendah yakni sekitar 0,4%

(Gudjonsson dan Elder, 2012). Data dari beberapa rumah sakit di Indonesia dari

tahun 2003-2006 menunjukkan insiden psoriasis rata-rata mencapai 96 kasus atau

0,4% dari 22.070 kunjungan kasus baru (Sugito, 2008).

Budiastuti dkk.

melaporkan di RSUP Kariadi terdapat 198 kasus selama rentang waktu 5 tahun

(2003-2007) (Budiastuti dkk., 2009).

8

Psoriasis dapat mengenai laki-laki maupun perempuan (Langley dkk.,

2005). Laki-laki dan perempuan memiliki kemungkinan terkena yang sama besar.

(Gudjonsson dan Elder, 2012). Beberapa pengamatan terakhir menunjukkan

bahwa psoriasis sedikit lebih sering terjadi pada pria dibandingkan wanita.

Sementara pada sebuah penelitian yang meneliti pengaruh jenis kelamin dan usia

pada prevalensi psoriasis, ditemukan bahwa pada pasien yang berusia lebih muda

(kurang dari 20 tahun) prevalensi psoriasis ditemukan lebih tinggi pada wanita

dibandingkan pada pria (Neimann dkk., 2006). Psoriasis dapat terjadi pada semua

usia, namun jarang pada usia kurang dari 10 tahun. Onset psoriasis paling sering

terjadi pada usia 15 hingga 30 tahun (Kuchekar, 2011). Pasien dengan onset usia

yang lebih awal cenderung memiliki riwayat psoriasis pada keluarga yang sering

dihubungkan dengan Human Leucocyte Antigen (HLA) Cw6 serta memiliki

derajat keparahan penyakit yang lebih tinggi (Langley dkk., 2005; Basko-Piluska

dan Petronic-Rosic, 2012). Banyak penelitian menunjukkan bahwa jika psoriasis

timbul lebih awal, akan dapat menetap seumur hidup dan bermanifestasi dalam

jangka waktu yang tidak dapat ditentukan. Studi longitudinal menunjukkan

remisi spontan dapat terjadi pada sekitar sepertiga pasien psoriasis dengan

frekuensi yang bervariasi (Gudjonsson dan Elder, 2012).

2.1.3 Faktor Pencetus

Psoriasis merupakan penyakit multifaktorial yang dipengaruhi oleh faktor

predisposisi genetik, faktor lingkungan, dan inflamasi yang dimediasi oleh respon

9

imunologis. Faktor pencetus psoriasis bersifat individual yang dapat bervariasi

pada setiap orang (Di Nuzzo dkk., 2014).

Sekitar sepertiga individu dengan psoriasis melaporkan riwayat penyakit

keluarga yang juga menderita psoriasis. Pada kembar monozigot risiko menderita

psoriasis adalah sebesar 70% bila salah seorang menderita psoriasis. Bila orang

tua tidak menderita psoriasis, maka risiko menderita psoriasis adalah sebesar

12%, sedangkan bila salah satu orang tua menderita psoriasis maka risiko

menderita psoriasis meningkat menjadi 34%-39%. Berdasarkan onset penyakit

dikenal dua tipe yakni psoriasis tipe I dengan onset dini dan bersifat familial dan

psoriasis tipe II dengan onset lambat dan bersifat nonfamilial. Hal lain yang

menyokong adanya faktor genetik adalah bahwa psoriasis berkaitan dengan

HLA. Psoriasis tipe I berhubungan dengan HLA-B13, B17, Bw57 dan Cw6.

Psoriasis tipe II berkaitan dengan HLA-B27 dan Cw2 (Nickloloff dan Nestle,

2004). Pada analisis HLA yang spesifik dalam suatu populasi, didapatkan bahwa

suseptibilitas terhadap psoriasis berhubungan dengan Major Histocompability

Complex (MHC) kelas I dan II pada atau dekat dengan kromosom 6 dan lainnya

berada di kromosom 17. Lokus Psoriasis Susceptibility 1 (PSORS1) dianggap

lokus yang terpenting untuk suseptibilitas psoriasis. Hal ini disebabkan PSORS1

berkaitan dengan lebih dari 50% kasus psoriasis (Chandran dan Raychaudhuri,

2010). Lokus suseptibilitas lainnya berada pada kromosom 17q25 (PSORS2),

4q43 (PSORS3), 1q 21 (PSORS4), 3q21 (PSORS5), 19p13 (PSORS6), 1p32

(PSORS7), 16q (PSORS8), dan 4q31 (PSORS9) (Mahajan dan Handa, 2013).

10

Faktor lingkungan memegang peranan penting pada terjadinya psoriasis.

Pencetus dari lingkungan antara lain infeksi, stres, obat-obatan, trauma, paparan

sinar ultraviolet, faktor metabolik/endokrin, merokok, dan minum alkohol

(Bergbore dkk., 2012). Infeksi bakteri, virus, atau jamur dapat mencetuskan

terjadinya psoriasis. Bakteri dapat menghasilkan endotoksin yang berfungsi

sebagai superantigen yang akan meningkatkan aktivasi sel limfosit T, makrofag,

dan sel Langerhans. Infeksi tenggorokan yang disebabkan oleh spesies

Streptococcus β-hemolyticus juga sering dikaitkan dengan ekaserbasi psoriasis.

Beberapa obat-obatan yang dapat mencetuskan psoriasis yaitu litium, beta

blockers, anti malaria, obat antiinflamasi non steroid, tetrasiklin, angiotensin

converting enzyme inhibitors, calcium channel blockers, kalium iodide (Basavaraj

dkk., 2010). Berbagai trauma baik fisik, kimiawi, bedah, peradangan, paparan

sinar ultraviolet dapat memperberat atau mencetuskan lesi psoriasis. Lesi psoriasis

dapat terjadi pada lokasi trauma yang disebut dengan fenomena Koebner (Schon

dan Boehncke, 2005). Hubungan antara stres dan ekaserbasi psoriasis belum

terlalu jelas namun diduga karena mekanisme neuroimunologis. Psoriasis

dilaporkan akan bertambah buruk dengan timbulnya stres yakni pada 30%-40%

kasus. Pada saat periode premenstruasi, lesi psoriasis dikatakan sering kambuh.

Angka kejadian psoriasis meningkat pada waktu pubertas dan menopause dan

diduga peranan dari faktor endokrin. Konsumsi alkohol juga dilaporkan dapat

mencetuskan psoriasis walaupun mekanismenya belum diketahui (Gudjonsson

dkk., 2003).

11

2.1.4 Patogenesis

Psoriasis ditandai oleh hiperproliferasi dan gangguan diferensiasi keratinosit

epidermal, hiperaktivasi sel inflamasi seperti sel T, sel dendritik, atau neutrofil,

dan peningkatan angiogenesis di dermis (Gambar 2.1). Psoriasis dianggap sebagai

suatu penyakit yang diperantarai sistem imun yang ditandai dengan adanya sel

Th1 yang predominan pada lesi kulit dengan peningkatan kadar IFN-γ, TNF-α,

IL-2, dan IL-18. Pada fase awal psoriasis, kondisi stres atau gosokan pada

keratinosit merangsang pelepasan peptide antimikroba, LL-37 yang membentuk

kompleks dengan DNA yang berasal dari keratinosit yang mengalami apoptosis.

Kompleks ini mengaktifkan sel dendritik plasmasitoid di dermis untuk mensekresi

IFN-α yang lebih lanjut mengaktifkan sel dendritik dermal untuk menjadi TNF-α

dan iNOS-producing dendritic cells (TIP-DCs) mensekresi sitokin proinflamasi

TNF-α, IL-20 yang meningkatkan proliferasi keratinosit, atau IL-23 yang

menginduksi diferensiasi sel tipe Th17 menghasilkan IL-17A/F atau IL-22 atau

sel Th22 menghasilkan IL-22 (Lowes dkk., 2007; Nestle dkk., 2009). TNF-α dan

iNOS-producing dendritic cells (TIP-DCs) yang teraktivasi memasuki kelenjar

limfe regional dan menginduksi diferensiasi sel Th17, Th22 dan sel Th1

menghasilkan IFN-γ melalui interaksi antara sel-sel atau sitokin. Sel Th17 dan

Th22 mengekspresikan chemokine (c-c motif) receptor 6 (CCR6) pada

permukaannya dan dikemoatraksi oleh ligannya yakni chemokine (c-c motif)

ligand 20 (CCL20). Sel Th1 mengekspresikan cxc chemokine receptor type 3

(CXCR3) dan dikemoatraksi oleh ligannya yakni chemokine (c-x-c motif) ligand

9/10/11 (CXCL9/10/11). Pada fase akut psoriasis, TNF-α dari TIP-DCs di dermis

12

berperan pada keratinosit epidermal untuk menghasilkan vascular endothelial

growth factor (VEGF) yang meningkatkan proliferasi sel endotel dan merangsang

angiogenesis, dan kemokin CXCL8 menarik neutrofil, kemokin CXCL10

merangsang sel Th1, dan kemokin CCL20 menarik sel Th17 dan sel Th22 (Kanda

dkk., 2013). Vascular endothelial growth factor (VEGF) berperanan dalam

meningkatkan vaskularisasi lesi untuk merangsang hiperplasia epidermis,

pertumbuhan pembuluh darah dan infiltrasi leukosit pada kulit. Vascular

endothelial growth factor berperanan penting dalam mengatur aktivitas keratinosit

pada psoriasis, untuk meningkatkan permeabilitas endotel dan menginduksi

vasodilatasi (Tammela dkk., 2005). Oleh karena itu neutrofil menginfiltrasi

epidermis, membentuk mikroabses Munro, dan mensekresi IFN-γ, IL-17A/F, dan

IL-22 serta berperan sebagai sel T efektor (Kanda dkk., 2013).

