bab iv ancaman dari perempuan asing dalam ezra...
Post on 19-Mar-2019
218 Views
Preview:
TRANSCRIPT
1
BAB IV
ANCAMAN DARI PEREMPUAN ASING
DALAM EZRA 9-10
Diskusi teori dalam bab dua telah memaparkan beberapa konsep, seperti identitas
sosial, isu-isu tentang the other, kedudukan perempuan di Israel Kuno; terkhususnya dalam
hubungan dengan ikatan pekawinan dan perceraian, serta kajian feminisme. Sedangkan dalam
bab tiga telah menyajikan latar belakang kitab Ezra dengan memperhatikan pengaruh Persia
bagi masyarakat Israel selama pembuangan di Babilonia. Dalam bab ini penulis akan
meninjau bahaya yang ditimbulkan oleh perempuan asing hingga timbulnya perceraian
dengan perempuan asing dan menggunakan teori-teori dalam bab dua juga digabungkan
dengan penemuan dalam bab tiga.
Point penting yang harus dilakukan dalam bab ini adalah pertama-tama melihat
berbagai aspek yang menghubungkan perempuan asing dan larangan perkawinan campur;
diiukuti oleh penafsiran teks Ezra 9-10 dan kemudian penulis akan melakukan analisa yang
menggabungan teori dan penemuan-penemuan dalam bab sebelumnya. Dan pada akhirnya
dengan kontribusi dari penelitian ini bagi kehidupan kekinian.
A. Perempuan Asing dan Larangan Kawin Campur Dalam Ezra 9-10
Identitas perempuan asing menjadi sulit untuk dipahami karena dalam teks Ezra 9-10
suara perempuan tidak nampak. Seperti halnya, mereka dituduh sebagai yang asing dan
berdampak pada pencemaran, tidak terlihat adanya pembelaan dari perempuan terhadap
statusnya di saat itu. Namun, „tuduhan‟ itu juga dapat menyiratkan ada sesuatu yang ditakuti
dari dalam diri perempuan., sehingga berdampak pada larangan perkawinan campur antara
orang-orang Yehud (orang-orang Israel di Yehuda) dengan perempuan asing. Untuk lebih
2
memahami mengapa perempuan dalam teks Ezra 9-10 disebut sebagai orang-orang asing/
perempuaan asing, penulis menyajikan pendapat-pendapat para ahli yang nantinya berguna
untuk merekosntruksi teks tersebut.
Menurut Gunneweg „orang asing/foreigners‟ merupakan pelabelan bagi penduduk
yang sudah ada di negeri itu; yang mengklaim dirinya sebagai penduduk yang diimpor oleh
Esarhadon, tetapi „orang asing‟ juga disebut dengan istilah “orang-orang tanah/peoples of the
land”. Orang-orang tanah merupakan frase yang sering digunakan dalam perjanjian lama dan
literatur rabi dan di kemudian hari yang merujuk kepada orang-orang yang diperhitungkan
sebagai bukan Israel.1 Claudia Camp mengatakan bahwa, orang asing atau dengan istilah zar
dan nokri memilliki arti yang beragam; secara umum dapat diartikan sebagai seseorang yang
berkebangsaan asing tetapi juga mengacu kepada orang-orang yang berada di luar ikatan
wilayah kekerabatan, serta merupakan orang-orang yang bukan berasal dari kelompok para
imam; sehingga orang-orang asing ini dalam kitab perjanjian lama tidak diperhitungkan
dalam perjanjian dengan Yahweh.2
Berdasarkan komposisi demografis Yehuda pada periode Persia, Eskenazi dan Judd
mengusulkan bahwa perempuan-perempuan yang dikatakan asing ini kemungkinan berasal
dari antara kelompok ini. Pertama, perempuan-perempuan ini bisa merupakan orang Yehuda
atau orang Israel yang tidak ikut dalam pembungan ke Babilonia, atau mereka yang memiliki
status sosisl-ekonomi yang berbeda dengan kelompok yang kembali dari pembuangan.
Kedua, perempuan-perempuan ini bisa saja berasal dari bangsa-bangsa asing; yaitu bangsa-
bangsa tetangga seperti Amon, Moab dan sejenisnya atau mereka yang berasal dari bangsa
yang lebih jauh seperti Mesir. Ketiga, perempuan-perempuan ini bisa saja merupakan orang-
orang yang berasal dari Yehuda dan Israel, namun dalam praktek dan keyakinan agamanya
1 Lester L. Grabbe, Ezra-Nehemiahi, 144-145.
2 Claudia Camp. “What‟s So Strange about the Strange Woman?” dalam The Bible and the Politics of
Exegesis. (Cleveland, OH: Pilgrim Press, 1991), 17-38
3
berbeda dengan orang-orang yang baru kembali dari pembuangan.3 Dari ketiga kemungkinan
ini dapat disimpulkan bahwa, seseorang dikatakann Yahudi; ketika turut serta dalam
peristiwa pembuangan dan adanya kesamaan dalam keyakinan agamanya.
