makalah novel 6

Post on 14-Jun-2015

1.851 Views

Category:

Documents

8 Downloads

Preview:

Click to see full reader

TRANSCRIPT

KATA PENGANTAR

Puji serta syukur kita panjaktan kepada Tuhan semesta alam, Allah SWT,

yang dengan segala karuniaNya, makalah Tentang “Sepuluh Ringkasan dan

Ulasan Novel Indonesia” ini dapat diselesaikan dengan baik. Shalawat serta salam

tak lupa kita haturkan kepada Nabi Besar Muhammad saw, keluarga sahabat serta

para pengikutnya yang senantiasa istiqamah dalam mengemban risalahnya.

Terima kasih Penyusun sampaikan kepada berbagai pihak yang telah

memberikan kontribusi dalam penyelesaian Makalah ini. Terutama kepada Bapak

Dosen Pembimbing.

Isi Makalah ini tentu masih banyak kelemahan, oleh karena itu diharapkan

kepada para mahasiswa, dosen serta pihak-pihak yang berkepentingan dapat

memberikan masukan dalam rangka perbaikan pedoman ini dikemudian hari.

Mudah-mudahan sedikit yang kami bisa sumbangkan ini, akan dicatat oleh

Allah SWT sebagai bagian dari amal sholeh Penyusun dan akan menjadi ilmu

yang bermanfaat, yang senantiasa akan mengalirkan pahala bagi orang-orang yang

mengajarkannya.

Garut, November 2009

Penyusun

Daftar Isi

Kata Pengantar .................................................................................................... i

Daftar Isi ............................................................................................................. ii

Pembahasan

1. Salah Asuhan ........................................................................................... 1

2. Katak Hendak Jadi Lembu ....................................................................... 6

3. Layar Terkembang ................................................................................... 11

4. Belenggu .................................................................................................. 16

5. Aki ............................................................................................................ 20

6. Pertemuan Jodoh ...................................................................................... 24

7. Di Atas Puing-Puing ................................................................................ 29

8. Pelabuhan Hati ......................................................................................... 32

9. Wanita Itu Adalah Ibu .............................................................................. 37

10. Telepon ................................................................................................... 41

Daftar Pustaka ..................................................................................................... 44

1. PELABUHAN HATI

inta Rani yang begitu besar kepada Ramelan, seorang mahasiswa fakultas

teknik, telah membuat gadis itu rela berkorban demi mewujudkan harapan

cintanya itu. la rela membiayai kuliah kekasihnya sampai Ramelan menyelesaikan

studihya dan menjadi insinyur, la juga nekat lari dari orang tuanya, kemudian

kawin dengan Ramelan secara sederhana. Dari upahnya menerima jahitan,

semuanya dapat berjalan sesuai dengan rencana,

C

Masa-masa bahagia pun mereka rasakan. Ramelan kemudian bekerja di

berbagai proyek, di sarnping mengajar di beberapa perguruan -tinggi. Satu per

satu anaknya lahir; "Dua anak laki-laki yang beringas dan dua gadis manis yang

cerdik" (hlm. 8). Mereka hidup dalam curahan kebahagiaan di sebuah rumah

sederhana.

Lambat-laun penghasilan Ramelan makin meningkat. Secara pasti

kehidupan mereka tak lagi kekurangan. Bahkan sebuah rumah gedung sedang

dipersiapkan secara diam-diam, walaupun Rani sendiri mengetahui rencana itu.

Suatu hari, teman Rani, Sofia, mengundang Rani untuk datang ke

rumahnya. Tanpa sepengetahuan suaminya, Rani memenuhi undangan itu. Sofia

kemudian mengajaknya ke tingkat atas. Dari Sana, tampak ada sebuah rumah

yang sedang dibangun. Letaknya persis bersebelahan-Saat itu, tampak jelas di

hadapan mata Rani; suaminya sedang bergandengan tangan dengan seorang

wanita muda. Sebuah pcmandangan yang mem-buat Rani percaya dan tidak

percaya. Ramelan yang dahulu ditolongnya hingga menjadi insinyur, suaminya

yang sedang mempersiapkan rumah impian untuk dirinya dan keempat anaknya,

di hadapannya kini sedang bermesraan dengan perempuan lain, Inilah awal

keretakan rumah tangga mereka.

Sejak kejadian itu, Rani memutuskan untuk tinggal bersama keempat

anaknya. la tak ingin lagi bertemu dengan laki-laki yang telah mengkhianati

cintanya. Sungguhpun begitu, Ramelan sendiri masih tetap berusaha untuk

Pengarang : Titis Basino P.I. (17 Januari 1939)Penerbit : Pustaka JayaTahun : 1978

membiayai sekolah anak-anaknya.

Untuk mengisi kekosongan dan menambah biaya hidupnya sehari-hari, Rani

kembali membuka usaha jahitan. la mulai terbiasa dengan keadaannya sekarang.

Para pe-langgannya pun dari hari. ke hari makin bertambah. Salah seorang

pelanggannya adalah Laksmi. Wanita cantik itu mulai akrab dengan Rani.

Namun, .rupanya kedukaan Rani harus kembali terulang. Ketika hendak

berbelanja keperluan jahitannya di Blok M, ia melihat Laksmi, pelanggannya itu,

sedang asyik bergandengan tangan dengan Ramelan. Maka, kesimpulan pun jatuh

sudah; Ramelan adalah laki-laki jalang yang selalu berganti-ganti wanita.

Belakangan diketahui bahwa sesungguhnya Ramelan sudah resmi menjadi suami

Laksmi. Namun, bagi Rani sendiri, peristiwa itu makin membuatnya tak lagi perlu

percaya kepada laki-laki.

Dari hasil jerih payahnya selama itu, Rani kemudian merombak rumahnya

dan menambah beberapa kamar untuk disewakan. Dari hasil menyewakan kamar-

kamar itu, kehidupan Rani mulai membaik walaupun bekas suaminya tak pernah

lagi me-ngirimkan uang untuk biaya anak-anaknya sekoiah. Anak-anaknya pun

mulai akrab dengan para penyewa kamar-kamar itu. Namun, rupanya keakraban

itu justru dilihat lain oleh para tetangganya. Gosip buruk pun berkembang hingga

sampai pula ke telinga bekas suaminya.

Rani sendiri tidak mau mempedulikan semua kabar busuk itu. Ramelan

yang mencoba menyuruh Rani untuk tidak lagi menyewakan kamar-kamarnya,

juga tidak digubris. la yakin pada jalannya sendiri yang memang tidak hendak ia

nodai.

Lebih dari dua tahun Rani menjalani kehidupan seperti itu. Sampai

akhirnya, Wastu dan Pragantha, dua mahasiswa fakultas teknik yang sudah sejak

lama tinggal di pondokan Rani, meminta Rani agar menghadiri ujian skripsi

mereka. Tentu saja Rani tidak berkeberatan. Pada hari yang ditentukan, ia datang

ke tempat kedua mahasiswa itu melangsungkan ujian akhirnya. Hasilnya adalah

mereka lulus dan berhak menyan-dang gelar insinyur.

Peristiwa itu bagi Rani, barangkali tidak lebih sebagai peristiwa biasa,

sungguhpun sebelum pulang, ia sempat berjumpa lagi dengan bekas kekasihnya

dahuiu sewaktu ia belum berhubungan dengan Ramelan. Namun, seperti juga

kejadian sehari-hari, ia kembali kepada kesibukannya mengurusi anak-anaknya.

Sore harinya, datang telepon dari Laksmi yang mengabarkan bahwa

Ramelan sakit keras dan kini sedang dirawat di rumah sakit Petamburan. Dalam

keadaan seperti itu, bagaimanapun, hati nurani Rani tak tega melihat bekas

suaminya dalam keadaan demikian. la pun memutuskan untuk menjenguk

bekas suaminya. Saat itu juga ia berangkat bersama keempat anaknya.

Laksmi rupanya sudah menunggu di sana. Kini Rani melihat, betapa orang

yang pernah ia cintai, ayah anak-anaknya itu, hanya terbaring tak berdaya. "Aku

membaca surat Yasin yang ada di tangan kiri dan tangan kananku menggenggam

erat tangan Ramelan. Tanpa kusadari, selama ayat-ayat suci itu kubaca dengan

khusyuk, Ramelan telah berhenti bernapas" (hlm. 129).

Ramelan telah mengakhiri hidupnya di hadapan Rani, bekas istrinya yang

tabah; Laksmi, istri mudanya yang masih menangis, dan keempat anaknya yang

memandang kosong ke arah kegelapan malam. Rani menyongsong keempat

anaknya; melangkah ke masa depan.

***

Novel karya Titis Basino ini, tampak jelas hendak mengangkat ketabahan

seorang wanita, seorang ibu dengan keempat anaknya. Dengan ketabahan itu, ia

berhasil tidak hanya menjadi kepala keluarga bagi anak-anaknya, tetapi juga

berhasil menjadi induk semang yang baik bagi mereka yang tinggal di

pondokannya. Lebih dari itu, ia juga berhasil membangun citra dirinya sebagai

wanita yang tak mudah goyah oleh cobaan apa pun. Penderitaan yang dialaminya,

telah membuatnya menjadi wanita yang matang, sekaligus menjadi ibu yang

bijaksana.

Sebaliknya, Ramelan yang lupa pada perjuangan istrinya dan gampang

terbawa arus oleh Hmpahan kesuksesannya, akhirnya harus menghadapi

kehidupan yang pendek. Laksmi yang jauh lebih muda daripada Rani, rupanya

tidak sepenuhnya dapat memberi kebahagiaan pada diri Ramelan.

Secara keseluruhan novel ini dibangun oleh jalinan peristiwa yang lancar

dan tidak terlalu rumit. Pesan pengarangnya untuk menampilkan citra wanita

sejati, boleh dikatakan berhasil lewat penokohan yang tidak terlalu kompleks.

2. WANITA ITU ADALAH IBU

eninggalnya Laura membuat Hezan merasa begitu sangat kehilangan

seseorang yang dicintainya. Cinta Hezan yang mendalam terhadap

istrinya itu menyebabkan ia bertekad untuk tidak mempunyai istri lagi. Dengan

hidup tetap menduda, ia merasa tidak mengkhianati cintanya kepada almarhumah.

Begitu pula ia merasa sanggup membesarkan putri tunggalnya, Prapti, tanpa perlu

mengakhiri status dudanya. Yang penting baginya, ia dapat menumpahkan kasih

sayangnya kepada putrinya seorang.

M

Sungguhpun demikian, Hezan juga tidak dapat membohongi dirinya

sendiri bahwa sesungguhnya ia begitu kesepian. Bertahun-tahun sejak istrinya

meninggal, ia merasakan kesepian itu. Namun, ia juga tidak ingin Prapti

mengetahui apa yang selama ini ia pendam dengan penuh kegelisahan.

