menumbuhkan paradigma kemitraan konservasi untuk …

63
Menumbuhkan Paradigma Kemitraan Konservasi untuk Mendukung Implementasi Perdirjen KSDAE tentang Kemitraan Konservasi Laporan Akhir Proyek Lembaga Alam Tropika Indonesia (LATIN) Perjanjian Hibah No. : TT1.1-GRA-C1-1 Periode Pelaksanaan Hibah: December 1, 2018 sampai dengan Januari 30, 2020 24 Desember 2019 Publikasi ini disusun oleh Lembaga Alam Tropika Indonesia (LATIN) untuk Chemonics International untuk kegiatan yang diselesaikan berdasarkan Kontrak No.. AID-497-TO-16-00002

Upload: others

Post on 01-Nov-2021

9 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Menumbuhkan Paradigma Kemitraan Konservasi untuk …

Menumbuhkan Paradigma Kemitraan

Konservasi untuk Mendukung Implementasi

Perdirjen KSDAE tentang Kemitraan

Konservasi

Laporan Akhir Proyek

Lembaga Alam Tropika Indonesia (LATIN)

Perjanjian Hibah No. : TT1.1-GRA-C1-1

Periode Pelaksanaan Hibah: December 1, 2018 sampai dengan Januari 30, 2020

24 Desember 2019

Publikasi ini disusun oleh Lembaga Alam Tropika Indonesia (LATIN) untuk Chemonics International

untuk kegiatan yang diselesaikan berdasarkan Kontrak No.. AID-497-TO-16-00002

Page 2: Menumbuhkan Paradigma Kemitraan Konservasi untuk …

MENUMBUHKAN PARADIGMA KEMITRAAN

KONSERVASI UNTUK MENDUKUNG IMPLEMENTASI

PERDIRJEN KSDAE TENTANG KEMITRAAN

KONSERVASI

Laporan Akhir Proyek

Lembaga Alam Tropika Indonesia (LATIN)

Perjanjian Hibah No. : TT1.1-GRA-C1-1

Periode Pelaksanaan Hibah: December 1, 2018 sampai dengan Januari 30, 2020

24 Desember 2019

Pernyataan:

Laporan ini dimungkinkan oleh dukungan Rakyat Amerika melalui Badan Pembangunan Internasional

Amerika Serikat (USAID). Isi dari Laporan Akhir Program Menumbuhkan Paradigma Kemitraan

Konservasi Untuk Mendukung Implementasi Perdirjen KSDAE tentang Kemitraan Konservasi ini

merupakan tanggung jawab penuh Lembaga Alam Tropika Indonesia (LATIN) dan tidak

mencerminkan pandangan USAID atau Pemerintah Amerika Serikat

Page 3: Menumbuhkan Paradigma Kemitraan Konservasi untuk …

DAFTAR ISI

Page 4: Menumbuhkan Paradigma Kemitraan Konservasi untuk …

DAFTAR SINGKATAN

Akronim Definisi

AMAN Aliansi Masyarakat Adat Nasional

AMATT Aliansi Masyarakat Adat Tiwu Telu

ANTAM Aneka Tambang

ARC-KPA Agrarian Research Center -Konsorsium Pembaruan Agraria

BAPPEKAB Badan Perencanaan dan Pembangunan Kabupaten

Bappelitbang Badan Perencanaan Pembangunan, Penelitian dan Pengembangan

BNF Borneo Nature Foundation

BP2SDM Badan Penyuluhan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia

BPEE Bina Pengelolaan Ekosistem Esensial

BRWA Badan Registrasi Wilayah Adat

BTN Balai Taman Nasional

BTNBW Balai Taman Nasional Bogani Nani Wartabone

BTNGL Balai Taman Nasional Gunung Leuser

BTNGT Balai Taman Nasional Gunung Tambora

BUMDES Badan Usaha Milik Desa

BUMN Badan Usaha Milik Negara

CARE Lembaga swadaya masyarakat internasional bergerak di bidang

kemanusian untuk memerangi kemiskinan global

CIFOR Center for International Forestry Research

CIMTROP Center for International Cooperation in Sustainable Management of

Tropical Peatland

DELTA API Desa Ekologis Tangguh dan Adaptif Perubahan Iklim

Dirjen PHKA Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam

Disbudpar Dinas Kebudayaan dan Pariwisata

DISPERINDAG Dinas Perindustrian dan Perdagangan

DKN Dewan Kehutanan Nasional

DP3K Dewan Pembina dan Pengendali Pengelolaan Kolaboratif

E-PASS Enhancing the Protected Area System

FAQ Frequently Asked Questions

FGD Focus Group Disccusion

FKKGC Forum Kemitraan Kawasan Lindung Gunung Ciremai

FKKM Forum Komunikasi Kehutanan Masyarakat

FKM Forum Komunikasi Masyarakat

FoMMA Forum Musyawarah Masyarakat Adat

GEF Global Environment Facility

GPS Global Positioning System

HHBK Hasil Hutan Bukan Kayu

Hkm Hutan Kemasyarakatan

IFC International Finance Corporation

IPB Institut Pertanian Bogor

Page 5: Menumbuhkan Paradigma Kemitraan Konservasi untuk …

Akronim Definisi

IUCN International Union for Conservation of Nature

IUPSWA Izin Usaha Penyediaan Sarana Wisata Alam

JAKETRESI Jaringan Kerja Petani Rehabilitasi Ekosistem

JICA Japan International Cooperation Agency

Kabid Kepala Bidang

KADES Kepala Desa

KAIL Konsorsium Alam Indonesia Lestari

Kalteng Kalimantan Tengah

KAPATA Komunita Pecinta Alam Tambora

KCMI Komodo Collaborative Management Initiative

KPA Kawasan Pelestarian Alam

KPDN Kawasan Pengelolaan Desa Nyamuk

KPE Kelompok Pengelola Ekowisata

KPH Kesatuan Pengelolaan Hutan

KPK Komite Pengelolaan Kolaborasi

Kpts Keputusan

KSA Kawasan Suaka Alam

KSDAE Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem

KSHE Fahutan IPB Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekosistem Fakultas Hutan Institut

Pertanian Bogor

KSM Kelompok Swadaya Masyarakat

KTHK Kelompok Tani Hutan Konservasi

KTHR Kelompok Tani Hutan Rakyat

LATIN Lembaga Alam Tropika Indonesia

LP2DPM Lembaga Pengkajian Pembangunan Daerah dan Pengkajian Masyarakat

LPP Lembaga Pemberdayaan Perempuan

LSM Lembaga Swadaya Masyarakat

Menhut Menteri Kehutanan

MKK Model Kampung Konservasi

MoU Memorandum of Understanding

MPGC Mitra Pengelola Wisata Gunung Ciremai

MPTS Multy Purpose Tree Species

NGO Non Goverment Organization

NKB Nota Kesepahaman Bersama

NPK Nota Perjanjian Kerjasama

ODTWA Obyek Daya Tarik Wisata Alam

PAAP Pengelolaan Akses Area Perikanan

PAD Pendapatan Asli Daerah

Pangkep Pangkajene Kepulauan

PEH Pengendali Ekosistem Hutan

Perdirjen Peraturan Direktur Jenderal

PINTAR Paket Insentif untuk Petani Rehabilitasi

Page 6: Menumbuhkan Paradigma Kemitraan Konservasi untuk …

Akronim Definisi

PKKBM Pengelolaan Kawasan Konservasi Bersama Masyarakat

PKS Perjanjian Kerjasama

PLN Perusahaan Listrik Negara

PMDH PT RMU Pembangunan Masyarakat Desa Hutan Perseroan Terbatas Rimba

Makmur Utama

PMDN Penanaman Modal Dalam Negeri

PNBP Penerimaan Negara Bukan Pajak

Pokdarwis Kelompok Sadar Wisata

Pokmas Kelompok Masyarakat

PP Peraturan Pemerintah

PSKL Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan

PT DIGDAYA Konsultan untuk pengembangan sumber daya manusia

PT KWE Perseroan Terbatas Komodo Wildlife Ecotourism

PT PNK Perseroan Terbatas Putri Naga Komodo

PT SKL Perseroan Terbatas Segara Komodo Lestari

Puskesmas Pusat Kesehatan Masyarakat

Rakornis Rapat Koordinasi Teknis

RARE Lembaga swadaya masyarakat internasional bergerak di bidang

kemanusian untuk perikanan

RBM Resort Based Management

RECOFTC Regional Community Forestry Training Center

RKT Rencana Kerja Tahunan

RMI Rimbawan Muda Indonesia

RPJMN Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional

RPP Rencana Pelaksanaan Program

RPTNKM Rencana Pengelolaan Taman Nasional Kayan Mentarang

SK Surat Keputusan

SMART Spatial Monitoring and Reporting Tool

SOP Standar Operasional Prosedur

SPK Surat Perjanjian Kerjasama

SPKP Sentra Penyuluhan Kehutanan Pedesaan

SPTN 2 BTNGC Seksi Pengelolaan Taman Nasional 2 Balai Taman Nasional Gunung

Ciremai

STKIP Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan

TN Taman Nasional

TNC The Nature Conservancy

TNGHS Taman Nasional Gunung Halimun Salak

TNKJ Taman Nasional Karimun Jawa

TNMB Taman Nasional Meru Betiri

TORA Tanah Obyek Reformasi Agraria

TU BTNGC Tata Usaha Balai Taman Nasional Gunung Ciremai

UNESCO United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization

Page 7: Menumbuhkan Paradigma Kemitraan Konservasi untuk …

Akronim Definisi

UNIKU Universitas Kuningan

UNKRIP Universitas Kristen Palangka Raya

UPT Unit Pelaksanaan Teknis

USAID BIJAK United States Agency for International Development Bangun Indonesia

untuk Jaga Alam demi Berkelanjutan

WCS Wildlife Conservation Society

WGII Working Group ICCAs Indonesia

WWF Word Wild Fund

Page 8: Menumbuhkan Paradigma Kemitraan Konservasi untuk …

BAGIAN I – TEKNIS

Ringkasan Tujuan dan Sasaran Program

Tujuan akhir dari Program kegiatan LATIN adalah setelah proyek ini selesai, pengelola KSA-KPA akan

mendukung pelaksanaan Perdirjen Kemitraan Konservasi setelah memperoleh informasi tentang best

practice/ lessons learned dan informasi tentang hasil uji coba pelatihan implementasi Kemitraan

Konservasi berdasarkan rencana Kemitraan yang dibuat secara partisipatif bersama stakeholder.

Ada 3 tujuan kegiatan hibah yang diusulkan, yaitu:

• Tujuan 1. Terbangunnya dukungan dari pengelola KSA dan KPA untuk implementasi

Kemitraan Konservasi dalam pengelolaan KSA dan KPA

• Tujuan 2. Tersusunnya rencana Kemitraan Konservasi di salah satu Taman Nasional di

antara tiga Taman Nasional berikut ini: TN Gunung Tambora , TN Meru Betiri,

atau TN Gunung Halimun Salak

• Tujuan 3. Meningkatnya kapasitas staf pengelola KSA dan KPA untuk mengimplementasikan

rencana Kemitraan Konservasi

Kegiatan Yang Diharapkan Dapat Diselesaikan Berdasarkan Program Kegiatan LATIN

adalah:

1) Aktivitas untuk Mencapai Tujuan 1:

Aktivitas 1: Wawancara (indepth interview) di Enam Taman Nasional

Kegiatan ini bertujuan untuk memetakan lebih detail tentang tanggapan dari pengelola 6

Taman Nasional terhadap Perdirjen KSDAE tentang Kemitraan Konservasi.

Aktivitas 2: FGD (Focus Group Discussion)

Kegiatan FGD bertujuan untuk menggali tanggapan stakeholder yang terkait dengan

pengelolaan 6 Taman Nasional seperti disebut pada A.1. Stakeholder yang dipilih di setiap

lokasi Taman Nasional adalah kelompok masyarakat, akademisi, pemerintah daerah, dan

pengusaha (terutama yang menjadi mitra Taman Nasional).

Aktivitas 3: Studi Literatur

Kegiatan studi literatur bertujuan untuk mendokumentasikan pembelajaran (lessons learned)

dan best practices dari berbagai model Kemitraan Konservasi yang sudah dilaksanakan oleh

Taman Nasional di Indonesia.

Aktivitas 4: Lokakarya Penyusunan Strategi Komunikasi

Lokakarya bertujuan untuk menyusun dokumen yang berisi pesan kunci (key messages) yang

harus disampaikan melalui cara-cara penyampaian yang tepat kepada target sasaran yang

dituju, yaitu para pihak yang menolak Perdirjen KSDAE tentang Kemitraan Konservasi,

sehingga target sasaran bisa berubah sikapnya menjadi mendukung. Bahan untuk menyusun

dokumen Strategi Komunikasi berasal dari hasil indepth interview dan FGD yang dilakukan di

6 Taman Nasional.

Aktivitas 5: Lokakarya Penyampaian Key Message (Policy brief, Hasil Lokakarya Strategi Komunikasi)

Lokakarya bertujuan untuk menyampaikan hasil Lokakarya Strategi Komunikasi berupa policy

brief, termasuk best practice dan lessons learned, kepada Dirjen KSDAE dan jajarannya di

Page 9: Menumbuhkan Paradigma Kemitraan Konservasi untuk …

kantor pusat Jakarta, dan akan mengundang beberapa Pengelola Taman Nasional yaitu TN

Gunung Gede-Pangrango, TN Ujung Kulon dan TN Kepulauan Seribu. Ketiga Taman

Nasional tersebut diundang karena lokasinya di Jawa Barat, Banten dan DKI Jakarta, dan

sudah mengembangkan kemitraan konservasi dengan modelnya masing-masing.

2) Aktivitas untuk Mencapai Tujuan 2:

Aktivitas 6: Lokakarya Penyusunan Rencana Implementasi Kemitraan Konservasi

Lokakarya bertujuan untuk memfasilitasi pengelola dan stakeholder di 3 Taman Nasional

untuk mendiskusikan rencana implementasi Kemitraan Konservasi jangka pendek, jangka

menengah dan jangka panjang. Ketiga Taman Nasional yang dipilih adalah Taman Nasional

Gunung Halimun-Salak, TN Gunung Tambora dan TN Meru Betiri.

3) Aktivitas untuk Mencapai Tujuan 3:

Aktivitas 7: Lokakarya Penyusunan Modul Pelatihan Implementasi Kemitraan Konservasi

Workshop bertujuan untuk mempersiapkan bahan-bahan pelatihan yang mencakup Session

Plan, metode atau teknik penyampaian materi, bahan bacaan, referensi, alat dan bahan yang

harus disiapkan. Workshop akan dihadiri oleh panitia dari LATIN, fasilitator dan mentor.

Aktivitas 8: Pelatihan Implementasi Kemitraan Konservasi

Pelatihan ini bertujuan untuk meningkatkan kapasitas petugas lapang dalam implementasi

rencana Kemitraan Konservasi yang sudah disusun pada Kegiatan B.1. Peserta yang akan

terlibat adalah peserta yang mengikuti workshop penyusunan rencana Kemitraan Konservasi.

Aktivitas 9: Monitoring dan Mentoring

Kegiatan ini bertujuan untuk memantau tindak lanjut dari pelatihan Kemitraan Konservasi

yang telah dilakukan. Beberapa hal penting yang akan dipantau adalah sejauh mana langkah-

langkah yang sudah dilakukan untuk membangun Kemitraan? Apa kendala yang dihadapi dan

bagaimana solusinya? Apabila sudah tercapai kesepakatan Kemitraan, bagaimana proses

legalitasnya? Apakah akan dibuat MoU atau melalui proses perijinan kerjasama? Dan apa

alasan atau argumentasi memilih MoU atau perijinan atau mekanisme lainnya?

Ringkasan Pencapaian Program Kegiatan LATIN

a. Aktivitas 1.: Wawancara (indepth interview) Yang Dilakukan LATIN di Enam Taman Nasional

Kegiatan indepth interview dilakukan dengan tujuan untuk memetakan lebih detail tentang

tanggapan dari pengelola 6 Taman Nasional terhadap Perdirjen KSDAE tentang Kemitraan

Konservasi.

Kegiatan indepth interview dilakukan di TN Sebangau, TN Gunung Halimun Salak, TN Gunung

Ciremai, TN Meru Betiri, TN Gunung Tambora, TN Kelimutu. Kegiatan dilaksakan pada periode

antara bulan Desember 2018 sampai dengan Maret 2019. LATIN mengirimkan tim peneliti ke

setiap Taman Nasional untuk melakukan indepth interview. Setiap tim terdiri atas peneliti yang

berasal dari Bogor dan asisten peneliti yang berasal dari daerah sekitar Taman Nasional yang

dituju. Stakeholder yang diwawancara terdiri atas pengelola Taman Nasional, kelompok

masyarakat sekitar Taman Nasional, pengusaha swasta yang menjadi mitra Taman Nasional,

perguruan tinggi atau lembaga penelitian, dan LSM pendamping masyarkat. Jumlah total

stakeholder yang diwawancara adalah 74 orang, terdiri atas 56 laki-laki dan 18 orang perempuan.

Lebih rinci sebagaimana dalam tabel berikut:

Page 10: Menumbuhkan Paradigma Kemitraan Konservasi untuk …

Taman

Nasional

Waktu

Interview

Peserta yang Di-

interview Temuan Utama

TN Sebangau 3 – 14 Januari

2019

1. Sendy – WWF Kalteng

2. Bappelitbang Kalteng

3. Novi, staf Kemitraan

TN Sebangau

4. Yusurum Jagau, Kepala

CIMTROP

5. Anggodo, Kepala Balai

TN Sebangau

6. Hendro, PLT Sekretaris

Disbudpar Kalteng

7. Lukas, Dosen UNKRIP

8. Mamun, staf WWF

Kalteng

9. Kades Desa Karuing

10. Agnes, BNF

11. Dadang, WWF Kalteng

12. Jeki, Ketua Simpul

Wisata Punggualas

13. Heru, staf PMDH PT

RMU

Pengelola Balai TN Sebangau sudah

mengetahui, memahami dan mendukung

Perdirjen KSDAE No. 6 tahun 2018 tentang

Kemitraan Konservasi.

Kekuatiran para stakeholder: jangan sampai

Perdirjen No. 6/2018 ditafsirkan sebagai

membuka pintu bagi masyarakat untuk

membuka hutan di Taman Nasional. Ini juga

merupakan tantangan eksternal karena ada

kekuatiran masuknya mantan illegal logger

karena Perdirjen disalah tafsirkan sebagai

peluang untuk kembali masuk ke hutan.

Sedangkan tantangan internal di Balai TN

Sebagau yang dihadapi antara lain adanya

anggapan bahwa Kemitraan Konservasi

dibebani target luas yang harus dicapai,

sehingga dikuatirkan tujuan Kemitraan

Konservasi menjadi terabaikan.

TN Gunung

Ciremai

7 – 18 Januari

2019

1. Deni, Dosen Fahutan

UNIKU

2. Jamhari, Kabid

Konservasi Dinas

Lingkungan Hidup Kab.

Kuningan

3. Bu Eka, Kabid Ekonomi

Bappeda Kab. Kuningan

4. Ali Zainal Muttakin,

Kepala Kebun Raya

Kuningan

5. Rizal, Kasubag TU

BTNGC

6. Nissa, staf BTNGC

7. Jaja, Kasie SPTN 2

BTNGC

8. Sanusi WK dan

Sulistiyono (Forum

CIremai)

9. Dedi, karyawan

pemanfaat air

10. Eros Rosmanah dan

Wawan Hermawanto

(anggota Koperasi

Agung Lestari)

11. Mumu (Dinas Pariwisata

dan Budaya)

Pengelola Balai TN Gn. Ciremai sudah

mengetahui Perdirjen KSDAE No. 6 tahun

2018 tentang Kemitraan Konservasi, dan

sudah memahami isi Perdirjen tsb. Menurut

mereka, bentuk kegiatan yang diatur dalam

Perdirjen tsb. khususnya pemungutan

HHBK, perburuan tradisional, dan budidaya

tradisional, tidak bisa dilaksanakan di

kawasan TN Gn. Ciremai, karena semua

kegiatan tsb. hanya dapat dilakukan di zona

tradisional, sementara di kawasan TN Gn.

Ciremai tidak ada zona tradisional.

Pengelola Balai TN Gn. Ciremai menginkan

agar pemberdayaan masyarakat dilakukan

dengan cara melanjutkan kerjasama yang

sudah ada, khususnya dalam pengembangan

wisata alam (ODTWA/Obyek Daya Tarik

Wisata Alam). Kerjasama pengelolaan

ODTWA di Balai TN Gn. Ciremai dilakukan

dengan skema perijinan, dan sampai

sekarang sudah ada 64 izin yang sudah

dikeluarkan. Walaupun demikian, kegiatan

pengembangan ODTWA baru dapat

menyerap 25% mantan penggarap lahan di

dalam kawasan TN Gn. Ciremai.

Perlu ada pembekalan untuk meningkatkan

kapasitas staf Balai TN Gn. Ciremai untuk

melakukan proses sosialisasi yang lebih

tepat, melakukan kajian, menyusun rencana

kerjasama secara partisipatif, dan

memfasilitasi pelaksanaannya. Peningkatan

Page 11: Menumbuhkan Paradigma Kemitraan Konservasi untuk …

Taman

Nasional

Waktu

Interview

Peserta yang Di-

interview Temuan Utama

kapasitas juga dilakukan terhadap

masyarakat dan Pemerintah Daerah.

TN Meru

Betiri

10 – 19 Januari

2019

1. Ir. Kholid Indarto,

Kepala Balai TN Meru

Betiri

2. Siti Maimunah,

Kelompok Wanita Tani

Sumber Waras, Desa

Curahnongko

3. Sunarsih, Kelompok

Wanita Tani Sumber

Waras, Desa

Curahnongko,

4. Sugiri, Kelompok Tani

Mekar Sari I dan Ketua

Jaringan Kerja Petani

Rehabilitasi Ekosistem

(JAKETRESI),

5. Sugiatno, Fungsional

Penyuluh Dinas

Perindutrian dan

Perdagangan

(DISPERINDAG)

Kabupaten Jember,

6. Ir. Khairun Nisa, Kepala

Sub Bagian Tata Usaha

TNMB

7. Andri Purnomo, ST,

MSi, Kepala Bidang

Sosial Budaya Badan

Perencanaan dan

Pembangunan

Kabupaten (BAPPEKAB)

Jember

8. Dra. Titin Swastinah,

MS, MM, Dosen Univ.

Islam Jember

9. Supari, Pengusaha

Pergangan Hasil Tani,

Desa Sanenrejo

10. Yuliatin, Pendamping

Desa Sanenrejo

11. Abdul Halim Fanani,

Anggota dan Pendiri

Konsorsium Alam

Indonesia Lestari (KAIL)

Pengelola Balai TN Meru Betiri sudah

(TNMB) tahu dan paham isi Perdirjen No. 6

tahun 2018 tentang Kemitraan Konservasi.

Kemitraan Konservasi belum menjadi isu

utama di TNMB. Pengelola Balai TNMB

sudah melakukan kerjasama dengan

masyarakat sebelum ada Perdirjen, dan

sudah menanda tangani Surat Perjanjian

Kerjasama (SPK) dengan 3 kelompok

masyarakat dalam pemanfaatan HHBK buah

durian, berdasarkan PermenLHK No. 43

tahun 2017 tentang Pemberdayaan

Masyarakat.

Tantangan yang dihadapi adalah ada 10 desa

sebagai desa penyangga di TNMB yang

sebagian besar masyarakat di tiap desa masih

menggantungkan mata pencarian dan

kehidupan mereka kepada kawasan.

TN Kelimutu 15 – 26 Januari

2019

1. Agus Persada Sitepu,

Kepala Balai TN

Kelimutu

Pengelola Balai TN Kelimutu sudah

mengetahui dan memahami isi Perdirjen No.

6 tahun 2018 tentang Kemitraan Konservasi.

Page 12: Menumbuhkan Paradigma Kemitraan Konservasi untuk …

Taman

Nasional

Waktu

Interview

Peserta yang Di-

interview Temuan Utama

2. Wempi, Ketua SPKP

Desa Wologai Tengah

3. Paul Kedang, Kepala

Resort Niowula Balai

TN Kelimutu

4. Kuswoyo, Kepala

Resort Wologai, Balai

TN Kelimutu

5. Yoseph Dasi Muda,

Kepala KPH Ende

6. Christiana Sri Murni,

Dekan Fakultas Hukum

Universitas Flores

7. Ibu Is, Kepala Seksi

Pemeliharaan

Lingkungan Hidup

Badan Lingkungan

Hidup Daerah

Kabupaten Ende

8. Filipus Kami, Ketua

AMAN Nusa Bunga

9. Don Watu, Ketua

Forum Mosalaki

10. Hubertus Pango, Ketua

KSM Desa Niowula

11. Ibu Metty Wasa, Kepala

Kantor Yayasan

Tananua Flores

12. Alexander, Ketua

Kelompok Desa Adat

Saga

Pengelola Balai TN Kelimutu sudah siap

untuk menerapkan Perdirjen ini, karena

sebelumnya mereka baru menyelesaikan

identifikasi konflik dan potensi kerjasama

dengan masyarakat di sekitar TN Kelimutu

sebagai bahan untuk menerapkan Resort

Based Management (RBM).

Pada bulan Oktober 2018 telah ada 4

Perjanjian Kerja Sama (PKS) yang ditanda

tangani Kepala Balai TN Kelimutu dengan 4

desa.

TN Gunung

Tambora

21 Jan – 2 Feb

2019

1. Deni Suprianto, Staff

Perencanaan Balai

Taman Nasional

Tambora (BTNT).

