bab iii media dakwah khalifah abbasiyah al...
Post on 06-Feb-2018
239 Views
Preview:
TRANSCRIPT
35
BAB III
MEDIA DAKWAH KHALIFAH ABBASIYAH AL-MAKMUN
A. Biografi Al-Makmun
Emir Abdullah ibn Harun al-Rasyid naik menjabat khalifah ketujuh di dalam
daulat Abbasiah dengan panggilan Khalifah al-Makmun (198-218 H/ 813-833 M).
Ia memerintah dua puluh tahun lamanya. Ia menjabat tampuk kekuasaan di dalam
usia 28 tahun dan wafat di dalam usia 48 tahun.
Al-Makmun adalah salah seorang Khalifah Bani Abbas, beliau anak kedua
Khalifah Harun ar-Rasyid yang lahir pada tahun 170 H/ 786 M dari seorang ibu
asal Persia. Ketika masih menjadi putra mahkota, ia diangkat oleh ayahnya
menjadi gubernur di Khurasan dan bertempat tinggal di Marw.1
Al-Makmun dilahirkan pada malam kemangkatan pamannya Khalifah al-
Hadi. Seperti disebutkan, al-Makmun dilahirkan enam bulan lebih dulu dari
saudara sebapaknya al-Amin. Ibunya ialah bekas hamba sahaya, bernama Marajil.
Tetapi al-Amin berkedudukan lebih baik dari al-Makmun, disebabkan oleh ibunya
yang bernama Zubaidah, karena itu al-Amin dilantik sebagai putra mahkota yang
pertama. Sementara itu al-Makmun, di samping usianya yang lebih tua, adalah
lebih cerdas dan lebih pintar mengurus segala perkara.
Khalifah Harun ar-Rasyid telah melantik al-Makmun sebagai putra mahkota
yang kedua, sesudah al-Amin, serta menyerahkan kepadanya wilayah Khurasan
sampai ke Hamdan. Al-Amin tidak diberi kekuasaan atas wilayah tersebut.
1 Departemen Agama RI. 1992. Ensiklopedi Islam di Indonesia. Jakarta : Proyek
Peningkatan Prasarana dan Sarana Perguruan Tinggi Agama Islam. Hlm. 683
36
Suatu ketika pada masa menjelang kekuasaan al-Makmun terjadilah
perebutan kekuasaan al-Amin dan al-Makmun, disebabkan oleh keangkuhan al-
Amin dan pengkhianatan al-Fadl bin ar-Rabi’, sewaktu kedua-duanya berusaha
untuk mencopot putra gelar mahkota dari al-Makmun dan menggantikannya
dengan Musa bin al-Amin.2
Bahkan untuk memahaminya pada periode itu kita harus melangkah ke
belakang mulai dari perang saudara antara kedua putranya, al-Amin dan al-
Makmun. Harun ar-Rasyid memutuskan bahwa al-Amin harus menggantikannya
dan al-Makmun adalah pengganti berikutnya. Dia juga menjadikan al-Amin
gubernur Suriah dan al-Makmun gubernur propinsi-propinsi timur.
Konflik ini oleh ilmuwan barat di gambarkan sebagai perselisihan antara
orang-orang Arab dan Persia, tetapi sekarang diakui bahwa aspirasi-aspirasi
nasional masing-masing bukanlah isu utama. Namun benar juga bahwa al-
Makmun adalah putera perempuan Persia, dan bahwa wazirnya sampai tahun 818
M, al-Fadl bin Sahal adalah seorang keturunan Persia penganut Zoroaster,
sementara ibu al-Amin adalah orang Arab dan wazirnya, al-Fadl ibnu ar-Rabi’,
walau asal-usulnya tidak diketahui, adalah mawali suatu suku Arab dan
bersimpati dengan orang-orang Arab. Wazir ini adalah juga berjasa dalam
menjatuhkan golongan Barmakiyah dalam tahun 803 M dan menggantikan
mereka dengan para pendukung Harun.
Sebaliknya saingannya, al-Fadil bin Sahal adalah seorang didikan
Barmakiyah. Namun kaum Barmakiyah bukanlah bangsa Persia sebagaimana
2 A.Syalabi. 1997. Sejarah dan Kebudayaan Islam 3. Jakarta: PT. Al-Husna Zikra.Hlm.129
37
semula diduga, karena sekarang diketahui bahwa leluhur mereka adalah
Barmakatau ketua sebuah wihara Buddha di dekat Balkh (dekat sungai Oxus).
Namun mereka dekat hubungannya dengan kelas sekretaris dan tampaknya
bersimpati dengan sikap otokratik. Namun akhir dari dominasi dari Barmakiyah
terutama bukan disebabkan oleh masalah kebijakan, tetapi oleh kenyataan bahwa
Harun merasa terancam oleh kekuasaan dan kekayaan mereka yang besar. Maka
sebelum 803 M terdapat beberapa petunjuk, tetapi tidak lebih dari pada petunjuk
adanya ketegangan antara kedua blok itu; dan pertikaian antara putera-putera
Harun yang tampaknya tidak disengaja itu disebebkan oleh pertentangan-
pertentangan kepentingan dan polarisasi kebijakan-kebijakan.3
Tiga tahun terakhir dari kehidupan al-Makmun telah terpenuhi oleh
peperangan yang tidak henti-hentinya melawan Byzantium yang saat itu
diperintah oleh Kaisar Theopilus (829-842 M). Akhirnya pada tahun 832 M
Kaisar terpaksa meminta diadakan perdamaian. Tak lama setelah itu yaitu pada
tahun 833 M al-Makmun meninggal dunia di salah satu markas besarnya di
perbatasan Syria-Anatolia dekat Tarsus setelah memerintah lebih dari sepuluh
tahun. 4
3 Montgomery Watt.1990. Kejayaan Islam Kajian Kritis Dari Tokoh Orientalis. Yogyakarta : Tiara Wacana. Hlm. 122
4 Departemen Agama RI. Op.cit Hlm. 684
38
B. Kondisi Sosial Budaya Yang Melingkupi Kekuasaan Al-Makmun.
Kondisi sosial budaya yang melingkupi kekuasaan al-Makmun dapat dilihat
dari berbagai dimensi, diantaranya adalah:
Tidak memberi kesempatan bagi keturunan Bani Umayah menduduki jabatan-
jabatan kenegaraan.
Para khalifah masih tetap keturunan Arab dari dinasti Abbasiyah, sedangkan
para menteri, gubernur, panglima, dan pegawai diangkat dari non Arab
(mawali) utamanya dari keturunan Persi.
Kota Baghdad sebagai kota negara dibuka untuk semua bangsa, dan dijadikan
sebagai kota internasional ilmu pengetahuan.
