analisis yuridis tentang putusnya perkawinan akibat perceraian

136
ANALISIS YURIDIS TENTANG PUTUSNYA PERKAWINAN AKIBAT PERCERAIAN (STUDI PADA PENGADILAN NEGERI SIAK SRI INDRAPURA–RIAU) T E S I S Oleh ANASTASIUS RICO HARATUA SITANGGANG 037011006/MKn SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA M E D A N 2009 Anastasius Rico Haratua Sitanggang : Analisis Yuridis Tentang Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian..., 2009 USU Repository © 2008

Upload: others

Post on 03-Feb-2022

16 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

ANALISIS YURIDIS TENTANG PUTUSNYA PERKAWINAN AKIBAT PERCERAIAN (STUDI PADA PENGADILAN

NEGERI SIAK SRI INDRAPURA–RIAU)

T E S I S

Oleh

ANASTASIUS RICO HARATUA SITANGGANG 037011006/MKn

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA M E D A N

2009

Anastasius Rico Haratua Sitanggang : Analisis Yuridis Tentang Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian..., 2009 USU Repository © 2008

2

ANALISIS YURIDIS TENTANG PUTUSNYA PERKAWINAN AKIBAT PERCERAIAN (STUDI PADA PENGADILAN

NEGERI SIAK SRI INDRAPURA–RIAU)

T E S I S

Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan dalam Program Studi Magister Kenotariatan pada Sekolah Pascasarjana

Universitas Sumatera Utara

Oleh

ANASTASIUS RICO HARATUA SITANGGANG 037011006/MKn

SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

M E D A N 2009

Anastasius Rico Haratua Sitanggang : Analisis Yuridis Tentang Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian..., 2009 USU Repository © 2008

3

Judul Tesis : ANALISIS YURIDIS TENTANG PUTUSNYA PERKAWINAN AKIBAT PERCERAIAN

(Studi Pada Pengadilan Negeri Siak Sri Indrapura-Riau) Nama Mahasiswa : ANASTASIUS RICO HARATUA SITANGGANG. Nomor Pokok : 037011006. Program Studi : Magister Kenotariatan.

Menyetujui, Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Muhammad Yamin Lubis, SH,MS,CN. K e t u a

Prof. Dr. Runtung Sitepu SH,M.Hum. Syafnil Gani, SH,M.Hum. Anggota Anggota

Ketua Program Direktris Sekolah Pascasarjana Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara Prof. Dr. M. Yamin Lubis, SH,MS,CN Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B,M.Sc NIP. 13166144 NIP. 130535852 Tanggal Lulus : 19 Januari 2009.

Anastasius Rico Haratua Sitanggang : Analisis Yuridis Tentang Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian..., 2009 USU Repository © 2008

4

Telah diuji pada

Tanggal : 19 Januari 2009

PANITIA PENGUJI TESIS : Ketua : Prof. Dr. Muhammad Yamin Lubis, SH, MS, CN Anggota : 1. Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH, MHum. 2. Notaris Syafnil Gani, SH, MHum. 3. Dr. Sunarmi, SH, MHum. 4. Notaris Syahril Sofyan, SH, MKn

Anastasius Rico Haratua Sitanggang : Analisis Yuridis Tentang Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian..., 2009 USU Repository © 2008

5

ABSTRAK

Perceraian dalam sebuah ikatan perkawinan dapat saja terjadi, alasannya sangat bervariasi seperti masuknya orang ketiga dalam perkawinan, adanya perbedaan pandangan mengenai kewajiban suami isteri dalam rumah tangga, dan seringnya isteri ditinggal suami, perubahan peran suami isteri, serta pertengkaran dan konflik yang berkepanjangan sehingga tidak mungkin lagi kerukunan dan kebahagiaan rumah tangga itu dapat dipertahankan. Berdasarkan pada uraian latar belakang tersebut di atas, maka dapat dirumuskan pokok permasalahan yang akan dibahas lebih lanjut, yaitu : 1). Apakah faktor-faktor yang menyebabkan putusnya perkawinan karena perceraian? 2). Bagaimana akibat hukum terhadap anak dan harta perkawinan yang disebabkan perceraian melalui putusan pengadilan? 3). Bagaimana pertimbangan hukum hakim dalam mengadili perkara perceraian? Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah bersifat Yuridis Normatif dan sifat dari penelitian ini adalah deskriptif analitis.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa 1). Adapun faktor penyebab putusnya perkawinan karena perceraian yang sering dijadikan alasan mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri Siak pada pokoknya adalah karena suami yang melakukan tindakan kekerasan, kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak yang lain. Dan antara suami dan isteri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga. 2). Dengan terjadinya perceraian, maka status anak di bawah umur berubah menjadi status di bawah perwalian yang ditentukan oleh pengadilan, dan juga harta perkawinan yaitu harta bersama dibagi menurut ketentuan hukum agama, hukum adat masing-masing. Sedangkan harta bawaan tetap dikuasai masing-masing pihak suami maupun isteri. 3). Dalam setiap proses persidangan hakim selalu mengajak para pihak untuk berdamai, namun bila tidak dikehendaki para pihak maka hakim akan mengadili gugatan perceraian berdasarkan Undang-Undang Perkawinan. Hakim menjatuhkan putusan dengan pertimbangan hukum dimana gugatan yang diajukan mempunyai bukti-bukti dan keterangan saksi-saksi dan memiliki dasar hukum untuk dikabulkannya gugatan.

Berdasarkan hasil penelitian ini disarankan agar 1). Dalam memeriksa dan mengadili perkara gugatan perceraian, sebaiknya hakim memberikan pertimbangan hukum tidak semata-mata terpaku pada ketentuan peraturan perundang-undangan sebagaimana dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 yang membolehkan terjadinya perceraian dengan syarat-syarat tertentu. Sebaiknya Hakim dalam pertimbangannya juga memperhatikan aspek hukum agama yang dianut oleh para pihak apakah hukum agamanya membolehkan terjadinya perceraian atau tidak. Apabila melihat syarat sahnya perkawinan dalam Undang-Undang Perkawinan mengedepankan aspek moral agama, yakni perkawinan dianggap sah apabila dilaksanakan sesuai dengan ajaran agama yang dianut, maka sebaiknya bilamana perkawinan akan dibubarkan, juga tidak bertentangan dengan nilai-nilai hukum agama yang dianut para pihak. 2). Dengan memperhatikan tujuan perkawinan

Anastasius Rico Haratua Sitanggang : Analisis Yuridis Tentang Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian..., 2009 USU Repository © 2008

6

sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, yaitu tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia lahir-bathin, dan juga mengingat akibat yang dapat timbul terhadap anak yang disebabkan perceraian melalui putusan pengadilan akan membawa dampak kurang baik terhadap perkembangan jiwa, moral dan psikologis anak, maka sebaiknya ada dibuat undang-undang tersendiri yang khusus mengatur hukum acara dalam memeriksa dan mengadili perkara perceraian yang sifatnya mempersulit terjadinya perceraian dengan cara misalnya lebih mengedepankan proses mediasi dan atau gugatan perceraian tidak dapat diperiksa oleh pengadilan apabila kedua belah pihak tidak hadir di persidangan dan pengadilan tidak boleh memutus perkara perceraian tanpa kehadiran pihak tergugat sebagaimana yang selama ini masih dimungkinkan dalam Hukum Acara Perdata yang berlaku secara umum. Andaikata tergugat memang tidak mungkin dapat hadir di persidangan, untuk menjatuhkan putusan versteek, sebaiknya dibuat kriteria khusus dalam hal bagaimana putusan versteek dalam perkara gugatan perceraian dapat dijatuhkan. Dengan keadaan yang terjadi saat ini dimana Hukum Acara Perdata memungkinkan putusan verstek tanpa kehadiran tergugat, timbul kesan seakan-akan gugatan perceraian gampang dikabulkan walaupun pihak tergugat tidak hadir. 3). Sebaiknya Dewan Perwakilan Rakyat selaku lembaga legislatif bersama-sama dengan Pemerintah selaku lembaga eksekutif, segera melakukan revisi terhadap Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang lebih memperhatikan nilai-nilai dan dinamika yang berkembang dalam masyarakat yang salah satunya adalah membuat aturan dan kriteria-kriteria tertentu untuk lebih mempersulit terjadinya proses perceraian.

Kata kunci : Yuridis, Perceraian.

Anastasius Rico Haratua Sitanggang : Analisis Yuridis Tentang Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian..., 2009 USU Repository © 2008

7

ABSTRACT

Divorce for a marital tie can occur for variable reasons such as the presence of third party within the marriage, different view of points about obligations of husband and wife in a household and separation frequently between husband and wife, the change in role of husband and wife, and prolonged quarrel and conflict so that it is impossible to keep the harmony and happiness of household. Based on the description of background above, the subject of problem can be formulated for further discussion : 1). What the causative factors of marital abrogation due to divorce? 2) What are the legal consequences for children and heritance of the divorced marriage through a decision of court ? 3) What are the legal considerations of a judge I the trial of divorce ? The methods used in this study included juridical normative and the study is a descriptive analysis.

The result of the study showed that 1). The causative factors of marital abrogation due to divorce frequently made for the reason of litigation to the Civil Court of Siak actually included the husband who often made a violation, prosecution, and heavy oppression leading to danger to others, and prolonged quarrel and conflict between husband and wife without expectation for harmony. 2). Given the divorce, status of preadolescent children became under legal guardian determined by court and property of marital is shared together according to the religious and custom laws. Whereas the heritage stayed to possess by individual party of the couple. 3). In the trial,the judges always adviced the parties to conflict to make a peace, however, if the parties disagree, the judges will justify the litigation of divorce based on the Laws of Marital. The judges make a decision by legal considerations in which the litigation has a set of evidences and statement of witnesses and even have legal foundation to agree the litigation.

Based on the result of the study, it is suggested that 1). In the trial and justification of a litigation of divorce case, the judges should make legal considerations not only rely on the statutory rules as stipulated in the Laws No. 1 of 1974 and the Governmental Rule o. 9 of 1975 that allow a divorce based on certain requirements. In their consideration, the judges also have to consider legal aspects of the religion adhered by the parties, whether the religion allow it or not. Viewed in the validation of marital in the Laws of Marital emphasizing the religious morality aspects, namely a marital is considered to be valid when it is carried out according to the religious doctrine, therefore, if a marriage will be abrogated, it should be in compliance with the religious values adhered by the parties. 2). Considering the objective of marriage as stipulated in the article 1 of the Laws No. 1 of 1974, the objective of marriage is to form a family which is peaceful and enjoyable spiritually and physically, and also by considering the possible legal consequences on the children due to divorce through the decision of court that has a negative impact on development of their morality and psychology, it is better to make a separated law especially governing the procedural law in the trial and justification of any case of divorce that make the divorce difficult, for example, by more emphasizing the

Anastasius Rico Haratua Sitanggang : Analisis Yuridis Tentang Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian..., 2009 USU Repository © 2008

8

mediation process and/or the divorce process would not justified and decided by the court if both parties are absent in the trial and the court can not make the decision of divorce without the presence of the defendant as allowed previously in the Civil Case validating generally. If the defendant cannot present the trial, thus, in order to make a decision of verdict, a typical criterion should be made to make the verdict of divorce. In the present case in which the procedural law allows a verdict without the presence of the defendant, there is an impression as if the litigation of divorce is easy to agree regardless of the presence of the defendant. 3). The House of Representative as a legislative institution along with the government as an executive institution should immediately make a revision for the Laws No. 1 of 1974 that more emphasizing on values and dynamic of development in the society one of which is to make certain rules and criterions to make divorce process more difficult. Keywords : Juridical, Divorce

Anastasius Rico Haratua Sitanggang : Analisis Yuridis Tentang Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian..., 2009 USU Repository © 2008

9

KATA PENGANTAR

Pertama dan yang paling utama sekali, penulis memanjatkan segala puji dan

syukur yang sebesar-besarnya kepada Bapa Yang Maha Pengasih Dalam Nama Tuhan

Yesus Kristus, dimana atas Berkat dan Anugerah-Nya penulis memperoleh

kesempatan dan kekuatan mulai dari awal mengikuti perkuliahan pada Tahun 2003

sampai pada akhir penyelesaian perkuliahan saat ini di Program Magister Kenotariatan

Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara (USU) Medan. Atas Bimbingan dan

Penyertaan-Nya penulis dapat menyelesaikan karangan ilmiah ini berupa Tesis dengan

judul “ANALISIS YURIDIS TENTANG PUTUSNYA PERKAWINAN AKIBAT

PERCERAIAN” (STUDI PADA PENGADILAN NEGERI SIAK SRI INDRAPURA–

RIAU), yang merupakan hasil penelitian yang telah dilaksanakan untuk kemudian

dituliskan dalam Tesis ini, sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister

Kenotariatan (MKn) pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara (USU)

Medan.

Dalam penulisan Tesis ini banyak pihak yang telah memberikan bantuan,

dorongan, moril, masukan dan saran, sehingga penulisan tesis ini dapat diselesaikan.

Secara khusus disampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada yang

terhormat dan amat terpelajar kepada Bapak Ketua Komisi Pembimbing :

Anastasius Rico Haratua Sitanggang : Analisis Yuridis Tentang Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian..., 2009 USU Repository © 2008

10

1. Bapak Ketua Program Studi Magister Kenotariatan Sekolah Pascasarjana sekaligus

merupakan Ketua Komisi Pembimbing yaitu yang terhormat dan amat terpelajar

Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN.

2. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH, MHum

3. Bapak Notaris Syafnil Gani, SH, MHum

atas kesediaannya memberikan bimbingan penulisan yang baik juga arahan dan

petunjuk demi kesempurnaan penulisan tesis ini mulai pemilihan judul, kolokium,

seminar hasil, hingga ujian tertutup, dimana berkat bimbingan yang diberikan sehingga

dapat diperoleh hasil yang maksimal.

Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya juga ditujukan kepada Bapak dan

Ibu dosen penguji yang terhormat dan amat terpelajar yaitu :

1. Ibu Dr. Sunarmi, SH, MHum

2. Bapak Notaris Syahril Sofyan SH, MKn

atas kesediaannya untuk memberikan bimbingan, arahan serta masukan maupun saran

terhadap penyempurnaan penulisan tesis ini sejak tahap kolokium, seminar hasil dan

sampai pada saat ujian tertutup, sehingga penulisan tesis ini menjadi lebih terarah.

Selanjutnya ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Prof. Chairuddin P. Lubis, DTM & H, SpA(K), selaku Rektor Universitas

Sumatera Utara, atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan bagi penulis untuk

menyelesaikan pendidikan Magister Kenotariatan di Universitas Sumatera Utara.

Anastasius Rico Haratua Sitanggang : Analisis Yuridis Tentang Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian..., 2009 USU Repository © 2008

11

2. Ibu Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B, MSc., selaku Direktur Sekolah Pascasarjana

Universitas Sumatera Utara, dan para Wakil Direktur beserta seluruh staf atas

bantuan, kesempatan dan fasilitas yang diberikan, sehingga dapat menyelesaikan

studi pada Program Magister Kenotariatan (MKn) Sekolah Pascasarjana,

Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH, MHum., selaku Dekan Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara dan juga selaku Pembimbing dalam tesis ini, atas

bantuan dan bimbingannya serta memberikan kesempatan dan fasilitas sehingga

dapat menyelesaikan studi pada Program Magister Kenotariatan (MKn) Sekolah

Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN, selaku Ketua Program Magister

Kenotariatan (MKn) Sekolah Pascasarjana beserta stafnya atas bantuan dalam

memberikan kesempatan dan fasilitas sehingga dapat menyelesaikan studi pada

Program Magister Kenotariatan (MKn) Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera

Utara.

5. Para Bapak dan Ibu Dosen di lingkungan Sekolah Pascasarjana khususnya pada

Magister Kenotariatan yang telah memberikan ilmu pengetahuan sehingga dapat

menyelesaikan studi ini.

6. Para pegawai/staf/karyawan pada Program Magister Kenotariatan (MKn) Sekolah

Pascasarjana Universitas Sumatera Utara yang selalu membantu dengan sepenuh

hati, terutama untuk memperlancar urusan administrasi yang diperlukan.

Anastasius Rico Haratua Sitanggang : Analisis Yuridis Tentang Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian..., 2009 USU Repository © 2008

12

7. Rekan-rekan mahasiswa Magister Kenotariatan Sekolah Pascasarjana USU Medan

khususnya Angkatan 2003 group C dan Angkatan 2005 group C yang tidak dapat

disebutkan satu persatu.

8. Secara tulus ucapan terima kasih kepada Ayahanda tercinta dan Ibunda tersayang

yang selalu memberikan semangat, dorongan, bantuan moril serta dukungan dan

selalu mendoakan penulis hingga dapat merampungkan studi ini.

Selain itu, ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya juga ditujukan kepada

para atasan dan rekan-rekan penulis di lingkungan pekerjaan sehari-hari yang telah

berperan mendukung dan memberikan kesempatan bagi penulis untuk menempuh dan

menyelesaikan jenjang pendidikan Strata 2 (S.2) di Program Magister Kenotariatan

Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, yaitu kepada yang terhormat :

1. Bapak Prof. Dr. Bagir Manan, SH, M.Cl, mantan Ketua Mahkamah Agung

Republik Indonesia.

2. Bapak Harifin Tumpa, SH, Wakil Ketua Bidang Non Yudisial selaku Pelaksana

Tugas Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia.

3. Ibu Prof. Rehngena Purba, SH, MS, Hakim Agung pada Mahkamah Agung

Republik Indonesia yang juga mantan Dekan Fakultas Hukum USU dan mantan

Ketua Program Magister Kenotariatan Sekolah Pascasarjana USU.

4. Bapak Mahdi Soroinda, SH,M.Hum, mantan Ketua Pengadilan Tinggi Pekanbaru

yang saat ini menjabat sebagai Hakim Agung pada Mahkamah Agung Republik

Indonesia.

Anastasius Rico Haratua Sitanggang : Analisis Yuridis Tentang Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian..., 2009 USU Repository © 2008

13

5. Bapak Cicut Sutiarso, SH,MH, Direktur Jenderal Badan Peradilan Umum

Mahkamah Agung Republik Indonesia beserta para staf dan karyawan.

6. Ibu Maulida, SH, Ketua Pengadilan Tinggi Pekanbaru.

7. Bapak Monang Siringo-ringo, SH, Mantan Ketua Pengadilan Tinggi Sumatera

Utara.

8. Bapak Viktor Selamat Zagoto, SH,M.Hum, Mantan Ketua Pengadilan Negeri

Tebing Tinggi Deli yang saat ini menjabat sebagai Ketua Pengadilan Negeri

Sorong.

9. Bapak Sujatmiko, SH, Mantan Ketua Pengadilan Negeri Siak Sri Indrapura yang

saat ini menjabat sebagai Hakim pada Pengadilan Negeri Semarang.

10. Rekan-rekan Hakim di Pengadilan Negeri Siak Sri Indrapura khususnya yang

berperan sebagai nara sumber untuk penulisan Tesis ini serta rekan-rekan Hakim di

Pengadilan Negeri lainnya di seluruh wilayah Republik Indonesia yang tidak dapat

disebutkan satu per satu.

11. Para staf dan karyawan pada Pengadilan Tinggi Medan, Pengadilan Tinggi

Pekanbaru, Pengadilan Negeri Tebing Tinggi Deli dan Pengadilan Negeri Siak Sri

Indrapura serta kepada pihak-pihak lainnya yang telah berperan baik langsung

maupun tidak langsung yang tidak dapat disebutkan satu per satu.

Akhirnya semoga segala budi baik, jasa-jasa dan semua bantuan yang telah

diberikan kepada penulis mendapat imbalan dan pahala yang berlimpah dari Tuhan

Yang Maha Esa.

Medan, 19 Januari 2009,

Penulis,

A. RICO H. SITANGGANG

Anastasius Rico Haratua Sitanggang : Analisis Yuridis Tentang Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian..., 2009 USU Repository © 2008

14

RIWAYAT HIDUP

I. Identitas Pribadi Nama Lengkap : Anastasius Rico Haratua Sitanggang. Tempat/Tgl. Lahir : Pematang Siantar, 08 Januari 1978. Status : Belum Menikah. Alamat : Komp. Citra Wisata Lake View IX/4 Medan 20143.

II. Keluarga Nama Ayah : J.R. Sitanggang, SH Nama Ibu : S.N. Br. Sitindaon, BA

III. Pendidikan SD : Tahun 1984 s/d Tahun 1990. SD Swasta Kristen Kalam Kudus Pematang Siantar. SMP : Tahun 1990 s/d Tahun 1993. SMP Swasta Kristen Kalam Kudus Pematang

Siantar. SMA : Tahun 1993 s/d Tahun 1996. SMA Negeri 4 Pematang Siantar. Perguruan Tinggi/S.1. : Tahun 1997 s/d Tahun 2002. Fakultas Hukum Universitas Katolik Santo Thomas

Sumatera Utara – Medan. Perguruan Tinggi/S.2. : Tahun 2003 s/d Tahun 2009. Program Magister Kenotariatan pada Sekolah

Pascasarjana Universitas Sumatera Utara – Medan.

IV. Pekerjaan

- CPNS/Calon Hakim pada Pengadilan Negeri Tebing Tinggi Deli, sejak tanggal 01 Desember 2003 sampai dengan tanggal 31 Maret 2005.

- PNS/Calon Hakim pada Pengadilan Negeri Tebing Tinggi Deli, sejak tanggal 01 April 2005 sampai dengan tanggal 18 Desember 2006.

- Panitera Pengganti di luar Tanggungan Negara pada Pengadilan Negeri

Tebing Tinggi Deli, sejak tanggal 17 Mei 2006 sampai dengan tanggal 06 Desember 2006.

- Hakim Pengadilan Negeri pada Pengadilan Negeri Siak Sri Indrapura-Riau, sejak tanggal 19 Desember 2006 sampai sekarang.

Anastasius Rico Haratua Sitanggang : Analisis Yuridis Tentang Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian..., 2009 USU Repository © 2008

15

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ........................................................................................................ i

ABSTRACT ................................................................................................... iii

KATA PENGANTAR ...................................................................................... v

RIWAYAT HIDUP........................................................................................... x

DAFTAR ISI ................................................................................................... xii

DAFTAR TABEL ............................................................................................. xiv

DAFTAR SINGKATAN................................................................................... xv

BAB I PENDAHULUAN..................................................................... 1

A. Latar Belakang .................................................................... 1

B. Permasalahan....................................................................... 11

C. Tujuan Penelitian................................................................. 11

D. Manfaat Penelitian............................................................... 11

E. Keaslian Penelitian.............................................................. 12

F. Kerangka Teori dan Konsepsi ............................................. 12

G. Metode Penelitian................................................................ 31

BAB II PUTUSNYA PERKAWINAN KARENA PERCERAIAN DI PENGADILAN NEGERI SIAK SRI INDRAPURA................ 34

A. Pengadilan Negeri Siak Sri Indrapura ................................ 34

B. Faktor Penyebab Putusnya Perkawinan Karena Perceraian ............................................................................ 43

Anastasius Rico Haratua Sitanggang : Analisis Yuridis Tentang Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian..., 2009 USU Repository © 2008

16

BAB III AKIBAT HUKUM TERHADAP ANAK DAN HARTA PERKAWINAN KARENA PERCERAIAN ............................ 59

A. Akibat Hukum Terhadap Anak ........................................... 59

B. Akibat Hukum Terhadap Harta Perkawinan ....................... 71

BAB IV PERTIMBANGAN HUKUM HAKIM DALAM MEMUTUS PERKARA PERCERAIAN DAN PERKARA PERDATA PADA UMUMNYA.............................................. 82

A. Persentuhan Hukum Agama dengan UUP No. 1 Tahun 1974..................................................................................... 82

B. Dasar Yuridis....................................................................... 85

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN................................................. 109

A. Kesimpulan.......................................................................... 109

B. Saran.................................................................................... 112

DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 115

Anastasius Rico Haratua Sitanggang : Analisis Yuridis Tentang Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian..., 2009 USU Repository © 2008

17

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

1. Jumlah Penduduk Kabupaten Siak............................................. 35

2. Jumlah Perkara 23 Pebruari 2006 s/d Desember 2006.............. 37

3. Dasar Hakim Memberi Pertimbangan Hukum.......................... 94

4. Pendapat Hakim Tentang Memutuskan Perkara .................... 95

Anastasius Rico Haratua Sitanggang : Analisis Yuridis Tentang Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian..., 2009 USU Repository © 2008

18

DAFTAR SINGKATAN

AB : Algemene Bepalingen

BW : Burgerlijk Wetboek

HIR : Herjiene Inland Reglement

HR : Hoge Raad

IR : Inlands Reglement

KUHPdt : Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

KUHAP : Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata

MARI : Mahkamah Agung Republik Indonesia

No. : Nomor

PN : Pengadilan Negeri

PT : Pengadilan Tinggi

PP : Peraturan Pemerintah

Rbg : Rechtsreghment buiten gewesteren

Stb : Staatblad

UUD 1945 : Undang-Undang Dasar Tahun 1945

UU : Undang-Undang

UUP : Undang-Undang Perkawinan

WABN : Wet Algemene Bepalingen Nederland

Anastasius Rico Haratua Sitanggang : Analisis Yuridis Tentang Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian..., 2009 USU Repository © 2008

19

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sesuai dengan kodrat alam manusia sejak lahir sampai meninggal dunia hidup

bersama-sama dengan manusia lain, atau manusia tidak dapat hidup menyendiri,

terpisah dari kelompok manusia lainnya.1 Sejak dahulu kala pada diri manusia terdapat

hasrat untuk berkumpul dengan sesamanya dalam suatu kelompok. Di samping itu,

manusia juga punya hasrat untuk bermasyarakat.

Manusia sebagai mahluk individu bisa saja mempunyai sifat untuk hidup

menyendiri tetapi manusia sebagai mahluk sosial tidak dapat hidup menyendiri.

Manusia harus hidup bermasyarakat, sebab ia lahir, hidup berkembang, dan meninggal

dunia di dalam masyarakat.2

Pola hidup tersebut merupakan susunan daripada kaidah-kaidah yang mencakup kaidah-kaidah kepercayaan, kesusilaan, sopan santun dan hukum. Tidak jarang bahwa suatu kepentingan manusia dilindungi oleh keempat macam kaidah tersebut, walaupun ada perbedaan-perbedaan yang hakiki dari kaidah-kaidah tersebut. Untuk menelaah perbedaan-perbedaannya, maka kaidah-kaidah tersebut perlu dihubungkan dengan adanya dua aspek hidup, yaitu pribadi dan hidup antar pribadi.3 Setelah dewasa, keinginan untuk melakukan perkawinan telah terbayang di

dalam pikirannya. Kemauan ini semakin terasa apabila manusia tersebut telah

1Chainur Arrasjid, Dasar-dasar Ilmu Hukum, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, Cetakan 3, 2004,

hal. 1. 2Ibid. 3Purnadi Purbacaraka, Pengantar Ilmu Hukum, Fakultas Ilmu-ilmu Sosial, Universitas

Indonesia, Jakarta, 1989, hal. 3.

1 Anastasius Rico Haratua Sitanggang : Analisis Yuridis Tentang Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian..., 2009 USU Repository © 2008

20

mempunyai penghasilan dan mampu untuk membiayai kehidupan rumah tangga

sendiri.

Perkawinan adalah hubungan hukum yang merupakan pertalian yang sah

antara seorang laki-laki dan seorang wanita yang telah memenuhi syarat-syarat

perkawinan, untuk jangka waktu yang selama mungkin.4 Di samping itu perkawinan

merupakan ikatan lahir dan bathin antara seorang pria dengan seorang perempuan yang

telah dewasa menurut ketentuan perundang-undangan yang berlaku dan bersifat kekal

dan abadi menuju kehidupan rumah tangga yang bahagia dan sejahtera.

Perkawinan menyangkut banyak segi yang melibatkan kedua belah pihak

(suami-isteri), keturunan mereka dalam garis lurus ke bawah dan ke atas, harta benda,

menyangkut hubungan masyarakat melalui kontak sosial, hubungan hukum melalui

kontak negara. Tidak mengherankan bila perkawinan melahirkan berbagai masalah

hukum baik perdata maupun pidana yang tidak mungkin dicakup secara keseluruhan

pada saat sekarang ini.

Perkawinan secara umum dilaksanakan berdasarkan hukum agama atau hukum

adat (yang juga bercampur dengan hukum agama). Perkawinan yang tertua di

Indonesia adalah berdasarkan hukum agama Hindu, Budha, Islam dan hukum

adat untuk suku-suku yang tidak menganut agama Hindu, Budha dan Islam.

Sungguhpun demikian, karena agama Islam kemudian dianut oleh mayoritas

penduduk, maka hukum perkawinan yang banyak diikuti adalah Hukum Islam.

4Rien G. Kartasapoetra, Pengantar Ilmu Hukum Lengkap, Penerbit Bina Aksara, Jakarta,

Cetakan I, 1988, hal. 97.

