file · web viewinstitut agama islam negeri sunan ampel. fakultas ... benarkah bahwa...
Post on 31-Jan-2018
225 Views
Preview:
TRANSCRIPT
MAKALAH LOGIKA SAINTIFIK
“SKEPTISISME”
DOSEN PENGAMPU :
Drs. Masduqi Affandi, M. Pd. I
Oleh:
KURNIA NURNAINI
B07210069
PSIKOLOGI 2 J1
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
FAKULTAS DAKWAH
PSIKOLOGI
2011
Page | 1
KATA PENGANTAR
Bismillahi Rahmanirrokhim……
Segala puji bagi Allah SWT Tuhan semesta alam. Salawat serta salam semoga
dilimpahakan kepada Rosulullah SAW. Penulis bersyukur kepada Illahi Rabi yang telah
memberikan hidayah serta taufik-Nya kepada penulis sehingga makalah yang berjudul
Skeptisisme dapat terselesaikan dengan baik. Saya berharap pembaca dapat menambah ilmu
pengetahuan.
Saya menyadari bahwa makalah yang saya buat dan saya susun ini masih terdapat
banyak kekurangan dan kekhilafan. Maka kepada pembaca, bapak dosen dan teman-teman
sekalian, saya mengharapkan saran dan kritik konstruktif demi kesempurnaan makalah saya ini.
Dengan segenap ketulusan hati penulis, saya mengucapkan banyak terima kasih.
Semoga makalah saya bermanfaat bagi pembaca.
Surabaya, 1 Juni 2011
Penulis,
KURNIA NURNAINI
Page | 2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR…………………………………………………………………………..2
DAFTAR ISI…………………………………………………………………………………….3
PENDAHULUAN………………………………………………………………………………4
BAB I : DEFINISI SKEPTISISME………………………………………………5
MACAM-MACAM SKEPTISISME…………………………………….6
BAB II : MUNCULNYA SKEPTISISME………………………………………...8
METODE SKEPTISISME……………………………………………….9
BAB III : JENIS KERAGUAN DAN KEYAKINAN……………………………..11
KERAGUAN METODIS DESCRATES………………………………..13
BAB IV : SKEPTISISME DALAM HUBUNGANNYA DENGAN
ILMU
PENGETAHUAN………………………………………………..15
PENGARUH SKEPTISISME DALAM MASALAH PROBABLITAS
PENGETAHUAN………………………………………………………..20
KESIMPULAN…………………………………………………………………………………..22
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………………………23
Page | 3
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Fakta tentang adanya kekeliruan yang tidak hanya menimpa mereka yang awam,
tetapi juga para pakar dalam bidangnya, sungguh merupakan hal yang amat mengusik
pikiran dan menimbulkan teka-teki. Kalau para pakar dalam bidangnya saja dapat keliru,
bukankah sudah sewajarnya kalau setiap klaim kebenaran itu selalu pantas diragukan?
Benarkah bahwa kebenaran kepengetahuan itu memang bersifat subjektif sebagaimana
dianut oleh aliran subjektivisme? Kalau keterlibatan subjek penahu tidak terhindarkan
dalam kegiatan manusia mengetahui, bukankah kebenaran manusia itu selalu bersifat
relatif? (Sudarminta, 2002 : 46). Problem pengetahuan itu telah melahirkan banyak sekali
aliran yang mengemukakan pendapat dan ajarannya mengenai pengetahuan, kebenaran
dan kepastian. Pertumbuhan epistemologi dibentuk oleh terjadinya banyak konflik dan
benturan teoretikal mengenai hal-hal tersebut (Pranarka, 1987 : 97).
2. Rumusan Masalah
a. Apa definisi skeptisisme ?
b. Bagaimana munculnya skeptisisme ?
c. Bagaimana keraguan metodis Socrates ?
d. Apa hubungan skeptisisme dengan ilmu pengetahuan ?
3. Tujuan
Page | 4
Mengetahui definisi, munculnya skeptisisme. Mengetahui keraguan metodis
Socrates dan hubungan skeptisisme dengan ilmu pengetahuan.
BAB I
1. Definisi Skeptisisme
Skeptisisme merupakan suatu bentuk aliran yang perlu untuk kenal dan
diperhatikan secara seksama, karena skeptisisme adalah satu-satunya aliran yang secara
radikal dan fundamental tidak mengakui adanya kepastian dan kebenaran itu, atau
sekurang-kurangya skeptisisme menyangsikan secara mendasar kemampuan pikiran
manusia untuk memperoleh kepastian dan kebenaran pengetahuan. Meragukan klaim
kebenaran atau menangguhkan persetujuan atau penolakan terhadapnya berarti bersikap
skeptis. Skeptisisme dapat juga diartikan sebagai pernyataan ragu-ragu pengingkatan.
Dalam arti sempit skeptisisme adalah pengingkaran tentang kemungkina mengtahui.
