bab ii tinjauan pustaka...pendapatan nasional yang diterima antara lapisan sosial dalam masyarakat...
Post on 25-Dec-2020
17 Views
Preview:
TRANSCRIPT
9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Kemiskinan Menurut Para Ahli
Kemiskinan merupakan masalah yang selalu muncul dalam
proses pembangunan di berbagai belahan negara di dunia. Pada
umumnya kemiskinan didefinisikan sebagai kondisi kekurangan atau
tidak sejahtera, yang secaara konvensional di ukur dengan pendekatan
moneter. Seseorang dikatakan miskin apabila tidak mampu memenuhi
standar tertentu seperti garis kemiskinan atau kebutuhan kalori
minimum. Amartya Sen (1976), mengemukakan sebuah pemikiran
yang lebih luas mengenai kemiskinan dalam konteks pembangunan,
bahwa pembangunan memberikan kebebasan bagi setiap individu
untuk memenuhi sejumlah fungsi tertentu dimana fungsi tersebut
bersifat multidimensi, sehingga kemiskinan merupahkan kegagalan
dalam memenuhi fungsi tersebut. Menurutnya, pendapatan (moneter)
merupahkan salah satu dari dimensi tersebut akan tetapi dimensi lain
seperti pendidikan, kesehatan, kebebasan mengemukakan pendapat,
partisipasi dalam kegiatan politik dan sebagainya tidak dapat
diabaikan. Berdasarkan pemikiran tersebut kemiskinan atau
kesejahteraan mulai dipahami sebagai fenomena multidimensi. Karena
dalam menanggulanginya masalah yang dihadapi bukan saja terbatas
pada hal-hal yang menyangkut hubungan sebab akibat timbulnya
kemiskinan tetapi melibatkan juga preferensi, nilai dan politik
(Sholeh, 2010).
Definisi tentang kemiskinan sangat beragam, mulai dari ketidak
mampuan memenuhi kebutuhan konsumsi dasar dan memperbaiki
keadaan, kurangnya kesempatan berusaha, hingga pengertian yang
lebih luas yang memasukkan aspek sosial dan moral (Sholeh
2010).Dalam arti sempit kemiskinan dipahami sebagai keadaan
kekurangan uang untuk menjamin kelangsungan hidup.Dalam arti
luas, kemiskinan merupakan suatu pennomena multidimensional
10
(Hamudy, 2008). Menurut Kurniawan (2004), kemiskinan adalah
apabila pendapatan suatu komunitas berada dibawah satu garis
kemiskinan tertentu. Kemiskinan juga berarti kekurangan kebutuhan
sosial, termasuk keterkucilan sosial, ketergantungan dan ketidak-
mampuan untuk berpartisipasi dalam kehidupan masyarakat yang
layak (Khomsan et al, 2015:2).Chambers dalam Nasikun (2001),
mengatakan bahwa kemiskinan adalah suatu integrated concept yang
memiliki lima dimensi, yaitu: Kemiskinan tidak berdaya, rentan
terhadap situasi darurat, ketergantungan; dan keterasingan baik secara
geogerafis maupun sosiologis. Hidup dalam kemiskinan bukan hanya
hidup dalam kekurangan uang dan tingkat pendapatan rendah, tetapi
juga banyak hal lain, seperti: tingkat kesehatan, pendidikan rendah,
perlakuan tidak adil dalam hukum, kerentanan terhadap ancaman
tindak kriminal, ketidak berdayaan menghadapi kekuasaan, dan
ketidakberdayaan dalam menentukan jalan hidupnya sendiri
(Khomsan, et al, 2015:3).
Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia mengartikan kemiskinan
sebagai ketidakmampuan untuk memenuhi standar minimum
kebutuhan dasar yang meliputi kebutuhan pangan dan
nonpangan.BPS menghitung angka kemiskinan lewat tingkat
konsumsi penduduk atas kebutuhan dasar. Dengan pendekatan ini,
kemiskinan didefinisikan sebagai ketidak mampuan dari sisi ekonomi
untuk memenuhi kebutuhan makanan maupun non makanan yang
bersifat mendasar (Khomsan, etal, 2015:12-13).