Anastasius Rico Haratua Sitanggang : Analisis Yuridis Tentang Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian..., 2009 USU Repository © 2008

21

Bagi masyarakat Indonesia, sudah menjadi pegangan hidup atau pandangan

hidup mereka sejak dahulu bahwa mengenai perkawinan, kelahiran dan kematian

adalah sangat dipengaruhi oleh ketentuan-ketentuan agama.5 Orang yang taat pada

agamanya tidak mudah berbuat sesuatu yang melanggar larangan agamanya dan

kepercayaannya. Selain larangan-larangan, agamanya juga mempunyai peraturan-

peraturan yang memuat perintah-perintah yang wajib dan harus ditaati.6 Perkawinan

merupakan suatu peristiwa yang besar dalam kehidupan seseorang, juga bagi orang tua

anak gadis, perkawinan anaknya itu sangat mengharukan, dimana orang tua tersebut

melepaskan anak mereka yang dicintainya itu, lalu berangkat menempuh hidup baru

bersama suaminya.7

Hampir dalam semua tradisi hukum, baik civil law, common law, maupun

Islamic law, perkawinan adalah sebuah kontrak berdasarkan persetujuan sukarela

yang bersifat pribadi antara seorang pria dan wanita untuk menjadi suami-

isteri.8 Dalam hal ini, perkawinan selalu dipandang sebagai dasar bagi unit keluarga

5Rusdi Malik, Peranan Agama Dalam Hukum Perkawinan di Indonesia, Penerbit Universitas

Trisakti, 1990, Jakarta, hal. 11. 6Chainur Arrasjid, Op.Cit., hal. 5. 7Retnowulan Sutanto, Wanita dan Hukum, Himpunan Karangan Hukum yang Penting Bagi

Kaum Wanita, Penerbit Alumni, Bandung, 1979, hal. 35. 8Rifyal Ka’bah, Hakim Agung MARI, Permasalahan Perkawinan, Varia Peradilan No. 271,

Makalah, Juni 2008, hal. 7. Perkawinan disebut juga pernikahan, dari kata nikah yang berarti ‘aqd (kontrak), tetapi kemudian berarti jima’ (persetubuhan). Di Indonesia kontrak atau perjanjian disebut akad nikah (perjanjian, pernikahan atau perkawinan). Sebagai perjanjian atau kontrak, maka pihak-pihak terikat dengan perjanjian atau kontrak berjanji akan membina rumah tangga yang bahagia lahir-batin dengan melahirkan anak-cucu yang meneruskan cita-cita mereka. Bila ikatan lahir dan batin tidak lagi dapat dirujuskan dalam perkawinan, misalnya tidak lagi dapat melakukan hubungan seksual, atau tidak dapat melahirkan keturunan, atau masing-masing sudah mempunyai tujuan yang berbeda, maka perjanjian dapat dibatalkan melalui pemutusan perkawinan (perceraian) atau paling tidak ditinjau kembali melalui perkawinan kembali setelah terjadi perceraian.

Anastasius Rico Haratua Sitanggang : Analisis Yuridis Tentang Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian..., 2009 USU Repository © 2008

22

yang mempunyai arti penting bagi penjagaan moral atau akhlak masyarakat dalam

pembentukan peradaban.

Mulai secara tradisional, suami dalam semua sistem tersebut bertugas menyiapkan tempat tinggal, memenuhi kebutuhan rumah tangga dan melindungi keluarga secara umum. Sementara itu isteri berkewajiban mengurus rumah tangga, tinggal di rumah, melakukan hubungan seksual dengan suami dan memelihara anak-anak. Konsep perkawinan sebagai kontrak yang sah seperti ini sampai sekarang belum berubah, tetapi karena perubahan-perubahan yang terjadi dalam masyarakat mengikuti hukum kehidupan maka kewajiban-kewajiban pihak-pihak yang terlibat dalam kontrak tersebut tidak lagi persis seperti pada masa lalu.9 Maka perkawinan bukanlah barang mainan yang suatu waktu dapat diganti

dan ditukar dengan yang lain. Untuk melangsungkan suatu perkawinan, undang-

undang telah menentukan beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh para pihak. Di

dalam undang-undang perkawinan ditetapkan beberapa azas dan prinsip, salah

satunya adalah azas untuk mempersulit terjadinya penyimpangan, karena tujuan

perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal.

Dalam suasana dimana masyarakat menghadapi perubahan sosial ekonomi

yang serba cepat, perhatian tidak lagi diarahkan pada seputar penggarapan hukum

sebagai suatu sistem peraturan yang logis dan konsisten, akan tetapi hukum lebih

dikaitkan dengan perubahan-perubahan sosial.

Dalam sebuah keluarga, suami wajib melindungi dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya dan isteri wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya, karena suami adalah kepala keluarga dan tugas isteri adalah sebagai ibu rumah tangga dalam keluarga.10

9Ibid., hal. 7. 10Bambang Sunggono, Hukum dan Kebijaksanaan Publik, Sinar Grafika, Jakarta, Cetakan I,

1994, hal. 1.

Anastasius Rico Haratua Sitanggang : Analisis Yuridis Tentang Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian..., 2009 USU Repository © 2008

23

Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami

dalam kehidupan berumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat.11

Akan tetapi pembagian peran sebagaimana terdapat dalam ketentuan Pasal 31 ayat 3

dan Pasal 34 ayat 1 dan 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

(selanjutnya ditulis UUP) bahwa hak dan kedudukan laki-laki dan perempuan adalah

seimbang.

Menurut Soerjono Soekanto bahwa Hukum dengan tegas mengatur perbuatan-

perbuatan manusia yang bersifat lahiriah, dan hukum mempunyai sifat untuk

menciptakan keseimbangan antar kepentingan-kepentingan para warga masyarakat.12

Dari kenyataan tersebut, maka pembuat Undang-Undang No. 1 Tahun 1974

tentang Perkawinan menyatakan perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut

hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu (Pasal 2 Ayat 1). Agama

yang dimaksud adalah merujuk kepada Pasal 29 Ayat (2) UUD 1945 : Negara

menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya dan

kepercayaannya masing-masing.13

Pembagian tugas sebagaimana diatur secara jelas dalam undang-undang

tersebut nampaknya memang mengkekalkan apa yang selama ini dianut oleh sebagian

besar masyarakat dan justru pembagian tugas inilah yang sedang mengalami proses

perubahan dalam lingkup yang luas. Banyak rumah tangga sekarang ini suami bukan

11Retnowulan Sutanto, Op.Cit., hal. 35. 12Soerjono Soekanto, Beberapa Permasalahan Hukum Dalam Kerangka Pembangunan di

Indonesia, Penerbit UI-Press, Jakarta, Cetakan 3, 1983, hal. 4. 13Rifyal Ka’bah, Op.Cit., hal. 8.

Anastasius Rico Haratua Sitanggang : Analisis Yuridis Tentang Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian..., 2009 USU Repository © 2008

24

satu-satunya pencari nafkah, isteri bekerja dan karena itu mempunyai waktu lebih

sedikit atau bahkan tidak punya waktu sama sekali untuk mengurus rumah tangga.

Beragamnya kepentingan antar manusia dapat terpenuhi secara damai, tetapi

juga menimbulkan konflik jika tata cara pemenuhan kepentingan tersebut dilakukan

tanpa ada keseimbangan sehingga akan melanggar hak-hak orang lain.14

Dalam perkembangannya, perceraian dalam sebuah ikatan perkawinan tidak

dapat dihindari, alasan pengajuan perceraian sangat bervariasi seperti: masuknya orang

ketiga dalam perkawinan, adanya perbedaan pandangan mengenai kewajiban suami

isteri dalam rumah tangga, dan seringnya isteri ditinggal suami, perubahan peran

suami isteri, serta pertengkaran dan konflik yang berkepanjangan sehingga tidak

mungkin lagi kerukunan dan kebahagiaan rumah tangga itu dapat dipertahankan.

Hal ini menunjukkan adanya kecenderungan nilai-nilai yang mengatur

hubungan antara suami isteri dalam keluarga mulai berubah. Jika memang ada

kecenderungan pergeseran nilai, maka formulasi nilai-nilai tersebut dalam bentuk

undang-undang perlu ditinjau kembali. Oleh karena itu nampaknya perlu dilihat

apakah proses itu benar terjadi dan kalau seandainya terjadi hanya bersifat sementara

saja atau sesuatu yang semakin lama semakin cenderung meningkat.

Setiap pasangan tidak selamanya dapat menyelesaikan konflik-konflik yang

mereka alami, dan mengundang orang yang dianggap lebih tua menjadi penengah

belum tentu efektif karena pertimbangannya berbeda. Oleh karena itu mungkin

14SP. Wasis, Pengantar Ilmu Hukum, UMM Press, Malang, Cetakan I, 2002, hal. 7.

Anastasius Rico Haratua Sitanggang : Analisis Yuridis Tentang Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian..., 2009 USU Repository © 2008

25

dibutuhkan semacam lembaga yang memberi pelayanan konsultasi yang sungguh-

sungguh mengerti perubahan yang terjadi dan tidak hanya mempertimbangkan aspek

normatif saja. Kualifikasi yang sama mungkin juga dibutuhkan oleh orang-orang yang

karena pekerjaannya menangani konflik keluarga seperti hakim, pengacara dan

sebagainya.

Pada kenyataannya perceraian tidak juga dapat dihindarkan, walaupun berbagai

usaha dan upaya telah dikerahkan ke arah itu. Padahal perceraian sedapat mungkin

harus dihindarkan mengingat perbuatan tersebut adalah dilarang dan aib sifatnya

kecuali dalam keadaan benar-benar terpaksa.

Keterlibatan hukum yang semakin aktif ke dalam persoalan-persoalan yang

menyangkut perubahan sosial, justru memunculkan permasalahan yang mengarahkan

pada penggunaan hukum secara sadar dan aktif sebagai sarana untuk turut menyusun

tata kehidupan yang baru tersebut.15 Di samping itu, perkembangan dan perubahan

yang sangat besar akibat peranan teknologi dan industrialisasi menghendaki agar

hukum melakukan adaptasi pada keadaan demikian itu. Akibatnya, hampir semua

aspek dalam kehidupan ditemui adanya peraturan-peraturan hukum.16

Akibatnya lembaga-lembaga peradilan pada hakekatnya tidak begitu saja

dengan mudah mengabulkan gugatan perceraian walaupun alasan-alasan perceraian

tersebut telah dipenuhi oleh salah satu pihak. Hakim pada dasarnya berusaha agar

kedua belah pihak merenungkan kembali dan disarankan agar sejauh mungkin

15Bambang Sunggono, Op.Cit., hal. 1. 16Ibid., hal. 2.

Anastasius Rico Haratua Sitanggang : Analisis Yuridis Tentang Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian..., 2009 USU Repository © 2008

26

perceraian dihindarkan karena berakibat luas, apabila keluarga tersebut telah

mempunyai keturunan (anak). Tetapi apabila usaha dan upaya itu gagal, maka dengan

terpaksa gugatan tentang perceraian harus diputus dengan beberapa pertimbangan-

pertimbangan. Masalah perceraian ini di dalam peraturan perundang-undangan telah

mengatur tentang lembaga-lembaga yang berwenang menerima, memeriksa, dan

memutus perkara tersebut. Bagi bangsa Indonesia yang beragama Islam, lembaga

yang berwenang memeriksa dan memutusnya adalah Pengadilan Agama untuk

peradilan tingkat pertama, Pengadilan Tinggi Agama untuk peradilan tingkat banding

dan Mahkamah Agung untuk tingkat kasasi, sedangkan beragama lain peradilan yang

berhak memeriksa adalah Pengadilan Negeri dimana tergugat bertempat tinggal.

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Peraturan

Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 adalah merupakan hasil produk perundang-undangan

nasional, yang telah disesuaikan dengan perkembangan zaman dan kepribadian bangsa

Indonesia. Maka hukum agama dan hukum adat yang merupakan hukum yang hidup

dan dipertahankan oleh bangsa Indonesia yang sesuai dengan kepribadian nasional

dimana hukum adat yang dapat diterima untuk dimasukkan ke dalam undang-undang

perkawinan tersebut adalah hukum adat yang dapat menyesuaikan diri serta dapat

mengikuti perkembangan zaman menuju kepada negara yang maju dan modern. Di

dalam undang-undang tersebut memang tidak tegas digunakan istilah hukum adat,

namun tidak berarti bahwa undang-undang ini terlepas sama sekali dari hukum adat.

Anastasius Rico Haratua Sitanggang : Analisis Yuridis Tentang Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian..., 2009 USU Repository © 2008

27

Hal ini dapat dilihat misalnya pada Bab VII Pasal 35-37 UUP tentang harga

benda di dalam perkawinan masih juga digunakan istilah Harta Bersama dan Harta

Bawaan. Bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama itu diatur menurut

hukumnya masing-masing. Di dalam penjelasannya disebutkan yang dimaksud dengan

hukumnya masing-masing ialah hukum agama, hukum adat dan hukum-hukum

lainnya. Secara keseluruhan undang-undang perkawinan maupun aturan

pelaksanaannya hanya mengenal dua jenis proses perceraian yaitu perceraian dengan

talak dan cerai gugat.

Selanjutnya dalam Pasal 16 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975

dikatakan bahwa tujuan sidang pengadilan dimaksud dalam Pasal 14 PP tersebut

hanyalah untuk menyaksikan perceraian tersebut. Dalam Pasal 17 PP tersebut

dikatakan bahwa sesaat setelah dilakukan sidang pengadilan untuk menyaksikan

perceraian, Ketua Pengadilan membuat surat keterangan tentang terjadinya perceraian.

Dari ketentuan tersebut di atas jelaslah bahwa yang diajukan suami bukanlah

surat permohonan, akan tetapi surat pemberitahuan bahwa ia akan bercerai

(menceraikan) isterinya dan untuk itu ia meminta kepada pengadilan di tempat

tinggalnya untuk mengadakan sidang menyaksikan perceraian itu. Dan jika sudah

terjadi perceraian di muka pengadilan, maka Ketua Pengadilan membuat surat

keterangan tentang terjadinya perceraian (bukan surat penetapan atau putusan).

Ketentuan mengenai akibat perceraian yang diatur oleh Pasal 41 ayat b dan c

UUP mengatakan suami yang bertanggungjawab atas semua biaya pemeliharaan dan

pendidikan yang diperlukan untuk itu, jika suami dalam kenyataan tidak dapat

Anastasius Rico Haratua Sitanggang : Analisis Yuridis Tentang Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian..., 2009 USU Repository © 2008

28

memberi kewajiban tersebut, pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul

biaya tersebut. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan

biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas isteri.

Beban akibat perceraian terutama yang bersifat finansial yang sekarang ini

terutama menjadi kewajiban suami, nampaknya perlu juga dipertimbangkan. Dalam

kenyataan cukup banyak isteri yang berpenghasilan lebih banyak atau sama dengan

suami. Undang-Undang perkawinan mengantisipasi perubahan-perubahan sosial dalam

masyarakat saat ini, seperti yaitu pengaturan pembagian peran antara suami isteri, dan

gugatan perceraian (isteri yang meminta cerai). Kalaupun banyak perceraian yang

diajukan oleh pihak isteri, tidak menyebabkan bertambah rendahnya perceraian yang

diajukan isteri. Oleh karena itu mempersulit prosedur tidak menjadi alasan untuk

mengurangi angka perceraian. Undang-undang perkawinan yang mengatur antara lain

soal peran suami isteri dan prosedur perceraian sudah perlu dipertimbangkan kembali

setidak-tidaknya di dalam penerapannya.

Pengadilan Negeri Siak Sri Indrapura yang dulunya merupakan wilayah dari

Pengadilan Negeri Bengkalis. Pengadilan Negeri ini diresmikan oleh Ketua Mahkamah

Agung Republik Indonesia dan berfungsi sejak 23 Pebruari 2006. Dengan

berfungsinya Pengadilan Negeri ini, tentunya para penegak hukum khususnya hakim

sangat diharapkan profesionalnya dalam mengadili perkara yang masuk ke Pengadilan

Negeri, khususnya perkara perceraian.

Dari uraian di atas yang menjadi fokus pembahasan adalah perceraian yang

diputus oleh Pengadilan Negeri Siak Sri Indrapura.

Anastasius Rico Haratua Sitanggang : Analisis Yuridis Tentang Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian..., 2009 USU Repository © 2008

29

B. Permasalahan

Berdasarkan pada uraian latar belakang tersebut di atas, maka dapat

dirumuskan pokok permasalahan yang akan dibahas lebih lanjut, yaitu :

1. Apakah faktor-faktor yang menyebabkan putusnya perkawinan karena perceraian?

2. Bagaimana akibat hukum terhadap anak dan harta perkawinan yang disebabkan

perceraian melalui putusan pengadilan ?

3. Bagaimana pertimbangan hukum hakim dalam mengadili perkara perceraian di

Pengadilan Negeri Siak Sri Indrapura – Riau ?

C. Tujuan Penelitian

Sehubungan dengan permasalahan tersebut di atas, maka tujuan yang hendak

dicapai dalam penulisan tesis ini adalah :

1. Untuk mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan putusnya perkawinan karena

perceraian.

2. Untuk mengetahui akibat hukum terhadap anak dan harta perkawinan yang

disebabkan perceraian melalui putusan pengadilan.

3. Untuk mengetahui pertimbangan hukum hakim dalam mengadili perkara

perceraian.

D. Manfaat Penelitian

Kegiatan penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat baik secara teoritis

maupun secara praktis, yaitu :

Anastasius Rico Haratua Sitanggang : Analisis Yuridis Tentang Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian..., 2009 USU Repository © 2008

30

1. Secara Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan konstribusi untuk ilmu

pengetahuan hukum, agar ilmu itu tetap hidup dan berkembang khususnya tentang

hukum perkawinan.

2. Secara Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat menambah pemahaman kepada masyarakat serta

kepada aparat penegak hukum terkait dalam proses perceraian serta pemahaman

atas nilai-nilai hukum perkawinan sebagaimana yang diamanatkan oleh Undang-

Undang.

E. Keaslian Penelitian

Dari hasil penelusuran kepustakaan diketahui bahwa penelitian tentang Analisis

Yuridis Tentang Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian (Studi Pada Pengadilan

Negeri Siak Sri Indrapura-Riau) belum ada. Maka dengan demikian penelitian ini

adalah asli.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi

1. Kerangka Teori

Teori adalah untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik

atau proses tertentu terjadi,17, dan satu teori harus diuji dengan menghadapkannya

17J.J.J. M. Wuisman, dengan penyunting M. Hisyam, Penelitian Ilmu-ilmu Sosial, Jilid I, FE-

UI, Jakarta, 1996, hal. 203.

Anastasius Rico Haratua Sitanggang : Analisis Yuridis Tentang Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian..., 2009 USU Repository © 2008

31

pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidakbenarannya.18 Kerangka teori adalah

kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis mengenai sesuatu kasus atau

permasalahan (problem) yang menjadi bahan perbandingan, pegangan teoritis.19 bagi

peneliti Analisis Yuridis Tentang Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian.

Perkawinan hapus, jikalau satu pihak meninggal, selanjutnya perkawinan hapus juga, jikalau satu pihak kawin lagi setelah mendapat izin hakim, bilamana pihak yang lainnya meninggalkan tempat tinggalnya hingga 10 (sepuluh) tahun lamanya dengan tiada ketentuan nasibnya akhirnya perkawinan dapat dihapuskan dengan perceraian.20 Perceraian adalah penghapusan perkawinan dengan putusan hakim, atau

tuntutan salah satu pihak dalam perkawinan itu. Undang-Undang tidak membolehkan

perceraian dengan permufakatan saja antara suami isteri, tetapi harus ada alasan yang

sah. Alasan-alasan tersebut adalah sebagai berikut :

a. Zina (overspel)

b. Ditinggalkan dengan sengaja (kwaadwillige verlating)

c. Penghukuman yang melebihi 5 tahun karena dipersalahkan melakukan suatu

kejahatan, dan

d. Penganiayaan berat atau membahayakan jiwa (Pasal 209 KUHPerdata).

Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1979, Pasal 19 menyebutkan

ada enam alasan tentang perceraian yaitu :

a. Salah satu pihak mendapat cacat badan/penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami isteri.

b. Antara suami isteri terus menerus terjadi perselisihan/pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.

18Ibid., hal. 16. 19M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Mandar Maju, Bandung, 1994, hal. 80. 20R. Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, Penerbit PT. Intermasa, Jakarta, Cetakan XVII,

1983, hal. 42.

Anastasius Rico Haratua Sitanggang : Analisis Yuridis Tentang Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian..., 2009 USU Repository © 2008

32

c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.

d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayaka pihak yang lain.

e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/isteri.

f. Antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.

Putusnya perkawinan berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor

7 Tahun 1993 tentang Peradilan Agama dilengkapi dengan Kompilasi Hukum Islam

Indonesia. Putusnya perkawinan berdasarkan Pasal 113 Undang-Undang Peradilan

Agama perkawinan putus karena :

a. Kematian

b. Perceraian, dan

c. Atas putusan Pengadilan.

Putusnya perkawinan yang disebabkan karena perceraian dalam Undang-

Undang Peradilan Agama dapat terjadi karena talak atau berdasarkan gugatan

perceraian. Dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 115 dinyatakan perceraian hanya

dapat dilakukan di sidang Pengadilan Agama tersebut berusaha dan tidak berhasil

mendamaikan kedua belah pihak.

Putusnya perkawinan apabila 5 (lima) tahun telah lewat waktu dan tidak juga

ada perdamaian kembali antara suami dan isteri, masing-masing pihak dapat meminta

kepada hakim supaya perkawinan diputuskan dengan perceraian.21

Bagi suatu negara dan bangsa seperti Indonesia adalah mutlak adanya undang-

undang perkawinan nasional yang sekaligus menampung prinsip-prinsip dan

21Ibid., hal. 43.

Anastasius Rico Haratua Sitanggang : Analisis Yuridis Tentang Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian..., 2009 USU Repository © 2008

33

memberikan landasan hukum perkawinan yang selama ini menjadi pegangan dan telah

berlaku bagi berbagai golongan dalam masyarakat.22 Adanya UUP tentang

Perkawinan, berlaku untuk setiap warga negara Indonesia di seluruh nusantara,

merupakan undang-undang unifikasi.

Kelahiran Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 bukan sekedar bermaksud menciptakan suatu hukum perkawinan yang bersifat dan berlaku “nasional” dan “menyeluruh”. Melainkan juga dimaksudkan dalam rangka mempertahankan, lebih menyempurnakan, memperbaiki atau bahkan menciptakan konsepsi-konsepsi hukum perkawinan baru yang sesuai dengan perkembangan dan tuntutan zaman bagi rakyat Indonesia yang pluralistik.23 Dalam pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 (selanjutnya disebut

UUP), Pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang

Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.

Jika ditinjau dari pengertian perkawinan adalah perjanjian suci membentuk

keluarga antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan. Unsur perjanjian

memperlihatkan kepada masyarakat umum dan istilah suci merupakan pernyataan dari

sudut agama.

Menurut Pasal 1 UUP No. 1 Tahun 1974, pengertian perkawinan telah

dirumuskan sebagai berikut : “Perkawinan adalah ikatan lahir bathin antara seorang

pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga

yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.

22Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional, Penerbit Rineka Cipta, Jakarta, Cetakan Ketiga, 2005, hal. 6.

23Rachmadi Usman, Aspek-aspek Hukum Perorangan dan Kekeluargaan di Indonesia, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, Cetakan I, 2006, hal. 231.

Anastasius Rico Haratua Sitanggang : Analisis Yuridis Tentang Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian..., 2009 USU Repository © 2008

34

Dalam penjelasan UUP menegaskan bahwa :

Sebagai negara yang berdasarkan Pancasila, dimana sila pertamanya ialah Ketuhanan Yang Maha Esa, maka perkawinan mempunyai hubungan yang erat sekali dengan agama/kerohanian, sehingga perkawinan bukan saja mempunyai unsur lahir jasmani, tetapi unsur bathin/rohani juga mempunyai peranan penting. Membentuk keluarga yang bahagia erat hubungannya dengan keturunan yang merupakan tujuan perkawinan, pemeliharaan dan pendidikan menjadi hak dan kewajiban orang tua.24 Pernyataan tersebut memberi arti bahwa dalam suatu perkawinan dimana

perkawinan bukan hanya merupakan hubungan jasmani dan rohani antara wanita dan

pria, tetapi juga sangat erat hubungannya dengan mempunyai dan membesarkan

keturunan mereka.

Di dalam hidup bersama orang harus biasa mengindahkan sejumlah besar peraturan-peraturan. Dari peraturan-peraturan tersebut sebagian besar sama sekali tidak ada hubungan dengan “hukum”. Hanya sedikit sajalah yang ada sangkut pautnya dengan hukum. Misalnya mengenai kebanyakan aturan-aturan kesopanan dan juga mengenai berbagai kewajiban-kewajiban kepatutan. Hal-hal ini dapat saja dilanggar tanpa memperoleh hukuman.25 Persepsi orang tentang hukum itu beraneka ragam, tergantung dari sudut mana

mereka memandangnya. Kalangan hakim akan memandang hukum itu dari sudut

pandang profesi mereka sebagai hakim,26 kalangan ilmuwan hukum akan memandang

hukum itu dari sudut pandang profesi keilmuwan mereka, rakyat kecil akan

memandang hukum dari sudut pandang mereka, dan sebagainya.

24Sudarsono, Op.Cit., hal. 9. 25H.F.A. Vollmar, (Terjemahan I.S. Adiwimarta), Pengantar Studi Hukum Perdata, Rajawali

Pers, Jakarta, Cetakan 2, 1989, hal. 1. 26Jenis putusan yang terbanyak dijumpai yang tidak memerankan hokum sebagai “a tool of

social engineering” antara lain : a. Penafsiran terhadap Pasal 49 KUHP terlihat dalam putusan HR tanggal 27 Mei 1935

“Apabila dengan jelas ternyata bahwa terdakwa tidak akan berbuat lain daripada yang dilakukannya, maka ia tidak berbuat karena pembelaan terpaksa”.

b. Penafsiran terhadap Pasal 49 KUHP, terlihat dalam putusan HR tanggal 29 Desember 1913 : “Membalas suatu serangan dengan suatu serangan balasan bukan merupakan tindakan membela diri”.

Anastasius Rico Haratua Sitanggang : Analisis Yuridis Tentang Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian..., 2009 USU Repository © 2008

35

Hukum kata Viktor Hugo adalah kebenaran dan keadilan. Hukum kata Meyers adalah keseluruhan daripada norma-norma dan penilaian-penilaian mengenai tentang harga diri, kesusilaan yang mempunyai hubungan yang erat dengan perbuatan-perbuatan manusia sebagai anggota masyarakat, norma-norma dan penilaian-penilaian mana oleh penguasa negara harus dipakai pedoman dalam menunaikan tugasnya.27 Menurut Oxford English Dictionary, sebagaimana yang dikutip oleh Achmad

Ali bahwa pengertian hukum yaitu “Law is the body of rules, whether formally enacted

or customary, which a state or community recognises as binding on ist members or

subjects”. (Hukum adalah kumpulan aturan, perundang-undangan atau hukum

kebiasaan, dimana suatu negara atau masyarakat mengakuinya sebagai suatu yang

mempunyai kekuatan mengikat terhadap warganya).28

Sedangkan menurut Utrecht sebagaimana dikutip oleh Achmad Ali bahwa :

Pengertian hukum adalah himpunan petunjuk hidup, perintah-perintah dan larangan yang mengatur tata tertib dalam sesuatu masyarakat, dan seharusnya ditaati oleh anggota masyarakat yang bersangkutan, oleh karena pelanggaran petunjuk hidup tersebut dapat menimbulkan tindakan oleh pemerintah atau penguasa masyarakat itu.29

Berarti hukum bukan hanya sekedar kaidah melainkan juga sebagai gejala

sosial dan sebagai sesi kebudayaan. Sedangkan Achmad Ali memberikan pengertian

hukum yaitu :

Hukum adalah seperangkat kaidah atau ukuran yang tersusun dalam satu sistem, yang menentukan apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan oleh manusia sebagai warga masyarakat dalam kehidupan bermasyarakatnya, yang bersumber baik dari masyarakat sendiri maupun dari sumber lain yang diakui berlakunya oleh otoritas tertinggi dalam masyarakat tersebut, serta

27R. Soebekti dan R. Tjitrosoedibio, Kamus Hukum, PT. Pradnya Paramita, Jakarta, Cetakan 9,

1986, hal. 50. 28Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis), PT. Toko

Gunung Agung Tbk, Jakarta, 2002, hal. 31. 29Ibid., hal. 32.

Anastasius Rico Haratua Sitanggang : Analisis Yuridis Tentang Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian..., 2009 USU Repository © 2008

36

benar-benar dilakukan oleh warga masyarakat (sebagai satu keseluruhan) dalam kehidupannya, dan jika kaidah tersebut dilanggar akan memberikan kewenangan bagi otoritas tertinggi untuk menjatuhkan sanksi yang sifatnya eksternal.30 Persoalan tujuan hukum dikaji melalui tiga sudut pandang, antara lain :

a. Dari sudut pandang ilmu hukum positif-normatif atau yuridis dogmatic, dimana tujuan hukum dititikberatkan pada segi kepastian hukumnya.

b. Dari sudut pandang filsafat hukum, dimana tujuan hukum dititikberatkan pada segi keadilan.

c. Dari sudut pandang sosiologi hukum, tujuan hukum dititikberatkan pada segi kemanfaatannya.31

Tujuan hukum dapat diklasifikasikan ke dalam 2 (dua) kelompok teori antara

lain :

a. Ajaran Konvensional 1) Ajaran etis yang menganggap bahwa pada asasnya tujuan hukum adalah

semata-mata untuk mencapai keadilan. 2) Ajaran utilitis yang menganggap bahwa pada asasnya tujuan hukum

adalah semata-mata untuk menciptakan kemanfaatan atau kebahagiaa warga.

3) Ajaran normatif-dogmatif yang menganggap bahwa pada asasnya tujuan hukum adalah semata-mata untuk menciptakan kepastian hukum.

b. Ajaran Modern 1) Ajaran prioritas baku yang oleh sebagian pakar diidentikkan juga

sebagai tiga tujuan hukum yaitu keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum.

2) Ajaran prioritas kasuistis bahwa mungkin untuk kasus-kasus lain justru kebutuhan kemanfaatanlah yang diprioritaskan ketimbang keadilan dan kepastian begitu juga sebaliknya.32

Jadi secara konvensional, tujuan hukum adalah mewujudkan keadilan,

kemanfaatan dan kepastian hukum. Dalam hal ini diupayakan ketiganya dapat

30Ibid., hal. 35. 31Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, Bab-bab Tentang Penemuan Hukum, PT. Citra Aditya

Bakti, Yogyakarta, Cetakan I, 1993, hal. 60. 32Ibid., hal. 73-85.

Anastasius Rico Haratua Sitanggang : Analisis Yuridis Tentang Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian..., 2009 USU Repository © 2008

37

diwujudkan seluruhnya secara bersama-sama karena memungkinkan pertentangan-

pertentangan di antara ketiga tujuan itu.

Hukum hanya merupakan salah satu sarana kontrol sosial, kebiasaan,

keyakinan, agama, dukungan dan pencelaan kelompok, penekanan dari kelompok-

kelompok interest dan pengaruh dari pendapat umum merupakan sarana-sarana yang

lebih efisien dalam mengatur tingkah laku manusia.

