analisis determinan kenaikan kelas usaha mikro bi no.1-2015... · menggunakan dana pemerintah dan...

104
WORKING PAPER ANALISIS DETERMINAN KENAIKAN KELAS USAHA MIKRO Ascarya Siti Rahmawati Agustus, 2015 WP/1/2015

Upload: doanminh

Post on 09-Mar-2019

227 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

WORKING PAPER

ANALISIS DETERMINAN KENAIKAN KELAS USAHA MIKRO

Ascarya Siti Rahmawati

Agustus, 2015

WP/1/2015

1

ANALISIS DETERMINAN KENAIKAN KELAS USAHA MIKRO1

Ascarya dan Siti Rahmawati

Abstrak

Jumlah usaha mikro (UM) sebanyak 55,86 juta atau 98,9% dari total perusahaan di Indonesia dan mempekerjakan lebih dari 90% tenaga kerja. Akan tetapi, hampir semua UM tidak pernah mengalami kenaikan kelas menjadi usaha kecil (UK). Studi ini bertujuan menganalisis determinan dan merancang model dari kenaikan kelas (graduation) usaha mikro menggunakan survei lapangan, metode structural equation modeling (SEM), dan metode strategic assumption

surfacing and testing (SAST). Hasil survei menunjukkan bahwa usaha mikro dan kecil (UMK) merupakan bisnis informal yang dioperasikan di rumah/toko dan bergerak di sektor produksi atau perdagangan, yang mudah keluar/masuk, dengan menggunakan teknologi sederhana; dijalankan oleh tenaga kerja yang berpendidikan rendah dan kurang berpengalaman atau oleh wirusahawan yang tidak terdidik; dibiayai dari modal sendiri; produk cukup dikenal, tetapi bermasalah dalam menguasai pasar. Ketidakstabilan kondisi makroekonomi serta kurangnya dukungan eksternal tidak menjadikan mereka tidak mampu bertahan. Mereka sangat membutuhkan berbagai jenis bantuan, khususnya bantuan manajerial, pembiayaan, bantuan teknis, pemasaran, kewirausahaan, kepemimpinan, dan perubahan pola pikir. Hasil pengujian SEM menunjukkan bahwa determinan utama kenaikan kelas UM adalah standar operating procedure (SOP) dan teknologi informasi (management know-how), pasar (karakteristik usaha), kondisi infrastruktur dan makroekonomi (eksternal), dan dukungan keluarga (support). Determinan penting lainnya adalah visioner, jiwa kewirausahawan dan pengalaman usaha (owner of business/pemilik usaha), dan sumber daya manusia terlatih (resources). Sebagian besar UMK tidak memiliki faktor kunci untuk berhasil maupun naik kelas. Karakteristik ketaatan beragama bukan merupakan faktor kunci kesuksesan dari kenaikan kelas UM. Namun, tetap saja hal tersebut merupakan faktor penting, seperti kecerdasan spiritual yang tinggi, dapat dipercaya (amanah), dan sifat jujur (siddiq). Hasil pengujian SAST menunjukkan bahwa kebijakan paling penting yang diperlukan oleh UMK adalah kestabilan harga dan infrastruktur (external), dukungan modal dan pembiayaan (support), cara mudah dan murah untuk melakukan bisnis dan

Penulis menyampaikan terima kasih kepada Bapak Andang Setyobudi atas saran-sarannya,

Atika R. Masrifah atas bantuan teknisnya, dan Budi Suharjo dan tim atas pelaksanaan

survei.

1 Kajian dipresentasikan pada “the 6th Islamic Economic System Conference”, diselenggarakan oleh Faculty of Economics and Muamalat (FEM), Universiti Sains Islam

Malaysia, Krabi, Thailand, September 29–30, 2015.

Email: [email protected]; Telp: +6221.2981.7345; Fax: +6221.231.1580

Simpulan, pendapat, dan pandangan yang disampaikan oleh penulis dalam

paper ini merupakan kesimpulan, pendapat, dan pandangan penulis dan bukan merupakan kesimpulan, pendapat, dan pandangan resmi Bank

Indonesia.

2

lokasi strategis (karakteristik usaha), akses yang mudah dan murah untuk pembiayaan dan bahan baku, serta ketersediaan teknologi yang mumpuni (resource).

Key words : Micro and Small Enterprises, Graduation, Microfinance, Islamic Entrepreneur

JEL Classification : G21, G28, O17

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Usaha mikro (UM) di Indonesia selalu memainkan peran penting dalam

perekonomian Indonesia. Setelah krisis Asia tahun 1998, khususnya di daerah

perdesaan, UM dianggap sebagai katup pengaman dalam perbaikan ekonomi

nasional dalam rangka meningkatkan pertumbuhan ekonomi, menurunkan tingkat

pengangguran, dan mengurangi kemiskinan. Jumlah UM sebanyak 98,8% (atau

55,9 juta) dari total usaha di Indonesia pada tahun 2012.

Beberapa data menunjukkan signifikansi kontribusi UM terhadap produk

domestik bruto (PDB), yaitu sekitar 34,7% pada tahun 2011 dan 35,8% pada tahun

2012. Angka tersebut berada di bawah kontribusi usaha besar terhadap PDB. Sektor

UM mampu menyerap sekitar 96,0 juta tenaga kerja (90,8%) pada tahun 2011 dan

99,9 juta tenaga kerja (90,1%) pada tahun 2012.

Tabel 1. Statistik Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah Tahun 2012

Jumlah PDB Tenaga Kerja Ekspor*

Mikro 55.856.176 98,79% 35,81% 99.859.517 90,12% 1,51%

Kecil 629.418 1,11% 9,68% 4.535.970 4,09% 3,45%

Menengah 48.997 0,09% 13,59% 3.252.023 2,94% 11,48%

Besar 4.968 0,01% 40,92% 3.150.645 2,84% 83,56%

UMKM 56.534.592 99,99% 59,8% 107.657.509 97,16% 16,44%

Sumber: Kementerian Koperasi dan UKM; *data 2011

Dengan kekhususannya—terutama modal yang kecil—UM mampu

memproduksi dalam proses yang pendek. Dengan manajemen yang sederhana dan

volume unit yang besar yang tersebar di seluruh pelosok nusantara, menjadikan UM

lebih tahan menghadapi gejolak siklus usaha.

3

Di balik cerita kesuksesan UM, masih tersisa masalah yang belum

terpecahkan dan perlu didiskusikan lebih lanjut, yaitu UM selalu mengalami

kesulitan untuk memperoleh pinjaman atau pembiayaan dari industri perbankan

(baik lembaga konvensional maupun lembaga keuangan syariah) karena beberapa

alasan.

Menurut Ascarya (2014) terdapat beberapa model lembaga keuangan mikro

(LKM), baik konvensional maupun lembaga keuangan mikro syariah, yang secara

khusus melayani orang miskin dan UM.

Tabel 2. Model LKM dan Target Konsumennya

Model LKM

Sangat Miskin

Miskin Aktif

UM Kelas Rendah

UM Kelas Menengah

UM Kelas Tinggi

Grameen Rp0–1 M Rp1–5 M

Coop-BMT Rp1–5 M Rp5–10 M

BPR Rp5–10 M Rp10–50 M

MBU Rp10–50 M Rp50–100M

Baitul Maal wa Tamwil (rumah harta dan usaha) atau BMT adalah salah satu

jenis lembaga keuangan mikro syariah (LKMS) yang sangat terkenal di Indonesia.

Baitul Maal (bait ‘rumah’, al-maal ‘harta’) memfokuskan pada pengumpulan

sumbangan wajib dan sukarela, seperti zakat, infak, sedekah (sadaqah), dan wakaf

serta mengoptimalkan pendistribusiannya dengan menerapkan manajemen

berbasis syariah. Sementara itu Baitul Tamwiel (bait ‘rumah’, at-tamwiel

‘pembiayaan/permodalan’) memfokuskan pada pengembangan usaha produktif dan

investasi yang ditujukan untuk meningkatkan kualitas hidup ekonomi masyarakat,

terutama untuk mereka yang memiliki ekonomi skala mikro dan kecil melalui

kegiatan pendanaan dan pembiayaan. BMT dapat terbagi menjadi model BMT

Grameen atau model BMT Individual. Tentunya BMT memiliki keterbatasan

kemampuan, terutama dalam pendanaan, untuk dapat melayani 55,9 juta UM.

Jutaan UM masih belum dapat mengakses kredit atau pembiayaan dari lembaga

keuangan mikro konvensional atau syariah, yang disebabkan oleh permasalahan di

dalam UM atau di dalam lembaga keuangan mikro itu sendiri.

Sementara itu, beberapa model pembiayaan untuk memberdayakan dan

mengembangkan UM melalui BMT terus mengalami peningkatan, termasuk model

komersial, model nonkomersial, dan model campuran. Model-model ini termasuk

4

model yang memiliki hubungan (linkage), baik langsung maupun tidak langsung

antara bank syariah dan BMT. Beberapa model menggunakan zakat dan/atau wakaf

serta menggunakan sumbangan sebagai sumber pendanaan primer/sekunder.

Gambar 1. Commercial Direct Linkages antara Bank Syariah dan BMT

Commercial direct linkages (hubungan langsung yang bersifat komersial)

antara bank syariah dan BMT disebut sebagai commercial model, dapat diwujudkan

dalam pola executing, channeling, atau joint financing.

Gambar 2. Commercial Indirect Linkages antara Bank Syariah dan BMT melalui Lembaga APEX

5

Commercial indirect linkages (hubungan tidak langsung yang bersifat

komersial) melalui lembaga APEX, yaitu dengan menghubungkan bank syariah dan

BMT sehingga bank syariah menyalurkan pembiayaan kepada lembaga APEX atau

koperasi sekunder, kemudian lembaga APEX selanjutnya menyalurkan pembiayaan

tesebut kepada anggota BMT-nya.

Gambar 3. Mixed Direct Linkages antara Bank Syariah dan BMT

Mixed direct linkages (hubungan langsung campuran) dengan bantuan teknis

(TA= technical assistance) memanfaatkan dana sosial (zakat, infak, sedekah,

dan/atau wakaf) untuk melengkapi dana komersial. Sumbangan para donotur dapat

dimanfaatkan untuk TA, sedangkan dana sosial dapat dimanfaatkan untuk BT dan

pendanaan BMT.

6

Gambar 4. Mixed Indirect Linkage Antara Bank Syariah dan BMT

Mixed indirect linkage (hubungan tidak langsung campuran) dengan TA

menggunakan dana pemerintah dan bank sentral untuk melengkapi indirect

commercial fund (dana komersial tidak langsung) melalui lembaga APEX. Dana dari

bank sentral dapat digunakan untuk TA, sedangkan dana pemerintah dapat

digunakan untuk asuransi kredit dan membiayai BMT.

Terdapat beberapa model pembiayaan nonkomersial berdasarkan pendanaan

zakat, serta model pembiayaan berdasarkan pendanaan wakaf. Dapat disimpulkan

bahwa terdapat beberapa model pembiayaan (baik dengan maupun tanpa TA) yang

dikembangkan untuk menyasar konsumen miskin dan UM tertentu dengan atau

tanpa dana sosial.

Tabel 3. Model Pembayaran untuk Usaha Mikro melalui Lembaga Keuangan

Syariah

MODEL LANGSUN

G

TIDAK LANGSUN

G BMT TARGET

Nonkomersial

Pembiayaan + BT

V Grameen Kaum miskin

Hanya Pembiayaa

n V Grameen

Kaum miskin

Campuran Pembiayaa

n + BT V V

Individual/ Grameen

Kaum miskin/U

7

M kelas rendah

Hanya Pembiayaa

n

Komersial

Pembiayaan + BT

Hanya Pembiayaa

n V V

Individual/ Grameen

Kaum miskin/UM kelas rendah,

menengah

Catatan: DP ‘Development Program’; TA ‘Technical Assistance’.

Persentase UM dalam jangka waktu 15 tahun terakhir tidak mengalami

perubahan secara signifikan. Meskipun begitu, data menunjukkan bahwa

perusahaan kecil dan perusahaan menengah dalam periode 2006–2012 trennya

mengalami sedikit peningkatan.

Tabel 4. Persentase Usaha Mikro, Kecil, Menengah, dan Besar di Indonesia

1997 1998 2002 2004 2006 2008 2010 2012

Mikro 99,84% 99,85% 99,78% 99,78%

98,95% 98,90% 98,85% 98,79%

Kecil 0,96% 1,02% 1,07% 1,11%

Menengah 0,15% 0,14% 0,20% 0,21% 0,07% 0,08% 0,08% 0,09%

Besar 0,01% < 0,01% 0,01% 0,01% 0,01% 0,01% 0,01% 0,01%

UMKM 99,99% 99,99% 99,99% 99,99% 99,99% 99,99% 99,99% 99,99%

Di negara yang didominasi oleh UM yang mempekerjakan lebih dari 90%

penduduk negara tersebut, sangatlah penting pemahaman terhadap determinan-

determinan dari kenaikan kelas UM dan pengembangan UM ini agar memperbaiki

kesejahteraan pemilik maupun pekerjanya. Namun, terdapat kesenjangan antara

kemampuan lembaga keuangan syariah dan kebutuhan UM, serta kurangnya

kapabilitas dan kepasitas UM untuk meningkat dan naik kelas menjadi usaha kecil

(UK).

8

1.2 Tujuan Penelitian

Tujuan dari studi ini adalah untuk menganalisis determinan-determinan UM

untuk menjadi lebih baik secara bertahap sehingga mampu naik kelas menjadi UK.

Studi ini mencakup dua kelompok UMK yang merupakan nasabah dari lembaga

keuangan syariah dan konvensional. Lebih lanjut, studi ini akan merancang model

kenaikan kelas UM yang sesuai bagi UM untuk berevolusi dari UM tingkat rendah

hingga UM tingkat tinggi dan pada akhirnya naik kelas menjadi UK.

1.3 Metodologi

Studi ini akan menggunakan berbagai metode kualitatif. Structural equation

modeling (SEM) akan digunakan untuk menganalisis determinan kenaikan kelas

UM. Di samping itu akan digunakan strategic assumption surfacing and testing

(SAST) untuk membantu merancang model kenaikan kelas UM syariah.

II. TINJAUAN LITERATUR/PUSTAKA

2.1 Usaha Mikro dan Kecil

Skala terkecil dari suatu usaha disebut dengan UM karena memiliki skala

operasi mikro dan relatif memiliki sedikit pekerja atau pekerja nonpermanen.

Karena tidak terdaftar secara resmi, UM ini tidak memiliki akses pada jasa/ layanan

formal. Secara umum, definisi UMKM dapat diklasifikasikan berdasarkan jumlah

tenaga kerja, total aset, penjualan per tahun, dan besarnya modal. Menurut Aziz

dan Rusland (2009), berbagai klasifikasi dari UMKM dapat terjadi karena adanya

perbedaan dalam struktur pasar, struktur produksi, kekuatan pasar, kebijakan-

kebijakan, serta sistem hukum pada tiap-tiap negara.

Kriteria UMKM sangatlah beragam, bahkan di antara lembaga multilateral,

seperti Bank Dunia, European Union (EU), Multilateral Invesment Fund (MIF) –

Inter-American Development Bank (AfDB), Asian Development Bank (ADB), dan

United Nations Development Program (UNDP). Secara umum, mereka

mendefinisikan UMKM berdasarkan jumlah tenaga kerja, total aset, dan penjualan

per tahun. Bank Dunia mengklasifikasikan perusahaan dengan jumlah tenaga kerja

0–10 sebagai UM, 10–49 tenaga kerja sebagai UK, dan 50–299 tenaga kerja sebagai

9

usaha menengah. Sementara itu, negara Uni Eropa mendefinisikan UMKM

berdasakan total aset dan penjualan per tahun karena UM merupakan usaha

dengan aset bersih (net aset) kurang dari 2 juta euro atau usaha dengan penjualan

per tahun kurang dari 2 juta euro. UK adalah usaha dengan aset bersih mulai dari

2 juta euro hingga 10 juta euro atau dengan total penjualan per tahun dari 2 juta

euro hingga 10 juta euro.

Menurut AfDB, usaha dengan lebih dari 50 tenaga kerja diklasifikasikan

sebagai usaha besar (UB). Sementara itu, World Bank dan EU mengklasifikasi usaha

dengan tenaga kerja berjumlah 299 dan 249 sebagai usaha menengah. Perbedaan

itu terjadi karena adanya perbedaan tingkat ekonomi suatu kawasan ekonomi.

Tabel 5. Kriteria UMKM yang Digunakan Berbagai Lembaga Multilateral

Lembaga Multilateral

Usaha Mikro Usaha Kecil Usaha Menengah

Tenaga Kerja

Total Aset/ Penjualan per

Tahun

Tenaga Kerja

Total Aset/

Penjualan per Tahun

Tenaga Kerja

Total Aset/

Penjualan per Tahun

Bank Dunia < 11 TA: <$10.000

AS: <$100.000 < 50 <$3 juta < 300 <$15 juta

EU < 10 <€2 juta < 50 <€10 juta < 250

TA: <€43 juta

AS: <€50 juta

MIF – IADB n/a n/a n/a n/a <100 AS: <$3

juta

AfDB n/a n/a n/a n/a <50 n/a

ADB tidak resmi didefinisikan

UNDP n/a n/a n/a n/a <200 n/a

Sumber: UNDP; DCED (Donor Committee for Enterprise Development); Gibson dan Vaart

(2008); dimodifikasi oleh penulis

Kriteria UMKM juga sangat bervariasi antarnegara. Di Chile UMKM

didefinisikan berdasarkan penjualan total per tahun. Usaha dengan penjualan total

per tahun kurang dari USD 2.400 diklasifikasikan sebaga UM, sedangkan usaha

10

kecil adalah usaha dengan total penjualan per tahun kurang dari USD 25 ribu.

UMKM di India saat ini didefinisikan berdasarkan investasi modal. Untuk usaha

yang bergerak di bidang pelayanan jasa, investasi UM untuk peralatan tidak

melebihi RS 10 lakh atau setara USD 20 ribu, sedangkan investasi oleh UK untuk

peralatan berada di atas Rs 10 lakh, tetapi kurang Rs 2 lakh atau setara dengan

USD 40 juta.

Beberapa negara mengklasifikasi UMKM berdasarkan jumlah tenaga kerja

(Tabel 6). Di Jamaica, usaha dengan tenaga kerja kurang dari 4 diklasifikasikan

sebagai UM, sedangkan tenaga kerja 4 hingga 10 diklasifikasi sebagai UK. Di Albania

dan Australia perusahaan yang mempekerjakan kurang dari 5 tenaga kerja

diklasifikasi sebagai UM, dan perusahaan dengan 5–19 tenaga kerja diklasifikasikan

sebagai UK. UM di Oman dan Brunei memiliki kurang dari 6 tenaga kerja,

sedangkan UK di Oman mempekerjakan 6 hingga 20 tenaga kerja dan di Brunei

mempekerjakan 6 hingga 50 tenaga kerja. UM di Saudi Arabia mempekerjakan 0

hingga 9 tenaga kerja, sedangkan UK mempekerjakan 6 hingga 50 tenaga kerja.

Federasi Rusia mengklasifikasi 1 hingga 19 tenaga kerja sebagai UM, sedangkan UK

memiliki 16 hingga 100 tenaga kerja. Secara khusus, Tiongkok mengelompokkan

UK berdasarkan sektor ekonomi.

Tabel 6. Kriteria UMKM Berdasarkan Jumlah Tenaga Kerja

Negara Usaha Mikro Usaha Kecil Usaha Menengah

Jamaica 1–3 4–10 11–49

Albania 1–4 5–19 20–79

Indonesia 1–4 5–19 20–99

Australia 1–4 5–19 20–199

Egypt 1–5 6–10 11–100

Oman 1–5 6–20 21–100

Brunei Darussalam 1–5 6–50 51–100

Brazil* 0–9 10–49 50–249

Vietnam* 0–9 10–49 50–299

Saudi Arabia* 0–9 10–59 60–199

Bangladesh 1–9 10–49 50–99

Phillippine 1–9 10–99 100–199

Pakistan 1–10 11–50 51–250

Kenya 1–10 11–50 51–100

11

Note: *: 0 (pemilik dikeluarkan dari tenaga kerja)

Indstr: Industri; Constr: Konstruksi; Transp: Transportasi

Sumber: Kushnir et al. (2010); Bloem (2012); dimodifikasi oleh penulis

Beberapa negara menggabungkan berbagai acuan dalam mendefinisikan

UMKM. Beberapa dari negara tersebut menggunakan berbagai standar untuk

mendefinisikan UMKM dalam kaitannya dengan kebijakan yang diterapkan

regulator di tiap-tiap negara. Peru dan Republik Dominica menggunakan jumlah

tenaga kerja dan penjualan per tahun untuk menetapkan UMKM. Filipina, Kamboja,

dan Nigeria menggabungkan jumlah tanaga kerja dan total aset untuk

mengklasifikasikan UMKM. Indikator jumlah tenaga kerja, penjualan tahunan, dan

total aset digunakan oleh Costa Rica dan Bolivia.

Di samping itu, sektor ekonomi juga dipertimbangkan sebagai acuan dalam

menentukan UMKM. Sebagai contoh, Afrika Selatan menetapkan definisi yang

berbeda untuk UMKM di sektor pertambangan, listrik, manufaktur, dan konstruksi.

Argentina menggunakan tingkat penjualan tahunan yang berbeda untuk

mengklasifikasikan usaha di sektor industri, retail, jasa, dan pertanian. Malaysia

membedakan UMKM di sektor jasa dan manufaktur berdasarkan jumlah tenaga

kerja dan penjualan tahunan.

Tabel 7. Kriteria UMKM

Russian Federation 1–15 16–100 101–250

Turkey 1–19 20–49 50–249

Ukraine n/a 1–49 50–249

Venezuela n/a 1–50 51–100

China n/a

<300 in indstr, <600 constr,

<100 wholesale, <100 retail,

<500 transp,

<400 post, <400 in hotels & restaurants

<2000 indstr, <3000 constr, <200 wholesale,

<500 retail, <3000 transp, <1000 post,

<800 in hotels & restaurants

Singapore UMKM adalah perusahaan dengan karawan kurang dari

200 orang

12

Keterangan: Agri: Pertanian; Constr: Konstruksi; Indstr: Industri; Invst: Investasi; Mfg:

Manufaktur; Servc: Jasa; Mil: Juta; Bil: Miliar

Sumber: Kushnir et al. (2010); Bloem (2012); dimodifikasi oleh penulis

Di Indonesia, beberapa lembaga dan perundang-undang terkait UMKM

membagi klasifikasi UMKM dalam beberapa kriteria. Badan Pusat Statistik

mendefinisikan UMKM menurut jumlah tenaga kerja. Usaha yang mempekerjakan

kurang dari 5 tenaga kerja dikategorikan sebagai UM, UK memiliki 5 hingga 19

tenaga kerja, sedangkan usaha menengah memiliki 20 hingga 99 tenaga kerja.

Klasifikasi itu didasarkan pada jumlah tenaga kerja tanpa memperhatikan aset total

maupun penjualan tahunan. UU UMKM No. 28/2008 mengklasifikasi UM

berdasarkan aset dan penjualan tahunan, sebagaimana ditunjukkan dalam Tabel 8.

Tabel 8. Kriteria UMKM di Indonesia

Jenis Usaha Kriteria (UU UMKM No.20/2008)

MIKRO - Aset < 50 juta rupiah (tidak termasuk properti)

- Penjualan tahunan < 300 juta rupiah

KECIL - Aset 50 juta–500 juta rupiah (tidak termasuk properti)

- Penjualan tahunan 200 juta–2,5 miliar rupiah

MENENGAH - Aset 500 juta–10 miliar rupiah

- Penjualan tahunan 2,5 miliar–10 miliar rupiah

2.2 Business Life Cycle Framework

Business life cycle model (model siklus hidup usaha) menyatakan bahwa

suatu usaha perlu melalui beberapa tahapan dalam perkembangannya. Setiap

Country Micro Enterprises Small Enterprises Medium Enterprises

Employee Asset Sales Employee Asset Sales Employee Asset Sales Chile n/a n/a < US$2.400 n/a n/a < US$25.000 n/a n/a < US$1 Mil Indonesia 1 – 4 < Rp50 mil < Rp300 mil 5 – 19 < Rp500 mil < Rp2.5 bil 20 – 99 < Rp10 bil < Rp50 bil Egypt 1 – 5 n/a < EGP5 mil 6 – 10 n/a < EGP50 mil 11 – 100 n/a < EGP250 mil UK 1 – 9 n/a n/a 10 – 49 n/a <£5.6 mil 50 – 249 n/a n/a Cambodia 0 – 9 < US$50.000 n/a 10 – 49 < US$250.000 n/a 50 – 199 n/a < USS500.000 Philippine 1 – 9 < P3 mil n/a 10 – 99 < P15 mil n/a 100 – 199 n/a n/a US 1 – 10 n/a < US$3.5 mil 11 – 99 < US$14 mil n/a 100 – 499 n/a n/a

Malaysia < 5 n/a

Agri & Servc <RM200.000;

Mfg <RM250.000

Agri & Servc. <19; Mfg. <50

n/a

Agri & Servc <RM1 mil;

Mfg <RM10 mil

Agri & Servc. <50; Mfg. <150

n/a

Agri & Servc <RM5 mil;

Mfg <RM25 mil

South Africa

Agri<5, Others<5; (diff. by sector)

Agri<R0.1m; Other<R0,1m

(diff. by sector)

Agri<R0.2m; Other<R0.2m;

(diff. by sector)

Agri<50, Others<50;

(diff. by sector)

Agri<R3m; Other<R3m;

(diff. by sector)

Agri<R3m; Other<R3m;

(diff. by sector)

Agri<100, others<200

(diff. by sector)

Agri<R5m; other<R5m

(diff. by sector)

Agri<R5m; other<R5m;

(diff. by sector)

Argentina Indstr <5; Trade <5; Servc (4;

Asset: Agri <ARS456 000; Indstr.&Mining <ARS1.25 mil;

Trade <ARS1.85 mil; Constr. <ARS480 000; Servc. <ARS467 500

Indstr <24; Trade <23; Servc <17;

Asset: Agri <ARS3.04 mil; Indstr.&Mining <ARS7.5 mil;

Trade <ARS11.1 mil; Constr. <ARS3 mil;

Servc. <ARS3.366 mil

Indstr <96; Trade <67; Servc <66;

Asset: Agri <ARS18.24 mil; Indstr.&Mining <ARS60 mil;

Trade <ARS88.8 mil; Constr. <ARS22.44 mil;

Servc. <ARS24 mil

India n/a Invst.: Mfg. < US$50,000,

Servc.< US$20,000 n/a

Invst.: Mfg.< US$1 mil, Servc. < US$0.4 mil

n/a Invst.: Mfg. < US$2 mil,

Servc.< US$1 mil

13

model merepresentasikan karakteristik yang berbeda-beda dari berbagai tahapan.

Tabel 9 menunjukkan taksonomi dari business life cycle berdasarkan sejumlah

tahapan.