Kesepian yang dirasakan Hezan makin terasa mengganggunya setelah

Prapti menikah dengan Tonton. Mitos untuk mempertahankan diri sebagai suami

yang setia, justru makin menggelisahkannya, apabila ia ingat kemunafikannya

selama ini. Di depan anaknya,Hezan berperan sebagai ayah yang taat beragama

dan setia mencintai almarhumah. Namun, di balik itu, Hezan mencari kepuasan

lewat perempuan-perempuan lain. Jadilah duda itu hidup seolah-olah dalam dua

dunia; sebagai ayah yang ideal di mata putrinya, dan sebagai lelaki yang butuh

kehangatan tubuh perempuan, di hadapan hati nuraninya sendiri.

Sebelum itu, Prapti sendiri pernah mengusulkan agar ayahnya menikah

lagi. Namun ternyata, Hezan sendiri menanggapinya secara lain; dengan kawin

lagi, ia khawatir hal itu justru merupakan pengkhianatan terhadap cintanya kepada

istrinya, almarhumah. "Aku sebenarnya tidak tahu, gagasan yang dikemukakan

Prapti kepadaku... Yang jelas aku terkejut dengan saran yang diajukan Prapti.

Betapa tidak. Setelah lima belas tahun mendampinginya dan membesarkannya

setelah kepergianmu, Prapti menyarankan kepadaku agar aku mencari

penggantimu" (hlm.21). Begitulah, Hezan seolah-olah hendak mengadukan

Pengarang : Sori Siregar (12 November 1939)Penerbit : Balai PustakaTahun : 1982

persoalannya kepada Laura, almarhumah.

Apa yang dirasakan Hezan, dirasakan pula oleh Prapti berkenaan dengan

usul agar ayahnya mencari pengganti ibunya. "Aku malah telah berbuat lebih

jauh. Meminta ayah untuk mencari pengganti Ibu. Sampai di mana sebenarnya

cintaku pada Ibu? Mungkin cintaku terlalu besar kepada ayah, yang membuatku

melupakan Ibu" (hlm. 34).

Bagi Hezan, dalam perkembangannya kemudian, persoalannya bukan lagi

pada kekhawatirannya mengkhianati cinta kepada istrinya, melainkan

kemunafikannya sendiri. Pada mulanya Hezan beranggapan bahwa tak ada artinya

perkawinannya nanti jika hanya karena hendak menghindari dosa. Karena

bagaimanapun juga, perkawinannya itu mesti dilandasi oleh perasaan cinta.

Padahal cintanya sudah tumpah pada Laura. "Yang jelas aku tidak akan bisa

menganggap istri baru seperti Laura. Cintaku kepada Laura tidak akan dapat

kualihkan kepadanya. Lalu, apa artinya perkawinan tanpa cinta?" (hlm. 49). Itulah

yang membuat Hezan lebih suka melakukan hubungan gelap—tanpa nikah—

daripada harus kawin, yang berarti mengalihkan cintanya dari Laura kepada

wanita yang dinikahinya.

Belakangan, munculnya Nuning, sosok wanita yang sedikit banyak

mengingatkannya kepada Laura, mulai mencairkan sikap Hezan dalam hal

keengganannya untuk menikah lagi. la mulai merasakan sesuatu yang lain, dan ia

merasa cintanya tumbuh kembali. "Cinta kita adalah cinta tua.... Aku akan

melupakan semua perasaan yang terpendam ini. Kalau kau memang telah

ditakdirkan untuk menjadi milikku, kau tidak akan pernah bisa dirampas oleh

siapa saja" (hlm. 121). Nuning pula yang kemudian ia tetapkan sebagai calon

istrinya yang baru. Sementara Prapti sendiri telah menemukan sosok ibunya pada

diri Nuning Maka, tidak ada alasan baginya untuk menolak Nuning sebagai ibu

tirinya. Apalagi, perempuan yang sudah mulai berumur itu pur. merasakan hal

yang sama: "Datanglah, datanglah sekali lagi. Aku akan membukakan pintu ini

lebar-lebar untukmu" (hlm, 123).

***

Novel ini sebenarnya lebih banyak mengungkapkan konflik batin seorang

ayah yang merasa kesepian setelah istri tercintanya meriinggal dunia. Bertahun-

tahun ia menduda, hanya karena ingin mcncurahkan perhatian dan kasih sayang

kepada putri tunggalnya. Namun, di balik itu semua, sesungguhnya ia telah

membangun topeng kemunafikan. Di luar, duda itu mencari kchangatan kepada

perempuan lain, tanpa diketahui sedikit pun oleh putrinya. Jadi, seputar itulah

persoalan yang dikembangkan dalam novel ini.

Yang menarik dalam novel ini adalah adanya usaha pengarang untuk

mengangkat konflik psikologis yang terjadi pada diri para tokohnya. Pertentangan

batin pada diri sang ayah atau anak (Prapti) cukup menarik karena persoalannya

memang tidaklah sesederhana yang diduga.

Novel ini meraih Hadiah Perangsang Kreasi Sayembara Mengarang

Roman Devvan Kesenian Jakarta pada tahun 1978.

3. BAKO

iola tua itu kini kian hari kian berdebu. la diletakkan di atas lemari" (hlm.

11). Alat musik itu memang sudah hampir sepuluh tahun lamanya dibiarkan

tak tcrawat. Padahal, dulu si bocah laki-laki yang biasa dipanggil Man itu, sering

meiihat ayahnya memainkannya, la belum juga mengerti, mengapa ayahnya kini

tak lagi mau mcnjamah benda itu. Dan sesungguhnya ia ingin sekali mengetahui

alasan ayahnya menghentikan kebiasaannya. memainkan biola itu.

B

Suatu ketika ayahnya bercerita tentang pengalaman masa mudanya. Dari

cerita itulah si bocah sedikit banyak mengetahui bahwa ayahnya pernah gagal

menamatkan sekolahnya di SMA. Kegagalan itulah yang mendorong ayahnya

pulang ke kampung halaman. Walaupun begitu, semangat untuk menuntut ilmu

sama sekaii belum pudar. Ayahnya kemudian memasuki SGB (Sekolah Guru

Bawah) di PP. Diceritakan pula bahwa sewaktu di SMA, sang ayah menjalin

hubungan cinta dengan seorang wanita, putri sulung seorang polisi. Hubungan

cinta itu terus berlanjut lama, walaupun orang-orang di kampungnya menentang

hubungan itu. Diceritakannya pula bahwa wanita itu sudah tidak gadis lagi. la

seorang janda dengan dua orang anak. Dan, bukan orang sekampungnya. Namun,

cinta lebih kuat dari semua itu. Perkawinan itu pun terjadi hingga lahir seorang

anak laki-laki yang kemudian disusul oleh adik-adiknya. Olch karena itulah, si

bocah di bawa ke rumah bako, yakni keluarga sepertalian darah dengan ayah.

Belakangan, setelah anak laki-laki itu beranjak dewasa, ia mengetahui

bahwa ibunya menjadi gila karena ditinggal lama oleh sang ayah. Meskipun

begitu, ia masih belum mengerti mengapa ibunya sampai menjadi giia. Tidak

adakah penyebab lain yang membuat pikiran ibunya sampai tak waras begitu.

Itulah pertanyaan yang selalu ia coba jawab atas dasar cerita-cerita ayahnya

kemudian, dan keterangan dari neneknya.

Satu hal yang jelas adalah keadaan dirinya yang cacat. Penyakit poliolah

yang membuat kakinya cacat. Namun, itu tidak menjadikan lelaki itu putus

Pengarang : Darman Moenir (27 Juli 1952)Penerbit : Balai PustakaTahun : 1983; Cetakan III, 1988

harapan. la tetap bertekad untuk terus melanjutkan sekoiahnya ke jenjang

pendidikan yang lebih tinggi. Paling tidak, ia berhasil merasakan pendidikan di

Sekolah Seni Rupa Indonesia Negcn.

Setamat pendidikan di salah satu akademi, pemuda itu tidak langsung

bekerja. Ayahnya sebenarnya berharap agar ia dapat bekerja sebagai pegawai

negeri. Namun, pemuda itu justru berpikiran lain, Menuntut ilmu bukanlah untuk

bekerja sebagai pegawai negeri, demikian pendiriannya. Meskipun adik-adiknya

membutuhkan uluran tangannya untuk membiayai sekoiah mereka, ia tctap ingin

bekcrja sesuai dengan kehendak hatinya.

Mungkin sikap tersebut tidak terlepas dari pendidikannya sewaktu tinggal

bersama uminya—kakak pcrempuan ayahnya. Pada diri uminya, pemuda itu

banyak belajar agama dan mendekatkan dirinya kepada Tuhan. Pada saat itu mulai

tumbuh sikap ingin mandiri atau sedikitnya bertanggung jawab pada did sendiri.

Walaupun begitu, ia harus mengakui bahwa biaya sewaktu kuliah lebih banyak

diterima dari uminya. Menyadari hal itu, ia tidak mau menyia-nyiakan waktu; ia

banyak belajar dan mem-baca. Ia juga mulai mengenal para pengarang terkenal.

Semua itu memberi pengaruh cukup kuat pada dirinya. Paling tidak, ia mulai

membiasakan diri untuk membuat karangan atau mulai rajin berkecimpung dalam

keg ia tan tulis-menulis. Memang, dunia itulah yang hendak ia jadikan

pekerjaannya.

Sementara itu, sejalan dengan penyadaran dirinya untuk menentukan masa

depan-nya, lelaki itu mencoba bercermin pada orang-orang yang ada di

sekelilingnya. Ibunya, misalnya, yang tak waras lagi, sama sekali tak dapat

diharapkan lagi. Ayahnya, dengan gaji yang pas-pasan sebagai seorang guru,

masih tctap repot mengurusi anak-anaknya, sementara pemuda itu tak dapat

membantu apa-apa. Pemuda itu juga tak dapat terus menggantungkan hidup pada

uminya, meskipun pcrempuan itu memiliki sawah dan ladang yang cukup luas.

Seorang lagi, Bak Tuo—yang masih sekerabat dengan uminya—sungguh

merupakan kepala keluarga yang tak patut dijadikan contoh teladan. Kebiasaan

berjudi dan menghabiskan uang pensiunannya hanya untuk judi, telah

menyebabkan keluarganya telantar. Bahkan, Bak Tuo mulai berani pula mencuri

uang ayah pemuda itu. Akibatnya, kedua orang tua yang sebenarnya sudah

berumur itu, berkelahi.