Hukum berfungsi sebagai perlindungan kepentingan manusia. Agar

kepentingan manusia terlindungi, hukum harus dilaksanakan. Pelaksanaan hukum

dapat berlangsung secara normal, damai, tetapi dapat terjadi juga karena pelanggaran

hukum. Dalam hal ini hukum yang telah dilanggar itu harus ditegakkan. Melalui

penegakan hukum inilah hukum ini menjadikan kenyataan. Dalam menegakkan hukum

ada tiga unsur yang selalu harus diperhatikan, yaitu: kepastian hukum

(Rechtssicherheit), kemanfaatan (Zweckmassigkeit) dan keadilan (Gerechtigkeit).33

Penegakan hukum merupakan suatu usaha mewujudkan ide-ide yang bersifat

abstrak menjadi kenyataan. Jadi penegakan hukum adalah suatu proses untuk

mewujudkan keinginan-keinginan hukum di sini tidak lain adalah pikiran-pikiran

badan pembuat undang-undang yang dirumuskan dalam peraturan-peraturan hukum

itu.34

Hukum dan penegakan hukum dalam era reformasi ini tidak dapat dipisahkan

dari perilaku politik elit penguasa. Keterkaitan hukum dan penegak hukum dalam

33Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, Op.Cit., hal. 1. 34Satjipto Rahardjo, Masalah Penegakan Hukum Suatu Tinjauan Sosiologi, Sinar Baru,

Bandung, 1983, hal. 24.

Anastasius Rico Haratua Sitanggang : Analisis Yuridis Tentang Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian..., 2009 USU Repository © 2008

38

perilaku politik tersebut hanya dapat terjadi dalam suatu negara yang tidak demokratis

dimana transparansi, supreme hukum dan promosi dan perlindungan HAM35

dikesampingkan.

Penegakan hukum menurut Badan Kontak Profesi Hukum Lampung

menyatakan bahwa :

a. Penegakan hukum adalah kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan dalam kaidah-kaidah/pandangan menilai dan mengejawantah dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir untuk menciptakan (social engineering) dan mempertahankan (social control) dan keadamaian pergaulan hidup.

b. Penegakan hukum merupakan perpaduan dari sistem nilai-nilai (warden system) dan sistem aturan-aturan perilaku (gedragregelen system).36

Kondisi yang diresahkan masyarakat saat ini tidak semata-mata terletak pada

ketidakpuasan terhadap praktek peradilan (yang dapat disebut sebagai penegakan

hukum dalam arti sempit), tetapi justru ketidakpuasan terhadap penegakan hukum

dalam arti luas, yaitu penegakan seluruh norma/tatanan, kehidupan masyarakat (di

bidang politik, sosial, ekonomi, pertahanan-keamanan dan sebagainya).

Penegakan hukum sangat berkaitan erat dengan budaya hukum dan

pengetahuan/pendidikan hukum. Budaya hukum dan pengetahuan/pendidikan hukum

diperlukan untuk mendukung reformasi hukum harus diupayakan bersama oleh seluruh

aparat penegak hukum, masyarakat/asosiasi profesi hukum, lembaga pendidikan

hukum, dan bahkan oleh seluruh aparat pemerintah dan warga masyarakat pada

35Keseluruhan HAM, dilihat dari sudut hokum pada hakekatnya merupakan “kepentingan

hokum” yang sepatutnya mendapat perlindungan, antara lain perlindungan lewat hokum pidana. 36Badan Kontak Profesi Hukum Lampung, Penegakan Hukum Dalam Mensukseskan

Pembangunan, Alumni, Bandung, 1977, hal. 180.

Anastasius Rico Haratua Sitanggang : Analisis Yuridis Tentang Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian..., 2009 USU Repository © 2008

39

umumnya. Namun, undang-undang itu tidak sempurna, memang tidak mungkin

undang-undang itu mengatur segala kegiatan kehidupan manusia secara tuntas. Ada

kalanya undang-undang itu tidak lengkap dan ada kalanya undang-undang itu tidak

jelas. Meskipun tidal lengkap atau tidak jelas undang-undang harus dilaksanakan.

Jadi dalam hal penegakan hukum juga perlu dibahas mengenai aparat penegak

hukumnya seperti Polisi disebut sebagai “alat negara penegak hukum”, Jaksa disebut

sebagai pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk bertindak sebagai

Penuntut Umum serta melaksanakan putusan pengadilan, Hakim adalah pejabat yang

melaksanakan tugas Kekuasaan Kehakiman.

Menurut ketentuan umum Pasal 1 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004

tentang Kekuasaan Kehakiman menyebutkan bahwa kekuasaan kehakiman adalah

kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan

hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila demi terselenggaranya Negara Hukum

Republik Indonesia.

Hukum harus dilaksanakan dan ditegakkan. Setiap orang mengharapkan dapat

ditetapkannya hukum dalam hal terjadi peristiwa konkrit. Bagaimana hukumnya itulah

yang harus berlaku; pada dasarnya tidak dibolehkan menyimpang; fiat justitia et pereat

mundus (meskipun dunia ini runtuh hukum harus ditegakkan). Oleh karena undang-

undangnya tidak lengkap atau tidak jelas, maka hakim harus mencari hukumnya, harus

menemukan hukumnya. Ia harus melakukan penemuan hukum (rechtsvinding).

Penegakan dan pelaksanaan hukum sering merupakan penemuan hukum dan tidak

sekedar penerapan hukum.

Anastasius Rico Haratua Sitanggang : Analisis Yuridis Tentang Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian..., 2009 USU Repository © 2008

40

Dalam Pasal 28 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 mewajibkan Hakim

menggali, mengikuti, memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup

dalam masyarakat. Penemuan hukum lazimnya diartikan sebagai proses pembentukan

hukum oleh hakim atau petugas-petugas hukum lainnya yang diberi tugas

melaksanakan hukum terhadap peristiwa-peristiwa hukum yang konkrit. Ini

merupakan proses konkretisasi dan individualisasi peraturan hukum yang bersifat

umum dengan mengingat peristiwa konkrit.

Penemuan hukum terutama dilakukan oleh hakim dalam memeriksa dan

memutus suatu perkara, penemuan hukum oleh hakim ini dianggap yang mempunyai

wibawa. Ilmuwan hukumpun mengadakan penemuan hukum, hanya kalau hasil

penemuan hukum itu hakim itu adalah hukum, aka hasil penemuan hukum oleh

ilmuwan hukum bukanlah hukum melakukan ilmu atau doktrin.

Penemuan hukum bukan semata-mata hanya penerapan peraturan-peraturan

hukum terhadap peristiwa konkrit, tetapi sekaligus juga penciptaan dan pembentukan

hukum. Kegiatan hakim perdata biasanya menjadi model untuk teori-teori penemuan

hukum yang lazim. Sebabnya ialah oleh karena hakim perdata dalam penemuan hukum

lebih luas ruang geraknya daripada hakim pidana. Pasal 1 KUHPidana membatasi

ruang gerak hakim pidana. Hakim perdata mempunyai kebebasan yang relatif besar

dalam penemuan hukum. Tidak mengherankan bahwa teori-teori yang ada tentang

penemuan hukum terutama berhubungan dengan tindakan hakim perdata.

Pada dasarnya setiap manusia menginginkan agar perkawinan yang telah

dilangsungkan itu dapat bertahan untuk selama-lamanya, namun dalam kenyataannya

Anastasius Rico Haratua Sitanggang : Analisis Yuridis Tentang Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian..., 2009 USU Repository © 2008

41

harapan itu tidak selalu dapat diwujukan. Menurut K. Wantjik Saleh seperti yang

dikutip oleh Rachmadi Usman bahwa perkawinan yang bertujuan untuk membentuk

keluarga yang bahagia dan kekal, dapat diartikan bahwa perkawinan itu haruslah

berlangsung seumur hidup dan tidak boleh diputuskan begitu saja.37 Dalam

kenyataannya sering terjadi suami isteri tidak memahami hak dan kewajibannya dalam

rumah tangga sehingga menimbulkan pertengkaran yang dapat menyebabkan

hubungan suami isteri tidak harmonis. Ketidak harmonisan dalam rumah tangga ada

kalanya masih dapat diatasi tetapi ada juga yang harus diakhiri dengan perceraian.

Sama halnya dengan perkawinan, perceraian juga merupakan masalah keluarga yang

tidak hanya melibatkan suami isteri saja melainkan pada kebiasaannya seluruh

keluarga ikut serta menyelesaikannya.38 Putusnya hubungan perkawinan akan selalu

membawa pengaruh yang buruk pada keluarga.

Dalam Pasal 38 UUP, disebukan bahwa perkawinan dapat putus karena :

a. Kematian

b. Perceraian

c. Atas keputusan Pengadilan.

Putusnya perkawinan karena kematian salah satu pihak dari suami ataupun

isteri sudah jelas merupakan suatu takdir yang tidak dapat dihindari oleh siapapun,

sehingga secara otomatis sejak saat itu perkawinan putus. Pemutusan karena sebab-

sebab lain dari kematian diberikan suatu pembatasan ketat, sehingga suatu pemutusan

yang berbentuk perceraian hidup akan merupakan jalan terakhir, setelah jalan lain

37Rachmadi Usman, Op.Cit., hal. 270. 38Lili Rasjidi, Op.Cit., hal. 9.

Anastasius Rico Haratua Sitanggang : Analisis Yuridis Tentang Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian..., 2009 USU Repository © 2008

42

tidak dapat ditempuh lagi.39 Putusnya perkawinan karena kematian bukanlah atas

kehendak bersama dari suami isteri atau kehendak salah satu pihak melainkan atas

kehendak Tuhan Yang Maha Esa yang tidak dapat ditolak atau dihindarkan oleh

siapapun.

Pengadilan yang berhak membatalkan suatu perkawinan, selain ditentukan

Pasal 63 ayat (1) a (absolut kompetensi), juga ditunjuk oleh Pasal 25 (relatif

kompetensi) yakni Pengadilan Agama atau Pengadilan Umum (Pengadilan Negeri)

dalam daerah hukum dimana perkawinan dilangsungkan atau di tempat tinggal suami

isteri, suami atau isteri, dan kepada Pengadilan inilah permohonan pembatalan

perkawinan harus diajukan.40

Dalam Pasal 39 ayat (1) UUP disebutkan bahwa perceraian hanya dapat

dilakukan di depan sidang pengadilan setelah usaha untuk mendamaikan kedua belah

pihak tidak berhasil, selanjutnya dalam ayat (2) dijelaskan bahwa untuk dapat

melakukan perceraian harus cukup alasan bahwa antara suami isteri tidak akan dapat

hidup rukun lagi sebagai suami isteri. Untuk pelaksanaannya lebih lanjut diatur dalam

Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Peraturan Pelaksana

Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 yaitu perceraian dapat terjadi

dengan alasan :

a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan.

b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lai selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya.

39K. Wantjik Saleh, Op.Cit., hal. 15. 40H.M. Djamil Latif, Aneka Hukum Perceraian di Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta,

Cetakan 3, 1985, hal. 106.

Anastasius Rico Haratua Sitanggang : Analisis Yuridis Tentang Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian..., 2009 USU Repository © 2008

43

c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.

d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak yang lain.

e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/isteri.

f. Antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.41

Salah satu prinsip dalam hukum perkawinan nasional yang sejalan dengan

ajaran agama ialah mempersulit terjadinya perceraian. Hal ini terbukti dari ketentuan

Pasal 39 ayat (1, 2) UUP dan Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975.

Perceraian menurut garis hukum apapun dan dalam bentuk apapun hanya boleh

dipergunakan sebagai jalan terakhir, sesudah usaha perdamaian telah dilakukan

sedemikian rupa sehingga tidak ada jalan lain kecuali hanya perceraian itu.

Dalam UUP maupun Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tidak ada satu

pasal pun yang secara tegas memberi defenisi ataupun pengertian tentang perceraian

tetapi berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa perceraian adalah

pemutusan hubungan perceraian antara suami isteri berdasarkan alasan-alasan yang

telah ditentukan oleh undang-undang. Perceraian hanya sebagai way out/pintu darurat

semata-mata.

Menurut UUP putusnya hubungan perkawinan karena terjadinya perceraian

akan menimbulkan akibat hukum terhadap anak, bekas suami isteri dan harta bersama.

Akibat hukum putusnya perkawinan karena perceraian diatur dalam Pasal 41 UUP

yaitu :

41R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dengan Tambahan Undang-Undang Pokok Agraria dan Undang-Undang Perkawinan, PT. Pradnya Paramita, Jakarta, Cetakan 22, 1987, hal. 473-474.

Anastasius Rico Haratua Sitanggang : Analisis Yuridis Tentang Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian..., 2009 USU Repository © 2008

44

a. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya,

semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada perselisihan mengenai

penguasaan anak-anak, Pengadilan memberi keputusannya.

b. Bapak yang bertanggungjawab atas semua biaya pemeliharaan dan biaya yang

diperlukan anak itu, bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat memberi

kewajiban tersebut Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya

tersebut.

c. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya

penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas isteri.

Dari ketentuan Pasal 41 UUP, jelas memberi perlindungan terhadap anak

dimana kedua orang tua harus bertanggungjawab dalam hal pemeliharaan anak bahkan

ibu juga berkewajiban untuk menanggung biaya pemeliharaan anak apabila bapak

tidak mampu.

Mengenai harta bersama, Pasal 37 UUP menyebutkan bahwa : “Bila terjadi

perceraian harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing”. Dari bunyi Pasal

37 UUP ini dapat diketahui bahwa akibat hukum yang menyangkut harta bersama atau

harta pencaharian ini UUP menyerahkan penyelesaiannya kepada para pihak yang

bercerai tentang hukum mana dan hukum apa yang akan berlaku dan jika tidak ada

kesepakatan antara kedua pihak, hakim dapat mempertimbangkannya menurut rasa

keadilan yang sewajarnya. Hal ini berarti undang-undang membuka kemungkinan

berlakunya hukum lain yakni Hukum Agama, BW, Hukum Adat dan Hukum Adat

Anastasius Rico Haratua Sitanggang : Analisis Yuridis Tentang Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian..., 2009 USU Repository © 2008

45

yang berlaku bagi golongan Timur Asing Tionghoa, golongan Eropah, golongan yang

dipersamakan dengan golongan Eropah serta golongan Pribumi.

Menurut Dadang Hawari bahwa :

Perceraian itu berdampak luar biasa yang mesti diperhatikan oleh pasangan suami-isteri yang akan bercerai mengenai psikologis anak dimana akan mempengaruhi perkembangan jiwa dan mental dan bahkan berdampak lebih buruk lagi. Oleh sebab itu pasangan suami-isteri yang akan bercerai terlebih dahulu memikirkan psikologis dan masa depan anak-anak.42 Dengan demikian dapat dipahami bahwa sangat diperlukan sumber

data/informasi tentang putusnya perkawinan akibat perceraian pada Pengadilan Negeri

Siak Sri Indrapura-Riau.

2. Konsepsi

Konsepsi adalah salah satu bagian terpenting yang dapat diterjemahkan sebagai usaha membawa sesuatu dari yang abstrak menjadi suatu yang konkrit, yang disebut dengan operational definition. Pentingnya defenisi operasional adalah untuk menghindarkan perbedaan pengertian atau penafsiran mendua (du bius) dari suatu istilah yang dipakai.43 Konsepsi juga dapat diketemukan di dalam putusan-putusan pengadilan

termasuk putusnya perkawinan akibat perceraian.44 Oleh karena dalam penelitian ini

harus didefenisikan mengenai konsep dasar, agar secara operasional diperoleh hasil

penelitian yang sesuai dengan tujuan yang telah ditemukan, yaitu :

a. Pengertian perkawinan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 adalah

sebagai berikut :

42Dadang Hawari, Psikiater dan Konsultan Pernikahan, Cek & Ricek No. 447/Thn. IX/Rabu,

21-27 Maret 2007. 43Rusdi Malik, Op.Cit., hal.15. 44Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, FH-Universitas Airlangga, Surabaya, Cetakan I,

2005, hal. 139.

Anastasius Rico Haratua Sitanggang : Analisis Yuridis Tentang Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian..., 2009 USU Repository © 2008

46

1) Perkawinan merupakan ikatan lahir bathin, berarti secara formal merupakan suami-isteri, baik hubungan antara mereka sendiri maupun dengan masyarakat.

2) Antara seorang pria dengan seorang wanita. 3) Sebagai suami isteri 4) Tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang

bahagia dan kekal. 5) Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.45

Menurut K. Wantjik Saleh berpendapat bahwa perkawinan adalah ikatan lahir

bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri.46

Menurut Hilman Hadi Kusuma mengutip pendapat Ter Haar yang menyatakan :

“Perkawinan itu urusan kerabat, urusan keluarga, urusan masyarakat, urusan

martabat dan urusan pribadi”.47

b. Pengertian perjanjian perkawinan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974

tentang Perkawinan diatur dalam Bab V, Pasal 29 yaitu :

1) Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan kedua belah pihak atas persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga, sepanjang pihak ketiga tersangkut.

2) Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-batas hukum, agama dan kesusilaan.

3) Perjanjian tersebut mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan. 4) Selama perkawinan berlangsung perjanjian tersebut tidak dapat dirubah,

kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk merubah dan perubahan tidak merugikan pihak ketiga.48

c. Perkawinan menimbulkan akibat hukum pada suami isteri menurut Pasal 30 – 34

Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, yaitu :

45Sudarsono, Op.Cit., hal. 7. 46K. Wantjik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1980, hal. 9. 47Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Adat, Alumni, Bandung, 1980, hal. 8. 48M. Yahya Harahap, Pembahasan Hukum Perkawinan Nasional, Penerbit CV. Zahir Trading

Co, Medan, Cetakan I, 1975, hal. 84.

Anastasius Rico Haratua Sitanggang : Analisis Yuridis Tentang Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian..., 2009 USU Repository © 2008

47

1) Suami isteri memikul kewajiban-kewajiban hukum untuk menegakkan rumah tangga yang menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat.

2) Suami isteri wajib saling mencintai, hormat-menghormati, setia dan memberi bantuan lahir bathin yang satu kepada yang lain.

3) Hak dan kedudukan isteri seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama masyarakat.

4) Suami isteri sama-sama berhak untuk melakukan perbuatan hukum. 5) Suami adalah kepala rumah tangga dan isteri adalah ibu rumah tangga. 6) Suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu

keperluan hidup berumah tangga sesuai kemampuannya dan isteri wajib mengurus rumah tangga dengan sebaik-baiknya.

7) Suami itu harus mempunyai tempat kediaman yang tetap, yang ditentukan secara bersama.49

Menurut Pasal 42 UUP anak sah adalah anak yang dilahirkan dan/atau sebagai

akibat perkawinan yang sah, sedangkan menurut Pasal 43 UUP anak yang

dilahirkan diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya

dan keluarga ibunya.

Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Untuk

itu suami isteri perlu saling membantu dan melengkapi agar masing-masing dapat

mengembangkan kepribadiannya membantu dan mencapai kesejahteraan

spiritual.50 Sedangkan tujuan perkawinan menurut perundang-undangan adalah

untuk kebahagiaan suami isteri, untuk mendapatkan keturunan dan menegakkan

keagamaan dalam kesatuan keluarga yang bersifat parental (ke-orangtua-an).51

d. Pencatatan perkawinan menurut Stb. 1917 No. 130 jo Stb 1919 No. 81 Pasal 69

ayat (1) pencatatan perkawinan adalah tindakan administratif yang mengharapkan

pegawai catatan sipil untuk melakukan pencatatan tentang peristiwa penting yang

dimuat dalam register perkawinan.

49F.X. Suhardana, Hukum Perkawinan, Penerbit Prenhallindo, Jakarta, 2001, hal. 102. 50Lili Rasyid, Hukum Perkawinan dan Perceraian di Malaysia dan Indonesia, Alumni,

Bandung, 1982, hal. 105. 51Hilman Hadikusuma, Op.Cit., hal. 22.

Anastasius Rico Haratua Sitanggang : Analisis Yuridis Tentang Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian..., 2009 USU Repository © 2008

48

Perceraian ialah penghapusan perkawinan dengan putusan hakim, atau tuntutan

salah satu pihak dalam perkawinan itu.

Perpisahan meja dan ranjang adalah suami isteri dibebaskan dari kewajibannya

untuk tinggal bersama dan dengan sendirinya membawa pemisahan kekayaan di

samping perpisahan meja dan tempat tidur tidak berakibat hapusnya kekuasaan

orang tua (outderlijke macht) kekuasaan mana tetap ada, sehingga di sini tidak ada

wali ataupun wali pengawas. Hakim harus menetapkan oleh siapa, ayah atau ibu,

kekuasaan itu dijalankan terhadap masing-masing anak.

e. Gugatan perceraian adalah yang diajukan oleh suami-isteri atau kuasanya kepada

pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman tergugat, dalam hal

hal tempat kediaman tergugat tidak jelas atau tidak diketahui atau tidak

mempunyai tempat kediaman yang tetap, gugatan perceraian diajukan kepada

pengadilan di tempat kediaman penggugat. Dalam hal tergugat bertempat

kediaman di luar negeri, gugatan perceraian diajukan kepada pengadilan di tempat

kediaman penggugat. Ketua pengadilan menyampaikan permohonan tersebut

kepada tergugat melalui perwakilan Republik Indonesia setempat.

f. Menurut Pasal 24 ayat (2) Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 bahwa selama

berlangsungnya gugatan perceraian atas permohonan penggugat atau tergugat,

pengadilan dapat :

1) Menentukan nafkah yang harus ditanggung oleh suaminya.

2) Menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin pemeliharaan dan pendidikan

anak.

Anastasius Rico Haratua Sitanggang : Analisis Yuridis Tentang Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian..., 2009 USU Repository © 2008

49

3) Menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin terpeliharanya barang-barang

yang menjadi hak suami atau barang-barang yang menjadi hak isteri.

Putusnya perkawinan akibat perceraian menurut Pasal 39 ayat (1) UUP adalah

bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah usaha

untuk mendamaikan kedua belah pihak tidak berhasil. Selanjutnya dalam ayat (2)

dijelaskan bahwa untuk dapat melakukan perceraian harus cukup alasan bahwa

antara suami isteri tidak akan dapat hidup rukun lagi sebagai suami isteri.

Perkawinan hapus adalah jikalau satu pihak meninggal selanjutnya ia hapus juga,

jikalau satu pihak kawin lagi setelah mendapat izin hakim, bilamana pihak yang

lainnya mendapatkan tempat tinggalnya hingga 10 (sepuluh) tahun lamanya

dengan tiada ketentuan nasibnya, akhirnya perkawinan dapat dihapuskan dengan

perceraian.

G. Metode Penelitian

1. Spesifikasi Penelitian

Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada

metode, sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari satu

atau beberapa gejala hukum tertentu, dengan jalan menganalisanya.52 Untuk

tercapainya penelitian ini, sangat ditentukan dengan metode yang dipergunakan dalam

memberikan gambaran dan jawaban atas masalah yang dibahas.

52Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI-Press, Jakarta, Cetakan 3, 1986, hal. 43.

Anastasius Rico Haratua Sitanggang : Analisis Yuridis Tentang Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian..., 2009 USU Repository © 2008

50

Ditinjau dari segi sifatnya, penelitian ini bersifat deskriptif analitis,53 deskriptif

berarti menggambarkan serta menjelaskan faktor-faktor yang menyebabkan putusnya

perkawinan karena perceraian, akibat hukum terhadap anak dan harta perkawinan jika

terjadi perceraian melalui putusan pengadilan dan pertimbangan hukum hakim dalam

mengadili perkara perceraian.

Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis

normatif54 dimana dilakukan pendekatan terhadap permasalahan yang telah

dirumuskan dengan mempelajari ketentuan perundang-undangan, buku-buku, putusan

hakim, yurisprudensi yang berkaitan dengan permasalahan.

2. Lokasi Penelitian dan Sumber Data

Lokasi penelitian yang dilakukan dan ditetapkan adalah di Pengadilan Negeri

Siak Sri Indrapura-Riau.

Untuk melengkapi data tersebut didukung dengan data melalui informan yaitu:

para Hakim di Pengadilan Negeri Siak Sri Indrapura-Riau. Adapun yang menjadi

sumber data dalam penelitian ini adalah data primer yang dilakukan dengan cara

wawancara (depth interview) kepada para informan.

53Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum: Suatu Pengantar, Raja Grafindo Persada,

Jakarta, 2001, hal. 36 : Penelitian Deskriptif pada umumnya bertujuan untuk mendeskripsikan secara sistematis, faktual dan akurat terhadap suatu populasi atau daerah tertentu, mengenai sifat-sifat, karakteristik-karakteristik atau faktor-faktor tertentu.

54Ronny Hamitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurumetri, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1990, hal. 12. Menyebutkan penelitian hokum normatif atau penelitian hukum doktrinal dibedakan atas: a) Penelitian inventarisasi hukum positif, b) Penelitian terhadap asas-asas hukum, c) Penelitian untuk menemukan hukum in concreto, d) Penelitian terhadap sistematik hukum, e) Penelitian terhadap sinkronisasi vertikal dan horizontal.

Anastasius Rico Haratua Sitanggang : Analisis Yuridis Tentang Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian..., 2009 USU Repository © 2008

51

3. Tehnik Pengumpulan Data

Tehnik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan

2 (dua) cara yaitu :

a. Penelitian kepustakaan (library research), yaitu dengan membaca, mempelajari

dan menganalisa literatur/buku-buku, peraturan perundang-undangan dan sumber

buku lainnya yang berkaitan dengan penelitian ini.

b. Penelitian lapangan (field research), yaitu dilakukan untuk menghimpun data

primer dengan wawancara, dilakukan secara langsung kepada informan, dengan

mempergunakan daftar pertanyaan sebagai pedoman wawancara, agar lebih

mendapatkan informasi yang lebih fokus dengan masalah yang diteliti.

4. Analisa Data

Sebelum dilakukan analisis data, terlebih dahulu setelah data primer diperoleh

dilakukan pemeriksaan dan evaluasi untuk mengetahui validitasnya. Selanjutnya data

itu dikelompokkan atas data yang sejenis untuk kepentingan analisis dalam penulisan

tesis ini. Sedangkan evaluasi dan penafsiran data dilakukan secara kualitatif. Oleh

karena itu data yang sudah dikumpulkan, dipilah-pilah dan dilakukan pengolahannya,

kemudian dianalisis dan ditafsirkan secara logis dan sistematis dengan menggunakan

metode deduktif dan induktif. Atas dasar pembahasan dan analisis ini diperoleh suatu

kesimpulan terhadap penelitian yang dilakukan. Kesimpulan ini merupakan jawaban

atas permasalahan yang diteliti.

Anastasius Rico Haratua Sitanggang : Analisis Yuridis Tentang Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian..., 2009 USU Repository © 2008

52

BAB II

PUTUSNYA PERKAWINAN KARENA PERCERAIAN DI PENGADILAN NEGERI SIAK SRI INDRAPURA

A. Pengadilan Negeri Siak Sri Indrapura

Kabupaten Siak mencakup area seluas 8.881,56 km2, bertitik pusat di daerah

Minas sampai ke pantai Timur Sumatera bagian tengah yang ditandai dengan

Kecamatan Siak Sri Indrapura yang merupakan Ibukota Kabupaten Siak, merupakan

tempat Kesultanan masa lalu, sebuah Kerajaan Islam Melayu di Riau. Beberapa kota

penting lainnya di Kabupaten Siak adalah Perawang yaitu kota yang memiliki

perkembangan industri yang cepat, dan Minas, salah satu kota pusat pengeboran

minyak di Indonesia.

Secara geografis, Kabupaten Siak terletak di antara 10 16’30” – 00 20’49”

Lintang Utara dan 1000 54’21” – 1020 10’59” Bujur Timur, dan berbatasan dengan :

a. Sebelah Utara dengan Kabupaten Bengkalis.

b. Sebelah Selatan dengan Kabupaten Kampar dan Pelalawan.

c. Sebelah Barat dengan Kabupaten Kampar dan Pekanbaru.

d. Sebelah Timur dengan Kabupaten Bengkalis dan Pelalawan.

Kabupaten Siak memiliki karakteristik dataran rendah dengan iklim tropis

sepanjang tahun yang digunakan untuk bercocok tanam. Menurut laporan Inventarisasi

Data Kecamatan, pada bulan Desember 2006, jumlah penduduk Kabupaten Siak

sebanyak 312.086 jiwa, yang tersebar di 13 Kecamatan.

Anastasius Rico Haratua Sitanggang : Analisis Yuridis Tentang Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian..., 2009 USU Repository © 2008 34

53

Tabel 1. Jumlah Penduduk Kabupaten Siak

Jenis Kelamin No. Kecamatan Jumlah Laki-laki Perempuan

1 Bungaraya 21.087 10.691 10.3962 Dayun 23.262 12.050 11.2123 Koto Gasib 15.411 7.966 7.4454 Kandis 43.053 22.752 20.7515 Kerinci Kanan 18.944 9.950 8.9946 Lubuk Dalam 13.662 7.106 6.5567 Minas 17.670 9.382 8.2888 Siak Sri Indrapura 14.074 7.420 6.6549 Sungai Mandau 4.377 2.227 2.15010 Sungai Apit 21.854 10.923 10.93111 Tualang 96.297 49.536 46.76112 Mempura 3.315 6.715 6.60013 Sabak Auh 9.080 4.679 4.401 J u m l a h 312.086

Sumber Data : Laporan Kantor Kependudukan Kab. Siak, Desember 2006.

