bab ii kajian pustaka 2.1 psoriasis - sinta.unud.ac.id ii.pdf · mungkin merupakan varian dari...
TRANSCRIPT
7
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Psoriasis
2.1.1 Definisi
Psoriasis vulgaris adalah penyakit peradangan kronik yang ditandai oleh
gangguan diferensiasi dan hiperproliferasi epidermis dengan gambaran klinis
berupa plak eritema yang berbatas tegas ditutupi skuama putih berlapis, dengan
tanda Autpitz dan fenomena Koebner positif. Penyakit ini umumnya mengenai
daerah ekstensor ekstremitas terutama siku dan lutut, kulit kepala, lumbosakral,
bokong, dan paha (Griffiths dkk., 2010; Gudjonsson dan Elder, 2012).
2.1.2 Epidemiologi
Psoriasis ditemukan di seluruh dunia, dengan prevalensi bervariasi dari 0,1%
hingga 11,8%. Insiden psoriasis tertinggi dilaporkan terjadi di Denmark mencapai
2,9%. Insiden psoriasis di Amerika Serikat mencapai 2,2% hingga 2,6%,
sedangkan insiden psoriasis di Asia termasuk rendah yakni sekitar 0,4%
(Gudjonsson dan Elder, 2012). Data dari beberapa rumah sakit di Indonesia dari
tahun 2003-2006 menunjukkan insiden psoriasis rata-rata mencapai 96 kasus atau
0,4% dari 22.070 kunjungan kasus baru (Sugito, 2008).
Budiastuti dkk.
melaporkan di RSUP Kariadi terdapat 198 kasus selama rentang waktu 5 tahun
(2003-2007) (Budiastuti dkk., 2009).
8
Psoriasis dapat mengenai laki-laki maupun perempuan (Langley dkk.,
2005). Laki-laki dan perempuan memiliki kemungkinan terkena yang sama besar.
(Gudjonsson dan Elder, 2012). Beberapa pengamatan terakhir menunjukkan
bahwa psoriasis sedikit lebih sering terjadi pada pria dibandingkan wanita.
Sementara pada sebuah penelitian yang meneliti pengaruh jenis kelamin dan usia
pada prevalensi psoriasis, ditemukan bahwa pada pasien yang berusia lebih muda
(kurang dari 20 tahun) prevalensi psoriasis ditemukan lebih tinggi pada wanita
dibandingkan pada pria (Neimann dkk., 2006). Psoriasis dapat terjadi pada semua
usia, namun jarang pada usia kurang dari 10 tahun. Onset psoriasis paling sering
terjadi pada usia 15 hingga 30 tahun (Kuchekar, 2011). Pasien dengan onset usia
yang lebih awal cenderung memiliki riwayat psoriasis pada keluarga yang sering
dihubungkan dengan Human Leucocyte Antigen (HLA) Cw6 serta memiliki
derajat keparahan penyakit yang lebih tinggi (Langley dkk., 2005; Basko-Piluska
dan Petronic-Rosic, 2012). Banyak penelitian menunjukkan bahwa jika psoriasis
timbul lebih awal, akan dapat menetap seumur hidup dan bermanifestasi dalam
jangka waktu yang tidak dapat ditentukan. Studi longitudinal menunjukkan
remisi spontan dapat terjadi pada sekitar sepertiga pasien psoriasis dengan
frekuensi yang bervariasi (Gudjonsson dan Elder, 2012).
2.1.3 Faktor Pencetus
Psoriasis merupakan penyakit multifaktorial yang dipengaruhi oleh faktor
predisposisi genetik, faktor lingkungan, dan inflamasi yang dimediasi oleh respon
9
imunologis. Faktor pencetus psoriasis bersifat individual yang dapat bervariasi
pada setiap orang (Di Nuzzo dkk., 2014).
Sekitar sepertiga individu dengan psoriasis melaporkan riwayat penyakit
keluarga yang juga menderita psoriasis. Pada kembar monozigot risiko menderita
psoriasis adalah sebesar 70% bila salah seorang menderita psoriasis. Bila orang
tua tidak menderita psoriasis, maka risiko menderita psoriasis adalah sebesar
12%, sedangkan bila salah satu orang tua menderita psoriasis maka risiko
menderita psoriasis meningkat menjadi 34%-39%. Berdasarkan onset penyakit
dikenal dua tipe yakni psoriasis tipe I dengan onset dini dan bersifat familial dan
psoriasis tipe II dengan onset lambat dan bersifat nonfamilial. Hal lain yang
menyokong adanya faktor genetik adalah bahwa psoriasis berkaitan dengan
HLA. Psoriasis tipe I berhubungan dengan HLA-B13, B17, Bw57 dan Cw6.
Psoriasis tipe II berkaitan dengan HLA-B27 dan Cw2 (Nickloloff dan Nestle,
2004). Pada analisis HLA yang spesifik dalam suatu populasi, didapatkan bahwa
suseptibilitas terhadap psoriasis berhubungan dengan Major Histocompability
Complex (MHC) kelas I dan II pada atau dekat dengan kromosom 6 dan lainnya
berada di kromosom 17. Lokus Psoriasis Susceptibility 1 (PSORS1) dianggap
lokus yang terpenting untuk suseptibilitas psoriasis. Hal ini disebabkan PSORS1
berkaitan dengan lebih dari 50% kasus psoriasis (Chandran dan Raychaudhuri,
2010). Lokus suseptibilitas lainnya berada pada kromosom 17q25 (PSORS2),
4q43 (PSORS3), 1q 21 (PSORS4), 3q21 (PSORS5), 19p13 (PSORS6), 1p32
(PSORS7), 16q (PSORS8), dan 4q31 (PSORS9) (Mahajan dan Handa, 2013).
10
Faktor lingkungan memegang peranan penting pada terjadinya psoriasis.
Pencetus dari lingkungan antara lain infeksi, stres, obat-obatan, trauma, paparan
sinar ultraviolet, faktor metabolik/endokrin, merokok, dan minum alkohol
(Bergbore dkk., 2012). Infeksi bakteri, virus, atau jamur dapat mencetuskan
terjadinya psoriasis. Bakteri dapat menghasilkan endotoksin yang berfungsi
sebagai superantigen yang akan meningkatkan aktivasi sel limfosit T, makrofag,
dan sel Langerhans. Infeksi tenggorokan yang disebabkan oleh spesies
Streptococcus β-hemolyticus juga sering dikaitkan dengan ekaserbasi psoriasis.
Beberapa obat-obatan yang dapat mencetuskan psoriasis yaitu litium, beta
blockers, anti malaria, obat antiinflamasi non steroid, tetrasiklin, angiotensin
converting enzyme inhibitors, calcium channel blockers, kalium iodide (Basavaraj
dkk., 2010). Berbagai trauma baik fisik, kimiawi, bedah, peradangan, paparan
sinar ultraviolet dapat memperberat atau mencetuskan lesi psoriasis. Lesi psoriasis
dapat terjadi pada lokasi trauma yang disebut dengan fenomena Koebner (Schon
dan Boehncke, 2005). Hubungan antara stres dan ekaserbasi psoriasis belum
terlalu jelas namun diduga karena mekanisme neuroimunologis. Psoriasis
dilaporkan akan bertambah buruk dengan timbulnya stres yakni pada 30%-40%
kasus. Pada saat periode premenstruasi, lesi psoriasis dikatakan sering kambuh.
Angka kejadian psoriasis meningkat pada waktu pubertas dan menopause dan
diduga peranan dari faktor endokrin. Konsumsi alkohol juga dilaporkan dapat
mencetuskan psoriasis walaupun mekanismenya belum diketahui (Gudjonsson
dkk., 2003).
11
2.1.4 Patogenesis
Psoriasis ditandai oleh hiperproliferasi dan gangguan diferensiasi keratinosit
epidermal, hiperaktivasi sel inflamasi seperti sel T, sel dendritik, atau neutrofil,
dan peningkatan angiogenesis di dermis (Gambar 2.1). Psoriasis dianggap sebagai
suatu penyakit yang diperantarai sistem imun yang ditandai dengan adanya sel
Th1 yang predominan pada lesi kulit dengan peningkatan kadar IFN-γ, TNF-α,
IL-2, dan IL-18. Pada fase awal psoriasis, kondisi stres atau gosokan pada
keratinosit merangsang pelepasan peptide antimikroba, LL-37 yang membentuk
kompleks dengan DNA yang berasal dari keratinosit yang mengalami apoptosis.
