laporan akhir analisis pemanfaatan maritime silk …
Post on 07-Nov-2021
24 Views
Preview:
TRANSCRIPT
LAPORAN AKHIR
ANALISIS PEMANFAATAN MARITIME SILK ROAD SEBAGAI SALAH SATU
ALTERNATIF JALUR DISTRIBUSI UNTUK MENINGKATKAN AKSES PASAR
PRODUK EKSPOR INDONESIA KE DUNIA
PUSAT PENGKAJIAN KERJASAMA PERDAGANGAN INTERNASIONAL
BADAN PENGKAJIAN DAN PENGEMBANGAN PERDAGANGAN
KEMENTERIAN PERDAGANGAN
JAKARTA
2016
ANALISIS PEMANFAATAN MARITIME SILK ROAD SEBAGAI SALAH SATU ALTERNATIF
JALUR DISTRIBUSI UNTUK MENINGKATKAN AKSES PASAR PRODUK EKSPOR
INDONESIA KE DUNIA
Pengarah : Sri Nastiti Budianti
Koordinator : Adrian Darmawan Lubis
Tim Peneliti : Dewi Kartikawati, Steven Bako,
Arie Mardiansyah
Tenaga Ahli : Dian V. Panjaitan, Amzul Rifin
PUSAT PENGKAJIAN KERJASAMA PERDAGANGAN INTERNASIONAL
BADAN PENGKAJIAN DAN PENGEMBANGAN PERDAGANGAN
KEMENTERIAN PERDAGANGAN
JAKARTA
2016
ABSTRAK
ANALISIS PEMANFAATAN MARITIME SILK ROAD SEBAGAI SALAH SATU ALTERNATIF JALUR DISTRIBUSI UNTUK MENINGKATKAN AKSES PASAR
PRODUK EKSPOR INDONESIA KE DUNIA
Pemerintah Tiongkok menawarkan kerjasama strategis Maritime Silk Road (MSR) kepada Presiden Republik Indonesia saat kunjungan kenegaraan Bapak Joko Widodo ke Tiongkok tahun 2015. MSR pada intinya merupakan jalur perdagangan laut yang melewati Asia, Afrika, dan Eropa, dimana pemerintah Tiongkok mengusulkan Jakarta sebagai satu-satunya hub ekspor dan impor di Indonesia. Namun, analisis ini yang menggunakan data primer dan data sekunder serta metode regresi model garivitasi menemukan bahwa pemanfaatan Jakarta sebagai satu-satunya hub akan merugikan Indonesia karena meningkatkan biaya distribusi khususnya biaya angkutan laut akibat macetnya jalur keluar dan masuk di Tanjung Priok. Oleh karena itu, disarankan pemanfaatan MSR dapat memebrikan manfaat bagi kegiatan ekspor Indonesia sebaiknya kerjasama strategis ini ditujukan untuk meningkatkan ketersediaan armada kapal khususnya kapal Tiongkok dengan ukuran kecil yang sesuai dengan potensi muatan di pelabuhan ekspor Indonesia khususnya dari Belawan, Makasar, dan Sorong.
Kata Kunci: Perdagangan Internasional, Maritime Silk Road, Biaya Angkutan Laut
ABSTRACT
ANALYSIS OF THE MARITIME SILK ROAD AS AN ALTERNATIVE ROUTES TO IMPROVE MARKET ACCESS OF INDONESIAN EXPORT TO THE WORLD
The Chinese Government offered strategic cooperation Maritime Silk Road
(MSR) to the President of the Republic of Indonesia during a state visit to China in 2015. MSR is essentially a sea trade route passing through Asia, Africa, and Europe, where the Chinese government proposes Jakarta as a one-only export and import hub in Indonesia. However, this analysis that uses primary data and secondary data as well as the method of regression models garivitasi found that the use of Jakarta as the only hub will harm Indonesia as increasing distribution costs, especially the cost of sea transport as a result of the breakdown lane exit and entrance at Tanjung Priok. Therefore, it is suggested the utilization of MSR can feed that benefit the export activities of Indonesia should this strategic partnership is intended to increase the availability of the Chinese ship fleet, especially with a small size that corresponds to the potential of the charge at the export port of Belawan in particular Indonesia, Makassar and Sorong.
Keywords: International Trade, Maritime Silk Road, Freight Cost
KATA PENGANTAR
Puji syukur dipanjatkan kepada Allah SWT atas rahmat dan karunianya sehingga
analisis yang berjudul Analisis Pemanfaatan Maritime Silk Road Sebagai Salah Satu
Alternatif Jalur Distribusi Untuk Meningkatkan Akses Pasar Produk Ekspor
Indonesia ke Dunia, dapat diselesaikan.
Selain itu Tim Penulis mengucapkan terima kasih kepada Kepala Pusat
Kerjasama Perdagangan Internasional, BPPP Kemendag dan Kepala Bidang
Multilateral di Pusat Kerjasama Perdagangan Internasional atas arahan dan bimbingan
dalam penulisan ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada rekan dan pihak
lain yang memberikan bantuan dan tidak dapat disebutkan satu per satu.
Menyadari laporan ini masih banyak kekurangan, diharapkan masukan yang
membangun untuk memperbaiki laporan ini dimasa mendatang.
Jakarta, Juni 2016
Tim Penulis
iii
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK ......................................................................................... i
KATA PENGANTAR ......................................................................... ii
DAFTAR ISI ...................................................................................... iii
DAFTAR GAMBAR DAN TABEL ...................................................... v
BAB I. PENDAHULUAN .................................................................. 1
1.1 Latar Belakang ............................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ......................................................... 2
1.3 Tujuan ............................................................................ 3
1.4 Hasil Analisis ................................................................. 3
1.5 Dampak/Manfaat............................................................ 4
1.6 Ruang Lingkup ............................................................... 4
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA .......................................................... 6
2.1 Jalur Pelayaran Produk Ekspor Indonesia ke Dunia ...... 6
2.2 Kebijakan Ekspor Indonesia Melalui Jalur Laut Saat ini . 7
2.2.1 Cabotage ............................................................. 7
2.2.2 Beyond Cabotage dan Terms of Delivery
Cost Insurance and Freight (ToD-CIF) ................ 8
2.2.3 Kebijakan Tol Laut ............................................... 10
2.3 Maritime Silk Road (MSR) ............................................. 11
2.4 Biaya Transportasi dan Faktor-Faktor
yang Mempengaruhinya ................................................ 12
BAB III. DATA DAN METODOLOGI .................................................. 17
3.1 Kerangka Pemikiran ....................................................... 17
3.2 Lokasi dan Waktu .......................................................... 20
3.3 Jenis dan Sumber Data ................................................. 20
3.4 Definisi Beberapa Variabel yang Digunakan .................. 21
3.5 Model Penelitian ............................................................ 23
3.6 Pengolahan dan Analisis Data ....................................... 24
iv
BAB IV. ANALISIS FAKTOR YANG MEMPENGARUHI NERACA
PERDAGANGAN INDONESIA DENGAN NEGARA MSR
DAN NON-MSR ................................................................... 33
4.1 Indeks Kualitas Pelabuhan ............................................ 33
4.2 Indeks Korupsi ............................................................... 33
4.3 Pengaruh Indeks Kualitas Pelabuhan dan Indeks
Korupsi Terhadap Neraca Perdagangan ....................... 35
4.4 Pemanfaatan MSR untuk Meningkatkan Ekspor
Indonesia ke Dunia ........................................................ 43
BAB V. TANTANGAN DAN PEMANFAATAN MSR .......................... 45
5.1 Pandangan Pengusaha untuk Pemanfaatan MSR ........ 45
5.2 Peluang Indonesia Memanfaatkan MSR untuk
Ekspor ke Dunia............................................................. 48
5.2.1 Temuan Turun Lapang Medan ............................ 48
5.2.2 Temuan Turun Lapang Makasar ......................... 50
5.3 Usulan Sinkronisasi MSR dengan Tol Laut untuk
Meningkatkan Ekspor Indonesia ke Dunia ..................... 55
BAB V. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI .................................. 56
5.1 Kesimpulan .................................................................... 56
5.2 Rekomendasi ................................................................. 56
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................... 58
LAMPIRAN ....................................................................................... 63
LAMPIRAN ....................................................................................... 25
v
DAFTAR GAMBAR DAN TABEL
Daftar Gambar Halaman
2.1 Alur Tol Laut Indonesia .................................................. 10
2.2 Peta New Maritime Silk Roads ...................................... 12
3.1 Kunjungan Kapal di Pelabuhan Indonesia
Tahun 2000 – 2012 ........................................................ 18
3.2 Kerangka Pemikiran ....................................................... 19
4.1 Dimensi Perhitungan IPK ............................................... 21
4.2 Kualitas Pelabuhan Indonesia dan Negara Mitra di Jalur
MSR dan Non-MSR Tahun 2014 ................................... 39
4.3 Indeks Korupsi Indonesia dan Negara Mitra di Jalur
MSR dan Non-MSR Tahun 2014 ................................... 42
5.1 Alur Pelayaran untuk Ekspor ke Tiongkok Saat Ini ........ 45
5.2 Usulan Pelaksanaan Maritime Silk Road di Indonesia ... 47
Daftar Tabel Halaman
3.1 Data dan Sumber Data .................................................. 20
4.1 Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Neraca
Perdagangan ................................................................. 36
Daftar Tabel Halaman
4.1 Impor Produk Pertanian Utama Berdasarkan Volume ... 13
4.2 Perbandingan Produk dan Volume Tariff Quota
China dan India .............................................................. 21
Puska KPI, BPPP, Kementerian Perdagangan 1
BAB I
PENDAHULUAN
1. 1.Latar Belakang
Salah satu hasil dari kunjungan Presiden Republik Indonesia ke
Tiongkok pada bulan Maret 2015 adalah adanya komitmen meningkatkan
nilai perdagangan untuk mencapai target sebesar USD 150 Milyar di
tahun 2020. Pada kunjungan tersebut, dibahas berbagai macam
kemungkinan kerjasama antara kedua Negara dimana salah satunya
adalah pembahasan konsep jalur transportasi baru yang dikenal dengan
nama Maritime Silk Road (MSR). Konsep yang ditawarkan oleh MSR ini
adalah jalur perdagangan yang menghubungkan Tiongkok dengan Eropa
dengan salah satu jalurnya melalui Laut Tiongkok Selatan melalui laut
India dan jalur lainnya adalah melalui laut Tiongkok Selatan ke arah laut
Pasifik Selatan.
MSR adalah strategic partnership yang menjadikan Jakarta sebegai
poros penting dalam menyambungkan jalur perdagangan Tiongkok di Asia
sebagai alternatif dari jalur perdagangan yang sekarang ada dimana
Singapura saat ini menjadi poros utama jalur perdagangan. Dalam
mewujudkan rencana tersebut, Tiongkok menyiapkan skema pendanaan
dengan nama Silk Road Fund yang dapat digunakan untuk membiayai
pengembangan infrastuktur, meningkatkan konektivitas secara regional,
integrasi ekonomi dan mewujudkan Tanjung Priok sebagai salah satu hub
pelabuhan utama dalam MSR. (Page, 2014; Livikacansera, 2014 dan
Shaohui, 2015)
Salah satu isu yang disampaikan Presiden Xi dalam kunjungan
Presiden Jokowi ke Tiongkok adalah pemanfaatan MSR. Presiden Xi
menyampaikan konsep MSR abad 21 dari Tiongkok merupakan
komplemen dari kebijakan tol laut Indonesia. Kedua kebijakan yang saling
terkait ini menyebabkan kedua negara memiliki potensi membangun
kerjasama maritime. Adapun tiga kebijakan utama Tiongkok saat ini
Puska KPI, BPPP, Kementerian Perdagangan 2
adalah : (a) The 21st Century Maritime Silk Road, (b) Reviving the
Overland Silk Road, dan (c) Asian Infrastructure Investment Bank.
Rencana pelaksanaan MSR yang menjadikan Jakarta sebagai
pelabuhan ekspor ke Tiongkok merupakan tantangan tersendiri bagi
Indonesia dimana saat ini batu bara dan Crude Palm Oil (CPO) adalah
komoditi impor utama, dengan kapal yang digunakan untuk melakukan
kegiatan Ekspor ke adalah kapal Bulk dan Tanker. Masalah pertama yang
dihadapi jika berencana menjadikan Tanjung Priok sebagai pelabuhan
ekspor adalah apakah fasilitas pelabuhan yang sekarang ada mampu
melayani ekspor langsung ke dunia.
Permasalahan kedua yang dihadapi dalam penerapan MSR ini
adalah perbandingan biaya, apakah dengan menggunakan armada kapal
dengan bendera Tiongkok biaya pengiriman menjadi lebih rendah jika
dibandingkan dengan armada kapal Negara lain. Perbandingan biaya
merupakan salah satu pertimbangan penting bagi para pelaku usaha
apakah akan menggunakan kapal Tiongkok pada MSR atau memilih tetap
dengan jalur tradisional dengan Singapura sebagai hub.
Permasalahan ketiga yang dihadapi adalah adanya
ketidaksesuaian antara konsep antara MSR dan kebijakan Tol laut
Indonesia. saat ini kebijakan Tol Laut Indonesia adalah pengembangan
dari 5 pelabuhan utama untuk kegiatan ekspor antara lain Medan, Jakarta,
Surabaya, Makassar dan Sorong. Sedangkan Konsep MSR hanya
berfokus pada Jakarta untuk kegiatan ekspor, tidak menggunakan 4
pelabuhan pada kebijakan Tol Laut Indonesia.
Menyadari banyaknya permasalahan pada implementasi konsep
MSR di Indonesia, maka diperlukan adanya kajian untuk mengetahui
kesiapan dan dampak dari penerapan MSR di Indonesia. Analisis yang
dilakukan dalam kajian ini juga akan diperkaya dengan merujuk kajian
mengenai pemanfaatan MSR bagi Indonesia yang telah dilakukan
sebelumnya.
Puska KPI, BPPP, Kementerian Perdagangan 3
1.2. Permasalahan
Berdasarkan pembahasan dalam latar belakang, permasalahan
dari analisis ini adalah :
a. Apakah Indonesia dapat memperoleh manfaat jika menggunakan
MSR sebagai jalur alternatif untuk meningkatkan daya saing ekspor
non migas ke dunia?
b. Bagaimanakah mensinergikan kebijakan MSR dengan Tol Laut
untuk meningkatkan daya saing ekspor non migas ke dunia?
1.3. Tujuan
Adapun tujuan analisis ini adalah :
a. Menganalisis manfaat yang diperoleh Indonesia jika menggunakan
MSR sebagai jalur alternatif untuk meningkatkan daya saing ekspor
non migas ke dunia.
b. Menganalisis usulan kebijakan untuk mensinergikan kebijakan MSR
dengan Tol Laut untuk meningkatkan daya saing ekspor non migas
ke dunia.
1.4. Output
Adapun output dari analisis ini adalah tersedianya laporan
mengenai Pemanfaatan Maritime Silk Road Sebagai Salah Satu Alternatif
Jalur Distribusi Untuk Meningkatkan Akses Pasar Produk Ekspor
Indonesia ke Dunia.
1.5. Dampak/Manfaat
Adapun manfaat dari analisis ini adalah tersusunnya rekomendasi
mengenai Pemanfaatan Maritime Silk Road Sebagai Salah Satu Alternatif
Jalur Distribusi Untuk Meningkatkan Akses Pasar Produk Ekspor
Indonesia ke Duniayang akan disampaikan kepada Instansi terkait.
Puska KPI, BPPP, Kementerian Perdagangan 4
1.6. Ruang Lingkup
Adapun ruang lingkup dalam analisis ini adalah :
a. Daya saing akan diukur dari perbedaan biaya transportasi
khususnya freight, biaya pelabuhan dan asuransi akibat perbedaan
memilih ekspor dengan menggunakan MSR (kapal Tiongkok)
dibandingkan jalur alternatif (kapal non Tiongkok).
b. Jalur/negara tujuan ekspor yang akan dianalisis dalam kajian ini
adalah negara yang termasuk dalam jalur MSR yaitu Tiongkok,
India (Kalkuta), Kenya, Yunani, Italia dan jalur alternatif tradisional
non MSR yaitu Malaysia, Singapura, Dubai, India (Mumbai dan
Chennai), Afrika Selatan, Belanda, Belgia, Jerman.
c. Analisis dilakukan dengan merujuk kebijakan nasional mengenai
cabotage, Term of Delivery Export CIF, Tol Laut dengan tujuan
utama produk Indonesia dijual dengan harga lebih murah dipasar
ekspor.
d. Analisis dilakukan dalam aspek ekonomi, segala hambatan akan
diproyeksikan sebagai pajak dan segala resiko ketidakamanan
akan diproyeksikan dalam peningkatan biaya asuransi.
e. Sebagian data dan informasi dalam analisis ini akan menggunakan
hasil temuan dari analisis sejenis yang dilakukan oleh Puska KPI
dengan bantuan dari TCF dengan judul Analisis Pemanfaatan
Maritime Silk Road Untuk Meningkatkan Akses Pasar Dan Daya
Saing Produk Ekspor Indonesia.
f. Analisis yang dilakukan antara Puska KPI dengan TCF bertujuan
menganalisis dampak pelaksanaan MSR terhadap ekspor dan
impor Indonesia ke Tiongkok, sedangkan analisis ini bertujuan
menganalisis pelaksanaan MSR terhadap ekspor Indonesia ke
dunia.