Dalam Alkitab Ibrani sering menampilkan sosok perempuan asing dengan bentuk
yang bereda-beda. Dalam bingkai ideologis, keasingan perempuan terkait dengan ritual dalam
penyembahan dewa-dewa asing; yang berpotensi mempengaruhi laki-laki Israel. Perempuan
asing juga merupakan bentuk kiasan yang merujuk pada perempuan dengan keanehan
seksualitas (perzinahan, pelacuran, dan perempuan yang mengontrol seksualitas mereka
sendiri). Dalam Alkitab Ibrani, perempuan asing dideskripsikan sebagai orang-orang penipu
atau mereka yang mengucapkan saksi dusta, sehingga tidak dapat di percaya. Perempuan
asing juga digunakan sebagai lambang kejahatan dan kematian; perempuan asing dianggap
sebagai penyebab laki-laki Israel kehilangan hak waris dan garis keturunan.4
Pada mulanya kritik feminis menyoroti perempuan asing sebagai bentuk kecaman dan
stigmatisasi di luar Israel, seperti istri Potifar, Delilah, dan Izabel yang berhubungan secara
langsung maupun tidak langsung dengan sistem patriarki dan ideologi etnosentris.5
Pencitraan negatif terhadap perempuan asing juga terdapat pada pandangan Esther Fuch,
yang menyatakan bahwa adanya penggambaran ambigu terhadap sosok perempuan. Ada
kalanya perempuan asing hanya dipandang sebagai batas simbolik antara Israel dan diluar
3 Tamara C. Eskenazi and Eleanora P. Judd, “Marriage to a Stranger in Ezra 9-10.” Dalam Tamara C.
Ezkenazi dan Kent Richards (peny) Second Temple 2: Temple and Community in the Persian Period. (Sheffield:
Sheffield Academic Press, 1994), 269-270. 4 Claudia Camp, Wise, Strange, and Holy: The Strange Woman and the Making of the Bible (Sheffield,
U.K.: Sheffield Academi Press, 2000), 28-29. 5 J. Cheryl Exum, Fragmented Women: Feminist (Sub)versionsof Biblical Narratives (Vallery Forgw,
Pa: Trimity Press Internasional, 1993), 68.
4
Israel, atau pada tingkatan tertentu mereka dilihat sebagai yang asing namun bagian dari
orang Israel; sebagai bentuk kontruksi haybrid/campuran.6
Namun berbeda dengan pendapat ahli sebelumnya, dengan memfokuskan pada
dinamika internal yang terjadi di provinsi Yehud dengan hubungan eksternalnya terhadap
apparatus birokrasi kekaisaran maka kehadiran “the strange and foreign woman” (Amsal
7:5) dapat dipahami sebagai bagian dari keanekaragaman masyarakat Yehud. Statusnya
sendiri tidak dapat dipungkiri menjadi ancaman bagi pemeliharaan kultus Bait Allah kedua.
Marbury berpendapat bahwa istilah issah zarah tidak serta merta mengacu kepada pelacur
atau perempuan sundal seperti yang diusulkan oleh para penafsir sebelumnya. Dengan
menggunakan kritik ideology, istilah ini menurutnya berhubungan dengan arti “perempuan
asing yang belum menikah”.7
Dalam periode pasca pembuangan, peran perempuan dalam Bait Allah kedua berada
dalam kepemilikan dari bet abbot (rumah bapa), serta akses perempuan terhadap dunia publik
lebih dibatasi dibandingkan dengan era-era sebelumnya. Hal ini belum tentu berlaku bagi
perempuan di luar dari konteks bait Allah yang kedua. Perempuan yang tidak berada di dalam
lingkaran bait Allah kedua yang dikenal dengan sebutan perempuan “asing” kemungkinan
memiliki kebebasan yang lebih dibandingkan dengan perempuan yang berasal dari kalangan
“golah” / kelompok pembuangan di mana ia bebas mengendalikan kehidupan seksualitasnya
baik untuk kepuasaan pribadi maupun untuk alasan mempertahankan kehidupan.8 Dengan
adanya pencitraan perempuan asing menurut otoritas Bait Allah Kedua ini maka seksualitas
perempuan dikontrol dan suaranya didiamkan. Narasi golah dibangun sebagai penanda
masyarakat Bait Suci kedua. Narasi ini memberikan dasar untuk membangun makna disemua
6 Esther Fuchs, “Itermarriage, Gender, and Nation in the Hebrew Bible” dalam Danya Rutternberg,
ed., The Passionate Torah: Sex and Judaism. Ed by Danya Rutternberg (New York and London: Ney York
University Press, 2009), 76. 7 Herbert R. Marbury, “The Strange Woman In Persian Yehud: A reading Proverbs 7”, dalam, ed., Jon
L. Berquist, Approaching Yehud: New Approaches to the Study of the Persian Period (Atlanta: Society of
Biblical Literature, 2007) 178-180 8 Marbury, The Strange, 174-176
5
simbol, narasi juga memberikan pentujuk ekplisit bahwa masyarakat golah (orang-orang dari
pembuangan) sedang menegosiasikan posisi sulit karena mereka berada dibawah kekuasan
kekaisaran Persia dan bagaimana mempertahankan kekompakan kelompok di tanah/wilayah
di mana mereka dipaksa untuk bersaing dengan masyarakat asli dalam kekuasan budaya dan
politik.
Gambaran negatif yang di alamatkan oleh perempuan asing, mengakibatkan
keberadaannya dijauhkan dari komunitas Israel sejati dengan diberlakukannya larang
perkawinan seperti yang dicatat dalam Ezra 1-5.
