non-muslim dan proses...
Post on 21-Oct-2020
14 Views
Preview:
TRANSCRIPT
-
i
NON-MUSLIM DAN PROSES BERPERKARA
DI MAHKAMAH SYAR’IYAH BANDA ACEH
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H)
Oleh :
WINANDA FIKRI PANEMIKO
NIM : 11150440000011
P R O G R A M S T U D I H U K U M K E L U A R G A
F A K U L T A S S Y A R I A H D A N H U K U M
U N I V E R S I T A S I S L A M N E G E R I
S Y A R I F H I D A Y A T U L L A H
J A K A R T A
1440 H/2019 M
-
ii
NON-MUSLIM DAN PROSES BERPERKARA
-
iii
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli yang diajukan untuk memenuhi salah
satu persyaratan memperoleh gelar strata satu (S1) di Universitas Islam negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penelitian ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan karya asli saya atau
merupakan hasil penjiplakan karya orang lain, maka saya bersedia menerima
sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta.
Ciputat, 10 Mei 2019
04 Ramadhan 1440 H
Winanda Fikri Panemiko
-
iv
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
-
v
ABSTRAK
Winanda Fikri Panemiko. NIM 11150440000011. NON-MUSLIM DAN PROSES
BERPERKARA DI MAHKAMAH SYAR’IYAH BANDA ACEH. Hukum Keluarga.
Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta,
1440 H/2019 M.
Studi ini bertujuan untuk menjelaskan kewenangan Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh
terhadap perkara non-muslim, menganalisis hak-hak non-muslim di Mahkamah
Syar’iyah Banda Aceh dan alasan non-muslim memilih Mahkamah Syar’iyah Banda
Aceh sebagai tempat mencari keadilan.
Jenis Penelitian ini adalah kualitatif dengan pendekatan yuridis-empiris. Sumber data
penelitian ini adalah; dokumen-dokumen hukum dan putusan-putusan yang terkait
dengan perkara non-muslim di Mahkamah Syar’iyah di Banda Aceh, hasil wawancara
dan observasi serta sumber lain yang relevan dengan studi ini. Teknik pengumpulan
data dengan melakukan observasi dan wawancara kepada hakim-hakim di Mahkamah
Syar’iyah Banda Aceh, pihak-pihak yang berperkara, Wilayatul Hisbah Banda Aceh,
Polresta Banda Aceh, Dinas Syari’at Islam Provinsi Aceh, dan Kejaksaan Negeri
Banda Aceh, dan tokoh masyarakat.
Studi ini memperlihatkan bahwa secara konstitusional non-muslim berhak untuk
memilih Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh untuk mencari keadilan. Karena
Mahkamah Syar’iyah merupakan pengadilan khusus di lingkungan Peradilan Agama
dan Peradilan Umum sepanjang memenuhi kompetensi absolut masing-masing
Peradilan. Non-muslim merasa lebih adil ketika memilih Mahkamah Syar’iyah Banda
Aceh sebagai penegak keadilan, karena ketentuan hukum Qanun Jinayah yang
digunakan dinilai lebih ringan dan efisien. Meskipun demikian, penerapan Qanun
Jinayah bagi non-muslim memberikan trauma secara psikologis dan dinilai masih
membatasi hak mereka dalam bidang ekonomi, sosial, dan budaya.
Kata Kunci : Non-muslim, Mahkamah Syar’iyah, Tindak Pidana, Qanun Jinayah
Pembimbing : Dr. Abdul Halim, M.Ag
Daftar Pustaka : 1977-2018
-
vi
KATA PENGANTAR
Segala puji untuk pemilik pujian, yakni Allah Subhaanahu wa Ta’ala. Shalawat
dan salam atas sebaik-baik manusia, baginda kita, kekasih Tuhan semesta alam, yaitu
Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, yang memberi kabar gembira dan
peringatan, yang berasal dari Bani Hasyim yang mulia, yang penuh kasih sayang, yang
murah hati, yang dikenal dengan nama Ahmad, dan keselamatan atas keluarganya
yang paling suci dan sahabat-sahabatnya yang berbudi pekerti dengan budi pekertinya
Nabi.
Pada kesempatan ini, Penulis juga bermaksud untuk mengucapkan rasa terima
kasih kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan dalam proses penyusunan
skripsi ini, baik bantuan berupa moril maupun materil, khususnya kepada :
1. Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, S.Ag, S.H, M.H, M.A., Dekan Fakultas Syariah dan
Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta beserta
Wakil dekan I, II, dan III Fakultas Syariah dan Hukum
2. Dr. H. Abdul Halim, M.Ag, Ketua Program Studi Hukum Keluarga sekaligus
sebagai Dosen Pembimbing dalam penyusunan skripsi penulis, yang terus
memberikan arahannya dan telah sabar membimbing penulis untuk segera
menyelesaikan skripsi ini dan Indra Rahamatullah, S.HI., M.H Sekretaris
Program Studi Hukum Keluarga, yang selalu memberikan motivasi dan
mendukung penulis dalam proses penyusunan skripsi ini.
3. Kepada Bapak Rosmani Daud, Juwaini, Yusri, dan Ahmad Sobardi selaku
Hakim Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh, Bapak Safriyadi selaku Ketua
Wilayatul Hisbah Banda Aceh, Bapak Antoni Sanjaya selaku Penyidik Polresta
Banda Aceh, Bapak Husni Mubarak, selaku Kepala Bidang Bina Hukum Dinas
Syariat Islam Provinsi Aceh, dan Bapak Mursyid, selaku Jaksa Penuntut Umum
Kejaksan Negeri Banda Aceh, Bapak Dahlan Silitonga dan Ibu Tjia Nyuk Hwa
-
vii
Su Lung, serta seluruh rekan-rekan penulis yang tidak bisa sebutkan satu persatu,
namun tetap tidak mengurangi rasa hormat penulis, yang telah membantu atas
terselesaikannya penelitian ini.
4. Kepada Paman Jamhuri dan Keluarga yang sudah bersedia memberikan tempat
tinggal dan kendaraan kepada penulis selama penulis melakukan penelitian,
sehingga penelitian yang dilakukan dapat berjalan dengan lancar.
5. Paling teristimewa untuk kedua Orang Tua penulis, bapak tercinta H. Surja
Abdul Jalil, S.Ag, M.M. dan mama tersayang Elly Rosna, S.Pd., yang tidak
pernah bosan-bosannya menyemangati penulis agar segera menyelesaikan
skripsi ini dan senantiasa mendoakan penulis agar terus diberikan kemudahan
dalam setiap proses pendidikan yang dijalani.
6. Kepada Win Sahrial Efendi Aramiko dan Win Syahran Utama Arifmiko yang
menjadi sosok dan figur panutan bagi penulis dalam segala hal, serta keponakan
yang lucu-lucu, Win Hannan Simahate, Win Nazran Arifdi, dan Haura
Shaqueena Pintenate. Serta seluruh Keluarga Besar yang berada di Aceh dan
Bali.
7. Kepada seluruh teman-teman Yayasan (UICCI) Sulaimaniyah Cabang Ciputat,
Kelompok Abi Aqil, Kelompok Abi Lutfi, Kelompok Abi Ahmet, Kelompok
Abi Sinan, dan Kelompok Abi Sulaiman yang menjadi saksi hidup perjuangan
bersama hingga diselesaikannya skripsi ini.
8. Kepada seluruh teman-teman Hukum Keluarga angkatan 2015, Keluarga HMPS
Hukum Keluarga periode 2015, Keluarga DEMA Fakultas Syari’ah dan Hukum
periode 2017, dan teman-teman FORSA Catur UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
9. Teman-teman KKN 133 Metasaga dan Ibu Nafia Wafiqni, yang selalu
mendukung penelitian skripsi yang penulis laksanakan dikala melaksanakan
kegiatan KKN 2018.
10. Teman-teman “calon sarjana hukum”, Suparman, Kahfiel Waro, Ira Putri
Wahyuni, Ladina Anbiya Rosalinda, Nurmalia Ivani, Siti Muslikatun Rahmah,
-
viii
dan Khoirunnisa Fahmiyanti yang senantiasa menyemangati dan mendukung
penulis untuk segera menyelesaikan skripsi ini.
11. Sahabat “Nusantaranger” yang selalu memberikan dukungan, motivasi, dan
pengethuan baru kepada penulis.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih perlu mendapatkan perbaikan. Oleh
karena itu, saran dan kritik akan penulis perhatikan dengan baik. Semoga skripsi ini
dapat bermanfaat bagi penulis khususnya, pembaca pada umumnya serta dicatat
sebagai amal ibadah di sisi Allah Swt.
Jakarta, 10 Mei 2019
Penulis
-
ix
DAFTAR ISI
LEMBAR PERNYATAAN ...................................................................................... iii
PENGESAHAN PANITIA UJIAN .......................................................................... iv
ABSTRAK .................................................................................................................. v
KATA PENGANTAR ............................................................................................... vi
DAFTAR ISI .............................................................................................................. ix
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 12
A. Latar Belakang Masalah .......................................................................... 12
B. Identifikasi Masalah ................................................................................ 15
C. Pembatasan Masalah ............................................................................... 16
D. Perumusan Masalah................................................................................. 16
E. Tujuan dan Manfaat Penelitian ............................................................... 17
F. Metode Penelitian .................................................................................... 17
1. Pendekatan Penelitian ......................................................................... 18
2. Jenis Penelitian ................................................................................... 18
3. Data Penelitian.................................................................................... 19
4. Teknik Pengumpulan Data ................................................................. 20
5. Subjek Penelitian ................................................................................ 21
6. Teknik Pengolahan Data..................................................................... 21
7. Metode Analisis Data ......................................................................... 22
G. Sistematika Penelitian ............................................................................. 23
BAB II NON MUSLIM DALAM MAHKAMAH SYAR’IYAH ........................ 25
A. Non-muslim dalam Hukum Islam ........................................................... 25
1. Pengertian Non-Muslim ..................................................................... 25
2. Hak-Hak Non-Muslim ........................................................................ 29
3. Kewajiban Non-Muslim ..................................................................... 31
B. Mahkamah Syar’iyah dalam Sistem Peradilan di Indonesia ................... 33
1. Pengertian Mahkamah Syar’iyah ....................................................... 33
-
x
2. Kedudukan dan Kewenangan Mahkamah Syar’iyah ......................... 35
C. Qanun Dalam Sistem Hukum di Indonesia ............................................. 40
1. Definisi Qanun.................................................................................... 40
2. Kedudukan Qanun dalam Sistem Hukum Nasional ........................... 41
D. Teori Analisis Penelitian ......................................................................... 43
1. Teori Sejarah Hukum ......................................................................... 43
2. Teori Kekuasaan Kehakiman ............................................................. 43
3. Teori Positivisme Hukum ................................................................... 44
4. Teori Choice Of Law .......................................................................... 45
5. Teori Choice Of Forum ...................................................................... 45
6. Teori Sistem Hukum........................................................................... 45
E. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu ...................................................... 46
BAB III PROSES PENYELESAIAN PERKARA NON-MUSLIM DI
MAHKAMAH SYAR’IYAH BANDA ACEH......................................... 49
A. Lembaga Pelaksana Syariat Islam bagi Non-Muslim di Banda Aceh .... 49
1. Lembaga Kepolisian Banda Aceh ...................................................... 49
2. Wilayatul Hisbah Banda Aceh ........................................................... 51
3. Lembaga Kejaksaan Negeri Banda Aceh ........................................... 54
4. Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh ..................................................... 55
B. Ketentuan dan Prosedur Hukum Non-Muslim di MS Banda Aceh ........ 60
1. Ketentuan Hukum Non-Muslim di Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh
............................................................................................................ 60