Tabel 9. Taksonomi Business Life Cycle Berdasarkan Jumlah Tahapan

Jumlah Tahapan

Penulis

3 Lippitt dan Schmidt (1967); Downs (1967); Scott (1971); Katz dan Kahn (1978); Smith, Mitchell dan Summer (1985)

4 Chandler (1962); Steinmetz (1969); Lyden (1975); Kimberly (1979); Quinn dan Cameron (1983); Kazanjian dan Drazin (1989)

5 Penrose (1952); Greiner (1972); Galbraith (1982); Miller dan Friesen (1984); Scott dan Bruce (1987); Jansen dan Chandler (1993); Lester dan Parnell (1999)

6 Churchill dan Lewis (1983); Hanks dkk (1993)

8 Torbert (1974)

10 Adizes (1979)

Sumber: Quinn dan Cameron (1983: 35–37); Perényi et al. (2011: 144); Lester et al. (2003:

341); dimodifikasi oleh penulis

Banyak studi mengenai kerangka business life cycle telah dilakukan.

Kerangka tersebut dapat diterapkan tidak hanya untuk organisasi, tetapi dapat pula

digunakan untuk perusahaan dan korporasi publik. Tabel 10 menunjukkan

taksonomi model life cycle berdasarkan unit analisis.

Tabel 10. Taksonomi Life Cycle Models Berdasarkan Unit Analisis

Unit Analisis Penulis

Umum Chandler (1962); Downs (1967); Torbert (1974); Katz dan Kahn (1978); Galbraith (1982); Lester dan Parnell (1999)

Organisasi Greiner (1972); Adizes (1979); Hanks, Watson, Jansen dan Chandler (1993); Kimberly (1979); Quinn dan Cameron (1983); Smith, Mitchell dan Summer (1985)

Organisasi Publik Lyden (1975)

Firma/Perusahaan/

Industri

Lippitt dan Schmidt (1967); Miller dan Friesen (1984); Penrose (1952); Porter (1980)

Usaha Besar Channon (1968); Salter (1970)

Usaha Kecil Menengah

Mahar dan Coddington (1966); Steinmetz (1969); Barnes dan Hershon (1976); Bruce (1978); Scott dan Bruce (1987); Churchill dan Lewis (1983); Kazanjian dan Drazin (1989)

Sumber: Scott dan Bruce (1987: 46); Perényi et al. (2011: 144); dimodifikasi oleh penulis

14

Banyak penulis mengajukan tahapan siklus hidup (stages of the life cycle)

suatu organisasi atau perusahaan. Masing-masing mengklasifikasi tahapan siklus

hidup secara berbeda-beda. Meskipun terdapat perbedaan dalam setiap model

siklus hidup, terdapat persamaan dari model-model tersebut. Sebagian besar model-

model itu mengategorikan business life cycle, mulai dari pendirian (lahir) hingga

dewasa. Namun, Adizes (1979) membuat klasifikasi yang paling lengkap, yaitu

mengklasifikasi business life cycle ke dalam sepuluh tahapan yang dimulai dari

masa kelahiran (penciptaan awal) hingga kematian.

Greiner (1972) menjelaskan lima fase pertumbuhan sebagai pertumbuhan

suatu organisasi. Sebagaimana ditunjukkan dalam Gambar 5, model fase

pertumbuhan terdiri atas penciptaan, arahan, delegasi, koordinasi, dan kolaborasi.

Setiap tahapan menghadapi krisis pada akhir periode dan bagaimana organisasi

menyikapi krisis tersebut akan menentukan pertumbuhan ke depannya. Untuk

mengatasi krisis tersebut, manajer harus mempertimbangkan beberapa

rekomendasi yang berkaitan dengan fase yang pernah dilalui. Teori evolusi dan

revolusi Greiner telah digunakan sebagai konsep dasar oleh penelitian lebih lanjut

mengenai business life cycle.

Phase 1 Phase 2 Phase 3 Phase 4 Phase 5

1. Growth Through Creativity

2. Growth Through Direction

3. Growth Through Delegation

4. Growth Through Coordination

5. Growth Through Collaboration

1. Crisis of Leadership

2. Crisis of Autonomy

3. Crisis of Control

4. Crisis of Red Tape

5. Crisis of ?Evolution Stage

Revolution Stage

Larg

eS

ma

llF

irm

Siz

e

Young MatureFirm Age

Sumber: Greiner (1972)

Gambar 5. Model Greiner Mengenai Lima Tahapan Pertumbuhan

Penelitian penting lainnya mengenai business life cycle adalah Adizes (1979).

Adizes menggambarkan model siklus hidup korporasi dengan mengidentifikasi

sepuluh tahapan kehidupan yaitu sebagai berikut (i) pengenalan (awal penciptaan

usaha); (ii) masa pertumbuhan (memulai penjualan kepada pelanggan kunci,

peningkatan modal atau perekrutan key talent); (iii) go-go (penjualan tumbuh pesat

dan terkadang terjadi kekacauan); (iv) masa remaja (sukses ketika perusahaan

15

berjalan baik, petaka ketika penjualan menurun ataupun infrastruktur hancur); (v)

unggul (posisi paling optimal dalam siklus kehidupan); (vi) stabil (tetap

menguntungkan, tetapi mulai kehilangan kekuatan); (vii) aristrokasi (sukses, tetapi

ekspektasi pertumbuhan menurun dan kehilangan pangsa pasar); (viii) birokrasi

awal (ancaman, permasalahan, dan ketakutan membekukan organisasi); (ix)

birokrasi (dalam internal terjadi disasosiasi dan sistem yang tidak efisien); dan (x)

kematian (kebangkrutan ataupun penutupan).

Growing Aging

Courtship

Infant

Go-Go

Adolescence

Prime

Stable

Aristocracy

Early Bureaucracy

Bureaucracy

DeathAffair

Infant Mortality

Founder Trap

Unfulfilled Entrepreneur

Premature Aging

Divorce

Sumber: Adizes (1979)

Gambar 6. Model Adizes Mengenai Siklus Kehidupan Perusahaan

Setelah model Greiner dan Adizes, Churcill dan Lewis (1983) mengembangkan

lebih lanjut model classic. Sebuah perusahaan dapat memiliki lima tahapan

pertumbuhan, yaitu eksistensi/keberadaan, keberlangsungan hidup, sukses,

tinggal landas, dan kematangan sumber daya. Dalam tahapan eksistensi,

perusahaan masih dalam pembentukan dan bekerja tanpa struktur yang formal.

Kedua, tahapan keberlangsungan hidup/bertahan memaksa usaha untuk tumbuh

dengan menambah modal. Tujuan utama tahap itu ialah mempertahankan

kebutuhan perbaikan dan penggantian sehari-hari

Pada tahap ketiga kesuksesan, perusahaan mulai memperoleh keuntungan

dan modal yang cukup sehingga mereka dapat berinvestasi dalam usaha lebih lanjut

dengan cara membangun kerja sama tim. Pada tahap take-off, perusahaan mulai

menciptakan pertumbuhan lebih lanjut, ekspansi, dan mencari peluang-peluang

baru. Terakhir, ketika mencapai tahap kematangan sumber daya, perusahaan

16

menjadi semakin besar dengan memfokuskan pada pengendalian kualitas,

pengendalian keuangan, dan penciptaan ceruk pasar.

Sumber : Churchill dan Lewis (1983)

Gambar 7. Model Curhchill dan Lewis mengenai Pertumbuhan Perusahaan

Scott dan Bruce (1987) menjelaskan model pertumbuhan usaha kecil melalui

lima tahapan dengan karakteristik tersendiri (Gambar 8). Tahapan itu adalah

permulaan, bertahan hidup (survival), tumbuh, ekspansi, dan dewasa. Model

tersebut membantu manajer untuk merencanakan masa depan perkembangan

usahanya dan mengatasi permasalahan dalam mengembangkan usaha kecil. Tabel

11 menjelaskan secara terperinci model Scott dan Bruce.

Stage I Stage II Stage III(a) Stage III(b) Stage IV Stage V

Existence Survival Success-

Disengagement Success-Growth

Take-Off Resource Maturity

Management Style

Direct Supervision

Supervised Supervision

Functional Functional Divisional Line and Staff

Organization

Extent of Formal Systems

Minimal to Nonexistent

Minimal Basic Developing Maturing Extensive

Major Strategy Existence Survival Maintaining Profitable

Status Quo

Get Resources for

Growth Growth

Return on Investment

Business and

Owner*

*White circle represents owner; Black circle represents business

17

Sumber: The Scott dan Bruce (1987)

Gambar 8. Model Pertumbuhan Usaha Scott dan Bruce

Tabel 11. Model Lima Tahap Pertumbuhan Usaha Kecil Menurut Scott dan Bruce

Tahap 1 – Permulaan

Tahap 2-Kelangsungan

Tahap 3 – Pertumbuhan

Tahap 4 - Ekspansi

Tahap 5- Dewasa

Tahapan Industri

muncul, fragmentasi

muncul, fragmentasi

tumbuh, beberapa kompetisi besar,

entri baru

tumbuh, goyah

tumbuh/ goyah atau dewasa/

menurun

Isu Kunci

mendapatkan pelanggan,

produksi ekonomis

pendapatan dan pengeluaran

berhasil tumbuh,

menjamin sumber daya

tumbuh pembiayaan,

menjaga pengawasan

memperluas pengawasan dan

produktivitas, konsentrasi pada pemasaran

apabila industri menurun

Peran

Manajemen Puncak

pengawasan langsung

mengawasi dan

pengawasan

diawasi

delegasi,

koordinasi

desentralisasi

desentralisasi

Gaya Kepemimpinan

wirausahawan, individualistis

wirausahawan, administratif

wirausahawan, koordinasi

profesional, administratif

pengawas

Struktur Organisasi

tidak terstruktur sederhana fungsional,

tersentral

fungsional, desentralisasi

desentralisasi

fungsional/ produk

Produk dan Pasar

tidak ada sedikit

beberapa

pengembangan produk baru

inovasi produk

baru, studi pasar

inovasi produk

Sistem dan Pengawasan

pembukuan

sederhana,

pengawasan melekat/ langsung

pembukuan

sederhana, pengendalian langsung

sistem akutansi,

laporan pengawasan sederhana

sistem anggaran,

penjualan bulanan dan laporan produksi

sistem pengawasan

formal, manajemen dengan objektif

Sumber Utama Pembiayaan

pemilik, teman dan saudara,

penyedia leasing

pemilik, pemasok, bank

bank, partner baru, pendapatan

ditahan

pendapatan ditahan, partner baru, program

jaminan pinjaman

pendapatan ditahan, pinjaman

jangka panjang

Inception Survival Growth Expansion Maturity

Young MatureAge of Business

Stage 1 Stage 2 Stage 3 Stage 4 Stage 5

Fold

Fold

Fold

Contained

Decline

Contained

Siz

e

Evolution Stage

Revolution Stage

18

jangka

panjang

Cash Generation

negatif negatif/ breakeven

positif namun diinvestasikanke

mbali

positif dengan sedikit dividen

cash generator,divi

den yang

lebih tinggi

Investasi Utama pabrik dan peralatan

modal kerja modal kerja, perluasan pabrik

unit operasi baru

pemeliharaan pabrik dan posisi pasar

Produk-Pasar

satu jalur dan terbatasnya channel dan

pasar

satu jalur dan pasar tapi terjadi peningkatan

skala dan channel

diperluasnya jalur namun masih terbatas, satu pasar,

beberapa channel

perluasan wilayah, peningkatan

pasar dan channel

menguasai jalur, banyak pasar dan channel

Sumber: Scott dan Bruce (1987)

Kazanjian and Drazin (1989) menyajikan siklus hidup organisasi melalui

empat tahapan pertumbuhan secara nyata, yaitu konsep dan pengembangan,

komersialisasi, pertumbuhan, dan stabilitas. Pertama, tahap konsep dan

perkembangan memfokuskan pada penemuan dan pengembangan dari produk

dan/atau teknologi. Kedua, tahapan komersialisasi mencoba membangun jaringan

yang andal agar produk berjalan dengan baik. Ketiga, tahapan pertumbuhan

merupakan periode pertumbuhan yang tinggi, baik dari sisi penjualan maupun

tenaga kerja. Keempat, tahapan stabilitas terjadi ketika tingkat pertumbuhan

berjalan lambat menuju ke tingkat yang sejalan dengan pertumbuhan pasar. Hal itu

memaksa perusahaan untuk menciptakan produk baru dalam rangka mendorong

pertumbuhan. Mereka tidak hanya mengasumsikan secara apriori mengenai

eksistensi tahapan, tetapi juga menguji secara empiris mengenai kemajuan

perusahaan dalam seluruh tahap perkembangan sepanjang waktu. Mereka mampu

memperbaiki daya prediksi model dengan cara mengurangi jumlah tahapan dan

jumlah perusahaan yang melewati (skipped) tahapan.

2.3 Determinan Kenaikan Kelas Usaha Mikro

Konsep upgrading (peningkatan) dalam global value chain pada awalnya

dikenalkan oleh Humprey dan Smitz (2000). Mereka memfokuskan empat tipe

upgrading, yaitu upgrading produk, upgrading proses, upgrading fungsi, dan

upgrading intersectional. Sementara itu, Reeg (2013) mendefinisikan upgrading

sebagai pertumbuhan UKM melalui proses inovasi. Reeg mengidentifikasi lima jalur

inovasi yang dapat terjadi pada produk, proses, pemasaran, fungsional, dan sektor.

Pada bagian ini akan didiskusikan determinan-determinan dari suatu proses

upgrading.

19

2.3.1 Upgrading UMKM (Usaha Mikro Kecil Menengah)

Di negara berkembang, usaha mikro, kecil, menengah (UMKM) dikenal

sebagai sumber utama dari pendapatan dan tenaga kerja. Mead dan Liedholm (1998:

61) melakukan baseline surveys di enam negara Afrika yang seperempat dari

penduduk usia kerjanya bekerja di sektor UMKM. Karena UMKM memiliki proporsi

yang tinggi di sektor industri, Reeg (2013a: 9) juga menyoroti UMKM sebagai agen

ekonomi di negara berkembang.

Mead dan Leadholm (1998: 64) berpendapat bahwa UMKM cenderung secara

konstan mengalami kondisi yang naik-turun. Selalu ada perusahan yang baru

mulai, sedangkan yang lainnya telah melalukan ekspansi, kontraksi, dan bahkan

tutup. Di samping itu, beberapa studi empiris menunjukkan bahwa sebagian besar

UMKM berada dalam kondisi stagnan. Beberapa usaha mikro dan kecil dapat

menjadi usaha menengah melalui produktivitas, aset, dan tenaga kerja yang disebut

upgraders. Proses upgrading ini terdiri atas dua elemen, yaitu elemen kuantitatif

(perkembangan usaha) dan elemen kualitatif (inovasi) (Reeg, 2013a: 9). Aspek

pertama (kuantitatif) mencerminkan perkembangan usaha dari kondisi stagnan

(pendapatan, produktivitas, dan tenaga kerja) hingga meningkatnya pendapatan dan

jumlah tenaga kerja penerima upah. Elemen yang kedua mencakup perbaikan

kualitas produk, kapasitas proses, dan inovasi (Humphrey dan Schmitz, 2000: 3–4).

Proses upgrading UMKM bertujuan untuk menganalisis perkembangan

perusahaan dengan cara-cara yang berbeda. Pada Gambar 9 terdapat tiga jenis

upgrading usaha, yaitu perkembangan usaha, tingkat inovasi perusahaan, dan

formalisasi usaha (Reeg, 2013b: 8). Berbagai faktor internal dan eksternal

mempengaruhi kinerja perusahaan dalam menghadapi kondisi siklus usaha yang

berbeda-beda. Sebagai akibatnya, faktor internal dan eksternal ini dapat menjadi

sumber yang bermanfaat dalam proses upgrading UMKM.

20

Sumber: Reeg (2013a: 9)

Gambar 9. Upgrading (Peningkatan) Usaha

2.3.1.1 Upgrading Perusahaan sebagai Formalisasi Usaha (Enterprise

Upgrading as Business Formalization)

Beberapa literatur mengemukakan bahwa kenaikan kelas perusahaan di

negara berkembang dipandang sebagai suatu transformasi dari lembaga informal

menjadi lembaga formal melalui pemenuhan aspek legal untuk sebuah perusahaan.

Transformasi dari lembaga informal menjadi lembaga formal menjadi indikator yang

baik untuk kenaikan kelas perusahaan agar lebih produktif, menguntungkan, dan

dapat terus berkelanjutan (sustainable). Namun, perusahaan produktif informal

dapat pula memperoleh keuntungan (Reeg, 2013b: 8).

2.3.1.2 Upgrading Perusahaan sebagai Pertumbuhan Perusahaan (Enterprise

Upgrading as Enterprise Growth)

Pertumbuhan perusahaan dikenal sebagai langkah pengembangan dari

usaha yang stagnan atau menurun menjadi usaha yang tumbuh, baik dalam hal

aset, produktivitas, maupun jumlah pegawai. Rasio keuangan dan pengukuran yang

lebih terperinci seperti arus dana (cash flow) atau total turnover kadang kala

digunakan untuk mengindikasikan suatu keuntungan dan kinerja. Namun,

kemungkinan bahwa suatu perusahaan dapat tumbuh tanpa perbaikan metode

penjualan yang signifikan mungkin saja terjadi dalam suatu kasus karena ada

kelangkaan (scarcity), ekspansi pasar, dan proteksi yang ketat, atau karena isolasi

(Reeg, 2013b: 8).

Upgrading (Peningkatan)

Usaha

Keuntungan Inovasi

Registrasi Bisnis Upgrading tipe 2

Inovasi tingkat usaha Upgrading tipe 3

Usaha Tumbuh Upgrading tipe 1

Perbaikan Kualitatif

Produk

Proses

Cara mengelola produksi

Pasar

Strategi Pemasaran

Perbaikann Kuantitatif

Pendapatan

Produktivitas

Jumlah tenaga kerja yang dibayar

21

2.3.1.3 Upgrading (Pengembangan) Usaha sebagai Tingkat Inovasi Usaha

(Enterprise Upgrading as Firm-Level Innovation)

Reeg (2013b: 9) mengemukakan bahwa inovasi di negara berpendapatan

rendah dan sedang didefinisikan sebagai penemuan dan adaptasi ilmu pengetahuan

secara terus menerus. Dalam skala UMKM, inovasi memcerminkan bagaimana

suatu perusahaan menjalankan usahanya dengan cara yang berbeda dari

kompetitornya untuk memperoleh keuntungan yang lebih tinggi dari keuntungan

rata-rata.

2.3.1.4 Hubungan antara Inovasi, Pertumbuhan Perusahaan, dan Formalisasi

Usaha

Berdasarkan uraian di atas, upgrading perusahaan didefinisikan sebagai

pertumbuan usaha yang dimulai dari proses inovasi. Formalisasi usaha merupakan

hasil dari proses upgrading. Pada intinya upgrading memiliki dua aspek penting.

Pertama, langkah kuantitatif yang memfokuskan pada pertumbuhan usaha dari

kondisi stagnan menjadi kenaikan pendapatan, produktivitas, atau tenaga kerja.

Kedua, perbaikan kualitatif yang memfokuskan pada produk, proses, dan produksi

(Reeg, 2013a: 18).

2.3.2 Determinan dari Upgrading UMKM

Secara umum, kinerja dan pertumbuhan usaha dapat ditentukan

berdasarkan kualitas internal atau eksternal dari suatu usaha. Sebagaimana

ditunjukkan dalam Gambar 10, onion model membagi lima subtingkat dari

determinan upgrading. Wirausahawan dan karakteristik usaha terkait dengan

kualitas internal dari sebuah usaha. Sementara itu, lingkungan usaha, jaringan

sosial, dan jaringan bisnis terkait dengan lingkungan eksternal (Reeg, 2013a: 20).

22

Sumber: Reeg (2013)

Gambar 10. Konsep Onion Layer

2.3.2.1 Karakteristik Wirausahawan

Reeg (2013b: 18) menjelaskan bahwa wirausahawan memainkan peran

penting di setiap keputusan perusahaan dalam memulai dan melakukan

peningkatan usaha. Teori kewirausahawanan menekankan adanya pengaruh kuat

dari faktor perilaku individu dalam upgrading perusahaan, seperti motivasi yang

tinggi. Karakteristik individu (jenis kelamin dan umur) dan latar belakang

wirausahawan (pendidikan, pelatihan, dan pengalaman) juga merupakan faktor

penting dalam mengembangkan perusahaan.

2.3.2.2 Karakteristik Perusahaan

Terdapat beberapa karakteristik dari perusahaan yang berhubungan dengan

upgrading perusahaan meskipun tidak memiliki hubungan langsung dengan latar

belakang wirausahawan. Ada lima faktor dari karakteristik perusahaan, yaitu umur

usaha, lokasi, sektor bisnis dan penciptaan usaha, kapasitas penyerapan usaha,

dan informalitas (Reeg, 2013: 28).

2.3.2.3 Jaringan Usaha and Sosial

Jaringan interpersonal dan interusaha diperlukan perusahaan dalam

penciptaan dan pertumbuhan suatu usaha. Berdasarkan tujuannya, jejaring dapat

23

memfasilitasi pembelajaran dan penyesuaian dalam arti dapat menciptakan sumber

daya (resources) yang luas, seperti pembiayaan, ilmu pengetahuan, dan dukungan

emosional. Melalui jejaring yang efisien dan efektif, sebuah perusahaan baru dapat

mempercepat tahap permulaan, pertumbuhan, dan kapasitas berinovasi (Reeg,

2013b: 36).

2.3.2.4 Lingkungan Usaha

Lingkungan usaha secara keseluruhan menjadi sangat penting untuk

menstimulasi investasi bagi UMKM. Kesempatan usaha dapat diciptakan dari

faktor-faktor kebijakan, hukum, dan regulasi yang menjamin dukungan persyaratan

menjalankan usaha. Berkenaan dengan lingkungan usaha, Reeg (2013a) mengamati

lima faktor lingkungan usaha yang dapat mempengaruhi UMKM, yaitu sebagai

berikut (i) stabilitas makroekonomi dan politik; (ii) regulasi terkait lingkungan

usaha; (iii) persaingan; dan (iv) akses keuangan.

2.4 Kewirausahawan dalam Pandangan Islam

Kewirausahawan syariah dapat disebut sebagai kewirausahawan dalam

sudut pandang Islam. Kewirausahawan konvensional dibentuk dengan tujuan

memperoleh untung, sedangkan kewirausahawan syariah secara alami

dimungkinan dengan cara yang seimbang antara mendapatkan keuntungan dan

dalam waktu bersamaan juga bertujuan mendapatkan pahala. Cendekiawan Muslim

menyebutkan sejumlah sifat yang dapat dijalankan oleh wirausahawan Muslim

(Faizal et al., 2013; Hoque et al., 2014; Oukil, 2013; Abdullah dan Hoetoro, 2011;

Kayed, 2006; Kayed dan Hasan, 2010; Hassan dan Hippler, 2014).

Penulis Islam kontemporer mengemukakan sejumlah karakteristik yang

dapat dilakukan oleh wirausahawan Muslim, di antaranya adalah Faizal et al.

(2013); Hoque et al. (2014); Oukil (2013); Abdullah dan Hoetoro (2011); Kayed (2006);

Kayed dan Hassan (2010); Hassan dan Hippler (2014).

Faizal et al. (2013) menjelaskan bahwa kerangka dasar dari seorang

wirausahawan Muslim adalah takwa dan ibadah kepada Allah SWT. Berdasarkan

kerangka dasar itu, terdapat elemen-elemen lain yang akan melengkapi

karakteristik wirausahawan Muslim. Takwa kepada Allah SWT dapat terus

ditingkatkan dengan menjalankan ibadah wajib dan sunnah, baik yang bersifat

24

fardhu ‘ain (kewajiban individu) dan fardhu kifayah (kewajiban bersama). Termasuk

di dalamnya adalah salat, puasa di bulan Ramadhan, melaksanakan haji dan

umroh, melaksanakan zakat, dan beramal. Hal tersebut juga dibutuhkan untuk

mendukung beberapa nilai lainnya, seperti nilai moral yang tinggi, kepercayaan,

kepedulian kepada sesama, dan kepedulian lingkungan.

Hoque et al. (2014) mengembangkan model kewirausahawanan berdasarkan

Alquran dan Assunnah dalam dunia bisnis modern. Ciri-ciri yang menonjol ialah

ilmu pengetahuan, inisiatif, pengambilan risiko, orientasi pelanggan, keterlibatan

pekerja, pemikiran strategis, taat kepada Allah SWT, bekerja keras, berinovasi,

memiliki keunggulan, jujur dan dapat dipercaya, moral yang baik, visioner,

optimistis, kesabaran, kesejahteraan sosial, penghasilan halal, dan ekonomis. Model

ini dapat digunakan untuk mengembangkan kewirausahawanan dari perspektif

syariah dengan menjalankan berbagai jenis aktivitas yang berhubungan dengan fase

pengembangan perusahaan.

Sumber: Hoque et al. (2014)

Gambar 11. Model Wirausahawanan

Oukil (2013) mengemukakan bahwa segala aktivitas usaha harus patuh pada

kode etik usaha syariah yang selaras dengan pedoman dasar berikut ini. Pertama,

tidak ada kejahatan (fraud) atau tipu-menipu (Al-Bukhari) artinya perdagangan

harus legal/sah, diinginkan dan baik secara moral, dan diterima di masyarakat.

Kedua, larangan membuat terlalu banyak sumpah ketika menjual barang dagangan,

Risk Taking

Patience

Honesty

Knowledge

Social Welfare

Customer Orientation

Innovativeness

Employee Involvement

Fear in Allah

Hard Working

Excellence

Initiative

Islamic Entrepreneurship

Providing sufficient entrepreneurial knowledge from contemporary and Islamic perspectives in the education institutions

Developing awareness by seminar, symposium, workshop, talk show, etc.

Developing awareness through Imams of mosques and other social organizations

Policy and Infrastructural supports

Easy access to fund Tax rebate Subsidy Incubation facilities Reinforcement based on

performance Availability of training Problem-solving services

Supportive and Motivational Activities

Preparatory and Awareness Developing Activities

FEEDBACK

FEEDBACK

FE

ED

BA

CK

25

Nabi (SAW) bersabda bahwa dengan membuat sumpah menjadikan barang terjual,

tetapi hal itu menghilangkan berkah (oleh karenanya) (Ibnu Majah: 2209). Ketiga,

perlunya persetujuan bersama antarpihak ketika melakukan usaha (Al-Bukhari).

Keempat, timbangan dan pengukuran yang ketat (Al-Muwatta; At-Tirmidhi). Kelima,

tidak ada monopoli (Abu Dawud).

