abses leher dalam
Post on 03-Aug-2015
352 Views
Preview:
TRANSCRIPT
BAB I
TINJAUAN PUSTAKA
1.1 Definisi
Abses adalah kumpulan nanah setempat dalam rongga yang tidak akibat kerusakan
jaringan. 1
Abses leher dalam adalah terkumpulnya nanah (pus) di dalam ruang potensial di antara
fasia leher dalam sebagai akibat penjalaran dari berbagai sumber infeksi, seperti gigi, mulut,
tenggorok, sinus paranasal, telinga dan leher.2
1.2 Anatomi Leher Dalam5
Pada daerah leher terdapat beberapa ruang potensial yang dibatasi oleh fasia servikal.
Fasia servikal dibagi menjadi dua yaitu fasia superfisial dan fasia profunda. Kedua fasia ini
dipisahkan oleh otot platisma yang tipis dan meluas ke anterior leher. Otot platisma sebelah
inferior berasal dari fasia servikal profunda dan klavikula serta meluas ke superior untuk
berinsersi di bagian inferior mandibula.
Fasia superfisial merupakan jaringan konektif yang terletak dibawah dermis. Fasia ini
secara sempurna mengelilingi leher, tipis dan sulit untuk didemonstrasikan. Fasia ini berisikan
platysma dan vena-vena superfisialis. Fasia profunda mengelilingi daerah leher dalam dan terdiri
dari 3 lapisan, yaitu:
1. Lapisan superfisial
Lapisan ini juga dikenal dengan sebutan lapisan selimut (investing layer). Lapisan ini
mengelilingi leher, membungkus muskulus sternokleidomastoideus, dan muskulus trapezius
Selain otot, lapisan ini juga membungkus kelenjar submandibular dan parotis. Ruangan yang
terbentuk adalah trigonum coli posterior di kedua sisi lateral leher dan ruang suprasternal Burns.
2. Lapisan tengah
Lapisan ini juga dikenal dengan nama lapisan viseral yang mencakup fasia pretiroid dan
pretrakea. Lapisan ini dibagi menjadi dua bagian yaitu bagian muskular yang membungkus
muskulus infrahyoid dan bagian viseral yang membungkus faring, laring, esofagus, kelenjar
tiroid, dan trakea.
1
3. Lapisan dalam.
Lapisan dalam ini berasal dari prosesus spinosus dari tulang vertebra servikal dan
ligamentum nuchae. Pada prosesus transversus dari tulang vertebra servikal, lapisan ini terbagi
menjadi lapisan alar anterior dan lapisan alar prevertebra posterior. Fasia alar memanjang dari
dasar tengkorak ke tulang vertebra torak ke-2, dan bersatu dengan fasia viseral. Fasia ini terletak
diantara lapisan viseral dan lapisan prevertebra. Fasia prevertebra terletak di sebelah anterior dari
corpus vertebra dan memanjang sepanjang kolumna vertebralis. Fasia ini berjalan secara
sirkumferensial mengelilingi leher dan membungkus otot-otot vertebralis, otot-otot profunda
trigonum coli posterior, dan otot scalene. Lapisan fasia ini mengelilingi pleksus brakialis dan
pembuluh subkalvian dan berlanjut di tepi lateral sebagai vagina aksilaris.
Vagina karotis adalah lapisan fasia yang bergubungan tetapi secara anatomis berbeda
dengan fasia-fasia yang telah dijelaskan di atas. Vagina karotis memiliki bagian-bagian dari
ketiga lapisan fasia profunda leher dan membungkus arteri karotis, vena jugularis interna, dan
nervus vagus. Vagina karotis berjalan mulai dari dasar tengkorak menuju leher di sepanjang
permukaan anterior fasia prevertebra, dan memasuki rongga torak di belakang klavikula.
Gambar 1. Diseksi dari platysma yang berlokasi di jaringan ikat subkutaneus
2
Gambar 2. Potongan melintang leher
Gambar 3. Potongan oblik leher
Ruang potensial leher dalam
Ruang potensial leher dalam dibagi menjadi ruang yang melibatkan daerah sepanjang
leher, ruang suprahioid dan ruang infrahioid.6
Ruang yang melibatkan sepanjang leher terdiri dari:
ruang retrofaring
ruang bahaya (danger space)
ruang prevertebra.
3
Ruang suprahioid terdiri dari:
ruang submandibula
ruang parafaring
ruang parotis
ruang mastikator
ruang peritonsil
ruang temporalis.
Ruang infrahioid:
ruang pretrakeal
Gambar 4. Potongan Sagital Leher
Ruang retrofaring
Batas-batas :
1. Anterior : ruang buccofaringeal (faring dan esophagus)
2. Posterior : alar fascia
3. Lateral : Cloison sagittale
4. Superior : basis cranii
4
5. Inferior : superior mediastinum
Kompartemen :
Jaringan lemak
Kelenjar limfe pada porsi suprahyoid (medial dan lateral nodus Rouviere retrofaring)
5
A
Gambar 5. (A) Potongan sagital dari kepala dan leher. (B) Potongan koronal dari regio
suprahyoid. (C) Potongan cross-section leher setinggi level isthmus thyroid; 1. fasia
superfisialis, 2. ruang pretrakeal, 3. ruang retrofaring, 4. ruang bahaya, 5. ruang prevertebral.