Pada fase kronik psoriasis, IL-17 A/F dari sel Th17 berperan pada

keratinosit dan menginduksi produksi CXCL8 dan CCL20; IL-22 dari sel Th22

dan IL-20 dari TIP-DCs meningkatkan proliferasi keratinosit dan menginduksi

akantosis; IFN-γ dari sel Th1 meningkatkan produksi kemokin CXCL10 pada

keratinosit. IL-17 A/F, IL-22, dan IFN-γ meningkatkan produksi sitokeratin

K6/16/17 yang menginduksi hiperproliferasi abnormal dan gangguan diferensiasi

epidermis dan juga meningkatkan produksi peptide antimikroba seperti LL-37

pada keratinosit. LL-37 yang dihasilkan dapat merangsang dimulainya lesi

psoriatik dengan menstimulasi sel dendritik (Kanda dkk., 2013).

13

Gambar 2.1 Psoriasis fase awal, akut, dan kronik. AMP: antimicrobial

peptide; dDC: dermal dendritic cell; TIP-DC: TNF-α dan iNOS-producing

dendritic cells; pDC: plasmacytoid dendritic cells; hBD: human-β-

defensine; KC: keratinosit; NO: nitric oxide; Neut: neutrofil; VEGF:

vascular endothelial growth factor (Kanda dkk., 2013).

2.1.5 Gambaran Klinis

Psoriasis merupakan penyakit papuloskuamosa dengan gambaran morfologi,

distribusi, serta derajat keparahan penyakit yang bervariasi. Lesi klasik psoriasis

berupa plak eritema berbatas tegas dan ditutupi oleh skuama tebal berlapis

berwarna putih keperakan. Ukuran lesi dapat bervariasi mulai dari papul hingga

plak yang menutupi sebagian besar permukaan tubuh. Lesi psoriasis cenderung

simetris dan hal ini merupakan gambaran penting yang membantu dalam

menegakkan diagnosis, walaupun dapat pula terjadi lesi secara asimetris (Langley

dkk., 2005; Griffiths dkk., 2010; Gudjonsson dan Elder, 2012). Di bawah skuama,

tampak kulit eritema yang homogen dan mengkilap dan tampak bintik-bintik

perdarahan yang merupakan pelebaran kapiler (tanda Auspitz). Psoriasis juga

14

dapat muncul pada tempat terjadinya trauma, hal ini disebut dengan fenomena

Koebner. Reaksi Koebner ini biasanya timbul 7 hingga 14 hari setelah trauma dan

sekitar 25% pasien memiliki riwayat trauma berhubungan dengan fenomena

Koebner sebelumnya. Penggoresan skuama utuh dengan menggunakan pinggir

gelas objek akan menyebabkan terjadinya perubahan warna lebih putih seperti

bercak lilin yang disebut fenomena Kaarsvlex. (Griffiths dkk., 2010; Gudjonsson

dan Elder, 2012).

Perubahan kuku sering terjadi dan bervariasi mulai dari defek kecil pada

lempeng kuku (pitting nail), sampai perubahan yang berat dari kuku

(onikodistrofi) dan hilangnya lempeng kuku (nail bed). Perubahan kuku lebih

sering terjadi pada pasien dengan psoriasis artritis. Pola gambaran klinis psoriasis

dibagi menjadi beberapa tipe, yaitu (Soung dan Lebwohl, 2004; Gudjonsson dan

Elder, 2012):

2.1.5.1 Psoriasis vulgaris

Psoriasis vulgaris merupakan bentuk klinis psoriasis yang paling sering

ditemukan mencapai 90% pasien psoriasis. Lesi khas berupa plak eritema

berskuama dengan distribusi simetris pada daerah predileksi seperti pada

daerah ekstensor ekstremitas terutama pada siku dan lutut, kulit kepala,

daerah bawah lumbosakral, gluteal dan genital. Daerah predileksi lainnya

adalah umbilikus dan celah intergluteal (Gambar 2.2). Pada pemeriksaan

fisik ditemukan tanda Auspitz positif.

15

Gambar 2.2 Psoriasis vulgaris (Gudjonsson dan Elder, 2012).

2.1.5.2 Psoriasis gutata

Pada psoriasis gutata lesi berupa papul kecil dengan ukuran diameter 0,5-

1,5 cm pada badan bagian atas dan ekstremitas bagian proksimal, sering

dijumpai pada orang dewasa muda. Bentuk psoriasis ini memiliki

hubungan yang paling kuat dengan HLA-Cw6 dan infeksi streptokokus

pada tenggorokan sering mendahului atau bersamaan dengan terjadinya

psoriasis gutata.

2.1.5.3 Psoriasis inversa

Lesi psoriasis dapat muncul pada daerah lipatan kulit seperti aksila, regio

genito-krural, serta leher. Skuama yang ada lebih minimal atau tidak ada.

Lesi berupa eritema batas tegas dan mengkilap yang terletak pada daerah

yang memiliki kontak kulit dengan kulit.

16

2.1.5.4 Psoriasis plak kecil

Manifestasi klinis psoriasis plak kecil menyerupai psoriasis gutata, tetapi

dapat dibedakan melalui onset penyakit yang muncul pada pasien yang

lebih tua, lebih bersifat kronis serta dapat dijumpai lesi yang besar dengan

diameter 1-2 cm dan lebih tebal, lebih berskuama dibandingkan pada

gutata.

2.1.5.5 Psoriasis eritroderma

Gambaran klinis psoriasis eritroderma berupa erupsi yang meluas hingga

mengenai seluruh bagian tubuh termasuk wajah, tangan, kaki, kuku,

badan, serta ekstremitas. Lesi psoriasis dapat muncul namun gambaran

klinis didominasi oleh eritema dan skuamanya superfisial bukan skuama

yang putih dan tebal. Pasien dengan psoriasis eritroderma dapat ini

kehilangan panas secara berlebihan akibat vasodilatasi menyeluruh

sehingga menimbulkan hipotermi.

2.1.5.6 Psoriasis pustulosa

Psoriasis pustulosa dibagi menjadi psoriasis pustulosa generalisata (tipe

von zumbusch), psoriasis pustulosa anular, impetigo herpetiformis, dan

psoriasis pustulosa lokalisata (pustulosa palmaris dan plantaris dan

akrodermatitis kontinua). Lesi utama adalah pustul.

2.1.5.7 Sebopsoriasis

Sebopsoriasis ditandai adanya plak eritema dengan skuama yang

berminyak di daerah seboroik seperti kepala, glabela, lipatan nasolabial,

perioral, dan area presternal serta area intertriginosa. Sebopsoriasis

17

mungkin merupakan varian dari dermatitis seboroik dengan latar belakang

genetik psoriasis dan relatif resisten terhadap pengobatan.

2.1.5.8 Psoriasis popok

Psoriasis popok dapat muncul pada usia 3-6 bulan dan pertama kali timbul

di daerah popok berupa makula eritema konfluen yang beberapa hari

kemudian diikuti dengan munculnya papul eritema pada badan dan

ekstremitas. Papul-papul ini memiliki skuama putih psoriasis yang tipikal.

Bentuk ini cenderung menghilang setelah umur 1 tahun.