Kompleks ini mengaktifkan sel dendritik plasmasitoid di dermis untuk mensekresi
IFN-α yang lebih lanjut mengaktifkan sel dendritik dermal untuk menjadi TNF-α
dan iNOS-producing dendritic cells (TIP-DCs) mensekresi sitokin proinflamasi
TNF-α, IL-20 yang meningkatkan proliferasi keratinosit, atau IL-23 yang
menginduksi diferensiasi sel tipe Th17 menghasilkan IL-17A/F atau IL-22 atau
sel Th22 menghasilkan IL-22 (Lowes dkk., 2007; Nestle dkk., 2009). TNF-α dan
iNOS-producing dendritic cells (TIP-DCs) yang teraktivasi memasuki kelenjar
limfe regional dan menginduksi diferensiasi sel Th17, Th22 dan sel Th1
menghasilkan IFN-γ melalui interaksi antara sel-sel atau sitokin. Sel Th17 dan
Th22 mengekspresikan chemokine (c-c motif) receptor 6 (CCR6) pada
permukaannya dan dikemoatraksi oleh ligannya yakni chemokine (c-c motif)
ligand 20 (CCL20). Sel Th1 mengekspresikan cxc chemokine receptor type 3
(CXCR3) dan dikemoatraksi oleh ligannya yakni chemokine (c-x-c motif) ligand
9/10/11 (CXCL9/10/11). Pada fase akut psoriasis, TNF-α dari TIP-DCs di dermis
12
berperan pada keratinosit epidermal untuk menghasilkan vascular endothelial
growth factor (VEGF) yang meningkatkan proliferasi sel endotel dan merangsang
angiogenesis, dan kemokin CXCL8 menarik neutrofil, kemokin CXCL10
merangsang sel Th1, dan kemokin CCL20 menarik sel Th17 dan sel Th22 (Kanda
dkk., 2013). Vascular endothelial growth factor (VEGF) berperanan dalam
meningkatkan vaskularisasi lesi untuk merangsang hiperplasia epidermis,
pertumbuhan pembuluh darah dan infiltrasi leukosit pada kulit. Vascular
endothelial growth factor berperanan penting dalam mengatur aktivitas keratinosit
pada psoriasis, untuk meningkatkan permeabilitas endotel dan menginduksi
vasodilatasi (Tammela dkk., 2005). Oleh karena itu neutrofil menginfiltrasi
epidermis, membentuk mikroabses Munro, dan mensekresi IFN-γ, IL-17A/F, dan
IL-22 serta berperan sebagai sel T efektor (Kanda dkk., 2013).
Pada fase kronik psoriasis, IL-17 A/F dari sel Th17 berperan pada
keratinosit dan menginduksi produksi CXCL8 dan CCL20; IL-22 dari sel Th22
dan IL-20 dari TIP-DCs meningkatkan proliferasi keratinosit dan menginduksi
akantosis; IFN-γ dari sel Th1 meningkatkan produksi kemokin CXCL10 pada
keratinosit. IL-17 A/F, IL-22, dan IFN-γ meningkatkan produksi sitokeratin
K6/16/17 yang menginduksi hiperproliferasi abnormal dan gangguan diferensiasi
epidermis dan juga meningkatkan produksi peptide antimikroba seperti LL-37
pada keratinosit. LL-37 yang dihasilkan dapat merangsang dimulainya lesi
psoriatik dengan menstimulasi sel dendritik (Kanda dkk., 2013).
13
Gambar 2.1 Psoriasis fase awal, akut, dan kronik. AMP: antimicrobial
peptide; dDC: dermal dendritic cell; TIP-DC: TNF-α dan iNOS-producing
dendritic cells; pDC: plasmacytoid dendritic cells; hBD: human-β-
defensine; KC: keratinosit; NO: nitric oxide; Neut: neutrofil; VEGF:
vascular endothelial growth factor (Kanda dkk., 2013).
2.1.5 Gambaran Klinis
Psoriasis merupakan penyakit papuloskuamosa dengan gambaran morfologi,
distribusi, serta derajat keparahan penyakit yang bervariasi. Lesi klasik psoriasis
berupa plak eritema berbatas tegas dan ditutupi oleh skuama tebal berlapis
berwarna putih keperakan. Ukuran lesi dapat bervariasi mulai dari papul hingga
plak yang menutupi sebagian besar permukaan tubuh. Lesi psoriasis cenderung
simetris dan hal ini merupakan gambaran penting yang membantu dalam
menegakkan diagnosis, walaupun dapat pula terjadi lesi secara asimetris (Langley
dkk., 2005; Griffiths dkk., 2010; Gudjonsson dan Elder, 2012). Di bawah skuama,
tampak kulit eritema yang homogen dan mengkilap dan tampak bintik-bintik
perdarahan yang merupakan pelebaran kapiler (tanda Auspitz). Psoriasis juga
14
dapat muncul pada tempat terjadinya trauma, hal ini disebut dengan fenomena
Koebner. Reaksi Koebner ini biasanya timbul 7 hingga 14 hari setelah trauma dan
sekitar 25% pasien memiliki riwayat trauma berhubungan dengan fenomena
Koebner sebelumnya. Penggoresan skuama utuh dengan menggunakan pinggir
gelas objek akan menyebabkan terjadinya perubahan warna lebih putih seperti
bercak lilin yang disebut fenomena Kaarsvlex. (Griffiths dkk., 2010; Gudjonsson
dan Elder, 2012).
Perubahan kuku sering terjadi dan bervariasi mulai dari defek kecil pada
lempeng kuku (pitting nail), sampai perubahan yang berat dari kuku
(onikodistrofi) dan hilangnya lempeng kuku (nail bed). Perubahan kuku lebih
sering terjadi pada pasien dengan psoriasis artritis. Pola gambaran klinis psoriasis
dibagi menjadi beberapa tipe, yaitu (Soung dan Lebwohl, 2004; Gudjonsson dan
Elder, 2012):
2.1.5.1 Psoriasis vulgaris
Psoriasis vulgaris merupakan bentuk klinis psoriasis yang paling sering
ditemukan mencapai 90% pasien psoriasis. Lesi khas berupa plak eritema
berskuama dengan distribusi simetris pada daerah predileksi seperti pada
daerah ekstensor ekstremitas terutama pada siku dan lutut, kulit kepala,
daerah bawah lumbosakral, gluteal dan genital. Daerah predileksi lainnya
adalah umbilikus dan celah intergluteal (Gambar 2.2). Pada pemeriksaan
fisik ditemukan tanda Auspitz positif.
15
Gambar 2.2 Psoriasis vulgaris (Gudjonsson dan Elder, 2012).
2.1.5.2 Psoriasis gutata
Pada psoriasis gutata lesi berupa papul kecil dengan ukuran diameter 0,5-
1,5 cm pada badan bagian atas dan ekstremitas bagian proksimal, sering
dijumpai pada orang dewasa muda. Bentuk psoriasis ini memiliki
hubungan yang paling kuat dengan HLA-Cw6 dan infeksi streptokokus
pada tenggorokan sering mendahului atau bersamaan dengan terjadinya
psoriasis gutata.
2.1.5.3 Psoriasis inversa
Lesi psoriasis dapat muncul pada daerah lipatan kulit seperti aksila, regio
genito-krural, serta leher. Skuama yang ada lebih minimal atau tidak ada.
Lesi berupa eritema batas tegas dan mengkilap yang terletak pada daerah
yang memiliki kontak kulit dengan kulit.
16
2.1.5.4 Psoriasis plak kecil
Manifestasi klinis psoriasis plak kecil menyerupai psoriasis gutata, tetapi
dapat dibedakan melalui onset penyakit yang muncul pada pasien yang
lebih tua, lebih bersifat kronis serta dapat dijumpai lesi yang besar dengan
diameter 1-2 cm dan lebih tebal, lebih berskuama dibandingkan pada
gutata.
2.1.5.5 Psoriasis eritroderma
Gambaran klinis psoriasis eritroderma berupa erupsi yang meluas hingga
mengenai seluruh bagian tubuh termasuk wajah, tangan, kaki, kuku,
badan, serta ekstremitas. Lesi psoriasis dapat muncul namun gambaran
klinis didominasi oleh eritema dan skuamanya superfisial bukan skuama
yang putih dan tebal. Pasien dengan psoriasis eritroderma dapat ini
kehilangan panas secara berlebihan akibat vasodilatasi menyeluruh
sehingga menimbulkan hipotermi.
2.1.5.6 Psoriasis pustulosa
Psoriasis pustulosa dibagi menjadi psoriasis pustulosa generalisata (tipe
von zumbusch), psoriasis pustulosa anular, impetigo herpetiformis, dan
psoriasis pustulosa lokalisata (pustulosa palmaris dan plantaris dan
akrodermatitis kontinua). Lesi utama adalah pustul.
