menumbuhkan paradigma kemitraan konservasi untuk …
Post on 01-Nov-2021
9 Views
Preview:
TRANSCRIPT
Menumbuhkan Paradigma Kemitraan
Konservasi untuk Mendukung Implementasi
Perdirjen KSDAE tentang Kemitraan
Konservasi
Laporan Akhir Proyek
Lembaga Alam Tropika Indonesia (LATIN)
Perjanjian Hibah No. : TT1.1-GRA-C1-1
Periode Pelaksanaan Hibah: December 1, 2018 sampai dengan Januari 30, 2020
24 Desember 2019
Publikasi ini disusun oleh Lembaga Alam Tropika Indonesia (LATIN) untuk Chemonics International
untuk kegiatan yang diselesaikan berdasarkan Kontrak No.. AID-497-TO-16-00002
MENUMBUHKAN PARADIGMA KEMITRAAN
KONSERVASI UNTUK MENDUKUNG IMPLEMENTASI
PERDIRJEN KSDAE TENTANG KEMITRAAN
KONSERVASI
Laporan Akhir Proyek
Lembaga Alam Tropika Indonesia (LATIN)
Perjanjian Hibah No. : TT1.1-GRA-C1-1
Periode Pelaksanaan Hibah: December 1, 2018 sampai dengan Januari 30, 2020
24 Desember 2019
Pernyataan:
Laporan ini dimungkinkan oleh dukungan Rakyat Amerika melalui Badan Pembangunan Internasional
Amerika Serikat (USAID). Isi dari Laporan Akhir Program Menumbuhkan Paradigma Kemitraan
Konservasi Untuk Mendukung Implementasi Perdirjen KSDAE tentang Kemitraan Konservasi ini
merupakan tanggung jawab penuh Lembaga Alam Tropika Indonesia (LATIN) dan tidak
mencerminkan pandangan USAID atau Pemerintah Amerika Serikat
DAFTAR ISI
DAFTAR SINGKATAN
Akronim Definisi
AMAN Aliansi Masyarakat Adat Nasional
AMATT Aliansi Masyarakat Adat Tiwu Telu
ANTAM Aneka Tambang
ARC-KPA Agrarian Research Center -Konsorsium Pembaruan Agraria
BAPPEKAB Badan Perencanaan dan Pembangunan Kabupaten
Bappelitbang Badan Perencanaan Pembangunan, Penelitian dan Pengembangan
BNF Borneo Nature Foundation
BP2SDM Badan Penyuluhan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia
BPEE Bina Pengelolaan Ekosistem Esensial
BRWA Badan Registrasi Wilayah Adat
BTN Balai Taman Nasional
BTNBW Balai Taman Nasional Bogani Nani Wartabone
BTNGL Balai Taman Nasional Gunung Leuser
BTNGT Balai Taman Nasional Gunung Tambora
BUMDES Badan Usaha Milik Desa
BUMN Badan Usaha Milik Negara
CARE Lembaga swadaya masyarakat internasional bergerak di bidang
kemanusian untuk memerangi kemiskinan global
CIFOR Center for International Forestry Research
CIMTROP Center for International Cooperation in Sustainable Management of
Tropical Peatland
DELTA API Desa Ekologis Tangguh dan Adaptif Perubahan Iklim
Dirjen PHKA Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam
Disbudpar Dinas Kebudayaan dan Pariwisata
DISPERINDAG Dinas Perindustrian dan Perdagangan
DKN Dewan Kehutanan Nasional
DP3K Dewan Pembina dan Pengendali Pengelolaan Kolaboratif
E-PASS Enhancing the Protected Area System
FAQ Frequently Asked Questions
FGD Focus Group Disccusion
FKKGC Forum Kemitraan Kawasan Lindung Gunung Ciremai
FKKM Forum Komunikasi Kehutanan Masyarakat
FKM Forum Komunikasi Masyarakat
FoMMA Forum Musyawarah Masyarakat Adat
GEF Global Environment Facility
GPS Global Positioning System
HHBK Hasil Hutan Bukan Kayu
Hkm Hutan Kemasyarakatan
IFC International Finance Corporation
IPB Institut Pertanian Bogor
Akronim Definisi
IUCN International Union for Conservation of Nature
IUPSWA Izin Usaha Penyediaan Sarana Wisata Alam
JAKETRESI Jaringan Kerja Petani Rehabilitasi Ekosistem
JICA Japan International Cooperation Agency
Kabid Kepala Bidang
KADES Kepala Desa
KAIL Konsorsium Alam Indonesia Lestari
Kalteng Kalimantan Tengah
KAPATA Komunita Pecinta Alam Tambora
KCMI Komodo Collaborative Management Initiative
KPA Kawasan Pelestarian Alam
KPDN Kawasan Pengelolaan Desa Nyamuk
KPE Kelompok Pengelola Ekowisata
KPH Kesatuan Pengelolaan Hutan
KPK Komite Pengelolaan Kolaborasi
Kpts Keputusan
KSA Kawasan Suaka Alam
KSDAE Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem
KSHE Fahutan IPB Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekosistem Fakultas Hutan Institut
Pertanian Bogor
KSM Kelompok Swadaya Masyarakat
KTHK Kelompok Tani Hutan Konservasi
KTHR Kelompok Tani Hutan Rakyat
LATIN Lembaga Alam Tropika Indonesia
LP2DPM Lembaga Pengkajian Pembangunan Daerah dan Pengkajian Masyarakat
LPP Lembaga Pemberdayaan Perempuan
LSM Lembaga Swadaya Masyarakat
Menhut Menteri Kehutanan
MKK Model Kampung Konservasi
MoU Memorandum of Understanding
MPGC Mitra Pengelola Wisata Gunung Ciremai
MPTS Multy Purpose Tree Species
NGO Non Goverment Organization
NKB Nota Kesepahaman Bersama
NPK Nota Perjanjian Kerjasama
ODTWA Obyek Daya Tarik Wisata Alam
PAAP Pengelolaan Akses Area Perikanan
PAD Pendapatan Asli Daerah
Pangkep Pangkajene Kepulauan
PEH Pengendali Ekosistem Hutan
Perdirjen Peraturan Direktur Jenderal
PINTAR Paket Insentif untuk Petani Rehabilitasi
Akronim Definisi
PKKBM Pengelolaan Kawasan Konservasi Bersama Masyarakat
PKS Perjanjian Kerjasama
PLN Perusahaan Listrik Negara
PMDH PT RMU Pembangunan Masyarakat Desa Hutan Perseroan Terbatas Rimba
Makmur Utama
PMDN Penanaman Modal Dalam Negeri
PNBP Penerimaan Negara Bukan Pajak
Pokdarwis Kelompok Sadar Wisata
Pokmas Kelompok Masyarakat
PP Peraturan Pemerintah
PSKL Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan
PT DIGDAYA Konsultan untuk pengembangan sumber daya manusia
PT KWE Perseroan Terbatas Komodo Wildlife Ecotourism
PT PNK Perseroan Terbatas Putri Naga Komodo
PT SKL Perseroan Terbatas Segara Komodo Lestari
Puskesmas Pusat Kesehatan Masyarakat
Rakornis Rapat Koordinasi Teknis
RARE Lembaga swadaya masyarakat internasional bergerak di bidang
kemanusian untuk perikanan
RBM Resort Based Management
RECOFTC Regional Community Forestry Training Center
RKT Rencana Kerja Tahunan
RMI Rimbawan Muda Indonesia
RPJMN Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional
RPP Rencana Pelaksanaan Program
RPTNKM Rencana Pengelolaan Taman Nasional Kayan Mentarang
SK Surat Keputusan
SMART Spatial Monitoring and Reporting Tool
SOP Standar Operasional Prosedur
SPK Surat Perjanjian Kerjasama
SPKP Sentra Penyuluhan Kehutanan Pedesaan
SPTN 2 BTNGC Seksi Pengelolaan Taman Nasional 2 Balai Taman Nasional Gunung
Ciremai
STKIP Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan
TN Taman Nasional
TNC The Nature Conservancy
TNGHS Taman Nasional Gunung Halimun Salak
TNKJ Taman Nasional Karimun Jawa
TNMB Taman Nasional Meru Betiri
TORA Tanah Obyek Reformasi Agraria
TU BTNGC Tata Usaha Balai Taman Nasional Gunung Ciremai
UNESCO United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization
Akronim Definisi
UNIKU Universitas Kuningan
UNKRIP Universitas Kristen Palangka Raya
UPT Unit Pelaksanaan Teknis
USAID BIJAK United States Agency for International Development Bangun Indonesia
untuk Jaga Alam demi Berkelanjutan
WCS Wildlife Conservation Society
WGII Working Group ICCAs Indonesia
WWF Word Wild Fund
BAGIAN I – TEKNIS
Ringkasan Tujuan dan Sasaran Program
Tujuan akhir dari Program kegiatan LATIN adalah setelah proyek ini selesai, pengelola KSA-KPA akan
mendukung pelaksanaan Perdirjen Kemitraan Konservasi setelah memperoleh informasi tentang best
practice/ lessons learned dan informasi tentang hasil uji coba pelatihan implementasi Kemitraan
Konservasi berdasarkan rencana Kemitraan yang dibuat secara partisipatif bersama stakeholder.
Ada 3 tujuan kegiatan hibah yang diusulkan, yaitu:
• Tujuan 1. Terbangunnya dukungan dari pengelola KSA dan KPA untuk implementasi
Kemitraan Konservasi dalam pengelolaan KSA dan KPA
• Tujuan 2. Tersusunnya rencana Kemitraan Konservasi di salah satu Taman Nasional di
antara tiga Taman Nasional berikut ini: TN Gunung Tambora , TN Meru Betiri,
atau TN Gunung Halimun Salak
• Tujuan 3. Meningkatnya kapasitas staf pengelola KSA dan KPA untuk mengimplementasikan
rencana Kemitraan Konservasi
Kegiatan Yang Diharapkan Dapat Diselesaikan Berdasarkan Program Kegiatan LATIN
adalah:
1) Aktivitas untuk Mencapai Tujuan 1:
Aktivitas 1: Wawancara (indepth interview) di Enam Taman Nasional
Kegiatan ini bertujuan untuk memetakan lebih detail tentang tanggapan dari pengelola 6
Taman Nasional terhadap Perdirjen KSDAE tentang Kemitraan Konservasi.
Aktivitas 2: FGD (Focus Group Discussion)
Kegiatan FGD bertujuan untuk menggali tanggapan stakeholder yang terkait dengan
pengelolaan 6 Taman Nasional seperti disebut pada A.1. Stakeholder yang dipilih di setiap
lokasi Taman Nasional adalah kelompok masyarakat, akademisi, pemerintah daerah, dan
pengusaha (terutama yang menjadi mitra Taman Nasional).
Aktivitas 3: Studi Literatur
Kegiatan studi literatur bertujuan untuk mendokumentasikan pembelajaran (lessons learned)
dan best practices dari berbagai model Kemitraan Konservasi yang sudah dilaksanakan oleh
Taman Nasional di Indonesia.
Aktivitas 4: Lokakarya Penyusunan Strategi Komunikasi
Lokakarya bertujuan untuk menyusun dokumen yang berisi pesan kunci (key messages) yang
harus disampaikan melalui cara-cara penyampaian yang tepat kepada target sasaran yang
dituju, yaitu para pihak yang menolak Perdirjen KSDAE tentang Kemitraan Konservasi,
sehingga target sasaran bisa berubah sikapnya menjadi mendukung. Bahan untuk menyusun
dokumen Strategi Komunikasi berasal dari hasil indepth interview dan FGD yang dilakukan di
6 Taman Nasional.
Aktivitas 5: Lokakarya Penyampaian Key Message (Policy brief, Hasil Lokakarya Strategi Komunikasi)
Lokakarya bertujuan untuk menyampaikan hasil Lokakarya Strategi Komunikasi berupa policy
brief, termasuk best practice dan lessons learned, kepada Dirjen KSDAE dan jajarannya di
kantor pusat Jakarta, dan akan mengundang beberapa Pengelola Taman Nasional yaitu TN
Gunung Gede-Pangrango, TN Ujung Kulon dan TN Kepulauan Seribu. Ketiga Taman
Nasional tersebut diundang karena lokasinya di Jawa Barat, Banten dan DKI Jakarta, dan
sudah mengembangkan kemitraan konservasi dengan modelnya masing-masing.
2) Aktivitas untuk Mencapai Tujuan 2:
Aktivitas 6: Lokakarya Penyusunan Rencana Implementasi Kemitraan Konservasi
Lokakarya bertujuan untuk memfasilitasi pengelola dan stakeholder di 3 Taman Nasional
untuk mendiskusikan rencana implementasi Kemitraan Konservasi jangka pendek, jangka
menengah dan jangka panjang. Ketiga Taman Nasional yang dipilih adalah Taman Nasional
Gunung Halimun-Salak, TN Gunung Tambora dan TN Meru Betiri.
3) Aktivitas untuk Mencapai Tujuan 3:
Aktivitas 7: Lokakarya Penyusunan Modul Pelatihan Implementasi Kemitraan Konservasi
Workshop bertujuan untuk mempersiapkan bahan-bahan pelatihan yang mencakup Session
Plan, metode atau teknik penyampaian materi, bahan bacaan, referensi, alat dan bahan yang
harus disiapkan. Workshop akan dihadiri oleh panitia dari LATIN, fasilitator dan mentor.
Aktivitas 8: Pelatihan Implementasi Kemitraan Konservasi
Pelatihan ini bertujuan untuk meningkatkan kapasitas petugas lapang dalam implementasi
rencana Kemitraan Konservasi yang sudah disusun pada Kegiatan B.1. Peserta yang akan
terlibat adalah peserta yang mengikuti workshop penyusunan rencana Kemitraan Konservasi.
Aktivitas 9: Monitoring dan Mentoring
Kegiatan ini bertujuan untuk memantau tindak lanjut dari pelatihan Kemitraan Konservasi
yang telah dilakukan. Beberapa hal penting yang akan dipantau adalah sejauh mana langkah-
langkah yang sudah dilakukan untuk membangun Kemitraan? Apa kendala yang dihadapi dan
bagaimana solusinya? Apabila sudah tercapai kesepakatan Kemitraan, bagaimana proses
legalitasnya? Apakah akan dibuat MoU atau melalui proses perijinan kerjasama? Dan apa
alasan atau argumentasi memilih MoU atau perijinan atau mekanisme lainnya?
Ringkasan Pencapaian Program Kegiatan LATIN
a. Aktivitas 1.: Wawancara (indepth interview) Yang Dilakukan LATIN di Enam Taman Nasional
Kegiatan indepth interview dilakukan dengan tujuan untuk memetakan lebih detail tentang
tanggapan dari pengelola 6 Taman Nasional terhadap Perdirjen KSDAE tentang Kemitraan
Konservasi.
Kegiatan indepth interview dilakukan di TN Sebangau, TN Gunung Halimun Salak, TN Gunung
Ciremai, TN Meru Betiri, TN Gunung Tambora, TN Kelimutu. Kegiatan dilaksakan pada periode
antara bulan Desember 2018 sampai dengan Maret 2019. LATIN mengirimkan tim peneliti ke
setiap Taman Nasional untuk melakukan indepth interview. Setiap tim terdiri atas peneliti yang
berasal dari Bogor dan asisten peneliti yang berasal dari daerah sekitar Taman Nasional yang
dituju. Stakeholder yang diwawancara terdiri atas pengelola Taman Nasional, kelompok
masyarakat sekitar Taman Nasional, pengusaha swasta yang menjadi mitra Taman Nasional,
perguruan tinggi atau lembaga penelitian, dan LSM pendamping masyarkat. Jumlah total
stakeholder yang diwawancara adalah 74 orang, terdiri atas 56 laki-laki dan 18 orang perempuan.
Lebih rinci sebagaimana dalam tabel berikut:
Taman
Nasional
Waktu
Interview
Peserta yang Di-
interview Temuan Utama
TN Sebangau 3 – 14 Januari
2019
1. Sendy – WWF Kalteng
2. Bappelitbang Kalteng
3. Novi, staf Kemitraan
TN Sebangau
4. Yusurum Jagau, Kepala
CIMTROP
5. Anggodo, Kepala Balai
TN Sebangau
6. Hendro, PLT Sekretaris
Disbudpar Kalteng
7. Lukas, Dosen UNKRIP
8. Mamun, staf WWF
Kalteng
9. Kades Desa Karuing
10. Agnes, BNF
11. Dadang, WWF Kalteng
12. Jeki, Ketua Simpul
Wisata Punggualas
13. Heru, staf PMDH PT
RMU
Pengelola Balai TN Sebangau sudah
mengetahui, memahami dan mendukung
Perdirjen KSDAE No. 6 tahun 2018 tentang
Kemitraan Konservasi.
Kekuatiran para stakeholder: jangan sampai
Perdirjen No. 6/2018 ditafsirkan sebagai
membuka pintu bagi masyarakat untuk
membuka hutan di Taman Nasional. Ini juga
merupakan tantangan eksternal karena ada
kekuatiran masuknya mantan illegal logger
karena Perdirjen disalah tafsirkan sebagai
peluang untuk kembali masuk ke hutan.
Sedangkan tantangan internal di Balai TN
Sebagau yang dihadapi antara lain adanya
anggapan bahwa Kemitraan Konservasi
dibebani target luas yang harus dicapai,
sehingga dikuatirkan tujuan Kemitraan
Konservasi menjadi terabaikan.
TN Gunung
Ciremai
7 – 18 Januari
2019
1. Deni, Dosen Fahutan
UNIKU
2. Jamhari, Kabid
Konservasi Dinas
Lingkungan Hidup Kab.
Kuningan
3. Bu Eka, Kabid Ekonomi
Bappeda Kab. Kuningan
4. Ali Zainal Muttakin,
Kepala Kebun Raya
Kuningan
5. Rizal, Kasubag TU
BTNGC
6. Nissa, staf BTNGC
7. Jaja, Kasie SPTN 2
BTNGC
8. Sanusi WK dan
Sulistiyono (Forum
CIremai)
9. Dedi, karyawan
pemanfaat air
10. Eros Rosmanah dan
Wawan Hermawanto
(anggota Koperasi
Agung Lestari)
11. Mumu (Dinas Pariwisata
dan Budaya)
Pengelola Balai TN Gn. Ciremai sudah
mengetahui Perdirjen KSDAE No. 6 tahun
2018 tentang Kemitraan Konservasi, dan
sudah memahami isi Perdirjen tsb. Menurut
mereka, bentuk kegiatan yang diatur dalam
Perdirjen tsb. khususnya pemungutan
HHBK, perburuan tradisional, dan budidaya
tradisional, tidak bisa dilaksanakan di
kawasan TN Gn. Ciremai, karena semua
kegiatan tsb. hanya dapat dilakukan di zona
tradisional, sementara di kawasan TN Gn.
Ciremai tidak ada zona tradisional.
Pengelola Balai TN Gn. Ciremai menginkan
agar pemberdayaan masyarakat dilakukan
dengan cara melanjutkan kerjasama yang
sudah ada, khususnya dalam pengembangan
wisata alam (ODTWA/Obyek Daya Tarik
Wisata Alam). Kerjasama pengelolaan
ODTWA di Balai TN Gn. Ciremai dilakukan
dengan skema perijinan, dan sampai
sekarang sudah ada 64 izin yang sudah
dikeluarkan. Walaupun demikian, kegiatan
pengembangan ODTWA baru dapat
menyerap 25% mantan penggarap lahan di
dalam kawasan TN Gn. Ciremai.
Perlu ada pembekalan untuk meningkatkan
kapasitas staf Balai TN Gn. Ciremai untuk
melakukan proses sosialisasi yang lebih
tepat, melakukan kajian, menyusun rencana
kerjasama secara partisipatif, dan
memfasilitasi pelaksanaannya. Peningkatan
Taman
Nasional
Waktu
Interview
Peserta yang Di-
interview Temuan Utama
kapasitas juga dilakukan terhadap
masyarakat dan Pemerintah Daerah.
TN Meru
Betiri
10 – 19 Januari
2019
1. Ir. Kholid Indarto,
Kepala Balai TN Meru
Betiri
2. Siti Maimunah,
Kelompok Wanita Tani
Sumber Waras, Desa
Curahnongko
3. Sunarsih, Kelompok
Wanita Tani Sumber
Waras, Desa
Curahnongko,
4. Sugiri, Kelompok Tani
Mekar Sari I dan Ketua
Jaringan Kerja Petani
Rehabilitasi Ekosistem
(JAKETRESI),
5. Sugiatno, Fungsional
Penyuluh Dinas
Perindutrian dan
Perdagangan
(DISPERINDAG)
Kabupaten Jember,
6. Ir. Khairun Nisa, Kepala
Sub Bagian Tata Usaha
TNMB
7. Andri Purnomo, ST,
MSi, Kepala Bidang
Sosial Budaya Badan
Perencanaan dan
Pembangunan
Kabupaten (BAPPEKAB)
Jember
8. Dra. Titin Swastinah,
MS, MM, Dosen Univ.
Islam Jember
9. Supari, Pengusaha
Pergangan Hasil Tani,
Desa Sanenrejo
10. Yuliatin, Pendamping
Desa Sanenrejo
11. Abdul Halim Fanani,
Anggota dan Pendiri
Konsorsium Alam
Indonesia Lestari (KAIL)
Pengelola Balai TN Meru Betiri sudah
(TNMB) tahu dan paham isi Perdirjen No. 6
tahun 2018 tentang Kemitraan Konservasi.
Kemitraan Konservasi belum menjadi isu
utama di TNMB. Pengelola Balai TNMB
sudah melakukan kerjasama dengan
masyarakat sebelum ada Perdirjen, dan
sudah menanda tangani Surat Perjanjian
Kerjasama (SPK) dengan 3 kelompok
masyarakat dalam pemanfaatan HHBK buah
durian, berdasarkan PermenLHK No. 43
tahun 2017 tentang Pemberdayaan
Masyarakat.
Tantangan yang dihadapi adalah ada 10 desa
sebagai desa penyangga di TNMB yang
sebagian besar masyarakat di tiap desa masih
menggantungkan mata pencarian dan
kehidupan mereka kepada kawasan.
TN Kelimutu 15 – 26 Januari
2019
1. Agus Persada Sitepu,
Kepala Balai TN
Kelimutu
Pengelola Balai TN Kelimutu sudah
mengetahui dan memahami isi Perdirjen No.
6 tahun 2018 tentang Kemitraan Konservasi.
Taman
Nasional
Waktu
Interview
Peserta yang Di-
interview Temuan Utama
2. Wempi, Ketua SPKP
Desa Wologai Tengah
3. Paul Kedang, Kepala
Resort Niowula Balai
TN Kelimutu
4. Kuswoyo, Kepala
Resort Wologai, Balai
TN Kelimutu
5. Yoseph Dasi Muda,
Kepala KPH Ende
6. Christiana Sri Murni,
Dekan Fakultas Hukum
Universitas Flores
7. Ibu Is, Kepala Seksi
Pemeliharaan
Lingkungan Hidup
Badan Lingkungan
Hidup Daerah
Kabupaten Ende
8. Filipus Kami, Ketua
AMAN Nusa Bunga
9. Don Watu, Ketua
Forum Mosalaki
10. Hubertus Pango, Ketua
KSM Desa Niowula
11. Ibu Metty Wasa, Kepala
Kantor Yayasan
Tananua Flores
12. Alexander, Ketua
Kelompok Desa Adat
Saga
Pengelola Balai TN Kelimutu sudah siap
untuk menerapkan Perdirjen ini, karena
sebelumnya mereka baru menyelesaikan
identifikasi konflik dan potensi kerjasama
dengan masyarakat di sekitar TN Kelimutu
sebagai bahan untuk menerapkan Resort
Based Management (RBM).
Pada bulan Oktober 2018 telah ada 4
Perjanjian Kerja Sama (PKS) yang ditanda
tangani Kepala Balai TN Kelimutu dengan 4
desa.
TN Gunung
Tambora
21 Jan – 2 Feb
2019
1. Deni Suprianto, Staff
Perencanaan Balai
Taman Nasional
Tambora (BTNT).
2. Pak Ilyas, Akademisi
dari STKIP Yapen,
Dompu
3. Deni Rahadi, Ka TU
Balai TN Tambora
4. Evi Susanti, LPP
Baranusa (LSM)
5. Sulastri, Kelompok
Perempuan DELTA API
6. KAPATA (binaan BTN
Gn Tambora)
Informasi tentang adanya Perdirjen No. 6
tahun 2018 tentang Kemitraan Konservasi
belum diketahui secara merata oleh
Pengelola Balai TN Gn. Tambora. Dengan
demikian belum semua paham isi Perdirjen
tsb. Walaupun demikian isiatif untuk
membina kelompok-kelompok masyarakat
sudah dilakukan, walaupun belum dalam
bentuk perjanjian kerjasama. Pengelola Balai
TN Gn. Tambora ingin mendorong
penerapan Perdirjen dan ada rencana untuk
melakukan kajian untuk mengidentifikasi
obyek kemitraan konservasi di TN Gn.
Tambora, termasuk profil calon pelaku
Kemitraan Konservasi. Namun Pengelola
Balai TN Gn. Tambora masih memerlukan
informasi tentang contoh-contoh
pelaksanaan Kemitraan Konservasi di lokasi
lain.