2. Pak Ilyas, Akademisi

dari STKIP Yapen,

Dompu

3. Deni Rahadi, Ka TU

Balai TN Tambora

4. Evi Susanti, LPP

Baranusa (LSM)

5. Sulastri, Kelompok

Perempuan DELTA API

6. KAPATA (binaan BTN

Gn Tambora)

Informasi tentang adanya Perdirjen No. 6

tahun 2018 tentang Kemitraan Konservasi

belum diketahui secara merata oleh

Pengelola Balai TN Gn. Tambora. Dengan

demikian belum semua paham isi Perdirjen

tsb. Walaupun demikian isiatif untuk

membina kelompok-kelompok masyarakat

sudah dilakukan, walaupun belum dalam

bentuk perjanjian kerjasama. Pengelola Balai

TN Gn. Tambora ingin mendorong

penerapan Perdirjen dan ada rencana untuk

melakukan kajian untuk mengidentifikasi

obyek kemitraan konservasi di TN Gn.

Tambora, termasuk profil calon pelaku

Kemitraan Konservasi. Namun Pengelola

Balai TN Gn. Tambora masih memerlukan

informasi tentang contoh-contoh

pelaksanaan Kemitraan Konservasi di lokasi

lain.

Page 13: Menumbuhkan Paradigma Kemitraan Konservasi untuk …

Taman

Nasional

Waktu

Interview

Peserta yang Di-

interview Temuan Utama

7. Syaiful Buhari, Ketua

Asosiasi Guide – Porter

Jalur Pancasila

8. Kamsul, Pengusaha

Home Stay, Dusun

Pancasila, Desa

Tambora, Kecamatan

Pekat

9. Kemal, Penggiat Kopi di

Dusun Pancalisa

10. Adiman, Delta Api

11. Khaerul Insan, Kadis

Kebudayaan dan

Pariwisata Kab. Dompu

12. Asiah dan Supar-man

(LP2DPM)

Kemitraan Konservasi dapat diterapkan di

TN Gn. Tambora apabila keraguan

Pengelola Balai TN Gn. Tambora sudah bisa

dihilangkan. Untuk itu perlu diadakan

diskusi mendalam dengan seluruh staf Balai

TN Tambora tentang isi Perdirjen No. 6

tahun 2018 dan disertai dengan contoh-

contoh dari tempat lain.

TN Gunung

Halimun Salak

21 Jan – 2 Feb

2019

1. Nuroddin (ex. kades

desa Kiarasari)

2. Anwar (KTHR desa

Kiarasari)

3. Ceceng (pendamping

masyarakat Desa

Kiarasari)

4. Ceceng (Kiarasari)

5. Yaya (Curug Bitung)

6. Dudi (Seksi II Bogor

TNGHS)

7. Erlan (Balai TNGHS)

8. Fahmi Hakim

(Akademisi, IPB)

9. Nandi (Akademisi IPB)

10. Sutrisno (FKKM)

11. RMI

12. Yandi (ANTAM)

13. Endri (Bappedalitbang

Kabupaten Bogor)

Pengelola Balai TN Gn. Halimun Salak

(TNGHS) sudah mengetahui dan memahami

Perdirjen No. 6 tahun 2018 tentang

Kemitraan Konservasi. Bagi Pengelola

TNGHS, kemitraan atau kerjasama dengan

masyarakat telah lama dilakukan sebagai

upaya untuk mengatasi konflik pemanfaatan

lahan di dalam kawasan TNGHS. Pengelola

TNGHS berpendapat bahwa Perdirjen ini

memperkuat inisiatif kerjasama yang telah

dilakukan, antara lain mencairkan

komunikasi dengan masyarakat. Namun di

sisi lain ada kekuatiran juga, terjadi

pemahaman yang kurang tepat sehingga

masyarakat menganggap lahan objek

kemitraan konservasi menjadi lahan milik,

sehingga lahan tersebut bisa dijual atau

diagunkan.

Sebenarnya kekuatiran di atas tidak perlu

terjadi, karena program MKK (Model

Kampung Konservasi) di Desa Sukagalih

yang telah dilakukan sejak 2005 telah

berhasil, dimana masyarakat mengembalikan

lahan yang telah digarap dan kemudian

direhabilitasi menjadi hutan kembali, seluas

10 ha dan dikembalikan kepada Balai

TNGHS. Pembelajaran dari berbagai

kerjasama yang telah dilakukan menjadi

modal yang kuat bagi Pengelola Balai

TNGHS untuk menerapkan Perdirjen No. 6

tahun 2018.

Pengelola Balai TNGHS sudah

mengidentifikasi lokasi untuk Kemitraan

Konservasi, termasuk obyek dan calon

pelaku. Beberapa di antaranya adalah

pengelolaan obyek wisata alam di Desa

Page 14: Menumbuhkan Paradigma Kemitraan Konservasi untuk …

Taman

Nasional

Waktu

Interview

Peserta yang Di-

interview Temuan Utama

Kiarasari, Kabupaten Bogor, dan juga

pemanfaatan HHBK getah pinus di beberapa

tempat di Kabupaten Lebak dan Bogor.

Selain itu, perlu dilakukan peningkatan

kapasitas baik bagi staf Balai TNGHS dan

masyarakat agar implementasi Kemitraan

Konservasi dapat berjalan lancar.

Pelibatan Stakeholder: Informasi tentang stakeholder yang perlu diwawancara, diperoleh dengan

metode wawancara snowball, dimana informasi tentang siapa yang harus diwawancarai berasal

dari informan yang telah diwawancara sebelumnya.

Hasil: Kegiatan indepth interview di 6 Taman Nasional telah menghasilkan keragaman tanggapan

dari Pengelola Taman Nasional terhadap kebijakan Kemitraan Konservasi. Dari keenam

Pengelola Taman Nasional, tidak ada satu pun yang menyatakan tidak setuju atau menolak

kebijakan Kemitraaan Konservasi. Namun bisa disimpulkan bahwa ada yang resisten, ada yang

ingin mencari kejelasan terlebih dahulu (eksplorasi) dan ada yang berkomitmen untuk

melaksanakan Kemitraan Konservasi di lapangan.

Diantara Taman Nasional yang resisten adalah TN Gunung Ciremai, karena memberi tanggapan

bahwa “Tidak semua isi Perdirjen dapat diterapkan di TN Gn. Ciremai. Kegiatan perburuan

tradisional, budidaya tradisional dan pemungutan HHBK tidak dapat dilakukan karena di TN Gn.

Ciremai tidak ada zona tradisional.”

Diantara Taman Nasional yang berkomitmen untuk melaksanakan Kemitraan Konservasi adalah

TN Kelimutu. Hal ini bisa terlihat dari inisiatif Pengelola TN Kelimutu untuk memfasilitasi

pengusulan Perjanjian Kerja Sama dengan 4 desa, yaitu Desa Saga, Desa Niowula, Desa Nduaria

dan Desa Wologai Tengah.

Sedangkan Diantara Taman Nasional yang masih mencari informasi yang lebih jelas adalah TN

Sebangau, TN Meru Betiri dan TN Gunung Halimun Salak. Ketiganya masih memiliki sejumlah

kekuatiran terhadap kemungkinan dampak yang akan terjadi apabila kebijakan Kemitraan

Konservasi diterapkan di lapangan. Sejumlah kekuatiran yang muncul adalah penafsiran keliru

tentang Kemitraan Konservasi, membuka kembali peluang terjadinya perambahan, illegal logging,

ketidakseimbangan fungsi terkait dengan jenis tanaman budidaya, kapasitas SDM, tingginya

kecemburuan sosial di masyarakat, lemahnya kerjasama para pihak, individualisme di masyarakat,

lemahnya jejaring pendanaan, target oriented terkait luas

Hasil dari kegiatan ini bersama dengan hasil FGD dijadikan bahan untuk membuat policy brief

yang akan disampaikan kepada Dirjen KSDAE sebagai feedback dari lapangan untuk perbaikan

kebijakan Kemitraan Konservasi.

b. Aktivitas 2: FGD (Focus Group Discussion) Yang Difasilitasi LATIN

Kegiatan FGD merupakan tindak lanjut dari indepth interview, dan secara spesifik bertujuan

untuk menggali tanggapan stakeholder yang terkait dengan pengelolaan 6 Taman Nasional,

khususnya terkait dengan peluang dan tantangan dalam mengimplementasikan Perdirjen KSDAE

tentang Kemitraan Konservasi.

Kegiatan Focus Group Discussion (FGD) dilaksanakan bersamaan waktunya dengan kegiatan

indepth interview, yaitu pada periode antara bulan Desember 2018 sampai dengan Maret 2019.

Dalam FGD, peneliti pada kegiatan indepth interview berganti peran menjadi fasilitator FGD.

Kegiatan dilaksanakan di 6 Taman Nasional, sama dengan lokasi indepth interview. Total jumlah

peserta adalah 176 orang, terdiri atas 143 laki-laki dan 33 orang perempuan. Peserta berasal dari

berbagai stakeholder, yaitu masyarakat lokal, LSM lokal atau LSM yang menjadi mitra Taman

Page 15: Menumbuhkan Paradigma Kemitraan Konservasi untuk …

Nasional, perguruan tinggi setempat, perusahaan yang menjadi mitra Taman Nasional, serta staf

Taman Nasional (bisa Kepala Resort, Polhut, Staf Tata Usaha sampai Kepala Taman Nasional).

Table 2. FGD Yang Difasilitasi LATIN di 6 Taman Nasional

Taman

Nasional

Waktu

FGD Peserta Temuan Utama

TN Sebangau 15 – 16

Januari 2019

24 orang terdiri atas 24 laki-

laki dan 6 perempuan, berasal

dari Balai TN Sebangau, Dinas

Kebudayaan dan Pariwisata

Kalteng, Universitas Palangka

Raya, Universitas Kristen

Palangka Raya, WWF, Lestari,

LATIN, Bappeda Kabupaten

Katingan, Simpul Wisata

Karuing, Pemdes Karuing,

BUMDES Karuing, PMDH

Stakeholder berpendapat bahwa pada

mulanya, pengelolaan Taman Nasional

(TN) Sebangau tertutup, tidak melibatkan

masyarakat sehingga terjadi konflik dengan

masyarakat, dan masyarakat menolak

keberadaan TN Sebangau. Kemudian

dengan fasilitasi WWF, masyarakat mulai

diperkenalkan dengan kegiatan wisata

sebagai sumber pendapatan alternatif, dan

Pengelola TN Sebangau memfasilitasi

masyarakat untuk studi banding ke

beberapa Taman Nasional lain, sehingga

kerjasama dalam pengelolaan wisata di TN

Sebangau mulai berjalan. Namun

dukungan dari pihak pemerintah daerah

dan swasta masih belum maksimal. Pemda

masih mencari peluang untuk

meningkatkan PAD dari kegiatan wisata di

TN Sebangau. Sementara pihak swasta

masih belum banyak diajak kerjasama oleh

pengelola TN Sebangau.

Terbitnya Perdirjen No. 6/2018 disikapi

stakeholder dengan beragam pandangan.

Pihak perguruan tinggi, lembaga penelitian

dan masyarakat mendukung adanya

Perdirjen tsb., dan perlu disosialisasikan

kepada masyarakat dan stakeholder.

Sementara itu Pengelola Balai TN

Sebangau, dengan pengalaman membangun

kerjasama dengan masyarakat, telah

melangkah lebih jauh dengan

mempersiapkan 14 desa untuk Kemitraan

Konservasi yang terletak di zona

pemanfaatan (1 desa) dan di zona

tradisional (13 desa), dengan total luas

500.000 ha. Sikap hati-hati justru

diperlihatkan oleh LSM seperti WWF dan

Lestari, yang melihat keterkaitan Perdirjen

No. 6/2018 dengan peraturan-peraturan

sebelumnya seperti P.43/2017 tentang

Pemberdayaan Masyarakat.

TN Gunung

Halimun Salak

31 Januari

dan 7

Februari

2019

25 orang terdiri atas 23 laki-

laki dan 2 perempuan, berasal

dari Balai TN Gunung

Halimun Salak, Bappelitbang

Kabupaten Bogor, Masyarakat

Desa Kiarasari, Masyarakat

Desa Curug Bitung dan

Masyarakat Desa Cisarua,

Penambahan luas TNGHS menimbulkan

konflik antara masyarakat dengan

Pengelola TNGHS. Penambahan luas

TNGHS telah berdampak pada 108 desa

karena sebagian atau seluruh wilayah desa

menjadi masuk ke dalam kawasan TNGHS.

Konflik di TNGHS telah banyak mendapat

perhatian dari berbagai pihak, dan

Page 16: Menumbuhkan Paradigma Kemitraan Konservasi untuk …

Taman

Nasional

Waktu

FGD Peserta Temuan Utama

Fakultas Kehutanan IPB, RMI,

PT Antam, FKKM

Pengelola TNGHS telah berupaya mencari

solusi untuk antara lain melalui

pembentukan MKK (Model Kampung

Konservasi) yang juga didukung oleh pihak

swasta seperti PT Antam, dan juga

pemerintah daerah.

Terbitnya Perdirjen No. 6/2018 tentang

Kemitraan Konservasi bagi masyarakat dan

NGO ditanggapi positif karena dapat

membuat masyarakat lebih tenang dalam

memanfaatkan lahan yang selama ini

mereka kerjakan. Sementara bagi

Perguruan Tinggi, Perdirjen ditanggapi

secara hati-hati, dan harus dilihat

keterkaitannya dengan peraturan lain

seperti peraturan menteri tentang

pemberdayaan masyarakat dan tentang

kerjasama di KSA dan KPA. Sedangkan

pemerintah daerah masih belum

mendengar tentang Perdirjen ini.

TN Gunung

Ciremai

16 – 18

Januari 2019

29 orang terdiri atas 24 laki-

laki dan 5 perempuan, berasal

dari Balai TN Gunung

Ciremai, Bappelitbang Kab.

Kuningan, Dinas Pariwisata

Majalengka, Kebun Raya

Kuningan, Kompepar Lembah

Cilengkrang, Koperasi Agung

Lestari, Fakultas Kehutanan

UNIKU, Forum Ciremai,

MPGC Sunan Parung Situ

Sangiang, Ciremai Bakti, CV

Tirta Mekar Kuningan

Stakeholder berpendapat bahwa

pengelolaan TN Gn. Ciremai telah

membuka ruang bagi masyarakat untuk

terlibat, khususnya dalam kegiatan wisata

alam di TN Gn. Ciremai. Keterlibatan

masyarakat bisa meredam konflik yang

terjadi ketika Gn. Ciremai ditetapkan

menjadi Taman Nasional. Walaupun

demikian masih ada beberapa isu yang

perlu diselesaikan. Pertama, Pemerintah

Kabupaten Kuningan masih merasa bahwa

kontribusi TN Gn. Ciremai terhadap PAD

masih kurang. Oleh karena itu muncul

gagasan agar status TN Gn. Ciremai

diturunkan kembali menjadi hutan lindung.

Kedua pengelolaan wisata masih bersifat

massal sehingga beresiko terhadap

keutuhan TN Gn. Ciremai. Ketiga, tidak

semua mantan petani yang dulu

memanfaatkan lahan di dalam kawasan

hutan lindung, terlibat dalam kegiatan

wisata alam.

Terkait dengan Perdirjen No. 6 tahun

2018 tentang Kemitraan Konservasi, maka

semua stakeholder berpendapat perlunya

sosialisasi. Menurut stakeholder, beberapa

isu yang penting untuk dibahas adalah

kegiatan perburuan, pemanfaatan HHBK,

dan kegiatan yang dilaksanakan di zona

tradisional, pentingnya merevisi zonasi,

serta peranan Forum Ciremai sebagai

fasilitator yang menjembatani kepentingan

masyarakat dengan Pengelola TN Gn.

Ciremai.

Page 17: Menumbuhkan Paradigma Kemitraan Konservasi untuk …

Taman

Nasional

Waktu

FGD Peserta Temuan Utama

TN Meru Betiri 22 – 23

Januari 2019

35 orang terdiri atas 31 laki-

laki dan 4 perempuan, yang

berasal dari petani/ ketua

kelompok tani, anggota

kelompok TOGA, Balai TN

Meru Betiri, Bappeda Jember,

Disperindag Jember, KAIL,

FMIPA Universitas Jember,

Universitas Islam Jember,

Pokdarwis Curagnongko

Dulu, TN Meru Betiri masih tertutup.

Banyak larangan bagi masyarakat yang akan

memanfaatkan hasil hutan atau mengkases

kawasan hutan TN Meru Betiri. Pemda

juga sulit berkoordinasi terutama untuk

menyalurkan program pembangunan bagi

daerah di sekitar atau di dalam TN Meru

Betiri. Perguruan Tinggi juga belum

banyak diajaka kerjasama. Namun dengan

adanya peristiwa reformasi tahun 1998

dan diikuti oleh perambahan di TN Meru

Betiri, maka Pengelola TNMB dipaksa

untuk mencari solusi jalan tengah.

Akhirnya mulai muncul berbagai

kerjasama, baik dengan masyarakat

langsung, dengan NGO dan Perguruan

Tinggi. Namun kerjasama yang diinisiasi

oleh Pengelola TN MB tidak memiliki

payung hukum yang kuat di tingkat

nasional. Dengan demikian, kerjasama

sangat tergantung pada kebijaksanaan

Kepala Taman Nasional.

Adanya Perdirjen No. 6 tahun 2018

tentang Kemitraan Konservasi diharapkan

dapat menjadi payung hukum bagi

kerjasama antara Pengelola Taman

Nasional dengan masyarakat, dan juga

dengan stakeholder. Tanggapan

stakeholder terhadap Perdirjen No. 6

tahun 2018 pada umumnya setuju dengan

alasan yang berbeda-beda. Masyarakat

setuju karena mereka bisa lanjut

menggarap lahan di zona rehabilitasi. Bagi

NGO, Perdirjen ini adalah legalitas bagi

petani, sehingga petani terlindungi hak-

haknya dalam memanfaatkan lahan di zona

rehabilitasi TN Meru Betiri. Bagi

perguruan tinggi, stakeholder yang terlibat

dalam Kemitraan Konservasi perlu

diperluas. Hal senada didukung oleh

Pemda, bahkan Pemda juga ingin ada

instansi atau lembaga dari pemerintah

pusat yang juga ikut terlibat. Sementara

dari swasta akan mendukung, sejauh

Kemitraan Konservasi memang memberi

manfaat langsung bagi mereka.

TN Gunung

Tambora

30 – 31

Januari 2019

30 orang, 24 laki-laki dan 6

perempuan, berasal dari Balai

TN Tambora, LSM Setempat,

Masyarakat

sekitar TN Tambora, Pemkab

Dompu, Camat Pekat,

&Pengusaha Lokal

Kegiatan kerjasama di Taman Nasional

Tambora banyak dilakukan dengan

masyarakat dan para pihak di Dompu dan

Bima terutama dengan Pemda Dompu dan

Pemda Bima. Kegiatan yang dilakukan

sebagian besar adalah kegiatan pariwisata

alam dan pemungutan hasil hutan bukan

kayu, serta kegiatan pengamanan kawasan

TN. Lokasi kegiatan kerjasama ini lebih

Page 18: Menumbuhkan Paradigma Kemitraan Konservasi untuk …

Taman

Nasional

Waktu

FGD Peserta Temuan Utama

banyak dilakukan di daerah penyangga

Taman Nasional. Kegiatan bersama

masyarakat di dalam dan sekitar TN

dilakukan belum menggunakan mekanisme

kerjasama, masih menggunakan mekanisme

pendampingan. Antara lain: untuk kegiatan

pariwisata alam dan Pendakian, kegiatan

pengambilan Hasil Hutan Bukan Kayu

(HHBK) oleh masyarakat, dan Peningkatan

kualitas pengelolaan kopi.

Adanya Perdirjen KSDAE No. 6 tahun

2018 tentang Kemitraan Konservasi

diharapkan dapat menjadi dasar untuk

kerjasama yang lebih formal. Namun

stakeholder (Masyarakat, LSM dan PT)

selain BTN Tambora belum mengetahui

Perdirjen 6/2018, mereka membutuhkan

penjelasan yang detil mengenai isi di dalam

nya. Diperlukan proses sosialisasi hingga

ke tingkat tapak bagaimana perdirjen ini

diterapkan, sehingga dapat memberikan

manfaat secara maksimal kepada

masyarakat di dalam dan sekitar TN.

TN Kelimutu 28 – 29

Januari 2019

51 orang terdiri atas 44 laki-

laki dan 7 perempuan, berasal

dari Pengelola TN Kelimutu

(Kepala Balai, Kepala

Seksi Wilayah Kelimutu,

Kepala Resort Wologai

dan staf, Kepala Resort

Sokoria dan staf, staf teknis),

Kepala KPH Ende, Masyarakat

Desa Saga (Kades, Ketua

Kelompok Masyarakat/

Pokmas, kelompok

perempuan), Ketua SPKP

Desa Wologai, Ketua

Pokdarwis Desa Waturaka,

Yayasan Tananua, Forum

Mosalaki, USAID BIJAK

Konflik perubahan status dari TWA

Kelimutu menjadi TN Kelimutu disertai

dengan perluasan kawasan membuat

sebagian lahan masyarakat menjadi masuk

ke dalam kawasan TN Kelimutu. Ketika

konflik terjadi, Pemkab Ende mendukung

masyarakat untuk tetap memanen dan

memelihara kebun kopi yang ada di dalam

kawasan TN Kelimutu, asalkan tidak

memperluas kebun. Perjuangan

masyarakat juga didukung oleh Yayasan

Tananua, AMATT (Aliansi Masyarakat

Adat Tiwu Telu), AMAN Nusa Bunga, dan

juga Fakultas Hukum Universitas Flores.

Terbitnya Perdirjen No. 6/2018 tentang

Kemitraan Konservasi yang langsung

diterapan oleh Pengelola TN Kelimutu,

ditanggapi positif oleh stakeholders.

Masyarakat Desa Saga, Desa Niowula,

Desa Nduaria dan Desa Wologai bahkan

menanda tangani Perjanjian Kerja Sama

(PKS) dengan Kepala TN Kelimutu.

Fakultas Hukum Universitas Flores juga

menyambut positif Perdirjen tsb., namun

tetap mendukung upaya masyarakat adat

di Kelimutu untuk memperoleh hak atas

Wilayah Adatnya, dengan tetap

mendorong Peraturan Daerah tentang

pengakuan dan perlindungan masyarakat

adat di Ende. Sikap tsb. Sama dengan sikap

AMAN dan Yayasan Tananua. Bahkan

Yayasan Tananua menganggap bahwa

Page 19: Menumbuhkan Paradigma Kemitraan Konservasi untuk …

Taman

Nasional

Waktu

FGD Peserta Temuan Utama

Perdirjen tsb. Saat ini merupakan jalan

tengah atas konflik yang sudah terjadi

antara masyarakat adat di Kelimutu

dengan Pengelola TN Kelimutu.

Hasil FGD yang difasilitasi LATIN, adalah tanggapan stakeholder terhadap kebijakan Kemitraan

Konservasi, yaitu:

1) Terbitnya Perdirjen No. 6/2018 disikapi stakeholder di TN Sebangau dengan beragam pandangan.

Pihak perguruan tinggi, lembaga penelitian dan masyarakat mendukung adanya Perdirjen tersebut

dan perlu disosialisasikan kepada masyarakat dan stakeholder.

2) Stakeholder berpendapat bahwa pengelolaan TN Gn. Ciremai telah membuka ruang bagi

masyarakat untuk terlibat, khususnya dalam kegiatan wisata alam di TN Gn. Ciremai.

Keterlibatan masyarakat bisa meredam konflik yang terjadi ketika Gn. Ciremai ditetapkan

menjadi Taman Nasional.

3) Terkait dengan Perdirjen No. 6 tahun 2018 tentang Kemitraan Konservasi, maka semua

stakeholder berpendapat perlunya sosialisasi. Menurut stakeholder, beberapa isu yang penting

untuk dibahas adalah kegiatan perburuan, pemanfaatan HHBK, dan kegiatan yang dilaksanakan di

zona tradisional, pentingnya merevisi zonasi, serta peranan Forum Ciremai sebagai fasilitator yang

menjembatani kepentingan masyarakat dengan Pengelola TN Gn. Ciremai.

4) Tanggapan stakeholder di TN Meru Beti terhadap Perdirjen No. 6 tahun 2018 pada umumnya

setuju dengan alasan yang berbeda-beda. Masyarakat setuju karena mereka bisa lanjut menggarap

lahan di zona rehabilitasi. Bagi NGO, Perdirjen ini adalah legalitas bagi petani, sehingga petani

terlindungi hak-haknya dalam memanfaatkan lahan di zona rehabilitasi TN Meru Betiri. Bagi

perguruan tinggi, stakeholder yang terlibat dalam Kemitraan Konservasi perlu diperluas. Hal

senada didukung oleh Pemda, bahkan Pemda juga ingin ada instansi atau lembaga dari pemerintah

pusat yang juga ikut terlibat. Sementara dari swasta akan mendukung, sejauh Kemitraan

Konservasi memang memberi manfaat langsung bagi mereka.

5) Terbitnya Perdirjen No. 6/2018 tentang Kemitraan Konservasi yang langsung diterapan oleh

Pengelola TN Kelimutu, ditanggapi positif oleh stakeholders. Masyarakat Desa Saga, Desa

Niowula, Desa Nduaria dan Desa Wologai bahkan menanda tangani Perjanjian Kerja Sama (PKS)

dengan Kepala TN Kelimutu. Fakultas Hukum Universitas Flores juga menyambut positif

Perdirjen tsb., namun tetap mendukung upaya masyarakat adat di Kelimutu untuk memperoleh

hak atas Wilayah Adatnya, dengan tetap mendorong Peraturan Daerah tentang pengakuan dan

perlindungan masyarakat adat di Ende. Sikap tsb. Sama dengan sikap AMAN dan Yayasan

Tananua. Bahkan Yayasan Tananua menganggap bahwa Perdirjen tsb. Saat ini merupakan jalan

tengah atas konflik yang sudah terjadi antara masyarakat adat di Kelimutu dengan Pengelola TN

Kelimutu.