Bagi si pemuda, kehidupan Bak Tuo memberi ny a kesadaran betapa pen

ting ke-hidupan masa muda. Kehidupan masa muda Bak Tuo, sampai ia

menghabiskan masa pensiunnya, hampir tak pernah lepas dari kebiasaan berjudi.

Dari situlah si pemuda mengambil sikap seperti ini: "aku menyimak dan menarik

pelajaran dari apa yang dialami Bak Tuoku. la adalah contoh yang amat tepat

untuk dijadikan sebagai manusia yang sia-sia di masa tua sesudah mengabaikan

masa dan hari mudanya" (hlm. 83).

Seorang lagi yang ikut mempengaruhi sikap hidup si pemuda adalah

seorang petani sejati yang biasa disebut Gaek. "Mempunyai tempat di hatiku,

rasanya ia adalah laki-laki seribu dongeng. Setiap dongeng yang ia ceritakan

selalu mengena di hatiku, di benakku. la adalah laki-laki yang mengisi masa

kanak-kanakku secara lebih sempurna" (hlm. 93). Lebih dari itu, si pemuda—

betapapun ia hidup cacat—makin menyadari bahwa sesungguhnya hidup adalah

kerja. Ternyata Gaek mampu hidup dan meng-hidupi masa depannya karena ia

mencintai kerja. Lelaki itu benar-benar telah berhasil memberi makna dalam

hidupnya. Pemaknaan bagi kehidupan inilah yang kin! di-temukan si pemuda

dalam diri orang-orang sekitarnya. Kelak ia akan berusaha untuk menjalani

kehidupan ini dengan penuh rnakna. Itulah yang menjadi tekad si pemuda.

***

ovel Bako ini sesungguhnya lebih menyerupai catatan biografis sebuah

keluarga. Ceritanya disampaikan lewat tokoh "aku" yang sejak

kecilnya mencoba me mahami keberadaan dirinya dalam sebuah keluarga dan

masyarakat. Bentuk pen-ceritaannya cukup rumit; rumit karena setiap tokoh yang

diceritakan selalu dihubung-kan dengan tokoh "aku". Dengan demikian, bentuk

flashback atau sorot balik terjadi di sana-sini. Hal itu dimungkinkan karena

pemaparannya mirip cuplikan peristiwa-peristiwa yang bersifat fragmentaris.

Hanya lewat tokoh "aku" itulah berbagai peristiwa menjadi saling berkaitan.

Dalam hal ini, novel Bako cukup menarik. Secara keseluruhan, peristiwa-

N

peristiwa fragmentaris sangat menonjol dalam novel ini. Di dalamnya ter-ungkap

pula tradisi dan adat-istiadat yang berlaku dalam masyarakat matrilineal. Dalam

beberapa hal, terungkap pula sisi positif dan negarif masyarakat yang menganut

tradisi tersebut.

Sebagai karya sastra, dalam hal bentuk, novel ini boleh dikatakan

menampilkan pembaharuan. Boleh jadi karena itulah novel ini dinyatakan sebagai

pemenang hadiah utama Sayembara Mengarang Roman Dewan Kesenian Jakarta

pada tahun 1980.

4. OLENKA

ertemuan antara Fanton Drummond dan Olenka hanya secara kebetulan.

Mereka bertemu di lift apartemen Tulip Tree, tempat tinggal mereka.

Pertemuan yang terus-menerus membuat Fanton tidak bisa melupakan bayangan

Olenka dari pikiran-nya. Setiap saat Fanton selalu membayangkan wajah dan

tubuh Olenka, sekaligus ingin memperistrinya.

P

Meskipun Fanton akhirnya mengetahui bahwa Olenka sudah bersuami dan

mem-punyai anak, ia tidak terlalu mempedulikannya- Bahkan ia terkadang merasa

cemburu pada Wayne Danton, seorang pengarang amatir, yang bisa memperistri

Olenka.

Sebelum Fanton Drummond hadir dalam kehidupan Olenka, keadaan

keluarga Wayne-Olenka sedang guncang walaupun belum sampai pada tahap

perceraian. Keadaan itu disebabkan suami-istri itu mempunyai gaya hidup yang

berbeda; Wayne seorang pengarang dan Olenka seorang pelukis. Di antara mereka

tidak ada kecocokan. Wayne sering menempelkan sobekan-sobekan kertas, yang

berisi kata-kata yang akan digunakannya dalam pembuatan cerpen atau novel, di

dinding kamar; sedangkan Olenka sering membaca buku yang seolah-olah tidak

mau ditegur orang lain.

Tingkah laku Fanton yang menunjukkan bahwa ia menginginkan Olenka

dapat ditangkap oleh wanita itu. Mungkin karena Fanton sering memuji-muji hasil

karyanya, Olenka menjadi akrab dengan pria itu. Bahkan, hubungan mereka

semakin intim seperti layaknya suami-istri.

Fanton dan Olenka sudah berjanji bahwa pada suatu waktu mereka harus

berpisah. Lalu, memang demikianlah nyatanya. Mereka berpisah. Namun,

kenyataannya Fanton tak bisa melupakan Olenka setelah mereka berpisah. Untuk

menghilangkan kegelisah-annya, Fanton berusaha melupakan dan menghilangkan

bayangan Olenka dart pikirannya, tetapi justru terjerat pada bayangan tubuh

Olenka. Akhirnya, ia berkelana mencari jejak wanita itu ke Indiana, Kentucky,

dan kembali ke Illinois.

Pengarang : Dudi DarmaPenerbit : Balai PustakaTahun : 1983; Cetakan III, 1986

Di Chicago Fanton berkenalan dengan Mary Carson di hotel La Salle.

Perkenalan singkat ini dimanfaatkan oleh Fanton untuk melenyapkan bayangan

Olenka yang » sering berkelebat dalam pikirannya. Tanpa pikir panjang, ia

langsung menyatakan cintanya kepada Mary. Namun, ditolak secara halus oleh

wanita itu karena ia belum berpikir untuk kawin. Melihat kenyataan seperti ini,

Fanton merasakan diri seperti melayang. Akhirnya, ia menulis surat-surat

masturbasi; menulis surat untuk Mary, tapi tidak dikirim, melainkan disimpan

beberapa hari, kemudian dibaca sendiri suratnya. Setelah itu, ia bertindak seakan-

akan seperti Mary yang membalas suratnya—padahal ia sendiri yang menulis

surat jawaban itu—, lalu disimpannya surat itu untuk beberapa lama, kemudian ia

baca surat itu, demikian seterusnya.

Tak berapa lama setelah kejadian itu, Fanton mendapat surat yang sangat

panjang dari Olenka. Dalam surat itu Olenka menceritakan asal-usulnya secara

menyeluruh. Juga tentang rasa kasihannya kepada Wayne, tentang cintanya yang

sesungguhnya kepada Fanton, barikan kisah hidupnya sebagai lesbian dengan

seorang wanita yang dinamainya Winifred.

Kisah hidupnya ini mirip dengan kisah hidup Ursula dan Winifred dalam

novel The Rainbow karya D.H. Lawrence. Olenka juga mengatakan bahwa

perkawinannya dengan Wayne hanyalah karena keterpaksaan, yakni agar ia dapat

hidup normal sebagai seorang wanita. Meskipun Olenka mencintai Fanton, ia

sadar bahwa bagaimanapun Wayne adalah suaminya dan Steven adalah anaknya,

ia akan menolong hidup kedua orang itu.

Surat Olenka tersebut justru membuat Fanton semakin tergila-gila pada

wanita itu. Ia kemudian mencarter pesawat terbang untuk mengelilingi

Bloomington sekadar melupakan Olenka. la masih tetap berharap agar Olenka

mengirimkan surat untuknya lagi, tetapi sia-sia, Olenka tidak pernah menulis surat

lagi.

Fanton akhirnya dapat bertemu dengan Mary Carson lagi, yang kini sudah

cacat akibat kecelakaan pesawat terbang yang ditumpanginya. Meskipun Mary

cacat, Fanton masih bersedia mengawininya. Mary tetap menolak karena ia tak

mau nantinya lelaki itu hanya akan berperaM sebagai juru rawat saja. Padahal,

dalam hati wanita itu sebenarnya ia sangat mencintai Fanton semenjak pertemuan

mereka dulu di Chicago, tetapi pada waktu itu Mary dalam keadaan bimbang,

sehingga tidak dapat mem-berikan suatu putusan.

Sepulangnya Fanton dari Alicjuippa—dari rumah Mary—, ia membaca

berita di surat kabar yang berisi tentang pemalsuan lukisan oleh Olenka Danton—

yang kemudian ditemui pingsan di kamar hotelnya karena terlalu banyak menelan

obat tidur.

Selanjutnya, Fanton berusaha menemui Olenka di rumah sakit. Namun,

"menurut Loket Penerangan Rumah Sakit, Olenka sudah meninggalkan rumah

sakit lebih kurang seperempat jam yang lalu melalui pintu samping. Saya tidak

menyesal, tidak kecewa. Yang saya pendam dalam hati hanyalah kekosongan"

(hlm. 213).

Begitulah, ketidakhadiran Olenka kali ini sama sekali tak membuatnya

bersedih. la sudah tidak lagi memikirkan Olenka. Yang dipikirkannya kali ini

adalah dirinya sendiri yang tak pernah ia mengerti siapa dirinya, mau ke mana,

dan akan berhenti di mana perjalanannya. la kini sadar bahwa apa yang ada dalam

hati nuraninya, dan apa yang ada dalam pikirannya harus dapat

dipertanggungjawabkan. "Dan saya harus mempertanggungjawabkannya. Maka,

dalam usaha saya untuk menjadi pemeluk teguh, saya menggumam, 'Tuhanku,

dalam termangu, aku ingin menyebut nama-MU'" (hlm. 215). Inilah kesadaran

Fanton akan keberadaan dirinya sebagai makhluk-Nya yang tak mempunyai

kekuasaan apa-apa dibandingkan kekuasaan-Nya.

***

ovel karya Budi Darma ini sebenarnya mempergunakan bentuk pencerita

akuan (first person narrator)—dengan tokoh Fanton yang bertindak sebagai

pencerita dan sekaligus tokoh utama—, tetapi disampaikan melalui surat Lewat

surat-surat itulah,

Nbaik yang ditulis oleh Fanton maupun oleh Olenka, pembaca dapat

mengetahui pikiran dan perasaan tokoh-tokoh tersebut. Memang demikianlah,

lewat pikiran dan perasaan tokoh-tokoh itulah novel ini dikembangkan, penuh

dengan berbagai pernyataan yang tak jarang saling bertentangan atau ambivalensi

satu dengan lainnya. Kadang-kadang juga bertumpang-tindih, bercampur-aduk,

dan silih berganti tidak hanya antara lakuan dan pikiran atau perasaan tokoh

tertentu, tetapi juga jakuan antartokohnya. Jadi, di dalamnya sering kita hanya

menjumpai lompatan-lompatan pikiran yang beraneka ragam. Untuk memberi

keterangan lebih lanjut, pengarangnya sengaja menyertakan catatan tambahan

yang penjelasannya ditempatkan pada bagian halaman belakang novel.

