aqidah imam syafi

34
Aqidah Imam Syafi’i adalah aqidah tanzih by : Ibnu Abdillah Al-Katibiy http://www.facebook.com/ibnu.alkatibiy Imam asy-Syafi’i Muhammad ibn Idris (w 204 H), seorang ulama Salaf terkemuka perintis madzhab Syafi’i, berkata: وم عل اء ي ح رح إ ش ب ن ي ق ت م ل إ سادة ل إ حاف ت إ( ه ات صق ي ف ل ي د ي لت ه ولا إ إت د ي فر ي غ ت ل ه إ ي عل وز ج ت ولا ان ك م ل ه إ لق خ ل ي ق ما كان ك ه ي ل زB إلا ه ي صق عل و ه و ان ك م ل إ ق ل ح ف ان ك ولا م ى كان ل عا ه ت ت إ , ح ن ي إلد2 ، ص24 ) Sesungguhnya Allah ada tanpa permulaan dan tanpa tempat. Kemudian Dia menciptakan tempat, dan Dia tetap dengan sifat-sifat-Nya yang Azali sebelum Dia menciptakan tempat tanpa tempat. Tidak boleh bagi-Nya berubah, baik pada Dzat maupun pada sifat-sifat-Nya” (LIhat az-Zabidi, Ithâf as-Sâdah al-Muttaqîn…, j. 2, h. 24). Dalam salah satu kitab karnya; al-Fiqh al-Akbar[selain Imam Abu Hanifah; Imam asy-Syafi'i juga menuliskan Risalah Aqidah Ahlussunnah dengan judul al-Fiqh al-Akbar], Imam asy-Syafi’i berkata: ه ولا إت د ي فر ي غ ت ل ه إ ي عل وز ج ت لا د ، إ ان ك م ل ه إ لق خ ل ي ق ما كان ك ه ي ل زB ه إلا ي ف ص ي عل و ه و ان ك م ل إ ق ل ح ف له ان ك ولا م ى كان ل عا له ت إل نB و إ ه ه ي عل ل ي له، وإلد ل X ان ك ى لا م ل عا له ت إل نB وإ إ م عل وإ ه وج ز ل ه إ ي علX _ حال ست ي إ معن ل إ إ هد لرإ، و يf ب ك وإ علi لك د ن عله ى إل ل عا ، ت وق ل ح مود حد لودإ وإ حد م إت إلد ي ه ا مت ون ك ي ت ح ت له ن م ، و ت ح ت له ف ان ك له م ن م نB ه، ولا ات صق ي ف ل ي د ي لت إر، ص كيB ه إلا ق لفإ( صال ف ت وإلا صال ت وإلا رة ش ا ي م ل ا لا ي م إ ت ي لاi لك د نB د لا ول ل وإ13 ) “Ketahuilah bahwa Allah tidak bertempat. Dalil atas ini adalah bahwa Dia ada tanpa permulaan dan tanpa tempat. Setelah menciptakan tempat Dia tetap pada sifat-Nya yang Azali sebelum menciptakan tempat, ada tanpa tempat. Tidak boleh pada hak Allah adanya perubahan, baik pada Dzat-Nya maupun pada sifat-sifat-Nya. Karena sesuatu yang memiliki tempat maka ia pasti memiliki arah bawah, dan bila demikian maka mesti ia memiliki bentuk tubuh dan batasan, dan sesuatu yang memiliki batasan mestilah ia merupakan makhluk, Allah Maha Suci dari pada itu semua. Karena itu pula mustahil atas-Nya memiliki istri dan anak, sebab perkara seperti itu tidak terjadi kecuali dengan adanya sentuhan, menempel, dan terpisah, dan Allah mustahil bagi-Nya terbagi-bagi dan terpisah-pisah. Karenanya tidak boleh dibayangkan dari Allah adanya sifat menempel dan berpisah. Oleh sebab itu adanya suami, istri, dan anak pada hak Allah adalah sesuatu yang mustahil” (al-Fiqh al-Akbar, h. 13). Pada bagian lain dalam kitab yang sama tentang firman Allah QS. Thaha: 5 (ar-Rahman ‘Ala al-‘Arsy Istawa), Imam asy-Syafi’i berkata: ن م ن مB ا ه لا ي تB لا ها ي ق م كل ت ي ولا ها عي ت ح ت ي ولا اءت ما خ ك ها ب ر م ي نB م إعل ل إ ي ف ر ح ت لت د إ ري ي لا ن م ل ها ل ا ي مB إ ن ع ها و عي وإت ج ل إ ن م از ت ح ت ي ، وإلد هات ب ا س مت ل إ ن م ه ت ة إلا هد ن إ ات هاي ليود وإ حد ل إ ن ع ة ر مي، مان ه ز ي عل ري ح ت ولا ان ك ه م وت ج ت ه لا تB اة، وإ زي ك ى ما د ل عا ت ازي ي ل إ ات صق ي ف د ق ت ع ت نB إ ت ح ت م، وعل ل إ ي ف ا ح س زإ ن ك ي م ل إ د ه إ يf ت س لت إ وزطة ي ف وع ق و ل إر، ص كيB ه إلا ق لفإ( هات ي ش ل وإiX هالك م ل إ ن م ص ل ح ت ي ، و هات ج ل وإ ان ك م ل إ ن ع ن ع ت ش م13 ) “Ini termasuk ayat mutasyâbihât. Jawaban yang kita pilih tentang hal ini dan ayat-ayat yang semacam dengannya bagi orang yang tidak memiliki kompetensi di dalamnya adalah agar mengimaninya dan tidak –secara mendetail– membahasnya dan membicarakannya. Sebab bagi orang yang tidak kompeten dalam ilmu ini ia tidak akan aman untuk jatuh dalam kesesatan tasybîh. Kewajiban atas orang ini –dan semua orang Islam– adalah meyakini bahwa Allah seperti yang telah kami sebutkan di atas, Dia tidak diliputi oleh tempat, tidak berlaku bagi-Nya waktu, Dia Maha Suci dari batasan- batasan (bentuk) dan segala penghabisan, dan Dia tidak membutuhkan kepada segala tempat dan arah, Dia Maha suci dari kepunahan dan segala keserupaan” (al-Fiqh al-Akbar, h. 13). Secara panjang lebar dalam kitab yang sama, Imam asy-Syafi’i membahas bahwa adanya batasan (bentuk) dan penghabisan adalah sesuatu yang mustahil bagi Allah. Karena pengertian batasan (al-hadd; bentuk) adalah ujung dari sesuatu dan penghabisannya. Dalil bagi kemustahilan hal

Upload: sri-gus-t

Post on 12-Aug-2015

69 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: Aqidah Imam Syafi

Aqidah Imam Syafi’i adalah aqidah tanzih

by : Ibnu Abdillah Al-Katibiy  http://www.facebook.com/ibnu.alkatibiy

Imam asy-Syafi’i Muhammad ibn Idris (w 204 H), seorang ulama Salaf terkemuka perintis madzhab Syafi’i, berkata:

إنه تعالى كان وال مكان فخلق المكان وهو على صفة األزلية كما كان قبل خلقه المكان وال يجوز عليه التغير في ذاته وال التبديل في )24، ص 2صفاته (إتحاف السادة المتقين بشرح إحياء علوم الدين, ج

“Sesungguhnya Allah ada tanpa permulaan dan tanpa tempat. Kemudian Dia menciptakan tempat, dan Dia tetap dengan sifat-sifat-Nya yang Azali sebelum Dia menciptakan tempat tanpa tempat. Tidak boleh bagi-Nya berubah, baik pada Dzat maupun pada sifat-sifat-Nya” (LIhat az-Zabidi, Ithâf as-Sâdah al-Muttaqîn…, j. 2, h. 24).

Dalam salah satu kitab karnya; al-Fiqh al-Akbar[selain Imam Abu Hanifah; Imam asy-Syafi'i juga menuliskan Risalah Aqidah Ahlussunnah dengan judul al-Fiqh al-Akbar], Imam asy-Syafi’i berkata:

واعلموا أن الله تعالى ال مكان له، والدليل عليه هو أن الله تعالى كان وال مكان له فخلق المكان وهو على صفته األزلية كما كان قبل خلقه المكان، إذ ال يجوز عليه التغير في ذاته وال التبديل في صفاته، وألن من له مكان فله تحت، ومن له تحت يكون متناهي الذات محدودا والحدود مخلوق، تعالى الله عن ذلك علوا كبيرا، ولهذا المعنى استحال عليه الزوجة والولد ألن ذلك ال يتم إال بالمباشرة واالتصال

)13واالنفصال (الفقه األكبر، ص

“Ketahuilah bahwa Allah tidak bertempat. Dalil atas ini adalah bahwa Dia ada tanpa permulaan dan tanpa tempat. Setelah menciptakan tempat Dia tetap pada sifat-Nya yang Azali sebelum menciptakan tempat, ada tanpa tempat. Tidak boleh pada hak Allah adanya perubahan, baik pada Dzat-Nya maupun pada sifat-sifat-Nya. Karena sesuatu yang memiliki tempat maka ia pasti memiliki arah bawah, dan bila demikian maka mesti ia memiliki bentuk tubuh dan batasan, dan sesuatu yang memiliki batasan mestilah ia merupakan makhluk, Allah Maha Suci dari pada itu semua. Karena itu pula mustahil atas-Nya memiliki istri dan anak, sebab perkara seperti itu tidak terjadi kecuali dengan adanya sentuhan, menempel, dan terpisah, dan Allah mustahil bagi-Nya terbagi-bagi dan terpisah-pisah. Karenanya tidak boleh dibayangkan dari Allah adanya sifat menempel dan berpisah. Oleh sebab itu adanya suami, istri, dan anak pada hak Allah adalah sesuatu yang mustahil” (al-Fiqh al-Akbar, h. 13).

Pada bagian lain dalam kitab yang sama tentang firman Allah QS. Thaha: 5 (ar-Rahman ‘Ala al-‘Arsy Istawa), Imam asy-Syafi’i berkata:

إن هذه اآلية من المتشابهات، والذي نختار من الجواب عنها وعن أمثالها لمن ال يريد التبحر في العلم أن يمر بها كما جاءت وال يبحث عنهاوال يتكلم فيها ألنه ال يأمن من الوقوع في ورطة التشبيه إذا لم يكن راسخا في العلم، ويجب أن يعتقد في صفات الباري تعالى ما ذكرناه، وأنه ال يحويه مكان وال يجري عليه زمان، منزه عن الحدود والنهايات مستغن عن المكان والجهات، ويتخلص من المهالك والشبهات (الفقه

)13األكبر، ص

“Ini termasuk ayat mutasyâbihât. Jawaban yang kita pilih tentang hal ini dan ayat-ayat yang semacam dengannya bagi orang yang tidak memiliki kompetensi di dalamnya adalah agar mengimaninya dan tidak –secara mendetail– membahasnya dan membicarakannya. Sebab bagi orang yang tidak kompeten dalam ilmu ini ia tidak akan aman untuk jatuh dalam kesesatan tasybîh. Kewajiban atas orang ini –dan semua orang Islam– adalah meyakini bahwa Allah seperti yang telah kami sebutkan di atas, Dia tidak diliputi oleh tempat, tidak berlaku bagi-Nya waktu, Dia Maha Suci dari batasan-batasan (bentuk) dan segala penghabisan, dan Dia tidak membutuhkan kepada segala tempat dan arah, Dia Maha suci dari kepunahan dan segala keserupaan” (al-Fiqh al-Akbar, h. 13).

Secara panjang lebar dalam kitab yang sama, Imam asy-Syafi’i membahas bahwa adanya batasan (bentuk) dan penghabisan adalah sesuatu yang mustahil bagi Allah. Karena pengertian batasan (al-hadd; bentuk) adalah ujung dari sesuatu dan penghabisannya. Dalil bagi kemustahilan hal ini bagi Allah adalah bahwa Allah ada tanpa permulaan dan tanpa bentuk, maka demikian pula Dia tetap ada tanpa penghabisan dan tanpa bentuk. Karena setiap sesuatu yang memiliki bentuk dan penghabisan secara logika dapat dibenarkan bila

Page 2: Aqidah Imam Syafi

sesuatu tersebut menerima tambahan dan pengurangan, juga dapat dibenarkan adanya sesuatu yang lain yang serupa dengannya. Kemudian dari pada itu “sesuatu” yang demikian ini, secara logika juga harus membutuhkan kepada yang menjadikannya dalam bentuk dan batasan tersebut, dan ini jelas merupakan tanda-tanda makhluk yang nyata mustahil bagi Allah.

Sumber:  http://www.facebook.com/groups/149284881788092/doc/230730210310225/

Akidah Dia i'tiqod Imam permulaan Syafi'i Tanpa Tauhid tempat

Klaim mereka 21 YEAR AGO

by admin in Islam, Umum

Klaim mereka yang merasa benar

Dalam tulisan sebelumnya pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/09/07/pendapat-ulama/ disampaikan bahwa salah satu ciri utama sekte Salafi Wahhabi (pengikut pemahaman ulama Muhammad bin Abdul Wahhab yang mengikuti pemahaman ulama Ibnu Taimiyah) adalah klaim kebenaran yang mereka sematkan kepada Salafi Wahhabi, golongan mereka sendiri. Selain pemahaman mereka adalah salah, sesat atau pemahaman yang terjatuh dalam kebid’ahan

Hal ini dapat kita ketahui dari tulisan mereka padahttp://mutiarazuhud.files.wordpress.com/2011/09/ulama_dan_tahdzir.pdf

Kami kutipkan di sini.“Wahai Syaikh, engkau membawakan biografi 3 ulama terdahulu yaitu Al-Baihaqy, An-Nawawy dan Ibnu Hajar. Mereka terjatuh pada penakwilan terhadap sebagian sifat-sifat Allah. Mereka memiliki karya-karya tulis yang besar dan berfaedah. Oleh karena itulah Ahlus Sunnah memandang bahwa manusia sangat membutuhkan untuk mengambil faedah dari kitab-kitab mereka selain kebid’ahan yang mereka terjatuh padanya.”

Mereka berpendapat bahwa sifat-sifat Allah yang disampaikan oleh Imam Baihaqi, Imam Nawawi dan Ibnu Hajar telah terjatuh dalam kebid’ahan

Pendapat serupa diutarakan seperti“Ibnu Hajar dan An Nawawi rahimahumallah memang dalam beberapa masalah aqidah terdapat ketergelinciran terutama dalam pembahasan Asma’ wa Shifat, di mana mereka berdua di antara orang yang mentakwil makna nama dan sifat Allah tanpa dalil. Namun demikianlah kesalahan ini tertutupi dengan kemanfaatan ilmu dan keutamaan mereka. Moga Allah merahmati mereka.“Sumber: http://www.rumaysho.com/belajar-islam/jalan-kebenaran/3375-ibnu-hajar-dan-imam-nawawi-dikatakan-mubtadi.html

Fatwa Al-Lajnah Ad-Da`imah lil Buhuts Al-’Ilmiyyah wal Ifta` (Komite Tetap untuk Riset Ilmiah dan Fatwa)  kerajaan dinasti Saudi ditanya tentang aqidah Imam Nawawi dan menjawab: “Lahu aghlaath fish shifat” (Beliau memiliki beberapa kesalahan dalam bab sifat-sifat Allah).Sumber: http://muslim.or.id/biografi/biografi-ringkas-imam-nawawi.html

Bagi mereka , “tauhid jadi tiga” atau khususnya tauhid asma wa sifat sebagaimana pemahaman Ibnu Taimiyah maupun pemahaman Muhammad bin Abdul Wahhab lebih benar daripada pemahaman Imam Baihaqi, Imam Nawawi maupun Ibnu Hajar. Innalillahi wa inna ilaihi rojiun

Kesalahpaham istiqra (hasil telaah) konsep “tauhid menjadi tiga” telah diuraikan dalam tulisan padahttp://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/05/03/2011/02/08/pembagian-tauhid/http://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/05/05/tauhid-jadi-tiga/http://al-ashairah.blogspot.com/search/label/Kebathilan%20Tauhid%20Tiga%20T

Page 3: Aqidah Imam Syafi

http://ummatipress.com/2011/03/20/fatwa-ulama-aswaja-mesir-atas-kesesatan-pembagian-tauhid-salafy-wahabi/http://ummatipress.com/2011/05/31/membantah-pembagian-tauhid-jadi-3-trinitas-wahabi-dengan-dalil-dalil-shahih/http://allahadatanpatempat.wordpress.com/2010/05/09/membongkar-kesesatan-ajaran-wahabi-yang-membagi-tauhid-kepada-3-bagian-aqidah-mereka-ini-nyata-bidah-sesat/

Dalam hal memahami sifat-sifat Allah, telah terjadi salah pikir (fikr) atau salah paham yang dialami oleh segilintir ulama. Mereka menyampaikan kesalahpahaman dalam menjelaskan dan menguraikan sifat-sifat dari Allah Azza wa Jalla. Hasil istiqro atau telaah mereka terhadap Al Qur’an dan Hadits mengalami kesalahpahaman , pada hakikatnya karena mereka memahaminya dengan metodologi “terjemahkan saja” atau memahami secara harfiah (dzahir) atas lafadz-lafadz Al Qur’an dan Hadits yang menerangkan sifat-sifat dari Allah Azza wa Jalla.

Ada beberapa pendapat ulama yang baik kita pegang sebagai landasan bagi kita dalam memahami sifat-sifat Allah Azza wa Jalla di antaranya,

Pendapat Imam Ahmad ar-Rifa’i (W. 578 H/1182 M) dalam kitabnya al-Burhan al-Muayyad yang sebaiknya kita ingat selalu agar kita terhindar dari kekufuran dalam i’tiqod / akidah.“Sunu ‘Aqaidakum Minat Tamassuki Bi Dzahiri Ma Tasyabaha Minal Kitabi Was Sunnati Lianna Dzalika Min Ushulil Kufri”“Jagalah aqidahmu dari berpegang dengan dzahir ayat dan hadis mutasyabihat, karena hal itu salah satu pangkal kekufuran”.

Imam besar ahli hadis dan tafsir, Jalaluddin As-Suyuthi dalam “Tanbiat Al-Ghabiy Bi Tabriat Ibn ‘Arabi” mengatakan “Ia (ayat-ayat mutasyabihat) memiliki makna-makna khusus yang berbeda dengan makna yang dipahami oleh orang biasa. Barangsiapa memahami kata wajh Allah, yad , ain dan istiwa sebagaimana makna yang selama ini diketahui (wajah Allah, tangan, mata, betempat), ia kafir secara pasti.”