6) Adanya Perdirjen KSDAE No. 6 tahun 2018 tentang Kemitraan Konservasi diharapkan dapat

menjadi dasar untuk kerjasama yang lebih formal. Namun stakeholder (Masyarakat, LSM dan PT)

selain BTN Tambora belum mengetahui Perdirjen 6/2018, mereka membutuhkan penjelasan yang

detil mengenai isi di dalam nya. Diperlukan proses sosialisasi hingga ke tingkat tapak bagaimana

perdirjen ini diterapkan, sehingga dapat memberikan manfaat secara maksimal kepada masyarakat

di dalam dan sekitar TN.

Hasil FGD bersama dengan hasil indepth interview menjadi bahan untuk policy brief.

Page 20: Menumbuhkan Paradigma Kemitraan Konservasi untuk …

c. Aktivitas 3: Studi Literatur Yang Dilakukan LATIN

Kegiatan studi literatur yang dilakukan LATIN bertujuan untuk mendokumentasikan pembelajaran

(lessons learned) dan best practices dari berbagai model Kemitraan Konservasi yang sudah

dilaksanakan oleh Taman Nasional di Indonesia.

Kegiatan studi literatur dilaksanakan pada periode 18 Maret – 20 Mei 2019 dan dilakukan di 6

Taman Nasional lain yang bukan menjadi lokasi indepth interview dan FGD. Keenam Taman

Nasional yang menjadi obyek studi literatur adalah TN Gunung Leuser, TN Kepulauan Seribu,

TN Kepulauan Karimun Jawa, TN Kayan Mentarang, TN Bogani Nani Wartabone, dan TN

Bantimurung Bulusaraung. Metode yang digunakan untuk kegiatan studi literatur adalah

mengumpulkan bahan pustaka terkait inisiatif kemitraan konservasi yang telah dilakukan di enam

Taman Nasional tersebut. Untuk pendalaman informasi, dilakukan wawancara melalui telepon

kepada staf Taman Nasional, seperti yang dilakukan dengan TN Gunung Leuser, dan Balai TN

Kepulauan Karimun Jawa. Sedangkan pendalaman informasi melaluai wawancara dengan Kepala

Balai secara langsung, dilakukan dengan Kepala Balai TN Bogani Nani Wartabone yang kebetulan

sedang ada di Bogor. Berikut ini waktu wawancara dan beberapa poin penting hasil wawancara:

No UPT Tanggal

Wawancara

Responden yang di

Wawancara Point Penting Hasil Wawancara

1 TN Bogani

Nani

Wartabone

24-Apr-18 Nuraini - Staf

BTNBW bagian

kerjasama

Di TNBNW sekarang sudah ada 7 PKS

dengan kelompok masyarakat, 5

pemulihan ekosistem dan 2

pemberdayaan masyarakat, di PKS bukan

kemitraan konservasi, tetapi penguatan

fungsi melalui pemberdayaan masyarakat,

dengan tujuan agar masyarakat bisa lebih

mandiri.

9-Mei-18 Diskusi dengan

Kabalai dan Kepala

Seksi BTNBNW di

Bogor

2 TN

Karimun

Jawa

7-May-18 Diskusi dengan RARE

tentang PAAP di

TNKJ

TNKJ sudah memilki zona yang sesuai

dengan P.6 tahun 2018, yaitu zona

tradisional perikanan. Sehingga tidak

memiliki permasalahan mengenai zonasi,

tidak seperti di darat.

Masyarakat sudah lama memanfaatkan

kawasan, ada atau tidak ada perdirjen, ada

tidak ada kemitraan konservasi,

masyarakat bisa memanfaatkan kawasan.

Sebelum adanya PAAP dan Kemitraan

Konservasi, masyarakat sudah melakukan

pemanfaatan di zona tradisional berjalan

sesuai aturan P.76 tahun 2015 asalkan

ramah lingkungan

Manfaat yang berbeda yang didapatkan

dari P.6 tahun 2018 yaitu adanya

kewajiban fasilitasi, sehingga ada dasar

hukum untuk membiayai fasilitasi dan

meningkatkan kapasitas masyarakat.

TNKJ menduukung adanya P.6, karena

zonasi yang digunakan juga sudah sesuai,

begitu juga karakteristik masyarakat.

9-May-18 Yusuf Syaifudin - PEH

TNKJ

Page 21: Menumbuhkan Paradigma Kemitraan Konservasi untuk …

No UPT Tanggal

Wawancara

Responden yang di

Wawancara Point Penting Hasil Wawancara

3 TN Gunung

Leuser

17 Mei 2018 Adhi N - Staf

BTNGL, Kabid

Teknis Konservasi

Setelah adanya Perdirjen No.6 tahun

2018 penyelesian konflik tidak lagi dengan

tindakan atau kegiatan preventif maupun

persuasif, tetapi melalui tindakan atau

kegiatan preemitif dengan cara melakukan

kemitraan konservasi dalam rangka

pemulihan ekosistem. Peran pemerintah

provinsi juga dalam hal ini bisa

memperkuat Perdirjen No.6, dimana ada

Peraturan Gubernur yang mengatur

penyelesaian konflik tenurial di kawasan

konservasi, sehingga Perdirjen No.6 tahu

2018 merupakan alat untuk penyelesaian

konflik tersebut dengan cara yang damai.

9-May-18 Eva - Dosen KSHE

Fahutan IPB

Hasil studi literatur di 6 TN ini kemudian ditulis dalam satu laporan studi literatur yang

memperkaya pengalaman implementasi Kemitraan Konservasi yang telah dikaji melalui indepth

interview dan FGD sebelumnya, sehingga studi literatur ini memuat gambaran implementasi

kemitraan konservasi di 12 TN, yaitu: TN Gunung Leuser, TN Bogani Nani Wartabone, TN

Komodo, TN Karimunjawa, TN Kayan Mentarang, TN Bantimurung Bulusaraung, TN Kelimutu,

TN Gunung Ciremai, TN Sebangau, TN Gunung Halimun Salak, TN Meru Betiri, dan TN Gunung

Tambora.

Hasil studi literatur yang dilakukan LATIN adalah kumpulan informasi, terkait dengan praktek-

praktek terbaik (best practices) dari 12 Taman Nasional, yaitu:

1) Best Practices Membangun Kemitraan Konservasi di Taman Nasional Gunung

Leuser

Ancaman terbesar yang dihadapi oleh Balai TN Gunung Leuser adalah perambahan untuk

pengembangan perladangan atau perkebunan, terutama di wilayah Sumatera Utara, yaitu di

wilayah kerja Seksi Pengelolaan Taman Nasional (SPTN) Wilayah VI Besitang - Bidang

Wilayah III Stabat. Pada wilayah ini, luas perambahan sampai dengan tahun 2014 tercatat

sebesar 28.678,60 ha (TNGL, 2017)1. Selain perambahan kawasan, ada beberapa masalah lain

yang terjadi di TN Gunung Leuser, menurut temuan lapangan Forum Konservasi Leuser

tahun 2017 menunjukkan, ada 245 kasus perambahan, 196 pembalakan hutan, dan 3

pertambangan ilegal yang terjadi di TN Gunung Leuser, sedangkan pembangunan jalan di TN

Gunung Leuser mencapai 24 kasus dengan panjang sekitar 67 Kilometer2.

Persoalan konflik tenurial dan akses petugas ke dalam kawasan yang rawan tindak pidana

kehutanan, bisa diselesaikan dengan adanya Perdirjen KSDAE No. 6 Tahun 2018, sehingga

hadirnya Perdirjen tersebut merupakan solusi bagi BTNGL3.

Pada bulan Oktober 2018 telah ditandangani Perjanjian Kerja Sama dengan 13 KTHK dan

pada bulan Mei 2019 telah ditandatangai Perjanjian Kerja Sama dengan 4 KTHK, sehingga di

TN Gunung Leuser saat ini ada 17 Perjanjian Kerja Sama dengan skema pemulihan ekosistem.

Proses kerjasama ini dilatar belakangi oleh banyaknya kelompok yang menggarap kawasan

menjadi kebun, sehingga hal ini perlu penyelesian konflik yang sesuai dengan karakteristik dan

kegiatan masyarakat. Proses yang paling banyak dibutuhkan dalam memulai kerjasama ini yaitu

proses pendekatan dan pemberian pemahaman terhadap kelompok masyarakat, sehingga

2 3 Wawancara mendalam melalui telepon dengan Unit Pengelola / Balai TNGL tanggal 18 Mei 2019

Page 22: Menumbuhkan Paradigma Kemitraan Konservasi untuk …

diperlukan dukungan dari tokoh masyarakat dalam menyusun dan menerapkan strategi

pendekatan, adapun langkah-langkah yang dilakukan oleh staf TN Gunung Leuser yaitu4 (a)

identifikasi tokoh masyarakat (local champion) yang kompeten dan dapat menjadi jembatan

komunikasi antara UPT dengan kelompok masyarakat, (b) selalu menjaga intensitas dan

frekuensi komunikasi antara petugas dengan kelompok masyarakat, (c) mengikutsertakan

kelompok masyarakat dalam setiap pembahasan rancangan pengelolaan areal kemitraan

konservasi, (d) mengikutsertakan mitra (LSM, akademisi atau sektor swasta) dalam proses

kemitraan konservasi.

Balai TN Gunung Leuser telah mencoba menyelesaikan permasalahan yang dihadapi antara

lain dengan membuat percontohan restorasi ekosistem di blok hutan Sei Serdang – Resort

Cinta Raja. Restorasi ekosistem ini telah dievaluasi olah Puslitbang Konservasi dan

Rehabilitasi – Badan Litbang Kehutanan (2014) bekerjasama dengan UNESCO Jakarta Office

dan salah satu kesimpulannya adalah restorasi ekosistem di Sei Serdang dapat dijadikan model

restorasi ekosistem di lokasi lain di TN Gunung Leuser.

Keberhasilan yang sudah dilakukan di hutan Sei Serdang juga menjadi salah satu faktor

pendorong TN Gunung Leuser untuk mereplikasi di wilayah TN Gunung Leuser yang lain.

Manfaat yang didapatkan TN Gunung Leuser dengan adanya Perdirjen KSDAE No. 6 Tahun

2018 adalah5:

• Keterlibatan masyarakat dalam pemulihan kawasan;

• Petugas dapat mengakses wilayah-wilayah rawan dalam kawasan;

• Membatasi perluasan lahan garapan masyarakat dalam kawasan;

• Keterlibatan kelompok masyarakat dalam pengamanan kawasan.

PEMBELAJARAN

Proses membangun kemitraan konservasi dan kerjasama yang terjadi di TN Gunung Leuseur

menghasilkan banyak pembelajaran, antara lain:

• Modal pengalaman dalam restorasi kawasan yang pernah dilakukan merupakan

bagian dari semangat untuk melakukan kemitraan konservasi dalam rangka

pemulihan ekosistem.

• Merubah cara pendekatan kepada masyarakat dalam menangani konflik dari

preventif menjadi preemtif, sehingga masyarakat tidak lagi menjadi takut dengan

staf Balai Besar TN Gunung Leuser yang dulu dianggap sebagai petugas.

• Pelibatan kelompok masyarakat kemitraan konservasi di dalam kegiatan

pengamanan kawasan, dalam rangka melindungi areal kemitraan konservasi serta

mensosialisasikan program kemitraan konservasi pada kelompok masyarakat

lainnya. Selain itu, kelompok masyarakat kemitraan konservasi didorong atau

dilibatkan dalam peningkatan kapasitas melalui kegiatan pendidikan pelatihan

maupun studi banding.

• Adanya local champions di masyarakat yang dijadikan sebagai modal sosial untuk

membangun kepercayaan serta kesadaran masyarakat dalam mengelola kawasan

sebagai kawasan yang perlu dijaga dan dimanfaatkan sesuai aturan yang berlaku.

4 Wawancara mendalam melalui telepon dengan Unit Pengelola / Balai TNGL tanggal 18 Mei 2019 5 Wawancara mendalam melalui telepon dengan Unit Pengelola/Balai TNGL tanggal 18 Mei 2019

Page 23: Menumbuhkan Paradigma Kemitraan Konservasi untuk …

• Menggunakan local champions sebagai jembatan penghubung untuk terjadinya

komunikasi yang baik antara masyarakat dan Balai Besar TN Gunung Leuser,

terutama untuk membangun komunikasi dengan masyarakat yang berkonflik.

• Memberikan kapasitas dan pengetahuan kepada local champions, dan

memberikan kesempatan kepada local champions sebagai narasumber dalam

berbagai cara, sehingga akan terjadi rasa bangga dan meningkatan kepercayaan

diri untuk membagikan pengetahuannya kepada kelompok masyarakat.

• Menjaga intensitas dan frekuensi komunikasi antara petugas dengan kelompok

masyarakat, dengan komunikasi yang efektif dan baik, terutama dalam

memnyampaian aturan yang berlaku.

• Merangkul berbagai elemen masyarakat untuk ikut terlibat dalam pengelolaan

kawasan secara menyeluruh, dengan tujuan untuk menghindari konflik internal

diantara kelompok masyarakat.

2) Best Practices Penerapan Resort Based Management (RBM) Untuk Persiapan

Implementasi Kemitraan Konservasi di Taman Nasional Bogani Nani

Wartabone

Permasalahan utama Taman Nasional Bogani Nani Wartabone (TNBNW) adalah illegal

logging dan perambahan hutan untuk pertanian. Konflik antara Taman Nasional dengan

masyarakat terjadi karena sebelum ditetapkan sebagai taman nasional, masyarakat sudah

berada di kawasan tersebut, bahkan pendatang dari Minahasa dan transmigrasi dari Jawa dan

Bali sudah ada sejak tahun 70-an. Berdasarkan penelitian yang dilakukan tim Epass dan

penelitian lain menyebutkan bahwa 72% masyarakat sekitar TNBNW tergolong miskin

dengan penghasilan antaran Rp.500.000-Rp.1.000.000. Kondisi tersebut menjadi penyebab

tekanan terhadap kawasan taman nasional untuk kebutuhan lahan pertanian dan illegal

logging. Pendekatan penegakan hukum pada masa sebelumnya tidak cukup efektif untuk

mengatasi perambahan dan illegal logging.

Permasalahan yang terjadi, tidak terlepas dari tata kelola Taman Nasional yang masih belum

baik. Hal ini digambarkan dengan jelas dalam buku berjudul “Shelter” pada paragraph pertama

bagian Pendahuluan, yang menyatakan, “Hingga akhir tahun 2015, Taman Nasional Bogani

Nani Wartabone (TNBNW) masih menerapkan sistem kelola baku terhadap output dan

proyek yang terpusat. Sistem pengelolaan organisasi yang bersifat “Balai Based Management”

membuat resort sebagai unit pengelolaan terkecil yang bersentuhan langsung dengan lapangan

(selama ini didengungkan sebagai ujung tombak pengelolaan) menjadi tidak efektif. Petugas

resort secara organisasi dan individu menjadi inferior, tidak berdaya, dan kurang kreatif.

Sistem ini juga membuat ujung tombak pengelolaan menjadi ujung tombak yang tumpul.

Output secara kegiatan tercapai, namun tidak memberikan dampak atau outcome yang

diharapkan.

PROSES DAN HASIL

Kerjasama-kerjasama yang terjadi di masyarakat dibangun dengan proses yang panjang terkait

isu perkembangan dan konflik yang terjadi di kawasan TNBNW. Kerjasama yang terjadi

antara TNBNW dengan masyarakat merupakan hasil atau efek dari RBM dan filosofi shelter

dimana ada empat tiang satu atap6. “Membangunkan pengelolaan berbasis tapak di TN

Bogani Nani Wartabone, bagaikan membuat shelter yang terdiri 4 (empat) tiang dan 1 (satu)

atap. TIANG berupa unsur-unsur membangunkan paradigma, membangunkan komitmen

bersama, membangunkan jejaring dalam pengelolaan, dan membangunkan sistem umpan balik.

Diskusi dengan Unit Pengelola / Balai TNBNW tanggal 9 Mei 2019

Page 24: Menumbuhkan Paradigma Kemitraan Konservasi untuk …

Sedangkan ATAP dimaksud adalah membangunkan kepemimpinan yang mengayomi. Filosofi

ATAP inilah yang dikembangkan di lapangan untuk menerapkan RBM.

Ada 11 langkah yang dilakukan untuk menerapkan RBM, yaitu (a) RBM disepakati sebagai

sistem, (b) anjangsana ke masyarakat, (c) menggalang dukungan dari stakeholder, (d)

membangun kapasitas masyarakat, (e) Membangun Etos Kerja Petugas Balai TN Bogani Nani

Wartabone, (f) mencari local champion, (g) membangun komunikasi dengan stakeholder, (h)

memberikan apresiasi, (j) menyepakati kerja sama, (k) Perjanjian Kerjasama yang sudah

ditandatangani pada tanggal 20 Juli tahun 2018 di Tambun, Desa Pinonobatuan, Bolaang

Mongondow. TNBNW.

Kelompok masyarakat yang menandatangani perjanjian kerjsama terdiri dari tujuh kelompok

yang terdiri dari dua kelompok dengan kegiatan pemulihan ekosistem yang ditandatangani

pada bulan Mei 2018, dan 5 kelompok dengan kegiatan pengelolaan wisata yang

ditandatangani pada bulan Juli 20187. Tujuh perjanjian kerjasma tersebut didasari oleh aturan

Permenhut No. P.85 Tahun 2014 tentang Tata Cara Kerjasama Penyelangaraan KSA dan KPA

dalam rangka penguatan fungsi8.

Pelaksanaan Perjanjian Kerjasama ini memberikan manfaat bagi kedua pihak, diantaranya

untuk TNBNW. Kawasan TNBNW secara langsung dijaga oleh kelompok masyarakat yang

bermitra, sehingga jika ada tindakan-tindakan dari luar yang tidak boleh dilakukan di dalam

kawasan, kelompok masyarakat akan melaporkan kepada resort atau petugas yang berada di

lapangan. Sedangkan manfaat yang didapatkan oleh kelompok masyarakat yaitu berupa

kepastian hukum dalam melakukan kegiatan di kawasan. Secara ekonomi masyarakat yang

berkegiatan dengan skema pemulihan ekosistem di zona rehabilitasi belum mendapatkan

manfaat langsung dari kegiatan ini. Namun Balai TNBNW memberikan peningkatan kapasitas

melalui pelatihan beternak ayam yang juga dibantu difasilitasi oleh EPASS. Sedangkan dengan

skema pemberdayan masyarakat, kelompok masyarakat mendapatkan manfaat secara

langsung dan cepat melalui kegiatan-kegiatan yang mendukung wisata, seperti jasa menjual

makanan9.

Manfaat yang signifikan justru dirasakan oleh petugas Balai TNBNW, berupa perubahan pola

pikir sebagai berikut:

• Pendekatan yang digunakan kepada masyarakat berubah dari pendekatan

perlindungan, pengawetan menjadi pendekatan pemanfaatan

• UPT yang terdiri dari balai, seksi dan resort merupakan sales konservasi yang

punya kewajiban membuat produk konservasi yang sesuai regulasi

• Tidak memandang permasalahan sebagai sebuah penghambat, tetapi merubahnya

menjadi sebuah kemauan untuk berani memulai

PEMBELAJARAN

1) Leadership

Kepemimpinan yang ditunjukkan kepala taman nasional dengan membangun visi bersama

diantara personil. Tiga Prinsip yang dikembangkan Bersama, pertama menetapkan visi

yang konkrit pengelolaan konservasi bersama masyarakat, bila masyarakat sejahtera maka

konservasi juga terjaga. Kedua, prinsip kendali, personil TN mengambil tanggung jawab

terhadap apa yang terjadi di lapangan. Ketiga, prinsip personil memiliki integritas artinya,

konsistensi dalam tindakan, metode, ukuran, memiliki pribadi yang jujur dan memiliki

karakter kuat. Prinsip-prinsip leadership ini tidak hanya diajarkan melalui pelatihan, tetapi

7 Wawancara mendalam melalui telepon dengan Unit Pengelola / Balai TNBNW tanggal 24 April 2019 8 Wawancara mendalam melalui telepon dengan Unit Pengelola / Balai TNBNW tanggal 24 April 2019 9 Wawancara mendalam melalui telepon dengan Unit Pengelola / Balai TNBNW tanggal 24 April 2019 10 Diskusi dengan Unit Pengelola / Balai TNBNW tanggal 9 Mei 2019

Page 25: Menumbuhkan Paradigma Kemitraan Konservasi untuk …

selalu menjadi bahan diskusi 3 bulanan dalam rapat staf taman nasional. Sikap

kepemimpinan ini juga diuji sampai staf resort. Staf resort harus sanggup menyelesaikan

persoalan di lapangan, baik masalah teknis maupun masalah sosial di masyarakat.

2) Ketrampilan Teknis dan Sosial

Pada Awalnya staf TN dibekali dengan pelatihan SMART Patrol dan didampingi WCS

dalam penerapannya. Berawal dari pendekatan monitoring berbasis data dan pelibatan

masyarakat ini, kapasitas personil dalam menengahi persoalan-persoalan di masyarakat

menjadi semakin baik. Ini adalah salah satu contoh leadership multi-level, dimana resort

dapat mengambil keputusan langsung di lapangan atas data yang dikumpulkan dari

kegiatan SMART Patrol.

3) Fasilitas Kantor dan Peralatan yang Memadai

Kantor yang nyaman dan peralatan pendukung (komputer, alat survei/GPS, dll) juga

menjadi kunci untuk mengumpulkan data lapangan dan membuat analisis sebagai bahan

untuk pengambilan keputusan yang akurat.

4) Rutin Mengadakan Kunjungan ke Masyarakat

Kunjungan rutin ke desa-desa untuk mendiskusikan kemajuan, keluhan, ataupun

pengembangan ide-ide baru berperan penting untuk menjaga komitmen masyarakat

terhadap kesepakatan-kesepakatan yang dibangun dan menguatkan saling percaya antara

TNBNW dan masyarakat.

5) Dukungan Mitra Pendamping

Dukungan lembaga lain (NGO) sangat diperlukan untuk mengisi keterbatasan

sumberdaya manusia yang terbatas, dan melengkapi kapasitas teknis pendampingan

masyarakat. Lembaga tersebut diantaranya: WCS, Yapeka-Bogor, Suara Bobato, Yayasan

Rimbawan, dan Japesda Gorontalo.

3) Tantangan Membangun Kemitraan dengan Pihak Swasta untuk Pendanaan

Berkelanjutan: Pengalaman Balai TN Komodo

Taman Nasional Komodo di Kabupaten Manggarai (Propinsi NTT) dibentuk sebagai kawasan

Taman Nasional pada tahun 1980 dan dikuatkan dengan SK Penetapan Taman Nasional Komodo

pada tahun 1992 dengan luas 173.300 ha. Di dalam TN Komodo terdapat 4 desa dengan jumlah

penduduk 3.267 jiwa, kemudian di sekitar TN Komodo terdapat 11 desa dengan jumlah

penduduk 16.816 jiwa.

Ancaman atau masalah yang dihadapi olah Balai TN Komodo adalah:

1) Tekanan populasi penduduk dan peningkatan kebutuhan sumberdaya alam yang

meningkatkan degradasi sumberdaya darat dan perairan.

2) Kegiatan penangkapan ikan yang merusak kawasan TN Komodo dan merupakan

ancaman terbesar bagi sumberdaya perairan.

3) Penangkapan sumberdaya perairan yang berlebihan, terutama jenis-jenis demersal,

merupakan masalah utama.

4) Masuknya spesies non-asli, termasuk anjing, kucing, dan kambing, yang menjadi

resiko bagi jenis-jenis endemik yang terancam punah melalui penularan penyakit,

predasi, atau kompetisi.

5) Meningkatkan polusi karena cara pembuangan limbah yang tidak tepat untuk MCK

dan sampah, tumpahan minyak/bahan bakar ke lingkungan perairan, dan sisa pupuk

dan pestisida.

Page 26: Menumbuhkan Paradigma Kemitraan Konservasi untuk …

6) Habitat daratan saat ini sangat dipengaruhi oleh kegiatan-kegiatan antropogenik di

masa lalu. Kebakaran, baik yang sengaja dibuat oleh para pemburu, atau yang tidak

disengaja, merupakan ancaman besar pada habitat hutan.

7) Banyaknya perburuan rusa, telur penyu, kalong, sarang burung walet, dll.

PROSES DAN HASIL

Untuk mengatasi ancaman yang disebut di atas, maka Balai TN Komodo mengembangkan

strategi kolaborasi. Strategi kolaborasi kemitraan pertama kali dikembangkan atas kerjasama

Balai TN Komodo, The Nature Conservancy, dan swasta nasional yang bergerak di bidang

pariwisata. Kolaborasi tersebut menghasilkan Komodo Collaborative Management Initiative

(KCMI) dan juga berhasil membentuk usaha patungan PT Putri Naga Komodo (PT PNK),

bersama Pemerintah Daerah, masyarakat pariwisata, dan stakeholder lainnya, dalam kerangka

pengelolaan TN Komodo secara berkelanjutan.

KCMI yang diberikan mandat untuk mengusahakan pengelolaan TN Komodo yang efektif dalam

jangka panjang, dalam kerangka organisasinya, terdapat dua organisasi penting, yaitu: Forum

Komunikasi Masyarakat (FKM) dan Komite Pengelolaan Kolaborasi (KPK). FKM dibentuk melalui

SK Bupati Manggarai, sedangkan KPK dibentuk melalui SK Dirjen PHKA (sekarang KSDAE) yang

terdiri dari beberapa unsur (Balai Taman Nasional, Pemda, Perwakilan FKM dan PT. Putri Naga

Komodo sebagai pemegang konsesi di TN Komodo). FKM dan KPK ini dibentuk KCMI guna

mendukung dalam pembuatan keputusan untuk pengelolaan TN Komodo dan mengakomodasi

masukan dari berbagai pihak.