Dalam penafsirannya terhadap Ezra, Smith Christopher melihat bahwa mereka yang
dianggap bersalah dalam perkawinan campur adalah mereka yang berusaha untuk „menikah
ke atas‟ atau “marry up”, sebagai cara untuk mengubah status rendah mereka sebagai
masyarakat yang dibuang untuk berpartisipasi dalam kehidupan mayarakat kelas atas.9 Teks
dalam kitab Ezra mengungkapkan adanya kesadaran akan “kita” dan “mereka” yang
berhubungan dengan kelompok minoritas terancam (mereka yang kembali daripembunagan)
dan menaruh perhatian terhadap persoalan-persolan internal dan pada usaha untuk bertahan
hidup dalam mengahadapi kelompok mayoritas (orang-orang asing; orang-orang yang tidak
kembali dari pembuangan).10
Dalam tulisannya, Smith-Chirstoper juga mempertanyakan
tentang siapa yang menganggap perkawinan yang telah dilakuan oleh orang-orang sebagai
kawin campur. Ia berpendapat bahwa kemungkinan hanya Ezra dan pengikutnya sajalah yang
beranggapan bahwa perkawinan tersebut adalah perkawinan campur, sebaliknya tidak
demikian dengan mereka yang terlibat dalam pernikahan itu.11
Camp melihat adanya dua isu utama bagi orang-orang yang kembali dari pembuangan
dalam mempengaruhi adanya larangan untuk menikah dengan perempuan asing: 1) adanya
9 Smith-Christopher, The Mixed, 252.
10 Smith-Christopher, The Mixed, 257
11 Smith-Christopher, The Mixed, 247
6
sebuah kebutuhan bagi stabilitas keluarga sebagai bentuk mekanisme pertahanan dan untuk
membangun klaim atas wilayah kekuasaan politik; dan 2) adanya kebutuhan untuk
mempromosikan bentuk ibadah yang murni dan tepat bagi Yahweh.12
Menurut Camp kedua
isu tersebut berhubungan satu dengan lainnya dan krisis mulai terjadi ketika beberapa laki-
laki mulai menikah ke dalam keluarga-keluarga bangsa asing. Pernikahan-pernikahan
tersebut mengancam stabilitas struktur kekuasaan terutama karena pernikahan lintas etnis
dapat membawa tantangan-tantangan dari luar untuk menantang kekuasaan kepemimpinan
kelompok (Ezra 10). Washington berargument bahwa, larangan menikah dengan perempuan
asing pada pasca-pembuanagan disebebkan cara memandang Yudaisme sebagai agama bukan
sebagai kelompok masyarakat. Tujuannya adalah untuk memelihara keaslian Yahwist
terhadap pengaruh sikretis dari „penduduk negreri‟.13
Dalam pengamatan sosiologis, masyarakat Yehuda ditempatkan dalam konteks yang
lebih besar dari sekedar komunitas imigran, yang berusaha untuk menyesuaikan diri dalam
situasi baru. Hal ini menutut mereka untuk mengevaluasi aturan-aturan yang telah hilang dan
yang sebelumnya dianut dalam terang situasi baru dan sebagai bagian dalam proses
menetapkan aturan-aturan yang baru. Oleh sebab itu konflik perkawinan di Ezra 9-10 harus
diperbaharui berkaitan dengan jaringan kompleks dari variabel yang rumit bahwa masyarakat
terbentuk di masa transisi.14
Selaras dengan pendapat Smith-Christopher, Washington menilai tindakan perceraian
dan pengusiran terhadap perempuan asing sebagai upaya pengontrolan hak tanah oleh
komunitas Yahudi. Kepemilikan tanah adalah masalah penting bagi masyarakat awal pasca-
pembuangan, setelah peristiwa pembuangan di Babel, orang-orang yang tersisa (orang asing:
12
Claudia Camp, “What‟s So Strange about the Strange Woman ?” dalam The Bible and the Politicis of
Exegesis (Cleveland, OH: Pilgrim Press, 1991), 17-18. 13
Harold C. Washington, “The Strange Woman (issa zara/nokriyya) Of Proverbs 1-9 and Post –Exilic
Judean Society”. dalam Tamara C. Eskenzi and Kent H.Richards, ed., Second Temple Studies2: In The Persian
Period (Sheffield: Sheffield Academic Press, 1994), 231. 14
Eskenazi and Judd, Marriage, 275
7
mereka yang tidak memiliki hubungan dengan mereka yang kembali dari pembuangan),
telah mengklaim tanah yang telah ditinggalkan. Kemudian dalam terang Yehehezkel :11-15,
tanah Israel akan diberikan kembali kepada orang-orang dari pembuanagan. Ada indikasi
janji tersebut yang di gunakan Ezra dan kelompoknya untuk mendapatkan kembali hak tanah
tersebut, secara tidak langsung orang-orang dari pembuangan diklasifikasikan sebagai
saingan dengan orang-orang negeri atau orang-orang asing.15
Lebih lanjut Washington
berpendapat bahwa pernikahan dengan perempuan asing juga menimbulkan masalah karena
perempuan di Israel Kuno berhak mewarisi tanah. Dengan demikian larangan dan pengusiran
perempuan asing merupakan bentuk pencegahan terhadap perempuan asing untuk
mendaptakan akses ke dalam kelompok.16
Pemahaman yang sama juga terlihat dari pandangan Berquist, namuan baginya
kepentingan yang sebenarnya dari bangsa Israel bukanlah semata-mata persoalan hak
kepemilikan tanah, melainkan keseluruhan aspek ekonomi. Menikah dengan dengan
seseorang yang berasal dari kelas sosial-ekonomi yang sama akan memastikan adanya
kontrol elite tanah dan kekayaan. Menenggapi penjelasan tersebut, munurut Berquist
masyarakat tidak benar-benar menyutujui aturan yang dikeluarkan Ezra untuk membubarkan
perkawinan dengan bangsa asing, melainkan hanya untuk memastikan bahwa orang kaya
menikah dengan orang kaya (status sosial-ekonomi yang sama).17
Larangan kawin campur
dapat dilihat sebagai upaya menetapkan batas-batas dan untuk mempertahankan identitas
Yahudi dalam pemerintahan Persia, serta menghindari asimilasi agama dan budaya.18
Persia juga mendukung larangan kawin campur. Persia sebagai pihak yang memiliki
kekuasan diduga terdorong untuk menawinkan perempuan-perempuan Persia denganlaki-laki
15
Washington, The Strange, 232-233 16
Washington, The Strange, 236-238 17
Jhon L. Berquist, Judaism in Persia‟s Shadow: A Social and Historical Approach (Minneapolis:
Fortress, 1995), 118-119. 18
Bruce C. Birch., Walter Brueggemann, and David L. Petersen, A Theological Introduction to the Old
Testament (Nashville: Abingdon, 2005), 437
8
dari keluarga komunitas golah sebagai cara untuk memperkuat kesetian kelompok kepada
Persia. Karena pernikahan dengan anggota kelompok etnis lokal lainnya akan memperluas
kekayaan dan pengarug masyarakat golah di luar perbatasan Yehud dan diluar kendali Persia.