Taman
Nasional
Waktu
Interview
Peserta yang Di-
interview Temuan Utama
7. Syaiful Buhari, Ketua
Asosiasi Guide – Porter
Jalur Pancasila
8. Kamsul, Pengusaha
Home Stay, Dusun
Pancasila, Desa
Tambora, Kecamatan
Pekat
9. Kemal, Penggiat Kopi di
Dusun Pancalisa
10. Adiman, Delta Api
11. Khaerul Insan, Kadis
Kebudayaan dan
Pariwisata Kab. Dompu
12. Asiah dan Supar-man
(LP2DPM)
Kemitraan Konservasi dapat diterapkan di
TN Gn. Tambora apabila keraguan
Pengelola Balai TN Gn. Tambora sudah bisa
dihilangkan. Untuk itu perlu diadakan
diskusi mendalam dengan seluruh staf Balai
TN Tambora tentang isi Perdirjen No. 6
tahun 2018 dan disertai dengan contoh-
contoh dari tempat lain.
TN Gunung
Halimun Salak
21 Jan – 2 Feb
2019
1. Nuroddin (ex. kades
desa Kiarasari)
2. Anwar (KTHR desa
Kiarasari)
3. Ceceng (pendamping
masyarakat Desa
Kiarasari)
4. Ceceng (Kiarasari)
5. Yaya (Curug Bitung)
6. Dudi (Seksi II Bogor
TNGHS)
7. Erlan (Balai TNGHS)
8. Fahmi Hakim
(Akademisi, IPB)
9. Nandi (Akademisi IPB)
10. Sutrisno (FKKM)
11. RMI
12. Yandi (ANTAM)
13. Endri (Bappedalitbang
Kabupaten Bogor)
Pengelola Balai TN Gn. Halimun Salak
(TNGHS) sudah mengetahui dan memahami
Perdirjen No. 6 tahun 2018 tentang
Kemitraan Konservasi. Bagi Pengelola
TNGHS, kemitraan atau kerjasama dengan
masyarakat telah lama dilakukan sebagai
upaya untuk mengatasi konflik pemanfaatan
lahan di dalam kawasan TNGHS. Pengelola
TNGHS berpendapat bahwa Perdirjen ini
memperkuat inisiatif kerjasama yang telah
dilakukan, antara lain mencairkan
komunikasi dengan masyarakat. Namun di
sisi lain ada kekuatiran juga, terjadi
pemahaman yang kurang tepat sehingga
masyarakat menganggap lahan objek
kemitraan konservasi menjadi lahan milik,
sehingga lahan tersebut bisa dijual atau
diagunkan.
Sebenarnya kekuatiran di atas tidak perlu
terjadi, karena program MKK (Model
Kampung Konservasi) di Desa Sukagalih
yang telah dilakukan sejak 2005 telah
berhasil, dimana masyarakat mengembalikan
lahan yang telah digarap dan kemudian
direhabilitasi menjadi hutan kembali, seluas
10 ha dan dikembalikan kepada Balai
TNGHS. Pembelajaran dari berbagai
kerjasama yang telah dilakukan menjadi
modal yang kuat bagi Pengelola Balai
TNGHS untuk menerapkan Perdirjen No. 6
tahun 2018.
Pengelola Balai TNGHS sudah
mengidentifikasi lokasi untuk Kemitraan
Konservasi, termasuk obyek dan calon
pelaku. Beberapa di antaranya adalah
pengelolaan obyek wisata alam di Desa
Taman
Nasional
Waktu
Interview
Peserta yang Di-
interview Temuan Utama
Kiarasari, Kabupaten Bogor, dan juga
pemanfaatan HHBK getah pinus di beberapa
tempat di Kabupaten Lebak dan Bogor.
Selain itu, perlu dilakukan peningkatan
kapasitas baik bagi staf Balai TNGHS dan
masyarakat agar implementasi Kemitraan
Konservasi dapat berjalan lancar.
Pelibatan Stakeholder: Informasi tentang stakeholder yang perlu diwawancara, diperoleh dengan
metode wawancara snowball, dimana informasi tentang siapa yang harus diwawancarai berasal
dari informan yang telah diwawancara sebelumnya.
Hasil: Kegiatan indepth interview di 6 Taman Nasional telah menghasilkan keragaman tanggapan
dari Pengelola Taman Nasional terhadap kebijakan Kemitraan Konservasi. Dari keenam
Pengelola Taman Nasional, tidak ada satu pun yang menyatakan tidak setuju atau menolak
kebijakan Kemitraaan Konservasi. Namun bisa disimpulkan bahwa ada yang resisten, ada yang
ingin mencari kejelasan terlebih dahulu (eksplorasi) dan ada yang berkomitmen untuk
melaksanakan Kemitraan Konservasi di lapangan.
Diantara Taman Nasional yang resisten adalah TN Gunung Ciremai, karena memberi tanggapan
bahwa “Tidak semua isi Perdirjen dapat diterapkan di TN Gn. Ciremai. Kegiatan perburuan
tradisional, budidaya tradisional dan pemungutan HHBK tidak dapat dilakukan karena di TN Gn.
Ciremai tidak ada zona tradisional.”
Diantara Taman Nasional yang berkomitmen untuk melaksanakan Kemitraan Konservasi adalah
TN Kelimutu. Hal ini bisa terlihat dari inisiatif Pengelola TN Kelimutu untuk memfasilitasi
pengusulan Perjanjian Kerja Sama dengan 4 desa, yaitu Desa Saga, Desa Niowula, Desa Nduaria
dan Desa Wologai Tengah.
Sedangkan Diantara Taman Nasional yang masih mencari informasi yang lebih jelas adalah TN
Sebangau, TN Meru Betiri dan TN Gunung Halimun Salak. Ketiganya masih memiliki sejumlah
kekuatiran terhadap kemungkinan dampak yang akan terjadi apabila kebijakan Kemitraan
Konservasi diterapkan di lapangan. Sejumlah kekuatiran yang muncul adalah penafsiran keliru
tentang Kemitraan Konservasi, membuka kembali peluang terjadinya perambahan, illegal logging,
ketidakseimbangan fungsi terkait dengan jenis tanaman budidaya, kapasitas SDM, tingginya
kecemburuan sosial di masyarakat, lemahnya kerjasama para pihak, individualisme di masyarakat,
lemahnya jejaring pendanaan, target oriented terkait luas
Hasil dari kegiatan ini bersama dengan hasil FGD dijadikan bahan untuk membuat policy brief
yang akan disampaikan kepada Dirjen KSDAE sebagai feedback dari lapangan untuk perbaikan
kebijakan Kemitraan Konservasi.
b. Aktivitas 2: FGD (Focus Group Discussion) Yang Difasilitasi LATIN
Kegiatan FGD merupakan tindak lanjut dari indepth interview, dan secara spesifik bertujuan
untuk menggali tanggapan stakeholder yang terkait dengan pengelolaan 6 Taman Nasional,
khususnya terkait dengan peluang dan tantangan dalam mengimplementasikan Perdirjen KSDAE
tentang Kemitraan Konservasi.
Kegiatan Focus Group Discussion (FGD) dilaksanakan bersamaan waktunya dengan kegiatan
indepth interview, yaitu pada periode antara bulan Desember 2018 sampai dengan Maret 2019.
Dalam FGD, peneliti pada kegiatan indepth interview berganti peran menjadi fasilitator FGD.
Kegiatan dilaksanakan di 6 Taman Nasional, sama dengan lokasi indepth interview. Total jumlah
peserta adalah 176 orang, terdiri atas 143 laki-laki dan 33 orang perempuan. Peserta berasal dari
berbagai stakeholder, yaitu masyarakat lokal, LSM lokal atau LSM yang menjadi mitra Taman
Nasional, perguruan tinggi setempat, perusahaan yang menjadi mitra Taman Nasional, serta staf
Taman Nasional (bisa Kepala Resort, Polhut, Staf Tata Usaha sampai Kepala Taman Nasional).
Table 2. FGD Yang Difasilitasi LATIN di 6 Taman Nasional
Taman
Nasional
Waktu
FGD Peserta Temuan Utama
TN Sebangau 15 – 16
Januari 2019
24 orang terdiri atas 24 laki-
laki dan 6 perempuan, berasal
dari Balai TN Sebangau, Dinas
Kebudayaan dan Pariwisata
Kalteng, Universitas Palangka
Raya, Universitas Kristen
Palangka Raya, WWF, Lestari,
LATIN, Bappeda Kabupaten
Katingan, Simpul Wisata
Karuing, Pemdes Karuing,
BUMDES Karuing, PMDH
Stakeholder berpendapat bahwa pada
mulanya, pengelolaan Taman Nasional
(TN) Sebangau tertutup, tidak melibatkan
masyarakat sehingga terjadi konflik dengan
masyarakat, dan masyarakat menolak
keberadaan TN Sebangau. Kemudian
dengan fasilitasi WWF, masyarakat mulai
diperkenalkan dengan kegiatan wisata
sebagai sumber pendapatan alternatif, dan
Pengelola TN Sebangau memfasilitasi
masyarakat untuk studi banding ke
beberapa Taman Nasional lain, sehingga
kerjasama dalam pengelolaan wisata di TN
Sebangau mulai berjalan. Namun
dukungan dari pihak pemerintah daerah
dan swasta masih belum maksimal. Pemda
masih mencari peluang untuk
meningkatkan PAD dari kegiatan wisata di
TN Sebangau. Sementara pihak swasta
masih belum banyak diajak kerjasama oleh
pengelola TN Sebangau.
Terbitnya Perdirjen No. 6/2018 disikapi
stakeholder dengan beragam pandangan.
Pihak perguruan tinggi, lembaga penelitian
dan masyarakat mendukung adanya
Perdirjen tsb., dan perlu disosialisasikan
kepada masyarakat dan stakeholder.
Sementara itu Pengelola Balai TN
Sebangau, dengan pengalaman membangun
kerjasama dengan masyarakat, telah
melangkah lebih jauh dengan
mempersiapkan 14 desa untuk Kemitraan
Konservasi yang terletak di zona
pemanfaatan (1 desa) dan di zona
tradisional (13 desa), dengan total luas
500.000 ha. Sikap hati-hati justru
diperlihatkan oleh LSM seperti WWF dan
Lestari, yang melihat keterkaitan Perdirjen
No. 6/2018 dengan peraturan-peraturan
sebelumnya seperti P.43/2017 tentang
Pemberdayaan Masyarakat.
TN Gunung
Halimun Salak
31 Januari
dan 7
Februari
2019
25 orang terdiri atas 23 laki-
laki dan 2 perempuan, berasal
dari Balai TN Gunung
Halimun Salak, Bappelitbang
Kabupaten Bogor, Masyarakat
Desa Kiarasari, Masyarakat
Desa Curug Bitung dan
Masyarakat Desa Cisarua,
Penambahan luas TNGHS menimbulkan
konflik antara masyarakat dengan
Pengelola TNGHS. Penambahan luas
TNGHS telah berdampak pada 108 desa
karena sebagian atau seluruh wilayah desa
menjadi masuk ke dalam kawasan TNGHS.
Konflik di TNGHS telah banyak mendapat
perhatian dari berbagai pihak, dan
Taman
Nasional
Waktu
FGD Peserta Temuan Utama
Fakultas Kehutanan IPB, RMI,
PT Antam, FKKM
Pengelola TNGHS telah berupaya mencari
solusi untuk antara lain melalui
pembentukan MKK (Model Kampung
Konservasi) yang juga didukung oleh pihak
swasta seperti PT Antam, dan juga
pemerintah daerah.
Terbitnya Perdirjen No. 6/2018 tentang
Kemitraan Konservasi bagi masyarakat dan
NGO ditanggapi positif karena dapat
membuat masyarakat lebih tenang dalam
memanfaatkan lahan yang selama ini
mereka kerjakan. Sementara bagi
Perguruan Tinggi, Perdirjen ditanggapi
secara hati-hati, dan harus dilihat
keterkaitannya dengan peraturan lain
seperti peraturan menteri tentang
pemberdayaan masyarakat dan tentang
kerjasama di KSA dan KPA. Sedangkan
pemerintah daerah masih belum
mendengar tentang Perdirjen ini.
TN Gunung
Ciremai
16 – 18
Januari 2019
29 orang terdiri atas 24 laki-
laki dan 5 perempuan, berasal
dari Balai TN Gunung
Ciremai, Bappelitbang Kab.
Kuningan, Dinas Pariwisata
Majalengka, Kebun Raya
Kuningan, Kompepar Lembah
Cilengkrang, Koperasi Agung
Lestari, Fakultas Kehutanan
UNIKU, Forum Ciremai,
MPGC Sunan Parung Situ
Sangiang, Ciremai Bakti, CV
Tirta Mekar Kuningan
Stakeholder berpendapat bahwa
pengelolaan TN Gn. Ciremai telah
membuka ruang bagi masyarakat untuk
terlibat, khususnya dalam kegiatan wisata
alam di TN Gn. Ciremai. Keterlibatan
masyarakat bisa meredam konflik yang
terjadi ketika Gn. Ciremai ditetapkan
menjadi Taman Nasional. Walaupun
demikian masih ada beberapa isu yang
perlu diselesaikan. Pertama, Pemerintah
Kabupaten Kuningan masih merasa bahwa
kontribusi TN Gn. Ciremai terhadap PAD
masih kurang. Oleh karena itu muncul
gagasan agar status TN Gn. Ciremai
diturunkan kembali menjadi hutan lindung.
Kedua pengelolaan wisata masih bersifat
massal sehingga beresiko terhadap
keutuhan TN Gn. Ciremai. Ketiga, tidak
semua mantan petani yang dulu
memanfaatkan lahan di dalam kawasan
hutan lindung, terlibat dalam kegiatan
wisata alam.
Terkait dengan Perdirjen No. 6 tahun
2018 tentang Kemitraan Konservasi, maka
semua stakeholder berpendapat perlunya
sosialisasi. Menurut stakeholder, beberapa
isu yang penting untuk dibahas adalah
kegiatan perburuan, pemanfaatan HHBK,
dan kegiatan yang dilaksanakan di zona
tradisional, pentingnya merevisi zonasi,
serta peranan Forum Ciremai sebagai
fasilitator yang menjembatani kepentingan
masyarakat dengan Pengelola TN Gn.
Ciremai.
Taman
Nasional
Waktu
FGD Peserta Temuan Utama
TN Meru Betiri 22 – 23
Januari 2019
35 orang terdiri atas 31 laki-
laki dan 4 perempuan, yang
berasal dari petani/ ketua
kelompok tani, anggota
kelompok TOGA, Balai TN
Meru Betiri, Bappeda Jember,
Disperindag Jember, KAIL,
FMIPA Universitas Jember,
Universitas Islam Jember,
Pokdarwis Curagnongko
Dulu, TN Meru Betiri masih tertutup.
Banyak larangan bagi masyarakat yang akan
memanfaatkan hasil hutan atau mengkases
kawasan hutan TN Meru Betiri. Pemda
juga sulit berkoordinasi terutama untuk
menyalurkan program pembangunan bagi
daerah di sekitar atau di dalam TN Meru
Betiri. Perguruan Tinggi juga belum
banyak diajaka kerjasama. Namun dengan
adanya peristiwa reformasi tahun 1998
dan diikuti oleh perambahan di TN Meru
Betiri, maka Pengelola TNMB dipaksa
untuk mencari solusi jalan tengah.
Akhirnya mulai muncul berbagai
kerjasama, baik dengan masyarakat
langsung, dengan NGO dan Perguruan
Tinggi. Namun kerjasama yang diinisiasi
oleh Pengelola TN MB tidak memiliki
payung hukum yang kuat di tingkat
nasional. Dengan demikian, kerjasama
sangat tergantung pada kebijaksanaan
Kepala Taman Nasional.
Adanya Perdirjen No. 6 tahun 2018
tentang Kemitraan Konservasi diharapkan
dapat menjadi payung hukum bagi
kerjasama antara Pengelola Taman
Nasional dengan masyarakat, dan juga
dengan stakeholder. Tanggapan
stakeholder terhadap Perdirjen No. 6
tahun 2018 pada umumnya setuju dengan
alasan yang berbeda-beda. Masyarakat
setuju karena mereka bisa lanjut
menggarap lahan di zona rehabilitasi. Bagi
NGO, Perdirjen ini adalah legalitas bagi
petani, sehingga petani terlindungi hak-
haknya dalam memanfaatkan lahan di zona
rehabilitasi TN Meru Betiri. Bagi
perguruan tinggi, stakeholder yang terlibat
dalam Kemitraan Konservasi perlu
diperluas. Hal senada didukung oleh
Pemda, bahkan Pemda juga ingin ada
instansi atau lembaga dari pemerintah
pusat yang juga ikut terlibat. Sementara
dari swasta akan mendukung, sejauh
Kemitraan Konservasi memang memberi
manfaat langsung bagi mereka.
TN Gunung
Tambora
30 – 31
Januari 2019
30 orang, 24 laki-laki dan 6
perempuan, berasal dari Balai
TN Tambora, LSM Setempat,
Masyarakat
sekitar TN Tambora, Pemkab
Dompu, Camat Pekat,
&Pengusaha Lokal
Kegiatan kerjasama di Taman Nasional
Tambora banyak dilakukan dengan
masyarakat dan para pihak di Dompu dan
Bima terutama dengan Pemda Dompu dan
Pemda Bima. Kegiatan yang dilakukan
sebagian besar adalah kegiatan pariwisata
alam dan pemungutan hasil hutan bukan
kayu, serta kegiatan pengamanan kawasan
TN. Lokasi kegiatan kerjasama ini lebih
Taman
Nasional
Waktu
FGD Peserta Temuan Utama
banyak dilakukan di daerah penyangga
Taman Nasional. Kegiatan bersama
masyarakat di dalam dan sekitar TN
dilakukan belum menggunakan mekanisme
kerjasama, masih menggunakan mekanisme
pendampingan. Antara lain: untuk kegiatan
pariwisata alam dan Pendakian, kegiatan
pengambilan Hasil Hutan Bukan Kayu
(HHBK) oleh masyarakat, dan Peningkatan
kualitas pengelolaan kopi.
Adanya Perdirjen KSDAE No. 6 tahun
2018 tentang Kemitraan Konservasi
diharapkan dapat menjadi dasar untuk
kerjasama yang lebih formal. Namun
stakeholder (Masyarakat, LSM dan PT)
selain BTN Tambora belum mengetahui
Perdirjen 6/2018, mereka membutuhkan
penjelasan yang detil mengenai isi di dalam
nya. Diperlukan proses sosialisasi hingga
ke tingkat tapak bagaimana perdirjen ini
diterapkan, sehingga dapat memberikan
manfaat secara maksimal kepada
masyarakat di dalam dan sekitar TN.
TN Kelimutu 28 – 29
Januari 2019
51 orang terdiri atas 44 laki-
laki dan 7 perempuan, berasal
dari Pengelola TN Kelimutu
(Kepala Balai, Kepala
Seksi Wilayah Kelimutu,
Kepala Resort Wologai
dan staf, Kepala Resort
Sokoria dan staf, staf teknis),
Kepala KPH Ende, Masyarakat
Desa Saga (Kades, Ketua
Kelompok Masyarakat/
Pokmas, kelompok
perempuan), Ketua SPKP
Desa Wologai, Ketua
Pokdarwis Desa Waturaka,
Yayasan Tananua, Forum
Mosalaki, USAID BIJAK
Konflik perubahan status dari TWA
Kelimutu menjadi TN Kelimutu disertai
dengan perluasan kawasan membuat
sebagian lahan masyarakat menjadi masuk
ke dalam kawasan TN Kelimutu. Ketika
konflik terjadi, Pemkab Ende mendukung
masyarakat untuk tetap memanen dan
memelihara kebun kopi yang ada di dalam
kawasan TN Kelimutu, asalkan tidak
memperluas kebun. Perjuangan
masyarakat juga didukung oleh Yayasan
Tananua, AMATT (Aliansi Masyarakat
Adat Tiwu Telu), AMAN Nusa Bunga, dan
juga Fakultas Hukum Universitas Flores.
Terbitnya Perdirjen No. 6/2018 tentang
Kemitraan Konservasi yang langsung
diterapan oleh Pengelola TN Kelimutu,
ditanggapi positif oleh stakeholders.
Masyarakat Desa Saga, Desa Niowula,
Desa Nduaria dan Desa Wologai bahkan
menanda tangani Perjanjian Kerja Sama
(PKS) dengan Kepala TN Kelimutu.
Fakultas Hukum Universitas Flores juga
menyambut positif Perdirjen tsb., namun
tetap mendukung upaya masyarakat adat
di Kelimutu untuk memperoleh hak atas
Wilayah Adatnya, dengan tetap
mendorong Peraturan Daerah tentang
pengakuan dan perlindungan masyarakat
adat di Ende. Sikap tsb. Sama dengan sikap
AMAN dan Yayasan Tananua. Bahkan
Yayasan Tananua menganggap bahwa
Taman
Nasional
Waktu
FGD Peserta Temuan Utama
Perdirjen tsb. Saat ini merupakan jalan
tengah atas konflik yang sudah terjadi
antara masyarakat adat di Kelimutu
dengan Pengelola TN Kelimutu.
Hasil FGD yang difasilitasi LATIN, adalah tanggapan stakeholder terhadap kebijakan Kemitraan
Konservasi, yaitu:
1) Terbitnya Perdirjen No. 6/2018 disikapi stakeholder di TN Sebangau dengan beragam pandangan.
Pihak perguruan tinggi, lembaga penelitian dan masyarakat mendukung adanya Perdirjen tersebut
dan perlu disosialisasikan kepada masyarakat dan stakeholder.
2) Stakeholder berpendapat bahwa pengelolaan TN Gn. Ciremai telah membuka ruang bagi
masyarakat untuk terlibat, khususnya dalam kegiatan wisata alam di TN Gn. Ciremai.
Keterlibatan masyarakat bisa meredam konflik yang terjadi ketika Gn. Ciremai ditetapkan
menjadi Taman Nasional.
3) Terkait dengan Perdirjen No. 6 tahun 2018 tentang Kemitraan Konservasi, maka semua
stakeholder berpendapat perlunya sosialisasi. Menurut stakeholder, beberapa isu yang penting
untuk dibahas adalah kegiatan perburuan, pemanfaatan HHBK, dan kegiatan yang dilaksanakan di
zona tradisional, pentingnya merevisi zonasi, serta peranan Forum Ciremai sebagai fasilitator yang
menjembatani kepentingan masyarakat dengan Pengelola TN Gn. Ciremai.
4) Tanggapan stakeholder di TN Meru Beti terhadap Perdirjen No. 6 tahun 2018 pada umumnya
setuju dengan alasan yang berbeda-beda. Masyarakat setuju karena mereka bisa lanjut menggarap
lahan di zona rehabilitasi. Bagi NGO, Perdirjen ini adalah legalitas bagi petani, sehingga petani
terlindungi hak-haknya dalam memanfaatkan lahan di zona rehabilitasi TN Meru Betiri. Bagi
perguruan tinggi, stakeholder yang terlibat dalam Kemitraan Konservasi perlu diperluas. Hal
senada didukung oleh Pemda, bahkan Pemda juga ingin ada instansi atau lembaga dari pemerintah
pusat yang juga ikut terlibat. Sementara dari swasta akan mendukung, sejauh Kemitraan
Konservasi memang memberi manfaat langsung bagi mereka.
5) Terbitnya Perdirjen No. 6/2018 tentang Kemitraan Konservasi yang langsung diterapan oleh
Pengelola TN Kelimutu, ditanggapi positif oleh stakeholders. Masyarakat Desa Saga, Desa
Niowula, Desa Nduaria dan Desa Wologai bahkan menanda tangani Perjanjian Kerja Sama (PKS)
dengan Kepala TN Kelimutu. Fakultas Hukum Universitas Flores juga menyambut positif
Perdirjen tsb., namun tetap mendukung upaya masyarakat adat di Kelimutu untuk memperoleh
hak atas Wilayah Adatnya, dengan tetap mendorong Peraturan Daerah tentang pengakuan dan
perlindungan masyarakat adat di Ende. Sikap tsb. Sama dengan sikap AMAN dan Yayasan
Tananua. Bahkan Yayasan Tananua menganggap bahwa Perdirjen tsb. Saat ini merupakan jalan
tengah atas konflik yang sudah terjadi antara masyarakat adat di Kelimutu dengan Pengelola TN
Kelimutu.
6) Adanya Perdirjen KSDAE No. 6 tahun 2018 tentang Kemitraan Konservasi diharapkan dapat
menjadi dasar untuk kerjasama yang lebih formal. Namun stakeholder (Masyarakat, LSM dan PT)
selain BTN Tambora belum mengetahui Perdirjen 6/2018, mereka membutuhkan penjelasan yang
detil mengenai isi di dalam nya. Diperlukan proses sosialisasi hingga ke tingkat tapak bagaimana
perdirjen ini diterapkan, sehingga dapat memberikan manfaat secara maksimal kepada masyarakat
di dalam dan sekitar TN.