Andaikan mereka mau memahami dan mendalami apa yang telah disampaikan oleh para pengikut Imam Asy’ari dan Imam Maturidi yang terurai dalam Aqidatul Khomsin, Lima puluh Aqidah yang terkenal dengan istilah “sifat wajib bagi Allah” , insyaallah mereka tidak terjerumus dalam kekufuran dalam I’tiqad. Tentang Aqidatun Khomsin , ada sedikit kami uraikan dalam tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/07/07/lima-puluh-aqidah/ danhttp://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/04/10/nothing-likes-him/

Contoh lain ketika ulama Ibnu Taimiyah memahami hadits Qudsi, dimana Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda menceritakan firman Allah riwayat Shahih Bukhari  “Yanzilu Rabbuna tabaaraka wa ta’ala fi tsulutsullailil akhir…” (Allah itu turun ke langit yang paling dekat dengan bumi pada sepertiga malam terakhir). Pemahaman ulama Ibnu Taimiyah salah satunya terurai dalam kitab “Syarh al-Aqidah al-Wasithiyah li Syaikh al-Islam Ibnu Taimiyah” bahwa “telah jelas turunnya Allah Tabaraka wa Ta’ala ke langit dunia pada setiap malam, ketika masih tersisa sepertiga malam terakhir“.

Hal ini telah diluruskan oleh ulama Ahlussunnah wal Jama’ah, salah satu contohnya oleh  Habib Munzir. Beliau menyampaikan makna hadits tersebut adalah “Allah itu senang semakin dekat, semakin dekat, semakin dekat kepada hamba hamba Nya disaat sepertiga malam terakhir semakin dekat Kasih Sayang Allah. Allah itu dekat tanpa sentuhan dan jauh tanpa jarak. Berbeda dengan makhluk, kalau dekat mesti ada sentuhan dan kalau jauh mesti ada jarak. “Allah laysa kamitslihi syai’un” (QS Assyura 11).  “Allah tidak sama dengan segala sesuatu”.  Allah subhanahu wa ta’ala  turun mendekat kepada hamba Nya di sepertiga malam terakhir maksudnya Allah membukakan kesempatan terbesar bagi hamba hamba Nya di sepertiga malam terakhir“.Selengkapnya dalam tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/04/10/allah-turun/

Habib Munzir mendapatkan pemahaman i’tiqod tidak didapati dengan upaya membolak balik kitab yang kecenderungannya akan bercampur dengan ra’yu (akal pikiran) sendiri namun Beliau mendapatkan dari

Page 4: Aqidah Imam Syafi

lisan ke lisan ulama-ulama yang sholeh yang tersambung kepada lisannya Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam.  Inilah yang dinamakan sanad ilmu atau sanad guru.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:  “Sepeninggalku kelak, akan muncul suatu kaum yang pandai membaca Al Qur`an tidak melewati kerongkongan mereka” (HR Muslim)

Pengertian “tidak melewati kerongkongan” adalah pemahaman dengan akal pikiran sendiri, ra’yu / logika  tanpa sanad ilmu atau sanad guru

“Barangsiapa menguraikan Al Qur’an dengan akal pikirannya sendiri dan benar, maka sesungguhnya dia telah berbuat kesalahan”. (HR. Ahmad)

Dari Ibnu Abbas ra~ Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda…”barangsiapa yg berkata mengenai Al-Qur’an tanpa ilmu maka ia menyediakan tempatnya sendiri di dlm neraka” (HR.Tirmidzi)

Imam Syafi’i ~rahimahullah mengatakan “tiada ilmu tanpa sanad”.

Al-Hafidh Imam Attsauri ~rahimullah mengatakan “Penuntut ilmu tanpa sanad adalah bagaikan orang yang ingin naik ke atap rumah tanpa tangga”

Bahkan Al-Imam Abu Yazid Al-Bustamiy , quddisa sirruh (Makna tafsir QS.Al-Kahfi 60) ; “Barangsiapa tidak memiliki susunan guru dalam bimbingan agamanya, tidak ragu lagi niscaya gurunya syetan” Tafsir Ruhul-Bayan Juz 5 hal. 203

Sebuah keironian pada zaman kini bahwa dua tanah suci dikelilingi oleh pemahaman yang tidak mengikuti pemahaman Imam Mazhab yang empat atau pemahaman mereka yang tidak lagi bermazhab.  kesalahpahaman-kesalahpahaman tersebut tersebarluaskan ke seluruh negeri kaum muslim dari pemuda-pemudi yang mengenyam pendidikan di wilayah kerajaan dinasti Saudi, atau dari pemuda-pemudi kita yang berguru dengan ustadz/ulama yang baru mengenyam pendidikan di wilayah kerajaan dinasti Saudi.

Perlukah upaya pembebasan Mekkah dari pemahaman-pemahaman mereka yang tidak lagi bermazhab ?.

Upaya tersebut pernah dilakukan oleh Al Imam As Sayyid Muhammad bin ‘Alawi Al Maliki Al Hasani, dzurriyat Rasulullah dari fam Al-Hasani berasal dari putra Sayyidina Hasan yang bernama Hasan Al-Mutsana. Beliau berdialog dengan Syeikh Abdul Azis bin Baz (Mufti Kerajaan Arab Saudi) . Hasil dialog tersebut dituangkan dalam tulisan dengan bahasa yang sudah diperhalus, serta dengan tidak menyebutkannya sebagai hasil debat, dalam kitab beliau: Mafahim Yajibu An Tushahhah.

Abuya Prof. DR. Assayyid Muhammad bin Alwi Almaliki Alhasani, dicekal dari kedudukan sebagai pengajar di Masjid Alharam akibat penerbitan kitabnya yang berjudul;  Mafahim Yajibu an Tushahhhah (Pemahaman-Pemahaman yang Harus Diluruskan). Terjemahan cuplikan tulisan Abuya tersebut  dapat dibaca padahttp://www.pejuangislam.com/main.php?prm=karya&var=detail&id=43http://www.pejuangislam.com/main.php?prm=karya&var=detail&id=44http://www.pejuangislam.com/main.php?prm=karya&var=detail&id=45http://www.pejuangislam.com/main.php?prm=karya&var=detail&id=46http://www.pejuangislam.com/main.php?prm=karya&var=detail&id=47

Wassalam

Zon di Jonggol, Kab Bogor 16830

Ahlussunnah Allah Asma kebenaran klaim Mazhab pemahaman Salafi Sifat Tauhid Wahhabi

Asma wa Sifat 01 YEAR AGO

Page 5: Aqidah Imam Syafi

by admin in Islam, Umum

Tauhid Asma’ Wa Sifat maknanya beriman kepada nama-nama Allah dan sifat-sifatNya, sebagaimana yang termuat dalam kitab suci Al-Qur’an dan dijelaskan oleh Rasulullah shallallaahu alaihi wa sallam dengan Sunnahnya atau hadits.

Pada umumnya kita, kaum muslim tidak ada kesulitan dalam memahami nama-nama Allah Azza wa Jalla yang termuat dalam Asma’ul Husna.

Asma’ul husna adalah nama-nama Allah ta’ala yang indah dan baik. Asma berarti nama dan husna berati yang baik atau yang indah jadi Asma’ul Husna adalah nama nama milik Allah ta’ala yang baik lagi indah.

Asmaa’ul husna secara harfiah ialah nama-nama, sebutan, gelar Allah yang baik dan agung sesuai dengan sifat-sifat-Nya. Nama-nama Allah yang agung dan mulia itu merupakan suatu kesatuan yang menyatu dalam kebesaran dan kehebatan milik Allah.

Namun ketika kita memahami sifat-sifat Allah, telah terjadi salah pikir (fikr) atau salah paham yang dialami oleh segilintir ulama. Mereka menyampaikan kesalahpahaman dalam menjelaskan dan menguraikan sifat-sifat dari Allah Azza wa Jalla. Hasil istiqro atau telaah mereka terhadap Al Qur’an dan Hadits mengalami kesalahpahaman , pada hakikatnya karena mereka memahaminya dengan metodologi “terjemahkan saja” atau memahami secara harfiah (dzahir) atas lafadz-lafadz Al Qur’an dan Hadits yang menerangkan sifat-sifat dari Allah Azza wa Jalla.

Ada beberapa pendapat ulama yang baik kita pegang sebagai landasan bagi kita dalam memahami sifat-sifat Allah Azza wa Jalla di antaranya,

Pendapat Imam Ahmad ar-Rifa’i (W. 578 H/1182 M) dalam kitabnya al-Burhan al-Muayyad yang sebaiknya kita ingat selalu agar kita terhindar dari kekufuran dalam i’tiqod / akidah.“Sunu ‘Aqaidakum Minat Tamassuki Bi Dzahiri Ma Tasyabaha Minal Kitabi Was Sunnati Lianna Dzalika Min Ushulil Kufri”“Jagalah aqidahmu dari berpegang dengan dzahir ayat dan hadis mutasyabihat, karena hal itu salah satu pangkal kekufuran”.

Imam besar ahli hadis dan tafsir, Jalaluddin As-Suyuthi dalam “Tanbiat Al-Ghabiy Bi Tabriat Ibn ‘Arabi” mengatakan “Ia (ayat-ayat mutasyabihat) memiliki makna-makna khusus yang berbeda dengan makna yang dipahami oleh orang biasa. Barangsiapa memahami kata wajh Allah, yad , ain dan istiwa sebagaimana makna yang selama ini diketahui (wajah Allah, tangan, mata, betempat), ia kafir secara pasti.”

Mereka yang salah pikir (fikr) atau salah paham menyampaikan kepada kami tentang i’tiqod mereka bahwa “Allah ta’ala punya wajah namun tidak seperti wajah makhlukNya, sebagaimana Allah ta’ala punya pendengaran dan penglihatan namun tidak sama dengan pendengaran dan penglihatan makhluk. Kita dapat jumpai dalam Al Qur’an dan Hadits bahwa Allah ta’ala Maha Mendengar dan Maha Melihat”

Wajah, mata, tangan, kaki, bertempat, mempunyai bayangan adalah sifat bagi manusia bukanlah atau mustahil sifat bagi Allah Azza wa Jalla.

Termasuk mempunyai pendengaran dan mempunyai penglihatan bukanlah atau mustahil sifat bagi Allah Azza wa Jalla. Sifat Allah Azza wa Jalla adalah Maha Mendengar (As Sam’u) dan Maha Melihat (Al Basharu).

Allah Azza wa Jalla tidak membutuhkan pendengaran maupun penglihatan. Dia tidak membutuhkan apapun dari ciptaanNya termasuk tidak membutuhkan namaNya maupun af’al Nya atau perbuatanNya.

Andaikan mereka mau memahami dan mendalami apa yang telah disampaikan oleh para pengikut Imam Asy’ari dan Imam Maturidi yang terurai dalam Aqidatul Khomsin, Lima puluh Aqidah yang terkenal dengan istilah “sifat wajib bagi Allah” , insyaallah mereka tidak terjerumus dalam kekufuran dalam I’tiqad. Tentang Aqidatun Khomsin , ada sedikit kami uraikan dalam tulisan

Page 6: Aqidah Imam Syafi

pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/07/07/lima-puluh-aqidah/ danhttp://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/04/10/nothing-likes-him/

“Sifat wajib bagi Allah” bukan berarti sebuah kewajiban untuk memahaminya. “Sifat wajib bagi Allah” adalah sifat yang pasti melekat pada Allah dan mustahil tidak adanya, dan “Sifat mustahil bagi Allah” adalah sifat yang pasti tidak melekat pada Allah dan wajib tidak adanya, sementara jaiz / mumkin adalah sifat yang boleh ada dan tidak ada pada Allah.

Dalam Aqidatul Khomsin atau Lima puluh Aqidah dijelaskan dengan Qiyamuhu bin Nafsi, Allah Azza wa Jalla, Maha Berdiri Sendiri tidak membutuhkan apa-apa pun dari makhlukNya termasuk “tempat” atau “Arsy” atau “langit” atau “kursi” atau pendengaran atau penglihatan, sebaliknya kita membutuhkan Allah Azza wa Jalla.

Aqidatul Khomsin atau lima puluh aqidah adalah hasil istiqro atau telaah terhadap Al Qur’an dan Hadits tentang sifat-sifat Allah ta’ala dan RasulNya yang dilakukan oleh ulama-ulama pengikut Imam Asy’ari dan Imam Maturidi. Mereka ulama-ulama yang sholeh atau ulama yang baik atau ulama yang ihsan artinya ulama yang dapat memandang Allah Azza wa Jalla dengan hati atau hakikat keimanan sehingga mereka berkompetensi menguraikan tentang sifat-sifat Allah ta’ala dan RasulNya yang bersumber dari Al Qur’an dan Hadits.

Ayat-ayat dalam kitab suci Al Qur’an terdiri dari ayat-ayat muhkamat dan ayat-ayat mutasyabihat.

Ayat-ayat mukhkamat (dari kata al muhkam , yang jelas maknanya) adalah ayat yang dari sisi kebahasaan memiliki satu makna saja dan tidak memungkinkan untuk ditakwil ke makna lain. Atau ayat yang diketahui dengan jelas makna dan maksudnya. Seperti firman Allah ta’ala:

“laysa kamitslihi syay-un”, “Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia” (QS Asy Syuura [42]:11)“walam yakun lahu kufuwan ahad”, “dan tidak ada seorangpun yang setara/serupa dengan Dia” (QS Al Ikhlas [112]:4 )“hal ta’lamu lahu samiyyaan”, “Apakah kamu mengetahui ada sesuatu yang sama/serupa dengan Dia (yang patut disembah)” (QS Maryam [19]: 65 )

Ayat-ayat mutasyabihat (dari kata al mutasyabih, yang tidak jelas maknanya) adalah ayat yang belum jelas maknanya. Atau yang memiliki banyak kemungkinan makna dan pemahaman sehingga perlu direnungkan agar diperoleh pemaknaan yang tepat yang sesuai dengan ayat-ayat muhkamat.Seperti firman Allah ta’ala ,“arrahmaanu ‘alaal ‘arsyi istawaa” , “(Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah. Yang bersemayam di atas ‘Arsy” (QS Thaha [20]: 5 )

Istawaa yang arti umumnya bersemayam namun jangan dimaknai atau dipahami sebagai bertempat karena sifat tempat , mustahil bagi Allah Azza wa Jalla. Mustahil Allah Azza wa Jalla membutuhkan tempat. Hal ini telah kami uraikan dalam tulisan http://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/07/07/2011/06/20/hindari-kekufuran-itiqod/

http://mutiarazuhud.wordpress.com/2009/12/20/2011/06/10/mereka-masih-bertanya/

http://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/05/27/bukan-tempat-baginya/

Jada pada prinsipnya tidak semua terjemahan lafadz Al Qur’an dan Hadits itu serupa dengan maknanya. Inilah dikenal juga dengan makna majaz. Hal ini telah diuraikan dalam tulisan padahttp://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/07/07/2011/06/23/makna-majaz/

Sebagaimana yang disampaikan sebagai berikut,Abdullah bin Ummi Maktum adalah seorang sahabat Rasulullah yang buta matanya. Akan tetapi kekurangan tersebut tidak menjadikannya terhalang untuk menerima cahaya Islam. Justru ia termasuk seorang sahabat yang gemar beribadah.

Page 7: Aqidah Imam Syafi

Setelah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam surat Al Isra [17]:72 , waman kaana fii haadzihi a’maa fahuwa fiil-aakhirati a’maa wa-adhallu sabiilaa, “Barang siapa yang buta di dunia ini, niscaya di akhirat (nanti) ia akan lebih buta (pula) dan lebih tersesat dari jalan (yang benar).”

Abdullah bin Ummi Maktum, seorang sahabat ra yang tuna netra itu pergi menghadap Rasulullah dengan wajah murung. Ia menyangka pengertian “buta” dalam ayat itu adalah buta mata.

“Ya Rasulullah, ayat itu sungguh membuat hatiku sedih. Aku sudah rela dengan kebutaan di dunia ini, tapi aku tidak sanggup dengan kebutaan di hari akhirat kelak.”

Sebelum Rasulullah menjawab pengaduan tersebut Allah Ta’ala berkenan menurunkan ayat lainnya yang menjelaskan maksud ayat di atas. ”fa-innahaa laa ta’maal-abshaaru walaakin ta’maal quluubu allatii fiishshuduuri“… sesungguhnya bukan buta mata itu yang buta, tetapi yang buta ialah hati yang di dalam dada.” (QS Al Hajj [2]: 46).

Lalu Rasulullah berkata: “Ya Ummu Maktum, apakah kamu tidak ridha kalau kamu orang pertama yang melihat zat Allah di hari kiamat kelak.”

Jadi dapat kita ketahui bahwa “waman kaana fii haadzihi a’maa” yang terjemahannya adalah “barang siapa yang buta” (QS Al Isra [17]:72 ) dalam hal ini terjemahannya berbeda dengan maknanya, maknanya adalah barang siapa yang buta mata hatinya atau buta pada hakikat kebenaran atau hakikat keimanan bukan buta mata kepala.

Mereka yang buta mata hatinya adalah mereka yang tidak ihsan atau mereka yang tidak dapat memandang Allah Azza wa Jalla dengan hati atau miminal mereka yang tidak meyakini bahwa Allah Azza wa Jalla melihat segala sikap dan perbuatan.

Mereka yang buta mata hatinya atau mereka yang tidak ihsan adalah mereka yang tersesat. Mereka yang tidak ihsan atau mereka yang tidak berakhlak baik atau mereka yang memperturutkan hawa nafsu adalah mereka dalam kesesatan.Firman Allah Azza wa Jalla yang artinya “…Janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah..” (QS Shaad [38]:26 ).

Allah Azza wa Jalla tidak terhalang untuk dilihat, akan tetapi yang terhalang adalah maanusia untuk dapat melihat Allah, logikanya apabila Allah Azza wa Jalla terhalang sesuatu untuk dilihat maka penghalang itu menutupi wujud Allah, apabila wujud Allah terhalang maka keberadaan Allah Azza wa Jalla itu terbatas, dan setiap sesuatu yang terbatas niscaya ada sesuatu yang membatasi atau ada sesuatu yang menguasainya, ada yang menguasai Allah Azza wa Jalla itu mustahil.

Sesungguhnya yang terhalang adalah manusia karena manusia menyandang sifat jasad (jasmani), sehingga terhalang untuk dapat melihat Allah. Apabila kita ingin sampai melihat Allah, maka intropeksi ke dalam, lihatlah dahulu noda dan dosa yang terdapat pada diri kita, serta bangkitlah untuk mengobati dan memperbaikinya, karena itu-lah sebagai penghalang. Setiap dosa merupakan bintik hitam hati, sedangkan setiap kebaikan adalah bintik cahaya pada hati Ketika bintik hitam memenuhi hati sehingga terhalang (terhijab) dari memandang Allah. Inilah yang dinamakan buta mata hati. Mengobatinya dengan bertaubat dari dosa serta memperbaikinya dengan tidak berbuat dosa dan giat melakukan kebaikan.