Ibukota Kabupaten Siak, bila ditempuh dari Pekanbaru dengan menempuh

perjalanan selama 2 jam, baik melalui jalan darat maupun sungai dengan menggunakan

ferry cepat dan speedboat. Satu jalur masuk utama di Kabupaten Siak adalah

Pelabuhan Tanjung Buton. Pelabuhan ini direncanakan untuk dikembangkan sebagai

pelabuhan internasional untuk kawasan industri. Adapun fasilitas dan infrastruktur

yang dikembangkan saat ini antara lain :

a. Listrik; Kebutuhan listrik di Siak disediakan oleh PLN dan beberapanya dimiliki oleh Perusahaan Swasta besar yang beroperasi di Siak.

b. Telekomunikasi; Fasilitas pelayanan komunikasi di Siak sudah tersedia untuk seluruh kecamatan, begitu pula untuk layanan pos. Sementara itu juga, telepon selular dapat dilayani di Kota Siak, Perawang, dan Minas.

c. Pariwisata : 1) Kompleks Kesultanan Kerajaan Siak 2) Istana Kerajaan Sultan Siak berdiri selama masa pemerintahan Sultan

Assyayidis Syarief Hasyim Abdul Jalil Syaifuddin Syah (Sultan ke 11)

Anastasius Rico Haratua Sitanggang : Analisis Yuridis Tentang Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian..., 2009 USU Repository © 2008

54

pada tahun 1889 yang dinamakan Assirayatul Hasyimiah. Berdasarkan bangunannya, konstruksinya berbau Eropa, campuran antara Belanda dengan Jerman, di bagian lain juga terdapat campuran antara gaya Arab dengan Melayu.

3) Interior istana ini penuh dengan benda-benda budaya yang memiliki nilai seni yang tinggi, termasuk aksesori untuk upacara acara raja-raja, seperti mahkota emas bertabur berlian, keris emas, dan perlengkapan pribadi Sultan Syarif Qasim, seperti komet, kotak musik.

4) Balai Kerapatan Tinggi, Mesjid Kesultanan, dan Kompleks Pekuburan Keluarga Kerajaan.

d. Kota Minas; Minas merupakan kota tempat pengeboran minyak dalam jumlah yang

sangat besar. Kota Minas terletak tidak jauh dari kota Pekanbaru. e. Wisata Alam; Danau Zamrud (akan dikembangkan dengan membangun resort), Danau

Pulau Atas, Pulau Bawah, Tasik Rawa, Ketialau, Air Hitam, Besi, dan Tembatu Sonsang.

f. Wisata Agronomi; Daerah perkebunan, lahan pertanian hasil panen, cagar alam. g. Potensi Daerah; Hasil Panen Agrikultur dan Holtikultura; h. Perkebunan; Komoditas perkebunan di Kabupaten Siak, antara lain karet, minyak kelapa

sawit, kelapa, dan kopi. i. Kehutanan; Hampir seluruh bagian di Kabupaten Siak ditutupi oleh hutan, yang terdiri

dari hutan produksi, hutan konversi, hutan mangrove, hutan cagar alam, dan beberapa hasil hutan seperti kayu lapis, kayu gelondongan dan lain-lain.

j. Peternakan Hewan; Ternak hewan memiliki prospek yang bagus untuk proyek pengembangan

dan penggemukan sapi, unggas, dan kerbau, serta produksi telur. k. Pertambangan; Kabupaten Siak dikenal sebagai penghasil minyak utama di Riau, yaitu di

daerah Sungai Apit dan Minas yang dikelola oleh PT. Cevron Pacific Indonesia (dahulu PT. Caltex Pacific Indonesia) dan PT. Kondur Petroleum SA.

l. Kawasan Industri; Kawasan industri terletak di sepanjang Sungai Siak memiliki peranan

penting untuk meningkatkan dan mengembangkan perekonomian masyarakatnya.

m. Industri Kecil dan Menengah; Industri ini bergerak di bidang kehutanan dan agronomi dengan bisnis sebanyak 60 dan pekerja sebanyak 23.692 orang.55

55Sumber : www.arwin-as.com.

Anastasius Rico Haratua Sitanggang : Analisis Yuridis Tentang Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian..., 2009 USU Repository © 2008

55

Pengadilan Negeri Siak Sri Indrapura berada di Kabupaten Siak dan terletak di

Ibukota Kabupaten Siak. Dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden R.I. Nomor 20

Tahun 2005 tanggal 27 Juli 2005 tentang Pembentukan Pengadilan Negeri Depok,

Pengadilan Negeri Kota Agung, dan Pengadilan Negeri Siak Sri Indrapura. Wilayah

Hukum Pengadilan Negeri Siak Sri Indrapura dulunya merupakan wilayah dari

Pengadilan Negeri Bengkalis. Pengadilan Negeri ini diresmikan oleh Ketua Mahkamah

Agung R.I dan mulai berfungsi sejak tanggal 23 Pebruari 2006. Berdasarkan hasil

wawancara dengan Sujatmiko mengatakan bahwa dengan adanya Pengadilan Negeri

Siak Sri Indrapura maka masyarakat dulunya yang mencari keadilan ke Pengadilan

Negeri Bengkalis, tidak lagi susah-susah karena sudah ada Pengadilan Negeri yang

berada di wilayah hukum Kabupaten Siak.56 Pengadilan Negeri Siak Sri Indrapura

mulai berfungsi efektif dalam memberikan pelayanan hukum bagi masyarakat sejak

tanggal 23 Pebruari 2006 dan keadaan perkara selama tahun 2006 adalah sebagai

berikut :

Tabel 2. Jumlah Perkara 23 Pebruari 2006 s/d Desember 2006

No Jenis Perkara Jumlah Perkara

1 Perkara Pidana 225

2 Perkara Perdata Gugatan 6

3 Perkara Perdata Permohonan 10

J u m l a h 241 Sumber Data : Pengadilan Negeri Siak, 11 Juli 2007.

Perkara perdata dalam bentuk gugatan perceraian selama tahun 2006 tidak ada.

Namun sebelum adanya PN Siak Siak Sri Indrapura, PN Bengkalis yang dulunya

56Sujatmiko, Ketua Pengadilan Negeri Siak, Hasil Wawancara, Siak, pada tanggal 11 Juli

2007.

Anastasius Rico Haratua Sitanggang : Analisis Yuridis Tentang Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian..., 2009 USU Repository © 2008

56

wilayah hukumnya meliputi wilayah hukum PN Siak Sri Indrapura saat ini, perkara

perdata gugatan perceraian selama jangka waktu tahun 2003 – 2006 ada sebanyak 23

perkara, dimana 20 perkara diantaranya diputus versteek. Minimnya jumlah perkara

perdata dalam bentuk gugatan perceraian yang masuk ke pengadilan disebabkan oleh

karena jumlah penduduk non muslim yang tinggal di Kabupaten Siak sangat sedikit

bila dibandingkan dengan masyarakat yang beragama Islam yang mencapai 93 %, jika

mengajukan gugatan perceraian maka diajukan ke Pengadilan Agama Bengkalis.

Sampai saat ini di Kabupaten Siak belum ada dibentuk Pengadilan Agama dan apabila

ada anggota masyarakat beragama Islam yang ingin mengajukan gugatan perceraian,

masih diajukan kepada Pengadilan Agama Bengkalis.

Ketentuan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum Pasal 4 ayat (1) yang

berbunyi : Pengadilan Negeri berkedudukan di Ibukota Kabupaten/Kota dan daerah

hukumnya meliputi wilayah Kabupaten/Kota. Pengadilan Negeri Siak Sri Indrapura

adalah salah satu Pengadilan Tingkat Pertama dalam lingkungan peradilan umum di

wilayah Pengadilan Tinggi Pekanbaru yang merupakan Tipe Kelas II yang daerah

hukumnya meliputi seluruh wilayah Kabupaten Siak.

Menurut Pasal 3 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang

Kekuasaan Kehakiman bahwa semua peradilan di seluruh wilayah negara Republik

Indonesia adalah peradilan negara dan ditetapkan dengan undang-undang. Dengan

demikian Pengadilan Negeri Siak Sri Indrapura dan peradilan lain di seluruh wilayah

Indonesia adalah sama. Lebih jauh Pasal 3 Ayat (2) menegaskan peradilan negara

menetapkan dan menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila.

Anastasius Rico Haratua Sitanggang : Analisis Yuridis Tentang Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian..., 2009 USU Repository © 2008

57

Saat ini Pengadilan Negeri Siak Sri Indrapura memiliki 10 orang Hakim. Tugas

pokok Hakim Pengadilan Negeri Siak Sri Indrapura seperti juga tugas pokok Hakim

Pengadilan Negeri pada umumnya ditentukan dalam Pasal 16 ayat (2) Undang-Undang

Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman menyebutkan bahwa Pengadilan

tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili dan memutus sesuatu perkara yang

diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib

untuk memeriksa dan mengadilinya.

Sikap dan tindakan manusia sebagai hakim harus disesuaikan dengan tujuan

penciptaan-Nya. Sikap dan tindakannya bukan saja harus diwujudkan secara

bertanggungjawab terhadap manusia lain tapi juga terhadap Khaliq pencipta-Nya.57

Bahwa segala perbuatan hakim pada akhirnya harus dipertanggungjawabkan kepada Tuhan. Hakim harus sadar bahwa tugas yang diembannya itu adalah amanah atau amanat. Tidaklah berlebihan kalau undang-undang menyebutnya sebagai orang bijaksana, karena ialah yang menjadi tumpuan rasa hukum dan rasa keadilan masyarakat. Sebagai orang yang mempunyai wewenang untuk mempertimbangkan dan menetapkannya. Pendek kata, sesungguhnya ia merupakan wakil Tuhan di dunia untuk memberikan keadilan.58 Hakim sebagai wakil Tuhan dalam menjalankan tugasnya di tengah-tengah

masyarakat harus memberi rasa keadilan bagi masyarakat. Hakim dalam menjalankan

profesinya mempunyai kode etik yaitu Kode Kehormatan Hakim.

Hakim yang mempunyai kewenangan yang sangat luas yang diberikan oleh

undang-undang, maka hakim dituntut untuk bersikap mulia dan bertingkah laku terpuji

lebih dari profesi lainnya. Sikap dan tingkah laku hakim yang mulia dan terpuji ini

57Bismar Siregar, Keadilan Hukum Dalam Berbagai Aspek Hukum Nasional, Rajawali, Jakarta,

1986, hal. 8. 58Ibid., hal. 9.

Anastasius Rico Haratua Sitanggang : Analisis Yuridis Tentang Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian..., 2009 USU Repository © 2008

58

terlihat dengan jelas dalam lambang dari profesi hakim yang disebut dengan “Panca

Dharma Hakim”. Panca Dharma Hakim tersebut dilambangkan sebagai berikut :

1. Kartika : dilambangkan dengan gambar bintang. PERCAYA dan TAQWA kepada Tuhan Yang Maha Esa, sesuai dengan agama dan kepercayaan masing-masing menurut dasar Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab.

2. Cakra : dilambangkan dengan gambar senjata dari dewa keadilan. Dalam kedinasan :

a. Adil b. Tidak berprasangka atau berat sebelah (memihak) c. Bersungguh-sungguh mencari kebenaran dan keadilan. d. Memutus berdasarkan keyakinan hati nurani. e. Sanggup mempertanggungjawabkan kepada Tuhan. Di luar kedinasan : a. Saling harga menghargai b. Tertib dan lugas c. Berpandangan luas d. Mencari saling pengertian.

3. Candra : dilambangkan dengan gambar bulan (yang menyinari kegelapan). BIJAKSANA/BERWIBAWA Dalam kedinasan :

a. Berkepribadian b. Bijaksana c. Berilmu d. Sabar e. Tegas f. Disiplin g. Penuh pengabdian. Di luar kedinasan : a. Dapat dipercaya b. Penuh rasa tanggung jawab c. Menimbulkan rasa hormat d. Anggun dan berwibawa.

4. Sari : dilambangkan dengan gambar bunga (yang semerbak harum bagi masyarakat). BERBUDI LUHUR/BERKELAKUAN TIDAK TERCELA Dalam kedinasan : a. Tawakal b. Sopan c. Ingin meningkatkan pengabdian dalam tugas d. Bersemangat ingin maju (meningkatkan nilai peradilan) e. Tenggang rasa.

Anastasius Rico Haratua Sitanggang : Analisis Yuridis Tentang Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian..., 2009 USU Repository © 2008

59

Di luar kedinasan : a. Berhati-hati dalam pergaulan hidup b. Sopan dan susila c. Menyenangkan dalam pergaulan d. Tenggang rasa e. Berusaha menjadi tauladan bagi masyarakat sekelilingnya.

5. Tirta : dilambangkan dengan gambar air (yang membersihkan segala kotoran)

JUJUR Dalam kedinasan :

a. Jujur b. Merdeka : Berdiri di atas semua pihak yang kepentingannya

bertentangan, tidak membedakan orang. c. Bebas dari pengaruh siapapun juga. d. Tabah Di luar kedinasan : a. Tidak boleh menyalahgunakan kepercayaan dan kedudukan. b. Tidak boleh berjiwa mumpung c. Waspada.59

Perincian mengenai sikap hakim

Pegangan mengenai sikap hakim dibedakan juga dalam dua bidang, yakni :

1. Dalam kedinasan, terdiri dari 6 bagian : a. Sikap hakim dalam persidangan. b. Sikap hakim terhadap sesama rekan. c. Sikap hakim terhadap bawahan/pegawai. d. Sikap hakim terhadap atasan. e. Sikap pimpinan terhadap bawahan/rekan hakim. f. Sikap hakim ke luar/terhadap instansi lain.

Uraian mengenai sikap hakim di dalam persidangan terdiri dari : 1) Bersikap dan bertindak menurut garis-garis yang ditentukan dalam

hukum acara yang berlaku. 2) Tidak dibenarkan bersikap yang menunjukkan memihak atau

bersimpati atau antipati terhadap pihak-pihak yang berperkara. 3) Harus bersikap sopan, tegas dan bijaksana dalam memipin sidang,

baik dalam ucapan maupun perbuatan. 4) Harus menjaga kewibawaan dan kenikmatan persidangan.

2. Di luar kedinasan, dibagi dalam 3 bagian : a. Sikap pribadi hakim sendiri

59Abdulkadir Muhammad, Etika Profesi Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997, hal. 20-

21.

Anastasius Rico Haratua Sitanggang : Analisis Yuridis Tentang Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian..., 2009 USU Repository © 2008

60

b. Sikap dalam rumah tangga c. Sikap dalam masyarakat. Uraian mengenai sikap hakim pribadi : 1) Harus memiliki rohani dan jasmani. 2) Berkelakuan baik dan tidak tercela. 3) Tidak menyalahgunakan wewenang untuk kepentingan pribadi maupun

golongan. 4) Menjauhkan diri dari perbuatan-perbuatan dursila dan kelakuan yang

dicela oleh masyarakat. 5) Tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang merendahkan martabat

hakim.60 Kode Kehormatan Hakim berisi sifat-sifat dan sikap yang menjadi patron bagi

peranan Hakim menegakkan hukum dan keadilan. Peranan yang ideal dan seharusnya

dapat dilihat sebagai berikut :

a. Peranan yang ideal Menurut Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan

Kehakiman, peranan hakim yang ideal terdapat dalam Pasal 1, yang isinya: “Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan Negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia”.

b. Peranan yang seharusnya Pasal 2 ayat (1), menyebutkan : “Penyelenggaraan kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 1 dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”

Pasal 5 ayat (1), menyebutkan : “Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang”.61

Kewajiban hakim dapat dilihat dalam Undang-Undang No. 4 Tahun 2004

tentang Kekuasaan Kehakiman, yaitu Pasal 28 menyebutkan hakim wajib menggali,

mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam

60Ibid. 61Ibid.

Anastasius Rico Haratua Sitanggang : Analisis Yuridis Tentang Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian..., 2009 USU Repository © 2008

61

masyarakat. Dalam Pasal 32, menegaskan bahwa hakim harus memiliki integritas dan

kepribadian yang tidak tercela, jujur, adil, profesional, dan berpengalaman di bidang

hukum. Hakim mempunyai wewenang, kewajiban dan peranan untuk menyelesaikan

perkara di pengadilan, yang merupakan wujud prilaku nyata yang sebenarnya. Prilaku

tersebut di satu pihak menerapkan perundang-undangan.

B. Faktor Penyebab Putusnya Perkawinan Karena Perceraian

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, di samping menghormati hukum

masing-masing agamanya, negara juga menyatakan diri berhak mengatur hal-hal yang

tidak diatur hukumnya dalam agama atau kepercayaan tersebut. Dalam Undang-

Undang Nomor 1 Tahun 1974, maka aneka warna hukum perkawinan untuk berbagai

golongan warga negara dan untuk berbagai daerah telah dihapus, di pihak lain

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 memperlakukan hukum masing-masing

agamanya dan kepercayaannya itu menjadi hukum positif untuk perkawinan dan segala

sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan, termasuk perceraian berlaku untuk

semua warga negara Republik Indonesia. Oleh karena itu, Undang-Undang Nomor 1

Tahun 1974 dalam bidang perkawinan, mengatur tidak hanya lahir atau tujuan agar

selalu berbuat baik tetapi juga menghindarkan perbuatan buruk yang dilarang terutama

dalam melakukan perceraian perkawinan.

Perkawinan mengandung nilai sakral, maka kedua belah pihak harus senantiasa

melaksanakan nilai-nilai religiusnya sesuai dengan agamanya dan kepercayaan yang

Anastasius Rico Haratua Sitanggang : Analisis Yuridis Tentang Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian..., 2009 USU Repository © 2008

62

diyakininya, karena pertanggungjawaban atas kehidupan perkawinannya tidak hanya

bersifat duniawi saja, melainkan juga pertanggungjawaban terhadap Tuhan.

Dengan mengetahui dan menghayati maksud serta tujuan perkawinan yang

luhur itu, maka tanggung jawab suami isteri dalam rumah tangga semakin berat, untuk

itu mereka harus saling menghormati dan saling setia, baik lahir maupun batin. Dengan

demikian, akan tercapai suatu kebahagiaan dan kesejahteraan yang seimbang, baik

secara materiil maupun spiritual berdasarkan Ke-Tuhanan Yang Maha Esa.

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, dalam Pasal 2 merumuskan

“Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya

dan kepercayaannya itu” dan “tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan

perundang-undangan yang berlaku”. Penjelasan atas Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang

Nomor 1 Tahun 1974 menyebutkan bahwa tidak ada perkawinan di luar hukum

masing-masing agama dan kepercayaannya itu, termasuk ketentuan perundang-

undangan yang berlaku bagi seluruh agama dan kepercayaannya sepanjang tidak

bertentangan atau tidak ditentukan lain dalam undang-undang ini.

Suatu perkawinan adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum masing-

masing agamanya dan kepercayaannya. Oleh karena tidak ada perkawinan di luar

hukum masing-masing agama dan kepercayaannya. Dengan demikian, perkawinan

bukan saja mempunyai unsur lahir atau jasmani, tetapi unsur batin atau rohani juga

mempunyai peranan penting.

Adakalanya suami isteri dalam rumah tangga tidak mengetahui dan menghayati

makna dan tujuan perkawinan, sehingga dalam mengarungi bahtera rumah tangga

Anastasius Rico Haratua Sitanggang : Analisis Yuridis Tentang Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian..., 2009 USU Repository © 2008

63

mengalami sesuatu yang tidak diinginkan. Suatu pertengkaran yang terus menerus

dapat berakhir kepada perceraian. Kegagalan suami isteri dalam mempertahankan

keutuhan rumah tangga disebabkan oleh timbulnya berbagai masalah yang tidak dapat

diselesaikan secara baik-baik dan tuntas.

Perceraian diatur dalam Pasal 39 menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun

1974, walaupun diperbolehkan pada prinsipnya undang-undang ini mempersulit

adanya perceraian. Prinsip ini merupakan upaya untuk mengurangi dan menekan

angka perceraian, serta tidak dijadikan alternatif terakhir oleh suami isteri apabila

terjadi pertengkaran dalam rumah tangga.

Alasan-alasan perceraian diatur dalam Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 9

Tahun 1975, sebagai berikut :

1. Salah satu pihak berbuat zinah atau menjadi pemabok, pemadat, penjudi, dan lain

sebagainya yang sukar disembuhkan.

2. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa

pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya.

3. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang

lebih berat setelah perkawinan berlangsung.

4. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang

membahayakan pihak lain.

5. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat

menjalankan kewajibannya sebagai suami/isteri.

Anastasius Rico Haratua Sitanggang : Analisis Yuridis Tentang Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian..., 2009 USU Repository © 2008

64

6. Antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan

tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.

Berdasarkan hasil penelitian melalui wawancara dengan Syafrizal, SH

menyebutkan bahwa dari 6 (enam) alasan perceraian berdasarkan ketentuan

perundang-undangan di atas, yang lebih dominan menjadi faktor penyebab perceraian

di masyarakat Kabupaten Siak sewaktu masih pengajuan gugatan perceraian ke

Pengadilan Negeri Bengkalis adalah salah satu pihak melakukan

kekejaman/penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain dan antara suami dan

isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan

hidup rukun lagi dalam rumah tangga. Di samping itu menurut Syafrizal, SH yang

sebelumnya pernah bertugas di Pengadilan Negeri Bengkalis, pernah juga ada gugatan

perceraian dari wilayah Kabupaten Siak masuk ke Pengadilan Negeri Bengkalis di

mana dalam surat gugatannya penggugat menyebutkan bahwa ingin bercerai dengan

tergugat karena sering bertengkar terus menerus dan tidak ada lagi persesuaian untuk

hidup sebagai suami isteri. Namun setelah persidangan digelar untuk memeriksa

perkara tersebut, terungkap bahwa faktor dominan yang membuat penggugat

mengajukan gugatan perceraian adalah karena permintaan dari orangtua penggugat

karena tidak senang kepada tergugat selaku menantunya. Oleh sebab itu maka sering

terjadi percekcokan antara penggugat dengan tergugat. Karena merasa posisinya yang

terjepit, maka penggugat pun mengajukan gugatan cerai terhadap isterinya ke

pengadilan. Terungkap pula di persidangan bahwa ternyata kedua belah pihak masih

ada harapan untuk hidup rukun, maka berdasarkan keadaan tersebut Majelis Hakim

Anastasius Rico Haratua Sitanggang : Analisis Yuridis Tentang Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian..., 2009 USU Repository © 2008

65

tidak mengabulkan gugatan penggugat untuk cerai dengan penggugat karena alasan

penggugat tidak cukup kuat untuk bercerai dengan tergugat.62

Begitu juga terhadap salah satu perkara perceraian yang diputus oleh

Pengadilan Negeri Siak Sri Indrapura tanggal 2 April 2007, dimana perkara perceraian

yang diputus dan telah berkekuatan hukum tetap, telah dicatatkan pada Kantor Catatan

Sipil setempat. Beberapa kutipan dari Putusan Pengadilan Negeri Siak Sri Indrapura

yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap antara ROMLAH, sebagai :

PENGGUGAT lawan SOLIHIN TANET alias THENG KHE SAN sebagai :

TERGUGAT.

Kasus Posisi :

1. Bahwa Penggugat adalah isteri yang sah dari Tergugat. Perkawinan tersebut sebagaimana tercatat pada Kantor Catatan Sipil Kotamadya Palembang dengan Kutipan Akte Perkawinan Nomor : 78/1981 tanggal 21 Desember 1981 (dua puluh satu Desember seribu sembilan ratus delapan puluh satu) tertulis atas nama THENG KHE SAN (Tergugat) dan ROMLAH (Penggugat);

2. Bahwa dari perkawinan antara Penggugat dengan Tergugat telah mempunyai 3 (tiga) orang anak, yaitu sebagai berikut : 1. Rudi Tanet, umur 24 tahun 2. Bakri, umur 23 tahun 3. Pemmy Tanet, umur 18 tahun;

3. Bahwa dari ke 3 (tiga) anak Penggugat dengan Tergugat tersebut 2 (dua) orang masih dalam masa pendidikan yaitu : Bakri, pendidikan di Jakarta dan Pemmy Tanet pendidikan di Malaysia;

4. Bahwa selama masa perkawinan antara Penggugat dengan Tergugat sering terjadi pertengkaran atau percekcokan rumah tangga secara terus menerus, di mana sejak tahun 2003, dan Tergugat tidak lagi memberikan nafkah lahir dan bathin kepada Penggugat serta tidak membantu biaya pendidikan ke 3 (tiga) anak-anak Penggugat dan Tergugat dan puncaknya sejak tahun 2006 antara Penggugat dengan Tergugat sudah tidak ada lagi berkomunikasi yang baik/tidak berteguran sama sekali,

62Syarizal, Hakim Pengadilan Negeri Siak, Hasil Wawancara, Siak, pada tanggal 11 Juli 2007.

Anastasius Rico Haratua Sitanggang : Analisis Yuridis Tentang Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian..., 2009 USU Repository © 2008

66

walaupun masih tinggal di dalam 1 (satu) ruko, di mana Penggugat tinggal di lantai atas, sedangkan Tergugat tinggal di lantai bawah;

5. Bahwa demikian pula hubungan suami isteri antara Penggugat dengan Tergugat sudah tidak tinggal dalam 1 (satu) kamar lagi atau Pisah Ranjang sejak tahun 2003, demikian juga dengan makan dan mencuci sudah dilakukan sendiri-sendiri/masing-masing, bahkan sejak tahun 2006 Tergugat pergi pagi pulang malam hari, tanpa pemberitahuan kepada Penggugat;

6. Bahwa sewaktu terjadi pertengkaran antara Penggugat dengan Tergugat, Tergugat pernah menyemprot seluruh badan Penggugat dengan cat semprot, kejadian ini ada disaksikan oleh karyawan-karyawan Penggugat dan Tergugat, akan tetapi mereka tidak berani menengahi/tidak mau ikut campur atas kejadian tersebut;

7. Bahwa pada tanggal 1 Juli 2006 pada saat terjadi pertengkaran antara Penggugat dengan Tergugat, Tergugat telah mengatakan kepada Penggugat bahwa Penggugat bukan isterinya lagi, Penggugat sudah diceraikan dan tidak ada lagi urusan dengan Tergugat;

8. Bahwa pertengkaran yang terjadi antara Penggugat dengan Tergugat telah lama terjadi dan terus menerus/berlanjut, yaitu sudah dimulai pada saat baru-baru menikah, kemudian pada tahun 1985 Tergugat telah pernah berjanji tidak akan menyakiti hati Penggugat lagi dan tidak akan memukul Penggugat, serta tidak akan melakukan Poligami meski dengan alasan apapun sebagaimana tertulis dalam Surat Perjanjian tanggal 27 April 1985 yang diketahui Kepala Kelurahan 20 Ilir D.II Sekip, Kotamadya Palembang, akan tetapi pertengkaran terus saja terjadi.

9. Bahwa oleh karena sekarang Penggugat sudah tidak tahan lagi, walaupun sudah dicoba untuk bersabar, namun karena sudah tidak kuat lagi mempertahankan hidup berumah tangga Penggugat dengan Tergugat, maka Penggugat mengajukan Gugatan Perceraian ini, untuk mengakhiri dan memutuskan perkawinan Penggugat dengan Tergugat karena Perceraian;

10. Bahwa oleh karena Tergugat tidak membantu lagi biaya pendidikan ke 2 (dua) orang anak-anak Penggugat dan Tergugat, maka mohon kepada Bapak Ketua/Majelis Hakim Pengadilan Negeri Siak, untuk menetapkan dan memerintah kepada Tergugat untuk menanggung biaya pendidikan anak-anak yang masih dalam pendidikan yakni : a. Untuk anak laki-laki Bakri pendidikan di Jakarta sebesar Rp.

2.500.000,- (dua juta lima ratus ribu rupiah) untuk setiap semester atau per 6 (enam) bulan, sejak gugatan perkara aquo diajukan ke Pengadilan mulai dari tanggal 14 Februari 2007 sampai tamat sekolah;

Anastasius Rico Haratua Sitanggang : Analisis Yuridis Tentang Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian..., 2009 USU Repository © 2008

67

b. Untuk anak perempuan Pemmy Tanet yang pendidikan di Malaysia biaya pendidikan sebesar Rp. 40.000.000,- (empat puluh juta rupiah) untuk setiap tahunnya, belum termasuk biaya-biaya alat tulis dan lainnya;

Sedangkan untuk anak laki-laki Rudi Tanet sudah tidak dalam pendidikan dan tidak bekerja;

11. Bahwa oleh karena Tergugat tidak lagi membantu biaya nafkah anak-anak, maka mohon kepada Bapak Ketua/Majelis Hakim untuk menetapkan dan memerintah kepada Tergugat untuk menanggung biaya nafkah anak-anak yakni : a. Sebesar Rp. 2.500.000,- (dua juta lima ratus ribu rupiah) untuk setiap

bulannya untuk anak laki-laki bernama Bakri yang sedang pendidikan di Jakarta;

b. Sebesar Rp. 5.000.000,- (lima juta rupiah) untuk setiap bulannya untuk anak perempuan yang bernama Pemmy Tanet yang pendidikan di Malaysia;

12. Bahwa oleh karena Penggugat sudah tidak lagi diberikan nafkah/biaya untuk kehidupan sehari-hari seperti : makan, minum dan biaya lain-lainnya oleh Tergugat sejak tahun 2003, maka mohon kepada Bapak Ketua/Majelis Hakim untuk menetapkan dan memerintahkan kepada Tergugat untuk membayar nafkah/biaya hidup sehari-hari sebesar Rp. 2.000.000,- (dua juta rupiah) untuk setiap bulannya, yang apabila dihitung nafkah/biaya kehidupan sehari-hari tersebut yang tertunggak sejak tahun 2003 sampai gugatan ini diajukan yaitu sebesar Rp. 2.000.000,- x 12 bulan x 3 tahun = Rp. 72.000.000,- (tujuh puluh dua juta rupiah);

13. Bahwa oleh karena nafkah/biaya kehidupan Penggugat sehari-hari tidak dibayarkan oleh Tergugat, maka mohon kepada Bapak Ketua/Majelis Hakim Pengadilan Negeri Siak untuk menetapkan dan memerintahkan kepada Tergugat untuk membayar nafkah/biaya hidup sehari-hari Penggugat sejak gugatan diajukan mulai dari tanggal 14 Februari 2007 sampai putusan perkara ini mempunyai kekuatan hukum, yang tetap sebesar Rp. 2.000.000,- (dua juta rupiah) untuk setiap bulannya.63

Dari kasus ini dapat diuraikan bahwa yang menjadi pertimbangan hukum dari

hakim yang memeriksa perkara dalam putusannya, yang berkaitan dengan alasan

perceraian adalah sebagai berikut :

63Putusan Pengadilan Negeri Siak No. 02/Pdt.G/2007/PN.Siak.

