analisis penggunaan hak euthanasia (hak untuk
Post on 14-Jan-2017
233 Views
Preview:
TRANSCRIPT
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ANALISIS PENGGUNAAN HAK EUTHANASIA (HAK UNTUK
MENGAKHIRI HIDUP) OLEH PASIEN MENURUT UNDANG
UNDANG NOMOR 39 TAHUN 1999 TENTANG HAK ASASI
MANUSIA DAN PENERAPAN HUKUMNYA DI
INDONESIA DENGAN NEGARA LAIN
(BELANDA, BELGIA, AMERIKA)
Penulisan Hukum
(Skripsi)
Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Sebagian Persyaratan guna
Memperoleh Derajat Sarjana SI dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum
Universitas Sebelas Maret Surakarta
Oleh :
Mahendra Surya Perdana
E 0006167
Fakultas Hukum
Universitas Sebelas Maret
Surakarta
2011
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Penulisan Hukum (Skripsi)
ANALISIS PENGGUNAAN HAK EUTHANASIA (HAK UNTUK
MENGAKHIRI HIDUP) OLEH PASIEN MENURUT UNDANG
UNDANG NOMOR 39 TAHUN 1999 TENTANG HAK ASASI
MANUSIA DAN PENERAPAN HUKUMNYA DI
INDONESIA DENGAN NEGARA LAIN
(BELANDA, BELGIA, AMERIKA)
Oleh
Mahendra Surya Perdana NIM. E0006167
Disetujui untuk dipertahankan di hadapan Dewan Penguji Penulisan Hukum (Skripsi) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Surakarta, 17 Januari 2011
Dosen Pembimbing
Pembimbing I Pembimbing II
Rehnalemken Ginting S.H.,M.H Sunny Ummul Firdaus S.H.,M.H NIP 195801051984031001 NIP 197006212006042001
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
iii
PENGESAHAN PENGUJI
Penulisan Hukum (Skripsi)
ANALISIS PENGGUNAAN HAK EUTHANASIA (HAK UNTUK
MENGAKHIRI HIDUP) OLEH PASIEN MENURUT UNDANG
UNDANG NOMOR 39 TAHUN 1999 TENTANG HAK ASASI
MANUSIA DAN PENERAPAN HUKUMNYA DI
INDONESIA DENGAN NEGARA LAIN
(BELANDA, BELGIA, AMERIKA)
Oleh
Mahendra Surya Perdana
NIM. E0006167
Telah diterima dan dipertahankan dihadapan
Dewan Penguji Penulisan Hukum (Skripsi)
Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Pada: Hari :Senin
Tanggal :17 Januari 2011
DEWAN PENGUJI
1. Prof. Dr. Supanto S.H., M.Hum :………………………………………… Ketua
2. Sunny Ummul Firdaus S.H., M.H :………………………………………… Sekretaris
3. Rehnalemken Ginting S.H., M.H :………………………………………… Anggota
Mengetahui Dekan,
Mohammad Jamin S.H, M.Hum NIP. 19610930 198601 001
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
iv
PERNYATAAN
Nama : Mahendra Surya Perdana
NIM : E.0006167
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa penulisan hukum (Skripsi) berjudul:
ANALISIS PENGGUNAAN HAK EUTHANASIA (HAK UNTUK
MENGAKHIRI HIDUP) OLEH PASIEN MENURUT UNDANG UNDANG
NOMOR 39 TAHUN 1999 TENTANG HAK ASASI MANUSIA DAN
PENERAPAN HUKUMNYA DI INDONESIA DENGAN NEGARA LAIN
(BELANDA, BELGIA, AMERIKA)
adalah betul-betul karya sendiri. Hal-hal yang bukan karya saya dalam penulisan
hukum ini diberi tanda citasi dan ditunjukkan dalam daftar pustaka. Apabila
dikemudian hari terbukti pernyataan saya tidak benar, maka saya bersedia
menerima sanksi akademik berupa pencabutan penulisan hukum (skripsi) dan
gelar yang saya peroleh dari penulisan hukum (skripsi) ini.
Surakarta, 2011
Yang membuat pernyataan
Mahendra Surya Perdana
NIM. E0006167
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
v
ABSTRAK
Mahendra Surya Perdana, E 0006167. 2011. ANALISIS PENGGUNAAN HAK EUTHANASIA (HAK UNTUK MENGAKHIRI HIDUP) OLEH PASIEN MENURUT UNDANG UNDANG NOMOR 39 TAHUN 1999 TENTANG HAK ASASI MANUSIA DAN PENERAPAN HUKUMNYA DI INDONESIA DAN NEGARA LAIN (BELANDA, BELGIA, AMERIKA). Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui penerapan pemberian hak euthanasia (hak untuk mengakhiri hidup) terhadap pasien menurut Undang Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia terutama mengkaji tentang hak hidup yang terdapat dalam Pasal 9 dihubungkan dengan hak-hak lainnya yaitu hak untuk menentukan hidupnya sendiri (the right of self determination), Hak atas kesehatan (the right of health care) serta hak atas informasi (the right of information) dan perbandingan penerapan euthanasia di Indonesia dengan negara lainnya terutama Belanda, Belgia dan Amerika
Penelitian ini merupakan penelitian normatif besifat preskriptif, menemukan hukum mengenai penerapan pemberian hak euthanasia, tujuan pemberian hak tersebut serta perbandingannya penerapan euthanasia di Indonesia dengan negara lainnya terutama Belanda, Belgia, dan Amerika. Jenis data yang digunakan yaitu data sekunder. Sumber data sekunder yang digunakan mencakup bahan hukum primer, bahan hukum sekunder. Teknik Pengumpulan data yang digunakan yaitu studi kepustakaan. Analisis data yang dilaksanakan menggunakan teknik analisis data deduktif yaitu berpangkal pada prinsip-prinsip dasar pemberian hak euthanasia terhadap pasien, kemudian peneliti menghadirkan objek yang akan diteliti. Logika deduktif menggunakan ketentuan berdasarkan pengetahuan umum seperti teori-teori, dalil-dalil, atau prinsip-prinsip dalam bentuk proposisi-proposisi untuk menarik kesimpulan terhadap fakta-fakta yang bersifat khusus.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dihasilkan simpulan, pertama, terdapat Norma hukum tentang euthanasia tidak diatur dengan jelas dalam Undang Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Dalam Undang Undang Nomor 39 Tahun 1999 hanya mengatur mengenai hak hidup yang diatur didalam Pasal 9 ayat (1). Hak untuk hidup oleh sebagian besar masyarakat dapat ditafsirkan sebagai hak untuk menentukan hidupnya sendiri, sehingga menentukan hidupnya sendiri dapat juga diartikan hak kebebasan terhadap dirinya sendiri termasuk juga hak untuk mengakhiri hidup sendiri. Akan tetapi hak menentukan hidupnya sendiri tidak dapat berdiri sendiri tanpa adanya suatu hak atas informasi dan atas kesehatan Kedua, Peraturan perundang undangan Indonesia belum ada satupun yang mengatur tentang euthanasia. Pasal 344 KUHP yang rumusannya mendekati euthanasia belum dapat bekerja secara maksimal karena belum pernah menjerat pelaku euthanasia. Peraturan perundang undangan Indonesia sudah jauh tertinggal dengan negara lainnya terutama Belanda, Belgia, dan Amerika. Di Belanda meskipun dalam code penal Pasal 293 disebutkan larangan membunuh dengan permintaannya sendiri secara eksplisit
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
vi
dilarang, namun kemudian Belanda memunculkan peraturan perundang undangan yaitu Wet van 12 april 2001, houdende toetsing van levensbeëindiging op verzoek en hulp bij zelfdoding en wijziging van het Wetboek van Strafrecht en van de Wet op de lijkbezorging (Wet toetsing levensbeëindiging op verzoek en hulp bij zelfdoding), atau Review procedures for the termination of life on request and assisted suicide and amendment of the Criminal Code and the Burial and Cremation Act (Termination of Life on Request and Assisted Suicide (Review Procedures) Act) tentang legalitas euthanasia, sehingga secara otomatis rumusan Pasal tersebut didekriminalisasikan. Di Belgia, Parlemen Belgia melegalkan praktek euthanasia melalui The Belgian Act on Euthanasia dimana peraturan perundang undangannya diadopsi dari diadopsi dari konvensi Hak Asasi Manusia Eropa yang merupakan rekomendasi 1418 yang berjudul “Protection of the human rights and dignity of the terminally ill and the dying, dimana dalam Pasal 2 disebutkan mengakui orang yang sakit parah untuk mati bukan merupakan suatu tuntutan hukum dengan demikian praktek euthanasia di Belgia adalah hal yang legal. Di Amerika meskipun secara agresif di semua negara bagian euthanasia adalah tindakan yang melanggar hukum, akan tetapidi negara bagian Oregon praktek euthanasia merupakan hal tidak melanggar hukum yang diatur dalam Oregon Death with Dignity Act.
Kata Kunci : euthanasia, pasien, Undang Undang Nomor 39 Tahun 1999
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
vii
ABSTRACT Mahendra Surya Perdana, E 0006167. 2011. ANALYSIS OF USE THE RIGHTS OF EUTHANASIA (RIGHT TO TERMINATE LIFE) BY PATIENTS BY THE ACT NUMBER 39 OF 1999 ABOUT HUMAN RIGHTS AND APPLICATION OF LAW IN INDONESIA AND OTHER COUNTRIES (NETHERLANDS, BELGIUM, AMERICAN). Law Faculty of Sebelas Maret University.
This study aims to determine the application of euthanasia rights (the right to terminate life) of patients according The Act No. 39 of 1999 about Human Rights concerning the right to life especially the review contained in Article 9 is connected with other rights such as the right of self determination, the right of health care and the right of information and comparison of the application of euthanasia in Indonesia with other countries especially Netherlands, Belgium and America.
This research is a normative prescriptive characteristic, discovered the law regarding euthanasia grant application, the purpose of granting such rights and the application of euthanasia in Indonesia in comparison with other countries especially the Netherlands, Belgium, and the Americas. Type of data used are secondary data. Secondary data sources used include the primary legal materials, secondary legal materials. The data collection technique used is bibliography study. Data analysis was performed using deductive data analysis technique that originate on the basic principles of granting the right of euthanasia on patients, and researchers presenting the object to be studied. Deductive logic using terms based on general knowledge such as theories, theorems, or principles in the form of propositions to draw conclusions on the facts that are special.
Based on the results of research and discussion of the resulting conclusions, first, there are legal norms regarding euthanasia are not clearly regulated in The Act no 39 of 1999 about Human Rights. The Act no 39 of 1999 only governs the right to life as regulated in Article 9 paragraph (1). The right to life by most of society can be interpreted as the right to determine his own life, thus determining his own life can also mean the right of freedom against itself as well as the right to end his own life. But the right to determine his own life can not stand alone without the presence of a right to information and to health Secondly, the laws and regulations of Indonesia has not got nothing to regulate euthanasia. Article 344 of the Criminal Code that the formula approach euthanasia can not work optimally because the perpetrators have never ensnare euthanasia. Indonesian laws and regulations are far behind with other countries especially the Netherlands, Belgium, and the Americas. In the Netherlands, although the penal code Article 293 mentioned the prohibition to kill with its own demand is explicitly prohibited, but later the Netherlands led to the laws and regulations concerning the legality of euthanasia Wet van 12 april 2001, houdende toetsing van levensbeëindiging op verzoek en hulp bij zelfdoding en wijziging van het Wetboek van Strafrecht en van de Wet op de lijkbezorging (Wet toetsing levensbeëindiging op verzoek en hulp bij zelfdoding), atau Review procedures for the termination of life on request and
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
viii
assisted suicide and amendment of the Criminal Code and the Burial and Cremation Act (Termination of Life on Request and Assisted Suicide (Review Procedures) Act), so that the formulation of Article these automatically decriminalization. In Belgium, the Belgian parliament legalized euthanasia practices by The Belgian Act on Euthanasia where laws and regulations adopted by the invitation of the adoption of the European Convention on Human Rights which is a recommendation in 1418, entitled "Protection of the human rights and dignity of the terminally ill and the dying, which is mentioned in Article 2 recognizes the terminally ill to die, not a lawsuit so that the practice of euthanasia in Belgium is a legal matter. In America though aggressively in all states euthanasia is an act that is unlawful, the state of Oregon will but practice of euthanasia is not against the law set forth in the Oregon Death with Dignity Act
Keyword : euthanasia, patients, The Act no 39 of 1999 about Human Rights
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ix
MOTTO Tiga sifat manusia yang merusak adalah, kikir yang dituruti, hawa nafsu yang
diikuti, serta sifat mengagumi diri sendiri yang berlebihan. (Nabi Muhammad
SAW)
Jika kau ingin naik lebih tinggi gunakan kainmu sendiri! jangan buat dirimu
dibawa keatas. Jangan pula dengan menginjak bahu atau kepala orang lain!
(Frederich Nietzsche).
Kebanyakan dari kita tidak mensyukuri apa yang sudah kita miliki tetapi kita
selalu menyesali apa yang belum kita capai (Schopenhauer).
Anda memperoleh kekuatan, keberanian, dan keyakinan oleh setiap pengalaman
di mana Anda benar-benar berhenti untuk melihat di wajah, Anda harus
melakukan hal yang Anda pikir Anda tidak bisa melakukan. (Eleanor Roosevelt)
Satu-satunya hal yang harus kita takuti adalah ketakutan itu sendiri. (Franklin D.
Roosevelt)
Jangan buang hari ini dengan mengkuatirkan hari esok. Gunung pun terasa datar
ketika kita sampai ke puncaknya. (Phi Delta Kappan)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
x
PERSEMBAHAN
Karya kecil ini penulis persembahkan kepada:
Allah SWT yang telah memberikan
kenikmatan tak terhingga sehingga penulis
dapat menyelesaikan skripsi ini.
Ayah dan Ibu tercinta yang senantiasa
mendukung kuliah, memberikan doa dan
nasihat, semangat, cinta dan kasih sayang
serta kerja keras yang tak ternilai harganya
demi mewujudkan cita-citaku menjadi
seorang Sarjana Hukum.
Adik-adikku yang selalu ada untuk
membantu proses belajarku selama
menempuh dunia pendidikan.
Teman-temanku dari TK hingga kuliah yang
telah memberi warna kehidupan selama
penulis menyelesaikan studi di institusi
pendidikan.
Diriku sendiri.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xi
KATA PENGANTAR
Dengan mengucapkan syukur kehadirat Allah yang Maha pengasihy dan
Penyayang yang telah memberikan rahmat dan hidayahn-Nya sehingga penulis
dapat menyelesaikan penyusunanpenulisan hukum (skripsi) yang berjudul
“ANALISIS PENGGUNAAN HAK EUTHANASIA (HAK UNTUK
MENGAKHIRI HIDUP) OLEH PASIEN MENURUT UNDANG UNDANG
NOMOR 39 TAHUN 1999 TENTANG HAK ASASI MANUSIA DAN
PENERAPAN HUKUMNYA DI INDONESIA DAN NEGARA LAIN
(BELANDA, BELGIA, AMERIKA)“.
Penulis menyadari bahwa terselesaikannya laporan penulisan hukum
(skripsi) ini tidak terlepas dari bantuan serta dukungan baik meteriil maupun non
materiil yang diberikan oleh berbagai pihak. Dalam kesempatan ini, penulis ingin
menyampaikan ucapan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberi
dukungan dan semangat untuk menyelesaikan penulisan hukum ini, yaitu kepada:
1. Bapak Mohammad Jamin, S.H., M.Hum. selaku Dekan fakultas Hukum
Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan izin dan
kesempatan kepada penulis untuk mengembangkan ilmu hukum melalui
penulisan hukum.
2. Bapak Ismunarno S.H, M.Hum selaku ketua bagian Hukum Pidana yang
telah membantu dalam penunjukan dosen pembimbing skripsi.
3. Ibu Aminah, S.H, M.H selaku Ketua Bagian Hukum Tata Negara yang
telah membantu dalam penunjukkan dosen pembimbing skripsi.
4. Bapak Lego Karjoko, S.H., M.Hum, selaku ketua PPH yang telah
menyetujui usulan judul skripsi penulis, menunjuk dosen pembimbing.
5. Bapak Rehnalemken Ginting S.H, M.H, selaku pembimbing Skripsi yang
telah memberikan bimbingan, memberi masukan, arahan pengetahuan dan
pengalamannya dalam menjadi saksi ahli sehingga memberikan semangat
tersendiri bagi penulis dan mempermudah penulis untuk menyelesaikan
penulisan hukum ini
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xii
6. Ibu Sunny Ummul Firdaus S.H., M.H, selaku pembimbing skripsi yang
juga telah banyak memberi saran untuk pengembangan skripsi penulis,
berbagi berbagai pengalaman selama menjadi dosen maupun pengalaman
saat menjadi mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret
Surakarta dalam hal Hukum Kesehatan.
7. Bapak Mohammad Rustamaji, S.H, M.H. selaku Pembimbing Akademik
yang telah membimbing, memberi saran dan arahan selama penulis kuliah
di Fakultas Hukum UNS.
8. Segenap Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum UNS yang telah memberi
dan membagikan ilmu pengetahuan dan pengalaman berharga kepada
penulis yang dapat dijadikan bekal dalam penyelesaian skripsi ini serta
menghadapi persaingan di lingkungan masyarakat luas.
9. Pengelola Penulisan Hukum (PPH) yang telah membantu dalam mengurus
prosedur-prosedur skripsi mulai dari pengajuan judul, pelaksanaan seminar
proposal sampai pendaftaran ujian skripsi.
10. My best friends Loggar, Bagus, Tofan yang selalu bersama dalam suka
dan duka.
11. Septian Fatur yang selalu menemani untuk sekedar sharing tentang musik.
12. My best partner Awe, Andri. yang selalu bersama-sama dalam mencari
sesuatu yang sangat berharga walaupun hasilnya tak seberapa
13. Mahendro Adi Utomo yang selalu mencari proyek bersama-sama.
14. Temen-temenku di Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum angkatan
2006 Lukman, Amel, Ita‘, Farid. Terima kasih untuk semua, semoga kita
memetik hasil kerja keras kita selama ini, amin.
15. Para pendahulu BEM Universitas Sebelas Maret, Mas Bambang, terima
kasih atas motivasinya dan masukannya.
16. Adik-adik BEM FH Wisnu, Chandra, Johan (Pak Presiden), Titis, Uki,
Radit, Mifta, Koh Seto, Hage, Beta, Adel, Adi Hostki (bikin dunia
berbeda), Havid, Dwi dan lain-lainnya yang tidak dapat disebutkan satu-
satu. Terima kasih atas motivasi dan semangatnya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xiii
17. Temen-temanku seperjuangan Haris (makasih sudah jadi moderator
Seminar proposalku), Setyawan, Makrus, Budi, G-Mon, Terry, Adi Cahya
Nugraha, Erick, Didot, Juni, Agus Salim, Resa, Wasiat Eko, yang telah
melengkapi perjalanan pendidikanku, mewarnai hari-hariku selama kuliah
di FH.
18. Teman-temanku KMM di Bank Indonesia cabang Surakarta Yurista, Ade,
Erlinda, Ahimsa yang sudah mau berkerja sama selama KMM.
19. Untuk semua temen-temenku di FH UNS yang tidak bisa disebutkan satu
per satu, you’re my inspiration, tanpa kalian kuliahku selama di FH tidak
akan berwarna.
20. Untuk semua guru-guruku TK Bakti XI, SDN Cengklik I, SMP N 7
Surakarta, SMA N 5 Surakarta yang telah mengajar dan membagi
ilmunya dan mengantar penulis hingga memperoleh gelar sarjana, tanpa
mereka mungkin penulis tidak bisa meraih cita-cita.
Karya kecil ini tidak hanya penulis dedikasikan kepada setiap orang yang telah
memberi inspirasi bagi penulis tetapi juga untuk seseorang yang akan mengisi
hidup penulis kelak dikemudian hari.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xiv
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL..................................................................................... i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING........................................... ii
HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI..................................................... iii
HALAMAN PERNYATAAN...................................................................... iv
ABSTRAK..................................................................................................... v
HALAMAN MOTTO.................................................................................... ix
HALAMAN PERSEMBAHAN.................................................................... x
KATA PENGANTAR................................................................................... xi
DAFTAR ISI.................................................................................................. xiv
BAB I PENDAHULUAN............................................................................. 1
A. Latar Belakang Masalah...................................................................... 1
B. Perumusan Masalah............................................................................ 5
C. Tujuan Penelitian................................................................................ 6
D. Manfaat Penelitian.............................................................................. 7
E. Metode Penelitian................................................................................ 7
F. Sistematika Penulisan Hukum............................................................ 11
BAB II TINJAUAN PUSTAKA................................................................... 13
A. Kerangka Teori................................................................................... 13
1. Tinjauan Tentang euthanasia....................................................... 13
a) Pengertian euthanasia............................................................ 13
b) Kategori euthanasia............................................................... 13
c) Macam euthanasia................................................................. 14
2. Tinjauan tentang pasien
a) Pengertian pasien.................................................................... 18
b) Kewajiban pasien................................................................... 18
c) Hak-hak pasien...................................................................... 19
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xv
3. Tinjauan Tentang Undang Undang Nomor 39 Tahun 1999
tentang Hak Asasi Manusia.......................................................... 20
a. Sejarah Hak Asasi Manusia dalam
Undang Undang Indonesia..................................................... 20
b. Pengertian Hak Asasi Manusia............................................... 22
c. Instrumen HAM nasional....................................................... 23
d. Penerapan HAM di Indonesia............................................... 24
4. Tinjauan Tentang pelaksanaan pidana......................................... 25
a) Pengertian pidana................................................................... 25
b) Jenis-Jenis Sanksi Pidana....................................................... 29
B. Kerangka Pemikiran........................................................................... 32
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN............................ 33
A. Norma pengaturan euthanasia dalam Undang
Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang
Hak Asasi Manusia terhadap euthanasia............................................ 34
B. Penerapan hukum euthanasia di Indonesia
dengan negara Lain ( Belanda, Belgia, Amerika)............................... 48
BAB IV PENUTUP....................................................................................... 75
A. Simpulan............................................................................................. 75
B. Saran................................................................................................... 77
Daftar Pustaka................................................................................................ 79
LAMPIRAN
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xvi
DAFTAR GAMBAR
Kerangka Pemikiran........................................................................................ 32
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
1
BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Menurut Pasal 1 Ayat (3) Undang Undang Dasar Indonesia merupakan
negara yang berdasarkan hukum. Penegasan ini sangatlah penting untuk
dipahami bahwa Indonesia mengakui kedaulatan hukum. Dengan penegasan ini
pengakuan terhadap esensial pembangunan negara Indonesia yakni kecuali
pembatasan kekuasaan dan penegakan hukum yang tidak kalah pentingnya
adalah jaminan perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM). HAM sebagai
bagian tak terpisahkan dari konsep negara hukum berimplikasi pada adanya
pengakuan konstitusional bahwa jaminan perlindungan HAM merupakan
elemen esensial konstruk pembangunan Indonesia modern.
