pendidikan islam berwawasan pluralis
Post on 25-Jul-2015
226 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
PENDIDIKAN ISLAM BERWAWASAN PLURALIS
Oleh. Arif Rahman
Abstrak
Membangun pendidikan Islam berwawasan pluralisme, merupakan awal dari praktik pendidikan Islam yang carut marut di negeri ini. Pendidikan agama Islam belum mampu memberikan solusi terbaik bagi anak didik untuk hidup ditengah-tengah keberagaman untuk dapat saling toleransi. Konflik sosial, kekerasan, bahkan teror merupakan tindakan yang lahir dari kurangnya sikap menghargai dan mencintai orang lain. Dimensi kebersamaan dalam membangun harmoni sesama penganut agama yang berlainan adalah proyek besar yang harus mulai dipikirkan oleh kita semua. Nilai-nilai yang diterima dalam pendidikan agama seolah menyuguhkan doktrin-doktrin dan cenderung anti dialog menjadikan keyakinan yang eksklusif dan fundamentalis. Dan metodologi pendidikan agama yang dilakukan belum terlalu banyak beranjak jauh dari metodologi pra modernitas.
Setidaknya kegagalan pendidikan agama selama ini disebabkan oleh tiga faktor. Pertama, pola pengajaran yang lebih disebabkan pada transfer of knowledge dari pada transfer of values. Kedua, pendidikan agama tidak lebih hanya sebagai hiasan kurikulum dan kurang bermakna keberadaannya. Ketiga, kurangnya penekanan pengajaran agama pada dimensi kesalehan sosial dan penanaman nilai cinta kasih, persahabatan, suka menolong, cinta damai dan toleransi.
Untuk mencermati realitas kemajemukan di Indonesia adalah penting mempertimbangkan perancangan pola dan metodologi pengajaran agama Islam yang menyentuh dimensi-dimensi kemanusiaan, terutama persoalan hak asazi manusia dan akhlak. Indonesia harus dibangun sebagai negara pluralis dimana semua pemeluk agama dapat saling menghargai dan hidup berdampingan tanpa kecurigaan. Ajaran untuk semua (rahmatan lil ‘alamin) harus menunjukkan komitmen menuju tujuan dan cita-cita mulia tersebut.
Kata kunci: Pluralisme, Pendidikan, Islam
1
A. Pendahuluan
Pluralisme agama dinegeri ini merupakan realitas empirik yang tidak bisa
dipungkiri. Pluralisme sejak dulu telah dikenal sebagai potensi berbangsa dan
bernegara, menetapkan negara ini bukan menjadi negara agama atau negara sekuler.
Pilihannya berada tepat ditengah – tengah antara kedunya. Persoalannya adalah, siapa
yang memperkenalkan, dan memaknai selanjutnya sehingga kenyataan pluralisme
menjadi ruwet bak memendam demdam kesumat yang tidak ada hentinya. Dari
pergulatan yang amat menyesakkan itu, wajar bila dalam masyarakat kita tumbuh
subur,antar sesama penganut agama nyaris setiap hari muncul pertikaian,
permusuhan, bahkan pembunuhan.
Dan ironisnya agama senantiasa dibawa-bawa sebagai pembenarnya.
Akhirnya agama tidak pernah imun dari konflik yang berkepanjangan demi
kepentingan masing-masing penganutnya. Oleh sebab itu bolehlah dikatakan bahwa
rezim orde baru memang berhasil menjadikan agama sebagai idiologi masa bukan
sebagai agen transformasi masyarakat.
Konsep pendidikan Islam pluralisme berorientasi pada realitas persoalan yang
di hadapi bangsa dan umat manusia secara keseluruhan. Konsep pendidikan
pluralisme itu di gagas dengan semangat besar untuk memberikan sebuah model
pendidikan yang mampu menjawab tantangan masyarakat pasca moderenisme.
Mencermati hal itu, salah satu yang perlu dan penting untuk di jadikan bahan diskusi
dan dialog antara umat muslim dan non muslim secara keseluruhan perlu adanya
konsep pluralisme.
Pluralisme merupakan konsep yang berasal dari barat yang bertujuan untuk
menciptakan harmonisasi di antara agama-agama dunia. Pengakuan terhadap
pluralisme agama dalam suatu komunitas umat beragama menjadikan di kedepannya
prinsip inklusivitas yang bermuara pada tumbuhnya kepekaan terhadap berbagai
kemungkinan. Lebih-lebih kita semua sudah di hadapkan pada kenyataan adanya
masyarakat multikultuiralisma dan pluralisme, dimana dalam pandangan masyarakat
seperti ini, seluruh masyarakat dengan segala unsurnya di tutup untuk saling
2
tergaantung dan menanggung nasib secara bersama-sama demi terciptanya
perdamaian abadi.