Ruang bahaya
Batas-batas :
6
1. Anterior : alar fascia
2. Posterior : prevertebral fascia
3. Lateral : prosesus transversus vertebra
4. Superior : basis cranii
5. Inferior : diafragma
Kompartemen :
Jaringan loose aerolar
Gambar 6. Ruang bahaya
Ruang prevertebral
Batas-batas :
1. Anterior : prevertebral fascia
2. Posterior : corpus vertebra dan deep neck muscles
3. Lateral : prosesus transversus vertebra
4. Superior : basis cranii
5. Inferior : coccyx
Kompartemen :
Jaringan dense areolar
Kelenjar limfe pada porsi suprahyoid (medial dan lateral nodus Rouviere retrofaring)
7
Ruang submandibula
Batas-batas :
1. Anterior : mylohyoid dan anterior belly dari m.digastrik
2. Posterior : posterior belly dari m.digastrik dan ligamen stylomandibular
3. Lateral : kulit, platysma, mandibula
4. Superior : mukosa dari lantai mulut
5. Inferior : m.digastrik
Ruang sublingual
a. Jaringan areolar
b. n. hypoglossal dan lingual
c. Kelenjar sublingual
d. Wharton’s duct
Ruang submaksila
Kelenjar submandibula
Kelenjar limfe
Gambar 7. Pembagian ruang mandibula menjadi supramylohyoid dan inframylohyoid oleh
m.mylohyoid
8
Gambar 8. Isi dari ruang submandibula
Ruang parafaring
Batas-batas :
1. Anterior : raphe pterygomandibular
2. Posterior : prevertebral fascia
3. Medial : fascia buccofaringeal
4. Lateral : m. pterygoid medial
5. Superior : basis cranii
6. Inferior : os. hyoid
Kompartemen :
Kompartemen prestyloid
a. Jaringan lemak
b. Kelenjar limfe
c. Medial—fossa tonsilaris
d. Lateral—m. pterigoid medial
e. a. maksila interna
f. n. alveolar interna, lingual, auriculotemporal
Kompartemen poststyloid
a. a. karotis
b. v. jugularis interna
9
c. Rantai simpatis
d. n. IX, X, XI, XII
Gambar 9. Ruang parafaring
Ruang parotis
Batas-batas :
1. Anterior : ramus posterior mandibula dan ligamen sylomandibula
2. Posterior : m.sternocleidomastoid
3. Superior/inferior : kapsula parotis
4. Superficial: kulit
5. Deep : prosesus styloideus
Kompartemen :
Kelenjar parotis
1. n. facialis
2. a. karotis intera
3. v. retromandibular
10
Gambar 10. Ruang parotis
Ruang mastikator
Batas-batas :
1. Anterior : fascia masseter
2. Posterior : ramus mandibula
3. Lateral : superficial layer of deep fascia
4. Superior : m. temporalis
Kompartemen :
a. Buccal fat
b. a. maksilaris interna
c. plexus v. pterygoid
d. n. mandibular
11
Gambar 11. Ruang mastikator
Ruang peritonsilar
Batas-batas :
1. Lateral : m. pharyngeal superior konstriktor
2. Medial : kapsul tonsil palatina
3. Superior : anterior pillar tonsil
4. Inferior : posterior pillar tonsil
Ruang pretrakeal
Dari kartilago tiroid sampai superior mediastinum. Berisi tiroid, trakea, dan esophagus.
Gambar 12. Ruang pretrakeal
12
1.3 Etiologi dan Patofisiologi
Sebelum adanya antibiotik 70% dari infeksi leher dalam berasal dari infeksi faring dan
tonsil.
Oleh karena itu ruang parafaring adalah ruang yang paling sering terkena infeksi. Namun
sekarang, kebanyakan infeksi leher dalam bersumber dari infeksi gigi dan kelenjar air liur. Selain
itu, bisa juga disebabkan oleh infeksi saluran nafas atas, trauma, benda asing, pemasangan
instrument, dan penyebaran langsung dari infeksi local pada kulit. 3
Pada anak-anak, penyebab terbanyak adalah tonsillitis akut dengan keterlibatan ruang
peritonsil, diikuti oleh infeksi gigi dengan keterlibatan ruang submandibula.3
Kebanyakan kuman penyebab adalah Staphylococcus aureus, Streptococcus pyogenes,
Peptostreptococcus, Bacteroides melaninogenicus, Fusobacterium.3,4
Actinomyces dapat menyebabkan infeksi leher dalam yang tidak terbatas hanya pada
kompartemen fasial namun juga dapat menyebar. Actinomyces sering menetap di kripti tonsil dan
sulkus gingivodental. Gigi bisa menjadi sumber infeksi.4
1.4 Gambaran Klinis dan Diagnosis
Nyeri tenggorok dan demam yang disertai dengan terbatasnya gerakan membuka mulut
dan leher harus dicurigai kemungkinan disebabkan oleh abses leher dalam.2
Gejala dapat diawali dengan demam, nyeri dan pembengkakan. Gejala ini bisa
berlangsung dalam 12 jam – 28 hari. Pasien datang dengan odinofagi, disfagi, dan trismus 3
Pada pemeriksaan fisik ditemukan edema dan fluktuasi, panas pada daerah yang bengkak.
Pada rontgen torak dapat ditemukan gambaran deviasi trakea, udara subkutan, cairan
dalam jaringan lunak.
CT Scan dapat membedakan selilitis dengan abses, memperlihatkan ruang yang terlibat,
dan proses perluasan abses. Karakteristik CT Scan pada abses leher dalam adalah densitas yang
rendah, kontras mengisi dinding abses, pembengkakan jaringan.
13
Abses peritonsil
Abses peritonsil merupakan terkumpulnya material purulen yang terbentuk di luar
kapsul tonsil dekat kutub atas tonsil.2
Etiologi
Abses peritonsil merupakan abses yang paling banyak ditemukan, dan biasanya
merupakan komplikasi tonsilitis akut atau infeksi yang bersumber dari kelenjar mukus Weber di
kutub atas tonsil. Biasanya kuman penyebab sama dengan penyebab tonsilitis, dapat ditemukan
kuman aerob dan anaerob.2
Patologi
Daerah superior dan lateral fossa tonsilaris merupakan jaringan ikat longgar, oleh
karena itu infiltrasi supurasi ke ruang potensial pritonsil tersering menempati daerah ini,
sehingga tampak palatum mole membengkak.2
Pada stadium permulaan (stadium infiltrat), selain pembengkakan tampak
permukaannya hiperemis. Bila proses berlanjut, terjadi supurasi sehingga daerah tersebut lebih
lunak. Pembengkakan peritonsil akan mendorong tonsil dan uvula ke arah kontralateral. Bila
proses berlanjut terus, peradangan jaringan di sekitarnya akan menyebabkan iritasi pada M.