Rencana Kolaborasi Pengelolaan TN Komodo telah didukung oleh berbagai lembaga pemerintah,

swasta, maupun komponen masyarakat, diantaranya: World Bank IFC, GEF, UNESCO, IUCN-

World Conservation Union, Bupati Manggarai, Menteri Kebudayaan dan Pariwisata, dan Menteri

Kehutanan. Bahkan Menteri Kehutanan memberikan izin prinsip kepada PT PNK untuk

melengkapi proposal rencana karya pengusahaan pariwisata TN Komodo. Namun demikian,

pada tahun 2008 izin PT PNK dicabut karena tidak melaksanakan kegiatan pembangunan sarana

prasarana yang disepakati.

Kemudian dalam perkembangannya, berdasarkan PP Nomor 36/2010 dan Permenhut Nomor

P.48/menhut-II/2010 jo Permenhut Nomor P.4/menhut-II/2012, KSDAE menerbitkan pemberian

Izin Usaha Penyediaan Sarana Wisata Alam (IUPSWA) kepada PT Segara Komodo Lestari (PT

SKL) di Pulau Rinca dan PT Komodo Wildlife Ecotourism (PT KWE) di Pulau Komodo dan

Pulau Padar. PT SKL mendapatkan IUPSWA di Pulau Rinca berdasarkan keputusan Kepala BKPM

Nomor 7/1/IUPSWA/PMDN/2015 tertanggal 17 Desember 2015 seluas 22,1 hektar (0,1%) dari

Pulau Rinca dan PT KWE mendapatkan IUPSWA berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan

Nomor SK.796/Menhut-II/2014 tertanggal 23 September 2014 seluas 426,07 hektar, terdiri dari

274,13 hektar (19%) di Pulau Padar dan 151,94 hektar (0,5%) di Pulau Komodo. Dalam

perencanaannya, Pulau Rinca akan dibangun restoran dan Pulau Padar dan Pulau Komodo

dibangun penginapan. Jangka waktu izin ini adalah 55 tahun dan akan dievaluasi setiap lima tahun

sekali. Nilai investasi keduanya rata-rata Rp 2-4 miliar. PT KWE akan bekerjasama dengan

masyarakat Desa Komodo dan Desa Papagarang. Sedangkan PT SKL bekerjasama dengan

masyarakat Desa Pasir Panjang dalam penyediaan jasa pengembangan wisata alam

PEMBELAJARAN

Proses membangun kemitraan konservasi dan kerjasama yang terjadi di TN Komodo

menghasilkan banyak pembelajaran, antara lain:

11 Fajrudin, Kemitraan Menuju Kolaborasi Pengelolaan TN Komdo, PT Putri Naga Komodo, 2001, hal 1-5. 12 Mongobay, KLHK: Pengembangan Wisata Komodo Berprinsip Konservasi dan Libatkan Masyarakat, Benarkah?, 16 Agustus 2018, diakses dari ,

pada tanggal 20 Mei 2019 pukul 04.15.

Page 27: Menumbuhkan Paradigma Kemitraan Konservasi untuk …

1) Dukungan banyak lembaga pendamping (TNC, WWF, GEF, RARE, Yayasan

Komodo Survival Program, Swisscontact Wisata Project) dalam bentuk riset, design

rencana pengelolaan, implementasi rencana kelola meningkatkan kualitas

pengelolaan TN Komodo dan nilai jual kekayaan konservasi di mata dunia, serta

menciptakan dukungan pendanaan dari banyak donor asing (World Bank-IFC,

USAID, dll).

2) Pengakuan dunia terhadap keunikan TN Komodo melalui penetapan Cagar Biosfer

dan Warisan Alam Dunia oleh UNESCO dan New 7 Wonders of Nature menjadi

promosi besar bagi kunjungan wisatawan mancanegara.

3) Potensi wisatawan yang besar menarik investasi swasta dan meningkatkan

Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dari

kunjungan wisatawan.

4) Memberikan keuntungan kepada masyarakat sekitar diantaranya: pembangunan

infrastruktur, penyediaan lapangan kerja pemandu wisata, menyediakkan

kerajinan/menjual cinderamata, mengelola homestay, menyewakan perahu motor,

dilatih menjadi kader konservasi.

TANTANGAN

Dalam membangun proses kerjasama, selain pembelajaran yang bisa diambil, terdapat juga

tantangan yang dihadapi, diantaranya:

• IUPSWA memerlukan modal besar yang tidak mungkin dimiliki oleh kelompok masyarakat

atau koperasi, bahkan untuk menjadi operator wisata juga membutuhkan modal besar dan

keterampilan tinggi.

• Mata pencaharian utama mayoritas penduduk di dalam dan sekitar TN Komodo adalah

sebagai nelayan. Pembatasan wilayah tangkapan menyebabkan biaya operasional

penangkapan ikan menjadi sangat mahal, terutama yang jauh dari perkampungan. Di sisi lain,

alternatif mata pencaharian pada sektor pariwisata belum dapat menyerap cukup banyak

tenaga kerja, karena pengetahuan dan keterampilan masyarakat masih rendah. Selain itu,

pada musim-musim sepi wisatawan, masyarakat tidak mendapatkan penghasilan yang cukup,

khususnya bagi masyarakat pengelola penginapan (homestay), cinderemata, dll.

• Perlu pendekatan (komunikasi, sosialisasi, dan koordinasi) yang lebih intensif mengingat

banyak penolakan dari kelompok masyarakat dan Pemda terhadap pengelolaan TN

Komodo. Berdasarkan hasil kajian SUNSPIRIT-ARC-KPA (2016), telah terjadi marjinalisasi

masyarakat lokal karena aturan pengelolaan TN Komodo. Aturan zonasi membuat

masyarakat lokal yang sebagian besar nelayan tidak boleh sembarangan menangkap ikan.

Mereka sering dilabeli sebagai perusak ekosistem laut. Sementara penguasaan dan bangunan

resort wisata di dalam kawasan TN Komodo diperbolehkan. Bahkan kapal wisata dan

operator diving dan snorkeling bebas memanfaatkan laut dimana saja sehingga mengganggu

ekosistem laut khususnya terumbu karang.

• Dampak kerusakan kawasan akibat kunjungan wisatawan secara massal. Pelanggaran

memasuki zona inti, zona rimba, zona perlindungan bahari. Di sisi lain, ada keluhan

masyarakat dilarang beraktivitas di kawasan tersebut.

• Peran serta pemangku kepentingan dalam upaya pengelolaan TN Komodo, khususnya KCMI

yang memiliki 2 organisasi penting di dalamnya (FKM dan KPK) untuk membuat keputusan

pengelolaan dan mengakomodasi masukan dari berbagai pihak pihak, perlu diaktifkan

kembali untuk memastikan aspirasi dan keluhan masyarakat dan anggota dapat diselesaikan.

Page 28: Menumbuhkan Paradigma Kemitraan Konservasi untuk …

4) Best Practices Meningkatkan Kesadaran Konservasi Masyarakat sebagai Prasyarat

untuk Membangun Kemitraan Konservasi di TN Karimunjawa

Kepulauan Karimunjawa ditetapkan menjadi kawasan Taman Nasional melalui SK Menteri

Kehutanan dan Perkebunan No.78/Kpts-II/1999 tanggal 22 Pebruari 1999 dengan luas 111.625

ha. Kemudian pada tahun 2012 dilakukan revisi zonasi yang terdiri dari 9 zona: inti, rimba,

perlindungan bahari, pemanfaatan darat, pemanfaatan wisata bahari, budidaya bahari, religi

budaya dan sejarah, rehabilitasi, dan zona tradisional perikanan.

Kawasan TN Karimunjawa sebagian besar berupa perairan, dan memiliki karakteristik

masyarakat yang sebagian besar adalah nelayan tangkap. Kondisi ini mengakibatkan tingginya

ketergantungan masyarakat terhadap sumberdaya hayati laut. Hal paling utama yang dirasakan

masyarakat adalah adanya penurunan hasil tangkapan. Penurunan hasil tangkapan diakibatkan

oleh pola penangkapan ikan yang tidak lestari, yaitu pengoperasian alat-alat tangkap yang

memiliki efektifitas daya tangkap yang tinggi dengan selektifitas yang rendah seperti penggunaan

jaring muroami dan sianida. Sejak tahun 2006 silam, WCS menemukan bahwa kawasan

Karimunjawa dan sumber daya alam mereka tengah terancam akibat pengambilan ikan secara

berlebihan, ditambah lagi kondisi terumbu karang dan biomassa ikan yang buruk akibat aktivitas

tersebut. Sehingga perlu regulasi yang mengatur pemanfaatan sumberdaya alam di TN

Karimunjawa dengan pengelolaan berkelanjutan.

PROSES DAN HASIL

Proses membangun Kemitraan Konservasi bisa dikatakan difasilitasi oleh RARE dengan

pendekatan perubahan perilaku masyarakat dan petugas Balai TN Karimunjawa. Program kerja

sama yang dikembangkan adalah Pemberian Akses Area Perikanan (PAAP). Dasar hukum

implementasi PAAP dalam hal pemberian askes kepada kelompok masyarkat local adalah

Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 2011 jo Peraturan Pemerintah No. 108 Tahun 2015

tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah tentang pengelolan Kawasan Suaka Alam dan

Kawasan Pelestarian Alam. RARE memfasilitasi masyarakat untuk bekerja sama dengan Balai TN

Karimun Jawa dan diwujudukan dalam bentuk Perjanjian Kerjasama (PKS). PKS tersebut tentang

Penguatan Fungsi Kawasan Pelestarian Alam berupa Pemberdayaan Masyarakat melalui

Pemberian Akses Area Perikanan (PAAP) di Taman Nasional Karimunjawa di Zona Tradisional

Perikanan. Dalam PKS tersebut menetapkan Kawasan Pengelolaan Desa Nyamuk (KPDN) seluas

620 hektar.

Adanya kerjasama atau kesepakatan dengan masyarakat menjadikan kawasan lebih terjaga,

kegiatan kerjasama yang dilakukan antara kelompok masyarakat di Desa Nyamuk yang tergabung

dalam Kelompok Pengelola KPDN merupakan salah satu upaya yang dilakukan Balai TN

Karimunjawa dengan memberikan akses pengelolaan berupa PAAP.

PAAP dilakukan di zona tradisional perikanan, karena zona tersebut fungsinya sama dengan zona

tradisional yang didefinisikan sebagai bagian dari taman nasional yang ditetapkan untuk

kepentingan pemanfaatan tradisional oleh masyarakat yang karena kesejarahan mempunyai

ketergantungan dangan sumber daya alam setempat. Zona ini diperuntukkan sebagai daerah

pemanfaatan perikanan tradisional oleh masyarakat setempat secara lestari melalui pengaturan

pemanfaatan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya. Proporsi zona ini dalam kawasan TN

Karimunjawa mencapai 90% luas kawasan (102.899,249 Ha). Selama ini, zona ini dimanfaatkan

masyarakat sebagai lokasi mencari ikan.

Penyusunan PKS dilakukan dalam proses yang panjang hingga 3 tahun, karena harus meyakinkan

kelompok masyarakat tentang manfaat dari Perjanjian Kerjasama. Di dalam PKS juga

menyebutkan dukungan dari berbagai pihak untuk membantu terimplementasinya kerjasama

tersebut atau istilahnya dukungan dari mitra kerjasama.

13 Wawancara mendalam melalui telepon dengan Unit Pengelola / Balai TNKJ tanggal 9 Mei 2019

Page 29: Menumbuhkan Paradigma Kemitraan Konservasi untuk …

Dalam menjalankan pengelolaan kawasan TN Karimunjawa, dukungan dan kerjasama para pihak

mutlak dibutuhkan mengingat keterbatasan kapasitas yang masih dimiliki oleh Balai TN

Karimunjawa sebagai pengelola. Balai TN Karimunjawa mempunyai 3 (tiga) mitra yaitu RARE,

Wildlife Conservation Society- Indonesia Program (WCS-IP), dan Dinas Kelautan dan Perikanan

Propinsi Jawa Tengah.

Pembelajaran

Proses membangun kerjasama yang terjadi di TN Karimunjawa menghasilkan banyak

pembelajaran, antara lain:

• Pendekatan fasilitasi yang digunakan kepada staf Balai TN Karimunjawa dan kelompok

masayarakat yaitu melalui perubahan perilaku. Hal ini dilakuan dengan dasar bahwa yang

akan selamanya bekerja disana adalah staf Taman Nasional dan masayarakat sehingga

dengan adanya perubahan perilaku dari pengelola kawasan akan lebih menjamin

keberlanjutan pengetahuan yang lambat laun akan menjadi sistem kerja.

• Keterlibatan dan dukungan mitra kerjasama memberikan dampak yang baik dalam proses

membangun kerjasama dalam berbagai aspek terutama pengetahuan, perubahan perilaku

dan pola pikir.

• Adanya staf yang sudah mengikuti Program Kampanye BANGGA yang difasilitasi mitra

BTNKJ yaitu RARE. Staf yang mengikuti Kampanye BANGGA didorong untuk membangun

kerjasama dengan masyarakat, dan menularkan semangat dan membagi pengetahuan yang

diperoleh dari Program kepada staf BTNKJ yang lain.

• Mencari dan membangun local champion internal di UPT atau Balai Taman Nasional, sebagai

agen perubahan ditingkat internal yang juga direplikasi di tingkat komunitas atau kelompok

masyarakat, strategi seperti ini memudahkan dalam berbagi peran untuk mecapai tujuan

kegiatan.

• Menciptkan ruang komunikasi atau strategi komunikasi yang aman, efektif, mudah dan sesuai

dengan karakteristik pengelola kawasan baik staf BTNKJ maupaun kelompok masyarakat

sebagai sarana diskusi

• Proses pendampingan kelompok masyarakat, khususnya kelompok nelayan dilakukan

dengan cara staf Taman Nasional tinggal lebih lama bersama masyarakat, sehinga akan ada

kepercayaan masyarakat kepada staf Taman Nasional.

• Adanya PKS menjadikan tingkat kesadaran masyarakat dalam menjaga kawasan menjadi

lebih baik. Kawasan yang merupakan areal kerja yang ada dalam PKS akan dijaga dengan baik

oleh kelompok masyarakat dengan harapan bahwa areal tersebut merupakan tabungan ikan,

bahkan areal kerja dimanfaatkan kelompok untuk mencari ikan hanya pada cuaca buruk

(akhir desember sampai maret) karena kelompok tidak bisa jauh mencari ikan, sedangkan

dalam keadaan cuaca baik kelompok akan lebih memilih mencari ikan di luar Kawasan.

• Adanya kesepakatan-kesepakatan yang dibuat bersama masyarakat yang dijadikan dasar

pertama dalam membangun kerjasama kelompok masyarakat untuk mencapai tujuan

tersebut. Hal ini terjadi di masyarakat Desa Nyamuk menyepakati beberapa pengaturan

perikanan yang akan berlaku di Kawasan Pengelolaan Desa Nyamuk (KPDN). Peraturan

perikanan tersebut didapat melaui proses fasilitasi tingkat RT dan RW yang dilakukan oleh

kelompok KPDN.

5) Tantangan dalam Membangun Lembaga Kolaborasi Multi-pihak di TN Kayan

Mentarang

14 Diskusi dengan staf RARE Indonesia tanggal 7 Mei 2019 15 Wawancara mendalam melalui telepon dengan Unit Pengelola / Balai TNKJ tanggal 9 Mei 2019

Page 30: Menumbuhkan Paradigma Kemitraan Konservasi untuk …

Kawasan Kayan Mentarang yang semula berstatus sebagai Cagar Alam ditetapkan menjadi Taman

Nasional Kayan Mentarang berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: 631/Kpts-

II/1996 tanggal 7 Oktober 1996 dengan luas kawasan ± 1.360.500 hektar. Surat Keputusan

tersebut merupakan yang pertama di Indonesia yang menyatakan bahwa di beberapa daerah di

sekitar kawasan Taman Nasional merupakan tempat kehidupan masyarakat tradisional etnis

Dayak yang keberadaannya perlu diperhatikan. Seiring berjalannya waktu, hingga tahun 2014, luas

kawasan TN Kayan Mentarang menjadi 1.271.696,56 hektar berdasarkan Surat Keputusan

Menteri Kehutanan Nomor: SK.4787/Menhut-VII/KUH/2014.

Penetapan kawasan hutan menjadi Cagar Alam dan kemudian Taman Nasional telah

menimbulkan keresahan bagi masyarakat suku Dayak yang sudah bermukim dan hidup di sana

sejak ratusan tahun lalu. Ada ± 34.508 jiwa di dalam dan sekitar TN Kayan Mentarang. Mereka

tersebar di 11 wilayah adat besar, antara lain: Apau Kayan-Kayan Hilir, Kayan Hulu, Hulu Bahau,

Pujungan, Mentarang Hulu, Tubu, Lumbis Hulu, Krayan Darat, Krayan Hilir, Krayan Hulu dan

Krayan Tengah. Mereka memiliki ketergantungan erat terhadap kawasan hutan. Secara turun

temurun mereka memiliki kearifan tradisional dalam pengelolaan kawasan hutan yang

diwujudkan dalam hutan adat, tana ulen, tanah jakah dll. Uluk, Sudana dan Wollenberg (2001)

telah mendokumentasikan kearifan tradisional masyarakat adat di Kayan Mentarang dengan

cukup lengkap.

Penetapan Kayan Mentarang sebagai Cagar Alam telah menutup seluruh akses masyarakat untuk

memanfaatkan sumberdaya alam tempat mereka bergantung selama ini. Aspek sosial dan budaya

rupanya tidak dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam proses penetapan kawasan Kayan

Mentarang menjadi Cagar Alam. Sejak itu konflik terjadi. Oleh karena itu, masyarakat menolak

keberadaan CA Kayan Mentarang. Salah satu bentuk penolakan adalah menolak hasil tata batas

yang sudah dibuat. Penolakan masyarakat terhadap hasil penataan batas menunjukkan adanya

konflik yang muncul akibat penetapan hutan Kayan Mentarang menjadi Cagar Alam dan

kemudian diubah menjadi Taman Nasional.

Pada prinsipnya masyarakat adat menuntut agar pemerintah mengakui, menghormati dan

melindungi hak-hak masyarakat adat atas tanah (wilayah adat) yang secara turun-temurun

mereka huni serta hak untuk mengelola dan memanfaatkan sumberdaya alam yang terdapat di

dalam wilayah adat mereka.

Masyarakat adat di kawasan Kayan Mentarang berkeyakinan bahwa tujuan Cagar Alam atau TN

Kayan Mentarang sebagai kawasan konservasi dapat tercapai jika masyarakat di kawasan terlibat

dan bertanggung jawab penuh dalam perencanaan dan pengelolaan TN Kayan Mentarang.

Keterlibatan dan tanggung jawab penuh dari masyarakat itu hanya mungkin terjadi apabila hak

masyarakat adat terhadap tanah (wilayah adat) itu diakui dan dihormati. Berdasarkan keyakinan

itu, maka masyarakat adat menuntut agar hak-hak dasar yang melekat pada keberadaan

masyarakat adat serta hak untuk mengelola sumberdaya alam di wilayah adat harus diakui dan

dihormati. Perjuangan masyarakat adat untuk mengajukan tuntutan kepada pemerintah dilakukan

dengan berbagai cara dan dukungan berbagai pihak. Salah satunya adalah melalui WWF.

PROSES DAN HASIL

Proses yang dilalui oleh masyarakat adat di TN Kayan Mentarang untuk menyampaikan

tuntutannya kepada pemerintah adalah sebagai berikut:

(a) Pembentukan Forum Musyawarah Masyarakat Adat (FoMMA), yang dimaksudkan untuk

menjadi sarana bagi masyarakat adat untuk berpartisipasi dalam pengelolaan taman nasional.

Forum tersebut mewakili 16.000 orang, memberikan wewenang dan tanggung jawab dalam

bekerja sama dengan pengelola taman nasional. Forum tersebut juga akan menjadi

penghubung utama dalam komunikasi antara pengelola taman nasional dengan lembaga adat

di tingkat wilayah adat dan desa,

(b) Pembentukan Dewan Penentu Kebijakan (DPK) TN Kayan Mentarang. Pembentukan DPK

TN Kayan Mentarang ini merupakan komitmen pemerintah untuk membentuk lembaga

Page 31: Menumbuhkan Paradigma Kemitraan Konservasi untuk …

kolaboratif dalam pengelolaan TN Kayan Mentarang, yang dikuatkan secara formal oleh

Menteri Kehutanan melalui 3 Keputusan Menteri.

i. Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: 1213/Kpts-II/2002 tentang Rencana

Pengelolaan Taman Nasional Kayan Mentarang;

ii. Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: 1214/Kpts-II/2002 tentang Penetapan

Taman Nasional Kayan Mentarang dikelola secara Kolaboratif;

iii. Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: 1215/Kpts-II/2002 tentang

Pembentukan Dewan Penentu Kebijakan Taman Nasional Kayan Mentarang;

iv. SK Menteri Kehutanan Nomor 1214/Kpts-II/2002, dalam pengelolaan TN Kayan

Mentarang secara kolaboratif berbasiskan masyarakat yang melibatkan para

pihak yang berkepentingan terhadap sumberdaya alam di TN Kayan Mentarang

yaitu dikelola bersama antara pemerintah, pemerintah propinsi, pemerintah

daerah, dan masyarakat (FoMMA), serta pihak lain yang secara nyata

memberikan kontribusi kepada pengelolaan TN Kayan Mentarang.

v. Dalam Keputusan Menbestteri Kehutanan Nomor: 1215/Kpts-II/2002, Menhut

secara tegas menugaskan Dewan Penentu Kebijakan TN Kayan Mentarang

untuk mengusulkan pembentukan Badan Pengelola TN Kayan Mentarang

kepada Menteri Kehutanan sebagai organisasi pelaksana dari pengelolaan

kolaboratif TN Kayan Mentarang. Rancangan Badan Pengelola TN Kayan

Mentarang ini telah disampaikan kepada Menteri Kehutanan melalui Direktorat

Jenderal PHKA Bulan Agustus 2003.

vi. Usulan dari Dewan Penentu Kebijakan TN Kayan Mentarang ini rupanya sejalan

dengan aspirasi banyak di daerah lain. Banyak stakeholder di berbagai daerah

mempunyai aspirasi yang sangat kuat untuk meminta ruang bagi para pihak di

tingkat daerah dan lokal untuk secara aktif berperan dalam pengelolaan taman

nasional di era otonomi daerah berdasarkan prinsip keterbukaan, kesetaraan,

akuntabilitas dan manfaat bersama.

(c) Perubahan dari DPK Menjadi DP3K

Dewan Penentu Kebijakan (DPK) telah dievaluasi sesuai jadwal dalam pertemuan di

Departemen Kehutanan pada 24 Agustus 2007. Pertemuan menyepakati untuk

melanjutkan dengan pengaturan kelembagaan dari pendekatan kolaboratif, tetapi

untuk membentuk sebuah taman nasional baru, lembaga perwakilan yang memiliki

kepentingan, yang disebut Dewan Pembina dan Pengendali Pengelolaan Kolaboratif

(DP3K atau Dewan Pengawas Taman), sebagai pengganti dari DPK. Hal ini diatur

dalam Keputusan SK Menhut MenhutNo.347/Menhut-II/07, tanggal 14 November

2007. Peran dan tanggung jawab dari DP3K meliputi:

i. Untuk bertindak sebagai forum konsultasi dan koordinasi bagi semua stakeholder

dalam rangka untuk memberikan pengawasan dan pengendalian atas pelaksanaan

kegiatan pengelolaan kolaboratif di TN Kayan Mentarang.

ii. Untuk memberikan supervisi mengenai perencanaan dan pelaksanaan program

pengelolaan kolaboratif berdasarkan aspirasi stakeholder dan peraturan pemerintah.

iii. DP3K merupakan badan pengawas pendekatan pengelolaan kolaboratif dalam TN

Kayaan Mentarang. Badan ini memiliki 19 anggota, yang terdiri dari Dephut,

pemerintah lokal dan provinsi, organisasi masyarakat lokal, dan LSM. DP3K

mengoperasikan sebuah sekretariat sejak Agustus 2008, yang diketuai oleh Kepala

Bappeda di Kabupaten Malinau. Sekretariat bekerja sama dengan Balai TN Kayan

Page 32: Menumbuhkan Paradigma Kemitraan Konservasi untuk …

Mentarang dan Proyek Kerjasama Indonesia – German, Program TN Kayan Mentarang,

dan menerima dukungan keuangan untuk kegiatan sehari-hari dari Proyek tersebut.

(d) Kajian Tata Kelola di TN Kayan Mentarang

Pada tahun 2017, Working Group ICCAs Indonesia (WGII) melakukan kajian tata

kelola di TN Kayan Mentarang. Kajian dilakukan dengan metode: (a) pertemuan

dengan masyarakat adat, Balai TN Kayan Mentarang, FoMMA, DP3K, KLHK dan

WWF, (b) wawancara dengan menggunakan kuesioner dan FGD dengan masyarakat

adat, (c) wawancara dengan pemangku kepentingan, (d) pertemuan FoMMA dengan

Balai TN Kayan Mentarang untuk membahas Rencana Pengelolaan Jangka Menengah

(RPJM) TN Kayan Mentarang.

