analisis determinan kenaikan kelas usaha mikro bi no.1-2015... · menggunakan dana pemerintah dan...
TRANSCRIPT
WORKING PAPER
ANALISIS DETERMINAN KENAIKAN KELAS USAHA MIKRO
Ascarya Siti Rahmawati
Agustus, 2015
WP/1/2015
1
ANALISIS DETERMINAN KENAIKAN KELAS USAHA MIKRO1
Ascarya dan Siti Rahmawati
Abstrak
Jumlah usaha mikro (UM) sebanyak 55,86 juta atau 98,9% dari total perusahaan di Indonesia dan mempekerjakan lebih dari 90% tenaga kerja. Akan tetapi, hampir semua UM tidak pernah mengalami kenaikan kelas menjadi usaha kecil (UK). Studi ini bertujuan menganalisis determinan dan merancang model dari kenaikan kelas (graduation) usaha mikro menggunakan survei lapangan, metode structural equation modeling (SEM), dan metode strategic assumption
surfacing and testing (SAST). Hasil survei menunjukkan bahwa usaha mikro dan kecil (UMK) merupakan bisnis informal yang dioperasikan di rumah/toko dan bergerak di sektor produksi atau perdagangan, yang mudah keluar/masuk, dengan menggunakan teknologi sederhana; dijalankan oleh tenaga kerja yang berpendidikan rendah dan kurang berpengalaman atau oleh wirusahawan yang tidak terdidik; dibiayai dari modal sendiri; produk cukup dikenal, tetapi bermasalah dalam menguasai pasar. Ketidakstabilan kondisi makroekonomi serta kurangnya dukungan eksternal tidak menjadikan mereka tidak mampu bertahan. Mereka sangat membutuhkan berbagai jenis bantuan, khususnya bantuan manajerial, pembiayaan, bantuan teknis, pemasaran, kewirausahaan, kepemimpinan, dan perubahan pola pikir. Hasil pengujian SEM menunjukkan bahwa determinan utama kenaikan kelas UM adalah standar operating procedure (SOP) dan teknologi informasi (management know-how), pasar (karakteristik usaha), kondisi infrastruktur dan makroekonomi (eksternal), dan dukungan keluarga (support). Determinan penting lainnya adalah visioner, jiwa kewirausahawan dan pengalaman usaha (owner of business/pemilik usaha), dan sumber daya manusia terlatih (resources). Sebagian besar UMK tidak memiliki faktor kunci untuk berhasil maupun naik kelas. Karakteristik ketaatan beragama bukan merupakan faktor kunci kesuksesan dari kenaikan kelas UM. Namun, tetap saja hal tersebut merupakan faktor penting, seperti kecerdasan spiritual yang tinggi, dapat dipercaya (amanah), dan sifat jujur (siddiq). Hasil pengujian SAST menunjukkan bahwa kebijakan paling penting yang diperlukan oleh UMK adalah kestabilan harga dan infrastruktur (external), dukungan modal dan pembiayaan (support), cara mudah dan murah untuk melakukan bisnis dan
Penulis menyampaikan terima kasih kepada Bapak Andang Setyobudi atas saran-sarannya,
Atika R. Masrifah atas bantuan teknisnya, dan Budi Suharjo dan tim atas pelaksanaan
survei.
1 Kajian dipresentasikan pada “the 6th Islamic Economic System Conference”, diselenggarakan oleh Faculty of Economics and Muamalat (FEM), Universiti Sains Islam
Malaysia, Krabi, Thailand, September 29–30, 2015.
Email: [email protected]; Telp: +6221.2981.7345; Fax: +6221.231.1580
Simpulan, pendapat, dan pandangan yang disampaikan oleh penulis dalam
paper ini merupakan kesimpulan, pendapat, dan pandangan penulis dan bukan merupakan kesimpulan, pendapat, dan pandangan resmi Bank
Indonesia.
2
lokasi strategis (karakteristik usaha), akses yang mudah dan murah untuk pembiayaan dan bahan baku, serta ketersediaan teknologi yang mumpuni (resource).
Key words : Micro and Small Enterprises, Graduation, Microfinance, Islamic Entrepreneur
JEL Classification : G21, G28, O17
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Usaha mikro (UM) di Indonesia selalu memainkan peran penting dalam
perekonomian Indonesia. Setelah krisis Asia tahun 1998, khususnya di daerah
perdesaan, UM dianggap sebagai katup pengaman dalam perbaikan ekonomi
nasional dalam rangka meningkatkan pertumbuhan ekonomi, menurunkan tingkat
pengangguran, dan mengurangi kemiskinan. Jumlah UM sebanyak 98,8% (atau
55,9 juta) dari total usaha di Indonesia pada tahun 2012.
Beberapa data menunjukkan signifikansi kontribusi UM terhadap produk
domestik bruto (PDB), yaitu sekitar 34,7% pada tahun 2011 dan 35,8% pada tahun
2012. Angka tersebut berada di bawah kontribusi usaha besar terhadap PDB. Sektor
UM mampu menyerap sekitar 96,0 juta tenaga kerja (90,8%) pada tahun 2011 dan
99,9 juta tenaga kerja (90,1%) pada tahun 2012.
Tabel 1. Statistik Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah Tahun 2012
Jumlah PDB Tenaga Kerja Ekspor*
Mikro 55.856.176 98,79% 35,81% 99.859.517 90,12% 1,51%
Kecil 629.418 1,11% 9,68% 4.535.970 4,09% 3,45%
Menengah 48.997 0,09% 13,59% 3.252.023 2,94% 11,48%
Besar 4.968 0,01% 40,92% 3.150.645 2,84% 83,56%
UMKM 56.534.592 99,99% 59,8% 107.657.509 97,16% 16,44%
Sumber: Kementerian Koperasi dan UKM; *data 2011
Dengan kekhususannya—terutama modal yang kecil—UM mampu
memproduksi dalam proses yang pendek. Dengan manajemen yang sederhana dan
volume unit yang besar yang tersebar di seluruh pelosok nusantara, menjadikan UM
lebih tahan menghadapi gejolak siklus usaha.
3
Di balik cerita kesuksesan UM, masih tersisa masalah yang belum
terpecahkan dan perlu didiskusikan lebih lanjut, yaitu UM selalu mengalami
kesulitan untuk memperoleh pinjaman atau pembiayaan dari industri perbankan
(baik lembaga konvensional maupun lembaga keuangan syariah) karena beberapa
alasan.
Menurut Ascarya (2014) terdapat beberapa model lembaga keuangan mikro
(LKM), baik konvensional maupun lembaga keuangan mikro syariah, yang secara
khusus melayani orang miskin dan UM.
Tabel 2. Model LKM dan Target Konsumennya
Model LKM
Sangat Miskin
Miskin Aktif
UM Kelas Rendah
UM Kelas Menengah
UM Kelas Tinggi
Grameen Rp0–1 M Rp1–5 M
Coop-BMT Rp1–5 M Rp5–10 M
BPR Rp5–10 M Rp10–50 M
MBU Rp10–50 M Rp50–100M
Baitul Maal wa Tamwil (rumah harta dan usaha) atau BMT adalah salah satu
jenis lembaga keuangan mikro syariah (LKMS) yang sangat terkenal di Indonesia.
Baitul Maal (bait ‘rumah’, al-maal ‘harta’) memfokuskan pada pengumpulan
sumbangan wajib dan sukarela, seperti zakat, infak, sedekah (sadaqah), dan wakaf
serta mengoptimalkan pendistribusiannya dengan menerapkan manajemen
berbasis syariah. Sementara itu Baitul Tamwiel (bait ‘rumah’, at-tamwiel
‘pembiayaan/permodalan’) memfokuskan pada pengembangan usaha produktif dan
investasi yang ditujukan untuk meningkatkan kualitas hidup ekonomi masyarakat,
terutama untuk mereka yang memiliki ekonomi skala mikro dan kecil melalui
kegiatan pendanaan dan pembiayaan. BMT dapat terbagi menjadi model BMT
Grameen atau model BMT Individual. Tentunya BMT memiliki keterbatasan
kemampuan, terutama dalam pendanaan, untuk dapat melayani 55,9 juta UM.
Jutaan UM masih belum dapat mengakses kredit atau pembiayaan dari lembaga
keuangan mikro konvensional atau syariah, yang disebabkan oleh permasalahan di
dalam UM atau di dalam lembaga keuangan mikro itu sendiri.
Sementara itu, beberapa model pembiayaan untuk memberdayakan dan
mengembangkan UM melalui BMT terus mengalami peningkatan, termasuk model
komersial, model nonkomersial, dan model campuran. Model-model ini termasuk
4
model yang memiliki hubungan (linkage), baik langsung maupun tidak langsung
antara bank syariah dan BMT. Beberapa model menggunakan zakat dan/atau wakaf
serta menggunakan sumbangan sebagai sumber pendanaan primer/sekunder.
Gambar 1. Commercial Direct Linkages antara Bank Syariah dan BMT
Commercial direct linkages (hubungan langsung yang bersifat komersial)
antara bank syariah dan BMT disebut sebagai commercial model, dapat diwujudkan
dalam pola executing, channeling, atau joint financing.
Gambar 2. Commercial Indirect Linkages antara Bank Syariah dan BMT melalui Lembaga APEX
5
Commercial indirect linkages (hubungan tidak langsung yang bersifat
komersial) melalui lembaga APEX, yaitu dengan menghubungkan bank syariah dan
BMT sehingga bank syariah menyalurkan pembiayaan kepada lembaga APEX atau
koperasi sekunder, kemudian lembaga APEX selanjutnya menyalurkan pembiayaan
tesebut kepada anggota BMT-nya.
Gambar 3. Mixed Direct Linkages antara Bank Syariah dan BMT
Mixed direct linkages (hubungan langsung campuran) dengan bantuan teknis
(TA= technical assistance) memanfaatkan dana sosial (zakat, infak, sedekah,
dan/atau wakaf) untuk melengkapi dana komersial. Sumbangan para donotur dapat
dimanfaatkan untuk TA, sedangkan dana sosial dapat dimanfaatkan untuk BT dan
pendanaan BMT.
6
Gambar 4. Mixed Indirect Linkage Antara Bank Syariah dan BMT
Mixed indirect linkage (hubungan tidak langsung campuran) dengan TA
menggunakan dana pemerintah dan bank sentral untuk melengkapi indirect
commercial fund (dana komersial tidak langsung) melalui lembaga APEX. Dana dari
bank sentral dapat digunakan untuk TA, sedangkan dana pemerintah dapat
digunakan untuk asuransi kredit dan membiayai BMT.
Terdapat beberapa model pembiayaan nonkomersial berdasarkan pendanaan
zakat, serta model pembiayaan berdasarkan pendanaan wakaf. Dapat disimpulkan
bahwa terdapat beberapa model pembiayaan (baik dengan maupun tanpa TA) yang
dikembangkan untuk menyasar konsumen miskin dan UM tertentu dengan atau
tanpa dana sosial.
Tabel 3. Model Pembayaran untuk Usaha Mikro melalui Lembaga Keuangan
Syariah
MODEL LANGSUN
G
TIDAK LANGSUN
G BMT TARGET
Nonkomersial
Pembiayaan + BT
V Grameen Kaum miskin
Hanya Pembiayaa
n V Grameen
Kaum miskin
Campuran Pembiayaa
n + BT V V
Individual/ Grameen
Kaum miskin/U
7
M kelas rendah
Hanya Pembiayaa
n
Komersial
Pembiayaan + BT
Hanya Pembiayaa
n V V
Individual/ Grameen
Kaum miskin/UM kelas rendah,
menengah
Catatan: DP ‘Development Program’; TA ‘Technical Assistance’.
Persentase UM dalam jangka waktu 15 tahun terakhir tidak mengalami
perubahan secara signifikan. Meskipun begitu, data menunjukkan bahwa
perusahaan kecil dan perusahaan menengah dalam periode 2006–2012 trennya
mengalami sedikit peningkatan.
Tabel 4. Persentase Usaha Mikro, Kecil, Menengah, dan Besar di Indonesia
1997 1998 2002 2004 2006 2008 2010 2012
Mikro 99,84% 99,85% 99,78% 99,78%
98,95% 98,90% 98,85% 98,79%
Kecil 0,96% 1,02% 1,07% 1,11%
Menengah 0,15% 0,14% 0,20% 0,21% 0,07% 0,08% 0,08% 0,09%
Besar 0,01% < 0,01% 0,01% 0,01% 0,01% 0,01% 0,01% 0,01%
UMKM 99,99% 99,99% 99,99% 99,99% 99,99% 99,99% 99,99% 99,99%
Di negara yang didominasi oleh UM yang mempekerjakan lebih dari 90%
penduduk negara tersebut, sangatlah penting pemahaman terhadap determinan-
determinan dari kenaikan kelas UM dan pengembangan UM ini agar memperbaiki
kesejahteraan pemilik maupun pekerjanya. Namun, terdapat kesenjangan antara
kemampuan lembaga keuangan syariah dan kebutuhan UM, serta kurangnya
kapabilitas dan kepasitas UM untuk meningkat dan naik kelas menjadi usaha kecil
(UK).
8
1.2 Tujuan Penelitian
Tujuan dari studi ini adalah untuk menganalisis determinan-determinan UM
untuk menjadi lebih baik secara bertahap sehingga mampu naik kelas menjadi UK.
Studi ini mencakup dua kelompok UMK yang merupakan nasabah dari lembaga
keuangan syariah dan konvensional. Lebih lanjut, studi ini akan merancang model
kenaikan kelas UM yang sesuai bagi UM untuk berevolusi dari UM tingkat rendah
hingga UM tingkat tinggi dan pada akhirnya naik kelas menjadi UK.
1.3 Metodologi
Studi ini akan menggunakan berbagai metode kualitatif. Structural equation
modeling (SEM) akan digunakan untuk menganalisis determinan kenaikan kelas
UM. Di samping itu akan digunakan strategic assumption surfacing and testing
(SAST) untuk membantu merancang model kenaikan kelas UM syariah.
II. TINJAUAN LITERATUR/PUSTAKA
2.1 Usaha Mikro dan Kecil
Skala terkecil dari suatu usaha disebut dengan UM karena memiliki skala
operasi mikro dan relatif memiliki sedikit pekerja atau pekerja nonpermanen.
Karena tidak terdaftar secara resmi, UM ini tidak memiliki akses pada jasa/ layanan
formal. Secara umum, definisi UMKM dapat diklasifikasikan berdasarkan jumlah
tenaga kerja, total aset, penjualan per tahun, dan besarnya modal. Menurut Aziz
dan Rusland (2009), berbagai klasifikasi dari UMKM dapat terjadi karena adanya
perbedaan dalam struktur pasar, struktur produksi, kekuatan pasar, kebijakan-
kebijakan, serta sistem hukum pada tiap-tiap negara.
Kriteria UMKM sangatlah beragam, bahkan di antara lembaga multilateral,
seperti Bank Dunia, European Union (EU), Multilateral Invesment Fund (MIF) –
Inter-American Development Bank (AfDB), Asian Development Bank (ADB), dan
United Nations Development Program (UNDP). Secara umum, mereka
mendefinisikan UMKM berdasarkan jumlah tenaga kerja, total aset, dan penjualan
per tahun. Bank Dunia mengklasifikasikan perusahaan dengan jumlah tenaga kerja
0–10 sebagai UM, 10–49 tenaga kerja sebagai UK, dan 50–299 tenaga kerja sebagai
9
usaha menengah. Sementara itu, negara Uni Eropa mendefinisikan UMKM
berdasakan total aset dan penjualan per tahun karena UM merupakan usaha
dengan aset bersih (net aset) kurang dari 2 juta euro atau usaha dengan penjualan
per tahun kurang dari 2 juta euro. UK adalah usaha dengan aset bersih mulai dari
2 juta euro hingga 10 juta euro atau dengan total penjualan per tahun dari 2 juta
euro hingga 10 juta euro.
Menurut AfDB, usaha dengan lebih dari 50 tenaga kerja diklasifikasikan
sebagai usaha besar (UB). Sementara itu, World Bank dan EU mengklasifikasi usaha
dengan tenaga kerja berjumlah 299 dan 249 sebagai usaha menengah. Perbedaan
itu terjadi karena adanya perbedaan tingkat ekonomi suatu kawasan ekonomi.
Tabel 5. Kriteria UMKM yang Digunakan Berbagai Lembaga Multilateral
Lembaga Multilateral
Usaha Mikro Usaha Kecil Usaha Menengah
Tenaga Kerja
Total Aset/ Penjualan per
Tahun
Tenaga Kerja
Total Aset/
Penjualan per Tahun
Tenaga Kerja
Total Aset/
Penjualan per Tahun
Bank Dunia < 11 TA: <$10.000
AS: <$100.000 < 50 <$3 juta < 300 <$15 juta
EU < 10 <€2 juta < 50 <€10 juta < 250
TA: <€43 juta
AS: <€50 juta
MIF – IADB n/a n/a n/a n/a <100 AS: <$3
juta
AfDB n/a n/a n/a n/a <50 n/a
ADB tidak resmi didefinisikan
UNDP n/a n/a n/a n/a <200 n/a
Sumber: UNDP; DCED (Donor Committee for Enterprise Development); Gibson dan Vaart
(2008); dimodifikasi oleh penulis
Kriteria UMKM juga sangat bervariasi antarnegara. Di Chile UMKM
didefinisikan berdasarkan penjualan total per tahun. Usaha dengan penjualan total
per tahun kurang dari USD 2.400 diklasifikasikan sebaga UM, sedangkan usaha
10
kecil adalah usaha dengan total penjualan per tahun kurang dari USD 25 ribu.
UMKM di India saat ini didefinisikan berdasarkan investasi modal. Untuk usaha
yang bergerak di bidang pelayanan jasa, investasi UM untuk peralatan tidak
melebihi RS 10 lakh atau setara USD 20 ribu, sedangkan investasi oleh UK untuk
peralatan berada di atas Rs 10 lakh, tetapi kurang Rs 2 lakh atau setara dengan
USD 40 juta.
Beberapa negara mengklasifikasi UMKM berdasarkan jumlah tenaga kerja
(Tabel 6). Di Jamaica, usaha dengan tenaga kerja kurang dari 4 diklasifikasikan
sebagai UM, sedangkan tenaga kerja 4 hingga 10 diklasifikasi sebagai UK. Di Albania
dan Australia perusahaan yang mempekerjakan kurang dari 5 tenaga kerja
diklasifikasi sebagai UM, dan perusahaan dengan 5–19 tenaga kerja diklasifikasikan
sebagai UK. UM di Oman dan Brunei memiliki kurang dari 6 tenaga kerja,
sedangkan UK di Oman mempekerjakan 6 hingga 20 tenaga kerja dan di Brunei
mempekerjakan 6 hingga 50 tenaga kerja. UM di Saudi Arabia mempekerjakan 0
hingga 9 tenaga kerja, sedangkan UK mempekerjakan 6 hingga 50 tenaga kerja.
Federasi Rusia mengklasifikasi 1 hingga 19 tenaga kerja sebagai UM, sedangkan UK
memiliki 16 hingga 100 tenaga kerja. Secara khusus, Tiongkok mengelompokkan
UK berdasarkan sektor ekonomi.
Tabel 6. Kriteria UMKM Berdasarkan Jumlah Tenaga Kerja
Negara Usaha Mikro Usaha Kecil Usaha Menengah
Jamaica 1–3 4–10 11–49
Albania 1–4 5–19 20–79
Indonesia 1–4 5–19 20–99
Australia 1–4 5–19 20–199
Egypt 1–5 6–10 11–100
Oman 1–5 6–20 21–100
Brunei Darussalam 1–5 6–50 51–100
Brazil* 0–9 10–49 50–249
Vietnam* 0–9 10–49 50–299
Saudi Arabia* 0–9 10–59 60–199
Bangladesh 1–9 10–49 50–99
Phillippine 1–9 10–99 100–199
Pakistan 1–10 11–50 51–250
Kenya 1–10 11–50 51–100
11
Note: *: 0 (pemilik dikeluarkan dari tenaga kerja)
Indstr: Industri; Constr: Konstruksi; Transp: Transportasi
Sumber: Kushnir et al. (2010); Bloem (2012); dimodifikasi oleh penulis
Beberapa negara menggabungkan berbagai acuan dalam mendefinisikan
UMKM. Beberapa dari negara tersebut menggunakan berbagai standar untuk
mendefinisikan UMKM dalam kaitannya dengan kebijakan yang diterapkan
regulator di tiap-tiap negara. Peru dan Republik Dominica menggunakan jumlah
tenaga kerja dan penjualan per tahun untuk menetapkan UMKM. Filipina, Kamboja,
dan Nigeria menggabungkan jumlah tanaga kerja dan total aset untuk
mengklasifikasikan UMKM. Indikator jumlah tenaga kerja, penjualan tahunan, dan
total aset digunakan oleh Costa Rica dan Bolivia.
Di samping itu, sektor ekonomi juga dipertimbangkan sebagai acuan dalam
menentukan UMKM. Sebagai contoh, Afrika Selatan menetapkan definisi yang
berbeda untuk UMKM di sektor pertambangan, listrik, manufaktur, dan konstruksi.
Argentina menggunakan tingkat penjualan tahunan yang berbeda untuk
mengklasifikasikan usaha di sektor industri, retail, jasa, dan pertanian. Malaysia
membedakan UMKM di sektor jasa dan manufaktur berdasarkan jumlah tenaga
kerja dan penjualan tahunan.
Tabel 7. Kriteria UMKM
Russian Federation 1–15 16–100 101–250
Turkey 1–19 20–49 50–249
Ukraine n/a 1–49 50–249
Venezuela n/a 1–50 51–100
China n/a
<300 in indstr, <600 constr,
<100 wholesale, <100 retail,
<500 transp,
<400 post, <400 in hotels & restaurants
<2000 indstr, <3000 constr, <200 wholesale,
<500 retail, <3000 transp, <1000 post,
<800 in hotels & restaurants
Singapore UMKM adalah perusahaan dengan karawan kurang dari
200 orang
12
Keterangan: Agri: Pertanian; Constr: Konstruksi; Indstr: Industri; Invst: Investasi; Mfg:
Manufaktur; Servc: Jasa; Mil: Juta; Bil: Miliar
Sumber: Kushnir et al. (2010); Bloem (2012); dimodifikasi oleh penulis
Di Indonesia, beberapa lembaga dan perundang-undang terkait UMKM
membagi klasifikasi UMKM dalam beberapa kriteria. Badan Pusat Statistik
mendefinisikan UMKM menurut jumlah tenaga kerja. Usaha yang mempekerjakan
kurang dari 5 tenaga kerja dikategorikan sebagai UM, UK memiliki 5 hingga 19
tenaga kerja, sedangkan usaha menengah memiliki 20 hingga 99 tenaga kerja.
Klasifikasi itu didasarkan pada jumlah tenaga kerja tanpa memperhatikan aset total
maupun penjualan tahunan. UU UMKM No. 28/2008 mengklasifikasi UM
berdasarkan aset dan penjualan tahunan, sebagaimana ditunjukkan dalam Tabel 8.
Tabel 8. Kriteria UMKM di Indonesia
Jenis Usaha Kriteria (UU UMKM No.20/2008)
MIKRO - Aset < 50 juta rupiah (tidak termasuk properti)
- Penjualan tahunan < 300 juta rupiah
KECIL - Aset 50 juta–500 juta rupiah (tidak termasuk properti)
- Penjualan tahunan 200 juta–2,5 miliar rupiah
MENENGAH - Aset 500 juta–10 miliar rupiah
- Penjualan tahunan 2,5 miliar–10 miliar rupiah
2.2 Business Life Cycle Framework
Business life cycle model (model siklus hidup usaha) menyatakan bahwa
suatu usaha perlu melalui beberapa tahapan dalam perkembangannya. Setiap
Country Micro Enterprises Small Enterprises Medium Enterprises
Employee Asset Sales Employee Asset Sales Employee Asset Sales Chile n/a n/a < US$2.400 n/a n/a < US$25.000 n/a n/a < US$1 Mil Indonesia 1 – 4 < Rp50 mil < Rp300 mil 5 – 19 < Rp500 mil < Rp2.5 bil 20 – 99 < Rp10 bil < Rp50 bil Egypt 1 – 5 n/a < EGP5 mil 6 – 10 n/a < EGP50 mil 11 – 100 n/a < EGP250 mil UK 1 – 9 n/a n/a 10 – 49 n/a <£5.6 mil 50 – 249 n/a n/a Cambodia 0 – 9 < US$50.000 n/a 10 – 49 < US$250.000 n/a 50 – 199 n/a < USS500.000 Philippine 1 – 9 < P3 mil n/a 10 – 99 < P15 mil n/a 100 – 199 n/a n/a US 1 – 10 n/a < US$3.5 mil 11 – 99 < US$14 mil n/a 100 – 499 n/a n/a
Malaysia < 5 n/a
Agri & Servc <RM200.000;
Mfg <RM250.000
Agri & Servc. <19; Mfg. <50
n/a
Agri & Servc <RM1 mil;
Mfg <RM10 mil
Agri & Servc. <50; Mfg. <150
n/a
Agri & Servc <RM5 mil;
Mfg <RM25 mil
South Africa
Agri<5, Others<5; (diff. by sector)
Agri<R0.1m; Other<R0,1m
(diff. by sector)
Agri<R0.2m; Other<R0.2m;
(diff. by sector)
Agri<50, Others<50;
(diff. by sector)
Agri<R3m; Other<R3m;
(diff. by sector)
Agri<R3m; Other<R3m;
(diff. by sector)
Agri<100, others<200
(diff. by sector)
Agri<R5m; other<R5m
(diff. by sector)
Agri<R5m; other<R5m;
(diff. by sector)
Argentina Indstr <5; Trade <5; Servc (4;
Asset: Agri <ARS456 000; Indstr.&Mining <ARS1.25 mil;
Trade <ARS1.85 mil; Constr. <ARS480 000; Servc. <ARS467 500
Indstr <24; Trade <23; Servc <17;
Asset: Agri <ARS3.04 mil; Indstr.&Mining <ARS7.5 mil;
Trade <ARS11.1 mil; Constr. <ARS3 mil;
Servc. <ARS3.366 mil
Indstr <96; Trade <67; Servc <66;
Asset: Agri <ARS18.24 mil; Indstr.&Mining <ARS60 mil;
Trade <ARS88.8 mil; Constr. <ARS22.44 mil;
Servc. <ARS24 mil
India n/a Invst.: Mfg. < US$50,000,
Servc.< US$20,000 n/a
Invst.: Mfg.< US$1 mil, Servc. < US$0.4 mil
n/a Invst.: Mfg. < US$2 mil,
Servc.< US$1 mil
13
model merepresentasikan karakteristik yang berbeda-beda dari berbagai tahapan.
Tabel 9 menunjukkan taksonomi dari business life cycle berdasarkan sejumlah
tahapan.
