ANALISIS YURIDIS TENTANG PUTUSNYA PERKAWINAN AKIBAT PERCERAIAN (STUDI PADA PENGADILAN
NEGERI SIAK SRI INDRAPURA–RIAU)
T E S I S
Oleh
ANASTASIUS RICO HARATUA SITANGGANG 037011006/MKn
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA M E D A N
2009
Anastasius Rico Haratua Sitanggang : Analisis Yuridis Tentang Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian..., 2009 USU Repository © 2008
2
ANALISIS YURIDIS TENTANG PUTUSNYA PERKAWINAN AKIBAT PERCERAIAN (STUDI PADA PENGADILAN
NEGERI SIAK SRI INDRAPURA–RIAU)
T E S I S
Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan dalam Program Studi Magister Kenotariatan pada Sekolah Pascasarjana
Universitas Sumatera Utara
Oleh
ANASTASIUS RICO HARATUA SITANGGANG 037011006/MKn
SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
M E D A N 2009
Anastasius Rico Haratua Sitanggang : Analisis Yuridis Tentang Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian..., 2009 USU Repository © 2008
3
Judul Tesis : ANALISIS YURIDIS TENTANG PUTUSNYA PERKAWINAN AKIBAT PERCERAIAN
(Studi Pada Pengadilan Negeri Siak Sri Indrapura-Riau) Nama Mahasiswa : ANASTASIUS RICO HARATUA SITANGGANG. Nomor Pokok : 037011006. Program Studi : Magister Kenotariatan.
Menyetujui, Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Muhammad Yamin Lubis, SH,MS,CN. K e t u a
Prof. Dr. Runtung Sitepu SH,M.Hum. Syafnil Gani, SH,M.Hum. Anggota Anggota
Ketua Program Direktris Sekolah Pascasarjana Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara Prof. Dr. M. Yamin Lubis, SH,MS,CN Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B,M.Sc NIP. 13166144 NIP. 130535852 Tanggal Lulus : 19 Januari 2009.
Anastasius Rico Haratua Sitanggang : Analisis Yuridis Tentang Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian..., 2009 USU Repository © 2008
4
Telah diuji pada
Tanggal : 19 Januari 2009
PANITIA PENGUJI TESIS : Ketua : Prof. Dr. Muhammad Yamin Lubis, SH, MS, CN Anggota : 1. Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH, MHum. 2. Notaris Syafnil Gani, SH, MHum. 3. Dr. Sunarmi, SH, MHum. 4. Notaris Syahril Sofyan, SH, MKn
Anastasius Rico Haratua Sitanggang : Analisis Yuridis Tentang Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian..., 2009 USU Repository © 2008
5
ABSTRAK
Perceraian dalam sebuah ikatan perkawinan dapat saja terjadi, alasannya sangat bervariasi seperti masuknya orang ketiga dalam perkawinan, adanya perbedaan pandangan mengenai kewajiban suami isteri dalam rumah tangga, dan seringnya isteri ditinggal suami, perubahan peran suami isteri, serta pertengkaran dan konflik yang berkepanjangan sehingga tidak mungkin lagi kerukunan dan kebahagiaan rumah tangga itu dapat dipertahankan. Berdasarkan pada uraian latar belakang tersebut di atas, maka dapat dirumuskan pokok permasalahan yang akan dibahas lebih lanjut, yaitu : 1). Apakah faktor-faktor yang menyebabkan putusnya perkawinan karena perceraian? 2). Bagaimana akibat hukum terhadap anak dan harta perkawinan yang disebabkan perceraian melalui putusan pengadilan? 3). Bagaimana pertimbangan hukum hakim dalam mengadili perkara perceraian? Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah bersifat Yuridis Normatif dan sifat dari penelitian ini adalah deskriptif analitis.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa 1). Adapun faktor penyebab putusnya perkawinan karena perceraian yang sering dijadikan alasan mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri Siak pada pokoknya adalah karena suami yang melakukan tindakan kekerasan, kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak yang lain. Dan antara suami dan isteri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga. 2). Dengan terjadinya perceraian, maka status anak di bawah umur berubah menjadi status di bawah perwalian yang ditentukan oleh pengadilan, dan juga harta perkawinan yaitu harta bersama dibagi menurut ketentuan hukum agama, hukum adat masing-masing. Sedangkan harta bawaan tetap dikuasai masing-masing pihak suami maupun isteri. 3). Dalam setiap proses persidangan hakim selalu mengajak para pihak untuk berdamai, namun bila tidak dikehendaki para pihak maka hakim akan mengadili gugatan perceraian berdasarkan Undang-Undang Perkawinan. Hakim menjatuhkan putusan dengan pertimbangan hukum dimana gugatan yang diajukan mempunyai bukti-bukti dan keterangan saksi-saksi dan memiliki dasar hukum untuk dikabulkannya gugatan.
Berdasarkan hasil penelitian ini disarankan agar 1). Dalam memeriksa dan mengadili perkara gugatan perceraian, sebaiknya hakim memberikan pertimbangan hukum tidak semata-mata terpaku pada ketentuan peraturan perundang-undangan sebagaimana dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 yang membolehkan terjadinya perceraian dengan syarat-syarat tertentu. Sebaiknya Hakim dalam pertimbangannya juga memperhatikan aspek hukum agama yang dianut oleh para pihak apakah hukum agamanya membolehkan terjadinya perceraian atau tidak. Apabila melihat syarat sahnya perkawinan dalam Undang-Undang Perkawinan mengedepankan aspek moral agama, yakni perkawinan dianggap sah apabila dilaksanakan sesuai dengan ajaran agama yang dianut, maka sebaiknya bilamana perkawinan akan dibubarkan, juga tidak bertentangan dengan nilai-nilai hukum agama yang dianut para pihak. 2). Dengan memperhatikan tujuan perkawinan
Anastasius Rico Haratua Sitanggang : Analisis Yuridis Tentang Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian..., 2009 USU Repository © 2008
6
sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, yaitu tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia lahir-bathin, dan juga mengingat akibat yang dapat timbul terhadap anak yang disebabkan perceraian melalui putusan pengadilan akan membawa dampak kurang baik terhadap perkembangan jiwa, moral dan psikologis anak, maka sebaiknya ada dibuat undang-undang tersendiri yang khusus mengatur hukum acara dalam memeriksa dan mengadili perkara perceraian yang sifatnya mempersulit terjadinya perceraian dengan cara misalnya lebih mengedepankan proses mediasi dan atau gugatan perceraian tidak dapat diperiksa oleh pengadilan apabila kedua belah pihak tidak hadir di persidangan dan pengadilan tidak boleh memutus perkara perceraian tanpa kehadiran pihak tergugat sebagaimana yang selama ini masih dimungkinkan dalam Hukum Acara Perdata yang berlaku secara umum. Andaikata tergugat memang tidak mungkin dapat hadir di persidangan, untuk menjatuhkan putusan versteek, sebaiknya dibuat kriteria khusus dalam hal bagaimana putusan versteek dalam perkara gugatan perceraian dapat dijatuhkan. Dengan keadaan yang terjadi saat ini dimana Hukum Acara Perdata memungkinkan putusan verstek tanpa kehadiran tergugat, timbul kesan seakan-akan gugatan perceraian gampang dikabulkan walaupun pihak tergugat tidak hadir. 3). Sebaiknya Dewan Perwakilan Rakyat selaku lembaga legislatif bersama-sama dengan Pemerintah selaku lembaga eksekutif, segera melakukan revisi terhadap Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang lebih memperhatikan nilai-nilai dan dinamika yang berkembang dalam masyarakat yang salah satunya adalah membuat aturan dan kriteria-kriteria tertentu untuk lebih mempersulit terjadinya proses perceraian.
Kata kunci : Yuridis, Perceraian.
Anastasius Rico Haratua Sitanggang : Analisis Yuridis Tentang Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian..., 2009 USU Repository © 2008
7
ABSTRACT
Divorce for a marital tie can occur for variable reasons such as the presence of third party within the marriage, different view of points about obligations of husband and wife in a household and separation frequently between husband and wife, the change in role of husband and wife, and prolonged quarrel and conflict so that it is impossible to keep the harmony and happiness of household. Based on the description of background above, the subject of problem can be formulated for further discussion : 1). What the causative factors of marital abrogation due to divorce? 2) What are the legal consequences for children and heritance of the divorced marriage through a decision of court ? 3) What are the legal considerations of a judge I the trial of divorce ? The methods used in this study included juridical normative and the study is a descriptive analysis.
The result of the study showed that 1). The causative factors of marital abrogation due to divorce frequently made for the reason of litigation to the Civil Court of Siak actually included the husband who often made a violation, prosecution, and heavy oppression leading to danger to others, and prolonged quarrel and conflict between husband and wife without expectation for harmony. 2). Given the divorce, status of preadolescent children became under legal guardian determined by court and property of marital is shared together according to the religious and custom laws. Whereas the heritage stayed to possess by individual party of the couple. 3). In the trial,the judges always adviced the parties to conflict to make a peace, however, if the parties disagree, the judges will justify the litigation of divorce based on the Laws of Marital. The judges make a decision by legal considerations in which the litigation has a set of evidences and statement of witnesses and even have legal foundation to agree the litigation.
Based on the result of the study, it is suggested that 1). In the trial and justification of a litigation of divorce case, the judges should make legal considerations not only rely on the statutory rules as stipulated in the Laws No. 1 of 1974 and the Governmental Rule o. 9 of 1975 that allow a divorce based on certain requirements. In their consideration, the judges also have to consider legal aspects of the religion adhered by the parties, whether the religion allow it or not. Viewed in the validation of marital in the Laws of Marital emphasizing the religious morality aspects, namely a marital is considered to be valid when it is carried out according to the religious doctrine, therefore, if a marriage will be abrogated, it should be in compliance with the religious values adhered by the parties. 2). Considering the objective of marriage as stipulated in the article 1 of the Laws No. 1 of 1974, the objective of marriage is to form a family which is peaceful and enjoyable spiritually and physically, and also by considering the possible legal consequences on the children due to divorce through the decision of court that has a negative impact on development of their morality and psychology, it is better to make a separated law especially governing the procedural law in the trial and justification of any case of divorce that make the divorce difficult, for example, by more emphasizing the
Anastasius Rico Haratua Sitanggang : Analisis Yuridis Tentang Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian..., 2009 USU Repository © 2008
8
mediation process and/or the divorce process would not justified and decided by the court if both parties are absent in the trial and the court can not make the decision of divorce without the presence of the defendant as allowed previously in the Civil Case validating generally. If the defendant cannot present the trial, thus, in order to make a decision of verdict, a typical criterion should be made to make the verdict of divorce. In the present case in which the procedural law allows a verdict without the presence of the defendant, there is an impression as if the litigation of divorce is easy to agree regardless of the presence of the defendant. 3). The House of Representative as a legislative institution along with the government as an executive institution should immediately make a revision for the Laws No. 1 of 1974 that more emphasizing on values and dynamic of development in the society one of which is to make certain rules and criterions to make divorce process more difficult. Keywords : Juridical, Divorce
Anastasius Rico Haratua Sitanggang : Analisis Yuridis Tentang Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian..., 2009 USU Repository © 2008
9
KATA PENGANTAR
Pertama dan yang paling utama sekali, penulis memanjatkan segala puji dan
syukur yang sebesar-besarnya kepada Bapa Yang Maha Pengasih Dalam Nama Tuhan
Yesus Kristus, dimana atas Berkat dan Anugerah-Nya penulis memperoleh
kesempatan dan kekuatan mulai dari awal mengikuti perkuliahan pada Tahun 2003
sampai pada akhir penyelesaian perkuliahan saat ini di Program Magister Kenotariatan
Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara (USU) Medan. Atas Bimbingan dan
Penyertaan-Nya penulis dapat menyelesaikan karangan ilmiah ini berupa Tesis dengan
judul “ANALISIS YURIDIS TENTANG PUTUSNYA PERKAWINAN AKIBAT
PERCERAIAN” (STUDI PADA PENGADILAN NEGERI SIAK SRI INDRAPURA–
RIAU), yang merupakan hasil penelitian yang telah dilaksanakan untuk kemudian
dituliskan dalam Tesis ini, sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister
Kenotariatan (MKn) pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara (USU)
Medan.
Dalam penulisan Tesis ini banyak pihak yang telah memberikan bantuan,
dorongan, moril, masukan dan saran, sehingga penulisan tesis ini dapat diselesaikan.
Secara khusus disampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada yang
terhormat dan amat terpelajar kepada Bapak Ketua Komisi Pembimbing :
Anastasius Rico Haratua Sitanggang : Analisis Yuridis Tentang Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian..., 2009 USU Repository © 2008
10
1. Bapak Ketua Program Studi Magister Kenotariatan Sekolah Pascasarjana sekaligus
merupakan Ketua Komisi Pembimbing yaitu yang terhormat dan amat terpelajar
Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN.
2. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH, MHum
3. Bapak Notaris Syafnil Gani, SH, MHum
atas kesediaannya memberikan bimbingan penulisan yang baik juga arahan dan
petunjuk demi kesempurnaan penulisan tesis ini mulai pemilihan judul, kolokium,
seminar hasil, hingga ujian tertutup, dimana berkat bimbingan yang diberikan sehingga
dapat diperoleh hasil yang maksimal.
Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya juga ditujukan kepada Bapak dan
Ibu dosen penguji yang terhormat dan amat terpelajar yaitu :
1. Ibu Dr. Sunarmi, SH, MHum
2. Bapak Notaris Syahril Sofyan SH, MKn
atas kesediaannya untuk memberikan bimbingan, arahan serta masukan maupun saran
terhadap penyempurnaan penulisan tesis ini sejak tahap kolokium, seminar hasil dan
sampai pada saat ujian tertutup, sehingga penulisan tesis ini menjadi lebih terarah.
Selanjutnya ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. Bapak Prof. Chairuddin P. Lubis, DTM & H, SpA(K), selaku Rektor Universitas
Sumatera Utara, atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan bagi penulis untuk
menyelesaikan pendidikan Magister Kenotariatan di Universitas Sumatera Utara.
Anastasius Rico Haratua Sitanggang : Analisis Yuridis Tentang Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian..., 2009 USU Repository © 2008
11
2. Ibu Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B, MSc., selaku Direktur Sekolah Pascasarjana
Universitas Sumatera Utara, dan para Wakil Direktur beserta seluruh staf atas
bantuan, kesempatan dan fasilitas yang diberikan, sehingga dapat menyelesaikan
studi pada Program Magister Kenotariatan (MKn) Sekolah Pascasarjana,
Universitas Sumatera Utara.
3. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH, MHum., selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara dan juga selaku Pembimbing dalam tesis ini, atas
bantuan dan bimbingannya serta memberikan kesempatan dan fasilitas sehingga
dapat menyelesaikan studi pada Program Magister Kenotariatan (MKn) Sekolah
Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.
4. Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN, selaku Ketua Program Magister
Kenotariatan (MKn) Sekolah Pascasarjana beserta stafnya atas bantuan dalam
memberikan kesempatan dan fasilitas sehingga dapat menyelesaikan studi pada
Program Magister Kenotariatan (MKn) Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera
Utara.
5. Para Bapak dan Ibu Dosen di lingkungan Sekolah Pascasarjana khususnya pada
Magister Kenotariatan yang telah memberikan ilmu pengetahuan sehingga dapat
menyelesaikan studi ini.
6. Para pegawai/staf/karyawan pada Program Magister Kenotariatan (MKn) Sekolah
Pascasarjana Universitas Sumatera Utara yang selalu membantu dengan sepenuh
hati, terutama untuk memperlancar urusan administrasi yang diperlukan.
Anastasius Rico Haratua Sitanggang : Analisis Yuridis Tentang Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian..., 2009 USU Repository © 2008
12
7. Rekan-rekan mahasiswa Magister Kenotariatan Sekolah Pascasarjana USU Medan
khususnya Angkatan 2003 group C dan Angkatan 2005 group C yang tidak dapat
disebutkan satu persatu.
8. Secara tulus ucapan terima kasih kepada Ayahanda tercinta dan Ibunda tersayang
yang selalu memberikan semangat, dorongan, bantuan moril serta dukungan dan
selalu mendoakan penulis hingga dapat merampungkan studi ini.
Selain itu, ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya juga ditujukan kepada
para atasan dan rekan-rekan penulis di lingkungan pekerjaan sehari-hari yang telah
berperan mendukung dan memberikan kesempatan bagi penulis untuk menempuh dan
menyelesaikan jenjang pendidikan Strata 2 (S.2) di Program Magister Kenotariatan
Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, yaitu kepada yang terhormat :
1. Bapak Prof. Dr. Bagir Manan, SH, M.Cl, mantan Ketua Mahkamah Agung
Republik Indonesia.
2. Bapak Harifin Tumpa, SH, Wakil Ketua Bidang Non Yudisial selaku Pelaksana
Tugas Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia.
3. Ibu Prof. Rehngena Purba, SH, MS, Hakim Agung pada Mahkamah Agung
Republik Indonesia yang juga mantan Dekan Fakultas Hukum USU dan mantan
Ketua Program Magister Kenotariatan Sekolah Pascasarjana USU.
4. Bapak Mahdi Soroinda, SH,M.Hum, mantan Ketua Pengadilan Tinggi Pekanbaru
yang saat ini menjabat sebagai Hakim Agung pada Mahkamah Agung Republik
Indonesia.
Anastasius Rico Haratua Sitanggang : Analisis Yuridis Tentang Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian..., 2009 USU Repository © 2008
13
5. Bapak Cicut Sutiarso, SH,MH, Direktur Jenderal Badan Peradilan Umum
Mahkamah Agung Republik Indonesia beserta para staf dan karyawan.
6. Ibu Maulida, SH, Ketua Pengadilan Tinggi Pekanbaru.
7. Bapak Monang Siringo-ringo, SH, Mantan Ketua Pengadilan Tinggi Sumatera
Utara.
8. Bapak Viktor Selamat Zagoto, SH,M.Hum, Mantan Ketua Pengadilan Negeri
Tebing Tinggi Deli yang saat ini menjabat sebagai Ketua Pengadilan Negeri
Sorong.
9. Bapak Sujatmiko, SH, Mantan Ketua Pengadilan Negeri Siak Sri Indrapura yang
saat ini menjabat sebagai Hakim pada Pengadilan Negeri Semarang.
10. Rekan-rekan Hakim di Pengadilan Negeri Siak Sri Indrapura khususnya yang
berperan sebagai nara sumber untuk penulisan Tesis ini serta rekan-rekan Hakim di
Pengadilan Negeri lainnya di seluruh wilayah Republik Indonesia yang tidak dapat
disebutkan satu per satu.
11. Para staf dan karyawan pada Pengadilan Tinggi Medan, Pengadilan Tinggi
Pekanbaru, Pengadilan Negeri Tebing Tinggi Deli dan Pengadilan Negeri Siak Sri
Indrapura serta kepada pihak-pihak lainnya yang telah berperan baik langsung
maupun tidak langsung yang tidak dapat disebutkan satu per satu.
Akhirnya semoga segala budi baik, jasa-jasa dan semua bantuan yang telah
diberikan kepada penulis mendapat imbalan dan pahala yang berlimpah dari Tuhan
Yang Maha Esa.
Medan, 19 Januari 2009,
Penulis,
A. RICO H. SITANGGANG
Anastasius Rico Haratua Sitanggang : Analisis Yuridis Tentang Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian..., 2009 USU Repository © 2008
14
RIWAYAT HIDUP
I. Identitas Pribadi Nama Lengkap : Anastasius Rico Haratua Sitanggang. Tempat/Tgl. Lahir : Pematang Siantar, 08 Januari 1978. Status : Belum Menikah. Alamat : Komp. Citra Wisata Lake View IX/4 Medan 20143.
II. Keluarga Nama Ayah : J.R. Sitanggang, SH Nama Ibu : S.N. Br. Sitindaon, BA
III. Pendidikan SD : Tahun 1984 s/d Tahun 1990. SD Swasta Kristen Kalam Kudus Pematang Siantar. SMP : Tahun 1990 s/d Tahun 1993. SMP Swasta Kristen Kalam Kudus Pematang
Siantar. SMA : Tahun 1993 s/d Tahun 1996. SMA Negeri 4 Pematang Siantar. Perguruan Tinggi/S.1. : Tahun 1997 s/d Tahun 2002. Fakultas Hukum Universitas Katolik Santo Thomas
Sumatera Utara – Medan. Perguruan Tinggi/S.2. : Tahun 2003 s/d Tahun 2009. Program Magister Kenotariatan pada Sekolah
Pascasarjana Universitas Sumatera Utara – Medan.
IV. Pekerjaan
- CPNS/Calon Hakim pada Pengadilan Negeri Tebing Tinggi Deli, sejak tanggal 01 Desember 2003 sampai dengan tanggal 31 Maret 2005.
- PNS/Calon Hakim pada Pengadilan Negeri Tebing Tinggi Deli, sejak tanggal 01 April 2005 sampai dengan tanggal 18 Desember 2006.
- Panitera Pengganti di luar Tanggungan Negara pada Pengadilan Negeri
Tebing Tinggi Deli, sejak tanggal 17 Mei 2006 sampai dengan tanggal 06 Desember 2006.
- Hakim Pengadilan Negeri pada Pengadilan Negeri Siak Sri Indrapura-Riau, sejak tanggal 19 Desember 2006 sampai sekarang.
Anastasius Rico Haratua Sitanggang : Analisis Yuridis Tentang Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian..., 2009 USU Repository © 2008
15
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK ........................................................................................................ i
ABSTRACT ................................................................................................... iii
KATA PENGANTAR ...................................................................................... v
RIWAYAT HIDUP........................................................................................... x
DAFTAR ISI ................................................................................................... xii
DAFTAR TABEL ............................................................................................. xiv
DAFTAR SINGKATAN................................................................................... xv
BAB I PENDAHULUAN..................................................................... 1
A. Latar Belakang .................................................................... 1
B. Permasalahan....................................................................... 11
C. Tujuan Penelitian................................................................. 11
D. Manfaat Penelitian............................................................... 11
E. Keaslian Penelitian.............................................................. 12
F. Kerangka Teori dan Konsepsi ............................................. 12
G. Metode Penelitian................................................................ 31
BAB II PUTUSNYA PERKAWINAN KARENA PERCERAIAN DI PENGADILAN NEGERI SIAK SRI INDRAPURA................ 34
A. Pengadilan Negeri Siak Sri Indrapura ................................ 34
B. Faktor Penyebab Putusnya Perkawinan Karena Perceraian ............................................................................ 43
Anastasius Rico Haratua Sitanggang : Analisis Yuridis Tentang Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian..., 2009 USU Repository © 2008
16
BAB III AKIBAT HUKUM TERHADAP ANAK DAN HARTA PERKAWINAN KARENA PERCERAIAN ............................ 59
A. Akibat Hukum Terhadap Anak ........................................... 59
B. Akibat Hukum Terhadap Harta Perkawinan ....................... 71
BAB IV PERTIMBANGAN HUKUM HAKIM DALAM MEMUTUS PERKARA PERCERAIAN DAN PERKARA PERDATA PADA UMUMNYA.............................................. 82
A. Persentuhan Hukum Agama dengan UUP No. 1 Tahun 1974..................................................................................... 82
B. Dasar Yuridis....................................................................... 85
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN................................................. 109
A. Kesimpulan.......................................................................... 109
B. Saran.................................................................................... 112
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 115
Anastasius Rico Haratua Sitanggang : Analisis Yuridis Tentang Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian..., 2009 USU Repository © 2008
17
DAFTAR TABEL
Nomor Judul Halaman
1. Jumlah Penduduk Kabupaten Siak............................................. 35
2. Jumlah Perkara 23 Pebruari 2006 s/d Desember 2006.............. 37
3. Dasar Hakim Memberi Pertimbangan Hukum.......................... 94
4. Pendapat Hakim Tentang Memutuskan Perkara .................... 95
Anastasius Rico Haratua Sitanggang : Analisis Yuridis Tentang Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian..., 2009 USU Repository © 2008
18
DAFTAR SINGKATAN
AB : Algemene Bepalingen
BW : Burgerlijk Wetboek
HIR : Herjiene Inland Reglement
HR : Hoge Raad
IR : Inlands Reglement
KUHPdt : Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
KUHAP : Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata
MARI : Mahkamah Agung Republik Indonesia
No. : Nomor
PN : Pengadilan Negeri
PT : Pengadilan Tinggi
PP : Peraturan Pemerintah
Rbg : Rechtsreghment buiten gewesteren
Stb : Staatblad
UUD 1945 : Undang-Undang Dasar Tahun 1945
UU : Undang-Undang
UUP : Undang-Undang Perkawinan
WABN : Wet Algemene Bepalingen Nederland
Anastasius Rico Haratua Sitanggang : Analisis Yuridis Tentang Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian..., 2009 USU Repository © 2008
19
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sesuai dengan kodrat alam manusia sejak lahir sampai meninggal dunia hidup
bersama-sama dengan manusia lain, atau manusia tidak dapat hidup menyendiri,
terpisah dari kelompok manusia lainnya.1 Sejak dahulu kala pada diri manusia terdapat
hasrat untuk berkumpul dengan sesamanya dalam suatu kelompok. Di samping itu,
manusia juga punya hasrat untuk bermasyarakat.
Manusia sebagai mahluk individu bisa saja mempunyai sifat untuk hidup
menyendiri tetapi manusia sebagai mahluk sosial tidak dapat hidup menyendiri.
Manusia harus hidup bermasyarakat, sebab ia lahir, hidup berkembang, dan meninggal
dunia di dalam masyarakat.2
Pola hidup tersebut merupakan susunan daripada kaidah-kaidah yang mencakup kaidah-kaidah kepercayaan, kesusilaan, sopan santun dan hukum. Tidak jarang bahwa suatu kepentingan manusia dilindungi oleh keempat macam kaidah tersebut, walaupun ada perbedaan-perbedaan yang hakiki dari kaidah-kaidah tersebut. Untuk menelaah perbedaan-perbedaannya, maka kaidah-kaidah tersebut perlu dihubungkan dengan adanya dua aspek hidup, yaitu pribadi dan hidup antar pribadi.3 Setelah dewasa, keinginan untuk melakukan perkawinan telah terbayang di
dalam pikirannya. Kemauan ini semakin terasa apabila manusia tersebut telah
1Chainur Arrasjid, Dasar-dasar Ilmu Hukum, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, Cetakan 3, 2004,
hal. 1. 2Ibid. 3Purnadi Purbacaraka, Pengantar Ilmu Hukum, Fakultas Ilmu-ilmu Sosial, Universitas
Indonesia, Jakarta, 1989, hal. 3.
1 Anastasius Rico Haratua Sitanggang : Analisis Yuridis Tentang Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian..., 2009 USU Repository © 2008
20
mempunyai penghasilan dan mampu untuk membiayai kehidupan rumah tangga
sendiri.
Perkawinan adalah hubungan hukum yang merupakan pertalian yang sah
antara seorang laki-laki dan seorang wanita yang telah memenuhi syarat-syarat
perkawinan, untuk jangka waktu yang selama mungkin.4 Di samping itu perkawinan
merupakan ikatan lahir dan bathin antara seorang pria dengan seorang perempuan yang
telah dewasa menurut ketentuan perundang-undangan yang berlaku dan bersifat kekal
dan abadi menuju kehidupan rumah tangga yang bahagia dan sejahtera.
Perkawinan menyangkut banyak segi yang melibatkan kedua belah pihak
(suami-isteri), keturunan mereka dalam garis lurus ke bawah dan ke atas, harta benda,
menyangkut hubungan masyarakat melalui kontak sosial, hubungan hukum melalui
kontak negara. Tidak mengherankan bila perkawinan melahirkan berbagai masalah
hukum baik perdata maupun pidana yang tidak mungkin dicakup secara keseluruhan
pada saat sekarang ini.
Perkawinan secara umum dilaksanakan berdasarkan hukum agama atau hukum
adat (yang juga bercampur dengan hukum agama). Perkawinan yang tertua di
Indonesia adalah berdasarkan hukum agama Hindu, Budha, Islam dan hukum
adat untuk suku-suku yang tidak menganut agama Hindu, Budha dan Islam.
Sungguhpun demikian, karena agama Islam kemudian dianut oleh mayoritas
penduduk, maka hukum perkawinan yang banyak diikuti adalah Hukum Islam.
4Rien G. Kartasapoetra, Pengantar Ilmu Hukum Lengkap, Penerbit Bina Aksara, Jakarta,
Cetakan I, 1988, hal. 97.
Anastasius Rico Haratua Sitanggang : Analisis Yuridis Tentang Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian..., 2009 USU Repository © 2008
21
Bagi masyarakat Indonesia, sudah menjadi pegangan hidup atau pandangan
hidup mereka sejak dahulu bahwa mengenai perkawinan, kelahiran dan kematian
adalah sangat dipengaruhi oleh ketentuan-ketentuan agama.5 Orang yang taat pada
agamanya tidak mudah berbuat sesuatu yang melanggar larangan agamanya dan
kepercayaannya. Selain larangan-larangan, agamanya juga mempunyai peraturan-
peraturan yang memuat perintah-perintah yang wajib dan harus ditaati.6 Perkawinan
merupakan suatu peristiwa yang besar dalam kehidupan seseorang, juga bagi orang tua
anak gadis, perkawinan anaknya itu sangat mengharukan, dimana orang tua tersebut
melepaskan anak mereka yang dicintainya itu, lalu berangkat menempuh hidup baru
bersama suaminya.7
Hampir dalam semua tradisi hukum, baik civil law, common law, maupun
Islamic law, perkawinan adalah sebuah kontrak berdasarkan persetujuan sukarela
yang bersifat pribadi antara seorang pria dan wanita untuk menjadi suami-
isteri.8 Dalam hal ini, perkawinan selalu dipandang sebagai dasar bagi unit keluarga
5Rusdi Malik, Peranan Agama Dalam Hukum Perkawinan di Indonesia, Penerbit Universitas
Trisakti, 1990, Jakarta, hal. 11. 6Chainur Arrasjid, Op.Cit., hal. 5. 7Retnowulan Sutanto, Wanita dan Hukum, Himpunan Karangan Hukum yang Penting Bagi
Kaum Wanita, Penerbit Alumni, Bandung, 1979, hal. 35. 8Rifyal Ka’bah, Hakim Agung MARI, Permasalahan Perkawinan, Varia Peradilan No. 271,
Makalah, Juni 2008, hal. 7. Perkawinan disebut juga pernikahan, dari kata nikah yang berarti ‘aqd (kontrak), tetapi kemudian berarti jima’ (persetubuhan). Di Indonesia kontrak atau perjanjian disebut akad nikah (perjanjian, pernikahan atau perkawinan). Sebagai perjanjian atau kontrak, maka pihak-pihak terikat dengan perjanjian atau kontrak berjanji akan membina rumah tangga yang bahagia lahir-batin dengan melahirkan anak-cucu yang meneruskan cita-cita mereka. Bila ikatan lahir dan batin tidak lagi dapat dirujuskan dalam perkawinan, misalnya tidak lagi dapat melakukan hubungan seksual, atau tidak dapat melahirkan keturunan, atau masing-masing sudah mempunyai tujuan yang berbeda, maka perjanjian dapat dibatalkan melalui pemutusan perkawinan (perceraian) atau paling tidak ditinjau kembali melalui perkawinan kembali setelah terjadi perceraian.