Hasil kajian dimuat dalam laporan berjudul “Masyarakat Adat dan Kawasan

Konservasi di Indonesia: Menuju Tata Kelola Konservasi Yang Efektif, Inklusif dan

Adil. Contoh Kasus Kajian Tata Kelola Kolaboratif di Taman Nasional Kayan

Mentarang, Kalimantan Utara, Indonesia.” Beberapa hasil kajian antara lain:

i. Belum ada pengakuan hak masyarakat adat yang kuat.

ii. Tidak ada anggaran yang mendukung kolaborasi.

iii. Institusi DP3K perlu dilihat kembali kinerja dan perannya.

iv. SK DP3K hanya menetapkan fungsi koordinasi untuk DP3K.

v. Diusulkan agar SK tentang kelembagaan kolaborasi seperti DP3K ini ada payung di

tingkat nasional untuk mengatur kolaborasi dan menguatkan tata kelola kawasan.

vi. Walaupun namanya pengelolaan kolaboratif, namun secara de facto, pengelolaan

adalah sepenuhnya dengan Balai TN Kayan Mentarang.

vii. Kinerja DP3K perlu ditinjau kembali.

viii. Masyarakat merasa ‘jauh’ dan tidak dilibatkan oleh Balai TN Kayan Mentarang.

ix. Masih kuat di masyarakat, pertanyaan apakah ‘binatang lebih penting daripada

manusia?’ dan ‘Masyarakat diminta terus untuk melindungi hutan, namun kita tidak

mendapatkan imbalannya.’

x. Zonasi masih menjadi ‘persoalan’ utama, dimana masyarakat masih mengkhawatirkan

adanya larangan untuk mengambil kayu bangunan dan SDA lainnya di dalam TN

Kayan Mentarang, atau melanjutkan sistem pertanian gilir balik. Masyarakat pada

umumnya ingin melanjutkan pengelolaan hutan berdasarkan aturan adat untuk

mendukung kehidupan mereka dan sumber kehidupannya.

PEMBELAJARAN

Proses membangun kolaborasi yang terjadi di TN Kayan Mentarang menghasilkan banyak

pembelajaran, antara lain:

(a) Pada tingkat organisasi DP3K, koordinasi dan kolaborasi sesungguhnya masih lemah, seolah-

olah tidak ada komitmen dari para pihak untuk mewujudkan bekerjanya kolaborasi. Salah

satu kendala yang sering dikemukakan adalah terbatasnya dana baik pusat maupun daerah,

serta sumberdaya manusia yang kurang.

(b) Pada tingkat pemerintah daerah, masih dijumpai benturan kebijakan, misalnya dalam proses

tata batas, pembangunan jalan, pengembangan kawasan dan pemanfaatan sumberdaya alam.

Hal ini menunjukkan belum melembaganya kolaborasi di tingkat pemerintah daerah.

Mungkin pemerintah daerah belum menganggap kolaborasi sebagai strategi yang penting

untuk mencapai tujuan pembangunan.

Page 33: Menumbuhkan Paradigma Kemitraan Konservasi untuk …

(c) Rencana Pengelolaan Taman Nasional Kayan Mentarang (RPTNKM) tahun 2001 - 2025

telah selesai disusun dengan melibatkan para pihak dan telah ditanda tangani oleh Bupati

Malinau, Bupati Nunukan, Dirjen PHKA dan Menteri Kehutanan. RPTNKM yang disusun

berhasil mengungkapkan kekayaan keanekaragaman hayati sekaligus sosial budaya

masyarakat yang harus dipertimbangkan dalam pengelolaan TN Kayan Mentarang selama 25

tahun.

(d) Membangun saling percaya (mutual trust) di antara para pihak masih belum terjalin dengan

baik, walaupun pada tahap awal pembentukannya partisipasi para pihak tinggi. Hal ini antara

lain menyangkut tentang strategi komunikasi para pihak.

(e) Membangun manfaat sosial ekonomi yang seimbang dengan manfaat ekologi. Saat ini yang

baru dirasakan adalah manfaat ekologi. Masyarakat dan pemerintah daerah belum

merasakan adanya manfaat sosial ekonomi secara signifikan.

(f) Melembagakan peran dan tanggung jawab para pihak. Secara tertulis sudah ada kesepakatan

peran dan tanggung jawab, tetapi belum dapat diwujudkan secara maksimal di tingkat

praktis.

(g) Mewujudkan kemandirian pendanaan pengelolaan taman nasional, karena belum ada jaminan

pendanaan yang berkelanjutan.

(h) Fleksibilitas strategi dalam pendekatan tanpa mengabaikan tujuan utamanya. Hal ini terkait

dengan penyeragaman struktur organisasi balai taman nasional sebagaimana diatur dalam

Permenhut P. 03/2007, sehingga seringkali tidak sejalan dengan kondisi lokal.

6) Tantangan dalam Membangun Kemitraan Konservasi di TN Bantimurung

Bulusaraung

TN Bantimurung Bulusaraung terletak di Sulawesi Selatan, seluas ± 43.750 hektar. Secara

administrasi pemerintahan, kawasan taman nasional ini terletak di wilayah Kabupaten Maros dan

Kabupaten Pangkajene Kepulauan (Pangkep). Taman nasional ini ditunjuk menjadi kawasan

konservasi atau taman nasional berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor:

SK.398/Menhut-II/2004 tanggal 18 Oktober 2004. Perubahan fungsi sebagian kawasan hutan di

Kabupaten Maros menjadi kawasan TN Bantimurung Bulusaraung membawa dampak tersendiri

bagi aktivitas masyarakat sekitar kawasan yang dapat memicu terjadinya konflik dengan

masyarakat.

Konflik yang terjadi dengan masyarakat yaitu penggunaan kawasan sebagai kebun-kebun

masyarakat, dimana masyarakat yang mengklaim bahwa tanah yang ditetapkan sebagai taman

nasional dan tanaman budidaya yang ada di dalamnya adalah milik masyarakat. Dalam sebuah

pertemuan yang difasilitasi oleh Regional Community Forestry Training Center (RECOFTC)

pada tanggal 28 Mei 2009 berlokasi di dalam kawasan Bantimurung, masyarakat lokal mengakui

bahwa justru dinas kehutanan dulu yang meminta mereka untuk menanam tanaman budidaya itu

dalam kawasan hutan sebagai bagian dari pelaksanaan program Hutan Kemasyarakatan (HKm).

PROSES MEMBANGUN KEMITRAAN KONSERVASI

Pada tahun 2012 telah dilakukan kajian oleh Balai Penelitian Kehutanan Makassar dengan tema

Menuju Pengelolaan Kolaborasi Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung. Kajian tersebut

didasarkan pada visi awal TN Bantimurung Bulusaraung, yakni “terwujudnya pengelolaan Taman

Nasional Bantimurung Bulusaraung yang mantap, serasi dan seimbang dengan dukungan

kelembagaan yang efektif”, serta salah satu misi untuk mewujudkan visi tersebut, yakni

“mengembangkan kelembagaan dan kemitraan/kolaborasi dalam rangka pengelolaan sumberdaya

alam hayati dan ekosistemnya”. Pengembangan kemitraan atau pengelolaan kolaborasi menjadi

pilihan Balai TN Bantimurung Bulusaraung didasarkan akan kesadaran bahwa pengelolaan

kawasan TN Bantimurung Bulusaraung tidak dapat dilakukan sendiri hanya oleh

Page 34: Menumbuhkan Paradigma Kemitraan Konservasi untuk …

pengelola/pemangku kawasan serta dengan memperhatikan prinsip-prinsip keadilan dan

kesetaraan.

Pengelolaan kolaborasi tersebut sekarang dijembatani oleh Perdirjen No.6 Tahun 2018 dengan

adanya 11 dokumen Perjanjian Kerja Sama (PKS) yang ditandatangani oleh Balai TN Bantimurung

Bulusaraung dengan 11 kelompok tani hutan. Kelompok-kelompok tersebut di antaranya:

Kelompok Tani Hutan (KTH) Bukit Harapan, KTH Bulu Tanete, KTH Pattiro Bulu, KTH Tunas

Muda, KTH Banga-banga, KTH Labongke, KTH Patanyamang I, KTH Patanyamang II, KTH

Sonrae, KTH Wanua Deceng, dan Kelompok Pengelola Ekowisata (KPE) Lamassua. Fokus

pemanfaatan kelompok-kelompok yang berada di zona tradisional ini di antaranya: pemanfaatan

madu, bambu, aren, kemiri, getah pinus, pakan ternak, budidaya palawija, dan tanaman obat.

Terdapat satu kelompok yang berfokus mengelola jasa wisata terbatas yakni KPE Lamassua.

PEMBELAJARAN

Proses membangun kemitraan konservasi dan kerjasama yang terjadi di TN Komodo

menghasilkan banyak pembelajaran, antara lain:

• Dukungan banyak lembaga pendamping (TNC, WWF, GEF, RARE, Yayasan

Komodo Survival Program, Swisscontact Wisata Project) dalam bentuk riset,

design rencana pengelolaan, implementasi rencana kelola meningkatkan kualitas

pengelolaan TN Komodo dan nilai jual kekayaan konservasi di mata dunia, serta

menciptakan dukungan pendanaan dari banyak donor asing (World Bank-IFC, USAID, dll).

• Pengakuan dunia terhadap keunikan TN Komodo melalui penetapan Cagar

Biosfer dan Warisan Alam Dunia oleh UNESCO dan New 7 Wonders of Nature

menjadi promosi besar bagi kunjungan wisatawan mancanegara.

• Potensi wisatawan yang besar menarik investasi swasta dan meningkatkan

Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dari

kunjungan wisatawan.

• Memberikan keuntungan kepada masyarakat sekitar diantaranya: pembangunan

infrastruktur, penyediaan lapangan kerja pemandu wisata, menyediakkan

kerajinan/menjual cinderamata, mengelola homestay, menyewakan perahu motor,

dilatih menjadi kader konservasi.

7) Best Practice TN Kelimutu: Pengembangan Produk dan Jasa Lingkungan untuk

Menangani Konflik Tenurial

Pengembangan produk dan jasa lingkungan adalah salah satu cara Balai TN Kelimutu untuk

menyelesaikan konflik tenurial di TN Kelimutu.

Di sekitar TN Kelimutu (Flores, NTT) terdapat 24 desa yang termasuk daerah penyangga yang

tersebar di lima kecamatan. Seperti pada umumnya desa hutan di Indonesia, desa-desa pada

daerah penyangga TN kelimutu memiliki ketergantungan terhadap wilayah hutan yang telah

ditetapkan sebagai kawasan konservasi. Ketergantungan umumnya berupa air dan jasa lingkungan

yakni pariwisata.

Menurut data kecamatan dalam angka tahun 2014 di lima kecamatan, maka sebagian besar mata

pencaharian penduduk adalah petani. Di dalam pengamatan di tingkat lapangan, maka sebagian

besar penduduk memiliki mata pencaharian petani berladang rotasi. Mereka membuat ladang

setiap tahun untuk kemudian berpindah ke lokasi lain dengan rotasi 3-5 tahun. Ladang yang

dibuka setiap tahun atau 0,5 – 1 ha dengan jenis-jenis tanaman padi, jagung, ketela pohon, ubi

jalar, sorgum, kemudian juga sayur-mayur seperti wortel, ketimun, sawi, bayam, kacang-kacangan

dan lain-lain. Walaupun demikian, petani peladang ini juga sudah memiliki kebun menetap berupa

kebun kopi atau kakao/ cokelat, bahkan sebagian juga sudah bertani sawah.

Page 35: Menumbuhkan Paradigma Kemitraan Konservasi untuk …

Penyelesaian konflik dimulai dari 4 desa, yaitu Desa Nduaria, Desa Saga, Desa Wologai Tengah

dan Desa Niowula. Keempat desa mempunyai intensitas konflik yang berbeda sehingga

dilakukan pendekatan yang berbeda. Namun, secara umum hal-hal yang dilakukan pada tahap

awal untuk menyelesaikan konflik adalah (a) identifikasi kebutuhan, (b) penguatan kelompok, (c)

kerjasama dengan stakeholder, dan (d) memulai dari kegiatan yang kecil. Tahapan ini dilakukan

secara intensif oleh staf Balai TN Kelimutu, baik Polhut maupun staf fungsional yang lain.

Petugas Balai TN Kelimutu sampai harus bermalam di desa untuk menjalin hubungan baik dan

komunikasi dengan masyarakat, dengan tujuan untuk mendapat kepercayaan (trust) dari

masyarakat. Diskusi untuk identifikasi kebutuhan bisa dilakukan dimana saja dan kapan saja,

tidak harus selalu dalam forum pertemuan. Pertemuan informal lebih banyak dilakukan.

Beberapa kegiatan kecil yang telah dilakukan bertujuan untuk menunjukkan bukti nyata dari

kerjasama atau kemitraan antara lain (a) pemanfaatan spesies tanaman perusak yaitu ki-rinyuh,

yang semua bagian tumbuhannya diproses untuk membuat pupuk organik dan bisa menjadi

sumber pendapatan baru bagi masyarakat, (b) pengembangan wisata alam berupa air terjun dan

trekking telah menjadi daya tarik obyek wisata alam, dan di beberapa lokasi telah berhasil

mendatangkan wisatawan dan dipandu oleh penduduk setempat, (c) pengembangan camping

ground dan penataan embung yang dikelola penduduk setempat dan menjadi obyek wisata dan

tempat studi tour bagi para pelajar dari berbagai daerah di Flores.

Beberapa pembelajaran dari kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan dalam rangka implementasi

Kemitraan Konservasi di TN Kelimutu adalah:

• Konflik tenurial yang terjadi di TN Kelimutu dapat diselesaikan melalui Kemitraan

Konservasi. Kemitraan Konservasi adalah jalan tengah dalam menyelesaikan konflik

tenurial yang terjadi di TN Kelimutu

• Kemitraan Konservasi telah mengubah pandangan masyarakat terhadap petugas TN

Kelimutu, dari anggapan sebagai musuh yang harus dihindari bahkan harus dihadapi kalau

terpaksa, menjadi kawan untuk bekerja sama dalam melakukan kegiatan.

• Sebaliknya, cara kerja petugas TN Kelimutu juga berubah dari semula banyak melarang

masyarakat, menjadi memfasilitasi untuk memberdayakan masyarakat.

• Balai TN Kelimutu memulai implementasi Kemitraan Konservasi dari empat desa, dan

akan dikembangkan terus ke desa-desa lain yang ada di daerah penyangga TN Kelimutu.

8) Proses dan Tantangan Membangun Kelembagaan Kolaborasi di TN Gunung

Ciremai

Kelembagaan kolaborasi di TN Gunung Ciremai (Jawa Barat) ditawarkan sebagai solusi atas

konflik yang terjadi dalam penetapan TN Gunung Ciremai pada tahun 2004. Proses membangun

kelembagaan kolaborasi yang dilalui adalah (a) dialog multi-pihak untuk membangun komitmen,

(b) implementasi rencana aksi hasil dialog multi-pihak, (c) pembentukan Tim Pengkajian Taman

Nasional Gunung Ciremai, (d) Penyusunan draft Rencana Pengelolaan TN Gunung Ciremai, (e)

mendiskusikan tuntutan masyarakat untuk mereview Nota Kesepahaman Bersama (NKB) dan

Nota Perjanjian Kerjasama (NPK), (f) dialog untuk membangun kesepakatan antara Pemerintah

Kabupaten Kuningan dengan Balai TN Gunung Ciremai, (g) menyusun konsep PKKBM

(Pengelolaan Kawasan Konservasi Bersama Masyarakat, (h) Perubahan fokus PKKBM dari

pemanfaatan lahan menjadi pemanfaan jasa lingkungan wisata alam, (i) pembentukan Dewan

Kemitraan Pengelolaan TN Gunung Ciremai, (j) Perubahan dari Dewan Kemitraan Pengelolaan

TN Gunung Ciremai menjadi Forum Kemitraan Kawasan Lindung Gunung Ciremai (FKKGC),

(k) Perubahan dari FKKGC menjadi Forum Ciremai.

Tantangan yang dihadapi dalam membangun kelembagaan kolaborasi TN Gunung Ciremai adalah

mempertemukan kepentingan bersama, baik kepentingan Balai TN Gunung Ciremai, kepentingan

masyarakat yang sebelumnya mengelola lahan sebelum Ciremai ditetapkan menjadi Taman

Nasional, maupun kepentingan Pemerintah Kabupaten Kuningan dan Majalengka. Secara

organisasi sudah ada lembaga kolaborasi yang terbentuk melalui proses yang panjang. Namun

Page 36: Menumbuhkan Paradigma Kemitraan Konservasi untuk …

secara kewenangan, semuanya masih bekerja sendiri-sendiri karena mempunyai prioritas yang

berbeda-beda satu sama lain.

9) Best Practice Wisata Berbasis Masyarakat di TN Sebangau

Kawasan Taman Nasional Sebangau merupakan salah satu Kawasan Konservasi yang berada di

Provinsi Kalimantan Tengah. Sebelum menjadi kawasan konservasi, area ini merupakan hutan

produksi, dimana waktu itu masyarakat cukup bebas untuk melakukan aktifitas ekstraksi

sumberdaya alam. Sebagian besar aktifitas masyarakat di dalam kawasan yang menjadi ancaman

adalah penebangan liar.

Penunjukan kawasan Taman Nasional Sebangau pada tahun 2004 membuat akses masyarakat

menjadi sangat terbatas, sehingga muncul penolakan terhadap keberadaan TN Sebangau.

Keberadaan TN Sebangau dianggap merugikan masyarakat karena menghilangkan mata

pencahariannya, terutama sebagai penebang kayu. Sebagai contoh, di wilayah Desa Karuing

Kabupaten Katingan hingga tahun 2009 masyarakat masih ada yang menolak keberadaan TN

Sebangau walaupun sudah ada pendampingan dari CARE dan WWF sejak 2006.

Sebelum adanya penertiban pada 2005, sebagian besar matapencaharian masyarakat desa karuing

adalah sebagai penebang kayu/illegal logging. Penertiban yang dilakukan menimbulkan konflik

antara masyarakat dengan pihak Balai TN Sebangau. Untuk mengatasi permasalahan tersebut

pihak Balai TN Sebangau bersama WWF melakukan pendampingan dan pengembangan wisata

alam di wilayah punggualas.

Pemberian akses kepada masyarakat adalah salah satu untuk menyelesaikan konflik, karena TN

Sebangau memberikan manfaat bagi masyarakat. Hal ini terbukti di desa Karuing, masyarakat

yang sebelumnya menolak keberadaan kawasan TN Sebangau, saat ini menjadi mitra Balai TN

Sebangau untuk mengelola kawasan. Bentuk kerjasama tersebut adalah pemberian akses untuk

mengelola jawa wisata melalui perjanjian kerjasama antara Balai TN Sebangau, WWF, dan

Kelompok Sumpul Wisata.

Kejasama untuk pengelolaan wisata alam punggualas dilakukan oleh tiga pihak, dikarenakan di

dalamnya terdapat asset WWF Kalteng berupa homestay, pondok peneliti, dan titian (wooden

trail) yang belum diserahkan kepada pihak TN Sebangau, hal ini dikarenakan kesulitan dalam

biaya pemeliharaan dan operasionalnya.

Selama berjalan kegiatan BTNS dan WWF Kalteng telah banyak kegiatan yang dilakukan di desa

Karuing untuk memberikan pemahaman mengenai kawasan konservasi dan peningkatan kapasitas

yang menunjang untuk pengelolaan wisata alam punggualas.

Keberhasilan kemitraan konservasi di TN Sebangau untuk wilayah Desa Karuing tentu

merupakan hasil proses yang panjang dan kerjasama para pihak. Untuk mencapai keberhasilan di

wilayah Punggualas paling tidak harus melawati: (a) pendekatan dan pendampingan untuk

memberikan pemahaman tentang kawasan konservasi, (b) pembentukan kelompok masyarakat,

(c) peningkatan kapasitas

Pembelajaran dari pengembangan kemitraan konservasi di TN Sebangau untuk wisata alam

Punggualas adalah bahwa kemitraan konservasi telah memberikan dampak positif, diantaranya:

• Wisata alam Punggualas menjadi alternatif matapencaharian baru dan menambah

pendapatan masyarakat sehingga dapat mengurangi aktivitas illegal logging.

• Kepedulian masyarakat akan pentingnya kawasan TN Sebangau meningkat.

• Konflik masyarakat dengan pihak Balai TN Sebangau terselesaikan.

• Kapasitas masyarakat meningkat terutama untuk penelitian dan pelayanan wisata

alam.

• Memberikan manfaat bagi desa lainnya melalui kerjasama desa Karuing dengan desa

tetangga untuk penyediaan transportasi darat.

10) Best Practice Model Kampung Konservasi (MKK) di TN Gunung Halimun Salak

Page 37: Menumbuhkan Paradigma Kemitraan Konservasi untuk …

Konflik tenurial yang dihadapi oleh Balai TN Gunung Halimun Salak antara lain disebabkan oleh

perluasan kawasan Taman Nasional pada tahun 2003. Semula luas kawasan TN Gunung Halimun

Salak adalah 40.000 ha. Melalui SK Menteri Kehutanan Nomor 175/Kpts-II/2003 tanggal 10 Juni

2003, luas Taman Nasional bertambah menjadi total 113.357 hektar.

Adanya perluansan kawasan TN Gunung Halimun Salah memerlukan sebuah model yang

dibutuhkan masyarakat di sekitar dan di dalam kawasan bersama pengelola sebagai solusi atas

konflik tenurial yang terjadi.

Undang - Undang Otonomi Daerah No. 22 dan No. 25 tahun 1999 yang melatarbelakangi Model

Kampung Konservasi (MKK) di Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Model Kampung

Konservasi (MKK) memiliki visi “Masyarakat hidup bersama taman nasional”. Model Kampung

Konservasi merupakan sebuah model dari sebuah kampung yang menerapkan kaidah-kaidah

konservasi. Definisi dari kampung konservasi adalah kampung yang di dalamnya bisa melakukan

aktifitas perlindungan secara mandiri, mampu menjaga ekosistem dan secara ekonomi bisa

memberikan kesejahteraan bagi masyarakat.

Model

• MKK merupakan program yang dinisiasi oleh BTNGHS sejak tahun 2003, untuk pilot

project dilakukan pada tahun 2004 -2007. Sejak tahun 2004 dilakukan persiapan dan

pendidikan petugas Taman Nasional. Pada tahun 2005 MKK didukung oleh JICA dan mulai

diadakan persiapan sosial di dua desa yaitu Desa Sirnaresmi (masyarakat adat) dan

Kampung Cipeuteuy (masyarakat non adat) yang menghasilkan guideline MKK ke Kampung

Konservasi. MKK di TNGHS dilakukan di dua tipe masyarakat, yaitu masyarakat desa dan

masyarakat kasepuhan. MKK di masyarakat desa lebih berhasil dipengaruhi oleh sistem

sosial dan kepemimpinan di tingkat masyarakat.

• Pada tahun 2008 MKK konservasi BTNGHS berjalan atas dukungan dari BTNGHS, selain

mendapatrkan dukungan dari Pemerintah Daerah Sukabumi melalui, MKK mendapatkan

dukungan dari BUMN (ANTAM, PLN), CIFOR, dll.

• Tahapan yang dilakukan adalah, pendekatan dan pendampingan, pembentukan kelompok,

penyusunan rencana program, peningkatan kapasitas, penandatanganan kesepakatan,

pelaksanaan program.

• Hak-hak yang didapatkan oleh masyarakat melalui MKK diantaranya yaitu diberi akses

untuk menggarap lahan di zona khusus, dengan catatan tidak boleh ada perluasan,

masyarakat diberi akses untuk mengelola wisata alam, masyarakat mendapatkan

pendampingan.

• Kewajiban yang harus dilakukan masyarakat diantarnya yaitu wajib menanam untuk

rehabilitasi/restorasi lahan, masyarakat dilarang mengambil hasil hutan kayu, walaupun hasil

menanam sendiri

MKK

• matapencaharian

• melakukan

• lahan

• Sukagalih

• mendapatkan

Page 38: Menumbuhkan Paradigma Kemitraan Konservasi untuk …

a) Perencanaan partisipatif

b) Peningkatan kapasitas

c) Pelaksanaan program

11) Uji Coba Mekanisme Apresiasi Untuk Petani Reharbilitasi di TN Meru Betiri

Konflik yang dihadapi oleh Balai TN Meru Betiri adalah konflik tenurial berupa perambahan

besar-besaran yang terjadi pada periode 1998 – 2001. Tidak kurang 2000 ha lahan di zona

rehabilitasi telah dirambah pada periode tersebut.

Sementara itu, proses rehabilitasi lahan sesungguhnya sudah dimulai melalui kerja sama Lembaga

Alam Tropika Indonesia (LATIN) bersama Balai TNMB dan KAIL sejak 1993 dengan membuat

demplot rehabilitasi seluas 7 ha, dan dikembangkan untuk rehabilitasi skala yang lebih luas sejak

tahun 2002.

Namun proses rehabilitasi hutan belum berhasil. Semenjak proses rehabilitasi hutan dilakukan

mulai tahun 2002, belum semua lahan kritis berhasil direhabilitasi. Sebagai contoh, rehabilitasi

hutan di zona rehabilitasi yang dilakukan oleh petani dari Desa Curahnongko seluas 410 ha,

sampai tahun 2012, baru berhasil mencapai sekitar 40% dari luas 410 ha. Jumlah pohon yang

ditanam mencapai 18.071 batang, dengan jenis sebanyak 38 jenis pohon.

Untuk meningkatkan presentase luas yang ditanami dan juga jumlah bibit yang ditanam di lahan

kritis di dalam zona rehabilitasi, maka KAIL sebagai pendamping petani rehabilitasi melakukan uji

coba mekanisme apresiasi bagi petani yang terlibat dalam rehabilitasi hutan. Uji coba dilakukan

terhadap 708 orang petani rehabilitasi yang berasal dari Desa Curahnongko.

Rencana penanaman yang didiskusikan bersama dengan petani dan ketua kelompok tani

menghasilkan gagasan tentang system insentif untuk rehabilitasi hutan. Sistem insentif tsb. diberi

nama Program PINTAR (Paket Insentif untuk Petani Rehabilitasi).

PINTAR

• Mendorong para petani untuk menanam pohon yang bernilai ekonomi sekaligus

ekologis di lahan-lahan yang masih termasuk dalam Kelas 1 sampai 4.