Tabel 9. Taksonomi Business Life Cycle Berdasarkan Jumlah Tahapan
Jumlah Tahapan
Penulis
3 Lippitt dan Schmidt (1967); Downs (1967); Scott (1971); Katz dan Kahn (1978); Smith, Mitchell dan Summer (1985)
4 Chandler (1962); Steinmetz (1969); Lyden (1975); Kimberly (1979); Quinn dan Cameron (1983); Kazanjian dan Drazin (1989)
5 Penrose (1952); Greiner (1972); Galbraith (1982); Miller dan Friesen (1984); Scott dan Bruce (1987); Jansen dan Chandler (1993); Lester dan Parnell (1999)
6 Churchill dan Lewis (1983); Hanks dkk (1993)
8 Torbert (1974)
10 Adizes (1979)
Sumber: Quinn dan Cameron (1983: 35–37); Perényi et al. (2011: 144); Lester et al. (2003:
341); dimodifikasi oleh penulis
Banyak studi mengenai kerangka business life cycle telah dilakukan.
Kerangka tersebut dapat diterapkan tidak hanya untuk organisasi, tetapi dapat pula
digunakan untuk perusahaan dan korporasi publik. Tabel 10 menunjukkan
taksonomi model life cycle berdasarkan unit analisis.
Tabel 10. Taksonomi Life Cycle Models Berdasarkan Unit Analisis
Unit Analisis Penulis
Umum Chandler (1962); Downs (1967); Torbert (1974); Katz dan Kahn (1978); Galbraith (1982); Lester dan Parnell (1999)
Organisasi Greiner (1972); Adizes (1979); Hanks, Watson, Jansen dan Chandler (1993); Kimberly (1979); Quinn dan Cameron (1983); Smith, Mitchell dan Summer (1985)
Organisasi Publik Lyden (1975)
Firma/Perusahaan/
Industri
Lippitt dan Schmidt (1967); Miller dan Friesen (1984); Penrose (1952); Porter (1980)
Usaha Besar Channon (1968); Salter (1970)
Usaha Kecil Menengah
Mahar dan Coddington (1966); Steinmetz (1969); Barnes dan Hershon (1976); Bruce (1978); Scott dan Bruce (1987); Churchill dan Lewis (1983); Kazanjian dan Drazin (1989)
Sumber: Scott dan Bruce (1987: 46); Perényi et al. (2011: 144); dimodifikasi oleh penulis
14
Banyak penulis mengajukan tahapan siklus hidup (stages of the life cycle)
suatu organisasi atau perusahaan. Masing-masing mengklasifikasi tahapan siklus
hidup secara berbeda-beda. Meskipun terdapat perbedaan dalam setiap model
siklus hidup, terdapat persamaan dari model-model tersebut. Sebagian besar model-
model itu mengategorikan business life cycle, mulai dari pendirian (lahir) hingga
dewasa. Namun, Adizes (1979) membuat klasifikasi yang paling lengkap, yaitu
mengklasifikasi business life cycle ke dalam sepuluh tahapan yang dimulai dari
masa kelahiran (penciptaan awal) hingga kematian.
Greiner (1972) menjelaskan lima fase pertumbuhan sebagai pertumbuhan
suatu organisasi. Sebagaimana ditunjukkan dalam Gambar 5, model fase
pertumbuhan terdiri atas penciptaan, arahan, delegasi, koordinasi, dan kolaborasi.
Setiap tahapan menghadapi krisis pada akhir periode dan bagaimana organisasi
menyikapi krisis tersebut akan menentukan pertumbuhan ke depannya. Untuk
mengatasi krisis tersebut, manajer harus mempertimbangkan beberapa
rekomendasi yang berkaitan dengan fase yang pernah dilalui. Teori evolusi dan
revolusi Greiner telah digunakan sebagai konsep dasar oleh penelitian lebih lanjut
mengenai business life cycle.
Phase 1 Phase 2 Phase 3 Phase 4 Phase 5
1. Growth Through Creativity
2. Growth Through Direction
3. Growth Through Delegation
4. Growth Through Coordination
5. Growth Through Collaboration
1. Crisis of Leadership
2. Crisis of Autonomy
3. Crisis of Control
4. Crisis of Red Tape
5. Crisis of ?Evolution Stage
Revolution Stage
Larg
eS
ma
llF
irm
Siz
e
Young MatureFirm Age
Sumber: Greiner (1972)
Gambar 5. Model Greiner Mengenai Lima Tahapan Pertumbuhan
Penelitian penting lainnya mengenai business life cycle adalah Adizes (1979).
Adizes menggambarkan model siklus hidup korporasi dengan mengidentifikasi
sepuluh tahapan kehidupan yaitu sebagai berikut (i) pengenalan (awal penciptaan
usaha); (ii) masa pertumbuhan (memulai penjualan kepada pelanggan kunci,
peningkatan modal atau perekrutan key talent); (iii) go-go (penjualan tumbuh pesat
dan terkadang terjadi kekacauan); (iv) masa remaja (sukses ketika perusahaan
15
berjalan baik, petaka ketika penjualan menurun ataupun infrastruktur hancur); (v)
unggul (posisi paling optimal dalam siklus kehidupan); (vi) stabil (tetap
menguntungkan, tetapi mulai kehilangan kekuatan); (vii) aristrokasi (sukses, tetapi
ekspektasi pertumbuhan menurun dan kehilangan pangsa pasar); (viii) birokrasi
awal (ancaman, permasalahan, dan ketakutan membekukan organisasi); (ix)
birokrasi (dalam internal terjadi disasosiasi dan sistem yang tidak efisien); dan (x)
kematian (kebangkrutan ataupun penutupan).
Growing Aging
Courtship
Infant
Go-Go
Adolescence
Prime
Stable
Aristocracy
Early Bureaucracy
Bureaucracy
DeathAffair
Infant Mortality
Founder Trap
Unfulfilled Entrepreneur
Premature Aging
Divorce
Sumber: Adizes (1979)
Gambar 6. Model Adizes Mengenai Siklus Kehidupan Perusahaan
Setelah model Greiner dan Adizes, Churcill dan Lewis (1983) mengembangkan
lebih lanjut model classic. Sebuah perusahaan dapat memiliki lima tahapan
pertumbuhan, yaitu eksistensi/keberadaan, keberlangsungan hidup, sukses,
tinggal landas, dan kematangan sumber daya. Dalam tahapan eksistensi,
perusahaan masih dalam pembentukan dan bekerja tanpa struktur yang formal.
Kedua, tahapan keberlangsungan hidup/bertahan memaksa usaha untuk tumbuh
dengan menambah modal. Tujuan utama tahap itu ialah mempertahankan
kebutuhan perbaikan dan penggantian sehari-hari
Pada tahap ketiga kesuksesan, perusahaan mulai memperoleh keuntungan
dan modal yang cukup sehingga mereka dapat berinvestasi dalam usaha lebih lanjut
dengan cara membangun kerja sama tim. Pada tahap take-off, perusahaan mulai
menciptakan pertumbuhan lebih lanjut, ekspansi, dan mencari peluang-peluang
baru. Terakhir, ketika mencapai tahap kematangan sumber daya, perusahaan
16
menjadi semakin besar dengan memfokuskan pada pengendalian kualitas,
pengendalian keuangan, dan penciptaan ceruk pasar.
Sumber : Churchill dan Lewis (1983)
Gambar 7. Model Curhchill dan Lewis mengenai Pertumbuhan Perusahaan
Scott dan Bruce (1987) menjelaskan model pertumbuhan usaha kecil melalui
lima tahapan dengan karakteristik tersendiri (Gambar 8). Tahapan itu adalah
permulaan, bertahan hidup (survival), tumbuh, ekspansi, dan dewasa. Model
tersebut membantu manajer untuk merencanakan masa depan perkembangan
usahanya dan mengatasi permasalahan dalam mengembangkan usaha kecil. Tabel
11 menjelaskan secara terperinci model Scott dan Bruce.
Stage I Stage II Stage III(a) Stage III(b) Stage IV Stage V
Existence Survival Success-
Disengagement Success-Growth
Take-Off Resource Maturity
Management Style
Direct Supervision
Supervised Supervision
Functional Functional Divisional Line and Staff
Organization
Extent of Formal Systems
Minimal to Nonexistent
Minimal Basic Developing Maturing Extensive
Major Strategy Existence Survival Maintaining Profitable
Status Quo
Get Resources for
Growth Growth
Return on Investment
Business and
Owner*
*White circle represents owner; Black circle represents business
17
Sumber: The Scott dan Bruce (1987)
Gambar 8. Model Pertumbuhan Usaha Scott dan Bruce
Tabel 11. Model Lima Tahap Pertumbuhan Usaha Kecil Menurut Scott dan Bruce
Tahap 1 – Permulaan
Tahap 2-Kelangsungan
Tahap 3 – Pertumbuhan
Tahap 4 - Ekspansi
Tahap 5- Dewasa
Tahapan Industri
muncul, fragmentasi
muncul, fragmentasi
tumbuh, beberapa kompetisi besar,
entri baru
tumbuh, goyah
tumbuh/ goyah atau dewasa/
menurun
Isu Kunci
mendapatkan pelanggan,
produksi ekonomis
pendapatan dan pengeluaran
berhasil tumbuh,
menjamin sumber daya
tumbuh pembiayaan,
menjaga pengawasan
memperluas pengawasan dan
produktivitas, konsentrasi pada pemasaran
apabila industri menurun
Peran
Manajemen Puncak
pengawasan langsung
mengawasi dan
pengawasan
diawasi
delegasi,
koordinasi
desentralisasi
desentralisasi
Gaya Kepemimpinan
wirausahawan, individualistis
wirausahawan, administratif
wirausahawan, koordinasi
profesional, administratif
pengawas
Struktur Organisasi
tidak terstruktur sederhana fungsional,
tersentral
fungsional, desentralisasi
desentralisasi
fungsional/ produk
Produk dan Pasar
tidak ada sedikit
beberapa
pengembangan produk baru
inovasi produk
baru, studi pasar
inovasi produk
Sistem dan Pengawasan
pembukuan
sederhana,
pengawasan melekat/ langsung
pembukuan
sederhana, pengendalian langsung
sistem akutansi,
laporan pengawasan sederhana
sistem anggaran,
penjualan bulanan dan laporan produksi
sistem pengawasan
formal, manajemen dengan objektif
Sumber Utama Pembiayaan
pemilik, teman dan saudara,
penyedia leasing
pemilik, pemasok, bank
bank, partner baru, pendapatan
ditahan
pendapatan ditahan, partner baru, program
jaminan pinjaman
pendapatan ditahan, pinjaman
jangka panjang
Inception Survival Growth Expansion Maturity
Young MatureAge of Business
Stage 1 Stage 2 Stage 3 Stage 4 Stage 5
Fold
Fold
Fold
Contained
Decline
Contained
Siz
e
Evolution Stage
Revolution Stage
18
jangka
panjang
Cash Generation
negatif negatif/ breakeven
positif namun diinvestasikanke
mbali
positif dengan sedikit dividen
cash generator,divi
den yang
lebih tinggi
Investasi Utama pabrik dan peralatan
modal kerja modal kerja, perluasan pabrik
unit operasi baru
pemeliharaan pabrik dan posisi pasar
Produk-Pasar
satu jalur dan terbatasnya channel dan
pasar
satu jalur dan pasar tapi terjadi peningkatan
skala dan channel
diperluasnya jalur namun masih terbatas, satu pasar,
beberapa channel
perluasan wilayah, peningkatan
pasar dan channel
menguasai jalur, banyak pasar dan channel
Sumber: Scott dan Bruce (1987)
Kazanjian and Drazin (1989) menyajikan siklus hidup organisasi melalui
empat tahapan pertumbuhan secara nyata, yaitu konsep dan pengembangan,
komersialisasi, pertumbuhan, dan stabilitas. Pertama, tahap konsep dan
perkembangan memfokuskan pada penemuan dan pengembangan dari produk
dan/atau teknologi. Kedua, tahapan komersialisasi mencoba membangun jaringan
yang andal agar produk berjalan dengan baik. Ketiga, tahapan pertumbuhan
merupakan periode pertumbuhan yang tinggi, baik dari sisi penjualan maupun
tenaga kerja. Keempat, tahapan stabilitas terjadi ketika tingkat pertumbuhan
berjalan lambat menuju ke tingkat yang sejalan dengan pertumbuhan pasar. Hal itu
memaksa perusahaan untuk menciptakan produk baru dalam rangka mendorong
pertumbuhan. Mereka tidak hanya mengasumsikan secara apriori mengenai
eksistensi tahapan, tetapi juga menguji secara empiris mengenai kemajuan
perusahaan dalam seluruh tahap perkembangan sepanjang waktu. Mereka mampu
memperbaiki daya prediksi model dengan cara mengurangi jumlah tahapan dan
jumlah perusahaan yang melewati (skipped) tahapan.
2.3 Determinan Kenaikan Kelas Usaha Mikro
Konsep upgrading (peningkatan) dalam global value chain pada awalnya
dikenalkan oleh Humprey dan Smitz (2000). Mereka memfokuskan empat tipe
upgrading, yaitu upgrading produk, upgrading proses, upgrading fungsi, dan
upgrading intersectional. Sementara itu, Reeg (2013) mendefinisikan upgrading
sebagai pertumbuhan UKM melalui proses inovasi. Reeg mengidentifikasi lima jalur
inovasi yang dapat terjadi pada produk, proses, pemasaran, fungsional, dan sektor.
Pada bagian ini akan didiskusikan determinan-determinan dari suatu proses
upgrading.
19
2.3.1 Upgrading UMKM (Usaha Mikro Kecil Menengah)
Di negara berkembang, usaha mikro, kecil, menengah (UMKM) dikenal
sebagai sumber utama dari pendapatan dan tenaga kerja. Mead dan Liedholm (1998:
61) melakukan baseline surveys di enam negara Afrika yang seperempat dari
penduduk usia kerjanya bekerja di sektor UMKM. Karena UMKM memiliki proporsi
yang tinggi di sektor industri, Reeg (2013a: 9) juga menyoroti UMKM sebagai agen
ekonomi di negara berkembang.
Mead dan Leadholm (1998: 64) berpendapat bahwa UMKM cenderung secara
konstan mengalami kondisi yang naik-turun. Selalu ada perusahan yang baru
mulai, sedangkan yang lainnya telah melalukan ekspansi, kontraksi, dan bahkan
tutup. Di samping itu, beberapa studi empiris menunjukkan bahwa sebagian besar
UMKM berada dalam kondisi stagnan. Beberapa usaha mikro dan kecil dapat
menjadi usaha menengah melalui produktivitas, aset, dan tenaga kerja yang disebut
upgraders. Proses upgrading ini terdiri atas dua elemen, yaitu elemen kuantitatif
(perkembangan usaha) dan elemen kualitatif (inovasi) (Reeg, 2013a: 9). Aspek
pertama (kuantitatif) mencerminkan perkembangan usaha dari kondisi stagnan
(pendapatan, produktivitas, dan tenaga kerja) hingga meningkatnya pendapatan dan
jumlah tenaga kerja penerima upah. Elemen yang kedua mencakup perbaikan
kualitas produk, kapasitas proses, dan inovasi (Humphrey dan Schmitz, 2000: 3–4).
Proses upgrading UMKM bertujuan untuk menganalisis perkembangan
perusahaan dengan cara-cara yang berbeda. Pada Gambar 9 terdapat tiga jenis
upgrading usaha, yaitu perkembangan usaha, tingkat inovasi perusahaan, dan
formalisasi usaha (Reeg, 2013b: 8). Berbagai faktor internal dan eksternal
mempengaruhi kinerja perusahaan dalam menghadapi kondisi siklus usaha yang
berbeda-beda. Sebagai akibatnya, faktor internal dan eksternal ini dapat menjadi
sumber yang bermanfaat dalam proses upgrading UMKM.
20
Sumber: Reeg (2013a: 9)
Gambar 9. Upgrading (Peningkatan) Usaha
2.3.1.1 Upgrading Perusahaan sebagai Formalisasi Usaha (Enterprise
Upgrading as Business Formalization)
Beberapa literatur mengemukakan bahwa kenaikan kelas perusahaan di
negara berkembang dipandang sebagai suatu transformasi dari lembaga informal
menjadi lembaga formal melalui pemenuhan aspek legal untuk sebuah perusahaan.
Transformasi dari lembaga informal menjadi lembaga formal menjadi indikator yang
baik untuk kenaikan kelas perusahaan agar lebih produktif, menguntungkan, dan
dapat terus berkelanjutan (sustainable). Namun, perusahaan produktif informal
dapat pula memperoleh keuntungan (Reeg, 2013b: 8).
2.3.1.2 Upgrading Perusahaan sebagai Pertumbuhan Perusahaan (Enterprise
Upgrading as Enterprise Growth)
Pertumbuhan perusahaan dikenal sebagai langkah pengembangan dari
usaha yang stagnan atau menurun menjadi usaha yang tumbuh, baik dalam hal
aset, produktivitas, maupun jumlah pegawai. Rasio keuangan dan pengukuran yang
lebih terperinci seperti arus dana (cash flow) atau total turnover kadang kala
digunakan untuk mengindikasikan suatu keuntungan dan kinerja. Namun,
kemungkinan bahwa suatu perusahaan dapat tumbuh tanpa perbaikan metode
penjualan yang signifikan mungkin saja terjadi dalam suatu kasus karena ada
kelangkaan (scarcity), ekspansi pasar, dan proteksi yang ketat, atau karena isolasi
(Reeg, 2013b: 8).
Upgrading (Peningkatan)
Usaha
Keuntungan Inovasi
Registrasi Bisnis Upgrading tipe 2
Inovasi tingkat usaha Upgrading tipe 3
Usaha Tumbuh Upgrading tipe 1
Perbaikan Kualitatif
Produk
Proses
Cara mengelola produksi
Pasar
Strategi Pemasaran
Perbaikann Kuantitatif
Pendapatan
Produktivitas
Jumlah tenaga kerja yang dibayar
21
2.3.1.3 Upgrading (Pengembangan) Usaha sebagai Tingkat Inovasi Usaha
(Enterprise Upgrading as Firm-Level Innovation)
Reeg (2013b: 9) mengemukakan bahwa inovasi di negara berpendapatan
rendah dan sedang didefinisikan sebagai penemuan dan adaptasi ilmu pengetahuan
secara terus menerus. Dalam skala UMKM, inovasi memcerminkan bagaimana
suatu perusahaan menjalankan usahanya dengan cara yang berbeda dari
kompetitornya untuk memperoleh keuntungan yang lebih tinggi dari keuntungan
rata-rata.
2.3.1.4 Hubungan antara Inovasi, Pertumbuhan Perusahaan, dan Formalisasi
Usaha
Berdasarkan uraian di atas, upgrading perusahaan didefinisikan sebagai
pertumbuan usaha yang dimulai dari proses inovasi. Formalisasi usaha merupakan
hasil dari proses upgrading. Pada intinya upgrading memiliki dua aspek penting.
Pertama, langkah kuantitatif yang memfokuskan pada pertumbuhan usaha dari
kondisi stagnan menjadi kenaikan pendapatan, produktivitas, atau tenaga kerja.
Kedua, perbaikan kualitatif yang memfokuskan pada produk, proses, dan produksi
(Reeg, 2013a: 18).
2.3.2 Determinan dari Upgrading UMKM
Secara umum, kinerja dan pertumbuhan usaha dapat ditentukan
berdasarkan kualitas internal atau eksternal dari suatu usaha. Sebagaimana
ditunjukkan dalam Gambar 10, onion model membagi lima subtingkat dari
determinan upgrading. Wirausahawan dan karakteristik usaha terkait dengan
kualitas internal dari sebuah usaha. Sementara itu, lingkungan usaha, jaringan
sosial, dan jaringan bisnis terkait dengan lingkungan eksternal (Reeg, 2013a: 20).
22
Sumber: Reeg (2013)
Gambar 10. Konsep Onion Layer
2.3.2.1 Karakteristik Wirausahawan
Reeg (2013b: 18) menjelaskan bahwa wirausahawan memainkan peran
penting di setiap keputusan perusahaan dalam memulai dan melakukan
peningkatan usaha. Teori kewirausahawanan menekankan adanya pengaruh kuat
dari faktor perilaku individu dalam upgrading perusahaan, seperti motivasi yang
tinggi. Karakteristik individu (jenis kelamin dan umur) dan latar belakang
wirausahawan (pendidikan, pelatihan, dan pengalaman) juga merupakan faktor
penting dalam mengembangkan perusahaan.
2.3.2.2 Karakteristik Perusahaan
Terdapat beberapa karakteristik dari perusahaan yang berhubungan dengan
upgrading perusahaan meskipun tidak memiliki hubungan langsung dengan latar
belakang wirausahawan. Ada lima faktor dari karakteristik perusahaan, yaitu umur
usaha, lokasi, sektor bisnis dan penciptaan usaha, kapasitas penyerapan usaha,
dan informalitas (Reeg, 2013: 28).
2.3.2.3 Jaringan Usaha and Sosial
Jaringan interpersonal dan interusaha diperlukan perusahaan dalam
penciptaan dan pertumbuhan suatu usaha. Berdasarkan tujuannya, jejaring dapat
23
memfasilitasi pembelajaran dan penyesuaian dalam arti dapat menciptakan sumber
daya (resources) yang luas, seperti pembiayaan, ilmu pengetahuan, dan dukungan
emosional. Melalui jejaring yang efisien dan efektif, sebuah perusahaan baru dapat
mempercepat tahap permulaan, pertumbuhan, dan kapasitas berinovasi (Reeg,
2013b: 36).
2.3.2.4 Lingkungan Usaha
Lingkungan usaha secara keseluruhan menjadi sangat penting untuk
menstimulasi investasi bagi UMKM. Kesempatan usaha dapat diciptakan dari
faktor-faktor kebijakan, hukum, dan regulasi yang menjamin dukungan persyaratan
menjalankan usaha. Berkenaan dengan lingkungan usaha, Reeg (2013a) mengamati
lima faktor lingkungan usaha yang dapat mempengaruhi UMKM, yaitu sebagai
berikut (i) stabilitas makroekonomi dan politik; (ii) regulasi terkait lingkungan
usaha; (iii) persaingan; dan (iv) akses keuangan.
2.4 Kewirausahawan dalam Pandangan Islam
Kewirausahawan syariah dapat disebut sebagai kewirausahawan dalam
sudut pandang Islam. Kewirausahawan konvensional dibentuk dengan tujuan
memperoleh untung, sedangkan kewirausahawan syariah secara alami
dimungkinan dengan cara yang seimbang antara mendapatkan keuntungan dan
dalam waktu bersamaan juga bertujuan mendapatkan pahala. Cendekiawan Muslim
menyebutkan sejumlah sifat yang dapat dijalankan oleh wirausahawan Muslim
(Faizal et al., 2013; Hoque et al., 2014; Oukil, 2013; Abdullah dan Hoetoro, 2011;
Kayed, 2006; Kayed dan Hasan, 2010; Hassan dan Hippler, 2014).
Penulis Islam kontemporer mengemukakan sejumlah karakteristik yang
dapat dilakukan oleh wirausahawan Muslim, di antaranya adalah Faizal et al.
(2013); Hoque et al. (2014); Oukil (2013); Abdullah dan Hoetoro (2011); Kayed (2006);
Kayed dan Hassan (2010); Hassan dan Hippler (2014).
Faizal et al. (2013) menjelaskan bahwa kerangka dasar dari seorang
wirausahawan Muslim adalah takwa dan ibadah kepada Allah SWT. Berdasarkan
kerangka dasar itu, terdapat elemen-elemen lain yang akan melengkapi
karakteristik wirausahawan Muslim. Takwa kepada Allah SWT dapat terus
ditingkatkan dengan menjalankan ibadah wajib dan sunnah, baik yang bersifat
24
fardhu ‘ain (kewajiban individu) dan fardhu kifayah (kewajiban bersama). Termasuk
di dalamnya adalah salat, puasa di bulan Ramadhan, melaksanakan haji dan
umroh, melaksanakan zakat, dan beramal. Hal tersebut juga dibutuhkan untuk
mendukung beberapa nilai lainnya, seperti nilai moral yang tinggi, kepercayaan,
kepedulian kepada sesama, dan kepedulian lingkungan.
Hoque et al. (2014) mengembangkan model kewirausahawanan berdasarkan
Alquran dan Assunnah dalam dunia bisnis modern. Ciri-ciri yang menonjol ialah
ilmu pengetahuan, inisiatif, pengambilan risiko, orientasi pelanggan, keterlibatan
pekerja, pemikiran strategis, taat kepada Allah SWT, bekerja keras, berinovasi,
memiliki keunggulan, jujur dan dapat dipercaya, moral yang baik, visioner,
optimistis, kesabaran, kesejahteraan sosial, penghasilan halal, dan ekonomis. Model
ini dapat digunakan untuk mengembangkan kewirausahawanan dari perspektif
syariah dengan menjalankan berbagai jenis aktivitas yang berhubungan dengan fase
pengembangan perusahaan.
Sumber: Hoque et al. (2014)
Gambar 11. Model Wirausahawanan
Oukil (2013) mengemukakan bahwa segala aktivitas usaha harus patuh pada
kode etik usaha syariah yang selaras dengan pedoman dasar berikut ini. Pertama,
tidak ada kejahatan (fraud) atau tipu-menipu (Al-Bukhari) artinya perdagangan
harus legal/sah, diinginkan dan baik secara moral, dan diterima di masyarakat.
Kedua, larangan membuat terlalu banyak sumpah ketika menjual barang dagangan,
Risk Taking
Patience
Honesty
Knowledge
Social Welfare
Customer Orientation
Innovativeness
Employee Involvement
Fear in Allah
Hard Working
Excellence
Initiative
Islamic Entrepreneurship
Providing sufficient entrepreneurial knowledge from contemporary and Islamic perspectives in the education institutions
Developing awareness by seminar, symposium, workshop, talk show, etc.
Developing awareness through Imams of mosques and other social organizations
Policy and Infrastructural supports
Easy access to fund Tax rebate Subsidy Incubation facilities Reinforcement based on
performance Availability of training Problem-solving services
Supportive and Motivational Activities
Preparatory and Awareness Developing Activities
FEEDBACK
FEEDBACK
FE
ED
BA
CK
25
Nabi (SAW) bersabda bahwa dengan membuat sumpah menjadikan barang terjual,
tetapi hal itu menghilangkan berkah (oleh karenanya) (Ibnu Majah: 2209). Ketiga,
perlunya persetujuan bersama antarpihak ketika melakukan usaha (Al-Bukhari).
Keempat, timbangan dan pengukuran yang ketat (Al-Muwatta; At-Tirmidhi). Kelima,
tidak ada monopoli (Abu Dawud).