Pterygoideus interna, sehingga timbul trismus. Abses dapat pecah spontan, mungkin dapat terjadi
aspirasi ke paru.2
Diagnosis
Pada abses peritonsil didapatkan gejala demam, nyeri tenggorok, nyeri menelan
(odinofagia), hipersalivasi, nyeri telinga (otalgia) dan suara bergumam (hot potato voice). Rasa
nyeri di telinga ini karena nyeri alih melalui saraf N. Glossopharyngeus (N.IX). Mungkin
terdapat muntah (regurgitasi), mulut berbau (foetor ex ore) dan kadang-kadang sukar membuka
mulut (trismus). Pada pemeriksaan fisik didapatkan palatum mole tampak membengkak dan
menonjol ke depan, dapat teraba fluktuasi, arkus faring tidak simetris, pembengkakan di daerah
peritonsil, uvula terdorong ke sisi yang sehat, dan trismus. Tonsil bengkak, hiperemis, mungkin
banyak detritus dan terdorong ke sisi kontra lateral. Kadang-kadang sukar memeriksa seluruh
14
faring karena trismus. Abses ini dapat meluas ke daerah parafaring. Untuk memastikan diagnosis
dapat dilakukan pungsi aspirasi dari tempat yang paling fluktuatif.2
Terapi
Pada stadium infiltrasi, diberikan antibiotika dosis tinggi dan obat simtomatik. Juga
perlu kumur-kumur dengan air hangat dan kompres dingin pada leher.
Bila telah terbentuk abses, memerlukan pembedahan drainase, baik dengan teknik
aspirasi jarum atau dengan teknik insisi dan drainase. Tempat insisi ialah di daerah yang paling
menonjol dan lunak, atau pada pertengahan garis yang menghubungkan dasar uvula dengan
geraham atas terakhir. Intraoral incision dan drainase dilakukan dengan mengiris mukosa
overlying abses, biasanya diletakkan di lipatan supratonsillar. Drainase atau aspirate yang sukses
menyebabkan perbaikan segera gejala-gejala pasien.
Bila terdapat trismus, pembedahan drainase dilakukan setelah pemberian cairan kokain
4% pada daerah insisi dan daerah ganglion sfenopalatina pada fosa nasalis.
Kemudian pasien dinjurkan untuk operasi tonsilektomi “a” chaud. Bila tonsilektomi
dilakukan 3-4 hari setelah drainase abses disebut tonsilektomi “a” tiede, dan bila tonsilektomi 4-
6 minggu sesudah drainase abses disebut tonsilektomi “a” froid. Pada umumnya tonsilektomi
dilakukan sesudah infeksi tenang, yaitu 2-3 minggu sesudah drainase abses.2
Tonsilektomi merupakan indikasi absolut pada orang yang menderita abses
peritonsilaris berulang atau abses yang meluas pada ruang jaringan sekitarnya. Abses peritonsil
mempunyai kecenderungan besar untuk kambuh. Sampai saat ini belum ada kesepakatan kapan
tonsilektomi dilakukan pada abses peritonsil. Sebagian penulis menganjurkan tonsilektomi 6–8
minggu kemudian mengingat kemungkinan terjadi perdarahan atau sepsis, sedangkan sebagian
lagi menganjurkan tonsilektomi segera.2,6
Komplikasi
Abses pecah spontan dapat mengakibatkan perdarahan, aspirasi paru atau piemia.
Penjalaran infeksi dan abses ke daerah parafaring sehingga terjadi abses parafaring. Pada
15
penjalaran selanjutnya, masuk ke mediastinum sehingga terjadi mediastinitis. Bila terjadi
penjalaran ke daerah intrakrnial, dapat mengakibatkan trombus sinus kavernosus, meningitis dan
abses otak.2
Abses retrofaring
Etiologi dan Patologi
Merupakan abses leher dalam yang jarang terjadi, terutama terjadi pada anak di bawah
lima tahun. Hal ini terjadi karena pada usia tersebut ruang retrofaring masih berisi kelenjar
limmfa, masing-masing 2-5 buah pada sisi kanan dan kiri. Kelenjar ini menampung aliran limfa
dari hidung, sinus paranasal, nasofaring, faring, tuba eustachius, dan telinga tengah. Pada usia
diatas 6 tahun kelenjar limfa akan mengalami atrofi. Pada anak biasanya abses terjadi mengikuti
infeksi saluran nafas atas dengan supurasi pada kelenjar getah bening yang terdapat pada ruang
retrofaring. Trauma dinding belakang faring oleh benda asing seperti tulang ikan atau tindakan
medis, seperti adenoidektomi, intubasi endotrakeal, dan endoscopi. Tuberkulosis vertebra
servikalis bagian atas (abses dingin).2,6
Diagnosis
Gejala utama berupa rasa nyeri (odinofagia) dan sukar menelan (disfagia) di samping
juga gejala-gejala lain berupa demam, pergerakan leher terbatas, dan sesak nafas. Sesak nafas
timbul jika abses sudah menimbulkan sumbatan jalan nafas, terutama di hipofaring. Bila
peradangan sudah sampai laring, dapat timbul stridor. Stridor terjadi jika abses menjadi semakin
besar atau edema semakin luas kebawah mengenai laring. Abses retrofaring sebaiknya dicurigai
jika pada bayi atau anak kecil terdapat demam yang tidak dapat dijelaskan setelah infeksi
pernapasan bagian atas dan terdapat gejala-gejala hilangnya nafsu makan, perubahan dalam
berbicara, dan kesulitan menelan. Pada deawasa terdapat gejala disfagia, nyeri menelan, dan
gejala memberi kesan adanya obstruksi jalan nafas. Pada pemeriksaan didapatkan pembengkakan