Sedangkan dalam arti luas adalah sikap menunda pertimbangan sampai analisis yang
kritis selesai dan bukti-bukti yang mungkindiperoleh.1
Istilah “ skeptisisme “ berasal dari kata Yunani “ skeptomai “ yang secara harfiah
berarti “ saya pikirkan dengan saksama “atau saya lihat dengan teliti”. Kemudian dari situ
diturunkan arti yang biasa dihubungkan dengan kata tersebut, yakni ”saya meragukan”.
Secara etimologis, skeptisisme berasal dari kata bahasa Yunani, skeptomai, artinya
memperhatikan dengan cermat, meneliti. Para skeptis pada awalnya adalah orang-orang
yang mengamati segala sesuatu dengan cermat serta mengadakan penelitian terhadapnya.
1 Alif Lukmanul Hakim, Skeptisisme. Subyektifisme dan relatifme.hal : 2
Page | 5
Para filsuf Yunani kuno dibuat bertanya-tanya oleh adanya beberapa gejala
pengalaman keindraan, seperti ilsi, mimpi, halusinasi yang kadang sulit dibedakan dari
persepsi keindraan kita yang “ normal “ terhadap benda-benda fisik. Par pemikir tersebut
tidak akan dikesankan oleh ucapan “ melihat berarti percaya “ sebab mereka berpendapat
bahwa melihat sendiri masih merupakan jaminan yang lemah bagi kesungguhan
kenyataan dari apa yang dilihat. Memang kepastian mutlak mengenai banyak perkara
dalam hidup ini sulit diperoleh. Keterbatasan kita sebagai manusia menyebabkan
kemungkinan keliru tidak pernah sama sekali dihindari. Artinya, kita perlu menemukan
bukti yang memadai untuk menjamin pendapat, kepercayaan dan klaim pengetahuan kita.
Selama bukti-bukti yang ada kita pandang kurang, maka wajar bahwa kita
meragukannya. Pada dasarnya, sikap meragukan itu wajar dan perlu apabila memang ada
alas an untuk melakukannya.2
2. Macam-Macam Skeptisisme
Macam-macam Skpetisisme, diantaranya adalah skeptisisme mutlak atau skeptisisme
universal dan skeptisisme nisbi atau skeptisisme partikular. Skeptisisme mutlak atau
universal secara mutlak mengingkari kemungkinan manusia untuk tahu dan untuk
memberi dasar pembenaran. Jenis skeptisisme yang mengingkari sama sekali kemampuan
manusia untuk tahu dan meragukan semua jenis pengetahuan macam ini dalam
prakteknya jarang diikuti orang, sebab dalam kenyataannya mustahil untuk dihayati.
Bahkan, kaum skeptik di zaman Yunani kuno di atas yang kadang disebut sebagai
penganut skeptisisme mutlak, rupanya masih mengecualikan proposisi mengenai apa
yang tampak atau langsung dialami dari lingkup hal yang diragukannya. Skeptisisme
mutlak dalam prakteknya jarang diikuti karena memang suatu posisi yang sulit
dipertahankan. Posisi ini secara eksistensial bersifat kontradiktif dan berlawanan dengan
fakta yang eviden (langsung tampak jelas dengan sendirinya).
2 J. Sudarminta, Epistemologi Dasar, ( Yogyakarta : Pustaka utama, 2002 ) hal 47 - 48
Page | 6
Seorang skeptisis secara implisit (dalam praktek) menegaskan kebenaran dari apa
yang secara eksplisit (dalam teori) diingkarinya. Sedangkan skeptisisme nisbi atau
partikular tidak meragukan segalanya secara menyeluruh. Varian ini hanya meragukan
kemampuan manusia untuk tahu dengan pasti dan memberi dasar pembenaran yang tidak
diragukan lagi untuk pengetahuan dalam bidang-bidang tertentu saja. Paham skeptisisme
nisbi ini, walaupun tidak bersifat menggugurkan diri sendiri (self-defeating) sebagaimana
skeptisisme mutlak, namun biasanya dianut karena salah paham tentang ciri-ciri hakiki
pengetahuan manusia dan kebenarannya.3
Dalam sejarah, skeptisisme mengambil banyak bentuk dan warna. Mereka
berbeda, baik dalam tema, lingkup, atau bobot keraguannya. Mengenai tema, pada zaman
Yunani kuno sudah dikenal kelompok Akademisi dan kelompok Pyrrhonian. Kelompok
yang pertama, dengan tokohnya seperti Arcesilaus ( 315-241 ) dan Carnades ( 214-129 ),
mengajarkan bahwa tidak ada pernyataan yang pasti mengenai apa yang kedua yang
dipelopori oleh Pyrro dari Elis ( 360-270 _ dan kemudian diteruskan pada zaman
Romawi oleh Sextus Empiricus ( sekitar th 250 M ) tidak menyangkal bahwa
pengetahuan mengenai apa yang tidak secara langsung dialami dan mengenai apa yang
tidak langsung jelas dengan sendirinya. Macam-macam skeptisisme tidak hanya
dibedakan satu sama lain berdasarkan tema keraguannya, tapi, juga berdasarkan lingkup
bidang yang diragukannya.4
3 Ibid Alif Lukmanul, hal 2-34 Ibid, Sudarminta hal 48
Page | 7
BAB II
1. Munculnya Skeptisisme
Aliran Skeptisisme muncul hampir sezaman dengan kehadiran Sofisme dimana
mereka meragukan adanya kemungkinan pencapaian pengetahuan yang benar terhadap
alam eksternal. Mereka mengungkap beberapa argumen dan dalil bahwa kita tidak bisa
beranggapan mengetahui secara tepat hakikat-hakikat itu sebagaimana adanya,
melainkan kita mesti menyatakan bahwa hakikat-hakikat itu kita pahami berdasarkan
kondisi-kondisi dan batasan-batasan dari indra dan persepsi kita masing-masing.
