jurnal kelautan nasional
Post on 19-Oct-2021
9 Views
Preview:
TRANSCRIPT
JURNAL KELAUTAN NASIONAL
Vol. 10, No. 2, Agustus 2015 ISSN 1907-767X
Terakreditasi (682/AU3/P2MI-LIPI/07/2015) Masa berlaku: Agustus 2015 - Agustus 2018
i
KATA PENGANTAR
Jurnal Kelautan Nasional (JKN) adalah jurnal yang diterbitkan oleh Pusat Pengkajian dan
Perekayasaan Teknologi Kelautan dan Perikanan, Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan
dan Perikanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan. Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa,
atas terbitnya JKN Volume 10, No. 2, Agustus 2015, dengan baik.
Sesuai hasil evaluasi Panitia Penilai Majalah Ilmiah-LIPI, pada tanggal 15 Juli 2015 JKN kembali
memperoleh Sertifikat Akreditasi Majalah Ilmiah berdasarkan Kutipan Keputusan Kepala LIPI
Nomor 818/E/2015, yang berlaku sejak Agustus 2015 – Agustus 2018. Atas pencapaian tersebut,
tidak lupa kami memanjatkan puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, disamping itu kami juga
menghaturkan ucapan terima kasih kepada Dewan Redaksi dan Redaksi Pelaksana yang telah
meluangkan waktu dan tenaganya sehingga akreditasi JKN dapat dipertahankan.
Artikel yang diterbitkan dalam Jurnal edisi kali ini sebanyak 5 (lima) artikel yang meliputi: Bakteri
Asosiasi pada Karang Scleractinia Kaitannya dengan Fenomena La-Nina di Pulau Bunaken; Uji
Performansi Teknologi Recirculating Aquaculture System (RAS) Terhadap Kondisi Kualitas Air
pada Pendederan Lobster Pasir Panulirus homarus; Pergerakan Zona Konvergensi di Samudera
Pasifik Bagian Barat Berdasarkan Data Insitu dan Satelit; Uji Efektivitas Kompartemen Dasar untuk
Pembesaran Lobster Pasir (Panulirus homarus) di Pantai Sepanjang, Kabupaten Gunung Kidul; dan
Kesesuaian Desain Operasional Kapal Inkamina 163 Berbasis di PPP Sadeng, Yogyakarta.
Artikel yang terdapat dalam JKN pada edisi ini diharapkan mampu menambah khasanah informasi
di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi kelautan dan perikanan Indonesia. Kami sangat
mengharapkan saran dan kritik untuk perbaikan penyusunan jurnal ini ke depan. Semoga jurnal ini
bermanfaat bagi pengembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi kelautan dan
perikanan di Indonesia.
Redaksi
JURNAL KELAUTAN NASIONAL
Vol. 10, No. 2, Agustus 2015 ISSN 1907-767X
Terakreditasi (682/AU3/P2MI-LIPI/07/2015) Masa berlaku: Agustus 2015 - Agustus 2018
ii
JURNAL KELAUTAN NASIONAL
Vol. 10, No. 2, Agustus 2015 ISSN 1907-767X
Terakreditasi (682/AU3/P2MI-LIPI/07/2015) Masa berlaku: Agustus 2015 - Agustus 2018
iii
DAFTAR ISI
Kata Pengantar
Daftar Isi
Ucapan Terima Kasih
Abstrak
i
iii
v
vii
Bakteri Asosiasi pada Karang Scleractinia Kaitannya dengan Fenomena La-
Nina di Pulau Bunaken
Associated Bacteria of Scleractinian Coral in Connection with Phenomena of La-
Nina in Bunaken Island
Eghbert Elvan Ampou, Iis Triyulianti dan Suciadi C. Nugroho …………….........
55-63
Uji Performansi Teknologi Recirculating Aquaculture System (RAS) Terhadap
Kondisi Kualitas Air pada Pendederan Lobster Pasir Panulirus homarus
Performance Test of Recirculating Aquaculture System (RAS) Technology to Water
Quality Condition in Spiny Lobster Panulirus homarus Nursery
Lolita Thesiana dan Amin Pamungkas …………………………………………….
65-73
Pergerakan Zona Konvergensi di Samudera Pasifik Bagian Barat Berdasarkan
Data Insitu dan Satelit
Convergence Zone Displacement in Western Pacific Ocean Based on Insitu and
Satellite Data
Faisal Hamzah, Eko Susilo, Iis Triyulianti dan Agus Setiawan ….………….…….
75-90
Uji Efektivitas Kompartemen Dasar untuk Pembesaran Lobster Pasir
(Panulirus homarus) di Pantai Sepanjang, Kabupaten Gunung Kidul
Sea Cage Effectiveness Test for Spiny Lobster (Panulirus homarus) in Sepanjang
Coast, Gunung Kidul District
Umi Anissah, Amin Pamungkas, Waryanto dan Sri Suryo Sukoraharjo ...............
91-102
Kesesuaian Desain Operasional Kapal Inkamina 163 Berbasis di PPP Sadeng,
Yogyakarta
Operational Design Suitaibility of an Inkamina 163 Fishing Vesel Based in Sadeng
Fishing Port, Yogyakarta
Paduartama Tandipuang, Yopi Novita dan Budhi H. Iskandar ..............................
103-112
JURNAL KELAUTAN NASIONAL
Vol. 10, No. 2, Agustus 2015 ISSN 1907-767X
Terakreditasi (682/AU3/P2MI-LIPI/07/2015) Masa berlaku: Agustus 2015 - Agustus 2018
iv
JURNAL KELAUTAN NASIONAL
Vol. 10, No. 2, Agustus 2015 ISSN 1907-767X
Terakreditasi (682/AU3/P2MI-LIPI/07/2015) Masa berlaku: Agustus 2015 - Agustus 2018
v
UCAPAN TERIMA KASIH
Redaksi menyampaikan terima kasih kepada Mitra Bestari yang telah menelaah naskah yang dimuat
pada edisi ini
Prof. Dr. Ir. Yanuar, M.Eng., M.Sc. Fakultas Teknik, Universitas Indonesia, Jakarta
Dr. Ir. Ita Widowati, DEA Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Diponegoro, Semarang
Dr. Kukuh Nirmala Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor, Bogor
JURNAL KELAUTAN NASIONAL
Vol. 10, No. 2, Agustus 2015 ISSN 1907-767X
Terakreditasi (682/AU3/P2MI-LIPI/07/2015) Masa berlaku: Agustus 2015 - Agustus 2018
vi
JURNAL KELAUTAN NASIONAL
Vol. 10, No. 2, Agustus 2015 ISSN 1907-767X
Terakreditasi (682/AU3/P2MI-LIPI/07/2015) Masa berlaku: Agustus 2015 - Agustus 2018
vii
No ABSTRAK
1. BAKTERI ASOSIASI PADA KARANG SCLERACTINIA KAITANNYA DENGAN
FENOMENA LA-NINA DI PULAU BUNAKEN
UDC: 639.62:551.351.5
Eghbert Elvan Ampou, Iis Triyulianti dan Suciadi C. Nugroho
Halaman 55-62
Penelitian tentang karang keras (Scleractinian coral) yang terkontaminasi bakteri relatif masih kurang
dilakukan khususnya di perairan Indonesia. Untuk itu dilakukan kegiatan penelitian di Taman Nasional
Bunaken pada dua periode yakni Mei 2010 (musim peralihan I) dan Agustus 2011 (Monsoon II). Penelitian
ini difokuskan pada kontaminasi bakteri gram positif (+) dan gram negatif (-). Metode yang dilakukan untuk
pengambilan sampel di lapangan adalah time swim dimana menyelam pada kedalaman 5-10 meter selama
kurang lebih 30 menit dan mengambil sampel mucus karang secara acak/random dengan menggunakan
siring atau mengambil sampel secara langsung pada karang (fraksi cabang) pada lokasi yang sama. Sampel
dianalisis dengan proses isolasi bakteri di laboratorium. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada Mei
2010 bakteri gram positif lebih mendominasi dari gram negatif, sebaliknya Agustus 2011 bakteri gram
negatif yang lebih dominan dari gram positif. Indikasi faktor penyebab terjadinya bakteri gram positif yang
lebih dominan khususnya di tahun 2010 ialah fenomena La-Nina yang terjadi selama periode tersebut.
Perubahan suhu rata-rata yang terjadi pada kedua musim tersebut menjadi salah satu faktor yang merangsang
pertumbuhan kedua kelompok bakteri ini. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut khususnya dalam
menentukan jenis bakterinya dan pengambilan sampel pada setiap musim.
Kata kunci: Bakteri, Scleractinian coral, gram positif dan negatif, La-Nina
2. UJI PERFORMANSI TEKNOLOGI RECIRCULATING AQUACULTURE SYSTEM
(RAS) TERHADAP KONDISI KUALITAS AIR PADA PENDEDERAN LOBSTER
PASIR Panulirus homarus
UDC: 639.3:595.384
Lolita Thesiana dan Amin Pamungkas
Halaman 63-71
Pendederan lobster Panulirus homarus dimaksudkan untuk memperoleh bibit yang adaptif dan seragam
sebelum dibudidayakan dalam keramba. Pendederan lobster dapat dilakukan secara indoor dengan
menggunakan teknologi Recirculating Aquaculture System (RAS). Penggunaan teknologi RAS dimaksudkan
untuk mengontrol beberapa parameter kualitas air agar memenuhi syarat kualitas air untuk budidaya. Tujuan
dari penelitian ini adalah menganalisis parameter kualitas air pada pendederan lobster Panulirus homarus
dengan menggunakan teknologi RAS. Filter yang digunakan pada RAS ini disusun dari beberapa media yang
terdiri dari susunan batu biocrystal, batu koral, zeolit dan karbon aktif. Parameter kualitas air yang diuji
meliputi suhu, pH, oksigen terlarut, CO2, nitrit, nitrat dan amonia. Secara keseluruhan, parameter kualitas air
selama penelitian yang diuji, masih memenuhi syarat untuk kegiatan pendederan lobster Panulirus homarus.
Kata kunci: RAS, kualitas air, pendederan, lobster, Panulirus homarus
JURNAL KELAUTAN NASIONAL
Vol. 10, No. 2, Agustus 2015 ISSN 1907-767X
Terakreditasi (682/AU3/P2MI-LIPI/07/2015) Masa berlaku: Agustus 2015 - Agustus 2018
viii
No ABSTRAK
3. PERGERAKAN ZONA KONVERGENSI DI SAMUDERA PASIFIK BAGIAN BARAT
BERDASARKAN DATA INSITU DAN SATELIT
UDC: 639.2.053.1
Faisal Hamzah, Eko Susilo, Iis Triyulianti dan Agus Setiawan
Halaman 73-88
Samudera Pasifik berperan penting dalam siklus El-Nino Southern Oscillation (ENSO) dan berpengaruh
signifikan pada kegiatan penangkapan tuna di Indonesia, khususnya ikan Cakalang. Penelitian ini bertujuan
mengetahui pola pergerakan zona konvergensi di Samudera Pasifik bagian Barat dengan mengamati
pergerakan parameter oseanografi seperti suhu, salinitas, klorofil-a, dan produktivitas primer. Data parameter
oseanografi tersebut terdiri dari data insitu, data satelit maupun hasil pemodelan. Hasil analisis menunjukan
adanya pergerakan zona konvergensi di Barat Pasifik yang dicirikan variabel proksi yaitu isotermal 29°C,
isohalin 34,6 psu, konsenrasi klorofil-a sebesar 0,1 mg/m3
dan NPP 300 mgC/m2/day. Pola pergerakan zona
konvergensi baik secara horisontal maupun vertikal dipengaruhi oleh ENSO. Pada saat terjadi La-Nina massa
air dengan suhu yang hangat bergeser ke arah Barat yang diikuti dengan meningkatnya kesuburan perairan.
Pergerakan vertikal massa air hangat terjadi pada kedalaman 25-75 m (suhu) dan 50 m (salinitas). Namun
pada saat El-Nino massa air hangat bergerak ke arah Timur Samudera Pasifik. Fluktuasi produksi tangkapan
ikan Cakalang di perairan Indonesia Timur mengikuti pola pergerakan zona konvergensi tersebut.
Peningkatan jumlah produksi ikan Cakalang di Kota Sorong meningkat seiring dengan keberadaan zona
konvergensi di bagian Barat (La-Nina), namun di Propinsi Papua menunjukan pola sebaliknya.
Kata kunci: zona konvergensi, Samudera Pasifik, ENSO
4. UJI EFEKTIVITAS KOMPARTEMEN DASAR UNTUK PEMBESARAN LOBSTER
PASIR (Panulirus homarus) DI PANTAI SEPANJANG, KABUPATEN GUNUNG
KIDUL
UDC: 595.384
Umi Anissah, Amin Pamungkas, Waryanto dan Sri Suryo Sukoraharjo
Halaman 89-100
Tingginya permintaan lobster laut di pasar nasional maupun internasional serta adanya pembatasan ukuran
lobster yang boleh ditangkap dari alam menyebabkan tingkat ketersediaan lobster di pasaran menjadi
berkurang, di sisi lain, kegiatan budidaya maupun pembesaran lobster belum berkembang dengan baik. Oleh
karena itu, diperlukan suatu penelitian terkait dengan pembesaran lobster. Penelitian pembesaran lobster di
alam tidak terlepas dari teknologi kompartemen yang digunakan, untuk itu penelitian mengenai rekayasa
teknologi kompartemen pembesaran lobster laut penting untuk dilakukan. Tujuan penelitian ini adalah
mengetahui tipe kompartemen yang paling efektif untuk pembesaran lobster pasir di Pantai Sepanjang,
Yogyakarta dengan melakukan pengukuran berat dan panjang karapaks lobster. Hasil dari penelitian ini
menunjukkan bahwa kompartemen lobster yang paling efektif untuk pembesaran lobster pasir adalah
kompartemen berbentuk silinder, dengan ukuran 200 lt dan diameter lubang pada selimut tabung 3 cm
dibandingkan dengan kompartemen kontrol dan seluruh kompartemen modifikasi.
Kata Kunci: Kompartemen dasar, lobster pasir (Panulirus homarus), Pantai Sepanjang
JURNAL KELAUTAN NASIONAL
Vol. 10, No. 2, Agustus 2015 ISSN 1907-767X
Terakreditasi (682/AU3/P2MI-LIPI/07/2015) Masa berlaku: Agustus 2015 - Agustus 2018
ix
No ABSTRAK
5. KESESUAIAN DESAIN OPERASIONAL KAPAL INKAMINA 163 BERBASIS DI PPP
SADENG, YOGYAKARTA
UDC: 639.2.081
Paduartama Tandipuang, Yopi Novita dan Budhi H. Iskandar
Halaman 101-110
Nelayan di Pelabuhan Perikanan Pantai Sadeng, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta ragu untuk
mengoperasikan kapal ikan bantuan sampai batas maksimum ZEEI. Keraguan nelayan terletak pada
kemampuan operasional kapal. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kesesuaian kapasitas muat yang
tersedia di atas kapal dengan rencana target operasional kapal, dan menganalisis area kerja di lantai dek
kapal. Metode yang digunakan adalah metode studi kasus. Kapal Inkamina 163 menjadi objek penelitian.
Data dianalisis dengan cara comparative-numeric untuk mengkaji kesesuaian desain kapal dan untuk
mengetahui area kerja pada dek kapal. Analisis kesesuaian desain juga dilakukan dengan mengacu pada
KEPMENKP No. 21/2004. Hasil kajian menunjukkan bahwa Kapal Inkamina 163 memiliki kapasitas muat
yang sebagian besar sudah dapat memenuhi rencana target operasional kapal. Tata letak muatan di lantai dek
kapal Inkamina 163 telah sesuai dengan kebutuhan area kerja ABK. Kapal tersebut telah memenuhi 7 dari 8
syarat yang dijadikan acuan dalam KEPMENKP No. 21/2004.
Kata kunci: Inkamina, kapal ikan, kapasitas muat, comparative numeric
JURNAL KELAUTAN NASIONAL
Vol. 10, No. 2, Agustus 2015 ISSN 1907-767X
Terakreditasi (682/AU3/P2MI-LIPI/07/2015) Masa berlaku: Agustus 2015 - Agustus 2018
x
No ABSTRACT
1. ASSOCIATED BACTERIA OF SCLERACTINIAN CORAL IN CONNECTION WITH
PHENOMENA OF LA-NINA IN BUNAKEN ISLAND
UDC: 639.62:551.351.5
Eghbert Elvan Ampou, Iis Triyulianti dan Suciadi C. Nugroho
Page 55-62
Research on Scleractinian Coral with bacteria contamination is relatively few explored in Indonesia. The
research study was located in Bunaken National Park in period May 2010 and August 2011. Research focused
on gram positive (+) and gram negative (-) bacteria. For sampling procedure by using SCUBA equipment with
time swim at depth 5-10 meters at least 30 minutes and collected randomly coral mucus. In the Laboratory
samples were analyzed by Isolation bacteria processes. Results show that in May 2010 gram-positive bacteria
were more dominant than gram-negative, whereas in August 2011 gram-negative bacteria were more dominant
than gram-positive. Indications factors causing the dominancy of gram-positive bacteria, especially in the year
2010 was the La-Nina phenomena that occurred during this period. Changes in average temperature that
occur in both seasons are the one of factors that stimulates the growth of these two groups of bacteria. Further
research needs to be done, especially in determining the type of bacteria and sampling of each season.
Keywords: Bacteria, Scleractinian coral, gram positive, gram negative, La-Nina
2. PERFORMANCE TEST OF RECIRCULATING AQUACULTURE SYSTEM (RAS)
TECHNOLOGY TO WATER QUALITY CONDITION IN SPINY LOBSTER Panulirus
homarus NURSERY
UDC: 639.3:595.384
Lolita Thesiana dan Amin Pamungkas
Page 63-71
Panulirus homarus seed nursery is an effort to yield adaptive and uniform quality lobster seed, prior to
seacages rearing. Land based spiny lobster nursery can use Recirculating Aquaculture System technology
(RAS). RAS technology is intended to control several water quality parameters in order to meet the water
quality requirements for lobster seed cultivation. The purpose of this study was to analyze water quality
parameters in Panulirus homarus nursery using RAS technology. Filters used in RAS are composed of
biocrystal stone, coral, zeolites and activated carbon. Water quality parameters recorded include temperature,
pH, dissolved oxygen, CO2, nitrite, nitrate and ammonia. Overall, water quality parameters during the study
were qualify for Panulirus homarus nursery activities.
Keywords: RAS, water quality, nursery, lobster, Panulirus homarus
JURNAL KELAUTAN NASIONAL
Vol. 10, No. 2, Agustus 2015 ISSN 1907-767X
Terakreditasi (682/AU3/P2MI-LIPI/07/2015) Masa berlaku: Agustus 2015 - Agustus 2018
xi
No ABSTRACT
3. CONVERGENCE ZONE DISPLACEMENT IN WESTERN PACIFIC OCEAN BASED ON
INSITU AND SATELLITE DATA
UDC: 639.2.053.1
Faisal Hamzah, Eko Susilo, Iis Triyulianti dan Agus Setiawan
Page 73-88
Pacific Ocean have an important role on El-Nino Southern Oscillation (ENSO) phenomena that have
significant relationship with tuna fisheries in Indonesian waters, especially for skipjack tuna. The aim of this
study is to determine convergence zone displacement in Western Pacific Ocean based on oceanography
parameters such as temperature, salinity, chlorophyll-a, and net primary productivity from insitu, satellite and
model data. The convergence zone displacement in Western Pacific Ocean were characterized by proxies
variable of isotherm 29 °C, isohaline 34,6 psu, chlorophyll-a concentration 0,1 mg/m3 and NPP 300 mg
C/m2/day. Whole of these displacement influenced by ENSO event. The warm pool displacement westerly
during La-Nina event accompanied with increasing marine primary productivity. The vertical movement of
warm pool occurred on 25-75m depth for temperature and 50 m depth for salinity. Otherwise, during the El-
Nino event the warm pool move to eastward. The fluctuation of skipjack tuna production in eastern of
Indonesian Waters following the convergence zone displacement in Western Pacific Ocean. The increasing of
skipjack tuna productions in Sorong increase due to convergence zone in the western part of Pacific (La-Nina),
meanwhile for the Papua’s skipjack tuna production show the opposite.
Keywords: convergence zone, Pacific Ocean, ENSO
4. SEA CAGE EFFECTIVENESS TEST FOR SPINY LOBSTER (Panulirus homarus) IN
SEPANJANG COAST, GUNUNG KIDUL DISTRICT
UDC: 595.384
Umi Anissah, Amin Pamungkas, Waryanto dan Sri Suryo Sukoraharjo
Page 89-100
The high demand of sea lobster and the restrictions on the size of lobsters that can be captured caused lobster
on the market to be a rarity, on the other hand lobster’s mariculture activities are not developed yet. Therefore,
a study related to the growing-out lobster is needed. Research of lobster’s grow-out can not be separated from
the compartment technology, the study of engineering technology of lobster enlargement become an important
research to do. The aim of this research was to determine the best fixed seacage type for scalloped spiny
lobster enlargement in Sepanjang Coast, Yogyakarta City through measuring the weight and length of the
lobster’s carapace. The results shown that the most effective lobster fixed seacage to enlarge scalloped spiny
lobster were cylinder, with 200 liters of size and 3 cm diameter of hole in the blanket tube compared to the
control fixed seacage and the entire fixed seacage modification.
Keywords: fixed seacage, scalloped spiny lobster (Panulirus homarus), Sepanjang Coast
JURNAL KELAUTAN NASIONAL
Vol. 10, No. 2, Agustus 2015 ISSN 1907-767X
Terakreditasi (682/AU3/P2MI-LIPI/07/2015) Masa berlaku: Agustus 2015 - Agustus 2018
xii
No ABSTRACT
5. OPERATIONAL DESIGN SUITABILITY OF AN INKAMINA 163 FISHING VESEL BASED
IN SADENG FISHING PORT, YOGYAKARTA
UDC: 639.2.081
Paduartama Tandipuang, Yopi Novita dan Budhi H. Iskandar
Page 101-110
Fishermen in Sadeng Fishing Port, of DI Yogyakarta Province, are still in doubt to operate Inkamina vessels
until ZEEI in the Indian Ocean. Fishermen are doubt about the operational ability of fishing vessels. This
research aimed to analyze the suitability of loading capacity available on board of the ship, with operational
plan target, and analyze suitability of the layout on the vessel deck. Case study method is used in this research
in which Inkamina 163 fishing vessels become the object of research. Data were analyzed by means of
comparative-numeric to assess the suitability of the design of the ship and to know the working area on deck. In
addition, analysis of the suitability of the design is also refers to KEPMENKP No. 21/2004. The results showed
that Inkamina 163 fishing vessel has a load capacity largely been able to fulfill the plan of the ship operational
target. Working area on the main deck crew is already met. This ship has satisfied 7 from 8 requirements in
KEPMENKP No. 21/2004.
Keywords: Inkamina, fishing vessel, load capacity, comparative numeric
JURNAL KELAUTAN NASIONAL
Vol. 10, No. 2, Agustus 2015 ISSN 1907-767X
Terakreditasi (682/AU3/P2MI-LIPI/07/2015) Masa berlaku: Agustus 2015 - Agustus 2018
xiii
Bakteri Asosiasi pada Karang Scleractinia Kaitannya dengan Fenomena La-Nina di Pulau Bunaken - Eghbert Elvan
Ampou, Iis Triyulianti dan Suciadi C. Nugroho
55
BAKTERI ASOSIASI PADA KARANG SCLERACTINIA KAITANNYA DENGAN
FENOMENA LA-NINA DI PULAU BUNAKEN
ASSOCIATED BACTERIA OF SCLERACTINIAN CORAL IN CONNECTION WITH PHENOMENA
OF LA-NINA IN BUNAKEN ISLAND
Eghbert Elvan Ampou, Iis Triyulianti dan Suciadi C. Nugroho Kementerian Kelautan dan Perikanan – Balai Penelitian dan Observasi Laut
Tim Perubahan Iklim, Jl. Baru Perancak, Negara-Jembrana, Bali 82251, Indonesia E-mail : elvan.ampou@gmail.com, iis_triyulianti@yahoo.com, suciadi_cn@gmail.com
Diterima tanggal: 25 Februari 2014, diterima setelah perbaikan: 24 April 2015, disetujui tanggal: 27 Mei 2015
ABSTRAK
Penelitian tentang karang keras (Scleractinian coral) yang terkontaminasi bakteri relatif masih kurang dilakukan
khususnya di perairan Indonesia. Untuk itu dilakukan kegiatan penelitian di Taman Nasional Bunaken pada dua periode
yakni Mei 2010 (musim peralihan I) dan Agustus 2011 (Monsoon II). Penelitian ini difokuskan pada kontaminasi
bakteri gram positif (+) dan gram negatif (-). Metode yang dilakukan untuk pengambilan sampel di lapangan adalah
time swim dimana menyelam pada kedalaman 5-10 meter selama kurang lebih 30 menit dan mengambil sampel mucus
karang secara acak/random dengan menggunakan siring atau mengambil sampel secara langsung pada karang (fraksi
cabang) pada lokasi yang sama. Sampel dianalisis dengan proses isolasi bakteri di laboratorium. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa pada Mei 2010 bakteri gram positif lebih mendominasi dari gram negatif, sebaliknya Agustus
2011 bakteri gram negatif yang lebih dominan dari gram positif. Indikasi faktor penyebab terjadinya bakteri gram
positif yang lebih dominan khususnya di tahun 2010 ialah fenomena La-Nina yang terjadi selama periode tersebut.
Perubahan suhu rata-rata yang terjadi pada kedua musim tersebut menjadi salah satu faktor yang merangsang
pertumbuhan kedua kelompok bakteri ini. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut khususnya dalam menentukan jenis
bakterinya dan pengambilan sampel pada setiap musim.
Kata kunci: bakteri, Scleractinian coral, gram positif dan negatif, La-Nina.
ABSTRACT
Research on Scleractinian Coral with bacteria contamination is relatively few explored in Indonesia. The research
study was located in Bunaken National Park in period May 2010 and August 2011. Research focused on gram positive
(+) and gram negative (-) bacteria. For sampling procedure by using SCUBA equipment with time swim at depth 5-10
meters at least 30 minutes and collected randomly coral mucus. In the Laboratory samples were anlayzed by Isolation
bactery processes. Results show that in May 2010 gram-positive bacteria were more dominant than gram-negative,
whereas in August 2011 gram-negative bacteria were more dominant than gram-positive. Indications factors causing
the dominancy of gram-positive bacteria, especially in the year 2010 was the La-Nina phenomena that occured during
this period. Changes in average temperature that occur in both seasons are the one of factors that stimulates the growth
of these two groups of bacteria. Further research needs to be done, especially in determining the type of bacteria and
sampling of each season.
Keywords: bacteria, Scleractinian coral, gram positive, gram negative, La-Nina.
PENDAHULUAN
Terumbu karang merupakan ekosistem yang
mewakili khususnya keanekaragaman hayati laut
di planet ini, akan tetapi habitatnya di dunia
mengalami penurunan secara drastis akibat ulah
manusia yakni eksploitasi secara berlebihan,
polusi, perubahan iklim dan timbulnya penyakit
(De’ath et al., 2009; Hoegh-Goeldberg et al.,
2007). Ekosistem terumbu karang yang mengalami
penurunan luas penutupan karang adalah akibat
kejadian penyakit karang yang timbul di bagian
Indo-Pacific (Raymond et al., 2005; Myers &
Raymond, 2005; Willis et al., 2004; Sato et al.,
JURNAL KELAUTAN NASIONAL, Vol. 10, No. 2, Agustus 2015, Hal. 55-63
56
2009; Haapkyla et al., 2010) dan berdasarkan
laporan tahunan terjadi kurang lebih 1% dan
meningkat 2% diantara tahun 1997 dan 2003
(Bruno & Selig, 2007). Penyakit pada karang
mempunyai kontribusi yang signifikan terhadap
menurunnya kondisi ekosistem terumbu karang
(Harvel et al., 2004). Beberapa patogen yang
berkembang pada ekosistem terumbu karang
adalah bakteri, virus dan jamur (Weil et al., 2006;
Muller et al., 2012). Penurunan luas tutupan
karang juga dapat distimulasi oleh situasi ekstrim
yang terjadi akibat dominasi alga pada suatu
ekosistem sehingga mengakibatkan menurunnya
luasan karang hidup (Bruckner & Hill 2009,
Aronson & Precht, 2011).
Berlimpahnya serta beranekaragamnya komunitas
mikroorganisme prokariotik yang bersimbiosis
pasif dengan terumbu karang terjadi jika kondisi
lingkungan sekitarnya terganggu (Santavy, 1995;
Kushmaro et al., 1996; Santavy & Peters 1997;
Rohwer et al., 2002). Salah satu adaptasi yang
dilakukan oleh biota karang adalah mensekresikan
cairan atau lapisan mucus atau mucopolysacharide
layer yang mengandung glycoprotein, hydrated
yang membentuk gel viscoelastik (Ritchie &
Smith, 1997). Ritchie & Smith (1997) menjelaskan
bahwa sekresi mucus akan berubah secara
kuantitas serta kandungan alaminya jika karang
mengalami stres. Beberapa komunitas
mikroorganisme prokariotik tersebut bersifat
patogen bagi hewan karang. Keberadaan lapisan
mucus ini memberikan ruang bagi mikroorganisme
prokariotik salah satunya adalah bakteri untuk
bersimbiosis dengan karang.
Penyakit (disease) pada biota karang dapat
disebabkan oleh mikroorganisme pathogen,
tekanan lingkungan, dan melemahnya biota karang
akibat kehilangan sistem imunitas inangnya.
Bourne et al. (2009) menyebutkan bahwa komplek
simbiosis antara hewan karang, algae endobiotik
dan beranekaragam mikroorganisme prokariotik
dapat mengganggu integritas ”coral holobiont”.
Kejadian tersebut dapat merangsang terjadinya
pemutihan atau bleaching. Komunitas bakteri yang
berasosiasi dengan biota karang telah banyak
diketahui memiliki diversitas dan kelimpahan yang
tinggi (Ritchie & Smith 1995, 1997; Santavy,
1995; Kushmaro et al., 1996; Santavy & Peters,
1997; Rohwer et al., 2002; Frias-Lopez et al.,
2002). Dinamika komunitas bakteri
mengeksploitasi sejumlah ruang pada hewan
karang termasuk mucus yang dihasilkan pada
permukaan karang, ruang atau relung intraselluler
di dalam jaringan hewan karang, ruang pada
rangka hewan karang dan air laut di sekitarnya
(Raina et al., 2009).
Rohwer et al. (2002) berhasil mengisolasi bakteri
(mikroorganisme prokariotik) yang bersimbiosis
pada tiga karang yaitu Montastraea franksi,
Diploria strigosa dan Porites astreoides dari dua
lokasi terpisah dan menemukan tingginya
keanekaragaman mikroba dengan beberapa bentuk
bakteri yang bersiombiosis pada karang. Salah satu
metoda sederhana untuk mengelompokkan
tingginya keanekaragaman bakteri menurut Pelczar
& Chan (2005), yaitu dengan teknik pewarnaan
gram. Metode tersebut dapat mengelompokkan
bakteri menjadi bakteri gram positif dan bakteri
gram negatif berdasarkan pada perbedaan dari
komposisi dan struktur dinding selnya.