dinding posterior faring, biasanya unilateral,dan mukosa terlihat hiperemis.2,6
Terapi
Terapi dengan medikamentosa, yakni antibiotika dosis tinggi untuk kuman aerob dan
anaerob secara parenteral, dan tindakan bedah. Pungsi dan insisi abses dilakukan melalui
16
laringoskop langsung dalam posisi pasien Trendelenburg. Pus yang keluar segera diisap agar
tidak terjadi aspirasi. Tindakan dapat dilakukan dalam analgesia lokal atau umum, pasien di
rawat inap sampai gejala infeksi reda.2
Komplikasi
Komplikasi yang mungkin terjadi ialah penjalaran ke ruang parafaring, ruang vaskuler
visera, mediastinitis, obstruksi jalan nafas sampai asfiksia,asfiksia terjadi pada saat memasukkan
alat ke mulut untuk pemeriksaan dan drainase atau akibat atau pecahnya abses yang besar tiba-
tiba, sehingga memenuhi laring dan pus, dan dapat menyebabkan penummonia aspirasi dan abses
paru.2,6
Abses Parafaring
Etiologi dan patologi
Abses parafaring dapat terjadi setelah infeksi dengan cara 1) langsung yaitu, akibat
tusukan jarum pada saat melakukan tonsilektomi pada analgesia. Peradangan terjadi karena
ujung jarum suntik yang telah terkontaminasi kuman menembus lapisan otot tipis (muskulus
konstriktor faring superior) yang memisahkan ruang parafaring dan fossa tonsilaris. 2) Proses
supurasi kelenjar limfa leherbagian dalam, faring, tonsil, adenoid, gigi,hidung,sinus
paranasal,mastoid, vetebra servikal yang dapat merupakan sumber infeksi untuk terjadinya abses
ruang parafaring. 3)Penjalaran infeksi dari ruang peritonsil, retrofaring, atau submandibula.2
Gejala dan tanda
Gejala utama abses parafaring berupa trismus,indurasi,atau pembengkakakn disekitar
angulus mandibula, demam tinggi, dan pembengkakan diding lateral faring, sehingga menonjol
ke arah medial.2
Diagnosis
Ditegakkan berdasarkan riwayat penyakit,gejala dan tanda klinik. Bila meragukan dapat
dilakukan pemeriksaan penunjang berupa foto rontgen jaringan lunak Ap, atau CT scan.2
17
Terapi
Selain pemberian antibiotika dosis tinggi, evakuasi abses harus segera dilakukan bila
tidak ada perbaikan dengan antibiotika dalam 24-48 jam dengan cara eksplorasi dalam narkosis.
Drainase sebaiknya dilakukan melalui insisi servikal pada 2 ½ jari di bawah dan sejajar
mandibula. Secara tumpul eksplorasi dilanjutkan dari batas anterior M. Sternocleidomastoideus
ke arah atas belakang menyusuri bagian medial mandibula dan M. Pterigoideus interna mencapai
mencapai ruang parafaring dengan terabanya prosesus stiloid. Bila nanah terdapat di dalam
selubung karotis, insisi dilanjutkan vertikal dari pertengahan insisi horizontal ke bawah di depan
M. Sternocleidomastoideus (cara Mosher).2,6
Komplikasi
Proses peradangan dapat menjalar secara hematogen, limfogen atau langsung (per
kontinuitatum) ke daerah sekitarnya. Penjalaran ke atas dapat mengakibatkan peradangan
intrakranial, ke bawah menyusuri selubung karotis mencapai mediastinum. Abses juga dapat
menyebabkan kerusakan dinding pembuluh darah. Bila pembuluh karotis mengalami nekrosis,
dapat terjadi ruptur, sehingga terjadi perdarahan hebat. Bila terjadi periflebitis atau endoflebitis,
dapat timbul tromboflebitis dan septikemia.2
Abses Submandibula
Ruang submandibula terdiri dari ruang sublingual dan ruang submaksila. Ruang sublingual
dipisahkan dari ruang submaksila oleh otot milohioid. Ruang submaksila selanjutnya dibagi lagi
atas ruang submental dan ruang submaksila (lateral) oleh otot digestrikus anterior.2
Etiologi dan patologi
Infeksi dapat bersumber dari gigi, dasar mulut, faring, kelenjar liur atau kelenjar limfe
submandibula. Mungkin juga sebagian kelanjutan infeksi infeksi ruang leher dalam lain.2
18
Diagnosis
Pasien biasanya akan mengeluh demam, nyeri di rongga mulut dan leher, air liur
banyak. Pada pemeriksaan fisik didapatkan pembengkakan di daerah submandibula, fluktuatif,
lidah terangkat ke atas dan terdorong ke belakang, angulus mandibula dapat diraba, dan sering
ditemukan trismus.2,6
Angina Ludovici (Ludwig’s Angina)
Angina Ludwig merupakan peradangan selulitis atau flegmon dari bagian superior
ruang suprahioid atau di daerah sub mandibula, dengan tidak ada fokal abses. Ruang potensial ini
berada antara otot-otot yang melekatkan lidah pada tulang hioid dan ototmilohioideus.2,6
Etiologi
Angina Ludwig paling sering terjadi sebagai akibat infeksi yang berasal dari gigi geligi
atau dasar mulut,oleh kuman aerob dan anaerob.2
Diagnosis
Biasanya akan mengenai kedua sisi submandibula, air liur yang banyak, trismus, nyeri,
disfagia, massa di submandibula yang tampak hiperemis dan keras pada perabaan. Kekerasan
yang berlebihan pada jaringan dasar mulut mendorong lidah ke atas dan ke belakang dan dengan
demikian dapat menyebabkan obstruksi jalan napas secara potensial sehingga timbul sesak