2.1.5.9 Psoriasis linear

Psoriasis linear merupakan bentuk yang jarang. Lesi psoriasis muncul

berupa garis, biasanya pada ekstremitas tetapi dapat juga terbatas pada

dermatom di badan. Lesi dapat menyerupai nevus yaitu Inflamatory Linear

Verrucous Epidermal Nevus (ILVEN) dengan gambaran klinis dan

histologi keduanya mirip.

2.1.6 Diagnosis

Penegakan diagnosis psoriasis berdasarkan anamnesis dan gambaran klinis.

Klinisi juga sebaiknya menggali riwayat penyakit pada penderita termasuk

riwayat keluarga, faktor lingkungan, dan kemungkinan penyakit penyerta lainnya.

Pada kasus tertentu, diperlukan pemeriksaan penunjang seperti pemeriksaan

laboratorium darah dan histopatologis (Gudjonsson dan Elder, 2012).

Pemeriksaan histopatologis jarang diperlukan dalam menegakkan kasus

psoriasis, kecuali pada kasus yang sulit. Pada umumnya akan tampak penebalan

18

epidermis atau akantosis serta elongasi rete ridges. Terjadi diferensiasi keratinosit

yang ditandai dengan hilangnya stratum granulosum. Stratum korneum juga

mengalami penebalan dan terdapat retensi inti sel pada lapisan ini yang disebut

parakeratosis. Terdapat neutrofil dan limfosit yang bermigrasi dari dermis.

Sekumpulan neutrofil dapat membentuk mikroabses Munro. Pada dermis tampak

tanda-tanda inflamasi seperti hipervaskularisasi dan dilatasi serta edema papila

dermis. Infiltrat dermis terdiri dari neutrofil, makrofag, limfosit, dan sel mast

(Bettina dkk., 2005; Gudjonsson dan Elder, 2012).

Kelainan laboratorium pada psoriasis bersifat tidak spesifik dan mungkin

tidak dijumpai pada semua penderita psoriasis. Pada penderita psoriasis dapat

terjadi gangguan profil lipid, konsentrasi apolipoprotein-A1 plasma juga

didapatkan lebih tinggi pada penderita psoriasis. Penanda inflamasi sistemik

seperti protein reaktif C, α-makroglobulin, dan laju endap darah juga meningkat

pada penderita psoriasis (Gudjonsson dan Elder, 2012).

2.1.7 Penatalaksanaan

Pengobatan anti psoriasis berspektrum luas, pengobatan secara topikal maupun

sistemik telah tersedia. Sebagian besar obat-obatan ini memberikan efek

imunomodulator. Sebelum memilih regimen pengobatan, penting untuk menilai

luas serta derajat keparahan psoriasis (Gudjonsson dan Elder, 2012).

Pada dasarnya, sebagian besar kasus psoriasis dibagi menjadi tiga bagian

besar yakni psoriasis gutata, eritrodermik/pustular, dan plak kronis yang

merupakan bentuk yang paling sering ditemukan (Gambar 2.3). Psoriasis gutata

19

seringkali dapat sembuh sendiri dalam 6 – 12 minggu. Pada kasus yang ringan,

seringkali pasien tidak memerlukan terapi, namun jika lesi tersebar luas di seluruh

tubuh, maka fototerapi dengan ultraviolet B (UVB) ditambah dengan terapi

topikal (steroid dan analog Vitamin D3) seringkali sangat efisien untuk mengobati

lesi jenis ini. Psoriasis pustular/eritrodermi seringkali dihubungkan dengan gejala

sistemik, sehingga memerlukan terapi sistemik aksi cepat. Obat yang paling sering

digunakan untuk tipe ini adalah asitretin. Terapi lain yang dapat diberikan adalah

siklosporin A, psoralen dan ultraviolet A (PUVA), narrowband-ultraviolet B (NB-

UVB), metotreksat, agen anti-TNF, dan pada beberapa kasus, dapat digunakan

steroid sistemik (Gudjonsson dan Elder, 2012).

Pada psoriasis plak kronis, pemberian terapi berdasarkan luas penyakit.

Pada psoriasis derajat ringan (<10% luas permukaan tubuh), dapat digunakan

terapi topikal seperti emolien, glukokortikoid, dan analog vitamin D3 (lini

pertama) atau asam salisilat, dithranol, tazaroten dan tar (lini kedua), pilihan

fototerapi dapat dipertimbangkan pada fase ini (Gudjonsson dan Elder, 2012).

Psoriasis derajat sedang (>10% luas permukaan tubuh), dapat diberikan

terapi topikal ditambah dengan fototerapi dan day treatment center (Goeckerman

yang dimodifikasi), dengan pertimbangan khusus untuk memilih terapi sistemik.

Fototerapi yang dapat dipilih antara lain NB-UVB dan broadband-ultraviolet B

(BB-UVB) sebagai lini pertama dan PUVA, laser excimer serta klimatoterapi

sebagai lini kedua (Gudjonsson dan Elder, 2012).

Psoriasis derajat berat (>30% luas permukaan tubuh) dapat diterapi dengan

semua pilihan yang ada, ditambah terapi sistemik seperti metotreksat, asitretin,

20

alefacept, etanercept, adalimumab, infliximab, dan ustekinumab sebagai lini

pertama dan fumaric acid ester (FAE), siklosporin A, serta agen lain seperti

hidroksiurea, 6-thioguanine, cellcept, dan sulfasalazine sebagai lini kedua.

Siklosporin A tidak dianggap sebagai terapi sistemik lini pertama karena efek

samping jangka panjangnya, namun dalam tatalaksana jangka pendek terapi ini

sangat berguna untuk induksi remisi. Jika pasien tidak mampu mentolerir terapi

sistemik lini pertama individual, pertimbangkan kombinasi rejimen, perawatan

rotasional atau agen biologis (Gudjonsson dan Elder, 2012).

Gambar 2.3 Diagnosis dan algoritma pengobatan psoriasis (Gudjonsson

dan Elder, 2012).

21

2.1.8 Derajat Keparahan Psoriasis

Skor Psoriasis Area and Severity Index (PASI) merupakan baku emas

pengukuran yang digunakan untuk mengetahui derajat keparahan dan luas lesi

psoriasis. Pada uji klinis, perubahan skor PASI digunakan untuk menilai

kemajuan terapi. Klinisi berpendapat bahwa keberhasilan pengobatan psoriasis

ditunjukkan dengan adanya perbaikan skor PASI hingga lebih atau sama 75%,

walaupun perbaikan skor PASI <75% masih menunjukkan adanya perbaikan

klinis psoriasis (Feldman dan Krueger, 2005).

Skor PASI digunakan untuk menilai derajat keparahan penyakit pada

penelitian klinis karena memiliki beberapa keuntungan yaitu sensitif dalam

menilai perubahan yang terjadi pada kulit, menilai keparahan dari lesi, serta

perubahan pada nilai PASI menunjukkan adanya perbaikan atau perburukan dari

penyakit. Kelemahan PASI sebagai pengukur derajat psoriasis baik dalam uji

klinis maupun praktek sehari-hari adalah rendahnya produksibilitas dan adanya

variasi penilaian antara klinisi (Mikhail dan Scheinfeld, 2005). Fredrickson dan

Petterson pertama kali merumuskan penilaian derajat keparahan psoriasis dengan

menggunakan skor PASI, metode ini praktis dan cepat tetapi memiliki variabilitas

intra dan antar pengamat yang tinggi (Langley dan Ellis, 2004).

Skor PASI merupakan pengukuran secara klinis dengan perhitungan luas

daerah yang terkena dan derajat keparahan dari eritema, ketebalan infiltrat dan

skuama. PASI dihitung dengan rumus (Langley dan Ellis, 2004):

{0,1(Eh+Ih+Sh)Ah} + {0,2(Eul+Iul+Sul)Aul} + {0,3(Et+It+St)At} +

{0,4(Ell+Ill+Sll)All}

22

Keterangan:

A (area) = luas daerah tubuh dalam 4 bagian yang terkena yaitu: kepala dan leher

(h = head), badan (t = trunk), ekstremitas atas (ul = upper limb), ekstremitas

bawah (ll = lower limb); E = eritema; I = infiltrat; S = skuama

Tabel 2.1 Penilaian persentase luas permukaan tubuh (A) yang terkena

<10% 1

10-29% 2

30-49% 3

50-69% 4

70-89% 5

90-100% 6

Tabel 2.2 Penilaian derajat keparahan (E, I, S)

Tidak ada gejala 0

Ringan 1

Sedang 2

Berat

Sangat berat

3

4

Hasil perhitungan PASI merupakan nilai tunggal dari 0-72. Skor PASI

berdasarkan Fredricksson dan Pettersson dikategorikan menjadi tiga, yaitu

penderita dinyatakan menderita psoriasis ringan bila skor PASI < 7, psoriasis

sedang bila skor PASI 7 - 12, dan psoriasis berat bila skor PASI > 12 (Schmitt

23

dan Wozel, 2005). Skor PASI jarang digunakan pada praktek klinis karena

penggunaannya menimbulkan kompleksitas yang lebih besar dan skor ini

merupakan suatu sistem penilaian yang digunakan untuk tujuan penelitian.