Bakteri gram-negatif adalah bakteri yang tidak
mempertahankan zat warna metil ungu pada
metode pewarnaan Gram. Bakteri gram-positif
akan mempertahankan warna ungu gelap setelah
dicuci dengan alkohol, sementara bakteri gram-
negatif tidak. Pada uji pewarnaan Gram, suatu
pewarna penimbal (counterstain) ditambahkan
setelah metil ungu, yang membuat semua bakteri
gram-negatif menjadi berwarna merah atau merah
muda. Pengujian ini berguna untuk
mengklasifikasikan kedua tipe bakteri ini
berdasarkan pada perbedaan struktur dinding sel
mereka. Banyak spesies bakteri gram-negatif yang
bersifat patogen, yang berarti mereka berbahaya
bagi organisme inang. Sifat patogen ini umumnya
berkaitan dengan komponen tertentu pada dinding
sel gram-negatif, terutama lapisan lipopolisakarida
(dikenal juga dengan LPS atau endotoksin).
Bakteri gram negatif mempunyai struktur dinding
sel berlapis tiga dengan ketebalan yang tipis
berkisar antara 10-15 nm. Komposisi dinding sel
bakteri gram negatif ini terdiri dari lipid dan
peptidoglikan. Konsentrasi lipid pada dinding sel
bakteri gram negatif berkisar antara 11-22 %.
Bakteri gram negatif umumnya kurang rentan
terhadap penisilin, kurang resisten terhadap
gangguan fisik, dan persyaratan nutriennya relatif
sederhana (Pelczar & Chan, 2005). Kurangnya
informasi terkait dengan kelompok bakteri yang
Bakteri Asosiasi pada Karang Scleractinia Kaitannya dengan Fenomena La-Nina di Pulau Bunaken - Eghbert Elvan
Ampou, Iis Triyulianti dan Suciadi C. Nugroho
57
menyebabkan beberapa peristiwa penyakit
(disease) dan pemutihan karang (bleaching) yang
terjadi pada beberapa ekosistem terumbu karang di
perairan Indonesia telah mendorong dilakukannya
penelitian ini.
Penelitian ini bertujuan untuk: (i) mengidentifikasi
komposisi bakteri gram positif dan bakteri gram
negatif rata-rata periode Mei 2010 dan Agustus
2011; dan (ii) menentukan perbedaan kelompok
bakteri mana yang paling dominan dari 2 periode
tersebut.
BAHAN DAN METODE
Lokasi Penelitian Pengambilan sampel dilakukan pada Mei 2010 dan
Agustus 2011 di salah satu pulau di Taman
Nasional (TN) Bunaken, Sulawesi Utara
1° 40′ 0″ N, 124° 39′ 0″ E yakni di Pulau Bunaken
di 6 lokasi berbeda (Gambar 1).
Gambar 1. Peta lokasi pengambilan data di Pulau
Bunaken Figure 1. Location data acquisition in
Bunaken Island Sumber: Google, 2011
Pengambilan Data Lapangan Pengambilan sampel mucus dilakukan secara
acak/random pada kedalaman 5-10 m dengan
menggunakan peralatan SCUBA diving dengan
metode time swim. Untuk menganalisis bakteri
gram + dan gram – pada karang keras yang
mengalami pemutihan (bleaching) dan penyakit
(disease). Mukus karang diambil dengan
menggunakan siring (Gambar 2) dan disimpan
dalam ziper bag yang kemudian dibawa ke
laboratorium untuk dianalisis (Gambar 3).
Gambar 2. Pengambilan mukus pada karang dengan
menggunakan siring.
Figure 2. Sampling of coral mucus by using skim. Sumber: Koleksi pribadi
Gambar 3. Sampel mukus disimpan di kantong plastik
untuk analisa di laboratorium.
Figure 3. Mucus stored in plastic bags for analysis in
the laboratory. Sumber: Koleksi pribadi
Metode yang digunakan untuk isolasi bakteri dari
karang yang mengalami pemutihan dan penyakit
adalah metode gores, tuang dan tanam
menggunakan media agar dengan urutan kerja
sebagai berikut: pembuatan media agar (Gambar
4), isolasi dan isolasi penyegaran bakteri (Gambar
5).
Untuk penghitungan nilai total perbedaan gram
positif dan negatif dilakukan analisis test statistik
dengan uji-T atau t-Test yang dipergunakan untuk
menguji kebenaran atau kepalsuan hipotesis
nol/nihil (Ho) yang menyatakan bahwa diantara
dua buah rerata sampel yang diambil secara
random dari populasi yang sama tidak terdapat
perbedaan yang signifikan (Legendre & Legendre,
1998). Dari analisis dengan menggunakan t-Test
(Tabel 3), didapatkan hasil bahwa ada perbedaan
antara bakteri gram + dan gram – dari periode 2
(dua) tahun penelitian yakni pada Mei 2010 gram +
(positif) lebih tinggi/dominan, sedangkan Agustus
2011 gram – (negatif) yang lebih tinggi/dominan
JURNAL KELAUTAN NASIONAL, Vol. 10, No. 2, Agustus 2015, Hal. 55-63
58
dari setiap genus karang keras yang diambil secara
acak di 6 lokasi survei.
Isolasi Bakteri pada Sampel Karang dan Mucus
Karang
Isolasi bakteri dari karang yang mengalami
bleaching (metode gores, tuang dan tanam)
menggunakan media agar dengan urutan kerja
sebagai berikut: (i) pembuatan media agar dan (ii)
isolasi dan penyegaran bakteri (Pelczar & Chan,
2005).
Gambar 4. Proses uji pewarnaan gram dari isolat
bakteri.
Figure 4. The process of gram stain test of bacterial
isolates Sumber: Koleksi pribadi
Pembuatan Media Agar
Proses pembuatan media agar dimulai dengan
menimbang dengan timbangan elektrik 10 gram
nutrient agar (NA) lalu dimasukkan ke dalam
wadah berupa gelas ukur volume 1.000 ml, lalu
dilarutkan dengan 500 ml aquades kemudian
dipanaskan dan diaduk hingga larut. Setelah
melarut sempurna, larutan dimasukkan ke dalam
cawan petri dengan volume kurang lebih 17 ml dan
kemudian disimpan agar memadat pada suhu
kamar.
Isolasi dan Penyegaran Bakteri
Tahapan isolasi dan penyegaran bakteri dimulai
dengan menyiapkan sampel karang lunak tanpa
pencucian serta cairan mucus yang dihasilkan
diletakkan ke dalam cawan petri lalu timbang 0,5
gram sampel, kemudian diletakkan di dalam wadah
beaker glass dan diinokulasikan pada media agar
yang telah padat dengan metode gores langsung
dari sampel karang yang mengalami bleaching,
metode tuang untuk cairan mucus yang ter-
dissolved pada air media, serta 0,5 gram sampel
yang ditanam langsung pada media agar padat,
semua proses isolasi dilakukan dalam ruang atau
ruangan khusus. Proses selanjutnya adalah
inkubasi selama ± 24 jam pada suhu 25 0C.
Setelah terlihat koloni, kemudian koloni dengan
pigmentasi dan morfologi yang berbeda dipisahkan
dan dibuat isolat murninya. Diperlukan proses
penyegaran untuk meregulasi pertumbuhan sel
bakteri pada media baru sehingga diperoleh isolat
bakteri dengan kondisi pertumbuhan yang
optimum. Bakteri uji yang akan disegarkan diambil
satu ose, lalu digoreskan pada media agar miring
yang baru lalu diinkubasikan selama 24 jam.
Isolasi mikroorganisme dari hewan karang dan
mukus karang dilakukan seluruhnya di
Laboratorium Riset Kelautan (LRK), Balai Riset
dan Observasi Kelautan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil isolasi bakteri dan identifikasi awal dengan
teknik pewarnaan gram untuk 18 sampel dari 8
genus karang serta mucus karang yang diperoleh
dari 5 titik pengambilan sampel di lokasi penelitian
(TN Bunaken) pada Mei 2010 menunjukkan bahwa
bakteri isolat yang termasuk ke dalam kelompok
bakteri gram positif (13 sampel) dan bakteri gram
negatif (5 sampel), juga terlihat bahwa dari genus
karang yang sama dengan 3 perlakuan isolasi
menunjukkan kelompok bakteri yang berbeda
seperti yang terlihat pada Porites nigrescens dari
lokasi Rons Point (Tabel 1). Frias-Lopez et al.
(2002) menemukan bakteri yang berada di kolom
perairan berbeda dengan bakteri yang berasosiasi
pada karang. Beberapa hasil penelitian yang
dilakukan oleh Santavy (1995), Frias-Lopez (2002)
serta Rohwer et al. (2002) menunjukkan
keanekaragaman kelompok bakteri yang
bersimbiosis pada biota karang.
Hasil identifikasi dengan metode pewarnaan gram
dari mikroorganisme yang berhasil diisolasi
disajikan dalam Tabel 1 (2010) dan Tabel 2
(2011). Isolat bakteri dari karang jenis Porites
nigrescens termasuk dalam kelompok bakteri gram
positif untuk bakteri yang diisolasi dengan metode
gores langsung dari air media hidupnya, sedangkan
Bakteri Asosiasi pada Karang Scleractinia Kaitannya dengan Fenomena La-Nina di Pulau Bunaken - Eghbert Elvan
Ampou, Iis Triyulianti dan Suciadi C. Nugroho
59
untuk metode gores dari karang dan potongan
karang yang ditanam pada media agarnya diketahui
termasuk ke dalam kelompok bakteri gram negatif.
Hasil yang sama juga dijumpai pada jenis
Pocillopora verrucosa dari lokasi pengambilan
sampel di Celah Celah. Pada penelitian Efrony et
al. (2007) terhadap karang jenis Pocillopora
damicornis dan Favia favus ditemukan adanya
indikasi infeksi oleh bakteri jenis Vibrio
coralliilyticus dan Thalosomonas loyaeana dari
kelompok bakteri gram negatif yang menyebabkan
terjadinya bleaching dan lissis jaringan serta
penyakit the white plague.
Jenis Goniopora tenuidens dari lokasi Lekuan 1
dan Montipora danae dari lokasi pengambilan di
Celah Celah menunjukkan kelompok bakteri gram
negatif untuk isolat yang dilakukan dengan
melakukan goresan dari air media hidupnya.
Kelompok isolat bakteri gram positif ditemukan
pada lokasi pengambilan sampel karang dan mukus
karang yaitu Rons Point, Celah Celah, Lekuan 1,
Lekuan 2, Muka Kampung dan Fukui.
Hasil isolasi bakteri dan identifikasi awal dengan
teknik pewarnaan gram untuk 25 sampel dari 8
genus karang serta dari mucus karang yang
diperoleh dari 6 titik pengambilan sampel pada
lokasi penelitian (TN Bunaken) pada Agustus 2011
menunjukkan bahwa bakteri isolat termasuk ke
dalam kelompok bakteri gram positif (9 sampel)
dan bakteri gram negatif (16 sampel). Isolat bakteri
dari karang jenis Porites termasuk dalam
kelompok bakteri gram negatif untuk bakteri yang
diisolasi dengan metode gores langsung dari air
media hidupnya, metode gores dari karang dan
potongan karang yang ditanam pada media agar.
Hasil yang sama juga dijumpai pada jenis Favites
sp dari lokasi pengambilan sampel. Penggunaan
metode untuk mendapatkan isolat bakteri yang
berbeda dilakukan untuk melihat keanekaragaman
kelompok bakteri di sekitar lokasi pengambilan
sampel.
Kelompok bakteri gram negatif menginfeksi genus
karang lebih tinggi pada 2011 (Agustus), kondisi
sebaliknya terjadi pada 2010. Perbedaan kelompok
bakteri yang ditemukan pada kedua musim
(peralihan I dan Monsoon II) mengindikasikan
bahwa perbedaan temperatur telah menjadi salah
satu faktor yang merangsang perkembangan kedua
kelompok bakteri yang berbeda (Banin et al.,
2000). Pada pertengahan 2010 terjadi La Nina
yang berdampak pada terjadinya musim hujan di
beberapa wilayah Indonesia, hal ini terlihat pada
bulan-bulan pertengahan pada 2010 yang
seharusnya berlangsung musim kemarau namun
sebaliknya turun hujan deras di berbagai daerah.
Tabel 1. Hasil identifikasi bakteri total dengan metode
pewarnaan gram positif dan negatif pada Mei 2010
Table 1. The results of total bacterial identification with
positive and negative gram stain method in May 2010 Genus
Karang
Gram (+)
2010 %
Gram (-)
2010 %
Acropora 3 33 1 6
Favites 0 0 0 0
Seriatopora 0 0 0 0
Stylophora 0 0 0 0
Porites 8 89 0 0
Goniopora 1 11 3 19
Montipora 1 11 1 6
Pachyseris 0 0 0 0
Jumlah Genus 13 144 5 31
Sumber: Hasil pengolahan data
Tabel 2. Hasil identifikasi bakteri total dengan metode
pewarnaan gram positif dan negatif pada Agustus 2011
Table 2. The results of total bacterial identification with
positive and negative gram stain method in August
2011
Genus Karang Gram (+)
2011 %
Gram (-)
2011 %
Acropora 2 22 3 19
Favites 0 0 2 13
Seriatopora 3 33 2 13
Stylophora 1 11 5 31
Porites 0 0 4 25
Goniopora 0 0 0 0
Montipora 1 11 0 0
Pachyseris 2 22 0 0
Jumlah Genus 9 100 16 100
Sumber: Hasil pengolahan data
Sifat hujan selama musim hujan pada 2011/2012 di
sebagian besar daerah yaitu 267 ZOM (78,07 %)
diprakirakan normal dan 40 ZOM (11,70 %) atas
normal, sedangkan yang bawah normal 35 ZOM
(10,23 %). Kecenderungan cuaca di Indonesia pada
2011 relatif stabil (www.bmkg.go.id). Berdasarkan
data dari BMKG tersebut diketahui bahwa pada
2010 telah terjadi La Nina yang berimbas pada
tingginya curah hujan lalu pada 2011 ternyata
JURNAL KELAUTAN NASIONAL, Vol. 10, No. 2, Agustus 2015, Hal. 55-63
60
kecenderungan curah hujan normal. Data tersebut
mengindikasikan bahwa dari tahun 2010 ke 2011
telah terjadi perubahan suhu di sekitar lokasi
pengambilan data. Peningkatan suhu sebesar 1-2 0C dalam jangka waktu yang lama bagi biota
karang dapat menstimulasi terjadinya pelepasan
zooxanthella dari karang (Jokiel & Coles, 1990).
A
B
Gambar 5. Struktur gram positif = A (+) dan
gram negatif = B (-) dilihat dari mikroskop = 5,5
Micronmetric (mm).
Figure 5. The structure of gram-positive = A (+)
and gram negative = B (-) seen from the
microscope = 5.5 Micronmetric (mm) Sumber: Hasil pengolahan data
Gambar 6. Grafik perbandingan analisis bakteri gram
positif dan negatif 2010-2011.
Figure 6. Comparative analysis graph of gram positive
and negative bacteria 2010-2011 Sumber: Hasil analisis
Hasil pengambilan sampel pada dua tahun ini
mengindikasikan bahwa perubahan suhu pada
lokasi pengambilan sampel telah menjadi salah
satu faktor yang menstimulasi berkembangnya
kelompok bakteri gram positif dan bakteri gram
negatif.
Dari hasil analisis diketahui bahwa pada 2010
ditemukan secara dominan kelompok bakteri gram
positif yang memiliki dinding sel lebih tebal
dibandingkan dengan gram negatif. Sebaliknya
pada 2011yang lebih dominan adalah bakteri gram
negatif. Hal ini bisa dilihat pada Gambar 6 tentang
perbandingan bakteri gram positif dan negatif pada
2010-2011 (Ampou et al., 2011). Kedua koloni
bakteri (gram positif dan gram negatif)
teridentifikasi pada kedua waktu pengamatan (pada
2010 dan 2011) dari isolat bakteri pada karang
yang mengalami pemutihan dan penyakit. Hasil
pengamatan menunjukkan bahwa kedua koloni
bakteri yaitu gram positif dan gram negatif
berpotensi bersifat pathogen pada karang yang
diamati. Pelczar & Chan (2005) menyatakan
bahwa bakteri gram negatif yang bersifat patogen
lebih berbahaya dari pada bakteri gram positif,
karena membrane luar pada dinding selnya dapat
melindungi bakteri dan sistem pertahanan inang
dan menghalangi masuknya obat-obatan antibiotik.
Senyawa lipopolisakarida pada membran luar
bakteri gram negatif dapat bersifat toksik (racun)
bagi inang. Menurut Pelczar & Chan (2005)
bakteri laut 95 % adalah bakteri gram negatif,
sebagian aktif bergerak sedangkan bakteri gram
positif sebagain besar berada pada sedimen.
Waktu pengamatan pada 2010 terjadi fenomena
La-Nina (berdasarkan data dari BMKG) yang
diindikasikan dengan tingginya curah hujan.
Tingginya curah hujan pada 2010 mengindikasikan
telah terjadinya perubahan kondisi lingkungan di
sekitar pengambilan sampel karang yang
mengalami pemutihan. Salah satu dampak dari
tingginya curah hujan adalah rendahnya tingkat
kecerahan di sekitar ekosistem terumbu karang
karena teraduknya substrat atau sedimen oleh arus.
Terangkatnya sedimen atau substrat akibat
meningkatnya kecepatan arus di sekitar ekosistem
terumbu karang pada lokasi pengamatan diduga
salah satu faktor yang merangsang dominansi
koloni bakteri gram positif pada 2010.
Fenomena yang memicu terjadinya pemutihan dan
penyakit pada karang sangat bervariasi dan
Bakteri Asosiasi pada Karang Scleractinia Kaitannya dengan Fenomena La-Nina di Pulau Bunaken - Eghbert Elvan
Ampou, Iis Triyulianti dan Suciadi C. Nugroho
61
sebagian besar tak terduga dan faktor penyebabnya
sangat kompleks (Grimsditch & Salm, 2006).
Faktor-faktor penyebabnya diantaranya adalah:
meningkatnya (paling sering terjadi) atau
menurunnya suhu air laut, meningkatnya radiasi
matahari (Saxby et al., 2003), perubahan kimia air
laut (Johnson & Marshall, 2007), peningkatan
sedimentasi (Rogers, 1990), karang terdedah/
terekspose akibat surutnya air laut (Anthony &
Kersewel, 2007) dan infeksi bakteri (Kushmaro et
al., 1997). Namun demikian proses kelangsungan
hidup dari setiap individu karang sangat tergantung
pada kemampuannya untuk beradaptasi dengan
perubahan lingkungan di sekitarnya (Grimsditch &
Salm, 2006). Dalam hal ini sangat terkait dengan
kemampuan suatu individu dalam ekosistem untuk
resistance, yaitu kemampuan ekosistem untuk
menahan gangguan tanpa mengalami pergeseran
fase atau kehilangan struktur atau fungsinya
(Odum, 1989) dan resilience, yaitu kemampuan
sistem untuk menyerap atau pulih dari gangguan
dan perubahan, tetap menjaga fungsinya
(Carpenter et al., 2001).
Tabel 3. Hasil analisis total gram positif dan negatif
tahun 2010 & 2011 dengan Uji-T
Table 3. The results total of analysis gram positive and
negative in 2010 & 2011 with T-Test
t-Test: Paired Two
Sample for Means
Gram + Gram -
Mean 1.5 2
Variance 1.428571429 3.714285714
Observations 8 8
Pearson Correlation -0.434121571
Hypothesized Mean
Difference 0
df 7
t Stat -0.529150262
P(T<=t) one-tail 0.306530076
t Critical one-tail 1.894578604
P(T<=t) two-tail 0.613060152
t Critical two-tail 2.364624251
Tolak H0= Ada perbedaan antara gram+ dan gram - di 6
titik lokasi survey dimana gram - lebih dominan Sumber: Hasil analisis
KESIMPULAN DAN SARAN
Pada musim peralihan I (Mei 2010) ditemukan
dominan kelompok bakteri gram positif, sedangkan
pada Monsoon II (Agustus 2011) adalah kelompok
bakteri gram negatif. Perubahan suhu yang terjadi
pada kedua musim menjadi salah satu faktor yang
merangsang perkembangan kedua kelompok
bakteri gram positif dan gram negatif pada lokasi
pengambilan sampel. Kurangnya frekuensi
penelitian menyarankan agar perlunya dilakukan
penelitian pada setiap musim untuk menguji jenis
(spesies) bakteri secara lebih detail.
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Balai
Penelitian dan Observasi Laut (BPOL yang
sebelumnya bernama Balai Riset dan Observasi
Kelautan) atas dukungan dana lewat dana DIPA.
Kami berterima kasih juga kepada Kepala BPOL
atas saran dan masukkannya, teman-teman Tim
Perubahan Iklim, DKP Provinsi Sulut, BTN-
Bunaken dan semua pihak yang mendukung
sehingga penelitian ini bisa berjalan dengan baik.
DAFTAR PUSTAKA
Ampou, E.E., Triyulianti, I., Widagti, N., Hamzah,
F. & Manessa, M.D.M.. (2011). Studi
operasional oseaonografi untuk konservasi
ekosistem terumbu karang. Laporan
Penelitian. Tim Perubahan Iklim, Balai
Penelitian dan Observasi Laut.
Anthony, K.R.N. & Kerswell, A.P. (2007). Coral
mortality following extreme low tides and
high solar radiation. Marine Ecology
Progress Series, 151 (5): 1623–1631.
doi:10.1007/s00227-006-0573-0.
Aronson, RB., & Precht WF. (2001). White-band
disease and the changing face of Caribbean
coral reefs. Hydrobiologia, 460: 25–38.
Banin, E., Ben-Haim, Y., Israely, T., Loya, Y., &
Rosenberg, E. (2000). Effect of the
environment on the bacterial bleaching of
corals. Water, Air and Soil Pollution, (123):
337-352.
Bourne, D.G., Garren, M., Work, T.M., Rosenberg,
E., Smith, G.W. & Harvell, C.D. (2010).
JURNAL KELAUTAN NASIONAL, Vol. 10, No. 2, Agustus 2015, Hal. 55-63
62
Microbial disease and the coral holobiont.
Trends in Microbiology, (12) : 554 – 562.
Bruckner, A.W., & Hill, R.L. (2009). Ten years of
change to coral communities off Mona and
Desecheo Islands, Puerto Rico, from disease
and bleaching. Diseases of Aquatic
Organisms, 87: 19–31.
Bruno, J.F., & Selig, E.R. (2007). Regional decline
of coral cover in the Indo-Pacific: Timing,
extent, and subregional comparisons. PLoS
ONE 2: e711.
Carpenter, S., Walker, B., Anderies, J.M., & Abel,
N. (2001). From metaphor to measurement:
Resilience of what to what? Ecosystems, 4,
765-781.
De’ath, G., Lough J. M. & Fabricius, K.E. (2009).
Declining coral calcification on the Great
Barrier Reef. Science, 323: 116–119.
Efrony, R., Loya, L., Bacharach, E. & Rosenberg.
(2007). Phage therapy of coral disease.
Coral Reefs, (26) : 7 – 13.
Frias-Lopez, J., Zerkle, A.L., Bonheyo, G.T. &
Fouke, B.W. (2002). Par-titioning of
bacterial communities between seawater and
healthy, black band diseased, and dead coral
surfaces. Appl Environ Microbiol, 68: 2214–
2228.
Grimsditch, Gabriel D., & Salm, Rodney V.
(2006). Coral reef resilience and resistance
to bleaching. IUCN, Gland, Switzerland.
52pp.
Harvell, C.D., Jordan-Dahlgren, E., Merkel, S.,
Rosenberg, E., Raymundo, L., Smith, G.,
Weil, E. & Willis, B. (2007). Coral disease,
environmental drivers, and the balance
between coral and microbial associates.
Oceanograpy, 20: 172–195.
Hoegh-Guldberg, O, Mumby, P.J., Hooten, A.J.,
Steneck, R.S., & Greenfield, P. (2007). Coral
reefs under rapid climate change and ocean
acidification. Science, 318: 1737–1742.
Johnson, J.E., & Marshall, P.A. (2007). Climate
change and the Great Barrier Reef: A
vulnerability assessment. Townsville, Qld.:
Great Barrier Reef Marine Park Authority.
ISBN 978-1-876945-61-9.
Jokiel, P.L., & Coles, L. (1990). Response of
Hawaiian and other Indo Pacific reef corals
to elevated temperature. Coral Reefs, 8: 155-
162.
Kushmaro, A., Loya, Y., Fine, M., & Rosenberg,
E. (1996). Bacterial infection and coral
bleaching. Nature, 380:396.
Kushmaro, A., Rosenberg, E., Fine, M., & Loya,
Y. (1997). Bleaching of the coral Oculina
patagonica by vibrio AK-1. Marine Ecology
Progress Series, 147: 159–165.
doi:10.3354/meps147159.
Legendre, L., & Legendre, P. (1998). Numerical
ecology. Elsevier Scientific Publishing
Company. 853 p.
Muller, E.M., Raymundo, L.J., Willis, B.L.,
Haapkyla, J., Yusuf, S., Wilson, J.R., &
Harvell, D.C. (2012). Coral health and
disease in The Spermonde Archipelago and
Wakatobi, Sulawesi. Journal of Indonesia
Coral Reefs, 1(3), 149-159.
Odum, E.P. 1989. Ecology and our endangered
life-support systems. Sinauer Associates
Inc: Sunderland (USA)
Pelczar, M.J., & Chan, E.C.S. (2005). Dasar-dasar
Mikrobiologi 2. Jakarta: UI-Press.
Raina, J.E., Tapiolas, D., Willis, B.L., & Bournei,
D.G. (2009). Coral associated bacteria and
their role in the biogeochemical cycling of
sulfur. Applied and Environmental
Microbiology, (75): 3492 – 3501.
Rogers, S.R. (1990). Responses of coral reefs and
reef organisms to sedimentation. Marine
Ecology Progress Series, 62: 185–202.
doi:10.3354/meps062185.
Rohwer, F., Seguntan, V., Azan, F., & Knoulton,
N. (2002). Diversity and distribution of
coral-assosiated bacteria. Marine Ecology
Progress Series, 243: 1-10.
Santavy, D.L. (1995). The diversity of
microorganisms associated with marine
invertebrates and their roles in the mainte-
nance of ecosystems. In: Allsopp D, Colwell
RR, Hawks-worth DL (Eds). Microbial
diversity and ecosystem func-tion. CAB
International, Wallingford, p 211–229.
Santavy, D.L., & Peters, E.C. (1997). Microbial
pests: coral disease in the Western Atlantic.
Proc 8th Int Coral Reef Symp, 1: 607–612.
Saxby, T., Dennison, W.C., & Hoegh-Guldberg, O.
(2003). Photosynthetic responses of the
coral Montipora digitata to cold temperature
stress". Marine Ecology Progress Series,
248: 85. doi:10.3354/meps248085.
Turak, E., & De Vantier, L. (2003). Reef building
corals of Bunaken National Park, north
Bakteri Asosiasi pada Karang Scleractinia Kaitannya dengan Fenomena La-Nina di Pulau Bunaken - Eghbert Elvan
Ampou, Iis Triyulianti dan Suciadi C. Nugroho
63
Sulawesi, Indonesia: Rapid Ecological
Assesement of biodiversity and status. Final
Report to the International Ocean Institute
Regional Centre for Australian and the
western pacific.
Weil, E., Smith, G., & Gil-Agudelo, D.L. (2006).
Status and progress in coral reef disease
research. Diseases of Aquatic Organism,
69(1):1-7.
http://whc.unesco.org/en/tentativelists/2002/. State
Minister for The Environment. (2005).
Bunaken National Park, diakses pada
tanggal, 2 Februari 2012.
http://www.bmkg.go.id/BBMKG_Wilayah_3/Lain_
Lain/Artikel/HUJAN_DI_MUSIM_KEMARA
U_DAMPAK_LA_NINA.bmkg. BMKG.
(2010). Diakses pada tanggal 9 Maret 2012.
JURNAL KELAUTAN NASIONAL, Vol. 10, No. 2, Agustus 2015, Hal. 55-63
64
Uji Performansi Teknologi Recirculating Aquaculture System (RAS) Terhadap Kondisi Kualitas Air pada Pendederan
Lobster Pasir Panulirus homarus - Lolita Thesiana dan Amin Pamungkas
65
UJI PERFORMANSI TEKNOLOGI RECIRCULATING AQUACULTURE SYSTEM (RAS)
TERHADAP KONDISI KUALITAS AIR PADA PENDEDERAN LOBSTER PASIR
Panulirus homarus
PERFORMANCE TEST OF RECIRCULATING AQUACULTURE SYSTEM (RAS) TECHNOLOGY
TO WATER QUALITY CONDITION IN SPINY LOBSTER Panulirus homarus NURSERY
Lolita Thesiana dan Amin Pamungkas
Pusat Pengkajian Perekayasaan Teknologi Kelautan Perikanan-Balitbang-KKP
Jl Pasir Putih I Ancol, Jakarta, Indonesia
E-mail: thesiana@yahoo.com
Diterima tanggal: 22 Januari 2015, diterima setelah perbaikan: 11 Juni 2015, disetujui tanggal: 26 Juni 2015
ABSTRAK
Pendederan lobster Panulirus homarus dimaksudkan untuk memperoleh bibit yang adaptif dan seragam sebelum
dibudidayakan dalam keramba. Pendederan lobster dapat dilakukan secara indoor dengan menggunakan teknologi
Recirculating Aquaculture System (RAS). Penggunaan teknologi RAS dimaksudkan untuk mengontrol beberapa
parameter kualitas air agar memenuhi syarat kualitas air untuk budidaya. Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis
parameter kualitas air pada pendederan lobster Panulirus homarus dengan menggunakan teknologi RAS. Filter yang
digunakan pada RAS ini disusun dari beberapa media yang terdiri dari susunan batu biocrystal, batu koral, zeolit dan
karbon aktif. Parameter kualitas air yang diuji meliputi suhu, pH, oksigen terlarut, CO2, nitrit, nitrat dan amonia. Secara
keseluruhan, parameter kualitas air selama penelitian yang diuji, masih memenuhi syarat untuk kegiatan pendederan
lobster Panulirus homarus.
Kata kunci: RAS, kualitas air, pendederan, lobster, Panulirus homarus
ABSTRACT
Panulirus homarus seed nursery is an effort to yield adaptive and uniform quality lobster seed, prior to seacages
rearing. Land based spiny lobster nursery can use Recirculating Aquaculture System technology (RAS). RAS technology
is intended to control several water quality parameter, in order to meet the water quality requirements for lobster seed
cultivation. The purpose of this study was to analyze water quality parameters in Panulirus homarus nursery using RAS
technology. Filters used in RAS are composed of biocrystal stone, coral, zeolites and activated carbon. Water quality
parameters recorded include temperature, pH, dissolved oxygen, CO2, nitrite, nitrate and ammonia. Overall, water
quality parameters during the study were qualify for Panulirus homarus nursery activities.