Dalam perubahan lingkungan usaha yang terus berubah, permasalahan
kewirausahaan sosial (social entreprenurship) memaksa wirausahawan menjadi
cukup pintar dan cepat tumbuh. Mair dan Marti (2005) berpendapat bahwa
perusahaan sosial (social enterprises) berbeda dengan perusahaan konvensional
yang disebabkan perusahaan sosial memiliki target untuk mengoptimalkan nilai-
nilai sosial. Namun, menurut Murphy dan Coombes (2009), kewirausahaan sosial
selalu bekerja untuk perbaikan dalam masyarakat dibandingkan dalam
mendapatkan keuntungan. Bahkan, dalam konteks pemberdayaan usaha kecil dan
menengah, Abdullah dan Hoetoro (2011) mengusulkan kewirausahaan sosial
syariah sebagai model dalam pemberdayaan UKM untuk diterapkan dalam
komunitas Muslim. Pada dasarnya, model ini menggunakan sejumlah modal sosial
syariah dan kerja sama antarwirausahawan Muslim yang sangat umum ditemukan
dalam Alquran dan Assunnah. Tujuan utama model UKM ini diterapkan dalam
kewirausahaan sosial syariah adalah untuk menghasilkan lowongan pekerjaan dan
nilai kepada komunitas, bukan untuk mencari keuntungan bagi pemilik.
Mekanisme dari model ini dijabarkan dalam Gambar 12 di bawah ini.
Islamic Social Capital
Muslim Entrepreneur
Network of SMEs (Clustering)
Community/Society
Islamic Social Entrepreneurship (QS. Al-Maidah: 2)
Sumber: Abdullah dan Hoetoro (2011)
Gambar 12. Model Kewirausahaan Sosial Syariah
26
Modal sosial syariah harus menjadi dasar bagi strategi dalam
pemberdayaaan. Kemudian, hal tersebut akan memengaruhi perilaku usahawan
Muslim dan mempengaruhi inisiatif dalam membuat jejaring ataupun
pengelompokan (clustering) UKM. Garis putus-putus yang mengelilingi Islamic Social
Capital menunjukkan ciri khas dalam memperkukuh hubungan di antara UKM
berdasarkan semangat Syariah. … Dan tolong-menolonglah kamu dalam
(mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa
dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat
berat siksa-Nya.... Dalam hal mekanisme ini berjalan baik, hal tersebut akan
memengaruhi perbaikan umat dan masyarakat secara umum. Untuk menyesuaikan
mekanisme ini secara lebih kuat (ditunjukkan pada Gambar 12 dengan garis putus-
putus), kontribusi kewirausahaan sosial syariah adalah dalam strategi implementasi
pengembangan UKM.
Lebih lanjut, Kayed (2006) mengembangkan kewirausahaan syariah
berdasarkan model pengembangan. Kayed membangun model kewirausahaan
syariah yang komprehensif berdasarkan model umum konseptual barat (conceptual
general western model) mengingat kedua model tersebut memiliki banyak fitur dan
asumsi yang sama. Kayed dan Hassan (2010) membagi dua model dalam hal definisi
pengembangan dilihat dari hubungan antara agama dan budaya dan peran agama
dalam pembangunan. Oleh karena itu, kedua model berbeda dalam perilaku dan
pendekatannya terhadap transformasi budaya dan nilai-nilai afirmamasinya.
Namun, terdapat perbedaan utama antara kedua sistem yang mungkin mendorong
perbedaan pada hasil akhir kewirausahaan masing-masing (Hassan dan Hipler,
2014).
27
Sumber: Hassan dan Hippler (2014: 176)
Gambar 13. Aktivitas Kewirausahaan
Tujuan model yang diusulkan oleh Kayed (2006) adalah untuk
mempertimbangkan variabel-variabel yang dianggap penting bagi kewirausahaan
syariah, tetapi tidak masuk ke dalam model barat atau model umum. Tujuan
penting lainnya dari model tersebut adalah untuk menjelaskan perbedaan yang
mencolok pandangan Islam terhadap kewirausahaan dan untuk menggarisbawahi
peran vital dari etika kewirusahaan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari
konsep kesejahteraan manusia yang lebih inklusif.
Islamic Entrepreneurship
Motivated by needs of society and desire to satisfy religious obligation
Engage in productive ventures involving the creation of real goods and services
Financed through interest-free profit-loss-sharing
Speculation and excessive risk-taking is prohibited
Shari’ah-compliant
Western Entrepreneurship
Often motivated chiefly by individual utility (wealth) maximization
Often secular in nature
Altruistic goals often secondary
Debt and equity financing
Speculation and risk-taking permitted
28
Sumber: Kayed (2006: 112)
Gambar 14. Model Kewirausahaan Syariah
Hal ini sejalan dengan Hendrawan (2009) yang menyatakan bahwa visi
spiritual perusahaan adalah meningkatkan kesejahteraan internal, eksternal, dan
stakeholder pada masa mendatang. Di samping itu, perusahaan bertanggung jawab
dalam menjaga iman, jiwa, akal, keturunan, dan harta benda. Hal-hal yang
berkontribusi meningkatkan unsur-unsur ini dibutuhkan oleh perusahaan.
Perusahaan harus dibangun secara kekeluargaan yang memprioritaskan
persamaan, kasih saying, kebaikan, kesejahteraan masyarakat, dan keadilan sosio-
ekonomi. Namun, setiap model kewirausahaan syariah dapat diterima sepanjang hal
tersebut masih berpegang pada konsep tauhid dan menjalankan prinsip-prinsip
Islam. Sejalan dengan konsep ini, wirausahawan Muslim akan memiliki tanggung
jawab sosial yang tinggi. Hal itu sejalan dengan tujuan utama penciptaan manusia
Entrepreneur Enterprise
Collective obligation
Idea
Innovation/Addaptiveness
OpportunityRecognation/Discovery
Alertness
Mobilization of (Human/Social/Physical & Financial) Resources
Risk-sharing
Policy makingprocess Environment
Culture
Culture
Muslim’sValue
External forces (i.e. Globalization) External forces (i.e. Expatriates)
Education
Informal Institutions
Formal Institutions
Att
itu
des
Val
ue
Aff
irm
atio
n - Mores - Values - Beliefs
- Rituals - Heroes - Symbols
Attitudes
E
ntr
epre
neu
rsh
ip e
du
cati
on
an
d t
rain
ing
(Cap
acit
y b
uild
ing)
E
nte
rpri
sin
g in
div
idu
als
Enab
ling
Envi
ron
men
t
Ente
rpri
se S
up
po
rt/I
nce
nti
ves
Laws & Regulations
- Legal - Social - Political - Economic
Safeguard social interest
HUMAN WELL BEING (FALAH)
Soc.-Ec. Justice Spiritual SecurityPre-condition for
Individual Level National Level Altruism (Helping others)
Act of Ibadah(worship)
- Immediate economic needs- Halal income Capital creation
InnovationCompetitivenessEmployment
EconomicDimension
ReligiousDimension
Moral/ethicalentrepreneurship
Social Equilibrium Liberation and salvation* ** ** *
*Self interest (individualsm)** Common welfare
29
dan alam. Tabel 12 menunjukkan rangkuman dari karakteristik kewirausahaan
syariah.
Tabel 12. Karakteristik Holistik Kewirausahaan Syariah
Karakteristik
Perusahaan Syariah
Faizal et al. (2013
hal.192-195);
Hoque et al. (2013 hal. 132-
138)
Patuh Kepada Allah
(Takwa)
Takwa sebagai pondasi
(Al-Saff, 61:10-11)
Patuh kepada Allah (Al-
Hujarat, 49:13)
Pendapatan halal Halal adalah prioritas
utama (Al-Maidah, 5:88)
Pendapatan halal (Al-
Baqarah, 2:188)
Ekonomis Tidak boros (Al-A’raf,
7:31; HR. Muslim)
Ekonomis (Al-Isra, 17:26-27)
Beribadah Beribadah kepada Tuhan
adalah prioritas (Al-Hijr,
15:67)
Moral Menjalankan nilai moral
yang tinggi (Al-Baqarah:
275)
Moralitas (HR. Bukhari; Al-
Qalam, 68:4)
Dipercaya dan jujur Dapat dipercaya (Al-
Tirmidhi: 1213)
Kejujuran dan Kebenaran
(HR. Bukhari)
Kesejahteraan sosial Memperhatikan
kesejahteraan sosial (Al-
Hajj, 22:77)
Kesejahteraan sosial (Ali
Imran, 3: 92 & 110)
Berilmu Berilmu (Al-Alaq, 96:1-5) Ilmu Pengetahuan (Thaahaa,
20:114)
Peduli sesama dan
lingkungan
Peduli sesama dan
lingkungan
(Al-Qashash, 28:77; HR.
Abu Dawud:2542)
Orientasi Pelanggan (Huud,
11:85)
Keterlibatan pegawai (Ibn
Majah)
Inisiatif Inisiatif (Al-Baqarah, 2:42
dan 149)
Mengambil Risiko Mengambil Risiko (Al-Maidah,
3:159)
Berpikir strategis Berpikir strategis (Al-Anfal,
8:22)
Bekerja Keras Bekerja keras (An-Najm,
53:30)
Inovatif Berionvasi (An-Najm, 53:39)
Visioner Visi
Optimis Optimis (Az-Zumar, 39:53)
Sabar Sabar (Al-Qalam, 68:48)
Handal Handal (HR. Muslim)
30
2.5 Kenaikan Kelas Usaha Mikro dalam Sudut Pandang Islam
Banyak studi membahas isu terkait hubungan antara agama dan usaha.
Dalam studi-studi tersebut disebutkan bahwa agama mempengaruhi aktivitas
kewirausahaan penganutnya dan mempengaruhi keputusan mereka untuk menjadi
wirausahawan serta gaya manajemen usaha. Sementara itu, literatur tidak
memberikan banyak bukti tentang pentingnya agama dalam mempengaruhi
kenaikan kelas UM. Oleh karena itu, subbab ini membahas secara singkat
perbedaan pengukuran kenaikan kelas UM dan determinan kenaikan kelas UM
dalam perspektif konvensional dan syariah.
Dalam istilah sederhana, Humphrey dan Schmitz (2000) menggunakan
konsep upgrading (peningkatan) pada empat bagian, yaitu upgrading proses,
upgrading produk, upgrading fungsi, dan upgrading lintas sektoral. Sementara itu,
Reeg (2013) mendefinisikan kenaikan kelas UM sebagai pertumbuhan melalui
pertumbuhan usaha, formalisasi bisnis, dan inovasi. Istilah itu mengandung aspek
kualitatif (inovasi) sekaligus kuantitatif (pertumbuhan usaha).
Dalam konteks kenaikan kelas usaha, kewirausahaan syariah harus
dibedakan dengan kewirausahaan lainnya dalam aspek tujuan dan motivasinya.
Target dari UM adalah sukses dalam usahanya. Dalam perspektif konvensional,
cendekiawan UM mendefinisikan kesuksesan dari berbagai aspek. Indikator yang
paling umum digunakan untuk menentukan keberhasilan dari suatu UK adalah
melihat pertumbuhan tenaga kerja (Mead dan Liedholm, 1998), keuntungan,
penjualan tahunan, aset (McPherson, 1996), dan penghasilan perseorangan (Kayed,
2006).
Bagi seorang Muslim, kesuksesan ditentukan lebih dari itu. Kenaikan kelas
dari UM dalam perspektif syariah tidak selalu diartikan sebagai tumbuhnya usaha,
tetapi lebih pada aspek kualitas ataupun inovasi. Menurut Hoque (2014), pengertian
inovasi wirausahawan dalam Alquran adalah “Kami tidak mengubah keadaan suatu
kaum sebelum mereka mengubah keadaannya sendiri.” (QS. Arrad, 13: 11).
Sesungguhnya, tidak ada tempat bagi pemalas dan berdiam diri dalam Islam.
Menurut ajaran Islam, seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah
diusahakannya (QS Annajm, 53: 39).
Dalam pandangan Islam, Siddiqi (1979: 141 dan 151) seperti dikutip dalam
Kayed (2006: 112) menjelaskan tujuan dari wirausahawan Muslim adalah
mendapatkan keuntungan yang halal dan memberikan pelayanan sosial kepada
31
masyarakat luas. Islam memandang bahwa motif memperoleh keuntungan adalah
sah dan berkah sepanjang terbebas dari bunga (riba), keserakahan, spekulasi, dan
eksploitasi serta sepanjang hal tersebut tidak dianggap sebagai tujuan utama
wirausahawan tersebut.
Kayed (2006) mengemukakan bahwa suatu keberhasilan mencakup, baik
keberhasilan duniawi maupun keberhasilan akhirat. Dalam Minhajul ‘Abidin ‘ila
Jannati Aalamin (1989: 59–353) Imam Al-Ghazali menggarisbawahi tujuh langkah
untuk sukses, yaitu tahap pengetahuan (aqabah al-ilmi), tahap pertobatan (aqabah
at-taubah), tahap godaan (aqabah al-awaaiq), tahap rintangan (aqabah al-awaaridh),
tahap motivasi (aqabah al-bawaa’is), tahap ketidaksempurnaan (aqabah al-
qawaadih), serta tahap perdamaian dan bersyukur (aqabah al-hamdi wa-asy-
syukri).
Cendikiawan Muslim, Al-Qurtubi sebagaimana dikutip dalam Vargas-
Hernandez dan Noruzi (2012: 56), mencatat beberapa faktor yang menjadi perhatian
dalam meraih kesuksesan. Faktor-faktor tersebut adalah halal, yang artinya
kehidupan sesuai dengan ajaran Allah SWT; qana’ah, yang artinya bahagia dan
bersyukur dengan penghasilannya; taufiq, yang artinya senentiasa mengharapkan
berkah dan rahmat dari Allah SWT yang sebanding dengan ekspektasinya; sa’adah,
yang artinya mengacu pada kebahagiaan batin, dan jannah, yang artinya
menekankan kesuksesan duniawi sebagai jembatan menuju kesuksesan paling
tinggi (ultimate) di akhirat nanti.
Dengan menggunakan onion model yang dikembangkan oleh Reeg (2013),
uraian berikut ini memberikan gambaran singkat mengenai kerangka analisis dan
faktor-faktor yang mempengaruhi kenaikan kelas UMK dalam sudut pandang Islam.
Faktor-faktor ini dibagi menjadi lima katogeri besar, yaitu karakteristik
wirausahawan, karakteristik usaha, jaringan sosial, jaringan bisnis, dan lingkungan
usaha (lihat onion model dalam Gambar 12).
Inti dari onion model adalah karakteristik wirausahawan. Dari sudut pandang
Islam, untuk mencapai kesuksesan beberapa penulis Muslim mengacu pada
ketakwaan, sidik (shiddiq), dan amanah. Seorang wirausahawan Muslim harus
memiliki iman dan takwa kepada Allah SWT. Tujuan dari penciptaan manusia
adalah untuk menaati dan beribadah kepada Allah SWT dengan iman dan takwa
sehingga manusia yang paling mulia dan sukses adalah mereka yang paling
bertakwa. Allah berfirman “Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian
ialah orang yang paling takwa” (Quran 49: 13). Mereka berpikir bahwa setiap
32
kegiatan mereka dilihat dan dicatat oleh Allah dan setiap baik atau buruk perbuatan
mereka akan diberi pahala atau ganjaran. Allah berfirman “Barangsiapa yang
mengerjakan kebaikan sekecil atom (atau semut kecil) sekalipun, niscaya dia akan
melihat (balasan)-Nya. Dan barangsiapa yang mengerjakan keburukan sekecil atom
(atau semut kecil) sekalipun, niscaya dia akan melihat (balasan)-Nya pula” (Quran
99: 7–8).
Sidik (shiddiq) adalah nilai etika dasar dalam Islam. Allah memerintahkan
seluruh kaum Muslim untuk selalu lurus dan jujur dalam ucapan maupun
perbuatannya. Allah berfirman “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu
kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar.” (Quran 33:70). Menurut
Muhammad et al. (2008), nilai tersebut memiliki implikasi filosofis dalam
menjalankan usaha. Manajer UMKM haruslah jujur dan benar dalam menjalankan
semua usahanya. Kerangka berusaha dalam syariah menyebutkan bahwa tidak ada
alasan untuk melakukan kecurangan, banyak bersumpah, berbicara bohong, dan
iklan palsu.
Amanah merupakan nilai etika dalam Islam lainnya. Menurut Mckinght dan
Chervany (1996), kepercayaan adalah kunci untuk hubungan interpersonal yang
positif di berbagai keadaan disebabkan kejujuran merupakan inti manusia
berinteraksi dengan yang lainnya. Muhammad et al. (2008) menjelaskan bahwa
esensi dari kepercayaan adalah rasa tanggung jawab. Hal itu memberi arti mengenai
perasaan atas kehadiran Allah dan setiap perbuatan akan dipertanggungjawabkan.
Tentu saja, kepercayaan sangat ditekankan di dalam Alquran dan Alhadis. Nabi
berkata, “Kepercayaan dan kejujuran seorang pedagang merupakan salah satu sifat
nabi, orang yang budiman, dan para syuhada.” (Al-Tarmidzi buku 14: 1213).
Di samping takwa, sidik (shiddiq), dan amanah, tingkatan kedua dari onion
model adalah karakteristik usaha. Dalam pandangan Islam, hal itu merujuk pada
pendapatan yang halal dan kehidupan ekonomis. Dengan demikian, Islam
menekankan kegiatan kewirausahaan ini sebagai jalan untuk mendapatkan
pengampunan di akhirat. Nabi Muhammad SAW menekankan pentingnya cara yang
sah dalam mendapatkan penghasilan. Beliau bersabda, “Penghasilan yang terbaik
adalah penghasilan seseorang dari jerih payahnya sendiri dan setiap jual beli yang
mabrur” (Ahmad). Jelas hal itu menunjukkan bahwa seorang wirausahawan Muslim
harus memiliki kesadaran yang tinggi mengenai pendapatan halal (sah).
Pendapatan halal dalam kegiatan ekonomi dapat diterapkan melalui prinsip-
prinsip muamalah, yang melarang riba (suku bunga dalam berbagai bentuk dan
33
jumlah, baik riba nasiah maupun riba fadhl), zalim (membahayakan atau merusak
orang lain), masyir (berjudi), gharar (ketidakpastian), dan haram (haram dalam hal
produk, jasa, atau kegiatan operasional).
Lebih lanjut, Islam mendorong manusia untuk mensyukuri hidupnya tanpa
menyia-nyiakannya. Akan tetapi, Hoque et al. (2014) mengemukakan bahwa adalah
wajar untuk melihat sifat kikir atau gaya hidup berfoya-foya pada diri
wirausahawan. Dengan demikian, menurut hukum Islam, orang Muslim haruslah
sederhana, baik dalam urusan rumah tangga maupun kehidupan berekonomi.
Wirausahawan Muslim tidak bersifat kikir atau hidup berfoya-foya. Allah berfirman,
“Wahai anak Adam, makan dan minumlah kamu, tapi janganlah berlebihan,
sesungguhnya Allah tidak menyukai hal yang berlebihan (Quran 7: 31).
Tingkat ketiga dan keempat dari onion model merujuk pada jaringan sosial
dan usaha. Menurut Reeg (2013), jaringan sosial dan usaha juga berperan penting
dalam penciptaan dan pertumbuhan usaha. Dalam pandangan Islam, karakteristik
wirausahawan dan usaha merupakan konsep dari transparansi (tabligh) dan
profesional (fathanah). Antonio (2014) menjelaskan arti dari transparansi (tabligh)
yaitu visi yang jelas, memotivasi dan menginspirasi, belajar dengan memberikan
contoh, komunikator yang efektif, serta misi dan tujuan bersama. Abdullah dan
Hoetoro (2011) mengemukakan bahwa visi syariah adalah menyediakan panduan
menyeluruh bagi para wirausahawan untuk mencapai tujuan perusahaan yang
berlandaskan syariah.
Dalam pandangan Islam, agar sukses menjalankan usaha, seorang
wirausahawan harus memiliki pengetahuan modern dan pengetahuan syariah yang
cukup. Wirausahawan Muslim harus memiliki pengetahuan yang luas, profesional,
dan memiliki orientasi belajar (fathanah). Berkaitan dengan pengetahuan, selalu
terdapat ruang untuk pembaharuan; Allah berfirman “Sesungguhnya yang takut
kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah mereka yang memiliki
pengetahuan” (Quran 35:28).
Lapisan luar dari onion model terdiri atas elemen di tingkat lingkungan usaha.
Dalam pandangan Islam, lingkungan usaha harus mewakili kombinasi dari sumber
daya yang berwujud (tangible) atau tidak berwujud (intangible), seperti modal
spiritual, model sosial syariah, ilmu pengetahuan, manajemen know-how,
kemampuan profesional dan keahlian, hubungan pelanggan, bahan baku, teknologi,
dan lain-lain. Elemen-elemen tersebut dapat digunakan untuk menciptakan nilai
kewirausahaan syariah sebagai dasar kenaikan kelas UM.
34
2.6 Studi Terdahulu
Banyak studi yang memfokuskan pada faktor kunci kesuksesan dari UKM.
Beberapa studi itu termasuk di antaranya adalah yang dilakukan oleh Chittithaworn
et al. (2010), Hassanali (2012), Philip (2010), Jasra et al. (2011), serta Elster dan
Phips (2013).
Faktor kunci kesuksesan UKM menurut Chittithaworn et al. (2010) adalah
karakteristik UKM, manajemen know-how, produk dan jasa, pelanggan dan pasar,
cara menjalankan usaha dan kerja sama, sumber daya dan pendanaan, serta
strategi dan lingkungan eksternal. Sementara itu, Hassanali (2012) mengemukakan
bahwa faktor kunci kesuksesan UKM adalah kerangka strategis dalam berbisnis dan
beroperasi, termasuk strategi implementasi dan strategi kepemimpinan.
Philip (2010) menyimpulkan bahwa faktor-faktor berikut adalah karakteristik
dari UKM, yaitu manajemen know-how, produk dan jasa, cara menjalankan usaha
dan kerja sama, sumber daya dan keuangan, serta lingkungan eksternal. Jasra et
al. (2011) mengemukakan bahwa faktor kunci kesuksesan dari UKM adalah sumber
keuangan, strategi pemasaran, teknologi, dukungan pemerintah, akses informasi,
perencanaan usaha, dan keterampilan wirausahawan. Sementara itu, Elster dan
Phipps (2013) menyatakan bahwa faktor pendukung utama (key enabler) dari
kesuksesan UKM adalah (1) kapasitas dan kemampuan, (2) lingkungan eksternal,
dan (3) visi dari pemilik usaha. Namun, hanya sedikit studi yang membahas
upgrading (peningkatan) usaha mikro dan kecil. Beberapa dari studi tersebut
merupakan bagian dari proyek penelitian pada tiga negara, yaitu Mesir, India, dan
Filipina yang dilakukan oleh Department of Competitiveness and Social Development
dari German Development Institute atau Deutsches Institut für Entwicklungspolitik
(DIE).
Reeg (2013) menggunakan onion model untuk mengidentifikasi faktor
kesuksesan dan kendala dari upgrading UMK di India. Untuk melakukan hal itu,
dilakukan studi kualitatif yang menggunakan pendekatan deskriptif dan analisis
individu pada kasus kesuksesan usaha menengah dan besar pada tiga sektor
ekonomi di India, yaitu sektor informasi dan teknologi komunikasi, sektor tekstil
dan garment, serta sektor kulit dan alas kaki. Dengan belajar dari pengalaman
individu, studi ini membandingkan kasus-kasus yang berhasil (upgraders) dengan
UM saat ini (non-upgraders) dalam sektor yang sama. Reeg mengusulkan model
35
untuk upgrading (pengembangan) usaha harus memiliki lima lapisan, yaitu
karakteristik wirausahawan, karakteristik usaha, jaringan sosial, jaringan usaha,
dan lingkungan usaha.
Pada tingkat wirausahawan terdapat empat faktor kunci, yaitu (i) motivasi
untuk berinvestasi pada sumber daya berwujud (tangible) dan tidak berwujud
(intangible); (ii) pendidikan dan pengalaman kerja yang berkualitas (iii) ketersediaan
tabungan pribadi atau aset berwujud; dan (iv) produk dan visi pasar yang jelas. Pada
tingkat usaha, dua faktor utama untuk mencapai kesuksesan adalah (i)
kesejahteraan pegawai, termasuk gaji yang kompetitif dan manfaat nongaji lainnya
dan (ii) studi pasar. Pada tingkat jaringan sosial, dua jenis utama dari instrumen
sosial yang saling berhubungan antara yang satu dan yang lain adalah (i) keluarga,
latar belakang usaha keluarga, kemelekatan sosial (embeddedness social), dan
hubungan usaha strategis, serta (ii) alumni dan jaringan kerja.
Pada tingkat jaringan usaha, dua faktor utama yang sangat berperan
memengaruhi peningkatan usaha secara positif adalah (i) akses untuk
mendiversifikasi pasar ke pasar nasional ataupun internasional secara bersamaan
dan (ii) strategi forward dan backward linkage. Pada tingkat lingkungan usaha,
terdapat tiga faktor utama yang memengaruhi upgrading usaha secara positif, yaitu
(i) adanya peluang pasar; (ii) dukungan insentif pemerintah dan lembaga setempat;
dan (iii) kualitas lokasi dan akses tanah.
Metode serupa untuk mengidentifikasi faktor keberhasilan dan hambatan
dari upgrading UMK juga digunakan oleh Loewe et al. (2013) dengan mengambil
contoh kasus di Mesir. Dengan menggunakan onion model untuk upgrading usaha,
faktor-faktor penentu keberhasilan dapat dikelompokkan ke dalam empat lapisan,
yaitu (i) karakter wirausahawan (jenis kelamin, sumber daya manusia, modal sosial,
latar belakang keluarga, dan karakteristik perilaku/kualitas personal dari pemilik
UKM); (ii) karakter perusahaan (usia perusahaan, ukuran, sektor, lokasi, karakter
tenaga kerja, portofolio produk, strategi, dan status formal dari UKM); (iii) hubungan
antarperusahaan (integrasi UKM ke dalam value chain, klaster fungsional, atau
jaringan usaha, seperti asosiasi usaha); dan (iv) lingkungan usaha (makroekonomi
dan stabilitas politik, regulasi, perpajakan, kebijakan perdagangan, korupsi, akses
pembiayaan, layanan pengembangan usaha, dan infrastruktur usaha).
Berdasarkan studi Loewe et al. (2013) terdapat paling sedikit enam faktor
sebagai determinan utama dari upgrading di Mesir, yaitu (i) modal sumber daya
manusia (kualitas pendidikan, pengalaman kerja, dan eksposur internasional), (ii)
36
motivasi dan kesiapan dalam mengambil risiko, (iii) investasi dalam pengembangan
sumber daya manusia (HRD), (iv) studi pasar, (v) akses pembiayaan, dan (vi)
kekurangan dalam aturan hukum (terutama dalam hubungan pemerintah dan
usaha).
Dengan menggunakan metode onion model yang serupa yang telah
dikembangkan oleh Reeg (2013) dan Loewe et al. (2013), Hampel-Milagrosa (2014)
lebih lanjut menggunakan dan menyesuaikan penelitian mereka untuk membangun
proses upgrading UMK di Filipina. Onion model tersebut terdiri atas empat lapisan.
Lapisan pertama memfokuskan wirausahawan (pendidikan, pelatihan, motivasi, dan
lain-lain) sebagai kekuatan tunggal untuk mendorong terciptanya upgrading usaha.
