sejengkal tanah setetes darah · pangkal. namun semua itu memang sudah menjadi akibat dari namanya...
Post on 14-Nov-2020
50 Views
Preview:
TRANSCRIPT
SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH
JILID 19
OLEH
PaneMbahan Mandaraka
Gambar sampul & Gambar dalam
Ki Adi Suta
Tahun 2019
Diterbitkan hanya untuk kalangan terbatas
(i)
Cerita ini ditulis Atas dasar kekaguman akan karya seorang anak bangsa Yang telah menggali cerita Dari bumi yang tercinta Walaupun yang disajikan ini jauh dari sempurna Tak ada maksud untuk meniru Sang Pujangga Hanyalah kecintaan akan sebuah karya Untuk dilestarikan sepanjang masa Sekar keluwih, Februari 2020
Terima kasih atas dukungan: Istri dan anak-anak tercinta
Serta handai taulan semua
(ii)
Ki Rangga menarik nafas dalam-dalam. Untuk kesekian kalinya Ki
Rangga harus berurusan dengan dendam yang tak berujung
pangkal. Namun semua itu memang sudah menjadi akibat dari
namanya yang sudah kondang kawentar kajala ndriya di seluruh
telatah Mataram.
“Mungkin jika aku sudah purna tugas, tidak ada lagi yang akan
mencariku dan aku bisa hidup dengan tenang di padepokan,”
membatin Ki Rangga dalam hati. Namun sepercik keragu-raguan
muncul dari dasar hatinya yang paling dalam.
“Apakah Sekar Mirah dengan senang hati akan mendukung
pilihanku ini setelah purna tugas?” sebuah pertanyaan yang cukup
pelik telah menghujam jantungnya.
“Ngger,” tiba-tiba suara Ki Waskita membangunkan Ki Rangga
dari lamunan, “Menilik kedahsyatan murid goa Langse itu dalam
mengetrapkan ilmu penghisap tenaga, tidak menutup
kemungkinan kemampuan gurunya jauh berlipat ganda di atas
kemampuan muridnya. Angger Sedayu harus mewaspadainya.”
Wajah-wajah yang tegang di dalam bilik itu pun semua berpaling
ke arah agul agulnya Mataram itu. Sementara Ki Rangga justru
telah menundukkan kepalanya dalam-dalam.
“Aku mengenal sedikit ilmu penghisap tenaga itu,” berkata Ki
Jayaraga memecah keheningan dan telah mengejutkan mereka
yang berada di dalam bilik itu, “Pernah suatu saat ketika aku lewat
di pantai selatan dan berjumpa dengan Pertapa tua itu, dia begitu
baik dan ramah telah mempersilahkan aku mampir di goa Langse,
tempat tinggalnya selama itu.”
1
“Ki Jayaraga sempat menjajal ilmunya?” Ki Waskita tiba-tiba
menyeluthuk.
“Ah, tentu saja tidak, Ki Waskita,” sahut Ki Jayaraga sambil
tertawa pendek, “Aku tidak ada keberanian sebiji sawi pun untuk
mencoba ilmunya, tapi justru Pertapa tua itulah yang telah
membuat pengeram-eram di hadapanku.”
Mereka yang hadir di dalam bilik itu sejenak saling pandang.
Namun tidak ada yang bertanya. Mereka menunggu penjelasan
selanjutnya dari Ki Jayaraga.
Melihat orang-orang itu hanya diam saja, Ki Jayaraga pun segera
melanjutkan ceritanya, “Pertapa tua itu pernah mengajakku
mencari ikan di pantai yang airnya cukup dalam, setinggi
pinggang.”
“Mencari ikan?” ulang Ki Bango Lamatan dengan nada
keheranan, “Memancing, maksud Ki Jayaraga?”
“O, tidak, tidak,” jawab Ki Jayaraga cepat, “Dia tidak memancing
atau pun menjaring karena memang aku lihat pada saat itu dia
tidak membawa satu alatpun yang dapat digunakan untuk
menangkap ikan.”
“Jadi, bagaimana cara Pertapa tua itu menangkap ikan?” bertanya
Ki Bango Lamatan selanjutnya dengan nada penasaran.
Ki Jayaraga tersenyum. Jawabnya kemudian, “Dengan kedua
tangannya.”
“He?!” hampir bersamaan orang-orang yang hadir di dalam bilik
itu berseru setengah terkejut. Mereka tidak dapat membayangkan
bagaimana menangkap ikan di laut dengan hanya mengandalkan
kedua tangan?
2
Melihat kawan-kawannya sedikit kebingungan, Ki Jayaraga pun
kembali tersenyum. Kemudian sambil menjulurkan kedua
lengannya dia berkata, “Ketika aku mendekat, aku melihat Pertapa
tua itu menjulurkan kedua lengannya dan kemudian dimasukkan
ke dalam air laut yang berombak. Air laut sangat jernih di tempat
itu sehingga aku dengan sangat jelas dapat melihat ikan-ikan yang
berseliweran di sekitar kami. Tiba-tiba Pertapa tua itu tampak
menarik nafas dalam-dalam. Sejenak kemudian aku melihat dua
ekor ikan sebesar betis orang dewasa bagaikan tersedot oleh kedua
tangan Pertapa tua itu. Kedua ekor ikan itupun akhirnya
menggelepar-gelepar dalam genggamannya.”
Wajah-wajah itu pun menjadi semakin tegang. Berkata Ki Waskita
kemudian, “Pertapa tua itu mampu mengerahkan tenaga
cadangan di dalam tubuhnya untuk menarik benda apa saja yang
ada di sekitarnya.”
“Padahal selama ini yang kita ketahui dan kita pelajari, tenaga
cadangan di dalam diri kita hanya digunakan untuk mendorong,
menolak atau memukul,” sahut Ki Bango Lamatan cepat.
“Ki Bango Lamatan benar,” Ki Rangga ikut menimpali, “Agaknya
Pertapa tua itu telah mampu mengendalikan tenaga cadangannya
sedemikian rupa sehingga dapat digerakkan sesuai dengan
kemauannya.”
“Itulah sebenarnya yang ingin ditunjukkan Pertapa tua itu
kepadaku,” sela Ki Jayaraga dengan serta merta, “Entah mengapa
Pertapa tua itu kelihatannya menaruh perhatian kepadaku dan
memberiku sedikit petunjuk untuk mengolah tenaga cadangan
seperti itu.”
“Jadi? Ki Jayaraga pernah mempelajari ilmu itu?” bertanya Ki
Waskita dengan serta merta.
3
“O, tidak tidak, Ki Waskita,” jawab Ki Jayaraga kemudian sambil
tersenyum dan menggeleng-gelengkan kepalanya, “Aku tidak mau mencampur adukkan ilmu yang aneh itu dengan ilmu
perguruanku, sehingga apa yang ditunjukkan Pertapa tua itu sama
sekali tidak menarik bagiku.”
Hampir bersamaan mereka yang berada di dalam bilik itu telah
menarik nafas dalam-dalam. Sungguh sangat disayangkan
kesempatan itu ternyata telah dibuang percuma oleh Ki Jayaraga
muda saat itu.
“Sayang,” desis Ki Waskita kemudian sambil menggeleng-
gelengkan kepalanya.
Ki Jayaraga yang menyadari kekeliruan di masa mudanya segera
meneruskan kata-katanya, “Bukannya aku merasa ilmuku sudah
tiada bandingannya saat itu. Namun perjalananku menyisir pantai
Selatan pada saat itu adalah juga dalam rangka mendalami sebuah
laku, sehingga aku telah mengabaikan petunjuk yang
diberikannya.”
Semua kepala pun tampak terangguk-angguk. Agaknya saat itu Ki
Jayaraga muda sedang menjalani sebuah laku sehingga tidak ada
waktu atau bahkan mengesampingkan hal hal lain yang dapat
mengganggu tujuan utamanya dalam menjalani laku.
“Nah, sekarang apa rencana Ki Rangga selanjutnya?” bertanya Ki
Bango Lamatan kemudian setelah sejenak mereka terdiam.
Ki Rangga menarik nafas dalam-dalam terlebih dahulu sebelum
menjawab pertanyaan orang yang pernah menjadi kepercayaan
Panembahan Cahya Warastra itu. Jawab Ki Rangga kemudian,
“Aku berencana untuk mengantar Ki Gede Matesih ke Menoreh
4
besuk pagi. Sekalian aku akan menghadap Ki Patih di Mataram
untuk melaporkan tugas yang telah dibebankan kepada kita.”
“Ya, ngger,” Ki Waskita menambahkan, “Sekalian angger dapat
membawa bukti paser beracun yang telah digunakan oleh
pengikut Trah Sekar Seda Lepen itu untuk mencederai angger
beberapa saat yang lalu.”
“Dan sekaligus melaporkan pergerakan pasukan sisa-sisa cantrik
Sapta Dhahana dan Trah Sekar Seda Lepen yang bergerak ke arah
Timur, ke lembah antara Merapi dan Merbabu,” Ki Jayaraga tak
mau kalah ikut menimpali.
“Trah Sekar Seda Lepen harus dihukum!” Ki Bango Lamatan pun
ikut memberikan pendapatnya, “Kalau perlu Mataram harus
mengerahkan pasukan segelar sepapan untuk membumi
hanguskan padepokan Panembahan Agung.”
“Tidak semudah itu,” sahut Ki Rangga cepat, “Mataram harus
berhitung cermat sebelum mengirim pasukan ke lembah antara
Merapi dan Merbabu. Kita semua tahu, Ki Patih Mandaraka
adalah seorang pemikir ulung yang selalu mengedepankan
perhitungan yang matang sebelum mengambil langkah. Tentu
laporan kita nanti akan dijadikan salah satu pertimbangan
sebelum memutuskan untuk menghukum Trah Sekar Seda Lepen
beserta pengikutnya.”
Kembali mereka yang hadir di tempat itu terangguk angguk.
Terbayang dalam ingatan mereka, sudah berapa kali sejak
pertikaian antara Pajang dengan Jipang Panolan dan kemudian
berganti Pajang melawan Mataram, Ki Juru Mertani pada saat itu
berperan sangat penting dalam memenangkan pertempuran.
5
“Di saat Madiun bergolak pun, Ki Patih Mandaraka juga yang
berhasil mengatasi keadaan,” berkata Ki Waskita dalam hati
berangan angan, “Sesungguhnya pasukan Mataram pada saat itu
menurut perhitungan kalah jumlah dengan pasukan Madiun.
Namun dengan kecerdikannya Ki Patih Mandaraka berhasil
memecah belah persekutuan para Adipati yang mendukung
Panembahan Madiun sehingga Mataram berhasil menguasai kota
Madiun.”
Namun ada satu ganjalan yang tersisa sampai saat ini di antara
para prajurit dan Sentana Dalem Mataram begitu Panembahan
Senapati memutuskan untuk mengawini Retna Dumilah, putri
Panembahan Madiun yang tidak ikut meloloskan diri.
“Di manakah Panembahan Madiun sekarang ini?” kembali Ki
Waskita berangan angan, “Mungkin Panembahan Madiun dan
keluarganya telah menyatu dengan kawula alit dan hidup dalam
kekurangan namun jauh dari pertikaian yang tak pernah reda di
atas tanah ini. Itu lebih baik dari pada hidup dalam pengasingan
dan pengawasan Mataram.”
“Ki Rangga,” tiba tiba Ki Jayaraga berkata setelah beberapa saat
mereka terdiam, “Berita terakhir yang kita terima dari prajurit
sandi mengatakan bahwa sekarang ini sedang terjadi perpecahan
di dalam keluarga istana. Pihak dari keluarga Ratu Tulung Ayu
tetap menuntut Raden Mas Wuryah diangkat menggantikan
ayahandanya yang telah wafat. Mungkin saat ini bukan waktu
yang tepat bagi Ki Rangga untuk menghadap Ki Patih.”
“Tetapi berita yang akan disampaikan Ki Rangga juga sangat
penting, terutama menyangkut Trah Sekar Seda Lepen dan para
pengikutnya,” sela Ki Bango Lamatana dengan serta merta.
6
“Ki Bango Lamatan ada benarnya,” Ki Waskita kemudian
memberikan tanggapannya, “Jika tidak segera diambil langkah
langkah untuk memadamkan gerakan Trah Sekar Seda Lepen itu,
di masa mendatang akan dapat menyulitkan Mataram. Apalagi
Mataram sekarang sedang goyah. Telah terjadi perebutan
kekuasaan sepeninggal Sinuhun Hanyakrawati walaupun
perpecahan itu belum sampai menimbulkan perang saudara.”
Tampak Ki Rangga mengangguk anggukkan kepalanya. Berbagai
pertimbangan pun sedang hilir mudik di dalam benaknya.
“Engkau harus mencari waktu yang tepat ngger,” berkata Ki
Waskita kemudian menambahkan, “Mataram saat ini mungkin
sedang sibuk untuk memilih Raja yang baru sepeninggal Sinuhun
Panembahan Hanyakrawati, namun berita yang akan angger
laporkan juga tak kalah pentingnya.”
“Apakah sudah ada berita telah diangkatnya Raja baru di
Mataram?” tiba tiba Ki Bango Lamatan menyela.
Tampak semua kepala menggeleng. Ki Rangga lah yang menyahut,
“Jika memang sudah ada pengangkatan Raja baru, pasti salah satu
prajurit sandi akan memberitahukan kepada kita.”
“Dan itu berarti petualangan Ki Bango Lamatan bersama kita akan
berakhir sampai di sini,” tiba-tiba Ki Jayaraga menyeluthuk yang
membuat orang orang di dalam bilik itu terkejut.
“Maksud Ki Jayaraga?” Ki Rangga yang tidak dapat menahan diri
segera menyela. Sementara Ki Bango Lamatan hanya memandang
ke arah guru Glagah Putih itu dengan kening yang berkerut merut.
Ki Jayaraga tersenyum sebelum menjawab. Jawabnya kemudian
sambil mengacungkan ibu jarinya ke arah Ki Bango Lamatan,
“Kita semua tahu bahwa Ki Bango Lamatan telah diangkat
7
menjadi pengawal pribadi Pangeran Pati. Tidak menutup
kemungkinan jika Pangeran Pati telah diwisuda menjadi Raja
Mataram menggantikan ayahandanya, Ki Bango Lamatan harus
selalu berada di dekat Sinuhun Prabu sebagi pengawal pribadi
yang terpercaya.”
“Bagaimana dengan tuntutan Ratu Tulung Ayu?” sela Ki Waskita,
“Ratu Tulung Ayu menuntut janji Sinuhun Prabu semasa masih
menjadi Adipati Anom.”
“Aku mempunyai panggraita jika kebanyakan Sentana Dalem
nantinya akan menolak tuntutan itu,” kembali Ki Jayaraga
mengajukan pendapatnya, “Selain janji itu terjadi ketika Sinuhun
masih menjabat Adipati Anom, keadaan Raden Mas Wuryah
sendiri juga tidak memenuhi persyaratan untuk menjadikan
dirinya seorang Raja.”
Untuk beberapa saat bilik itu menjadi hening. Semua kawula
Mataram telah mengetahui bahwa Raden Mas Wuryah terlahir
dalam keadaan tuna grahita, sehingga tidak selayaknya lah jika
Mataram yang besar itu dipimpin oleh seorang penyandang tuna
grahita.
“Mungkin Ratu Tulung Ayu hanya ingin memenuhi janji Sinuhun
Prabu agar di alam kelanggengan sana, tidak ada tuntutan yang
akan memberatkan perjalanan Sinuhun Prabu dalam menghadap
Sang Pencipta,” membatin Ki Waskita kemudian sambil
mengangguk-angguk kecil.
“Jadi, aku cenderung Raden Mas Rangsang lah yang pada
akhirnya akan menduduki tahta,” berkata Ki Jayaraga kemudian
sambil tersenyum dan memandang ke arah Ki Bango Lamatan.
8
Semua kepala pun tampak terangguk angguk kecuali Ki Bango
Lamatan. Tampak kepalanya tertunduk dengan kening yang
berkerut merut. Agaknya dia sedang memikirkan sesuatu.
“Sebenarnya tempat yang tepat bagiku adalah di hutan rimba,
gunung, lembah dan ngarai,” tiba tiba Ki Bango Lamatan
mengutarakan isi hatinya, “Rasa rasanya akan sangat sulit bagiku
untuk menyesuaikan diri, tinggal di istana yang mewah, kerjanya
hanya duduk terkantuk kantuk sambil menunggu perintah.”
“Ah,” mereka yang hadir di dalam bilik itu pun tertawa pendek. Ki
Rangga lah yang kemudian menyahut, “Keadaan seperti itu
mungkin hanya sepekan dua pekan Ki Bango Lamatan rasakan.
Setelah itu aku yakin, selanjutnya Ki Bango Lamatan akan
menjadi terbiasa dan kerasan.”
“Terbiasa dengan makanan yang enak-enak, tempat tidur yang
empuk dan lunak, serta putri putri keraton yang cantik dengan
emban emban yang galak,” sela Ki Jayaraga yang membuat
mereka yang hadir di tempat itu tergelak.
Sejenak kemudian suasana menjadi sunyi. Masing masing sedang
membayangkan kehidupan baru yang mungkin akan terasa sangat
asing bagi Ki Bango Lamatan.
“Jika demikian,” berkata Ki Rangga kemudin memecah kesunyian,
“Besuk pagi sebaiknya Ki Bango Lamatan ikut aku saja ke
Mataram mengawal perjalanan Ki Gede dan Ratri.”
Kini semua mata tampak sedang mengarah kepada Ki Bango
Lamatan yang masih menundukkan kepalanya.