Ilmu pengetahuan diangkat sebagai sesuatu yang mulia yang dikembangkan
seluas-luasnya, rakyat bebas berfikir dan dalam segala bidang diberi hak
penuh memperoleh hak asasinya, para menteri keturunan non Arab, utamanya
dari unsur Persi diberi hak penuh menjalankan pemerintahan negara, para
Khalifah Abbasiah berusaha sungguh-sungguh membangun ekonomi negara.5
Masyarakat pada pemerintahan al-Makmun terbagi dalam dua kelas yaitu
kelas khusus dan kelas umum.
Kelas khusus yaitu terdiri dari khalifah, ahli famili khalifah (bani hasyim),
para pembesar negara, para kaum bangsawan (umumnya terdiri dari suku
Quraisy) para petugas khusus negara, anggota tentara,dan pembantu-pembantu
negara. Kelas umum yaitu terdiri dari para ulama, fuqoha, seniman, pujangga,
5 Ma’ruf Misbah, 1988, Sejarah Peradaban Islam, Semarang : Wijaya Wicaksana, hlm. 32.
39
saudagar, pengusaha, para tukang, dan petani.6 Oleh sebab itu maka
pembagian masyarakat tersebut mencerminkan adanya pemisahan masyarakat
antara pemerintah dan masyarakat umum (yang diperintah).
Pertumbuhan dan perkembangan Islam pada masa al-Makmun adalah sejalan
pula dengan pertumbuhan dan perkembangan dakwah.
Islam identik dengan dakwah, dan dakwah identik pula dengan Islam. Islam
mengalami kemajuan berarti kemajuan bagi dakwah, begitu pula sebaliknya.
Pada pemerintahan al-Makmun, pertumbuhan dan perkembangan agama Islam
diwarnai oleh dua kehidupan, yaitu kehidupan Iman dan Zindiq. Kehidupan
Iman yaitu kehidupan yang diwarnai dengan hati dan agama, kepercayaan
iman yang kholishoh dan kehidupaan agama yang shodiqoh. Kehidupan
Zindiq yaitu kehidupan yang diwarnai akal dan pikiran serta rasa, yang
menimbulkan keraguan tentang iman dan menentang agama dengan ajaran-
ajarannya.7
Gambaran situasi agama di atas, kemudian menimbulkan berbagai interpretasi
dan apresiasi agama, yang mewarnai kehidupan umat Islam seperti : Syi’ah,
Jabariyah, Qodariyah, Murji’ah, Muktazilah, dan Ahlu sunah.
Syi’ah adalah suatu aliran agama, yang semula merupakan golongan pengikut
dan sahabat Ali ra., mereka menamakan diri demikian karena mereka
mendukung duduknya Ali ra. sebagai khalifah. Namun dalam perkembangan
selanjutnya mereka menyebarkan faham-faham keagamaan yang diindikasikan
sebagai ajaran Imam Ali ra.
6 A.Hasjmy. op.cit. hlm. 243. 7 I b i d. hlm. 148.
40
Jabariyah adalah, suatu aliran agama yang berfaham bahwa segala sesuatunya
adalah atas kehendak dan ketentuan Tuhan (ajaran serba taqdir).
Qodariyah adalah suatu aliran agama yang berpendapat bahwa seluruh gerak
dan usaha manusia atas perilakunya itu sendiri bukan dari Allah.
Murji’ah adalah berpendirian keimanan seseorang tidak akan binasa karena
kemaksiatan.
Mu’tazilah adalah aliran agama yang berpendirian bahwa tolok ukur
kebenaran adalah rasio yang merupakan motor penggerak usaha manusia.
Ahlussunnah adalah aliran agama yang berpendirian bahwa seseorang
memenuhi syarat keislaman bilamana menuturkan syahadat, diikuti dengan
kepercayaan hati dan dibuktikan dengan amal perbuatan / tingkah laku.8
Pertumbuhan dan perkembangan aliran-aliran tersebut beserta kegiatan
dakwahnya lambat laun mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan
Islam secara luas dalam kehidupan masyarakat secara menyeluruh. Masing-
masing dari mereka berpegang teguh terhadap keyakinannya, mereka fanatik
dengan keyakinannya, bahkan mereka menyerang lawan madzhabnya dan
menuduhnya kafir serta keluar dari Islam. Perang argumen terjadi diantara
mereka, setiap sekte mendapat dukungan dari penguasa dan gubernur, maka
semakin kuatlah posisi mereka. Setiap aliran atau sekte memiliki makalah dan
buku tentang ajarannya, negara yang membekkingnya dan kekuasaan yang
melegalkannya.9
8 M.Taib Tahir Abdul Mu’in. 1981, Ilmu Kalam, Wijaya, Jakarta, hlm. 90-105. 9 Muhammad Sayyid Al-Wakil. 1998, Wajah Dunia Islam, dari dinasti Bani Umaiyah
hingga Imperialisme Modern, Jakarta : Pustaka al-Kautsar, hlm.93.
41
Kondisi pemerintahan al-Makmun.
Ketika al-Makmun mengklaim dirinya sebagai kholifah pada tahun 913 M, al-
Makmun banyak mendapat dukungan dari rakyat Khurasan yang dulunya
dikuasai al-Amin. Al-Makmun keluar sebagai pemenang dan mulai
memegang kekuasaan.
Al-Makmun menyadari kerapuhan pemerintahannya. Kekuasaan dimulai
dengan perang saudara, dengan pemberontakan Syi’ah di Kufah dan Basrah
(814-815 M) dan dengan pemberontakan Khawarij di Khurasan. Dia menindas
kelompok-kelompok tersebut dan mengurangi ketegangan religius, tetapi
kebijakan-kebijakannya malah memperburuk keadaan. Sebagai seorang
intelektual, dia merasa harus kembali pada rasionalisme Muktazilah dan itu
mengembalikan dukungan kepadanya. Dia juga melihat bahwa gerakan
populis ahlul hadits yang mendesak agar hukum Tuhan bisa dimasuki setiap
Muslim, tidak sesuai dengan monarki absolut. Namun segera setelah berkuasa
lagi, kaum Muktazilah melakukan pembalasan kepada ahlul hadits yang
pernah memenjarakan dalam waktu lama. Inkuisi (mihnat) dilaksanakan, dan
Ahli Hadits yang sangat popular, Ahmad Ibnu Hambal dipenjara. Ahmad Ibnu
Hambal menolak semua tawaran yang diberikan oleh Khalifah adalah karena
beliau tidak sesuai dengan corak pemerintahan yang mereka kendalikan. Oleh
sebab itu mereka berurusan mengajak Ahmad Ibnu Hambal untuk
bekerjasama mengikuti gerak langkah mereka, dan akhirnya mereka disiksa
hingga meninggal, karena menolak semua tawaran yang mereka berikan.10
10 Http: //www. Perjuangan Ulama’ Terdahulu. / Sejarah 13-26.tm.Or.id (23 Agustus 2003)
42
Ibnu Hambal menjadi pahlawan rakyat. Kemenangan kaum Muktazilah
ternyata tidak membawa kebaikan al-Makmun, bahkan kaum Muktazilah
mengasingkan dari massa.11
Khalifah al-Makmun di dalam suratnya itu memerintah untuk melakukan al-
Mihnat (pemeriksaan) terhadap keyakinan yang dianut setiap pejabat dan
pembesar pemerintahan, terutama pejabat dan pembesar lembaga peradilan.