Hasil FGD bersama dengan hasil indepth interview menjadi bahan untuk policy brief.
c. Aktivitas 3: Studi Literatur Yang Dilakukan LATIN
Kegiatan studi literatur yang dilakukan LATIN bertujuan untuk mendokumentasikan pembelajaran
(lessons learned) dan best practices dari berbagai model Kemitraan Konservasi yang sudah
dilaksanakan oleh Taman Nasional di Indonesia.
Kegiatan studi literatur dilaksanakan pada periode 18 Maret – 20 Mei 2019 dan dilakukan di 6
Taman Nasional lain yang bukan menjadi lokasi indepth interview dan FGD. Keenam Taman
Nasional yang menjadi obyek studi literatur adalah TN Gunung Leuser, TN Kepulauan Seribu,
TN Kepulauan Karimun Jawa, TN Kayan Mentarang, TN Bogani Nani Wartabone, dan TN
Bantimurung Bulusaraung. Metode yang digunakan untuk kegiatan studi literatur adalah
mengumpulkan bahan pustaka terkait inisiatif kemitraan konservasi yang telah dilakukan di enam
Taman Nasional tersebut. Untuk pendalaman informasi, dilakukan wawancara melalui telepon
kepada staf Taman Nasional, seperti yang dilakukan dengan TN Gunung Leuser, dan Balai TN
Kepulauan Karimun Jawa. Sedangkan pendalaman informasi melaluai wawancara dengan Kepala
Balai secara langsung, dilakukan dengan Kepala Balai TN Bogani Nani Wartabone yang kebetulan
sedang ada di Bogor. Berikut ini waktu wawancara dan beberapa poin penting hasil wawancara:
No UPT Tanggal
Wawancara
Responden yang di
Wawancara Point Penting Hasil Wawancara
1 TN Bogani
Nani
Wartabone
24-Apr-18 Nuraini - Staf
BTNBW bagian
kerjasama
Di TNBNW sekarang sudah ada 7 PKS
dengan kelompok masyarakat, 5
pemulihan ekosistem dan 2
pemberdayaan masyarakat, di PKS bukan
kemitraan konservasi, tetapi penguatan
fungsi melalui pemberdayaan masyarakat,
dengan tujuan agar masyarakat bisa lebih
mandiri.
9-Mei-18 Diskusi dengan
Kabalai dan Kepala
Seksi BTNBNW di
Bogor
2 TN
Karimun
Jawa
7-May-18 Diskusi dengan RARE
tentang PAAP di
TNKJ
TNKJ sudah memilki zona yang sesuai
dengan P.6 tahun 2018, yaitu zona
tradisional perikanan. Sehingga tidak
memiliki permasalahan mengenai zonasi,
tidak seperti di darat.
Masyarakat sudah lama memanfaatkan
kawasan, ada atau tidak ada perdirjen, ada
tidak ada kemitraan konservasi,
masyarakat bisa memanfaatkan kawasan.
Sebelum adanya PAAP dan Kemitraan
Konservasi, masyarakat sudah melakukan
pemanfaatan di zona tradisional berjalan
sesuai aturan P.76 tahun 2015 asalkan
ramah lingkungan
Manfaat yang berbeda yang didapatkan
dari P.6 tahun 2018 yaitu adanya
kewajiban fasilitasi, sehingga ada dasar
hukum untuk membiayai fasilitasi dan
meningkatkan kapasitas masyarakat.
TNKJ menduukung adanya P.6, karena
zonasi yang digunakan juga sudah sesuai,
begitu juga karakteristik masyarakat.
9-May-18 Yusuf Syaifudin - PEH
TNKJ
No UPT Tanggal
Wawancara
Responden yang di
Wawancara Point Penting Hasil Wawancara
3 TN Gunung
Leuser
17 Mei 2018 Adhi N - Staf
BTNGL, Kabid
Teknis Konservasi
Setelah adanya Perdirjen No.6 tahun
2018 penyelesian konflik tidak lagi dengan
tindakan atau kegiatan preventif maupun
persuasif, tetapi melalui tindakan atau
kegiatan preemitif dengan cara melakukan
kemitraan konservasi dalam rangka
pemulihan ekosistem. Peran pemerintah
provinsi juga dalam hal ini bisa
memperkuat Perdirjen No.6, dimana ada
Peraturan Gubernur yang mengatur
penyelesaian konflik tenurial di kawasan
konservasi, sehingga Perdirjen No.6 tahu
2018 merupakan alat untuk penyelesaian
konflik tersebut dengan cara yang damai.
9-May-18 Eva - Dosen KSHE
Fahutan IPB
Hasil studi literatur di 6 TN ini kemudian ditulis dalam satu laporan studi literatur yang
memperkaya pengalaman implementasi Kemitraan Konservasi yang telah dikaji melalui indepth
interview dan FGD sebelumnya, sehingga studi literatur ini memuat gambaran implementasi
kemitraan konservasi di 12 TN, yaitu: TN Gunung Leuser, TN Bogani Nani Wartabone, TN
Komodo, TN Karimunjawa, TN Kayan Mentarang, TN Bantimurung Bulusaraung, TN Kelimutu,
TN Gunung Ciremai, TN Sebangau, TN Gunung Halimun Salak, TN Meru Betiri, dan TN Gunung
Tambora.
Hasil studi literatur yang dilakukan LATIN adalah kumpulan informasi, terkait dengan praktek-
praktek terbaik (best practices) dari 12 Taman Nasional, yaitu:
1) Best Practices Membangun Kemitraan Konservasi di Taman Nasional Gunung
Leuser
Ancaman terbesar yang dihadapi oleh Balai TN Gunung Leuser adalah perambahan untuk
pengembangan perladangan atau perkebunan, terutama di wilayah Sumatera Utara, yaitu di
wilayah kerja Seksi Pengelolaan Taman Nasional (SPTN) Wilayah VI Besitang - Bidang
Wilayah III Stabat. Pada wilayah ini, luas perambahan sampai dengan tahun 2014 tercatat
sebesar 28.678,60 ha (TNGL, 2017)1. Selain perambahan kawasan, ada beberapa masalah lain
yang terjadi di TN Gunung Leuser, menurut temuan lapangan Forum Konservasi Leuser
tahun 2017 menunjukkan, ada 245 kasus perambahan, 196 pembalakan hutan, dan 3
pertambangan ilegal yang terjadi di TN Gunung Leuser, sedangkan pembangunan jalan di TN
Gunung Leuser mencapai 24 kasus dengan panjang sekitar 67 Kilometer2.
Persoalan konflik tenurial dan akses petugas ke dalam kawasan yang rawan tindak pidana
kehutanan, bisa diselesaikan dengan adanya Perdirjen KSDAE No. 6 Tahun 2018, sehingga
hadirnya Perdirjen tersebut merupakan solusi bagi BTNGL3.
Pada bulan Oktober 2018 telah ditandangani Perjanjian Kerja Sama dengan 13 KTHK dan
pada bulan Mei 2019 telah ditandatangai Perjanjian Kerja Sama dengan 4 KTHK, sehingga di
TN Gunung Leuser saat ini ada 17 Perjanjian Kerja Sama dengan skema pemulihan ekosistem.
Proses kerjasama ini dilatar belakangi oleh banyaknya kelompok yang menggarap kawasan
menjadi kebun, sehingga hal ini perlu penyelesian konflik yang sesuai dengan karakteristik dan
kegiatan masyarakat. Proses yang paling banyak dibutuhkan dalam memulai kerjasama ini yaitu
proses pendekatan dan pemberian pemahaman terhadap kelompok masyarakat, sehingga
2 3 Wawancara mendalam melalui telepon dengan Unit Pengelola / Balai TNGL tanggal 18 Mei 2019
diperlukan dukungan dari tokoh masyarakat dalam menyusun dan menerapkan strategi
pendekatan, adapun langkah-langkah yang dilakukan oleh staf TN Gunung Leuser yaitu4 (a)
identifikasi tokoh masyarakat (local champion) yang kompeten dan dapat menjadi jembatan
komunikasi antara UPT dengan kelompok masyarakat, (b) selalu menjaga intensitas dan
frekuensi komunikasi antara petugas dengan kelompok masyarakat, (c) mengikutsertakan
kelompok masyarakat dalam setiap pembahasan rancangan pengelolaan areal kemitraan
konservasi, (d) mengikutsertakan mitra (LSM, akademisi atau sektor swasta) dalam proses
kemitraan konservasi.
Balai TN Gunung Leuser telah mencoba menyelesaikan permasalahan yang dihadapi antara
lain dengan membuat percontohan restorasi ekosistem di blok hutan Sei Serdang – Resort
Cinta Raja. Restorasi ekosistem ini telah dievaluasi olah Puslitbang Konservasi dan
Rehabilitasi – Badan Litbang Kehutanan (2014) bekerjasama dengan UNESCO Jakarta Office
dan salah satu kesimpulannya adalah restorasi ekosistem di Sei Serdang dapat dijadikan model
restorasi ekosistem di lokasi lain di TN Gunung Leuser.
Keberhasilan yang sudah dilakukan di hutan Sei Serdang juga menjadi salah satu faktor
pendorong TN Gunung Leuser untuk mereplikasi di wilayah TN Gunung Leuser yang lain.
Manfaat yang didapatkan TN Gunung Leuser dengan adanya Perdirjen KSDAE No. 6 Tahun
2018 adalah5:
• Keterlibatan masyarakat dalam pemulihan kawasan;
• Petugas dapat mengakses wilayah-wilayah rawan dalam kawasan;
• Membatasi perluasan lahan garapan masyarakat dalam kawasan;
• Keterlibatan kelompok masyarakat dalam pengamanan kawasan.
PEMBELAJARAN
Proses membangun kemitraan konservasi dan kerjasama yang terjadi di TN Gunung Leuseur
menghasilkan banyak pembelajaran, antara lain:
• Modal pengalaman dalam restorasi kawasan yang pernah dilakukan merupakan
bagian dari semangat untuk melakukan kemitraan konservasi dalam rangka
pemulihan ekosistem.
• Merubah cara pendekatan kepada masyarakat dalam menangani konflik dari
preventif menjadi preemtif, sehingga masyarakat tidak lagi menjadi takut dengan
staf Balai Besar TN Gunung Leuser yang dulu dianggap sebagai petugas.
• Pelibatan kelompok masyarakat kemitraan konservasi di dalam kegiatan
pengamanan kawasan, dalam rangka melindungi areal kemitraan konservasi serta
mensosialisasikan program kemitraan konservasi pada kelompok masyarakat
lainnya. Selain itu, kelompok masyarakat kemitraan konservasi didorong atau
dilibatkan dalam peningkatan kapasitas melalui kegiatan pendidikan pelatihan
maupun studi banding.
• Adanya local champions di masyarakat yang dijadikan sebagai modal sosial untuk
membangun kepercayaan serta kesadaran masyarakat dalam mengelola kawasan
sebagai kawasan yang perlu dijaga dan dimanfaatkan sesuai aturan yang berlaku.
4 Wawancara mendalam melalui telepon dengan Unit Pengelola / Balai TNGL tanggal 18 Mei 2019 5 Wawancara mendalam melalui telepon dengan Unit Pengelola/Balai TNGL tanggal 18 Mei 2019
• Menggunakan local champions sebagai jembatan penghubung untuk terjadinya
komunikasi yang baik antara masyarakat dan Balai Besar TN Gunung Leuser,
terutama untuk membangun komunikasi dengan masyarakat yang berkonflik.
• Memberikan kapasitas dan pengetahuan kepada local champions, dan
memberikan kesempatan kepada local champions sebagai narasumber dalam
berbagai cara, sehingga akan terjadi rasa bangga dan meningkatan kepercayaan
diri untuk membagikan pengetahuannya kepada kelompok masyarakat.
• Menjaga intensitas dan frekuensi komunikasi antara petugas dengan kelompok
masyarakat, dengan komunikasi yang efektif dan baik, terutama dalam
memnyampaian aturan yang berlaku.
• Merangkul berbagai elemen masyarakat untuk ikut terlibat dalam pengelolaan
kawasan secara menyeluruh, dengan tujuan untuk menghindari konflik internal
diantara kelompok masyarakat.
2) Best Practices Penerapan Resort Based Management (RBM) Untuk Persiapan
Implementasi Kemitraan Konservasi di Taman Nasional Bogani Nani
Wartabone
Permasalahan utama Taman Nasional Bogani Nani Wartabone (TNBNW) adalah illegal
logging dan perambahan hutan untuk pertanian. Konflik antara Taman Nasional dengan
masyarakat terjadi karena sebelum ditetapkan sebagai taman nasional, masyarakat sudah
berada di kawasan tersebut, bahkan pendatang dari Minahasa dan transmigrasi dari Jawa dan
Bali sudah ada sejak tahun 70-an. Berdasarkan penelitian yang dilakukan tim Epass dan
penelitian lain menyebutkan bahwa 72% masyarakat sekitar TNBNW tergolong miskin
dengan penghasilan antaran Rp.500.000-Rp.1.000.000. Kondisi tersebut menjadi penyebab
tekanan terhadap kawasan taman nasional untuk kebutuhan lahan pertanian dan illegal
logging. Pendekatan penegakan hukum pada masa sebelumnya tidak cukup efektif untuk
mengatasi perambahan dan illegal logging.
Permasalahan yang terjadi, tidak terlepas dari tata kelola Taman Nasional yang masih belum
baik. Hal ini digambarkan dengan jelas dalam buku berjudul “Shelter” pada paragraph pertama
bagian Pendahuluan, yang menyatakan, “Hingga akhir tahun 2015, Taman Nasional Bogani
Nani Wartabone (TNBNW) masih menerapkan sistem kelola baku terhadap output dan
proyek yang terpusat. Sistem pengelolaan organisasi yang bersifat “Balai Based Management”
membuat resort sebagai unit pengelolaan terkecil yang bersentuhan langsung dengan lapangan
(selama ini didengungkan sebagai ujung tombak pengelolaan) menjadi tidak efektif. Petugas
resort secara organisasi dan individu menjadi inferior, tidak berdaya, dan kurang kreatif.
Sistem ini juga membuat ujung tombak pengelolaan menjadi ujung tombak yang tumpul.
Output secara kegiatan tercapai, namun tidak memberikan dampak atau outcome yang
diharapkan.
PROSES DAN HASIL
Kerjasama-kerjasama yang terjadi di masyarakat dibangun dengan proses yang panjang terkait
isu perkembangan dan konflik yang terjadi di kawasan TNBNW. Kerjasama yang terjadi
antara TNBNW dengan masyarakat merupakan hasil atau efek dari RBM dan filosofi shelter
dimana ada empat tiang satu atap6. “Membangunkan pengelolaan berbasis tapak di TN
Bogani Nani Wartabone, bagaikan membuat shelter yang terdiri 4 (empat) tiang dan 1 (satu)
atap. TIANG berupa unsur-unsur membangunkan paradigma, membangunkan komitmen
bersama, membangunkan jejaring dalam pengelolaan, dan membangunkan sistem umpan balik.
Diskusi dengan Unit Pengelola / Balai TNBNW tanggal 9 Mei 2019
Sedangkan ATAP dimaksud adalah membangunkan kepemimpinan yang mengayomi. Filosofi
ATAP inilah yang dikembangkan di lapangan untuk menerapkan RBM.
Ada 11 langkah yang dilakukan untuk menerapkan RBM, yaitu (a) RBM disepakati sebagai
sistem, (b) anjangsana ke masyarakat, (c) menggalang dukungan dari stakeholder, (d)
membangun kapasitas masyarakat, (e) Membangun Etos Kerja Petugas Balai TN Bogani Nani
Wartabone, (f) mencari local champion, (g) membangun komunikasi dengan stakeholder, (h)
memberikan apresiasi, (j) menyepakati kerja sama, (k) Perjanjian Kerjasama yang sudah
ditandatangani pada tanggal 20 Juli tahun 2018 di Tambun, Desa Pinonobatuan, Bolaang
Mongondow. TNBNW.
Kelompok masyarakat yang menandatangani perjanjian kerjsama terdiri dari tujuh kelompok
yang terdiri dari dua kelompok dengan kegiatan pemulihan ekosistem yang ditandatangani
pada bulan Mei 2018, dan 5 kelompok dengan kegiatan pengelolaan wisata yang
ditandatangani pada bulan Juli 20187. Tujuh perjanjian kerjasma tersebut didasari oleh aturan
Permenhut No. P.85 Tahun 2014 tentang Tata Cara Kerjasama Penyelangaraan KSA dan KPA
dalam rangka penguatan fungsi8.
Pelaksanaan Perjanjian Kerjasama ini memberikan manfaat bagi kedua pihak, diantaranya
untuk TNBNW. Kawasan TNBNW secara langsung dijaga oleh kelompok masyarakat yang
bermitra, sehingga jika ada tindakan-tindakan dari luar yang tidak boleh dilakukan di dalam
kawasan, kelompok masyarakat akan melaporkan kepada resort atau petugas yang berada di
lapangan. Sedangkan manfaat yang didapatkan oleh kelompok masyarakat yaitu berupa
kepastian hukum dalam melakukan kegiatan di kawasan. Secara ekonomi masyarakat yang
berkegiatan dengan skema pemulihan ekosistem di zona rehabilitasi belum mendapatkan
manfaat langsung dari kegiatan ini. Namun Balai TNBNW memberikan peningkatan kapasitas
melalui pelatihan beternak ayam yang juga dibantu difasilitasi oleh EPASS. Sedangkan dengan
skema pemberdayan masyarakat, kelompok masyarakat mendapatkan manfaat secara
langsung dan cepat melalui kegiatan-kegiatan yang mendukung wisata, seperti jasa menjual
makanan9.
Manfaat yang signifikan justru dirasakan oleh petugas Balai TNBNW, berupa perubahan pola
pikir sebagai berikut:
• Pendekatan yang digunakan kepada masyarakat berubah dari pendekatan
perlindungan, pengawetan menjadi pendekatan pemanfaatan
• UPT yang terdiri dari balai, seksi dan resort merupakan sales konservasi yang
punya kewajiban membuat produk konservasi yang sesuai regulasi
• Tidak memandang permasalahan sebagai sebuah penghambat, tetapi merubahnya
menjadi sebuah kemauan untuk berani memulai
PEMBELAJARAN
1) Leadership
Kepemimpinan yang ditunjukkan kepala taman nasional dengan membangun visi bersama
diantara personil. Tiga Prinsip yang dikembangkan Bersama, pertama menetapkan visi
yang konkrit pengelolaan konservasi bersama masyarakat, bila masyarakat sejahtera maka
konservasi juga terjaga. Kedua, prinsip kendali, personil TN mengambil tanggung jawab
terhadap apa yang terjadi di lapangan. Ketiga, prinsip personil memiliki integritas artinya,
konsistensi dalam tindakan, metode, ukuran, memiliki pribadi yang jujur dan memiliki
karakter kuat. Prinsip-prinsip leadership ini tidak hanya diajarkan melalui pelatihan, tetapi
7 Wawancara mendalam melalui telepon dengan Unit Pengelola / Balai TNBNW tanggal 24 April 2019 8 Wawancara mendalam melalui telepon dengan Unit Pengelola / Balai TNBNW tanggal 24 April 2019 9 Wawancara mendalam melalui telepon dengan Unit Pengelola / Balai TNBNW tanggal 24 April 2019 10 Diskusi dengan Unit Pengelola / Balai TNBNW tanggal 9 Mei 2019
selalu menjadi bahan diskusi 3 bulanan dalam rapat staf taman nasional. Sikap
kepemimpinan ini juga diuji sampai staf resort. Staf resort harus sanggup menyelesaikan
persoalan di lapangan, baik masalah teknis maupun masalah sosial di masyarakat.
2) Ketrampilan Teknis dan Sosial
Pada Awalnya staf TN dibekali dengan pelatihan SMART Patrol dan didampingi WCS
dalam penerapannya. Berawal dari pendekatan monitoring berbasis data dan pelibatan
masyarakat ini, kapasitas personil dalam menengahi persoalan-persoalan di masyarakat
menjadi semakin baik. Ini adalah salah satu contoh leadership multi-level, dimana resort
dapat mengambil keputusan langsung di lapangan atas data yang dikumpulkan dari
kegiatan SMART Patrol.
3) Fasilitas Kantor dan Peralatan yang Memadai
Kantor yang nyaman dan peralatan pendukung (komputer, alat survei/GPS, dll) juga
menjadi kunci untuk mengumpulkan data lapangan dan membuat analisis sebagai bahan
untuk pengambilan keputusan yang akurat.
4) Rutin Mengadakan Kunjungan ke Masyarakat
Kunjungan rutin ke desa-desa untuk mendiskusikan kemajuan, keluhan, ataupun
pengembangan ide-ide baru berperan penting untuk menjaga komitmen masyarakat
terhadap kesepakatan-kesepakatan yang dibangun dan menguatkan saling percaya antara
TNBNW dan masyarakat.
5) Dukungan Mitra Pendamping
Dukungan lembaga lain (NGO) sangat diperlukan untuk mengisi keterbatasan
sumberdaya manusia yang terbatas, dan melengkapi kapasitas teknis pendampingan
masyarakat. Lembaga tersebut diantaranya: WCS, Yapeka-Bogor, Suara Bobato, Yayasan
Rimbawan, dan Japesda Gorontalo.
3) Tantangan Membangun Kemitraan dengan Pihak Swasta untuk Pendanaan
Berkelanjutan: Pengalaman Balai TN Komodo
Taman Nasional Komodo di Kabupaten Manggarai (Propinsi NTT) dibentuk sebagai kawasan
Taman Nasional pada tahun 1980 dan dikuatkan dengan SK Penetapan Taman Nasional Komodo
pada tahun 1992 dengan luas 173.300 ha. Di dalam TN Komodo terdapat 4 desa dengan jumlah
penduduk 3.267 jiwa, kemudian di sekitar TN Komodo terdapat 11 desa dengan jumlah
penduduk 16.816 jiwa.
Ancaman atau masalah yang dihadapi olah Balai TN Komodo adalah:
1) Tekanan populasi penduduk dan peningkatan kebutuhan sumberdaya alam yang
meningkatkan degradasi sumberdaya darat dan perairan.
2) Kegiatan penangkapan ikan yang merusak kawasan TN Komodo dan merupakan
ancaman terbesar bagi sumberdaya perairan.
3) Penangkapan sumberdaya perairan yang berlebihan, terutama jenis-jenis demersal,
merupakan masalah utama.
4) Masuknya spesies non-asli, termasuk anjing, kucing, dan kambing, yang menjadi
resiko bagi jenis-jenis endemik yang terancam punah melalui penularan penyakit,
predasi, atau kompetisi.
5) Meningkatkan polusi karena cara pembuangan limbah yang tidak tepat untuk MCK
dan sampah, tumpahan minyak/bahan bakar ke lingkungan perairan, dan sisa pupuk
dan pestisida.
6) Habitat daratan saat ini sangat dipengaruhi oleh kegiatan-kegiatan antropogenik di
masa lalu. Kebakaran, baik yang sengaja dibuat oleh para pemburu, atau yang tidak
disengaja, merupakan ancaman besar pada habitat hutan.
7) Banyaknya perburuan rusa, telur penyu, kalong, sarang burung walet, dll.
PROSES DAN HASIL
Untuk mengatasi ancaman yang disebut di atas, maka Balai TN Komodo mengembangkan
strategi kolaborasi. Strategi kolaborasi kemitraan pertama kali dikembangkan atas kerjasama
Balai TN Komodo, The Nature Conservancy, dan swasta nasional yang bergerak di bidang
pariwisata. Kolaborasi tersebut menghasilkan Komodo Collaborative Management Initiative
(KCMI) dan juga berhasil membentuk usaha patungan PT Putri Naga Komodo (PT PNK),
bersama Pemerintah Daerah, masyarakat pariwisata, dan stakeholder lainnya, dalam kerangka
pengelolaan TN Komodo secara berkelanjutan.
KCMI yang diberikan mandat untuk mengusahakan pengelolaan TN Komodo yang efektif dalam
jangka panjang, dalam kerangka organisasinya, terdapat dua organisasi penting, yaitu: Forum
Komunikasi Masyarakat (FKM) dan Komite Pengelolaan Kolaborasi (KPK). FKM dibentuk melalui
SK Bupati Manggarai, sedangkan KPK dibentuk melalui SK Dirjen PHKA (sekarang KSDAE) yang
terdiri dari beberapa unsur (Balai Taman Nasional, Pemda, Perwakilan FKM dan PT. Putri Naga
Komodo sebagai pemegang konsesi di TN Komodo). FKM dan KPK ini dibentuk KCMI guna
mendukung dalam pembuatan keputusan untuk pengelolaan TN Komodo dan mengakomodasi
masukan dari berbagai pihak.
Rencana Kolaborasi Pengelolaan TN Komodo telah didukung oleh berbagai lembaga pemerintah,
swasta, maupun komponen masyarakat, diantaranya: World Bank IFC, GEF, UNESCO, IUCN-
World Conservation Union, Bupati Manggarai, Menteri Kebudayaan dan Pariwisata, dan Menteri
Kehutanan. Bahkan Menteri Kehutanan memberikan izin prinsip kepada PT PNK untuk
melengkapi proposal rencana karya pengusahaan pariwisata TN Komodo. Namun demikian,
pada tahun 2008 izin PT PNK dicabut karena tidak melaksanakan kegiatan pembangunan sarana
prasarana yang disepakati.