Elemen wirausahawan ini merupakan inti dari onion model. Lapisan kedua
menekankan karakteristik usaha dan pegawai (umur perusahaan, lokasi, dan sektor
ekonomi) sebagai motivator dalam proses upgrading. Lapisan ketiga memperlihatkan
interaksi antara wirausahawan dan perusahaaan dalam jaringan personal dan
profesional sebagai pemicu tumbuhnya usaha. Lapisan keempat atau juga lapisan
paling luar adalah kualitas lingkungan usaha dan bagaimana perbaikan dalam
lapisan ini akan membawa pengaruh pada upgrading perusahaan.
Berdasarkan studi Hampel-Milagrosa (2014), kombinasi strategis dari
wirausahawan antarsektor secara langsung berhubungan dengan dinamika sektoral
dan lingkungan kelembagaan secara umum. Dalam sektor pengolahan pangan,
upgraders (wirausahawan yang naik kelas) akan memanfatkan jaringan personal
atau profesional mereka untuk menjadikan perusahaan berkembang. Pada sektor
lainnya, keluarga (langsung/tidak langsung) dan koneksi bisnis sering dikaitkan
untuk segala jenis dukungan (pembiayaan dan modal fisik, saran bisnis, tenaga
kerja tanpa upah, dan pencicip rasa (taster)).
Pada sektor bisnis alas kaki dan kulit, perusahaan harus memfokuskan pada
litbang, HRD, diversifikasi produk, dan pemasaran untuk meng-upgrade usaha
mereka. Pendekatan itu sejalan dengan karakteristik perusahaan tradisional dalam
meng-upgrade perusahaan dengan meningkatkan jumlah pegawai dan proses
produksi. Sebaliknya, wirausahawan sektor tekstil dan pakaian jadi perlu
meningkatkan pengetahuan dan keterampilan mereka dalam membuat desain
(fashion dan aksesoris rumah tangga).
2.7 Kerangka Konseptual
37
Tujuan dari studi ini adalah untuk menganalisis determinan UM untuk
secara perlahan meningkat sehingga mampu naik kelas menjadi usaha kecil. Studi
ini mencakup dua kelompok usaha UMK, yang merupakan pelanggan dari lembaga
keuangan syariah dan konvensional. Lebih lanjut, studi ini mendisain model
kenaikan kelas UM yang sesuai agar dapat berkembang dari UM tingkat rendah
menjadi UM tingkat tinggi dan pada akhirnya naik kelas menjadi UK. Structural
equation modelling (SEM) digunakan untuk menganalisis determinan kenaikan kelas
UM yang dibiayai oleh lembaga keuangan syariah dan konvensional. Di samping itu,
strategic assumption surfacing and testing (SAST) digunakan untuk membantu
dalam merancang model kenaikan kelas UM syariah.
Berdasarkan ulasan literatur pada Appendix 1, kerangka pikir pada studi ini
dapat dilihat pada Gambar 15. Terdapat dua variabel laten eksogen, yaitu (1)
lingkungan eksternal (external) dan (2) dukungan (support), serta terdapat empat
variabel endogen, yaitu (i) pemilik usaha (owner); (ii) karakteristik usaha (business);
(iii) manajemen know-how (management); dan (iv) sumber pendanaan (resource).
Lebih lanjut kenaikan kelas UM dapat ditunjukkan oleh peningkatan penjualan,
peningkatan kekayaan modal, peningkatan jumlah pegawai, ekspansi pasar,
peningkatan keuntungan, dan peningkatan batasan pembiayaan.
Gambar 15. Kerangka Pikir Determinan Kenaikan Kelas Usaha Mikro
EXTERNAL-Env SUPPORT OWNER-Bus BUSINESS-Char MGT-KnowHow RESOURCES-FinRegulation-Policy
InfrastructureMacroeconomicMuslim-Majority
CorruptionCrime
Bureaucracy
Central Government
Local Government
Social Fund
Technical Support
Managerial Support
Spiritual Uplift
Family Support
Halal EarningProductServiceMarket
CustomerCost of Business
Competition
Transparency
Professional
Std. Op. Procedure
Std. Op. Mgt
Information Tech.
Innovation
Networking
Determinan of ME Graduation
Tax/Retribution
Fear of Allah
Trustworthy
Truthful
Visionary
Entrepreneurship
Leadership
Business Experience Location
Spiritual Capital
Skilled H-Resorce
Owned Capital
Access to Finance
Tech. Resource
Raw Material
Social Capital
ME GraduationSales Increase
W-Cap IncreaseEmployee Increase
Market ExpansionProfit Increase
Fin. Limit Increase
POLICY RECOMMENDATION
38
III. METODE PENELITIAN
3.1 Data
Studi ini menggunakan metode kualitatif, yaitu structural equation modeling
(SEM) dan strategic assumption surfacing and testing (SAST) yang memerlukan data
kualitatif. Metode SEM digunakan untuk menganalisis determinan UM untuk
meningkat secara bertahap agar naik kelas menjadi UK. Lebih jauh, metode SAST
digunakan untuk membantu perancangan model kenaikan kelas UM berdasarkan
prinsip syariah. Data primer yang dibutuhkan dalam studi ini diperoleh dari survei
lapangan, yaitu sebanyak 120 sampel dipilih dari nasabah lembaga keuangan
syariah dan konvesional yang terdiri atas penerima pinjaman dari lembaga
keuangan konvensional, penerima pembiayaan dari lembaga keuangan syariah,
serta mereka yang tidak menerima pinjaman atau pembiayaan apa pun.
39
3.2 Structural Equation Modeling (SEM)
Structural equation modeling (SEM) pertama kali dikembangkan oleh Karl
Jöreskog (1973) yang dikombinasikan dengan model yang dikembangkan oleh
Keesling (1973) dan Wiley (1973) yang kemudian disebut dengan model JKW atau
dikenal juga dengan model linear structural relationship (LISREL).
SEM dikembangkan dari persamaan simultan dalam ekonometrika (yang
menggunakan variabel pengukuran (observed variable)) dengan menggunakan
variabel-variabel yang tidak secara langsung diukur (juga dikenal dengan variabel
laten). Software komputer yang mendukung model ini dikembangkan oleh Jöreskog
dan Sörbom yang kemudian disebut dengan program LISREL (program yang
interaktif dan user friendly).
SEM terdiri atas dua komponen utama, yaitu (1) model struktural (structural
model) yang menjelaskan hubungan struktural antara variabel-variabel laten atau
variabel-variabel yang tidak dapat diukur (unobserved) atau konstruksi atau faktor-
faktor (berdasarkan teori) yang diukur atau diestimasi secara tidak langsung dengan
indikator masing-masing dan (2) model pengukuran (measurement model) yang
menggambarkan variabel indikator atau variabel pengukur yang mencerminkan
(reflecting) atau mengukur atau mengestimasi masing-masing variabel laten
menggunakan konsep confirmatory factor analysis (CFA) atau exploratory factor
analysis (EFA). Dengan catatan, variabel indikator tidak dapat digabungkan secara
arbritari untuk membentuk variabel laten. Variabel tersebut terpilih berdasarkan
teori yang melandasinya.
3.2.1 Model Struktural (Structural Model)
Model struktural menunjukkan potensi hubungan sebab-akibat secara
langsung antara variabel eksogen laten (lazim dilambangkan dengan ξ ‘ksi’) dan
variabel laten endogen (lazim dilambangkan dengan η ‘eta’) atau antara dua variabel
laten endogen yang digunakan untuk memahami fenomena sesungguhnya (riil).
Variabel eksogen merupakan variabel independen tanpa adanya variabel sebab-
akibat (causal) sebelumnya. Variabel endogen adalah variabel perantara atau
variabel dependen murni. Hubungan sebab-akibat antara variabel eksogen dan
variabel endogen biasanya digambarkan dengan garis lurus dengan satu anak
40
panah yang dilambangkan dengan γ ‘gamma’, sedangkan hubungan sebab-akibat
antara dua variabel endogen biasanya dilambangkan dengan β ‘beta’.
Gambar 16. Model Struktural SEM
Lebih lanjut, korelasi antara dua variabel eksogen digambarkan dengan garis
lengkung dengan dua anak panah yang dilambangkan dengan φ ‘phi’, sedangkan
kesalahan (error) dalam persamaan struktural variabel endogen biasanya
dilambangkan dengan ζ ‘zeta’ yang menunjukkan bagian yang tidak dapat
dijelaskan. Contoh dari model struktural dapat dilihat pada Gambar 16. Persamaan
struktural dari model SEM struktural di atas dapat ditulis sebagai berikut.
η1 = γ11 ξ1 + ζ1 (1)
η2 = γ22 ξ2 + ζ2 (2)
η3 = γ31 ξ1 + γ32 ξ2 + ζ3 (3)
η4 = γ41 ξ1 + γ42 ξ2 + ζ4 (4)
η5 = β51 η1 + β52 η2 + β53 η3 + β54 η4 + ζ5 (5)
3.2.2 Model Pengukuran (Measurement Model)
Model pengukuran menunjukkan hubungan antara variabel laten dan
indikatornya atau variabel pengamatan/pengukuran yang digunakan untuk
mengestimasi atau memprediksi nilai variabel laten melalui beberapa variabel
pengukuran. Variabel pengukuran dari variabel laten eksogen biasanya
dilambangkan dengan Xn dengan ketergantungan sebab-akibat (causal dependency)
dilambangkan oleh λXn ‘lamda’ dan error pengukuran (measurement error)
Ksi-One (ξ1)
Ksi-Two (ξ2)
Eta-One (η1)
Eta-Two (η2)
Eta-Three (η3)
Eta-Four (η4)
Eta-Five (η5)
ζ1
ζ2
ζ3
ζ4
ζ5
γ11
γ22
γ31
γ42
γ32
γ41
β51
β52
β53
β54
φ21 (σξ1ξ2)
41
dilambangkan dengan δn ‘delta’. Sementara itu, variabel pengukuran dari variabel
laten eksogen biasanya dilambangkan dengan Yn, dengan ketergantungan sebab-
akibat dilambangkan dengan λYn ‘lambda’ dan error pengukuran dilambangkan
dengan Ɛn ‘epsilon’. Contoh model pengukuran dari variabel laten sebelumnya dapat
dilihat pada Gambar 17.
Gambar 17. Model pengukuran SEM
Persamaan pengukuran dari model pengukuran SEM di atas dapat dituliskan
sebagai berikut.
Eksogen laten ξ1:
X1 = λx11 ξ1 + δ1; X2 = λx21 ξ1 + δ2; X3 = λx31 ξ1 + δ3; (6–8)
X4 = λx41 ξ1 + δ4; X5 = λx51 ξ1 + δ5; X6 = λx61 ξ1 + δ6; (9–11)
X7 = λx71 ξ1 + δ7; X8 = λx81 ξ1 + δ8; (12–13)
Eksogen laten ξ2:
X9 = λx92 ξ2 + δ9; X10 = λx102 ξ2 + δ10; X11 = λx112 ξ2 + δ11; (14–16)
X12 = λx122 ξ2 + δ12; X13 = λx132 ξ2 + δ13; X14 = λx142 ξ2 + δ14; (17–19)
X15 = λx152 ξ2 + δ15; (20)
Endogen laten η1:
Y1 = λY11 η1 + ε1; Y2 = λY21 η1 + ε2; Y3 = λY31 η1 + ε3; (21–23)
Y1
Ksi-One (ξ1)
Ksi-Two(ξ2)
Eta-One (η1)
Eta-Two (η2)
Eta-Three (η3)
Eta-Four (η4)
Eta-Five (η5)
Y2 Y3 Y4 Y5 Y6 Y7
Y8 Y9 Y10 Y11 Y12 Y13 Y14
Y16 Y17 Y18 Y19 Y20 Y23 Y22
Y23 Y24 Y25 Y26 Y27 Y28 Y29
X4
X5
X6
X11
X12
X13
Y31
Y32
Y33
Y34
Y35
Y30
Y15X14 X15
X3 X2
X10
X7
Ɛ8 Ɛ9 Ɛ10 Ɛ11 Ɛ12 Ɛ13 Ɛ14 Ɛ15 Ɛ23 Ɛ24 Ɛ25 Ɛ26 Ɛ27 Ɛ28 Ɛ29
Ɛ1 Ɛ2 Ɛ3 Ɛ4 Ɛ5 Ɛ6 Ɛ7 Ɛ16 Ɛ17 Ɛ18 Ɛ19 Ɛ20 Ɛ21 Ɛ22
Ɛ31
Ɛ32
Ɛ30
Ɛ34
Ɛ35
Ɛ33
δ5
δ6
δ4
δ3 δ2
δ7
δ14 δ15
δ11
δ12
δ10
δ13
X9δ9
X8
δ8
λX152
λX92
λX81
λX11 λY11 λY71
λY82 λY152
λY163 λY223
λY234 λY294λY355
λY305
X1
δ1
42
Y4 = λY41 η1 + ε4; Y5 = λY51 η1 + ε5; Y6 = λY61 η1 + ε6; (24–26)
Y7 = λY71 η1 + ε7; (27)
Endogen laten η2:
Y8 = λY82 η2 + ε8; Y9 = λY92 η2 + ε9; Y10 = λY102 η2 + ε10; (28–30)
Y11 = λY112 η2 + ε11; Y12 = λY122 η2 + ε12; Y13 = λY132 η2 + ε13; (31–33)
Y14 = λY142 η2 + ε14; Y15 = λY152 η2 + ε15; (34–35)
Endogen laten η3:
Y16 = λY163 η3 + ε16; Y17 = λY173 η3 + ε17; Y18 = λY183 η3 + ε18; (36–38)
Y19 = λY193 η3 + ε19; Y20 = λY203 η3 + ε20; Y21 = λY213 η3 + ε21; (39–41)
Y22 = λY223 η3 + ε22; (42)
Endogen laten η4:
Y23 = λY234 η4 + ε23; Y24 = λY244 η4 + ε24; Y25 = λY254 η4 + ε25; (43–45)
Y26 = λY264 η4 + ε26; Y27 = λY274 η4 + ε27; Y28 = λY284 η4 + ε28; (46–48)
Y29 = λY294 η4 + ε29; (49)
Endogen laten η5:
Y30 = λY305 η5 + ε30; Y31 = λY315 η4 + ε31; Y32 = λY325 η5 + ε32; (50–52)
Y33 = λY335 η5 + ε33; Y34 = λY345 η5 + ε34; Y35 = λY355 η5 + ε35; (53–55)
3.2.3 Model SEM yang Digunakan dalam Studi
Model SEM dalam studi ini terdiri atas dua variabel eksogen laten, yaitu
lingkungan eksternal (external environment) (ξ1) dan dukungan (support) (ξ2), serta
lima variabel endogen laten, yaitu pemilik usaha (business owner) (η1), karakteristik
bisnis (business characteristic) (η2), management know-how (η3), sumber daya
finansial (η4), dan kenaikan kelas UM (η5). Persamaan struktral yang digunakan
adalah persamaan 1–5.
Sementara itu, indikator terperinci dari tiap-tiap variabel laten (Xn adalah
indikator variabel eksogen ξ dan Yn adalah indikator variabel endogen η) dapat dilihat
pada Tabel 13. Persamaan pengukuran yang digunakan adalah persamaan 6–55.
43
Tabel 13. Indikator Variabel-Variabel Laten
EXTERNAL-Env (X1) OWNER-Bus (Y1) MGT-KnowHow (Y3)
X1: Regulation-Policy
X2: Infrastructure
X3: Macroeconomic
X4: Muslim-Majority
X5: Corruption
X6: Crime
X7: Bureaucracy
X8: Tax/Retribution
Y1: Fear of Allah
Y2: Trustworthy (Amanah)
Y3: Truthful (Shiddiq)
Y4: Visionary
Y5: Entrepreneurship
Y6: Leadership
Y7: Business Experience
Y16: Transparency (Tabligh)
Y17: Professional (Fathonah)
Y18: Std. Op. Procedure
Y19: Std. Op. Mgt.
Y20: Information Tech.
Y21: Innovation
Y22: Networking
SUPPORT (X2) BUSINESS-Char (Y2) RESOURCES-Fin (Y4)
X9: Central Government
X10: Local Government
X11: Social Fund
X12: Technical Support
X13: Managerial Support
X14: Spiritual Uplift
X15: Family Support
Y8: Halal Earnings
Y9: Product
Y10: Service
Y11: Market
Y12: Customer
Y13: Cost of Business
Y14: Competition
Y15: Location
Y23: Spiritual Capital
Y24: Skilled H-Resource
Y25: Owned Capital
Y26: Access to Finance
Y27: Tech. Resource
Y28: Raw Material
Y29: Social Capital
GRADUATION (Y5)
Y30: Sales Increase
Y31: W-Cap Increase
Y32: Employee Increase
Y33: Market Expansion
Y34: Profit Increase
Y35: Fin. Limit Increase
Model SEM lengkap dalam studi ini dapat diilustrasikan pada Gambar 18.
Determinan UM yang digunakan untuk meningkat secara perlahan sehingga dapat
naik kelas menjadi UK adalah lingkungan eksternal (external environment),
dukungan (support), pemilik usaha (owner business), karakteristik bisnis (business
characteristics), management know-how, dan sumber daya finansial (resource-fin).
44
Gambar 18. SEM Model of Graduation Model
3.2.4 Prosedur SEM
Prosedur SEM terdiri atas beberapa tahap, yaitu (1) spesifikasi model; (2)
identifikasi model; (3) confirmatory factor analysis (CFA) untuk model pengukuran
(termasuk programming, pengestimasian, pengujian dan modifikasi, serta spesifikasi
ulang apabila dibutuhkan); (4) path analysis untuk model struktural (termasuk
programming, pengestimasian, percobaan dan modifikasi, serta spesifikasi ulang
apabila dibutuhkan), dan (5) interpretasi dan pembacaan hasil. Ringkasan dari
prosedur SEM dapat dilihat pada Gambar 19.
Y1
EXTERNAL(ξ1)
SUPPORT(ξ2)
OWNER (η1)
BUSINESS(η2)
MANAGEMENT (η3)
RESOURCES(η4)
GRADUATE (η5)
Y2 Y3 Y4 Y5 Y6 Y7
Y8 Y9 Y10 Y11 Y12 Y13 Y14
Y16 Y17 Y18 Y19 Y20 Y23 Y22
Y23 Y24 Y25 Y26 Y27 Y28 Y29
X4
X5
X6
X11
X12
X13
Y31
Y32
Y33
Y34
Y35
Y30
Y15X14 X15
X3 X2
X10
X7
Ɛ8 Ɛ9 Ɛ10 Ɛ11 Ɛ12 Ɛ13 Ɛ14 Ɛ15 Ɛ23 Ɛ24 Ɛ25 Ɛ26 Ɛ27 Ɛ28 Ɛ29
Ɛ1 Ɛ2 Ɛ3 Ɛ4 Ɛ5 Ɛ6 Ɛ7 Ɛ16 Ɛ17 Ɛ18 Ɛ19 Ɛ20 Ɛ21 Ɛ22
Ɛ31
Ɛ32
Ɛ30
Ɛ34
Ɛ35
Ɛ33
δ5
δ6
δ4
δ3 δ2
δ7
δ14 δ15
δ11
δ12
δ10
δ13
X9δ9
X8
δ8
λX152
λX92
λX81
λX11 λY11 λY71
λY82 λY152
λY163 λY223
λY234 λY294λY355
λY305ζ1
ζ2
ζ3
ζ4
ζ5
γ11
γ22
γ31
γ42
γ32
γ41
β51
β52
β53
β54
φ21 (σξ1ξ2)
X1
δ1
45
Note: LF: Loading Factor; SLF: Standardized Loading Factor; MV: Measured Variables; LV:
Latent Variables; RMSEA: Root Mean Square Error of Approximation; CR: Construct Reliability, CR = (∑SLF)2/((∑SLF)2+∑ej); VE: Variance Extracted, VE =
∑SLF2/(∑SLF2+∑ej); CFA: Confirmatory Factor Analysis; ej; measurement error for each
indicator or measured variable, ej<0,75; ML: Maximum Likelihood; GLS: Generalized Least Square; WLS: Weighted Least Square; MI: Modification Index; No. of Data =
(p+q)*(p+q+1)/2, p = no. of measured variables from all endogenous variables; q = no. of measured variables from all exogenous variables. No. of Parameter = β + γ + λx + λy + θδ
+ θε + ζ + Φ.
Gambar 19. Prosedur SEM
a. Spesifikasi Model
Langkah pertama dalam melakukan analisis SEM adalah menentukan model
pengukuran, model struktural, dan diagram alur. Spesifikasi model pengukuran
memberikan definisi variabel laten ‘LV’ (eksogen dan endogen) dan variabel
pengukuran (measured variable) ‘MV’, serta hubungan antara tiap-tiap LV dan MV
masing-masing. Spesifikasi model struktural mendefinisikan hubungan sebab-
akibat di antara variabel-variabel laten. Terakhir, hybrid (complete) path diagram
digambarkan berdasarkan model pengukuran dan model struktural yang
ditentukan sebelumnya.
b. Identifikasi Model
Tahap kedua adalah mengamati pengidentifikasian dari model struktural,
apakah model tersebut over-identified atau just-identified (yaitu yang diharapkan),
MODEL SPECIFICATION
Measurement; Structural; Path Diagram
MODEL IDENTIFICATION
EXPECTED MODEL Over/Just Identified
LF one of MV=1; or Var. of Exogenous LV=1
Data ≥ Parameter Data < Parameter
LISREL PROGRAM for CFA Measurement Model
ESTIMATION -Normal: ML; Abnormal: Ro-bust ML or GLS; WLS or ADF
TEST: G. of Fit (P>0.05, RMSEA≤0.08); Validity (t≥1.96);
Reliability (CR≥0.7; VE≥0.5)
LISREL PROGRAM for PA Structural Model
ESTIMATION -Normal: ML; Abnormal: Ro-bust ML or GLS; WLS or ADF
TEST -G. of Fit (P>0.05, RMSEA≤0.08); Structural (t≥1.96)
OK
MODIFY LISREL PROGRAM -Use Mod. Indices; Delete MV
Not OK MODIFY LISREL PROGRAM
-Use Mod. Indices; Trial & Error
Not OK RESULTS
OK
Re-specification Re-specification
46
atau under-identified (yaitu yang tidak diharapkan dan harus disesuaikan). Rumus
untuk mengidentifikasi adalah sebagai berikut: t<s/2; t adalah angka dari
parameter yang harus diestimasi. Kemudian, s adalah jumlah data yang diketahui
atau nilai varian dan co-varian dari data yang observasi, yaitu sama dengan
(p+q)*(p+q+1), p adalah jumlah indikator dari variabel endogen, dan q adalah jumlah
indikator dari variabel eksogen. Diharapkan agar data ≥ parameter, artinya model
over-identified (data>parameter) atau just-identified (data=parameter). Ketika model
under-identified (data<parameter), hal ini dapat diatasi dengan membatasi model
dengan cara:
memasukkan loading factor LF=1 untuk salah satu variabel pengukuran MV;
atau memasukkan seluruh varian dari variabel laten eksogen Φ = 1.
Dalam model ini jumlah total dari parameter t adalah 111 (β = 4; γ = 6; λx =
15; λy = 35; θδ = 15; θε = 35; ζ = 5; Φ = 1), sedangkan jumlah keseluruhan data s
adalah 1056 (p = 35; q = 15 sehingga (p+q)*(p+q+1) = 2.550). Dengan demikian, t<s/2
atau data>parameter, yang berarti model over-identified.
c. Estimasi Model
Tahap ketiga adalah mengestimasi model (model pengukuran terlebih dahulu,
selanjutnya model struktural) dalam LISREL dengan menggunakan metode estimasi
yang sesuai dengan karakteristik data.
- Maximum likehood ‘ML’ digunakan apabila data bersifat normal (p-value zkurtosis
dan zskewness>0,05) dengan ukuran sampel antara 100–200 dan ini akan
menghasilkan estimasi parameter terbaik;
- Robust ML atau generalized least square ‘GLS’ digunakan apabila data bersifat
abnormal dengan ukuran sampel antara 200–300; atau
- Weighted least square ‘WLS’ digunakan ketika model hanya memiliki 10–15
variabel jika data bersifat abnormal dengan ukuran sampel antara 2000–3000.
Dalam model ini metode estimasi yang digunakan adalah maximum likehood
‘Ml’ karena data sebanyak 120 sampel telah memenuhi multivariate normality, yaitu
data terdistribusi secara normal dan sebagian besar indikator (9 dari 50) memiliki
p-value zkurtosis dan zskewness>0,05.
47
d. Pengujian Model
Tahap keempat adalah pengujian kecocokan model (pengujian model
pengukuran terlebih dahulu sebelum pengujian model struktural) yang mengacu
pada Hair et al. (1998). Pengujian model terdiri atas tiga pengujian, yaitu sebagai
berikut.
1) Kecocokan model secara keseluruhan (baik untuk model pengukuran maupun
model struktural) menggunakan goodness of fit (GoF) untuk menentukan derajat
kecocokan antara data dan model, yang termasuk antara lain, χ2/df ≤ 3,0, P >
0,050 dan RSMEA (root mean square error of approximation) ≤ 0,08. Model tersebut
memiliki kecocokan sempurna (perfect fit) apabila χ2/df = ∞ (0,0/0), p = 1,0 dan
RMSEA = 0,0. Model itu mendekati kecocokan (close fit) apabila χ2/df ≤ 3,0, P >
0,050 dan RMSEA ≤ 0,05. Model tersebut memiliki kecocokan yang baik (good fit)
apabila χ2/df ≤ 3,0, P > 0,050 dan 0,05 < RMSEA ≤ 0,08.
2) Pengukuran kecocokan model menggunakan test validity dan reliability untuk
mengevalusai kecocokan model pengukuran. Model itu dianggap valid apabila t ≥
1,96 dan dapat dipercaya apabila construct reliability ‘CR’ = (∑SLF)2/((∑SLF)2+∑ej)
≥ 0,7 dan variance extracted ‘VE’ = ∑SLF2/(∑SLF2+∑ej) ≥ 0,5. Selanjutnya, setiap
indikator dianggap sangat signifikan apabila nilai dari standardized loading factor
≥ 0,5.
3) Kecocokan model struktural menggunakan signifikansi t-test untuk mengevalusai
setiap hubungan sebab-akibat dan koefisien determinasi ‘R2’ secara keseluruhan.
Hubungan sebab-akibat antarvariabel laten dianggap signifikan apabila t ≥ 1,96.
e. Modifikasi Model
Dalam hal hasil tes (model pengukuran atau struktural) kurang memuaskan,
program LISREL harus dimodifikasi lebih lanjut. Dalam kasus model pengukuran,
modifikasi dapat dilakukan dengan menggunakan indeks modifikasi dan/atau
dengan menghilangkan variabel (indikator) pengukuran yang tidak layak. Dalam
kasus model struktural, modifikasi dapat dilakukan dengan menggunakan indeks
modifikasi dan/atau dengan coba-coba (trial-and-error).