Anastasius Rico Haratua Sitanggang : Analisis Yuridis Tentang Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian..., 2009 USU Repository © 2008
22
yang mempunyai arti penting bagi penjagaan moral atau akhlak masyarakat dalam
pembentukan peradaban.
Mulai secara tradisional, suami dalam semua sistem tersebut bertugas menyiapkan tempat tinggal, memenuhi kebutuhan rumah tangga dan melindungi keluarga secara umum. Sementara itu isteri berkewajiban mengurus rumah tangga, tinggal di rumah, melakukan hubungan seksual dengan suami dan memelihara anak-anak. Konsep perkawinan sebagai kontrak yang sah seperti ini sampai sekarang belum berubah, tetapi karena perubahan-perubahan yang terjadi dalam masyarakat mengikuti hukum kehidupan maka kewajiban-kewajiban pihak-pihak yang terlibat dalam kontrak tersebut tidak lagi persis seperti pada masa lalu.9 Maka perkawinan bukanlah barang mainan yang suatu waktu dapat diganti
dan ditukar dengan yang lain. Untuk melangsungkan suatu perkawinan, undang-
undang telah menentukan beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh para pihak. Di
dalam undang-undang perkawinan ditetapkan beberapa azas dan prinsip, salah
satunya adalah azas untuk mempersulit terjadinya penyimpangan, karena tujuan
perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal.
Dalam suasana dimana masyarakat menghadapi perubahan sosial ekonomi
yang serba cepat, perhatian tidak lagi diarahkan pada seputar penggarapan hukum
sebagai suatu sistem peraturan yang logis dan konsisten, akan tetapi hukum lebih
dikaitkan dengan perubahan-perubahan sosial.
Dalam sebuah keluarga, suami wajib melindungi dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya dan isteri wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya, karena suami adalah kepala keluarga dan tugas isteri adalah sebagai ibu rumah tangga dalam keluarga.10
9Ibid., hal. 7. 10Bambang Sunggono, Hukum dan Kebijaksanaan Publik, Sinar Grafika, Jakarta, Cetakan I,
1994, hal. 1.
Anastasius Rico Haratua Sitanggang : Analisis Yuridis Tentang Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian..., 2009 USU Repository © 2008
23
Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami
dalam kehidupan berumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat.11
Akan tetapi pembagian peran sebagaimana terdapat dalam ketentuan Pasal 31 ayat 3
dan Pasal 34 ayat 1 dan 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
(selanjutnya ditulis UUP) bahwa hak dan kedudukan laki-laki dan perempuan adalah
seimbang.
Menurut Soerjono Soekanto bahwa Hukum dengan tegas mengatur perbuatan-
perbuatan manusia yang bersifat lahiriah, dan hukum mempunyai sifat untuk
menciptakan keseimbangan antar kepentingan-kepentingan para warga masyarakat.12
Dari kenyataan tersebut, maka pembuat Undang-Undang No. 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan menyatakan perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut
hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu (Pasal 2 Ayat 1). Agama
yang dimaksud adalah merujuk kepada Pasal 29 Ayat (2) UUD 1945 : Negara
menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya dan
kepercayaannya masing-masing.13
Pembagian tugas sebagaimana diatur secara jelas dalam undang-undang
tersebut nampaknya memang mengkekalkan apa yang selama ini dianut oleh sebagian
besar masyarakat dan justru pembagian tugas inilah yang sedang mengalami proses
perubahan dalam lingkup yang luas. Banyak rumah tangga sekarang ini suami bukan
11Retnowulan Sutanto, Op.Cit., hal. 35. 12Soerjono Soekanto, Beberapa Permasalahan Hukum Dalam Kerangka Pembangunan di
Indonesia, Penerbit UI-Press, Jakarta, Cetakan 3, 1983, hal. 4. 13Rifyal Ka’bah, Op.Cit., hal. 8.
Anastasius Rico Haratua Sitanggang : Analisis Yuridis Tentang Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian..., 2009 USU Repository © 2008
24
satu-satunya pencari nafkah, isteri bekerja dan karena itu mempunyai waktu lebih
sedikit atau bahkan tidak punya waktu sama sekali untuk mengurus rumah tangga.
Beragamnya kepentingan antar manusia dapat terpenuhi secara damai, tetapi
juga menimbulkan konflik jika tata cara pemenuhan kepentingan tersebut dilakukan
tanpa ada keseimbangan sehingga akan melanggar hak-hak orang lain.14
Dalam perkembangannya, perceraian dalam sebuah ikatan perkawinan tidak
dapat dihindari, alasan pengajuan perceraian sangat bervariasi seperti: masuknya orang
ketiga dalam perkawinan, adanya perbedaan pandangan mengenai kewajiban suami
isteri dalam rumah tangga, dan seringnya isteri ditinggal suami, perubahan peran
suami isteri, serta pertengkaran dan konflik yang berkepanjangan sehingga tidak
mungkin lagi kerukunan dan kebahagiaan rumah tangga itu dapat dipertahankan.
Hal ini menunjukkan adanya kecenderungan nilai-nilai yang mengatur
hubungan antara suami isteri dalam keluarga mulai berubah. Jika memang ada
kecenderungan pergeseran nilai, maka formulasi nilai-nilai tersebut dalam bentuk
undang-undang perlu ditinjau kembali. Oleh karena itu nampaknya perlu dilihat
apakah proses itu benar terjadi dan kalau seandainya terjadi hanya bersifat sementara
saja atau sesuatu yang semakin lama semakin cenderung meningkat.
Setiap pasangan tidak selamanya dapat menyelesaikan konflik-konflik yang
mereka alami, dan mengundang orang yang dianggap lebih tua menjadi penengah
belum tentu efektif karena pertimbangannya berbeda. Oleh karena itu mungkin
14SP. Wasis, Pengantar Ilmu Hukum, UMM Press, Malang, Cetakan I, 2002, hal. 7.
Anastasius Rico Haratua Sitanggang : Analisis Yuridis Tentang Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian..., 2009 USU Repository © 2008
25
dibutuhkan semacam lembaga yang memberi pelayanan konsultasi yang sungguh-
sungguh mengerti perubahan yang terjadi dan tidak hanya mempertimbangkan aspek
normatif saja. Kualifikasi yang sama mungkin juga dibutuhkan oleh orang-orang yang
karena pekerjaannya menangani konflik keluarga seperti hakim, pengacara dan
sebagainya.
Pada kenyataannya perceraian tidak juga dapat dihindarkan, walaupun berbagai
usaha dan upaya telah dikerahkan ke arah itu. Padahal perceraian sedapat mungkin
harus dihindarkan mengingat perbuatan tersebut adalah dilarang dan aib sifatnya
kecuali dalam keadaan benar-benar terpaksa.
Keterlibatan hukum yang semakin aktif ke dalam persoalan-persoalan yang
menyangkut perubahan sosial, justru memunculkan permasalahan yang mengarahkan
pada penggunaan hukum secara sadar dan aktif sebagai sarana untuk turut menyusun
tata kehidupan yang baru tersebut.15 Di samping itu, perkembangan dan perubahan
yang sangat besar akibat peranan teknologi dan industrialisasi menghendaki agar
hukum melakukan adaptasi pada keadaan demikian itu. Akibatnya, hampir semua
aspek dalam kehidupan ditemui adanya peraturan-peraturan hukum.16
Akibatnya lembaga-lembaga peradilan pada hakekatnya tidak begitu saja
dengan mudah mengabulkan gugatan perceraian walaupun alasan-alasan perceraian
tersebut telah dipenuhi oleh salah satu pihak. Hakim pada dasarnya berusaha agar
kedua belah pihak merenungkan kembali dan disarankan agar sejauh mungkin
15Bambang Sunggono, Op.Cit., hal. 1. 16Ibid., hal. 2.
Anastasius Rico Haratua Sitanggang : Analisis Yuridis Tentang Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian..., 2009 USU Repository © 2008
26
perceraian dihindarkan karena berakibat luas, apabila keluarga tersebut telah
mempunyai keturunan (anak). Tetapi apabila usaha dan upaya itu gagal, maka dengan
terpaksa gugatan tentang perceraian harus diputus dengan beberapa pertimbangan-
pertimbangan. Masalah perceraian ini di dalam peraturan perundang-undangan telah
mengatur tentang lembaga-lembaga yang berwenang menerima, memeriksa, dan
memutus perkara tersebut. Bagi bangsa Indonesia yang beragama Islam, lembaga
yang berwenang memeriksa dan memutusnya adalah Pengadilan Agama untuk
peradilan tingkat pertama, Pengadilan Tinggi Agama untuk peradilan tingkat banding
dan Mahkamah Agung untuk tingkat kasasi, sedangkan beragama lain peradilan yang
berhak memeriksa adalah Pengadilan Negeri dimana tergugat bertempat tinggal.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Peraturan
Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 adalah merupakan hasil produk perundang-undangan
nasional, yang telah disesuaikan dengan perkembangan zaman dan kepribadian bangsa
Indonesia. Maka hukum agama dan hukum adat yang merupakan hukum yang hidup
dan dipertahankan oleh bangsa Indonesia yang sesuai dengan kepribadian nasional
dimana hukum adat yang dapat diterima untuk dimasukkan ke dalam undang-undang
perkawinan tersebut adalah hukum adat yang dapat menyesuaikan diri serta dapat
mengikuti perkembangan zaman menuju kepada negara yang maju dan modern. Di
dalam undang-undang tersebut memang tidak tegas digunakan istilah hukum adat,
namun tidak berarti bahwa undang-undang ini terlepas sama sekali dari hukum adat.
Anastasius Rico Haratua Sitanggang : Analisis Yuridis Tentang Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian..., 2009 USU Repository © 2008
27
Hal ini dapat dilihat misalnya pada Bab VII Pasal 35-37 UUP tentang harga
benda di dalam perkawinan masih juga digunakan istilah Harta Bersama dan Harta
Bawaan. Bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama itu diatur menurut
hukumnya masing-masing. Di dalam penjelasannya disebutkan yang dimaksud dengan
hukumnya masing-masing ialah hukum agama, hukum adat dan hukum-hukum
lainnya. Secara keseluruhan undang-undang perkawinan maupun aturan
pelaksanaannya hanya mengenal dua jenis proses perceraian yaitu perceraian dengan
talak dan cerai gugat.
Selanjutnya dalam Pasal 16 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975
dikatakan bahwa tujuan sidang pengadilan dimaksud dalam Pasal 14 PP tersebut
hanyalah untuk menyaksikan perceraian tersebut. Dalam Pasal 17 PP tersebut
dikatakan bahwa sesaat setelah dilakukan sidang pengadilan untuk menyaksikan
perceraian, Ketua Pengadilan membuat surat keterangan tentang terjadinya perceraian.
Dari ketentuan tersebut di atas jelaslah bahwa yang diajukan suami bukanlah
surat permohonan, akan tetapi surat pemberitahuan bahwa ia akan bercerai
(menceraikan) isterinya dan untuk itu ia meminta kepada pengadilan di tempat
tinggalnya untuk mengadakan sidang menyaksikan perceraian itu. Dan jika sudah
terjadi perceraian di muka pengadilan, maka Ketua Pengadilan membuat surat
keterangan tentang terjadinya perceraian (bukan surat penetapan atau putusan).
Ketentuan mengenai akibat perceraian yang diatur oleh Pasal 41 ayat b dan c
UUP mengatakan suami yang bertanggungjawab atas semua biaya pemeliharaan dan
pendidikan yang diperlukan untuk itu, jika suami dalam kenyataan tidak dapat
Anastasius Rico Haratua Sitanggang : Analisis Yuridis Tentang Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian..., 2009 USU Repository © 2008
28
memberi kewajiban tersebut, pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul
biaya tersebut. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan
biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas isteri.
Beban akibat perceraian terutama yang bersifat finansial yang sekarang ini
terutama menjadi kewajiban suami, nampaknya perlu juga dipertimbangkan. Dalam
kenyataan cukup banyak isteri yang berpenghasilan lebih banyak atau sama dengan
suami. Undang-Undang perkawinan mengantisipasi perubahan-perubahan sosial dalam
masyarakat saat ini, seperti yaitu pengaturan pembagian peran antara suami isteri, dan
gugatan perceraian (isteri yang meminta cerai). Kalaupun banyak perceraian yang
diajukan oleh pihak isteri, tidak menyebabkan bertambah rendahnya perceraian yang
diajukan isteri. Oleh karena itu mempersulit prosedur tidak menjadi alasan untuk
mengurangi angka perceraian. Undang-undang perkawinan yang mengatur antara lain
soal peran suami isteri dan prosedur perceraian sudah perlu dipertimbangkan kembali
setidak-tidaknya di dalam penerapannya.
Pengadilan Negeri Siak Sri Indrapura yang dulunya merupakan wilayah dari
Pengadilan Negeri Bengkalis. Pengadilan Negeri ini diresmikan oleh Ketua Mahkamah
Agung Republik Indonesia dan berfungsi sejak 23 Pebruari 2006. Dengan
berfungsinya Pengadilan Negeri ini, tentunya para penegak hukum khususnya hakim
sangat diharapkan profesionalnya dalam mengadili perkara yang masuk ke Pengadilan
Negeri, khususnya perkara perceraian.
Dari uraian di atas yang menjadi fokus pembahasan adalah perceraian yang
diputus oleh Pengadilan Negeri Siak Sri Indrapura.
Anastasius Rico Haratua Sitanggang : Analisis Yuridis Tentang Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian..., 2009 USU Repository © 2008
29
B. Permasalahan
Berdasarkan pada uraian latar belakang tersebut di atas, maka dapat
dirumuskan pokok permasalahan yang akan dibahas lebih lanjut, yaitu :
1. Apakah faktor-faktor yang menyebabkan putusnya perkawinan karena perceraian?
2. Bagaimana akibat hukum terhadap anak dan harta perkawinan yang disebabkan
perceraian melalui putusan pengadilan ?
3. Bagaimana pertimbangan hukum hakim dalam mengadili perkara perceraian di
Pengadilan Negeri Siak Sri Indrapura – Riau ?
C. Tujuan Penelitian
Sehubungan dengan permasalahan tersebut di atas, maka tujuan yang hendak
dicapai dalam penulisan tesis ini adalah :
1. Untuk mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan putusnya perkawinan karena
perceraian.
2. Untuk mengetahui akibat hukum terhadap anak dan harta perkawinan yang
disebabkan perceraian melalui putusan pengadilan.
3. Untuk mengetahui pertimbangan hukum hakim dalam mengadili perkara
perceraian.
D. Manfaat Penelitian
Kegiatan penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat baik secara teoritis
maupun secara praktis, yaitu :
Anastasius Rico Haratua Sitanggang : Analisis Yuridis Tentang Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian..., 2009 USU Repository © 2008
30
1. Secara Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan konstribusi untuk ilmu
pengetahuan hukum, agar ilmu itu tetap hidup dan berkembang khususnya tentang
hukum perkawinan.
2. Secara Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat menambah pemahaman kepada masyarakat serta
kepada aparat penegak hukum terkait dalam proses perceraian serta pemahaman
atas nilai-nilai hukum perkawinan sebagaimana yang diamanatkan oleh Undang-
Undang.
E. Keaslian Penelitian
Dari hasil penelusuran kepustakaan diketahui bahwa penelitian tentang Analisis
Yuridis Tentang Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian (Studi Pada Pengadilan
Negeri Siak Sri Indrapura-Riau) belum ada. Maka dengan demikian penelitian ini
adalah asli.
F. Kerangka Teori dan Konsepsi
1. Kerangka Teori
Teori adalah untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik
atau proses tertentu terjadi,17, dan satu teori harus diuji dengan menghadapkannya
17J.J.J. M. Wuisman, dengan penyunting M. Hisyam, Penelitian Ilmu-ilmu Sosial, Jilid I, FE-
UI, Jakarta, 1996, hal. 203.
Anastasius Rico Haratua Sitanggang : Analisis Yuridis Tentang Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian..., 2009 USU Repository © 2008
31
pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidakbenarannya.18 Kerangka teori adalah
kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis mengenai sesuatu kasus atau
permasalahan (problem) yang menjadi bahan perbandingan, pegangan teoritis.19 bagi
peneliti Analisis Yuridis Tentang Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian.
Perkawinan hapus, jikalau satu pihak meninggal, selanjutnya perkawinan hapus juga, jikalau satu pihak kawin lagi setelah mendapat izin hakim, bilamana pihak yang lainnya meninggalkan tempat tinggalnya hingga 10 (sepuluh) tahun lamanya dengan tiada ketentuan nasibnya akhirnya perkawinan dapat dihapuskan dengan perceraian.20 Perceraian adalah penghapusan perkawinan dengan putusan hakim, atau
tuntutan salah satu pihak dalam perkawinan itu. Undang-Undang tidak membolehkan
perceraian dengan permufakatan saja antara suami isteri, tetapi harus ada alasan yang
sah. Alasan-alasan tersebut adalah sebagai berikut :
a. Zina (overspel)
b. Ditinggalkan dengan sengaja (kwaadwillige verlating)
c. Penghukuman yang melebihi 5 tahun karena dipersalahkan melakukan suatu
kejahatan, dan
d. Penganiayaan berat atau membahayakan jiwa (Pasal 209 KUHPerdata).
Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1979, Pasal 19 menyebutkan
ada enam alasan tentang perceraian yaitu :
a. Salah satu pihak mendapat cacat badan/penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami isteri.
b. Antara suami isteri terus menerus terjadi perselisihan/pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
18Ibid., hal. 16. 19M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Mandar Maju, Bandung, 1994, hal. 80. 20R. Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, Penerbit PT. Intermasa, Jakarta, Cetakan XVII,
1983, hal. 42.
Anastasius Rico Haratua Sitanggang : Analisis Yuridis Tentang Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian..., 2009 USU Repository © 2008
32
c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.
d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayaka pihak yang lain.
e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/isteri.
f. Antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
Putusnya perkawinan berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
7 Tahun 1993 tentang Peradilan Agama dilengkapi dengan Kompilasi Hukum Islam
Indonesia. Putusnya perkawinan berdasarkan Pasal 113 Undang-Undang Peradilan
Agama perkawinan putus karena :
a. Kematian
b. Perceraian, dan
c. Atas putusan Pengadilan.
Putusnya perkawinan yang disebabkan karena perceraian dalam Undang-
Undang Peradilan Agama dapat terjadi karena talak atau berdasarkan gugatan
perceraian. Dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 115 dinyatakan perceraian hanya
dapat dilakukan di sidang Pengadilan Agama tersebut berusaha dan tidak berhasil
mendamaikan kedua belah pihak.
Putusnya perkawinan apabila 5 (lima) tahun telah lewat waktu dan tidak juga
ada perdamaian kembali antara suami dan isteri, masing-masing pihak dapat meminta
kepada hakim supaya perkawinan diputuskan dengan perceraian.21
Bagi suatu negara dan bangsa seperti Indonesia adalah mutlak adanya undang-
undang perkawinan nasional yang sekaligus menampung prinsip-prinsip dan
21Ibid., hal. 43.
Anastasius Rico Haratua Sitanggang : Analisis Yuridis Tentang Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian..., 2009 USU Repository © 2008
33
memberikan landasan hukum perkawinan yang selama ini menjadi pegangan dan telah
berlaku bagi berbagai golongan dalam masyarakat.22 Adanya UUP tentang
Perkawinan, berlaku untuk setiap warga negara Indonesia di seluruh nusantara,
merupakan undang-undang unifikasi.
Kelahiran Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 bukan sekedar bermaksud menciptakan suatu hukum perkawinan yang bersifat dan berlaku “nasional” dan “menyeluruh”. Melainkan juga dimaksudkan dalam rangka mempertahankan, lebih menyempurnakan, memperbaiki atau bahkan menciptakan konsepsi-konsepsi hukum perkawinan baru yang sesuai dengan perkembangan dan tuntutan zaman bagi rakyat Indonesia yang pluralistik.23 Dalam pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 (selanjutnya disebut
UUP), Pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang
Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.
Jika ditinjau dari pengertian perkawinan adalah perjanjian suci membentuk
keluarga antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan. Unsur perjanjian
memperlihatkan kepada masyarakat umum dan istilah suci merupakan pernyataan dari
sudut agama.
Menurut Pasal 1 UUP No. 1 Tahun 1974, pengertian perkawinan telah
dirumuskan sebagai berikut : “Perkawinan adalah ikatan lahir bathin antara seorang
pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga
yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
22Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional, Penerbit Rineka Cipta, Jakarta, Cetakan Ketiga, 2005, hal. 6.
23Rachmadi Usman, Aspek-aspek Hukum Perorangan dan Kekeluargaan di Indonesia, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, Cetakan I, 2006, hal. 231.
Anastasius Rico Haratua Sitanggang : Analisis Yuridis Tentang Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian..., 2009 USU Repository © 2008
34
Dalam penjelasan UUP menegaskan bahwa :
Sebagai negara yang berdasarkan Pancasila, dimana sila pertamanya ialah Ketuhanan Yang Maha Esa, maka perkawinan mempunyai hubungan yang erat sekali dengan agama/kerohanian, sehingga perkawinan bukan saja mempunyai unsur lahir jasmani, tetapi unsur bathin/rohani juga mempunyai peranan penting. Membentuk keluarga yang bahagia erat hubungannya dengan keturunan yang merupakan tujuan perkawinan, pemeliharaan dan pendidikan menjadi hak dan kewajiban orang tua.24 Pernyataan tersebut memberi arti bahwa dalam suatu perkawinan dimana
perkawinan bukan hanya merupakan hubungan jasmani dan rohani antara wanita dan
pria, tetapi juga sangat erat hubungannya dengan mempunyai dan membesarkan
keturunan mereka.
Di dalam hidup bersama orang harus biasa mengindahkan sejumlah besar peraturan-peraturan. Dari peraturan-peraturan tersebut sebagian besar sama sekali tidak ada hubungan dengan “hukum”. Hanya sedikit sajalah yang ada sangkut pautnya dengan hukum. Misalnya mengenai kebanyakan aturan-aturan kesopanan dan juga mengenai berbagai kewajiban-kewajiban kepatutan. Hal-hal ini dapat saja dilanggar tanpa memperoleh hukuman.25 Persepsi orang tentang hukum itu beraneka ragam, tergantung dari sudut mana
mereka memandangnya. Kalangan hakim akan memandang hukum itu dari sudut
pandang profesi mereka sebagai hakim,26 kalangan ilmuwan hukum akan memandang
hukum itu dari sudut pandang profesi keilmuwan mereka, rakyat kecil akan
memandang hukum dari sudut pandang mereka, dan sebagainya.
24Sudarsono, Op.Cit., hal. 9. 25H.F.A. Vollmar, (Terjemahan I.S. Adiwimarta), Pengantar Studi Hukum Perdata, Rajawali
Pers, Jakarta, Cetakan 2, 1989, hal. 1. 26Jenis putusan yang terbanyak dijumpai yang tidak memerankan hokum sebagai “a tool of
social engineering” antara lain : a. Penafsiran terhadap Pasal 49 KUHP terlihat dalam putusan HR tanggal 27 Mei 1935
“Apabila dengan jelas ternyata bahwa terdakwa tidak akan berbuat lain daripada yang dilakukannya, maka ia tidak berbuat karena pembelaan terpaksa”.
b. Penafsiran terhadap Pasal 49 KUHP, terlihat dalam putusan HR tanggal 29 Desember 1913 : “Membalas suatu serangan dengan suatu serangan balasan bukan merupakan tindakan membela diri”.
Anastasius Rico Haratua Sitanggang : Analisis Yuridis Tentang Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian..., 2009 USU Repository © 2008
35
Hukum kata Viktor Hugo adalah kebenaran dan keadilan. Hukum kata Meyers adalah keseluruhan daripada norma-norma dan penilaian-penilaian mengenai tentang harga diri, kesusilaan yang mempunyai hubungan yang erat dengan perbuatan-perbuatan manusia sebagai anggota masyarakat, norma-norma dan penilaian-penilaian mana oleh penguasa negara harus dipakai pedoman dalam menunaikan tugasnya.27 Menurut Oxford English Dictionary, sebagaimana yang dikutip oleh Achmad
Ali bahwa pengertian hukum yaitu “Law is the body of rules, whether formally enacted
or customary, which a state or community recognises as binding on ist members or
subjects”. (Hukum adalah kumpulan aturan, perundang-undangan atau hukum
kebiasaan, dimana suatu negara atau masyarakat mengakuinya sebagai suatu yang
mempunyai kekuatan mengikat terhadap warganya).28
Sedangkan menurut Utrecht sebagaimana dikutip oleh Achmad Ali bahwa :
Pengertian hukum adalah himpunan petunjuk hidup, perintah-perintah dan larangan yang mengatur tata tertib dalam sesuatu masyarakat, dan seharusnya ditaati oleh anggota masyarakat yang bersangkutan, oleh karena pelanggaran petunjuk hidup tersebut dapat menimbulkan tindakan oleh pemerintah atau penguasa masyarakat itu.29
Berarti hukum bukan hanya sekedar kaidah melainkan juga sebagai gejala
sosial dan sebagai sesi kebudayaan. Sedangkan Achmad Ali memberikan pengertian
hukum yaitu :
Hukum adalah seperangkat kaidah atau ukuran yang tersusun dalam satu sistem, yang menentukan apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan oleh manusia sebagai warga masyarakat dalam kehidupan bermasyarakatnya, yang bersumber baik dari masyarakat sendiri maupun dari sumber lain yang diakui berlakunya oleh otoritas tertinggi dalam masyarakat tersebut, serta
27R. Soebekti dan R. Tjitrosoedibio, Kamus Hukum, PT. Pradnya Paramita, Jakarta, Cetakan 9,
1986, hal. 50. 28Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis), PT. Toko
Gunung Agung Tbk, Jakarta, 2002, hal. 31. 29Ibid., hal. 32.
Anastasius Rico Haratua Sitanggang : Analisis Yuridis Tentang Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian..., 2009 USU Repository © 2008
36
benar-benar dilakukan oleh warga masyarakat (sebagai satu keseluruhan) dalam kehidupannya, dan jika kaidah tersebut dilanggar akan memberikan kewenangan bagi otoritas tertinggi untuk menjatuhkan sanksi yang sifatnya eksternal.30 Persoalan tujuan hukum dikaji melalui tiga sudut pandang, antara lain :
a. Dari sudut pandang ilmu hukum positif-normatif atau yuridis dogmatic, dimana tujuan hukum dititikberatkan pada segi kepastian hukumnya.
b. Dari sudut pandang filsafat hukum, dimana tujuan hukum dititikberatkan pada segi keadilan.
c. Dari sudut pandang sosiologi hukum, tujuan hukum dititikberatkan pada segi kemanfaatannya.31
Tujuan hukum dapat diklasifikasikan ke dalam 2 (dua) kelompok teori antara
lain :
a. Ajaran Konvensional 1) Ajaran etis yang menganggap bahwa pada asasnya tujuan hukum adalah
semata-mata untuk mencapai keadilan. 2) Ajaran utilitis yang menganggap bahwa pada asasnya tujuan hukum
adalah semata-mata untuk menciptakan kemanfaatan atau kebahagiaa warga.
3) Ajaran normatif-dogmatif yang menganggap bahwa pada asasnya tujuan hukum adalah semata-mata untuk menciptakan kepastian hukum.
b. Ajaran Modern 1) Ajaran prioritas baku yang oleh sebagian pakar diidentikkan juga
sebagai tiga tujuan hukum yaitu keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum.
2) Ajaran prioritas kasuistis bahwa mungkin untuk kasus-kasus lain justru kebutuhan kemanfaatanlah yang diprioritaskan ketimbang keadilan dan kepastian begitu juga sebaliknya.32
Jadi secara konvensional, tujuan hukum adalah mewujudkan keadilan,
kemanfaatan dan kepastian hukum. Dalam hal ini diupayakan ketiganya dapat
30Ibid., hal. 35. 31Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, Bab-bab Tentang Penemuan Hukum, PT. Citra Aditya
Bakti, Yogyakarta, Cetakan I, 1993, hal. 60. 32Ibid., hal. 73-85.
Anastasius Rico Haratua Sitanggang : Analisis Yuridis Tentang Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian..., 2009 USU Repository © 2008
37
diwujudkan seluruhnya secara bersama-sama karena memungkinkan pertentangan-
pertentangan di antara ketiga tujuan itu.
Hukum hanya merupakan salah satu sarana kontrol sosial, kebiasaan,
keyakinan, agama, dukungan dan pencelaan kelompok, penekanan dari kelompok-
kelompok interest dan pengaruh dari pendapat umum merupakan sarana-sarana yang
lebih efisien dalam mengatur tingkah laku manusia.