Sebelumnya, dipaparkan juga asal-usul proses penulisan Olenka, yang sedikit

banyak sangat membantu pemahaman pembaca terhadap novel ini.

Sambutan para kritikus sastra — yang terungkap lewat sejumlah resensi —

umumnya memberi tanggapan yang memuji sebagai karya pembaharuan

atau sebagai karya

dalam Olenka, termasuk teknik penceritaan kolase. Di bagian lain, Panuti

Sudjiman juga mengulas beberapa teknik penceritaan yang dipergunakan

pengarang dalam novel-novel inkonvensional sebagai hasil usaha melepaskan diri

dari konvensi teknik penceritaan yang terasa membelenggu.

Novel Olenka sebelunnnya adalah pemenang hadiah pertama Sayembara

Mengarang Roman yang diselenggarakan Dewan Kesenian Jakarta pada tahun

1980. Setelah diter-bitkan sebagai buku pada tahun 1983, novel ini berhasil

memperoleh hadiah Sastra Dewan Kesenian Jakarta pada tahun yang sama.

5. ANAK TANAH AIR

ersekolah di Jakarta!... Tentu lain belajar di kota besar daripada di sebuah

kota kecil kabupaten..." (hlm. 10). Inilah salah satu alasan mengapa Ardi

menyambut gembira tawaran pamannya, Abdulmanan, untuk ikut dan bersekolah

di Jakarta. Maka, walaupun perjalanan ke ibu kota cukup melelahkan, terutama

mengingat penuhnya kendaraan sebagaimana biasanya selepas Lebaran, Ardi

dengan senang hati menurut saja apa yang dikatakan pamannya.

B

Setelah di Jakarta, Ardi baru mengetahui, ternyata tempat tinggal pamannya

lebih mirip gubuk daripada rumah. Itupun ternyata sudah ditempati bertiga;

pamannya, Muhammad siswa SMA yang juga bekerja di Departemen Keuangan,

dan Rusmin, siswa Taman Dewasa. Kini, ditambah dengan Ardi. Jadi, gubuk kecil

itu ditempati berempat.

Meskipun penghasilan pamannya tidak besar, niat menyekolahkan Ardi

tetap ia lak-sanakan. Ardi dimasukkan di Taman Dewasa supaya dapat berangkat

bersama-sama dengan Rusmin. Selepas sekolah Ardi lebih banyak rnengobrol

dengan Muhammad yang usianya hampir sebaya dengan paman Abdulmanan,

daripada dengan Rusmin yang usianya tidak jauh berbeda dengan Ardi.

Jarak dari rumah ke sekolah yang cukup jauh dan ditempuh anak tanggung

itu dengan berjalan kaki, cukup membuarnya sengsara. Paling tidak, itu

menyangkut soal kakinya yang belum terbiasa bersepatu. Namun, keadaan yang

tak enak itu tidak mengurangi niatnya untuk bersekolah. Belakangan, ia juga

bergaul dengan siswa Taman Madya yang setingkat dengan SLTA. Ardi mulai

tertarik pada kesenian. la juga mulai mencoba membuat beberapa sketsa yang

ternyata berhasil dimuat di majalah Mimbar Indonesia. Pengaruhnya ternyata

cukup besar. Anak tanggung itu makin giat melatih melukis dan kegiatan kesenian

lainnya.

Lulus Taman Dewasa, Ardi masuk Taman Madya. Kegiatannya makin

bertambah. "Ardi juga bersekolah sore hari sekarang. Maka, waktu pagi

digunakannya untuk berkunjung ke rumah kawannya untuk bercakap-cakap atau

Pengarang : Ajip Rosidi (31 Januari 1938)Penerbit : GramediaTahun : 1985

melukis" (hlm. 103). Dalam pada itu, suhu politik menjelang pemilu sedikit

banyak telah mendapat per-hatian juga, walaupun hanya sebatas mendengarkan

cerita-cerita, mengikuti beritanya atau diskusi tentang itu.

Pada saat yang demikian, tiba-tiba saja daerah tempat tinggal Ardi dilanda

ke-bakaran, yang memakan banyak rumah. "Mungkin saja ada orang melepas api

untuk membakari rumah rakyat, agar pemerintah dapat main dengan orang-orang

berduit. Tetapi mungkin pula sebabnya. Oxang-oraug melepas api membakari

rumah rakyat untuk membuat rakyat makin tidak puas kepada pemerintah.

Bukankah sekarang menghadapi pemilihan umum?" (hlm. 115).

Selepas Taman Madya, Ardi tidak mclanjutkan pendidikannya. la juga tidak

lagi tinggal bersama pamannya, la kini tinggai bersama Ahmad, sesama pelukis,

yang kegiatannya akhir-akhir ini banyak tercurahkan pada organisasi pemuda.

Organisasi seperti itu memang ramai bermunculan sejalan dengan meningkatnya

suhu politik. Namun, Ardi lebih menekuni kegiatan melukis.

Dalam sebuah pameran tunggal karya Hasan, teman sesama pelukis, Ardi

ber-kenalan dengan Rini dan Hermin. Atas usul Rini yang ingin agar dirinya

dijadikan model, Hasan dan Ardi kemudian datang ke rumah gadis itu. Dari sini

hubungan mereka makin rapat, khususnya Ardi dan Hermin. Sampai pada suatu

saat sepasang anak manusia yang berlainan jenis itu bersepakat untuk

menumbuhkan perasaan cinta masing-masing. "Kukira cinta itu tumbuh, seperti

benih, kalau menemukan tanah yang subur. Cintaku menemukan persemaian

dalam dirirnu. Tidakkah itu cukup?" (hlm. 173). Begitulah, keduanya tenggelam

dalam lautan cinta.

Malamnya, tanpa diduga Ardi ditawari untuk bekerja pada sebuah majalah.

"Aku merasa takjub. Sore itu aku memperoleh cinta dan malam ini mcmperoleh

pekerjaan" (hlm. 178).

Setelah merasa mempunyai penghasilan tetap, Ardi pindah dari rumah

Ahmad. la menyewa sebuah rumah kecil di bilangan Setiabudi. Hubungan dengan

kekasihnya makin rapat, bahkan tidak jarang melakukan hubungan intim layaknya

suami-istri.

Sementara itu, kelompok seniman Lekra/PKI dengan cara-cara halus dan

terselubung, berhasil metibatkan Ardi datam suatu penandatanganan Konscpsi

Presiden. Sebagai seniman, pelukis muda itu tidak tahu-menahu perihal maksud

dan tujuan konsepsi tersebut. la juga tidak menduga jika tanda tangannya—yang

menurut Suryo, anggota PKI, hanya urusan administrasi—akan dipublikasikan

secara luas dan dimuat di media massa. Akibatnya'sangat fatal! Ardi dipandang

sebagai orang yang sudah menjadi anggota komunis. Ayah Hermin yang

antikomunis, tentu saja tidak mau anaknya bergaul dengan anggota partai yang

dibencinya. Hermin dilarang berhubung-an dengan Ardi. Belakangan, diketahui

pula bahwa Hermin ternyata; lebih mengingin-kan pemuda lain.

Pelukis muda yang sebenarnya berbakat itu, masih juga belum menyadari

masalah yang sedang dihadapinya. la terlalu polos. Maka, ketika Ahmad,

sahabatnya, juga menjauhi, Ardi masih menganggapnya sebagai alasan yang

dicari-cari. Lebih dari itu, sketsa-sketsanya yang dikirim ke beberapa majalah juga

tak ada satu pun yang dimuat. Ardi dikucilkan oleh pacarnya dan sahabat-

sahabatnya.

Dalam kesendirian yang menyakitkan, dalam keterpencilan dan

kedukaannya, tiba-tiba datanglah Suryo mendesak agar Ardi menyelenggarakan

pameran tunggal. Suryo juga menawarkan pekerjaan. Lebih dari itu, kader PKI

yang lihai itu menyelipkan selembar ribuan yang waktu itu benar-benar

dibutuhkan pelukis malang itu. Dalam keadaan seperti itulah, tanpa minta

pertimbangan sahabat-sahabatnya, Ardi menyata-kan kesediaannya.

Pameran tunggal karya pelukis Ardi jadi dilaksanakan dengan pengunjung

yang luar biasa ramainya. Korari-koran memujinya setinggi langit Sejak itulah,

pelukis yang masih juga belum mengerti intrik-intrik politik, aktif mengikuti

berbagai kegiatan yang diselenggarakan Lekra/PKL Seniman lugu itu benar-benar

sufcsts, baik ma tori popularitasnya.

Setelah beberapa kali ia dikirim ke luar negeri, tanpa sengaja ia bertemu

dengan sahabatnya, Hasan. Temannya yang satu ini sama sekalt tidak mau terlibat

urusan politik. la merasa senang ketika Ardi menyatakan niatnya akan keluar dari

anggota Lekra/PKl. Pemuda itu baru menyadari kekeliruannya. Tetapi belum

sempat niat itu dilaksanakan, terjadi tragedi nasional: pengkhianatan PKI 30

September 1965. Ardi menyelamatkan diri ke Jawa Tengah, tetapi tak diketahui

nasibnya. Begitu juga Hasan, sahabatnya, entah berada di mana. Hanya Hasan

memiliki keteguhan hati untuk tidak ikut terlibat dalam kegiatan politik. "Menurut

hematku, komunisme adalah paham yang akan selalu dapat tumbuh subur datam

setiap masyarakat yang mempunyai kondisi tertentu. Maka, yang penting adalah

kita harus mengusahakan agar masyarakat kita jangan sampai mempunyai kondisi

yang dapat menjadi bumi yang subur bagi tumbuhnya paham itu" (hlm. 312-313).

***

ovel Anak Tanah Air: Secercah Kisah ini, konon ditulis dalam dua versi:

versi pertama ditulis di Iwakura, Kyoto, November 1980; versi kedua

(final) ditulis di Hashimotocho, Osaka, Agustus 1983, Lengkapnya, novel ini

terdiri dari tiga bagian: bagian pertama, "Kilasan-kilasan" menceritakan tokoh

Ardi semasa sekolah di Taman Dewasa dan Taman Madya; bagian kedua, "Helai-

helai Kehidupan" menceritakan masa dewasa Ardi hingga terpedaya kelompok

Lekra/PKI; dan bagian terakhir, "Surat-surat Dini Hari" memuat surat-surat Hasan

yang ditujukan entah kepada siapa.