Dalam perubahan lingkungan usaha yang terus berubah, permasalahan

kewirausahaan sosial (social entreprenurship) memaksa wirausahawan menjadi

cukup pintar dan cepat tumbuh. Mair dan Marti (2005) berpendapat bahwa

perusahaan sosial (social enterprises) berbeda dengan perusahaan konvensional

yang disebabkan perusahaan sosial memiliki target untuk mengoptimalkan nilai-

nilai sosial. Namun, menurut Murphy dan Coombes (2009), kewirausahaan sosial

selalu bekerja untuk perbaikan dalam masyarakat dibandingkan dalam

mendapatkan keuntungan. Bahkan, dalam konteks pemberdayaan usaha kecil dan

menengah, Abdullah dan Hoetoro (2011) mengusulkan kewirausahaan sosial

syariah sebagai model dalam pemberdayaan UKM untuk diterapkan dalam

komunitas Muslim. Pada dasarnya, model ini menggunakan sejumlah modal sosial

syariah dan kerja sama antarwirausahawan Muslim yang sangat umum ditemukan

dalam Alquran dan Assunnah. Tujuan utama model UKM ini diterapkan dalam

kewirausahaan sosial syariah adalah untuk menghasilkan lowongan pekerjaan dan

nilai kepada komunitas, bukan untuk mencari keuntungan bagi pemilik.

Mekanisme dari model ini dijabarkan dalam Gambar 12 di bawah ini.

Islamic Social Capital

Muslim Entrepreneur

Network of SMEs (Clustering)

Community/Society

Islamic Social Entrepreneurship (QS. Al-Maidah: 2)

Sumber: Abdullah dan Hoetoro (2011)

Gambar 12. Model Kewirausahaan Sosial Syariah

26

Modal sosial syariah harus menjadi dasar bagi strategi dalam

pemberdayaaan. Kemudian, hal tersebut akan memengaruhi perilaku usahawan

Muslim dan mempengaruhi inisiatif dalam membuat jejaring ataupun

pengelompokan (clustering) UKM. Garis putus-putus yang mengelilingi Islamic Social

Capital menunjukkan ciri khas dalam memperkukuh hubungan di antara UKM

berdasarkan semangat Syariah. … Dan tolong-menolonglah kamu dalam

(mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa

dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat

berat siksa-Nya.... Dalam hal mekanisme ini berjalan baik, hal tersebut akan

memengaruhi perbaikan umat dan masyarakat secara umum. Untuk menyesuaikan

mekanisme ini secara lebih kuat (ditunjukkan pada Gambar 12 dengan garis putus-

putus), kontribusi kewirausahaan sosial syariah adalah dalam strategi implementasi

pengembangan UKM.

Lebih lanjut, Kayed (2006) mengembangkan kewirausahaan syariah

berdasarkan model pengembangan. Kayed membangun model kewirausahaan

syariah yang komprehensif berdasarkan model umum konseptual barat (conceptual

general western model) mengingat kedua model tersebut memiliki banyak fitur dan

asumsi yang sama. Kayed dan Hassan (2010) membagi dua model dalam hal definisi

pengembangan dilihat dari hubungan antara agama dan budaya dan peran agama

dalam pembangunan. Oleh karena itu, kedua model berbeda dalam perilaku dan

pendekatannya terhadap transformasi budaya dan nilai-nilai afirmamasinya.

Namun, terdapat perbedaan utama antara kedua sistem yang mungkin mendorong

perbedaan pada hasil akhir kewirausahaan masing-masing (Hassan dan Hipler,

2014).

27

Sumber: Hassan dan Hippler (2014: 176)

Gambar 13. Aktivitas Kewirausahaan

Tujuan model yang diusulkan oleh Kayed (2006) adalah untuk

mempertimbangkan variabel-variabel yang dianggap penting bagi kewirausahaan

syariah, tetapi tidak masuk ke dalam model barat atau model umum. Tujuan

penting lainnya dari model tersebut adalah untuk menjelaskan perbedaan yang

mencolok pandangan Islam terhadap kewirausahaan dan untuk menggarisbawahi

peran vital dari etika kewirusahaan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari

konsep kesejahteraan manusia yang lebih inklusif.

Islamic Entrepreneurship

Motivated by needs of society and desire to satisfy religious obligation

Engage in productive ventures involving the creation of real goods and services

Financed through interest-free profit-loss-sharing

Speculation and excessive risk-taking is prohibited

Shari’ah-compliant

Western Entrepreneurship

Often motivated chiefly by individual utility (wealth) maximization

Often secular in nature

Altruistic goals often secondary

Debt and equity financing

Speculation and risk-taking permitted

28

Sumber: Kayed (2006: 112)

Gambar 14. Model Kewirausahaan Syariah

Hal ini sejalan dengan Hendrawan (2009) yang menyatakan bahwa visi

spiritual perusahaan adalah meningkatkan kesejahteraan internal, eksternal, dan

stakeholder pada masa mendatang. Di samping itu, perusahaan bertanggung jawab

dalam menjaga iman, jiwa, akal, keturunan, dan harta benda. Hal-hal yang

berkontribusi meningkatkan unsur-unsur ini dibutuhkan oleh perusahaan.

Perusahaan harus dibangun secara kekeluargaan yang memprioritaskan

persamaan, kasih saying, kebaikan, kesejahteraan masyarakat, dan keadilan sosio-

ekonomi. Namun, setiap model kewirausahaan syariah dapat diterima sepanjang hal

tersebut masih berpegang pada konsep tauhid dan menjalankan prinsip-prinsip

Islam. Sejalan dengan konsep ini, wirausahawan Muslim akan memiliki tanggung

jawab sosial yang tinggi. Hal itu sejalan dengan tujuan utama penciptaan manusia

Entrepreneur Enterprise

Collective obligation

Idea

Innovation/Addaptiveness

OpportunityRecognation/Discovery

Alertness

Mobilization of (Human/Social/Physical & Financial) Resources

Risk-sharing

Policy makingprocess Environment

Culture

Culture

Muslim’sValue

External forces (i.e. Globalization) External forces (i.e. Expatriates)

Education

Informal Institutions

Formal Institutions

Att

itu

des

Val

ue

Aff

irm

atio

n - Mores - Values - Beliefs

- Rituals - Heroes - Symbols

Attitudes

E

ntr

epre

neu

rsh

ip e

du

cati

on

an

d t

rain

ing

(Cap

acit

y b

uild

ing)

E

nte

rpri

sin

g in

div

idu

als

Enab

ling

Envi

ron

men

t

Ente

rpri

se S

up

po

rt/I

nce

nti

ves

Laws & Regulations

- Legal - Social - Political - Economic

Safeguard social interest

HUMAN WELL BEING (FALAH)

Soc.-Ec. Justice Spiritual SecurityPre-condition for

Individual Level National Level Altruism (Helping others)

Act of Ibadah(worship)

- Immediate economic needs- Halal income Capital creation

InnovationCompetitivenessEmployment

EconomicDimension

ReligiousDimension

Moral/ethicalentrepreneurship

Social Equilibrium Liberation and salvation* ** ** *

*Self interest (individualsm)** Common welfare

29

dan alam. Tabel 12 menunjukkan rangkuman dari karakteristik kewirausahaan

syariah.

Tabel 12. Karakteristik Holistik Kewirausahaan Syariah

Karakteristik

Perusahaan Syariah

Faizal et al. (2013

hal.192-195);

Hoque et al. (2013 hal. 132-

138)

Patuh Kepada Allah

(Takwa)

Takwa sebagai pondasi

(Al-Saff, 61:10-11)

Patuh kepada Allah (Al-

Hujarat, 49:13)

Pendapatan halal Halal adalah prioritas

utama (Al-Maidah, 5:88)

Pendapatan halal (Al-

Baqarah, 2:188)

Ekonomis Tidak boros (Al-A’raf,

7:31; HR. Muslim)

Ekonomis (Al-Isra, 17:26-27)

Beribadah Beribadah kepada Tuhan

adalah prioritas (Al-Hijr,

15:67)

Moral Menjalankan nilai moral

yang tinggi (Al-Baqarah:

275)

Moralitas (HR. Bukhari; Al-

Qalam, 68:4)

Dipercaya dan jujur Dapat dipercaya (Al-

Tirmidhi: 1213)

Kejujuran dan Kebenaran

(HR. Bukhari)

Kesejahteraan sosial Memperhatikan

kesejahteraan sosial (Al-

Hajj, 22:77)

Kesejahteraan sosial (Ali

Imran, 3: 92 & 110)

Berilmu Berilmu (Al-Alaq, 96:1-5) Ilmu Pengetahuan (Thaahaa,

20:114)

Peduli sesama dan

lingkungan

Peduli sesama dan

lingkungan

(Al-Qashash, 28:77; HR.

Abu Dawud:2542)

Orientasi Pelanggan (Huud,

11:85)

Keterlibatan pegawai (Ibn

Majah)

Inisiatif Inisiatif (Al-Baqarah, 2:42

dan 149)

Mengambil Risiko Mengambil Risiko (Al-Maidah,

3:159)

Berpikir strategis Berpikir strategis (Al-Anfal,

8:22)

Bekerja Keras Bekerja keras (An-Najm,

53:30)

Inovatif Berionvasi (An-Najm, 53:39)

Visioner Visi

Optimis Optimis (Az-Zumar, 39:53)

Sabar Sabar (Al-Qalam, 68:48)

Handal Handal (HR. Muslim)

30

2.5 Kenaikan Kelas Usaha Mikro dalam Sudut Pandang Islam

Banyak studi membahas isu terkait hubungan antara agama dan usaha.

Dalam studi-studi tersebut disebutkan bahwa agama mempengaruhi aktivitas

kewirausahaan penganutnya dan mempengaruhi keputusan mereka untuk menjadi

wirausahawan serta gaya manajemen usaha. Sementara itu, literatur tidak

memberikan banyak bukti tentang pentingnya agama dalam mempengaruhi

kenaikan kelas UM. Oleh karena itu, subbab ini membahas secara singkat

perbedaan pengukuran kenaikan kelas UM dan determinan kenaikan kelas UM

dalam perspektif konvensional dan syariah.

Dalam istilah sederhana, Humphrey dan Schmitz (2000) menggunakan

konsep upgrading (peningkatan) pada empat bagian, yaitu upgrading proses,

upgrading produk, upgrading fungsi, dan upgrading lintas sektoral. Sementara itu,

Reeg (2013) mendefinisikan kenaikan kelas UM sebagai pertumbuhan melalui

pertumbuhan usaha, formalisasi bisnis, dan inovasi. Istilah itu mengandung aspek

kualitatif (inovasi) sekaligus kuantitatif (pertumbuhan usaha).

Dalam konteks kenaikan kelas usaha, kewirausahaan syariah harus

dibedakan dengan kewirausahaan lainnya dalam aspek tujuan dan motivasinya.

Target dari UM adalah sukses dalam usahanya. Dalam perspektif konvensional,

cendekiawan UM mendefinisikan kesuksesan dari berbagai aspek. Indikator yang

paling umum digunakan untuk menentukan keberhasilan dari suatu UK adalah

melihat pertumbuhan tenaga kerja (Mead dan Liedholm, 1998), keuntungan,

penjualan tahunan, aset (McPherson, 1996), dan penghasilan perseorangan (Kayed,

2006).

Bagi seorang Muslim, kesuksesan ditentukan lebih dari itu. Kenaikan kelas

dari UM dalam perspektif syariah tidak selalu diartikan sebagai tumbuhnya usaha,

tetapi lebih pada aspek kualitas ataupun inovasi. Menurut Hoque (2014), pengertian

inovasi wirausahawan dalam Alquran adalah “Kami tidak mengubah keadaan suatu

kaum sebelum mereka mengubah keadaannya sendiri.” (QS. Arrad, 13: 11).

Sesungguhnya, tidak ada tempat bagi pemalas dan berdiam diri dalam Islam.

Menurut ajaran Islam, seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah

diusahakannya (QS Annajm, 53: 39).

Dalam pandangan Islam, Siddiqi (1979: 141 dan 151) seperti dikutip dalam

Kayed (2006: 112) menjelaskan tujuan dari wirausahawan Muslim adalah

mendapatkan keuntungan yang halal dan memberikan pelayanan sosial kepada

31

masyarakat luas. Islam memandang bahwa motif memperoleh keuntungan adalah

sah dan berkah sepanjang terbebas dari bunga (riba), keserakahan, spekulasi, dan

eksploitasi serta sepanjang hal tersebut tidak dianggap sebagai tujuan utama

wirausahawan tersebut.

Kayed (2006) mengemukakan bahwa suatu keberhasilan mencakup, baik

keberhasilan duniawi maupun keberhasilan akhirat. Dalam Minhajul ‘Abidin ‘ila

Jannati Aalamin (1989: 59–353) Imam Al-Ghazali menggarisbawahi tujuh langkah

untuk sukses, yaitu tahap pengetahuan (aqabah al-ilmi), tahap pertobatan (aqabah

at-taubah), tahap godaan (aqabah al-awaaiq), tahap rintangan (aqabah al-awaaridh),

tahap motivasi (aqabah al-bawaa’is), tahap ketidaksempurnaan (aqabah al-

qawaadih), serta tahap perdamaian dan bersyukur (aqabah al-hamdi wa-asy-

syukri).

Cendikiawan Muslim, Al-Qurtubi sebagaimana dikutip dalam Vargas-

Hernandez dan Noruzi (2012: 56), mencatat beberapa faktor yang menjadi perhatian

dalam meraih kesuksesan. Faktor-faktor tersebut adalah halal, yang artinya

kehidupan sesuai dengan ajaran Allah SWT; qana’ah, yang artinya bahagia dan

bersyukur dengan penghasilannya; taufiq, yang artinya senentiasa mengharapkan

berkah dan rahmat dari Allah SWT yang sebanding dengan ekspektasinya; sa’adah,

yang artinya mengacu pada kebahagiaan batin, dan jannah, yang artinya

menekankan kesuksesan duniawi sebagai jembatan menuju kesuksesan paling

tinggi (ultimate) di akhirat nanti.

Dengan menggunakan onion model yang dikembangkan oleh Reeg (2013),

uraian berikut ini memberikan gambaran singkat mengenai kerangka analisis dan

faktor-faktor yang mempengaruhi kenaikan kelas UMK dalam sudut pandang Islam.

Faktor-faktor ini dibagi menjadi lima katogeri besar, yaitu karakteristik

wirausahawan, karakteristik usaha, jaringan sosial, jaringan bisnis, dan lingkungan

usaha (lihat onion model dalam Gambar 12).

Inti dari onion model adalah karakteristik wirausahawan. Dari sudut pandang

Islam, untuk mencapai kesuksesan beberapa penulis Muslim mengacu pada

ketakwaan, sidik (shiddiq), dan amanah. Seorang wirausahawan Muslim harus

memiliki iman dan takwa kepada Allah SWT. Tujuan dari penciptaan manusia

adalah untuk menaati dan beribadah kepada Allah SWT dengan iman dan takwa

sehingga manusia yang paling mulia dan sukses adalah mereka yang paling

bertakwa. Allah berfirman “Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian

ialah orang yang paling takwa” (Quran 49: 13). Mereka berpikir bahwa setiap

32

kegiatan mereka dilihat dan dicatat oleh Allah dan setiap baik atau buruk perbuatan

mereka akan diberi pahala atau ganjaran. Allah berfirman “Barangsiapa yang

mengerjakan kebaikan sekecil atom (atau semut kecil) sekalipun, niscaya dia akan

melihat (balasan)-Nya. Dan barangsiapa yang mengerjakan keburukan sekecil atom

(atau semut kecil) sekalipun, niscaya dia akan melihat (balasan)-Nya pula” (Quran

99: 7–8).

Sidik (shiddiq) adalah nilai etika dasar dalam Islam. Allah memerintahkan

seluruh kaum Muslim untuk selalu lurus dan jujur dalam ucapan maupun

perbuatannya. Allah berfirman “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu

kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar.” (Quran 33:70). Menurut

Muhammad et al. (2008), nilai tersebut memiliki implikasi filosofis dalam

menjalankan usaha. Manajer UMKM haruslah jujur dan benar dalam menjalankan

semua usahanya. Kerangka berusaha dalam syariah menyebutkan bahwa tidak ada

alasan untuk melakukan kecurangan, banyak bersumpah, berbicara bohong, dan

iklan palsu.

Amanah merupakan nilai etika dalam Islam lainnya. Menurut Mckinght dan

Chervany (1996), kepercayaan adalah kunci untuk hubungan interpersonal yang

positif di berbagai keadaan disebabkan kejujuran merupakan inti manusia

berinteraksi dengan yang lainnya. Muhammad et al. (2008) menjelaskan bahwa

esensi dari kepercayaan adalah rasa tanggung jawab. Hal itu memberi arti mengenai

perasaan atas kehadiran Allah dan setiap perbuatan akan dipertanggungjawabkan.

Tentu saja, kepercayaan sangat ditekankan di dalam Alquran dan Alhadis. Nabi

berkata, “Kepercayaan dan kejujuran seorang pedagang merupakan salah satu sifat

nabi, orang yang budiman, dan para syuhada.” (Al-Tarmidzi buku 14: 1213).

Di samping takwa, sidik (shiddiq), dan amanah, tingkatan kedua dari onion

model adalah karakteristik usaha. Dalam pandangan Islam, hal itu merujuk pada

pendapatan yang halal dan kehidupan ekonomis. Dengan demikian, Islam

menekankan kegiatan kewirausahaan ini sebagai jalan untuk mendapatkan

pengampunan di akhirat. Nabi Muhammad SAW menekankan pentingnya cara yang

sah dalam mendapatkan penghasilan. Beliau bersabda, “Penghasilan yang terbaik

adalah penghasilan seseorang dari jerih payahnya sendiri dan setiap jual beli yang

mabrur” (Ahmad). Jelas hal itu menunjukkan bahwa seorang wirausahawan Muslim

harus memiliki kesadaran yang tinggi mengenai pendapatan halal (sah).

Pendapatan halal dalam kegiatan ekonomi dapat diterapkan melalui prinsip-

prinsip muamalah, yang melarang riba (suku bunga dalam berbagai bentuk dan

33

jumlah, baik riba nasiah maupun riba fadhl), zalim (membahayakan atau merusak

orang lain), masyir (berjudi), gharar (ketidakpastian), dan haram (haram dalam hal

produk, jasa, atau kegiatan operasional).

Lebih lanjut, Islam mendorong manusia untuk mensyukuri hidupnya tanpa

menyia-nyiakannya. Akan tetapi, Hoque et al. (2014) mengemukakan bahwa adalah

wajar untuk melihat sifat kikir atau gaya hidup berfoya-foya pada diri

wirausahawan. Dengan demikian, menurut hukum Islam, orang Muslim haruslah

sederhana, baik dalam urusan rumah tangga maupun kehidupan berekonomi.

Wirausahawan Muslim tidak bersifat kikir atau hidup berfoya-foya. Allah berfirman,

“Wahai anak Adam, makan dan minumlah kamu, tapi janganlah berlebihan,

sesungguhnya Allah tidak menyukai hal yang berlebihan (Quran 7: 31).

Tingkat ketiga dan keempat dari onion model merujuk pada jaringan sosial

dan usaha. Menurut Reeg (2013), jaringan sosial dan usaha juga berperan penting

dalam penciptaan dan pertumbuhan usaha. Dalam pandangan Islam, karakteristik

wirausahawan dan usaha merupakan konsep dari transparansi (tabligh) dan

profesional (fathanah). Antonio (2014) menjelaskan arti dari transparansi (tabligh)

yaitu visi yang jelas, memotivasi dan menginspirasi, belajar dengan memberikan

contoh, komunikator yang efektif, serta misi dan tujuan bersama. Abdullah dan

Hoetoro (2011) mengemukakan bahwa visi syariah adalah menyediakan panduan

menyeluruh bagi para wirausahawan untuk mencapai tujuan perusahaan yang

berlandaskan syariah.

Dalam pandangan Islam, agar sukses menjalankan usaha, seorang

wirausahawan harus memiliki pengetahuan modern dan pengetahuan syariah yang

cukup. Wirausahawan Muslim harus memiliki pengetahuan yang luas, profesional,

dan memiliki orientasi belajar (fathanah). Berkaitan dengan pengetahuan, selalu

terdapat ruang untuk pembaharuan; Allah berfirman “Sesungguhnya yang takut

kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah mereka yang memiliki

pengetahuan” (Quran 35:28).

Lapisan luar dari onion model terdiri atas elemen di tingkat lingkungan usaha.

Dalam pandangan Islam, lingkungan usaha harus mewakili kombinasi dari sumber

daya yang berwujud (tangible) atau tidak berwujud (intangible), seperti modal

spiritual, model sosial syariah, ilmu pengetahuan, manajemen know-how,

kemampuan profesional dan keahlian, hubungan pelanggan, bahan baku, teknologi,

dan lain-lain. Elemen-elemen tersebut dapat digunakan untuk menciptakan nilai

kewirausahaan syariah sebagai dasar kenaikan kelas UM.

34

2.6 Studi Terdahulu

Banyak studi yang memfokuskan pada faktor kunci kesuksesan dari UKM.

Beberapa studi itu termasuk di antaranya adalah yang dilakukan oleh Chittithaworn

et al. (2010), Hassanali (2012), Philip (2010), Jasra et al. (2011), serta Elster dan

Phips (2013).

Faktor kunci kesuksesan UKM menurut Chittithaworn et al. (2010) adalah

karakteristik UKM, manajemen know-how, produk dan jasa, pelanggan dan pasar,

cara menjalankan usaha dan kerja sama, sumber daya dan pendanaan, serta

strategi dan lingkungan eksternal. Sementara itu, Hassanali (2012) mengemukakan

bahwa faktor kunci kesuksesan UKM adalah kerangka strategis dalam berbisnis dan

beroperasi, termasuk strategi implementasi dan strategi kepemimpinan.

Philip (2010) menyimpulkan bahwa faktor-faktor berikut adalah karakteristik

dari UKM, yaitu manajemen know-how, produk dan jasa, cara menjalankan usaha

dan kerja sama, sumber daya dan keuangan, serta lingkungan eksternal. Jasra et

al. (2011) mengemukakan bahwa faktor kunci kesuksesan dari UKM adalah sumber

keuangan, strategi pemasaran, teknologi, dukungan pemerintah, akses informasi,

perencanaan usaha, dan keterampilan wirausahawan. Sementara itu, Elster dan

Phipps (2013) menyatakan bahwa faktor pendukung utama (key enabler) dari

kesuksesan UKM adalah (1) kapasitas dan kemampuan, (2) lingkungan eksternal,

dan (3) visi dari pemilik usaha. Namun, hanya sedikit studi yang membahas

upgrading (peningkatan) usaha mikro dan kecil. Beberapa dari studi tersebut

merupakan bagian dari proyek penelitian pada tiga negara, yaitu Mesir, India, dan

Filipina yang dilakukan oleh Department of Competitiveness and Social Development

dari German Development Institute atau Deutsches Institut für Entwicklungspolitik

(DIE).

Reeg (2013) menggunakan onion model untuk mengidentifikasi faktor

kesuksesan dan kendala dari upgrading UMK di India. Untuk melakukan hal itu,

dilakukan studi kualitatif yang menggunakan pendekatan deskriptif dan analisis

individu pada kasus kesuksesan usaha menengah dan besar pada tiga sektor

ekonomi di India, yaitu sektor informasi dan teknologi komunikasi, sektor tekstil

dan garment, serta sektor kulit dan alas kaki. Dengan belajar dari pengalaman

individu, studi ini membandingkan kasus-kasus yang berhasil (upgraders) dengan

UM saat ini (non-upgraders) dalam sektor yang sama. Reeg mengusulkan model

35

untuk upgrading (pengembangan) usaha harus memiliki lima lapisan, yaitu

karakteristik wirausahawan, karakteristik usaha, jaringan sosial, jaringan usaha,

dan lingkungan usaha.

Pada tingkat wirausahawan terdapat empat faktor kunci, yaitu (i) motivasi

untuk berinvestasi pada sumber daya berwujud (tangible) dan tidak berwujud

(intangible); (ii) pendidikan dan pengalaman kerja yang berkualitas (iii) ketersediaan

tabungan pribadi atau aset berwujud; dan (iv) produk dan visi pasar yang jelas. Pada

tingkat usaha, dua faktor utama untuk mencapai kesuksesan adalah (i)

kesejahteraan pegawai, termasuk gaji yang kompetitif dan manfaat nongaji lainnya

dan (ii) studi pasar. Pada tingkat jaringan sosial, dua jenis utama dari instrumen

sosial yang saling berhubungan antara yang satu dan yang lain adalah (i) keluarga,

latar belakang usaha keluarga, kemelekatan sosial (embeddedness social), dan

hubungan usaha strategis, serta (ii) alumni dan jaringan kerja.

Pada tingkat jaringan usaha, dua faktor utama yang sangat berperan

memengaruhi peningkatan usaha secara positif adalah (i) akses untuk

mendiversifikasi pasar ke pasar nasional ataupun internasional secara bersamaan

dan (ii) strategi forward dan backward linkage. Pada tingkat lingkungan usaha,

terdapat tiga faktor utama yang memengaruhi upgrading usaha secara positif, yaitu

(i) adanya peluang pasar; (ii) dukungan insentif pemerintah dan lembaga setempat;

dan (iii) kualitas lokasi dan akses tanah.

Metode serupa untuk mengidentifikasi faktor keberhasilan dan hambatan

dari upgrading UMK juga digunakan oleh Loewe et al. (2013) dengan mengambil

contoh kasus di Mesir. Dengan menggunakan onion model untuk upgrading usaha,

faktor-faktor penentu keberhasilan dapat dikelompokkan ke dalam empat lapisan,

yaitu (i) karakter wirausahawan (jenis kelamin, sumber daya manusia, modal sosial,

latar belakang keluarga, dan karakteristik perilaku/kualitas personal dari pemilik

UKM); (ii) karakter perusahaan (usia perusahaan, ukuran, sektor, lokasi, karakter

tenaga kerja, portofolio produk, strategi, dan status formal dari UKM); (iii) hubungan

antarperusahaan (integrasi UKM ke dalam value chain, klaster fungsional, atau

jaringan usaha, seperti asosiasi usaha); dan (iv) lingkungan usaha (makroekonomi

dan stabilitas politik, regulasi, perpajakan, kebijakan perdagangan, korupsi, akses

pembiayaan, layanan pengembangan usaha, dan infrastruktur usaha).

Berdasarkan studi Loewe et al. (2013) terdapat paling sedikit enam faktor

sebagai determinan utama dari upgrading di Mesir, yaitu (i) modal sumber daya

manusia (kualitas pendidikan, pengalaman kerja, dan eksposur internasional), (ii)

36

motivasi dan kesiapan dalam mengambil risiko, (iii) investasi dalam pengembangan

sumber daya manusia (HRD), (iv) studi pasar, (v) akses pembiayaan, dan (vi)

kekurangan dalam aturan hukum (terutama dalam hubungan pemerintah dan

usaha).

Dengan menggunakan metode onion model yang serupa yang telah

dikembangkan oleh Reeg (2013) dan Loewe et al. (2013), Hampel-Milagrosa (2014)

lebih lanjut menggunakan dan menyesuaikan penelitian mereka untuk membangun

proses upgrading UMK di Filipina. Onion model tersebut terdiri atas empat lapisan.