Langkah-langkah dalam memperbaiki akhlak adalah untuk membersihkan hati (tazkiyatun nafs) yang berarti mengosongkan dari sifat sifat yang tercela (TAKHALLI) kemudian mengisinya dengan sifat sifat yang terpuji (TAHALLI) yang selanjutnya beroleh kenyataan Tuhan (TAJALLI). Para Ulama Sufi menyebutnya Maqom Musyahadah artinya ruang kesakisan. Inilah keadaan bukan sekedar mengucapkan namun sebenar-benarnya menyaksikan bahwai, “tiada Tuhan selain Allah”.

Bagi mereka yang di surga atau penghuni surga maka mereka akan dibersihkan dari segala dosa atau “disingkapkanlah tabir penutup”. Hati mereka tanpa bintik hitam atau tabir sehingga tidak terhalang atau

Page 8: Aqidah Imam Syafi

tidak terhijab dari melihat Allah Azza wa Jalla. Mereka melihat Allah Azza wa Jalla semudah melihat bulan purnama tanpa kesulitan atau tanpa hambatan dan tanpa keraguan.

Rasulullah bersabda “Ketahuilah, sesungguhnya kalian akan di hadapkan kepada Rabb kalian, maka kalian akan melihat Rabb kalian sebagaimana kalian melihat bulan ini.” [HR Muslim].

Imam Nawawi mengatakan, artinya “kalian akan melihat Allah secara nyata, tidak ada keraguan dalam melihatNya, dan tidak pula ada kesulitan padanya. Seperti halnya kalian melihat bulan (purnama) ini secara nyata, tidak ada kesulitan dalam melihatnya.”

Hadits dari Shuhaib bin Sinan, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Beliau bersabda:“Apabila penghuni surga telah masuk surga, Allah Tabaraka wa Ta’ala berfirman,”Apakah kalian menginginkan sesuatu yang dapat Aku tambahkan?” Mereka menjawab,”Bukankah Engkau telah menjadikan wajah-wajah kami putih berseri? Bukankah Engkau telah memasukkan kami ke dalam surga dan menyelamatkan kami dari neraka?” Nabi bersabda, ”Maka disingkapkanlah tabir penutup, sehingga tidaklah mereka dianugerahi sesuatu yang lebih mereka senangi dibandingkan anugerah melihat Rabb mereka Azza wa Jalla.”

Mereka melihat Allah Azza wa Jalla tidak melihat dengan mata kepala karena apa yang dilihat oleh mata kepala dicitrakan dalam benak kita dan pasti mempunyai batas atau ukuran.

Al Imam Ahmad ibn Hanbal dan al Imam Dzu an-Nun al Mishri (W. 245 H) salah seorang murid terkemuka al Imam Malik menuturkan kaidah yang sangat bermanfaat dalam ilmu Tauhid: Maknanya: “Apapun yang terlintas dalam benak kamu (tentang Allah), maka Allah tidak seperti itu“. Perkataan ini dikutip dari Imam Ahmad ibn Hanbal oleh Abu al Fadll at-Tamimi dalam kitabnya I’tiqad al Imam al Mubajjal Ahmad ibn Hanbal dan diriwayatkan dari Dzu an-Nun al Mishri oleh al Hafizh al Khathib al Baghdadi dalam Tarikh Baghdad. Dan ini adalah kaidah yang merupakan Ijma’ (konsensus) para ulama. Karena tidaklah dapat dibayangkan kecuali yang bergambar. Dan Allah adalah pencipta segala gambar dan bentuk, maka Ia tidak ada yang menyerupai-Nya.

Al Imam Asy-Syafi’i berkata: “Barang siapa yang berusaha untuk mengetahui pengatur-Nya (Allah) hingga meyakini bahwa yang ia bayangkan dalam benaknya adalah Allah, maka dia adalah musyabbih (orang yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya), kafir.”

“Dan jika dia berhenti pada keyakinan bahwa tidak ada tuhan (yang mengaturnya) maka dia adalah mu’aththil -atheis- (orang yang meniadakan Allah).Dan jika berhenti pada keyakinan bahwa pasti ada pencipta yang menciptakannya dan tidak menyerupainya serta mengakui bahwa dia tidak akan bisa membayangkan-Nya maka dialah muwahhid (orang yang mentauhidkan Allah); muslim”. (Diriwayatkan oleh al Bayhaqi dan lainnya)

Sayyidina Ali r.a. pernah ditanya oleh seorang sahabatnya bernama Zi’lib Al-Yamani,“Apakah Anda pernah melihat Tuhan?”Beliau menjawab, “Bagaimana saya menyembah yang tidak pernah saya lihat?”“Bagaimana Anda melihat-Nya?” tanyanya kembali.Sayyidina Ali ra menjawab, “Dia tak bisa dilihat oleh mata dengan pandangan manusia yang kasat, tetapi bisa dilihat oleh hati dengan hakikat keimanan …”.

Terhalang melihat Allah Azza wa Jalla adalah karena berlumpur dosa atau tidak berakhlak baik atau tidak Ihsan

Sejak dahulu kala di perguruan tinggi Islam , tasawuf adalah tentang akhlak atau tentang IhsanSekarang ini ada segilintir ulama yang menyesatkan kaum muslim karena berpendapat bahwa tasawuf adalah sesat. Sejauh tasawuf adalah tentang Ihsan atau tentang akhlak maka itu adalah tasawuf dalam Islam.

Page 9: Aqidah Imam Syafi

Tasawuf atau tentang akhlak atau tentang Ihsan adalah puncak risalah yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu alaihiw wasallam. Rasulullah menyampaikan yang maknanya “Sesungguhnya aku diutus (Allah) untuk menyempurnakan Akhlak.” (HR Ahmad). Indikator seseorang muslim telah beragama atau berpemahaman agama yang baik dan benar terwujud dalam akhlak yang baik. Hal ini telah kami uraikan dalam tulisan padahttp://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/07/07/indikator-muslim-baik/

Ada kaum muslim yang tidak tahu tentang Ihsan sehingga walaupun mereka rajin beribadah, menjalankan sholat, zakat, puasa bahkan menunaikan ibadah haji namu mereka melakukan perbuatan korupsi. Pada hakikatnya itu terjadi karena mereka tidak meyakini bahwa Allah Azza wa Jalla melihat perbuatan mereka. Tentu juga mereka tidak dapat melihat Allah Azza wa Jalla dengan hati.

Muslim yang dapat melihat Allah Azza wa Jalla dengan hati atau hakikat keimanan yang disebut muslim yang terbaik, muslim yang ihsan atau muhsinin atau muslim yang sholeh atau sholihin.

Muslim yang sholeh adalah satu dari 4 golongan manusia yang disisi Allah Azza wa Jalla, yakni para Nabi, para Shiddiqin, para Syuhada dan orang-orang sholeh.“Tunjukilah kami jalan yang lurus” (QS Al Fatihah [1]:6 )” (yaitu) Jalan orang-orang yang telah Engkau beri ni’mat kepada mereka….” (QS Al Fatihah [1]:7 )“Dan barangsiapa yang menta’ati Allah dan Rasul(Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi ni’mat oleh Allah, yaitu : Nabi-nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya .” (QS An Nisaa [4]: 69 )

Muslim yang sholeh adalah yang berjalan di atas jalan Rasulullah dan jalan para Sahabat. Oleh karenanya mereka yang salaf (terdahulu) ada yang dipanggil salaf yang sholeh atau Salafush Sholeh. Muslim yang sholeh adalah pengikut Rasulullah yang sejati sebagaimana yang telah kami uraikan dalam tulisan padahttp://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/07/13/2011/03/05/pengikut-salafush-sholeh-sebenarnya/http://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/07/13/2011/05/10/sertifikat-pengikut-rasulullah/

Wassalam

Zon di Jonggol, Kab Bogor 16830

Asma hati i'tiqod kepala mata muhkamat mutasyabihat Sifat Tasawuf tasawwuf Tauhid

Takfir dan kesalahpahaman 31 YEAR AGO

by admin in Islam, Umum

Pentakfiran serampangan karena kesalahpahaman

Kita telah paham bahwa terlarang mengkafirkan seorang yang telah bersyahadat secara serampangan atau berdasarkan pemahamannya (kaum) sendiri karena pemahaman (kaum) sendiri belum tentu benar.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Siapa pun orang yang berkata kepada saudaranya, ‘Wahai kafir’ maka sungguh salah seorang dari keduanya telah kembali dengan kekufuran tersebut, apabila sebagaimana yang dia ucapkan. Namun apabila tidak maka ucapan tersebut akan kembali kepada orang yang mengucapkannya.” (HR Muslim).

Al-Allamah Al-Imam Al-Sayyid Ahmad Masyhur Al-Haddad mengatakan, “ Telah ada konsensus ulama untuk melarang memvonis kufur ahlul qiblat ( ummat Islam ) kecuali akibat dari tindakan yang mengandung unsur meniadakan eksistensi Allah, kemusyrikan yang nyata yang tidak mungkin ditafsirkan lain, mengingkari kenabian, prinsip-prinsip ajaran agama Islam yang harus diketahui ummat Islam tanpa pandang bulu (Ma ‘ulima minaddin bidldloruroh), mengingkari ajaran yang dikategorikan mutawatir atau yang telah mendapat

Page 10: Aqidah Imam Syafi

konsensus ulama dan wajib diketahui semua ummat Islam tanpa pandang bulu. Selengkapnya silahkan baca uraian dalam tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/12/19/takfir/

Pada saat ini beberapa kesalahpahaman yang dapat mencetuskan pengkafiran orang muslim adalah

Kesalahpahaman tentang tauhid jadi tigaKesalahpahaman “10 pembatalan keislaman”Kesalahpahaman tentang bid’ah dan kesalahpahaman-kesalahpahaman lainnya.

Bahkan kesalahpahaman ini bisa mengakibatkan peng”halal”an darah kaum muslim sehingga terjadi pembunuhan pada kaum muslimin oleh saudara muslim sendiri, sebagaimana terurai dalam buku tentang “sekte berdarah”, resensinya dapat di baca pada

http://oase.kompas.com/read/2011/07/08/0537412/Menyingkap.Sisi.Gelap.Gerakan.Wahabiatauhttp://zulfiifani.wordpress.com/2011/03/09/review-sejarah-berdarah-sekte-salafi-wahabi/

Walaupun buku tersebut boleh saja terjadi kekurangan akuratan dalam datanya sehingga terjadi bantahan seperti padahttp://www.eramuslim.com/berita/laporan-khusus/bahaya-besar-di-balik-buku-sejarah-berdarah-sekte-salafi-wahabi.htmatauhttp://salafiyunpad.wordpress.com/2011/06/30/studi-kritis-atas-buku-sejarah-berdarah-sekte-salafi-wahabi-hot/

Namun fakta pembunuhan saudara-saudara muslim kita karena perbedaan pemahaman tidaklah dapat dihilangkan begitu saja sebagai contoh salah satunya sebagaimana yang terlukiskan dalam buku karya al-Hafizh Ahmad al-Ghumari dalam kitabnya, Ju’nat al-’Aththar. Cuplikan buku tersebut dapat dibaca pada http://www.aswaja-nu.com/2010/01/dialog-syaikh-al-syanqithi-vs-wahhabi_20.html

Kesalahpahaman tentang tauhid jadi tigaPembagian tauhid jadi tiga bukan dilakukan oleh Salafush Sholeh namun oleh ulama-ulama kemudian. Salah satu ulama yang gigih menyebarluaskan pembagian tauhid jadi tiga adalah ulama Ibnu Taimiyah. Pembagian tauhid jadi tiga termasuk perkara baru (bid’ah) dan termasuk bid’ah dlolalah. Kami telah menguraikan kesalahpahaman pembagian tauhid jadi tiga dalam tulisan padahttp://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/05/03/2011/02/08/pembagian-tauhid/

Berikut link-link yang menguraikan kesalahpahaman pembagian tauhid jadi tigahttp://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/05/05/tauhid-jadi-tiga/

http://ummatipress.com/2011/03/20/fatwa-ulama-aswaja-mesir-atas-kesesatan-pembagian-tauhid-salafy-wahabi/http://ummatipress.com/2011/05/31/membantah-pembagian-tauhid-jadi-3-trinitas-wahabi-dengan-dalil-dalil-shahih/http://al-ashairah.blogspot.com/search/label/Kebathilan%20Tauhid%20Tiga%20Thttp://allahadatanpatempat.wordpress.com/2010/05/09/membongkar-kesesatan-ajaran-wahabi-yang-membagi-tauhid-kepada-3-bagian-aqidah-mereka-ini-nyata-bidah-sesat/

Kesalahpahaman “10 pembatalan keislaman”Hal ini telah kami uraikan dalam tulisan padahttp://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/07/05/pembatal-keislaman/

Kesalahpahaman tentang bid’ah

Hal ini telah kami uraikan dalam beberapa tulisan

Page 11: Aqidah Imam Syafi

http://mutiarazuhud.wordpress.com/2009/12/20/2011/07/04/terjerumus-bidah/http://mutiarazuhud.wordpress.com/2009/12/20/2011/07/05/membuat-perkara-baru/http://mutiarazuhud.wordpress.com/2009/12/20/2011/07/07/bidah-dalam-larangan/http://mutiarazuhud.wordpress.com/2009/12/20/2011/07/03/bentuk-penyembahan/

Kesalahpahaman-kesalahpahaman yang dialami oleh saudara-saudara muslim kita tersebut agar terjadi perselisihan diantara kaum muslim ditengarai (diduga) memang disusupi (ghazwul fikri) oleh kaum yang mempunyai rasa permusuhan dengan kaum muslim.

Firman Allah ta’ala yang artinya, “orang-orang yang paling keras permusuhannya terhadap orang beriman adalah orang-orang Yahudi dan orang-orang Musyrik” ( QS Al Maaidah [5]: 82 ).

Mereka khususnya adalah Zionis Yahudi (freemason, iluminati, lucifier atau apapun namanya). Mereka yang berpaling dari kitab Taurat dan mengikuti ajaran paganisme peninggalan Mesir kuno

Allah ta’ala telah memperingatkan kita dalam firmanNya yang artinya,“Dan setelah datang kepada mereka seorang Rasul dari sisi Allah yang membenarkan apa (kitab) yang ada pada mereka, sebahagian dari orang-orang yang diberi kitab (Taurat) melemparkan kitab Allah ke belakang (punggung)nya, seolah-olah mereka tidak mengetahui (bahwa itu adalah kitab Allah).” (QS Al Baqarah [2]: 101 )ya

“Dan mereka mengikuti apa yang dibaca oleh syaitan-syaitan pada masa kerajaan Sulaiman (dan mereka mengatakan bahwa Sulaiman itu mengerjakan sihir), padahal Sulaiman tidak kafir (tidak mengerjakan sihir), hanya syaitan-syaitan lah yang kafir (mengerjakan sihir).” (QS Al Baqarah [2]:102 )Hal ini telah kami uraikan dalam tulisan padahttp://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/06/24/perang-melalui-pemahaman/.

Saudara-saudara muslim kita yang salah pikir (fikr) atau salah paham dipengaruhi oleh hasutan Zionis Yahudi melalui pusat-pusat kajian keislaman yang mereka dirikan dengan mempropagandakan pemahaman agama dengan lebih menitik beratkan pemahaman secara ilmiah dengan metodologi “terjemahkan saja” atau memahami nash Al Qur’an dan Hadits secara harfiah atau apa yang tertulis / tersurat. Hal ini telah diuraikan dalam tulisan padahttp://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/07/07/2011/02/02/terjemahkan-saja/

Pemahaman secara ilmiah bagaikan ilmuwan yang menyusun karya tulis / karya ilmiah dengan merujuk pemahaman per kata atau per kalimat yang sama atau senada disisertai pemahaman secara deduktif. Hal ini telah kami uraikan dalam tulisan padahttp://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/03/15/keyakinan-ilmiah/

Kita memahami Al Qur’an dan Hadits tidak dapat hanya berbekal pemahaman secara ilmiah. Ada kelebihan umat muslim yang tidak akan dikaruniakan oleh Allah Azza wa Jalla kepada mereka yang tidak bersyahadat (non muslim) yakni pemahaman secara hikmah atau pemahaman yang dalam atau pemahaman yang “melampaui kerongkongan”

Rasululullah shallallahu alaihi wasallam bahwa “ada zamannya ulama (ahli ilmu) membaca Al-Qur’an dan hadits namun tidak melampaui kerongkongan mereka”

Pemahaman secara hikmah dikaruniakan oleh Allah Azza wa Jalla kepada siapa yang dikehendakiNya

Allah Azza wa Jalla berfirman yang artinya “Allah menganugerahkan al hikmah (kefahaman yang dalam tentang Al Qur’an dan As Sunnah) kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. Dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah)“. (QS Al Baqarah [2]:269 )

Pemahaman secara harfiah (metodologi terjemahkan saja) dapat mengakibatkan kekufuran dalam i’tiqod / akidah

Page 12: Aqidah Imam Syafi

Pendapat Imam Ahmad ar-Rifa’i (W. 578 H/1182 M) dalam kitabnya al-Burhan al-Muayyad sebaiknya kita ingat selalu agar kita terhindar dari kekufuran dalam i’tiqod / akidah.“Sunu ‘Aqaidakum Minat Tamassuki Bi Dzahiri Ma Tasyabaha Minal Kitabi Was Sunnati Lianna Dzalika Min Ushulil Kufri”“Jagalah aqidahmu dari berpegang dengan dzahir ayat dan hadis mutasyabihat, karena hal itu salah satu pangkal kekufuran”.

Imam besar ahli hadis dan tafsir, Jalaluddin As-Suyuthi dalam “Tanbiat Al-Ghabiy Bi Tabriat Ibn ‘Arabi” mengatakan “Ia (ayat-ayat mutasyabihat) memiliki makna-makna khusus yang berbeda dengan makna yang dipahami oleh orang biasa. Barangsiapa memahami kata wajh Allah, yad , ain dan istiwa sebagaimana makna yang selama ini diketahui (wajah Allah, tangan, mata, betempat), ia kafir secara pasti.”

Selengkapnya silahkan baca uraian dalam tulisan padahttp://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/07/07/2011/06/20/hindari-kekufuran-itiqod/http://mutiarazuhud.wordpress.com/2009/12/20/2011/06/10/mereka-masih-bertanya/http://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/05/27/bukan-tempat-baginya/

Pemahaman secara harfiah (metodologi terjemahkan saja) juga dapat mengakibatkan radikalisme.