Puska KPI, BPPP, Kementerian Perdagangan 5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.Jalur Pelayaran Produk Ekspor Indonesia ke Dunia
Menurut informasi dari INSA Jakarta, saat ini terdapat setidaknya
125 pelabuhan di Indonesia dapat melakukan ekspor langsung. Namun,
merujuk pada kebijakan Tol Laut Indonesia, pengembangan infrastruktur
pelabuhan untuk keperluan ekspor impor akan difokuskan pada 5
pelabuhan utama antara lain Medan, Jakarta, Surabaya, Makassar dan
Sorong. Lebih lanjut hasil analisis Lubis et.al (2015) menemukan bahwa
pelabuhan yang mampu melayani ekspor langsung adalah Medan,
Jakarta, Surabaya, Kaltim dan Makassar. Adapun pelabuhan Makassar
sebelumnya tidak pernah melakukan ekspor langsung dan harus dikirim
terlebih dahulu ke Jakarta atau Surabaya sehingga waktu pengiriman
barang memakan waktu yang panjang. Namun pada akhir tahun 2015
pelabuhan Makassar mencatatkan pelayaran perdana untuk ekspor
langsung ke Tiongkok.
Lebih lanjut Lubis et.al. (2015) menemukan fakta bahwa produk
ekspor utama ke Tiongkok adalah bahan baku yang banyak tersebar di
wilayah Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi sedangkan produk impor
utama adalah barang konsumsi sehingga banyak diserap oleh daerah
yang memiliki populasi tinggi seperti di pulau Jawa. kesimpulan awal yang
didapatkan adalah pengembangan infrastruktur dan kapasitas pelabuhan
terutama untuk kegiatan ekspor harus dilakukan secara merata terutama
di daerah Kalimantan, Sumatera dan Sulawesi, tidak hanya di Jakarta.
Mengenai tipe kapal, hasil temuan Lubis et.al. (2015) menemukan
bahwa kegiatan perdagangan di Indonesia melibatkan berbagai macam
jenis kapal mulai dari curah cair, bulk, kontainer/kargo. Namun ukuran
kapal yang mampu dilayani berbeda pada tiap pelabuhan dikarenakan
infrastruktur pelabuhan dan kondisi alam masing-masing pelabuhan. Hal
tersebut menyebabkan ukuran kapal yang digunakan untuk kegiatan
perdagangan sangat beragam. Misalnya, pelabuhan di Tanjung Priok
Puska KPI, BPPP, Kementerian Perdagangan 6
mampu melayani kapal besar dikarenakan kedalaman alur mencapai -16
M, Surabaya dan Makassar mampu melayani hingga -11 M sedangkan
pelabuhan di daerah lain seperti di Samarinda Kalimantan Timur hanya
mampu melayani kapal Tongkang untuk ekspor dalam bentuk curah
dikarenakan kondisi alam yang tidak langsung menuju laut lepas.
Pelabuhan Samarinda berada pada alur sungai Mahakam sehingga
kapasitas kapal yang dapat masuk langsung ke pelabuhan sangat
terbatas dan harus menggunakan kapal Tongkang hingga muara dan
dilakukan proses Ship to Ship (STS) di tengah laut ke kapal yang lebih
besar. Berdasarkan fakta dimana ekspor utama Indonesia ke Tiongkok
adalah bahan baku dan impor dari Tiongkok adalah bahan konsumsi
dapat disimpulkan bahwa untuk kegiatan ekspor mayoritas kapal yang
digunakan adalah kapal jenis curah/bulk sedangkan untuk kegiatan impor
mayoritas kapal yang digunakan adalah kapal jenis Kargo/Kontainer.
2.2. Kebijakan Ekspor Indonesia Melalui Jalur Laut Saat Ini
Indonesia sebagai negara kepulauan yang terdiri dari ribuan pulau
dengan wilayah laut yang mencapai 2/3 wilayah Indonesia akan sangat
menarik bagi negara Asing untuk menjadikan Indonesia sebagai tujuan
pasar dalam hal ini lalu lintas pelayaran. Dengan demikian diperlukan
suatu peraturan yang tegas di bidang pelayaran agar kedaulatan
Indonesia di laut dapat terjaga. Pemerintah Indonesia menyadari hal
tersebut dan telah menerapkan beberapa kebijakan di bidang pelayaran
antara lain penggunaan kapal Nasional yaitu asas Cabotage dan Beyond
Cabotage, skema pengiriman barang (Terms of Delivery-ToD) dan
kebijakan Tol Laut yang dikonsepkan oleh Presiden Jokowi.
2.2.1. Cabotage
Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2005 tentang Pemberdayaan
Industri Pelayaran Nasional dan Undang-Undang Nomor 17 tahun 2008
tentang Pelayaran tercantum pada Pasal 7 dan 8. Asas Cabotage
diartikan sebagai asas atau prinsip yang menyatakan bahwa kegiatan
pelayaran dalam wilayah perairan suatu negara hanya dapat dilakukan
Puska KPI, BPPP, Kementerian Perdagangan 7
oleh kapal-kapal dari negara bersangkutan. Poin utama dalam penerapan
Asas Cabotage di Indonesia adalah :
a. Kegiatan pelayaran dalam wilayah Indonesia dilayani oleh
perusahaan angkutan laut nasional 2) Mengunakan kapal
berbendera Indonesia; dan 3) Diawaki awak kapal
berkewarganegeraan Indonesia.
b. Kapal asing dilarang mengangkut penumpang dan/atau barang ke
setiap pulau atau setiap pelabuhan di wilayah perairan Indonesia.
c. Kapal asing yang saat ini masih melayani kegiatan angkutan laut
dalam negeri tetapi dapat melakukan kegiatannya paling lama tiga
tahun sejak Undang-Undang ini berlaku.
d. Setiap orang yang mengoperasikan kapal asing untuk mengangkut
penumpang dan/atau barang ke setiap pulau atau setiap pelabuhan
di wilayah perairan Indonesia dipidana dengan pidana penjara
paling lama lima tahun denda paling banyak Rp. 600.000.000
(enam ratus juta rupiah).
Cabotage merupakan asas yang diakui didalam hukum dan praktek
pelayaran seluruh dunia serta merupakan penjelmaan kedaulatan suatu
negara untuk mengurus dirinya sendiri, dalam hal ini pengangkutan dalam
negeri. Dampak positif dengan diberlakukannya asas Cabotage ini juga
mendorong peningkatan jumlah kapal sekitar 6.931 kapal menjadi 12.972
unit kapal per 30 November 2013 dari periode Mei 2005 yang hanya 6.041
unit kapal dengan persentase kenaikan sebesar 211%.
2.2.2. Beyond Cabotage dan Terms of Delivery Cost Insurance and
Freight (ToD CIF)
Keberhasilan penerapan asas Cabotage yang memberikan efek
positif bagi industri pelayaran dalam negeri di Indonesia memunculkan
gagasan bagi pemerintah dalam hal ini Kementerian Perhubungan untuk
meneruskan keberhasilan penerapan asas Cabotage tersebut dengan
asas yang dikembangkan yaitu Beyond Cabotage. Asas Beyond cabotage
ini adalah asas dimana angkutan untuk kegiatan perdaganan ekspor dan
Puska KPI, BPPP, Kementerian Perdagangan 8
impor diprioritaskan menggunakan kapal berbendera Merah Putih dan
dikerjakan oleh awak berkebangsaan Indonesia. dengan target beyond
cabotage yang ditetapkan dalam Roadmap Kementerian Peruhubungan
yaitu 20 persen volume ekspor diangkut dengan kapal nasional di tahun
2020.
Semangat penerapan asas beyond cabotage ini juga didukung oleh
Kementerian Perdagangan dengan Penyusunan roadmap TOD ekspor
CIF yang menargetkan seluruh kegiatan ekspor menggunakan kapal
nasional di tahun 2018. Kementerian Perdagangan berpartisipasi aktif
dalam upaya mengatasi defisit perdagangan jasa, dengan upaya
peningkatan penggunaan kapal nasional dalam kegiatan ekspor dan impor
yang dirumuskan dengan kegiatan Perubahan Terms of Delivery (TOD)
dari Freight on Board (FOB) menjadi Cost Insurance and Freight (CIF)
yang untuk selanjutnya akan disebut dengan Perubahan TOD dari FOB
menjadi CIF.
Pada tahun 2013 Indonesia mengalami Defisit transaksi berjalan
yang disebabkan oleh defisit pendapatan, defisit perdagangan jasa dan
defisit perdagangan migas yang tidak dapat ditutupi oleh surplus pada
perdagangan non migas dan transfer berjalan (Bank Indonesia 2013).
Adapun yang dimaksud dengan impor jasa angkutan laut adalah
penggunaan kapal asing untuk kegiatan ekspor dan impor Indonesia,
sedangkan yang dimaksud dengan impor pariwisata adalah kegiatan
pariwisata yang dilakukan warga negara Indonesia di negara lain. Usulan
kebijakan ini sejalan dengan penyebab defisit perdagangan jasa yaitu
tingginya impor jasa angkutan laut dan impor pariwisata.
Kebijakan perubahan TOD dari FOB menjadi CIF sangat berbeda
dengan kegiatan ekspor yang saat ini dilakukan pelaku usaha nasional.
Sebagian besar kegiatan ekspor Indonesia dilakukan dengan
menggunakan TOD-FOB dimana para eksportir hanya perlu membawa
barang mereka kepelabuhan untuk selanjutnya akan diangkut pihak impor
menggunakan jasa angkutan dan asuransi mitra mereka. Sedangkan CIF
mewajibkan agar kegiatan ekspor menggunakan kapal Nasional dan
Puska KPI, BPPP, Kementerian Perdagangan 9
Asuransi Nasional. Perubahan TOD dari FOB menjadi CIF merupakan
kebijakan yang akan merubah pola perdagangan Indonesia.
Agar implementasi asas Beyond Cabotage yang disempurnakan
dengan Roadmap perubahan TOD ekspor dari FoB menjadi CIF dapat
berhasil, masih diperlukan Keputusan Presiden mengenai pelaksanaan
perubahan TOD ekspor dari FOB menjadi CIF yang dilanjutkan dengan
perubaha TOD Impor dari CIF menjadi FOB. Hal tersebut berjalan disertai
dengan upaya menekan biaya logistik nasional dan meningkatkan daya
saing armada angkutan laut nasional melalui rangkaian kebijakan
peningkatan kredit perkapalan, pembangunan infrastruktur pelabuhan,
penguatan industri asuransi dan insentif fiskal yang sesuai, khususnya
keringanan pajak.
2.2.3. Kebijakan Tol Laut
Gambar 2.1. Alur Tol Laut Indonesia
Sumber : Pelindo, 2012
Pada Bulan November 2015 Konsep Tol Laut resmi diluncurkan. Tol
laut merupakan program nasional Presiden Republik Indonesia, Joko
Widodo (Jokowi) yang ditatarbelakangi karena adanya disparitas harga
Puska KPI, BPPP, Kementerian Perdagangan 10
yang cukup tinggi antara wilayah barat dan timur. Konsep tol laut adalah
menghubungkan pelabuhan-pelabuhan di Indonesia dengan kapal.
Pertumbuhan ekonomi yang terpusat di Pulau Jawa mengakibatkan
transportasi laut di Indonesia tidak efisien dan mahal karena tidak adanya
muatan balik dari wilayah-wilayah yang pertumbuhan ekonominya rendah,
khususnya di Kawasan Timur Indonesia. Menteri Perhubungan
menyampaikan bahwa pada prinsipnya tol laut merupakan
penyelenggaraan angkutan laut secara tetap dan teratur yang
menghubungkan pelabuhan-pelabuhan hub disertai feeder dan Sumatera
hingga ke Papua dengan menggunakan kapal-kapal berukuran besar
sehingga diperoleh manfaat ekonomisnya.
2.3 Maritime Silk Road (MSR)
MSR merupakan jalur perdagangan yang diawali dari Fuzhou
melewati beberapa negara Asia Tenggara, termasuk Indonesia, Asia
Timur, Afrika, dan diakhiri di Eropa dimana fasilitas infrastruktur
penunjangnya dibiayai oleh Pemerintah Tiongkok melalui Asian
Infrastructure Investment Bank (AIIB). AIIB pada saat ini memiliki anggota
sebanyak 57 negara dan Indonesia menjadi anggota pada 25 November
2014 dan memiliki porsi saham sebesar 3,42% (Lubis, et.al., 2015).
MSR merupakan bagian dari konsep One Belt One Road (OBOR)
Tiongkok yang diperkenalkan oleh Presiden Tiongkok Xi Jinping. Konsep
ini merupakan pelaksanaan atas visi meningkatkan kesejahteraan dan
modernisasi Tiongkok di tahun 2020 serta menjadikan Tiongkok salah satu
negara yang makmur, kuat dan sejahtera. OBOR dikenalkan oleh
Pemerintah Tiongkok mulai tahun 2013 dengan dua jalur alternatif melalui
darat dan laut untuk menghubungkan wilayah Afrika, Asia Tenggara dan
Eropa. Konsep OBOR merupakan visi yang diharapkan memberikan
kesejahteraan bagi Tiongkok beserta negara yang dilaluinya, namun
sampai saat ini peta geografis konsep ini masih berubah menyesuaikan
dengan kedekatan wilayah tersebut dengan Tiongkok (Richat dan Wei,
2016).
Puska KPI, BPPP, Kementerian Perdagangan 11
Gambar 2.2. Peta New Maritime Silk Roads
Sumber : thewallstreetjournal, 2015
Beberapa hal yang menjadi pendorong keberhasilan OBOR dan
MSR khususnya terdiri dari: a) modal pemerintah Tiongkok sangat besar,
b) kesediaan dan kemampuan Tiongkok membangun dan mensinergikan
infrastruktur di wilayah tersebut. Namun masih terdapat beberapa
tantangan untuk mewujudkan OBOR dan MSR antara lain: a) kemampuan
pengusaha Tiongkok untuk mendukung jalur distribusi terutama jasa
finansial masih diragukan, b) tantangan melakukan sinergi kepentingan
dengan setiap wilayah/negara yang dilalui, dimana potensi OBOR dapat
mencapai 50 negara, dan c) dua kompetitor raksasa di dunia yang dilalui
jalur OBOR, khususnya MSR yaitu Amerika Serikat dan Rusia (Richat dan
Wei, 2016).
2.4. Biaya Transportasi dan Faktor-faktor yang Memengaruhinya
De (2006) menyebutkan bahwa biaya perdagangan merupakan
semua biaya yang dikeluarkan untuk mendapatkan barang sampai ke
pengguna akhir yang meliputi, biaya transportasi (freight cost and time
costs). Biaya terkait kebijakan (tarif dan non tarif), biaya informasi, biaya
penegakan kontrak, biaya terkait nilai tukar yang berbeda, hokum dan
Puska KPI, BPPP, Kementerian Perdagangan 12
aturan, dan biaya distribusi (whole sale and retail). Untuk negara industri.
Biaya perdagangan mencapai 120 persen yang terdiri dari biaya
transportasi (21%), biaya perbatasan (44%) dan biaya distribusi pedagang
besar dan retail (55%) (Gambar 2). Dalam kasus perdagangan melalui
laut, biaya transportasi mencakup biaya pengiriman dan asuransi dari
pelabuhan ekspor ke pelabuhan impor ataupun sebaliknya. Demikian
halnya menurut Salvatore (1997) biaya transportasi meliputi ongkos
pengapalan, biaya bongkar muat di pelabuhan, premi asuransi, dan
berbagai macam pungutan pada saat komoditi yang diperdagangkan
disimpan di suatu tempat sementara (transit).
Limao dan Venables (2001) menemukan bahwa peningkatan biaya
transportasi akan mengurangi volume impor Amerika Serikat. Sementara
penelitian Baier dan Bergstrand (2001) menunjukkan bahwa biaya
transportasi akan mengurangi volume ekspor-impor di sebagian besar
negara-negara di dunia. Untuk mengestimasi biaya perdagangan maupun
biaya transportasi, ada beberapa pendekatan yang digunakan,
diantaranya dengan menggunakan perbedaan antara nilai cif (cost,
insurance and freight) dan fob (free on board), baik yang berasal dari IMF,
UNCTAD, maupun International Transport Data Base (BTI), seperti yang
digunakan Limao dan Venables (2001), Baier dan Bergstrand (2001),
serta Radelet dan Sachs (1998). Proksi lainnya menggunakan jarak
maupun biaya pengapalan (shipping cost).
Beberapa penelitian telah dilakukan untuk mengidentifikasi penentu
biaya perdagangan khususnya biaya transportasi diantaranya Hummels
(1999), Limao dan Venables (2001), Micco and Perez (2001),Kumar dan
Hoffman (2002) serta Zarzoso et al (2006). Variabel penjelas yang
digunakan dalam analisis ini pada umumnya terkait dengan jarak dan
konektivitas. Variabel lainnya yang diduga turut memengaruhi biaya
transportasi adalah kualitas infrastruktur, nilai komoditi, rasio nilai ekspor
dan berat, volume ekspor (ton), dan trade imbalance.Jarak geografis
merupakan variabel yang umum digunakan dalam analisis perdagangan
dengan menggunakan model gravitasi. Kuwamori (2006) dan Zarzoso et
Puska KPI, BPPP, Kementerian Perdagangan 13
al (2003), menyebutkan bahwa biaya transportasi akan meningkat searah
dengan peningkatan jarak, artinya semakin jauh jarak maka biaya
transportasi pun akan semakin besar. Hal ini disebabkan karena
peningkatan penggunaan input seperti bahan bakar. Jarak juga
memengaruhi waktu yang diperlukan untuk mendistribusikan barang.