Persentase perubahan PASI dapat digunakan sebagai titik akhir penilaian terapi

psoriasis pada uji klinis (Feldman dan Krueger, 2005).

2.2 Prolaktin

2.2.1 Tinjauan Umum Prolaktin

Prolaktin merupakan suatu rantai polipeptida tunggal yang terdiri dari 199 asam

amino dengan berat molekul 23 kiloDalton (kDa) yang secara sistemik berperan

sebagai hormon dan secara lokal sebagai sitokin. Prolaktin termasuk ke dalam

famili somatotropin karena secara struktural prolaktin berhubungan dengan

hormon pertumbuhan dan laktogen plasenta (Foitzik dkk., 2009; Freeman dkk.,

2000). Selain terdapat protein prolaktin standar pada manusia yaitu 23 kDA,

terdapat varian prolaktin yang lebih kecil yakni 4,16, dan 22 kDa. Prolaktin ini

aktif secara biologis dan bisa menghambat beberapa fungsi prolaktin 23 kDA.

Sebagai contoh, varian 16 kDa memiliki fungsi antiangiogenik sedangkan varian

23 kDa memiliki fungsi proangiogenik (Foitzik dkk., 2009; Langan dkk., 2010).

Kadar normal prolaktin pada serum bervariasi pada tiap individu. Variasi

yang terjadi dipengaruhi oleh irama sirkadian prolaktin, dengan kadar puncak

pada saat tidur (malam hari). Franz dkk. meneliti kadar prolaktin rata-rata pada 6

orang subjek selama periode waktu lebih dari 24 jam. Didapatkan hasil bahwa

kadar minimum prolaktin dicapai dalam waktu 10 jam sebelum onset tidur,

24

sedangkan kadar maksimum dicapai dalam waktu sekitar 4 jam setelah tidur

(Frantz, 1978).

Berdasarkan berbagai penelitian, kadar prolaktin normal dalam plasma

bervariasi di antara wanita yang tidak hamil (10-25 ng/mL), wanita hamil (150-

200 ng/mL), wanita menyusui (300 ng/mL), dan pria (5-10 ng/mL) (Foitzik dkk.,

2009). Selama masa kehamilan sampai kelahiran bayi, kadar prolaktin akan

meningkat secara progresif sebesar 10 sampai 20 kali lebih tinggi dari kadar

normal (tidak hamil), kemudian akan mengalami penurunan setelah 3-4 minggu

postpartum. Pada ibu yang menyusui, kadar serum akan terpelihara pada

konsentrasi yang tinggi oleh karena hisapan puting susu oleh bayi akan

menstimulasi sekresi prolaktin (Guyton dkk., 2006).

Prolactin receptor (PRLR) termasuk ke dalam superfamili reseptor sitokin

dan berhubungan erat dengan reseptor hormon pertumbuhan. Sinyal PRL/PPLR

melalui aktivasi signal transducer and activator of transcription 5 (STAT5),

melalui Kinase Jak (Gambar 2.4). Sampai saat ini terdapat enam jenis isoform

reseptor prolaktin pada manusia, yang memiliki struktur, afinitas reseptor, dan

kemampuan signaling yang berbeda (Langan dkk., 2010).

25

Gambar 2.4 Jalur signaling PRLR. PRLR mengalami dimerisasi setelah

berikatan dengan prolaktin, menginduksi efek prolaktin melalui aktivasi tiga

jalur utama: JAK/STAT, MAPK, dan PI3K/Akt. Signaling yang diperantarai

oleh PRLR tergantung pada kemampuan isoform PRLR untuk mengaktifkan

kaskade signaling spesifik, yang menimbulkan aktivitas biologis spesifik

(Langan dkk., 2010).

2.2.2 Ekspresi dan Regulasi Prolaktin

Sekresi dan sintesis prolaktin diatur oleh sistem neuroendokrin terutama melalui

Prolactin Releasing Hormone (PRH) dan Prolactin Inhibiting Hormone (PIH).

Lokasi utama transkripsi, translasi, dan sekresi prolaktin adalah pada kelenjar

hipofisis anterior. Regulasi ekspresi dan sekresi prolaktin hipofisis sangat

kompleks dan meliputi sejumlah hormon, faktor pertumbuhan, obat-obatan,

peptida, dan asam amino. Beberapa jenis obat-obatan yang dapat mempengaruhi

kadar prolaktin antara lain adalah kontrasepsi oral, antipsikotik (haloperidol,

klorpromazin, risperidon), antidepresan golongan trisiklik, opiat, amfetamin,

antihipertensi (reserpin, verapamil, metildopa), dan antihistamin (simetidin)

26

(Freeman dkk., 2000). Konsentrasi prolaktin serum dipertahankan oleh suatu

sistem sistem yang kompleks (Gambar 2.5). Regulasi kompleks sekresi prolakin

dari kelenjar hipofisis meliputi dopamin sebagai inhibitor utama, sedangkan

stimulator sekresi prolaktin meliputi oksitosin, thyrotropin-releasing hormone

(TRH), dan estradiol (Ben-Jonathan dkk. 2006). Selain hipofisis anterior, prolaktin

juga diekspresikan pada kulit, plasenta, uterus (endometrium), ovarium, testis,

kelenjar mamae, prostat, otak, jaringan lemak, dan limfosit. Ekspresi limfosit

ekstra hipofisis ini memiliki pengaturan yang berbeda (Ben-Jonathan dkk., 2006;

Foitzik dkk., 2009).

27

Gambar 2.5 Pengaturan prolaktin hipofisis. Sekresi pulsatil prolaktin diatur

oleh ritme sirkadian yang dipengaruhi cahaya. Faktor lingkungan berinteraksi

dengan kondisi internal, dan stimulus reproduktif memodifikasi elemen

inhibitor dan stimulator dari sirkuit hipotalamus. Neuron neuroendokrin

hipotalamus melepaskan prolactin inhibiting factors (PIFs) dan prolactin

releasing factors (PRFs), yang mengatur sekresi prolaktin oleh laktotrof dari

kelenjar hipofisis anterior. Laktotrof juga diatur oleh prolaktin dan PIF, secara

autokrin dan parakrin, dari sel sekitar (parakrin) dan laktotrof (autokrin). Ach:

asetikolin; ANG: angiotensin; ANP: atrial natriuretic peptide; BOM:

bombesin-like peptide; CCK: cholecystokinin; CT: kalsitonin; DA: dopamin;

EGF: epidermal growth factor; Est: estrogen; FGF: fibroblast growth factor;

GABA: γ-aminobutyric acid; GAL: galanin; H: histamin; 5-HT: serotonin;

IGF: insulin-like growth factor; IL-1: interleukin-1; l: laktotrof; MSH:

melanocyte stimulating hormone; NO: nitric oxide; NorA: norepinefrin; NPY:

neuropeptide Y; NT: neurotensin; PACAP; pituitary adenylate cyclase-

activating peptide; PC: pituitary cell; SST: somatostatin; TGF-β: transforming

growth factor-β; TRH: thytrotropin-releasing factor; TIDA:

tuberoinfundibular dopaminergic system: TSH: thyroid stimulating hormone;

VIP: vasoactive intestinal peptide (Foitzik dkk., 2009).

28

2.2.3 Fungsi Prolaktin

Prolaktin diketahui memiliki berbagai fungsi fisiologis selain perannya pada

proses laktasi dan reproduksi. Hingga saat ini terdapat lebih dari 300 aktivitas

biologis prolaktin yang diketahui (Tabel 2.3) (Guyton dkk., 2006; Foitzik dkk.,

2009). Sebagai contoh, prolaktin terlibat dalam aktivasi dan diferensiasi sel

epitelial, timosit, limfosit, dan makrofag. Prolaktin juga berperan sebagai bagian

dalam jaringan neuroendokrin-imun dengan menstimulasi pelepasan sitokin

spesifik (Foitzik dkk., 2009).

29

Tabel 2.3 Fungsi prolaktin (Foitzik dkk., 2009).

Kategori Aktivitas yang Berhubungan

dengan Kulit

Reproduksi Stimulasi perkembangan kelenjar

mamae dan laktasi, sintesis protein

susu, laktose, dan lemak.