N

Dilihat dari sudut pencerita, novel ini mempergunakan tiga bentuk

pencerita, yaitu diaan (bagian pertama), akuan (bagian kedua), dan bentuk surat

(bagian ketiga). Secara tematik, keseluruhan novel ini ingin

menceritakan/mengangkat masalah politik yang terjadi antara tahun 50-an sampai

dengan 1965. Deskripsinya yang cukup terinci mengenai cara-cara PKI

menyebarkan pengaruhnya, terkesan semacam dokumen se-jarah yang terjadi

pada waktu itu. Demikian pula gambaran kehidupan para seniman waktu itu,

banyak melibatkan nama dan peristiwa yang memang ada secara faktual. Dalam

hal tersebut itulah kekuatan novel ini.

6. PERTEMUAN DUA HATI

Pengarang : Nh. DiniPenerbit : GramediaTahun : 1986

epindahan suami Bu Suci ke Semarang, memaksa guru sekolah dasar itu

juga ikut pindah ke sana. Beruntung ada salah satu sekolah yang

menerimanya sehingga Bu Suci tidak terlalu lama menganggur. Bahkan "ada

kemungkinan aku akan mengajar lebih dini dari yang telah direncanakan semula"

(hlm. 18). Menurut kepala sekolah, ada seorang guru yang mcngalami kecelakaan.

Bu Suci menggantikan tempat guru yang mendapat kecelakaan itu, yakni

mengajar dua kelas.

K

Pada awal menjalankan tugasnya sebagai guru yang memegang dua kelas,

keduanya kelas riga, Bu Suci menjalankan tugasnya dengan baik. Semua berjalan

lancar. Begitu pula urusan rumah tangganya tak menemui masalah. Namun, pada

hari keempat, Bu Suci, yang telah mempunyai sepasang putra, memperoleh

keterangan bahwa salah seorang muridnya, Waskito, belum juga masuk kelas. la

heran, sebab semua murid yang sekelas dengan Waskito tak satu pun yang

mengetahui mengapa murid itu belum juga masuk kelas. Ternyata, di kalangan

teman-temannya, Waskito dikenal sebagai murid yang bengal. Begitu pula guru-

guru menyebutnya sebagai murid yang nakal, murid yang sering membuat

kekacauan.

Itulah masalah yang dihadapi oleh Bu Suci. la bertekad untuk

mengembalikan Waskito menjadi murid yang wajar. Bersamaan dengan itu,

masalah lain datang pula, Itu menyangkut anaknya sendiri. Si Bungsu ternyata

mengidap penyakit ayan. Itu berarti anaknya harus memperoleh perawatan

intensif seorang neorolog, ahli saraf. Berarti pula perhatian khusus harus diberikan

demi kesembuhan anak keduanya itu. Dengan demikian, dua masalah sekaligus

datang menimpa Bu Suci. Saat itu terbersit keraguannya dalam menyelesaikan

masalah ini. Sebagai ibu, ia tak ingin masa depan anaknya suram; dan sebagai

guru, ia juga berharap agar semua muridnya menjadi anak yang baik, anak yang

berguna bagi sesamanya.

Pernah pula terlintas dalam pikiran Bu Suci untuk lebih memperhatikan

anaknya sendiri; "sepintas laru, tentu saja aku mementingkan anakku daripada

muridku. Tetapi benarkah sikap itu?" (hlm. 46). Di lain pihak, ia juga menyadari

profesinya sebagai guru; sebagai orang tua bagi murid-muridnya. Maka,

keputusan Bu Suci adalah tidak memilih salah satu dari persoalan itu, melainkan

memilih keduanya. "Anak dan Murid. Bukan anak atau murid. Ya, akhirnya itulah

yang harus kupilih;, keduanya" (hlm. 47).

Sementara Bu Suci terus memperhatikan anak bungsunya, ia berusaha

mencari keterangan perihal latar belakang kehidupan Waskito. Dari sejumlah

informasi, akhirnya ia menyimpulkan bahwa kenakalan Waskito sesungguhnya

hanya semacam kom-pensasi anak yang merasa kurang mendapat perhatian kedua

orang tuanya. "Jenis anak-anak lain tidak akan memandang hal itu sebagai satu

masalah. Namun, bagi Waskito, yang sedari kecil merasa ditolak, tidak

diperhatikan, hal itu merupakan beban yang mengganjal di hatinya" (hlm. 52).

Kesimpulan tersebut telah memperkuat tekad Bu Suci untuk

mengembalikan Waskito menjadi murid yang wajar, sama seperti murid yang lain.

Waskito pada mulanya menanggapinya secara baik. Murid-murid lainnya juga

mulai menerima Waskito se-bagaimana biasanya hubungan sesama murid.

Sungguhpun demikian, beberapa rekan sejawat Bu Suci ada yang

menanggapinya secara lain. Beberapa guru, ada yang kurang mendukung itikad

baik Bu Suci, yang menurut mereka berlebihan. Mereka juga beranggapan bahwa

anak macam Waskito yang sudah terbiasa dimanja dengan harta, tak bakal dapat

disembuhkan lagi. Anggapan itu kemudian seolah-olah memperoleh pembenaran,

ketika suatu hari Waskito mengamuk.

Tenru saja peristiwa itu sangat memukul hati Bu Suci. Ja mulai meragukan

kemam-puannya untuk menyadarkan murid bengal itu. Di samping itu, peristiwa

itu juga telah "menggoncangkan kepercayaan sekolah kepada Waskito" (hlm. 69).

Bu Suci kemudian diberi waktu sebulan dalam usahanya menyadarkan Waskito.

Bagaimana-pun, idealismenya sebagai seorang guru memberi keyakinan yang

kuat pada dtrinya bahwa dengan pendekatan dan cara yang tepat, pastilah murid

bengal itu akan kembali menjadi murid yang wajar. Keyakinan Bu Suci ternyata

benar. Pada akhir tahun pelajaran, Waskito naik kelas. Tidak hanya itu, ia juga

menjadi murid yang baik.

Tentu saja Bu Suci merasa senang. Terlebih lagi, kesehatan anak bungsunya

juga makin baik dan tidak lagi memperlihatkan tanda-tanda kambuh.

***

gak berbeda dengan novel-novel Nh. Dini lainnya, Pertemuan Dua Hati

memperlihatkan minat sastrawati yang produktif ini kepada persoalan

dunia pendidikan. Kisah seorang guru sekolah dasar ini, tampaknya sengaja

hendak menempatkan peran dan tanggung jawab seorang guru. Di lain pihak,

terkesan juga hendak menggam-barkan betapa tugas seorang guru tidak ringan. Bu

Suci yang harus menghadapi kenyataan bahwa anaknya sakit ayan, muridnya

bengal, dan rekan sejawatnya kurang memberi dukungan, ternyata tetap

menjunjung tinggi idealisme profesinya sebagai guru. Dengan keyakinan itu,

betapapun beratnya, akhirnya dapat pula ia jalankan dengan baik. la berhasil

melaksanakan kewajibannya, baik sebagai ibu rumah tangga maupun sebagai ibu

guru.

A

Sekitar lebih dari sepuluh resensi yang mengulas buku ini, umumnya

memberi pujian pada tema ceritanya. Sesungguhnya, memang dalam hal tema

itulah, novel ini memperlihatkan kekuatannya. Sebagai bahan pengajaran untuk

menanamkan pen-tingnya hubungan baik antara guru dan murid, novel ini kiranya

sesuai untuk dijadikan salah satu bahan acuan.

Studi yang cukup mendalam mengenai novel ini pernah dilakukan oleh

Oktaviani (FSU1, 1991) sebagai bahan penelitian skripsi sarjananya.

Tahun 1989, novel ini diangkat menjadi sinetron TVRI, dengan Titiek

Sandhora sebagai pemeran utamanya.

7. LAYAR TERKEMBANG

uti adalah putri sulung Raden Wiriaatmadja. la dikenal sebagai seorang

gadis yang berpendirian teguh dan aktif dalam berbagai kegiatan organisasi

wanita. Watak Tuti yang selalu serius dan cenderung pendiam, sangat berbeda

dengan adiknya, Maria. la seorang gadis yang lincah dan periang.

TSuatu hari, keduanya pergi ke pasar ikan. Ketika mereka sedang asyik

melihat-lihat akuarium, mereka bertemu dengan seorang pemuda. Pertemuan itu

berlanjut dengan perkenalan. Pemuda itu bernama Yusuf, seorang Mahasiswa

Sekolah Tinggi Kedokteran di Jakarta. Ayahnya adalah Demang Munaf, tinggal di

Martapura, Sumatra Selatan.

Perkenalan yang tiba-tiba itu menjadi semakin akrab dengan diantarnya

Tuti dan Maria pulang. Bagi Yusuf, pertemuan itu ternyata berkesan cukup

mendalam. la selalu teringat kepada kedua gadis itu, dan terutama Maria. Kepada

gadis lincah inilah perhatian Yusuf lebih banyak tertumpah. Menurutnya, wajah

Maria yang cerah dan berseri-seri serta bibirnya yang selalu tersenyum itu,

memancarkan semangat hidup yang dinamis.

Esok harinya, ketika Yusuf pergi ke sekolah, tanpa disangka-sangka ia

bertemu lagi dengan Tuti dan Maria di depan Hotel Des Indes. Yusuf pun

kemudian dengan senang hati, menemani keduanya berjalan-jalan. Cukup hangat

mereka bercakap-cakap mengenai berbagai hal.

Sejak itu, pertemuan antara Yusuf dan Maria berlangsung lebih kerap.

Sementara itu, Tuti dan ayahnya melihat hubungan kedua remaja itu tampak

sudah bukan lagi hubungan persahabatan biasa.

Tuti sendiri terus disibuki oleh berbagai kegiatannya. Dalam Kongres Putri

Sedar yang berlangsung di Jakarta, ia sempat berpidato yang isinya membicarakan

emansipasi wanita; suatu petunjuk yang memperlihatkan cita-cita Tuti untuk

memajukan kaumnya.

Pada masa liburan, Yusuf pulang ke rumah orang tuanya di Martapura.

Sesungguhnya, ia bermaksud menghabiskan masa liburannya bersama keindahan

alam tanah leluhurnya. Namun, ternyata, ia tak dapat meaghilangkan rasa

Pengarang : S. Takdir Alisjahbana Penerbit : Balai PustakaTahun : 1937; Cetakan XVIII, 1988

rindunya kepada Maria. Dalam keadaan demikian, datang pula kartu pos dari

Maria yang justru membuatnya makin diserbu rindu. Berikutnya, surat Maria

datang lagi. Kali ini mengabarkan perihal perjalanannya bersama Rukamah,

saudara sepupunya yang tinggal di Bandung. Setelah membaca surat itu, Yusuf

memutuskan untuk kembali ke Jakarta, kemudian menyusul sang kekasih ke

Bandung. Setelah mendapat restu ibunya, pemuda itu pun segera meninggalkan

Martapura.