2.1.5.7 Sebopsoriasis
Sebopsoriasis ditandai adanya plak eritema dengan skuama yang
berminyak di daerah seboroik seperti kepala, glabela, lipatan nasolabial,
perioral, dan area presternal serta area intertriginosa. Sebopsoriasis
17
mungkin merupakan varian dari dermatitis seboroik dengan latar belakang
genetik psoriasis dan relatif resisten terhadap pengobatan.
2.1.5.8 Psoriasis popok
Psoriasis popok dapat muncul pada usia 3-6 bulan dan pertama kali timbul
di daerah popok berupa makula eritema konfluen yang beberapa hari
kemudian diikuti dengan munculnya papul eritema pada badan dan
ekstremitas. Papul-papul ini memiliki skuama putih psoriasis yang tipikal.
Bentuk ini cenderung menghilang setelah umur 1 tahun.
2.1.5.9 Psoriasis linear
Psoriasis linear merupakan bentuk yang jarang. Lesi psoriasis muncul
berupa garis, biasanya pada ekstremitas tetapi dapat juga terbatas pada
dermatom di badan. Lesi dapat menyerupai nevus yaitu Inflamatory Linear
Verrucous Epidermal Nevus (ILVEN) dengan gambaran klinis dan
histologi keduanya mirip.
2.1.6 Diagnosis
Penegakan diagnosis psoriasis berdasarkan anamnesis dan gambaran klinis.
Klinisi juga sebaiknya menggali riwayat penyakit pada penderita termasuk
riwayat keluarga, faktor lingkungan, dan kemungkinan penyakit penyerta lainnya.
Pada kasus tertentu, diperlukan pemeriksaan penunjang seperti pemeriksaan
laboratorium darah dan histopatologis (Gudjonsson dan Elder, 2012).
Pemeriksaan histopatologis jarang diperlukan dalam menegakkan kasus
psoriasis, kecuali pada kasus yang sulit. Pada umumnya akan tampak penebalan
18
epidermis atau akantosis serta elongasi rete ridges. Terjadi diferensiasi keratinosit
yang ditandai dengan hilangnya stratum granulosum. Stratum korneum juga
mengalami penebalan dan terdapat retensi inti sel pada lapisan ini yang disebut
parakeratosis. Terdapat neutrofil dan limfosit yang bermigrasi dari dermis.
Sekumpulan neutrofil dapat membentuk mikroabses Munro. Pada dermis tampak
tanda-tanda inflamasi seperti hipervaskularisasi dan dilatasi serta edema papila
dermis. Infiltrat dermis terdiri dari neutrofil, makrofag, limfosit, dan sel mast
(Bettina dkk., 2005; Gudjonsson dan Elder, 2012).
Kelainan laboratorium pada psoriasis bersifat tidak spesifik dan mungkin
tidak dijumpai pada semua penderita psoriasis. Pada penderita psoriasis dapat
terjadi gangguan profil lipid, konsentrasi apolipoprotein-A1 plasma juga
didapatkan lebih tinggi pada penderita psoriasis. Penanda inflamasi sistemik
seperti protein reaktif C, α-makroglobulin, dan laju endap darah juga meningkat
pada penderita psoriasis (Gudjonsson dan Elder, 2012).
2.1.7 Penatalaksanaan
Pengobatan anti psoriasis berspektrum luas, pengobatan secara topikal maupun
sistemik telah tersedia. Sebagian besar obat-obatan ini memberikan efek
imunomodulator. Sebelum memilih regimen pengobatan, penting untuk menilai
luas serta derajat keparahan psoriasis (Gudjonsson dan Elder, 2012).
Pada dasarnya, sebagian besar kasus psoriasis dibagi menjadi tiga bagian
besar yakni psoriasis gutata, eritrodermik/pustular, dan plak kronis yang
merupakan bentuk yang paling sering ditemukan (Gambar 2.3). Psoriasis gutata
19
seringkali dapat sembuh sendiri dalam 6 – 12 minggu. Pada kasus yang ringan,
seringkali pasien tidak memerlukan terapi, namun jika lesi tersebar luas di seluruh
tubuh, maka fototerapi dengan ultraviolet B (UVB) ditambah dengan terapi
topikal (steroid dan analog Vitamin D3) seringkali sangat efisien untuk mengobati
lesi jenis ini. Psoriasis pustular/eritrodermi seringkali dihubungkan dengan gejala
sistemik, sehingga memerlukan terapi sistemik aksi cepat. Obat yang paling sering
digunakan untuk tipe ini adalah asitretin. Terapi lain yang dapat diberikan adalah
siklosporin A, psoralen dan ultraviolet A (PUVA), narrowband-ultraviolet B (NB-
UVB), metotreksat, agen anti-TNF, dan pada beberapa kasus, dapat digunakan
steroid sistemik (Gudjonsson dan Elder, 2012).
Pada psoriasis plak kronis, pemberian terapi berdasarkan luas penyakit.
Pada psoriasis derajat ringan (<10% luas permukaan tubuh), dapat digunakan
terapi topikal seperti emolien, glukokortikoid, dan analog vitamin D3 (lini
pertama) atau asam salisilat, dithranol, tazaroten dan tar (lini kedua), pilihan
fototerapi dapat dipertimbangkan pada fase ini (Gudjonsson dan Elder, 2012).
Psoriasis derajat sedang (>10% luas permukaan tubuh), dapat diberikan
terapi topikal ditambah dengan fototerapi dan day treatment center (Goeckerman
yang dimodifikasi), dengan pertimbangan khusus untuk memilih terapi sistemik.
Fototerapi yang dapat dipilih antara lain NB-UVB dan broadband-ultraviolet B
(BB-UVB) sebagai lini pertama dan PUVA, laser excimer serta klimatoterapi
sebagai lini kedua (Gudjonsson dan Elder, 2012).
Psoriasis derajat berat (>30% luas permukaan tubuh) dapat diterapi dengan
semua pilihan yang ada, ditambah terapi sistemik seperti metotreksat, asitretin,
20
alefacept, etanercept, adalimumab, infliximab, dan ustekinumab sebagai lini
pertama dan fumaric acid ester (FAE), siklosporin A, serta agen lain seperti
hidroksiurea, 6-thioguanine, cellcept, dan sulfasalazine sebagai lini kedua.
Siklosporin A tidak dianggap sebagai terapi sistemik lini pertama karena efek
samping jangka panjangnya, namun dalam tatalaksana jangka pendek terapi ini
sangat berguna untuk induksi remisi. Jika pasien tidak mampu mentolerir terapi
sistemik lini pertama individual, pertimbangkan kombinasi rejimen, perawatan
rotasional atau agen biologis (Gudjonsson dan Elder, 2012).
Gambar 2.3 Diagnosis dan algoritma pengobatan psoriasis (Gudjonsson
dan Elder, 2012).
21
2.1.8 Derajat Keparahan Psoriasis
Skor Psoriasis Area and Severity Index (PASI) merupakan baku emas
pengukuran yang digunakan untuk mengetahui derajat keparahan dan luas lesi
psoriasis. Pada uji klinis, perubahan skor PASI digunakan untuk menilai
kemajuan terapi. Klinisi berpendapat bahwa keberhasilan pengobatan psoriasis
ditunjukkan dengan adanya perbaikan skor PASI hingga lebih atau sama 75%,
walaupun perbaikan skor PASI <75% masih menunjukkan adanya perbaikan
klinis psoriasis (Feldman dan Krueger, 2005).
Skor PASI digunakan untuk menilai derajat keparahan penyakit pada
penelitian klinis karena memiliki beberapa keuntungan yaitu sensitif dalam
menilai perubahan yang terjadi pada kulit, menilai keparahan dari lesi, serta
perubahan pada nilai PASI menunjukkan adanya perbaikan atau perburukan dari
penyakit. Kelemahan PASI sebagai pengukur derajat psoriasis baik dalam uji
klinis maupun praktek sehari-hari adalah rendahnya produksibilitas dan adanya
variasi penilaian antara klinisi (Mikhail dan Scheinfeld, 2005). Fredrickson dan
Petterson pertama kali merumuskan penilaian derajat keparahan psoriasis dengan
menggunakan skor PASI, metode ini praktis dan cepat tetapi memiliki variabilitas
intra dan antar pengamat yang tinggi (Langley dan Ellis, 2004).