Overekspresi prolaktin: perubahan

morfologi kelenjar, susu kaya lipid.

Mitogenik, meningkatkan masa

hidup sel epitel mamae.

Prolaktin berperan melalui

mekanisme autokrin yang secara

negatif mengatur tingkat

diferensiasi (desidualisasi) sel

uterus manusia.

Sintesis pheromones oleh kenjar

kulit. Modulasi tingkah laku

seksual.

Endokrin dan metabolism Pengaturan metabolisme lemak,

diferensiasi dan perkembangan

adiposit.

Prolaktin (-): gangguan

perkembangan jaringan lemak

subkutan, berkurangnya adiposity.

Penekanan penyimpanan lipid dan

pelepasan adipokin.

Pertumbuhan islet pankreas,

stimulasi sekresi insulin.

Pengaturan keseimbangan air dan

elektrolit

Mengurangi natrium klorida pada

keringat manusia.

Termoregulasi.

30

Otak dan tingkah laku Siklus tidur-bangun, melatonin-

regulated timer cells dan sel yang

mensekresi prolaktin, berfungsi

bersama sebagai sistem waktu

intrahipofisis “pacemaker-slave”.

Respon stres adaptif

Pertumbuhan dan perkembangan Mengatur pelepasan faktor

angiogenik seperti VEGF oleh

monosit dan makrofag.

Modulasi sistem pigmen.

Imunoregulasi Aktivasi, diferensiasi, dan pelepasan

sitokin spesifik dari sel epitel timus,

timosit, limfosit, sel natural killers

(sel NK), dan makrofag

Diferensiasi timosit cluster of

differentiation (CD) CD8- menjadi

sel CD4+ CD8+.

Mencegah apoptosis timosit.

Selama respon fase akut, ekspresi

PRLR mengalami penurunan pada

berbagai jaringan dan peningkatan

di timus.

Produksi autoantibodi oleh limfosit

B.

Meningkatkan pelepasan sitokin

pada limfosit seperti IL-2 dan IFN-

γ.

IFNα: interferon α; IL-2: interleukin-2; PRLR: prolactin receptor; VEGF:

vascular endothelial growth factor

31

2.2.4 Peran Prolaktin pada Fisiologi Kulit

Sekitar 2 dekade yang lalu, terdapat hipotesis bahwa prolaktin berperan sebagai

modulator neuroendokrin pada pertumbuhan epitel kulit dan sistem imun pada

kulit. Paus (1991) menyatakan bahwa prolaktin membentuk sirkuit prolaktin di

antara kulit dan sistem saraf pusat. Konsep ini kemudian diintegrasikan ke dalam

komunikasi neuroendokrin dengan sistem imun melalui aksis otak-kulit (Paus

dkk., 2006). Dari beberapa penelitian, prolaktin dan reseptor prolaktin ditemukan

pada beberapa populasi sel kutaneus termasuk keratinosit, fibroblas, kelenjar

keringat, dan sebaseus. Hal ini menunjukkan bahwa prolaktin berperan dalam

berbagai proses fisiologis dan patologis pada kulit (Gambar 2.6) (Foitzik dkk.,

2009).

32

Gambar 2.6 Fungsi prolaktin pada biologi dan patologi kulit. Sirkuit prolaktin

menjelaskan mekanisme antara kulit dan sistem saraf pusat. Prolaktin berperan

pada proses fisiologis dan patologis di kulit. Gambaran ini menunjukkan

jaringan yang kompleks antara sistem saraf pusat, liver, timus, sel darah

perifer dan kulit, diperantarai oleh growth factor dan neuropeptide. CNS:

central nervous system; IFN: interferon; IL: interleukin; IGF: insulin-like

growth factor; L: limfosit; MAC: makrofag; NK: natural killer cell; TSH:

thyroid-stimulating hormone; VEGF: vascular endothelial growth factor

(Foitzik dkk., 2009).

2.2.4.1 Keratinosit

Keratinosit merupakan sel epidermal dominan dan berperan pada biologi kulit

dengan mempertahankan barier epidermal, mengatur pertahanan kulit terhadap

antimikroba, sistem imunitas kulit, dan berkontribusi pada integritas struktural

kulit. Ekspresi prolaktin dan reseptor prolaktin terdapat pada keratinosit manusia.

33

Prolaktin memiliki efek proliferasi keratinosit. Selain itu, prolaktin juga

memodulasi produksi sitokin/kemokin pada keratinosit. Prolaktin dapat

meningkatkan produksi kemokin CXCL9, 10, dan 11 yang diinduksi oleh IFN-γ

melalui aktivasi STAT1, nuclear factor-κβ (NF-κβ), dan interferon regulatory

factor (IRF)1 melalui Janus kinase (JAK)2 dan Jalur MEK/ERK. Hal ini

mengarahkan ada pemikiran bahwa prolaktin dapat memfasilitasi infiltrasi sel T

ke plak psoriatik (Foitzik dkk., 2009; Langan dkk., 2010).

Prolaktin juga merupakan regulator neuroendokrin dari ekspresi keratin.

Prolaktin meregulasi keratin K5 dan K14 dan sel punca epitelial yang

berhubungan dengan K15 dan K19 pada keratinosit. Penemuan ini meggambarkan

adanya suatu sistem pengaturan untuk keratin manusia in situ melalui stimulus

neuroendokrin parakrin dan/autokrin yang dihasilkan oleh dan bekerja pada

kompartemen kulit spesifik. Temuan baru ini memiliki implikasi klinis terhadap

penyakit kulit yang berhubungan dengan produksi keratin berlebih seperti

psoriasis, liken planus, dan lupus eritematosus diskoid. Hal ini juga

menggambarkan bahwa prolaktin meregulasi biologi sel punca epitel manusia

secara in situ, dan menggambarkan reseptor prolaktin diduga dapat sebagai target

terapi pada penyakit keratinisasi tertentu (Foitzik dkk., 2009; Langan dkk., 2010).

2.2.4.2 Fibroblas

Fibroblas dermal berperan utama dalam mempertahankan dan remodelling

matriks ekstraseluler kulit, memberikan sokongan struktural dan untuk

penyembuhan luka normal. Fibroblas dermal manusia menghasilkan prolaktin dan

juga reseptor prolaktin. Fibroblas dermal yang dikultur secara invitro

34

menghasilkan protein prolaktin. Protein prolaktin 23 kDa yang terdeteksi identik

dengan prolaktin hipofisis. Peran prolaktin pada biologis fibroblas masih belum

jelas, namun prolaktin dilaporkan dapat menghambat apoptosis pada sel stroma

desidua (Langan dkk., 2010).

2.2.4.3 Sel endotel

Angiogenesis merupakan gambaran utama psoriasis dan fase anagen dari siklus

folikel rambut. Kadar serum faktor angiogenik utama, VEGF berhubungan

dengan tingkat keparahan psoriasis. Kadar messenger ribonucleic acid (mRNA)

prolaktin yang rendah dan ekspresi protein prolaktin pada sel endotel juga

dilaporkan berhubungan. Kadar yang rendah ini cukup untuk menimbulkan efek

autokrin dan parakrin pada sel endotel. Prolaktin 23 kDa dilaporkan bersifat

proangiogenik in vivo, dapat menstimulasi pembentukan pembuluh darah baru

bila endotel tidak berproliferasi. Pada manusia, hal ini menjelaskan hubungannya

dengan proliferasi vaskular berlebih pada psoriasis (Foitzik dkk., 2009; Langan

dkk., 2010).

Prolaktin 16 kDa memiliki sifat yang berlawanan dengan prolaktin 23 kDa

yakni bersifat antiangiogenik, memiliki efek antitumor, menghambat produksi

nitric oxide sintase pada sel endotel. Prolaktin 16 kDa juga menghambat

proliferasi sel endotel yang distimulasi oleh VEGF dan basic fibroblast growth

factor serta menstimulasi apoptosis sel endotel (Foitzik dkk., 2009; Langan dkk.,

2010).

35

2.2.4.4 Kelenjar sebasea

Pada kulit manusia, prolaktin dan reseptor prolaktin terdapat pada kelenjar

sebasea. Prolaktin menstimulasi produksi sebum (Zouboulis dkk., 2008). Efek ini

tampak jelas pada wanita dengan hiperprolaktinemia yang mengalami hirsutisme

dan kondisi seborea, serta tidak jarang berhubungan dengan kebotakan pola

wanita (Langan dkk., 2010). Pasien yang diobati dengan agen neuroleptik yang

menginduksi hiperprolaktinemia juga mengalami seborea, namun mekanisme

seborea yang diinduksi oleh prolaktin masih belum jelas (Paus dkk., 1991).