Menurut Bank dunia (2003), penyebab dasar kemiskinan adalah:
(1) Kegagalan kepemilikan terutama tanah dan modal; (2) terbatasnya
ketersediaan bahan kebutuhan dasar, sarana dan prasarana; (3)
kebijakan pembangunan yang bias perkotaan dan bias sektor; (4)
adanya perbedaan kesempatan di antara anggota masyarakat dan
sistem yang kurang mendukung; (5) adanya perbedaan sumber daya
manusia dan perbedaan antara sektor ekonomi (ekonomi tradisional vs
ekonomi modern); (6) rendahnya produktivitas dan tingkat
pembentukan modal dalam masyarakat; (7) budaya hidup yang
dikaitkan dengan kemampuan seseorang mengelola sumber daya alam
11
dan lingkunganya; (8) tidak ada tata pemerintahan yang bersih dan
baik (good governance); (9) pengelolaan sumber daya alam yang
berlebihan dan tidak berwawasan lingkungan (Prihartini, 2006).
Menurut Hadiwigeno dan Pakpahan (Prisma 1993), kemiskinan
itu dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti sumber daya alam,
teknologi dan unsur pendukungnya, sumber daya manusia, sarana dan
prasarana serta kelembagaan. Selanjutnya, menurut Sayogyo dalam
Singarimbun (1978), bahwa ada dua penyebab utama kemiskinan
pedesaan di Indonesia yaitu adanya kegagalan pasar dan politik.
Kegagalan pasar timbul karena: (l) daya beli penduduk pedesaan sangat
rendah, upah dan pendapatan sangat kecil sehingga tidak dapat
memenuhi kebutuhan dasar; (2) terbatasnya kesempatan dan peluang
berusaha di pedesaan; (3) keadaan prasarana yang tidak memadai
untuk pengembangan produksi; (4) pola penguasaan tanah sebagai alat
produksi vital keadaannya timpang; (5) hambatan dalam pemasaran.
Sedangkan kegagalan politik akibat struktur dan institusi ekonomi
politik yang ada pada tingkat supra lokal (desa) mengalami distorsi
dalam mempresentasikan kepentingan masyarakat desa (Khomsan et al, 2015:17-18).
Kemiskinan Absolut
Kemiskinan Mutlak (Absolut), adalah keadaan dimana terjadi
ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti makanan,
pakaian, tempat berlindung, pendidikan, dan kesehatan. Kemiskinan
dapat disebabkan oleh kelangkaan perangkat pemenuh kebutuhan
dasar, ataupun sulitnya akses pada pendidikan dan pekerjaan.
Kemiskinan adalah masalah global,sebagian orang memahami istilah
ini secara subyektif dan komparatif, sementara yang lainnya
melihatnya dari segi moral dan evaluatif, dan yang lainnya lagi
memahaminya dari sudut ilmiah yang sudah mapan. Kemiskinan
dipahami dalam bermacam-macam cara. Pemahaman utamanya
mencakup: Gambaran kekurangan materi, yang biasanya mencakup
kebutuhan pangan sehari-hari, sandang, perumahan, dan pelayanan
12
kesehatan. Kemiskinan dalam arti ini dipahami sebagai situasi
kelangkaan barang-barang dan pelayanan dasar. Gambaran mengenai
kebutuhan sosial, termasuk keterkucilan sosial, ketergantungan, dan
ketidakmampuan untuk berpartisipasi dalam masyarakat.Hal ini
termasuk pendidikan dan informasi. Keterkucilan sosial biasanya
dibedakan dari kemiskinan, sebab hal ini mencakup masalah-masalah
politik dan moral, dan tidak dibatasi pada bidang ekonomi.