“Ki Rangga,” berkata Ki Bango Lamatan kemudina sambil
mengangkat wajahnya, “Aku adalah petualang sejati yang telah
berjalan dari ujung tanah ini ke ujung yang lain. Memang kadang
9
aku tertahan dan bergabung dengan sekelompok orang yang
mempunyai tujuan dan haluan yang sama, Panembahan Cahya
Warastra misalnya,” Ki Bango Lamatan berhenti sejenak untuk
sekedar mengambil nafas. Lanjutnya kemudian, “Namun aku
tidak pernah berdiam di suatu tempat untuk waktu yang lama.
Aku selalu berpindah dan menikmati kehidupanku yang bebas
bagaikan burung yang terbang di udara.”
Untuk beberapa saat orang orang yang berada di dalam bilik itu
terdiam, tidak ada satu pun yang menanggapi ucapan Ki Bango
Lamatan. Mereka menunggu saja apa yang akan disampaikan oleh
orang yang telah mendapat pencerahan dari Kanjeng Sunan Muria
melalui Ki Ajar Mintaraga itu.
“Namun Ki Bango Lamatan yang dulu sudah mati,” lanjut Ki
Bango Lamatan kemudian begitu menyadari Ki Rangga dan
kawan-kawan tampak hanya menunggu, “Bango Lamatan yang
baru telah lahir berkat bimbingan dan petunjuk Kanjeng Sunan
melalui murid dan sekaligus sahabatnya, Ki Ajar Mintaraga.”
“Jadi? Apa rencana Ki Bango Lamatan selanjutnya?” bertanya Ki
Rangga kemudian dengan nada sedikit kurang sabar.
Ki Bango Lamatan tidak segera menjawab. Sebuah senyum
tampak tersungging di bibirnya. Setelah menarik nafas panjang
barulah dia menjawab, “Di dalam rombongan ini Ki Rangga telah
ditunjuk sebagai pemimpinnya. Aku akan tunduk dan mengikuti
setiap perintah dari Ki Rangga.”
Tampak setiap kepala terangguk angguk sambil menghela nafas
panjang. Ki Rangga pun segera berkata, “Syukurlah! Dengan
demikian aku putuskan besuk pagi aku dan Ki Bango Lamatan
akan kembali ke Mataram.”
10
“Bagaimana dengan Glagah Putih, Ki Rangga?” tiba-tiba Ki
Jayaraga menyahut dengan serta merta.
Sejenak Ki Rangga tampak merenungi tubuh Glagah Putih yang
terbujur diam dengan nafas yang mengalir teratur.
“Ki Jayaraga,” jawab Agul Agulnya Mataram itu kemudian, “Aku
akan meninggalkan obat dan beberapa reramuan yang cukup
untuk Glagah Putih selama aku tinggal. Sebenarnya keadaan
Glagah Putih sudah tidak mengkhawatirkan lagi. Dia hanya
membutuhkan waktu yang cukup lama untuk mengembalikan
kebugarannya serta yang paling penting adalah meraih kembali
puncak dari tenaga cadangannya yang telah hilang.”
“Ki Rangga benar,” sahut Ki Waskita cepat, “Menilik keadaan
Glagah Putih ini, paling cepat sepekan dia mungkin sudah mampu
untuk berjalan dan melakukan kegiatan sehari hari. Namun untuk
meraih puncak ilmunya yang berlandaskan tenaga cadangannya,
dia memerlukan waktu mungkin sebulan sampai dua bulan.”
Mereka yang hadir di bilik itu pun tampak mengerutkan kening
dalam-dalam. Sebulan atau bahkan sampai dua bulan adalah
waktu yang cukup panjang bagi rombongan yang dipimpin Ki
Rangga itu. Sehingga tidak menutup kemungkinan Glagah Putih
tidak dapat bergabung kembali.
“Apakah memang demikian?” bertanya Ki Bango Lamatan
kemudian dengan jantung yang berdebaran.
Tanpa sadar Ki Jayaraga berpaling ke arah Ki Rangga. Ki Rangga
pun tanggap dan segera menjawab, “Seperti itulah perkiraanku.
Aku tidak dapat memastikan berapa lama Glagah Putih akan pulih
seperti sedia kala. Namun setelah kesehatan dan kebugarannya
pulih kembali, aku kira dia tidak akan memerlukan waktu sampai
11
berbulan bulan untuk mengembalikan puncak ilmunya. Mungkin
hanya sekitar satu bulan lebih.”
Tampak Ki Waskita dan Ki Bango Lamatan mengangguk angguk.
Namun Ki Jayaraga justru telah menggeleng gelengkan kepalanya
sambil berdesis perlahan, “Dengan demikian Glagah Putih tidak
akan ikut dalam rombongan Ki Rangga berikutnya, demikian juga
aku.”
“He?” hampir bersamaan orang orang di dalam bilik itu telah
terkejut. Sedangkan Ki Rangga segera menyadari bahwa
rombongannya akan banyak berkurang setelah Ki Bango Lamatan
yang mungkin akan di tarik ke istana dan juga Glagah Putih yang
masih sakit.
“Baiklah,” berkata Ki Rangga kemudian sambil menggeser
dingklik kayunya sejengkal mundur, “Aku akan memohon
petunjuk Ki Patih Mandaraka sehubungan dengan rombongan
kecil kita ini. Jika nantinya Ki Bango Lamatan harus kembali ke
istana, kemudian Glagah Putih masih harus mengembalikan
kekuatannya, yang kemudian menjadi pertanyaan adalah,
mengapa Ki Jayaraga juga mengundurkan diri dari rombongan
ni?”
Untuk sejenak Ki Jayaraga terpekur. Orang-orang yang berada di
dalam bilik tu pun tidak ada yang berani mengganggu. Mungkin
Ki Jayaraga sedang mempertimbangkan sesuatu yang sangat
pelik.
“Ki Rangga,” jawab Ki Jayaraga kemudian tanpa berpaling, “Aku
mempunyai firasat bahwa Pertapa tua itu suatu saat pasti akan
kembali ke banjar ini. Bagiku tidak mungkin meninggalkan
Glagah Putih dalam keadaan seperti ini. Apapun yang terjadi, aku
harus melindungi Glagah Putih. Yang aku khawatirkan jika
12
Pertapa tua itu kemudian berubah pikiran dan melampiaskan
dendamnya kepada Glagah Putih,” orang tua itu berhenti sejenak.
Lanjutnya kemudian, “Selain itu sebagai salah satu gurunya, aku
akan membantu Glagah Putih untuk mengembalikan kekuatan
puncak ilmunya.”
Terdengar mereka yang hadir dalam ruangan itu menarik nafas
dalam dalam sambil mengangguk angguk.
Tiba tiba terdengar Glagah Putih berdesah sambil menggerak
gerakan kepalanya. Ketika dengan sangat perlahan kedua kelopak
matanya kemudian terbuka, sejenak dia berusaha mengerjap
kerjapkan sepasang matanya agar penglihatannya menjadi
semakin jelas.
Ketika pandangan matanya sudah dapat mengenali keadaan di
sekelilingnya, tampak wajah Glagah Putih sedikit terkejut dan
berusaha untuk mengangkat kepalanya. Namun usahanya gagal
dan kepalanya pun jatuh terkulai kembali.
“Tenangkanlah dirimu Glagah Putih,” bisik Ki Rangga kemudian
sambil menggeser tempat duduknya mendekati amben,
“Bersyukurlah! Yang Maha Agung masih berkenan melindungimu.
Tenaga wadagmu memang masih sangat lemah, namun aliran
darahmu serta pernafasanmu sudah mulai lancar. Engkau tinggal
mengembalikan kekuatan wadagmu terlebih dahulu, sebelum
merambah kepada pengembalian kekuatan ilmumu.”
Tampak wajah Glagah Putih yang masih pucat menegang.
Tanyanya kemudian sambil berpaling ke arah kakak sepupunya
itu, “Apa maksud kakang? Apa yang telah terjadi dengan kekuatan
ilmuku?”
13
“Engkau harus mencari waktu yang tepat ngger,” berkata Ki Waskita
kemudian menambahkan, “Mataram saat ini……………………..
14
“Glagah Putih,” Ki Jayaraga lah yang menyahut sambil
mendekatkan tempat duduknya, “Kekuatan ilmu lawanmu
memang diluar nalar. Aku ternyata telah salah hitung. Aku sama
sekali tidak menyangka jika lawanmu yang menyebut dirinya
sebagai Pertapa goa Langse itu benar benar telah mewarisi ilmu
ciri khas goa Langse. Aku benar benar menyesal telah
membiarkan dirimu menghadapinya.”
Sejenak Glagah Putih menarik nafas panjang sambil pandangan
matanya menerawang ke langit-langit bilik. Terbayang kembali
peristiwa perang tanding antara hidup dan mati beberapa saat
yang lalu. Untunglah dia dapat mengatasi ilmu lawannya yang
aneh itu dengan aji pacar wutah puspa rinonce.
“Terima kasih Ki dan Nyi Citra Jati,” membatin Glagah Putih
dalam hati. Namun terlihat betapa kegelisahan masih tergambar
di wajahnya.
“Jangan khawatir Glagah Putih,” berkata Ki Rangga kemudian
begitu melihat kekecewaan terbayang di wajah adik sepupunya itu,
“Engkau memang telah kehilangan tenaga cadangan di dalam
tubuhmu, namun dengan latihan yang sungguh sungguh dalam
tempo tidak lebih dari sebulan engkau akan kembali ke puncak
ilmumu.”
Kata kata Ki Rangga itu agaknya sedikit banyak telah menghibur
Glagah Putih, sehingga wajahnya tidak tampak terlalu kecewa.
“Aku akan menemanimu,” sahut Ki Jayaraga kemudian, “Aku
akan menyediakan waktu siang dan malam untuk membantumu
meraih kembali kemampuan puncakmu.”
“Terima kasih guru,” berkata Glagah Putih kemudian sambil
menarik nafas dalam-dalam.
15
“Nah,” berkata Ki Rangga kemudian, “Aku akan membuatkan
bubur khusus untukmu agar kekuatan wadagmu segera pulih.
Setelah wadagmu benar benar pulih, giliran Ki Jayaraga yang akan
membantumu.”
“Akan pergi kemanakah kakang?” tiba tiba sebuah pertanyaan
terloncat begitu saja dari bibir Glagah Putih.
Sejenak Ki Rangga menegakkan punggungnya sambil
mengedarkan pandangan matanya ke arah orang orang yang hadir
di dalam bilik itu. Ketika terlihat olehnya sebuah anggukan dari Ki
Waskita, Ki Rangga pun akhirnya menjawab pertanyaan adik
sepupunya itu.
Jawab Ki Rangga kemudian, “Glagah Putih, aku dan Ki Bango
Lamatan akan kembali ke Mataram untuk membuat laporan
kepada Ki Patih Mandaraka. Banyak yang harus dibicarakan
sehubungan dengan bergeraknya para pengikut Trah Sekar Seda
Lepen itu ke lembah antara Merapi dan Merbabu.”
Tampak kepala Glagah Putih terangguk angguk kecil. Ki Rangga
sengaja tidak menyebut Ki Gede dan Ratri yang akan pergi ke
Menoreh bersama sama dengan dirinya dan Ki Bango Lamatan. Ki
Rangga menganggap hal itu tidak ada hubungannya dengan
rencana Ki Rangga melaporkan tugasnya kepada Ki Patih
Mandaraka.
“Kapan kakang akan berangkat?” bertanya Glagah Putih
selanjutnya.
“Besuk pagi.”
“He?! Besuk pagi? Begitu cepat?”
16
“Ya, Glagah Putih,” jawab Ki Rangga kemudian sambil
mengedarkan pandangan matanya ke sekeliling, “Banyak
pertimbangan yang mengharuskan aku segera ke Mataram. Salah
satunya adalah keadaan Mataram yang sampai saat ini belum
terbetik berita telah diangkatnya Raja baru menggantikan
Sinuhun Hanyakrawati.”
Glagah Putih mengerutkan keningnya. Agaknya Ki Rangga
tanggap bahwa adik sepupunya itu belum begitu mengerti alasan
yang dikemukakan. Maka lanjut Ki Rangga kemudian,
“Sebagaimana engkau juga telah mendengar berita dari prajurit
sandi beberapa saat yang lalu. Pergantian pucuk pimpinan di
Mataram agaknya telah menimbulkan perselisihan paham antara
kerabat istana sendiri.”
Tampak Glagah Putih menarik nafas dalam dalam namun tidak
ada tanggapan sama sekali yang keluar dari bibirnya. Maka Ki
Rangga pun melanjutkan, “Mataram dalam keadaan seperti
sekarang ini akan sangat rapuh jika terjadi pemberontakan dari
orang orang yang tidak bertanggung jawab, Trah Sekar Seda
Lepen salah satunya. Sehingga kekuatan yang sekarang mungkin
sedang berkumpul di lembah antara Merapi dan Merbabu segera
harus ditindak lanjuti, sebelum mereka mengetahui keadaan
Mataram yang masih belum menentu ini.”
Kembali tampak kepala Glagah Putih terangguk angguk. Orang
orang yang hadir di dalam bilik itu pun telah ikut mengangguk
anggukkan kepala mereka.
“Nah engkau akan ditemani oleh Ki Waskita dan Ki Jayaraga,”
berkata Ki Rangga selanjutnya. Ki Waskita pun tersenyum ke arah
Glagah Putih yang memandangnya.
17
“Aku akan disini saja, ngger,” berkata Ki Waskita kemudian begitu
melihat Glagah Putih tanpa berkedip telah memandangnya,
“Walaupun ancaman sisa sisa laskar cantrik Sapta Dhahana
kemungkinannya sangat kecil, namun perdikan Matesih ini belum
dapat dikatakan aman. Dengan senang hati aku akan mengawani
Ki Jayaraga.”
Kembali terlihat setiap kepala terangguk angguk. Sejenak suasana
menjadi sunyi. Masing masing sedang tenggelam dalam lamunan
yang mengasyikkan.
“Apa rencana kakang setelah menghadap Ki Patih,” tiba-tiba
pertanyaan Glagah Putih kembali membuat mereka terbangun
dari lamunan mereka, “Apakah aku masih diperkenankan untuk
ikut dalam rombongan ini?”
Untuk sejenak mereka yang berada di dalam bilik itu pun saling
pandang. Namun Ki Rangga segera menjawab agar adik
sepupunya itu tidak berteka teki di kemudian hari.
“Glagah Putih,” jawab Ki Rangga kemudian sambil memandang ke
arah anak laki laki Ki Widura itu, “Aku akan mohon petunjuk
kepada Ki Patih sehubungan dengan keberadaan kelompok kecil
kita ini. Tugas yang dibebankan kepada kita masih sangat panjang
dan tidak menutup kemungkinan akan bertambah jumlahnya atau
bahkan berkurang,” Ki Rangga berhenti sejenak untuk sekedar
mengambil nafas. Lanjutnya kemudian, “Selain itu perkembangan
keadaan dan keamanan juga mempengaruhi keputusan yang akan
diambil oleh Ki Patih pada saatnya nanti. Semua itu tergantung
tanggapan dari Ki Patih atas laporan yang akan aku sampaikan
nanti.”
“Jadi? Aku tidak akan diperkenankan ikut dalam rombongan
kakang lagi?” sela Glagah Putih dengan serta merta.
18
“Bukan begitu maksudku, Glagah Putih,” jawab Ki Rangga cepat, “
Dalam waktu dekat ini, aku kira tugas kita ke gunung
Penanggungan akan ditangguhkan beberapa saat. Aku kira untuk
sementara perhatian Ki Patih akan dicurahkan kepada Trah Sekar
Seda Lepen terlebih dahulu.”
“Angger Sedayu benar,” sela Ki Waskita ikut menanggapi,
“Sebelum pengikut Trah Sekar Seda Lepen itu menjadi besar dan
dapat membakar Mataram, sedini mungkin Mataram harus
mengambil langkah langkah untuk memadamkannya.”
Terlihat Glagah Putih mengerutkan keningnya. Ada kesan
kekecewaan sekilas yang tertangkap oleh Ki Rangga. Maka berkata
Ki Rangga kemudian, “Engkau tidak usah merisaukan peperangan
yang mungkin akan terjadi di lembah antara Merapi dan Merbabu
itu. Kesehatanmu lebih penting dari semua itu. Jika engkau
bersungguh sungguh dalam usaha untuk mengembalikan
kemampuanmu, aku kira tidak akan lebih dari sebulan engkau
sudah dapat bertugas dalam dinas keprajuritan lagi.”
Sekarang tampak wajah Glagah Putih menjadi sedikit cerah.
Sambil mengangguk anggukan kepalanya dia pun kemudian
berkata, “Terima kasih kakang. Aku akan bersungguh sungguh
untuk memulihkan kemampuanku. Aku yakin dibawah bimbingan
Ki Jayaraga dan petunjuk Ki Waskita, sekembalinya kakang dari
Mataram mungkin aku sudah dapat meraih kembali
kemampuanku walaupun baru selangkah dua langkah.”
“Ah,” orang orang pun tertawa mendengar kelakar Glagah Putih.
Tapi mereka yakin, Glagah Putih mempunyai niat yang sangat
kuat untuk segera mendapatkan kemampuannya kembali.
“Kakang,” berkata Glagah Putih kemudian setelah sejenak mereka
terdiam, “Jika kekuatan wadagku sudah pulih kembali, apakah
19
aku diperkenankan untuk kembali ke Menoreh? Rasa rasanya
lebih tenang untuk meraih puncak kemampuanku di Menoreh
dari pada di rumah orang yang tentu saja akan sangat merepotkan
Ki Gede Matesih.”
Untuk beberapa saat mereka tampak saling pandang. Namun
segera saja pandangan mereka beralih kepada Ki Rangga sebagai
pemimpin rombongan kecil itu.
“Aku juga berpikir demikian, Glagah Putih,” sahut Ki Rangga yang
membuat mereka yang hadir di dalam bilik itu mengangguk
angguk, “Namun dalam menyampaikan hal ini kepada Ki Gede
Matesih harus dengan sangat hati hati, jangan sampai kepala
perdikan Matesih itu tersinggung.”