Salah satu bagian penting dari konsekuensi tata kehidupan global yang di
tandai kemajemukan etnis, budaya, dan agama tersebut, adalah membangun dan
menumbuhkan kembali teologi pluralisme dalam masyarakat. Maksud dan tujuan
pendidikan Islam pluralisme, dengan begitu akan di jadikan sebagai jawaban atau
solusi alternatif bagi keinginan untuk merespon persoalan-persoalan di atas. Sebab
dalam pendidikannya, pemahaman Islam yang hendak di kembangkan oleh
pendidikan berbasis pluralisme adalah pemahaman dan pemikiran yang bersifat
inklusif. Melalui sistem pendidikannya, sebuah pendidikan Islam yang berbasis
pluralisme akan selalu berusaha memelihara dan berupaya menumbuh kembangkan
pemahaman yang inklusif pada peserta didik. Dengan suatu orientasi untuk
memberikan penyadaran terhadap para peserta didik akan pentingnya saling
menghargai, menghormati dan bekerjasama dengan agama-agama lain.
B. Pluralisme dan Toleransi
Dalam membangun pengertian sebuah istilah, umumnya dimulai dari arti
secara bahasa. Sebab, pengertian secara bahasa umumnya menjadi landasan atau
pijakan untuk membangun pengertian secara istilah.
Istilah pluralisme agama masih sering disalahfahami atau mengandung
pengertian yang kabur, meskipun terminologi ini begitu populer dan tampak disambut
begitu hangat secara universal, sungguh sangat mengejutkan, ternyata tidak banyak,
bahkan langka, yang mencoba mendefinisikan pluralisme agama itu. Karena
pengaruhnya yang luas, istilah ini perlu pendefinisian yang jelas dan tegas baik dari
segi konteks di mana ia banyak digunakan
Secara bahasa, kata pluralis berasal dari bahasa Inggris plural yang berarti
jamak, dalam arti keanekaragaman dalam masyarakat, atau ada banyak hal lain di luar
keanekaragaman dalam masyarakat, atau ada banyak hal lain di luar kelompok kita
yang harus diakui. Secara istilah, pluralisme bukan sekedar keadaan atau fakta yang
3
bersifat plural, jamak, atau banyak. Lebih dari itu, pluralisme secara substansial
termanifestasi dalam sikap untuk saling mengakui sekaligus menghargai,
menghormati, memelihara, dan bahkan mengembangkan atau memperkaya keadaan
yang bersifat plural, jamak, atau banyak.1
Dalam kamus besar bahasa Indonesia disebutkan bahwa arti plural adalah
jamak: lebih dari satu, pluralis bersifat jamak. Pluralisme hal menngatakan banyak
atau tidak satu. Pluralisme kebudayaan berbagai kebudayaan yang berbeda di suatu
masyarakat. Dengan demikian pluralisme adalah memahami dan menyadari suatu
kenyataan tentang adanya kemajemukan.
Alwi shihab menegaskan secara lebih terperinci, pluralisme merupakan
keberadaan atau toleransi keragaman etnik atau kelompok-kelompok kultural dalam
suatu masyarakat atau negara serta keragaman kepercayaan atau sikap dalam suatu
badan, kelembagaan, dan sebagainya. Pluralisme semacam ini disebut sebagai
pluralisme sosial. Untuk merealisasikan dan mendukung konsep tersebut, diperlukan
adanya toleransi. Sebab, toleransi tanpa adanya sikap pluralistik tidak akan menjami
tercapainya kerukunan antarumat beragama yang langgeng. Demikian juga
sebaliknya.2
Dalam konteks sosiologis masyarakat Indonesia, pluralisme tidak dapat
dipahami hanya dengan mengatakan bahwa masyarakat kita mejemuk, beraneka
ragam, terdiri dari berbagai suku dan agama. Sebab, jika hal semacam ini yang
menjadi pemahaman, maka bukan pluralisme yang dipahami, tetapi hanya
menggambarkan kesan fragmentatif. Selain itu, pluralisme juga tidak boleh dipahami
sekadar sebagai sebuah kebaikan yang negatif. Sebab, cara pandang semacam ini
hanya mampu meminimalisasi fanatisme, tetapi belum sampai ke taraf membangun
pluralisme secara hakiki.3
1 Kautsar Azhari Noer, Menyemarakkan Dialog Agama (Prespektif Kaum Sufi), (Bandung: Zaman Wacana Mulia, 1999), hlm. 872
2 Alwi Shihab, Islam Inklusif, Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama, (Bandung: Mizan, 1998), cet. Ke-3, hlm. 41.