Juga al-Mihnat terhadap tokoh-tokoh terkemuka di dalam kehidupan
masyarakat.
Surat yang dikirimkan al-Makmun tersebut menjelaskan sebab-sebab yang
mendorong Khalifah al-Makmun mengeluarkan perintah resmi yaitu sebagai
suatu kewajiban memelihara kemurnian agama Islam dan menegakkan
keyakinan yang benar dalam lingkungan pemeluk agama Islam.12
Demikianlah pembahasan mengenai Kondisi sosial budaya yang melingkupi
kekuasaan al-Makmun yang terinterpretasikan di dalam berbagai dimensinya
melalui sistem pemerintahan yang berlangsung dan sistem sosial politik yang
menyertainnya, kesemuanya itu merupakan realitas perkembangan ummat Islam
dan sekaligus Dakwah Islam yang ada pada saat itu.
11 Karen Armstrong. 2002. Sepintas Sejarah Islam. Yogyakarta : Ikonteralitera. Hlm. 75. 12 Joesoep Sou’yb. 1997. Muktazilah Peranannya dalam Perkembangan Alam Pikiran
Islam. Jakarta : Al-Husna Zikra. Hlm.152
43
C. Media Dakwah Khalifah Abbasiyah Al-Makmun
1. Politik.
Sikap politik yang merupakan kebijakan al-Makmun tercermin di dalam
susunan organisasi pemerintahan negara dan sistem politik yang menyertainya.
Susunan organisasi pemerintahan yang dimaksud adalah sebagai berikut:
Negara dipimpin oleh kepala negara yang bergelar khalifah, dan jabatannya
bernama khilafat. Sedangkan untuk membantu khalifah dalam menjalankan
pemerintahan negara ditetapkan suatu jabatan wizarat dan Dewan al-
Kitabah.13
Wizarat adalah suatu jabatan yang ditetapkan oleh khalifah al-Makmun guna
membantu menjalankan pemerintahan negara. Pemangku jabatan ini bernama
wazir atau disebut dengan menteri Yang dalam pelaksanaannya ditetappkan
Wizarat Tafiz dimana wazirnya hanya sebagai pembantu khalifah, bekerja atas
nama khalifah, dan Wazarat Tanfidl dimana wazirnya diberi kuasa penuh
untuk memimpin pemerintaahan negara, Khalifahnya hanya sebagaai lambang
saja. Dalam menjalankan pemerintahan negara, Wazir dibantu oleh sebuah
dewan menteri yang bernama Rais al-Ridwan yaitu, Departemen keuangan,
Departemen kehakiman, Departemen pengawasan urusan negara, Departemen
ketentramaan, perburuhan, perhubungan, pengawasan keuangan,urusan arsip,
pembelaan rakyat, keamanan, kepolisian, Sosial, Urusan wanita, keluarga, dan
pekerjaan umum.14 Dengan teraturnya sistem menjalankan pemerintahaan,
maka akan mendukung pelaksanaan dakwah itu sendiri, dimana segala urusan
13 Hamka. 1974. Sejarah Umat Islam II. Jakarta : Bulan Bintang. Hlm. 130. 14 Ibid, hlm.131.
44
di dalam departemen, baik peraturannya maupun pelaksanaannya berdasar atas
asas-asas Islam yang terpegangi secara baik.
Dewan al-Kitabah adalah suatu jabatan untuk membantu khalifah dalam tata
urusan negara. Pemangku jabatan ini adalah bernama Rasail al-Kutab atau
biasa disebut sekretaris negara. Dalam menjalankan tugasnya dibantu oleh
beberapa khatib atau sekretaris yang terdiri dari; sekretaris urusan persuratan,
keuangan, tentara, kepolisian, dan kehakiman.15
Dalam urusan pemerintahan al-Makmun, wilayah negara dibagi kedalam
beberapa wilayah propinsi (imarat), dengan seorang pimpinan yang bergelar
Amir.
Bentuk-bentuk Imarat di sini adalah al-Istifa yaitu sebuah propinsi yang
kepada gubernurnya diberi hak dan kekuasaan negara di wilayahnya. al-
Hashah yaitu propinsi yang kepada gubernurnya diberi hak dan wewenang
yang terbatas. Dan yang terakhir adalah al-Istila’u yaitu propinsi defakto yang
didirikan oleh seorang panglima dengan kekerasan, kemudiaan dengan
terpaksa diakui oleh Khalifah dan panglima yang bersangkutan menjadi
gubernurnya. Sedangkan wilayah negara yang terkecil adalah terdiri dari
wilayah kota dan desa. Wilayah kota pimpinannya langsung dibawah
koordinasi para gubernurnya. Wilayah desa yang disebut al-ura’ dibawah
pimpinan kepala desa yang bergelar Syekh al-Qariah dibawah koordinasi para
15 Ibid, hlm. 130
45
pemimpin kota, masing-masing desa tersebut mendapatkan hak otonomi
penuh, sedangkan wilayah kota dan propinsi otonominya terbatas.16
Angkatan bersenjata pada Khalifah al-Makmun terdiri dari angkatan darat dan
angkatan laut, dan panglimanya diberi gelar Amir al-Umara yang membawahi
10 qa’id (sepuluh ribu prajurit). 17
Untuk mengurus keuangan negara agar mendapatkan pemasukan keuangan
dengan baik, dibentuklah badan keuangan al-Khasanah yaitu untuk mengurus
perbendaharaan negara, dewan al-Azran yaitu untuk mengurus kekayaan hasil
bumi negara, dewan khasasin sila mengurus perlengkapan perang.
Organisasi kehakiman dan peradilanpun sudah mulai dibentuk yaitu untuk
melaksanakan ketertiban hukum negara dan melaksanakan tertib hukum yang
berlaku.18 Adapun politik yang dijalankan oleh pemerintahan al-Makmun
antara lain adalah sebagai berikut:
Kebebasan berfikir sebagai hak asasi manusia diakui sepenuhnya. Pada waktu
itu akal dan pikiran dibebaskan benar-benar dari belenggu taklid, hal mana
menyebabkan orang sangat leluasa mengeluarkan pendapat dalam segala
bidang, termasuk bidang akidah, falsafah, ibadah dan lain sebagainya.