Keywords: RAS, water quality, nursery, lobster, Panulirus homarus
PENDAHULUAN
Recirculating Aquaculture Systems (RAS) adalah
sebuah sistem produksi perikanan yang mengolah
kembali air yang digunakan agar memenuhi syarat
kualitas air untuk kegiatan budidaya (P3TKP,
2013). Teknologi RAS merupakan salah satu
pilihan teknologi yang banyak digunakan untuk
kegiatan budidaya perikanan secara intensif
beberapa tahun ini. Aplikasi dan pengembangan
teknologi RAS pada berbagai jenis ikan telah
banyak dilakukan oleh Norwegia selama kurun
waktu 20-30 tahun ini. Beberapa jenis ikan yang
dibudidayakan adalah Salmon (Salmo salar),
Rainbow Trout (Oncorhynchus mykiss), Sidat
(Anguilla anguilla), Pike Perch (Stizostedion
lucioperca), Arctic Char (Salvelinus alpinus),
Sturgeon (order Acipenseriformes), Nila
(Oreochromis niloticus), dan Lobster Homarus
JURNAL KELAUTAN NASIONAL, Vol. 10, No. 2, Agustus 2015, Hal. 65-73
66
gammarus (Dalsgaard, Lund, Thorarinsdottir,
Drengstig, Arvonen, & Pedersen, 2013).
Kegiatan budidaya lobster Homarus gammarus
skala besar di Norwegia telah menggunakan land-
based RAS untuk memproduksi lobster ukuran
konsumsi. Fasilitas budidaya ini mempunyai
persediaan induk dan pembenihan untuk
memproduksi bibit juvenil lobster tingkat IV.
Sistem yang digunakan pada pembesaran lobster
adalah ‘single cage technology with moving bed
biofilters’, dimana sistem resirkulasi dirancang
secara intensif untuk manajemen penggunaan air
(Drengstig dan Bergheim, 2013).
Kegiatan budidaya lobster sedang marak dilakukan
oleh beberapa negara ASEAN. Lobster yang
umum dibudidayakan adalah lobster pasir
Panulirus homarus. Pada budidaya lobster di
Vietnam, benih lobster yang tertangkap dipelihara
selama 30-60 hari terlebih dahulu, sebelum
dibudidaya dalam keramba di laut (Chau, Ngoc, &
Nhan, 2008). Budidaya pembesaran lobster di
Indonesia menggunakan keramba jaring apung
telah banyak dilakukan di kawasan Pelabuhan Ratu
dan Lombok. Salah satu permasalahan dalam
budidaya pembesaran lobster ini adalah rendahnya
kelangsungan hidup benih lobster yang
dibudidayakan. Hal ini karena benih yang
digunakan tidak melalui proses aklimatisasi
terlebih dahulu seperti di Vietnam. Selain itu, pada
kegiatan pembesaran lobster ini, benih yang
ditebar memiliki ukuran sangat beragam.
Keberagaman ukuran benih yang digunakan
menyebabkan potensi terjadinya kanibalisme
semakin tinggi (Johnston et al., 2006). Larva
lobster bersifat sangat kanibal karena ketika
menemukan sebuah objek mereka akan menguji
apakah benda tersebut dapat dimakan atau tidak
(Burton, 2003). Tingkat kematian benih lobster
yang tinggi tentunya dapat mengurangi keuntungan
pembudidaya. Salah satu cara untuk mengatasi
permasalahan tersebut, maka perlu dilakukan
kegiatan pendederan benih lobster, sebelum
dilakukan penebaran di keramba.
Kegiatan pendederan lobster air laut, dapat
dilakukan secara indoor menggunakan teknologi
RAS. Penggunaan RAS secara intensif dapat
mengurangi secara signifikan konsumsi air dan
konsentrasi nutrien melalui perbaikan dan
pengembangan teknologi secara berkelanjutan.
RAS dapat digunakan untuk mengontrol beberapa
parameter kualitas air penting seperti oksigen
terlarut, karbon dioksida, amonia, nitrit, nitrat, pH,
salinitas, dan padatan tersuspensi. Hal ini
memungkinkan terciptanya kondisi pemeliharaan
yang baik untuk pertumbuhan dan pemanfaatan
pakan yang lebih optimal (Dalsgaard et al., 2013).
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk
menganalisis parameter kualitas air pada
pendederan lobster Panulirus homarus dengan
menggunakan teknologi RAS.
BAHAN DAN METODE
Penelitian dilakukan pada bulan November 2013
sampai dengan Januari 2014, di Laboratorium
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB, Jalan
Pasir Putih 1 Ancol Timur, Jakarta Utara.
Benih lobster yang digunakan dalam penelitian ini
didapat dari wilayah Lombok Selatan sebanyak
760 ekor. Berat benih lobster yang digunakan
dalam peneltian ini 2,12±0,02 gram/ekor. Jenis
lobster yang digunakan adalah lobster pasir
Panulirus homarus. Padat tebar benih lobster
dalam penelitian ini adalah 95 ekor/ m2. Selama
penelitian, pemberian pakan ikan teri sebesar 10 %
dilakukan satu kali dalam sehari (Johnston et al.,
2006). Pemeliharaan benih selama penelitian
dilakukan selama 70 hari.
Pada penelitian ini digunakan 10 bak. 8 buah bak
digunakan untuk perlakuan kemudian 2 bak
lainnya masing-masing digunakan sebagai
tampungan effluen dan tampungan hasil filter. 9
bak percobaan terbuat dari plastik, masing-masing
berdimensi 1,2 x 0,95 x 1 m dan 1 bak fiber bentuk
lingkaran dengan diameter 1,5 m dan tinggi 0,75
m. Pada penelitian ini, digunakan sistem
resirkulasi, dengan mengoperasikan 2 pompa
submersible masing-masing kapasitas 5500 L/jam
(Gambar 1). Aerasi dilakukan dengan
menggunakan aerator jenis diffuser, dengan jumlah
titik aerasi sebanyak 3 titik pada masing-masing
bak perlakuan. Filter yang digunakan tersusun dari
beberapa media yang terdiri dari batu biocrystal
sebanyak 71,0 cm3, batu koral sebanyak 71,5 cm
3,
zeolit sebanyak 271,1 cm3dan karbon aktif
sebanyak 480,3 cm3 (Gambar 2). Jenis perlakuan
pada bak pendederan adalah menggunakan shelter
jaring, lubang angin, paralon dan tanpa shelter.
Uji Performansi Teknologi Recirculating Aquaculture System (RAS) Terhadap Kondisi Kualitas Air pada Pendederan
Lobster Pasir Panulirus homarus - Lolita Thesiana dan Amin Pamungkas
67
Pengujian parameter fisika-kimia air dilakukan
untuk mengetahui kinerja RAS yang digunakan.
Pengujian parameter fisika air dilakukan setiap hari
meliputi pengujian parameter pH, salinitas,
temperatur dan DO. Pengamatan parameter kimia
air dilakukan pada hari ke-0, 1, 3, 7, kemudian
setiap 7 hari. Pengujian parameter kimia meliputi
parameter amonia, nitrit, nitrat, CO2. Metode
pengujian parameter fisika-kimia air mengacu pada
APHA (1990).
Gambar 1. Instalasi RAS pada pendederan lobster Panulirus homarus
Figure 1. RAS installation of lobster Panulirus homarus nursery
Sumber: Koleksi pribadi
Gambar 2. Susunan media filter
Figure 2. Filter media composition Sumber: Koleksi pribadi
JURNAL KELAUTAN NASIONAL, Vol. 10, No. 2, Agustus 2015, Hal. 65-73
68
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Suhu selama penelitian cenderung fluktuatif
berkisar antara 27,33–28,88 ºC. pH selama
penelitian berkisar antara 7,07-7,86. Pada awal
penelitian pH cenderung lebih tinggi dibanding
selama penelitan. Oksigen terlarut (DO) selama
penelitian pada pukul 09.00 WIB cenderung
fluktuatif berkisar antara 5,26–7,09 mg/L, dan
pada pukul 16.00 WIB berkisar antara 5,15-7,17
mg/L. Tren kondisi oksigen terlarut pada awal
penelitian sampai akhir penelitian mengalami
sedikit peningkatan. Kondisi suhu, pH dan oksigen
terlarut selama penelitian dapat dilihat pada
Gambar 3.
Keterangan:
Bak perlakuan dengan shelter jaring
Bak perlakuan menggunakan shelter paralon
Bak perlakuan menggunakan shelter lubang angin
Bak perlakuan tanpa shelter
Effluen
Filtrat
Gambar 3. Parameter suhu, pH dan oksigen terlarut selama penelitian
Figure 3. Temperature, pH and dissolved oxygen parameter throughout the study Sumber: Hasil pengolahan data
Salinitas selama penelitian berkisar antara 34,14–
37,71 ppt. Kondisi salinitas cenderung mengalami
kenaikan dari awal penelitian sampai akhir
penelitian. Karbon dioksida (CO2) selama
penelitian berkisar antara 0,39–5,19 mg/L. Kondisi
CO2 menunjukkan kecenderungan penurunan dari
awal penelitian sampai akhir penelitian. Nitrit
selama penelitian berkisar antara 0,22–3,14 mg/L.
Grafik nitrit selama penelitian mempunyai
kecenderungan naik kemudian mengalami
penurunan. Kondisi nitrat selama penelitian
berkisar antara 0,11 x 10-1
–6,78 mg/L. Tren grafik
menunjukkan, pada awal penelitian (sampai hari
ke-21) konsentrasi nitrat mengalami peningkatan
perlahan. Konsentrasi nitrat kemudian cenderung
mengalami peningkatan sampai akhir penelitian.
Kondisi amonia selama penelitian berkisar antara
0,67 x 10-3
– 0,55 x 10-1
mg/L. Tren grafik amonia,
pada awal penelitian cukup rendah, berkisar antara
0,67 x 10-3
– 0,15 x 10-2
(hari ke-0 sampai 14).
Pada hari ke-21 sampai 35, konsentrasi amonia
mengalami peningkatan. Konsentrasi amonia
kemudian cenderung mengalami penurunan sampai
pada akhir penelitian. Kondisi salinitas, CO2, nitrit,
nitrat, dan amonia selama penelitian dapat dilihat
pada Gambar 4.
(Pukul 09:00 WIB) (Pukul 16:00 WIB)
Uji Performansi Teknologi Recirculating Aquaculture System (RAS) Terhadap Kondisi Kualitas Air pada Pendederan
Lobster Pasir Panulirus homarus - Lolita Thesiana dan Amin Pamungkas
69
Keterangan:
Bak perlakuan dengan shelter jaring
Bak perlakuan menggunakan shelter paralon
Bak perlakuan menggunakan shelter lubang angin
Bak perlakuan tanpa shelter
Effluen
Filtrat
Gambar 4. Parameter salinitas, CO2, nitrit, nitrat, dan amonia selama penelitian
Figure 4. Salinity, CO2, nitrite, nitrate and Ammoia parameter throughout the study Sumber: Hasil pengolahan data
Pembahasan
Batu koral pada filter yang mengandung kapur
berfungsi untuk mempertahankan pH selama
proses pemeliharaan/pendederan. Filter fisik
digunakan untuk memisahkan padatan dari air
secara fisika (berdasarkan ukuran) dengan cara
menangkap atau menyaring sehingga kandungan
bahan tersebut menjadi berkurang. Fungsi dari
filter fisik adalah untuk menurunkan turbiditas di
air yang disebabkan oleh mikroorganisme dan
partikel lain, untuk menurunkan tingkat koloid
organik, dan untuk menyingkirkan detritus dari
filter biologi. Meskipun filter fisik dapat
memisahkan partikel tersuspensi secara efisien,
namun tidak efektif untuk memisahkan partikel-
partikel yang terlarut (Yudha, 2009).
Karbon aktif berfungsi sebagai filter kimiawi.
Karbon aktif digunakan untuk menyaring dan
menghilangkan klorin, sedimen, bau dan senyawa
organik Volatile Organic Compounds atau (VOC)
dari air (Endarko et al., 2013). Ukuran partikel dan
luas permukaan merupakan hal yang penting dalam
karbon aktif. Ukuran partikel karbon aktif
mempengaruhi kecepatan adsorpsi, tetapi tidak
mempengaruhi kapasitas adsorpsi yang
berhubungan dengan luas permukaan karbon. Luas
permukaan total mempengaruhi kapasitas adsorpsi
JURNAL KELAUTAN NASIONAL, Vol. 10, No. 2, Agustus 2015, Hal. 65-73
70
total sehingga meningkatkan efektifitas karbon
aktif dalam penyisihan senyawa organik dalam air
buangan. Ukuran partikel tidak terlalu
mempengaruhi luas permukaan total sebagian
besar meliputi pori-pori partikel karbon. Struktur
pori-pori karbon aktif mempengaruhi perbandingan
antara luas permukaan dan ukuran partikel
(Kasam, Yulianto dan Sukma, 2005). Adsorpsi
umumnya digunakan untuk menghilangkan klorin
dan kotoran organik. Hal ini dilakukan biasanya
dengan karbon aktif granular (APHA, 1999).
Sumber amonia di perairan adalah pemecahan
nitrogen organik (protein dan urea) dan nitrogen
anorganik oleh mikroba dan jamur yang terdapat di
dalam tanah dan air, yang berasal dari dekomposisi
bahan organik (buangan metabolisme, sisa pakan)
(Effendi, 2003). RAS mengandalkan nitrifikasi
untuk mengkonversi amonia dan nitrit yang
bersifat toksik menjadi nitrat. Nitrifikasi dapat
berlangsung dalam biofilter oleh bakteri nitrifikasi.
Kegagalan dalam biofilter dapat menghasilkan
amonia atau nitrit yang sangat tinggi, yang
keduanya beracun untuk hewan air dan dapat
menyebabkan masalah kesehatan, menekan
pertumbuhan, dan menyebabkan kematian (Kuhn
et al., 2010). Penggunaan biocrystal dimaksudkan
sebagai media biofilter, untuk tempat
menempelnya bakteri nitirifikasi.
Zeolit berfungsi sebagai filter kimia. Zeolit bekerja
dengan memanfaatkan kemampuan pertukaran ion.
Zeolit adalah penukar kation yang efektif, yang
memiliki nilai kemampuan tukar kation (KTK)
sebesar 200-500 cmolc/kg. Terdapat berbagai
macam zeolit dengan klinoptilolit memiliki afinitas
yang tinggi terhadap amoiak dan telah berhasil
digunakan sebagai pembersih amoniak pada sistem
akuakultur air tawar (Silaban, et al., 2012). Ketika
air buangan melewati zat ini, ion-ion tertentu pada
air buangan tersebut melakukan pertukaran dengan
ion-ion pada zat tersebut, karena memiliki afinitas
yang kuat terhadap zat tersebut.
Suhu selama penelitian sangat fluktuatif. Hal ini
disebabkan pengaruh cuaca pada saat penelitian.
Apabila cuaca hujan maka suhu udara dalam ruang
menjadi lebih rendah, sehingga menyebabkan
temperatur air mengalami penurunan, demikian
juga sebaliknya. Menurut Phillips dan Kittaka
(2000), pertumbuhan tercepat pada juvenil
Panulirus homarus terdapat pada suhu sebesar 28
ºC, dengan panjang karapaks yang dicapai sebesar
60 mm dalam waktu 18 bulan. Kondisi suhu
selama penelitian masih sesuai untuk pertumbuhan
lobster, karena berada pada rentang 27,33–28,88
ºC.
Menurut Boyd dan Tucker (1998), nilai pH yang
disarankan untuk kegiatan akuakultur berkisar
antara 6,5-9, sedangkan pH yang optimum untuk
biota laut berkisar antara 7,5-8,5. Crustacea pada
perairan payau umumnya mempunyai nilai
toleransi pH yang lebih luas. Penelitian pada udang
panaeid menunjukkan pH yang optimum untuk
pertumbuhan berkisar antara 5,5-8,5. Menurut
Wickins dan Lee (2002), nilai pH yang disarankan
untuk lobster clawed dan lobster spinny masing-
masing sebesar 7,8-8,2 dan 8,0-8,5. Secara
keseluruhan, nilai pH masih sesuai untuk
pendederan lobster karena masih berada pada
kisaran 7,07-7,86.
Kondisi oksigen terlarut pada pukul 09.00 WIB
mempunyai kecenderungan lebih rendah dibanding
pada pukul 16.00 WIB. Hal ini karena adanya
aktifitas fotosintesis fitoplankton pada siang hari,
sehingga konsentrasi oksigen terlarut mengalami
peningkatan. Tren oksigen terlarut selama
peneltian menunjukkan, konsentrasi oksigen yang
terdapat pada filtrat relatif lebih tinggi
dibandingkan pada bak perlakuan dan effluen. Hal
ini, disebabkan pada filtrat, air telah mengalami
aerasi selama kontak dengan media filter yang
digunakan, sehingga terjadi peningkatan
konsentrasi oksigen terlarut. Selain itu, konsumsi
oksigen terlarut oleh benih lobster pada bak
perlakuan, menyebabkan level oksigen terlarut
mengalami penurunan dieffluen. Menurut Boyd
dan Tucker (1998), konsentrasi oksigen terlarut
yang disarankan untuk kegiatan perikanan adalah >
5 mg/L. Tingkat konsumsi oksigen terlarut oleh
lobster dipengaruhi oleh berat, temperatur dan
salinitas. Pada juvenil lobster Panulirus japanicus,
tingkat konsumsi oksigen terlarut pada saat
istirahat adalah sekitar 0,02 mgO2/berat badan/jam
(suhu 12 ºC) dan 0,11 mgO2/berat badan/jam (suhu
27 ºC) (Phillips dan Kittaka, 2000). Kondisi
oksigen terlarut selama penelitian masih sesuai
untuk syarat optimal lobster tumbuh karena berada
pada kisaran > 5 mg/L.
Kondisi salinitas yang terukur cenderung
mengalami peningkatan karena adanya proses
Uji Performansi Teknologi Recirculating Aquaculture System (RAS) Terhadap Kondisi Kualitas Air pada Pendederan
Lobster Pasir Panulirus homarus - Lolita Thesiana dan Amin Pamungkas
71
evaporasi air bak pemeliharaan, sehingga volume
air mengalami penurunan tetapi kandungan total
padatan terlarut tetap. Namun secara keseluruhan
nilai salinitas tersebut, masih sesuai untuk
kehidupan lobster. Menurut Phillips dan Kittaka
(2000), juvenil lobster P. polyphagus dan P.
Cygnus mempunyai toleransi rentang salinitas
yang cukup luas, yaitu masing-masing sebesar 17-
50 dan 25-45 ppt. Kondisi salinitas optimal pada
lobster spinny dilaporkan pada kisaran 32-36 ppt
(Wickins dan Lee, 2002). Salinitas selama
penelitian masih memenuhi syarat untuk
kehidupan lobster karena masih berada pada
kisaran 34,14-37,71 ppt.
Karbondioksida bebas dapat memberikan pengaruh
yang merugikan pada ikan yang dipelihara jika
konsentrasinya bertambah besar pada saat oksigen
terlarut rendah. Kandungan CO2 bebas sekitar 12
mg/L dapat menyebabkan stres pada ikan,
sedangkan pada konsentrasi 30 mg/L,
menyebabkan beberapa jenis ikan mengalami
kematian. Penelitian lain menunjukkan,
konsentrasi CO2 yang disarankan untuk budidaya
lobster air tawar adalah < 5 mg/L (Boyd dan
Tucker, 1998). Secara keseluruhan konsentrasi
CO2 selama penelitian masih sesuai untuk
kehidupan lobster karena masih < 5 mg/L. Tren
grafik CO2 selama penelitian mempunyai
kecenderungan penurunan. Pada awal penelitian
konsentrasi CO2 relatif lebih tinggi. Hal ini
disebabkan kemungkinan lobster mengalami
tingkat stres yang lebih tinggi di awal penelitian
karena belum beradaptasi, sehingga produk sisa
metabolisme seperti CO2 yang dihasilkan juga
mengalami peningkatan. Penurunan CO2 selama
penelitian ini juga berkaitan dengan tingkat
kelangsungan hidup lobster yang dipelihara.
Semakin lama waktu penelitian, tingkat
kelangsungan hidup juga akan semakin rendah,
sehingga konsentrasi CO2 yang dihasilkan juga
semakin rendah.
Kondisi nitrit selama penelitian berkisar antara
0,22-3,14 mg/L. Secara keseluruhan konsentrasi
nitrit selama penelitian masih sesuai untuk
kehidupan lobster. Menurut Drengstig dan
Bergheim (2013), kandungan nitrit yang
disarankan pada budidaya lobster Homarus
gammarus menggunakan sistem resirkulasi adalah
< 5 mg/l. Penelitian lain menunjukkan, juvenil P.
monodon mempunyai toleransi nitrit pada
konsentrasi sebesar 3,8 mg/L dengan salinitas 20
ppt (Boyd dan Tucker, 1998). Tren grafik nitrit
selama penelitian mempunyai kecenderungan naik
kemudian mengalami penurunan. Pada penelitian
sampai dengan hari ke-28, konsentrasi nitrit
mengalami kenaikan. Hal ini disebabkan adanya
akumulasi sisa pakan dan feses lobster, sementara
bakteri pengkonversi nitrit menjadi nitrat belum
terbentuk dengan baik, sehingga menyebabkan
konsentrasi nitrit mengalami peningkatan. Pada
hari ke-35 sampai akhir penelitian, konsentrasi
nitrit cenderung mengalami penurunan. Hal ini
menunjukkan, konversi nitrit menjadi nitrat oleh
bakteri Nitrobacter mulai berjalan.
Ion nitrat dibentuk oleh oksidasi lengkap dari ion
amonium oleh mikroorganisme yang ada di tanah
ataupun di dalam air atau akibat dari proses
nitrifikasi amonia. Bakteri yang berperan dalam
proses nitrifikasi untuk mengubah nitrit menjadi
nitrat adalah Nitrobacter. Bakteri tertentu mungkin
pula mengubah nitrat menjadi nitrogen bebas (N2)
yang dapat terlepas dari sistem sebagai gas (Spotte,
1996). Secara keseluruhan konsentrasi nitrat
selama penelitian masih sesuai untuk kehidupan
lobster karena berada pada kisaran 0,11 x 10-1
– 6,
78 mg/L. Pada budidaya lobster J. Edwardsii
menggunakan sistem resirkulasi (Phillips dan
Kittaka, 2000) dan budidaya lobster spinny
(Wickins dan Lee, 2002), konsentrasi nitrat yang
disarankan sebaiknya kurang dari 100 mg/L.
Tren grafik menunjukkan, pada awal penelitian
(sampai hari ke-21) konsentrasi nitrat mengalami
peningkatan perlahan. Konsentrasi nitrat kemudian
cenderung mengalami peningkatan sampai akhir
penelitian, meskipun fluktuatif. Peningkatan
konsentrasi nitrat ini menunjukkan proses
nitrifikasi oleh bakteri telah berjalan. Menurut
Boyd dan Tucker (1998), nitrifikasi adalah
oksidasi berurutan amonia menjadi nitrat yang
dilakukan oleh dua kelompok bakteri kemoautotrof
dalam kondisi aerobik. Proses nitrifikasi
berlangsung melalui persamaan reaksi sebagai
berikut:
NH4+ + 1,5 O2 NO2
- + 2H
+ + H2O
(dibantu Nitrosomonas)................................(1)
NO2 - + 0,5 O2 NO3
-
(dibantu Nitrobacter).........................................(2)
JURNAL KELAUTAN NASIONAL, Vol. 10, No. 2, Agustus 2015, Hal. 65-73
72
Sesuai dengan persamaan (1) di atas, amonia
dikonversi menjadi nitrit oleh bakteri Nitrosomas.
Nitrit kemudian dikonversi menjadi nitrat oleh
bakteri Nitrobacter. Nitrifikasi menyebabkan kadar
amonia dalam air mengalami penurunan, dan
konsentrasi nitrat mengalami peningkatan.
Amonia bebas (NH3) yang tidak terionisasi
(unionized) bersifat toksik terhadap organisme
akuatik. Amonia lebih toksik saat kandungan
oksigen terlarut turun. Konsentrasi sublethal dari
NH3 menyebabkan perubahan patologi pada organ
dan membran ikan (Boyd dan Tucker, 1998). Pada
crustacea, amonia menyumbang 60% dari total
nitrogen yang dieksresikan. Tingkat ekskresi
dipengaruhi oleh pakan, temperatur, berat, level
nutrien, salinitas, moulting, dan konsentrasi
oksigen ambien (Phillips dan Kittaka, 2000).
Kondisi amonia selama penelitian berkisar antara
0,67 x 10-3
– 0,55 x 10-1
mg/L. Secara keseluruhan,
konsentrasi amonia tersebut masih memenuhi
syarat untuk kehidupan lobster. Pada budidaya
lobster J. Edwardsii menggunakan sistem
resirkulasi (Phillips dan Kittaka, 2000), dan lobster
spinny (Wickins dan Lee, 2002), konsentrasi
amonia disarankan tidak lebih dari 0,1 mg/L.
Tren grafik amonia, pada awal penelitian cukup
rendah, berkisar antara 0,67 x 10-3
– 0,15 x 10-2
(hari ke-0 sampai 14). Hal tersebut menunjukkan,
ekskresi amonia oleh lobster (sisa pakan dan feses)
belum banyak terakumulasi di air. Pada hari ke-21
sampai 35, konsentrasi amonia mengalami
peningkatan, sebagai indikasi meningkatnya
akumulasi buangan sisa pakan dan feses.
Konsentrasi amonia kemudian cenderung
mengalami penurunan sampai pada akhir
penelitian. Hal ini disebabkan, proses nitrifikasi,
yaitu konversi amonia menjadi nitrit dan nitrat oleh
bakteri mulai berjalan, sehingga konsentrasi
amonia mengalami penurunan.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Penggunaan teknologi Recirculating Aquaculture
System (RAS) dengan menggunakan filter dari
kombinasi susunan biocrystal, batu koral, zeolit
dan karbon aktif, mampu menghasilkan kualitas air
yang memenuhi syarat untuk budidaya pendederan
lobster Panulirus homarus.
Saran
Perlunya dilakukan kajian tentang standar desain,
komposisi, dimensi dan analisis ekonomi RAS
untuk pendederan budidaya lobster.
UCAPAN TERIMA KASIH
Ucapan terima kasih dan penghargaan diberikan
kepada bapak Eddy Supriyono dan Kukuh Adiyana
atas bimbingannya dalam penyusunan karya tulis
ilmiah ini. Ucapan terima kasih juga disampaikan
kepada KKP yang telah memberikan pendanaan
dari sumber APBN 2013 untuk terlaksananya
penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA [APHA] American Public Health Association. (1990).
Standard methods for the examination of water
and wastewater. 20th edition. Washington DC
(US): APHA Pr.
[APHA] American Public Health Association. (1999).
Standard methods for the examination of water
and wastewater. Washington DC (US): APHA
Pr
Boyd, C.E., & Tucker, CS. (1998). Pond aquaculture
water quality management. New York (US):
Springer Science+Business Media.
Burton, C.A. (2003). Lobster hatcheries and stocking
programmes: An introductory manual. Sea Fish
Industry Authority Aquaculture Development
Service. Seafish Report SR552. ISBN: 0 903941
66 X.
Chau, N.M., Ngoc, N.T.B., & Nhan, L.T. (2008). Effect
of different types of shelter on growth and
survival of Panulirus ornatus Juveniles. Di
dalam: Williams KC, editor. Spiny Lobster
aquaculture in the Asia-Pacific region; 2008 Des
9-10; Nha Trang, Vietnam. Canberra (AU):
Australian Centre for International Agricultural
Research. hlm 85-88.
Dalsgaard, J., Lund, I., Thorarinsdottir, R., Drengstig,
A., Arvonen, K., & Pedersen, P.B. (2013).
Farming different species in RAS in Nordic
countries: Current status and future perspectives.
Journal of Aquacultural Engineering, 53, 2–13.
Drengstig, A., & Bergheim, A. (2013). Commercial
land-based farming of European lobster
(Homarus gammarus L.) in Recirculating
Aquaculture System (RAS) using a single cage
Uji Performansi Teknologi Recirculating Aquaculture System (RAS) Terhadap Kondisi Kualitas Air pada Pendederan
Lobster Pasir Panulirus homarus - Lolita Thesiana dan Amin Pamungkas
73
approach. Journal of Aquacultural Engineering,
53, 14– 18.
Effendi, H. (2003). Telaah kualitas air. Yogyakarta
(ID): Kanisius.
Endarko, Putro, T., Nuzula, N.I., Armawati, N.,
Wardana, A., Rubiyanto, A., dan Muntini, M.S.
(2013). Rancang bangun sistem penjernihan dan
dekontaminasi air sungai berbasis biosand filter
dan lampu ultraviolet. Berkala Fisika, 16, 75-84.
Johnston, D., Melville-Smith, R., Hendriks, B.,
Maguire, G.B., & Phillips, B. (2006). Stocking
density and shelter type for the optimal growth
and survival of Western Rock Lobster Panulirus
cygnus (George). Journal of Aquaculture, 260,
114–127.
Kasam, Yulianto, A., dan Sukma, T. (2005). Penurunan
COD (chemical oxygen demand) dalam limbah
cair laboratorium menggunakan filter karbon
aktif arang tempurung kelapa. LOGIKA, 2(2), 3-
17.
Kuhn, D.D., Drahosb, D.D., Marsha, L., & Flick Jr, G.J.
(2010). Evaluation of nitrifying bacteria product
to improve nitrification efficacy in recirculating
aquaculture systems. Journal of Aquacultural
Engineering, 43, 78–82.
Phillips, B.F., & Kittaka, J. (2000). Spinny lobster:
Fisheries and culture. Osney Mead (GB):
Blackwell Science.
Pusat Pengkajian dan Perekayasaan Teknologi Kelautan
dan Perikanan [P3TKP]. (2013). Laporan akhir
penelitian rekayasa shelter untuk pendederan air
laut. Jakarta: Kementerian Kelautan dan
Perikanan.
Silaban, T.F., Santoso, L., dan Suparmono. (2012).
Pengaruh penambahan zeolit dalam peningkatan
kinerja filter air untuk menurunkan konsentrasi
amonia pada pemeliharaan Ikan Mas (Cyprinus
carpio). e-Jurnal Rekayasa dan Teknologi
Budidaya Perairan, I(1), 47-56.
Spotte, H.S., (1996). Fish and Invertebrate Culture.
Water Management in Closed System. New York
(US): Willey Interscience.
Wickins, J.F., & Lee, D.O.C. (2002). Crustacean
farming ranching and culture. Blackwell Science
Ltd.
Yudha, A.P. (2009). Efektifitas penambahan zeolit
terhadap kinerja filter air dalam sistem
resirkulasi pada pemeliharaan Ikan Arwana
Sceleropages formosus di akuarium. Skripsi.