Lapisan pertama memfokuskan wirausahawan (pendidikan, pelatihan, motivasi, dan

lain-lain) sebagai kekuatan tunggal untuk mendorong terciptanya upgrading usaha.

Elemen wirausahawan ini merupakan inti dari onion model. Lapisan kedua

menekankan karakteristik usaha dan pegawai (umur perusahaan, lokasi, dan sektor

ekonomi) sebagai motivator dalam proses upgrading. Lapisan ketiga memperlihatkan

interaksi antara wirausahawan dan perusahaaan dalam jaringan personal dan

profesional sebagai pemicu tumbuhnya usaha. Lapisan keempat atau juga lapisan

paling luar adalah kualitas lingkungan usaha dan bagaimana perbaikan dalam

lapisan ini akan membawa pengaruh pada upgrading perusahaan.

Berdasarkan studi Hampel-Milagrosa (2014), kombinasi strategis dari

wirausahawan antarsektor secara langsung berhubungan dengan dinamika sektoral

dan lingkungan kelembagaan secara umum. Dalam sektor pengolahan pangan,

upgraders (wirausahawan yang naik kelas) akan memanfatkan jaringan personal

atau profesional mereka untuk menjadikan perusahaan berkembang. Pada sektor

lainnya, keluarga (langsung/tidak langsung) dan koneksi bisnis sering dikaitkan

untuk segala jenis dukungan (pembiayaan dan modal fisik, saran bisnis, tenaga

kerja tanpa upah, dan pencicip rasa (taster)).

Pada sektor bisnis alas kaki dan kulit, perusahaan harus memfokuskan pada

litbang, HRD, diversifikasi produk, dan pemasaran untuk meng-upgrade usaha

mereka. Pendekatan itu sejalan dengan karakteristik perusahaan tradisional dalam

meng-upgrade perusahaan dengan meningkatkan jumlah pegawai dan proses

produksi. Sebaliknya, wirausahawan sektor tekstil dan pakaian jadi perlu

meningkatkan pengetahuan dan keterampilan mereka dalam membuat desain

(fashion dan aksesoris rumah tangga).

2.7 Kerangka Konseptual

37

Tujuan dari studi ini adalah untuk menganalisis determinan UM untuk

secara perlahan meningkat sehingga mampu naik kelas menjadi usaha kecil. Studi

ini mencakup dua kelompok usaha UMK, yang merupakan pelanggan dari lembaga

keuangan syariah dan konvensional. Lebih lanjut, studi ini mendisain model

kenaikan kelas UM yang sesuai agar dapat berkembang dari UM tingkat rendah

menjadi UM tingkat tinggi dan pada akhirnya naik kelas menjadi UK. Structural

equation modelling (SEM) digunakan untuk menganalisis determinan kenaikan kelas

UM yang dibiayai oleh lembaga keuangan syariah dan konvensional. Di samping itu,

strategic assumption surfacing and testing (SAST) digunakan untuk membantu

dalam merancang model kenaikan kelas UM syariah.

Berdasarkan ulasan literatur pada Appendix 1, kerangka pikir pada studi ini

dapat dilihat pada Gambar 15. Terdapat dua variabel laten eksogen, yaitu (1)

lingkungan eksternal (external) dan (2) dukungan (support), serta terdapat empat

variabel endogen, yaitu (i) pemilik usaha (owner); (ii) karakteristik usaha (business);

(iii) manajemen know-how (management); dan (iv) sumber pendanaan (resource).

Lebih lanjut kenaikan kelas UM dapat ditunjukkan oleh peningkatan penjualan,

peningkatan kekayaan modal, peningkatan jumlah pegawai, ekspansi pasar,

peningkatan keuntungan, dan peningkatan batasan pembiayaan.

Gambar 15. Kerangka Pikir Determinan Kenaikan Kelas Usaha Mikro

EXTERNAL-Env SUPPORT OWNER-Bus BUSINESS-Char MGT-KnowHow RESOURCES-FinRegulation-Policy

InfrastructureMacroeconomicMuslim-Majority

CorruptionCrime

Bureaucracy

Central Government

Local Government

Social Fund

Technical Support

Managerial Support

Spiritual Uplift

Family Support

Halal EarningProductServiceMarket

CustomerCost of Business

Competition

Transparency

Professional

Std. Op. Procedure

Std. Op. Mgt

Information Tech.

Innovation

Networking

Determinan of ME Graduation

Tax/Retribution

Fear of Allah

Trustworthy

Truthful

Visionary

Entrepreneurship

Leadership

Business Experience Location

Spiritual Capital

Skilled H-Resorce

Owned Capital

Access to Finance

Tech. Resource

Raw Material

Social Capital

ME GraduationSales Increase

W-Cap IncreaseEmployee Increase

Market ExpansionProfit Increase

Fin. Limit Increase

POLICY RECOMMENDATION

38

III. METODE PENELITIAN

3.1 Data

Studi ini menggunakan metode kualitatif, yaitu structural equation modeling

(SEM) dan strategic assumption surfacing and testing (SAST) yang memerlukan data

kualitatif. Metode SEM digunakan untuk menganalisis determinan UM untuk

meningkat secara bertahap agar naik kelas menjadi UK. Lebih jauh, metode SAST

digunakan untuk membantu perancangan model kenaikan kelas UM berdasarkan

prinsip syariah. Data primer yang dibutuhkan dalam studi ini diperoleh dari survei

lapangan, yaitu sebanyak 120 sampel dipilih dari nasabah lembaga keuangan

syariah dan konvesional yang terdiri atas penerima pinjaman dari lembaga

keuangan konvensional, penerima pembiayaan dari lembaga keuangan syariah,

serta mereka yang tidak menerima pinjaman atau pembiayaan apa pun.

39

3.2 Structural Equation Modeling (SEM)

Structural equation modeling (SEM) pertama kali dikembangkan oleh Karl

Jöreskog (1973) yang dikombinasikan dengan model yang dikembangkan oleh

Keesling (1973) dan Wiley (1973) yang kemudian disebut dengan model JKW atau

dikenal juga dengan model linear structural relationship (LISREL).

SEM dikembangkan dari persamaan simultan dalam ekonometrika (yang

menggunakan variabel pengukuran (observed variable)) dengan menggunakan

variabel-variabel yang tidak secara langsung diukur (juga dikenal dengan variabel

laten). Software komputer yang mendukung model ini dikembangkan oleh Jöreskog

dan Sörbom yang kemudian disebut dengan program LISREL (program yang

interaktif dan user friendly).

SEM terdiri atas dua komponen utama, yaitu (1) model struktural (structural

model) yang menjelaskan hubungan struktural antara variabel-variabel laten atau

variabel-variabel yang tidak dapat diukur (unobserved) atau konstruksi atau faktor-

faktor (berdasarkan teori) yang diukur atau diestimasi secara tidak langsung dengan

indikator masing-masing dan (2) model pengukuran (measurement model) yang

menggambarkan variabel indikator atau variabel pengukur yang mencerminkan

(reflecting) atau mengukur atau mengestimasi masing-masing variabel laten

menggunakan konsep confirmatory factor analysis (CFA) atau exploratory factor

analysis (EFA). Dengan catatan, variabel indikator tidak dapat digabungkan secara

arbritari untuk membentuk variabel laten. Variabel tersebut terpilih berdasarkan

teori yang melandasinya.

3.2.1 Model Struktural (Structural Model)

Model struktural menunjukkan potensi hubungan sebab-akibat secara

langsung antara variabel eksogen laten (lazim dilambangkan dengan ξ ‘ksi’) dan

variabel laten endogen (lazim dilambangkan dengan η ‘eta’) atau antara dua variabel

laten endogen yang digunakan untuk memahami fenomena sesungguhnya (riil).

Variabel eksogen merupakan variabel independen tanpa adanya variabel sebab-

akibat (causal) sebelumnya. Variabel endogen adalah variabel perantara atau

variabel dependen murni. Hubungan sebab-akibat antara variabel eksogen dan

variabel endogen biasanya digambarkan dengan garis lurus dengan satu anak

40

panah yang dilambangkan dengan γ ‘gamma’, sedangkan hubungan sebab-akibat

antara dua variabel endogen biasanya dilambangkan dengan β ‘beta’.

Gambar 16. Model Struktural SEM

Lebih lanjut, korelasi antara dua variabel eksogen digambarkan dengan garis

lengkung dengan dua anak panah yang dilambangkan dengan φ ‘phi’, sedangkan

kesalahan (error) dalam persamaan struktural variabel endogen biasanya

dilambangkan dengan ζ ‘zeta’ yang menunjukkan bagian yang tidak dapat

dijelaskan. Contoh dari model struktural dapat dilihat pada Gambar 16. Persamaan

struktural dari model SEM struktural di atas dapat ditulis sebagai berikut.

η1 = γ11 ξ1 + ζ1 (1)

η2 = γ22 ξ2 + ζ2 (2)

η3 = γ31 ξ1 + γ32 ξ2 + ζ3 (3)

η4 = γ41 ξ1 + γ42 ξ2 + ζ4 (4)

η5 = β51 η1 + β52 η2 + β53 η3 + β54 η4 + ζ5 (5)

3.2.2 Model Pengukuran (Measurement Model)

Model pengukuran menunjukkan hubungan antara variabel laten dan

indikatornya atau variabel pengamatan/pengukuran yang digunakan untuk

mengestimasi atau memprediksi nilai variabel laten melalui beberapa variabel

pengukuran. Variabel pengukuran dari variabel laten eksogen biasanya

dilambangkan dengan Xn dengan ketergantungan sebab-akibat (causal dependency)

dilambangkan oleh λXn ‘lamda’ dan error pengukuran (measurement error)

Ksi-One (ξ1)

Ksi-Two (ξ2)

Eta-One (η1)

Eta-Two (η2)

Eta-Three (η3)

Eta-Four (η4)

Eta-Five (η5)

ζ1

ζ2

ζ3

ζ4

ζ5

γ11

γ22

γ31

γ42

γ32

γ41

β51

β52

β53

β54

φ21 (σξ1ξ2)

41

dilambangkan dengan δn ‘delta’. Sementara itu, variabel pengukuran dari variabel

laten eksogen biasanya dilambangkan dengan Yn, dengan ketergantungan sebab-

akibat dilambangkan dengan λYn ‘lambda’ dan error pengukuran dilambangkan

dengan Ɛn ‘epsilon’. Contoh model pengukuran dari variabel laten sebelumnya dapat

dilihat pada Gambar 17.

Gambar 17. Model pengukuran SEM

Persamaan pengukuran dari model pengukuran SEM di atas dapat dituliskan

sebagai berikut.

Eksogen laten ξ1:

X1 = λx11 ξ1 + δ1; X2 = λx21 ξ1 + δ2; X3 = λx31 ξ1 + δ3; (6–8)

X4 = λx41 ξ1 + δ4; X5 = λx51 ξ1 + δ5; X6 = λx61 ξ1 + δ6; (9–11)

X7 = λx71 ξ1 + δ7; X8 = λx81 ξ1 + δ8; (12–13)

Eksogen laten ξ2:

X9 = λx92 ξ2 + δ9; X10 = λx102 ξ2 + δ10; X11 = λx112 ξ2 + δ11; (14–16)

X12 = λx122 ξ2 + δ12; X13 = λx132 ξ2 + δ13; X14 = λx142 ξ2 + δ14; (17–19)

X15 = λx152 ξ2 + δ15; (20)

Endogen laten η1:

Y1 = λY11 η1 + ε1; Y2 = λY21 η1 + ε2; Y3 = λY31 η1 + ε3; (21–23)

Y1

Ksi-One (ξ1)

Ksi-Two(ξ2)

Eta-One (η1)

Eta-Two (η2)

Eta-Three (η3)

Eta-Four (η4)

Eta-Five (η5)

Y2 Y3 Y4 Y5 Y6 Y7

Y8 Y9 Y10 Y11 Y12 Y13 Y14

Y16 Y17 Y18 Y19 Y20 Y23 Y22

Y23 Y24 Y25 Y26 Y27 Y28 Y29

X4

X5

X6

X11

X12

X13

Y31

Y32

Y33

Y34

Y35

Y30

Y15X14 X15

X3 X2

X10

X7

Ɛ8 Ɛ9 Ɛ10 Ɛ11 Ɛ12 Ɛ13 Ɛ14 Ɛ15 Ɛ23 Ɛ24 Ɛ25 Ɛ26 Ɛ27 Ɛ28 Ɛ29

Ɛ1 Ɛ2 Ɛ3 Ɛ4 Ɛ5 Ɛ6 Ɛ7 Ɛ16 Ɛ17 Ɛ18 Ɛ19 Ɛ20 Ɛ21 Ɛ22

Ɛ31

Ɛ32

Ɛ30

Ɛ34

Ɛ35

Ɛ33

δ5

δ6

δ4

δ3 δ2

δ7

δ14 δ15

δ11

δ12

δ10

δ13

X9δ9

X8

δ8

λX152

λX92

λX81

λX11 λY11 λY71

λY82 λY152

λY163 λY223

λY234 λY294λY355

λY305

X1

δ1

42

Y4 = λY41 η1 + ε4; Y5 = λY51 η1 + ε5; Y6 = λY61 η1 + ε6; (24–26)

Y7 = λY71 η1 + ε7; (27)

Endogen laten η2:

Y8 = λY82 η2 + ε8; Y9 = λY92 η2 + ε9; Y10 = λY102 η2 + ε10; (28–30)

Y11 = λY112 η2 + ε11; Y12 = λY122 η2 + ε12; Y13 = λY132 η2 + ε13; (31–33)

Y14 = λY142 η2 + ε14; Y15 = λY152 η2 + ε15; (34–35)

Endogen laten η3:

Y16 = λY163 η3 + ε16; Y17 = λY173 η3 + ε17; Y18 = λY183 η3 + ε18; (36–38)

Y19 = λY193 η3 + ε19; Y20 = λY203 η3 + ε20; Y21 = λY213 η3 + ε21; (39–41)

Y22 = λY223 η3 + ε22; (42)

Endogen laten η4:

Y23 = λY234 η4 + ε23; Y24 = λY244 η4 + ε24; Y25 = λY254 η4 + ε25; (43–45)

Y26 = λY264 η4 + ε26; Y27 = λY274 η4 + ε27; Y28 = λY284 η4 + ε28; (46–48)

Y29 = λY294 η4 + ε29; (49)

Endogen laten η5:

Y30 = λY305 η5 + ε30; Y31 = λY315 η4 + ε31; Y32 = λY325 η5 + ε32; (50–52)

Y33 = λY335 η5 + ε33; Y34 = λY345 η5 + ε34; Y35 = λY355 η5 + ε35; (53–55)

3.2.3 Model SEM yang Digunakan dalam Studi

Model SEM dalam studi ini terdiri atas dua variabel eksogen laten, yaitu

lingkungan eksternal (external environment) (ξ1) dan dukungan (support) (ξ2), serta

lima variabel endogen laten, yaitu pemilik usaha (business owner) (η1), karakteristik

bisnis (business characteristic) (η2), management know-how (η3), sumber daya

finansial (η4), dan kenaikan kelas UM (η5). Persamaan struktral yang digunakan

adalah persamaan 1–5.

Sementara itu, indikator terperinci dari tiap-tiap variabel laten (Xn adalah

indikator variabel eksogen ξ dan Yn adalah indikator variabel endogen η) dapat dilihat

pada Tabel 13. Persamaan pengukuran yang digunakan adalah persamaan 6–55.

43

Tabel 13. Indikator Variabel-Variabel Laten

EXTERNAL-Env (X1) OWNER-Bus (Y1) MGT-KnowHow (Y3)

X1: Regulation-Policy

X2: Infrastructure

X3: Macroeconomic

X4: Muslim-Majority

X5: Corruption

X6: Crime

X7: Bureaucracy

X8: Tax/Retribution

Y1: Fear of Allah

Y2: Trustworthy (Amanah)

Y3: Truthful (Shiddiq)

Y4: Visionary

Y5: Entrepreneurship

Y6: Leadership

Y7: Business Experience

Y16: Transparency (Tabligh)

Y17: Professional (Fathonah)

Y18: Std. Op. Procedure

Y19: Std. Op. Mgt.

Y20: Information Tech.

Y21: Innovation

Y22: Networking

SUPPORT (X2) BUSINESS-Char (Y2) RESOURCES-Fin (Y4)

X9: Central Government

X10: Local Government

X11: Social Fund

X12: Technical Support

X13: Managerial Support

X14: Spiritual Uplift

X15: Family Support

Y8: Halal Earnings

Y9: Product

Y10: Service

Y11: Market

Y12: Customer

Y13: Cost of Business

Y14: Competition

Y15: Location

Y23: Spiritual Capital

Y24: Skilled H-Resource

Y25: Owned Capital

Y26: Access to Finance

Y27: Tech. Resource

Y28: Raw Material

Y29: Social Capital

GRADUATION (Y5)

Y30: Sales Increase

Y31: W-Cap Increase

Y32: Employee Increase

Y33: Market Expansion

Y34: Profit Increase

Y35: Fin. Limit Increase

Model SEM lengkap dalam studi ini dapat diilustrasikan pada Gambar 18.

Determinan UM yang digunakan untuk meningkat secara perlahan sehingga dapat

naik kelas menjadi UK adalah lingkungan eksternal (external environment),

dukungan (support), pemilik usaha (owner business), karakteristik bisnis (business

characteristics), management know-how, dan sumber daya finansial (resource-fin).

44

Gambar 18. SEM Model of Graduation Model

3.2.4 Prosedur SEM

Prosedur SEM terdiri atas beberapa tahap, yaitu (1) spesifikasi model; (2)

identifikasi model; (3) confirmatory factor analysis (CFA) untuk model pengukuran

(termasuk programming, pengestimasian, pengujian dan modifikasi, serta spesifikasi

ulang apabila dibutuhkan); (4) path analysis untuk model struktural (termasuk

programming, pengestimasian, percobaan dan modifikasi, serta spesifikasi ulang

apabila dibutuhkan), dan (5) interpretasi dan pembacaan hasil. Ringkasan dari

prosedur SEM dapat dilihat pada Gambar 19.

Y1

EXTERNAL(ξ1)

SUPPORT(ξ2)

OWNER (η1)

BUSINESS(η2)

MANAGEMENT (η3)

RESOURCES(η4)

GRADUATE (η5)

Y2 Y3 Y4 Y5 Y6 Y7

Y8 Y9 Y10 Y11 Y12 Y13 Y14

Y16 Y17 Y18 Y19 Y20 Y23 Y22

Y23 Y24 Y25 Y26 Y27 Y28 Y29

X4

X5

X6

X11

X12

X13

Y31

Y32

Y33

Y34

Y35

Y30

Y15X14 X15

X3 X2

X10

X7

Ɛ8 Ɛ9 Ɛ10 Ɛ11 Ɛ12 Ɛ13 Ɛ14 Ɛ15 Ɛ23 Ɛ24 Ɛ25 Ɛ26 Ɛ27 Ɛ28 Ɛ29

Ɛ1 Ɛ2 Ɛ3 Ɛ4 Ɛ5 Ɛ6 Ɛ7 Ɛ16 Ɛ17 Ɛ18 Ɛ19 Ɛ20 Ɛ21 Ɛ22

Ɛ31

Ɛ32

Ɛ30

Ɛ34

Ɛ35

Ɛ33

δ5

δ6

δ4

δ3 δ2

δ7

δ14 δ15

δ11

δ12

δ10

δ13

X9δ9

X8

δ8

λX152

λX92

λX81

λX11 λY11 λY71

λY82 λY152

λY163 λY223

λY234 λY294λY355

λY305ζ1

ζ2

ζ3

ζ4

ζ5

γ11

γ22

γ31

γ42

γ32

γ41

β51

β52

β53

β54

φ21 (σξ1ξ2)

X1

δ1

45

Note: LF: Loading Factor; SLF: Standardized Loading Factor; MV: Measured Variables; LV:

Latent Variables; RMSEA: Root Mean Square Error of Approximation; CR: Construct Reliability, CR = (∑SLF)2/((∑SLF)2+∑ej); VE: Variance Extracted, VE =

∑SLF2/(∑SLF2+∑ej); CFA: Confirmatory Factor Analysis; ej; measurement error for each

indicator or measured variable, ej<0,75; ML: Maximum Likelihood; GLS: Generalized Least Square; WLS: Weighted Least Square; MI: Modification Index; No. of Data =

(p+q)*(p+q+1)/2, p = no. of measured variables from all endogenous variables; q = no. of measured variables from all exogenous variables. No. of Parameter = β + γ + λx + λy + θδ

+ θε + ζ + Φ.

Gambar 19. Prosedur SEM

a. Spesifikasi Model

Langkah pertama dalam melakukan analisis SEM adalah menentukan model

pengukuran, model struktural, dan diagram alur. Spesifikasi model pengukuran

memberikan definisi variabel laten ‘LV’ (eksogen dan endogen) dan variabel

pengukuran (measured variable) ‘MV’, serta hubungan antara tiap-tiap LV dan MV

masing-masing. Spesifikasi model struktural mendefinisikan hubungan sebab-

akibat di antara variabel-variabel laten. Terakhir, hybrid (complete) path diagram

digambarkan berdasarkan model pengukuran dan model struktural yang

ditentukan sebelumnya.

b. Identifikasi Model

Tahap kedua adalah mengamati pengidentifikasian dari model struktural,

apakah model tersebut over-identified atau just-identified (yaitu yang diharapkan),

MODEL SPECIFICATION

Measurement; Structural; Path Diagram

MODEL IDENTIFICATION

EXPECTED MODEL Over/Just Identified

LF one of MV=1; or Var. of Exogenous LV=1

Data ≥ Parameter Data < Parameter

LISREL PROGRAM for CFA Measurement Model

ESTIMATION -Normal: ML; Abnormal: Ro-bust ML or GLS; WLS or ADF

TEST: G. of Fit (P>0.05, RMSEA≤0.08); Validity (t≥1.96);

Reliability (CR≥0.7; VE≥0.5)

LISREL PROGRAM for PA Structural Model

ESTIMATION -Normal: ML; Abnormal: Ro-bust ML or GLS; WLS or ADF

TEST -G. of Fit (P>0.05, RMSEA≤0.08); Structural (t≥1.96)

OK

MODIFY LISREL PROGRAM -Use Mod. Indices; Delete MV

Not OK MODIFY LISREL PROGRAM

-Use Mod. Indices; Trial & Error

Not OK RESULTS

OK

Re-specification Re-specification

46

atau under-identified (yaitu yang tidak diharapkan dan harus disesuaikan). Rumus

untuk mengidentifikasi adalah sebagai berikut: t<s/2; t adalah angka dari

parameter yang harus diestimasi. Kemudian, s adalah jumlah data yang diketahui

atau nilai varian dan co-varian dari data yang observasi, yaitu sama dengan

(p+q)*(p+q+1), p adalah jumlah indikator dari variabel endogen, dan q adalah jumlah

indikator dari variabel eksogen. Diharapkan agar data ≥ parameter, artinya model

over-identified (data>parameter) atau just-identified (data=parameter). Ketika model

under-identified (data<parameter), hal ini dapat diatasi dengan membatasi model

dengan cara:

memasukkan loading factor LF=1 untuk salah satu variabel pengukuran MV;

atau memasukkan seluruh varian dari variabel laten eksogen Φ = 1.

Dalam model ini jumlah total dari parameter t adalah 111 (β = 4; γ = 6; λx =

15; λy = 35; θδ = 15; θε = 35; ζ = 5; Φ = 1), sedangkan jumlah keseluruhan data s

adalah 1056 (p = 35; q = 15 sehingga (p+q)*(p+q+1) = 2.550). Dengan demikian, t<s/2

atau data>parameter, yang berarti model over-identified.

c. Estimasi Model

Tahap ketiga adalah mengestimasi model (model pengukuran terlebih dahulu,

selanjutnya model struktural) dalam LISREL dengan menggunakan metode estimasi

yang sesuai dengan karakteristik data.

- Maximum likehood ‘ML’ digunakan apabila data bersifat normal (p-value zkurtosis

dan zskewness>0,05) dengan ukuran sampel antara 100–200 dan ini akan

menghasilkan estimasi parameter terbaik;

- Robust ML atau generalized least square ‘GLS’ digunakan apabila data bersifat

abnormal dengan ukuran sampel antara 200–300; atau

- Weighted least square ‘WLS’ digunakan ketika model hanya memiliki 10–15

variabel jika data bersifat abnormal dengan ukuran sampel antara 2000–3000.

Dalam model ini metode estimasi yang digunakan adalah maximum likehood

‘Ml’ karena data sebanyak 120 sampel telah memenuhi multivariate normality, yaitu

data terdistribusi secara normal dan sebagian besar indikator (9 dari 50) memiliki

p-value zkurtosis dan zskewness>0,05.

47

d. Pengujian Model

Tahap keempat adalah pengujian kecocokan model (pengujian model

pengukuran terlebih dahulu sebelum pengujian model struktural) yang mengacu

pada Hair et al. (1998). Pengujian model terdiri atas tiga pengujian, yaitu sebagai

berikut.

1) Kecocokan model secara keseluruhan (baik untuk model pengukuran maupun

model struktural) menggunakan goodness of fit (GoF) untuk menentukan derajat

kecocokan antara data dan model, yang termasuk antara lain, χ2/df ≤ 3,0, P >

0,050 dan RSMEA (root mean square error of approximation) ≤ 0,08. Model tersebut

memiliki kecocokan sempurna (perfect fit) apabila χ2/df = ∞ (0,0/0), p = 1,0 dan

RMSEA = 0,0. Model itu mendekati kecocokan (close fit) apabila χ2/df ≤ 3,0, P >

0,050 dan RMSEA ≤ 0,05. Model tersebut memiliki kecocokan yang baik (good fit)

apabila χ2/df ≤ 3,0, P > 0,050 dan 0,05 < RMSEA ≤ 0,08.

2) Pengukuran kecocokan model menggunakan test validity dan reliability untuk

mengevalusai kecocokan model pengukuran. Model itu dianggap valid apabila t ≥

1,96 dan dapat dipercaya apabila construct reliability ‘CR’ = (∑SLF)2/((∑SLF)2+∑ej)

≥ 0,7 dan variance extracted ‘VE’ = ∑SLF2/(∑SLF2+∑ej) ≥ 0,5. Selanjutnya, setiap

indikator dianggap sangat signifikan apabila nilai dari standardized loading factor

≥ 0,5.

3) Kecocokan model struktural menggunakan signifikansi t-test untuk mengevalusai

setiap hubungan sebab-akibat dan koefisien determinasi ‘R2’ secara keseluruhan.

Hubungan sebab-akibat antarvariabel laten dianggap signifikan apabila t ≥ 1,96.

e. Modifikasi Model

Dalam hal hasil tes (model pengukuran atau struktural) kurang memuaskan,

program LISREL harus dimodifikasi lebih lanjut. Dalam kasus model pengukuran,

modifikasi dapat dilakukan dengan menggunakan indeks modifikasi dan/atau

dengan menghilangkan variabel (indikator) pengukuran yang tidak layak. Dalam

kasus model struktural, modifikasi dapat dilakukan dengan menggunakan indeks

modifikasi dan/atau dengan coba-coba (trial-and-error).