Para menteri turunan Persia diberi hak yang penuh dalam menjalankan
pemerintahan, sehingga mereka memegang peranan penting dalam membina
tamaddun Islam. Mereka sangat mencintai ilmu dan mengorbankan
kekayaannya untuk memajukan kecerdasan rakyat dan meningkatkan ilmu
16 Ibid, hlm. 131 17 Ibid., hlm. 132 18 A.Hasjmy. 1976, Sejarah Kebudayaan Islam, Jakarta : Bulan Bintang, hlm. 231-236.
46
pengetahuan, sehingga karenanya banyaklah turunan Mawaly yang
memberikan tenaga dan jasanya untuk kemajuan Islam.19
Al-Makmun mengambil sebuah kebijakan politik. Untuk
menguasai kekhilafahan secara mutlak, al-Makmun menggantungkan
dukungan seorang panglima Khurasan yang bernama Thahir, yang diberikan
imbalan menjadi gubernur Khurasan dan menjadi jenderal militer Abbasiah
diseluruh Imperium, dengan disertai janji bahwa jabatan-jabatan tersebut
dapat diwariskan kepada anak keturunannya. Selain mendatangkan manfaat
yang bersifat sementara, konsesi atas sebuah jabatan gubernur yang dapat
diwariskan menggagalkan tujuan Abbasiah untuk menyatukan sejumlah
wilayah propinsi besar menjadi sebuah sitem politik yang memusat di tangan
pemerintahan pusat. Upaya untuk menyatukan kalangan elite di bawah arahan
Khalifah tidak dapat terwujud dan sebagai gantinya imperium dikuasai oleh
sebuah persekutuan Khalifah dengan penguasa gubernur besar.20
Untuk menghentikan kekuatan Thahiriah dan untuk merebut kembali
kekuasaan langsung atas sejumlah wilayah propinsi, maka beberapa Khalifah
Abbasiah segera membentuk pasukan militer baru. Demikianlah al-Makmun
membuat dua tipe militer. Pertama disebut Syakiriah melengkapi unit-unit
yang berada di bawah kepemimpinan panglima-panglima lokal mereka, dari
Transoxiana, Armenia, dan Afrika Utara. Sekalipun pasukan-pasukan militer
tersebut tidak bertanggung jawab secara langsung kepada Khalifah, namun
mereka berjuang sebagai kekuatan tandingan bagi Thahiriah dan menciptakan
19 Ibid.Hlm. 243 20 Ira M. Lapidus. 1999. Sejarah Sosial Ummat Islam. Bagian 1 dan 2. Jakarta : Raja
Grafindo Persada .Hlm. 94
47
suatu keseimbangan militer yang akan melepaskan ketergantungan khalifah
pada seorang penguasa gubernuran. Tipe pasukan kedua terdiri dari budak-
budak Turki, yang disebut ghilman, yang didatangkan secara individual, lalu
dikelompokkan menjadi sejumlah resimen. Untuk menciptakan efisiensi dan
moralitas, dan untuk menciptakan keseimbangan kekuatan antar resimen
tersebut, masing-masing resimen tinggal di wilayah perkampungan sendiri-
sendiri, memiliki masjid dan pasar sendiri, dan mereka dilatih dan diberi
perlengkapan dan gaji oleh komandan masing-masing. Demikianlah sebuah
resimen pasukan budak telah berkembang menjadi unit-unit yang mandiri
yang lebih mencurahkan segenap loyalitas mereka kepada atasan mereka dari
pada kepada khalifah.21
Kebijakan al-Makmun ketika berada di Mesir, beliau memberi izin kepada
kedua orang Kristen pembantu istananya untuk memdirikan gereja di al-
Mugattam, suatu bukit dekat Cairo, dan dengan izin Khalifah tersebut, seorang
Kristen yang kaya raya itu bernama Bukam, membangun beberapa gereja
indah di Burah (Mesir). Timotheus seorang patriarch Nestoria mendirikan
sebuah gereja di Takrit dan sebuah biara di Baghdad.22
Namun setelah kemenangan al-Makmun ketegangan masih berlanjut. Dalam
tahun 817 M al-Makmun mengambil langkah luar biasa dengan menunjuk
penggantinya bukan salah satu puteranya tetapi salah satu keluarga Ali, Ali ar-
Ridha, yang kemudian diakui sebagai imam kedelapan dalam imamah.
Sumber-sumber yang ada mengisyaratkan bahwa Wazir al-Fadil bin Sahal
21 Ibid. Hlm. 95 22 Thomas W.Arnold. 1979. Sejarah Dakwah Islam. Terj.M Rambe, Nawawi. Jakarta:
Widjaya. Hlm. 62-63
48
tidak menginformasikan situasi di Iraq dan bahwa bakal penggantinyalah yang
justru membuka matanya; tetapi semua ini mungkin hanyalah desas-desus
istana. Yang pasti adalah bahwa al-Fadil bin Sahal dibunuh dalam sebuah
pemandian umum awal tahun 818 M dan bahwa Ali ar-Ridha meninggal enam
bulan kemudian; yang terakhir ini menurut sejarawan Imamiah adalah karena
diracuni al-Makmun. Sekarang tidak mungkin menetapkan apakah wazir
dibunuh atas perintah khalifah atau oleh lawan-lawannya dari Iraq.
Bagaimanapun, perubahan pokok dalam kebijakan keputusan bahwa khalifah
harus kembali ke Baghdad telah diambil sebelum pembunuhan itu. Sebaliknya
tidak ada alas an jelas kenapa khalifah menghendaki penyingkiran bakal
penggantinya, dan tuduhan kaum Imamiah mungkin harus ditolak.
Kembali ke Baghdad memang penting, terutama pada tahun tahun 820 M,
jenderal Thahir dikirim ke timur dan kemudian menjadikan dirinya otonom;
tetapi menjadikan Iraq sebagai pangkalan utama kekuasaan khalifah tidak
berarti adanya suatu perubahan radikal dalam keyakinan politis.
Dokumen yang menunjuk Ali al-Ridha sebagai pengganti masih ada, dan tidak
memuat sesuatu pun yang bias dianggap sebagai uluran tangan pada golongan
Imamiah. Tidak disebutkan mengenai penunjukan dan Umar disebutkan
dengan hormat, sementara khalifah disebut sebagai menjunjung Al-Qur’an
dan Sunnah Rosul suatu ungkapan dari kaum konstitusionalis. Ungkapan
mengenai kualitas-kualitas pribadi Ali al-Ridha, adalah bernama Zaidiyah
dalam pengertian yang diperluas seperti tersebut diatas. Demikianlah maka
kematian Ali al-Ridha, walau memberikan al-Makmun kesempatan untuk
49
berpikir lagi dan memang dia terpaksa berfikir lagi, tidak membawa
perubahan pandangan mendasar. Sebagian kelompok Muktazilah zaidiyah
kemudian berhubungan dekat dengan khalifah di Baghdad sudah sangat
dikenal sebelumnya di Istananya di timur.23
Usaha-usaha untuk mengatasi ketegangan bisa dilihat dalam hal yang ada
hubungannya yaitu ketergantungan yang makin besar pada tentara Turki dan
dipindahkannya ibukota ke Samarra. Al-Makmun dikatakan yang pertama kali
memperkerjakan serdadu-serdadu budak dari perbatasan kerajaan, kebanyakan
adalah suku Barbar dari sahara atau suku Turki dari seberang (sungai) Oxus.