Anastasius Rico Haratua Sitanggang : Analisis Yuridis Tentang Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian..., 2009 USU Repository © 2008

68

1. Sebelum Majelis Hakim mempertimbangkan dalil-dalil penyebab ketidak

harmonisan rumah tangga antara Penggugat dan Tergugat, maka terlebih

dahulu dipertimbangkan mengenai kebenaran dan keabsahan perkawinan

antara Penggugat dan Tergugat menurut hukum yang berlaku sebagai

berikut di bawah ini.

2. Keterangan saksi Indah dan saksi Rudi Tanet yang pada pokoknya

menerangkan Penggugat dan Tergugat adalah suami isteri yang terikat

suatu perkawinan dan sampai sekarang masih tinggal dalam satu rumah,

kemudian dari keterangan para saksi tersebut apabila dihubungkan dengan

bukti P-1 yaitu berupa Kutipan Akta Perkawinan No. 78/1981 tertanggal 21

Desember 1981, sehingga Majelis Hakim berpendapat bahwa antara

Penggugat dan Tergugat telah melangsungkan perkawinan di Kantor

Catatan Sipil Kotamadya Palembang sebagaimana diuraikan dalam bukti P-

1 tersebut, maka oleh karenanya perkawinan mereka adalah sah menurut

hukum.

3. Suatu gugatan perceraian untuk dapat dikabulkan harus memenuhi alasan-

alasan yang ditentukan dalam Pasal 19 PP No. 9 Tahun 1975, khususnya

yang berhubungan dengan gugatan Penggugat tersebut yaitu Pasal 19 huruf

f PP No. 9 Tahun 1975 yang berbunyi “Antara suami dan isteri terus

menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan

hidup rukun lagi dalam rumah tangga”.

Anastasius Rico Haratua Sitanggang : Analisis Yuridis Tentang Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian..., 2009 USU Repository © 2008

69

4. Berdasarkan bukti P-2 berupa Surat Perjanjian tertanggal 27 April 1985

yang pada pokoknya berisi Tergugat tidak akan memukul dan melakukan

poligami terhadap Penggugat, selanjutnya berdasarkan bukti P-3 berupa

Surat Pernyataan tertanggal 14 Juli 2006 yang pada pokoknya berisi

Tergugat sudah tidak melaksanakan kewajiban sebagai suami kepada

Penggugat sejak tahun 2003, yang apabila dari bukti tersebut dihubungkan

dengan keterangan para saksi di persidangan telah ternyata sejak awal

perkawinan antara Penggugat dan Tergugat sering bertengkar/cekcok di

rumah dengan disertai makian dan ucapan bahwa Penggugat bukanlah isteri

Tergugat lagi serta kekerasan fisik berupa Tergugat pernah mencekik

Penggugat dan juga Tergugat pernah menyemprot seluruh badan Penggugat

dengan menggunakan cat, di samping itu kehidupan sehari-hari antara

Penggugat dan Tergugat sudah dilakukan masing-masing.

5. Bahwa berdasarkan fakta-fakta tersebut di atas dan dihubungkan dengan

tujuan perkawinan sebagaimana dalam Pasal 1 Undang-Undang No. 1

Tahun 1974, maka Majelis Hakim berpendapat apabila perkawinan

Penggugat dan Tergugat diteruskan hanya akan membuat Penggugat dan

Tergugat tersiksa, karena tidak ada lagi kenyamanan dalam berumah

tangga, sehingga permintaan Penggugat agar perkawinannya diputuskan

karena perceraian sebagaimana petitum point 2 dan point 3 haruslah

dikabulkan.

Anastasius Rico Haratua Sitanggang : Analisis Yuridis Tentang Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian..., 2009 USU Repository © 2008

70

Dalam kasus ini, akibat hukum dari perceraian terhadap anak yang dilahirkan

tetap menjadi tanggung jawab dari suami dan isteri yang bercerai, sebagai berikut :

1. Saksi Indah dan saksi Rudi Tanet menerangkan dari perkawinan antara

Penggugat dan Tergugat tersebut telah dikaruniai 3 (tiga) orang anak yaitu:

Rudi Tanet (umur 24 tahun), Bakri Tanet (umur 23 tahun) dan Pemmy

Tanet (umur 18 tahun), dimana berdasarkan keterangan para saksi di

persidangan bahwa Bakri Tanet dan Pemmy Tanet masih dalam masa

pendidikan dan masih memerlukan biaya untuk itu dan sepengetahuan para

saksi selama ini yang menanggung biaya nafkah sehari-hari dan biaya

pendidikan ketiga anak Penggugat dan Tergugat adalah Penggugat sendiri.

2. Pasal 41 huruf b Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, menyatakan “Bapak

yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan

yang diperlukan anak itu, bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat

memenuhi kewajiban tersebut, pengadilan dapat menentukan bahwa ibu

ikut memikul biaya tersebut”.

3. Bahwa Tergugat mempunyai pekerjaan, namun besarnya penghasilan

Tergugat tidak diketahui secara pasti, malahan selama ini yang membiayai

nafkah sehari-hari dan biaya pendidikan Bakri Tanet dan Pemmy Tanet

adalah Penggugat, maka Majelis Hakim berpendapat apabila biaya

nafkah dan pendidikan agar dibebani kepada Tergugat seluruhnya, Majelis

Hakim khawatir bahwa Tergugat tidak akan dapat memenuhinya,

Anastasius Rico Haratua Sitanggang : Analisis Yuridis Tentang Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian..., 2009 USU Repository © 2008

71

sehingga dengan demikian cukup adil untuk memberikan kepastian demi

kelangsungan kehidupan sehari-hari dan biaya pendidikan bagi kedua

anaknya, dibebankan kepada Penggugat dan Tergugat secara tanggung

renteng yang besarnya sebagaimana dalam gugatan.

4. Karena umur Bakri Tanet (23 tahun) dan Pemmy Tanet (18 tahun), maka

tanggung jawab Penggugat dan Tergugat terhadap pemenuhan kewajiban

nafkah sehari-hari dan biaya pendidikan untuk kedua anaknya tersebut di

atas berlangsung mulai gugatan diajukan sampai dengan anak tersebut

dewasa atau sampai pendidikannya selesai.

5. Bahwa sesuai dengan ketentuan Pasal 41 huruf c UU No. 1 Tahun 1974

terhadap petitum point 10, mengenai biaya nafkah hidup sehari-hari

Penggugat yaitu sebesar Rp. 2.000.000,- untuk setiap bulannya sejak

tanggal 14 Pebruari 2007, Majelis Hakim berpendapat cukup adil dan

beralasan hukum untuk dikabulkan.

Mengingat Pasal 149 Ayat (1) Rbg dan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 jo.

Pasal 19 huruf f PP No. 9 Tahun 1975 serta ketentuan hukum lain yang berkaitan

dengan perkara ini.

M E N G A D I L I :

1. Menyatakan bahwa Tergugat yang telah dipanggil dengan patut untuk menghadap tidak hadir;

2. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian dengan Verstek; 3. Menyatakan putusnya perkawinan antara Penggugat dengan Tergugat

karena perceraian;

Anastasius Rico Haratua Sitanggang : Analisis Yuridis Tentang Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian..., 2009 USU Repository © 2008

72

4. Menyatakan Kutipan Akte Perkawinan Nomor : 78/1981 tanggal 21 Desember 1981, atas nama Penggugat (ROMLAH) dengan Tergugat (SOLIHIN TANET alias THENG KHE SAN), putus karena perceraian;

5. Memerintahkan Panitera Pengadilan Negeri Siak atau pejabat yang ditunjuk, untuk mengirimkan salinan putusan ini yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap kepada Pegawai Pencatat di Kantor Catatan Sipil Kabupaten Siak/Kantor Pendaftaran Penduduk, agar putusan perceraian ini dapat didaftarkan/dicatatkan;

6. Menghukum Tergugat untuk membayar biaya pendidikan anak laki-laki bernama Bakri sebesar Rp. 2.500.000,- (dua juta lima ratus ribu rupiah) setiap semesternya atau setiap 6 (enam) bulan secara tanggung renteng bersama Penggugat, sejak gugatan ini diajukan mulai dari tanggal 14 Pebruari 2007 sampai selesai pendidikan/tamat sekolah;

7. Menghukum Tergugat untuk membayar biaya pendidikan anak perempuan bernama Pemmy Tanet sebesar Rp. 40.000.000,- (empat puluh juta rupiah) untuk setiap tahunnya secara tanggung renteng bersama Penggugat, sejak gugatan ini diajukan mulai dari tanggal 14 Pebruari 2007 sampai selesai pendidikan/tamat sekolah;

8. Menghukum Tergugat untuk membayar biaya nafkah hidup sehari-hari anak laki-laki bernama Bakri yang sedang pendidikan di Jakarta sebesar Rp. 2.500.000,- (dua juta lima ratus ribu rupiah) untuk setiap bulannya secara tanggung renteng bersama Penggugat, sejak gugatan ini diajukan mulai dari tanggal 14 Pebruari 2007 sampai dia dewasa/bekerja;

9. Menghukum Tergugat untuk membayar biaya nafkah hidup sehari-hari anak perempuan bernama Pemmy Tanet yang sedang pendidikan di Malaysia sebesar Rp. 5.000.000,- (lima juta rupiah) untuk setiap bulannya secara tanggung renteng bersama Penggugat, sejak gugatan ini diajukan mulai dari tanggal 14 Pebruari 2007 sampai dia dewasa/bekerja;

10. Menghukum Tergugat untuk membayar biaya nafkah hidup sehari-hari Penggugat sebesar Rp. 2.000.000,- (dua juta rupiah) untuk setiap bulannya, sejak gugatan ini diajukan ke Pengadilan tanggal 14 Pebruari 2007 sampai adanya putusan yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap;

11. Menolak gugatan Penggugat untuk selebihnya; 12. Menghukum Tergugat untuk membayar biaya perkara yang hingga saat

ini ditaksir sebesar Rp. 912.000,- (sembilan ratus dua belas ribu rupiah).64 Bahwa dari pertimbangan hakim yang memeriksa bahwa alasan gugatan

perceraian harus memenuhi alasan sesuai ketentuan perundang-undangan, maka suatu

gugatan perceraian untuk dapat dikabulkan harus memenuhi alasan-alasan yang

64Ibid., Putusan Pengadilan Negeri Siak No. 02/Pdt.G/2007/PN. Siak.

Anastasius Rico Haratua Sitanggang : Analisis Yuridis Tentang Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian..., 2009 USU Repository © 2008

73

ditentukan dalam Pasal 19 PP No. 9 Tahun 1975, khususnya yang berhubungan dengan

gugatan Penggugat tersebut yaitu Pasal 19 huruf f PP No. 9 Tahun 1975 yang berbunyi

“Antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak

ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga”.

Dalam suatu proses perceraian, alasan-alasan yang disebutkan di atas tidaklah

cukup sebagai pertimbangan dikabulkannya perceraian. Para pihak harus memenuhi

persyaratan administrasi sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang berlaku. Hal ini

sesuai dengan Pasal 39 ayat (3) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, yang berbunyi:

“Tata cara perceraian di depan sidang pengadilan diatur dalam perundangan

tersendiri.” Peraturan perundangan yang dimaksudkan adalah Peraturan Pemerintah

Nomor 9 Tahun 1975. Untuk memungkinkan perceraian, harus ada alasan-alasan

tertentu serta harus dilakukan di depan sidang pengadilan. Jika diperhatikan rumusan

Pasal 39 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang berbunyi: “Untuk

melakukan perceraian harus ada cukup alasan bahwa antara suami isteri tidak akan

dapat hidup rukun sebagai suami isteri”. Maka seolah-olah untuk perceraian ini tidak

perlu memperhatikan hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya.

Adanya proses perceraian yang diatur dalam ketentuan perundang-undangan

merupakan realisasi dari prinsip perkawinan yang dianut Undang-Undang Nomor 1

Tahun 1974 yaitu prinsip untuk mencegah perceraian. Walaupun perceraian ini

merupakan urusan pribadi, atau kehendak salah satu pihak dan tidak memerlukan

campur tangan pihak lain atau pihak pemerintah, namun untuk menghindari tindakan

Anastasius Rico Haratua Sitanggang : Analisis Yuridis Tentang Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian..., 2009 USU Repository © 2008

74

sewenang-wenang terutama dari pihak suami kepada isterinya serta demi adanya

kepastian hukum, maka perceraian harus dilakukan melalui sidang pengadilan. Fungsi

proses peradilan adalah sangat penting, sebab dalam sidang kedua belah pihak

mendapatkan beberapa pertimbangan dan alternatif dari hakim agar yang bersangkutan

tidak meneruskan niatnya untuk bercerai.

Putusnya perkawinan dengan alasan perceraian bagi pasangan suami isteri yang

beragama Kristen tidak diperbolehkan, karena dalam perkawinan Kristen hanya

mengenal asas monogami dan tidak boleh cerai sesuai dengan Kitab Suci, yakni: “Apa

yang telah dipersatukan oleh Tuhan tidak boleh diceraikan oleh manusia”. Menurut

ajaran Kristen, perceraian memang dilarang secara mutlak. Oleh karena itu, bagi suami

isteri yang sedang mengalami kegoncangan rumah tangga dapat ditempuh cara pisah

meja dan tempat tidur. Upaya tersebut dimaksudkan agar kedua belah pihak lambat

laun akan tumbuh rasa rindu dan menyadari kekeliruannya dan pada akhirnya

keutuhan perkawinan kembali lagi. Perkawinan bukanlah hanya soal keabsahan

hukum, tetapi merupakan suatu persekutuan badaniah dan rohaniah yang diberkati oleh

Tuhan, untuk tujuan yang mulia di hadapan-Nya dan oleh sebab itu tidak boleh

dipisahkan oleh tangan manusia termasuk suami dan isteri tersebut.

Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, putusnya perkawinan karena

perceraian akan berdampak luas kepada anak, bekas suami/isteri dan harta bersama.

Akibat hukum putusnya perkawinan karena perceraian diatur dalam Pasal 41 UUP

yaitu :

Anastasius Rico Haratua Sitanggang : Analisis Yuridis Tentang Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian..., 2009 USU Repository © 2008

75

1. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anaknya,

semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada perselisihan

mengenai penguasaan anak-anak, pengadilan memberi keputusannya.

2. Bapak yang bertanggungjawab atas semua biaya pemeliharaan dan biaya

yang diperlukan anak itu, bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat

memberi kewajiban tersebut Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut

memikul biaya tersebut.

3. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya

penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas isteri.

Dari ketentuan Pasal 41, bahwa Undang-Undang Perkawinan memberi

perlindungan terhadap anak dimana kedua orang tua harus bertanggungjawab dalam

hal pemeliharaan anak bahkan ibu juga berkewajiban untuk menanggung biaya

pemeliharaan anak apabila bapak tidak mampu. Dalam putusan perceraian tersebut di

atas bahwa mengenai siapa pemeliharaan anak tidak dimuat dalam putusan tersebut,

karena Penggugat dalam hal ini tidak mencantumkan dalam petitumnya. Hakim yang

memeriksa perkara tidak berwenang mengabulkan di luar yang diminta oleh

Penggugat.

Terhadap harta bersama, Pasal 37 UUP menyebutkan bahwa bila terjadi

perceraian bahwa harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing. Bunyi

Pasal 37 bahwa penyelesaian harta bersama dari akibat perceraian diserahkan kepada

para pihak yang bercerai tentang hukum mana dan hukum apa yang akan berlaku dan

Anastasius Rico Haratua Sitanggang : Analisis Yuridis Tentang Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian..., 2009 USU Repository © 2008

76

jika tidak ada kesepakatan antara para pihak, hakim dapat mempertimbangkan

berdasarkan rasa keadilan yang wajar. Hal ini berarti perundang-undangan memberi

peluang berlakunya hukum lain antara lain hukum agama, hukum adat, hukum perdata,

hukum adat yang berlaku bagi golongan Timur Asing Tionghoa, golongan Eropa,

golongan yang dipersamakan dengan golongan Eropa serta golongan pribumi.

Anastasius Rico Haratua Sitanggang : Analisis Yuridis Tentang Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian..., 2009 USU Repository © 2008

77

BAB III

AKIBAT HUKUM TERHADAP ANAK DAN HARTA PERKAWINAN KARENA PERCERAIAN

A. Akibat Hukum Terhadap Anak

Dalam kodratnya, perjalanan hidup manusia dimulai dari lahir menjadi bayi

kemudian menjadi anak65 kecil, remaja dan berkembang menjadi dewasa. Dalam

perjalanan hidup tersebut sangat diperlukan bimbingan dan pengarahan terutama

dalam masa transisi (memasuki masa dewasa). Seorang anak memerlukan bantuan

serta bimbingan dari orangtuanya atau walinya bahkan dari anggota masyarakat itu

sendiri, agar mereka tidak mengambil jalan yang salah dalam menghadapi persoalan

bathin dan sekaligus menghindari dari hal-hal yang menjurus kepada hal negatif atau

perbuatan yang tidak berguna di tengah-tengah masyarakat.

Tugas dan tanggung jawab baru ada setelah lahir anaknya yaitu tanggung

jawab memelihara anak seperti pengawasan dan perhatian serta pencukupan

kebutuhan-kebutuhan hidup serta pendidikan anak dengan sebaik-baiknya yang terus-

menerus dari kedua orang tua sampai anak itu mencapai umur sebagai orang dewasa

yang telah mampu berdiri sendiri.

Ada kalanya tanggung jawab pemeliharaan anak ini beralih atau berpindah

kepada orang lain, pemeliharaan ini disebut dengan kekuasaan perwalian. Hal ini

disebabkan :

65Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Edisi ke-3,

2005, hal. 41, mengatakan anak adalah keturunan yang kedua.

Anastasius Rico Haratua Sitanggang : Analisis Yuridis Tentang Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian..., 2009 USU Repository © 2008 59

78

1. Karena dicabutnya kekuasaan orangtuanya atas diri anak

2. Karena disebabkan meninggalnya kedua orang tua si anak

3. Karena perceraian.

Jika kekuasaan orang tua atas diri anak telah dicabut tidaklah berarti

membebaskan orang tua si anak tersebut dari kewajiban untuk memberikan tunjangan

kehidupan jasmani terhadap si anak yang belum dewasa yang disesuaikan dengan

pendapatan orang tua tersebut. Dalam kehidupan masyarakat Indonesia jika kedua

orang tua tidak ada lagi, anak yang ditinggalkan yang belum dewasa langsung jatuh di

bawah pemeliharaan kerabat laki-laki pada masyarakat patrilineal, pada kerabat si ibu

pada masyarakat matrilineal atau pada salah satu kerabat orang tua pada masyarakat

parental.

Berkaitan dengan hal di atas, jika seorang anak ditinggal mati oleh kedua

orangtuanya otomatis si anak tersebut jatuh di bawah pengawasan kaum kerabat,

pemeliharaan seperti ini dapat membawa dampak negatif dalam pelaksanaan

pengurusan harta kekayaan anak. Hal ini dikarenakan tidak adanya perhitungan dan

pertanggungjawaban yang seharusnya dilakukan oleh seorang wali atau kerabat yang

memelihara si anak.

Dalam menjamin keselamatan harta benda dan pemeliharaan diri pribadi si

anak, peraturan membuat suatu ketentuan khusus di dalam UUP yaitu tentang

peraturan mengenai masalah perwalian yang diatur dalam Bab ke-XI dari undang-

undang tersebut. Yang berada di bawah kekuasaan perwalian adalah mereka yang

Anastasius Rico Haratua Sitanggang : Analisis Yuridis Tentang Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian..., 2009 USU Repository © 2008

79

belum dewasa dan tidak berada di bawah kekuasaan orang tua mereka berada di bawah

kekuasaan perwalian yang terdiri dari :

1. Anak sah yang kedua orangtuanya telah dicabut kekuasaannya sebagai orang tua.

2. Anak sah yang kedua orangtuanya telah bercerai.

3. Anak yang lahir di luar perkawinan (naturlijk ind).

4. Anak yang ditinggal mati oleh kedua orangtuanya.

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, tentang Perkawinan yang berlaku sejak

1 Oktober 1975 yang sesuai dengan falsafah Pancasila serta cita-cita kesatuan dan

persatuan nasional di segala bidang, termasuk kesatuan hukum tentang perkawinan

yang berlaku untuk semua warga negara. Dengan adanya Undang-Undang Perkawinan

ini maka tercapailah apa yang dicita-citakan selama ini mengenai kodifikasi dan

unifikasi hukum, walaupun dalam hal ini hanya mengenai perkawinan saja.

Dalam perkawinan, masalah umur sangatlah penting untuk menentukan

seseorang itu apakah sudah cakap untuk melakukan tindakan hukum atau belum

karena tindakan melakukan perkawinan adalah termasuk tindakan hukum. Jika

diperhatikan ketentuan yang terdapat di dalam UUP tersebut, tidak ada suatu ketegasan

yang menyatakan umur berapakah seseorang itu dikatakan sudah dewasa atau belum.

Ketentuan dalam Pasal 6 ayat (2) dan Pasal 47 UUP yang mana apabila

diperhatikan isi Pasal 6 ayat (2) tersebut bahwa anak yang sudah berumur 21 tahun

dianggap sudah dewasa dan tidak perlu lagi mendapat izin dari kedua orangtuanya

dalam melangsungkan perkawinan. Bila ditafsirkan secara umum, isi Pasal 6 Ayat (2)

Anastasius Rico Haratua Sitanggang : Analisis Yuridis Tentang Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian..., 2009 USU Repository © 2008

80

tersebut maka terhadap anak yang belum berumur 21 tahun jika akan melangsungkan

perkawinan harus mendapat izin dari kedua orangtuanya karena belum dewasa dan

belum dapat menentukan kehendaknya sendiri tanpa campur tangan dari orangtuanya.

Menurut Pasal 47 UUP Ayat (1) menyatakan bahwa “Anak yang belum

mencapai umur 18 tahun dan belum pernah melangsungkan perkawinan ada di bawah

kekuasaan orangtuanya selama mereka tidak dicabut kekuasaannya”. Sedangkan

menurut Ayat (2) bahwa “Orang tua mewakili anak tersebut mengenai segala

perbuatan hukum di dalam maupun di luar pengadilan”.

Jika dilakukan penafsiran terhadap Pasal 47 UUP ini maka anak yang telah

berumur 18 tahun atau yang belum berumur 18 tahun tapi sudah kawin dapat

dianggap :

1. Tidak berada di bawah kekuasaan orangtuanya lagi.

2. Cakap melakukan tindakan hukum di dalam maupun di luar pengadilan

tanpa diwakili oleh orang tua.

3. Sudah mampu dan berhak mengurus harta bendanya dan kepentingan

sendiri walaupun tanpa mendapat bantuan dari orangtuanya.

Kedua pasal tersebut di atas, jelas bahwa pembuat undang-undang membuat 2

(dua) macam kategori untuk menentukan seseorang tersebut sudah dewasa atau belum.

Oleh sebab itu secara pasti tidak dapat ditentukan umur berapa seseorang itu sudah

dianggap dewasa menurut undang-undang ini, kalau tidak terlebih dahulu dilihat

peristiwa yang dilakukan oleh orang yang bersangkutan.

Anastasius Rico Haratua Sitanggang : Analisis Yuridis Tentang Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian..., 2009 USU Repository © 2008

81

Jika Pasal 6 ayat (2) dan Pasal 47 UUP tersebut dibandingkan lagi dengan isi

Pasal 7 UUP akan terdapat lagi perbedaan mengenai ketentuan umur untuk cakap

melakukan tindakan hukum ini. Isi Pasal 7 UUP ayat (1) menyebutkan “perkawinan

hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan

pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun”. Selanjutnya ayat (2)

menyebutkan “dalam hal penyimpangan terhadap ayat (1) pasal ini dapat diminta

dispensasi kepada pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orangtuaya

pihak pria maupun pihak wanita”.

Berdasarkan ketentuan di atas, berarti seorang anak yang telah mencapai umur

18 tahun bagi pria tidak dapat melangsungkan perkawinan kecuali ada dispensasi dari

pengadilan, maka terlihat seakan-akan ada kerancuan bilamana Pasal 7 ini

dibandingkan dengan Pasal 47, dimana yang satu menyatakan seseorang sudah dewasa

apabila telah berumur 18 tahun dan sekaligus telah berwenang untuk bertindak dalam

hukum, sedangkan di pihak lain menyatakan bahwa walaupun telah mencapai umur 18

tahun tetapi belum boleh kawin kecuali ada izin, maka di sini berarti berbeda umur

dewasa dengan dewasa kawin.

Maka berdasarkan ketentuan Undang-Undang Perkawinan tersebut tidak ada

suatu kepastian tentang umur seseorang itu dianggap sudah dewasa atau belum,

dimana menurut penjelasan UU No. 1/1974 bahwa umur dewasa adalah apabila si anak

telah mencapai umur 21 tahun, kalau belum mencapai umur 21 tahun belum dewasa.

Apabila dia tidak berada di bawah kekuasaan orangtuanya, maka anak berada di bawah

kekuasaan perwalian.

Anastasius Rico Haratua Sitanggang : Analisis Yuridis Tentang Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian..., 2009 USU Repository © 2008

82

Perceraian mempunyai akibat bahwa kekuasaan orang tua (ouderlijkemacht)

berakhir dan berubah menjadi “perwalian” (voogdij).66 Perwalian (voogdij) adalah

pengawasan terhadap anak yang di bawah umur, yang tidak berada di bawah

kekuasaan orang tua serta pengurusan benda atau kekayaan anak tersebut diatur oleh

undang-undang.67

Dalam hal perceraian suami isteri melalui putusan pengadilan, dalam UUP

tidak ada menyebutkan secara tegas bila ada anak, apakah anak itu akan berada dalam

wali ibunya atau bapaknya. Dalam Pasal 41 butir (a) menyebutkan “baik ibu atau

bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata

berdasarkan kepentingan si anak. Pasal ini tidak menyebutkan anak berada dalam wali

ibu atau bapak. Jadi diserahkan kepada kesepakatan ibu maupun bapak tersebut. Bila

tidak ada kesepakatan, maka pengadilan yang memberi keputusan si anak berada pada

ibu atau bapak.

Pasal 53 UUP menyebutkan wali dapat dicabut dari kekuasaannya, dalam hal-

hal yang disebut dalam Pasal 49 UUP yaitu :

1. Wali sangat melalaikan kewajibannya terhadap anak perwalian tersebut,

2. Wali berkelakuan buruk sebagai walinya.

Apabila kekuasaan wali dicabut maka pengadilan menunjuk orang lain sebagai

walinya (Pasal 53 Ayat (2) UUP). Dalam hal apabila wali menyebabkan kerugian

pada si anak maka menurut ketentuan Pasal 54 UUP menyatakan, wali yang telah

menyebabkan kerugian pada harta benda anak yang berada di bawah kekuasaannya,

66Subekti, Pokok Hukum Perdata, Penerbit PT. Intermasa, Cet. 17, 2003, hal. 52. 67Ibid., hal. 52.

Anastasius Rico Haratua Sitanggang : Analisis Yuridis Tentang Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian..., 2009 USU Repository © 2008

83

atas tuntutan anak atau keluarga anak tersebut dengan putusan pengadilan, yang

bersangkutan dapat diwajibkan untuk mengganti kerugian tersebut.

Dalam kasus perceraian, Putusan PN Siak Sri Indrapura No.

02/Pdt.G/2007/PN.Siak, dalam Amar Putusannya, Hakim yang memeriksa dan

mengadili tidak memuat: “anak yang di bawah umur berada dalam wali ibu atau wali

bapak”. Hal ini dapat dipahami dengan alasan antara lain :

1. Pemmy Tanet berumur 18 (delapan belas) tahun dan telah sekolah ke luar

negeri, jadi ibu dan bapaknya hanya diberi tanggung jawab secara ekonomi

baik biaya pendidikan maupun biaya kehidupannya.

2. Dalam petitum Penggugat tidak menyebutkan tentang perwalian anak, jadi

hakim tidak boleh mengabulkan melebihi apa yang dituntut Penggugat.

Sedangkan dalam Pasal 229 ayat (1) KUHPerdata menentukan bahwa sesudah

putusan perceraian dinyatakan maka setelah mendengarkan pendapat dan pikiran

orangtua dan keluarga anak-anak yang minderjarig maka pengadilan memutuskan

terhadap tiap-tiap anak itu siapa diantara orangtuanya akan memerlukan perwalian atas

anak-anak itu dengan mengingat apakah mereka masih mempunyai kekuasaan

orangtua (kalau sudah dihentikan/dibebaskan = ontheven atau dicabut = onzet maka

tidak dapatlah menjadi wali).68

Dalam Putusan Pengadilan Negeri Siak Sri Indrapura lainnya yaitu Putusan

Nomor 10/Pdt.G/2007/PN.Siak dapat diketahui status anak setelah ibu bapaknya

68R. Soetojo Prawiroharmidjojo dan Asis Safioedin, Hukum Orang dan Keluarga, Penerbit

Alumni, Bandung, Cet. 3, 1986, hal. 122-123.

Anastasius Rico Haratua Sitanggang : Analisis Yuridis Tentang Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian..., 2009 USU Repository © 2008

84

bercerai. Beberapa kutipan dari Putusan Pengadilan Negeri Siak Sri Indrapura yang

telah berkekuatan hukum tetap yaitu salah satunya dalam perkara antara Herman alias

A Hong yang memberi kuasa kepada Azium Asyaari, SH, MH dan Edi Azmi, SH, dari

Law Office Azium Asyaari, SH, MH & Associates Advocates-Legal Consultant lawan

Heriyanti alias Hui Lai.

Kasus Posisi :

1. Bahwa Penggugat telah melangsungkan perkawinan dengan Tergugat pada tanggal 07 Maret 2001 di Kantor Catatan Sipil berdasarkan Akta Perkawinan No. 26/2001.

2. Bahwa dari perkawinan tersebut telah dilahirkan 5 (lima) orang anak yaitu : a. VIVI YOW RENCHA, umur 12 tahun b. VEREN YOU RENCHA, umur 10 tahun c. SINTIYA YOU RENCHA, umur 9 tahun d. ALFINDO, umur 6 tahun e. NOVIANTO, umur 2 tahun.

