bab ii tatalaksana point
Post on 15-Dec-2015
51 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Embriologi
Pada manusia, Perkembangan sturktur cranial dan wajah terjadi pada minggu
ke-12 kehamilan dengan koana berkembang antara minggu ke-4 sampai ke-11.
Pada minggu ke-4 dari kehamilan hidung mulai berkembang dengan di awali
pembentukan lubang hidung. Lubang hidung melipat kedalam mesenkim untuk
membentuk kantung hidung yang di pisahkan rongga mulut oleh membran
oronasal. Pada minggu ke-8 kehamilan, membran ini pecah dan membentuk
ronnga hidung dan koana yang terletak di persimpangan dari gigi, hidung, dan
nasofaring dilanjutkan dengan pengembangan rongga hidung diikuti oleh
proliferasi bertahap sel pial neural yang berkontribusi pada pembentukan dasar
tengkorak dan kubah hidung. Pada akhir minggu ke-10 septum hidung
mengembang sekeliling palatum dan koana mengalami perubahan letak dan
terdorong ke posterior. Pada bayi normal koana akan terbentuk dan
memungkinkan udara masuk dari anterior sampai ke nasopharing.2
2.2 Anatomi Hidung
Hidung dari luar berbentuk seperti pyramid dengan bagian-bagiannya berupa
pangkal hidung (bridge), batang hidung (dorsum nasi), puncak hidung (hip), ala
nasi, kolumela dan lubang hidung (nares anterior). Bagian hidung terdiri dari
bagian luar dan bagian dalam. Hidung bagian luar dibentuk oleh kerangka tulang
dan tulang rawan yang dilapisi kulit, jaringan ikat, dan beberapa otot kecil yang
berfungsi untuk melebarkan dan menyempitkan lubang hidung. Kerangka tulang
terdiri atas ostium nasalis, prosesus frontalis ostium maksila dan prosesus nasalis
ostium frontal. Sedangkan tulang rawan terdiri atas sepasang kartilago nalasis
lateralis superior, sepasang kartilago nasalis lateralis inferior dan terakhir tepi
anterior kartilago septum. Kavum nasi berbentuk terowongan dari depan hingga
ke belakang yang dipisahkan oleh septum nasi dibagian tengah yang membagi
antara kavum nasi kanan dan kiri. Dengan pintu masuk yang dibagi atas dua
bagian yaitu nares anterior dan nares posterior yang disebut juga dengan koana.
2
3
Gambar 1. Susunan Tulang pada Hidung5
Gambar 2. Bagian-bagian hidung dalam pemotongan lateral5
Pendarahan hidung dibagi atas pendarahan bagian atas, bawah, depan dan
pada bagian septum. Pada bagian atas rongga hidung mendapat pendarahan dari
4
arteri etmoid anterior dan posterior yang merupakan cabang dari arteri oftalmika
dari arteri karotis interna.
Bagian bawah mendapat pendarahan dari cabang arteri maksilaris interna,
diantaranya ialah ujung arteri palatine mayor dan arteri sfenopalatina yang keluar
dari foramen sfenopalatina bersama nervus sfenopalatina dan memasuki rongga
hidung dibelakang ujung posterior konka media. Bagian depan hidung diperdarahi
oleh cabang-cabang dari arteri facialis.
Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang arteri
sfenopalatina, arteri etmoid anterior, arteri labialis superior dan arteri palatine
mayor yang disebut pleksus kiesselbach (little’s area). Pleksus Kiesselbach
letakanya superficial dan mudah cedera oleh trauma, sehingga sering menjadi
sumber epistaksis (perdarahan hidung), terutama pada anak.
Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari
nervus etmoidalis anterior, yang merupakan cabang dari nervus nasosiliaris yang
berasal dari nervus oftalmikus. Fungsi penghidu berasal dari nervus olfaktorius
saraf ini turun melalui lamina kribrsa dari permukaan bawah bulbus olfaktorius
dan kemudian berakhir pada sel-sel reseptor penghidu pada mukosa olfaktorius
didaerah sepertiga atas hidung.
Rongga hidung dilapisi oleh mukosa yang secara histologik dan fungsional
dibagi atas mukosa pernapasan (mukosa respiratori) dan mukosa penghidu
(mukosa olfaktorius). Mukosa pernapasan terdapat pada sebagian besar rongga
hidung dan permukaannya dilapisi oleh epitel torak berlapis semu yang
mempunyai silia (cilliated pseudostratified collumner epithelium) dan diantaranya
terdapat sel-sel goblet. Mukosa penghidu terdapat pada atap rongga hidung, konka
superior dan sepertiga atas septum. Mukosa dilapisi oelh epitel torak berlapis
semu tidak bersilia (pseudostratified collumner non cilliated epithelium).