Orang-orang itu tidak berpihak kemana-mana dalam pertikaian politik dan
pertimbangan utama mereka adalah serdadu-serdadu yang lebih baik.24
Dalam mempertahankan kekuasaan, Khalifah al-Makmun membawa dinasti
Abbasiah ke puncak kejayaan baik dibidang ekonomi, perdagangan, politik,
sosial, militer, ilmu pengetahuan dan kebudayaan, sehingga al-Makmun
membawa dunia Islam menjadi pusat kebudayaan dan ilmu pengetahuan
dunia, dan menjadi kekuatan raksasa di dunia belahan Timur.25
Ada berbagai metode dan setrategi politik al-Makmun dalam hal pemantapan
dan pengembangan ajaran-ajaran Islam, diantaranya adalah :
Penumpasan faham-faham yang menyimpang.
23 Mont Gomery Watt.Tt. Kejayaan Islam Kajian Kritis dari Tokoh Orientalis. Jakarta: Raja
Grafindo Persada.Hlm.123 24 Ibid.Hlm. 124. 25 J. Suyuti Pulungan. 1994. Fiqih Siyasah Ajaran, Sejarah dan Pemikiran. Jakarta : PT
Raja Grafindo Persada. Hlm. 172
50
Untuk membina kehidupan agama yang bersih dari berbagai faham dan
aliran yang menyimpang, maka setiap muncul aliran sesat yang
melemahkan Islam hal itu langsung dihancurkan, misalnya: Al-
Rawandiyah, Al-Muqanna’iyah, Al-Khurramiyah, Al-Zanadiqoh. Al-
Rawandiyah. Gerakan ini ditimbulkan oleh orang-orang turunan persia
yang lahiriyahnya masuk Islam, tetapi batiniyahnya tidak. Gerakan ini
bertujuan memasukkan unsur-unsur agama mereka (Zoroaster, Majusiyah,
Mazdakiyah, dan Saba’iyah) kedalam agama Islam dan untuk
menghancurkan Islam. Al-Muqanna’iyah. Gerakan ini dipimpin oleh al-
Muqanna. Gerakan ini mengajarkan bahwa harta dan wanita menjadi milik
bersama, membatalkan puasa, shalat, zakat dan haji. Al-Khurramiyah.
Gerakan ini dipimpin oleh al-Khurrami. Aliran ini mempunyai ajaran
diantaranya menghalalkan sesuatu yang di haramkan oleh syariat Islam
misalnya minum-minuman arak, berzina, mencuri dan lain-lain.
Al-Zanadiqoh. Gerakan ini lebih dikenal dengan nama Zindiq. Ajaran ini
dipengaruhi oleh adat istiadat Persia dan tergila-gila dengan kemesuman.
Mereka berfaham bahwa Tuhan lebih dari satu, serta melecehkan adat
sopan santun dan menciptakan kehidupan masyarakat yang selalu
bertentangan dengan agama.26
Pengembangan Ilmu-Ilmu Agama.
Mengubah satu situasi kepada situasi yang lebih baik berdasarkan ajaran
Islam agar memperoleh kebahagiaan adalah merupakan usaha dakwah
26 A.Hasjmy. 1976, Sejarah Kebudayaan Islam, Jakarta : Bulan Bintang, hlm. 225-227.
51
yang terus dikembangkan. Untuk memperoleh tatanan yang lebih baik
dikembangkanlah suatu ilmu. Ilmu-ilmu agama yang dikembangkan pada
saat itu adalah seperti Tafsir, Hadits, Tasawuf, Ilmu Kalam.
Ilmu Tafsir. Perkembangan ilmu tafsir pada saat ini telah sangat maju
dengan berbagai penafsiran yang teratur dan sistematis. Penafsiran al-
Qur’an dilakukan dengan cara bilma’tsur (ditafsirkan dengan hadits) dan
penafsiran al-Qur’an bilra’yi (ditafsirkan dengan akal). Diantara tokoh-
tokoh ilmu tafsir yang terkenal adalah Sufyan Ibn Uyainah (198 H), Waqi’
Ibn Yarrah (196 H), Syu’ban Ibn Hajjaj (160 H), al-Syu’udy (127 H), Ibn
Juraij (150 H), Al-Muqotil (150 H), al-Mutsanna (209 H) dan lain-lain.27
Ilmu Hadits. Pada masa Khalifah al-Makmun beliau meneruskan usaha
yang telah dirintis oleh Khalifah al-Mansur, dibukukanlah kitab hadits al-
Muwatha’ karya Imam Malik, kemudian setelah itu dibukukanlah kitab-
kitab hadits yang lain, namun pembukuan itu masih bercampur baur antara
Hadits Marfu’, Mauquf dan Maqthu’. Demikian pula isinya masih
bercampur baur antara hadits-hadits Nabi dan perkataan sahabat, tabi’in,
oleh karena itu dalam perkembangan ilmu hadits lebih lanjut, muncul ilmu
Mustalah hadits untuk membedakan mana yang hadits dan bukan. Diantara
tokoh-tokoh ilmu hadits pada saat itu adalah : Ibn Iskhak (151 H), Said Ibn
Abi Arubah (156 H), al-Laits Ibn Sa’ad (175 H), Imam Malik (179 H),
27 Hasbi ash-Shiddiqie. Sejarah dan Pengantar Ilmu Tafsir, Jakarta : Bulan Bintang, hlm.
215-219.
52
Imam Abu Hanifah (150 H), Imam Syafi’i (204 H), Ibn Juraij (150 H) dan
lain-lain.28
Ilmu Fiqih. Ilmu fiqih ini adalah merupakan ilmu hukum Islam dan
merupakan dasar dari pengambilan hukum untuk mengatur hidup
masyarakat yang dilakukan oleh negara. Hanya saja dalam prateknya
terjadi berbagai pertentangan karena perbedaan pendapat hasil ijtihad
masing-masing mujtahid yang ada. Sehingga akhirnya para fuqoha’ pada
saat itu terbagi menjadi dua aliran, yaitu ahlu al-Hadits dan ahlu al-Ra’yi.
Ahlu al-Hadits yaitu aliran yang ijtihatnya berdasarkan al-Hadits.