3 Ngainun Naim, Achmad Sauqi, Pendidikan Multikultural, Konsep dan Aplikasi, (Jogjakarta: Ar Rizz Media, 2008), hlm. 76
4
Pluralisme dan toleransi menjadi tantangan modernitas yang paling nyata. Hal
ini sebenarnya tidak menjadi persoalan pada generasi awal bagi umat Islam, Kristen,
maupun Yahudi. Generasi Islam awal cenderung lebih toleran jika dibandingkan
dengen generasi Islam yang lebih belakangan. Meminjam pendapat Lewis, Achmad
Sauqi mengatakan, semangat toleransi telah diwujudkan dalam kegiatan praktis
sehari-hari pada masa awal-awal kaum Muslim, Kristen, Yahudi. Meskipun mereka
menganut agama yang berbeda, namun mereka dapat membentuk masyarakat tunggal
yang di dalamnya perlawanan antarpribadi, kemitraan dalam bisnis, hubungan guru-
murid dalam kehidupan ilmu pengetahuan, dan bentuk-bentuk kegiatan bersama yang
lain berlangsung normal dan bahkan sangat umum.4
Alwi Sihab menjelaskan beberapa konsep pluralisme: Pertama, pluralisme
tidak semata menunjuk pada kenyataan tentang adanya kemajemukan. Nmun yang
dimaksud dengan pluralisem adalah keterlibatan aktif terhadap kemajemukan
tersebut. Pluralisme agama dan budaya, atau multikulturalisme, dapat dijumpai
dimana-mana. Tetapi, seseorang baru dapat dikatakan menyandang sifat sebagai
seorang pluralis apabila ia dapat berinteraksi secara positif dalam lingkungan
kemajemukan tersebut. Dengan kata lain, pengertian pluralisme agama adalah bahwa
tiap pemeluk agama dituntut untuk bukan saja mengakui keberadaan dan hak agama
lain, tetapi juga dituntut untuk terlibat dalam usaha memahami perbedaan dan
persamaan guna tercapainya kerukunan dan kebhinekaan.
Kedua, pluralisme harus dibedakan dengan kosmopolitanisme.
Kosmopolitanisme menunjuk kepada suatu realitas di mana aneka ragam ras dan
bangsa hidup di suatu lokasi. Misalnya, kota New York. Di kota ini, terdapat orang
Yahudi, Kristen, Muslim, Hindu, Buddha, bahkan orang-orang tanpa agama. Namun,
interaksi poditif antarpenduduk ini, khususnya dalam bidang agama, dangat sedikit.
Kalaupun ada, itu pun tidak mencerminkan sisi kualitas secara memadai.
Ketiga, konsep pluralisme tidak dapat disamakan dengan relativisme.
Seseorang yang menganut relativisme akan berasumsi bahsa hal-hal yang
menyangkut kebenaran atau nilai-nilai ditentukan oleh pandangan hidup serta
4 Ibid., hlm. 83
5
kerangka berpikir seseorang atau masyarakatnya. Sebagai konsekuensi dari paham
ini, agama apa pun harus dinyatakan benar. Atau tegasnya. “semua agama adalah
sama”.
Keempat, pluralisme agama bukanlah sinkretisme, yakni menciptakan suatu
agama baru dengan memadukan unsur-unsur tertentu atau sebagian komponen ajaran
dari beberapa agama untuk dijadikan bagian integral dari agama tersebut.5
Secara prinsipil, harus dibangun pemahaman yang tepat terhadap pluralisme.
Pluralisme, sekali lagi, bukanlah memiliki tujuan untuk membangun keseragaman
bentuk agama. Pemahaman pluralisme, terutama yang menyangkut perdebatan abadi
sepanjang menyangkut masalah keselamatan, yaitu bagaimana suatu teologi dari
suatu agama mendefenisikan dirinya di tengah-tengah agama lain, sampai sekarang
memang masih menjadi suatu persoalan besar.
C. Pluralisme Agama
Pluralisme merupakan salah satu istilah yang cukup sensitif. Pemahaman dan
pemaknaan terhadap pluralisme sesungguhnya memiliki makna yang cukup
signifikan dalam kehidupan yang kompleks dan heterogen. Namun, istilah pluralisme
sendiri telah menjadi komoditas yang masuk dalam ranah otoritas keberagaman.
Fatwa MUI bahwa pluralisme meupakan paham yang sesat dan menyesatkan, atau
dhal wal mudhil dalam istilah Wahbah Al- Zyhaily, merupakan bukti bahwa kata
pluralisme memang memiliki sensitivitas. Dengan demikian, pluralisme yang
sesungguhnya memiliki tujuan mulia dalam penciptaan kehidupan yang toleran dan
saling menghargai, tereduksi maknanya secara substansial.
