bab ii studi pustaka
Post on 03-Feb-2016
18 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
BAB II
STUDI PUSTAKA
1.1. Pendahuluan
Perkerasan adalah struktur yang terdiri dari beberapa lapisan dengan
kekerasan dan daya dukung yang berlainan. Perkerasan yang dibuat dari campuran
aspal dengan agregat, digelar di atas suatu permukaan material granular mutu
tinggi disebut perkerasan lentur, sedangkan perkerasan yang dibuat dari slab-slab
beton ( Portland Cement Concrete ) disebut perkerasan “Rigid” ( FAA, 2009 ).
Pada struktur perkerasan bekerja muatan roda pesawat terjadi sampai
beberapa juta kali selama periode rencana. Setiap kali muatan ini lewat, terjadi
defleksi lapisan permukaan dan lapisan dibawahnya. Pengulangan beban (repetisi)
menyebabkan terjadinya retakan yang pada akhirnya mengakibatkan kerusakan
/kegagalan total. Perkerasan dibuat dengan tujuan untuk memberikan permukaan
yang halus dan aman pada segala kondisi cuaca, serta ketebalan dari setiap lapisan
harus cukup aman untuk menjamin bahwa beban pesawat yang bekerja tidak
merusak perkerasan lapisan di bawahnya ( Basuki, 1986 ).
Perkerasan lentur terdiri dari satu lapisan bahan atau lebih yang
digolongkan sebagai lapisan permukaan, lapisan pondasi, dan lapisan pondasi
bawah yang terletak di atas lapisan tanah dasar yang telah dipersiapkan. Lapisan
tanah dasar dapat berupa galian atau timbunan. Lapisan permukaan terdiri dari
bahan berbitumen yang berfungsi untuk memberikan permukaan yang halus yang
dapat memikul beban-beban yang bekerja dan berpengaruh pada lingkungan untuk
jangka waktu operasional tertentu untuk menyebarkan beban yang bekerja
kelapisan dibawahnya. Lapisan pondasi atas adalah bahan yang terdiri dari
material berbutir dengan bahan pengikat atau tanpa pengikat yang berfungsi
memikul beban yang bekerja dan menyebarkan ke lapisan-lapisan dibawahnya
( Yoder dan Witczak, 1975 ).
Fungsi perkerasan adalah untuk menyebarkan beban ke tanah dasar dan
semakin besar kemampuan tanah dasar untuk memikul beban, maka tebal lapisan
perkerasan yang dibutuhkan semakin kecil. Karena keseluruhan struktur
perkerasan didukung sepenuhnya oleh tanah dasar, maka identifikasi dan evaluasi
terhadap struktur tanah dasar adalah sangat penting bagi perencanaan tebal
perkerasan.
Pada perencanaan perkerasan pada runway, memiliki konsep dasar yang
sama dengan perencanaan perkerasan pada jalan raya, dimana perencanaan
berdasarkan beban yang bekerja dan kekuatan bahan yang digunakan untuk
mendukung beban yang bekerja. Namun, pada aplikasi sesungguhnya, tentu
terdapat perbedaan pada perencanaan perkerasan runway dan jalan raya, yaitu :
1. Jalan raya dirancang untuk kendaraan yang berbobot sekitar 9000 lbs,
sedangkan runway dirancang untuk memikul beban pesawat yang rata-rata
berbobot jauh lebih besar yaitu sekitar 100.000 lbs.
2. Jalan raya direncanakan mampu melayani perulangan beban (repetisi)
1000-2000 truk per harinya. Sedangkan ruway direncanakan untuk
melayani repetisi beban 20.000 sampai 40.000 kali selama umur rencana.
3. Tekanan ban pada kendaran yang bekerja kira-kira 80-90 psi. Sedangkan
pada runway tekanan ban yang bekerja diatasnya adalah mencapai 400
psi.
4. Perkerasan jalan raya mengalami distress yang lebih besar karena beban
bekerja lebih dekat ke tepi lapisan, berbeda pada runway dimana beban
bekerja pada bagian tengah perkerasan.
Ada beberapa metode perencanaan perkerasan bandar udara walaupun tidak
terdapat satu metode yang banyak digunakan dan diterima oleh banyak pihak,
namun terdapat beberapa metode yang dapat diajukan. Metode-metode tersebut
adalah : Metode ICAO ( LCN ), metode FAA dan metode CBR.
1.2. Fasilitas Pendukung Bandar Udara
Sebuah bandar udara adalah suatu komponen yang saling berkaitan antara
satu komponen dengan yang lainnya, sehingga analisa dari satu kegiatan tanpa
memperhatikan pengaruhnya terhadap kegiatan yang lain bukan merupakan
pemecahan yang memuaskan. Sebuah bandar udara melingkupi kegiatan yang
sangat luas, yang mempunyai kebutuhan yang berbeda-beda, bahkan kadang
berlawanan, seperi misalnya kegiatan keamanan yang membatasi sedikit mungkin
hubungan antara land side dan air side, sedangkan kegiatan pelayanan
memerlukan sebanyak mungkin pintu terbuka dari land side ke air side agar
pelayanan berjalan lancar.
Sistem bandar udara dibagi dua, yaitu :
1. Sisi darat ( land side )
2. Sisi udara ( air side )
Sistem bandar udara dari sisi darat terdiri dari sistem jalan penghubung (jalan
masuk bandara), lapangan parkir, dan bangunan terminal. Sedangkan sistem
bandar udara dari sisi udara terdiri dari taxiway, holding pad, exit taxiway,
runway, terminal angkasa, dan jalur penerbangan di angkasa ( Horonjeff dan
McKelvey, 1993 ). Dalam sistem lapangan terbang, sifat-sifat kendaraan darat
dan kendaraan udara mempunyai pengaruh yang kuat terhadap perencanaan
bandar udara. Penumpang dan pengiriman barang berkepentingan terhadap waktu
yang dijalani mulai dari keluar rumah sampai ke tempat tujuan, tetapi tidak
berpengaruh terhadap lama waktu perjalanan darat ataupun udara. Dengan alasan
lain, jalan masuk menuju lapangan terbang perlu mendapatkan perhatian dalam
pembuatan rancangan bandar udara. Berikut adalah gambar fasilitas pendukung
sistem penerbangan pada bandar udara :
Gambar 2.1 Diagram sistem penerbangan
Beberapa istilah kebandar-udaraan yang perlu diketahui adalah sebagai berikut
( Basuki, 1986; Sandhyavitri dan Taufik, 2005 ) :
• Airport, yaitu area daratan atau air yang secara regular dipergunakan untuk
kegiatan take-off and landing pesawat udara. Diperlengkapi dengan
fasilitas untuk pendaratan, parkir pesawat, perbaikan pesawat, bongkar
muat penumpang dan barang, dilengkapi dengan fasiltas keamanan dan
terminal building untuk mengakomodasi keperluan penumpang dan
barang dan sebagai tempat perpindahan antar moda transportasi.
• Airfield, yaitu area daratan atau air yang dapat dipergunakan untuk
kegiatan take-off and landing pesawat udara, fasilitas untuk pendaratan,
parkir pesawat, perbaikan pesawat dan terminal building untuk
mengakomodasi keperluan penumpang pesawat.