Sedangkan ahlu al-Ra’yi yaitu aliran yang ijtihatnya berdasarkan akal dan
pikiran. Ilmu Fiqih sebagai ilmu hukum Islam pada masa ini telah
dibukukan dengan sempurna, karena usa yang sungguh-sungguh dari
mujtahid, diantaranya adalah Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam
Syafi’i, Imam Ahmad ibn Hambal, Syarik Ibn Abdullah Nakha’i,
Muhammad Ibn Abdurrahman, Sofyan Ibn Sa’id Sury, dan lain-lain.
Ilmu Kalam. Ilmu ini lahir dikarenakan oleh masuknya filsafat yunani
dalam kebudayaan Islam. Berkembangnya ilmu-ilmu pengetahuan dan
adanya usaha penterjemahan buku-buku berbahasa asing. Tumbuhnya
ilmu kalam ini oleh al-Muktazilah sebagai pelopornya, hal ini karena
untuk membela Islam dari serangan kaum Zindiq, kaum Nasrani, Yahudi.
Adapun tujuan yang pokok adalah membela Islam dengan bersenjatakan
filsafat, membendung perkembangan ilmu dan akal yang membahayakan
28 I b I d., hlm. 82-96.
53
agama. Tokohnya adalah antara lain Washil ibn Atha’, Abu Huzail al-
Alaf, al-Dham, Abu Hasan al-Asyari, Imam al-Ghazali , dan lain-lain. 29
Perkembangan dan kemajuan ilmu agama di atas pada akhirnya :
Berintegrasi dalam kehidupan Negara, dalam hal ini maka lahirlah ilmu
hukum Islam (fiqh) yang menjadi dasar berlakunya tertib hukum pranata
sosial kehidupan masyarakat; berintegrasi dalam pertumbuhan dan
perkembangan ilmu pengetahuan. Maka lahirlah ilmu sastra, kaligrafi,
arsitektur, dan lain-lain. ;mengadakan pendekatan persuasive dalam
kehidupan masyarakat sehari-hari. Kemudian lahirlah berbagai macam
faham keagamaan yang mengkristal dalam berbagai macam faham
kepercayaan imam mdzhab, tasawuf, teologi. Diantara imam madzhab
yang terkenal adalah Hanafi, Mambali, Maliki, dan Syafi’i ; mengadakan
control sosial terhadap pertumbuhan dan perkembangan ilmu pengetahuan.
Maka lahirlah kemudian ilmu kalam, falsafah dan ilmu agama lainnya. 30
Disamping ilmu agama di atas, juga berkembang dan pertumbuhan ilmu
pengetahuan dalam memajukan kebudayaan dan terciptanya kebudayaan
baru yaitu, membangun pranata sosial kehidupan umat, menciptakan
suasana kehidupan yang cinta ilmu, memajukan seni dan budaya,
memajukan ghiroh kehidupan yang dinamis, membangun kota peradaban
29 I b I d., hlm. 266-267.
30 H.A.R.Gibb. 1981,Islam dalam Lintasan Sejarah, terj. Abusalamah, Jakarta : Bhatara Karya Aksara, hlm.78-79
54
dan kebudayaan, menciptakan sarana dan prasarana kemudahan hidup
umat manusia. 31
(3) Sikap Khalifah al-Makmun terhadap al-Mihnat
Al-Makmun merasakan dirinya berkewajiban memelihara kemurnian
keyakinan yang dianut ummat Islam itu dari setiap kekeliruan, apalagi
jikalau bertalian dengan pokok-pokok keyakinan yaitu mempersamakan
keazalian Allah Maha Esa dengan sesuatu yang lainnya, seumpama Al-
Qur’an.
Lapisan Awwam dewasa itu sangat hangat memperbincangkan masalah
kejadian Al-Qur’an, sedangkan Al-Qur’an itu “qadim” karena mengikuti
pendapat pemuka-pemuka agama yang memanggilkan dirinya Ahlus-
Sunnah, dan pendapat itu dibantah oleh Al-Makmun di dalam suratnya
beralaskan pernyataan-pernyataan di dalam Al-Qur’an sendiri.
Bahkan sebagian besar para Hakim (Al-Quddhat) sendiri, yang menduduki
jabatan-jabatan peradilan, menganut keyakinan tentang “keazalian” Al-
Qur’an itu; dan selanjutnya bertindak menerima kesaksian setiap saksi
yang mengakui keazalian Al-Qur’an dan sebaliknya menolak kesaksian
setiap saksi yang mengakui kebaruan Al-Qur’an.
Al-Makmun berpendirian bahwa keputusan seseorang Hakim dan
kesaksian seseorang saksi tidaklah dapat diperpegangi kecuali keyakinan
yang dianutnya itu benar. Barangsiapa berkeyakinan tentang keazalian Al-
Qur’an itu maka keyakinan Tauhid-nya telah rusak. Baikpun keputusannya
31 Ahmad Amin. 1987, Islam dari masa ke masa, terj. Abu laila dan M. Thohir, Bandung
: Rosda Karya, hlm. 288.
55
maupun kesaksiannya sudah tidak dapat dipercayai, hingga sudah
disangsikan kejujuran kesaksiannya dan dikuatirkan kesewenangan pada
keputusannya. Justru al-Makmun tidak bersedia mempercayakan jabatan-
jabatan agung serupa itu kepada seseorangpun, kecuali imannya benar dan
tauhidnya benar.32
Demikianlah pembahasan mengenai sikap politik yang terinterpretasikan di
dalam berbagai dimensinya melalui sistem pemerintahan al-Makmun yang
berlangsung dengan baik.
2. Ekonomi
Di tengah kesibukan dan kehausan dunia mencari ekonomi yang mampu
menciptakan bahagia bersama, baik jasmaniah maupun ruhaniah para juru dakwah
harus menggali sistem ekonomisme Islam.
Dienul Islam bukan saja petunjuk, hidayah dan hujjah bagi keselamatan
manusia di akhirat, ia bukan saja merupakan ritual keagamaan, tetapi juga sistem,
aturan dalam lapangan ekonomi.33
Ekonomisme Islam tidak hanya menentang kapitalisme dan riba dalam
segala bentuknya, penghisapan dan pemerasan dalam segala manifestasinya, tapi
memberikan moral dan watak luhur, memberikan jaminan dan kepastian bagi
segala manusia sebagai pribadi.34
Para Juru Dakwah harus pandai membuka pengertian kepada masyarakat
tentang resep dan konsepsi ekonomi dalam Islam, yang bebas dari penindasan
32 Joesoef Souyb. 1977. Sejarah Daulat Abbasiah I. Jakarta : Bulan Bintang. Hlm. 201 33 M.Isa Anshary. 1995. Mujahid Da’wah. Bandung: Diponegoro. Hlm.170 34 Ibid. Hlm.170
56
manusia atas manusia. Bagaimana Islam memecahkan persoalan kaum yang lapar,
mencegah penghisapan dan pemerasan, dalam Islam bukan lagi teori, bukan lagi
semboyan atau slogan, tapi telah pernah dipraktekkan dalam bentuk yang sesuai
dengan zaman waktu itu, dan ajaran dan teladan itu masih dapat dilakukan di
segala zaman, di segala selat dan benua.
