repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46992/1/satu...
Post on 28-Oct-2019
26 Views
Preview:
TRANSCRIPT
SATU ISLAM, BANYAK JALAN:
Corak-corak Pemikiran Modern
dalam Islam
Editor :
Dr. M. Amin Nurdin, MA.
SATU ISLAM, BANYAK JALAN:
Corak-corak Pemikiran Modern
dalam Islam
Editor :
Dr. M. Amin Nurdin, MA.
Kontributor :
Prof. Din Syamsuddin
Prof. Syafi’i Maarif
Prof. Dr. Zainun Kamal
Prof. Dr. Nasarudin Umar
Prof. Dr. Amany Lubis
Prof. Dr. Hafizh Anshari
Dr. Noorwahidah Haisy
Prof. Dr. Ahmad Rofiq
Prof. Dr. Najmuddin Zuhdi
Dr. Abdul Moqsith Ghazali
Dr. Media Zainul Bahri
Dr. Cecep
Dr. Mukhyar Sani
Dr. Afifi Fauzi Abbas
Dr. Sulaiman Abdullah
Dr. Suryan Jamrah
ii
Nurdin,M. Amin, ed,. 2018.
Satu Islam, Banyak Jalan: Corak-corak Pemikiran Modern Islam
Jakarta, Hipius bekerjasama dengan Lembaga Nusa Damai
Lay-out dan Design Cover : Ahmad
Penerbit Hipius bekerjasama dengan Lembaga Nusa Damai, 2018
ii
KATA PENGANTAR
Buku ini merupakan kumpulan makalah yang ditulis oleh para penulis
yang banyak terlibat dalam pemikiran Islam dan berasal dari berbagai
universitas Islam di Indonesia. Buku ini juga merupakan buku teks mata
kuliah Pemikiran Modern dalam Islam (PMDI) yang diajarkan di Fakultas
Ushuluddin UIN Jakarta sebagai mata kuliah dasar kefalkutasan.
Buku ini dirasa sangat penting karena dapat dijadikan sebagai
referensi dasar bagi mahasiswa dalam membuka pintu cakrawala dunia
pembaharuan dalam dunia Islam. Buku ini bukan saja menjelaskan sejarah
munculnya pembaharuan Islam di dunia Islam disertai tokoh-tokohnya, tetapi
juga memaparkan isu-isu kontemporer seperti kontroversi sistem politik
Khilafah, Islam Wasathiyah (Islam Moderat), ideologi Pancasila sebagai
ijtihad ulama Indonesia, emansipasi wanita, dan lain-lain.
Saya mengucapkan terimakasih kepada para penulis atas pemuatan
tulisannya dalam buku ini, yaitu Prof. Din Syamsuddin, Prof. Dr. Zainun
Kamal, Prof. Dr. Nasarudin Umar, Prof. Dr. Amany Lubis, Prof. Dr. Hafizh
Anshari, Dr. Noorwahidah Haisy. Prof. Dr. Ahmad Rofiq, Prof. Dr.
Najmuddin Zuhdi, Dr. Abdul Moqsith Ghazali, Dr. Media Zainul Bahri, Dr.
Cecep, Dr. Mukhyar Sani, Dr. Afifi Fauzi Abbas, Dr. Suryan Jamrah, dan Dr.
Sulaiman Abdullah.
Semoga buku ini bermanfaat bagi mahasiswa dalam mempelajari
perkembangan pemikiran modern dalam Islam baik di dunia Islam maupun di
Indonesia sehingga dengan segera mereka memiliki jawaban-jawaban dalam
melihat masalah kontemporer.
iii
DAFTAR ISI
Kata Pengantar.……………………………………………………………...i
Daftar Isi………………………………………………………………….....ii
BAB I : PENDAHULUAN…………………………………………1
BAB II : PEMBAHARUAN ISLAM PRA ZAMAN MODERN
A. Pembaharuan dalam Islam………………………………9
B. Muhammad Abd Wahhab dan Gerakan Wahabiyah…...15
C. Ekspedisi Napoleon ke Mesir dan Pengaruhnya terhadap
Islam……………………………………………………20
BAB III : PEMBAHARUAN ISLAM PASKA ZAMAN
MODERN
A. Muhammad Ali: Usaha-usaha Pembaharuannya……….28
B. Al-Tahtawi : Ide dan Pembaharuannya…………………32
C. Jamaluddin al-Afghani: Ide-ide Pembaharuan dan
Kegiatan Politik………………………………………....38
D. Muhammad Abduh dan Teologi Rasional…………….. 47
E. Rasyid Ridha: Ide-ide Pembaharuannya……………..... 55
F. Abduh dan Ridha: Perbedaan antara Murid dan Guru….63
BAB IV : ISU-ISU GAGASAN NASIONALISME, EMANSIPASI
WANITA, KHILAFAH, NEO-MODERNISME, ISLAM
MODERAT, IJTIHAD IDEOLOGI PANCASILA,
ISLAM , DAN JARINGAN ISLAM LIBERAL (JIL)
A. Qasim Amin: Kesetaraan Gender………………………92
iii
B. Mustafa Kami: Nasionalisme Mesir…………………...103
C. Ali Abd Raziq: Kontroversi Sistem Politik Khilafah….109
D. Neo-Modernisme Islam dan Islam di Indonesia:
Mempertimbangkan Fazlur Rahman………………….120
E. Nurcholish Majid: Sekularisasi dan Politik Agama……130
F. Wasatiyyat Islam Untuk Peradaban Dunia: Konsep dan
Implementasi……………………………………………134
G. Islam Wasatiyyah dan Ijtihad Pancasila……………….158
H. Islam Nusantara………………………………………...164
I. Jaringan Intelektual Muda Islam Liberal (JIL): Ruh
Hidup dalam Jasad Kaku……………………………….178
- DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………...206
- Tentang Editor…………………………………………………………..211
1
BAB I
PENDAHULUAN
“Kemajuan hanya dimengerti sejauh kemunduran turut dimengerti.”
(Adorno)
Sejarah Islam dalam periode modern dimulai sejak tahun 1800 M
ditandai dengan munculnya gagasan-gagasan dan gerakan-gerakan
pembaharuan. Zaman ini disebut juga zaman kebangkitan Islam, karena
ummat Islam yang sebelumnya beku, statis dan jumud kini sadar dan bangun
kembali untuk mengejar ketinggalan dan keterbelakangannya. Pada periode
ini, negara-negara Islam yang sebelumnya berada di bawah kekuasaan
penjajah, mulai berusaha membebaskan diri dan membangun dirinya sendiri
menuju masa depan yang cerah dan lebih baik. Usaha-usaha pembebasan diri
tersebut menunjukan hasil yang gemilang pada abad ke-20 dengan
merdekanya negara-negara Islam satu persatu, sehingga di penghujung abad
ini dapat dikatakan bahwa tidak ada satu negara Islam pun atau mayoritas
penduduknya beragama Islam pun yang masih terjajah.
Salah satu faktor yang terpenting yang membawa kepada kebangkitan
ummat Islam dan lahirnya gerakan-gerakan pembaharuan adalah ekspedisi
Napoleon ke Mesir pada tahun 1798-1801. Ekspedisi ini menyadarkan
ummat Islam akan kelemahan dan kemunduran mereka dan membuka mata
ummat Islam akan kemajuan yang dicapai oleh dunia Barat (Nasution, 1985:
88). Di samping itu, Napoleon datang ke Mesir tidak hanya sekedar
menjajah, tetapi juga membawa ide-ide baru yang bermanfaat besar bagi
perkembangan Islam khususnya di Mesir.
Ide-ide baru tersebut menjadi cambuk bagi ummat Islam Mesir,
terutama kaum intelektualnya, untuk bangkit melakukan pembaharuan dan
memperbaiki keadaan. Dalam perkembangan selanjutnya, gerakan
pembaharuan ini bergema ke seluruh dunia Islam.
Sejarah modernisme dimulai dengan kebangkitan ilmu pengetahun di
dunia Barat dengan istilah renaisans. Renaissance adalah kata Perancis yang
berarti “kelahiran kembali” atau “kebangkitan kembali”. Yaitu “kelahiran
kembali semangat Yunani dan Romawi dan kebangkitan kembali belajar
2
ilmiah”. Istilah Renaissance menunjukkan suatu gerakan yang meliputi suatu
zaman di mana orang merasa dilahirkan kembali dalam keadaban. Di dalam
kelahiran kembali itu orang kembali kepada sumber-sumber yang murni bagi
pengetahuan dan keindahan. Zaman Renaissance juga berarti zaman yang
menekankan otonomi dan kedaulatan manusia dalam berpikir, mengadakan
eksplorasi, eksperimen, mengembangkan seni, sastra, dan ilmu pengetahuan
di Eropa.
Manifestasi renaisans terlihat dalam beberapa hal, antara lain :
a) Gerakan Humanisme, yaitu mencari nilai-nilai kemanusiaan dengan
menerjemahkan sumber-sumber Yunani dan Romawi, kontras dengan
tradisi skolastisisme dan otoritas religius.
b) Penolakan tradisi Aristotelian Abad Pertengahan dan kebangkitan
Platonisme.
c) Terbuka kepada ilmu-ilmu yang baru mulai terbentuk.
d) Ketidakpuasan pada kemapanan yang mengarah kepada Reformasi
Protestan.
Periode modern di Barat (Eropa) dimulai sejak abad ke-17 sampai
sekarang, yang didominasi oleh sains. Abad modern, menurut Bertrand
Russel, ditandai dua hal: melemahnya otoritas gereja dan meningkatnya
otoritas sains. Pada zaman modern, sektor budaya lebih dikuasai orang awam
ketimbang para pemuka agama. Negara menggantikan gereja dalam bidang
kepemerintahan.
Menurut Marshall Hodgson, hakikat Abad Modern adalah
“Teknikalisme” dengan tuntutan efisiensi kerja yang tinggi, yang diterapkan
kepada semua bidang kehidupan. Karena itu, Abad Modern lebih tepat
disebut Abad Teknik. Teknikalisme mendorong timbulnya Revolusi Industri
di Inggris, sedangkan implikasi kemanusiaannya timbul dalam bentuk
Revolusi Perancis pada abad ke-18. Kedua revolusi ini menjadi tonggak
kemodernan, tapi aspek kemanusiaan Revolusi Perancis, dengan slogan
“kebebasan, persamaan, persaudaraan” lebih berperan dalam meletakkan
dasar-dasar Abad Modern.
Kontak Islam dengan Dunia Barat-Kristen sudah dimulai sejak awal
abad ke-8 M. Kontak ini semakin intensif melalui Perang Salib selama dua
abad (1095-1291). Ketika Dunia Islam dalam kegemilangan, Dunia Barat-
Kristen sedang dalam “Abad Kegelapan”. Maka, banyak pelajar Kristen yang
belajar di universitas-universitas di Dunia Islam, khususnya di Andalusia
(Spanyol). Selain di Andalusia, pada masa kejayaan Dinasti Turki Usmani di
3
bawah kepemimpinan Sultan Sulaiman al-Qanuni (1520-1566 M) wilayah
kekuasaannya mencakup Asia Kecil, Armenia, Irak, Syria, dan Hijaz di Asia;
Mesir, Libia, Tunisia, dan Aljazair di Afrika; Bulgaria, Yunani, Yugoslavia,
Albania, Hongaria dan Rumania di Eropa.
Terlepasnya wilayah-wilayah kekuasaan Turki Usmani di Eropa
Timur pada abad ke-18 dan keberhasilan ekspedisi Napoleon di Mesir pada
tahun 1798 menyadarkan masyarakat Muslim bahwa mereka telah tertinggal
dari Barat (Eropa) di bidang militer dan ilmu pengetahuan. Kesadaran
tersebut memicu para penguasa dan intelektual-ulama di negeri Muslim
bangkit melakukan pembaruan. Banyak istilah yang digunakan terkait dengan
pembaruan dalam Islam, antara lain, tajdid, islah, reformasi, ashriyah,
modernisasi, revivalisasi, dan resurgensi.
Tajdid sering diartikan sebagai islah dan reformasi yang berarti
menghidupkan dan membangkitkan kembali ilmu dan amal sebagaimana
yang dikandung dalam al-Qur’an dan Sunnah. Istilah modernisasi atau
ashriyah berarti menyesuaikan kembali paham-paham lama atau adat istiadat
dan institusi-institusi lama yang tidak sesuai lagi dengan semangat
perkembangan sains dan teknologi modern. Istilah revivalisasi dan
resurgensi atau renaisans berarti tegak kembali atau bangkit kembali.
Revivalisasi berbeda dengan resurgensi. Revivalisasi berarti bangkit kembali,
tetapi berorientasi ke masa lampau, sedangkan resurgensi lebih berorientasi
ke masa depan.
Mengapa Islam maju di zaman klasik. Hal ini dapat kita lihat dari
beberapa sebab, yaitu a. Penghargaan terhadap kedudukan akal, b. Menganut
faham kebebasan manusia dalam kemauan dan menciptakan perbuatan (free
will), c. Kebebasan berpikir, hanya terikat pada al-Qur’an dan Sunnah, d.
Percaya pada sunnatullah atau hukum kausalitas, e. Mengambil arti metaforis
dari teks wahyu, f. Dinamis dan kreatif dalam sikap berpikir.
Respon ulama-ulama besar pada abad ke-19 dan awal abad ke-20,
seperti Sayyid Ahmad Khan dan Amir Ali (India), Jamaluddin al-Afghani,
Muhammad Abduh (Mesir), dan Namik Kemal (Turki) sangat antusias
dengan pembaharuan Islam dan berpendapat bahwa strategi pembaharuan
dalam Islam, yaitu penggalakan sains dan penanaman semangat ilmiah
seperti yang terjadi di Barat. Padahal, di antara kelima intelektual tersebut
hanya Namik Kemal saja, dari tahun 1867 sampai 1871, yang benar-benar
pernah belajar di Barat (Eropa).
4
Kelima tokoh pembaharuan tersebut berpandangan:
1. Suburnya perkembangan sains dan semangat ilmiah di kalangan
ummat Islam abad ke-9 dan ke-10 adalah buah dari usaha memenuhi
tuntunan al-Qur’an agar manusia mengkaji alam semesta.
2. Bahwa pada Abad Pertengahan semangat penyelidikan ilmiah di
Dunia Islam telah merosot.
3. Barat telah menggalakkan kajian ilmiah yang sebagian besar
merupakan pinjaman dari kaum Muslim, dan karena itu memperoleh
kemakmuran, bahkan menjajah negeri-negeri Muslim.
4. Karena itu, kaum Muslim dalam mempelajari kembali sains dari Barat
yang telah berkembang, berarti menemukan kembali masa lalu
mereka dan memenuhi kembali perintah al-Qur’an yang selama ini
terabaikan.
Pembaharuan Islam di Indonesia
Ada dua teori tentang akar pembaruan Islam, namun belum ada
kesepakatan di antara para sarjana Islam Indonesia. Teori pertama, sudah
lazim diketahui, bahwa pembaharuan Islam di Indonesia dimulai saat awal
abad ke-20 atau menjelang akhir abad ke-19 dengan munculnya lembaga
pendidikan modern, tokoh-tokoh-tokoh pembaru dengan lembaga agama
seperti Muhammadiyah yang lebih modernis, dan NU lebih tradisionalis,
Sarekat Dagang Islam (SDI) dll. Namun belakangan, ada teori kedua yang
berpendapat, seperti yang ditulis Azyumardi Azra, pembaruan Islam di
Indonesia dimulai pada pada abad ke-17 dengan adanya jaringan ulama di
Haramayn dan Mesir, kemudian menyebarkan ide pembaruan mereka melalui
murid-muridnya.