Sebagai salah satu hasil pembangunan, yang dilaksanakan kesadaran
masyarakat tentang hak-haknya telah semakin membaik dan cara berpikirpun
menjadi semakin kritis terhadap berbagai segi kehidupan. Banyak hal yang
tadinya tidak diketahui masyarakat, kini muncul dan menjadi bahan sorotan
masyarakat. Perkembangan yang terjadi seyogyanya disambut baik oleh semua
pihak, sejauh perkembangan tersebut bermanfaat bagi masyarakat dan
proporsional terhadap etika , moral dan religius (Crisdiono M. Achadiat,
2006:19).
Salah satu perkembangan yang sekarang ini menjadi bahan perdebatan
adalah masalah Euthanasia. Berbagai ulasan dan tanggapan muncul, baik yang
sifatnya pro maupun yang kontra, dimana semuanya lengkap dengan
argumentasinya masing-masing. Mereka yang setuju dengan euthanasia
menekankan pengambilan keputusan untuk euthanasia adalah otonomi
individu. Jika seseorang memiliki penyakit yang tidak dapat disembuhkan atau
berada dalam kesakitan yang tak tertahankan, mereka harus diberikan
kehormatan untuk memilih cara dan waktu kematian mereka dengan bantuan
yang diperlukan. Mereka mengklaim adanya perbaikan teknologi kedokteran
merupakan cara untuk meningkatkan jumlah pasien yang sekarat tetap hidup.
Dalam beberapa kasus, perpanjangan umur ini melawan kehendak mereka.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
2
Mereka yang mengadvokasikan euthanasia non sukarela, seperti Peter Singer,
berargumentasi bahwa peradaban manusia berada dalam periode ketika ide
tradisional seperti kesucian hidup telah dijungkir balikkan oleh praktek
kedokteran baru yang dapat menjaga pasien tetap hidup dengan bantuan
instrumen. Dia berargumen bahwa dalam kasus kerusakan otak permanen, ada
kehilangan sifat kemanusian pada pasien tersebut, seperti kesadaran,
komunikasi, menikmati hidup, dan seterusnya. Mempertahankan hidup pasien
dianggap tidak berguna, karena kehidupan seperti ini adalah kehidupan tanpa
kualitas atau status moral. Falsafah Utilitarian Singer menekankan bahwa tidak
ada perbedaan moral antara membunuh dan mengizinkan kematian terjadi. Jika
konsekuensinya adalah kematian, maka tidak menjadi masalah jika itu dibantu
dokter, bahkan lebih disukai jika kematian terjadi dengan cepat dan bebas rasa
sakit. Banyak argumen anti euthanasia bermula dari proposisi, baik secara
religius atau sekuler, bahwa setiap kehidupan manusia memiliki nilai intrinsik
dan mengambil hidup seseorang dalam kondisi normal adalah suatu kesalahan.
Advokator hak-hak orang cacad menekankan bahwa jika euthanasia
dilegalisasi, maka hal ini akan memaksa beberapa orang cacad untuk
menggunakannya karena ketiadaan dukungan sosial, kemiskinan, kurangnya
perawatan kesehatan, diskriminasi sosial, dan depresi. Orang cacad sering lebih
mudah dihasut dengan provokasi euthanasia, dan informed consent akan
menjadi formalitas belaka dalam kasus ini. Beberapa orang akan merasa bahwa
mereka adalah beban yang harus dihadapi dengan solusi yang jelas. Secara
umum, argumen anti euthanasia adalah kita harus mendukung orang untuk
hidup, bukan menciptakan struktur yang mengizinkan mereka untuk mati.
Perdebatan mengenai Euthanasia memang telah diperkirakan oleh beberapa
ahli. Perdebatan atau kontroversi mengenai Euthanasia lebih terfokus pada soal
moralitas, etika, maupun hukumnya. Perkembangan mengenai teknologi
ternyata tidak diikuti dengan kemajuan hukum dan etika (Crisdiono M.
Achadiat, 2006:180).
Masalah Euthanasia merupakan masalah yang dapat menyangkut semua
lapisan, akan tetapi selama ini euthanasia lebih dekat dengan dunia medis
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
3
menjadikan dilema yang menempatkannya pada posisi yang serba sulit. Disatu
pihak teknologi kedokteran telah sedemikian maju, sedangkan disisi lain,
pengetahuan dan kesadaran masyarakat terhadap hak-hak individu juga
berkembang tidak kalah pesatnya. Dengan demikian dalam dunia kedokteran
masa kini telah dihadapkan pada kontradiksi antara etika, moral, dan hukum
disatu pihak dengan kemampuan ilmu pengetahuam dan teknologi kedokteran
yang demikian maju dipihak lain sehingga memungkinkan untuk
mempertahankan hidup.
Sebenarnya praktek Euthanasia telah ada disekitar kita sejak lama.
Tindakan tersebut berupa penguarngan kualitas kesehatan dari rumah sakit ke
rumah tangga. Ini dikarenakan pasien tidak mampu untuk membayar biaya
rumah sakit yang tergolong mahal dan adanya anggapan bahwa pasien tidak
dapat disembuhkan kembali, sehingga keberadaannya di rumah sakit hanya
akan menambah biaya.
Jika dilihat dari sudut pandang Hak Asasi Manusia ada beberapa hal yang
penting untuk dikaji lebih mendalam untuk masalah euthanasia terhadap
pasien yaitu mengenai Hak kesehatan, hak hidup dan hak untuk menentukan
hidupnya sendiri.
Jika dilihat dari Hak kesehatan, mahalnya ongkos kesehatan semakin
menambah jauhnya aspek perlindungan dan pemenuhan HAM atas kesehatan.
HAM mensyaratkan individu untuk diakui memperoleh akses kesehatan
dengan cepat dan biaya terjangkau. Pemerintah berkewajiban untuk
menyediakan hal itu dengan maksimal (Majda El Muhtaj, 2008:161).
Hak hidup merupakan hak yang mendasar. Dalam UU 39 Tahun 1999
Tentang Hak Asasi Manusia dalam Pasal 9 Ayat (1) disebutkan:
“Setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup dan meningkatkan taraf kehidupannya”.
Pada HAM melekat Hak setiap manusia untuk menentukan hidupnya
sendiri tanpa adanya pengaruh dari pihak manapun (The right of self
determination). Demikian pula dalam tindakan medik , pasien mempunyai hak
dasar untuk menentukan diri sendiri (The right of self determinitation), harus
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
4
diberikan hak untuk memberikan persetujuannya terhadap tindakan medis yang
dilakukan terhadap dirinya (informed consent). Dalam hal pasien menolak
tindakan medik yang ditawarkan dokter, dokter tidak boleh memaksakan
kehendaknya, walaupun penolakan tersebut akan memberikan dampak negatif
pada kelangsungan hidup pasien.
Masalah Euthanasia di Indonesia memang belum ada satupun peraturan
perundang undangan yang mengatur secara tegas tentang euthanasia. Akan
tetapi ada Pasal dalam KUHP yang rumusannya mendekati euthanasia yaitu
Pasal 344 KUHP. Akan tetapi pasal ini belum pernah menjaring satupun pelaku
euthanasia di negara ini. (Rehnalemken Ginting, 2009:2)
Dalam Pasal 344 KUHP disebutkan :
“Barang siapa merampas nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri, yang jelas dan dinyatakan dalam kesungguhan hati, diancam dengan pidana penjara paling lama 12 tahun”. Ada tiga permasalahan pokok dalam hukum pidana mengenai euthanasia
jika dilihat menurut Pasal 344 KUHP yaitu tentang perbuatan yang dilarang
(menghilangkan nyawa orang lain), orang yang melakukan perbuatan dilarang
(Barang siapa sehingga dapat berarti juga dokter) serta pidananya yaitu pidana
paling lama 12 tahun penjara. Akan tetapi meskipun telah memenuhi tiga
pokok permasalahan tersebut, namun kenyataanya di Indonesia sulit diterapkan
untuk menyaring Euthanasia sebagai suatu tindak pidana, karena euthanasia
yang terjadi selama ini adalah Euthanasia pasif yang dianggap sebagai suatu
resiko medik terhadap pasien (Rehnalemken Ginting, 2009:3-4).
Perkembagan euthanasia sangatlah cepat, akan tetapi permasalahannya di
Indonesia sangatlah belum ada peraturan yang secara tegas mengaturnya. Ini
menandakkan Indonesia masih jauh tertinggal dengan negara lain seperti
Belanda, Belgia, dan Amerika yang mengatur secara tegas dalam peraturan
perundang undangannya tentang euthanasia.
Kasus tragis terjadi di negara kita, yang menimpa Sri Endah Budi Santoso,
berumur 28 tahun, ibu dari empat orang anak dari kampung gayam Surakarta.
Nyonya Endah tidak pernah sadar lagi setelah menjalani operasi steril 10
Oktober 1986. Nyonya Endah melahirkan anaknya yang ke Empat di rumah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
5
sakit Panti Waluyo Surakarta. Empat jam setelah melahirkan, ia sepakat
menjalani operasi steril. Keganjilan muncul setelah operasi selesai ia belum
sadarkan diri. Ternyata selama pembiusan, nyonya Endah menderita
Ensofalopatia Anakosik atau gangguan otak karena kekurangan oksigen.
Keadaan demikian terjadi karena terhentinya detak jantung secara mendadak,
dan sejak itu kesadarannya menghilang. Setelah kejadian tersebut perawatan
secara medik dihentikan dan yang dilakukan terhadap Nyonya Endah hanya
perawatan biasa saja. Setelah perawatan medik tersebut di hentikan akhirnya
nyonya Endah meninggal dunia (Rehnalemken Ginting, 2009:19).
Atas pertimbangan yang telah penulis kemukakan dalam latar belakang
diatas, maka penulis tertarik untuk mengkaji mengenai permasalahan terhadap
pemberian Euthanasia terhadap pasien, maka dari itu penulis mengangkatnya
dalam penelitian hukum yang berjudul :
“ANALISIS PENGGUNAAN HAK EUTHANASIA (HAK UNTUK
MENGAKHIRI HIDUP) OLEH PASIEN MENURUT UNDANG
UNDANG NOMOR 39 TAHUN 1999 TENTANG HAK ASASI MANUSIA
DAN PERBANDINGANNYA PENERAPANNYA DI INDONESIA
DENGAN NEGARA LAIN (BELANDA, BELGIA, AMERIKA)”.
B. PERUMUSAN MASALAH
Perumusan masalah yang tegas dapat menghindari pengumpulan data yang
tidak diperlukan, sehingga penelitian akan lebih terarah pada tujuan yang ingin
dicapai. Perumusan masalah digunakan untuk mengetahui dan menegaskan
masalah-masalah apa yang hendak diteliti, yang dapat memudahkan penulis
dalam mengumpulkan, menyusun, dan menganalisa data. Untuk
mempermudah dalam pembahasan permasalahan yang akan diteliti maka
penulis merumuskan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana norma hukum ketentuan euthanasia berdasarkan Undang
Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM)?
2. Bagaimana penerapan hukum euthanasia di Indonesia dan di berbagai
negara (Belanda, Belgia, Amerika) ?
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
6
C. TUJUAN PENELITIAN
Tujuan penelitian merupakan pernyataan operasional yang merincikan apa
yang akan diselesaikan dan dicapai dalam penelitian ini. Tujuan itu dirumuskan
sebagai upaya yang ditempuh untuk menyelesaikan masalah. Tujuan yang
ingin dicapai oleh penulis adalah tujuan subyektif dan obyektif yaitu :
1. Tujuan Subyektif
A. Untuk memperdalam dan menambah pengetahuan penulis mengenai
penggunaan hak euthanasia oleh pasien menurut UU No. 39 Tahun
1999 Tentang Hak Asasi Manusia dan perbandingan penerapan
euthanasia di Indonesia dan di berbagai negara (Belanda, Belgia,
Amerika).
B. Untuk melengkapi syarat guna memperoleh gelar sarjana pada Fakultas
Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.
2.Tujuan Obyektif
A. Untuk mengetahui secara jelas dan terperinci mengenai norma
pengaturan euthanasia dalam Undang Undang Nomor 39 Tahun 1999
tentang Hak Asasi Manusia.
B. Untuk mengetahui penerapan hukum euthanasia di Indonesia dan di
berbagai negara (Belanda, Belgia, Amerika).
D. MANFAAT PENELITIAN
Dari penelitian ini penulis berharap, agar dapat bermanfaat bagi penulis
sendiri maupun orang lain. Adapun manfaat yang dapat diperoleh dari
penelitian ini adalah :
1. Manfaat Teoritis
a. Hasil peneielitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan
pemikiran dan manfaat pada pengembangan ilmu pengetahuan di
bidang ilmu hukum.
b. Menjadi sumbangan pemikiran bagi pihak yang berwenang dalam
pembangunan hukum nasional dibidang Pidana dan Hak Asasi
Manusia.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
7
c. Hasil dari penelitian ini dapat dipakai sebagai acuan terhadap
penelitian-penelitian sejenis untuk tahap berikutnya.
2. Manfaat Praktis
a. Memberikan masukan serta pengetahuan bagi pihak yang berkompeten
dan terkait langsung dengan penelitian ini.
b. Memberikan wawasan dalam pengembangan pengetahuan bagi peneliti
akan permasalahan yang diteliti, dan dapat dipergunakan sebagai bahan
masukan dan referensi bagi peneliti selanjutnya yang berminat pada hal
yang sama.
c. Untuk memberikan jawaban atas permasalahan yang diteliti.
E. Metode Penelitian
Metode dan sistem membentuk hakikat ilmu. Sistem berhubungan dengan
konsep dan isi ilmu, sedangkan metode berkaitan dengan aspek formal.
Tepatnya, sistem berarti keseluruhan pengetahuan yang teratur atau totalitas isi
dari ilmu, sementara itu metode secara harfiah menggambarkan jalan atau cara
totalitas ilmu tersebut dicapai atau dibangun. Suatu bidang pengetahuan
dikatakan metodis apabila cara mempelajarinya sesuai dengan rencana, bidang-
bidangnya dikerjakan secara tertentu, menyusun berbagai temuan yang logis
dan menghasilkan sebanyak mungkin hubungan ( Johny Ibrahim. 2005 : 27).
Adapun metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah :
1. Jenis Penelitian
Jenis penilitian dalam penulisan hukum ini adalah penelitian hukum
normatif atau penelitian hukum kepustakaan. Penelitian hukum normatif
adalah penelitian hukum yang meneliti bahan pustaka atau data sekunder
belaka. Penelitin hukum normatif tersebut mencakup :
a. Penelitian terhadap azas-azas hukum
b. Penelitian terhadap sistematik hukum
c. Penelitian terhadap sinkronisasi vertikal dan horisontal
d. Perbandingan hukum
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
8
e. Sejarah hukum (Soerjono soekanto dan Sri mamudji, 1990 : 15)
Masalah yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah Analisa
penggunaan hak euthanasia (hak untuk mengakhiri hidup) oleh pasien
menurut UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan
penerapan hukumnya di Indonesia dengan negara lain (Belanda, Belgia,
Amerika).
2. Sifat penelitian
Penelitian bagi ilmu pengetahuan dilakukan untuk memperoleh
suatu kebenaran ilmiah. Seorang yang melakukan penelitian dibidang
ilmu pengetahuan harus berpangkal pada prinsip-pinsip dasar
keilmuannya, kemudian ia menjumpai suatu gejala tertentu yang berupa
fakta.
Didalam penelitian ini bersifat preskriptif. Sifat analisis ini
dimaksudkan untuk memberikan argumentasi atas hasil penelitian yang
telah dilakukan. Argumentasi disini dilakukan untuk memberikan
preskripsi atau penilaian mengenai benar atau salah menurut hukum
terhadap fakta atau peristiwa hukum dari hasil penelitian
3. Pendekatan Penelitian
Pendekatan (approach) yang digunakan dalam suatu penelitian
normatifakan memungkinkan seorang peneliti untuk memanfaatkan hasil
temuan dari ilmu hukum atau ilmu lainnya untuk kepentingan dan
analisis serta eksplanasi hukum tanpa mengubah karakter ilmu hukum
sebagai ilmu normatif. Dalam kaitannya dengan penelitian normatif dapat
digunakan pendekatan sebagai berikut :
a. Pendekatan perundang-undangan (statute approach)
b. Pendekatan konsep (conceptual approach)
c. Pendekatan komparatif
d. Pendekatan historis (historical approach)
e. Pendekatan kasus (case approach)
Cara pendekatan tersebut dapat digabung sehingga dalam suatu
penelitian hukum normatif dapat saja menggunakan dua atau lebih
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
9
pendekatan. Namun satu hal yang pasti dalam penelitian normatif,
digunakannya pendekatan penggunaan pendekatan perundang-undangan.
Ini dikarenakan penelitian hukum normatif didasarkan pada hukum yang
ada (Johny Ibrahim, 2005 : 301).
Pendekatan yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah
Pendekatan perundang-undangan (Statute approach), dan pendekatan
konsep (conceptual approach). Pendekatan perundang-undangan
digunakan karena dalam penelitian normatif harus menggunakan
pendekatan perundang-undangan karena yang akan diteliti adalah
berbagai aturan hukum yang menjadi fokus dari penlitian. Pendekatan
konsep (conceptual approach) digunakan untuk memunculkan, objek-
objek yang menarik perhatian dari sudut praktis dan sudut pengetahuan
dalam pikiran dan atribut-atribut tertentu yang bersifat universal (Johny
ibrahim, 2005 : 309).
4. Sumber Penelitian
Data yang digunakan dalam penelitian normatif adalah data hukum
sekunder. Data sekunder tersebut mencakup :
a. Bahan hukum primer yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat
dan terdiri dari :
1. Norma (dasar) atau kaidah dasar yaitu pembukaan
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945,
2. Peraturan dasar yang terdiri dari :
I. Batang tubuh UUD Republik Indonesia 1945
II. Ketetapan-ketetapan majelis Permusyawaratan
Rakyat
3. Peraturan perundang-undangan yang terdiri dari :
I. Undang-undang dan peraturan yang setaraf,
II. Peraturan pemerintah dan peraturan yang
setaraf,
III. Keputusan Presiden dan peraturan yang setaraf,
IV. Keputusan menteri dan peraturan yang setaraf,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
10
V. Peraturan-peraturan Daerah.
4. Bahan hukum yang tidak dikodifikasikan, seperti
misalnya hukum adat
5. Yurisprudensi
6. Traktat
7. Bahan hukum dari Zaman penjajahan yang hingga kini
masih berlaku, seperti misalnya Kitab Undang Undang
Hukum Pidana yang merupakan terjemahan secara
yuridis dari Wetboek van Strafrecht.
Lebih khususnya penelitian ini, penulis menggunakan sumber hukum
primer antara lain :
1) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945
2) UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
3) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
b. Bahan hukum sekunder yaitu bahan yang memberikan
penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti halnya
rancangan perundang-undangan, hasil-hasil penelitian, hasil
karya dari kalangan hukum (Soerjono soekanto dan Sri
Mamudj, 1990 : 15)
Bahan yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah
adalah buku-buku yang terkait materi mengenai penggunaan
hak euthanasia oleh pasien menurut UU Nomor 39 Tahun
1999 tentang Hak asasi Manusia dan penerapan hukum
euthanasia di Indonesia dengan berbagai negara (Belanda,
Belgia, Amerika)
c. Bahan hukum tersier adalah bahan yang memberikan petujuk
maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer maupun
sekunder.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
11
5. Teknik pengumpulan data
Teknik pengumpulan data yang digunakan oleh penulis dalam
penelitian ini adalah studi dokumen atau bahan pustaka. Studi dokumen
atau bahan pustaka ini penulis lakukan dengan usaha-usaha pengumpulan
data dilakukan dengan cara mengunjungi perpustakaan, mengkaji dan
mempelajari literatur-literatur yang berkaitan erat dengan pokok
permasalahan dalam penelitian ini.
6. Teknik analisis data
Analisis data merupakan kegiatan dalm penelitian yang berupa
melakukan kajian-kajian atau telaah terhadap hasil pengolahan data yang
dibantu dengan teori-teori yang telah didapatkan sebelumnya. Secara
sederhana analisis data ini disebut kegiatan memberikan telaah, yang
dapat berarti menentang, mengkritik, mendukung, menambah atau
memberi komentar dan kemudian membuat suatu kesimpulan terhadap
hasil penelitian dengan pikiran sendiri atau bantuan teori (Mukti Fajar
dan Yulianto achmad, 2010 : 183).
Dalam hal demikian ini peneliti menggunakan metode deduktif yaitu
berpangkal pada prinsip-prinsip dasar, kemudian peneliti menghadirkan
objek yang akan diteliti. Logika deduktif menggunakan ketentuan
berdasarkan pengetahuan umum seperti teori-teori, dalil-dalil, atau
prinsip-prinsip dalam bentuk proposisi-proposisi untuk menarik
kesimpulan terhadap fakta-fakta yang bersifat khusus (Mukti Fajar dan
Yulianto Achmad, 2010 : 109).
F. Sistmatika penulisan hukum
Untuk mempermudah pemahaman mengenai pembahasan dan
memberikan gambaran mengenai sistematika penelitian hukum yang sesuai
dengan aturan dalam penelitian hukum, maka penulis menjabarkannya dalam
bentuk sistematika penelitian hukum yang terdiri dari 4 (empat) bab dimana
tiap-tiap bab terbagi dalam sub-sub bagian yang dimaksudkan untuk
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
12
memudahkan pemahaman terhadap keseluruhan hasil penelitian. Adapun
penulis menyususn sistematika penelitian hukum sebagai berikut:
BAB I : PENDAHULUAN
Dalam bab ini menguraikan tentang Latar Belakang Masalah,
Perumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian,
Metode Penelitian Hukum dan Sistematika Penelitian Hukum
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA
Dalam bab ini akan dibahas kajian pustaka berkaitan dengan
judul dan masalah yang diteliti yang akan memberikan
landasan/kerangka teori serta diuraikan mengenai kerangka
pemikiran. Kajian pustaka ini terdiri dari Tinjauan euthanasia,
Tinjauan Umum tentang pasien, Tinjauan Umum tentang
Undang Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia, Tinjauan Umum tentang Pidana. Selain itu untuk
memudahkan pemahaman alur berpikir, maka di dalam bab ini
juga disertai dengan Kerangka Pemikiran
BAB III : HASIL PENELITIAN dan PEMBAHASAN
Bab ini akan menguraikan hasil dari penelitian yang membahas
tentang norma hukum euthanasia dalam Undang Undang
Nomor 39 Tahun 1999 tentang hak asasi manusia mengenai
euthanasia serta penerapan hukumnya di Indonesia dengan
berbagai negara (Belanda, Belgia, Amerika).