Tokoh-Tokohnya: Democritus, Protagoras, Phyrro, Montaigne, Charron, Bayle,
Nietze, Spengler, Goblot. Apabila Skeptisisme itu telah sirna di zaman Yunani kuno
pada abad kelima sebelum Masehi di tangan para filosof besar Yunani, maka mungkin
kita tidak temukan lagi sejenis keraguan terhadap nilai dan validitas pengetahuan yang
hadir dalam evolusi pengetahuan astronomi dan ilmu-ilmu alam di Barat. Kita bisa
saksikan bagaimana pemikiran-pemikiran Sofisme Yunani Kuno seperti Corylas yang
kemudian hidup kembali dalam bentuk Idealisme Berkeley.
Penyebab munculnya aliran yang meragukan nilai dan validitas pengetahuan
adalah perubahan yang mendasar dalam bidang astronomi dan ilmu-ilmu alam serta
perubahan pada persoalan-persoalan yang sangat "diyakini" kebenarannya dimana
sebelumnya tak dimungkinkan adanya kekeliruan padanya.
Sehingga, validitas ilmu dan pengetahuan menjadi sirna dan terungkaplah
ketidakberdayaan umat manusia untuk menggapai hakikat, pengetahuan, ilmu,
Page | 8
makrifat dan kayakinan. Padahal diketahui bahwa hanya satu bidang keilmuan yang
kehilangan validitasnya, namun sangat disayangkan bahwa orang seperti Berkeley
mempunyai pandangan ekstrim yang menggeneralisasikan keraguan-keraguan tersebut
kepada semua ilmu dan pengetahuan. Evolusi pengetahuan di Barat, tidak hanya
menghidupkan kembali aliran-aliran seperti Sofisme, melainkan juga menyebabkan
filsafat kontemporer itu berubah menjadi suatu filsafat yang tidak lagi disandarkan
dengan subjek-subjek keilmuan dan hanya semata berpijak pada asumsi-asumsi
ilmiah. 5
Seorang penganur skeptisisme mengingkari adanya apa yang dinamakan
pengetahuan. Pendirian ini biasanya didasarkan atas 2 unsur yakni : 1. Kenisbian
penginderaan, 2. Adanya kesepakatan yang sesungguhnya mengenai apa yang
merupakan halnya dan yang bukan merupakan halnya. Desscrates mempersoalkan
secara sistematis segala sesuatu yang ia kira mengatahui dan sikap skeptisisme seperti
merupakan bagian hakiki dari awal penyelidikan filsafat. Sedangkan Kant, ditinjau
dari sudut pandang tertentu dapat dinamakan penganut skeptisisme karena ia
mengatakan bahwa apa yang kita ketahui ialag segala gejala sesuatu dan tidak pernah
mengetahui ‘ das ding an sich ‘ kecuali hanya mengtahui bahwa hal itu ada. 6
2. Metode Skeptisisme
Cara berpikir filosof merupakan metode filsafat yang dikembangkan
sebagai filsafat untuk memperoleh pengetahuan hingga tahap kebenaran
dikehidupan sehari-hari kita terkadang tidak menyadari bahwa yang kita
lakukan merupakan biasa digunakan oleh filsuf.
Tahap keraguan
5 Ibid, Alif hal. 2-36 Louis Kattsoff, Pengantar filsafat (yogya: Tiara Wcana , 2004 ) hal 148-149
Page | 9
Orang sering melakukan refleksi terjadi saat berhadapan dengan
kehidupan sehari-hari.
Descrates mengembangkan metode ini yaitu :
- Meragukan segala sesuatu yang selama ini diterima sebagai suatu
kebenaran.
- Mengklasifikasikan persoalan dari hal yang sederhana sampai hal yang
rumit
- Meelakukan pemecahan masalah dari hal yang rumit sampai hal yang
paling rumit
- Memeriksa kembali secara menyeluruh barang kali masih ada hal-hal yang
masih tersisa.
Page | 10
BAB III
1. Jenis-Jenis Keraguan dan Keyakinan
Setiap manusia mungkin mengalami perbedaan dalam kualitas keyakinan dan
keraguan, walaupun terdapat perkara yang tak diragukan oleh satu individu pun, namun
manusia akan mengalami keraguan yang nyata dalam bagian-bagian tertentu dari perkara
tersebut. Faktor-faktor perbedaan pada manusia dalam derajat keraguan dan keyakinan
terkadang bersumber dari masalah kejiwaan, aspek internal manusia, dan pemikiran.