“Angger benar,” sela Ki Waskita kemudian, “Kita harus menjaga
hubungan yang sudah terjalin dengan sangat baik ini. Jangan
sampai memberikan kesan seolah olah kita sudah tidak
memerlukan Matesih lagi setelah Sapta Dhahana jatuh.”
Kembali setiap kepala terlihat terangguk angguk.
“Dan yang lebih penting lagi,” sahut Ki Jayaraga sambil sedikit
menahan senyum, “Berlatih olah kanuragan ditunggui oleh
seorang istri tercinta akan lebih mengasyikkan dari pada
ditunggui orang tua bangka seperti aku ini.”
“Ah,” gelak tawa pun kembali mengumandang di dalam bilik itu.
Sementara Glagah Putih hanya dapat tersenyum masam sambil
menyeringai.
“Nah, aku rasa pertemuan kita kali ini sudah cukup,” berkata Ki
Rangga kemudian sambil mengedarkan pandangan matanya ke
sekeliling, “Aku akan ke dapur untuk meramu obat yang akan aku
20
campurkan ke dalam bubur cair untuk makan malam Glagah
Putih.”
Selesai berkata demikian Ki Rangga segera bangkit berdiri.
Namun tampaknya Ki Jayaraga masih tetap duduk di tempatnya
sambil berkata, “Aku di sini saja. Jika makan malam sudah siap,
tolong antarkan ke bilik ini.”
Ki Bango Lamatan yang telah berdiri bersama Ki Rangga segera
menyahut, “Ki Jayaraga berkenan bubur cair?”
“O,” jawab Ki Jayaraga sambil menegakkan punggungnya, “Aku
senang sekali dengan bubur cair. Tolong bawakan dua mangkuk
penuh sekaligus!”
Ki Bango Lamatan yang sudah hampir melangkah itu menjadi
heran. Tanyanya kemudian, “Ki Jayaraga mampu menghabiskan
dua mangkuk bubur sekaligus?”
Ki Jayaraga tersenyum. Jawabnya kemudian sambil tetap
tersenyum dan menggeleng, “Ah, tentu saja tidak. Maksudku dua
mangkuk penuh bubur cair itu yang satu untukku dan yang
satunya untuk Ki Bango Lamatan.”
“Ah,” mereka pun tergelak mendengar gurauan Ki Jayaraga itu.
Demikianlah, sejenak kemudian, satu persatu mereka telah
meninggalkan bilik kecuali Ki Jayaraga yang lebih senang
menunggui Glagah Putih.
Dalam pada itu di salah satu bilik di gandhok kiri, tampak Ki
Wiyaga dan Ki Gede sedang berusaha membujuk putut Acarya
untuk berbicara.
21
“Katakan saja apa yang engkau ketahui,” berkata Ki Gede dengan
nada berat dan dalam, “Apa hubunganmu dengan orang yang
mengaku sebagai Pertapa goa Langse itu dan di mana kalian
tinggal selama ini,”
Putut Acarya yang duduk di lantai dengan kedua tangan terikat di
belakang sebuah tiang yang kuat, tampak hanya menundukkan
wajahnya. Mulutnya terkatup rapat rapat serta sorot matanya
menampakkan kemarahan yang membakar jantung.
“Kami bukanlah sekelompok orang yang suka berbuat sewenang
wenang,” berkata Ki Gede selanjutnya begitu melihat putut Acarya
hanya membisu, “Namun disaat saat kami kehilangan kesabaran,
kadang kadang sifat yang demikian itu bisa muncul.”
Putut Acarya masih tetap membisu. Wajahnya yang merah
membara itu tetap tertunduk dalam dalam.
“Ki Wiyaga,” berkata Ki Gede pada akhirnya memberi isyarat
kepada kepala pengawal Matesih itu, “Mendekatlah!”
Ki Wiyaga segera melangkah mendekati Ki Gede. Sejenak
kemudian kedua orang itu tampak berbisik bisik dengan suara
yang sangat perlahan sehingga tidak mampu didengar oleh putut
Acarya.
“Gila!” geram putut Acarya dalam hati, “Apa yang akan mereka
perbuat, he?!”
Namun murid pertama goa Langse itu menjdi berdebar debar
ketika melihat Ki Wiyaga kemudian melangkah keluar bilik.
“Aku sebelumnya minta maaf, Ki Sanak,” berkata Ki Gede
kemudian dengan suara yang dibuat seramah mungkin, “Semua
ini akan kami lakukan demi keselamatan dan keamanan perdikan
22
Matesih. Apapun akan kami lakukan walaupun itu sedikit
melanggar paugeran ataupun hubungan bebrayan sesama
manusia. Percayalah, Ki Sanak akan dapat bertahan karena Ki
Sanak adalah murid perguruan goa Langse.”
“Omong kosong!” umpat putut Acarya kemudian dengan suara
keras sehingga para pengawal jaga yang berada di luar bilik dapat
mendengar dengan jelas.
Serentak kedua pengawal jaga itu pun segera bangkit berdiri
sambil meraba hulu senjata masing masing. Namun ketika kedua
pengawal itu kemudian mendengar tawa Ki Gede, mereka pun
segera duduk kembali sambil menarik nafas dalam dalam.
“Nah,” berkata Ki Gede kemudian sambil berjalan perlahan
memutari bilik yang sempit itu, “Aku tidak menuntut apa apa dari
Ki Sanak, aku hanya meminta Ki Sanak berbicara jujur.”
“Apa peduliku!” geram Acarya kembali sambil meludah.
“O, baiklah,” jawab Ki Gede kemudian menanggapi kekerasan hati
murid goa Langse itu, “Kami mempunyai atau katakanlah kami
telah menciptakan sebuah alat yang sangat aneh. Alat itu sangat
berguna untuk membuat seseorang berbicara,” Ki Gede berhenti
sejenak sambil sudut matanya memandang ke arah putut Acarya.
Namun orang itu tampaknya tetap acuh tak acuh saja. Lanjut Ki
Gede kemudian, “Alat itu sebenarnya sangat sederhana dan
memang bertujuan membantu seseorang yang tadinya tidak mau
berbicara akan berubah pikiran dan memutuskan untuk berbicara.
Namun ternyata orang yang membuat alat itu terlalu tergesa gesa
dan kurang sempurna sehingga telah membuat seseorang tidak
hanya berbicara, tetapi berteriak sekeras kerasnya.”
23
Berdesir dada putut Acarya. Bagaimanapun kerasnya hati murid
goa Langse itu, namun apa yang diutarakan Ki Gede itu tak urung
telah membuat bulu kuduknya berdiri.
“Kalian memang segerombolan manusia terkutuk yang tidak
punya belas kasihan!” geram putut Acarya sambil kembali
meludah, “Kalian akan menerima akibatnya jika guruku
mengetahui perbuatan kalian terhadap muridnya!”
“He?!” Ki Gede pun terkejut bukan alang kepalang. Dia baru
menyadari jika murid goa Langse itu belum diberi tahu jika
gurunya telah tewas.
“Baiklah, Ki Sanak,” berkata Ki Gede kemudian sambil berjongkok
beberapa langkah di depan putut Acarya, “Aku lupa
memberitahukan kepadamu, dan aku mengucapkan turut berduka
cita atas musibah yang telah menimpa perguruan kalian.”
Kata kata Ki Gede yang diucapkan dengan tekanan dan terlihat
bersungguh sungguh itu telah menyita perhatian putut Acarya.
Untuk beberapa saat murid goa Langse itu justru telah terdiam
dengan pandangan yang tidak berkedip menatap wajah Ki Gede.
“Ki Sanak,” berkata Ki Gede selanjutnya sambil menarik nafas
dalam dalam, “Hidup mati manusia ada di tangan Yang Maha
Agung. Kita manusia tidak diberi kewenangan sedikitpun untuk
mengungap rahasia kehidupan itu. Maka bersabarlah atas apa
yang telah menimpa gurumu.”
“Persetan dengan sesorahmu!” bentak putut Acarya kemudian
dengan suara menggelegar. Kembali dua orang pengawal yang
berjaga di luar bilik terkejut. Namun keduanya hanya berdiam diri
saja sambil menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya. Mereka
percaya penuh terhadap kemampuan pemimpin mereka itu.
24
“Ki Sanak,” berkata Ki Gede tetap dengan nada yang sareh tanpa
terpengaruh gejolak dalam dada putut Acarya, “Dalam perang
tanding tadi pagi, gurumu yang mengaku sebagai Pertapa dari goa
Langse itu ternyata telah dikalahkan dan tewas.”
“Bohong!!” bentak putut Acarya seketika. Namun suaranya
terdengar meragu ketika mengucapkan kata kata berikutnya,
“Kalian telah berusaha melemahkan hatiku! Kalian berusaha
menipu aku dengan cerita ngaya wara yang sama sekali tidak
berdasar. Guru adalah orang yang maha sakti dan tidak ada
tandingannya di muka bumi ini, Ki Rangga pun tidak!”
“Ki Sanak,” berkata Ki Gede kemudian sambil bangkit berdiri dan
maju selangkah. Ditepuk tepuknya pundak putut Acarya beberapa
kali sambil berdesis perlahan, “Kuatkan hatimu menerima cobaan
ini. Aku tahu gurumu adalah satu satunya tempat bergantung
bagimu. Namun nasib telah menentukan lain. Gurumu telah tewas
dalam perang tanding bukan dengan Ki Rangga, tapi dengan adik
sepupu Ki Rangga yang bernama Glagah Putih.”
Jika saja ada petir yang menyambar dan meledak sejengkal di atas
kepala putut Acarya, dia tidak akan seterkejut itu mendengar
berita yang baru saja disampaikan oleh Ki Gede.
“Bohong! Pendusta!” teriak putut Acarya kemudian bagaikan
orang yang kalap, “Aku tidak percaya jika guru mampu dikalahkan
oleh orang yang bukan Ki Rangga. Aku yakin itu!! Ki Rangga pun
tidak akan mampu mengalahkannya!!”
“Tapi kenyataan berbicara lain Ki Sanak,” sela Ki Gede dengan
serta merta, “Aku tidak tahu lagi bagaimana harus meyakinkan Ki
Sanak. Namun aku hanya berbicara berdasarkan kenyataan yang
telah terjadi. Gurumu telah tewas dan Ki Sanak sekarang menjadi
tawanan kami.”
25
Putut Acarya masih berusaha menyangkal kenyataan yang mulai
menyusup ke dasar hatinya. Bagaimana pun juga berita tewasnya
orang yang sangat diagung agungkannya itu benar benar sangat
mengejutkan dan telah mengkoyak koyak jantungnya.
“Kepada siapa lagi aku akan bergantung?” keluh putut Acarya
dalam hati sambil menundukkan kepalanya dalam dalam, “Adi
Brajayekti telah mati terlebih dahulu, dan sekarang guru. Aku
tidak tahu lagi bagaimana nasib adi Panengah. Jika aku mengaku
telah diberi tempat oleh Ki Dukuh Klangon, dan putra laki laki Ki
Dukuh Klangon telah menjadi purid goa Langse, tentu padukuhan
Klangon akan diratakan dengan tanah oleh Matesih.”
Berbagai pertimbangan pun hilir mudik dalam benak putut
Acarya. Namun dari semua pertimbangan itu semuanya menemui
jalan buntu dan berakhir pada ujung yang mengerikan, kematian.
“Nah, aku harap berita yang baru saja aku sampaikan ini akan
menjadi bahan renungan Ki Sanak,” berkata Ki Gede selanjutnya
sambil berjalan mengelilingi bilik yang sempit itu kembali, “Aku
yakin nalar Ki Sanak masih utuh. Panca indera Ki Sanak juga
masih lengkap. Pergunakanlah semua itu untuk kebaikan Ki
Sanak di masa mendatang.”
Kali ini kepala putut Acarya terlihat semakin tunduk. Sorot
matanya tidak lagi membara penuh dengan dendam kebencian.
Namun sorot mata itu telah menjadi redup bagaikan sinar lampu
dlupak di ujung pagi yang telah kehabisan minyak. Wajahnya
pucat pasi serta bibirnya tampak gemetar menahan gejolak
dadanya yang tak tertahankan.
Diam diam Ki Gede merasa kasihan melihat perubahan orang
yang mengaku murid goa Langse itu. Maka katanya kemudian,
“Sudahlah Ki Sanak. Jika Ki Sanak mau menyadari kesalahan Ki
26
Sanak dan memperbaiki jalan hidup Ki Sanak, kami akan
mempertimbangkan untuk memberikan pengampunan.”
Telihat kepala putut Acarya sedikit terangkat, namun terkulai
kembali. Yang terdengar kemudian hanyalah desah nafasnya yang
sedikit memburu.
Tiba-tiba terdengar derit pintu bilik. Sejenak kemudian Ki Wiyaga
terlihat memasuki bilik sambil menjinjing sebuah bungkusan kain
hitam. Kain hitam itu tidak membungkus seluruh benda yang
berada di dalamnya sehingga terlihat kedua ujung benda itu yang
ternyata terbuat dari besi dan sebuah rantai tampak menjuntai
keluar.
Berdesir jantung putut Acarya melihat alat yang cukup
mengerikan itu. Maka katanya kemudian, “Ki Gede,
sebenarnyalah aku tidak tahu menahu urusan guruku yang telah
mengajak kami murid muridnya ke perdikan Matesih ini.”
Hampir bersamaan Ki Gede dan Ki Wiyaga menarik nafas
panjang. Dengan sebuah isyarat Ki Gede segera memerintahkan Ki
Wiyaga untuk membawa alat yang cukup mengerikan itu keluar
bilik. Ki Wiyaga pun segera melangkah keluar bilik kembali.
“Nah, berceritalah,” berkata Ki Gede kemudian sambil duduk
bersila beberapa langkah di hadapan putut Acarya.
Untuk beberapa saat tampak wajah murid goa Langse itu gelisah.
Namun agaknya dia telah membulatkan tekad untuk berterus
terang karena sudah tidak ada gunanya lagi mengharapkan
pertolongan dari guru dan saudara saudara seperguruannya.
“Ki Gede,” berkata putut Acarya kemudian sambil menegakkan
kepalanya, “Guru telah mengajak kami semua murid muridnya
27
untuk mengantar putera Ki Dukuh Klangon pulang ke kampung
halamannya.”
Sebuah kerut tampak di dahi Ki Gede. Bertanya Ki Gede
kemudian, “Mengantar putera Ki Dukuh Klangon? Apakah putera
Ki Dukuh itu juga murid goa Langse?”
“Benar, Ki Gede. Jaka Purwana putera Ki Dukuh Klangon itu
terhitung saudara paling muda dalam perguruan goa Langse.”
“Dan dia diantar pulang karena sudah selesai berguru?”
“O, tidak. Ki Gede,” sahut putut Acarya cepat, “Kami mengantar
Jaka Purwana karena dia memang ingin menengok keluarganya.”
Tampak kepala Ki Gede terangguk-angguk. Namun sebelum Ki
Gede melanjutkan, kembali terdengar pintu bilik berderit dan Ki
Wiyaga melangkah masuk.
Ki Gede segera memberi isyarat Ki Wiyaga untuk duduk di
sebelahnya. Sejenak kemudian Ki Wiyaga pun kemudian telah
duduk bersila di sebelah kiri Ki Gede.
“Nah, Putut Acarya,” Ki Gede berhenti sejenak. Lanjutnya
kemudian, “Bukankah nama Ki Sanak adalah putut Acarya?”
“Panggil saja aku Acarya, Ki Gede,” desis Acarya kemudian hampir
tak terdengar, “Aku sudah bukan seorang putut di padepokan goa
Langse lagi. Padepokan itu sudah tidak ada lagi. Guru sudah
tewas, demikian juga adi Brajayekti. Sedangkan adi Panengah
entah sedang berada di mana sekarang ini.”
“Jadi kalian bertiga?” sela Ki Wiyaga kemudian.
28
“Katakan saja apa yang engkau ketahui,” berkata Ki Gede dengan
nada berat dan dalam, “Apa hubunganmu dengan……….
29
Acarya memandang ke arah Ki Wiyaga sejenak. Ketika pandangan
matanya bertemu dengan pemimpin pengawal perdikan Matesih
itu, segera saja ditundukkan pandangan matanya dalam-dalam.
“Kami memang bertiga pada awalnya,” berkata Acarya kemudian,
“Namun dalam perjalanan waktu, guru menerima murid lagi Jaka
Purwana, putera Ki Dukuh Klangon.”
Tampak kepala kedua orang itu terangguk angguk. Bertanya Ki
Gede kemudian, “Bagaimana ceritanya sehingga Jaka Purwana
putera Ki Dukuh Klangon bisa menjadi murid goa Langse?
Bukankah goa Langse terletak jauh di pesisir laut Selatan?”
“Benar Ki Gede,” jawab Acarya sambil sedikit menggeliat. Agaknya
kedua tangannya yang terikat ke belakang tiang di tengah tengah
bilik itu cukup menyiksanya.
Segera saja Ki Gede memberi isyarat kepada Ki Wiyaga. Pada
awalnya kepala pengawal itu tampak ragu-ragu sejenak. Namun
ketika dia sekali lagi memandang Ki Gede dan Ki Gede telah
menganggukkan kepalanya, Ki Wiyaga pun segera bangkit berdiri
dan kemudian berjalan ke belakang Acarya.
Sejenak kemudian Acarya pun telah terbebas kedua tangannya
sehingga dia pun kemudian segera duduk bersila di hadapan Ki
Gede.
“Terima kasih Ki Gede,” desis Acarya lirih nyaris tak terdengar.
“Tidak masalah Acarya,” sahut Ki Gede cepat, “Sekarang
ceritakanlah kejadian yang sebenarnya secara berurutan sehingga
akan dapat kami jadikan sebagai pertimbangan untuk
meringankan hukumanmu.”
30
Untuk beberapa saat Acarya menarik nafas dalam dalam sebelum
memulai ceritanya.