Hal ini tentu saja memberikan dampak yang serius terhadap wacana
pembaruan, terutama mengenai sejarah intelektual Islam di Indonesia. Jika
kita sepakat pembaruan pemikiran Islam muncul pada pendapat pertama,
maka data-data sejarah intelektual Islam pada abad sebelumnya hanya
menjadi “pengembira” dalam kajian intelektual Islam.
Sebaliknya, jika kita mulai dengan pendapat kedua, maka tugas kita
selanjutnya adalah menulis kontiunitas sejarah Intelektual Islam setelah abad
tersebut. Yang diambil oleh para pionir pembaru di Indonesia adalah
semangat dan model pembaruan melalui pengembangan pikiran tokoh dan
media surat kabar (jurnal). Dalam konteks ini, pembaruan masih sebatas
menghadang arus kolonialisme, Kristenisasi yang dijalankan para penjajah,
dan “pembetulan” perilaku ibadah ummat Islam yang telah “terjerat” Taklid,
Bid’ah dan Churafat.
5
Misi pembaruan ini tentu saja tidak bertahan lama, sebab menjelang
kemerdekaan dan paska kemerdekaan, energi tokoh Islam lebih “terkuras”
dalam perdebatan dasar negara, hubungan agama dan negara, dan arah politik
Indonesia yang sedikit banyak telah “dikuasai” oleh kelompok nasionalis
sekular. Bahkan menjelang keruntuhan era Orde Lama, pemikiran Islam
sangat sulit sekali dikembangkan, sebab perhatian bangsa ini masih tertuju
pada bagaimana “mencuci piring” akibat ulah PKI.
Pemikiran Islam baru berkembang pada era 1970-an. M. Dawam
Rahardjo dalam bukunya, Intelektual Intelegensia dan Perilaku Politik
Bangsa, menuturkan bahwa faktor objektif yang menghadirkan gejala
kecendekiawanan Muslim adalah aktivitas pemikiran dan gejolak pemikiran
di sekitar paham pembaharuan oleh kalangan muda di tahun 1970-an yang
dimotori oleh Nurcholish Madjid. Kelompok muda menginginkan agar
ummat Islam tidak lagi mengingat memori tentang kekuatan politik ummat
Islam pada era Orde Lama. Karena itu, mereka menginginkan agar
perjuangan ummat Islam lebih diarahkan kepada substansi ajaran Islam
melalui pemodernan pemahaman Islam.
Kehadiran intelektual saat itu, merupakan respon terhadap isu
pembangunanisme (modernisasi) oleh pemerintah Orde Baru yang menutup
kekuatan politik Islam dengan menggeser ideologi politik yang bersifat
primodialisme.
Hal ini menyadarkan kelompok muda Islam, agar ideologi politik
Islam tidak perlu lagi digembar-gemborkan, sebagaimana digelorakan
kelompok tua yang merasa dirugikan oleh pemerintah Orde Lama.
Respon pikiran generasi muda era 1970 terhadap Orde Baru telah
mendapat tempat yang layak dalam studi pemikiran Islam di Indonesia.
Implikasi dari pemikiran tersebut ternyata telah merubah kebijakan
pemerintah Orde Baru terhadap ummat Islam. Misalnya, bentuk kebijakan
yang bersifat akomodatif. Bahtiar Effendy memaparkan bahwa tanggapan
akomodatif negara ini dapat terlihat dalam empat bidang, yaitu akomodasi
struktural, legislatif, infrastruktural, dan kultural.
Dalam bidang struktural, bentuk akomodasi yang paling mencolok
adalah direkrutnya para pemikir dan aktivis Islam politik generasi baru ke
dalam lembaga-lembaga eksekutif. Akomodasi legislatif dapat dilihat dari
produk undang-undang atau peraturan yang agak “berpihak” kepada Islam.
6
Akomodasi infrastruktural adalah dibangunnya beberapa bangunan
sebagai “proyek kegamamaan” dan adanya pengakuan pemerintah terhadap
keberadaan Bank Muamalat Indonesia pada tahun 1991.
Terakhir, akomodasi kultural dimana para pejabat sudah mulai
memakai idiom-idiom Islam dalam acara kenegaraan.
Peran Kampus IAIN Jakarta
Kancah intelektual Islam pada era 1970-an juga dipicu oleh figur
Harun Nasution yang mencoba “membumikan” pemikiran Mu’tazilah di
Indonesia. Kendati pada awalnya, ditentang oleh banyak kalangan, namun
upaya Harun Nasution melalui IAIN Jakarta telah banyak menghasilkan
sarjana pemikiran Islam pada era 1980-an dan 1990-an. Peran sentral Harun
dalam membuka diskursus pemikiran Islam di Indonesia cukup terasa
impaknya bagi bagi generasi berikut.
Tokoh berjasa lain dalam menelurkan pemikir muda pada era 1970-an
adalah Mukti Ali. Melalui diskusi Limited Group di Yogyakarta, tidak sedikit
para pemikir muda ikut andil di dalamnya. Karena itu, sampai sekarang,
peran Mukti Ali, sebagai sebagai penggagas studi Perbandingan Agama di
IAIN-- sekarang Studi Agama-agama (SAA), juga sebagai pendobrak
semangat kelompok muda di Yogyakarta, seperti Ahmad Wahib (alm), M.
Dawam Rahardjo, Djohan Effendi, dan lain-lain.
Peran organisasi, lembaga, atau yayasan menjadi “kendaraan”
sekaligus menjadi “transmitter” pembaruan bagi generasi di era 1990-an. Ada
beberapa “kendaraan” yang menjadi “lokomotif” gerakan pemikiran pada era
1980-an. Pertama, Yayasan Paramadina. Yayasan ini merupakan salah satu
“kendaraan” yang me-ngusung pemikiran Cak Nur secara independen.
Kedua, LSAF (Lembaga Studi Agama dan Filsafat). Lembaga ini memang
amat berjasa dalam mensosialisasikan pikiran pembaharuan pemikiran Islam
pada era 1980-an melalui berbagai kegiatan ilmiah, yang dipimpin M.
Dawam Rahardjo.
Pembaharuan Islam sebagai Anti-tesa “Degenerasi Ummat”
Kajian Pembaharuan dalam Islam di atas, seakan menimbulkan
pertayaan, apakah pembaharuan yang dilakukan itu menyangkut “degenerasi
ummat Islam” dalam hal pemahaman keagamaannya, baik yang terpatri
secara primodial maupun yang sudah berkaloborasi dengan hal-hal
pemahaman yang berlatar belakang sosial politik kehidupannya. Sejarah
mencatat bahwa periode awal ummat Islam, yaitu pada masa Nabi
7
Muhammad disebut sebagai periode formalistik di mana ajaran-ajarannya
yang menyangkut seluruh kehidupan ummat Islam merujuk kepada nabi
Muhammad dan kitab suci al-Qur’an yang kemudian mengalami kristalisasi
dalam bentuk yang komprehensif dan universal; sedangkan periode dua abad
paska Nabi merupakan periode alternatif di mana ajaran-ajaranya bercampur
baur dengan pemikiran filsafat Yunani dan ajaran sufistik (Lapidus,
2000:32).
Sepanjang pergaulan ajaran-ajaran Islam dalam panggung sejarah
dunia, sejauh ini ia dimengerti dan dipahami oleh para penganut-penganutnya
banyak mengalami perubahan yang cukup signifikan baik dalam tataran
akidah –hubungan manusia dengan Tuhan- maupun tataran mashlahatul
fiqhiyah –hubungan manusia dengan sesamanya.
Perubahan-perubahan tersebut disinyalir sebagai suatu gerakan
pembaharuan atau reformasi yang merubah dan merombak tatanan atau
tradisi yang dianggap oleh ummat Islam sebagai pengekangan kebebasan
ekspresi, sehingga menimbulkan “degenerasi ummat”. Gerakan-gerakan
pembaharuan itu muncul secara mencolok terutama pada masa imperium
dinasti Umayyah, di kala ummat Islam merubah bentuk pemerintahan
menjadi otokrasi yang dirasakan oleh ummat terlalu opresif sehingga
melahirkan berbagai macam aksi dan protes sosial yang dilakukan sesama
ummat. Salah satu gerakan ketika itu adalah gerakan sufisme yang mencoba
membawa manusia menuju kedalaman spiritual (Donohue dan Esposito,
1999:7)
Gerakan sufisme ini boleh dikatakan sebagai reaksi terhadap
penafsiran dan pemahaman keIslaman yang menekankan aspek hukum yang
begitu totalitas terhadap kehidupan. Padahal hukum itu hanya mengarah
kepada aspek eksternal manusia, sehingga mereka meragukan validitas
pemahaman keIslaman tersebut yang dikembangkan oleh para fuqoha atau
para ahli hukum (Donohue dan Esposito, 1999:8)
Bagi mereka Islam bukan hanya sejumlah aturan-aturan hukum atau
dokrin yang sudah dikebiri menjadi sebuah sistem politik yang memberikan
kekuatan justifikasi terhadap keberadaan elitisme, nepotisme, dan eksploitasi
sehingga memberikan bias bagi dekadensi moral ummat, baik secara pribadi
maupun golongan. Untuk itu penekanan terhadap aspek internal manusia,
yaitu aspek spiritual adalah merupakan alternatif yang akan memberikan
dimensi moral ketuhanan sehingga ummat Islam selalu bertedensi ke arah
Tuhan dan dapat mengaplikasikannya didalam kehidupan.
8
Seiring perjalanannya, sufisme juga mengkristal di dalam ummat
Islam ketika itu, sehingga ummat Islam melupakan kehidupan dunia konkrit
untuk berbaur terhadap kehidupan sosial, dan terlalu cenderung kepada hal-
hal yang sifatnya asketik dan esoterik, maka ummat Islam mengalami
degenerasi ilmu pengetahuan dan tekhnologi dibandingkan dengan dunia
Barat, yang ketika itu dapat membebaskan dirinya dari belenggu gereja –
dimulai sejak renaisans Itali. Dan juga sufisme dalam penyebarannya ke
seluruh dunia bercampur baur dengan budaya-budaya lokal, sehingga
memunculkan budaya baru dalam Islam. Dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia, modern berarti “terbaru”, “mutakhir”, “sikap dan cara berpikir
serta bertindak sesuai dengan tuntutan zaman”. Modernisasi berarti proses
pergeseran sikap dan mentalitas sebagai warga masyarakat untuk bisa sesuai
dengan tuntutan masa kini. Kata modern, modernisasi, dan modernisme
berasal dari Dunia Barat (Eropa). Modernisme sebagai paham dan gerakan di
Dunia Barat tidak lepas dari gerakan Renaissance pada abad ke-14 sampai
abad ke-16 di Italia dan Perancis.
Maka dalam suasana stagnasi ketauhidan tersebut, muncullah seorang
pembaharu Islam pada masa peralihan abad ke-13 ke abad ke-14, yaitu Ibnu
Taimiyah yang mengkritik sufisme akan ajaran-ajarannya yang dianggap
menimbulkan permasalahan akidah. Ia juga mengkritik fuqaha-fuqaha salaf
yang telah mentotalisasikan hukum Islam pada hal permasalahan ummat
Islam yang begitu kompleks dan memerlukan formulasi-formulasi baru guna
menyelesaikan permasalahan ummat yang dihadapinya. Revitalisasi
pemahaman keagamaan ummat Islam hanya dapat dilakukan dengan
membuka kembali pintu ijtihad, dengan merujuk kembali kepada al-Quran
dan Sunnah Rasulullah dan juga menarik suatu benang merah antara keadilan
sosial dengan kehidupan pribadi ummat melalui penekanan bahwa manusia
dengan segala tugas-tugasnya merupakan makhluk sosial yang
mengembangkan kewajiban kolektif untuk menciptakan kesejahteraan
bersama.
Dari perjalanan historis pemahaman keagamaan di atas dapatlah
diketahui bahwa suatu gerakan pembaharuan muncul sebagai anti-tesa dari
“degenerasi ummat Islam” dengan memberikan suatu sintesis baru yang
dianggap memberikan jawaban dan alternatif guna kesinambungan
kehidupan ummat Islam baik dalam aspek sosial dan politik. John L Esposito
dalam Bukunya Dinamika Kebangunan Islam, mengatakan bahwa tradisi
pembaharuan dalam Islam merupakan gaya dan cara khusus dalam
mengungkapkan keyakinan, terutama mengenai kehidupan penganut
komunitas masyarakat muslim. Dan dalam kesinambungan revitalisasi
tersebut terjawantahkan dalam suatu proses, yaitu pertama, seruan untuk
9
kembali kepada atau penerapan ketat al-Quran dan Hadis, kedua, penegasan
akan hak untuk mengadakan analisa mandiri (ijtihad), ketiga, penegasan
kembali keaslian dan keunikan pemahaman al-Qur’an yang berbeda-beda
dengan cara sintesa dan keterbukaan pada tradisi Islam lainnya (Esposito,
2001:26).
Penelitian buku teks pembaharuan pemikiran Islam bertujuan agar
mahasiswa menangkap roh dan jiwa ajaran Islam yang cocok di segala
tempat dan waktu. Untuk itu perlu penafsiran ulang dan penyegaran terhadap
ajaran Islam melalui pemahaman sejarah biografi tokoh-tokoh pemabaharu
Islam dan apa saja isi pesan pembaharuan yang mereka sampaikan ke tengah
masyarakat. Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta
merupakan ujung tombak pusat pembaharuan pemikiran Islam di Indonesia
mempunyai tugas untuk mengembangkan ide-ide segar sebagai refleksi
ajaran Islam dalam memecahkan persoalan-persoalan baru yang dihadapi
masyarakat Indonesia sehingga dapat memperoleh solusi yang terbaik.
Penelitian buku ini berdasarkan kumpulan makalah yang dibuat oleh
para sarjana Islam yang telah mengasuh mata kuliah yang berkaitan dengan
perkembangan pemikiran modern dalam Islam dengan tokoh-tokoh
pembaharunya baik di tingkat dunia maupun di Indonesia. Setelah makalah
dikumpulkan lalu diklasisfikasi sesuai dengan masing-masing tema secara
sistematis sehingga kronologi alur pemikiran isi pembaharuan dapat
tergambar secara historis. Dengan demikian, penulisan buku ini lebih bersifat
historis dan teologis. Adapun para penulis makalah dalam buku ini berasal
dari berbagai universitas Islam di Indonesia.
Berikut nama-nama penulisnya dan judul makalahnya:
1. Wasatiyyat Islam Untuk Peradaban Dunia: Konsep dan Implementasi
ditulis oleh yaitu Prof. Dr. Din Syamsuddin.