BAB IV : PENUTUP
Dalam bab ini akan diuraikan simpulan dari hasil pembahasan
dan saran-saran mengenai permasalahan yang ada.
Daftar Pustaka
Lampiran
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
13
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori
1. Tinjauan Tentang Euthanasia
a. Pengertian Euthanasia
Euthanasia berasal dari bahasa Yunani yaitu Eu yang berarti baik, dan
Thantos yang berarti mati atau meninggal. Suetonius dalam bukunya
Vitaceaserum merumuskan bahwa Euthanasia adalah mati cepat tanpa
derita. Dalam perkembangannya Euthanasia diartikan sebagai pengakhiran
kehidupan karena belas kasihan (Mercy killing) dan membiarkan seseorang
untuk mati (Mercy Death) (Crisdiono M. Achadiat, 2006:181).
Dalam Kode Etik Kedokteran (KODEKI), dikenal 3 pengertian yang
berkaitan dengan Euthanasia yaitu :
1. Berpindah ke alam baka dengan tenang dan aman, tanpa penderitaan,
untuk yang beriman dengan nama Allah di bibir.
2. Ketika hidup berakhir, diringankan penderitaan sakit dengan memberikan
obat penenang.
3. Mengakhiri derita dan hidup seseorang dengan sengaja atas permintaan
pasien sendiri dan keluarganya.
Euthanasia Studi Grup dari KNMG Holland (Ikatan Dokter
Belanda) menyatakan: “Euthanasia adalah perbuatan dengan sengaja
untuk tidak melakukan sesuatu untuk memperpanjang hidup seorang
pasien atau sengaja melakukan sesuatu untuk memperpendek atau
mengakhiri hidup seorang pasien, dan semua ini dilakukan khusus untuk
kepentingan pasien itu sendiri (Rehnalemken Ginting, 2009:9).
b. Kategori Euthanasia
1) Menurut Lamerton dan Thiroux
Ada empat kategori yang berkaitan dengan Euthanasia yaitu :
a) Membiarkan seseorang mati
b) Kematian belas kasihan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
14
c) Pembunuhan belas kasihan
d) Kematian otak atau batang otak
2) Menurut Profesor Separovic dalam Kongres Kedokteran Sedunia :
a) No Assistence in proces death without intention to shorten life (tidak
ada bantuan dalam proses kematian tanpa niat untuk mempersingkat
hidup)
b) Assistence in the process of death without intention to shorten life
(bantuan dalam proses kematian tanpa niat untuk mempersingkat
hidup)
c) No Assistence in the process of death with intention to shorten life.
(Tidak ada bantuan dalam proses kematian dengan niat untuk
mempersingkat hidup).
d) Assistence in the process of death with intention to shorten life
(bantuan dalam proses kematian dengan niat untuk mempersingkat
hidup) (Crisdiono M. Achadiat, 2006:182).
c. Macam Euthanasia
1) Menurut J.E Sahetapy membedakan Euthanasia dalam tiga jenis yaitu :
a) Action to permit death to occur (aksi untuk mengijinkan kematian
terjadi)
Biasa disebut dengan Euthanasia dalam arti yang pasif
(permission), dimana kematian dapat terjadi karena pasien dengan
sungguh-sungguh dan secara cepat menginginkan mati. Kematian
dalam arti ini seolah-olah merupakan kerjasama antara pasien dan
dokter yang merawatnya. Karena pasien sadar dan tahu bahwa
penyakit yang dideritanya sudah tidak mungkin dapat disembuhkan
walaupun dengan pengobatan dan perawatan bagaimanapun juga.
Oleh sebab itu, untuk mengurangi atau menghilangkan
penderitaannya, pasien kemudian meminta dokter untuk :
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
15
i. Tidak memberikan pengobatan untuk penyembuhan terhadap
penyakitnya,
ii. Tidak diadakan perawatan di rumah sakit lagi, tetapi dirawat
dirumahnya sendiri.
b) Failure to take action toprevent death (Kegagalan untuk mengambil
tindakan untuk mencegah kematian)
Dalam hal ini kematian terjadi karena kelalaian atau kegagalan
dari dokter dalam mengambil suatu tindakan untuk mencegah adanya
kematian. Ini terjadi apabila dokter akan mengambil suatu tindakan
guna mencegah kematian, tetapi ia tidak mengerjakan apa-apa, karena
ia tahu bahwa tindakan yang diberikan kepada pasien akan sia-sia
saja. Pengobatan atau tindakan dokter dipandang sebagai perbuatan
yang tidak berarti sehingga tidak ada cara penyembuhan normal.
c) Positive action to cause death(tindakan positif untuk menyebabkan
kematian)
Biasanya disebut dengan Euthanasia dalam arti aktif
(Causation). Atas permintaan atau desakan dari pasien atau
keluarganya meminta pada dokter untuk bertindak secara positif guna
mempercepat kematian pasien tersebut. Dokter dalam hal ini bertindak
secara aktif untuk mempercepat kematian pasiennya dengan tenang,
misalnya memberikan obat-obatan penghilang kesadaran, morfin
dalam dosis tinggi ataupun cara lainnya.
2) Secara umum ada 3 Jenis Euthanasia yaitu :
a) Euthanasia aktif yaitu secara sengaja melakukan
tindakan/langkah/perbuatan mengakhiri atau memperpendek hidup
penderita.
b) Euthanasia pasif yaitu secara sengaja tidak (lagi) memberikan
perawatan atau bantuan medik yang dapat memperpanjang hidup
penderita.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
16
c) Auto euthanasia yaitu penolakan secara tegas oleh pasien untuk
memperoleh bantuan atau perawatan medik terhadap dirinya, dan ia
tahu pasti bahwa hal ini akan memperpendek atau mengakhiri
hidupnya (Crisdiono M. Achadiat, 2006:182).
3) Pseudo-Euthanasia
a) Menurut Van Wijmen
Dalam kajian-kajian hukum kedokteran, ternyata ada beberapa
keadaan yang mirip Euthanasia tetapi sebenarnya sama sekali bukan
Euthanasia. Sehingga jika dihubungkan dalam KUHP terutama pasal
344 KUHP tidak termasuk rumusan didalamnya. Van Wijmen
menyebutkan :
a) Absistence, of which the essence is that treatment in medical
respects is useless (pengobatan dalam hal-hal medis tidak
berguna)
b) Refusing treatment by patient, in which case the duty to treat
ceases to exist.(pasien menolak untuk pengobatan dilanjutkan)
c) Brain death in which case the duty to treat ceases to exist (adanya
kematian otak). (Crisdiono M. Achadiat, 2006:191)
b) Menurut H.J.J.Leeman
H.J.J.Leeman mensinyalir didalam dunia medis, kadang-kadang
kita menemukan bentuk-bentuk pengakhiran hidup yang bukan
Euthanasia, akan tetapi mirip dengannya. Bentuk-bentuk yang
dimaksud antara lain :
1) Pengakhiran perawatan pasien karena gejala mati otak (Brain
Death),
2) Pengakhiran hidup seseorang akibat keadaan darurat,
3) Memberhentikan suatu perawatan medis yang tidak berguna lagi
(Zinloos),
4) Menolak perawatan medis (Rehnalemken Ginting, 2009:17).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
17
c) Menurut Fred Ameln
Fred Ameln membagi Pseudo-Euthanasia menjadi empat
katagori yaitu :
1) Pengakhiran perawatan medik karena kematian batang otak. Mati
klinis dan kematian yang sebenarnya kini telah dibedakan. Teknologi
kedokteran telah mampu mempertahankan fungsi otonom jantung dan
paru-paru walaupun otak sudah tidak berfungsi. Namun kehidupan
intelektual dan psikis (berpikir, merasakan, berkomunikasi)
sebenarnya telah berakhir pada saat otak berhenti berfungsi meskipun
jantung dan paru-paru masih bekerja. Karenanya menghentikan
perawatan atau bantuan medik pada pasien yang otaknya tidak
berfungsi, kini digolongkan sebagai Euthanasia.
2) Pengakhiran kehidupan akibat keadaan darurat yang timbul karena
kuasa tidak teralawan (Force Majure). Dalam dunia kedokteran dapat
terjadi keadaan sebenarnya telah diatur dengan pasal 48 KUHP.
3) Menghentikan perawatan medik yang diketahui tidak berguna. Ilmu
kedokteran tetap mempunyai batas dan hal-hal diluar batas itu tidak
bisa diurus oleh seorang dokter atau dengan kata lain dokter tidak
berkompeten melakukan sesuatu diluar batas ilmu kedokteran.
Apabila dokter tetap melakukannya, apalagi tanpa izin pasien, maka ia
dapat dituntut berdasarkan penganiayaan. Jadi seorang dokter
seharusnya tidak meneruskan suatu pengobatan, bila secara medik
telah diketahui tidak dapat diharapkan sesuatu hasil apapun. Langkah
tersebut bukan dimaksudkan untuk memperpendek atau mengakhiri
hidup pasien, melinkan mencegah terjadinya penganiayaan pasien
oleh dokter.
4) Pasien menolak perawatan medik. Secara hukum dikatakan bahwa
seorang dokter tidak berhak melakukan tindakan medik apapun, jika
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
18
hal itu tidak diizinkan oleh pasien. Sesuatu yang dilakukan tanpa izin
pasien, akan dapat dikenai sanksi pasal 351 KUHP.
2. Tinjauan Tentang Pasien
a. Pengertian Pasien
Didalam Pasal 1 UU No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran
dijelaskan tentang pengertian pasien adalah setiap orang yang melakukan
konsultasi masalah kesehatannya untuk memperoleh pelayanan kesehatan
yang diperlukan baik secara langsung maupun tidak langsung kepada dokter
atau dokter gigi.
b. Kewajiban Pasien
1) Menurut UU Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran
Di dalam Pasal 53 UU No. 29 Tahun 2004 tentang Paraktik
Kedokteran, telah dirumuskan kewajiban-kewajiban pasien antara lain:
i. Memberikan informasi yang lengkap dan jujur mengenai
masalah kesehatannya
ii. Mematuhi nasehat dan petunjuk dokter/dokter gigi
iii. Mematuhi ketentuan yang berlaku disarana pelayanan kesehatan
iv. Memberikan imbalan jasa atas pelayanan yang diberikan.
2) Menurut Prof. Picard
Seorang pasien mempunyai kewajiban-kewajiban tertentu terhadap
dokternya dan juga terhadap dirinya sendiri. Didalam melakukan
kewajibannya pasien diminta untuk memenuhi standard pasien yang
wajar.
Apabila ia tidak melakukan kewajibannya dan hal ini sampai
merupakan penyebab (proximate cause) dari cideranya, maka ia dianggap
turut bersalah sehingga ganti kerugian yang timbul dibagi secara
proporsional antara dokter dan pasien. Namun apabila cidera itu hanya
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
19
disebabkan oleh pasien itu sendiri, maka ia tidak dapat meminta ganti
kerugian yang dimintanya. Hal-hal yang dikatagorikan sebagai
contributory negligence antara lain :
i. Pasien tidak mentaati instruksi dokternya (termasuk) didalamnya
tidak membeli obat yang sesuai dengan resep dokter)
ii. Pasien menolak cara pengobatan yang diusulkan, misal pasien
menolak operasi yang dianjurkan dokter, kemudian meninggal,
sehingga dokter tidak dapat dipersalahkan.
iii. Pasien tidak sejujurnya memberikan informasi atau tidak
memberikan informasi yang akurat atau menyesatkan (Guwandi,
1993 :19).
c. Hak-Hak Pasien
1) Menurut UU Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran
Pasien dalam menerima pelayanan pada praktek kedokteran,
mempunyai hak:
i. Mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (3)
ii. Meminta pendapat dokter atau dokter gigi lain
iii. Mendapatkan pelayanan sesuai dengan kebutuhan medis
iv. Menolak tindakan medis
v. Mendapatkan isi rekam medis.
2) Hak-hak penting diluar UU Nomor 29 Tahun 2004 tentang praktik
kedokteran
i. Hak untuk hidup, hak untuk mati secara wajar, dan hak atas
tubuhnya sendiri.
ii. Hak untuk memperoleh pelayanan kedokteran yang manusiawi
sesuai dengan standard profesi kedokteran
iii. Hak untuk memperoleh penjelasan tentang diagnosis dan terapi dari
dokter yang mengobatinya
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
20
iv. Hak untuk menolak prosedur diagnosis dan terapi yang
direncanakan, bahkan dapat menarik diri dari kontrak terapeutik
v. Hak untuk memperoleh penjelasan tentang riset kedokteran yang
telah diikutinya serta menolak atau menerima keikutsertaannya
dalam riset kedokteran tersebut
vi. Hak untuk dirujuk kepada dokter spesialis bila perlu, dan
dikembalikan kepada dokter yang merujukya setelah konsultasi atau
pengobtan untuk memperoleh perawatan atau tindak lanjut
vii. Hak atas kerahasian atau rekam medik yang bersifat pribadi
viii. Hak untuk memperoleh penjelasan mengenai peraturan rumah sakit
ix. Hak untuk berhubungan dengan keluarga, penasihat, atau
rohaniawan yang diperlukan selama perawatan dirumah sakit
x. Hak untuk memperoleh penjelasan tentang perincin biaya rawat inap,
obat, pemeriksaan laboratorium, pemriksaan rontgen, biaya kamar
bedah, bersalin, serta imbalan jasa dokter (Anny Isfandyarie, 2006
:102)
3. Tinjauan tentang UU Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia.
a. Sejarah pengaturan Hak Asasi Manusia dalam Undang-Undang
Indonesia
Pada awal Negara ini dibentuk, telah terjadi pertentangan antara para
pendiri Negara dan perancang konstitusi tentang perlu atau tidaknya HAM
dimasukkan ke dalam UUD Negara Indonesia. Dalam pandangan
Soepomo HAM sangat identik dengan ideologi liberal individu dengan
demikian sangat tidak cocok dengan sifat masyarakat Indonesia. Akan
tetapi M. Yamin menolak pandangan demikian, menurutnya tidak ada
dasar apapun yang dapat dijadikan alasan menolak memasukkan HAM
dalam Undang Undang Dasar.
Penolakan Soepomo memasukan norma-norma HAM ke dalam UUD
1945 bukan berarti ia anti terhadap HAM. Perubahan sikap Soepomo
terhadap HAM dapat dilihat dengan dimasukkannya hak-hak dasar warga
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
21
Negara dalam konstitusi RIS dan UUDS 1950 dimana Soepomo terlibat
secara langsung dalam perancangannya. Dalam UUDS 1950, ada 36 pasal
prinsip-prinsip HAM dimuat dibawah paying hak-hak kebebasan dasar
manusia. Sejak Indonesia kembali kepada UUD 1945, dibawah rezim
Soekarno dan dilanjutkan rezim Soeharto dengan orde barunya,
pengaturan HAM kembali bersandar kepada beberapa pasal dalam UUD
1945.
Seiring dengan perkembangan sejarah di dunia Internasional
Instrumen-instrumen HAM semakin berkembang dalam berbagai
konvensi. Perlindungan HAM kemudian dijadikan salah satu norma
standar untuk berhubungan dengan negara luar khususnya negara barat.
Dengan kekuatan ekonomi yang besar dan ketergantungan Negara-negara
dunia ketiga yang non komunis kepada bantuan ekonomi barat,
menimbulkan dominasi negara barat dan standar barat dalam penilaian
terhadap pelaksanaan HAM dunia terutama Negara dunia ketiga.
Isu HAM kemudian dijadikan isu Internasional atau isu global. Hal ini
tak jarang menimbulkan konflik antara Negara Barat dengan Negara-
negara dunia ketiga. Dengan mengetengahkan konsep-konsep konsep
keaneragaman budaya, negara-negara non barat mencoba membendung
dominasi standar barat dalam menilai terhadap perlindungan HAM dunia.
Dominasi standar barat dalam penilaian terhadap HAM semakin kuat
dengan runtuhnya negara-negara sosialis khususnya Uni Soviet.
Keruntuhan ini membawa implikasi yang besar terhadap Indonesia pasca
rezim Soeharto. Selama berkuasa, rezim Soeharto dianggap refresif dalam
mempertahankan kekuasaannya. Hal ini menimbulkan berbagai
pelanggaran HAM sepanjang orde baru dan selalu mendapat penilaian
buruk dari lembaga-lembaga HAM dunia.
Pada tahun 1993 pemerintahan Soeharto mulai menunjukan perubahan
sikapnya terhadap HAM, yaitu dengan membentuk Komisi Nasional Hak
Asasi Manusia (KOMNAS HAM). Perubahan ini dipengaruhi perubahan
konstalasi politik dunia yang mulai menunjukan titik akhir kehancuran
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
22
komunisme dan munculnya dominasi barat. Faktor lainnya adalah isu
pelanggaran HAM di Irian Jaya dan Timor Timur yang pada waktu itu
menjadi isu Internasional.
Pada waktu pemerintahan Habibie yang masih muda harus
mendapatkan tekanan politik baik dari dalam maupun internasional. Hal
inilah yang mendorong pemerintahan Habibie meratifikasi berbagai
instrument HAM Internasional dan menerbitkan UU mengenai HAM yaitu
UU No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia. Sementara itu MPR
melakukan amandemen untuk memasukan instrument-instrumen HAM
kedalam batang tubuh UUD 1945 (Muladi, 2004:10)
b. Pengertian Hak asasi Manusia
Menurut Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi
Manusia pada Pasal 1 angka 1 BAB I tentang Ketentuan Umum, yang
dimaksud dengan Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat
pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha
Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi
dan dilindungi oleh negara, hukum, Pemerintah, dan setiap orang demi
kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia. Konsep hak-
hak asasi manusia mempunyai dua pengertian dasar. Pertama, bahwa hak-
hak yang tidak dapat dipisahkan dan dicabut adalah hak manusia karena ia
seorang manusia. Hak-hak ini adalah hak-hak moral yang berasal dari
kemanusiaan setiap insan dan hak-hak itu bertujuan untuk menjamin
martabat setiap manusia. Kedua, hak-hak menurut hukum yang dibuat
sesuai dengan proses pembentukan hukum dari masyarakat itu sendiri, baik
secara nasional maupun internasional. Dasar dari hak-hak ini adalah
persetujuan dari yang diperintah, yaitu persetujuan dari para warga yang
tunduk kepada hak-hak itu dan tidak hanya tata tertib alamiah yang
merupakan dasar dari arti yang pertama
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
23
b. Instrumen HAM Nasional
Pada masa pemerintahan orde baru, demokrasi belum berjalan dengan
baik. Hanya kepentingan politik saja yang pada waktu itu sangat menonjol,
sehingga gerak-gerik masyarakat terbatas oleh kekuatan politik dan
militerisme. Demi nama baik bangsa dan masyarakat di Indonesia sebagai
anggota PBB, maka untuk menghormati piagam PBB dan deklarasi
Universal HAM, serta perlindungan, pemajuan, penegakkan, dan
pemenuhan HAM sesuai dengan prinsip-prinsip kebudayaan bangsa
Indonesia, Pancasila dan negara berdasarkan hukum telah menetapkan :
a. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvesi
Mengenai Penghapusan Segala bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita,
b. Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 Tentang Pengesahan Hak-
Hak Anak,
c. Keputusan Presiden Nomor 50 Tahun 1993 Tentang Komisi Nasional
HAM.
Semenjak pergantian pemerintahan orde baru, dan Kabinet Era
Reformasi sampai dengan Kabinet Gotong Royong, telah banyak
menetapkan peraturan perundang-undangan yang berperspektif HAM dan
ratifikasi instrumen HAM Internasional, yaitu :
a. Keppres Nomor 129 tahun 1998 tanggal 15 Agustus 1998 tentang
Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan,
b. Instruksi Presiden Nomor 26 Tahun 1998 tanggal 16 September 1998
tentang menghentikan penggunaan istilah Pribumi dan Non Pribumi
dalam semua perumusan dan Penyelenggaraan Kebijakan Perencanaan
Program Ataupun Pelaksanaan Kegiatan Penyelenggaraan
Pemerintahan,
c. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998 tanggal 28 September1998
tentang pengesahan Konvesi Menentang Penyikasaan dan Perlakuan
atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau
Merendahkan,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
24
d. Keppres Nomor 181 Tahun 1998 tanggal 9 Oktober 1998 tentang
Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan,
e. Undang Undang Nomor 9 Tahun 1998 tanggal 26 Oktober 1998 tentang
Kemerdekaan Menyampaikan Dimuka Umum,
f. Undang Undang Nomor 39 Tahun 1999 tanggal 23 September 1999
tentang Hak Asasi Manusia,
g. Undang Undang Nomor 26 Tahun 2000 tanggal 23 November 2000
tentang Peradilan Hak Asasi Manusia,
h. Konvesi ILO No. 87 Tahun 1948, diratifikasi berdasarkan Keppres No.
83 Tahun 1998 Tentang Kebebasan Berserikat dan Perlindungan Hak
Untuk Berorganisasi
i. Konvesi ILO No. 105 Tahun 1957, diratifikasi berdasarkan Undang
Undang Nomor 19 Tanun 1999 Tentang Penghapusan Kerja Paksa,
j. Konvesi ILO 111 Tahun 1958, diratifikasi berdasarkan Undang Undang
Nomor 21 Tahun 1999 tentang Diskriminasi dalam pekerjaan dan
jabatan,
k. Konvesi ILO No. 138 Tahun 1973, diratifikasi berdasarkan Undang
Undang Nomor 20 Tahun 1999 tentang Usia Minimum untuk
diperbolehkan bekerja,
l. Konvesi ILO No. 182 Tahun 1999, diratifikasi berdasarkan Undang
Undang No. 1 Tahun 2000 Tentang Pelanggaran dan Tindakan Segera
Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk Untuk Anak,
m. Konvesi ILO No. 88 Tahun 1948, diratifikasi berdasarkan Keppres No.
36 Tahun 2002 tentang Lembaga Pelayanan Penempatan Tenaga Kerja
(Muladi, 2004:5).
c. Penerapan HAM di Indonesia
Konsep HAM yang sebelumnya cenderung bersifat theologies, filsafati,
ideologis, atau moralistik dengan kemajuan berbangsa dan bernegara dalam
konsep modern akan cenderung ke sifat yuridis dan politik, karena
instrument HAM dikembangkan sebagai bagian yang menyeluruh dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
25
hukum Internasional baik tertulis maupun tidak tertulis. Bentuknya dapat
berupa deklarasi, konvesi, resolusi maupun general Comments. Instrumen-
instrumen tersebut akan membebankan kewajiban para negara-negara
anggota PBB, sebagian mengikat secara yuridis dan sebagian lagi kewajiban
secara moral walaupun para negara anggota belum melakukan ratifikasi
secara formal.