Skor PASI merupakan pengukuran secara klinis dengan perhitungan luas
daerah yang terkena dan derajat keparahan dari eritema, ketebalan infiltrat dan
skuama. PASI dihitung dengan rumus (Langley dan Ellis, 2004):
{0,1(Eh+Ih+Sh)Ah} + {0,2(Eul+Iul+Sul)Aul} + {0,3(Et+It+St)At} +
{0,4(Ell+Ill+Sll)All}
22
Keterangan:
A (area) = luas daerah tubuh dalam 4 bagian yang terkena yaitu: kepala dan leher
(h = head), badan (t = trunk), ekstremitas atas (ul = upper limb), ekstremitas
bawah (ll = lower limb); E = eritema; I = infiltrat; S = skuama
Tabel 2.1 Penilaian persentase luas permukaan tubuh (A) yang terkena
<10% 1
10-29% 2
30-49% 3
50-69% 4
70-89% 5
90-100% 6
Tabel 2.2 Penilaian derajat keparahan (E, I, S)
Tidak ada gejala 0
Ringan 1
Sedang 2
Berat
Sangat berat
3
4
Hasil perhitungan PASI merupakan nilai tunggal dari 0-72. Skor PASI
berdasarkan Fredricksson dan Pettersson dikategorikan menjadi tiga, yaitu
penderita dinyatakan menderita psoriasis ringan bila skor PASI < 7, psoriasis
sedang bila skor PASI 7 - 12, dan psoriasis berat bila skor PASI > 12 (Schmitt
23
dan Wozel, 2005). Skor PASI jarang digunakan pada praktek klinis karena
penggunaannya menimbulkan kompleksitas yang lebih besar dan skor ini
merupakan suatu sistem penilaian yang digunakan untuk tujuan penelitian.
Persentase perubahan PASI dapat digunakan sebagai titik akhir penilaian terapi
psoriasis pada uji klinis (Feldman dan Krueger, 2005).
2.2 Prolaktin
2.2.1 Tinjauan Umum Prolaktin
Prolaktin merupakan suatu rantai polipeptida tunggal yang terdiri dari 199 asam
amino dengan berat molekul 23 kiloDalton (kDa) yang secara sistemik berperan
sebagai hormon dan secara lokal sebagai sitokin. Prolaktin termasuk ke dalam
famili somatotropin karena secara struktural prolaktin berhubungan dengan
hormon pertumbuhan dan laktogen plasenta (Foitzik dkk., 2009; Freeman dkk.,
2000). Selain terdapat protein prolaktin standar pada manusia yaitu 23 kDA,
terdapat varian prolaktin yang lebih kecil yakni 4,16, dan 22 kDa. Prolaktin ini
aktif secara biologis dan bisa menghambat beberapa fungsi prolaktin 23 kDA.
Sebagai contoh, varian 16 kDa memiliki fungsi antiangiogenik sedangkan varian
23 kDa memiliki fungsi proangiogenik (Foitzik dkk., 2009; Langan dkk., 2010).
Kadar normal prolaktin pada serum bervariasi pada tiap individu. Variasi
yang terjadi dipengaruhi oleh irama sirkadian prolaktin, dengan kadar puncak
pada saat tidur (malam hari). Franz dkk. meneliti kadar prolaktin rata-rata pada 6
orang subjek selama periode waktu lebih dari 24 jam. Didapatkan hasil bahwa
kadar minimum prolaktin dicapai dalam waktu 10 jam sebelum onset tidur,
24
sedangkan kadar maksimum dicapai dalam waktu sekitar 4 jam setelah tidur
(Frantz, 1978).
Berdasarkan berbagai penelitian, kadar prolaktin normal dalam plasma
bervariasi di antara wanita yang tidak hamil (10-25 ng/mL), wanita hamil (150-
200 ng/mL), wanita menyusui (300 ng/mL), dan pria (5-10 ng/mL) (Foitzik dkk.,
2009). Selama masa kehamilan sampai kelahiran bayi, kadar prolaktin akan
meningkat secara progresif sebesar 10 sampai 20 kali lebih tinggi dari kadar
normal (tidak hamil), kemudian akan mengalami penurunan setelah 3-4 minggu
postpartum. Pada ibu yang menyusui, kadar serum akan terpelihara pada
konsentrasi yang tinggi oleh karena hisapan puting susu oleh bayi akan
menstimulasi sekresi prolaktin (Guyton dkk., 2006).
Prolactin receptor (PRLR) termasuk ke dalam superfamili reseptor sitokin
dan berhubungan erat dengan reseptor hormon pertumbuhan. Sinyal PRL/PPLR
melalui aktivasi signal transducer and activator of transcription 5 (STAT5),
melalui Kinase Jak (Gambar 2.4). Sampai saat ini terdapat enam jenis isoform
reseptor prolaktin pada manusia, yang memiliki struktur, afinitas reseptor, dan
kemampuan signaling yang berbeda (Langan dkk., 2010).
25
Gambar 2.4 Jalur signaling PRLR. PRLR mengalami dimerisasi setelah
berikatan dengan prolaktin, menginduksi efek prolaktin melalui aktivasi tiga
jalur utama: JAK/STAT, MAPK, dan PI3K/Akt. Signaling yang diperantarai
oleh PRLR tergantung pada kemampuan isoform PRLR untuk mengaktifkan
kaskade signaling spesifik, yang menimbulkan aktivitas biologis spesifik
(Langan dkk., 2010).
2.2.2 Ekspresi dan Regulasi Prolaktin
Sekresi dan sintesis prolaktin diatur oleh sistem neuroendokrin terutama melalui
Prolactin Releasing Hormone (PRH) dan Prolactin Inhibiting Hormone (PIH).
Lokasi utama transkripsi, translasi, dan sekresi prolaktin adalah pada kelenjar
hipofisis anterior. Regulasi ekspresi dan sekresi prolaktin hipofisis sangat
kompleks dan meliputi sejumlah hormon, faktor pertumbuhan, obat-obatan,
peptida, dan asam amino. Beberapa jenis obat-obatan yang dapat mempengaruhi
kadar prolaktin antara lain adalah kontrasepsi oral, antipsikotik (haloperidol,
klorpromazin, risperidon), antidepresan golongan trisiklik, opiat, amfetamin,
antihipertensi (reserpin, verapamil, metildopa), dan antihistamin (simetidin)
26
(Freeman dkk., 2000). Konsentrasi prolaktin serum dipertahankan oleh suatu
sistem sistem yang kompleks (Gambar 2.5). Regulasi kompleks sekresi prolakin
dari kelenjar hipofisis meliputi dopamin sebagai inhibitor utama, sedangkan
stimulator sekresi prolaktin meliputi oksitosin, thyrotropin-releasing hormone
(TRH), dan estradiol (Ben-Jonathan dkk. 2006). Selain hipofisis anterior, prolaktin
juga diekspresikan pada kulit, plasenta, uterus (endometrium), ovarium, testis,
kelenjar mamae, prostat, otak, jaringan lemak, dan limfosit. Ekspresi limfosit
ekstra hipofisis ini memiliki pengaturan yang berbeda (Ben-Jonathan dkk., 2006;
Foitzik dkk., 2009).
27
Gambar 2.5 Pengaturan prolaktin hipofisis. Sekresi pulsatil prolaktin diatur
oleh ritme sirkadian yang dipengaruhi cahaya. Faktor lingkungan berinteraksi
dengan kondisi internal, dan stimulus reproduktif memodifikasi elemen
inhibitor dan stimulator dari sirkuit hipotalamus. Neuron neuroendokrin
hipotalamus melepaskan prolactin inhibiting factors (PIFs) dan prolactin
releasing factors (PRFs), yang mengatur sekresi prolaktin oleh laktotrof dari
kelenjar hipofisis anterior. Laktotrof juga diatur oleh prolaktin dan PIF, secara
autokrin dan parakrin, dari sel sekitar (parakrin) dan laktotrof (autokrin). Ach:
asetikolin; ANG: angiotensin; ANP: atrial natriuretic peptide; BOM:
bombesin-like peptide; CCK: cholecystokinin; CT: kalsitonin; DA: dopamin;
EGF: epidermal growth factor; Est: estrogen; FGF: fibroblast growth factor;
GABA: γ-aminobutyric acid; GAL: galanin; H: histamin; 5-HT: serotonin;
IGF: insulin-like growth factor; IL-1: interleukin-1; l: laktotrof; MSH:
melanocyte stimulating hormone; NO: nitric oxide; NorA: norepinefrin; NPY:
neuropeptide Y; NT: neurotensin; PACAP; pituitary adenylate cyclase-
activating peptide; PC: pituitary cell; SST: somatostatin; TGF-β: transforming
growth factor-β; TRH: thytrotropin-releasing factor; TIDA:
tuberoinfundibular dopaminergic system: TSH: thyroid stimulating hormone;
VIP: vasoactive intestinal peptide (Foitzik dkk., 2009).
28
2.2.3 Fungsi Prolaktin
Prolaktin diketahui memiliki berbagai fungsi fisiologis selain perannya pada
proses laktasi dan reproduksi. Hingga saat ini terdapat lebih dari 300 aktivitas
biologis prolaktin yang diketahui (Tabel 2.3) (Guyton dkk., 2006; Foitzik dkk.,
2009). Sebagai contoh, prolaktin terlibat dalam aktivasi dan diferensiasi sel
epitelial, timosit, limfosit, dan makrofag. Prolaktin juga berperan sebagai bagian
dalam jaringan neuroendokrin-imun dengan menstimulasi pelepasan sitokin
spesifik (Foitzik dkk., 2009).