Bayangkan mereka yang memahami Al Qur’an dengan metodologi terjemahkan saja, misalkan memahami firman Allah Azza wa Jalla dalam (QS At Taubah [9]:5 yang artinya,”Apabila sudah habis bulan-bulan Haram itu, maka bunuhlah orang-orang musyrikin itu dimana saja kamu jumpai mereka, dan tangkaplah mereka. Kepunglah mereka dan intailah ditempat pengintaian”

Hal ini telah kami uraikan dalam tulisan padahttp://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/05/21/atasi-bahaya-radikalisme/dan http://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/04/27/bom-bunuh-diri/

Begitulah kesalahpahaman-kesalahpahaman selama ini yang telah mengganggu Ukhuwah Islamiyah secara umum bahkan diantara mereka sendiri seperti yang kami uraikan dalam tulisan padahttp://mutiarazuhud.wordpress.com/page/2011/05/01/inikah-salafi-indonesia/danhttp://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/07/07/keironian-salafi/

Wassalam

Zon di Jonggol, kab Bogor 16830

bid'ah fikr keislaman Kesalahpahaman kufur Paham pembatalan pengkafiran pikir Radikalisme Salah Takfir Tauhid Tiga

Nothing Likes Him 01 YEAR AGO

by admin in Islam, UmumFrom the album:THERE IS NOTHING LIKES HIM (ALLAH SWT)  by KH  Thobary Syadzily : ليس كمثله شيئ

Isi-isi Ilmu Tauhid (مبادئ علم التوحيد): 

1. Definisi Ilmu Tauhid (تعريفه):Imu yang mempelajari tentang sifat-sifat Allah dan para rasul, baik sifat-sifat yang wajib, mustahil maupun ja’iz, yang jumlah semuanya ada 50 sifat. Sifat yang wajib bagi Allah ada 20 sifat dan sifat yang mustahil ada 20 sifat serta sifat yang ja’iz ada 1 sifat. Begitupula sifat yang wajib bagi para rasul ada 4 sifat (sidiq. tabligh, amanah, dan fathanah) dan sifat yang mustahil ada 4 sifat (kidzb / bohong, kitman / menyembunyikan,

Page 13: Aqidah Imam Syafi

khianat, dan bodoh) serta sifat yang ja’iz ada 1 sifat. 50 sifat ini dinamakan “Aqidatul Khomsin / عقيدة الخمسين “. Artinya: Lima puluh Aqidah.2. Materi Ilmu Tauhid: Dzat Allah dan sifat-sifat Allah.3. Pelopor atau Pencipta Ilmu Tauhid (واضعه): Imam Abul Hasan Al-Asy’ari (260 H – 330 H / 873 M – 947 M ) dan Imam Abul Manshur Al-Mathuridi ( 238 – 333 H / 852 – 944 M ).4. Hukum Mempelajari Ilmu Tauhid (حكمه): Wajib ‘ain dengan dalil ijmali (global) dan wajib kifayah dengan dalil tafshili.5. Nama lain dari Ilmu Tauhid (اسمه): Ilmu Tauhid, Ilmu Ushuluddin, Ilmu Kalam dan Ilmu ‘Aqa’id.6. Hubungan Ilmu Tauhid dengan Ilmu-ilmu lain (نسبته): Asal untuk ilmu-ilmu agama dan cabang untuk ilmu-ilmu selainnya.7. Masalah-masalah Ilmu Tauhid (مسائله): Sifat-sifat wajib, mustahil, dan ja’iz bagi Allah swt dan para Rasul-Nya.8. Pengambilan Ilmu Tauhid (استمداده): Dari Al-Qur’an, Al-Hadits, dan akal yang sempurna.9. Faedah Ilmu Tauhid (فائدته): Supaya sah melakukan amal-amal sholeh di dunia.

Di dalam kitab “Hasiyah ad-Dasuqi ‘ala Ummi al-Barahin” karya Syeikh Muhammad Dasuqi halaman 83 diterangkan bahwa:

و اعلم أن من اعتقد أن الله جسم كاألجسام فهو كافر و من اعتقد أنه جسم ال كاألجسام فهو عاص غير كافر و االعتقاد الحق اعتقاد أن الله ليس بجسم و ال صفة و ال يعلم ذاته اال هو

Artinya:” Dan hendaklah kalian ketahui bahwa sesungguhnya barangsiapa meyakinkan Allah itu seperti jisim (bentuk suatu makhluk) sebagaimana jisim-jisim lainnya, maka orang tersebut hukumnya kafir (orang yang kufur dalam aqidah, bukan orang murtad). Dan barangsiapa meyakinkan bahwa Dia seperti jisim, namun tidak seperti jisim-jisim lainnya, maka orang tersebut adalah orang yang durhaka, bukan kafir. Adapun keyakinan (i’tiqad) yang benar adalah keyakinan yang menyatakan bahwa sesungguhnya Allah itu bukan jisim dan bukan pula sifat. Tidak ada seorang makhluk pun yang dapat mengetahui dzat Allah terkecuali hanya Dia semata”.

Penjelasan di atas merupakan bagian penjelasan dari sifat Allah “Al-Mukhalafah lil Hahaditsi (المخالفة للحوادث ) . Artinya: Allah swt berbeda dengan makhluk. Pokoknya tidak ada sesuatu pun yang dapat menyerupai Allah, baik dari segi dzat-Nya, sifat-sifat-Nya, maupun pekerjaan-pekerjaan-Nya, sebagaimana firman Allah swt: (As-Syura: 11) ليس كمثله شيئ و هو السميع البصير

Dengan demikian tidak sah seandainya Allah disamakan dengan sifat-sifat (اعراض), warna-warna (ألوان) dan pertingkah-pertingkah makhluk (كيفيات ) meskipun disesuaikan dengan keagungan-Nya seperti mempunyai tangan, mata, telinga, kaki, berwarna putih seperti cahaya, bersemayam dan sebagainya.

Wassalam.

Allah bersemayam Ilmu kaki Menyerupai perbuatan Sifat Tangan Tauhid Tiada

Pembagian Tauhid 01 YEAR AGO

by admin in Islam, Umum

Kesalahpahaman tentang Pembagian Tauhid

Sebagian saudara-saudara muslim kita yang mengaku bermanhaj dan beraqidah Salaf, membagi tauhid menjadi Tauhid Rububiyah, Tauhid Uluhiyah dan Tauhid Asma wa Sifat. Mereka adalah yang memahami Al-Qur’an dan Hadits dengan konsep/metodologi yang kami beri nama “terjemahkan saja”. Telah kami uraikan dalam tulisan padahttp://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/02/02/terjemahkan-saja/

Konsep/metodologi pemahaman mereka adalah

Page 14: Aqidah Imam Syafi

Kita harus berserah diri, jangan menggunakan akal, apa yang Allah ta’ala dan Rasulullah sampaikan dan apa yang dicontohkan oleh Salafush Sholeh harus diterima dan diikuti apa adanya berdasarkan penterjemahan / penafsiran terhadap nash-nash Al-Qur’an dan Hadits secara dzahir karena Al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab yang jelas.

Dalih konsep mereka dengan firman Allah yang artinya, “dengan bahasa Arab yang jelas”. (QS Asy Syu’ara’ [26]: 195).

Namun untuk pembagian Tauhid ini mereka tampaknya (seolah) ”mengingkari” bahwa segala sesuatu dalam Agama harus hanya mengikuti apa yang Allah ta’ala dan Rasulullah sampaikan dan apa yang dicontohkan oleh Salafush Sholeh. Mereka mengakui bahwa pembagian Tauhid itu tidak disebutkan dalam Al-Qur’an dan Hadits serta tidak didapati pula pada zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ataupun shahabat.

Mereka terpaksa mengikuti perkara baru, bagi kaum mereka dengan menggunakan istilah muhdats sedangkan perkara baru yang diikuti oleh muslim lain mereka langsung menuduh (menggunakan istilah) bid’ah.

Berikut pengakuan mereka yang kami kutip dari http://almanhaj.or.id/content/2333/slash/0

***** awal kutipan *****Betapa tepatnya perkataan Syaikh Bakr Abu Zaid dalam risalahnya “At-Tahdzir” halaman 30 berkisar pembagian tauhid. Kata beliau : “Pembagian ini adalah hasil istiqra (telaah) para ulama Salaf terdahulu seperti yang diisyaratakan oleh Ibnu Mandah dan Ibnu Jarir Ath-Thabari serta yang lainnya. Hal ini pun diakui oleh Ibnul Qayim. Begitu pula Syaikh Zabidi dalam “Taaj Al-Aruus” dan Syaikh Syanqithi dalam “Adhwa Al-Bayaan” dan yang lainnya. Semoga Allah merahmati semuanya***** akhir kutipan *****

Pada hakikatnya mereka ”terpaksa” mengakui bahwa untuk memahami Al-Qur’an dan Hadits harus menggunakan akal atau telaah (istiqra), kita tidak dapat sekedar “menterjemahkan saja”.

Jadi kelirulah mereka yang menolak tentang fiqih atau anti mazhab, karena fiqih atau mazhab pun merupakan hasil telaah (istiqra) terhadap Al-Qur’an dan Hadits yang melampaui konsep/metodologi “terjemahkan saja”. Silahkan baca tulisan padahttp://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/01/10/2011/01/18/paham-anti-mazhab/

Setelah waktu berlalu tampaknya kita harus mengkaji ulang hasil telaah (istiqra) para ulama tentang pembagian Tauhid atau untuk mudahnya kami menyebutnya “Tauhid menjadi tiga”.

Konsep atau pemahaman “tauhid menjadi tiga” pada kenyataannya digunakan untuk menilai atau menghukum saudara-saudara muslim lainnya. Bertebaranlah penilaian hingga pen-tahdzir-an, pen-hajr-an bahkan pentakfiran terhadap sesama saudara muslim dikarenakan prasangka bahwa muslim lain baru bertauhid Rububiyah belum bertauhid Uluhiyah. Sehingga lahirlah istilah “mukmin musyrik”. Selengkapnya silahkan baca tulisan padahttp://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/02/02/2011/01/10/mukmin-musyrik/

Pada hakikatnya tidak ada isitilah/tingkatan tauhid Rububiyah atau tidak dikatakan ber-tauhid jika manusia mengakui bahwa ada tuhan yang menciptakan, memiliki dan mengatur langit dan bumi serta seisinya.

Dengan tauhid Rububiyah secara tidak disadari kita mengakui bahwa non muslim atau bahkan kaum musyrik itu ber-tauhid. Padahal kita tahu bahwa (contohnya) orang-orang Yahudi dan orang-orang Nasrani tidaklah dikatakan mereka ber-agama ataupun mereka ber-tauhid. Pada hakikatnya tidak ada agama selain Islam. Selengkapnya silahkan baca tulisan padahttp://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/01/10/2011/01/21/agama-hanya-islam/

Manusia yang ber-tauhid hanyalah mereka yang mengakui agamanya adalah Islam dengan intinya mentaati perintah dasar/inti dari Allah Azza wa Jalla untuk ber-syahadah.

Page 15: Aqidah Imam Syafi

Tauhid adalah hanya menyembah/mengabdi atau mentaati Allah Azza wa Jalla.

”Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah (mengabdi) kepada-Ku” (QS Adz Dzariyaat [51]:56 )Imam Ibnu Katsir rohimahulloh berkata, yaitu tujuan mereka Kuciptakan adalah untuk Aku perintah agar beribadah kepada-Ku, bukan karena Aku membutuhkan mereka (Tafsir Al Qur’anul ‘Adzhim, Tafsir surat Adz Dzariyaat). Makna menyembah(mengabdi) kepada-Ku dalam ayat ini adalah mentauhidkan Aku, sebagaimana ditafsirkan oleh para ulama salaf.

”Dan sungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): “Sembahlah (mengabdilah kepada) Allah (saja), dan jauhilah Thaghut (sembahan selain Allah) itu” (QS An Nahl [16]:36 )

”Sembahlah (mengabdilah kepada) Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun” (QS An Nisaa [4]: 36 )

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Hak Allah yang harus ditunaikan hamba yaitu mereka menyembah-Nya dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun…” (Riwayat Bukhori dan Muslim)

Ada sebagian manusia mengatakan bahwa Syaitan lebih ber-tauhid dibandingkan manusia, karena mereka tidak mau menyembah/bersujud kepada selain Allah. Syaitan tidak dikatakan ber-tauhid, intinya adalah karena tidak mentaati perintah Allah Azza wa Jalla.

Jika siapapun tidak mentaati perintah Allah ta’ala pada hakikatnya tidak mengakui ke-Maha Kuasa-an Allah Azza wa Jalla atau meyakini ada yang berkuasa selain Allah Azza wa Jalla. Inilahinti dari sikap/perbuatan syirik atau mensekutukan Allah ta’ala yakni tidak mentaati perintah Allah Azza wa Jalla. Nabi Adam a.s diturunkan ke dunia karena tidak mentaati perintah Allah Azza wa Jalla untuk menjauhi laranganNya.

Jadi, bagi siapa saja yang telah bersyahadat maka mereka termasuk hamba Allah ataupun mereka yang ber-tauhid. Jika dalam perjalanan mereka, kita melihat atau menilai mereka telah melakukan perbuatan atau menunjukan sikap yang condong kekufuran maka tidak secara otomatis membatalkan ke-Islaman. Kita tidak dapat memvonis kufur ahlul qiblat ( ummat Islam ) secara sepihak tanpa upaya klarifikasi. Selengkapnya silahkan baca tulisan padahttp://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/12/19/takfir/

Sebagai contoh kekeliruan yang dilakukan oleh para ulama di salafy.or.id yang memvonis sesat secara sepihak dan hanya melalui pemahaman sepihak terhadap tulisan/perkataan Syaikh Yusuf Qaradhawi. Selengkapnya silahkan baca tulisan padahttp://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/01/28/takut-dan-harap/

Kita wajib berprasangka baik terhadap manusia apalagi dengan sesama muslim. Jika kita melihat amal perbuatan dari saudara muslim kita yang tidak kita pahami bisa jadi kita belum tahu dalil yang mereka gunakan atau bahkan kita selama ini keliru memahami nash-nash Al-Qur’an dan Hadits.

Allah Ta’ala berfirman.“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan berprasangka, karena sesungguhnya sebagian tindakan berprasangka adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain” [Al-Hujurat : 12]

Amirul Mukminin Umar bin Khathab berkata, “Janganlah engkau berprasangka terhadap perkataan yang keluar dari saudaramu yang mukmin kecuali dengan persangkaan yang baik. Dan hendaknya engkau selalu membawa perkataannya itu kepada prasangka-prasangka yang baik”

Ibnu Katsir menyebutkan perkataan Umar di atas ketika menafsirkan sebuah ayat dalam surat Al-Hujurat.

Disebutkan dalam kitab Al-Hilyah karya Abu Nu’aim (II/285) bahwa Abu Qilabah Abdullah bin Yazid Al-Jurmi berkata : “Apabila ada berita tentang tindakan saudaramu yang tidak kamu sukai, maka berusaha keraslah mancarikan alasan untuknya. Apabila kamu tidak mendapatkan alasan untuknya, maka katakanlah kepada

Page 16: Aqidah Imam Syafi

dirimu sendiri, “Saya kira saudaraku itu mempunyai alasan yang tepat sehingga melakukan perbuatan tersebut”.

Abu Hatim bin Hibban Al-Busti bekata dalam kitab Raudhah Al-‘Uqala (hal.131), ”Orang yang berakal wajib mencari keselamatan untuk dirinya dengan meninggalkan perbuatan tajassus dan senantiasa sibuk memikirkan kejelekan dirinya sendiri. Sesungguhnya orang yang sibuk memikirkan kejelekan dirinya sendiri dan melupakan kejelekan orang lain, maka hatinya akan tenteram dan tidak akan merasa capai. Setiap kali dia melihat kejelekan yang ada pada dirinya, maka dia akan merasa hina tatkala melihat kejelekan yang serupa ada pada saudaranya. Sementara orang yang senantiasa sibuk memperhatikan kejelekan orang lain dan melupakan kejelekannya sendiri, maka hatinya akan buta, badannya akan merasa letih dan akan sulit baginya meninggalkan kejelekan dirinya”.

Kita sebaiknya meninggalkan hasil telaah(istiqra) tentang pembagian Tauhid menjadi tiga dan kembali kepada pemahaman Tauhid yang sesuai dengan Al-Qur’an dan Hadits. Bisa jadi adanya Tauhid Rububiyah dipengaruhi oleh kaum non muslim atau perang pemahaman (ghazwul fikri) yang dilancarkan oleh kaum non muslim untuk membenarkan adanya agama mereka. Sebagaimana yang telah kami sampaikan di atas bahwa agama hanyalah Islam. Firman Allah yang artinya, “Sesungguhnya agama disisi Allah hanyalah Islam” (QS Ali Imran [3]:19 )

Wassalamualaikum Wr Wb

Zon di Jonggol, Kab Bogor 16830

Asma hajr Pembagian prasangka Rububiyah Sifat tahdzir Takfir Tauhid Uluhiyah

Perbuatan Af’al 32 YEARS AGO

by admin in Islam, Umum

TAUHID AF’AL (Perbuatan)Sumber:  http://syadziliyah.web.id/2010/06/tauhid-afal-perbuatan/

Adalah Ke-Esa-an Allah pada segala perbuatan. Ketahuilah oleh engkau wahai salik bahwa segala perbuatan apapun yang terjadi dan berlaku di dalam alam ini pada hakikatnya adalah Af’al (Perbuatan) Allah ta’ala, sama saja perbuatan itu baik maupun jahat adalah perbuatan Allah jua.- Perbuatan baik, yaitu perbuatan yang baik pada rupa dan pada hakikatnya, seperti iman dan takwa.- Perbuatan Jahat, yaitu perbuatan yang jahat pada rupa tapi tidak pada hakikatnya, seperti kafir dan maksiat. Kafir dan maksiat pada hakikatnya baik juga karena terbit dari yang baik yaitu dari Allah. Dan tiap-tiap yang terbit dari Allah itu baik.

Ingatlah bahwa segala yang terjadi di alam semesta ini pasti ada manfaatnya, karena Allah tidak menjadikan sesuatu dengan sia-sia. Salah satu contoh adalah Allah menciptakan nyamuk, dan nyamuk diciptakan hanya untuk berbuat jahat yaitu menghisap darah. Tapi walaupun hanya menghisap darah, nyamuk tetap mempunyai manfaat.

Qs.2:26; “Sesungguhnya Allah tidak segan membuat perumpamaan seekor nyamuk atau yang lebih kecil dari itu. Adapun orang-orang yang beriman, mereka tahu bahwa itu kebenaran dari Tuhan. Tetapi mereka yang kafir berkata, Apa maksud Allah dengan perumpamaan ini? Dengan itu banyak orang yang dibiarkan-Nya sesat, dan dengan itu banyak orang yang diberi-Nya petunjuk. Tetapi tidak ada yang Dia sesatkan dengan itu selain orang-orang fasik.”

Qs.3:191; “Tidaklah Engkau jadikan semua ini dengan sia-sia, maha suci Engkau.”

Page 17: Aqidah Imam Syafi

Cara Musyahadah (menyaksikan) Tauhid Af’al adalah, yaitu:Engkau syuhud (pandang/saksikan) dan diyakinkan di dalam hati bahwa segala perbuatan yang menurut kita baik dan jahat itu semua terbit dari Allah. Jadi kenalilah dan saksikanlah bahwa Allah ta’ala itulah pelaku dibalik segala af’al (perbuatan) yang terjadi di alam semesta ini.