Hukum berfungsi sebagai perlindungan kepentingan manusia. Agar
kepentingan manusia terlindungi, hukum harus dilaksanakan. Pelaksanaan hukum
dapat berlangsung secara normal, damai, tetapi dapat terjadi juga karena pelanggaran
hukum. Dalam hal ini hukum yang telah dilanggar itu harus ditegakkan. Melalui
penegakan hukum inilah hukum ini menjadikan kenyataan. Dalam menegakkan hukum
ada tiga unsur yang selalu harus diperhatikan, yaitu: kepastian hukum
(Rechtssicherheit), kemanfaatan (Zweckmassigkeit) dan keadilan (Gerechtigkeit).33
Penegakan hukum merupakan suatu usaha mewujudkan ide-ide yang bersifat
abstrak menjadi kenyataan. Jadi penegakan hukum adalah suatu proses untuk
mewujudkan keinginan-keinginan hukum di sini tidak lain adalah pikiran-pikiran
badan pembuat undang-undang yang dirumuskan dalam peraturan-peraturan hukum
itu.34
Hukum dan penegakan hukum dalam era reformasi ini tidak dapat dipisahkan
dari perilaku politik elit penguasa. Keterkaitan hukum dan penegak hukum dalam
33Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, Op.Cit., hal. 1. 34Satjipto Rahardjo, Masalah Penegakan Hukum Suatu Tinjauan Sosiologi, Sinar Baru,
Bandung, 1983, hal. 24.
Anastasius Rico Haratua Sitanggang : Analisis Yuridis Tentang Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian..., 2009 USU Repository © 2008
38
perilaku politik tersebut hanya dapat terjadi dalam suatu negara yang tidak demokratis
dimana transparansi, supreme hukum dan promosi dan perlindungan HAM35
dikesampingkan.
Penegakan hukum menurut Badan Kontak Profesi Hukum Lampung
menyatakan bahwa :
a. Penegakan hukum adalah kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan dalam kaidah-kaidah/pandangan menilai dan mengejawantah dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir untuk menciptakan (social engineering) dan mempertahankan (social control) dan keadamaian pergaulan hidup.
b. Penegakan hukum merupakan perpaduan dari sistem nilai-nilai (warden system) dan sistem aturan-aturan perilaku (gedragregelen system).36
Kondisi yang diresahkan masyarakat saat ini tidak semata-mata terletak pada
ketidakpuasan terhadap praktek peradilan (yang dapat disebut sebagai penegakan
hukum dalam arti sempit), tetapi justru ketidakpuasan terhadap penegakan hukum
dalam arti luas, yaitu penegakan seluruh norma/tatanan, kehidupan masyarakat (di
bidang politik, sosial, ekonomi, pertahanan-keamanan dan sebagainya).
Penegakan hukum sangat berkaitan erat dengan budaya hukum dan
pengetahuan/pendidikan hukum. Budaya hukum dan pengetahuan/pendidikan hukum
diperlukan untuk mendukung reformasi hukum harus diupayakan bersama oleh seluruh
aparat penegak hukum, masyarakat/asosiasi profesi hukum, lembaga pendidikan
hukum, dan bahkan oleh seluruh aparat pemerintah dan warga masyarakat pada
35Keseluruhan HAM, dilihat dari sudut hokum pada hakekatnya merupakan “kepentingan
hokum” yang sepatutnya mendapat perlindungan, antara lain perlindungan lewat hokum pidana. 36Badan Kontak Profesi Hukum Lampung, Penegakan Hukum Dalam Mensukseskan
Pembangunan, Alumni, Bandung, 1977, hal. 180.
Anastasius Rico Haratua Sitanggang : Analisis Yuridis Tentang Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian..., 2009 USU Repository © 2008
39
umumnya. Namun, undang-undang itu tidak sempurna, memang tidak mungkin
undang-undang itu mengatur segala kegiatan kehidupan manusia secara tuntas. Ada
kalanya undang-undang itu tidak lengkap dan ada kalanya undang-undang itu tidak
jelas. Meskipun tidal lengkap atau tidak jelas undang-undang harus dilaksanakan.
Jadi dalam hal penegakan hukum juga perlu dibahas mengenai aparat penegak
hukumnya seperti Polisi disebut sebagai “alat negara penegak hukum”, Jaksa disebut
sebagai pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk bertindak sebagai
Penuntut Umum serta melaksanakan putusan pengadilan, Hakim adalah pejabat yang
melaksanakan tugas Kekuasaan Kehakiman.
Menurut ketentuan umum Pasal 1 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004
tentang Kekuasaan Kehakiman menyebutkan bahwa kekuasaan kehakiman adalah
kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan
hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila demi terselenggaranya Negara Hukum
Republik Indonesia.
Hukum harus dilaksanakan dan ditegakkan. Setiap orang mengharapkan dapat
ditetapkannya hukum dalam hal terjadi peristiwa konkrit. Bagaimana hukumnya itulah
yang harus berlaku; pada dasarnya tidak dibolehkan menyimpang; fiat justitia et pereat
mundus (meskipun dunia ini runtuh hukum harus ditegakkan). Oleh karena undang-
undangnya tidak lengkap atau tidak jelas, maka hakim harus mencari hukumnya, harus
menemukan hukumnya. Ia harus melakukan penemuan hukum (rechtsvinding).
Penegakan dan pelaksanaan hukum sering merupakan penemuan hukum dan tidak
sekedar penerapan hukum.
Anastasius Rico Haratua Sitanggang : Analisis Yuridis Tentang Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian..., 2009 USU Repository © 2008
40
Dalam Pasal 28 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 mewajibkan Hakim
menggali, mengikuti, memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup
dalam masyarakat. Penemuan hukum lazimnya diartikan sebagai proses pembentukan
hukum oleh hakim atau petugas-petugas hukum lainnya yang diberi tugas
melaksanakan hukum terhadap peristiwa-peristiwa hukum yang konkrit. Ini
merupakan proses konkretisasi dan individualisasi peraturan hukum yang bersifat
umum dengan mengingat peristiwa konkrit.
Penemuan hukum terutama dilakukan oleh hakim dalam memeriksa dan
memutus suatu perkara, penemuan hukum oleh hakim ini dianggap yang mempunyai
wibawa. Ilmuwan hukumpun mengadakan penemuan hukum, hanya kalau hasil
penemuan hukum itu hakim itu adalah hukum, aka hasil penemuan hukum oleh
ilmuwan hukum bukanlah hukum melakukan ilmu atau doktrin.
Penemuan hukum bukan semata-mata hanya penerapan peraturan-peraturan
hukum terhadap peristiwa konkrit, tetapi sekaligus juga penciptaan dan pembentukan
hukum. Kegiatan hakim perdata biasanya menjadi model untuk teori-teori penemuan
hukum yang lazim. Sebabnya ialah oleh karena hakim perdata dalam penemuan hukum
lebih luas ruang geraknya daripada hakim pidana. Pasal 1 KUHPidana membatasi
ruang gerak hakim pidana. Hakim perdata mempunyai kebebasan yang relatif besar
dalam penemuan hukum. Tidak mengherankan bahwa teori-teori yang ada tentang
penemuan hukum terutama berhubungan dengan tindakan hakim perdata.
Pada dasarnya setiap manusia menginginkan agar perkawinan yang telah
dilangsungkan itu dapat bertahan untuk selama-lamanya, namun dalam kenyataannya
Anastasius Rico Haratua Sitanggang : Analisis Yuridis Tentang Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian..., 2009 USU Repository © 2008
41
harapan itu tidak selalu dapat diwujukan. Menurut K. Wantjik Saleh seperti yang
dikutip oleh Rachmadi Usman bahwa perkawinan yang bertujuan untuk membentuk
keluarga yang bahagia dan kekal, dapat diartikan bahwa perkawinan itu haruslah
berlangsung seumur hidup dan tidak boleh diputuskan begitu saja.37 Dalam
kenyataannya sering terjadi suami isteri tidak memahami hak dan kewajibannya dalam
rumah tangga sehingga menimbulkan pertengkaran yang dapat menyebabkan
hubungan suami isteri tidak harmonis. Ketidak harmonisan dalam rumah tangga ada
kalanya masih dapat diatasi tetapi ada juga yang harus diakhiri dengan perceraian.
Sama halnya dengan perkawinan, perceraian juga merupakan masalah keluarga yang
tidak hanya melibatkan suami isteri saja melainkan pada kebiasaannya seluruh
keluarga ikut serta menyelesaikannya.38 Putusnya hubungan perkawinan akan selalu
membawa pengaruh yang buruk pada keluarga.
Dalam Pasal 38 UUP, disebukan bahwa perkawinan dapat putus karena :
a. Kematian
b. Perceraian
c. Atas keputusan Pengadilan.
Putusnya perkawinan karena kematian salah satu pihak dari suami ataupun
isteri sudah jelas merupakan suatu takdir yang tidak dapat dihindari oleh siapapun,
sehingga secara otomatis sejak saat itu perkawinan putus. Pemutusan karena sebab-
sebab lain dari kematian diberikan suatu pembatasan ketat, sehingga suatu pemutusan
yang berbentuk perceraian hidup akan merupakan jalan terakhir, setelah jalan lain
37Rachmadi Usman, Op.Cit., hal. 270. 38Lili Rasjidi, Op.Cit., hal. 9.
Anastasius Rico Haratua Sitanggang : Analisis Yuridis Tentang Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian..., 2009 USU Repository © 2008
42
tidak dapat ditempuh lagi.39 Putusnya perkawinan karena kematian bukanlah atas
kehendak bersama dari suami isteri atau kehendak salah satu pihak melainkan atas
kehendak Tuhan Yang Maha Esa yang tidak dapat ditolak atau dihindarkan oleh
siapapun.
Pengadilan yang berhak membatalkan suatu perkawinan, selain ditentukan
Pasal 63 ayat (1) a (absolut kompetensi), juga ditunjuk oleh Pasal 25 (relatif
kompetensi) yakni Pengadilan Agama atau Pengadilan Umum (Pengadilan Negeri)
dalam daerah hukum dimana perkawinan dilangsungkan atau di tempat tinggal suami
isteri, suami atau isteri, dan kepada Pengadilan inilah permohonan pembatalan
perkawinan harus diajukan.40
Dalam Pasal 39 ayat (1) UUP disebutkan bahwa perceraian hanya dapat
dilakukan di depan sidang pengadilan setelah usaha untuk mendamaikan kedua belah
pihak tidak berhasil, selanjutnya dalam ayat (2) dijelaskan bahwa untuk dapat
melakukan perceraian harus cukup alasan bahwa antara suami isteri tidak akan dapat
hidup rukun lagi sebagai suami isteri. Untuk pelaksanaannya lebih lanjut diatur dalam
Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Peraturan Pelaksana
Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 yaitu perceraian dapat terjadi
dengan alasan :
a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan.
b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lai selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya.
39K. Wantjik Saleh, Op.Cit., hal. 15. 40H.M. Djamil Latif, Aneka Hukum Perceraian di Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta,
Cetakan 3, 1985, hal. 106.
Anastasius Rico Haratua Sitanggang : Analisis Yuridis Tentang Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian..., 2009 USU Repository © 2008
43
c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.
d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak yang lain.
e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/isteri.
f. Antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.41
Salah satu prinsip dalam hukum perkawinan nasional yang sejalan dengan
ajaran agama ialah mempersulit terjadinya perceraian. Hal ini terbukti dari ketentuan
Pasal 39 ayat (1, 2) UUP dan Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975.
Perceraian menurut garis hukum apapun dan dalam bentuk apapun hanya boleh
dipergunakan sebagai jalan terakhir, sesudah usaha perdamaian telah dilakukan
sedemikian rupa sehingga tidak ada jalan lain kecuali hanya perceraian itu.
Dalam UUP maupun Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tidak ada satu
pasal pun yang secara tegas memberi defenisi ataupun pengertian tentang perceraian
tetapi berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa perceraian adalah
pemutusan hubungan perceraian antara suami isteri berdasarkan alasan-alasan yang
telah ditentukan oleh undang-undang. Perceraian hanya sebagai way out/pintu darurat
semata-mata.
Menurut UUP putusnya hubungan perkawinan karena terjadinya perceraian
akan menimbulkan akibat hukum terhadap anak, bekas suami isteri dan harta bersama.
Akibat hukum putusnya perkawinan karena perceraian diatur dalam Pasal 41 UUP
yaitu :
41R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dengan Tambahan Undang-Undang Pokok Agraria dan Undang-Undang Perkawinan, PT. Pradnya Paramita, Jakarta, Cetakan 22, 1987, hal. 473-474.
Anastasius Rico Haratua Sitanggang : Analisis Yuridis Tentang Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian..., 2009 USU Repository © 2008
44
a. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya,
semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada perselisihan mengenai
penguasaan anak-anak, Pengadilan memberi keputusannya.
b. Bapak yang bertanggungjawab atas semua biaya pemeliharaan dan biaya yang
diperlukan anak itu, bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat memberi
kewajiban tersebut Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya
tersebut.
c. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya
penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas isteri.
Dari ketentuan Pasal 41 UUP, jelas memberi perlindungan terhadap anak
dimana kedua orang tua harus bertanggungjawab dalam hal pemeliharaan anak bahkan
ibu juga berkewajiban untuk menanggung biaya pemeliharaan anak apabila bapak
tidak mampu.
Mengenai harta bersama, Pasal 37 UUP menyebutkan bahwa : “Bila terjadi
perceraian harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing”. Dari bunyi Pasal
37 UUP ini dapat diketahui bahwa akibat hukum yang menyangkut harta bersama atau
harta pencaharian ini UUP menyerahkan penyelesaiannya kepada para pihak yang
bercerai tentang hukum mana dan hukum apa yang akan berlaku dan jika tidak ada
kesepakatan antara kedua pihak, hakim dapat mempertimbangkannya menurut rasa
keadilan yang sewajarnya. Hal ini berarti undang-undang membuka kemungkinan
berlakunya hukum lain yakni Hukum Agama, BW, Hukum Adat dan Hukum Adat
Anastasius Rico Haratua Sitanggang : Analisis Yuridis Tentang Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian..., 2009 USU Repository © 2008
45
yang berlaku bagi golongan Timur Asing Tionghoa, golongan Eropah, golongan yang
dipersamakan dengan golongan Eropah serta golongan Pribumi.
Menurut Dadang Hawari bahwa :
Perceraian itu berdampak luar biasa yang mesti diperhatikan oleh pasangan suami-isteri yang akan bercerai mengenai psikologis anak dimana akan mempengaruhi perkembangan jiwa dan mental dan bahkan berdampak lebih buruk lagi. Oleh sebab itu pasangan suami-isteri yang akan bercerai terlebih dahulu memikirkan psikologis dan masa depan anak-anak.42 Dengan demikian dapat dipahami bahwa sangat diperlukan sumber
data/informasi tentang putusnya perkawinan akibat perceraian pada Pengadilan Negeri
Siak Sri Indrapura-Riau.
2. Konsepsi
Konsepsi adalah salah satu bagian terpenting yang dapat diterjemahkan sebagai usaha membawa sesuatu dari yang abstrak menjadi suatu yang konkrit, yang disebut dengan operational definition. Pentingnya defenisi operasional adalah untuk menghindarkan perbedaan pengertian atau penafsiran mendua (du bius) dari suatu istilah yang dipakai.43 Konsepsi juga dapat diketemukan di dalam putusan-putusan pengadilan
termasuk putusnya perkawinan akibat perceraian.44 Oleh karena dalam penelitian ini
harus didefenisikan mengenai konsep dasar, agar secara operasional diperoleh hasil
penelitian yang sesuai dengan tujuan yang telah ditemukan, yaitu :
a. Pengertian perkawinan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 adalah
sebagai berikut :
42Dadang Hawari, Psikiater dan Konsultan Pernikahan, Cek & Ricek No. 447/Thn. IX/Rabu,
21-27 Maret 2007. 43Rusdi Malik, Op.Cit., hal.15. 44Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, FH-Universitas Airlangga, Surabaya, Cetakan I,
2005, hal. 139.
Anastasius Rico Haratua Sitanggang : Analisis Yuridis Tentang Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian..., 2009 USU Repository © 2008
46
1) Perkawinan merupakan ikatan lahir bathin, berarti secara formal merupakan suami-isteri, baik hubungan antara mereka sendiri maupun dengan masyarakat.
2) Antara seorang pria dengan seorang wanita. 3) Sebagai suami isteri 4) Tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang
bahagia dan kekal. 5) Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.45
Menurut K. Wantjik Saleh berpendapat bahwa perkawinan adalah ikatan lahir
bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri.46
Menurut Hilman Hadi Kusuma mengutip pendapat Ter Haar yang menyatakan :
“Perkawinan itu urusan kerabat, urusan keluarga, urusan masyarakat, urusan
martabat dan urusan pribadi”.47
b. Pengertian perjanjian perkawinan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan diatur dalam Bab V, Pasal 29 yaitu :
1) Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan kedua belah pihak atas persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga, sepanjang pihak ketiga tersangkut.
2) Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-batas hukum, agama dan kesusilaan.
3) Perjanjian tersebut mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan. 4) Selama perkawinan berlangsung perjanjian tersebut tidak dapat dirubah,
kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk merubah dan perubahan tidak merugikan pihak ketiga.48
c. Perkawinan menimbulkan akibat hukum pada suami isteri menurut Pasal 30 – 34
Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, yaitu :
45Sudarsono, Op.Cit., hal. 7. 46K. Wantjik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1980, hal. 9. 47Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Adat, Alumni, Bandung, 1980, hal. 8. 48M. Yahya Harahap, Pembahasan Hukum Perkawinan Nasional, Penerbit CV. Zahir Trading
Co, Medan, Cetakan I, 1975, hal. 84.
Anastasius Rico Haratua Sitanggang : Analisis Yuridis Tentang Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian..., 2009 USU Repository © 2008
47
1) Suami isteri memikul kewajiban-kewajiban hukum untuk menegakkan rumah tangga yang menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat.
2) Suami isteri wajib saling mencintai, hormat-menghormati, setia dan memberi bantuan lahir bathin yang satu kepada yang lain.
3) Hak dan kedudukan isteri seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama masyarakat.
4) Suami isteri sama-sama berhak untuk melakukan perbuatan hukum. 5) Suami adalah kepala rumah tangga dan isteri adalah ibu rumah tangga. 6) Suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu
keperluan hidup berumah tangga sesuai kemampuannya dan isteri wajib mengurus rumah tangga dengan sebaik-baiknya.
7) Suami itu harus mempunyai tempat kediaman yang tetap, yang ditentukan secara bersama.49
Menurut Pasal 42 UUP anak sah adalah anak yang dilahirkan dan/atau sebagai
akibat perkawinan yang sah, sedangkan menurut Pasal 43 UUP anak yang
dilahirkan diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya
dan keluarga ibunya.
Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Untuk
itu suami isteri perlu saling membantu dan melengkapi agar masing-masing dapat
mengembangkan kepribadiannya membantu dan mencapai kesejahteraan
spiritual.50 Sedangkan tujuan perkawinan menurut perundang-undangan adalah
untuk kebahagiaan suami isteri, untuk mendapatkan keturunan dan menegakkan
keagamaan dalam kesatuan keluarga yang bersifat parental (ke-orangtua-an).51
d. Pencatatan perkawinan menurut Stb. 1917 No. 130 jo Stb 1919 No. 81 Pasal 69
ayat (1) pencatatan perkawinan adalah tindakan administratif yang mengharapkan
pegawai catatan sipil untuk melakukan pencatatan tentang peristiwa penting yang
dimuat dalam register perkawinan.
49F.X. Suhardana, Hukum Perkawinan, Penerbit Prenhallindo, Jakarta, 2001, hal. 102. 50Lili Rasyid, Hukum Perkawinan dan Perceraian di Malaysia dan Indonesia, Alumni,
Bandung, 1982, hal. 105. 51Hilman Hadikusuma, Op.Cit., hal. 22.
Anastasius Rico Haratua Sitanggang : Analisis Yuridis Tentang Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian..., 2009 USU Repository © 2008
48
Perceraian ialah penghapusan perkawinan dengan putusan hakim, atau tuntutan
salah satu pihak dalam perkawinan itu.
Perpisahan meja dan ranjang adalah suami isteri dibebaskan dari kewajibannya
untuk tinggal bersama dan dengan sendirinya membawa pemisahan kekayaan di
samping perpisahan meja dan tempat tidur tidak berakibat hapusnya kekuasaan
orang tua (outderlijke macht) kekuasaan mana tetap ada, sehingga di sini tidak ada
wali ataupun wali pengawas. Hakim harus menetapkan oleh siapa, ayah atau ibu,
kekuasaan itu dijalankan terhadap masing-masing anak.
e. Gugatan perceraian adalah yang diajukan oleh suami-isteri atau kuasanya kepada
pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman tergugat, dalam hal
hal tempat kediaman tergugat tidak jelas atau tidak diketahui atau tidak
mempunyai tempat kediaman yang tetap, gugatan perceraian diajukan kepada
pengadilan di tempat kediaman penggugat. Dalam hal tergugat bertempat
kediaman di luar negeri, gugatan perceraian diajukan kepada pengadilan di tempat
kediaman penggugat. Ketua pengadilan menyampaikan permohonan tersebut
kepada tergugat melalui perwakilan Republik Indonesia setempat.
f. Menurut Pasal 24 ayat (2) Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 bahwa selama
berlangsungnya gugatan perceraian atas permohonan penggugat atau tergugat,
pengadilan dapat :
1) Menentukan nafkah yang harus ditanggung oleh suaminya.
2) Menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin pemeliharaan dan pendidikan
anak.
Anastasius Rico Haratua Sitanggang : Analisis Yuridis Tentang Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian..., 2009 USU Repository © 2008
49
3) Menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin terpeliharanya barang-barang
yang menjadi hak suami atau barang-barang yang menjadi hak isteri.
Putusnya perkawinan akibat perceraian menurut Pasal 39 ayat (1) UUP adalah
bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah usaha
untuk mendamaikan kedua belah pihak tidak berhasil. Selanjutnya dalam ayat (2)
dijelaskan bahwa untuk dapat melakukan perceraian harus cukup alasan bahwa
antara suami isteri tidak akan dapat hidup rukun lagi sebagai suami isteri.
Perkawinan hapus adalah jikalau satu pihak meninggal selanjutnya ia hapus juga,
jikalau satu pihak kawin lagi setelah mendapat izin hakim, bilamana pihak yang
lainnya mendapatkan tempat tinggalnya hingga 10 (sepuluh) tahun lamanya
dengan tiada ketentuan nasibnya, akhirnya perkawinan dapat dihapuskan dengan
perceraian.
G. Metode Penelitian
1. Spesifikasi Penelitian
Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada
metode, sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari satu
atau beberapa gejala hukum tertentu, dengan jalan menganalisanya.52 Untuk
tercapainya penelitian ini, sangat ditentukan dengan metode yang dipergunakan dalam
memberikan gambaran dan jawaban atas masalah yang dibahas.
52Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI-Press, Jakarta, Cetakan 3, 1986, hal. 43.
Anastasius Rico Haratua Sitanggang : Analisis Yuridis Tentang Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian..., 2009 USU Repository © 2008
50
Ditinjau dari segi sifatnya, penelitian ini bersifat deskriptif analitis,53 deskriptif
berarti menggambarkan serta menjelaskan faktor-faktor yang menyebabkan putusnya
perkawinan karena perceraian, akibat hukum terhadap anak dan harta perkawinan jika
terjadi perceraian melalui putusan pengadilan dan pertimbangan hukum hakim dalam
mengadili perkara perceraian.
Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis
normatif54 dimana dilakukan pendekatan terhadap permasalahan yang telah
dirumuskan dengan mempelajari ketentuan perundang-undangan, buku-buku, putusan
hakim, yurisprudensi yang berkaitan dengan permasalahan.
2. Lokasi Penelitian dan Sumber Data
Lokasi penelitian yang dilakukan dan ditetapkan adalah di Pengadilan Negeri
Siak Sri Indrapura-Riau.
Untuk melengkapi data tersebut didukung dengan data melalui informan yaitu:
para Hakim di Pengadilan Negeri Siak Sri Indrapura-Riau. Adapun yang menjadi
sumber data dalam penelitian ini adalah data primer yang dilakukan dengan cara
wawancara (depth interview) kepada para informan.
53Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum: Suatu Pengantar, Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 2001, hal. 36 : Penelitian Deskriptif pada umumnya bertujuan untuk mendeskripsikan secara sistematis, faktual dan akurat terhadap suatu populasi atau daerah tertentu, mengenai sifat-sifat, karakteristik-karakteristik atau faktor-faktor tertentu.
54Ronny Hamitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurumetri, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1990, hal. 12. Menyebutkan penelitian hokum normatif atau penelitian hukum doktrinal dibedakan atas: a) Penelitian inventarisasi hukum positif, b) Penelitian terhadap asas-asas hukum, c) Penelitian untuk menemukan hukum in concreto, d) Penelitian terhadap sistematik hukum, e) Penelitian terhadap sinkronisasi vertikal dan horizontal.
Anastasius Rico Haratua Sitanggang : Analisis Yuridis Tentang Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian..., 2009 USU Repository © 2008
51
3. Tehnik Pengumpulan Data
Tehnik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan
2 (dua) cara yaitu :
a. Penelitian kepustakaan (library research), yaitu dengan membaca, mempelajari
dan menganalisa literatur/buku-buku, peraturan perundang-undangan dan sumber
buku lainnya yang berkaitan dengan penelitian ini.
b. Penelitian lapangan (field research), yaitu dilakukan untuk menghimpun data
primer dengan wawancara, dilakukan secara langsung kepada informan, dengan
mempergunakan daftar pertanyaan sebagai pedoman wawancara, agar lebih
mendapatkan informasi yang lebih fokus dengan masalah yang diteliti.
4. Analisa Data
Sebelum dilakukan analisis data, terlebih dahulu setelah data primer diperoleh
dilakukan pemeriksaan dan evaluasi untuk mengetahui validitasnya. Selanjutnya data
itu dikelompokkan atas data yang sejenis untuk kepentingan analisis dalam penulisan
tesis ini. Sedangkan evaluasi dan penafsiran data dilakukan secara kualitatif. Oleh
karena itu data yang sudah dikumpulkan, dipilah-pilah dan dilakukan pengolahannya,
kemudian dianalisis dan ditafsirkan secara logis dan sistematis dengan menggunakan
metode deduktif dan induktif. Atas dasar pembahasan dan analisis ini diperoleh suatu
kesimpulan terhadap penelitian yang dilakukan. Kesimpulan ini merupakan jawaban
atas permasalahan yang diteliti.
Anastasius Rico Haratua Sitanggang : Analisis Yuridis Tentang Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian..., 2009 USU Repository © 2008
52
BAB II
PUTUSNYA PERKAWINAN KARENA PERCERAIAN DI PENGADILAN NEGERI SIAK SRI INDRAPURA
A. Pengadilan Negeri Siak Sri Indrapura
Kabupaten Siak mencakup area seluas 8.881,56 km2, bertitik pusat di daerah
Minas sampai ke pantai Timur Sumatera bagian tengah yang ditandai dengan
Kecamatan Siak Sri Indrapura yang merupakan Ibukota Kabupaten Siak, merupakan
tempat Kesultanan masa lalu, sebuah Kerajaan Islam Melayu di Riau. Beberapa kota
penting lainnya di Kabupaten Siak adalah Perawang yaitu kota yang memiliki
perkembangan industri yang cepat, dan Minas, salah satu kota pusat pengeboran
minyak di Indonesia.
Secara geografis, Kabupaten Siak terletak di antara 10 16’30” – 00 20’49”
Lintang Utara dan 1000 54’21” – 1020 10’59” Bujur Timur, dan berbatasan dengan :
a. Sebelah Utara dengan Kabupaten Bengkalis.
b. Sebelah Selatan dengan Kabupaten Kampar dan Pelalawan.
c. Sebelah Barat dengan Kabupaten Kampar dan Pekanbaru.
d. Sebelah Timur dengan Kabupaten Bengkalis dan Pelalawan.
Kabupaten Siak memiliki karakteristik dataran rendah dengan iklim tropis
sepanjang tahun yang digunakan untuk bercocok tanam. Menurut laporan Inventarisasi
Data Kecamatan, pada bulan Desember 2006, jumlah penduduk Kabupaten Siak
sebanyak 312.086 jiwa, yang tersebar di 13 Kecamatan.
Anastasius Rico Haratua Sitanggang : Analisis Yuridis Tentang Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian..., 2009 USU Repository © 2008 34
53
Tabel 1. Jumlah Penduduk Kabupaten Siak
Jenis Kelamin No. Kecamatan Jumlah Laki-laki Perempuan
1 Bungaraya 21.087 10.691 10.3962 Dayun 23.262 12.050 11.2123 Koto Gasib 15.411 7.966 7.4454 Kandis 43.053 22.752 20.7515 Kerinci Kanan 18.944 9.950 8.9946 Lubuk Dalam 13.662 7.106 6.5567 Minas 17.670 9.382 8.2888 Siak Sri Indrapura 14.074 7.420 6.6549 Sungai Mandau 4.377 2.227 2.15010 Sungai Apit 21.854 10.923 10.93111 Tualang 96.297 49.536 46.76112 Mempura 3.315 6.715 6.60013 Sabak Auh 9.080 4.679 4.401 J u m l a h 312.086
Sumber Data : Laporan Kantor Kependudukan Kab. Siak, Desember 2006.
Ibukota Kabupaten Siak, bila ditempuh dari Pekanbaru dengan menempuh
perjalanan selama 2 jam, baik melalui jalan darat maupun sungai dengan menggunakan
ferry cepat dan speedboat. Satu jalur masuk utama di Kabupaten Siak adalah
Pelabuhan Tanjung Buton. Pelabuhan ini direncanakan untuk dikembangkan sebagai
pelabuhan internasional untuk kawasan industri. Adapun fasilitas dan infrastruktur
yang dikembangkan saat ini antara lain :
a. Listrik; Kebutuhan listrik di Siak disediakan oleh PLN dan beberapanya dimiliki oleh Perusahaan Swasta besar yang beroperasi di Siak.
b. Telekomunikasi; Fasilitas pelayanan komunikasi di Siak sudah tersedia untuk seluruh kecamatan, begitu pula untuk layanan pos. Sementara itu juga, telepon selular dapat dilayani di Kota Siak, Perawang, dan Minas.
c. Pariwisata : 1) Kompleks Kesultanan Kerajaan Siak 2) Istana Kerajaan Sultan Siak berdiri selama masa pemerintahan Sultan
Assyayidis Syarief Hasyim Abdul Jalil Syaifuddin Syah (Sultan ke 11)
Anastasius Rico Haratua Sitanggang : Analisis Yuridis Tentang Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian..., 2009 USU Repository © 2008
54
pada tahun 1889 yang dinamakan Assirayatul Hasyimiah. Berdasarkan bangunannya, konstruksinya berbau Eropa, campuran antara Belanda dengan Jerman, di bagian lain juga terdapat campuran antara gaya Arab dengan Melayu.