Wacana pluralisme sebenarnya tidak berpretensi menghilangkan nilai-nilai
partikular dari agama, karena upaya seperti itu merupakan hal yang tidak mungkin.
Wacana ini, menurut istilah M. Amin Abdullah, hanya berupaya agar nilai partikular
ini tetap berada dalam exclusive locus, yaitu berada dalam wilayah komunitas yang
mempercayai nilai partikular itu saja. Sedangkan bagi masyarakat plural yang tidak
5 Alwi Shihab, Op.Cit., hlm. 41-42
6
percaya, maka diberlakukan nilai universal. Partikularitas nilai dari suatu agama,
lebih-lebih partikularitas ritual-ritual agama, hanya diperuntukkan bagi intern
pemeluk agama itu sendiri, dan tidak boleh dipaksakan kepada mereka yang tidak
mempercayainya. Dalam menghadapi pemeluk agama berbeda, yang harus
dikedepankan adalah nilai-nilai universal, semacam keadilan, kemanusiaan,
kesetaraan, berbuat baik terhadap sesama, kejujuran, dan lain sebagainya.6
Dasar pandangan semacam ini merupakan bentuk semangat humanitas dan
universalitas Islam. Humanitas maksudnya Islam merupakan agama kemanusiaan
(fitrah). Kerasulan Muhammad bertujuan mewujudkan rahmat bagi seluruh alam
(rahmatan lil ‘alamin). Jadi, bukan semata-mata untuk menguntungkan komunitas
Islam semata.
Pandangan semacam ini tidaklah teoritis semata. Sejarah Islam masa lalu
membuktikan bahwa Islam tampil secara inklusif dan sangat menghargai minoritas
non-Muslim. Sikap inklusivisme muncul karena Al-Quran mengajarkan tentang
kemajemukan beragama. Sebagaimana dinyatakan oleh Nucholis Madjid bahwasanya
Islam adalah agama terbuka yang menolak ekslusivisme dan absolutisme. Oleh
karena itu, hal yang penting untuk dilakukan adalah bagaimana umat Islam
mengembangkan dimensi pluralitas itu sehingga menerima pluralisme, yakni sistem
nilai yang memandang secara positif-optimis terhadap kemajemukan itu sendiri,
dengan menerimanya sebagai kenyataan dan berbuat sebaik mungkin atas dasar
kenyataan tersebut.
Nurcholis Madjid menegaskan, sebagai konsekuensi dari paham
kemajemukan beragama ini, umat Islam harus memosisikan diri sebagai mediator dan
moderator di tengah pluralitas agama-agama. Masalah Islam vis a vis pluralisme
adalah masalah bagaimana kaum Muslim mengadaptasikan diri dengan dunia
modern. Dan ini, pada gilirannya, melibatkan masalag bagaimana mereka melihat dan
6 M. Amin Abdullah, Kesadaran Multikultural; Sebuah Gerakan Interezt Minimalization Dalam Meredakan Konflik Sosial, dalam M. Ainul Yaqin, Pendidikan Multikultural, (Yogyakarta: Pilar, 2006). Hlm. xiv
7
menilai perubahan dan kehausan membawa masuk nilai-nilai Islam normatif dan
universal ke dalam dialog dengan realitas ruang dan waktu.7
D. Wajah Pendidikan Agama Islam
Menarik menyimak komentar Azyumardi Azra ketika menulis tentang
kontribusi pendidikan agama Islam dalam membangun semangat progresivitas dan
etika kaum muslim. Menurutnya nuansa pendidikan Islam masih saja belum beranjak
dari pola yang hanya sekedar berfungsi sebagai transfer of knowledge, dan belum
menyentuh dimensi transfer of values. Islam sebagai totalitas ajaran hanya dicermati
sebagai materi agama yang harus dihapal dan tidak penting diupayakan begaimana
siswa mampu bersikap Islami. Oleh karena itu, sangat kuat terkesan bahwa yang
terjadi baru pada tahap proses “pengajaran” dan belum merambah fungsi
“pendidikan”.8
Kegagalan pendidikan agama Islam di negeri ini agaknya terletak pada
kenyataan bahwa proses yang terjadi dalam pendidikan tidak lebih dari sekedar
pengajaran dan itupun masih jauh dari hasil yang diharapkan dari proses pengajaran.
Pendidikan agama Islam sering hanya lebih mementingkan proses peningkatan
kemampuan akal, jasmani, dan keterampilan. Sebaliknya, sangat kurang menyentuh
proses peningkatan kualitas kalbu, rohani, dan etika. Akibatnya adalah kerusakan
akhlak anak didik tidak dapat dihindari.