3.3 Strategic Assumption Surfacing and Testing (SAST)
48
Metode strategic assumption surfacing and testing (SAST) pada awalnya
dikembangkan oleh Mitroff dan Emshoff (1979) dan Mason dan Mitroff (1981)
sebagai kelanjutan inquiring systems design dari Churchman (1971). Mitroff dan
Emshoff (1979) mendefinisikan SAST sebagai metodologi pembentukan problem
adversari (adversarial problem forming methodology) yang sesuai dalam menghadapi
masalah yang tidak terstruktur (ill-structured problems). Istilah ill-structured problem
merupakan perpaduan kompleks dari masalah-masalah penting yang sangat
interdependen satu sama lain serta yang melibatkan lebih dari satu orang dalam
perumusan kebijakan, solusi, implementasi, dan evaluasi. Easton (1988)
mengemukakan SAST sebagai penggunaan asumsi dalam pembuatan kebijakan
atau perencanaan untuk membantu pembuat kebijakan memiliki peta keputusan
yang lebih baik. Dengan demikian, SAST dipandang sangat membantu dalam
menguak asumsi-asumsi kritis dari penyusunan kebijakan, perencanaan, dan
strategi-strategi.
Secara terperinci terdapat empat prinsip metode SAST, yaitu (i) adversarial–
alat untuk menguji asumsi melalui penggunaan asumsi kebalikan; (ii) participative–
alat untuk mendistribusikan pengetahuan dan sumber daya pada sekelompok
individu; (iii) integrative–alat untuk membuat satu set asumsi dan rencana aksi yang
terintegrasi dari elemen-elemen adversari dan partisipatif; dan (iv) managerial mind
supporting–alat untuk memperdalam pandangan (insight) manajer berdasarkan
eksposur asumsi.
Untuk memulai proses SAST, organisasi sangat penting mempersiapkan isu
atau kebijakan serta mempersiapkan kelompok pengambil keputusan. Dengan
mengadopsi beberapa literatur, prosedur SAST dapat disederhanakan menjadi
empat tahap (Mitroff dan Emshoff, 1979; Easton, 1988; Córdoba-Pachón, 2010).
Pertama, strategi pembentukan kelompok diterapkan untuk memisahkan kelompok
besar menjadi kelompok-kelompok homogen yang berlawanan. Pembentukan
kelompok-kelompok kecil homogen dipilih karena cenderung memiliki kinerja yang
lebih baik dalam hal penyelesaian masalah jika dibandingkan dengan kelompok-
kelompok besar (Easton, 1988).
49
Gambar 20. Prosedur SAST
Kedua, tahap pemunculan asumsi melibatkan dua langkah yang berbeda.
Langkah pertama adalah mengidentifikasi pihak yang berkepentingan dengan
kebijakan tersebut (stakeholders). Setelah stakeholders teridentifikasi, langkah
kedua adalah membuat asumsi kebijakan (policy assumption) yang dilakukan oleh
tiap-tiap kelompok. Córdoba-Pachón (2010) mengartikan asumsi tersebut sebagai
penegasan bagi organisasi dan stakeholders berperilaku dalam situasi sekarang dan
akan datang.
Ketiga, tahap perdebatan dialektikal menghasilkan evaluasi terhadap asumsi-
asumsi dari tiap-tiap kelompok. Tujuan dari perdebatan dialektikal adalah untuk
menunjukkan alasan mengapa setiap kelompok melihat suatu situasi seperti apa
adanya dan bagaimana sudut pandangnya. Perdebatan dialektikal dilakukan oleh
kedua kelompok yang saling berlawanan. Selanjutnya, mereka harus
mempertimbangkan penyesuaian terhadap asumsi-asumsi tersebut. Proses
memodifikasi asumsi ini harus dilanjutkan selama terjadi perkembangan. (Mitroff
dan Emshoff, 1979; Córdoba-Pachón, 2010).
Setelah modifikasi asumsi kebijakan, setiap kelompok harus memiliki
penilaian (justifikasi) terhadap peringkat asumsi-asumsi tersebut. Langkah
pemeringkatan asumsi harus diuji untuk mendapatkan tingkat kepentingan dan
kepastian pada setiap asumsi. Kepentingan diartikan sebagai signifikansi asumsi
atas suatu hasil dari kebijakan yang terpilih, sedangkan kepastian berarti asumsi
tersebut harus sangat jelas terbukti dengan sendirinya (self-evident) dan sangat
mungkin untuk menjadi kenyataan (Easton, 1988).
Literature Review Indepth Interview
Identification of the Stakeholders of the policy
Policy Assumptions Surfacing (within groups)
Policy Assumptions Modification (between groups)
Opposing Homogenous Groups Formation
Information Requirements Analysis of Region II
Presumptions of the Policy
PHASE IGroup Formation
PHASE IIAssumption Surfacing
PHASE IIIDialectical Debate
& Rating
PHASE IVFinal Synthesis
Important – Certain SurveyRes
earc
her
Res
po
nd
ents
Fundamental Premises of the Policy
50
Skala penilaian yang berbeda-berbeda telah digunakan, termasuk
perbandingan berpasangan (pairwise) antara asumsi-asumsi dan skala ordinal
sederhana. Sebagaimana ditunjukkan Gambar 21, empat kelompok asumsi adalah
kuadran (i) pasti dan penting; (ii) penting dan tidak pasti; (iii) tidak pasti dan tidak
penting; dan (iv) pasti dan tidak penting. Asumsi-asumsi yang berada pada kuadran
I (wilayah perencanaan yang pasti) adalah penting sehingga mereka mewakili secara
langsung pemikiran mendasar suatu kebijakan. Sebaliknya, asumsi-asumsi yang
berada pada sisi paling kiri memiliki sedikit signifikasi pada perencanaan atau
penyelesaian masalah yang efektif.
Certain
Uncertain
Unimportant Important
Certain Planning Region
ProblematicPlanning Region
I
IIIII
IV
Sumber: Mitrofff and Emshoff (1979), dimodifikasi oleh peneliti
Gambar 21. Asumsi Peringkat dengan Metode SAST
Terakhir, sintesis akhir melibatkan sekumpulan asumsi umum untuk semua
kelompok dan juga asumsi yang dirumuskan ulang. Asumsi-asumsi tersebut yang
berada dalam kuadran II (wilayah perencanaan masalah) merupakan yang paling
kritikal karena memerlukan analisis lebih lanjut (contoh: penggunaan analisis
kebutuhan informasi). Asumsi akhir dari keseluruhan proses adalah dugaan
(presumptions) kebijakan.
51
IV. HASIL DAN ANALISIS
4.1 Profil Responden
Terdapat tiga kelompok profil responden jika dilihat dari (i) kinerja UMK yang
naik kelas: UM yang tetap mikro (81 responden), UM yang telah naik kelas menjadi
UK (16 responden), dan UK yang tetap kecil (23 responden); (ii) sumber pembiayaan
UMK: UMK yang telah memperoleh pembiayaan dari bank konvensional (54
responden), UMK yang telah memperoleh pembiayaan dari bank syariah (24
responden), dan UMK yang tidak mendapatkan pembiayaan dari bank (42
responden), serta (iii) kinerja penjualan UMK: UMK yang penjualan sebelumnya
meningkat (72 responden), UMK yang penjualan sebelumnya stagnan (25
responden), dan UMK yang penjualan sebelumnya menurun (23 responden).
Tabel 14. Pengelompokkan Profil Responden
Sesuai dengan ringkasan association (chi-square) test, Tabel 15 menunjukkan
bahwa UMK merupakan perusahaan yang usahanya sangat beragam, yang hampir
tidak memiliki hubungan signifikan yang menunjukkan pola usahanya.
Tabel 15. Ringkasan Association (Chi-Square) Test terhadap Profil Responden
FINANCING ME ME to SE SE TOTAL
Conventional 36 7 11 54
Shariah 18 3 3 24
No Financing 27 6 9 42
TOTAL 81 16 23 120
Decrease Stagnant Increase TOTAL
ME 16 19 46 81
ME to SE 2 2 12 16
SE 5 4 14 23
TOTAL 23 25 72 120
Source of Financing 0.053 0.905 0.368 0.201 0.832 0.386 0.746 0.760
Grad. Performance 0.663 0.741 0.284 0.363 0.513 0.093 0.329 0.059
Sales Performance 0.975 0.782 0.142 0.476 0.419 0.068 0.299 0.094
Business
Permits
Owner's
Gender
Owner's
Education
Business
Sector
Length of
BusinessInitiative Motivation
No. of
Employee
Source of Financing 0.761 0.661 0.081 0.570 0.680 - 0.906 0.482
Grad. Performance 0.478 0.209 0.509 0.408 0.043 0.906 - 0.710
Sales Performance 0.307 0.154 0.718 0.209 0.840 0.482 0.710 -
Skills of
Employee
Place of
Business
Source of
Capital
Target
Customer
Marketing
Strategy
Source of
Financing
Graduation
Performance
Sales
Performance
52
Kinerja UMK, baik telah naik kelas maupun kinerja penjualan, sebagian besar
tidak memiliki hubungan dengan karakteristiknya atau sumber pembiayaannya.
Hanya strategi pemasaran yang memiliki hubungan signifikan dengan kinerja naik
kelas UMK (0,043<0,05). Lebih lanjut, beberapa karakteristik UMK memiliki asosiasi
hampir signifikan, seperti (1) jenis kelamin dan sumber modal dengan sumber
pembiayaan; (2) jumlah tenaga kerja dan inisiatif memulai usaha dengan kinerja
naik kelas; dan (3) inisiatif memulai usaha dan jumlah tenaga kerja dengan kinerja
penjualan.
Gambar 22 (sisi kiri) menunjukkan bahwa pemilik UMK dibagi menjadi dua
antara responden laki-laki (53%) dan perempuan (47%). Namun, UM yang naik kelas
menjadi UK hampir seluruhnya adalah laki-laki (63%). Selain itu, hasil chi-square
(0,663>0,05) menunjukkan bahwa sesungguhnya tidak ada hubungan antara jenis
kelamin dari pemilik usaha dan kinerja UMK naik kelas.
Gambar 22. Jenis Kelamin Pemilik
Dari sudut pandang sumber pembiayaan UMK, Gambar 22 (sisi kanan)
menunjukkan bahwa pemilik usaha laki-laki cenderung lebih menyukai pinjaman
konvensional (63%), sedangkan pemilik usaha perempuan cenderung menyukai
pembiayaan syariah (67%). Di samping itu, hasil chi-square (0,053>0,05)
menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan antara sumber pembiayaan dan
jenis kelamin pemilik usaha. Namun, terdapat kecenderungan yang besar bahwa
pemilik perempuan terkait dengan pembiayaan syariah, sedangkan pemilik laki-laki
terkait dengan pinjaman konvensional.
53
Gambar 23. Pendidikan Pemilik Usaha
Berdasarkan pendidikan pemilik usaha, Gambar 23 menunjukkan bahwa
sebagian besar pemilik UMK adalah lulusan SMP (39%) dan SMA (22%), khususnya
pemilik UM sebesar 42% lulusan SMP dan 25% lulusan SMA. Sementara itu,
sebagian besar pemilik UM yang naik kelas adalah lulusan SMP (31%) dan S1 (31%).
Lebih lanjut hasil chi-square (0,741>0,05) menunjukkan bahwa tidak terdapat
hubungan antara pendidikan pemilik usaha dan kenaikan kelas UMK.
Gambar 24. Sektor Usaha
Berdasarkan sektor usaha, Gambar 24 menunjukkan bahwa sebagian besar
UMK bergerak di sektor manufaktur (73%) dan hanya UM yang bergerak di sektor
jasa (9%). Lebih lanjut hasil chi-square (0,284>0,05) menunjukkan bahwa tidak
terdapat hubungan antara sektor usaha dan kinerja naik kelas UMK. Meskipun
begitu, terdapat kecenderungan bahwa UM yang naik kelas bergerak di sektor
perdagangan dan manufaktur, sedangkan UK bergerak di sektor manufaktur.
54
Gambar 25. Lamanya Usaha
Dari sudut pandang lamanya usaha, berbeda dengan persepsi mayoritas,
wirausahawan UMK bukan merupakan wirausahawan hit and run yang dapat
dengan mudah beralih dari satu usaha ke usaha lainnya. Gambar 25 menunjukkan
bahwa sebagian besar UMK (35%) telah menjalankan usahanya lebih dari 10 tahun,
terutama UK (52%). Sementara itu, sebagian besar UM yang naik kelas menjadi UK
telah menjalankan usaha selama 1 hingga 3 tahun (31%). Lebih lanjut, hasi uji chi-
square (0,363>0,05) menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan antara lamanya
usaha dan kinerja naik kelas UMK. Namun, terdapat kecenderungan bahwa UM
yang naik kelas telah menjalankan usahanya selama 1–3 tahun, sedangkan UM
yang tetap di mikro antara 5–10 tahun dan UK yang tetap di UK telah dijalankan
selama >10 tahun.
Gambar 26. Izin Usaha
Terkait dengan izin usaha, hanya sedikit UMK yang memiliki izin usaha
(TDI/TDP, SIUP) dan NPWP. Sebagian besar UMK (32%) memiliki sejenis izin lokal
atau tidak memiliki izin sama sekali (27%). Lebih lanjut, hasil chi-square
(0,513>0,05) menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan antara pemegang izin
usaha dan kinerja kenaikan kelas UMK. Namun, terdapat kecenderungan bahwa
55
UM tidak memiliki izin usaha, tetapi memiliki NPWP. UM yang naik kelas memiliki
TDI/TDP.
Gambar 27 (sisi kiri) menunjukkan bahwa sebagian besar UMK (80%)
mengawali usahanya atas inisiatif sendiri, khususnya UK (96%). Sementara UM
yang naik kelas memulai usaha dari inisiatif keluarga (38%). Berdasarkan kinerja
penjualan masa lalu, Gambar 27 (sisi kanan) menunjukkan bahwa sebagian besar
UMK mengalami peningkatan penjulan (83%), stagnan (68%), dan penurunan
penjualan (83%) dalam usaha yang dimulai atas inisiatif sendiri.
Gambar 27. Inisiatif Memulai Usaha
Dari sudut pandang kinerja naik kelas, hasil chi-square (0,093>0,05)
menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan antara siapa yang memulai inisiatif
usaha dan kinerja kenaikan kelas UMK. Namun, terdapat kecenderungan kuat
bahwa UM yang naik kelas berkaitan dengan inisiatif keluarga, sedangkan UM
berkaitan dengan inisiatif pemilik. Lebih lanjut, dari sudut pandang kinerja
penjualan, hasil dari uji chi-square (0,068>0,05), Gambar 28 (sisi kanan)
menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan antara memulai usaha dan kinerja
penjualan UMK. Namun, terdapat kecenderungan yang kuat bahwa inisiatif pemilik
berkaitan dengan kenaikan penjualan.
56
Gambar 28. Motivasi Usaha
Motivasi utama responden untuk masuk ke dalam sektor UMK adalah
menjadi wirausahawan. Sebagian besar UK (33%) dan UM yang naik kelas (30%)
ingin menjadi wirausahawan, sedangkan sebagian besar UM (29%) karena tidak
memiliki pekerjaan lainnya pada saat mereka memulai usaha. Lebih lanjut, hasil
chi-square (0,329>0,05) menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan antara
motivasi usaha dan kinerja kenaikan kelas UMK. Namun, terdapat kecenderungan
bahwa UM yang naik kelas bergerak di sektor perdagangan dan manufaktur,
sedangkan UK bergerak di sektor manufaktur.
Gambar 29. Tempat Usaha
Berdasarkan tempat usaha, Gambar 29 menunjukkan bahwa sebagian besar
UMK memilih rumah sebagai tempat usaha (53%), terutama UM dan UK, serta toko
(32%), khususnya UM yang naik kelas. Hanya sedikit sekali yang memilih online
(6%), pasar tradisional (4%), lokasi industri (2%), dan pinggir jalan (1%) sebagai
tempat usaha. Lebih lanjut hasil chi-sqare (0,209>0,05) menunjukkan bahwa tidak
57
terdapat hubungan antara lokasi usaha dan kinerja naik kelas UMK. Namun,
terdapat kecenderungan bahwa UM yang naik kelas beroperasi di tokonya,
sedangkan UM beroperasi di rumahnya.
Gambar 30. Jumlah Tenaga Kerja
Dari sudut pandang jumlah tenaga kerja, Gambar 30 menunjukkan bahwa
sebagian besar UMK (83%) memiliki tenaga kerja kurang dari 10 orang, khususnya
UM yang naik kelas (94%). Lebih lanjut, hasil chi-square (0,059>0,05) menunjukkan
bahwa tidak terdapat hubungan antara jumlah tenaga kerja dan kinerja UMK naik
kelas. Namun, terdapat kecederungan yang kuat bahwa UM dan UM yang naik kelas
memiliki <10 tenaga kerja, sedangkan UK memiliki 11–25 tenaga kerja.
Gambar 31. Keterampilan Tenaga Kerja
Berdasarkan keterampilan tenaga kerja, Gambar 31 menunjukkan bahwa
sebagian besar UMK (50%) memiliki tenaga kerja yang seluruhnya terampil,
khususnya UM (56%). Hanya sebagian kecil UMK memilliki tenaga kerja tidak
terampil (8%) yang karena sebagian besar UMK dimiliki dan dikelola secara
58
perseorangan. Lebih lanjut, hasil chi-square (0,478>0,05) menunjukkan bahwa tidak
terdapat hubungan antara jumlah tenaga terampil dan kinerja UMK naik kelas.
Namun, terdapat kecenderungan bahwa UM memiliki tenaga kerja yang seluruhnya
terampil dan UK memiliki tenaga kerja yang sebagian besar terampil.
Gambar 32 (sisi kiri) menunjukkan bahwa sebagian besar UMK (49%)
memulai usahanya dari modal sendiri, khususnya UK (54%). Di samping itu, hasil
chi-square (0,509>0,05) menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan antara
sumber modal dan kinerja kenaikan kelas UMK.
Gambar 32. Sumber Permodalan
Dari sudut pandang sumber permodalan Gambar 32 (sisi kanan)
menunjukkan bahwa sebagian besar UMK (49%) memulai usahanya dari modal
sendiri, khususnya UMK nonpembiayaan (59%). Lebih lanjut, hasil chi-square
(0,081>0,05) menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan antara sumber
permodalan dan sumber pembiayaan UMK.
Gambar 33. Target Konsumen
59
Sebagian besar UMK melakukan pemasaran langsung kepada konsumen
akhir (53%), khususnya UM (59%), serta kepada pedagang eceran (30%), utamanya
UK (34%) dan UM yang naik kelas (34%). Tujuan pemasaran yang paling utama
UMKM adalah pasar lokal, kota kecil, kota madya, atau kota yang sama. Hanya
sebagian kecil pasar mereka berorientasi ekspor (2%). Lebih lanjut, hasil chi-square
(0,408>0,05) menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan antara target
konsumen dan kinerja kenaikan kelas UMK. Namun, terdapat kecenderungan
bahwa UM menjual hasil produknya ke konsumen akhir.
Gambar 34. Strategi Pemasaran
Gambar 34 menunjukkan bahwa sebagian besar UMK (26%) memfokuskan
diri pada strategi produk, khususnya UM (29%), sedangkan UK (28%) memfokuskan
diri pada strategi proses. Di samping itu, hasil chi-square (0,043<0,05) menunjukkan
bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara strategi pemasaran dan kinerja
kenaikan kelas UMK. UM memfokuskan diri pada strategi produk, UM yang naik
kelas memfokuskan diri pada orang, sedangkan UK berfokus pada proses. UM yang
naik kelas lebih fokus pada strategi orang.
Gambar 35. Kinerja Penjualan
60
Jika ditinjau dari kinerja penjualan masa lalu, Gambar 35 menunjukkan
bahwa sebagian besar UMK (60%) mengalami kenaikan penjualan, khususnya UM
yang naik kelas (75%). Hasil chi-square (0,710>0,05) menunjukkan bahwa tidak
terdapat hubungan antara kinerja penjualan masa lalu dan kinerja kenaikan kelas
UMK.
Gambar 36. Sumber Pembiayaan
Berdasarkan sumber pembiayaan, Gambar 36 menunjukkan bahwa sebagian
besar UMK (45%) mendapatkan pembiayaan dari bank konvensional, khususnya UK
(48%) atau tanpa pembiayaan (35%), terutama UM yang telah naik kelas. Hasil uji
chi-square (0,906>0,05) menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan antara
sumber pembiayaan dan kinerja kenaikan kelas UMK.
Jika dilihat dari pengalaman usaha UMK, Gambar 36 (sisi kiri) menunjukkan
bahwa sebagian besar pemilik UMK (62%) secara rutin menghadiri pengajian dan
beberapa dari mereka (28%) menyediakan ruangan ibadah yang nyaman. Sebagian
besar pemilik UMK tidak memiliki pengalaman yang cukup dalam berbisnis. Namun,
sebagian besar pemilik UMK (51%) telah mengikuti standar pencatatan laporan
keuangan. Beberapa UMK memiliki pengalaman studi banding (33%), menerima
pinjaman/pendanaan lunak (25%), mengikuti pelatihan perbaikan diri (24%), dan
berpartisipasi dalam seminar/ekspo seminar inovasi produk (23%).
61
Gambar 37. Pengalaman Berusaha
Sementara itu, Gambar 37 (sisi kanan) menunjukkan bahwa sebagian besar
pemilik UM (60%) secara rutin menghadiri pengajian dan beberapa dari mereka
(22%) menyediakan ruangan ibadah yang nyaman. Namun, hampir sebagian besar
pemilik UM tidak memiliki pengalaman usaha. Meskipun begitu, hampir separuh
dari pemilik UM (47%) telah mengikuti penyusunan laporan keuangan yang
terstandardisasi. Beberapa UM mendapat pengalaman melakukan studi banding
(30%), menerima pinjaman/pendanaan lunak (27%), mengikuti pelatihan perbaikan
diri (19%), dan berpartisipasi dalam seminar/ekspo inovasi produk (19%).
Hasil survei menunjukkan bahwa sebagian besar dari UMK memiliki
hubungan dengan bank, baik sebagai deposan, debitur, maupun keduanya, yaitu
(1) deposan dan debitur (57%), (2) hanya sebagai deposan (28%), hanya sebagai
debitur (8%), dan (4) nasabah nonbank (7%).
Gambar 38. Bank Mindedness oleh Usaha Mikro, Usaha Mikro naik kelas menjadi Usaha Kecil, dan Usaha Kecil
UM menjadi UK UM UK Total
62
Gambar 38 menunjukkan bahwa seluruh UM yang telah naik kelas memiliki
hubungan dengan bank, baik sebagai deposan dan debitur (63%), maupun hanya
sebagai deposan (37%).
Gambar 39. Bank Mindedness (Usaha Mikro)
Berdasarkan aspek hubungan UM dengan bank, responden UM terdiri dari
58% deposan dan debitur, 26% hanya sebagai deposan, 9% hanya sebagai debitur,
dan 7% bukan nasabah bank.
Jika dilihat dari total deposan (84%), Gambar 39 (sisi kanan) menunjukkan
bahwa sebagian besar dari UM hanya memiliki rekening pribadi (78%), sedangkan
6% memiliki rekening, baik rekening pribadi maupun rekening usaha. Hampir
seluruh UM menggunakan jasa keuangan, terutama ATM (70%), kemudian diikuti
dengan jasa transfer (59%), dan kartu debit (42%).
Jika dilihat dari jumlah total debitur (67%), Gambar 39 (sisi kiri)
menunjukkan bahwa sebagian besar debitur dibiayai oleh bank konvenional (44%)
dan 19% dibiayai oleh bank syariah, sedangkan 33% UM sama sekali tidak dibiayai
oleh bank. Sebagian besar UM mengemukakan bahwa mereka tidak menerima
pinjaman atau pembiayaan apa pun karena mereka tidak membutuhkan
pembiayaan (14%), bunga yang tinggi (10%), tidak memiliki jaminan untuk kredit
(5%), dan prosedur yang rumit (2%).
63
Gambar 40. Bank Mindedness (Usaha Mikro naik kelas menjadi Usaha
Kecil)
Berdasarkan aspek hubungan UM yang naik kelas dengan bank, responden
UM yang naik kelas terdiri atas 63% sebagai deposan dan debitur serta 37% hanya
sebagai deposan.
Jika dilihat dari jumlah total depositor (100%), Gambar 40 (sisi kanan)
menunjukkan bahwa sebagian besar UM yang telah naik kelas hanya memilki
rekening pribadi (88%), sedangkan 12% memiliki rekening pribadi dan rekening
usaha. Hampir seluruh UM yang telah naik kelas menggunakan jasa keuangan,
terutama ATM (81%), kemudian diikuti dengan jasa transfer (69%), dan kartu debit
(63%).
Jika dilihat dari jumlah total debitur (63%), Gambar 40 (sisi kiri)
menunjukkan bahwa sebagian dari mereka dibiayai oleh bank konvensional (44%)
dan 19% oleh bank syariah, sedangkan 37% UM yang naik kelas sama sekali tidak
dibiayai oleh bank. Sebagian besar dari UM yang naik kelas mengemukakan bahwa
mereka tidak menerima pinjaman atau pembiayaan apa pun karena mereka tidak
membutuhkan pembiayaan (13%), prosedur yang rumit, atau alasan lainnya (2%).
64
Gambar 41. Bank Mindedness (Usaha Kecil)
Berdasarkan aspek hubungan UK dengan bank, responden UK terdiri atas
52% sebagai deposan dan debitur, 30% hanya sebagai deposan, 9% hanya sebagai
debitur, dan 9% bukan nasabah bank.
Jika dilihat dari total deposan (82%), Gambar 41 (sisi kanan) menunjukkan
bahwa sebagian besar hanya memiliki rekening pribadi (78%), sedangkan 4%
memiliki rekening pribadi dan rekening usaha. Hampir seluruh UK memanfaatkan
jasa keuangan, terutama ATM (74%), kemudian diikuti dengan jasa transfer (57%),
dan kartu debit (43%).
Jika ditinjau dari total debitur (61%), Gambar 41 (sisi kiri) menunjukkan
bahwa sebagian besar dibiayai oleh bank konvensional (48%) dan 13% dibiayai oleh
bank syariah, sedangkan 39% UK tidak dibiayai oleh bank. Sebagian besar UK
mengemukakan bahwa mereka tidak menerima pinjaman atau pembiayaan apa pun
karena suku bunga yang tinggi (13%), prosedur yang rumit, tidak memerlukan
pembiayaan atau alasan lainnya (9%), serta tidak memiliki jaminan (4%).
4.2 Hasil SEM
Hasil SEM yang ditampilkan dalam bagian ini adalah proses akhir dari
beberapa prosedur SEM, dimulai dari spesifikasi, identifikasi, estimasi, pengujian
65
dan hasil akhir. Hasil lengkap dari seluruh prosedur SEM dapat dimintakan ke
penulis.