Kedatangan Yusuf tentu saja disambut hangat oleh Maria dan Tuti. Kedua

sejoli itu pun lalu melepas rindu masing-masing dengan berjalan-jalan di sekitar

air terjun di Dago. Dalam kesempatan itulah, Yusuf menyatakan cintanya kepada

Maria.

Sementara hari-hari Maria penuh dengan kehangatan bersama Yusuf, Tuti

sendiri lebih banyak menghabiskan waktunya dengan membaca buku.

Sungguhpun demikian, pikiran Tuti tidak urung diganggu oleh keinginannya

untuk merasakan kemesraan cinta. Ingat pula ia pada teman sejawatnya, Supomo.

Lelaki itu pernah mengirimkan surat cintanya kepada Tuti.

Ketika Maria mendadak terkena demam malaria, Tuti menjaganya dengan

sabar. Saat itulah tiba adik Supomo yang ternyata disuruh Supomo untuk meminta

jawaban Tuti perihal keinginannya untuk menjalin cinta dengannya. Sungguhpun

gadis itu sebenarnya sedang merindukan cinta kasih seseorang, Supomo

dipandangnya sebagai rukan lelaki idamannya. Maka, segera ia menulis surat

penolakannya.

Sementara itu, keadaan Maria makin bertambah parah. Kemudian

diputuskan untuk merawatnya di rumah sakit. Ternyata, menurut keterangan

dokter, Maria mengidap renyakit TBC. Dokter yang merawatnya menyarankan

agar Maria dibawa ke rumah penyakit TBC di Facet, Sindanglaya, Jawa Barat.

Perawatan terhadap Maria sudah berjalan sebulan lebih lamanya. Namun,

keadaannya tidak juga mengalami perubahan. Lebih dari pada itu, Maria mulai

merasakan kondisi kesehatan yang makin lemah. Tampaknya, ia sudah pasrah

menerima kenyataan.

Pada suatu kesempntan, di saat Tuti dan Yusuf berlibur di rumah Ratna

dan Saleh di Sindanghya, di situlah mata Tuti mulai terbuka dalam memandang

kehidupan di pedesaan. Kehidupan suami-istri yang melewati hari-harinya dengan

bercocok tanam itu, ternyata juga telah mampu membimbing masyarakat

sekitarnya menjadi sadar akan pentingnya pendidikan. Keadaan tersebut benar-

benar telah menggugah alam pikiran Tuti. la menyadari bahwa kehidupan mulia;

mengabdi kepada masyarakat, tidak hanya dapat dilakukan di kota atau dalam

kegiatan-kegiatan organisasi, sebagaimana yang selama ini ia lakukan, tetapi juga

di desa atau di masyarakat mana pun, pengabdian itu dapat dilakukan.

Sejalan dengan keadaan hubungan Yusuf dan Tuti yang belakangan ini

tampak makin akrab, kondisi kesehatan Maria sendiri justru kian

mengkhawatirkan. Dokter yang merawatnya pun rupanya sudah tak dapat berbuat

lebih banyak lagi. Kemudian, setelah Maria sempat berpesan kepada Tuti dan

Yusuf agar keduanya tetap bersatu dan menjalin hubungan rumah tangga, Maria

mengembuskan napasnya yang terakhir. "Alangkah bahagianya saya di akhirat

nanti, kalau saya tahu, bahwa kakandaku berdua hidup rukun dan berkasih-

kasihan seperti kelihatan kepada saya dalam beberapa hari ini... Inilah permintaan

saya yang penghabisan, dan saya, saya tidak rela selama-lamanya, kalau

kakandaku masing-masing mencari peruntungan pada orang lain" (hlm. 209).

Demikianlah pesan terakhir almarhum, Maria. Lalu, sesuai dengan pesan tersebut,

Yusuf dan Tuti akhirnya tidak dapat berbuat lain, kecuali melang-sungkan

perkawinan karena cinta keduanya memang sudah tumbuh bersemi.

***

arya penting ketiga di antara roman-roman sebelum perang menurut

anggapan umum, ialah Layar Terkembang..." demikian tulis Teeuw (Sastra

Baru Indonesia I, 1980). Sebagian besar kritikus sastra, antara lain, Ajip Rosidi,

Zuber Usman, Amal Hamzah, H.B. Jassin, maupun Teeuw, menyebut novel Layar

Terkenibang sebagai novel bertendensi. Di antaranya juga ada yang berpendapat

bahwa sikap dan pemikiran tokoh Tuti lebih menyerupai sebagai sikap dan

pemikiran S. Takdir Alisjahbana, khususnya dalam usaha mengangkat harkat

kaum wanita (Indonesia). Tokoh Tuti yang digambarkan sebagai wanita modem

yang aktif dalam berbagai kegiatan organisasi, memang tidak sedikit melontarkan

K

gagasan progresif. la juga selalu merasa terpanggil untuk ikut terjun memajukan

bangsanya sendiri, khususnya kaum wanita.

Mengenai tahun terbit novel ini, Pamusuk Eneste, Ajip Rosidi, H.B. Jassin,

dan Teeuw menyatakan bahwa novel ini terbit tahun 1936. Namun, pada cetakan

VII (1959) dan cetakan XVIII (1988) tertulis bahwa cetakan pertama tahun 1937.

Pada tahun 1963, novel ini terbit dalam edisi bahasa Melayu di Kuala

Lumpur dan hingga kini masih terus dicetak ulang.

Studi mengenai novel ini pernah dilakukan Mariam binti Hj. Ismail (1973) dan

Moh. Basir bin Haji Noor (1975) keduanya merupakan studi sarjana muda FS

Unas. Sebelum itu, Noer Islam Moenaf (FS UI, 1961) melakukan penelitian

terhadap novel itu sebagai bahan skripsi sarjananya. Adapun Somi Moh. Hatta

(FKIP UI, 1961) lebih banyak memaparkan kepujanggaan Alisjahbana secara

cukup lengkap. Hal yang juga pernah dilakukan A. H. Johns (1959), guru besar

yang kini mengajar di Australian National University.

8. BELENGGU

Pengarang : Armijin Pane (18 agustus 1908-6 Februari 1970) Penerbit : Dian RakyatTahun : 1940; Cetakan XIII, 1988

okter Sukartono (Tono) adalah seorang dokter yang bijaksana. la tak

pernah meminta bayaran apabila mengetahui pasiennya adalah orang tidak

mampu hingga ia dikenal sebagai dnkter yang dermawan. Selain itu, ia

mempunyai sifat ramah : terhadap siapa saja yang dikenalnya.

DNamun, karena kesibukannya sebagai dokter, Tono hampir tak mempunyai

waktu untuk memberi perhatian kepada Tini (Sumartini), istrinya. Tini yang

merasa tidak mendapat perhatian dari suaminya, mencari kesibukan di luar rumah.

Akibat kesibukan mereka, Tono dan Tini jarang mempunyai waktu bersama-

sama. Hal ini menimbulkan akibat lain, mereka tidak dapat mengkomunikasikan

pikiran masing-masing. Masalah-masalah yang timbul sering hanya dipikirkan

sendiri-sendiri sehingga timbul kesalahpahaman yang sering menimbulkan

pertengkaran yang mewarnai rumah tangga mereka.

Pandangan Tono dan Tini juga berbeda dalam hubungan suami-istri. Tono

berpendapat, tugas seorang wanita adalah mengurus anak, suami, dan segala hal

yang berhubungan dengan rumah tangga. Sebaliknya, Tini menginginkan adanya

persamaan hak antara pria dan wanita. Bahkan, ia menganggap pria sebagai

saingan, sekalipun terhadap suaminya. Akibat pandangannya itu, Tini melupakan

tugasnya sebagai seorang istri.

Sebenarnya, penyebab utama ketidak harmonisan hubungan suami-istri itu

terletak pada tidak adanya rasa saling mencintai di antara mereka. Tono

memperistri Tini karena kecantikan, kecerdasan, dan keceriaan wanita itu yang

dianggap pantas menjadi pendamping seorang dokter seperti dirinya. Bahkan,

Tono tidak mempedulikan keadaan Tini yang tidak perawan lagi ketika menikah.

Di lain pihak, Tini bersedia menjadi istri Tono karena ia ingin melupakan masa

lalunya yang kurang baik. Ia berharap, dengan menjadi istri yang baik, masa

lalunya yang dianggap aib dapat terhapus. Akan tetapi, aib itu selalu membayangi

kehidupannya hingga menimbulkan rasa rendah diri dalam diri Tini.

Kekacauan rumah tangga Tono dan Tini diperburuk dengan hadirnya

orang ketiga, yang memperkenalkan diri sebagai Nyonya Eni. Nyonya Eni

sebenarnya bernama Yah (Siti Rohayah alias Siti Hayati). la seorang penyanyi

keroncong dan juga seorang wanita panggilan. Dahulu, Yah adalah tetangga dan

teman sekolah Tono. Diam-diam, ia mencintai Tono dan mendambakannya

menjadi suaminya. Namun, kemudian, ia menjadi korban kawin paksa dan

akhirnya ia melarikan diri hingga terjerumus dalam lembah kenistaan.

Ketika Yah mengetahui alamat Tono, ia berpura-pura sakit dan memanggil

dokter itu. Berkat pengalamannya bertemu dan bergaul dengan banyak laki-laki,

Yah dapat memikat Tono dalam pelukannya. la mengetahui kelemahan Tini yang

membutakan pikiran dan perasaan terhadap keinginan laki-laki. Kemudian Yah

melimpahkan kasih sayangnya. Bagi Tono, curahan kasih sayang Yah itu tak ia

rasakan dari istrinya sendiri.

Kehadiran Yah bagi dokter itu, justru seolah-olah menemukan kembali

kehangatan cinta yang selama ini ia dambakan. Yah menjadi curahan perasaan

dan keluh-kesahnya. la mulai merasakan, sebuah cinta mulai bersemi di hatinya.

Akhirnya, tempat tinggal perempuan itu menjadi rumah kedua Tono.

Lambat-laun, hubungan gelap mereka diketahui juga oleh Tini. Lalu, tanpa

sepengetahuan suaminya, ia mendatangi wanita yang telah merebut suaminya. Ia

penasaran, macam apakah sosok perempuan itu. "Tini mulai tertarik hatinya. Patut

Tono tertarik. Tidak benar ia penyanyi keroncong, tingkah lakunya tertib. Sambil

merasa heran demikian diikutinya Yah naik tangga, diturutnya ajakan Yah supaya

duduk" (him. 142).