2. Prof. Syafi’i Maarif
3. Muhammad Abd Wahhab dan Gerakan Wahabiyah ditulis oleh Prof. Dr.
Zainun Kamal
4. Al-Tahtawi : Ide dan Pembaharuannya ditulis oleh Prof. Dr. Amany
Lubis
5. Muhammad Abduh dan Teologi Rasional ditulis oleh Prof. Dr. Ahmad
Rofiq
6. Abduh dan Ridha: Perbedaan antar Murid dan Guru ditulis oleh Prof. Dr.
Nasarudin Umar
7. Jamaluddin al-Afghani: Ide-ide Pembaharuan dan Kegiatan Politik ditulis
oleh Prof. H.A. Hafizh Anshari,
8. Ali Abd Raziq: Kontroversi Sistem Politik Khilafah ditulis oleh Prof. Dr.
10
Najmudin Zuhdi
9. Islam Indonesia sebagai Poros Wasathiyah Islam Dunia ditulis oleh Dr.
M. Amin Nurdin
10. Nurcholish Majid: Sekularisasi dan Politik Agama ditulis oleh Dr. M.
Amin Nurdin, MA
11. Ekspedisi Napoleon di Mesir dan Ide-ide yang Dibawa ditulis oleh Dr.
Noorwahidah Haisy
11. Rasyid Ridha: Ide-ide Pembaharuannya ditulis oleh Dr. Cecep
12. Qasim Amin: Emansipasi Wanita ditulis oleh Dr. Sulaiman Abdullah
13. Mustafa Kamil: Nasionalisme Mesir ditulis oleh Dr. Afifi Fauzi Abbas
14. Muhammad Ali: Usaha-usaha Pembaharuannya ditulis oleh Dr. Mukhyar
Sani
15. Pembaharuan Islam ditulis oleh Dr. Suryan Jamrah
16. Islam Nusantara ditulis oleh Dr. Abdul Moqsith Ghazali.
17. Jaringan Intelektual Muda Islam Liberal Indonesia (JIL) ditulis oleh Dr.
Media Zainul Bahri
Sistematika penelitian buku ini terdiri dari empat bab, masing-masing
mempunyai sub bab yang menggambarkan isi bab yang dibahas. Berikut ini
sistematika penelitian buku teks pemikiran modern dalam Islam.
Buku ini berisikan kata pengantar dan daftr isi. Bab I berisikan
pendahuluan dengan alasan pemilihan judul penelitian dan kenapa perlu
dilakukan penelitian. Bab II berisikan makna pembaharuan secara luas dan
sebab-sebab terjadinya pembaharuan serta tokoh-tokohnya sebelum pra-
modern yang dimulai sejak abad ke-14 hingga abad ke-18 dengan ditandai
datangnya ekspedisi Napoleon ke Mesir yang menginspirasi munculnya
pembaharu-pembaharu muslim di dunia Arab. Bab III berisikan sejarah
tokoh-tokoh pembaru Islam di masa paska modern disertai ide-ide mereka
yang kemuadian banyak mempengaruhi dunia Islam, termasuk Indonesia.
Bab IV berisikan gagasan tokoh-tokoh pembaharu menyangkut isu-isu yang
sangat relevan dengan dunia modern, seperti sistem politik Khilafah,
emansipasi wanita, Islam wasathiyah (Islam Moderat), dan ideologi Pancasila
sebagai ijtihad ulama-ulama Indonesia.
11
PEMBAHARUAN DALAM ISLAM
Oleh
Suryan Jamrah
A. Pendahuluan
Memasuki abad ke-17 dan ke-18 dunia Islam semakin bertambah
mundur ditandai dengan terpukulnya tiga kerajaan besar Islam yang tersisa,
yaitu Kerajaan Turki Usmani mengalami kekalahan berkali-kali oleh Eropa,
demikian pula Kerajaan Safawi dan Mughal yang berada di Persia dan India
bernasib sama. Sementara itu dunia Barat semakin maju, baik dalam bidang
pemikiran dan dinamika intelektual maupun dalam bidang teknologi. Karena
itu mereka berusaha menguasai dunia Islam yang sedang lemah yang
disebabkan oleh problema religio-politico yang tidak stabil. Dari sinilah
mulai muncul penjajahan terhadap dunia Islam.
Walaupun begitu, hakikat dan semangat ajaran Islam tidaklah berarti
padam; ia bagaikan nyala api yang tidak putus menghangatkan intelektual
dan perjuangan. Nyala dan cahaya al-Qur’an itu tetap hidup membakar
semangat para ulama untuk keluar dari problema yang dihadapi ummat
dengan cara melakukan penyegaran dan pembaharuan terhadap ajaran Islam
agar sesuai dengan perkembangan zaman. Tajdid atau pembaharuan tersebut
dirintis oleh Ibn Taimiyah setelah melihat kevacuman selama berabad-abad
dalam bidang akidah dan intelektual.
Rintisan awal Ibn Taimiyah mengilhami para pembaharu pada abad
ke-18 sampai abad ke-20 ini, seperti Muhammad bin Abd Wahab,
Jamaluddin al-Afghani, Abduh, dan lain-lainnya, sesuai dengan berbagai
bidang dan garapan masing-masing di mana mereka berada. Dari kalangan
mereka ada yang disebut mujaddid, ada yang disebut muslih, ada juga yang
disebut reformer, modernis, dan lain sebagainya. Gerakan-gerakan
pembaharu inilah yang selanjutnya menumbuhkan kembali dinamika
intelektual kaum muslimin dengan cara membersihkan agama dari subversi
syirk, kurafat dan bid’ah dengan mengadopsi pemahaman dan metodologi
baru yang dikembangkan oleh orang-orang Barat setelah ummat Islam
mengadakan kontak dengan dunia Barat sehingga ummat Islam tersadar akan
kemundurannya (Nasution, 2010:32).
B. Arti Pembaharuan dalam Islam
Banyak sekali istilah yang digunakan para penulis yang dalam bahasa
Indonesia berkonotasi pembaharuan, seperti tajdid, Islah, reformasi, asriyah,
12
modernisasi, revivalisasi, resursensi (resurgensce), reasersi (reassertion), dan
renaisans. Istilah-istilah tersebut muncul bukan sekedar perbedaan semantik
belaka, akan tetapi juga dapat dilihat dari isi pembaharuan itu sendiri.
1. Tajdid, Islah, dan Reformasi
Tajdid sering diartikan sebagai islah dan reformasi; karena itu
gerakannya disebut gerakan tajdid, gerakan islah, dan gerakan reformasi.
Tajdid menurut bahasa al-I’adah wa Al- Ihya’, mengembalikan dan
menghidupkan. Tajdid al-din, berarti mengembalikannya kepada apa yang
pernah ada pada masa salaf, generasi muslim awal. Tajdid al-din menurut
istilah ialah menghidupkan dan membangkitkan ilmu dan amal yang telah
dijelaskan oleh al-Qur’an dan Sunnah. Tajdid mencakup penyebaran ilmu,
pemecahan solusi secara Islam terhadap problema yang muncul dalam
kehidupan manusia dan menentang segala yang bid’ah. Tajdid dapat diartikan
pula—sebagaimana diuraikan ulama salaf-- menghidupkan kembali ajaran
salafus saleh, memelihara nash-nash, dan meletakkan kaidah-kaidah yang
disusun untuknya serta meletakkan metode yang benar untuk memahami
nash tersebut dalam mengambil makna yang benar yang sudah diberikan oleh
ulama (Sa’ud, 1984:25-30).
Dari definisi di atas tampak, bahwa tajdid mendorong ummat Islam
agar kembali kepada al-Qur’an dan sunnah serta mengembangkan ijtihad.
Tajdid seperti ini pula yang dikatakan sebagai islah atau reformasi dalam
Islam. Istilah reformasi itu sendiri, berdasarkan sejarahnya, muncul akibat
modernisasi; sedangkan puritan muncul sebagai reaksi atas reformasi.
Reformasi adalah vis a vis modernisasi. Reformasi lahir akibat adanya
penyimpangan agama dan teologi yang disebabkan oleh adanya sekularisme
modern (Eliade, 1987:244).
2. Asriyah dan Modernisasi
Istilah Modernisasi atau Asriyah dalam bahasa Arab diberikan oleh
kaum Orientalis terhadap gerakan Islam tanpa membedakan isi gerakan itu
sendiri (Atjeh, 1970: 6). Modernisasi dalam masyarakat Barat mengandung
arti fikiran, aliran, gerakan dan usaha-usaha untuk merubah faham-faham,
adat istiadat, institusi-institusi lama, dan sebagainya untuk disesuaikan
dengan suasana baru yang ditimbulkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi modern. Tatkala ummat Islam melakukan kontak dengan Barat,
maka modernisasi dari Barat membawa kepada ide-ide baru ke dunia Islam,
seperti rasionalisme, nasionalisme, demokrasi, dan lain sebagainya (Nasution,
1982:11).
13
Penyesuaian ajaran seperti di atas disebut modern karena dalam
sejarah agama Katholik dan Protestan berarti penyesuaian diri dengan ilmu
pengetahuan dan falsafat modern. Sayangnya, modernisasi di Barat akhirnya
membawa sekulerisasi. Kata ’modern’ bisa juga membawa berdampak
negatif terhadap pemahaman agama bila tidak disertai filter-filter tertentu
untuk menyaringnya, sebagaimana yang terjadi di Barat. Untuk itu, Harun
Nasution tidak begitu sreg menggunakan kata modern; sebagai gantinya
dipilih kata pembaharuan.
3. Revivalisasi, Resurgensi, Renaisans, Reasersi
Semua peristilahan di atas mengandung arti tegak kembali atau
bangkit kembali. Istilah revivalisasi pada dasarnya banyak sekali digunakan
oleh para penulis. Fazlurrahman, misalnya, menggunakan istilah ini, bahkan
ia membaginya kepada dua bagian yaitu revivalis pra-modern dan revivalis
Neo-modernis (Nasution dan Azra, 1985:70-71).
Penulis lain mengungkapkan kebangkitan kembali dengan istilah
resurgence. Chandra Muzaffar yang mengemukakan istilah ini dalam
tulisannya Resurgence : A Global View, menyatakan bahwa adanya
perbedaan antara istilah revivalis dengan resurgence. Resurgence adalah
tindakan bangkit kembali yang di dalamnya mengandung unsur (a)
kebangkitan yang datang dari dalam Islam sendiri dan Islam dianggap
penting karena dianggap mendapatkan kembali prestisenya; (b) Ia kembali
kepada masa jayanya yang lalu yang pernah terjadi sebelumnya; (c) bangkit
kembali untuk menghadapi tantangan, bahkan ancaman dari mereka yang
berpengalaman lain (Nasution dan Azra, 1985:70-71).
Revivalisme juga berarti bangkit kembali, tetapi kembali ke masa
lampau, bahkan keinginan untuk menghidupkan kembali yang sudah usang.
Renaisans berarti sebuah gerakan pembaharuan yang mereformasi ajaran-
ajaran agama yang tidak lagi sesuai dengan perkembangan zaman. Renaisans
dalam Islam bisa juga berarti tajdid. Karena itu, barangkali, mengapa banyak
para penulis menggunakan renaisans dalam menerangkan tajdid atau
pembaharuan dalam Islam (Nasr, 1983:203-206). Fazlur Rahman, misalnya
dalam bukunya Islam: Challenges and Opportunities, menulis tentang
renaisans Islam. Istilah ini digunakan pula oleh editor buku A History Of
Islamic Philisophy, M.M. Sharif, tatkala menerangkan tokoh-tokoh
pembaharuan dunia Islam, seperti Muhammad ibn Abd al-Wahab
Muhammad Abduh, dan yang lainnya dibawah judul Modern Renaissans
(Sharif, 1966:146). Sementara itu reassertion berarti tegak kembali, tetapi
tidak mengandung tantangan terhadap sosial yang ada.
14
Para ahli bukan hanya sekedar berbeda pendapat dalam hal istilah
yang digunakan, akan tetapi dalam makna dan isi pembaharuan itu sendiri.
Itulah sebabnya orang sering mengatakan bahwa istilah pembaharuan dalam
Islam masih merupakan hal yang kontroversial. Dan itu pula sebabnya,
mengapa Harun Nasution tidak banyak menggunakan istilah-istilah tersebut,
kecuali menggunakan istilah pembaharuan dan tajdid. Karena yang penting
adalah isi dan tujuan dari pembaharuan itu sendiri kembali kepada ajaran-
ajaran dasar dan memelihara ijtihad.
C. Sebab Terjadinya Pembaharuan
Ada dua faktor yang menyebabkan terjadinya pembaharuan dalam
Islam, yaitu dorongan ajaran Islam itu sendiri dan akibat adanya asimilasi
dengan kebudayaan baru, baik yang bersifat lokal, regional maupun
internasional, khususnya dengan Barat.
Mengenal sebab pertama, banyak ayat-ayat al-Qur’an dan Hadis
Rasul yang menerangkan tentang penelitian ilmiah dan perlunya memelihara
ajaran Islam sesuai dengan al-Qur’an dan sunnah. Salah satu hadis yang
menerangkan perlunya tajdid adalah sabda nabi yang berbunyi :
”Sesungguhnya Allah akan membangkitkan untuk ummat ini, setiap
penghujung seratus tahun, orang yang memperbaharui agamanya” (Daud,
1952:424).
Hadis ini menerangkan secara eksplisit, bahwa adanya mujaddid, reformer,
juru islah, dan mujahid akan selalu muncul pada setiap awal atau penghujung
seratus tahun (abad). Ini artinya pada setiap generasi akan ada seorang
Mujaddid.
Berkaitan dengan sebab pertama ini, ummat Islam pada setiap generasi dan tempat tertentu akan menghadapi persoalan yang berbeda;
ummat selalu berkembang, tantangan zaman semakin kompleks.
Di kalangan ummat Islam, mujaddid pertama yang muncul adalah Ibn
Taimiyah. Di masa hidupnya ia melihat ummat banyak yang melakukan
penyelewengan dalam agama sehingga mengakibatkan akidah, ibadah,
muamalah, dan akhlak menjadi rusak, seperti syirik, khurafat, dan bid’ah;
taklid merajalela dan ijtihad dianggap haram. Apa yang dialami oleh Ibn
Taimiyah, dialami pula oleh Muhammad bin Abd al-Wahab. Semasa mereka
hidup, politik dunia Islam sedang kacau akibat serbuan tentara Mongol di
satu pihak dan penetrasi Barat ke dunia Islam di pihak lainnya. Pembaharuan
15
yang muncul setelah Muhammad bin Abdul al-Wahab sebagai akibat
penetrasi Barat modern ke dunia Islam.
Tekanan dari masing-masing pembaharuan berbeda, dari satu generasi
ke generasi yang lain, dan juga dari satu tempat ke tempat yang lainnya.
Namun para pembaharu itu mempunyai tujuan yang sama, yaitu memurnikan
ajaran Islam dan atau membangkitkan nama baik Islam. Dalam pada itu yang
diperbaharui hanyalah ajaran yang tidak bersifat mutlak -- qat’i (Nasution,
1985:70-71). Syarat-syarat untuk menjadi pembaharu harus adalah orang-
orang yang memiliki ciri-ciri sebagai berikut: pikiran yang jernih, wawasan
yang luas, sikap yang konsisten, kemampuan menganalisa hal-hal mana yang
melampaui batas, dan mana yang memiliki kekuatan berpikir, berani dan
pantang mundur dalam menghadapi tantangan zaman, memiliki kemampuan
memimpin, kemampuan ijtihad, membangun dan membina masyarakat, dapat
membedakan ajaran Islam dan ajaran jahiliyah, dan seorang muslim yang
memiliki keimanan, pandangan, pemahaman, dan perasaan yang benar
tentang Islam (Maududi, 1984:43).