• Memberi apresiasi kepada para petani yang telah berhasil menanam dan merawat

atau menjaga tanaman hasil rehabilitasi untuk Kelas 5 dan 6.

insentif

• Ekonomi: potongan harga atau diskon untuk membeli sembako di toko yang

telah ditunjuk dalam Program PINTAR

Page 39: Menumbuhkan Paradigma Kemitraan Konservasi untuk …

• Kesehatan: bantuan untuk keringanan biaya berobat ke Puskesmas Desa

Curahnongko

• Pendidikan: bantuan untuk anak atau cucu dari petani untuk biaya pendidikan

atau fasilitasi pendidikan.

dana

Pembelajaran

Mekanisme pemberian insentif atau apresiasi bagi petani rehabilitasi di TN Meru Betiri bisa

berjalan pada tahun pertama tetapi tidak bisa dilanjutkan karena gagal dalam mengumpulkan

donasi sukarela. Kegagalan ini antara lain karena kurang promosi dan dokumentasi atas proses-

proses dan hasil yang telah dicapai.

Selain itu, tidak adanya payung hukum pelibatan masyarakat dalam rehabilitasi hutan di TN Meru

Betiri membuat motivasi KAIL dan petani yang terlibat menjadi turun dan kurang bersemangat.

Beranjak dari proses tersebut, kini masing-masing anggota kelompok secara independen

mengelola lahannya dengan tanaman campuran. Setidaknya telah terbentuk 108 kelompok tani

yang menyasar 3556 Kepala Keluarga pada lahan seluas 2.779,08 hektare. Tiap anggota

kelompok bertanggung jawab mengelola lahannya masing-masing.16 Tegakan atas biasanya bersisi

tanaman tua semisal petai, nangka, trambesi, lamtoro dan kluwak. Sementara tegakan bawah

yang dikelola intensif terdiri dari jagung, padi ladang, umbi-umbian dan tanaman obat. Tapi

proses pendampingan yang sudah menurun sejak 2015 lantaran keterbatasan pendanaan17

membuat para penggarap lahan banyak yang memetingkan tanaman hortikultura dan tanaman

obat ketimbang tanaman yang berfungsi untuk rehabilitasi lahan.18

12) Pengalaman Balai Taman Nasional Gunung Tambora dalam Mempersiapkan

Kemitraan Konservasi Dengan Cara Bekerja Bersama Masyarakat

Permasalahan yang dihadapi oleh Balai TN Tambora (Kabupaten Dompu dan Kabupaten Bima,

Propinsi NTB) adalah illegal logging yang terjadi sejak sebelum Tambora ditetapkan menjadi

Taman Nasional. Pada periode tahun 2013 – 2015, kegiatan illegal logging sangat tinggi, dalam

satu malam truk pengangkut kayu keluar dari hutan di Gunung Tambora dan sekitarnya bisa

mencapai 30 – 40 truk. Begitu juga kegiatan perambahan yang dilakukan masyarakat cukup

tinggi intensitasnya, terutama untuk peladangan jagung.

Sebagai Taman Nasional yang relatif baru, maka proses sosialisasi tentang keberadaan Taman

Nasional Gunung Tambora, fungsi dan manfaatnya bagi masyarakat di sekitar Taman Nasional

masih belum tuntas sehingga berpotensi menimbulkan konflik tenurial. Salah satu sebab

munculnya konflik tenurial adalah tata batas TN Gunung Tambora belum tuntas. Menurut

Ketua Kelompok Perempuan Delta Api, Sulastri, lokasi kebun kopi anggotanya sebagian besar

berada di sekitar kawasan Taman Nasional. Penetapan Gunung Tambora menjadi Taman

Nasional, menyebabkan petani khawatir areal kebun mereka berada dalam kawasan TN Gunung

Tambora.

Untuk mengatasi masalah illegal logging dan perambahan diatasi, Balai TN Tambora melibatkan

masyarakat dalam pengamanan kawasan serta penegakan hukum. Selain itu juga dilakukan

pemberdayaan masyarakat melalui kegiatan ekonomi produktif. Beberapa kegiatan yang

difasilitasi oleh Balai TN Gunung Tambora bekerja sama dengan LSM lokal adalah pengembangan

kopi, madu, dan wisata alam.

16 Wawancara mendalam dengan Kelompok Tani Mekar Sari I, Curahnongko, 11 Januari 2019.17 Wawancara mendalam dengan KAIL, Curahnongko, 17 Januari 2019.18 Wawancara Mendalam dengan Kelompok Wanita Tani Sumber Waras, Curahnongko, 11 Januari 2019.

Page 40: Menumbuhkan Paradigma Kemitraan Konservasi untuk …

Lokasi kegiatan kerjasama ini lebih banyak dilakukan di daerah penyangga Taman Nasional.

Kegiatan bersama masyarakat di dalam dan sekitar Taman Nasional dilakukan belum

menggunakan mekanisme kerjasama, masih menggunakan mekanisme pendampingan. Antara

lain: untuk kegiatan pariwisata alam dan Pendakian, kegiatan pengambilan Hasil Hutan Bukan

Kayu (HHBK) oleh masyarakat, dan Peningkatan kualitas pengelolaan kopi.

Pembelajaran

• Kepercayaan yang diberikan oleh Balai TN Gunung Tambora kepada masyarakat

sebagai subyek pengelolaan taman nasional terbukti dapat mengatasi illegal

logging. Keterlibatan masyarakat secara langsung dalam pengamanan kawasan

bersama Taman Nasional dan KPH berhasil mengurangi illegal logging.

• Berbagai upaya pemberdayaan masyarakat telah dilakukan oleh Balai TN Tambora

untuk menunjukkan manfaat nyata dari kerjasama atau kemitraan antara Balai TN Tambora dengan masyarakat. Dan hal ini telah dipayungi oleh Perdirjen KSDAE

No. 6 Tahun 2018 tentang Kemitraan Konservasi. Dengan adanya Perdirjen ini,

maka Balai TN Tambora telah menandatangani dokumen Perjanjian Kerja Sama

(PKS) dengan kelompok masyarakat pengolah madu hutan di Desa Kawinda Toi

pada bulan Desember 2018. Berbagai manfaata nyata dan Perjanjian (PKS) ini

diharapkan dapat meningkatkan kepercayaan masyarakat kepada Balai TN

Tambora.

d. Aktivitas 4: Lokakarya Penyusunan Strategi Komunikasi LATIN

Lokakarya bertujuan untuk menyusun dokumen yang berisi pesan kunci (key messages) yang

harus disampaikan melalui cara-cara penyampaian yang tepat kepada target sasaran yang dituju,

yaitu Dirjen KSDAE dan Kepala Balai Taman Nasional yang sudah bekerja sama dengan

masyarakat dengan menggunakan peraturan selain Perdirjen KSDAE No. 6 Tahun 2018.

Lokakarya Penyusunan Strategi Komunikasi diadakan pada tanggal 29 April sampai 1 Mei 2019 di

Bogor. Lokakarya dihadiri oleh 20 orang peserta terdiri atas 12 laki-laki dan 8 orang perempuan.

Peserta adalah Koordinator Program, peneliti/fasilitator yang melakukan kajian di 6 Taman

Nasional dan tim pendukung (GIS, finance, administrasi), berjumlah 13 orang, dengan nara

sumber Sari Lani dari PT DIGDAYA dan dari Fakultas Kehutanan IPB, serta fasilitator Syafrizaldi.

yang sebelumnya terlibat dalam kegiatan indepth interview dan FGD di 6 Taman Nasional.

Hasil dari Lokakarya adalah Dokumen Strategi Komunikasi yang di dalamnya antara lain berisi

pesan kunci (key messages) tentang implementasi Kemitraan Konservasi, kelompok sasaran atau

target komunikasi, dan rencana komunikasi termasuk kemasan pesan kunci dalam bentuk bentuk

policy brief. Berikut ini target personal dan pesan kunci yang akan disampaikan:

A. Target: Dirjen KSDAE (Bapak Wiratno)

a. Key message #1: “Dirjen KSDAE perlu membuat Surat Edaran agar setiap Balai Taman

Nasional mengeksplorasi manfaat dan penggunaan RBM dalam melibatkan masyarakat

untuk ikut merencanakan, melaksanakan sampai monitoring dan evaluasi kemitraan

konservasi.”

b. Key message #2: “Dirjen KSDAE perlu membuat Surat Edaran agar Balai Taman Nasional

dapat bekerjasama dengan lembaga yang berkompeten, untuk melakukan investigasi

pelaku free rider dan rantai tata niaga hasil hutan ilegal, serta menyusun rencana

mitigasinya.”

c. Key message #3: “Dirjen KSDAE perlu membentuk tim pakar yang ditugaskan untuk

membuat dokumen FAQ (Frequently Asked Questions) tentang Kemitraan Konservasi.”

d. Key message #4: “Dirjen KSDAE perlu menyediakan unit/tim/mekanisme cepat tanggap

di Ditjen KSDAE, yang dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan dari lapang terkait dengan

Page 41: Menumbuhkan Paradigma Kemitraan Konservasi untuk …

pasal-pasal di dalam Perdirjen KSDAE No. 6 Tahun 2018 yang dianggap masih belum

jelas.”

e. Key message #5: “Dirjen KSDAE perlu menyediakan sumberdaya yang memadai untuk

mendokumentasikan dan menyebarluaskan contoh kesuksesan, kegagalan dan

pembelajaran dari Kemitraan Konservasi.”

f. Key message #6: “Dirjen KSDAE perlu membentuk tim pakar yang bertugas untuk

merumuskan pengelolaan pengetahuan (knowledge management) Kemitraan Konservasi,

baik untuk tingkat pusat (Dirjen KSDAE) maupun untuk tingkat UPT di lapangan.”

B. Target: Kepala Balai Taman Nasional yang sudah bekerja sama dengan masyarakat dengan menggunakan peraturan selain Perdirjen KSDAE No. 6 Tahun 2018

a. Key message #7: “Balai TN perlu menghilangkan stigma dalam berinteraksi dengan

masyarakat, melalui integrasi RBM dengan siklus proses pembelajaran dalam melibatkan

masyarakat.”

b. Key message #8: “Balai Taman Nasional perlu mengidentifikasi dan menjalin kerja sama

dengan lembaga yang berkompeten untuk melakukan investigasi pelaku free-rider dan

rantai tata niaga hasil hutan ilegal, serta menyusun rencana mitigasinya.”

c. Key message #9, “Balai Taman Nasional perlu mengalokasikan sumberdaya khusus untuk

mendokumentasikan dan menyebarluaskan contoh kesuksesan, kegagalan dan

pembelajaran dari Kemitraan Konservasi.”

d. Key message #10: Balai TN menyiapkan mekanisme dan SOP untuk menjalankan

pengelolaan pengetahuan (knowledge management) sesuai dengan hasil rumusan tim

pakar yang dibentuk oleh Dirjen KSDAE.

e. Aktivitas 5: Lokakarya Penyampaian Key Messages (Policy brief, Hasil Lokakarya Strategi Komunikasi) LATIN kepada Dirjen KSDAE Kementerian LHK

Lokakarya bertujuan untuk menyampaikan hasil Lokakarya Strategi Komunikasi berupa policy brief, termasuk best practice dan lessons learned, yang telah dihasilkan LATIN kepada Dirjen

KSDAE dan jajarannya di kantor Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, dan

mengundang beberapa Pengelola Taman Nasional.

Lokakarya penyampaian Key Messages kepada Dirjen KSDAE dilaksanakan pada tanggal 9 Juli

2019. Selain dihadiri oleh Dirjen KSDAE dan staf KSDAE dan UPT Taman Nasional (Balai TN

Gunung Gede Pangrango, Balai TN Ujung Kulon, Balai TN Gunung Halimun Salak, dan Balai TN

Kepulauan Seribu), juga dihadiri oleh staf dari Direktorat Jenderal yang lain (PSKL, BPEE, Biro

Perencanaan, BP2SDM) dan juga stakeholder (AMAN, BRWA, RMI, FKKM, Burung Indonesia).

Total jumlah peserta berjumlah 42 orang, terdiri atas 15 perempuan dan 27 orang laki-laki.

Hasil dari Lokakarya adalah diterimanya dokumen policy brief oleh Bapak Wiratno sebagai Dirjen

KSDAE, dimana poin-poin utama policy brief LATIN adalah:

A. Temuan dari Kajian di 12 Taman Nasional:

1. Dari 12 Taman Nasional yang dikaji, semuanya sudah melakukan kerja sama dengan

masyarakat, baik yang dilakukan sebelum maupun setelah terbitnya Perdirjen No 6 Tahun

2018.

2. Dari 12 Taman Nasional yang dikaji, ada 4 Taman Nasional yang telah membuat

Perjanjian Kerja Sama (PKS) setelah Perdirjen KSDAE No. 6 Tahun 2018, yaitu TN

Bantimurung Bulusaraung, TN Gunung Leuser, TN Bogani Nani Wartabone dan TN

Kelimutu.

3. Perdirjen KSDAE No. 6 Tahun 2018 memperkuat dan menjadi payung hukum bagi

inisiatif kerja sama yang telah dilakukan oleh Balai TN sebelum terbitnya Perdirjen

Page 42: Menumbuhkan Paradigma Kemitraan Konservasi untuk …

tersebut, namun di sisi lain ada kekuatiran bahwa Perdirjen tersebut menghidupkan

kembali konflik yang sudah mereda setelah ada inisiatif kerja sama.

4. Perdirjen KSDAE No. 6 Tahun 2018 mengatur waktu pelaksanaan Kemitraan Konservasi,

untuk pemberdayaan masyarakat berlaku 5 tahun dan untuk pemulihan ekosistem

berlaku 10 tahun, dan masing-masing dapat diperpanjang. Yang menjadi kekuatiran adalah

ketidak jelasan proses perpanjangan waktu, siapa yang berwenang memutuskan dan

bagaimana caranya. Kejelasan mengenai hal ini, akan meyakinkan masyarakat terutama

yang terlibat dalam pemulihan ekosistem karena akan mendapat kepastian bahwa mereka

bisa memanen hasil dari berbagai jenis pohon yang telah ditanam dalam pemulihan

ekosistem.

5. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan dalam kerja sama antara masyarakat dengan Balai TN

bermacam-macam, seperti pengelolaan obyek wisata alam, rehabilitasi hutan,

pemanfaatan hasil hutan bukan kayu seperti durian, madu dan getah pinus, pemanfaatan

jenis tumbuhan pengganggu menjadi pupuk dan pestisida organik, pemberdayaan

perempuan pengrajin kain tenun, dsb. Namun, khusus untuk pemanfaatan HHBK, baik

staf Balai TN maupun masyarakat menginginkan kejelasan aturan pemanfaatan hasil hutan

bukan kayu.

6. Kerja sama masyarakat dengan Balai TN telah mulai memberi manfaat ekonomi berupa

peningkatan pendapatan bagi masyarakat, namun ada kekuatiran bahwa kelompok

penerima manfaat belum tepat sasaran.

7. Kerja sama juga memberi manfaat sosial pada masyarakat yang terlibat dalam kerja sama

berupa mulai terbangunnya kelembagaan masyarakat dan berkurangnya sifat individualistis

masyarakat, namun ada kekuatiran bahwa muncul kecemburuan sosial dari kelompok

masyarakat yang tidak terlibat dalam kerja sama.

8. Manfaat ekologi berupa mulai berjalannya proses pemulihan ekosistem di dalam kawasan

Taman Nasional, namun di sisi lain muncul kekuatiran bahwa Kemitraan Konservasi akan

mengundang “free-rider” untuk memanfaatkan lahan di dalam kawasan, dengan alasan

pemulihan ekosistem.

9. Banyak kerja sama antara Pengelola Taman Nasional dan masyarakat setempat yang telah

memberi dampak positif, baik secara ekonomi, sosial maupun ekologi, tetapi masih belum

banyak didokumentasikan.

10. Penerapan Kemitraan Konservasi membutuhkan pendanaan yang memadai dan tidak bisa

terpenuhi hanya dari dana yang dikelola oleh Taman Nasional. Di sisi lain, ada sumber-

sumber pendanaan baik di pemerintah daerah maupun di desa yang bisa dioptimalkan

pemanfaatannya untuk mendukung Kemitraan Konservasi. Sementara itu, pemerintah

daerah banyak yang mempertanyakan manfaat keberadaan Taman Nasional terutama

kontribusi Taman Nasional terhadap PAD (Pendapatan Asli Daerah).

B. Rekomendasi Kebijakan

1. Perlu membentuk tim pakar yang ditugaskan untuk membuat dokumen FAQ (Frequently Asked Questions) tentang Kemitraan Konservasi. Dokumen FAQ berisi sejumlah

pertanyaan tentang Kemitraan Konservasi, serta jawaban yang dapat menjadi acuan bagi

Kepala Balai Taman Nasional dan stafnya.

2. Perlu ada unit/tim/mekanisme cepat tanggap di Ditjen KSDAE, yang dapat menjawab

pertanyaan-pertanyaan dari lapang terkait dengan pasal-pasal yang dianggap masih belum

jelas.

3. Direktorat Jenderal KSDAE perlu menyediakan sumberdaya yang memadai untuk

pendokumentasian dan penyebarluasan contoh kesuksesan, kegagalan dan pembelajaran

dari Kemitraan Konservasi.

Page 43: Menumbuhkan Paradigma Kemitraan Konservasi untuk …

4. Perlu tim pakar yang bertugas untuk merumuskan organisasi pembelajar yang berfungsi

untuk mengelola pengetahuan (knowledge management) Kemitraan Konservasi, baik

untuk tingkat pusat (Ditjen KSDAE) maupun untuk tingkat UPT di lapangan.

5. Perlu dilakukan kerja sama dengan lembaga yang berkompeten, untuk melakukan

investigasi pelaku free rider dan rantai tata niaga hasil hutan illegal, serta menyusun

rencana mitigasinya

Dirjen KSDAE kemudian menanggapi dengan positif policy brief LATIN tersebut, yaitu:

a) Ilmu sosial di kita terlambat, padahal ilmu sosial memberikan kontribusi terhadap

perkembangan hutan dan kehutanan.

b) Kemitraan Konservasi bisa ada potensi masalah, seperti adanya free rider.

c) Hutan dan laut adalah interkasi masyarakat yang tidak boleh dilupakan, karena definisi

hutan adalah sekumpulan pohon.

d) Membangun learning organitation melalui local champions yang sudah melakasankan

kegiatan di hutan konservasi.

e) Sederhanya Kemitraan Konservasi adalah mengajarkan cara bertetangga yang baik.

f) Adanya hutan juga bisa membangun pertanian sehat.

g) Di Lampung terjadi perambahan kawasan untuk kopi, dan yang mendapatkan bantuan

adalah orang yang tidak seharusnya.

h) Komunikasi yang terbangun adalah, komunikasi yang pertama yang dillakukan dengan

masyarakat di desa, pemerintah yang mendatangi rakyat.

i) Aturan di kita terlambat, padahal saya pada tahun 2005 sudah memberikan akses kepada

Lembaga Pariwisata Tangkahan.

j) “Jika menyelesaikan masalah, kita tidak boleh menjadi bagian dari masalah itu.”

k) Kemitraan Konservasi bisa ditingkatkan menjadi KULINKK.

l) Saya lebih percaya Kemitraan Konservasi dengan luasan yang kecil daripada dengan luasan

yang besar.

m) Hasil kajian ini diharapkan menjadi pembelajaran bagi TN lain.

n) Terbiasa legal formal bukan actual, bekerja selain pakai fikiran, harus pakai hati, dan caranya

harus bekerja di lapangan.

o) Target 2020 -2024 adalah 400.000 ha.

p) KSDAE udah punya peta open area, sehingga resources ini bisa digunakan bersama.

Kemudian, Dirjen KSDAE juga meminta LATIN untuk mempresentasikan policy brief ini di

hadapan seluruh Direkorat di bawah Ditjen KSDAE, Kepala Balai Taman Nasional dan Kepala

BKSDA seluruh Indonesia pada Rapat Koordinasi Teknis (Rakornis) yang diadakan pada tanggal

19 Agustus 2019 di Jakarta. Rakornis diselenggarakan oleh Dirjen KSDAE dan dihadiri oleh lebih

kurang 100 orang. Pada waktu Rakornis tersebut, LATIN juga membagikan policy brief kepada

semua peserta, namun kesulitan untuk memperoleh tanda terima dari peserta. Walaupun

demikian, dengan kesempatan yang diberikan oleh Dirjen KSDAE kepada LATIN untuk

mempresentasikan policy brief kepada semua Kepala UPT baik Balai Taman Nasional maupun

BKSDA dari seluruh Indonesia, maka tujuan dari penyampaian key messages sudah terpenuhi.

Waktu untuk presentasi policy brief cukup singkat dan tidak ada kesempatan untuk tanya jawab

sehingga tanggapan peserta pada forum Rakornis tidak bisa diperoleh. Namun ketika istirahat,

beberapa orang peserta menyampaikan apresiasi dan setuju dengan temuan LATIN. Bahkan ada

juga panitia dari Ditjen KSDAE (Ibu Retno Suratri) yang memperoleh soft copy hasil studi

literatur menyatakan bahwa dokumentasi best practice sangat bermanfaat bagi UPT dan

sebaiknya diperbanyak. LATIN mempersilakan kalau soft copy hasil studi literature mau dicopy

kepada peserta Rakornis.

Page 44: Menumbuhkan Paradigma Kemitraan Konservasi untuk …

f. Aktivitas 6: Lokakarya Penyusunan Rencana Implementasi Kemitraan Konservasi Yang Difasilitasi LATIN

Lokakarya bertujuan untuk memfasilitasi pengelola dan stakeholder di 3 Taman Nasional untuk

mendiskusikan rencana implementasi Kemitraan Konservasi jangka pendek, jangka menengah dan

jangka panjang.

Lokakarya Penyusunan Rencana Implementasi Kemitraan Konservasi diadakan pada tanggal 25 –

30 Agustus 2019 di Jakarta. Lokakarya merupakan tindak lanjut dari hasil kajian melalui indepth

interview dan FGD di 6 Taman Nasional, serta studi literature di 6 Taman Nasional lainnya.

Salah satu temuan dari kajian tersebut adalah adanya kelemahan dalam proses penyusunan

rencana kemitraan konservasi, sehingga dapat memperlambat penelaahan usulan Kemitraan

Konservasi. Pada umumnya, usulan yang dikirim kurang menginformasikan hal-hal yang menjadi

keunikan atau kekhususan yang berasal dari lokasi yang diusulkan, sehingga surat usulan harus

dikembalikan untuk dilengkapi. Oleh karena itu, dilakukan Lokakarya Penyusunan Rencana

Kemitraan Konservasi untuk 3 Taman Nasional. Ketiga Taman Nasional tersebut adalah TN

Gunung Halimun Salak, TN Meru Betiri dan TN Gunung Tambora. Proses penyusunan rencana

Kemitraan Konservasi ini menjadi penting. Dengan adanya rencana, maka akan semakin jelas

tahapan untuk membangun PKS. Selain itu, proses yang akan dilalui untuk membangun PKS, akan

menjadi jelas bagi masyarakat dan Balai Taman Nasional.

Hasil dari Lokakarya yang difasilitasi LATIN adalah Dokumen Rencana Kemitraan Konservasi TN

Gunung Halimun Salak, Dokumen Rencana Kemitraan Konservasi TN Gunung Tambora, dan

Dokumen Rencana Kemitraan Konservasi TN Meru Betiri. Secara garis besar, dokumen rencana

kemitraan konservasi 3 TN memuat hal-hal sebagai berikut:

Taman

Nasional Skema Kemitraan Lokasi Luas/ Produk

TN Gunung

Halimun

Salak

Pemulihan Ekosistem

Pemberdayaan

Masyarakat

SPTN 1:

• Blok Cisoka

• Blok Cidoyong

• Blok Wangun

• Blok Sampay

SPTN II:

• Blok Koridor

SPTN I Lebak

• Blok Pasir Kempong

• Blok Cikawah

• Blok Cimarpi

• Blok Wates

SPTN II Bogor

• Blok Bobojong

• Blok Pasir Tengah

• Blok Tapos

SPTN III Sukabumi

Blok Pinus Cimuntir

Blok Damar Cimuntir

200

120

15

2,97

0,36

4

49,3

10,9

31

20,03

1,55

Page 45: Menumbuhkan Paradigma Kemitraan Konservasi untuk …

Taman

Nasional Skema Kemitraan Lokasi Luas/ Produk

TN Gunung

Tambora

Pemberdayaan

masyarakat

pemanfaatan madu

Pemberdayaan

masyarakat

pemanfaatan HHBK

Pemberdayaan

masyarakat

pemanfaatan HHBK

Pemulihan Ekosistem

Zona tradisional Kawinda

Toi

Zona Tradisional Sori

Tatanga

Zona Tradisional Tolokalo

Zona Tradisional Tolokalo

765

250

15

20

TN Meru

Betiri

Pemulihan Ekosistem

(total 1.200 ha)

Pemberdayaan

Masyarakat

Curahnongko

Andongrejo

Sanenrejo

Wonoasri

Curahtakir

Sarongan

Mulyorejo

Kandangan

Kebonrejo

Karangharo

65

310

330

260

35

200

Susu kambing dan madu

Eskrim duren dan madu

Ayam potong, camilan

Camilan

Dokumen tersebut selanjutnya menjadi acuan kerja bagi ketiga Taman Nasional untuk

membangun Kemitraan Konservasi. Selain itu, Dokumen juga menjadi acuan dalam melakukan

kegiatan Monitoring dan Mentoring implementasi Kemitraan Konservasi yang akan dilakukan oleh

LATIN.

g. Aktivitas 7: Lokakarya Penyusunan Modul Pelatihan Implementasi Kemitraan Konservasi

Lokakarya Penyusunan Modul Pelatihan Implementasi Kemitraan Konservasi yang diselenggarakan

dan difasilitasi LATIN bertujuan untuk mempersiapkan bahan-bahan pelatihan yang mencakup

Session Plan, metode atau teknik penyampaian materi, bahan bacaan, referensi, alat dan bahan

yang harus disiapkan.