Menghadapi perilaku dan sikap Yah yang begitu santun dan tertib itu, Tini

merasa malu sendiri. Perasaan marah dan cemburu yang dibawanya dari rumah,

luluh sudah, dan berbalik mengagumi perempuan itu. Ia menyadari kelebihan

Yah. la juga menyadari kekurangannya selama ini, telah menyia-nyiakan Tono,

suaminya. Dengan ikhlas Tini menyatakan kerelaannya menerima kenyataan itu;

rela Yah merebut suaminya.

Apa yang ia ketahui tentang Yah dan kenyataan yang ia hadapi dalam

hubungan suami-istri, Tini kemudian membicarakan persoalan itu dengan

suaminya. Betapa terkejut Tono melihat sikap istrinya yang demikian. la berusaha

untuk menahan istrinya agar tetap mau bersamanya. Namun, sikap Tini tetap tak

berubah. Perpisahan suami-istri itu rupanya tak terelakkan lagi. Sungguhpun berat

bagi Tono untuk bercerai dari istrinya, ia sendiri tak dapat memaksakan

kehendaknya. la terpaksa merelakan kepergian istrinya walaupun Tono masih

tetap berharap agar hubungan mereka baik kembali. Kapan pun Tono akan tetap

bersedia menerima Tini kembali.

Sekepergian sang istri, Tono bermaksud mengunjungi Yah di rumahnya.

Namun, betapa terkejutnya Tono, wanita yang selalu menjadi curahan hatinya itu,

kini tak ada lagi. Yah pergi ke New Caledonia. Pergi meninggalkan cinta sang

dokter yang selalu mendambakan kehangatan hidup berumah tangga.

Di sana, di sebuah kapal yang membawanya ke negeri baru, Yah tercenung

sendiri. "Rohayah berbalik ... di sana gelap juga, tapi semangatnya tahu, di

sanalah, lautan lepas, di sana dunia Iain, memang dunia baru, tapi sunyi ... Tono

tidak ada di sana, di New CaIedonia ..." (him. 162).

Tono kini sendiri. Yah telah pergi ke dunia yang baru. Tini juga pergi ke

Surabaya mengabdikan dirinya menjadi pengurus panti yatim piatu di kota itu.

Sungguhpun kini Tono sendiri, ia tidak hanyut dalam kesedihan yang

berlarut-larut. la menekuni bidangnya; mengabdikan diri dalam penelitian dan

pengabdian kepada masyarakat.

***

ejauh ini, para pengamat sastra Indonesia selalu menempatkan novel ini

sebagai novel terpenting yang terbit sebelum perang. Sejak kemunculan

yang pertama, 1940, novel ini banyak memperoleh berbagai tanggapan dan pujian.

Semula novel ini ditolak oleh Penerbit Balai Pustaka karena isinya dianggap tidak

sesuai dengan kebijaksanaan Balai Pustaka. Baru pada tahun 1940, penerbit Dian

Rakyat—milik Sutan Takdir Alisjahbana—menerbitkan novel ini yang ternyata

mendapat sambutan luas berbagai kalangan. Novel ini juga dipandang sebagai

novel pertama Indonesia yang menampilkan gaya arus kesadaran (stream of

consciousness).

S

Pada tahun 1969, novel ini memperoleh Hadiah Tahunan Pemerintah

Indonesia. Menurut Prof. Liang Liji, dalam makalahnya "Pengajaran dan

Penelitian Bahasa dan Sastra Indonesia di Tiongkok" yang dibawakan dalam

Kongres Bahasa Indonesia V, 28 Oktober 1988, Belenggu, bersama Bila Malam

Bsrtambah Malam dan Jalan Tak Ada Ujung sudah diterjemahkan ke dalam

bahasa Cina. Pada tahun 1989, John H. McGlynn, juga menerjemahkan Belenggu

ke dalam bahasa Inggris dengan judul Shackles yang diterbitkan Yayasan Lontar,

Jakarta.

Studi mengenai novel ini pernah dilakukan Ign. Sumarno (FS UGM, 1971)

sebagai bahan penelitian sarjana mudanya. Penelitian yang lebih mendalam

dilakukan M. Saleh Saad (FS UI, 1963), Robert A. Crawford (University of

Melbourne, 1971), The Shackles of Doubt: Armijn Pane and His Art, serta J

Angles (Australian National University, Canberra, 1988) berjudul "The Fiction of

Armijn Pane." Pada tahun 1982, R. Carle (RFJ, Berlin) membuat tafsiran atas

novel Belenggu dalam penelitiannya yang berjudul "Die Gedankkliche Exposition

des Romans Belenggu von Armijn Pane." Pada tahun 1988, J. Djoko S.

Passandaran (FKIP, Universitas Palangkaraya) meneliti novel Belenggu sebagai

novel eksistensial.

Hingga kini, berbagai ulasan dan tanggapan, baik berupa makalah ilmiah

maupun artikel, masih banyak yang membahas novel ini, dengan berbagai tafsiran

dan sudut pandang.

Novel Belenggu yang pertama kali muncul di majalah Pujangga Baru, No.

7, 1940 ini sebenarnya ditulis Armijn Pane, tahun 1938. Pada tahun 1965, novel

ini terbit dalam edisi bahasa Melayu di Kuala Lumpur dan hingga kini terus

mengalami cetak ulang.

9. AKI

enyakit TBC yang diidap Aki menyebabkannya seperti orang yang sudah

tua. Dalam usia yang baru berumur 29 tahun, lelaki kurus kering ini tampak

seperti berumur 42 tahun. Biasanya, keadaan orang seperti itu disebabkan masa

mudanya yang habis dengan main perempuan jahat. Selain itu, bentuk tubuhnya

yang bongkok membuat Aki menjadi bahan tertawaan yang mengasyikkan. Akan

tetapi, ternyata hal itu tak dilakukan teman-temannya di kantor. Bahkan, mereka

sangat hormat kepada orang yang di mata mereka adalah orang yang berhati lurus

dan bertingkah wajar.

P

Penyakit TBC yang diderita Aki itu suatu ketika mencapai titik kritis.

Puncaknya adalah ketidak bernafasan Aki untuk beberapa saat. Sebagai istri setia,

Sulasmi terkejut melihat kenyataan yang menimpa suaminya. la kalap. Akan

tetapi, tak lama kemudian suaminya siuman, bahkan sebuah senyum tersungging

di bibirnya. Di antara senyuman itu, Aki mengatakan dengan pasti bahwa ia akan

mati pada tanggal 16 Agustus tahun depan. la berharap Sulasmi mau menyediakan

segala perlengkapan yang diperlukan untuk menghadapi hari kematiannya itu.

Rekan-rekan Aki di kantor menganggap lelaki itu sudah gila. Tidak

terkecuali anggapan kepala kantornya. la yang sudah merencanakan kenaikan

pangkat dan gaji Aki, tidak percaya kepada omongan pegawai kesayangannya itu.

Diselidikinya tingkah laku lelaki itu, tetapi Aki memang tidak gila. "Di sini

didapatinya Aki sedang bercakap-cakap dengan seorang bawahannya tentang

pekerjaan. Sep itu seketika lamanya memperhatikan cakap Aki, tapi satu kata pun

tiada menandakan bahwa Aki telah gila. la pergi ke meja Aki, diperhatikannya

pekerjaan Aki yang sedang terbentang di atas meja. Pekerjaan itu tiada cacatnya"

(him. 17).

Hari kematian yang dikatakan Aki telah tiba. Semua orang bersiap-siap.

Akbar dan Lastri, anak-anak Aki, meminta izin tidak bersekolah. Pegawai-

pegawai kantor menghiasi mobil kantor dengan bunga-bungaan. Kepala kantor

berlatih menghapalkan pidato yang kelak akan dibacakan di kubur Aki. Lelaki itu

sendiri memakai pakaian terbagus yang dimilikinya untuk menyambut Malaikatul

Pengarang : Idrus (21 September 1921-18 Mei 1979) Penerbit : Balai PustakaTahun : 1949

maut yang akan menjumpainya pukul tiga sore nanti.

Ketika pukul tiga telah lewat, Sulasmi memberanikan diri untuk melihat

suaminya. Dilihatnya mata suaminya yang tertutup rapat. Lalu, dipanggilnya

nama Aki berulang-ulang, tetapi tak ada jawaban. Dengan diiringi tangis, Sulasmi

berlari ke luar kamar untuk menemui orang-orang yang menungguinya. Tahulah

para penunggu itu bahwa Aki telah meninggal. Saling berebut mereka masuk ke

kamar Aki. Akan tetapi, mereka terkejut dan berlarian dari kamar ketika melihat

Aki sedang merokok. "Tiada seorang pun yang berani mengatakan, apa yang

dilihat mereka dalam kamar itu. Mereka puntang-panting lari meninggalkan

rumah Aki. Dan yang belum masuk kamar, karena keinginan hendak tahu yang

amat besar, menjulurkan kepalanya juga, tapi segera pun mereka lari puntang-

panting keluar. Sehingga akhirnya semua pegawai itupun meninggalkan rumah

Aki secepat datangnya" (him. 36).

Sulasmi bersyukur bahwa Aki tidak mati. Ternyata, Aki hanya tertidur dan

tebangun karena keributan pegawai-pegawai teman sekantornya.

Entah mengapa, sejak peristiwa itu Aki selalu terlihat sehat. la tampak lebih

muda dari usia yang 42 tahun. Lalu, sebagai pengganti kepala kantor yang telah

meninggal tiga tahun yang lalu, ia terlihat atraktif. Bahkan, Aki kembali

bersekolah di fakultas lukum, bergabung dengan mahasiswa-mahasiswa yang

usianya jauh di bawah Aki. Tentang hidup? Lelaki yang telah sembuh dari TBC

ini ingin hidup lebih lama lagi. la mgin hidup seratus tahun lagi. Separuh

hidupnya akan diabdikan sebagai pegawai dan separuh hidupnya lagi akan

dipergunakan sebagai akademikus.

***

alam sejarah kesusastraan Indonesia, Idrus dikenal sebagai pengarang yang

menampilkan gaya penulisan yang menurut H.B. Jassin sebagai

kesederhanaan baru (nieuwc zakcUjheid)—Ajip Rosidi menyebut gaya ini dengan

istilah gaya-menyoal-baru (nieuwe zakelijkhcids stijl) yang serba sederhana.

Gaya penulisan demikian itu, umumnya tampak kuat dalam cerpen-cerpen Idrus

yang paling awal.

D

"Yang paling baik ialah roman pendeknya yang berjudul Aki, 1950 (sic/)".