3) Interior istana ini penuh dengan benda-benda budaya yang memiliki nilai seni yang tinggi, termasuk aksesori untuk upacara acara raja-raja, seperti mahkota emas bertabur berlian, keris emas, dan perlengkapan pribadi Sultan Syarif Qasim, seperti komet, kotak musik.
4) Balai Kerapatan Tinggi, Mesjid Kesultanan, dan Kompleks Pekuburan Keluarga Kerajaan.
d. Kota Minas; Minas merupakan kota tempat pengeboran minyak dalam jumlah yang
sangat besar. Kota Minas terletak tidak jauh dari kota Pekanbaru. e. Wisata Alam; Danau Zamrud (akan dikembangkan dengan membangun resort), Danau
Pulau Atas, Pulau Bawah, Tasik Rawa, Ketialau, Air Hitam, Besi, dan Tembatu Sonsang.
f. Wisata Agronomi; Daerah perkebunan, lahan pertanian hasil panen, cagar alam. g. Potensi Daerah; Hasil Panen Agrikultur dan Holtikultura; h. Perkebunan; Komoditas perkebunan di Kabupaten Siak, antara lain karet, minyak kelapa
sawit, kelapa, dan kopi. i. Kehutanan; Hampir seluruh bagian di Kabupaten Siak ditutupi oleh hutan, yang terdiri
dari hutan produksi, hutan konversi, hutan mangrove, hutan cagar alam, dan beberapa hasil hutan seperti kayu lapis, kayu gelondongan dan lain-lain.
j. Peternakan Hewan; Ternak hewan memiliki prospek yang bagus untuk proyek pengembangan
dan penggemukan sapi, unggas, dan kerbau, serta produksi telur. k. Pertambangan; Kabupaten Siak dikenal sebagai penghasil minyak utama di Riau, yaitu di
daerah Sungai Apit dan Minas yang dikelola oleh PT. Cevron Pacific Indonesia (dahulu PT. Caltex Pacific Indonesia) dan PT. Kondur Petroleum SA.
l. Kawasan Industri; Kawasan industri terletak di sepanjang Sungai Siak memiliki peranan
penting untuk meningkatkan dan mengembangkan perekonomian masyarakatnya.
m. Industri Kecil dan Menengah; Industri ini bergerak di bidang kehutanan dan agronomi dengan bisnis sebanyak 60 dan pekerja sebanyak 23.692 orang.55
55Sumber : www.arwin-as.com.
Anastasius Rico Haratua Sitanggang : Analisis Yuridis Tentang Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian..., 2009 USU Repository © 2008
55
Pengadilan Negeri Siak Sri Indrapura berada di Kabupaten Siak dan terletak di
Ibukota Kabupaten Siak. Dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden R.I. Nomor 20
Tahun 2005 tanggal 27 Juli 2005 tentang Pembentukan Pengadilan Negeri Depok,
Pengadilan Negeri Kota Agung, dan Pengadilan Negeri Siak Sri Indrapura. Wilayah
Hukum Pengadilan Negeri Siak Sri Indrapura dulunya merupakan wilayah dari
Pengadilan Negeri Bengkalis. Pengadilan Negeri ini diresmikan oleh Ketua Mahkamah
Agung R.I dan mulai berfungsi sejak tanggal 23 Pebruari 2006. Berdasarkan hasil
wawancara dengan Sujatmiko mengatakan bahwa dengan adanya Pengadilan Negeri
Siak Sri Indrapura maka masyarakat dulunya yang mencari keadilan ke Pengadilan
Negeri Bengkalis, tidak lagi susah-susah karena sudah ada Pengadilan Negeri yang
berada di wilayah hukum Kabupaten Siak.56 Pengadilan Negeri Siak Sri Indrapura
mulai berfungsi efektif dalam memberikan pelayanan hukum bagi masyarakat sejak
tanggal 23 Pebruari 2006 dan keadaan perkara selama tahun 2006 adalah sebagai
berikut :
Tabel 2. Jumlah Perkara 23 Pebruari 2006 s/d Desember 2006
No Jenis Perkara Jumlah Perkara
1 Perkara Pidana 225
2 Perkara Perdata Gugatan 6
3 Perkara Perdata Permohonan 10
J u m l a h 241 Sumber Data : Pengadilan Negeri Siak, 11 Juli 2007.
Perkara perdata dalam bentuk gugatan perceraian selama tahun 2006 tidak ada.
Namun sebelum adanya PN Siak Siak Sri Indrapura, PN Bengkalis yang dulunya
56Sujatmiko, Ketua Pengadilan Negeri Siak, Hasil Wawancara, Siak, pada tanggal 11 Juli
2007.
Anastasius Rico Haratua Sitanggang : Analisis Yuridis Tentang Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian..., 2009 USU Repository © 2008
56
wilayah hukumnya meliputi wilayah hukum PN Siak Sri Indrapura saat ini, perkara
perdata gugatan perceraian selama jangka waktu tahun 2003 – 2006 ada sebanyak 23
perkara, dimana 20 perkara diantaranya diputus versteek. Minimnya jumlah perkara
perdata dalam bentuk gugatan perceraian yang masuk ke pengadilan disebabkan oleh
karena jumlah penduduk non muslim yang tinggal di Kabupaten Siak sangat sedikit
bila dibandingkan dengan masyarakat yang beragama Islam yang mencapai 93 %, jika
mengajukan gugatan perceraian maka diajukan ke Pengadilan Agama Bengkalis.
Sampai saat ini di Kabupaten Siak belum ada dibentuk Pengadilan Agama dan apabila
ada anggota masyarakat beragama Islam yang ingin mengajukan gugatan perceraian,
masih diajukan kepada Pengadilan Agama Bengkalis.
Ketentuan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum Pasal 4 ayat (1) yang
berbunyi : Pengadilan Negeri berkedudukan di Ibukota Kabupaten/Kota dan daerah
hukumnya meliputi wilayah Kabupaten/Kota. Pengadilan Negeri Siak Sri Indrapura
adalah salah satu Pengadilan Tingkat Pertama dalam lingkungan peradilan umum di
wilayah Pengadilan Tinggi Pekanbaru yang merupakan Tipe Kelas II yang daerah
hukumnya meliputi seluruh wilayah Kabupaten Siak.
Menurut Pasal 3 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang
Kekuasaan Kehakiman bahwa semua peradilan di seluruh wilayah negara Republik
Indonesia adalah peradilan negara dan ditetapkan dengan undang-undang. Dengan
demikian Pengadilan Negeri Siak Sri Indrapura dan peradilan lain di seluruh wilayah
Indonesia adalah sama. Lebih jauh Pasal 3 Ayat (2) menegaskan peradilan negara
menetapkan dan menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila.
Anastasius Rico Haratua Sitanggang : Analisis Yuridis Tentang Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian..., 2009 USU Repository © 2008
57
Saat ini Pengadilan Negeri Siak Sri Indrapura memiliki 10 orang Hakim. Tugas
pokok Hakim Pengadilan Negeri Siak Sri Indrapura seperti juga tugas pokok Hakim
Pengadilan Negeri pada umumnya ditentukan dalam Pasal 16 ayat (2) Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman menyebutkan bahwa Pengadilan
tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili dan memutus sesuatu perkara yang
diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib
untuk memeriksa dan mengadilinya.
Sikap dan tindakan manusia sebagai hakim harus disesuaikan dengan tujuan
penciptaan-Nya. Sikap dan tindakannya bukan saja harus diwujudkan secara
bertanggungjawab terhadap manusia lain tapi juga terhadap Khaliq pencipta-Nya.57
Bahwa segala perbuatan hakim pada akhirnya harus dipertanggungjawabkan kepada Tuhan. Hakim harus sadar bahwa tugas yang diembannya itu adalah amanah atau amanat. Tidaklah berlebihan kalau undang-undang menyebutnya sebagai orang bijaksana, karena ialah yang menjadi tumpuan rasa hukum dan rasa keadilan masyarakat. Sebagai orang yang mempunyai wewenang untuk mempertimbangkan dan menetapkannya. Pendek kata, sesungguhnya ia merupakan wakil Tuhan di dunia untuk memberikan keadilan.58 Hakim sebagai wakil Tuhan dalam menjalankan tugasnya di tengah-tengah
masyarakat harus memberi rasa keadilan bagi masyarakat. Hakim dalam menjalankan
profesinya mempunyai kode etik yaitu Kode Kehormatan Hakim.
Hakim yang mempunyai kewenangan yang sangat luas yang diberikan oleh
undang-undang, maka hakim dituntut untuk bersikap mulia dan bertingkah laku terpuji
lebih dari profesi lainnya. Sikap dan tingkah laku hakim yang mulia dan terpuji ini
57Bismar Siregar, Keadilan Hukum Dalam Berbagai Aspek Hukum Nasional, Rajawali, Jakarta,
1986, hal. 8. 58Ibid., hal. 9.
Anastasius Rico Haratua Sitanggang : Analisis Yuridis Tentang Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian..., 2009 USU Repository © 2008
58
terlihat dengan jelas dalam lambang dari profesi hakim yang disebut dengan “Panca
Dharma Hakim”. Panca Dharma Hakim tersebut dilambangkan sebagai berikut :
1. Kartika : dilambangkan dengan gambar bintang. PERCAYA dan TAQWA kepada Tuhan Yang Maha Esa, sesuai dengan agama dan kepercayaan masing-masing menurut dasar Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab.
2. Cakra : dilambangkan dengan gambar senjata dari dewa keadilan. Dalam kedinasan :
a. Adil b. Tidak berprasangka atau berat sebelah (memihak) c. Bersungguh-sungguh mencari kebenaran dan keadilan. d. Memutus berdasarkan keyakinan hati nurani. e. Sanggup mempertanggungjawabkan kepada Tuhan. Di luar kedinasan : a. Saling harga menghargai b. Tertib dan lugas c. Berpandangan luas d. Mencari saling pengertian.
3. Candra : dilambangkan dengan gambar bulan (yang menyinari kegelapan). BIJAKSANA/BERWIBAWA Dalam kedinasan :
a. Berkepribadian b. Bijaksana c. Berilmu d. Sabar e. Tegas f. Disiplin g. Penuh pengabdian. Di luar kedinasan : a. Dapat dipercaya b. Penuh rasa tanggung jawab c. Menimbulkan rasa hormat d. Anggun dan berwibawa.
4. Sari : dilambangkan dengan gambar bunga (yang semerbak harum bagi masyarakat). BERBUDI LUHUR/BERKELAKUAN TIDAK TERCELA Dalam kedinasan : a. Tawakal b. Sopan c. Ingin meningkatkan pengabdian dalam tugas d. Bersemangat ingin maju (meningkatkan nilai peradilan) e. Tenggang rasa.
Anastasius Rico Haratua Sitanggang : Analisis Yuridis Tentang Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian..., 2009 USU Repository © 2008
59
Di luar kedinasan : a. Berhati-hati dalam pergaulan hidup b. Sopan dan susila c. Menyenangkan dalam pergaulan d. Tenggang rasa e. Berusaha menjadi tauladan bagi masyarakat sekelilingnya.
5. Tirta : dilambangkan dengan gambar air (yang membersihkan segala kotoran)
JUJUR Dalam kedinasan :
a. Jujur b. Merdeka : Berdiri di atas semua pihak yang kepentingannya
bertentangan, tidak membedakan orang. c. Bebas dari pengaruh siapapun juga. d. Tabah Di luar kedinasan : a. Tidak boleh menyalahgunakan kepercayaan dan kedudukan. b. Tidak boleh berjiwa mumpung c. Waspada.59
Perincian mengenai sikap hakim
Pegangan mengenai sikap hakim dibedakan juga dalam dua bidang, yakni :
1. Dalam kedinasan, terdiri dari 6 bagian : a. Sikap hakim dalam persidangan. b. Sikap hakim terhadap sesama rekan. c. Sikap hakim terhadap bawahan/pegawai. d. Sikap hakim terhadap atasan. e. Sikap pimpinan terhadap bawahan/rekan hakim. f. Sikap hakim ke luar/terhadap instansi lain.
Uraian mengenai sikap hakim di dalam persidangan terdiri dari : 1) Bersikap dan bertindak menurut garis-garis yang ditentukan dalam
hukum acara yang berlaku. 2) Tidak dibenarkan bersikap yang menunjukkan memihak atau
bersimpati atau antipati terhadap pihak-pihak yang berperkara. 3) Harus bersikap sopan, tegas dan bijaksana dalam memipin sidang,
baik dalam ucapan maupun perbuatan. 4) Harus menjaga kewibawaan dan kenikmatan persidangan.
2. Di luar kedinasan, dibagi dalam 3 bagian : a. Sikap pribadi hakim sendiri
59Abdulkadir Muhammad, Etika Profesi Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997, hal. 20-
21.
Anastasius Rico Haratua Sitanggang : Analisis Yuridis Tentang Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian..., 2009 USU Repository © 2008
60
b. Sikap dalam rumah tangga c. Sikap dalam masyarakat. Uraian mengenai sikap hakim pribadi : 1) Harus memiliki rohani dan jasmani. 2) Berkelakuan baik dan tidak tercela. 3) Tidak menyalahgunakan wewenang untuk kepentingan pribadi maupun
golongan. 4) Menjauhkan diri dari perbuatan-perbuatan dursila dan kelakuan yang
dicela oleh masyarakat. 5) Tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang merendahkan martabat
hakim.60 Kode Kehormatan Hakim berisi sifat-sifat dan sikap yang menjadi patron bagi
peranan Hakim menegakkan hukum dan keadilan. Peranan yang ideal dan seharusnya
dapat dilihat sebagai berikut :
a. Peranan yang ideal Menurut Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan
Kehakiman, peranan hakim yang ideal terdapat dalam Pasal 1, yang isinya: “Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan Negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia”.
b. Peranan yang seharusnya Pasal 2 ayat (1), menyebutkan : “Penyelenggaraan kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 1 dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”
Pasal 5 ayat (1), menyebutkan : “Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang”.61
Kewajiban hakim dapat dilihat dalam Undang-Undang No. 4 Tahun 2004
tentang Kekuasaan Kehakiman, yaitu Pasal 28 menyebutkan hakim wajib menggali,
mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam
60Ibid. 61Ibid.
Anastasius Rico Haratua Sitanggang : Analisis Yuridis Tentang Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian..., 2009 USU Repository © 2008
61
masyarakat. Dalam Pasal 32, menegaskan bahwa hakim harus memiliki integritas dan
kepribadian yang tidak tercela, jujur, adil, profesional, dan berpengalaman di bidang
hukum. Hakim mempunyai wewenang, kewajiban dan peranan untuk menyelesaikan
perkara di pengadilan, yang merupakan wujud prilaku nyata yang sebenarnya. Prilaku
tersebut di satu pihak menerapkan perundang-undangan.
B. Faktor Penyebab Putusnya Perkawinan Karena Perceraian
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, di samping menghormati hukum
masing-masing agamanya, negara juga menyatakan diri berhak mengatur hal-hal yang
tidak diatur hukumnya dalam agama atau kepercayaan tersebut. Dalam Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974, maka aneka warna hukum perkawinan untuk berbagai
golongan warga negara dan untuk berbagai daerah telah dihapus, di pihak lain
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 memperlakukan hukum masing-masing
agamanya dan kepercayaannya itu menjadi hukum positif untuk perkawinan dan segala
sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan, termasuk perceraian berlaku untuk
semua warga negara Republik Indonesia. Oleh karena itu, Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 dalam bidang perkawinan, mengatur tidak hanya lahir atau tujuan agar
selalu berbuat baik tetapi juga menghindarkan perbuatan buruk yang dilarang terutama
dalam melakukan perceraian perkawinan.
Perkawinan mengandung nilai sakral, maka kedua belah pihak harus senantiasa
melaksanakan nilai-nilai religiusnya sesuai dengan agamanya dan kepercayaan yang
Anastasius Rico Haratua Sitanggang : Analisis Yuridis Tentang Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian..., 2009 USU Repository © 2008
62
diyakininya, karena pertanggungjawaban atas kehidupan perkawinannya tidak hanya
bersifat duniawi saja, melainkan juga pertanggungjawaban terhadap Tuhan.
Dengan mengetahui dan menghayati maksud serta tujuan perkawinan yang
luhur itu, maka tanggung jawab suami isteri dalam rumah tangga semakin berat, untuk
itu mereka harus saling menghormati dan saling setia, baik lahir maupun batin. Dengan
demikian, akan tercapai suatu kebahagiaan dan kesejahteraan yang seimbang, baik
secara materiil maupun spiritual berdasarkan Ke-Tuhanan Yang Maha Esa.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, dalam Pasal 2 merumuskan
“Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya
dan kepercayaannya itu” dan “tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku”. Penjelasan atas Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 menyebutkan bahwa tidak ada perkawinan di luar hukum
masing-masing agama dan kepercayaannya itu, termasuk ketentuan perundang-
undangan yang berlaku bagi seluruh agama dan kepercayaannya sepanjang tidak
bertentangan atau tidak ditentukan lain dalam undang-undang ini.
Suatu perkawinan adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum masing-
masing agamanya dan kepercayaannya. Oleh karena tidak ada perkawinan di luar
hukum masing-masing agama dan kepercayaannya. Dengan demikian, perkawinan
bukan saja mempunyai unsur lahir atau jasmani, tetapi unsur batin atau rohani juga
mempunyai peranan penting.
Adakalanya suami isteri dalam rumah tangga tidak mengetahui dan menghayati
makna dan tujuan perkawinan, sehingga dalam mengarungi bahtera rumah tangga
Anastasius Rico Haratua Sitanggang : Analisis Yuridis Tentang Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian..., 2009 USU Repository © 2008
63
mengalami sesuatu yang tidak diinginkan. Suatu pertengkaran yang terus menerus
dapat berakhir kepada perceraian. Kegagalan suami isteri dalam mempertahankan
keutuhan rumah tangga disebabkan oleh timbulnya berbagai masalah yang tidak dapat
diselesaikan secara baik-baik dan tuntas.
Perceraian diatur dalam Pasal 39 menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974, walaupun diperbolehkan pada prinsipnya undang-undang ini mempersulit
adanya perceraian. Prinsip ini merupakan upaya untuk mengurangi dan menekan
angka perceraian, serta tidak dijadikan alternatif terakhir oleh suami isteri apabila
terjadi pertengkaran dalam rumah tangga.
Alasan-alasan perceraian diatur dalam Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 9
Tahun 1975, sebagai berikut :
1. Salah satu pihak berbuat zinah atau menjadi pemabok, pemadat, penjudi, dan lain
sebagainya yang sukar disembuhkan.
2. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa
pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya.
3. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang
lebih berat setelah perkawinan berlangsung.
4. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang
membahayakan pihak lain.
5. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat
menjalankan kewajibannya sebagai suami/isteri.
Anastasius Rico Haratua Sitanggang : Analisis Yuridis Tentang Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian..., 2009 USU Repository © 2008
64
6. Antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan
tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
Berdasarkan hasil penelitian melalui wawancara dengan Syafrizal, SH
menyebutkan bahwa dari 6 (enam) alasan perceraian berdasarkan ketentuan
perundang-undangan di atas, yang lebih dominan menjadi faktor penyebab perceraian
di masyarakat Kabupaten Siak sewaktu masih pengajuan gugatan perceraian ke
Pengadilan Negeri Bengkalis adalah salah satu pihak melakukan
kekejaman/penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain dan antara suami dan
isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan
hidup rukun lagi dalam rumah tangga. Di samping itu menurut Syafrizal, SH yang
sebelumnya pernah bertugas di Pengadilan Negeri Bengkalis, pernah juga ada gugatan
perceraian dari wilayah Kabupaten Siak masuk ke Pengadilan Negeri Bengkalis di
mana dalam surat gugatannya penggugat menyebutkan bahwa ingin bercerai dengan
tergugat karena sering bertengkar terus menerus dan tidak ada lagi persesuaian untuk
hidup sebagai suami isteri. Namun setelah persidangan digelar untuk memeriksa
perkara tersebut, terungkap bahwa faktor dominan yang membuat penggugat
mengajukan gugatan perceraian adalah karena permintaan dari orangtua penggugat
karena tidak senang kepada tergugat selaku menantunya. Oleh sebab itu maka sering
terjadi percekcokan antara penggugat dengan tergugat. Karena merasa posisinya yang
terjepit, maka penggugat pun mengajukan gugatan cerai terhadap isterinya ke
pengadilan. Terungkap pula di persidangan bahwa ternyata kedua belah pihak masih
ada harapan untuk hidup rukun, maka berdasarkan keadaan tersebut Majelis Hakim
Anastasius Rico Haratua Sitanggang : Analisis Yuridis Tentang Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian..., 2009 USU Repository © 2008
65
tidak mengabulkan gugatan penggugat untuk cerai dengan penggugat karena alasan
penggugat tidak cukup kuat untuk bercerai dengan tergugat.62
Begitu juga terhadap salah satu perkara perceraian yang diputus oleh
Pengadilan Negeri Siak Sri Indrapura tanggal 2 April 2007, dimana perkara perceraian
yang diputus dan telah berkekuatan hukum tetap, telah dicatatkan pada Kantor Catatan
Sipil setempat. Beberapa kutipan dari Putusan Pengadilan Negeri Siak Sri Indrapura
yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap antara ROMLAH, sebagai :
PENGGUGAT lawan SOLIHIN TANET alias THENG KHE SAN sebagai :
TERGUGAT.
Kasus Posisi :
1. Bahwa Penggugat adalah isteri yang sah dari Tergugat. Perkawinan tersebut sebagaimana tercatat pada Kantor Catatan Sipil Kotamadya Palembang dengan Kutipan Akte Perkawinan Nomor : 78/1981 tanggal 21 Desember 1981 (dua puluh satu Desember seribu sembilan ratus delapan puluh satu) tertulis atas nama THENG KHE SAN (Tergugat) dan ROMLAH (Penggugat);
2. Bahwa dari perkawinan antara Penggugat dengan Tergugat telah mempunyai 3 (tiga) orang anak, yaitu sebagai berikut : 1. Rudi Tanet, umur 24 tahun 2. Bakri, umur 23 tahun 3. Pemmy Tanet, umur 18 tahun;
3. Bahwa dari ke 3 (tiga) anak Penggugat dengan Tergugat tersebut 2 (dua) orang masih dalam masa pendidikan yaitu : Bakri, pendidikan di Jakarta dan Pemmy Tanet pendidikan di Malaysia;
4. Bahwa selama masa perkawinan antara Penggugat dengan Tergugat sering terjadi pertengkaran atau percekcokan rumah tangga secara terus menerus, di mana sejak tahun 2003, dan Tergugat tidak lagi memberikan nafkah lahir dan bathin kepada Penggugat serta tidak membantu biaya pendidikan ke 3 (tiga) anak-anak Penggugat dan Tergugat dan puncaknya sejak tahun 2006 antara Penggugat dengan Tergugat sudah tidak ada lagi berkomunikasi yang baik/tidak berteguran sama sekali,
62Syarizal, Hakim Pengadilan Negeri Siak, Hasil Wawancara, Siak, pada tanggal 11 Juli 2007.
Anastasius Rico Haratua Sitanggang : Analisis Yuridis Tentang Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian..., 2009 USU Repository © 2008
66
walaupun masih tinggal di dalam 1 (satu) ruko, di mana Penggugat tinggal di lantai atas, sedangkan Tergugat tinggal di lantai bawah;
5. Bahwa demikian pula hubungan suami isteri antara Penggugat dengan Tergugat sudah tidak tinggal dalam 1 (satu) kamar lagi atau Pisah Ranjang sejak tahun 2003, demikian juga dengan makan dan mencuci sudah dilakukan sendiri-sendiri/masing-masing, bahkan sejak tahun 2006 Tergugat pergi pagi pulang malam hari, tanpa pemberitahuan kepada Penggugat;
6. Bahwa sewaktu terjadi pertengkaran antara Penggugat dengan Tergugat, Tergugat pernah menyemprot seluruh badan Penggugat dengan cat semprot, kejadian ini ada disaksikan oleh karyawan-karyawan Penggugat dan Tergugat, akan tetapi mereka tidak berani menengahi/tidak mau ikut campur atas kejadian tersebut;
7. Bahwa pada tanggal 1 Juli 2006 pada saat terjadi pertengkaran antara Penggugat dengan Tergugat, Tergugat telah mengatakan kepada Penggugat bahwa Penggugat bukan isterinya lagi, Penggugat sudah diceraikan dan tidak ada lagi urusan dengan Tergugat;
8. Bahwa pertengkaran yang terjadi antara Penggugat dengan Tergugat telah lama terjadi dan terus menerus/berlanjut, yaitu sudah dimulai pada saat baru-baru menikah, kemudian pada tahun 1985 Tergugat telah pernah berjanji tidak akan menyakiti hati Penggugat lagi dan tidak akan memukul Penggugat, serta tidak akan melakukan Poligami meski dengan alasan apapun sebagaimana tertulis dalam Surat Perjanjian tanggal 27 April 1985 yang diketahui Kepala Kelurahan 20 Ilir D.II Sekip, Kotamadya Palembang, akan tetapi pertengkaran terus saja terjadi.
9. Bahwa oleh karena sekarang Penggugat sudah tidak tahan lagi, walaupun sudah dicoba untuk bersabar, namun karena sudah tidak kuat lagi mempertahankan hidup berumah tangga Penggugat dengan Tergugat, maka Penggugat mengajukan Gugatan Perceraian ini, untuk mengakhiri dan memutuskan perkawinan Penggugat dengan Tergugat karena Perceraian;
10. Bahwa oleh karena Tergugat tidak membantu lagi biaya pendidikan ke 2 (dua) orang anak-anak Penggugat dan Tergugat, maka mohon kepada Bapak Ketua/Majelis Hakim Pengadilan Negeri Siak, untuk menetapkan dan memerintah kepada Tergugat untuk menanggung biaya pendidikan anak-anak yang masih dalam pendidikan yakni : a. Untuk anak laki-laki Bakri pendidikan di Jakarta sebesar Rp.
2.500.000,- (dua juta lima ratus ribu rupiah) untuk setiap semester atau per 6 (enam) bulan, sejak gugatan perkara aquo diajukan ke Pengadilan mulai dari tanggal 14 Februari 2007 sampai tamat sekolah;
Anastasius Rico Haratua Sitanggang : Analisis Yuridis Tentang Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian..., 2009 USU Repository © 2008
67
b. Untuk anak perempuan Pemmy Tanet yang pendidikan di Malaysia biaya pendidikan sebesar Rp. 40.000.000,- (empat puluh juta rupiah) untuk setiap tahunnya, belum termasuk biaya-biaya alat tulis dan lainnya;
Sedangkan untuk anak laki-laki Rudi Tanet sudah tidak dalam pendidikan dan tidak bekerja;
11. Bahwa oleh karena Tergugat tidak lagi membantu biaya nafkah anak-anak, maka mohon kepada Bapak Ketua/Majelis Hakim untuk menetapkan dan memerintah kepada Tergugat untuk menanggung biaya nafkah anak-anak yakni : a. Sebesar Rp. 2.500.000,- (dua juta lima ratus ribu rupiah) untuk setiap
bulannya untuk anak laki-laki bernama Bakri yang sedang pendidikan di Jakarta;
b. Sebesar Rp. 5.000.000,- (lima juta rupiah) untuk setiap bulannya untuk anak perempuan yang bernama Pemmy Tanet yang pendidikan di Malaysia;
12. Bahwa oleh karena Penggugat sudah tidak lagi diberikan nafkah/biaya untuk kehidupan sehari-hari seperti : makan, minum dan biaya lain-lainnya oleh Tergugat sejak tahun 2003, maka mohon kepada Bapak Ketua/Majelis Hakim untuk menetapkan dan memerintahkan kepada Tergugat untuk membayar nafkah/biaya hidup sehari-hari sebesar Rp. 2.000.000,- (dua juta rupiah) untuk setiap bulannya, yang apabila dihitung nafkah/biaya kehidupan sehari-hari tersebut yang tertunggak sejak tahun 2003 sampai gugatan ini diajukan yaitu sebesar Rp. 2.000.000,- x 12 bulan x 3 tahun = Rp. 72.000.000,- (tujuh puluh dua juta rupiah);
13. Bahwa oleh karena nafkah/biaya kehidupan Penggugat sehari-hari tidak dibayarkan oleh Tergugat, maka mohon kepada Bapak Ketua/Majelis Hakim Pengadilan Negeri Siak untuk menetapkan dan memerintahkan kepada Tergugat untuk membayar nafkah/biaya hidup sehari-hari Penggugat sejak gugatan diajukan mulai dari tanggal 14 Februari 2007 sampai putusan perkara ini mempunyai kekuatan hukum, yang tetap sebesar Rp. 2.000.000,- (dua juta rupiah) untuk setiap bulannya.63
Dari kasus ini dapat diuraikan bahwa yang menjadi pertimbangan hukum dari
hakim yang memeriksa perkara dalam putusannya, yang berkaitan dengan alasan
perceraian adalah sebagai berikut :
63Putusan Pengadilan Negeri Siak No. 02/Pdt.G/2007/PN.Siak.
Anastasius Rico Haratua Sitanggang : Analisis Yuridis Tentang Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian..., 2009 USU Repository © 2008
68
1. Sebelum Majelis Hakim mempertimbangkan dalil-dalil penyebab ketidak
harmonisan rumah tangga antara Penggugat dan Tergugat, maka terlebih
dahulu dipertimbangkan mengenai kebenaran dan keabsahan perkawinan
antara Penggugat dan Tergugat menurut hukum yang berlaku sebagai
berikut di bawah ini.