2. Prosedur Hukum Non-Muslim di Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh62
C. Hak Non-Muslim di Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh ........................ 68
1. Hak-Hak Tersangka ............................................................................ 68
2. Hak-Hak Terdakwa ............................................................................ 70
BAB IV NON-MUSLIM DALAM PUTUSAN MAHKAMAH SYAR’IYAH
BANDA ACEH ........................................................................................... 72
A. Pertimbangan Non-Muslim Memilih Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh ..
................................................................................................................. 72
-
xi
1. Struktur Hukum (Legal Structure) ..................................................... 74
2. Substansi Hukum (Legal Substance) .................................................. 76
3. Budaya Hukum (Legal Culture) ......................................................... 77
B. Putusan Non-Muslim di Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh .................. 78
1. 33/JN/2017/Ms.Bna ............................................................................ 78
2. 6/JN/2018/Ms.Bna .............................................................................. 82
3. 7/JN/2018/Ms.Bna .............................................................................. 86
4. 22/JN/2018/Ms.Bna ............................................................................ 90
C. Analisis Putusan Non-Muslim di Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh .... 93
1. Analisis Putusan Ditinjau dari Sudut Pandang Hukum Islam ............ 93
2. Analisis Putusan Ditinjau dari Hak Keadilan Non-muslim di
Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh ..................................................... 97
3. Analisis Putusan Ditinjau dari segi Prosedur Berperkara Non-Muslim
Di Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh ................................................ 99
D. Eksekusi Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh Terhadap Non-Muslim .. 102
BAB V PENUTUP ................................................................................................. 105
A. Kesimpulan............................................................................................ 105
B. Saran ...................................................................................................... 107
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................. 109
LAMPIRAN ............................................................................................................ 116
-
12
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Penerapan syariat Islam di propinsi Aceh sampai sekarang masih
menimbulkan polemik dan respon yang beragam di kalangan masyarakat
Indonesia dan bahkan di dunia internasional. Pertentangan pendapat tentang
penerapan syariat Islam di Aceh sering mengatasnamakan hak asasi manusia dan
tuduhan terhadap Qanun Aceh yang kejam dan tidak manusiawi serta primitif. Isu-
isu utama yang sangat krusial pasca pemberlakuan Qanun Aceh diantaranya
terkait dengan persoalan hak-hak perempuan dan kelompok minoritas, khususnya
non-muslim.1
Studi ini bermaksud menganalisis isu seputar pemberlakuan syariat Islam
yang berhubungan dengan pelaksanaan hukuman cambuk terhadap non-muslim
melalui Mahkamah Syar’iyah di Aceh. Respon dan kritikan bermunculan dari
tingkat Nasional dan Internasional. Dari kalangan Nasional, Institute for Criminal
Justice Reform (ICJR) menjadi salah satu pihak yang menyampaikan keberatan.
Bagi ICJR, hukuman badan atau tubuh melalui cambuk, “sistem pemidanaan
Indonesia secara tegas melarang penggunaan hukuman cambuk.”2 Dari kalangan
Internasional keberatan disampaikan oleh Amnesty International, yang
menyatakan “this sickening spectacle, carried out in front of more than a thousand
jeering spectators, is an act of utmost cruelty”.3
1 Abdul Manan, Mahkamah Syar’iyah Aceh Dalam Politik Hukum Nasional. (Jakarta:
Prenadamedia Group, 2018), h., 20. 2 Bonardo Maulana Wahono, Warga Budhis yang Dicambuk dan Qanun Jinayat Aceh,
https://beritagar.id/artikel/berita/warga-buddha-yang-dicambuk-dan-qanun-jinayat-aceh yang diakses
pada Senin 18 Desember 2018. 3 Amnesty International, Pernyataan Amnesty International : Mencambuk Pria Gay Suatu
Kekejaman yang Keterlaluan, https://www.amnesty.org/en/latest/news/2017/05/indonesia-caning-of-
gay-men-an-outrageous-act-of-cruelty/ yang diakses pada 18 Desember 2018.
https://beritagar.id/artikel/berita/warga-buddha-yang-dicambuk-dan-qanun-jinayat-acehhttps://www.amnesty.org/en/latest/news/2017/05/indonesia-caning-of-gay-men-an-outrageous-act-of-cruelty/https://www.amnesty.org/en/latest/news/2017/05/indonesia-caning-of-gay-men-an-outrageous-act-of-cruelty/
-
13
Beberapa kasus yang mengundang kontroversi dalam konteks perkara Non-
Muslim yang diproses melalui Mahkamah Syar’iyah dengan menerapkan Qanun
Aceh tercatat sejak dimulai diterapkannya Qanun Jinayah di Aceh sudah terdapat
13 kasus, dengan kecenderungan non-muslim yang lebih memilih Mahkamah
Syar’iyah daripada Pengadilan Negeri, sebagai berikut:
4 Husaini, “Keadaan Perkara Jinayat Mahkamah Syar’iyah Kutacane dan Eksekusi Tahun 2014-
2016”, (Kutacane: Makalah Mahkamah Syar’iyah Kutacane, 2017), h.,13, t.d. 5 Abdul Manan, Mahkamah Syar’iyah Aceh Dalam Politik Hukum Nasional. (Jakarta:
Prenadamedia Group, 2018), h., 393 6 Husaini, “Keadaan Perkara Jinayat Mahkamah Syar’iyah Kutacane dan Eksekusi Tahun 2014-
2016”, (Kutacane: Makalah Mahkamah Syar’iyah Kutacane, 2017), h.,18, t.d. 7 Husaini, “Keadaan Perkara Jinayat Mahkamah Syar’iyah Kutacane dan Eksekusi Tahun 2014-
2016”, h.,18, t.d. 8 Syamsul Bahri, “Inkonsistensi Hukum Penerapan Hukuman Cambuk terhadap Non-Muslim di
Aceh”, Proceedings of Annual Conference for Muslim Scholars, No. 2, (2018), h., 874. 9 Syamsul Bahri, “Inkonsistensi Hukum Penerapan Hukuman Cambuk terhadap Non-Muslim di
Aceh”, h., 874. 10 Abdul Manan, Mahkamah Syar’iyah Aceh Dalam Politik Hukum Nasional. (Jakarta:
Prenadamedia Group, 2018), h., 395 11 Abdul Manan, Mahkamah Syar’iyah Aceh Dalam Politik Hukum Nasional, h., 398 12 Rekapitulasi Laporan Perkara Jinayat Yang Telah Putus Belum dan Sudah Dieksekusi Pada
Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh, Tahun 2017, t.d. 13 Laporan Perkara Jinayat Yang Telah Putus Belum dan Sudah Eksekusi Tahun 2018, t.d. 14 Laporan Perkara Jinayat Yang Telah Putus Belum dan Sudah Eksekusi Tahun 2018, t.d.
No Mahkamah
Syar’iyah Tahun Jenis Perkara Agama Nomor Perkara Jenis Hukuman
1 Kutacane 2015 Khalwat Kristen 09/JN/2015/Ms.Kc4 Denda 5 gr emas
2 Takengon 2016 Khamr Kristen 1/JN/2016/Ms.Tkn5 Cambuk 28 kali
3 Kutacane 2016 Maisir Kristen 33/JN/2016/Ms.Kc6 Cambuk 8 kali
4 Kutacane 2016 Maisir Kristen 35/JN/2016/Ms.Kc7 Cambuk 8 kali
5 Jantho 2017 Maisir Budha 1/JN/2017/Ms.Jth8 Cambuk 9 kali
6 Jantho 2017 Maisir Budha 1/JN/2017/Ms.Jth9 Cambuk 7 kali
7 Sabang 2017 Khalwat Kristen 12/JN/2017/Ms.Sab10 Denda 30 gr emas
8 Sabang 2017 Khalwat Kristen 14/JN/2017/Ms.Sab11 Denda 30 gr emas
9 Banda Aceh 2018 Khamr Kristen 33/JN/2017/Ms.Bna12 Cambuk 40 kali
10 Banda Aceh 2018 Maisir Kristen 6/JN/2018/Ms.Bna13 Cambuk 8 kali
11 Banda Aceh 2018 Maisir Kristen 7/JN/2018/Ms.Bna14 Cambuk 8 kali
-
14
Meskipun sudah terdapat beberapa kasus non-muslim memilih Mahkamah
Syar’iyah sebagai wadah mencari keadilan. Penerapan syariat Islam bagi
minoritas non-muslim di Aceh tetap dinilai telah mencoreng konsep hak asasi
manusia (HAM). Penduduk non-muslim yang hanya berjumlah 61.135 jiwa dari
4.413.244 jiwa jumlah penduduk Aceh17 merasakan kekhawatiran terhadap
penerapan syariat Islam bagi kehidupan mereka apabila menjadi hukum positif.18
Studi ini juga bermaksud untuk menganalisis isu dualisme hukum yang
terjadi bagi non-muslim yang berperkara di propinsi Aceh, karena minoritas non-
muslim dianggap kehilangan kepastian hukumnya dalam menentukan dan
menggunakan hak konstitusionalnya dalam menyelesaikan perkara. Selain itu,
studi ini juga bermaksud mengungkap alasan non-muslim memilih Mahkamah
Syar’iyah sebagai tempat mencari keadilan dibandingkan Pengadilan Negeri, dan
bagaimana tanggapan non-muslim yang pernah berperkara di Mahkamah
Syar’iyah terkait perlakuan dan hak yang diterima, apakah merasa diperlakukan
lebih adil dengan adanya penerapan syariat Islam atau justru mengkritik dan
memberi ungkapan sinis terhadap pelaksanaan syariat Islam di Aceh yang
dijalankan oleh Mahkamah Syar’iyah.
15 Laporan Perkara Jinayat Yang Telah Putus Belum dan Sudah Eksekusi Tahun 2018, t.d. 16 BBC News Indonesia, Penganut Kristen Dihukum Cambuk Di Aceh: 'Saya Pilih Dicambuk
Ketimbang Dipenjara', https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-45097240 yang diakses pada 8
Januari 2019. 17 Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Aceh. Data Sensus Penduduk Tahun 2010 Berdasarkan
Klasifikasi Penduduk Menurut Wilayah dan Agama yang Dianut,
https://sp2010.bps.go.id/index.php/site/tabel?tid=321&wid=1100000000 yang diakses pada 27
Agustus 2018. 18 Hukumonline.com, Dua Kategori Non-Muslim yang Bisa Terjerat Qanun Jinayah,
https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt54da9dfa18fc9/dua-kategori-non-muslim-yang-bisa-
terjerat-qanun-jinayah yang diakses pada 16 November 2018.