Tetapi konsep HAM tersebut tidak secara universal, disesuaikan dengan
kebudayaan negara Indonesia yang berdasarkan pada Pancasila dan Undang
Undang Dasar 1945. Hal ini mutlak perlu, sebab akan berkaitan dengan
falsafah, doktrin, dan wawasan bangsa Indonesia, baik secara individual
maupun kolektif kehidupan masyarakat yang berasaskan kekeluargaan,
dengan tidak mengenal secara fragmentasi moralitas sipil, moralitas
komunal, maupun moralitas institusional yang saling menunjang
proporsional. Manusia dipandang sebagai pribadi, sebagai makhluk sosial
dan dipandang sebagai warga negara. Jadi konsep HAM Indonesia bukan
saja hak-hak mendasar manusia, tetapi ada kewajiban dasar manusia sebagai
warga negara untuk mematuhi peraturan perundang-undangan, hukum tak
tertulis, menghormati HAM orang lain, moral, etika, patuh pada hukum
Internasionalterhadap negara. Sedangkan kewajiban bagi pemerintah untuk
menghormati, melindungi, menegakkan, memajukan HAM yang telah diatur
berdasarkan peraturan perundang-undangan dan hukum Internasional HAM
yang diterima oleh Indonesia (Muladi, 2004:6).
4. Tinjauan tentang Pelaksanaan Pidana
a. Pengertian Pidana
1) Menurut Sudarto
Soedarto memberikan batasan tentang pengertian hukum pidana
sebagai aturan hukum, yang mengikatkan kepada suatu perbuatan yang
memenuhi syarat-syarat tertentu suatu akibat berupa pidana. Dengan
demikian pada dasarnya hukum pidana berpokok pada 2 hal yaitu:
i. Perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
26
Dengan “perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu” itu
dimaksudkan perbuatan yang dilakukan oleh orang, yang
memungkinkan adanya pemberian pidana. Perbuatan semacam itu
dapat disebut perbuatan yang dapat dipidana atau disingkat
perbuatan jahat . Oleh karena dalam perbuatan jahat ini harus ada
orang yang melakukannya, maka persoalan tentang perbuatan
tertentu itu diperinci menjadi dua, ialah perbuatan yang dilarang dan
orang yang melanggar larangan itu.
ii. Pidana.
Yang dimaksud dengan pidana ialah penderitaan yang sengaja
dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang
memenuhi syarat-syarat tertentu itu. Didalam hukum pidana modern,
pidana ini juga meliputi apa yang disebut tindakan tata tertib. Dalam
KUHP yang sekarang berlaku jenis-jenis pidana yang dapat
diterapkan tercantum dalam Pasal 10 KUHP.
2) Menurut Van Hammel
een bijzonder leed, tegen den overtreder van een door den staat
gehandhaafd rechtsvoorschrift, op den enkelen grond van di overtreding,
van wege den staat als handhaver der openbar rechtsorde, door met de
rechtsbedeeling belaste gezag uit te spreken. (suatu penderitaan yang
bersifat khusus, yang telah dijatuhkan oleh kekuasaan yang berwenang
untuk menjatuhkan pidana atas nama negara sebagai penanggung jawab
dari ketertiban hukum umum bagi seorang pelanggar, yakni semata-mata
karena orang tersebut telah melanggar suatu peraturan hukum yang harus
ditegakkan oleh negara.). (Lamintang. 1984:34)
3) Menurut Simmons
Het leed, door de strafwet als gevolg aan de overtreding van de norm
verbonden, dat aan den schuldige bij rechterlijk vonnis wordt opgelegd.
(suatu penderitaan yang oleh undang-undang pidana telah dikaitkan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
27
dengan pelanggaran terhadap suatu norma, yang dengan suatu putusan
hakim telah dijatuhkan bagi seseorang yang bersalah).
4) Menurut Roslan Saleh
Pidana adalah reaksi atas delik dan ini berwujud suatu nestapa yang
dengan sengaja ditimpakan negara pada pembuat delik itu.
5) Menurut Ted Hondrich
Punishment is an authority’s infliction of penalty (something
involving deprivation or distress) on an offender for an offence.(pidana
adalah suatu penderitaan dari pihak yang berwenang sebagai hukuman
(sesuatu yang meliputi pencabutan dan penderitaan) yang dikenakan
kepada seorang pelaku karena sebuah pelanggaran).
6) Menurut Hulsman
Hakekat pidana adalah “menyerukan untuk tertib” (tot de orde
reopen); pidana pada hakekatnya mempunyai dua tujuan utama yakni:
untuk mempengaruhi tingkah laku (gedragsbeinvloeding) dan
penyelesaian konflik (conflictoplossing). Penyelesaian konflik ini dapat
terdiri dari perbaikan kerugian yang dialami atau perbaikan hubungan
baik yang dirusak atau pengembalian kepercayaan antar sesama manusia.
7) Menurut Prof. Dr. Moeljatno, SH
Prof. Dr. Moeljatno, SH. menguraikan berdasarkan dari pengertian
istilah hukum pidana bahwa ”Hukum pidana adalah bagian dari
keseluruhan hukum yang berlaku disuatu negara, yang mengadakan
dasar-dasar dan aturan-aturan untuk:
i. Menentukan perbuatan-perbuatan yang tidak boleh dilakukan, yang
dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi berupa pidana tertentu
bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
28
ii. Menentukan dan dalam hal apa kepada mereka yang melanggar
larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana
sebagaimana yang telah diancamkan;
iii. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat
dilakasanakan apabila orang yang disangkakan telah melanggar
larangan tersebut. (Moeljatno, 2002 : 1)
8) Menurut P.A.F Lamintang
Menurut P.A.F. Lamintang, bahwa pidana itu sebenarnya hanya
merupakan suatu penderitaan atau suatu alat belaka. Ini berarti bahwa
pidana itu bukan merupakan suatu tujuan dan tidak mungkin dapat
mempunyai tujuan. Menurutnya hal tersebut perlu dijelaskan, agar kita di
Indonesia jangan sampai terbawa oleh arus kacaunya cara berpikir dari
para penulis di negeri Belanda, karena mereka seringkali telah menyebut
tujuan dari pemidanaan dengan perkataan tujuan dari pidana, hingga ada
beberapa penulis di tanah air yang tanpa menyadari kacaunya cara
berpikir para penulis Belanda itu, secara harfiah telah menterjemahkan
perkataan doel der straf dengan perkataan tujuan dari pidana, padahal
yang dimaksud dengan perkataan doel der straf itu sebenarnya adalah
tujuan dari pemidanaan (PAF Lamintang, 1997 : 185).
b. Jenis-Jenis Sanksi Pidana
1. Pidana pokok terdiri dari :
(a) Pidana mati
Pidana mati masih mengalami perdebatan antara setuju dan tidak
setuju dan tidak setuju mengenai penerapan pidana mati. Pidana mati
merupakan sanksi pidana yang paling berat. (Bambang waluyo, 2000
:12)
(b) Pidana penjara
Pidana penjara merupakan bentuk pelaksanaan pidana yang dari
sifatnya menghilangkan serta membatasi kemerdekaan bergerak,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
29
yang dalam hal ini menempatkan narapidana dalam lembaga
pemasyarakatan. Ciri khas dalam pidana penjara adalah :
i. Pidana penjara diancamkan pada jenis kejahatan
ii. Ancaman pidana maksimal 15 tahun dan dapat diperpanjang
menjadi 20 tahun apabila tindak pidana tersebut memberatkan.
iii. Pidana penjara tidak dapat menggantikan pidana denda.
iv. Pelaksanaannya dapat dilakukan di seluruh lembaga
pemasyarakatan
v. Pekerjaan yang diwajibkan pada narapidana penjara lebih berat
daripada narapidana kurungan.
(c) Pidana kurungan
Pidana kurungan hampir sama dengan pidana penjara, akan tetapi
ada ciri khusus yang membedakannya. Ciri khas dari pidana
kurungan antara lain :
i. Pidana kurungan yang diancamkan jenis pelanggaran
ii. Ancaman pidana kurungan maksimum 1 tahun dan dapat
menjadi maksimum 1 tahun 4 bulan
iii. Pidana kurungan dapat menggantikan pidana denda
iv. Pelaksanaannya hanya dapat dilakukan di lembaga
pemasyarakatan dimana tinggal ketika putusan hakim
dijalankan
v. Pekerjaan pidana kurungan lebih ringan dari pada pidana
penjara
vi. Narapidana kurungan dengan biaya sendiri dapat meringankan
dalam menjalankan pidananya menurut aturan yang diterapkan
(hak pistole)
(d) Pidana denda
Pidana denda diancamkan pada banyak jenis pelanggaran baik
sebagai alternative dari pidana kurungan maupun berdiri sendiri.
Ciri khusus dari pidana denda adalah :
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
30
i. Pelaksanaan pidana denda tidak menutup kemungkinan dilakukan
atau dibayar oleh orang lain
ii. Pelaksanaan pidana denda boleh diganti dengan menjalani pidana
kurungan, lama pidana kurungan untuk mengganti denda adalah
minimal 1 hari dan dapat maksimal 6 bulan
iii. Dalam hal pidana denda tidak terdapat maksimum umumnya,
yang ada hanyalah minimum umumnya adalah tiga rupiah tujuh
puluh lima send an maksimum khususnya ditentukan pada
masing-masing rumusan tindak pidana yang bersangkutan.
(e) Pidana tutupan
Pidana tutupan ditambahkan dalam Pasal 10 KUHP melalui
Undang-undang nomor 20 tahun 1946, yang tertuang dalam Pasal 2
ayat (1) yang menyatakan bahwa, dalam mengadili orang yang
melakukan kejahatan, yang diancam dengan pidana penjara karena
terdorong oleh maksud yang patut dihormati, hakim boleh
menjatuhkan pidana tutupan (Adami Chazawi, 2002 : 29-42)
2. Pidana tambahan terdiri dari :
(a) Pencabutan hak-hak tertentu
Pencabutan hak-hak tertentu tertuang dalam Pasal 35 KUHP
antara lain :
i. Hak memegang jabatan pada umumnya atau jabatan tertentu,
ii. Hak mjabatan dalam angkatan bersenjata/TNI,
iii. Hak memilih dan dipilih dalam pemilihan yang diadakan
berdasarkan aturan umum,
iv. Hak menjadi penasehat hukum atau pengurus atas penetapan
pengadilan, hak menjadi wali, wali pengawas, pengampu atau
pengampu pengawas atas anak yang bukan anaknya sendiri,
v. Hak menjalankan kekuasaan bapak, menjalankan perwalian atau
pengampuan atas anaknya sendiri,
vi. Hak menjalankan mata pencaharian.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
31
(b) Perampasan barang tertentu
Barang yang dirampas melalui putusan hakim menurut Pasal 39
KUHP adalah :
i. Barang yang berasal/diperoleh dari suatu kejahatan, yang disebut
dengan corpora delictie
ii. Barang yang digunakan dalam melakukan kejahatan, yang disebut
dengan instrument delictie
(c) Pengumuman putusan hakim
Pengumuman putusan hakim ditujukan sebagai usaha preventif,
untuk mencegah orang-orang tertentu agar tidak melakukan tindak
pidana yang sering dilakukan oleh orang. Selain itu juga
memberitahukan kepada masyarakat agar berhati-hati dalam
berhubungan dengan orang yang dapat disangka tidak jujur, agar tidak
menjadi korban kejahatan ( Adami Chazawi, 2002 : 44-45)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
32
Pasien
Informed Consent
Penerapan hukum
euthanasia
Undang Undang No. 39 Tahun 1999
tentang Hak Asasi Manusia
Hak untuk hidup Hak untuk
menentukan nasibnya
sendiri
Euthanasia
Hukum Indonesia,
Belanda, Belgia,
Amerika
B. Kerangka Pemikiran
Gambar I
Bagan kerangka pemikiran
Keterangan :
Pasien dapat meminta dokter untuk menghentikan tindakan-tindakan medik
terhadap dirinya dengan cara mengurangi kualitas perawatan dari rumah sakit ke
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
33
rumah tangga. Penghentian tindakan medik ini dapat dilakukan setelah adanya
persetujuan antara pasien dan dokter (informed consent). Setelah dirawat dirumah
akhirnya paseien meninggal dunia. Tindakan dokter yang mengizinkan untuk
mengurangi perawatan dari rumah sakit ke rumah tangga inilah yang tergolong
dalam euthanasia yaitu termasuk euthanasia pasif.
Di Indonesia permasalahan tentang euthanasia belum diatur dalam
peraturan perundang undangan secara jelas, hanya ada dalam KUHP terdapat
Pasal yang mendekati euthanasia yaitu Pasal 344. Sedangkan negara-negara
lainnya (Belanda, Belgia, Amerika) telah melegalkan praktek euthanasia dan
telah diatur secara tegas dalam peraturan perundang undangan.
Jika dilihat dari hak asasi manusia, masalah euthanasia di Indonesia
menimbulkan dualisme tersendiri. Di satu sisi manusia mempunyai hak hidup,
sehingga perbuatan apapun yang tergolong euthanasia merupakan murni
pelanggaran dari hak asasi manusia. Di sisi lain manusia mempunyai hak untuk
menentukan hidupnya sendiri, dimana setiap orang bebas untuk menentukan
hidupnya sendiri. Seorang pasien yang meminta dokter untuk melepas semua alat
yang membantu hidupnya karena menurutnya sudah tidak ada lagi harapan untuk
sembuh merupakan hal yang wajar, karena merupakan hak pasien tersebut, dan
dokter jika tidak mau melakukannya, maka dokter tersebut telah melanggar hak
dari pasien tersebut.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
34
BAB III. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Norma hukum ketentuan euthanasia menurut Undang Undang Nomor 39
Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia
1. Pengaturan euthanasia dalam Undang Undang Nomor 39 Tahun 1999
Tentang Hak Asasi Manusia.
Walau dikenal dalam dunia medis praktik euthanasia bukannya tanpa
hambatan dan halangan. Terutama penilaian dalam sisi humanis dan hak
asasi manusia. Tapi hak asasi seorang pasien juga yang meminta untuk
diakhiri hidupnya, tentunya dengan syarat yang ketat, bila ia merasa
sakitnya malah membuat beban ia dan orang disekitarnya. Ada hak moral
bagi setiap orang untuk mati terhormat, maka seseorang mempunyai hak
memilih cara kematiannya. Alasan yang lazim dikemukakan dokter untuk
memutuskan tindakan euthanasia adalah karena keadaan ekonomi pasien
yang terbatas, sementara dana yang dibutuhkan untuk pengobatan sangat
tinggi, sedangkan fungsi pengobatan menurut perhitungan dokter sudah
tidak efektif lagi.
Hak asasi merupakan hak yang dimiliki oleh setiap manusia sejak
lahir. Setiap manusia tentunya memiliki hak untuk hidup yang diatur
didalam Pasal 9 ayat (1) Undang Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang
Hak Asasi Manusia dan tidak menutup kemungkinan adanya hak untuk
mati. Namun, hak asasi manusia lebih sering dikaitkan dengan hak untuk
hidup ,akan tetapi tidak tercantum dengan jelas adanya hak untuk mati.
Dalam berbagai hal, kematian lebih sering dihubungkan dengan pelanggaran
hak asasi manusia. Hal ini terbukti dari aspek hukum euthanasia, yang mana
cenderung menyalahkan tenaga medis, khususnya pihak dokter.
Jika kita lihat secara sepintas, memang melakukan euthanasia pada
pasien merupakan tindakan yang melanggar hak asasi manusia, khususnya
hak untuk hidup. Karena secara tidak langsung, tindakan ini dapat diartikan
merampas hak hidup manusia. Namun, adanya hak untuk hidup, secara tidak
langsung seharusnya ada juga hak untuk mati. Terlebih lagi jika untuk
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
35
menghindarkan diri dari segala ketidaknyamanan khususnya penderitaan
akibat penyakit yang diderita pasien, yang mana menurut medis sudah tidak
ada harapan untuk sembuh.
Dari aspek Hak asasi manusia terutama dari Undang Undang Nomor
39 Tahun 1999, euthanasia tidak dapat dipandang sebelah mata sebagai
tindakan yang melanggar HAM, karena hak manusia bukan hanya hak untuk
hidup namun juga hak untuk mati. Ditambah lagi jika tindakan euthanasia
tersebut telah mendapat persetujuan dari pasien itu sendiri
Hak untuk hidup adalah hak yang paling asasi bagi semua mahluk,
terutama bagi manusia. Seperti yang telah disebutkan dalam pernyataan
umum hak-hak manusia (Universal Declaration of Human Rights) pada
Pasal 3 yang menyatakan bahwa setiap orang berhak akan hidup, akan
kemerdekaan da keamanan bagi dirinya. Berhubungan dengan pasal tersebut
ada kaitannya, yakni beberapa pasal dalam UUD 1945 yang memuat hak-
hak asasi manusia, yaitu seperti hak setiap warga negara bersama
kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan, berhak atas pekerjaan
dan penghidupan yang layak, hak berserikat dan berkumpul, mengeluarkan
pendapat, berhak hidup sejahtera lahir dan batin, hak untuk hidup, hak untuk
tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, dan masih banyak
ketentuan UUD 1945 yang mengatur hak manusia. seorang pasien yang
meminta dokter untuk mengakhiri hidupnya sebetulnya tidak ingin mati
tetapi ingin mengakhiri penderitaanya. Namun demikian di negara kita
belum ada hukum yang jelas mengenai euthanasia ini. Dasar dari penentuan
tindakan boleh dilakukan euthanasia atau tidak boleh dilakukan euthanasia
adalah pedoman yang dikeluarkan oleh Pengurus besar Ikatan Dokter
Indonesia, yaitu Surat Edaran No.702/PB/H.2/09/2004 tentang euthanasia.
Dalam pandangan hukum, euthanasia bisa dilakukan jika pengadilan
megijinkan Dari sudut pandang hukum euthanasia aktif jelas melanggar,
Undang Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang HAM, yaitu Pasal 4 dan
Pasal 9 ayat (1) (Wila Chandrawila Supriadi, 104 :2001).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
36
Apabila secara medis sudah tidak ada harapan sembuh dan kondisi
pasien justru semakin menderita. Membunuh tidak dibenarkan dalam HAM
namun keputusan euthanasia atas seseorang hanya bisa dilakukan jika
diambil dalam persidangan yang mendengarkan keterangan ahli hukum,
etika kedokteran, dan agama pasien. Secara umum sebenarnya hukum tidak
memberikan rumusan yang tegas mengenai kematian seseorang. Hanya,
disebutkan bahwa kematian adalah hilangnya nyawa seseorang, namun tidak
ada penjelasan lebih lanjut. Padahal, dengan kemajuan iptek kedokteran
masa kini, detak jantung dan napas seseorang dapat terus dipertahankan
karena fungsi otonomnya (dengan bantuan peralatan medis tertentu),
walaupun sebenarnya otak atau batang otaknya telah berhenti berfungsi.
Inilah yang di kalangan kedakteran dikenal sebagai keadaan vegetatif
(vegetative state). Permasalahan yang timbul kemudian adalah bahwa pasien
tidak dapat melakukan kegiatan selayaknya manusia, hidup dengan bantuan
alat-alat yang tentunya akan semakin memperpanjang penderitaan. Pada
kasus ini jelas bahwa pasien mengalami kematian batang otak di mana
secara etik-moral dapat menghentikan tindakan terpeutik dengan tujuan
untuk mengakhiri penderitaan. Tindakan ini menurut Prof.J.J.leennen
digolongkan pseudo euthanasia (Wila Chandrawila Supriadi, 104 :2001).
Masalah kemudian berkembang ketika menyentuh hak dasar pasien
untuk menentukan dirinya sendiri (the right self of determination). Hak
tersebut mencakup hak untuk menentukan atau menolak pelayanan
kesehatan, hak untuk memilih sarana kesehatan atau dokter, hak untuk
dirahasiakan penyakitnya, hak untuk melihat rekam medik termasuk hak
untuk mengakhiri hidup, di mana tentunya pasien yang diwakili oleh
keluarga meminta untuk mengakhiri hidup dengan melepas alat-alat bantu
tersebut (Wila Chandrawila Supriadi, 104 :2001). Setelah mendapatkan
informasi yang jelas pasien dapat meminta dokter untuk melakukan
euthanasia dalam hal ini euthanasia pasif atas dirinya, maka ia berarti telah
menjalankan haknya yaitu hak untuk menghentikan pengobatan, Dengan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
37
demikian pasien tersebut sudah tidak peduli dengan kematiannya (Petrus
Yoyo Karyadi, 67 : 2001).
Dalam memandang kasus seperti ini kita memandang dari dua sisi,
yaitu pertama, pasien memiliki hak untuk menentukan nasibnya sendiri dan
mempunyai hak untuk menolak perawatan, hal ini merupakan hak dasar
yang tercantum di dalam UU 39 tahun 1999 HAM dan UU Kesehatan.
Dokter mempunyai kewajiban bahwa di dalam menjalankan hak dan
kebebasanya sebagai seorang dokter hendaknya menghormati hak dan
kebebasan yang digunakan pasien untuk memenuhi tuntuntan yang adil
sesuai dengan pertimbangan etik serta moral. Inilah yang menjadi dualisme
tersendiri yaitu antara hak untuk menentukan hidup sendiri dan hak untuk
hidup (Petrus Yoyo Karyadi, 67 : 2001).
Akan tetapi hak untuk menentukan hidup sendiri (the right of self
determination) tidak dapat berdiri sendiri tanpa ada adanya hak atas
pelayanan kesehatan (the right to health care) dan hak atas informasi (the
right of information) yang merupakan satu kesatuan yang tidak dapat
dipisahkan. Mengenai hak atas pelayanan kesehatan memerlukan
penanganan yang sungguh-sungguh. Hal ini diakui secara internasional
sebagaimana diatur dalam The Universal Declaration of Human Rights
tahun 1948.