2. Keterangan saksi Indah dan saksi Rudi Tanet yang pada pokoknya
menerangkan Penggugat dan Tergugat adalah suami isteri yang terikat
suatu perkawinan dan sampai sekarang masih tinggal dalam satu rumah,
kemudian dari keterangan para saksi tersebut apabila dihubungkan dengan
bukti P-1 yaitu berupa Kutipan Akta Perkawinan No. 78/1981 tertanggal 21
Desember 1981, sehingga Majelis Hakim berpendapat bahwa antara
Penggugat dan Tergugat telah melangsungkan perkawinan di Kantor
Catatan Sipil Kotamadya Palembang sebagaimana diuraikan dalam bukti P-
1 tersebut, maka oleh karenanya perkawinan mereka adalah sah menurut
hukum.
3. Suatu gugatan perceraian untuk dapat dikabulkan harus memenuhi alasan-
alasan yang ditentukan dalam Pasal 19 PP No. 9 Tahun 1975, khususnya
yang berhubungan dengan gugatan Penggugat tersebut yaitu Pasal 19 huruf
f PP No. 9 Tahun 1975 yang berbunyi “Antara suami dan isteri terus
menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan
hidup rukun lagi dalam rumah tangga”.
Anastasius Rico Haratua Sitanggang : Analisis Yuridis Tentang Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian..., 2009 USU Repository © 2008
69
4. Berdasarkan bukti P-2 berupa Surat Perjanjian tertanggal 27 April 1985
yang pada pokoknya berisi Tergugat tidak akan memukul dan melakukan
poligami terhadap Penggugat, selanjutnya berdasarkan bukti P-3 berupa
Surat Pernyataan tertanggal 14 Juli 2006 yang pada pokoknya berisi
Tergugat sudah tidak melaksanakan kewajiban sebagai suami kepada
Penggugat sejak tahun 2003, yang apabila dari bukti tersebut dihubungkan
dengan keterangan para saksi di persidangan telah ternyata sejak awal
perkawinan antara Penggugat dan Tergugat sering bertengkar/cekcok di
rumah dengan disertai makian dan ucapan bahwa Penggugat bukanlah isteri
Tergugat lagi serta kekerasan fisik berupa Tergugat pernah mencekik
Penggugat dan juga Tergugat pernah menyemprot seluruh badan Penggugat
dengan menggunakan cat, di samping itu kehidupan sehari-hari antara
Penggugat dan Tergugat sudah dilakukan masing-masing.
5. Bahwa berdasarkan fakta-fakta tersebut di atas dan dihubungkan dengan
tujuan perkawinan sebagaimana dalam Pasal 1 Undang-Undang No. 1
Tahun 1974, maka Majelis Hakim berpendapat apabila perkawinan
Penggugat dan Tergugat diteruskan hanya akan membuat Penggugat dan
Tergugat tersiksa, karena tidak ada lagi kenyamanan dalam berumah
tangga, sehingga permintaan Penggugat agar perkawinannya diputuskan
karena perceraian sebagaimana petitum point 2 dan point 3 haruslah
dikabulkan.
Anastasius Rico Haratua Sitanggang : Analisis Yuridis Tentang Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian..., 2009 USU Repository © 2008
70
Dalam kasus ini, akibat hukum dari perceraian terhadap anak yang dilahirkan
tetap menjadi tanggung jawab dari suami dan isteri yang bercerai, sebagai berikut :
1. Saksi Indah dan saksi Rudi Tanet menerangkan dari perkawinan antara
Penggugat dan Tergugat tersebut telah dikaruniai 3 (tiga) orang anak yaitu:
Rudi Tanet (umur 24 tahun), Bakri Tanet (umur 23 tahun) dan Pemmy
Tanet (umur 18 tahun), dimana berdasarkan keterangan para saksi di
persidangan bahwa Bakri Tanet dan Pemmy Tanet masih dalam masa
pendidikan dan masih memerlukan biaya untuk itu dan sepengetahuan para
saksi selama ini yang menanggung biaya nafkah sehari-hari dan biaya
pendidikan ketiga anak Penggugat dan Tergugat adalah Penggugat sendiri.
2. Pasal 41 huruf b Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, menyatakan “Bapak
yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan
yang diperlukan anak itu, bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat
memenuhi kewajiban tersebut, pengadilan dapat menentukan bahwa ibu
ikut memikul biaya tersebut”.
3. Bahwa Tergugat mempunyai pekerjaan, namun besarnya penghasilan
Tergugat tidak diketahui secara pasti, malahan selama ini yang membiayai
nafkah sehari-hari dan biaya pendidikan Bakri Tanet dan Pemmy Tanet
adalah Penggugat, maka Majelis Hakim berpendapat apabila biaya
nafkah dan pendidikan agar dibebani kepada Tergugat seluruhnya, Majelis
Hakim khawatir bahwa Tergugat tidak akan dapat memenuhinya,
Anastasius Rico Haratua Sitanggang : Analisis Yuridis Tentang Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian..., 2009 USU Repository © 2008
71
sehingga dengan demikian cukup adil untuk memberikan kepastian demi
kelangsungan kehidupan sehari-hari dan biaya pendidikan bagi kedua
anaknya, dibebankan kepada Penggugat dan Tergugat secara tanggung
renteng yang besarnya sebagaimana dalam gugatan.
4. Karena umur Bakri Tanet (23 tahun) dan Pemmy Tanet (18 tahun), maka
tanggung jawab Penggugat dan Tergugat terhadap pemenuhan kewajiban
nafkah sehari-hari dan biaya pendidikan untuk kedua anaknya tersebut di
atas berlangsung mulai gugatan diajukan sampai dengan anak tersebut
dewasa atau sampai pendidikannya selesai.
5. Bahwa sesuai dengan ketentuan Pasal 41 huruf c UU No. 1 Tahun 1974
terhadap petitum point 10, mengenai biaya nafkah hidup sehari-hari
Penggugat yaitu sebesar Rp. 2.000.000,- untuk setiap bulannya sejak
tanggal 14 Pebruari 2007, Majelis Hakim berpendapat cukup adil dan
beralasan hukum untuk dikabulkan.
Mengingat Pasal 149 Ayat (1) Rbg dan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 jo.
Pasal 19 huruf f PP No. 9 Tahun 1975 serta ketentuan hukum lain yang berkaitan
dengan perkara ini.
M E N G A D I L I :
1. Menyatakan bahwa Tergugat yang telah dipanggil dengan patut untuk menghadap tidak hadir;
2. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian dengan Verstek; 3. Menyatakan putusnya perkawinan antara Penggugat dengan Tergugat
karena perceraian;
Anastasius Rico Haratua Sitanggang : Analisis Yuridis Tentang Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian..., 2009 USU Repository © 2008
72
4. Menyatakan Kutipan Akte Perkawinan Nomor : 78/1981 tanggal 21 Desember 1981, atas nama Penggugat (ROMLAH) dengan Tergugat (SOLIHIN TANET alias THENG KHE SAN), putus karena perceraian;
5. Memerintahkan Panitera Pengadilan Negeri Siak atau pejabat yang ditunjuk, untuk mengirimkan salinan putusan ini yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap kepada Pegawai Pencatat di Kantor Catatan Sipil Kabupaten Siak/Kantor Pendaftaran Penduduk, agar putusan perceraian ini dapat didaftarkan/dicatatkan;
6. Menghukum Tergugat untuk membayar biaya pendidikan anak laki-laki bernama Bakri sebesar Rp. 2.500.000,- (dua juta lima ratus ribu rupiah) setiap semesternya atau setiap 6 (enam) bulan secara tanggung renteng bersama Penggugat, sejak gugatan ini diajukan mulai dari tanggal 14 Pebruari 2007 sampai selesai pendidikan/tamat sekolah;
7. Menghukum Tergugat untuk membayar biaya pendidikan anak perempuan bernama Pemmy Tanet sebesar Rp. 40.000.000,- (empat puluh juta rupiah) untuk setiap tahunnya secara tanggung renteng bersama Penggugat, sejak gugatan ini diajukan mulai dari tanggal 14 Pebruari 2007 sampai selesai pendidikan/tamat sekolah;
8. Menghukum Tergugat untuk membayar biaya nafkah hidup sehari-hari anak laki-laki bernama Bakri yang sedang pendidikan di Jakarta sebesar Rp. 2.500.000,- (dua juta lima ratus ribu rupiah) untuk setiap bulannya secara tanggung renteng bersama Penggugat, sejak gugatan ini diajukan mulai dari tanggal 14 Pebruari 2007 sampai dia dewasa/bekerja;
9. Menghukum Tergugat untuk membayar biaya nafkah hidup sehari-hari anak perempuan bernama Pemmy Tanet yang sedang pendidikan di Malaysia sebesar Rp. 5.000.000,- (lima juta rupiah) untuk setiap bulannya secara tanggung renteng bersama Penggugat, sejak gugatan ini diajukan mulai dari tanggal 14 Pebruari 2007 sampai dia dewasa/bekerja;
10. Menghukum Tergugat untuk membayar biaya nafkah hidup sehari-hari Penggugat sebesar Rp. 2.000.000,- (dua juta rupiah) untuk setiap bulannya, sejak gugatan ini diajukan ke Pengadilan tanggal 14 Pebruari 2007 sampai adanya putusan yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap;
11. Menolak gugatan Penggugat untuk selebihnya; 12. Menghukum Tergugat untuk membayar biaya perkara yang hingga saat
ini ditaksir sebesar Rp. 912.000,- (sembilan ratus dua belas ribu rupiah).64 Bahwa dari pertimbangan hakim yang memeriksa bahwa alasan gugatan
perceraian harus memenuhi alasan sesuai ketentuan perundang-undangan, maka suatu
gugatan perceraian untuk dapat dikabulkan harus memenuhi alasan-alasan yang
64Ibid., Putusan Pengadilan Negeri Siak No. 02/Pdt.G/2007/PN. Siak.
Anastasius Rico Haratua Sitanggang : Analisis Yuridis Tentang Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian..., 2009 USU Repository © 2008
73
ditentukan dalam Pasal 19 PP No. 9 Tahun 1975, khususnya yang berhubungan dengan
gugatan Penggugat tersebut yaitu Pasal 19 huruf f PP No. 9 Tahun 1975 yang berbunyi
“Antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak
ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga”.
Dalam suatu proses perceraian, alasan-alasan yang disebutkan di atas tidaklah
cukup sebagai pertimbangan dikabulkannya perceraian. Para pihak harus memenuhi
persyaratan administrasi sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang berlaku. Hal ini
sesuai dengan Pasal 39 ayat (3) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, yang berbunyi:
“Tata cara perceraian di depan sidang pengadilan diatur dalam perundangan
tersendiri.” Peraturan perundangan yang dimaksudkan adalah Peraturan Pemerintah
Nomor 9 Tahun 1975. Untuk memungkinkan perceraian, harus ada alasan-alasan
tertentu serta harus dilakukan di depan sidang pengadilan. Jika diperhatikan rumusan
Pasal 39 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang berbunyi: “Untuk
melakukan perceraian harus ada cukup alasan bahwa antara suami isteri tidak akan
dapat hidup rukun sebagai suami isteri”. Maka seolah-olah untuk perceraian ini tidak
perlu memperhatikan hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya.
Adanya proses perceraian yang diatur dalam ketentuan perundang-undangan
merupakan realisasi dari prinsip perkawinan yang dianut Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 yaitu prinsip untuk mencegah perceraian. Walaupun perceraian ini
merupakan urusan pribadi, atau kehendak salah satu pihak dan tidak memerlukan
campur tangan pihak lain atau pihak pemerintah, namun untuk menghindari tindakan
Anastasius Rico Haratua Sitanggang : Analisis Yuridis Tentang Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian..., 2009 USU Repository © 2008
74
sewenang-wenang terutama dari pihak suami kepada isterinya serta demi adanya
kepastian hukum, maka perceraian harus dilakukan melalui sidang pengadilan. Fungsi
proses peradilan adalah sangat penting, sebab dalam sidang kedua belah pihak
mendapatkan beberapa pertimbangan dan alternatif dari hakim agar yang bersangkutan
tidak meneruskan niatnya untuk bercerai.
Putusnya perkawinan dengan alasan perceraian bagi pasangan suami isteri yang
beragama Kristen tidak diperbolehkan, karena dalam perkawinan Kristen hanya
mengenal asas monogami dan tidak boleh cerai sesuai dengan Kitab Suci, yakni: “Apa
yang telah dipersatukan oleh Tuhan tidak boleh diceraikan oleh manusia”. Menurut
ajaran Kristen, perceraian memang dilarang secara mutlak. Oleh karena itu, bagi suami
isteri yang sedang mengalami kegoncangan rumah tangga dapat ditempuh cara pisah
meja dan tempat tidur. Upaya tersebut dimaksudkan agar kedua belah pihak lambat
laun akan tumbuh rasa rindu dan menyadari kekeliruannya dan pada akhirnya
keutuhan perkawinan kembali lagi. Perkawinan bukanlah hanya soal keabsahan
hukum, tetapi merupakan suatu persekutuan badaniah dan rohaniah yang diberkati oleh
Tuhan, untuk tujuan yang mulia di hadapan-Nya dan oleh sebab itu tidak boleh
dipisahkan oleh tangan manusia termasuk suami dan isteri tersebut.
Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, putusnya perkawinan karena
perceraian akan berdampak luas kepada anak, bekas suami/isteri dan harta bersama.
Akibat hukum putusnya perkawinan karena perceraian diatur dalam Pasal 41 UUP
yaitu :
Anastasius Rico Haratua Sitanggang : Analisis Yuridis Tentang Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian..., 2009 USU Repository © 2008
75
1. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anaknya,
semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada perselisihan
mengenai penguasaan anak-anak, pengadilan memberi keputusannya.
2. Bapak yang bertanggungjawab atas semua biaya pemeliharaan dan biaya
yang diperlukan anak itu, bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat
memberi kewajiban tersebut Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut
memikul biaya tersebut.
3. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya
penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas isteri.
Dari ketentuan Pasal 41, bahwa Undang-Undang Perkawinan memberi
perlindungan terhadap anak dimana kedua orang tua harus bertanggungjawab dalam
hal pemeliharaan anak bahkan ibu juga berkewajiban untuk menanggung biaya
pemeliharaan anak apabila bapak tidak mampu. Dalam putusan perceraian tersebut di
atas bahwa mengenai siapa pemeliharaan anak tidak dimuat dalam putusan tersebut,
karena Penggugat dalam hal ini tidak mencantumkan dalam petitumnya. Hakim yang
memeriksa perkara tidak berwenang mengabulkan di luar yang diminta oleh
Penggugat.
Terhadap harta bersama, Pasal 37 UUP menyebutkan bahwa bila terjadi
perceraian bahwa harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing. Bunyi
Pasal 37 bahwa penyelesaian harta bersama dari akibat perceraian diserahkan kepada
para pihak yang bercerai tentang hukum mana dan hukum apa yang akan berlaku dan
Anastasius Rico Haratua Sitanggang : Analisis Yuridis Tentang Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian..., 2009 USU Repository © 2008
76
jika tidak ada kesepakatan antara para pihak, hakim dapat mempertimbangkan
berdasarkan rasa keadilan yang wajar. Hal ini berarti perundang-undangan memberi
peluang berlakunya hukum lain antara lain hukum agama, hukum adat, hukum perdata,
hukum adat yang berlaku bagi golongan Timur Asing Tionghoa, golongan Eropa,
golongan yang dipersamakan dengan golongan Eropa serta golongan pribumi.
Anastasius Rico Haratua Sitanggang : Analisis Yuridis Tentang Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian..., 2009 USU Repository © 2008
77
BAB III
AKIBAT HUKUM TERHADAP ANAK DAN HARTA PERKAWINAN KARENA PERCERAIAN
A. Akibat Hukum Terhadap Anak
Dalam kodratnya, perjalanan hidup manusia dimulai dari lahir menjadi bayi
kemudian menjadi anak65 kecil, remaja dan berkembang menjadi dewasa. Dalam
perjalanan hidup tersebut sangat diperlukan bimbingan dan pengarahan terutama
dalam masa transisi (memasuki masa dewasa). Seorang anak memerlukan bantuan
serta bimbingan dari orangtuanya atau walinya bahkan dari anggota masyarakat itu
sendiri, agar mereka tidak mengambil jalan yang salah dalam menghadapi persoalan
bathin dan sekaligus menghindari dari hal-hal yang menjurus kepada hal negatif atau
perbuatan yang tidak berguna di tengah-tengah masyarakat.
Tugas dan tanggung jawab baru ada setelah lahir anaknya yaitu tanggung
jawab memelihara anak seperti pengawasan dan perhatian serta pencukupan
kebutuhan-kebutuhan hidup serta pendidikan anak dengan sebaik-baiknya yang terus-
menerus dari kedua orang tua sampai anak itu mencapai umur sebagai orang dewasa
yang telah mampu berdiri sendiri.
Ada kalanya tanggung jawab pemeliharaan anak ini beralih atau berpindah
kepada orang lain, pemeliharaan ini disebut dengan kekuasaan perwalian. Hal ini
disebabkan :
65Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Edisi ke-3,
2005, hal. 41, mengatakan anak adalah keturunan yang kedua.
Anastasius Rico Haratua Sitanggang : Analisis Yuridis Tentang Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian..., 2009 USU Repository © 2008 59
78
1. Karena dicabutnya kekuasaan orangtuanya atas diri anak
2. Karena disebabkan meninggalnya kedua orang tua si anak
3. Karena perceraian.
Jika kekuasaan orang tua atas diri anak telah dicabut tidaklah berarti
membebaskan orang tua si anak tersebut dari kewajiban untuk memberikan tunjangan
kehidupan jasmani terhadap si anak yang belum dewasa yang disesuaikan dengan
pendapatan orang tua tersebut. Dalam kehidupan masyarakat Indonesia jika kedua
orang tua tidak ada lagi, anak yang ditinggalkan yang belum dewasa langsung jatuh di
bawah pemeliharaan kerabat laki-laki pada masyarakat patrilineal, pada kerabat si ibu
pada masyarakat matrilineal atau pada salah satu kerabat orang tua pada masyarakat
parental.
Berkaitan dengan hal di atas, jika seorang anak ditinggal mati oleh kedua
orangtuanya otomatis si anak tersebut jatuh di bawah pengawasan kaum kerabat,
pemeliharaan seperti ini dapat membawa dampak negatif dalam pelaksanaan
pengurusan harta kekayaan anak. Hal ini dikarenakan tidak adanya perhitungan dan
pertanggungjawaban yang seharusnya dilakukan oleh seorang wali atau kerabat yang
memelihara si anak.
Dalam menjamin keselamatan harta benda dan pemeliharaan diri pribadi si
anak, peraturan membuat suatu ketentuan khusus di dalam UUP yaitu tentang
peraturan mengenai masalah perwalian yang diatur dalam Bab ke-XI dari undang-
undang tersebut. Yang berada di bawah kekuasaan perwalian adalah mereka yang
Anastasius Rico Haratua Sitanggang : Analisis Yuridis Tentang Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian..., 2009 USU Repository © 2008
79
belum dewasa dan tidak berada di bawah kekuasaan orang tua mereka berada di bawah
kekuasaan perwalian yang terdiri dari :
1. Anak sah yang kedua orangtuanya telah dicabut kekuasaannya sebagai orang tua.
2. Anak sah yang kedua orangtuanya telah bercerai.
3. Anak yang lahir di luar perkawinan (naturlijk ind).
4. Anak yang ditinggal mati oleh kedua orangtuanya.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, tentang Perkawinan yang berlaku sejak
1 Oktober 1975 yang sesuai dengan falsafah Pancasila serta cita-cita kesatuan dan
persatuan nasional di segala bidang, termasuk kesatuan hukum tentang perkawinan
yang berlaku untuk semua warga negara. Dengan adanya Undang-Undang Perkawinan
ini maka tercapailah apa yang dicita-citakan selama ini mengenai kodifikasi dan
unifikasi hukum, walaupun dalam hal ini hanya mengenai perkawinan saja.
Dalam perkawinan, masalah umur sangatlah penting untuk menentukan
seseorang itu apakah sudah cakap untuk melakukan tindakan hukum atau belum
karena tindakan melakukan perkawinan adalah termasuk tindakan hukum. Jika
diperhatikan ketentuan yang terdapat di dalam UUP tersebut, tidak ada suatu ketegasan
yang menyatakan umur berapakah seseorang itu dikatakan sudah dewasa atau belum.
Ketentuan dalam Pasal 6 ayat (2) dan Pasal 47 UUP yang mana apabila
diperhatikan isi Pasal 6 ayat (2) tersebut bahwa anak yang sudah berumur 21 tahun
dianggap sudah dewasa dan tidak perlu lagi mendapat izin dari kedua orangtuanya
dalam melangsungkan perkawinan. Bila ditafsirkan secara umum, isi Pasal 6 Ayat (2)
Anastasius Rico Haratua Sitanggang : Analisis Yuridis Tentang Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian..., 2009 USU Repository © 2008
80
tersebut maka terhadap anak yang belum berumur 21 tahun jika akan melangsungkan
perkawinan harus mendapat izin dari kedua orangtuanya karena belum dewasa dan
belum dapat menentukan kehendaknya sendiri tanpa campur tangan dari orangtuanya.
Menurut Pasal 47 UUP Ayat (1) menyatakan bahwa “Anak yang belum
mencapai umur 18 tahun dan belum pernah melangsungkan perkawinan ada di bawah
kekuasaan orangtuanya selama mereka tidak dicabut kekuasaannya”. Sedangkan
menurut Ayat (2) bahwa “Orang tua mewakili anak tersebut mengenai segala
perbuatan hukum di dalam maupun di luar pengadilan”.
Jika dilakukan penafsiran terhadap Pasal 47 UUP ini maka anak yang telah
berumur 18 tahun atau yang belum berumur 18 tahun tapi sudah kawin dapat
dianggap :
1. Tidak berada di bawah kekuasaan orangtuanya lagi.
2. Cakap melakukan tindakan hukum di dalam maupun di luar pengadilan
tanpa diwakili oleh orang tua.
3. Sudah mampu dan berhak mengurus harta bendanya dan kepentingan
sendiri walaupun tanpa mendapat bantuan dari orangtuanya.
Kedua pasal tersebut di atas, jelas bahwa pembuat undang-undang membuat 2
(dua) macam kategori untuk menentukan seseorang tersebut sudah dewasa atau belum.
Oleh sebab itu secara pasti tidak dapat ditentukan umur berapa seseorang itu sudah
dianggap dewasa menurut undang-undang ini, kalau tidak terlebih dahulu dilihat
peristiwa yang dilakukan oleh orang yang bersangkutan.
Anastasius Rico Haratua Sitanggang : Analisis Yuridis Tentang Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian..., 2009 USU Repository © 2008
81
Jika Pasal 6 ayat (2) dan Pasal 47 UUP tersebut dibandingkan lagi dengan isi
Pasal 7 UUP akan terdapat lagi perbedaan mengenai ketentuan umur untuk cakap
melakukan tindakan hukum ini. Isi Pasal 7 UUP ayat (1) menyebutkan “perkawinan
hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan
pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun”. Selanjutnya ayat (2)
menyebutkan “dalam hal penyimpangan terhadap ayat (1) pasal ini dapat diminta
dispensasi kepada pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orangtuaya
pihak pria maupun pihak wanita”.
Berdasarkan ketentuan di atas, berarti seorang anak yang telah mencapai umur
18 tahun bagi pria tidak dapat melangsungkan perkawinan kecuali ada dispensasi dari
pengadilan, maka terlihat seakan-akan ada kerancuan bilamana Pasal 7 ini
dibandingkan dengan Pasal 47, dimana yang satu menyatakan seseorang sudah dewasa
apabila telah berumur 18 tahun dan sekaligus telah berwenang untuk bertindak dalam
hukum, sedangkan di pihak lain menyatakan bahwa walaupun telah mencapai umur 18
tahun tetapi belum boleh kawin kecuali ada izin, maka di sini berarti berbeda umur
dewasa dengan dewasa kawin.
Maka berdasarkan ketentuan Undang-Undang Perkawinan tersebut tidak ada
suatu kepastian tentang umur seseorang itu dianggap sudah dewasa atau belum,
dimana menurut penjelasan UU No. 1/1974 bahwa umur dewasa adalah apabila si anak
telah mencapai umur 21 tahun, kalau belum mencapai umur 21 tahun belum dewasa.
Apabila dia tidak berada di bawah kekuasaan orangtuanya, maka anak berada di bawah
kekuasaan perwalian.
Anastasius Rico Haratua Sitanggang : Analisis Yuridis Tentang Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian..., 2009 USU Repository © 2008
82
Perceraian mempunyai akibat bahwa kekuasaan orang tua (ouderlijkemacht)
berakhir dan berubah menjadi “perwalian” (voogdij).66 Perwalian (voogdij) adalah
pengawasan terhadap anak yang di bawah umur, yang tidak berada di bawah
kekuasaan orang tua serta pengurusan benda atau kekayaan anak tersebut diatur oleh
undang-undang.67
Dalam hal perceraian suami isteri melalui putusan pengadilan, dalam UUP
tidak ada menyebutkan secara tegas bila ada anak, apakah anak itu akan berada dalam
wali ibunya atau bapaknya. Dalam Pasal 41 butir (a) menyebutkan “baik ibu atau
bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata
berdasarkan kepentingan si anak. Pasal ini tidak menyebutkan anak berada dalam wali
ibu atau bapak. Jadi diserahkan kepada kesepakatan ibu maupun bapak tersebut. Bila
tidak ada kesepakatan, maka pengadilan yang memberi keputusan si anak berada pada
ibu atau bapak.
Pasal 53 UUP menyebutkan wali dapat dicabut dari kekuasaannya, dalam hal-
hal yang disebut dalam Pasal 49 UUP yaitu :
1. Wali sangat melalaikan kewajibannya terhadap anak perwalian tersebut,
2. Wali berkelakuan buruk sebagai walinya.
Apabila kekuasaan wali dicabut maka pengadilan menunjuk orang lain sebagai
walinya (Pasal 53 Ayat (2) UUP). Dalam hal apabila wali menyebabkan kerugian
pada si anak maka menurut ketentuan Pasal 54 UUP menyatakan, wali yang telah
menyebabkan kerugian pada harta benda anak yang berada di bawah kekuasaannya,
66Subekti, Pokok Hukum Perdata, Penerbit PT. Intermasa, Cet. 17, 2003, hal. 52. 67Ibid., hal. 52.
Anastasius Rico Haratua Sitanggang : Analisis Yuridis Tentang Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian..., 2009 USU Repository © 2008
83
atas tuntutan anak atau keluarga anak tersebut dengan putusan pengadilan, yang
bersangkutan dapat diwajibkan untuk mengganti kerugian tersebut.
Dalam kasus perceraian, Putusan PN Siak Sri Indrapura No.
02/Pdt.G/2007/PN.Siak, dalam Amar Putusannya, Hakim yang memeriksa dan
mengadili tidak memuat: “anak yang di bawah umur berada dalam wali ibu atau wali
bapak”. Hal ini dapat dipahami dengan alasan antara lain :
1. Pemmy Tanet berumur 18 (delapan belas) tahun dan telah sekolah ke luar
negeri, jadi ibu dan bapaknya hanya diberi tanggung jawab secara ekonomi
baik biaya pendidikan maupun biaya kehidupannya.
2. Dalam petitum Penggugat tidak menyebutkan tentang perwalian anak, jadi
hakim tidak boleh mengabulkan melebihi apa yang dituntut Penggugat.
Sedangkan dalam Pasal 229 ayat (1) KUHPerdata menentukan bahwa sesudah
putusan perceraian dinyatakan maka setelah mendengarkan pendapat dan pikiran
orangtua dan keluarga anak-anak yang minderjarig maka pengadilan memutuskan
terhadap tiap-tiap anak itu siapa diantara orangtuanya akan memerlukan perwalian atas
anak-anak itu dengan mengingat apakah mereka masih mempunyai kekuasaan
orangtua (kalau sudah dihentikan/dibebaskan = ontheven atau dicabut = onzet maka
tidak dapatlah menjadi wali).68
Dalam Putusan Pengadilan Negeri Siak Sri Indrapura lainnya yaitu Putusan
Nomor 10/Pdt.G/2007/PN.Siak dapat diketahui status anak setelah ibu bapaknya
68R. Soetojo Prawiroharmidjojo dan Asis Safioedin, Hukum Orang dan Keluarga, Penerbit
Alumni, Bandung, Cet. 3, 1986, hal. 122-123.
Anastasius Rico Haratua Sitanggang : Analisis Yuridis Tentang Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian..., 2009 USU Repository © 2008
84
bercerai. Beberapa kutipan dari Putusan Pengadilan Negeri Siak Sri Indrapura yang
telah berkekuatan hukum tetap yaitu salah satunya dalam perkara antara Herman alias
A Hong yang memberi kuasa kepada Azium Asyaari, SH, MH dan Edi Azmi, SH, dari
Law Office Azium Asyaari, SH, MH & Associates Advocates-Legal Consultant lawan
Heriyanti alias Hui Lai.
Kasus Posisi :
1. Bahwa Penggugat telah melangsungkan perkawinan dengan Tergugat pada tanggal 07 Maret 2001 di Kantor Catatan Sipil berdasarkan Akta Perkawinan No. 26/2001.
2. Bahwa dari perkawinan tersebut telah dilahirkan 5 (lima) orang anak yaitu : a. VIVI YOW RENCHA, umur 12 tahun b. VEREN YOU RENCHA, umur 10 tahun c. SINTIYA YOU RENCHA, umur 9 tahun d. ALFINDO, umur 6 tahun e. NOVIANTO, umur 2 tahun.