napas.2
Terapi
Diberikan antibiotika dengan dosis tinggi, untuk kuman aerob dan anaerob, dan
diberikan secara parenteral. Kemudian dilakukan eksplorasi dengan pembedahan insisi melalui
garis tengah, dengan demikian menghentikan ketegangan (dekompresi) yang terbentuk pada
dasar mulut. Karena ini merupakan selulitis, maka sebenarnya pus jarang diperoleh. Sebelum
insisi dan drainase dilakukan, sebaiknya dilakukan persiapan terhadap kemungkinan trakeostomi
karena ketidakmampuan melakukan intubasi pada pasien, seperti lidah yang mengobstruksi
pandangan laring dan tidak dapat ditekan oleh laringoskop.2,6
19
Komplikasi
Komplikasi yang sering terjadi ialah sumbatan jalan nafas, penjalaran abses ke ruang
leher dalam lain dan mediastinum, dan sepsis.2
Abses Pretrakeal
Sebagian besar infeksi di ruang visceral anterior (pretrakeal) disebabkan oleh perforasi
pada dinding anterior esofagus karena pemasangan instrumen, benda asing, tonsil, atau trauma
dari luar. Infeksi jarang menyebar dari tiroid atau ruang leher dalam lainnya. Pada awalnya
muncul keluhan susah menelan. Seiring dengan perkembangan infeksi akan muncul gejala
seperti suara serak, dispnea, dan obstruksi jalan napas. dari laringoskop ditemukan edema dan
eritema pada dinding hipofaring dan ditemukan krepitus dengan palpasi pada leher karena
adanya emfisema subkutis.3
1.5 Penatalaksanaan
Penjagaan terhadap jalan nafas yang adekut merupakan tujuan pertama dari
penatalaksaan dari abses leher dalam. Sedangkan pemakaian dari intubasi endotrakeal menjadi
sulit karena tertutupnya saluran nafas atas oleh abses. Jika memang tidak memungkinkan untuk
itu maka dilakukan trakeostomi atau krikotirotomi. Setelah masalah jalan nafas dapat diatasi
maka selanjutnya penatalaksanaan ditujukan untuk mengatasi infeksi dan komplikasinya. Untuk
kedua hal tersebut biasanya pasien dirawat selama sekitar 11 hari.
Untuk pemilihan antibiotik, biasanya dilakukan kultur darah, aspirasi abses dengan
jarum, pemberian antibiotik parenteral. Antibiotik awal yang diberikan biasanya dapat mengatasi
bakteri gram negatif atau yang positif, bakteri aerobic atau anaerob. Contohnya seperti ampicilin-
sulbactam atau clindamicin dengan generasi ketiga dari cephalosporin yakni ceftazidine.
Tindakan drainase dapat diindikasikan pada abses leher dalam, terutama pada pasien
yang mengalami komplikasi atau setiap kasus yang tidak ada kemajuan setelah 48 jam
pemberian antibiotik parenteral.3
Secara umum terapi abses leher dalam terdiri dari medikamentosa dan drainase. Barakate
dkk(2001) secara lebih terinci mengatakan bahwa penatalaksanaan yang adekuat suatu abses
20
leher dalam yang tergantung pada pengenalan proses sedini mungkin, pemberian antibiotik yang
tepat, mencegah dan mengatasi sumbatan saluran nafas dan perawatan yang intensif. Terapi
medikamentosa meliputi pemberian antibiotika baik untuk kuman aerob maupun kuman anaerob
dan simtomatis sesuai keluhan serta gejala klinik yang timbul. Pemberian cairan untuk
memperbaiki keseimbangan cairan dan elektrolit sangat diperlukan.3
Pemberian antibiotik
Secara garis besar, antibiotika digolongkan berdasarkan susunan senyawa kimianya,
antara lain: golongan penisilin, tetrasiklin, kloramfenikol, aminoglikosida, makrolida,
linkosamid, polipeptida, sulfonamid dan trimetoptrim, metronidazole, kuinolon, sefalosporin dan
golongan lainnya.3
Pemilihan antibiotik yang ideal tentu saja harus didasarkan pemeriksaan mikrobiologi
yang sudah pasti (definitif therapy), tetapi hal tersebut tidak mudah untuk dilakukan. Pada
sebagian besar kasus, diagnosis klinik dapat ditegakkan tetapi pemeriksaan mikrobiologi belum
diperoleh hasil maka pemberian antibiotik dapat dimulai dengan perkiraan ilmiah (educated
guess) atau secara empiris (empirical therapy).3
Drainase abses
Tindakan drainase dapat dilakukan dengan anestesi lokal atau umum. Pada abses
peritonsil insisi dilakukan pada tempat yang paling berfluktuasi atau pada pertengahan garis yang
ditarik dari uvula ke gigi molar tiga atas pada sisi yang sakit. Luka insisi dilebarkan dengan
kuman dan pus dikeluarkan sebanyak-banyaknya. Bila infeksi sudah tenang dianjurkan untuk
dilakukan tonsilektomi.3
Tindakan drainase pada abses parafaring dilakukan dengan pendekatan
ekstraoral/eksterna. Insisi intraoral dapat dilakukan bila terdapat penonjolan ke dalalm rongga
faring. Drainase eksterna dilakukan dalam narkosis. Dengan terdapatnya trismus dan edema
faring akan menyebabkan kesulitan memasukkan pipa endotrakea sehingga mempersulit
prosedur pemeberian anestesi umum. Pada kasus demikian diperlukan tindakan trakeostomi
dngan anestesi lokal terlebih dahulu, untuk selanjutnya diberikan anestesi umum dan dilakukan
eksplorasi abses.3
21