Dept. BDP, FPIK, Institut Pertanian Bogor.
JURNAL KELAUTAN NASIONAL, Vol. 10, No. 2, Agustus 2015, Hal. 65-73
74
Pergerakan Zona Konvergensi di Samudera Pasifik Bagian Barat Berdasarkan Data Insitu dan Satelit -
Faisal Hamzah, Eko Susilo, Iis Triyulianti dan Agus Setiawan 75
PERGERAKAN ZONA KONVERGENSI DI SAMUDERA PASIFIK BAGIAN BARAT
BERDASARKAN DATA INSITU DAN SATELIT
CONVERGENCE ZONE DISPLACEMENT IN WESTERN PACIFIC OCEAN
BASED ON INSITU AND SATELLITE DATA
Faisal Hamzah, Eko Susilo, Iis Triyulianti dan Agus Setiawan Balai Penelitian dan Observasi Laut, Balitbang KP, KKP
Jl. Baru Perancak, Negara, Jembrana, Bali 82251
E-mail: faisalhamzah@kkp.go.id dan ekosusilo@live.com
Diterima tanggal: 3 Maret 2014, diterima setelah perbaikan: 24 Juni 2015, disetujui tanggal: 26 Juni 2015
ABSTRAK
Samudera Pasifik berperan penting dalam siklus El-Nino Southern Oscillation (ENSO) dan berpengaruh signifikan pada
kegiatan penangkapan tuna di Indonesia, khususnya ikan Cakalang. Penelitian ini bertujuan mengetahui pola pergerakan
zona konvergensi di Samudera Pasifik bagian Barat dengan mengamati pergerakan parameter oseanografi seperti suhu,
salinitas, klorofil-a, dan produktivitas primer. Data parameter oseanografi tersebut terdiri dari data insitu, data satelit
maupun hasil pemodelan. Hasil analisis menunjukan adanya pergerakan zona konvergensi di Barat Pasifik yang
dicirikan variabel proksi yaitu isotermal 29°C, isohalin 34,6 psu, konsenrasi klorofil-a sebesar 0,1 mg/m3
dan NPP 300
mgC/m2/day. Pola pergerakan zona konvergensi baik secara horisontal maupun vertikal dipengaruhi oleh ENSO. Pada
saat terjadi La-Nina massa air dengan suhu yang hangat bergeser ke arah Barat yang diikuti dengan meningkatnya
kesuburan perairan. Pergerakan vertikal massa air hangat terjadi pada kedalaman 25-75 m (suhu) dan 50 m (salinitas).
Namun pada saat El-Nino massa air hangat bergerak ke arah Timur Samudera Pasifik. Fluktuasi produksi tangkapan
ikan Cakalang di perairan Indonesia Timur mengikuti pola pergerakan zona konvergensi tersebut. Peningkatan jumlah
produksi ikan Cakalang di Kota Sorong meningkat seiring dengan keberadaan zona konvergensi di bagian Barat (La-
Nina), namun di Propinsi Papua menunjukan pola sebaliknya.
Kata kunci: zona konvergensi, Samudera Pasifik, ENSO.
ABSTRACT
Pacific Ocean have an important role on El-Nino Southern Oscillation (ENSO) phenomena that have significant
relationship with tuna fisheries in Indonesian waters, especially for skipjack tuna. The aim of this study is to determine
convergence zone displacement in Western Pacific Ocean based on oceanography parameters such as temperature,
salinity, chlorophyll-a, and net primary productivity from insitu, satellite and model data. The convergence zone
displacement in Western Pacific Ocean were characterized by proxies variable of isotherm 29 °C, isohaline 34,6 psu,
chlorophyll-a concentration 0,1 mg/m3 and NPP 300 mg C/m
2/day. Whole of these displacement influenced by ENSO
event. The warm pool displacement westerly during La-Nina event accompanied with increasing marine primary
productivity. The vertical movement of warm pool occurred on 25-75m depth for temperature and 50 m depth for
salinity. Otherwise, during the El-Nino event the warm pool move to eastward. The fluctuation of skipjack tuna
production in eastern of Indonesian Waters following the convergence zone displacement in Western Pacific Ocean.
The increasing of skipjack tuna productions in Sorong increase due to convergence zone in the western part of Pacific
(La-Nina), meanwhile for the Papua’s skipjack tuna production show the opposite.
Keywords: convergence zone, Pacific Ocean, ENSO.
JURNAL KELAUTAN NASIONAL, Vol. 10, No. 2, Agustus 2015, Hal. 75-90
76
PENDAHULUAN
Samudera Pasifik berperan penting dalam siklus
El-Nino Southern Oscillation (ENSO) dan iklim
dunia (Lehodey et al., 1997). Fenomena ENSO
memberikan pengaruh yang signifikan kepada
kegiatan penangkapan di Indonesia. Hal ini erat
kaitannya dengan adanya pergerakan kolam air
hangat di Samudera Pasifik bagian Barat yang
sangat dipengaruhi oleh pola angin pasat (trade
wind). Pada kondisi normal angin pasat berhembus
dari Timur dan Tenggara menuju ke Samudera
Pasifik bagian Barat yang membangkitkan arus
permukaan dan aliran massa air dari Timur ke
Barat di sepanjang ekuator Samudera Pasifik.
Kondisi ini menyebabkan tumbuhnya permukaan
air hangat di Samudera Pasifik bagian Barat yang
dikenal sebagai kolam air hangat Pasifik Barat
(West Pacific Warm Pool). Selain itu angin
menyebabkan terjadinya percampuran air
permukaan yang hangat dengan lapisan yang lebih
dalam (mixed layer) yang dicirikan dengan lapisan
termoklin pada kedalaman sekitar 100 meter atau
lebih di Samudera Pasifik bagian Barat. Sementara
itu di Samudera Pasifik bagian Timur, massa air
yang dingin yang berasal dari lapisan yang lebih
dalam naik di lepas pantai Amerika Selatan untuk
mengisi massa air yang terbawa ke Barat dan
menghasilkan lapisan termoklin yang dangkal,
sekitar 10-50 meter (Setiawan, 2002).
Kolam air hangat Pasifik Barat memiliki zona
konvergensi permanen di bagian Timurnya. Zona
konvergensi ini dicirikan oleh adanya front suhu
dan salinitas permukaan laut, pola arus dan
konsentrasi nutrien sebagai akibat pertemuan dua
massa air yang berbeda yaitu massa air dingin
dengan salinitas yang lebih tinggi dari Samudera
Pasifik ekuatorial bagian Tengah dan Timur yang
bertemu dengan massa air hangat dengan salinitas
rendah dari Samudera Pasifik ekuatorial bagian
Barat. Perpindahan massa air secara zonal (Barat-
Timur) dari zona konvergensi tersebut terjadi
mengikuti siklus ENSO. Pada saat El-Nino zona
konvergensi ini berpindah ke arah Timur,
sebaliknya pada saat La-Nina berpindah ke arah
Barat (Lehodey et al., 1997).
Sebagaimana diketahui, zona konvergensi dan
front merupakan kombinasi mekanisme yang
sangat penting bagi plankton dan mikronekton dan
tuna sebagai salah satu predatornya. Lehodey et al.
(1997), menyatakan pergerakan kolam air hangat
di Samudera Pasifik bagian Barat mempengaruhi
kelimpahan ikan Cakalang (Katsuwonus pelamis)
di Perairan Indonesia bagian Timur. Supangat et
al. (2004) menyatakan bahwa terdapat korelasi
antara kelimpahan relatif ikan cakalang dengan
variabel proksi untuk zona konvergensi yang
meliputi isotermal 29°C suhu permukaan laut,
isohaline 34,6 psu dan kejadian ENSO. Variabel
proksi ini digunakan karena data time series yang
bersifat menerus baik terhadap waktu dan ruang.
Penelitian ini bertujuan mengetahui pola
pergerakan zona konvergensi di Samudera Pasifik
bagian Barat. Selain itu pengetahuan mengenai
pola pergeseran kolam air hangat dapat digunakan
sebagai dasar penentuan prediksi keberadaan ikan
cakalang hingga beberapa bulan ke depan.
BAHAN DAN METODE
Identifikasi pola pergerakan zona konvergensi
menggunakan analisis hovmoller diagram
berdasarkan front suhu permukaan laut,
konsentrasi klorofil-a, salinitas dan produktivitas
primer perairan. Hovmoller diagram mampu
menggambarkan data-data oseanografi secara time
series berdasarkan longitude maupun latitude
dengan lebih baik. Lokasi penelitian difokuskan di
Samudera Pasifik bagian Barat (Warm Pool West
Pacific) dan Perairan Indonesia bagian Timur
seperti Utara Papua, Laut Maluku, Laut
Halmahera, Laut Seram dan Laut Banda (Gambar
1).
Gambar 1. Lokasi penelitian
Figure 1. Study site Sumber: http://www.pmel.noaa.gov/tao/
Analisis hovmoller diagram menggunakan
rasterVis package pada perangkat lunak R
(Lamigueiro & Hijmans, 2013). R adalah
perangkat lunak tak berbayar untuk komputasi
Pergerakan Zona Konvergensi di Samudera Pasifik Bagian Barat Berdasarkan Data Insitu dan Satelit -
Faisal Hamzah, Eko Susilo, Iis Triyulianti dan Agus Setiawan 77
statistik dan grafik (http://www.r-project.org/).
Batasan penggambaran hovmoller diagram
meliputi area antara 5 0N-5
0S dan 120
0E-120
0W
(Gambar 1) yang merupakan daerah zona
konvergensi (Lehodey et al., 1997). Periode waktu
pangamatan mulai bulan Juli 2002 sampai dengan
Desember 2012. Nilai rata-rata variabel data suhu
permukaan laut (SPL), salinitas (SAL), konsentrasi
klorofil-a (CHL), dan Net Primary Production
(NPP) pada longitude yang sama kemudian
digambarkan pada hovmoller diagram.
Data suhu permukaan laut dan konsentrasi klorofil-
a menggunakan citra Aqua MODIS bulanan Level
3 Global Standard Mapped Image (SMI). Data
tersebut memiliki ukuran grid 4320 x 8640 dengan
resolusi 1/24 derajat (4 km) baik latitude maupun
longitude. Data tersebut dapat di unduh melalui
portal: http://oceandata.sci.gsfc.nasa.gov/. Data
produktivitas primer perairan menggunakan data
hasil model Standart-Vertically Generalized
Production Model (VGPM). VGPM adalah standar
model untuk mengestimasi produktifitas primer
(mgC/m2/day) yang “berbasis klorofil-a” dengan
menggunakan data konsentrasi klorofil-a dan suhu
permukaan laut (MODIS), Photosynthetically
Available Radiation (seaWiFS) dan kedalaman
zona eufotik (Behrenfeld & Falkowski, 1997).
Data VGPM memiliki ukuran grid 2160 x 4320
dengan resolusi 1/12 derajat baik latitude maupun
longitude dalam format hdf diunduh melalui
http://www.science.oregonstate.edu/ocean.producti
vity/index.php.
Selain analisis pergerakan massa air di permukaan
juga dilakukan analisis profil vertikal suhu dan
salinitas menggunakan data pengukuran mooring
TAO/TRITON di Samudera Pasifik. Data suhu dan
salinitas diunduh melalui portal
http://www.pmel.noaa.gov/tao/. Dalam penelitian
ini, kedalaman yang diambil adalah 1 m, 25 m, 50
m, 75 m dan 100 m. Hal ini dilakukan berdasarkan
pada habitat ikan Cakalang di lapisan tercampur di
atas termoklin (Lehodey et al., 1997). Periode
waktu pangamatan mulai bulan Januari 2000
sampai dengan Desember 2012. Data suhu dan
salinitas berupa data rata-rata harian dalam format
ASCII. Data suhu dan salinitas kemudian dirata-
ratakan selama satu tahun di tiap kedalaman
berdasarkan posisi lintang dan tahun.
Gambar 2. Southern Oscillation Index, 2000-2013.
Figure 2. Southern Oscillation Index, 2000-2013 Sumber : http://www.bom.gov.au/climate/current/soi2.shtml
Analisis pengaruh pergerakan zona konvergensi
terhadap volume produksi tangkapan ikan cakalang
di Perairan Indonesia bagian Timur melalui data
pendaratan ikan cakalang di Provinsi Papua dan
Kota Sorong. Pendataan masing-masing dilakukan
oleh Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Papua
dan Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Sorong.
Data tangkapan ikan cakalang yang digunakan
adalah data rata-rata bulanan dari tahun 2007-2012.
Analisis data tangkapan ikan Cakalang bulanan
tersebut dikaitkan dengan Southern Oscillation
Index (SOI). SOI memberikan informasi mengenai
indikasi dan intensitas kejadian El-Nino dan La-
Nina di Samudera Pasifik berdasarkan perbedaan
tekanan di Tahiti dan Darwin (Treenberth,
1997). Periode El Nino ditandai oleh nilai SOI
negatif (SOI < -8), sedangkan periode La-Nina
ditandai oleh nilai SOI positif (SOI > +8). Nilai
SOI selama kurun waktu 2000-2013 disajikan pada
Gambar 2.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pergerakan massa air di laut dapat terjadi secara
horizontal maupun vertikal, masing-masing proses
tersebut mempunyai karakteristik yang berbeda
untuk suhu, salinitas, atmosfer, dan tekanan.
Perbedaan karakteristik tersebut akan berpengaruh
terhadap kondisi atau habitat ikan. Pada umumnya
ikan mempunyai karakteristik tersendiri terhadap
lingkungannya di laut. Apabila ikan-ikan tersebut
bergerak di luar habitat mereka, maka
pertumbuhan dan tingkat kelangsungan hidupnya
akan menurun. Ikan Cakalang umumnya
beradaptasi pada lapisan permukaan yang hangat,
sedangkan big eye mempunyai habitat di lapisan
dalam yang dingin (Brill et al., 2005).
JURNAL KELAUTAN NASIONAL, Vol. 10, No. 2, Agustus 2015, Hal. 75-90
78
Pergerakan Horizontal Zona Konvergensi
Hasil analisa data citra dengan menggunakan
hovmoller diagram terhadap parameter SPL, CHL,
NPP dan SAL periode tahun 2002-2012 pada area
5 0N-120
0E, 5
0S-120
0W terlihat dengan jelas
adanya pergerakan massa air di sepanjang ekuator
Samudera Pasifik. Pada Gambar 3a, ditunjukkan
adanya perbedaan nilai SPL di bagian Barat Pasifik
dengan Timur Pasifik. Pada bagian Barat Pasifik
memiliki SPL lebih hangat (> 28,5 0C), sedangkan
bagian Tengah dan Timur Pasifik cenderung lebih
dingin. Perbedaan tersebut ditandai oleh isoterm 29 0C. Pola yang sama juga dapat dilihat pada
hovmoller diagram salinitas (Gambar 3b), dimana
pergerakan salinitas ke arah Barat dan Timur
Pasifik menunjukan terjadinya ENSO. Bagian
Barat Pasifik dicirikan oleh nilai salinitas yang
rendah (33,5-34,6 psu), sedangkan bagian Tengah
dan Timur Pasifik dicirikan oleh salinitas yang
tinggi (> 35,2 psu). Perbedaan massa air tersebut
ditandai oleh isohaline 34,6 psu.
Pola pergerakan isoterm 29 0C dan isohalin 34,6
psu mengikuti perubahan nilai SOI. Pada saat
lapisan isoterm 29 0C menuju ke bagian Tengah
dan Timur Pasifik, nilai SOI negatif yang
mengindikasikan terjadinya El-Nino seperti terjadi
pada tahun 2010. Pada tahun 2008 lapisan isoterm
29 0C bergeser menuju ke Barat Pasifik dan nilai
SOI positif yang mengindikasikan terjadinya La
Nina (Gambar 3a). Hal yang sama juga terjadi
pada tahun 1990-1991 dan 1995 saat terjadi La-
Nina dan tahun 1992-1994 saat terjadi El-Nino.
Pada saat terjadi La-Nina, SOI naik dari 0 hingga -
1,5 saat terjadi El-Nino berkisar antara 0 hingga -1
(Lehodey et al., 1997). Daerah zona konvergensi
yang diamati setiap tahunnya berubah berdasarkan
bujur. Jika dilihat kembali hovmoller diagram SPL,
pergerakan massa air pada saat El-Nino dan La-
Nina mempunyai batas pada bujur 160 0E-160
0W.
Pada saat La Nina (2006, 2008, dan 2011-2012),
zona konvergensi mempunyai batas 160 0E. Pada
saat El Nino (2007 dan 2010), zona konvergensi
mempunyai ujung batas hingga bujur 160 0W.
Pergerakan massa air dipengaruhi oleh angin pasat
(trade wind) yang berasal dari Timur dan Tenggara
Pasifik, baik North Equatorial Current (NEC) dan
South Equatorial Current (SEC), yang menuju ke
bagian Barat Pasifik dan kembali lagi dari Barat
menuju ke Tengah dan Timur Pasifik (Stewart,
2002). Semakin besar angin dari Barat Pasifik
berhembus, maka daerah zona konvergensi yang
terbentuk juga akan semakin besar. Sebaliknya,
semakin kecil angin dari Barat berhembus, maka
zona konvergensi yang terbentuk akan semakin
kecil.
Rendahnya nilai salinitas pada bagian Barat Pasifik
merupakan implikasi ENSO (Picaut et al., 1996).
Pada saat El Nino (Juli 2002, 2005 dan 2010),
salinitas bergerak ke arah Tengah dan Timur
Pasifik. Namun berbeda saat La Nina (2006, 2008
dan 2012), massa air dengan salinitas rendah
bergerak kearah Barat Pasifik. Perpindahan secara
zonal salinitas lebih terlihat dan bervariasi pada
bujur 140 0E-160
0W. Pada Gambar 3e (hasil
tumpang tindih Gambar 3a dan 3b) dengan
parameter salinitas 34,6 psu, dapat dilihat pula
adanya proses adveksi (gerakan transfer horisontal)
dari Barat Pasifik yang ditandai oleh suhu yang
hangat (29 0C) dan salinitas yang rendah (34,6
psu) dan bertemu dengan massa air dari Tengah-
Timur Pasifik dengan suhu yang lebih rendah (<
28 0C) dan salinitas lebih tinggi (> 34,6 psu). Hal
ini bisa dilihat lebih rinci melalui Gambar 3e pada
Juli 2002, 2005, 2007, dan 2010. Picaut et al.,
(1996), mengobservasi proses ini dengan cara
memasang buoy-drifter dengan lokasi 4 0S-4
0N
pertengahan 1988-1993 dan hasilnya adalah
trajektori buoy drifter ini mengikuti pergerakan
pinggir Timur warm pool khususnya pada suhu 29 0C dan salinitas 34,6 psu. Proses adveksi tersebut
akan berasosiasi dengan El Nino dan La Nina serta
variasi arus permukaan yang nantinya akan
menumbuhkan suatu zona konvergensi di bagian
pinggir kolam air hangat (eastern edge of warm
pool) yang kaya akan produktivitas primer (Picaut
et al., 1996).
Berdasarkan Gambar 3c dan 3d, terlihat adanya
pergerakan massa air kearah Timur-Barat Pasifik
yang mempengaruhi kesuburan perairan yang
ditandai oleh pergerakan CHL (0,1 mg/m3) dan
NPP (300 mgC/m2/day). Pergerakan massa air
yang membawa CHL dan NPP dari arah Timur
Pasifik menuju Barat dapat dilihat pada tahun
2006, 2008 dan 2011-2012. Sedangkan tahun
2003, 2005, 2007, 2010 dan pertengahan 2012,
terjadi pergerakan zona konvergensi yang
membawa CHL dan NPP dari Barat Pasifik
menuju Tengah dan Timur. Wilayah pergerakan
CHL berada pada batas160 0E-160
0W. Pengaruh
pergerakan massa air tersebut sangat dipengaruhi
oleh daerah divergen di Pasifik bagian Tengah dan
Pergerakan Zona Konvergensi di Samudera Pasifik Bagian Barat Berdasarkan Data Insitu dan Satelit -
Faisal Hamzah, Eko Susilo, Iis Triyulianti dan Agus Setiawan 79
Timur dimana massa air dingin dari lapisan dalam
akan bergerak menuju ke permukaan dan
membawa nutrien yang tinggi. Selain itu, karena
pasokan nutrien yang tinggi, maka fitoplankton
akan tumbuh subur di daerah ini dan akan banyak
ikan-ikan kecil yang memakan plankton tersebut.
Hal ini akan mengundang predator pelagis (tuna,
billfish dan hiu) bergerak ke lapisan permukaan
untuk memakan ikan kecil tersebut (Grandperrin,
1978). Dengan adanya angin pasat, maka daerah
divergen akan bergerak kearah Barat Pasifik.
Konsentrasi CHL dan NPP sepanjang bujur 130 ⁰E
dari pertengahan tahun 2002 hingga 2012
mempunyai nilai yang tinggi (Gambar 3c dan
Gambar 3d). Daerah ini merupakan Perairan
Indonesia yang subur meliputi Laut Arafura, Laut
Halmahera dan Laut Maluku. Hal yang sama juga
dapat dilihat pada bujur 130 ⁰W dimana nilai NPP
tinggi dan mencapai kisaran 400-700 mgC/m2/day
(Gambar 3d). Tingginya nilai CHL dan NPP di
wilayah Perairan Indonesia sangat dipengaruhi
oleh angin monsun dan diduga menjadi salah satu
faktor yang menyebabkan terkonsentrasinya ikan
cakalang di wilayah tersebut. Bunyamin (1981),
menyatakan bahwa penyebaran ikan cakalang
terdapat pada lintang 10 0S-5
0S yang meliputi Laut
Sulawesi, Laut Maluku, Laut Halmahera, Laut
Flores, Laut Sawu, Laut Timor, Laut Arafura dan
Perairan utara Papua dengan batas antara 5 0N–1
0S
dan 131–146 0E. Daerah potensial penyebaran ikan
cakalang di perairan utara Papua tersebar antara
10S-4
0N, tetapi lebih terkonsentrasi pada daerah
antara 0-20N (Waas, 2004).
Daerah Pasifik bagian Barat merupakan
oligotropik yang miskin akan nutrien, namun
kelimpahan ikan cakalang di daerah ini sangat
tinggi (Lehodey et al., 1997). Hal ini lebih
disebabkan oleh adanya zona konvergensi yang
luas yang mampu mendukung kelangsungan hidup
ikan cakalang. Zona konvergensi ditandai oleh
mikronekton dan bahan organik. Sebagian nutrien
dan fitoplankton yang berasal dari zona divergen di
bagian Pasifik Tengah akan terbawa oleh massa air
menuju daerah konvergensi hingga jarak 1800-
2500 km (Lehodey et al., 1997).
Maes et al., (2010) meneliti mengenai kandungan
klorofil-a di bagian Barat Pasifik yang dilakukan
pada saat survey Frontalis-3 tahun 2005, hasil
observasi tersebut menunjukan nilai klorofil-a
tinggi pada kedalaman 60-100 m yang berasal dari
bagian Tengah Pasifik. Massa air yang
mengandung klorofil-a tersebut bergerak dari
tengah menuju Barat Pasifik (zona konvergensi),
terutama pada wilayah 160 0E-163
0E. Tingginya
nilai klorofil-a tersebut disebabkan oleh stabilitas
massa air yang kuat pada kolom perairan dan juga
dikontrol oleh salinitas. Stratifikasi ini dihasilkan
sama dengan efek sebagai lapisan batas (barrier
layer) dan mencegah masuknya massa air dingin
ke lapisan permukaan yang berasal dari lapisan
termoklin yang kedalamannya lebih dari 100 m
(Maes et al., 2010). Nutrien yang berasal dari
lapisan bawah tidak mampu naik ke permukaan
(eufotic zone) dan tidak dapat meningkatkan
produktivitas primer pada perairan tersebut.
Matsumoto & Ando (2009), menemukan hubungan
yang erat antara proses fisik dan proses biologi
pada lapisan permukaan di Barat Pasifik. Hasil
yang sama juga telah dilakukan oleh Maes et al.
(2010) yang menggunakan data argo float tahun
2002-2004 serta data citra SeaWIFS dan
Modis/Aqua dimana hasilnya adalah konsentrasi
klorofil-a yang tinggi. Hasil penelitian Maes et al.,
(2010) menunjukan bahwa selama periode 1998-
2006, perpindahan secara zonal klorofil-a lebih
terlihat dan bervariasi pada bujur 140 0E-160
0W.
Zona konvergensi yang dibatasi oleh suhu, nutrien
dan front salinitas dapat dijadikan sebagai
monitoring ENSO. Hal tersebut di deteksi oleh
daerah pinggir paling timur kolom air hangat.
Berdasarkan data klorofil-a, daerah pinggir paling
timur kolam air hangat bisa dideteksi jika
konsentrasinya adalah 0,1 mg/m3
(Maes et al.,
2010). Pada diagram hovmoller CHL juga
menunjukan pergerakan Barat-Timur pada
konsentrasi 0,1 mg/m3. Fenomena ENSO yang
kuat pada periode tahun 1997-1998, berpengaruh
pada proses biogeokimia di ekuatorial Pasifik
(Chavez et al., 1999). Daerah transisi pada Barat
Pasifik bisa dikenali pada pada suhu perairan yang
hangat yaitu lebih dari 28 0C (Maes et al., 2010).
Pada periode tersebut, CHL akan bergeser hingga
20 derajat ke arah Barat dibandingkan dengan
menggunakan isoterm 28 0C. Hal yang berbeda
dengan yang dilakukan oleh Waliser (1996) dalam
Maes et al., (2010), dimana daerah transisi pada
Barat Pasifik memiliki suhu lebih panas dari 29,75 0C. Pada umumnya, keterkaitan pergerakan CHL
pada daerah transisi selain dipengaruhi oleh arus,
juga dipengaruhi oleh variabilitas salinitas.
JURNAL KELAUTAN NASIONAL, Vol. 10, No. 2, Agustus 2015, Hal. 75-90
80
Pergerakan vertikal massa air
Hasil pengolahan dan analisis profil suhu dan
salinitas pada kedalaman 0-100 m dari data TAO
array yang terletak pada lintang 0N, 2S, 2N, 5N
dan 5S pada bujur 150 0E-110
0W selama kurun
waktu sepuluh tahun terakhir (2000-2011)
menunjukkan adanya pergerakan vertikal massa air
di Samudera Pasifik bagian Barat. Pada Gambar 4,
Gambar 5, Gambar 6, Gambar 7, dan Gambar 8
memperlihatkan profil suhu, pada daerah Ekuator
(0N) menunjukkan terjadinya pergerakkan masa air
hangat (isoterm 28-29 0C) baik secara vertikal dan
horizontal. Pergerakkan kolom massa air hangat
suhu 29 0C di daerah ekuator lintang 0
0N
menunjukan pergerakan horizontal kearah Barat
dan pergerakan vertikal dari layer 25 m hingga
layer 65 m dari tahun 2000 ke tahun 2001. Hal
yang sama juga terlihat pada lintang 5N, 2N, 2S,
a)
c)
b)
d)
29
29
34,6
34,6
0.1
0.1
300
300
e)
34.6
Gambar 3. Diagram Hovmoller SPL (a), Salinitas
(b), CHL (c), NPP (d) dan SPL Vs Salinitas (34,6
psu) (e) di Samudera Pasifik Bagian Barat. Garis
hitam adalah nilai isoterm 290C, isohaline 34,6
psu, Chl-a 0,1 mg/m3 dan NPP 300mgC/m
2/day
Figure 3. Hovmoller diagram of SST (a), Salinity
(b), CHL (c), NPP (d) and Salinity Versus salinity
at 34,6 psu in Western Pacific Ocean. Black line
show the isotherm 29oC, isohaline 34,6 psu, Chl-a
0,1mg/m3, NPP 300mgC/m
2/day
Sumber: Hasil pengolahan data
Pergerakan Zona Konvergensi di Samudera Pasifik Bagian Barat Berdasarkan Data Insitu dan Satelit -
Faisal Hamzah, Eko Susilo, Iis Triyulianti dan Agus Setiawan 81
dan 5S. Pola pergerakan massa air pada tahun 2000
secara horizontal mempunyai batas kolom air
hangat berada di sekitar 1700E. Pada tahun 2001,
2002 dan 2003 kolam air hangat bergeser kearah
Timur di sekitar 160 0W. Batas kolom air hangat
kemudian bergeser ke Barat di sekitar 180 0E pada
tahun 2004-2007. Selanjutnya pada tahun 2008 dan
2011 batas kolom air hangat bergeser kembali ke
arah Barat di sekitar 170 0E, sementara itu pada
tahun 2009 dan 2010 batas tersebut kembali
bergeser ke Timur berada disekitar 170 0W.
Pergeseran batas kolom air hangat secara vertikal
sangat erat hubungannya dengan kejadian La-Nina
dan El-Nino. Pada kondisi normal, kolom air
hangat di Ekuator Samudera Pasifik berada di
sekitar 170 0W. Pada saat El-Nino, batas kolom air
hangat tersebut bergerak menuju Timur, sedangkan
pada saat La-Nina, kolom air hangat tersebut
bergerak kearah Barat. Pergerakan tersebut juga
bisa dilihat berdasarkan SOI. Pada tahun 2002-
2003 terjadi El-Nino (SOI<-8) dan ini
menyebabkan kolam air hangat bergerak kearah
Timur. Hal yang sama juga diduga dengan
pergerakan ikan cakalang dimana akan bermigrasi
mengikuti pergerakan massa air dari barat menuju
timur (Lehodey et al., 1997). Pada saat El-Nino,
adanya pergerakan massa air dengan suhu yang
lebih hangat menuju Timur (Pasifik bagian
Tengah) kemudian bagian pinggir dari warm pool
akan berosilasi pada 180 0W dengan perpindahan
massa air yang besar dari timur dan ini akan
berkorelasi dengan sinyal ENSO, kadang
perpindahan tersebut lebih dari 50 derajat
(Lehodey et al., 1997). Pada tahun 2007-2008
(SOI>8) dan 2010-2011 (SOI>8) terjadi La-Nina,
pada saat itu kolom air hangat bergerak menuju
barat dan diduga penyebaran ikan cakalang akan
berada di bagian Barat Samudera Pasifik. Lehodey
et al. (1997), memperlihatkan pergerakan ikan
cakalang pada saat La Nina ke arah Barat Pasifik.
Ikan cakalang tersebut ditandai (tagging) pada
Maret 1992, kemudian ditangkap kembali sebelum
Oktober 1992 dengan dominansi pergerakan
menuju kearah Barat Pasifik.
Jika massa air pada Gambar 4, Gambar 5, Gambar
6, Gambar 7, dan Gambar 8 dilihat secara spasial,
semakin kearah Barat Samudera Pasifik, suhu
umumnya menjadi lebih hangat (>28 0C) dan
mempunyai variabilitas musiman kurang dari 1 0C.