Larangan kawin campur dengan orang-orang asing secara tidak langsung telah melayani
kepentinagan Persia.19
B. Tafsiran Teks
Beragamnya pandangan terhadap orang-orang negeri dan status keasaingan yang
dilekatkan terhadap diri perempuan, dalam kisah Ezra 9-10 memperlihatkan adanya
kesenjangan antara kelompok istimewa (mereka yang termasuk dalam komunitas) dan
kelompok non istimewa (orang-orang diluar komunitas). Sebagai bagian dari orang-orang
diluar komunitas, status perempuan semakin terperuk dalam berbagai aspek kehidupan, ia
tidak lagi diperhitungkan dan terkadang kehadirannya dikaburkan oleh kekuasaan laki-laki.
Melihat kembali kisah yang disajikan oleh Ezra 9-10, keasingan perempuan membuat mereka
diceraikan bahkan terjadi pengusiran perempuan asing dan anak-anaknya. Muncul pertanyaan
dari teks ini adalah tentang mengapa perempuan tidak diberikan kesempatan untuk menjadi
bagian dalam masyarakat. Selain itu penulis juga mempertanyakan motivasi perceraian dan
pengusiran perempuan asing. Apakah pengusiran itu bermotif untuk menjahuhkan laki-laki
Israel dari kemurtadan, tujuan ekonomi politik, atau untuk menjaga identitas mereka.
Ezra 9-10 membentuk unit yang berkiatan dengan perkawinan rakyat Israel dan
orang-orang negeri serta pengusiran perempuan asing, dengan demikian setengah dari cerita
Ezra berpusat pada kedua kisah ini. Sosok Ezra yang tampil dalam kedua pasal ini
tampaknya berbeda dengan sosok Ezra yang diberikan kekuasan oleh raja (Ezra 7). Menurut
Kitab Ezra 9:1, keberadaan Ezra dengan kelompoknya yang baru saja tiba di Yehuda,
19
Lisbeth Freid, The Priest and the Great King: Temple-Palace Relations in the Persian Empire
(Winona Lake, Ind: Eisenbarauns, 2004), 211.
9
memastikan bahwa masalah yang terjadi tidak bisa menjadi milik mereka. Hal ini
menunjukan bahwa sekelompok besar orang-orang Israel, para imam, dan orang-orang Lewi
sudah menetap terlebih dahulu di sekitar Yerusalem.20
Kelompok tersebut yang dituduh tidak
memisahkan diri dengan bangsa-bangsa asing (Ezra:9); Smith-Christopher mencatat teks
Perjanjian Lama yang menyajikan pandangan yang lebih menguntungkan dari orang asing.
Dia juga menegaskan bahwa istilah dimana asing diidentifikasi merupakan "istilah lama yang
hampir pasti telah menjadi penghinaan stereotip merendahkan yang mengacu kepada
kelompok-kelompok etnis yang sudah lama hilang atau berasimilasi.21
Melihat kemarahan pemimpin dalam Ezra 9:1-2 dan juga dari langkah-langah yang
diambil oleh Ezra, menonjol peringatan yang diberikan oleh Musa; agar tidak menikah
dengan penduduk asli Kanaan karena perkawinan campur hampir dipastikan akan
menyebabkan sinkrestisme dan kemurtadan. Namun ada perbedaan larangan yang
dikeluarkan Ezra dan Musa, menurut Blenkinsopp teks-teks Alkitab seperti Kel 34:15-16 dan
Ul 7:5-6, hanya memperingatkan dan melarang perkawinan campur, tetapi tidak memberikan
ketentuan atau kewajiban untuk membubarkan dan mengirim perempuan dan anak-anak dari
penduduk Kanaan. Oleh sebab itu aturan-aturan yang dipakai oleh Ezra hanya terjadi dalam
periode pasca-pembuangan, dengan kata lain kepercayaan dalam gagasan „benih suci‟
sepertinya mengabaikan aturan moral dari Musa.22
Menggunakankan kerangka analisis dari Julia Kristeva, Washington berpendapat
bahwa motivasi pengusiran perempuan-perempuan asing dari komunitas Israel disebabkan
karena perempuan tersebut dapat mengacam kekudusan komunitas Israel dan membuat
mereka menjadi tercemar. Penggunaan istilah „zera haqqodes‟ atau „benih suci‟ merujuk pada
20
Lester L. Grabbe, Ezra-Nehemiah (London and New York: Routledge, 1998), 30. 21
Smith-Christopher, The Mixed, 257 22
Joseph Blenkinsopp, “Temple and Society in Achaemenid Judah” In Second Temple Studies. Ed. By
Philip R. Davies (Sheffiield Academic Press 1991), 50-53
10
penggambaran Israel sebagai umat kudus (Ezra 9:2) dan istilah „nidda‟ atau
„menstruasi/ketidakmurnian‟.23
Benih beruhubungan dengan lambang kemurnian laki-laki
dan kenajisan menstruasi adalah lambang dari pencamaran perempuan, sehingga menandakan
perempuan sebagai orang asing dalam komunitas yang harus dikeluarkan. Dalam sudut
pandang yang luas, Washington menguhubungkan kata nidda untuk mendiskripsikan tanah
yehuda sebagai „eres nidda atau tanah haram‟ (Ezra 9:11), sehingga secara tidak langsung
orang-orang yang mendiami tanah Yehuda merupakan bagian dari bangsa-bangsa asing yang
harus dikeluarkan.24
Menurut Becking, penggunaan istilah „benih suci‟ dalam Ezra 9:2 harus dilihat
sebagai gabungan dua gambaran dari Israel tradisional. Dalam kitab Ulangan, Israel sering
disebut sebuah bangsa yang kudus atau “holly seed”; dan ditempat lainnya Israel disebut
sebagai keturunan Abraham atau „holly nation‟. Kedua penggambaran ini berkaitan dengan
pemahaaman diri sebagai bangsa pilihan Allah menyiratkan bahwa kelompok tersebut tidak
dapat dikotori oleh unsur-unsur asing.25
Selaras dengan pemikiran Becking, Louis Epstein melihat penggunaan kalimat „benih
suci‟ mencerminkan mentalitas rasial dari mereka yang kembali dari pembuangan.