• Aerodrom, yaitu area tertentu baik di darat maupun di air (meliputi
bangunan sarana dan prasarana, instalasi infrastruktur, dan peralatan
penunjang) yang dipergunakan baik sebagian maupun keseluruhannya
untuk kedatangan, keberangkatan penumpang dan barang, pergerakan
pesawat terbang. Namun aerodrom belum tentu dipergunakan untuk
penerbangan yang terjadwal.
• Aerodrom reference point, yaitu letak geografi suatu aerodrom.
• Landing area, yaitu bagian dari lapangan terbang yang dipergunakan untuk
take off dan landing, tidak termasuk terminal area.
• Landing strip, yaitu bagian yang berbentuk panjang dengan lebar tertentu
yang terdiri atas shoulders dan runway untuk tempat tinggal landas dan
mendarat pesawat terbang.
• Runway (r/w), yaitu bagian memanjang dari sisi darat bandara yang
disiapkan untuk lepas landas dan tempat mendarat pesawat terbang.
• Taxiway (t/w), yaitu bagian sisi darat dari bandara yang dipergunakan
pesawat untuk berpindah (taxi) dari runway ke apron atau sebaliknya.
• Apron, yaitu bagian bandara yang dipergunakan oleh pesawat terbang
untuk parkir, menunggu, mengisi bahan bakar, mengangkut dan
membongkar muat barang dan penumpang. Perkerasannya dibangun
berdampingan dengan terminal building.
• Holding apron, yaitu bagian dari bandara yang berada didekat ujung
landasan yang dipergunakan oleh pilot untuk pengecekan terakhir dari
semua instrumen dan mesin pesawat sebelum take off. Dipergunakan juga
untuk tempat menunggu sebelum take off.
• Holding bay, yaitu area diperuntukkan bagi pesawat untuk melewati
pesawat lainnya atau berhenti.
• Terminal Building, yaitu bagian dari bandara yang difungsikan untuk
memenuhi berbagai keperluan penumpang dan barang, mulai dari tempat
pelaporan tiket, imigrasi, penjualan ticket, ruang tunggu, cafetaria,
penjualan souvenir, informasi, komunikasi, dan sebagainya.
• Turning area, yaitu bagian dari area di ujung landasan pacu yang
dipergunakan oleh pesawat untuk berputar sebelum lepas landas.
• Over run (o/r), yaitu bagian dari ujung landasan yang dipergunakan untuk
mengakomodasi keperluan pesawat gagal lepas landas. Over run biasanya
terbagi 2 (dua) : (i) Stop way : bagian over run yang lebarnya sama dengan
runway dengan diberi perkerasan tertentu, dan (ii) Clear way: bagian over
run yang diperlebar dari stop way, dan biasanya ditanami rumput.
• Fillet, yaitu bagian tambahan dari perkerasan yang disediakan pada
persimpangan runmway atau taxiway untuk menfasilitasi beloknya
pesawat terbang agar tidak tergelincir keluar jalur perkerasan yang ada.
• Shoulders, yaitu bagian tepi perkerasan baik sisi kiri kanan maupun muka
dan belakang runway, taxiway dan apron.
1.3. Konfigurasi Bandar Udara
Konfigurasi bandar udara adalah jumlah dan arah orientasi dari landasan serta
penempatan bangunan terminal termasuk lapangan parkirnya yang relatif terhadap
landasan pacu.
Jumlah landasan bergantung pada volume lalu-lintas dan orientasi
landasan, tergantung pada arah angin dominan yang bertiup, tetapi kadang juga
bergantung pada luas tanah yang tersedia bagi pengembangan. Karena orientasi
utama dalam bandar udara adalah landasan pacu (runway), maka penempatan
landasan hubung (Taxiway) pun harus benar-benar tepat sehingga lokasinya
memberi kemudahan dalam melayani penupang. Orientasi yang paling penting
dalam perencanaan bandar udara adalah: Landasan pacu (Runway, landasan
hubung (Taxiway) dan tempat parkir ( Apron ).
1.3.1. Landas Pacu (Runway)
Runway adalah jalur perkerasan yang dipergunakan oleh pesawat terbang
untuk mendarat (landing) dan melakukan lepas landas (take off). Menurut
Horonjeff (1994), sistem runway terdiri dari terdiri dari perkerasan struktur,
bahu landasan (shoulder), bantal hembusan (blast pad), dan daerah aman
runway (runway end safety area). Pada dasarnya landasan pacu diatur
sedemikian rupa untuk :
a) Memenuhi persyaratan pemisahan lalu lintas udara.
b) Meminimalisasi gangguan akibat operasional suatu pesawat dengan
pesawat lainnya, serta akibat penundaan pendaratan.
c) Memberikan jarak landas hubung yang sependek mungkin dari daerah
terminal menuju landasan pacu.
d) Memberikan jumlah landasan hubung yang cukup sehingga pesawat
yang mendarat dapat meninggalkan landasan pacu yang secepat
mungkin dan mengikuti rute yang paling pendek ke daerah terminal.
Konfigurasi runway ada bermacam-macam, dan konfigurasi itu biasanya
merupakan kombinasi dari beberapa macam konfigurasi dasar (basic
configuration).
Konfigurasi dasar itu adalah :
a) Landasan Pacu Tunggal
b) Landasan Pacu Paralel
c) Landasan Pacu Dua Jalur
d) Landasan Pacu yang Berpotongan
e) Landasan Pacu V-terbuka
1.3.2. Landasan Hubung
Fungsi utama dari landasan hubung (taxiway) adalah untuk memberikan
jalan masuk dari landasan pacu ke daerah terminal dan hanggar pemeliharaan
atau sebaliknya. Landasan hubung diatur sedemikian rupa sehingga pesawat
yang baru mendarat tidak mengganggu gerakan pesawat yang sedang bergerak
perlahan untuk lepas landas. Pada bandar udara yang sibuk dimana pesawat
yang akan menuju landasan pacu diduga akan bergerak serentak dalam dua
arah, harus disediakan landasan hubung yang sejajar satu sama lain. Pada
bandar udara yang sibuk, landasan hubung harus terletak di berbagai tempat di
sepanjang landasan pacu, sehingga pesawat yang baru mendarat dapat
meninggalkan landasan pacu secepat mungkin sehingga landasan pacu dapat
digunakan oleh pesawat yang lain.
1.3.3. Apron Tunggu (Holding Apron)
Apron tunggu yaitu bagian dari bandar udara yang berada didekat ujung
landasan yang dipergunakan oleh pilot untuk pengecekan terakhir dari semua
instrumen dan mesin pesawat sebelum take off. Dipergunakan juga untuk
tempat menunggu sebelum take off.
1.4. Karakteristik Pesawat Terbang
Sebelum kita merancang sebuah bandar udara lengkap dengan fasilitasnya,
dibutuhkan pengetahuan tentang spesisikasi pesawat terbang secara umum untuk
merencanakan prasarananya. Pesawat yang digunakan untuk operasional
penerbangan mempunyai kapasitas bervariasi mulai dari 10 hingga 1000
penumpang. Pesawat terbang ” General Aviation” dikategorikan sebagai pesawat-
pesawat terbang berukuran kecil jika memiliki daya angkut berkisar 50 orang.