12 Banda Aceh 2018 Khamr Kristen 22/JN/2018/Ms.Bna15 Cambuk 30 kali
13 Lhoksemauwe 2018 Khamr Kristen 10/JN/2018/Ms.Lsm16 Cambuk 20 kali
https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-45097240https://sp2010.bps.go.id/index.php/site/tabel?tid=321&wid=1100000000https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt54da9dfa18fc9/dua-kategori-non-muslim-yang-bisa-terjerat-qanun-jinayahhttps://www.hukumonline.com/berita/baca/lt54da9dfa18fc9/dua-kategori-non-muslim-yang-bisa-terjerat-qanun-jinayah
-
15
Untuk mendapatkan data yang valid dalam studi ini, maka penelitian ini
akan dilaksanakan di Banda Aceh. Mengingat mayoritas jumlah kasus
pemberlakuan syariat Islam terhadap non-muslim terjadi di Mahkamah Syar’iyah
Banda Aceh, dan secara sosiologis Banda Aceh merupakan wilayah yang
memiliki penduduk beragama Budha terbanyak di Aceh, dengan jumlah penduduk
2.755 jiwa.19 Kota Banda Aceh juga menjadi kota dengan tingkat kepadatan
penduduk yang paling tinggi, yaitu 4.470 jiwa/km2 dan memiliki tingkat variasi
agama yang paling banyak di Aceh, yaitu Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha,
Khong Hucu, dan lainnya.20
Sehingga, penelitian ini penting dilakukan untuk menganalisis isu seputar
pemberlakuan syariat Islam terhadap non-muslim melalui Mahkamah Syar’iyah
di Banda Aceh, proses berperkara non-muslim di Mahkamah Syar’iyah Banda
Aceh dan tanggapan terhadap Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh dalam
menjalankan pelaksanaan syariat Islam di Aceh.
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah diatas, penulis bermaksud untuk
memunculkan beberapa permasalahan yang dapat diidentifikasi sebagai berikut:
1. Bagaimana kewenangan Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh dalam menangani
kasus non-muslim?
2. Bagaimana proses berperkara bagi non-muslim di Mahkamah Syar’iyah
Banda Aceh?
3. Bagaimana penerapan Qanun Jinayah terhadap non-muslim berdasarkan
perspektif Hak Asasi Manusia?
19 Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Aceh. Data Sensus Penduduk Tahun 2010 Berdasarkan
Klasifikasi Penduduk Menurut Wilayah dan Agama yang Dianut.
https://sp2010.bps.go.id/index.php/site/tabel?tid=321&wid=1100000000 yang diakses pada 27
Agustus 2018. 20 Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Aceh. Provinsi Aceh Dalam Angka (Aceh Province In
Figures) 2016, (Banda Aceh: BPS Provinsi Aceh, 2016), h., 34.
https://sp2010.bps.go.id/index.php/site/tabel?tid=321&wid=1100000000
-
16
4. Apa saja bentuk jarimah dan ‘uqubah dalam Qanun Jinayah?
5. Bagaimana pendapat non-muslim yang berperkara di Mahkamah Syar’iyah
Banda Aceh?
6. Bagaimana sejarah pembentukan Qanun Jinayah di Mahkamah Syar’iyah?
7. Apa kelebihan Qanun Jinayah dibandingkan KUHP?
8. Kenapa non-muslim lebih memilih Mahkamah Syar’iyah dalam mencari
keadilan?
9. Bagaimana pelaksanaan Hukum Islam bagi non-muslim yang melakukan
jarimah?
C. Pembatasan Masalah
Agar penelitian dalam skripsi ini tidak melebar, jelas, dan terarah, maka
penulis memberikan beberapa batasan masalah; pertama, penulis membatasi
pembahasan non-muslim dari sudut pandang hukum Islam, hanya pandangan
keempat imam madzhab; kedua, penulis membatasi wilayah penelitian hanya
pada Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh; ketiga, penulis juga hanya membatasi
penelitian terhadap perkara-perkara yang terjadi di Mahkamah Syar’iyah Banda
Aceh saja secara spesisifik, sedangkan perkara yang terjadi diluar Mahkamah
Syar’iyah Banda Aceh secara umum saja.
D. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang sudah penulis jabarkan diatas, maka
rumusan masalah yang akan diteliti adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana kewenangan Mahkamah Syar’iyah terhadap perkara non-
muslim?
2. Bagaimana proses berperkara non-muslim di Mahkamah Syar’iyah Banda
Aceh?
3. Kenapa non-muslim lebih memilih Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh dalam
mencari keadilan?
-
17
4. Apakah non-muslim bisa mendapatkan hak-haknya selama berperkara di
Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh?
E. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
a. Menjelaskan dan memberikan gambaran perihal kewenangan Mahkamah
Syar’iyah terhadap perkara non-muslim.
b. Memberikan gambaran secara detail terkait proses berperkara non-muslim
di Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh.
c. Menjelaskan alasan yang mendasari non-muslim memilih Mahkamah
Syar’iyah Banda Aceh dalam mencari keadilan.
d. Untuk mengetahui tanggapan terkait hak-hak yang diberikan bagi non-
muslim yang pernah berperkara di Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh.
2. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan pemahaman lebih bagi
akademisi, praktisi, minoritas non-muslim, pembaca pada umumnya, serta
seluruh lapisan masyarakat terkait penerapan syariat Islam bagi non-muslim
dan diharapkan penelitian ini memberikan kontribusi positif bagi
pengembangan wacana keilmuan di bidang sistem peradilan hukum nasional.
Menjadi bahan pertimbangan dalam merumuskan hukum yang bersubstansi
hukum Islam, perumusuan RUU KUHP terbaru dan hasil riset terkait non-
muslim di Indonesia.
F. Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum yuridis-empiris
dengan pendekatan kasus (case approach). Dengan jenis dan pendekatan penelitian
tersebut, penulis akan mengumpulkan data yang dapat menjawab empat pertanyaan,
yang meliputi : pertama, kewenangan Mahkamah Syar’iyah dalam menangani
perkara non-muslim; kedua, gambaran berkaitan dengan proses berperkara non-
-
18
muslim di Mahkamah Syar’iyah; ketiga, alasan non-muslim lebih memilih
Mahkamah Syar’iyah dibanding Pengadilan Negeri; keempat, hak-hak yang
diperoleh oleh non-muslim ketika berperkara di Mahkamah Syar’iyah.
Terhadap keempat data yang diperlukan tersebut, penulis akan
mengumpulkan data dan informasi melalui wawancara dengan pihak-pihak terkait
dengan proses berperkara non-muslim di Mahkamah Syar’iyah, yaitu Polresta
Banda Aceh, Wilayatul Hisbah Banda Aceh. Kejaksaan Negeri Banda Aceh,
Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh, non-muslim yang berperkara dan Dinas Syariat
Islam Aceh. Selain itu, penulis juga menggunakan bahan hukum berupa peraturan
perundang-undangan, buku, hasil-hasil penelitian, jurnal, majalah ilmiah, serta
surat kabar. yang berhubungan dengan penelitian ini.
1. Pendekatan Penelitian
Dalam penelitian ini, pendekatan penelitian yang digunakan adalah
pendekatan empiris yang secara spesifik penulis sebut sebagai pendekatan
kasus (case approach) yang bertujuan untuk mengkaji terhadap kasus-kasus
yang berkaitan putusan kontroversial Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh yang
telah mempunyai kekuatan hukum tetap, dan objek kajian pokok di dalam
pendekatan kasus adalah ratio decidendi atau reasoning, yaitu pertimbangan
para pihak dan pengadilan untuk sampai kepada suatu putusan.21
2. Jenis Penelitian
Dalam penelitian ini, jenis penelitian yang digunakan adalah jenis
penelitian kualitatif, yaitu menganalisa dan menyajikan fakta secara sistematik
tentang objek yang sebenarnya. Dengan metode deskriptif kualitatif ini penulis
akan mendeskripsikan secara komprehensif dan mendalam tentang suatu
peristiwa atau kejadian yang berlangsung pada saat sekarang yang
21 Salim HS. Penerapan Teori Hukum pada Penelitian Tesis dan Disertasi, (Jakarta : Rajawali
Pers, 2017), ed.1. cet. 5, h., 18.
-
19
berhubungan dengan objek penelitian. Melalui metode ini, diharapkan akan
memperoleh pemahaman dan penafsiran yang mendalam mengenai makna dan
data di lapangan untuk kemudian dianalisis dan ditemukan jawaban dari
pertanyaan penelitian yang dimaksud.
Penelitian ini juga merupakan penelitian deskriptif yang dimaksudkan
untuk menggali data dan informasi baik tentang proses dan mekanisme. Selain
itu penelitian ini merupakan paduan dari penelitian lapangan dan penelitian
kepustakaan, karena diawali dengan penelitian di lapangan dan kemudian
dilakukan telaah bahan pustaka dan literatur.
3. Data Penelitian
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan sumber data yang meliputi
data primer dan data sekunder.
a. Data Primer
Data primer dalam penelitian ini adalah sumber data atau hasil
penelitian lapangan. Untuk mendapatkan data primer ini, penulis
mengadakan observasi serta wawancara mendalam (depth interview)
kepada pihak non-muslim yang berperkara, lembaga penegak hukum dan
pemerintah yang berkaitan dengan penelitian ini.
b. Data Sekunder
Data sekunder dalam penelitian ini adalah diperoleh dari beberapa
literatur baik dari peraturan perundang-undangan, buku, hasil penelitian,
jurnal, skripsi, majalah ilmiah, surat kabar, artikel dari internet ataupun
materi yang berkaitan dengan penelitian ini.
-
20
4. Teknik Pengumpulan Data
a. Observasi
Peneliti akan melaksanakan penelitian lapangan secara langsung ke
lokasi penelitian di Banda Aceh selama 30 hari, untuk memperoleh data-
data yang diperlukan terkait non-muslim dan proses berperkara di
Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh.
b. Wawancara
Dalam penelitian ini penulis akan melakukan wawancara kepada
beberapa pihak yang di Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh guna mengetahui
dimensi sosial non-muslim di Banda Aceh dan dimensi hukum proses
berperkara bagi non-muslim di Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh. Adapun
pihak yang diwawancarai adalah sebagai berikut:
1) Antoni Sanjaya, Penyidik Polresta Banda Aceh.
2) Safriyadi, Ketua Wilayatul Hisbah Banda Aceh
3) Mursyid S.H, M.H, JPU Kejaksaan Negeri Banda Aceh
4) Rosmani Daud, Hakim Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh
5) Yusri, Hakim Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh
6) Juwaini, Hakim Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh
7) Dahlan Silitonga, Non-muslim yang berperkara di Mahkamah Syar’iyah
Banda Aceh
8) Tjia Nyuk Hwa Su Lung, Non-muslim yang berperkara di Mahkamah
Syar’iyah Banda Aceh
9) Husni Mubarak, Kabid Bina Hukum Dinas Syariat Islam Provinsi Aceh
c. Studi Pustaka
Studi pustaka adalah pengumpulan data melalui benda-benda tertulis,
seperti buku-buku, majalah, dokumen, peraturan, dan sebagainya. Metode ini
-
21
digunakan untuk mendapatkan bahan-bahan informasi tentang keadaan non-
muslim dan proses berperkara di Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh.
5. Subjek Penelitian
Subjek penelitian dalam penelitian ini adalah alasan hukum (legal reason)
non-muslim memilih berperkara di Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh. Sehingga
penulis akan melakukan wawancara terhadap non-muslim yang pernah berperkara
di Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh, Polresta Banda Aceh, Kejaksaan Negeri
Banda Aceh, Wilayatul Hisbah Banda Aceh. Hakim Mahkamah Syar’iyah Banda
Aceh, dan Dinas Syariat Islam Provinsi Aceh untuk menjamin bahwa unsur yang
diteliti masuk dalam kategori pembahasan penelitian ini.
6. Teknik Pengolahan Data
Teknik pengolahan data yang dilakukan dalam penelitian ini dimaksudkan
untuk menjelaskan prosedur pengolahan dari sumber data yang sudah didapatkan
sesuai dengan pendekatan yang digunakan. Karena penelitian ini menggunakan
pendekatan kualitatif, sehingga pengolahan data akan mengalami beberapa
tahapan sebagai berikut:
a. Pengeditan Data (Editing)
Pada tahap ini, data yang sudah penulis kumpulkan akan dilakukan
pemeriksaan ulang. kemudian pengeditan data dilakukan dengan melengkapi
kekurangan dan menghilangkan kesalahan yang terdapat pada data mentah.