Dalil yang menunjukkan bahwa segala perbuatan itu terbit dari Allah dan tidak dari selain-Nya, yaitu;Qs.Ash shoffat:96; “Allah yang menjadikan kamu dan apa yang kamu perbuat.”

Syekh sulaiman Al Jazuli rohimahullah menjelaskan dalam kitab dalailul khoirot, bahwa “Tidak ada dari seseorang dan dari seluruh hamba-Nya suatu perkataan, perbuatan, gerak dan diam melainkan sudah lebih dahulu pada ilmu (pengetahuan) Allah ta’ala, Qodho dan Qodrat (ketentuan dan kehendak) Nya.”

Qs.9:51: “Katakanlah, tidak akan menimpa kami melainkan apa yang telah ditetapkan Allah bagi kami. Dialah pelindung kami, dan hanya kepada Allah bertawakallah orang-orang yang beriman.”

Qs.57:22-23; “Setiap bencana yang menimpa di bumi dan yang menimpa dirimu sendiri, semuanya telah tertulis dalam Kitab (laughul mahfuz) sebelum Kami mewujudkannya. Sungguh, yang demikian itu mudah bagi Allah. Agar kamu tidak bersedih hati terhadap apa yang luput dari kamu, dan tidak pula terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu.”

Dan dalil-dalil lainnya;Qs.4:108, 8:41, 11:92; “Allah ta’ala berfirman dengan perkataan yang sama, yaitu; Dan Allah meliputi apa yang kamu kerjakan.”Qs.8:17; “Tidaklah kamu yang melempar tetapi Allah-lah yang melempar ketika engkau melempar.”Qs.10:22; “Dialah Allah yang menjadikan kamu dapat berjalan didaratan.”Qs.26:78-81; “Yang telah mejadikan aku, maka Dia yang memberi petunjuk kepadaku, dan yang memberi makan dan minum kepadaku, dan apabila aku sakit, Dialah yang menyembuhkan aku, dan yang akan mematikan aku, kemudian akan menghidupkan aku.”Qs.53:43; “Dan sesungguhnya Dialah yang menjadikan orang tertawa dan menangis.”

Dan sabda nabi Muhammad saw;“Laahaula wala quwwata illa billahil Aliyyil Adziim / Tidak ada daya upaya dan kekuatan kecuali dengan Allah yang maha tinggi, maha agung.”Dan lagi sabda nabi saw;“Laa tataharroka dzarrotun illaa bi iznillah / Tiada bergerak suatu zarroh pun melainkan dengan izin Allah.”Dan sabda nabi saw;“Sesungguhnya Allah yang menjadikan semua pekerja dan pekerjaannya.” (HR. Al Hakim).

Dan suatu isyarat dari nabi kita Muhammad saw, yaitu tidak pernah mendo’akan kehancuran kaum Quraisy yang telah menyakiti dirinya. Hal ini karena beliau musyahadah (memandang) bahwa perbuatan itu dari Allah. Dan Allah berfirman kepada nabi Muhammad saw di Qs.10:65; “Dan janganlah engkau sedih oleh perkataan meraka. Sungguh, kekuasaan (akan perkataan mereka) itu seluruhnya milik Allah. Dia maha mendengar, maha mengetahui.”

Apabila engkau senantiasa musyahadah (menyaksikan) yang seperti yang demikian ini dengan penuh keyakinan, niscaya engkau terlepas dari bahaya syirik khofi dan mendapat maqom wihdatul af’al yang artinya meng-Esa-kan Allah ta’ala pada segala perbuatan sehingga fana’ (lenyap) segala perbuatan makhluk termasuk perbuatan dirinya, karena nyatanya perbuatan Allah yang Maha Nyata. Jadi, engkau saksikan dengan jelas bahwa segala wujud majazi ini hilang sirna dan lenyap tiada arti dibawah Nur Wujud Allah yang sebenarnya. Seperti tiada arti cahaya lilin yang dinyalakan dibawah Cahaya Wujud Matahari.

Dari berbagai uraian ini, maka kita ketahui bahwa sama saja perbuatan itu baik ataupun jahat pada hakikatnya dari Allah ta’ala jua.Dalil yang menunjukkan akan hal ini didasarkan atas hadits nabi saw, di dalam do’a beliau;“Allahumma innii ‘audzu bika minka / yaa Allah, Aku berlindung dengan Engkau dari Engkau.” (HR. Abu Daud

Page 18: Aqidah Imam Syafi

dari Ali bin Abi tholib)Dan dalam riwayat lain nabi bersabda;“Allahumma inni ‘audzu bika min syarri maa kholaq / Yaa Allah, aku berlindung kepada-Mu dari segala kejahatan yang engkau jadikan.”

Dan hal ini juga sesuai firman Allah Qs.113:1-2; “Qul a’udzu bi robbil falaq, min syarri ma kholaq / Katakanlah: aku berlindung kepada Tuhan yang menguasai subuh dari kejahatan yang Dia jadikan.”Maka kalau sekiranya kejahatan itu bukan dijadikan Allah, maka tidak mungkin nabi mengucapkan do’a demikian. Jadi, jelaslah bahwa perbuatan baik dan jahat pada hakikatnya dari Allah.

Dan Dalil-dalil lainnya;Qs. Annisa’ 4: 78; “Dimanapun kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu, kendatipun kamu berada dalam benteng yang tinggi dan kokoh. JIKA MEREKA MEMPEROLEH KEBAIKAN, MEREKA MENGATAKAN “INI DARI ALLAH”, DAN JIKA MEREKA MENDAPAT KEBURUKAN MEREKA MENGATAKAN, “INI DARI ENGKAU”. KATAKANLAH SEMUANYA DARI ALLAH. MAKA MENGAPA ORANG-ORANG ITU (ORANG-ORANG MUNAFIK) HAMPIR-HAMPIR TIDAK MEMAHAMI PEMBICARAAN (INI SEDIKITPUN)?”

Qs. Al-A’rof 7:131; “Kemudian apabila KEBAIKAN datang kepada mereka, mereka berkata, “ini adalah karena (usaha) kami”. Dan jika mereka mendapat KESUSAHAN, mereka lemparkan sebab kesialan itu kepada Musa dan pengikutnya. KETAHUILAH, SESUNGGUHNYA NASIB MEREKA DITANGAN ALLAH, namun kebanyakan mereka tidak mengetahui.”Qs.10:107; “Dan jika Allah menimpakan suatu Bencana (keburukan/kejahatan) kepadamu, maka tidak ada yang dapat menghilangkannya kecuali Dia. Dan jika Allah menghendaki Kebaikan bagi kamu, maka tidak ada yang dapat menolak karunia-Nya. Dia memberikan Kebaikan kepada siapa saja yang Dia kehendaki di antara hamba-hamba Nya. Dia maha pengampun, maha penyayang.”Qs.27:47; “Mereka menjawab, kami mendapat nasib yang Buruk disebabkan oleh kamu dan orang-orang yang bersamamu. Dia berkata, “Nasibmu ada pada Allah, tetapi kamu adalah kaum yang sedang diuji”.Qs.28:68; “Dan Tuhanmu menciptakan dan memilih apa yang Dia kehendaki. Bagi mereka (manusia) TIDAK ADA PILIHAN. Mahasuci Allah dan Mahatinggi Dia dari apa yang mereka persekutukan.”Qs.33:17; “Katakanlah, siapakah yang dapat melindungi kamu dari Allah jika Dia menghendaki Bencana atasmu atau menghendaki rahmat untuk dirimu? Mereka itu tidak akan mendapatkan pelindung dan penolong selain Allah.”Qs.43:32; “Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu? KAMILAH YANG MENENTUKAN KEHIDUPAN MEREKA DALAM KEHIDUPAN DUNIA, dan Kami telah meninggikan sebagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat memanfaatkan sebagian yang lain. Dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan. ”Qs.48:14; “Dan hanya milik Allah kerajaan langit dan bumi. Dia mengampuni siapa yang Dia kehendaki, dan mengazab siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah maha pengampun, maha penyayang.”Qs.64:11; “Tidak ada suatu Musibah yang menimpa kecuali dengan izin Allah.”

Sebagian Arifbillah membuat perumpamaan untuk memahami hal ini, yaitu seperti; Wayang yang dimainkan oleh dalang dengan berbagai macam gerak. Jadi wayang itu tidak mempunyai perbuatan sendiri, dan berbagai macam gerak wayang itu adalah mazhar (kenyataan) dari dalang itu sendiri. Maka seperti itulah antara hamba dengan Tuhannya.

Walaupun segala perbuatan, gerak dan kejadian pada hakikatnya adalah dari Allah jua, maka janganlah engkau melanggar syariat nabi kita Muhammad saw dan tetap teguhlah dalam Takwa (mengerjakan segala yang diperintahkan Allah dan Rosul-Nya serta menjauhi segala yang dilarang-Nya).

Jadi janganlah sekali-kali menafsirkan bahwa gugur taklif syara’ (tidak ada kewajiban hukum syariat). Apabila engkau beiktiqod (berkeyakinan) demikian, jadilah engkau kafir zindik. Na udzubillahi min dzalik.

Oleh karena itu, istiqomahlah dalam melaksanakan syariat nabi Muhammad saw dan juga tetaplah engkau Musyahadah dengan mata hatimu secara terus menerus berkekalan bahwa segala Kebaikan dan Keburukan

Page 19: Aqidah Imam Syafi

adalah dari Allah jua. Sehingga lepaslah engkau dari syirik khofi (syirik yg halus tidak kelihatan). Apabila engkau memandang dirimu masih merasa ada suatu perbuatan pun, maka itulah syirik khofi walaupun engkau tidak berbuat syirik jalli (syiri yang nyata).

Allah ta’ala berfirman;Qs.yusuf:106; “Sebagian besar dari mereka tidak beriman kepada Allah, melainkan (masih) dalam keadaan menyekutukan-Nya (dengan memandang Wujud dan perbuatan selain Allah).”Karena itulah sayyid umar bin Al Farid rohimahullah berkata;“Andaikata terlintas didalam fikiranku suatu kehendak yang lain dari Mu karena lalai (lupa), maka aku sebut diriku ini dengan murtad”.Dan syekh Abu Abbas Al Mursi rohimahullah berkata;“Andaikata aku terhijab (terlupa) dari Tuhanku meskipun sekejap mata, maka tidaklah lagi aku termasuk manusia”.

Jadi, engkau disebut musyrik apabila engkau tidak mengikuti jalan mukmin yang sebenarnya. Dan jalan mukmin itu adalah memandang bahwa Tiada yang berbuat, yang hidup, dan yang Maujud dalam wujud ini hanya Allah ta’ala sendiri. Maka apabila engkau mengikuti jalan mukmin yang sebenarnya barulah engkau disebut mukmin yang benar dan lepaslah engkau dari syirik khofi, serta keluarlah engkau dari yang disebut Allah dengan musyrik. Dan jadilah engkau Ahli Tauhid yang benar yang disegerakan surga di dalam dunia ini. Serta patutlah atas engkau dimuliakan oleh Allah dalam akhirat.Allah ta’ala berfirman;Qs. Arrohman:46; “Dan dua surga bagi siapa saja yang takut saat menghadap Tuhannya.”Surga pertama adalah surga Musyahadah (menyaksian) Allah yang di dapat dari Ma’rifatullah di dunia ini. Surga kedua adalah surga Akhirat yang disebutkan oleh Allah ta’ala di dalam alqur’anul karim.

Syekh Al ‘alimul Allamah Al Bahrur Ghoriq Marlan Abdullah ibnu Hijazi As Syarqowi Al Mishri rohimahullah, berkata; “Barang siapa yang telah memasuki surga ma’rifatullah di dunia ini, niscaya tiada berhasrat lagi kepada surga akhirat yang berupa bidadari, istana, dan segala sesuatu yang disana. Hasratnya hanya ingin sedekat-dekatnya pada hadirat Allah dan Rukyatullah (melihat Allah). Maka nikmat yang paling tinggi di akhira adalah Rukyatullah, sebagaimana firman Allah;Qs.75;22-23; “Wajah-wajah orang mukmin pada hari itu berseri-seri, melihat Tuhannya.”

Jadi jauh sekali perbedaannya antara nikmat Rukyatullah (melihat Allah) dibandingkan nikmat seperti bidadari, istana, dan segala sesuatu yang ada disana.

Begitu pula tentang Musyahadah (menyaksikan) Allah di dunia ini dalam arti ma’rifatullah yang telah terbuka pada hati orang-orang yang Arifbillah, itu hanya sebagian kecil saja dibandingkan dengan Rukyatullah di akhirat kelak.

Walaupun demikian, niscaya mereka akan mendapatkannya karena mereka telah menyaksikan Allah di dunia ini. Seperti firman Allah:Qs.17:72; “Barang siapa buta didunia ini, maka di akherat lebih buta dan lebih tersesat dari jalan yang lurus.”Dari ayat ini, dapat kita ketahui bahwa mereka para Arifbillah telah mendapat jaminan dari Allah karena mereka tidak buta terhadap-Nya di dunia ini.

Suatu perkataan dari Arifbillah Maulana syekh Abdul Wahab Sya’roni qoddasallahu sirrahu dalam kitab jawahirul wad daruri, ia menukil dari perkataan syekh Al Akbar Muhyiddin Ibnu Arabi rohimahullah, yaitu bahwa;Segala Akwan (keadaan/kejadian) ini adalah dinding yang mendidingi kita dari HAQ ta’ala. Padahal hanya HAQ ta’ala inilah yang berbuat dibalik hijab semua akwan ini.

Seperti; bayang-bayang kayu di dalam air sungai yang seakan-akan merintangi jalannya perahu. Adapun perahu yang tidak mau melewatinya, karena menyangka itu kayu yang sebenarnya, maka ia telah terhijab. Jadi barang siapa terbuka hijab niscaya dilihatnya bahwa yang berbuat pada segala perbuatan itu adalah

Page 20: Aqidah Imam Syafi

Allah ta’ala sendiri. Dan barang siapa tidak terbuka hijab, maka ia terdinding dari akwan ini, sehingga ia tidak mampu memandang Fa’il (pelaku) yang sebenarnya yaitu Allah.

Berikut ini adalah masalah pengertian Af’al Hamba, yang terbagi menjadi 4 mazhab:1. Mazhab Mu’tazilahGolongan ini ber iktiqod bahwa makhluklah yang berbuat pada setiap perbuatan yang terjadi. Dan qodrat (kemampuan) perbuatan makhluklah yang menentukan akibat dari perbuatan itu. Dan golongan ini tidak mau tahu bahwa sesungguhnya Allah itulah yang memperbuat pada segala perbuatan. Jadi, dari dalil-dalil yang sudah dijelaskan sebelumnya, jelas bahwa golongan ini fasiq.Golongan ini seperti firman Allah;Qs.39:49; …..kemudian apabila Kami berikan nikmat Kami kepadanya dia berkata, Sesungguhnya aku diberi nikmat ini hanyalah karena kepintaranku (usahaku). Sebenarnya, itu adalah ujian, tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui.

2. Mazhab JabariyahGolongan ini beriktiqod bahwa segala perbuatan adalah perbuatan Allah sendiri, tetapi dalam hal ini mereka tidak memandang kenyataan perbuatan Tuhan pada makhluknya, sehingga mereka tidak mau tahu bahwa setiap perbuatan Allah itu disandarkan pada hamba. Jadi mereka cenderung pasrah dan berpangku tangan saja, tidak mau berusaha. Dengan demikian, maka mereka tidak dapat mencapai derajat kamal (sempurna) dan bertentangan dengan jalan syariat.Jabariyah artinya paksaan, maksudnya manusia ini dipaksa oleh Tuhan untuk berbuat. Jadi apabila mengerjakan maksiat, tidak perlu minta ampun, karena itu adalah terpaksa. Jadi jelas golongan ini munafik dan zindik.Golongan ini seperti dalam firman Allah:Qs.16:35; Dan orang musyrik berkata, jika Allah menghendaki, niscaya kami tidak akan menyembah sesuatu apa pun selain Dia, baik kami maupun bapak-bapak kami, dan tidak kami mengharamkan sesuatu pun tanpa -Nya. Demikianlah yang diperbuat oleh orang sebelum mereka. Bukankah kewajiban para rosul hanya menyampaikan dengan jelas.

3. Mazhab Asy ‘AriyahGolongan ini beriktiqod bahwa segala perbuatan itu dari Allah, tetapi bagi makhluk masih ada usaha ikhtiar. Dengan usaha ikhtiar, makhluk itu berbuat dan berlaku hukum syara’ sebagai sunatullah (hukum alam). Bagi mereka, usaha ikhtiar makhluk tidak menentukan tetapi Allah ta’ala itulah yang menentukan hasil (akibat) dari usaha ikhtiar makhluk.Maka Mazhab ini adalah iktiqod yang dapat dipegang. Hanya saja golongan ini masih belum dapat mencapai martabat kasyaf. Hal ini karena mereka masih terhijab (terdinding) dengan sebab masih memandang bahwa usaha ikhtiar itu dari hamba itu sendiri, sehingga tidak ada pandangan bahwa usaha ikhtiar itu adalah perbuatan Allah yang disandarkan pada makhluknya.Jadi 3 golongan yang telah dijelaskan sebelumnya itu masih dalam keadaan tertutup dari musyahadah Wihdatul Af’al, hal ini dikarenakan belum mendapat kasyaf (terbuka hijab/dinding).

4. Mazhab Ahlul KasyafGolongan ini adalah golongan orang-orang yang sudah terbuka dari hijab (tabir) Ketuhanan sehingga dapat Musyahadah (Menyaksikan) dengan sebenar-benarnya bahwa segala perbuatan itu dari Allah yang disandarkan kepada hamba. Seperti; Pena ditangan seorang penulis, yang menulis huruf-huruf dengan goresan pena tersebut. Pena itu pada hakikatnya tidak mempunyai kemampuan berbuat untuk huruf-huruf, dan huruf-huruf itu adalah dari Si Penulis pemegang Pena. Maka demikianlah yang berlaku dan terjadi di dalam alam ini, Allah ta’ala itulah yang memperbuat pada setiap perbuatan.

Arifbillah syekh Abdul Wahab Sya’roni q.s berkata; bahwa Syekh Muhyidin Al Akbar Ibnu Arabi rohimahullah mengatakan dalam bukunya Futuhatul Makiyah bab ke 422 yaitu;“Sesungguhnya segala perbuatan itu dari Allah ta’ala dan makhluk adalah sebagai sandaran perbuatan-Nya. Hal ini karena keadaan kita sebagai hamba tempat menanggung siksa dan pahala.”

Page 21: Aqidah Imam Syafi

Arifbillah maulana Syekh Mahyudin Al Akbar Ibnu Arabi rohimahullah juga berkata;“Tentang masalah tanggung jawab terhadap setiap perbuatan yang dilakukan oleh makhluk, itu adalah tanggung jawab makhluk itu sendiri bukan Robb (Tuhan). Walaupun pada hakikatnya Tuhan adalah pelaku sebenarnya, tetapi karena makhluk sebagai hamba tempat untuk patuh pada Robb yang menyuruhnya. Maka Robb tidak ditanya tetang apa yang diperbuat-Nya.”