Maka dari itu, keyakinan dan keraguan dapat dibagi berdasarkan faktor-faktor yang
melatar belakanginya dan perkara-perkara yang berhubungan dengannya serta kualitas
kejiwaan setiap manusia.
a. Keraguan-keraguan itu bisa dibagi berdasarkan objek, subjek, dan pengaruh-
pengaruh yang ditimbulkannya.
1. Keraguan mutlak dan relatif. Apabila manusia ragu terhadap semua persoalan bahkan
pada dirinya sendiri, maka hal seperti ini disebut dengan keraguan mutlak. Selain dari hal
ini dinamakan dengan keraguan relatif;
2. Keraguan psikis, pertanyaan, dan kondisional. Keraguan bisa hadir karena kondisi
kejiwaan seseorang dan juga sangat mungkin muncul karena pertanyaan-pertanyaan yang
Page | 11
terkait dengan logika serta kondisi-kondisi zaman, seperti pada zaman Renaissance yang
terjadi di Barat dimana telah menghadirkan berbagai keraguan-keraguan tertentu;
3. Keraguan ilmiah, filosofis, dan umum. Keraguan global bisa menimpa banyak orang
seperti keraguan terhadap kejadian-kejadian yang dikatakan hadir dalam sejarah manusia.
Begitu pula pertanyaan-pertanyaan ilmiah dan filosofis sangat sarat memunculkan
keraguan-keraguan, seperti keraguan sebagian filosof berkenaan dengan gerak dan yang
semacamnya;
4. Keraguan yang merusak dan membangun. Keraguan dapat dibagi menjadi demikian
dengan berdasarkan pengaruh dan efeknya yang positif dan negatif. Keraguan yang
berimbas pada rukun-rukun penting keagamaan dan asas-asas akhlak adalah jenis
keraguan yang merusak, sementara keraguan yang menyentuh wilayah penelitian ilmiah
dan pengetahuan manusia merupakan bentuk keraguan yang membangun;
5. Keraguan fundamental dan struktural. Keraguan bisa menjadi dasar bagi hadirnya
keraguan-keraguan yang lain. Keraguan dalam ranah aksioma-aksioma dan asas-asas
global disebut dengan keraguan fundamental, sementara keraguan yang hadir dalam
domain dan wilayah permasalahan-permasalahan ilmiah dan teoritis dinamakan dengan
keraguan struktural;
6. Keraguan ontologis dan epistemologis. Keraguan dalam ranah hakikat-hakikat
eksistensi dan perkara-perkara wujud disebut dengan keraguan ontologis. Dan keraguan
yang berhubungan dengan kemungkinan pencapaian sebuah keyakinan, ilmu, dan
pengetahuan dinamakan keraguan epistemologis;
7. Keraguan yang dikehendaki dan yang dipaksakan. Apabila seseorang secara sadar dan
sengaja meragukan sesuatu supaya menggapai suatu keyakinan yang lebih tinggi atau
ingin menjadi seorang peneliti, maka keraguannya tersebut dinamakan keraguan yang
dikehendaki. Jika tidak demikian, yakni dia terpaksa dan diluar kehendaknya melakukan
suatu penelitian atas suatu perkara yang meragukannya, maka hal seperti ini digolongkan
sebagai keraguan yang dipaksakan.
Page | 12
b. Macam-macam keyakinan
Keyakinan juga dapat memiliki varian-varian yang didasarkan oleh faktor-faktor tertentu,
kondisi-kondisi internal individu, dan perkara-perkara lainnya, antara lain:
1. Keyakinan logikal dan non-logikal. Keyakinan yang sama sekali tidak terdapat keraguan di
dalamnya atau keyakinan yang memuncak disebut dengan keyakinan logikal. Keyakinan yang
masih menyisakan bentuk-bentuk keraguan merupakan suatu keyakinan yang non-logikal;
2. Keyakinan hakiki dan non-hakiki (merasa mengetahui). Kalau keyakinan itu bersesuaian
dengan realitas maka dinamakan keyakinan hakiki dan logikal. Apabila tidak demikian, maka
dikategorikan ke dalam bentuk keyakinan yang non-hakiki;
3. 'Ilm al-yaqin, 'ain al-yaqin, haqq al-yaqin. Keyakinan pertama berhubungan dengan
pengetahuan universal dan teoritis. Dan keyakinan kedua berkaitan dengan pengetahuan-
pengetahuan intuitif dan penyaksian (musyahadah) hakikat-hakikat segala sesuatu. Serta
keyakinan ketiga merupakan keyakinan yang tertinggi dimana tidak terdapat jarak lagi antara
subjek yang mengetahui ('alim) dan objek yang diketahui (ma'lum dan hakikat-hakikat sesuatu),
atau dengan ungkapan lain, terwujudnya kesatuan eksistensial antara 'alim dan ma'lum;
4. Keyakinan orang awam, para filosof, dan urafa. Keyakinan-keyakinan ini bertingkat-tingkat
dalam kualitas sesuai dengan landasan dan dasar pengetahuan-pengetahuan mereka;