Epitelnya dibentuk oleh tiga macam sel, yaitu sel penunjang, sel basal dan sel
reseptor penghidu. Daerah mukosa penghidu berwarna coklat kekuningan. Dalam
keadaan normal mukosa respiratori berwarna merah muda dan selalu basah karena
diliputi oleh palut lendir (mucous blanket) pada permukaannya. Dibawah epitel
terdapat tunika propia yang banyak mengandung pembuluh darah, kelenjar
mukosa dan jaringan limfoid.1
5
2.3 Definisi
Atresia koana adalah suatu kelainan kongenital yang ditandai dengan
kegagalan perkembangan rongga hidung untuk berhubungan dengan nasofaring.
Atresia tersebut dapat terjadi pada membranous maupun pada bony, dan pada
kebanyakan kasus terlihat kombinasi keduanya.3 Atresia koana sering dikaitkan
dengan kelainan CHARGE (C=Coloboma, H=Heart Disease, A= atresia
choanae, R= retarded growth and development, G= genital hipoplasia, E=ear
deformities or deafness).5
2.4 Epidemiologi
Pada 5000 sampai 8000 kelahiran hanya seorang bayi yang didapatkan
memliki kelainan kongenital seperti atresia koana.4 Menurut hasil penelitian
Kancerla 2010, dijumpai pada 0,46 kasus per 10.000 individu pada semua ras.2
Pada anak perempuan terdapat resiko dua kali dari laki-laki terjadinya atresia
koana. Tewfik 2012 melaporkan bahwa atresia koana lebih sering terjadi di sisi
sebelah kanan dan terdapat Rasio atresia koana unilateral dan bilateral 2:1. Pada
anak kembar juga meningkatkan resiko terjadinya atresia koana. Anomali
kromosom juga di temukan pada 6% kasus atresia koana.7 Pada Atresia koana bisa
terjadi pada kelainan kongenital lain hampir mencapai 50%. Sebagian besar
terjadi kelainan kongenital lain seperti coloboma, kelainan jantung kongenital,
atresia koana, retardasi tumbuh dan kembang, hipoplasia genital dan deformitas
telinga dan ketulian CHARGE.3
2.5 Etiologi
Penyebab pasti dari atresia koana masih belum diketahui, namun banyak
dugaan dari pada ahli yang berteori tentang terjadinya atresia koana. Yakni pada
masa embriologi dalam pembentukan hidung, pada dua lapisan membran yang
terdiri atas nasal dan oral epitel terjadi ruptur dan merubah bentuk koana yang
kemudian menjadi atresia koana. Penyebab lain yang menjadi dugaan antara lain
adanya keterlibatan kromosom 22q11.2 yang berada di lengan panjang kromosom
22.6 Pada penelitian lainnya disebutkan bahwa terjadi mutasi pada lengan panjang
kromosom 8q12.160 yang menyebabkan kesalahan sintesis sehingga terjadi
atresia koana.2
6
2.6 Patofisiologi
Banyak teori yang berpendapat tentang terjadinya atresia koana, namun belum ada
teori pasti tentang kelainan ini. Teori tersebut antara lain:
- Membran buccopharyngeal yang persisten
- Kegagalan membran buccopharyngeal dari hochstetter yang ruptur
- Bagian medial yang tumbuh keluar dari vertikal dan horizontal tulang palatine
- Abnormal mesodermal yang adhesi pada area koana, dan
- Misdirection dari aliran mesodermal akibat faktor local.4
Membran buccopharyngeal dari Hoschstetter yang persisten yang normalnya pada
minggu ke-5 sampai ke-6 membran tersebut pecah. Kegagalan pecahnya membran
tersebut menyebabkan atresia koana. Teori lain juga menyebutkan persisten dari
mesoderm juga menyebabkan adesi pada daerah koana. Selain itu juga terjadi
missdirection aliran dari sel mesodermal akibat faktor lokal. Namun saat ini hanya
teori misdrirection aliran mesodermal dan abnormal mesodermal adhhesi lah
yang memliki bukti terkuat pada saat embriogenesis.2
2.7 Gejala Klinis
Normalnya bayi baru lahir bernafas melalui hidung, namun pada bayi yang
menderita atresia koana terjadi distress respirasi sampai dengan obstruksi jalan
nafas. Atresia koana dibagi menjadi dua yaitu atresia koana unilateral dan
bilateral.
Atresia koana unilateral jarang sekali diketahui secara langsung kelainan pada
bayi baru lahir karena tidak menunjukkan adanya manifestasi klinis yang khas.