Kemudian dalam perkembangannya, berdasarkan PP Nomor 36/2010 dan Permenhut Nomor
P.48/menhut-II/2010 jo Permenhut Nomor P.4/menhut-II/2012, KSDAE menerbitkan pemberian
Izin Usaha Penyediaan Sarana Wisata Alam (IUPSWA) kepada PT Segara Komodo Lestari (PT
SKL) di Pulau Rinca dan PT Komodo Wildlife Ecotourism (PT KWE) di Pulau Komodo dan
Pulau Padar. PT SKL mendapatkan IUPSWA di Pulau Rinca berdasarkan keputusan Kepala BKPM
Nomor 7/1/IUPSWA/PMDN/2015 tertanggal 17 Desember 2015 seluas 22,1 hektar (0,1%) dari
Pulau Rinca dan PT KWE mendapatkan IUPSWA berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan
Nomor SK.796/Menhut-II/2014 tertanggal 23 September 2014 seluas 426,07 hektar, terdiri dari
274,13 hektar (19%) di Pulau Padar dan 151,94 hektar (0,5%) di Pulau Komodo. Dalam
perencanaannya, Pulau Rinca akan dibangun restoran dan Pulau Padar dan Pulau Komodo
dibangun penginapan. Jangka waktu izin ini adalah 55 tahun dan akan dievaluasi setiap lima tahun
sekali. Nilai investasi keduanya rata-rata Rp 2-4 miliar. PT KWE akan bekerjasama dengan
masyarakat Desa Komodo dan Desa Papagarang. Sedangkan PT SKL bekerjasama dengan
masyarakat Desa Pasir Panjang dalam penyediaan jasa pengembangan wisata alam
PEMBELAJARAN
Proses membangun kemitraan konservasi dan kerjasama yang terjadi di TN Komodo
menghasilkan banyak pembelajaran, antara lain:
11 Fajrudin, Kemitraan Menuju Kolaborasi Pengelolaan TN Komdo, PT Putri Naga Komodo, 2001, hal 1-5. 12 Mongobay, KLHK: Pengembangan Wisata Komodo Berprinsip Konservasi dan Libatkan Masyarakat, Benarkah?, 16 Agustus 2018, diakses dari ,
pada tanggal 20 Mei 2019 pukul 04.15.
1) Dukungan banyak lembaga pendamping (TNC, WWF, GEF, RARE, Yayasan
Komodo Survival Program, Swisscontact Wisata Project) dalam bentuk riset, design
rencana pengelolaan, implementasi rencana kelola meningkatkan kualitas
pengelolaan TN Komodo dan nilai jual kekayaan konservasi di mata dunia, serta
menciptakan dukungan pendanaan dari banyak donor asing (World Bank-IFC,
USAID, dll).
2) Pengakuan dunia terhadap keunikan TN Komodo melalui penetapan Cagar Biosfer
dan Warisan Alam Dunia oleh UNESCO dan New 7 Wonders of Nature menjadi
promosi besar bagi kunjungan wisatawan mancanegara.
3) Potensi wisatawan yang besar menarik investasi swasta dan meningkatkan
Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dari
kunjungan wisatawan.
4) Memberikan keuntungan kepada masyarakat sekitar diantaranya: pembangunan
infrastruktur, penyediaan lapangan kerja pemandu wisata, menyediakkan
kerajinan/menjual cinderamata, mengelola homestay, menyewakan perahu motor,
dilatih menjadi kader konservasi.
TANTANGAN
Dalam membangun proses kerjasama, selain pembelajaran yang bisa diambil, terdapat juga
tantangan yang dihadapi, diantaranya:
• IUPSWA memerlukan modal besar yang tidak mungkin dimiliki oleh kelompok masyarakat
atau koperasi, bahkan untuk menjadi operator wisata juga membutuhkan modal besar dan
keterampilan tinggi.
• Mata pencaharian utama mayoritas penduduk di dalam dan sekitar TN Komodo adalah
sebagai nelayan. Pembatasan wilayah tangkapan menyebabkan biaya operasional
penangkapan ikan menjadi sangat mahal, terutama yang jauh dari perkampungan. Di sisi lain,
alternatif mata pencaharian pada sektor pariwisata belum dapat menyerap cukup banyak
tenaga kerja, karena pengetahuan dan keterampilan masyarakat masih rendah. Selain itu,
pada musim-musim sepi wisatawan, masyarakat tidak mendapatkan penghasilan yang cukup,
khususnya bagi masyarakat pengelola penginapan (homestay), cinderemata, dll.
• Perlu pendekatan (komunikasi, sosialisasi, dan koordinasi) yang lebih intensif mengingat
banyak penolakan dari kelompok masyarakat dan Pemda terhadap pengelolaan TN
Komodo. Berdasarkan hasil kajian SUNSPIRIT-ARC-KPA (2016), telah terjadi marjinalisasi
masyarakat lokal karena aturan pengelolaan TN Komodo. Aturan zonasi membuat
masyarakat lokal yang sebagian besar nelayan tidak boleh sembarangan menangkap ikan.
Mereka sering dilabeli sebagai perusak ekosistem laut. Sementara penguasaan dan bangunan
resort wisata di dalam kawasan TN Komodo diperbolehkan. Bahkan kapal wisata dan
operator diving dan snorkeling bebas memanfaatkan laut dimana saja sehingga mengganggu
ekosistem laut khususnya terumbu karang.
• Dampak kerusakan kawasan akibat kunjungan wisatawan secara massal. Pelanggaran
memasuki zona inti, zona rimba, zona perlindungan bahari. Di sisi lain, ada keluhan
masyarakat dilarang beraktivitas di kawasan tersebut.
• Peran serta pemangku kepentingan dalam upaya pengelolaan TN Komodo, khususnya KCMI
yang memiliki 2 organisasi penting di dalamnya (FKM dan KPK) untuk membuat keputusan
pengelolaan dan mengakomodasi masukan dari berbagai pihak pihak, perlu diaktifkan
kembali untuk memastikan aspirasi dan keluhan masyarakat dan anggota dapat diselesaikan.
4) Best Practices Meningkatkan Kesadaran Konservasi Masyarakat sebagai Prasyarat
untuk Membangun Kemitraan Konservasi di TN Karimunjawa
Kepulauan Karimunjawa ditetapkan menjadi kawasan Taman Nasional melalui SK Menteri
Kehutanan dan Perkebunan No.78/Kpts-II/1999 tanggal 22 Pebruari 1999 dengan luas 111.625
ha. Kemudian pada tahun 2012 dilakukan revisi zonasi yang terdiri dari 9 zona: inti, rimba,
perlindungan bahari, pemanfaatan darat, pemanfaatan wisata bahari, budidaya bahari, religi
budaya dan sejarah, rehabilitasi, dan zona tradisional perikanan.
Kawasan TN Karimunjawa sebagian besar berupa perairan, dan memiliki karakteristik
masyarakat yang sebagian besar adalah nelayan tangkap. Kondisi ini mengakibatkan tingginya
ketergantungan masyarakat terhadap sumberdaya hayati laut. Hal paling utama yang dirasakan
masyarakat adalah adanya penurunan hasil tangkapan. Penurunan hasil tangkapan diakibatkan
oleh pola penangkapan ikan yang tidak lestari, yaitu pengoperasian alat-alat tangkap yang
memiliki efektifitas daya tangkap yang tinggi dengan selektifitas yang rendah seperti penggunaan
jaring muroami dan sianida. Sejak tahun 2006 silam, WCS menemukan bahwa kawasan
Karimunjawa dan sumber daya alam mereka tengah terancam akibat pengambilan ikan secara
berlebihan, ditambah lagi kondisi terumbu karang dan biomassa ikan yang buruk akibat aktivitas
tersebut. Sehingga perlu regulasi yang mengatur pemanfaatan sumberdaya alam di TN
Karimunjawa dengan pengelolaan berkelanjutan.
PROSES DAN HASIL
Proses membangun Kemitraan Konservasi bisa dikatakan difasilitasi oleh RARE dengan
pendekatan perubahan perilaku masyarakat dan petugas Balai TN Karimunjawa. Program kerja
sama yang dikembangkan adalah Pemberian Akses Area Perikanan (PAAP). Dasar hukum
implementasi PAAP dalam hal pemberian askes kepada kelompok masyarkat local adalah
Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 2011 jo Peraturan Pemerintah No. 108 Tahun 2015
tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah tentang pengelolan Kawasan Suaka Alam dan
Kawasan Pelestarian Alam. RARE memfasilitasi masyarakat untuk bekerja sama dengan Balai TN
Karimun Jawa dan diwujudukan dalam bentuk Perjanjian Kerjasama (PKS). PKS tersebut tentang
Penguatan Fungsi Kawasan Pelestarian Alam berupa Pemberdayaan Masyarakat melalui
Pemberian Akses Area Perikanan (PAAP) di Taman Nasional Karimunjawa di Zona Tradisional
Perikanan. Dalam PKS tersebut menetapkan Kawasan Pengelolaan Desa Nyamuk (KPDN) seluas
620 hektar.
Adanya kerjasama atau kesepakatan dengan masyarakat menjadikan kawasan lebih terjaga,
kegiatan kerjasama yang dilakukan antara kelompok masyarakat di Desa Nyamuk yang tergabung
dalam Kelompok Pengelola KPDN merupakan salah satu upaya yang dilakukan Balai TN
Karimunjawa dengan memberikan akses pengelolaan berupa PAAP.
PAAP dilakukan di zona tradisional perikanan, karena zona tersebut fungsinya sama dengan zona
tradisional yang didefinisikan sebagai bagian dari taman nasional yang ditetapkan untuk
kepentingan pemanfaatan tradisional oleh masyarakat yang karena kesejarahan mempunyai
ketergantungan dangan sumber daya alam setempat. Zona ini diperuntukkan sebagai daerah
pemanfaatan perikanan tradisional oleh masyarakat setempat secara lestari melalui pengaturan
pemanfaatan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya. Proporsi zona ini dalam kawasan TN
Karimunjawa mencapai 90% luas kawasan (102.899,249 Ha). Selama ini, zona ini dimanfaatkan
masyarakat sebagai lokasi mencari ikan.
Penyusunan PKS dilakukan dalam proses yang panjang hingga 3 tahun, karena harus meyakinkan
kelompok masyarakat tentang manfaat dari Perjanjian Kerjasama. Di dalam PKS juga
menyebutkan dukungan dari berbagai pihak untuk membantu terimplementasinya kerjasama
tersebut atau istilahnya dukungan dari mitra kerjasama.
13 Wawancara mendalam melalui telepon dengan Unit Pengelola / Balai TNKJ tanggal 9 Mei 2019
Dalam menjalankan pengelolaan kawasan TN Karimunjawa, dukungan dan kerjasama para pihak
mutlak dibutuhkan mengingat keterbatasan kapasitas yang masih dimiliki oleh Balai TN
Karimunjawa sebagai pengelola. Balai TN Karimunjawa mempunyai 3 (tiga) mitra yaitu RARE,
Wildlife Conservation Society- Indonesia Program (WCS-IP), dan Dinas Kelautan dan Perikanan
Propinsi Jawa Tengah.
Pembelajaran
Proses membangun kerjasama yang terjadi di TN Karimunjawa menghasilkan banyak
pembelajaran, antara lain:
• Pendekatan fasilitasi yang digunakan kepada staf Balai TN Karimunjawa dan kelompok
masayarakat yaitu melalui perubahan perilaku. Hal ini dilakuan dengan dasar bahwa yang
akan selamanya bekerja disana adalah staf Taman Nasional dan masayarakat sehingga
dengan adanya perubahan perilaku dari pengelola kawasan akan lebih menjamin
keberlanjutan pengetahuan yang lambat laun akan menjadi sistem kerja.
• Keterlibatan dan dukungan mitra kerjasama memberikan dampak yang baik dalam proses
membangun kerjasama dalam berbagai aspek terutama pengetahuan, perubahan perilaku
dan pola pikir.
• Adanya staf yang sudah mengikuti Program Kampanye BANGGA yang difasilitasi mitra
BTNKJ yaitu RARE. Staf yang mengikuti Kampanye BANGGA didorong untuk membangun
kerjasama dengan masyarakat, dan menularkan semangat dan membagi pengetahuan yang
diperoleh dari Program kepada staf BTNKJ yang lain.
• Mencari dan membangun local champion internal di UPT atau Balai Taman Nasional, sebagai
agen perubahan ditingkat internal yang juga direplikasi di tingkat komunitas atau kelompok
masyarakat, strategi seperti ini memudahkan dalam berbagi peran untuk mecapai tujuan
kegiatan.
• Menciptkan ruang komunikasi atau strategi komunikasi yang aman, efektif, mudah dan sesuai
dengan karakteristik pengelola kawasan baik staf BTNKJ maupaun kelompok masyarakat
sebagai sarana diskusi
• Proses pendampingan kelompok masyarakat, khususnya kelompok nelayan dilakukan
dengan cara staf Taman Nasional tinggal lebih lama bersama masyarakat, sehinga akan ada
kepercayaan masyarakat kepada staf Taman Nasional.
• Adanya PKS menjadikan tingkat kesadaran masyarakat dalam menjaga kawasan menjadi
lebih baik. Kawasan yang merupakan areal kerja yang ada dalam PKS akan dijaga dengan baik
oleh kelompok masyarakat dengan harapan bahwa areal tersebut merupakan tabungan ikan,
bahkan areal kerja dimanfaatkan kelompok untuk mencari ikan hanya pada cuaca buruk
(akhir desember sampai maret) karena kelompok tidak bisa jauh mencari ikan, sedangkan
dalam keadaan cuaca baik kelompok akan lebih memilih mencari ikan di luar Kawasan.
• Adanya kesepakatan-kesepakatan yang dibuat bersama masyarakat yang dijadikan dasar
pertama dalam membangun kerjasama kelompok masyarakat untuk mencapai tujuan
tersebut. Hal ini terjadi di masyarakat Desa Nyamuk menyepakati beberapa pengaturan
perikanan yang akan berlaku di Kawasan Pengelolaan Desa Nyamuk (KPDN). Peraturan
perikanan tersebut didapat melaui proses fasilitasi tingkat RT dan RW yang dilakukan oleh
kelompok KPDN.
5) Tantangan dalam Membangun Lembaga Kolaborasi Multi-pihak di TN Kayan
Mentarang
14 Diskusi dengan staf RARE Indonesia tanggal 7 Mei 2019 15 Wawancara mendalam melalui telepon dengan Unit Pengelola / Balai TNKJ tanggal 9 Mei 2019
Kawasan Kayan Mentarang yang semula berstatus sebagai Cagar Alam ditetapkan menjadi Taman
Nasional Kayan Mentarang berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: 631/Kpts-
II/1996 tanggal 7 Oktober 1996 dengan luas kawasan ± 1.360.500 hektar. Surat Keputusan
tersebut merupakan yang pertama di Indonesia yang menyatakan bahwa di beberapa daerah di
sekitar kawasan Taman Nasional merupakan tempat kehidupan masyarakat tradisional etnis
Dayak yang keberadaannya perlu diperhatikan. Seiring berjalannya waktu, hingga tahun 2014, luas
kawasan TN Kayan Mentarang menjadi 1.271.696,56 hektar berdasarkan Surat Keputusan
Menteri Kehutanan Nomor: SK.4787/Menhut-VII/KUH/2014.
Penetapan kawasan hutan menjadi Cagar Alam dan kemudian Taman Nasional telah
menimbulkan keresahan bagi masyarakat suku Dayak yang sudah bermukim dan hidup di sana
sejak ratusan tahun lalu. Ada ± 34.508 jiwa di dalam dan sekitar TN Kayan Mentarang. Mereka
tersebar di 11 wilayah adat besar, antara lain: Apau Kayan-Kayan Hilir, Kayan Hulu, Hulu Bahau,
Pujungan, Mentarang Hulu, Tubu, Lumbis Hulu, Krayan Darat, Krayan Hilir, Krayan Hulu dan
Krayan Tengah. Mereka memiliki ketergantungan erat terhadap kawasan hutan. Secara turun
temurun mereka memiliki kearifan tradisional dalam pengelolaan kawasan hutan yang
diwujudkan dalam hutan adat, tana ulen, tanah jakah dll. Uluk, Sudana dan Wollenberg (2001)
telah mendokumentasikan kearifan tradisional masyarakat adat di Kayan Mentarang dengan
cukup lengkap.
Penetapan Kayan Mentarang sebagai Cagar Alam telah menutup seluruh akses masyarakat untuk
memanfaatkan sumberdaya alam tempat mereka bergantung selama ini. Aspek sosial dan budaya
rupanya tidak dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam proses penetapan kawasan Kayan
Mentarang menjadi Cagar Alam. Sejak itu konflik terjadi. Oleh karena itu, masyarakat menolak
keberadaan CA Kayan Mentarang. Salah satu bentuk penolakan adalah menolak hasil tata batas
yang sudah dibuat. Penolakan masyarakat terhadap hasil penataan batas menunjukkan adanya
konflik yang muncul akibat penetapan hutan Kayan Mentarang menjadi Cagar Alam dan
kemudian diubah menjadi Taman Nasional.
Pada prinsipnya masyarakat adat menuntut agar pemerintah mengakui, menghormati dan
melindungi hak-hak masyarakat adat atas tanah (wilayah adat) yang secara turun-temurun
mereka huni serta hak untuk mengelola dan memanfaatkan sumberdaya alam yang terdapat di
dalam wilayah adat mereka.
Masyarakat adat di kawasan Kayan Mentarang berkeyakinan bahwa tujuan Cagar Alam atau TN
Kayan Mentarang sebagai kawasan konservasi dapat tercapai jika masyarakat di kawasan terlibat
dan bertanggung jawab penuh dalam perencanaan dan pengelolaan TN Kayan Mentarang.
Keterlibatan dan tanggung jawab penuh dari masyarakat itu hanya mungkin terjadi apabila hak
masyarakat adat terhadap tanah (wilayah adat) itu diakui dan dihormati. Berdasarkan keyakinan
itu, maka masyarakat adat menuntut agar hak-hak dasar yang melekat pada keberadaan
masyarakat adat serta hak untuk mengelola sumberdaya alam di wilayah adat harus diakui dan
dihormati. Perjuangan masyarakat adat untuk mengajukan tuntutan kepada pemerintah dilakukan
dengan berbagai cara dan dukungan berbagai pihak. Salah satunya adalah melalui WWF.
PROSES DAN HASIL
Proses yang dilalui oleh masyarakat adat di TN Kayan Mentarang untuk menyampaikan
tuntutannya kepada pemerintah adalah sebagai berikut:
(a) Pembentukan Forum Musyawarah Masyarakat Adat (FoMMA), yang dimaksudkan untuk
menjadi sarana bagi masyarakat adat untuk berpartisipasi dalam pengelolaan taman nasional.
Forum tersebut mewakili 16.000 orang, memberikan wewenang dan tanggung jawab dalam
bekerja sama dengan pengelola taman nasional. Forum tersebut juga akan menjadi
penghubung utama dalam komunikasi antara pengelola taman nasional dengan lembaga adat
di tingkat wilayah adat dan desa,
(b) Pembentukan Dewan Penentu Kebijakan (DPK) TN Kayan Mentarang. Pembentukan DPK
TN Kayan Mentarang ini merupakan komitmen pemerintah untuk membentuk lembaga
kolaboratif dalam pengelolaan TN Kayan Mentarang, yang dikuatkan secara formal oleh
Menteri Kehutanan melalui 3 Keputusan Menteri.
i. Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: 1213/Kpts-II/2002 tentang Rencana
Pengelolaan Taman Nasional Kayan Mentarang;
ii. Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: 1214/Kpts-II/2002 tentang Penetapan
Taman Nasional Kayan Mentarang dikelola secara Kolaboratif;
iii. Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: 1215/Kpts-II/2002 tentang
Pembentukan Dewan Penentu Kebijakan Taman Nasional Kayan Mentarang;
iv. SK Menteri Kehutanan Nomor 1214/Kpts-II/2002, dalam pengelolaan TN Kayan
Mentarang secara kolaboratif berbasiskan masyarakat yang melibatkan para
pihak yang berkepentingan terhadap sumberdaya alam di TN Kayan Mentarang
yaitu dikelola bersama antara pemerintah, pemerintah propinsi, pemerintah
daerah, dan masyarakat (FoMMA), serta pihak lain yang secara nyata
memberikan kontribusi kepada pengelolaan TN Kayan Mentarang.
v. Dalam Keputusan Menbestteri Kehutanan Nomor: 1215/Kpts-II/2002, Menhut
secara tegas menugaskan Dewan Penentu Kebijakan TN Kayan Mentarang
untuk mengusulkan pembentukan Badan Pengelola TN Kayan Mentarang
kepada Menteri Kehutanan sebagai organisasi pelaksana dari pengelolaan
kolaboratif TN Kayan Mentarang. Rancangan Badan Pengelola TN Kayan
Mentarang ini telah disampaikan kepada Menteri Kehutanan melalui Direktorat
Jenderal PHKA Bulan Agustus 2003.
vi. Usulan dari Dewan Penentu Kebijakan TN Kayan Mentarang ini rupanya sejalan
dengan aspirasi banyak di daerah lain. Banyak stakeholder di berbagai daerah
mempunyai aspirasi yang sangat kuat untuk meminta ruang bagi para pihak di
tingkat daerah dan lokal untuk secara aktif berperan dalam pengelolaan taman
nasional di era otonomi daerah berdasarkan prinsip keterbukaan, kesetaraan,
akuntabilitas dan manfaat bersama.
(c) Perubahan dari DPK Menjadi DP3K
Dewan Penentu Kebijakan (DPK) telah dievaluasi sesuai jadwal dalam pertemuan di
Departemen Kehutanan pada 24 Agustus 2007. Pertemuan menyepakati untuk
melanjutkan dengan pengaturan kelembagaan dari pendekatan kolaboratif, tetapi
untuk membentuk sebuah taman nasional baru, lembaga perwakilan yang memiliki
kepentingan, yang disebut Dewan Pembina dan Pengendali Pengelolaan Kolaboratif
(DP3K atau Dewan Pengawas Taman), sebagai pengganti dari DPK. Hal ini diatur
dalam Keputusan SK Menhut MenhutNo.347/Menhut-II/07, tanggal 14 November
2007. Peran dan tanggung jawab dari DP3K meliputi:
i. Untuk bertindak sebagai forum konsultasi dan koordinasi bagi semua stakeholder
dalam rangka untuk memberikan pengawasan dan pengendalian atas pelaksanaan
kegiatan pengelolaan kolaboratif di TN Kayan Mentarang.
ii. Untuk memberikan supervisi mengenai perencanaan dan pelaksanaan program
pengelolaan kolaboratif berdasarkan aspirasi stakeholder dan peraturan pemerintah.
iii. DP3K merupakan badan pengawas pendekatan pengelolaan kolaboratif dalam TN
Kayaan Mentarang. Badan ini memiliki 19 anggota, yang terdiri dari Dephut,
pemerintah lokal dan provinsi, organisasi masyarakat lokal, dan LSM. DP3K
mengoperasikan sebuah sekretariat sejak Agustus 2008, yang diketuai oleh Kepala
Bappeda di Kabupaten Malinau. Sekretariat bekerja sama dengan Balai TN Kayan
Mentarang dan Proyek Kerjasama Indonesia – German, Program TN Kayan Mentarang,
dan menerima dukungan keuangan untuk kegiatan sehari-hari dari Proyek tersebut.
(d) Kajian Tata Kelola di TN Kayan Mentarang
Pada tahun 2017, Working Group ICCAs Indonesia (WGII) melakukan kajian tata
kelola di TN Kayan Mentarang. Kajian dilakukan dengan metode: (a) pertemuan
dengan masyarakat adat, Balai TN Kayan Mentarang, FoMMA, DP3K, KLHK dan
WWF, (b) wawancara dengan menggunakan kuesioner dan FGD dengan masyarakat
adat, (c) wawancara dengan pemangku kepentingan, (d) pertemuan FoMMA dengan
Balai TN Kayan Mentarang untuk membahas Rencana Pengelolaan Jangka Menengah
(RPJM) TN Kayan Mentarang.
Hasil kajian dimuat dalam laporan berjudul “Masyarakat Adat dan Kawasan
Konservasi di Indonesia: Menuju Tata Kelola Konservasi Yang Efektif, Inklusif dan
Adil. Contoh Kasus Kajian Tata Kelola Kolaboratif di Taman Nasional Kayan
Mentarang, Kalimantan Utara, Indonesia.” Beberapa hasil kajian antara lain:
i. Belum ada pengakuan hak masyarakat adat yang kuat.
ii. Tidak ada anggaran yang mendukung kolaborasi.
iii. Institusi DP3K perlu dilihat kembali kinerja dan perannya.
iv. SK DP3K hanya menetapkan fungsi koordinasi untuk DP3K.
v. Diusulkan agar SK tentang kelembagaan kolaborasi seperti DP3K ini ada payung di
tingkat nasional untuk mengatur kolaborasi dan menguatkan tata kelola kawasan.
vi. Walaupun namanya pengelolaan kolaboratif, namun secara de facto, pengelolaan
adalah sepenuhnya dengan Balai TN Kayan Mentarang.
vii. Kinerja DP3K perlu ditinjau kembali.
viii. Masyarakat merasa ‘jauh’ dan tidak dilibatkan oleh Balai TN Kayan Mentarang.
ix. Masih kuat di masyarakat, pertanyaan apakah ‘binatang lebih penting daripada
manusia?’ dan ‘Masyarakat diminta terus untuk melindungi hutan, namun kita tidak
mendapatkan imbalannya.’
x. Zonasi masih menjadi ‘persoalan’ utama, dimana masyarakat masih mengkhawatirkan
adanya larangan untuk mengambil kayu bangunan dan SDA lainnya di dalam TN
Kayan Mentarang, atau melanjutkan sistem pertanian gilir balik. Masyarakat pada
umumnya ingin melanjutkan pengelolaan hutan berdasarkan aturan adat untuk
mendukung kehidupan mereka dan sumber kehidupannya.