Beberapa karakteristik dari penerbangan umum tipikal maupun pesawat
terbang komuter (commuter) jarak pendek, termasuk yang digunakan pada
kepentingan perusahaan. Untuk menyadari bahwa karakter-karakter tersebut,
seperti berat kosong, kapasitas penumpang, dan panjang landasan pacu tidak dapat
dibuat secara tepat dalam pembuatan tabel tersebut karena terdapat banyak faktor
yang dapat mengubah nilai-nilai didalamnya. Ukuran roda pendaratan utama dan
tekanan udara pada ban tipikal untuk beberapa pesawat terbang juga harus
diperhitungkan una perencanaan lanjut. Karakter yang dijelaskan di atas adalah
perlu untuk perencanaan bandar udara. Berat pesawat terbang memiliki peran
penting untuk menentukan tebal perkerasan landasan pacu, landas hubung,
taxiway, dan perkerasan appron. Bentangan sayap dan dan panjang badan pesawat
mempengaruhi ukuran appron, yang akan mempengaruhi susunan gedung-gedung
terminal. Ukuran pesawat juga menentukan lebar landasan pacu, landas hubung
dan jarak antar keduanya, serta mempengaruhi jari-jari putar yang dibutuhkan saat
pesawat akan parkir. Kapasitas penumpang mempunyai pengaruh penting dalam
menentukan pengadaan fasilitas-fasilitas yang ada di dalam terminal. Panjang
landasan pacu mempengaruhi sebagian besar daerah yang dibutuhkan suatu
bandar udara.
Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi perencanaan geometrik lapangan
terbang adalah :
a) Karakteristik dan ukuran pesawat yang direncanakan akan beroperasi di
bandar udara
b) Perkiraan volume penumpang
c) Kondisi meteorologi (rata-rata temperatur udara maksimum dan rata-rata
kecepatan angin)
d) Elevasi permukaan bandar udara
e) Kondisi lingkungan setempat, misalnya ketinggian gedung-gedung
eksisting yang ada disekitar bandar udara.
Dilihat dari faktor-faktor diatas, maka faktor tersebut hampir sama dengan
parameter dalam menentukan suatu panjang landasan pacu (runway), karena itu
setiap bandar udara harus memiliki data-data tersebut diatas. Seperti halnya dalam
karakteristik kemampuan pesawat yang berpengaruh langsung terhadap penentuan
panjang landasan pesawat dan temperatur yang juga mempengaruhi panjang
landasan, bila suatu temperatut tinggi, maka diperlukan landasan yang lebih
panjang.
Kondisi lingkungan lapangan terbang yang berpengaruh terhadap panjang
landasan pacu (runway) adalah temperatur, angin permukaan, kemiringan
landasan pacu, ketinggian lapangan terbang dari permukaan laut dan kondisi
permukaan landasan. Seberapa jauh hal-hal diatas mempengaruhi panjang
landasan pacu, hanya merupakan pendekatan, namun demikian analisa terhadap
hal-hal diatas akan menguntungkan terhadap perhitungan landasan pacu.
Selanjutnya untuk semua perhitungan panjang landasan pacu dipakai standar
yang disebut ARFL (Aeroplane Reference Field Length), yaitu landasan pacu
minimum yang dibutuhkan untuk lepas landas, pada kondisi berat landas
maksimum (maximum take off weight), elevasi muka laut, kondisi atmosfer
normal, keadaan tanpa ada angin yang bertiup landasan pacu tanpa kemiringan
( kemiringan = 0 ). Perbedaan dalam menentukan kebutuhan panjang landasan
pacu (runway), disebabkan oleh faktor-faktor lokal, yang mempengaruhi
kemampuan pesawat. Panjang landasan pacu yang dibutuhkan oleh pesawat sesuai
dengan kemampuannya menurut perhitungan pabrik yang disebutkan ARFL.
Maka bila ada suatu landasan yang dipertanyakan terhadap kemampuan pesawat
yang akan mendarat di landasan itu, maka harus dikonfirmasikan kepada ARFL.
1.5. Geometrik Landasan Pacu
International Civil Aviation Organization (ICAO), dan Federal Aviation
Administration (FAA) telah memberikan ketentuan dan kriteria-kriteria dalam
membuat perancangan bandar udara yang meliputi fasilitas-fasilitas yang tersedia,
lebar, kemiringan (gradien), jarak pisah landasan pacu, landsan hubung, dan hal-
hal lainnya yang berhubungan dengan daerah pendaratan yang dipengaruhi oleh
variasi prestasi pesawat, cara penerbang, dan kondisi cuaca. Ketentuan yang
diberikan oleh FAA hampir sama dengan ketentuan yang diberikan oleh ICAO,
yang memberikan keseragaman fasilitas-fasilitas bandar udara yang ada di
Amerika Serikat, dan memberikan pedoman bagi para perencana bandar udara dan
operator pesawat terbang mengenai fasilitas-fasilitas yang harus disediakan pada
masa yag akan datang.
Klasifikasi pelabuhan udara oleh ICAO untuk mengadakan penyeragaman itu
ditunjukkan dengan kode A, B, C, D, dan E. Dasar dari pembagian kelas-kelas ini
adalah didasarkan pada pengelompokan panjang runway (landasan pacu) bandara
tersebut saja, tidak berdasarkan pada fungsi dari bandara tersebut.
Tabel 2.1 Klasifikasi bandar udara oleh ICAO
Dimensi pesawat adalah dasar utama dalam perencanaan geometrik bandar
udara. Untuk dimensi yang berhubungan dengan perencanaan runway, pesawat
dikelompokkan berdasarkan dimensinya masing-masing menjadi 4 kelas. Kelas-
kelas ini berdasarkan pada dimensi wings-pan ( lebar sayap), under carriage width
(lebar bagian bawah), wheel-treat atau wheel-base (jarak antara kepala dengan
Tanda Kode Panjang Runway(ft)
Panjang Runway(m)
A >7.000 >2.133
B 5.000-7.000 1.524-2.133
C 3.000-5.000 914-1.524
D 2.500-3.000 762-914
E 2.000-2.500 610-762
roda dan roda dengan badan). Masing-masing kelas itu dapat dilihat pada tabel 2.2
berikut :
Tabel 2.2 Tabel kelas pesawat yang berhubungan dengan perencanaan geometrik
Elemen-elemen landasan pacu meliputi :
• Perkerasan struktur (structural pavement), berfungsi untuk mendukung
beban yang bekerja pada runway yaitu beban pesawat sehingga mampu
melayani lalu-lintas pesawat.
• Bahu landasan (shoulder), yang terletak berdekatan dengan tepi
perkerasan yang berfungsi untuk menahan erosi akibat hembusan mesin jet
dan menampung peralatan untuk pemeliharaan saat kondisi darurat.
• Bantalan hembusan (blast pad), adalah suatu area yang dirancang khusus
untuk mencegah erosi permukaan pada ujung-ujung landasan pacu akibat
hembusan mesin jet yang terus-menerus atau berulang-ulang. Biasanya
area ini ditanami dengan rumput. ICAO menetapkan panjang bantal
hembusan 100 kaki, sedangkan FAA menetapkan panjang bantal
hembusan harus 100 kaki untuk penggunaan pesawat kelas I, 150 kaki
untuk penggunaan pesawat kelas II, 200 kaki untuk penggunaan pesawat
kelas III dan IV dan , dan 400 kaki untuk kelompok rancangan V dan VI.