Perkawinan eksogami atau menikah dengan orang lain selain orang Yahudi merupakan
bentuk pencemaran bangsa. Menurtnya, pandangan Ezra terhadap kemurnian darah
berhubungan erat dengan kemurnian agama monotestik Ibrani, dengan kata lain percampuran
darah Ibrani dengan yang orang-orang asing sama artinya dengan memalsukan agama
leluhur.26
Dengan membandingkan kitab Ulangan dan Ezra, ia menyimpulkan bahwa; Kitab
23
Harold Washington, Israel‟s Holly Seed and the Foreign Women of Ezra –Nehemiah: A Kristevan
Reading (Saint Paul: Saint Paul Of Theology, 2003), 431. 24
Washington, Israel‟s Holly, 431-434 25
Becking, Continuity, 270-271 26
Louis M. Epstein, Marriage Laws in the Bible and the Talmud (New York: Johnson Reprint
Corporation, 1968), 162
11
Ulangan berusaha mempertahankan kemurnian komunitas agama dan disisi lain Ezra ada
dalam pemikiran kemurnian agama leluhur.27
Hayes dan Bossman, berpendapat bahwa Ezra melihat perkawinan dengan perempuan
asing akan mencemarkan status suci Allah yang dianugerahkan kepada Israel di Sinai. Oleh
karena itu, berbeda dengan larangan Musa terhadap perkawinan dengan perempuan asing
yang dimaksudkan untuk menjaga Israel dari penyembahan berhala, sebaliknya Ezra
melarang pernikahan dengan bangsa-bangsa lain karena mereka tidak suci 28
Menurut Christine Hayes, impuirtas/ketidakmurnian terdiri dari dua jenis yakni,
ketidakmurnian ritual (Im 12-15) dan moral (Im 18-20) yang memungkinkan yang „asing‟
untuk menyatu dengan komunitas. Ketidakmurnian ritual dan moral dapat hapuskan dengan
menggunakan tata cara pemurnian ritual atau pembaharuan moral. Untuk ketidakmurnian
silsilah atau “genealogical impurity” bersifat tertutup dari mereka yang asing. Lebih lanjut
Hayes menambahkan bahwa, Ezra adalah orang pertama yang medefenisikan istilah silsilah
secara khusus bahwa semua orang Israel bukan hanya kelas imam adalah „benih suci‟ yang
berbeda dengan „benih tidak suci‟ dari bangsa-bangsa lain. Kemurnian silsilah diwajibkan
untuk semua orang Israel untuk mencegah „pecemaran‟ dari benih suci, bahkan penodaan
suatu aset yang kudus dilihat sebagai pelanggaran serius terhadap Allah.29
Kemurnian silsilah yang diperkenalkan oleh Ezra mengacu pada keturunan biologis
dari orang tua Israel sebagai benih suci. Maka kemurnian silsiah tidak berdasarkan ras tetapi
berdasarkan agama, karna itu hasil dari pemisahan Allah terhadap keturunan Abraham.30
Melengkapi pendapat Wolak, Edward Dobson menyatakan bahwa perhatian utama Ezra
27
Epstein, Marriage Laws, 162 28
David Bossman, Ezra‟s Marriage Reform: Israel Redefined (Loudonville N.Y: Siean Collage,
1979), 32-38 29
Christine E. Hayes, Gentile Impurities and Jewish Identities: Intermarriage and Conversion from the
Bible to the Talmud (Oxford: Oxford University, 2002), 10-11. 30
Arthur J. Wolak, “Ezra Radical Solution To Judean Assimilation”, dalam bq.jewishbible.org/40-2-
april-june-201/, diakses Selasa, 1 September 2015 pukul 22.00WIB
12
adalah pelestarian garis mesianis. garis Mesias, didirikan ketika Allah berjanji kepada
Abraham bahwa melalui benihnya semua bangsa di bumi akan diberkati.31
C. Analisa Teks Ezra 9-10
Berdasarkan narasi Ezra 9-10 serta gambaran-gambaran teori maka penulis
menyimpulkan bahwa, Ezra sebagai seorang imam yang diutus oleh pemerintahan Persia
untuk menegaskan kembali aturan keagamaan terhadap orang-orang dari pembuangan ketika
berada di Yehuda. Dengan demikian tatanan kehidupan dan aturan-aturan selama
dipembuangan tetap terbawa dalam penerapannya di Yehuda. Seperti: tema eskatologi bahwa
bangsa Yahudi harus hidup kudus seperti Tuhan, serta membangkitkan melastarikan cerita-
cerita dalam sumber P. Dunia dalam sumber P di tandai dengan wujud dunia yang penuh
dengan keteraturan terlihat dari hukum-hukum dan pemisahan terhadap yang najis dan tidak
najis, yang murni dan tidak murni serta yang kudus dengan tidak kudus. Sumber P yang
digunakan oleh para imam juga berhubungan dengan realitas orang-orang yang berada
dipembuangan.