4.2.1 Model Pengukuran (Measurement Model)
Hasil dari tujuh model pengukuran terdiri atas dua variable laten eksogen
(external dan support) dan lima variabel laten endogen (owner, business,
management, resources, dan graduate) akan dibahas lebih lanjut.
a. Eksternal (External)
Model Pengukuran dari variabel laten eksogen external memenuhi tiga
persyaratan utama, yaitu χ2/df ≤ 3,0 (1,47/12), P>0,050 (0,08) dan RMSEA ≤ 0,08
(0,07). Seluruh pengukuran goodness of fit (GoF) adalah fit sehingga dapat diambil
simpulan bahwa model pengukuran untuk variabel external adalah good model
dengan close fit (AGFI= 0,97).
Gambar 42. Model Pengukuran untuk Variabel External
Seluruh variabel terukur (X1.1–X1.8) secara signifikan menjelaskan variabel
external. Bureaucracy (birokrasi, X1.7) dan infrastructure (infrastruktur, X1.2)
memiliki loading factors tertinggi (0,66 dan 0,64), diikuti oleh tax-retribution
(retribusi pajak, X1.8), dan corruption (korupsi, X1.5).
EXTERNAL (ξ1)
0.73
X1.2
X1.3
X1.40.83
0.80
0.60
0.57(7.74)
0.66(8.44)
0.62(7.76)
0.52(5.55)
0.64(7.87)
0.41(6.13)
X1.1 : Regulation - Policy
X1.2 : Infrastructure
X1.3 : Macroeconomic
X1.4 : Muslim Majority
X1.5 : Corruption
X1.7 : Bureaucracy
χ2 = 19.47; df = 12; p = 0.08; RMSEA = 0.07
AGFI = 0.97; Conclusion: CLOSE FIT
X1.1
X1.5
X1.7
X1.80.61
0.57
0.68
0.45(6.53)
X1.8 : Tax-Retribution
66
b. Dukungan (Support)
Model pengukuran dari variabel laten eksogen support memenuhi tiga
persyaratan utama, yaitu χ2/df ≤ 3,0 (12,13/8), P> 0,050 (0,15) dan RMSEA ≤ 0,08
(0,07). Seluruh pengukuran goodness of fit (GoF) adalah fit sehingga dapat diambil
simpulan bahwa model pengukuran untuk variabel support adalah good model
dengan close fit (AGFI = 0,98).
Gambar 43. Model Pengukuran untuk Variabel Support
Seluruh variabel pengukuran (X2.1–X2.7) secara signifikan menjelaskan
variabel support. ZISWAF/social funds (X2.3) dan managerial-tech. Support
(dukungan manajerial-teknologi, X2.5) memiliki loading factors tertinggi (0,73 dan
0,72) diikuti dengan central government (pemerintah pusat, X2.1) dan local
government (pemerintah daerah, X2.2).
c. Pemilik (Owner)
Model pengukuran variabel laten endogen owner memenuhi tiga persyaratan
utama, yaitu χ2/df ≤ 3,0 (14,13/12), P> 0,050 (0,29) dan RMSEA ≤ 0,08 (0,04).
Seluruh pengukuran goodness of fit (GoF) adalah fit sehingga dapat diambil
simpulan bahwa model pengukuran untuk variabel owner adalah good model
dengan close fit (AGFI = 0,98).
χ2 = 12.13; df = 8; p = 0.15; RMSEA = 0.07
AGFI = 0.98; Conclusion: CLOSE FIT
SUPPORT (ξ2)
X2.1
X2.2
X2.30.47
0.60
0.59
0.72(9.29)
0.52(7.81)
0.53(7.93)
0.64(8.15)
0.73(9.89)
X2.5
X2.6
X2.70.72
0.73
0.48
0.63(8.01)
X2.1 : Central Government
X2.2 : Local Government
X2.3 : ZISWAF/Social Funds
X2.5 : Managerial-Tech. Support
X2.6 : Spiritual Uplift
X2.7 : Family Support
67
Gambar 44. Model Pengukuran untuk Variabel Owner
Seluruh variabel pengukuran (Y1.1–Y1.7) secara signifikan menjelaskan
variabel owner (pemilik usaha). Truthful (kejujuran, Y1.3) dan visionary (visioner,
Y1.4) memiliki loading factors tertinggi (0,63 dan 0,61), kemudian diikuti dengan
trustworthy (kepercayaan, Y1.2), dan leadership (kepemimpinan, Y1.6).
d. Bisnis (Business)
Model pengukuran dari variabel laten endogen business memenuhi tiga
persyaratan utama, yaitu χ2/df ≤ 3,0 (28,16/19), P> 0,050 (0,08), dan RMSEA ≤
0,08 (0,06). Seluruh pengukuran goodness of fit (GoF) adalah fit sehingga dapat
diambil simpulan bahwa model pengukuran dari variabel bisnis adalah good model
dengan close fit (AGFI = 0,95).
Gambar 45. Model Pengukuran untuk Variabel Business
Y2.1 Y2.2 Y2.3 Y2.4 Y2.5 Y2.6
0.82 0.92 0.71 0.82 0.71 0.76
0.43(4.96)
0.28(3.22)
0.42(5.04)
0.54(5.59)
0.49(5.47)
0.54(5.71)
Y2.1 : Halal Earnings
Y2.2 : Product
Y2.3 : Service
Y2.4 : Market
Y2.5 : Customer
Y2.6 : Cost of Business
χ2 = 28.16; df = 19; p = 0.08; RMSEA = 0.06
AGFI = 0.95; Conclusion: CLOSE FITBUSINESS
(η2)
Y2.7 Y2.8
0.97 0.80
0.44(5.20)
0.18(2.35)
Y2.7 : Competition
Y2.8 : Location
68
Seluruh variabel pengukuran (Y2.1–Y2.8) secara signifikan menjelaskan
variabel business characteristics (karakteristik usaha). Customer (pelanggan) (Y2.5)
dan service (jasa) (X2.3) memiliki loading factors tertinggi (0,54), kemudian diikuti
oleh cost of business (biaya usaha) (Y2.6) dan location (lokasi) (Y2.8).
e. Manajemen (Management)
Model pengukuran variabel endogen laten management memenuhi tiga
persyaratan utama, yaitu χ2/df ≤ 3,0 (6,20/8), P> 0,050 (0,62) dan RMSEA ≤ 0,08
(0,00). Seluruh pengukuran goodness of fit (GoF) adalah fit sehingga dapat diambil
simpulan bahwa model pengukuran untuk variabel management adalah good model
dengan close fit (AGFI = 0,98).
Gambar 46. Model Pengukuran untuk Variabel Management
Seluruh variabel pengukuran (Y3.1–Y3.7) secara signifikan menjelaskan
variabel manajemen know-how. Information technology (teknologi informasi) (Y3.5)
dan innovation (inovasi) (Y3.6) memiliki loading factors tertinggi (0,72 dan 0,71),
kemudian diikuti oleh SOP-SOM (Y3.4) dan transparency (transparansi) (Y3.1).
f. Sumber Daya (Resource)
Model pengukuran variabel endogen laten resource memenuhi tiga
persyaratan utama, yaitu χ2/df ≤ 3,0 (18.12/14), P> 0,050 (0,20) and RMSEA ≤ 008
(0,05). Seluruh pengukuran goodness of fit (GoF) adalah fit sehingga dapat diambil
0.86 0.89 0.59 0.47 0.50 0.90
Y3.1
MANAGEMENT(η3)
Y3.2 Y3.4 Y3.5 Y3.6 Y3.7
0.37(4.88)
0.33(4.35)
0.72(7.50)
0.64(7.21)
0.32(4.46)
0.71(7.82)
χ2 = 6.20; df = 8; p = 0.62; RMSEA = 0.00
AGFI = 0.98; Conclusion: CLOSE FIT
Y3.1 : Transparency
Y3.2 : Professional
Y3.4 : SOP-SOM
Y3.5 : Information Tech.
Y3.6 : Innovation
Y3.7 : Networking
69
simpulan bahwa model pengukuran untuk variabel resource adalah good model
dengan close fit (AGFI = 0,97).
Gambar 47. Model Pengukuran untuk Resource
Seluruh variabel pengukuran (Y4.1–Y4.7) secara signifikan menjelaskan
resource (sumber daya). Technology resource (sumber daya teknologi) (Y4.5) dan
access to finance (akses pembiayaan) (Y4.4) memiliki loading factors tertinggi (0,74
dan 0,61), kemudian diikuti raw material (bahan baku) (Y4.6) dan skilled human
resource (sumber daya manusia terampil) (Y4.2).
g. Kenaikan Kelas (Graduation)
Model pengukuran variabel endogen laten graduation memenuhi tiga
persyaratan utama, yaitu χ2/df ≤ 3,0 (5,66/4), P> 0,050 (0,23) dan RMSEA ≤ 0,08
(0,06). Seluruh pengukuran goodness of fit (GoF) adalah fit sehingga dapat diambil
simpulan bahwa model pengukuran untuk variabel graduation adalah good model
dengan close fIT (AGFI = 0,99).
χ2 = 18.12; df = 14; p = 0.20; RMSEA = 0.05
AGFI = 0.97; Conclusion: CLOSE FIT
Y4.1 : Spiritual Capital
Y4.2 : Skilled H. Resource
Y4.3 : Owned Capital
Y4.4 : Access to Finance
Y4.5 : Tech. Resource
Y4.6 : Raw Material
Y4.7 : Social Capital
Y4.1 Y4.2 Y4.3 Y4.4 Y4.5 Y4.6
0.88 0.69 0.96 0.63 0.45 0.68
0.34(4.87)
0.55(7.06)
0.61(7.57)
0.20(2.89)
0.57(7.00)
0.74(8.23)
RESOURCES(η4)
Y4.7
0.83
0.42(5.72)
70
Gambar 48. Model Pengukuran untuk Graduation
Seluruh variabel pengukuran (Y5.1–Y5.6) secara signifikan menjelaskan
variable graduation (kenaikan kelas). Kenaikan working capital (modal kerja) (Y5.2)
dan kenaikan profit (keuntungan) (Y5.5) memiliki loading factors tertinggi (0,76 dan
0,73), kemudian diikuti oleh kenaikan financing limit (batasan pembiayaan) (Y5.6)
dan kenaikan employee (tenaga kerja) (Y5.3).
4.2.2 Model Struktural (Structural Model)
Model struktural dari kenaikan kelas UM memenuhi tiga persyaratan utama,
yaitu χ2/df ≤ 3,0 (39,88/45), P> 0,050 (0,69) dan RMSEA ≤ 0,08 (0,00). Seluruh
pengukuran goodness of fit (GoF) adalah fit sehingga dapat disimpulkan bahwa
model struktural dari kenaikan kelas UM adalah good model dengan close fit (AGFI
= 0,93).
Faktor yang mempengaruhi kenaikan kelas UM adalah owner (pemilik usaha),
business characteristics (karakteristik usaha), management know-how (variabel laten
endogen), dan faktor external dan support dari berbagai pihak (variabel laten
eksogen).
0.76(9.25)
0.62(8.43)
0.61(5.99)
0.73(8.40)
0.64(9.04)
GRADUATE (η5)
Y5.3
Y5.4
Y5.5
0.47
0.63
0.61
0.49(4.47)
Y5.6
0.59
Y5.2
Y5.1
0.43
0.76
χ2 = 5.66; df = 4; p = 0.23; RMSEA = 0.06
AGFI = 0.99; Conclusion: CLOSE FIT
Y5.1 : Sales Increase
Y5.2 : W-Capital Increase
Y5.3 : Employee Increase
Y5.4 : Market Expansion
Y5.5 : Profit Increase
Y5.6 : Fin. Limit Increase
71
Gambar 49. Model Struktural Kenaikan Kelas Usaha Mikro
Secara langsung faktor yang paling penting dalam menentukan kenaikan
kelas UM adalah management know-how (0,57) dan business characteristics
(karakteristik usaha) (0,17), serta faktor external dan support (secara tidak
langsung). Variabel yang paling penting dalam menentukan kenaikan kelas UM
adalah SOP dan teknologi informasi (management) dan pasar (bisnis), serta
infrastruktur dan kondisi makroekonomi (external) dan dukungan keluarga
(support).
UM yang sukses harus memiliki management know-how yang baik, terutama
dalam proses bisnisnya dengan memanfaatkan teknologi informasi secara optimal
dan memiliki pemahaman yang baik dan kemampuan untuk memenangkan pasar.
Lebih lanjut, lingkungan usaha dengan infrastruktur yang memadai dan kondisi
makroekonomi yang stabil, serta dukungan secara terus-menerus dari keluarga
sangat penting bagi UM dalam meraih kesuksesan. Di samping itu, faktor-faktor
lainnya juga tidak bisa diabaikan karena faktor-faktor tersebut dianggap perlu
(meskipun tidak cukup) bagi UM untuk menjalankan usahanya dan berhasil,
terutama visi pemilik usaha, kewirausahaan, dan pengalaman berbisnis, serta
sumber daya manusia yang terampil.
4.3 Hasil SAST (SAST Result)
Sebagai prosedur standar dalam metode SAST, beberapa tahapan terkait isu
atau kebijakan harus diikuti, seperti pembentukan kelompok, spesifikasi asumsi,
72
pemeringkatan asumsi, dan survei penting-pasti (lihat Gambar 20). Hasil dari
prosedur SAST yang lengkap dapat dimintakan pada penulis.
a. Eksternal (External)
Gambar 50. Asesmen terhadap Tingkat Penting–Pasti untuk Faktor Eksternal
Hasil SAST untuk faktor external menunjukkan bahwa X131 merupakan
stabilitas harga, terutama kebutuhan dasar, bahan baku, dan energi
(makroekonomi), X121 merupakan perbaikan infrastruktur, khususnya jalan,
jembatan, listrik, transportasi, ketersediaan air bersih, dll. (infrastructure), dan X181
merupakan pengurangan pajak (tax-retribution) terletak pada certain planning region
(region I).
Sementara X111 merupakan kebijakan pemerintah, seperti keringanan pajak
dan kemudahan memperoleh perizinan diarahkan pada perbaikan iklim usaha
(regulation and policy), X153 merupakan penghapusan biaya tidak resmi bagi UMK
(corruption), X182 merupakan keringanan pajak (tax break) untuk UMK yang
berpendapatan rendah (tax-retribution), dan X171 merupakan jasa one-stop licensing
yang cepat dan murah/gratis (bureaucracy) yang terletak pada kawasan problematic
planning region (region II).
73
b. Dukungan (Support)
Gambar 51. Asesmen terhadap Tingkat Penting–Pasti untuk Faktor Support
Hasil SAST untuk faktor support menunjukkan bahwa X232 merupakan
dukungan penyertaan modal (bebas bunga) (ZISWAF/donor), X211 merupakan
pinjaman lunak/pembiayaan untuk modal kerja (pemerintah pusat), X231
merupakan program dana bergulir (ZISWAF/donor), X211 merupakan ketersediaan
informasi pasar untuk produk UMK (pemerintah daerah), dan X271 merupakan
dukungan motivasi kepada pemilik/pekerja dalam menjalankan usaha (dukungan
keluarga) yang terletak di certain planning region (region I).
Sementara X223 merupakan ketersediaan untuk mendapatkan modal
tambahan (bebas bunga) bagi UMK (pemerintah daerah), X272 merupakan
penanaman karakterik yang baik kepada pemilik usaha dan pekerja (dukungan
keluarga), X261 merupakan pelatihan keagamaan, seperti kepemimpinan dan
kewirausahaan syariah (spiritual uplift), X251 merupakan ketersediaan pelatihan
manajerial dan mentoring (managerial support) yang terletak pada kawasan
problematic planning region (region II).
74
c. Pemilik Usaha (Owner)
Gambar 52. Asesmen terhadap Tingkat Penting–Pasti untuk Faktor Pemilik
Usaha
Hasil SAST untuk faktor owner (pemilik usaha) menunjukkan bahwa tidak
ada kebijakan yang terletak pada wilayah perencanaan pasti (region I). Sementara
itu, Y111 yaitu menghadiri pengajian, seperti halaqah rutin (takwa kepada Allah), Y121
yaitu menghadiri pelatihan kewirausahaan syariah/spiritual (dipercaya), dan Y161
yaitu meghadiri pelatihan kepemimpinan spiritual/syariah (kepemimpinan) yang
terletak pada kawasan problematic planning region (region II).
d. Bisnis (Business)
Gambar 53. Asesmen terhadap Tingkat Penting–Pasti Faktor Usaha
75
Hasil SAST untuk faktor business characteristics (karakteristik usaha)
menunjukkan bahwa Y261 merupakan stabilitas harga, khususnya kebutuhan dasar,
bahan baku, dan energi (cost of business), Y262 merupakan perbaikan infrastruktur,
khususnya jalan, jembatan, listrik, transportasi, air bersih, dll (cost of business), Y281
merupakan lokasi usaha strategis (location), Y242 merupakan dukungan teknis untuk
UMK untuk meningkatkan produknya (service), Y251 merupakan kepuasan
pelanggan dan pelatihan loyalitas bagi UMK (consumer), Y222 merupakan pelatihan
perbaikan kualitas produk bagi UMK (produk), Y231 merupakan dukungan teknis
untuk perbaikan kualitas jasa UMK (service), Y241 merupakan kemudahan akses
pasar bagi UMK untuk masuk ke minimarket, supermarket, atau pasar modern
(market) dan Y252 merupakan perbaikan pelindungan konsumen UMK (customer)
yang terletak pada certain planning region (region I).
Sementara itu, Y211 merupakan menafikan sertifikasi produk halal UMK
(pendapatan halal) dan Y271 merupakan meningkatkan pengawas pasar untuk
menjamin terciptanya persaingan pasar yang adil bagi UMK (competition) yang
terletak pada wilayah problematic planning region (region II).
e. Manajemen (Management)
Gambar 54. Asesmen terhadap Tingkat Penting-Pasti untuk Faktor
Manajemen
Hasil SAST untuk faktor management menunjukkan bahwa Y371 merupakan
program partnership antara UMK dan pedagang besar, suplier, distributor, lembaga
76
pembiayaan, atau agen terkait lainnya (jejaring) dan Y361 merupakan pelatihan rutin
pengembangan produk bagi UKM (inovasi) berada pada certain planning region
(region I). Sementara itu, Y321 merupakan pelatihan rutin untuk profesionalisme
UMK (professional) dan Y311 merupakan pertemuan rutin dengan seluruh
stakeholders (transparency) yang terletak pada wilayah problematic planning region
(region II).
f. Sumber Daya (Resources)
Gambar 55. Asesmen terhadap Tingkat Penting–Pasti untuk Faktor Sumber
Daya
Hasil SAST untuk faktor resources menunjukkan bahwa Y461 merupakan
ketersediaan bahan baku dengan harga terjangkau (bahan baku), Y442 merupakan
ketersediaan fasilitas pinjaman/pembiayaan murah (access to finance), Y441
merupakan kemudahan akses pinjaman/pembiayaan (access to finance), Y451
merupakan ketersediaan teknologi tepat guna untuk memperbaiki kualitas produk
(technology resource), dan Y471 merupakan pengembangan kebersamaan dengan
masyarakat setempat (modal sosial) yang terletak pada kawasan certain planning
region (region I).
Sementara, Y411 merupakan perbaikan spiritualitas tenaga kerja melalui
kegiatan keagamaan (modal spiritual), Y431 merupakan pelatihan perencanaan
keuangan bagi UMK (modal kepemilikan), dan Y443 merupakan ketersediaan skema
77
pembiayaan yang tepat bagi UMK, seperti dana bergulir dan tanggung renteng
(access to finance) yang terletak pada wilayah problematic planning region (region II).
g. Keseluruhan (Overall)
Gambar 56. Asesmen Keseluruhan terhadap Hasil Rangkuman atas Tingkat
Penting–Pasti
Terakhir, hasil rangkuman SAST keseluruhan untuk kenaikan kelas UM
dapat dilihat pada Gambar 56. Kebijakan terpenting yang dibutuhkan oleh UM
untuk mempercepat usahanya adalah kebijakan external (eksternal), support
(dukungan), business characteristics (karakteristik usaha), dan resources (sumber
daya).
Kebijakan eksternal terpenting yang dibutuhkan oleh UM adalah X131
merupakan kestabilan harga, khususnya kestabilan harga kebutuhan pokok, bahan
baku, dan energi (makroekonomi), dan X121 merupakan perbaikan infrastruktur,
khususnya jalan, jembatan, listrik, transportasi, air bersih, dll.
Kebijakan support (dukungan) terpenting yang dibutuhkan oleh UM adalah
X232 merupakan dukungan partisipasi modal atau bebas bunga (ZISWAF/donor);
X211 merupakan pinjaman/pembiayaan lunak untuk modal kerja (pemerintah
pusat); dan X231 merupakan program dana bergulir (ZISWAF/donor).
Kebijakan business characteristics (karakteristik usaha) terpenting yang
dibutuhkan oleh UM adalah Y261 yang merupakan kestabilan harga, terutama
78
kebutuhan dasar, bahan baku, dan energi (cost of business); Y262 merupakan
perbaikan infrastruktur, terutama jalan, jembatan, listrik, transportasi, air bersih,
dll. (cost of business); dan Y281 merupakan lokasi usaha yang strategis (lokasi).
Kebijakan resources (sumber daya) terpenting yang dibutuhkan oleh UM
adalah Y461 yang merupakan ketersediaan bahan baku dengan harga terjangkau
(raw material); Y442 merupakan ketersediaan fasilitas pinjaman/pembiayaan murah
(access to finance); Y441 merupakan kemudahan akses pinjaman/pembiayaan
(access to finance); dan Y451 merupakan ketersediaan teknologi tepat guna untuk
memperbaiki kualitas produk (technology resource).
4.4 Desain
Apabila ingin mendesain kenaikan kelas UM, harus terdapat 3 (tiga) grup
komponen, yaitu sebagai berikut
1. persyaratan minimum: lingkungan internal UM, eksternal, dan dukungan;
2. faktor internal yang diperlukan (necessary): internal UM; dan
3. faktor eksternal yang diperlukan (necessary): kebijakan yang mendukung.
Pertama, internal UM harus mengembangkan SOP dan TI serta memahami
pasarnya, sedangkan lingkungan eksternal, seperti kondisi makroekonomi dan
infrastruktur serta dukungan keluarga harus kondusif bagi UM untuk
menumbuhkan usahanya. Kedua, pemilik UM harus seorang yang visioner dan
berpendidikan, memiliki jiwa kewirausahaan dan pengalaman usaha, serta
ketersediaan tenaga kerja yang memiliki keterampilan (skill). Ketiga, UM harus
didukung oleh kebijakan pemerintah, seperti ketersediaan pembiayaan yang murah,
keringanan pajak, kestabilan harga, serta bebas/minimum biaya izin dan sertifikasi;
ketersediaan bahan baku dan energi murah; serta ketersediaan teknologi tepat
guna. Lebih lanjut, dukungan keuangan dari ZISWAF/dana donasi sangat
dinantikan.
79
Gambar 57. Desain Kenaikan Kelas UM
MANAGEMENT Std. Operating Procedure
MANAGEMENT Information Technology
EXTERNAL Infrastructure
BUSINESS Market
EXTERNAL Macroeconomic Cond.
SUPPPORT Family Support
OWNER Visionery
OWNER Entrepreneurship
OWNER Business Experience
RESOURCES Skilled Human Resource
SUPPORT Government-Donor
BUSINESS Strategic Location
RESOURCES Cheap Raw Material
RESOURCES Appropriate Technology
BUSINESS Affordable Cost of Bus.
RESOURCES Easy Access to Finance
80
V. SIMPULAN DAN REKOMENDASI
5.1 Simpulan
a. Karakteristik UKM
UMK merupakan jenis usaha yang sangat beragam (sebagian besar bergerak
di sektor manufaktur, perdagangan-restoran-hotel, dan jasa), yang tidak dapat
digeneralisasi, dan yang hendaknya diperlakukan sesuai dengan kondisi masing-
masing. Meskipun begitu, UMK (dalam sampel ini) memiliki beberapa fitur yang
sama, seperti berikut ini.
1. Sebagian besar pemilik UMK adalah tamatan SMP (39%) dan SMA (22%),
sedangkan sebagian besar pemilik UM yang naik kelas adalah tamatan SMP
(31%) dan S1 (31%).
2. Sebagian besar UMK bergerak di sektor manufaktur (73%) dan hanya UM yang
bergerak di sektor jasa (9%).
3. Sebagian besar UMK tidak memiliki izin usaha formal atau SIUP (85%). Mereka
umumnya hanya memiliki izin setempat/lokal (32%) atau tidak memiliki izin
sama sekali (27%). Lebih lanjut sebagian besar UM yang telah naik kelas memiliki
TDI/TDP (23%).
4. Sebagian besar UMK memulai usahanya dari inisiatif sendiri (pemilik) (80%),
terutama UK (96%).
5. Sebagian besar UMK masuk ke sektor usaha karena termotivasi oleh faktor
pengangguran (25%), wirausaha (24%), dan prospek pasar (23%), sedangkan UM
yang naik kelas (30%) dan UK (33%) lebih termotivasi oleh faktor kewirausahaan.
6. Sebagian besar UMK membuka usahanya di rumah (53%) atau di toko (32%),
sedangkan sebagian besar UM yang naik kelas membuka usahanya di toko (56%)
atau di rumah (39%).
7. Sebagian besar UMK memiliki kurang dari 10 pekerja (83%), terutama UM yang
naik kelas (94%), dan mereka memiliki tenaga kerja yang seluruhnya terampil
(50%), terutama UM (56%).
8. Sebagian besar UMK (49%) memulai usahanya dari modal sendiri dan hanya 25%
yang dengan pinjaman/pembiayaan untuk memulai usahanya.
81
9. Sebagian besar UMK menjual produk/jasa-nya kepada konsumen akhir (53%)
atau pedagang eceran (30%).
10. Sebagian besar UMK (60%) mengalami kenaikan penjualan, khususnya UM yang
naik kelas (75%).
11. Sebagian besar UMK, khususnya UM, kurang memiliki pengalaman usaha.
Namun, sebagian besar mereka telah mengikuti pencatatan laporan keuangan
yang terstandardisasi (51%).
12. Sebagian besar UMK adalah nasabah bank (93%), baik sebagai deposan maupun
debitur (57%), atau hanya sebagai deposan (28%). Lebih lanjut, jasa keuangan
yang paling sering digunakan oleh UMK adalah ATM, jasa transfer, dan kartu
debit.
Sementara itu, UMK memiliki strategi pemasaran yang berbeda. UM
memfokuskan diri pada produk, UM yang naik kelas memfokuskan diri pada orang,
sedangkan UK memfokuskan diri pada proses.
Satu-satunya karakteristik religius yang muncul dalam studi ini adalah
sebagian besar pemilik UM secara rutin menghadiri pengajian (60%) dan sebagian
dari mereka menyediakan ruang ibadah yang nyaman (22%). Di samping itu,
sebagian besar pemilik UMK perempuan lebih menyukai mendapatkan pembiayaan
dari lembaga keuangan syariah (67%).