Beberapa pasal yang berkaitan dengan hak untuk menentukan
hidupnya sendiri (the right of self determination), hak atas kesehatan (the
right of health) antara lain diatur dalam article 3 yang berbunyi Everyone
has the right to life, liberty and security person (setiap orang berhak untuk
hidup, bebas, serta keamanan). Selanjutnya dalam article 5 disebutkan no
one shall be subjected to torture or to cruel, inhuman or degrading
treatment (tidak ada yang harus dikenakan penyiksaan atau perlakuan
kejam, tidak manusiawi atau merendahkan). Ketentuan lain dimuat dalam
International Convernant on Civil and Political Rights (konferensi
internasional atas hak sipil dan politik) tahun 1966 disebutkan dalam article
7 menyebutkan No one shall be subjected to torture or to cruel, inhuman
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
38
degrading treatment. In particular, no one shall be subjected without his
free consent to medical or scientific experimentation (Tidak seorang pun
boleh disiksa atau diperlakukan secara kejam, tidak manusiawi
merendahkan martabat. Secara khusus, tak seorang pun akan dikenakan
tanpa persetujuan bebas untuk eksperimen medis atau ilmiah). Ketentuan
lain dimuat dalam article 10 mengatur tentang All persons deprived of their
liberty shall be treated with humanity and respect for inherent dignity of the
human person (Semua orang yang dirampas kebebasannya wajib
diperlakukan secara manusiawi dan menghormati martabat yang melekat
pada manusia) (Bahder Johan Nasution, 2005 : 33).
Hak yang menjadi pendukung atas hak menentukan hidup sendiri
selanjutnya adalah hak atas informasi (the right of information). Dalam
dunia kedokteran, informasi merupakan hak asasi pasien, karena
berdasarkna informasi tersebut pesaien dapat mengambil tindakan medis
yang dilakukan terhadap dirinya. Dipihak lain, memberikan informasi
secara benar kepada pasien merupakan kewajiban pokok seorang dokter
yang sedang menjalankan profesinya. Selain berkaitan dengan masalah
hukum, informasi ini juga berkaitan dengan masalah etika, moral serta
norma-norma yang berlaku didalam masyarakat.
Perselisihan antara dokter dan pasien juga dapat timbul karena
masalah informasi. Dahulu hubungan antara dokter dan pasien hanya
bersifat paternalistik yaitu pasien taat dan menurut saja kepada dokter. Pada
masa kini hubungan seperti ini sudah tidak mendapatkan tempat lagi karena
masyarakat telah semakin sadar akan hak-haknya untuk menentukan
hidupnya sendiri (The right of self determination). Banyak informasi dari
kalangan kedokteran yang dahulu menjadi monopoli kalangan dokter,
sekarang telah dipahami oleh masyarakat luas. Pasien berhak untuk
mengetahui apa yang hendak dilakukan dokter kepadanya karena pada
hakekatnya semua tindakan medis oleh dokter akan ditanggung ditanggung
seluruhnya oleh pasien. Sebaliknya dokter juga harus menjelaskan apabila
terjadi akibat negatif ataupun tidak berhasilnya suatu tindakan medis atas
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
39
pasiennya, sehingga pasien dapat memutuskan serta menanggung
keputusannya sendiri.
Dalam perkembangannya, kesadaran masyarakat akan hak asasi
manusia juga mempengaruhi medical ethics (etika kedokteran), sehingga
telah ada dasar-dasar medical ethics (etika kedokteran) bagi masyarakat
dengan hak asasi manusia khususnya hak kesehatan umtuk warga negara.
Hak kesehatan merupakan termasuk bagian dari hak asasi manusia yang
harus djaga oleh negara. Penjagaan dan perlindugan hak kesehatan oleh
negara dan pemerintah bagi warganya terwujud dalam pembentukan
peraturan perundang undangan dan anggaran biaya kesehatan masyarakat
(Tarmizi Taher, 61 : 2003)
Hak asasi manusia merupakan hak yang tidak boleh dicabut oleh
siapaun, sebab pencabutan hak asasi manusia berarti hilangnya sifat
kemanusiaan yang ada pada diri manusia. Ini berarti harkat dan martabat
manusia sebagai ciri khas kemanusiaan manusia tidak lagi dihormati dan
diakui. Hak asasi manusia merupakan sesuatu hak yang awal, bukan
merupakan suatu pemberian dari masyarakat atau negara. (Harun Pudjianto,
37 : 1999)
Apabila kita kaitkan dengan pemberian euthanasia pasif oleh dokter,
berarti dokter tersebut telah memenuhi hak dari pasien tersebut. Seorang
pasien yang meminta untuk dilepas alat penopang hidupnya walaupun
pasien tersebut akan meninggal dunia, berarti pasien tersebut telah
menggunakan hak untuk menentukan hidupnya sendiri (the right of self
determination). Keputusan pasien untuk melepas alat penopang hidupnya
tidak serta merta muncul begitu saja. Pasien memutuskan untuk melepas alat
penopang hidupnya setelah mendapatkan informasi yang cukup jelas dari
dokter mengenai penyakitnya (hak informasi). Setelah mendapatkan
penjelasan yang cukup jelas dan menurut dokter penyakitnya sudah tidak
dapat disembuhkan lagi sehingga perawatan yang dijalaninya dirumah sakit
akan menambah biaya saja. Tindakan dokter yang tidak memberikan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
40
euthanasia pasif berarti dokter tersebut telah merampas hak-hak dari pasien
tersebut.
2. Informed Concent sebagai sarana dilakukannya euthanasia yang
berdasarkan UU 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia
Setelah mendapatkan informasi yang jelas berkaitan dengan
penyakitnya, pasien ataupun pihak keluarga dapat memberikan keputusan
mengenai perawatan atau tindakan medis yang harus diambil atau dalam
medis sering disebut dengan informed consent. Dalam pemberian pelayanan
kesehatan kepada masyarakat, terdapat hal yang berkaitan dengan HAM di
dalam doktrin Informed Consent. Informed consent lahir karena ada
hubungan teurapeutik antara tenaga kesehatan dengan pasiennya. Masing-
masing pihak mempunyai hak dan kewajiban masing-masing yang harus
dihormati. Hak untuk menerima yang dimiliki seseorang akan
bersinggungan dengan kewajiban pihak lain untuk memberi, demikian pula
sebaliknya. Interaksi antara hak dan kewajiban inilah yang melahirkan
hubungan hukum yang akan dan harus diatur oleh hukum agar fungsi
hukum yaitu tercapainya keteraturan (kepastian) dan ketertiban dalam
kehidupan manusia di dalam masyarakat dapat terwujud. Hak adalah
wewenang, kekuasaan supaya berbuat sesuatu atau menuntut sesuatu,
sebaliknya kewajiban adalah tunduk pada, menghormati hak tersebut atau
berbuat sesuatu yang diwajibkan oleh hak tersebut. Hak pasien sebagai
pengguna jasa pelayanan kesehatan akan berhubungan dengan kewajiban
tenaga kesehatan dan rumah sakit untuk menunaikan hak-haknya. Dalam
sistem hukum menunaikan kewajiban lebih diutamakan daripada hak.
Pemahaman tenaga kesehatan tentang hak pasien menjadi suatu keharusan.
Dalam konteks ini, adalah Hak Asasi Manusia (HAM) untuk memutuskan
sendiri apa yang akan dilakukan terhadap dirinya sendiri, sehingga
memunculkan doktrin informed consent. Didalam Universal Declration of
Human Right (article 19) dan dalam UU 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia Bab II Pasal 14 disebutkan bahwa setiap orang berhak memperoleh
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
41
informasi. Kemudian dalam The Declaration of Lisbon dimuat pula tentang
hak-hak pasien, diantaranya hak untuk menentukan hidupnya sendiri dengan
menerima atau menolak pengobatan yang akan diberikan setelah
mendapatkan informasi yang cukup dimengerti.
Dalam surat keputusan Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI)
Nomor 319/PB/A.4/88 Tahun 1988 disebutkan pernyataan Ikatan Dokter
Indonesia tentang Informed Consent. Di Indonesia dalam UU No. 23 Tahun
1992 tentang Kesehatan Pasal 53 ayat (2) beserta penjelasannya terdapat
kewajiban tenaga kesehatan untuk mematuhi standar profesi dan
menghormati hak pasien. Informed consent atau dalam Peraturan Menteri
Kesehatan RI no 585/Menkes/Per/IX/1989 tanggal 4 September 1989
disebut dengan Persetujuan Tindakan Medik yang dapat didefinisikan
sebagai ijin atau pernyataan setuju dari pasien yang diberikan dengan bebas
dan rasional, sesudah mendapatkan informasi dari dokter dan dimengertinya
(persetujuan berasarkan informasi (muladi 2004:183). Dalam Peraturan
Menteri Kesehatan RI no 585/Menkes/Per/IX/1989, tentang persetujuan
diatur dalam Bab II Pasal 2 dan 3 sebagai berikut :
1. Semua tindakan medik yang akan dilakukan terhadap pasien harus
mendapat persetujuan
2. Persetujuan tersebut dapat diberikan secara tertulis maupun lisan
3. Persetujuan diberiakan setelah pasien mendapatkan informasi yang kuat
tentang perlunya tindakan medik yang bersangkutan serata resiko yang
dapat ditimbulkan
4. Persetujuan lisan berlaku bagi tindakan medik yang tidak termasuk
dalam tindakan medik yang mengandung resiko medik
5. Persetujuan dapat diberikan secara nyata atau diam-diam (Anny
Isfandyarie, 142 : 2006).
Sedangkan mengenai hak atas informasi juga telah diatur Peraturan
Menteri Kesehatan RI no 585/Menkes/Per/IX/1989 antara lain :
1. Cara penyampaian dan isi informasi harus disesuaikan dengan tingkat
pendidikan serta kondisi dan situasi pasien
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
42
2. Informasi tentang tindakan medik harus diberikan oleh dokter kepada
pasien baik diminta maupun tidak diminta, dengan informasi yang
selengkap-lengkapnya
3. Dalam hal informasi tidak bisa diberikan kepada pasien, maka dengan
persetujuan pasien, dokter dapat memberikan informasi tersebut kepada
kepada keluarga terdekat dengan didampingi perawat atau paramedis
sebagai saksi
4. Informasi mencakup keuntungan dan kerugian daripada tindakan medik
yang dilakukan baik diagnostik maupun terapeutik, diberikan secara
lisan dan jujur (Anny Isfandyarie, 143 : 2006)
Dalam UU Praktik kedokteran, persetujuan tindakan medik tercantum
pada BAB VII Tentang Penyelenggaraan Praktik Kedokteraan. Pada Pasal
45 ayat (1) disebutkan bahwa :
Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan oleh dokter atau dokter gigi terhadap pasien harus mendapat persetujuan.
Dari pasal diatas dapat diuraikan bahwa pada prinsipnya yang berhak
memberikan persetujuan atau penolakan tindakan medis adalah pasien yang
bersangkutan. Penjelasan yang harus diberikan oleh dokter kepada pasien
atau keluarganya menurut Pasal 45 ayat (3) UU Praktik kedokteran minimal
mencakup tentang :
1. Diagnosa dan tata cara tindakan medis
2. Tujuan tindakan medis dilakukan
3. Alternatif tindakan lain dan resikonya
4. Resiko dan komplikasi yang mungkin terjadi
5. Prognosis terhadap tindakan yang mungkin terjadi (Syahrul Mahmud, 65:
2008)
Persetujuan tindakan medis dapat dilakukan oleh bukan pasien apabila
pasien berada dibawah pengampuan, belum dewasa, dan tidak sadar.
Apabila hal tersebut terjadi maka yang berhak mewakili adalah keluarga
terdekat, dan apabila keluarga tidak ada, maka penjelasan diberikan kepada
orang yang mengantar pasien, dan apabila dalam keadaan darurat tidak ada
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
43
keluarga ataupun orang yang mengantar, maka untuk menyelamatkan jiwa
pasien tidak diperlukan persetujuan. Penjelasan diberikan langsung kepada
pasien tanpa terkecuali pada kesempatan pertama sesudah pasien sadar.
Pada dasarnya Informed Consent merupakan proses komunikasi.
Dokter yang melakukan tindakan, baik sebagai prosedur diagnostik ataupun
prosedur terapetik wajib menjelaskan dan mendiskusikan segala sesuatu
yang berkaitan dengan tindakan tersebut kepada pasien. Sebaliknya pasien
mempunyai kesempatan untuk bertanya dan memahami tindakan tersebut,
sehingga dia dapat membuat keputusan dan memberikan persetujuan. Jadi
dalam proses komunikasi ini informasi diberikan oleh dokter, diterima oleh
pasien dan didokumentasikan dalam lembaran Informed Consent. Dalam
komunikasi dokter harus menjelaskan sesuai dengan pengetahuan pasien,
agar informasi dapat diterima dengan benar (Guwandi. 1995:25).
Informed consent merupakan syarat yang bertumpu pada dua macam
hak asasi yang merupakan hak dasar manusia, yaitu untuk menentukan
nasibnya sendiri (the Right of self Determination) dan hak atas informasi
(the Right to Information). Dengan kedua hak dasar tersebut, dokter dan
pasien bersama-sama menemukan terapi yang paling tepat akan digunakan
(Guwandi. 1995:25).
Latar belakang dari pengambilan keputusan atau informed consent
secara prinsip adalah bahwa setiap manusia berhak berperan serta dalam
pengambilan keputusan menyangkut dirinya. Hal ini kemudian dijabarkan
menjadi :
1. Pasien harus memahami dan mempunyai informasi yang cukup untuk
mengambil keputusan mengenai perawatan terhadap dirinya.
2. Pasien harus memberikan persetujuan atas perawatan terhadapnya, baik
secara lisan atau tertulis, secara eksplisit maupun implisit.
Hakikatnya informed consent adalah untuk melindungi pasien dari
segala kemungkinan tindakan medis yang disetujui atau yang tidak disetujui
oleh pasien tersebut, sekaligus melindungi dokter secara hukum terhadap
kemungkinan akibat tak terduga dan bersifat negatif termasuk dalam
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
44
melakukan euthanasia. Akan tetapi, dalam kenyataannya praktek informed
concent cukup sulit. Ini terbukti masih ditemukannya permasalahan-
permasalahan yang dihadapi oleh pihak rumah sakit antara lain :
1. Pengertian kemampuan secara hukum dari orang yang akan menjalani
tindakan medis, serta siapa yang berhak menandatangani surat persetujuan,
dimana harus ditentukan mengenai batas usia, keadaan kesadaran, kondisi
mentalnya dan status kebebasannya. Sampai sejauh mana orang sedang
merasakan kesakitan mampu menetapkan pilihan atau konsentrasi pada
penjelasan yang diberikan.
2. Masalah wali yang sah, timbul apabila pasien dianggap tidak mampu
secara hukum untuk menyatakan persetujuannya. Siapa sebagai wali yang
sah apabila ia selama tinggal bersama pamannya, atau apabila ayah dan
ibunya berbeda pendapat mengenai tindakan medik yang akan
diberikannya.
3. Masalah informasi yang diberikan yaitu seberapa jauh informasi dianggap
telah dijelaskan dengan cukup jelas, tetapi juga tidak terlalu terinci
sehingga dianggap menakut-nakuti.
4. Dalam memberikan persetujuan, apakah diperlukan saksi tersebut juga ikut
menanda tangani formulir yang ada. Bagaimana menentukan saksi dalam
hal persetujuan lisan.
Dalam hal keadaan darurat, misalnya kasus tabrak lari dan keluarganya
tidak dapat dihubungi, sedangkan pasien mengalami pendarahan dan perlu
ditolong, dalam keadaan seperti ini, siapa yang berhak memberikan
persetujuan dan apakah ada perlindungan hukum kepada dokter karena
tindakannnya berdasarkan keadaan darurat dan penyelamatan jiwa pasien
(Erina Pane, 53 : 2009)
3. Euthanasia yang tidak bertentangan dengan Norma dalam UU 39
Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia
Masalah untuk mati berhubungan erat dengan kriteria kematian.
Dahulu orang menetapkan mati sebagai berhentinya pernafasan, kemudian
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
45
berkembang lagi dengan berhentinya denyut jantung. Berkat kemajuan ilmu
dan teknologi kedokteran yang mampu menciptakan alat-alat maupun
mengambil tindakan-tindakan yang memungkinkan denyut jantung dan
pernafasan seseorang berlangsung terus, maka apa yang menjadi kriteria
kematian perlu dipertanyakan lagi. Bukan tidak mungkin seseorang yang
mengalami kerusakan otak, tetapi pernafasannya dan jantungnya dipacu
terus untuk mempertahankan kehidupannya, padahal sebenarnya ia telah
mengalami kematian batang otak (brain death) (Rehnalemken Ginting, 2009
: 21).
Euthanasia yang tidak bertentangan dengan hak asasi manusia yang
pertama adalah euthanasia tidak langsung. Euthanasia tidak langsung
terjadi apabila dokter atau tenaga kesehatan lainnya melakukan tindakan
medik tertentu yang bertujuan meringankan penderitaan pasien, akan tetapi
tindakan mediknya membawa resiko hidup pasien diperpendek secara
perlahan-lahan. Jadi, tujuan primer dari tindakan medik tersebut hanya
untuk meringankan penderitaan pasien. Misalnya seseorang yang menderita
penyakit kanker ganas. Menurut perhitungan ilmu kedokteran, penyakit
tersebut tidak mungkin sembuh kembali, namun tidak cepat mematikan.
Hampir setiap malam pasien meraung-raung kesakitan dan menjerit-jerit
meminta pertolongan dokter. Beberapa macam obat mahal telah diberikan
namun tidak memberikan indikasi kesembuhan atas penyakitnya itu. Obat
tersebut hanya menghilangkan rasa sakit saja.
Berdasarkan doktrin double effect disebutkan bahwa orang boleh
melakukan perbuatan baik, akan tetapi membawa akibat buruk. Dengan kata
lain, dokter boleh memberikan suntikan ataupun obat yang dimaksudkan
untuk membantu meringankan penderitaan pasien, walaupun karena
penyuntikan atau pemberian oba tersebut mengakibatkan hidup pasien
diperpendek secara perlahan-lahan (Petrus yoyo karyadi, 152 : 2001).
Pasien yang betul-betul menderita kesakitan atas penyakitnya itu
wajib dibantu untuk meringankan rasa sakitnya. Disamping untuk
meringankan rasa sakitnya, juga agar pasien sendiri tidak larut dalam emosi-
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
46
emosi atau kekesalan karena penyakitnya tersebut, serta agar suasana
ketenangan dimana pasien dirawat dapat tidak terganggu. Membiarkan
pasien dalam penderitaan yang terus menerus dan tidak tertahankan, berarti
tidak menunjukkan rasa belas kasihan dan tidak berperikemausiaan.
Dengan demikian euthanasia tidak langsung, tidak bertentangan
dengan eksistensi manusia yang menghormati dan mengakui martabat
manusia. Bahkan tindakan euthanasia tidak langsung ini, biasanya
dilakukan atas dorongan rasa perikemanusiaan sehingga sangat sesuai
dengan hak asasi manusia. Akan tetapi sejauh manakah pemberian obat
tersebut dapat meringankan penderitaan pasien dan sejauh manakah
tindakan medik tersebut dapat memperpendek hidup pasien. Hal tersebut
sangatlah penting sekali diperhatikan, agar euthanasia tidak langsung ini
tidak salah digunakan yaitu untuk menutupi tindakan medik tertentu yang
sebetulnya tindakan medik tersebut adalah euthanasia aktif.
Bentuk euthanasia yang tidak bertentangan dengan hak asasi manusia
yang kedua adalah euthanasia pasif. Euthanasia pasif adalah apabila dokter
atau tenaga medis lainnya secara sengaja tidak lagi memberikan pengobatan
demi memperpanjang kehidupan pasien. Dalam praktek, biasanya apabila
pasien dalam sudah pada stadium terminal, dan menurut ilmu kedokteran
sudah tidak dapat disembuhkan kembali, serta pengobatan yang diberikan
tidak ada manfaatnya lagi, maka atas persetujuan antara dokter dan pihak
keluarga pasien, maka pasien tersebut dibawa pulang kerumahnya karena
dokter atau rumah sakit sudah angkat tangan.
Apabila keadaan pasien sudah demikian parahnya, dan menurut ilmu
kedokteran penyakit tersebut tidak mungkin disembuhkan lagi, serta
pengobatannya sudah dianggap zinloos (keadaan dimana pemberian
pengobatan akan sia-sia), maka maka dokter boleh menghentikan
pengobatannya. Penghentian pengobatan tersebut walaupun pasien
meninggal dunia, akan tetapi kematiannya bukan disebabkan karena
penghentian pengobatannya, akan tetapi memang kematian itu sudah tidak
dapat dihindari. Penghentian pengobatan tersebut berarti hanya membiarkan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
47
kematian itu terjadi dan pemberian pengobatan sudah tidak mebuatkan hasil
apa-apa, sehingga tidak ada alasan sedikitpun untuk terus menerus
mempertahankan kematiannya. Biarkan pasien itu meninggal dunia menurut
iramanya sendiri. Sebetulnya kematian pasien tersebut bukan sebagai kasus
euthanasia, karena pengobatan itu sendiri sudah dinyatakan zinloos. Kasus
semacam ini merupakan bentuk semu dari euthanasia. (Petrus yoyo karyadi,
154 : 2001)
Sebagai contoh apabila pasien telah dinyakan mati batang otak
(MBO), akan tetapi dengan bantuan alat life support system ia masih dapat
hidup secara buatan atau secara vegetatif. Padahal dalam dunia medis
sekarang ini telah menempatkan mati batang otak (MBO) sebagai kriteria
menentukan kematian seseorang. Maka, apabila dokter melepas alat
penopang hidupnya dan kemudian nafas dari pasien tersebut akan berhenti,
adalah dibenarkan karena pada hakekatnya pasien tersebut telah menjadi
mayat. Apabila hidup vegetatif buatannya dipertahankan secara terus
menerus, padahal ia sudah braindeath, maka berarti kematiannnya makin
tidak dimanusiawikan. Ia hanya menjadi objek dari alat penopang hidupnya
saja. Hal ini jelas bertentangan dengan hak asasi manusia yang menjunjung,
mengakui serta menghormati martabat manusia. Dengan demikian,
pelepasan alat life support system bukan sebagai tindakan euthanasia,
melainkan hanya bentuk semu dari euthanasia.