“Kami bertiga sebelum kedatangan Jaka Purwana telah tinggal di
goa Langse cukup lama,” demikian Acarya memulai kisahnya,
“Kami bertiga pada awalnya hanya dijadikan pelayan oleh Ki
Anggara, karena kami memang tidak ada niat berguru kepadanya.
Kami masing masing dipungut dari tempat yang berbeda dan
dalam keadaan yang berbeda pula.”
Tampak kepala Ki Gede dan Ki Wiyaga terangguk angguk.
bertanya Ki Gede kemudian, “Jadi gurumu yang bergelar Pertapa
goa Langse itu nama sebenarnya adalah Ki Anggara?” “Benar, Ki Gede,” jawab Acarya sambil mengangguk.
Berkata Acarya kemudian melanjutkan ceritanya, “Pada awalnya
kami memang sering ditinggal pergi oleh Ki Anggara. Lama
kelamaan Ki Anggara berpikir bahwa selama beliau pergi, yang
tinggal hanyalah kami bertiga sehingga keselamatan goa Langse
berada di tangan kami bertiga. Atas pertimbanagn itulah Ki
Anggara kemudian menurunkan ilmunya selangkah dua langkah
kepada kami.”
“Bagaimana Jaka Purwana kemudian bisa bergabung dengan
kalian bertiga?” bertanya Ki Wiyaga dengan nada yang sedikit
tidak sabar.
Sejenak Acarya menarik nafas dalam-dalam. Jawabnya kemudian,
“Suatu saat ketika Ki Anggara pulang dari bepergian, beliau
membawa seorang pemuda yang diperkenalkan kepada kami
sebagai Jaka Purwana putera Ki Dukuh Klangon.”
31
“Bagaimana mungkin Ki Anggara mengambil Jaka Purwana
sebagai murid, padahal mereka mungkin tidak kenal satu sama
lainnya,” sela Ki Gede kemudian
Acarya menganggukkan kepalanya sebelum menjawab pertanyaan
Ki Gede. Jawabnya kemudian, “Ki Anggara sedang menjalin
hubungan dengan Trah Sekar Seda Lepen yang berada di
padepokan Sapta Dhahana. Ki Dukuh Klangon, ayah Jaka
Purwana adalah salah satu pendukung Trah Sekar Seda Lepen.
Demikianlah agaknya mereka berdua telah bertemu dan Ki Dukuh
ingin menjadikan anak laki laki harapan masa depannya menjadi
cantrik di goa Langse.”
Kembali kepala kedua orang itu terangguk angguk. Mereka
sekarang telah mengerti duduk permasalahan yang sebenarnya.
Dengan demikian Acarya dapat dikatakan tidak terlibat langsung
dengan kegiatan di padepokan Sapta Dhahana.
“Apakah engkau sudah pernah diajak ke padepokan Sapta
Dhahana?” tiba tiba Ki Wiyaga mengajukan sebuah pertanyaan
yang membuat Acarya terkejut.
Namun dengan cepat dia menggelengkan kepalanya. Jawabnya
kemudian, “Tidak, kami bertiga tidak pernah diajak ke gunung
Tidar. Pertama kali kami diajak adalah mengantarkan Jaka
Purwana pulang dan rencananya sekaligus kami akan diajak
bergabung dengan Sapta Dhahana.”
“Jadi, engkau sekali pun belum pernah bertemu dengan orang
yang menyebut dirinya Trah Sekar Seda Lepen itu?” bertanya Ki
Gede kemudian untuk menegaskan keterlibatan Acarya.
Kembali Acarya menggeleng. Jawabnya kemudian, “Kami bertiga
hanya mengetahui diajak kerumah Ki Dukuh untuk mengantar
32
Jaka Purwana. Namun dari Ki Dukuh kami mendengar bahwa
Sapta Dhahana telah jatuh dan Kiai Damar Sasangka telah tewas
ditangan Ki Rangga.”
“Itulah agaknya gurumu merasa penasaran dan ingin mencoba
kesaktian Ki Rangga,” sela Ki Gede kemudian dengan serta merta.
“Ki Gede benar,” jawab Acarya sambil mengangguk, “Pada
awalnya hanya aku yang diajak untuk mencari Ki Rangga di
perdikan Matesih.”
“Bagaimana dengan kedua saudaramu yang lain,” desak Ki Wiyaga
kemudian.
Sejenak Acarya menarik nafas dalam dalam. Namun dia merasa
sudah tidak ada gunanya lagi bersembunyi. Dia sama sekali sudah
tidak mempunyai sandaran yang kuat. Maka jawabnya kemudian,
“Pada saat kami datang di rumah Ki Dukuh menjelang tengah
malam, ada seseorang yang berusaha menyadap pembicaraan
kami sehingga guru telah memerintahkan adi Brajayekti dan adi
Panengah untuk melacak keberadaan orang itu dan sekaligus
menghabisinya.”
Berdesir dada kedua orang itu mendengar penjelasan Acarya. Ki
Gede lah yang kemudian bertanya, “Siapakah yang engkau
maksud dengan seseorang itu?”
Kembali Acarya menarik nafas dalam terlebih dahulu sebelum
menjawab. Kejadian malam itu memang telah menyisakan
penyesalan yang dalam dengan terbunuhnya Brajayekti.
“Yang mencoba menyadap pembicaraan kami adalah Jagabaya
dukuh Klangon,” jawab Acarya yang membuat Ki Gede dan Ki
Wiyaga terkejut.
33
“Jagabaya dukuh Klangon?” hampir bersamaan kedua orang itu
mengulang dengan wajah yang menegang.
“Ya, tetapi dia berhasil lolos bahkan telah membunuh adi
Brajayekti,” lanjut Acarya kemudian tanpa menghiraukan kedua
orang itu yang menjadi tegang, “Namun aku yakin, Jagabaya itu
pun akhirnya akan mati juga. Dia melarikan diri dengan luka
arang kranjang di sekujur tubuhnya.”
Ki Gede dan Ki Wiyaga menjadi sedikit gelisah. Ki Jagabaya
dukuh Klangon adalah salah satu orang di padukuhan Klangon
yang menentang pengaruh Trah Sekar Seda Lepen dan
berseberangan dengan atasannya, Ki Dukuh Klangon.
“Dimanakah sekarang Ki Jagabaya dukuh Klangon?” desis Ki
Wiyaga kemudian tanpa sadar.
“Mungkin dia telah mati kehabisan darah di pategalan dekat
rumah Ki Dukuh,” jawab Acarya sambil lalu yang membuat wajah
Ki Wiyaga memerah. Namun Ki Wiyaga segera menyadari jika apa
yang disampaikan Acarya itu mungkin saja bisa terjadi.
“Baiklah Acarya,” berkata Ki Gede kemudian, “Kami akan
mempertimbangkan peranmu dalam peristiwa yang baru saja
terjadi di banjar padukuhan tadi pagi. Percayalah, kami tidak akan
menghukum orang yang tidak bersalah dan hanya ikut ikutan saja.
Untuk sementara engkau akan kami pindahkan ke Griya
Dharmamesti sambil menunggu keputusan.”
Acarya tidak menjawab. Hanya kepalanya saja yang tertunduk
dalam-dalam. Berbagai penyesalan pun merajam dadanya.
Namun dia hanya dapat pasrah terhadap jantraning ngaurip yang
akan membawanya entah ke mana.
34
“Ki Wiyaga,” berkata Ki Gede kemudian kepada kepala pengawal
Matesih itu, “Sore ini Acarya segera dipindah ke Griya
Dharmamesti. Beberapa saat yang lalu Ki Jagabaya Matesih juga
telah dipindahkan ke sana.”
“Ki Jagabaya Matesih?” bertanya Ki Wiyaga dengan suara sedikit
meragu sambil pandangan matanya menatap Ki Gede.
Ki Gede menarik nafas dalam sambil berdesis perlahan,
“Pengaruh Trah Sekar Seda Lepen itu memang telah banyak
menimbulkan korban, salah satunya adalah Ki Jagabaya Matesih
yang secara terang terangan ingin menculik Ratri. Untunglah ada
murid Ki Ajar Mintaraga yang telah berhasil menggagalkannya.”
Tampak kepala Ki Wiyaga terangguk anguuk. Dalam hati
pemimpin pengawal Matesih itu pun berkata, “Pantas selama ini
Ki Jagabaya selalu berseberangan pendapat denganku dan dengan
para bebahu Matesih yang lain.”
Namun Ki Wiyaga hanya membatin dalam hati. Tidak sampai
mengungkapkannya di hadapan Ki Gede.
Demikianlah, setelah Ki Wiyaga mengikat kedua tangan Acarya
kembali kebelakang tiang di tengah bilik itu, kedua orang itu pun
kemudian meninggalkan bilik.
“Selaraklah yang kuat dari luar bilik dan awasi jangan sampai
tawanan ini meloloskan diri!” perintah Ki Gede kemudian kepada
kedua pengawal yang berjaga sebelum meninggalkan tempat.
“Siap Ki Gede!” jawab kedua pengawal itu hampir bersamaan
sambil mengangguk hormat.
Dalam pada itu Matahari telah semakin condong ke arah barat.
Sinarnya yang kekuning kuningan telah menimpa pucuk pucuk
35
dedaunan serta lereng lerang bukit sehingga alam terlihat
bertabur warna kuning keemasan indah mempesona.
Dalam pada itu, para pengawal yang sedang bertugas jaga di
banjar padukuhan ternyata telah diganti dengan pengawal yang
baru. Para pengawal yang bertugas jaga semenjak pagi, menjelang
Matahari terbenam telah digantikan oleh pengawal baru yang
bertugas jaga malam.
Ketika Matahari kemudian benar benar telah terbenam dan langit
Matesih telah diliputi oleh kegelapan. Beberapa orang tampak
sedang berkumpul di ruang pringgitan.
Ki Rangga dan kawan kawan kecuali Glagah Putih yang sedang
sakit telah selesai menunaikan kewajiban mereka selaku hamba
kepada Sang Pencipta. Setelah makan malam di ruang tengah
bersama Ki Gede dan Ratri, mereka pun kemudian berkumpul di
ruang pringgitan.
“Apakah Ki Kamituwa perlu kita tunggu, Ki Gede?” bertanya Ki
Rangga kemudian begitu melihat Ki Gede yang terlihat sedikit
gelisah.
“Sebaiknya memang demikian, Ki Rangga,” jawab Ki Gede sambil
melemparkan pandangan matanya ke arah pintu pringgitan yang
terbuka sejengkal, “Sebelum selesai pemakaman tadi aku sudah
memberitahu Ki Kamituwa untuk hadir di banjar selepas Matahari
terbenam.”
Orang orang yang hadir di tempat itu pun tampak mengangguk
anggukkan kepala.
Namun ternyata mereka tidak harus menunggu lama. Sejenak
kemudian terdengar langkah langkah yang sedikit bergegas
menyeberangi pendapa. Ketika pintu pringgitan yang sudah
36
terbuka sejengkal itu terdengar berderit, seraut wajah pun muncul
dari balik pintu.
“Apakah aku sudah terlambat?” bertanya Ki Kamituwa yang
kemudian membuka pintu pringgitan dan melangkah masuk.
“O, tidak tidak,” jawab Ki Gede sambil sedikit beringsut memberi
tempat duduk kepada babahunya itu, “Duduklah Ki Kamituwa.”
“Terima kasih Ki Gede,” sahut Ki Kamituwa kemudian sambil
mengangguk dan tersenyum ke arah orang orang yang terlebih
dahulu sudah hadir di ruangan itu.
“Silahkan Ki Kamituwa,” Ki Rangga dan Ki Waskita pun hampir
bersamaan telah mempersilahkan.
Setelah Ki Kamituwa mengambil tempat duduk di sebelah Ki
Gede, barulah Ki Gede memulai pertemuan itu.
“Ki Rangga,” berkata Ki Gede kemudian membuka pertemuan,
“Sebelumnya tidak bosan bosannya aku mewakili seluruh kawula
Matesih untuk mengucapkan ribuan terima kasih atas bantuan Ki
Rangga dan kawan kawan. Perdikan Matesih sampai saat ini
masih berdiri kokoh tidak kurang suatu apapun adalah berkat
pertolongan Ki Rangga dan kawan kawan.”
“Ah, semua itu sudah menjadi kewajiban kami Ki Gede,” sahut Ki
Rangga dengan serta merta, “Namun apa yang kita raih sampai
saat ini tentu tidak terlepas dari pertolongan dan rahmat dari
Yang Maha Agung.”
“Apa yang sampaikan oleh Ki Rangga benar adanya,” sahut Ki
Waskita sambil mengangguk anggukkan kepalanya, “Kadangkala
dalam kehidupan keseharian, kita terlalu percaya dengan
kemampuan dan kekuatan sendiri sehingga telah lupa akan kuasa
37
Yang Maha Agung yang menentukan mobah mosiking jagad kang
gumelar ini.”
Orang-orang yang hadir di tempat itupun tampak mengangguk
anggukkan kepala mereka. Sejenak suasana menjadi sunyi.
Sesekali lamat lamat terdengar gelak tawa para penjaga regol
depan banjar padukuhan induk.
“Ki Rangga,” berkata Ki Gede kemudian memecah kesepian, “Jika
memang keadaan memungkinkan, rencananya besuk pagi pagi
sekali aku beserta Ratri dan beberapa pengawal akan berangkat ke
Menoreh.”
Sejenak Ki Rangga tampak mengedarkan pandangan matanya ke
arah sekelilingnya. Agaknya dia mencoba melihat kesan yang
tersirat di wajah orang orang tua itu. Namun baik Ki Jayaraga
maupun Ki Waskita tampak tenang tenang saja. Apalagi Ki Bango
Lamatan. Orang yang pernah menjadi kepercayaan Panembahan
Cahya Warastra itu justru telah menundukkan wajahnya.
Bagaimanapun juga dia merasa enggan jika harus kembali ke
nDalem Kapangeranan, duduk terkantuk-kantuk sambil
menunggu perintah.
“Ki Gede,” berkata Ki Rangga pada akhirnya, “Aku memang
mempunyai kepentingan untuk menghadap Ki Patih secepatnya.
Selain untuk memberikan laporan terkait telah jatuhnya
padepokan Sapta Dhahana, aku juga akan melaporkan tentang
gerakan Trah Sekar Seda Lepen yang menuju lembah antara
Merapi dan Merbabu. Sebelum gerakan Trah Sekar Seda Lepen itu
menjadi kuat, Mataram harus segera mengambil sikap.”
“Jadi, Ki Rangga akan menemani kami ke Menoreh?” bertanya Ki
Gede dengan nada sedikit meragu.
38
Ki Rangga mengangguk. Jawabnya kemudian, “Benar Ki Gede,
aku dan Ki Bango Lamatan akan menemani perjalanan Ki Gede.
Aku sarankan tidak usah membawa pengawal terlalu banyak agar
perjalanan rombongan kita nantinya tidak terlalu menarik
perhatian.”
“Mungkin dua atau tiga pengawal cukup,” sahut Ki Gede
kemudian, “Mereka yang nantinya akan menemani aku kembali ke
Matesih.”
“Ayah langsung kembali ke Matesih?” tiba tiba terdengar desis
lirih dari balik punggung Ki Gede. Orang orang yang hadir di
ruangan itupun maklum, tentu Ratri yang bertanya kepada
ayahnya.
“Nduk, aku tidak dapat berlama lama meninggalkan perdikan
Matesih,” jawab Ki Gede tak kalah lirihnya sambil berpaling ke
belakang, “Setelah engkau diterima menjadi murid Nyi Sekar
Mirah, sebaiknya memang aku segera kembali ke Matesih.”
“Tentu bukan urusan perdikan Matesih yang memberati hati ayah,
tapi janda beranak satu itu yang membuat ayah ingin segera
pulang,” membatin Ratri dalam hati sambil menundukkan
wajahnya dalam dalam agar ayahnya tidak dapat menangkap
kesan di wajahnya.
“Engkau sudah bukan kanak kanak lagi,” kembali ayahnya
berdesis pelahan sambil menengok sekilas, ”Ayah tidak harus
menungguimu siang dan malam di Menoreh.”
“Tentu saja ayah lebih senang menunggui janda beranak satu itu
dari pada menunggui aku,” kata kata itu hampir saja terlontar dari
mulutnya. Namun kesadarannya segera mencegahnya sehingga
Ratri pun menjadi sedikit tersedak.
39
“Ki Rangga,” berkata Ki Gede kemudian sambil mengarahkan
pandangan matanya ke Senapati pasukan khusus Mataram yang
berkedudukan di Menoreh itu, “Selama perdikan Matesih aku
tinggal, aku mohon Ki Jayaraga dan Ki Waskita membantu Ki
Kamituwa untuk mengawasi keadaan dan sekaligus membantu
jika timbul permasalahan yang di luar dugaan.”
“O, dengan senang hati Ki Gede,” jawab Ki Jayaraga dengan serta
merta, “Sudah lama aku merindukan menjadi bebahu sebuah
kademangan atau perdikan. Setidaknya tenaga tuaku ini masih
dibutuhkan dari pada hanya duduk terkantuk kantuk menunggu
burung di sawah.”
“Ah,” semua yang mendengar kelakar Ki Jayaraga tertawa. Ki
Bango Lamatanlah yang kemudian menyahut, “Salah Ki Jayaraga
sendiri, mengapa burung burung yang berada di sawah itu di
tunggu? Jika Ki Jayaraga takut mereka akan mencuri padi, usir
saja mereka jauh jauh. Nah, setelah semua burung pergi, Ki
Jayaraga dapat tidur pulas di dalam gubuk.”
“Ah,” Ki Jayaragatertawa pendek. Jawabnya kemudian, “mengusir
burung burung di sawah adalah pekerjaan yang sangat sulit. Jika
aku mengusir yang berada di selatan, yang di utara akan datang
menyerbu. Demikian aku ganti mengusir yang datang dari arah
utara, yang dari arah lain berdatangan. Benar benar melelahkan.”