Dalam penelitian ini penulis melakukan proses editing terhadap hasil
wawancara narasumber non-muslim yang berperkara di Mahkamah Syar’iyah
Banda Aceh, Polresta Banda Aceh, Wilayatul Hisbah Banda Aceh, Kejaksaan
Negeri Banda Aceh, Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh, dan Dinas Syariat
Islam Aceh.
-
22
b. Klasifikasi (Classifying)
Pada tahap ini, dilakukan proses pengelompokan semua data baik yang
berasal dari hasil wawancara, putusan, data perkara, dan catatan lapangan.
Setelah data dibaca secara mendalam, data tersebut kemudian digolongkan
sesuai dengan kebutuhan. Hal ini dilakukan agar data yang sudah didapat
dapat dipahami oleh penulis.
c. Verifikasi (Verifying)
Pada tahap ini, akan dilakukan pengecekan data ulang, dengan cara
memeriksa data yang sudah didapat dilapangan untuk dilakukan uji validitas
data agar dapat digunakan dalam penelitian. Yaitu dengan menyerahkan data
yang sudah didapat kepada subjek penelitian. Hal ini dilakuakn untuk
menjamin data yang didapatkan adalah benar-benar valid dan tidak ada
manipulasi.
d. Kesimpulan (Concluding)
Kesimpulan merupakan tahap terakhir dalam proses pengolahan data.
Tahap inilah yang akan menjadi data terkait objek penelitian yang digunakan
setelah melalui tahapan-tahapan pengolahan data dari editing, classifying,
verifying, dan concluding.
7. Metode Analisis Data
Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis
kualitatif, yaitu dengan cara menguraikan data dalam bentuk kalimat yang
tersusun secara sistematis untuk mempermudah penulis dalam memperoleh
kesimpulan. Analisis data yang penulis gunakan merupakan mencari dan
menyusun secara sistematik data yang diperoleh dari hasil wawancara, catatan
lapangan, dan bahan-bahan lain untuk dilakukan interpretasi data sehingga dapat
dipahami dan diinformasikan kepada orang lain. Analisis ini data ini
menggunakan metode analisis kualitatif berikut:
-
23
a. Metode induktif, yaitu analisis yang berangkat dari bentuk data yang khusus
kemudian mengambil kesimpulan yang bersifat umum. Artinya penulis
bermula dari suatu putusan terhadap non-muslim di Mahkamah Syar’iyah
Banda Aceh, kemudian melakukan analisis terhadap putusan-putusan serupa
yang menghasilkan kesimpulan yang bersifat umum.
b. Metode deduktif, yaitu analisis yang berangkat dari ketentuan peraturan
perundang-undangan yang bersifat umum menuju suatu kesimpulan yang
bersifat khusus. Artinya ketentuan yang ada dalam peraturan perundang-
undangan yang dijadikan sebagai acuan dalam menganalisis proses
berperkara bagi non-muslim yang berperkara di Mahkamah Syar’iyah Banda
Aceh.
G. Sistematika Penelitian
Sistematika penelitian ini merujuk pada Buku Pedoman Penelitian Skripsi
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta Fakultas Syariah dan
Hukum. Untuk mengetahui gamabaran secara keseluruhan isi penelitian dalam
penelitian ini, penyusun menguraikan secara singkat sebagai berikut:
Bab Kesatu, berisi tentang latar belakang masalah, identifikasi masalah,
batasan masalah, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, review studi
terdahulu, kerangka teori, metode penelitian dan sistematika penelitian.
Bab Kedua, berisi tentang menguraikan kajian pustaka. Bab kedua terdiri dari
dua bagian. Bagian yang pertama, berisi pembahasan terkait pengertian non-muslim
dalam hukum Islam, Mahkamah Syar’iyah dalam Sistem Peradilan di Indonesia,
dan Qanun dalam Sistem Hukum Nasional. Bagian kedua, menjelaskan teori yang
digunakan untuk menganalisis dan menginterpretasi data, dan menjelaskan review
kajian terdahulu.
-
24
Bab Ketiga, pada bagian ini dipaparkan data hasil observasi dan wawancara di
Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh dan dibahas tentang prosedur berperkara bagi
non-muslim juga hak-hak mereka yang berperkara di Mahkamah Syar’iyah Banda
Aceh, meliputi lembaga pelaksana syariat Islam bagi non-muslim di Banda Aceh,
ketentuan dan prosedur hukum non-muslim di Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh,
dan hak yang didapatkan non-muslim di Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh.
Bab Keempat, berisi gambaran kasus non-muslim dalam putusan Mahkamah
Syar’iyah Banda Aceh, meliputi alasan atau pertimbangan non-muslim memilih
Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh, putusan dan analisis putusan kasus non-muslim
di Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh, dan pelaksanaan eksekusi putusan
Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh terhadap non-muslim.
Bab Kelima, penutup. berisi kesimpulan hasil penelitian non-muslim dan
proses berperkara di Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh. Pada bagian ini juga
dicantumkan rekomendasi atau saran agar penelitian dievaluasi dan dapat
dikembangkan lagi pada aspek yang lainnya.
-
25
BAB II
NON MUSLIM DALAM MAHKAMAH SYAR’IYAH
A. Non-muslim dalam Hukum Islam
1. Pengertian Non-Muslim
Non-muslim secara bahasa diambil dari kata non dan muslim. Non
merupakan kata serapan bahasa inggris yang berarti tidak atau bukan,22
sedangkan muslim merupakan isim fa’il yang diambil dari akar kata bahasa
arab aslama-yuslimu-islāman-muslimun, yang mengindikasikan seseorang
yang beragama Islam. Dengan demikian secara harfiah non-muslim adalah
seseorang yang bukan beragama Islam. Namun, di dalam konsep Islam, non-
muslim sering diistilahkan dengan sebutan ahl al-dhimmī23 dan ahl al-kitab24
yang berarti komunitas pemeluk agama-agama non Islam dan kafir.25
Istilah ahl al-dhimmī dan ahl al-kitab memiliki perbedaan ketika dikaitkan
dengan keadaan sebuah negara. Ahl al-dhimmī adalah sebuah istilah bagi
22 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama, 2008), h., 547. 23 Kata ahl al-dhimmī berarti keamanan, perjanjian, dan jaminan. Mereka disebut demikian karena
memiliki jaminan perjanjian (al-‘aqd) dari Allah dan Rasulnya serta dari kaum muslimin untuk hidup
aman dan tenteram di bawah perlindungan Islam serta dalam lingkungan masyarakat Islam. Jadi, mereka
berada dalam jaminan keamanan kaum muslimin untuk hidup berdasarkan ‘aqd al-dzimmah. Dengan
‘aqd ini mereka memperoleh Negara lainnya. Atas dasar itu, kaum minoritas (non-muslim) termaksud
ahl al-dar al-Islam (warga Negara Islam) dan menurut Yusuf Al-Qardhawi selama-lamanya serta
mengandung ketentuan membolehkan orang-orang non-muslim yang bersangkutan tetap dalam Agama
mereka. Lihat Rusjdi Ali Muhammad dan Khairizzaman, Revitalisasi Syariat Islam di Aceh, (Banda
Aceh : Dinas Syariat Islam Aceh, 2018), cet.1, h., 53. 24 Konsep ahl al-kitab pada dasarnya merupakan konsep mengenai pengakuan Islam atas agama-
agama di luar Islam sebelum datangnya Nabi Muhammad. Secara umum, kaum Yahudi dan Nasrani
merupakan dua komunitas agama yang dalam al-Qur’an disebut ahl al-kitab dan mempunyai
kesinambungan dengan kaum Muslim. Lihat Muji Mulia. Relasi Muslim dan Non Muslim Menurut
Syariat Islam di Aceh. (Banda Aceh : Dinas Syariat Islam Aceh, 2018), cet. 1, h., 101-102. 25 Muji Mulia. Relasi Muslim dan Non Muslim Menurut Syariat Islam di Aceh. (Banda Aceh :
Dinas Syariat Islam Aceh, 2018), cet. 1, h., 101-102.
-
26
mereka yang non-muslim ketika tinggal di sebuah negara Islam. Sedangkan ahl
al-kitab adalah sebuah istilah yang menggambarkan seorang non-muslim
secara umum, dimanapun ia berada. Oleh karena itu al-Ghazali berpendapat
bahwa yang dimaksud oleh ahl al-dhimmī adalah setiap ahli kitab yang baligh,
berakal, merdeka laki-laki, mampu berperang dan membayar jizyah.26 Dengan
demikian, dapat dikatakan bahwa non-muslim adalah ahl al-kitab, orang
murtad, dan orang musyrik.
Berdasarkan sikap non-muslim terhadap umat Islam para ulama fiqih
mengklasifikasikan non-muslim menjadi dua kelompok: ahl al-harb dan ahl
al-‘ahd. Ahl al-harb adalah golongan orang-orang kafir (non-muslim) yang
memerangi atau terlibat peperangan dengan kaum Muslim. Yusuf al-Qardhawi
menyebut ahl al-harb ini dengan istilah kafir harbi, yaitu sebutan bagi
golongan non-muslim yang tinggal di wilayah muslim yang disebut dar al-
harb dan menyatakan permusuhan terhadap kaum muslim dan para pemimpin
mereka atau yang tidak mengakui negara Islam. Golongan kafir harbi ini
adalah semua orang kafir yang menampakkan permusuhan dan menyerang
kaum Muslim, baik dari kalangan musyrik maupun para ahl al-kitab.
Sementara ahl al-‘ahd merupakan orang-orang non-muslim yang bersikap
baik, menjalin hubungan yang harmonis terhadap kaum muslim, dan tidak
terlibat dalam memusuhi mereka. Golongan ini adalah mereka yang berdamai
dan mengadakan ikatan perjanjian dengan kaum muslim, baik yang memilih
tinggal di dalam dar al-Islam maupun yang tetap tinggal di wilayahnya.27
26 Muhammad Iqbal, Fiqih Siyasah : Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam, (Jakarta : Gramedia
Pratama, 2007), h., 233. 27 Syamsul Hadi Untung, “Sikap Islam Terhadap Minoritas Non-Muslim”, Jurnal Kalimah, Vol.
12, No. 1, (Maret 2014), h., 31
-
27
Di dalam Al-Qur’an juga terdapat beberapa ayat yang menyebutkan
kelompok non-muslim secara umum, seperti surat al-Hajj ayat 17:
ِين ََّّإِن َّ ُنواَّْو ََّّٱَّل ِين َّء ام اُدواَّْو ََّّٱَّل َِّٰبَّه ىََّّٰو ََّّي َّٱلص َّٰر َّو ََّّٱنل ص ِين َّو ََّّٱلۡم ُجوس ََّّٱَّل ُكٓواَّْإِن ۡۡش ۡفِصََّّٱّلل َّأ ُلَّي
َّ ةِ َّب ۡين ُهۡمَّي ۡوم َّٰم َّإََِّّٱۡلقِي ِهيٌدََّّٱّلل َّن ءَّٖش ۡ ََّش َُِّكل َّٰ ١٧ََّّلَع
17. Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang Yahudi, orang-
orang Shaabi-iin orang-orang Nasrani, orang-orang Majusi dan orang-orang
musyrik, Allah akan memberi keputusan di antara mereka pada hari kiamat.
Sesungguhnya Allah menyaksikan segala sesuatu.