Di daerah Tengah dan Timur Samudera Pasifik,
massa air lebih dicirikan oleh suhu yang rendah
dibandingkan suhu di sebelah Barat Samudera
Pasifik. Proses divergensi di bagian Tengah hingga
timur diduga sebagai penyebab hal di atas. Proses
ini diduga membawa nutrien yang tinggi hingga ke
permukaan. Massa air juga membawa khlorofil-a
yang tinggi dan mengindikasikan tingkat
produktivitas primer. Daerah tersebut sering
dikenal dengan istilah “cold tongue”. Bagian Barat
Samudera Pasifik yang lebih hangat, salinitas dan
nutrien yang rendah akan bergerak menuju ke
Timur dan dipengaruhi oleh angin barat dan daerah
bagian Timur yang berbatasan dengan cold tongue
dikenal dengan istilah tropical convergence zone.
Zona ini bisa diidentifikasi dengan front salintas
dan suhu isoterm 29 0C. Supangat et al., (2004)
juga menganalisa daerah konvergensi di Pasifik
pada tahun 1993 dengan mengidentifikasi front
salinitas dan isoterm 28-29 0C dimana daerah
konvergensi begerak pada 163 0E-150
0W dan 13
0S-6
0N pada bulan Januari-Maret. Pada bulan
April daerah konvergensi bergerak ke Barat dan
berada pada 165 0E-158
0 W dan 8
0S-5
0N hingga
bulan Mei mencapai 156 0E. Pada periode
September-Desember, daerah konvergensi semakin
ke arah selatan (163 0E-164
0W dan 13
0S-3
0N).
Keberadaan daerah potensial ikan cakalang satu
daerah memiliki karakteristik yang berbeda. Suhu
optimal untuk ikan cakalang di Pasifik bagian
Barat berada pada kisaran 29 0C (Lehodey et al.,
1997), hal ini berbeda dengan di bagian Selatan
pesisir Brazil dimana ikan cakalang yang
ditangkap berada pada kisaran suhu 17-30 0C
(Andrade & Garcias, 1999). Di perairan Tasmania
dan Tenggara Australia, ikan cakalang ditangkap
pada suhu 15-18 0C, di Perairan Jepang dan
Selatan Amerika pada suhu 20-24 0C serta di
Selatan India pada suhu 28-29 0C (Barkley et al.,
1978). Di Perairan Indonesia, ikan cakalang bisa
tumbuh pada suhu 26–32 0C, dan suhu yang ideal
untuk melakukan pemijahan adalah pada 28–29 0C
dengan salinitas 33 psu (Gunarso, 1985). Di
Perairan Teluk Palabuhan Ratu, ikan cakalang
banyak tertangkap pada kisaran suhu 25–29 0C
(Limbong, 2008). Dizon (1977) menganalisis suhu
15 0C merupakan batas bawah lethal untuk ikan
cakalang. Jika suhu dibawah 15 0C, maka ikan
cakalang tidak bisa hidup. Batas maksimal ikan
cakalang mampu hidup adalah 33 0C. Ikan
cakalang mempunyai sistem metabolisme untuk
beradaptasi dengan lingkungannya terutama
perbedaan suhu dengan menggunakan insang.
Selain itu, ikan cakalang juga sangat bergantung
JURNAL KELAUTAN NASIONAL, Vol. 10, No. 2, Agustus 2015, Hal. 75-90
82
pada kandungan oksigen terlarut. Umumnya ikan
cakalang menyukai perairan yang memiliki nilai
oksigen terlarut sekitar 4,5 ml O2/L atau 6,4 ppm
(Barkley et al., 1978).
Gambar 4. Rata-rata tahunan suhu (
0C) pada tahun 2000-2012 di lintang 0
0.
Figure 4. Annual averaged of temperature (0C) during 2000-2012 at 0
0
Sumber: Hasil pengolahan data
Pergerakan Zona Konvergensi di Samudera Pasifik Bagian Barat Berdasarkan Data Insitu dan Satelit -
Faisal Hamzah, Eko Susilo, Iis Triyulianti dan Agus Setiawan 83
Gambar 5. Rata-rata tahunan suhu (0C) pada tahun 2000-2012 di lintang 2
0N
Figure 5. Annual averaged of temperature (0C) during 2000-2012 at 2
0N
Sumber: Hasil pengolahan data
JURNAL KELAUTAN NASIONAL, Vol. 10, No. 2, Agustus 2015, Hal. 75-90
84
Gambar 6. Rata-rata tahunan suhu (
0C) pada tahun 2000-2012 di lintang 2
0S.
Figure 6. Annual averaged of temperature (0C) during 2000-2012 at 2
0S
Sumber: Hasil pengolahan data
Pergerakan Zona Konvergensi di Samudera Pasifik Bagian Barat Berdasarkan Data Insitu dan Satelit -
Faisal Hamzah, Eko Susilo, Iis Triyulianti dan Agus Setiawan 85
Gambar 7. Rata-rata tahunan suhu (0C) pada tahun 2000-2012 di lintang 5S.
Figure 7. Annual averaged of temperature (0C) during 2000-2012 at 5
0S
Sumber: Hasil pengolahan data
JURNAL KELAUTAN NASIONAL, Vol. 10, No. 2, Agustus 2015, Hal. 75-90
86
Gambar 8. Rata-rata tahunan suhu(0C) pada tahun 2000-2012 di lintang 5N.
Figure 8. Annual averaged of temperature (0C) during 2000-2012 at 5
0N
Sumber: Hasil pengolahan data
Pergerakan Zona Konvergensi di Samudera Pasifik Bagian Barat Berdasarkan Data Insitu dan Satelit -
Faisal Hamzah, Eko Susilo, Iis Triyulianti dan Agus Setiawan 87
a) b)
c) d)
e) f)
g) h)
i) j)
k)
Gambar 9. Profil vertikal salinitas pada lintang 5N (a-c), 5S (d-e), 2N (f-h), 2S (i) dan 0N (j-k).
Figure 9. Vertical profiles of salinity on longitude 5N (a-c), 5S (d-e), 2N (f-h), 2S (i) and 0N (j-k) Sumber: Hasil pengolahan data
JURNAL KELAUTAN NASIONAL, Vol. 10, No. 2, Agustus 2015, Hal. 75-90
88
Kondisi oseanografi selain suhu seperti salintas
juga mempengaruhi keberadaan ikan cakalang.
Pada daerah konvergensi, sangat ditentukan oleh
suhu yang hangat (26-29 0C) serta nilai salinitas
yang rendah. Umumnya front salinitas yang berada
di daerah tersebut berada pada isohalin 34,6 psu
(Supangat et al., 2004). Nilai salinitas yang lebih
rendah pada suhu hangat (warm low salinity)
sangat disukai oleh ikan cakalang. Hasil
pengolahan salinitas pada lintang 5N, 5S, 2N, 2S
dan 0N menunjukan variabilitas pada tiap
kedalaman. Pada Gambar 9, terlihat nilai salinitas
yang lebih rendah berada pada kedalaman 1-50 m;
terutama pada tahun 2005, 2007, dan 2011. Hal
tersebut mengindikasikan adanya pergerakan
massa air vertikal berdasarkan tingkat salinitas dan
fenomena La Nina.
Pada lokasi mooring TAO array yang dipetakan
salinitasnya, memiliki massa air bersalinitas rendah
dan terjadi pada tahun 2003, 2005, 2007 dan 2011.
Fenomena ENSO, berdasarkan indeks SOI pada
tahun 2003 (Gambar 2) terjadi El-Nino namun
intensitasnya tidak kuat, hal yang sama juga terjadi
pada tahun 2005. Pada tahun 2007, 2010 dan tahun
2011 terjadi La Nina. Kejadian La Nina yang kuat
pada bulan Desembar 2010 berpengaruh terhadap
ekuatorial Pasifik. Efeknya masih berpengaruh
hingga tahun 2011 namun intensitasnya tidak
sekuat tahun 2010. Daerah front terbentuk pada
periode pergerakan zona konvergensi tahun 2002-
2004 (Maes et al., 2006). Hasil analisis di atas
menunjukkan daerah Barat Pasifik yang dicirikan
oleh salinitas rendah yaitu 34,2-34,6 psu dan
daerah Tengah hingga Timur Pasifik yang ditandai
oleh nilai salinitas yang lebih tinggi (> 35,2 psu).
Perbedaan tersebut juga lebih dikarenakan oleh
fenomena ENSO. Front salinitas yang terbentuk
adalah berkisar 34,6-35 psu dan berada pada 2-3
derajat dari daerah konvergen (Maes et al., 2005).
Terdapat hubungan yang kuat antara salinitas
dengan klorofil-a di Samudera Pasifik. Nilai
klorofil yang tinggi umumnya akan berasosiasi
dengan salinitas yang rendah. Semakin tinggi
stratifikasi salinitas, maka nilai klorofil-a akan
semakin rendah (Maes et al., 2010). Maes et al.,
(2006) mengobservasi korelasi salinitas pada bujur
3 0N–3
0S di daerah ekuatorial dan hasilnya adalah
terdapat gradien salinitas pada daerah 165 0E dan
ditemukannya front salinitas dengan selang 34,6-
35 psu lebih dari 2-3 derajat daerah transisi
(eastern edge of equatorial pacific warm pool).
Pengaruh angin juga sangat berpengaruh pada nilai
salinitas. Front salinitas diatas merupakan lapisan
yang terbentuk karena adanya pertemuan 2 (dua)
massa air (subduksi) dari massa air yang
bersalinitas tinggi yang berasal dari Tengah dan
Timur Pasifik dengan massa air bersalinitas rendah
dari Barat Pasifik.
Pengaruh zona konvergensi terhadap hasil
tangkapan ikan cakalang
Pergerakan zona konvergensi di Barat Pasifik
tentunya akan berpengaruh terhadap tangkapan
ikan cakalang terutama di wilayah Indonesia,
Kepulauan Filipina dan daerah sekitar 160 0W
(Lehodey et al., 2003). Uktolseja et al. (1989),
penyebaran ikan cakalang di Indonesia meliputi
Samudera Hindia (Perairan Barat Sumatera,
Selatan Jawa, Bali, Nusa Tenggara), Perairan
Indonesia bagian timur (Laut Sulawesi, Maluku,
Arafuru, Banda, Flores dan Selat Makassar) dan
Samudera Pasifik (Perairan Utara Irian Jaya).
Pengaruh pergerakan zona konvergensi terhadap
hasil tangkapan ikan cakalang dapat diketahui
dengan melakukan analisa hubungan pergerakan
zona konvergensi terhadap hasil tangkapan ikan
cakalang di perairan Indonesia bagian Timur.
Gambar 10 menunjukkan hasil tangkapan ikan
cakalang di Perairan Indonesia bagian Timur yang
didaratkan di Kota Sorong maupun Provinsi Papua
selama periode tahun 2007-2012 jika dikaitkan
dengan fenomena ENSO. Pendataan hasil
tangkapan ikan cakalang dilakukan oleh Dinas
Kelautan dan Perikanan (DKP) Provinsi Papua
dan Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Sorong.
Menurut data DKP tersebut, pada saat La-Nina,
hasil tangkapan ikan cakalang cenderung menurun.
Pada tahun 2008 saat terjadi La-Nina SOI berada
pada batas atas threshold (> 8). Fenomena La-Nina
mempunyai intensitas yang tinggi pada awal tahun
2008 kemudian melemah hingga bulan Juli 2008.
La-Nina yang terjadi ini berdampak pada
perikanan cakalang di Provinsi Papua, dimana
hasil tangkapan ikan cakalang menurun hingga
1.611 kg khususnya pada bulan Januari 2008.
Seiring dengan berkurang atau melemahnya La-
Nina, ikan cakalang yang tertangkap di Papua
meningkat hingga puncaknya mencapai pada bulan
Mei 2008 dengan hasil tangkapan mencapai 33.183
kg. Berbeda dengan tangkapan di Provinsi Papua,
hasil tangkapan yang didaratkan di Kota Sorong
Pergerakan Zona Konvergensi di Samudera Pasifik Bagian Barat Berdasarkan Data Insitu dan Satelit -
Faisal Hamzah, Eko Susilo, Iis Triyulianti dan Agus Setiawan 89
menunjukan pola yang terbalik. Pada saat La-Nina,
hasil tangkapan meningkat pada tahun 2008
khususnya pada bulan Maret yang mencapai
18.480 kg. Pada saat La-Nina melemah, hasil
tangkapan cenderung menurun hingga mencapai
3.745 kg pada bulan Juli 2008. Efek dari kejadian
La-Nina terhadap hasil tangkapan ikan cakalang
terjadi juga pada bulan September 2009-Januari
2010 dimana terdapat hubungan positif dan negatif
terhadap musim tangkapan di kedua kota tersebut.
Gambar 10. Hubungan hasil tangkapan ikan
cakalang dengan SOI di Kota Sorong dan Provinsi
Papua tahun 2007-2012.
Figure 10. Relationship between skipjack tuna
catchment in Sorong City and Papua Province
related to SOI during 2007-2012 Sumber: Hasil analisis
Berdasarkan Gambar 10, fenomena El-Nino terjadi
mulai bulan Juni tahun 2009 hingga mencapai
puncaknya pada bulan Desember 2009 - Februari
2010. Pada saat itu, SOI memperlihatkan nilai di
bawah batas (< -8). Jika dikaitkan pengaruh El-
Nino, hasil tangkapan ikan cakalang di Kota
Sorong berfluktuasi. Pada bulan Juli 2009, hasil
tangkapan ikan cakalang mencapai 14.010 kg
kemudian berfluktuasi hingga bulan Januari 2010
sebesar 12.700 kg. Walaupun El-Nino mulai
melemah, ikan cakalang yang tertangkap masih
menunjukan nilai yang tinggi. Hal ini bisa dilihat
pada bulan Maret 2010 dimana hasil tangkapan
mencapai 22.765 kg. Pola yang linear antara SOI
dengan hasil tangkapan di kedua lokasi pendaratan
ikan terlihat pada pertengahan 2012. Pendaratan
ikan cakalang di Kota Sorong pada periode
tersebut mencapai 30.325 kg dan di Provinsi Papua
mencapai 21.625 kg.
KESIMPULAN DAN SARAN
Zona konvergensi bergeser ke arah Timur Barat
Pasifik akibat pengaruh ENSO. Pergerakan
horizontal massa air hangat kearah Barat Pasifik
dan pergerakan vertikal dari kedalaman 25 m
hingga 75 m khususnya pada isoterm 29 0C terjadi
saat La Nina. Hal yang sama juga terjadi pada
salinitas dimana nilai yang rendah bergerak secara
vertikal hingga kedalaman 50 m.
UCAPAN TERIMA KASIH
Penelitian ini merupakan bagian dari kegiatan di
Balai Penelitian dan Observasi Laut, Balitbang KP,
KKP. Ucapan terima kasih ditujukan kepada Ibu
Mutiara R. Putri dan Bapak Budi Nugraha atas
diskusinya terkait dengan penelitian ini dan
Suliskania Safitri atas bantuan pengolahan data
TAO/TRITON.
DAFTAR PUSTAKA
Andrade, H.A., & Garcias, C.A.E. (1999). Skipjack tuna
fishery in relation to sea surface temperature off
the southern Brazilian coast. Fisheries
Oceanography, 8:4, 245-254.
Barkley, R.A., Neil, W.N., & Gooding, R.M. (1978).
Skipjack tuna, katsuwunos pelamis, habitat based
on temperature and oxygen requirements. Fish
Bull, 78(3), 653-662.
Behrenfeld, M.J., & Falkowski, P.G. (1997).
Photosynthetic rates derived from satellite-based
chlorophyll concentration. Limnology and
Oceanography, 42(1), 1-20.
Brill, R., Bigelow, K., Musyl, M., Fritsches, K., &
Warrant, E. (2005). Bigeye tuna (Thunnus
obesus) behavior and physiology and their
relevance to stock assessment and fishery
biology. Collected Volume of Scientific Papers,
International Commission for the Conservation
of Atlantic Tunas, 57(2), 142–161.
Bunyamin, E.K. (1981). Suatu studi tentang Skipjack
dan penyebarannya di perairan Sorong dan
sekitarnya. Skripsi. Fakultas Perikanan, IPB
Bogor. 108 hal.
Chavez, F.P., Strutton, P.G., Freidrich, G.E., Feely, R.
A., Feldman, G.C., Foley, D.G., & McPhaden,
M.J. (1999). Biological and chemical response of
the equatorial Pacific Ocean to the 1997-98 El
Nino. Science, 286, 2126-2131.
Dizon, A.E. (1977). Effect of dissolved oxygen
concentration and salinity on swimming speed of
JURNAL KELAUTAN NASIONAL, Vol. 10, No. 2, Agustus 2015, Hal. 75-90
90
two species of tunas. Fish. Bull., U.S., 75, 649-
653.
Grandperrin, R. (1978). Influence of currents on the
production of tropical seas: consequences for
fisheries. Fisheries Newsletter, No. 17, South
Pacific Commission, Noumea, New Caledonia.
pp 14 -20.
Gunarso, W. (1985). Tingkah laku ıkan dalam
hubungannya dengan alat, metode dan taktik
penangkapan. Skripsi. Fakultas Perikanan.
Institut Pertanian Bogor. Bogor. 149 hal.
http://oceandata.sci.gsfc.nasa.gov/.diakses pada tanggal
29 Januari 2013.
http://pmel.noaa.gov/tao/.diakses pada tanggal 11 Juni
2013.
http://science.oregonstate.edu/ocean.productivity/index.
php. diakses pada tanggal 31 Januari 2013.
http://www.r-project.org/. diakses pada tanggal 2 Juni
2013.
Lamigueiro, O.P., & Hijmans, R. (2013). RasterVis:
Visualization methods for the raster package. R
package version 0.20-07. http://CRAN.R-
project.org/package=rasterVis
Lehodey, P., Bertignac, M., Hampton, J., Lewis, A., &
Picaut, J. (1997). El Nino Southern Oscillation
and Tuna in Western Pacific. Nature, 389, 715-
718.
Lehodey, P., Chai, F., & Hampton, J. (2003).
Modelling climate-related variability of tuna
populations from a coupled ocean
biogeochemical-population dynamics model.
Fish. Oceanogr., 12, 483-494.
Limbong, M. (2008). Pengaruh suhu permukaan laut
terhadap jumlah dan ukuran hasil tangkapan
ikan cakalang di perairan Teluk Palabuhanratu
Jawa Barat. Skripsi. Departemen Pemanfaatan
Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan dan
Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Bogor.
77 hal.
Maes, C., Picaut, J., & Belamari, S. (2005). Importance
of salinity barrier layer for the buildup of El
Nino. Journal of Climate, 18, 104-118.
Maes, C., Ando, K., Delcroix, T., Kessler, W.S.,
McPhaden, M.J., & Roemmich, D. (2006).
Observed correlation of surface salinity,
temperature and barrier layer at Eastern edge of
Western Pasific Warm Pool. Geophysical
Research Letter, 33, L06601, 1-4.
Maes, C., Sudre, J., & Veronique, G. (2010). Detection
of the Eastern of the Equatorial Warm Pool using
satellite-based ocean color observations. Sola, 6,
129-132.
Matsumoto, K., & Ando, K. (2009). Use of
cyanobacterial pigments to charachterize the
ocean surface mixed layer in the Pacific Warm
Pool. J. Mar. Syst., 75, 245-252.
Picaut, J., Loualalen, M., Menkes, C., Delcroix, T., &
McPhaden, M.J. (1996). Mechanism of zonal
displacement of the Pacific warm pool:
implication for ENSO. Science, 274, 1486-1489.
Setiawan, A. (2002). Analysis of meteorology-
oceanography parameters variability in the
maritime continent of Indonesia and their
relationship to the ENSO and dipole mode
phenomena. Master thesis. Bandung Institute of
Technology. 60p.
Stewart, R.H. (2002). Introduction to Physical
Oceanography. Spring 2002 Edition, 341 pp
Supangat, A., Adi, T.R., Pranowo, W.S., & Ningsih,
N.S. (2004). Predicting movement of the Warm
Pool, the salinity front and the convergence zone
in the Western and Central part of Equatorial
Pacific using a coupled hydrodinamical-
ecological model. The twelfth OMISAR
Workshop on Ocean Model. 11, 1-11.
Uktolseja, J.C.B., Purwasasmita, R., Susanto, K., &
Sulistiadji, A.B. (1989). Sumberdaya ikan
pelagis besar. Dalam Potensi dan penyebaran
sumberdaya ikan laut di perairan Indonesia.
Komisi Nasional Pengkajian Stok Sumberdaya
Ikan Laut, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
dan Direktorat Jenderal Perikanan. Jakarta. Hal
40-88.
Waas, H.J.D. (2004). Analisis daerah potensial
penangkapan Cakalang (Katsuwonus pelamis)
dan Madidihang (Thunnus albacares) di
perairan Utara Papua, Pasifik Barat. Tesis.
Sekolah Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor.
Bogor. 102 hal.
Uji Efektivitas Kompartemen Dasar untuk Pembesaran Lobster Pasir (Panulirus homarus) di Pantai Sepanjang,
Kabupaten Gunung Kidul - Umi Anissah, Amin Pamungkas, Waryanto dan Sri Suryo Sukoraharjo
91
UJI EFEKTIVITAS KOMPARTEMEN DASAR UNTUK PEMBESARAN LOBSTER
PASIR (Panulirus homarus) DI PANTAI SEPANJANG, KABUPATEN GUNUNG KIDUL
SEA CAGE EFFECTIVENESS TEST FOR SPINY LOBSTER (Panulirus homarus)
IN SEPANJANG COAST, GUNUNG KIDUL DISTRICT
Umi Anissah, Amin Pamungkas, Waryanto dan Sri Suryo Sukoraharjo Pusat Pengkajian dan Perekayasaan Teknologi Kelautan dan Perikanan
Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan Gedung II Balitbang KP lantai 5, Jl. Pasir Putih I,
Ancol Timur, Jakarta Utara 14430 Indonesia
Tel: (+62-21) 64700926, Fax: (+62-21) 64700926
E-mail: anis_jogja@yahoo.com, aminphe@gmail.com, waryanto_c2@yahoo.com, srisuryo@gmail.com
Diterima tanggal: 4 Maret 2015, diterima setelah perbaikan: 20 Juli 2015, disetujui tanggal: 30 Juli 2015
ABSTRAK
Tingginya permintaan lobster laut di pasar nasional maupun internasional serta adanya pembatasan ukuran lobster yang
boleh ditangkap dari alam menyebabkan tingkat ketersediaan lobster di pasaran menjadi berkurang, di sisi lain, kegiatan
budidaya maupun pembesaran lobster belum berkembang dengan baik. Oleh karena itu, diperlukan suatu penelitian
terkait dengan pembesaran lobster. Penelitian pembesaran lobster di alam tidak terlepas dari teknologi kompartemen
yang digunakan, untuk itu penelitian mengenai rekayasa teknologi kompartemen pembesaran lobster laut penting untuk
dilakukan. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui tipe kompartemen yang paling efektif untuk pembesaran lobster
pasir di Pantai Sepanjang, Yogyakarta dengan melakukan pengukuran berat dan panjang karapaks lobster. Hasil dari
penelitian ini menunjukkan bahwa kompartemen lobster yang paling efektif untuk pembesaran lobster pasir adalah
kompartemen berbentuk silinder, dengan ukuran 200 lt dan diameter lubang pada selimut tabung 3 cm dibandingkan
dengan kompartemen kontrol dan seluruh kompartemen modifikasi.
Kata kunci: kompartemen dasar, lobster pasir (Panulirus homarus), Pantai Sepanjang.
ABSTRACT
The high demand of sea lobster and the restrictions on the size of lobsters that can be captured caused lobster on the
market to be a rarity, on the other hand lobster’s mariculture activities are not developed yet. Therefore, a study related
to the growing-out lobster is needed. Research of lobster’s grow-out can not be separated from the compartment
technology, the study of engineering technology of lobster enlargement become an important research to do. The aim of
this research was to determine the best fixed seacage type for scalloped spiny lobster enlargement in Sepanjang Coast,
Yogyakarta City through measuring the weight and length of the lobster’s carapace. The results shown that the most
effective lobster fixed seacage to enlarge scalloped spiny lobster were cylinder, with 200 liters of size and 3 cm
diameter of hole in the blanket tube compared to the control fixed seacage and the entire fixed seacage modification.
Keywords: fixed seacage, scalloped spiny lobster (Panulirus homarus), Sepanjang Coast.
PENDAHULUAN
Lobster laut merupakan komoditas yang bernilai
tinggi baik di pasar nasional maupun internasional.
Secara global, permintaan lobster laut naik sekitar
15 % per tahun. Kenaikkan permintaan ini
digerakkan oleh pasar internasional, terutama Cina.
Di Indonesia, lobster diekspor oleh pusat-pusat
niaga di Bali dan Surabaya (Jones, 2008).
Teknologi perekayasaan sarana budidaya lobster
laut telah dilakukan di beberapa negara dunia, akan
tetapi belum dapat diaplikasikan secara global. Hal
ini dikarenakan perbedaan jenis lobster dan
kesesuaian dengan kondisi lingkungan di berbagai
negara. Indonesia sebagai negara kepulauan
dengan beragam kondisi pantai merupakan daerah
endemik udang karang atau biasa disebut lobster.
Di Indonesia terdapat sekitar enam jenis lobster
yang merupakan spesies asli, diantaranya
JURNAL KELAUTAN NASIONAL, Vol. 10, No. 2, Agustus 2015, Hal. 91-102
92
Panulirus homarus, P. longipes longipes, P.
ornatus, P. penicillatus, P. polyphagus dan P.
versicolor. Lobster yang umum dibudidaya adalah
lobster pasir (Panulirus homarus) dan lobster
mutiara (P. ornatus). Lobster pasir merupakan
spesies yang dominan dan populasinya 3 hingga 9
kali lebih besar dari lobster mutiara (Jones, 2008).
Keberagaman jenis lobster yang banyak menjadi
modal bagi Indonesia untuk menjadi salah satu
pengekspor lobster terbesar di Asia, hal ini
tentunya harus didukung dengan inovasi teknologi
yang mendukung kegiatan industrialisasi budidaya
lobster.
Kegiatan budidaya lobster berskala komersial dan
ekperimental telah dimulai oleh sejumlah negara
diantaranya New Zealand, Jepang, Australia, India
dan Vietnam (Jeff & Davis, 2003). Bebeberapa
diantaranya menggunakan sistem sea cage dengan
berbagai material dan desain. Beberapa faktor yang
menentukan keberhasilan budidaya udang karang
dengan sistem sea cage adalah desain dan
pemilihan lokasi budidaya (Mohammed et al.,
2010). Penggunaan material penyusun sea cage
yang digunakan di berbagai negara sangat
beragam, India mengembangkan sea cage dengan
bahan dasar rangka High Density Polyetylen
(HDPE) yang dilengkapi dengan net berbahan
nilon. New Zealand mengembangkan sea cage
skala eksperimen berbahan dasar HDPE berbentuk
silinder dan kotak untuk memelihara bibit lobster
dengan ukuran panjang karapaks 40-55mm (Jeff &
James, 2001). Vietnam mengembangkan sea cage
sistem submerge dari material kayu dan besi serta
material lain yang mudah dijumpai di daerah
budidaya (Hung & Tuan, 2009).
Di Indonesia kegiatan budidaya maupun
pembesaran lobster laut belum banyak dilakukan,
sebagian besar lobster laut diperoleh dengan
penangkapan lobster laut dari alam. Pembesaran
lobster mulai berkembang di beberapa daerah
antara lain Lombok, Pelabuhan Ratu dan Aceh.
Sistem pembesaran lobster pada kawasan tersebut
menggunakan Keramba Jaring Apung (KJA)
dengan material dari bambu dan kayu. Di wilayah
Kabupaten Sukabumi, khususnya kecamatan
Pelabuhan Ratu sudah dikembangkan usaha
pembesaran lobster dengan menggunakan KJA
berbahan dasar HDPE. Saat ini, penggunaan KJA
untuk pembesaran lobster dianggap tidak optimal
karena lobster hanya mendiami dasar kolom air.
Berdasarkan keadaan ini, maka diperlukan inovasi
untuk pembesaran lobster yang lebih baik. Inovasi
tempat pembesaran/kompartemen dasar lobster
diharapkan menjadi bagian penyelesaian dalam
melakukan pembesaran lobster laut.
Perairan pantai selatan Kabupaten Gunung Kidul
dan Kabupaten Pacitan merupakan daerah
penangkapan dan pemanfaatan lobster laut
(Hargiyanto et al., 2013). Persentase produksi
lobster pasir (Panulirus homarus) di daerah ini
mengalami penurunan dari tahun 2001-2008 (Pusat
Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi
Sumberdaya Ikan, 2012). Penurunan produksi ini
diduga merupakan salah satu akibat dari tekanan
penangkapan yang terjadi. Dampak lain dari
tekanan penangkapan adalah semakin mengecilnya
ukuran lobster yang tertangkap (Hargiyanto et al.,
2013). Untuk mengantisipasi fenomena tersebut
dan kemungkinan terjadinya ‘lost generation’
lobster, maka pada tanggal 7 Januari 2015,
Kementerian Kelautan dan Perikanan RI melarang
penangkapan dan penjualan lobster dengan ukuran
karapaks di bawah 8 cm melalui Permen-KP No
1/PERMEN-KP/2015. Lobster kecil yang
tertangkap oleh nelayan harus dibesarkan terlebih
dahulu hingga mencapai ukuran yang diijinkan
untuk dijual. Penggunaan kompartemen dasar
untuk pembesaran lobster yang ditempatkan di
laut, diharapkan dapat menghasilkan pertumbuhan
lobster yang tinggi dengan tingkat kelangsungan
hidup yang tinggi pula. Hal ini dimungkinkan
karena pembuatan kompartemen dan
penempatannya diusahakan untuk mendekati
kondisi alamiah pertumbuhan lobster. Penelitian
teknologi kompartemen pembesaran lobster yang
efektif menjadi penting untuk dilakukan dan
diperhatikan.
BAHAN DAN METODE
Kegiatan penelitian ini dilaksanakan di Pantai
Sepanjang, Kabupaten Gunung Kidul, Propinsi
Daerah Istimewa Yogyakarta. Pengambilan data
dilakukan pada Bulan Oktober-Desember 2014.
2.1 Persiapan
a. Pembuatan Kompartemen Dasar Lobster
Kompartemen lobster beserta pemberatnya
dibuat dengan memodifikasi bentuk yang
sudah dipakai selama ini di lokasi
penelitian. Pembudidaya lobster pasir di
Kabupaten Gunung Kidul selama ini
melakukan pembesaran lobster pasir
Uji Efektivitas Kompartemen Dasar untuk Pembesaran Lobster Pasir (Panulirus homarus) di Pantai Sepanjang,
Kabupaten Gunung Kidul - Umi Anissah, Amin Pamungkas, Waryanto dan Sri Suryo Sukoraharjo
93
menggunakan silinder (blong) 30 liter
berbahan HDPE, sedangkan pemberat
dibuat menggunakan semen dengan
kerangka besi. Modifikasi kompartemen
lobster dikembangkan berdasarkan
kompartemen lobster yang sudah dipakai
di lokasi. Modifikasi dilakukan pada
ukuran tabung dan diameter lubang pada
selimut tabung. Dalam penelitian ini dibuat
4 tipe kompartemen dan 1 tipe
kompartemen kontrol. Setiap tipe
kompartemen dibuat 2 buah dengan
spesifikasi dan kondisi lingkungan perairan
yang diasumsikan sama. Secara detail,
modifikasi kompartemen lobster disajikan
dalam Tabel 1, sedangkan desain rekayasa
kompartemen disajikan dalam Gambar 1.