Insisi yang dianjurkan pada drainase eksterna abses parafaring adalah teknik Mosher
(1929) yaitu insisi seperti huruf “T” yang dilakukan pada daerah kurang lebih 1-2 cm di bawah
dan sejajar dengan mandibula sampai di batas anterior muskulus sternokleidomastoideus
dilanjutkan dengan garis vertikal di sebelah anterior muskulus sternokleidomastoideus. Struktur
anatomi yang penting dan harus diidentifikasi adalah selubung karotis (carotid sheat), hal ini
disebabkan karena ketiga fasia leher dalam membentuk selubung karotis ini sehingga selubung
karotis disebut sebagai Lincoln highway of the neck. 3
Pada abses retrofaring insisi dilakukan dengan anestesi lokal atau narcosis. Untuk
mencegah aspirasi, posisi pasien tredelenberg dengan kepala hiperekstensi. Dilakukan pungsi
dan aspirasi pada bagian yang paling berfluktuasi kemudian dilakukan insisi vertikal sepanjang
daerah yang menonjol. Pasca tindakan yang sebaiknya dipasang pipa hidung-
lambung(nasogastric tube/NGT). 3
1.6 Komplikasi
Komplikasi dari abses leher dalam kebanyakan terjadi karena keterlambatan diagnosis
dan meluasnya infeksi pada daerah primernya. Hal ini lebih dimungkinkan karena adanya
hubungan pada fasia leher yang melibatkan neurovaskular utama, termasuk di dalamnya vena
jugularis interna, arteri carotis, saraf simpatis, dan saraf kranial 9 sampai 12.3
Pasien abses leher dalam yang perjalanan penyakitnya telah melibatkan saraf simpatis
atau saraf kranial akan memberikan gambaran sindrom Horner. Selain itu osteomilitis pada
mandibula atau tulang servikal mungkin dapat terjadi jika lambatnya tatalaksana diberikan.3
Komplikasi lain dari abses leher dalam yang sering terjadi adalah mediastinitis. Semua
pasien abses leher dalam memiliki resiko untuk terjadi untuk terjadinya komplikasi ini. Maka
foto thorak seharusnya dilakukan untuk melihat apakah telah terjadi perluasan infeksi ke
mediastinum, pneumothorak, atau pneumomediastinum. Pasien yang perluasannya telah sampai
ke mediastinum akan mengalami dispneu, hipoksia, dan meningkatnya gejala infeksi lainnya.
Komplikasi dapat juga muncul sebagai akibat dari intervensi bedah. Tindakan yang
dilakukan hendaknya seminimal mungkin merusak struktur neurovaskular. Pada saat preoperasi
22
juga dilakukan pemberian antibiotik inisial untuk menurunkan insiden septikemia. Jaringan parut
yang tidak diinginkan dapat juga terjadi selesai tindakan bedah.
Berbagai komplikasi dapat terjadi pada abses leher dalam sebagai akibat keterlambatan
diagnosis, penatalaksanaan yang tidak tepat dan tidak adekuat.Penjalaran infeksi ke daerah
karotis dapat terjadi dan menimbulkan erosi sarung karotis dan menyebabkan
perdarahan.Adanya trombosis atau emboli v. jugularis interna dapat dikenali dengan adanya
gejala demam, nyeri sepanjang muskulus sternokleidomastoideus, hiperpireksia dan tanda-tanda
sepsis. Emboli dapat menyebar ke paru-paru dan menimbulkan abses paru. Jika infeksi menyebar
ke rantai simpatis atau saraf kranial dapat terjadi sindroma horner. Komplikasi lain yang dapat
terjadi adalah osteomielitis mandibula, osteomielitis vertebra, mediastinitis, dan
dehidrasi.Komplikasi pembedahan antara lain kerusakan sistem neovaskuler, infeksi, aspirasi,
septikemia dan pembentukan jaringan parut.3
1.7 Prognosis
Pasien abses leher dalam yang mendapat pengobatan dapat sembuh selama nfeksinya
diobati secara cepat dan tepat. Pasien yang menunda pengobatannya akan mengalami beberapa
komplikasi dan waktu penyembuhan yang lama. Sekali infeksi leher dalam diobati secara
sempurna, maka tidak akan timbul rekurensi.7
23
BAB II
ILUSTRASI KASUS
IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. M
Umur : 27 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
No MR : 796481
Alamat : Pesisir Selatan
Suku Bangsa : Minang
ANAMNESIS
Seorang pasien laki-laki berumur 27 tahun datang ke Bangsal THT RSUP Dr. M. Djamil tanggal
24 Agustus 2012 dengan :
Keluhan Utama :
- Bengkak pada leher yang mengeluarkan nanah sejak ± 2 hari sebelum masuk rumah sakit.
Riwayat Penyakit Sekarang :
- Bengkak pada leher yang mengeluarkan nanah sejak ± 2 hari sebelum masuk rumah sakit.
Bengkak pada leher sudah dirasakan sejak lebih kurang seminggu yang lalu. Awalnya
bengkak hanya dirasakan pada leher bagian sisi kanan sebesar telur ayam, berwarna
merah, terasa panas ,dan nyeri.
- setelah 2 hari bengkak meluas ke leher bagian tengah depan dan leher sisi kiri, 1 hari
setelah itu keluar nanah dari gusi kanan bagian bawah berwarna kehijauan, jumlah ±1/2
gelas dan berbau busuk, lalu 1 hari kemudian pada bengkak di leher bagian tengah depan
mulai mengeluarkan nanah berwarna kehijauan dan berbau busuk, jumlah 1 gelas.
- 2 hari sebelum bengkak di leher muncul gigi geraham kanan bawah terasa sangat sakit.