3.3 Strategic Assumption Surfacing and Testing (SAST)

48

Metode strategic assumption surfacing and testing (SAST) pada awalnya

dikembangkan oleh Mitroff dan Emshoff (1979) dan Mason dan Mitroff (1981)

sebagai kelanjutan inquiring systems design dari Churchman (1971). Mitroff dan

Emshoff (1979) mendefinisikan SAST sebagai metodologi pembentukan problem

adversari (adversarial problem forming methodology) yang sesuai dalam menghadapi

masalah yang tidak terstruktur (ill-structured problems). Istilah ill-structured problem

merupakan perpaduan kompleks dari masalah-masalah penting yang sangat

interdependen satu sama lain serta yang melibatkan lebih dari satu orang dalam

perumusan kebijakan, solusi, implementasi, dan evaluasi. Easton (1988)

mengemukakan SAST sebagai penggunaan asumsi dalam pembuatan kebijakan

atau perencanaan untuk membantu pembuat kebijakan memiliki peta keputusan

yang lebih baik. Dengan demikian, SAST dipandang sangat membantu dalam

menguak asumsi-asumsi kritis dari penyusunan kebijakan, perencanaan, dan

strategi-strategi.

Secara terperinci terdapat empat prinsip metode SAST, yaitu (i) adversarial–

alat untuk menguji asumsi melalui penggunaan asumsi kebalikan; (ii) participative–

alat untuk mendistribusikan pengetahuan dan sumber daya pada sekelompok

individu; (iii) integrative–alat untuk membuat satu set asumsi dan rencana aksi yang

terintegrasi dari elemen-elemen adversari dan partisipatif; dan (iv) managerial mind

supporting–alat untuk memperdalam pandangan (insight) manajer berdasarkan

eksposur asumsi.

Untuk memulai proses SAST, organisasi sangat penting mempersiapkan isu

atau kebijakan serta mempersiapkan kelompok pengambil keputusan. Dengan

mengadopsi beberapa literatur, prosedur SAST dapat disederhanakan menjadi

empat tahap (Mitroff dan Emshoff, 1979; Easton, 1988; Córdoba-Pachón, 2010).

Pertama, strategi pembentukan kelompok diterapkan untuk memisahkan kelompok

besar menjadi kelompok-kelompok homogen yang berlawanan. Pembentukan

kelompok-kelompok kecil homogen dipilih karena cenderung memiliki kinerja yang

lebih baik dalam hal penyelesaian masalah jika dibandingkan dengan kelompok-

kelompok besar (Easton, 1988).

49

Gambar 20. Prosedur SAST

Kedua, tahap pemunculan asumsi melibatkan dua langkah yang berbeda.

Langkah pertama adalah mengidentifikasi pihak yang berkepentingan dengan

kebijakan tersebut (stakeholders). Setelah stakeholders teridentifikasi, langkah

kedua adalah membuat asumsi kebijakan (policy assumption) yang dilakukan oleh

tiap-tiap kelompok. Córdoba-Pachón (2010) mengartikan asumsi tersebut sebagai

penegasan bagi organisasi dan stakeholders berperilaku dalam situasi sekarang dan

akan datang.

Ketiga, tahap perdebatan dialektikal menghasilkan evaluasi terhadap asumsi-

asumsi dari tiap-tiap kelompok. Tujuan dari perdebatan dialektikal adalah untuk

menunjukkan alasan mengapa setiap kelompok melihat suatu situasi seperti apa

adanya dan bagaimana sudut pandangnya. Perdebatan dialektikal dilakukan oleh

kedua kelompok yang saling berlawanan. Selanjutnya, mereka harus

mempertimbangkan penyesuaian terhadap asumsi-asumsi tersebut. Proses

memodifikasi asumsi ini harus dilanjutkan selama terjadi perkembangan. (Mitroff

dan Emshoff, 1979; Córdoba-Pachón, 2010).

Setelah modifikasi asumsi kebijakan, setiap kelompok harus memiliki

penilaian (justifikasi) terhadap peringkat asumsi-asumsi tersebut. Langkah

pemeringkatan asumsi harus diuji untuk mendapatkan tingkat kepentingan dan

kepastian pada setiap asumsi. Kepentingan diartikan sebagai signifikansi asumsi

atas suatu hasil dari kebijakan yang terpilih, sedangkan kepastian berarti asumsi

tersebut harus sangat jelas terbukti dengan sendirinya (self-evident) dan sangat

mungkin untuk menjadi kenyataan (Easton, 1988).

Literature Review Indepth Interview

Identification of the Stakeholders of the policy

Policy Assumptions Surfacing (within groups)

Policy Assumptions Modification (between groups)

Opposing Homogenous Groups Formation

Information Requirements Analysis of Region II

Presumptions of the Policy

PHASE IGroup Formation

PHASE IIAssumption Surfacing

PHASE IIIDialectical Debate

& Rating

PHASE IVFinal Synthesis

Important – Certain SurveyRes

earc

her

Res

po

nd

ents

Fundamental Premises of the Policy

50

Skala penilaian yang berbeda-berbeda telah digunakan, termasuk

perbandingan berpasangan (pairwise) antara asumsi-asumsi dan skala ordinal

sederhana. Sebagaimana ditunjukkan Gambar 21, empat kelompok asumsi adalah

kuadran (i) pasti dan penting; (ii) penting dan tidak pasti; (iii) tidak pasti dan tidak

penting; dan (iv) pasti dan tidak penting. Asumsi-asumsi yang berada pada kuadran

I (wilayah perencanaan yang pasti) adalah penting sehingga mereka mewakili secara

langsung pemikiran mendasar suatu kebijakan. Sebaliknya, asumsi-asumsi yang

berada pada sisi paling kiri memiliki sedikit signifikasi pada perencanaan atau

penyelesaian masalah yang efektif.

Certain

Uncertain

Unimportant Important

Certain Planning Region

ProblematicPlanning Region

I

IIIII

IV

Sumber: Mitrofff and Emshoff (1979), dimodifikasi oleh peneliti

Gambar 21. Asumsi Peringkat dengan Metode SAST

Terakhir, sintesis akhir melibatkan sekumpulan asumsi umum untuk semua

kelompok dan juga asumsi yang dirumuskan ulang. Asumsi-asumsi tersebut yang

berada dalam kuadran II (wilayah perencanaan masalah) merupakan yang paling

kritikal karena memerlukan analisis lebih lanjut (contoh: penggunaan analisis

kebutuhan informasi). Asumsi akhir dari keseluruhan proses adalah dugaan

(presumptions) kebijakan.

51

IV. HASIL DAN ANALISIS

4.1 Profil Responden

Terdapat tiga kelompok profil responden jika dilihat dari (i) kinerja UMK yang

naik kelas: UM yang tetap mikro (81 responden), UM yang telah naik kelas menjadi

UK (16 responden), dan UK yang tetap kecil (23 responden); (ii) sumber pembiayaan

UMK: UMK yang telah memperoleh pembiayaan dari bank konvensional (54

responden), UMK yang telah memperoleh pembiayaan dari bank syariah (24

responden), dan UMK yang tidak mendapatkan pembiayaan dari bank (42

responden), serta (iii) kinerja penjualan UMK: UMK yang penjualan sebelumnya

meningkat (72 responden), UMK yang penjualan sebelumnya stagnan (25

responden), dan UMK yang penjualan sebelumnya menurun (23 responden).

Tabel 14. Pengelompokkan Profil Responden

Sesuai dengan ringkasan association (chi-square) test, Tabel 15 menunjukkan

bahwa UMK merupakan perusahaan yang usahanya sangat beragam, yang hampir

tidak memiliki hubungan signifikan yang menunjukkan pola usahanya.

Tabel 15. Ringkasan Association (Chi-Square) Test terhadap Profil Responden

FINANCING ME ME to SE SE TOTAL

Conventional 36 7 11 54

Shariah 18 3 3 24

No Financing 27 6 9 42

TOTAL 81 16 23 120

Decrease Stagnant Increase TOTAL

ME 16 19 46 81

ME to SE 2 2 12 16

SE 5 4 14 23

TOTAL 23 25 72 120

Source of Financing 0.053 0.905 0.368 0.201 0.832 0.386 0.746 0.760

Grad. Performance 0.663 0.741 0.284 0.363 0.513 0.093 0.329 0.059

Sales Performance 0.975 0.782 0.142 0.476 0.419 0.068 0.299 0.094

Business

Permits

Owner's

Gender

Owner's

Education

Business

Sector

Length of

BusinessInitiative Motivation

No. of

Employee

Source of Financing 0.761 0.661 0.081 0.570 0.680 - 0.906 0.482

Grad. Performance 0.478 0.209 0.509 0.408 0.043 0.906 - 0.710

Sales Performance 0.307 0.154 0.718 0.209 0.840 0.482 0.710 -

Skills of

Employee

Place of

Business

Source of

Capital

Target

Customer

Marketing

Strategy

Source of

Financing

Graduation

Performance

Sales

Performance

52

Kinerja UMK, baik telah naik kelas maupun kinerja penjualan, sebagian besar

tidak memiliki hubungan dengan karakteristiknya atau sumber pembiayaannya.

Hanya strategi pemasaran yang memiliki hubungan signifikan dengan kinerja naik

kelas UMK (0,043<0,05). Lebih lanjut, beberapa karakteristik UMK memiliki asosiasi

hampir signifikan, seperti (1) jenis kelamin dan sumber modal dengan sumber

pembiayaan; (2) jumlah tenaga kerja dan inisiatif memulai usaha dengan kinerja

naik kelas; dan (3) inisiatif memulai usaha dan jumlah tenaga kerja dengan kinerja

penjualan.

Gambar 22 (sisi kiri) menunjukkan bahwa pemilik UMK dibagi menjadi dua

antara responden laki-laki (53%) dan perempuan (47%). Namun, UM yang naik kelas

menjadi UK hampir seluruhnya adalah laki-laki (63%). Selain itu, hasil chi-square

(0,663>0,05) menunjukkan bahwa sesungguhnya tidak ada hubungan antara jenis

kelamin dari pemilik usaha dan kinerja UMK naik kelas.

Gambar 22. Jenis Kelamin Pemilik

Dari sudut pandang sumber pembiayaan UMK, Gambar 22 (sisi kanan)

menunjukkan bahwa pemilik usaha laki-laki cenderung lebih menyukai pinjaman

konvensional (63%), sedangkan pemilik usaha perempuan cenderung menyukai

pembiayaan syariah (67%). Di samping itu, hasil chi-square (0,053>0,05)

menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan antara sumber pembiayaan dan

jenis kelamin pemilik usaha. Namun, terdapat kecenderungan yang besar bahwa

pemilik perempuan terkait dengan pembiayaan syariah, sedangkan pemilik laki-laki

terkait dengan pinjaman konvensional.

53

Gambar 23. Pendidikan Pemilik Usaha

Berdasarkan pendidikan pemilik usaha, Gambar 23 menunjukkan bahwa

sebagian besar pemilik UMK adalah lulusan SMP (39%) dan SMA (22%), khususnya

pemilik UM sebesar 42% lulusan SMP dan 25% lulusan SMA. Sementara itu,

sebagian besar pemilik UM yang naik kelas adalah lulusan SMP (31%) dan S1 (31%).

Lebih lanjut hasil chi-square (0,741>0,05) menunjukkan bahwa tidak terdapat

hubungan antara pendidikan pemilik usaha dan kenaikan kelas UMK.

Gambar 24. Sektor Usaha

Berdasarkan sektor usaha, Gambar 24 menunjukkan bahwa sebagian besar

UMK bergerak di sektor manufaktur (73%) dan hanya UM yang bergerak di sektor

jasa (9%). Lebih lanjut hasil chi-square (0,284>0,05) menunjukkan bahwa tidak

terdapat hubungan antara sektor usaha dan kinerja naik kelas UMK. Meskipun

begitu, terdapat kecenderungan bahwa UM yang naik kelas bergerak di sektor

perdagangan dan manufaktur, sedangkan UK bergerak di sektor manufaktur.

54

Gambar 25. Lamanya Usaha

Dari sudut pandang lamanya usaha, berbeda dengan persepsi mayoritas,

wirausahawan UMK bukan merupakan wirausahawan hit and run yang dapat

dengan mudah beralih dari satu usaha ke usaha lainnya. Gambar 25 menunjukkan

bahwa sebagian besar UMK (35%) telah menjalankan usahanya lebih dari 10 tahun,

terutama UK (52%). Sementara itu, sebagian besar UM yang naik kelas menjadi UK

telah menjalankan usaha selama 1 hingga 3 tahun (31%). Lebih lanjut, hasi uji chi-

square (0,363>0,05) menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan antara lamanya

usaha dan kinerja naik kelas UMK. Namun, terdapat kecenderungan bahwa UM

yang naik kelas telah menjalankan usahanya selama 1–3 tahun, sedangkan UM

yang tetap di mikro antara 5–10 tahun dan UK yang tetap di UK telah dijalankan

selama >10 tahun.

Gambar 26. Izin Usaha

Terkait dengan izin usaha, hanya sedikit UMK yang memiliki izin usaha

(TDI/TDP, SIUP) dan NPWP. Sebagian besar UMK (32%) memiliki sejenis izin lokal

atau tidak memiliki izin sama sekali (27%). Lebih lanjut, hasil chi-square

(0,513>0,05) menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan antara pemegang izin

usaha dan kinerja kenaikan kelas UMK. Namun, terdapat kecenderungan bahwa

55

UM tidak memiliki izin usaha, tetapi memiliki NPWP. UM yang naik kelas memiliki

TDI/TDP.

Gambar 27 (sisi kiri) menunjukkan bahwa sebagian besar UMK (80%)

mengawali usahanya atas inisiatif sendiri, khususnya UK (96%). Sementara UM

yang naik kelas memulai usaha dari inisiatif keluarga (38%). Berdasarkan kinerja

penjualan masa lalu, Gambar 27 (sisi kanan) menunjukkan bahwa sebagian besar

UMK mengalami peningkatan penjulan (83%), stagnan (68%), dan penurunan

penjualan (83%) dalam usaha yang dimulai atas inisiatif sendiri.

Gambar 27. Inisiatif Memulai Usaha

Dari sudut pandang kinerja naik kelas, hasil chi-square (0,093>0,05)

menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan antara siapa yang memulai inisiatif

usaha dan kinerja kenaikan kelas UMK. Namun, terdapat kecenderungan kuat

bahwa UM yang naik kelas berkaitan dengan inisiatif keluarga, sedangkan UM

berkaitan dengan inisiatif pemilik. Lebih lanjut, dari sudut pandang kinerja

penjualan, hasil dari uji chi-square (0,068>0,05), Gambar 28 (sisi kanan)

menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan antara memulai usaha dan kinerja

penjualan UMK. Namun, terdapat kecenderungan yang kuat bahwa inisiatif pemilik

berkaitan dengan kenaikan penjualan.

56

Gambar 28. Motivasi Usaha

Motivasi utama responden untuk masuk ke dalam sektor UMK adalah

menjadi wirausahawan. Sebagian besar UK (33%) dan UM yang naik kelas (30%)

ingin menjadi wirausahawan, sedangkan sebagian besar UM (29%) karena tidak

memiliki pekerjaan lainnya pada saat mereka memulai usaha. Lebih lanjut, hasil

chi-square (0,329>0,05) menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan antara

motivasi usaha dan kinerja kenaikan kelas UMK. Namun, terdapat kecenderungan

bahwa UM yang naik kelas bergerak di sektor perdagangan dan manufaktur,

sedangkan UK bergerak di sektor manufaktur.

Gambar 29. Tempat Usaha

Berdasarkan tempat usaha, Gambar 29 menunjukkan bahwa sebagian besar

UMK memilih rumah sebagai tempat usaha (53%), terutama UM dan UK, serta toko

(32%), khususnya UM yang naik kelas. Hanya sedikit sekali yang memilih online

(6%), pasar tradisional (4%), lokasi industri (2%), dan pinggir jalan (1%) sebagai

tempat usaha. Lebih lanjut hasil chi-sqare (0,209>0,05) menunjukkan bahwa tidak

57

terdapat hubungan antara lokasi usaha dan kinerja naik kelas UMK. Namun,

terdapat kecenderungan bahwa UM yang naik kelas beroperasi di tokonya,

sedangkan UM beroperasi di rumahnya.

Gambar 30. Jumlah Tenaga Kerja

Dari sudut pandang jumlah tenaga kerja, Gambar 30 menunjukkan bahwa

sebagian besar UMK (83%) memiliki tenaga kerja kurang dari 10 orang, khususnya

UM yang naik kelas (94%). Lebih lanjut, hasil chi-square (0,059>0,05) menunjukkan

bahwa tidak terdapat hubungan antara jumlah tenaga kerja dan kinerja UMK naik

kelas. Namun, terdapat kecederungan yang kuat bahwa UM dan UM yang naik kelas

memiliki <10 tenaga kerja, sedangkan UK memiliki 11–25 tenaga kerja.

Gambar 31. Keterampilan Tenaga Kerja

Berdasarkan keterampilan tenaga kerja, Gambar 31 menunjukkan bahwa

sebagian besar UMK (50%) memiliki tenaga kerja yang seluruhnya terampil,

khususnya UM (56%). Hanya sebagian kecil UMK memilliki tenaga kerja tidak

terampil (8%) yang karena sebagian besar UMK dimiliki dan dikelola secara

58

perseorangan. Lebih lanjut, hasil chi-square (0,478>0,05) menunjukkan bahwa tidak

terdapat hubungan antara jumlah tenaga terampil dan kinerja UMK naik kelas.

Namun, terdapat kecenderungan bahwa UM memiliki tenaga kerja yang seluruhnya

terampil dan UK memiliki tenaga kerja yang sebagian besar terampil.

Gambar 32 (sisi kiri) menunjukkan bahwa sebagian besar UMK (49%)

memulai usahanya dari modal sendiri, khususnya UK (54%). Di samping itu, hasil

chi-square (0,509>0,05) menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan antara

sumber modal dan kinerja kenaikan kelas UMK.

Gambar 32. Sumber Permodalan

Dari sudut pandang sumber permodalan Gambar 32 (sisi kanan)

menunjukkan bahwa sebagian besar UMK (49%) memulai usahanya dari modal

sendiri, khususnya UMK nonpembiayaan (59%). Lebih lanjut, hasil chi-square

(0,081>0,05) menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan antara sumber

permodalan dan sumber pembiayaan UMK.

Gambar 33. Target Konsumen

59

Sebagian besar UMK melakukan pemasaran langsung kepada konsumen

akhir (53%), khususnya UM (59%), serta kepada pedagang eceran (30%), utamanya

UK (34%) dan UM yang naik kelas (34%). Tujuan pemasaran yang paling utama

UMKM adalah pasar lokal, kota kecil, kota madya, atau kota yang sama. Hanya

sebagian kecil pasar mereka berorientasi ekspor (2%). Lebih lanjut, hasil chi-square

(0,408>0,05) menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan antara target

konsumen dan kinerja kenaikan kelas UMK. Namun, terdapat kecenderungan

bahwa UM menjual hasil produknya ke konsumen akhir.

Gambar 34. Strategi Pemasaran

Gambar 34 menunjukkan bahwa sebagian besar UMK (26%) memfokuskan

diri pada strategi produk, khususnya UM (29%), sedangkan UK (28%) memfokuskan

diri pada strategi proses. Di samping itu, hasil chi-square (0,043<0,05) menunjukkan

bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara strategi pemasaran dan kinerja

kenaikan kelas UMK. UM memfokuskan diri pada strategi produk, UM yang naik

kelas memfokuskan diri pada orang, sedangkan UK berfokus pada proses. UM yang

naik kelas lebih fokus pada strategi orang.

Gambar 35. Kinerja Penjualan

60

Jika ditinjau dari kinerja penjualan masa lalu, Gambar 35 menunjukkan

bahwa sebagian besar UMK (60%) mengalami kenaikan penjualan, khususnya UM

yang naik kelas (75%). Hasil chi-square (0,710>0,05) menunjukkan bahwa tidak

terdapat hubungan antara kinerja penjualan masa lalu dan kinerja kenaikan kelas

UMK.

Gambar 36. Sumber Pembiayaan

Berdasarkan sumber pembiayaan, Gambar 36 menunjukkan bahwa sebagian

besar UMK (45%) mendapatkan pembiayaan dari bank konvensional, khususnya UK

(48%) atau tanpa pembiayaan (35%), terutama UM yang telah naik kelas. Hasil uji

chi-square (0,906>0,05) menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan antara

sumber pembiayaan dan kinerja kenaikan kelas UMK.

Jika dilihat dari pengalaman usaha UMK, Gambar 36 (sisi kiri) menunjukkan

bahwa sebagian besar pemilik UMK (62%) secara rutin menghadiri pengajian dan

beberapa dari mereka (28%) menyediakan ruangan ibadah yang nyaman. Sebagian

besar pemilik UMK tidak memiliki pengalaman yang cukup dalam berbisnis. Namun,

sebagian besar pemilik UMK (51%) telah mengikuti standar pencatatan laporan

keuangan. Beberapa UMK memiliki pengalaman studi banding (33%), menerima

pinjaman/pendanaan lunak (25%), mengikuti pelatihan perbaikan diri (24%), dan

berpartisipasi dalam seminar/ekspo seminar inovasi produk (23%).

61

Gambar 37. Pengalaman Berusaha

Sementara itu, Gambar 37 (sisi kanan) menunjukkan bahwa sebagian besar

pemilik UM (60%) secara rutin menghadiri pengajian dan beberapa dari mereka

(22%) menyediakan ruangan ibadah yang nyaman. Namun, hampir sebagian besar

pemilik UM tidak memiliki pengalaman usaha. Meskipun begitu, hampir separuh

dari pemilik UM (47%) telah mengikuti penyusunan laporan keuangan yang

terstandardisasi. Beberapa UM mendapat pengalaman melakukan studi banding

(30%), menerima pinjaman/pendanaan lunak (27%), mengikuti pelatihan perbaikan

diri (19%), dan berpartisipasi dalam seminar/ekspo inovasi produk (19%).

Hasil survei menunjukkan bahwa sebagian besar dari UMK memiliki

hubungan dengan bank, baik sebagai deposan, debitur, maupun keduanya, yaitu

(1) deposan dan debitur (57%), (2) hanya sebagai deposan (28%), hanya sebagai

debitur (8%), dan (4) nasabah nonbank (7%).

Gambar 38. Bank Mindedness oleh Usaha Mikro, Usaha Mikro naik kelas menjadi Usaha Kecil, dan Usaha Kecil

UM menjadi UK UM UK Total

62

Gambar 38 menunjukkan bahwa seluruh UM yang telah naik kelas memiliki

hubungan dengan bank, baik sebagai deposan dan debitur (63%), maupun hanya

sebagai deposan (37%).

Gambar 39. Bank Mindedness (Usaha Mikro)

Berdasarkan aspek hubungan UM dengan bank, responden UM terdiri dari

58% deposan dan debitur, 26% hanya sebagai deposan, 9% hanya sebagai debitur,

dan 7% bukan nasabah bank.

Jika dilihat dari total deposan (84%), Gambar 39 (sisi kanan) menunjukkan

bahwa sebagian besar dari UM hanya memiliki rekening pribadi (78%), sedangkan

6% memiliki rekening, baik rekening pribadi maupun rekening usaha. Hampir

seluruh UM menggunakan jasa keuangan, terutama ATM (70%), kemudian diikuti

dengan jasa transfer (59%), dan kartu debit (42%).

Jika dilihat dari jumlah total debitur (67%), Gambar 39 (sisi kiri)

menunjukkan bahwa sebagian besar debitur dibiayai oleh bank konvenional (44%)

dan 19% dibiayai oleh bank syariah, sedangkan 33% UM sama sekali tidak dibiayai

oleh bank. Sebagian besar UM mengemukakan bahwa mereka tidak menerima

pinjaman atau pembiayaan apa pun karena mereka tidak membutuhkan

pembiayaan (14%), bunga yang tinggi (10%), tidak memiliki jaminan untuk kredit

(5%), dan prosedur yang rumit (2%).

63

Gambar 40. Bank Mindedness (Usaha Mikro naik kelas menjadi Usaha

Kecil)

Berdasarkan aspek hubungan UM yang naik kelas dengan bank, responden

UM yang naik kelas terdiri atas 63% sebagai deposan dan debitur serta 37% hanya

sebagai deposan.

Jika dilihat dari jumlah total depositor (100%), Gambar 40 (sisi kanan)

menunjukkan bahwa sebagian besar UM yang telah naik kelas hanya memilki

rekening pribadi (88%), sedangkan 12% memiliki rekening pribadi dan rekening

usaha. Hampir seluruh UM yang telah naik kelas menggunakan jasa keuangan,

terutama ATM (81%), kemudian diikuti dengan jasa transfer (69%), dan kartu debit

(63%).

Jika dilihat dari jumlah total debitur (63%), Gambar 40 (sisi kiri)

menunjukkan bahwa sebagian dari mereka dibiayai oleh bank konvensional (44%)

dan 19% oleh bank syariah, sedangkan 37% UM yang naik kelas sama sekali tidak

dibiayai oleh bank. Sebagian besar dari UM yang naik kelas mengemukakan bahwa

mereka tidak menerima pinjaman atau pembiayaan apa pun karena mereka tidak

membutuhkan pembiayaan (13%), prosedur yang rumit, atau alasan lainnya (2%).

64

Gambar 41. Bank Mindedness (Usaha Kecil)

Berdasarkan aspek hubungan UK dengan bank, responden UK terdiri atas

52% sebagai deposan dan debitur, 30% hanya sebagai deposan, 9% hanya sebagai

debitur, dan 9% bukan nasabah bank.

Jika dilihat dari total deposan (82%), Gambar 41 (sisi kanan) menunjukkan

bahwa sebagian besar hanya memiliki rekening pribadi (78%), sedangkan 4%

memiliki rekening pribadi dan rekening usaha. Hampir seluruh UK memanfaatkan

jasa keuangan, terutama ATM (74%), kemudian diikuti dengan jasa transfer (57%),

dan kartu debit (43%).

Jika ditinjau dari total debitur (61%), Gambar 41 (sisi kiri) menunjukkan

bahwa sebagian besar dibiayai oleh bank konvensional (48%) dan 13% dibiayai oleh

bank syariah, sedangkan 39% UK tidak dibiayai oleh bank. Sebagian besar UK

mengemukakan bahwa mereka tidak menerima pinjaman atau pembiayaan apa pun

karena suku bunga yang tinggi (13%), prosedur yang rumit, tidak memerlukan

pembiayaan atau alasan lainnya (9%), serta tidak memiliki jaminan (4%).

4.2 Hasil SEM

Hasil SEM yang ditampilkan dalam bagian ini adalah proses akhir dari

beberapa prosedur SEM, dimulai dari spesifikasi, identifikasi, estimasi, pengujian

65

dan hasil akhir. Hasil lengkap dari seluruh prosedur SEM dapat dimintakan ke

penulis.