5. Keyakinan taklidi dan ijtihadi. Keyakinan yang dihasilkan dari mengikuti dan taklid pada
seseorang yang dipercayai disebut dengan keyakinan taklidi. Sementara keyakinan yang digapai
dari proses-proses usaha dan aktivitas observasi individual dinamakan dengan keyakinan ijtihadi;
6. Keyakinan ontologis dan epistemologis. Keyakinan ontologis adalah suatu keyakinan yang
berhubungan dengan eksistensi dan realitas alam wujud, sementara keyakinan epistemologis
merupakan sejenis keyakinan yang berkaitan dengan proses pencapaian dan penggapain suatu
pengetahuan dan makrifat yang sesuai dengan realitas dan hakikat sesuatu;
7. Keyakinan indrawi, rasional, intuitif, dan tekstual. Tingkatan-tingkatan yang terdapat pada
keyakinan-keyakinan seperti ini sangat ditentukan oleh media-media dan alat-alat yang menjadi
sumber dan asal keyakinan dan pengetahuan itu.7
7 Ibid Alif hal 2-5
Page | 13
2. Keraguan Metodis Descrates
Dengan “ keraguan metodis “ ini dimaksudkan suatu sikap untuk menganggap sebagai
tidak nyata atau palsu segala sesuatu yang masih bias diragukan kebenarannya, bahkan kalau
sedikit saja diragukan. Keraguan ini kadang dikatakan sesuatu yang bersifat keterlaluan atau
hiperbolis. Apabila Descrates sampai mengandaikan adanya “ roh jahat yang licik “ yang etrus-
menerus menipu kita dalam semua penilaian dan putusan kita sehari-hari. Tujuannya adalah
untuk menghasilkan paling tidak satu fakta ekssistensial yang kebenarannya tak teragukan lagi.
Descrates bermaksud membangun kembali pengetahuan yang didasarkan yang kokoh dan
kebenarannya tidak diragukan lagi.8
8 Ibid Sudarminta hal 49
Page | 14
BAB IV
1. Skeptisisme Dalam Hubungannya Dengan Ilmu Pengetahuan
Upaya dan usaha semua manusia dan khususnya para ilmuan dalam menyingkap
hakikat-hakikat segala sesuatu merupakan ciri dan pertanda bahwa manusia yang berakal
sehat (bukan para sofis dan skeptis) mempercayai dan meyakini bahwa terdapat sesuatu
yang diketahui dan terdapat pula sesuatu bisa diketahui. Begitu pula dalam wilayah mana
manusia tidak memiliki kemungkinan untuk dapat memahami dan mengetahui, seperti
kemustahilan dan ketidakmampuan manusia menyingkap dan mengungkap hakikat zat
Sang Pencipta. Baik dalam filsafat Barat maupun dalam filsafat Islam akan
diperhadapkan dengan beberapa keraguan dan kritikan dimana salah satu yang terpenting
adalah keraguan terhadap probabilitas dan kemungkinan pencapaian ilmu dan
pengetahuan. Yang pasti dalam filsafat Barat keraguan semacam itu sangatlah kental dan
bahkan telah melahirkan beberapa aliran yang secara terang-terangan mendukung
pemikiran semacam itu. Realitas ini sedikit berbeda dalam filsafat Islam dimana hal
tersebut hanyalah sebatas sebuah kritikan dimana para filosof Muslim telah mencarikan
solusi yang tepat dan jawaban yang proporsional. Kritikan ini dapat dilihat dalam
perjalanan pemikiran Al-Gazali dimana awalnya mengalami semacam keraguan dan
Page | 15
melontarkan berbagai kritikan pada unsur-unsur pemikiran filsafat Islam, namun pada
akhirnya dia mencapai suatu keyakinan baru dan berhasil keluar dari kemelut pemikiran.
Keraguan yang dilontarkan oleh kaum sofis dalam ranah makrifat dan keyakinan
memiliki dua bentuk:
1. Kemampuan akal dalam menggapai hakikat sesuatu;
2. Berkaitan dengan sebagian pengenalan-pengenalan manusia.
Keraguan dalam bentuk pertama dapat dijabarkan secara universal sebagai berikut:
1. Alat dan sumber pengetahuan, keyakinan, ilmu, dan makrifat manusia adalah indra dan
akal;
2. Indra dan akal manusia rentan dengan kesalahan, karena kesalahan penglihatan,
pendengaran, dan rasa itu tidak dapat dipungkiri dan juga tidak tertutup bagi seseorang
mengenai kontradiksi-kontradiksi akal serta beberapa kekeliruannya. Dalam banyak
kasus di sepanjang sejarah, kita menyaksikan dalil-dalil rasional dan argumentasi-
argumentasi akal telah dibangun, namun seiring berlalunya waktu secara bertahap dalil
dan argumentasi tersebut satu persatu menjadi batal;
3. Kesalahan dan kekeliruan kedua sumber pengetahuan dan makrifat tersebut dalam
beberapa hal tidaklah nampak, akan tetapi tetap saja tidak dapat dijadikan landasan dan
tertolak.