Melihat latar belakang yang disajikan oleh Ezra ketika Israel dibuang di Babylonia
memposisikan bangsa Israel sebagai komunitas diaspora. Suatu komunitas yang „terintegrasi‟
tetapi tidak „terasimilasi‟ dengan penduduk lokal, yang disebabkan oleh adanya kesadaran
mempertahankan identitas yang kuat karena masih memelihara memori tentang daerah asal
dan sejarahnya, atau dikenal dengan istilah „komunitas imajiner. Hal ini juga berhubungan
erat dengan surat Yerimia yang ditujukan bagi mereka yang berada di pembuangan, untuk
melakukan pertahanan lewat strategi-strategi dalam menciptakan rumah baru dalam situasi
yang baru, dengan cara mempertahankan identitas mereka yang unik di tengah konteks
diaspora.
31
Edward Dobson, “Divorce in the Old Testament,” Fundamentalist Journal 10” dalam
http://digitalcommons.liberty.edu/fun_85/9/, Kamis, 19 September 2015 pukul 02.05WIB.
13
Mereka yang kembali dapat dianggap sebagai yang pasif karena semuanya telah
dikontrol dari pembuangan. Pembuangan belum berakhir mengingat mereka yang berada
dipembuangan tetap memiliki otoritas terhadap mereka yang telah kembali (pemerintahan
dikendalikan dari pembuangan). Yerusalem/Yudea akhirnya menjadi seperti diaspora karena
didiami oleh sekelompok asing yang mengancam kelangsungan identitas keyahudian mereka.
Mereka yang kembali akhirnya membutuhkan pertolongan dari mereka yang tetap tinggal di
pembuangan untuk membuat strategi dalam melawan kelompok asing ini guna
mempertahankan integritas kelompok. Tujuan dari Ezra-Nehemiah menunjukkan bahwa
mereka yang kembali tidak boleh bertindak tanpa sepengetahuan atau di bawah kontrol
komunitas diaspora yang berada di Babilonia, mereka adalah ahli waris yang sah dari
monarki Yehuda. Tujuannya adalah untuk meninggikan pengalaman pembuangan sebagai
sesuatu yang signifikan dan bukan marginal. Hal ini tentu saja akan terancam ketika mereka
mengijinkan orang asing yang tinggal di Yerusalem untuk mengklaim kekuasaan yang ada.
Di sini adanya upaya agar kelompok yang pulang dari pembuangan tetap mempertahankan
statusnya sebagai „pemenang.‟
Di sisi lain ketika teks-teks, ritus dan persentasi ikon dari yang Ilahi, dilihat sebagai
ekspresi dari sebuah kepercayaan dari suatu masyarakat atau dari suatu kelompok yang paling
berkuasa dari masyarakat tersebut. Maka ide tentang „kepercayaan” lebih berhubungan
dengan “world view” dan “ideology” dari pada dengan iman di dalam suatu pengertian
keagamaan yang dibatasi. Kitab Ezra merupakan hasil interpretasi penulis terhadap peristiwa
paska-pembuangan dan dengan implikasi merupakan bagian dari sistem kepercayaannya.
Kitab Ezra ditulis pada periode Yudaism di mana muncul beragam bentuk Yudaism yang
bersaing satu dengan yang lainnya. Kitab Ezra merupakan bentuk pelegitimasian terhadap
salah satu bentuk Yudaism. Jadi Kitab Ezra ditulis untuk menyakinkan kelompok-kelompok
dan orang-orang pada periode Persia Yahudi tentang suatu sudut pandang/world view.
14
Teks Ezra 9-10 telah memperlihatkan berbagai gejolak yang terjadi dalam kehidupan
masyarakat Israel pada periode pembuangan, masing-masing dengan peranya mencoba untuk
membentuk identitas yang membedakan mereka dengan yang lainnya. Mengutip teori yang
diusung oleh Steanly Aronowitz dan Stuart Hall, bahwa identitas merupakan pengalaman
seseorang untuk mengenal dan membedakan dirinya dengan orang lain, dimana keaslian
dianggap sebagai jaminan untuk mengamankan kelangsungan hidup. Sehingga dapat
disimpulkan bahwa identitas berhubungan dengan jati diri, karena identitas seseorang akan
dihubungkan dengan pencarian keaslian dari pengalaman diri. Inilah yang diperjuangkan oleh
ezra dan para pengkutnya bagaimana mereka merumuskan jati diri, sebagai Israel sejati
bangsa pilihan Allah, sehingga lewat narasi kemurnian Ezra ingin memastikan bahwa garis
keturunan „benih suci‟ tidak dicemari oleh keturunan dari perempuan asing, karena bagi
mereka keturunan Israel ialah garis keturunan yang menghubungan orang Israel dengan
Mesias, didirikan ketika Allah benrjanji kepada Abraham bahwa melaui benihnya semua
dibumi akan diberkati.
Ketika ide tentang „divine election‟ yang diformulasikan di dalam kategori biological
(larangan untuk menikah dengan perempuan dari bagi sekitar) merupakan bentuk tindakan
diskontinuitas. Tindakan menikah dengan perempuan asing merujuk kepada apostasy dan
sinkretism. Kepercayaan tentang “holy seed” merupakan ide yang sentral Ezra yang
disiapkannya dengan mengabaikan unsur yang lain dari moral (perlindungan terhadap orang
miskin dan yang membutuhkan yang muncul di kitab-kitab yang hadir sebelum itu mis.