Ibnu Katsir dalam kitab tafsirnya mengkategorikan kelima kelompok
tersebut sebagai non muslim, yaitu al-shabi’ah, al-majus, al-musyrikun, al-
dahriyah, dan ahl al-kitab. Masing-masing kelompok tersebut dijabarkan
sebagai berikut:
a. Al-shabi’ah
Yaitu kelompok yang memercayai pengaruh planter terhadap alam
semesta.
b. Al-majus
Yaitu para penyembah api yang memercayai bahwa jagat raya dikontrol
oleh dua sosok Tuhan, yaitu Tuhan Cahaya dan Tuhan Gelap yang masing-
masing bergerak kepada yang baik dan yang jahat, yang bahagia dan yang
celaka dan seterusnya.
c. Al-musyrikun
Yaitu kelompok yang mengakui ketuhanan Allah Swt, tapi dalam ritual
mempersekutukannya dengan yang lain seperti penyembahan berhala,
matahari dan malaikat.
-
28
d. Al-dahriyah
Yaitu kelompok yang menolak adanya Tuhan Pencipta. Karena
menurut mereka alam ini eksis dengan sendirinya. Kelompok identik
dengan komunitas atheis masa kini.
e. Ahl al-kitab
Dalam hal ini jumhur ulama terbagi menjadi dua pendapat yang
berbeda.
1) Mazhab Hanafi berpendapat bahwa yang termasuk ahl al-kitab adalah
orang yang menganut salah satu agama samawi yang memiliki kitab
suci seperti Taurat, Injil, Suhuf, Zabur, dan lainnya.
2) Mazhab Syafi’i dan Hanbali mengartikan ahl al-kitab hanya terbatas
kepada kaum Yahudi dan Nasrani.
Berbeda halnya dengan pendapat fuqaha klasik, beberapa pemikir muslim
seperti Nurcholis Madjid dan Muhammad Ali, mereka mengategorikan non-
muslim bukan hanya menilai dari segi kitab suci ataupun sejarahnya, mereka
lebih memaknai, bahwa non-muslim adalah agama selain Islam tanpa
mempersyaratkannya.
Nurcholis Madjid (Cak Nur), mengatakan bahwa penganut semua agama-
agama selain Islam adalah ahl al-kitab. Sehingga pandangan ini berimplikasi
terhadap hubungan legal formal seperti dalam perkawinan, hubungan sosial
budaya yang terjadi sehari-hari, dan telah menjadi fondasi teologis pluralisme
dari para pemikir Islam progresif.
Muhammad Ali, salah seorang ulama India, menyebutkan bahwa agama-
agama Kristen, Yahudi, Majusi, Budha, Hindu dan Shikh adalah ahl al-kitab.
Mereka tidak termasuk musyrikin, sebab mereka memeluk agama Allah.
-
29
2. Hak-Hak Non-Muslim
Dasar yang paling utama dalam perlakuan Negara terhadap kaum
minoritas non-muslim adalah keadilan. Dalam artian kaum minoritas non-
muslim memiliki hak yang sama dan seimbang sebagaimana yang dimiliki oleh
kaum muslimin, kecuali dalam beberapa hal tertentu. Disisi lain, mereka juga
memiliki kewajiban yang sama seperti yang dibebankan kepada kaum
muslimin, kecuali dalam beberapa hal tertentu.28
Penetapan hak-hak bagi non muslim dalam Islam, baik yang bersifat
politik dan non-politik, merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
penetapan Islam bagi prinsip-prinsip keadilan, kebebasan, dan persamaan hak
setiap individu dihadapan undang-undang.29 Pernyataan yang serupa juga
diungkapkan oleh al-Maududi, bahwa darah seorang dhimmī sama nilainya
dengan darah seorang muslim. Apabila seorang muslim melakukan
pembunuhan terhadap seorang dhimmī, ia harus diqisas seperti halnya apabila
ia membunuh seorang muslim.
Menurut al-Maududi, secara umum hak-hak non-muslim dibagi menjadi
enam bagian:30
a. Hak perlindungan terhadap jiwa, dimana darah seorang non-muslim sama
nilainya dengan darah seorang muslim.
b. Hak perlindungan dalam undang-undang hukum pidana, dimana hukum
pidana dilakukan sama baik untuk seorang muslim dan non-muslim.
Undang-undang pidana Islam memberikan perlakuan terhadap kedudukan
28 Rusjdi Ali Muhammad dan Khairizzaman, Revitalisasi Syariat Islam di Aceh, (Banda Aceh :
Dinas Syariat Islam Aceh, 2018), cet.1, h., 54. 29 Muji Mulia. Relasi Muslim dan Non Muslim Menurut Syariat Islam di Aceh. (Banda Aceh :
Dinas Syariat Islam Aceh, 2018), cet. 1, h., 115. 30 Muji Mulia. Relasi Muslim dan Non Muslim Menurut Syariat Islam di Aceh, h., 115.
-
30
yang sama antara muslim dan non-muslim. Hukuman terhadap seorang
muslim yang melakukan tindak pidana, sama dengan hukuman seorang
non-muslim yang melakukan tindak pidana serupa.
c. Perlindungan dalam undang-undang hukum perdata, dimana undang-
undang perdata juga memberikan perlakuan dan kedudukan yang sama
terhadap muslim dan non-muslim. Harta benda yang menjadi hak milik
non-muslim harus mendapatkan perlindungan hukum seperti halnya harta
kaum muslimin, sebab pada dasarnya keduanya memiliki hak yang sama.
d. Hak perlindungan terhadap kehormatan, dimana seorang muslim amat
dilarang menyakiti non-muslim, baik dengan lidah maupun dengan tangan
e. Hak perlindungan masalah-masalah pribadi, dimana masalah pribadi non-
muslim diatur sesuai dengan undang-undang mereka yang berlaku. Dalam
hal ini mereka tidak diperlakukan dengan undang-undang Islam. Karena
sesuatu yang terlarang bagi umat Islam dalam undang-undang yang
berlaku adalah sebuah kebolehan bagi non-muslim dalam undang-undang
mereka. Sebagai contoh, bagi non-muslim dibolehkan menikah pada masa
iddah atau menikahi mahramnya sendiri, sedangkan bagi umat Islam hal
tersebut dilarang.
f. Hak perlindungan terhadap syiar-syiar agama, dimana non-muslim
diberikan hak untuk menyelenggarakan syiar-syiar agama dan tradisi yang
ada pada mereka. Dengan catatan kegiatan tersebut dilakukan pada
kampung-kampung yang memang penduduknya non-muslim. Sedangkan
apabila non-muslim melakukannya di daerah perkotaan. Maka Islam
mempunyai dua sikap: pertama, membiarkan hal itu berlangsung, kedua,
mengaturnya dengan beberapa ketentuan khusus.
-
31
g. Hak perlindungan tempat-tempat ibadah, dimana umat Islam tidak boleh
mengganggu tempat-tempat ibadah non-muslim yang berada di daerah
kota-kota Islam. Apabila terjadi suatu kerusakan, mereka hanya berhak
memperbaikinya, tidak boleh membangun tempat ibadah baru. Kecuali
pada daerah-daerah yang sudah tidak menjadi pusat syiar dan kegiatan
Islam.
3. Kewajiban Non-Muslim
Karena non-muslim memiliki kedudukan yang sama seperti halnya umat
Islam selaku warga negara, maka non-muslim pun memiliki kewajiban sebagai
konsekuensi atas hak-hak yang telah diberikan dan atas perjanjian yang telah
disepakati bersama.31 Kewajiban khusus bagi non-muslim tersebut adalah
menunaikan jizyah, mengikat diri dengan hukum konstitusi Islam dalam bidang
muamalah, dan menghormati syiar-syiar Islam serta menjaga perasaan-
perasaan kaum muslim.32
Kewajiban bagi non-muslim yang pertama adalah jizyah. Kata jizyah
diambil dari kata jaza-yajzi-jaza’an yang berarti mencukupi, memenuhi,
menempati, dan menggantikan tempatnya sebagai sebagai balasan atas
kekafirannya. Dasar hukum pelaksanaan jizyah ini adalah surat at-Taubah ayat
29:
ر ُسوُلَُّ َّو ُ َّٱّلل م ر اَّح َّم ُِمون َُُّي رل َل َّبِٱۡۡل ۡوِمَّٱٓأۡلِخرَِّو َل َِّو َّبِٱّلل َّيُۡؤِمُنون ََّل ِين َّٰتِلُواَّْٱَّل َّي ِديق َل َّۥَّو ُنون
َّ َّٰغُِرون نَّي ٖدَّو ُهۡمَّص َّع ۡزي ة َُّيۡعُطواَّْٱۡۡلِ َّٰ َّت َّح َّٰب وتُواَّْٱۡلِكت َُّأ ِين َّٱَّل َِّمن ِ َّٱۡۡل قل ٢٩ََّّدِين
31 Syamsul Hadi Untung, “Sikap Islam Terhadap Minoritas Non-Muslim”, Jurnal Kalimah, Vol.
12, No. 1, (Maret 2014), h., 43 32 Muji Mulia. Relasi Muslim dan Non Muslim Menurut Syariat Islam di Aceh. (Banda Aceh :
Dinas Syariat Islam Aceh, 2018), cet. 1, h., 123.
-
32
29. Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula)
kepada hari kemudian, dan mereka tidak mengharamkan apa yang
diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya dan tidak beragama dengan agama
yang benar (agama Allah), (yaitu orang-orang) yang diberikan Al-Kitab
kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka
dalam keadaan tunduk.
Pembahasan mengenai jizyah ini sering dimaknai sebagai bentuk
diskriminasi kepada non-muslim, berdasarkan interpretasi atas akhir ayat َوُهۡم
ِغُرونَ َص yang menganggap sebagai dasar memperlakukan kaum non-muslim
yang membayar jizyah secara hina.33 Namun, pernyataan tersebut oleh
Muhammad Rasyid Ridho dalam kitab tafsirnya al-Manar yang mengatakan
bahwa jizyah adalah pajak yang dibayarkan oleh non-muslim yang tinggal di
dar al-Islam kepada pemerintah Islam sebagai wujud loyalitas mereka kepada
pemerintah Islam dan konsekuensi dari perlindungan (rasa aman) yang
diberikan pemerintah Islam untuk mereka.34
Kewajiban selanjutnya adalah komitmen terhadap konstitusi Islam. Sistem
pemerintahan dalam negara Islam wajib melindungi hak kaum non-muslim
untuk hidup aman dan tentram dalam negara Islam, sebagaimana halnya warga
mayoritas muslim. Atas dasar itu, para non-muslim juga dituntut kewajibannya
untuk ikut membela negara ketika diserang musuh.35
Selain itu, ahl al-dzimmah juga berkewajiban menjaga perasaan kaum
muslim. Islam tidak membenarkan sikap-sikap non-muslim yang provokatif
33 Rusjdi Ali Muhammad dan Khairizzaman, Revitalisasi Syariat Islam di Aceh, (Banda Aceh :
Dinas Syariat Islam Aceh, 2018), cet.1, h., 61. 34 Muhammad Iqbal, Fiqih Siyasah : Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam, (Jakarta : Gramedia
Pratama, 2007), h., 278. 35 Syamsul Hadi Untung, “Sikap Islam Terhadap Minoritas Non-Muslim”, Jurnal Kalimah, Vol.
12, No. 1, (Maret 2014), h., 44
-
33
dan menyulut konflik di tengah-tengah kaum muslim. Meskipun diberikan hak
kebebasan melakukan aktivitasnya sebagaimana penduduk muslim lainnya,
namun kebebasan non-muslim juga terikat dengan kebebasan warga muslim
lainnya. Mereka tidak dibenarkan merusak kebebasan golongan lainnya.