Pengobatan dengan dopaminergik, yang menghambat sekresi prolaktin hipofisis

dapat memperbaiki kondisi kulit seborea yang berhubungan dengan penyakit

Parkinson. Kondisi seborea memerlukan peningkatan aktivitas sekretori holokrin

untuk terjadinya peningkatan proliferasi sebosit. Prolaktin juga dapat memodulasi

fungsi sebosit, sebagai contoh prolaktin memodulasi sekresi sebum melalui

regulasi metabolisme androgen perifer. Prolaktin juga menghambat aktivitas 5α

reduktase in vitro (Foitzik dkk., 2009). Mengingat sebosit juga merupakan sel

target utama dalam sinyal neuroendokrin, prolaktin juga berkontribusi pada efek

perburukan stres emosional pada akne vulgaris. Selain stimulasi pada proliferasi

sebosit, yang meningkatkan sekresi holokrin pada kelenjar ini, hal ini juga

berkaitan dengan efek pada metabolisme androgen perifer. Hal ini belum

sepenuhnya dipelajari, belum terdapat konsensus mengenai prolaktin hipofisis

atau kulit yang bertanggung jawab terhadap terjadinya efek ini (Langan dkk.,

2010).

36

2.2.4.5 Kelenjar keringat

Prolaktin meningkat sebagai respon terhadap pemanasan aktif (distimulasi oleh

kelelahan) dan oleh pemanasan pasif. Hal ini menggambarkan efek

termoregulatori, bukan suatu efek kardiovaskular yang memberikan stimulus

terhadap pelepasan prolaktin selama latihan pada kondisi panas. Prolaktin juga

merupakan penanda tidak langsung untuk kondisi kelelahan (Low dkk., 2005).

Menariknya, komponen signifikan dari respon panas prolaktin dimediasi oleh

temperatur kulit wajah. Oleh sebab itu, perubahan temperatur hanya sekitar 10%

dari total permukaan tubuh memiliki efek signifikan pada respon hormonal

terhadap stres panas (Mundel dkk., 2007).

Peran prolaktin pada pengaturan kelenjar keringat manusia dapat dilihat

dari non-mamalia. Pada kulit ikan, sebagai contohnya prolaktin berperan penting

pada osmoregulasi dengan mencegah kehilangan ion dan pengambilan air

berlebih. Kortisol dan prolaktin penting untuk mengembalikan hemostatis

hidromineral pada kulit ikan. Tambahan lagi, pemberian prolaktin menstimulasi

pertumbuhan dan proliferasi lapisan basal keratinosit epidermal dan merangsang

diferensiasi mukosit pada tilapia (Sarotherodon mossambicus). Oleh sebab itu,

prolaktin tampaknya memperantarai adaptasi epidermal terhadap stres lingkungan.

Pada biologi kulit mamalia, prolaktin dapat menampilkan fungsi osmoregulator

melalui regulasi aktivitas kelenjar keringat. Kelenjar keringat manusia

menunjukkan imunoreaktivitas terhadap prolaktin dan prolaktin memodulasi

konsentrasi klorida pada keringat manusia. Oleh karena itu, terdapat spekulasi

37

bahwa prolaktin dapat terlibat pada patogenesis cystic fibrosis ((Langan dkk.,

2010).

2.2.4.6 Folikel rambut

Pada kulit kepala bagian oksipital pria, prolaktin memiliki efek menghambat

pertumbuhan rambut, yang dapat menjelaskan kondisi telogen effluvium yang

terjadi pada pasien dengan hiperprolaktinemia. Namun, efek modulator prolaktin

pada pertumbuhan rambut dapat tergantung lokasi dan/atau jenis kelamin karena

prolaktin justru dapat menstimulasi pertumbuhan rambut pada folikel rambut

bagian frontotemporal wanita pada penelitian in vitro. Hiperprolaktinemia pada

wanita juga berhubungan dengan pola kebotakan alopesia tipe androgen dan

hirsutisme, yang lebih lanjut menerangkan bahwa prolaktin memiliki efek yang

spesifik tergantung lokasi folikel rambut pada seseorang (Foitzik dkk., 2009;

Langan dkk., 2010).

Siklus folikel rambut yang tidak tergantung musim pada tikus juga

dimodulasi oleh prolaktin. Gangguan gen PRLR pada tikus mengakibatkan

fenotip rambut yang menyolok yang ditandai dengan rambut lebih panjang dan

kasar, dan masuknya folikel rambut ke siklus rambut berikutnya secara prematur.

Prolaktin dan reseptor prolaktin diekspresikan pada keratinosit folikel rambut

murin secara in vivo, dan pengobatan folikel rambut anagen yang dikultur pada

organ dengan prolaktin secara prematur menginduksi katagen, diikuti dengan

berkurangnya proliferasi pada kulit murin (Craven dkk., 2001). Penekanan sekresi

prolaktin hipofisis dengan obat-obatan, dengan agonis dopaminergik bromokriptin

meningkatkan pertumbuhan rambut. Meningkatkan durasi pengobatan dengan

38

prolaktin juga dapat menghambat masuknya siklus rambut ke fase anagen. Kulit

dari tikus yang mengalami defisiensi resptor prolaktin yang digraft ke tikus host

normal mengalami siklus folikel rambut yang lebih cepat dan telogen

diperpendek, yang memperkuat bahwa prolaktin mengatur siklus folikel rambut

pada tikus melalui efek langsung pada kulit (Craven dkk., 2006).

Pada manusia, keratinosit mengekspresikan reseptor prolaktin in vitro.

Kulit dan kulit kepala manusia mengekspresikan prolaktin dan reseptor prolaktin

pada tingkat mRNA dan protein. Pengobatan folikel rambut kulit kepala manusia

pada fase anagen yang dikultur dengan prolaktin dosis tinggi (400 ng/mL), pada

tingkat yang terdapat pada pasien dengan hiperprolaktinemia karena

makroprolaktinoma, mengakibatkan penghambatan pemanjangan batang rambut,

perkembangan katagen prematur, berkurangnya proliferasi dan meningkatnya

apoptosis keratinosit bulbus rambut. Hal ini menunjukkan bahwa PRLR bersifat

fungsional, dan kulit manusia, termasuk folikel rambut kulit kepala manusia

bukan hanya merupakan sumber prolaktin ekstrahipofisis, namun juga merupakan

target prolaktin langsung (Foitzik dkk., 2003; Foitzik dkk., 2009). Mengingat

bahwa kulit manusia dapat mengekspresikan sekitar 5 juta folikel rambut,

menunjukkan bahwa kulit manusia merupakan sumber sintesis prolaktin yang

penting (Langan dkk., 2010).

2.2.4.7 Respon imun kulit

Prolaktin memiliki beberapa fungsi pada sistem imunitas kulit yang dapat dilihat

pada Tabel 2.4.

39

Tabel 2.4 Fungsi prolaktin sebagai sitokin imunomodulator ((Foitzik dkk.,

2009).

Tipe Sel Fungsi Imunomodulasi Prolaktin

Progenitor sel T Sel B pada tikus yang mendapat pengobatan estradiol

menjadi sel zona marginal, sedangkan sel identik

dari tikus yang mendapat pengobatan dengan

prolaktin menjadi sel folikular pada antibodi anti-

DNA di model murin pada lupus eritematosus

sistemik.

Limfosit Prolaktin dihasilkan oleh limfosit, menginduksi

maturasi dan proliferasi, ekspresi molekul CD69 dan

CD154, dan sekresi IL sebagian tergantung pada

prolaktin autokrin. Induksi IL-2, IFN-γ, ekspresi

molekul ko-stimulator dan IFN-regulatory factor-1.

Limfosit T Merangsang proliferasi, perlindungan dari apoptosis,

meningkatkan masa hidup.

Menghambat fungsi limfosit T-supresor.

Meningkatkan masa hidup, proliferasi, dan

diferensiasi timosit CD4- CD8- menjadi sel T CD4+

CD8+ .

Meningkatkan sintesis IFN-γ dan IL-2 oleh limfosit

Th1, menekan apoptosis.

Limfosit B Mengaktifkan limfosit Th2 melalui produksi

autoantibodi pada pasien dengan penyakit autoimun.

Menstimulasi produksi antibodi oleh limfosit B.

Proliferasi limfosit B.

Sel dendritik Sel dendritik yang mendapat pengobatan dengan

prolaktin meningkatkan sekresi IL-12, TNF-α, dan

IL-1β.