4.2.1 Model Pengukuran (Measurement Model)

Hasil dari tujuh model pengukuran terdiri atas dua variable laten eksogen

(external dan support) dan lima variabel laten endogen (owner, business,

management, resources, dan graduate) akan dibahas lebih lanjut.

a. Eksternal (External)

Model Pengukuran dari variabel laten eksogen external memenuhi tiga

persyaratan utama, yaitu χ2/df ≤ 3,0 (1,47/12), P>0,050 (0,08) dan RMSEA ≤ 0,08

(0,07). Seluruh pengukuran goodness of fit (GoF) adalah fit sehingga dapat diambil

simpulan bahwa model pengukuran untuk variabel external adalah good model

dengan close fit (AGFI= 0,97).

Gambar 42. Model Pengukuran untuk Variabel External

Seluruh variabel terukur (X1.1–X1.8) secara signifikan menjelaskan variabel

external. Bureaucracy (birokrasi, X1.7) dan infrastructure (infrastruktur, X1.2)

memiliki loading factors tertinggi (0,66 dan 0,64), diikuti oleh tax-retribution

(retribusi pajak, X1.8), dan corruption (korupsi, X1.5).

EXTERNAL (ξ1)

0.73

X1.2

X1.3

X1.40.83

0.80

0.60

0.57(7.74)

0.66(8.44)

0.62(7.76)

0.52(5.55)

0.64(7.87)

0.41(6.13)

X1.1 : Regulation - Policy

X1.2 : Infrastructure

X1.3 : Macroeconomic

X1.4 : Muslim Majority

X1.5 : Corruption

X1.7 : Bureaucracy

χ2 = 19.47; df = 12; p = 0.08; RMSEA = 0.07

AGFI = 0.97; Conclusion: CLOSE FIT

X1.1

X1.5

X1.7

X1.80.61

0.57

0.68

0.45(6.53)

X1.8 : Tax-Retribution

66

b. Dukungan (Support)

Model pengukuran dari variabel laten eksogen support memenuhi tiga

persyaratan utama, yaitu χ2/df ≤ 3,0 (12,13/8), P> 0,050 (0,15) dan RMSEA ≤ 0,08

(0,07). Seluruh pengukuran goodness of fit (GoF) adalah fit sehingga dapat diambil

simpulan bahwa model pengukuran untuk variabel support adalah good model

dengan close fit (AGFI = 0,98).

Gambar 43. Model Pengukuran untuk Variabel Support

Seluruh variabel pengukuran (X2.1–X2.7) secara signifikan menjelaskan

variabel support. ZISWAF/social funds (X2.3) dan managerial-tech. Support

(dukungan manajerial-teknologi, X2.5) memiliki loading factors tertinggi (0,73 dan

0,72) diikuti dengan central government (pemerintah pusat, X2.1) dan local

government (pemerintah daerah, X2.2).

c. Pemilik (Owner)

Model pengukuran variabel laten endogen owner memenuhi tiga persyaratan

utama, yaitu χ2/df ≤ 3,0 (14,13/12), P> 0,050 (0,29) dan RMSEA ≤ 0,08 (0,04).

Seluruh pengukuran goodness of fit (GoF) adalah fit sehingga dapat diambil

simpulan bahwa model pengukuran untuk variabel owner adalah good model

dengan close fit (AGFI = 0,98).

χ2 = 12.13; df = 8; p = 0.15; RMSEA = 0.07

AGFI = 0.98; Conclusion: CLOSE FIT

SUPPORT (ξ2)

X2.1

X2.2

X2.30.47

0.60

0.59

0.72(9.29)

0.52(7.81)

0.53(7.93)

0.64(8.15)

0.73(9.89)

X2.5

X2.6

X2.70.72

0.73

0.48

0.63(8.01)

X2.1 : Central Government

X2.2 : Local Government

X2.3 : ZISWAF/Social Funds

X2.5 : Managerial-Tech. Support

X2.6 : Spiritual Uplift

X2.7 : Family Support

67

Gambar 44. Model Pengukuran untuk Variabel Owner

Seluruh variabel pengukuran (Y1.1–Y1.7) secara signifikan menjelaskan

variabel owner (pemilik usaha). Truthful (kejujuran, Y1.3) dan visionary (visioner,

Y1.4) memiliki loading factors tertinggi (0,63 dan 0,61), kemudian diikuti dengan

trustworthy (kepercayaan, Y1.2), dan leadership (kepemimpinan, Y1.6).

d. Bisnis (Business)

Model pengukuran dari variabel laten endogen business memenuhi tiga

persyaratan utama, yaitu χ2/df ≤ 3,0 (28,16/19), P> 0,050 (0,08), dan RMSEA ≤

0,08 (0,06). Seluruh pengukuran goodness of fit (GoF) adalah fit sehingga dapat

diambil simpulan bahwa model pengukuran dari variabel bisnis adalah good model

dengan close fit (AGFI = 0,95).

Gambar 45. Model Pengukuran untuk Variabel Business

Y2.1 Y2.2 Y2.3 Y2.4 Y2.5 Y2.6

0.82 0.92 0.71 0.82 0.71 0.76

0.43(4.96)

0.28(3.22)

0.42(5.04)

0.54(5.59)

0.49(5.47)

0.54(5.71)

Y2.1 : Halal Earnings

Y2.2 : Product

Y2.3 : Service

Y2.4 : Market

Y2.5 : Customer

Y2.6 : Cost of Business

χ2 = 28.16; df = 19; p = 0.08; RMSEA = 0.06

AGFI = 0.95; Conclusion: CLOSE FITBUSINESS

(η2)

Y2.7 Y2.8

0.97 0.80

0.44(5.20)

0.18(2.35)

Y2.7 : Competition

Y2.8 : Location

68

Seluruh variabel pengukuran (Y2.1–Y2.8) secara signifikan menjelaskan

variabel business characteristics (karakteristik usaha). Customer (pelanggan) (Y2.5)

dan service (jasa) (X2.3) memiliki loading factors tertinggi (0,54), kemudian diikuti

oleh cost of business (biaya usaha) (Y2.6) dan location (lokasi) (Y2.8).

e. Manajemen (Management)

Model pengukuran variabel endogen laten management memenuhi tiga

persyaratan utama, yaitu χ2/df ≤ 3,0 (6,20/8), P> 0,050 (0,62) dan RMSEA ≤ 0,08

(0,00). Seluruh pengukuran goodness of fit (GoF) adalah fit sehingga dapat diambil

simpulan bahwa model pengukuran untuk variabel management adalah good model

dengan close fit (AGFI = 0,98).

Gambar 46. Model Pengukuran untuk Variabel Management

Seluruh variabel pengukuran (Y3.1–Y3.7) secara signifikan menjelaskan

variabel manajemen know-how. Information technology (teknologi informasi) (Y3.5)

dan innovation (inovasi) (Y3.6) memiliki loading factors tertinggi (0,72 dan 0,71),

kemudian diikuti oleh SOP-SOM (Y3.4) dan transparency (transparansi) (Y3.1).

f. Sumber Daya (Resource)

Model pengukuran variabel endogen laten resource memenuhi tiga

persyaratan utama, yaitu χ2/df ≤ 3,0 (18.12/14), P> 0,050 (0,20) and RMSEA ≤ 008

(0,05). Seluruh pengukuran goodness of fit (GoF) adalah fit sehingga dapat diambil

0.86 0.89 0.59 0.47 0.50 0.90

Y3.1

MANAGEMENT(η3)

Y3.2 Y3.4 Y3.5 Y3.6 Y3.7

0.37(4.88)

0.33(4.35)

0.72(7.50)

0.64(7.21)

0.32(4.46)

0.71(7.82)

χ2 = 6.20; df = 8; p = 0.62; RMSEA = 0.00

AGFI = 0.98; Conclusion: CLOSE FIT

Y3.1 : Transparency

Y3.2 : Professional

Y3.4 : SOP-SOM

Y3.5 : Information Tech.

Y3.6 : Innovation

Y3.7 : Networking

69

simpulan bahwa model pengukuran untuk variabel resource adalah good model

dengan close fit (AGFI = 0,97).

Gambar 47. Model Pengukuran untuk Resource

Seluruh variabel pengukuran (Y4.1–Y4.7) secara signifikan menjelaskan

resource (sumber daya). Technology resource (sumber daya teknologi) (Y4.5) dan

access to finance (akses pembiayaan) (Y4.4) memiliki loading factors tertinggi (0,74

dan 0,61), kemudian diikuti raw material (bahan baku) (Y4.6) dan skilled human

resource (sumber daya manusia terampil) (Y4.2).

g. Kenaikan Kelas (Graduation)

Model pengukuran variabel endogen laten graduation memenuhi tiga

persyaratan utama, yaitu χ2/df ≤ 3,0 (5,66/4), P> 0,050 (0,23) dan RMSEA ≤ 0,08

(0,06). Seluruh pengukuran goodness of fit (GoF) adalah fit sehingga dapat diambil

simpulan bahwa model pengukuran untuk variabel graduation adalah good model

dengan close fIT (AGFI = 0,99).

χ2 = 18.12; df = 14; p = 0.20; RMSEA = 0.05

AGFI = 0.97; Conclusion: CLOSE FIT

Y4.1 : Spiritual Capital

Y4.2 : Skilled H. Resource

Y4.3 : Owned Capital

Y4.4 : Access to Finance

Y4.5 : Tech. Resource

Y4.6 : Raw Material

Y4.7 : Social Capital

Y4.1 Y4.2 Y4.3 Y4.4 Y4.5 Y4.6

0.88 0.69 0.96 0.63 0.45 0.68

0.34(4.87)

0.55(7.06)

0.61(7.57)

0.20(2.89)

0.57(7.00)

0.74(8.23)

RESOURCES(η4)

Y4.7

0.83

0.42(5.72)

70

Gambar 48. Model Pengukuran untuk Graduation

Seluruh variabel pengukuran (Y5.1–Y5.6) secara signifikan menjelaskan

variable graduation (kenaikan kelas). Kenaikan working capital (modal kerja) (Y5.2)

dan kenaikan profit (keuntungan) (Y5.5) memiliki loading factors tertinggi (0,76 dan

0,73), kemudian diikuti oleh kenaikan financing limit (batasan pembiayaan) (Y5.6)

dan kenaikan employee (tenaga kerja) (Y5.3).

4.2.2 Model Struktural (Structural Model)

Model struktural dari kenaikan kelas UM memenuhi tiga persyaratan utama,

yaitu χ2/df ≤ 3,0 (39,88/45), P> 0,050 (0,69) dan RMSEA ≤ 0,08 (0,00). Seluruh

pengukuran goodness of fit (GoF) adalah fit sehingga dapat disimpulkan bahwa

model struktural dari kenaikan kelas UM adalah good model dengan close fit (AGFI

= 0,93).

Faktor yang mempengaruhi kenaikan kelas UM adalah owner (pemilik usaha),

business characteristics (karakteristik usaha), management know-how (variabel laten

endogen), dan faktor external dan support dari berbagai pihak (variabel laten

eksogen).

0.76(9.25)

0.62(8.43)

0.61(5.99)

0.73(8.40)

0.64(9.04)

GRADUATE (η5)

Y5.3

Y5.4

Y5.5

0.47

0.63

0.61

0.49(4.47)

Y5.6

0.59

Y5.2

Y5.1

0.43

0.76

χ2 = 5.66; df = 4; p = 0.23; RMSEA = 0.06

AGFI = 0.99; Conclusion: CLOSE FIT

Y5.1 : Sales Increase

Y5.2 : W-Capital Increase

Y5.3 : Employee Increase

Y5.4 : Market Expansion

Y5.5 : Profit Increase

Y5.6 : Fin. Limit Increase

71

Gambar 49. Model Struktural Kenaikan Kelas Usaha Mikro

Secara langsung faktor yang paling penting dalam menentukan kenaikan

kelas UM adalah management know-how (0,57) dan business characteristics

(karakteristik usaha) (0,17), serta faktor external dan support (secara tidak

langsung). Variabel yang paling penting dalam menentukan kenaikan kelas UM

adalah SOP dan teknologi informasi (management) dan pasar (bisnis), serta

infrastruktur dan kondisi makroekonomi (external) dan dukungan keluarga

(support).

UM yang sukses harus memiliki management know-how yang baik, terutama

dalam proses bisnisnya dengan memanfaatkan teknologi informasi secara optimal

dan memiliki pemahaman yang baik dan kemampuan untuk memenangkan pasar.

Lebih lanjut, lingkungan usaha dengan infrastruktur yang memadai dan kondisi

makroekonomi yang stabil, serta dukungan secara terus-menerus dari keluarga

sangat penting bagi UM dalam meraih kesuksesan. Di samping itu, faktor-faktor

lainnya juga tidak bisa diabaikan karena faktor-faktor tersebut dianggap perlu

(meskipun tidak cukup) bagi UM untuk menjalankan usahanya dan berhasil,

terutama visi pemilik usaha, kewirausahaan, dan pengalaman berbisnis, serta

sumber daya manusia yang terampil.

4.3 Hasil SAST (SAST Result)

Sebagai prosedur standar dalam metode SAST, beberapa tahapan terkait isu

atau kebijakan harus diikuti, seperti pembentukan kelompok, spesifikasi asumsi,

72

pemeringkatan asumsi, dan survei penting-pasti (lihat Gambar 20). Hasil dari

prosedur SAST yang lengkap dapat dimintakan pada penulis.

a. Eksternal (External)

Gambar 50. Asesmen terhadap Tingkat Penting–Pasti untuk Faktor Eksternal

Hasil SAST untuk faktor external menunjukkan bahwa X131 merupakan

stabilitas harga, terutama kebutuhan dasar, bahan baku, dan energi

(makroekonomi), X121 merupakan perbaikan infrastruktur, khususnya jalan,

jembatan, listrik, transportasi, ketersediaan air bersih, dll. (infrastructure), dan X181

merupakan pengurangan pajak (tax-retribution) terletak pada certain planning region

(region I).

Sementara X111 merupakan kebijakan pemerintah, seperti keringanan pajak

dan kemudahan memperoleh perizinan diarahkan pada perbaikan iklim usaha

(regulation and policy), X153 merupakan penghapusan biaya tidak resmi bagi UMK

(corruption), X182 merupakan keringanan pajak (tax break) untuk UMK yang

berpendapatan rendah (tax-retribution), dan X171 merupakan jasa one-stop licensing

yang cepat dan murah/gratis (bureaucracy) yang terletak pada kawasan problematic

planning region (region II).

73

b. Dukungan (Support)

Gambar 51. Asesmen terhadap Tingkat Penting–Pasti untuk Faktor Support

Hasil SAST untuk faktor support menunjukkan bahwa X232 merupakan

dukungan penyertaan modal (bebas bunga) (ZISWAF/donor), X211 merupakan

pinjaman lunak/pembiayaan untuk modal kerja (pemerintah pusat), X231

merupakan program dana bergulir (ZISWAF/donor), X211 merupakan ketersediaan

informasi pasar untuk produk UMK (pemerintah daerah), dan X271 merupakan

dukungan motivasi kepada pemilik/pekerja dalam menjalankan usaha (dukungan

keluarga) yang terletak di certain planning region (region I).

Sementara X223 merupakan ketersediaan untuk mendapatkan modal

tambahan (bebas bunga) bagi UMK (pemerintah daerah), X272 merupakan

penanaman karakterik yang baik kepada pemilik usaha dan pekerja (dukungan

keluarga), X261 merupakan pelatihan keagamaan, seperti kepemimpinan dan

kewirausahaan syariah (spiritual uplift), X251 merupakan ketersediaan pelatihan

manajerial dan mentoring (managerial support) yang terletak pada kawasan

problematic planning region (region II).

74

c. Pemilik Usaha (Owner)

Gambar 52. Asesmen terhadap Tingkat Penting–Pasti untuk Faktor Pemilik

Usaha

Hasil SAST untuk faktor owner (pemilik usaha) menunjukkan bahwa tidak

ada kebijakan yang terletak pada wilayah perencanaan pasti (region I). Sementara

itu, Y111 yaitu menghadiri pengajian, seperti halaqah rutin (takwa kepada Allah), Y121

yaitu menghadiri pelatihan kewirausahaan syariah/spiritual (dipercaya), dan Y161

yaitu meghadiri pelatihan kepemimpinan spiritual/syariah (kepemimpinan) yang

terletak pada kawasan problematic planning region (region II).

d. Bisnis (Business)

Gambar 53. Asesmen terhadap Tingkat Penting–Pasti Faktor Usaha

75

Hasil SAST untuk faktor business characteristics (karakteristik usaha)

menunjukkan bahwa Y261 merupakan stabilitas harga, khususnya kebutuhan dasar,

bahan baku, dan energi (cost of business), Y262 merupakan perbaikan infrastruktur,

khususnya jalan, jembatan, listrik, transportasi, air bersih, dll (cost of business), Y281

merupakan lokasi usaha strategis (location), Y242 merupakan dukungan teknis untuk

UMK untuk meningkatkan produknya (service), Y251 merupakan kepuasan

pelanggan dan pelatihan loyalitas bagi UMK (consumer), Y222 merupakan pelatihan

perbaikan kualitas produk bagi UMK (produk), Y231 merupakan dukungan teknis

untuk perbaikan kualitas jasa UMK (service), Y241 merupakan kemudahan akses

pasar bagi UMK untuk masuk ke minimarket, supermarket, atau pasar modern

(market) dan Y252 merupakan perbaikan pelindungan konsumen UMK (customer)

yang terletak pada certain planning region (region I).

Sementara itu, Y211 merupakan menafikan sertifikasi produk halal UMK

(pendapatan halal) dan Y271 merupakan meningkatkan pengawas pasar untuk

menjamin terciptanya persaingan pasar yang adil bagi UMK (competition) yang

terletak pada wilayah problematic planning region (region II).

e. Manajemen (Management)

Gambar 54. Asesmen terhadap Tingkat Penting-Pasti untuk Faktor

Manajemen

Hasil SAST untuk faktor management menunjukkan bahwa Y371 merupakan

program partnership antara UMK dan pedagang besar, suplier, distributor, lembaga

76

pembiayaan, atau agen terkait lainnya (jejaring) dan Y361 merupakan pelatihan rutin

pengembangan produk bagi UKM (inovasi) berada pada certain planning region

(region I). Sementara itu, Y321 merupakan pelatihan rutin untuk profesionalisme

UMK (professional) dan Y311 merupakan pertemuan rutin dengan seluruh

stakeholders (transparency) yang terletak pada wilayah problematic planning region

(region II).

f. Sumber Daya (Resources)

Gambar 55. Asesmen terhadap Tingkat Penting–Pasti untuk Faktor Sumber

Daya

Hasil SAST untuk faktor resources menunjukkan bahwa Y461 merupakan

ketersediaan bahan baku dengan harga terjangkau (bahan baku), Y442 merupakan

ketersediaan fasilitas pinjaman/pembiayaan murah (access to finance), Y441

merupakan kemudahan akses pinjaman/pembiayaan (access to finance), Y451

merupakan ketersediaan teknologi tepat guna untuk memperbaiki kualitas produk

(technology resource), dan Y471 merupakan pengembangan kebersamaan dengan

masyarakat setempat (modal sosial) yang terletak pada kawasan certain planning

region (region I).

Sementara, Y411 merupakan perbaikan spiritualitas tenaga kerja melalui

kegiatan keagamaan (modal spiritual), Y431 merupakan pelatihan perencanaan

keuangan bagi UMK (modal kepemilikan), dan Y443 merupakan ketersediaan skema

77

pembiayaan yang tepat bagi UMK, seperti dana bergulir dan tanggung renteng

(access to finance) yang terletak pada wilayah problematic planning region (region II).

g. Keseluruhan (Overall)

Gambar 56. Asesmen Keseluruhan terhadap Hasil Rangkuman atas Tingkat

Penting–Pasti

Terakhir, hasil rangkuman SAST keseluruhan untuk kenaikan kelas UM

dapat dilihat pada Gambar 56. Kebijakan terpenting yang dibutuhkan oleh UM

untuk mempercepat usahanya adalah kebijakan external (eksternal), support

(dukungan), business characteristics (karakteristik usaha), dan resources (sumber

daya).

Kebijakan eksternal terpenting yang dibutuhkan oleh UM adalah X131

merupakan kestabilan harga, khususnya kestabilan harga kebutuhan pokok, bahan

baku, dan energi (makroekonomi), dan X121 merupakan perbaikan infrastruktur,

khususnya jalan, jembatan, listrik, transportasi, air bersih, dll.

Kebijakan support (dukungan) terpenting yang dibutuhkan oleh UM adalah

X232 merupakan dukungan partisipasi modal atau bebas bunga (ZISWAF/donor);

X211 merupakan pinjaman/pembiayaan lunak untuk modal kerja (pemerintah

pusat); dan X231 merupakan program dana bergulir (ZISWAF/donor).

Kebijakan business characteristics (karakteristik usaha) terpenting yang

dibutuhkan oleh UM adalah Y261 yang merupakan kestabilan harga, terutama

78

kebutuhan dasar, bahan baku, dan energi (cost of business); Y262 merupakan

perbaikan infrastruktur, terutama jalan, jembatan, listrik, transportasi, air bersih,

dll. (cost of business); dan Y281 merupakan lokasi usaha yang strategis (lokasi).

Kebijakan resources (sumber daya) terpenting yang dibutuhkan oleh UM

adalah Y461 yang merupakan ketersediaan bahan baku dengan harga terjangkau

(raw material); Y442 merupakan ketersediaan fasilitas pinjaman/pembiayaan murah

(access to finance); Y441 merupakan kemudahan akses pinjaman/pembiayaan

(access to finance); dan Y451 merupakan ketersediaan teknologi tepat guna untuk

memperbaiki kualitas produk (technology resource).

4.4 Desain

Apabila ingin mendesain kenaikan kelas UM, harus terdapat 3 (tiga) grup

komponen, yaitu sebagai berikut

1. persyaratan minimum: lingkungan internal UM, eksternal, dan dukungan;

2. faktor internal yang diperlukan (necessary): internal UM; dan

3. faktor eksternal yang diperlukan (necessary): kebijakan yang mendukung.

Pertama, internal UM harus mengembangkan SOP dan TI serta memahami

pasarnya, sedangkan lingkungan eksternal, seperti kondisi makroekonomi dan

infrastruktur serta dukungan keluarga harus kondusif bagi UM untuk

menumbuhkan usahanya. Kedua, pemilik UM harus seorang yang visioner dan

berpendidikan, memiliki jiwa kewirausahaan dan pengalaman usaha, serta

ketersediaan tenaga kerja yang memiliki keterampilan (skill). Ketiga, UM harus

didukung oleh kebijakan pemerintah, seperti ketersediaan pembiayaan yang murah,

keringanan pajak, kestabilan harga, serta bebas/minimum biaya izin dan sertifikasi;

ketersediaan bahan baku dan energi murah; serta ketersediaan teknologi tepat

guna. Lebih lanjut, dukungan keuangan dari ZISWAF/dana donasi sangat

dinantikan.

79

Gambar 57. Desain Kenaikan Kelas UM

MANAGEMENT Std. Operating Procedure

MANAGEMENT Information Technology

EXTERNAL Infrastructure

BUSINESS Market

EXTERNAL Macroeconomic Cond.

SUPPPORT Family Support

OWNER Visionery

OWNER Entrepreneurship

OWNER Business Experience

RESOURCES Skilled Human Resource

SUPPORT Government-Donor

BUSINESS Strategic Location

RESOURCES Cheap Raw Material

RESOURCES Appropriate Technology

BUSINESS Affordable Cost of Bus.

RESOURCES Easy Access to Finance

80

V. SIMPULAN DAN REKOMENDASI

5.1 Simpulan

a. Karakteristik UKM

UMK merupakan jenis usaha yang sangat beragam (sebagian besar bergerak

di sektor manufaktur, perdagangan-restoran-hotel, dan jasa), yang tidak dapat

digeneralisasi, dan yang hendaknya diperlakukan sesuai dengan kondisi masing-

masing. Meskipun begitu, UMK (dalam sampel ini) memiliki beberapa fitur yang

sama, seperti berikut ini.

1. Sebagian besar pemilik UMK adalah tamatan SMP (39%) dan SMA (22%),

sedangkan sebagian besar pemilik UM yang naik kelas adalah tamatan SMP

(31%) dan S1 (31%).

2. Sebagian besar UMK bergerak di sektor manufaktur (73%) dan hanya UM yang

bergerak di sektor jasa (9%).

3. Sebagian besar UMK tidak memiliki izin usaha formal atau SIUP (85%). Mereka

umumnya hanya memiliki izin setempat/lokal (32%) atau tidak memiliki izin

sama sekali (27%). Lebih lanjut sebagian besar UM yang telah naik kelas memiliki

TDI/TDP (23%).

4. Sebagian besar UMK memulai usahanya dari inisiatif sendiri (pemilik) (80%),

terutama UK (96%).

5. Sebagian besar UMK masuk ke sektor usaha karena termotivasi oleh faktor

pengangguran (25%), wirausaha (24%), dan prospek pasar (23%), sedangkan UM

yang naik kelas (30%) dan UK (33%) lebih termotivasi oleh faktor kewirausahaan.

6. Sebagian besar UMK membuka usahanya di rumah (53%) atau di toko (32%),

sedangkan sebagian besar UM yang naik kelas membuka usahanya di toko (56%)

atau di rumah (39%).

7. Sebagian besar UMK memiliki kurang dari 10 pekerja (83%), terutama UM yang

naik kelas (94%), dan mereka memiliki tenaga kerja yang seluruhnya terampil

(50%), terutama UM (56%).

8. Sebagian besar UMK (49%) memulai usahanya dari modal sendiri dan hanya 25%

yang dengan pinjaman/pembiayaan untuk memulai usahanya.

81

9. Sebagian besar UMK menjual produk/jasa-nya kepada konsumen akhir (53%)

atau pedagang eceran (30%).

10. Sebagian besar UMK (60%) mengalami kenaikan penjualan, khususnya UM yang

naik kelas (75%).

11. Sebagian besar UMK, khususnya UM, kurang memiliki pengalaman usaha.

Namun, sebagian besar mereka telah mengikuti pencatatan laporan keuangan

yang terstandardisasi (51%).

12. Sebagian besar UMK adalah nasabah bank (93%), baik sebagai deposan maupun

debitur (57%), atau hanya sebagai deposan (28%). Lebih lanjut, jasa keuangan

yang paling sering digunakan oleh UMK adalah ATM, jasa transfer, dan kartu

debit.

Sementara itu, UMK memiliki strategi pemasaran yang berbeda. UM

memfokuskan diri pada produk, UM yang naik kelas memfokuskan diri pada orang,

sedangkan UK memfokuskan diri pada proses.

Satu-satunya karakteristik religius yang muncul dalam studi ini adalah

sebagian besar pemilik UM secara rutin menghadiri pengajian (60%) dan sebagian

dari mereka menyediakan ruang ibadah yang nyaman (22%). Di samping itu,

sebagian besar pemilik UMK perempuan lebih menyukai mendapatkan pembiayaan

dari lembaga keuangan syariah (67%).