Kemiskinan absolut terjadi apabila tingkat pendapatannya
dibawah garis kemiskinan atau sejumlah pendapatannya tidak cukup
untuk memenuhi kebutuhan minimun, antara lain kebutuhan pangan,
sandang, kesehatan, perumahan dan pendidikan yang diperlukan
untuk meningkatkan kapasitas agar bisa hidup dan bekerja.
Kemiskinan jenis ini mengacu pada satu standar yang konsisten, tidak
terpengaruh oleh waktu dan tempat/negara.
Kesulitan konsep kemiskinan absolut adalah menentukan
komposisi tingkat kebutuhan minimum karena dua hal tersebut tidak
hanya di suatu negara adat kebiasaan saja tetapi juga oleh iklim
tingakat kemajuan suatu negara dan berbagai faktor ekonomi lainya.
Kebutuhan dasar dapat di bagi menjadi 2 golongan kebutuhan dasar
yang diperlukan sekali untuk mempertahankan hidupnya dan
kebutuhan lain yang lebih tinggi. United Nation Research Institute for Social Development menggolongkan kebutuhan dasar manusia atas 3
kelompok yaitu pertama kebutuhan fisik primer yang terdiri dari
kebutuhan gizi, perumahan dan kesehatan; kedua kebutuhan cultural
yang terdiri dari pendidikan, waktu luang dan rekreasi serta
ketenangan hidup dan ketiga kelebihan pendapatan untuk mencapai
kebutuhan lain yang lebih tinggi (Khomsan, et al, 2015:5).
Kemiskinan Struktural
Kemiskinan struktural adalah kondisi atau situasi miskin karena
pengaruh kebijakan pembangunan yang belum menjangkau seluruh
masyarakat sehingga menyebabkan ketimpangan pendapatan.
Kemiskinan struktural muncul karena ketidakmampuan sistem dan
13
struktur sosial dalam menyediakan kesempatan-kesempatan yang
memungkinkan si miskin dapat bekerja. Struktur sosial tersebut tidak
mampu menghubungkan masyarakat dengan sumber-sumber yang
tersedia, baik yang disediakan oleh alam, pemerintah maupun
masyarakat yang ada disekitarnya. Mereka yang tergolong dalam
kelompok ini adalah buruh tani, pemulung, penggali pasir dan mereka
yang tidak terpelajar dan tidak terlatih. Pihak yang berperan besar dari
terciptanya kemiskinan struktural adalah pemerintah. Sebab,
pemerintah yang memiliki kekuasaan dan kebijakan cenderung
membiarkan masyarakat dalam kondisi miskin, tidak mengeluarkan
kebijakan yang pro masyarakat miskin. Kalau pun ada lebih
berorientasi pada proyek, bukan pada pembangunan kesejahteraan,
sehingga tidak ada masyarakat miskin yang „naik kelas‟. Artinya jika
pada awalanya sebagai buruh, nelayan, pemulung, maka selamanya
menjadi buruh nelayan dan pemulung.Kemiskinan ini timbul, karena
ada hubungan sosial ekonomi yang membuat kelompok orang
tereksklusif dari posisi ekonomi yang lebih baik. Penyebab
tereksklusif adalah ketergantungan ekonomi pada negara industri
maju, struktur perekonomian nasional jatuh pada segelintir
orang (kolusi penguasa dan pengusaha) serta politik dan hubungan
sosial yang tidak demokratis (Khomsan et al, 2015:3).
Kemiskinan Kultural
Kemiskinan kultural mengacu pada persoalan sikap seseorang
atau masyarakat yang disebabkan oleh faktor budaya. Sikap budaya
itu, seperti seseorang atau masyarakat yang merasa berkecukupan dan
tidak merasa kekurangan. Kelompok ini tidak mudah diajak untuk
berpartisipasi dalam pembangunan dan cenderung tidak mau berusaha
rnemperbaiki tingkat kehidupannya. Dengan ukuran absolut mereka
miskin, tetapi mereka tidak merasa miskin dan tidak mau dikatakan
miskin.