Masa dan jenis pembaharu menurut Fazlur Rahman, ada 3 macam,
yaitu revivalis pra-modernis, modernis klasik, dan neo-revivalisme.
Revivalisme pra-modernis seperti Ibn Taimiyah, Muhammad bin Abd al-
wahab dan Gerakan Sanusiyah. Gerakan ini timbul karena (i) keprihatinan
yang mendalam terhadap kemerosotan moral dan sosial ummat; (ii) sebagai
himbauan untuk kembali ke Islam yang orisinal, meninggalkan khufarat dan
tahayul, meninggalkan taklid dan mendorong ijtihad; (iii) menghimbau untuk
membuang beban yang menghancurkan, berupa pandangan tentang takdir
sebagai akibat teologi Asy’ariyah, (iv) melaksanakan perubahan bila perlu
dengan kekuatan bersenjata.
Adapun sebab yang mendorong bangkitnya semangat pembaharuan
pada tingkat ini antara lain : datangnya dari Islam sendiri sebagai respon dan
kritik terhadap sufisme yang menjauhi tugas-tugas dalam pergaulan sosial
dan dunia konkrit sehingga diperlukan rekonstruksi sosio-moral dan sosio-
etik dalam masyarakat Islam agar sesuai atau paling tidak mendekati Islam
ideal. Referensi gerakan pembaharuan yang utama adalah al-Qur’an dan al-
sunnah serta menekankan semangat ijtihad, yaitu dengan menggunakan akal
pikiran untuk memecahkan masalah yang timbul dalam masyaratkat Islam
(Amin Rais, 1984:vii).
Setelah itu, pada pertengahan abad ke-19, muncul kelompok
pembaharuan yang oleh Fazlur Rahman disebut modernis klasik. Yang
dianggap termasuk kelompok ini antara lain, Sayyid Ahmad Khan, Jamaludin
al-Afghani, dan Abduh. Mereka mewarisi tradisi muslim masa pertengahan
16
berupa, filsafat rasional dari al-Farabi, Ibn Sina, dan lainnya, dengan
menumbuhkan semangat ijtihad dan penolakan taklid. Yang dianggap baru
dari pembaharuan ini ialah perluasan ijtihad. Pembaharuan ini berkembang
meliputi pemahaman akal budi dan hubungannya dengan iman, pembaharuan
sosial, pendidikan, status wanita, pembaharuan politik, dan lain sebagainya
(Amin Rais, 1984:26).
Cara penafsiran kaum modernis klasik didasarkan pada al-Qur’an dan
kerangka dasar sunnah historis dan bukan pada hal yang teknis. Di antara
mereka ada yang menolak hadis secara hati-hati seperti Muhammad Abduh,
dan ada pula yang menolak hadis secara terang-terangan, menafsirakan Islam
secara liberal, seperti Sayyid Ahmad Khan (Amin Rais, 1984:29).
Setelah modernis klasik ini, muncullah apa yang dinamakan Rahman
sebagai neo-Revivalisme yang gerakannya terartikulasi dalam bentuk
gerakan-gerakan politik. Ia berbeda, baik dengan kaum revivalis pra-
modernis maupun dengan kaum modernis klasik. Reaksi mereka terhadap
modernis cukup tajam, bahkan tidak dapat dibedakan dengan pra-modernis.
Mereka menuduh bahwa kaum modernis klasik itu identik dengan
pambaratan (westernized). (Amin Rais, 1984:32).
Dalam pada itu penting pula ditambahkan di sini bahwa ide
pembaharuan dalam arti modernis klasik di kalangan muslimin, banyaknya
pelajar muslim yang belajar di Barat atau mendapat pengaruh dari pendidikan
Barat. Dengan ide pembaharuannya itu mereka ingin menyamai barat dalam
kemajuan, dan atau mengusir penjajah Barat dari dunia Islam. Hasilnya ada
yang kebarat-baratan, ada yang memilah-milah kebudayaan Barat dan ada
pula yang membedakan sama sekali.
D. Tujuan Pembaharuan
Sesuai dengan klarifikasi pembaharuan di atas, maka implikasi dan
tujuan umum pembaharuan yang dilakukan mereka, yaitu:
1. memurnikan ajaran Islam
2. membolehkan ijtihad dan melarang taklid
3. kembali kepada ajaran-ajaran dasar: al-Qur’an dan al-sunnah,
4. mengembalikan citra ummat Islam, dan
5. memperbaiki sosial-ekonomi dan politik ummat.
Mereka mengelaborasi ide tersebut melalui kegiatan ilmiah dan
amaliah, baik secara formal dan non-formal. Muhammad bin abd al-Wahab
mengembangkan ide pembaharuannya melalui masyarakat dan pemerintah
dan kelompok elit. Al-Afghani mengembangkan idenya melalui jalur-jalur
17
pendidikan dan politik; sementara Muhammad Abduh lebih menekankan
kepada pendidikan. Muhammad Abd al-Wahab berhasil mengubah pola fikir
ummat dan membangun Negara, yaitu Negara Wahabi, Saudi Arabia. Al-
Afghani dan Muhammad Abdul berhasil mengembangkan berpikir rasional
sehingga merubah citra al-Azhar menjadi universitas bergengsi,
dibandingkan dengan masa sebelumnya yang masih bersifat tradisional. Para
pembaharu yang hidup sesudah mereka mengikuti corak pemikiran mereka.
Ada yang mengikuti corak Muhammad bin abd al-Wahab, ada yang
mengikuti ide al-Afghani, dan ada pula yang mengikuti pikiran Muhammad
Abduh.
Di Indonesia corak pemikiran mereka diikuti pula oleh gerakan Padri
di Summatra Barat, Ahmad Syurkati dengan al-Irsyad, Ahmad Dahlan
dengan Muhammadiyah, A. Hasan dengan PERSIS, dan Abdul Halim dengan
PUI (Atjeh, 1970:11-169).
E. Tokoh-Tokoh Pembaharu
Pada dasarnya penulis menemui kesulitan menyebut pembaharu
secara definitif, hal ini karena berbeda sudut pandang para penilai dan juga
mereka yang dianggap pembaharu itu tidak menyebut dirinya sebagai
pembaharu secara eksplisit. Di samping itu adakalanya seseorang yang
dianggap sebagai pembaharu oleh yang lainnya, sementara penilai yang lain
menyebutnya sebagai mulhid, kafir, murtad, dan gelaran-gelaran yang
lainnya.
Namun lepas dari perbedaan-perbedaan penilaian tersebut di atas,
berdasarkann literatur-literatur yang ditemukan menyatakan, bahwa yang
dianggap pembaharu itu antara lain, Ibn Taimiyah, Muhammad bin Abd al-
Wahab, Syekh Waliyullah al-Dahlawi, Muhammad Abduh, al-Afghani, dan
Muhammad Rasyid Ridha. Di Indonesia, pada masa perjuangan, kita
mengenal Cokroarimoto, H.Ahmad Dahlan, A. Hasan, Ahmad Syurkati dan
abdul Halim. Malahan menurut penilaian abdul A’la al-Maududi, yang
dianggap pembaharu adalah : Umar bin Abd al-azizi, imam mazhab yang
empat, Ibn Taimiyah, Syekh Ahmad Sirhindi, imam wali Allah al-Dahlawi,
Sayid Ahmad Al-Barbaelani, dan Syekh Ismail (Maududi, 1984:55-119).
Alasan mereka dianggap pembaharu karena jasa-jasa mereka dalam
menggugah kebangkitan ummat, baik secara intelektual moral, dan lain
sebagainya. Termasuk pula tokoh-tokoh pembaharu seperti Muhammad Ali,
al-Tahtawi, Qasim Amin, Musatfa Kamil, Ali Abd Raziq, Toha Husen,
Hasan al-Banna, Jamal Abd al-Naser, dan lainnya muncul di kalangan
Kristen, yaitu al-Bustami, dll.
18
F. Aspek-Aspek Pembaharuan
Secara implisit aspek-aspek pembaharuan pada dasarnya sudah
disinggung di atas, namun perlu dijelaskan lebih lanjut secara eksplisit.
1. Pra-Modernis
Para pembaharu pra-modernis dan yang seide dengannya lebih
menekankan pada aspek pemurnian ajaran Islam dalam bidang akidah,
syariah, dan akhlaq dari subversi ajaran yang bukan Islam dan tidak dapat
diIslamkan, walaupun mereka tidak melupakan aspek politik dan sosial
ekonomi.
2. Modernis Klasik
Para modernis klasik sudah jauh melangkah dari yang diperjuangkan
pra-modernis. Mereka bukan hanya sekedar merekonstruksi bidang teologi,
akidah, dan ibadah, akan tetapi sudah membicarakan apa yang disebut ajaran
dasar dan tidak dasar. Mereka melakukan reaktualisasi penafsiran dan
pemahaman kitab suci dan juga mempertanyakan keotentikan hadis lebih
tajam lagi. Di antara mereka ada yang bersikap hati-hati terhadap penerima
hadis, seperti Muhammad Abduh dan ada yang menolak hadis sama sekali.
Dari kalangan mereka muncul golongan yang disebut golongan Quraniyah,
seperti Sayyid Ahmad Khan. Kaum modernis ini berbicara masalah ekonomi.
kenegaraan, penafsiran, kontekstual, dan mengambil metode modern dalam
kajian-kajiannya.
3. Paska Modernis
Paska modernis dapat pula disebut sebagai neo-revivalisme yang
menekankan pembaharuan pada bidang politik dan pendidikan. Para
pembaharu ingin memiliki identitas khusus yang Islami; mereka berbeda
dengan kaum modern klasik dan pra-modern.
G. KESIMPULAN
Demikianlah pembaharuan dalam Islam dengan berbagai variasinya,
dapat membangkitkan ummat Islam dari kevacuman intelektual dan
kerusakan akidah. Pembaharuan yang dimulai di dunia Arab
menghembuskan angin segar ke seantero dunia Islam, sehingga kaum
muslimin menemukan kembali indentitas dirinya dan mampu pula
membebaskan dirinya dari penjajahan dan kolonialisme Barat.
19
MUHAMMAD IBN ABD AL-WAHAB
DAN GERAKAN WAHABIYAH
Oleh
Zainun Kamal
I
Dari waktu ke waktu senantiasa ada usaha pembaharuan, atau
penyegaran, atau pemurnian pemahaman ummat kepada agamanya, adalah
sesuatu yang telah menyatu dalam sistem Islam dalam sejarah. Nabi sendiri
dalam sebuah hadits mengisyaratkan kepada adanya hal itu. Sabda Rasulullah
:
رواه أبو داود ) إن اهلل يبعث هلذه األمة على رأس كل مائة سنة من جيدد هلا دينها (ىف السنن
”Sesungguhnya Allah akan membangkitkan untuk ummat ini, setiap
penghujung seratus tahun, orang yang memperbaharui agamanya”
Maka dari sudut tinjauan ini adalah suatu kejadian yang wajar saja, bahwa
pada abad ke-18, Jazirah Arab menyaksikan usaha tajdid yang militan, yang
dilancarkan oleh Syekh Muhamad Ibn Abd al-Wahab, yang melahirkan apa
yang dinamakan gerakan Wahabi.
II
SEJARAH HIDUP ABD AL-WAHAB
Ia adalah Muhammad Ibn Abd a-Wahab al-Najd al-Hanbali, dari bani
Tamim. Ia lahir di al-Uyainah di Nejed pada tahun 1115/1703M. Awal
pendidikannya bermula dari belajar kepada para ahli fikih kaum Hanbali,
yang terkenal dengan berpegang teguh kepada sunnah dan mencela bid’ah
(Mut’al :437).
Kemudian untuk melanjutkan pendidikannya ia pergi ke Madinah.
Setelah itu, ia melakukan perjalanan ke beberapa negara Islam, dengan tujuan
untuk menambah ilmu pengetahuan. Ia menetap selama empat tahun di
Baghdad, satu tahun di Kurdistan, dua tahun di Hamdan, kemudian ia pergi
ke Ashfahan dan di sana ia mempelajari falsafat isyraq (iluminasi) dan tasauf,
20
kemudian ia meneruskan perjalanan ke Qum (Amin, 1979:10). Disebutkan
juga bahwa ia juga mengunjungi negara-negara Turki, Aleppo di Damaskus,
al-Quds (Palestina) dan Mesir (Nashir, 1983:31). Setelah melakukan
perjalanan panjang, ia kembali ke Nejed, lalu ia tampil dengan menyerukan
pemikiran-pemikiran baru.
Tetapi penulis-penulis Arab modern berpendapat bahwa Abd al-
Wahab dalam perjalannya tidak pernah keluar dari kawasan dunia Arab
(Nashir, 1983:31). Wahabiyah adalah suatu nama gerakan yang dipimpin
oleh Abd al-Wahab pada abad ke-18. Nama ini diberikan oleh musuh-musuh
Abd al-Wahab dan orang-orang Eropa; dan akhirnya menjadi umum dipakai.
Sedangkan pendukung pendukung Abd al-Wahab menamakan gerakan
mereka dengan al-Muwahhidin atau al-Muslimin (Amin, 1979:10)
Gerakan Wahabiyah adalah merupakan perkembangan dari aliran
Salafiyah, yang berpangkal pada pemikiran-pemikiran Imam Ahmad ibn
Hanbal, yang kemudian dikonstruksikan dengan secara sistematis oleh Ibn
Taimiyah, dan terakhir dimapankan oleh Ibn Qayyim al-Jauziyah.
Tidak ada sesuatu yang baru pada gerakan Wahabiyah, selain dari
usaha penerapan ajarannya dengan lebih ekstrim, dan memperdalam
pengertian syirik dan bid’ah. Hal ini adalah akibat wajar dari situasi
masyarakat dan Jazirah Arab yang penuh dengan aneka ragam khurafat dan
bid’ah pada masa itu.
III
IDE-IDE TAJDID ABD AL-WAHHAB
Ide-ide tajdid Abd al-Wahhab berdiri diatas beberapa prinsip, di
antaranya adalah :
Pertama, Kembali kepada ajaran Islam yang murni seperti yang ada pada
masa Rasulullah dan para sahabat. Karena kemurnian ajaran dan akidah itu
Islam menjadi besar dan memperoleh kemenangan serta cepat meluas keluar
Jazirah Arab. Tetapi setelah akidah ummat turun ke tingkat syirik, mereka
mengalami kemunduran dan ditimpa kehancuran. Dari situ, Abd al-Wahab
mengembalikan sebab kelemahan ummat Islam dan kemunduran mereka
adalah karena kelemahan akidah, yang telah bercampur dengan syirik.
Karena itu, Abd al-Wahab berusaha untuk memurnikan akidah mereka
dengan cara kembali secara langsung kepada al-Qur’an al-Karim dan al-
Sunnah al-Nabawiyah. Setiap yang berbeda dari keduanya dianggap sebagai
bid’ah, suatu ajaran yang kemudian masuk ke dalam Islam (Al-Muhafazhah,
1978:40). Semboyan gerakan wahabiyah adalah “Back to the Qur’an !” dan
21
“Back to the Sunnah !” dalam artian, “Back to the God of the Sunnah and it’s
exhilaration,” (Smith, 1977:44).
Kedua, Tauhid yang diformulasikan dalam kalimat syahadat “ ال إله اال اهلل “ .