Hingga saat ini, pendidikan agama di sekolah-sekolah maupun institusi
pendidikan lainnya, dianggap masih cenderung dogmatis serta kurang
mengembangkan kemampuan berpikir kritis dan kreatif sehingga melahirkan
pemahaman agama yang tekstual dan eksklusif. Dalam konteks inilah maka
pendidikan agama melalui upaya pendekatan pluralis merupakan sebuah keniscayaan.
Pendidikan agama Islam berwawasan pluralis harus dirancang dan dikembangkan
secara integratif, komprehensif dan konseptual.
7 Nurcholis Madjid, Mencari Akar Islam bagi Pluralisme Modern; Pengalaman Indonesia, (Bandung: Mizan, 1998), hlm. 102
8 Abdurrahmansyah, Op.Cit., hlm. 92
8
Dalam konteks pendidikan Islam yang pluralis, seorang pendidik dituntut
bersikap demokratis. Seorang pendidik sudah seharusnya menjelaskan bahwa inti dari
ajaran agama islam adalah menciptakan kedamaian dan kesejahteraan bagi seluruh
umat manusia, dan segala bentuk kekerasan sangat dilarang oleh agama. Dalam hal
ini, setiap unit pendidikan diharapkan dapat menerapkan peraturan lembaga yang di
dalamnya mencakup poin tentang larangan segala bentuk diskriminasi, sehingga
semua komponen yang ada di unit pendidikan itu dapat selalu belajar untuk saling
menghargai orang lain yang berbeda.
Semua kita berpretensi membongkar (to deconstruct) semua persoalan sekitar
pengajaran agama dalam pengertiannya yang menjelimet. Untuk itu perlu kiranya
dipetakan (mapping) pelaksanaan pendidikan agama dalam institusi Islam (Islamic
education) dalam frame menawarkan jalan baru perambahan pengajaran Islam agar
proses pendidikan Islam mampu memberikan asa dan harapan untuk membangun
sikap keterbukaan, toleransi, demokrasi, inklusivisme dan pluralisme.
Semangat pluralisme yang harus mewarnai pelaksanaan pendidikan Islam
secara metodologis telah lama dikemukakan oleh banyak ilmuwan muslim.
Bediuzzaman Said Nursi misalnya, sebagai seorang ulama dari Turki yang sudah
mencapai tingkat spiritualitas yang mumpuni melalui tulisan-tulisannya juga
menegaskan bahwa Islam sebagai perangkat ajaran hikmah untuk seluruh alam,
sesungguhnya memiliki peran yang sangat besar untuk mewarnai pelaksanaan
pendidikan yang bersifat universal.
Adalah amat riskan jika agama diajarkan secara parsial dan anti dialog
sednagkan kita berada dalam sebuah masyarakat yang heterogen secara budaya da
agama. Para guru agama sesungguhnya dituntut untuk mengajarkan agama secara arif
dan menanamkan semangat pluralitas kepada anak didik, agar mereka tidak bingung
berdiri dalam arus keberagaman. Kegagalan guru-guru agama dalam menanamkan
nilai-nilai seperti ini akan sangat beresiko menanamkan bibit perselisihan dan konflik
agama.
Guru agama dengan seperangkat keterampilan dan pengetahuan
metodologisnya memiliki tanggungjawab dan menjadi tumpuan harapan bagi
9
tercerahnya peserta didik dari berbagai bentuk penindasan intelektual. Guru agama
harus benar-benar memiliki wawasan (insight) keislaman yang lintas kelompok, lintas
mazhab, lintas aliran, dan bahkan bila perlu lintas agama (passing over), sehingga
tidak terjebak pada pola dan kerangka pemikiran keagamaan sempit. Pendidikan
multikultural dan multiagama akan sangat mungkin didekati dengan metodologi
pendidikan agama yang lintas keyakinan. Melalui pendidikan agama yang sarat
dengan nilai-nilai kemanusiaan seorang guru agama amat dimungkinkan untuk
memberikan muatan-muatan dan penguatan (empowerment) terhadap pentingnya
menjaga kebersamaan dalam keberanekaragaman (pluralitas).9
E. Menggagas Pendidikan Islam Berwawasan Pluralisme
Perbincangan tentang pluralisme memang lebih banyak berkaitan dengan
aspek agama, sosial, ataupun politik. Sementara yang membahasnya dari aspek
pendididikan relatif lebih sedikit. Oleh karena itu, menjadi hal yang wajar jika
terminologi pendidikan pluralisme relatif belum banyak dikenal luas oleh publik. Hal
ini dapat dimaklumi mengingat konsepsi dan signifikansinya dalam konteks
masyarakat Indonesia baru menemukan momentumnya dalam beberapa tahun
belakangan seiring munculnya berbagai macam persoalan yang berkaitan dengan
realitas masyarakat Indonesia yang Pluralis. Apalagi kenyataannya, gaung
meyakinkan bagi masyarakat yang seharusnya mengapresiasi secara maksimal
terhadap diskursus ini. Masyarakat yang harus mengapresiasi pendidikan
multikultural adalah mesyarakat yang secara objektif memiliki anggota yang
heterogen dan pluralis. Paling tidak, heterogenitas dan pluralitas anggotanya bida
dilakukan dari eksistensi keragaman suku, ras, aliran (agama), dan budaya (kultur).