• Daerah aman untuk landasan pacu (runway safety area) adalah daerah
yang bersih tanpa benda-benda yang mengganggu, dimana terdapat saluran
drainase, memiliki permukaan yang rata, dan mencakup bagian
perkerasan, bahu landasan, bantalan hembusan, dan daerah perhentian,
apabila diperlukan. Daerah ini selain harus mampu untuk mendukung
peralatan pemeliharaan saat keadaan darurat juga harus mampu menjadi
Group Jenis-Jenis Pesawat
I B 727-100, B 737-100, B 737-200, DC 9.30, DC. 9-40
II BAC 111 (kebanyakan pesawat-pesawat bermesin 2dan 3)
III DC 8S, B 707, B 720, B 727-200, DC 10, L 10H
IV Jenis pesawat yang lebih besar dari group III
tempat aman bagi pesawat seandainya pesawat keluar dari jalur landasan
pacu. ICAO menetapkan bahwa daerah aman landsan pacu harus lurus
sepanjang 275 kaki dari setiap ujung landasan pacu untuk runway yang
menggunakan pesawat rencana kelas III dan IV, dan untuk seluruh landsan
pacu dengan operasi0operasi instrumentasi. FAA menetapkan bahwa
daerah aman landsan pacu harus memiliki panjang 240 kaki dari ujung
landasan pacu untuk pesawat kecil dan 1000 kaki untuk seluruh rancangan
kelas pesawat rencana.
• Perluasan area aman (safety area extended), dibuat apabila dianggap
perlu, yang bertujuan untuk mengantisipasi kemungkinan-kemungkinan
terjadinya kecelakaan yang disebabkan karena pesawat mengalami
undershoot ataupun overuns. Panjang area ini normalnya adalah 800 kaki,
tetapi itu bukan suatu ukuran baku karena bergantung pada kebutuhan
lokal dan luas area yang tersedia.
Menurut ICAO, ada 5 faktor koreksi yang mempengaruhi perencanaan panjang
runway, yaitu :
1. Faktor koreksi ketinggian dari muka air laut ( Altitude of the Airport),
kalau letak pelabuhan udara semakin tinggi dari muka air laut, maka udara
semakin tipis, temperatur semakin kecil, sehingga panjang landasan pacu
harus semakin panjang.
2. Faktor koreksi temperatur, keadaan temperatur di bandar udara pada tiap
tempat tidaklah sama. Makin tinggi temperatur di suatu bandar udara,
maka semakin panjang landasan pacu yang dibutuhkan. Hal ini disebabkan
karena semakin tinggi temperatur udara maka semakin kecil density nya,
yang mengakibatkan daya desak pesawat berkurang. Sehingga dituntut
panjang runway yang lebih panjang.
3. Faktor koreksi gradient (kemiringan memanjang), dimana tanjakan pada
landasan akan menyebabkan kebutuhan akan landasan pacu yang lebih
panjang dan pada landasam pacu yang datar. Begitu juga sebaliknya,
apabila landasan menurun maka panjang landasan pacu dapat lebih
pendek. Sebagai standardisasi untuk runway, tiap 1% kenaikan gradien
landasan akan membutuhkan penambahan panjang landasan pacu
sebanyak 7% sampai dengan 10%.
4. Faktor koreksi angin (Surface wind), dimana apabila kondisi arah angin
sejajar dengan arah gerak pesawat maka kebutuhan akan panjang landasan
akan semakin besar, sebaliknya apabila arah angin berlawanan dengan
arah gerak pesawat maka kebutuhan akan panjang landasan pacu akan
semakin kecil.
5. Faktor koreksi kondisi permukaan landasan, dimana apabila pada
permukaan landasan pacu terdapat genangan air, maka pada saat pesawat
akan mengudara akan mengalami hambatan kecepatan, sehingga
dibutuhkan landasan pacu yang lebih panjang.
1.6. Struktur Perkerasan Landas Pacu
Perkerasan didefenisikan sebagai struktur yang terdiri dari satu atau lebih
lapisan perkerasan yang dibuat dari bahan terpilih. Perkerasan dapat berupa
aggregat bermutu tinggi yang diikat dengan aspal yang disebut perkerasan lentur,
atau dapat juga plat beton yang disebut perkerasan kaku.
Perkerasan dimaksudkan untuk memberikan permukaan yang halus dan aman
pada segala kondisi cuaca, serta tebal dari setap lapisan harus cukup aman untuk
menjamin bahwa beban pesawat yang bekerja tidak merusak lapisan dibawahnya.
Perkerasan lentur dapat terdiri dari satu lapisan atau lebih yang digolongkan
sebagai permukaan (surface course), lapisan pondasi atas (base course), dan
lapisan pondasi bawah (subbase course) yang terletak di antara pondasi atas dan
lapisan tanah dasar (subgrade) yang telah dipersiapkan.
Lapisan permukaan terdiri dari campuran bahan berbitumen (biasanya aspal)
dan agregat, yang tebalnya bervariasi tergantung dari kebutuhan. Fungsi utamanya
adalah untuk memberikan permukaan yang rata agar lalu-lintas menjadi aman dan
nyaman dan juga untuk memikul beban yang bekerja diatasnya dan
meneruskannya kelapisan yang ada dibawahnya. Lapisan pondasi atas dapat
terdiri dari material berbutir kasar dengan bahan pengikat (misalnya dengan aspal
atau semen) atau tanpa bahan pengikat tetapi menggunakan bahan penguat
(misalnya kapur). Lapisan pondasi harus dapat memikul beban-beban yang
bekerja dan meneruskan dan menyebarkannya ke lapisan yang ada dibawahnya.
Lapisan pondasi bawah dapat terdiri dari batu alam yang dipecahkan terlebih
dahulu atau yang alami. Seringkali digunakan bahan sirtu (batu-pasir) yang
diproses terlebih dahulu atau bahan yang dipilih dari hasil galian di tempat
pekerjaan. Tetapi perlu diketahui bahwa tidak setiap perkerasan lentur
memerlukan lapisan pondasi bawah. Sebaliknya perkerasan yang tebal dapat
terdiri dari beberapa lapisan pondasi bawah.
1.6.1. Struktur Perkerasan Lentur (Flexible Pavement)
Menurut Basuki, ( 1986 ) dalam buku ”Merancang Merencanakan
Lapangan Terbang”, perkerasan flexible adalah suatu perkerasan yang
mempunyai sifat elastis, maksudnya adalah perkerasan akan melendut saat
diberi pembebanan. Adapun struktur lapisan perkerasan lentur sebagai berikut
:
1. Tanah dasar (Sub Grade)
Tanah dasar (sub grade) pada perencanaan tebal perkerasan akan
menentukan kualitas konstruksi perkerasan sehingga sifat–sifat tanah
dasar menentukan kekuatan dan keawetan konstruksi landasan pacu.
Banyak metode yang dipergunakan untuk menentukan daya dukung
tanah dasar, dari cara yang sederhana sampai kepada cara yang rumit
seperti CBR (California Bearing Ratio), MR (Resilient Modulus), dan
K (Modulus Reaksi Tanah Dasar). Di Indonesia daya dukung tanah
dasar untuk kebutuhan perencanaaan tebal lapisan perkerasan
ditentukan dengan menggunakan pemeriksaan CBR.