Sebagai contoh dalam hal makanan dan berpakaian, umat non-muslim berhak
mengikuti aturan agama mereka tentang tata kehidupan publik, namun hal-hal
tersebut akan dilarang jika meresahkan umat Islam dalam menjalankan
keyakinannya.36
B. Mahkamah Syar’iyah dalam Sistem Peradilan di Indonesia
1. Pengertian Mahkamah Syar’iyah
Mahkamah Syar’iyah secara bahasa terdiri dari dua suku kata, yaitu
mahkamah dan syar’iyah. Mahkamah berasal dari kata bahasa arab محكمة
dengan bentuk jama’ محاكم yang berarti pengadilan.37 Tidak jauh berbeda
Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan mahkamah sebagai badan tempat
memutuskan hukum atas suatu perkara atau pelanggaran; pengadilan.38 Kata
syar’iyah berasal dari kata bahasa arab شرعية yang berarti menurut peraturan,
legal, sesuai dengan undang-undang. Atabik Ali juga dalam Kamus
Kontemporer Arab-Indonesia menerjemahkan kata شرعية menjadi محكمة
pengadilan agama.39 Tidak jauh berbeda Teuku Abdul Manan memaknai
Mahkamah Syar’iyah sebagai pengadilan syariat atau pengadilan berdasarkan
36 Syamsul Hadi Untung, “Sikap Islam Terhadap Minoritas Non-Muslim”, h., 44 37 Atabik Ali dan Ahmad Zuhdi Muhdlor, Kamus Kontemporer Arab-Indonesia, , (t.tp : Multi
Karya Grafika, 1999), cet. 9, h.,1650. 38 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama, 2008), h., 573. 39 Atabik Ali dan Ahmad Zuhdi Muhdlor, Kamus Kontemporer Arab-Indonesia, Cet. 9, (Penerbit
: Multi Karya Grafika, 1999), h.,1650.
-
34
legalitas (kesahan).40 Meskipun dalam pengertiannya Mahkamah Syar’iyah
disebut juga sebagai pengadilan agama. Namun dalam konteks ke-Indonesiaan,
ada sedikit perbedaan antara Mahkamah Syar’iyah dan Pengadilan Agama.
Pengadilan Agama adalah salah satu lembaga pengadilan khusus di
Indonesia, selain Pengadilan Militer dan Pengadilan Tata Usaha Negara.
Dikatakakan sebagai pengadilan khusus, karena Pengadilan Agama hanya
berwenang di bidang perdata tertentu, tidak termasuk bidang pidana dan hanya
orang-orang Islam di Indonesia, serta dalam perkara-perkara perdata Islam
tertentu dan tidak mencakup seluruh perdata Islam.41 Sedangkan Mahkamah
Syar’iyah merupakan bagian dari Pengadilan Agama sebagaimana yang
disebutkan dalam Pasal 15 ayat (2) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004
tentang Kekuasaan Kehakiman, yaitu “Peradilan Syariat Islam di Provinsi
NAD merupakan pengadilan khusus dalam lingkungan Peradilan Agama,
sepanjang kewenangannya menyangkut Peradilan Agama, dan merupakan
Pengadilan khusus dalam lingkungan Peradilan Umum sepanjang
kewenangannya menyangkut kewenangan Peradilan Umum.”
Dalam penjelasannya disebutkan bahwa Peradilan Syariat Islam di
Provinsi NAD terdiri atas Mahkamah Syar’iyah untuk tingkat pertama dan
Mahkamah Syar’iyah Provinsi untuk tingkat banding, sebagaimana yang diatur
dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi
Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi NAD.
Perlu dijelaskan juga bahwa pemilihan nomenklatur Mahkamah Syar’iyah
sebagai nama resmi untuk peradilan syariat Islam di Aceh, muncul dan
40 Abdul Manan, Mahkamah Syar’iyah Aceh Dalam Politik Hukum Nasional. (Jakarta:
Prenadamedia Group, 2018), h., 1. 41 Basiq Djalil, Peradilan Islam, Cet. 1, (Jakarta : Amzah, 2012), h., 6.
-
35
berkembang dari kehendak masyarakat dan tokoh-tokoh Aceh sendiri bukan
kehendak pemerintah. Meskipun demikian, Mahkamah Agung tidak
mempermasalahkan nomenklatur Mahkamah Syar’iyah sebagai nama
Peradilan Agama yang berada di Provinsi Aceh.42
Dengan demikian, dapat diketahui bahwa Mahkamah Syar’iyah atau
Peradilan Syariat Islam di NAD adalah nama lain Peradilan Agama di Aceh.
Oleh karena itu, kekuasaan dan kewenangan Mahkamah Syar’iyah Aceh serta
Mahkamah Syar’iyah Kabupaten/Kota di Aceh adalah sama dengan kekuasaan
dan kewenangan Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama. Akan
tetapi, sebagaimana amanat Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004,
Mahkamah Syar’iyah memiliki kekuasaan dan kewenangan yang melebihi
kekuasaan dan kewenangan Pengadilan Agama di Indonesia, karena diberikan
kewenangan untuk mengadili perkara-perkara jinayah atau pidana Islam yang
telah diatur oleh qanun dan peraturan perundang-undangan lainnya.43
2. Kedudukan dan Kewenangan Mahkamah Syar’iyah
Indonesia merupakan sebuah negara yang menganut konsep Trias Politica
dalam pengertian sebagai pembagian kekuasaan (distribution of power) bukan
pemisahan kekuasaan (separation of power).44 Konsep ini digunakan untuk
menghindari pemusatan kekuasaan dan terbentuknya kekuasaan mutlak yang
sewenang-wenang, agar terjadi saling pengecekan dan keseimbangan antar
kekuasaan (check and balances). Montesquieu dalam teori ini membaginya
menjadi tiga bentuk kekuasaan, yaitu legislatif, eksekutif, dan yudikatif.45
42 Abdul Manan, Mahkamah Syar’iyah Aceh Dalam Politik Hukum Nasional. (Jakarta:
Prenadamedia Group, 2018), h., 15. 43 Abdul Manan, Mahkamah Syar’iyah Aceh Dalam Politik Hukum Nasional, h., 16. 44 Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 2012), h.,158 45 Ahmad Suhelmi, Pemikiran Politik Barat, (Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 2001), h., 228.
-
36
Dalam konsep distribution of power tersebut dapat diketahui bahwa
Mahkamah Syar’iyah merupakan lembaga yudikatif bersama dengan peradilan
lainnya yang berfungsi mengawasi pelaksanaan hukum, menegakkan hukum,
dan mempertahankan hukum terhadap pelanggaran hukum.46
Kedudukan Mahkamah Syar’iyah di Aceh didasarkan atas Undang-
Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah
Istimewa Aceh sebagai Nanggroe Aceh Darussalam, dan Qanun Nomor 10
Tahun 2002 tentang Peradilan Syariat Islam, serta Keputusan Presiden Nomor
11 Tahun 2003 tentang Mahkamah Syar’iyah di Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam.47 Selain menjadi dasar kedudukan Mahkamah Syar’iyah dalam
Sistem Peradilan di Indonesia, peraturan perundang-undangan tersebut juga
mengatur kewenangan khusus dari Mahkamah Syar’iyah tersebut, yaitu “al-
ahwal al-syakhsiyah (hukum keluarga), muamalah (hukum perdata), dan
jinayah (hukum pidana) yang berdasarkan hukum Islam.”48
Mahkamah Syar’iyah yang merupakan bagian dari sistem peradilan
Indonesia mempunyai dua kompetensi dasar, yaitu wewenang peradilan agama
dan wewenang peradilan umum. Hal inilah yang menjadikan Mahkamah
Syar’iyah memiliki kewenangan yang lebih dibandingkan Pengadilan
Agama.49 Sebagaimana yang diungkapkan oleh Tim Lindsey dan Cate
Summer, bahwa kekuasaan Pengadilan Agama dibatasi oleh undang-undang
yang hanya diberikan kewenangan pada beberapa aspek hukum Islam. Adapun
46 Abdul Manan, Mahkamah Syar’iyah Aceh Dalam Politik Hukum Nasional. (Jakarta:
Prenadamedia Group, 2018), h., 16. 47 Erina Pane, “Eksistensi Mahkamah Syar’iyah Sebagai Perwujudan Kekuasaan Kehakiman”, Al-
‘Adalah, Vol. XIII, No.1, (Juni 2016), h., 42. 48 Qanun Nomor 10 Tahun 2002 tentang Peradilan Syariat Islam. 49 Zulkarnain Lubis dan Bakti Ritonga, Dasar-Dasar Hukum Acara Jinayah, (Jakarta:
Prenadamedia Group, 2016), h., 15.
-
37
Mahkamah Syar’iyah lebih luas kewenangannya, bahkan dapat memeriksa dan
mengadili serta menyelesaikan perkara-perkara pidana yang sebelumnya
merupakan kewenangan mutlak Pengadilan Umum.50
Untuk mengetahui lebih jelasnya kewenangan Mahkamah Syar’iyah,
maka kewenangan tersebut dapat dibagi menjadi dua, yaitu:
a. Relative Competency (Kewenangan Relatif)
Kewenangan relatif adalah kewenangan mengadili oleh mahkamah
yang didasarkan kepada wilayah yurisdiksinya masing-masing. Dalam hal
ini, Mahkamah Syar’iyah hanya menerima perkara yang berada di
wilayahnya masing-masing.51 Singkatnya, kewenangan relatif ini mengatur
pembagian kekuasaan antar Mahkamah Syar’iyah yang lain.
Contoh, Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh dan Mahkamah Syar’iyah
Janthoe (Aceh Besar), maka untuk menentukan dan menjawab apakah
kewenangan Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh atau Mahkamah Janthoe,
harus dilihat kepada wilayah hukum tergugat, kecuali dalam perkara cerai
gugat bagi yang beragama Islam, maka gugatan diajukan kepada Pengadilan
Agama/Mahkamah Syar’iyah dimana penggugat bertempat tinggal.52
Dengan demikian, untuk mengetahui kewenangan relatif Mahkamah
Syar’iyah Banda Aceh, maka harus diketahui wilayah Banda Aceh secara
keseluruhan. Wilayah yurisdiksi Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh adalah
terdiri dari dari 9 kecamatan, 17 mukim, 70 desa dan 20 kelurahan. Semula
hanya ada 4 kecamatan di Kota Banda Aceh yaitu Meuraksa, Baiturrahman,
50 Abdul Manan, Mahkamah Syar’iyah Aceh Dalam Politik Hukum Nasional. (Jakarta:
Prenadamedia Group, 2018), h., 270 51 Zulkarnain Lubis dan Bakti Ritonga, Dasar-Dasar Hukum Acara Jinayah, (Jakarta:
Prenadanmedia Group, 2016), h., 21 52 Abdul Manan, Mahkamah Syar’iyah Aceh Dalam Politik Hukum Nasional. (Jakarta:
Prenadamedia Group, 2018), h., 270
-
38
Kuta Alam dan Syiah Kuala. Kemudian Kota Banda Aceh dikembangkan
lagi menjadi 9 kecamatan baru dan 1 kecamatan baru yang akan digabung
dari Kabupaten Aceh Besar, yaitu: Baiturrahman, Banda Raya, Jaya Baru,
Kuta Alam, Kuta Raja, Lueng Bata, Meuraksa, Syiah Kuala, Ulee Karang,
dan Darul Imarah.53
b. Absolute Competency (Kewenangan Absolut)
Kewenangan mutlak adalah wewenang peradilan dalam memeriksa
suatu perkara tertentu yang mutlak tidak bisa diperiksa oleh badan peradilan
yang lain.54 Singkatnya kewenangan mutlak ini adalah jenis perkara yang
menjadi lingkup kewenangannya.