Lokakarya penyusunan modul pelatihan implementasi Kemitraan Konservasi telah dilaksanakan

pada tanggal 16 – 20 September 2019 di Jember, sekaligus uji coba beberapa sesi di desa

Andongrejo dan zona rehabilitasi TN Meru Betiri. Lokakarya diikuti oleh pada fasiltator yang

nanti akan memfasilitasi pelatihan.

Hasil dari Lokakarya yang diselenggarakan dan difasilitasi LATIN adalah 8 Modul Pelatihan

Implementasi Kemitraan Konservasi yaitu:

a) Modul 1: Paradigma dan Kebijakan Kemitraan Konservasi, yang secara umum berisi

pentingnya perubahan paradigm dalam pengelolaan kawasan konservasi, pentingnya

mencari keseimbangan antara tujuan konservasi keanekaragaman hayati dengan

peningkatan kesejahteraan masyarakat, serta berbagai peraturan yang terkait dengan

Kemitraan Konservasi.

Page 46: Menumbuhkan Paradigma Kemitraan Konservasi untuk …

b) Modul 2: Aspek Gender dalam Kemitraan Konservasi, yang secara umum berisi prinsip

dan konsep dasar inklusi sosial dan kesetaraan gender.

c) Modul 3: Partisipasi Masyarakat, yang secara umum berisi pentingnya partisipasi

masyarakat dalam pengelolaan kawasan konservasi serta partisipasi yang efektif dalam

mengembangkan kemitraan konservasi.Modul 4: Persiapan Implementasi Kemitraan

Konservasi, yang secara umum berisi sosialisasi (identifikasi free rider), batasan tentang

kemitraan konservasi, identifikasi potensi kemitraan konservasi, memotret kondisi lokasi

(subyek) dan sosial ekonomi masyarakat (obyek) untuk kemitraan konservasi.

d) Modul 5: Penyusunan Rencana Kemitraan Konservasi, yang secara umum berisi

menentukan goal, target dan strategi kemitraan konservasi, analisis pengembangan

potensi, analisis stakeholder, menyusun program.

e) Modul 6: Membangun dan Mengelola Kesepakatan, yang secara umum berisi pentingnya

kolaborasi, membangun kesepakatan kemitraan konservasi, format kesepakatan, serta

menjalankan kesepakatan kemitraan konservasi.

f) Modul 7: Manajemen Konflik, yang secara umum berisi pengantar manajemen konflik,

memahami konflik serta kemungkinan intervensinya, strategi mengelola konflik, serta

negosiasi.

g) Modul 8: Monitoring dan Evaluasi Partisipatif, yang secara umum berisi pengertian

monitoring dan evaluasi partisipatif, pengenalan SMART RBM sebagai salah satu tools

monitoring dan evaluasi partisipatif.

h) Kedelapan Modul tersebut ditujukan untuk peningkatan kapasitas pendamping Kemitraan

Konservasi, selanjutnya digunakan untuk aktivitas 8.

h. Aktivitas 8: Pelatihan Implementasi Kemitraan Konservasi Yang Difasilitasi LATIN

Pelatihan ini bertujuan untuk meningkatkan kapasitas petugas lapang dalam implementasi rencana

Kemitraan Konservasi dengan menggunakan Modul yang dihasilkan dari kegiatan Lokakarya

Penyusunan Modul Implementasi Kemitraan Konservasi.

Kegiatan Pelatihan Implementasi Kemitraan Konservasi diadakan pada tanggal 4 – 10 November

2019 di Bogor. Pelatihan diikuti oleh 14 orang peserta terdiri atas 4 orang perempuan dan 8

orang laki-laki, yang berasal dari Balai Taman Nasional (Balai TN Gunung Halimun Salak, Balai TN

Tambora, Balai TN Kepulauan Seribu, Balai TN Gunung Ciremai), LSM (BRWA, AMAN

Kasepuhan Karang Banten), mahasiswa kehutanan IPB dan mahasiswa kehutanan UNIKU.

Sebelum dan setelah pelatihan dilakukan tes atau evaluasi, sehingga bisa diketahui perkembangan

kapasitas setiap peserta yang mengikuti pelatihan. Evaluasi pelatihan Kemitraan Konservasi ini

menggunakan metode scoring yang didapat dari jawaban peserta dengan mengisi kuisioner pre-

test dan post-test. Kuisioner berisi 20 pertanyaaan yang secara umum terdiri dari:

a) Pengelolaan Kawasan Konservasi

b) Kemitraan Konservasi

c) Monitoring Program Kemitraan Konservasi

d) Pengelolaan Konflik dan Gender

Hasil dari evaluasi pre-test dan post-test dapat dilihat pada Gambar 1.

Page 47: Menumbuhkan Paradigma Kemitraan Konservasi untuk …

Dari Gambar 1 terlihat bahwa setiap orang mengalami peningkatan kapasitas, yang berarti

pengetahuan dan keterampilan yang diberikan selama Pelatihan memang meningkat.

i. Aktivitas 9: Monitoring dan Mentoring

Kegiatan Monitoring dan Mentoring telah dilaksanakan pada periode September sampai

November 2019 dengan melakukan diskusi dan kunjungan lapang ke TN Tambora, TN Gunung

Halimun Salak dan TN Meru Betiri. Pelaksana monitoring dan mentoring adalah:

1. TN Gunung Halimun Salak: Lika, Eka, Vinna (LATIN), Teguh, Wahyu, Desa (Balai TN

Gunung Halimun Salak)

2. TN Tambora: Eka, Vinna (LATIN), Muttakun (LP2DPM), Junaidin, Faizin (Balai TN Tambora)

3. TN Meru Betiri: Arif, Lika (LATIN), Nurhadi, Kaswinto, Halim, Sukirman (KAIL), Maman,

Nur Kholik (Balai TN Meru Betiri)

Melalui kegiatan monitoring dan mentoring, LATIN berhasil mendorong terbentuknya kerjsama

antara Kepala Balai Taman Nasional Tambora dengan Plt. Kepala Desa Kawinda Toi, dengan

ditandatanganinya PKS dalam rangka pemberdayaan masyarakat melalui pemanfaatan madu hutan,

pada tangal29 November 2019, yang secara umum berisi mengenai:

Tujuan 1. Memberikan akses pemanfaatan HHBK kepada masyarakat Desa

Kawinda Toi di Zona Tradisional kawasan Taman Nasional Tambora

untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat dan

melestarikan kawasan Taman Nasional Tambora.

2. Mewujudkan upaya perlindungan, pengawetan dan pemanfaatan

kawasan Taman Nasional Tambora berbasis masyarakat.

Ruang Lingkup

Kerjasama

1. Pemetaan areal pemanenan madu sebagai areal pemberian akses

pemanfaatan HHBK

2. Perlindungan dan pengamanan kawasan Taman Nasional Tambora

melalui kegiatan patrol dan penjagaan bersama.

3. Penyusunan Rencana Pelaksanaan Program bersama antara PARA

PIHAK

4. Fasilitasi dalam rangka pengembangan kegiatan kemitraan konservasi

0

20

40

60

80

100

120

140

160

180

200

post test

pre test

Page 48: Menumbuhkan Paradigma Kemitraan Konservasi untuk …

5. Monitoring dan evaluasi dari kegiatan dimaksud

Letak dan Luas Areal

Kerjasama

Letak areal kerjasama berada dalam Zona Tradisional Taman Nasional

Tambora Resort Kawinda Toi Seksi Pengelolaan Taman Nasional I Kore,

secara administrasi terletak di wilayah Desa Kawinda Toi Kecamatan

Tambora, Kabupaten Bima Provinsi Nusa Tenggara Barat.

Luas areal kerjasama yaitu 767,51 ha, sebagaimana tergambar dalam

lampiran peta yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari perjanjian

kerjasama ini.

Hak dan Kewajiban

Para Pihak

PIHAK KESATU (Kepala Balai TN Tambora) berkewajiban:

a. Menyusun Rencana Pelaksanaan Program dan Rencana Kerja

Tahunan bersama PIHAK KEDUA.

b. Menunjuk personil pendamping untuk PIHAK KEDUA dalam

rangka pelaksanaan kegiatan kemitraan konservasi di Zona

Tradisional Taman Nasional Tambora.

c. Memberikan bimbinan teknis kepada PIHAK KEDUA dalam

pelaksanaan kegiatan kemitraan konservasi di Zona Tradisional

Taman Nasional Tambora.

d. Memfasilitasi PIHAK KEDUA dalam rangka pengembangan

kegiatan kemitraan konservasi di Zona Tradisional Taman

Nasional Tambora

e. Melakukan Monitoring dan Evaluasi terhadap pelaksanaan kegiatan

kemitraan konservasi di Zona Tradisional Taman Nasional

Tambora.

PIHAK KESATU berhak:

a. Melakukan pengaturan ruang pada areal yang dikerjasamakan

b. Memperoleh data dan informasi hasil pelaksanaan kegiatan yang

dilakukan PIHAK KEDUA

c. Turut serta dalam pelaksanaan kegiatan yang dilaksanakan oleh

PIHAK KEDUA

d. Memberikan teguran/peringatan apabila PIHAK KEDUA tidak

melaksanakan kewajiban.

PIHAK KEDUA (Plt. Kepala Desa Kawinda Toi) berkewajiban:

a. Memberikan akses kepada PIHAK KESATU untuk melakukan

pengaturan ruang pada areal yang dikerjasamakan.

b. Menyusun Rencana Pelaksanaan Program dan Rencana Kerja

Tahunan bersama dengan PIHAK KESATU

c. Melakukan kegiatan sesuai Renana Pelaksanaan Program dan

Rencana Kerja Tahunan yang disepakati bersama PIHAK KESATU.

d. Menyiapkan data dan informasi yang dibutuhkan PIHAK KESATU

yang berkaitan dengan pelaksanaan kegiatan kerjasama.

e. Menyampaikan laporan tertulis atas pelaksanaan kerjasama kepada

PIHAK KESATU secara berjenjang.

f. Menggunakan cara/metode pemungutan HHBK yang

memperhatikan kelangsungan potensi, daya dukung, dan

keanekaragaman hayati di Taman Nasional Tambora.

PIHAK KEDUA berhak:

Page 49: Menumbuhkan Paradigma Kemitraan Konservasi untuk …

a. Mendapatkan akses pemanfaatan HHBK pada areal yang

dikerjasamakan atas persetujuan PIHKA KESATU

b. Mendapatkan pendampingan teknis dari PIHAK KESATU dalam

rangka pelaksanaan kerjasama

c. Mendapatkan fasilitasi dari PIHAK KESATU dalam rangka

pengembangan kerjasama.

Jangka Waktu Jangka waktu perjanjian kerjasama ini berlaku selama lima (5) tahun sejak

ditandatangani perjanjian kerjasama ini dan dapat diperpanjang

berdasarkan persetujuan PARA PIHAK dan hasil evaluasi Tim lingkup

Direktorat Jenderal atau Tim Unit Pengelola.

Taman Nasional Meru Betiri dan TN Gunung Halimun Salak sebenarnya juga dalam proses

penyiapan usulan Perjanjian Kerja Sama, namun ada kendala sehingga tidak sampai pada proses

persetujuan dari Dirjen KSDAE. Kendala di TN Meru Betiri adalah terjadinya peristiwa

penembakan pelaku illegal logging yang berasal dari Desa Andongrejo, yang menyebabkan pelaku

tewas. Hal ini telah membuat situasi di Desa Andongrejo menjadi tidak kondusif padahal Desa

Andongrejo adalah salah satu dari 3 desa yang disasar untuk Kemitraan Konservasi. Situasi tidak

kondusif ini menular ke desa-desa lain, sehingga untuk sementara proses di lapangan untuk

penyiapan Kemitraan Konservasi bersama masyarakat, ditunda oleh Balai TN Meru Betiri.

Sementara itu, proses membangun Kemitraan Konservasi di TN Gunung Halimun Salak masih

terkendala oleh adanya sebagian warga masyarakat yang menuntut pelaksanaan Program TORA

(Tanah Obyek Reformasi Agraria), sementara sebagian warga sudah terbuka untuk

mendiskusikan Program Kemitraan Konservasi. Selain itu, kendala lain adalah adanya proses re-

zonasi di calon lokasi Kemitraan Konservasi, yang menyebabkan proses lapangan untuk

Kemitraan Konservasi harus menunggu selesainya rezonasi.

Page 50: Menumbuhkan Paradigma Kemitraan Konservasi untuk …

LATIN berhasil memenuhi bahkan melebihi target capaian yang ditetapkan pada indikator capaian

program yang disepakati dalam perjanjian hibah. Berikut rincian capaian LATIN berdasarkan

indikator:

Nama Indikator Target Aktual Deskripsi

Jumlah dokumen yang memuat paradigma Kemitraan Konservasi dan best practice/ lessons learned pelaksanaan Kemitraan Konservasi

1 dokumen Hasil Studi Literatur

1 dokumen Strategi Komunikasi (Policy Brief)

1 dokumen Modul Pelatihan

1

1

1

Target tercapai 100%

Jumlah dokumen yang memuat Rencana Kemitraan Konservasi Taman Nasional

3 dokumen Rencana Kemitraan Konservasi (TN Tambora, TN Meru Betiri dan TN Gunung Halimun Salak)

3 Target tercapai 100%

Jumlah stakeholder yang menerima informasi mengenai paradigma Kemitraan Konservasi dan best practice/ lessons learned pelaksanaan Kemitraan Konservasi

20 orang menerima dokumen komunikasi ketika LATIN mempresentasikan policy brief kepada Dirjen KSDAE

34 orang Target melebihi 100%. Melalui kegiatan

Lokakarya Penyampaian key messages

(pesan kunci) kepada Dirjen KSDAE, 34

orang telah menerima policy brief yang

berisi pentingnya kemitraan konservasi

dalam pengelolaan kawasan konservasi di

Indonesia. Ketigapuluh empat orang yang

menerima dokumen tersebut berasal dari

Direktorat Kawasan Konservasi Ditjen

KSDAE, Direktorat KKH Ditjen KSDAE,

Direktorat PIKA Ditjen KSDAE, Balai TN

Gunung Gede Pangrango, Balai TN

Kepulauan, Balai TN Ujung Kulon, BPEE,

Biro Perencanaan KemenLHK, Puslatmas

BP2SDM KemenLHK, Ditjen PSKL, LSM

(Burung Indonesia, BRWA, AMAN, Burung

Indonesia, FKKM, RMI, SKALA), media

(berita lingkungan, DC, Sinar Harapan)

Jumlah orang yang meningkat kapasitasnya dalam menerapkan perencanaan dan pelaksanaan Kemitraan Konservasi

12 orang meningkat kapasitasnya setelah mengikuti Pelatihan Implementasi Kemitraan Konservasi.

14 orang Dari 14 orang yang mengikuti Pelatihan

Implementasi Kemitraan Konservasi, ada 8

orang petugas Taman Nasional yang berasal

dari TN Gunung Halimun Salak (3 orang),

TN Tambora (3 orang), TN Kepulauan

Seribu (1 orang), TN Gunung Ciremai (1

orang). Sedangkan yang lain berasal dari

AMAN (Aliansi Masyarakat Adat

Nusantara) Kasepuhan Karang-Banten, dan

dari BRWA (Badan Registrasi Masyarakat

Adat), serta 2 orang sarjana kehutanan

(fresh graduate) dari IPB dan 2 orang fresh

graduate dari Universitas Kuningan.

Page 51: Menumbuhkan Paradigma Kemitraan Konservasi untuk …

Nama Indikator Target Aktual Deskripsi

Jumlah berita yang dapat dimuat dalam media

10 Media coverage 16 media

coverage

Terdapat 11 berita terkait Kemitraan

Konservasi yang dimuat pada bulan Juli

2019dan 5 berita dimuat pada bulan

Desember 2019. Media yang memuat

artikel terkait kegiatan tersebut bisa dilihat

di Lampiran.

Produk pengetahuan yang dihasilkan oleh LATIN melalui project ini adalah:

1) Peta Sebaran Kemitraan Konservasi sampai dengan bulan Juni 2019

2) Dokumen Strategi Komunikasi

3) Policy Brief

4) Laporan Studi Literatur tentang Implementasi Kemitraan Konservasi di 12 Taman Nasional

5) Dokumen Rencana Kemitraan Konservasi TN Tambora

6) Dokumen Rencana Kemitraan Konservasi TN Gunung Halimun Salak

7) Dokumen Rencana Kemitraan Konservasi TN Meru Betiri

8) Delapan Modul Pelatihan Implementasi Kemitraan Konservasi

9) Perjanjian Kerja Sama antara Balai TN Tambora dengan Kelompok Masyarakat Kawinda Toi

untuk pengelolaan madu

10) Contoh RPP dan RKT

11) Laporan Hasil Monitoring dan Mentoring Implementasi Kemitraan Konservasi di TN Gunung

Halimun Salak, TN Tambora dan TN Meru Betiri

Penjelasan Kegiatan atau Milestones yang Tidak tercapai

Semua deliverables dan milestones dapat dipenuhi oleh LATIN, sesuai dengan yang tercantum di

dalam Proposal.

Page 52: Menumbuhkan Paradigma Kemitraan Konservasi untuk …

Pembelajaran dan Rekomendasi

Tantangan

Program Kemitraan Konservasi yang dituangkan dalam Peraturan Dirjen KSDAE No. 6 Tahun 2016

tidak mudah diimplementasikan dalam pengelolaan kawasan konservasi, antara lain Taman Nasional.

LATIN melalui Program “Menumbuhkan Paradigma Kemitraan Konservasi Untuk Mendukung

Implementasi Perdirjen KSDAE tentang Kemitraan Konservasi” yang didukung oleh USAID BIJAK

telah melakukan kajian tentang implementasi Kemitraan Konservasi menemukan sejumlah tantangan

yang dihadapi oleh pengelola Taman Nasional. Tantangan-tantangan tersebut antara lain:

a. Kurang Dukungan Bagi Lembaga Kolaborasi Multi-pihak

Salah satu tantangan implementasi kemitraan konservasi adalah kurangnya dukungan dalam

mengembangkan lembaga kolaborasi multi-pihak. Keberadaan lembaga kolaborasi multi-pihak

menjadi penting untuk mendukung pelaksanaan kemitraan konservasi. Balai Taman Nasional

tidak bisa bekerja sendiri dalam memfasilitasi masyarakat karena memiliki keterbatasan dalam

kewenangan, kapasitas sumberdaya manusia, jaringan kerja, pendanaan, dan sebagainya.

Keterbatasan Balai Taman Nasional itulah yang seharusnya dapat dilengkapi oleh pemerintah

daerah dan stakeholder lain.

b. Perbedaan Kepentingan

Sulitnya membangun kolaborasi multi-pihak terutama dirasakan ketika ada perbedaan

kepentingan antara kepentingan konservasi dengan kepentingan pembangunan. Perbedaan

kepentingan ini menyebabkan benturan kebijakan antara pemerintah daerah dengan Balai Taman

Nasional, misalnya dalam proses tata batas, pembangunan jalan, pengembangan kawasan dan

pemanfaatan sumberdaya alam. Hal ini menunjukkan belum melembaganya kolaborasi di tingkat

pemerintah daerah. Pemerintah daerah belum menganggap kolaborasi sebagai strategi yang

penting untuk mencapai tujuan pembangunan.

c. Manfaat Kemitraan Konservasi Belum Bisa Dirasakan

Manfaat kemitraan konservasi masih belum terlihat secara nyata atau belum dirasakan baik oleh

pemerintah daerah maupun oleh masyarakat lokal. Saat ini yang dilihat oleh pemerintah daerah

dan masyarakat adalah manfaat ekologi untuk kepentingan taman nasional, misalnya

berkurangnya perambahan atau kegiatan ilegal di kawasan Taman Nasional. Oleh karena itu di

beberapa daerah sering muncul pertanyaan, “Apakah satwa liar lebih penting daripada manusia?“

Masyarakat lokal diminta terus untuk melindungi hutan, namun masyarakat belum mendapatkan

imbalannya. Akibatnya, masyarakat merasa jauh dan tidak dilibatkan oleh Balai Taman Nasional.

Oleh karena itu, manfaat ekonomi yang nyata bagi masyarakat lokal harus segera diwujudkan,

agar ada keseimbangan manfaat ekologi dan ekonomi dari kemitraan konservasi.

d. Dinamika Masyarakat Lokal

Masyarakat lokal sendiri memiliki dinamika yang belum tentu sejalan dengan kemitraan

konservasi. Keaktifan kelompok sering kali tidak stabil. Semangat masyarakat naik turun, sehinga

kegiatan yang sudah disepakati menjadi terhambat atau berjalan tersendat-sendat. Konflik

internal di kelompok masyarakat ditengarai menjadi penghambat dalam kegiatan yang sudah

direncanakan dalam Rencana Pelaksanaan Program (RPP) dan Rencana Kerja Tahunan (RKT).

Apalagi masyarakat belum melihat manfaat ekonomi yang nyata dari kemitraan konservasi.

Pembelajaran

Berdasarkan tantangan yang dihadapi oleh Pengelola Taman Nasional, LATIN juga menemukan

banyak pembelajaran yang bisa diperoleh dari kajian terhadap implementasi Kemitraan Konservasi di

Page 53: Menumbuhkan Paradigma Kemitraan Konservasi untuk …

Taman Nasional. Pembelajaran yang diperoleh terkait dengan faktor-faktor pendukung implementasi

kemitraan konservasi, serta kondisi pemungkin untuk mengembangkan kemitraan konservasi.

A. Faktor-faktor Pendukung Implementasi Kemitraan Konservasi

Ada enam faktor pendukung implementasi Kemitraan Konservasi yang bisa dipetik sebagai

pembelajaran. Keenam faktor pendukung tersebut adalah (a) kepemimpinan, (b) komunikasi, (c)

perubahan cara kerja dari Balai Taman Nasional, (d) menemukan dan bekerja bersama local champion, (e) dukungan publik dan stakeholder, (f) meningkatnya kesadaran masyarakat lokal

terhadap konservasi.

a. Kepemimpinan/Leadership

Faktor kepemimpinan adalah salah satu faktor pendukung implementasi Kemitraan Konservasi

yang dijumpai di beberapa Taman Nasional. Kepemimpinan yang dijumpai di lapangan, tidak

hanya ditemukan pada Kepala Balai, tetapi juga dijumpai pada staf Balai Taman Nasional, dan juga

ditemukan pada kelompok masyarakat yang difasilitasi oleh Balai Taman Nasional. Sifat-sifat

kepemimpinan yang bisa dipetik dari lapangan antara lain bahwa pemimpin harus memberikan

contoh atau teladan. Pemimpin tidak hanya memberi instruksi. Pemimpin juga harus dapat

menjelaskan visi terkait kemitraan konservasi kepada seluruh stafnya, sehingga visi tersebut

terinternalisasi di seluruh stafnya.

b. Komunikasi

Komunikasi adalah faktor penting keberhasilan Kemitraan Konservasi. Dalam kemitraan, petugas

harus menjalin hubungan baik dengan masyarakat lokal. Tanpa komunikasi yang baik, hubungan

baik tidak akan terjalin. Namun dalam komunikasi, bukan hanya cara berkomunikasi yang baik.

Faktor lain yang penting adalah komunikasi yang rutin dengan masyarakat, yang dilakukan baik

formal maupun informal. Komunikasi formal maksudnya adalah komunikasi melalui pertemuan-

pertemuan formal, sedangkan komunikasi informal bisa berupa anjangsana atau kunjungan

silaturahim petugas ke rumah-rumah warga. Frekuensi dan intensitas komunikasi seperti ini yang

harus dijaga.

Selain itu penting juga diciptakan ruang komunikasi yang membuat masyarakat maupun petugas

menjadi nyaman dan aman, sehingga komunikasi bisa berjalan efektif. Situasi seperti ini akan

mengurangi stigma atau pandangan negatif dari kedua belah pihak. Dengan demikian ketika ada

kebutuhan untuk menyampaikan peraturan yang berlaku, maka bisa terjadi dialog dua arah dan

bukan hanya penyampaian satu arah saja.

c. Perubahan Cara Kerja Balai Taman Nasional

Cara kerja Balai Taman Nasional dalam menangani konflik dan membangun kemitraan dengan

masyarakat mulai berubah. Dalam menangani konflik, cara-cara penegakan hukum dengan

disertai tindakan seperti penangkapan masyarakat, pembakaran gubuk dan ladang, yang membuat

masyarakat ketakutan, sudah mulai diubah. Balai Taman Nasional lebih mengedapankan tindakan

preemtif, yaitu upaya penciptaan kondisi yang kondusif dengan tujuan menumbuhkan peran aktif

masyarakat dalam pengamanan kawasan hutan. Kegiatannya dapat berupa melakukan

inventarisasi potensi masalah, anjangsana/kunjungan ke tokoh masyarakat, gladi posko

pengendalian perlindungan dan pengamanan kawasan. Upaya ini membuat masyarakat tidak lagi

takut terhadap petugas Balai Taman Nasional.

Dengan adanya upaya preemtif, maka petugas harus lebih sering berkunjung dan berdialog

dengan masyarakat. Petugas didorong untuk bisa berbaur dengan masyarakat, kalau perlu

petugas tinggal di desa. Semua itu ditujukan untuk mengubah pandangan negatif masyarakat

terhadap petugas dan juga meraih kepercayaan masyarakat terhadap petugas. Setelah

kepercayaan masyarakat sudah diraih, maka dialog akan menjadi lebih efektif. Dengan demikian

sosialisasi kemitraan konservasi bisa lebih lancar dan muncul usulan kegiatan dari masyarakat

untuk kemitraan. Petugas Balai Taman Nasional juga akan mudah mengajak masyarakat untuk

Page 54: Menumbuhkan Paradigma Kemitraan Konservasi untuk …

bersama-sama melindungi kawasan Taman Nasional. Petugas juga bisa menawarkan masyarakat

untuk mengikuti kegiatan peningkatan kapasitas melalui pelatihan dan studi banding. Peran

petugas Balai Taman Nasional sedikit demi sedikit berubah menjadi fasilitator.