Penentuan daya dukung tanah dasar berdasarkan evaluasi hasil
pemeriksaan laboratorium tidak dapat mencakup secara detail (tempat
demi tempat), sifat – sifat daya dukung tanah dasar sepanjang suatu
bagian jalan. Koreksi–koreksi perlu dilakukan baik dalam tahap
perencanaan detail maupun tahap pelaksanaan, disesuaikan dengan
kondisi tempat. Koreksi–koreksi semacam ini akan di berikan pada
gambar rencana atau dalam spesifikasi pelaksanaan.
Umumnya persoalan yang menyangkut tanah dasar adalah sebagai berikut :
a. Perubahan bentuk tetap (deformasi permanen) dari macam tanah tertentu
akibat beban lalu lintas.
b. Sifat mengembang dan menyusut dari tanah tertentu akibat perubahan kadar
air.
c. Daya dukung tanah yang tidak merata dan sukar ditentukan secara pasti
pada daerah dengan macam tanah yang sangat berbeda sifat dan
kedudukannya, atau akibat pelaksanaan.
d. Lendutan dan lendutan selama dan sesudah pembebanan lalu lintas dari
macam tanah tertentu.
e. Tambahan pemadatan akibat pembebanan lalu lintas dan penurunan yang
diakibatkanya, yaitu pada tanah berbutir kasar ( Granular Soil ) yang tidak
dipadatkan secara baik pada saat pelaksanaan.
2. Lapisan Pondasi Bawah (Sub Base Course)
Lapisan pondasi bawah (Sub Base Course) adalah bagian dari
konstruksi perkerasan landasan pacu yang terletak di antara tanah
dasar ( Sub Grade ) dan lapisan pondasi atas ( Base Course ).
Menurut Horonjeff dan McKelvey, ( 1993 ) fungsi lapisan pondasi
bawah adalah sebagai berikut :
a. Bagian dari konstruksi perkerasan yang telah mendukung dan
menyebarkan beban roda ke tanah dasar.
b. Mencapai efisiensi penggunaan material yang murah agar
lapisan – lapisan selebihnya dapat dikurangi tebalnya
(penghematan biaya konstruksi).
c. Untuk mencegah tanah dasar masuk kedalam lapisan pondasi
atas.
3. Lapisan Pondasi Atas ( Base Coarse )
Lapisan pondasi atas ( Base Coarse ) adalah bagian dari
perkerasan landasan pacu yang terletak diantara lapisan pondasi
bawah dan lapisan permukaan. Fungsi lapisan pondasi atas adalah
sebagai berikut :
a. Bagian perkerasan yang menahan gaya lintang dari beban
roda dan menyebarkan beban lapisan dibawahnya.
b. Lapisan peresapan untuk lapisan pondasi bawah.
c. Bantalan terhadap lapisan pondasi bawah.
4. Lapisan Permukaan ( Surface Course )
Lapisan permukaan (Surface Course) adalah lapisan yang terletak
paling atas. Lapisan ini berfungsi sebagai berikut :
a. Lapisan perkerasan penahan beban roda, lapisan yang
mempunyai stabilitas yang tinggi untuk menahan beban roda
selama masa pelayanan.
b. Lapisan kedap air, sehingga air hujan yang jatuh diatasnya
tidak meresap ke lapisan dibawahnya.
c. Lapisan aus ( wearing Course ), lapisan yang langsung
menderita gesekan akibat rem kendaraan sehingga mudah
nenjadi aus.
d. Lapisan yang menyebarkan beban kelapisan bawah, sehingga
lapisan bawah yang memikul daya dukung lebih kecil akan
menerima beban yang kecil juga.
Penggunaan lapisan aspal diperlukan agar lapisan dapat bersifat kedap air,
di samping itu bahan aspal sendiri memberikan tegangan tarik, yang berarti
mempertinggi daya dukung lapisan terhadap beban roda lalu lintas. Pemilihan
bahan untuk lapisan permukaan perlu dipertimbangkan kegunaanya, umur rencana
serta pentahapan konstruksi agar tercapai manfaat yang sebesar – besarnya dari
biaya yang dikeluarkan.
1.6.2. Struktur Perkerasan Kaku (Rigid Pavement)
Perkerasan kaku adalah suatu perkerasan yang mempunyai sifat dimana
saat pembebanan berlangsung perkerasan tidak mengalami perubahan bentuk,
artinya perkerasan tetap seperti kondisi semula sebelum pembebanan
berlangsung. Sehingga dengan sifat ini, maka dapat dilihat apakah lapisan
permukaan yang terdiri dari plat beton tersebut akan pecah atau patah.
Perkerasan kaku ini biasanya terdiri dua lapisan yaitu :
a. Lapisan permukaan (surface course) yang dibuat dari plat beton
b. Lapisan pondasi (base course)
Pada perkerasan kaku biasanya dipilih untuk : Ujung landasan, pertemuan
antara landasan pacu dan taxiway, apron dan daerah-daerah lain yang dipakai
untuk parkir pesawat atau daerah-daerah yang mendapat pengaruh panas blast jet
dan limpahan minyak ( Basuki, 1986 ).
1.7. Sistem Drainase Bandar Udara
Sistem drainase adalah aspek yang sangat penting dalam perencanaan bandar
udara. Drainase yang baik akan menjamin dan menjaga umur perkerasan.
Drainase yang kurang baik akan menimbulkan genangan air pada permukaan yang
dapat membahayakan pesawat yang akan melakukan pendaratan dan lepas
landas.Fungsi dari sistem drainase bandar udara adalah sebagai berikut :
a. Mengalirkan dan membuang air permukaan dan bawah tanah yang berasal
dari tanah di sekitar bandar udara.
b. Membuang air permukaan yang berasal dari permukaan bandar udara.
1.8. Metode-metode Perencanaan Perkerasan
Dalam merencanakan perkerasan suatu landasan pacu, terdapat berbagai
metode-metode yang digunakan untuk mendesain perkerasannya. Pola
penyelesaiannya pun berbeda-beda pula, namun semuanya sama-sama bertujuan
untuk menghasilkan desain perkerasan yang aman dan terjamin. Beberapa
pertimbangan dalam desain perkerasan landasan pacu meliputi :
a. Prosedur pengujian bahan untuk subgrade dan komponen-komponen
lainnya harus akurat dan teliti.
b. Metode yang dipakai harus sudah dapat diterima umum dan sudah
terbukti telah menghasilkan desain perkerasan yang memuaskan.
c. Dapat dipakai untuk mengatasi persoalan-persoalan perkerasan landasan
pacu dalam waktu yang relatif singkat.
Adapun beberapa metode yang digunakan untuk merencanakan suatu perkerasan
landasan pacu terurai di bawah ini.
1.8.1. Metode California Division of Highway (CBR )
Pada sejarah singkatnya, metode CBR pertama kali digunakan oleh
California Division of Highway yaitu badan pengembangan jalan milik
pemerintah negara bagian California di Amerika serikat. Metode ini adalah
berdasarkan atas investigasi kekuatan daya dukung tanah dasar. Investigasi ini
meliputi 3 jenis utama kegagalan yang terjadi pada perkerasan, yaitu : (1)
pergeseran lateral material pada lapisan pondasi akibat adanya penyerapan air
oleh lapisan perkerasan, (2) penurunan yang terjadi pada lapisan di bawah
perkerasan, dan (3) lendutan yang berlebihan pada perkerasan akibat adanya
beban yang berkerja.