Tabel 1. Modifikasi kompartemen dasar budidaya lobster pasir
Table 1. Fixed seacage modification for scalloped spiny lobster mariculture
Kode Bentuk Volume
(Lt)
Diameter lubang
(cm)
Pola lubang Jarak antar titik
pusat lubang (cm)
Bahan
A Silinder 30 0.5 Tidak teratur 2 Plastik HDPE
B Silinder 30 2 Teratur 4 Plastik HDPE
C Silinder 30 3 Teratur 4 Plastik HDPE
D Silinder 200 2 Teratur 4 Plastik HDPE
E Silinder 200 3 Teratur 4 Plastik HDPE Sumber: Hasil pengukuran
(a)
(b) Gambar 1. Disain prototipe keramba dasar dengan diameter lubang 3 cm (a) dan 2 cm (b)
Figure 1. Fixed seacage design with hole’s diameter 3 cm (a) and 2 cm (b) Sumber: Hasil perancangan
JURNAL KELAUTAN NASIONAL, Vol. 10, No. 2, Agustus 2015, Hal. 91-102
94
Sedangkan jumlah lobster yang dibesarkan untuk
tiap-tiap kompartemen disajikan dalam Tabel 2.
Tabel 2. Jumlah lobster dalam kompartemen
Table 2. The number of lobsters in the seacage
Tipe Kompartemen Jumlah Lobster (ekor)
A 9
B 10
C 10
D 15
E 15 Sumber: Hasil pengukuran
b. Bibit Lobster
Pengujian efektifitas kompartemen untuk
pembesaran lobster menggunakan lobster
pasir sebagai spesies yang diujicobakan.
Spesies ini dipilih karena tingginya
kemampuan adaptasi lobster pasir terhadap
perbedaan lingkungan perairan (Thao,
2012). Bibit lobster pasir didatangkan dari
Lombok, Nusa Tenggara Barat
menggunakan metode pengiriman kering.
Lobster yang digunakan sebagai benih
berukuran 20-50 gr per ekor. Rata-rata
berat benih yang digunakan 31,45 gr
dengan simpangan baku 10,54 gr. Setelah
sampai di lokasi dilakukan aklimatisasi
dalam kolam selama 24 jam.
2.2 Pembesaran Lobster
a. Penempatan Kompartemen Dasar Lobster
Kompartemen diikatkan pada pemberat
yang terbuat dari beton, kemudian
diletakkan di area pantai sepanjang yang
berkontur kubangan sehingga terlindung
dari gelombang di saat air laut pasang.
Sedangkan pada saat air laut surut di area
kubangan ini masih terdapat air laut.
Penempatan kompartemen dasar lobster di
lokasi penelitian ditunjukkan dalam
Gambar 2.
Gambar 2. Penempatan kompartemen dasar lobster di lokasi penelitian
Figure 1. The placement of fixed cage at the study site
Sumber: Hasil perancangan
b. Pembesaran Lobster
Pembesaran lobster dalam kompartemen
dilakukan dengan terlebih dahulu
meletakkan kompartemen beserta
pemberatnya di lokasi budidaya.
Pengambilan data berat lobster dilakukan
selama 42 hari dengan interval 7 hari.
Masing-masing kompartemen diambil 2
sampel lobster dari masing-masing
kompartemen untuk diukur panjang
karapaks dan beratnya secara acak.
Pemeliharaan lobster dengan memberi
makan 1 kali sehari sesuai waktu surut
perairan Pantai Sepanjang dengan jenis
makanan yang bervariasi yaitu kerang
hijau, gurita dan ikan rucah, pemberian
pakan ditakar sebanyak 30-40 % berat
lobster di dalam kompartemen dasar.
c. Pengambilan data kualitas fisik perairan
Pengambilan data kualitas fisik perairan
meliputi data kecepatan gelombang, suhu
permukaan, salinitas, kecerahan air,
kedalaman, Dissolved Oxygen (DO) dan
pH.
2.3 Analisis Data
a. Penentuan kecepatan pertumbuhan
panjang dan berat lobster
Data berat dan panjang lobster yang
didapatkan kemudian dikorelasikan
Uji Efektivitas Kompartemen Dasar untuk Pembesaran Lobster Pasir (Panulirus homarus) di Pantai Sepanjang,
Kabupaten Gunung Kidul - Umi Anissah, Amin Pamungkas, Waryanto dan Sri Suryo Sukoraharjo
95
dengan waktu budidaya (umur pembesaran
lobster). Berat dan panjang lobster diduga
akan menghasilkan fungsi linear saat
dihubungkan dengan waktu budidaya.
Persamaan umum fungsi linear adalah
(Sugiyono, 2011):
f(x) = ax + b (1)
Dimana:
f(x) = Variabel terikat
X = variabel bebas
a = konstanta
b = intersep {harga f(x) jika x=0}
Nilai konstanta (a) merupakan koefisien
regresi atau gradien atau kemiringan
(Sugiyono, 2008). Nilai konstanta (a)
menentukan kemiringan garis fungsi x
curam atau landai. Semakin curam garis
maka semakin besar pula nilai konstanta
(a). Semakin besar nilai koefisien regresi
atau gradien dapat digunakan sebagai
indikator kecepatan pembesaran lobster.
Dalam penelitian ini, semakin curam garis
fungsi x maka akan didapatkan nilai
konstanta (a) atau gradien yang semakin
besar yang berarti semakin cepat pula
pembesaran yang terjadi.
b. Penentuan tipe kompartemen yang paling
efektif untuk pembesaran lobster
Tipe kompartemen yang paling sesuai
untuk pembesaran lobster dapat ditentukan
dengan membandingkan nilai koefisien
regresi panjang dan berat lobster terhadap
waktu budidaya pada tiap tipe
kompartemen, baik kompartemen kontrol
maupun kompartemen yang telah
dimodifikasi. Koefisien regresi panjang
dan berat kontrol didapatkan dari data
panjang dan berat lobster yang dibesarkan
pada kompartemen yang memiliki tipe
yang sama dengan yang digunakan
masyarakat. Nilai koefisien regresi yang
paling besar menunjukkan kecepatan
pembesaran yang paling tinggi, artinya
kompartemen tersebut paling sesuai untuk
pembesaran lobster.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pantai Sepanjang, Kabupaten Gunung Kidul
merupakan pantai karst yang langsung
berhubungan dengan Samudera Hindia sehingga
mempunyai energi gelombang yang kuat yaitu 43,3
m/dt (Damayanti & Ranum, 2008). Penelitian
tahun 2008 oleh Damayanti et al. di pantai karst
Kabupaten Gunung Kidul baru merekomendasikan
pemanfaatan Pantai Sepanjang sebagai daerah
budidaya rumput laut/tanaman obat dan wisata
alam. Sekitar tahun 2010 usaha pembesaran lobster
laut mulai dikembangkan di wilayah Pantai
Sepanjang dengan menggunakan kolam di dalam
ruangan dan kompartemen dasar. Struktur dasar
Pantai Sepanjang adalah batu karang dan pasir
putih. Pada struktur batuan karang terdapat
beberapa zona berbentuk kubangan/kolam yang
pada saat surut zona tersebut masih terdapat
genangan air laut. Kondisi ini sesuai sebagai lokasi
pembesaran lobster (Thao, 2012).
Pengukuran kualitas fisik perairan Pantai
Sepanjang menunjukkan bahwa lokasi ini
memenuhi persyaratan sebagai lokasi budidaya
seperti terlihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Kesesuaian kualitas fisik perairan pantai sepanjang sebagai lokasi budidaya
Table 3. Suitability of physical water quality in Sepanjang Beach as location of mariculture
Parameter Hasil Pengukuran
Parameter
Kriteria Baku *)
Gelombang Kurang dari 2 m Kurang dari 2 m
Suhu permukaan air (oC) 26,88– 28,03 26 - 32
Salinitas (o/oo) 32.56 – 34.27 Fluktuasi < 3
Kecerahan air (cm) 76 - 98 Lebih dari 3 m
Kedalaman air (cm) 76 – 98 Lebih dari 5
DO (mg/l) 4.82 – 5.52 4 – 6
pH 7.34 – 7.84 7 - 9 Sumber: Hasil pengukuran
*) Gunarso (1985); Ahmad et al.(1991) dan Imanto (2000).
JURNAL KELAUTAN NASIONAL, Vol. 10, No. 2, Agustus 2015, Hal. 91-102
96
Tabel 3 menunjukkan bahwa parameter kualitas
fisik perairan masih berada pada kisaran yang
layak untuk dijadikan lokasi pembesaran lobster
dalam kompartemen dasar. Adanya hamparan batu
karang yang terbentang membentuk pulau-pulau
karang dan adanya cekungan diantara batu karang,
melindungi pembesaran lobster keramba dasar dari
gelombang dan arus keras yang berasal dari
Samudera Hindia. Karang berpasir, merupakan
lokasi yang cukup ideal untuk lokasi budidaya laut.
Rentang suhu perairan tidak fluktuatif, yaitu
berkisar antara 26,88-28,03 0C, sesuai untuk
kegiatan budidaya (Gunarso, 1985; Ahmad et al.,
1991 dan Imanto, 2000).
Pemilihan bibit lobster pasir yang akan dibesarkan
dalam kompartemen tidak memperhatikan
perbandingan jumlah lobster jantan dan betina.
Hubungan panjang dan berat lobster tidak
dipengaruhi oleh perbedaan jenis kelamin. Hal ini
berdasarkan hasil penelitian dengan spesies lobster
pasir (Hargiyanto et al., 2013) dan spesies lobster
batu (Fauzi et al., 2013) bahwa tidak ada
perbedaan yang nyata hubungan panjang berat
antara jantan dan betina sehingga untuk
perhitungan panjang dan berat data dapat
digabungkan.
Tabel 2 memperlihatkan jumlah lobster yang
dibesarkan dalam tiap kompartemen lobster. 10
ekor lobster dibesarkan untuk kompartemen
dengan volume 30 liter, jumlah ini mendekati
jumlah lobster yang dibesarkan dalam
kompartemen kontrol 30 liter yaitu 9 ekor. Jumlah
tidak bisa disamakan karena keterbatasan
ketersediaan bibit. Sedangkan dalam kompartemen
200 liter, dibesarkan lobster dengan jumlah 15 ekor
atau 50% lebih banyak daripada kompartemen 30
liter. Dengan demikian, kepadatan lobster pada
kompartemen 30 liter adalah 1/3 lobster/lt atau
0,33 lobster/lt, sedangkan kepadatan lobster pada
kompartemen 200 liter adalah 3/40 lobster/lt atau
0,075 lobster/lt. Dilihat dari nilai kepadatan
lobster, hipotesa yang dikembangkan adalah bahwa
lobster pada kompartemen 200 liter akan memiliki
pertumbuhan yang lebih cepat daripada lobster
pada kompartemen 30 liter dengan asumsi faktor
lingkungan periaran dianggap sama atau tidak
menjadi pembatas. Semakin luas ruang gerak maka
kondisi pembesaran lobster dalam kompartemen
semakin mendekati habitat aslinya.
Berat awal lobster pasir yang digunakan dalam
penelitian ini antara 20-50 gr. Ukuran ini dipilih
karena dalam budidaya lobster, pemindahan lobster
dari kompartemen untuk pendederan ke
kompartemen pembesaran lobster hingga diperoleh
ukuran yang layak dijual adalah pada saat lobster
tersebut memiliki berat kurang lebih 30 gr
(Williams, 2004).
Pengambilan data berat pada kegiatan pembesaran
lobster dalam kompartemen dasar pertama kali
diukur pada saat pemindahan lobster dari kolam
aklimatisasi ke kompartemen dasar. Selanjutnya
data didapatkan dengan mengukur 2 sampel lobster
yang diambil secara acak untuk tiap tipe
kompartemen dalam interval 7 hari hingga
mencapai 42 hari. Selama waktu pembesaran,
lobster diberi makanan kerang hijau, gurita dan
ikan rucah sebanyak 30-40% berat lobster di dalam
kompartemen dasar berselang seling dengan
frekuensi 1 kali setiap hari. Pemberian pakan pada
kegiatan budidaya berpengaruh pada kualitas
lingkungan perairan karena adanya nitrogen
anorganik terlarut dan sisa pakan. Kegiatan
pembesaran lobster menggunakan Keramba Jaring
Apung (KJA) maupun kompartemen dasar tidak
akan berpengaruh buruk terhadap kualitas
lingkungan perairan sepanjang tidak dilakukan
dengan padat tebar yang sangat tinggi (Leel et al.,
2014).
Informasi mengenai kenaikan berat lobster dalam
pembesaran kompartemen dasar dilakukan dengan
merata-ratakan berat lobster tiap tipe kompartemen
pada setiap waktu pengambilan. Gambar 2
menunjukkan kecenderungan kenaikan berat dan
panjang karapaks lobster selama masa pembesaran
pada kopartemen A. Kompartemen A sebagai
kompartemen kontrol, merupakan kompartemen
yang sama dengan kompartemen lobster yang
selama ini digunakan masyarakat Kab.Gunung
Kidul untuk pembesaran lobster pasir. Data dari
kompartemen A ini digunakan sebagai kontrol
terhadap keberhasilan modifikasi kompartemen
yang dilakukan.
Uji Efektivitas Kompartemen Dasar untuk Pembesaran Lobster Pasir (Panulirus homarus) di Pantai Sepanjang,
Kabupaten Gunung Kidul - Umi Anissah, Amin Pamungkas, Waryanto dan Sri Suryo Sukoraharjo
97
(a)
(b)
Gambar 3. Kenaikan berat (a) dan panjang karapaks (b) lobster kompartemen tipe A
Figure 3.The weight (a) and carapace length (b) increase of the lobsters in fixed seacage type A Sumber: Hasil pengukuran
Gambar 3 menunjukkan bahwa pembesaran lobster
dengan kompartemen seperti yang digunakan
selama ini, yaitu silinder plastik HDPE dengan
lubang tidak beraturan memiliki angka linearitas
0,552. Dari Gambar 3 diketahui bahwa seri data
panjang karapaks dan berat tubuh pembesaran
lobster dengan kompartemen kontrol didapatkan 2
persamaan linear, yaitu :
Fungsi panjang karapaks :
f(x) = 0,048x + 2,374 (2)
Fungsi berat tubuh :
f(x) = 0,161x + 22,88 (3)
Nilai konstanta (a) dalam persamaan (2) dan (3)
adalah 0,048 dan 0,161. Nilai konstanta (a) ini
merupakan konstanta kontrol untuk data panjang
karapaks dan berat tubuh karena merupakan data
hasil pembesaran lobster menggunakan
kompartemen yang selama ini digunakan oleh
masyarakat Pantai Sepanjang. Rekayasa
kompartemen dasar lobster dinilai memiliki
performa yang lebih baik dari performa
kompartemen kontrol apabila nilai konstanta (a)
untuk panjang karapaks dan berat tubuh lebih besar
daripada nilai konstanta (a) panjang karapaks dan
berat tubuh kompartemen kontrol.
y = 0.161x + 22.885 R² = 0.5528
Ber
at T
ub
uh
(gr
)
Waktu Budidaya (Hari)
y = 0.0488x + 2.3741 R² = 0.8043
Pan
jan
g K
arap
aks
(cm
)
Waktu Budidaya (Hari)
JURNAL KELAUTAN NASIONAL, Vol. 10, No. 2, Agustus 2015, Hal. 91-102
98
(a) (b)
(c) (d)
Gambar 4. Kenaikan berat dan panjang karapaks lobster (a). Kompartemen tipe B; (b). Kompartemen tipe C;
(c). Kompartemen tipe D; (d). Kompartemen tipe E
Figure 4. The weight and carapace length increase of the lobsters (a). Fixed seacage type B (b). Fixed seacage type C;
(c) Fixed seacage type D; (d) Fixed seacage type E Sumber: Hasil pengukuran
Gambar 4(a) dan 4(b) menunjukkan kenaikan berat
badan dan panjang karapaks lobster yang
dibesarkan dalam kompartemen tipe B dan C.
Kompartemen tipe B dan C berbentuk silinder
berukuran 30 liter. Kompartemen B memiliki
lubang pada selimutnya dengan diameter lubang 2
cm, sedangkan kompartemen C memiliki lubang
dengan diameter 3 cm. Kedua tipe kompartemen
ini diisi lobster dengan jumlah mendekati jumlah
lobster pada kompartemen kontrol seperti terlihat
pada Tabel 2. Perekayasaan terletak pada
keteraturan pembuatan lubang dan diameter lubang
y = 0.0829x + 26.713 R² = 0.6578
Ber
at T
ub
uh
(gr
)
Waktu Budidaya (Hari)
y = 0.0178x + 3.1283 R² = 0.3147
Pan
jan
g K
arap
aks
(cm
)
Waktu Budidaya (Hari)
y = 0.1205x + 28.373 R² = 0.2621
Ber
at T
ub
uh
(gr
)
Waktu Budidaya (Hari)
y = 0.0382x + 2.9756 R² = 0.6687
Pan
jan
g K
arap
aks
(cm
)
Waktu Budidaya (Hari)
y = 0.0361x + 3.1737 R² = 0.5994
Pan
jan
g K
arap
aks
(cm
)
Waktu Budidaya (Hari)
y = 0.1133x + 31.344 R² = 0.6637
Ber
at T
ub
uh
(gr
)
Waktu Budidaya (Hari)
y = 0.2963x + 50.792 R² = 0.2433
Ber
at t
ub
uh
(gr
)
Waktu Budidaya (Hari)
y = 0.048x + 3.4804 R² = 0.7159
Pan
jan
g K
arap
aks
(cm
)
Waktu Budidaya (Hari)
Uji Efektivitas Kompartemen Dasar untuk Pembesaran Lobster Pasir (Panulirus homarus) di Pantai Sepanjang,
Kabupaten Gunung Kidul - Umi Anissah, Amin Pamungkas, Waryanto dan Sri Suryo Sukoraharjo
99
untuk sirkulasi air. Dilihat dari konstanta
persamaan (a) yang didapatkan, maka terlihat
bahwa rekayasa kompartemen tipe B dan C
menunjukkan performa yang tidak lebih baik
daripada kompartemen kontrol.
Gambar 4(c) dan 4(d) menunjukkan kenaikan berat
badan dan karapaks lobster yang dibesarkan dalam
kompartemen tipe D dan E. Kompartemen tipe D
dan E berbentuk silinder berukuran 200 liter.
Kompartemen D memiliki lubang pada selimutnya
dengan diameter lubang 2 cm, sedangkan
kompartemen E memiliki lubang dengan diameter
3 cm. Kedua tipe kompartemen ini diisi lobster
dengan jumlah lebih banyak 50 % daripada
kompartemen yang berukuran 30 liter.
Perekayasaan kompartemen dari kompartemen
kontrol terletak pada keteraturan pembuatan
lubang, diameter lubang untuk sirkulasi air dan
perbesaran volume. Dibandingkan dengan nilai
konstanta karapaks dan berat kompartemen
kontrol, nilai konstanta karapaks dan berat lobster
kompartemen D masih di bawah kompartemen
kontrol. Sedangkan untuk kompartemen E,
konstanta berat lebih tinggi daripada kompartemen
kontrol, sedangkan bila dilihat dari konstanta
karapaks, maka nilai konstanta karapaks
kompartemen E sama dengan kompartemen
kontrol. Dengan demikian, kompartemen D
memiliki performa di bawah kompartemen kontrol,
sedangkan kompartemen E memiliki performa di
atas kompartemen kontrol. Diduga diameter yang
besar dan ukuran silinder sangat mempengaruhi
pertumbuhan berat lobster, dengan lebih mudahnya
sirkulasi air laut sehingga oksigen terlarut dapat
selalu ada dan sisa pakan dapat terbuang lebih
lancar/baik.
Secara keseluruhan, pembesaran lobster pasir
menggunakan kompartemen E berhasil menambah
berat lobster paling besar dibandingkan dengan
seluruh kompartemen yang digunakan dalam
penelitian ini. Gambar 5 menunjukkan selisih berat
rata-rata sebelum dan setelah pembesaran dengan
tipe kompartemen yang berbeda. Dari data tersebut
diketahui bahwa lobster yang dibesarkan dalam
kompartemen E memiliki perbedaan berat yang
paling besar yaitu 11,375 gr atau dengan kata lain
pada kompartemen E, pertumbuhan berat lobster
lebih cepat dibandingkan dengan kompartemen
lainnya.
Gambar 5. Pertumbuhan berat lobster menurut tipe kompartemen
Figure 5. The growth of lobster’s weight by different type of fixed seacage Sumber: Hasil pengukuran
Dalam penelitian ini, penentuan kompartemen
yang paling efektif untuk pembesaran dengan
memantau pertumbuhan berat mutlak, yaitu
pertumbuhan mutlak yaitu ukuran rata-rata yang
dicapai oleh lobster dalam satuan waktu tertentu.
Sedangkan pemantauan data pertumbuhan berat
nisbi yang merupakan ukuran panjang atau berat
yang dicapai dalam periode pembesaran yang di
hubungkan dengan panjang atau berat pada
sebelum periode pembesaran (Pusluh KKP, 2011)
tidak dilakukan.
Pertumbuhan secara umum dipengaruhi oleh dua
faktor, yaitu faktor internal dan faktor eksternal.
Faktor internal meliputi sifat genetis dan kondisi
fisiologi. Sementara faktor eksternal berkaitan
dengan lingkungan yang menjadi media
pemeliharaan, antara lain kimia air, substrak dasar,
B
erat
Tu
bu
h (
gram
)
Tipe Kompartemen
JURNAL KELAUTAN NASIONAL, Vol. 10, No. 2, Agustus 2015, Hal. 91-102
100
suhu air, dan ketersediaan pakan (Pusluh KKP,
2011). Penelitian ini merekam pertumbuhan lobster
pasir yang diakibatkan faktor eksternal berupa
kompartemen dasar lobster. Faktor eksternal lain
seperti kimia air, substrat dasar, suhu air dianggap
tidak berbeda karena keseluruhan kompartemen
lobster ditempatkan di satu lokasi. Tingkat
ketersediaan pakan dianggap sama karena seluruh
kompartemen diberikan variasi makanan yang
sama dengan prosentase yang sama. Faktor internal
pertumbuhan yang meliputi sifat genetis dan
kondisi fisiologi sama lobster dengan berat 20 gr
dan 50 gr dikatagorikan sebagai benih yang
memiliki bentuk sama dengan lobster dewasa
(Yusnaini et al., 2009; Halthius, 1981).
Keseluruhan bibit lobster didatangkan dari
Lombok, NTB dan memiliki kesamaan spesies
yaitu lobster pasir (Panulirus homarus). Hasil
penelitian menunjukkan secara umum bahwa
hipotesa yang dikembangkan benar, bibit lobster
yang dibesarkan dalam kompartemen yang
berukuran 200 lt dengan diameter lubang 3 cm
memiliki tingkat pertumbuhan berat yang lebih
cepat dibandingkan kompartemen lainnya.
Pembesaran lobster di Pantai Sepanjang
menggunakan kompartemen dasar yang paling
optimum dapat meningkatkan berat lobster dengan
kecepatan pertumbuhan 0,27 gr/hari. Bila
dibandingkan dengan percepatan pertumbuhan
lobster menggunakan desain kompartemen di
beberapa negara lain, percepatan pertumbuhan
menggunakan kompartemen dasar di Pantai
Sepanjang masih di bawah pertumbuhan lobster di
negara lain. Pembesaran lobster di India mampu
membesarkan lobster dengan kecepatan
pertumbuhan 0,89 gr/hari (Vijayakumaran et al.,
2009) sedangkan di Filipina, pertumbuhan lobster
dengan keramba meningkatkan berat lobster
sebesar 2,70 gr/hari (Philipose et al., 2012).
Pertumbuhan lobster pasir di Pantai Sepanjang
memiliki pola pertumbuhan allometrik negatif. Hal
ini diketahui dengan mengolah data panjang dan
berat lobster berdasarkan persamaan yang
dinyatakan oleh Bal & Rao (1984) dan King
(1995):
W = aLb (4)
dimana W adalah berat lobster (gr), L adalah
panjang karapas (mm), a adalah konstanta dan b
adalah nilai eksponensial. Nilai b yang diperoleh
digunakan untuk menentukan pola pertumbuhan.
Jika nilai b=3 berarti pola pertumbuhan bersifat
isometrik, b<3 pola pertumbuhan bersifat
allometrik negatif dan b>3 pola pertumbuhan
bersifat allometrik positif.
Hubungan antara panjang dan berat lobster pasir
yang dibudidayakan di Pantai Sepanjang
ditunjukkan pada Gambar 6.
Gambar 6. Hubungan berat dan panjang karapaks lobster pasir
Figure 6. Length-weight relationship of spiny lobster Sumber: Hasil analisis
Be
rat
tub
uh
(g
ram
)
Panjang karapaks
(cm)
Uji Efektivitas Kompartemen Dasar untuk Pembesaran Lobster Pasir (Panulirus homarus) di Pantai Sepanjang,
Kabupaten Gunung Kidul - Umi Anissah, Amin Pamungkas, Waryanto dan Sri Suryo Sukoraharjo
101
Dari grafik didapatkan persamaan :
y = 3,07468 x0,15346
(5)
maka diketahui nilai b = 0,15346 (nilai b<3).
Dengan demikian dapat digolongkan pola
pertumbuhan lobster pasir bersifat allometrik
negatif yang berarti pertambahan panjang karapaks
lobster lebih cepat daripada pertambahan beratnya.
Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang
dilakukan oleh Aisyah et al. (2009), Aisyah &
Setya (2010) dan Hargiyanto et al. (2013)
mengenai pola pertumbuhan lobster pasir di pesisir
Yogyakarta yang memiliki pola allometrik negatif.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Kondisi parameter perairan Pantai Sepanjang,
Kabupaten Gunung Kidul, Yogyakarta, sesuai
untuk kegiatan budidaya pembesaran lobster laut
dengan pola pertumbuhan allometrik negatif.
Kompartemen dasar bentuk silider dengan volume
200 liter dan diameter 3 cm dapat digunakan dalam
pembesaran lobster di perairan ini, sesuai dengan
kontur dasar dari perairan. Metode pemantauan
pertumbuhan mutlak pada pengukuran berat dan
panjang karapaks dapat digunakan sebagai uji coba
efektifitas kompartemen dasar untuk pembesaran
lobster pasir.
Saran
Kegiatan kompartemen dasar ini perlu dilakukan
penelitian lanjutan untuk melihat tingkat
keberhasilan kompartemen dasar bentuk silinder
ini dengan kondisi dan kontur perairan yang
berbeda.
UCAPAN TERIMA KASIH
Kegiatan ini merupakan hasil riset Rekayasa
Teknologi dalam Mendukung Industrialisasi
Perikanan yang dilaksanakan di Pantai Sepanjang,
Kabupaten Gunung Kidul, Tahun Anggaran 2014,
Pusat Pengkajian dan Perekayasaan Teknologi
Kelautan dan Perikanan. Ucapan terima kasih
disampaikan kepada Kepala Pusat Pengkajian dan
Perekayasaan Teknologi Kelautan dan Perikanan,
Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Propinsi
Daerah Istimewa Yogyakarta, Kepala Dinas
Kelautan dan Perikanan Kabupaten Gunung Kidul
dan semua pihak yang telah membantu
terlaksananya kegiatan penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA Achmad, T., Imanto, P.T., Muchori, M., Basyarie, A.,
Sunyoto, P., Slamet, B., Mayunar, Purba, R.,
Diani, S., Rejeki, S., Pranowo, S.A., &
Murtiningsih, S. (1991). Pedoman teknis
operasional pembesaran kerapu dalam keramba
jaring apung. Maros: Balai Penelitian Perikanan
Pantai.
Aisyah, Badrudin & Triharyuni, S. (2009). Lobster seed
resources in south coast of Yogyakarta. AARD.
MMAF. (Laporan tidak dipublikasikan)
Aisyah, & Triharyuni, S. (2010). Production, size
distribution and length-weight relationship of
lobster landed in south coast of Yogyakarta,
Indonesia. Ind. Fish. Res. J., 16(1), 15-24.
Bal, D.V., & Rao, K.V. (1984). Marine fisheries. Tata
Mc. Graw-Hill Publishing Company Limited,
New Delhi.
Damayanti, A., & Ranum, A. (2008). Karakteristik fisik
dan pemanfaatan pantai karst Kabupaten Gunung
Kidul. Jurnal Makara Teknologi, 12(2), 91-98.
Fawzi, M., Andhika, P.P., Ignatius, T.H., Fayakun, S.,
& Andria, A.U. (2013). Hubungan panjang-berat
dan faktor kondisi lobster batu (Panulirus
penicillatus) di perairan selatan Gunung Kidul
dan Pacitan. BAWAL, 5(2), 97-102.
Gunarso, W. (1985). Tingkah laku ikan dalam
hubungannya dengan alat, metode dan taktik
penangkapan. Bogor: Fakultas Perikanan IPB.
Hargiyanto, I.T., Fayakun, S., Andika, P.P., & Fauzi, M.
(2013). Hubungan panjang-berat dan faktor
kondisi lobster pasir (Panulirus homarus) di
perairan Yogyakarta dan Pacitan. BAWAL, 5(1),
41-48.
Holthuis, L.B. (1981). FAO Species Catalogue. Vol. 13.
Marine lobsters of the world. An annotated and
illustrated catalogue of species of interest to
fisheries known to date. FAO Fisheries Synopsis.
13 (125): 292. Hung, L.V., & Tuan, L.A. (2009). Lobster seacage
culture in Vietnam. In ‘Spiny lobster aquaculture
in the Asia–Pacific region’, ed. by K.C.
Williams. ACIAR Proceedings No. 132, 10–17.
Canberra: Australian Centre for International
Agricultural Research.
Imanto, P.T. (2000). Budidaya ikan laut. Loka Gondol:
Penelitian Perikanan Pantai.
Jeffs, A., & Davis, M. (2003). An assessment of the
aquaculture potential of the Carribean spiny
lobster, Panulirus argus. Proceeding of Gulf
Caribbean Fisheries Institute. 54, 413-426.
JURNAL KELAUTAN NASIONAL, Vol. 10, No. 2, Agustus 2015, Hal. 91-102
102
Jeffs, A.G. & James, P. (2001). Sea-cage culture of the
spiny lobster Jasus edwardsii in New Zealand.
Journal of Marine and Freshwater Research, 52,
1419-1424.
Jones, C. (2008). Studi kelayakan: Meningkatkan
pembesaran dan nutrisi lobster di Nusa
Tenggara Barat. Laporan penelitian ACIAR-
SADI. Australia Indonesia partnership.
King, M. (1995). Fisheries biology, assessment and
management. Fishing New Books.