Dengan demikian, berdasarkan ketiga pendahuluan di atas yakni pengetahuan dan
makrifat manusia yang dihasilkan lewat jalur indra dan akal adalah tidak dapat dijadikan
pijakan dan karena manusia hanya mempunyai dua jalur dan sumber pengetahuan ini
maka sangatlah logis apabila manusia meragukan apa-apa yang dipahami dan diyakininya
tersebut serta sekaligus mengetahui bahwa mereka mustahil mencapai suatu keyakian dan
pengetahuan yang hakiki. Atau keraguan itu bisa dipaparkan dalam bentuk ini bahwa
senantiasa terdapat jarak antara manusia dan realitas atau gambaran-gambaran pikiran
dan persepsi-persepsinya itu, dan pikiran manusia,
Page | 16
Keraguan-keraguan yang terlontarkan dalam filsafat Islam adalah sebagai berikut:
1. Indra melakukan kesalahan dan kekeliruan, sedangkan segala sesuatu yang salah dan keliru
tidak dapat dijadikan pijakan, sementara mayoritas pengetahuan dan makrifat manusia
bersumber dari indra dan empirisitas;
2. Dalam banyak permasalahan manusia berargumentasi dan berdalil dengan akal dan rasionya,
akan tetapi setelah berlalunya waktu nampaklah berbagai kesalahan-kesalahan argumentasi
rasional itu. Oleh karena itu, kita tidak dapat bersandar pada argumentasi dan burhan akal, pada
saat yang sama kita menyaksikan bahwa begitu banyak pengetahuan dan makrifat manusia
bersumber dari akal.
3. Keberadaan perkara-perkara yang saling kontradiksi dan bertolak belakang satu sama lain
dalam pemikiran-pemikiran manusia telah menyebabkan hadirnya sejenis keraguan dan
ketidakpercayaan pada salah sumber pengetahuan dan makrifat yakni akal dan rasio;
4. Perbedaan yang nyata di antara para filosofdan pemikir dalam wilayah pemikiran dan
keilmuan telah menunjukkan bahwa upaya pencapaian suatu pengetahuan dan makrifat hakiki
adalah hal yang sangat sulit atau hampir-hampir mustahil;
5. Keberadaan argumen-argumen yang sempurna dan dapat diterima pada dua persoalan yang
saling kontradiksi dan berbenturan satu sama lain telah menampakkan kepada kita bahwa segala
argumentasi akal tidaklah nyata dan hakiki;
6. Apabila cukup dengan keyakinan akal bahwa sesuatu itu ialah aksioma, maka hal ini bisa
diajukan suatu kritikan bahwa akal meyakini suatu perkara yang secara potensial mengandung
kesalahan, oleh karena itu, tidak mesti mempercayai perkara itu karena sama sekali tidak
berpijak pada tolok ukur. Dengan demikian, keyakinan akal dalam aksioma-aksioma tidak valid;
7. Manusia dalam keadaan tidur menyaksikan seluruh perkara itu nampak secara nyata dan
hakiki, akan tetapi setelah terbangun dia kemudian memahami bahwa semua yang disaksikan
tersebut hanyalah suatu hayalan dan mimpi. Maka dari itu, bagaimana kita bisa meyakini bahwa
kita sekarang ini tidak dalam keadan tidur dan berhayal serta apa-apa yang kita saksikan tersebut
bukanlah suatu mimpi belaka;
8. Manusia-manusia yang berpenyakit dan gila menyangka bahwa perkara-perkara yang tidak riil
Page | 17
itu adalah perkara-perkara yang nyata dan hakiki. Dengan demikian, bagaimana kita dapat
mempercayai bahwa kita tidak sementara terjangkit suatu penyakit tertentu atau sedang
mengalami suatu kesalahan dalam sistem pemikiran dan kontemplasi;
9. Akal mampu menampakkan kesalahan dan kekeliruan indra, namun apakah kita yakin bahwa
tidak terdapat sesuatu atau perkara lain yang dapat menunjukkan secara jelas kesalahan dan
kekeliruan akal itu?
10. Jumlah aksioma-aksioma itu sangatlah terbatas dan semuanya berpijak pada satu proposisi
yakni "kemustahilan bergabungnya dua perkara yang saling berlawanan". Proposisi ini bersandar
pada konsepsi tentang ketiadaan dan kemustahilan yang terdapat dalam proposisi itu
(kemustahilan bergabungnya …) dimana akal tidak mampu memahaminya, karena kemustahilan
itu sendiri tidak mempunyai individu-individu dan objek-objek eksternal;
11. Keragaman dan perbedaan dalam karakteristik dan potensi setiap individu, lingkungan dan
ekosistemnya, dan budaya-budayanya telah menyebabkan munculnya berbagai persepsi-persepsi
dan pandangan-pandangan yang juga beragam;
12. Menyingkap sesuatu yang tidak diketahui adalah hal yang mustahil, mengungkap suatu
hakikat merupakan hal yang tak mungkin, karena hakikat itu tak diketahui;