Dalil yang menyatakan bahwa hamba yang bertanggung jawab pada segala perbuatan, bukan Robb yaitu firman-Nya;Qs. Ambiya’21:23; “Dia (Allah) tidak ditanya tentang apa yang diperbuat-Nya tetapi merekalah yang ditanya.”Dan karena itulah Allah ta’ala juga berfirman;Qs.91:15; “Dan Allah tidak takut terhadap akibat tindakan (perbuatan)-Nya.”

Dan perhatikanlah firman Allah ini;Qs.3:129; “Dan milik Allah-lah apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Dia mengampuni siapa yang Dia kehendaki, dan mengazab siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah maha pengampun, maha penyayang.”Qs.48:14; “Dan hanya milik Allah kerajaan langit dan bumi. Dia mengampuni siapa yang Dia kehendaki, dan akan Mengazab siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah maha pengampun, maha penyayang.”Qs.3:26; “Katakanlah, Wahai Tuhan pemilik kekuasaan, Engkau berikan kekuasaan kepada siapa pun yang Engkau kehendaki, dan Engkau cabut kekuasaan dari siapa pun yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan siapa pun yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan siapa pun yang Engkau kehendaki. Ditangan Engkaulah segala kebajikan. Sungguh, Engkau maha kuasa atas segala sesuatu.”Qs.5:118; “Jika Engkau menyiksa mereka, maka sesungguhnya mereka adalah hamba-hamba Mu, dan jika Engkau mengampuni mereka, sesungguhnya Engkaulah yang maha perkasa, maha bijaksana.”Qs.6:17-18; “Dan jika Allah menimpakan suatu bencana kepadamu, tidak ada yang dapat menghilangkannya selain Dia. Dan jika Dia mendatangkan kebaikan kepadamu, maka Dia maha kuasa atas segala sesuatu. Dan Dialah yang berkuasa atas hamba-hamba Nya. Dan Dia maha bijaksana, maha mengetahui.”Qs.6:39; “Dan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami adalah tuli, bisu dan berada dalam gelap. Barang siapa dikehendaki Allah (dalam kesesatan), niscaya disesatkan-Nya. Dan barang siapa dikehendaki Allah (di jalan lurus), niscaya Dia menjadikannya berada diatas jalan yang lurus.”Qs.16:93; “Dan jika Allah menghendaki niscaya Dia menjadikan kamu satu umat, tetapi Dia menyesatkan siapa yang Dia kehendaki dan memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki. Tetapi kamu pasti yang akan ditanya tentang apa yang telah kamu kerjakan.”Qs.19:93; “Tidak ada seorang pun di langit dan di bumi, melainkan akan datang kepada Yang Maha Pengasih sebagai Hamba.”

Jadi walaupun pada hakikatnya Allah yang menyesatkan siapa yang Dia kehendaki dan memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki tetap saja kita sebagai hamba yang ditanya tentang apa yang telah dikerjakan jadi bukan Tuhan yang ditanya.Qs.16:93; “Dan jika Allah menghendaki niscaya Dia menjadikan kamu satu umat, tetapi Dia menyesatkan siapa yang Dia kehendaki dan memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki.TETAPI KAMU PASTI AKAN DITANYA TENTANG APA YANG TELAH KAMU KERJAKAN.

Wahai para salik, karena manusia selalu mempunyai rasa ingin tahu dan ingin bertanya bahwa kenapa Allah menciptakan orang yang berbuat jahat dan membuat kerusakan serta menumpahkan darah di muka bumi?Maka ketahuilah para malaikat pun pernah juga bertanya kepada Allah tentang hal ini, dan Allah menjawab; bahwa sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.Hal ini sebagaimana firman Allah;Qs.2:30; “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat; Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang kholifah di muka bumi. Mereka (para malaikat) berkata; MENGAPA ENGKAU HENDAK MENJADIKAN DI BUMI ITU ORANG YANG AKAN MEMBUAT KERUSAKAN PADANYA DAN MENUMPAHKAN DARAH, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan menyucikan Engkau? Tuhan berfirman; SESUNGGUHNYA AKU MENGETAHUI APA YANG TIDAK KAMU KETAHUI.”

Page 22: Aqidah Imam Syafi

Wahai para salik, kita tidak mengetahui apa yang Allah ketahui, tapi yang pasti Allah tidak menjadikan sesuatu dengan sia-sia tanpa ada manfaatnya.Qs.3:191; “….Tidaklah Engkau menjadikan semua ini dengan sia-sia, maha suci Engkau.”Dan perhatikanlah hadits nabi Muhammad saw:“Demi Dzat yang jiwaku berada di Tangan-Nya, seandainya kalian tidak berbuat dosa, niscaya Allah akan menghilangkan kalian dari muka bumi dan akan mendatangkan kaum lain yang berbuat dosa yang ber istighafar memohon ampun pada Allah dan Allah mengampuni mereka.” (HR. Muslim).

Jadi seandainya jika tidak ada orang yang berbuat dosa dan memohon ampun kepada Allah maka Allah akan mengampuni siapa?Makhluk Tuhan di dunia ini merupakan perwujudan kasih sayang-Nya, dan bukan kemarahan-Nya. Karenanya dunia tidak dilumuri dosa sebelumnya. Di dalam neraka-Nya, kenikmatan juga akan dirasakan oleh makhluk-Nya. Syekh Al Akbar Ibnu Arabi menerangkan bahwa kata Azab (siksa) berasal dari kata Adzb (lezat), artinya bahwa dari siksa akan lahir kenikmatan. Ikan memang harus di air, sedang salamander harus berada dalam api, keduanya tidak mungkin bertukar tempat. Mereka bagaikan penderita penyakit kudis yang dikupas bagian terluar lukanya, di dalamnya masih akan ditemukan kenikmatan, dan mereka bagaikan seorang sakit yang memang harus minum obat pahit, untuk menghilangkan rasa sakit.

Renungkanlah karena masalah ini indah sekali.Berkaitan dengan Tauhidul Af’al, Arifbillah maulana Quthubul syekh muhyidin Al Akbar Ibnu Arabi rohimahullah, menjelaskan tentang firman Allah ta’ala;Qs.55:29; “Allah setiap saat dalam kesibukan.”

Hal ini berarti bahwa setiap saat alam semesta dan diri kita ini selalu mengalami perubahan, karena Allah setiap saat terus menerus sibuk dalam menciptakan sampai saat ini pun. “Akan tetapi kebanyakan manusia ragu terhadap ciptaan baru (Qs.50:15).

Pada saat kita terhijab (belum mengetahui bahwa segala perbuatan itu dari Allah), kita menyangka bahwa setiap perbuatan itu dari kita dan untuk kita sendiri. Maka itu berarti, Allah memberi suatu cobaan dengan menyandarkan perbuatan itu kepada kita, sehingga kita menyangka bahwa kita yang berbuat.

Dan apabila kita telah masuk kehadirat ihsan (beribadah seakan-akan melihat Allah) dan terbuka dinding hijab antara kita dengan Allah, niscaya kita lihat bahwa segala perbuatan itu sebenarnya terbit bersumber dari Allah ta’ala sendiri dan kita sebenarnya tidak melakukan suatu perbuatan pun.

Hal ini seperti sabda nabi Muhammad saw;“Laa haula walaa quwwata illa billahil aliyyil azhiim / Tidak ada daya upaya (usaha) dan kekuatan untuk berbuat kecuali dengan Allah yang maha tinggi, maha agung.”

Kemudian apabila kita sampai kepada Musyahadah ini, maka takwa lah kita dengan tetap istiqomah dalam pegangan (pendirian) syara’ yaitu Adab (akhlak) kita kepada Allah. Maka untuk itu kita harus mengamalkan firman Allah ta’ala ini;Qs. annisa’:78; “Apa saja yang menimpa engkau dari yang baik adalah dari Allah, dan apa saja yang menimpa engkau dari kejelekan, maka hal itu dari dirimu sendiri.”

Ketika memberikan pelajaran di masjidil Haram, Arifbillah Al Allamah maulana syekh Yusuf Abu zarroh Al Mishri q.s. Berkata; “Tidak seharusnya mengatakan bahwa kejahatan itu dari Allah ta’ala kecuali pada saat belajar-mengajar (membahas) dalam jurusan ilmu ini.”

Syekh Ibnu Hajar rohimahullah dalam syarah Arba’in menjelaskan perkataan nabi yang tercantum pada sebagian do’a iftitah yang berbunyi ; “Was syarri laisa ilaik / Dan kejelekan (kejahatan) bukan untuk Mu.” (HR. muslim, Abu Awarah, Abu Daud, An nasa’i, Ibnu Hibban, Ahmad, Asy Syafi’i, dan Tabbarani dari Ali bin Abi Tholib K.W).

Hal ini adalah untuk mengajari (mendidik) kita tentang Adab (Akhlak) kepada Allah ta’ala, karena tidak seharusnya kita berkata dalam arti untuk menghina Allah ta’ala. Seperti perkataan; Allah yang menjadikan

Page 23: Aqidah Imam Syafi

Anjing dan babi, serta Allah yang menjadikan syetan dan maksiat. Meskipun sebenarnya di akui bahwa Anjing, babi, syetan dan maksiat itu dijadikan Allah. Dan juga perlu diketahui bahwa Allah ta’ala tidak menjadikan sesuatu pun tanpa ada manfaatnya.

Jadi, tetaplah Musyahadah pada maqom Tauhidul Af’al ini, niscaya akan sampai pada keridhoan-Nya. Memang diakui bahwa maqom ini bagi orang-orang yang Arifin adalah tingkatan yang terbawah dari salah satu tingkatan dalam Tauhid.

Af'al Allah maqam Musyahadah perbuatan Ridho Tauhid

Saya bersaksi 12 YEARS AGO

by admin in Islam, Umum

Marilah merasakan dan mengalami sebenar-benarnya“saya bersaksi”

Pada dunia maya (internet), baik melalui  email, chatting, milis,  forum diskusi, blog   kadang kita temui perdebatan dalam bidang agama dengan berbekal pemahaman maupun ilmu yang dipahami/diketahui.

Kita dapat pula temukan sebagian umat muslim gemar “mencela”, “menghujat”, “menilai”, “menghakimi” saudara-saudara muslim lainnya berdasarkan tingkat pemahaman mereka sendiri.

Padahal Allah telah sampaikan bahwa adanya perbedaan tingkat pemahaman / kompetensi pada muslim semata-mata semua itu merupakan kehendak Allah sebagaimana firmanNya yang artinya.

“Allah menganugerahkan al hikmah (kefahaman yang dalam tentang Al Qur’an dan As Sunnah) kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. Dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah).” (Al-Baqarah – 269).

Insyaallah muslim yang sudah memahami dan mengupayakan ma’rifatullah tidak akan “mencela”, “menghujat”, “menilai” atau “menghakimi” saudara-saudara muslim lainnya, karena mereka sudah “merasakan”  dan “mengalami” makna “saya bersaksi” dalam kalimat syahadatain.

Sebagaimana yang disampaikan imam Al Qusyairi bahwa,“Asy-Syahid untuk menunjukkan sesuatu yang hadir dalam hati, yaitu sesuatu yang membuatnya selalu sadar dan ingat, sehingga seakan-akan pemilik hati tersebut senantiasa melihat dan menyaksikan-Nya, sekalipun Dia tidak tampak. Setiap apa yang membuat ingatannya menguasai hati seseorang maka dia adalah seorang syahid (penyaksi)”.

Orang-orang yang terhijab tidak akan mampu “bersaksi”. Hijab itu meliputi antara lain nafsu hijab, dosa hijab, hubbub al-dunya hijab, cara pandang terhadap fiqh yang terlalu formalistik juga hijab, terjebaknya orang dalam kenikmatan ladzatul ‘ibadah,  sampai karomah juga hijab, dll. Salah satu bentuk nafsu hijab terbesar itu justru kesombongan, karena sombong itu, membuat, manusia hanya melihat dirinya. Kita bisa bayangkan, kalau keadaan batin itu hanya melihat dirinya sendiri, orang lain nggak kelihatan, bagaimana dia bisa “melihat” Allah ( “bersaksi”).

Orang-orang yang sibuk memperturutkan hawa nafsu adalah bukan sebenar-benarnya seorang syahid (penyaksi) pantaslah kalau mereka masih “mencari” “di mana Allah” atau “bagaimana Allah”. Celakalah mereka ! Semoga Allah memberikan pertolongan karunia pemahaman yang lebih baik kepada mereka.

Imam Al Qusyairi mengatakan, ” Dia Tinggi Yang Maha Tinggi, Luhur Yang Maha Luhur dari ucapan “bagaimana Dia?” atau “dimana Dia?”. Tidak ada upaya, jerih payah, dan kreasi-kreasi yang mampu  menggambari-Nya, atau menolak dengan perbuatan-Nya atau kekurangan dan aib. Karena, tak ada sesuatu

Page 24: Aqidah Imam Syafi

yang menyerupai-Nya. Dia Maha Mendengar dan Melihat. Kehidupan apap pun tidak ada yang mengalahkan-Nya. Dia Dzat Yang Maha Tahu dan Kuasa“.

Secara syariat, seorang muslim sudah terpenuhi rukun Islam ketika telah dengan sungguh-sungguh mengucapkan “saya bersaksi” dalam kalimat syahadatain ( 2 kalimat syahadat). Sebaiknya kita tidak berpuas diri sebatas pengucapan atau pernyataan saja.

Bilakah manusia sebenar-benarnya bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah ?

Setiap manusia sudah bersaksi bahwa Allah adalah sebagai Rabbnya ketika masih dalam alam kandungan. Sebagaimana yang disampaikan Allah dalam firman yang artinya.

“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi”. (QS- Al A’raf 7:172)

Keadaan sebenar-benarnya bersaksi terjadi dikarenakan manusia (ketika bayi dalam kandungan) dalam keadaan suci dan bersih.

Ketika bayi dalam kandungan berada di dalam air ketuban (omnium water). Sehingga seorang bayi dalam kandungan tidak melakukan aktifitas inderawi secara sempurna. Dengan kata lain seorang bayi tidak makan dan tidak minum atau berbicara dengan mulut, tidak bernapas dengan hidung, tidak melihat dengan mata, tidak mendengar dengan telinga, dan tidak buang air besar atau kecil melalui anus atau kemaluan. Tetapi bayi tersebut mendapatkan semua kebutuhan jasmaninya melalui saluran plasenta yang menghubungkan antara pusar bayi dengan dinding rahim ibu.

Dalam kandungan, seorang bayi juga tidak berpikir dikarenakan fungsi otaknya belum sempurna, tetapi kemampuan ruhani bayi telah hidup sempurna.

Keadaan sebenar-benarnya bersaksi terjadi dikarenakan dalam keadaan suci dan bersih, ketika panca indera dan hawa nafsu (jasmani) belum mempengaruhi ruhani. Saat-saat manusia terhubung (wushul) dengan Allah SWT.

Jadi upaya yang harus dilakukan agar kita bisa merasakan dan mengalami sebenar-benarnya bersaksi  dan kembali terhubung (wushul) dengan Allah SWT adalah kembali bersih dan suci.  Upaya yang dilakukan adalah dengan bertaubat yang sungguh-sungguh, akhlak yang baik, adab yang mulia, mensucikan jiwa (tazkiyatun nafs), mengenal diri, manajemen hati, sebagaimana upaya yang dilakukan oleh kaum sufi.

Sekarang kita dapat mengambil pelajaran (al-hikmah) dari perkataan Rasulullah SAW,  ”Pakailah pakaian yang baru, hiduplah dengan terpuji, dan matilah dalam keadaan mati syahid” (HR.Ibnu Majah), dengan makna mensucikan jiwa, akhlak yang baik, adab yang mulia dalam perjalanan hidup kita, mengantarkan kita kembali sebenar-benarnya bersaksi (syahid) sebagaimana pada awal mula kejadian kita (ketika bayi dalam kandungan).

Oleh karena itu Islam mengajarkan agar setiap umatnya kembali menjadi seperti bayi dalam kandungan, agar dirinya dapat kembali menemui Allah.

“Dan sesungguhnya kamu kembali menghadap Kami dengan sendirian seperti kamu Kami ciptakan pada awal mula kejadian. Dan pada saat itu kamu tinggalkan dibelakangmu apa yang telah Kami anugerahkan kepadamu ….” (QS Al An’am 6: 94)

“Mereka dihadapkan kepada Tuhanmu dengan berbaris, Kemudian Allah berfirman: “ Sesungguhnya kamu datang kepada Kami sebagaimana Kami telah menciptakan kamu pada awal mula kejadian, bahkan kamu menyangka bahwa Kami tiada menetapkan janji bagi kamu” (QS Al Kahfi 18:48).

Pahamlah kita kenapa muslim ketika selesai menjalankan ibadah puasa Ramadhan kembali dalam keadaan suci bersih, kembali fitri dengan kiasan “berbaju baru” yakni kemenangan menjaga hawa nafsu, mensucikan

Page 25: Aqidah Imam Syafi

jiwa, berakhlak baik dan beradab mulia.  Namun sebagian umat muslim hanya memaknai secara lahiriah atau tekstual dengan mengenakan “baju baru” disaat hari raya Idul Fitri.  Akhlak adalah pakaian ruhani. Semakin  akhlaknya tambah bagus, pasti ruhaninya tambah bersih.

Begitu pula syarat syahnya sholat (mi’raj kaum muslim) adalah dengan bersuci atau berwudhu, yang diuraikan dalam thaharah.

“Tak akan diterima sholatnya orang yang ber-hadats sampai ia berwudhu’” . [HR. Al-Bukhoriy dalam Shohih-nya (135 & 6954), dan Muslim dalam Shohih-nya (536)]

Nasehat Syaikh Ibnu Athailllah

“Betapa hati manusia akan menyinarkan cahaya, bila cermin hati kita masih memantulkan beraneka macam gambaran tentang alam kemakhlukan? Betapa seorang hamba mampu menjumpai Allah, padahal ia terbelenggu ke dalam syahwat. Bagaimana mungkin seorang hamba dengan keinginan kerasnya untuk masuk kehadirat Allah, padahal ia belum bersih dari janabatkelalaiannya. Bagaimana mungkin seorang hamba mampu memahami berbagai rahasia yang halus halus, padahal ia belum juga bertobat dari kesalahannya. ”

Wasssalam

Zon di Jonggol

.

.

Anjuran:  Silahkan lanjutkan dengan membaca tulisan padahttp://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/05/09/mereka-lalai/

Baju baru Bersaksi Islam Saya Sufi Syahadat Tauhid

Tauhid jadi   tiga 442 YEARS AGO

by admin in Islam, Umum

Pembagian Tauhid Menjadi Tiga

Dewasa ini berkembang pandangan pembagian Tauhid menjadi tiga, yakni Tauhid Rububiyyah, Tauhid Uluhiyah dan Tauhid al-Asma’ wal al-Shifat.