Sedangkan, kebudayaan kemiskinan, merupakan kemiskinan
yang muncul sebagai akibat adanya nilai-nilai atau kebudayaan yang
14
dianut oleh orang-orang miskin, seperti malas, mudah menyerah pada
nasib, kurang memiliki etos kerja dan sebagainya. Ciri dari
kebudayaan kemiskinan ini adalah masyarakat enggan menginte-
grasikan dirinya dalam lembaga-lembaga utama, sikap apatis, curiga,
terdiskriminasi oleh masyarakat luas.Dalam komunitas lokal ditemui
ada rumah yang bobrok, penuh sesak dan bergerombol.Ditingkat
keluarga, masa kanak-kanak cenderung singkat, cepat dewasa, cepat
menikah.Pada individu mereka ada perasaan tidak berharga, tidak
berdaya dan rendah diri akut. Pandangan lain tentang budaya miskin
merupakan efek domino dari belenggu kemiskinan struktural yang
menghinggap masyarakat terlalu lama. Keadaan seperti itu membuat
masyarakat apatis, pasrah, berpandangan jika sesuatu yang terjadi
adalah takdir. (Khomsan et al, 2015:3).
Kemiskinan Relatif
Kemiskinan relatif adalah kondisi dimana pendapatannya
berada pada posisi di atas garis kemiskinan, namun relatif lebih rendah
dibanding pendapatan masyarakat sekitarnya. Pengukuran kemiskinan
relatif didasarkan pada perbandingan pendapatan antara kelompok
masyarakat dengan pendapatan rendah terhadap kelompok
masyarakat dengan tingkat pendapatan tinggi. Artinya, sebenarnya
kelompok tersebut tidak miskin secara absolut, tetapi lebih miskin
dibandingkan kelompok masyarakat lain yang kaya atau makmur.
Kemiskinan ini dikatakan relatif karena berkaitan dengan distribusi
pendapatan nasional yang diterima antara lapisan sosial dalam
masyarakat (Khomsan et al, 2015:3).
Kemiskinan relatif dilihat dari aspek ketimpangan sosial, karena
ada orang yang sudah dapat memenuhi kebutuhan dasar minimumnya
tetapi masih jauh lebih rendah dibanding masyarakat sekitarnya.
Semakin besar ketimpangan antara tingkat penghidupan golongan atas
dan golongan bawah maka akan semakin besar pula jumlah penduduk
yang dapat dikategorikan miskin, sehingga kemiskinan relatif erat
hubungannya dengan masalah distribusi pendapatan.
15
Menurut Todaro (1997), menyatakan bahwa variasi kemiskinan
dinegara berkembang disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu: (1)
perbedaan geografis, jumlah penduduk dan tingkat pendapatan, (2)
perbedaan sejarah, sebagian dijajah oleh negara yang berlainan, (3)
perbedaan kekayaan sumber daya alam dan kualitas sumber daya
manusianya, (4) perbedaan peranan sektor swasta dan negara, (5)
perbedaan struktur industri, (6) perbedaan derajat ketergantungan
pada kekuatan ekonomi dan politik negara lain dan (7) perbedaan
pembagian kekuasaan, struktur politik dan kelembagaan dalam negeri.
Menurut Jhingan (2000), mengemukaan tiga ciri utama Negara
berkembang yang menjadi penyebab dan sekaligus akibat yang saling
terkait pada kemiskinan. Pertama, prasarana dan sarana pendidikan
yang tidak memadai sehingga menyebabkan tingginya jumlah
penduduk buta huruf dan tidak memiliki ketrampilan ataupun
keahlian. Kedua, sarana kesehatan dan pola konsumsi buruk sehingga
hanya sebahagian kecil penduduk yang bisa menjadi tenaga kerja
produktif dan yang ketiga adalah penduduk terkonsentrasi di sektor
pertanian dan pertambangan dengan metode produksi yang telah
usang dan ketinggalan zaman (Khomsan et al, 2015:4).