Diskursus tentang pendidikan pluralisme sebenarnya sudah mulai
bermunculan dalam beberapa waktu terakhir. Ngainun Naim misalnya, meminjam
definisi dari Frans Magnis Suseno, mendefinisikan pendidikan pluralisme sebagai
suatu pendidikan yang mengandaikan kita untuk membuka visi pada cakrawala yang
9 Abdurrahmansyah, SintetisKretaif: Pembaruan Kurikulum Pendidikan Islam Isma’il Raji al-Faruqi, (Yogyakarta: Global Pustaka Utama, 2002), hlm. 4.
10
lebih luas serta mampu melintas batas kelompok etnis atau tradisi budaya dan agama
kita, sehingga kita mampu melihat “kemanusiaan” sebagai sebuah keluarga yang
memiliki perbedaan maupun kesamaan cita-cita. Inilah pendidikan akan nilai-nilai
dasar kemanusiaan untuk perdamaian, kemerdekaan, dan solidaritas.10
Abdurrahmansyah menegaskan, diskursus pendidikan pluralis sangat relevan
diperbincangkan untuk konteks pendidikan di Indonesai. Secara kultural,
heterogenitas masyarakat Indonesia dengan varian suku, adat, bahasa, adgama, dan
pandangan hidup membutuhkan pencermatan yang matang dalam memformulasi pola
pendidikan untuk semua (education for all).11
Dalam konteks pendidikan Islam Pluralisme, sebagaimana yang menjadi tema
utama bahasan ini, pluralisme mengandung pengertian kemajemukan agama. Basis
utamanya dieksplorasi dengan melandaskan pada ajaran agama Islam, sebab dimensi
Islam menjadi dasar pembeda sekaligus titik tekan dari konstruksi pendidikan ini.
Penggunakan kata Pendidikan Islam tidak dimaksudkan untuk menegasikan ajaran
agama lain, atau pendidikan non-Islam, tetapi justru dengan ajaran yang menghargai
dimensi pluralis. Apalagi, pendidikan Islam sendiri telah eksis dan memiliki
karakteristik yang khas, khususnya dalam diskursus pendidikan di Indonesia.
Penggunaan istilah pluralis yang dirangkai dengan kata pendidikan Islam
dimaksudkan untuk membangun sebuah paradigma sekaligus konstuksi teoritis dan
aplikatif yang menghargai keragaman agama dan budaya.
Konstruksi pendidikan semacam ini berorientasi pada proses penyadaran yang
berwawasan pluralis secara agama. Dalam kerangka yang lebih jauh, konstruksi
pendidikan Islam Pluralisme dapat diposisikan sebagai bagian dari upaya secara
komprehensif dan sistematis untuk mencegah dan menanggulangi konflik etnis
agama, radikalisme agama, dan integrasi bangsa. Sedangkan nilai dasar dari konsep
pendidikan ini adalah toleransi, yaitu menghargai segala perbedaan sebagai realitas
10 Ngainun Naim, Ahcmad Sauqi, Op.Cit., hlm. 50 11 Abdurrahmansyah, Wacana Pendidikan Islam: Khazanah Filosofis dan Implementasi
Kurikulum, Metodologi dan Tantangan Pendidikan Moralitas, (Yogyakarta: Global Pustaka Utama, 2004), hlm. 89
11
yang harus diposisikan sebagaimana mestinya, bukan dipaksakan untuk masuk ke
dalam suatu konsepsi tertentu.
Pendidikan agama Islam harus mampu menawarkan pengajaran yang
membebaskan dan mampu mencerahkan peserta didik dalam membangun semangat
saling menghargai, toleransi, dan menerima perbedaan sebagai sunnatullah. Upaya
strategis pendidikan Islam diarahkan untuk membangun metodologi yang dapat
membangun karakter semua anak didik menjadi aris dan memiliki wawasan
kemanusiaan yang universal (rahmatan lil ‘alamin). Beberapa pendakatan wawasan
modern tentang pendidikan perlu diakses dan dicermati secara akademik ilmiah untuk
menemukan sebuah model dan pola pendidikan pluralis.