Regulasi reseptor GM-CSF dan menginduksi

maturasi sel dendritik imatur.

40

Meningkatkan ekspresi IL-6, IL-10, IL-12, dan TNF-

α pada sel dendritik limpa.

Sel natural killer Mengaktifkan proliferasi dan fungsi litik sel NK

dengan mengupregulasi ekspresi permukaan NKp46

dan NKp30 dan upregulasi perforin.

Makrofag/monosit Meningkatkan ekspresi CD69 dan CD25 pada sel

mononuklear darah perifer.

Meningkatkan respon imun antitumor oleh makrofag

tumorisidal dan menginduksi pelepasan IL-12.

Menstimulasi sintesis dan pelepasan sitokin

imunomodulator dan faktor pengaktivasi limfosit

(misal IL-1) oleh makrofag peritoneal dan prolaktin

menghilangkan penghambatan proliferasi oleh

limfosit darah perifer.

Meningkatkan ekspresi heme oxgenase-1 dan

menginduksi produksi VEGF pada makrofag.

Menginduksi ekspresi gen chitotriosidase pada

makofag yang berasal dari monosit.

Meningkatkan pelepasan VEGF.

Produksi faktor pengaktivasi makrofag oleh limfosit.

GM-CSF: granulocyte macrophage- colony stimulating factor; TNF-α:

tumor necrosis factor α; VEGF: vascular endothelial growth factor

2.2.5 Peran Prolaktin pada Psoriasis

Beberapa penelitian melaporkan bahwa terdapat peningkatan kadar serum

prolaktin (hiperprolaktinemia) pada pasien dengan penyakit autoimun seperti

artritis reumatoid, lupus eritematosus sistemik, sklerosis sistemik, penyakit

Graves, sindrom Reiter, penyakit Addison, tiroiditis Hashimoto, dan psoriasis

(Foitzik dkk., 2009; Kanda dkk., 2013) Terdapat hipotesis yang menyatakan

41

bahwa prolaktin dapat terlibat pada patogenesis penyakit tersebut. Hal ini

didukung dengan pengobatan menggunakan bromokriptin yang menekan

pelepasan prolaktin dari hipofisis dapat memperbaiki kondisi penyakit-penyakit

tersebut, sehingga menyokong peran prolaktin dalam patogenesis terjadinya

penyakit (Kanda dkk., 2013).

Giasuddin dkk. (1998) meneliti kadar serum prolaktin pada 12 pasien

dengan psoriasis vulgaris dan membandingkan hasilnya dengan 9 orang pasien

dermatitis atopik serta 20 orang subjek normal, didapatkan hasil kadar serum

prolaktin pada pasien dengan psoriasis vulgaris lebih tinggi secara signifikan

dibandingkan dengan kedua kelompok lainnya (Giasuddin dkk., 1998).

Hasil penelitian melaporkan bahwa hiperprolaktinemia sering terjadi pada

pasien dengan psoriasis dan kadar prolaktin serum berhubungan dengan

keparahan penyakit dan merangsang perkembangan psoriasis (Foitzik dkk., 2009;

Kato dkk., 2012). Pasien psoriasis juga seringkali memiliki manifestasi klinis

obesitas dan sindrom metabolik seperti hipertensi, dislipidemia, atau diabetes.

Hiperprolaktinemia yang berhubungan dengan psoriasis dapat disebabkan oleh

aksis sinyal somatotropin yang terlalu aktif atau prolaktinoma (Foitzik dkk.,

2009).

Dilaporkan juga bahwa agonis dopamin seperti bromokriptin atau

kabergolin, menekan pelepasan prolaktin, mengatasi uveitis, artritis dan sindrom

metabolik serta perbaikan hiperprolaktinemia dan erupsi psoriasiformis.

Hubungan kausal tersebut mengindikasikan bahwa prolaktin dapat merangsang

perkembangan komorbiditas pada psoriasis seperti artritis, uveitis, dan sindrom

metabolik karena prolaktin dapat menyebabkan gangguan fungsi endotel dan

42

resistensi insulin. Oleh sebab itu, kondisi hiperprolaktinemia dapat

menghubungkan antara perkembangan psoriasis dengan komorbiditas psoriasis

seperti inflamasi ekstrakutaneus atau sindrom metabolik (Kanda dkk, 2013).

Prolaktin di kulit dapat berasal dari sirkulasi, meskipun juga dapat

diproduksi di kelenjar keringat atau folikel rambut dan juga memungkinkan

bahwa sel T yang menginfiltrasi kulit dapat menghasilkan prolaktin (Kanda dkk.,

2013). Penelitian oleh El Khateeb dkk. (2011) menyatakan bahwa kadar prolaktin

meningkat pada lesi kulit (plak psoriasis) yang menandakan bahwa prolaktin yang

dihasilkan secara lokal di kulit dapat merangsang perkembangan psoriasis (El-

Khateeb dkk., 2011). Prolaktin secara in vitro dapat meningkatkan proliferasi

keratinosit epidermal yang menandakan bahwa prolaktin berkaitan dengan

hiperproliferasi keratinosit epidermal pada lesi psoriasis. Juga dilaporkan bahwa

prolaktin merangsang ekspresi keratin K5, K14, K15 pada folikel rambut

keratinosit (Kato dkk., 2012). Penelitian oleh Langan dkk. (2013) melaporkan

bahwa prolaktin dan reseptor prolaktin terdeteksi pada keratinosit epidermal

manusia dan juga pada folikel rambut, serta prolaktin meningkatkan fosforilasi

STAT5 pada keratinosit epidermal (Langan dkk., 2013). Pada selubung rambut

luar keratinosit epidermal, ekspresi prolaktin ditingkatkan oleh IFN-γ dan

dikurangi oleh TNF-α. Modulasi tersebut menggambarkan keseimbangan lokal

sitokin inflamasi dapat mempengaruhi ekspresi prolaktin pada kulit, terutama

pada lesi psoriasis (Kanda dkk, 2013).

Penelitian pertama yang mengamati efek prolaktin pada keratinosit

manusia dilakukan oleh Girolomoni dkk. (1993). Dalam penelitian ini dilakukan

43

pengamatan mengenai efek prolaktin pada keratinosit yang dikultur dari bayi baru

lahir dengan menggunakan lingkungan yang bebas serum. Didapatkan hasil

bahwa prolaktin dapat menstimulasi proliferasi keratinosit yang dikultur dari

manusia meskipun tanpa adanya epidermal growth factor (EGF). Kemampuan

prolaktin untuk menstimulasi proliferasi keratinosit mungkin relevan dengan

kondisi hiperproliferatif epidermis, seperti pada psoriasis (Girolomoni dkk.,

1993).

De Bellis dkk. (2005) dan Biswas dkk. (2006) menyatakan bahwa

prolaktin dapat meningkatkan sintesis IFN-γ dan IL-2 oleh limfosit Th1,

menginduksi ekspresi molekul kostimulator misalnya major histocompatibility

complex-II (MHC-II), cluster of differentiation 40 (CD40), CD80 pada sel penyaji

antigen serta IFN-regulatoy factor-1 (IRF-1) dengan hasil akhir hiperproliferasi

keratinosit akibat peningkatan sitokin-sitokin tersebut (De Bellis dkk., 2005;

Biswas dkk., 2006).

Yu-Lee (2001) menyatakan bahwa prolaktin meningkatkan proliferasi dan

proteksi sel limfosit T terhadap apoptosis, sehingga akan menyebabkan

peningkatan masa hidup sel limfosit T. Prolaktin juga akan menghambat fungsi

limfosit T-supresor yang berperan dalam perkembangan plak psoriasis. Prolaktin

dapat meningkatkan ekspresi sitokin Th1 dari limfosit dan dapat mempengaruhi

ekspresi kemokin sehingga mampu merangsang infiltrasi sel T ke lesi psoriasis

(Yu-Lee dkk., 2001).

Penelitian in vitro menunjukkan bahwa prolaktin dapat meningkatkan

produksi CXCL9, CXCL10, dan CXCL11 yang terutama diinduksi oleh IFN-γ

44

yang dihasilkan oleh Th1. Pada lesi psoriasis terdapat peningkatan ekspresi dan

produksi CXCL9, CXCL10, dan CXCL11 yang memiliki fungsi kemotaksis

terhadap sel Th1 ke tempat inflamasi. Penelitian oleh Kanda dan Watanabe

(2007) menunjukkan bahwa walaupun prolaktin sendiri tidak memberikan efek

yang signifikan pada produksi ketiga kemokin ini, namun prolaktin meningkatkan

produksi CXCL9, CXCL10, dan CXCL11 yang diinduksi oleh IFN-γ melalui

aktivasi faktor transkripsi STAT1, NF-κβ, dan IRF-1. Aktivasi ketiga faktor

transkripsi tersebut menggunakan jalur kinase 2 (JAK2) dan MEK/ERK (Kanda

dan Watanabe, 2007).