3. Bahwa antara Penggugat dan Tergugat telah terjadi perselisihan secara terus menerus sehingga perkawinan sudah tidak dapat dipertahankan lagi, sebab-sebab perselisihan tersebut antara lain : a. Bahwa Tergugat sering berbohong atau tidak jujur kepada Penggugat
terhadap sesuatu yang diperoleh tanpa sepengetahuan Penggugat, sehingga terjadi cekcok yang dikhawatirkan akan timbul masalah pidana;
b. Bahwa Tergugat menyatakan minta cerai apabila adanya pertengkaran dengan Penggugat;
c. Bahwa Tergugat tidak peduli dengan anak-anak dan keluarga dan di tempat tidurpun Tergugat sudah berpaling (memberi punggung) pada pemohon;
d. Bahwa Penggugat berusaha semaksimal mungkin untuk memaafkan Tergugat, sejak tahun 2005 terjadi pertengkaran Penggugat dan Tergugat, Penggugat mencoba bersabar untuk tidak mengakhiri perkawinan, namun akhir-akhir ini Tergugat mengulangi kembali perbuatannya;
4. Bahwa karena perkawinan tidak mungkin dipertahankan lagi, maka mohon agar perkawinan Penggugat dengan Tergugat dinyatakan putus karena perceraian dengan segala akibat hukumnya. Bahwa anak-anak dari perkawinan antara Penggugat dan Tergugat masih membutuhkan perhatian dan kasih sayang Penggugat sebagai bapaknya, oleh karena ibunya tidak
Anastasius Rico Haratua Sitanggang : Analisis Yuridis Tentang Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian..., 2009 USU Repository © 2008
85
memberi contoh yang baik bagi masa depan anak-anak, untuk itu mohon ditetapkan Penggugat sebagai wali dari anak-anak.
M E N G A D I L I :
DALAM KONVENSI : Tentang Eksepsi : Menolak Eksepsi Tergugat untuk seluruhnya; Tentang Pokok Perkara : Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebahagian; Menyatakan perkawinan antara Penggugat dengan Tergugat
berdasarkan Akta Perkawinan Nomor 26/2001, tertanggal 07 Maret 2001 yang dikeluarkan oleh Kantor Dinas Kependudukan/Catatan Sipil Kabupaten Siak adalah putus karena perceraian dengan segala akibat hukumnya;
Memerintahkan kepada Pegawai Dinas Kependudukan/Catatan Sipil Kabupaten Siak agar mendaftarkan dalam register yang bersangkutan tentang perceraian antara Penggugat dan Tergugat setelah putusan ini berkekuatan hukum tetap;
Menetapkan Penggugat selaku Wali Pengasuh atas 1 (satu) orang anak yang lahir dalam perkawinan antara Penggugat dengan Tergugat yaitu yang bernama VIVI YOW RENCHA;
Menolak gugatan Penggugat untuk selebihnya; Menghukum Penggugat dan Tergugat untuk membayar biaya perkara
sebesar Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah) secara tanggung renteng; DALAM REKONVENSI :
Mengabulkan gugatan Penggugat dalam rekonpensi untuk sebahagian; Menetapkan Penggugat dalam Rekonpensi selaku Wali Pengasuh atas 4
(empat) orang anak yang lahir dalam perkawinan antara Penggugat Rekonpensi/Tergugat Konpensi dengan Tergugat Rekonpensi/ Penggugat Konpensi yaitu yang bernama : 1. VEREN YOU RENCHA (perempuan); 2. SINTIYA YOU RENCHA (perempuan); 3. ALFINDO (laki-laki); 4. NOVIANTO (laki-laki);
Menghukum Tergugat dalam Rekonpensi untuk membayar, memenuhi kebutuhan hidup 4 (empat) orang anak masing-masing sebesar Rp. 750.000,- (tujuh ratus lima puluh ribu rupiah) untuk setiap orang anak setiap bulannya;
Menolak gugatan Penggugat dalam Rekonpensi untuk selebihnya dalam Konpensi dan Rekonpensi.69
69Putusan Pengadilan Negeri Siak Sri Indrapura No. 10/Pdt.G/2007/PN-Siak.
Anastasius Rico Haratua Sitanggang : Analisis Yuridis Tentang Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian..., 2009 USU Repository © 2008
86
Dari berkas perkara perceraian itu diketahui bahwa menurut Majelis Hakim,
latar belakang timbulnya perkara ini adalah akibat adanya pertengkaran yang
berlangsung terus menerus antara Penggugat dan Tergugat sebagaimana oleh
Penggugat telah menguraikan secara lengkap dalam dalil-dalil gugatannya serta juga
diuraikan secara lengkap oleh Tergugat dalam dalil-dalil sangkalannya.
Ketentuan Pasal 19 huruf f Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975
Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
yang menyebutkan bahwa salah satu alasan yang dapat digunakan untuk mengajukan
perceraian adalah bahwa antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan
pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
Penggugat sendiri di persidangan menyatakan bahwa hubungan antara
Penggugat dan Tergugat tidak mungkin dapat dipertahankan lagi dan pada prinsipnya
tetap pada keinginannya untuk bercerai dengan Tergugat. Majelis Hakim berkeyakinan
bahwa telah terjadi pertengkaran yang sifatnya rutin dan terus-menerus antara
Penggugat dan Tergugat sehingga kelangsungan rumah tangga dan perkawinan antara
Penggugat dan Tergugat sudah tidak dapat dipertahankan lagi dan tidak ada harapan
akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga sebagaimana yang diharapkan oleh
Undang-Undang.
Berdasarkan alasan tersebut di atas dan sesuai dengan ketentuan Pasal 19 huruf
f Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, serta untuk menghindari dampak yang
mungkin timbul di antara Penggugat dan Tergugat misalnya terjadinya perbuatan
Anastasius Rico Haratua Sitanggang : Analisis Yuridis Tentang Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian..., 2009 USU Repository © 2008
87
pidana dari salah satu pihak ke pihak lain, Majelis Hakim berpendapat bahwa sudah
cukup alasan untuk mengabulkan gugatan Penggugat dalam hal menyatakan putusnya
perkawinan antara Penggugat dan Tergugat dengan segala akibat hukumnya.
Dalam gugatannya Penggugat juga memohon agar ditetapkan sebagai wali dari
5 (lima) orang anak hasil perkawinan Penggugat dan Tergugat, maka selanjutnya
Majelis Hakim mempertimbangkannya sebagai berikut :
1. Penggugat sering tidak berada di rumah karena bekerja di luar kota,
namun 4 (empat) orang anak-anak yang tinggal pada Tergugat tetap
terpelihara dengan baik sampai sekarang dan juga secara emosional anak-
anak tersebut dekat dengan ibunya.
2. Penggugat yang menyatakan bahwa Tergugat juga tidak punya pekerjaan
sehingga tidak bisa menghidupi anak-anak, tidak dapat dijadikan sebagai
alasan untuk menetapkan status perwalian terhadap anak di tangan
Penggugat karena berdasarkan ketentuan Pasal 41 huruf b Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang pada pokoknya menekankan bahwa
apabila terjadi perceraian antara orang tua, bapak diberi tanggung jawab
atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak,
bilamana bapak dalam kenyataannya tidak dapat memenuhi kewajiban
tersebut, Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya
tersebut.
3. Perkawinan antara Penggugat dan Tergugat yang telah mendapat 5 (lima)
orang anak, berdasarkan fakta hukum yang terungkap di persidangan,
Anastasius Rico Haratua Sitanggang : Analisis Yuridis Tentang Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian..., 2009 USU Repository © 2008
88
ternyata bahwa anak-anak tersebut 4 (empat) orang diantaranya yaitu
Veren Yow Rencha, Sintia Yow Rencha, Alfindo dan Novianto saat ini
masih berusia di bawah 12 (dua belas) tahun, dan hanya anak yang paling
sulung yaitu Vivi Yow Rencha saat ini telah berusia 12 (dua belas) tahun.
4. Terhadap anak yang masih berusia di bawah 12 (dua belas) tahun Majelis
Hakim berpendapat bahwa mereka masih membutuhkan kedekatan
emosional dengan ibunya yaitu Tergugat dan juga selama ini tinggal
bersama dan di bawah pengasuhan dan perawatan Tergugat, sehingga
dengan demikian Tergugat pantas ditetapkan sebagai wali dari 4 (empat)
orang anak tersebut dan Penggugat diberikan kewajiban untuk tetap
memberi biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak setiap
bulannya.
5. Terhadap anak yang sulung yaitu Vivi Yow Rencha, berdasarkan fakta
hukum yang terungkap di persidangan bahwa saat ini tidak lagi tinggal
bersama dengan Penggugat maupun Tergugat, namun tinggal bersama
bibinya (saudara perempuan Penggugat) karena bersekolah di Kota
Batam atas biaya Penggugat. Dalam hal ini Majelis Hakim berpendapat
bahwa permohonan Penggugat untuk ditetapkan sebagai wali terhadap
anak-anak hasil perkawinannya dengan Tergugat dapat dikabulkan hanya
terhadap anak yang paling sulung yaitu Vivi Yow Rencha, karena pada
kenyataannya sebagaimana yang terungkap di persidangan, anak tersebut
tidak lagi tinggal bersama Tergugat maupun Penggugat sehingga dalam
Anastasius Rico Haratua Sitanggang : Analisis Yuridis Tentang Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian..., 2009 USU Repository © 2008
89
hal ini Majelis Hakim berpendapat bahwa Penggugat dapat ditetapkan
sebagai wali terhadap anaknya yang paling sulung yaitu Vivi Yow
Rencha dan Penggugat diberikan kewajiban untuk tetap memberi biaya
pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak tersebut setiap
bulannya.
B. Akibat Hukum Terhadap Harta Perkawinan
Dalam UUP telah dimasukkan beberapa persyaratan yang harus dipenuhi oleh
calon mempelai laki-laki dan perempuan dengan tujuan perkawinan itu benar-benar
dapat mewujudkan terbinanya keluarga yang harmonis, bahagia dan sejahtera. Rumah
tangga sebagai cikal bakal masyarakat yang lebih luas.
Apabila tujuan perkawinan tidak tercapai bahkan perkawinan itu mendatangkan
hal-hal yang tidak baik, bahkan tidak ditemukan jalan keluarnya, ibarat perkawinan
merupakan suatu pintu untuk masuk, maka bagi pihak yang ingin keluar dari
perkawinan tersebut terbuka juga pintu darurat yang dikenal dengan perceraian.
Walaupun UUP memberikan pintu untuk melakukan perceraian tetapi perceraian itu
merupakan alternatif terakhir untuk mengatasi suatu problema yang terjadi dalam suatu
perkawinan.
UUP secara prinsip tidak menginginkan terjadinya perceraian, UUP
menghindari terjadinya perceraian telah membuat suatu ketentuan bahwa perceraian
baru boleh dilakukan setelah dipenuhi alasan-alasan limitatif dan perceraian inipun
baru dianggap sah apabila dilakukan di depan sidang pengadilan yang berwenang.
Anastasius Rico Haratua Sitanggang : Analisis Yuridis Tentang Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian..., 2009 USU Repository © 2008
90
Dengan adanya suatu perceraian di depan sidang pengadilan yang berwenang
dan dilengkapi dengan alasan-alasan, di samping tertib administrasi juga diharapkan
adanya kelangsungan hidup rumah tangga dapat dipertahankan, dan perceraian tidak
akan terjadi dengan semena-mena oleh pihak suami.
Hak dan kewajiban serta status isteri dan suami seimbang dalam perkawinan
dan kepada isteri juga telah diberi kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum,
maka UUP telah membuat suatu ketentuan hukum bahwa terjadinya perceraian bukan
saja hak dominasi pihak suami, tetapi telah dibagi dengan peristilahan “cerai talaq”
dan cerai gugat. Cerai talaq adalah perceraian yang terjadi dengan inisiatif dari pihak
suami sedangkan cerai gugat inisiatif dari pihak isteri adalah diberikannya hak untuk
mengajukan cerai gugat kepada pihak isteri merupakan upaya jalan keluar dari hal-hal
yang tidak diinginkan, misalnya dalam kelalaian pihak suami tidak memberikan
nafkah isteri, suami meninggalkan isteri dalam jangka waktu yang lama atau adanya
tindakan suami yang menyakiti badan jasmani isteri dan lain-lain yang dapat
menimbulkan kesengsaraan dan kerugian bagi pihak isteri.
Walaupun UUP telah memberikan kewenangan kepada pihak isteri untuk
mengajukan gugatan cerai ke pengadilan, tetapi gugatan yang diajukan ini haruslah
memenuhi syarat-syarat dan alasan-alasan serta pertimbangan hakim pengadilan yang
berwenang untuk mengadili seadil-adilnya. Rasa tanggung jawab dan keharmonisan
merupakan dua hal pokok dalam membina rumah tangga dan perlu disadari para pihak
Anastasius Rico Haratua Sitanggang : Analisis Yuridis Tentang Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian..., 2009 USU Repository © 2008
91
(suami isteri) dalam suatu perkawinan. Dengan demikian sangat diperlukan adanya
kematangan sikap, mental dan kemampuan calon suami isteri sebelum melangsungkan
perkawinan sehingga diharapkan pemenuhan syarat-syarat untuk melangsungkan suatu
perkawinan sebagaimana diatur dalam UUP janganlah hanya dipenuhi secara
formalitas saja.
Sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku, suami sebagai kepala keluarga
dan isteri sebagai ibu rumah tangga, bersama-sama berusaha untuk menopang
kehidupan rumah tangga mencapai kebahagiaan lahir dan bathin. Perwujudan
kebahagiaan tersebut tentu dengan terpenuhinya kebutuhan material dan moral. Salah
satunya adalah kecukupan ekonomi yaitu “harta” yang didapatkan sebagai hasil usaha
bersama/sendiri oleh suami atau isteri dalam suatu perkawinan selanjutnya disebut
harta bersama.
Aktivitas yang dilakukan oleh suami isteri merupakan suatu tuntutan dan
keharusan untuk menghindari kekurangan pemenuhan kebutuhan hidup. Dengan
demikian pekerjaan yang akan mendatangkan kebahagiaan rumah tangga bukanlah
semata-mata menjadi tugas suami tetapi turut dipikul oleh isteri. Perwujudan harta
bersama dalam perkawinan merupakan manifestasi dari adanya usaha bersama dalam
membina rumah tangga. Undang-Undang telah melegalisasi bahwa kedudukan wanita
seimbang dengan kedudukan laki-laki dalam hukum dan pergaulan masyarakat,
dengan demikian suami isteri memikul kewajiban yang luhur untuk mewujudkan
Anastasius Rico Haratua Sitanggang : Analisis Yuridis Tentang Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian..., 2009 USU Repository © 2008
92
rumah tangga yang sejahtera dan damai, oleh karena itu masing-masing suami isteri
mempunyai hak dan kedudukan yang seimbang. Dengan adanya hak dan kedudukan
yang seimbang serta keharusan masing-masing pihak untuk berusaha menopang
kehidupan ekonomi rumah tangga sehingga harta yang didapat dalam masa
perkawinan disebut harta bersama.
Perkawinan sangat erat kaitannya dengan harta benda baik yang ada sebelum
perkawinan maupun yang ada setelah perkawinan. Secara umum asal usul harta yang
dimiliki suami dan isteri dapat digolongkan menjadi 4 (empat) jenis, yaitu :
1. Harta yang diperoleh dari hibah atau harta warisan yang diperoleh salah
seorang dari suai atau isteri.
2. Harta hasil usaha sendiri sebelum perkawinan.
3. Harta yang diperoleh pada saat perkawinan.
4. Harta yang diperoleh selama perkawinan.
Harta yang bersumber dari hibah atau harta warisan, baik yang diterima
sebelum perkawinan maupun selama perkawinan statusnya adalah tetap menjadi milik
masing-masing suami isteri. Harta yang bersumber dari hasil usaha sendiri sebelum
perkawinan tetap dikuasai oleh masing-masing suami isteri. Selanjutnya harta yang
diperoleh pada saat perkawinan, ada yang menjadi milik isteri dan ada yang menjadi
milik suami, sedangkan harta yang dihasilkan oleh suami isteri selama dalam
perkawinan dikuasai bersama oleh suami dan isteri.
Anastasius Rico Haratua Sitanggang : Analisis Yuridis Tentang Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian..., 2009 USU Repository © 2008
93
Di dalam UUP harta benda diatur dalam Pasal 35 sampai dengan Pasal 37
UUP. Ada 2 (dua) macam harta benda dalam perkawinan menurut UUP yaitu :
1. Harta bersama
Harta bersama adalah harta benda yang diperoleh selama perkawinan. Asal dari
mana harta itu diperoleh tidak dipersoalkan. Apakah harta itu didapat dari isteri
atau dari suami, semuanya menjadi hak milik bersama suami isteri.
2. Harga bawaan
Harta bawaan adalah harta yang dibawa oleh masing-masing suami isteri kedalam
perkawinannya, harta benda yang diperoleh masing-masing berada di bawah
penguasaan masing-masing.
Ketentuan mengenai harta bersama yang dituangkan dalam Pasal 35 Ayat (1)
UUP dan Pasal 36 Ayat (1) UUP tersebut berasal dari hukum adat yang kemudian
dilegalisasikan ke dalam hukum tertulis Indonesia.
Di samping ketentuan yang telah disebutkan dalam UUP Pasal 35 sampai
dengan Pasal 37 mengenai harta bersama, maka pengertian harta dalam perkawinan
dapat dikembangkan kepada 3 (tiga) jenis harta yang dirinci sebagai berikut :
1. Harta bawaan, yang dimaksud ialah harta yang diperoleh suami isteri pada
saat atau sebelum melakukan perkawinan, harta tersebut sebagai milik asli
dari suami dan isteri. Pemilikan terhadap harta bawaan (harta pribadi)
dijamin keberadaannya secara yuridis oleh hukum perkawinan.
Anastasius Rico Haratua Sitanggang : Analisis Yuridis Tentang Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian..., 2009 USU Repository © 2008
94
2. Harta pribadi, yaitu harta yang diperoleh oleh suami atau isteri selama
perkawinan berlangsung sebagai hadiah, hibah, wasiat atau warisan yang
diperoleh secara pribadi terlepas dari soal perkawinan.
3. Harta bersama, yaitu harta yang diperoleh dalam masa perkawinan dalam
kaitannya dengan hukum perkawinan, baik penerimaan itu lewat
perantaraan isteri maupun lewat perantaraan suami.
Mengenai terbentuknya harta bersama dalam perkawinan sebagaimana
disebutkan dalam Pasal 35 UUP Ayat (1) “harta benda yang diperoleh selama
perkawinan menjadi harta bersama”. Ketentuan ini berarti terbentuknya harta bersama
dalam perkawinan ialah sejak saat terjadinya perkawinan sampai ikatan perkawinan itu
bubar (putus). Dengan demikian harta apa saja (berwujud atau tidak berwujud) yang
diperoleh terhitung sejak saat dilangsungkan perkawinan sampai saat perkawinan
terputus baik oleh karena salah satu pihak meninggal dunia maupun karena perceraian,
maka seluruh harta tersebut dengan sendirinya menurut hukum menjadi harta bersama.
Subekti mengatakan sebagai berikut :
Sejak mulai perkawinan terjadi, suatu percampuran antara kekayaan suami dan kekayaan isteri (algehele gemeenschap van goederen), jikalau tidak diadakan perjanjian apa-apa. Keadaan yang demikian itu berlangsung seterusnya dan tidak dapat diubah lagi selama perkawinan. Jikalau orang ingin menyimpang dari peraturan umum itu, ia harus meletakkan keinginannya itu dalam suatu “Perjanjian Perkawinan” (huwelijkevoorwaarden). Perjanjian yang demikian ini harus diadakan sebelumnya pernikahan ditutup dan diletakkan dalam suatu akta notaris.70 Menurut Pasal 119 KUHPerdata dinyatakan, “mulai saat perkawinan
dilangsungkan, demi hukum berlakulah persatuan bulat antara harta kekayaan suami
70Subekti, Op.Cit., hal. 31-32.
Anastasius Rico Haratua Sitanggang : Analisis Yuridis Tentang Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian..., 2009 USU Repository © 2008
95
dan isteri, sekedar mengenai itu dengan perjanjian kawin tidak diadakan ketentuan
lain, persatuan itu sepanjang perkawinan tidak boleh atau diubah dengan sesuatu
persetujuan antara suami dan isteri. Jika orang ingin menyimpang dari ketentuan
umum itu, ia harus menempuh jalan dengan membuat perjanjian kawin yang diatur
dalam Pasal 139 sampai dengan 154 KUHPerdata. Perjanjian yang demikian harus
diadakan sebelum berlangsungnya pernikahan, dan harus dicantumkan dalam suatu
akta notaris. Pembuat undang-undang menghendaki supaya keadaan kekayaan di
dalam suatu perkawinan itu tetap untuk melindungi kepentingan-kepentingan pihak
ketiga. Selama perkawinan perjanjian tersebut tidak dapat dirubah, kecuali dengan
persetujuan kedua belah pihak dan perubahan itu tidak merugikan pihak ketiga. Dalam
hal terjadi perceraian, maka hak atau kepentingan pihak ketiga dilindungi oleh undang-
undang.
Undang-Undang hanya mengecualikan dalam satu hal, yaitu dalam hal
melindungi si isteri terhadap kekuasaan si suami yang telah diberikan sangat luas atas
kekayaan bersama yang di dalamnya termasuk kekayaan si isteri. Dalam hal ini
undang-undang memberikan hak kepada si isteri untuk meminta kepada Hakim supaya
diadakan pemisahan kekayaan dengan tetap berlangsungnya perkawinan.
Pemisahan terhadap kekayaan itu dapat diminta oleh isteri dalam hal :
1. Apabila si suami dengan kelakuan yang nyata-nyata tidak baik, mengorbankan
kekayaan bersama dan membahayakan keselamatan keluarga.
2. Apabila si suami melakukan pengurusan yang buruk terhadap kekayaan si isteri,
sehingga ada kekhawatiran bahwa kekayaa ini akan menjadi habis.
Anastasius Rico Haratua Sitanggang : Analisis Yuridis Tentang Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian..., 2009 USU Repository © 2008
96
3. Apabila si suami mengobralkan kekayaan sendiri, sehingga si isteri akan
kehilangan tanggungan yang oleh undang-undang diberikan kepadanya atas
kekayaan tersebut karena pengurusan yang dilakukan oleh suami terhadap
kekayaan isterinya.
Penyelesaian pembagian harta perkawinan/harta bersama apabila terjadi
perceraian diuraikan dalam Pasal 128 KUHPerdata yang menyatakan bahwa harta
bersama ini dibagi dua antara suami dan isteri tanpa perlu memperhatikan dari pihak
mana barang-barang itu dahulu diperoleh. Hanya pakaian-pakaian, perhiasan-perhiasan
dan perkakas-perkakas yang sangat erat hubungannya dengan salah satu pihak dari
suami isteri, dapat diberikan kepadanya dengan memperhitungkan harganya dalam
pembagian.
Ketentuan yang ditetapkan dalam UUP menempatkan status isteri sama
kedudukannya dengan status suami dalam perbuatan hukum sebagaimana disebutkan
dalam Pasal 31 UUP yaitu :
1. Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama-sama dalam masyarakat.
2. Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum. 3. Suami adalah kepala keluarga dan isteri ibu rumah tangga. Kedudukan isteri seimbang dengan hak dan kedudukan suami serta isteri diberi
hak melakukan perbuatan hukum serta status isteri sebagai ibu rumah tangga. Karena
itu terhadap harta kekayaan masing-masing pribadi dijamin status kepemilikannya.
Sebagaimana disebutkan dalam UUP dengan rumusan “kewenangan masing-masing
pihak.”
Anastasius Rico Haratua Sitanggang : Analisis Yuridis Tentang Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian..., 2009 USU Repository © 2008
97
Di dalam UUP pengaturan tentang harta bersama tersebut diatur dalam Bab VII
yang mengatur harta benda dalam perkawinan, terdiri dari tiga pasal, yaitu Pasal 35,
Pasal 36 dan 37 UUP, ditambah dengan Pasal 65 ayat (1) huruf b dan c dalam Bab
XIII.
Berlainan dengan Pasal 119 KUHPerdata yang mengatur persatuan bulat antara
harta kekayaan suami isteri demi hukum sejak berlangsungnya perkawinan. Sekedar
mengenai itu dengan perjanjian kawin tidak diadakan ketentuan lain, maka UUP
membedakan 2 (dua) jenis harta yang berada di tangan suami.
1. Harta bersama yang dimiliki dan dikuasai oleh suami isteri bersama-sama
Mengenai harta jenis ini, suami atau isteri dapat bertindak atas persetujuan
kedua belah Pasal 36 ayat (1) UUP. Yang termasuk harta bersama ini harta
yang diperoleh selama perkawinan suami isteri.
2. Harta yang dimiliki dan dikuasai oleh masing-masing suami isteri,
sepanjang mereka berdua tidak menentukan lain.
Harta ini berasal dari tiga sumber, yaitu :
a. Harta yang sudah dipunyai suami isteri sebelum mereka melangsungkan
perkawinan,
b. Harta warisan dan
c. Harta hadiah yang ditujukan kepada suami atau isteri (Pasal 35 Ayat (2)
dan Pasal 36 Ayat (2) UUP).
Anastasius Rico Haratua Sitanggang : Analisis Yuridis Tentang Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian..., 2009 USU Repository © 2008
98
Ketentuan dalam Pasal 35 Ayat (1) dan Pasal 36 Ayat (1) adalah berasal dari
hukum adat Indonesia dan diangkat menjadi hukum tertulis. Sedangkan ketentuan
dalam Pasal 36 Ayat (2) dan Pasal 35 Ayat (2) selain berasal dari hukum adat juga
berasal dari hukum Islam. Adapun ketentuan dalam Pasal 35 Ayat (1) dan Pasal 36 (1)
memang bukan berasal dari hukum Islam tetapi hukum Islam tidak menentangnya.
Jika Pasal 35 dan Pasal 36 UUP memberikan penjelasan secara tegas tentang
adanya dua jenis harta suami isteri dan tentang pengaturan kekuasaan suami isteri
terhadap kedua jenis harta tersebut, namun Pasal 37 yang mengatur harta bersama
dalam hal perkawinan putus adalah tidak tegas. Dalam pasal ini tidak dijelaskan
apakah putusnya karena perceraian ataupun karena kematian. Pasal ini tidak menunjuk
secara tegas pembagian harta bersama ini antara suami-isteri melainkan hanya
menunjuk kepada hukumnya masing-masing. Dalam penjelasan pasal demi pasal
bahwa yang dimaksud dengan hukumnya masing-masing adalah hukum agama, adat
dan hukum-hukum lainnya.
Pembuat undang-undang berpendapat bahwa aturan masalah ini secara pasti
masih sulit, karena masih beraneka ragamnya adat di berbagai daerah di Indonesia,
maka diserahkan saja kepada hukumnya masing-masing. Dengan adanya Pasal 35 ayat
(1) UUP yang menyatakan bahwa harta benda yang diperoleh selama perkawinan
menjadi harta bersama, maka sudah seragamlah untuk seluruh Indonesia bahwa
seorang isteri yang berkewarganegaraan Indonesia, mempunyai hak atas harta yang
dihasilkan selama perkawinan.
Anastasius Rico Haratua Sitanggang : Analisis Yuridis Tentang Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian..., 2009 USU Repository © 2008
99
Dengan berlakunya UUP, maka berdasarkan Pasal 35 ayat (1) UUP, tidak
berlaku lagi terhadap Warga Negara Indonesia, hukum adat yang tidak memberikan
hak atas harta yang dihasilkan selama perkawinan. Berdasarkan ayat (2) pasal tersebut,
maka tidak ada lagi warga negara Indonesia yang sejak dilangsungkannya perkawinan,
demi hukum berlaku persatuan bulat antara kekayaan suami isteri, kecuali kalau
mereka berdua menghendaki diadakannya perjanjian perkawinan sebagaimana yang
diatur dalam Pasal 29 ayat (1) UUP.
Pasal 65 ayat (1) huruf b, c yang berbunyi “Dalam hal seorang suami beristeri
lebih dari seorang, baik berdasarkan hukum lama maupun berdasarkan Pasal 3 (2)
Undang-Undang ini, maka berlakulah ketentuan-ketentuan sebagai berikut :
1. Suami wajib memberikan jaminan hidup yang sama kepada semua.
2. Isteri dan anaknya.
3. Isteri yang kedua dan seterusnya tidak mempunyai hak atas harta bersama
yang telah ada sebelum perkawinan dengan isteri kedua dan berikutnya itu
terjadi.
4. Suami isteri mempunyai hak yang sama atas harta bersama yang terjadi
sejak perkawinannya masing-masing.
Anastasius Rico Haratua Sitanggang : Analisis Yuridis Tentang Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian..., 2009 USU Repository © 2008
100
BAB IV
PERTIMBANGAN HUKUM HAKIM DALAM MEMUTUS PERKARA PERCERAIAN DAN PERKARA PERDATA PADA UMUMNYA
A. Persentuhan Hukum Agama dengan UUP No. 1 Tahun 1974
Pada kenyataannya pembuat Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan menyatakan adalah sah apabila dilakukan menurut agamanya masing-
masing dan kepercayaannya. Pasal 2 ayat (1) menyebutkan bahwa agama yang
dimaksud adalah merujuk Pasal 29 ayat (2) UUD 1945, yaitu Negara menjamin
kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya dan kepercayaannya itu.
Agama dan kepercayaan melahirkan dua interpretasi yaitu :
1. Agama dan kepercayaan adalah satu kesatuan sebagai bentuk ketaatan dan
kepercayaan dalam agama yang dianutnya. Hal ini merupakan tafsir yang
umumnya dipegang oleh para pembuat Undang-Undang Dasar 1945.
2. Agama sebagai satu kesatuan dari kepercayaannya kepada Tuhan Yang Maha Esa
sebagai satu kesatuan yang lain dan keduanya merupakan entitas yang berbeda
yang menginginkan pengakuan tersendiri kepada aliran kepercayaan di Indonesia.