Seiring maraknya amuk massa, pertikaian dan permusuhan yang bermuara
pada berjatuhnya korban kemanusiaan yang akhir-akhir ini dirasakan Indonesia,
setidaknya memaksa kita semua mengevaluasi pelaksanaan pengamalan keagamaan.
Melihatnya dalam kacamata keagamaan cukup beralasan mengingat tidak sedikit aksi
kekerasan (violence) itu dimotivasi oleh sentimen dan fanatisme agama.12 Aneh
memang, agama yang latar belakang diturunkannya untuk menentramkan umat
manusia, justru menjadi pemicu terjadinya aksi kekerasan antar sesama. Apa yang
keliru dari semua ini. Banyak jawaban yang dapat diajukan untuk menjawab
pertanyaan itu. Orang bisa mengatakan bahwa semua kekerasan itu dilatarbelakangi
oleh faktor kesenjangan ekonomi, perebutan kekuasaan politik, dan seterusnya.
Namun, sebagai masyarakat akademik, agaknya penting pula untuk melihatnya dari
aspek perspektif pelaksanaan pendidikan Islam.
Mengangkat tema tentang pelaksanaan pendidikan Islam, sesungguhnya
menyiratkan secare general pada pelaksanaan pengajaran agama oleh semua institusi
agama yang ada di Indonesia, termasuk pengajaran agama Kristen, Buddha, Hindu,
Protestan dan seterusnya. Wacana ini penting didiskusikan untuk melihat sejauh mana
pola pengajaran agama yang telah dilakukan selama ini mampu mencerahkan
oenganutnya sehingga daat meneladani sifat Tuhan Yang Maha Agung itu.
Signifikansi selanjutnya dari mengangkat tema ini adalah realitas plural agama yang
12 Log. Cit., hlm. 89, lihat Karen Amstrong, The Battel for Gid, (New York: A Knotf, 2001)
12
sejak lama telah ada di negeri in, bukan disesali dan justru menggelisahkan salah satu
kelompok agama. Tetapi bagaimana pluralisme agama ini dapat mendidik kita
sebagai hamba Tuhan yang arif dan saling menghormati, yang hal ini menjadi inti
dari semua agama.
Sejarah masa lalu bangsa ini kurang lebih 32 tahun memang belum mampu
menjadikan agama sebagai agen transformasi masyarakat, tetapi justru agama hanya
dijadikan sebagai ideologi massa. Dengan demikian akan sangat wajar apabila
masyarakat beragama di Indonesia memiliki sikap intoleransi, parokial, dan gethoism.
Atar sesama penganut hampir setiap hari nyaris terjadi pertikaian, permusuhan,
bahkan pembunuhan. Yang menyedihkan, justru agama senantiasa dibawa-bawa
sebagai pembenar dari semua tindakan munkar itu. Agama akhirnya tidak pernah
imun dari konflik yang tidak berkesudahan demi kepentingan masing-masing
penganutnya.13
Realitas empirik dan carut marut perilaku keagamaan yang menyimpang
seperti digambarkan di atas, ternyata juga dikukuhkan oleh pendidikan agama
disekolah-sekolah, madrasah, seminar, dan institusi pendidikan agama lainnya, yang
justru membekali dan mendoktrin para siswa dan mahasiswa dengan mental yang
amat kerdil dan berpikiran negatif (su’udzon) terhadap orang lain yang berbeda
dengan pandangan yang dimilikinya. Pendidikan agama disekolah-sekolah adalah
pendidikan agam yang bersifat ideologis-otoriter. Kering nuansa dialog didalamnya.
Pendidikan agama diajarkan secara literer, formalistik sehingga wawasan
pluralisme yang menjadi ciri khas kultur bangsa Indonesia tidak nampak sama sekali.
Pengajaran agama yang mencoba menumbuhkembangkan kritisisme dan apresiasi
atas agamanya sendiri atau agama orang lain bahkan dapat dicap sebagai
menyesatkan. Oleh karena itu, dapatkah kita berharap akan muncul sebuah
masyarakat yang damai, saling menghargai dan harmonisasi dalam metodologi
pengajaran agama yang kaku dan rigid dan bahkan cenderung anti dialog ?
Tanpa adanya ruang dialog untuk membangun persepsi dan pemahaman
terhadap perbedaan yang ada, maka yang terbangun adalah sikap eksklusif, tidak
13 Ibid., hlm. 90
13
toleran, dan watakm “sangar” yang menunjukkan kekerasan tanpa kompromi.14
Dalam konteks inilah, kita dapat menemukan kelompok-kelompok keagamaan yang
cenderung tidak toleran, seperti kaum fundamentalis, ekstremis, bhakan teroris, yang
mana mereka memang tersingkir dalam beragam konstelasi. Ketersingkiran inilah
yang kemudian terekspresikan dalam cara pandang yang eksklusif dan tidak toleran.