PEMBELAJARAN
Proses membangun kolaborasi yang terjadi di TN Kayan Mentarang menghasilkan banyak
pembelajaran, antara lain:
(a) Pada tingkat organisasi DP3K, koordinasi dan kolaborasi sesungguhnya masih lemah, seolah-
olah tidak ada komitmen dari para pihak untuk mewujudkan bekerjanya kolaborasi. Salah
satu kendala yang sering dikemukakan adalah terbatasnya dana baik pusat maupun daerah,
serta sumberdaya manusia yang kurang.
(b) Pada tingkat pemerintah daerah, masih dijumpai benturan kebijakan, misalnya dalam proses
tata batas, pembangunan jalan, pengembangan kawasan dan pemanfaatan sumberdaya alam.
Hal ini menunjukkan belum melembaganya kolaborasi di tingkat pemerintah daerah.
Mungkin pemerintah daerah belum menganggap kolaborasi sebagai strategi yang penting
untuk mencapai tujuan pembangunan.
(c) Rencana Pengelolaan Taman Nasional Kayan Mentarang (RPTNKM) tahun 2001 - 2025
telah selesai disusun dengan melibatkan para pihak dan telah ditanda tangani oleh Bupati
Malinau, Bupati Nunukan, Dirjen PHKA dan Menteri Kehutanan. RPTNKM yang disusun
berhasil mengungkapkan kekayaan keanekaragaman hayati sekaligus sosial budaya
masyarakat yang harus dipertimbangkan dalam pengelolaan TN Kayan Mentarang selama 25
tahun.
(d) Membangun saling percaya (mutual trust) di antara para pihak masih belum terjalin dengan
baik, walaupun pada tahap awal pembentukannya partisipasi para pihak tinggi. Hal ini antara
lain menyangkut tentang strategi komunikasi para pihak.
(e) Membangun manfaat sosial ekonomi yang seimbang dengan manfaat ekologi. Saat ini yang
baru dirasakan adalah manfaat ekologi. Masyarakat dan pemerintah daerah belum
merasakan adanya manfaat sosial ekonomi secara signifikan.
(f) Melembagakan peran dan tanggung jawab para pihak. Secara tertulis sudah ada kesepakatan
peran dan tanggung jawab, tetapi belum dapat diwujudkan secara maksimal di tingkat
praktis.
(g) Mewujudkan kemandirian pendanaan pengelolaan taman nasional, karena belum ada jaminan
pendanaan yang berkelanjutan.
(h) Fleksibilitas strategi dalam pendekatan tanpa mengabaikan tujuan utamanya. Hal ini terkait
dengan penyeragaman struktur organisasi balai taman nasional sebagaimana diatur dalam
Permenhut P. 03/2007, sehingga seringkali tidak sejalan dengan kondisi lokal.
6) Tantangan dalam Membangun Kemitraan Konservasi di TN Bantimurung
Bulusaraung
TN Bantimurung Bulusaraung terletak di Sulawesi Selatan, seluas ± 43.750 hektar. Secara
administrasi pemerintahan, kawasan taman nasional ini terletak di wilayah Kabupaten Maros dan
Kabupaten Pangkajene Kepulauan (Pangkep). Taman nasional ini ditunjuk menjadi kawasan
konservasi atau taman nasional berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor:
SK.398/Menhut-II/2004 tanggal 18 Oktober 2004. Perubahan fungsi sebagian kawasan hutan di
Kabupaten Maros menjadi kawasan TN Bantimurung Bulusaraung membawa dampak tersendiri
bagi aktivitas masyarakat sekitar kawasan yang dapat memicu terjadinya konflik dengan
masyarakat.
Konflik yang terjadi dengan masyarakat yaitu penggunaan kawasan sebagai kebun-kebun
masyarakat, dimana masyarakat yang mengklaim bahwa tanah yang ditetapkan sebagai taman
nasional dan tanaman budidaya yang ada di dalamnya adalah milik masyarakat. Dalam sebuah
pertemuan yang difasilitasi oleh Regional Community Forestry Training Center (RECOFTC)
pada tanggal 28 Mei 2009 berlokasi di dalam kawasan Bantimurung, masyarakat lokal mengakui
bahwa justru dinas kehutanan dulu yang meminta mereka untuk menanam tanaman budidaya itu
dalam kawasan hutan sebagai bagian dari pelaksanaan program Hutan Kemasyarakatan (HKm).
PROSES MEMBANGUN KEMITRAAN KONSERVASI
Pada tahun 2012 telah dilakukan kajian oleh Balai Penelitian Kehutanan Makassar dengan tema
Menuju Pengelolaan Kolaborasi Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung. Kajian tersebut
didasarkan pada visi awal TN Bantimurung Bulusaraung, yakni “terwujudnya pengelolaan Taman
Nasional Bantimurung Bulusaraung yang mantap, serasi dan seimbang dengan dukungan
kelembagaan yang efektif”, serta salah satu misi untuk mewujudkan visi tersebut, yakni
“mengembangkan kelembagaan dan kemitraan/kolaborasi dalam rangka pengelolaan sumberdaya
alam hayati dan ekosistemnya”. Pengembangan kemitraan atau pengelolaan kolaborasi menjadi
pilihan Balai TN Bantimurung Bulusaraung didasarkan akan kesadaran bahwa pengelolaan
kawasan TN Bantimurung Bulusaraung tidak dapat dilakukan sendiri hanya oleh
pengelola/pemangku kawasan serta dengan memperhatikan prinsip-prinsip keadilan dan
kesetaraan.
Pengelolaan kolaborasi tersebut sekarang dijembatani oleh Perdirjen No.6 Tahun 2018 dengan
adanya 11 dokumen Perjanjian Kerja Sama (PKS) yang ditandatangani oleh Balai TN Bantimurung
Bulusaraung dengan 11 kelompok tani hutan. Kelompok-kelompok tersebut di antaranya:
Kelompok Tani Hutan (KTH) Bukit Harapan, KTH Bulu Tanete, KTH Pattiro Bulu, KTH Tunas
Muda, KTH Banga-banga, KTH Labongke, KTH Patanyamang I, KTH Patanyamang II, KTH
Sonrae, KTH Wanua Deceng, dan Kelompok Pengelola Ekowisata (KPE) Lamassua. Fokus
pemanfaatan kelompok-kelompok yang berada di zona tradisional ini di antaranya: pemanfaatan
madu, bambu, aren, kemiri, getah pinus, pakan ternak, budidaya palawija, dan tanaman obat.
Terdapat satu kelompok yang berfokus mengelola jasa wisata terbatas yakni KPE Lamassua.
PEMBELAJARAN
Proses membangun kemitraan konservasi dan kerjasama yang terjadi di TN Komodo
menghasilkan banyak pembelajaran, antara lain:
• Dukungan banyak lembaga pendamping (TNC, WWF, GEF, RARE, Yayasan
Komodo Survival Program, Swisscontact Wisata Project) dalam bentuk riset,
design rencana pengelolaan, implementasi rencana kelola meningkatkan kualitas
pengelolaan TN Komodo dan nilai jual kekayaan konservasi di mata dunia, serta
menciptakan dukungan pendanaan dari banyak donor asing (World Bank-IFC, USAID, dll).
• Pengakuan dunia terhadap keunikan TN Komodo melalui penetapan Cagar
Biosfer dan Warisan Alam Dunia oleh UNESCO dan New 7 Wonders of Nature
menjadi promosi besar bagi kunjungan wisatawan mancanegara.
• Potensi wisatawan yang besar menarik investasi swasta dan meningkatkan
Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dari
kunjungan wisatawan.
• Memberikan keuntungan kepada masyarakat sekitar diantaranya: pembangunan
infrastruktur, penyediaan lapangan kerja pemandu wisata, menyediakkan
kerajinan/menjual cinderamata, mengelola homestay, menyewakan perahu motor,
dilatih menjadi kader konservasi.
7) Best Practice TN Kelimutu: Pengembangan Produk dan Jasa Lingkungan untuk
Menangani Konflik Tenurial
Pengembangan produk dan jasa lingkungan adalah salah satu cara Balai TN Kelimutu untuk
menyelesaikan konflik tenurial di TN Kelimutu.
Di sekitar TN Kelimutu (Flores, NTT) terdapat 24 desa yang termasuk daerah penyangga yang
tersebar di lima kecamatan. Seperti pada umumnya desa hutan di Indonesia, desa-desa pada
daerah penyangga TN kelimutu memiliki ketergantungan terhadap wilayah hutan yang telah
ditetapkan sebagai kawasan konservasi. Ketergantungan umumnya berupa air dan jasa lingkungan
yakni pariwisata.
Menurut data kecamatan dalam angka tahun 2014 di lima kecamatan, maka sebagian besar mata
pencaharian penduduk adalah petani. Di dalam pengamatan di tingkat lapangan, maka sebagian
besar penduduk memiliki mata pencaharian petani berladang rotasi. Mereka membuat ladang
setiap tahun untuk kemudian berpindah ke lokasi lain dengan rotasi 3-5 tahun. Ladang yang
dibuka setiap tahun atau 0,5 – 1 ha dengan jenis-jenis tanaman padi, jagung, ketela pohon, ubi
jalar, sorgum, kemudian juga sayur-mayur seperti wortel, ketimun, sawi, bayam, kacang-kacangan
dan lain-lain. Walaupun demikian, petani peladang ini juga sudah memiliki kebun menetap berupa
kebun kopi atau kakao/ cokelat, bahkan sebagian juga sudah bertani sawah.
Penyelesaian konflik dimulai dari 4 desa, yaitu Desa Nduaria, Desa Saga, Desa Wologai Tengah
dan Desa Niowula. Keempat desa mempunyai intensitas konflik yang berbeda sehingga
dilakukan pendekatan yang berbeda. Namun, secara umum hal-hal yang dilakukan pada tahap
awal untuk menyelesaikan konflik adalah (a) identifikasi kebutuhan, (b) penguatan kelompok, (c)
kerjasama dengan stakeholder, dan (d) memulai dari kegiatan yang kecil. Tahapan ini dilakukan
secara intensif oleh staf Balai TN Kelimutu, baik Polhut maupun staf fungsional yang lain.
Petugas Balai TN Kelimutu sampai harus bermalam di desa untuk menjalin hubungan baik dan
komunikasi dengan masyarakat, dengan tujuan untuk mendapat kepercayaan (trust) dari
masyarakat. Diskusi untuk identifikasi kebutuhan bisa dilakukan dimana saja dan kapan saja,
tidak harus selalu dalam forum pertemuan. Pertemuan informal lebih banyak dilakukan.
Beberapa kegiatan kecil yang telah dilakukan bertujuan untuk menunjukkan bukti nyata dari
kerjasama atau kemitraan antara lain (a) pemanfaatan spesies tanaman perusak yaitu ki-rinyuh,
yang semua bagian tumbuhannya diproses untuk membuat pupuk organik dan bisa menjadi
sumber pendapatan baru bagi masyarakat, (b) pengembangan wisata alam berupa air terjun dan
trekking telah menjadi daya tarik obyek wisata alam, dan di beberapa lokasi telah berhasil
mendatangkan wisatawan dan dipandu oleh penduduk setempat, (c) pengembangan camping
ground dan penataan embung yang dikelola penduduk setempat dan menjadi obyek wisata dan
tempat studi tour bagi para pelajar dari berbagai daerah di Flores.
Beberapa pembelajaran dari kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan dalam rangka implementasi
Kemitraan Konservasi di TN Kelimutu adalah:
• Konflik tenurial yang terjadi di TN Kelimutu dapat diselesaikan melalui Kemitraan
Konservasi. Kemitraan Konservasi adalah jalan tengah dalam menyelesaikan konflik
tenurial yang terjadi di TN Kelimutu
• Kemitraan Konservasi telah mengubah pandangan masyarakat terhadap petugas TN
Kelimutu, dari anggapan sebagai musuh yang harus dihindari bahkan harus dihadapi kalau
terpaksa, menjadi kawan untuk bekerja sama dalam melakukan kegiatan.
• Sebaliknya, cara kerja petugas TN Kelimutu juga berubah dari semula banyak melarang
masyarakat, menjadi memfasilitasi untuk memberdayakan masyarakat.
• Balai TN Kelimutu memulai implementasi Kemitraan Konservasi dari empat desa, dan
akan dikembangkan terus ke desa-desa lain yang ada di daerah penyangga TN Kelimutu.
8) Proses dan Tantangan Membangun Kelembagaan Kolaborasi di TN Gunung
Ciremai
Kelembagaan kolaborasi di TN Gunung Ciremai (Jawa Barat) ditawarkan sebagai solusi atas
konflik yang terjadi dalam penetapan TN Gunung Ciremai pada tahun 2004. Proses membangun
kelembagaan kolaborasi yang dilalui adalah (a) dialog multi-pihak untuk membangun komitmen,
(b) implementasi rencana aksi hasil dialog multi-pihak, (c) pembentukan Tim Pengkajian Taman
Nasional Gunung Ciremai, (d) Penyusunan draft Rencana Pengelolaan TN Gunung Ciremai, (e)
mendiskusikan tuntutan masyarakat untuk mereview Nota Kesepahaman Bersama (NKB) dan
Nota Perjanjian Kerjasama (NPK), (f) dialog untuk membangun kesepakatan antara Pemerintah
Kabupaten Kuningan dengan Balai TN Gunung Ciremai, (g) menyusun konsep PKKBM
(Pengelolaan Kawasan Konservasi Bersama Masyarakat, (h) Perubahan fokus PKKBM dari
pemanfaatan lahan menjadi pemanfaan jasa lingkungan wisata alam, (i) pembentukan Dewan
Kemitraan Pengelolaan TN Gunung Ciremai, (j) Perubahan dari Dewan Kemitraan Pengelolaan
TN Gunung Ciremai menjadi Forum Kemitraan Kawasan Lindung Gunung Ciremai (FKKGC),
(k) Perubahan dari FKKGC menjadi Forum Ciremai.
Tantangan yang dihadapi dalam membangun kelembagaan kolaborasi TN Gunung Ciremai adalah
mempertemukan kepentingan bersama, baik kepentingan Balai TN Gunung Ciremai, kepentingan
masyarakat yang sebelumnya mengelola lahan sebelum Ciremai ditetapkan menjadi Taman
Nasional, maupun kepentingan Pemerintah Kabupaten Kuningan dan Majalengka. Secara
organisasi sudah ada lembaga kolaborasi yang terbentuk melalui proses yang panjang. Namun
secara kewenangan, semuanya masih bekerja sendiri-sendiri karena mempunyai prioritas yang
berbeda-beda satu sama lain.
9) Best Practice Wisata Berbasis Masyarakat di TN Sebangau
Kawasan Taman Nasional Sebangau merupakan salah satu Kawasan Konservasi yang berada di
Provinsi Kalimantan Tengah. Sebelum menjadi kawasan konservasi, area ini merupakan hutan
produksi, dimana waktu itu masyarakat cukup bebas untuk melakukan aktifitas ekstraksi
sumberdaya alam. Sebagian besar aktifitas masyarakat di dalam kawasan yang menjadi ancaman
adalah penebangan liar.
Penunjukan kawasan Taman Nasional Sebangau pada tahun 2004 membuat akses masyarakat
menjadi sangat terbatas, sehingga muncul penolakan terhadap keberadaan TN Sebangau.
Keberadaan TN Sebangau dianggap merugikan masyarakat karena menghilangkan mata
pencahariannya, terutama sebagai penebang kayu. Sebagai contoh, di wilayah Desa Karuing
Kabupaten Katingan hingga tahun 2009 masyarakat masih ada yang menolak keberadaan TN
Sebangau walaupun sudah ada pendampingan dari CARE dan WWF sejak 2006.
Sebelum adanya penertiban pada 2005, sebagian besar matapencaharian masyarakat desa karuing
adalah sebagai penebang kayu/illegal logging. Penertiban yang dilakukan menimbulkan konflik
antara masyarakat dengan pihak Balai TN Sebangau. Untuk mengatasi permasalahan tersebut
pihak Balai TN Sebangau bersama WWF melakukan pendampingan dan pengembangan wisata
alam di wilayah punggualas.
Pemberian akses kepada masyarakat adalah salah satu untuk menyelesaikan konflik, karena TN
Sebangau memberikan manfaat bagi masyarakat. Hal ini terbukti di desa Karuing, masyarakat
yang sebelumnya menolak keberadaan kawasan TN Sebangau, saat ini menjadi mitra Balai TN
Sebangau untuk mengelola kawasan. Bentuk kerjasama tersebut adalah pemberian akses untuk
mengelola jawa wisata melalui perjanjian kerjasama antara Balai TN Sebangau, WWF, dan
Kelompok Sumpul Wisata.
Kejasama untuk pengelolaan wisata alam punggualas dilakukan oleh tiga pihak, dikarenakan di
dalamnya terdapat asset WWF Kalteng berupa homestay, pondok peneliti, dan titian (wooden
trail) yang belum diserahkan kepada pihak TN Sebangau, hal ini dikarenakan kesulitan dalam
biaya pemeliharaan dan operasionalnya.
Selama berjalan kegiatan BTNS dan WWF Kalteng telah banyak kegiatan yang dilakukan di desa
Karuing untuk memberikan pemahaman mengenai kawasan konservasi dan peningkatan kapasitas
yang menunjang untuk pengelolaan wisata alam punggualas.
Keberhasilan kemitraan konservasi di TN Sebangau untuk wilayah Desa Karuing tentu
merupakan hasil proses yang panjang dan kerjasama para pihak. Untuk mencapai keberhasilan di
wilayah Punggualas paling tidak harus melawati: (a) pendekatan dan pendampingan untuk
memberikan pemahaman tentang kawasan konservasi, (b) pembentukan kelompok masyarakat,
(c) peningkatan kapasitas
Pembelajaran dari pengembangan kemitraan konservasi di TN Sebangau untuk wisata alam
Punggualas adalah bahwa kemitraan konservasi telah memberikan dampak positif, diantaranya:
• Wisata alam Punggualas menjadi alternatif matapencaharian baru dan menambah
pendapatan masyarakat sehingga dapat mengurangi aktivitas illegal logging.
• Kepedulian masyarakat akan pentingnya kawasan TN Sebangau meningkat.
• Konflik masyarakat dengan pihak Balai TN Sebangau terselesaikan.
• Kapasitas masyarakat meningkat terutama untuk penelitian dan pelayanan wisata
alam.
• Memberikan manfaat bagi desa lainnya melalui kerjasama desa Karuing dengan desa
tetangga untuk penyediaan transportasi darat.
10) Best Practice Model Kampung Konservasi (MKK) di TN Gunung Halimun Salak
Konflik tenurial yang dihadapi oleh Balai TN Gunung Halimun Salak antara lain disebabkan oleh
perluasan kawasan Taman Nasional pada tahun 2003. Semula luas kawasan TN Gunung Halimun
Salak adalah 40.000 ha. Melalui SK Menteri Kehutanan Nomor 175/Kpts-II/2003 tanggal 10 Juni
2003, luas Taman Nasional bertambah menjadi total 113.357 hektar.
Adanya perluansan kawasan TN Gunung Halimun Salah memerlukan sebuah model yang
dibutuhkan masyarakat di sekitar dan di dalam kawasan bersama pengelola sebagai solusi atas
konflik tenurial yang terjadi.
Undang - Undang Otonomi Daerah No. 22 dan No. 25 tahun 1999 yang melatarbelakangi Model
Kampung Konservasi (MKK) di Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Model Kampung
Konservasi (MKK) memiliki visi “Masyarakat hidup bersama taman nasional”. Model Kampung
Konservasi merupakan sebuah model dari sebuah kampung yang menerapkan kaidah-kaidah
konservasi. Definisi dari kampung konservasi adalah kampung yang di dalamnya bisa melakukan
aktifitas perlindungan secara mandiri, mampu menjaga ekosistem dan secara ekonomi bisa
memberikan kesejahteraan bagi masyarakat.
Model
• MKK merupakan program yang dinisiasi oleh BTNGHS sejak tahun 2003, untuk pilot
project dilakukan pada tahun 2004 -2007. Sejak tahun 2004 dilakukan persiapan dan
pendidikan petugas Taman Nasional. Pada tahun 2005 MKK didukung oleh JICA dan mulai
diadakan persiapan sosial di dua desa yaitu Desa Sirnaresmi (masyarakat adat) dan
Kampung Cipeuteuy (masyarakat non adat) yang menghasilkan guideline MKK ke Kampung
Konservasi. MKK di TNGHS dilakukan di dua tipe masyarakat, yaitu masyarakat desa dan
masyarakat kasepuhan. MKK di masyarakat desa lebih berhasil dipengaruhi oleh sistem
sosial dan kepemimpinan di tingkat masyarakat.
• Pada tahun 2008 MKK konservasi BTNGHS berjalan atas dukungan dari BTNGHS, selain
mendapatrkan dukungan dari Pemerintah Daerah Sukabumi melalui, MKK mendapatkan
dukungan dari BUMN (ANTAM, PLN), CIFOR, dll.
• Tahapan yang dilakukan adalah, pendekatan dan pendampingan, pembentukan kelompok,
penyusunan rencana program, peningkatan kapasitas, penandatanganan kesepakatan,
pelaksanaan program.
• Hak-hak yang didapatkan oleh masyarakat melalui MKK diantaranya yaitu diberi akses
untuk menggarap lahan di zona khusus, dengan catatan tidak boleh ada perluasan,
masyarakat diberi akses untuk mengelola wisata alam, masyarakat mendapatkan
pendampingan.
• Kewajiban yang harus dilakukan masyarakat diantarnya yaitu wajib menanam untuk
rehabilitasi/restorasi lahan, masyarakat dilarang mengambil hasil hutan kayu, walaupun hasil
menanam sendiri
MKK
• matapencaharian
•
• melakukan
• lahan
•
• Sukagalih
• mendapatkan
•
•
•
•
•
a) Perencanaan partisipatif
b) Peningkatan kapasitas
c) Pelaksanaan program
•
•
11) Uji Coba Mekanisme Apresiasi Untuk Petani Reharbilitasi di TN Meru Betiri
Konflik yang dihadapi oleh Balai TN Meru Betiri adalah konflik tenurial berupa perambahan
besar-besaran yang terjadi pada periode 1998 – 2001. Tidak kurang 2000 ha lahan di zona
rehabilitasi telah dirambah pada periode tersebut.
Sementara itu, proses rehabilitasi lahan sesungguhnya sudah dimulai melalui kerja sama Lembaga
Alam Tropika Indonesia (LATIN) bersama Balai TNMB dan KAIL sejak 1993 dengan membuat
demplot rehabilitasi seluas 7 ha, dan dikembangkan untuk rehabilitasi skala yang lebih luas sejak
tahun 2002.
Namun proses rehabilitasi hutan belum berhasil. Semenjak proses rehabilitasi hutan dilakukan
mulai tahun 2002, belum semua lahan kritis berhasil direhabilitasi. Sebagai contoh, rehabilitasi
hutan di zona rehabilitasi yang dilakukan oleh petani dari Desa Curahnongko seluas 410 ha,
sampai tahun 2012, baru berhasil mencapai sekitar 40% dari luas 410 ha. Jumlah pohon yang
ditanam mencapai 18.071 batang, dengan jenis sebanyak 38 jenis pohon.
Untuk meningkatkan presentase luas yang ditanami dan juga jumlah bibit yang ditanam di lahan
kritis di dalam zona rehabilitasi, maka KAIL sebagai pendamping petani rehabilitasi melakukan uji
coba mekanisme apresiasi bagi petani yang terlibat dalam rehabilitasi hutan. Uji coba dilakukan
terhadap 708 orang petani rehabilitasi yang berasal dari Desa Curahnongko.
Rencana penanaman yang didiskusikan bersama dengan petani dan ketua kelompok tani
menghasilkan gagasan tentang system insentif untuk rehabilitasi hutan. Sistem insentif tsb. diberi
nama Program PINTAR (Paket Insentif untuk Petani Rehabilitasi).
PINTAR
• Mendorong para petani untuk menanam pohon yang bernilai ekonomi sekaligus
ekologis di lahan-lahan yang masih termasuk dalam Kelas 1 sampai 4.