“Bukankah Ki Jayaraga dapat membuat orang orangan di sawah?”
sela Ki Waskita sambil tersenyum.
“Orang orangan di sawah itu tidak banyak membantu,” jawab Ki
Jayaraga setengah menggerutu, “Mereka hanya takut sekejap dan
kemudian kembali lagi.”
Orang orang yang di ruangan itu pun kembali tertawa.
40
“Sudahlah,” berkata Ki Rangga kemudian, “Agaknya di perdikan
Matesih ini Ki Jayaraga dapat melamar pekerjaan sebagai bebahu
perdikan Matesih,” Ki Rangga berhenti sebentar. Kemudian
sambil berpaling ke arah Ki Gede, dia melanjutkan, “Bukankah
begitu Ki Gede?”
“O, tentu tentu,” sahut Ki Gede cepat, “Kami akan sangat
bersenang hati mendapat tenaga baru sebagai tambahan bebahu
di perdikan Matesih ini.”
Tiba-tiba Ki Jayaraga memandang dengan sungguh sungguh ke
arah Ki Gede sambil bertanya, “Jabatan apakah kira kira yang
akan Ki Gede berikan kepadaku?”
Untuk sejenak Ki Gede berpikir. Jawabnya kemudian sambil
tersenyum, “Ki Jayaraga akan aku beri jabatan sebagai Jagatirta.”
“Ah,” desah Ki Jayaraga kemudian sambil tersenyum kecut, “Itu
sama saja. Ujung ujungnya aku harus tetap mengurusi sawah dan
burung burung pencuri padi itu.”
Kembali orang orang yang di ruangan itu tergelak.
Tiba-tiba terdengar pintu ruang tengah berderit. Sejenak
kemudian tiga orang perempuan muncul dengan masing masing
membawa nampan yang berisi makanan dan minuman.
Setelah ketiga perempuan tadi selesai meletakkan makanan dan
minuman, ketiganya pun kemudian segera mengundurkan diri.
“Ki Rangga,” berkata Ki Gede kemudian begitu bayangan ketiga
perempuan itu hilang di balik pintu, “Aku akan melaporkan
perkembangan terakhir yang terjadi di perdikan Matesih. Jika Ki
Rangga dan kawan kawan tidak berkeberatan, sudilah kiranya
memberikan pertimbangan.”
41
“O, tentu saja Ki Gede. Kami dengan senang hati akan
membantu,” sahut Ki Rangga cepat. Kawan kawan Ki Rangga yang
lain pun tampak mengangguk anggukkan kepala mereka.
Untuk sejenak Ki Gede tampak menegakkan punggungnya sambil
menarik nafas dalam dalam. Katanya kemudian, “Kami telah
menawan salah seorang murid goa Langse yang bernama putut
Acarya,” Ki Gede berhenti sejenak untuk melihat tanggapan orang
orang yang hadir di pringgitan itu. Ketika mereka tampak hanya
menunggu, Ki Gede pun melanjutkan, “Pagi tadi ketika aku dan
rombongan termasuk Ki Bango Lamatan datang di bajar ini, para
penjaga regol depan sedang kesulitan menghadapi seorang
pengacau yang mengaku sebagi murid goa Langse. Setelah orang
itu berhasil dilumpuhkan, dia kemudian kami tawan dan sore tadi
telah dipindah ke Griya Darmamesti.”
Ki Rangga dan kawan kawan tampak mengerutkan keningnya. Ki
Bango Lamatan yang ikut rombongan Ki Gede tadi pagi pun juga
telah melupakan peristiwa di depan regol itu karena perhatiannya
tercurah pada pertempuran yang dahsyat di belakang banjar.
“Bagaimana keadaan tawanan itu sekarang Ki Gede?” bertanya Ki
Rangga kemudian setelah sejenak mereka terdiam.
“Tawanan itu baik baik saja Ki Rangga,” jawab Ki Gede kemudian
sambil beringsut sejengkal, “Namun dari hasil penyelidikan,
ternyata Pertapa goa Langse dan murid-muridnya itu ada
hubungannya dengan Trah Sekar Seda Lepen.”
“He?!” hampir semua orang terkejut kecuali Ratri. Gadis puteri
Matesih itu sama sekali tidak mengikuti arah pembicaraan
ayahnya. Pikirannya sedang terbuai dengan rencana
keberangkatannya ke perdikan Menoreh besuk pagi.
42
“Alangkah senangnya melakukan perjalanan di antara sawah dan
ladang serta bulak bulak panjang di daerah daerah yang belum
pernah aku kunjungi,” membatin Ratri sambil menundukkan
wajahnya dalam dalam. Tampak bibirnya yang bak manggis
karengat itu tak henti hentinya tersenyum-senyum.
“Benar Ki Rangga,” berkata Ki Gede selanjutnya, “Lebih tepatnya
lagi, kedatangan mereka jauh jauh dari pantai Selatan adalah
untuk bergabung dengan padepokan Sapta Dhahana.”
“Dan ternyata mereka mendengar Sapta Dhahana telah jatuh,”
sahut Ki Rangga cepat.
“Benar Ki Rangga,” kembali Ki Gede melanjutkan keterangannya,
“Menurut pengakuan tawanan itu, mereka mengetahui keadaan
Sapta Dhahana dari Ki Dukuh Klangon.”
“Ki Dukuh Klangon?” Ki Rangga dan kawan kawannya pun
terperanjat. Mereka memang mempunyai kenangan yang sangat
pahit ketika bermalam di banjar padukuhan Klangon.
“Ki Dukuh Klangon dan beberapa bebahu padukuhan adalah
korban janji janji dari Trah Sekar Seda Lepen,” berkata Ki Gede
kemudian yang membuat mereka yang hadir di pringgitan itu
terangguk angguk, “Kecuali Ki Jagabaya dukuh Klangon yang
telah membantu menghubungkan aku dengan Ki Rangga dan
kawan kawan saat itu.”
Ki Rangga dan orang orang tua itu pun segera teringat pertemuan
mereka pertama kali dengan Ki Gede karena jasa dari Ki Jagabaya
dukuh Klangon.
“Menurut cerita putut Acarya, ternyata Ki Jagabaya dukuh
Klangon semalam telah bertempur dengan kedua murid goa
43
Langse itu dan terluka cukup parah,” sambung Ki Gede kemudian
yang membuat mereka yang hadir di tempat itu terkejut.
“Bagaimana itu bisa terjadi?” bertanya Ki Bango Lamatan
kemudian sambil tangannya meraih minuman dan mereguknya.
Ki Gede pun kemudian segera menceritakan apa yang telah
disampaikan oleh Acarya.
“Kasihan Ki Jagabaya dukuh Klangon,” tanpa sadar Ki Jayaraga
berdesis perlahan, “Dimanakah kira kira Ki Jagabaya dukuh
Klangon sekarang?”
Sejenak mereka yang berada di dalam pringgitan itu saling
berpandangan. Namun Ki Waskita lah yang kemudian
menemukan jawaban yang tepat, “Semoga Yang Maha Agung
selalu memberikan perlindungan kepada Ki Jagabaya.”
Segera saja terdengar tarikan nafas yang dalam dari mereka yang
hadir di tempat itu.
“Ki Gede,” berkata Ki Rangga kemudian setelah sejenak mereka
terdiam, “Langkah apakah yang akan Ki Gede ambil terhadap
padukuhan Klangon selanjutnya?”
Ki Gede menggeleng sambil berdesis, ”Padukuhan Klangon tidak
termasuk dalam wilayah perdikan Matesih sehingga aku tidak
berhak mencampuri urusan mereka.”
“Jadi padukuhan Klangon tidak di bawah Matesih?” bertanya Ki
Jayaraga kemudian menegaskan.
“Tidak Ki Jayaraga, padukuhan Klangon dan Salam serta beberapa
padukuhan kecil yang tersebar di sebelah utara kali Krasak adalah
di bawah kademangan Salam,” jawab Ki Gede kemudian yang
44
disambut dengan anggukan kepala oleh mereka yang hadir di
pringgitan itu.
“Justru Ki Rangga dan kawan kawanlah yang mungkin
mempunyai kewajiban untuk menghukum atau setidaknya
menegur padukuhan Klangon,” berkata Ki Gede kemudian, “Atas
nama Mataram dan tugas yang Ki Rangga emban beserta kawan
kawan, Ki Rangga dapat memberikan teguran kepada Ki Dukuh
Klangon.”
Tampak semua mata tertuju kepada Ki Rangga. Ki Rangga pun
tanggap, maka katanya kemudian sambil menggeleng, “Sebaiknya
kita tidak usah mampir ke padukuhan Klangon dalam perjalanan
besuk pagi. Dengan jatuhnya Padepokan Sapta Dhahana dan telah
menyingkirnya Trah Sekar Seda Lepen berserta sisa-sisa cantrik
padepokan Sapta Dhahana dari gunung Tidar, Ki Dukuh sudah
tidak mempunyai kekuatan sama sekali.”
“Aku setuju Ki Rangga, biarlah persoalan Ki Dukuh Klangon
menjadi perhatian kademangan Salam” sahut Ki Waskita dengan
serta merta.
Semua kepala terlihat terangguk angguk kecuali Ratri. Dengan
kening berkerut dia mencoba mengangkat wajahnya untuk
memandang orang yang bernama Ki Rangga itu. Namun dengan
cepat dia segera membuang wajahnya begitu Ki Rangga tanpa
sengaja juga sedang memandangnya.
“Ah,” membantin Ratri kemudian, “Untung Ki Rangga tidak
setuju. Jika masih harus mampir di padukuhan Klangon, kapan
sampainya di Menoreh? Ayah ini ada ada saja.”
Namun puteri Matesih yang menginjak dewasa dengan segala
kelebihannya itu hanya dapat menggerutu dalam hati.
45
“Nah, apakah masih ada masalah yang ingin kita bicarakan lagi?”
bertanya Ki Rangga kemudian sambil berpaling ke arah Ki Gede.
Ki Gede yang mendapat pertanyaan itu justru telah berpaling ke
arah Ki Kamituwa.
Ki Kamituwa yang tanggap segera beringsut setapak ke depan.
Setelah membenahi letak kain panjangnya, Ki Kamituwa pun
kemudian menganggukkan kepalanya terlebih dahulu sebelum
menjawab.
“Ki Rangga,” jawab Ki Kamituwa kemudian, “Aku mempunyai
saran. Keberangkatan rombongan ke Mataram besuk pagi
sebaiknya tidak usah banyak yang mengetahuinya. Aku khawatir
ada pihak pihak yang akan memanfaatkan kekosongan perdikan
Matesih ini. Bukan berarti aku meragukan bantuan dari Ki
Waskita dan Ki Jayaraga yang tinggal di Matesih ini. Namun
dengan kepergian Ki Gede beserta rombongan meninggalkan
Matesih untuk beberapa lama, mungkin akan ada pihak pihak
tertentu yang akan memanfaatkan kekosongan Matesih, terutama
kepergian Ki Rangga.”
“Ki Kamituwa benar,” Ki Gede lah yang dengan serta merta
menyahut, “Kepergian rombongan ini besuk pagi harus kita
usahakan tidak banyak yang mengetahuinya. Kita dapat berangkat
pagi pagi sekali sebelum Matahari benar benar terbit sehingga
ketika sudah benar benar terang tanah, rombongan sudah sampai
di luar perdikan Matesih.”
Tampak semua kepala terangguk angguk. Diam diam Ki Rangga
memuji ketelitian dan kejelian orang tua itu dalam membaca
keadaan di Matesih. Memang kemungkinan itu ada walaupun
dapat dikatakan sangat kecil. Namun jika berita kepergiannya dari
perdikan Matesih itu sampai ke telinga Trah Sekar Seda Lepen,
tidak menutup kemungkinan pasukan cantrik Sapta Dhahana
46
yang sudah meninggalkan gunung Tidar akan memutar haluan
dan memutuskan untuk menyerang Matesih. Jika hal itu benar
benar terjadi, Matesih tentu akan dilanda banjir bandang dan
tumpes tapis warata bumi.
“Baiklah,” berkata Ki Rangga kemudian setelah sejenak mereka
terdiam, “Pertimbangan seperti itu memang perlu. Namun aku
kira itu tidak perlu Ki Gede. Menurut perhitunganku, pasukan
cantrik Sapta Dhahana dan Trah Sekar Seda Lepen itu sekarang
ini pasti sudah jauh meninggalkan gunung Tidar. Mereka tidak
mungkin atau kecil kemungkinannya meninggalkan seorang
pengawas atau petugas sandi untuk mengamati keadaan perdikan
Matesih. Mereka sudah tidak mempunyai kepentingan lagi dengan
perdikan Matesih. Mereka sudah memutuskan untuk bergabung
dengan padepokan Panembahan Agung di lembah antara Merapi
dan Merbabu,” Ki Rangga berhenti sejenak untuk sekedar
mengambil nafas. Lanjutnya kemudian, “Namun tidak ada
jeleknya langkah langkah pengamanan tetap kita ambil.”
“Aku setuju,” sahut Ki Waskita dengan serta merta, “Memang
menurut perhitungan, semua itu dapat saja terjadi. Namun aku
yakin sebagaimana angger juga telah yakin bahwa pasukan cantrik
Sapta Dhahana itu pasti sudah jauh meninggalkan gunung Tidar.
Jika mereka mendengar berita kepergian angger dari Matesih ini
dan ingin berbalik untuk menyerang Matesih, mereka tentu
memerlukan waktu dan aku bersama Ki Jayaraga masih ada
waktu untuk menyusun rencana.”
“Ki Waskita benar,” sahut Ki Rangga kemudian sambil
mengangguk angguk, “Kita juga dapat menempatkan beberapa
pengawal yang bertindak sebagai petugas sandi di sekitar gunung
Tidar untuk memantau jika pasukan cantrik Sapta Dhahana itu
memutuskan untuk kembali.”
47
“Aku sangat setuju, Ki Rangga,” Ki Kamituwa ternyata juga ikut
memberikan pendapatnya, “Aku kira itu adalah jalan yang terbaik.
Aku akan memerintahkan Ki Wiyaga untuk menempatkan
beberapa pengawas di sekitar gunung Tidar dengan membawa
perlengkapan panah sendaren dan panah api, agar apa yang
mereka lihat dapat segera disampaikan ke Matesih.”
Untuk sejenak orang orang yang hadir di ruangan itu terlihat
terangguk-angguk. Mereka sekarang menjadi yakin seandainya
berita kepergian Ki Gede dan Ki Rangga itu tercium oleh Trah
Sekar Seda Lepen, perdikan Matesih masih cukup waktu untuk
mempersiapkan diri.
Untuk sejenak suasana menjadi sepi. Masing masing sedang
terbuai oleh lamunan tentang kemungkinan kemungkinan yang
dapat terjadi di perdikan Matesih beberapa hari ke depan.
“Di manakah Ki Wiyaga?” tiba-tiba pertanyaan Ki Waskita
membangunkan lamunan mereka.
“Ki Wiyaga dan pasukan pengawal yang baru datang tadi pagi
mendapat istirahat barang dua hari,” jawab Ki Gede kemudian
sambil berpaling ke arah Ki Waskita, “Mungkin baru lusa Ki
Wiyaga akan bertugas kembali.”
Ki Waskita pun mengangguk-angguk. Demikian juga orang orang
yang hadir di ruangan itu.
“Ki Gede,” berkata Ki Rangga kemudian setelah sejenak mereka
berdiam diri, “Besuk pagi kita dapat meninggalkan perdikan
matesih dengan tenang,” Ki Rangga berhenti sejenak. Lanjutnya
kemudian, “Selain itu, aku yakin dengan keberadaan Ki Waskita
dan Ki Jayaraga di perdikan ini, akan dapat mrantasi segala
permasalahan yang mungkin timbul.”
48
“Ah,” hampir bersamaan Ki Waskita dan Ki Jayaraga tertawa
masam. Ki Jayaraga lah yang kemudian menyahut, “Itu
tergantung masalah apa yang timbul kemudian? Jika masalah
pengairan di sawah serta burung burung yang banyak mencuri
bulir bulir padi, mohon dimaafkan aku sudah lama
mengundurkan diri.”
Segera saja gelak tawa kembali memenuhi ruangan itu.
“Ah, sudahlah,” berkata Ki Rangga kemudian sambil memandang
ke sekitarnya, “Aku rasa pertemuan malam ini sudah cukup.
Besuk pagi pagi sekali sebelum Matahari terbit, aku harap yang
telah kita sepakati bersama malam ini dapat dilaksanakan.”
Terlihat setiap kepala pun terangguk angguk.
“Setiap pribadi mempunyai tanggung jawab sendiri sendiri. Aku
berharap rencana yang sudah kita susun bersama ini, dapat
terlaksana dan berjalan dengan ridho dan seijin Yang Maha
Agung,” lanjut Ki Rangga kemudian.
Sekali lagi mereka yang hadir di ruang itupun terangguk-angguk.
Demikianlah pertemuan itu segera bubar. Ki Gede dan Ratri
memilih tidur di gandhok kanan. Sementara Ki Jayaraga dan Ki
Bango Lamatan segera kembali ke bilik Glagah Putih. Sedangkan
Ki Rangga dan Ki Waskita masih tampak berbincang bincang
dengan Ki Kamituwa.
“Ki Rangga,” berkata Ki Kamituwa kemudian sambil menegakkan
punggungnya, “Aku rasa sudah cukup. Besuk pagi-pagi aku akan
mengutus salah satu pengawal untuk menghubungi Ki Wiyaga
walaupun dia masih mendapat istirahat setelah bertugas di
gunung Tidar. Namun penempatan beberapa pengawal sebagai
49
pengawas atau petugas sandi di gunung Tidar itu harus sesegera
mungkin.”