Kemudian pasien minum obat penghilang nyeri. Gigi pasien sudah berlubang sejak usia ±
7 tahun. Pasien punya kebiasaan mencongkel gigi yang berlubang tersebut.
24
- Sukar membuka mulut sejak ± 2 hari sebelum masuk rumah sakit (sejak bengkak di leher
muncul )
- Sukar menolehkan kepala ke samping kiri dan kanan sejak ± 2 hari sebelum masuk
rumah sakit
- Demam sejak ± 2 hari sebelum masuk rumah sakit, tidak tinggi, terus menerus, tidak
menggigil, kemudian demam hilang 1 hari setelah itu.
- Nyeri menelan tidak ada, sukar menelan tidak ada
- Suara serak tidak ada.
- Sesak nafas tidak ada.
- Riwayat batuk lama tidak ada.
- Batuk pilek tidak ada.
- Luka pada leher sebelumnya tidak ada.
- Riwayat operasi pada leher sebelumnya tidak ada
- Riwayat benturan pada wajah dan leher sebelumnya tidak ada.
- Hidung tersumbat tidak ada.
- Bersin berulang di pagi hari tidak ada.
- ingus keluar dari hidung tidak ada, merasa ingus tertelan tidak ada.
- Telinga berdenging, telinga terasa penuh tidak ada.
- Keluar cairan dari telinga tidak ada.
- 5 hari yang lalu pasien berobat ke puskesmas setempat dan dirawat selama 3 hari.
Kemudian dirujuk ke RSUD Painan dan disana pasien dipasang NGT dan langsung
dirujuk ke RSUP dr. M. Djamil Padang.
Riwayat penyakit dahulu :
- Pasien tidak pernah menderita keluhan bengkak di leher sebelumnya.
- Pasien sudah menderita gigi berlubang sejak usia ±7 tahun
- Pasien tidak ada riwayat sakit kencing manis.
Riwayat penyakit keluarga :
- Tidak ada anggota keluarga yang menderita keluhan bengkak pada leher.
- Tidak ada anggota keluarga yang menderita kencing manis.
25
Riwayat pekerjaan, sosial ekonomi dan kebiasaan :
Pasien seorang petani
Pasien punya kebiasaan mencongkel gigi yang berlubang
Pasien jarang menggosok gigi.
Pasien merokok sejak SMP ±1 bungkus perhari
PEMERIKSAAN FISIK
Status Generalis
Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Composmentis kooperatif
Tekanan darah : 110/70 mmHg
Frekuensi nadi : 78 x/menit
Frekuensi nafas : 22 x/menit
Suhu : 37 0C
Pemeriksaan Sistemik
Kepala : normochepal
Mata : konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik
Mulut : sukar dinilai, trismus ± 2,5 cm
Leher :
Regio Colli Anterior :
I: edema -, hiperemis +, abses sudah pecah, pus + sedikit,
warna kuning kehijauan, berbau busuk
Pa: nyeri tekan +
Regio Colli dekstra – sinistra :
I: edema - , hiperemis + , pus + sedikit, warna kuning kehijauan, berbau busuk
Pa: nyeri tekan +
Thorax : paru : suara nafas vesikuler, rhonki (-), wheezing (-)
jantung : bunyi jantung murni, irama teratur
Abdomen : supel, distensi (-), nyeri tekan (-) BU (+) normal
Extremitas : akral hangat dan refilling kapiler <2”
26
Status Lokalis THT
Telinga
Pemeriksaan Kelainan Dekstra Sinistra
Daun telinga
Kel kongenital Tidak ada Tidak ada
Trauma Tidak ada Tidak ada
Radang Tidak ada Tidak ada
Kel. Metabolik Tidak ada Tidak ada
Nyeri tarik Tidak ada Tidak ada
Nyeri tekan tragus Tidak ada Tidak ada
Dinding liang
telinga
Cukup lapang (N) Sempit Sempit
Sempit - -
Hiperemi - -
Edema - -
Massa - -
Sekret/serumen
Ada / Tidak Ada Ada
Bau - -
Warna Kecokelatan Kecokelatan
Jumlah Sedikit Sedikit
Jenis Lunak Lunak
Membran timpani
Utuh
Warna Putih seperti
mutiara
Putih seperti
mutiara
Reflek cahaya
Bulging Tidak ada Tidak ada
Retraksi Tidak ada Tidak ada
Atrofi Tidak ada Tidak ada
Perforasi
Jumlah perforasi Tidak ada Tidak ada
Jenis - -
Kwadran - -
27
Pinggir - -
Gambar
Mastoid
Tanda radang Tidak ada Tidak ada
Fistel Tidak ada Tidak ada
Sikatrik Tidak ada Tidak ada
Nyeri tekan Tidak Ada Tidak ada
Nyeri ketok Tidak Ada Tidak ada
Tes garpu tala
Rinne Positif Positif
Schwabach Sama dg
pemeriksa
Sama dg
pemeriksa
Weber Tidak ada lateralisasi
Kesimpulan Normal
Audiometri Tidak dilakukan
Hidung
Pemeriksaan Kelainan Dekstra Sinistra
Hidung luar
Deformitas Tidak ada Tidak ada
Kelainan kongenital Tidak ada Tidak ada
Trauma Tidak ada Tidak ada
Radang Tidak ada Tidak ada
Massa Tidak ada Tidak ada
Sinus paranasal
Pemeriksaan Dekstra Sinistra
Nyeri tekan Tidak ada Tidak ada
28
Nyeri ketok Tidak ada Tidak ada
Rinoskopi Anterior
Pemeriksaan Kelainan Dekstra Sinistra
Vestibulum Vibrise Ada Ada
Radang Tidak ada Tidak ada
Cavum nasi
Cukup lapang (N) Cukup lapang Cukup lapang