Pada masa pemerintahan al-Makmun kesejahteraan ekonomi masyarakat
semakin meningkat dan memiliki paradaban yang tinggi. Kerajaan penuh dengan
kota-kota indah, penuh masjid megah, dimana-mana terdapat universitas, di
dalamnya tersimpan peradaban-peradaban dan hikmah-hikmah lama yang bernilai
tinggi. Kecemerlangan Islam Timur merupakan hal yang kontras dengan dunia
Nasrani Barat, yang tenggelam dalam malam kegelapan zaman.35
Kedermawanan al-Makmun dalam penelitian perikeadaan ekonomi
rakyatnya, beliau menunjuk 1.700 perempuan tua supaya tetap berkeliling di
Baghdad guna melaporkan perikehidupan ekonomi rakyat umum kepadanya.36
kegiatan pertanian di sana sini berkembang kembali dengan pesat.
Begitupun kegiatan dagang berjalan kembali dengan lancar. Tempat-tempat
perhentian kafilah-kafilah dagang yang datang memencar ke berbagai penjuru.37
Lalulintas dagang dengan Tiongkok melalui dataran tinggi Pamir, yang
dipanggilkan dengan jalan sutera (Silk Road) itu, ramai kembali dengan kafilah-
kafilah dagang yang hilir mudik. Begitupun lalulintas dagang melalui laut (Sea
Routes) dari teluk Parsi menuju Bandar-bandar dagang pada pesisir lembah Sind
dan wilayah Gujarat yang sudah dikuasai pihak Islam masa itu, selanjutnya
35 Lothof Stoddard. 1966. Dunia Baru Islam. Jakarta: Bulan Bintang. Hlm. 15 36 Ibid. hlm. 185 37 Joesoef Sou’yb. Op.cit. Hlm.178
57
Bandar-bandar dagang di pesisir Tiongkok, semakin bertambah ramai dengan
kapal-kapal dagang yang hilir mudik.
Pertanian diperkembang dengan luas; dengan sistim penanaman penuh
keahlian maka mutu dan keistimewaan buah-buahan dan bunga-bungaan dari
Parsi telah makin dipertinggi, dan anggur-anggur dari Shiraz dan Yed dan Ispahan
telah menjadi komoditi penting dalam perdagangan di seluruh Asia. Tambang-
tambang bijibesi, timah hitam, dan benda-benda logam lainnya dihasilkan dengan
penuh ketelitian. Hasil-hasil pabrik yang indah diusahakan pada berbagai kota di
Irak dan Syria. Kemajuan yang luarbiasa berlangsung pada setiap cabang
peralatan mekanik.38
3. Budaya
Islam mendatangkan ajaran untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat
dan meningkatkan perkembangan budayanya, dengan demikian terbentuklah satu
setting nilai dan budaya Islami yang lengkap dan sempurna dalam ruang
lingkupnya yang sepadan, baik dari segi situasi dan kondisi maupun waktu dan
perkembangan zamannya. Setting tersebutlah yang diwariskan kepada generasi
berikutnya untuk dikembangkan, baik secara kualitatif maupun kuantitatif.
Pengembangan secara kualitatif, dalam arti bahwa nilai dan budaya yang ada
ditingkatkan kualitasnya sehingga menjadi lebih baik dan lebih sempurna,
sedangkan pengembangan secara kuantitatif, mengarah kepada pembentukan
ajaran dan budaya baru untuk menambah kesempurnaan dan kesejahteraan hidup
38 Ibid. Hlm. 179.
58
manusia. Sumber pengembangan tersebut tidak lain kecuali wahyu Allah yang
telah sempurna yang disampaikan oleh Nabi Muhammad SAW.
Sebenarnya sasaran pembudayaan Islam tersebut bukan hanya mewariskan
kepada generasi muda saja, tetapi juga meluaskan jangkauan penetrasi budaya
Islami kepada budaya ummat.39
Seluruh kehidupan yang dituntun oleh petunjuk wahyu itu membentuk diri
Mukmin menjadi Manusia berbudaya. Hasil segala karya dan cipta kaum
Mukmin, kebudayaan, segala isi dan coraknya tidak mungkin terlepas dari norma
dan ukuran wahyu Ilahi. Wahyu itu sendiri telah mencetak otak dan benaknya,
hati dan budinya, pikiran dan perasaannya.40
Budaya merupakan media dakwah yang tidak kurang pentingnya. Juru
Dakwah mempunyai kewajiban moril membendung “kebudayaan liar” yang
meracuni masyarakat. Budaya Islam harus tampil kedepan mengimbangi
kebudayaan asing.
Budayawan Islam adalah Juru Dakwah dalam bidangnya. Mereka adalah
karyawan dan ciptawan Dakwah Islam yang tidak kurang pentingnya dengan
Muballigh Islam.
Kondisi budaya yang melingkupi kekuasaan al-Makmun dapat dilihat dari
berbagai dimensi, diantaranya adalah:
Kota Baghdad sebagai kota negara dibuka untuk semua bangsa, dan dijadikan
sebagai kota internasional ilmu pengetahuan.
39 Departemen Agama RI.1985. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara. Hlm.69 40 M. Isa Anshary. Op.cit.Hlm.165
59
Ilmu pengetahuan diangkat sebagai sesuatu yang mulia yang dikembangkan
seluas-luasnya, rakyat bebas berfikir dan dalam segala bidang diberi hak
penuh memperoleh hak asasinya, para menteri keturunan non Arab, utamanya
dari unsur Persi diberi hak penuh menjalankan pemerintahan negara, para
Khalifah Abbasiah berusaha sungguh-sungguh membangun ekonomi negara.41
Masyarakat pada pemerintahan al-Makmun terbagi dalam dua kelas yaitu
kelas khusus dan kelas umum.
Kelas khusus yaitu terdiri dari khalifah, ahli famili khalifah (bani hasyim),
para pembesar negara, para kaum bangsawan (umumnya terdiri dari suku
Quraisy) para petugas khusus negara, anggota tentara,dan pembantu-pembantu
negara. Kelas umum yaitu terdiri dari para ulama, fuqoha, seniman, pujangga,
saudagar, pengusaha, para tukang, dan petani.42 Oleh sebab itu maka
pembagian masyarakat tersebut mencerminkan adanya pemisahan masyarakat
antara pemerintah dan masyarakat umum (yang diperintah).