29
Tabel 2.3 Fungsi prolaktin (Foitzik dkk., 2009).
Kategori Aktivitas yang Berhubungan
dengan Kulit
Reproduksi Stimulasi perkembangan kelenjar
mamae dan laktasi, sintesis protein
susu, laktose, dan lemak.
Overekspresi prolaktin: perubahan
morfologi kelenjar, susu kaya lipid.
Mitogenik, meningkatkan masa
hidup sel epitel mamae.
Prolaktin berperan melalui
mekanisme autokrin yang secara
negatif mengatur tingkat
diferensiasi (desidualisasi) sel
uterus manusia.
Sintesis pheromones oleh kenjar
kulit. Modulasi tingkah laku
seksual.
Endokrin dan metabolism Pengaturan metabolisme lemak,
diferensiasi dan perkembangan
adiposit.
Prolaktin (-): gangguan
perkembangan jaringan lemak
subkutan, berkurangnya adiposity.
Penekanan penyimpanan lipid dan
pelepasan adipokin.
Pertumbuhan islet pankreas,
stimulasi sekresi insulin.
Pengaturan keseimbangan air dan
elektrolit
Mengurangi natrium klorida pada
keringat manusia.
Termoregulasi.
30
Otak dan tingkah laku Siklus tidur-bangun, melatonin-
regulated timer cells dan sel yang
mensekresi prolaktin, berfungsi
bersama sebagai sistem waktu
intrahipofisis “pacemaker-slave”.
Respon stres adaptif
Pertumbuhan dan perkembangan Mengatur pelepasan faktor
angiogenik seperti VEGF oleh
monosit dan makrofag.
Modulasi sistem pigmen.
Imunoregulasi Aktivasi, diferensiasi, dan pelepasan
sitokin spesifik dari sel epitel timus,
timosit, limfosit, sel natural killers
(sel NK), dan makrofag
Diferensiasi timosit cluster of
differentiation (CD) CD8- menjadi
sel CD4+ CD8+.
Mencegah apoptosis timosit.
Selama respon fase akut, ekspresi
PRLR mengalami penurunan pada
berbagai jaringan dan peningkatan
di timus.
Produksi autoantibodi oleh limfosit
B.
Meningkatkan pelepasan sitokin
pada limfosit seperti IL-2 dan IFN-
γ.
IFNα: interferon α; IL-2: interleukin-2; PRLR: prolactin receptor; VEGF:
vascular endothelial growth factor
31
2.2.4 Peran Prolaktin pada Fisiologi Kulit
Sekitar 2 dekade yang lalu, terdapat hipotesis bahwa prolaktin berperan sebagai
modulator neuroendokrin pada pertumbuhan epitel kulit dan sistem imun pada
kulit. Paus (1991) menyatakan bahwa prolaktin membentuk sirkuit prolaktin di
antara kulit dan sistem saraf pusat. Konsep ini kemudian diintegrasikan ke dalam
komunikasi neuroendokrin dengan sistem imun melalui aksis otak-kulit (Paus
dkk., 2006). Dari beberapa penelitian, prolaktin dan reseptor prolaktin ditemukan
pada beberapa populasi sel kutaneus termasuk keratinosit, fibroblas, kelenjar
keringat, dan sebaseus. Hal ini menunjukkan bahwa prolaktin berperan dalam
berbagai proses fisiologis dan patologis pada kulit (Gambar 2.6) (Foitzik dkk.,
2009).
32
Gambar 2.6 Fungsi prolaktin pada biologi dan patologi kulit. Sirkuit prolaktin
menjelaskan mekanisme antara kulit dan sistem saraf pusat. Prolaktin berperan
pada proses fisiologis dan patologis di kulit. Gambaran ini menunjukkan
jaringan yang kompleks antara sistem saraf pusat, liver, timus, sel darah
perifer dan kulit, diperantarai oleh growth factor dan neuropeptide. CNS:
central nervous system; IFN: interferon; IL: interleukin; IGF: insulin-like
growth factor; L: limfosit; MAC: makrofag; NK: natural killer cell; TSH:
thyroid-stimulating hormone; VEGF: vascular endothelial growth factor
(Foitzik dkk., 2009).
2.2.4.1 Keratinosit
Keratinosit merupakan sel epidermal dominan dan berperan pada biologi kulit
dengan mempertahankan barier epidermal, mengatur pertahanan kulit terhadap
antimikroba, sistem imunitas kulit, dan berkontribusi pada integritas struktural
kulit. Ekspresi prolaktin dan reseptor prolaktin terdapat pada keratinosit manusia.
33
Prolaktin memiliki efek proliferasi keratinosit. Selain itu, prolaktin juga
memodulasi produksi sitokin/kemokin pada keratinosit. Prolaktin dapat
meningkatkan produksi kemokin CXCL9, 10, dan 11 yang diinduksi oleh IFN-γ
melalui aktivasi STAT1, nuclear factor-κβ (NF-κβ), dan interferon regulatory
factor (IRF)1 melalui Janus kinase (JAK)2 dan Jalur MEK/ERK. Hal ini
mengarahkan ada pemikiran bahwa prolaktin dapat memfasilitasi infiltrasi sel T
ke plak psoriatik (Foitzik dkk., 2009; Langan dkk., 2010).
Prolaktin juga merupakan regulator neuroendokrin dari ekspresi keratin.
Prolaktin meregulasi keratin K5 dan K14 dan sel punca epitelial yang
berhubungan dengan K15 dan K19 pada keratinosit. Penemuan ini meggambarkan
adanya suatu sistem pengaturan untuk keratin manusia in situ melalui stimulus
neuroendokrin parakrin dan/autokrin yang dihasilkan oleh dan bekerja pada
kompartemen kulit spesifik. Temuan baru ini memiliki implikasi klinis terhadap
penyakit kulit yang berhubungan dengan produksi keratin berlebih seperti
psoriasis, liken planus, dan lupus eritematosus diskoid. Hal ini juga
menggambarkan bahwa prolaktin meregulasi biologi sel punca epitel manusia
secara in situ, dan menggambarkan reseptor prolaktin diduga dapat sebagai target
terapi pada penyakit keratinisasi tertentu (Foitzik dkk., 2009; Langan dkk., 2010).
2.2.4.2 Fibroblas
Fibroblas dermal berperan utama dalam mempertahankan dan remodelling
matriks ekstraseluler kulit, memberikan sokongan struktural dan untuk
penyembuhan luka normal. Fibroblas dermal manusia menghasilkan prolaktin dan
juga reseptor prolaktin. Fibroblas dermal yang dikultur secara invitro
34
menghasilkan protein prolaktin. Protein prolaktin 23 kDa yang terdeteksi identik
dengan prolaktin hipofisis. Peran prolaktin pada biologis fibroblas masih belum
jelas, namun prolaktin dilaporkan dapat menghambat apoptosis pada sel stroma
desidua (Langan dkk., 2010).
2.2.4.3 Sel endotel
Angiogenesis merupakan gambaran utama psoriasis dan fase anagen dari siklus
folikel rambut. Kadar serum faktor angiogenik utama, VEGF berhubungan
dengan tingkat keparahan psoriasis. Kadar messenger ribonucleic acid (mRNA)
prolaktin yang rendah dan ekspresi protein prolaktin pada sel endotel juga
dilaporkan berhubungan. Kadar yang rendah ini cukup untuk menimbulkan efek
autokrin dan parakrin pada sel endotel. Prolaktin 23 kDa dilaporkan bersifat
proangiogenik in vivo, dapat menstimulasi pembentukan pembuluh darah baru
bila endotel tidak berproliferasi. Pada manusia, hal ini menjelaskan hubungannya
dengan proliferasi vaskular berlebih pada psoriasis (Foitzik dkk., 2009; Langan
dkk., 2010).
Prolaktin 16 kDa memiliki sifat yang berlawanan dengan prolaktin 23 kDa
yakni bersifat antiangiogenik, memiliki efek antitumor, menghambat produksi
nitric oxide sintase pada sel endotel. Prolaktin 16 kDa juga menghambat
proliferasi sel endotel yang distimulasi oleh VEGF dan basic fibroblast growth
factor serta menstimulasi apoptosis sel endotel (Foitzik dkk., 2009; Langan dkk.,
2010).