Contohnya, Pengadilan Agama berkuasa atas perkara perkawinan bagi
mereka yang beragama Islam, sedangkan non-islam menjadi kekuasaan
peradilan umum. Pengadilan Agama yang berkuasa, memeriksa, dan
mengadili perkara dalam tingkat pertama, tidak boleh langsung berperkara
ke Pengadilan Tinggi Agama atau Mahkamah Agung. Banding dari
Pengadilan Agama diajukan ke Pengadilan Tinggi Agama, tidak boleh
diajukan ke Pengadilan Tinggi Negeri.55
Apabila kewenangan relatif dapat dilihat berdasarkan wilayah
yurisdiksi pengadilan, maka kewenangan absolut suatu pengadilan dapat
dilihat melalui ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Sebagaimana yang telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun
2006 tentang Pemerintah Aceh, pada Pasal 128 ayat (3) disebutkan bahwa
53 Wikipedia.com, Kota Banda Aceh, diakses pada tanggal 18 Maret 2018 jam 23:14 dari
https://id.wikipedia.org/wiki/Kota_Banda_Aceh#Kecamatan 54 Abdul Manan, Mahkamah Syar’iyah Aceh Dalam Politik Hukum Nasional. (Jakarta:
Prenadamedia Group, 2018), h., 271 55 Basiq Djalil, Peradilan Islam, , (Jakarta: Amzah, 2012), cet. 1, h., 204.
-
39
“Mahkamah Syar’iyah berwenang memeriksa dan mengadili, memutus, dan
menyelesaikan perkara yang meliputi bidang ahwal al-syakhsiyah,
muamalah, dan jinayah yang didasarkan atas syariat Islam.”56
Jadi secara perinci kewenangan absolut Mahkamah Syar’iyah dapat
dikelompokkan, sebagai berikut:57
1) Bidang ahwal al-syakhsiyah
Sebagaimana Pasal 49 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989
tentang Peradilan Agama beserta penjelasannya kecuali bidang wakaf,
hibah, dan sedekah.
2) Bidang muamalah
Dalam bidang muamalah Mahkamah Syar’iyah berwenang
mengadili perkara, yang meliputi jual-beli, utang-piutang, qiradh,
musahaqah, muzaraah, mukhabarah, wakilah, syirkah, ariyah, hajru,
syufah, rahnuh, ihyaul mawat, ma’dhin, luqathah, perbankan, ijarah,
takaful, perburuhan, harta rampasan, waqaf, hibah, wasiat, shadaqah,
hadiyah, dan lain-lain.
3) Bidang jinayah
Dalam bidang jinayah Mahkamah Syar’iyah berwenang mengadili
perkara, yang meliputi, hudud, zina, menuduh zina (qadzaf), mencuri,
merampok, minuman keras dan napza, murtad, pemberontakan
(bughat), qisas, hukum membunuh dan melukai, hukum denda (diyat),
dan ta’zir.
56 Zulkarnain Lubis dan Bakti Ritonga, Dasar-Dasar Hukum Acara Jinayah, (Jakarta:
Prenadanmedia Group, 2016), h., 17 57 Topo Santoso, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2016),
h.,232.
-
40
C. Qanun Dalam Sistem Hukum di Indonesia
1. Definisi Qanun
Secara bahasa kata qanun berasal dari bahasa Arab dengan asal kata qānun
yang artinya kompilasi, himpunan peraturan, undang-undang, atau norma-
norma yang telah mapan.58 Namun demikian, kata qanun bukan berasal dari
bahasa Arab, melainkan berasal dari bahasa Yunani, kanon, yang berarti untuk
memerintah, tolak ukur atau mengukur.59 Berdasarkan beberapa pengertian
tersebut, kemudian al-Ghazali menggambarkan penggunaan qanun ini dalam
istilah kenegaraan, ia memaknai qanun sebagai undang-undang positif pada
suatu negara atau daerah Islam.60
Secara historis penggunaan istilah qanun sebagai aturan dalam sejarah
Islam terjadi ketika masa kekhalifahan Turki Utsmaniyah (1299-1923 M),
ketika Sultan Suleiman I berhasil menyusun kembali sistem undang-undang
Utsmaniyah, yang dikenal dengan sebutan Qanun.61 Pada masa kerajaan Aceh,
tercatat istilah qanun juga digunakan sebagai aturan hukum Islam yang telah
menjadi hukum adat. Qanun tersebut dibuat oleh Tengku di Mulek atas
perintah Sultan Alaudin Mansyur Shah dengan judul Qanun Syara’ Kerajaan
Aceh. Di Malaysia, terdapat juga kodifikasi hukum Islam yang dinamakan
58 Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir Kamus Arab Indonesia, (Surabaya: Pustaka
Progresif, 1997), cet, 14, h., 349. 59 Ahmad Bahiej, “Studi Komparatif terhadap Qanun Aceh”, Jurnal Ilmu Syariah dan Hukum Asy-
Syir’ah, Vol. 48, No. 2, (Desember 2014), h., 339. 60 Kamarusdiana, “Qanun Jinayat Aceh dalam Perspektif Negara Hukum Indonesia”, Jurnal
Ahkam, FSH UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Vol. XVI, No.2, (Juli 2016), h., 154. 61 Ahmad Bahiej, “Studi Komparatif terhadap Qanun Aceh”, Jurnal Ilmu Syariah dan Hukum Asy-
Syir’ah, Vol. 48, No. 2, (Desember 2014), 339.
-
41
Qanun Melaka. Begitu pula di Yordania terdapat Undang-Undang Perkawinan
Nomor 92 tahun 1951 dengan nama Qanun, Huquq al-A’ilah.62
Dengan demikian, dapat diketahui bahwa penggunaan istilah qanun
sebagai aturan yang berlaku pada suatu daerah Islam bukanlah suatu hal yang
asing. Namun perlu diketahui bahwa di dalam hukum Islam, selain qanun
terdapat juga sumber hukum lain, yang dinamakan syariah. Oleh karena itu,
Yusuf al-Qardhawi membedakan antara syariah dan qanun. Menurutnya
syariah berasal dari wahyu Allah, sedangkan qanun merupakan produk atau
buatan manusia. Sehingga ketika qanun disandingkan dengan istilah syariah,
maka ia akan berfungsi sebagai hukum yang diproduksi oleh manusia untuk
mengatur kehidupannya dan hubungannya dengan sesama, baik secara individu
maupun sosial, karena ia disebut qanun wadh’i.63
Berdasarkan beberapa pengertian tersebut, maka qanun dapat penulis
pahami sebagai aturan hukum yang dibuat oleh manusia atas prinsip syariah,
untuk dijadikan sebagai hukum positif pada suatu negara agar aturan tersebut
dapat diterapkan bagi warga negara yang tinggal di wilayah tersebut. Sehingga
dapat dikatakan bahwa qanun dalam konteks keindonesiaan saat ini adalah
jenis peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.
2. Kedudukan Qanun dalam Sistem Hukum Nasional
Dalam sejarah perundang-undangan di Indonesia sendiri, istilah qanun
pertama kali dimunculkan dalam Undang-Undang No. 18 Tahun 2001 tentang
Otonomi Khusus bagi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh
62 Abdul Manan, Mahkamah Syar’iyah Aceh Dalam Politik Hukum Nasional. (Jakarta:
Prenadamedia Group, 2018), h., 372. 63 Kamarusdiana, “Qanun Jinayat Aceh dalam Perspektif Negara Hukum Indonesia”, Jurnal
Ahkam, FSH UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Vol. XVI, No.2, (Juli 2016), h., 154-155.
-
42
Darussalam. Qanun merupakan salah satu produk perundang-undangan yang
memiliki kekuatan yuridis kuat disamping peraturan perundang-undangan
lainnya seperti undang-undang, peraturan pemerintah pengganti undang-
undang (Perpu), peraturan pemerintah, peraturan presiden, dan peraturan
daerah.64
Apabila kita lihat dalam Undang-Undang No 12 Tahun 2011 tentang Tata
Urutan Perundang-undangan dalam Pasal 7 ayat (1) menyebutkan jenis dan
hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas:65
1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
3. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
4. Peraturan Pemerintah;
5. Peraturan Presiden;
6. Peraturan Daerah Provinsi; dan
7. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Memang apabila kita cermati, tidak ditemukan jenis peraturan qanun
dalam tata perundang-undangan di Indonesia, namun perlu diketahui bahwa
qanun merupakan hasil dicapainya perdamaian dengan MoU (Memorandum Of
Understanding) Helsinki 2005 yang dilakukan antara Gerakan Aceh Merdeka
(GAM) dan Repbulik Indonesia yang salah satu muatannya meminta
pelaksanaan syariat Islam dalam seluruh aspek kehidupan.66 Dimana kemudian
muatan tersebut dituangkan ke dalam Undang-Undang No 11 Tahun 2006
64 Syahrizal Abbas dan Muhammad Amin, Antologi Pemikiran Hukum Syariah di Aceh, (Banda
Aceh : Dinas Syariat Islam Aceh, 2018), h., 49 65 Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang No 12 Tahun 2011 tentang Tata Urutan Peraturan Perundang-
Undangan. 66 Ahmad Bahiej, “Studi Komparatif terhadap Qanun Aceh”, Jurnal Ilmu Syariah dan Hukum Asy-
Syir’ah, Vol. 48, No. 2, (Desember 2014), 338.
-
43
dalam Pasal 1 butir 8 menyebutkan bahwa qanun adalah sejenis peraturan
daerah yang menjadi peraturan pelaksanaan undang-undang di wilayah
Provinsi Aceh dalam rangka penyelenggaraan otonomi khusus. Lebih spesifik,
ditegaskan pada butir berikutnya, yaitu Pasal 1 butir 21, Qanun Aceh adalah
peraturan perundang-undangan sejenis peraturan daerah provinsi yang
mengatur penyelenggaraan pemerintahan dan kehidupan masyarakat Aceh.67
D. Teori Analisis Penelitian
1. Teori Sejarah Hukum
Von Savigny merupakan promotor teori sejarah hukum yang inti pokok
ajarannya adalah “Das Recht wird nicht gemacht est ist und wird mit dem
volke” (hukum itu tidak dibuat melainkna tumbuh dan berkembang dalam jiwa
bangsa). Sehingga, hukum senantiasa dinamis, karena ia produk dari spirit dan
jiwa suatu bangsa yang senantiasa berubah dan dinamis. Bagi mazhab sejarah,
hukum terbentuk lewat mekanisme yang bersifat bottom up (dari bawah ke
atas), bukan top down (atas ke bawah). Hukum adalah bagian dari sejarah.
Hukum adalah nilai yang berakar dari jiwa suatu bangsa (volksgeist).68 Juga
mnegingatkan, bahwa untuk membangun hukum, studi terhadap sejarah suatu
bansa mutlak perlu dilakukan.69
2. Teori Kekuasaan Kehakiman
Kekuasaan kehakiman dalam praktik diselenggarakan oleh badan-badan
peradilan negara. Adapun tugas pokok badan peradilan adalah memeriksa,
67 Abdul Manan, Mahkamah Syar’iyah Aceh Dalam Politik Hukum Nasional. (Jakarta:
Prenadamedia Group, 2018), h., 373. 68 Atip Latipulhayat, “Friedrich Karl Von Savigny”, Jurnal Khazanah, (t.th), h., 198. 69 Sukarno Aburaera, dkk, Filsafat Hukum : Teori dan Praktik, (Jakarta: Kencana, 2006), h., 120
-
44
mengadili, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara yang diajukan oleh
masyarakat pencari keadilan.