“Benar Ki Kamituwa,” sahut Ki Rangga dengan serta merta,
“Sebaiknya besuk pagi pagi sekali sudah harus ada pengawal yang
diberangkatkan.”
“Baik Ki Rangga,” Ki Kamituwa berhenti sejenak. Lanjutnya
kemudian, “Berhubung malam sudah cukup larut, aku akan
mohon pamit.”
“O, silahkan silahkan,” jawab Ki Rangga dan Ki Waskita hampir
bersamaan.
“Kami juga akan beristirahat,” lanjut Ki Rangga kemudian.
Ketika Ki Kamituwa bangkit berdiri, kedua orang itu pun
kemudian ikut bengkit berdiri.
Demikianlah setelah Ki Kamituwa hilang di balik pintu pringgitan,
kedua orang itu pun kemudian segera melangkah meninggalkan
pringgitan menuju ke bilik di ruang tengah untuk beristirahat.
Dalam pada itu, malam semakin dalam menuju ke puncaknya.
Beberapa pengawal yang sedang bertugas jaga tampak berjalan
mondar mandir di depan pintu gerbang untuk menghilangkan
kantuk. Sementara pemimpin jaga malam itu telah mengajak dua
orang pengawal untuk mengadakan ronda keliling banjar.
Ki Rangga yang sudah terlelap sejenak terbangun ketika dia
mendapatkan Ki Waskita tidak ada di amben sebelahnya. Dengan
perlahan Ki Rangga bangkit dan kemudian duduk di bibir
pembaringan. Udara malam itu memang terasa cukup panas
sehingga kemungkinannya Ki Waskita telah keluar bilik untuk
sekedar mencari angin.
50
Dengan perlahan Ki Rangga pun kemudian bangkit berdiri dan
berjalan ke arah pintu bilik yang terlihat tidak diselarak dari
dalam.
“Kemanakah Ki Waskita?” bertanya Ki Rangga dalam hati sambil
membuka pintu. Terlihat ruang dalam banjar yang sepi dan
remang. Sebuah dlupak yang nyalanya redup tampak di atas ajug
ajug di pojok ruangan.
Ki Ranggapun kemudian meneruskan langkahnya menyeberangi
ruang dalam untuk memasuki pringgitan. Namun panggraita Ki
Rangga segera terusik ketika dia mendengar suara orang terbatuk
batuk kecil dari arah longkangan.
“Ki Waskita agaknya,” gumam Ki Rangga dalam hati sambil
berbelok tidak jadi memasuki pringgitan. Begitu melihat pintu
butulan yang tembus ke longkangan itu terlihat tidak diselarak, Ki
Rangga pun maklum bahwa Ki Waskita beberapa saat yang lalu
mungkin keluar ke longkangan lewat pintu itu.
Dengan setengah bergegas Ki Rangga segera menghampiri pintu
butulan. Ketika dia kemudian mendorong pintu itu, terdengar
derit perlahan dan suara seseorang yang bergumam di luar sana.
“Aku di sini, ngger,” tiba-tiba terdengar suara perlahan di sebelah
kiri pintu butulan ketika Ki Rangga menjengukkan kepalanya. Ki
Rangga pun tersenyum sambil melangkah keluar.
Setelah menutup pintu butulan terlebih dahulu, Ki Rangga pun
kemudian ikut duduk di amben besar yang berada di longkangan
itu.
“Udara terlalu panas,” desis Ki Waskita kemudian, “Aku melihat
angger yang tertidur lelap sehingga aku tidak sampai hati untuk
mengganggu.”
51
“Ya, ngger,” sahut Ki Waskita cepat, “Memang di dalam kitab Empu
Pahari itu tertulis laku terakhir dari aji pengangen-angen….
52
“Ah,” Ki Rangga berdesah perlahan. Sahutnya kemudian, “Aku
memang menyempatkan untuk beristirahat sejenak Ki Waskita.
Besuk perjalanan kami cukup jauh walaupun sebenarnya jika
kami berpacu kencang di atas kuda-kuda pilihan, waktunya tidak
sampai menjelang sore sudah memasuki tlatah kota Raja. Namun
aku harus memikirkan Ratri, dia mungkin belum terbiasa berpacu
kencang di atas punggung kuda.”
“Ya ngger,” berkata Ki Waskita menambahi, “Angger Sedayu tidak
usah tergesa-gesa melakukan perjalanan besuk pagi. Aku yakin
tidak sampai waktu sirep bocah, angger beserta rombongan sudah
sampai di istana Kepatihan.”
Ki Rangga mengangguk-anggukkan kepalanya. Terbayang
perjalanan yang sangat lambat. Namun dia harus bisa
menyesuaikan dengan putri satu satunya Ki Gede Matesih itu.
Bahkan tidak menutup kemungkinan mereka nantinya harus
beristirahat beberapa kali sebelum memasuki Mataram.
“Sebaiknya rombongan beristirahat di tepian kali Krasak,” berkata
Ki Rangga dalam hati sambil mengangguk-anggukkan kepalanya,
“Semoga dengan telah jatuhnya padepokan Sapta Dhahana, tidak
ada lagi orang orang yang mengatas-namakan pengikut Trah
Sekar Seda Lepen untuk mencari derma dan bantuan kepada
orang-orang yang lewat.”
“Ngger,” tiba tiba suara Ki Waskita membangunkan Ki Rangga
dari lamunannya, “Sebenarnya ada sesuatu yang ingin aku
bicarakan sehubungan dengan peringatan yang telah disampaikan
oleh Pertapa tua itu melalui Ki Jayaraga.”
Untuk sejenak Ki Rangga termenung. Berbagai persoalan pun hilir
mudik di dalam benaknya.
53
“Ki Waskita,” berkata Ki Rangga pada akhirnya, “Sebenarnya jauh
di dasar hatiku, sudah lelah dan jenuh dengan urusan dendam
yang tidak berkesudahan ini. Aku ingin hidup sewajarnya dalam
bingkai sebuah rumah tangga yang sederhana dan damai.”
Tampak kening ayah Rudita itu berkerut merut. Katanya
kemudian menanggapi, “Semua orang mempunyai keinginan
hidup damai. Namun sebagaimana angger ketahui sendiri,
keadaan di negeri ini tidak pernah damai. Perang silih berganti.
Perebutan kekuasaan selalu mewarnai pergantian pemimpin di
negeri ini,” Ki Waskita berhenti sejenak untuk sekedar menarik
nafas. Lanjutnya kemudian, “Angger Sedayu telah menetapkan
langkah dan membulatkan tekad untuk ikut mengambil peran
dalam setiap jejak sejarah di negeri ini. Sejak Panembahan
Senapati sampai sekarang, angger Sedayu telah menjadi bagian
dari prajurit Mataram yang harus menerima akibat yang timbul
dari setiap perintah dan kebijakan yang diambil oleh Mataram.”
Kembali Ki Rangga termenung. Ingatan Ki Rangga pun segera
terlempar ke masa lalu ketika dia oleh kakak laki laki satu-satunya
dengan perintah yang keras untuk segera meninggalkan Sangkal
Putung, dan pilihan akhirnya jatuh pada padepokan Jati Anom.
Betapa dia dan gurunya dibantu oleh paman dan adik sepupunya
telah bahu membahu membangun padepokan Jati Anom yang
nantinya diharapkan akan menjadi masa depannya.
“Pada awalnya aku dan guru sudah mantap untuk menetap di
padepokan kecil itu,” angan angan Ki Rangga pun melayang ke
masa-masa awal berdirinya padepokan Jati Anom, “Namun Sekar
Mirah sama sekali tidak menunjukkan ketertarikannya, bahkan
seolah mencemooh usaha yang telah aku rintis demi merajut masa
depan bersama puteri Ki Demang Sangkal Putung itu.”
54
Kembali sebuah tarikan nafas panjang dan dalam dari Ki Rangga
terdengar. Sementara Ki Waskita yang duduk di sebelahnya
agaknya maklum dengan apa yang sedang bergolak di dalam dada
Senapati pasukan khusus Mataram yang berkedudukan di
Menoreh itu.
“Ki Waskita,” berkata Ki Rangga kemudian setelah sejenak
keduanya terdiam, “Sebenarnya aku ingin mengajukan purna
tugas dari keprajuritan lebih awal, mungkin setelah lawatan kita
ke perguruan Jalatunda di gunung Penanggungan.”
“Ngger,” sela Ki Waskita dengan serta merta, “Yang menjadi
prajurit adalah angger, namun semua kehidupan angger tidak
hanya terkait dengan dunia keprajuritan. Ingat, keluarga juga
perlu diajak berbicara dengan rencana angger ini. Sekar Mirah
harus tahu dengan rencana angger. Dan juga yang lebih penting
lagi angger Sedayu harus dapat menjelaskan alasan alasan yang
masuk akal serta semua itu demi kepentingan kebahagiaan angger
sekeluarga.”
Tampak kepala Ki Rangga terangguk-angguk. Di setiap waktu
luangnya, Ki Rangga memang selalu mencoba menimbang untung
ruginya untuk mengambil waktu purna tugas lebih cepat. Bukan
berarti dia menghindari tugas yang memang dirasakan semakin
hari semakin berat serta semakin banyak saja orang-orang yang
mendendamnya. Namun lebih dari itu, sebenarnya Ki Rangga
mulai tersentuh untuk menerima tawaran Kanjeng Sunan
beberapa saat yang lalu, untuk mengunjungi pesantren di gunung
Muria dan lebih memperdalam ilmu kasampurnaning ngaurip
sebagai bekal menuju alam kelanggengan.
“Ngger,” suara Ki Waskita yang terdengar perlahan dan sareh itu
telah membangunkan Ki Rangga dari lamunannya, “Jika memang
angger Sedayu mempunyai rencana seperti itu, aku hanya dapat
55
mendoakan yang terbaik bagi keluarga angger. Namun yang ingin
aku bicarakan sekarang ini adalah persiapan angger untuk
sewaktu waktu menghadapi Pertapa tua itu.”
Sejenak Ki Rangga mendongakkan wajahnya. Dipandanginya atap
yang menghubungkan gandhok dengan banjar induk. Ketika Ki
Waskita kemudian terdengar bergumam perlahan, barulah Ki
Rangga menyadari bahwa orang tua itu sedang menunggu
jawabannya.
“Ki Waskita,” berkata Ki Rangga kemudian, “Aku teringat akan
laku terakhir dari rangkaian aji pengangen angen yang telah aku
dalami. Jika ada waktu yang cukup panjang, sebenarnya aku ingin
menuntaskan laku terakhir itu.”
“Ya, ngger,” sahut Ki Waskita cepat, “Memang di dalam kitab
Empu Pahari itu tertulis laku terakhir dari aji pengangen angen.
Namun sejauh pengetahuanku, belum ada satu pun dari
perguruanku, termasuk guruku sendiri yang mampu menjalani
laku terakhir itu.”
Kembali Ki Rangga menarik nafas dalam-dalam mendengar
keterangan Ki Waskita. Laku yang tertulis dalam kitab itu dan
telah terpahat di dinding hatinya memang sangatlah berat serta
memerlukan waktu yang panjang. Namun Ki Rangga yakin pasti
ada yang pernah mencoba menjalani laku itu walaupun mungkin
pada akhinya gagal di tengah jalan.
“Laku itu memang terlalu berat dan memakan waktu yang cukup
lama, sedangkan aku masih mengemban tugas yang cukup
banyak,” tanpa sadar Ki Rangga berdesis perlahan sambil
pandangan matanya menerawang ke kejauhan.
56
“Ya, ngger,” berkata Ki Waskita menanggapi. Lanjutnya
kemudian, Tiga hari tiga malam tapa ngalong, kemudian
diteruskan dengan tapa kungkum dan yang terakhir pati geni. Jika
di jumlahkan semuanya menjadi sembilan hari sembilan malam
tanpa makan tanpa minum dan disertai lelaku yang sangat berat.”
Tampak wajah Ki Rangga yang berkerut merut. Sepertinya dia
sedang mengingat ingat sesuatu. Katanya kemudian sambil
tesenyum, “Ki Waskita, aku mempunyai jawabannya. Apakah Ki
Waskita masih ingat dengan Panembahan Senapati ketika masih
bernama Raden Sutawijaya?”
Ki Waskita mengerutkan keningnya. Jawabnya kemudian, “Tentu
saja aku masih ingat, ngger. Semua orang di tanah ini akan selalu
mengingat Raden Sutawijaya yang kemudian bergelar
Panembahan Senapati ketika kemudian naik tahta.”
Ki Rangga mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya kemudian
melanjutkan, “Ki Waskita mungkin masih ingat ketika aku pernah
menceritakan sebuah laku Raden Sutawijaya yang luar biasa di
hutan Gendari. Tepatnya di sendang telu.”
Untuk sejenak wajah tua itu tampak berkerut merut. Ki Waskita
berusaha mengumpulkan ingatannya di masa lalu ketika
Panembahan Senapati masih berusia muda.
“Rasa-rasanya memang aku ingat, ngger,” jawab Ki Waskita
kemudian sambil beringsut setapak, “Kalau aku tidak salah, pada
waktu itu angger Sedayu sendiri yang telah bercerita kepada kami,
maksudku aku, gurumu dan Ki Widura di padepokan Jati Anom.”
“Ki Waskita benar,” sahut Ki Rangga cepat dengan wajah yang
tersenyum cerah, “Aku masih ingat pada waktu itu. Betapa laku
57
yang telah aku jalani yang waktunya hampir bersamaan dengan
laku Raden Sutawijaya ternyata sangat jauh berbeda, baik dalam
tingkat kesulitan maupun jenis laku itu sendiri.”
“Namun setiap laku yang kita jalani untuk tujuan tertentu tidak
dapat diperbandingkan, ngger,” sela Ki Waskita kemudian,
“Semua itu tergantung dari jenis ilmu yang kita pelajari dan kita
dalami. Laku Pati geni tiga hari tiga malam memang terdengar
lebih dasyat dari pada yang hanya sehari semalam. Namun semua
itu dikembalikan kepada niat dan tujuannya serta sejauh mana
diri kita ini bisa pasrah kepada Yang Maha Hidup, sumber dari
segala sumber kehidupan di alam semesta ini.”
Tampak kepala Ki Rangga terangguk angguk. Sebelum Ki Rangga
menanggapi, ternyata Ki Waskita telah melanjutkan kata katanya,
“Ngger, apa yang dilakukan oleh Raden Sutawijaya pada saat itu
sangatlah berbahaya. Apalagi dia seorang diri saja di hutan
Gendari itu. Tidak ada seorang pun yang menunggu atau paling
tidak mengawasinya.”
Tampak kerut merut di kening Ki Rangga. Bertanya Ki Rangga
kemudian, “Mengapa Ki Waskita berpendapat demikian?”
“Ngger,” jawab Ki Waskita kemudian dengan suara yang sareh,
“Tiga hari tiga malam bergantung pada sebuah cabang pohon yang
menjorok di salah satu sendang telu dan sekalian berendam, tentu
akan membawa akibat yang sangat berbahaya. Sendang itu tak
terukur dalamnya. Mungkin hanya sebatas dedek pengawe atau
mungkin bahkan lebih. Sehingga jika pada saat itu Raden
Sutawijaya kehilangan keseimbangan karena wadagnya sudah
tidak mendukung lagi, dia dapat terjatuh ke dalam sendang dan
tenggelam,” Ki Waskita berhenti sejenak untuk mengambil nafas.
Lanjutnya kemudian, “Dalam keadaan wajar, jatuh ke dalam
sebuah sendang seberapapun dalamnya mungkin tidak akan
58
banyak mendapatkan kesulitan jika mampu berenang. Namun
ketika kekuatan wadag sudah tidak mendukung lagi, maka yang
dapat terjadi adalah sangat mengerikan, dia dapat mati lemas
karena tenggelam.”
Kali ini wajah Ki Rangga tampak sedikit menegang dengan kerut
merut di kening yang semakin dalam. Memang apa yang
diutarakan Ki Waskita itu ada benarnya, dan kekuatan wadag
Raden Sutawijaya pada sasat itu memang sangat luar biasa.
“Bahkan hanya dengan istirahat sehari saja dan minum air
sendang serta makan daun daunan dan umbi umbian, Raden
Sutawijaya sudah mampu berjalan kaki kembali ke Mataram
malam itu juga,” membatin Ki Rangga dalam hati dengan
kekaguman yang tak habis habisnya, “Hanya dengan berjalan
kaki, benar benar luar biasa.”
Tiba-tiba Ki Rangga teringat sesuatu. Katanya kemudian dalam
hati, “Ah, aku tidak yakin jika saat itu Raden Sutawijaya benar
benar hanya mengandalkan kekuatan wadag saja untuk berjalan
kaki kembali ke Mataram. Bukankah salah satu guru Raden
Sutawijaya adalah Kanjeng Sunan Kali? Tidak menutup
kemungkinan Kanjeng Sunan Kali pun juga telah mengajarkan
doa untuk mempercepat perjalanan sebagaimana yang telah aku
terima dari Kanjeng Sunan Muria.”
Berpikir sampai disitu Ki Rangga hatinya menjadi sedikit tenang.
Dia dapat menggunakan doa itu sebagai sarana untuk
mempercepat perjalanannya ke sendang telu sehingga wadagnya
masih cukup kuat untuk memulai laku setibanya di alas Gendari
nantinya.
“Ngger,” tiba-tiba terdengar suara Ki Waskita yang membuyarkan
lamunannya, “Aku sarankan angger Sedayu menjalani laku itu
59
tidak sekaligus namun berurutan. Angger Sedayu dapat
mengambil istirahat sehari atau dua hari kemudian baru
menjalankan laku berikutnya. Demikian sampai tiga laku itu
selesai semuanya.”