3. Bahwa antara Penggugat dan Tergugat telah terjadi perselisihan secara terus menerus sehingga perkawinan sudah tidak dapat dipertahankan lagi, sebab-sebab perselisihan tersebut antara lain : a. Bahwa Tergugat sering berbohong atau tidak jujur kepada Penggugat

terhadap sesuatu yang diperoleh tanpa sepengetahuan Penggugat, sehingga terjadi cekcok yang dikhawatirkan akan timbul masalah pidana;

b. Bahwa Tergugat menyatakan minta cerai apabila adanya pertengkaran dengan Penggugat;

c. Bahwa Tergugat tidak peduli dengan anak-anak dan keluarga dan di tempat tidurpun Tergugat sudah berpaling (memberi punggung) pada pemohon;

d. Bahwa Penggugat berusaha semaksimal mungkin untuk memaafkan Tergugat, sejak tahun 2005 terjadi pertengkaran Penggugat dan Tergugat, Penggugat mencoba bersabar untuk tidak mengakhiri perkawinan, namun akhir-akhir ini Tergugat mengulangi kembali perbuatannya;

4. Bahwa karena perkawinan tidak mungkin dipertahankan lagi, maka mohon agar perkawinan Penggugat dengan Tergugat dinyatakan putus karena perceraian dengan segala akibat hukumnya. Bahwa anak-anak dari perkawinan antara Penggugat dan Tergugat masih membutuhkan perhatian dan kasih sayang Penggugat sebagai bapaknya, oleh karena ibunya tidak

Anastasius Rico Haratua Sitanggang : Analisis Yuridis Tentang Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian..., 2009 USU Repository © 2008

85

memberi contoh yang baik bagi masa depan anak-anak, untuk itu mohon ditetapkan Penggugat sebagai wali dari anak-anak.

M E N G A D I L I :

DALAM KONVENSI : Tentang Eksepsi : Menolak Eksepsi Tergugat untuk seluruhnya; Tentang Pokok Perkara : Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebahagian; Menyatakan perkawinan antara Penggugat dengan Tergugat

berdasarkan Akta Perkawinan Nomor 26/2001, tertanggal 07 Maret 2001 yang dikeluarkan oleh Kantor Dinas Kependudukan/Catatan Sipil Kabupaten Siak adalah putus karena perceraian dengan segala akibat hukumnya;

Memerintahkan kepada Pegawai Dinas Kependudukan/Catatan Sipil Kabupaten Siak agar mendaftarkan dalam register yang bersangkutan tentang perceraian antara Penggugat dan Tergugat setelah putusan ini berkekuatan hukum tetap;

Menetapkan Penggugat selaku Wali Pengasuh atas 1 (satu) orang anak yang lahir dalam perkawinan antara Penggugat dengan Tergugat yaitu yang bernama VIVI YOW RENCHA;

Menolak gugatan Penggugat untuk selebihnya; Menghukum Penggugat dan Tergugat untuk membayar biaya perkara

sebesar Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah) secara tanggung renteng; DALAM REKONVENSI :

Mengabulkan gugatan Penggugat dalam rekonpensi untuk sebahagian; Menetapkan Penggugat dalam Rekonpensi selaku Wali Pengasuh atas 4

(empat) orang anak yang lahir dalam perkawinan antara Penggugat Rekonpensi/Tergugat Konpensi dengan Tergugat Rekonpensi/ Penggugat Konpensi yaitu yang bernama : 1. VEREN YOU RENCHA (perempuan); 2. SINTIYA YOU RENCHA (perempuan); 3. ALFINDO (laki-laki); 4. NOVIANTO (laki-laki);

Menghukum Tergugat dalam Rekonpensi untuk membayar, memenuhi kebutuhan hidup 4 (empat) orang anak masing-masing sebesar Rp. 750.000,- (tujuh ratus lima puluh ribu rupiah) untuk setiap orang anak setiap bulannya;

Menolak gugatan Penggugat dalam Rekonpensi untuk selebihnya dalam Konpensi dan Rekonpensi.69

69Putusan Pengadilan Negeri Siak Sri Indrapura No. 10/Pdt.G/2007/PN-Siak.

Anastasius Rico Haratua Sitanggang : Analisis Yuridis Tentang Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian..., 2009 USU Repository © 2008

86

Dari berkas perkara perceraian itu diketahui bahwa menurut Majelis Hakim,

latar belakang timbulnya perkara ini adalah akibat adanya pertengkaran yang

berlangsung terus menerus antara Penggugat dan Tergugat sebagaimana oleh

Penggugat telah menguraikan secara lengkap dalam dalil-dalil gugatannya serta juga

diuraikan secara lengkap oleh Tergugat dalam dalil-dalil sangkalannya.

Ketentuan Pasal 19 huruf f Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975

Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

yang menyebutkan bahwa salah satu alasan yang dapat digunakan untuk mengajukan

perceraian adalah bahwa antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan

pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.

Penggugat sendiri di persidangan menyatakan bahwa hubungan antara

Penggugat dan Tergugat tidak mungkin dapat dipertahankan lagi dan pada prinsipnya

tetap pada keinginannya untuk bercerai dengan Tergugat. Majelis Hakim berkeyakinan

bahwa telah terjadi pertengkaran yang sifatnya rutin dan terus-menerus antara

Penggugat dan Tergugat sehingga kelangsungan rumah tangga dan perkawinan antara

Penggugat dan Tergugat sudah tidak dapat dipertahankan lagi dan tidak ada harapan

akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga sebagaimana yang diharapkan oleh

Undang-Undang.

Berdasarkan alasan tersebut di atas dan sesuai dengan ketentuan Pasal 19 huruf

f Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang

Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, serta untuk menghindari dampak yang

mungkin timbul di antara Penggugat dan Tergugat misalnya terjadinya perbuatan

Anastasius Rico Haratua Sitanggang : Analisis Yuridis Tentang Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian..., 2009 USU Repository © 2008

87

pidana dari salah satu pihak ke pihak lain, Majelis Hakim berpendapat bahwa sudah

cukup alasan untuk mengabulkan gugatan Penggugat dalam hal menyatakan putusnya

perkawinan antara Penggugat dan Tergugat dengan segala akibat hukumnya.

Dalam gugatannya Penggugat juga memohon agar ditetapkan sebagai wali dari

5 (lima) orang anak hasil perkawinan Penggugat dan Tergugat, maka selanjutnya

Majelis Hakim mempertimbangkannya sebagai berikut :

1. Penggugat sering tidak berada di rumah karena bekerja di luar kota,

namun 4 (empat) orang anak-anak yang tinggal pada Tergugat tetap

terpelihara dengan baik sampai sekarang dan juga secara emosional anak-

anak tersebut dekat dengan ibunya.

2. Penggugat yang menyatakan bahwa Tergugat juga tidak punya pekerjaan

sehingga tidak bisa menghidupi anak-anak, tidak dapat dijadikan sebagai

alasan untuk menetapkan status perwalian terhadap anak di tangan

Penggugat karena berdasarkan ketentuan Pasal 41 huruf b Undang-

Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang pada pokoknya menekankan bahwa

apabila terjadi perceraian antara orang tua, bapak diberi tanggung jawab

atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak,

bilamana bapak dalam kenyataannya tidak dapat memenuhi kewajiban

tersebut, Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya

tersebut.

3. Perkawinan antara Penggugat dan Tergugat yang telah mendapat 5 (lima)

orang anak, berdasarkan fakta hukum yang terungkap di persidangan,

Anastasius Rico Haratua Sitanggang : Analisis Yuridis Tentang Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian..., 2009 USU Repository © 2008

88

ternyata bahwa anak-anak tersebut 4 (empat) orang diantaranya yaitu

Veren Yow Rencha, Sintia Yow Rencha, Alfindo dan Novianto saat ini

masih berusia di bawah 12 (dua belas) tahun, dan hanya anak yang paling

sulung yaitu Vivi Yow Rencha saat ini telah berusia 12 (dua belas) tahun.

4. Terhadap anak yang masih berusia di bawah 12 (dua belas) tahun Majelis

Hakim berpendapat bahwa mereka masih membutuhkan kedekatan

emosional dengan ibunya yaitu Tergugat dan juga selama ini tinggal

bersama dan di bawah pengasuhan dan perawatan Tergugat, sehingga

dengan demikian Tergugat pantas ditetapkan sebagai wali dari 4 (empat)

orang anak tersebut dan Penggugat diberikan kewajiban untuk tetap

memberi biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak setiap

bulannya.

5. Terhadap anak yang sulung yaitu Vivi Yow Rencha, berdasarkan fakta

hukum yang terungkap di persidangan bahwa saat ini tidak lagi tinggal

bersama dengan Penggugat maupun Tergugat, namun tinggal bersama

bibinya (saudara perempuan Penggugat) karena bersekolah di Kota

Batam atas biaya Penggugat. Dalam hal ini Majelis Hakim berpendapat

bahwa permohonan Penggugat untuk ditetapkan sebagai wali terhadap

anak-anak hasil perkawinannya dengan Tergugat dapat dikabulkan hanya

terhadap anak yang paling sulung yaitu Vivi Yow Rencha, karena pada

kenyataannya sebagaimana yang terungkap di persidangan, anak tersebut

tidak lagi tinggal bersama Tergugat maupun Penggugat sehingga dalam

Anastasius Rico Haratua Sitanggang : Analisis Yuridis Tentang Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian..., 2009 USU Repository © 2008

89

hal ini Majelis Hakim berpendapat bahwa Penggugat dapat ditetapkan

sebagai wali terhadap anaknya yang paling sulung yaitu Vivi Yow

Rencha dan Penggugat diberikan kewajiban untuk tetap memberi biaya

pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak tersebut setiap

bulannya.

B. Akibat Hukum Terhadap Harta Perkawinan

Dalam UUP telah dimasukkan beberapa persyaratan yang harus dipenuhi oleh

calon mempelai laki-laki dan perempuan dengan tujuan perkawinan itu benar-benar

dapat mewujudkan terbinanya keluarga yang harmonis, bahagia dan sejahtera. Rumah

tangga sebagai cikal bakal masyarakat yang lebih luas.

Apabila tujuan perkawinan tidak tercapai bahkan perkawinan itu mendatangkan

hal-hal yang tidak baik, bahkan tidak ditemukan jalan keluarnya, ibarat perkawinan

merupakan suatu pintu untuk masuk, maka bagi pihak yang ingin keluar dari

perkawinan tersebut terbuka juga pintu darurat yang dikenal dengan perceraian.

Walaupun UUP memberikan pintu untuk melakukan perceraian tetapi perceraian itu

merupakan alternatif terakhir untuk mengatasi suatu problema yang terjadi dalam suatu

perkawinan.

UUP secara prinsip tidak menginginkan terjadinya perceraian, UUP

menghindari terjadinya perceraian telah membuat suatu ketentuan bahwa perceraian

baru boleh dilakukan setelah dipenuhi alasan-alasan limitatif dan perceraian inipun

baru dianggap sah apabila dilakukan di depan sidang pengadilan yang berwenang.

Anastasius Rico Haratua Sitanggang : Analisis Yuridis Tentang Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian..., 2009 USU Repository © 2008

90

Dengan adanya suatu perceraian di depan sidang pengadilan yang berwenang

dan dilengkapi dengan alasan-alasan, di samping tertib administrasi juga diharapkan

adanya kelangsungan hidup rumah tangga dapat dipertahankan, dan perceraian tidak

akan terjadi dengan semena-mena oleh pihak suami.

Hak dan kewajiban serta status isteri dan suami seimbang dalam perkawinan

dan kepada isteri juga telah diberi kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum,

maka UUP telah membuat suatu ketentuan hukum bahwa terjadinya perceraian bukan

saja hak dominasi pihak suami, tetapi telah dibagi dengan peristilahan “cerai talaq”

dan cerai gugat. Cerai talaq adalah perceraian yang terjadi dengan inisiatif dari pihak

suami sedangkan cerai gugat inisiatif dari pihak isteri adalah diberikannya hak untuk

mengajukan cerai gugat kepada pihak isteri merupakan upaya jalan keluar dari hal-hal

yang tidak diinginkan, misalnya dalam kelalaian pihak suami tidak memberikan

nafkah isteri, suami meninggalkan isteri dalam jangka waktu yang lama atau adanya

tindakan suami yang menyakiti badan jasmani isteri dan lain-lain yang dapat

menimbulkan kesengsaraan dan kerugian bagi pihak isteri.

Walaupun UUP telah memberikan kewenangan kepada pihak isteri untuk

mengajukan gugatan cerai ke pengadilan, tetapi gugatan yang diajukan ini haruslah

memenuhi syarat-syarat dan alasan-alasan serta pertimbangan hakim pengadilan yang

berwenang untuk mengadili seadil-adilnya. Rasa tanggung jawab dan keharmonisan

merupakan dua hal pokok dalam membina rumah tangga dan perlu disadari para pihak

Anastasius Rico Haratua Sitanggang : Analisis Yuridis Tentang Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian..., 2009 USU Repository © 2008

91

(suami isteri) dalam suatu perkawinan. Dengan demikian sangat diperlukan adanya

kematangan sikap, mental dan kemampuan calon suami isteri sebelum melangsungkan

perkawinan sehingga diharapkan pemenuhan syarat-syarat untuk melangsungkan suatu

perkawinan sebagaimana diatur dalam UUP janganlah hanya dipenuhi secara

formalitas saja.

Sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku, suami sebagai kepala keluarga

dan isteri sebagai ibu rumah tangga, bersama-sama berusaha untuk menopang

kehidupan rumah tangga mencapai kebahagiaan lahir dan bathin. Perwujudan

kebahagiaan tersebut tentu dengan terpenuhinya kebutuhan material dan moral. Salah

satunya adalah kecukupan ekonomi yaitu “harta” yang didapatkan sebagai hasil usaha

bersama/sendiri oleh suami atau isteri dalam suatu perkawinan selanjutnya disebut

harta bersama.

Aktivitas yang dilakukan oleh suami isteri merupakan suatu tuntutan dan

keharusan untuk menghindari kekurangan pemenuhan kebutuhan hidup. Dengan

demikian pekerjaan yang akan mendatangkan kebahagiaan rumah tangga bukanlah

semata-mata menjadi tugas suami tetapi turut dipikul oleh isteri. Perwujudan harta

bersama dalam perkawinan merupakan manifestasi dari adanya usaha bersama dalam

membina rumah tangga. Undang-Undang telah melegalisasi bahwa kedudukan wanita

seimbang dengan kedudukan laki-laki dalam hukum dan pergaulan masyarakat,

dengan demikian suami isteri memikul kewajiban yang luhur untuk mewujudkan

Anastasius Rico Haratua Sitanggang : Analisis Yuridis Tentang Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian..., 2009 USU Repository © 2008

92

rumah tangga yang sejahtera dan damai, oleh karena itu masing-masing suami isteri

mempunyai hak dan kedudukan yang seimbang. Dengan adanya hak dan kedudukan

yang seimbang serta keharusan masing-masing pihak untuk berusaha menopang

kehidupan ekonomi rumah tangga sehingga harta yang didapat dalam masa

perkawinan disebut harta bersama.

Perkawinan sangat erat kaitannya dengan harta benda baik yang ada sebelum

perkawinan maupun yang ada setelah perkawinan. Secara umum asal usul harta yang

dimiliki suami dan isteri dapat digolongkan menjadi 4 (empat) jenis, yaitu :

1. Harta yang diperoleh dari hibah atau harta warisan yang diperoleh salah

seorang dari suai atau isteri.

2. Harta hasil usaha sendiri sebelum perkawinan.

3. Harta yang diperoleh pada saat perkawinan.

4. Harta yang diperoleh selama perkawinan.

Harta yang bersumber dari hibah atau harta warisan, baik yang diterima

sebelum perkawinan maupun selama perkawinan statusnya adalah tetap menjadi milik

masing-masing suami isteri. Harta yang bersumber dari hasil usaha sendiri sebelum

perkawinan tetap dikuasai oleh masing-masing suami isteri. Selanjutnya harta yang

diperoleh pada saat perkawinan, ada yang menjadi milik isteri dan ada yang menjadi

milik suami, sedangkan harta yang dihasilkan oleh suami isteri selama dalam

perkawinan dikuasai bersama oleh suami dan isteri.

Anastasius Rico Haratua Sitanggang : Analisis Yuridis Tentang Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian..., 2009 USU Repository © 2008

93

Di dalam UUP harta benda diatur dalam Pasal 35 sampai dengan Pasal 37

UUP. Ada 2 (dua) macam harta benda dalam perkawinan menurut UUP yaitu :

1. Harta bersama

Harta bersama adalah harta benda yang diperoleh selama perkawinan. Asal dari

mana harta itu diperoleh tidak dipersoalkan. Apakah harta itu didapat dari isteri

atau dari suami, semuanya menjadi hak milik bersama suami isteri.

2. Harga bawaan

Harta bawaan adalah harta yang dibawa oleh masing-masing suami isteri kedalam

perkawinannya, harta benda yang diperoleh masing-masing berada di bawah

penguasaan masing-masing.

Ketentuan mengenai harta bersama yang dituangkan dalam Pasal 35 Ayat (1)

UUP dan Pasal 36 Ayat (1) UUP tersebut berasal dari hukum adat yang kemudian

dilegalisasikan ke dalam hukum tertulis Indonesia.

Di samping ketentuan yang telah disebutkan dalam UUP Pasal 35 sampai

dengan Pasal 37 mengenai harta bersama, maka pengertian harta dalam perkawinan

dapat dikembangkan kepada 3 (tiga) jenis harta yang dirinci sebagai berikut :

1. Harta bawaan, yang dimaksud ialah harta yang diperoleh suami isteri pada

saat atau sebelum melakukan perkawinan, harta tersebut sebagai milik asli

dari suami dan isteri. Pemilikan terhadap harta bawaan (harta pribadi)

dijamin keberadaannya secara yuridis oleh hukum perkawinan.

Anastasius Rico Haratua Sitanggang : Analisis Yuridis Tentang Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian..., 2009 USU Repository © 2008

94

2. Harta pribadi, yaitu harta yang diperoleh oleh suami atau isteri selama

perkawinan berlangsung sebagai hadiah, hibah, wasiat atau warisan yang

diperoleh secara pribadi terlepas dari soal perkawinan.

3. Harta bersama, yaitu harta yang diperoleh dalam masa perkawinan dalam

kaitannya dengan hukum perkawinan, baik penerimaan itu lewat

perantaraan isteri maupun lewat perantaraan suami.

Mengenai terbentuknya harta bersama dalam perkawinan sebagaimana

disebutkan dalam Pasal 35 UUP Ayat (1) “harta benda yang diperoleh selama

perkawinan menjadi harta bersama”. Ketentuan ini berarti terbentuknya harta bersama

dalam perkawinan ialah sejak saat terjadinya perkawinan sampai ikatan perkawinan itu

bubar (putus). Dengan demikian harta apa saja (berwujud atau tidak berwujud) yang

diperoleh terhitung sejak saat dilangsungkan perkawinan sampai saat perkawinan

terputus baik oleh karena salah satu pihak meninggal dunia maupun karena perceraian,

maka seluruh harta tersebut dengan sendirinya menurut hukum menjadi harta bersama.

Subekti mengatakan sebagai berikut :

Sejak mulai perkawinan terjadi, suatu percampuran antara kekayaan suami dan kekayaan isteri (algehele gemeenschap van goederen), jikalau tidak diadakan perjanjian apa-apa. Keadaan yang demikian itu berlangsung seterusnya dan tidak dapat diubah lagi selama perkawinan. Jikalau orang ingin menyimpang dari peraturan umum itu, ia harus meletakkan keinginannya itu dalam suatu “Perjanjian Perkawinan” (huwelijkevoorwaarden). Perjanjian yang demikian ini harus diadakan sebelumnya pernikahan ditutup dan diletakkan dalam suatu akta notaris.70 Menurut Pasal 119 KUHPerdata dinyatakan, “mulai saat perkawinan

dilangsungkan, demi hukum berlakulah persatuan bulat antara harta kekayaan suami

70Subekti, Op.Cit., hal. 31-32.

Anastasius Rico Haratua Sitanggang : Analisis Yuridis Tentang Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian..., 2009 USU Repository © 2008

95

dan isteri, sekedar mengenai itu dengan perjanjian kawin tidak diadakan ketentuan

lain, persatuan itu sepanjang perkawinan tidak boleh atau diubah dengan sesuatu

persetujuan antara suami dan isteri. Jika orang ingin menyimpang dari ketentuan

umum itu, ia harus menempuh jalan dengan membuat perjanjian kawin yang diatur

dalam Pasal 139 sampai dengan 154 KUHPerdata. Perjanjian yang demikian harus

diadakan sebelum berlangsungnya pernikahan, dan harus dicantumkan dalam suatu

akta notaris. Pembuat undang-undang menghendaki supaya keadaan kekayaan di

dalam suatu perkawinan itu tetap untuk melindungi kepentingan-kepentingan pihak

ketiga. Selama perkawinan perjanjian tersebut tidak dapat dirubah, kecuali dengan

persetujuan kedua belah pihak dan perubahan itu tidak merugikan pihak ketiga. Dalam

hal terjadi perceraian, maka hak atau kepentingan pihak ketiga dilindungi oleh undang-

undang.

Undang-Undang hanya mengecualikan dalam satu hal, yaitu dalam hal

melindungi si isteri terhadap kekuasaan si suami yang telah diberikan sangat luas atas

kekayaan bersama yang di dalamnya termasuk kekayaan si isteri. Dalam hal ini

undang-undang memberikan hak kepada si isteri untuk meminta kepada Hakim supaya

diadakan pemisahan kekayaan dengan tetap berlangsungnya perkawinan.

Pemisahan terhadap kekayaan itu dapat diminta oleh isteri dalam hal :

1. Apabila si suami dengan kelakuan yang nyata-nyata tidak baik, mengorbankan

kekayaan bersama dan membahayakan keselamatan keluarga.

2. Apabila si suami melakukan pengurusan yang buruk terhadap kekayaan si isteri,

sehingga ada kekhawatiran bahwa kekayaa ini akan menjadi habis.

Anastasius Rico Haratua Sitanggang : Analisis Yuridis Tentang Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian..., 2009 USU Repository © 2008

96

3. Apabila si suami mengobralkan kekayaan sendiri, sehingga si isteri akan

kehilangan tanggungan yang oleh undang-undang diberikan kepadanya atas

kekayaan tersebut karena pengurusan yang dilakukan oleh suami terhadap

kekayaan isterinya.

Penyelesaian pembagian harta perkawinan/harta bersama apabila terjadi

perceraian diuraikan dalam Pasal 128 KUHPerdata yang menyatakan bahwa harta

bersama ini dibagi dua antara suami dan isteri tanpa perlu memperhatikan dari pihak

mana barang-barang itu dahulu diperoleh. Hanya pakaian-pakaian, perhiasan-perhiasan

dan perkakas-perkakas yang sangat erat hubungannya dengan salah satu pihak dari

suami isteri, dapat diberikan kepadanya dengan memperhitungkan harganya dalam

pembagian.

Ketentuan yang ditetapkan dalam UUP menempatkan status isteri sama

kedudukannya dengan status suami dalam perbuatan hukum sebagaimana disebutkan

dalam Pasal 31 UUP yaitu :

1. Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama-sama dalam masyarakat.

2. Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum. 3. Suami adalah kepala keluarga dan isteri ibu rumah tangga. Kedudukan isteri seimbang dengan hak dan kedudukan suami serta isteri diberi

hak melakukan perbuatan hukum serta status isteri sebagai ibu rumah tangga. Karena

itu terhadap harta kekayaan masing-masing pribadi dijamin status kepemilikannya.

Sebagaimana disebutkan dalam UUP dengan rumusan “kewenangan masing-masing

pihak.”

Anastasius Rico Haratua Sitanggang : Analisis Yuridis Tentang Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian..., 2009 USU Repository © 2008

97

Di dalam UUP pengaturan tentang harta bersama tersebut diatur dalam Bab VII

yang mengatur harta benda dalam perkawinan, terdiri dari tiga pasal, yaitu Pasal 35,

Pasal 36 dan 37 UUP, ditambah dengan Pasal 65 ayat (1) huruf b dan c dalam Bab

XIII.

Berlainan dengan Pasal 119 KUHPerdata yang mengatur persatuan bulat antara

harta kekayaan suami isteri demi hukum sejak berlangsungnya perkawinan. Sekedar

mengenai itu dengan perjanjian kawin tidak diadakan ketentuan lain, maka UUP

membedakan 2 (dua) jenis harta yang berada di tangan suami.

1. Harta bersama yang dimiliki dan dikuasai oleh suami isteri bersama-sama

Mengenai harta jenis ini, suami atau isteri dapat bertindak atas persetujuan

kedua belah Pasal 36 ayat (1) UUP. Yang termasuk harta bersama ini harta

yang diperoleh selama perkawinan suami isteri.

2. Harta yang dimiliki dan dikuasai oleh masing-masing suami isteri,

sepanjang mereka berdua tidak menentukan lain.

Harta ini berasal dari tiga sumber, yaitu :

a. Harta yang sudah dipunyai suami isteri sebelum mereka melangsungkan

perkawinan,

b. Harta warisan dan

c. Harta hadiah yang ditujukan kepada suami atau isteri (Pasal 35 Ayat (2)

dan Pasal 36 Ayat (2) UUP).

Anastasius Rico Haratua Sitanggang : Analisis Yuridis Tentang Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian..., 2009 USU Repository © 2008

98

Ketentuan dalam Pasal 35 Ayat (1) dan Pasal 36 Ayat (1) adalah berasal dari

hukum adat Indonesia dan diangkat menjadi hukum tertulis. Sedangkan ketentuan

dalam Pasal 36 Ayat (2) dan Pasal 35 Ayat (2) selain berasal dari hukum adat juga

berasal dari hukum Islam. Adapun ketentuan dalam Pasal 35 Ayat (1) dan Pasal 36 (1)

memang bukan berasal dari hukum Islam tetapi hukum Islam tidak menentangnya.

Jika Pasal 35 dan Pasal 36 UUP memberikan penjelasan secara tegas tentang

adanya dua jenis harta suami isteri dan tentang pengaturan kekuasaan suami isteri

terhadap kedua jenis harta tersebut, namun Pasal 37 yang mengatur harta bersama

dalam hal perkawinan putus adalah tidak tegas. Dalam pasal ini tidak dijelaskan

apakah putusnya karena perceraian ataupun karena kematian. Pasal ini tidak menunjuk

secara tegas pembagian harta bersama ini antara suami-isteri melainkan hanya

menunjuk kepada hukumnya masing-masing. Dalam penjelasan pasal demi pasal

bahwa yang dimaksud dengan hukumnya masing-masing adalah hukum agama, adat

dan hukum-hukum lainnya.

Pembuat undang-undang berpendapat bahwa aturan masalah ini secara pasti

masih sulit, karena masih beraneka ragamnya adat di berbagai daerah di Indonesia,

maka diserahkan saja kepada hukumnya masing-masing. Dengan adanya Pasal 35 ayat

(1) UUP yang menyatakan bahwa harta benda yang diperoleh selama perkawinan

menjadi harta bersama, maka sudah seragamlah untuk seluruh Indonesia bahwa

seorang isteri yang berkewarganegaraan Indonesia, mempunyai hak atas harta yang

dihasilkan selama perkawinan.

Anastasius Rico Haratua Sitanggang : Analisis Yuridis Tentang Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian..., 2009 USU Repository © 2008

99

Dengan berlakunya UUP, maka berdasarkan Pasal 35 ayat (1) UUP, tidak

berlaku lagi terhadap Warga Negara Indonesia, hukum adat yang tidak memberikan

hak atas harta yang dihasilkan selama perkawinan. Berdasarkan ayat (2) pasal tersebut,

maka tidak ada lagi warga negara Indonesia yang sejak dilangsungkannya perkawinan,

demi hukum berlaku persatuan bulat antara kekayaan suami isteri, kecuali kalau

mereka berdua menghendaki diadakannya perjanjian perkawinan sebagaimana yang

diatur dalam Pasal 29 ayat (1) UUP.

Pasal 65 ayat (1) huruf b, c yang berbunyi “Dalam hal seorang suami beristeri

lebih dari seorang, baik berdasarkan hukum lama maupun berdasarkan Pasal 3 (2)

Undang-Undang ini, maka berlakulah ketentuan-ketentuan sebagai berikut :

1. Suami wajib memberikan jaminan hidup yang sama kepada semua.

2. Isteri dan anaknya.

3. Isteri yang kedua dan seterusnya tidak mempunyai hak atas harta bersama

yang telah ada sebelum perkawinan dengan isteri kedua dan berikutnya itu

terjadi.

4. Suami isteri mempunyai hak yang sama atas harta bersama yang terjadi

sejak perkawinannya masing-masing.

Anastasius Rico Haratua Sitanggang : Analisis Yuridis Tentang Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian..., 2009 USU Repository © 2008

100

BAB IV

PERTIMBANGAN HUKUM HAKIM DALAM MEMUTUS PERKARA PERCERAIAN DAN PERKARA PERDATA PADA UMUMNYA

A. Persentuhan Hukum Agama dengan UUP No. 1 Tahun 1974

Pada kenyataannya pembuat Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang

Perkawinan menyatakan adalah sah apabila dilakukan menurut agamanya masing-

masing dan kepercayaannya. Pasal 2 ayat (1) menyebutkan bahwa agama yang

dimaksud adalah merujuk Pasal 29 ayat (2) UUD 1945, yaitu Negara menjamin

kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya dan kepercayaannya itu.

Agama dan kepercayaan melahirkan dua interpretasi yaitu :

1. Agama dan kepercayaan adalah satu kesatuan sebagai bentuk ketaatan dan

kepercayaan dalam agama yang dianutnya. Hal ini merupakan tafsir yang

umumnya dipegang oleh para pembuat Undang-Undang Dasar 1945.

2. Agama sebagai satu kesatuan dari kepercayaannya kepada Tuhan Yang Maha Esa

sebagai satu kesatuan yang lain dan keduanya merupakan entitas yang berbeda

yang menginginkan pengakuan tersendiri kepada aliran kepercayaan di Indonesia.