Menurut Abd al-Wahab, tauhid ada dua macam. Tauhid Rububiyah dan
Tauhid Ulluhiyah. Tauhid Rububiyah adalah mempercayai bahwa Allah
sendirian dalam menciptakan alam dan mengaturnya. Tetapi kepercayaan
kepada tauhid Rububiyah tidak menjadikan seseorang menjadi muslim. Yang
menjadikan seseorang muslim adalah kepercayaan terhadap tauhid uluhiyah,
yaitu mempercayai bahwa tidak ada yang disembah kecuali Allah. Orang
yang menyembah Allah dan juga menyembah berhala, atau nabi Isa, atau
malaikat, tidaklah disebut mentauhidkan Allah; walaupun ia percaya bahwa
sang pencipta dan pemberi Rezeki hanyalah Allah (Ghannam, 1961:299).
Di dalam kitab Kasyf al-Syububat, Abd al-Wahab mempertegas
pengertian tauhid bhwa “tauhid adalah pembenaran di dalam hati, diucapkan
dengan lidah, dan dilakukan dengan perbuatan. Jika kurang satu dari hal itu,
maka ia tidaklah termasuk orang Islam. Jika ia mengetahui tauhid tetapi ia
tidak mengerjakannya dalam perbuatan, maka ia termasuk orang kafir dan
pembangkang seperti Fir’aun dan Iblis”. (Ghannam, 1961:299).
Bertolak dari pengertian prinsip tauhid itu, Abd al-Wahab menyerang
dan memberantas semua adat kebiasaan yang terdapat di dunia Arab. Minta
berkah kepada para wali, mendekatkan diri kepada Allah dengan cara
menziarahi kuburan orang-orang saleh sebagai tawassul, adalah syirik. Orang
musyrik di zaman kita sekarang ini, kata Abd al-Wahab, lebih kafir daripada
di zaman Nabi Muhammad ” (Ghannam, 1961:303). Demikian juga Abd al-
Wahab berpendapat bahwa menziarahi kuburan adalah bid’ah, termasuk
kuburan Nabi Muhammad di Madinah (Al-Muhafazhah, 1978:42). Ia tidak
cukup dengan berpendapat bid’ah saja, tetapi sekaligus menghancurkan dan
meratakan kuburan-kuburan, kubah-kubah para sahabat dan wali-wali Allah
(Zahrah, 1976:507-508).
Tauhid adalah masalah dasar dalam pemikiran Abd al-Wahab, karena
hal itu marupakan ajaran inti Islam yang dikristalisasikan dalam kalimat Laa
Ilaaha Illallah, dan sekaligus sebagai pembeda antara Islam dengan non-
Islam. Nabi Muhammad diutus adalah untuk pembenaran tauhid, melarang
menyembah kepada berhala, patung, orang tua, nenek moyang, para wali,
para pimpinan, dan lain sebagainya. Itulah sebabnya pengikut-pengikut Abd
al-Wahab menamakan diri mereka al-Muwahhidun.
22
Seperti yang sudah disinggung di atas, Abd al-Wahab berpendapat,
bahwa Islam berkembang dengan pesat sekali pada masa Rasulullah dan para
sahabat karena mengamalkan ajaran Islam yang murni. Tetapi setelah ummat
Islam meninggalkan ajaran Islam yang murni dan mencampuradukkan akidah
tauhid dengan bid’ah dan syirik, akibatnya mereka mengalami kemunduran.
Dalam artian, penyakit yang menimpa ummat Islam adalah kerusakan akidah
tauhid. Itulah sebabnya Abd al-Wahab berpendapat bahwa untuk sembuh
kembali, ummat Islam harus kembali secara konsekuen kepada ajaran Islam
yang murni seperti yang terdapat pada masa Rasulullah dan para sahabat.
Atau dikenal dengan masa kaum Salafus Shalih.
Ketiga, mempelajari ilmu yang tidak disandasarkan pada al-Qur’an dan
Sunnah, atau yang hanya bersumberkan kepada akal semata, dianggapnya
kufur. Termasuk juga kufur mengingkari “qadar” dan menafsirkan al-Qur’an
dengan jalan Ta’wil (Al-Muhafazhah, 1978:42).
Kempat, dalam bidang hukum, Abd al-Wahab berpendapat bahwa untuk
menentukan halal dan haramnya sesuatu hanya bersumber pada al-Qur’an
dan al-Sunnah. Pendapat para teologi dalam bidang akidah, dan para ahli
fikih dalam bidang hukum tidaklah dapat dijadikan dalil; sebab setiap orang
berhak untuk berijtihad, bila memenuhi persyaratannya )Amin, 1979:14).
Hal-hal yang dianggap bid’ah dan haram hukumnya serta wajib
diberantas, di antaranya adalah mengadakan upacara maulid nabi, wanita
mengiringi jenazah, mengadakan perkumpulan-perkumpulan dzikir, seperti
praktek para sufi. Dikategorikan juga ke dalam bid’ah dan haram hukumnya
adalah merokok, lelaki berpakaian sutera, berfoto; dan makruh hukumnya
memotong jenggot. Kadang-kadang soal kecil pun dianggap bid’ah
(Mushtafa, 1976:31).
Di samping itu, memerintah dengan paksa kepada orang-orang Islam
untuk mengerjakan shalat, mengeluarkan zakat, dan melaksanakan rukun
Islam lainnya. Ini dimaksudkan untuk membangun masyarakat yang Islami
(Al-Muhafazhah, 1978:42).
Kelima, menyerukan dibukanya pintu ijtihad. Bagi orang-orang yang
memenuhi syarat berijtihad. Ia berhak berijtihad secara langsung dalam
memahami al-Qur’an dan al-Sunnah. Ditutupnya pintu ijtihad, menurut Abd
al-Wahab adalah sebuah kemunduran bagi orang-orang Islam; karena
kehilangan kepribadian dan daya nalar mereka, dan menyebabkan
terpecahnya ummat Islam kepada aliran-aliran yang saling mencaci maki.
23
Mereka menjadi orang yang statis dan taklid, yang hanya mengkaji pendapat-
pendapat dan fatwa-fatwa dari ulama yang ditaklidinya. Maka untuk
menyelamatkan ummat dari bahaya yang buruk ini, menurut Abd al-Wahab,
adalah dengan membuka pintu ijtihad, dan kembali secara langsung
memahami agama dari sumber aslinya, yaitu al-Qur’an dan al-Sunnah (Amin,
1979:14).
IV
PENGARUH GERAKAN WAHABIYAH
Aliran Wahabiyah menjadi mazhab resmi di kerajaan Saudi Arabia
sampai saat ini. Sedangkan di luar Jazirah Arab ajaran-ajaran Wahabiyah
disebarkan dan dikembangkan oleh kaum muslimin yang pulang ke
negerinya masing-masing setelah bermukim dan menunaikan ibadah haji di
Mekah.
Di anak benua India, tepatnya di Punjab (India Utara) ajaran-ajaran
Wahabi disiarkan oleh Sayyid Ahmad, yang melakukan ibadah haji pada
tahun 1822-1823 M. Dia mendirikan Negara Wahabiyah, dan memaklumkan
jihad terhadap orang yang tidak mempercayai dakwahnya, dan tidak masuk
barisannya.
Gerakan “Ishlah” Muhammad bin Ali al-Sanusi di abad ke-19, di
Afrika Utara yang bermarkas di Libya, adalah mengambil model dari gerakan
Salafiyah Wahabiyah; demikian juga gerakan Muhammad Ahmad al-Mahdi
di Sudan, dan gerakan mujahid muslim Usman Danfudyu di pedalaman
Afrika. Mereka mengenal ide-ide pembaharuan gerakan Wahabiyah di saat
menunaikan ibadah haji di tanah suci (Fathiyah, 1983:229-230).
Adapun di Indonesia gerakan Wahabiyah pertama sekali terdapat di
Minangkabau, Summatra Barat, yaitu dengan pulangnya tiga orang haji dari
Saudi Arabia di awal abad ke-19 (tahun 1802 M). Mereka adalah Haji
Miskin, Haji Sumanik dan Haji Piobang (Hamka, 1963:26). Mereka
bermukim di Saudi Arabia di saat berkembangnya gerakan wahabiyah, dan
mempelajarinya dengan seksama. Mereka berkesimpulan, sebab keberhasilan
gerakan Wahabiyah adalah karena adanya pemaduan kekuatan lisan dan
senjata dalam menjalankan dakwah.
Setelah kembali ke Summatra Barat, mereka memulai menjalankan
dakwah dengan memberikan pengajian halakah dan pelajaran-pelajaran
agama Islam di Surau-surau dan di Mesjid-mesjid. Mereka mengajak ummat
Islam untuk menjalankan agama Islam sebagaimana yang dilakukan oleh
24
para salaf yang shaleh (Rajab, 1954:9). Mereka mencegah dari yang munkar
dan dari adat dan tradisi masyarakat yang bertentangan dengan ajaran Islam,
seperti minum arak (khamr), berjudi dan mengadu ayam (Sckriche, 1973:3),
dan melarang wanita keluar rumah dengan kepala terbuka. Orang yang
melanggar larangan tersebut ini akan diperlakukan kepadanya hukuman mati
(Hamka, 1963:28).
Gerakan ini kemudian mendapat dukungan dari ulama-ulama
Summatra Barat. Maka terbentuklah sebuah gerakan dibawah delapan orang
ulama, yang kemudian terkenal dengan nama “Harimau nan Salapan”, yang
dipimpin oleh Tuanku Nan Renceh (Hamka, 1963:28).Tujuan terakhir dari
gerakan mereka adalah untuk mendirikan sebuah Negara Islam Salafiyah
(Pane, 1970:84).
Gerakan ini kemudian menjelma menjadi gerakan Perang Paderi yang
melawan penjajahan Belanda yang pro kepada kaum adat. Gerakan Paderi
merupakan permulaan gerakan kebangkitan ummat Islam Indonesia dan
merupakan gerakan Islam yang terpenting dalam menghadapi musuh-musuh
Islam, baik dari dalam maupun dari luar Indonesia (Ricklef, 1981:155). Ia
kemudian memberikan pengaruh dan inspirasi yang besar atau gerakan dan
kebangkitan ummat Islam Indonesia (Stoddard, 1966:298).
Adapun gerakan Muhammadiyah awal berdirinya juga terpengaruh
oleh gerakan Wahabiyah, karena tokoh utamanya, KH. Ahmad Dahlan (w.
1923/1340 H) mendirikan organisasi ini setelah ia kembali dari tanah suci.
V
KESIMPULAN
Dari beberapa ide pembaharuan Muhammad Ibn Abd al-Wahab yang
sudah dikemukakan di atas dapat dilihat bahwa pembaharuan yang
dilancarkan tanpa sedikitpun ada persinggungan dengan kemoderenan dari
Barat. Namun demikian, seperti dikatakan Nurcholish Majid, gerakan ini
merupakan satu-satunya gerakan pembaharuan keagamaan yang paling
sukses secara politik, yaitu setelah bergabung dengan dinasti Sa’ud.
25
EKSPEDISI NAPOLEON DI MESIR:
IDE-IDE BARU DAN PENGARUHNYA
Oleh
Noorwahidah Haisy
A. Pendahuluan
Periode modern dalam sejarah Islam yang dimulai sejak tahun 1800
M ditandai dengan lahirnya ide-ide dan gerakan-gerakan pembaharuan.
Zaman ini disebut juga zaman kebangkitan Islam, karena ummat Islam yang
sebelumnya beku, statis dan jumud kini sadar dan bangun kembali untuk
mengejar ketinggalan dan keterbelakangannya. Pada periode modern ini,
Negara-negara Islam yang sebelumnya berada di bawah telapak kaki
penjajah, mulai berusaha membebaskan diri dan membangun dirinya sendiri
menuju masa depan yang cerah dan lebih baik. Usaha-usaha pembebasan diri
tersebut menunjukan hasil yang gemilang pada abad ke-20 dengan
merdekanya negara-negara Islam satu persatu, sehingga di penghujung abad
ke-20 ini dapat dikatakan bahwa tidak ada satu negara Islam atau mayoritas
penduduknya beragama Islam pun yang terjajah.
Salah satu aspek penting yang membawa kepada kebangkitan ummat
Islam dan lahirnya gerakan-gerakan pembaharuan adalah ekspedisi Napoleon
ke Mesir pada tahun 1798-1801 M. Ekspedisi ini menyadarkan ummat Islam
akan kelemahan dan kemunduran mereka dan membuka mata ummat Islam
akan kemajuan yang dicapai oleh dunia Barat (Nasution, 1985:88). Di
samping itu, Napoleon datang ke Mesir tidak hanya sekedar menjajah, tetapi
juga membawa ide-ide baru yang bermanfaat besar bagi perkembangan Islam
khususnya di Mesir.
Ide-ide baru tersebut menjadi cambuk bagi ummat Islam Mesir,
terutama kaum intelektualnya, untuk bangkit melakukan pembaharuan dan
memperbaiki keadaan. Dalam perkembangan selanjutnya, gerakan
pembaharuan ini bergema ke seluruh dunia Islam.
B. Riwayat Hidup Napoleon
Napoleon adalah seseorang jenderal dan kaisar Perancis yang besar.
Kehadirannya di pentas dunia tidak hanya berpengaruh terhadap
26
Perkembangan Perancis dan Eropa, tetapi juga berpengaruh besar terhadap
perjalanan sejarah ummat manusia. Karena itu, Michael H. Hart
menempatkannya pada urutan ke-34 dari seratus tokoh yang paling
berpengaruh dalam sejarah, di dalam karya besarnya yang terkenal The 100,
a Ranking Of The Most Influential Persons In History (Hart, 1984:193-199).
Nama lengkap Napoleon Bonaparte. Ia adalah anak ke empat dari
pasangan Carlo Buonaparte dan Letizia Ramolino. Ia dilahirkan di Ajaccio,
salah satu desa di wilayah Corsica, Perancis, pada tanggal 15 Agustus 1769,
dan meninggal dan meninggal dunia di St. Helena pada tanggal 5 Mei 1821
(Preece, 1970:1).
Karir militer Napoleon sangat menonjol. Ia masuk akademi militer
Perancis di usia muda. Dalam usia lima belas tahun ia tamat dari akademi ini
dan memperoleh pangkat letnan artileri. Dalam usia 24 tahun, ia
membuktikan kepiawaiannya di bidang militer dengan menghancurkan dan
mengusir tentara Inggris di Toulun sehingga daerah ini dapat dikuasai
Perancis kembali.
Ia juga berhasil mematahkan pemberontakan Royalis di Paris pada
tahun 1796. Pada tahun 1976 ia diangkat sebagai komandan pasukan Perancis
di Italia. Perkawinannya dengan Josephine de Beauharnais tidaklah
menghalanginya untuk menghancurkan pasukan Austria-Sardinia di Italia
antara tahun1796-1797 (Shadily, 1983:2334). Keberhasilannya dalam
berbagai pertempuran membuat namanya makin terkenal. Pada tahun 1797,
ketika ia kembali ke Perancis, ia disambut sebagai seorang pahlawan.
Pada tahun 1798 ia bersama pasukannya melakukan ekspensi ke
Mesir. Dalam waktu singkat, Mesir dapat dikuasainya. Namun, setahun
kemudian (1999) ia kembali ke Perancis, sementara pasukannya tetap tinggal
di Mesir (Hart, 1984:194).
Ambisinya untuk menjadi penguasa tertinggi di Perancis sangat besar.