Perubahan cara kerja dalam berkomunikasi dan berinteraksi dengan masyarakat sebenarnya

merupakan cerminan dari perubahan pola pikir petugas Balai Taman Nasional. Hal ini penting

ditekankan, karena perubahan tersebut bukan dimulai dari pembekalan keterampilan teknis

komunikasi dan fasilitasi, tetapi justru dimulai dari terjun langsung berinteraksi dengan

masyarakat. Keterampilan teknis komunikasi dan fasilitasi secara tidak langsung justru dipelajari

dari interaksi yang intensif dengan masyarakat. Salah satu teknik komunikasi dan fasilitasi yang

penting adalah keterampilan mendengar yang harus dipraktekkan oleh petugas.

d. Menemukan dan Bekerja Bersama Local Champion

Local champion adalah salah satu kunci dalam Kemitraan Konservasi, karena local champion

adalah agen perubahan di internal kelompok masyarakat, yang dapat direplikasi di tingkat

komunitas atau kelompok masyarakat. Adanya local champions di masyarakat dapat menjadi

menjadi modal sosial untuk membangun kepercayaan serta kesadaran masyarakat dalam

mengelola kawasan. Local champion juga bisa menjadi jembatan penghubung untuk terjadinya

komunikasi yang baik antara masyarakat dan Balai Taman Nasional, terutama untuk membangun

komunikasi dengan masyarakat yang berkonflik.

Peran Balai Taman Nasional selain menemukan local champion, juga memfasilitasi peningkatan

kapasitas dan pengetahuan kepada local champions, dan memberikan kesempatan kepada local

champions sebagai narasumber dalam berbagai acara, sehingga akan terjadi rasa bangga dan

meningkatan kepercayaan diri untuk membagikan pengetahuannya kepada kelompok masyarakat.

e. Menggalang Dukungan Masyarakat dan Stakeholder

Dukungan masyarakat yang lebih luas dan stakeholder adalah salah satu faktor penting yang bisa

menjadi pendukung implementasi Kemitraan Konservasi di lapangan. Pada tingkat desa, walaupun

tidak mudah, upaya untuk merangkul semua pihak di desa telah coba dilakukan. Hal ini

bertujuan untuk menghindari konflik internal diantara kelompok masyarakat.

Keterbasan Balai Taman Nasional adalah salah satu sebab dibutuhkannya peran stakeholder

dalam Kemitraan Konservasi. Stakeholder bisa berperan untuk memfasilitasi mediasi dan resolusi

konflik, selain untuk menambah pengetahuan dan keterampilan teknis yang lain. Interaksi antara

petugas Balai Taman Nasional dengan stakeholder juga akan membuka wawasan dan mengubah

pola pikir menjadi lebih terbuka dalam menerima gagasan-gagasan dari luar, serta meningkatkan

motivasi untuk bekerja lebih baik lagi. Hal ini misalnya terjadi di TN Komodo. Dukungan banyak

lembaga pendamping (TNC, WWF, GEF, RARE, Yayasan Komodo Survival Program,

Swisscontact Wisata Project) dalam bentuk riset, design rencana pengelolaan, implementasi

rencana kelola meningkatkan kualitas pengelolaan TN Komodo.

f. Meningkatnya Kesadaran Masyarakat Setelah Tanda Tangan PKS

Perjanjian Kerja Sama (PKS) dalam Kemitraan Konservasi menjadi penting bagi masyarakat.

Dengan menandatangani PKS maka masyarakat dan Balai Taman Nasional terikat secara hukum.

Bagi masyarakat ini adalah salah satu bentuk kepastian hukum yang selama ini mereka nantikan.

Dengan adanya PKS masyarakat merasa terlindungi hak-haknya dalam memanfaatkan hasil hutan

yang selama ini mereka telah lakukan. Dan masyarakat juga menyadari di samping hak, ada pula

kewajiban untuk menjaga kawasan.

Adanya PKS menjadikan tingkat kesadaran masyarakat dalam menjaga kawasan menjadi lebih

baik. Kawasan yang merupakan areal kerja yang ada dalam PKS akan dijaga dengan baik oleh

kelompok masyarakat dengan harapan bahwa areal tersebut merupakan salah satu sumber

penghidupannya. Contoh di TN Karimun Jawa, masyarakat nelayan menjadikan areal kerja dalam

PKS yang terletak di dalam kawasan Taman Nasional sebagai tabungan ikan. Areal kerja

Page 55: Menumbuhkan Paradigma Kemitraan Konservasi untuk …

dimanfaatkan kelompok untuk mencari ikan hanya pada cuaca buruk (akhir Desember sampai

Maret) karena kelompok tidak bisa jauh mencari ikan, sedangkan dalam keadaan cuaca baik

kelompok akan lebih memilih mencari ikan di luar kawasan.

B. Kondisi Pemungkin (Enabling Condition) untuk Mengembangkan Kemitraan

Konservasi

Kondisi pemungkin adalah faktor-faktor yang memungkinkan atau menyebabkan terjadinya

perubahan. Program yang dilaksanakan oleh LATIN menemukan bahwa kebijakan Kemitraan

Konservasi telah menyebabkan terjadinya perubahan paradigma pengelolaan kawasan konservasi,

perubahan cara kerja pengelola kawasan konservasi, dan perubahan interaksi petugas dengan

masyarakat. Perubahan ini harus terus dikelola agar berjalan menuju perbaikan implementasi

Kemitraan Konservasi di lapangan. Agar hal ini bisa terjadi, maka diperlukan kondisi pemungkin yang

harus ada, yaitu (a) political will dari Dirjen KSDAE, (b) menghargai proses, (c) memperjelas isi

Perdirjen KSDAE No. 6 Tahun 2018, (d) membuat manfaat dari Kemitraan Konservasi bisa dilihat

dan dirasakan, serta (e) mengembangkan organisasi pembelajar.

a. Political will dari Dirjen KSDAE

Political will dari Dirjen KSDAE adalah faktor yang menyebabkan lahirnya kebijakan Kemitraan

Konservasi. Kebijakan ini lahir bisa dikatakan sebagai respon atas kebijakan-kebijakan konservasi

sebelumnya yang belum juga bisa memberikan solusi atas konflik di kawasan konservasi yang

telah terjadi bertahun-tahun. Political will tidak hanya diwujudkan dalam pernyataan lisan semata,

tetapi juga diwujudkan secara tertulis melalui berbagai hal yaitu:

➢ Perdirjen KSDAE No. 6 Tahun 2018 yang bersifat mengikat seluruh pengelola kawasan

konservasi.

➢ Tulisan di berbagai media sosial yang kemudian disintesakan dalam bentuk buku berjudul

“Sepuluh Cara Baru Kelola Kawasan Konservasi”. Buku ini bisa dianggap sebagai visi baru

dari pengelolaan konservasi di Indonesia.

b. Menghargai Proses

Implementasi Kemitraan Konservasi adalah sebuat proses yang terus-menerus. Implementasi

Kemitraan Konservasi tidak hanya berhenti ketika PKS ditanda tangani oleh Kepala Balai Taman

Nasional dan masyarakat. Pada tahap persiapan, sebelum PKS ditanda tangani, banyak proses

yang juga harus dilakukan. Dan ini sudah dilakukan di beberapa Balai Taman Nasional. Proses-

proses tersebut antara lain (a) proses membangun kepercayaan dari masyarakat terhadap

petugas dan sebaliknya, (b) proses mengubah sikap dan perilaku petugas dalam berkomunikasi

dan berinteraksi dengan masyarakat, (c) proses membangun local champion, dan (d) proses

mengubah cara kerja petugas.

c. Memperjelas Isi Perdirjen KSDAE No. 6 Tahun 2018

Perdirjen No. 6 tahun 2018 tidak bisa serta merta diterapkan langsung oleh Balai Taman

Nasional. Beberapa Balai Taman Nasional ada yang masih menanyakan beberapa pasal yang

terdapat di dalam Perdirjen tersebut karena dianggap masih belum jelas. Ketidakjelasan pasal-

pasal dalam Perdirjen bisa menyebabkan keraguan Kepala Balai Taman Nasional untuk

menerapkan Kemitraan Konservasi. Oleh karena itu, perlu upaya untuk memberi penjelasan

terhadap pasal-pasal yang dianggap tidak jelas. Beberapa pasal yang tidak jelas dan menjadi

pertanyaan adalah:

1. Apa yang dimaksud wisata terbatas di dalam Perdirjen KSDAE No. 6 Tahun 2018?

Bagaimana batasannya suatu objek wisata bisa dikatakan wisata terbatas?

2. Jenis HHBK yang boleh dimanfaatkan dalam pemberdayaan masyarakat perlu diperjelas

lagi dalam Perdirjen KSDAE No. 6 Tahun 2018?

3. Apakah pemanfaatan HHBK seperti getah pinus dari kawasan konservasi memerlukan izin

peredaran hasil hutan bukan kayu?

Page 56: Menumbuhkan Paradigma Kemitraan Konservasi untuk …

4. Bagaimana cara menentukan lahan yang digarap oleh masyarakat sebelum penunjukan

kawasan konsrervasi yang sudah berlangsung lebih dari 20 tahun, sedangkan di dalamnya

tidak ada tanaman kehidupan yang bisa menunjukkan umur garapan tersebut?

5. Jenis tanaman apa saja yang boleh ditanam dalam kegiatan pemulihan Kemitraan

konservasi? Hal in perlu dilakukan karena biasanya masyarakat menanam jenis tanaman

yang bernilai ekonomi tinggi seperti MPTS, sehingga bisa menjadikan kawasan konservasi

menjadi monokultur.

6. Penggarap yang dimaksud dalam Perdirjen KSDAE No. 6 Tahun 2018 itu seperti apa?

Apakah bermukim di luar berladang di dalam kawasan atau bermukim dan berladang di

dalam kawasan?

7. Bagaimana tanaman di luar tanaman kehutanan yang sudah ditanam masyarakat bisa

dimanfaatkan, jika waktu kerjasama dalam pemulihan ekosistem hanya 10 tahun?

8. Zonasi yang dibatasi dalam Perdirjen KSDAE No. 6 Tahun 2018 menjadi penghambat

dalam kemitraan konservasi, bagiamana jika ada satu objek yang dikerjasamakan memiliki 2

potensi yang berbeda dan zonasi yang berbeda, misalnya potensi pemanfaatan HHBK dan

potensi wisata sedangkan syarat zonasi dikedua potensi tersebut berbeda?

9. Apa peran pemerintah daerah dalam Perdirjen KSDAE No. 6 Tahun 2018, terutama dalam

meningkatkan PAD?

10. Apa manfaat yang berbeda jika masyarakat melakukan kemitraan konservasi dengan tidak

melakukan kemitraan konservasi?

11. Apakah areal kerja kemitraan konservasi bisa menjadi hak milik atau disertifikasi oleh

masayarakat? (Hal yang sering ditanyakan masyarakat dan perlu penyampaian komunikasi

yang baik agar terjadi kesepahaman yang sama antara masyarakat dan UPT).

Pertanyaan-pertanyaan di atas memerlukan jawaban dari Ditjen KSDAE agar keraguan dalam

melaksanakan Kemitraan Konservasi bisa dihilangkan.

d. Membuat Manfaat dari Kemitraan Konservasi Bisa Dilihat dan Dirasakan

Manfaat dari Kemitraan Konservasi baru sedikit yang bisa dilihat dan dirasakan. Namun dari

yang sedikit itu, akan mendorong atau memotivasi orang, khususnya masyarakat untuk mengikuti

dan menerapkan Kemitraan Konservasi. Salah satu contoh manfaat yang sudah bisa dilihat adalah

di TN Kelimutu.

Belajar dari TN Kelimutu, manfaat dari Kemitraan Konservasi bisa dihasilkan melalui proses

identifikasi potensi lokal, identifikasi kelompok yang akan melakukan, identifikasi stakeholder

yang bisa membantu atau memfasilitasi, melakukan riset tentang kemungkinan pengembangan

potensi lokal menjadi produk yang bernilai ekonomi dan ekologi, membuat demplot uji coba,

pengemasan produk, promosi, dan merintis pasar.

e. Mengembangkan Organisasi Pembelajar

Organisasi pembelajar adalah satu cara yang dimuat dalam buku “Sepuluh Cara Baru Kelola

Kawasan Konservasi”. Jadi organisasi pembelajar menjadi semacam mandat bagi Ditjen KSDAE

dan UPT di bawahnya. Mengembangkan organisasi pembelajar bukan berarti membuat suatu

organisasi baru. Mengembangkan organisasi pembelajar berarti mengintegrasikan prinsip-prinsip

pembelajaran berdasarkan pengalaman yang terjadi selama impelementasi Kemitraan Konservasi.

Berdasarkan pengalaman yang sudah terjadi maka pengembangan organisasi pembelajar bisa

dimulai dari inisiatif yang sudah ada antara lain pendokumentasian berbagai hal yang sudah

dilakukan seperti (a) kegiatan yang sudah dilakukan, (b) proses menemukan dan bekerja dengan

Page 57: Menumbuhkan Paradigma Kemitraan Konservasi untuk …

local champion seperti di Tangkahan TN Gunung Leuser, (c) penerapan tools Resort Based

Management (RBM) yang sudah dijalankan seperti di TN Bogani Nani Wartabone, (d)

pengalaman coaching dan mentoring yang dilakukan oleh GTM, dan (e) proses shared-learning

yang sudah dilakukan oleh beberapa Balai Taman Nasional seperti yang sudah pernah dilakukan

oleh beberapa Taman Nasional ke TN Gunung Ciremai.

Pengalaman yang sudah ada perlu dilengkapi dengan upaya refleksi dalam rangka memetik

pembelajaran (lessons learned) dan memperbaiki pelaksanaan kegiatan di masa datang. Upaya

pendokumentasian juga dirasa masih kurang. Sekarang yang banyak dilakukan adalah penggunaan

media sosial seperti facebook, WA group, instagram, dan twitter. Namun penggunaan media

sosial memiliki keterbatasan dalam jumlah informasi yang bisa disampaikan dan sulit untuk

ditelusuri kembali dan tidak bisa dijadikan sebagai referensi. Oleh karena itu, perlu

pendokumentasian berupa laporan atau buku yang bisa disebarluaskan. Proses penyebarluasan

informasi dan pengetahuan yang diperoleh dari pengalaman lapang adalah bagian dari prinsip-

prinsip organisasi pembelajar. Berbagai mekanisme berbagi informasi dan pengetahuan harus

dikembangkan baik di tingkat Balai Taman Nasional, kelompok masyarakat, stakeholder, maupun

di tingkat nasional di Ditjen KSDAE sendiri.

a) Perlu membentuk tim pakar yang ditugaskan untuk membuat dokumen FAQ (Frequently Asked Questions) tentang Kemitraan Konservasi. Dokumen FAQ berisi sejumlah

pertanyaan tentang Kemitraan Konservasi, serta jawaban yang dapat menjadi acuan bagi

Kepala Balai Taman Nasional dan stafnya.

b) Perlu ada unit/tim/mekanisme cepat tanggap di Ditjen KSDAE, yang dapat menjawab

pertanyaan-pertanyaan dari lapang terkait dengan pasal-pasal yang dianggap masih belum

jelas.

c) Direktorat Jenderal KSDAE perlu menyediakan sumberdaya yang memadai untuk

pendokumentasian dan penyebarluasan contoh kesuksesan, kegagalan dan pembelajaran dari

Kemitraan Konservasi.

d) Perlu tim pakar yang bertugas untuk merumuskan organisasi pembelajar yang berfungsi untuk

mengelola pengetahuan (knowledge management) Kemitraan Konservasi, baik untuk tingkat

pusat (Ditjen KSDAE) maupun untuk tingkat UPT di lapangan.

e) Perlu dilakukan kerja sama dengan lembaga yang berkompeten, untuk melakukan investigasi

pelaku free rider dan rantai tata niaga hasil hutan illegal, serta menyusun rencana mitigasinya

f) Menjaga agar kelima kondisi pemungkin (enabling condition) tetap ada dan dilaksanakan.

Kondisi pemungkin akan menghadirkan tokoh panutan yang dipercaya, menghilangkan

keraguan dan membuat orang tidak takut salah karena yang dilakukan adalah bagian dari

proses pembelajaran. Dalam organisasi pembelajar, kesalahan bukan untuk dihakimi tapi

untuk diperbaiki. Dengan demikian orang tidak takut untuk selalu mengikuti proses.

g) Gunakan kondisi pemungkin untuk mengurangi faktor-faktor penghambat dan memperbesar

faktor-faktor pendukung implementasi Kemitraan Konservasi.

h) Gunakan kondisi pemungkin untuk terus memastikan perubahan pengelolaan kawasan

konservasi ke arah yang lebih baik.

Page 58: Menumbuhkan Paradigma Kemitraan Konservasi untuk …

Kisah Sukses

Program ini telah berhasil meningkatkan kapasitas petugas Balai Taman Nasional, serta

membangkitkan motivasi dari sarjana kehutanan yang baru lulus untuk mau bekerja di lapangan

khususnya untuk mengembangkan kemitraan konservasi. Hal ini bisa diketahui dari testimony

beberapa orang petugas Taman Nasional yang menjadi peserta Pelatihan seperti Bu Silvi Lucyanti dari

Balai TN Gunung Ciremai. Menurut Bu Silvi, “Sebagai pengelola taman nasional yang melakukan

pemberdayaan masyarakat, materi pelatihan ini sangat menggali potensi saya pribadi dalam hal

pendampingan, walaupun kegiatan pemberdayaan yang dilakukan tidak selalu dalam bentuk perjanjian

kerjasama kemitraan konservasi. Dan mengantarkan saya untuk melihat bagaimana potensi kemitraan

konservasi di UPT saya”.

Ada juga Pak Junaidin, polhut dari Balai TN Tambora. Menurut Pak Junaidin, “Sebagai petugas

lapangan yg selalu bertemu dan berkomunikasi langsung dengan masyarakat, dengan materi pelatihan

ini memberikan ilmu dan strategi dalam upaya pendekatan, kerjasama dan menjalin visi bersama dalam

pengelolaan kawasan konservasi yaitu hutan Lestari masyarakat sejahtera”

Sementara itu dari Sarjana Kehutanan Universitas Kuningan (Jawa Barat), Opik Rahmadiana, ”Kita jadi

mengetahui bagaimana cara membangun kemitraan, hal-hal yang paling efektif dalam membangun

kemitraan, pentingnya partisisipasi semua pihak, merencanakan goals, target dan strategi serta output

apa yang akan dihasilkan. Selain itu monev sangat penting juga dilaksanakan dalam kemitraan

konservasi. Dan yang paling penting dalam kemitraan konservasi adalah visi bersama sehingga semua

kepentingan setiap stakeholder bisa terakomodir”.

Selain peningkatan kapasitas, Program ini juga telah berhasil mendorong dan memfasilitasi proses

penanda tanganan Perjanjian Kerja Sama (PKS) antara Balai TN Tambora dengan Kelompok

Masyarakat di Desa Kawinda Toi Nomor 412/01.PKS/XI/2019 tentang Kemitraan Konservasi

Penguatan Fungsi Berupa Pemberian Akses Pemungutan Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) Madu di

Zona Tradisional Taman Nasional Tambora. PKS ini ditandatangani oleh Kepala Balai Taman Nasional

Tambora dan Kepala Desa Kawinda Toi pada 29 November 2019. Ruang lingkup kerjasamanya,

antara lain: (1) pemetaan areal pemanenan madu; (2) perlindungan dan pengamanan Kawasan Taman

Nasional Tambora melalui kegiatan patroli dan penjagaan bersama; (3) penyusunan rencana

pelaksanaan program bersama antara Taman Nasional Tambora dan Desa Kawinda Toi; (4) fasilitasi

pengembangan kegiatan kemitraan konservasi; dan (5) menitoring dan evaluasi pelaksanaan

kerjasama.

Page 59: Menumbuhkan Paradigma Kemitraan Konservasi untuk …

Gambar 1. Pak Junaidin (TN Tambora) dan Muttakun (LP2DPM Dompu), pendamping lapangan,

sedang mendiskusikan Rencana Kemitraan Konservasi di TN Tambora

Gambar 2. Bu Asiah (LP2DPM Dompu) sebagai Pendamping Masyarakat Di Desa-Desa Sekitar TN

Tambora, Sedang Memaparkan Hasil Diskusi Kelompok

Page 60: Menumbuhkan Paradigma Kemitraan Konservasi untuk …

Gambar 3. Diskusi antara anggota kelompok (kiri dan kedua dari kiri) di Desa Kawinda Toi dengan

pendamping dari LP2DPM (Muttakun (tengah)), dan staf LATIN (Vinna (kedua dari kanan) dan Eka

(ujung kanan).

Gambar 4. Diskusi antara LATIN (Vinna dan Eka), pendamping masyarakat dari LP2DPM (Muttakun),

dengan Kepala Balai TN Tambora (Ibu Murlan Dameria Pane) dan Kepala SubBagian Tata Usaha (Pak

Deni) untuk persiapan penanda tanganan PKS

Page 61: Menumbuhkan Paradigma Kemitraan Konservasi untuk …

Gambar 5. Penandatanganan Perjanjian Kerja Sama (PKS) antara Kepala Balai TN Meru Betiri dengan

Ketua Kelompok dari Desa Kawinda Toi

Gambar 6. Dokumen PKS yang telah ditanda tangani oleh kedua pihak (Kepala Balai TN Tambora

dengan Ketua Kelompok dari Desa Kawinda Toi

Page 62: Menumbuhkan Paradigma Kemitraan Konservasi untuk …

BAGIAN II - FINANSIAL

Deskripsi Pendanaan Kegiatan Hibah

Total keseluruhan dana proyek ini presentase hibah dari Bijak seebesar 84% dan sebesar 16% dana

berasal dari Latin. Dana tersebut digunakan sepeuhnya untuk mendukung kegiatan-kegiatan. Dalam

Pelaksanaan kegiatan Pelatihan Implementasi Kemitraan Konservasi terdapat kontribusi dari peserta

yang membantu pelaksanaan kegiatan ini. Peserta tersebut berasal dari NGO yang tertarik mengikuti

kegiatan tersebut tetapi tidak masuk ke dalam skema peserta yang didanai oleh USAID BIJAK.

Ringkasan Biaya Kegiatan dan Pembayaran Hibah

Pemberian hibah jenis jumlah tetap (fixed amount award)

Dalam pengelolaan proyek, USAID BIJAK memberikan hibah jenis jumlah tetap (Fixed Amout

Award), kelebihan dari jenis hibah ini yaitu pemberi dana tidak memerlukan laporan keuangan detail.

Kekurangannya yaitu tidak ada biaya tambahan jika dalam pelaksanaan terdapat kelebihan biaya (over

budget).

Komitmen anggaran

Hibah Chemonics Total Pembayaran Milestone Variasi

Tindakan yang

Dilakukan

Milestone 1 - Rp.

115.227.000

Milestone 1 - Rp. 115.227.000 - -

Milestone 2 – Rp.

340.850.000

Milestone 2 – Rp. 340.800.000 - -

Milestone 3 – Rp.

185.800.000

Milestone 3 – Rp. 185.800.000 - -

Milestone 4 – Rp.

106.950.000

Milestone 4 – Rp. 106.950.000 - -

Milestone 5 – Rp.

84.700.000

Milestone 5 – Rp. 84.700.000 - -

Milestone 6 – Rp.

159.200.000

Milestone 6 – Rp. 159.200.000 - -

Milestone 7 – Rp.

138.700.000

Milestone 7 – Rp. 138.700.000 - -

Milestone 8 – Rp.

216.400.000

Milestone 8 – Rp. 216.400.000 - -

Milestone 9 – Rp.

32.150.000

Milestone 9 – Rp. 32.150.000 - -

Total Rp 1.379.977.000 Total: Rp 1.379.977.000 - -

Penjelasan Biaya yang Lebih Tinggi atau Lebih Rendah Daripada yang

Diantisipasi

Dalam menjalankan dana hibah ini, tidak terdapat variasi biaya secara signifikan dari total anggaran.

Variasi yang terjadi adalah jika di salah satu pos anggaran mengalami kekurangan dana, maka dapat

diselesaikan menggunakan dana dari pos anggaran yang mengalami kelebihan. Sistem subtitusi ini

dilakukan dengan sepengetahuan Project Coordinator serta membantu dalam hal fleksibilitas

pelaksanaan program.

Page 63: Menumbuhkan Paradigma Kemitraan Konservasi untuk …

Pada saat proses penerimaan dana hibah, ada beberapa modifikasi yang dilakukan. Modifikasi tersebut

sebagai berikut:

1. Modifikasi 01

Dilakukan untuk menyesuaikan dengan recana program BIJAK pada awal tahun 2019. Hasil

dari modifikasi ini adalah penyesuaian jumlah dana yang dibayarkan dan tanggal jatuh tempo.

Dalam modifikasi ini tidak ada pemotongan atau penambahan anggaran.

2. Modifikasi 02

LATIN meminta perpanjangan jatuh tempo kontrak sebab ada beberapa kegiatan seperti

kegiatan monitoring dan mentoring PKS dan penyelesaian laporan akhir yang memerlukan

perpanjangan waktu. Amandemen kontrak memperpanjang tanggal kontrak dari tanggal 16

Desember 2019 menjadi 30 Desember 2019. Dalam modifikasi ini tidak terdapat

pemotongan atau penambahan anggaran.

3. Modifikasi 03

Untuk memberikan kecukupan waktu dalam menyelesaikan Laporan Akhir Proyek, maka

kontrak diperpanjang ke 30 Januari 2020 dan mengubah tanggal jatuh tempo Milestone #9

(milestone terakhir) menjadi tanggal 8 Januari 2020.