Untuk barang yang bersifat perishabel, kemungkinan sampainya barang
dalam keadaanm utuh berbanding terbalik dengan waktu pengiriman.
Namun jarak saja tidak cukup, karena hanya mampu menjelaskan
keragaman biaya sebesar 10 persen. Hasil penelitian Limao dan Venables
(2001) pada kontainer dari Baltimore menunjukkan bahwa setiap
penambahan jarak sebesar 1000 km akan meningkatkan biaya
transportasi sebesar $380. Penambahan jarak perjalanan laut sebesar
1000 km akan menambah biaya transportasi sebesar $190, sedangkan
untuk penambahjan jarak perjalanan darat sebesar 1000 km akan
menambah biaya transportasi sebesar $1380. Negara landlocked
menghadapi biaya transportasi yang lebih tinggi daripada negara-negara
coastal. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa negara landlocked
(terkurung daratan) menghadapi biaya transportasi yang lebih tinggi
daripada negara-negara coastal (pesisir).
Konektivitas umumnya terkait dengan kondisi atau kualitas
infrastruktur antar negara yang melakukan perdagangan. Infrastruktur
merupakan determinan penting dari biaya transportasi. Limao dan
Venables(2001) dalam penelitiannya mengenai infrastruktur, kondisi
geografi yang merugikan dan biaya trasportasi, menunjukkan bahwa
infrastruktur, baik infrastruktur sendiri maupun yang disediakan alam
“landlocked country” signifikan negatif mempengaruhi biaya transportasi
dan arus perdagangan bilateral. Perbaikan infrastruktur di negara tujuan
satu standar deviasa akan mengurangi biaya transportasi setara dengan
6500 km perjalanan laut laut atau 1000 km perjalanan darat. Kondisi
negara yang terkurung daratan “landlocked country” akan meningkatkan
biaya transportasi sekitar 50 persen (dibandingkan dengan negara
pesisir). Peningkatan infrastruktur di “landlocked country” akan
Puska KPI, BPPP, Kementerian Perdagangan 14
mengurangi kerugian sebesar 12 persen. Sementara terkait dengan nilai
impor, biaya transportasi berbanding terbalik dengan nilai impor. Dengan
menambahkan kedua variabel ini (infrastruktur dan nilai impor) akan
menambah keragaman menjadi 50 persen.
Selain jarak, Limao dan Venables(2001) menunjukkan bahwa
infrastruktur merupakan faktor penentu penting biaya transportasi.
Dengan rasio CIF/FOB, penelitian tersebut menunjukkan bahwa kenaikan
kualitas infrastruktur dapat menurunkan biaya transportasi sebesar 40
persen untuk negara-negara tepi laut (coastal) dan 60 persen pada
negara terkurung daratan (landlocked).
Efisiensi pelabuhan (port efficiency) memengaruhi biaya
transportasi perdagangan. Perbaikan dalam hal efisiensi pelabuhan dari
25 – 75 persen akan mengurangi biaya pengiriman lebih dari 12 persen
atau setara dengan 5000 miles jarak. Selain itu ketidakefisienan di
pelabuhan akan meningkatan biaya penanganan. Hal menarik lainnya
adalah terkait dengan variabel kejahatan yang terorganisir (organized
crime) berpengaruh signifikan negatif terhadap jasa pelabuhan sehingga
meningkatkan biaya transportasi. Peningkatan kejahatan terorganisir dari
25-75 persen berimplikasi terhadap penurunan efisiensi pelabuhan dari 50
menjadi 25persen. Adanya pengurangan dalam inefisiensi (hubungannya
dengan biaya transportasi) dari 25 hingga 75 percentil akan meningkatkan
perdagangan bilateral hingga sekitar 25 persen (Micco dan Natalia, 2002;
Clark, David dan Alejandro, 2004)
Ramos, Laura, Inmaculada, Eva, dan Gordon W (2007)
menunjukkan bahwa semakin besar rasio nilai dengan berat dan semakin
tidak seimbang perdagangan, maka biaya transportasi akan semakin
besar. Sementara volume eskpor bertanda negatif yang artinya semakin
banyak barang yang diekspor, maka biaya transportasinya akan semakin
kecil. Selain itu Ramos, Laura, Inmaculada, Eva, dan Gordon W (2007)
juga memasukkan variabel konektivitas yaitu number of lines, kapasitas
vessel (TEUS), port throughput (TEUS) yang menghasilkan tanda negatif
dan signifikan 1 persen. Artinya, semakin baik konektivitas antara negara
Puska KPI, BPPP, Kementerian Perdagangan 15
asal ekspor dengan negara tujuan ekspor, maka biaya transportasi akan
semakin menurun.
Korinek dan Patricia (1999) menyebutkan bahwa
ketidakseimbangan arah dalam perdagangan antara negara-negara
menyiratkan bahwa banyak jasa pengangkutan dipaksa untuk
mengangkut kontainer kosong pada perjalanan mereka kembali. Sebagai
akibatnya, harga pengiriman dalam satu arah adalah tidak sama seperti
pada perjalanan pulang. Fuchsluger (2000) menunjukkan bahwa
fenomena ini diamati dalam perdagangan bilateral antara Amerika Serikat
dan Karibia.
Puska KPI, BPPP, Kementerian Perdagangan 16
BAB III
DATA DAN METODOLOGI
3.1 Kerangka Pemikiran
Indonesia merupakan negara kepulauan, maka sarana pelabuhan
menjadi sangat penting dalam pendistribusian barang antar pulau.
Indonesia sampai saat ini hanya memiliki 18 pelabuhan nusantara dan 52
pelabuhan perikanan. Sedangkan panjang pantai Indonesia adalah 81000
km. Hal ini menunjukkan bahwa hanya terdapat 1 pelabuhan setiap 1157
km garis pantai (Priyarsono, 2014). Bila dibandingkan dengan Jepang dan
Thailand, maka Indonesia kalah jauh dengan penempatan 1 pelabuhan
laut setiap 11 km garis pantai di Jepang dan 1 pelabuhan setiap 50 km
garis pantai di Thailand.
Perkembangan jumlah kapal yang berlabuh di pelabuhan Indonesia
pada tahun 2000-2012 dapat dilihat pada Gambar 1. Gambar tersebut
menyatakan bahwa pada tahun 2000, jumlah kapal yang berkunjung ke
pelabuhan sebesar 665245 unit kunjungan dan berfluktuasi hingga tahun
2012. Hingga pada tahun 2012 jumlah kapal yang berkunjung ke
pelabuhan di Indonesia meningkat menjadi sebesar 872706 unit
kunjungan dengan laju pertumbuhan kunjungan kapal di Indonesia selama
periode waktu tahun 2000 – 2012 adalah sebesar 5.4 persen per tahun.
Walaupun pada tahun 2006 sempat mengalami penurunan peningkatan
jumlah kunjungan kapan hingga mencapai – 32.6 persen, namun tetap
saja jumlah kapal yang berlabuh di Indonesia tetap tinggi. Sehingga
perbaikan infrastruktur pelabuhan menjadi sangat perlu untuk dilakukan
melihat banyaknya kunjungan kapal, baik kapal untuk penumpang
maupun kapal angkutan barang.
Puska KPI, BPPP, Kementerian Perdagangan 17
Gambar 3.1. Kunjungan Kapal di Pelabuhan Indonesia Tahun 2000-2012
Sumber : BPS (2014)
Pembangunan pelabuhan di Indonesia dapat memanfaatkan jalur
MSR yang sedang dibangun Cina karena Indonesia sebagai negara
kepulauan sudah pasti masuk dalam cetak biru jalur tersebut. Jalur MSR
yang dibangun Tiongkok itu meliputi Eropa, masuk Laut Merah di Afrika,
lalu ke Samudera Hindia, terus menuju India, Bangladesh, Burma,
kemudian masuk ke Indonesia melalui Selat Malaka. Juga menyusur lewat
selatan yang masuk Selat Lombok, Selat Wetar, dan Selat Sunda.
Konsep pembangunan pelabuhan oleh Presiden Jokowi sejalan
dengan konsep MSR, yakni menjadikan Indonesia sebagai Poros Maritim
Dunia. Turunan dari Poros Maritim Indonesia adalah Proyek Tol Laut yang
menjadi irisan dari jalur MSR karena Indonesia akan dilewati jalur
internasional tersebut. Berdasarkan informasi tersebut, dapat dibangun
kerangka pemikiran analisis ini sesuai Gambar 3.1.
665245
87270642.3
-32.6-35.0
-25.0
-15.0
-5.0
5.0
15.0
25.0
35.0
45.0
55.0
0
100000
200000
300000
400000
500000
600000
700000
800000
900000
1000000
2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012
Tahun
Persen
Unit
Jumlah Kunjungan Kapal di Indonesia
Laju Pertumbuhan Kunjungan Kapal di Indonesia
Puska KPI, BPPP, Kementerian Perdagangan 18
Gambar 3.2. Kerangka Pemikiran
Gambar 2 memperlihatkan bahwa pembukaan jalur MSR sebagai
jalur alternatif ekspor dapat digunakan sebagai pasar baru bagi ekspor
Indonesia. Jalur MSR ini berpotensi untuk mengurangi biaya transportasi
yang cukup tinggi dan harus ditanggung oleh eksportir/importir. Sehingga
perlu dianalisis bagaimana dampak MSR terhadap perubahan daya saing
produk ekspor Indonesia. Pemanfaatan jalur MSR ini akan disinkronkan
dengan kebijakan nasional (Cabotage, TOD-CIF, Tol Laut).
Seluruh informasi yang diperoleh dari analisis berdasarkan data
primer maupun sekunder akan digunakan untuk memberikan informasi
dan mengharapkan umpan balik dari sesama instansi pemerintah,
pengusaha dan investor asing yang akan dilakukan dalam kegiatan focus
group discussion (FGD). Pelaksanaan kegiatan FGD tersebut akan
dilakukan dengan tujuan merumuskan usulan kebijakan yang diperlukan
khususnya rekomendasi pemanfaatan MSR sebagai jalur ekspor alternatif.
Usulan Pemanfaatan MSR Sebagai Jalur Ekspor Alternatif
Potensi Produk Ekspor Potensi Penurunan Biaya Transportasi
Sinkronisasi Dengan Kebijakan Nasional (Cabotage, TOD-CIF, Tol Laut)
Rekomendasi Pemanfaatan MSR Sebagai Jalur Ekspor Alternatif
Analisis Dampak MSR Terhadap Perubahan Daya Saing Produk Ekspor Data Primer :
Tabulasi Produk Potensial & Perubahan Biaya
Data Sekunder : Gravity Model
FGD : Tabulasi
TOD CIF
Puska KPI, BPPP, Kementerian Perdagangan 19
3.2. Lokasi dan Waktu
Pelaksanaan kegiatan survey dilakukan di Surabaya dan Makassar.
3.3. Jenis dan Sumber Data
Data yang digunakan dalam kajian ini adalah data primer dan data
sekunder. data primer diperoleh dari hasil turun lapang dan FGD
terutama mengenai sinkronisasi dengan kebijakan nasional (cabotage,
tod-cif, tol laut) dan perbedaan biaya antara jalur MSR dengan jalur biasa.
Data yang digunakan diperoleh dari berbagai sumber (Tabel 1).
Sedangkan periode waktu penelitian adalah dari tahun 2007-2014, hal ini
terkait dengan data yang tersedia hanya ada pada periode tersebut.
Survey mengenai Liner Shipping Connectivity Index (LSCI) baru dilakukan
pada tahun 2004. Sedangkan data Quality of Port Infrasctruture baru
tersedia pada tahun 2007. Hal ini menjadi dasar pertimbangan dalam
pemilihan periode waktu penelitian. Negara yang dianalisis dalam
penelitian ini adalah negara yang merupakan negara yang termasuk
dalam jalur MSR yaitu Cina, India (Kalkuta), Kenya, Yunani, dan Italia.
Sedangkan untuk negara mitra Non MSR adalah Malaysia, Singapura,
Dubai, Belanda, Afrika Selatan.
Tabel 3.1. Data dan Sumber Data
No Nama Variabel Satuan Sumber
1 Nilai ekspor dan impor Ribu US$ WITS
2 GDP Indonesia dan Negara mitra
Konstan tahun 2011 (US$)
World Development Indicator (WDI)
3 Indeks kualitas pelabuhan - World Bank (WDI)
4 Indeks kebebasan korupsi (Freedom from Corruption)
- Global Competitiveness Index (GCI) dan World Bank (WDI)
5 Kebebasan perdagangan (Trade openess/Trade freedom)
- Global Competitiveness Index (GCI) dan World Bank (WDI)
6 Jarak geografi antar ibukota provinsi
Km CEPII
Data nilai ekspor, impor dan jarak geografi diubah dalam bentuk
logaritma natural (log) untuk memudahkan dalam interpretasi hasil.
Puska KPI, BPPP, Kementerian Perdagangan 20
Sedangkan untuk variabel yang merupakan indeks tidak diubah kedalam
bentuk log.
3.4. Defenisi Beberapa Variabel yang Digunakan
1. Trade Freedom/Trade Openess
Trade Freedom merupakan indeks komposit yang mengukur
derajat kehadiran hambatan tariff dan non tariff yang dapat berimbas pada
neraca perdagangan. Kebebasan dalam perdagangan merefleksikan
keterbukaan perekonomian untuk mengimpor dan mengekspor barang
dan jasa serta kemampuan negara dalam berinteraksi dengan pasar
internasional. Angka Trade Freedom indeks didasarkan pada dua input
yakni rataan nilai tariff perdagangan dan hambatan non tariff. Rata-rata
tariff kalkulasinya didasarkan pada formula berikut :
𝑇𝑟𝑎𝑑𝑒 𝐹𝑟𝑒𝑒𝑑𝑜𝑚𝑖 = [(𝑡𝑎𝑟𝑖𝑓𝑓𝑚𝑎𝑥−𝑡𝑎𝑟𝑖𝑓𝑓𝑖
𝑡𝑎𝑟𝑖𝑓𝑓𝑚𝑎𝑥−𝑡𝑎𝑟𝑖𝑓𝑓min) 𝑥100] − 𝑁𝑇𝐵𝑖
dimana 𝑇𝑟𝑎𝑑𝑒 𝐹𝑟𝑒𝑒𝑑𝑜𝑚𝑖 menggambarkan kebebasan perdagangan di
Negara I, tarifmax dan tarifmin menggambarkan batas atas dan batas bawah
untuk tarif (%) dan tarifi merepresentasikan nilai rata-rata tariff di negara i.
Minimum tarif di set 0 persen dan batas atas di set 50 persen. NTB adalah
semacam pinalti karena negara tersebut menerapkan hambatan non tarif.
2. Freedom From Corruption
Indeks freedom from corruption merupakan indeks kebebasan dari
korupsi yang dikaitkan dengan penyalahgunaan jabatan publik untuk
mengambil keuntungan secara pribadi. Skor indeks korupsi diturunkan
dari data indek persepsi korupsi yang dikeluarkan oleh Transparency
International dengan skor 0 – 10, dan data harus dikonversi ke skala 0 –
100 untuk mendapatkan indeks freedom from corruption. Semakin tinggi
indeks kebebasan dari korupsi, maka negara tersebut memiliki tingkat
kejahatan korupsi yang rendah.
Puska KPI, BPPP, Kementerian Perdagangan 21
3. Quality of Port Infrastructure
Variabel ini menunjukkan persepsi pengguna pelabuhan terhadap
kondisi infrastruktur dari pelabuhan tersebut. Data diperoleh dari survey
dari World Economic Forum's Executive Opinion Survey, yang dilakukan
selama 30 tahun bekerja sama dengan 150 lembaga mitra. Responden
dari survey tersebut lebih dari 13.000 responden dan berasal dari 133
negara. Sampling mengikuti stratifikasi ganda berdasarkan ukuran
perusahaan dan sektor kegiatan. Data dikumpulkan secara online atau
melalui wawancara langsung. Tanggapan dikumpulkan menggunakan
sector-weighted averaging. Data untuk tahun terbaru yang dikombinasikan
dengan data untuk tahun sebelumnya untuk membuat two-year moving
average. Skor berkisar dari 1 sampai 7, skor 1 menunjukkan infrastruktur
pelabuhan dianggap sangat terbelakang dan skor 7 menandakan bahwa
infrastruktur pelabuhan dianggap efisien dengan standar internasional.
Responden di negara-negara yang merupakan landlocked (terkurung
daratan) ditanya apakah dapat mengakses fasilitas pelabuhan (1 = sangat
tidak dapat diakses; 7 = sangat mudah diakses).
4. Liner Shipping Connectivity Index (LSCI)
Variabel ini digunakan untuk mengetahui seberapa baik suatu
negara terhubung ke jaringan pengiriman global yang dihitung oleh United
Nations Conference on Trade and Development (UNCTAD) berdasarkan
lima komponen dari sektor transportasi maritim: jumlah kapal, mereka
kapasitas kontainer pembawa, ukuran kapal maksimal, jumlah layanan,
dan sejumlah perusahaan yang menyebarkan kapal di pelabuhan suatu
negara. Untuk setiap komponen nilai suatu negara dibagi dengan nilai
maksimum masing-masing komponen pada tahun 2004, lima komponen
dirata-ratakan untuk setiap negara, dan rata-rata dibagi dengan rata-rata
maksimum untuk 2004 dan dikalikan dengan 100. Indeks menghasilkan
nilai 100 untuk negara dengan indeks rata-rata tertinggi pada tahun 2004.