Dalam komunitas masyarakat yang sedang berkembang dan yang dipegang

sampai sekarang adalah nilai-nilai sistem aturan norma-norma yang ditaati berdasarkan

perundang-undangan yang tetap meneruskan hukum perkawinan berdasarkan agama

yang berlaku sejak lama di Indonesia. Campur tangan negara hanyalah dalam bidang

pencatatan sehingga dalam ayat (2) Pasal 2 UUP Tahun 1974 menyatakan “Tiap-tiap

perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.”

Anastasius Rico Haratua Sitanggang : Analisis Yuridis Tentang Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian..., 2009 USU Repository © 2008 82

101

Pro-kontra yang terjadi di masyarakat jika dikaitkan dengan hukum agama

dengan hukum negara yaitu UUP No. 1 Tahun 1974 berdasarkan Pasal (2) UUP No. 1

Tahun 1974 adalah :

1. Sebagai jalan terakhir dilakukan dalam hal ini yang pertama sebagian kecil

masyarakat tidak melaksanakan perkawinan menurut hukum agamanya, karena

adanya pasangan yang melangsungkan perkawinan menurut hukum agamanya. Ini

timbul karena adanya pasangan yang melangsungkan perkawinan berbeda agama

(walaupun persentasenya sangat kecil). Sementara menurut UUP Tahun 1974

secara tegas tidak mengatur perkawinan beda agama.

Praktek yang ditempuh biasanya salah satu pihak pindah ke agama pihak lain. Hal

ini memang banyak terjadi, tetapi bila salah satu pihak tidak mau berpindah agama

ke agama calon suami atau isteri, maka perkawinan batal dilaksanakan. Kasus yang

terkenal untuk yang terakhir ini adalah rencana perkawinan Christine Hakim

dengan teman pria beda agamanya yang telah membina hubungan setelah

bertahun-tahun.

2. Sebagai jalan keluar yang kedua ditempuh adalah melaksanakan perkawinan di

luar negeri, yaitu di salah satu negara sekular yang tidak mengharuskan

perkawinan berdasarkan hukum agama, misalnya negara Singapura, lalu

perkawinan tersebut dicatatkan di Kantor Catatan Sipil (KCS) tetapi pada akhir-

akhir ini Kantor Catatan Sipil (KCS) menolak pencatatannya.

3. Sebagai jalan keluar ketiga perkawinan beda agama melalui penghulu liar seperti

pernikahan pemeluk agama Katolik dengan Islam misalnya Dedy Corbuzier dan

Anastasius Rico Haratua Sitanggang : Analisis Yuridis Tentang Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian..., 2009 USU Repository © 2008

102

Kalina dilaksanakan Penghulu Zainun Kamal, Doktor UIN yang juga penghulu

pribadinya. Perkawinan ini tegas ditolak oleh para ahli hukum Islam yang juga

tidak sesuai dengan UUP No. 1 Tahun 1974.

4. Sebagai jalan keluar keempat seperti yang ditempuh oleh sebuah putusan

Mahkamah Agung (MA) pada tahun 1990 yang mensahkan perkawinan beda

agama berdasarkan hukum antar golongan yang berlaku di zaman penjajahan

Belanda. Putusan yang merupakan sebuah langkah mundur karena adanya dua hal

yaitu :

a. Dengan berlakunya Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 maka

hukum perkawinan yang ada sebelum Undang-Undang Perkawinan No. 1

Tahun 1974 tidak berlaku lagi (Pasal 66 UUP/1974).

b. Hukum perkawinan antar golongan yang diberlakukan Belanda bertolak dari

pandangan bahwa perkawinan adalah sebuah kontrak sekular sedangkan di

Negara Republik Indonesia berdasarkan KeTuhanan Yang Maha Esa, tidak

mungkin dipahami di luar ajaran agama.

Secara umum dan menyeluruh bahwa masyarakat melaksanakan perkawinan

berdasarkan hukum agama tetapi tidak mencatatkannya berdasarkan peraturan

perundang-undangan yang berlaku. Seperti yang terjadi dalam kasus yang cukup

berarti di berbagai pengadilan agama tentang permohonan penetapan perkawinan yang

diajukan oleh salah satu pasangan yang pernah menikah secara agama atau ahli waris

mereka guna untuk mendapatkan harta warisan. Bila perkawinan dapat dibuktikan di

Pengadilan Agama dan disahkan, maka harta almarhum dapat dibagi kepada ahli

Anastasius Rico Haratua Sitanggang : Analisis Yuridis Tentang Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian..., 2009 USU Repository © 2008

103

warisnya. Penyebab bahwa masyarakat berkeyakinan bahwa perkawinan dilakukan

berdasarkan hukum agamanya masing-masing murni yang tidak perlu dicampuri oleh

negara. Apabila perkawinan sudah sah secara agama, timbul pendapat di masyarakat

untuk apa dicatatkan apalagi pencatatan tersebut memberatkan diri dilihat dari segi

biaya dan birokrasi. Juga disebabkan kurangnya penyuluhan hukum dari pemerintah

atau institusi-institusi terkait tentang pentingnya pencatatan perkawinan yang tidak

adanya sanksi hukum untuk perkawinan yang tidak dicatatkan. Terjadinya hal-hal

seperti itu disebabkan gejala akibat dampak samping proses modernisasi di Indonesia

yang diikuti dengan menurunnya pegangan hidup kepada nilai-nilai moral dan agama.

Kurangnya pengawasan masyarakat dan akibat ketiadaan norma-norma hukum

yang melarang dan mempidanakan perbuatan tersebut, ada istilah do it, everyday does

(revisi perundang-undangan dengan memidanakan perbuatan pasangan hidup bersama

tanpa tali perkawinan) disebabkan adanya dua pencatatan perkawinan yang berbeda :

1) Pegawai Pencatat Nikah (PPN) pada Kantor Urusan Agama.

2) Kantor Catatan Sipil (KCS).

Kedua-duanya jelas tidak efisiensi dari segi administratif mengenai pencatatan dan

cita-cita penyatuan hukum Nasional.

B. Dasar Yuridis

Undang-Undang No. 8 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang

No. 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum Pasal 12 Ayat (1) menyatakan bahwa

Hakim Pengadilan adalah pejabat yang melaksanakan tugas kekuasaan kehakiman.

Anastasius Rico Haratua Sitanggang : Analisis Yuridis Tentang Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian..., 2009 USU Repository © 2008

104

Kemudian Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman

Pasal 5 Ayat (2) menyatakan: Pengadilan membantu pencari keadilan dan berusaha

mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan yang

sederhana, cepat, dan biaya ringan. Maka profesi hakim dalam peraturan perundang-

undangan tersebut di atas adalah Hakim sebagai pejabat kekuasaan kehakiman yang

memeriksa dan mengadili perkara yang diajukan kepadanya.

Dalam penelitian ini Hakim Pengadilan Negeri Siak Sri Indrapura yang

memeriksa dan mengadili perkara perdata (perceraian) dalam tingkat pertama yang

diberi wewenang untuk memeriksa dan memutuskan perkara perdata (perceraian)

tingkat pertama. Pengadilan Tinggi mempunyai wewenang untuk memeriksa dan

memutuskan perkara perdata (perceraian) yang dimintakan banding serta Mahkamah

Agung memeriksa dan memutuskan perkara perdata (perceraian) tingkat terakhir

tentang perkara yang dimintakan kasasi.

Fungsi kekuasaan kehakiman diatur dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun

2004 tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 1 yang menyebutkan: Kekuasaan

Kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan

peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi

terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia.

Maka Hakim berfungsi sebagai penegak hukum di samping sebagai pengabdi

hukum. Pengabdi hukum dapat dilihat dari berbagai bidang seperti tersebut di bawah

ini :

Anastasius Rico Haratua Sitanggang : Analisis Yuridis Tentang Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian..., 2009 USU Repository © 2008

105

1. Pengabdi hukum di bidang legislatif yang bertugas untuk merancang suatu

Rancangan Undang-Undang yang juga sering disebut dengan istilah Legal

Drafter.

2. Pengabdi hukum di bidang eksekutif yaitu pelaksana dari hukum seperti

Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah serta pengabdi hukum di bidang

pemberi jasa atau pelayanan hukum seperti Notaris. Di samping itu

pengabdi hukum di bidang ini adalah penegak hukum yang bertugas di

Kepolisian, Kejaksaan, dan Pengacara/Konsultan hukum (Polisi, Jaksa, dan

Advokat/Pengacara).

3. Pengabdi hukum di bidang yudikatif, yaitu lembaga yang berwenang

mengji dan memberikan kepastian hukum bagi masyarakat pencari keadilan

yaitu lembaga peradilan yang dalam hal ini adalah Mahkamah Agung dan

Badan Peradilan dibawahnya serta Mahkamah Konstitusi.

Dalam Pasal 50 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 Tentang Peradilan

Umum jo. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-

Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum menyebutkan bahwa

Pengadilan Negeri bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan

perkara pidana dan perkara perdata di tingkat pertama. Dari rumusan pasal perundang-

undangan tersebut, tugas pokok Hakim adalah menerima, memeriksa dan mengadili

perkara-perkara yang diajukan kepadanya. Dalam uraian tersebut telah dijelaskan

siapa-siapa yang dimaksud pengabdi hukum dari berbagai sudut pandang, diantaranya

pengabdi hukum pada pengadilan adalah hakim.

Anastasius Rico Haratua Sitanggang : Analisis Yuridis Tentang Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian..., 2009 USU Repository © 2008

106

Senada dengan itu Sujatmiko, SH mengatakan bahwa :

Tugas pengadilan memang identik dengan tugas Hakim sehingga sering menimbulkan anggapan bahwa pengadilan itu adalah Hakim, padahal dalam melaksanakan tugas pokok yaitu menerima, memeriksa dan mengadili perkara yang dimajukan kepadanya, Hakim harus dibantu oleh peraturan pengadilan atau staf seperti yang diatur dalam perundang-undangan.71 Hakim sebagai aparatur hukum mempunyai fungsi ganda yaitu di satu pihak

sebagai aparatur negara, abdi negara dan abdi masyarakat yang dengan penuh

kesetiaan kepada Pancasila dan UUD 1945 (sekarang UUD 1945 amandemen ke-IV

Tahun 2002), di lain pihak sebagai aparatur hukum, abdi hukum yang harus

menegakkan hukum dan keadilan dalam masyarakat, yaitu melalui perkara-perkara

yang diajukan kepadanya.

Sebagai abdi negara Hakim harus mengutamakan kepentingan negara di atas

kepentingan pribadi dan sebagai abdi masyarakat memberikan pelayanan kepada

masyarakat. Sedangkan sebagai abdi hukum (pengayom hukum) dituntut untuk

menegakkan hukum, memberikan pengayoman kepada masyarakat pencari keadilan.

Di samping tugas pokok Hakim seperti telah diuraikan tersebut masih ada tugas

Hakim yang lain, diantaranya berdasarkan Peraturan Menteri Kehakiman Republik

Indonesia Nomor M.05.PR.08.10 Tahun 1988 tentang Pola Pemantapan Penyuluhan

Hukum Pasal 1 F menyatakan : Hakim Masuk Desa adalah kegiatan penyuluhan

hukum yang dilaksanakan oleh Hakim berdasarkan petunjuk pelaksanaan yang

ditetapkan oleh Menteri Kehakiman (sekarang Menteri Hukum dan Hak Asasi

71Sujatmiko, Op.Cit., Wawancara 11 Juli 2007.

Anastasius Rico Haratua Sitanggang : Analisis Yuridis Tentang Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian..., 2009 USU Repository © 2008

107

Manusia). Perkara yang diajukan ke pengadilan bertujuan untuk memperoleh suatu

putusan dari Hakim yang mengadili. Putusan Hakim tersebut merupakan suatu akhir

dari suatu proses perkara karena putusan itu memuat kesimpulan terakhir mengenai

hukum dari Hakim serta memuat pula akibat-akibatnya.

Pada pertengahan sidang bisa terjadi putusan insidentil, yang dapat

menimbulkan perbedaan-perbedaan dengan vonis perkara pokok. Dalam beberapa

perkara, vonis insidentil dapat pula merupakan putusan akhir yang mengakhiri suatu

proses, karena putusan itu memuat putusan yang defenitif pada instansi yang

bersangkutan. Dalam perkara perdata putusan hakim terdiri dua macam yaitu

penetapan dan putusan.

Penetapan yang diberikan pada perkara-perkara permohonan disebut yurisdiksi

voluntair, yaitu perkara yang diperiksa dan diadili oleh Hakim Tunggal, sifat dari

perkara ini bukan merupakan sengketa antara dua pihak atau lebih tetapi

permohonan seseorang, karena itu putusan berbentuk penetapan. Putusan diberikan

pada perkara sengketa atau perkara gugat menggugat, perkara ini pada umumnya

diperiksa dan diadili oleh Hakim Majelis terdiri dari 1 (satu) orang Hakim Ketua dan 2

(dua) Hakim Anggota, yang saat memulai sidang terlebih dahulu diberikan kesempatan

kepada para pihak mengadakan perdamaian sebelum berlanjut ke acara pemeriksaan

perkara.

Anastasius Rico Haratua Sitanggang : Analisis Yuridis Tentang Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian..., 2009 USU Repository © 2008

108

Putusan dalam perkara perdata yang dibuat Hakim yang mengadili, terdiri dari

4 bagian yaitu :

1. Kepala Putusan

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman dalam

Pasal 4 Ayat (1) menyebutkan : Peradilan dilakukan “DEMI KEADILAN

BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”.

Berdasarkan ketentuan Pasal 224 HIR atau Pasal 258 Rbg, kepala putusan ini

memberi kekuatan eksekutorial pada putusan tersebut tanpa kepala putusan, putusan

ini tidak dapat dieksekusi.

Sejarah irah-irah ini bisa dilihat dalam berbagai peraturan perundang-undangan

diantaranya adalah :

a. Di dalam Pasal 453 BRV menegaskan kepala putusan harus memuat kata-kata

“Atas Nama Raja”.

b. Di dalam Undang-Undang Darurat No. 1 Tahun 1951, kepala putusan harus

memuat kata-kata “Atas Nama Bala Tentara Nippon”.

c. Di dalam Pasal 224 HIR kepala putusan harus memakai perkataan “Atas Nama Sri

Baginda Raja” yang di dalam penjelasannya menyatakan perkataan atas sri baginda

raja harus dibaca atas nama keadilan.

Sekarang berdasarkan Pasal 4 Ayat (1) UU No. 4 Tahun 2004 Tentang

Kekuasaan Kehakiman menyatakan peradilan dilakukan demi keadilan berdasarkan

Ketuhanan Yang Maha Esa. Irah-irah putusan Hakim dengan irah-irah kepala akta

notaris atau groose akta yang apabila debitur wanprestasi langsung dapat dieksekusi

tanpa melalui proses gugatan.

Anastasius Rico Haratua Sitanggang : Analisis Yuridis Tentang Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian..., 2009 USU Repository © 2008

109

2. Komparisi

Identitas para pihak yang lengkap yang menunjukkan apakah pihak yang

berperkara memberi kuasa atau bertindak untuk kepentingannya sendiri. Penilaian

terhadap komparisi ini diperlukan yaitu :

a. Untuk mengetahui kompetensi pengadilan apakah berwenang atau tidak untuk

mengadili perkara tersebut.

b. Untuk mengetahui apakah Hakim yang menangani perkara tersebut terkena

kewajiban untuk mengundurkan diri dari pemeriksaan perkara tersebut.

c. Untuk mengetahui terpenuhi atau tidaknya syarat-syarat formil suatu gugatan.

d. Untuk mengetahui keabsahan surat kuasa.

3. Pertimbangan Hukum

Pertimbangan hukum merupakan dasar daripada putusan yang memuat alasan-

alasan Hakim, mengapa Hakim mengambil putusan demikian karena itu mempunyai

nilai objektif. Alasan dan dasar putusan harus dimuat dalam pertimbangan putusan

seperti yang dikehendaki oleh Pasal 184 HIR dan 195 Rbg serta Pasal 25 ayat (1)

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.

Setiap putusan harus memuat ringkasan yang jelas dari tuntutan dan jawaban

alasan dan dasar putusan, pasal-pasal dari undang-undang serta hukum tidak tertulis,

pokok perkara biaya perkara serta hadir tidaknya para pihak pada waktu putusan

diucapkan oleh Hakim. Sesuai Yurisprudensi Mahkamah Agung RI tanggal 22 Juli

1970 nomor 638/Sip/1969, memutuskan bahwa putusan yang tidak lengkap atau

kurang lengkap atau kurang cukup dipertimbangkan merupakan alasan tingkat kasasi

Anastasius Rico Haratua Sitanggang : Analisis Yuridis Tentang Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian..., 2009 USU Repository © 2008

110

untuk membatalkannya, ini memberi arti bahwa setiap alat bukti harus

dipertimbangkan secara seksama.

Demikian juga Pasal 25 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004

mengharuskan memuat pasal-pasal dari peraturan yang bersangkutan dari sumber-

sumber hukum yang tidak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili.

4. Amar

Penggugat dapat melihat dari petikan gugatannya yakni tuntutan yang

dimintakan. Pasal 178 ayat (2) dan 3 HIR atau Pasal 189 ayat (2) dan ayat (3) Rbg

menegaskan bahwa Hakim wajib mengadili semua bagian dari tuntutan dan dilarang

menjatuhkan putusan atau mengadili lebih daripada yang dituntut.

Hakim dalam menjalankan tugas dan kewajibannya tidak luput dari kendala

dalam memberikan pertimbangan hukum untuk kasus perceraian. Dalam penelitian ini,

kendala yang dihadapi oleh Hakim adalah menyangkut ketidakhadiran pihak tergugat

dalam persidangan ketika perkara gugatan perceraian mulai diperiksa di persidangan.

Menurut Sujatmiko dan Syafrizal yang sama-sama pernah bertugas sebagai hakim di

Pengadilan Negeri Bengkalis yang wilayah hukumnya meliputi wilayah Kabupaten

Siak ketika Pengadilan Negeri Siak Sri Indrapura belum terbentuk, mayoritas perkara

gugatan perceraian yang masuk ke Pengadilan hampir seluruhnya diputus verstek

tanpa kehadiran pihak tergugat. Dari sudut hukum acara perdata hal tersebut memang

dibenarkan, namun dari sisi moral hal ini sangat disayangkan karena mengingat tujuan

dan makna perkawinan yang begitu dalam seakan-akan dapat dengan mudah

Anastasius Rico Haratua Sitanggang : Analisis Yuridis Tentang Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian..., 2009 USU Repository © 2008

111

diputuskan melalui proses persidangan tanpa kehadiran pihak tergugat. Apabila

dicermati UUP Nomor 1 Tahun 1974 yang pada hakekatnya mempersulit terjadinya

proses perceraian, kedua nara sumber sepakat bahwa sebaiknya ada dibuat undang-

undang tersendiri yang khusus mengatur hukum acara dalam memeriksa dan mengadili

perkara perceraian yang sifatnya mempersulit terjadinya perceraian dengan cara salah

satunya adalah gugatan perceraian tidak dapat diperiksa oleh pengadilan apabila kedua

belah pihak tidak hadir di persidangan dan pengadilan tidak boleh memutus perkara

perceraian tanpa kehadiran pihak tergugat sebagaimana yang selama ini masih

dimungkinkan dalam Hukum Acara Perdata yang berlaku secara umum.

Hambatan lain yang dihadapi Hakim dalam memeriksa dan mengadili perkara

perdata pada umumnya adalah masalah seputar Hakim untuk menggali, memahami

dan menerapkan nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat ke dalam putusan

perkara perdata yang diperiksa dan diadili oleh para hakim di Pengadilan Negeri.

Hambatan dari masalah tersebut di atas disebabkan para Hakim sering

berpindah tempat tugas di seluruh wilayah Republik Indonesia sesuai dengan Program

Pembinaan Hakim oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia. Sehubungan dengan

penerapan nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat oleh Hakim sebagai dasar

dan alasan pertimbangan hukum dalam perkara perdata. Penerapan nilai-nilai hukum

yang menjadi dasar pertimbangan hukum Hakim dalam putusan perkara perdata

sebagaimana dalam tabel berikut ini :

Anastasius Rico Haratua Sitanggang : Analisis Yuridis Tentang Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian..., 2009 USU Repository © 2008

112

Tabel 3. Dasar Hakim Memberi Pertimbangan Hukum n=10

No. Keterangan Jumlah Persentase (%)

1. Melalui perundang-undangan 8 80 %

2. Melalui jurisprudensi 2 20 %

3. Melalui buku-buku 0 0 %

Jumlah 10 0 % Sumber : Data primer diolah 23 Juli 2007.

Berdasarkan tabel di atas Sujatmiko mengatakan dasar Hakim menggali nilai-

nilai hukum lebih dominan melalui perundang-undangan. Berdasarkan hasil

wawancara dengan Sujatmiko bahwa perundang-undangan menjadi patokan pertama,

bila tidak ada ditemukan dalam perundang-undangan maka dicari dalam yurisprudensi

dan jikalau tidak ada dicari sampai level terendah, atau bahwa kombinasi dari berbagai

sumber hukum lainnya.72 Upaya untuk meningkatkan kualitas di kalangan para Hakim

di Pengadilan Negeri Siak Sri Indrapura juga disebabkan oleh berbagai faktor, seperti

keterbatasan dana, kurangnya buku-buku literatur hukum, tempat yang relatif susah

dijangkau dan kurangnya doktrin.73 Sehubungan dengan kekurangan buku-buku

tersebut para hakim dapat mempelajari berkas perkara yang sama, yang telah

berkekuatan tetap.

Namun demikian dengan keadaan seperti itu, setiap putusan Hakim tetap harus

memuat pertimbangan hukum yang menyebutkan alasan dan dasar hukum bagi Hakim

untuk memutuskan suatu perkara. Menurut Soepomo, “Hakim wajib mengemukakan

72Sujatmiko, Op.Cit., Wawancara 11 Juli 2007. 73Syafrizal, Op.Cit., Wawancara 11 Juli 2007.

Anastasius Rico Haratua Sitanggang : Analisis Yuridis Tentang Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian..., 2009 USU Repository © 2008

113

pertimbangan hukumnya dalam putusannya berdasarkan alasan-alasan apa ia memberi

putusan yang dimuat di dalam diktum putusannya”.74

Undang-Undang memberikan pilihan kepada Hakim untuk menentukan alasan

dan dasar hukum pertimbangan putusannya yaitu berdasarkan Undang-Undang sebagai

hukum tertulis atau berdasarkan hukum tidak tertulis. Dalam hal tertentu para Hakim

dapat menghadapi kesulitan untuk menentukan satu dari dua pilihan yaitu dalam hal

Undang-Undang sebagai hukum tertulis bertentangan dengan nilai-nilai hukum agama

dalam masyarakat.

Masalah hukum yang telah terjadi perbedaan pendapat, baik secara teori

maupun dalam praktek hukum. Sudikno Mertokusumo mengatakan Hakim harus

memahami kenyataan sosial yang hidup dalam masyarakat dan ia harus memberi

putusannya berdasarkan kenyataan sosial yang hidup dalam masyarakat itu.75 Dari

pernyataan itu diharapkan agar Hakim menerapkan nilai-nilai hukum yang hidup

dalam masyarakat. Berdasarkan hasil wawancara dengan Sujatmiko dapat diketahui

jawaban tentang pendapat Hakim memutuskan perkara, melalui Tabel-4 berikut ini:

Tabel 4. Pendapat Hakim Tentang Memutuskan Perkara n=10

No Keterangan Jumlah Persentase (%)

1. Menerapkan rasa keadilan dalam masyarakat 3 30 %

2. Menerapkan Undang-Undang 7 70 %

Jumlah 10 100 %

Sumber : Data primer diolah 23 Juni 2007.

74R. Soepomo, Bab-bab Tentang Hukum Adat, Pradnya Paramita, Jakarta, 1994, hal. 40. 75Sudikno Mertokusumo, Op.Cit., hal. 52.

Anastasius Rico Haratua Sitanggang : Analisis Yuridis Tentang Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian..., 2009 USU Repository © 2008

114

Berdasarkan hasil wawancara dengan Syafrizal bahwa hakim cenderung pada

sikap untuk menerapkan Undang-Undang yang berlaku (hukum positif), namun juga

ada 3 responden yang cenderung lebih mengedepankan rasa keadilan dalam

masyarakat dalam putusannya meskipun itu secara juridis formal bertentangan dengan

peraturan perundang-undangan.

Sumber-sumber hukum dapat dijadikan oleh Hakim alat sebagai untuk

membantu dalam membuat pertimbangan putusan sebagai berikut :

a. Undang-Undang; Undang-Undang dalam arti formil yaitu dilihat dari siapa

yang membuat undang-undang tersebut atau cara pembentukannya. Dalam

arti materil dilihat isi dari undang-undang itu apakah undang-undang

tersebut dapat mengikat dan ditaati oleh seluruh masyarakat.

b. Kebiasaan; Hukum yang terletak dalam suatu peraturan kebiasaan atau

suatu peraturan adat istiadat yang mendapat perhatian dari penguasa

masyarakat adat.

c. Traktat; Ketetapan yang ditetapkan oleh negara sebagai akibat dari adanya

kerjasama atau persetujuan dengan negara lain.

d. Jurisprudensi; Hukum yang terbentuk karena keputusan Hakim yang telah

berulang-ulang diputuskan dalam hal yang sama.

e. Doktrin; Hukum yang dibuat oleh pakar-pakar dan berkuasa dalam

pergaulan hukum. Jadi hukum yang terdapat dalam pandangan ahli yang

terkenal dan sangat berpengaruh.

Anastasius Rico Haratua Sitanggang : Analisis Yuridis Tentang Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian..., 2009 USU Repository © 2008

115

Hakim dalam menerima, memeriksa dan mengadili perkara-perkara yang

dimajukan kepadanya haruslah berdasarkan hukum. Hakim tidak berwenang

memberikan putusan tanpa dasar hukum.

Hakim dalam memeriksa perkara-perkara perdata akan berhadapan dengan dua

pihak yakni pihak Penggugat dan pihak Tergugat, baik yang bertindak sebagai kuasa

atau dirinya sendiri. Selanjutnya Hakim bertindak sebagai pihak yang netral dan secara

objektif mengadili perkara tersebut sesuai dengan hukum dan keadilan dalam kasus

perkara itu dan akhirnya akan memberikan kesimpulan hukum sebagai putusan yang

mengikat para pihak.

Hakim dalam memeriksa dan mengadili perkara dan ternyata peristiwa-

peristiwa hukum atau fakta-fakta hukum dalam perkara itu telah diatur secara jelas

dalam suatu undang-undang, maka Hakim tinggal menerapkan undang-undang itu

kepada peristiwa konkrit tersebut dan menjatuhkan putusan sebagai kesimpulannya.

Pembuat Undang-Undang membuat peraturan umum, sedangkan Hakim hanya

mengkonstatir bahwa undang-undang dapat diterapkan pada peristiwanya, kemudian

Hakim menerapkan menurut bunyi undang-undang. Hakim tidak menjalankan fungsi

mandiri dalam penerapan undang-undang terhadap peristiwa hukum yang konkrit,

Hakim cenderung hanya merupakan corong undang-undang yang tidak dapat

mengubah atau menambah undang-undang.

Tapi sebaliknya jika dalam hal Hakim memeriksa dan mengadili perkara yang

dimajukan kepadanya, setelah hakim menemukan fakta-fakta konkrit, ternyata undang-

undang yang akan diterapkan kepada peristiwa-peristiwa konkrit itu belum

Anastasius Rico Haratua Sitanggang : Analisis Yuridis Tentang Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian..., 2009 USU Repository © 2008

116

mengaturnya, hakim harus menemukan hukum dan menggali nilai-nilai hukum dalam

masyarakat, atau dengan kata lain hakim harus menemukan hukum (rechtsvinding).

Van Eikema Hommes mengatakan “Pengertian penemuan hukum adalah lazimnya

diartikan sebagai proses pembentukan hukum oleh Hakim atau petugas-petugas hukum

lainnya yang diberi tugas melaksanakan hukum terhadap peristiwa-peristiwa hukum

yang konkrit.”.76

Hakim dalam memeriksa, mengadili dan memutuskan perkara-perkara perdata

yang diajukan kepadanya, sesuai dengan tugas dan sumpah jabatan harus memutuskan

berdasarkan hukum yang berkeadilan terhadap kasus-kasus konkrit. Dalam hal kasus

konkrit tersebut telah diatur secara jelas dalam undang-undang maka Hakim dapat

secara langsung menerapkan undang-undang tersebut ke dalam kasus tersebut tanpa

menggali nilai-nilai hukum yang hidup di dalam masyarakat tentang kasus konkrit itu.

Hakim harus menggali nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat,

sebagaimana telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang

Kekuasaan Kehakiman Pasal 16 Ayat (1) berbunyi : Pengadilan tidak boleh menolak

untuk memeriksa, mengadili dan memutus sesuatu perkara yang diajukan dengan dalih

bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan

mengadilinya.

Oleh karena itu hakim sebagai organ pengadilan dianggap memahami hukum.

Pencari keadilan datang padanya untuk memohon keadilan, jika tidak menemukan

hukum tertulis, ia wajib menggali hukum tidak tertulis untuk memutuskan berdasarkan

76Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, Op.Cit., hal. 4.

Anastasius Rico Haratua Sitanggang : Analisis Yuridis Tentang Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian..., 2009 USU Repository © 2008

117

hukum sebagai seorang yang bijaksana dan bertanggungjawab penuh kepada Tuhan

Yang Maha Esa, diri sendiri, masyarakat, bangsa dan negara. Hakim memahami,

mempertimbangkan nilai-nilai hukum barulah hakim memutuskan apa hukumnya dan

apa memenuhi rasa keadilan dalam kasus konkrit perkara itu.

Jika hakim berpendapat bahwa nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat tidak

sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945 atau bertentangan dengan perundang-

undangan lainnya, maka hakim tidak wajib menerapkannya dalam putusannya, sebab

negara memberikan kewenangan kepada hakim untuk menentukan hukumnya bukan

terpaku pada nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat itu tentunya dan hal itu dapat

dipahami karena dalam masyarakat mengalami perubahan nilai-nilai dan berkembang

dengan pesat sejalan dengan perubahan sosial dalam masyarakat.