Lee, S., Hartstein, N.D., & Jeffs, A. (2014). Modelling
carbon deposition and dissolved nitrogen
discharge from sea cage aquaculture of tropical
lobster. Journal of Marine Science. UK: Oxford.
Mohammed, G., Syda Rao, G. & Ghosh, S. (2010).
Aquaculture of spiny lobsters in sea cages in
Gujarat, India. J. Mar. Biol. Ass. India, 52 (2):
316-319.
Philipose, K.K., Jayasree, L.S.R., Krupesha, S., & Divu
D. (2012). Open sea cage culture. Handbook.
Central Marine Fisheries Research Intitute.
Karwar Research Centre. India.
Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi
Sumberdaya Ikan (P4KSI). (2012). Developing
new assessment and policy framework for
indonesia’s marine fisheries, including the
control and management of illegal, unregulated
and unreported fishing. Laporan Teknis. 111 p.
Pusluh KKP. (2011). Materi Penyuluhan Kelautan dan
Perikanan. Pusat Penyuluhan Kementerian
Kelautan dan Perikanan.
www.pusluh.kkp.go.id/index.php/arsip/.../lobster.
pdf/
Sugiyono. (2011). Metode penelitian kuantitatif,
kualitatif dan R&D. Bandung: CV. Alphabeta.
Sugiyono. (2008). Metode penelitian bisnis. Cetakan
keduabelas 2008. Bandung: CV. Alphabeta.
Thao, N. (2012). Opportunities and challenges in
lobster marine aquaculture in Vietnam: the case
of Nha Trang Bay. Master Thesis. The
Norwegian College of Fishery Science.
University of Tromso, Norway & Nha Trang
University, Vietnam.
Vijayakumaran, M., Vankatesan, R., Murugan, S.T.,
Kumar, T.S., Kumar, J.H.A.D., Remany, M.C.,
Thilakam, J.M.L., Jahan, S,S., Dharani, S.,
Kahtiroli, & Selvani, K. (2009). Farming of
spiny lobster in sea cages in India. New Zealand
Journal of Marine and Freshwater Research,
43(2), 623-634.
Willams, K.C. (2004). Spiny lobster ecology and
exploitation in the South China Sea region.
Proceedings of a workshop held at the Institute
of Oceanography. Nha Trang, Vietnam.
Yusnaini, Nessa, M.N., Djawad, M. I., & Trijuno, D.D.
(2009). Ciri Morfologi Jenis Kelamin dan
Kedewasaan Lobster Mutiara Panulirus ornatus.
Torani Jurnal Ilmu Kelautan dan Perikanan,
19(3), 166– 174.
Kesesuaian Desain Operasional Kapal Inkamina 163 Berbasis di PPP Sadeng Yogyakarta - Paduartama Tandipuang,
Yopi Novita dan Budhi H. Iskandar
103
KESESUAIAN DESAIN OPERASIONAL KAPAL INKAMINA 163 BERBASIS
DI PPP SADENG YOGYAKARTA
OPERATIONAL DESIGN SUITABILITY OF AN INKAMINA 163 FISHING VESEL BASED
IN SADENG FISHING PORT, YOGYAKARTA
Paduartama Tandipuang, Yopi Novita dan Budhi H. Iskandar
Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor,
Kampus IPB Dramaga Bogor, 16680, Indonesia
E-mail: tandipuangputra@ymail.com
Diterima tanggal: 13 Nopember 2014, diterima setelah perbaikan: 26 Juli 2015, disetujui tanggal: 30 Juli 2015
ABSTRAK
Nelayan di Pelabuhan Perikanan Pantai Sadeng, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta ragu untuk mengoperasikan
kapal ikan bantuan sampai batas maksimum ZEEI. Keraguan nelayan terletak pada kemampuan operasional kapal.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kesesuaian kapasitas muat yang tersedia di atas kapal dengan rencana target
operasional kapal, dan menganalisis area kerja di lantai dek kapal. Metode yang digunakan adalah metode studi kasus.
Kapal Inkamina 163 menjadi objek penelitian. Data dianalisis dengan cara comparative-numeric untuk mengkaji
kesesuaian desain kapal dan untuk mengetahui area kerja pada dek kapal. Analisis kesesuaian desain juga dilakukan
dengan mengacu pada KEPMENKP No. 21/2004. Hasil kajian menunjukkan bahwa Kapal Inkamina 163 memiliki
kapasitas muat yang sebagian besar sudah dapat memenuhi rencana target operasional kapal. Tata letak muatan di lantai
dek kapal Inkamina 163 telah sesuai dengan kebutuhan area kerja ABK. Kapal tersebut telah memenuhi 7 dari 8 syarat
yang dijadikan acuan dalam KEPMENKP No. 21/2004.
Kata kunci: Inkamina, kapal ikan, kapasitas muat, comparative numeric.
ABSTRACT
Fishermen in Sadeng Fishing Port, of DI Yogyakarta Province, are still in doubt to operate Inkamina vessels until ZEEI
in the Indian Ocean. Fishermen are doubt about the operational ability of fishing vessels. This research aimed to
analyze the suitability of loading capacity available on board of the ship, with operational plan target, and analyze
suitability of the layout on the vessel deck. Case study method is used in this research in which Inkamina 163 fishing
vessels become the object of research. Data were analyzed by means of comparative-numeric to assess the suitability of
the design of the ship and to know the working area on deck. In addition, analysis of the suitability of the design is also
refers to KEPMENKP No. 21/2004. The results showed that Inkamina 163 fishing vessel has a load capacity largely
been able to fulfill the plan of the ship operational target. Working area on the main deck crew is already met. This ship
has satisfied 7 from 8 requirements in KEPMENKP No. 21/2004.
Keywords: Inkamina, fishing vessel, load capacity, comparative numeric.
PENDAHULUAN
Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY)
merupakan salah satu provinsi penerima kapal
penangkap ikan bantuan dari pemerintah. Kapal
bantuan ini dinamakan kapal Inkamina. Kapal
Inkamina yang ada di Provinsi DIY
ditambatlabuhkan di Pelabuhan Perikanan Pantai
(PPP) Sadeng, Kabupaten Gunung Kidul. Kapal-
kapal Inkamina yang ada di pelabuhan tersebut
jarang digunakan oleh nelayan untuk melakukan
operasi penangkapan ikan. Nelayan di PPP Sadeng
meragukan kemampuan operasional kapal tersebut.
Operasi penangkapan ikan terjauh dilakukan di 60
mil. Mereka belum dapat mengoperasikan kapal
tersebut hingga 200 mil di ZEEI. Potensi perikanan
laut pada perairan ZEEI di Provinsi DIY belum
dapat dimanfaatkan dengan optimal.
JURNAL KELAUTAN NASIONAL, Vol. 10, No. 2, Agustus 2015, Hal. 103-112
104
Salah satu faktor yang menentukan dalam desain
suatu kapal penangkap ikan adalah kesesuaian
kapasitas muat kapal dengan rencana target operasi
penangkapan dan keselamatan kerja di atas kapal.
Setiap kapal penangkap ikan harus dapat
memenuhi faktor tersebut untuk menunjang
keberhasilan dan keamanan suatu operasi
penangkapan.
Beberapa penelitian mengenai desain kapal dan
keselamatan kerja di laut telah dilakukan. Usaha
perbaikan kualitas kapal ikan PSP 01 oleh Susanto
(2010), dilakukan dengan cara simulasi terhadap
modifikasi dimensi utama kapal agar diperoleh
acuan untuk redesign. Marjoni (2009) melakukan
penelitian menggunakan kapal purse seine yang
mendominasi di Pelabuhan perikanan Pantai
Lampulo. Kapal-kapal tersebut hanya dioperasikan
pada 12 mil sehingga potensi perikanan laut di
perairan Provinsi Nangro Aceh Darussalam pada
jarak lebih dari 12 mil belum dapat dikelola secara
maksimal.
Ketersediaan luas area kerja di dek kapal harus
mencukupi kebutuhan ABK karena dapat
mempengaruhi keamanan kerja. Piniella et al.
(2008) mengemukanan dalam penelitiannya bahwa
telah banyak penelitian yang menganalisis
mengenai rendahnya tingkat keamanan kerja pada
perikanan tangkap seperti: Chau-vin and Lebouar
(2007) melakukan penelitian mengenai kecelakaan
kerja di industri perikanan laut Perancis; Murray
and Tilley (2006) melakukan penelitian pada
kolompok nelayan di Newfoundland, Canada;
Brooks (2005) di Australia; dan Jin & Thunberg
(2005) di daerah penangkapan ikan Timur Laut
Amerika Serikat.
Berdasarkan pemaparan di atas, perlu dilakukan
suatu kajian untuk menganalisis kesesuaian desain
kapal Inkamina ditinjau dari kapasitas muat dan
tata letak di dek kapal yang terkait dengan
ketersediaan area kerja. Tujuan penelitian ini
adalah: 1) menganalisis kesesuaian kapasitas muat
yang tersedia di atas kapal dengan rencana target
operasional kapal, dan 2) menganalisis area kerja
di lantai dek kapal.
Pencapaian untuk tujuan pertama penelitian ini
dilakukan analisis perbandingan dimensi utama
kapal dan coefficient of fineness terhadap kapal
tipe encircling gear di Indonesia, operational
general arrangement, dan kapasitas muat kapal.
Tujuan kedua pada penelitian ini menghubungkan
antara ketersediaan area kerja dengan kebutuhan
ABK di dek utama kapal Inkamina 163.
Hasil kajian dalam penelitian ini dapat digunakan
sebagai bahan acuan untuk redesign agar kapal
Inkamina 163 dan juga kapal penangkap ikan yang
lain dapat memenuhi target operasi.
BAHAN DAN METODE
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan pada bulan April sampai
dengan bulan Mei 2014 di Pelabuhan Perikanan
Pantai (PPP) Sadeng, Kelurahan Pucung,
Kecamatan Girisubo, Kabupaten Gunung Kidul,
Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
Alat dan Metode
Alat yang digunakan untuk penelitian ini yaitu: roll
meter (20 m), tali kenur,tali rafia, pemberat
(bandul), waterpass, senter, penggaris 20 dan 60
cm, senter, digital camera, alat tulis, kertas
millimeter block (1x1 m), dan laptop. Penelitian ini
menggunakan metode studi kasus. Fokus kajian
dilakukan terhadap kapal Inkamina 163 yang
berbasis di PPP Sadeng, DIY. Jenis dan metode
pengambilan data disajikan pada Tabel 1.
Analisis Data
Data dianalisis dengan cara comparative-numeric.
Analisis comparative-numeric yang pertama
dilakukan dengan membandingkan antara volume
ruang yang telah terpasang di kapal dengan volume
ruang tersebut berdasarkan estimasi secara teoritis.
Analisis comparative-numeric yang kedua
dilakukan dengan membandingkan luas area
terpakai dengan luas area tersedia di atas lantai dek
kapal. Selain itu, analisis juga dilakukan dengan
mengacu pada KEPMENKP No. 21 (2004).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Desain Kapal
Kapal ikan bantuan yang dijadikan objek penelitian
adalah Kapal Inkamina 163 berukuran 32 GT yang
berbasis di PPP Sadeng, Provinsi DIY. Dimensi
utama kapal tersebut adalah sebagai berikut: Lpp
Kesesuaian Desain Operasional Kapal Inkamina 163 Berbasis di PPP Sadeng Yogyakarta - Paduartama Tandipuang,
Yopi Novita dan Budhi H. Iskandar
105
(13,65 m), B (4,74 m), D (2,04 m), dan d (1,632
m).
Perbandingan ukuran dimensi utama kapal
Inkamina 163 disajikan pada Tabel 2. Kisaran nilai
perbandingan dimensi utama kapal ikan di
Indonesia yang telah dilakukan oleh Iskandar dan
Pujiati (1995) dijadikan pembanding rasio dimensi
utama kapal Inkamina 163.
Tabel 1. Metode pengambilan data dari tiap jenis data
Table 1. The data collection method for each type of data
Jenis data Metode pengambilan data
Tujuan 1 : Menganalisis kesesuaian kapasitas muat yang tersedia di atas kapal dengan rencana target
operasional kapal
Palka Pengukuran langsung
Tangki BBM Pengukuran langsung
Tangki air tawar Pengukuran langsung
Ruang ABK Pengukuran langsung
Rata-rata jumlah hasil tangkapan maksimum
per trip Data hasil tangkapan di KUB
Rata-rata pemakaian BBM per trip Data pemakaian BBM di KUB
Jumlah ABK dan rata-rata ukuran tubuhnya Perhitungan dan pengukuran langsung
Tujuan 2 : Kesesuaian tata letak muatan di dek kapal
Luas area di lantai dek Pengukuran langsung
Luas area yang terpakai Pengukuran langsung
Kondisi bagian kapal Pengecekan langsung Sumber: Koleksi pribadi
Tabel 2. Perbandingan ukuran dimensi utama kapal
Table 2. Size comparison of vessel main dimension
Rasio dimensi
utama
Kapal
Inkamina
163
Kelompok kisaran ukuran kapal ikan di Indonesia*)
Static gear Encircling
gear Towed gear
Multi-
purpose
L/B 2.88 2,83-11,12 2.06-9.30 2,86-8,30 2,88-9,42
L/D 6.96 4.58-17.28 4.55-17.43 7,20-15,12 8,69-17,55
B/D 2.32 0.96-4.68 0.5-5.00 1,25-4,41 0,35-6,09
Sumber: Hasil pengukuran
Keterangan : *) Iskandar dan Pujiati, 1995.
Rasio dimensi utama
Menurut Iskandar (2007) mendesain kapal ikan
yang terbuat dari bahan kayu, perhatian utama
ditujukan pada dimensi kapal panjang antara garis
tegak (L), lebar kapal (B), dan dalam kapal (D).
Perbandingan dimensi tersebut merupakan
parameter awal menggambarkan bentuk dan jenis
kapal.
Berdasarkan data pada Tabel 2, dimensi utama
kapal Inkamina 163 masuk dalam dua kelompok
kisaran ukuran jenis kapal ikan di Indonesia yakni
kelompok static gear dan encircling gear. Hasil
perbandingan tersebut menyatakan bahwa dimensi
kapal ikan ini pada umumnya digunakan oleh
nelayan di Indonesia untuk mengoperasikan alat
tangkap baik jenis encircling gear maupun jenis
static gear.
Coefficient of Finenness
Iskandar dan Pujiati (1995) telah melakukan
pengelompokan kisaran nilai koefisien bentuk
(coefficient of fineness) kapal ikan yang ada di
Indonesia. Tabel 3 menunjukkan perbandingan
JURNAL KELAUTAN NASIONAL, Vol. 10, No. 2, Agustus 2015, Hal. 103-112
106
nilai coefficient of fineness kapal Inkamina 163
dengan kisaran nilai coefficient of fineness kapal-
kapal ikan di Indonesia.
Menurut Gillmer dan Johnson (1911), bentuk
proporsi bagian kapal yang terendam air dapat
dilihat dengan jelas untuk menentukan gemuk atau
langsing, atau sedang, dari hasil perbandingan
dimensi atau nilai koefisien bentuk (coefficient of
fineness). Dari hasil perbandingan nilai koefisien,
kapal Inkamina 163 memiliki badan kapal yang
cenderung gemuk. Kapal tersebut cenderung lebih
ramping untuk tipe kapal encircling gear, namun
cenderung gemuk untuk tipe kapal static gear di
Indonesia.
Operational General Arrangement
Pengaturan tata ruang dan muatan kapal Inkamina
163 saat kondisi siap beroperasi, dapat dilihat
melalui operational general arrangement yang
disajikan pada Gambar 1.
Tabel 3. Perbandingan kisaran nilai coefficient of
fineness Kapal Inkamina 163 dengan kapal ikan di
Indonesia
Table 3. Comparison of the coefficient of fineness value
range Inkamina 163 with fishing vessel in Indonesia
Coefficient Kapal
Inkamina
163
Kisaran nilai coefficient
of fineness kapal ikan di
Indonesia*)
Encircling
gear Static gear
Cb 0,57 0,56-0,67 0,39-0,70
Cp 0,75 0,60-0,79 0,56-0,80
Cw 0,86 0,78-0,88 0,65-0,85
C⊗ 0,78 0,84-0,96 0,63-0,91
Cvp 0,66 0,68-0,86 0,60-0,82
Sumber: Hasil pengukuran
Keterangan : *) Iskandar dan Pujiati, 1995.
Keterangan :
1. Gudang
2. Palka ikan
3. Pelampung lampu
4. Jaring purse seine
5.. Roller
6. Ruang mesin
7. Mesin
8. Tangki BBM
9. Tangki air tawar
10. Ruang perbekalan
11. Kursi nahkoda
12. Tempat ABK
13. Tempat memasak
Gambar 1. Operational general arrangement Kapal Inkamina 163, (A) tampak atas, dan (B) tampak samping
Figure 1. General arrangement of Inkamina 163 fishing vessel, (A) above view, and (B) side view Sumber: Koleksi pribadi
(A)
(B)
Kesesuaian Desain Operasional Kapal Inkamina 163 Berbasis di PPP Sadeng Yogyakarta - Paduartama Tandipuang,
Yopi Novita dan Budhi H. Iskandar
107
Kapasitas Muat Kapal
Kapasitas muat kapal (load capacity) merupakan
daya tampung kapal untuk berbagai jenis muatan
pada setiap ruang yang ada. Perbandingan antara
volume terpasang dan volume estimasi dilakukan
untuk mengetahui keefektifan dan keefisienan
dimensi ruang. Volume terpasang adalah volume
ruang eksisting di kapal, dan volume estimasi
adalah volume ruang yang diestimasi berdasarkan
faktor-faktor desain yang ada. Nilai volume
terpasang dan estimasi disajikan pada Tabel 4.
Tabel 4. Perbandingan volume terpasang pada Kapal
Inkamina 163 dengan volume estimasi
Table 4. Comparison of the mounted volume with a
estimated volume on Inkamina 163
Ruang
Volume
terpasang
(m3)
Volume
estimasi
(m3)
Persentase
perbandingan
Palka
ikan
23,5 17,75 >32,39 %
Ruang
mesin
60,52 21,59 >180,37 %
Tangki
BBM
3,11 2,79 >11,46 %
Tangki
air
tawar
2,27 0,825 >175,15 %
Ruang
ABK
9,06 m2 14,04 m
2 <64,5 %
Sumber: Hasil analisis
Keterangan:
< = Volume terpasang lebih besar dari volume estimasi,
> = Volume terpasang lebih kecil dari volume estimasi.
Palka ikan merupakan ruangan di bawah dek yang
digunakan untuk tempat menyimpan hasil
tangkapan (Wahyono, 2011). Volume estimasi
palka ikan diperoleh dari hasil perhitungan volume
rata-rata jumlah ikan hasil penangkapan
maksimum selama kapal Inkamina 163 beroperasi.
Hasil perbandingan volume palka ikan
menunjukkan bahwa volume palka yang terpasang
lebih besar dari volume palka estimasi. Kondisi ini
dapat ditolerir karena mempertimbangkan hasil
tangkapan maksimum yang pernah diperoleh
hingga palka penuh.
Perkiraan volume ruang mesin kapal yang ideal
adalah jika memenuhi faktor keamanan dan
kenyamanan kerja ABK. Hal ini dipengaruhi oleh
ketersediaan area kerja ABK, dimensi mesin,
pelepasan panas dan gas buang, serta sirkulasi
udara. Area kerja ABK dan dimensi mesin menjadi
faktor perhitungan untuk volume estimasi ruang
mesin Kapal Inkamina 163. Volume terpasang
ruang mesin kapal tersebut lebih besar dari volume
estimasi.
Volume estimasi tangki BBM kapal Inkamina 163
diperoleh dari hasil perhitungan laju konsumsi
BBM beserta bahan bakar cadangan jika
dioperasikan di perairan ZEEI yakni pada jarak
200 mil. Tangki BBM Kapal Inkamina 163
memiliki volume terpasang lebih besar dari
volume estimasi. Volume terpasang tangki BBM
yang berlebih (11,46 %) dapat memuat 350 liter
solar (310,07 kg) dapat digunakan untuk
menempuh jarak +25 mil dengan kecepatan rata-
rata 7 knot. Akimov (1970) menyatakan bahwa
dalam tangki BBM harus tersedia minimal 3-5 %
ruang kosong dari volume total tangki. Hal ini
bertujuan untuk memberikan ruang pemuaian
BBM.
Terdapat 4 buah drum tangki air tawar di kapal
Inkamina 163. Tiap drum berkapasitas 0,520 m3
(520 liter) air tawar. Volume estimasi tangki air
tawar diperoleh dari hasil perhitungan jumlah air
tawar yang dikonsumsi oleh seluruh ABK (13
orang) selama satu trip. Hasil perbandingan
menyatakan bahwa volume terpasang lebih besar
dari volume estimasi. Daya tampung air tawar pada
volume terpasang yang lebih besar ini setara
dengan 3,978 ton air tawar. Berat air tawar ini
digunakan sebagai water ballast pada kapal.
Kapal ikan yang memiliki palka ikan hidup akan
dipengaruhi oleh efek free surface saat rolling.,
Keberadaan free surface akan meningkatkan
damping moment coefficient kapal (Lee et al.,
2005). Menurut Novita (2011), permukaan muatan
cair (liquid) yang masih dapat bergerak bebas
dapat mempengruhi kualitas stabilitas kapal.
Tangki penampungan air tawar yang ditempatkan
di atas dek kapal Inkamia 163 dapat memberikan
efek free surface pada kapal. Tangki-tangki air
tawar yang ada pada kapal Inkamina 163 memiliki
diameter yang kecil sehingga efek free surface
yang akan ditimbulkan tidak terlalu mempengaruhi
stabilitas kapal tersebut.
Letak titik berat mempengaruhi stabilitas kapal.
Penelitian yang dilakukan Manulang (2008)
JURNAL KELAUTAN NASIONAL, Vol. 10, No. 2, Agustus 2015, Hal. 103-112
108
menyatakan bahwa jika berat muatan yang berada
di bawah dek kapal berkurang dan terjadi
penambahan muatan di atas dek maka titik berat
akan bergerak ke atas. Letak titik berat (KG)
mempengaruhi besar kecilnya lengan penegak GZ
yang terbentuk pada saat mengalami keolengan.
Peletakan muatan di atas dek berupa tangki air
tawar pada kapal Inkamina 163 akan lebih
cenderung mengganggu stabilitas kapal karena titik
berat kapal akan berpindah ke atas atau nilai KG
menjadi semakin besar.
Kapal Inkamina 163 tidak memiliki desain ruang
khusus untuk ABK. Tempat ABK beristirahat yang
ada merupakan modifikasi ABK. Luas estimasi
untuk tempat ABK diperoleh dari hasil perhitungan
rata-rata ukuran tubuh nelayan. Luas tempat ABK
yang terpasang ini 64,5 % lebih kecil dari luas
estimasi dan hanya dapat menampung 5 orang dari
13 orang ABK.
Kondisi tempat ABK pada kapal Inkamina 163
yang kurang memadai tersebut dapat berdampak
pada kondisi fisik para ABK. Kapal yang bergerak
pada enam sumbu (buritan kedepan, lateral,
vertikal, roll, pitch dan yaw), dapat mengganggu
kegiatan dan kesehatan ABK. Lebih dari 79 %
ABK yang mengalami kelelahan dan permasalahan
tidur (Haward et al., 2009). Aktifitas kerja yang
intens dan berkepanjangan yakni dalam hal
penangkapan ikan dapat menyebabkan kelelahan.
Kelelahan ini merupakan faktor umum penyebab
kecelakaan kerja pada pekerjaan penangkapan ikan
(ILO, 1999).
Area Kerja di Dek Kapal Inkamina 163
Dek merupakan lingkungan kerja nelayan yang
berbahaya karena merupakan pijakan yang terus-
menerus mengalami pergerakan dan tidak stabil
(Husberg et al., 2001). Berdasarkan distribusi jenis
kegiatan di dek, Fyson (1985) melakukan
perencanaan pembagian area pada dek kapal
menjadi 5 bagian area kerja: dek buritan, dek
samping, rumah kemudi, dek kerja utama (main
working deck), dan dek haluan. Analisis area kerja
dilakukan di dek utama (main deck) dan di dek
kerja utama (main working deck).
Bangunan dan muatan yang berada di main deck
kapal Inkamina 163 mulai dari arah haluan ke
buritan, dipaparkan pada Tabel 5. Gambaran letak
bangunan timbul dan muatan kapal ini dapat dilihat
kembali pada operational general arrangement di
Gambar 1.
Tabel 5. Bangunan timbul dan muatan di dek kapal
Inkamina 163
Table 5. Arise Building and cargo on the deck of
Inkamina 163
Bangunan
timbul Muatan
Keterangan letak di
dek
Tutup palka
gudang
di bagian depan dek
utama dan di
belakang ruang
kemudi
Tutup palka
ikan
di sepanjang dek
utama
Ruang
kemudi di midship
Tangki air
tawar
sisi kiri di belakang
setelah midship dan
bagian tengah
buritan kapal
Dapur di sisi kiri buritan
Pelampung
lampu
sisi kiri di bagian
depan dek utama
Jaring
memanjang dari
depan rumah dek
hingga 3/4 bagian
dek utama
Sumber: Hasil identifikasi
Area tutupan merupakan daerah terpakai pada dek
yang ditempati oleh muatan atau bangunan. Area
bebas pada kapal adalah daerah sisa yang tidak
ditempati oleh bangunan maupun muatan apapun.
Perbandingan luas area tutupan dan area bebas di
main deck kapal Inkamina 163, disajikan pada
Gambar 3.
Gambar 2. Perbandingan luas area tutupan dan area
bebas pada dek keseluruhan
Figure 2. Comparison of cover area and free area on
main deck Sumber: Hasil analisis
Tutup
palka
23,59%
Wheel
house
13,56%
Dapur
2,14%
Tangki air
tawar
6,0%
Jaring
16,20%
Pelampun
g lampu
2,23%
Dek
haluan
3,57%
Dek yang
tersisa
32,70%
Kesesuaian Desain Operasional Kapal Inkamina 163 Berbasis di PPP Sadeng Yogyakarta - Paduartama Tandipuang,
Yopi Novita dan Budhi H. Iskandar
109
Pengkajian juga dilakukan pada dek kerja utama
(main working deck). Main working deck pada
umumnya merupakan bagian dek dengan area
paling luas di dek utama (main deck) kapal ikan.
Analisis area kerja pada main working deck
dilakukan karena dek ini merupakan tempat ABK
melakukan pekerjaan meliputi pengoperasian alat
tangkap, penanganan alat tangkap dan penyortiran
ikan. Seluruh ABK yang bekerja di main working
deck memiliki tingkat resiko bahaya yang tinggi.
Hal tersebut diungkapkan oleh Antao dkk (2008)
yang menyatakan bahwa mayoritas pekerjaan yang
dilakukan oleh ABK berada di main working deck
kapal penangkap ikan. Dek yang selalu bergerak
menyebabkan kondisi ABK yang selalu berada
dalam keadaan yang tidak seimbang saat bekerja.
Sebagian besar waktu kerja berada dalam keadaan
basah dan berada pada area yang berbahaya karena
terdapat berbagai peralatan untuk operasi
penangkapan ikan.
Juragan panggung merupakan pekerjaan paling
berbahaya kemudian disusul oleh penarik jaring
dan juru mudi (Suryanto, 2012). Menurut Suryanto
et al. (2013), kondisi pekerja yang paling
berbahaya adalah ABK yang menarik jaring di
kapal pukat cincin di Selat Bali.
Perbandingan luas area tutupan dan area bebas di
main working deck disajikan pada Gambar 4.
Gambar 3. Perbandingan luas area tutupan dan area
bebas pada dek utama
Figure 3. Comparison of cover area and free area on
main deck Sumber: Hasil analisis
Luas total dek Kapal Inkamina 163 mulai dari
haluan hingga buritan adalah sebesar 62,98 m2.
Luas area bebas adalah sebesar 32,70 % (20,59 m2)
dari luas main deck. Hal ini menggambarkan
bahwa dari luas main deck yang tersedia, terdapat
32,70 % bagian yang dapat dijadikan tempat ABK
berpijak dan melakukan kegiatan.
Luas area bebas yang tersisa di main working deck
adalah sebesar 48,76 % (17,94 m2). Area sisa
tersebut masih mencukupi kebutuhan kerja 12
ABK. Area kerja untuk ABK pada main working
deck telah tercukupi, namun masih diperlukan
kewaspadaan serta kehati-hatian para ABK saat
melakukan pekerjaan. Kondisi letak muatan di area
kerja pada main working deck kapal Inkamina 163
yang tidak teratur dapat mengganggu aktifitas
bahkan dapat mengancam keselamatan ABK.
Kecelakaan kerja pada kapal penangkap ikan jenis
seine netting, sering kali disebabkan oleh peletakan
muatan yang tidak tepat pada dek kapal (Piniella et
al., 2008). Dalam penelitian tersebut diungkapkan
bahwa kecelakaan yang terjadi pada jenis kapal
tersebut disebabkan oleh luka bakar atau kebakaran
akibat minyak atau gas dari lampu.
Lincoln et al. (2006) menyatakan bahwa 23 %
nelayan cedera disebabkan karena terjerat atau
terbentur pada perlengkapan seperti tali alat
tangkap, katrol, winch, atau peralatan yang berada
di atas geladak. Dari hasil penelitian yang telah
dilakukan oleh Dickey dan Ellis (2006) tercatat
selama tahun 1994-2004, 641 nelayan meninggal
di Amerika Serikat. Nelayan yang meninggal
tersebut, 332 nelayan (52 %) meninggal karena
kapal tenggelam dan 184 (29 %) kematian akibat
terjatuh ke laut, serta selebihnya disebabkan karena
berbagai penyebab termasuk 51,8 % cidera saat
bekerja di geladak. Wang et al. (2005) menyatakan
bahwa penyebab terbesar kecelakaan kapal ikan
adalah kelalaian ABK, pengangkatan peralatan,
dan peralatan untuk menagkap ikan. Seluruh
bangunan timbul dan peralatan yang ada pada main
deck dapat menjadi ancaman terjadinya kecelakaan
kerja. Kemungkinan kecelakaan yang disebabkan
oleh human error dapat diminimalisisr dengan cara
melakukan penataan seluruh perlatan dengan benar
dan rapi.
Menurut Tsai dan Su (2004) dari banyaknya
tingkat kecelakaan kapal penangkap ikan yang
terjadi, tidak ada hubungan yang positif antara
tingkat kecelakaan dengan akibat yang ditimbulkan
oleh kecelakaan tersebut.