Prolaktin meningkatkan sekresi dan ekspresi CCL20 pada keratinosit

manusia yang diinduksi oleh IL-17A. Lowes dkk. (2008) menemukan adanya

infiltrasi Th17 secara agresif ke dalam dermis pada lesi psoriasis. Infiltrasi Th17

yang mengekspresikan CCR6 ke dalam lesi psoriasis disebabkan oleh karena efek

kemotaksis dari CCL20. Ekspresi CCL20 tergantung pada NF-κβ dan AP-1.

Prolaktin saja mampu merangsang ekspresi komponen AP-1, c-Fos dan c-Jun dan

meningkatkan aktivitas transkripsional activation factor-1 (AP-1), sedangkan IL-

17A tidak meningkatkan aktivitas AP-1 walaupun dapat meningkatkan ekspresi c-

Fos pada keratinosit manusia. Prolaktin juga mampu meningkatkan aktivitas NF-

κβ sementara aktivitasnya ditingkatkan oleh IL-17, dan penambahan keduanya

mengakibatkan aktivasi sinergis NF-κβ. Oleh sebab itu, prolaktin terutama

mengaktivasi AP-1 yang dapat merangsang produksi CCL20 bersamaan dengan

IL-17A yang terutama mengaktivasi NF-κβ pada keratinosit manusia (Kanda dkk.,

2013).

45

Hasil penelitian ini secara in vitro menunjukkan gambaran in vivo yakni

prolaktin dapat menginduksi sekresi CCL20 oleh keratinosit epidermal pada lesi

psoriasis dan CCL20 yang disekresikan akan menarik sel Th17 yang

mengekspresikan CCR6. Selanjutnya sel Th17 akan melepaskan IL-17 yang

nantinya bersama-sama dengan prolaktin akan menginduksi sekresi CCL20 oleh

keratinosit sehingga menyebabkan penarikan kembali sel Th17. Mekanisme

umpan balik positif dari prolaktin dengan IL-17 dan CCL20 dapat memperluas

inflamasi yang diperantarai oleh sel Th17 pada lesi psoriasis (Gambar 2.7) (Kanda

dkk., 2013).

Gambar 2.7 Hipotesis peningkatan infiltrasi sel T pada lesi kulit psoriasis yang

diinduksi oleh prolaktin. PRL: prolaktin (Kanda dkk., 2013).

Peran prolaktin sebagai imunomodulator juga tampak pada sel dendritik.

Pada penelitian yang dilakukan pada sel dendritik timus yang berasal dari tikus

46

menunjukkan bahwa prolaktin meningkatkan sejumlah sitokin proinflamasi yaitu

IL-12, TNF-α, dan IL-1β. Carreno dkk., 2004; Matera dkk., 2001 menyatakan

bahwa prolaktin dalam konsentrasi fisiologis dan suprafisiologis meningkatkan

reseptor granulocyte macrophage-colony stimulating factor (GM-CSF) yang

nantinya secara sinergis bersama dengan prolaktin akan menginduksi

pematangan sel dendritik yang imatur (Matera dkk., 2001).

Prolaktin memiliki peran yang potensial dalam modulasi sel NK. Hal ini

dibuktikan dengan ditemukannya reseptor prolaktin pada sel NK manusia.

Prolaktin bersama dengan faktor pertumbuhan sel NK yaitu IL-12 dan IL-15

akan menstimulasi proliferasi sel NK. Sel NK memproduksi IFN-γ dan TNF-α

yang berperan dalam proses terjadinya inflamasi pada psoriasis (Sun dkk., 2004).

Pada monosit/makrofag yang dikultur dari manusia, prolaktin

meningkatkan produksi VEGF. Hal ini menunjukkan bahwa prolaktin mungkin

berperan dalam terjadinya angiogenesis (Malaguarnera dkk., 2005).

Beberapa penelitian juga melaporkan hubungan antara kadar prolaktin

dan derajat keparahan psoriasis. Dilme-Carreras dkk. (2010) melaporkan kadar

prolaktin serum lebih tinggi secara signifikan pada pasien dengan psoriasis

dibandingkan dengan kelompok kontrol, dan berkurang secara signifikan setelah

pengobatan. Terdapat korelasi antara kadar prolaktin serum sebelum terapi

dengan skor PASI (Dilme-Carreras dkk., 2010).

Kato dkk. (2012) juga

melaporkan dari penelitiannya bahwa kadar prolaktin serum secara signifikan

lebih tinggi pada pasien psoriasis dibandingkan kontrol. Korelasi positif

47

signifikan ditemukan antara kadar prolaktin serum dan skor PASI saat sebelum

dan sesudah pengobatan (Kato dkk., 2012).

Psoriasis mengenai wanita pada semua usia termasuk usia reproduktif.

Kehamilan yang ditandai dengan berbagai perubahan fisiologis mempengaruhi

perkembangan psoriasis dan mempengaruhi gambaran klinisnya. Hormon seks

terutama prolaktin memiliki peran penting dalam memodulasi sistem imun. Pada

penelitian oleh Murase dkk., pada wanita hamil yang menderita psoriasis

ditemukan bahwa selama kehamilan 55% penderita mengalami perbaikan, 21%

tidak mengalami perubahan, dan 23% mengalami perburukan. Sementara itu saat

postpartum hanya 9% mengalami perbaikan, 26% tidak mengalami perubahan,

dan 65% mengalami perburukan penyakit. Hal ini menunjukkan bahwa

terjadinya hiperprolaktinemia fisiologis selama masa postpartum (laktasi) akan

menyebabkan perburukan psoriasis (Murase dkk., 2005). Beberapa stresor dapat

menginduksi sekresi faktor pelepasan prolaktin dari hipotalamus, yang kemudian

menstimulasi kelenjar hipofisis anterior untuk melepaskan prolaktin. Stimulus

hisapan puting susu dapat terlibat pada ekaserbasi psoriasis yang diinduksi oleh

stres. Stimulus hisapan puting susu tersebut merangsang pelepasan prolaktin

yang menjelaskan peningkatan keparahan psoriasis setelah melahirkan pada

pasien wanita (Kanda dkk., 2013).

Siklosporin A merupakan salah satu pengobatan untuk psoriasis.

Siklosporin A menghambat ikatan prolaktin pada reseptor prolaktin yakni pada

limfosit T dan limfosit B. Obat psoriasis yang lain yakni all trans retinoic acid

menekan pelepasan prolaktin dari hipofisis, dan propiltiourasil mengurangi kadar

48

prolaktin serum yang berhubungan dengan perbaikan lesi akantosis pada pasien

psoriasis. Salah satu mekanisme kerja obat antipsoriatik tersebut adalah melalui

penekanan produksi dan/atau fungsi prolaktin (Kanda dkk., 2013).

Prolaktin dapat mencetuskan atau meningkatkan keparahan psoriasis,

sehingga dengan demikian prolaktin dapat dipertimbangkan untuk menjadi target

pengobatan psoriasis. Antibodi terhadap prolaktin atau reseptor prolaktin mampu

menekan ekspresi sitokin Th17/Th22/Th1 dan sel T yang diinduksi oleh

prolaktin serta inflamasi yang diperantarai oleh neutrofil, sehingga mungkin

dapat efektif pada pasien psoriasis terutama dengan disertai hiperprolaktinemia

(Kanda dkk., 2013). Bromokriptin telah lama diteliti untuk menilai efek

imunosupresifnya, yang mampu mengurangi kadar prolaktin sirkulasi atau efek

supresif langsung pada sel T dan sel B. Beberapa penelitian melaporkan

efektivitas bromokriptin pada pengobatan psoriasis. Bromokriptin juga

dilaporkan dapat memperbaiki kondisi psoriasis pada tiga orang pasien yang

penyakitnya diperparah dengan prolaktinoma dan kambuh bila bromokriptin

dihentikan (AbouKhedr dkk., 2013; Kanda dkk., 2013). Penggunaan pengobatan

kombinasi dengan bromokriptin yang mampu menekan pelepasan prolaktin dan

siklosporin yang menghambat pengikatan prolaktin pada reseptornya secara

sinergis memperbaiki gejala psoriasis dan mengurangi dosis yang diperlukan

untuk penggunaan siklosporin, sehingga mengurangi efek samping obat (Kanda

dkk., 2013).