Secara keseluruhan UMK dalam sampel merupakan usaha informal yang
beroperasi di rumah/toko, bergerak di sektor manufaktur atau perdagangan, mudah
untuk masuk dan mudah untuk keluar dengan menggunakan teknologi sederhana;
dijalankan oleh tenaga kerja berpendidikan rendah dan kurang berpengalaman,
mudah puas dengan apa yang telah diraihnya, atau dijalanlan oleh tenaga terdidik
yang memang berkeinginan menjadi wirausahawan; dibiayai dengan menggunakan
modal sendiri karena mereka unbankable atau mempersepsikan utang sebagai
praktik yang tidak umum digunakan; dan memiliki pengetahuan yang sangat luas
(kowledgeable) atas produknya tetapi mengalami permasalahan dalam
mendapatkan pasar. Kondisi makroekonomi yang tidak stabil dan kurangnya
dukungan eksternal tidak menghentikan mereka untuk bertahan hidup. Mereka
sangat membutuhkan berbagai jenis bantuan, terutama bantuan manajerial,
keuangan, teknis, pemasaran, kewirausahaan, kepemimpinan, dan perubahan pola
pikir (mindset).
82
b. SEM
Hasil SEM menunjukkan bahwa faktor terpenting bagi kenaikan kelas UM
adalah management know-how dan business characteristics (langsung), diikuti
dengan faktor-faktor external dan support (tidak langsung). Meskipun begitu, faktor-
faktor lainnya, seperti kepemilikan usaha (owner of business) dan resources juga
harus dipertimbangkan karena merupakan faktor yang diperlukan (necessary).
Determinan utama kenaikan kelas UM adalah standard operating procedure
dan teknologi informasi (management know-how), pasar (business characteristics),
infrastruktur dan kondisi makroekonomi (external), dan dukungan keluarga
(support). Determinan penting lainnya adalah visionary, kewirausahaan
(entrepreneurship) dan pengalaman usaha (owner of business) serta sumber daya
manusia yang terampil (resources).
Temuan ini menunjukkan bahwa sebagian besar UMK di dalam sampel tidak
memiliki faktor kunci untuk berhasil dan naik kelas. Sebagian besar UMK tidak
memiliki SOP (78%), khususnya UM (84%). Sebagian besar UMK tidak pernah
berpartisipasi dalam pelatihan dan workshop pemasaran (83%), khususnya UM
(88%). Kebanyakan dari pemilik UMK memiliki tingkat pendidikan yang rendah
(73%) adalah tamatan SMA atau di bawahnya), khususnya pemilik UM (78%).
Sebagian besar pemilik UM tidak ingin menjadi wirausahawan pada awalnya (76%),
terutama pemilik UM (80%). Sebagian besar pemilik UKM tidak memiliki
pengalaman usaha, khususnya pemilik UM.
Lebih lanjut, lingkungan usaha UMK dalam sampel, seperti kondisi
makroekonomi dan infrastruktur, tidak dipertimbangkan sebagai faktor-faktor yang
mendukung kenaikan kelas UM. Sebagian besar UMK mengeluh atas meningkatnya
harga bahan baku, energi, dan kebutuhan pokok. Infrastruktur seperti jalan, listrik,
transportasi, dan air bersih yang masih kurang memadai.
Karakteristik yang terkait dengan agama Islam, seperti mayoritas Muslim
(external), peningkatan keagamaan (support), kepercayaan (trustworthy) ‘amanah’,
dan kejujuran ‘shiddiq’ (owner), pendapatan halal (business), transparansi ‘tabligh’,
dan profesional ‘fathanah” (management), serta modal spiritual dan modal sosial
(resources) tidak menunjukkan sebagai faktor kunci utama kesuksesan UM naik
kelas. Meskipun begitu, semuanya adalah faktor yang diperlukan (necessary)
dengan loading factors (>0,50), seperti spiritual uplift (0,52), trustworthy (0.56), dan
truthful (0,63).
83
c. SAST
Beberapa kebijakan penting yang muncul dalam penelitian ini sejalan dengan
hasil SEM, seperti X131 yang merupakan stabilitas harga, khususnya kebutuhan
dasar, bahan baku, dan energi (makroekonomi); X121 yang merupakan perbaikan
infrastruktur, khususnya jalan, jembatan, listrik, transportasi, air bersih, dll.
(Infrastructure); serta Y241 yang merupakan kemudahan akses pasar bagi produk
UMK untuk masuk ke mini market, supermarket, atau pasar modern, yang terletak
di certain planning region (region 1). Sebagian besar UMK tidak menyadari akan
perlunya kebijakan untuk memperbaiki manajemen know-how mereka, khususnya
SOP dan TI, serta kualitas pemilik usaha (owner), khususnya dalam pendidikan,
pengalaman berusaha, dan visi pasar.
Dengan demikian, kebijakan paling penting yang dibutuhkan oleh UMK
adalah stabilitas harga dan infrastruktur (external), dukungan modal dan
pembiayaan (support), kemudahan dan biaya murah dalam melakukan usaha dan
lokasi yang strategis (business characteristics), kemudahan dan biaya rendah dalam
mengakses pembiayaan dan bahan baku, serta ketersediaan teknologi yang tepat
(resources).
Temuan ini mengemukakan bahwa sebagian besar UMK sudah puas dengan
kondisi internal mereka sendiri dan tidak menyadari akan perlunya perbaikan
internal dalam rangka mempercepat kenaikan kelas usahanya. Di sisi lain, sebagian
besar UMK setuju bahwa kondisi eksternal perlu diperbaiki untuk menciptakan
iklim usaha yang kondusif dalam rangka menumbuhkan usaha mereka.
Lebih lanjut, beberapa kebijakan terkait karakteristik agama Islam, seperti
X261 yang merupakan pelatihan keagamaan, misalnya kepemimpinan spiritual
(spiritual leadership) dan pelatihan kewirausahaan (spiritual uplift), Y111 yaitu
menghadiri pengajian, seperti halaqah rutin (takwa kepada Allah), Y121 yaitu
menghadiri pelatihan kewirausahaan syariah (trustworthy), Y211 yaitu menafikan
sertifikasi produk halal UMK (Halal Earning), Y321 merupakan pelatihan rutin
mengenai profesionalisme UMK (professionalism atau fathonah), Y311 merupakan
pertemuan rutin dengan seluruh stakeholders (transparency atau tabligih), dan Y411
merupakan perbaikan spiritual pekerja melalui kegiatan keagamaan (spiritual
capital) bukanlah merupakan kebijakan prioritas dan terletak di problematic
planning region (region II).
84
5.2 Rekomendasi
Sebagian besar UMK, khususnya UM, tidak memiliki determinan penting
untuk kenaikan kelas UM yang seharusnya mereka miliki, seperti standardisasi
SOP, pemanfaatan IT, dan visi pasar yang jelas. Mereka memahami produknya,
tetapi tidak sepenuhnya memahami pasarnya. Tampaknya, mereka telah puas
dengan apa yang telah diraih dan tidak ada kebutuhaan mendesak untuk
pengembangan, perbaikan, dan perluasan usahanya.
Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah serta lembaga
pemerintah terkait lainnya telah melakukan berbagai upaya untuk mengatasi
permasalahan-permasalahan itu melalui pendidikan, workshop dan training,
bantuan teknis dan manajerial, standardisasi dan sertifikasi, bantuan pemasaran
dan jejaring, pinjaman/pembiayaan lunak, dll. Namun, karena jumlah UM begitu
besar, hampir mencapai 56 juta UM, hanya sedikit UM yang merasakan dampaknya.
Sebagai contoh, Kredit Usaha Rakyat (KUR) diperkirakan mencapai tiga puluh 30
trilliun rupiah pada akhir 2015, dengan kredit limit sebesar Rp25.000.000,00 untuk
tiap-tiap UMK. Hal ini berarti KUR akan dibagikan kepada 1,2 juta UMK, atau hanya
sebesar 2,1% dari UMK yang akan menikmatinya.
Sebagian besar UMK, khususnya UM, tidak memiliki izin usaha resmi. Oleh
karena itu, pemerintah harus menyediakan kemudahan dan pelayanan izin usaha
yang terintegrasi satu pintu yang bebas biaya (gratis). Izin Usaha Mikro Kecil (IUMK)
atau Izin UMK telah dikeluarkan dalam rangka merespons Peraturan Presiden No.
98 Tahun 2014 sehingga UMK dapat mengajukan IUMK kepada kepala desa secara
cuma-cuma dengan persyaratan minimal. Dengan IUMK tersebut, UMK dapat
memperoleh berbagai manfaat, seperti kepastian atas usaha yang dijalani, akses
pembiayaan, bantuan usaha, dan program pemberdayaan. Namun, sampai dengan
saat ini, hanya 38 dari 510 kota atau kabupaten yang telah mengeluarkan peraturan
yang diperlukan (necessary), yaitu peraturan daerah.
Sehubungan dengan itu, pemerintah harus memberikan perhatian lebih
(termasuk political will dan dukungan) kepada UMK, seperti mengembangkan SOP
untuk berbagai bisnis UM, menyediakan pelatihan bagi UM, workshop dan
pembiayaan untuk memasang TI, menyediakan berbagai marketing linkage antara
UM dan industri atau pengguna. Di samping itu, yang lebih penting lagi adanya
85
dukungan secara kontinu untuk mengubah pola pikir (mindset) UMK untuk terus
maju dengan inovasi dan perubahan.
Lingkungan eksternal, seperti stabilitas harga dan infrastruktur, tidak
memberikan keuntungan bagi UMK untuk mengembangkan usahanya. Oleh karena
itu, inflasi yang stabil dan rendah serta percepatan pembangunan infrastruktur
harus menjadi prioritas utama pemerintah.
Sebagian besar pemilik UMK, khususnya UM, memiliki tingkat pendidikan
yang rendah (SMP) dan kurang memiliki pengalaman kerja dan usaha, sementara
menurut Reeg (2013), wirausahawan harus memiliki pendidikan dan pengalaman
kerja yang berkualitas. Oleh karena itu, pemerintah harus mendukung perbaikan
pendidikan dan pengalaman usaha bagi UMK, seperti perbaikan kualitas SMK dan
sekolah politeknik, pendirian lebih banyak lagi BLK, penyediaan fasilitas bagi UM
agar dapat berpartisipasi dalam expo, workshop, konferensi, studi komparatif,
workshop motivasional, dll.
UMK sangatlah beragam dan hampir sebagian besar tidak memiliki pola
khusus. Oleh karena itu, studi lebih lanjut harus dilakukan untuk tiap subsektor
usaha tertentu karena sebagian besar bisnis UMK adalah unik.
DAFTAR PUSTAKA
86
Abdullah, M.A. dan Hoetoro, A. (2011). “Social Entrepreneurship as an Instrument to Empowering Small and Medium Enterprises: An Islamic Perspective”. Dalam International Journal Management Business, Vol. 1, No. 1.
Adizes, I. (1979). “Organizational Passages: Diagnosing and Treating Life Cycle Problems in Organizations”. Dalam Organizational Dynamics, Vol. 8, hal. 3–25.
Ahmad, M., dkk. (2012) “New Determination of Factors Affecting the Growth of Small And Medium Sized Enterprises In Pakistan”. Dalam International Journal of Business and Management, Vol. 4, No. 6.
Al-Ghazali. (1989). Minhajul ‘Abidin ‘ila Jannati Rabbil ‘Aalamiin. Beirut: Mu’asisah Ar-Risalah.
Ascarya and Yulizar, D.S. (2007). “Redefine Micro, Small, and Medium Enterprises Classification and the Potency of Baitul Maal wa Tamwiel as Intermediary Institutions in Indonesia”. Paper, presented in UBD-IRTI International Conference on Inclusive Islamic Financial Sector Development: Enhancing Islamic Financial Services for Micro and Medium Sized Enterprises (MMEs).
Azis, A. dan Rusland, A.H. (2009). “Peranan Bank Indonesia di dalam Mendukung Pengembangan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah”. Dalam Seri Kebanksentralan No. 21. Pusat Pendidikan dan Studi Kebanksentralan (PPSK BI).
Benzing, C., dkk. (2009). “Entrepreneurs in Turkey: A Factor Analysis of Motivations, Success Factors and Problems”. Dalam Journal of Small Business Management, Vol. 47. No. 1.
Bigio, A.G. (2000). “Social Funds and Reaching the Poor: Experiences and Future Directions”. Dalam Proceedings from an International Workshop. The World Bank and Africatip La Red Social de América Latina y el Caribe NGO-WB Committee. Washington, D.C.
BIS (2013). SMEs: “The Key Enablers of Business Success and the Economic Rationale for Government Intervention”. Dalam BIS Analysis Paper Number 2. Departement for Business Innovation & Skills.
Brink, A., Michael, C., and Andre, L. (2003). “Problems Experienced by Small Businesses in South Africa”. Dalam Paper, presented in 16th Annual Conference of Small Enterprise Association of Australia and New Zealand.
Australia: University of Ballarat.
Chittithaworn, C., dkk. (2011). “Factors Affecting Business Success of Small & Medium Enterprises (SMEs) in Thailand”. Dalam Asian Social Science, Vol. 7, No. 5.
Churchill, N.C. and Lewis. V.L. (1983). “The Five Stages of Small Business Growth”. Dalam Harvard Business Review, Vol. 61, Mei–Juni, hal.30–50.
Churchman, C.W. (1971). “The Design of Inquiring Systems, Basic Books. In Mitroff, I.I, Emshoff, J.R. and Kilmann, R.H. (Eds.). Assumption Analysis: A Methodology for Strategic Problem Solving”. Dalam Management Science, Vol. 25, No. 6, hal. 583–593
Cooney, T. dkk. (2011). “Muslim Entrepreneurship in Ireland”. Dalam Report. Dublin Institute of Technology.
Daily, C. M. dkk. (2002). “Governance and Strategic Leadership in Entrepreneurial Firms”. Dalam Journal of Management, Vol. 28, No. 3.
87
DCED. (2013). “The Donor Committee for Enterprise Development: Current Debates on Small Enterprises and Development Agency Support”. Dalam Private Sector Development Synthesis Note: Small Enterprises.
Department Perbankan Syariah Bank Indonesia. (2006). Pilot Project, Bank Indonesia Linkage Program bagi Lembaga Keuangan Syariah.
Easton, A.C. (1988). “An Experimental Investigation of Automated Versus Maual Support for Stakeholder Identification and Assumption Surfacing in Small Groups”. Dissertation, University of Arizona.
Faizal, P.R.M., dkk. (2013). “The Entrepreneurs Characteristic from al-Quran and al-Hadis”. Dalam International Journal of Trade, Economics and Finance, Vol. 4, No. 4, hal. 191–196.
Farooqi, A.H. (2006). “Islamic Social Capital and Networking”. Dalam Humanomics, Vol. 22 Issue 2.
Fehlinger, G, and Tanja El-Nemr. (2010). “The European Social Fund and Entrepreneurship”. Background Report. Bernard Brunhes International.
Flood, R. L. & Jackson, M. C. (1991). “Creative Problem Solving: Total Systems Intervention. In Easton, A.C. (Eds). An Experimental Investigation of Automated Versus Manual Support for Stakeholder Identification and Assumption Surfacing in Small Groups”. Dissertation, University of Arizona.
Garoma, B.F. (2012). “Determinants of Microenterprise Success in the Urban Informal Sector of Addis Ababa: A Multidimensional Analysis”. Erasmus University Rotterdam.
Ghosh, B.C. and Wayne, K. (1999). “An Analysis of Key Success Factors of SMEs: A Comparative Study of Singapore/Malaysia and Australia/New Zealand.”
Gibson, T. and Vaart, H.J. (2008). “Defining SMEs: A Less Imperfect Way of Defining Small and Medium Enterprises in Developing Countries”. The Brookings Institute, Global Economy and Development.
Greiner, L.E. (1972). “Evolution and Revolution as Organizations Grow”. Dalam Harvard Business Review, Vol.50, No.4 Juli–Agustus, hal.37–46.
Hampel-Milagrosa, A. (2014). Micro and Small Enterprise Upgrading in the Philippines: The Role of the Entrepreneur, Enterprise, Networks and Business Environment. Bonn: Deutsches Institut für Entwicklungspolitik (German Development Institute).
Haryadi, D., Erna, E.C., dan Maspiyati. (1998). Tahap Perkembangan Usaha Kecil: Dinamaika dan Peta Potensi Pertumbuhan. Bandung: Yayasan Akatiga.
Hashemi, S.M. and Montesquiou, A. (2011). “Reaching the Poorest: Lessons from the Graduation Model”. Focus Note 69. Washington, D.C., CGAP, March.
Hassan, M.K. and Hippler, W.J. (2014). Entrepreneur and Islam: An Overview. Ecom Journal Watch, Vol. 11, No. 2, hal. 170–178.
Hendrawan. (2009). Spiritual Management, From Personal Enlightment Towards God Corporate Governance. Bandung: Mizan.
Hoque, N,, Abdullahil, M., and Abdullah, M.A.M. (2014). “Dynamics and Traits of Entrepreneurship: An Islamic Approach”. Dalam World Journal of Entrepreneurship, Management and Sustainable Development, Vol. 10. No. 2.
88
Hoque, N., dkk. (2014). “Dynamics and Traits of Entrepreneurship: an Islamic Approach”. Dalam World Journal of Entrepreneurship, Management and Sustainable Development, Vol. 10 Iss. 2, hal. 128–142.
Humphrey, J. and Schmitz, H. (2000). “Governance and Upgrading: Linking Industrial Cluster and Global Value Chain Research, Brighton, University of Sussex: Institute of Development Studies”. The Institute of Development Studies (IDS) Working Paper 120.
Jasra, J.M., dkk. (2011). “Determinants Of Business Success Of Small And Medium Enterprises”. Dalam International Journal of Business and Social Science, Vol.2 No. 20.
Joreskog, K. (1973). “A General Method for Estimating a Linear Structural Equation
System”. In AS Goldberger & OD Duncan (Ed.), Structural Equation Models in the Social Sciences. New York: Seminar Press.
Kayed, R.N. (2006). “Islamic Entrepreneurship: a Case Study of the Kingdom of Saudi Arabia”. Thesis. Masey University, New Zealand.
Kayed, R.N. and Hassan, M.K. (2015). “Development of Entrepreneurship Through Islamic Finance”. 7th IFSB Public Lecture on Financial Policy and Stability. Jakarta.
Kazanjian, R.K. and Drazin, R. (1989). “An Empirical Test of a Stage of Growth Progression Model”. Dalam Management Science, Vol. 35, No. 12, hal. 1489–1503.
Keesling, J. W. (1973). “Maximum Likelihood Approaches to Causal Flow Analysis”. Dissertation, University of Chicago.
Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Republik Indonesia. (2010). Peraturan Menteri Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah No. 1 Tahun 2010 tentang Rencana Strategis Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah, Jakarta.
Khalique, M., Nick, B., and Jamal, A.N. (2015). “Intellectual Capital in Small and Medium Enterprises in Pakistan”. Dalam Journal of Intellectual Capital, Vol. 16 No. 1.
Kushnir, Khrystyna. (2010). “How Do Economies Define Micro, Small and Medium Enterprises (MSMEs)?” Companion Note for the MSME Country Indicators. IFC and the World Bank.
Kushnir, Khrystyna, Mirmulstein, M.L. and Ramalho, R. (2010). “Micro, Small, and Medium Enterprises around the World: How Many Are There, and What Affects the Count?” The MSME Country Indicators Note. IFC and the World Bank.
Lester, D.L., dkk. (2003). “Organizational Life Cycle: A Five Stage Empirical Scale”. Dalam International Journal of Organizational Analysis, Vol. 11, No. 4, hal. 339–354.
Loewe, M. dkk. (2013). Which Factors Determine the Upgrading of Small and Medium-Sized Enterprises (MSEs)?: The Case of Egypt. Bonn: Deutsches Institut für Entwicklungspolitik (German Development Institute).
Martini, Maira. (2013). “Reducing bureaucracy and corruption affecting small and medium enterprises”. Transparancy International.
McKnight, D.H. and Chervany, N.L. (1996). “The Meanings of Trust”. University of Minnesota: Carlson School of Management
89
McPherson, M.A. (1996). “Growth of Micro and Small Enterprises in Southern Africa’. Dalam Journal of Development Economics, Vol. 48, hal. 253–277.
Mead, D.C. and Liedholm, C. (1998). “The Dynamaic of Micro and Small Enterproses in Developing Countries”. Dalam Development, Vol. 26, No. 1, hal. 61--74.
Mitroff, I.I, and Emshoff, J.R. (1979). “On Strategic Assumption-Making: A Dialectical Approach to Policy and Planning”. Dalam The Academy of Management Review, Vol. 4, No. 1, hal. 1–12.
_______. (1981). “Challenging Strategic Planning Assumptions: Theory, Cases and Techniques. In Easton, A.C. (Eds). An Experimental Investigation of Automated Versus Manual Support for Stakeholder Identification and Assumption Surfacing in Small Groups”. Dissertation, University of Arizona.
_______. (1982). “Business Policy and Metaphysics: Some Philosophical Considerations”. Dalam The Academy of Management Review, Vol. 7, No. 3, hal. 361–371.
Mitroff, I.I., Emshoff, J.R., and Kilmann, R.H. (1979). “Assumption Analysis: A Methodology for Strategic Problem Solving”. Dalam Management Science, Vol. 25, No. 6, hal. 583–593.
Muhammad, M.Z., dkk. (2008). “An Analysis of Islamic Ethics in Small and Medium Enterprises (SMEs)”. Dalam Unitar E-Journal, Vol. 4, No. 1.
Munizu, M. (2010). “Pengaruh Faktor-Faktor Eksternal dan Internal terhadap Kinerja Usaha Mikro dan Kecil (UMK) di Sulawesi Selatan”. Dalam Jurnal Manajemen dan Kewirausahaan, Vol. 12, No. 1.
Munizu, M. (2013). “Strategi Peningkatan Kinerja dan Peran Usaha Kecil dan Menengah (UKM) Pengolah Produk Berbasis Pangan di Kota Makassar”.
Murphy, P.J. and Coombes, S.M. (2008). “A Model of Social Entrepreneurial Discovery”. Dalam Journal of Business Ethics, Vol. 87, hal. 325–336.
Olawale, F. and Garwe, D. (2010). “Obstacles to the Growth of New SMEs in South Africa: A Principal Component Analysis Approach”. Dalam African Journal of Business Management, Vol. 4(5).
Oukil, M.S. (2013). “Entrepreneurship and Entrepreneurs in an Islamic Context”. Dalam Journal of Islamic and Human Advanced Research, Vol. 3, Issue 3, hal. 111–131.
Papzan, A. dkk. (2008). “Determining Factors Influencing Rural Entrepreneurs’ Success: A Case Study of Mahidasht Township in Kermanshah Province of Iran”. Dalam African Journal of Agricultural Research, Vol. 3. No. 9.
Pereneyi, A., Selvarajah, C., and Muthaly, S. (2011). “Investigating the Firm Life-Cycle Theory on Australian SMEs in the ICT Sector”. Dalam Journal of Asia Entrepreneurship and Sustainability, Vol. 7, No. 2, hal. 13–41.
Pillay, M.K. (2006). The Internal and External Environtment for Small Business Growth in Pietermaritzburg. Pietermaritzburg: University of Kwazulu-Natal.
Quinn. R.E., and Cameron, K. (1983). “Organizational Life Cycles and Shifting Criteria of Effectiveness: Some Preliminary Evidence”. Dalam Management Science, Vol. 29, No. 1, hal. 33–51.
Rafiki, Ahmad, dkk. (2014). “Islamic Human Capital and Firm Performance: An Evidence of Small and Medium Enterprises in Bahrain”. Dalam International Journal of Business and Management, Vol. 9, No. 4.
90
Reeg, C. (2013a). Micro, Small and Medium Enterprise Upgrading in India: Learning form Success Cases. Bonn: Deutsches Institut für Entwicklungspolitik (German Development Institute).
______. (2013b). “Micro, Small and Medium Enterprise Upgrading in Low and Middle Income Countries: A Literature Review”. Discussion Paper 15/2013. Bonn: Deutsches Institut für Entwicklungspolitik (German Development Institute).
Republik Indonesia. (2008) Undang-Undang No. 20 tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah. Jakarta.
Roomi, M.A. (2006). “Entrepreneurial Capital, Social Values and Islamic Traditions: Growth of Women-Owned Enterprises in Pakistan”.
Rose, R.C., Naresh, K., and Lim L.Y. (2006). “Entrepreneurs Success Factors and Escalation of Small and Medium-sized Enterprises in Malaysia”. Dalam Journal of Social Sciences, Vol. 2, No. 3.
Scott, M. and Bruce, R. (1987). “Five Stage of Growth in Small Business”. Dalam Long Range Planning, Vol. 20, No. 3, hal. 45--52.
Sefiani, Y. and Robin, B. (2013). “What Influences the Success of Manufacturing SMEs? A Perspective from Tangier”. Dalam International Journal of Business and Social Science, Vol. 4 No. 7.
Soini, E. and Veseli, L. (2011). Factors Influencing SMEs Growth in Kosovo. International Business Management. Kosovo: Turku University of Applied Sciences.
Stefanovic, I., Sloboda, P., and Ljubodrag, R. (2010). “Motivational and Success Factors of Entrepreneurs: the Evidence from A Developing Country”. Dalam Zb. rad. Ekon. fak. Rij. Vol. 28, Sv. 2.
Stefanovic, I., Damnjanovic, P. and Jasko, O. (2010). “The Analysis of Contemporary Environment Impact Upon Organizational Operations”. Dalam Serbian Journal of Management, Vol. 5, No. 1.
Tahir, P.R., Mohamad, M.R., and Diya’uddeen, B.H. (2011). “A Short Review of Factors Leading to Success of Small Medium Enterprises”. Dalam Interdisciplinary Journal of Contemporary Research In Business, Vol. 2, No. 11.
Temitope, A.E., dkk. (2013). “Determinants of Small and Medium Enterprises (SMEs) Performance in Ekiti State, Nigeria: A Business Survey Approach. Dalam European Journal of Humanities and Social Science. Vol. 27, No. 1.
UNIDO and UNODC. (2007). Corruption Prevention to Foster Small and Medium-Sized Enterprise Development: Providing Anti-Corruption Assistance to Small Businesses in the Developing World, Vol. 1.
Vargas-Hernandez, J.G., Noruzi, M.R. and Narges, S. (2010). “An Exploration of the Affects of Islamic Culture on Entrepreneurial Behaviors in Muslim Countries”. Dalam Asian Social Science, Vol. 6, No. 5, hal. 120–127.
_______. (2012). “A Literature Review on the Effect of Islam on Entrepreneurship in Muslim Countries: Focus on Iran. Dalam Global Journal of Human Social Science, Vol. 12, Issue 2, Version I.
Wiley, D. (1973). “The Identification Problem for Structural Equation Models with Unmeasured Variables”. In A. Goldberger & O. Duncan (Eds.), Structural Equation Models in the Social Sciences (hal. 69–84). New York: Seminar Press.