Karena itu, sebulan setelah ia berada di Perancis sekembalinya dari Mesir, ia
melakukan kudeta bersama Abbe Sieyes pada tanggal 9 November 1799.
Kudeta ini berhasil sukses dan menghantarkan Napoleon ke puncak
kekuasaan. Pemerintahan yang baru dibentuk ini disebut Consulate, dan
Napoleon diangkat sebagai konsul pertama. Selama berada dalam tampuk
kekuasaan, ia melakukan perombakan besar-besaran dalam sistem
administrasi pemerintahan dan hukum. Ia merombak struktur keuangan dan
kehakiman. Ia mendirikan bank dan Universitas Perancis. Karya besarnya
yang berpengaruh sampai sekarang ialah Code Napoleon yang merupakan
dasar hukum Perancis.
27
Code ini dalam banyak hal, mencerminkan ide-ide revolusi Perancis.
Revolusi itu sendiri terjadi pada tahun 1789, dan ketika revolusi ini pecah,
Napoleon bergabung dengan kaum Jacobins (Shadily, 1983: 2334).
Pada tahun 1804 Napoleon memproklamasikan dirinya sebagai kaisar.
Meskipun angkatan laut Napoleon kalah dengan armada Inggris dalam
pertempuran Trafalgar (1805), namun di medan tempur darat yang lain,
pasukannya tetap unggul. Napoleon berhasil mengalahkan pasukan sekutu
Eropa dalam perang Austerliz (1805), Jena (1806), dan Friedland (1807). Ia
juga dapat mengakhiri kerajaan Romawi Suci (1806), dan berkuasa hampir di
seluruh Eropa (Shadily, 1983:2334).
Katika Napoleon menyerang Rusia pada tahun 1812, pasukannya
mendapat pukulan yang hebat. Tidak sampai 10 persen tentaranya yang dapat
keluar dari Rusia dalam keadaan hidup. Kelemahan Perancis ini
membangkitkan kesadaran Negara-negara Eropa lainnya seperti Austria dan
Rusia. Mereka pun bangkit menggalang persatuan untuk menyerang Perancis.
Dalam pertempuran dahsyat di Leipzig (1813), pasukan Napoleon dipukul
mundur. Tahun 1814 Perancis diserbu dan Napoleon dimakzulkan. Ia
diasingkan ke pulau Elba, sebuah pulau kecil di lepas pantai Italia. Namun,
pada tahun 1815 ia dapat melarikan diri dan berkuasa kembali di Perancis
selama 100 hari. Kekuatan Eropa pun bergabung untuk memukul Napoleon,
sehingga dalam pertempuran di Waterloo, Napoleon mengalami kekalaham
paling besar. Ia ditangkap oleh pasukan Inggris dan dibuang ke Saint Helena,
sebuah pulau kecil di Selatan Samudera Atlantik. Dalam penjara St. Helena
inilah ia menghembuskan nafasnya yang terakhir pada tahun 1821 karena
Kanker (Hart, 1984:199).
C. Pendudukan Mesir dan Ide-Ide Baru yang Dibawa
Ambisi Napoleon untuk memiliki wilayah dan kekuasaan yang besar
sangat mencolok. Ia tidak saja berusaha menguasai seluruh daratan Eropa,
tetapi juja berusaha merambah ke daerah Timur. Pada tahun 1798 ia berhasil
menguasai Mesir yang ketika itu berada di bawah kekuasaan dinasti
Mamalik.
Keadaan Mesir sebelum diserbu Napoleon memang sangat parah,
terutama pada akhir abad ke-18. Seorang pengembara Perancis, Founier,
setelah melakukan kunjungan ke Mesir pada akhir abad ke-18, mengatakan,
“Kebodohan di Mesir adalah suatu gejala yang umum, sama dengan keadaan
di seluruh Turki, meliputi semua lapisan. Hal itu tampak jelas di bidang
literature, ilmu alam, dan teknik, bahkan juga di bidang kerajinan tangan
28
yang paling sederhana. Anda jarang menemukan reparasi arloji di Kairo.
Kalaupun ada tentu ia orang Eropa (Amin t.t.,:129).
Penaklukan Napoleon atas Mesir berjalan sangat cepat. Pasukan
dinasti Mamalik tidak mampu mempertahankan kedaulatannya dengan baik,
sehingga hanya dalam beberapa hari seluruh wilayah Mesir berada di bawah
pasukan Napoleon. Pada tanggal 2 Juli 1798, pasukan Perancis ini mendarat
di Alexandria. Kota pelabuhan yang penting ini dapat dikuasai hanya dalam
waktu satu hari. Kota berikutnya yang jatuh ialah Rasyid terletak di sebelah
timur Alexandria. Kejatuhannya berjarak waktu hanya sembilan hari dari
kejatuhan Alexandria. Daerah piramid dekat Kairo dapat dicapai oleh
pasukan Napoleon pada tanggal 21 Juli. Pasukan Mamalik yang tidak mampu
menghadang pasukan Perancis ini mundur ke Kairo, namun masyarakat
Kairo tidak memperdulikannya. Terpaksa mereka mundur lagi ke Selatan.
Dengan kekalahan pasukan Mamalik ini, tepat pada tanggal 22 Juli 1798,
praktis seluruh wilayah Mesir dikuasai Napoleon (Nasution, 1988:29).
Operasi militer Napoleon yang demikian cepat terhadap Mesir
disebabkan beberapa factor, antara lain :
1. Persenjataan pasukan Napoleon lebih canggih dan lebih dan lebih
mutakhir dibanding dengan persenjataan kaum Mamalik.
2. Pasukan Napoleon memiliki kemampuan dan kemahiran berperang
yang lebih baik daripada pasukan Mamalik. Pasukan ini didukung
oleh pengalaman perang yang banyak di berbagai medan tempur,
dalam berbagai cuaca, dengan berbagai bangsa dan Negara. Sejak
meletusnya revolusi Perancis pada tahun 1789, Perancis tidak pernah
sepi dari peperangan.
3. Rakyat Mesir tidak membantu kaum Mamalik. Hubungan mereka
dengan dinasti Mamluk ini sangat rapuh akibat perlakuan kasar
penguasa Mamalik yang menyakitkan masyarakat. Di samping itu,
pada umumnya kaum Mamalik tidak pandai berbahasa Arab sehingga
komunikasi di antara mereka tidak terjalin baik.
Di samping faktor-faktor di atas, kondisi ummat Islam pada saat itu
memang berada pada puncak kemundurannya, sementara Eropa, khususnya
Perancis dan Inggris sedang menanjak maju. Ditemukannya benua Amerika
oleh Colombus pada tahun 1492 dan Tanjung Harapan di Afrika Selatan oleh
Vasco de Gama sekitar tahun 1498, telah mengangkat Eropa ke percaturan
perdagangan internasional. Monopoli perdagangan dunia Islam antara Barat
dan Timur yang sebelumnya dimiliki Islam telah berubah. Dengan penemuan
benua Amerika dan Tanjung Harapan itu, hubungan dagang Barat dan Timur
29
dapat dilakukan tanpa melewati dunia Islam. Keadaan ini melemahkan
perekonomian Islam, sekaligus melemahkan kekuatan politik ummat Islam.
Ditambah lagi dengan kondisi dalam negeri Islam sendiri yang sudah
sangat rapuh akubat perebutan kekuasaan dan kekurangan perhatian terhadap
ilmu pengetahuan dan teknologi.
Gambaran umum terhadap keadaan dunia Islam abad ke-18 diungkapkan
oleh Lothrop Stoddard, antara lain sebagai berikut :
Pada abad ke XVIII dunia Islam dijatuhkan ke reruntuhan jang terdalam. Di manapun tidak ada tanda adanya tenaga sehat dan dimana-mana terdapat kematjetan
dan pembekuan. Kerusakan budi dan moral amatlah parahnja. Apa jang masih
tinggal dari kebudajaan Arab lenjap ditelan kemewahan jang diluar batas dari
segolongan ketjil, jang sama dengan degradasi jang diluar batas pula dari golongan
besar. Pengadjaran terhenti. Sedjumlah ketjil Universitas jang masih ada terdampar
kepada pembekuan, hidup miskin dan tak diatjuhkan. Pemerintahan mendjadi
despotis, kadang-kadang terdjadi anarchi dan berbagai tjara pembunuhan. Disana-
sini penguasa despotis luarbiasa seperti Sultan Turki atau “Maharadja Mongol”
India, sekaligus pembesar-pembesar provinsi selalu berusaha mendirikan
pemerintahan sendiri, seperti radjanja di atas asas kesewenang-wenangan dan
tangan besi. Kebalikannja, pembesar itu selalu pula harus bertindak terhadap
kepala-kepala daerah jang tidak patuh dan terhadap bandit jang banyak jumlahnya,
bertjokol di desa-desa. Disamping itu, pegawai-pegawai pemerintahan jang tjurang
memeras pula dan merampas rakjat habis-habisan. Petani dan orang kota patah
semangatnja untuk bekerdja dan berusaha. Baik pertanian maupun perdagangan
djatuh merosot sekali (Stoddard, 1966:29).
Keadaan dunia Islam sebagaimana digambarkan di atas sangat
berbeda dengan keadaan di Eropa. Eropa, dengan semangat renaissance,
berkembang maju. Amerika, sebagai benua yang baru ditemukan,
menghasilkan devisa yang sangat banyak. Kekayaan alamnya berupa emas,
ditambah dengan terbukanya jalur perdagangan langsung Timur-Barat, telah
memberikan sumbangsih yang besar terhadap peningkatan Ekonomi Eropa.
Kemajuan yang dicapai Eropa, tidak terbatas hanya di bidang ekonomi dan
politik saja, tetapi juga di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi (Nasution,
1987:9).
Meskipun kondisi ummat Islam sudah sangat parah pada abad ke-18,
namun kesadaran mereka akan kelemahan dan kemundurannya baru muncul
secara jelas ketika Napoleon menguasai Mesir dalam waktu singkat, padahal
Mesir adalah salah satu pusat dunia Islam, yang sebelumnya dikenal sangat
kuat dan kokoh. Bagi Napoleon sendiri, ekspedisi ke Mesir dimaksudkan
untuk menjadikan Mesir sebagai batu loncatan guna menguasai Timur,
khususnya India yang pada waktu itu sudah mulai berada di bawah pengaruh
kekuasaan Inggris (Nasution, 1979:94). Namun cita-cita Napoleon untuk
30
menguasai wilayah Timur ini kandas di tengah jalan. Dalam pertempuran di
Palestina, pasukannya kalah, sehingga pada tanggal 18 Agustuns 1799 M, ia
kembali ke Perancis (Nasution 1979: p. 94). Di samping itu,
berkembanganya politik di Perancis menghendaki kehadirannya. Ia kembali
ke Paris. Ekspedisi yang dibawanya ditinggalkannya, dan pimpinan
diserahkan kepada Jendral Kleber. Ekspedisi ini akhirnya meninggalkan
Mesir pada tanggal 31 Agustus 1801 setelah pasukan Perancis mengalami
kekalahan dalam pertempuran laut dengan armada Inggris (Nasution, 1987:
30).
Bagi masyarakat Mesir, sekalipun kedatangan Napoleon untuk
menjajah, namun ekspedisi ini memberikan semangat baru bagi kehidupan
mereka. Napoleon telah membawa ide-ide baru yang sangat bermanfaat bagi
Mesir, bahkan dunia Islam pada umumnya. Ide-ide baru yang dibawa
Napoleon itu, sebagaimana disebutkan oleh Harun Nasution, ialah sistem
pemerintahan republik, persamaan hak (egalite) dalam pemerintahan, dan
kebangsaan -Nasionalisme (Nasution, 1987:31-32).
Bagi masyarakat Mesir yang selama ini hanya mengenal sistem
kekhalifahan, kerajaan, atau kesultanan, maka sistem pemerintahan republik
yang dibawa Napoleon merupakan hal yang baru. Di dalam sistem kerajaan,
kekuasaan dipegang secara turun menurun, kekuasaan raja bersifat absolut,
tidak ada konstitusi yang membatasi kekuasaannya, tidak ada batas waktu
berkuasa, dan tidak ada perlemen yang mengontrol segala kebijaksanaan dan
tindakan raja. Sedangkan dalam pemerintahan republik kepala Negara
ditentukan melalui pemilihan, kekuasaan kepala negara terbatas, kepala
negara harus tunduk kepada undang-undang dasar dan bisa dijatuhkan oleh
parlemen, dan kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat.
Ide sistem pemerintahan seperti ini merupakan perwujudan dari cita-
cita revolusi Perancis yang menentang absolutisme penguasa. Bentuk
pemerintahan republik yang dibawa oleh Napoleon pun nampaknya tidak
terlepas dari bentuk pemerintahan yang dicanangkan oleh Montesquieu (18
Januari 1689-10 Februari1755). Montesquieu, yang nama lengkapnya adalah
Charles Louis De Secondat Montesquieu, adalah seorang ahli filsafat politik
Perancis yang sangat terkenal. Teorinya tentang pemisahan kekuasaan badan-
badan legislatif, eksekutif, dan yudikatif, atau dikenal dengan teori trias
politica, diuraikan dalam karyanya yang terkenal De L’espirit des Lois (Jiwa
perundang-undangan) di tahun 1748 (Shadily, 1983:2266). Bentuk
pemerintahan seperti ini sama sekali tidak dikenal di Mesir. Karena itu, pada
mulanya ide sistem pemerintahan republik tersebut agak sulit diterima,
namun akhirnya justru menjadi pemicu untuk lahirnya gerakan pembaharuan.
31
Ide persamaan (egalite) yang di kembangkan oleh Napoleon di Mesir
ialah persamaan kedudukan dan turut sertanya rakyat dalam soal
pemerintahan (Nasution, 1987:32). Ide ini nampaknya merupakan
perwujudan dari sitem pemerintahan republik yang dibawanya. Dengan
sistem ini rakyat banyak ikut serta terlibat langsung di dalam pemerintahan
melalui wakil-wakil mereka.
Wujud dari ide persamaan ini diperlihatkan Napoleon dengan
dibentuknya sebuah badan kenegaraan dan diwan al-Ummah. Badan
kenegaraan bertugas (1) membuat undang-undang (2) memelihara ketertiban
umum, (3) menjadi perantara antara penguasa-penguasa Perancis dengan
rakyat Mesir. Anggota-anggota terdiri dari para ulama al-Azhar, tokoh-tokoh
pedagang dari Kairo dan daerah-daerah. Sedangkan Diwan al-Ummah
bertugas untuk membahas dan menyelesaikan masalah-masalah yang
berkaitan dengan kepentingan nasional. Anggotanya berjumlah 180 orang.
Tiap-tiap daerah mengirimkan sembilan orang wakilnya yang terdiri dari
golongan ulama 3 orang, golongan pedagang 3 orang, petani 1 orang kepala
desa dan kepala suku bangsa Arab masing-masing 1 orang. Diwan ini
melaksanakan sidang pertamanya pada tanggal 5 sampai dengan 20 Oktober
1798 dengan putusan yang diambil “menganjurkan perubahan peraturan
pajak yang ditetapkan kerajaan Usmani” (Nasution, 1987:9). Memang,
meskipun secara de facto yang menguasai Mesir sebelum Napoleon adalah
dinasti Mamalik, namun secara de jure daerah ini berada di bawah kekuasaan
Turki Usmani.