35
2.2.4.4 Kelenjar sebasea
Pada kulit manusia, prolaktin dan reseptor prolaktin terdapat pada kelenjar
sebasea. Prolaktin menstimulasi produksi sebum (Zouboulis dkk., 2008). Efek ini
tampak jelas pada wanita dengan hiperprolaktinemia yang mengalami hirsutisme
dan kondisi seborea, serta tidak jarang berhubungan dengan kebotakan pola
wanita (Langan dkk., 2010). Pasien yang diobati dengan agen neuroleptik yang
menginduksi hiperprolaktinemia juga mengalami seborea, namun mekanisme
seborea yang diinduksi oleh prolaktin masih belum jelas (Paus dkk., 1991).
Pengobatan dengan dopaminergik, yang menghambat sekresi prolaktin hipofisis
dapat memperbaiki kondisi kulit seborea yang berhubungan dengan penyakit
Parkinson. Kondisi seborea memerlukan peningkatan aktivitas sekretori holokrin
untuk terjadinya peningkatan proliferasi sebosit. Prolaktin juga dapat memodulasi
fungsi sebosit, sebagai contoh prolaktin memodulasi sekresi sebum melalui
regulasi metabolisme androgen perifer. Prolaktin juga menghambat aktivitas 5α
reduktase in vitro (Foitzik dkk., 2009). Mengingat sebosit juga merupakan sel
target utama dalam sinyal neuroendokrin, prolaktin juga berkontribusi pada efek
perburukan stres emosional pada akne vulgaris. Selain stimulasi pada proliferasi
sebosit, yang meningkatkan sekresi holokrin pada kelenjar ini, hal ini juga
berkaitan dengan efek pada metabolisme androgen perifer. Hal ini belum
sepenuhnya dipelajari, belum terdapat konsensus mengenai prolaktin hipofisis
atau kulit yang bertanggung jawab terhadap terjadinya efek ini (Langan dkk.,
2010).
36
2.2.4.5 Kelenjar keringat
Prolaktin meningkat sebagai respon terhadap pemanasan aktif (distimulasi oleh
kelelahan) dan oleh pemanasan pasif. Hal ini menggambarkan efek
termoregulatori, bukan suatu efek kardiovaskular yang memberikan stimulus
terhadap pelepasan prolaktin selama latihan pada kondisi panas. Prolaktin juga
merupakan penanda tidak langsung untuk kondisi kelelahan (Low dkk., 2005).
Menariknya, komponen signifikan dari respon panas prolaktin dimediasi oleh
temperatur kulit wajah. Oleh sebab itu, perubahan temperatur hanya sekitar 10%
dari total permukaan tubuh memiliki efek signifikan pada respon hormonal
terhadap stres panas (Mundel dkk., 2007).
Peran prolaktin pada pengaturan kelenjar keringat manusia dapat dilihat
dari non-mamalia. Pada kulit ikan, sebagai contohnya prolaktin berperan penting
pada osmoregulasi dengan mencegah kehilangan ion dan pengambilan air
berlebih. Kortisol dan prolaktin penting untuk mengembalikan hemostatis
hidromineral pada kulit ikan. Tambahan lagi, pemberian prolaktin menstimulasi
pertumbuhan dan proliferasi lapisan basal keratinosit epidermal dan merangsang
diferensiasi mukosit pada tilapia (Sarotherodon mossambicus). Oleh sebab itu,
prolaktin tampaknya memperantarai adaptasi epidermal terhadap stres lingkungan.
Pada biologi kulit mamalia, prolaktin dapat menampilkan fungsi osmoregulator
melalui regulasi aktivitas kelenjar keringat. Kelenjar keringat manusia
menunjukkan imunoreaktivitas terhadap prolaktin dan prolaktin memodulasi
konsentrasi klorida pada keringat manusia. Oleh karena itu, terdapat spekulasi
37
bahwa prolaktin dapat terlibat pada patogenesis cystic fibrosis ((Langan dkk.,
2010).
2.2.4.6 Folikel rambut
Pada kulit kepala bagian oksipital pria, prolaktin memiliki efek menghambat
pertumbuhan rambut, yang dapat menjelaskan kondisi telogen effluvium yang
terjadi pada pasien dengan hiperprolaktinemia. Namun, efek modulator prolaktin
pada pertumbuhan rambut dapat tergantung lokasi dan/atau jenis kelamin karena
prolaktin justru dapat menstimulasi pertumbuhan rambut pada folikel rambut
bagian frontotemporal wanita pada penelitian in vitro. Hiperprolaktinemia pada
wanita juga berhubungan dengan pola kebotakan alopesia tipe androgen dan
hirsutisme, yang lebih lanjut menerangkan bahwa prolaktin memiliki efek yang
spesifik tergantung lokasi folikel rambut pada seseorang (Foitzik dkk., 2009;
Langan dkk., 2010).
Siklus folikel rambut yang tidak tergantung musim pada tikus juga
dimodulasi oleh prolaktin. Gangguan gen PRLR pada tikus mengakibatkan
fenotip rambut yang menyolok yang ditandai dengan rambut lebih panjang dan
kasar, dan masuknya folikel rambut ke siklus rambut berikutnya secara prematur.
Prolaktin dan reseptor prolaktin diekspresikan pada keratinosit folikel rambut
murin secara in vivo, dan pengobatan folikel rambut anagen yang dikultur pada
organ dengan prolaktin secara prematur menginduksi katagen, diikuti dengan
berkurangnya proliferasi pada kulit murin (Craven dkk., 2001). Penekanan sekresi
prolaktin hipofisis dengan obat-obatan, dengan agonis dopaminergik bromokriptin
meningkatkan pertumbuhan rambut. Meningkatkan durasi pengobatan dengan
38
prolaktin juga dapat menghambat masuknya siklus rambut ke fase anagen. Kulit
dari tikus yang mengalami defisiensi resptor prolaktin yang digraft ke tikus host
normal mengalami siklus folikel rambut yang lebih cepat dan telogen
diperpendek, yang memperkuat bahwa prolaktin mengatur siklus folikel rambut
pada tikus melalui efek langsung pada kulit (Craven dkk., 2006).
Pada manusia, keratinosit mengekspresikan reseptor prolaktin in vitro.
Kulit dan kulit kepala manusia mengekspresikan prolaktin dan reseptor prolaktin
pada tingkat mRNA dan protein. Pengobatan folikel rambut kulit kepala manusia
pada fase anagen yang dikultur dengan prolaktin dosis tinggi (400 ng/mL), pada
tingkat yang terdapat pada pasien dengan hiperprolaktinemia karena
makroprolaktinoma, mengakibatkan penghambatan pemanjangan batang rambut,
perkembangan katagen prematur, berkurangnya proliferasi dan meningkatnya
apoptosis keratinosit bulbus rambut. Hal ini menunjukkan bahwa PRLR bersifat
fungsional, dan kulit manusia, termasuk folikel rambut kulit kepala manusia
bukan hanya merupakan sumber prolaktin ekstrahipofisis, namun juga merupakan
target prolaktin langsung (Foitzik dkk., 2003; Foitzik dkk., 2009). Mengingat
bahwa kulit manusia dapat mengekspresikan sekitar 5 juta folikel rambut,
menunjukkan bahwa kulit manusia merupakan sumber sintesis prolaktin yang
penting (Langan dkk., 2010).
2.2.4.7 Respon imun kulit
Prolaktin memiliki beberapa fungsi pada sistem imunitas kulit yang dapat dilihat
pada Tabel 2.4.
39
Tabel 2.4 Fungsi prolaktin sebagai sitokin imunomodulator ((Foitzik dkk.,
2009).
Tipe Sel Fungsi Imunomodulasi Prolaktin
Progenitor sel T Sel B pada tikus yang mendapat pengobatan estradiol
menjadi sel zona marginal, sedangkan sel identik
dari tikus yang mendapat pengobatan dengan
prolaktin menjadi sel folikular pada antibodi anti-
DNA di model murin pada lupus eritematosus
sistemik.
Limfosit Prolaktin dihasilkan oleh limfosit, menginduksi
maturasi dan proliferasi, ekspresi molekul CD69 dan
CD154, dan sekresi IL sebagian tergantung pada
prolaktin autokrin. Induksi IL-2, IFN-γ, ekspresi
molekul ko-stimulator dan IFN-regulatory factor-1.
Limfosit T Merangsang proliferasi, perlindungan dari apoptosis,
meningkatkan masa hidup.
Menghambat fungsi limfosit T-supresor.
Meningkatkan masa hidup, proliferasi, dan
diferensiasi timosit CD4- CD8- menjadi sel T CD4+
CD8+ .
Meningkatkan sintesis IFN-γ dan IL-2 oleh limfosit
Th1, menekan apoptosis.
Limfosit B Mengaktifkan limfosit Th2 melalui produksi
autoantibodi pada pasien dengan penyakit autoimun.