• Memberi apresiasi kepada para petani yang telah berhasil menanam dan merawat
atau menjaga tanaman hasil rehabilitasi untuk Kelas 5 dan 6.
insentif
• Ekonomi: potongan harga atau diskon untuk membeli sembako di toko yang
telah ditunjuk dalam Program PINTAR
• Kesehatan: bantuan untuk keringanan biaya berobat ke Puskesmas Desa
Curahnongko
• Pendidikan: bantuan untuk anak atau cucu dari petani untuk biaya pendidikan
atau fasilitasi pendidikan.
dana
Pembelajaran
Mekanisme pemberian insentif atau apresiasi bagi petani rehabilitasi di TN Meru Betiri bisa
berjalan pada tahun pertama tetapi tidak bisa dilanjutkan karena gagal dalam mengumpulkan
donasi sukarela. Kegagalan ini antara lain karena kurang promosi dan dokumentasi atas proses-
proses dan hasil yang telah dicapai.
Selain itu, tidak adanya payung hukum pelibatan masyarakat dalam rehabilitasi hutan di TN Meru
Betiri membuat motivasi KAIL dan petani yang terlibat menjadi turun dan kurang bersemangat.
Beranjak dari proses tersebut, kini masing-masing anggota kelompok secara independen
mengelola lahannya dengan tanaman campuran. Setidaknya telah terbentuk 108 kelompok tani
yang menyasar 3556 Kepala Keluarga pada lahan seluas 2.779,08 hektare. Tiap anggota
kelompok bertanggung jawab mengelola lahannya masing-masing.16 Tegakan atas biasanya bersisi
tanaman tua semisal petai, nangka, trambesi, lamtoro dan kluwak. Sementara tegakan bawah
yang dikelola intensif terdiri dari jagung, padi ladang, umbi-umbian dan tanaman obat. Tapi
proses pendampingan yang sudah menurun sejak 2015 lantaran keterbatasan pendanaan17
membuat para penggarap lahan banyak yang memetingkan tanaman hortikultura dan tanaman
obat ketimbang tanaman yang berfungsi untuk rehabilitasi lahan.18
12) Pengalaman Balai Taman Nasional Gunung Tambora dalam Mempersiapkan
Kemitraan Konservasi Dengan Cara Bekerja Bersama Masyarakat
Permasalahan yang dihadapi oleh Balai TN Tambora (Kabupaten Dompu dan Kabupaten Bima,
Propinsi NTB) adalah illegal logging yang terjadi sejak sebelum Tambora ditetapkan menjadi
Taman Nasional. Pada periode tahun 2013 – 2015, kegiatan illegal logging sangat tinggi, dalam
satu malam truk pengangkut kayu keluar dari hutan di Gunung Tambora dan sekitarnya bisa
mencapai 30 – 40 truk. Begitu juga kegiatan perambahan yang dilakukan masyarakat cukup
tinggi intensitasnya, terutama untuk peladangan jagung.
Sebagai Taman Nasional yang relatif baru, maka proses sosialisasi tentang keberadaan Taman
Nasional Gunung Tambora, fungsi dan manfaatnya bagi masyarakat di sekitar Taman Nasional
masih belum tuntas sehingga berpotensi menimbulkan konflik tenurial. Salah satu sebab
munculnya konflik tenurial adalah tata batas TN Gunung Tambora belum tuntas. Menurut
Ketua Kelompok Perempuan Delta Api, Sulastri, lokasi kebun kopi anggotanya sebagian besar
berada di sekitar kawasan Taman Nasional. Penetapan Gunung Tambora menjadi Taman
Nasional, menyebabkan petani khawatir areal kebun mereka berada dalam kawasan TN Gunung
Tambora.
Untuk mengatasi masalah illegal logging dan perambahan diatasi, Balai TN Tambora melibatkan
masyarakat dalam pengamanan kawasan serta penegakan hukum. Selain itu juga dilakukan
pemberdayaan masyarakat melalui kegiatan ekonomi produktif. Beberapa kegiatan yang
difasilitasi oleh Balai TN Gunung Tambora bekerja sama dengan LSM lokal adalah pengembangan
kopi, madu, dan wisata alam.
16 Wawancara mendalam dengan Kelompok Tani Mekar Sari I, Curahnongko, 11 Januari 2019.17 Wawancara mendalam dengan KAIL, Curahnongko, 17 Januari 2019.18 Wawancara Mendalam dengan Kelompok Wanita Tani Sumber Waras, Curahnongko, 11 Januari 2019.
Lokasi kegiatan kerjasama ini lebih banyak dilakukan di daerah penyangga Taman Nasional.
Kegiatan bersama masyarakat di dalam dan sekitar Taman Nasional dilakukan belum
menggunakan mekanisme kerjasama, masih menggunakan mekanisme pendampingan. Antara
lain: untuk kegiatan pariwisata alam dan Pendakian, kegiatan pengambilan Hasil Hutan Bukan
Kayu (HHBK) oleh masyarakat, dan Peningkatan kualitas pengelolaan kopi.
Pembelajaran
• Kepercayaan yang diberikan oleh Balai TN Gunung Tambora kepada masyarakat
sebagai subyek pengelolaan taman nasional terbukti dapat mengatasi illegal
logging. Keterlibatan masyarakat secara langsung dalam pengamanan kawasan
bersama Taman Nasional dan KPH berhasil mengurangi illegal logging.
• Berbagai upaya pemberdayaan masyarakat telah dilakukan oleh Balai TN Tambora
untuk menunjukkan manfaat nyata dari kerjasama atau kemitraan antara Balai TN Tambora dengan masyarakat. Dan hal ini telah dipayungi oleh Perdirjen KSDAE
No. 6 Tahun 2018 tentang Kemitraan Konservasi. Dengan adanya Perdirjen ini,
maka Balai TN Tambora telah menandatangani dokumen Perjanjian Kerja Sama
(PKS) dengan kelompok masyarakat pengolah madu hutan di Desa Kawinda Toi
pada bulan Desember 2018. Berbagai manfaata nyata dan Perjanjian (PKS) ini
diharapkan dapat meningkatkan kepercayaan masyarakat kepada Balai TN
Tambora.
d. Aktivitas 4: Lokakarya Penyusunan Strategi Komunikasi LATIN
Lokakarya bertujuan untuk menyusun dokumen yang berisi pesan kunci (key messages) yang
harus disampaikan melalui cara-cara penyampaian yang tepat kepada target sasaran yang dituju,
yaitu Dirjen KSDAE dan Kepala Balai Taman Nasional yang sudah bekerja sama dengan
masyarakat dengan menggunakan peraturan selain Perdirjen KSDAE No. 6 Tahun 2018.
Lokakarya Penyusunan Strategi Komunikasi diadakan pada tanggal 29 April sampai 1 Mei 2019 di
Bogor. Lokakarya dihadiri oleh 20 orang peserta terdiri atas 12 laki-laki dan 8 orang perempuan.
Peserta adalah Koordinator Program, peneliti/fasilitator yang melakukan kajian di 6 Taman
Nasional dan tim pendukung (GIS, finance, administrasi), berjumlah 13 orang, dengan nara
sumber Sari Lani dari PT DIGDAYA dan dari Fakultas Kehutanan IPB, serta fasilitator Syafrizaldi.
yang sebelumnya terlibat dalam kegiatan indepth interview dan FGD di 6 Taman Nasional.
Hasil dari Lokakarya adalah Dokumen Strategi Komunikasi yang di dalamnya antara lain berisi
pesan kunci (key messages) tentang implementasi Kemitraan Konservasi, kelompok sasaran atau
target komunikasi, dan rencana komunikasi termasuk kemasan pesan kunci dalam bentuk bentuk
policy brief. Berikut ini target personal dan pesan kunci yang akan disampaikan:
A. Target: Dirjen KSDAE (Bapak Wiratno)
a. Key message #1: “Dirjen KSDAE perlu membuat Surat Edaran agar setiap Balai Taman
Nasional mengeksplorasi manfaat dan penggunaan RBM dalam melibatkan masyarakat
untuk ikut merencanakan, melaksanakan sampai monitoring dan evaluasi kemitraan
konservasi.”
b. Key message #2: “Dirjen KSDAE perlu membuat Surat Edaran agar Balai Taman Nasional
dapat bekerjasama dengan lembaga yang berkompeten, untuk melakukan investigasi
pelaku free rider dan rantai tata niaga hasil hutan ilegal, serta menyusun rencana
mitigasinya.”
c. Key message #3: “Dirjen KSDAE perlu membentuk tim pakar yang ditugaskan untuk
membuat dokumen FAQ (Frequently Asked Questions) tentang Kemitraan Konservasi.”
d. Key message #4: “Dirjen KSDAE perlu menyediakan unit/tim/mekanisme cepat tanggap
di Ditjen KSDAE, yang dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan dari lapang terkait dengan
pasal-pasal di dalam Perdirjen KSDAE No. 6 Tahun 2018 yang dianggap masih belum
jelas.”
e. Key message #5: “Dirjen KSDAE perlu menyediakan sumberdaya yang memadai untuk
mendokumentasikan dan menyebarluaskan contoh kesuksesan, kegagalan dan
pembelajaran dari Kemitraan Konservasi.”
f. Key message #6: “Dirjen KSDAE perlu membentuk tim pakar yang bertugas untuk
merumuskan pengelolaan pengetahuan (knowledge management) Kemitraan Konservasi,
baik untuk tingkat pusat (Dirjen KSDAE) maupun untuk tingkat UPT di lapangan.”
B. Target: Kepala Balai Taman Nasional yang sudah bekerja sama dengan masyarakat dengan menggunakan peraturan selain Perdirjen KSDAE No. 6 Tahun 2018
a. Key message #7: “Balai TN perlu menghilangkan stigma dalam berinteraksi dengan
masyarakat, melalui integrasi RBM dengan siklus proses pembelajaran dalam melibatkan
masyarakat.”
b. Key message #8: “Balai Taman Nasional perlu mengidentifikasi dan menjalin kerja sama
dengan lembaga yang berkompeten untuk melakukan investigasi pelaku free-rider dan
rantai tata niaga hasil hutan ilegal, serta menyusun rencana mitigasinya.”
c. Key message #9, “Balai Taman Nasional perlu mengalokasikan sumberdaya khusus untuk
mendokumentasikan dan menyebarluaskan contoh kesuksesan, kegagalan dan
pembelajaran dari Kemitraan Konservasi.”
d. Key message #10: Balai TN menyiapkan mekanisme dan SOP untuk menjalankan
pengelolaan pengetahuan (knowledge management) sesuai dengan hasil rumusan tim
pakar yang dibentuk oleh Dirjen KSDAE.
e. Aktivitas 5: Lokakarya Penyampaian Key Messages (Policy brief, Hasil Lokakarya Strategi Komunikasi) LATIN kepada Dirjen KSDAE Kementerian LHK
Lokakarya bertujuan untuk menyampaikan hasil Lokakarya Strategi Komunikasi berupa policy brief, termasuk best practice dan lessons learned, yang telah dihasilkan LATIN kepada Dirjen
KSDAE dan jajarannya di kantor Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, dan
mengundang beberapa Pengelola Taman Nasional.
Lokakarya penyampaian Key Messages kepada Dirjen KSDAE dilaksanakan pada tanggal 9 Juli
2019. Selain dihadiri oleh Dirjen KSDAE dan staf KSDAE dan UPT Taman Nasional (Balai TN
Gunung Gede Pangrango, Balai TN Ujung Kulon, Balai TN Gunung Halimun Salak, dan Balai TN
Kepulauan Seribu), juga dihadiri oleh staf dari Direktorat Jenderal yang lain (PSKL, BPEE, Biro
Perencanaan, BP2SDM) dan juga stakeholder (AMAN, BRWA, RMI, FKKM, Burung Indonesia).
Total jumlah peserta berjumlah 42 orang, terdiri atas 15 perempuan dan 27 orang laki-laki.
Hasil dari Lokakarya adalah diterimanya dokumen policy brief oleh Bapak Wiratno sebagai Dirjen
KSDAE, dimana poin-poin utama policy brief LATIN adalah:
A. Temuan dari Kajian di 12 Taman Nasional:
1. Dari 12 Taman Nasional yang dikaji, semuanya sudah melakukan kerja sama dengan
masyarakat, baik yang dilakukan sebelum maupun setelah terbitnya Perdirjen No 6 Tahun
2018.
2. Dari 12 Taman Nasional yang dikaji, ada 4 Taman Nasional yang telah membuat
Perjanjian Kerja Sama (PKS) setelah Perdirjen KSDAE No. 6 Tahun 2018, yaitu TN
Bantimurung Bulusaraung, TN Gunung Leuser, TN Bogani Nani Wartabone dan TN
Kelimutu.
3. Perdirjen KSDAE No. 6 Tahun 2018 memperkuat dan menjadi payung hukum bagi
inisiatif kerja sama yang telah dilakukan oleh Balai TN sebelum terbitnya Perdirjen
tersebut, namun di sisi lain ada kekuatiran bahwa Perdirjen tersebut menghidupkan
kembali konflik yang sudah mereda setelah ada inisiatif kerja sama.
4. Perdirjen KSDAE No. 6 Tahun 2018 mengatur waktu pelaksanaan Kemitraan Konservasi,
untuk pemberdayaan masyarakat berlaku 5 tahun dan untuk pemulihan ekosistem
berlaku 10 tahun, dan masing-masing dapat diperpanjang. Yang menjadi kekuatiran adalah
ketidak jelasan proses perpanjangan waktu, siapa yang berwenang memutuskan dan
bagaimana caranya. Kejelasan mengenai hal ini, akan meyakinkan masyarakat terutama
yang terlibat dalam pemulihan ekosistem karena akan mendapat kepastian bahwa mereka
bisa memanen hasil dari berbagai jenis pohon yang telah ditanam dalam pemulihan
ekosistem.
5. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan dalam kerja sama antara masyarakat dengan Balai TN
bermacam-macam, seperti pengelolaan obyek wisata alam, rehabilitasi hutan,
pemanfaatan hasil hutan bukan kayu seperti durian, madu dan getah pinus, pemanfaatan
jenis tumbuhan pengganggu menjadi pupuk dan pestisida organik, pemberdayaan
perempuan pengrajin kain tenun, dsb. Namun, khusus untuk pemanfaatan HHBK, baik
staf Balai TN maupun masyarakat menginginkan kejelasan aturan pemanfaatan hasil hutan
bukan kayu.
6. Kerja sama masyarakat dengan Balai TN telah mulai memberi manfaat ekonomi berupa
peningkatan pendapatan bagi masyarakat, namun ada kekuatiran bahwa kelompok
penerima manfaat belum tepat sasaran.
7. Kerja sama juga memberi manfaat sosial pada masyarakat yang terlibat dalam kerja sama
berupa mulai terbangunnya kelembagaan masyarakat dan berkurangnya sifat individualistis
masyarakat, namun ada kekuatiran bahwa muncul kecemburuan sosial dari kelompok
masyarakat yang tidak terlibat dalam kerja sama.
8. Manfaat ekologi berupa mulai berjalannya proses pemulihan ekosistem di dalam kawasan
Taman Nasional, namun di sisi lain muncul kekuatiran bahwa Kemitraan Konservasi akan
mengundang “free-rider” untuk memanfaatkan lahan di dalam kawasan, dengan alasan
pemulihan ekosistem.
9. Banyak kerja sama antara Pengelola Taman Nasional dan masyarakat setempat yang telah
memberi dampak positif, baik secara ekonomi, sosial maupun ekologi, tetapi masih belum
banyak didokumentasikan.
10. Penerapan Kemitraan Konservasi membutuhkan pendanaan yang memadai dan tidak bisa
terpenuhi hanya dari dana yang dikelola oleh Taman Nasional. Di sisi lain, ada sumber-
sumber pendanaan baik di pemerintah daerah maupun di desa yang bisa dioptimalkan
pemanfaatannya untuk mendukung Kemitraan Konservasi. Sementara itu, pemerintah
daerah banyak yang mempertanyakan manfaat keberadaan Taman Nasional terutama
kontribusi Taman Nasional terhadap PAD (Pendapatan Asli Daerah).
B. Rekomendasi Kebijakan
1. Perlu membentuk tim pakar yang ditugaskan untuk membuat dokumen FAQ (Frequently Asked Questions) tentang Kemitraan Konservasi. Dokumen FAQ berisi sejumlah
pertanyaan tentang Kemitraan Konservasi, serta jawaban yang dapat menjadi acuan bagi
Kepala Balai Taman Nasional dan stafnya.
2. Perlu ada unit/tim/mekanisme cepat tanggap di Ditjen KSDAE, yang dapat menjawab
pertanyaan-pertanyaan dari lapang terkait dengan pasal-pasal yang dianggap masih belum
jelas.
3. Direktorat Jenderal KSDAE perlu menyediakan sumberdaya yang memadai untuk
pendokumentasian dan penyebarluasan contoh kesuksesan, kegagalan dan pembelajaran
dari Kemitraan Konservasi.
4. Perlu tim pakar yang bertugas untuk merumuskan organisasi pembelajar yang berfungsi
untuk mengelola pengetahuan (knowledge management) Kemitraan Konservasi, baik
untuk tingkat pusat (Ditjen KSDAE) maupun untuk tingkat UPT di lapangan.
5. Perlu dilakukan kerja sama dengan lembaga yang berkompeten, untuk melakukan
investigasi pelaku free rider dan rantai tata niaga hasil hutan illegal, serta menyusun
rencana mitigasinya
Dirjen KSDAE kemudian menanggapi dengan positif policy brief LATIN tersebut, yaitu:
a) Ilmu sosial di kita terlambat, padahal ilmu sosial memberikan kontribusi terhadap
perkembangan hutan dan kehutanan.
b) Kemitraan Konservasi bisa ada potensi masalah, seperti adanya free rider.
c) Hutan dan laut adalah interkasi masyarakat yang tidak boleh dilupakan, karena definisi
hutan adalah sekumpulan pohon.
d) Membangun learning organitation melalui local champions yang sudah melakasankan
kegiatan di hutan konservasi.
e) Sederhanya Kemitraan Konservasi adalah mengajarkan cara bertetangga yang baik.
f) Adanya hutan juga bisa membangun pertanian sehat.
g) Di Lampung terjadi perambahan kawasan untuk kopi, dan yang mendapatkan bantuan
adalah orang yang tidak seharusnya.
h) Komunikasi yang terbangun adalah, komunikasi yang pertama yang dillakukan dengan
masyarakat di desa, pemerintah yang mendatangi rakyat.
i) Aturan di kita terlambat, padahal saya pada tahun 2005 sudah memberikan akses kepada
Lembaga Pariwisata Tangkahan.
j) “Jika menyelesaikan masalah, kita tidak boleh menjadi bagian dari masalah itu.”
k) Kemitraan Konservasi bisa ditingkatkan menjadi KULINKK.
l) Saya lebih percaya Kemitraan Konservasi dengan luasan yang kecil daripada dengan luasan
yang besar.
m) Hasil kajian ini diharapkan menjadi pembelajaran bagi TN lain.
n) Terbiasa legal formal bukan actual, bekerja selain pakai fikiran, harus pakai hati, dan caranya
harus bekerja di lapangan.
o) Target 2020 -2024 adalah 400.000 ha.
p) KSDAE udah punya peta open area, sehingga resources ini bisa digunakan bersama.
Kemudian, Dirjen KSDAE juga meminta LATIN untuk mempresentasikan policy brief ini di
hadapan seluruh Direkorat di bawah Ditjen KSDAE, Kepala Balai Taman Nasional dan Kepala
BKSDA seluruh Indonesia pada Rapat Koordinasi Teknis (Rakornis) yang diadakan pada tanggal
19 Agustus 2019 di Jakarta. Rakornis diselenggarakan oleh Dirjen KSDAE dan dihadiri oleh lebih
kurang 100 orang. Pada waktu Rakornis tersebut, LATIN juga membagikan policy brief kepada
semua peserta, namun kesulitan untuk memperoleh tanda terima dari peserta. Walaupun
demikian, dengan kesempatan yang diberikan oleh Dirjen KSDAE kepada LATIN untuk
mempresentasikan policy brief kepada semua Kepala UPT baik Balai Taman Nasional maupun
BKSDA dari seluruh Indonesia, maka tujuan dari penyampaian key messages sudah terpenuhi.
Waktu untuk presentasi policy brief cukup singkat dan tidak ada kesempatan untuk tanya jawab
sehingga tanggapan peserta pada forum Rakornis tidak bisa diperoleh. Namun ketika istirahat,
beberapa orang peserta menyampaikan apresiasi dan setuju dengan temuan LATIN. Bahkan ada
juga panitia dari Ditjen KSDAE (Ibu Retno Suratri) yang memperoleh soft copy hasil studi
literatur menyatakan bahwa dokumentasi best practice sangat bermanfaat bagi UPT dan
sebaiknya diperbanyak. LATIN mempersilakan kalau soft copy hasil studi literature mau dicopy
kepada peserta Rakornis.
f. Aktivitas 6: Lokakarya Penyusunan Rencana Implementasi Kemitraan Konservasi Yang Difasilitasi LATIN
Lokakarya bertujuan untuk memfasilitasi pengelola dan stakeholder di 3 Taman Nasional untuk
mendiskusikan rencana implementasi Kemitraan Konservasi jangka pendek, jangka menengah dan
jangka panjang.
Lokakarya Penyusunan Rencana Implementasi Kemitraan Konservasi diadakan pada tanggal 25 –
30 Agustus 2019 di Jakarta. Lokakarya merupakan tindak lanjut dari hasil kajian melalui indepth
interview dan FGD di 6 Taman Nasional, serta studi literature di 6 Taman Nasional lainnya.
Salah satu temuan dari kajian tersebut adalah adanya kelemahan dalam proses penyusunan
rencana kemitraan konservasi, sehingga dapat memperlambat penelaahan usulan Kemitraan
Konservasi. Pada umumnya, usulan yang dikirim kurang menginformasikan hal-hal yang menjadi
keunikan atau kekhususan yang berasal dari lokasi yang diusulkan, sehingga surat usulan harus
dikembalikan untuk dilengkapi. Oleh karena itu, dilakukan Lokakarya Penyusunan Rencana
Kemitraan Konservasi untuk 3 Taman Nasional. Ketiga Taman Nasional tersebut adalah TN
Gunung Halimun Salak, TN Meru Betiri dan TN Gunung Tambora. Proses penyusunan rencana
Kemitraan Konservasi ini menjadi penting. Dengan adanya rencana, maka akan semakin jelas
tahapan untuk membangun PKS. Selain itu, proses yang akan dilalui untuk membangun PKS, akan
menjadi jelas bagi masyarakat dan Balai Taman Nasional.
Hasil dari Lokakarya yang difasilitasi LATIN adalah Dokumen Rencana Kemitraan Konservasi TN
Gunung Halimun Salak, Dokumen Rencana Kemitraan Konservasi TN Gunung Tambora, dan
Dokumen Rencana Kemitraan Konservasi TN Meru Betiri. Secara garis besar, dokumen rencana
kemitraan konservasi 3 TN memuat hal-hal sebagai berikut:
Taman
Nasional Skema Kemitraan Lokasi Luas/ Produk
TN Gunung
Halimun
Salak
Pemulihan Ekosistem
Pemberdayaan
Masyarakat
SPTN 1:
• Blok Cisoka
• Blok Cidoyong
• Blok Wangun
• Blok Sampay
SPTN II:
• Blok Koridor
SPTN I Lebak
• Blok Pasir Kempong
• Blok Cikawah
• Blok Cimarpi
• Blok Wates
SPTN II Bogor
• Blok Bobojong
• Blok Pasir Tengah
• Blok Tapos
SPTN III Sukabumi
Blok Pinus Cimuntir
Blok Damar Cimuntir
200
120
15
2,97
0,36
4
49,3
10,9
31
20,03
1,55
Taman
Nasional Skema Kemitraan Lokasi Luas/ Produk
TN Gunung
Tambora
Pemberdayaan
masyarakat
pemanfaatan madu
Pemberdayaan
masyarakat
pemanfaatan HHBK
Pemberdayaan
masyarakat
pemanfaatan HHBK
Pemulihan Ekosistem
Zona tradisional Kawinda
Toi
Zona Tradisional Sori
Tatanga
Zona Tradisional Tolokalo
Zona Tradisional Tolokalo
765
250
15
20
TN Meru
Betiri
Pemulihan Ekosistem
(total 1.200 ha)
Pemberdayaan
Masyarakat
Curahnongko
Andongrejo
Sanenrejo
Wonoasri
Curahtakir
Sarongan
Mulyorejo
Kandangan
Kebonrejo
Karangharo
65
310
330
260
35
200
Susu kambing dan madu
Eskrim duren dan madu
Ayam potong, camilan
Camilan
Dokumen tersebut selanjutnya menjadi acuan kerja bagi ketiga Taman Nasional untuk
membangun Kemitraan Konservasi. Selain itu, Dokumen juga menjadi acuan dalam melakukan
kegiatan Monitoring dan Mentoring implementasi Kemitraan Konservasi yang akan dilakukan oleh
LATIN.
g. Aktivitas 7: Lokakarya Penyusunan Modul Pelatihan Implementasi Kemitraan Konservasi
Lokakarya Penyusunan Modul Pelatihan Implementasi Kemitraan Konservasi yang diselenggarakan
dan difasilitasi LATIN bertujuan untuk mempersiapkan bahan-bahan pelatihan yang mencakup
Session Plan, metode atau teknik penyampaian materi, bahan bacaan, referensi, alat dan bahan
yang harus disiapkan.