Secara keseluruhan UMK dalam sampel merupakan usaha informal yang

beroperasi di rumah/toko, bergerak di sektor manufaktur atau perdagangan, mudah

untuk masuk dan mudah untuk keluar dengan menggunakan teknologi sederhana;

dijalankan oleh tenaga kerja berpendidikan rendah dan kurang berpengalaman,

mudah puas dengan apa yang telah diraihnya, atau dijalanlan oleh tenaga terdidik

yang memang berkeinginan menjadi wirausahawan; dibiayai dengan menggunakan

modal sendiri karena mereka unbankable atau mempersepsikan utang sebagai

praktik yang tidak umum digunakan; dan memiliki pengetahuan yang sangat luas

(kowledgeable) atas produknya tetapi mengalami permasalahan dalam

mendapatkan pasar. Kondisi makroekonomi yang tidak stabil dan kurangnya

dukungan eksternal tidak menghentikan mereka untuk bertahan hidup. Mereka

sangat membutuhkan berbagai jenis bantuan, terutama bantuan manajerial,

keuangan, teknis, pemasaran, kewirausahaan, kepemimpinan, dan perubahan pola

pikir (mindset).

82

b. SEM

Hasil SEM menunjukkan bahwa faktor terpenting bagi kenaikan kelas UM

adalah management know-how dan business characteristics (langsung), diikuti

dengan faktor-faktor external dan support (tidak langsung). Meskipun begitu, faktor-

faktor lainnya, seperti kepemilikan usaha (owner of business) dan resources juga

harus dipertimbangkan karena merupakan faktor yang diperlukan (necessary).

Determinan utama kenaikan kelas UM adalah standard operating procedure

dan teknologi informasi (management know-how), pasar (business characteristics),

infrastruktur dan kondisi makroekonomi (external), dan dukungan keluarga

(support). Determinan penting lainnya adalah visionary, kewirausahaan

(entrepreneurship) dan pengalaman usaha (owner of business) serta sumber daya

manusia yang terampil (resources).

Temuan ini menunjukkan bahwa sebagian besar UMK di dalam sampel tidak

memiliki faktor kunci untuk berhasil dan naik kelas. Sebagian besar UMK tidak

memiliki SOP (78%), khususnya UM (84%). Sebagian besar UMK tidak pernah

berpartisipasi dalam pelatihan dan workshop pemasaran (83%), khususnya UM

(88%). Kebanyakan dari pemilik UMK memiliki tingkat pendidikan yang rendah

(73%) adalah tamatan SMA atau di bawahnya), khususnya pemilik UM (78%).

Sebagian besar pemilik UM tidak ingin menjadi wirausahawan pada awalnya (76%),

terutama pemilik UM (80%). Sebagian besar pemilik UKM tidak memiliki

pengalaman usaha, khususnya pemilik UM.

Lebih lanjut, lingkungan usaha UMK dalam sampel, seperti kondisi

makroekonomi dan infrastruktur, tidak dipertimbangkan sebagai faktor-faktor yang

mendukung kenaikan kelas UM. Sebagian besar UMK mengeluh atas meningkatnya

harga bahan baku, energi, dan kebutuhan pokok. Infrastruktur seperti jalan, listrik,

transportasi, dan air bersih yang masih kurang memadai.

Karakteristik yang terkait dengan agama Islam, seperti mayoritas Muslim

(external), peningkatan keagamaan (support), kepercayaan (trustworthy) ‘amanah’,

dan kejujuran ‘shiddiq’ (owner), pendapatan halal (business), transparansi ‘tabligh’,

dan profesional ‘fathanah” (management), serta modal spiritual dan modal sosial

(resources) tidak menunjukkan sebagai faktor kunci utama kesuksesan UM naik

kelas. Meskipun begitu, semuanya adalah faktor yang diperlukan (necessary)

dengan loading factors (>0,50), seperti spiritual uplift (0,52), trustworthy (0.56), dan

truthful (0,63).

83

c. SAST

Beberapa kebijakan penting yang muncul dalam penelitian ini sejalan dengan

hasil SEM, seperti X131 yang merupakan stabilitas harga, khususnya kebutuhan

dasar, bahan baku, dan energi (makroekonomi); X121 yang merupakan perbaikan

infrastruktur, khususnya jalan, jembatan, listrik, transportasi, air bersih, dll.

(Infrastructure); serta Y241 yang merupakan kemudahan akses pasar bagi produk

UMK untuk masuk ke mini market, supermarket, atau pasar modern, yang terletak

di certain planning region (region 1). Sebagian besar UMK tidak menyadari akan

perlunya kebijakan untuk memperbaiki manajemen know-how mereka, khususnya

SOP dan TI, serta kualitas pemilik usaha (owner), khususnya dalam pendidikan,

pengalaman berusaha, dan visi pasar.

Dengan demikian, kebijakan paling penting yang dibutuhkan oleh UMK

adalah stabilitas harga dan infrastruktur (external), dukungan modal dan

pembiayaan (support), kemudahan dan biaya murah dalam melakukan usaha dan

lokasi yang strategis (business characteristics), kemudahan dan biaya rendah dalam

mengakses pembiayaan dan bahan baku, serta ketersediaan teknologi yang tepat

(resources).

Temuan ini mengemukakan bahwa sebagian besar UMK sudah puas dengan

kondisi internal mereka sendiri dan tidak menyadari akan perlunya perbaikan

internal dalam rangka mempercepat kenaikan kelas usahanya. Di sisi lain, sebagian

besar UMK setuju bahwa kondisi eksternal perlu diperbaiki untuk menciptakan

iklim usaha yang kondusif dalam rangka menumbuhkan usaha mereka.

Lebih lanjut, beberapa kebijakan terkait karakteristik agama Islam, seperti

X261 yang merupakan pelatihan keagamaan, misalnya kepemimpinan spiritual

(spiritual leadership) dan pelatihan kewirausahaan (spiritual uplift), Y111 yaitu

menghadiri pengajian, seperti halaqah rutin (takwa kepada Allah), Y121 yaitu

menghadiri pelatihan kewirausahaan syariah (trustworthy), Y211 yaitu menafikan

sertifikasi produk halal UMK (Halal Earning), Y321 merupakan pelatihan rutin

mengenai profesionalisme UMK (professionalism atau fathonah), Y311 merupakan

pertemuan rutin dengan seluruh stakeholders (transparency atau tabligih), dan Y411

merupakan perbaikan spiritual pekerja melalui kegiatan keagamaan (spiritual

capital) bukanlah merupakan kebijakan prioritas dan terletak di problematic

planning region (region II).

84

5.2 Rekomendasi

Sebagian besar UMK, khususnya UM, tidak memiliki determinan penting

untuk kenaikan kelas UM yang seharusnya mereka miliki, seperti standardisasi

SOP, pemanfaatan IT, dan visi pasar yang jelas. Mereka memahami produknya,

tetapi tidak sepenuhnya memahami pasarnya. Tampaknya, mereka telah puas

dengan apa yang telah diraih dan tidak ada kebutuhaan mendesak untuk

pengembangan, perbaikan, dan perluasan usahanya.

Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah serta lembaga

pemerintah terkait lainnya telah melakukan berbagai upaya untuk mengatasi

permasalahan-permasalahan itu melalui pendidikan, workshop dan training,

bantuan teknis dan manajerial, standardisasi dan sertifikasi, bantuan pemasaran

dan jejaring, pinjaman/pembiayaan lunak, dll. Namun, karena jumlah UM begitu

besar, hampir mencapai 56 juta UM, hanya sedikit UM yang merasakan dampaknya.

Sebagai contoh, Kredit Usaha Rakyat (KUR) diperkirakan mencapai tiga puluh 30

trilliun rupiah pada akhir 2015, dengan kredit limit sebesar Rp25.000.000,00 untuk

tiap-tiap UMK. Hal ini berarti KUR akan dibagikan kepada 1,2 juta UMK, atau hanya

sebesar 2,1% dari UMK yang akan menikmatinya.

Sebagian besar UMK, khususnya UM, tidak memiliki izin usaha resmi. Oleh

karena itu, pemerintah harus menyediakan kemudahan dan pelayanan izin usaha

yang terintegrasi satu pintu yang bebas biaya (gratis). Izin Usaha Mikro Kecil (IUMK)

atau Izin UMK telah dikeluarkan dalam rangka merespons Peraturan Presiden No.

98 Tahun 2014 sehingga UMK dapat mengajukan IUMK kepada kepala desa secara

cuma-cuma dengan persyaratan minimal. Dengan IUMK tersebut, UMK dapat

memperoleh berbagai manfaat, seperti kepastian atas usaha yang dijalani, akses

pembiayaan, bantuan usaha, dan program pemberdayaan. Namun, sampai dengan

saat ini, hanya 38 dari 510 kota atau kabupaten yang telah mengeluarkan peraturan

yang diperlukan (necessary), yaitu peraturan daerah.

Sehubungan dengan itu, pemerintah harus memberikan perhatian lebih

(termasuk political will dan dukungan) kepada UMK, seperti mengembangkan SOP

untuk berbagai bisnis UM, menyediakan pelatihan bagi UM, workshop dan

pembiayaan untuk memasang TI, menyediakan berbagai marketing linkage antara

UM dan industri atau pengguna. Di samping itu, yang lebih penting lagi adanya

85

dukungan secara kontinu untuk mengubah pola pikir (mindset) UMK untuk terus

maju dengan inovasi dan perubahan.

Lingkungan eksternal, seperti stabilitas harga dan infrastruktur, tidak

memberikan keuntungan bagi UMK untuk mengembangkan usahanya. Oleh karena

itu, inflasi yang stabil dan rendah serta percepatan pembangunan infrastruktur

harus menjadi prioritas utama pemerintah.

Sebagian besar pemilik UMK, khususnya UM, memiliki tingkat pendidikan

yang rendah (SMP) dan kurang memiliki pengalaman kerja dan usaha, sementara

menurut Reeg (2013), wirausahawan harus memiliki pendidikan dan pengalaman

kerja yang berkualitas. Oleh karena itu, pemerintah harus mendukung perbaikan

pendidikan dan pengalaman usaha bagi UMK, seperti perbaikan kualitas SMK dan

sekolah politeknik, pendirian lebih banyak lagi BLK, penyediaan fasilitas bagi UM

agar dapat berpartisipasi dalam expo, workshop, konferensi, studi komparatif,

workshop motivasional, dll.

UMK sangatlah beragam dan hampir sebagian besar tidak memiliki pola

khusus. Oleh karena itu, studi lebih lanjut harus dilakukan untuk tiap subsektor

usaha tertentu karena sebagian besar bisnis UMK adalah unik.

DAFTAR PUSTAKA

86

Abdullah, M.A. dan Hoetoro, A. (2011). “Social Entrepreneurship as an Instrument to Empowering Small and Medium Enterprises: An Islamic Perspective”. Dalam International Journal Management Business, Vol. 1, No. 1.

Adizes, I. (1979). “Organizational Passages: Diagnosing and Treating Life Cycle Problems in Organizations”. Dalam Organizational Dynamics, Vol. 8, hal. 3–25.

Ahmad, M., dkk. (2012) “New Determination of Factors Affecting the Growth of Small And Medium Sized Enterprises In Pakistan”. Dalam International Journal of Business and Management, Vol. 4, No. 6.

Al-Ghazali. (1989). Minhajul ‘Abidin ‘ila Jannati Rabbil ‘Aalamiin. Beirut: Mu’asisah Ar-Risalah.

Ascarya and Yulizar, D.S. (2007). “Redefine Micro, Small, and Medium Enterprises Classification and the Potency of Baitul Maal wa Tamwiel as Intermediary Institutions in Indonesia”. Paper, presented in UBD-IRTI International Conference on Inclusive Islamic Financial Sector Development: Enhancing Islamic Financial Services for Micro and Medium Sized Enterprises (MMEs).

Azis, A. dan Rusland, A.H. (2009). “Peranan Bank Indonesia di dalam Mendukung Pengembangan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah”. Dalam Seri Kebanksentralan No. 21. Pusat Pendidikan dan Studi Kebanksentralan (PPSK BI).

Benzing, C., dkk. (2009). “Entrepreneurs in Turkey: A Factor Analysis of Motivations, Success Factors and Problems”. Dalam Journal of Small Business Management, Vol. 47. No. 1.

Bigio, A.G. (2000). “Social Funds and Reaching the Poor: Experiences and Future Directions”. Dalam Proceedings from an International Workshop. The World Bank and Africatip La Red Social de América Latina y el Caribe NGO-WB Committee. Washington, D.C.

BIS (2013). SMEs: “The Key Enablers of Business Success and the Economic Rationale for Government Intervention”. Dalam BIS Analysis Paper Number 2. Departement for Business Innovation & Skills.

Brink, A., Michael, C., and Andre, L. (2003). “Problems Experienced by Small Businesses in South Africa”. Dalam Paper, presented in 16th Annual Conference of Small Enterprise Association of Australia and New Zealand.

Australia: University of Ballarat.

Chittithaworn, C., dkk. (2011). “Factors Affecting Business Success of Small & Medium Enterprises (SMEs) in Thailand”. Dalam Asian Social Science, Vol. 7, No. 5.

Churchill, N.C. and Lewis. V.L. (1983). “The Five Stages of Small Business Growth”. Dalam Harvard Business Review, Vol. 61, Mei–Juni, hal.30–50.

Churchman, C.W. (1971). “The Design of Inquiring Systems, Basic Books. In Mitroff, I.I, Emshoff, J.R. and Kilmann, R.H. (Eds.). Assumption Analysis: A Methodology for Strategic Problem Solving”. Dalam Management Science, Vol. 25, No. 6, hal. 583–593

Cooney, T. dkk. (2011). “Muslim Entrepreneurship in Ireland”. Dalam Report. Dublin Institute of Technology.

Daily, C. M. dkk. (2002). “Governance and Strategic Leadership in Entrepreneurial Firms”. Dalam Journal of Management, Vol. 28, No. 3.

87

DCED. (2013). “The Donor Committee for Enterprise Development: Current Debates on Small Enterprises and Development Agency Support”. Dalam Private Sector Development Synthesis Note: Small Enterprises.

Department Perbankan Syariah Bank Indonesia. (2006). Pilot Project, Bank Indonesia Linkage Program bagi Lembaga Keuangan Syariah.

Easton, A.C. (1988). “An Experimental Investigation of Automated Versus Maual Support for Stakeholder Identification and Assumption Surfacing in Small Groups”. Dissertation, University of Arizona.

Faizal, P.R.M., dkk. (2013). “The Entrepreneurs Characteristic from al-Quran and al-Hadis”. Dalam International Journal of Trade, Economics and Finance, Vol. 4, No. 4, hal. 191–196.

Farooqi, A.H. (2006). “Islamic Social Capital and Networking”. Dalam Humanomics, Vol. 22 Issue 2.

Fehlinger, G, and Tanja El-Nemr. (2010). “The European Social Fund and Entrepreneurship”. Background Report. Bernard Brunhes International.

Flood, R. L. & Jackson, M. C. (1991). “Creative Problem Solving: Total Systems Intervention. In Easton, A.C. (Eds). An Experimental Investigation of Automated Versus Manual Support for Stakeholder Identification and Assumption Surfacing in Small Groups”. Dissertation, University of Arizona.

Garoma, B.F. (2012). “Determinants of Microenterprise Success in the Urban Informal Sector of Addis Ababa: A Multidimensional Analysis”. Erasmus University Rotterdam.

Ghosh, B.C. and Wayne, K. (1999). “An Analysis of Key Success Factors of SMEs: A Comparative Study of Singapore/Malaysia and Australia/New Zealand.”

Gibson, T. and Vaart, H.J. (2008). “Defining SMEs: A Less Imperfect Way of Defining Small and Medium Enterprises in Developing Countries”. The Brookings Institute, Global Economy and Development.

Greiner, L.E. (1972). “Evolution and Revolution as Organizations Grow”. Dalam Harvard Business Review, Vol.50, No.4 Juli–Agustus, hal.37–46.

Hampel-Milagrosa, A. (2014). Micro and Small Enterprise Upgrading in the Philippines: The Role of the Entrepreneur, Enterprise, Networks and Business Environment. Bonn: Deutsches Institut für Entwicklungspolitik (German Development Institute).

Haryadi, D., Erna, E.C., dan Maspiyati. (1998). Tahap Perkembangan Usaha Kecil: Dinamaika dan Peta Potensi Pertumbuhan. Bandung: Yayasan Akatiga.

Hashemi, S.M. and Montesquiou, A. (2011). “Reaching the Poorest: Lessons from the Graduation Model”. Focus Note 69. Washington, D.C., CGAP, March.

Hassan, M.K. and Hippler, W.J. (2014). Entrepreneur and Islam: An Overview. Ecom Journal Watch, Vol. 11, No. 2, hal. 170–178.

Hendrawan. (2009). Spiritual Management, From Personal Enlightment Towards God Corporate Governance. Bandung: Mizan.

Hoque, N,, Abdullahil, M., and Abdullah, M.A.M. (2014). “Dynamics and Traits of Entrepreneurship: An Islamic Approach”. Dalam World Journal of Entrepreneurship, Management and Sustainable Development, Vol. 10. No. 2.

88

Hoque, N., dkk. (2014). “Dynamics and Traits of Entrepreneurship: an Islamic Approach”. Dalam World Journal of Entrepreneurship, Management and Sustainable Development, Vol. 10 Iss. 2, hal. 128–142.

Humphrey, J. and Schmitz, H. (2000). “Governance and Upgrading: Linking Industrial Cluster and Global Value Chain Research, Brighton, University of Sussex: Institute of Development Studies”. The Institute of Development Studies (IDS) Working Paper 120.

Jasra, J.M., dkk. (2011). “Determinants Of Business Success Of Small And Medium Enterprises”. Dalam International Journal of Business and Social Science, Vol.2 No. 20.

Joreskog, K. (1973). “A General Method for Estimating a Linear Structural Equation

System”. In AS Goldberger & OD Duncan (Ed.), Structural Equation Models in the Social Sciences. New York: Seminar Press.

Kayed, R.N. (2006). “Islamic Entrepreneurship: a Case Study of the Kingdom of Saudi Arabia”. Thesis. Masey University, New Zealand.

Kayed, R.N. and Hassan, M.K. (2015). “Development of Entrepreneurship Through Islamic Finance”. 7th IFSB Public Lecture on Financial Policy and Stability. Jakarta.

Kazanjian, R.K. and Drazin, R. (1989). “An Empirical Test of a Stage of Growth Progression Model”. Dalam Management Science, Vol. 35, No. 12, hal. 1489–1503.

Keesling, J. W. (1973). “Maximum Likelihood Approaches to Causal Flow Analysis”. Dissertation, University of Chicago.

Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Republik Indonesia. (2010). Peraturan Menteri Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah No. 1 Tahun 2010 tentang Rencana Strategis Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah, Jakarta.

Khalique, M., Nick, B., and Jamal, A.N. (2015). “Intellectual Capital in Small and Medium Enterprises in Pakistan”. Dalam Journal of Intellectual Capital, Vol. 16 No. 1.

Kushnir, Khrystyna. (2010). “How Do Economies Define Micro, Small and Medium Enterprises (MSMEs)?” Companion Note for the MSME Country Indicators. IFC and the World Bank.

Kushnir, Khrystyna, Mirmulstein, M.L. and Ramalho, R. (2010). “Micro, Small, and Medium Enterprises around the World: How Many Are There, and What Affects the Count?” The MSME Country Indicators Note. IFC and the World Bank.

Lester, D.L., dkk. (2003). “Organizational Life Cycle: A Five Stage Empirical Scale”. Dalam International Journal of Organizational Analysis, Vol. 11, No. 4, hal. 339–354.

Loewe, M. dkk. (2013). Which Factors Determine the Upgrading of Small and Medium-Sized Enterprises (MSEs)?: The Case of Egypt. Bonn: Deutsches Institut für Entwicklungspolitik (German Development Institute).

Martini, Maira. (2013). “Reducing bureaucracy and corruption affecting small and medium enterprises”. Transparancy International.

McKnight, D.H. and Chervany, N.L. (1996). “The Meanings of Trust”. University of Minnesota: Carlson School of Management

89

McPherson, M.A. (1996). “Growth of Micro and Small Enterprises in Southern Africa’. Dalam Journal of Development Economics, Vol. 48, hal. 253–277.

Mead, D.C. and Liedholm, C. (1998). “The Dynamaic of Micro and Small Enterproses in Developing Countries”. Dalam Development, Vol. 26, No. 1, hal. 61--74.

Mitroff, I.I, and Emshoff, J.R. (1979). “On Strategic Assumption-Making: A Dialectical Approach to Policy and Planning”. Dalam The Academy of Management Review, Vol. 4, No. 1, hal. 1–12.

_______. (1981). “Challenging Strategic Planning Assumptions: Theory, Cases and Techniques. In Easton, A.C. (Eds). An Experimental Investigation of Automated Versus Manual Support for Stakeholder Identification and Assumption Surfacing in Small Groups”. Dissertation, University of Arizona.

_______. (1982). “Business Policy and Metaphysics: Some Philosophical Considerations”. Dalam The Academy of Management Review, Vol. 7, No. 3, hal. 361–371.

Mitroff, I.I., Emshoff, J.R., and Kilmann, R.H. (1979). “Assumption Analysis: A Methodology for Strategic Problem Solving”. Dalam Management Science, Vol. 25, No. 6, hal. 583–593.

Muhammad, M.Z., dkk. (2008). “An Analysis of Islamic Ethics in Small and Medium Enterprises (SMEs)”. Dalam Unitar E-Journal, Vol. 4, No. 1.

Munizu, M. (2010). “Pengaruh Faktor-Faktor Eksternal dan Internal terhadap Kinerja Usaha Mikro dan Kecil (UMK) di Sulawesi Selatan”. Dalam Jurnal Manajemen dan Kewirausahaan, Vol. 12, No. 1.

Munizu, M. (2013). “Strategi Peningkatan Kinerja dan Peran Usaha Kecil dan Menengah (UKM) Pengolah Produk Berbasis Pangan di Kota Makassar”.

Murphy, P.J. and Coombes, S.M. (2008). “A Model of Social Entrepreneurial Discovery”. Dalam Journal of Business Ethics, Vol. 87, hal. 325–336.

Olawale, F. and Garwe, D. (2010). “Obstacles to the Growth of New SMEs in South Africa: A Principal Component Analysis Approach”. Dalam African Journal of Business Management, Vol. 4(5).

Oukil, M.S. (2013). “Entrepreneurship and Entrepreneurs in an Islamic Context”. Dalam Journal of Islamic and Human Advanced Research, Vol. 3, Issue 3, hal. 111–131.

Papzan, A. dkk. (2008). “Determining Factors Influencing Rural Entrepreneurs’ Success: A Case Study of Mahidasht Township in Kermanshah Province of Iran”. Dalam African Journal of Agricultural Research, Vol. 3. No. 9.

Pereneyi, A., Selvarajah, C., and Muthaly, S. (2011). “Investigating the Firm Life-Cycle Theory on Australian SMEs in the ICT Sector”. Dalam Journal of Asia Entrepreneurship and Sustainability, Vol. 7, No. 2, hal. 13–41.

Pillay, M.K. (2006). The Internal and External Environtment for Small Business Growth in Pietermaritzburg. Pietermaritzburg: University of Kwazulu-Natal.

Quinn. R.E., and Cameron, K. (1983). “Organizational Life Cycles and Shifting Criteria of Effectiveness: Some Preliminary Evidence”. Dalam Management Science, Vol. 29, No. 1, hal. 33–51.

Rafiki, Ahmad, dkk. (2014). “Islamic Human Capital and Firm Performance: An Evidence of Small and Medium Enterprises in Bahrain”. Dalam International Journal of Business and Management, Vol. 9, No. 4.

90

Reeg, C. (2013a). Micro, Small and Medium Enterprise Upgrading in India: Learning form Success Cases. Bonn: Deutsches Institut für Entwicklungspolitik (German Development Institute).

______. (2013b). “Micro, Small and Medium Enterprise Upgrading in Low and Middle Income Countries: A Literature Review”. Discussion Paper 15/2013. Bonn: Deutsches Institut für Entwicklungspolitik (German Development Institute).

Republik Indonesia. (2008) Undang-Undang No. 20 tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah. Jakarta.

Roomi, M.A. (2006). “Entrepreneurial Capital, Social Values and Islamic Traditions: Growth of Women-Owned Enterprises in Pakistan”.

Rose, R.C., Naresh, K., and Lim L.Y. (2006). “Entrepreneurs Success Factors and Escalation of Small and Medium-sized Enterprises in Malaysia”. Dalam Journal of Social Sciences, Vol. 2, No. 3.

Scott, M. and Bruce, R. (1987). “Five Stage of Growth in Small Business”. Dalam Long Range Planning, Vol. 20, No. 3, hal. 45--52.

Sefiani, Y. and Robin, B. (2013). “What Influences the Success of Manufacturing SMEs? A Perspective from Tangier”. Dalam International Journal of Business and Social Science, Vol. 4 No. 7.

Soini, E. and Veseli, L. (2011). Factors Influencing SMEs Growth in Kosovo. International Business Management. Kosovo: Turku University of Applied Sciences.

Stefanovic, I., Sloboda, P., and Ljubodrag, R. (2010). “Motivational and Success Factors of Entrepreneurs: the Evidence from A Developing Country”. Dalam Zb. rad. Ekon. fak. Rij. Vol. 28, Sv. 2.

Stefanovic, I., Damnjanovic, P. and Jasko, O. (2010). “The Analysis of Contemporary Environment Impact Upon Organizational Operations”. Dalam Serbian Journal of Management, Vol. 5, No. 1.

Tahir, P.R., Mohamad, M.R., and Diya’uddeen, B.H. (2011). “A Short Review of Factors Leading to Success of Small Medium Enterprises”. Dalam Interdisciplinary Journal of Contemporary Research In Business, Vol. 2, No. 11.

Temitope, A.E., dkk. (2013). “Determinants of Small and Medium Enterprises (SMEs) Performance in Ekiti State, Nigeria: A Business Survey Approach. Dalam European Journal of Humanities and Social Science. Vol. 27, No. 1.

UNIDO and UNODC. (2007). Corruption Prevention to Foster Small and Medium-Sized Enterprise Development: Providing Anti-Corruption Assistance to Small Businesses in the Developing World, Vol. 1.

Vargas-Hernandez, J.G., Noruzi, M.R. and Narges, S. (2010). “An Exploration of the Affects of Islamic Culture on Entrepreneurial Behaviors in Muslim Countries”. Dalam Asian Social Science, Vol. 6, No. 5, hal. 120–127.

_______. (2012). “A Literature Review on the Effect of Islam on Entrepreneurship in Muslim Countries: Focus on Iran. Dalam Global Journal of Human Social Science, Vol. 12, Issue 2, Version I.

Wiley, D. (1973). “The Identification Problem for Structural Equation Models with Unmeasured Variables”. In A. Goldberger & O. Duncan (Eds.), Structural Equation Models in the Social Sciences (hal. 69–84). New York: Seminar Press.