Metode ini bertujuan untuk mendesain suatu perkerasan yang kokoh yang
dibuat dari bahan bahan material yang dipersiapkan. Sehingga untuk memprediksi
karakter atau sifat material yang akan digunakan untuk perkerasan maka pada
tahun 1929 diperkenalkan suatu test uji bahan yang disebut test uji CBR
(California Bearing Ratio). Uji CBR dilakukan pada banyak jenis material yang
dianggap representatif terhadap material yang akan digunakan untuk bahan
pondasi.
CBR adalah persentase perbandingan antara kuat penetrasi suatu material
uji terhadap kuat penetrasi bahan standar berupa batu pecah yang memiliki CBR
100 persen. Kemudian karena metode ini memiliki prosedur yang sederhana,
korps insinyur dari Angkatan Darat Amerika Serikat mengadopsi metode ini untuk
mendesain perkerasan lapangan udara dan jalan raya untuk kebutuhan yang
mendadak pada saat Perang Dunia II. Penggunaan metode ini memungkinkan
perencanaan untuk menentukan ketebalan lapisan sub base, base, dan surface yang
diperlukan untuk memakai kurva-kurva desain, dengan prosedur pengujian test
terhadap tanah yang sederhana.
1.8.1.1. Tanah Dasar
Sampel tanah dasar untuk pengujian CBR diuji dalam laboratorium untuk
menentukan nilai CBR. Pengujian dilakukan dengan melakukan pemadatan
dengan kadar air tertentu. Dalam penentuan nilai CBR, apabila pada tiap area
yang dari sampel tanah didapat nilai CBR yang berbeda, maka perencanaan tebal
perkerasan ditentukan berbeda-beda sesuai dengan nilai CBR dari tanah pada area
tersebut.
1.8.1.2. Menentukan Equivalent Single Wheel Load ( ESWL )
ESWL adalah nilai yang menunjukkan beban roda tunggal yang akan
menghasilkan respon dari struktur perkerasan pada satu titik tertentu di dalam
struktur perkerasan,dimana besarnya sama dengan beban yang dipikul pada titik
roda pendaratan. Dalam penentuan nilai ESWL biasanya prosedur
perhitungannya berdasarkan tegangan vertikal, lendutan dan regangan.
1.8.1.3. Menentukan Pesawat Rencana
Pesawat rencana dapat ditentukan dengan melihat jenis pesawat yang
beroperasi dan besar MSTOW (Maksimum Structural Take Off Weight) dan data
jumlah keberangkatan tiap jenis pesawat yang berangkat tersebut. Lalu dipilih
jenis pesawat yang menghasilkan tebal perkerasan yang paling besar. Pemilihan
pesawat rencana ini pada dasarnya bukanlah berasumsi harus berbobot paling
besar, tetapi jumlah keberangkatan yang paling banyak melalui landasan pacu
yang direncanakan.
Pesawat rencana kemudian ditetapkan sebagai pesawat yang
membutuhkan tebal perkerasan yang paling besar dan tidak perlu pesawat yang
paling besar yang beroperasi di dalam bandara.
1.8.1.4. Menentukan Lalu-Lintas Pesawat
Pada metode CBR, jumlah total repetisi beban pesawat rencana yang telah
dihitung dalam bentuk ESWL selama umur rencana digunakan untuk menghitung
tebal perkerasan total. Total repetisi pesawat rencana tersebut mencakup data
keberangkatan dan kedatangan pesawat rencana. Dari data yang diperoleh maka
dapat ditentukan jumlah lintasan pesawat tahunan yang direncanakan dengan cara
mengalikan jumlah penerbangan setiap minggunya dalam satu tahun.
1.8.1.5. Menentukan Tebal Perkerasan
Metode ini dikembangkan berdasarkan teori yang telah diteliti dan
pendekatan empiris. Untuk mendapatkan tebal perkerasan total, metode ini
memberikan persamaan sebagai berikut :
dimana : t = Tebal perkerasan yang dibutuhkan (inci)
P = Beban pesawat yang dipikul roda ( pound)
p = Tekanan udara pada roda (psi)
Penelaahan yang baru dilakukan baru-baru ini terhadap perkerasan yang
menerima beban mewakili beban poros roda pendaratan utama pesawat
beratdengan susunan banyak roda menunjukkan bahwa tebal perkerasan yang
terdapat pada pengulangan-pengulangan beban yang lebih besar adalah kurang
memadai. Oleh karenanya persamaan di atas diperbaharui lagi menjadi :
dimana : t = Ketebalan perkerasan yang dibutuhkan (inci)
P = Beban yang dipikul oleh roda setelah dihitung ESWL.
C = Faktor repetisi beban
P = Tekanan Udara pada Roda ( psi )
1.8.1.6. Syarat Tebal Minimum Untuk Lapisan Pondasi dan
Permukaan
- Pembebanan berat
Tabel 2.3 Syarat Tebal Minimum Lapisan Pondasi dan Permukaan
- Pembebanan medium
Tabel 2.4 Syarat Tebal Minimum Lapisan Pondasi dan Permukaan
- Pembebanan ringan
Tabel 2.5 Syarat tebal Minimum Lapisan Pondasi dan Permukaan
1.8.2. Metode FAA
Metode perencanaan FAA yang dibahas pada bab ini adalah metode
perencanaan yang mengacu pada standar perencanaan perkerasan FAA Advisory
Traffic
Area
Tebal Minimum (in)Base ( CBR 100) Base (CBR 80)
Permukaan Base Total Permukaan Base Total
A
B
C
D
5
4
4
3
10
9
9
6
15
13
13
9
6
5
5
3
9
8
8
6
15
13
13
9
Traffic
Area
Tebal Minimum (in)
Base ( CBR 100) Base (CBR 80)
Permukaan Base Total Permukaan Base Total
A
B
C
4
3
3
6
6
6
10
9
9
5
4
4
6
6
6
11
10
10
TrafficArea
Tebal Minimum (in)
Base ( CBR 100) Base (CBR 80)Permukaan Base Total Permukaan Base Total
B
C
3
3
6
6
9
9
4
3
6
6
10
9
Circular (AC) 150/5320-6E (FAA, 2009). Metode ini adalah pengembangan
perencanaan perkerasan berdasarkan metode CBR.
1.8.2.1. Klasifikasi Tanah
Metode yang dikembangkan oleh Federal Aviation Administration (FAA)
ini pada dasarnya menggunakan statistik perbandingan kondisi lokal dari
tanah, sistem drainase dan cara pembebanan untuk berbagai tingkah laku
beban. Klasifikasi tanah didasarkan atas hal-hal berikut ini :
a) Butiran yang tertahan pada saringan no. 10.
b) Butiran yang lewat saringan no. 10 tetapi ditahan no. 40.
c) Butiran yang lewat saringan no. 40 tetapi tertahan saringan no. 200.
d) Butiran yang lewat saringan no. 200.
e) Liquid Limit.
f) Plasticity Index.
Klasifikasi tanah diatas hanya membutuhkan analisa mekanis (analisa
saringan) serta penentuan liquid limit dan plasticity index. Namun untuk
menentukan baik buruknya jenis tanah kita tidak hanya mendasarkan kepada
analisa laboratorium, tetapi memerlukan penelitian di lapangan terutama yang
berhubungan dengan drainase, kemampuan melewatkan air permukaan.