Akan tetapi, berbeda apabila pengobatan tersebut dilakukan sebelum
zinloos yang berarti masih ada gunanya, baik itu untuk meringankan
penderitaan, bahkan menyembuhkan penyakitnya. Maka penghentian
pengobatan tidak boleh dilakukan. Pemberian obat atau perawatan tetap
harus dilakukan meskipun dengan pemberian obat tersebut akan
mengakibatkan meninggalnya pasien. Dengan demikian apabila seorang
dokter dihadapkan pada kasus seperti ini, maka euthanasia pasif pada
hakekatnya adalah sama dengan pembunuhan atau patut diduga perbuatan
dokter tersebut adalah malpraktek. Sehingga pemberian euthanasia pasif
pada hakekatnya tidak melanggar hak asasi manusia dan hukum asalkan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
48
adanya suatu persetujuan dari pasien atau walinya dan telah dipenuhinya
suatu standar profesi medis yang diakui oleh dunia kedokteran sehingga
dipenuhinya beberapa unsur utama yaitu :
a) Bekerja dengan teliti, hati-hati dan seksama
b) Sesuai dengan ukuran medis
c) Sesuai dengan kemampuan rata-rata dibanding dengan dokter dari
kategori keahlian sama.
d) Dengan sarana dan upaya yang memenuhi perbandingan wajar
dibandingkan dengan tujuan konkrit tindakan medik tersebut
(Chrisdiono M Achadiat, 25 : 2006)
B. Perbandingan Penerapan euthanasia di Indonesia dan di Berbagai Negara
(Belanda, Belgia, Amerika)
1. Penerapan euthanasia di Indonesia
a. Konstruksi yuridis euthanasia di Indonesia
Munculnya pro dan kontra seputar persoalan euthanasia menjadi beban
tersendiri bagi komunitas hukum. Sebab, pada persoalan legalitas inilah
persoalan euthanasia akan bermuara. Kejelasan tentang sejauh mana hukum
(pidana) positif memberikan regulasi/pengaturan terhadap persoalan
euthanasia akan sangat membantu masyarakat di dalam menyikapi
persoalan tersebut. Lebih-lebih di tengah kebingungan kultural karena
munculnya pro dan kontra tentang legalitasnya. Menurut surat edaran
ikatan dokter Indonesia No.702/PB/H2/09/2004 yang menyatakan sebagai
berikut:
“Di Indonesia sebagai negara yang berazaskan Pancasila, dengan sila yang pertamanya adalah Ke Tuhanan Yang Maha Esa, tidak mungkin dapat menerima tindakan “euthanasia aktif” .
Sedangkan menurut Farid Ansa Moeloek Eutanasia atau "pembunuhan
tanpa penderitaan" hingga saat ini belum dapat diterima dalam nilai dan
norma yang berkembang dalam masyarakat Indonesia. "Euthanasia hingga
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
49
saat ini tidak sesuai dengan etika yang dianut oleh bangsa dan melanggar
hukum positif yang masih berlaku yakni KUHP. Ini menunjukkan bahwa
peraturan IDI tersebut hanya sebatas dengan euthanasia aktif. Untuk
euthanasia lainnya masih belum jelas pengaturannya apakah diperbolehkan
atau tidak (Hayunislah. http://naifu.wordpress.com/2010/08/12/euthanasia-
dalam-perspektif-al-qur%E2%80%99an/ diakses 24 Januari 2011)
Patut menjadi catatan, bahwa secara yuridis formal dalam hukum
pidana positif di Indonesia hanya dikenal satu bentuk euthanasia, yaitu
euthanasia yang dilakukan atas permintaan pasien/korban itu sendiri
(voluntary euthanasia) sebagaimana secara eksplisit diatur dalam Pasal 344
KUHP. Pasal 344 KUHP secara tegas menyatakan :
“Barang siapa merampas nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun”.
Bertolak dari ketentuan Pasal 344 KUHP tersebut tersimpul, bahwa
pembunuhan atas permintaan korban sekalipun tetap diancam pidana bagi
pelakunya. Dengan demikian dalam konteks hukum positif di Indonesia
euthanasia tetap dianggap sebagai perbuatan yang dilarang. Dengan konteks
hukum positif di Indonesia, tidak dimungkinkan dilakukan pengakhiran
hidup seseorang sekalipun atas permintaan orang itu sendiri. Perbuatan
tersebut tetap dikualifikasi sebagai tindak pidana, yaitu sebagai perbuatan
yang diancam dengan pidana bagi siapa yang melanggar larangan tersebut.
Mengenai Pasal 344 tersebut muncul dua pendapat. Menurut Simons
bahwa kesengajaan menghilangkan nyawa orang lain atas permintaan yang
tegas dan sungguh-sungguh dari korban itu dapat terjadi tanpa pelaku harus
melakukan perbuatan atau dengan kata lain dengan kata lain dengan sikap
pasif itu sesorang dapat dipandang sebagai telah menghilangkan nyawa
orang lain seperti yang dimaksud dalam Pasal 344 KUHP.
Menurut lamintang pendapat tersebut masih memerlukan penjelasan
yang cukup lanjut yakni mengenai tentang siapa yang dapat dipersalahkan
telah menghilangkan nyawa orang lain seperti yang dimaksud dalam Pasal
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
50
344 KUHP, dalam hal tersebut telah tidak melakukan sesuatu untuk
menyelamatkan nyawa korban. Karena ketentuan pidana yang diatur dalam
Pasal 344 KUHP itu berlaku bagi setiap orang, maka pendapat Simons itu
mendatangkan bahaya bagi setiap orang dan setiap saat dapat dipersalahkan
telah tidak melakukan sesuatu untuk menyelamatkan nyawa korban yang
secara tegas dan sungguh-sungguh telah meminta kepada mereka untuk
tidak menyelamatkan nyawanya.
Sebagai contoh misalnya mereka yang bermaksud menolong seorang
korban kecelakaan yang menderita luka-luka berat, dan yang kemudian
telah tidak melakukan sesuatu, misalnya membawa korban kerumah sakit,
karena korban telah meminta secara tegas dan sungguh-sungguh kepada
mereka untuk meninggalkan dirinya meninggal dunia daripada hidup dalam
keadaan cacat. Karena waktu terjadinya kecelakaan semua orang berduyun-
duyun untuk memberikan pertolongan maupun dengan tujuan untuk untuk
mengetahui keadaan korban, yang kemudian membiarkan korban tersebut
meninggal dunia karena telah diminta secara tegas oleh korban untuk
membiarkan dirinya meninggal dunia, maka semua orang yang melihat
tindak pidana tersebut dapat dipersalahkan telah melakukan pembunuhan
seperti yang diatur dalam pasal 344 KUHP (Rehnalemken Ginting, 41 :
2009)
Dari rumusan Pasal 344 tersebut mengandung tiga rumusan pokok
mengenai euthanasia yaitu tentang perbuatan dilarang (menghilangkan
nyawa orang lain), orang yang melakukan perbuatan dilarang (barang siapa,
sehingga dapat juga ditujukan kepada dokter) serta pidana (pidana paling
lama 12 tahun penjara).
Pasal lain yang masih mempunyai hubungan dengan euthanasia adalah
Pasal 338 dan Pasal 340. Dalam ketentuan Pasal 338 KUHP disebutkan :
Barang siapa sengaja merampas nyawa orang lain diancam, karena pembunuhan dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun.
Sementara dalam ketentuan Pasal 340 KUHP dsebutkan :
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
51
Barang siapa dengan sengaja dan dengan rencana lebih dulu merampas nyawa orang lain diancam, karena pembunuhan berencana, dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu paling lama dua puluh tahun.
Di luar dua ketentuan di atas juga terdapat ketentuan lain yang dapat
digunakan untuk menjerat pelaku euthanasia, yaitu ketentuan Pasal 356 ayat
(3) KUHP yang juga mengancam terhadap penganiayaan yang dilakukan
dengan memberikan bahan yang berbahaya bagi nyawa dan kesehatan untuk
dimakan atau diminum. Selain itu dalam Bab XV KUHP khususnya Pasal
304 dan Pasal 306 ayat (2). Dalam ketentuan Pasal 304 KUHP disebutkan :
Barang siapa dengan sengaja menempatkan atau membiarkan seorang dalam keadaan sengsara, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan, dia wajib memberikan kehidupan, perawatan atau pemeliharaan kepada orang itu, diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau denda paling banyak tiga ratus rupiah.
Sementara dalam ketentuan Pasal 306 (2) KUHP disebutkan :
Jika mengakibatkan kematian, perbuatan tersebut dikenakan pidana penjara maksimal sembilan tahun.
Dua ketentuan terakhir tersebut di atas memberikan penegasan, bahwa
dalam konteks hukum positif di Indonesia, meninggalkan orang yang perlu
ditolong juga dikualifikasi sebagai tindak pidana. Dua pasal terakhir ini juga
bermakna melarang terjadinya euthanasia, akan tetapi euthanasia seperti
apa yang dilarang masih belum jelas.
Persoalan euthanasia, meskipun pelaksanaannya tidak harus dan tidak
selalu dengan suntikan, merupakan sebuah persoalan dilematis. Selain
hukum, praktik eutanasia tentu saja berbenturan dengan nilai-nilai etika dan
moral yang menjunjung tinggi harkat dan martabat kehidupan manusia.
Adanya indikasi-indikasi baik medis maupun ekonomis tidak secara
otomatis melegitimasi praktik euthanasia mengingat euthanasia berhadapan
dengan faham nilai menyangkut hak dan kewajiban menghormati dan
membela kehidupan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
52
Untuk melaksanakan tugas-tugasnya dan menghindari suatu tuntutan
hukum, seorang dokter dapat memperoleh perlindungan hukum sepanjang ia
melaksanakan tugas sesuai dengan standar profesi dan Standar Operating
Procedure (SOP), serta dikarenakan adanya dua dasar peniadaan kesalahan
dokter, yaitu alasan pembenar dan alasan pemaaf yang ditetapkan di dalam
KUHP. Dokter tidak dapat disalahkan bila pasien tidak bersikap jujur.
Sehingga rekam medik (medical record) dan informed consent (persetujuan)
yang baik dan benar harus terpenuhi. Dalam melakukan tindakan medis
adakalanya dokter mengalami suatu tuntutan pidana dari pasien atau pihak
keluarganya. Akan tetapi dokter dapat lepas dari tuntutan tersebut antara
lain :
1) Telah melakukan pelayana medis sesuai dengan standar profesi, standar
pelayana medis dan standar operasional prosedur.
Sebagaimana telah diatur dalam Pasal 50 huruf a Undang Undang
Nomor 29 Tahun 2004 tentang praktek kedokteran, apabila seorang dokter
telah melaksanakan pelayanan medis atau praktek kedokteran telah sesuai
dengan standar profesi dan standar prosedur opersaional maka dokter tidak
dapat dituntut hukum .
2) Informed concent
Sebelum tindakan medik dilakukan, seorang dokter berkewajiban
memberikan penjelasan terhadap pasien tau keluarganya tentang diagnosis
dan tata cara tindakan medis, tujuan tindakan medis yang dilakukan,
alternatif tindakan lain dan resikonya, resiko dan komplikasi yang mungkin
terjadi dan prognosis terhadap tindakan yang dilakukan.
Pengaturan mengenai Informed concent terdapat pada Pasal 39, 45
Undang Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktek kedokteran yang
menyatakan bahwa, praktek kedokteran diselenggarakan berdasarkan pada
kesepakatan antara dokter dengan pasien dalam upaya untuk pemeliharaan
kesehatan, pencegahan penyakit, peningkatan kesehatan, pengobatan
penyakit dan pemulihan kesehatan. Segala tindakan medik tersebut harus
dilakukan dokter dengan mendapatkan persetujuan pasien. Persetujuan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
53
tersebut dapat dilakukan dalam bentuk tertulis maupun lisan dan untuk
tindakan medis yang mengandung resiko tinggi harus diberikan dengan
persetujuan tertulis, yang ditanda tangani oleh yang berhak memberikan
persetujuan. Namun dalam keadaan gawat darurat atau tindakan yang biasa
dilakukan atau diketahui umum persetujuan ini tidak diperlukan (implied
concent).
Informed consent dalam segi hukum mengandung beberapa hal antara
lain :
i. Dalam formulir informed consent dirumuskan pernyataan kehendak kedua
belah pihak yaitu pasien menyatakan setuju atas tindakan yang diusulkan
oleh dokter dan formulir persetujuan tersebut ditanda tangani oleh kedua
belah pihak. Karena persetujuan tersebut merupakan kehendak dua belah
pihak, mak tidak dapat ditarik kembali tanpa persetujuan pihak lain, dan
mengikat kedua belah pihak.
ii. Informed Consent tidak dapat meniadakan atau mencegah diadakannya
suatu tuntutan didepan pengadilan atau membebaskan rumah sakit atau
dokter terhadap tanggung jawabnya. Informed Consent hanya dapat
digunakan sebagai bukti tertulis akan adanya izin atau persetujuan dari
pasien.
iii. Formulir yang ditanda tangani oleh pasien atau wali pada pertama kali
masuk atau dirawat dirumah sakit berbunyi “Segala akibat akan menjadi
tanggung jawab pasien sendiri dan tidak menjadi tanggung jawab dokter”.
Rumusan tersebut secara hukum tidak mempunyai kekuatan hukum,
mengingat seorang tidak dapat membebaskan dirinya dari tanggung
jawabnya atas kesalahan yang dilakukannya (Erina Pane, 2009 : 52).
Persetujuan pasien atau keluarganya merupakan pelaksanaan dari hak dasar
pasien atas pelayanan kesehatan (the right to health care) dan hak untuk
menentukan nasib sendiri (the right of self determination) yang harus diakui
dan dihormati. Setelah pasien menyetujui atas tindakan medik berdasarkan
informasi yang jelas dan terang, serta tindakan medik tersebut sesuai dengan
standar medik, maka dokter tidak dapat dipersalahkan atas tindakannya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
54
3) Contribution Negligence (kesalahan pasien)
Dokter tidak dapat dipersalahkan apabila dokter gagal atau tidak
berhasil dalam penanganan terhadap pasien apabila pasien tidak kooperatif
karena tidak menjelaskan dengan sejujurnya tentang riwayat penyakit yang
pernah dideritanya serta obat-obatan yang telah dikonsumsi selama sakit,
atau tidak mentaati petunjuk-petunjuk serta instruksi dokter atau menolak
cara pengobatan yang telah disepakati.
Hal ini dianggap sebagai kesalahan pasien yang dikenal dengan istilah
contrbution negligence atau pasien turut bersalah. Kejujuran serta mentaati
saran dan instruksi dokter ini dianggap sebagai kewajiban pasien terhadap
dokter dan terhadap dirinya sendiri.
4) Respectible minority rules and error of judgement
Bidang kedokteran merupakan suatu bidang yang sangat kompleks,
seperti dalam suatu upaya pengobatan sering terjadi ketidak sepakatan atau
pendapat yang sama tentang terapi yang cocok terhadap suatu situasi medis
khusus. Pendekatan terhadap suatu penyakit berlainan bagi dokter yang satu
dengan yang lainnya. Namun tetap harus berdasarkan ilmu pengetahuan
yang dapat dipertanggung jawabkan.
Berdasarkan kedaan diatas muncul suatu teori hukum yang disebut
dengan respectable minority rule yaitu seorang dokter tidak dianggap lalai
apabila ia memilih satu dari sekian cara pengobatan yang diakui. Dari
kekeliruan dokter memilih alternatif tindakan medik pada pasiennya yang
muncul teori baru yang disebut dengan error of judgement atau biasa
disebut dengan medical judgement atau medical error, yaitu pilihan
tindakan medis dari dokter yang telah didasarkan pada standar profesi,
ternyata pilihannya keliru.
Doktrin ini menyatakan bahwa kekeliruan pilihan dokter ini tidak
dapat dipertanggung jawabkan kepada dokter karena tidak ada kelalaian
dalam pilihan ini. Kecuali ia tidak mengikuti standar medis yang umum
dipergunakan oleh dokter lainnya didalam keadaan yang sama. Keadaan
khusus ini harus diperhitungkan dan suatu pemeriksaan yang kuat
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
55
diperlukan. Pemeriksaan harus lebih hati-hati dilakukan apabila dokter telah
membuat diagnosa yang bertentangan. Yang menjadi perbedaan kekeliruan
menilai dan kelalaian atau kekhilafan adalah dalam mengumpulkan data-
data penting yang dapat dipakai untuk menunjang, maka hal ini bukan
merupakan kekeliruan penilaian, akan tetapi ini adalah kelalaian. Dianggap
lalai karena tidak mempergunakan fasilitas yang dipakai untuk lebih
memastikan dan yakin terhadap diagnosa yang ditegakkannya.
5) Volenti Non Fit Iniura
Volenti Non Fit iniura merupakan doktrin lama dalam ilmu hukum
yang dapat pula dikenakan pada hukum medis, yaitu suatu asumsi yang
sudah diketahui sebelumnya tentang adanya resiko medis yang tinggi pada
pasien apabila dilakukan tindakan medis kepadanya.
Apabila telah dilakukan penjelasan selengkap lengkapnya dan ternyata
pasien atau keluarganya menyetujui (informed concent), apabila terjadi
resiko yang telah diduga sebelumnya ini, maka dokter tidak dapat
dipertanggung jawabkan atas tindakan medisnya.
6) Vicarious liability (Hospital liability)
Dalam hal pertanggung jawaban, maka yang pertama kali dimintai
pertanggung jawaban dalah rumah sakit. Perkembangan hukum kesehatan
serta kecanggihan teknologi kedokteran, rumah sakit, tidak dapat
melepaskan diri tanggung jawab pekerjaan yang dilakukan oleh para
medisnya. Apabila dokter bekerja penuh pada rumah sakit maka yang
bertanggung jawab adalah rumah sakit bukan dokter tersebut.
7) Res ipsa ioquitor
Doktrin res ipsa ioquitor berkaitan secara langsung dengan beban
pembuktian yaitu pemindahan beban pembuktian dari penggugat (pasien)
kepada tergugat (tenaga medis). Terhadap kelalaian tertentu yang sudah
nyata, jelas sehingga dapat diketahui seorang awam atau menurut
pengetahuan umum antara pasien dengan dokter bahwa cacat, luka, cedera,
atau fakta sudah jelas nyata akibat tindakan medik, dan hal semacam ini
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
56
tidak memerlukan pembuktian dari pnggugat akan tetapi tergugatlah yang
harus membuktikan bahwa tindakannya tidak termasuk lalai atau keliru.
Pada Medical error sangatlah berbeda dengan medical violence karena
pada medical error dokter sudah bertindak benar menurut prosedur yang
sudah diakui didalam rumah sakit, namun efek tidak diharapkan tetap bisa
terjadi. Bisa saja penetapan prosedur medik tersebut salah, akan tetapi
dokter tidak dapat diperalahkan karena dokter tersebut telah mengerjakan
sesuai dengan prosedur rumah sakit. Sedangkan medical violence, dokter
telah bertindak salah karena tidak sesuai dengan prosedur yang ada dirumah
sakit, maka dokter tersebut jelas melakukan kelalaian. Medical error sangat
terkait dengan sistem yang ada, karena secara teoritis medical error akan
timbul apabila faktor yang mempengaruhi yang mempengaruhi error masih
ada Faktor tersebut adalah perfomance (kinerja) dan knowledge
(pengetahuan) dokter. Faktor yang paling dominan dalam terjadinya error
adalah kinerja dokter atau dokter gigi. Sementara dirumah sakit kinerja
doktersangat dipengaruhi oleh sistem yang mengatur dokter dalam
menjalankan praktek profesinya. Pada medical error masalah utama yang
perlu diukur adalah keabsahan atau kebiasaan yang ada. Dapat saja prosedur
tersedut salah artinyam dokter telah mengerjakan sesuatu yang benar , akan
tetapi cara tersebut tidak adekuat. Walaupun kejadian tersebut disebut error
namun demikian terjadi karena hospital error atau system error . Dalam
hospital error sangat terkait dengan sistem yang ada pada rumah sakit.
Kondisi hospital error juga tidak terlepas dari sistem yang besar yang
menaunginya antara lain kebijakan pemerintah tentang perumah sakitan,
pembiayaan kesehatan serta pendapatan masyarakat. Sistem error
merupakan salah satu masalah utama dan sumber kecacatan atau kematian
pasien yang tidak diharapkan (Syahrul Macmud, 174 : 2008)
b. Penegakan hukum euthanasia
Pelaksanaan dan penegakan hukum harus memperhatikan
kemanfaatannya atau kegunaannya bagi masyarakat. Sebab hukum jistru
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
57
dibuat untuk kepentingan masyarakat. Karenanya pelaksanaan dan
penegakan hukum harus memberi manfaat bagi masyarakat. Jangan sampai
terjadi pelaksanaan dan penegakan hukum merugikan masyarakat, yang
pada akhirnya menimbulkan keresahan. Pelaksanaan dan penegakan hukum
juga harus mencapai keadilan. Oleh karena itu peraturan hukum yang
bersifat umum dan mengikat setiap orang, penerapannya harus
mempertimbangkan fakta-fakta dan keadaan dalam setiap kasus.
Sejalan dengan itu ada beberapa faktor yang mempengaruhi penegakan
hukum . Faktor-faktor tersebut antara lain :
1. Faktor hukumnya sendiri
2. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk atau
menerapkan hukum
3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum
4. Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku
atau diterapkan
5. Faktor kebudayaan, yakni hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan
pada karsa manusia didalam pergaulan hidup.
Faktor-faktor tersebut mempunyai arti yang netral, sehingga dampak
positif atau negatifnya terletak pada isi faktor-faktor itu. Kelima faktor
tersebut diatas saling berkaitan erat, oleh karena itu merupakan esensi dari
penegakan hukum, serta juga merupakan tolok ukur efektifitas penegak
hukum (Riduan Syahrani, 204 : 1999).