Di Indonesia, ketentuan mengenai kekuasaan kehakiman secara
konstitusional diatur dalam Bab IX, Pasal 24, 24A, 24B, 24C, dan 25 UUD
Negara Republik Indonesia 1945 hasil amandemen MPR. Hasil amandemen
tersebut telah menguah struktur kekuasaan kehakiman, karena di samping
Mahkamah Agung juga terdapat lembaga kekuasaan kehakiman yang baru,
yaitu Mahkamah Konstitusi.
Kemudian secara khusus, kekuasaan kehakiman telah diatur dalam UU
No. 4 Tahun 2004 jo. UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Selain itu Pasal 18 UU No. 48 Tahun 2009, menyatakan bahwa kekuasaan
kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang
ada dibawahnya, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Adapun meliputi
badan peradilan dalam lingkungan: Peradilan Umum, Peradilan Agama,
Peradilan Militer, dan Peradilan Tata Usaha Negara.70
3. Teori Positivisme Hukum
Positivisme hukum dapat dibedakan menjadi dua bagian. Pertama, Aliran
Hukum Positif Analitis (Analitical Jurisprudence) atau biasa juga disebut
positivisme sosiologis yang dikembangkan oleh John Austin. Kedua, Aliran
Hukum Murni (Reine Rechtslehre) atau dikenal juga positivisme yuridis yang
dikembangkan oleh Hans Kelsen.71
Aliran Hukum Positif Analitis memandang bahwa hukum yang
sebenarnya memiliki empat unsur, yaitu perintah, sanksi, kewajiban, dan
70 Komaruddin, ”Otokritik Terhadap kemandirian Badan Peradilan Dalam Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945”, Jurnal Justitia Islamica, Vo. 11, No. 1, (Januari-juni 2014),
h., 73. 71 Sukarno Aburaera, dkk, Filsafat Hukum : Teori dan Praktik, (Jakarta: Kencana), h., 107
-
45
kedaulatan. Sedangkan aliran Hukum Murni memiliki prinsip-prinsip, yaitu
hukum sama dengan Undang-Undang, tidak terdapat suatu hubungan mutlak
antara hukum dan moral, dan hukum adalah “closed logical system”.72
4. Teori Choice Of Law
Choice of Law bermakna, bahwa setiap orang pada dasarnya memiliki
kebebasan untuk mengikatkan diri pada perjanjian. Dalam perkembangannya
kebebasan para pihak untuk berkontrak ini dimanifestasikan pula dalam
kebebasan untuk menentukan hukum yang berlaku untuk mengantur kontrak
yang mereka buat (freedom to choose the applicable law).73
5. Teori Choice Of Forum
Choice of Forum bermakna, bahwa para pihak di dalam kontrak bersepakat
memilih forum atau lembaga yang akan menyelesaikan perselisihan yang
mungkin timbul diantara kedua belah pihak. Choice of Forum dimaksud di atas
selain dapat menunjuk kepada sesuatu pengadilan di negara tertentu, juga dapat
menunjuk badan arbitrase tertentu. Pengadilan atau arbitrase sebelum
memeriksa atau mengadili perkara yang diajukan kepadanya, terlebih dahulu
harus meneliti apakah ia berwenang mengadili perkara tersebut.74
6. Teori Sistem Hukum
Dalam menganalisis masalah hukum, persoalannya tidak terlepas dari
beroperasinya tiga komponen sistem hukum (legal system) yang menurut
Lawrence M. Friedman terdiri dari komponen “struktur, substansi, dan kultur”.
Komponen struktur adalah bagian-bagian yang bergerak dalam suatu
72 Zulkarnaen, Dinamika Sejarah Hukum Dari Filosofi Hingga Profesi Hukum, (Jakarta: Pustaka
Setia, 2018), h., 56. 73 Choice Of Forum & Choice of Law Dalam Hukum Perdata Internasional: Study Kasus Yasmina
– The Worls Food Programme (WFP)”, h., 25, t.d. 74 “Choice Of Forum & Choice of Law Dalam Hukum Perdata Internasional: Study Kasus
Yasmina – The Worls Food Programme (WFP)”, h., 25, t.d.
-
46
mekanisme, misalnya pengadilan. Komponen substansi merupakan hasil aktual
yang diterbitkan oleh sistem hukum dan meliputi pula kaidah-kaidah hukum
yang tidak tertulis. Sedangkan komponen kultur adalah nilai dan sikap yang
mengikat sistem hukum itu secara bersamaan dan menghasilkan suatu bentuk
penyelenggaraan hukum dalam budaya masyarakat secara keseluruhan.75
E. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu
Dalam penelitian ini, penulis terlebih dahulu telah mengkaji beberapa tulisan
terkait penelitian ini, baik berupa skripsi, tesis, disertasi ataupun karya ilmiah yang
memiliki fokus yang hampir sama terhadap penelitian ini. Maksud pengkajian ini
adalah untuk mengetahui bahwa penelitian yang penulis buat adalah berbeda
dengan penelitian sebelumnya. Berikut ini judul beberapa karya ilmiah dan fokus
bahasan yang memiliki beberapa keterkaitan dengan tema riset yang penulis
lakukan:
1. Jurnal yang berjudul “Hukuman Cambuk Terhadap Non Muslim Pelaku
Jarimah Di Nanggroe Aceh Darussalam (Studi Putusan No. 01/JN/2016/MS.
TKN)” yang ditulis oleh Sudirman Suparmin (Pascasarjana Universitas Islam
Negeri Sumatera Utara). Penelitian ini membahas tentang jenis-jenis jarimah
yang terdapat dalam Qanun Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayah,
sejarah pemberlakuan syariat Islam di Aceh, dan hak-hak minoritas non-
muslim di dalam konsep Islam.76
75 Lawrence M. Friedman, Sistem Hukum ; Perspektif Ilmu Sosial (The Legal System ; A Social
Science Perspective), (Bandung: Nusa Media, 2009), h., 33. 76 Sudirman Suparmin. “Hukuman Cambuk Terhadap Non Muslim Pelaku Jarimah Di Nanggroe
Aceh Darussalam (Studi Putusan No. 01/JN/2016/MS. TKN)”. Jurnal Analytica Islamica : Vol. 6 No.
2, (Juli – Desember 2017).
-
47
2. Jurnal yang berjudul “Inkonsistensi Hukuman Cambuk terhadap Non-Muslim
di Aceh” yang ditulis oleh Syamsul Bahri (Sekolah Tinggi Ilmu Syariah (STIS)
Nahdlatul Ulama Aceh). Penelitian ini membahas tentang pemberlakuan
Qanun Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayah dan dampaknya terhadap
non-muslim yang berada di Aceh, membandingkan jenis hukuman yang
terdapat dalam Qanun dan KUHP, dan menjelaskan tidak konsistensinya
peraturan perundang-undangan yang mengatur hukuman cambuk bagi non-
muslim di Aceh.77
3. Skripsi yang berjudul “Pertimbangan Hakim Dalam Memutus Hukuman
Cambuk Bagi non-muslim Sebagai Pelaku Jarimah Khamar (Analisis Putusan
Mahkamah Syar’iyah Takengon Aceh Tengah Nomor 01/JN/2016/MS-TKN)”
yang ditulis oleh Aina Salsabila (Universitas Islam Negeri Sumatera Utara).
Penelitian ini membahas tentang kesesuaian pertimbangan hakim Mahkamah
Syar’iyah Takengon dengan Qanun Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum
Jinayah dalam memutuskan perkara non-muslim yang melakukan jarimah.78
4. Jurnal yang berjudul “Syari’at Islam dan Pluralitas Sosial (Studi tentang
Minoritas Non-Muslim dalam Qanun Syari’at Islam di Aceh)” yang ditulis oleh
Danial (STAIN Malikussaleh Lhokseumawe). Penelitian ini membahas tentang
77 Syamsul Bahri, “Inkonsistensi Hukum Penerapan Hukuman Cambuk terhadap Non-Muslim di
Aceh”, Proceedings of Annual Conference for Muslim Scholars, No. 2, (2018). 78 Aina Salsabila, “Pertimbangan Hakim Dalam Memutus Hukuman Cambuk Bagi Non-Muslim
Sebagai Pelaku Jarimah Khamr (Analisis Putusan Mahkamah Syar’iyah Takengon Aceh Tengah Nomor
01/JN/2016/MS-TKN)”, (Skripsi S-1 Fakultas Syari’ah dan Ilmu Hukum, Universitas Islam Negeri
Sumatera Utara, 2017).
-
48
asas pemberlakuan Qanun syari’at Islam di Aceh dan posisi serta implikasinya
terhadap minoritas non-Muslim dalam Qanun syari’at Islam.79
5. Penelitian yang dibukukan dan diberi judul “Relasi Muslim dan Non Muslim
Menurut Syariat Islam di Aceh” yang ditulis oleh Muji Mulia. Buku ini
membahas tentang relasi muslim dan non-muslim pasca penerapan syariat
Islam di Aceh dari aspek sosial, agama, politik, dan hukum. Buku ini juga
menjelaskan model-model hubungan muslim dan non-muslim yang terjalin.80\
6. Jurnal yang berjudul “Non-Muslim The Regulation of Islamic Law In Aceh
Province” yang ditulis oleh Safrilsyah (Universitas Islam Negeri Ar-Raniry).
Penelitian ini membahas tentang persepsi minoritas non-muslim terhadap
peraturan perundangan-undangan hukum Islam di Aceh. Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa 17% merasa tidak terganggu dan 76% menjawab mereka
tidak kehilangan haknya.81
7. Penelitian yang dibukukan dan diberi judul “Mahkamah Syar’iyah Aceh Dalam
Politik Hukum Nasional” yang ditulis oleh Abdul Manan (Ketua Pusat
Pengembangan Hukum Islam dan Masyarakat Madani). Buku ini membahas
tentang pelaksanaan syariat Islam di Aceh dan posisi Mahkamah Syar’iyah
dalam konstelasi sistem peradilan nasional secara utuh.82
79 Danial, “Syari’at Islam dan Pluralitas Sosial (Studi tentang Minoritas Non-Muslim dalam Qanun
Syari’at Islam di Aceh)”, Jurnal Analisis, Vol XII, No. 1, (Juni 2012). 80 Muji Mulia. Relasi Muslim dan Non Muslim Menurut Syariat Islam di Aceh. (Banda Aceh :
Dinas Syariat Islam Aceh, 2018), cet. 1. 81 Safrilsyah, “Non-Muslim Under The Regulation of Islamivc Law In Aceh Province”,
Conference Proceedings of Annual International Conference on Islamic Studies (AICIS XII), (2012). 82 Abdul Manan, Mahkamah Syar’iyah Aceh Dalam Politik Hukum Nasional. (Jakarta:
Prenadamedia Group, 2018).
-
49
BAB III
PROSES PENYELESAIAN PERKARA NON-MUSLIM
DI MAHKAMAH SYAR’IYAH BANDA ACEH
A. Lembaga Pelaksana Syariat Islam bagi Non-Muslim di Banda Aceh
Pelaksanaan Syariat Islam di Aceh sangat ditentukan oleh instansi maupun
lembaga-lembaga yang terkait dengan penegakan qanun. Oleh sebab itu, dalam
implementasinya qanun jinayat dan p
top related