13. Pengetahuan hudhuri dipandang sebagai pengetahuan yang paling tinggi dan sempurna.
Pengetahuan kepada diri sendiri adalah bersifat hudhuri, sementara semua orang tidak bisa
mengetahui "hakikat diri sendiri" dan tidak mampu menyelami esensi "pengetahuan kepada diri
sendiri" itu. Dengan demikian, kita pun tidak mungkin mengetahui segala sesuatu selain "diri
kita sendiri";
14. Pencapaian konsepsi-konsepsi di luar dari batas iradah dan kehendak kita, karena hal ini
menyebabkan kita mengetahui sesuatu yang telah kita ketahui sebelumnya atau mengetahui
sesuatu yang mutlak tidak diketahui, kedua konsekuensi ini adalah batil. Dengan demikian,
pembenaran sesuatu yang aksioma adalah mustahil, oleh karena itu, tertutup jalan untuk meraih
keyakinan;
15. Semakin kita menyelami realitas dan hakikat sesuatu maka yang dihasilkan tidak lain
hanyalah persepsi itu sendiri. Oleh karena itu, yang bisa ditegaskan hanyalah "diri kita" dan
Page | 18
"persepsi kita", inilah makna dari suatu pernyataan bahwa "satu-satunya realitas eksternal yang
kita miliki" tidak lain adalah persepsi itu sendiri;
16. Apabila pengetahuan dan makrifat manusia bersifat penyingkapan dan pencerminan terhadap
objek-objek eksternal, maka tidak mungkin terdapat kesalahan;
17. Manusia di awal kelahirannya sama sekali tidak memiliki pengetahuan dan jahil terhadap
aksioma-aksioma. Oleh karena itu, aksioma-aksioma tersebut dihasilkan oleh manusia setelah
berinteraksi secara luas dengan alam dan lingkungannya, aksioma bukanlah merupakan fitrah
dan pembawaan alami manusia
Sementara keraguan-keraguan yang muncul dalam tradisi filsafat Barat antara lain:
1. Indra dan akal melakukan kesalahan dan kekeliruan, oleh karena itu tidak dapat dijadikan
landansan;
2. Terdapat kontradiksi-kontradiksi antara akal itu sendiri dan manusia yang berakal dalam
wacana filsafat;
3. Menegaskan setiap sesuatu niscaya membutuhkan serangkaian dasar-dasar, dan membuktikan
dasar-dasar itu mesti memerlukan pendahuluan-pendahuluan, demikianlah seterusnya hingga tak
terbatas. Konklusinya, perolehan makrifat dan pengetahuan ialah hal yang tak mungkin;
4. Metode induksi tidak menghasilkan suatu keyakinan;
5. Adanya perbedaan riil pada indra-indra manusia serta perbedaan persepsi di antara indra-indra
itu, perbedaan di antara manusia-manusia dari dimensi tubuh dan jiwa, pertentangan indra-indra,
perbedaan syarat-syarat yang menyebabkan pula lahirnya perbedaan pada persepsi-persepsi
indrawi, perbedaan benda-benda dari dimensi jarak dan tempat, perbedaan benda-benda dari
aspek horizontal yakni benda satu di atas dan benda yang lain di bawah, dan perbedaan hukum-
hukum adab dan etika. Kesemua perbedaan tersebut berkonsekuensi bahwa tak satupun ilmu dan
makrifat dapat dihasilkan;
6. Fenomena-fenomena akibat (ma'lul) dan tanda-tanda sebab ('illah) tidaklah tersembunyi,
karena semua manusia menyaksikan bahwa fenomena-fenomena itu adalah sama, akan tetapi,
terdapat perbedaan dan keragaman dalam penentuan sebab-sebabnya;
7. Apakah kita benar-benar yakin bahwa tidak dalam keadaan tidur dan bermimpi;
Page | 19
8. Adanya kemungkinan kita ditipu oleh setan;
9. Proposisi yang berbunyi, "A ada", yakni "Saya mengetahui keberadaan A itu", dengan
demikian, selain "saya" dan persepsi-persepsi "saya" adalah sesuatu yang tidak dapat dibuktikan
keberadaanya;
10. Tidak terdapat perbedaan antara "kualitas pertama" dan "kualitas kedua", sebagaimana
"kualitas pertama" seperti warna dan bau adalah tidak hakiki, begitu pula "kualitas kedua" seperti
panjang dan bentuk adalah juga tidak hakiki;
11. Prinsip kausalitas itu merupakan buatan pikiran semata, karena konsepsi-konsepsinya
bersumber dari pikiran yang tidak diperoleh lewat indra-indra yang lima itu;