91

Zadjuli, S.I. (2015). “Era Syariah adalah Tuntunan Rasulallah”. Lembaga Keuangan Mikro Syariah. Diakses pada 21 April 2015. www.tamzis.com

Zain, M.A. (2014). “Menyongsong Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) 2015 dengan Berhijrah pada Syariah Kaffah Menuju Terwujudnya Baldatun Thoyyibatun wa Rabbun Ghafur”.

LAMPIRAN 1

Tabel 1. Literature Summary on Determinants the Model of Micro Enterprises Graduation

92

VARIABEL DEFINISI

REFERENSI

EKSTERNAL-ENVIRONMENT

1. Regulasi-Kebijakan

A legal norm intended to create enabling environment for MSMEs to thrive, supported by an enabling policies and issued by the government.

Reeg (2013a p.35); Loewe (2013 p.34); Stefanovic, dkk. (2010 p.103); Olawale and Garwe (2010 p.732); Temitope (2013 p.1403); Soini and Veseli (2011 p.52); Pillay (2006 p.42);

2. Infrastruktur Access to public infrastructure such as water, electricity, serviceable roads, telecommunication, telephones, ect. which are all crucial for business start-up, development and growth.

Reeg (2013a p.34); Sefiani and Bown (2013 p.304); Olawale and Garwe (2010 p.732); Ahmad, dkk. (2012 p.521); Temitope (2013 p.1403)

3. Makroekonomi Economic factors that influence the MSMEs, such as a stable inflation rate, stable growth and healthy public and private balance sheets.

Reeg (2013a p.32); Loewe (2013 p.34); Ahmad, dkk (2012 p.520); CGAP (2011 p.11); Brink (2003 p.3);

4. Muslim-Majority

Entrepreneur in Muslim-majority countries and in Muslim communities has a great propensity for thrive through a good response of Muslim communities, they often express a stronger sense of belonging than other citizens.

Oukil (2013 p.2); Cooney, dkk. (2011, 6)

5. Korupsi Spiritual or moral impurity, abuse or deviation which is conducted for his/her/their personal gain, such as bribery, embezzlement, dishonest, fraudulent conducts and for most entrepreneurs in the upgrader paying extra-money for a service at a licensing department or an import clearance office.

Reeg (2013a p.171); Loewe (2013 p.36); Olawale and Garwe

(2010 p.732); UNIDO and UNODC (2007 p.10); Soini and Veseli (2011 p.51); Brink (2003 p.3);

6. Kriminalitas Actions in business environment, at both internal and external, which led to a deliberate violation of rules and regulations to gain abnormal profit, such as monopoly, hoard, fraud, theft and robbery.

Olawale and Garwe (2010 p.732); UNIDO & UNODC (2007 p.10); Soini and Veseli (2011 p.51); Pillay (2006 p.42-43); Brink (2003 p.3);

7. Birokrasi The administrative system, procedure, and measures governing large number of people and made up of many departments and divisions. Excessive bureaucracy imposes a disproportionat bureaucratic burden on small and medium

93

VARIABEL DEFINISI

REFERENSI

size enterprises, creating both incentives and opportunities for bribery and corruption.

Ahmad, dkk. (2012 p.521); Papzan, dkk. (2008 p.600);

8. Pajak A financial charge or other retribution imposed upon an taxpayer (an individual, enterprise or legal entity by a state to fund various public expenditures.

Olawale and Garwe (2010 p.732); Pillay (2006 p.69);

DUKUNGAN (SUPPORT)

1. Pemerintah Pusat

Governments (at both national and local levels) can create a legal and regulatory environment that enabling the advancement for Micro and Small Enterprises Development.

CGAP (2004 p.2);

2. Pemerintah Setempat

Governments (at both national and local levels) can create a legal and regulatory environment that enabling the Advancement for Small and Micro enterprises Development.

CGAP (2004 p.2);

3. Bantuan Sosial ZISWAF/social and/or donor is devoted to developing capital and providing financing for micro enterprises and it helps them make workforce and companies better equipped to face market challenges.

Fehlinger and El-Nemr (2010, p.4)

4. Bantuan Teknis

Education of basic knowledge of technical to help the enterprises solve specific problems with technical problem by providing assistance to using the technology products such as computers, other electronic or mechanical goods.

DPbS (2006 p.8);

5. Bantuan

Manajerial

Education of basic knowledge of managerial to help the enterprises solve specific problems with managerial problem by providing training or other managerial support services.

DPbS (2006 p.7); Soini and Veseli (2011 p.15)

6. Spiritual Uplift Education of basic knowledge of spiritual by providing spiritual activities (kajian), muhasabah night (mabit), halaqah, spiritual training or other spiritual activities.

DPbS (2006 p.3); Khalique, dkk. (2015 p.226); Oukil (2013 p.4);

7. Dukungan Keluarga

The support of families with another member of family by giving motivation, guidance, and assistance to provide resources in developing micro businesses, include unpaid and informal support by neighbors and friends.

Roomi (2006 p.15-17); Benzing, dkk. (2009 p.61); Rose (2006 p.75)

94

VARIABEL DEFINISI

REFERENSI

PEMILK – USAHA (OWNER-BUSINESS)

1. Kepatuhan pada Allah (Fear of God)

A spiritual state which saves people from committing sins and considers fear of God as one of its results.

Faizal, dkk. (2013 p.192); Hoque (2014 p.138);

2. Kepercayaan (Trustworthy - amanah)

The moral responsibility of fulfilling one's obligations due to Allah. He blesses business dealings if both the buyer and the seller are true to each other.

Hoque (2014 p.137); Faizal , dkk (2013 p.193); Roomi (2006 p.15-17);

3. Kejujuran (Truthful - shiddiq)

The moral character such as integrity, truthfulness, and straightforwardness, including straightforwardness of conduct, along with the absence of lying, cheating, and theft.

Hoque (2014 p.136); Roomi (2006 p.15-17); Faizal (2013 p.193);

4. Visionary A dynamic open-minded person with a very keen perception, vision drives an entrepreneur to put the original idea into practice.

Ghosh and Kwan (1999 p.9); BIS (2013 p.16); Hoque (2014 p.1); Olawale and Garwe (2010 p.731); Daily, dkk. (2002); Benzing, dkk (2009 p.61); Pillay (2006 p.36);

5. Kewirausahan (Entrepreneur-ship)

Sets of knowledge, skills, personality, responsibilities, attitudes and behavior that contribute to organize and operate a business.

Jasra, dkk. (2011 p.278); Benzing, dkk. 2009 p.61); Chittithaworn, dkk. (2011 p.182); Tahir, dkk. (2011); Temitope (2013 p.1404); Soini and Veseli (2011 p.15);

6. Kepemimpinan (Leadership)

Sets of knowledge, skills, personality, responsibilities, attitudes and behavior that motivating and organizing a group of people to achieve a common goal.

Stefanovic, dkk (2010b p.262);

7. Pengalaman Kerja

Any experience that a person gains while working in a specific field or occupation, then gives the specific knowledge which help in developing successful strategies leading to higher growth rates.

Garoma (2012); Loewe (2013 p.24); Reeg (2013a p.21); Reeg (2013b); Rafiki (2014 p.176); Pillay (2006 p.32);

KARAKTERISTIK USAHA (BUSINESS-CHARACTERISTICS)

1. Halal Earning A Muslim entrepreneur must be determined to earn only through halal (legitimate) means. Riba (usury or interest), gharar (excessive uncertainty), maysir (game of chance or speculation), batil (fasid, defective), dan dharar (hazard) should be prohibited in its many forms

95

VARIABEL DEFINISI

REFERENSI

Hoque (2014); Faizal, dkk. (2013 p.193); Oukil (2013 p.5);

2. Produk Any good, merchandise, or commodities with quality, value and suitability to the market needs that can be offered to a market that might satisfy a want or need

Chittithaworn, dkk. (2011 p.182); Ghosh and Kwan (1999 p.8-9); Brink (2003 p.5);

3. Jasa Any services with quality, value and suitability to the market needs that can be offered to a market that might satisfy a want or need.

Chittithaworn, dkk. (2011 p.182); Ghosh and Kwan (1999 p.8-9); Brink (2003 p.5);

4. Pasar Overall market potential, i.e. the size of the market, consumer demand and ease to get.

Ghosh and Kwan (1999 p.8-9); Olawale and Garwe (2010 p.731);

5. Konsumen Overall customer potential, i.e.loyalty, satisfaction and good relationships

Hoque (2014 p.133); Brink (2003 p.4);

6. Biaya Usaha The cost control which are related to the operation of a business, or to the operation of a device, component, piece of equipment or facility.

Olawale and Garwe (2010 p.731);

7. Daya Saing Healthy competition among sellers trying to achieve such goals as increasing profits, market share, and sales volume.

Loewe (2013 p.35); Reeg (2013a p.82); Sefiani and Bown (2013 p.305); Soini and Vaseli (2011 p.19);

8. Lokasi The location of business must be accessible to the customer base and should be built to ensure efficient accessibility for future clients.

Garoma (2012 p.114); Reeg (2013a p.92); Loewe (2013 p.69); Soini and Veseli (2011 p.19); Olawale and Garwe (2010 p.731);

MANAGEMENT-KNOW HOW

1. Transparansi (tabligh)

MSMEs should be transparent in their operations to the general public.

Khalique, dkk. (2015 p.226); Zain (2014 p.63);

2. Profesionalisme (fathonah)

MSMEs should be professional in their operations to the general public.

Zain (2014 p.63); Khalique, dkk. (2015 p.226);

96

VARIABEL DEFINISI

REFERENSI

3. Std. Op. Procedure

A specific procedure to business operation that describes the activities necessary to complete tasks in accordance with industry regulations or even just his/her/their own standards for running the business.

Zain (2014 p.72); Khalique, dkk. (2015 p.226);

4. Std. Op. Mgt. Management system standards that describes the operating of management system in accordance with industry regulations or even just his/her/their own standards for running the business.

Chittithaworn, dkk. (2011 p.182); Zain (2014 p.72);

5. Teknologi Informasi

Smart use of information technologies in the context of a business or enterprise, the application of computers and telecommunications equipment to store, retrieve, transmit data.

Jasra, dkk.. (2011 p.278); Olawale and Garwe (2010 p.731); Temitope (2013 p.1404);

6. Inovasi The process of translating an idea or invention (some improvement, development and reform of production process) into a good or service that creates value.

Soini and Veseli (2011 p.17); Hoque (2014 p.134); Pillay (2006 p.37);

7. Jejaring Creating a group of acquaintances and associates as well as keeping it active through regular communication for mutual benefit in business.

Loewe (2013 p.24); Reeg (2013a p.29); Reeg (2013b p.36); Ghosh and Kwan (1999 p.9); Olawale and Garwe (2010 p.731);

SUMBER DAYA – PEMBIAYAAN (RESOURCES-FIN)

1. Modal Spiritual

The Islamic spirit and spiritual strongholds in the workplace that have a measurable impact on individuals, communities and societies behaviour.

Khalique, dkk. (2015 p.226); Hendrawan (2009 p.101)

2. SDM Terdidik An educated and skilled individuals who make up the workforce of an organization, business sector, or economy.

Loewe (2013 p.134); Benzing, dkk. (2009 p.61); Ghosh and Kwan (1999 p.9);

3. Modal Sendiri Enterprise that generates its growth capital from its own income or self funded.

Garoma (2012 p.117);

4. Akses Pembiayaan

The ability of individuals or enterprises to obtain financial services, including credit, deposit, and other payment service.

97

VARIABEL DEFINISI

REFERENSI

Loewe (2013 p.154); Reeg (2013a p.37); Reeg (2013b); Sefiani and Bown (2013 p.302); Olawale and Garwe (2010 p.731); Ghosh and Kwan (1999 p.9); Ahmad, dkk.(2012); Soini and Veseli (2011 p.49); Pillay (2006 p.35);

5. Sumber Daya Teknologi

Hand tools, electronic machines, or every technological system that provide savings on energy and labor that result in better quality products at lower costs..

Ghosh and Kwan (1999 p.9); Temitope (2013 p.1404); Soini

and Veseli (2011 p.17); Brink (2003 p.3);

6. Bahan Baku Natural resources found in nature (at both renewable and nonrenewable raw materials), include water, land, trees, oil, coal, and so on.

Temitope (2013 p.1404);

7. Modal Sosial A component of community's goodwill and trust acquired by an individual or organization over the years, through its understanding and addressing of the concerns and priorities of the citizens.

Garoma (2012 p.177); Loewe (2013 p.24); Farooqi (2006 p.113); Reeg (2013 a p.31); Milagrosa (2014 p.22); Loewe (2013 p.24)

NAIK KELAS (GRADUATION)

1. Kenaikaan Penjualan

Growth in enterprise's annual sales. When annual sales increase passes certain threshold, Micro Entreprise graduate to Small Enterprise.

Kayed (2006); Garoma (2012 p.25); Munizu (2010 p.35); Ascarya and Sanrego (2007 p.11);

2. Kenaikan W-Cap

Growth in enterprise's working capital. When working capital increase passes certain threshold, Micro Entreprise graduate to Small Enterprise.

Kayed (2006); Munizu (2010 p.35); Ascarya and Sanrego (2007 p.11);

3. Kenaikan Tenaga Kerja

Growth in enterprise's number of employee. When number of employee passes certain threshold, Micro Entreprise graduate to Small Enterprise.

Mead and Liedholm (1998); Garoma (2012 p.25); Temitope (2013 p.1405); Munizu (2010 p.35); Soini and Veseli (2011 p.15);

4. Ekspansi Pasar Increase in enterprise’s market size. When market size increase passes certain threshold, Micro Entreprise graduate to Small Enterprise.

Munizu (2010 p.35); Ascarya and Sanrego (2007 p.11); Soini and Veseli (2011 p.15);

98

VARIABEL DEFINISI

REFERENSI

5. Kenaikan Keuntungan

Growth in enterprise's profit. When profit increase passes certain threshold, Micro Entreprise graduate to Small Enterprise.

McPherson (1996); Garoma (2012 p.25); Temitope (2013 p.1405); Munizu (2010 p.35); Soini and Veseli (2011 p.15);

6. Kenaikan batas pembiayaan

Increase in enterprise’s credit/financing limit. When bank increases credit/financing limit of an enterprise to certain level, Micro Entreprise graduate to Small Enterprise.

Bank Indonesia Regulation

99

LAMPIRAN 2

Uji Univariate Normality untuk Continuous Variables

Skewness Kurtosis Skewness and Kurtosis

Variable Z-Score P-Value Z-Score P-Value Chi-Square P-Value

EXT1 -0.917 0.359 0.548 0.584 1.140 0.565 EXT2 -0.922 0.356 1.190 0.234 2.266 0.322 EXT3 0.063 0.950 -0.644 0.520 0.419 0.811 EXT4 0.820 0.412 2.117 0.034 5.154 0.076 EXT5 -0.891 0.373 -0.558 0.577 1.106 0.575 EXT6 -0.751 0.453 0.833 0.405 1.257 0.533 EXT7 -0.755 0.450 1.295 0.195 2.248 0.325 EXT8 -1.267 0.205 1.625 0.104 4.246 0.120 SUPP1 -0.554 0.579 -0.496 0.620 0.553 0.758 SUPP2 -0.822 0.411 0.081 0.935 0.682 0.711 SUPP3 0.192 0.847 -0.713 0.476 0.545 0.761 SUPP4 -0.203 0.839 -0.840 0.401 0.748 0.688 SUPP5 -0.744 0.457 -0.106 0.916 0.564 0.754 SUPP6 -0.742 0.458 0.580 0.562 0.887 0.642 SUPP7 -1.402 0.161 -1.381 0.167 3.874 0.144 OWN1 0.471 0.637 29.224 0.000 854.240 0.000 OWN2 2.380 0.017 0.023 0.981 5.664 0.059 OWN3 5.125 0.000 0.027 0.978 26.261 0.000 OWN4 1.588 0.112 3.169 0.002 12.564 0.002 OWN5 0.920 0.358 2.226 0.026 5.802 0.055 OWN6 0.731 0.465 3.008 0.003 9.584 0.008 OWN7 2.061 0.039 2.725 0.006 11.672 0.003 BUSS1 -0.853 0.394 -0.970 0.332 1.668 0.434 BUSS2 0.035 0.972 -0.977 0.329 0.956 0.620 BUSS3 -0.387 0.698 0.905 0.366 0.968 0.616 BUSS4 -0.507 0.612 1.189 0.235 1.670 0.434 BUSS5 1.712 0.087 31.553 0.000 998.535 0.000 BUSS6 -0.807 0.420 1.118 0.263 1.902 0.386 BUSS7 -1.394 0.163 3.685 0.000 15.524 0.000 BUSS8 -0.100 0.920 2.068 0.039 4.288 0.117 MNG1 -0.921 0.357 0.309 0.758 0.943 0.624 MNG2 1.584 0.113 0.489 0.625 2.749 0.253 MNG3 -0.847 0.397 0.196 0.844 0.756 0.685 MNG4 -1.357 0.175 1.461 0.144 3.978 0.137 MNG5 -1.211 0.226 -0.661 0.508 1.904 0.386 MNG6 -0.347 0.728 2.207 0.027 4.990 0.082 MNG7 0.409 0.682 1.631 0.103 2.828 0.243 MNG8 0.392 0.695 2.373 0.018 5.786 0.055 RES1 -0.344 0.731 -0.196 0.845 0.157 0.925 RES2 -0.102 0.919 2.220 0.026 4.937 0.085 RES3 -0.369 0.712 -0.205 0.837 0.179 0.915 RES4 -0.811 0.417 0.399 0.690 0.817 0.665 RES5 -0.816 0.415 2.377 0.017 6.318 0.042 RES6 -0.709 0.478 0.226 0.821 0.553 0.758 RES7 -0.726 0.468 3.787 0.000 14.868 0.001 GRA1 -0.740 0.460 0.716 0.474 1.060 0.589 GRA2 -0.774 0.439 1.569 0.117 3.062 0.216 GRA3 -0.621 0.534 -0.289 0.773 0.470 0.791 GRA4 -0.334 0.739 2.299 0.022 5.394 0.067 GRA5 -1.192 0.233 1.965 0.049 5.282 0.071

GRA6 -1.167 0.243 0.931 0.352 2.228 0.328

100

LAMPIRAN 3

Berbagai upaya yang telah dilakukan oleh Kementerian Koperasi dan UKM

PENDIDIKAN DAN PELATIHAN; BANTUAN TEKNIS DAN MANAJERIAL

Realisasi Deputi Bidang Pengembangan SDM (menurut Laptah 2012 Depkop UKM hlm.126)

Pendidikan dan Pelatihan Kewirausahaan

Diklat kewirausahaan bagi fasilitator

Pelatihan kewirausahaan bagi calon wirausaha

Pelatihan kewirausahaan bagi kelompok masyarakat

Pelatihan kewirausahaan bagi eks tenaga kerja

Bimbingan Teknis Tempat Praktik Keterampilan Usaha (TPKU)

Realisasi Deputi Bidang Pengembangan dan Restrukturisasi Usaha (menurut Laptah 2011 Depkop UKM)

Pemberdayaan Lembaga Pengembangan Bisnis (LPB)/Bisnis Development Services-Provider (BDS-P) adalah mitra pemerintah sebagai pendamping dalam mengembangkan usaha KUMKM melalui penyediaan layanan pengembangan bisnis, termasuk manajemen, keuangan, atau kelembagaan KUMKM.

a. Bimbingan dan Temu Konsultasi LPB/BDS-P dengan KUKM. Telah melibatkan 100 LPB dan 200 KUMKM di 10 provinsi, yaitu Jawa Tengah, DIY, Jawa Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Gorontalo, Aceh, Babel, NTB, dan Bali.

101

b. Peningkatan kerja sama kemitraan LPB/BDS-P dengan pemerintah daerah, HIPPMI, perguruan tinggi, Dewan Pengurus Nasional Asosiasi BDS Indonesia dan Asosiasi BDS Indonesia wilayah provinsi

c. Bimbingan dan konsultasi peningkatan kompetensi konsultan pendamping LPD/BDS-P

d. Insentif bagi konsultan pendamping LPB/BDS-P

PERBAIKAN DAYA SAING MELALUI STANDARDISASI

Realisasi Deputi Bidang Pengembangan dan Restrukturisasi Usaha

(menurut Laptah 2012 Depkop UKM hlm. 139)

Peningkatan Daya Saing UKM melalui:

a. Penerapan Sertifikasi Hak Kelayakan Intelektual (HKI)

b. Penerapan Kehalalan Produk

Realisasi Deputi Bidang Pengembangan dan Restrukturisasi Usaha

(menurut Laptah 2011 Depkop UKM)

Pendampingan Penerapan Standar Mutu KUMKM

a. Pendampingan penerapan standar mutu SNI/ISO, halal dan HKI (hak cipta, merk, paten, rahasia dagang, desain produk, desain tata letak sirkuit terpadu) kepada KUMKM bertujuan meningkatkan pemahaman pentingnya penerapan standar mutu bagi UMKM

b. Kegiatan pendampingan dilaksanakan berkoordinasi dengan BSN untuk SNI/ISO, dengan Ditjen HKI untuk penerapan HKI, sedangkan untuk penerapan halal dengan Kementerian Agama, LP-POM MUI, dan B-POM.

c. Kegiatan tersebut dilaksanakan secara berkelanjutan setiap tahun, untuk tahun 2011 pendampingan SNI/ISO, HKI dan halal dilaksanakan bagi 500 UMKM. Sebagai tindak lanjut dari pendampingan tersebut dilaksanakan pemberian insentif untuk pendaftaran sertifikat merk dagang bagi 100 UMKM bidang makanan, minuman, dan kerajinan tangan dan insentif

pendaftaran sertifikat halal bagi 130 UMKM.

PEMANFAATAN TEKNOLOGI YANG TEPAT GUNA

Realisasi Deputi Bidang Produksi (menurut Laptah 2012)

Pemanfaatan Teknologi Tepat Guna Dalam Rangka Meningkatkan Produktifitas UMKM

Penyusunan Pedoman Teknologi Tepat guna untuk sektor pertanian, holtikultur, peternakan, dan perikanan.

Realisasi Deputi Bidang Pemasaran dan Jaringan Usaha (menurut Laptah 2012 Depkop UKM hlm. 121)

Pengembangan Promosi Produk UMKM

102

Trading board, salah satu infrastruktur promosi yg dibangun dan dikembangkan Kementrian KUMKM dalam rangka memberikan edukasi kepada KUMKM tentang alternatif media promosi yang efektif dan efisien. Web basis “sell offer dan buy offer”

Realisasi Deputi Bidang Pengembangan dan Restrukturisasi Usaha

(menurut Laptah 2011 Depkop UKM)

Peningkatan Produktivitas KUMKM melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna

a. Memfasilitasi bimbingan dan konsultasi penerapan teknologi tepat guna kepada 350 UMKM di 6 provinsi.

b. Merealisasikan bantuan peralatan pembangunan demplot percontohan penerapan teknologi tepat guna untuk pengembangan usaha UMKM untuk pengolahan arang tempurung kelapa, sagu, jamur, garam, dan biogas ramah lingkungan

Pendampingan pemanfaatan internet untuk e-commerce dan desain produk bagi KUKM sentra (telah dilakukan di Provinsi Sumatera Barat, Bali, Sulawesi Tenggara, Kalimantan Barat, dan Sulawesi Selatan)

Dengan kriteria:

a. Pelaku usaha produktif yang memiliki produk siap jual yang berdaya saing.

b. Pelaku usaha memiliki kemampuan untuk meningkatkan kemampuan transaksi bisnis UMKM kerajinan dan furnitur sehingga dapat memperluas pasarnya;

c. Pelaku usaha memiliki usaha yang berkaitan dengan desain kreatif seperti, kerajinan, kayu, bambu, dan rotan serta usaha kreatif lainnya.

PEMASARAN DAN JEJARING BISNIS

Realisasi Deputi Bidang Pemasaran dan Jaringan Usaha (menurut Laptah 2012 Depkop UKM hlm.105)

Pengembangan Jaringan Bisnis Ritel Modern (dengan nama UKM Mart)

a. Tahap 1: Penataan sarana usaha, telah diberikan bansos 108 toko ritel “UKM Mart” tahun 2011 dan 24 toko tahun 2012.

b. Tahap 2: Pelatihan dan pendampingan, telah dilakukan di 7 provinsi.

c. Tahap 3: Penguatan jaringan bisnis, memfasilitasi kemitraan UKM Mart dengan distributor, pabrikan, dan Bulog.

d. Insentif bagi konsultan pendamping LPB/BDS-P

Peningkatan Produktivitas Usaha Mikro melalui Klinik Bisnis

Dengan tujuan peningkatan daya saing produk KUMKM, telah dilakukan di 4 provinsi (produk batik cap, kemasan makanan olahan, desain produk fashion dan handicraft corak batik, handicraft kulit kerang, dan makanan olahan rumput laut).

Peningkatan Akses Pasar Produk Usaha Mikro melalui Pasar Rakyat

103

a. Pasar Rakyat, dalam rangka membantu ketersediaan akan kebutuhan pokok bersubsidi bagi masyarakat prasejahtera, pasar rakyat, dan pasar murah di 49 titik dalam 20 provinsi

b. Pojok rakyat, dalam rangka mendukung pengembangan dan pemberdayaan UMK dengan memfasilitasi kerja sama UMKM dengan retail modern besar, yaitu PT Carrefour.

Pengembangan Penataan Pedagang Kaki Lima

Dalam rangka penguatan komunitas PKL dalam membangun daya saing pasar

Realisasi Lembaga Layanan Pemasaran (LLP-KUKM)-(menurut Laptah 2012

Depkop UKM hlm.181)

Pengembangan Produk Berdaya Saing tahun 2012

a. Promosi SME Tower melalui iklan di media massa cetak seperti majalah

b. Kerjasama barter promosi

c. In house promosi di UKM Gallery

d. Kerja sama dengan tour and travel di Jakarta dalam rangka peningkatan kunjungan dengan diskon

RISET DAN PENGEMBANGAN

Realisasi Deputi Bidang Pengkajian Sumber Daya UKM (menurut Laptah 2011 Depkop UKM)

Pengembangan Komoditas Unggulan Daerah Dengan Pendekatan One Village One Product (OVOP)

Jeruk kalamansi, Provinsi Bengkulu; batik tulis, Kabupaten Pacitan Provinsi Jawa Timur; nanas, Kota Prabumulih, Provinsi Sumatera Selatan; bordir, Kota Tasikmalaya, Provinsi Jawa Barat; kopi organik, Kabupaten Tanggamus, Provinsi Lampung; kakao, Kota Palopo, Provinsi Sulawesi Selatan; tenun cual, Provinsi Bangka Belitung; bawang goreng, Kota Palu, Provinsi Sulawesi Tengah

Realisasi Deputi Bidang Pengkajian Sumber Daya UKMK (menurut Laptah 2011 Depkop UKM)

Penelitian UKM dalam Mendukung Pengembangan Ekonomi Daerah

Rintisan model pengembangan pedagang kaki lima pangan/kuliner.