Datanya berasal dari Containerisation International Online.
Puska KPI, BPPP, Kementerian Perdagangan 22
3.5. Model Penelitian
Penelitian ini menggunakan model Limao dan Venables (2001)
yang dimodifikasi dengan menambahkan variabel jarak geografis. Variabel
jarak ini merupakan proxy dari biaya transportasi dengan asumsi bahwa
semakin jauh suatu negara maka semakin tinggi biaya transportasi
sehingga transaksi perdagangan kedua negara tersebut relatif sedikit.
Jarak merupakan faktor geografis yang menjadi variabel utama
dalam Gravity Model untuk aliran perdagangan. Jarak memberikan
pengaruh dalam masalah biaya transportasi dalam
perdagangan.Pendekatan gravity model digunakan untuk menganalisis
perdagangan bilateral suatu negara dengan negara lain. Model ini disebut
gravity model karena menggunakan perumusan yang sama dengan model
gravitasi Newton, dimana interaksi antara dua objek adalah sebanding
dengan massanya dan berbanding terbalik dengan jarak masing-masing.
Salah satu keunggulan empiris yang dicapai oleh model ini dalam
ekonomi internasional, model ini bekerja dengan baik ketika perdagangan
bilateral diregresikan pada GDP.
Sehingga model penelitian ini menggunakan Gravity Model untuk
mengetahui faktor yang mempengaruhi nilai perdagangan Indonesia
dengan negara mitra di jalur MSR dan Non MSR. Adapun model
penelitiannya adalah sebagai berikut:
dimana :
Ln_Tradeij,t = Neraca perdagangan (ekspor-impor) negara i dan j
Ln_ecogeoi,j = Jarak antara dua negara i dan j
Trdopnnsi,t = Indeks keterbukaan perdagangan negara i
PORTi,t = Indeks kualitas pelabuhan negara i
PORTj,t = Indeks kualitas pelabuhan dari negara j (mitra)
Tradeopeni,t = Keterbukaan perdagangan negara i
Ln_Tradeij,t
= bij,t
+ b1 Ln_ecogeo
i,j+ b
2 Ln_PORT
i,t + b
3PORT
j,t + b
4Trdopnns
i,t + b
5
Ln_Trdopnnsj,t
+ b6 CORRUPTION
i,t + b
7 CORRUPTION
j,t +
b8LNGDPi,t
+b9LNGDPj,t+ e
ij,t
Puska KPI, BPPP, Kementerian Perdagangan 23
Tradeopenj,t = Keterbukaan perdagangan dari negara j (mitra)
CORRUPTIONi,t = Indeks kebebasan korupsi negara i
CORRUPTIOnj,t = Indeks kebebasan korupsi dari negara j (mitra)
Ln_GDPi,t = GDP per kapita negara i
Ln_GDPj,t = GDP per kapita negara negara j (mitra)
Variabel jarak yang digunakan dalam penelitian ini mengacu pada
model Li, Song dan Zau (2008) yaitu:
𝐽𝑎𝑟𝑎𝑘 𝑒𝑘𝑜𝑛𝑜𝑚𝑖 = 𝐽𝑎𝑟𝑎𝑘 𝐺𝑒𝑜𝑔𝑟𝑎𝑓𝑖 𝑥 𝐺𝐷𝑃𝑗
∑ 𝐺𝐷𝑃𝑗5𝑗=1
3.6. Pengolahan dan Analisis Data
1. Analisis Data Primer
Analisis data primer dilakukan melalui tabulasi data untuk
mengumpulkan informasi mengenai kendala dan manfaat penggunaan
jalur laut yang dibangun tiongkok, khususnya perbedaan biaya, akses,
dan lama waktu tempuh. sumber data tabulasi diperoleh dari kegiatan
turun lapang di dalam dan luar negeri.
2. Analisis Data Sekunder
Analisis data sekunder dilakukan dengan metode panel data statis
dan menggunakan software eviews 6. Data panel (pooled data) atau yang
disebut juga data longitudinal merupakan kombinasi antara data time-
series dan cross-section. Metode datapanel merupakan suatu metode
yang dapat digunakan untuk melakukan analisis empirik yang tidak
mungkin dilakukan jika hanya menggunakan data time-series maupun
data cross-section. Kriteria data panel yang baik adalah ketika jumlah N
cross section relatif lebih besar bila dibandingkan dengan jumlah T time
series. Dalam data panel, data cross section yang sama diobservasi
menurut waktu. Jika setiap unit cross section memiliki jumlah observasi
time series yang sama maka disebut sebagai balanced panel, sebaliknya
Puska KPI, BPPP, Kementerian Perdagangan 24
jika jumlah observasi berbeda untuk setiap unit cross section maka
disebut unbalanced panel.
Aplikasi metode estimasi dengan menggunakan data panel banyak
digunakan baik secara teoritis maupun aplikatif dalam berbagai literatur
mikroekonometrik dan makroekonometrik. Popularitas penggunaan data
panel ini merupakan konsekuensi dari kemampuan dan ketersediaan
analisis yang diberikan oleh data jenis ini. Metode data panel merupakan
suatu metode yang digunakan untuk melakukan analisis empirik yang
tidak mungkin dilakukan jika hanya menggunakan data time series saja
atau data cross section saja. Menurut Baltagi (2005), penggunaan data
panel memberikan banyak kelebihan, diantaranya:
1. Mampu mengontrol heterogenitas individu atau unit cross section;
2. Dapat memberikan informasi lebih banyak, mengurangi kolinieritas
antar variabel, meningkatkan degree of freedom, dan lebih efisien;
3. Panel data lebih baik untuk studi yang bersifat dinamis atau dynamics
of adjustment. Karena berkaitan dengan observasi cross section yang
berulang, maka data panel lebih baik dalam mempelajari perubahan
dinamis;
4. Dapat mengidentifikasi dan mengukur efek yang sederhana yang tidak
dapat dideteksi dalam model data cross section maupun time series;
5. Mampu menguji dan membangun model prilaku (behavioral models)
yang lebih kompleks.
Namun demikian, analisis data panel data juga memiliki
keterbatasan diantaranya adalah:
1. Masalah dalam disain survei panel, pengumpulan dan manajemen
data. Masalah yang umum dihadapi diantaranya: cakupan (coverage),
non response, kemampuan daya ingat responden (recall), frekuensi
dan waktu wawancara.
2. Distorsi kesalahan pengamatan (measurement errors). Measurement
errors umumnya terjadi karena respon yang tidak sesuai.
Puska KPI, BPPP, Kementerian Perdagangan 25
3. Masalah selektivitas (selectivity) yang mencakup hal-hal berikut:
a. Self-selectivity. Permasalahan ini muncul karena data yang
dikumpulkan untuk suatu penelitian tidak sepenuhnya dapat
menangkap fenomena yang ada.
b. Nonresponse. Permasalahan ini muncul dalam panel data ketika
ada ketidaklengkapan jawaban yang diberikan oleh responden.
c. Attrition, yaitu jumlah responden yang cenderung berkurang pada
survey lanjutan yang biasanya terjadi karena responden pindah,
meninggal dunia atau biaya menemukan responden yang terlalu
tinggi.
4. Cross-section dependence. Sebagai contoh, apabila macro panel
dengan unit analisis negara atau wilayah dengan deret waktu yang
panjang mengabaikan cross-country dependence akan mengakibatkan
kesimpulan yang tidak tepat (misleading inference).
Terdapat tiga metode pada teknik estimasi model data panel, yaitu
pooled Ordinary Least Square (OLS), fixed effect dan random effect. Dari
ketiga metode tersebut akan dipilih model yang terbaik menggunakan uji-
F, uji LM dan uji Hausman.
a. Metode Pooled OLS
Metode Pooled OLS merupakan suatu metode pengkombinasian
sederhanaantara data time-series dan data cross-section dan selanjutnya
dilakukan estimasi model yang mendasar menggunakan kuadrat terkecil
sederhana (OLS). MetodePooled OLS dapat dispesifikasikan kedalam
model berikut:
Ŷit = α + β Xit
dimana i menunjukkan urutan individu yang diobservasi pada data cross-
section,sedangkan t menunjukkan periode pada data time-series. Namun,
pada metode iniasumsi yang digunakan menjadi terbatas karena model
tersebut mengasumsikan bahwa intersep dan koefisien dari setiap
variabel sama untuk setiap individu yang diobservasi. Hal ini
Puska KPI, BPPP, Kementerian Perdagangan 26
menyebabkan variabel-variabel yang diabaikan akan membawa
perubahan pada intersep time-series dan cross-section.
b. Metode Fixed Effect
Masalah yang timbul pada penggunaan metode pooled OLS yaitu
adanyaasumsi bahwa intersep dan koefisien dari setiap variabel sama
pada setiapindividu yang diobservasi. Sementara pada fixed effect,
perbedaan individu data diakomodasi dalam intersep masing-masing
individu data. Untuk memperhitungkan individualitas dari setiap unitcross-
section, hal ini dilakukan dengan cara menjadikan intersep berbeda
padatiap unit individu. Pada metode fixed effect ditambahkan variabel
dummy untukmengubah intersep, tetapi koefisien-koefisien lainnya tetap
sama untuk setiapindividu yang diobservasi. Model estimasi ini seringkali
disebut dengan teknik Least Squares Dummy Variables (LSDV). Metode
ini dapat dispesifikasikan kedalam model berikut:
Yit = α + βXit + βDi + εit
Berdasarkan asumsi struktur matriks varians-covarians residual,
model fixed effect menggunakan tiga metode, yaitu:
1. Ordinary Least Square (OLS/LSDV), jika struktur matrik varian-
kovarian residualnya diasumsikan bersifat homoskedastisitas dan tidak
cross sectional correlation
2. Generalized Least Square (GLS)/Weighted Least Square (WLS): jika
struktur matriks varian-kovarian residualnya diasumsikan bersifat
heteroskedastistik dan tidak ada cross sectional correlation
3. Feasible Generalized Least Square (FGLS/Seemeingly Uncorrelated
Regression (SUR), jika struktur matriks varian-kovarian residualnya
diasumsikan bersifat heteroskedastik dan ada cross sectional
correlation.
Terdapat beberapa masalah penggunaan metodefixed effect.
Pertama, penggunaan variabel dummy tidakdapat mengidentifikasikan
Puska KPI, BPPP, Kementerian Perdagangan 27
secara langsung penyebab perubahan garis regresi pada periode dan
individu. Kedua, teknik variabel dummy akan mengurangi jumlah derajat
bebas (Pyndick, 1998).
c. Metode Random Effect
Pada metode random effect, terdapat perbedaan intersep untuk
setiap individu data. Intersep tersebutmerupakan variabel random dan
stokastik. Penggunaan variabel dummy pada metode fixed effect
masihmenghasilkan kekurangan pada informasi mengenai model. Oleh
karena itu,kekurangan informasi tersebut dapat digambarkan melalui
komponen galat(disturbance atau error term).Pada metode random effect
dimasukkan komponen galat (error term) kedalam model untuk
menjelaskan variabel prediktor (explanatory variable) yangtidak masuk
kedalam model, komponen non linearitas hubungan variabel bebasdan
variabel tidak bebas, kesalahan ukur saat observasi dilakukan serta
kejadianyang sifatnya acak.Metode random effect dapat dispesifikasikan
kedalam model berikut:
Yit = α + βXit + βDi + Vit
dimana Vit = εit + μit
Ada beberapa asumsi yang harus dipenuhi model ini diantaranya:
1. Nilai harapan variabel gangguan nol, yaitu (Vit) = 0
2. Varian variabel gangguan homoskedastisitas, yaitu Var (Vit) = σμ2 +
σε2
3. Variabel gangguan individu data yang sama dalam periode yang
berbeda saling berkorelasi, yaitu Cov (Vit, Vis) (t≠s)
4. Variabel gangguan dari individu data yang berbeda tidak berkorelasi
Cov (Vit, Vjs) = 0, dengan j≠s
Formulasi dari metode random effect diperoleh dari model fixed
effect dengan mengasumsikan bahwa efek rata-rata dari variabel-variabel
Puska KPI, BPPP, Kementerian Perdagangan 28
time-series dan cross-section yang acak termasuk dalam intersep dan
deviasi acak rata-rata tersebut sama dengan komponen galat, ui dan vt.
Pada metode random effect diasumsikan bahwa komponen galat individu
tidak berkorelasi satu sama lain dan tidak ada auto korelasi antara setiap
unit cross-section dan time-series (Pyndick, 1998).
Karena adanya korelasi antara variabel gangguan, maka metode
OLS tidak bias digunakan untuk mendapatkan estimator yang efisien
(Greene, 1997). Metode yang tepat untuk mengestimasi metode random
effect adalah Generalizrd Least Squares (GLS).
Untuk menguji kesesuaian atau kebaikan model dari ketiga metode
padateknik estimasi model dengan data panel digunakan uji-F, uji LM, dan
ujiHausman. Uji-F digunakan untuk menguji kesesuaian model antara
model yangdiperoleh dari metode pooled OLS dengan model yang
diperoleh dari metode fixedeffect. Selanjutnya dilakukan uji Hausman
terhadap model terbaik yang diperolehdari hasil Fixed effect dengan
model yang diperoleh dari metode random effect. Semnatara uji LM Test
untuk menguji metode random effect dengan pooled leastsquare.
Uji-F (Chow Test)
Chow Test atau beberapa buku menyebutnya pengujian F Statistics
adalah pengujian untuk memilih apakah model yang digunakan Pooled
Least Square atau Fixed Effect. Terkadang asumsi bahwa setiap unit
cross section memiliki perilaku yang sama cenderung tidak realistis
mengingat dimungkinkan saja setiap unit cross section memiliki perilaku
yang berbeda. Dalam pengujian ini dilakukan dengan hipotesa sebagai
berikut:
H0: Model PLS (Restricted)
H1: Model Fixed Effect (Unrestricted).
Puska KPI, BPPP, Kementerian Perdagangan 29
Dasar penolakan terhadap hipotesa nol adalah dengan menggunakan F-
Statistik seperti yang dirumuskan oleh Chow:
)/(
)1/()(
KNNTURSS
NURSSRRSSCHOW
dimana:
RRSS = Restricted Residual Sum Square
URSS = Unrestricted Residual Sum Square
N = Jumlah data cross section
T = Jumlah data time series
K = Jumlah variabel penjelas,
Chow Test ini mengikuti distribusi F-statistik yaitu FN-1, NT-N-K. Jika nilai
CHOW Statistics (F-Stat) hasil pengujian lebih besar dari F Tabel, maka
cukup bukti untuk melakukan penolakan terhadap hipotesa nol sehingga
model yang digunakan adalah model fixed effect, begitu juga sebaliknya.
Pengujian ini disebut sebagai Chow Test karena kemiripannya dengan
Chow Test yang digunakan untuk menguji stabilitas dari parameter
(stability test).
Uji Hausman
Hausman Test adalah pengujian statistik sebagai dasar
pertimbangan kita dalam memilih apakah menggunakan model fixed effect
atau model random effect. Seperti yang kita ketahui bahwa penggunaan
model fixed effect mengandung suatu unsur trade off yaitu hilangnya
derajat kebebasan dengan memasukkan variabel dummy. Namun,
penggunaan metode random effect pun harus memperhatikan ketiadaan
pelanggaran asumsi dari setiap komponen galat.
Hausman Test dilakukan dengan hipotesa sebagai berikut:
H0: Random Effects Model
H1: Fixed Effects Model.
Puska KPI, BPPP, Kementerian Perdagangan 30
Sebagai dasar penolakan Hipotesa nol maka digunakan statistik hausman
dan membandingkannya dengan chi square.
Statistik hausman dirumuskan dengan:
bMMbm 1
10
' ~ KX 2
dimana adalah vektor untuk statistik variabel fixed effect, b adalah
vektor statistik variabel random effect, )( 0M adalah matriks kovarians
untuk dugaan FEM dan )( 1M adalah matriks kovarians untuk dugaan
REM.
LM Test
LM Test atau lengkapnya The Breusch – Pagan LM Test digunakan
sebagai pertimbangan statistik dalam memilih model Random Effect
versus Pooled Least Square.
H0: PLS
H1: Random Effect.
Dasar penolakan terhadap H0 adalah dengan menggunakan statistik LM
yang mengikuti distribusi dari Chi Squre. Statistik LM dihitung dengan
menggunakan residual OLS yang diperoleh dari hasil estimasi model
pooled.
Strategi Pengujian
Secara umum, dalam pengujian estimasi model-model data panel
diperlukan sebuah strategi. Strategi yang dapat dilakukan adalah dengan
menguji:
a) RE vs FE (Hausman Test);
b) PLS vs FE (Chow Test).
Puska KPI, BPPP, Kementerian Perdagangan 31
Kerangka pengambilan keputusan dalam memilih sebuah model yang
digunakan adalah sebagai berikut:
Jika (b) tidak signifikan maka kita menggunakan Pooled Least
Square.
Jika (b) signifikan namun (a) tidak signifikan maka kita
menggunakan Random Effect Model .
Jika keduanya signifikan, maka kita menggunakan Fixed Effect Model.
Akan tetapi, dalam penelitian ini model yang digunakan adalah
Random Effect Model (REM). Model REM langsung dipilih karena dapat
mengakomodir variabel jarak geografis yang bernilai konstan setiap tahun.