Secara khusus masalah euthanasia belum diatur dalam Kitab Undang
Undang Hukum Pidana, akan tetapi terdapat Pasal yang rumusannya mirip
dengan perbuatan euthanasia. Pasal 344 KUHP merupakan pasal yang
mengatur dan mengancam dengan perbuatan euthanasia, akan tetapi dalam
kenyataannya Pasal ini belum pernah menjaring perbuatan euthanasia
sebagai tindakan pidana. Padahal Pasal ini sangat diperlukan sebagai satu-
satunya Pasal yang mengatur dan mengancam dengan pidana perbuatan
euthanasia (Rehnalemken Ginting, 73 : 2009).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
58
Akan tetapi menurut Ikatan Dokter Indonesia (IDI) euthanasia adalah
halyang dilarang. Teapi mengenai bentuk bentuk euthanasia hanya sebatas
euthanasia aktif, euthnasia lainnya belum ada pengaturannya. Dalam Surat
Edaran IDI No.702/PB/H2/09/2004 yang diyatakan sebagai berikut:
“Di Indonesia sebagai negara yang berazaskan Pancasila, dengan sila yang pertamanya adalah Ke Tuhanan Yang Maha Esa, tidak mungkin dapat menerima tindakan “euthanasia aktif”
Menurut Ahmad Ube yang dikutip oleh Haryadi S.H, M.H dalam
majalah forum akademika yang berjudul “Euthanasia Dalam Perspektif
Pidana” ada beberapa faktor yang mempengaruhi penegakan hukum
terhadap euthanasia. Faktor-Faktor tersebut antara lain :
1. Faktor dari luar hukum Pidana :
a) Didalam euthanasia biasanya ada kerjasama antara pelaku dengan korban
(misal dokter dengan pasien atau pihak keluarga yang mewakilinya),
sehingga perbuatan tersebut tidak pernah dilaporkan ke aparat penegak
hukum untuk diproses sebagai kasus pidana
b) Keluarga korban atau masyarakat kurang atau tidak tahu bahwa telah
terjadi kematian yang disebut oleh euthanasia, dengan perkataan lain
masyarakat masih kurang paham terhadap hukum, apalagi menyangkut
masalah euthanasia.
c) Alat-alat kedokteran di Indonesia belum maju seperti peralatan kedokteran
negara maju seperti respirator yang dapat mencegah kematian manusia
secara teknis dalam jangka waktu tertentu
d) Keadaan ekonomi masyarakat Indonesia kebanyakan berada dibawah
standar kehidupan yang layak, sehingga biaya untuk perawatan kesehatan
maupun untuk pengobatan cukup memprihatinkan. Keadaan ini membawa
pengaruh yang cukup besar untuk dilakukan euthanasia, terutama
euthanasia pasif.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
59
2. Faktor yang terdapat dalam hukum Pidana :
a) Rumusan atau formula pasal terlalu universal, sehingga sulit menentukan
perbuatan mana yang termasuk euthanasia pasif dan perbuatan mana yang
termasuk euthanasia aktif. Kemudian tidak dapat diketahui mana
euthanasia yang orang lakukan pada umumnya, dan euthanasia mana yang
dilakukan dokter pada khusunya. Hal ini sangatlah penting, karena
masalah euthanasia tidaklah sesederhana seperti rumusan dalam Pasal 344
KUHP
b) Dalam rumusan Pasal 344 KUHP terdapat kalimat “atas permintaan orang
itu sendiri yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati” yang
merupakan unsur yang harus dipenuhi untuk menentukan apakah orang
yang melakukannya dapat dipidana berdasarkan Pasal ini atau tidak.
Dalam menghadapi kasus euthanasia pasif baik atas permintaan sendiri
ataupun tanpa permintaan, maupun tanpa sikap dari dokter, dokter dalam hal
ini telah diberi beban pembuktian terhadap tindakan mediknya. Ini
dilakukan agar dokter tersebut terbebas dari sanksi pidana. Tindakan dokter
yang dibenarkan dan harus dibuktikan antara lain :
1. Pengakhiran perawatan medik karena kematian batang otak. Mati klinis
dan kematian yang sebenarnya kini teah dibedakan. Teknologi kedokteran
telah mampu mempertahankan fungsi otonom jantung dan paru-paru
walaupun otak sudah tidak berfungsi. Namun kehidupan intelektual dan
psikis (misalnya berpikir, merasakan, berkomunikasi) sebenarnya telah
berakhir pada saat otak berhenti berfungsi, meskipun jantung dan paru-
paru masih bekerja. Karenanya menghentikan perawatan medik pada
pasien yang otaknya tidak berfungsi tidak digolongkan sebagai euthanasia.
2. Pengakhiran kehidupan akibat keadaan darurat yang timbul karena kuasa
tidak terlawan (force majure). Dalam dunia kedokteran dapat terjadi
keadaan keadaan yang sebenarnya telah diatur dalam Pasal 48 KUHP.
3. Menghentikan perawatan medik yang tidak berguna. Ilmu kedokteran tetap
mempunyai batas-batas dan hal-hal diluar batas ilmu kedokteran, sehingga
dokter tidak berkompeten dalam melakukan sesuatu diluar batas ilmu
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
60
kedokteran. Apabila dokter tetap melakukannya, apalagi tanpa seijin
pasien, maka dokter tersebut dapat ditutut berdasarkan penganiayaan.
Seorang dokter seharusnya tidak memulai atau meneruskan suatu
pengobatan, apabila secara medik tidak dapat diketahui hasilnya secara
jelas. Langkah tersebut bukan untuk memperpendek atau mengakhiri
hidup pasien, akan tetapi untuk mencegah terjadinya penganiayaan oleh
dokter kepada pasien.
4. Perawatan menolak perawatan medik, sehingga dokter tidak berhak
melakukan tindakan apapun. Ini dilakukan untuk menghormati hak-hak
pasien yaitu hak untuk menolak perawatan atau pengobatan (Chrisdiono
M. Achadiat, 192 : 2006).
Euthanasia dapat dipandang etis dengan beberapa persyaratan. Pertama,
euthanasia harus dilandaskan pada satu tujuan semata ialah untuk
membaskan manusia dari penderitaan. Namun sebelum tindakan diambil,
terlebih dahulu harus didukung oleh suatu analisis ilmiah, khususnya dari
aspek ilmu kedokteran dan hukum. Dari ilmu kedokteran, korban
euthanasia haruslah dapat dipastikan kondisi penyakitnya memang tidak
dapat disembuhkan lagi dan jika dibiarkan korban akan jauh lebih menderita
lagi keadaannya. Selain itu, harus pula dipastikan dengan analisis ilmiah
bahwa kematian yang dijalani oleh korban dilakukan dengan teknik yang
memenuhi persyaratan sebagai mercy killing. Dari aspek ilmu hukum
analisis ilmiah juga perlu dilakukan seperti betulkah kematian itu didasari
alasan untuk kepentingan korban saja.
Di Indonesia sendiri, penilaian baik dan buruk terhadap euthanasia
dapat dikatakan belum sepenuhnnya dilakukan. Mengingat Pancasila
sebagai sumber etika dan sekaligus sumber dari segala sumber hukum, maka
sepantasnyalah semua ketentuan yang ada berkenaan dengan euthanasia
berpedoman pada sumber tersebut. Jika mengacu kepada peraturan
perundang-undangan yang mengatur euthanasia masih bersumberkan
kepada hukum warisan kolonial belanda satu-satunya Pasal yang agak dekat
kaitannya adalah Pasal 344 KUHP. Dalam Pasal 344 KUHP dikatakan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
61
barang siapa merampas nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri
yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati, diancam dengan pidana
penjara paling lama 12 tahun. Redaksi Pasal tersebut menunjukkan adanya
persamaan dengan jenis euthanasia aktif atas persetujuan korban adanya
kesukarelaan korban tersebut terlihat dari permintaanya sendiri yang
dinyatakan dengan jelas dan sungguh-sungguh. Larangan tersebut dapat
ditafsirkan sebagai larangan terhadap euthanasia dan dalam rancangan
KUHP baru larangan tersebut masih dipertahankan. Namun demikian
terbukti Pasal tersebut tidaki lagi ditertapkan secara kaku. Beberapa putusan
pengadilan di Belanda dan Belgia membuktikan adanya pergeseran
pandangan, sedangkan untuk Indonesia belum ada putusan mengenai
euthanasia. Dari yurisprudensi tahun 1952 sampai dengan 1981 disebutkan
bahwa euthanasia dapat dikeluarkan dari pemidanaan dengan syarat-syarat
tertentu.
Dalam konteks Indonesia pergeseran pandangan tentang euthanasia
dapat dilihat dari hasil penelitian Satjipto Rahardjo dari Universitas
Diponegoro Semarang pada tahun 1989 yang meneliti respon dokter dan
ahli hukum terhadap euthanasia yang hasilnya dari jawaban 38 responden
yang terjaring, 14 responden dokter menyatakan setuju dan sisanya dari
responden sarjana hukum menyatakan tidak setuju terhadap euthanasia.
Dari 7 dokter yang terjaring 5 diantaranya menjawab setuju, sedangkan dari
25 sarjana hukum yang terjaring 12 sarjana hukum yang menyetujui
euthanasia. Sementara itu dari 14 responden menyatakan permintaan
euthanasia sebaiknya dilakukan oleh keluarga korban (50%), permintaan
oleh korban sendiri (36%) dan oleh kedua-duanya (70%). Juga yang
menarik adalah pendapat dari 38 responden yang menyatakan bahwa
euthanasia adalah masalah kemanusiaa (8%), masalah agama (8%), masalah
kedua-duanya (84%). Terlepas dari valid tidaknya data tersebut, ilustrasi
tadi membuktikan bahwa pandangan masyarakat Indonesia yang beretika
Pancasila telah bergeser dari ketentuan yang melarang euthanasia. Bahkan
para dokter yang terikat kode etik kedokteran dan sumpah dokter yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
62
memuat larangan melakukan euthanasia ternyata jauh lebih permisif jika
dibandingkan sarjana hukum. Adanya pergeseran sikap tersebut
menunjukkan euthanasia sebagai materi ilmu pengetahuan selalu mendapat
masukan-masukan baru (heuristik). Namun masukan-masukan hasil
persemaian ide-ide baru tersebut tidak begitu saja diterima melainkan harus
dikendalikan oleh etika sebagai kosekuensi logis dari aspek aksiologis dari
ilmu hukum khususnya dalam persoalan euthanasia (Gatot Sugiharto,
http://wwwgats.blogspot.com)..
Bahwa hakikat dari kenyatan yang ada sumber aslinya berupa baik
materi atau rohani yang masing-masing bersifat bebas dan mandiri serta
bahkan segala macam bentuk merupakan kenyataan. Oleh karena itulah
pandangan filsafat Pancasila yang menjadi dasar dari filsafat hukum
Indonesia, teori hukum Indonesia. Demikian pula dengan aspek
epistemologi dari bangunan ilmu hukum Indonesia yang hendak digagas,
dibangun dan dikembangkan tersebut, maka sebagai konsekuensi asas
keseimbangan dari nilai pandangan filsafat Pancasila tentunya sumber
pengetahuan dari bangunan ilmu hukum Indnesia tersebut akan mengakui
baik idealisme atau rasionalisme yang menekankan pada peranan akal juga
akan mengakui realisme atau empirisme yang menekankan pada peranan
indra atau pengalaman empirik, serta mengakui pula peranan wahyu sebagai
sumber pengetahuan yang tidak kalah pentingnya. Terhadap aspek aksiologi
dari bangunan ilmu hukum Indonesia, maka tidak bebas nilai terutama jika
dikaitkan dengan implementasi ilmu hukum tersebut dimasyarakat dan
sebagai proses seperti ditunjukkan dalam studi kasus euthanasia, nampak
bahwa ilmu pengetahuan pada umumnya dan ilmu pengetahuan hukum pada
khususnya, sarat dengan balutan nilai-nilai moral atau etika, terutama nilai
pandangan Pancasila tentang moral (perilaku yang baik dan yang buruk)
juga nilai-nilai keagamaan yang bersifat sakral. (Gatot Sugiharto,
http://wwwgats.blogspot.com diakses 17 Desember 2010).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
63
2. Penerapan euthanasia di Belanda
a. Sejarah dan perkembangan
Pada tanggal 10 April 2001 Belanda menerbitkan undang-undang yang
mengizinkan euthanasia yaitu Wet van 12 april 2001, houdende toetsing
van levensbeëindiging op verzoek en hulp bij zelfdoding en wijziging van het
Wetboek van Strafrecht en van de Wet op de lijkbezorging (Wet toetsing
levensbeëindiging op verzoek en hulp bij zelfdoding) atau Review
procedures for the termination of life on request and assisted suicide and
amendment of the Criminal Code and the Burial and Cremation Act.
(http://www.internationaltaskforce.org/rpt2005_3.htm#239 diakses tanggal
2 Januari 2011). Undang-undang ini dinyatakan efektif berlaku sejak
tanggal 1 April 2002, yang menjadikan Belanda menjadi negara pertama di
dunia yang melegalisasi praktik euthanasia. Pasien-pasien yang mengalami
sakit menahun dan tak tersembuhkan, diberi hak untuk mengakhiri
penderitaannya. Tetapi perlu ditekankan, bahwa dalam Kitab Hukum Pidana
Belanda secara formal euthanasia dan bunuh diri berbantuan masih
dipertahankan sebagai perbuatan kriminal (welywahyura.
http://welywahyura.wordpress.com/euthanasia/ Diakses tanggal 2 Januari
2011)
Euthanasia memiliki dukungan publik besar-besaran di Belanda , tetapi
ada kekhawatiran bahwa praktek ini mengarah ke penyalah gunaan hukum.
Euthanasia tidak menjadi tindak pidana di Belanda sejak tahun 1984, ketika
pengadilan dan Royal Medical Association Belanda menyusun pedoman
yang ketat untuk dokter. Perubahan Undang-undang baru akan menghapus
setiap kemungkinan bahwa dokter akan dituntut untuk melakukan
euthanasia telah dengan persetujuan yang diperlukan dan konsultasi
Studi British Medical Journal menemukan bahwa pada tahun 1995
hampir dua pertiga dari kasus euthanasia dan bunuh diri yang dibantu dokter
tidak dilaporkan. 17% dari kasus kasus euthanasia terjadi tanpa permintaan
eksplisit pasien, Hukum Belanda mengharuskan pasien untuk mengalami
"penderitaan tak tertahankan" untuk membenarkan euthanasia. Tapi lebih
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
64
dari setengah dokteri mengatakan bahwa alasan utama yang diberikan oleh
pasien untuk permintaan ini adalah "kehilangan martabat". Hampir setengah
mengatakan mereka mengambil tindakan "untuk mencegah penderitaan
lebih lanjut".
Sebuah karangan berjudul "The Slippery Slope of Dutch Euthanasia"
dalam majalah Human Life International Special Report Nomor 67,
November 1998, halaman 3 melaporkan bahwa sejak tahun 1994 setiap
dokter di Belanda dimungkinkan melakukan euthanasia dan tidak akan
dituntut di pengadilan asalkan mengikuti beberapa prosedur yang telah
ditetapkan. Prosedur tersebut adalah mengadakan konsultasi dengan rekan
sejawat (tidak harus seorang spesialis) dan membuat laporan dengan
menjawab sekitar 50 pertanyaan.
Sejak akhir tahun 1993, Belanda secara hukum mengatur kewajiban
para dokter untuk melapor semua kasus euthanasia dan bunuh diri
berbantuan. Instansi kehakiman selalu akan menilai betul tidaknya
prosedurnya. Pada tahun 2002, sebuah konvensi yang berusia 20 tahun telah
dikodifikasi oleh undang-undang Belanda, dimana seorang dokter yang
melakukan euthanasia pada suatu kasus tertentu tidak akan dihukum.
Dinyatakan bahwa bunuh diri dengan bantuan orang lain yang dilaksanakan
karena penderitaan yang berkelanjutan dan tak tertahankan adalah legal.
Selanjutnya hukum itu menyatakan, pasien harus dalam keadaan pikiran ang
tenang. Dokter pun harus mendapatkan opini kedua, dan hanya dokter
bukan keluarga yang boleh memberikan obat mematikan pada pasien
(http://id.wikipedia.org/wiki/Eutanasia#Belanda diakses 2 Januari 2011).
b. Konsep euthanasia di Belanda
Menurut penelitian 1991 otoritatif dalam laporan Remmelink
mendefinisikan euthanasia di Belanda sebagai sengaja mengakhiri hidup
orang lain atas permintaannya. Ini berbeda dari kategori lainnya yang
digunakan di lembaga-lembaga perawatan kesehatan Belanda yaitu:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
65
Bantuan bunuh diri didefinisikan sebagai sengaja membantu seseorang
dalam tindakan mengakhiri hidup di nya permintaan eksplisit. Hal ini
berbeda dengan euthanasia sukarela karena tidak mendukung tujuan hanya
dalam tindakan penghancuran diri yaitu :
i. Sebuah tindakan mengakhiri hidup tanpa permintaan eksplisit
didefinisikan sebagai sengaja mengakhiri hidup seseorang tanpa nya
permintaan eksplisit. Hal ini berbeda dengan euthanasia sukarela
dalam hal itu tidak didasarkan pada permintaan dianggap baik, gigih
dan eksplisit dari pasien;
ii. Euthanasia aktif tanpa permintaan eksplisit dari pasien berbeda dari
euthanasia sukarela karena tidak didasarkan pada permintaan
dianggap baik, gigih dan eksplisit dari pasien;
iii. Kematian akibat administrasi opiat dan obat penghilang rasa sakit
lainnya dalam dosis besar. Ini dikenal sebagai euthanasia tidak
langsung dan, Kematian akibat pemotongan atau penarikan berpotensi
pengobatan jika tidak dikenal sebagai euthanasia pasif atau abstain.
Dalam definisi resmi, pengakhiran hidup atas permintaan pasien adalah
pusat dari keputusan untuk mengakhiri hidup dalam kasus euthanasia
sukarela. Definisi di atas serupa dengan yang digunakan secara internasional
dalam bioetika (Robin Lunge, Maria Royle, Michael
Slater.http://www.leg.state.vt.us/reports/05death/death_with_dignity_report.
htm diakses 24 Januari 2011)
c. Dekriminalisasi euthanasia
Euthanasia menjadi hukum di Belanda pada tanggal 10 April 2001.
Sebelum tanggal tersebut, euthanasia aktif adalah tindak pidana berdasarkan
Article 293 of the Dutch Penal Code (Pasal 293 dari Belanda KUHP), yang
berbunyi :
“He who takes the life of another person on this person's explicit and serious request will be punished with imprisonment of up to twelve years or a fine of the fifth category." ("Dia yang mengambil kehidupan orang lain
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
66
atas permintaan orang ini eksplisit dan serius akan dihukum dengan hukuman penjara hingga dua belas tahun atau denda kategori kelima (sekitar $ 50,000).
Kemudian dalam article 294 the Dutch Penal Code (Pasal 294 KUHP
Belanda berbunyi :
“He who deliberately incites another to suicide, assists him therein or
provides him with the means, is punished, if the suicide follows, with a
sentence of at most three years or a fine of the fourth category”( Dia yang
sengaja menghasut orang lain untuk bunuh diri, membantu dalamnya atau
memberikan dia dengan sarana, dihukum dengan hukuman paling banyak
tiga tahun atau denda kategori empat(sekitar $ 12,500,000)
(www.lexadin.nl/wlg/legis/nofr/eur/lxwened.htm#Criminal%20Law diakses
tanggal 2 Januari 201).
Pada saat yang sama, Section 40 (Bagian 40) dari code penal yang sama
menyatakan bahwa seorang individu tidak dihukum jika dia telah didorong
oleh "suatu kekuatan yang tak tertahankan" (hukum dikenal sebagai force
majeure) untuk menempatkan kesejahteraan orang lain di atas hukum. Ini
mungkin termasuk keadaan di mana dokter dihadapkan dengan konflik
antara kewajiban hukum untuk tidak mengambil kehidupan dan tugas
manusiawi untuk mengakhiri penderitaan tak tertahankan pasien.
Di Belanda euthanasia sukarela telah dilegalkan. Dekriminalisasi
euthanasia membuat Belanda negara pertama di dunia yang secara resmi
"belas kasihan membunuh". Dalam undang-undang euthanasia, syarat-
syarat untuk dilakukan euthanasia adalah :
i. pasien yang dalam keadaan menderita terus menerus, tak tertahankan dan
tidak dapat disembuhkan
ii. Sebuah pendapat kedua dari seorang dokter eksternal;
iii. Pasien harus dinilai sehat jasmani dan,
iv. Permintaan untuk mati harus dilakukan secara sukarela, independen dan
terus menerus.
v. Pasien harus sakit parah dengan penderitaan fisik.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
67
vi. Pasien yang berumur 12-16 tahun memerlukan persetujuan dari orang tua
mereka
(www.lexadin.nl/wlg/legis/nofr/eur/lxwened.htm#Criminal%20Law
diakses 2 Januari 2011).
Namun, dokter tidak seharusnya menyarankan sebagai pilihan. Kedua
permintaan lisan dan tertulis melegitimasi dokter untuk menyetujui
permintaan tersebut. Namun, dokter tidak diwajibkan untuk melakukannya.
Dan ia hanya dapat menyetujui untuk meminta sambil memperhatikan
perawatan karena-persyaratan yang disebutkan dalam Undang Undang.
Dalam setiap kasus dokter harus yakin bahwa pasien menghadapi
penderitaan berkesudahan dan tak tertahankan. Jika dia atau dia percaya
bahwa ini tidak begitu, dokter mungkin tidak menyetujui permintaan
euthanasia, tidak peduli apa deklarasi negara akan.
Penting untuk dicatat bahwa euthanasia dan bunuh diri yang dibantu
dokter terus menjadi tindak pidana, tetapi dilegalkan, dalam keadaan
tertentu. KUHP Belanda (dalam Pasal 293) sekarang termasuk ketentuan itu.
Hal ini menyatakan bahwa berakhirnya kehidupan di permintaan dan
bantuan bunuh diri tidak diperlakukan sebagai tindak pidana bila dilakukan
oleh dokter dan jika kriteria perawatan karena diamati. Oleh karena
pandangan bahwa euthanasia tidak lagi dihukum.
Dalam contoh kasus yang menimpa seorang pasien berusia lima puluh
tahun, yang bernama Nyonya Netty Boomsma, mengalami depresi yang
sangat parah karena Kegagalan perkawinan dan dua anaknya meninggal
yang disebabkan bunuh diri dan kanker. Penderitaannya terutama
psikologis. Setelah kematian anak kedua ia memutuskan untuk bunuh diri
dan mendekati Dutch Federation for Voluntary Euthanasia (Federasi
Belanda Sukarela Euthanasia), yang mengarah ke Dr Boudewijn Chabot. Dr
Chabot mendiagnosa menderita penderitaan mental yang berat dan sulit
dipecahkan. Dia berkonsultasi dengan sejumlah rekan-rekannya, meski tidak
satupun dari mereka dyang memeriksa Ny Boomsma secara pribadi. Pada
bulan September 1991, Dr Chabot melakukan euthanasia ter hadap Ny
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
68
Boomsma dengan resep obat dosis tinggi yang mematikan. Akibatnya dia
dilaporkan ke koroner publik.
Dr Chabot dituntut berdasarkan Pasal 294 dari KUHP Belanda.
Mahkamah Agung menyatakan bahwa tidak ada alasan prinsip dilakukan
euthanasia apabila penyebab penderitaan pasien adalah psikologis. Namun,
pengadilan menyatakan bahwa untuk melakukan euthanasia pasien harus
diperiksa oleh seorang ahli medis independen. Dr Chabot telah mencari
pendapat medis dari tujuh orang temannya tetapi tidak ada yang benar-benar
melihat Ny Boomsma dapat disembuhkan. Pada bulan Juni 1994, Dr Chabot
ditemukan bersalah karena melakukan kejahatan berdasarkan Pasal 294.