Tutup
palka
34,14%
Dek haluan
5,58%
jaring
8,03%
Pelampung
lampu
3,49%
Dek yang
tersisa
48,76%
JURNAL KELAUTAN NASIONAL, Vol. 10, No. 2, Agustus 2015, Hal. 103-112
110
Tabel 6. Syarat desain dan peralatan kapal penangkap ikan
Table 6. Terms of design and equipment of fishing vessels
No. Persyaratan KEP.21/MEN/2004/Terms of KEP.21/MEN/2004
Kesesuaian pada Kapal
Inkamia 163/ Conformance on
Inkamia 163
1 Persyaratan minimal untuk kapal penangkap ikan :
a. Mempunyai dek atau dek untuk penerimaan dan penanganan yang
dirancang dan di tata sedemikian rupa sehingga cukup luas untuk
melakukan penanganan, penampungan, dan pemisahan setiap hasil
tangkapan; mudah dibersihkan serta melindungi produk dari sinar
matahari dan sumber kotoran atau kon taminasi;
Sesuai
b. Sistem pemindahan hasil tangkapan dari tempat penerimaan ke
tempat penanganan harus memenuhi persyaratan higienis; **)
c. Tempat penanganan untuk preparasi hasil tangkapan harus cukup
luas dan memenuhi persyaratan higienis. Ruang tersebut harus
dirancang dan ditata sedemikian rupa untuk mencegah kontaminasi
terhadap produk;
**)
d. Tempat penyimpanan produk akhir harus cukup luas dan dirancang
sedemikian rupa agar mudah dibersihkan; Sesuai
e. Apabila dilakukan penanganan limbah, maka limbah tersebut harus
ditampung di tempat pembuangan khusus; **)
f. Tempat untuk menyimpan bahan pengepak harus terpisah dari
tempat penanganan; **)
g. Mempunyai peralatan khusus yang kedap air untuk membuang
limbah atau secara langsung dibuang ke laut; Sesuai
h. Mempunyai tempat penampungan air untuk keperluan penanganan
hasil tangkapan; Sesuai
i. Mempunyai ruang ganti, tempat mencuci tangan, dan toilet dalam
jumlah yang cukup. Toilet tidak boleh berhubungan langsung ke
tempat penanganan dan penyimpanan hasil tangkapan. Tempat cuci
tangan harus dilengkapi dengan keran air mengalir, sabun, dan
pengering tangan.
Tidak sesuai
2 Ruang yang digunakan untuk penanganan atau pembekuan hasil perikanan harus memenuhi persyaratan
sebagai berikut :
a. Lantai tidak boleh licin, mudah dibersihkan dan dilengkapi dengan
system pembuangan air. Penempatan peralatan tidak boleh
menghalangi pembersihan limbah padat dan limbah cair.
Sesuai
b. Dinding dan langit-langit mudah dibersihkan terutama bila terdapat
pipa-pipa, aliran listrik atau kabel listrik; Sesuai
c. Penempatan dan penggunaan mesin hydrolik harus ditata
sedemikian rupa untuk mencegah kemungkinan terjadinya
kebocoran minyak yang dapat mengkontaminasi produk;
**)
d. Mempunyai ventilasi dan/atau sirkulasi udara yang cukup untuk
mencegah terjadinya kondensasi; **)
e. Mempunyai penerangan yang cukup; **)
f. Mempunyai peralatan untuk pembersihan dan sanitasi; Sesuai
g. Mempunyai peralatan untuk mencuci tangan dengan kran yang
tidak dioperasikan dengan tangan serta menggunakan pengering
sekali pakai.
**)
3
Peralatan dan perkakas seperti meja pemotong, wadah, ban berjalan,
Mesin pembuangan isi perut atau mesin pemfiletan harus tahan
karat, mudah dibersihkandan dirawat.
**)
Sumber: Hasil analisis
Keterangan : **) tidak terdapat ruang atau peralatan tersebut karena tidak diperlukan pada kapal Inkamina 163
Kesesuaian Desain Operasional Kapal Inkamina 163 Berbasis di PPP Sadeng Yogyakarta - Paduartama Tandipuang,
Yopi Novita dan Budhi H. Iskandar
111
Hal ini berarti tingkat kecelakaan yang tinggi tidak
berarti konsekuensi kecelakaan yang tinggi juga.
Kesesuaian desain dan peralatan kapal Inkamina
163 sebagai kapal penangkap ikan menurut
KEPMENKP No.21 (2004) disajikan pada Tabel 6.
Dari ke-17 poin persyaratan pada peraturan
pemerintah tersebut, terdapat 8 poin persyaratan
yang dapat dijadikan acuan penilaian. Terdapat 7
poin yang sesuai dan 1 poin yang tidak sesuai
dengan persyaratan kesesuaian desain dan
peralatan pada KEPMENKP No.21/2004.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Mengacu pada tujuan dan hasil analisis data, maka
dapat disimpulkan bahwa:
1. Kapal Inkamina 163 memiliki kapasitas muat
yang sebagian besar sudah dapat memenuhi
rencana target operasional kapal.
2. Luas area yang tersisa dari tata letak muatan
yang ada, masih mencukupi area kerja ABK di
dek kerja utama (main working deck).
Saran
Volume ruang mesin yang terlalu besar dari
volume estimasi, dapat dikurangi sebagai
tambahan ruang ABK. Perubahan desain kapal
ikan yang meliputi penambahan, pengurangan,
atau pergeseran ruang yang ada dan perubahan tata
muatan pada kapal ikan dapat dilakukan. Hal ini
dapat dilakukan apabila terlebih dahulu dilakukan
perhitungan stabilitas kapal akibat adanya
perubahan tersebut.
UCAPAN TERIMA KASIH
Penelitian ini didukung atas bantuan dana
penyelesaian studi dari Bupati Kabupaten Mamasa,
Provinsi Sulawesi Barat. Terima kasih
disampaikan kepada Bapak Untung Leksono, Pak
Ngatno, Pak Agrip Madi, dan teman-teman
seangkatan penulis di SD Bobkrigondolayu
Yogyakarta.
DAFTAR PUSTAKA
Akimov, P. (1970). Marine power plant. Troitsky
A, penerjemah. Moscow (RUS): Peace
Publishers. Terjemahan dari: СУДОВЫЕ
СИЛОВЫЕ УСТΑНОВКИ. 137.
Antao, P., Almeida, T., Jacinto, C. and Soares,
C.D. (2008). Causes of occupational
accidents in the fishing sector in Portugal.
Safety Science, 46(6), 885-899.
doi:10.1016/j.ssci.2007.11.007.
Barras, B. and Derret, B. (2006). Ship stability for
master and mates. 6th
ed. Oxford(UK):
Butterworth-Heinemann.
Brooks, B. (2005). Not drowning, waving!: safety
management and occupational culture in an
Australian commercial fishing port. Safety
science, 43(10), 795-814.
Chauvin, C. and Le Bouar, G. (2007).
Occupational injury in the French sea fishing
industry: a comparative study between the
1980s and today. Accident Analysis &
Prevention, 39(1), 79-85.
Dickey, D.H. and Ellis, Q. P. (2006). Analysis of
fishing vessel casualties. A Review of Lost
Fishing Vessels and Crew Fatalities, 1994-
2004. Washington DC: United States Coast
Guard, Compliance Analysis Division.
Fyson, J. 1985. Design of small fishing vessels.
England (UK): Fishing News Book Ltd.
Gillmer, T.C. and Johnson, B. (1982). Introduction
to naval architecture. Maryland (USA):
Naval Intitute Press.
Haward, B.M., Lewis, C.H. and Grifin, M.J. 2009.
Motions and crew responses on an offshore
oil production and storage vessel. Applied
Ergonomics. 40 (5):904-
914.doi:10.1016/j.apergo.2009.01.001.
Husberg, B.J., Lincoln, J.M. and Conway, G.A.
(2001). On-deck dangers in the alaskan
commercial fishing industry. Proceedings -
U.S. Safety at Sea, 58(2), 23–24.
ILO. (1999). Safety and health in the fishing
industry. Report for discussion at the
tripartite meeting on safety and health in the
fishing industry, Geneva.
Iskandar, B.H. (2007). Stabilitas Statis Dan
dinamis kapal latih stella maris. Buletin PSP,
16(1), 31-49. Fakultas Perikanan, Institut
Pertanian Bogor.
Iskandar, B.H. dan Pujiati, S. (1995). Keragaan
teknis kapal perikanan di beberapa wilayah
JURNAL KELAUTAN NASIONAL, Vol. 10, No. 2, Agustus 2015, Hal. 103-112
112
Indonesia. Laporan penelitian. Bogor (ID):
Institut Pertanian Bogor.
Jin, D. and Thunberg, E. (2005). An analysis of
fishing vessel accidents in fishing areas off
the northeastern United States. Safety
Science, 43(8), 523-540.
[KKP] Keputusan Menteri Kelautan dan
Perikanan. (2004). Persyaratan kapal
penangkap ikan. No. 21. Lampiran 1.
Tentang persyaratan desain dan peralatan.
Lee, S.K., Surendran, S. and Lee, G. (2005). Roll
performance of small fishing vessel with live
fish tank. Ocean engineering, 32(14), 1873-
1885. doi:10.1016/j.oceaneng.2004.11.011.
Lincoln, J.M., Husberg, B.J. and Mode, N.K.
(2006). Severe injuries on commercial
fishing vessels in Alaska. Third
International Fishing Industry Safety and
Health Conference. India.
Manullang, S.L. (2008). Kajian stabilitas
operasional kapal longline 60 GT. Tesis.
Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian
Bogor.
Marjoni. (2009). Stabilitas statis dan dinamis
kapal purse seine di pelabuhan perikanan
pantai lampulo kota Banda Aceh Nangroe
Aceh Darussalam. Tesis. Sekolah
Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor.
Murray, M., and Tilley, N. (2006). Promoting
safety awareness in fishing communities
through community arts: An action research
project. Safety Science, 44(9), 797-808.
Novita, Y. (2011). Pengaruh free surface terhadap
stabilitas kapal pengangkut ikan hidup.
Buletin PSP, 19(2).
Piniella, F., Soriguer, M.C and Walliser, J. (2008).
Analysis of the specific risk in the different
artisanal fishing methods in Andalusia,
Spain. Safety Science, 46(8), 1184-1195.
doi:10.1016/j.ssci.2007.08.006.
Suryanto. (2012). Pengaruh tinggi geladak
terhadap keselamatan anak buah kapal pukat
cincin yang beroperasi di Selat Bali. Jurnal
Kelautan Nasional, 7(2), 109-119.
Suryanto, Hagriyatno, I.T. dan Siwi, W.E.R.
(2013). Hubungan variabilitas parameter
keamanan dan kenyamanan kerja ABK dan
hasil tangkapan ikan pada pukat cincin yang
beroperasi di Selat Bali. Jurnal Kelautan
Nasional, 8(1), 017-026.
Susanto, A. (2010). Evaluasi desain dan stabilitas
kapal penangkap ikan di Palabuhanratu
(studi kasus kapal PSP 01). Tesis. Sekolah
Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor.
Tsai, M.C. and Su, C.C. (2004). Scenario analysis
of freight vehicle accident risk in Taiwan.
Accident analysis & prevention, 36(4), 683-
690. doi:10.1016/j.aap.2003.05.001.
Wahyono, A. (2011). Kapal perikanan
(Membangun kapal kayu). Semarang (ID):
Balai Besar Pengembangan Penangkapan
Ikan.
Wang, J., Pillay, A., Kwon, Y.S., Wall, A.D. and
Loughran, C.G. (2005). An analysis of
fishing vessel accidents. Journal of Accident
Analysis and Prevention, 37(6), 1019–1024.
doi:10.1016/j.aap.2005.05.005.
(Times New
Roman, 10 pt,centered)
PEDOMAN PENULISAN JURNAL KELAUTAN NASIONAL
JUDUL (Times New Roman, all caps, 12 pt, bold, centered)
TITLE (Times New Roman, all caps, 12 pt,italic, centered)(kosong dua spasi tunggal, 12 pt)
Penulis TunggalNama Institusi
Alamat, nomor telepon dan faksE-mail: penulis_tunggal@address.com
(kosong dua spasi tunggal, 12 pt)
Penulis Pertama1, Penulis Kedua2 dan Penulis Ketiga3
1 Nama InstitusiAlamat, nomor telepon dan faks
E-mail: penulis_pertama@address.com(kosong satu spasi tunggal, 12 pt)
Diterima tanggal: ....., diterima setelah perbaikan: ....., disetujui tanggal: ........(kosong satu spasi tunggal, 12 pt)
ABSTRAK (12 pt, bold)(kosong satu spasi tunggal, 12 pt)
Abstrak ditulis dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris dengan jenis huruf Times New Roman, ukuran 10 pt, untukbastrak bahasa Indonesia ditulis tegak, sedangkan abstrak bahasa inggris ditulis italic, spasi tunggal. Abstrak merupakanringkasan yang utuh dan lengkap yang menggambarkan isi tulisan. Sebaiknya abstrak mencakup latar belakang, tujuan,metode, hasil, serta kesimpulan dari penelitian. Abstrak terdiri dari satu paragraf dengan jumlah kata paling banyak 250kata dalam bahasa Indonesia dan 150 kata dalam bahasa Inggris.(kosong satu spasi tunggal 10 pt).
Kata kunci: 3-5 kata kunci (Times New Roman, 10 pt)(kosong satu spasi tunggal 10 pt)
ABSTRACT (12 pt, bold, italic)(kosong satu spasi 12 pt)
Abstract should be written in Indonesian and English using Times New Roman font, size 10 pt, italic for English andnormal for Indonesian, single spasing. Abstract is a full and complete summary that describe content of the paper Itshould contain background, objective, methods, results, and conclusion from the research. It consists of one paragraphand should be no more than 250 words in bahasa Indonesia and 150 words in English(kosong satu spasi tunggal 10 pt)
Keywords: 3-5 keywords (Times New Roman, 10 pt, italic)(kosong dua spasi tunggal, 12 pt)
PENDAHULUAN (12 pt, bold)(kosong satu spasi tunggal, 11 pt)
Petunjuk penulisan ini disusun untuk keseragamanformat penulisan dan kemudahan bagi penulis
dalam proses penerbitan naskah di Jurnal KelautanNasional. Penulis bisa menggunakan bahasaIndonesia atau bahasa Inggris. Naskah dalambahasa Indonesia harus sesuai dengan EYD yang
(Times NewRoman, 12 pt,bold, centered)
berlaku, dan bila dalam bahasa Inggris sebaiknyamemenuhi standard tata bahasa Inggris baku.
Penulis dapat mengirim artikel ilmiah ke alamat e-mail: jurnalp3tkp@yahoo.com.
Naskah ditulis dalam format kertas berukuran A4(210 mm x 297 mm) dengan margin atas danbawah masing-masing 3 cm, margin kiri dan kananmasing-masing 2 cm. Setiap paragraf ditulisdengan format justify. Jarak antara paragraf adalahsatu spasi tunggal. Isi tulisan ditulis dengan jenishuruf Times New Roman, ukuran 11 pt. Panjangnaskah minimal 6 halaman dan maksimal 15halaman, termasuk lampiran.
Format naskah menggunakan aturan sebagaiberikut:a) Pada saat pengiriman awal, naskah ditulis
dalam format 1 kolom.b) Setelah naskah dinyatakan layak terbit, penulis
harus merubah format naskah menjadi 2 kolomdengan jarak antar kolom 1 cm.
Judul naskah harus mencerminkan inti dari isisuatu tulisan. Judul hendaknya menonjolkanfenomena (obyek) yang diteliti, bukan metode danbukan kegiatan (proyek). Judul bersifat informatif,spesifik, efektif dan maksimal 15 kata. Jika naskahdalam bahasa Indonesia, ditulis terlebih dahulujudul bahasa Indonesia kemudian diikuti juduldalam bahasa Inggris. Sebaliknya, jika naskahdalam bahasa Inggris, ditulis dahulu judul bahasaInggris kemudian diikuti judul dalam bahasaIndonesia.
Nama penulis ditulis secara lengkap di bawahjudul tanpa menyebutkan gelar. Di bawahnya,dicantumkan nama lembaga dan alamat lengkaptempat penulis bekerja beserta alamat e-mailpenulis pertama untuk korespondensi. Jika penulislebih dari satu orang dan bekerja di lembaga yangsama, maka pencantuman satu alamat telahdianggap cukup mewakili alamat penulis lainnya.
Keterangan naskah ditulis setelah identitas penulis.Ditulis miring dengan jenis huruf jenis hurufTimes New Roman, ukuran 9 pt.
Abstrak ditulis dalam bahasa Indonesia dan bahasaInggris yang masing – masing dilengkapi dengankata kunci (keywords). Kata kunci dapat berupakata tunggal atau kata majemuk (terdiri lebih dari
satu kata). Penulisan kata kunci antara tiga sampailima (3 – 5) kata dan dapat mengikuti klasifikasisebagai berikut: metode teoritis, metodeeksperimen, fenomena, obyek penelitian danaplikasinya.
Naskah disusun dalam 4 subjudul yaitu:Pendahuluan, Bahan dan Metode, Hasil danPembahasan, Kesimpulan dan Saran, DaftarPustaka, dan Lampiran (jika ada). Subjudulditulis dengan huruf besar cetak tebal dan tidakdiberi nomor. Subjudul untuk naskah bahasaInggris sebagai berikut: Introduction, Tools andMethods, Results and Discussion, Conclusionsand Suggestion, References dan Appendix (jikaada). Penggunaan subsubjudul sebaiknya dihindari,apabila diperlukan diberi nomor bertingkat denganangka latin seperti contoh berikut: 1., 1.1. 1.2., …dan seterusnya.
Pendahuluan hendaklah mencakup hal-hal berikutini: latar belakang, perumusan masalah, tujuan,teori, dan hipotesis (jika ada). Untuk penemuan-penemuan ilmiah yang telah dipublikasikansebelumnya baik oleh diri-sendiri maupun oranglain dan berkaitan dengan penelitian yangdikerjakan, bisa dimasukkan di dalam subjudulpendahuluan ini.
Metode penelitian yang digunakan harus ditulissesuai dengan cara ilmiah, yaitu rasional, empirisdan sistematis. Seyogyanya disebutkan waktu dantempat penelitian secara jelas, berikut data maupunalat dan bahan yang dipakai dalam penelitian.
Hasil dan pembahasan berisi hasil analisisfenomena di wilayah penelitian yang relevandengan tema kajian. Hasil penelitian hendaknyadibandingkan dengan teori dan temuan penelitianyang relevan
Kesimpulan bisa berupa kesimpulan khusus dankesimpulan umum. Kesimpulan khusus merupakanhasil analisa data atau hasil uji hipotesa tentangfenomena yang diteliti. Kesimpulan umum sebagaihasil generalisasi atau keterkaitan denganfenomena serupa di wilayah lain dari publikasiterdahulu. Hal yang perlu diperhatikan adalahsegitiga konsistensi (masalah-tujuan-kesimpulanharus konsisten).
Penggunaan catatan kaki tidak diperkenankan.Simbol/lambang ditulis dengan jelas dan konsisten.
Istilah asing ditulis dengan huruf italic. Singkatanharus dituliskan secara lengkap pada saatdisebutkan pertama kali, setelah itu bisa dituliskata singkatnya.
Tabel ditulis dengan Times New Roman ukuran 10pt dan berjarak satu spasi dibawah judul tabel.Judul tabel ditulis dengan bahasa Indonesia danterjemahan bahasa Inggris di bawahnya. Judultabel ditulis dengan huruf berukuran 10 pt danditempatkan diatas tabel. Penomoran tabelmenggunakan angka Latin (1,2,…..). Tabeldiletakkan segera setelah disebutkan di dalamnaskah. Tabel diletakkan pada posisi paling atasatau paling bawah dari setiap halaman dan tidakdiapit oleh kalimat. Apabila tabel memilikilajur/kolom cukup banyak, bisa digunakan formatsatu kolom atau satu halaman penuh. Setiap tabelharus mencantumkan sumber.
(kosong satu spasi tunggal, 11 pt)
Tabel 1. Kriteria umum stabilitas kapal ikan .Table 1. Common criteria fishing vessel stability
Kriteria Nilai Kriteria IMO00 – 300 ≥ 3,151 m.deg00 – 400 ≥ 5,157 m.deg300– 400 ≥ 1,719 m.degGZ max pada sudut 300 atau lebih ≥ 0,2 msudut GZ max ≥ 25 degGM0 ≥ 0,150 mSumber: IMO, 2002
(kosong satu spasi tunggal, 11 pt)
Gambar 1. Parameter DO (warna biru), parametersalinitas (warna jingga), parameter suhu (warna hijau)
dari telemetri buoy PLUTO.Figure 1. DO parameter (blue color), salinity
parameter (violet color), temperature parameter (greencolor) from buoy PLUTO’s telemetry.
Sumber: Hasil pengukuran
(kosong satu spasi tunggal, 11 pt)
Gambar diletakkan segera setelah disebutkandalam naskah. Gambar diletakkan pada posisipaling atas atau paling bawah dari setiap halamandan tidak boleh diapit kalimat. Gambar diletakkansimetris dalam kolom. Apabila gambar cukupbesar, bisa digunakan format satu kolom.Penomoran gambar menggunakan angka latin.Penulisan judul gambar menggunakan huruf TimesNew Roman berukuran 10 pt dan diletakkan dibagian bawah, seperti pada contoh diatas. Judulgambar ditulis dengan bahasa Indonesia danterjemahan bahasa Inggris di bawahnya dalamtanda kurung dan cetak miring. Setiap gambarharus menyebutkan sumbernya. Jika gambar yangditampilkan merupakan milik pribadi, maka ditulis“Sumber: Dokumentasi pribadi”
Apabila terdapat persamaan reaksi atau matematis,diletakkan simetris pada kolom. Nomor persamaandiletakkan di ujung kanan dalam tanda kurung, danpenomoran dilakukan secara berurutan. Apabilaterdapat rangkaian persamaan yang lebih dari satubaris, maka penulisan nomor diletakkan pada baristerakhir. Penunjukkan persamaan dalam naskahdalam bentuk singkatan, seperti Pers. (1).
(kosong satu spasi tunggal 11 pt)
y
v
x
uka (1)
(kosong satu spasi tunggal 11 pt)
Penurunan persamaan matematis tidak perlu ditulissemuanya secara detail, hanya dituliskan bagianyang terpenting, metode yang digunakan dan hasilakhirnya.
Pengutipan/sitasi pustaka di dalam naskahmengacu pada pedoman sebagai berikut: Kutipan atau keterangan yang bersumber dari
naskah yang ditulis oleh penulis tunggal,sitasinya ditulis dengan menyebutkan namabelakang penulis diikuti dengan tahunpenerbitan naskah. Contoh: Walker (2007)atau (Walker, 2007).
Kutipan atau keterangan yang bersumber darinaskah yang ditulis oleh 2-5 penulis, padasitasi awal ditulis dengan menyebutkan semuanama belakang penulis diikuti dengan tahunpenerbitan naskah. Sedangkan sitasiselanjutnya, cukup ditulis nama penulis
pertama diikuti dengan et al dan tahunpenerbitan naskah. Contoh:o Sitasi awal: Walker, Allen, Bradley,
Ramirez dan Soo (2008) atau (Walker,Allen, Bradley, Ramirez dan Soo, 2008).
o Sitasi selanjutnya: Walker et al. (2008)atau (Walker et al., 2008).
Kutipan atau keterangan yang bersumber darinaskah yang ditulis oleh 6 penulis atau lebih,sitasinya ditulis dengan menyebutkan namabelakang penulis pertama diikuti dengan et aldan tahun penerbitan naskah. Contoh:Wasserstein et al. (2005) atau (Wasserstein etal., 2005)
Kutipan atau keterangan yang bersumber darinaskah yang ditulis oleh institusi, lembaga ataugrup yang memiliki singkatan, pada sitasi awalditulis dengan menyebutkan nama lengkapinstitusi, lembaga atau grup diikuti dengantahun penerbitan naskah. Sedangkan sitasi
selanjutnya, cukup ditulis dengan singkatannyadiikuti dengan tahun penerbitan naskah.Contoh:o Sitasi awal: Kementerian Kelautan dan
Perikanan (2010) atau (KementerianKelautan dan Perikanan, 2010).
o Sitasi selanjutnya: KKP (2010) atau (KKP,2010).
Kutipan atau keterangan yang bersumber darinaskah yang ditulis oleh institusi, lembaga ataugrup yang tidak memiliki singkatan, sitasinyaditulis dengan menyebutkan nama institusi,lembaga atau grup diikuti dengan tahunpenerbitan naskah. Contoh: University ofPittsburgh (2005) atau (University ofPittsburgh, 2007).
Teknik sitasi tersebut dapat dilihat perbedaannyamelalui tabel di bawah ini.
Teknik sitasi di dalam teks
DAFTAR PUSTAKA(kosong satu spasi tunggal, 11 pt)
Penulisan daftar pustaka sesuai dengan urutanpengutipannya dalam naskah. Jumlah sumberacuan dalam satu tulisan paling sedikit 15 (limabelas) sumber acuan, dengan 80% merupakansumber acuan primer dan 80% merupakan terbitan5 tahun terakhir. Sumber acuan primer adalahsumber acuan yang langsung merujuk pada bidangilmiah tertentu, sesuai topik penelitian dan sudahteruji. Sumber acuan primer dapat berupa: tulisan
dalam makalah ilmiah dalam jurnal internasionalmaupun nasional terakreditasi, hasil penelitian didalam disertasi, tesis, maupun skripsi. Buku(textbook), termasuk dalam sumber acuansekunder.
Daftar pustaka disusun menurut abjad, tanpamenggunakan nomor urut, dengan ukuran font 10.Penulisan setiap acuan, menjorok (indent) 1 cmmulai baris kedua.
Gaya penulisan daftar pustaka mengacu pada APAstyle yang dikembangkan oleh AmericanPsychological Association, seperti contoh berikutini:
Paper dalam jurnala. Artikel dalam jurnal (1 penulis)
Handayani, A. S. (2010). Analisis daerah endemikbencana akibat cuaca ekstrim di SumateraUtara, Jurnal Meteorologi dan Geofisika,11(1), 52-57.
b. Artikel dalam jurnal (2 - 6 penulis)Suryanto, W., Nurdiyanto, B., & Pakpahan, S.
(2010). Implementasi perhitungan receiverfunction untuk gempa jauh menggunakanMatlab. Jurnal Meteorologi dan Geofisika,11(1), 66-72.
c. Artikel dalam jurnal (lebih dari 6 penulis)Subagyono, K., Sugiharto, B., Purwani, E. T.,
Susilokarti, D., Las, I., Unadi, A., et. al.(2010). Technology needs assessment (TNA)for climate change mitigation in agriculturesector: criteria, prioritizing and barriers.Jurnal Meteorologi dan Geofisika, 11(2), 96-105.
Bukua. Buku (1 penulis)
Shearer, P. M. (1999). Introduction to seismology.Cambridge: Cambridge University Press.
b. Buku (2-6 penulis)Trewartha, G. T., & Horn, L. H. (1980). An
introduction to climate. New York:McGraw-Hill.
c. Buku (lebih dari 6 penulis)Johnson, L., Lewis, K., Peters, M., Harris, Y.,
Moreton, G.,…Morgan, B. (2005). How faris far? London: McMillan.
d. Buku tanpa penulisArt Students International. (1988). Princeton, NJ:
Educational Publications International.e. Buku tanpa bab
Skinner, B. F. (1969). Contingencies ofreinforcement. New York: Appleton-Century- Crofts.
Bremner, G., & Fogel, A. (Eds.). (2001). Blackwellhandbook of infant development. Malden,MA: Blackwell.
f. Buku dengan babHarlow, H. F. (1958). Biological and biochemical
basis of behavior. In D. C. Spencer (Ed.),Symposium on interdisciplinary research(pp. 239-252). Madison: University ofWisconsin Press.
g. Buku dengan edisi/versiStrunk, W., Jr., & White, E. B. (1979). The
elements of style (3rd ed.). New York:Macmillan.
Cohen, J. (1977). Manual labor and dream analysis(Rev. ed.). New York: Paradise Press.
American Psychiatric Association. (1994).Diagnostic and statistical manual of mentaldisorders (4th Ed.). Washington, DC:Author.
h. Buku terjemahanNybakken, J. W. (1988). Biologi laut: Suatu
pendekatan ekologis. Terj. dari Marinebiology: An ecological approach (Eidman,M., Koesoebiono, D. G. Bengen, M.Hutomo & S. Sukardjo, Penerjemah).Jakarta: PT. Gramedia.
i. Buku dengan beberapa volumeWilson, J. G., & Fraser, F. (Eds.). (1988-1990).
Handbook of wizards (Vols. 1-4). NewYork: Plenum Press.
j. Artikel atau bab dalam bukuFremerey, M. (2006). Resistance to change in
higher education: Threat or opportunity? InM. Fremerey, & M. Pletsch-Betancourt.(Eds.) Prospects of change in highereducation: Towards new qualities &relevance. Frankfurt: IKO-Vlg fur Interkult,GW/Transaction Pubs.
Jahr, V., & Teichler, U. (2002). Employment andwork of former mobile students. In U.Teichler (Ed.) ERASMUS in the SOCRATESprogramme, finding of an evaluation study(pp. 117-135). Bonn: Lemmens.
ProsidingMeilano, I., Abidin, H. Z., & Natawidjaya, D. H.
(2009). Using 1-Hz GPS data to measuredeformation caused by Bengkulu earthquake.Proceeding of International Symposium onEarthquake and Precursor, 153-158.Bukittinggi: Research and Development Center,BMKG.
Makalah seminar, lokakaryaIbnu, S. (2011). Isi dan format jurnal ilmiah. Makalah
disajikan dalam Lokakarya Nasional Pengelolaandan Penyuntingan Jurnal Ilmiah, Malang:Universitas Negeri Malang.
Skripsi, disertasi, tesisRiyadi, M. (1996). Pemodelan gaya berat tiga dinensi
untuk melokalisir jebakan timah di daerahPemali-Bangka. Tesis. Fakultas MIPA:Universitas Indonesia.
Laporan penelitianSumaryanto. (2008). Karakteristik sosial ekonomi
petani pada berbagai agroekosistem. Laporanpenelitian, Pusat Analisis Ekonomi danKebijakan Pertanian. Bogor: KementrianPertanian.
Sumber digitala. Buku elektonik dari perpustakan digital
Wharton, E. (1996). The age of innocence.Charlottesville, VA: University of VirginiaLibrary. Diakses 6 Maret 2001, darinetLibrary database.
b. Artikel Jurnal dari perpustakaan digitalSchraw, G., & Graham, T. (1997). Helping gifted
students develop metacognitive awareness.Roeper Review, 20, 4-8. Diakses 4November 1998, dari Expanded AcademicASAP database.
c. Artikel Majalah atau Koran dari Internet (bukandari perpustakaan digital)Sarewitz, D., & Pielke, R. (2000, July). Breaking
the global warming gridlock [Electronicversion]. The Atlantic Monthly, 286(1), 54-64.
d. Artikel e-JournalBilton, P. (2000, January). Another island, another
story: A source for Shakespeare's TheTempest. Renaissance Forum, 5(1). Diakses28 Agustus 2001, darihttp://www.hull.ac.uk/renforum/current.html
e. Halaman WebShackelford, W. (2000). The six stages of cultural
competence. In Diversity central: Learning.Diakses 16 April 2000, darihttp://www.diversityhotwire.com/learning/cultural_insights.html
f. Web Site dari organisasiAmerican Psychological Association. (n.d.)
APAStyle.org: Electronic references.Diakses 31 Agustus 2001, darihttp://www.apa.org/journals/webref.html
top related