Lokakarya penyusunan modul pelatihan implementasi Kemitraan Konservasi telah dilaksanakan
pada tanggal 16 – 20 September 2019 di Jember, sekaligus uji coba beberapa sesi di desa
Andongrejo dan zona rehabilitasi TN Meru Betiri. Lokakarya diikuti oleh pada fasiltator yang
nanti akan memfasilitasi pelatihan.
Hasil dari Lokakarya yang diselenggarakan dan difasilitasi LATIN adalah 8 Modul Pelatihan
Implementasi Kemitraan Konservasi yaitu:
a) Modul 1: Paradigma dan Kebijakan Kemitraan Konservasi, yang secara umum berisi
pentingnya perubahan paradigm dalam pengelolaan kawasan konservasi, pentingnya
mencari keseimbangan antara tujuan konservasi keanekaragaman hayati dengan
peningkatan kesejahteraan masyarakat, serta berbagai peraturan yang terkait dengan
Kemitraan Konservasi.
b) Modul 2: Aspek Gender dalam Kemitraan Konservasi, yang secara umum berisi prinsip
dan konsep dasar inklusi sosial dan kesetaraan gender.
c) Modul 3: Partisipasi Masyarakat, yang secara umum berisi pentingnya partisipasi
masyarakat dalam pengelolaan kawasan konservasi serta partisipasi yang efektif dalam
mengembangkan kemitraan konservasi.Modul 4: Persiapan Implementasi Kemitraan
Konservasi, yang secara umum berisi sosialisasi (identifikasi free rider), batasan tentang
kemitraan konservasi, identifikasi potensi kemitraan konservasi, memotret kondisi lokasi
(subyek) dan sosial ekonomi masyarakat (obyek) untuk kemitraan konservasi.
d) Modul 5: Penyusunan Rencana Kemitraan Konservasi, yang secara umum berisi
menentukan goal, target dan strategi kemitraan konservasi, analisis pengembangan
potensi, analisis stakeholder, menyusun program.
e) Modul 6: Membangun dan Mengelola Kesepakatan, yang secara umum berisi pentingnya
kolaborasi, membangun kesepakatan kemitraan konservasi, format kesepakatan, serta
menjalankan kesepakatan kemitraan konservasi.
f) Modul 7: Manajemen Konflik, yang secara umum berisi pengantar manajemen konflik,
memahami konflik serta kemungkinan intervensinya, strategi mengelola konflik, serta
negosiasi.
g) Modul 8: Monitoring dan Evaluasi Partisipatif, yang secara umum berisi pengertian
monitoring dan evaluasi partisipatif, pengenalan SMART RBM sebagai salah satu tools
monitoring dan evaluasi partisipatif.
h) Kedelapan Modul tersebut ditujukan untuk peningkatan kapasitas pendamping Kemitraan
Konservasi, selanjutnya digunakan untuk aktivitas 8.
h. Aktivitas 8: Pelatihan Implementasi Kemitraan Konservasi Yang Difasilitasi LATIN
Pelatihan ini bertujuan untuk meningkatkan kapasitas petugas lapang dalam implementasi rencana
Kemitraan Konservasi dengan menggunakan Modul yang dihasilkan dari kegiatan Lokakarya
Penyusunan Modul Implementasi Kemitraan Konservasi.
Kegiatan Pelatihan Implementasi Kemitraan Konservasi diadakan pada tanggal 4 – 10 November
2019 di Bogor. Pelatihan diikuti oleh 14 orang peserta terdiri atas 4 orang perempuan dan 8
orang laki-laki, yang berasal dari Balai Taman Nasional (Balai TN Gunung Halimun Salak, Balai TN
Tambora, Balai TN Kepulauan Seribu, Balai TN Gunung Ciremai), LSM (BRWA, AMAN
Kasepuhan Karang Banten), mahasiswa kehutanan IPB dan mahasiswa kehutanan UNIKU.
Sebelum dan setelah pelatihan dilakukan tes atau evaluasi, sehingga bisa diketahui perkembangan
kapasitas setiap peserta yang mengikuti pelatihan. Evaluasi pelatihan Kemitraan Konservasi ini
menggunakan metode scoring yang didapat dari jawaban peserta dengan mengisi kuisioner pre-
test dan post-test. Kuisioner berisi 20 pertanyaaan yang secara umum terdiri dari:
a) Pengelolaan Kawasan Konservasi
b) Kemitraan Konservasi
c) Monitoring Program Kemitraan Konservasi
d) Pengelolaan Konflik dan Gender
Hasil dari evaluasi pre-test dan post-test dapat dilihat pada Gambar 1.
Dari Gambar 1 terlihat bahwa setiap orang mengalami peningkatan kapasitas, yang berarti
pengetahuan dan keterampilan yang diberikan selama Pelatihan memang meningkat.
i. Aktivitas 9: Monitoring dan Mentoring
Kegiatan Monitoring dan Mentoring telah dilaksanakan pada periode September sampai
November 2019 dengan melakukan diskusi dan kunjungan lapang ke TN Tambora, TN Gunung
Halimun Salak dan TN Meru Betiri. Pelaksana monitoring dan mentoring adalah:
1. TN Gunung Halimun Salak: Lika, Eka, Vinna (LATIN), Teguh, Wahyu, Desa (Balai TN
Gunung Halimun Salak)
2. TN Tambora: Eka, Vinna (LATIN), Muttakun (LP2DPM), Junaidin, Faizin (Balai TN Tambora)
3. TN Meru Betiri: Arif, Lika (LATIN), Nurhadi, Kaswinto, Halim, Sukirman (KAIL), Maman,
Nur Kholik (Balai TN Meru Betiri)
Melalui kegiatan monitoring dan mentoring, LATIN berhasil mendorong terbentuknya kerjsama
antara Kepala Balai Taman Nasional Tambora dengan Plt. Kepala Desa Kawinda Toi, dengan
ditandatanganinya PKS dalam rangka pemberdayaan masyarakat melalui pemanfaatan madu hutan,
pada tangal29 November 2019, yang secara umum berisi mengenai:
Tujuan 1. Memberikan akses pemanfaatan HHBK kepada masyarakat Desa
Kawinda Toi di Zona Tradisional kawasan Taman Nasional Tambora
untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat dan
melestarikan kawasan Taman Nasional Tambora.
2. Mewujudkan upaya perlindungan, pengawetan dan pemanfaatan
kawasan Taman Nasional Tambora berbasis masyarakat.
Ruang Lingkup
Kerjasama
1. Pemetaan areal pemanenan madu sebagai areal pemberian akses
pemanfaatan HHBK
2. Perlindungan dan pengamanan kawasan Taman Nasional Tambora
melalui kegiatan patrol dan penjagaan bersama.
3. Penyusunan Rencana Pelaksanaan Program bersama antara PARA
PIHAK
4. Fasilitasi dalam rangka pengembangan kegiatan kemitraan konservasi
0
20
40
60
80
100
120
140
160
180
200
post test
pre test
5. Monitoring dan evaluasi dari kegiatan dimaksud
Letak dan Luas Areal
Kerjasama
Letak areal kerjasama berada dalam Zona Tradisional Taman Nasional
Tambora Resort Kawinda Toi Seksi Pengelolaan Taman Nasional I Kore,
secara administrasi terletak di wilayah Desa Kawinda Toi Kecamatan
Tambora, Kabupaten Bima Provinsi Nusa Tenggara Barat.
Luas areal kerjasama yaitu 767,51 ha, sebagaimana tergambar dalam
lampiran peta yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari perjanjian
kerjasama ini.
Hak dan Kewajiban
Para Pihak
PIHAK KESATU (Kepala Balai TN Tambora) berkewajiban:
a. Menyusun Rencana Pelaksanaan Program dan Rencana Kerja
Tahunan bersama PIHAK KEDUA.
b. Menunjuk personil pendamping untuk PIHAK KEDUA dalam
rangka pelaksanaan kegiatan kemitraan konservasi di Zona
Tradisional Taman Nasional Tambora.
c. Memberikan bimbinan teknis kepada PIHAK KEDUA dalam
pelaksanaan kegiatan kemitraan konservasi di Zona Tradisional
Taman Nasional Tambora.
d. Memfasilitasi PIHAK KEDUA dalam rangka pengembangan
kegiatan kemitraan konservasi di Zona Tradisional Taman
Nasional Tambora
e. Melakukan Monitoring dan Evaluasi terhadap pelaksanaan kegiatan
kemitraan konservasi di Zona Tradisional Taman Nasional
Tambora.
PIHAK KESATU berhak:
a. Melakukan pengaturan ruang pada areal yang dikerjasamakan
b. Memperoleh data dan informasi hasil pelaksanaan kegiatan yang
dilakukan PIHAK KEDUA
c. Turut serta dalam pelaksanaan kegiatan yang dilaksanakan oleh
PIHAK KEDUA
d. Memberikan teguran/peringatan apabila PIHAK KEDUA tidak
melaksanakan kewajiban.
PIHAK KEDUA (Plt. Kepala Desa Kawinda Toi) berkewajiban:
a. Memberikan akses kepada PIHAK KESATU untuk melakukan
pengaturan ruang pada areal yang dikerjasamakan.
b. Menyusun Rencana Pelaksanaan Program dan Rencana Kerja
Tahunan bersama dengan PIHAK KESATU
c. Melakukan kegiatan sesuai Renana Pelaksanaan Program dan
Rencana Kerja Tahunan yang disepakati bersama PIHAK KESATU.
d. Menyiapkan data dan informasi yang dibutuhkan PIHAK KESATU
yang berkaitan dengan pelaksanaan kegiatan kerjasama.
e. Menyampaikan laporan tertulis atas pelaksanaan kerjasama kepada
PIHAK KESATU secara berjenjang.
f. Menggunakan cara/metode pemungutan HHBK yang
memperhatikan kelangsungan potensi, daya dukung, dan
keanekaragaman hayati di Taman Nasional Tambora.
PIHAK KEDUA berhak:
a. Mendapatkan akses pemanfaatan HHBK pada areal yang
dikerjasamakan atas persetujuan PIHKA KESATU
b. Mendapatkan pendampingan teknis dari PIHAK KESATU dalam
rangka pelaksanaan kerjasama
c. Mendapatkan fasilitasi dari PIHAK KESATU dalam rangka
pengembangan kerjasama.
Jangka Waktu Jangka waktu perjanjian kerjasama ini berlaku selama lima (5) tahun sejak
ditandatangani perjanjian kerjasama ini dan dapat diperpanjang
berdasarkan persetujuan PARA PIHAK dan hasil evaluasi Tim lingkup
Direktorat Jenderal atau Tim Unit Pengelola.
Taman Nasional Meru Betiri dan TN Gunung Halimun Salak sebenarnya juga dalam proses
penyiapan usulan Perjanjian Kerja Sama, namun ada kendala sehingga tidak sampai pada proses
persetujuan dari Dirjen KSDAE. Kendala di TN Meru Betiri adalah terjadinya peristiwa
penembakan pelaku illegal logging yang berasal dari Desa Andongrejo, yang menyebabkan pelaku
tewas. Hal ini telah membuat situasi di Desa Andongrejo menjadi tidak kondusif padahal Desa
Andongrejo adalah salah satu dari 3 desa yang disasar untuk Kemitraan Konservasi. Situasi tidak
kondusif ini menular ke desa-desa lain, sehingga untuk sementara proses di lapangan untuk
penyiapan Kemitraan Konservasi bersama masyarakat, ditunda oleh Balai TN Meru Betiri.
Sementara itu, proses membangun Kemitraan Konservasi di TN Gunung Halimun Salak masih
terkendala oleh adanya sebagian warga masyarakat yang menuntut pelaksanaan Program TORA
(Tanah Obyek Reformasi Agraria), sementara sebagian warga sudah terbuka untuk
mendiskusikan Program Kemitraan Konservasi. Selain itu, kendala lain adalah adanya proses re-
zonasi di calon lokasi Kemitraan Konservasi, yang menyebabkan proses lapangan untuk
Kemitraan Konservasi harus menunggu selesainya rezonasi.
LATIN berhasil memenuhi bahkan melebihi target capaian yang ditetapkan pada indikator capaian
program yang disepakati dalam perjanjian hibah. Berikut rincian capaian LATIN berdasarkan
indikator:
Nama Indikator Target Aktual Deskripsi
Jumlah dokumen yang memuat paradigma Kemitraan Konservasi dan best practice/ lessons learned pelaksanaan Kemitraan Konservasi
1 dokumen Hasil Studi Literatur
1 dokumen Strategi Komunikasi (Policy Brief)
1 dokumen Modul Pelatihan
1
1
1
Target tercapai 100%
Jumlah dokumen yang memuat Rencana Kemitraan Konservasi Taman Nasional
3 dokumen Rencana Kemitraan Konservasi (TN Tambora, TN Meru Betiri dan TN Gunung Halimun Salak)
3 Target tercapai 100%
Jumlah stakeholder yang menerima informasi mengenai paradigma Kemitraan Konservasi dan best practice/ lessons learned pelaksanaan Kemitraan Konservasi
20 orang menerima dokumen komunikasi ketika LATIN mempresentasikan policy brief kepada Dirjen KSDAE
34 orang Target melebihi 100%. Melalui kegiatan
Lokakarya Penyampaian key messages
(pesan kunci) kepada Dirjen KSDAE, 34
orang telah menerima policy brief yang
berisi pentingnya kemitraan konservasi
dalam pengelolaan kawasan konservasi di
Indonesia. Ketigapuluh empat orang yang
menerima dokumen tersebut berasal dari
Direktorat Kawasan Konservasi Ditjen
KSDAE, Direktorat KKH Ditjen KSDAE,
Direktorat PIKA Ditjen KSDAE, Balai TN
Gunung Gede Pangrango, Balai TN
Kepulauan, Balai TN Ujung Kulon, BPEE,
Biro Perencanaan KemenLHK, Puslatmas
BP2SDM KemenLHK, Ditjen PSKL, LSM
(Burung Indonesia, BRWA, AMAN, Burung
Indonesia, FKKM, RMI, SKALA), media
(berita lingkungan, DC, Sinar Harapan)
Jumlah orang yang meningkat kapasitasnya dalam menerapkan perencanaan dan pelaksanaan Kemitraan Konservasi
12 orang meningkat kapasitasnya setelah mengikuti Pelatihan Implementasi Kemitraan Konservasi.
14 orang Dari 14 orang yang mengikuti Pelatihan
Implementasi Kemitraan Konservasi, ada 8
orang petugas Taman Nasional yang berasal
dari TN Gunung Halimun Salak (3 orang),
TN Tambora (3 orang), TN Kepulauan
Seribu (1 orang), TN Gunung Ciremai (1
orang). Sedangkan yang lain berasal dari
AMAN (Aliansi Masyarakat Adat
Nusantara) Kasepuhan Karang-Banten, dan
dari BRWA (Badan Registrasi Masyarakat
Adat), serta 2 orang sarjana kehutanan
(fresh graduate) dari IPB dan 2 orang fresh
graduate dari Universitas Kuningan.
Nama Indikator Target Aktual Deskripsi
Jumlah berita yang dapat dimuat dalam media
10 Media coverage 16 media
coverage
Terdapat 11 berita terkait Kemitraan
Konservasi yang dimuat pada bulan Juli
2019dan 5 berita dimuat pada bulan
Desember 2019. Media yang memuat
artikel terkait kegiatan tersebut bisa dilihat
di Lampiran.
Produk pengetahuan yang dihasilkan oleh LATIN melalui project ini adalah:
1) Peta Sebaran Kemitraan Konservasi sampai dengan bulan Juni 2019
2) Dokumen Strategi Komunikasi
3) Policy Brief
4) Laporan Studi Literatur tentang Implementasi Kemitraan Konservasi di 12 Taman Nasional
5) Dokumen Rencana Kemitraan Konservasi TN Tambora
6) Dokumen Rencana Kemitraan Konservasi TN Gunung Halimun Salak
7) Dokumen Rencana Kemitraan Konservasi TN Meru Betiri
8) Delapan Modul Pelatihan Implementasi Kemitraan Konservasi
9) Perjanjian Kerja Sama antara Balai TN Tambora dengan Kelompok Masyarakat Kawinda Toi
untuk pengelolaan madu
10) Contoh RPP dan RKT
11) Laporan Hasil Monitoring dan Mentoring Implementasi Kemitraan Konservasi di TN Gunung
Halimun Salak, TN Tambora dan TN Meru Betiri
Penjelasan Kegiatan atau Milestones yang Tidak tercapai
Semua deliverables dan milestones dapat dipenuhi oleh LATIN, sesuai dengan yang tercantum di
dalam Proposal.
Pembelajaran dan Rekomendasi
Tantangan
Program Kemitraan Konservasi yang dituangkan dalam Peraturan Dirjen KSDAE No. 6 Tahun 2016
tidak mudah diimplementasikan dalam pengelolaan kawasan konservasi, antara lain Taman Nasional.
LATIN melalui Program “Menumbuhkan Paradigma Kemitraan Konservasi Untuk Mendukung
Implementasi Perdirjen KSDAE tentang Kemitraan Konservasi” yang didukung oleh USAID BIJAK
telah melakukan kajian tentang implementasi Kemitraan Konservasi menemukan sejumlah tantangan
yang dihadapi oleh pengelola Taman Nasional. Tantangan-tantangan tersebut antara lain:
a. Kurang Dukungan Bagi Lembaga Kolaborasi Multi-pihak
Salah satu tantangan implementasi kemitraan konservasi adalah kurangnya dukungan dalam
mengembangkan lembaga kolaborasi multi-pihak. Keberadaan lembaga kolaborasi multi-pihak
menjadi penting untuk mendukung pelaksanaan kemitraan konservasi. Balai Taman Nasional
tidak bisa bekerja sendiri dalam memfasilitasi masyarakat karena memiliki keterbatasan dalam
kewenangan, kapasitas sumberdaya manusia, jaringan kerja, pendanaan, dan sebagainya.
Keterbatasan Balai Taman Nasional itulah yang seharusnya dapat dilengkapi oleh pemerintah
daerah dan stakeholder lain.
b. Perbedaan Kepentingan
Sulitnya membangun kolaborasi multi-pihak terutama dirasakan ketika ada perbedaan
kepentingan antara kepentingan konservasi dengan kepentingan pembangunan. Perbedaan
kepentingan ini menyebabkan benturan kebijakan antara pemerintah daerah dengan Balai Taman
Nasional, misalnya dalam proses tata batas, pembangunan jalan, pengembangan kawasan dan
pemanfaatan sumberdaya alam. Hal ini menunjukkan belum melembaganya kolaborasi di tingkat
pemerintah daerah. Pemerintah daerah belum menganggap kolaborasi sebagai strategi yang
penting untuk mencapai tujuan pembangunan.
c. Manfaat Kemitraan Konservasi Belum Bisa Dirasakan
Manfaat kemitraan konservasi masih belum terlihat secara nyata atau belum dirasakan baik oleh
pemerintah daerah maupun oleh masyarakat lokal. Saat ini yang dilihat oleh pemerintah daerah
dan masyarakat adalah manfaat ekologi untuk kepentingan taman nasional, misalnya
berkurangnya perambahan atau kegiatan ilegal di kawasan Taman Nasional. Oleh karena itu di
beberapa daerah sering muncul pertanyaan, “Apakah satwa liar lebih penting daripada manusia?“
Masyarakat lokal diminta terus untuk melindungi hutan, namun masyarakat belum mendapatkan
imbalannya. Akibatnya, masyarakat merasa jauh dan tidak dilibatkan oleh Balai Taman Nasional.
Oleh karena itu, manfaat ekonomi yang nyata bagi masyarakat lokal harus segera diwujudkan,
agar ada keseimbangan manfaat ekologi dan ekonomi dari kemitraan konservasi.
d. Dinamika Masyarakat Lokal
Masyarakat lokal sendiri memiliki dinamika yang belum tentu sejalan dengan kemitraan
konservasi. Keaktifan kelompok sering kali tidak stabil. Semangat masyarakat naik turun, sehinga
kegiatan yang sudah disepakati menjadi terhambat atau berjalan tersendat-sendat. Konflik
internal di kelompok masyarakat ditengarai menjadi penghambat dalam kegiatan yang sudah
direncanakan dalam Rencana Pelaksanaan Program (RPP) dan Rencana Kerja Tahunan (RKT).
Apalagi masyarakat belum melihat manfaat ekonomi yang nyata dari kemitraan konservasi.
Pembelajaran
Berdasarkan tantangan yang dihadapi oleh Pengelola Taman Nasional, LATIN juga menemukan
banyak pembelajaran yang bisa diperoleh dari kajian terhadap implementasi Kemitraan Konservasi di
Taman Nasional. Pembelajaran yang diperoleh terkait dengan faktor-faktor pendukung implementasi
kemitraan konservasi, serta kondisi pemungkin untuk mengembangkan kemitraan konservasi.
A. Faktor-faktor Pendukung Implementasi Kemitraan Konservasi
Ada enam faktor pendukung implementasi Kemitraan Konservasi yang bisa dipetik sebagai
pembelajaran. Keenam faktor pendukung tersebut adalah (a) kepemimpinan, (b) komunikasi, (c)
perubahan cara kerja dari Balai Taman Nasional, (d) menemukan dan bekerja bersama local champion, (e) dukungan publik dan stakeholder, (f) meningkatnya kesadaran masyarakat lokal
terhadap konservasi.
a. Kepemimpinan/Leadership
Faktor kepemimpinan adalah salah satu faktor pendukung implementasi Kemitraan Konservasi
yang dijumpai di beberapa Taman Nasional. Kepemimpinan yang dijumpai di lapangan, tidak
hanya ditemukan pada Kepala Balai, tetapi juga dijumpai pada staf Balai Taman Nasional, dan juga
ditemukan pada kelompok masyarakat yang difasilitasi oleh Balai Taman Nasional. Sifat-sifat
kepemimpinan yang bisa dipetik dari lapangan antara lain bahwa pemimpin harus memberikan
contoh atau teladan. Pemimpin tidak hanya memberi instruksi. Pemimpin juga harus dapat
menjelaskan visi terkait kemitraan konservasi kepada seluruh stafnya, sehingga visi tersebut
terinternalisasi di seluruh stafnya.
b. Komunikasi
Komunikasi adalah faktor penting keberhasilan Kemitraan Konservasi. Dalam kemitraan, petugas
harus menjalin hubungan baik dengan masyarakat lokal. Tanpa komunikasi yang baik, hubungan
baik tidak akan terjalin. Namun dalam komunikasi, bukan hanya cara berkomunikasi yang baik.
Faktor lain yang penting adalah komunikasi yang rutin dengan masyarakat, yang dilakukan baik
formal maupun informal. Komunikasi formal maksudnya adalah komunikasi melalui pertemuan-
pertemuan formal, sedangkan komunikasi informal bisa berupa anjangsana atau kunjungan
silaturahim petugas ke rumah-rumah warga. Frekuensi dan intensitas komunikasi seperti ini yang
harus dijaga.
Selain itu penting juga diciptakan ruang komunikasi yang membuat masyarakat maupun petugas
menjadi nyaman dan aman, sehingga komunikasi bisa berjalan efektif. Situasi seperti ini akan
mengurangi stigma atau pandangan negatif dari kedua belah pihak. Dengan demikian ketika ada
kebutuhan untuk menyampaikan peraturan yang berlaku, maka bisa terjadi dialog dua arah dan
bukan hanya penyampaian satu arah saja.
c. Perubahan Cara Kerja Balai Taman Nasional
Cara kerja Balai Taman Nasional dalam menangani konflik dan membangun kemitraan dengan
masyarakat mulai berubah. Dalam menangani konflik, cara-cara penegakan hukum dengan
disertai tindakan seperti penangkapan masyarakat, pembakaran gubuk dan ladang, yang membuat
masyarakat ketakutan, sudah mulai diubah. Balai Taman Nasional lebih mengedapankan tindakan
preemtif, yaitu upaya penciptaan kondisi yang kondusif dengan tujuan menumbuhkan peran aktif
masyarakat dalam pengamanan kawasan hutan. Kegiatannya dapat berupa melakukan
inventarisasi potensi masalah, anjangsana/kunjungan ke tokoh masyarakat, gladi posko
pengendalian perlindungan dan pengamanan kawasan. Upaya ini membuat masyarakat tidak lagi
takut terhadap petugas Balai Taman Nasional.
Dengan adanya upaya preemtif, maka petugas harus lebih sering berkunjung dan berdialog
dengan masyarakat. Petugas didorong untuk bisa berbaur dengan masyarakat, kalau perlu
petugas tinggal di desa. Semua itu ditujukan untuk mengubah pandangan negatif masyarakat
terhadap petugas dan juga meraih kepercayaan masyarakat terhadap petugas. Setelah
kepercayaan masyarakat sudah diraih, maka dialog akan menjadi lebih efektif. Dengan demikian
sosialisasi kemitraan konservasi bisa lebih lancar dan muncul usulan kegiatan dari masyarakat
untuk kemitraan. Petugas Balai Taman Nasional juga akan mudah mengajak masyarakat untuk
bersama-sama melindungi kawasan Taman Nasional. Petugas juga bisa menawarkan masyarakat
untuk mengikuti kegiatan peningkatan kapasitas melalui pelatihan dan studi banding. Peran
petugas Balai Taman Nasional sedikit demi sedikit berubah menjadi fasilitator.