Dalam komunitas masyarakat yang sedang berkembang dan yang dipegang
sampai sekarang adalah nilai-nilai sistem aturan norma-norma yang ditaati berdasarkan
perundang-undangan yang tetap meneruskan hukum perkawinan berdasarkan agama
yang berlaku sejak lama di Indonesia. Campur tangan negara hanyalah dalam bidang
pencatatan sehingga dalam ayat (2) Pasal 2 UUP Tahun 1974 menyatakan “Tiap-tiap
perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.”
Anastasius Rico Haratua Sitanggang : Analisis Yuridis Tentang Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian..., 2009 USU Repository © 2008 82
101
Pro-kontra yang terjadi di masyarakat jika dikaitkan dengan hukum agama
dengan hukum negara yaitu UUP No. 1 Tahun 1974 berdasarkan Pasal (2) UUP No. 1
Tahun 1974 adalah :
1. Sebagai jalan terakhir dilakukan dalam hal ini yang pertama sebagian kecil
masyarakat tidak melaksanakan perkawinan menurut hukum agamanya, karena
adanya pasangan yang melangsungkan perkawinan menurut hukum agamanya. Ini
timbul karena adanya pasangan yang melangsungkan perkawinan berbeda agama
(walaupun persentasenya sangat kecil). Sementara menurut UUP Tahun 1974
secara tegas tidak mengatur perkawinan beda agama.
Praktek yang ditempuh biasanya salah satu pihak pindah ke agama pihak lain. Hal
ini memang banyak terjadi, tetapi bila salah satu pihak tidak mau berpindah agama
ke agama calon suami atau isteri, maka perkawinan batal dilaksanakan. Kasus yang
terkenal untuk yang terakhir ini adalah rencana perkawinan Christine Hakim
dengan teman pria beda agamanya yang telah membina hubungan setelah
bertahun-tahun.
2. Sebagai jalan keluar yang kedua ditempuh adalah melaksanakan perkawinan di
luar negeri, yaitu di salah satu negara sekular yang tidak mengharuskan
perkawinan berdasarkan hukum agama, misalnya negara Singapura, lalu
perkawinan tersebut dicatatkan di Kantor Catatan Sipil (KCS) tetapi pada akhir-
akhir ini Kantor Catatan Sipil (KCS) menolak pencatatannya.
3. Sebagai jalan keluar ketiga perkawinan beda agama melalui penghulu liar seperti
pernikahan pemeluk agama Katolik dengan Islam misalnya Dedy Corbuzier dan
Anastasius Rico Haratua Sitanggang : Analisis Yuridis Tentang Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian..., 2009 USU Repository © 2008
102
Kalina dilaksanakan Penghulu Zainun Kamal, Doktor UIN yang juga penghulu
pribadinya. Perkawinan ini tegas ditolak oleh para ahli hukum Islam yang juga
tidak sesuai dengan UUP No. 1 Tahun 1974.
4. Sebagai jalan keluar keempat seperti yang ditempuh oleh sebuah putusan
Mahkamah Agung (MA) pada tahun 1990 yang mensahkan perkawinan beda
agama berdasarkan hukum antar golongan yang berlaku di zaman penjajahan
Belanda. Putusan yang merupakan sebuah langkah mundur karena adanya dua hal
yaitu :
a. Dengan berlakunya Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 maka
hukum perkawinan yang ada sebelum Undang-Undang Perkawinan No. 1
Tahun 1974 tidak berlaku lagi (Pasal 66 UUP/1974).
b. Hukum perkawinan antar golongan yang diberlakukan Belanda bertolak dari
pandangan bahwa perkawinan adalah sebuah kontrak sekular sedangkan di
Negara Republik Indonesia berdasarkan KeTuhanan Yang Maha Esa, tidak
mungkin dipahami di luar ajaran agama.
Secara umum dan menyeluruh bahwa masyarakat melaksanakan perkawinan
berdasarkan hukum agama tetapi tidak mencatatkannya berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Seperti yang terjadi dalam kasus yang cukup
berarti di berbagai pengadilan agama tentang permohonan penetapan perkawinan yang
diajukan oleh salah satu pasangan yang pernah menikah secara agama atau ahli waris
mereka guna untuk mendapatkan harta warisan. Bila perkawinan dapat dibuktikan di
Pengadilan Agama dan disahkan, maka harta almarhum dapat dibagi kepada ahli
Anastasius Rico Haratua Sitanggang : Analisis Yuridis Tentang Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian..., 2009 USU Repository © 2008
103
warisnya. Penyebab bahwa masyarakat berkeyakinan bahwa perkawinan dilakukan
berdasarkan hukum agamanya masing-masing murni yang tidak perlu dicampuri oleh
negara. Apabila perkawinan sudah sah secara agama, timbul pendapat di masyarakat
untuk apa dicatatkan apalagi pencatatan tersebut memberatkan diri dilihat dari segi
biaya dan birokrasi. Juga disebabkan kurangnya penyuluhan hukum dari pemerintah
atau institusi-institusi terkait tentang pentingnya pencatatan perkawinan yang tidak
adanya sanksi hukum untuk perkawinan yang tidak dicatatkan. Terjadinya hal-hal
seperti itu disebabkan gejala akibat dampak samping proses modernisasi di Indonesia
yang diikuti dengan menurunnya pegangan hidup kepada nilai-nilai moral dan agama.
Kurangnya pengawasan masyarakat dan akibat ketiadaan norma-norma hukum
yang melarang dan mempidanakan perbuatan tersebut, ada istilah do it, everyday does
(revisi perundang-undangan dengan memidanakan perbuatan pasangan hidup bersama
tanpa tali perkawinan) disebabkan adanya dua pencatatan perkawinan yang berbeda :
1) Pegawai Pencatat Nikah (PPN) pada Kantor Urusan Agama.
2) Kantor Catatan Sipil (KCS).
Kedua-duanya jelas tidak efisiensi dari segi administratif mengenai pencatatan dan
cita-cita penyatuan hukum Nasional.
B. Dasar Yuridis
Undang-Undang No. 8 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang
No. 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum Pasal 12 Ayat (1) menyatakan bahwa
Hakim Pengadilan adalah pejabat yang melaksanakan tugas kekuasaan kehakiman.
Anastasius Rico Haratua Sitanggang : Analisis Yuridis Tentang Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian..., 2009 USU Repository © 2008
104
Kemudian Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman
Pasal 5 Ayat (2) menyatakan: Pengadilan membantu pencari keadilan dan berusaha
mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan yang
sederhana, cepat, dan biaya ringan. Maka profesi hakim dalam peraturan perundang-
undangan tersebut di atas adalah Hakim sebagai pejabat kekuasaan kehakiman yang
memeriksa dan mengadili perkara yang diajukan kepadanya.
Dalam penelitian ini Hakim Pengadilan Negeri Siak Sri Indrapura yang
memeriksa dan mengadili perkara perdata (perceraian) dalam tingkat pertama yang
diberi wewenang untuk memeriksa dan memutuskan perkara perdata (perceraian)
tingkat pertama. Pengadilan Tinggi mempunyai wewenang untuk memeriksa dan
memutuskan perkara perdata (perceraian) yang dimintakan banding serta Mahkamah
Agung memeriksa dan memutuskan perkara perdata (perceraian) tingkat terakhir
tentang perkara yang dimintakan kasasi.
Fungsi kekuasaan kehakiman diatur dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun
2004 tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 1 yang menyebutkan: Kekuasaan
Kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan
peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi
terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia.
Maka Hakim berfungsi sebagai penegak hukum di samping sebagai pengabdi
hukum. Pengabdi hukum dapat dilihat dari berbagai bidang seperti tersebut di bawah
ini :
Anastasius Rico Haratua Sitanggang : Analisis Yuridis Tentang Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian..., 2009 USU Repository © 2008
105
1. Pengabdi hukum di bidang legislatif yang bertugas untuk merancang suatu
Rancangan Undang-Undang yang juga sering disebut dengan istilah Legal
Drafter.
2. Pengabdi hukum di bidang eksekutif yaitu pelaksana dari hukum seperti
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah serta pengabdi hukum di bidang
pemberi jasa atau pelayanan hukum seperti Notaris. Di samping itu
pengabdi hukum di bidang ini adalah penegak hukum yang bertugas di
Kepolisian, Kejaksaan, dan Pengacara/Konsultan hukum (Polisi, Jaksa, dan
Advokat/Pengacara).
3. Pengabdi hukum di bidang yudikatif, yaitu lembaga yang berwenang
mengji dan memberikan kepastian hukum bagi masyarakat pencari keadilan
yaitu lembaga peradilan yang dalam hal ini adalah Mahkamah Agung dan
Badan Peradilan dibawahnya serta Mahkamah Konstitusi.
Dalam Pasal 50 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 Tentang Peradilan
Umum jo. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum menyebutkan bahwa
Pengadilan Negeri bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan
perkara pidana dan perkara perdata di tingkat pertama. Dari rumusan pasal perundang-
undangan tersebut, tugas pokok Hakim adalah menerima, memeriksa dan mengadili
perkara-perkara yang diajukan kepadanya. Dalam uraian tersebut telah dijelaskan
siapa-siapa yang dimaksud pengabdi hukum dari berbagai sudut pandang, diantaranya
pengabdi hukum pada pengadilan adalah hakim.
Anastasius Rico Haratua Sitanggang : Analisis Yuridis Tentang Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian..., 2009 USU Repository © 2008
106
Senada dengan itu Sujatmiko, SH mengatakan bahwa :
Tugas pengadilan memang identik dengan tugas Hakim sehingga sering menimbulkan anggapan bahwa pengadilan itu adalah Hakim, padahal dalam melaksanakan tugas pokok yaitu menerima, memeriksa dan mengadili perkara yang dimajukan kepadanya, Hakim harus dibantu oleh peraturan pengadilan atau staf seperti yang diatur dalam perundang-undangan.71 Hakim sebagai aparatur hukum mempunyai fungsi ganda yaitu di satu pihak
sebagai aparatur negara, abdi negara dan abdi masyarakat yang dengan penuh
kesetiaan kepada Pancasila dan UUD 1945 (sekarang UUD 1945 amandemen ke-IV
Tahun 2002), di lain pihak sebagai aparatur hukum, abdi hukum yang harus
menegakkan hukum dan keadilan dalam masyarakat, yaitu melalui perkara-perkara
yang diajukan kepadanya.
Sebagai abdi negara Hakim harus mengutamakan kepentingan negara di atas
kepentingan pribadi dan sebagai abdi masyarakat memberikan pelayanan kepada
masyarakat. Sedangkan sebagai abdi hukum (pengayom hukum) dituntut untuk
menegakkan hukum, memberikan pengayoman kepada masyarakat pencari keadilan.
Di samping tugas pokok Hakim seperti telah diuraikan tersebut masih ada tugas
Hakim yang lain, diantaranya berdasarkan Peraturan Menteri Kehakiman Republik
Indonesia Nomor M.05.PR.08.10 Tahun 1988 tentang Pola Pemantapan Penyuluhan
Hukum Pasal 1 F menyatakan : Hakim Masuk Desa adalah kegiatan penyuluhan
hukum yang dilaksanakan oleh Hakim berdasarkan petunjuk pelaksanaan yang
ditetapkan oleh Menteri Kehakiman (sekarang Menteri Hukum dan Hak Asasi
71Sujatmiko, Op.Cit., Wawancara 11 Juli 2007.
Anastasius Rico Haratua Sitanggang : Analisis Yuridis Tentang Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian..., 2009 USU Repository © 2008
107
Manusia). Perkara yang diajukan ke pengadilan bertujuan untuk memperoleh suatu
putusan dari Hakim yang mengadili. Putusan Hakim tersebut merupakan suatu akhir
dari suatu proses perkara karena putusan itu memuat kesimpulan terakhir mengenai
hukum dari Hakim serta memuat pula akibat-akibatnya.
Pada pertengahan sidang bisa terjadi putusan insidentil, yang dapat
menimbulkan perbedaan-perbedaan dengan vonis perkara pokok. Dalam beberapa
perkara, vonis insidentil dapat pula merupakan putusan akhir yang mengakhiri suatu
proses, karena putusan itu memuat putusan yang defenitif pada instansi yang
bersangkutan. Dalam perkara perdata putusan hakim terdiri dua macam yaitu
penetapan dan putusan.
Penetapan yang diberikan pada perkara-perkara permohonan disebut yurisdiksi
voluntair, yaitu perkara yang diperiksa dan diadili oleh Hakim Tunggal, sifat dari
perkara ini bukan merupakan sengketa antara dua pihak atau lebih tetapi
permohonan seseorang, karena itu putusan berbentuk penetapan. Putusan diberikan
pada perkara sengketa atau perkara gugat menggugat, perkara ini pada umumnya
diperiksa dan diadili oleh Hakim Majelis terdiri dari 1 (satu) orang Hakim Ketua dan 2
(dua) Hakim Anggota, yang saat memulai sidang terlebih dahulu diberikan kesempatan
kepada para pihak mengadakan perdamaian sebelum berlanjut ke acara pemeriksaan
perkara.
Anastasius Rico Haratua Sitanggang : Analisis Yuridis Tentang Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian..., 2009 USU Repository © 2008
108
Putusan dalam perkara perdata yang dibuat Hakim yang mengadili, terdiri dari
4 bagian yaitu :
1. Kepala Putusan
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman dalam
Pasal 4 Ayat (1) menyebutkan : Peradilan dilakukan “DEMI KEADILAN
BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”.
Berdasarkan ketentuan Pasal 224 HIR atau Pasal 258 Rbg, kepala putusan ini
memberi kekuatan eksekutorial pada putusan tersebut tanpa kepala putusan, putusan
ini tidak dapat dieksekusi.
Sejarah irah-irah ini bisa dilihat dalam berbagai peraturan perundang-undangan
diantaranya adalah :
a. Di dalam Pasal 453 BRV menegaskan kepala putusan harus memuat kata-kata
“Atas Nama Raja”.
b. Di dalam Undang-Undang Darurat No. 1 Tahun 1951, kepala putusan harus
memuat kata-kata “Atas Nama Bala Tentara Nippon”.
c. Di dalam Pasal 224 HIR kepala putusan harus memakai perkataan “Atas Nama Sri
Baginda Raja” yang di dalam penjelasannya menyatakan perkataan atas sri baginda
raja harus dibaca atas nama keadilan.
Sekarang berdasarkan Pasal 4 Ayat (1) UU No. 4 Tahun 2004 Tentang
Kekuasaan Kehakiman menyatakan peradilan dilakukan demi keadilan berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa. Irah-irah putusan Hakim dengan irah-irah kepala akta
notaris atau groose akta yang apabila debitur wanprestasi langsung dapat dieksekusi
tanpa melalui proses gugatan.
Anastasius Rico Haratua Sitanggang : Analisis Yuridis Tentang Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian..., 2009 USU Repository © 2008
109
2. Komparisi
Identitas para pihak yang lengkap yang menunjukkan apakah pihak yang
berperkara memberi kuasa atau bertindak untuk kepentingannya sendiri. Penilaian
terhadap komparisi ini diperlukan yaitu :
a. Untuk mengetahui kompetensi pengadilan apakah berwenang atau tidak untuk
mengadili perkara tersebut.
b. Untuk mengetahui apakah Hakim yang menangani perkara tersebut terkena
kewajiban untuk mengundurkan diri dari pemeriksaan perkara tersebut.
c. Untuk mengetahui terpenuhi atau tidaknya syarat-syarat formil suatu gugatan.
d. Untuk mengetahui keabsahan surat kuasa.
3. Pertimbangan Hukum
Pertimbangan hukum merupakan dasar daripada putusan yang memuat alasan-
alasan Hakim, mengapa Hakim mengambil putusan demikian karena itu mempunyai
nilai objektif. Alasan dan dasar putusan harus dimuat dalam pertimbangan putusan
seperti yang dikehendaki oleh Pasal 184 HIR dan 195 Rbg serta Pasal 25 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Setiap putusan harus memuat ringkasan yang jelas dari tuntutan dan jawaban
alasan dan dasar putusan, pasal-pasal dari undang-undang serta hukum tidak tertulis,
pokok perkara biaya perkara serta hadir tidaknya para pihak pada waktu putusan
diucapkan oleh Hakim. Sesuai Yurisprudensi Mahkamah Agung RI tanggal 22 Juli
1970 nomor 638/Sip/1969, memutuskan bahwa putusan yang tidak lengkap atau
kurang lengkap atau kurang cukup dipertimbangkan merupakan alasan tingkat kasasi
Anastasius Rico Haratua Sitanggang : Analisis Yuridis Tentang Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian..., 2009 USU Repository © 2008
110
untuk membatalkannya, ini memberi arti bahwa setiap alat bukti harus
dipertimbangkan secara seksama.
Demikian juga Pasal 25 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004
mengharuskan memuat pasal-pasal dari peraturan yang bersangkutan dari sumber-
sumber hukum yang tidak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili.
4. Amar
Penggugat dapat melihat dari petikan gugatannya yakni tuntutan yang
dimintakan. Pasal 178 ayat (2) dan 3 HIR atau Pasal 189 ayat (2) dan ayat (3) Rbg
menegaskan bahwa Hakim wajib mengadili semua bagian dari tuntutan dan dilarang
menjatuhkan putusan atau mengadili lebih daripada yang dituntut.
Hakim dalam menjalankan tugas dan kewajibannya tidak luput dari kendala
dalam memberikan pertimbangan hukum untuk kasus perceraian. Dalam penelitian ini,
kendala yang dihadapi oleh Hakim adalah menyangkut ketidakhadiran pihak tergugat
dalam persidangan ketika perkara gugatan perceraian mulai diperiksa di persidangan.
Menurut Sujatmiko dan Syafrizal yang sama-sama pernah bertugas sebagai hakim di
Pengadilan Negeri Bengkalis yang wilayah hukumnya meliputi wilayah Kabupaten
Siak ketika Pengadilan Negeri Siak Sri Indrapura belum terbentuk, mayoritas perkara
gugatan perceraian yang masuk ke Pengadilan hampir seluruhnya diputus verstek
tanpa kehadiran pihak tergugat. Dari sudut hukum acara perdata hal tersebut memang
dibenarkan, namun dari sisi moral hal ini sangat disayangkan karena mengingat tujuan
dan makna perkawinan yang begitu dalam seakan-akan dapat dengan mudah
Anastasius Rico Haratua Sitanggang : Analisis Yuridis Tentang Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian..., 2009 USU Repository © 2008
111
diputuskan melalui proses persidangan tanpa kehadiran pihak tergugat. Apabila
dicermati UUP Nomor 1 Tahun 1974 yang pada hakekatnya mempersulit terjadinya
proses perceraian, kedua nara sumber sepakat bahwa sebaiknya ada dibuat undang-
undang tersendiri yang khusus mengatur hukum acara dalam memeriksa dan mengadili
perkara perceraian yang sifatnya mempersulit terjadinya perceraian dengan cara salah
satunya adalah gugatan perceraian tidak dapat diperiksa oleh pengadilan apabila kedua
belah pihak tidak hadir di persidangan dan pengadilan tidak boleh memutus perkara
perceraian tanpa kehadiran pihak tergugat sebagaimana yang selama ini masih
dimungkinkan dalam Hukum Acara Perdata yang berlaku secara umum.
Hambatan lain yang dihadapi Hakim dalam memeriksa dan mengadili perkara
perdata pada umumnya adalah masalah seputar Hakim untuk menggali, memahami
dan menerapkan nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat ke dalam putusan
perkara perdata yang diperiksa dan diadili oleh para hakim di Pengadilan Negeri.
Hambatan dari masalah tersebut di atas disebabkan para Hakim sering
berpindah tempat tugas di seluruh wilayah Republik Indonesia sesuai dengan Program
Pembinaan Hakim oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia. Sehubungan dengan
penerapan nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat oleh Hakim sebagai dasar
dan alasan pertimbangan hukum dalam perkara perdata. Penerapan nilai-nilai hukum
yang menjadi dasar pertimbangan hukum Hakim dalam putusan perkara perdata
sebagaimana dalam tabel berikut ini :
Anastasius Rico Haratua Sitanggang : Analisis Yuridis Tentang Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian..., 2009 USU Repository © 2008
112
Tabel 3. Dasar Hakim Memberi Pertimbangan Hukum n=10
No. Keterangan Jumlah Persentase (%)
1. Melalui perundang-undangan 8 80 %
2. Melalui jurisprudensi 2 20 %
3. Melalui buku-buku 0 0 %
Jumlah 10 0 % Sumber : Data primer diolah 23 Juli 2007.
Berdasarkan tabel di atas Sujatmiko mengatakan dasar Hakim menggali nilai-
nilai hukum lebih dominan melalui perundang-undangan. Berdasarkan hasil
wawancara dengan Sujatmiko bahwa perundang-undangan menjadi patokan pertama,
bila tidak ada ditemukan dalam perundang-undangan maka dicari dalam yurisprudensi
dan jikalau tidak ada dicari sampai level terendah, atau bahwa kombinasi dari berbagai
sumber hukum lainnya.72 Upaya untuk meningkatkan kualitas di kalangan para Hakim
di Pengadilan Negeri Siak Sri Indrapura juga disebabkan oleh berbagai faktor, seperti
keterbatasan dana, kurangnya buku-buku literatur hukum, tempat yang relatif susah
dijangkau dan kurangnya doktrin.73 Sehubungan dengan kekurangan buku-buku
tersebut para hakim dapat mempelajari berkas perkara yang sama, yang telah
berkekuatan tetap.
Namun demikian dengan keadaan seperti itu, setiap putusan Hakim tetap harus
memuat pertimbangan hukum yang menyebutkan alasan dan dasar hukum bagi Hakim
untuk memutuskan suatu perkara. Menurut Soepomo, “Hakim wajib mengemukakan
72Sujatmiko, Op.Cit., Wawancara 11 Juli 2007. 73Syafrizal, Op.Cit., Wawancara 11 Juli 2007.
Anastasius Rico Haratua Sitanggang : Analisis Yuridis Tentang Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian..., 2009 USU Repository © 2008
113
pertimbangan hukumnya dalam putusannya berdasarkan alasan-alasan apa ia memberi
putusan yang dimuat di dalam diktum putusannya”.74
Undang-Undang memberikan pilihan kepada Hakim untuk menentukan alasan
dan dasar hukum pertimbangan putusannya yaitu berdasarkan Undang-Undang sebagai
hukum tertulis atau berdasarkan hukum tidak tertulis. Dalam hal tertentu para Hakim
dapat menghadapi kesulitan untuk menentukan satu dari dua pilihan yaitu dalam hal
Undang-Undang sebagai hukum tertulis bertentangan dengan nilai-nilai hukum agama
dalam masyarakat.
Masalah hukum yang telah terjadi perbedaan pendapat, baik secara teori
maupun dalam praktek hukum. Sudikno Mertokusumo mengatakan Hakim harus
memahami kenyataan sosial yang hidup dalam masyarakat dan ia harus memberi
putusannya berdasarkan kenyataan sosial yang hidup dalam masyarakat itu.75 Dari
pernyataan itu diharapkan agar Hakim menerapkan nilai-nilai hukum yang hidup
dalam masyarakat. Berdasarkan hasil wawancara dengan Sujatmiko dapat diketahui
jawaban tentang pendapat Hakim memutuskan perkara, melalui Tabel-4 berikut ini:
Tabel 4. Pendapat Hakim Tentang Memutuskan Perkara n=10
No Keterangan Jumlah Persentase (%)
1. Menerapkan rasa keadilan dalam masyarakat 3 30 %
2. Menerapkan Undang-Undang 7 70 %
Jumlah 10 100 %
Sumber : Data primer diolah 23 Juni 2007.
74R. Soepomo, Bab-bab Tentang Hukum Adat, Pradnya Paramita, Jakarta, 1994, hal. 40. 75Sudikno Mertokusumo, Op.Cit., hal. 52.
Anastasius Rico Haratua Sitanggang : Analisis Yuridis Tentang Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian..., 2009 USU Repository © 2008
114
Berdasarkan hasil wawancara dengan Syafrizal bahwa hakim cenderung pada
sikap untuk menerapkan Undang-Undang yang berlaku (hukum positif), namun juga
ada 3 responden yang cenderung lebih mengedepankan rasa keadilan dalam
masyarakat dalam putusannya meskipun itu secara juridis formal bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan.
Sumber-sumber hukum dapat dijadikan oleh Hakim alat sebagai untuk
membantu dalam membuat pertimbangan putusan sebagai berikut :
a. Undang-Undang; Undang-Undang dalam arti formil yaitu dilihat dari siapa
yang membuat undang-undang tersebut atau cara pembentukannya. Dalam
arti materil dilihat isi dari undang-undang itu apakah undang-undang
tersebut dapat mengikat dan ditaati oleh seluruh masyarakat.
b. Kebiasaan; Hukum yang terletak dalam suatu peraturan kebiasaan atau
suatu peraturan adat istiadat yang mendapat perhatian dari penguasa
masyarakat adat.
c. Traktat; Ketetapan yang ditetapkan oleh negara sebagai akibat dari adanya
kerjasama atau persetujuan dengan negara lain.
d. Jurisprudensi; Hukum yang terbentuk karena keputusan Hakim yang telah
berulang-ulang diputuskan dalam hal yang sama.
e. Doktrin; Hukum yang dibuat oleh pakar-pakar dan berkuasa dalam
pergaulan hukum. Jadi hukum yang terdapat dalam pandangan ahli yang
terkenal dan sangat berpengaruh.
Anastasius Rico Haratua Sitanggang : Analisis Yuridis Tentang Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian..., 2009 USU Repository © 2008
115
Hakim dalam menerima, memeriksa dan mengadili perkara-perkara yang
dimajukan kepadanya haruslah berdasarkan hukum. Hakim tidak berwenang
memberikan putusan tanpa dasar hukum.
Hakim dalam memeriksa perkara-perkara perdata akan berhadapan dengan dua
pihak yakni pihak Penggugat dan pihak Tergugat, baik yang bertindak sebagai kuasa
atau dirinya sendiri. Selanjutnya Hakim bertindak sebagai pihak yang netral dan secara
objektif mengadili perkara tersebut sesuai dengan hukum dan keadilan dalam kasus
perkara itu dan akhirnya akan memberikan kesimpulan hukum sebagai putusan yang
mengikat para pihak.
Hakim dalam memeriksa dan mengadili perkara dan ternyata peristiwa-
peristiwa hukum atau fakta-fakta hukum dalam perkara itu telah diatur secara jelas
dalam suatu undang-undang, maka Hakim tinggal menerapkan undang-undang itu
kepada peristiwa konkrit tersebut dan menjatuhkan putusan sebagai kesimpulannya.
Pembuat Undang-Undang membuat peraturan umum, sedangkan Hakim hanya
mengkonstatir bahwa undang-undang dapat diterapkan pada peristiwanya, kemudian
Hakim menerapkan menurut bunyi undang-undang. Hakim tidak menjalankan fungsi
mandiri dalam penerapan undang-undang terhadap peristiwa hukum yang konkrit,
Hakim cenderung hanya merupakan corong undang-undang yang tidak dapat
mengubah atau menambah undang-undang.
Tapi sebaliknya jika dalam hal Hakim memeriksa dan mengadili perkara yang
dimajukan kepadanya, setelah hakim menemukan fakta-fakta konkrit, ternyata undang-
undang yang akan diterapkan kepada peristiwa-peristiwa konkrit itu belum
Anastasius Rico Haratua Sitanggang : Analisis Yuridis Tentang Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian..., 2009 USU Repository © 2008
116
mengaturnya, hakim harus menemukan hukum dan menggali nilai-nilai hukum dalam
masyarakat, atau dengan kata lain hakim harus menemukan hukum (rechtsvinding).
Van Eikema Hommes mengatakan “Pengertian penemuan hukum adalah lazimnya
diartikan sebagai proses pembentukan hukum oleh Hakim atau petugas-petugas hukum
lainnya yang diberi tugas melaksanakan hukum terhadap peristiwa-peristiwa hukum
yang konkrit.”.76
Hakim dalam memeriksa, mengadili dan memutuskan perkara-perkara perdata
yang diajukan kepadanya, sesuai dengan tugas dan sumpah jabatan harus memutuskan
berdasarkan hukum yang berkeadilan terhadap kasus-kasus konkrit. Dalam hal kasus
konkrit tersebut telah diatur secara jelas dalam undang-undang maka Hakim dapat
secara langsung menerapkan undang-undang tersebut ke dalam kasus tersebut tanpa
menggali nilai-nilai hukum yang hidup di dalam masyarakat tentang kasus konkrit itu.
Hakim harus menggali nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat,
sebagaimana telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang
Kekuasaan Kehakiman Pasal 16 Ayat (1) berbunyi : Pengadilan tidak boleh menolak
untuk memeriksa, mengadili dan memutus sesuatu perkara yang diajukan dengan dalih
bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan
mengadilinya.
Oleh karena itu hakim sebagai organ pengadilan dianggap memahami hukum.
Pencari keadilan datang padanya untuk memohon keadilan, jika tidak menemukan
hukum tertulis, ia wajib menggali hukum tidak tertulis untuk memutuskan berdasarkan
76Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, Op.Cit., hal. 4.
Anastasius Rico Haratua Sitanggang : Analisis Yuridis Tentang Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian..., 2009 USU Repository © 2008
117
hukum sebagai seorang yang bijaksana dan bertanggungjawab penuh kepada Tuhan
Yang Maha Esa, diri sendiri, masyarakat, bangsa dan negara. Hakim memahami,
mempertimbangkan nilai-nilai hukum barulah hakim memutuskan apa hukumnya dan
apa memenuhi rasa keadilan dalam kasus konkrit perkara itu.
Jika hakim berpendapat bahwa nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat tidak
sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945 atau bertentangan dengan perundang-
undangan lainnya, maka hakim tidak wajib menerapkannya dalam putusannya, sebab
negara memberikan kewenangan kepada hakim untuk menentukan hukumnya bukan
terpaku pada nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat itu tentunya dan hal itu dapat
dipahami karena dalam masyarakat mengalami perubahan nilai-nilai dan berkembang
dengan pesat sejalan dengan perubahan sosial dalam masyarakat.