“Namun waktunya akan sangat panjang, Ki Waskita,” sela Ki
Rangga dengan serta merta, “Dan aku tidak mempunyai waktu
sepanjang itu. Jika rencananya besuk aku ke Mataram, mungkin
aku dan rombongan harus menginap semalam di Kepatihan. Baru
esoknya pagi pagi sekali kami akan bernagkat ke Menoreh. Jika
tidak ada hambatan apapun, mungkin menjelang sirep uwong
baru sampai di Menoreh.”
“Dan angger tidak bisa langsung menuju Jati Anom,” potong Ki
Waskita cepat.
“Ki Waskita benar,” sahut Ki Rangga kemudian, “Aku harus
menunggu sampai keesokan harinya untuk meneruskan
perjalananku menuju ke Jati Anom.”
Untuk beberapa saat Ki Waskita termenung. Diam diam orang tua
itu ikut menghitung berapa hari yang diperlukan Ki Rangga dari
Matesih sampai ke Jati Anom jika perjalanan itu dilakukan terus
menerus tanpa henti.
“Tetapi itu tidak mungkin,” berkata Ki Waskita dalam hati,
“Tujuan perjalanan ini adalah untuk melaporkan peristiwa
jatuhnya padepokan Sapta Dhahana secara keseluruhan kepada Ki
Patih serta mengantar Ki Gede dan putrinya ke Menoreh.”
“Ki Waskita,” berkata Ki Rangga kemudian setelah sejenak
keduanya terdiam, “Nanti pada saat menghadap Ki Patih, selain
melaporkan tentang jatuhnya padepokan Sapta Dhahana, aku juga
akan melaporkan tentang paser beracun itu. Jika Ki Patih
60
nantinya membuat perhitungan perhitungan dan kesimpulan
untuk memburu Trah Sekar Seda Lepen ke lembah antara Merapi
dan Merbabu, tentu diperlukan persiapan yang matang,
maksudku, Ki Patih pasti menunggu laporan yang matang dari
para prajurit sandi yang akan di sebar sampai ke lembah antara
Merapi dan Merbabu itu untuk mengetahui kekuatan yang
sebenarnya atau paling tidak mendekati gambaran yang
sebenarnya. Dengan demikian Ki Patih akan mempunyai dasar
dan landasan untuk membentuk pasukan gabungan segelar
sepapan.”
“Dan itu akan memerlukan waktu,” sahut Ki Waskita dengan
cepat, “Mungkin di saat itulah angger Sedayu dapat minta ijin
kepada Ki Patih untuk melaksanakan rencana angger.”
Ki Rangga tampak mengangguk anggukkan kepalanya. Katanya
kemudian, “Tentu Ki Patih juga akan memerintahkan kepadaku
untuk menyiapkan pasukan khusus di Menoreh.”
“Tentu saja ngger,” Ki Waskita menimpali dengan cepat, “Namun
menyiapkan pasukan khusus tentu tidaklah sesulit dan serumit
menyiapkan pengawal Kademangan Kademangan atau tanah
perdikan. Pasukan khusus memang telah disiapkan untuk
bertempur setiap saat.”
Tampak kepala Ki Rangga terangguk angguk. Persiapan pasukan
gabungan segelar sepapan yang akan mengejar Trah Sekar Seda
Lepen sampai ke lembah antara Merapi dan Merbabu itu tentu
memerlukan waktu hampir dua pekan.
“Aku akan menyempatkan waktu dan menggunakan sebaik
baiknya,” berkata Ki Rangga dalam hati kemudian sambil
memandang ke arah kelamnya malam di kejauhan, “Tiga hari tiga
malam untuk menjalani laku terakhir itu, sedangkan untuk
61
perjalanannya aku akan menggunakan doa dari Kanjeng Sunan
agar perjalananku dipermudah dan dipersingkat. Semoga Yang
Maha Agung meridhoinya.”
“Ngger,” bertanya Ki Waskita kemudian menyadarkan Ki Rangga
dari lamunan, “Apakah angger telah memutuskan untuk
membawa kawan dalam menjalani laku itu?”
Ki Rangga berpikir sejenak. Namun sambil menggelengkan
kepalanya Ki Rangga pun akhirnya mejawab, “Tidak Ki Waskita.
Aku akan menjalani laku ini sendirian. Rasa-rasanya terlalu manja
jika dalam menjalani laku aku harus dilayani dan diawasi seperti
anak yang baru belajar berjalan.”
“Ah,” Ki Waskita berdesah perlahan sambil tersenyum masam.
Namun ingatan ayah rudita itu segera melayang kepada Raden
Sutawijaya yang kemudian bergelar Panembahan Senapati.
“Mungkin kekuatan batin serta kewadagan angger Sedayu saat ini
sudah dapat disejajarkan dengan Panembahan Senapati,
walaupun tidak seutuhnya” membatin Ki Waskita sambil
merenung, “Semoga saja Pertapa tua itu belum tergesa geesa
untuk melaksanakan ancamannya, sehingga angger Sedayu masih
mempunyai kesempatan untuk menyempurnakan ilmunya.”
Namun Ki Waskita sadar, tidak ada ilmu yang sempurna di muka
bumi ini. Namun setidaknya dengan menjalani laku terakhir dari
aji pengangen angen, Ki Rangga diharapkan telah siap
menghadapi ilmu Pertapa dari goa Langse yang ngedab edabi itu.
“Ngger,” berkata Ki Waskita kemudian setelah sejenak keduanya
terdiam, “Jika memang angger Sedayu memerlukan bantuan
dalam menjalani laku itu, aku akan menyediakan diri untuk
membantu. Jangan terlalu ewuh pekewuh atau merasa seperti
62
anak kecil yang selalu di awasi. Sepeninggal Kiai Gringsing, aku ini
dapat dikatakan sebagai gurumu, atau bahkan saudara tua
seperguruanmu dari jalur perguruan Empu Pahari. Jadi sudah
selayaknya jika aku akan mengawasi laku yang sangat berbahaya
ini.”
Namun keputusan dalam hati Ki Rangga sudah bulat. Keberadaan
Ki Waskita bersamanya nanti justru akan merepotkan. Bukan
dalam arti yang sebenarnya dalam menjalani laku itu sendiri,
namun Ki Rangga telah memutuskan untuk tetap merahasiakan
ilmu pangrupak jagad itu kepada siapapun, walaupun Glagah
Putih pernah mengalaminya. Namun sampai sejauh ini Ki Rangga
tidak pernah menjelaskannya kepada adik sepupunya itu.
“Maafkan aku Ki Waskita,” berkata Ki Rangga kemudian, “Tadi
sore Ki Gede telah memohon pertolongan kepada Ki Waskita dan
Ki Jayaraga untuk bersama sama membatu Ki Kamituwa dan Ki
Wiyaga mengawasi perdikan Matesih selama ditinggal Ki Gede.
Selain itu aku memang telah memutuskan untuk menjalani laku
itu sendirian.”
Tampak kepala orang tua itu terangguk angguk. Tidak tampak
kekecewaan pada wajahnya walaupun sekilas. Orang tua itu telah
percaya penuh kepada agul agulnya Mataram itu bahwa dia pasti
telah memperhitungkan dengan masak setiap langkah yang akan
diambilnya.
Sejenak suasana menjadi sunyi. Hanya terdengar suara jeritan
binatang malam dalam irama yang ajeg. Sesekali terdengar
keluhan burung kedasih jauh di atas pohon besar di kelokan jalan.
Sementara angin malam yang bertiup lembut telah menyegarkan
tubuh kedua orang itu.
63
Ketika terdengar suara kentongan dalam tabuh tiga, kedua orang
itu pun telah menggeliat dan kemudian bangkit dari duduknya.
“Marilah ngger,” berkata Ki Waskita kemudian, “Masih cukup
waktu untuk beristirahat sebelum Matahari benar benar terbit.”
“Ya Ki Waskita, aku juga akan meneruskan mimpiku,” sahut Ki
Rangga kemudian sambil berjalan nmengikuti langkah ayah
Rudita itu menuju pintu butulan.
Demikianlah akhirnya kedua orang itu kembali ke dalam bilik
mereka. Masih terdengar keduanya bergeremang sebelum masing
masing kemudian merebahkan diri di pembaringan.
Dalam pada itu malam pun telah semakin mendekati gagat rahina.
Beberapa pengawal yang berjaga di regol banjar tampak duduk
terkantuk-kantuk di gardu sebelah regol. Seorang pengawal yang
berbadan kurus tampak mencoba menghilangkan kantuk dengan
cara berjalan mondar-mandir di depan pintu regol yang terbuka.
Ketika lamat lamat terdengar suara panggilan untuk menunaikan
kewajiban kepada Sang Pencipta alam semesta telah terdengar
dari surau yang letaknya di sebelah kiri dari banjar padukuhan
induk, mereka yang berada di banjar itu pun telah terbangun dan
kemudian secara bergantian pergi ke pakiwan.
Setelah selesai menunaikan kewajiban, orang orang yang akan
pergi ke Menoreh itupun segera bersiap.
Demikianlah ketika Matahari masih belum menampakkan
sinarnya, tampak enam ekor kuda yang cukup tegar telah siap di
halaman banjar. Begitu pintu pringgitan berderit terbuka, yang
pertama keluar adalah Ki Gede dan Ratri, barulah kemudian Ki
Rangga dan Ki Waskita berjalan mengikuti di belakang.
64
Untuk beberapa saat Ki Rangga dan Ki Gede serta Ratri terlihat
segera menghampiri kuda masing-masing. Setelah membenahi
letak pelana serta bekal yang diikatkan pada pelana kuda masing-
masing, ketiga orang itu pun segera naik ke punggung kuda
masing-masing. Sementara kedua pengawal yang akan mengikuti
ke Menoreh tampak sudah siap sedari tadi.
Dalam pada itu, Ratri yang berpakaian laki-laki itu memang
terlihat sangat menarik perhatian. Sebagai seorang laki-laki muda,
wajahnya terlihat terlalu halus dan tampan. Demikian juga jari
jemarinya terlihat lentik dan berkulit halus mulus. Setiap orang
yang berpapasan pasti akan tertarik untuk memperhatikan lebih
jauh.
Agaknya Ki Rangga tanggap akan hal itu, maka katanya kemudian,
“Ki Gede, sebaiknya Ratri menggunakan sebuah caping untuk
sekedar menutupi wajahnya.”
Ratri yang mendengar kata-kata Ki Rangga itu mejadi sedikit
jengah sehinga tampaklah warna pipinya yang ranum kemerah-
merahan.
Ki Gede tertawa pendek mendengar usul Ki Rangga itu. Maka
jawabnya kemudian, “Sebaiknya memang demikian.”
Kemudian sambil berpaling ke salah seorang pengawal yang
berdidiri termangu-mangu dekat tlundak pendapa, Ki Gede
berkata, “Carilah sebuah caping di dapur. Memang sebaiknya
sejauh mungkin kita menghindari persoalan dalam perjalanan.”
Tampak semua kepala terangguk-angguk. Sementara pengawal itu
pun segera bergegas lewat longkangan menuju dapur.
65
Sejenak kemudian pengawal itu telah kembali dengan sebuah
caping yang sangat sederhana dan tidak begitu lebar.
“Pakailah!” berkata Ki Gede kemudian kepada anak perempuan
satu satunya itu begitu melihat Ratri sedikit ragu-ragu menerima
caping itu.
Memang tidak ada pilihan lain. Ratri pun kemudian segera
menerima caping itu dan memakainya di atas kepalanya. Caping
itu memang tidak terlalu lebar sehingga wajah Ratri masih tampak
mengintip dari balik caping.
Namun tiba-tiba dengan segera Ratri melepaskan caping itu.
“Ada apa nduk?” bertanya Ki Gede kemudian dengan wajah penuh
keheranan, “Apakah caping itu terlalu kecil untukmu?”
Ratri menggeleng sambil menyangkutkan caping itu di pelana
kudanya, “Aku akan memakainya nanti setelah sinarnya Matahari
cukup menyengat. Hari masih terlalu pagi sehingga akan terlihat
aneh jika aku memakai caping.”
Yang mendengar alasan Ratri itu pun kemudian tampak
tersenyum sambil mengangguk anggukkan kepala.
Tiba-tiba pintu pringgitan kembali terbuka. Tampak Ki Bango
Lamatan dan Ki Jayaraga yang muncul.
Sejenak Ki Bango Lamatan tertegun. Ternyata Ki Gede dan yang
lainnya sudah di atas punggung kuda masing-masing. Namun
dengan cepat Ki Jayaraga segera menggamitnya dan berkata,
“Marilah! Kasihan kuda Ki Bango Lamatan sudah cukup lama
menunggu. Kuda kuda yang lain sudah dinaiki penunggangnya
tinggal kuda Ki Bango Lamatan saja yang masih kosong.”
66
Ki Bango Lamatan tidak menjawab hanya langkah kakinya saja
yang bergegas mendekati kudanya.
Untuk beberapa saat Ki Bango Lamatan masih mempersiapkan
diri sambil duduk di atas pelana kudanya. Ketika semua persiapan
sudah selesai, dia segera memberi isyarat kepada Ki Rangga.
Namun baru saja Ki Rangga akan memberi isyarat kepada semua
orang dalam rombongan, tiba-tiba terdengar langkah-langkah
yang setengah berlari dan kemudian menerobos pintu gerbang
banjar yang terbuka lebar.
“Ki Kamituwa,” hampir semua orang berdesis menyebui nama
orang yang baru saja datang itu.
“Apakah aku terlambat?” bertanya Ki Kamituwa kemudian sambil
tersenyum dan melangkah mendekat.
“O, belum, Ki,“ jawab Ki Gede sambil tertawa pendek,
“Sebenarnyalah kami tidak ingin merepotkan Ki Kamituwa untuk
datang pagi pagi sekali ke banjar ini.”
“Tidak masalah Ki Gede,” jawab Ki Kamituwa kemudian sambil
mendekat kepada Ki Gede dan menyalaminya.
“Semoga perjalanan Ki Gede dan rombongan menyenangkan,”
lanjut Ki Kamituwa kemudian sambil bergeser dan menyalami Ki
Rangga dan Ki Bango Lamatan. Kepada Ratri dan kedua pengawal
yang berada di belakang, Ki Kamituwa hanya menganggukkan
kepala dan memberi isyarat dengan merangkapkan kedua
tangannya di depan dada.
“Apakah kehadiranku justru telah menghambat perjalanan
rombongan ini?” bertanya Ki Kamituwa selanjutnya sambil
menebar senyum ke seluruh orang yang ada di halaman banjar itu.
67
Ketika dilihatnya Ki Jayaraga dan Ki Waskita yang berdiri di dekat
tlundak pendapa, dengan tergopoh gopoh bebahu perdikan
Matesih itu segera melangkah mendekat.
“Ma’af, ma’af,” berkata Ki Kamituwa kemudian sambil menyalami
kedua orang tua itu, “Aku tidak melihat Ki Waskita dan Ki
Jayaraga yang berdiri sedari tadi di sini.”
“Ah, tidak menjadi masalah Ki Kamituwa,” sahut Ki Jayaraga
sambil menerima uluran tangan Ki Kamituwa, demikian juga
dengan Ki Waskita.
Dalam pada itu keenam orang yang akan berangkat ke Menoreh
itu ternyata telah siap di atas punggung kuda masing-asing.
Sejenak Ki Gede masih membetulkan letak tombak Kiai Singkir
Geni yang di sangkutkan di pelana kudanya. Katanya kemudian,
“Nah kami mohon pamit. Atas nama seluruh kawula Matesih aku
titipkan perdikan ini kepada Ki Kamituwa yang akan dibantu oleh
Ki Jayaraga dan Ki Waskita.”
Ki Jayaraga segera maju selangkah sambil berkata, “Selamat jalan
semoga selamat sampai tujuan. Dan jangan lupa sampaikan salam
hormat kami kepada Ki Patih Mandaraka.”
“Tentu, tentu,” Ki Rangga lah yang menjawab.
“Selamat jalan Ki Bango Lamatan,” berkata Ki Jayaraga kemudian
sambil tersenyum menggoda ke arah Ki Bango Lamatan yang
sudah duduk di atas kudanya, “Sampai bertemu kembali di lain
waktu. Semoga Ki Bango Lamatan kerasan dengan tugas yang
baru.”
Ki Bango Lamatan tampak tersenyum, betapapun hambarnya.
Jawabnya kemudian, “Terima kasih Ki Jayaraga. Kapan kapan jika
lewat kotaraja, sudilah kiranya Ki Jayaraga mampir. Dengan
68
senang hati Ki Jayaraga akan aku jamu dengan makanan yang
enak enak, tidur di pembaringan yang empuk dan lunak serta
bercanda ria dengan para emban yang ramah dan semanak.”
Segera saja gelak tawa memenuhi halaman banjar itu. Beberapa
pengawal yang berada di regol dan tidak mendengar dengan jelas
kata kata Ki Bango Lamatan itu hanya berpaling sekilas sambil
mengerutkan kening mereka.
Ki Gede yang berada di depan bersama Ki Rangga ternyata telah
melambaikan tangannya ke arah Ki Kamituwa. Dengan segera Ki
Kamituwa pun melangkah mendekat.
Sejenak Ki Gede tampak mencondongkan tubuhnya dan berbicara
beberapa patah kata kepada bebahu kepercayaannya itu. Tidak
ada seorang pun yang mampu mendengar isi pembicaraan itu
kecuali Ki Rangga yang berada di dekatnya.
Ki Rangga yang mendengar dengan jelas setiap pesan yang
diucapkan Ki Gede kepada Ki Kamituwa itu telah menarik nafas
panjang sambil menundukkan kepalanya. Secara tidak langsung
Ki Rangga pun segera mengetahui permasalahan rumah tangga Ki
Gede yang sebenarnya.
Setelah selesai memberikan pesan kepada Ki Kamituwa, Ki Gede
segera duduk tegak kembali dan berpaling ke arah Ki Rangga.
Katanya kemudian, “Ki Rangga, aku kira persiapan sudah selesai.