Jika menggunakan model FEM maka model penelitian ini tidak dapat
diolah karena data. Jika model yang dipilih adalah REM maka estimasi
dari model diasumsikan Best Linear Unbiased Estimator (BLUE) dan tidak
perlu dilakukan pengujian terhadap 3 asumsi utama model BLUE (non
multicolinearity, homokedasticity, dan non autocorrelation). Hal ini
dikarenakan: (1) sifat data panel adalah bebas dari gejala
multikolinearitas, dan (2) REM adalah model Generalized Least Square
(GLS) sehingga apabila estimasi menggunakan GLS secara otomatis
akan terbebas dari gejala autokorelasi, dan bahkan terbebas dari gejala
heterokedastisitas yang disebabkan variansi sisaannya yang konstan
(Gujarati, 2012).
Puska KPI, BPPP, Kementerian Perdagangan 32
BAB IV
ANALISIS FAKTOR YANG MEMPENGARUHI NERACA
PERDAGANGAN INDONESIA DENGAN NEGARA MSR DAN NON MSR
Analisis faktor yang mempengaruhi neraca perdagangan Indonesia
dengan negara MSR dan non MSR dilakukan dengan metode panel data.
Untuk itu perlu dilakukan pemilihan model terbaik antara model PLS, FEM
atau REM. Berdasarkan hasil Chow Test dan Hausman Test pada
lampiran 1 dan 3 dapat diketahui bahwa model yang digunakan untuk
menganalisis neraca perdagangan antara Indonesia dan negara dijalur
MSR maupun Non MSR adalah Fixed Effect Model (FEM).
4.1. Indeks Kualitas Pelabuhan (Quality of Port Infrastructure)
Variabel ini menunjukkan persepsi pengguna pelabuhan terhadap
kondisi infrastruktur dari pelabuhan tersebut. Data diperoleh dari survey
dari World Economic Forum's Executive Opinion Survey, yang dilakukan
selama 30 tahun bekerja sama dengan 150 lembaga mitra. Responden
dari survey tersebut lebih dari 13.000 responden dan berasal dari 133
negara. Sampling mengikuti stratifikasi ganda berdasarkan ukuran
perusahaan dan sektor kegiatan. Data dikumpulkan secara online atau
melalui wawancara langsung. Tanggapan dikumpulkan menggunakan
sector-weighted averaging. Data untuk tahun terbaru yang dikombinasikan
dengan data untuk tahun sebelumnya untuk membuat two-year moving
average. Skor berkisar dari 1 sampai 7, skor 1 menunjukkan infrastruktur
pelabuhan dianggap sangat terbelakang dan skor 7 menandakan bahwa
infrastruktur pelabuhan dianggap efisien dengan standar internasional.
Responden di negara-negara yang merupakan landlocked (terkurung
daratan) ditanya apakah dapat mengakses fasilitas pelabuhan (1 = sangat
tidak dapat diakses; 7 = sangat mudah diakses).
4.2. Indeks korupsi
Untuk mengukur tingkat korupsi di suatu negara, Transparency
International telah memiliki indikator yang dikenal dengan nama Indeks
Puska KPI, BPPP, Kementerian Perdagangan 33
Persepsi Korupsi (IPK), yaitu indeks yang mengukur persepsi pelaku
usaha terhadap praktik suap di suatu daerah. Indeks ini didasarkan pada
skala 10-point di mana skor 10 menunjukkan sangat sedikit korupsi dan
skor 0 menunjukkan pemerintah sangat korup. Dalam mencetak
kebebasan dari korupsi, Indeks mengkonversi data IPK baku untuk skala
0 sampai 100 dengan mengalikan skor IPK dengan 10. Sebagai contoh,
jika skor IPK data mentah suatu negara adalah 5.5, kebebasan
keseluruhan dari skor korupsi adalah 55.
Untuk negara-negara yang tidak tercakup dalam IPK1, kebebasan
dari indeks korupsi ditentukan dengan menggunakan informasi kualitatif
dari yang diakui secara internasional dan dapat diandalkan. Prosedur ini
menganggap sejauh mana korupsi berlaku di suatu negara. Semakin
tinggi tingkat korupsi, semakin rendah tingkat kebebasan ekonomi secara
keseluruhan dan lebih rendah skor suatu negara.
Pada tahun 2015, untuk kesekian kalinya, Transparency
International Indonesia melakukan survei Indeks Persepsi Korupsi di 11
kota dengan total responden 1100. Survey yang berguna untuk mengukur
Indeks Persepsi Korupsi yang akan menggambarkan tingkat korupsi pada
level kota berdasarkan persepsi pelaku usaha. Tujuan dari survey ini
untuk mengukur kualitas pelayanan publik yang diberikan oleh institusi
publik kepada para pelaku usaha melalui Indeks Pelayanan/Service
Performance Index (SPI). Selain itu, untuk mengukur intensitas korupsi di
institusi publik dalam hubungannya dengan pelaku usaha, dalam kegiatan
pelayanan publik dan memperoleh kontrak bisnis dengan lembaga
pemerintah.
Survei Persepsi Korupsi merupakan survey dengan basis
responden pengusaha dan pelayan publik (Pemerintah) yang
dilaksanakan di 11 (sebelas) kota. Jumlah total sampel yang terlibat dalam
survey ini sebanyak 1100 pengusaha dan pelaku bisnis. Metode
pengambilan sampel menggunakan quota sampling.
1 Negara yang tidak ikut serta pada tahun 2011: Belize, Fiji, Mikronesia
Puska KPI, BPPP, Kementerian Perdagangan 34
IPK mencakup definisi-definisi korupsi yang digunakan 9 (sembilan)
survei dasar penyusun Corruption Perception Index (CPI). Kesembilan
survey tersebut adalah International Country Risk Guide, World Economic
Forum, World Economic Yearbook, Transparency International, Global
Insight, Bertelsmann Foundation Transformation Index, Political and
Economic Risk Consultancy, Economist Intelligent Unit, dan World
Justice Project.
Gambar 4.1. Dimensi Pehitungan IPK
IPK merupakan nilai rerata sederhana dari kelima dimensi
pengukuran korupsi di atas. Secara matematis formula perhitungan indeks
persepsi korupsi tersebut sebagai berikut:
𝐼𝑛𝑑𝑒𝑘𝑠 𝑃𝑒𝑟𝑠𝑒𝑝𝑠𝑖 𝐾𝑜𝑟𝑢𝑝𝑠𝑖 = ∑𝑥
𝑛
𝑛
𝑘=0
4.3. Pengaruh Indeks Kualitas Pelabuhan dan Indeks Korupsi
Terhadap Neraca Perdagangan
Kualitas pelabuhan menentukan kegiatan ekspor impor karena
sekitar 90 persen volume perdagangan dunia didistribusikan melalui moda
transportasi laut, sisanya sekitar 10 persen didistribusikan melalui moda
transportasi udara dan darat. Oleh karena itu infrastruktur terkait
transportasi laut khususnya sangatlah diperlukan terutama bagi negara-
Puska KPI, BPPP, Kementerian Perdagangan 35
negara berkembang yang sangat sensitif terhadap perbandingan harga
barang dagangnya terhadap ekspor potensialnya. Salah satu kelebihan
dari moda transportasi laut adalah kapasitasnya yang sangat besar yang
memungkinkan mengangkut suatu produk dalam jumlah yang sangat
besar, mampu melintasi jarak yang sangat jauh dengan biaya yang relatif
lebih murah. Namun demikian walaupun biaya transportasi moda
transportasi laut relatif lebih murah dibandingkan moda transportasi udara,
angkutan laut ini relatif lambat dan aksesibilitasnya terbatas. Selain itu
tidak semua pelabuhan dapat disandari semua jenis kapal.
Hummels (2007) menyebutkan bahwa walaupun sebagian besar
pengangkutan barang dilakukan melalui moda transportasi laut, namun
perkembangan akhir-akhir ini menunjukkan bahwa pengangkutan barang
melalui moda transportasi udara pun semakin meningkat. Barang-barang
yang diperdagangkan melalui moda transportasi laut umumnya bersifat
bulky bernilai relatif rendah seperti minyak dan produk minyak bumi, besi
dan bijih besi, batubara, dan biji-bijian (sereal).
Tabel 4.1. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Neraca Perdagangan
Variabel MSR Non MSR
LNECOGEO -0.34 -1.82
PORT_I -0.16* 0.13*
PORT_J 0.59* -0.07
TRADEOPEN_I 0.02* -0.003
TRADEOPEN_J -0.02* 0.001
CORRUPTION_I -0.05* -0.003
CORRUPTION_J 0.01* 0.002
LNGDP_J 1.3 1.08*
LNGDP_I -0.34** 0.20
C -4.76 -1.81
R-squared 0.99 0.95
Adjusted R-squared 0.99 0.94
Sumber: Lampiran 2 dan 4 Keterangan: *) Signifikan pada taraf nyata 5%
Berdasarkan hasil analisis dengan metode panel data dapat
diketahui bagaimana pengaruh indeks kualitas pelabuhan dan indeks
Puska KPI, BPPP, Kementerian Perdagangan 36
korupsi terhadap neraca perdagangan Indonesia dengan negara mitra
dagang di jalur MSR dan Non MSR. Hasil analisis secara lengkap dapat
dilihat pada Tabel 4.1.
Hasil estimasi pada Tabel 1 menunjukkan bahwa indikator kualitas
pelabuhan (port quality) dari negara mitra di jalur MSR signifikan
mempengaruhi neraca perdagangan dengan koefisien sebesar 0.59.
Artinya, semakin baik kualitas pelabuhan di negara mitra maka akan
meningkatkan neraca perdagangan diantara kedua negara. Hal ini karena
dengan adanya kualitas infrastruktur pelabuhan yang baik maka dapat
menurunkan biaya transportasi. Sedangkan kualitas pelabuhan di negara
mitra di jalur Non MSR tidak signifikan mempengaruhi neraca
perdagangan dengan koefisien 0.07. Jalur Non MSR saat ini merupakan
jalur utama yang digunakan untuk kegiatan ekspor-impor bagi Indonesia.
Jalur Non MSR ini sangat dibutuhkan dan pasti dilewati oleh barang-
barang yang keluar atau masuk Indonesia. Sehingga kualitas pelabuhan
di jalur Non MSR bukan menjadi faktor yang signifikan dalam
mempengaruhi neraca perdagangan karena jalur ini pasti dilewati oleh
kapal.
Kualitas infrastruktur pelabuhan di Indonesia signifkan
mempengaruhi neraca perdagangan Indonesia dengan negara mitra di
jalur MSR dan Non MSR dengan koefisien masing-masing -0.16 dan 0.13.
Perbaikan kualitas infrastruktur pelabuhan di Indonesia sebesar 1 persen
dapat menurunkan neraca perdagangan Indonesia dengan negara Non
MSR sebanyak 0.16 persen. Artinya perbaikan kualitas pelabuhan
cenderung meningkatkan impor Indonesia dari negara MSR dan bukan
meningkatkan ekspor Indonesia ke negara tersebut. Sebaliknya, jika
kualitas pelabuhan Indonesia meningkat 1 persen maka neraca
perdagangan dengan negara Non MSR akan meningkat sebesar 0.13
persen. Artinya, semakin baik kualitas pelabuhan Indonesia sebagai
negara pengekspor akan meningkatkan ekspor dan neraca perdagangan
Indonesia. Dengan kata lain, kualitas infrastruktur pelabuhan akan
Puska KPI, BPPP, Kementerian Perdagangan 37
menentukan daya saing ekspor Indonesia di pasaran internasional melalui
biaya transportasi yang pada akhirnya akan mempengaruhi ekspornya.
Krugman (1991), Henderson et al (2001), Hummels et al (2001),
Limao dan Anthony (2001), menyebutkan bahwa biaya transportasi
semakin berperan penting sejak munculnya liberalisasi perdagangan
dimana hambatan perdagangan baik tarif maupun non tarif dikurangi
bahkan dihapuskan. Salvatore (2004) menyebutkan bahwa biaya
transportasi memberikan pengaruh langsung maupun pengaruh tidak
langsung terhadap perekonomian. Pangaruh langsungnya terhadap
perdagangan yaitu melalui peningkatan harga maupun komoditi yang
diperdagangkan, sementara pengaruh tidak langsungnya adalah terhadap
lokasi penyelenggaraan produksi dan pusat-pusat industri. Demikian
halnya dengan Behar dan Anthony (2010) yang menyebutkan bahwa
biaya transportasi merupakan salah satu faktor yang membentuk volume
dan pola perdagangan.
Komponen-komponen yang menentukan kualitas/efisiensi
pelabuhan diantaranya terkait sarana prasarana fisik pelabuhan itu sendiri
maupun terkait non fisik pelabuhan seperti kelembagaan yang terkait
dengan aktivitas di pelabuhan. Terkait sarana dan prasarana fisik
diantaranya kondisi perairan/kedalaman pelabuhan untuk pergerakan lalu
lintas kapal, penjangkaran dan penambatan, fasilitas untuk bongkar muat,
pengurusan hewan, gudang, lapangan penumpukkan peti kemas, terminal
konvensional, peti kemas dan curah, dan terminal penumpang.
Tingkat kualitas pelabuhan di Indonesia pada tahun 2014 relatif
lebih rendah jika dibandingkan dengan negara mitra dagang di jalur MSR
dan Non MSR. Kualitas pelabuhan Indonesia relatif sama dengan India
dengan skor 4.0 (Gambar 4.2). India mempunyai lebih dari enam kota
pelabuhan dengan pusat industri dan perdagangan terdapat di kota
Calcutta yang merupakan pelabuhan laut terpenting bagi India dan
menjadi kota yang terbesar di India. Pelabuhan penting lainnya di India
adalah Madras/Chennai yang terletak di India selatan dan merupakan
pelabuhan yang sibuk di pantai tenggara.
Puska KPI, BPPP, Kementerian Perdagangan 38
Gambar 4.2. Kualitas Pelabuhan (Port Quality) Indonesia dan Negara
Mitra di Jalur MSR dan Non MSR Tahun 2014
Sumber: WDI, 2016
Indeks kualitas pelabuhan lainnya seperti Kenya yaitu 4,3 dimana
pelabuhan penting di negara tersebut adalah Mombasa. Sebagian besar
barang-barang impor di kawasan ini didatangkan melalui pelabuhan
Mombasa di Kenya. Sejumlah keuntungan yang dimiliki Kenya, antara lain
kemampuan warga Kenya dalam berbahasa Inggris meniadakan
hambatan komunikasi, infrastruktur pelabuhan Mombasa yang cukup baik
serta kondisi politik dalam negeri Kenya yang mendukung pelaku usaha.
Selain itu biaya angkut logistik dari Indonesia ke Kenya yang tidak terlalu
tinggi dan kemudahan transaksi perbankan merupakan suatu keuntungan.
Di antara negara ASEAN, kualitas infrastruktur pelabuhan
Indonesia masih dibawah Singapura, Malaysia, Thailand, dan Kamboja.
Dengan kata lain dapat dikatakan infrastruktur pelabuhan Indonesia masih
belum efektif dan efisien. Selama ini pelabuhan di Indonesia hanya
berfungsi sebagai pelabuhan pengumpan (freeder port). Hal ini lebih
karena Indonesia tidak memiliki pelabuhan Hub Internasional terutama
dalam hal kurang memadainya kedalaman pelabuhan atau deep sea port.
Sebagian besar pelabuhan di Indonesia tidak bisa menjaga tingkat
4.04.6
4.04.3
4.7 4.5
5.6
6.7 6.56.8
4.9
0.0
1.0
2.0
3.0
4.0
5.0
6.0
7.0
8.0
Puska KPI, BPPP, Kementerian Perdagangan 39
kedalaman lautnya sampai 14 meter atau lebih sehingga tidak dapat
memenuhi kriteria deep sea port.
Sampai dengan tahun 2009, hampir setiap tahun sekitar 90 persen
kargo yang masuk dan keluar Indonesia dialihkapalkan melalui pelabuhan
hubungan internasional yang berada di negara tetangga seperti Singapura
dan Malaysia. Kapasitas pelabuhan yang ada saat ini belum memadai
untuk mengakomodasi pertumbuhan perdagangan curah (bulky) maupun
peti kemas yang cenderung terus meningkat. Pada tahun 2011 Pelabuhan
Tanjung Priok menangani hampir 6 juta TEU, padahal berdasarkan
kapasitasnya hanya mampu sampai 5 juta TEU. Akibatnya, seringkali
kapal-kapal mengantri menunggu giliran untuk berlabuh dan bongkar
muat. Akibatnya, waktu tunggu (dwell time) pun menjadi lama yang pada
akhirnya berakibat pada naiknya biaya. Seringkali waktu tunggu untuk
berlabuh jauh lebih lama dibandingkan dengan waktu berlayar, yang
berimplikasinya pada tingginya biaya. Bahkan menurut laporan AUSAID
(2012), diperkirakan pada tahun 2020 aliran peti kemas di Indonesia akan
mencapai 30 juta TEU. Kargo curah kering dan cair diperkirakan akan
meningkat 50 persennya. Apabila tidak segera dibenahi kapasitas dan
kualitas pelabuhan yang ada saat ini tentunya akan semakin
meningkatkan waktu tunggu dan semakin menurunkan daya saing
perdagangan Indonesia.
Variabel lain yang signifikan mempengaruhi neraca perdagangan
adalah tingkat korupsi di Indonesia dan negara mitra dagang di jalur MSR
dengan koefisien masing-masing sebesar -0.05 dan 0.01. Tingkat korupsi
ditunjukkan oleh angka indeks korupsi dimana semakin tinggi indeks
korupsi menyatakan bahwa korupsi di negara tersebut semakin rendah.