Dari uraian tersebut penerapan nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat
yang pada intinya adalah tindakan hakim untuk menerapkan dalam masyarakat ke
dalam peristiwa konkrit dan mengangkatnya sebagai alasan dan dasar pertimbangan
hukum dari putusan hakim tersebut.
Dasar hukum keberadaan kekuasaan kehakiman di Indonesia adalah Undang-
Undang Dasar 1945 (sekarang UUD 1945 Amandemen ke-IV Tahun 2002). Di dalam
Undang-Undang Dasar 1945 (Amandemen ke-IV), kekuasaan kehakiman diatur pada
Pasal 24 Ayat (1) yaitu “Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka
untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan” dan Ayat
(2) yang berbunyi “kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung
dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum,
Anastasius Rico Haratua Sitanggang : Analisis Yuridis Tentang Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian..., 2009 USU Repository © 2008
118
lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata
usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi” serta Pasal 25 yang berbunyi
“Syarat-syarat untuk menjadi dan untuk diberhentikan sebagai Hakim ditetapkan
dengan Undang-Undang”. Ditegaskan lebih lanjut oleh penjelasan pasal-pasal tersebut
bahwa “kekuasaan kehakiman ialah kekuasaan yang merdeka, artinya terlepas dari
pengaruh kekuasaan pemerintah.
Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman adalah
salah satu undang-undang yang menjamin kedudukan pada Hakim. Pasal 1 dari
undang-undang tersebut menyebutkan: “Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan
negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum
dan keadilan berdasarkan Pancasila demi terselenggaranya Negara Hukum Republik
Indonesia”. Hakim sebagai pejabat peradilan negara bertugas untuk menegakkan
hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila melalui perkara-perkara yang dihadapkan
kepadanya, sehingga keputusannya mencerminkan perasaan keadilan bangsa dan
rakyat Indonesia.77
Pancasila dijadikan dasar bagi Hakim dalam menyelesaikan perkara-perkara yang dihadapkan kepadanya. Pancasila sebagai satu-satunya asas dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia mengandung nilai-nilai yang memungkinkan tegaknya keadilan hukum baik di dalam landasan ketentuan hukum itu sendiri maupun bagi pedoman pelaksananya. Dua sisi ini di dalam pelaksanaannya tidak mungkin terpisahkan akan tetapi harus selaras.78 Keselarasan antara ketentuan hukum dengan kebijaksanaan hukum merupakan
tumpuan pengambilan keputusan hukum. Untuk tercipta keselarasan ini, Undang-
77Djoko Prakoso, Penyidik, Penuntut Umum, Hakim, Dalam Proses Hukum Acara Pidana,
Bina Aksara, Jakarta, 1987, hal. 292. 78Bismar Siregar, Op.Cit., hal. 7.
Anastasius Rico Haratua Sitanggang : Analisis Yuridis Tentang Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian..., 2009 USU Repository © 2008
119
Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 4 Ayat 1
menegaskan: Peradilan dilakukan “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa”. Oleh karena itu Hakim sebagai pejabat peradilan melakukan tugas dalam
penegakan hukum.
Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 jo. PP No. 9 Tahun 1975
ditentukan bahwa Pengadilan Negeri berwenang untuk memeriksa gugatan perceraian
non Islam. Dasar kewenangan Hakim untuk mengadili gugatan perceraian perkawinan
Kristen Protestan maupun Kristen Katolik (non Islam) tepatnya diatur dalam Pasal 39
ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 jo. Pasal 1 b PP No. 9 Tahun 1975.
Hakim tidak boleh menolak suatu perkara yang diajukan kepadanya dengan
alasan hukumnya tidak diajukan atau tidak jelas. Dalam hal perceraian ketentuan yang
ada dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 serta PP No. 9 Tahun 1975 memang
tidak lengkap, khususnya untuk menyelesaikan gugatan perceraian pasangan suami
isteri yang beragama non Islam. Dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 tidak menyebutkan secara tegas bahwa syarat perceraian itu apabila hukum
agama tidak melarangnya.
Dari data yang ada, dalam mengabulkan gugatan perceraian Hakim hanya
mengacu pada ketentuan hukum negara, yaitu Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974,
yaitu Pasal 1, Pasal 29 ayat (2), serta Pasal 9 PP No. 9 Tahun 1975. Jika salah satu
alasan atau lebih dari satu alasan terpenuhi dan terbukti, maka Hakim mengabulkan
gugatan perceraian. Hakim tidak mempertimbangkan perselisihan itu berasal dari
Anastasius Rico Haratua Sitanggang : Analisis Yuridis Tentang Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian..., 2009 USU Repository © 2008
120
Penggugat atau Tergugat atau kesalahan itu terletak pada Penggugat atau Tergugat.
Berdasarkan hasil wawancara dengan Sujatmiko mengatakan, bahwa
Dalam setiap tahap sidang baik itu perkara biasa maupun perkara perceraian, sebelum dimulai sidang selalu dianjurkan upaya damai kepada kedua belah pihak, apalagi dalam hal perceraian dimana keluarga yang hendak bercerai telah mempunyai keturunan akan berdampak luas seperti mengenai masa depan anak, perkembangan psikologis anak dan sebagainya.79 Hakim tidak mengetahui bahwa dalam ajaran agama Katolik tidak
diperbolehkan adanya perceraian dalam suatu perkawinan, kecuali karena kematian.
Namun demikian, Hakim berpendapat bahwa dengan diajukannya gugatan perceraian
perkawinan Katolik ke Pengadilan Negeri, para pihak telah dianggap meninggalkan
agama mereka. Hakim berpendapat bahwa ketaatan terhadap ajaran agama diserahkan
sepenuhnya kepada para pihak yang memeluknya.
Hakekat antara hukum agama dengan ketentuan Pasal 1 Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 sejalan, yaitu adanya persatuan suami isteri untuk membentuk
keluarga yang bahagia sejahtera berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dalam
ajaran agama Katolik tidak mengenal adanya perceraian yang didasarkan pada Injil
Matius 19 ayat (6) menyatakan : “Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu,
karena itu apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia”. Hal ini
dalam agama Katolik merupakan harga mati yang tidak dapat ditawar lagi. Untuk itu
sebelum dilangsungkan pernikahan diberikan kesempatan belajar bimbingan
pernikahan kepada calon mempelai lebih kurang dalam waktu 2 (dua) bulan, dan
79Sujatmiko, Op.Cit., Wawancara 11 Juli 2007.
Anastasius Rico Haratua Sitanggang : Analisis Yuridis Tentang Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian..., 2009 USU Repository © 2008
121
kemudian dievaluasi dan diuji dan apabila dinyatakan lulus baru dapat dilangsungkan
pemberkatan.80
Diuji kesadaran pasangan kedua calon mempelai apakah sudah memang benar-
benar tekadnya bulat dari hati nurani masing-masing untuk mengikat janji sehidup
semati, bila dalam keadaan ragu-ragu maka niat untuk berumah tangga ditunda.
Sanksi hukum dalam masyarakat dengan kaitannya dengan hukum agama apabila
kelak pasangan suami dan isteri itu bercerai maka tidak diterima dan tidak dapat
diberkati bahkan tidak mendapat persetujuan dari Gereja Katolik. Sebab menurut
ajaran agama Katolik hanya kematianlah yang dapat memisahkan pasangan suami
isteri itu. Diikat dengan suatu janji sumpah yang diucapkan masing-masing yaitu suatu
sumpah dengan meletakkan tangan kanan masing-masing mempelai di atas Kitab Suci
yang disaksikan oleh saksi kedua belah pihak serta hadirin bahwa dalam janji sumpah
itu menyatakan “apakah bersedia meresmikan pernikahan ini sungguh dengan hati dan
kesadaran iklas dan menghormati isteri maupun suami sepanjang hidup dan
bersediakah menjadi bapak dan ibu yang baik bagi anak-anak yang akan dipercayakan
Tuhan dan mendidik mereka yang beriman dan setia”.
Berdasarkan Injil Matius 19 ayat (6) tersebut dituntut tanggung jawab atau
kesadaran bagi setiap pasangan sesuai dengan kepercayaan yang dianutnya dan janji
atau sumpah tersebut yang dihadiri oleh saksi masing-masing suami atau isteri yang
80Romo Pastor Adrianus Maradiyo, PR, Liturgi Sakramen Pernikahan Sabda, Gereja Paroki
Katolik Bunda Pertolongan Abadi, Binjai, Juli 2008.
Anastasius Rico Haratua Sitanggang : Analisis Yuridis Tentang Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian..., 2009 USU Repository © 2008
122
dinyatakan dengan janji sumpah “saya memilih engkau menjadi isteri saya dan
sebaliknya menjadi suami saya di hadapan Imam, para saksi dan umat yang hadir di
sini. Saya berjanji akan setia kepadamu dalam untung maupun malang, ketika sehat
maupun sakit, dan saya mau mencintaimu dan menghormatimu seumur hidup saya.
Demikianlah janji saya demi Allah dan Injil Kitab Suci ini”. Sudah merupakan harga
mati yang tidak dapat ditawar lagi secara agama Katolik.
Apabila orang yang menganut ajaran agama Katolik harus bercerai, maka
Hakim tetap berpedoman kepada peraturan Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun
1974 untuk dapat memutuskan perceraian itu tetapi terlebih dahulu melihat aspek
agama, budaya dan sosial masyarakat dengan tetap berdasarkan Undang-Undang
Perkawinan No. 1 Tahun 1974 dan PP No. 9 Tahun 1979 ada 6 (enam) alasan tentang
Perceraian :
a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok, pemadat, penjudi, dan lain
sebagainya yang sukar disembuhkan.
b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa
izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar
kemampuannya.
c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang
lebih berat setelah perkawinan berlangsung.
Anastasius Rico Haratua Sitanggang : Analisis Yuridis Tentang Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian..., 2009 USU Repository © 2008
123
d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang
membahayakan pihak yang lain.
e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat
menjalankan kewajibannya sebagai suami/isteri.
f. Antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan
tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
Hubungan antara hukum agama dengan UU No. 1 Tahun 1974 dalam ajaran
agama Katolik, apabila harus bercerai maka Hakim tetap berpedoman berdasarkan
Pasal 38 UUP, yaitu dapat putus karena :
1) Kematian
2) Perceraian
3) Atas keputusan pengadilan.
Dalam hal ini Hakim untuk memutuskan suatu perkawinan, hakim tidak
terlebih dahulu melihat aspek-aspek agama, budaya dan sosial di masyarakat. Sebab
sifat hakim di sini adalah legisme yaitu hanya berdasarkan kepada Undang-Undang
Perkawinan No. 1 Tahun 1974. Pro-kontra yang terjadi di dalam masyarakat dalam hal
Hakim memutuskan perceraian itu adalah :
a) Dalam hal terjadinya perkawinan dan terbentuknya rumah tangga melandaskan
hukum agama.
b) Dalam hal bubarnya perkawinan berlandaskan pada dirinya sendiri.
Anastasius Rico Haratua Sitanggang : Analisis Yuridis Tentang Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian..., 2009 USU Repository © 2008
124
Walaupun Agama Kristen melarang perceraian akan tetapi dengan membiarkan
suami isteri dalam suasana yang tidak harmonis akan membawa ke dalam penderitaan
hidup tanpa ada kesempatan untuk memperoleh kehidupan lain yang lebih baik. Dalam
hai ini dapat dikatakan bahwa hakim menggunakan penafsiran yang bersifat sosiologis
terhadap ketentuan perkawinan Kristen yang melarang adanya perceraian. Berdasarkan
penafsiran ini, maka undang-undang ditetapkan berdasarkan tujuan kemasyarakatan.
Definisi peraturan perundang-undangan disesuaikan dengan hubungan dan situasi
sosial yang baru. Dengan demikian, hakim menggunakan nilai-nilai kemanusiaan
dalam pertimbangan hukumnya, bukan ajaran perkawinan Kristen, kemudian dikaitkan
dengan hukum negara (UU No. 1 Tahun 1974 jo. PP No. 9 Tahun 1975) sebagai dasar
kewenangan untuk mengabulkan gugatan perceraian pasangan suami isteri yang
beragama Kristen.
Untuk alasan perceraian karena perselisihan dan percekcokan, hakim tidak
menelusuri lebih jauh mengenai siapa penyebab perselisihan dan percekcokan tersebut.
Hakim menganggap alasan perceraian sudah cukup dengan adanya perselisihan dan
percekcokan serta sudah sesuai dengan PP No. 9 Tahun 1975, maka perkawinanpun
diceraikan. Putusan hakim yang tidak mempertimbangkan alasan perselisihan dan
percekcokan ini dipandang kurang adil, karena hakim tidak mempertimbangkan
kepentingan pihak Tergugat dalam hal bilama yang bersangkutan tidak mau
diceraikan.
Anastasius Rico Haratua Sitanggang : Analisis Yuridis Tentang Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian..., 2009 USU Repository © 2008
125
Hakim dalam hal ini hanya mempertimbangkan segi kepastian hukumnya saja,
karena sifat hakim legisme yang hanya berdasarkan Undang-Undang Perkawinan.
Untuk pelaksanaannya lebih lanjut diatur dalam Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor
9 Tahun 1975 tentang Peraturan Pelaksana Undang-Undang Perkawinan Nomor 1
Tahun 1974 yaitu perceraian dapat terjadi dengan alasan :
a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok, pemadat, penjudi, dan lain
sebagainya yang sukar disembuhkan.
b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa
izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar
kemampuannya.
c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang
lebih berat setelah perkawinan berlangsung.
d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang
membahayakan pihak yang lain.
e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat
menjalankan kewajibannya sebagai suami/isteri.
f. Antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan
tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
Dalam hal ini hakim telah menggunakan penafsiran gramatikal dalam menerapkan
hukumnya terhadap kasus tersebut. Di sini arti atau makna ketentuan undang-undang
dijelaskan menurut bahasa sehari-hari yang umum.
Anastasius Rico Haratua Sitanggang : Analisis Yuridis Tentang Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian..., 2009 USU Repository © 2008
126
Sebaiknya dalam memeriksa dan mengadili perceraian pasangan suami isteri
yang beragama Kristen, hakim dalam pertimbangannya juga memperhatikan aspek
hukum agama para pihak di mana apabila hukum agama memungkinkan terjadinya
perceraian, maka barulah aspek-aspek lain yang memungkinkan terjadinya perceraian
yang diatur dalam undang-undang dijadikan bahan pertimbangan selanjutnya. Apabila
hal ini dilakukan, maka konsekuensinya Hakim akan memutuskan gugatan perceraian
tidak diterima karena hukum agama melarangnya.
Anastasius Rico Haratua Sitanggang : Analisis Yuridis Tentang Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian..., 2009 USU Repository © 2008
127
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Pada bab terakhir ini, yang merupakan bab penutup dapat disimpulkan hal-hal
sebagai berikut :
1. Faktor-faktor penyebab putusnya perkawinan karena perceraian yang sering
terjadi dalam masyarakat yang perkawinannya putus dengan perceraian di
wilayah Pengadilan Tingkat I yaitu Pengadilan Negeri tetap berdasarkan pada
UU No. 1 Tahun 1974 dan PP No. 9 Tahun 1975 dengan alasan :
a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok, pemadat, penjudi, dan
lain sebagainya yang sukar disembuhkan.
b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-
turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain
diluar kemampuannya.
c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman
yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.
d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang
membahayakan pihak yang lain.
e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak
dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/isteri.
f. Antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran
dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
Anastasius Rico Haratua Sitanggang : Analisis Yuridis Tentang Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian..., 2009 USU Repository © 2008 109
128
Bahwa setiap agama manapun tidak menginginkan adanya perceraian
(perkawinan putus oleh karena perceraian), karena akan mempunyai dampak
negatif (berdampak buruk) terhadap lingkungan sosialnya di masyarakat akibat
kawin-cerai. Secara agama Katolik apabila telah putus perkawinan akibat
perceraian, ketika kelak akan melangsungkan perkawinan lagi tidak dapat
diterima gereja atau tidak mendapat pemberkatan pernikahan kedua kalinya
karena ajaran Agama Katolik tidak mengakui adanya perceraian yang terjadi
karena putusan pengadilan. Masyarakat juga mempunyai penilaian buruk
terhadap kawin-cerai, sebab tidak menunjukkan norma-norma atau perilaku yang
baik yang positif terhadap keluarga yang kawin-cerai dan tidak dapat
memberikan contoh atau sebagai panutan dan tidak mendidik bagi perkembangan
lingkungan sosial sekitarnya.
2. Akibat hukum terhadap anak yang disebabkan perceraian melalui putusan
pengadilan adalah membawa dampak kurang baik terhadap perkembangan jiwa,
moral dan psikologis anak, karena anak merupakan korban bagi orangtuanya
yang bercerai. Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 tegas menyatakan
dengan terjadinya perceraian maka status anak-anak orangtua yang bercerai
diatur dalam Undang-Undang. Bila anak belum dewasa (di bawah umur) secara
Undang-Undang belum berumur 12 tahun perwalian hak asuh anak diberikan
kepada ibunya, tetapi tetap Hakim melihat terlebih dahulu apakah si ibu layak
dan bertanggungjawab terhadap anak di bawah umur itu, jika tidak layak dan
tidak bertanggungjawab maka perwalian hak asuh anak diberikan kepada
Anastasius Rico Haratua Sitanggang : Analisis Yuridis Tentang Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian..., 2009 USU Repository © 2008
129
ayahnya. Bila anak telah berumur 12 tahun atau lebih maka diberikan hak pilih
kepada anak apakah dia ikut ayah atau ibunya sesuai dengan ketentuan Undang-
Undang.
Akibat orang tua yang bercerai walaupun perwalian hak asuh anak jatuh kepada
ayah atau ibunya, dalam hal ini kedua-duanya harus tetap seimbang untuk tetap
bertanggungjawab terhadap anak dalam hal biaya kebutuhan ekonomi,
pendidikan, agama dan kasih sayang, demi perkembangan jiwa, mental dan
psikologis si anak. Bila hak perwalian juga dapat dibagi secara bersama-sama
dapat dibuat suatu kesepakatan antara kedua belah pihak dengan demikian
orangtuanya dapat secara bergantian memberikan kasih sayang kepada anak.
Akibat hukum terhadap harta perkawinan yaitu harta bersama dibagi menurut
ketentuan hukum, Undang-Undang, agama dan hukum adat masing-masing yang
berlaku. Sedangkan harta bawaan tetap dikuasai masing-masing pihak isteri
maupun suami yang bercerai. Terhadap hutang piutang yang diakibatkan
putusnya perkawinan akibat perceraian dipikul oleh kedua belah pihak dengan
persyaratan yang harus dipenuhi dimana hak dan kewajiban suami dan isteri
adalah seimbang dalam kewenangannya untuk melakukan perbuatan hukum
seperti yang tertulis di dalam Pasal 36 – 37 UUP No. 1 Tahun 1974 mengenai
harta benda dalam perkawinan yang dulunya berasal dari hukum adat maka sejak
saat terjadinya perkawinan dan sampai ikatan perkawinan itu bubar (putus) baik
karena kematian ataupun karena perceraian maka seluruh harta tersebut menjadi
harta bersama. Jikalau ingin menyamping dari peraturan hukum itu, harus
Anastasius Rico Haratua Sitanggang : Analisis Yuridis Tentang Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian..., 2009 USU Repository © 2008
130
membuat suatu perjanjian perkawinan yang dibuat sebelum pernikahan terjadi
dengan Akte Notaris.
3. Dalam proses persidangan perkara perceraian dilaksanakan berdasarkan Hukum
Acara Perdata. Dalam proses awal persidangan, hakim selalu mengupayakan
perdamaian melalui mediasi kepada para pihak. Dalam pertimbangan hukum
untuk mengabulkan gugatan perceraian, hakim cenderung bersifat legisme yaitu
hanya berdasarkan kepada alasan-alasan yang tercantum dalam Undang-Undang
Perkawinan No. 1 Tahun 1974 apabila tidak dapat ditemukan kesepakatan dari
kedua belah pihak dan kedua-duanya tidak menghendakinya untuk
mempertahankan perkawinannya lagi, maka Hakim memutus perkawinan dengan
perceraian. Hakim tetap berpedoman kepada ketentuan Undang-Undang
walaupun bertentangan dengan hukum agama yang dianut oleh para pihak.
Dengan mengajukan gugatan sesuai bukti-bukti yang kuat dan keterangan dari
para saksi-saksi dari kedua belah pihak yang akan bercerai yang dijadikan Hakim
sebagai dalil-dalil dan dasar hukum untuk dapat dikabulkannya suatu gugatan
perceraian dan akhirnya suatu perkawinan putus akibat perceraian.
B. Saran
1. Dalam memeriksa dan mengadili perkara gugatan perceraian, sebaiknya
hakim memberikan pertimbangan hukum tidak semata-mata terpaku pada
ketentuan peraturan perundang-undangan sebagaimana dalam UU No. 1
Tahun 1974 dan PP No. 9 Tahun 1975 yang membolehkan terjadinya
perceraian dengan syarat-syarat tertentu. Sebaiknya Hakim dalam
Anastasius Rico Haratua Sitanggang : Analisis Yuridis Tentang Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian..., 2009 USU Repository © 2008
131
pertimbangannya juga memperhatikan aspek hukum agama yang dianut
oleh para pihak apakah hukum agamanya membolehkan terjadinya
perceraian atau tidak. Apabila melihat syarat sahnya perkawinan dalam
Undang-Undang Perkawinan mengedepankan aspek moral agama, yakni
perkawinan dianggap sah apabila dilaksanakan sesuai dengan ajaran agama
yang dianut, maka sebaiknya bilamana perkawinan akan dibubarkan, juga
tidak bertentangan dengan nilai-nilai hukum agama yang dianut para pihak.
2. Dengan memperhatikan tujuan perkawinan sebagaimana yang tercantum
dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, yaitu tujuan
perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia lahir-bathin, dan
juga mengingat akibat yang dapat timbul terhadap anak yang disebabkan
perceraian melalui putusan pengadilan akan membawa dampak kurang baik
terhadap perkembangan jiwa, moral dan psikologis anak, maka sebaiknya
ada dibuat undang-undang tersendiri yang khusus mengatur hukum acara
dalam memeriksa dan mengadili perkara perceraian yang sifatnya
mempersulit terjadinya perceraian dengan cara misalnya lebih
mengedepankan proses mediasi dan atau gugatan perceraian tidak dapat
diperiksa oleh pengadilan apabila kedua belah pihak tidak hadir di
persidangan dan pengadilan tidak boleh memutus perkara perceraian tanpa
kehadiran pihak tergugat sebagaimana yang selama ini masih
dimungkinkan dalam Hukum Acara Perdata yang berlaku secara umum.
Andaikata tergugat memang tidak mungkin dapat hadir di persidangan,
Anastasius Rico Haratua Sitanggang : Analisis Yuridis Tentang Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian..., 2009 USU Repository © 2008
132
untuk menjatuhkan putusan versteek, sebaiknya dibuat kriteria khusus
dalam hal bagaimana putusan versteek dalam perkara gugatan perceraian
dapat dijatuhkan. Dengan keadaan yang terjadi saat ini dimana Hukum
Acara Perdata memungkinkan putusan verstek tanpa kehadiran tergugat,
timbul kesan seakan-akan gugatan perceraian gampang dikabulkan
walaupun pihak tergugat tidak hadir.
3. Sebaiknya Dewan Perwakilan Rakyat selaku lembaga legislatif bersama-
sama dengan Pemerintah selaku lembaga eksekutif, segera melakukan
revisi terhadap Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang lebih
memperhatikan nilai-nilai dan dinamika yang berkembang dalam
masyarakat dalam bidang perkawinan yang salah satunya adalah membuat
aturan dan kriteria-kriteria tertentu untuk lebih mempersulit terjadinya
perceraian.
Anastasius Rico Haratua Sitanggang : Analisis Yuridis Tentang Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian..., 2009 USU Repository © 2008
133
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku-buku Ali, Achmad, Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis), PT.
Toko Gunung Agung Tbk, Jakarta, 2002. Arrasjid, Chainur, Dasar-dasar Ilmu Hukum, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, Cetakan
3, 2004. Badan Kontak Profesi Hukum Lampung, Penegakan Hukum Dalam mensukseskan
Pembangunan, Alumni, Bandung, 1977. Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka,
Edisi ke-3, 2005. Hadikusuma, Hilman, Hukum Waris Adat, Alumni, Bandung, 1980. Harahap, M. Yahya, Pembahasan Hukum Perkawinan Nasional, CV. Zahir Trading
Co, Medan, 1975. Kertasapoetra, Rien, G, Pengantar Ilmu Hukum Lengkap, Penerbit Bina Aksara,
Jakarta, Cetakan 1, 1988. Ka’abah, Rifyal, Permasalahan Perkawinan, Varia Peradilan No. 271, Makalah, Juni
2008. Latif, H.M. Djamil, Aneka Hukum Perceraian di Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta,
1985. Lubis, M. Solly, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Mandar Maju, Bandung, 1994. Malik, Rusdi, Peranan Agama Dalam Hukum Perkawinan di Indonesia, Penerbit
Universitas Trisakti, Jakarta, 1990. Mahmud Marzuki, Peter, Penelitian Hukum, FH-Universitas Airlangga, Surabaya,
Cetakan I, 2005. Mertokusumo, Sudikno dan A. Pitlo, Bab-bab Tentang Penemuan Hukum, PT. Citra
Aditya Bakti, Yogyakarta, 1993. Muhammad, Abdulkadir, Etika Profesi Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997.
115
Anastasius Rico Haratua Sitanggang : Analisis Yuridis Tentang Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian..., 2009 USU Repository © 2008
134
-----------------------------, Hukum Perdata Indonesia, PT. Citra Aditya, Bandung, Cet. 2, 1999.
Prakoso, Djoko, Penyidik, Penuntut Umum, Hakim Dalam Proses Hukum Acara
Pidana, Bina Aksara, Jakarta, 1987. Prawiroharmidjojo, R. Soetojo dan Asis Safioedin, Hukum Orang dan Keluarga,
Penerbit Alumni, Bandung, Cetakan 3, 1986. Purbacaraka, Purnadi, Pengantar Ilmu Hukum, Fakultas Ilmu-ilmu Sosial, Universitas
Indonesia, Jakarta, 1989. Rahardjo, Satjipto, Masalah Penegakan Hukum, Suatu Tinjauan Sosiologi, Sinar Baru,
Bandung, 1983. Rasyidi, Lili, Hukum Perkawinan dan Perceraian di Malaysia dan Indonesia, Alumni,
Bandung, 1982. Saleh, K. Wantjik, Hukum Perkawinan Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1980. ---------------------, Uraian Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Perkawinan,
Ikhtiar Baru, Jakarta, 1995. Siregar, Bismar, Keadilan Hukum Dalam Berbagai Aspek Hukum Nasional, Rajawali,
Jakarta, 1986. Soekanto, Soerjono, Beberapa Permasalahan Hukum Dalam Kerangka Pembangunan
di Indonesia, UI-Press, Jakarta, Cetakan 3, 1983. --------------------------, Pengantar Penelitian Hukum, UI-Press, Jakarta, Cetakan 3,
1986. Soemitro, Ronny Hamitijo, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Ghalia
Indonesia, Jakarta, 1990. Soepomo, R, Bab-bab Tentang Hukum Adat, Pradnya Paramita, Jakarta, 1994. Subekti, R. Dan R. Tjitrosoedibio, Kamus Hukum, PT. Pradnya Paramita, Jakarta,
Cetakan 9, 1986. ------------------------------------------, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dengan
Tambahan Undang-Undang Pokok Agraria dan Undang-Undang Perkawinan, PT. Pradnya Paramita, Jakarta, Cetakan 22, 1987.
Anastasius Rico Haratua Sitanggang : Analisis Yuridis Tentang Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian..., 2009 USU Repository © 2008
135
Subekti, R., Pokok-pokok Hukum Perdata, Penerbit PT. Intermasa, Jakarta, Cetakan XVII, 1983.
Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional, Penerbit Rineka Cipta, Jakarta, Cetakan 3,
2005. Suhardana, F.X., Hukum Perkawinan, Penerbit Prenhallindo, Jakarta, 2001. Sunggono, Bambang, Hukum dan Kebijaksanaan Publik, Sinar Grafika, Jakarta,
Cetakan I, 1994. -------------------------, Metode Penelitian Hukum; Suatu Pengantar, Raja Grafindo
Persada, Jakarta, 2001. Sutanto, Retnowulan, Wanita dan Hukum, Himpunan Karangan Hukum yang Penting
Bagi Kaum Wanita, Penerbit Alumni, Bandung, 1979. Usman, Rachmadi, Aspek-aspek Hukum Perorangan dan Kekeluargaan di Indonesia,
Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, Cetakan 1, 2006. Vollmar, H.F.A (Terjemahan I.S. Adiwimarta), Pengantar Studi Hukum Perdata,
Rajawali Pers, Jakarta, Cetakan 2, 1989. Wasis, SP, Pengantar Ilmu Hukum, UMM Press, Malang, Cetakan 1, 2002. Wuisman, J.J.J. M. dengan penyunting M. Hisyam, Penelitian Ilmu-ilmu Sosial, Jilid I,
FE-UI, Jakarta, 1996.
B. Peraturan Perundang-undangan Indonesia, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1975, tentang
Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. -----------, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, tentang Perkawinan. -----------, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004, tentang Kekuasaan Kehakiman. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Anastasius Rico Haratua Sitanggang : Analisis Yuridis Tentang Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian..., 2009 USU Repository © 2008
Anastasius Rico Haratua Sitanggang : Analisis Yuridis Tentang Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian..., 2009 USU Repository © 2008
136
C. Putusan Putusan Pengadilan Negeri Siak No. 10/Pdt.G/2007/PN.Siak, tanggal 9 Oktober 2007. Putusan Pengadilan Negeri Siak No. 02/Pdt.G/2007/PN.Siak, tanggal 2 April 2007.
D. Majalah/Internet Buku Panduan Kadarkum, diterbitkan Departemen Kehakiman RI, Jakarta, 1998. Cek & Ricek No. 447/Thn. IX/Rabu, 21-27 Maret 2007. www.arwin-as.com.