Sempit - -
Lapang - -
Sekret
Lokasi Ada, di derah
cavum nasi
Ada,di daerah
cavum nasi
Jenis Serosa Serosa
Jumlah Sedikit Sedikit
Bau - -
Konka inferior Ukuran Eutrofi Eutrofi
Warna Merah muda Merah muda
Permukaan Licin Licin
Edema Tidak ada Tidak ada
Konka media Ukuran Eutrofi Eutrofi
Warna Merah muda Merah muda
Permukaan Licin Licin
Edema Tidak ada Tidak ada
Septum
Cukup lurus/deviasi Cukup lurus
Permukaan Licin
Warna Merah muda
Spina Tidak ada
Krista Tidak ada
Abses Tidak ada
Perforasi Tidak ada
Lokasi Tidak ada Tidak ada
29
Massa
Bentuk Tidak ada Tidak ada
Ukuran Tidak ada Tidak ada
Permukaan - -
Warna - -
Konsistensi - -
Mudah digoyang - -
Pengaruh
vasokonstriktor
- -
Gambar
Rinoskopi Posterior : tidak bisa dilakukan, trismus ± 2,5 cm
Orofaring dan mulut
Pemeriksaan Kelainan Dekstra Sinistra
Palatum mole +
Arkus Faring
Simetris/tidak Simetris
Warna Merah muda
Edem Tidak ada
Bercak/eksudat Tidak ada
Dinding faring Warna Merah muda
Permukaan Rata
Tonsil
Ukuran T1 T1
Warna Merah muda Merah muda
Permukaan Licin Licin
Muara kripti Tidak Melebar Tidak Melebar
Detritus Tidak ada Tidak ada
Eksudat Tidak ada Tidak ada
30
Perlengketan
dengan pilarTidak ada Tidak ada
Peritonsil
Warna Hiperemis hiperemis
Edema Tidak ada Tidak ada
Abses Tidak ada Tidak ada
Tumor
Lokasi -
Bentuk -
Ukuran -
Permukaan -
Konsistensi -
Gigi Karies/Radiks Ada, pada molar
4,3,2 dan insisivus
1,2 bawah
Ada,pada molar
4,3 insisivus
Kesan Karies dentis, plak
Lidah
Warna Merah muda
Normal
Tidak ada
Tidak ada
Bentuk
Deviasi
Massa
Gambar
Laringiskopi Indirek : tidak bisa dilakukan,trismus ± 2,5 cm
Pemeriksaan Kelenjar Getah Bening Leher
Dextra I : Tidak terlihat pembesaran KGB leher, tanda radang (-).
P :Tidak teraba pembesaran KGB leher,
31
Sinistra I : Tidak terlihat pembesaran KGB leher, tanda radang (-).
P :Tidak teraba pembesaran KGB leher
Gambar :
Pemeriksaan Laboratorium
Hb : 12 g/dl
Leukosit : 12.500 / mm3
Trombosit :295.000 / mm3
Na/K/Cl : 131/3,9/106 mmol/L
GDR: 103 mg/dl
RESUME
(DASAR DIAGNOSIS)
1. Anamnesis
32
Bengkak pada leher yang mengeluarkan nanah sejak ± 2 hari sebelum masuk rumah sakit.
Bengkak pada leher sudah dirasakan sejak lebih kurang seminggu yang lalu. Awalnya
bengkak hanya dirasakan pada leher bagian sisi kanan sebesar telur ayam, berwarna
merah, terasa panas ,dan nyeri.
setelah 2 hari bengkak meluas ke leher bagian tengah depan dan leher sisi kiri, 1 hari
setelah itu keluar nanah dari gusi kanan bagian bawah berwarna kehijauan, jumlah ±1/2
gelas dan berbau busuk, lalu 1 hari kemudian pada bengkak di leher bagian tengah depan
mulai mengeluarkan nanah berwarna kehijauan dan berbau busuk, jumlah 1 gelas.
2 hari sebelum bengkak di leher muncul gigi geraham kanan bawah terasa sangat sakit.
Kemudian pasien minum obat penghilang nyeri. Gigi pasien sudah berlubang sejak usia ±
7 tahun. Pasien punya kebiasaan mencongkel gigi yang berlubang tersebut.
Sukar membuka mulut sejak ± 2 hari sebelum masuk rumah sakit (sejak bengkak di leher
muncul )
Sukar menolehkan kepala ke samping kiri dan kanan sejak ± 2 hari sebelum masuk
rumah sakit
Demam sejak ± 2 hari sebelum masuk rumah sakit, tidak tinggi, terus menerus, tidak
menggigil, kemudian demam hilang 1 hari setelah itu.
2. Pemeriksaan fisik
Status generalisata : kedaan umum sakit sedang, kesadaran CMC
Status Lokalis
Orofaring : sukar dinilai, trismus ± 2,5 cm
Regio Colli Anterior :
I: edema -, hiperemis +, abses sudah pecah, pus + sedikit,
warna kuning kehijauan, berbau busuk
Pa: nyeri tekan +
Regio Colli dekstra – sinistra :
I: edema - , hiperemis + , pus + sedikit, warna kuning kehijauan, berbau busuk
Pa: nyeri tekan +
33
3. Diagnosa Kerja :
4. Diagnosa Banding :
Post Insisi Eksplorasi Abses Pretrakeal hari ke VI
5. Pemeriksaan Anjuran :
- Rontgen dada dan mandibula
- CT Scan Vertebre Cervical potongan koronal dan axial 2mm
- Kultur kuman dan sensitivity tes
6. Terapi
- IVFD RL 10 tetes/1’
- Ceftriaxon 2x2 gr injeksi IV
- Dexametason 3x4mg injeksi IV
- Metronidazol 3x500 mg
- Ranitidine 2x25 mg injeksi IV
- Diet makanan cair via NGT
- Redressing 2x sehari
7. Prognosis
Quo ad Vitam : bonam
Quo ad Sanam : dubia ad bonam
Quo ad Functionam : bonam
34
top related