Kemiskinan relatif, kemiskinan jenis ini tidak berhubung
dengan garis kemiskinan, kemiskinan jenis ini bersumber dari
prefektif masing-masing orang, yaitu karena orang tersebut merasa
miskin. Kemiskinan jenis ini bisa menimpa siapa saja. Suatu contoh,
bila anda seorang pegawai dengan pendapatan 5 juta perbulan,
misalnya suatu hari anda mengetahui rekan anda yang selevel dengan
anda memiliki pendapatan yang nilainya 3x lipat dari anda, seketika
anda merasa marah. Pada kondisi tersebut anda mengalami
kemiskinan relatif, atau orang yang sudah memiliki tingkat
pendapatan dapat memenuhi kebutuhan dasar minimum tidak selalu
berarti tidak miskin, ada ahli yang berpendapat bahwa walaupun
sudah mencapai tingkat kebutuhan dasar minimum tetapi masih jauh
lebih rendah dibandingkan dengan keadaan masyarakat sekitarnya,
maka orang tersebut masih berada dalam keadaan miskin, ini terjadi
16
karena kemiskinan lebih banyak di tentukan oleh keadaan sekitarnya,
daripada lingkungan orang yang bersangkutan (Miller, 1971).
Kemiskinan di Provinsi Papua
Menurut Kum (2014), kemiskinan dan keterbelakangan di
Papua sebagai akibat dari ketertindasan masyarakat asli Papua ini
nampak pada rendahnya pendapatan keluarga, rendahnya pendidikan,
tingginya angka orang sakit yang tidak tertolong, dan tingginya
kematian ibu dan anak (bayi). Masyarakat asli Papua hidup dalam
serba kesulitan dan keterbatasan, karena kebijakan publik dari
pemerintah yang tidak memihak dan menguntungkan rakyat di era
otonomi khusus.Berbagai macam produk hukum berupa peraturan
perundang-undangan tidak mengakomodir hak-hak dasar masyarakat
dan tidak bertujuan untuk pemenuhan kebutuhan dasar rakyat di
bidang ekonomi, sosial budaya, pendidikan, kesehatan dan politik,
termasuk hak akses masyarakat adat dalam pengelolaan sumber daya
alam yang berkelanjutan. Sebagai akibat dari pembangunan yang tidak
berwawasan lingkungan dan berbasis masyarakat adalah kerusakan
hutan dan membawa efek pada kesulitan akses air bersih dan pangan
lokal.
Menurut Wakono, et al (2013), ketidakadilan di tanah Papua
memiliki sumber daya alam yang sangat kaya, seperti emas, tembanga,
minyak, serta hasil hutan dan laut yang melimpah. Andaikan bangsa
ini mau jujur, secara ekonomi Indonesia tidak akan mampu bertahan
sebagai satu negara tanpa tanah Papua. Namun ironisnya dibalik
karunia Tuhan yang melimpah di tanah Papua, ceritera tentang rakyat
Papua sejak awal Papua di integrasikan kedalam Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI) hingga dewasa ini, justru sangat kontra
produktif dengan kekayaan yang dimiliki. Kemiskinan akibat ketidak
adilan ekonomi, kekerasan yang ditandai dengan perang dan
pembunuhan baik secara horizontal maupun vertikal yang merenggut
ribuan jiwa dan harta benda untuk menguasai dan mengeksploitasi
17
kekayaan tanah Papua, serta pelbagai bentuk penderitaan lainnya.Itu
potret buram rakyat Papua di atas tanah yang kaya.