Menstimulasi produksi antibodi oleh limfosit B.
Proliferasi limfosit B.
Sel dendritik Sel dendritik yang mendapat pengobatan dengan
prolaktin meningkatkan sekresi IL-12, TNF-α, dan
IL-1β.
Regulasi reseptor GM-CSF dan menginduksi
maturasi sel dendritik imatur.
40
Meningkatkan ekspresi IL-6, IL-10, IL-12, dan TNF-
α pada sel dendritik limpa.
Sel natural killer Mengaktifkan proliferasi dan fungsi litik sel NK
dengan mengupregulasi ekspresi permukaan NKp46
dan NKp30 dan upregulasi perforin.
Makrofag/monosit Meningkatkan ekspresi CD69 dan CD25 pada sel
mononuklear darah perifer.
Meningkatkan respon imun antitumor oleh makrofag
tumorisidal dan menginduksi pelepasan IL-12.
Menstimulasi sintesis dan pelepasan sitokin
imunomodulator dan faktor pengaktivasi limfosit
(misal IL-1) oleh makrofag peritoneal dan prolaktin
menghilangkan penghambatan proliferasi oleh
limfosit darah perifer.
Meningkatkan ekspresi heme oxgenase-1 dan
menginduksi produksi VEGF pada makrofag.
Menginduksi ekspresi gen chitotriosidase pada
makofag yang berasal dari monosit.
Meningkatkan pelepasan VEGF.
Produksi faktor pengaktivasi makrofag oleh limfosit.
GM-CSF: granulocyte macrophage- colony stimulating factor; TNF-α:
tumor necrosis factor α; VEGF: vascular endothelial growth factor
2.2.5 Peran Prolaktin pada Psoriasis
Beberapa penelitian melaporkan bahwa terdapat peningkatan kadar serum
prolaktin (hiperprolaktinemia) pada pasien dengan penyakit autoimun seperti
artritis reumatoid, lupus eritematosus sistemik, sklerosis sistemik, penyakit
Graves, sindrom Reiter, penyakit Addison, tiroiditis Hashimoto, dan psoriasis
(Foitzik dkk., 2009; Kanda dkk., 2013) Terdapat hipotesis yang menyatakan
41
bahwa prolaktin dapat terlibat pada patogenesis penyakit tersebut. Hal ini
didukung dengan pengobatan menggunakan bromokriptin yang menekan
pelepasan prolaktin dari hipofisis dapat memperbaiki kondisi penyakit-penyakit
tersebut, sehingga menyokong peran prolaktin dalam patogenesis terjadinya
penyakit (Kanda dkk., 2013).
Giasuddin dkk. (1998) meneliti kadar serum prolaktin pada 12 pasien
dengan psoriasis vulgaris dan membandingkan hasilnya dengan 9 orang pasien
dermatitis atopik serta 20 orang subjek normal, didapatkan hasil kadar serum
prolaktin pada pasien dengan psoriasis vulgaris lebih tinggi secara signifikan
dibandingkan dengan kedua kelompok lainnya (Giasuddin dkk., 1998).
Hasil penelitian melaporkan bahwa hiperprolaktinemia sering terjadi pada
pasien dengan psoriasis dan kadar prolaktin serum berhubungan dengan
keparahan penyakit dan merangsang perkembangan psoriasis (Foitzik dkk., 2009;
Kato dkk., 2012). Pasien psoriasis juga seringkali memiliki manifestasi klinis
obesitas dan sindrom metabolik seperti hipertensi, dislipidemia, atau diabetes.
Hiperprolaktinemia yang berhubungan dengan psoriasis dapat disebabkan oleh
aksis sinyal somatotropin yang terlalu aktif atau prolaktinoma (Foitzik dkk.,
2009).
Dilaporkan juga bahwa agonis dopamin seperti bromokriptin atau
kabergolin, menekan pelepasan prolaktin, mengatasi uveitis, artritis dan sindrom
metabolik serta perbaikan hiperprolaktinemia dan erupsi psoriasiformis.
Hubungan kausal tersebut mengindikasikan bahwa prolaktin dapat merangsang
perkembangan komorbiditas pada psoriasis seperti artritis, uveitis, dan sindrom
metabolik karena prolaktin dapat menyebabkan gangguan fungsi endotel dan
42
resistensi insulin. Oleh sebab itu, kondisi hiperprolaktinemia dapat
menghubungkan antara perkembangan psoriasis dengan komorbiditas psoriasis
seperti inflamasi ekstrakutaneus atau sindrom metabolik (Kanda dkk, 2013).
Prolaktin di kulit dapat berasal dari sirkulasi, meskipun juga dapat
diproduksi di kelenjar keringat atau folikel rambut dan juga memungkinkan
bahwa sel T yang menginfiltrasi kulit dapat menghasilkan prolaktin (Kanda dkk.,
2013). Penelitian oleh El Khateeb dkk. (2011) menyatakan bahwa kadar prolaktin
meningkat pada lesi kulit (plak psoriasis) yang menandakan bahwa prolaktin yang
dihasilkan secara lokal di kulit dapat merangsang perkembangan psoriasis (El-
Khateeb dkk., 2011). Prolaktin secara in vitro dapat meningkatkan proliferasi
keratinosit epidermal yang menandakan bahwa prolaktin berkaitan dengan
hiperproliferasi keratinosit epidermal pada lesi psoriasis. Juga dilaporkan bahwa
prolaktin merangsang ekspresi keratin K5, K14, K15 pada folikel rambut
keratinosit (Kato dkk., 2012). Penelitian oleh Langan dkk. (2013) melaporkan
bahwa prolaktin dan reseptor prolaktin terdeteksi pada keratinosit epidermal
manusia dan juga pada folikel rambut, serta prolaktin meningkatkan fosforilasi
STAT5 pada keratinosit epidermal (Langan dkk., 2013). Pada selubung rambut
luar keratinosit epidermal, ekspresi prolaktin ditingkatkan oleh IFN-γ dan
dikurangi oleh TNF-α. Modulasi tersebut menggambarkan keseimbangan lokal
sitokin inflamasi dapat mempengaruhi ekspresi prolaktin pada kulit, terutama
pada lesi psoriasis (Kanda dkk, 2013).
Penelitian pertama yang mengamati efek prolaktin pada keratinosit
manusia dilakukan oleh Girolomoni dkk. (1993). Dalam penelitian ini dilakukan
43
pengamatan mengenai efek prolaktin pada keratinosit yang dikultur dari bayi baru
lahir dengan menggunakan lingkungan yang bebas serum. Didapatkan hasil
bahwa prolaktin dapat menstimulasi proliferasi keratinosit yang dikultur dari
manusia meskipun tanpa adanya epidermal growth factor (EGF). Kemampuan
prolaktin untuk menstimulasi proliferasi keratinosit mungkin relevan dengan
kondisi hiperproliferatif epidermis, seperti pada psoriasis (Girolomoni dkk.,
1993).
De Bellis dkk. (2005) dan Biswas dkk. (2006) menyatakan bahwa
prolaktin dapat meningkatkan sintesis IFN-γ dan IL-2 oleh limfosit Th1,
menginduksi ekspresi molekul kostimulator misalnya major histocompatibility
complex-II (MHC-II), cluster of differentiation 40 (CD40), CD80 pada sel penyaji
antigen serta IFN-regulatoy factor-1 (IRF-1) dengan hasil akhir hiperproliferasi
keratinosit akibat peningkatan sitokin-sitokin tersebut (De Bellis dkk., 2005;
Biswas dkk., 2006).
Yu-Lee (2001) menyatakan bahwa prolaktin meningkatkan proliferasi dan
proteksi sel limfosit T terhadap apoptosis, sehingga akan menyebabkan
peningkatan masa hidup sel limfosit T. Prolaktin juga akan menghambat fungsi
limfosit T-supresor yang berperan dalam perkembangan plak psoriasis. Prolaktin
dapat meningkatkan ekspresi sitokin Th1 dari limfosit dan dapat mempengaruhi
ekspresi kemokin sehingga mampu merangsang infiltrasi sel T ke lesi psoriasis
(Yu-Lee dkk., 2001).
Penelitian in vitro menunjukkan bahwa prolaktin dapat meningkatkan
produksi CXCL9, CXCL10, dan CXCL11 yang terutama diinduksi oleh IFN-γ
44
yang dihasilkan oleh Th1. Pada lesi psoriasis terdapat peningkatan ekspresi dan
produksi CXCL9, CXCL10, dan CXCL11 yang memiliki fungsi kemotaksis
terhadap sel Th1 ke tempat inflamasi. Penelitian oleh Kanda dan Watanabe
(2007) menunjukkan bahwa walaupun prolaktin sendiri tidak memberikan efek
yang signifikan pada produksi ketiga kemokin ini, namun prolaktin meningkatkan
produksi CXCL9, CXCL10, dan CXCL11 yang diinduksi oleh IFN-γ melalui
aktivasi faktor transkripsi STAT1, NF-κβ, dan IRF-1. Aktivasi ketiga faktor
transkripsi tersebut menggunakan jalur kinase 2 (JAK2) dan MEK/ERK (Kanda
dan Watanabe, 2007).