Bahkan pradigma Tauhid menjadi tiga tersebut, kini juga masuk dalam kurikulum akidah dan akhlak yang diajarkan di sekolah-sekolah agama. Oleh karena itu, disini perlu dipaparkan bagaimana sebenarnya pembagian Tauhid menjadi tiga tersebut.

Pembagian Tauhid menjadi tiga, yaitu Tauhid Rububiyyah, Tauhid Ululiyyah dan Tauhid al-Asma’ wa al-Shifat, belum pernah dikatakan oleh seorangpun sebelum masa Ibn Taimiyah.

Rasulullah Saw juga tidak pernah berkata kepada seseorang yang masuk Islam, bahwa di sana ada dua macam Tauhid dan kamu tidak akan menjadi Muslim sebelum bertauhid dengan Tauhid Uluhiyyah.

Rasulullah Saw juga tidak pernah mengisyaratkan hal tersebut meskipun hanya dengan satu kalimat. Bahkan tak seorangpun dari kalangan ulama salaf atau para imam yang menjadi panutan yang mengisyaratkan terhadap pembagian tauhid tersebut. Hingga akhirnya datang Ibnu Taimiyah pada abad ketujuh Hijriah yang menetapkan konsep pembagian Tauhid menjadi tiga.

Menurut Ibnu Taimiyah Tauhid itu terbagi tiga:

Page 26: Aqidah Imam Syafi

Pertama, Tauhid Rububiyyah, yaitu pengakuan bahwa yang menciptakan, memiliki dan mengatur langit dan bumi serta seisinya adalah Allah saja. Menurut Ibn Taimiyah, Tauhid Rububiyyah ini telah diyakini oleh semua orang, baik orang-orang Musyrik maupun orang-orang Mukmin.

Kedua, Tauhid Uluhiyyah, yaitu pelaksanaan ibadah yang hanya ditujukan kepada Allah. Ibn Taimiyah berkata, “Ilah (Tuhan) yang haqq adalah yang berhak untuk disembah. Sedangkan Tauhid adalah beribadah kepada Allah semata tanpa mempersekutukan-Nya.76

Ketiga, Tauhid al-Asma’ wa al-Shifat, yaitu menetapkan hakikat nama-nama dan sifat-sifat Allah sesuai dengan arti literal (zhahir)nya yang telah dikenal di kalangan manusia.

Pandangan Ibn Taimiyah yang membagi Tauhid menjadi tiga tersebut kemudian diikuti oleh Muhammad bin Abdul Wahhab perintis ajaran Wahhabi.

Dalam pembagian tersebut, Ibn Taimiyah membatasi makna Rabb atau rububiyyah terhadap sifat Tuhan sebagai pencipta, pemilik dan pengatur langit, bumi dan seisinya. Sedangkan makna Ilah atau uluhiyyah dibatasi pada sifat Tuhan sebagai Dzat yang berhak untuk disembah dan menjadi tujuan  dalam beribadah.

Tentu saja, pembagian Tauhid menjadi tiga tadi serta pembatasan makna-maknanya tidak rasional dan bertentangan dengan dalil-dalil Al-Qur’an, Hadits dan pendapat seluruh ulama Ahlussunnah Wal-Jama’ah77.

Ayat-ayat al-Qur’an , hadits-hadits dan pernyataan para ulama Ahlussunnah Wal Jama’ah tidak ada yang membedakan antara makna Rabb dan makna Ilah.

Bahkan dalil-dalil Al-qur’an dan Hadits mengisyaratkan adanya keterkaitan yang sangat erat antara Tauhid Rububiyyah dan Tauhid Uluhiyyah.

Allah SWT berfirman yang artinya, “Dan (tidak wajar pula baginya) menyuruhmu menjadikan malaikat dan para nabi sebagai arbab (tuhan-tuhan)”  (QS Ali-Imran : 80)

Ayat diatas menegaskan bahwa orang-orang Musyrik mengakui adanya Arbab (tuhan-tuhan) selain Allah seperti Malaikat dan para Nabi.

Dengan demikian berarti orang-orang Musyrik tersebut tidak mengakui Tauhid Rububiyyah.

Konsep Ibn Taimiyah yang menyatakan bahwa orang-orang kafir sebenarnya mengakui Tauhid Rububiyyah, akan semakin fatal apabila kita memperhatikan pengakuan orang-orang kafir sendiri kelak di hari kiamat seperti yang dijelaskan dalam al-Qur’an al-Karim yang artinya, “Demi Allah, sungguh kita dahulu (di dunia) dalam kesesatan yang nyata, karena kita mempersamakan kamu dengan Tuhan (Rabb) semesta alam” QS al Syu’ara :97-98)

Ayat tersebut menceritakan tentang penyesalan orang-orang kafir di Akhirat dan pengakuan mereka yang tidak mengakui Tauhid Rububiyyah, dengan menjadikan berhala-berhala sebagai arbab (tuhan-tuhan).

Pendapat Ibn Taimiyah yang mengkhususkan kata Uluhiyyah terhadap makna ibadah bertentangan pula dengan ayat berikut ini yang artinya,  “Hai kedua penghuni penjara, manakah yang baik, tuhan-tuhan yang bermacam itu, ataukah Allah yang Maha Esa lagi Maha Perkasa ? Kamu tidak menyembah yang selain Allah kecuali hanya (menyembah) nama-nama yang kamu dan nenek moyangmu membuat-buatnya” (QS. Yusuf : 39-40)

Ayat di atas menjelaskan, bagaimana kedua penghuni penjara itu tidak mengakui Tauhid Rububiyyah dan menyembah-nyembah tuhan-tuhan (arbab) selain Allah. Disamping itu, ayat berikutnya menghubungkan ibadah dengan Rububiyyah, bukan Uluhiyyah, sehingga dapat disimpulkan konotasi makna Rububiyyah itu pada dasarnya sama dengan Uluhiyyah.

Dalam surat al-Kahfi, mengisahkan pengakuan seorang Mukmin yang tidak melanggar Tauhid Rububiyyah dan seorang kafir yang mengakui telah melanggar Tauhid Rububiyyah.

Page 27: Aqidah Imam Syafi

Orang Mukmin tersebut berkata: yang artinya “tetapi aku (percaya bahwa): dialah Allah, Tuhanku, dan Aku tidak mempersekutukan seorangpun dengan Tuhanku” QS al Kahfi : 38)

Sedangkan orang kafir tersebut berkata, yang artinya: “Aduhai kiranya dulu aku tidak mempersekutukan seorangpun dengan Tuhanku” (QS al Kahfi : 42)

Kedua ayat di atas memberikan kesimpulan bahwa antara Tauhid Rububiyyah dengan Tauhid Uluhiyyah ada keterkaitan (talazum) yang sangat erat. Disamping itu, ayat kedua di atas membatalkan pandangan Ibn Taimiyah yang menyatakan bahwa orang-orang Musyrik mengakui Tauhid Rububiyyah. Justru dalam ayat tersebut, orang Musyrik sendiri mengakui kalau telah melanggar Tauhid Rububiyyah.

Konsep pembagian Tauhid menjadi tiga tersebut akan batal pula, apabila kita mengkaitkannya dengan hadits-hadits Nabi Saw. Misalnya dengan hadits shahih berikut ini, yang artinya.  Dari al Barra’ bin Azib, Nabi Saw bersabda, “Allah berfirman, “Allah meneguhkan (iman) orang-orang beriman dengan ucapan yang teguh itu” (QS. Ibrahim : 27).  Nabi Saw bersabda, “Ayat ini turun mengenai azab kubur. Orang yang dikubur itu ditanya, “Siapa Rabb (Tuhan)mu ?” Lalu dia menjawab, “Allah, Rabbku, dan Muhammad Saw Nabiku” H.R. Muslim 5117).

Hadits diatas memberikan pengertian, bahwa Malaikat Munkar dan Nakir, akan bertanya kepada si mayit tentang Rabb, bukan Ilah, karena kedua Malaikat tersebut tidak membedakan antara Rabb dengan Ilah atau antara Tauhid Rububiyyah dan Tauhid Uluhiyyah.

Seandainya pandangan Ibn Taimiyah dan Wahhabi yang membedakan antara Tauhid Rububiyyah dan Tauhid Uluhiyyah itu benar, tentunya kedua Malaikat itu akan bertanya kepada si mayit dengan, “Man Ilahuka (Siapa Tuhan Uluhiyyah-mu)?”, bukan “Man Rabbuka (Siapa Tuhan Rububiyyah-mu)?” atau mungkin keduanya akan menanyakan semua, “Man Rabbuka wa man Ilahuka?” 78

Sekarang apabila pembagian Tauhid menjadi tiga tersebut batil, lalu apa sebenarnya makna yang tersembunyi (hidden meaning) di balik pembahgian Tauhid menjadi tiga tersebut ?

Apabila diteliti dengan seksama, dibalik pembagian tersebut, setidaknya mempunyai dua tujuan:

Pertama,  Ibn Taimiyah berpendapat bahwa praktek-praktek seperti tawassul, tabarruk, ziarah kubur dan lain-lain yang menjadi tradisi dan dianjurkan sejak zaman Nabi Saw adalah termasuk bentuk kesyirikan dan kekufuran. Nah, untuk menjustifikasi (pembenaran) pendapat ini, Ibn Taimiyah menggagas pembagian Tauhid menjadi tiga, antara lain Tauhid Rububiyyah, Tauhid Uluhiyyah. Dari sini, Ibn Taimiyah mengatakan bahwa sebenarnya keimanan seseorang itu tidak cukup hanya dengan mengakui Tauhid Rububiyyah, yaitu pengakuan bahwa yang menciptakan, memiliki dan mengatur langit dan bumi serta seisinya adalah Allah semata, karena Tauhid Rububiyyah atau pengakuan semacam ini juga dilakukan oleh orang-orang musyrik, hanya saja mereka tidak mengakui Tauhid Uluhiyyah, yaitu pelaksanaan ibadah yang hanya ditujukan kepada Allah. Oleh karena itu, keimanan seseorang akan sah apabila disertai Tauhid Uluhiyyah, yaitu pelaksanaan ibadah yang hanya ditujukan kepada Allah.

Kemudian setelah melalui pembagian Tauhid tersebut, untuk mensukseskan pandangan bahwa praktek-praktek seperti Tawassul, Istighatsah, Tabarruk, Ziarah kubur dan lain-lain adalah syirik dan kufur.

Ibn Taimiyah membuat kesalahan lagi, yaitu mendefinisikan ibadah dalam konteks yang sangat luas, sehingga praktek-praktek seperti tawassul, istighatsah, tabarruk, ziarah kubur dan lain-lain dia kategorikan juga sebagai ibadah secara syar’i.

Dari sini Ibn Taimiyah kemudian mengatakan, bahwa orang-orang yang melakukan istighatsah, tawassul dan tabarruk dengan para wali dan nabi itu telah beribadah kepada selain Allah dan melanggar Tauhid Uluhiyyah sehingga dia divonis syirik.79

Tentu saja pradigma Ibn Taimiyah tersebut merupakan kesalahan di atas kesalahan.

Page 28: Aqidah Imam Syafi

1. Dia mengklasifikasi Tauhid menjadi tiga tanpa ada dasar dari dalil-dalil agama.2. Dia mendefinisikan ibadah dalam skala yang sangat luas sehingga berakibat fatal, yaitu menilai syirik dan

kufur praktek-praktek yang telah diajarkan Rasulullah Saw dan para Sahabatnya.80 Dan secara tidak langsung pembagian Tauhid menjadi tiga tersebut berarti mengkafirkan Rasulullah, para Sahabat dan seluruh kaum Muslimin selain golongan / kelompok nya (Ibn Taimiyah).

Kedua, berkaitan dengan teks-teks mutasyabihat dalam Al-Qur’an dan Hadits yang menyangkut nama-nama dan sifat-sifat Allah, Ibn Taimiyah mengikuti aliran Musyabbihah yang mengartikan teks-teks tersebut secara literal (zhahir). Dalam upaya menjustifikasi (pembenaran) pandangannya yang cenderung menyerupakan Allah dengan mahlukNya. Ibn Taimiyah menggagas Tauhid al-Asma’ wa al-Shifat. Dari sini dia kemudian mengatakan bahwa kelompok-kelompok yang melakukan ta’wil terhadap teks-teks Mutasyabihat dan tidak mengartikannya secara literal, telah terjerumus dalam kebid’ahan dan kesesatan karena melanggar Tauhid al-Asma wa al-Shifat.81

************************

76 Ibn Taimiyah, al Risalah al Tadmuriyyah, hal 106.

77 Abu Hamid bin Marzuq, al-Tawassul bi al-Nabiy wa bi al-Shalihin,  Istanbul, Hakikat Kitabevi, 1993 hlm 23.

78 Umar Abdullah Kamil, Kalimah hadi’ah fi Bayan Khatha’ al Taqsim al Tsulatsi bil Tauhid, Ammand : Dar al Razi, 2007, hlm 13

79 Ibarahim al Samannudi, Sa’adat al Darain fil al-Radd ‘ala al Firqatain al Wahhabiyyah wa Muqallidat al Zhahiriyyah, Ajuzah: Maktabah al-Imam hal 22

80 Abu Hamid bin Marzuq,al-Tawassul bi al-Nabiy wa bi al Shalihin, Istanbulm Hakikat Kitabevi, 1993 hlm 22.

81 Umar Abdullah Kamil, Kalimah hadi’ah fi Bayan Khatha’ al Taqsim al Tsulatsi bil Tauhid, Ammand : Dar al Razi, 2007, hlm 13

Sumber:  Muhammad Idrus Ramli, Madzhab Al-Asy’ari, Benarkah Ahlussunnah Wal-Jama’ah ? (Jawaban Terhadap Aliran Salafi), Penerbit Khalista,  Surabaya hal 224 s/d  230

Tulisan sejenis dengan yang di atas

http://al-ashairah.blogspot.com/search/label/Kebathilan%20Tauhid%20Tiga%20T

Contoh tulisan pembagian Tauhid menjadi tiga dari Wahhabi

http://statics.ilmoe.com/kajian/users/sunniy/Syarh-Qawaidul-Arba-Indonesia.zip

===============================================Berikut tulisan tentang Ajaran Wahabi Yang Membagi Tauhid kepada 3 Bagian bersumber pada http://allahadatanpatempat.wordpress.com/2010/05/09/membongkar-kesesatan-ajaran-wahabi-yang-membagi-tauhid-kepada-3-bagian-aqidah-mereka-ini-nyata-bidah-sesat/

Pendapat kaum Wahabi yang membagi tauhid kepada tiga bagian; tauhid Ulûhiyyah, tauhid Rubûbiyyah, dan tauhid al-Asmâ’ Wa ash-Shifât adalah bid’ah batil yan menyesatkan. Pembagian tauhid seperti ini sama sekali tidak memiliki dasar, baik dari al-Qur’an, hadits, dan tidak ada seorang-pun dari para ulama Salaf atau seorang ulama saja yang kompeten dalam keilmuannya yang membagi tauhid kepada tiga bagian tersebut.

Pembagian tauhid kepada tiga bagian ini adalah pendapat ekstrim dari kaum Musyabbihah masa sekarang; mereka mengaku datang untuk memberantas bid’ah namun sebenarnya mereka adalah orang-orang yang membawa bid’ah. Lebih lanjut klik  SEDIKIT BANTAHAN AHLUSSUNNAH TERHADAP KAUM WAHABI YANG SANGAT APRIORI TERHADAP ILMU KALAM.

Di antara dasar yang dapat membuktikan kesesatan pembagian tauhid ini adalah sabda Rasulullah:

Page 29: Aqidah Imam Syafi

«ح¹قº (رو¹اه º ب ¹ه½م¼ إال ¾ي د«م¹اء¹ه½م¼ وأم¼و¹ال ½و¼ا ذ¹لك¹ ع½ص«م½و¼ا م«ن و¼ل الله«، ف¹إذ¹ا ف¹ع¹ل س½ ºي¼ ر¹ º الله½ و¹أن ¹ إله¹ إال ه¹د½و¼ا أن¼ ال ¹ش¼ Áاَس¹ ح¹تىº ي «ل¹ الن ½ق¹ات ت½ أن¼ أ أم«ر¼(ºخ¹اري½ الب

“Aku diperintah untuk memerangi manusia hingga mereka bersaksi bahwa tidak ada Tuhan (Ilâh) yang berhak disembah kecuali Allah dan bahwa saya adalah utusan Allah. Jika mereka melakukan itu maka terpelihara dariku darang-darah mereka dan harta-harta mereka kecuali karena hak”. (HR al-Bukhari).

Dalam hadits ini Rasulullah tidak membagi tauhid kepada tiga bagian, beliau tidak mengatakan bahwa seorang yang mengucapkan “Lâ Ilâha Illallâh” saja tidak cukup untuk dihukumi masuk Islam, tetapi juga harus mengucapkan “Lâ Rabba Illallâh”. Tetapi makna hadits ialah bahwa seseorang dengan hanya bersaksi dengan mengucapkan “Lâ Ilâha Illallâh”, dan bersaksi bahwa Nabi Muhammad adalah utusan Allah maka orang ini telah masuk dalam agama Islam. Hadits ini adalah hadits mutawatir dari Rasulullah, diriwayatkan oleh sejumlah orang dari kalangan sahabat, termasuk di antaranya oleh sepuluh orang sahabat yang telah medapat kabar gembira akan masuk ke surga. Dan hadits ini telah diriwayatkan oleh al-Imâm al-Bukhari dalam kitab Shahih-nya.

Tujuan kaum Musyabbihah membagi tauhid kepada tiga bagian ini adalah tidak lain hanya untuk mengkafirkan orang-orang Islam ahi tauhid yang melakukan tawassul dengan Nabi Muhammad, atau dengan seorang wali Allah dan orang-orang saleh. Mereka mengklaim bahwa seorang yang melakukan tawassul seperti itu tidak mentauhidkan Allah dari segi tauhid Ulûhiyyah. Demikian pula ketika mereka membagi tauhid kepada tauhid al-Asmâ’ Wa ash-Shifât, tujuan mereka tidak lain hanya untuk mengkafirkan orang-orang yang melakukan takwil terhadap ayat-ayat Mutasyâbihât. Oleh karenanya, kaum Musyabbihah ini adalah kaum yang sangat kaku dan keras dalam memegang teguh zhahir teks-teks Mutasyâbihât dan sangat “alergi” terhadap takwil. Bahkan mereka mengatakan: “al-Mu’aw-wil Mu’ath-thil”; artinya seorang yang melakukan takwil sama saja dengan mengingkari sifat-sifat Allah. Na’ûdzu Billâh.