Menurut Paharizal & Yuwono (2016), rakyat ibarat ayam mati
di lumbung Padi PT. Freeport Indonesia yang mengexploitasi di tanah
Papua adalah tambang yang terkenal paling banyak mengandung bijih
emas di dunia. Itu artinya, kekayaan alam mineral yang dimiliki tanah
Papua sangat berlimpah.Namun, kekayaan alam yang sangat melimpah
itu tidak sebanding lurus dengan kehidupan rakyat Papua.Kondisi ini
mengibarakan ayam mati di lubung padi, kekayaan alam Papua tidak
membuat rakyat Papua hidup dengan layak.Mala sebaliknya kekayaan
alam membawa bencana bagi kehidupan rakyat di tanah Papua, masih
banyak rakyat yang hidup dalam kemiskinan, kelaparan, dan
kekurangan gizi karena kekurangan pangan.
Menurut Suryawan (2013), suasana keputusaan dalam
keterhimpitan ekonomi secara gamblang terlihat di tengah gelimang
kekayaan alam yang terus menerus dieksploitasi. Dana pembangunan
puluhan triliyun rupiah dalam skema Otonomi Khusus seakan tidak
berdampak sama sekali terhap peningkatan kualitas hidup masyarakat.
Pembangunan fisik dalam bentuk gedung-gedung memang terjadi
dengan massif. Namun demikian, kualitas haidup dasar dalam bidang
ekonomi, kesehatan, dan pendidikan masih sangat memprihatikan di
Papua.Menurut Suryawan (2014), pemberlakuan undang-undang
otonomi khususdan tumbuh suburnya pemekaran daerah-daerah di
Papua pantas diduga memperumit transformasi identitas budaya dan
politik yang sangat pelik. Identitas budaya Papua tumbuh dalam
teritorialisme daerah-daerah baru dan semakin menguatnya politik
budaya etnik di wilayahnya masing-masing. Bukan hanya itu, konflik-
konflik horizontal yang terjadi di daerah-daerah pemekaran akibat
pertarungan perebutan sumber-sumber ekonomi lain, akses kekuasaan
politik lokal dan ketegangan antara berbagai etnisitas dan agama.Yang
tidak kalah pentingnya adalah ketegangan orang asli papua dengan
migrant dari Jawa dan BBM (Buton Bugis, Makasar) yang sering
disebut sebagai pemantik maginalisasi orang asli Papua di tanahnya
sendiri. Kondisi yang terjadi adalah polarisasi identitas ke-Papua-an
18
kedalam bentuk persaingan dan konflik lokal dalam bentuk perebutan
tetesan sumber daya, akses ekonomi politik, pertikaian etnisitas dan
kepentingan willayah.Frakmentasi yang terjadi pada daerah-daerah
pemekaran itulah yang diduga menimbulkan ketegangan-ketegangan
pada komunitas etnis lokal di tanah Papua demi kepentingan politik
dan janji-janji keuntungan ekonomi.
Menurut Suryawan (2015), masyarakat lokal langsung
berhadapan dengan kekuatan ekonomi global. Berbagai perubahan
sosialpun terjadi begitu cepat. Relasi-relasi baku tipu ekonomi politik
yang “mengalahkan” masyarakat lokal menjadi cerita yang begitu biasa
diungkapkan. Kisah-kisah keterbelakangan yang bertemu dengan
simbol modernitas yang bernama industri kapitalisme internasional
bagai kisah ironis yang menyesakkan dada. Puncak-puncak
kemewahan yang ditunjukkan perusahan MNC berhadapan dengan
kondisi masyarakat lokal, yang sebenarnya mempunyai hak diatas
tanah mereka. Gedung-gedung bertingkat dengan fasilitas mewah
berdampingan dengan rumah-rumah papan sederhana masyarakat
lokal (Suryana, 2015: 46).