Drainase yang jelek akan menghasilkan subgrade yang tidak stabil, dengan
sistem drainase yang baik, maka akan menghindarkan subgrade dari genangan air,
topografi, jenis tanah, dan muka air tanah akan berpengaruh pada sistem drainase
di lapangan. Drainase yang jelek akan menghasilkan subgrade yang labil, dengan
sistem drainase yang baik maka menghindarkan subgrade dari genangan air dan
akan menjaga kestabilan subgrade.
FAA telah membuat klasifikasi tanah, untuk perencanaan perkerasan yang
dibagi dalam 13 kelas dari E1 sampai E13. Klasifikasi ini diambil dari Airport
Paving FAA, Advisory Circular, adalah sebagai berikut :
• Group E1
Adalah jenis tanah yang mempunyai gradasi tanah yang baik, kasar,
butiran-butiran tanahnya tetap stabil walaupun sistem drainasenya tidak
baik. Di negara-negara beriklim dingin tanah grup E1 tidak terpengaruh
oleh salju yang merugikan, biasanya terdiri dari pasir bergradasi baik,
kerikil tanpa butiran-butiran halus.
• Group E2
Jenis tanah mirip dengan grup E1, tetapi kandungan pasirnya lebih sedikit,
dan mungkin mengandung presentase lumpur dan tanah liat yang lebih
banyak. Tanah dalam kelas ini bisa menjadi tidak stabil apabila sistem
drainasenya tidak baik.
• Group E3 dan E4
Terdiri dari tanah yang berbutir halus, tanah berpasir dengan gradasi lebih
jelek dibanding dengan grup E1 dan E2. Grup ini terdiri dari pasir berbutir
halus tanpa daya kohesi, atau tanah liat berpasir dengan kualitas
pengikatan mulai dari cukup sampai baik.
Tabel 2.6 Klafifikasi Tanah Dasar untuk Perencanaan Perkerasan oleh FAA
• Group E5
Terdiri dari tanah yang bergradasi yang jelek, dengan kandungan lumpur
dan tanah liat campuran lebih dari 35% tetapi kurang dari 45%, dengan
Group
tanah
Analisa saringan
Liquid
Limit
Plas
ticity
Index
Sudgrade Class% bahantersisa
saringanno. 10
% Bahan lebih kecil darisaringan no. 10
Drainas
e baik
Drainasejelek
Pasirkasarlolos
saringanno. 10
tapiditahansaringan
no.40
Pasirhaluslewat
saringanno. 40ditahanno.200
Campuran lumpur
dantanah liatlolos no.
200
Kerikil
E1
E2
E3
E4
Butiran
halus
E5
E6
E7
E8
E9
E10
E11
E12
0-45
0-45
0-45
0-45
0-55
0-55
0-55
0-55
0-55
0-55
0-55
0-55
40
15
60
85
15
25
25
35
45
45
45
45
45
45
45
45
25
25
25
35
40
40
50
60
40
70
80
80
6
6
6
10
15
10
10-30
15-40
30
20-50
30
Fa atau
Fa
Fa atauRa
F1 atauFa
F1 atauRa
Fa atau Ra
F1 atau Ra
F2 atau Rb
F3 atau Rb
F3 atau Rb
F4 atau Rc
F5 atau Rc
F6 atau Rc
F7 atau Rd
F8 atau Rd
F9 atau Re
F10 atauFa
E13 TANAH GAMBUT, TIDAK BISA DIGUNAKAN
plastisitas index antara 10-15.
• Group E6
Terdiri dari lumpur yang berpasir dengan index plastisitas yang sangat
rendah. Jenis ini relatif stabil bila kering atau pada moisture content
rendah. Stabilitasnya akan kurang bahkan hilang dan menjadi sangat
lembek dalam keadaan basah, maka sangat sukar dipadatkan kecuali jika
moiture content nya betul-betul dikontrol dengan sangat teliti sesuai
kebutuhan.
• Group E7
Termasuk didalamnya tanah liat berlumpur, tanah liat berpasir, pasir
berlempung dan lumpur berlempung, mempunyai rentang konsitensi kaku
sampai lunak ketika kering dan plastis ketika basah.
• Group E8
Mirip dengan E7, tetapi pada liquid limit yang lebih tinggi akan
menghasilkan derajat pemampatan yang lebih besar, pengembangan
pengerutan dan stabilitas yang lebih rendah dibawah kondisi kelembaban
yang kurang menguntungkan.
• Group E9
Terdiri dari campuran lumpur dan tanah liat sangat elastis dan sangat sulit
dipadatkan. Stabilitasnya rendah, baik keadaan basah dan kering.
• Group E10
Adalah tanah liat yang berlumpur dan tanah liat yang membentuk
gumpalan keras dalam keadaan kering, serta sangat plastis bila basah. Pada
pemadatan perubahan volumenya sangat besar, mempunyai kemampuan
mengembang menyusut dan sangat elastis.
• Group E11
Mirip dengan tanah grup E10, tetapi mempunyai liquid limit yang lebih
tinggi, termasuk didalamnya tanah dengan liquid limit antara 70-80
dengan index plastisitas diatas 30.
• Group E12
Jenis tanah yang mempunyai liquid limit di atas 80, tidak diukur
berapapun index plastisitasnya.
• Group E13
Meliputi semua jenis tanah rawa organik, seperti gambut, mudah dikenal
di lapangan. Dalam keadaan asli, sangat rendah stabilitasnya, sangat
rendah densitynya dan sangat tinggi kelembabannya.
Karena perencanaan perkerasan merupakan suatu masalah rekayasa yang
kompleks sehingga perencanaan ini melibatkan banyak pertimbangan dari banyak
variabel. Parameter-parameter yang dibutuhkan untuk merencanakan perkerasan
meliputi berat kotor lepas landas pesawat (MSTOW), konfigurasi dan ukuran roda
pendaratan utama dan volume lalu-lintas. Kurva-kurva perencanaan terpisah
disajikan untuk roda pendaratan tunggal, roda tandem, roda tandem ganda, dan
pesawat berbadan lebar.
Langkah pertama prosedur adalah menentukan ramalan keberangkatan
pesawat tahunan dari setiap type pesawat dan mengelompokkannya ke dalam
pesawat menurut konfigurasi roda pendaratan. Berat landas maksimum dari setiap
pesawat digunakan dan 95% dari berat pasawat ini dipikul oleh roda pendaratan
utama.