Pada Tabel 1 dapat diketahui jika korupsi di Indonesia meningkat 1 persen
maka neraca perdagangan turun sebesar 0.05 persen. semakin tinggi
maka semakin rendahnya korupsi di negara mitra akan menaikkan neraca
perdagangan Indonesia dan negara di jalur MSR. Sebaliknya, tingkat
korupsi yang rendah di negara mitra akan meningkatkan neraca
perdagangan Indonesia.
Puska KPI, BPPP, Kementerian Perdagangan 40
Variabel indeks korupsi ini tidak signifikan mempengaruhi neraca
perdagangan Indonesia dengan negara mitra dagang di jalur Non MSR.
Jalur Non MSR merupakan jalur yang saat ini digunakan Indonesia
dimana kualitas pelabuhan di negara-negara tersebut sudah jauh lebih
baik dari Indonesia.
Pengaruh kedua variabel ini relatif kecil terhadap neraca
perdagangan Indonesia yaitu 0.04 persen. Walaupun koefisien korupsi
relatif kecil, hasil penelitian LPEM FE-UI (2005) menunjukkan masih
ditemukannya pungutan liar untuk mengurangi waktu antri karena
kurangnya sarana infrastruktur utama seperti derek jembatan dan ruang
penyimpanan. Walaupun tidak signifikan mempengaruhi neraca
perdagangan, akan tetapi nilai koefisien dari variabel indeks korupsi di
Indonesia yaitu -0.003. Pengaruhnya sama terhadap neraca perdagangan
Indonesia dengan negara mitra dagang di jalur MSR. Hal ini
mengindikasikan bahwa penurunan tingkat korupsi di Indonesia
cenderung meningkatkan impor dibandingkan dengan ekspor. Ekspor
Indonesia dapat meningkat dengan adanya penurunan tingka korupsi di
negara mitra dagang baik di jalur MSR maupun Non MSR.
Koefisien tingkat korupsi relatif kecil, akan tetapi variabel ini
merupakan masalah serius terutama terkait dengan prosedur bea cukai.
Dua survey yang sudah dilakukan mendukung pernyataan ini. Pertama,
hasil survei dari WEF (2007) menunjukkan buruknya posisi Indonesia
untuk isu ini. Kedua, hasil survei tahun 2005 dari LPEM UI bekerja sama
dengan Bank Dunia memperkirakan bahwa pungli yang harus dibayar
pengusaha kepada aparat Bea dan Cukai mencapai 800 juta dollar AS
atau Rp 7 triliun (pada kurs yang berlaku saat itu). Menurut laporan
tersebut, nilai ini setara 2.3 persen dari total nilai impor Indonesia pada
tahun 2004. Pengusaha menyebut setoran itu sebagai dana informal.
Dibayar kadang-kadang atau rutin. Pada bulan September, LPEM UI
kembali melakukan survei atas 589 perusahaan pengguna jasa
kepelabuhan. Hasilnya menunjukkan bahwa pungli memang menjadi
sedikit, tetapi berubah menjadi suap menyuap (Basuki, 2008).
Puska KPI, BPPP, Kementerian Perdagangan 41
Pada Gambar 3 dapat dilihat bahwa tingkat korupsi di Indonesia
dan Kenya masih tinggi jika dibandingkan dengan negara lain seperti Cina
dan Italia yang berada di jalur MSR. Bahkan pada tahun 2014, tingkat
korupsi Indonesia semakin meningkat jika dilihat dari indeks korupsi yang
bernilai 28 sedangkan pada tahun 2013 bernilai 30. Tingkat korupsi di
Indonesia juag relatif lebih tinggi jika dibandingkan dengan negara mitra
dagang yang berada di jalur Non MSR.
Gambar 4.3. Indeks Korupsi Indonesia dan Negara Mitra di Jalur MSR dan Non MSR Tahun 2014
Sumber: GCI dan WDI, 2016
Terkait dengan indikasi korupsi, beberapa temuan lapang survei
Kementerian Keuangan (2013) menunjukkan walaupun sudah relatif
mengalami perbaikan, namun masih ditemukan adanya pungutan yang
yang sifatnya ilegal terutama pada saat pengecekan dokumen dan cek
fisik untuk jalur merah. Hal ini umumnya dilakukan atas inisiatif importir
untuk mempercepat proses pengeluaran barang, karena biasanya
memerlukan waktu yang relatif lama.
Jalur merah adalah proses pelayanan dan pengawasan
pengeluaran Barang Impor dengan dilakukan pemeriksaan fisik barang,
dan dilakukan penelitian dokumen sebelum penerbitan Surat Persetujuan
2835 32
21
3339
44
92
66
88
42
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
Puska KPI, BPPP, Kementerian Perdagangan 42
Pengeluaran Barang (SPPB). Kriteria jalur merah meliputi: importir baru,
importir yang termasuk dalam kategori risiko tinggi (high risk importir),
barang impor sementara, barang Operasional Perminyakan (BOP)
golongan II, barang re-impor, terkena pemeriksaan acak, barang impor
tertentu yang ditetapkan oleh Pemerintah, dan barang impor yang
termasuk dalam komoditi berisiko tinggi dan/atau berasal dari negara yang
berisiko tinggi. Untuk mengatasi hal tersebut, pada akhir 2012, pemerintah
sudah berupa membangun fasilitas pemeriksanaan fisik terpadu yang
biasanya selain melibatkan DJBC juga instansi Karantina.
4.4. Pemanfaatan MSR Untuk Meningkatkan Ekspor Indonesia ke
Dunia
Hasil regresi menemukan bahwa variabel infrastruktur pelabuhan
dan indeks korupsi merupakan variabel yang mempengaruhi surplus
perdagangan Indonesia jika menggunakan jalur MSR. Hasil regresi ini
konsisten dengan kenyataan bahwa MSR merupakan jalur laut baru yang
menggunakan jalur alternatif yang berbeda dari jalur laut yang ada saat
ini. Nilai koefisien variabel pelabuhan (Port) yang mencapai 0.59
merupakan nilai koefisien paling besar dibandingkan dengan variabel lain.
Oleh karena itu, dalam pemanfaatan MSR Indonesia harus memilih
dengan baik pelabuhan yang akan digunakan sebagai hub ekspor.
Namun, berdasarkan data dari WDI (2016), ternyata kualitas
pelabuhan diantara negara MSR hampir sama. Nilai kualitas pelabuhan
antara negara MSR berkisar dari 4.0 (Indonesia dan India) sampai 4.7
(Yunani). Nilai kualitas pelabuhan yang hampir sama ini memberikan
peluang bagi armada kapal angkutan laut Indonesia untuk melakukan
kegiatan ekspor langsung dari Indonesia ke pelabuhan MSR. Jika
dibandingkan dengan pelaksanaan kegiatan ekspor diluar jalur MSR,
umumnya kapal Indonesia tidak dapat menembus standart pelabuhan non
MSR seperti Singapura, Dubai dan Belanda yang jauh lebih tinggi
dibandingkan Indonesia. Temuan ini merupakan angin segar bagi
angkutan laut nasional, mengingat pelaksanaan MSR membuka
Puska KPI, BPPP, Kementerian Perdagangan 43
kesempatan dan potensi pemanfaatan kapal nasional untuk kegiatan
ekspor langsung ke dunia. Indonesia perlu menyikapi hal ini dengan
meningkatkan ketersediaan kapal nasional mengingat beberapa negara
MSR seperti Malaysia dan Italia memiliki armada kapal yang jauh lebih
besar dari Indonesia. JIka Indonesia gagal meningkatkan ketersediaan
kapal nasional untuk ekspor, maka pemanfaatan MSR hanya memberi
manfaat bagi armada Tiongkok dan Italia, dimana biaya angkut dari kapal
Tiongkok dalam survey yang dilakukan dalam kajian ini ternyata jauh lebih
murah dibandingkan dengan armada kapal lain yang berasal dari Eropa.
Puska KPI, BPPP, Kementerian Perdagangan 44
BAB V
TANTANGAN PEMANFAATAN MSR
5.1 Pandangan Pengusaha Untuk Pemanfaatan MSR
Hasil analisis Lubis et.al (2015) menemukan bahwa rute ekspor
yang dimanfaatkan pengusaha Indonesia ke Tiongkok sampai saat ini
umumnya dilakukan melalui tiga jalur utama yaitu a) ekspor langsung ke
Tiongkokmenggunakan kapal curah atau tanker, b) ekspor menggunakan
kontainer dengan pelabuhan antara di Singapura atau Malaysia, dan c)
ekspor menggunakan kontainer dengan pelabuhan antara di Surabaya,
Jakarta, lalu ke Singapura atau Malaysia. Perbedaan rute ekspor tersebut
mempengaruhi lama tempuh ekspor ke Tiongkok, sebagai perbandingan,
pemilihan rute (a) menyebakan lama tempuh ke Tiongkokmencapai 14
hari, pemilihan rute (b) menyebabkan lama tempuh dari Medan ke
Tiongkokmaksimal 9 hari, dengan transit paling lama satu hari di Malaysia
atau Singapura, namun pemilihan rute (c) menyebabkan lama tempuh ke
Tiongkokdengan transit di Jakarta, Surabaya, Malaysia atau Singapura
mencapai 21 hari.
Gambar 5.1. Alur Pelayaran Untuk Ekspor ke Tiongkok Saat Ini
Sumber: Lubis et.al., 2015
a
c c b
Tanjung Pelepas/ Port
Klang/Singapura
Tiongkok
Jakarta Medan Surabaya Makassar
c
Puska KPI, BPPP, Kementerian Perdagangan 45
Pemilihan rute ekspor (a) dilakukan khusus oleh perusahaan besar
di Makassar dengan menggunakan kapal curah berukuran kecil karena
keterbatasan kargo yang sampai saat ini maksimal 13.000 ton.
Penggunaan kapal kecil menyebabkan peningkatan lama tempuh karena
keterbatasan kecepatan kapal. Adapun pemilihan rute (b) dilakukan oleh
seluruh eksportir di Sumatera Utara dan sekitarnya saat ini, baik dengan
menggunakan kontainer ataupun kapal curah/tanker. Pemilihan Malaysia
atau Singapura menyebabkan pengusaha dari Sumatera Utara dan
sekitarnya dapat menggunakan kapal berukuran besar sehingga menekan
lama tempuh dan biaya angkut. Sedangkan rute (c) adalah pola ekspor
umum menggunakan kontainer dimana kapal akan berlayar mengelilingi
Indonesia menuju Makassar, Surabaya, Jakarta, selanjutnya transit di
Singapura kemudian menuju Tiongkok. Rute ini memiliki waktu tempuh
paling lama karena jarak dan lama antrian serta bongkar muat muatan di
setiap pelabuhan. Pemilihan rute (c) dilakukan untuk mengisi kargo agar
kapal tidak berlayar kosong atau setengah penuh dengan tujuan menekan
biaya angkut.
Hasil survey ke lima kota pelabuhan utama di Indonesia
menemukan bahwa pelaksanaan MSR dengan menggunakan Jakarta
sebagai pelabuhan antara (hub) tidak akan efektif untuk wilayah Sumatera
khususnya disekitar wilayah kerja Pelabuhan Belawan. Hasil survey ke
pelaku usaha di Medan menemukan bahwa kegiatan ekspor dari Belawan
dengan menggunakan pelabuhan Tanjung Priok sebagai hub akan
memperlama lama tempuh satu hari dengan peningkatan biaya per
kontainer diperkirakan mencapai Rp 1.000.000,-. Selain itu kontrak ekspor
ke Tiongkok saat ini dari Belawan yang dilakukan dengan Term of
Delivery (TOD) Free on Board (FOB) menyebabkan pengusaha domestik
harus tunduk dengan pilihan kapal dari pihak pembeli. Penggunaan TOD
FOB dalam kegiatan ekspor dari Belawan ke Tiongkok disebabkan
kesamaan produk ekspor dari Belawan dengan region ASEAN di
sekitarnya. Kesamaan produk ini menyebabkan pembeli lebih memilih
melakukan pengumpulan kargo di Malaysia atau Singapura untuk produk
Puska KPI, BPPP, Kementerian Perdagangan 46
sejenis yang berasal dari Sumatera, Thailand, IndoTiongkok, dan
selanjutnya diangkut ke Tiongkok atau wilayah lain di dunia (Lubis, et.al,
2015).
Gambar 5.2. Usulan Pelaksanaan Maritime Silk Road di Indonesia
Sumber: Lubis et.al., 2015
Pelaksanaan MSR dengan menggunakan hub Jakarta masih
mungkin dilaksanakan untuk ekspor yang berasal dari pelabuhan
Makassar, Surabaya dan Jakarta (digambarkan dengan garis putus-
putus). Namun sayangnya kebijakan ini diyakini tidak akan banyak
meningkatkan daya saing produk ekspor Indonesia ke Tiongkok, oleh
karena lama tempuh dari Makassar, Surabaya, Jakarta lalu ke Tiongkok
mencapai 21 hari. Penyebab utama lama tempuh menjadi 21 hari tersebut
adalah lamanya waktu tunggu sandar dan bongkar muat di pelabuhan
Surabaya dan Jakarta yang saat ini terkenal sangat macet.
Berdasarkan temuan survey, kajian ini mengusulkan agar
pelaksanaan ekspor langsung ke Tiongkok dengan menggunakan kapal
Tiongkok atau disebut juga dengan kebijakan MSR sebaiknya tidak
dipaksakan harus dilakukan dari Jakarta. Pelaksanaan MSR sebaiknya
dilakukan dari tiga pelabuhan utama Indonesia yaitu Jakarta, Surabaya,
dan Makassar. Pemilihan ketiga pelabuhan ini sebagai saran pelaksanaan
MSR disebabkan pengukuran lama tempuh paling singkat dan adanya
Tiongkok
Tanjung Pelepas/Port
Klang/Singapura
Medan Jakarta Surabaya
Makassar
Puska KPI, BPPP, Kementerian Perdagangan 47
kebijakan dari setiap pemerintah daerah yang memiliki pelabuhan ekspor
untuk melakukan ekspor langsung.
5.2 Peluang Indonesia Memanfaatkan MSR Untuk Ekspor Ke Dunia
Berdasarkan temuan Lubis et.al (2015) mengenai pemanfaatan
MSR untuk ekspor ke Tiongkok, dilakukan survey ke Medan dan
Makassar untuk mengetahui minat masyarakat memanfaatkan MSR
sebagai alternatif jalur distribusi ke dunia. Adapun pemililhan Medan dan
Makassar merujuk pada temuan Lubis et.al. (2015) yang menyatakan
bahwa pelaksanaan MSR jika melalui Jakarta dan Surabaya tidak efektif
karena akan meningkatkan lama tempuh dan biaya pengiriman.
5.2.1. Temuan Turun Lapang Medan
Dari hasil wawancara dan diskusi diperoleh beberapa temuan
lapangan sebagai berikut:
Disperindag SUMUT
Berdasarkan informasi dari Disperindag SUMUT, saat ini volume
ekspor SUMUT turun sebagai akibat banyaknya penutupan industri dan
pengalihan lahan komoditas pertanian. Adapun produk ekspor yang masih
mendominasi di SUMUT saat ini antara lain Crude Palm Oil (CPO),
minyak goreng dan karet. Sedangkan untuk hasil industri yang dieskpor
dengan menggunakan kontainer samakin turun.
Pelindo I
Saat ini Pelindo I melalui pelabuhan utama di Belawan melayani
aktivitas bongkar muat kapal curah, tanker, dan peti kemas. Saat ini
sedang dilakukan pengembangan terminal peti kemas di Belawan untuk
meningkatkan kapasitas penampungan peti kemas melalui
pengembangan Fase 1 dan 2 yang diharapkan selesai pada tahun 2018-
2019. Pengembangan pelabuhan Belawan diharapkan meningkatkan
kapasitas peti kemas Belawan sebesar 900 ribu Teus dan meningkatkan
penyerapan tenaga kerja sebanyak 600 orang. Lebih lanjut, juga dilakukan
pembangunan pelabuhan Kuala Tanjung yang diagendakan selesai
Puska KPI, BPPP, Kementerian Perdagangan 48
ditahun 2018 dengan peningkatan kapasitas peti kemas sebesar 400 ribu
Teus dan curah cair sebesar 3,5 juta ton.
Pengembangan kawasan pelabuhan Kuala Tanjung diikuti berbagai
upaya membangun kawasan tersebut menjadi kota pelabuhan modern
yang terintegrasi melalui penyediaan jalur kereta api, jalan tol baru,
kawasan kantor dan tempat tinggal. Selain itu juga dilakukan
pembangunan kawasan industri yang terdiri dari industri penyulingan dan
pengolahan kelapa sawit, alumunium, karet dan semen. Pengembangan
kawasan Kuala Tanjung dilakukan dengan kombinasi investasi domestik
dan asing, dimana saat ini mitra pengembangan berasal dari Belanda.
Namun sayangnya, belum ditemukan rencana kerja dari pengelola
pelabuhan di Medan untuk mensinergikan pengembangan pelabuhan di
Belawan maupun di Kuala Tanjung dengan kebijakan MSR.