Waktunya kita untuk berangkat.”
Ki Rangga tidak menjawab, hanya tersenyum sambil mengangguk.
Demikianlah setelah sekali lagi berpamitan, rombongan berkuda
itu segera keluar dari regol banjar padukuhan induk untuk
kemudian berpacu perlahan di jalan yang berbatu batu. Mereka
69
tidak dapat berpacu dengan kencang mengingat Ratri yang masih
harus menyesuakan diri setelah lama tidak berkuda.
Sepeninggal Ki Gede dan rombongan, Ki Kamituwa segera
menghampiri gardu yang berada di dekat regol banjar. Kepala
pengawal jaga yang bertugas pagi itupun segera menyongsongnya.
“Ada perintah untuk kami, Ki Kamituwa?” bertanya kepala
pengawal itu kemudian setibanya di depan Ki Kamituwa.
“Tentu saja ada,” jawab Ki Kamituwa dengan suara perlahan
sehingga hanya mereka berdua yang mendengar, “Yang pertama,
kepergian Ki Gede beserta rombongan ini tidak usah disampaikan
kepada setiap orang di perdikan ini. Jika para kawula Matesih
mengetahui kepergian rombongan ini, biarlah mereka mengetahui
dari sumber yang lain, bukan dari kita.”
Tampak kepala pengawal itu terangguk-angguk sambil berdiri
ngapurancang di hadapan Ki Kamituwa.
“Yang kedua,” lanjut Ki Kamituwa kemudian, “Perintahkan salah
satu pengawal yang bertugas jaga hari ini untuk pergi ke rumah Ki
Wiyaga. Beritahukan kepada Ki Wiyaga aku menunggunya di
banjar pagi ini. Ada hal penting yang akan aku sampaikan.”
“Tapi, Ki Kamituwa. Ki Wiyaga…?”
“Aku tahu,” sahut Ki Kamituwa cepat memotong pertanyaan
pemimpin pengawal itu, “Ki Wiyaga memang sedang mendapat
libur dua hari setelah bertugas di gunung Tidar. Namun ini
menyangkut keamanan perdikan Matesih yang menjadi tugasnya.
Tidak ada salahnya jika aku memanggilnya.”
Pemimpin pengawal itu hanya dapat mengangguk-anggukkan
kepalanya.
70
“Nah, menunggu apa lagi?”
Pertanyaan Ki Kamituwa itu telah menyadarkan pemimpin
pengawal itu. Jawabnya kemudian dengan sedikit tergagap, “O,
baik Ki Kamituwa. Akan segera aku laksanakan perintah itu.”
Selesai berkata demikian, pemimpin pengawal itu segera memutar
tubuhnya dan melangkah kembali ke gardu dekat regol banjar
padukuhan induk.
Dalam pada itu, rombongan Ki Gede sedang menyusuri jalan yang
masih lengang dan berkabut. Agaknya semalam telah turun hujan
di lereng gunung Tidar sehingga pagi ini perdikan Matesih
diselimuti kabut tipis.
Ratri yang berkuda di belakang ayahnya dan berjajar dengan Ki
Bango Lamatan tampak sangat riang gembira. Kuda yang
ditungganginya berderap dengan tenang menyesuaikan dengan
derap kaki-kaki kuda yang lain. Sementara kedua pengawal yang
ikut mendampingi, berkuda agak jauh beberapa tombak di
belakang.
“Apakah Ki Gede akan mampir ke kediaman terlebih dahulu?” tiba
tiba Ki Rangga yang berkuda di depan berjajar dengan Ki Gede
bertanya.
“Aku kira tidak perlu Ki Rangga,” jawab Ki Gede sambil berpaling
ke belakang sekilas. Ketika dilihat Ratri tidak sedang
memperhatikannya, maka Ki Gede pun melanjutkan, “Sudah tidak
ada lagi yang perlu kami bawa. Ratri pun agaknya sudah
membawa bekal secukupnya untuk tinggal di Menoreh.”
Ki Rangga mengangguk angguk sambil melemparkan pandangan
matanya jauh ke depan, menembus kabut tipis yang masih
menyelimuti sepanjang jalan.
71
Namun pandangan mata Ki Rangga yang sangat tajam melebihi
orang kebanyakan telah menangkap sesuatu yang mendebarkan..
72
“Masih sepi,” desis Ki Gede kemudian, “Namun biasanya ada
pedati yang memuat hasil bumi melewati jalan ini hampir setiap
pagi.”
“Kemana hasil bumi itu dibawa, Ki Gede?” bertanya Ki Rangga
kemudian tanpa berpaling.
“Tergantung hari pasaran,” jawab Ki Gede kemudian, “Pasar pasar
di kademangan dan padukuhan padukuhan sekitar perdikan
Matesih biasanya hanya buka pada hari pasaran tertentu.”
Ki Rangga tampak mengangguk anggukkan kepalanya. Demikian
juga Ki Bango Lamatan yang berkuda di belakang Ki Rangga.
Bertanya Ki Bango Lamatan kemudian, “Bagaimana dengan pasar
di Matesih, Ki Gede? Apakah pasar di Matesih buka setiap hari?”
“Benar, Ki ,” jawab Ki Gede sambil berpaling sekilas, “Namun
untuk pasar yang menjual ternak tidak buka setiap hari. Pasar
ternak buka juga menurut hari pasaran.”
Kembali Ki Rangga dan Ki Bango Lamatan mengangguk angguk.
Pasar ternak memang tidak seramai sebagaimana pasar yang
menjual hasil bumi.
Dengan perlahan rombongan itu terus berjalan dengan derap yang
ajeg. Beberapa rumah yang mereka lalui sepanjang jalan memang
regolnya masih banyak yang tertutup rapat. Namun sudah
terdengar derit senggot serta suara sapu lidi yang terdengar
teratur hampir di setiap halaman.
Ki Gede dan rombongan menjadi sedikit berdebar debar ketika
sebuah regol yang mereka lewati tiba tiba saja terbuka. Seorang
yang rambutnya sudah ubanan tampak menjengukkan kepalanya
di antara pintu regol yang terbuka beberapa jengkal. Agaknya
73
penghuni rumah itu menjadi penasaran mendengar derap kaki
kaki kuda di hari yang masih sangat pagi itu.
“Ki Gede?” desis orang yang sudah ubanan itu sambil
mengernyitkan alisnya, “Pergi kemana Ki Gede sepagi ini?”
Untuk beberapa saat orang yang rambutnya sudah ubanan itu
termangu-mangu di regol halaman rumahnya. Berbagai
tanggapan pun melintas dalam benaknya.
Namun rombongan itu berjalan terus. Mereka tetap berderap
dalam irama yang tetap agar tidak menimbulkan pertanyaan dan
kegelisahan para penghuni padukuhan induk.
Ketika rombongan itu kemudian menjumpai sebuah pertigaan,
ternyata Ki Gede telah memilih jalan lurus.
Tiba tiba dada Ki Rangga berdesir. Jalan lurus itu akan membawa
mereka ke padukuhan Klangon.
“Ki Gede,” bertanya Ki Rangga kemudian sambil sedikit
mengekang kudanya, “Apakah tidak sebaiknya kita mengambil
jalan ke kiri? Walaupun agak jauh, namun aku rasa jika kita lewat
padukuhan Salam tidak akan banyak menimbulkan masalah.”
“Tidak Ki Rangga. Kita lewat Klangon saja,” jawab Ki Gede
kemudian sambil terus menghentak perut kudanya, “Walaupun
menurut pengakuan tawanan kita, putut Acarya, Ki Dukuh
Klangon terlibat menjadi pengikut Trah Sekar Seda Lepen, aku
justru ingin melihat keadaan yang sebenarnya di padukuhan
Klangon.”
“Ayah?” tiba tiba Ratri berseru sedikit keras di belakang ayahnya,
“Bukankah sudah menjadi kesepakatan semalam untuk tidak
mencampuri urusan padukuhan Klangon?”
74
“Kita hanya lewat saja, nduk,” jawab ayahnya sambil berpaling
dan tersenyum sekilas.
“Bagaimana dengan Ki Dukuh?” Ki Bango Lamatan yang berkuda
di belakang Ki Rangga ikut bertanya.
Ki Gede tersenyum sambil berpaling. Jawabnya kemudian, “Tidak
sejauh itu Ki Bango Lamatan. Aku hanya ingin melihat kehidupan
di padukuhan Klangon setelah jatuhnya padepokan Sapta
Dhahana. Apakah ada perubahan yang mencolok, ataukah tetap
berjalan sebagaimana biasa.”
“Atau barangkali Ki Rangga ingin mampir ke banjar padukuhan
Klangon lagi?” bertanya Ki Bango Lamatan yang membuat kedua
orang yang berkuda di depannya tertawa pendek.
“Aku khawatir jika mampir di banjar dukuh Klangon, kita akan
dipersilahkan untuk bermalam lagi,” sahut Ki Rangga yang
disambut gelak tawa oleh Ki Gede dan Ki Bango Lamatan.
“Dimanakah sekarang ini Ki Jagabaya dukuh Klangon?” tiba tiba
tanpa sadar Ki Gede berdesis perlahan yang membuat kedua
orang itu terhenyak.
Ki Rangga yang berkuda di sebelah Ki Gede hanya menarik nafas
panjang untuk meredakan jantungnya yang tiba tiba saja melonjak
lonjak. Namun Senapati pasukan khusus Mataram yang
berkedudukan di Menoreh itu tidak mampu mengabaikan isyarat
yang diterimanya.
“Ada apakah di padukuhan Klangon?” bertanya Ki Rangga dalam
hati kemudian dengan jantung yang berdebaran.
Tiba tiba ingatan Ki Rangga segera melayang kepada seseorang
yang sedang mununggunya untuk sebuah urusan yang khusus.
75
“Urusan seorang murid biarlah menjadi urusan sesama murid,
sedangkan urusan seorang guru, tentu saja menjadi urusan
dengan sesama guru,” membatin Ki Rangga menirukan pesan
Pertapa tua yang disampaikan melalui Ki Jayaraga.
“Apapun yang akan terjadi, seandainya Pertapa tua itu meminta
tanggung jawabku sebagai salah satu guru Glagah Putih, aku tidak
akan menghindar,” membatin Ki Rangga sambil terus memacu
kudanya.
Ketika pintu gerbang perdikan Matesih sebelah selatan yang
berbatasan dengan padukuhan Klangon sudah terlihat, Ki Gede
menjadi berbedar debar. Tidak tampak seorang pengawal pun
yang sedang berjaga. Biasanya satu atau dua orang tampak
berjalan mondar mandir sambil menjinjing tombak di depan pintu
gerbang yang terbuka lebar itu.
Ketika rombongan itu telah semakin dekat, Ki Gede dan Ki
Rangga yang berkuda di depan segera melihat gardu di sebelah
pintu gerbang itu. Dalam gardu itu terliaht dua orang yang sedang
meringkut berselimutkan kain panjang di atas sebuah amben
besar. Senjata senjata mereka tampak digeletakkan begitu saja di
lantai gardu.
Dengan segera Ki Gede memberi isyarat kepada rombongan itu
untuk berhenti tepat di depan gardu.
Sejenak Ki Gede ragu ragu untuk turun, namun dia tidak tahu
harus bagaimana caranya membangunkan kedua pengawal itu
tanpa turun dari kudanya.
Ki Bango Lamatan agaknya tanggap atas keinginan Ki Gede.
Segera saja orang yang pernah menjadi kepercayaan Panembahan
Cahya Warastra itu memasukkan dua jarinya ke dalam mulut.
76
Sejenak kemudian terdengar sebuah lengkingan nyaring
membelah udara di pagi yang tenang.
Ternyata suitan nyaring Ki Bango Lamatan itu terlalu keras
sehingga Ratri yang berkuda beberapa langkah di sebelahnya telah
memekik kecil sambil menutupi kedua telinganya dengan kedua
tangannya.
“O, maaf,” desis Ki Bango Lamatan sambil berpaling sekilas dan
tersenyum. Namun akibat suitan nyaring Ki Bango Lamatan itu
ternyata telah membangunkan kedua pengawal yang sedang
tertidur lelap itu.
Dengan tangkasnya kedua pengawal itu segera meloncat bangun.
Dengan mata yang masih setengah terpejam, keduanya segera
meraba raba senjata mereka yang diletakkan di lantai gardu.
“Kalian berdua, kemarilah!” teriak Ki Gede kemudian cukup keras
sehingga telah mengejutkan kedua pengawal yang belum sadar
sepenuhnya itu.
Namun begitu pandangan mata mereka telah jernih dan melihat
siapa yang berada di depan gardu itu, serentak keduanya segera
meloncat berlari sambil berseru, “Ki Gede!”
“Nah!” berkata Ki Gede kemudian sesampainya kedua pengawal
itu di hadapannya, “Mengapa kalian tertidur di saat sedang
bertugas jaga? Dan mengapa hanya dua orang saja yang bertugas
jaga? Bukankah biasanya enam bahkan sampai lebih ditambah
dengan anak anak muda?”
Sejenak kedua pengawal itu saling pandang. Namun yang terlihat
lebih tua segera menjawab, “Ampun Ki Gede, sebenarnya
menjelang tengah malam tadi gardu ini hampir penuh. Namun
entah dari mana asalnya, terbetik berita bahwa sisa sisa laskar
77
cantrik Sapta Dhahana telah meninggalkan gunung Tidar dan
bergerak ke arah Timur.”
Hampir bersamaan orang orang dalam rombongan Ki Gede itu
telah mengerutkan keningnya. Bertanya Ki Gede kemudian,
“Siapakah yang membawa berita seperti itu?”
Kembali kedua pengawal itu saling pandang, namun akhirnya
keduanya pun menggelengkan kepalanya.
“Kami tidak tahu Ki Gede,” jawab pengawal yang lebih tua
kemudian.
“Nah, dengan demikian alangkah mudahnya kalian terkecoh!”
berkata Ki Gede selanjutnya sambil menggeleng gelengkan
kepalanya, “Seandainya berita itu memang sengaja dihembuskan
oleh lawan dalam usaha melemahkan pertahanan kita, apa kira
kira yang akan terjadi sekarang ini? Bagaimana jika yang datang
ke gardu pagi ini bukan rombongan Ki Gede Matesih? Akan tetapi
sisa sisa laskar padepokan Sapta Dhahana yang ganas dan liar
serta penuh dengan dendam kesumat?”
Diam diam kedua pengawal itu bergidik ngeri. Mereka berdua
benar benar ngeri membayangkan yang akan terjadi kemudian.
“Nah jadikanlah semua ini sebagai pelajaran,” berkata Ki Gede
selanjutnya, “Jangan percaya berita yang tidak jelas asal usulnya.
Percayalah kepada berita dan perintah dari pemimpin Matesih ini
melalui saluran yang telah ditentukan. Para pengawal Matesih
harus mencari sumber berita dari Ki Wiyaga selaku pemimin
pengawal, dan Ki Wiyaga pun akan bertanya kepadaku selaku
pemimpin tertinggi di Matesih.”
Tampak kepala kedua pengawal itu semakin tunduk.
78
“Memang kedatangan Ki Wiyaga dan para pengawal yang selama
ini menjaga padepokan Sapta Dhahana pagi tadi telah melaporkan
melihat pergerakan laskar sisa-sisa cantrik Sapta Dhahana itu
bergerak ke Timur meninggalkan gunung Tidar,” Ki Gede berhenti
sebentar. Lanjutnya kemudian, “Namun apakah tidak menutup
kemungkinan bahwa pergerakan mereka itu memang disengaja
untuk mengelabuhi kita? Untuk itulah aku tidak pernah
memerintahkan untuk mengendorkan kewaspadaan. Segala
sesuatunya masih mungkin terjadi dan kesiap siagaan itu harus
tetap kita jaga.”
Kedua pemngawal itu sekarang benar-benar telah berubah
menjadi patung batu. Tidak ada keberanian sebiji sawipun untuk
mengangkat wajah mereka.
“Sudahlah, aku dan rombongan akan meneruskan perjalanan,
tidak usah bertanya kemana kami akan pergi. Jika ingin bertanya,
bertanyalah kepada Ki Wiyaga,” berkata Ki Gede pada akhirnya
sambil menggerakkan kendali kudanya. Dengan cepat kedua
pengawal itu segera membungkuk hormat tanpa berani
mengucapkan sepatah kata pun.
Rombongan berkuda itu pun kemudian bergerak kembali
melewati pintu gerbang perdikan Matesih yang terbuka lebar.
“Itulah gambaran para pengawal perdikan Matesih,” desis Ki Gede
kemudian sambil berpaling ke arah Ki Rangga, “Dengan sangat
mudahnya mereka percaya berita yang belum jelas sumbernya.
Aku benar-benar prihatin.”
Ki Rangga tidak menanggapi. Hanya tampak kepalanya yang
terangguk-angguk sambil menarik nafas dalam-dalam.
79
Matahari masih belum menampakkan sinarnya. Langit di sebelah
Timur sudah terlihat sedikit terang namun belum mampu
mengusir bulir bulir embun pagi yang bergelayutan di pucuk
pucuk dedaunan dan butir butir embun yang berserakan di
rerumpun sepanjang tanggul serta kabut yang menutupi bulak
panjang itu. Sepanjang jalan masih terlihat sangat sepi. Belum
tampak seorang petani pun yang sedang menggarap sawahnya.
Namun pandangan mata Ki Rangga yang sangat tajam melebihi
orang kebanyakan telah menangkap sesuatu yang mendebarkan.
Memang masih cukup jauh, namun dalam pandangan Ki Rangga
yang sangat tajam, samar samar dalam kabut pagi, tampak
seseorang sedang berdiri di sisi tanggul sebelah kanan bulak di
bawah sebatang pohon. Sepertinya orang itu memang dengan
sengaja sedang menunggu rombongan itu lewat.
-------------------0O0-------------------
- Bersambung ke jilid 20
80
top related