Demikian Teeuw (1980: 221) mengomentari novel Idrus ini. Selanjutnya Teeuw

mengatakan, "buku kecil ini menarik terutama karena leluconnya yang ringan,

yang dibiarkan berkembang sepenuhnya karena temanya yang tidak bersifat real

itu."

Dalam perjalanan novel Indonesia, tema yang ditampilkan Idrus dalam Aki

memang dapat dikatakan baru. Seseorang dapat menentukan saat

kematiannya yang dipercayai oleh orang-orang di sekelilingnya, adalah

hal yang aneh dan lucu. jadi, ada kesan bahwa Idrus ingin mengejek orang-

orang yang sangat ketakutan menghadapi kematian. Padahal, maut pasti

datang tanpa seorang pun tahu kapan waktunya.

10.DARAH MUDA

Pengarang : Adinegoro (1904-1966)Penerbit : Balai PustakaTahun : 1927; Cetakan XX, 1931

etelah sepuluh tahun lamanya Nurdin menuntut ilmu di Sekolah Dokter

(Stovia), akhirnya pemuda asal Minangkabau itu berhasil juga

menyelesaikannya dengan baik. Resmilah ia menjadi seorang dokter. Segera ia

bermaksud menjumpai orang tuanya, sebagaimana yang diharapkan kedua orang

tuanya.

S

Dalam perjalanan ke kampung halamannya itu, ia bertemu dengan seorang

gadis asal Sunda, bernama Rukmini. Gadis yang telah menjadi guru HIS itu,

bersama ibunya, bermaksud ke Bangkahulu. Bagi Nurdin, pertemuannya dengan

Rukmini di kapal, punya arti yang sangat mendalam. Setidak-tidaknya telah

membuat sifat Nurdin—yang tadinya pendiam jika berhadapan dengan wanita—

jadi berubah. la pun berusaha untuk dapat berkenalan dengan gadis itu.

Seperti rencananya semula, Nurdin tidak lama tinggal di rumah orang

tuanya di Padang. la segera kembali ke Betawi, kemudian bekerja di CBZ, sebuah

rumah sakit besar. Setahun kemudian, ia dipindah tugaskan ke Bukit tinggi. Tentu

saja, Nurdin senang dengan kepindahannya itu karena" di sana ia akan merasa

lebih bebas melaksanakan tugas-tugasnya. Terlebih lagi orang tuanya yang

berharap agar anaknya itu segera mendapatkan jodohnya. "Hanya pengharapan

mereka, mudah-mudahan anak mereka, ...jangan hendaknya jatuh ke tangan

seorang bangsa asing lain." (hlm. 29).

Suatu hari, ketika Nurdin tinggal di rumah pamannya di Padang, ia diajak

pamannya ke sebuah rapat yang merencanakan mendirikan sekolah swasta: Pada

saat itulah, ia mendengar bahwa ada seorang guru perempuan yang melamar

pekerjaan di sekolah itu. Ternyata, guru yang dimaksud tidak lain adalah

Rukmini. Rapat itu kemudian secara bulat menyetujui penerimaan Rukmini

menjadi guru sekolah itu.

Dalam pada itu, pamannya punya rencana lain. la ingin agar Nurdin

bersedia dijodohkan dengan putrinya. Secara tersirat, hal itu dikemukakannya

kepada Nurdin. Sebaliknya, dokter muda itu punya pikiran lain dalam memandang

soal perjodohan. Bahkan, ia mengecam adat perkawinan Minangkabau—terutama

yang membolehkan poligami—yang menurutnya harus segera dihilangkan.

Seminggu menjelang Nurdin mengawali pekerjaannya di Bukittinggi,

tanpa diduga, ia berjumpa lagi dengan Rukmini di stasiun Padang. Mereka

kemudian mengobrol berbagai hal yang membuat sepasang manusia itu semakin

akrab. Bagi Nurdin, pertemuan itu justru membuatnya selalu digoda perasaannya

yang tak mudah melupakan gadis Sunda itu. Demikian juga Rukmini. la mulai

tertarik dan punya perasaan lain terhadap dokter yang masih lajang itu. Maka,

sudah dapat diduga, hubungan mereka pun semakin erat, teristimewa ketika ibu

Rukmini jatuh sakit. Hal itu pula yang memungkinkan Nurdin punya kesempatan

lebih sering datang ke rumah Rukmini. Nurdin kemudian berketetapan had untuk

melamar gadis Priangan itu ketika yakin bahwa cintanya berbalas.

Sernentara itu, ibu Nurdin yang melihat hubungan anaknya dengan

Rukmini semakin erat, merasa kurang senang. Menurutnya, sesuai dengan adat

yang berlaku, ibu Rukmini yang mestinya datang kepadanya meminta Nurdin

menjadi suami putrinya. Sebab, dalam anggapan ibu Nurdin, anaknya termasuk

seorang terpandang yang berpangkat tinggi. Jika ia datang ke rumah ibu Rukmini,

hal itu dianggap sebagai perbuatan yang tercela. Di samping itu, perbuatan

demikian juga berarti anaknya dianggap sebagai lelaki yang sudah tidak laku.

Demikianlah, atas pertimbangan itu, jalan yang harus dilakukan adalah

memutuskan hubungan anaknya dengan Rukmini. Ibu Nurdin kemudian datang ke

rumah Rukmini, tetapi bukan untuk membicarakan soal perkawinan anaknya

dengan Rukmini, melainkan menyampaikan berita bahwa Nurdin akan segera

dikawinkan dengan seorang gadis anak mamaknya. Sesungguhnya, ini hanya

siasat ibu Nurdin agar Rukmini tak lagi berhubungan dengan anaknya.

Malam harinya, datang pula rekan sejawat Rukmini, guru Harun. Lelaki

yang menurut pengakuannya baru menceraikan istrinya itu, menceritakan perihal

Nurdin; bahwa dokter itu bulan depan akan melangsungkan perkawinan dengan

seorang gadis yang kini masih berada di Betawi. Dalam kesempatan itu,

diutarakan pula keinginan Harun untuk memperistri Rukmini.

Dalam usaha memutuskan hubungan Rukmini dengan Nurdin, Harun

masih meng-gunakan tipu muslihat lain. la mencuri foto Rukmini dari rumah

Gafur, sahabat (Rukmini. Esoknya, ia pura-pura sakit dan kemudian memanggil

dokter Nurdin. Nurdin tentu tidak tahu akal buruk Harun. Yang jelas, begitu ia

selesai memeriksa Harun, ia melihat foto gadis pujaannya itu, tergeletak di atas

meja di samping tempat tidur pasiennya. Tentu saja Nurdin kaget dibuatnya dan

kemudian bertanya tentang foto itu. Kesempatan inilah yang dipergunakan Harun

untuk membuat cerita bohong tentang Rukmini. Tanpa diselidiki dahulu, Nurdin

percaya pada cerita Harun. la pun segera memutuskan hubungan dengan Rukmini

sungguhpun dengan perasaan berat.

Melihat perkembangan itu, ibu Nurdin tentu sangat gembira. la merasa tipu

mus-lihatnya telah berhasil. Sebaliknya, Nurdin yang begitu kecewa, tidak peduli

lagi dengan keadaan di sekelilingnya. Begitu pula Nurdin, tidak lagi

memperhatikan ke-sehatannya. Timbullah penyesalan dalam diri orang tua Nurdin

sampai akhirnya ia sakit. Penyesalan yang berkepanjangan itu rupanya tak dapat

ditahan-tahan lagi. Ibunya lalu mengakui kesalahannya, telah berusaha

memutuskan hubungan anaknya dengan Rukmini. Tidak berapa lama setelah itu,

ibunya meninggal dunia.

Belakangan, datang pula kabar tentang Harun. Lelaki itu ternyata telah

melakukan berbagai kejahatan hingga dijebloskan ke penjara. Di penjara Harun

menghabisi nyawa-nya sendiri dengan cara mengganhmg diri.

Pengakuan ibunya dan berita bunuh diri Harun, telah menyadarkan Nurdin

bahwa sesungguhnya hubungannya yang putus dengan Rukmini, tidak hanya

perbuatan ibunya semata-mata, tetapi juga karena akal jahat Harun. Namun,

keadaan demikian itu justru membuat Nurdin amat menderita; suatu penyakit

yang ia sendiri tak tahu obatnya.

Nurdin begitu menyesali perbuatan yang telah dilakukan almarhumah

ibunya. Lebih dari itu, kini perasaan rindunya kepada Rukmini makin tak

tertahankan, apalagi mengingat bahwa Rukmini sama sekali tidak berdosa. Kini,

Nurdin benar-benar sakit; demam, panas, dari mulutnya meluncur terus nama

Rukmini. Maka, segera ia me-nyuruh seseorang untuk menjemput Rukmini dan

menyatakan penyesalannya.

Petang harinya Rukmini datang memenuhi panggilan Nurdin. Sepasang

anak manusia itu pun bertemu kembali. "Waktu mereka mula-mula bertemu

muka, mereka bertentang-tentangan sejurus lamanya, dan yang sejurus itu

cukuplah akan menyatakan kepada mereka masing-masing, bahwa api percintaan,

yang ada di dalam hati mereka masing-masing, belumlah padam, sungguhpun

selama ini tidak kelihatan keluar." (hlm. 73).

Belakangan, setelah Nurdin membaca buku harian Rukmini, ia tambah

yakin akan kesetiaan gadis Sunda itu. Maka, tak ada alasan bagi Dokter Nurdin,

selain segera membangun rumah tangga bersama Rukmini.

***

ovel pertama Adinegoro ini sebenarnya masih mempersoalkan perkawinan

dalam hal hubungannya dengan adat-istiadat, terutama adat yang berlaku

di masyarakat Minangkabau. Hanya, secara jelas pengarang terlihat lebih berpihak

pada generasi niuda, Di samping itu, ia tidak lagi mempersoalkan kesukuan.

Perkawinan antarsuku sebagaimana yang digambarkan pada tokoh Nurdin

(Minang) dan Rukmini (Sunda), sesungguhnya tidak perlu lagi dipermasalahkan,

kecuali perkawinan antarbangsa (Cor-rie dan Hanafi dalam Salah Asuhari). Hal

itu disebabkan, suku-suku bangsa itu ter-masuk bangsa Indonesia juga. Hal lain

yang hendak ditonjolkan Adinegoro adalah pentingnya pendidikan bagi bangsa

Indonesia agar bangsa Indonesia tidak tertinggal oleh bangsa lain.

N

Daftar Pustaka

Mahayana M.S, Sofyan O., Dian A. (2000). Ringkasan dan Ulasan Novel

Indonesia Modern. Jakarta : PT Gramedia.

top related