Prolaktin meningkatkan sekresi dan ekspresi CCL20 pada keratinosit
manusia yang diinduksi oleh IL-17A. Lowes dkk. (2008) menemukan adanya
infiltrasi Th17 secara agresif ke dalam dermis pada lesi psoriasis. Infiltrasi Th17
yang mengekspresikan CCR6 ke dalam lesi psoriasis disebabkan oleh karena efek
kemotaksis dari CCL20. Ekspresi CCL20 tergantung pada NF-κβ dan AP-1.
Prolaktin saja mampu merangsang ekspresi komponen AP-1, c-Fos dan c-Jun dan
meningkatkan aktivitas transkripsional activation factor-1 (AP-1), sedangkan IL-
17A tidak meningkatkan aktivitas AP-1 walaupun dapat meningkatkan ekspresi c-
Fos pada keratinosit manusia. Prolaktin juga mampu meningkatkan aktivitas NF-
κβ sementara aktivitasnya ditingkatkan oleh IL-17, dan penambahan keduanya
mengakibatkan aktivasi sinergis NF-κβ. Oleh sebab itu, prolaktin terutama
mengaktivasi AP-1 yang dapat merangsang produksi CCL20 bersamaan dengan
IL-17A yang terutama mengaktivasi NF-κβ pada keratinosit manusia (Kanda dkk.,
2013).
45
Hasil penelitian ini secara in vitro menunjukkan gambaran in vivo yakni
prolaktin dapat menginduksi sekresi CCL20 oleh keratinosit epidermal pada lesi
psoriasis dan CCL20 yang disekresikan akan menarik sel Th17 yang
mengekspresikan CCR6. Selanjutnya sel Th17 akan melepaskan IL-17 yang
nantinya bersama-sama dengan prolaktin akan menginduksi sekresi CCL20 oleh
keratinosit sehingga menyebabkan penarikan kembali sel Th17. Mekanisme
umpan balik positif dari prolaktin dengan IL-17 dan CCL20 dapat memperluas
inflamasi yang diperantarai oleh sel Th17 pada lesi psoriasis (Gambar 2.7) (Kanda
dkk., 2013).
Gambar 2.7 Hipotesis peningkatan infiltrasi sel T pada lesi kulit psoriasis yang
diinduksi oleh prolaktin. PRL: prolaktin (Kanda dkk., 2013).
Peran prolaktin sebagai imunomodulator juga tampak pada sel dendritik.
Pada penelitian yang dilakukan pada sel dendritik timus yang berasal dari tikus
46
menunjukkan bahwa prolaktin meningkatkan sejumlah sitokin proinflamasi yaitu
IL-12, TNF-α, dan IL-1β. Carreno dkk., 2004; Matera dkk., 2001 menyatakan
bahwa prolaktin dalam konsentrasi fisiologis dan suprafisiologis meningkatkan
reseptor granulocyte macrophage-colony stimulating factor (GM-CSF) yang
nantinya secara sinergis bersama dengan prolaktin akan menginduksi
pematangan sel dendritik yang imatur (Matera dkk., 2001).
Prolaktin memiliki peran yang potensial dalam modulasi sel NK. Hal ini
dibuktikan dengan ditemukannya reseptor prolaktin pada sel NK manusia.
Prolaktin bersama dengan faktor pertumbuhan sel NK yaitu IL-12 dan IL-15
akan menstimulasi proliferasi sel NK. Sel NK memproduksi IFN-γ dan TNF-α
yang berperan dalam proses terjadinya inflamasi pada psoriasis (Sun dkk., 2004).
Pada monosit/makrofag yang dikultur dari manusia, prolaktin
meningkatkan produksi VEGF. Hal ini menunjukkan bahwa prolaktin mungkin
berperan dalam terjadinya angiogenesis (Malaguarnera dkk., 2005).
Beberapa penelitian juga melaporkan hubungan antara kadar prolaktin
dan derajat keparahan psoriasis. Dilme-Carreras dkk. (2010) melaporkan kadar
prolaktin serum lebih tinggi secara signifikan pada pasien dengan psoriasis
dibandingkan dengan kelompok kontrol, dan berkurang secara signifikan setelah
pengobatan. Terdapat korelasi antara kadar prolaktin serum sebelum terapi
dengan skor PASI (Dilme-Carreras dkk., 2010).
Kato dkk. (2012) juga
melaporkan dari penelitiannya bahwa kadar prolaktin serum secara signifikan
lebih tinggi pada pasien psoriasis dibandingkan kontrol. Korelasi positif
47
signifikan ditemukan antara kadar prolaktin serum dan skor PASI saat sebelum
dan sesudah pengobatan (Kato dkk., 2012).
Psoriasis mengenai wanita pada semua usia termasuk usia reproduktif.
Kehamilan yang ditandai dengan berbagai perubahan fisiologis mempengaruhi
perkembangan psoriasis dan mempengaruhi gambaran klinisnya. Hormon seks
terutama prolaktin memiliki peran penting dalam memodulasi sistem imun. Pada
penelitian oleh Murase dkk., pada wanita hamil yang menderita psoriasis
ditemukan bahwa selama kehamilan 55% penderita mengalami perbaikan, 21%
tidak mengalami perubahan, dan 23% mengalami perburukan. Sementara itu saat
postpartum hanya 9% mengalami perbaikan, 26% tidak mengalami perubahan,
dan 65% mengalami perburukan penyakit. Hal ini menunjukkan bahwa
terjadinya hiperprolaktinemia fisiologis selama masa postpartum (laktasi) akan
menyebabkan perburukan psoriasis (Murase dkk., 2005). Beberapa stresor dapat
menginduksi sekresi faktor pelepasan prolaktin dari hipotalamus, yang kemudian
menstimulasi kelenjar hipofisis anterior untuk melepaskan prolaktin. Stimulus
hisapan puting susu dapat terlibat pada ekaserbasi psoriasis yang diinduksi oleh
stres. Stimulus hisapan puting susu tersebut merangsang pelepasan prolaktin
yang menjelaskan peningkatan keparahan psoriasis setelah melahirkan pada
pasien wanita (Kanda dkk., 2013).
Siklosporin A merupakan salah satu pengobatan untuk psoriasis.
Siklosporin A menghambat ikatan prolaktin pada reseptor prolaktin yakni pada
limfosit T dan limfosit B. Obat psoriasis yang lain yakni all trans retinoic acid
menekan pelepasan prolaktin dari hipofisis, dan propiltiourasil mengurangi kadar
48
prolaktin serum yang berhubungan dengan perbaikan lesi akantosis pada pasien
psoriasis. Salah satu mekanisme kerja obat antipsoriatik tersebut adalah melalui
penekanan produksi dan/atau fungsi prolaktin (Kanda dkk., 2013).
Prolaktin dapat mencetuskan atau meningkatkan keparahan psoriasis,
sehingga dengan demikian prolaktin dapat dipertimbangkan untuk menjadi target
pengobatan psoriasis. Antibodi terhadap prolaktin atau reseptor prolaktin mampu
menekan ekspresi sitokin Th17/Th22/Th1 dan sel T yang diinduksi oleh
prolaktin serta inflamasi yang diperantarai oleh neutrofil, sehingga mungkin
dapat efektif pada pasien psoriasis terutama dengan disertai hiperprolaktinemia
(Kanda dkk., 2013). Bromokriptin telah lama diteliti untuk menilai efek
imunosupresifnya, yang mampu mengurangi kadar prolaktin sirkulasi atau efek
supresif langsung pada sel T dan sel B. Beberapa penelitian melaporkan
efektivitas bromokriptin pada pengobatan psoriasis. Bromokriptin juga
dilaporkan dapat memperbaiki kondisi psoriasis pada tiga orang pasien yang
penyakitnya diperparah dengan prolaktinoma dan kambuh bila bromokriptin
dihentikan (AbouKhedr dkk., 2013; Kanda dkk., 2013). Penggunaan pengobatan
kombinasi dengan bromokriptin yang mampu menekan pelepasan prolaktin dan
siklosporin yang menghambat pengikatan prolaktin pada reseptornya secara
sinergis memperbaiki gejala psoriasis dan mengurangi dosis yang diperlukan
untuk penggunaan siklosporin, sehingga mengurangi efek samping obat (Kanda
dkk., 2013).