Perubahan cara kerja dalam berkomunikasi dan berinteraksi dengan masyarakat sebenarnya
merupakan cerminan dari perubahan pola pikir petugas Balai Taman Nasional. Hal ini penting
ditekankan, karena perubahan tersebut bukan dimulai dari pembekalan keterampilan teknis
komunikasi dan fasilitasi, tetapi justru dimulai dari terjun langsung berinteraksi dengan
masyarakat. Keterampilan teknis komunikasi dan fasilitasi secara tidak langsung justru dipelajari
dari interaksi yang intensif dengan masyarakat. Salah satu teknik komunikasi dan fasilitasi yang
penting adalah keterampilan mendengar yang harus dipraktekkan oleh petugas.
d. Menemukan dan Bekerja Bersama Local Champion
Local champion adalah salah satu kunci dalam Kemitraan Konservasi, karena local champion
adalah agen perubahan di internal kelompok masyarakat, yang dapat direplikasi di tingkat
komunitas atau kelompok masyarakat. Adanya local champions di masyarakat dapat menjadi
menjadi modal sosial untuk membangun kepercayaan serta kesadaran masyarakat dalam
mengelola kawasan. Local champion juga bisa menjadi jembatan penghubung untuk terjadinya
komunikasi yang baik antara masyarakat dan Balai Taman Nasional, terutama untuk membangun
komunikasi dengan masyarakat yang berkonflik.
Peran Balai Taman Nasional selain menemukan local champion, juga memfasilitasi peningkatan
kapasitas dan pengetahuan kepada local champions, dan memberikan kesempatan kepada local
champions sebagai narasumber dalam berbagai acara, sehingga akan terjadi rasa bangga dan
meningkatan kepercayaan diri untuk membagikan pengetahuannya kepada kelompok masyarakat.
e. Menggalang Dukungan Masyarakat dan Stakeholder
Dukungan masyarakat yang lebih luas dan stakeholder adalah salah satu faktor penting yang bisa
menjadi pendukung implementasi Kemitraan Konservasi di lapangan. Pada tingkat desa, walaupun
tidak mudah, upaya untuk merangkul semua pihak di desa telah coba dilakukan. Hal ini
bertujuan untuk menghindari konflik internal diantara kelompok masyarakat.
Keterbasan Balai Taman Nasional adalah salah satu sebab dibutuhkannya peran stakeholder
dalam Kemitraan Konservasi. Stakeholder bisa berperan untuk memfasilitasi mediasi dan resolusi
konflik, selain untuk menambah pengetahuan dan keterampilan teknis yang lain. Interaksi antara
petugas Balai Taman Nasional dengan stakeholder juga akan membuka wawasan dan mengubah
pola pikir menjadi lebih terbuka dalam menerima gagasan-gagasan dari luar, serta meningkatkan
motivasi untuk bekerja lebih baik lagi. Hal ini misalnya terjadi di TN Komodo. Dukungan banyak
lembaga pendamping (TNC, WWF, GEF, RARE, Yayasan Komodo Survival Program,
Swisscontact Wisata Project) dalam bentuk riset, design rencana pengelolaan, implementasi
rencana kelola meningkatkan kualitas pengelolaan TN Komodo.
f. Meningkatnya Kesadaran Masyarakat Setelah Tanda Tangan PKS
Perjanjian Kerja Sama (PKS) dalam Kemitraan Konservasi menjadi penting bagi masyarakat.
Dengan menandatangani PKS maka masyarakat dan Balai Taman Nasional terikat secara hukum.
Bagi masyarakat ini adalah salah satu bentuk kepastian hukum yang selama ini mereka nantikan.
Dengan adanya PKS masyarakat merasa terlindungi hak-haknya dalam memanfaatkan hasil hutan
yang selama ini mereka telah lakukan. Dan masyarakat juga menyadari di samping hak, ada pula
kewajiban untuk menjaga kawasan.
Adanya PKS menjadikan tingkat kesadaran masyarakat dalam menjaga kawasan menjadi lebih
baik. Kawasan yang merupakan areal kerja yang ada dalam PKS akan dijaga dengan baik oleh
kelompok masyarakat dengan harapan bahwa areal tersebut merupakan salah satu sumber
penghidupannya. Contoh di TN Karimun Jawa, masyarakat nelayan menjadikan areal kerja dalam
PKS yang terletak di dalam kawasan Taman Nasional sebagai tabungan ikan. Areal kerja
dimanfaatkan kelompok untuk mencari ikan hanya pada cuaca buruk (akhir Desember sampai
Maret) karena kelompok tidak bisa jauh mencari ikan, sedangkan dalam keadaan cuaca baik
kelompok akan lebih memilih mencari ikan di luar kawasan.
B. Kondisi Pemungkin (Enabling Condition) untuk Mengembangkan Kemitraan
Konservasi
Kondisi pemungkin adalah faktor-faktor yang memungkinkan atau menyebabkan terjadinya
perubahan. Program yang dilaksanakan oleh LATIN menemukan bahwa kebijakan Kemitraan
Konservasi telah menyebabkan terjadinya perubahan paradigma pengelolaan kawasan konservasi,
perubahan cara kerja pengelola kawasan konservasi, dan perubahan interaksi petugas dengan
masyarakat. Perubahan ini harus terus dikelola agar berjalan menuju perbaikan implementasi
Kemitraan Konservasi di lapangan. Agar hal ini bisa terjadi, maka diperlukan kondisi pemungkin yang
harus ada, yaitu (a) political will dari Dirjen KSDAE, (b) menghargai proses, (c) memperjelas isi
Perdirjen KSDAE No. 6 Tahun 2018, (d) membuat manfaat dari Kemitraan Konservasi bisa dilihat
dan dirasakan, serta (e) mengembangkan organisasi pembelajar.
a. Political will dari Dirjen KSDAE
Political will dari Dirjen KSDAE adalah faktor yang menyebabkan lahirnya kebijakan Kemitraan
Konservasi. Kebijakan ini lahir bisa dikatakan sebagai respon atas kebijakan-kebijakan konservasi
sebelumnya yang belum juga bisa memberikan solusi atas konflik di kawasan konservasi yang
telah terjadi bertahun-tahun. Political will tidak hanya diwujudkan dalam pernyataan lisan semata,
tetapi juga diwujudkan secara tertulis melalui berbagai hal yaitu:
➢ Perdirjen KSDAE No. 6 Tahun 2018 yang bersifat mengikat seluruh pengelola kawasan
konservasi.
➢ Tulisan di berbagai media sosial yang kemudian disintesakan dalam bentuk buku berjudul
“Sepuluh Cara Baru Kelola Kawasan Konservasi”. Buku ini bisa dianggap sebagai visi baru
dari pengelolaan konservasi di Indonesia.
b. Menghargai Proses
Implementasi Kemitraan Konservasi adalah sebuat proses yang terus-menerus. Implementasi
Kemitraan Konservasi tidak hanya berhenti ketika PKS ditanda tangani oleh Kepala Balai Taman
Nasional dan masyarakat. Pada tahap persiapan, sebelum PKS ditanda tangani, banyak proses
yang juga harus dilakukan. Dan ini sudah dilakukan di beberapa Balai Taman Nasional. Proses-
proses tersebut antara lain (a) proses membangun kepercayaan dari masyarakat terhadap
petugas dan sebaliknya, (b) proses mengubah sikap dan perilaku petugas dalam berkomunikasi
dan berinteraksi dengan masyarakat, (c) proses membangun local champion, dan (d) proses
mengubah cara kerja petugas.
c. Memperjelas Isi Perdirjen KSDAE No. 6 Tahun 2018
Perdirjen No. 6 tahun 2018 tidak bisa serta merta diterapkan langsung oleh Balai Taman
Nasional. Beberapa Balai Taman Nasional ada yang masih menanyakan beberapa pasal yang
terdapat di dalam Perdirjen tersebut karena dianggap masih belum jelas. Ketidakjelasan pasal-
pasal dalam Perdirjen bisa menyebabkan keraguan Kepala Balai Taman Nasional untuk
menerapkan Kemitraan Konservasi. Oleh karena itu, perlu upaya untuk memberi penjelasan
terhadap pasal-pasal yang dianggap tidak jelas. Beberapa pasal yang tidak jelas dan menjadi
pertanyaan adalah:
1. Apa yang dimaksud wisata terbatas di dalam Perdirjen KSDAE No. 6 Tahun 2018?
Bagaimana batasannya suatu objek wisata bisa dikatakan wisata terbatas?
2. Jenis HHBK yang boleh dimanfaatkan dalam pemberdayaan masyarakat perlu diperjelas
lagi dalam Perdirjen KSDAE No. 6 Tahun 2018?
3. Apakah pemanfaatan HHBK seperti getah pinus dari kawasan konservasi memerlukan izin
peredaran hasil hutan bukan kayu?
4. Bagaimana cara menentukan lahan yang digarap oleh masyarakat sebelum penunjukan
kawasan konsrervasi yang sudah berlangsung lebih dari 20 tahun, sedangkan di dalamnya
tidak ada tanaman kehidupan yang bisa menunjukkan umur garapan tersebut?
5. Jenis tanaman apa saja yang boleh ditanam dalam kegiatan pemulihan Kemitraan
konservasi? Hal in perlu dilakukan karena biasanya masyarakat menanam jenis tanaman
yang bernilai ekonomi tinggi seperti MPTS, sehingga bisa menjadikan kawasan konservasi
menjadi monokultur.
6. Penggarap yang dimaksud dalam Perdirjen KSDAE No. 6 Tahun 2018 itu seperti apa?
Apakah bermukim di luar berladang di dalam kawasan atau bermukim dan berladang di
dalam kawasan?
7. Bagaimana tanaman di luar tanaman kehutanan yang sudah ditanam masyarakat bisa
dimanfaatkan, jika waktu kerjasama dalam pemulihan ekosistem hanya 10 tahun?
8. Zonasi yang dibatasi dalam Perdirjen KSDAE No. 6 Tahun 2018 menjadi penghambat
dalam kemitraan konservasi, bagiamana jika ada satu objek yang dikerjasamakan memiliki 2
potensi yang berbeda dan zonasi yang berbeda, misalnya potensi pemanfaatan HHBK dan
potensi wisata sedangkan syarat zonasi dikedua potensi tersebut berbeda?
9. Apa peran pemerintah daerah dalam Perdirjen KSDAE No. 6 Tahun 2018, terutama dalam
meningkatkan PAD?
10. Apa manfaat yang berbeda jika masyarakat melakukan kemitraan konservasi dengan tidak
melakukan kemitraan konservasi?
11. Apakah areal kerja kemitraan konservasi bisa menjadi hak milik atau disertifikasi oleh
masayarakat? (Hal yang sering ditanyakan masyarakat dan perlu penyampaian komunikasi
yang baik agar terjadi kesepahaman yang sama antara masyarakat dan UPT).
Pertanyaan-pertanyaan di atas memerlukan jawaban dari Ditjen KSDAE agar keraguan dalam
melaksanakan Kemitraan Konservasi bisa dihilangkan.
d. Membuat Manfaat dari Kemitraan Konservasi Bisa Dilihat dan Dirasakan
Manfaat dari Kemitraan Konservasi baru sedikit yang bisa dilihat dan dirasakan. Namun dari
yang sedikit itu, akan mendorong atau memotivasi orang, khususnya masyarakat untuk mengikuti
dan menerapkan Kemitraan Konservasi. Salah satu contoh manfaat yang sudah bisa dilihat adalah
di TN Kelimutu.
Belajar dari TN Kelimutu, manfaat dari Kemitraan Konservasi bisa dihasilkan melalui proses
identifikasi potensi lokal, identifikasi kelompok yang akan melakukan, identifikasi stakeholder
yang bisa membantu atau memfasilitasi, melakukan riset tentang kemungkinan pengembangan
potensi lokal menjadi produk yang bernilai ekonomi dan ekologi, membuat demplot uji coba,
pengemasan produk, promosi, dan merintis pasar.
e. Mengembangkan Organisasi Pembelajar
Organisasi pembelajar adalah satu cara yang dimuat dalam buku “Sepuluh Cara Baru Kelola
Kawasan Konservasi”. Jadi organisasi pembelajar menjadi semacam mandat bagi Ditjen KSDAE
dan UPT di bawahnya. Mengembangkan organisasi pembelajar bukan berarti membuat suatu
organisasi baru. Mengembangkan organisasi pembelajar berarti mengintegrasikan prinsip-prinsip
pembelajaran berdasarkan pengalaman yang terjadi selama impelementasi Kemitraan Konservasi.
Berdasarkan pengalaman yang sudah terjadi maka pengembangan organisasi pembelajar bisa
dimulai dari inisiatif yang sudah ada antara lain pendokumentasian berbagai hal yang sudah
dilakukan seperti (a) kegiatan yang sudah dilakukan, (b) proses menemukan dan bekerja dengan
local champion seperti di Tangkahan TN Gunung Leuser, (c) penerapan tools Resort Based
Management (RBM) yang sudah dijalankan seperti di TN Bogani Nani Wartabone, (d)
pengalaman coaching dan mentoring yang dilakukan oleh GTM, dan (e) proses shared-learning
yang sudah dilakukan oleh beberapa Balai Taman Nasional seperti yang sudah pernah dilakukan
oleh beberapa Taman Nasional ke TN Gunung Ciremai.
Pengalaman yang sudah ada perlu dilengkapi dengan upaya refleksi dalam rangka memetik
pembelajaran (lessons learned) dan memperbaiki pelaksanaan kegiatan di masa datang. Upaya
pendokumentasian juga dirasa masih kurang. Sekarang yang banyak dilakukan adalah penggunaan
media sosial seperti facebook, WA group, instagram, dan twitter. Namun penggunaan media
sosial memiliki keterbatasan dalam jumlah informasi yang bisa disampaikan dan sulit untuk
ditelusuri kembali dan tidak bisa dijadikan sebagai referensi. Oleh karena itu, perlu
pendokumentasian berupa laporan atau buku yang bisa disebarluaskan. Proses penyebarluasan
informasi dan pengetahuan yang diperoleh dari pengalaman lapang adalah bagian dari prinsip-
prinsip organisasi pembelajar. Berbagai mekanisme berbagi informasi dan pengetahuan harus
dikembangkan baik di tingkat Balai Taman Nasional, kelompok masyarakat, stakeholder, maupun
di tingkat nasional di Ditjen KSDAE sendiri.
a) Perlu membentuk tim pakar yang ditugaskan untuk membuat dokumen FAQ (Frequently Asked Questions) tentang Kemitraan Konservasi. Dokumen FAQ berisi sejumlah
pertanyaan tentang Kemitraan Konservasi, serta jawaban yang dapat menjadi acuan bagi
Kepala Balai Taman Nasional dan stafnya.
b) Perlu ada unit/tim/mekanisme cepat tanggap di Ditjen KSDAE, yang dapat menjawab
pertanyaan-pertanyaan dari lapang terkait dengan pasal-pasal yang dianggap masih belum
jelas.
c) Direktorat Jenderal KSDAE perlu menyediakan sumberdaya yang memadai untuk
pendokumentasian dan penyebarluasan contoh kesuksesan, kegagalan dan pembelajaran dari
Kemitraan Konservasi.
d) Perlu tim pakar yang bertugas untuk merumuskan organisasi pembelajar yang berfungsi untuk
mengelola pengetahuan (knowledge management) Kemitraan Konservasi, baik untuk tingkat
pusat (Ditjen KSDAE) maupun untuk tingkat UPT di lapangan.
e) Perlu dilakukan kerja sama dengan lembaga yang berkompeten, untuk melakukan investigasi
pelaku free rider dan rantai tata niaga hasil hutan illegal, serta menyusun rencana mitigasinya
f) Menjaga agar kelima kondisi pemungkin (enabling condition) tetap ada dan dilaksanakan.
Kondisi pemungkin akan menghadirkan tokoh panutan yang dipercaya, menghilangkan
keraguan dan membuat orang tidak takut salah karena yang dilakukan adalah bagian dari
proses pembelajaran. Dalam organisasi pembelajar, kesalahan bukan untuk dihakimi tapi
untuk diperbaiki. Dengan demikian orang tidak takut untuk selalu mengikuti proses.
g) Gunakan kondisi pemungkin untuk mengurangi faktor-faktor penghambat dan memperbesar
faktor-faktor pendukung implementasi Kemitraan Konservasi.
h) Gunakan kondisi pemungkin untuk terus memastikan perubahan pengelolaan kawasan
konservasi ke arah yang lebih baik.
Kisah Sukses
Program ini telah berhasil meningkatkan kapasitas petugas Balai Taman Nasional, serta
membangkitkan motivasi dari sarjana kehutanan yang baru lulus untuk mau bekerja di lapangan
khususnya untuk mengembangkan kemitraan konservasi. Hal ini bisa diketahui dari testimony
beberapa orang petugas Taman Nasional yang menjadi peserta Pelatihan seperti Bu Silvi Lucyanti dari
Balai TN Gunung Ciremai. Menurut Bu Silvi, “Sebagai pengelola taman nasional yang melakukan
pemberdayaan masyarakat, materi pelatihan ini sangat menggali potensi saya pribadi dalam hal
pendampingan, walaupun kegiatan pemberdayaan yang dilakukan tidak selalu dalam bentuk perjanjian
kerjasama kemitraan konservasi. Dan mengantarkan saya untuk melihat bagaimana potensi kemitraan
konservasi di UPT saya”.
Ada juga Pak Junaidin, polhut dari Balai TN Tambora. Menurut Pak Junaidin, “Sebagai petugas
lapangan yg selalu bertemu dan berkomunikasi langsung dengan masyarakat, dengan materi pelatihan
ini memberikan ilmu dan strategi dalam upaya pendekatan, kerjasama dan menjalin visi bersama dalam
pengelolaan kawasan konservasi yaitu hutan Lestari masyarakat sejahtera”
Sementara itu dari Sarjana Kehutanan Universitas Kuningan (Jawa Barat), Opik Rahmadiana, ”Kita jadi
mengetahui bagaimana cara membangun kemitraan, hal-hal yang paling efektif dalam membangun
kemitraan, pentingnya partisisipasi semua pihak, merencanakan goals, target dan strategi serta output
apa yang akan dihasilkan. Selain itu monev sangat penting juga dilaksanakan dalam kemitraan
konservasi. Dan yang paling penting dalam kemitraan konservasi adalah visi bersama sehingga semua
kepentingan setiap stakeholder bisa terakomodir”.
Selain peningkatan kapasitas, Program ini juga telah berhasil mendorong dan memfasilitasi proses
penanda tanganan Perjanjian Kerja Sama (PKS) antara Balai TN Tambora dengan Kelompok
Masyarakat di Desa Kawinda Toi Nomor 412/01.PKS/XI/2019 tentang Kemitraan Konservasi
Penguatan Fungsi Berupa Pemberian Akses Pemungutan Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) Madu di
Zona Tradisional Taman Nasional Tambora. PKS ini ditandatangani oleh Kepala Balai Taman Nasional
Tambora dan Kepala Desa Kawinda Toi pada 29 November 2019. Ruang lingkup kerjasamanya,
antara lain: (1) pemetaan areal pemanenan madu; (2) perlindungan dan pengamanan Kawasan Taman
Nasional Tambora melalui kegiatan patroli dan penjagaan bersama; (3) penyusunan rencana
pelaksanaan program bersama antara Taman Nasional Tambora dan Desa Kawinda Toi; (4) fasilitasi
pengembangan kegiatan kemitraan konservasi; dan (5) menitoring dan evaluasi pelaksanaan
kerjasama.
Gambar 1. Pak Junaidin (TN Tambora) dan Muttakun (LP2DPM Dompu), pendamping lapangan,
sedang mendiskusikan Rencana Kemitraan Konservasi di TN Tambora
Gambar 2. Bu Asiah (LP2DPM Dompu) sebagai Pendamping Masyarakat Di Desa-Desa Sekitar TN
Tambora, Sedang Memaparkan Hasil Diskusi Kelompok
Gambar 3. Diskusi antara anggota kelompok (kiri dan kedua dari kiri) di Desa Kawinda Toi dengan
pendamping dari LP2DPM (Muttakun (tengah)), dan staf LATIN (Vinna (kedua dari kanan) dan Eka
(ujung kanan).
Gambar 4. Diskusi antara LATIN (Vinna dan Eka), pendamping masyarakat dari LP2DPM (Muttakun),
dengan Kepala Balai TN Tambora (Ibu Murlan Dameria Pane) dan Kepala SubBagian Tata Usaha (Pak
Deni) untuk persiapan penanda tanganan PKS
Gambar 5. Penandatanganan Perjanjian Kerja Sama (PKS) antara Kepala Balai TN Meru Betiri dengan
Ketua Kelompok dari Desa Kawinda Toi
Gambar 6. Dokumen PKS yang telah ditanda tangani oleh kedua pihak (Kepala Balai TN Tambora
dengan Ketua Kelompok dari Desa Kawinda Toi
BAGIAN II - FINANSIAL
Deskripsi Pendanaan Kegiatan Hibah
Total keseluruhan dana proyek ini presentase hibah dari Bijak seebesar 84% dan sebesar 16% dana
berasal dari Latin. Dana tersebut digunakan sepeuhnya untuk mendukung kegiatan-kegiatan. Dalam
Pelaksanaan kegiatan Pelatihan Implementasi Kemitraan Konservasi terdapat kontribusi dari peserta
yang membantu pelaksanaan kegiatan ini. Peserta tersebut berasal dari NGO yang tertarik mengikuti
kegiatan tersebut tetapi tidak masuk ke dalam skema peserta yang didanai oleh USAID BIJAK.
Ringkasan Biaya Kegiatan dan Pembayaran Hibah
Pemberian hibah jenis jumlah tetap (fixed amount award)
Dalam pengelolaan proyek, USAID BIJAK memberikan hibah jenis jumlah tetap (Fixed Amout
Award), kelebihan dari jenis hibah ini yaitu pemberi dana tidak memerlukan laporan keuangan detail.
Kekurangannya yaitu tidak ada biaya tambahan jika dalam pelaksanaan terdapat kelebihan biaya (over
budget).
Komitmen anggaran
Hibah Chemonics Total Pembayaran Milestone Variasi
Tindakan yang
Dilakukan
Milestone 1 - Rp.
115.227.000
Milestone 1 - Rp. 115.227.000 - -
Milestone 2 – Rp.
340.850.000
Milestone 2 – Rp. 340.800.000 - -
Milestone 3 – Rp.
185.800.000
Milestone 3 – Rp. 185.800.000 - -
Milestone 4 – Rp.
106.950.000
Milestone 4 – Rp. 106.950.000 - -
Milestone 5 – Rp.
84.700.000
Milestone 5 – Rp. 84.700.000 - -
Milestone 6 – Rp.
159.200.000
Milestone 6 – Rp. 159.200.000 - -
Milestone 7 – Rp.
138.700.000
Milestone 7 – Rp. 138.700.000 - -
Milestone 8 – Rp.
216.400.000
Milestone 8 – Rp. 216.400.000 - -
Milestone 9 – Rp.
32.150.000
Milestone 9 – Rp. 32.150.000 - -
Total Rp 1.379.977.000 Total: Rp 1.379.977.000 - -
Penjelasan Biaya yang Lebih Tinggi atau Lebih Rendah Daripada yang
Diantisipasi
Dalam menjalankan dana hibah ini, tidak terdapat variasi biaya secara signifikan dari total anggaran.
Variasi yang terjadi adalah jika di salah satu pos anggaran mengalami kekurangan dana, maka dapat
diselesaikan menggunakan dana dari pos anggaran yang mengalami kelebihan. Sistem subtitusi ini
dilakukan dengan sepengetahuan Project Coordinator serta membantu dalam hal fleksibilitas
pelaksanaan program.
Pada saat proses penerimaan dana hibah, ada beberapa modifikasi yang dilakukan. Modifikasi tersebut
sebagai berikut:
1. Modifikasi 01
Dilakukan untuk menyesuaikan dengan recana program BIJAK pada awal tahun 2019. Hasil
dari modifikasi ini adalah penyesuaian jumlah dana yang dibayarkan dan tanggal jatuh tempo.
Dalam modifikasi ini tidak ada pemotongan atau penambahan anggaran.
2. Modifikasi 02
LATIN meminta perpanjangan jatuh tempo kontrak sebab ada beberapa kegiatan seperti
kegiatan monitoring dan mentoring PKS dan penyelesaian laporan akhir yang memerlukan
perpanjangan waktu. Amandemen kontrak memperpanjang tanggal kontrak dari tanggal 16
Desember 2019 menjadi 30 Desember 2019. Dalam modifikasi ini tidak terdapat
pemotongan atau penambahan anggaran.
3. Modifikasi 03
Untuk memberikan kecukupan waktu dalam menyelesaikan Laporan Akhir Proyek, maka
kontrak diperpanjang ke 30 Januari 2020 dan mengubah tanggal jatuh tempo Milestone #9
(milestone terakhir) menjadi tanggal 8 Januari 2020.
top related