ALFI (Asosiasi Logistik Forwarder Indonesia)
Perwakilan ALFI menginformasikan bahwa komoditi ekspor ke
Tiongkokdari Sumatera Utara adalah Crude Palm Oil (CPO), karet, kayu,
dan minyak goreng. Adapun komoditas impor dari Tiongkokadalah biji
besi, plat besi, pupuk, alat elektronik, baju dan mainan anak. Kegiatan
ekspor CPO ke Tiongkokdilakukan menggunakan kapal tanker yang
dilakukan dari Belawan, sedangkan untuk karet, kayu dan minyak goreng
menggunakan kontainer yang dilakukan dari Belawan dengan pelabuhan
antara di Tanjung Pelepas (Malaysia), Port Klang (Malaysia), dan
Pelabuhan Singapura. Adapun pelabuhan tujuan di Tiongkokadalah
Shanghai, Guanzou, dan Tianjin. Wakil dari ALFI belum mengetahui
mengenai konsep MSR, hanya pernah memperoleh informasi mengenai
Tol Laut. Selain itu untuk kegiatan ekspor impor menggunakan Renmimbi
mereka tidak masalah asalkan sesuai dengan keinginan pembeli.
Terkait skema MSR, pelaksanaan ekspor langsung dari Belawan
menggunakan kapal Tiongkokdengan hub utama di Tanjung Priok
dianggap sangat tidak efisien. Hal ini disebabkan biaya angkutan laut dari
Belawan ke Tanjung Priok mencapai 3,5 juta selama tiga hari, sedangkan
Puska KPI, BPPP, Kementerian Perdagangan 49
jika menggunakan pelabuhan antara di Malaysia dan Singapura hanya 2,5
juta selama satu hari. Adapun biaya ekspor per kontainer saat ini untuk
tujuan ekspor ke Tiongkok dengan menggunakan kapal non
Tiongkokadalah USD 400 untuk kontainer 20 feet, dan USD 650 untuk
kontainer 40 feet. Selain untuk freight, dalam biaya tersebut telah
dimasukkan biaya Terminal Handling Cost (THC) sebesar USD 90 per
kontainer, biaya pengeluaran lokal lain di pelabuhan sebesar Rp 600.000
sampai Rp 800.000 per kontainer dan biaya truk sekitar Rp 1,5 sampai Rp
1,7 juta per kontainer.
Lebih lanjut disampaikan bahwa perwakilan ALFI menyatakan
kegiatan ekspor langsung di Sumatera Utara terhambat volume muatan
yang belum pasti dan relatif kecil. Sebagai upaya untuk mengatasi hal ini
perlu dilakukan : a) Pencegahan penyelundupan ekspor dari pelabuhan
kecil yang diyakini meningkatkan volume ekspor sebesar 30%, b)
Peningkatan kapasitas produksi serta konsolidasi ekspor di wilayah
Sumatera dan c) Penyediaan informasi potensi muatan bulanan.
Berdasarkan temuan diatas, pelaksanaan MSR di Sumatera Utara
sulit dilakukan jika harus melakukan konsolidasi muatan di Jakarta karena
biaya ekspor menjadi terlalu mahal dibandingkan melalui
Malaysia/Singapura. Untuk mengatasi hal ini perlu diusulkan : a) dilakukan
kegiatan ekspor langsung dari Belawan/Kuala Tanjung, dan b) penyediaan
informasi potensi muatan bulanan untuk memudahkan pengadaan kapal
oleh ALFI.
5.2.2. Temuan Turun Lapang Makassar
Dari hasil wawancara dan diskusi diperoleh beberapa temuan
lapangan antara lain:
Dinas Perindustrian dan Perdagangan Propinsi Sulawesi Selatan
Kepala Bidang Perdagangan Luar Negeri Dinas Perindustrian dan
Perdagangan Propinsi Sulawesi Selatan menyampaikan secara umum
kondisi ekspor saat ini dari Sulawesi Selatan dan pandangannya terhadap
MSR. Produk unggulan propinsi Sulawesi Selatan untuk di ekspor adalah
Puska KPI, BPPP, Kementerian Perdagangan 50
rumput laut, ikan, kopi dan kakao. Disperindag memberikan informasi,
saat ini Sulawesi Selatan mencanangkan peningkatan ekspor sebesar 3x
lipat pada periode 2013-2018. Disperindag terus mencari semua potensi
daerah untuk diekspor. Salah satu komoditi unggulan Sulawesi Selatan
yang mengalami peningkatan ekspor adalah ikan. Sejak Desember 2015,
terdapat pasar ekspor baru untuk komoditi ikan yaitu ke negara Arab
dengan pengiriman melalui pesawat ke Jeddah dan Dubai. Terkait dengan
Konsep MSR yang menjadikan Tanjung Priok sebagai pelabuhan hub
untuk ekspor, Disperindag menyatakan bahwa hal tersebut akan
menyebabkan tingginya biaya logistik untuk barang-barang yang berasal
dari Sulawesi Selatan dan lebih memilih untuk dapat mengirimkan
langsung ke Negara tujuan tanpa harus melalui Tanjung Priok.
PT X
Perwakilan dari Perusahaan menyampaikan gambaran hubungan
perdagangan PT X dengan Negara Tiongkok. Saat ini perusahaan tidak
mengirimkan Terigu, yang merupakan produksi utama dari perusahaan ini,
dikarenakan pemerintah Tiongkoksendiri melarang impor terigu. Untuk
pasar Tiongkok perusahaan menjual produk turunan yaitu Pakan ternak
dan dedak (kulit gandum) ke Tiongkok. Dedak dikirimkan sekitar 13.000
ton per tahun menggunakan kapal curah dan pakan ternak dengan kapal
pengangkut peti kemas sebanyak 250 ton per shipment. Lama pengiriman
ke Tiongkok jika ekspor langsung paling lama 14 hari, namun jika transit
ke Jakarta waktu pengiriman mencapai lebih dari 21 hari. Disampaikan
bahwa komponen biaya terbesar dalam proses pengiriman barang adalah
Freight dengan biaya Rp. 5.500.000/container sedangkan trucking hanya
sebesar Rp.400.000 dan biaya pelabuhan Rp.900.000. terkait dengan
MSR perusahaan menyatakan tidak ada masalah jika pengiriman
menggunakan kapal Tiongkok dan menyatakan bahwa tidak ada
perbedaan jika menggunakan kapal Tiongkok ataupun kapan Indonesia.
Terkait biaya kapal, perusahaan menyatakan bahwa kapal Tiongkok
memiliki biaya 26 USD/mt yang relatif lebih rendah biayanya dibandingkan
dengan kapal Vietnam yang berkisar 27 – 32 USD/mt, kapal Korea 32,5
Puska KPI, BPPP, Kementerian Perdagangan 51
USD/mt. walaupun jika kondisi kapal sedikit kapal Tiongkok pernah
mencapai 34,5 USD/mt.
Terkait konsep MSR, perusahaan belum dipahami oleh perusahaan
namun disarankan agar MSR sejalan dengan konsep Tol Laut Indonesia
karena dengan pemanfaatan tol laut, biaya logistik dapat dipangkas lebih
kurang 30% terutama pengiriman barang ke wilayah timur Indonesia.
Bank yang digunakan oleh perusahaan untuk melakukan transaksi adalah
Bank BCA dan HSBC namun disampaikan bahwa penggunaan RMB
dipandang menyulitkan karena perusahaan ini membeli bahan baku dalam
kurs USD dan jika menjual kembali dalam RMB dikhawatirkan akan
mengalami kerugian selisih kurs.
PT. OI
PT. OI merupakan eksportir biji kakao dimana hampir 100 persen
produksi biji kakao diperuntukkan untuk ekspor. Pengiriman ekpor
mayoritas ditujukan ke Malaysia walaupun sebelumnya pernah melakukan
pengiriman ke Brasil dan negara-negara Amerika Latin lainnya. Daerah
tujuan ekspor di Malaysia adalah Tanjung Pelepas dan Pasir Gudang.
Frekuensi pengiriman pada saat musim panen adalah 4 kali dalam 2 bulan
sedangkan jika sedang tidak musim pengiriman dilakukan 1 kali dalam 2
bulan. Volume rata-rata dalam 1 kali pengiriman adalah 250 ton.
Pengiriman melalui Singapura dengan skema pengiriman FOB maupun
CIF. Saat ini pengiriman ke Malaysia membutuhkan 10-12 hari. Kendala
yang dihadapi pada saat melakukan kegiatan ekspor adalah keterbatasan
container yang tersedia sehingga perlu menunggu lama untuk dapat
melakukan kegiatan ekspor. Skema MSR belum terlalu dipahami oleh
perusahaan namun perusahaan optimis MSR dapat memangkas waktu
pengiriman dan biaya.
Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia (ALFI)
Perwakilan dari ALFI memberikan gambaran umum kondisi saat ini
pengiriman barang dari Makassar. Saat ini Tiongkok merupakan pangsa
ekspor terbesar propinsi Sulawesi Selatan mencapai 50% atau mencapai
Puska KPI, BPPP, Kementerian Perdagangan 52
1000 Teus per bulan. komoditi ekspor utama ke Tiongkok adalah rumput
laut, kokoa dan marmer sedangkan untuk impor dari Tiongkok adalah
keramik, elektronik dan mesin. Pengiriman ke Tiongkok tidak dapat
dilakukan langsung melalui pelabuhan di Makassar melainkan harus
melalui Jakarta ataupun Surabaya. Disampaikan bahwa ALFI sangat
mendukung pelaksanaan MSR jika dapat memberikan efisiensi, kepastian
dan biaya pengiriman yang kompetitif dimana saat ini komponen biaya
terbesar adalah freight. ALFI menyatakan bahwa sebaiknya ekspor
menuju Tiongkok dapat langsung dilakukan dari Makassar karena
memotong waktu pengiriman. Jika pengiriman dilakukan melalui Jakarta
atau Surabaya akan mencapai 21 hari namun jika pengiriman langsung
dilakukan dari Makassar maka hanya memakan waktu 14 hari. Pelabuhan
tujuan ekspor ke Tiongkokantara lain adalah ke Xiamen, Shanghai,
Qingdao. Saat ini pengiriman ke Tiongkok tidak menggunakan sistem
kontrak, namun dilakukan per pengiriman dengan penetapan harga sesuai
mekanisme pasar.
Terkait penggunaan kapal, ALFI menyatakan bahwa komponen
freight pada pengiriman barang ke Tiongkok menggunakan kapal
Tiongkok dikenakan biaya USD 350 sedangkan jika menggunakan kapal
lain dikenakan biaya freight sebesar USD 450. Biaya handling barang
door to CY (pengangkutan barang dari gudang di Makassar hingga naik
palka kapal) dikenakan biaya Rp.2.400.000/Container. Usulan metode
pembayaran menggunakan mata uang RMB tidak merupakan suatu
masalah dan diharapkan agar terdapat besaran patokan kurs yang jelas
karena disampaikan saat ini patokan kurs rupiah ke USD berbeda-beda
tiap pelayaran dan Bank yang biasa dipakai untuk bertransaksi adalah
Bank Mandiri. ALFI menyatakan bahwa volume ekspor di Makassar lebih
tinggi dibandingkan impor dengan perbandingan 2000 Teus ekspor dan
500 teus untuk impor sehingga sulit untuk mendatangkan kapal asing
untuk berlabuh di Makassar. Harapan terbesar ALFI saat ini adalah
pengiriman ekspor ke Tiongkok dapat dilakukan langsung dari Makassar.
Puska KPI, BPPP, Kementerian Perdagangan 53
PELINDO 4
Perwakilan dari Pelindo 4 menyampaikan bahwa cita – cita terbesar
adalah dapat melakukan ekspor langsung ke negara tujuan ekspor dan
dapat melakukan ekspor langsung ke Tiongkok dikarenakan Tiongkok
saat ini merupakan pasar yang penting Tiongkokmemiliki porsi 50% dari
total ekspor Sulawesi Selatan ke Dunia. Pengiriman ekspor ke Tiongkok
antara lain Ikan Beku, Biji Menthe, Rumput Laut, Kakao dan Marmer
sedangkan untuk impor antara lain adalah keramik dan mesin. Saat ini
dalam melakukan kegiatan ekspor, Pelindo 4 harus mengirim terlebih
dahulu ke Jakarta atau Surabaya baru dilanjutkan ke negara tujuan.
Namun sejak Desember 2015, Pelindo 4 sudah siap untuk melakukan
ekspor langsung ke Tiongkokdan menjamin untuk memberikan garansi
sandar langsung dan diskon tarif biaya pelabuhan sebesar 15%. Saat ini
pelayaran dari Tiongkok yaitu SITC sudah rutin melayani pengiriman peti
kemas dari Makassar langung ke Tiongkok. Volume bongkar rata-rata 146
Teus dan Volume muat 136 Teus. Dengan melakukan pengiriman
langsung terdapat efisiensi waktu pengiriman yang sebelumnya mencapai
18 hari saat ini hanya maksimal 10 hari.
Secara infrastruktur, Pelindo 4 terus memperbaiki kualitas
pelayanan dan pengembangan pelabuhan new Makassar Port. saat ini
kapasitas pelabuhan adalah 700.000 Teus dengan kedalaman -9.5 Meter
dan target Makassar New Port pada 2018 akan memberikan tambahan
kapasitas 500.000-700.000 Teus dengan target kedalaman -16 meter.
Pelindo 4 memberikan respon yang positif dan mendukung penuh jika
dalam skema MSR ini pemerintah Tiongkokikut membantu dalam hal
investasi untuk infrastruktur. Terkait penggunaan mata uang Pelindo 4
selalu menggunakan USD dan rupiah untuk transaksi namun tidak
menutup kemungkinan untuk penggunaan RMB asalkan ada peraturan
yang jelas untuk memayungi keputusan tersebut.
Puska KPI, BPPP, Kementerian Perdagangan 54
5.3 Usulan Sinkronisasi MSR dengan Tol Laut Untuk
Meningkatkan Ekspor Indonesia ke Dunia
Hasil temuan turun lapang menemukan bahwa kebijakan MSR saat
ini berhasil dilaksanakan di Makassar dengan pasar tujuan ekspor utama
Tiongkok. Adapun keberhasilan tersebut disebabkan masuknya investasi
kantor perwakilan armada laut Tiongkok yang membuka peluang untuk
mendatangkan kapal kontainer Tiongkok ke Makassar. Adapun kapal
yang digunakan adalah kapal berukuran kecil karena masih terbatasnya
muatan angkut akibat belum banyaknya industri pengolahan di Sulawesi
Selatan.
Keberhasilan Makassar menggunakan kapal Tiongkok untuk
menekan biaya ekspor dapat dicontoh dan diaplikasikan di pelabuhan lain
di Indonesia. JIka Indonesia ingin turut serta dalam pelaksanaan MSR,
maka Indonesia sebaiknya memanfaatkan MSR untuk memberikan
alternatif kapal kontainer berukuran kecil untuk pelabuhan ekspor
Indonesia yang belum banyak muatannya seperti Medan, Makassar,
maupun Sorong. Kebijakan ini akan memberikan alternatif kapal angkut
sehingga memungkinkan melakukan ekspor langsung dari pelabuhan
tersebut tanpa harus melalui Jakarta atau Surabaya.
Namun terhadap usulan Tiongkok yang memanfaatkan Jakarta
sebagai hub kegiatan ekspor dan impor di Indonesia sebaiknya ditolak
saja. Pemanfaatan Jakarta sebagai hub hanya memberikan kemudahan
untuk impor Indonesia dari Tiongkok, namun tidak akan bermanfaat bagi
kegiatan ekspor. Pemilihan Jakarta sebagai hub menyebabkan biaya
angkut menjadi mahal karena waktu tempuh terlalu lama akibat jalur laut
Jakarta terlalu macet. Pemaksaan Jakarta sebagai hub diyakini
menyebabkan biaya angkut meningkat sehingga barang Indonesia
menjadi tidak kompetitif di pasar Tiongkok dan atau dunia.
Puska KPI, BPPP, Kementerian Perdagangan 55
BAB VI
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
6.1 Kesimpulan
Kesimpulan dari analisis ini adalah:
1. Usulan kerjasama strategis MSR Tiongkok dengan memanfaatkan
Jakarta sebagai satu-satunya hub kegiatan ekspor dan impor akan
memudahkan produk impor dari Tiongkok menembus pasar paling
padat penduduk di Indonesia yaitu Jakarta dan sekitarnya.
2. Namun sayangnya usulan Tiongkok untuk hanya memanfaatkan
Jakarta sebagai hub kegiatan ekspor tidak ada manfaatnya bagi
Indonesia karena meningkatkan biaya angkutan laut untuk produk
ekspor yang berasal dari Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku
dan Papua, sehingga harga produk Indonesia menjadi lebih mahal
saat di terima buyer.
3. Selain itu usulan negara yang menjadi hub MSR antara lain China,
India, Kenya, Yunani dan Italia tidak memberikan manfaat untuk
ekspor Indonesia karena lebih mahal dibandingkan jalur saat ini
akibat infrastruktur yang lebih buruk dan korupsi (pungutan) tinggi
dibandingkan pelabuhan tujuan ekspor saat ini seperti Malaysia,
Singapura, Dubai, Belanda dan Afrika Selatan.
4. Indonesia dapat mensinergikan usulan kerjasama strategis MSR
dengan Tol Laut dengan menjadikan MSR sebagai bantuan
membangun infrastruktur pelabuhan dan sumber kapal murah
untuk pelabuhan di Sumatera Utara, Sulawesi Selatan dan Papua.
Kebijakan ini dapat digunakan Indonesia untuk mengurangi biaya
angkutan laut ekspor Indonesia ke dunia.