Dari uraian tersebut penerapan nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat

yang pada intinya adalah tindakan hakim untuk menerapkan dalam masyarakat ke

dalam peristiwa konkrit dan mengangkatnya sebagai alasan dan dasar pertimbangan

hukum dari putusan hakim tersebut.

Dasar hukum keberadaan kekuasaan kehakiman di Indonesia adalah Undang-

Undang Dasar 1945 (sekarang UUD 1945 Amandemen ke-IV Tahun 2002). Di dalam

Undang-Undang Dasar 1945 (Amandemen ke-IV), kekuasaan kehakiman diatur pada

Pasal 24 Ayat (1) yaitu “Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka

untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan” dan Ayat

(2) yang berbunyi “kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung

dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum,

Anastasius Rico Haratua Sitanggang : Analisis Yuridis Tentang Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian..., 2009 USU Repository © 2008

118

lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata

usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi” serta Pasal 25 yang berbunyi

“Syarat-syarat untuk menjadi dan untuk diberhentikan sebagai Hakim ditetapkan

dengan Undang-Undang”. Ditegaskan lebih lanjut oleh penjelasan pasal-pasal tersebut

bahwa “kekuasaan kehakiman ialah kekuasaan yang merdeka, artinya terlepas dari

pengaruh kekuasaan pemerintah.

Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman adalah

salah satu undang-undang yang menjamin kedudukan pada Hakim. Pasal 1 dari

undang-undang tersebut menyebutkan: “Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan

negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum

dan keadilan berdasarkan Pancasila demi terselenggaranya Negara Hukum Republik

Indonesia”. Hakim sebagai pejabat peradilan negara bertugas untuk menegakkan

hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila melalui perkara-perkara yang dihadapkan

kepadanya, sehingga keputusannya mencerminkan perasaan keadilan bangsa dan

rakyat Indonesia.77

Pancasila dijadikan dasar bagi Hakim dalam menyelesaikan perkara-perkara yang dihadapkan kepadanya. Pancasila sebagai satu-satunya asas dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia mengandung nilai-nilai yang memungkinkan tegaknya keadilan hukum baik di dalam landasan ketentuan hukum itu sendiri maupun bagi pedoman pelaksananya. Dua sisi ini di dalam pelaksanaannya tidak mungkin terpisahkan akan tetapi harus selaras.78 Keselarasan antara ketentuan hukum dengan kebijaksanaan hukum merupakan

tumpuan pengambilan keputusan hukum. Untuk tercipta keselarasan ini, Undang-

77Djoko Prakoso, Penyidik, Penuntut Umum, Hakim, Dalam Proses Hukum Acara Pidana,

Bina Aksara, Jakarta, 1987, hal. 292. 78Bismar Siregar, Op.Cit., hal. 7.

Anastasius Rico Haratua Sitanggang : Analisis Yuridis Tentang Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian..., 2009 USU Repository © 2008

119

Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 4 Ayat 1

menegaskan: Peradilan dilakukan “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang

Maha Esa”. Oleh karena itu Hakim sebagai pejabat peradilan melakukan tugas dalam

penegakan hukum.

Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 jo. PP No. 9 Tahun 1975

ditentukan bahwa Pengadilan Negeri berwenang untuk memeriksa gugatan perceraian

non Islam. Dasar kewenangan Hakim untuk mengadili gugatan perceraian perkawinan

Kristen Protestan maupun Kristen Katolik (non Islam) tepatnya diatur dalam Pasal 39

ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 jo. Pasal 1 b PP No. 9 Tahun 1975.

Hakim tidak boleh menolak suatu perkara yang diajukan kepadanya dengan

alasan hukumnya tidak diajukan atau tidak jelas. Dalam hal perceraian ketentuan yang

ada dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 serta PP No. 9 Tahun 1975 memang

tidak lengkap, khususnya untuk menyelesaikan gugatan perceraian pasangan suami

isteri yang beragama non Islam. Dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 1 Tahun

1974 tidak menyebutkan secara tegas bahwa syarat perceraian itu apabila hukum

agama tidak melarangnya.

Dari data yang ada, dalam mengabulkan gugatan perceraian Hakim hanya

mengacu pada ketentuan hukum negara, yaitu Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974,

yaitu Pasal 1, Pasal 29 ayat (2), serta Pasal 9 PP No. 9 Tahun 1975. Jika salah satu

alasan atau lebih dari satu alasan terpenuhi dan terbukti, maka Hakim mengabulkan

gugatan perceraian. Hakim tidak mempertimbangkan perselisihan itu berasal dari

Anastasius Rico Haratua Sitanggang : Analisis Yuridis Tentang Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian..., 2009 USU Repository © 2008

120

Penggugat atau Tergugat atau kesalahan itu terletak pada Penggugat atau Tergugat.

Berdasarkan hasil wawancara dengan Sujatmiko mengatakan, bahwa

Dalam setiap tahap sidang baik itu perkara biasa maupun perkara perceraian, sebelum dimulai sidang selalu dianjurkan upaya damai kepada kedua belah pihak, apalagi dalam hal perceraian dimana keluarga yang hendak bercerai telah mempunyai keturunan akan berdampak luas seperti mengenai masa depan anak, perkembangan psikologis anak dan sebagainya.79 Hakim tidak mengetahui bahwa dalam ajaran agama Katolik tidak

diperbolehkan adanya perceraian dalam suatu perkawinan, kecuali karena kematian.

Namun demikian, Hakim berpendapat bahwa dengan diajukannya gugatan perceraian

perkawinan Katolik ke Pengadilan Negeri, para pihak telah dianggap meninggalkan

agama mereka. Hakim berpendapat bahwa ketaatan terhadap ajaran agama diserahkan

sepenuhnya kepada para pihak yang memeluknya.

Hakekat antara hukum agama dengan ketentuan Pasal 1 Undang-Undang

Nomor 1 Tahun 1974 sejalan, yaitu adanya persatuan suami isteri untuk membentuk

keluarga yang bahagia sejahtera berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dalam

ajaran agama Katolik tidak mengenal adanya perceraian yang didasarkan pada Injil

Matius 19 ayat (6) menyatakan : “Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu,

karena itu apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia”. Hal ini

dalam agama Katolik merupakan harga mati yang tidak dapat ditawar lagi. Untuk itu

sebelum dilangsungkan pernikahan diberikan kesempatan belajar bimbingan

pernikahan kepada calon mempelai lebih kurang dalam waktu 2 (dua) bulan, dan

79Sujatmiko, Op.Cit., Wawancara 11 Juli 2007.

Anastasius Rico Haratua Sitanggang : Analisis Yuridis Tentang Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian..., 2009 USU Repository © 2008

121

kemudian dievaluasi dan diuji dan apabila dinyatakan lulus baru dapat dilangsungkan

pemberkatan.80

Diuji kesadaran pasangan kedua calon mempelai apakah sudah memang benar-

benar tekadnya bulat dari hati nurani masing-masing untuk mengikat janji sehidup

semati, bila dalam keadaan ragu-ragu maka niat untuk berumah tangga ditunda.

Sanksi hukum dalam masyarakat dengan kaitannya dengan hukum agama apabila

kelak pasangan suami dan isteri itu bercerai maka tidak diterima dan tidak dapat

diberkati bahkan tidak mendapat persetujuan dari Gereja Katolik. Sebab menurut

ajaran agama Katolik hanya kematianlah yang dapat memisahkan pasangan suami

isteri itu. Diikat dengan suatu janji sumpah yang diucapkan masing-masing yaitu suatu

sumpah dengan meletakkan tangan kanan masing-masing mempelai di atas Kitab Suci

yang disaksikan oleh saksi kedua belah pihak serta hadirin bahwa dalam janji sumpah

itu menyatakan “apakah bersedia meresmikan pernikahan ini sungguh dengan hati dan

kesadaran iklas dan menghormati isteri maupun suami sepanjang hidup dan

bersediakah menjadi bapak dan ibu yang baik bagi anak-anak yang akan dipercayakan

Tuhan dan mendidik mereka yang beriman dan setia”.

Berdasarkan Injil Matius 19 ayat (6) tersebut dituntut tanggung jawab atau

kesadaran bagi setiap pasangan sesuai dengan kepercayaan yang dianutnya dan janji

atau sumpah tersebut yang dihadiri oleh saksi masing-masing suami atau isteri yang

80Romo Pastor Adrianus Maradiyo, PR, Liturgi Sakramen Pernikahan Sabda, Gereja Paroki

Katolik Bunda Pertolongan Abadi, Binjai, Juli 2008.

Anastasius Rico Haratua Sitanggang : Analisis Yuridis Tentang Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian..., 2009 USU Repository © 2008

122

dinyatakan dengan janji sumpah “saya memilih engkau menjadi isteri saya dan

sebaliknya menjadi suami saya di hadapan Imam, para saksi dan umat yang hadir di

sini. Saya berjanji akan setia kepadamu dalam untung maupun malang, ketika sehat

maupun sakit, dan saya mau mencintaimu dan menghormatimu seumur hidup saya.

Demikianlah janji saya demi Allah dan Injil Kitab Suci ini”. Sudah merupakan harga

mati yang tidak dapat ditawar lagi secara agama Katolik.

Apabila orang yang menganut ajaran agama Katolik harus bercerai, maka

Hakim tetap berpedoman kepada peraturan Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun

1974 untuk dapat memutuskan perceraian itu tetapi terlebih dahulu melihat aspek

agama, budaya dan sosial masyarakat dengan tetap berdasarkan Undang-Undang

Perkawinan No. 1 Tahun 1974 dan PP No. 9 Tahun 1979 ada 6 (enam) alasan tentang

Perceraian :

a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok, pemadat, penjudi, dan lain

sebagainya yang sukar disembuhkan.

b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa

izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar

kemampuannya.

c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang

lebih berat setelah perkawinan berlangsung.

Anastasius Rico Haratua Sitanggang : Analisis Yuridis Tentang Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian..., 2009 USU Repository © 2008

123

d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang

membahayakan pihak yang lain.

e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat

menjalankan kewajibannya sebagai suami/isteri.

f. Antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan

tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.

Hubungan antara hukum agama dengan UU No. 1 Tahun 1974 dalam ajaran

agama Katolik, apabila harus bercerai maka Hakim tetap berpedoman berdasarkan

Pasal 38 UUP, yaitu dapat putus karena :

1) Kematian

2) Perceraian

3) Atas keputusan pengadilan.

Dalam hal ini Hakim untuk memutuskan suatu perkawinan, hakim tidak

terlebih dahulu melihat aspek-aspek agama, budaya dan sosial di masyarakat. Sebab

sifat hakim di sini adalah legisme yaitu hanya berdasarkan kepada Undang-Undang

Perkawinan No. 1 Tahun 1974. Pro-kontra yang terjadi di dalam masyarakat dalam hal

Hakim memutuskan perceraian itu adalah :

a) Dalam hal terjadinya perkawinan dan terbentuknya rumah tangga melandaskan

hukum agama.

b) Dalam hal bubarnya perkawinan berlandaskan pada dirinya sendiri.

Anastasius Rico Haratua Sitanggang : Analisis Yuridis Tentang Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian..., 2009 USU Repository © 2008

124

Walaupun Agama Kristen melarang perceraian akan tetapi dengan membiarkan

suami isteri dalam suasana yang tidak harmonis akan membawa ke dalam penderitaan

hidup tanpa ada kesempatan untuk memperoleh kehidupan lain yang lebih baik. Dalam

hai ini dapat dikatakan bahwa hakim menggunakan penafsiran yang bersifat sosiologis

terhadap ketentuan perkawinan Kristen yang melarang adanya perceraian. Berdasarkan

penafsiran ini, maka undang-undang ditetapkan berdasarkan tujuan kemasyarakatan.

Definisi peraturan perundang-undangan disesuaikan dengan hubungan dan situasi

sosial yang baru. Dengan demikian, hakim menggunakan nilai-nilai kemanusiaan

dalam pertimbangan hukumnya, bukan ajaran perkawinan Kristen, kemudian dikaitkan

dengan hukum negara (UU No. 1 Tahun 1974 jo. PP No. 9 Tahun 1975) sebagai dasar

kewenangan untuk mengabulkan gugatan perceraian pasangan suami isteri yang

beragama Kristen.

Untuk alasan perceraian karena perselisihan dan percekcokan, hakim tidak

menelusuri lebih jauh mengenai siapa penyebab perselisihan dan percekcokan tersebut.

Hakim menganggap alasan perceraian sudah cukup dengan adanya perselisihan dan

percekcokan serta sudah sesuai dengan PP No. 9 Tahun 1975, maka perkawinanpun

diceraikan. Putusan hakim yang tidak mempertimbangkan alasan perselisihan dan

percekcokan ini dipandang kurang adil, karena hakim tidak mempertimbangkan

kepentingan pihak Tergugat dalam hal bilama yang bersangkutan tidak mau

diceraikan.

Anastasius Rico Haratua Sitanggang : Analisis Yuridis Tentang Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian..., 2009 USU Repository © 2008

125

Hakim dalam hal ini hanya mempertimbangkan segi kepastian hukumnya saja,

karena sifat hakim legisme yang hanya berdasarkan Undang-Undang Perkawinan.

Untuk pelaksanaannya lebih lanjut diatur dalam Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor

9 Tahun 1975 tentang Peraturan Pelaksana Undang-Undang Perkawinan Nomor 1

Tahun 1974 yaitu perceraian dapat terjadi dengan alasan :

a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok, pemadat, penjudi, dan lain

sebagainya yang sukar disembuhkan.

b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa

izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar

kemampuannya.

c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang

lebih berat setelah perkawinan berlangsung.

d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang

membahayakan pihak yang lain.

e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat

menjalankan kewajibannya sebagai suami/isteri.

f. Antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan

tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.

Dalam hal ini hakim telah menggunakan penafsiran gramatikal dalam menerapkan

hukumnya terhadap kasus tersebut. Di sini arti atau makna ketentuan undang-undang

dijelaskan menurut bahasa sehari-hari yang umum.

Anastasius Rico Haratua Sitanggang : Analisis Yuridis Tentang Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian..., 2009 USU Repository © 2008

126

Sebaiknya dalam memeriksa dan mengadili perceraian pasangan suami isteri

yang beragama Kristen, hakim dalam pertimbangannya juga memperhatikan aspek

hukum agama para pihak di mana apabila hukum agama memungkinkan terjadinya

perceraian, maka barulah aspek-aspek lain yang memungkinkan terjadinya perceraian

yang diatur dalam undang-undang dijadikan bahan pertimbangan selanjutnya. Apabila

hal ini dilakukan, maka konsekuensinya Hakim akan memutuskan gugatan perceraian

tidak diterima karena hukum agama melarangnya.

Anastasius Rico Haratua Sitanggang : Analisis Yuridis Tentang Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian..., 2009 USU Repository © 2008

127

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Pada bab terakhir ini, yang merupakan bab penutup dapat disimpulkan hal-hal

sebagai berikut :

1. Faktor-faktor penyebab putusnya perkawinan karena perceraian yang sering

terjadi dalam masyarakat yang perkawinannya putus dengan perceraian di

wilayah Pengadilan Tingkat I yaitu Pengadilan Negeri tetap berdasarkan pada

UU No. 1 Tahun 1974 dan PP No. 9 Tahun 1975 dengan alasan :

a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok, pemadat, penjudi, dan

lain sebagainya yang sukar disembuhkan.

b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-

turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain

diluar kemampuannya.

c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman

yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.

d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang

membahayakan pihak yang lain.

e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak

dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/isteri.

f. Antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran

dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.

Anastasius Rico Haratua Sitanggang : Analisis Yuridis Tentang Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian..., 2009 USU Repository © 2008 109

128

Bahwa setiap agama manapun tidak menginginkan adanya perceraian

(perkawinan putus oleh karena perceraian), karena akan mempunyai dampak

negatif (berdampak buruk) terhadap lingkungan sosialnya di masyarakat akibat

kawin-cerai. Secara agama Katolik apabila telah putus perkawinan akibat

perceraian, ketika kelak akan melangsungkan perkawinan lagi tidak dapat

diterima gereja atau tidak mendapat pemberkatan pernikahan kedua kalinya

karena ajaran Agama Katolik tidak mengakui adanya perceraian yang terjadi

karena putusan pengadilan. Masyarakat juga mempunyai penilaian buruk

terhadap kawin-cerai, sebab tidak menunjukkan norma-norma atau perilaku yang

baik yang positif terhadap keluarga yang kawin-cerai dan tidak dapat

memberikan contoh atau sebagai panutan dan tidak mendidik bagi perkembangan

lingkungan sosial sekitarnya.

2. Akibat hukum terhadap anak yang disebabkan perceraian melalui putusan

pengadilan adalah membawa dampak kurang baik terhadap perkembangan jiwa,

moral dan psikologis anak, karena anak merupakan korban bagi orangtuanya

yang bercerai. Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 tegas menyatakan

dengan terjadinya perceraian maka status anak-anak orangtua yang bercerai

diatur dalam Undang-Undang. Bila anak belum dewasa (di bawah umur) secara

Undang-Undang belum berumur 12 tahun perwalian hak asuh anak diberikan

kepada ibunya, tetapi tetap Hakim melihat terlebih dahulu apakah si ibu layak

dan bertanggungjawab terhadap anak di bawah umur itu, jika tidak layak dan

tidak bertanggungjawab maka perwalian hak asuh anak diberikan kepada

Anastasius Rico Haratua Sitanggang : Analisis Yuridis Tentang Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian..., 2009 USU Repository © 2008

129

ayahnya. Bila anak telah berumur 12 tahun atau lebih maka diberikan hak pilih

kepada anak apakah dia ikut ayah atau ibunya sesuai dengan ketentuan Undang-

Undang.

Akibat orang tua yang bercerai walaupun perwalian hak asuh anak jatuh kepada

ayah atau ibunya, dalam hal ini kedua-duanya harus tetap seimbang untuk tetap

bertanggungjawab terhadap anak dalam hal biaya kebutuhan ekonomi,

pendidikan, agama dan kasih sayang, demi perkembangan jiwa, mental dan

psikologis si anak. Bila hak perwalian juga dapat dibagi secara bersama-sama

dapat dibuat suatu kesepakatan antara kedua belah pihak dengan demikian

orangtuanya dapat secara bergantian memberikan kasih sayang kepada anak.

Akibat hukum terhadap harta perkawinan yaitu harta bersama dibagi menurut

ketentuan hukum, Undang-Undang, agama dan hukum adat masing-masing yang

berlaku. Sedangkan harta bawaan tetap dikuasai masing-masing pihak isteri

maupun suami yang bercerai. Terhadap hutang piutang yang diakibatkan

putusnya perkawinan akibat perceraian dipikul oleh kedua belah pihak dengan

persyaratan yang harus dipenuhi dimana hak dan kewajiban suami dan isteri

adalah seimbang dalam kewenangannya untuk melakukan perbuatan hukum

seperti yang tertulis di dalam Pasal 36 – 37 UUP No. 1 Tahun 1974 mengenai

harta benda dalam perkawinan yang dulunya berasal dari hukum adat maka sejak

saat terjadinya perkawinan dan sampai ikatan perkawinan itu bubar (putus) baik

karena kematian ataupun karena perceraian maka seluruh harta tersebut menjadi

harta bersama. Jikalau ingin menyamping dari peraturan hukum itu, harus

Anastasius Rico Haratua Sitanggang : Analisis Yuridis Tentang Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian..., 2009 USU Repository © 2008

130

membuat suatu perjanjian perkawinan yang dibuat sebelum pernikahan terjadi

dengan Akte Notaris.

3. Dalam proses persidangan perkara perceraian dilaksanakan berdasarkan Hukum

Acara Perdata. Dalam proses awal persidangan, hakim selalu mengupayakan

perdamaian melalui mediasi kepada para pihak. Dalam pertimbangan hukum

untuk mengabulkan gugatan perceraian, hakim cenderung bersifat legisme yaitu

hanya berdasarkan kepada alasan-alasan yang tercantum dalam Undang-Undang

Perkawinan No. 1 Tahun 1974 apabila tidak dapat ditemukan kesepakatan dari

kedua belah pihak dan kedua-duanya tidak menghendakinya untuk

mempertahankan perkawinannya lagi, maka Hakim memutus perkawinan dengan

perceraian. Hakim tetap berpedoman kepada ketentuan Undang-Undang

walaupun bertentangan dengan hukum agama yang dianut oleh para pihak.

Dengan mengajukan gugatan sesuai bukti-bukti yang kuat dan keterangan dari

para saksi-saksi dari kedua belah pihak yang akan bercerai yang dijadikan Hakim

sebagai dalil-dalil dan dasar hukum untuk dapat dikabulkannya suatu gugatan

perceraian dan akhirnya suatu perkawinan putus akibat perceraian.

B. Saran

1. Dalam memeriksa dan mengadili perkara gugatan perceraian, sebaiknya

hakim memberikan pertimbangan hukum tidak semata-mata terpaku pada

ketentuan peraturan perundang-undangan sebagaimana dalam UU No. 1

Tahun 1974 dan PP No. 9 Tahun 1975 yang membolehkan terjadinya

perceraian dengan syarat-syarat tertentu. Sebaiknya Hakim dalam

Anastasius Rico Haratua Sitanggang : Analisis Yuridis Tentang Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian..., 2009 USU Repository © 2008

131

pertimbangannya juga memperhatikan aspek hukum agama yang dianut

oleh para pihak apakah hukum agamanya membolehkan terjadinya

perceraian atau tidak. Apabila melihat syarat sahnya perkawinan dalam

Undang-Undang Perkawinan mengedepankan aspek moral agama, yakni

perkawinan dianggap sah apabila dilaksanakan sesuai dengan ajaran agama

yang dianut, maka sebaiknya bilamana perkawinan akan dibubarkan, juga

tidak bertentangan dengan nilai-nilai hukum agama yang dianut para pihak.

2. Dengan memperhatikan tujuan perkawinan sebagaimana yang tercantum

dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, yaitu tujuan

perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia lahir-bathin, dan

juga mengingat akibat yang dapat timbul terhadap anak yang disebabkan

perceraian melalui putusan pengadilan akan membawa dampak kurang baik

terhadap perkembangan jiwa, moral dan psikologis anak, maka sebaiknya

ada dibuat undang-undang tersendiri yang khusus mengatur hukum acara

dalam memeriksa dan mengadili perkara perceraian yang sifatnya

mempersulit terjadinya perceraian dengan cara misalnya lebih

mengedepankan proses mediasi dan atau gugatan perceraian tidak dapat

diperiksa oleh pengadilan apabila kedua belah pihak tidak hadir di

persidangan dan pengadilan tidak boleh memutus perkara perceraian tanpa

kehadiran pihak tergugat sebagaimana yang selama ini masih

dimungkinkan dalam Hukum Acara Perdata yang berlaku secara umum.

Andaikata tergugat memang tidak mungkin dapat hadir di persidangan,

Anastasius Rico Haratua Sitanggang : Analisis Yuridis Tentang Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian..., 2009 USU Repository © 2008

132

untuk menjatuhkan putusan versteek, sebaiknya dibuat kriteria khusus

dalam hal bagaimana putusan versteek dalam perkara gugatan perceraian

dapat dijatuhkan. Dengan keadaan yang terjadi saat ini dimana Hukum

Acara Perdata memungkinkan putusan verstek tanpa kehadiran tergugat,

timbul kesan seakan-akan gugatan perceraian gampang dikabulkan

walaupun pihak tergugat tidak hadir.

3. Sebaiknya Dewan Perwakilan Rakyat selaku lembaga legislatif bersama-

sama dengan Pemerintah selaku lembaga eksekutif, segera melakukan

revisi terhadap Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang lebih

memperhatikan nilai-nilai dan dinamika yang berkembang dalam

masyarakat dalam bidang perkawinan yang salah satunya adalah membuat

aturan dan kriteria-kriteria tertentu untuk lebih mempersulit terjadinya

perceraian.

Anastasius Rico Haratua Sitanggang : Analisis Yuridis Tentang Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian..., 2009 USU Repository © 2008

133

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku-buku Ali, Achmad, Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis), PT.

Toko Gunung Agung Tbk, Jakarta, 2002. Arrasjid, Chainur, Dasar-dasar Ilmu Hukum, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, Cetakan

3, 2004. Badan Kontak Profesi Hukum Lampung, Penegakan Hukum Dalam mensukseskan

Pembangunan, Alumni, Bandung, 1977. Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka,

Edisi ke-3, 2005. Hadikusuma, Hilman, Hukum Waris Adat, Alumni, Bandung, 1980. Harahap, M. Yahya, Pembahasan Hukum Perkawinan Nasional, CV. Zahir Trading

Co, Medan, 1975. Kertasapoetra, Rien, G, Pengantar Ilmu Hukum Lengkap, Penerbit Bina Aksara,

Jakarta, Cetakan 1, 1988. Ka’abah, Rifyal, Permasalahan Perkawinan, Varia Peradilan No. 271, Makalah, Juni

2008. Latif, H.M. Djamil, Aneka Hukum Perceraian di Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta,

1985. Lubis, M. Solly, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Mandar Maju, Bandung, 1994. Malik, Rusdi, Peranan Agama Dalam Hukum Perkawinan di Indonesia, Penerbit

Universitas Trisakti, Jakarta, 1990. Mahmud Marzuki, Peter, Penelitian Hukum, FH-Universitas Airlangga, Surabaya,

Cetakan I, 2005. Mertokusumo, Sudikno dan A. Pitlo, Bab-bab Tentang Penemuan Hukum, PT. Citra

Aditya Bakti, Yogyakarta, 1993. Muhammad, Abdulkadir, Etika Profesi Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997.

115

Anastasius Rico Haratua Sitanggang : Analisis Yuridis Tentang Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian..., 2009 USU Repository © 2008

134

-----------------------------, Hukum Perdata Indonesia, PT. Citra Aditya, Bandung, Cet. 2, 1999.

Prakoso, Djoko, Penyidik, Penuntut Umum, Hakim Dalam Proses Hukum Acara

Pidana, Bina Aksara, Jakarta, 1987. Prawiroharmidjojo, R. Soetojo dan Asis Safioedin, Hukum Orang dan Keluarga,

Penerbit Alumni, Bandung, Cetakan 3, 1986. Purbacaraka, Purnadi, Pengantar Ilmu Hukum, Fakultas Ilmu-ilmu Sosial, Universitas

Indonesia, Jakarta, 1989. Rahardjo, Satjipto, Masalah Penegakan Hukum, Suatu Tinjauan Sosiologi, Sinar Baru,

Bandung, 1983. Rasyidi, Lili, Hukum Perkawinan dan Perceraian di Malaysia dan Indonesia, Alumni,

Bandung, 1982. Saleh, K. Wantjik, Hukum Perkawinan Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1980. ---------------------, Uraian Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Perkawinan,

Ikhtiar Baru, Jakarta, 1995. Siregar, Bismar, Keadilan Hukum Dalam Berbagai Aspek Hukum Nasional, Rajawali,

Jakarta, 1986. Soekanto, Soerjono, Beberapa Permasalahan Hukum Dalam Kerangka Pembangunan

di Indonesia, UI-Press, Jakarta, Cetakan 3, 1983. --------------------------, Pengantar Penelitian Hukum, UI-Press, Jakarta, Cetakan 3,

1986. Soemitro, Ronny Hamitijo, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Ghalia

Indonesia, Jakarta, 1990. Soepomo, R, Bab-bab Tentang Hukum Adat, Pradnya Paramita, Jakarta, 1994. Subekti, R. Dan R. Tjitrosoedibio, Kamus Hukum, PT. Pradnya Paramita, Jakarta,

Cetakan 9, 1986. ------------------------------------------, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dengan

Tambahan Undang-Undang Pokok Agraria dan Undang-Undang Perkawinan, PT. Pradnya Paramita, Jakarta, Cetakan 22, 1987.

Anastasius Rico Haratua Sitanggang : Analisis Yuridis Tentang Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian..., 2009 USU Repository © 2008

135

Subekti, R., Pokok-pokok Hukum Perdata, Penerbit PT. Intermasa, Jakarta, Cetakan XVII, 1983.

Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional, Penerbit Rineka Cipta, Jakarta, Cetakan 3,

2005. Suhardana, F.X., Hukum Perkawinan, Penerbit Prenhallindo, Jakarta, 2001. Sunggono, Bambang, Hukum dan Kebijaksanaan Publik, Sinar Grafika, Jakarta,

Cetakan I, 1994. -------------------------, Metode Penelitian Hukum; Suatu Pengantar, Raja Grafindo

Persada, Jakarta, 2001. Sutanto, Retnowulan, Wanita dan Hukum, Himpunan Karangan Hukum yang Penting

Bagi Kaum Wanita, Penerbit Alumni, Bandung, 1979. Usman, Rachmadi, Aspek-aspek Hukum Perorangan dan Kekeluargaan di Indonesia,

Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, Cetakan 1, 2006. Vollmar, H.F.A (Terjemahan I.S. Adiwimarta), Pengantar Studi Hukum Perdata,

Rajawali Pers, Jakarta, Cetakan 2, 1989. Wasis, SP, Pengantar Ilmu Hukum, UMM Press, Malang, Cetakan 1, 2002. Wuisman, J.J.J. M. dengan penyunting M. Hisyam, Penelitian Ilmu-ilmu Sosial, Jilid I,

FE-UI, Jakarta, 1996.

B. Peraturan Perundang-undangan Indonesia, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1975, tentang

Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. -----------, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, tentang Perkawinan. -----------, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004, tentang Kekuasaan Kehakiman. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

Anastasius Rico Haratua Sitanggang : Analisis Yuridis Tentang Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian..., 2009 USU Repository © 2008

Anastasius Rico Haratua Sitanggang : Analisis Yuridis Tentang Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian..., 2009 USU Repository © 2008

136

C. Putusan Putusan Pengadilan Negeri Siak No. 10/Pdt.G/2007/PN.Siak, tanggal 9 Oktober 2007. Putusan Pengadilan Negeri Siak No. 02/Pdt.G/2007/PN.Siak, tanggal 2 April 2007.

D. Majalah/Internet Buku Panduan Kadarkum, diterbitkan Departemen Kehakiman RI, Jakarta, 1998. Cek & Ricek No. 447/Thn. IX/Rabu, 21-27 Maret 2007. www.arwin-as.com.