Tabel 2.7 Faktor konversi keberangkatan tahunan pesawat menjadi keberangkatan
tahunan ekivalen pesawat rencana
1.8.2.2. Menentukan Tipe Pendaratan Utama
a. Sumbu Tunggal Roda Tunggal ( Single )
Gambar 2.3 Konfigurasi roda pendaratan untuk pesawat roda
tunggal
Poros roda
pendaratan pesawatsebenarnya
Poros roda pendaratan
pesawat rencana
Faktor Pengali untuk
keberangkatanekivalen
Roda tunggal Roda ganda
Tandem ganda
Double tandemganda
Roda tunggal
Tandem ganda
Double tandemganda
Roda tunggal
Roda ganda
Roda ganda
Tandem Ganda
0.80.50.51
1.3
0.60.642.01.7
1.7
1.0
Roda ganda
Tandem ganda
Double tandem
ganda
Sumber : Yang, ( 1984 )
b. Sumbu Tunggal Roda Ganda ( Dual wheel)
Gambar 2.4 Konfigurasi roda pendaratan untuk pesawat roda
ganda
Sumber : Yang, ( 1984 ).
c. Sumbu Tandem Roda Ganda ( Dual Tandem )
Gambar 2.5 Konfigurasi roda pendaratan untuk pesawat roda
tandem ganda
Sumber : Yang, ( 1984 ).
d. Sumbu Tandem Roda Ganda Dobel ( DDT )
Gambar 2.6 Konfigurasi roda pendaratan untuk pesawat roda
ganda dobel
Sumber : Yang, ( 1984 ).
1.8.2.3. Menentukan Pesawat Rencana
Pesawat rencana dapat ditentukan dengan melihat jenis pesawat yang
beroperasi dan besar MSTOW (Maksimum Structural Take Off Weight) dan
data jumlah keberangkatan tiap jenis pesawat yang berangkat tersebut. Lalu
dipilih jenis pesawat yang menghasilkan tebal perkerasan yang paling besar.
Pemilihan pesawat rencana ini pada dasarnya bukanlah berasumsi harus
berbobot paling besar, tetapi jumlah keberangkatan yang paling banyak
melalui landasan pacu yang direncanakan.
Pesawat rencana kemudian ditetapkan sebagai pesawat yang
membutuhkan tebal perkerasan yang paling besar dan tidak perlu pesawat
yang paling besar yang beroperasi di dalam bandara. Karena pesawat yang
beroperasi di bandara memiliki angka keberangkatan tahunan yang berbeda-
beda, maka harus ditentukan keberangkatan tahunan ekivalen dari setiap
pesawat dengan konfigurasi roda pendaratan dari pesawat rencana.
1.8.2.4. Menentukan Beban Roda Pendaratan UtamaPesawat (W2)
Untuk pesawat yang berbadan lebar yang dianggap mempunyai MTOW
cukup tinggi dengan roda pendaratan utama tunggal dalam perhitungan
Equivalent Annual Departure ( R1 ) ditentukan beban roda tiap pesawat, 95%
berat total dari pesawat ditopang oleh roda pendaratan utama, dalam
perhitungannya dengan menggunakan rumus :
Dimana :
W2 = Beban roda pendaratan dari masing-masing jenis pesawat
MSTOW = Berat kotor pesawat saat lepas landas
A = Jumlah konfigurasi roda
B = Jumlah roda per satu konfigurasi
P = Persentase beban yang diterima roda pendaratan utama
Tipe roda pendaratan utama sangatlah menentukan dalam perhitungan
tebal perkerasan. Hal ini dikarenakan penyaluran beban pesawat melalui roda-
roda ke perkerasan.
1.8.2.5. Menentukan Nilai Ekivalen Keberangkatan Tahunan Pesawat
Rencana
Pada lalu-lintas pesawat, struktur perkerasan harus mampu melayani
berbagai macam jenis pesawat, yang mempunyai type roda pendaratan yang
berbeda-beda dan bervariasi beratnya. Pengaruh dari beban yang diakibatkan
oleh semua jenis model lalu-lintas itu harus dikonversikan ke dalam pesawat
rencana dengan equivalent annual departure dari pesawat-pesawat campuran
tadi, sehingga dapat disimpulkan bahwa perhitungan ini berguna untuk
mengetahui total keberangkatan keseluruhan dari bermacam pesawat yang
telah dikonversikan ke dalam pesawat rencana. Untuk menentukan R1 dapat
dihitung dengan menggunakan persamaan :
Dimana :
R1 = Keberangkatan tahunan ekivalen oleh pesawat rencana ( pound )
R2 = Jumlah keberangkatan tahunan oleh pesawat berkenaan dengan
konfigurasi roda pendaratan rencana
W1 = Beban roda pesawat rencana ( pound )
W2 = Beban roda pesawat yang harus diubah
Karena pesawat berbadan lebar mempunyai konfigurasi roda pendaratan
utama yang berbeda dengan pesawat lainnya, maka pengaruhnya terhadap
perkerasan diperhitungkan dengan menggunakan berat lepas landas kotor dengan
susunan roda pendaratan utama adalah roda tunggal yang dikonversikan dengan
nilai yang ada, Dengan anggapan demikian maka dapat dihitung keberangkatan
tahunan ekivalen (Equivalent Annual Departure, R1).
1.8.2.6. Menentukan Tebal Perkerasan Total
Perencanaan perkerasan yang dikembangkan oleh FAA ini adalah
perencanaan untuk masa umur rencana, dimana selama masa layan tersebut harus
tetap dilakukan pemeliharaan secara berkala. Grafik-grafik pada perencanaan
perkerasan FAA menunjukkan ketebalan perkerasan total yang dibutuhkan (tebal
pondasi bawah + tebal pondasi atas + tebal lapisan permukaan). Nilai CBR tanah
dasar digunakan bersama-sama dengan berat lepas landas kotor dan
keberangkatan tahunan ekivalen dari pesawat rencana. Grafik-grafik perencanaan
digunakan dengan memulai menarik garis lurus dari sumbu CBR, ditentukan
secara vertikal ke kurva berat lepas landas kotor (MSTOW), kemudian diteruskan
kearah horizontal ke kurva keberangkatan tahunan ekivalen dan akhirnya
diteruskan vertikal ke sumbu tebal perkerasan dan tebal total perkerasan didapat.
Oleh karena itu, FAA memperbolehkan perubahan tebal perkerasan pada
pemukaan yang berbeda-beda :
• Tebal penuh T pada seluruh daerah kritis, yang digunakan untuk tempat
pesawat yang akan berangkat, seperti apron daerah tunggu ( Holding
Apron), bagian tengah landasan hubung dan landasan pacu (Runway).
• Tebal perkerasan 0.9 T diperlukan untuk jalur pesawat yang akan datang,
seperti belokan landasan pacu berkecepatan tinggi.
• Tebal perkerasan 0.7 T diperlukan untuk tempat yang jarang dilalui
pesawat, seperti tepi luar landasan hubung dan tepi luar landasan pacu.
1.8.2.7. Kurva-kurva Perencanaan Perkerasan
a. Kurva Perencanaan Tebal Perkerasan Total Untuk Pesawat
Rencana Beroda Tunggal
Grafik 2.1 Kurva Perencanaan Tebal Perkerasan Untuk Pesawat
Roda Tunggal Sumber : Basuki, ( 1986 ).
b. Kurva Perencanaan Tebal Perkerasan Total Untuk Pesawat
Rencana Beroda Ganda
Grafik 2.2 Kurva Perencanaan Tebal Perkerasan Untuk Pesawat
Roda Ganda Sumber : Basuki, ( 1986 ).
c. Kurva Perencanaan Tebal Perkerasan Total Untuk Pesawat
Rencana Beroda Dual Tandem
Grafik 2.3 Kurva Perencanaa Tebal Perkerasan Untuk Pesawat Roda
tandem ganda
Sumber : Basuki, ( 1986 ).
d. Kurva Perencanaan Tebal Perkerasan Total Untuk Pesawat
Rencana Beroda Dual Tandem
top related