12. Pikiran manusia sama seperti kaca mata, atau fungsinya menimal sama dengan kaca mata.
Oleh karena itu, tak satupun dari persepsi-persepsi yang dapat dipercaya;
13. Mungkin pikiran kita sama saja dengan suatu wadah yang menerima dan menyimpan apa
saja yang diberikan padanya, maka dari itu, kesalahan persepsi-persepsi tidak semua dapat
ditegaskan dan dibuktikan secara nyata. 9
2. Pengaruh Skeptisisme Dalam Masalah Probabilitas Pengetahuan
Salah satu dalil penting kaum sofis adalah bahwa di antara para pemikir, ilmuan, dan
filosof dunia tidak akan pernah disaksikan ada kesamaan secara utuh dalam pemikiran-
pemikiran mereka. Kaum sofis dan skeptis yang karena memandang bahwa perolehan
pengenalan dan pengetahuan benar adalah tidak mungkin maka salah satu buktinya
hadirnya berbagai perbedaan dan kontradiksi di antara para pemikir tersebut, dan apa-apa
yang menurut seseorang ialah suatu kenyataan dan hakikat, sangat mungkin bagi orang
lain merupakan suatu hayalan kosong atau sebaliknya. Di samping itu mereka
menambahkan bahwa konsepsi-konsepsi kita atas dunia luar mengikuti pengaruh-
pengaruh indra kita,
9http://fauzizone88.multiply.com/journal/item/1/ ALIRAN_SKEPTISISME_DALAM_ILMU_PENGETAHUAN
Page | 20
Kesalahan terbesar mereka ialah bahwa mencampuradukkan antara batasan pengetahuan
manusia dengan dasar-dasar makrifat. Argumentasi dan dalil mereka sama sekali tidak
menafikan masalah kemungkinan pengetahuan dan bahkan mereka sendiri menegaskan
keterbatasan makrifat manusia serta menyatakan bahwa terkadang pengetahuan manusia
bercampurnya dengan kesalahan. Mereka ini tidak ingin mengingkari keberadaan batu
meteor misalnya, tetapi menyatakan bahwa yang hanya ada adalah satu titik terang
dimana karena pengaruh kesalahan penglihatan nampaklah sebagai satu garis panjang
api. Begitu banyak orang menerima pengetahuan-pengetahuan akisoma atau persoalan
yang sudah lazim dimana tidak ada lagi keraguan dalam kebenarannya, dalam hal ini,
manusia tidak boleh memandang secara negatif bahwa seluruh pemikiran dan
pengetahuannya sendiri adalah tidak valid dan tidak benar.10
10 Ibid Alif hal 6-10
Page | 21
KESIMPULAN
Skeptisisme merupakan suatu bentuk aliran yang perlu untuk kenal dan diperhatikan
secara seksama, karena skeptisisme adalah satu-satunya aliran yang secara radikal dan
fundamental tidak mengakui adanya kepastian dan kebenaran itu, atau sekurang-kurangya
skeptisisme menyangsikan secara mendasar kemampuan pikiran manusia untuk memperoleh
kepastian dan kebenaran pengetahuan. Dalam arti sempit skeptisisme adalah pengingkaran
tentang kemungkina mengtahui. Sedangkan dalam arti luas adalah sikap menunda pertimbangan
sampai analisis yang kritis selesai dan bukti-bukti yang mungkindiperoleh.
Aliran Skeptisisme muncul hampir sezaman dengan kehadiran Sofisme dimana mereka
meragukan adanya kemungkinan pencapaian pengetahuan yang benar terhadap alam eksternal.
Mereka mengungkap beberapa argumen dan dalil bahwa kita tidak bisa beranggapan mengetahui
secara tepat hakikat-hakikat itu sebagaimana adanya, melainkan kita mesti menyatakan bahwa
hakikat-hakikat itu kita pahami berdasarkan kondisi-kondisi dan batasan-batasan dari indra dan
persepsi kita masing-masing.
Dengan “ keraguan metodis “ ini dimaksudkan suatu sikap untuk menganggap sebagai
tidak nyata atau palsu segala sesuatu yang masih bias diragukan kebenarannya, bahkan kalau
sedikit saja diragukan. Keraguan ini kadang dikatakan sesuatu yang bersifat keterlaluan atau
hiperbolis. Apabila Descrates sampai mengandaikan adanya “ roh jahat yang licik “ yang etrus-
menerus menipu kita dalam semua penilaian dan putusan kita sehari-hari.
Upaya dan usaha semua manusia dan khususnya para ilmuan dalam menyingkap hakikat-
hakikat segala sesuatu merupakan ciri dan pertanda bahwa manusia yang berakal sehat (bukan
para sofis dan skeptis) mempercayai dan meyakini bahwa terdapat sesuatu yang diketahui dan
Page | 22
terdapat pula sesuatu bisa diketahui. Begitu pula dalam wilayah mana manusia tidak memiliki
kemungkinan untuk dapat memahami dan mengetahui, seperti kemustahilan dan
ketidakmampuan manusia menyingkap dan mengungkap hakikat zat Sang Pencipta.
DAFTAR PUSTAKA
http://fauzizone88.multiply.com/journal/item/1/ALIRAN_SKEPTISISME_DALAM_ILMU_PENGETAHUAN
Sudarminta, Epistemologi Dasar, Yogyakarta : Pustaka utama, 2002
Alif Lukmanul Hakim, Skeptisisme. Subyektifisme dan relatifme.
Kattsoff .Louis, Pengantar filsafat, Yogyaarta: Tiara Wcana , 2004
Page | 23
top related