Di samping pembentukan dua institusi di atas, Napoleon juga
memperkenalkan sistem pemilihan terhadap orang yang dilakukan secara
langsung, bebas, dan rahasia. Caranya, setiap anggota pemilih diberikan
kertas kosong, dan tiap mereka bebas menuliskan nama seorang yang dipilih,
tanpa diketahui dan dipengaruhi oleh orang lain. Praktek pemilihan seperti ini
diperlihatkan ketika Diwan al-Ummah dalam menetapkan ketua. Anggota
diwan, sebagaimana biasanya, menunjuk dan menyebut nama seseorang.
Ketika itu yang ditunjuk ialah Syekh al-Syarqawi, seorang ulama terkemuka
yang sangat dihormati mereka. Namun cara penunjukan semacam itu ditolak
oleh penguasa Perancis sambil menjelaskan tata cara pemilihan yang baik
dan demokratis, sebagaimana cara yang dikemukakan di atas. Bagi rakyat
Mesir, cara pemilihan seperti ini tidak lazim, namun mereka dapat
menerimanya.
Ide baru yang juga sangat penting yang dibawa oleh Napoleon ialah
ide kebangsaan. Di sini Napoleon menegaskan kepada orang-orang Mesir
bahwa Perancis adalah satu bangsa (nation), orang-orang Mesir juga satu
32
bangsa, sementara kaum Mamluk adalah orang asing yang datang dari
Kaukakus ke Mesir (Nasution, 1987:9). Antara orang Mesir dengan kaum
Mamluk memang sama-sama Islam, tetapi mereka berbeda bangsa,
sebelumnya ummat Islam Mesir tidak mempersoalkan perbedaan bangsa ini
terlalu mendalam, karena mereka mempunyai konsep al-Ummah al-
Islamiyah (Ummat Islam) yang hanya dihadapkan kepada non-Muslim. Jadi,
mereka hanya menyadari perbedaan agama dan tidak begitu sadar akan
perbedaan bangsa dan suku bangsa (Nasution, 1987:33).
Di samping ide-ide sebagaimana tersebut di atas, Napoleon juga
membangkitkan semangat rasionalisasi (Robinson, 1987:130) dengan
mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Ia datang ke Mesir bukan
hanya membawa pasukan militer, tetapi juga disertai orang-orang sipil
sebanyak 1000 orang, 160 orang di antaranya adalah para ilmuwan dari
berbagai bidang, dua set percetakan dengan huruf latin, Arab, dan Yunani,
dan alat-alat ilmu pengetahuan yang dipakai dalam eksperimen-eksperimen
ilmiah (Nasution, 1987:96).
Para ilmuwan yang dibawa Napoleon ialah ilmuwan-ilmuwan
spesialis yang terbagi dalam empat kelompok (1) kelompok khusus di bidang
matematika yang bertugas membuat rencana tentang kota Kairo dan
menyiapkan peta bagi proyek Suez Kanal dan menetapkan jumlah pajak yang
harus dipungut oleh sultan Mamalik dari penduduk, (2) kelompok ahli fisika,
mencurahkan perhatiannya kepada pembuatan statistik kedokteran mengenai
jenis penyakit di Mesir dan cara penanggulannya serta membuat statistik
tentang jumlah kelahiran dan kematian. Kelompok ini mengharuskan
pemerintah setempat segera melaporkan penyakit apa saja yang ada di setiap
daerah dan kota, (3) kelompok ahli kesusteraan yang kegiatannya dicurahkan
kepada pengadaan perpustakaan untuk melayani para ahli ilmu pengetahuan
dan siapa saja yang berminat membaca pada waktu-waktu tertentu, dan (4)
kelompok ahli ekonomi yang mencurahkan perhatiannya terhadap bidang
ekonomi, antara lain masalah paspor, penetapan kewajiban pembagian harta
warisan kepada para ahli waris yang berhak, dan lain-lain. Di samping itu,
ada pula ahli-ahli kimia yang bekerja membuat rencana penyaringan air
sungai Nil dan menghilangkan kadar garamnya yang larut dari rerumputan
dan pepohonan (Amin, t.t:130).
Untuk kepentingan ilmiah, ekspedisi Napoleon dilengkapi dengan
sebuah lembaga ilmiah Institut d’ Egypte. Lembaga ini terdiri dari empat
bagian (1) bagian ilmu pasti, (2) bagian ilmu alam, (3) bagian ekonomi-
politik, dan (4) bagian sastra-seni. Dalam prakteknya, lembaga ini tidak
hanya digunakan untuk keperluan ilmiah, tetapi juga untuk membantu
33
Nepoleon dalam memerintah Mesir dengan hasil-hasil penyelidikan para
ahlinya (Nasution, 1987: 96).
Institut ini terbuka untuk orang-orang Mesir sehingga banyak ulama
terkemuka yang mengunjunginya, antara lain Abd al-Rahman al-Jabarti,
seorang ulama dari al-Azhar dan penulis sejarah. Ketika ia mengunjungi
lembaga ini di tahun 1799, ia sangat tertarik dengan perpustakaan besarnya.
Buku-buku yang tersedia di sini terdiri dari berbagai macam bahasa : Eropa,
Arab, Persia, dan Turki. Alat-alat ilmiahnya pun dipandang oleh Al-Jabarti
sangat mengagumkan, seperti teleskop, mikroskop, alat-alat untuk percobaan
kimiawi, dan lain-lain. Demikian juga cara kerja orang-orang Perancis dan
percobaan-percobaan yang dilakukan di lembaga ini membuat al-Jabarti
terkagum-kagum, sehingga ia mengatakan “saya lihat di sana benda-benda
dan percobaan-percobaan ganjil yang menghasilkan hal-hal yang besar untuk
dapat ditangkap oleh akal seperti yang ada pada diri kita” (Nasution,
1987:30-31).
Ide-ide baru yang dibawa Napoleon dan aktivitas-aktivitasnya selama
ia menguasai Mesir telah membangunkan kesadaran ummat Islam sehingga
lahir ide-ide dan gerakan pembaharuan. Meskipun gerakan itu tidak begitu
kentara muncul pada saat Napoleon berkuasa di Mesir, tetapi pengaruhnya
jelas terlihat pada abad ke-19 dan 20. Gerakan pembaharuan yang dilakukan
Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh, Tahtawi, dan lain-lain di Mesir
tidak bisa dipisahkan dari pengaruh ekspedisi Napoleon.
D. KESIMPULAN
Penjajahan, bagaimanapun bentuknya, sering digambarkan sebagai
sesuatu yang menakutkan. Dalam istilah penjajahan terkandung bayangan
penindasan, perbudakan, pemaksaan, penganiayaan, dan hal-hal yang negatif
bagi bangsa terjajah. Tetapi ekspansi yang dilakukan Napoleon Bonaparte ke
Mesir, sekalipun tentu tidak luput dari hal-hal negatif tersebut, ternyata
memberi makna yang besar bagi perkembangan Islam dan masyarakat Mesir
sendiri. Dengan ekspedisinya, kesadaran ummat Islam untuk bangun
membenahi dirinya telah muncul, sehingga lahir gerakan-gerakan
pembaharuan, tidak hanya di Mesir, tetapi juga di berbagai negara Islam yang
lain.
Dengan ekspedisi ini, kontak antara dunia Islam dengan Barat telah
terjadi secara langsung. Napoleon juga membawa ide-ide baru yang
menggugah semangat masyarakat Islam di Mesir untuk melakukan perubahan
pada dirinya. Meskipun di awal abad ke-19, ide-ide itu pada mulanya
ditentang oleh sebagian ulama tradisional, namun akhirnya, secara perlahan
34
dapat di terima dan dipraktekan. Ide sistem pemerintahan republik yang tidak
membenarkan absolutisme kekuasaan kepala negara dan menjadikan kepala
negara mempunyai kekuasaan tidak tak terbatas, merupakan ide baru yang
menarik untuk dipelajari dan dikembangkan oleh para kaum intelektual.
Demikian pula ide persamaan kedudukan dan keikutsertakan rakyat dalam
pemerintahan, serta ide nasionalisme, yang sebelumnya tidak begitu disadari
oleh rakyat Mesir, merupakan ide-ide yang menggugah mereka untuk
melakukan pembaharuan di Mesir. Ide-ide baru inilah yang antara lain
memberikan inspirasi sejumlah tokoh pembaharu Mesir dan dunia Islam,
sehingga gema pembaharuan dan kebangkitan Islam berdengung di mana-
mana.
35
MUHAMMAD ALI:
USAHA-USAHA PEMBAHARUAN
Oleh
Mukhyar Sani
A. PENDAHULUAN
Sejak Napoleon Bonaparte mendarat di Alexandria (Mesir) pada
tanggal 2 Juli 1798 M. dengan maksud menjadikan Mesir sebagai batu
loncatan untuk menguasai Timur terutama India (Nasution, 1979:96) ummat
Islam di negeri itu semakin berada di bawah pengaruh Eropa. Kendatipun
ekspedisinya ke Mesir berlangsung tidak lama (1798-1801 M) namun
dampak positif yang ditinggalkannya bagi perkembangan Mesir selanjutnya
di luar dugaan sama sekali, sehingga P. M. Holt dan kawan-kawan
menggambarkannya sebagai an episode of decisive importance (Holt, dkk.,
1970:381).
Ekspedisi Napoleon itu secara tidak langsung membangunkan rakyat
Mesir dari tidur panjang untuk mengejar ketertinggalan mereka dari Eropa
melalui gerakan pembaharuan yang dipelopori Muhammad Ali, seorang
perwira Turki yang turut berperang melawan tentara Perancis. Setelah
Perancis keluar dari Mesir, ia dapat merebut tampuk kekuasaan, dan menjadi
penguasa tunggal di negeri itu dari tahun 1805 sampai 1849 M. (Nasution
1987: p.10)
Muhammad Ali adalah keturunan Turki. Ia lahir di Kawala
Macedonia, Yunani tahun 1769 M. dan meninggal 2 Agustus 1849 di
Iskandaria Mesir dalam usia 80 tahun. Dia adalah The Founder Of Modern
Egypte (Houtsma, dkk., 1919:681, 683).
Pada waktu kecil karena kesibukannya bekerja sebagai pedagang
tembakau, ia tidak sempat menikmati pendidikan di bangku sekolah,
akibatnya ia tidak pandai menulis dan membaca, tetapi sebuah sumber
menyebutkan ia baru mulai belajar di usia empat puluhan (William 1973:
610). Setelah dewasa ia bekerja sebagai pemungut pajak, dan karena
kecakapannya dalam pekerjaan ini, ia menjadi kesayangan Gubernur Usmani
setempat. Akhirnya ia diangkat sebagai menantu oleh Gubernur tersebut dan
sejak itu bintangnya terus menaik (Nasution, 1975:34). Muhammad Ali memasuki dinas militer pada tahun 1799 ketika itu pasukan Albania
mendarat di Mesir, dan selanjutnya tahun 1800 ia ditunjuk sebagai salah
36
seorang komandan pasukan tersebut dan karirnya terus menanjak sehingga
memperoleh pangkat kolonel (Houtsma, dkk., 1919:681, 683).
Peluang terbuka bagi Muhammad Ali ketika tentara Perancis
meninggalkan Mesir 1801 dan Mesir mengalami kekosongan kekuasaan, lalu
mengatur strategi dalam rangka mencapai puncak kekuasaan. Kaum Mamluk
kembali ke Kairo dan Pasya dengan Sultan Usmani datang dari Istanbul yang masing-masing bermaksud untuk meraih kembali kekuasaan lama (Edward,
1958:74-75). Muhammad Ali mengadu domba antara kedua saingannya itu.
Ia mulai dengan memukul saingan yang terlemah. Pasukan yang dikirim
sultan ia kepung. Pasya menyerah dan dipaksa kembali ke Istanbul.
Muhammad Ali mengangkat dirinya sebagai Pasya yang baru, dan akhirnya
terpaksa diakui oleh Sultan Usmani pada tahun 1805 (Nasution, 1979:35).
Mulai saat itu ia berkuasa di Mesir dengan cara memonopoli sumber daya
alam untuk kepentingan pemerintahannya sendiri (Savory, 1976:150).
Selama 45 tahun memerintah, Muhammad Ali telah melakukan upaya
pembaharuan di Mesir, baik dalam bidang militer, ekonomi, pendidikan
maupun di bidang lainnya, sekalipun tidak semua usahanya itu berhasil baik.
Karena itu pengaruhnya di mata rakyat Mesir sangat besar, akibatnya ia dapat
mewariskan kekuasaannya kepada keturunannya dengan penguasa terakhir
Raja Faruq yang bertahta selama 16 tahun - 1936-1952 (Hitti, 1974:432).
Dengan demikian dinasti Muhammad Ali di tanah Mesir dapat
berkuasa selama setengah abad.
B. IDE-IDE PEMBAHARUANNYA
Mesir pada saat kehadiran ekspedisi Napoleon benar-benar kurang
dari satu bulan, tentara Napoleon berhasil menjarah seluruh Mesir, yang
ketika itu masih berada di bawah kekuasaan Turki Usmani. Kebudayaan,
ilmu pengetahuan dan teknologi, di samping alat-alat peperangan yang
dibawa Napoleon dalam ekspedisinya, jauh lebih tinggi dari yang ada di
Mesir pada waktu itu (Nasution, 1979:9). Keadaan seperti ini membuat
Muhammad Ali tidak tinggal diam, ia berupaya mengadakan pembaharuan
untuk mengejar ketertinggalan itu.
Dalam rangka memperbaharui bidang kemiliteran, Muhammad Ali
menunjuk seorang kolonel berkebangsaan Perancis, Seves, yang kemudian
setelah menganut agama Islam berganti nama dengan Sulaiman Pasha untuk
ikut ambil bagian dalam menaklukan Suriah dan mengatur secara modern
Angkatan Bersenjata Mesir dan seorang insinyur yang dipercayakan
membangun angkatan laut (Hitti, 1974:724). Angkatan Bersenjata yang
37
diatur Seves untuk pertama kali tahun 1811 beroperasi dalam rangka
memenuhi seruan Konstantinopel menyerang kekuatan Wahabi di mana
keberangkatannya oleh Muhammad Ali serta rakyatnya dirayakan di sebuah
gedung yang dibangun Saladin di pinggiran kota Kairo (Hitti, 1974:724).
Muhammad Ali melihat perlunya bala tentara yang loyal, berdedikasi
dan berdisiplin tinggi sebagaimana tentara-tentara Eropa, guna menangkal
serangan dari dalam dan luar. Karena itu dibangunlah kementerian angkatan
laut. Di Iskandaria dibangun sebuah industri bahari dan sekolah perwira
angkatan laut. At First He Ad Ships Built In France And Italy And Bombay,
But Soon Alexandria Itself Get Its Yard. After The Destruction Of The
Egyptian Fleet At Navarine Ship-Building Began Again And Quite A Number
Of French And Italian Officers Employed In The Egyptian Navy After 1831
(Hitti, 1974:724).
Laju pertumbuhan bidang kemiliteran selalu mengalami peningkatan
dengan rata-rata pertahun (1821-1838) kurang lebih 8.000 orang. Dari 16.000
orang ditahun 1821, menjadi 62.150 di tahun 1829, dan 83.000 di tahun 1832
menjadi 100.000 di tahun 1829, dan 83.000 di tahun 1832 menjadi 100.000
ditahun 1833 dan 157.000 orang di tahun 1838 (Houtsma, dkk., 1919:681-
683). Hal ini barangkali karena pengaruh didirikannya Sekolah Militer di
Mesir dan arena sebagian besar pelajar (35%) yang dikirim ke luar negeri
mendapat tugas mempelajari masalah kemiliteran.