Biasanya pasien datang dengan keluhan hidung tersumbat dan mengeluarkan
cairan dari hidung serta kesulitan makan pada usia 18 bulan.8
Atresia koana bilateral dapat terlihat sesaat setelah bayi lahir yang
menunjukkan gejala distres pernafasan sampai siklik sianosis dan menghilang saat
menangis dikarenakan udara masuk melalu mulut pada saat menangis. Gejala lain
terlihat pada saat bayi tidur dengan mulut tertutup akan mengeluarkan bunyi
stridor dan pada saat bayi mengangis sehingga mulut terbuka suara tersebut
7
menghilang. Pasien dengan atresia koana bilateral sulit diberikan susu karena pada
saat diberikan akan tersedak dan mulai timbul tanda-tanda sianosis sehingga
menyebabkan bayi terlihat lemah dan mengalami gangguan perkembangan.4
2.8 Diagnosis
Dari anamnesis didapatkan pasien datang biasanya dengan keluhan kesulitan
bernafas serta bayi menjadi biru ketika diberikan susu dan menghilang setelah
menangis. Pada atresia koana unilateral biasanya dengan keluhan hidung
tersumbat dan keluar cairan dari hidung. Dari rhinoskopi anterior biasanya
didapatkan hasil yang normal disertai sekret.
Ada beberapa cara menegakkan diagnosis pada atresia koana, metode paling
mudah dapat dengan mengunakan Nasogastric tube (NGT) yang dimasukkan ke
dalam hidung dan dilihat apakah selang melewati oropharing. Dengan
menggunakan endoskopi dapat dilihat adanya cairan yang mukoid dan terlihat
adanya atresia koana.4
CT scan adalah prosedur radiografi pilihan dalam mengevaluasi atresia
koana. Persiapan perlu dilakukan untuk mendapatkan hasil yang baik dengan cara
membersihkan cairan yang berlebihan dari rongga hidung. CT scan bertujuan
untuk:
1. Memastikan diagnosis atresia koana baik unilateral maupun bilateral.
2. Mengevaluasi atresia koana ( lebar tulang vomer dan jarak wilayah
udara pada koana).
3. Menyingkirkan kemungkinan obstruksi karena faktor lain.
4. Menentukan tipe dari atresia baik dari bony, membranous dan
kombinasi keduanya.8
8
Gambar 2. CT scan Atresia koana Unilateral4
Gambar 3. CT scan Atresia koana bilateral.8
2.9 Diagnosis Banding
1. Ensepalokokel
2. Kista saluran nasolacrimal
3. Penyakit mukosa dengan Hipertropi konka9
2.10 Penatalaksanaan
9
Penatalaksanaan bervariasi dam tergantung dari umur, tipe dari atresia dan
keadaan umum dari pasien. Karena pada bayi harus bernapas dari hidung,
sedangkan pada atresia koana yang bilateral keadaan ini tidak dapat terjadi,
sehingga butuh penanganan segera, sebelum menjadi asfiksia berat dan kematian
segera setelah lahir.4 Pada atresia koana yang bersifat unilateral jarang terjadi
keadaan emergensi.4
Oleh karena itu dapat dilakukan tindakan:
1. Obeservasi pasien sampai berusia 1 tahun.
2. Melakukan tindakan pembedahan dengan teknik transnasal dan
transplantal.9
Pada bayi dengan atresia koana bilateral dapat dilakukan tindakan:
1. Pemasangan Mc Govern nipple yang berbentuk seperti ujung botol
dengan lubang yang cukup besar dan dapat digunakan sebagai
pemberian makanan.
2. Melakukan pembedahan dengan teknik transnasal atau transplantal.10
Pendekatan transnasal adalah dengan menggunakan teleskop lensa-pancing
dan metode ini merupakan pilihan karena biasanya sukses dilakukan pada infant
dan cocok pada membrane atau tulang atresia yang masih tipis. Sedangkan
metode transpalatal menunjukkan kesuksesan lebih besar dari pada metode
transnasal karena dapat melihat dengan jelas serta mengurangi kemungkinan
komplikasi pada intrakranial.4
Gambar 4. Pemasangan Mc Govern Nipple10
10
Gambar 5. Pembedahan dengan teknik transplantal pada atresia koana11
Gambar 6. Pembedahan dengan teknik transnasal pada atresia koana12
2.11 Komplikasi
Komplikasi yang mungkin terjadi adalah:
1. Aspirasi ketika minum susu
2. Respiratory arrest
3. Infeksi pasca pembedahan13
2.12 Prognosis
Pada umumnya prognosis baik dengan penatalaksaan cepat dan sesuai tipe
dari atresia koana.13
top related