Keluaran). Menurut Wolak, keputusan Ezra untuk mengusir istri-istri dari bangsa asing
beserta dengan anak-anak yang lahir dari hubungan ini mendemonstrasikan perpindahan
signifikan dari “keturunan patrilineal” kepada “keturunan matrilineal” sebagai “penanda
penting bagi identitas Yahudi.”
15
Fokus teks Ezra 9-10 terhadap kemurnian etnis merupakan issu yang signifikan baik
bagi kelangsungan keagamaan maupun bagi tuntutan politik. Tindakan Ezra untuk
“memaksakan” ide tentang the “holy seed” merupakan bagian dari upaya untuk
menyenangkan pemerintahan Persia yang telah mengijinkan bangsa Yahudi untuk kembali ke
Zion. Tanpa persetujuan Persia, orang-orang di pembuangan Babilonia tidak akan diijinkan
untuk kembali, pembangunan baik Allah yang kedua tidak akan terjadi, dan kultus
keagamaan tidak akan dapat dipulihkan kembali di Yerusalem. oleh sebab itu larangan untuk
menikah dengan perempuan asing bertujuan untuk memelihara batasan-batasan etnisitas.
Oleh sebab itu pelarangan terhadap perkawinan dengan perempuan asing lebih
berhubungan pada bahaya yang dibawa oleh perempuan asing tersebut bahwa mereka dapat
membuat polusi tanah yang mereka diami dengan ketidakmurnian/ketidaksucian mereka
(kondisi mereka yang kotor/ tidak bersih) gambaran perempuan yang membuat tempatnya
berdiam tidak suci dengan darah menstruasinya yang kotor (Imamat 15:19-24). Jadi di sini
penulis Ezra bermasalah dengan kehadiran perempuan asing bukan karena ia melihat mereka
sebagai sumber dosa apostasy melainkan karena ia melihat kondisi mereka yang adalah
sumber polusi.
Fungsi perempuan di dalam proses reproduksi mempertajam bentuk penjajahan
terhadap perempuan di dalam hirarki masyarakat kolonial ini mempertajam dominasi
patriarkal terhadap tubuh perempuan. Perempuan bertanggung jawab terhadap proses
reproduksi bangsa (Perjanjian Allah dengan Abraham). Bangsa bagi diasporan, keluarga “bet
ab” menghapuskan batasan antara dunia privat dan publik, keluarga sebagai cara untuk
melakukan perlawanan. Di sini perempuan berfungsi sebaga korban dari sistem kembar dari
kolonial dan patriarki. Mereka membantu menjatuhkan satu sistem dan meninggikan sistem
yang lainnya, perempuan berfungsi sebagai pembatas dari identitas etnik dan subjektifitas,
dan juga sebagai penanda dari kekuatan nasional. Bangsa bagi diasporan, keluarga “bet ab”
16
menghapuskan batasan antara dunia privat dan publik, keluarga sebagai cara untuk
melakukan perlawanan.
Perempuan secara sosial dipandang sebelah mata, sehingga peran perempuan tidak
tampak dalam berbagai aspek kehidupan Israel. Mengapa demikian, karena laki-laki
memegang alih aturan dalam semua sitem hukum di Israel. Dengan demikian laki-laki
berkuasa atas perempuan. Hubungan laki-laki dan perempuan menyiratkan hubungan yang
politis dimana adanya suatu sikap dan praktik yang mendikriminasi perempuan. Sehingga,
hubungan diantara kedua jenis kelamin ini menempatkan perempuan pada tempat
subordinatif, yakni sebagai pihak yang dikuasai. Dalam tradisi bangsa Israel perempuan tidak
berhak untuk bersuara karena perempuan pada masa tersebut menjadi yang kedua atau budak
terhadap laki-laki bahkan perempuan menjadi harta milik bagi laki-laki, hal ini dipengaruhi
oleh sistem kekeluargaan yang patrilinear yakni sistem kekeluargaan yang menarik garis
keturunan pihak nenek moyang laki-laki, perempuan tidak mempunyai peran sedikitpun
apalagi untuk mengambil keputusan dan bertindak.
Dengan menegaskan identitas kelompok seperti yang dilakukan bangsa Israel, maka
dengan sendirinya menciptakan ruang bagi orang yang dianggap sebagai ancaman yakni
perempuan asing sebagai sang liyan. Dengan menggunakan teori Mariane Katoppo bahwa
sang liyan terbentuk dari laki-laki yang menganggap nilai mereka sebagai manusia utuh
tidak boleh terancam oleh keberadaan perempuan, yang berdampak pada reaksi
emosionalnya. Sangat jelas keterkaitan teori dengan kehidupan orang-orang dari
pembuangan, yang memiliki kecenderungan memandang perempuan sebagai yang lain dari
komunitas Israel, reaksi ini muncul dikarenakan rasa takut kehilangan status.
Dari analisa diatas timbul pertanyaan, apakah yang membedakan keberadaan
perempuan bagi aturan Muza dan Ezra ? hal utama yang terlihat jelas bahwa hukum yang
17
digunakan Musa berbeda dengan hukum/aturan yang digunakan Ezra bagi bangsa Israel
paska-pembuangan. Hal ini terjadi karena perbedaan konteks dimana perempuan itu berada.