6.2 Rekomendasi
Menyadari kesimpulan diatas, direkomendasikan bagi Indonesia
dalam melaksanakan MSR untuk: a) Indonesia dapat menerima usulan
kerjasama strategis MSR, namun agar pelaksanaannya berjalan efektif
Puska KPI, BPPP, Kementerian Perdagangan 56
untuk mengurangi biaya angkutan laut ekspor, harus meniru kasus
Pelabuhan di Sulawesi Selatan, dimana mereka mengundang investor
dari armada angkutan laut China membangun kantor perwakilan di
Makassar dengan tujuan mendatangkan kapal kontainer berukuran kecil
untuk melakukan ekspor langsung, dan b) Indonesia sebaiknya
menegosiasikan usulan kerjasama strategis MSR Tiongkok yang hanya
memanfaatkan pelabuhan Jakarta, menggantinya dengan pelabuhan
ekspor yang berada di Sumatera Utara, Sulawesi Selatan dan Papua.
Puska KPI, BPPP, Kementerian Perdagangan 57
DAFTAR PUSTAKA
Bhagwati dan Arvind Panagariya. 2013. Why Growth Matters: How
Economic Growth in India Reduced Poverty and the Lessons for Other Developing Countries. PublicAffairs.
Baier, S & J Bergstrand. 2001. The growth of world trade: tariffs, transport
costs, and income similarity. Journal of International Economics, 53, 1–27.
Baier, S & J Bergstrand. 2009. Bonus Vetus OLS: A simple method for
approximating international trade-cost effects using the gravity equation. Journal of InternationalEconomics, 77, 77-85.
Basuki, O. 2008. Iklim Investasi NSW, Upaya Menundukkan Raksasa
Pungli. Kompas, Bisnis & Keuangan, Sabtu, 12 Januari: 19. Clark, X., David, D. Alejandro, M. 2004. “Port efficiency, maritime transport
costs, and bilateral trade”, Journal of Development Economics, 75, 417-450.
Chaney, T. 2008. Distorted Gravity: The Intensive and Extensive Margins
of International Trade. American Economic Review, 98:4, 1707–1721; Wang, et.al. 2010. Determinants of Recent Trade Flows in OECD Countries: Evidence from Gravity Panel Data Models. World Economy 33 (7), pp. 894-915.
Crunin and Sullivan. March 2015. Preserving the Rules: Countering
Coercion in Maritime Asia. Center for A New American Security. De, P., 2006. Impact of trade costs on trade: Empirical evidence from
Asian countries. pp. 281-307, Chapter IX in ESCAP, Trade facilitation beyond the multilateral trade negotiations: Regional practices, customs valuation and other emerging issues – A study by the Asia-Pacific Research and Training Network on Trade, (United Nations, New York).
Fuchsluger, J. 2000a. “An Analysis of Maritime Transport Costs in South
America.” Karlsruhe, Germany: University of Karlsruhe. Mimeographed document.
Fuchsluger, J. 2000b. “An Analysis of Maritime Transport and its
Costs for the Caribbean.” Paper presented at the Experts meeting of the United Nations Economic Commission for Latin America and the Caribbean, Port of Spain, Trinidad and Tobago.
Puska KPI, BPPP, Kementerian Perdagangan 58
Gindarsah and Priamarizki . 2015. Indonesia’s Maritime Doctrine And Security Concerns. S. Rajaratnam School of International Studies [RSIS],Singapore.
Gujarati, D.N. 2012. Dasar-dasar Ekonometrika, Terjemahan
Mangunsong, R.C., Salemba Empat, buku 2, Edisi 5, Jakarta. Hummels, D. 2009. ‘Globalization and freight transport costs in maritime
shipping and aviation’, International Transport Forum Working Paper 3
Hummels, D & V Lugovskyy. 2006. ‘Are Matched Partner Trade Statistics
a Usable Measure of Transportation Costs?’, Review of International Economics, 14(1), 69–86
Hummels, D. 2007. Transportation Costs and International Trade in The
Second Era of Globalization. Journal of Economics Perspectives, Vol. 21. No. 3, 131-154.
Hummels, D & G Schaur. 2009. ‘Hedging price volatility using fast
transport’, National Bureau of Economic Research Working Paper 15154
Hummels, D, V Lugovskyy & A Skiba. 2009. ‘The trade reducing effects of
market power in international shipping’ Journal of Development Economics, 89, 84–97 .
Kumar, S. dan J. Hoffman. 2002. Globalization: The Maritime Nexus.
In C.T. Grammenos (ed.), The Handbook of Maritime Economics and Business, London: LLP, pp.35-64.
Kementerian Keuangan. 2013. Laporan Akhir Survey Kepuasan
Pengguna Layanan Kementerian Keuangan. http://www.kemenkeu.go.id/sites/default/files/Survey%20Opini%20Stakeholders%202014.pdf. Akses Tanggal 11 Juni 2016.
Korinek dan Patricia. 2009. Maritime Transport Costs And Their Impact On
Trade. http://www.etsg.org/ETSG2009/papers/korinek.pdf. Akses Tanggal 25 Februari 2016.
Kurmanalieva E. 2006. Transport Costs in International Trade.
http://www.haveman.org/EITI07/Kurmanalieva.pdf accesed on 11 Jan 2012.
Kuwamori, H. 2006. The role of distance in determining international
transport costs: evidence from Philippine import data. Institute of Developing Economies Discussion Paper No 20, May, 2006.
Puska KPI, BPPP, Kementerian Perdagangan 59
Krugman, P. R and Maurice, O. 2003. International Economics : Theory and Policy. Sixth Edition. Perason Education, Inc. Boston.
Kuwamori, H. 2006. The Role of Distance in Determining International
Transport Costs : Evidence from Philipina Import Data. Discussion Paper No. 60. Institute of Developing Economies (IDE), JETRO. Japan.
Lakovou, 2001. E.T. An interactive multiobjective model for the strategic
maritime transportation of petroleum products: risk analysis and routing. Safety Science. Volume 39, Issues 1–2, October–November, Pages 19–29
Limâo, N. dan Venables, A. J. 2001. Infrastructure, geographical
disadvantage, transport costs and trade”, The World Bank Economic Review, 15 (3), 451-479.
Li, K., L. Song, and X. Zhau. 2008. Component Trade and Tiongkok’s
Global Economics Integration. United Kingdom:United Nations University.
Livikacansera, Setyanavidita. (2014). Kuala Tanjung, Pintu Perdagangan
Maritim Dunia. Indonesia:Republika.DiaksesMelalui:http://www.republika.co.id/berita/koran/teraju/14/11/28/nfqds912-kuala-tanjung-pintu-perdagangan-maritim-dunia
Lloyd’s Register Technical Association. 2002. Ultra-Large Container Ships
(ULCS): Designing to the limit of current and projected terminal infrastructure capabilities.
Lubis, Adrian Darmawan, Dewi Kartikawati, Steven Bako, Arie
Mardiansyah. 2015. Analisis Pemanfaatan Maritime Silk Road Untuk Meningkatkan Akses Pasar Dan Daya Saing Produk Ekspor Indonesia. BPPP bekerja sama dengan EU-TCF. Kementerian Perdagangan, Jakarta.
Martínez-Zarzoso, I., Pérez-García, E.M., San Juan-Lucas, M.E. and
Suárez-Burguet, C. 2004. How Important are Transport Costs for International Trade? An Empirical Study for Spanish Exporting Sectors. International Association ofMaritime Economists – IAME Annual Conference 2004 Proceedings, Volume I, Dokuz Eylul Publications, 597-608.
Márquez-Ramos, Laura, Inmaculada Martínez-Zarzoso, Eva Pérez-García
& Gordon Wilmsmeier Título. 2007. “The Interrelationship Of Maritime Network Connectivity, Transport Costs And Maritime Trade”, Congress: International Association of Maritime
Puska KPI, BPPP, Kementerian Perdagangan 60
Economists (IAME 2006 Conference) Melbourne (Australia). July 2007.
McGuire, G. 2003. Measuring Restrictions on Trade in Services: The Short
Journey so far and the Issues for the Road Ahead. in Regulation and Market Access, edited by A. Sidorenko and C. Findlay, Canberra: Asia Pacific Press, ANU, pp.40-77.
Micco, A. and Pérez, N. 2002. “Determinants of Maritime Transport Costs”,
WP-441, Inter-American Development Bank. Page, Jeremy. (2014). Tiongkok to Contribute $40 Billion to Silk Road
Fund. Hong Kong: Wall Street Journal Asia. Diakses Melalui: http://www.wsj.com/articles/Tiongkok-to-contribute-40-billion-to-silk-road-fund-1415454995
Pomfret R dan Patricia S. 2009. Why Do Trade Costs Vary?. Research
Papers No 2008-08. The University of Adelaide School of Economics. Australia.
Priyarsono, D.S. 2014. Beberapa Masalah dan Kebijakan Publik tentanhg
Infrastruktur : Tinjauan dari Perspektif Ilmu Ekonomi. Bahan Presentasi Orai Ilmiah Guru Besar IPB. Bogor.
Radelet, S., and J. Sachs. 1998.”Shipping Costs, Manufactured Exports
and Economic Growth.” Cambridge, United: Harvard University, Harvard Institute for International Development. Mimeographed document.
Salvatore. 2004. Ekonomi Internasional. Jakarta : Erlangga. Sanchez, R., Jan, H., Alejandro, M., Georgina, V.P., Pizzolitto, Martin, S.,
and Gordon, W. 2002. “Port Efficiency and International Trade : Port Efficiency as a Determinant of Maritime Transport Costs,”. Maritim Economics and Logistics 5 (2003): 199-218.
Sener and Ozturk. June 2015. A Quality Function Deployment (QFD)-
Based Decision Model for Ship Selection in Maritime Transportation. International Journal of Innovation, Management and Technology, Vol. 6.
Shaohui, Tian. (2015). Chronology of Tiongkok’s Belt and Road Initiative.
Tiongkok: Xinhua News Agency. Diakses melalui: http://news.xinhuanet.com/english/2015-03/28/c_134105435.htm
Shannon Tiezzi. 2015. Indonesia, Tiongkok Seal 'Maritime Partnership,
The Diplomat. Diunduh melalui:
Puska KPI, BPPP, Kementerian Perdagangan 61
http://thediplomat.com/2015/03/indonesia-Tiongkok-seal-maritime-partnership/ pada 21/1/2016.
Tommy Koh. Aug 4, 2015. 21st Century Maritime Silk Road. The Straits
Times. Diunduh melalui http://www.straitstimes.com/opinion/21st-century-maritime-silk-road pada 21/1/2016.
UNCTAD. 2012. Review of Maritime Transport 2011. UNCTAD, Geneva. Van Dijk, et.al. July 2015. Indonesia Maritime Hotshot. Final Report.
Maritime by Holland. Richet, X. dan W. Wei. One Belt One Road Initiative. The New
Development for Tiongkok’s International Economic Cooperation and it’s impact on Tiongkok EU Relations. BRICs International Seminar, Fudan University, Shanghai. April 20-21, 2016.
WEF (World Economic Forum). 2007. The Global Competitiveness Report
2007-2008, Geneva: World Economic Forum. WEF (World Economic Forum). 2006-2014. Global Competitiveness
Report. . WTO. 2010. International Trade Statistik 2010. WTO Switzerland. Zarzoso, M dan Nowak-Lehmann, F. 2003. Augmented Gravity Model: An
empirical application to Mercosur-European Union trade flows. Journal of Applied Economics, vol. VI, 2, 291-316.
Zarzoso, M dan Suárez-Burguet, C. 2003, “Transport costs and trade:
empirical evidence for Latin American imports from the European Union”. Maritime Profile, ECLAC.
Zarzoso, M dan García-Menéndez, L. and Suárez-Burguet, C. 2002.
“Maritime and Overland Transport Costs and Infrastructures: Do they influence exports?”. University of Valencia. Spain (Working Paper).
Zarzoso, M dan García-Menéndez, L. and Suárez-Burguet, C. 2003. “The
impact of transport costs on international trade: The case of Spanish ceramic exports”, Maritime Economic and Logistics, 5, 179-198.
Puska KPI, BPPP, Kementerian Perdagangan 62
Lampiran 1. Penetapan Model Terbaik Untuk Persamaan MSR
Chow Test: Redundant Fixed Effects Tests Equation: EQ02 Test cross-section fixed effects
Effects Test Statistic d.f. Prob. Cross-section F 43.644842 (14,90) 0.0000
Cross-section Chi-square 234.012115 14 0.0000
Berdasarkan hasil Chow Test, nilai prob cross-section chis-square sebesar 0.000 dan kurang dari alpha 5% sehingga hipotesis H0 dapat ditolak. Model yang dipilih FEM.
Hausman Test: Correlated Random Effects - Hausman Test Equation: EQ02 Test cross-section random effects
Test Summary Chi-Sq. Statistic Chi-Sq. d.f. Prob.
Cross-section random 91.023011 9 0.0000
Berdasarkan hasil Hausman Test, nilai prob cross-section random sebesar
0.000 dan kurang dari alpha 5% sehingga hipotesis H0 dapat ditolak. Model
yang dipilih FEM.
Puska KPI, BPPP, Kementerian Perdagangan 63
Lampiran 2. Hasil Analisis Model Terbaik Untuk Persamaan MSR
Dependent Variable: LNNX Method: Panel EGLS (Cross-section weights) Sample: 2007 2014 Periods included: 8 Cross-sections included: 15 Total panel (unbalanced) observations: 114 Linear estimation after one-step weighting matrix Cross-section weights (PCSE) standard errors & covariance (d.f. corrected)
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. LNECOGEO -0.340800 1.346807 -0.253043 0.8008
PORT_I -0.169064 0.069753 -2.423737 0.0174 PORT_J 0.591712 0.073137 8.090455 0.0000
TRADEOPEN_I 0.011796 0.005174 2.279807 0.0250 TRADEOPEN_J -0.018662 0.004161 -4.485497 0.0000 CORRUPTION_I -0.051101 0.007271 -7.027873 0.0000 CORRUPTION_J 0.012536 0.006265 2.000985 0.0484
LNGDP_J 1.313163 1.404741 0.934808 0.3524 LNGDP_I -0.347925 0.176769 -1.968248 0.0521
C -4.768173 27.69495 -0.172168 0.8637 Effects Specification Cross-section fixed (dummy variables) Weighted Statistics R-squared 0.993662 Mean dependent var 1.904348
Adjusted R-squared 0.992043 S.D. dependent var 3.362923 S.E. of regression 0.286063 Sum squared resid 7.364858 F-statistic 613.5279 Durbin-Watson stat 1.902420 Prob(F-statistic) 0.000000
Unweighted Statistics R-squared 0.965813 Mean dependent var 1.060674
Sum squared resid 8.345052 Durbin-Watson stat 1.592572
Puska KPI, BPPP, Kementerian Perdagangan 64
Lampiran 3. Penetapan Model Terbaik Untuk Persamaan Non MSR
Chow Test: Redundant Fixed Effects Tests Equation: EQ02 Test cross-section fixed effects
Effects Test Statistic d.f. Prob. Cross-section F 8.656820 (11,64) 0.0000
Cross-section Chi-square 77.472003 11 0.0000
Berdasarkan hasil Chow Test, nilai prob cross-section chis-square sebesar 0.000 dan kurang dari alpha 5% sehingga hipotesis H0 dapat ditolak. Model yang dipilih FEM. Hausman Test: Correlated Random Effects - Hausman Test Equation: EQ02 Test cross-section random effects
Test Summary Chi-Sq. Statistic Chi-Sq. d.f. Prob.
Cross-section random 52.143694 9 0.0000
Berdasarkan hasil Hausman Test, nilai prob cross-section random sebesar 0.000 dan kurang dari alpha 5% sehingga hipotesis H0 dapat ditolak. Model yang dipilih FEM.
Puska KPI, BPPP, Kementerian Perdagangan 65
Lampiran 4. Hasil Analisis Model Terbaik Untuk Persamaan Non MSR
Dependent Variable: LNNX Method: Panel EGLS (Cross-section weights) Sample: 2007 2014 Periods included: 8 Cross-sections included: 12 Total panel (unbalanced) observations: 85 Linear estimation after one-step weighting matrix Cross-section weights (PCSE) standard errors & covariance (d.f. corrected)
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. TRADEOPEN_I -0.003104 0.008010 -0.387531 0.6996
TRADEOPEN_J 0.001062 0.011886 0.089352 0.9291 PORT_J -0.072242 0.141449 -0.510726 0.6113 PORT_I 0.133722 0.061768 2.164908 0.0341
LNGDP_J 1.084754 0.501778 2.161823 0.0344 LNECOGEO -1.826121 1.281205 -1.425316 0.1589
CORRUPTION_I -0.003821 0.004068 -0.939238 0.3511 CORRUPTION_J 0.001965 0.004472 0.439271 0.6619
LNGDP_I 0.201194 0.188387 1.067980 0.2895 C -1.807174 3.985008 -0.453493 0.6517 Effects Specification Cross-section fixed (dummy variables) Weighted Statistics R-squared 0.955912 Mean dependent var 10.59055
Adjusted R-squared 0.942134 S.D. dependent var 6.557252 S.E. of regression 0.195301 Sum squared resid 2.441131 F-statistic 69.38141 Durbin-Watson stat 1.472941 Prob(F-statistic) 0.000000
Unweighted Statistics R-squared 0.859860 Mean dependent var 6.025294
Sum squared resid 3.457155 Durbin-Watson stat 0.810474
top related