Pertumbuhan dan perkembangan Islam pada masa al-Makmun adalah sejalan
pula dengan pertumbuhan dan perkembangan budaya dakwah.
Islam identik dengan dakwah, dan dakwah identik pula dengan Islam. Islam
mengalami kemajuan berarti kemajuan bagi dakwah, begitu pula sebaliknya.
Pada pemerintahan al-Makmun, pertumbuhan dan perkembangan agama Islam
diwarnai oleh dua kehidupan, yaitu kehidupan Iman dan Zindiq. Kehidupan
Iman yaitu kehidupan yang diwarnai dengan hati dan agama, kepercayaan
iman yang kholishoh dan kehidupaan agama yang shodiqoh. Kehidupan
41 Ma’ruf Misbah, 1988, Sejarah Peradaban Islam, Semarang : Wijaya Wicaksana, hlm. 32.
42 A.Hasjmy. op.cit. hlm. 243.
60
Zindiq yaitu kehidupan yang diwarnai akal dan pikiran serta rasa, yang
menimbulkan keraguan tentang iman dan menentang agama dengan ajaran-
ajarannya.43
Gambaran situasi budaya di atas, kemudian menimbulkan berbagai
interpretasi dan apresiasi agama, yang mewarnai kehidupan umat Islam seperti:
Syi’ah, Jabariyah, Qodariyah, Murji’ah, Muktazilah, dan Ahlu sunah. Syi’ah
adalah suatu aliran agama, yang semula merupakan golongan pengikut dan
sahabat Ali ra., mereka menamakan diri demikian karena mereka mendukung
duduknya Ali ra. sebagai khalifah. Namun dalam perkembangan selanjutnya
mereka menyebarkan faham-faham keagamaan yang diindikasikan sebagai ajaran
Imam Ali ra. Jabariyah adalah, suatu aliran agama yang berfaham bahwa segala
sesuatunya adalah atas kehendak dan ketentuan Tuhan (ajaran serba taqdir).
Qodariyah adalah suatu aliran agama yang berpendapat bahwa seluruh gerak dan
usaha manusia atas perilakunya itu sendiri bukan dari Allah. Murji’ah adalah
berpendirian keimanan seseorang tidak akan binasa karena kemaksiatan.
Mu’tazilah adalah aliran agama yang berpendirian bahwa tolok ukur kebenaran
adalah rasio yang merupakan motor penggerak usaha manusia.
Ahlussunnah adalah aliran agama yang berpendirian bahwa seseorang
memenuhi syarat keislaman bilamana menuturkan syahadat, diikuti dengan
kepercayaan hati dan dibuktikan dengan amal perbuatan / tingkah laku.44
Pertumbuhan dan perkembangan aliran-aliran tersebut beserta kegiatan
dakwahnya lambat laun mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan Islam
43 I b i d. hlm. 148. 44 M.Taib Tahir Abdul Mu’in. 1981, Ilmu Kalam, Wijaya, Jakarta, hlm. 90-105.
61
secara luas dalam kehidupan masyarakat secara menyeluruh. Masing-masing dari
mereka berpegang teguh terhadap keyakinannya, mereka fanatik dengan
keyakinannya, bahkan mereka menyerang lawan madzhabnya dan menuduhnya
kafir serta keluar dari Islam. Perang argumen terjadi diantara mereka, setiap sekte
mendapat dukungan dari penguasa dan gubernur, maka semakin kuatlah posisi
mereka. Setiap aliran atau sekte memiliki makalah dan buku tentang ajarannya,
negara yang membekkingnya dan kekuasaan yang melegalkannya.45
4. Pendidikan
Pendidikan (dakwah) Islam ke luar tidak lain adalah untuk menyampaikan
ajaran Islam kepada masyarakat bangsa / suku bangsa agar mereka menerimanya
menjadi sistem hidup.
Pendidikan Islam pada masa pertumbuhan dan perkembangannya, juga pada
masa-masa berikutnya mempunyai dua sasaran yaitu generasi muda sebagai
generasi penerus dan masyarakat bangsa lain yang belum menerima ajaran Islam,
untuk sasaran kedua, yaitu penyampaian ajaran Islam dan usaha internalisasinya
dalam masyarakat bangsa yang baru menerimanya yang dalam Islam lazim
disebut sebagai dakwah Islami. Sedangkan dalam arti yang pertama, yaitu
pewarisan ajaran Islam kepada generasi penerus sebagai pendidikan Islam.46
Seorang pendidik agama yang sekaligus seorang da’i, bukanlah tugasnya
semata-mata untuk mengajarkan ilmu agama. (Islamologi) akan tetapi yang
terpenting adalah mendidik. Sebab mengajar hanyalah memberikan pengetahuan
45 Muhammad Sayyid Al-Wakil. 1998, Wajah Dunia Islam, dari dinasti Bani Umaiyah hingga Imperialisme Modern, Jakarta : Pustaka al-Kautsar, hlm.93.
46 Departemen Agama RI. Op.cit. Hlm.70
62
agama saja, sehingga orang pandai ilmu agama. Sebaliknya mendidik mempunyai
arti menanamkan tabiat kepada orang agar mereka taat kepada ajaran agama
membentuk pribadi muslim.47 Pendidikan agama di lembaga merupakan media
dakwah. Sebab pendidikan agama pada dasarnya menanamkan ajaran Islam
kepada orang, yang mana hal ini bertujuan untuk melaksanakan perintah Allah
(dakwah).
Kecintaan dan keintelektualannya al-Makmun kepada ilmu Kependidikan
tersebut yang meletakkan dirinya di puncak daftar khalifah Abbasiah. Di Baitul
Hikmah beliau mengumpulkan berbagai ilmu pengetahuan asing, kemudian
memerintahkan supaya dibeli dan dikumpulkan untuknya buku-buku karya asing,
kemudian memerintahkan supaya diterjemahkan kepada bahasa Arab. Pada
zamannya itulah muncul filosof Arab yang agung, yaitu al-Kindi, yang telah
menulis mengenai beberapa ilmu pengetahuan. Al-Hallaj bin Yusuf bin Matr
menterjemahkan untuk al-Makmun beberapa buah buku karya Euclides dan buku
Ptolemy.48 Baitul Hikmah yang semula hanya disediakan untuk menterjemahkan
buku-buku, kemudian ditingkatkan fungsinya sebagai sekolah tinggi,
perpustakaan dan tempat penterjemahan. Di samping itu masjid-masjid juga
merupakan pusat pendidikan dan penyebaran-penyebaran ilmu, baik ilmu agama
maupun ilmu umum.49
47 Asmuni Syukir. Op.cit. Hlm.168 48 A.Syalab,.Op.cit. Hlm. 137 49 Abu Ahmadi. 1976. Sejarah Kebudayaan Islam. Semarang: CV.Toha Putra. Hlm.84
top related