Dengan hanya hadits shahih di atas, cukup bagi kita untuk menegaskan bahwa pembagian tauhid kepada tiga bagian di atas adalah bid’ah batil yang dikreasi oleh orang-orang yang mengaku memerangi bid’ah yang sebenarnya mereka sendiri ahli bid’ah. Bagaimana mereka tidak disebut sebagai ahli bid’ah, padahal mereka membuat ajaran tauhid yang sama sekali tidak pernah dikenal oleh orang-orang Islam?! Di mana logika mereka, ketika mereka mengatakan bahwa tauhid Ulûhiyyah saja tidak cukup, tetapi juga harus dengan pengakuan tauhid Rubûbiyyah?! Bukankah ini berarti menyalahi hadits Rasulullah di atas?! Dalam hadits di atas sangat jelas memberikan pemahaman kepada kita bahwa seorang yang mengakui ”Lâ Ilâha Illallâh” ditambah dengan pengakuan kerasulan Nabi Muhammad maka cukup bagi orang tersebut untuk dihukumi sebagai orang Islam. Dan ajaran inilah yang telah dipraktekan oleh Rasulullah ketika beliau masih hidup. Apa bila ada seorang kafir bersaksi dengan ”Lâ Ilâha Illallâh” dan ”Muhammad Rasûlullâh” maka oleh Rasulullah orang tersebut dihukumi sebagai seorang muslim yang beriman. Kemudian Rasulullah memerintahkan kepadanya untuk melaksanakan shalat sebelum memerintahkan kewajiban-kewajiban lainnya; sebagaimana hal ini diriwayatkan dalam sebuah hadits oleh al-Imâm al-Bayhaqi dalam Kitâb al-I’tiqâd. Sementara kaum Musyabbihah di atas membuat ajaran baru; mengatakan bahwa tauhid Ulûhiyyah saja tidak cukup, ini sangat nyata telah menyalahi apa yang telah diajarkan oleh Rasulullah. Mereka tidak paham bahwa ”Ulûhiyyah” itu sama saja dengan ”Rubûbiyyah”, bahwa ”Ilâh” itu sama saja artinya dengan ”Rabb”.

Kemudian kita katakan pula kepada mereka; Di dalam banyak hadits diriwayatkan bahwa di antara pertanyaan dua Malaikat; Munkar dan Nakir yang ditugaskan untuk bertanya kepada ahli kubur adalah: ”Man Rabbuka?”. Tidak bertanya dengan ”Man Rabbuka?” lalu diikutkan dengan ”Man Ilahuka?”. Lalu seorang mukmin ketika menjawab pertanyaan dua Malaikat tersebut cukup dengan hanya berkata ”Allâh Rabbi”, tidak harus diikutkan dengan ”Allâh Ilâhi”. Malaikat Munkar dan Nakir tidak membantah jawaban orang mukmin tersebut dengan mengatakan: ”Kamu hanya mentauhidkan tauhid Rubûbiyyah saja, kamu tidak mentauhidkan tauhid Ulûhiyyah!!”. Inilah pemahaman yang dimaksud dalam hadits Nabi tentang pertanyaan dua Malaikat dan jawaban seorang mukmin dikuburnya kelak. Dengan demikian kata ”Rabb” sama saja dengan kata ”Ilâh”, demikian pula ”tauhid Ulûhiyyah” sama saja dengan ”tauhid Rubûbiyyah”.Dalam kitab Mishbâh al-Anâm, pada pasal ke dua, karya al-Imâm Alawi ibn Ahmad al-Haddad, tertulis sebagai berikut:

Page 30: Aqidah Imam Syafi

”Tauhid Ulûhiyyah masuk dalam pengertian tauhid Rubûbiyyah dengan dalil bahwa Allah telah mengambil janji (al-Mîtsâq) dari seluruh manusia anak cucu Adam dengan firman-Nya ”Alastu Bi Rabbikum?”. Ayat ini tidak kemudian diikutkan dengan ”Alastu Bi Ilâhikum?”. Artinya; Allah mencukupkannya dengan tauhid Rubûbiyyah, karena sesungguhya sudah secara otomatis bahwa seorang yang mengakui ”Rubûbiyyah” bagi Allah maka berarti ia juga mengakui ”Ulûhiyyah” bagi-Nya. Karena makna ”Rabb” itu sama dengan makna ”Ilâh”. Dan karena itu pula dalam hadits diriwayatkan bahwa dua Malaikat di kubur kelak akan bertanya dengan mengatakan ”Man Rabbuka?”, tidak kemudian ditambahkan dengan ”Man Ilâhuka?”. Dengan demikian sangat jelas bahwa makna tauhid Rubûbiyyah tercakup dalam makna tauhid Ulûhiyyah.Di antara yang sangat mengherankan dan sangat aneh adalah perkataan sebagian pendusta besar terhadap seorang ahli tauhid; yang bersaksi ”Lâ Ilâha Illallâh, Muhammad Rasulullah”, dan seorang mukmin muslim ahli kiblat, namun pendusta tersebut berkata kepadanya: ”Kamu tidak mengenal tahuid. Tauhid itu terbagi dua; tauhid Rubûbiyyah dan tauhid Ulûhiyyah. Tauhid Rubûbiyyah adalah tauhid yang telah diakui oleh oleh orang-orang kafir dan orang-orang musyrik. Sementara tauhid Ulûhiyyah adalah adalah tauhid murni yang diakui oleh orang-orang Islam. Tauhid Ulûhiyyah inilah yang menjadikan dirimu masuk di dalam agama Islam. Adapun tauhid Rubûbiyyah saja tidak cukup”. Ini adalah perkataan orang sesat yang sangat aneh. Bagaimana ia mengatakan bahwa orang-orang kafir dan orang-orang musyrik sebagai ahli tauhid?! Jika benar mereka sebagai ahli tauhid tentunya mereka akan dikeluarkan dari neraka kelak, tidak akan menetap di sana selamanya, karena tidak ada seorangpun ahli tauhid yang akan menetap di daam neraka tersebut sebagaimana telah diriwayatkan dalam banyak hadits shahih. Adakah kalian pernah mendengar di dalam hadits atau dalam riwayat perjalanan hidup Rasulullah bahwa apa bila datang kepada beliau orang-orang kafir Arab yang hendak masuk Islam lalu Rasulullah merinci dan menjelaskan kepada mereka pembagian tauhid kepada tauhid Ulûhiyyah dan tauhid Rubûbiyyah?! Dari mana mereka mendatangkan dusta dan bohong besar terhadap Allah dan Rasul-Nya ini?! Padalah sesungguhnya seorang yang telah mentauhidkan ”Rabb” maka berarti ia telah mentauhidkan ”Ilâh”, dan seorang yang telah memusyrikan ”Rabb” maka ia juga berarti telah memusyrikan ”Ilâh”. Bagi seluruh orang Islam tidak ada yang berhak disembah oleh mereka kecuali ”Rabb” yang juga ”Ilâh” mereka. Maka ketika mereka berkata ”Lâ Ilâha Illallâh”; bahwa hanya Allah Rabb mereka yang berhak disembah; artinya mereka menafikan Ulûhiyyah dari selain Rabb mereka, sebagaimana mereka menafikan Rubûbiyyah dari selain Ilâh mereka. Mereka menetapkan ke-Esa-an bagi Rabb yang juga Ilâh mereka pada Dzat-Nya, Sifat-sifat-Nya, dan pada segala perbuatan-Nya; artinya tidak ada keserupaan bagi-Nya secara mutlak dari berbagai segi”.

(Masalah): Para ahli bid’ah dari kaum Musyabbihah biasanya berkata: ”Sesungguhnya para Rasul diutus oleh Allah adalah untuk berdakwah kepada umatnya terhadap tauhid Ulûhiyyah; yaitu agar mereka mengakui bahwa hanya Allah yang berhak disembah. Adapun tauhid Rubûbiyyah; yaitu keyakinan bahwa Allah adalah Tuhan seluruh alam ini, dan bahwa Allah adalah yang mengurus segala peristiwa yang terjadi pada alam ini, maka tauhid ini tidak disalahi oleh seorang-pun dari seluruh manusia, baik orang-orang musyrik maupun orang-orang kafir, dengan dalil firman Allah dalam QS. Luqman:

¹نÁ الله½ (لقمان: ¹ق½ول ¹ي ر¼ض« ل¹ ¼أل م¹او¹ات« و¹ا Áن¼ خ¹ل¹ق¹ السÁ¹ه½م م ¼ت ل

¹ أ «ن س¹ ¹ِئ )25و¹ل

“Dan jika engkau bertanya kepada mereka siapakah yang menciptakan seluruh lapisan langit dan bumi? Maka mereka benar-benar akan menjawab: “Allah” (QS. Luqman: 25)

(Jawab): Perkataan mereka ini murni sebagai kebatilan belaka. Bagaimana mereka berkata bahwa seluruh orang-orang kafir dan orang-orang musyrik sama dengan orang-orang mukmin dalam tauhid Rubûbiyyah?! Adapun pengertian ayat di atas bahwa orang-orang kafir mengakui Allah sebagai Pencipta langit dan bumi adalah pengakuan yang hanya di lidah saja, bukan artinya bahwa mereka sebagai orang-orang ahli tauhid; yang mengesakan Allah dan mengakui bahwa hanya Allah yang berhak disembah. Terbukti bahwa mereka menyekutukan Allah, mengakui adanya tuhan yang berhak disembah kepada selain Allah. Mana logikanya jika orang-orang musyrik disebut sebagai ahli tauhid?! Rasulullah tidak pernah berkata kepada seorang kafir yang hendak masuk Islam bahwa di dalam Islam terdapat dua tauhid; Ulûhiyyah dan Rubûbiyyah! Rasulullah tidak pernah berkata kepada seorang kafir yang hendak masuk Islam bahwa tidak cukup baginya untuk menjadi seorang muslim hanya bertauhid Rubûbiyyah saja, tapi juga harus bertauhid Ulûhiyyah! Oleh karena

Page 31: Aqidah Imam Syafi

itu di dalam al-Qur’an Allah berfirman tentang perkataan Nabi Yusuf saat mengajak dua orang di dalam penjara untuk mentauhidkan Allah:

¼ق¹هºار (يوسف: ¼و¹اح«د½ ال « الله½ ال ¼رÄ أم ي ق½و¼ن¹ خ¹ º¹ف¹ر ¹ابÄ م½ت ب ر¼¹ ¹أ 39أ

”Adakah rabb-rabb yang bermacam-macam tersebut lebih baik ataukah Allah (yang lebih baik) yang tidak ada sekutu bagi-Nya dan yang maha menguasai?!” (QS. Yusuf: 39).

Dalam ayat ini Nabi Yusuf menetapkan kepada mereka bahwa hanya Allah sebagai Rabb yang berhak disembah.Perkataan kaum Musyabbihah dalam membagi tauhid kepada dua bagian, dan bahwa tauhid Ulûhiyyah (Ilâh) adalah pengakuan hanya Allah saja yang berhak disembah adalah pembagian batil yang menyesatkan, karena tauhid Rubûbiyyah adalah juga pengakuan bahwa hanya Allah yang berhak disembah, sebagaimana yang dimaksud oleh ayat di atas. Dengan demikian Allah adalah Rabb yang berhak disembah, dan juga Allah adalah Ilâh yang berhak disembah. Kata “Rabb” dan kata “Ilâh” adalah kata yang memiliki kandungan makna yang sama sebagaimana telah dinyatakan oleh al-Imâm Abdullah ibn Alawi al-Haddad di atas.

Dalam majalah Nur al-Islâm, majalah ilmiah bulanan yang diterbitkan oleh para Masyâyikh al-Azhar asy-Syarif Cairo Mesir, terbitan tahun 1352 H, terdapat tulisan yang sangat baik dengan judul “Kritik atas pembagian tauhid kepada Ulûhiyyah dan Rubûbiyyah” yang telah ditulis oleh asy-Syaikh al-Azhar al-‘Allamâh Yusuf ad-Dajwi al-Azhari (w 1365 H), sebagai berikut:

[[“Sesungguhnya pembagian tauhid kepada Ulûhiyyah dan Rubûbiyyah adalah pembagian yang tidak pernah dikenal oleh siapapun sebelum Ibn Taimiyah. Artinya, ini adalah bid’ah sesat yang telah ia munculkannya. Di samping perkara bid’ah, pembagian ini juga sangat tidak masuk akal; sebagaimana engkau akan lihat dalam tulisan ini. Dahulu, bila ada seseorang yang hendak masuk Islam, Rasulullah tidak mengatakan kepadanya bahwa tauhid ada dua macam. Rasulullah tidak pernah mengatakan bahwa engkau tidak menjadi muslim hingga bertauhid dengan tauhid Ulûhiyyah (selain Rubûbiyyah), bahkan memberikan isyarat tentang pembagian tauhid ini, walau dengan hanya satu kata saja, sama sekali tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah. Demikian pula hal ini tidak pernah didengar dari pernyataan ulama Salaf; yang padahal kaum Musyabbihah sekarang yang membagi-bagi tauhid kepada Ulûhiyyah dan Rubûbiyyah tersebut mengaku-aku sebagai pengikut ulama Salaf. Sama sekali pembagian tauhid ini tidak memiliki arti. Adapun firman Allah:

¹نÁ الله½ (لقمان: ¹ق½ول ¹ي ر¼ض« ل¹ ¼أل م¹او¹ات« و¹ا Áن¼ خ¹ل¹ق¹ السÁ¹ه½م م ¼ت ل

¹ أ «ن س¹ ¹ِئ )25و¹ل

“Dan jika engkau bertanya kepada mereka siapakah yang menciptakan seluruh lapisan langit dan bumi? Maka mereka benar-benar akan menjawab: “Allah” (QS. Luqman: 25)Ayat ini menceritakan perkataan orang-orang kafir yang mereka katakan hanya di dalam mulut saja, tidak keluar dari hati mereka. Mereka berkata demikian itu karena terdesak tidak memiliki jawaban apapun untuk membantah dalil-dalil kuat dan argumen-argumen yang sangat nyata (bahwa hanya Allah yang berhak disembah). Bahkan, apa yang mereka katakan tersebut (pengakuan ketuhanan Allah) ”secuil”-pun tidak ada di dalam hati mereka, dengan bukti bahwa pada saat yang sama mereka berkata dengan ucapan-ucapan yang menunjukan kedustaan mereka sendiri. Lihat, bukankah mereka menetapkan bahwa penciptaan manfaat dan bahaya bukan dari Allah?! Benar, mereka adalah orang-orang yang tidak mengenal Allah. Dari mulai perkara-perkara sepele hingga peristiwa-peristiwa besar mereka yakini bukan dari Allah, bagaimana mungkin mereka mentauhidkan-Nya?! Lihat misalkan firman Allah tentang orang-orang kafir yang berkata kepada Nabi Hud:

وءÅ (هود: «س½ ¹ا ب «ن «ه¹ت ¹ع¼ُض½ ء¹ال اَك¹ ب ¹ر¹ Á اع¼ت «ال Áق½ول½ إ «ن ن )54إ

”Kami katakan bahwa tidak lain engkau telah diberi keburukan atau dicelakakan oleh sebagian tuhan kami” (QS. Hud: 54).

Sementara Ibn Taimiyah berkata bahwa dalam keyakinan orang-orang musyrik tentang sesembahan-sesembahan mereka tersebut tidak memberikan manfaat dan bahaya sedikit-pun. Dari mana Ibn Taimiyah

Page 32: Aqidah Imam Syafi

berkata semacam ini?! Bukankah ini berarti ia membangkang kepada apa yang telah difirmankah Allah?! Anda lihat lagi ayat lainnya dari firman Allah tentang perkataan-perkataan orang kafir tersebut:

¹ان¹ لله« ف¹ه½و¹ «ل¹ى الله« و¹م¹اك ¹ص«ل½ إ ¹ي «ه«م¼ ف¹َال ¹آئ ك ر¹ ¹ان¹ ل«ش½ ¹ا ف¹م¹اك «ن ¹آئ ك ر¹ ع¼م«ه«م¼ و¹ه¹ذ¹ا ل«ش½ «ز¹ ½وا ه¹ذ¹ا لله« ب Êا ف¹ق¹ال ¹ص«يب « ن ¼ع¹ام ¹ن ¼أل ث« و¹ا ¼ح¹ر¼ ¹ م«ن¹ ال أ ½وا لله« م«مÁا ذ¹ر¹ و¹ج¹ع¹ل«ه«م¼ (األنعام: ¹آئ ك ر¹ «ل¹ى ش½ ¹ص«ل½ إ )136ي

”Lalu mereka berkata sesuai dengan prasangka mereka: ”Ini untuk Allah dan ini untuk berhala-berhala kami”. Maka sajian-sajian yang diperuntukan bagi berhala-berhala mereka tidak sampai kepada Allah; dan saji-sajian yang diperuntukan bagi Allah maka sajian-sajian tersebut sampai kepada berhala mereka” (QS. al-An’am: 136).Lihat, dalam ayat ini orang-orang musyrik tersebut mendahulukan sesembahan-sesembahan mereka atas Allah dalam perkara-perkara sepele.

Kemudian lihat lagi ayat lainnya tentang keyakinan orang-orang musyrik, Allah berkata kepada mereka:

¹اُؤ½ا (األنعام: ك ر¹ ½م¼ ش½ Áه½م¼ ف«يك ن¹ ½م¼ أ ع¹م¼ت Áذ«ين¹ ز¹ ½م½ ال ف¹ع¹آء¹ك ½م¼ ش½ ى م¹ع¹ك ¹ر¹ )94وَ م¹ان

”Dan Kami tidak melihat bersama kalian para pemberi syafa’at bagi kalian (sesembahan/berhala) yang kamu anggap bahwa mereka itu sekutu-sekutu tuhan di antara kamu”(QS. al-An’am: 94).Dalam ayat ini dengan sangat nyata bahwa orang-orang kafir tersebut berkeyakinan bahwa sesembahan-sesembahan mereka memberikan mafa’at kepada mereka. Itulah sebabnya mengapa mereka mengagung-agungkan berhala-berhala tersebut.

Lihat, apa yang dikatakan Abu Sufyan; ”dedengkot” orang-orang musyrik di saat perang Uhud, ia berteriak: ”U’lu Hubal” (maha agung Hubal), (Hubal adalah salah satu berhala terbesar mereka). Lalu Rasulullah menjawab teriakan Abu Sufyan: ”Allâh A’lâ Wa Ajall” (Allah lebih tinggi derajat-Nya dan lebih Maha Agung).

Anda pahami teks-teks ini semua maka anda akan paham sejauh mana kesesatan mereka yang membagi tauhid kepada dua bagian tersebut!! Dan anda akan paham siapa sesungguhnya Ibn Taimiyah yang telah menyamakan antara orang-orang Islam ahli tauhid dengan orang-orang musyrik para penyembah berhala tersebut, yang menurutnya mereka semua sama dalam tauhid Rubûbiyyah!”]].