Dalam konteks Musa, perempuan yang dimaksud merupakan bagian dari komunitas Israel,
sehingga jelas keberadaan perempuan disaat itu sangat diperhatikan; hal ini juga terkandung
dalam Kitab Ulangan dan Keluaran yang mengatur perceraian. Ketika perceraian terjadi,
maka perempuan berhak mendapatkkan bagian dari harta laki-lai; aturan itu diberikan agar
orang-orang tidak mudah untuk bercerai .Kitab Ulangan dan Keluaran yang mengatur
perceraian dapat terjadi ketika perempuan melakukan tindakan „senonoh‟, dan apabila
perceraian terjadi maka aturan yang digunakan Musa mewajibkan adanya surat perjajian yang
semata-mata untuk melindungi perempuan. Sendangkan dalam konteks Ezra, perempuan
disaat itu dipandang sebagai orang dari luar komunitas, sehingga aturan untuk menceraikan
dianggap sebagai sesuatu yang wajar.
Oleh sebab itu, timbul suatu wacana dimana Ezra melihat harga diri suatu bangsa
tidak lebih penting dari keberadaan nasionalitas bangsa Israel yang terakui, dan disisi lain
aturan Musa menampilkan wacana dimana setiap orang entah laki-laki dan perempuan
memiliki harkat, dan martabat yang sama; artinya bahwa harga diri dari setiap manusia lebih
tinggi dari pada nasionalitas suatu bangsa. Karena nasionalitas hanya sebagai salah satu dari
aspek-aspek yang penting namun bukan yang terutama. Inilah yang juga menjadi fokus para
teolog feminis, untuk membebaskan dan mendamaikan laki-laki dan perempuan dari
ketertindasan.
Terlepas dari berbagai perdebatan laki-laki yang mengasampingkan perempuan,
kehadiran perempuan asing dalam ambigiusitasnya untuk memberikan perenungan bagi kita
bahwa apakah identitas itu dapat kaku seperti yang Ezra katakan atau seperti yang dilakukan
oleh orang-orang Israel ketika kembali dari pembungan ?. Identitas tidak bisa kaku, karena
dalam sebuah perjumpaan identitas akan menjadi cair, karena sekuat apapun kita berusaha
18
namun ketika kita berjumpa dengan budaya lain atau sang liyan, yang akan menjadikan kita
sebagai seseorang yang berbeda. Karena realitas perjumpaan akan terjadinya percampuran
interkultural yang tak terelakan. Timbul pertanyaan, sampai kapan Ezra dapat
mempertahankan identitas yang eksklusif atau identitas kaku tersebut ?
D. Kontribusi pada Konteks Masa Kini
Melihat konteks kehidupan bangsa Israel dalam periode pra-pembuangan hingga
pasca-pembuangan, menjadi sulit untuk mensejajarkan pengalaman bangsa Israel dengan
konteks indonesia sekarang ini. Pengalamannya selama pembuangan dan pembentukan diri
sebagai masyarakat diaspora membentuk jati diri yang eksklusif.
Dengan pengalaman yang berbeda namun realitas yang dihadapi oleh bangsa Israel
juga menjadi realita kita sebagai bangsa yang plural. Bangsa Indonesia mengakui pelbagai
keberagaman budaya maupun agama. Namun yang menjadi pertanyaannya apakah yang
harus kita lakukan dengan kenyataan ini, apakah kita harus mencotohi Ezra atau mencari
solusi lain?. Bagi penulis dalam mengahadapi pluralitas dan keberagaman di Indonesia,
ketika harus hadir sebagai orang yang terbuka serta mampu berdialog dalam pelbagai
perjumpaan. Hal ini bisa kita lakukan ketika setiap orang mampu membawa diri dengan
identitas pribadi yang jelas, agar nantinya dalam setiap perjumpaan dengan yang lain, kita
terhindar dari kecenderungan untuk merubah orang lain seperti diri kita melainkan mampu
menerima mereka dengan perbedaan yang ada.
Mencontohi realitas kehidupan masyarakat di Ambon ketika konflik mulai redah,
setiap orang terkhususnya membedakan diri dengan mengatasnamakan agama, dan
kehadirannya semata-mata untuk membenarkan dirinya dan kepercayaannya bagi orang lain.
Contohnya bahwaterjadi pemisahahan sekolah berdasarkan kepercayaan masing-masing,
namun lambat laun konsep ini mulai hilang, terlihat dari tidak ada lagi pembenaran atas nama
19
agama, semua orang dalam perjumpaan hadir dengan perbedaan namun tidak membuat orang
tersebut tersisihkan. Berdasarkan analisa ini, penulis mengusulkan konsep identitas baru yang
dapat dikembangkan dan menjadi pegangan dalam konteks Indonesia, yaitu konsep identitas
terbuka. Identitas model ini tidak harus cair tetapi juga tidak harus dikorbankan untuk sama
dengan yang lain. Suatu identitas yang tetap meiliki kekhasan dan keunikan namun tidak
harus menjadikannya eksklusif atau menutup diri dari perbedaan dengan yang lain.
Model inilah yang harus digunakan kita yang beridentitas sebagai orang Kristen,
identitas yang mengatasnamakan penghormatan dan penghargaan bagi yang lain. Identitas
sebagai orang Kristen ialah identitas yang mampu membangun persaudaraan dengan yang
lain. Jauh sebelum kita, Yesus telah memberikan contoh bagaimana hidup dengan segala
perbedaan namun kasih digunakan Yesus sebagai bahasa universal dalam mengikat setiap
perbedaan ras, etnis, budaya dan sosial ekonomi. Setiap orang hadir dengan perbedaanya
namun kasih yang menyatukan perbedaan tersebut. Ketika setiap orang mampu
memberlakukan model identitas terbuka, maka dengan sendirinya akan menciptakan tatanan
kehidupan yang damai dan aman, suatu kehidupan yang tentram dan saling berdampingan.
top related