91
Zadjuli, S.I. (2015). “Era Syariah adalah Tuntunan Rasulallah”. Lembaga Keuangan Mikro Syariah. Diakses pada 21 April 2015. www.tamzis.com
Zain, M.A. (2014). “Menyongsong Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) 2015 dengan Berhijrah pada Syariah Kaffah Menuju Terwujudnya Baldatun Thoyyibatun wa Rabbun Ghafur”.
LAMPIRAN 1
Tabel 1. Literature Summary on Determinants the Model of Micro Enterprises Graduation
92
VARIABEL DEFINISI
REFERENSI
EKSTERNAL-ENVIRONMENT
1. Regulasi-Kebijakan
A legal norm intended to create enabling environment for MSMEs to thrive, supported by an enabling policies and issued by the government.
Reeg (2013a p.35); Loewe (2013 p.34); Stefanovic, dkk. (2010 p.103); Olawale and Garwe (2010 p.732); Temitope (2013 p.1403); Soini and Veseli (2011 p.52); Pillay (2006 p.42);
2. Infrastruktur Access to public infrastructure such as water, electricity, serviceable roads, telecommunication, telephones, ect. which are all crucial for business start-up, development and growth.
Reeg (2013a p.34); Sefiani and Bown (2013 p.304); Olawale and Garwe (2010 p.732); Ahmad, dkk. (2012 p.521); Temitope (2013 p.1403)
3. Makroekonomi Economic factors that influence the MSMEs, such as a stable inflation rate, stable growth and healthy public and private balance sheets.
Reeg (2013a p.32); Loewe (2013 p.34); Ahmad, dkk (2012 p.520); CGAP (2011 p.11); Brink (2003 p.3);
4. Muslim-Majority
Entrepreneur in Muslim-majority countries and in Muslim communities has a great propensity for thrive through a good response of Muslim communities, they often express a stronger sense of belonging than other citizens.
Oukil (2013 p.2); Cooney, dkk. (2011, 6)
5. Korupsi Spiritual or moral impurity, abuse or deviation which is conducted for his/her/their personal gain, such as bribery, embezzlement, dishonest, fraudulent conducts and for most entrepreneurs in the upgrader paying extra-money for a service at a licensing department or an import clearance office.
Reeg (2013a p.171); Loewe (2013 p.36); Olawale and Garwe
(2010 p.732); UNIDO and UNODC (2007 p.10); Soini and Veseli (2011 p.51); Brink (2003 p.3);
6. Kriminalitas Actions in business environment, at both internal and external, which led to a deliberate violation of rules and regulations to gain abnormal profit, such as monopoly, hoard, fraud, theft and robbery.
Olawale and Garwe (2010 p.732); UNIDO & UNODC (2007 p.10); Soini and Veseli (2011 p.51); Pillay (2006 p.42-43); Brink (2003 p.3);
7. Birokrasi The administrative system, procedure, and measures governing large number of people and made up of many departments and divisions. Excessive bureaucracy imposes a disproportionat bureaucratic burden on small and medium
93
VARIABEL DEFINISI
REFERENSI
size enterprises, creating both incentives and opportunities for bribery and corruption.
Ahmad, dkk. (2012 p.521); Papzan, dkk. (2008 p.600);
8. Pajak A financial charge or other retribution imposed upon an taxpayer (an individual, enterprise or legal entity by a state to fund various public expenditures.
Olawale and Garwe (2010 p.732); Pillay (2006 p.69);
DUKUNGAN (SUPPORT)
1. Pemerintah Pusat
Governments (at both national and local levels) can create a legal and regulatory environment that enabling the advancement for Micro and Small Enterprises Development.
CGAP (2004 p.2);
2. Pemerintah Setempat
Governments (at both national and local levels) can create a legal and regulatory environment that enabling the Advancement for Small and Micro enterprises Development.
CGAP (2004 p.2);
3. Bantuan Sosial ZISWAF/social and/or donor is devoted to developing capital and providing financing for micro enterprises and it helps them make workforce and companies better equipped to face market challenges.
Fehlinger and El-Nemr (2010, p.4)
4. Bantuan Teknis
Education of basic knowledge of technical to help the enterprises solve specific problems with technical problem by providing assistance to using the technology products such as computers, other electronic or mechanical goods.
DPbS (2006 p.8);
5. Bantuan
Manajerial
Education of basic knowledge of managerial to help the enterprises solve specific problems with managerial problem by providing training or other managerial support services.
DPbS (2006 p.7); Soini and Veseli (2011 p.15)
6. Spiritual Uplift Education of basic knowledge of spiritual by providing spiritual activities (kajian), muhasabah night (mabit), halaqah, spiritual training or other spiritual activities.
DPbS (2006 p.3); Khalique, dkk. (2015 p.226); Oukil (2013 p.4);
7. Dukungan Keluarga
The support of families with another member of family by giving motivation, guidance, and assistance to provide resources in developing micro businesses, include unpaid and informal support by neighbors and friends.
Roomi (2006 p.15-17); Benzing, dkk. (2009 p.61); Rose (2006 p.75)
94
VARIABEL DEFINISI
REFERENSI
PEMILK – USAHA (OWNER-BUSINESS)
1. Kepatuhan pada Allah (Fear of God)
A spiritual state which saves people from committing sins and considers fear of God as one of its results.
Faizal, dkk. (2013 p.192); Hoque (2014 p.138);
2. Kepercayaan (Trustworthy - amanah)
The moral responsibility of fulfilling one's obligations due to Allah. He blesses business dealings if both the buyer and the seller are true to each other.
Hoque (2014 p.137); Faizal , dkk (2013 p.193); Roomi (2006 p.15-17);
3. Kejujuran (Truthful - shiddiq)
The moral character such as integrity, truthfulness, and straightforwardness, including straightforwardness of conduct, along with the absence of lying, cheating, and theft.
Hoque (2014 p.136); Roomi (2006 p.15-17); Faizal (2013 p.193);
4. Visionary A dynamic open-minded person with a very keen perception, vision drives an entrepreneur to put the original idea into practice.
Ghosh and Kwan (1999 p.9); BIS (2013 p.16); Hoque (2014 p.1); Olawale and Garwe (2010 p.731); Daily, dkk. (2002); Benzing, dkk (2009 p.61); Pillay (2006 p.36);
5. Kewirausahan (Entrepreneur-ship)
Sets of knowledge, skills, personality, responsibilities, attitudes and behavior that contribute to organize and operate a business.
Jasra, dkk. (2011 p.278); Benzing, dkk. 2009 p.61); Chittithaworn, dkk. (2011 p.182); Tahir, dkk. (2011); Temitope (2013 p.1404); Soini and Veseli (2011 p.15);
6. Kepemimpinan (Leadership)
Sets of knowledge, skills, personality, responsibilities, attitudes and behavior that motivating and organizing a group of people to achieve a common goal.
Stefanovic, dkk (2010b p.262);
7. Pengalaman Kerja
Any experience that a person gains while working in a specific field or occupation, then gives the specific knowledge which help in developing successful strategies leading to higher growth rates.
Garoma (2012); Loewe (2013 p.24); Reeg (2013a p.21); Reeg (2013b); Rafiki (2014 p.176); Pillay (2006 p.32);
KARAKTERISTIK USAHA (BUSINESS-CHARACTERISTICS)
1. Halal Earning A Muslim entrepreneur must be determined to earn only through halal (legitimate) means. Riba (usury or interest), gharar (excessive uncertainty), maysir (game of chance or speculation), batil (fasid, defective), dan dharar (hazard) should be prohibited in its many forms
95
VARIABEL DEFINISI
REFERENSI
Hoque (2014); Faizal, dkk. (2013 p.193); Oukil (2013 p.5);
2. Produk Any good, merchandise, or commodities with quality, value and suitability to the market needs that can be offered to a market that might satisfy a want or need
Chittithaworn, dkk. (2011 p.182); Ghosh and Kwan (1999 p.8-9); Brink (2003 p.5);
3. Jasa Any services with quality, value and suitability to the market needs that can be offered to a market that might satisfy a want or need.
Chittithaworn, dkk. (2011 p.182); Ghosh and Kwan (1999 p.8-9); Brink (2003 p.5);
4. Pasar Overall market potential, i.e. the size of the market, consumer demand and ease to get.
Ghosh and Kwan (1999 p.8-9); Olawale and Garwe (2010 p.731);
5. Konsumen Overall customer potential, i.e.loyalty, satisfaction and good relationships
Hoque (2014 p.133); Brink (2003 p.4);
6. Biaya Usaha The cost control which are related to the operation of a business, or to the operation of a device, component, piece of equipment or facility.
Olawale and Garwe (2010 p.731);
7. Daya Saing Healthy competition among sellers trying to achieve such goals as increasing profits, market share, and sales volume.
Loewe (2013 p.35); Reeg (2013a p.82); Sefiani and Bown (2013 p.305); Soini and Vaseli (2011 p.19);
8. Lokasi The location of business must be accessible to the customer base and should be built to ensure efficient accessibility for future clients.
Garoma (2012 p.114); Reeg (2013a p.92); Loewe (2013 p.69); Soini and Veseli (2011 p.19); Olawale and Garwe (2010 p.731);
MANAGEMENT-KNOW HOW
1. Transparansi (tabligh)
MSMEs should be transparent in their operations to the general public.
Khalique, dkk. (2015 p.226); Zain (2014 p.63);
2. Profesionalisme (fathonah)
MSMEs should be professional in their operations to the general public.
Zain (2014 p.63); Khalique, dkk. (2015 p.226);
96
VARIABEL DEFINISI
REFERENSI
3. Std. Op. Procedure
A specific procedure to business operation that describes the activities necessary to complete tasks in accordance with industry regulations or even just his/her/their own standards for running the business.
Zain (2014 p.72); Khalique, dkk. (2015 p.226);
4. Std. Op. Mgt. Management system standards that describes the operating of management system in accordance with industry regulations or even just his/her/their own standards for running the business.
Chittithaworn, dkk. (2011 p.182); Zain (2014 p.72);
5. Teknologi Informasi
Smart use of information technologies in the context of a business or enterprise, the application of computers and telecommunications equipment to store, retrieve, transmit data.
Jasra, dkk.. (2011 p.278); Olawale and Garwe (2010 p.731); Temitope (2013 p.1404);
6. Inovasi The process of translating an idea or invention (some improvement, development and reform of production process) into a good or service that creates value.
Soini and Veseli (2011 p.17); Hoque (2014 p.134); Pillay (2006 p.37);
7. Jejaring Creating a group of acquaintances and associates as well as keeping it active through regular communication for mutual benefit in business.
Loewe (2013 p.24); Reeg (2013a p.29); Reeg (2013b p.36); Ghosh and Kwan (1999 p.9); Olawale and Garwe (2010 p.731);
SUMBER DAYA – PEMBIAYAAN (RESOURCES-FIN)
1. Modal Spiritual
The Islamic spirit and spiritual strongholds in the workplace that have a measurable impact on individuals, communities and societies behaviour.
Khalique, dkk. (2015 p.226); Hendrawan (2009 p.101)
2. SDM Terdidik An educated and skilled individuals who make up the workforce of an organization, business sector, or economy.
Loewe (2013 p.134); Benzing, dkk. (2009 p.61); Ghosh and Kwan (1999 p.9);
3. Modal Sendiri Enterprise that generates its growth capital from its own income or self funded.
Garoma (2012 p.117);
4. Akses Pembiayaan
The ability of individuals or enterprises to obtain financial services, including credit, deposit, and other payment service.
97
VARIABEL DEFINISI
REFERENSI
Loewe (2013 p.154); Reeg (2013a p.37); Reeg (2013b); Sefiani and Bown (2013 p.302); Olawale and Garwe (2010 p.731); Ghosh and Kwan (1999 p.9); Ahmad, dkk.(2012); Soini and Veseli (2011 p.49); Pillay (2006 p.35);
5. Sumber Daya Teknologi
Hand tools, electronic machines, or every technological system that provide savings on energy and labor that result in better quality products at lower costs..
Ghosh and Kwan (1999 p.9); Temitope (2013 p.1404); Soini
and Veseli (2011 p.17); Brink (2003 p.3);
6. Bahan Baku Natural resources found in nature (at both renewable and nonrenewable raw materials), include water, land, trees, oil, coal, and so on.
Temitope (2013 p.1404);
7. Modal Sosial A component of community's goodwill and trust acquired by an individual or organization over the years, through its understanding and addressing of the concerns and priorities of the citizens.
Garoma (2012 p.177); Loewe (2013 p.24); Farooqi (2006 p.113); Reeg (2013 a p.31); Milagrosa (2014 p.22); Loewe (2013 p.24)
NAIK KELAS (GRADUATION)
1. Kenaikaan Penjualan
Growth in enterprise's annual sales. When annual sales increase passes certain threshold, Micro Entreprise graduate to Small Enterprise.
Kayed (2006); Garoma (2012 p.25); Munizu (2010 p.35); Ascarya and Sanrego (2007 p.11);
2. Kenaikan W-Cap
Growth in enterprise's working capital. When working capital increase passes certain threshold, Micro Entreprise graduate to Small Enterprise.
Kayed (2006); Munizu (2010 p.35); Ascarya and Sanrego (2007 p.11);
3. Kenaikan Tenaga Kerja
Growth in enterprise's number of employee. When number of employee passes certain threshold, Micro Entreprise graduate to Small Enterprise.
Mead and Liedholm (1998); Garoma (2012 p.25); Temitope (2013 p.1405); Munizu (2010 p.35); Soini and Veseli (2011 p.15);
4. Ekspansi Pasar Increase in enterprise’s market size. When market size increase passes certain threshold, Micro Entreprise graduate to Small Enterprise.
Munizu (2010 p.35); Ascarya and Sanrego (2007 p.11); Soini and Veseli (2011 p.15);
98
VARIABEL DEFINISI
REFERENSI
5. Kenaikan Keuntungan
Growth in enterprise's profit. When profit increase passes certain threshold, Micro Entreprise graduate to Small Enterprise.
McPherson (1996); Garoma (2012 p.25); Temitope (2013 p.1405); Munizu (2010 p.35); Soini and Veseli (2011 p.15);
6. Kenaikan batas pembiayaan
Increase in enterprise’s credit/financing limit. When bank increases credit/financing limit of an enterprise to certain level, Micro Entreprise graduate to Small Enterprise.
Bank Indonesia Regulation
99
LAMPIRAN 2
Uji Univariate Normality untuk Continuous Variables
Skewness Kurtosis Skewness and Kurtosis
Variable Z-Score P-Value Z-Score P-Value Chi-Square P-Value
EXT1 -0.917 0.359 0.548 0.584 1.140 0.565 EXT2 -0.922 0.356 1.190 0.234 2.266 0.322 EXT3 0.063 0.950 -0.644 0.520 0.419 0.811 EXT4 0.820 0.412 2.117 0.034 5.154 0.076 EXT5 -0.891 0.373 -0.558 0.577 1.106 0.575 EXT6 -0.751 0.453 0.833 0.405 1.257 0.533 EXT7 -0.755 0.450 1.295 0.195 2.248 0.325 EXT8 -1.267 0.205 1.625 0.104 4.246 0.120 SUPP1 -0.554 0.579 -0.496 0.620 0.553 0.758 SUPP2 -0.822 0.411 0.081 0.935 0.682 0.711 SUPP3 0.192 0.847 -0.713 0.476 0.545 0.761 SUPP4 -0.203 0.839 -0.840 0.401 0.748 0.688 SUPP5 -0.744 0.457 -0.106 0.916 0.564 0.754 SUPP6 -0.742 0.458 0.580 0.562 0.887 0.642 SUPP7 -1.402 0.161 -1.381 0.167 3.874 0.144 OWN1 0.471 0.637 29.224 0.000 854.240 0.000 OWN2 2.380 0.017 0.023 0.981 5.664 0.059 OWN3 5.125 0.000 0.027 0.978 26.261 0.000 OWN4 1.588 0.112 3.169 0.002 12.564 0.002 OWN5 0.920 0.358 2.226 0.026 5.802 0.055 OWN6 0.731 0.465 3.008 0.003 9.584 0.008 OWN7 2.061 0.039 2.725 0.006 11.672 0.003 BUSS1 -0.853 0.394 -0.970 0.332 1.668 0.434 BUSS2 0.035 0.972 -0.977 0.329 0.956 0.620 BUSS3 -0.387 0.698 0.905 0.366 0.968 0.616 BUSS4 -0.507 0.612 1.189 0.235 1.670 0.434 BUSS5 1.712 0.087 31.553 0.000 998.535 0.000 BUSS6 -0.807 0.420 1.118 0.263 1.902 0.386 BUSS7 -1.394 0.163 3.685 0.000 15.524 0.000 BUSS8 -0.100 0.920 2.068 0.039 4.288 0.117 MNG1 -0.921 0.357 0.309 0.758 0.943 0.624 MNG2 1.584 0.113 0.489 0.625 2.749 0.253 MNG3 -0.847 0.397 0.196 0.844 0.756 0.685 MNG4 -1.357 0.175 1.461 0.144 3.978 0.137 MNG5 -1.211 0.226 -0.661 0.508 1.904 0.386 MNG6 -0.347 0.728 2.207 0.027 4.990 0.082 MNG7 0.409 0.682 1.631 0.103 2.828 0.243 MNG8 0.392 0.695 2.373 0.018 5.786 0.055 RES1 -0.344 0.731 -0.196 0.845 0.157 0.925 RES2 -0.102 0.919 2.220 0.026 4.937 0.085 RES3 -0.369 0.712 -0.205 0.837 0.179 0.915 RES4 -0.811 0.417 0.399 0.690 0.817 0.665 RES5 -0.816 0.415 2.377 0.017 6.318 0.042 RES6 -0.709 0.478 0.226 0.821 0.553 0.758 RES7 -0.726 0.468 3.787 0.000 14.868 0.001 GRA1 -0.740 0.460 0.716 0.474 1.060 0.589 GRA2 -0.774 0.439 1.569 0.117 3.062 0.216 GRA3 -0.621 0.534 -0.289 0.773 0.470 0.791 GRA4 -0.334 0.739 2.299 0.022 5.394 0.067 GRA5 -1.192 0.233 1.965 0.049 5.282 0.071
GRA6 -1.167 0.243 0.931 0.352 2.228 0.328
100
LAMPIRAN 3
Berbagai upaya yang telah dilakukan oleh Kementerian Koperasi dan UKM
PENDIDIKAN DAN PELATIHAN; BANTUAN TEKNIS DAN MANAJERIAL
Realisasi Deputi Bidang Pengembangan SDM (menurut Laptah 2012 Depkop UKM hlm.126)
Pendidikan dan Pelatihan Kewirausahaan
Diklat kewirausahaan bagi fasilitator
Pelatihan kewirausahaan bagi calon wirausaha
Pelatihan kewirausahaan bagi kelompok masyarakat
Pelatihan kewirausahaan bagi eks tenaga kerja
Bimbingan Teknis Tempat Praktik Keterampilan Usaha (TPKU)
Realisasi Deputi Bidang Pengembangan dan Restrukturisasi Usaha (menurut Laptah 2011 Depkop UKM)
Pemberdayaan Lembaga Pengembangan Bisnis (LPB)/Bisnis Development Services-Provider (BDS-P) adalah mitra pemerintah sebagai pendamping dalam mengembangkan usaha KUMKM melalui penyediaan layanan pengembangan bisnis, termasuk manajemen, keuangan, atau kelembagaan KUMKM.
a. Bimbingan dan Temu Konsultasi LPB/BDS-P dengan KUKM. Telah melibatkan 100 LPB dan 200 KUMKM di 10 provinsi, yaitu Jawa Tengah, DIY, Jawa Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Gorontalo, Aceh, Babel, NTB, dan Bali.
101
b. Peningkatan kerja sama kemitraan LPB/BDS-P dengan pemerintah daerah, HIPPMI, perguruan tinggi, Dewan Pengurus Nasional Asosiasi BDS Indonesia dan Asosiasi BDS Indonesia wilayah provinsi
c. Bimbingan dan konsultasi peningkatan kompetensi konsultan pendamping LPD/BDS-P
d. Insentif bagi konsultan pendamping LPB/BDS-P
PERBAIKAN DAYA SAING MELALUI STANDARDISASI
Realisasi Deputi Bidang Pengembangan dan Restrukturisasi Usaha
(menurut Laptah 2012 Depkop UKM hlm. 139)
Peningkatan Daya Saing UKM melalui:
a. Penerapan Sertifikasi Hak Kelayakan Intelektual (HKI)
b. Penerapan Kehalalan Produk
Realisasi Deputi Bidang Pengembangan dan Restrukturisasi Usaha
(menurut Laptah 2011 Depkop UKM)
Pendampingan Penerapan Standar Mutu KUMKM
a. Pendampingan penerapan standar mutu SNI/ISO, halal dan HKI (hak cipta, merk, paten, rahasia dagang, desain produk, desain tata letak sirkuit terpadu) kepada KUMKM bertujuan meningkatkan pemahaman pentingnya penerapan standar mutu bagi UMKM
b. Kegiatan pendampingan dilaksanakan berkoordinasi dengan BSN untuk SNI/ISO, dengan Ditjen HKI untuk penerapan HKI, sedangkan untuk penerapan halal dengan Kementerian Agama, LP-POM MUI, dan B-POM.
c. Kegiatan tersebut dilaksanakan secara berkelanjutan setiap tahun, untuk tahun 2011 pendampingan SNI/ISO, HKI dan halal dilaksanakan bagi 500 UMKM. Sebagai tindak lanjut dari pendampingan tersebut dilaksanakan pemberian insentif untuk pendaftaran sertifikat merk dagang bagi 100 UMKM bidang makanan, minuman, dan kerajinan tangan dan insentif
pendaftaran sertifikat halal bagi 130 UMKM.
PEMANFAATAN TEKNOLOGI YANG TEPAT GUNA
Realisasi Deputi Bidang Produksi (menurut Laptah 2012)
Pemanfaatan Teknologi Tepat Guna Dalam Rangka Meningkatkan Produktifitas UMKM
Penyusunan Pedoman Teknologi Tepat guna untuk sektor pertanian, holtikultur, peternakan, dan perikanan.
Realisasi Deputi Bidang Pemasaran dan Jaringan Usaha (menurut Laptah 2012 Depkop UKM hlm. 121)
Pengembangan Promosi Produk UMKM
102
Trading board, salah satu infrastruktur promosi yg dibangun dan dikembangkan Kementrian KUMKM dalam rangka memberikan edukasi kepada KUMKM tentang alternatif media promosi yang efektif dan efisien. Web basis “sell offer dan buy offer”
Realisasi Deputi Bidang Pengembangan dan Restrukturisasi Usaha
(menurut Laptah 2011 Depkop UKM)
Peningkatan Produktivitas KUMKM melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna
a. Memfasilitasi bimbingan dan konsultasi penerapan teknologi tepat guna kepada 350 UMKM di 6 provinsi.
b. Merealisasikan bantuan peralatan pembangunan demplot percontohan penerapan teknologi tepat guna untuk pengembangan usaha UMKM untuk pengolahan arang tempurung kelapa, sagu, jamur, garam, dan biogas ramah lingkungan
Pendampingan pemanfaatan internet untuk e-commerce dan desain produk bagi KUKM sentra (telah dilakukan di Provinsi Sumatera Barat, Bali, Sulawesi Tenggara, Kalimantan Barat, dan Sulawesi Selatan)
Dengan kriteria:
a. Pelaku usaha produktif yang memiliki produk siap jual yang berdaya saing.
b. Pelaku usaha memiliki kemampuan untuk meningkatkan kemampuan transaksi bisnis UMKM kerajinan dan furnitur sehingga dapat memperluas pasarnya;
c. Pelaku usaha memiliki usaha yang berkaitan dengan desain kreatif seperti, kerajinan, kayu, bambu, dan rotan serta usaha kreatif lainnya.
PEMASARAN DAN JEJARING BISNIS
Realisasi Deputi Bidang Pemasaran dan Jaringan Usaha (menurut Laptah 2012 Depkop UKM hlm.105)
Pengembangan Jaringan Bisnis Ritel Modern (dengan nama UKM Mart)
a. Tahap 1: Penataan sarana usaha, telah diberikan bansos 108 toko ritel “UKM Mart” tahun 2011 dan 24 toko tahun 2012.
b. Tahap 2: Pelatihan dan pendampingan, telah dilakukan di 7 provinsi.
c. Tahap 3: Penguatan jaringan bisnis, memfasilitasi kemitraan UKM Mart dengan distributor, pabrikan, dan Bulog.
d. Insentif bagi konsultan pendamping LPB/BDS-P
Peningkatan Produktivitas Usaha Mikro melalui Klinik Bisnis
Dengan tujuan peningkatan daya saing produk KUMKM, telah dilakukan di 4 provinsi (produk batik cap, kemasan makanan olahan, desain produk fashion dan handicraft corak batik, handicraft kulit kerang, dan makanan olahan rumput laut).
Peningkatan Akses Pasar Produk Usaha Mikro melalui Pasar Rakyat
103
a. Pasar Rakyat, dalam rangka membantu ketersediaan akan kebutuhan pokok bersubsidi bagi masyarakat prasejahtera, pasar rakyat, dan pasar murah di 49 titik dalam 20 provinsi
b. Pojok rakyat, dalam rangka mendukung pengembangan dan pemberdayaan UMK dengan memfasilitasi kerja sama UMKM dengan retail modern besar, yaitu PT Carrefour.
Pengembangan Penataan Pedagang Kaki Lima
Dalam rangka penguatan komunitas PKL dalam membangun daya saing pasar
Realisasi Lembaga Layanan Pemasaran (LLP-KUKM)-(menurut Laptah 2012
Depkop UKM hlm.181)
Pengembangan Produk Berdaya Saing tahun 2012
a. Promosi SME Tower melalui iklan di media massa cetak seperti majalah
b. Kerjasama barter promosi
c. In house promosi di UKM Gallery
d. Kerja sama dengan tour and travel di Jakarta dalam rangka peningkatan kunjungan dengan diskon
RISET DAN PENGEMBANGAN
Realisasi Deputi Bidang Pengkajian Sumber Daya UKM (menurut Laptah 2011 Depkop UKM)
Pengembangan Komoditas Unggulan Daerah Dengan Pendekatan One Village One Product (OVOP)
Jeruk kalamansi, Provinsi Bengkulu; batik tulis, Kabupaten Pacitan Provinsi Jawa Timur; nanas, Kota Prabumulih, Provinsi Sumatera Selatan; bordir, Kota Tasikmalaya, Provinsi Jawa Barat; kopi organik, Kabupaten Tanggamus, Provinsi Lampung; kakao, Kota Palopo, Provinsi Sulawesi Selatan; tenun cual, Provinsi Bangka Belitung; bawang goreng, Kota Palu, Provinsi Sulawesi Tengah
Realisasi Deputi Bidang Pengkajian Sumber Daya UKMK (menurut Laptah 2011 Depkop UKM)
Penelitian UKM dalam Mendukung Pengembangan Ekonomi Daerah
Rintisan model pengembangan pedagang kaki lima pangan/kuliner.