Sekali lagi, dialog adalah jiwa universal yang melampaui pertempuran agama-
agam, konfrontasi pandangan ilmiah denga kehidupan agama dan spiritual, alienasi
dunia etnik yang destruktif, fragmentasi dan disintegrasi kehidupan batin individu,
frustasi kebudayaan-kebudayaan sekuler dalam upaya membuka ruang dan waktu
publik di mana pluralitas pandangan dunia, perspektif, dan ideologi dapat maju
bersama-sama dengan spirit perdamaian, rekonsiliasi (sulh), pengampunan (‘afw) nir-
kekerasan (lyn), dan berkeadaban (madani).15
F. Penutup
Melihat peta dan pola pengajaran agama Islam yang selama ini dilakukan
secara terus menerus, agaknya para peneliti, guru, dosen, dan masyarakat pendidikan
perlu mengevaluasi dan merekonstruksi kembali metodolodi dan pola pengajaran
agama untuk menemukan hasil pengajaran agama yang benar-benar dapat
“menyelamatkan”. Sebab terdapat banyak resiko jika memahami agama sebagai
urusan vertikal semata tanpa merancangnya dalam berbagai urusan kemanusiaan
dalam pola interaksi yang harmonis.
Upaya yang bernuansa reformatif dan inovatif-rekonstruktif terhadap model
pendidikan agama dan pendidikan sosial keagamaan di era kontemporer sangatlah
mendesak dilakukan Pluralisme sebagai sikap yang mengakui dan menghargai
keadaan yang majemuk secara etnis, kebudayaan dan paham keagamaan adalah
sangat dibutuhkan untuk menciptakan dan memelihara kerukunan antaragama.
14 Ngainun Naim, Ahcmad Sauqi, Op.Cit., hlm. 108 15 Zakiyuddin Baidhawy, Membangun Sikap Multikulturalis Perspektif Teologi Islam,
(Surakarta: PSB-PS UMS, 2005), hlm. 25-26
14
Kegagalan pendidikan agama selama ini, setidaknya disebabkan oleh tiga
faktor. Pertama, pola pengajaran yang lebih disebabkan pada transfer of knowledge
dari pada transfer of values. Kedua, pendidikan agama tidak lebih hanya sebagai
hiasan kurikulum dan kurang bermakna keberadaannya. Ketiga, kurangnya
penekanan pengajaran agama pada dimensi kesalehan sosial dan penanaman nilai
cinta kasih, persahabatan, suka menolong, cinta damai dan toleransi.
Melihat kemajemukan di negara ini adalah penting mempertimbangkan
perancangan pola dan metodologi pengajaran agama Islam yang menyentuh dimensi-
dimensi kemanusiaan, terutama persoalan hak asazi manusia dan akhlak. Indonesia
harus dibangun sebagai negara pluralis dimana semua pemeluk agama dapat saling
menghargai dan hidup berdampingan tanpa kecurigaan. Ajaran untuk semua
(rahmatan lil ‘alamin) harus menunjukkan komitmen menuju tujuan dan cita-cita
mulia tersebut.
Daftar Pustaka
15
Abdurrahmansyah, Wacana Pendidikan Islam: Khazanah Filosofis dan Implementasi Kurikulum, Metodologi dan Tantangan Pendidikan Moralitas, (Yogyakarta: Global Pustaka Utama, 2004)
_________, SintetisKretaif: Pembaruan Kurikulum Pendidikan Islam Isma’il Raji al-Faruqi, (Yogyakarta: Global Pustaka Utama, 2002)
Abdullah, M. Amin, Kesadaran Multikultural; Sebuah Gerakan Interezt Minimalization Dalam Meredakan Konflik Sosial, dalam M. Ainul Yaqin, Pendidikan Multikultural, (Yogyakarta: Pilar, 2006).
Madjid, Nurcholis, Mencari Akar Islam bagi Pluralisme Modern; Pengalaman Indonesia, (Bandung: Mizan, 1998)
Noer, Kautsar Azhari, Menyemarakkan Dialog Agama (Prespektif Kaum Sufi), (Bandung: Zaman Wacana Mulia, 1999)
Ngainun Naim, Achmad Sauqi, Pendidikan Multikultural, Konsep dan Aplikasi, (Jogjakarta: Ar Rizz Media, 2008)
Shihab, Alwi, Islam Inklusif, Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama, (Bandung: Mizan, 1998), cet. Ke-3
Zakiyuddin Baidhawy, Membangun Sikap Multikulturalis Perspektif Teologi Islam, (Surakarta: PSB-PS UMS, 2005)
16
top related