Mahkamah Agung menolak untuk menjatuhkan hukuman, walaupun pada
bulan Februari 1995 Dr Chabot menerima teguran dari Majelis Disiplin
Kedokteran. (Kimsma G, Leeuwen. www.eubios.info/BetCD/Bet12.doc
diakses 2 Januari 2011)
3. Penerapan euthanasia di Belgia
a. Sejarah dan perkembanagan
Parlemen Belgia telah melegalisasi tindakan euthanasia pada akhir
September 2002 melalui peraturan perundang undangan yaitu The Belgian
Act on Euthanasia. Peraturan perundang undangan di Belgia tentang
euthanasia diadopsi dari konvensi Hak Asasi Manusia Eropa yang
merupakan rekomendasi 1418 yang berjudul “Protection of the human
rights and dignity of the terminally ill and the dying”, dimana dalam article
2 disebutkan :
“no one shall be deprived of his life intentionally”; “recognising that a terminally ill or dying person’s wish to die never constitutes any legal claim to die at the hand of another person”; and “recognising that a terminally ill or dying person’s wish to die cannot of itself constitute a legal justification to carry out actions intended to bring about death”.(“tidak ada yang akan dicabut hidupnya dengan sengaja"); "mengakui orang sakit parah untuk mati tidak pernah merupakan tuntutan hukum, untuk mati di tangan orang lain"; dan "mengakui bahwa ingin orang sakit parah untuk mati tidak dapat dengan sendirinya merupakan alasan yang sah untuk melakukan segala tindakan yang dimaksudkan untuk kematiannya".)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
69
Dengan diberlakukannya secara resmi undang-undang euthanasia
(tindakan membunuh orang untuk meringankan penderitaan), Belgia
mengikuti jejak Belanda, yang selama ini menjadi satu-satunya negara yang
memberlakukan undang-undang euthanasia
b. Dekriminalisasi euthanasia
Dengan diberlakukannya secara resmi undang-undang euthanasia
(tindakan membunuh orang untuk meringankan penderitaan), Belgia
mengikuti jejak Belanda, yang selama ini menjadi satu-satunya negara yang
memberlakukan undang-undang euthanasia. Berdasarkan undang-undang
itu, seorang dokter yang melakukan pembunuhan atas dasar belas kasihan
tidak akan dinyatakan bersalah dan dipidana, bila pasiennya menderita
penyakit yang tak dapat disembuhkan dan mengambil keputusan sendiri,
dan bila prosedur hukum tertentu lainnya diikuti. Sebelum melakukan
pembunuhan atas dasar belas kasihan berdasarkan undang-undang baru itu,
seorang dokter harus merasa pasti bahwa permintaan untuk mati dibuat oleh
pasien atas kemauan sendiri bebas dari campur tangan pihak lain, sudah
dipikirkan sebagaimana mestinya dan secara konsisten dan bukan hasil dari
tekanan pihak luar.
Untuk menghindari tuntutan, seorang dokter juga harus menjamin
bahwa pasien "dalam situasi medis yang tak tersembuhkan" dan
menanggung "penderitaan psikologis atau penderitaan fisik secara terus-
menerus dan tak tertahankan" akibat kecelakaan atau penyakit yang tak
dapat disembuhkan. Tetapi, undang-undang baru tersebut juga menjamin
hak pasien untuk mendapat perawatan bebas akibat penyakitnya itu
sehingga pasien yang diasingkan atau miskin itu tidak meminta mati karena
tidak mempunyai uang untuk berobat. Untuk mengawasi praktek euthanasia
di Belgia, kemudian membentuk suatu komisi tetap untuk memantau
praktek-praktek euthanasia di Belgia. Dokter harus menyatakan tindakan
euthanasia ke Komisi Federal terdiri dari 8 dokter, 4 ahli hukum dan 4 orang
dari lingkungan dipercayakan dengan masalah pasien yang menderita
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
70
penyakit yang tak tersembuhkan. Komisi ini memiliki misi untuk
menetapkan setiap tahun laporan statistik dan evaluatif, dan untuk
menyarankan rekomendasi. (Jacqueline Herremans.
http://www.iheu.org/node/1110 diakses tangaal 2 Januari 2011)
Para pendukung euthanasia menyatakan bahwa ribuan tindakan
euthanasia setiap tahunnya telah dilakukan sejak dilegalisasikannya
tindakan euthanasia di Belgia, namun mereka juga mengkritik sulitnya
prosedur pelaksanaan euthanasia ini sehingga timbul suatu kesan adaya
upaya untuk menciptakan "birokrasi kematian". Belgia kini menjadi negara
ketiga yang melegalisasi euthanasia (setelah Belanda dan negara bagian
Oregon di Amerika). Senator Philippe Mahoux, dari partai sosialis yang
merupakan salah satu penyusun rancangan undang-undang tersebut
menyatakan bahwa seorang pasien yang menderita secara jasmani dan
psikologis adalah merupakan orang yang memiliki hak penuh untuk
memutuskan kelangsungan hidupnya dan penentuan saat-saat akhir
hidupnya. Dengan demikian pemerintah Belgia mendiskriminalisasikan
perbuatan euthanasia. Beberapa berpendapat bahwa permintaan untuk
euthanasia di Belgia yang dibantu oleh dokter adalah hasil positif dari
perawatan paliatif. Menurut World Health Organization (WHO) perawatan
paliatif tidak harus mempercepat atau menunda kematian (Johan Bilsen,
Lieve Van den Block, Luc Deliens, Lieve Van den Block, Nathalie Bossuyt,
Viviane Van Casteren. www.bmj.com/content/339/bmj.b2772. full diakses 2
Januari 2011)..
Praktek euthanasia di Belgia lebih sering dilakukan di unit rawat inap
paliatif daripada di rumah sakit atau di rumah. Selama tiga bulan sebelum
dilakukan euthanasia, orang yang mengajukan euthanasia akan
mendapatkan perawatan secara rohani. Meskipun kualitas dari perawatan
tersebut belum terbukti, akan tetapi perawatan tersebut dapat mengungkap
keinginan seseorang, termasuk keinginan untuk euthanasia. Dengan
demikian dapat memberikan spritual kepada orang yang mengajukan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
71
euthanasia (Johan Bilsen, Lieve Van den Block, Luc Deliens, Lieve Van
den Block, Nathalie Bossuyt, Viviane Van Casteren.
www.bmj.com/content/339/bmj.b2772. full diakses 2 Januari 2011).
Dalam perkembangannya di Belgia alasan untuk melakukan euthanasia
tidak hanya karena masalah fisik saja (penyakit yang sudah tidak dapat
disembuhkan), akan tetapi juga karena kehilangan martabat, kehilangan
otonomi, dan penderitaan-penderitaan secara umum (kemiskinan). Ini
menunjukkan bahwa di Belgia memperpendek kehidupan atau euthanasia,
tampaknya tidak dicegah oleh keterlibatan multidisiplin layanan perawatan
paliatif, yang telah menjadi argumen utama terhadap legalisasi euthanasia.
Contoh kasus di Belgia pasca disahkannya Undang Undang euthanasia
adalah kasus Mario Verstraete, 39 tahun dari Ghent, yang merupakan orang
Belgia pertama menggunakan hak euthanasia setelah disahkannya Undang
Undang euthanasia. Mario Verstraete, mengalami sclerosis, meninggal
pada tanggal 30 September setelah diberi suntikan oleh dokternya, hanya
delapan hari setelah disahkannya Undang Undang euthanasia. Kritik,
terutama di Flemish media, menyatakan bahwa cara kematiannya tidak
sesuai dengan prosedur yang ditetapkan dalam undang-undang dan bahwa
dokter bisa menanggung risiko penuntutan. Mereka menunjukkan bahwa
setelah pengambilan keputusan, Mario Verstraete seharusnya diberikan 30
hari untuk memikirkan tindakan euthanasia terhadap dirinya. Ini
menunjukkan Undang Undang euthanasia di Belgia belum diterapkan secara
benar, sehingga berpotensi sebagai sarana bunuh diri yang legal. (Rory
Witson Brussel. http://www.bmj.com diakses 28 Desember 2010).
4. Penerapan euthanasia di Amerika
a. Sejarah dan perkembangan
Euthanasia agresif dinyatakan ilegal dibanyak negara bagian di
Amerika, bahkan perbuatan euthanasia merupakan perbuatan yang
melanggar hukum. Akan tetapi ada negara bagian di Amerika yang
hukumnya secara eksplisit mengizinkan pasien terminal ( pasien yang tidak
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
72
mungkin lagi disembuhkan) mengakhiri hidupnya adalah negara bagian
Oregon, yang pada tahun 1997 melegalisasikan kemungkinan dilakukannya
euthanasia dengan memberlakukan UU tentang kematian yang pantas
(Oregon Death with Dignity Act) (Robin Lunge, Maria Royle, Michael
Slater.http://www.leg.state.vt.us/reports/05death/death_with_dignity_report.
htm. diakses 24 Januari 2011)
b. Dekriminalisasi euthanasia
Dalam Undang Undang ini ada beberapa kelemahan. undang-undang
euthanasia ini hanya menyangkut bunuh diri berbantuan, bukan euthanasia.
Syarat-syarat yang diwajibkan cukup ketat, dimana pasien terminal berusia
18 tahun ke atas boleh minta bantuan untuk bunuh diri, jika mereka
diperkirakan akan meninggal dalam enam bulan dan keinginan ini harus
diajukan sampai tiga kali pasien, dimana dua kali secara lisan (dengan
tenggang waktu 15 hari di antaranya) dan sekali secara tertulis (dihadiri dua
saksi dimana salah satu saksi tidak boleh memiliki hubungan keluarga
dengan pasien). Dokter kedua harus mengkonfirmasikan diagnosis penyakit
dan prognosis serta memastikan bahwa pasien dalam mengambil keputusan
itu tidak berada dalam keadaan gangguan mental. Hukum juga mengatur
secara tegas bahwa keputusan pasien untuk mengakhiri hidupnya tersebut
tidak boleh berpengaruh terhadap asuransi yang dimilikinya baik asuransi
kesehatan, jiwa maupun kecelakaan ataupun juga simpanan hari tuanya.
Setelah memenuhi persyaratan di atas, pasien berhak untuk resep untuk obat
untuk mengakhiri hidup. Undang-undang tidak mengizinkan dokter atau
orang lain untuk mengakhiri hidup pasien dengan suntikan mematikan atau
euthanasia aktif." Artinya, Undang-Undang memberikan wewenang dokter
untuk memberikan resep mematikan, namun secara tegas menolak
euthanasia aktif (Robin Lunge, Maria Royle, Michael
Slater.http://www.leg.state.vt.us/reports/05death/death_with_dignity_report.
htm diakses 24 Januari 2011)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
73
Kasus menarik di Amerika tentang euthanasia adalah Terri Schiavo
meninggal dunia di negara bagian Florida, 31 Maret 2005 atau 13 hari
setelah Mahkamah Agung Amerika memberi izin mencabut pipa makan
(feeding tube) yang selama ini memungkinkan pasien dalam koma ini masih
dapat hidup. Komanya mulai pada tahun 1990 saat Terri jatuh di rumahnya
dan ditemukan oleh suaminya, Michael Schiavo, dalam keadaan gagal
jantung. Setelah ambulans tim medis langsung dipanggil, Terri dapat
diresusitasi lagi, tetapi karena cukup lama ia tidak bernapas, ia mengalami
kerusakan otak yang berat, akibat kekurangan oksigen. Menurut kalangan
medis, gagal jantung itu disebabkan oleh ketidakseimbangan unsur potasium
dalam tubuhnya. Oleh karena itu, dokternya kemudian dituduh malapraktek
dan harus membayar ganti rugi cukup besar karena dinilai lalai dalam tidak
menemukan kondisi yang membahayakan ini pada pasiennya.
Setelah Terri Schiavo selama 8 tahun berada dalam keadaan koma,
maka pada bulan Mei 1998 suaminya yang bernama Michael Schiavo
mengajukan permohonan ke pengadilan agar pipa alat bantu makanan pada
istrinya bisa dicabut agar istrinya dapat meninggal dengan tenang, namun
orang tua Terri Schiavo yaitu Robert dan Mary Schindler menyatakan
keberatan dan menempuh langkah hukum guna menentang niat menantu
mereka tersebut. Dua kali pipa makanan Terri dilepaskan dengan izin
pengadilan, tetapi sesudah beberapa hari harus dipasang kembali atas
perintah hakim yang lebih tinggi. Pada tahun 2001, hakim pengadilan
pengadilan memutuskan bahwa bukti yang jelas dan meyakinkan
menunjukkan bahwa Terri Schiavo akan memilih untuk tidak menerima
pengobatan yang memperpanjang hidup dalam keadaan yang kemudian
diterapkan. Putusan ini juga ditegaskan oleh pengadilan banding Florida dan
membantah pendengaran oleh Mahkamah Agung Florida. Ketika tabung
pengisi Terri Schiavo telah dihapus untuk kedua kalinya, pada tahun 2003,
badan legislatif Florida diciptakan "Terri Law" untuk mengesampingkan
keputusan pengadilan, dan tabung itu kembali dimasukkan kembali. Hukum
ini kemudian memutuskan pelanggaran konstitusional pemisahan kekuasaan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
74
(TimothyQuill. http://www.nejm.org/doi/full/10.1056/NEJMp058062
diakses 2 Januari 2011).
Akhirnya hakim memutuskan bahwa pipa makanan boleh dilepaskan,
maka para pendukung keluarga Schindler melakukan upaya-upaya guna
menggerakkan Senat Amerika Serikat agar membuat undang-undang yang
memerintahkan pengadilan federal untuk meninjau kembali keputusan
hakim tersebut. Undang-undang ini langsung didukung oleh Dewan
Perwakilan Amerika Serikat dan ditandatangani oleh Presiden George
Walker Bush. Tetapi, berdasarkan hukum di Amerika kekuasaan kehakiman
adalah independen, yang pada akhirnya ternyata hakim federal
membenarkan keputusan hakim terdahulu
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
75
BAB IV. PENUTUP
A. Simpulan
1. Norma hukum tentang euthanasia tidak diatur dengan jelas dalam Undang
Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Secara Implisit
pengertian euthanasia terdapat dalam Undang Undang Nomor 39 Tahun 1999
tentang Hak Asasi Manusia yang mengatur mengenai hak hidup, yang diatur
didalam Pasal 9 ayat (1) yang berbunyi “ setiap orang berhak untuk hidup dan
meningkatkan taraf hidupnya”. Hak untuk hidup oleh sebagian besar
masyarakat dapat ditafsirkan sebagai hak untuk menentukan hidupnya sendiri,
sehingga menentukan hidupnya sendiri dapat juga diartikan hak kebebasan
terhadap dirinya sendiri termasuk juga hak untuk mengakhiri hidup sendiri.
Akan tetapi hak menentukan hidupnya sendiri tidak dapat berdiri sendiri
tanpa adanya suatu hak atas informasi yang diatur dalam Pasal 14 Undang
Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan hak atas
kesehatan yang diatur didalam Pasal 9 ayat (3) Undang Undang Nomor 39
Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Dengan berlandaskan kedua Pasal
tersebut, pasien atau pihak keluarga yang mewakili setelah mendapatkan
informasi yang cukup jelas dari dokter dapat meminta persetujuan dari dokter
untuk meminta dihentikan pengobatannya karena dianggap tidak dapat
disembuhkan lagi, sehingga keberadaannya dirumah sakit hanya akan
menambah beban serta biaya saja. Persetujuan antara dokter dan pasien
(informed consent) inilah yang menjadi dasar untuk dilakukan euthanasia
terhadap pasien. Dengan demikian dokter tidak dapat dipersalahkan apabila
pihak keluarganya mengadukannya, karena tindakannya didasarkan oleh
persetujuan pasien. Informed consent merupakan syarat yang bertumpu atas
dua hak yaitu hak untuk menentukan hidupnya sendiri dan hak atas informasi.
2. Ketentuan tentang euthanasia tidak diatur secara tegas dalam peraturan
perundang undangan Indonesia. Secara Impisit euthanasia diatur didalam
Undang Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yaitu hak
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
76
hidup yang ditafsirkan oleh sebagian masyarakat merupakan hak untuk
menetukan hidupnya sendiri. Bentuk euthanasia yang sering dilakukan di
Indonesia adalah euthanasia pasif yaitu berupa pengurangan kualitas kesehatan
dari rumah sakit ke rumah tangga. Bentuk euthanasia pasif memang dalam
peraturan perundang undangan Indonesia belum ada yang mengaturnya,
sehingga pelaksanaannya bukan merupakan suatu pelanggaran hukum. Pasal
344 KUHP yang oleh para ahli hukum merupakan Pasal yang mendekati
tindakan euthanasia termasuk juga euthanasia pasif tidak dapat bekerja secara
maksimal, karena belum ada menjerat pelaku euthanasia pasif di Indonesia.
Jika kita bandingkan dengan negara lainnya (Belanda, Belgia, Amerika),
pengaturan mengenai penerapan euthanasia di Indonesia jauh tertinggal. Di
Belanda secara tegas melegalkan praktek euthanasia melaui peraturan
perundang undangan yaitu Wet van 12 april 2001, houdende toetsing van
levensbeëindiging op verzoek en hulp bij zelfdoding en wijziging van het
Wetboek van Strafrecht en van de Wet op de lijkbezorging (Wet toetsing
levensbeëindiging op verzoek en hulp bij zelfdoding), atau Review procedures
for the termination of life on request and assisted suicide and amendment of
the Criminal Code and the Burial and Cremation Act (Termination of Life on
Request and Assisted Suicide (Review Procedures) Act) walaupun dalam code
penal (KUHP Belanda) disebutkan dalam Pasal 293 yaitu “Dia yang
mengambil kehidupan orang lain atas permintaan orang ini eksplisit dan serius
akan dihukum dengan hukuman penjara hingga dua belas tahun atau denda
kategori kelima. Sedangkan dalam article 294 disebutkan barang siapa yang
menghasut orang lain untuk bunuh diri dihukum paling lama tiga tahun, dan
denda kategori empat. Dari ketentuan tersebut dapat ditafsirkan bahwa Hukum
Pidana Belanda melarang praktek euthanasia, akan tetapi kemudian
dihilangkan sifat pidananya, sehingga praktek euthanasia di Belanda di
legalkan. Di Belgia pemerintah melegalkan praktek euthanasia melalui
peraturan perundang undangan yaitu The Belgian Act on Euthanasia yang
diadopsi dari konvensi Hak Asasi Manusia Eropa yang merupakan
rekomendasi 1418 yang berjudul “Protection of the human rights and dignity
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
77
of the terminally ill and the dying”. Dalam article 2 disebutkan mengakui
orang sakit parah untuk mati tidak pernah merupakan tuntutan hukum, untuk
mati di tangan orang lain"; dan "mengakui bahwa ingin orang sakit parah untuk
mati tidak dapat dengan sendirinya merupakan alasan yang sah untuk
melakukan segala tindakan yang dimaksudkan untuk kematiannya"). Di
Amerika memang secara agresif praktek euthanasia dilarang dan merupakan
perbuatan yang melanggar hukum. Akan tetapi di negara bagian Oregon
eutthanasia merupakan hal yang legal melalui Oregon Death with Dignity Act,
dimana secara eksplisit disebutkan bahwa secara eksplisit bahwa seorang
pasien yang sudah tidak dapat disembuhkan dapat mengakhiri hidupnya.
B. Saran
Pemberian hak euthanasia pada dasarnya bertumpu pada hak untuk
menentukan hidupnya sendiri. Akan tetapi permasalahnya sampai sejauh mana
batasan-batasan menentukan hidupnya sendiri tersebut. Batasan-batasan
tersebut harus jelas, agar tidak bertentangan dengan hak-hak lainnya, terutama
bila dikaitkan dengan euthanasia akan berbenturan dengan hak hidup,
sedangkan hak untuk menentukan hidupnya sendiri tidak diatur secara jelas
dalam Undang Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia.
Oleh karena itu Undang Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia perlu dilakukan Judicial Review untuk memasukkan rumusan tentang
hak menentukan hidupnya sendiri. Pemerintah (legislatif) juga harus membuat
regulasi tentang euthanasia yang berbasiskan Hak Asasi Manusia secepatnya
atau memasukkan rumusan euthanasia dalam Undang Undang Kesehatan
ataupun Undang Undang Praktek Kedokteran, agar memperjelas euthansia
mana yang dilarang dan euthanasia mana yang diperbolehkan oleh hak asasi
manusia, sehingga dapat membantu penegak hukum untuk menafsirkan apakah
orang tersebut menggunakan haknya atau orang tersebut telah melanggar hak
asasi manusia.
Pengaturan euthanasia di Indonesia jauh tertinggal dengan negara-negara
lainnya seperti Belanda, Belgia, Amerika. Di Indonesia sejak diberlaukkannya
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
78
Kitab Undang Undang Hukum Pidana, sampai sekarang belum pernah ada
kasus yang ditangani oleh pengadilan yang berhubungan dengan euthanasia.
Pasal 344 KUHP yang rumusannya mendekati euthanasia belum pernah
menjerat pelaku euthanasia. Ini menunjukkan Pasal 344 KUHP merupakan
Pasal yang tidak efektif. Berkaitan dengan pengaturan euthanasia kedepan
(Pasal 344 KUHP) dan dalam rangka pembangunan hukum pidana kedepan
maka ada tiga hal yang harus dicermati yaitu Pasal 344 dihapuskan, Pasal 344
tetap dipertahankan atau Pasal 344 direvisi. Akan tetapi ketiga hal tersebut
mempunyai dampak. Apabila dipertahankan maka euthanasia termasuk
euthanasia pasif tidak diperbolehkan, apabila dicabut maka segala bentuk
euthanasia diperbolehkan termasuk juga euthanasia , apabila direvisi maka ada
kriteria-kriteria tertentu tentang euthanasia yang diperbolehkan dan ada yang
dilarang. Dari hal-hal tersebut, yang paling pantas adalah adanya suatu revisi
dari Pasal 344 KUHP. Kedepannya pemerintah harus memberikan kebijakan
dekriminalisasi terhadap Pasal 344 KUHP yaitu dihilangkan sama sekali sifat
dapat dipidananya seseorang. Pengaturan euthanasia mendatang harus
mempertahankan beberapa prinsip-prinsip umum yang terkandung didalamnya,
akan tetapi harus ada beberapa pengecualian-pengecualian antara lain :
a) Bagi pasien yang sudah tidak ada harapan lagi akan kehidupannya menurut
ukuran medis yang dinyatakan oleh dokter yang merawatnya.
b) Usaha penyembuhan tidak berpotensi lagi
c) Harus mendapat persetujuan dari keluarga pasien.
d) Tindakan yang dilakukan hanya berupa pengurangan kualitas perawatan
kesehatan yaitu dari rumah sakit ke rumah tangga, sehingga secara tegas
melarang praktek euthanasia aktif.
top related