Menurut Wakerkwa (2015), masyarakat di kampung Waa,
memiliki ketergantungan yang dilakukan secara ekonomi sosial
terhadap limbah tailings yang mengandung bahan berbahaya beracun
(B3) untuk mendulang emas dari limbah tersebut. Hasil penelitiannya
menunjukan limbah tailings tersebut dapat dipersepsikan keuntungan
secara ekonomi oleh masyarakat di kampung Waa. Sebagian besar
masyarakat yang beraktivitas pendulangan emas di sepanjang sungai
pembungan hasil limbah tailings PT. Freeport Indonesia adalah dari
masyarakat golongan bawah, karena tekanan ekonomi juga membuat
masyarakat tidak memperdulihkan risiko berbahaya dari limbah
tailings tersebut.
Menurut Kossay (2012), Undang-undang nomor 21 Tahun 2001
tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua, sangat jelas menyatakan
bahwa perekonomian di Provinsi Papua diarahkan dan diupayakan
untuk menciptakan sebesar-besarnya kemakmuran dan kesejahteraan
seluruh rakyat Papua dengan menjunjung tinggi prinsip-prinsip
19
keadilan dan pemerataan pasal 38 ayat (1) Undang-Undang Nomor 21
Tahun 2001. Sedangkan pasal 42 ayat (1) Undang-Undang Nomor 21
Tahun 2001 ini menyatakan, pembangunan perekonomian berbasis
kerakyatan dilaksanakan dengan memberikan kesempatan yang
seluas-luasnya kepada masyarakat adat atau masyarakat asli Papua.
Undang-Undang Otonomi Khusus ini sudah memberikan arah yang
jelas, bahwa setiap usaha perekonomian di tanah Papua yang
dilakukan oleh pemeritah maupun dunia usaha dalam pengelolaan
sumber daya alam (SDA) baik di bidang pertambangan, perkebunan,
pertanian, perikanan harus memberikan manfaat yang seluas-luasnya
kepada masyarakat asli Papua untuk meningkatkan kesejahteraan dan
kemakmurannya. Pemerintah daerah provinsi maupun kabupaten/
kota tidak perlu banyak dipertimbangkan berbagai referensi kebijakan,
tetapi bertindak mengambil kebijakan pro rakyat, melandaskan pada
UU Otsus, membuka lapangan kerja yang seluas-luasnya untuk
memperkerjakan masyarakat Papua sebagai pelaku-pelaku ekonomi
produktif di dalamnya.
Menurut Bank Dunia (2007), mengemukakan bahwa, setelah
dikontrol dengan karastristik-karastristik yang lain, wilayah Indonesia
bagian timur masih meperlirhatkan tingkat kemiskinan baik jumlah
penduduk miskin maupun tingkat keparahan (dari segi pengeluaran)
yang lebih tinggi dari wilayah lain di Indonesia. Hampir seluruh
indikator sosial dan ekonomi di wilayah tersebut juga menunjukan
kerja yang buruk.Buruknya pencapain wilayah ini pada indikator
kemiskinan nonmoneter tersebut menyebabkan tingkat kemiskinan
multidimensi Provinsi Papua merupakan yang tertinggi di seluruh
Indonesia. Hasil penelitian menemukan bahwa proporsi rumah tangga
yang miskin multidimensi di provinsi ini mencapai 71,63 persen
dengan intensitas kemiskinan yang relatif besar 64,10 persen, sehingga
tingkat kemiskinan multidimensi sebesar 45,91 persen. Meskipun
proporsi penduduk miskin multidimensi di wilayah ini lebih tinggi
dari pada wilayah Jawa dan Sumatera, Provinsi Papua hanya
menyumbang 6,37 persen terhadap total rumah tagga miskin
multidimensi di Indonesia. Kemiskinan multidimensi di Papua paling
besar di jelaskan oleh deprivasi rumah tangga terhadap dimensi
20
standar hidup yang yang disusun oleh indikator listrik, sumber air
minum, sanitasi, jenis lantai, bahan bakar masak dan kepemilikan aset.
Dimensi ini memilikikontribusi sebesar 41,46 persen terhadap
kemiskinan multidimensi yang dialami rumah tangga di Papua.
top related