Dalam rangka mengatur dan memodernisasi militer berikut Mesir
pada umumnya, Muhammad Ali berkiblat ke Barat. Karenanya pelatih militer
dan tenaga pengajar di sekolah-sekolah yang dibangunnya mayoritas
didatangkan dari Barat, sistem dan kurikulumnya menurut Barat, bahkan
pembangunan angkatan bersenjatanya sebagaimana disebutkan sebelumnya
juga diserahkan kepada tenaga yang berasal dari Barat. Sekolah-sekolah yang
pertama dibangun adalah sekolah militer dan sekolah-sekolah yang
mendukung peningkatan bidang kemiliteran. Besarnya perhatian Muhammad
Ali terhadap masalah kemiliteran dapat dipahami berkaitan dengan ambisinya
mempertahankan kekuasaan.
Karena itu dapat dilihat dari titik perbedaan kebijaksanaan militer
yang ditempuh Muhammad Ali dari kebijakan tradisional sebelumnya.
Muhammad Ali menempuh sikap keterbukaan dan bersahabat dengan Eropa,
mengadakan pembaharuan militer dari segi sistem dan persenjataan dengan
tenaga pelatih dari Barat, dan ia mengambil petani sebagai anggota angkatan
bersenjata, sedang sebelumnya dari para budak.
Mesir adalah negeri pertanian, dan untuk mempertinggi hasil-hasil
pertanian, Muhammad Ali disamping memperbaiki irigasi lama, mengadakan
38
irigasi baru, memasukan penanaman kapas dari India dan Sudan (1821-1822)
dan mendatangkan ahli pertanian dari Eropa untuk memimpin pertanian.
Untuk kemajuan ekonomi ia juga membawa perbaikan dalam bidang
pengangkutan (Nasution, 1979:36). Di Kairo terutama di bagian utara
dibangun tanggul-tanggul guna menahan air terusan, khususnya di tahun-
tahun kurang terjadi banjir. Di beberapa daerah terusan-terusan dan pompa
uap memberikan peluang bagi petani meningkatkan produksi pertanian
mereka (Nettleton, 1967:284). Terusan Mahmudiah yang menampung arus
perdagangan sungai Nil dan Iskandariyah mengalami perkembangan pesat.
Dalam perkembangan berikutnya, Iskandariyah menjadi salah satu kota
perdagangan laut Tengah, sehingga banyak orang Eropa yang tinggal di sana
dan akhirnya penduduknya bertambah dari 15.000 orang di tahun 1805
menjadi 150.000 orang di tahun 1847 (Nettleton, 1967:284). Pengolahan
katon meningkatkan dengan cepat produksi pertanian yang merupakan salah-
satu sumber devisa negeri Mesir dan Muhammad Ali juga mengimpor pabrik
tekstil dan gula (Hitti, 1974:432).
Muhammad Ali menyita harta kekayaan kaum Mamluk dan demikian
pula harta-benda orang Mesir yang berada di bawah kekuasaannya (Nasution,
1979:36). Pada tahun 1815 ia mulai menguasai hasil kapas, rami dan batang
lenan di Sudan. Dua tahun kemudian ia kuasai pula hasil nila, bijan dan
tumbuh-tumbuhan minyak lainnya. Kemudian ia membentuk tim penyelidik
yang bertugas menyelidiki keabsahan harta milik tetap. Pemilik tanah yang
menurut penyelidikan tidak sah, maka sejak itu, ia mengelola lahannya
sebagai petani dan bukan pemilik tanah, sebab tanah itu jatuh menjadi milik
Pasya (Brockelman, 1974:544).
Dari upaya-upaya dilakukan ini, Muhammad Ali bermaksud
melakukan gebrakan-gebrakan besar dalam rangka meningkatkan
perekonomian rakyat Mesir. Akan tetapi bagi mereka upaya-upaya itu masih
terlalu dini, mereka belum siap menyambut kehidupan modern karena masih
terpengaruh dengan budaya lama, santai dan senang dengan kehidupan
sederhana. Akhirnya usaha Muhammad Ali berakhir dengan kegagalan,
karena kekurangan tenaga ahli dan ketiadaan pasaran (Nasution, 1979:36).
Dalam rangka membenahi bidang pendidikan dan ilmu pengetahuan,
Muhammad Ali mendirikan kementerian pendidikan dan Council of
Education (Hitti, 1974:724). Ia mendirikan sekolah Teknik (1816), Sekolah
Kedokteran (1829), Sekolah Pertambangan (1834), Sekolah Pertanian di
tahun 1836 (Nasution, 1979:38). Boleh dikatakan bahwa sekolah-sekolah
serupa ini barulah pertama kali didirikan di dunia Islam, sekolah-sekolah
yang jauh berlainan dengan sekolah-sekolah tradisional yang ada pada waktu
39
itu (Nasution, 1979:38). Sekalipun demikian he did not creat a national
education system. For his school were tied to very limited goals : the staffing
of his administration and his military machine (Savory, 1976:150).
Seirama dengan pembenahan di bidang pendidikan ini, Muhammad
Ali mengirim pelajar-pelajar Mesir untuk belajar ke Eropa terutama ke Paris.
Pertama kali para pelajar dikirim tahun 1809 antara tahun 1809 sampai 1826
sejumlah 20 orang pelajar dikirim ke Itali, Perancis, dan Inggris untuk
mempelajari percetakan, kelautan, teknik dan yang berkaitan dengan itu.
Orang yang pertama kali dikirim adalah Niqula Nasabki yang pernah belajar
percetakan di Roma pada tahun 1815-1820, yang kemudian ditunjuk sebagai
direktur percetakan Bulak (1821-1831). Kedua adalah Utsman Nur al-Din
yang mempelajari ilmu pengetahuan kemiliteran dan kelautan di Italia dan
Perancis (1809-1817 M) yang kemudian menjadi admiral angkatan laut Mesir
(Lughod, 1963:35).
Menurut Ibrahim Abu Lughod, 35% dari pelajar yang dikirim,
mempelajari bidang kemiliteran dan ilmu kelautan, 27% bidang teknik
industri, 18% bidang engineering, 7% bidang pengobatan, 6% bidang
administrasi, hukum dan politik, 4% bidang pertanian dan 3% mempelajari
bidang chemistry. Umumnya yang mempelajari bidang kemiliteran dan
kelautan adalah keluarga Muhammad Ali sendiri (Lughod, 1963 p.35).
Menurut statistik di antara tahun 1813 dan 1849 M., Muhammad Ali
mengirim 313 pelajar Mesir ke Italia, Perancis dan Austria. Di Paris didirikan
satu rumah Mesir untuk menampung pelajar-pelajar itu (Nasution, 1979:37)
Pengiriman para pelajar itu menghabiskan biaya sebesar LE. 272.360 (Hitti,
1974:724).
Dampak negatif pembaharuan di bidang pendidikan ini, terutama
dengan didirikannya sekolah-sekolah modern, adalah melemahnya peran
lulusan sekolah-sekolah tradisional dan para ulama, karena lapangan kerja
lebih terbuka bagi lulusan sekolah modern. Para lulusan sekolah tradisional
dan ulama tidak mengetahui ilmu pengetahuan modern dan bahasa asing,
yang pada gilirannya menyempitnya lapangan kerja bagi mereka baik di
lapangan pemerintah maupun swasta. Selain itu atmosfir Mesir yang
sebelumnya tidak tersentuh oleh kebudayaan Barat kemudian mengalami
perkembangan yang cukup pesat dengan adanya pembaharuan di bidang
pendidikan.
Muhammad Ali dengan bantuan tenaga-tenaga ahli bahasa asing dan
orang yang bekerja di Dewannya melakukan usaha penerjemahan buku-buku
Eropa ke dalam bahasa Arab. Upaya ini pad mulanya tidak berhasil dengan
40
baik, karena para penerjemah bukanlah ahli dalam ilmu-ilmu yang
terkandung dalam buku-buku yang perlu diterjemahkan itu. Hasil terjemahan
tidak sempurna dan juga karena penterjemahan tersebut dilakukan secara
sambilan (Nasution, 1979:39). Oleh sebab itu, pada tahun 1836 ia mendirikan
Sekolah Penterjemah, yang kemudian diserahkan kepada Rifa’ah al-Tahtawi
yang pernah belajar di Paris untuk memimpinnya dan sejak itu penerjemahan
berjalan lancar. Sekolah penerjemahan ini tahun 1841 menjadi sekolah
Bahasa-bahasa, administrasi, dan akuntansi dan tahun 1875 menjadi Sekolah
Hukum dan Administrasi (Lughod, 1963:32).
Penerjemahan di Sekolah Penerjemahan ini dibagi empat
bagian, bagian Ilmu Pasti, bagian Ilmu Kedokteran, Ilmu Phisika, Sastra dan
Bahasa Turki. Yang terakhir ini bertugas menerjemahkan buku-buku
pedoman militer yang akan dipakai oleh perwira-perwira Turki yang terdapat
dalam Angkatan Perang Muhammad Ali (Nasution, 1979:37). Di antara
buku-buku yang diterjemahkan adalah A History Of Italy, Histoire De I’
Empire De Russie Sous Purre Le Grans, Travels in America, Travels in
India, The Pince, Apercu Historique Sules Moeurs Et Coutomes Des Nations
dan Naopelon Code (Lughod, 1963:32).
Adapun para penerjemah adalah Abdullah Aziz, Hasan Abu
al-Su’ud, M. M. Bayya, Abduh Khalifah Mahmud, H. Al-Jubayli, Hasan
Qasim, Ahmad Abid al-Tahtawi, Abdullah Husayn, R. R. Tahtawi, Sa’ad
Niam dan Utsman Jalal (Lughod, 1963:32).
Dengan adanya penerjemahan ini pandangan orang Mesir
mulai kenal dengan negara-negara Barat, negara-negara di Timur jauh dan
Amerika. Dunia yang digambarkan buku-buku Barat itu jauh berlainan dari
dunia yang mereka kenal dari buku-buku karangan orang Islam di abad
pertengahan. Juga mereka mulai kenal dengan filsafat Yunani, adat istiadat
Barat yang jauh berlainan dengan adat istiadat Islam (Lughod, 1963:32).
Di samping gerakan penerjemahan buku-buku asing, Muhammad Ali
juga menerbitkan untuk pertama kalinya (1828) surat kabar resmi dalam
bahasa Arab yang bernama Al-Waqa’I al-Mishriyah (Hitti, 1974:724).
Bidang kesehatan dan kebersihan tidak luput dari perhatian
Muhammad Ali. Di Iskandaria ia membangun sebuah karantina dan
menunjuk konsul-konsul asing menjadi suatu Dewan Kebersihan yang
mendapat suntikan dana dan wewenang penuh dari pemerintah. Sesudah
tahun 1840 kedatangan wabah penyakit dapat dikurangi, kesehatan rakyat
semakin membaik dan produksi pertanian juga mengalami peningkatan
(Nettleton, 1967:432).
41
C. KESIMPULAN
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa usaha-usaha
pembaharuan yang dilakukan Muhammad Ali mulai dari pembenahan militer
lengkap dengan teknik persenjataan modern, industrialisasi perekonomian,
modernisasi sistem pendidikan, penerjemahan buku-buku Eropa sampai
kepada masalah kesehatan dan kebersihan. Sekalipun demikian tidak semua
usahanya itu berhasil baik, karena sebagian terlalu dini bagi rakyat Mesir dan
mereka masih terpaksa dengan kebiasaan-kebiasaan lama seperti senang
hidup sederhana dan lain lain.
42
AL-TAHTAWI DAN IDE-IDE PEMBAHARUANNYA
Oleh
Amany Lubis
A. Riwayat Hidup al-Tahtawi
Rifa’ah Badawi Rafi al-Tahtawi umumnya dikenal dengan sebutan al-
Tahtawi (1216-1290 h./1801-1873) hidup dalam masa empat orang Pasya
yang hidup di Mesir, yaitu Muhammad Ali (1805-1848), Abbas (1848-1854),
dan Said (1854-1863) dan Ismail (1863-1875). Al-Tahtawi berasalah dari
Tahta di Mesir Selatan. Orangtuanya petani pemilik tanah yang diambil oleh
Muhammad Ali Pasya ketika dilancarkan pengambil-alihan tanah-tanah milik
rakyat oleh Raja, sehingga untuk membiyai sekolah al-Tahtawi dibantu oleh
keluarga ibunya.
Pendidikan dasar diselesaikan di kota kelahirannya, kemudian masuk
Al-Azhar pada usia 16 tahun. Kecerdasan dan ketekunan al-Tahtawi menarik
perhatian salah seorang ulama al-Azhar, Syeikh Hasan al-Attar, yang banyak
bergaul dengan tentara Perancis yang datang bersama Napoleon. Al-Tahtawi
juga berkenalan mereka. Perkenalan ini akhirnya membawa tumbuhnya
wawasan baru dalam pandangan al-Tahtawi mengenai perlunya mempelajari
ilmu pengetahaun umum dan teknik, disamping pelajaran-pelajaran
keagamaan yang diperolehnya di al-Azhar.
Keadaan Mesir seperti halnya keadaan negeri Islam lainnya ketika itu
jauh tertinggal dengan kemajuan yang telah dicapai oleh Eropa, terutama
Perancis yang mengusai Mesir. Lembaga pendidikan di Mesir hanya
menekankan pengajaran dan pendidikan keagamaan. Tidak mengherankan
bila masyarakat dan bahkan kalangan terpelajar merasa asing dengan
peralatan-peralatan yang dibawa ekspedisi Napoleon ke Mesir, seperti
teleskop, mikroskop, alat-alat untuk percobaan kimia dan lain sebagainya.
Lembaga-lembaga pendidikan di Mesir di waktu itu belum memungkinkan
para pelajarnya mengenali atau menggunakan alat-alat tersebut.
43
Dalam kondisi masyarakat yang demikian, perkenalan al-Tahtawi
dengan para ahli Perancis telah menumbuhkan dorongan yang besar untuk
mempelajari ilmu pengetahuan lebih jauh yang membawa kemajuan Eropa
umumnya dan Perancis khususnya. Setelah al-Tahtawi menamatkan
pendidikan di al-Azhar (1817-1822), ia dipercaya mengemban tugas
mengajar di almamaternya sendiri, tetapi dua tahun kemudian dia mendapat
tugas baru sebagai imam tentara. Ketika Muhammad Ali mengirim pelajar-
pelajar Mesir ke Perancis untuk belajar dalam bidang-bidang militer, teknik,
kedokteran dan lain-lain, al-Tahtawi termasuk salah seorang di antara mereka
dengan tugas sebagai imam mahasiwa. Dari tangan mereka inilah tumbuh
pemikiran baru di Mesir di mana al-Tahtawi turut memainkan perannya.
Al-Tahtawi sangatlah gemar membaca dan mempelajari ilmu-ilmu yang
baru baginya. Dengan tekun ia mempelajari ilmu-ilmu yang baru baginya.
Dengan tekun ia mempelajari bahasa Perancis secara otodidak atau
memanggil guru privat ke rumahnya setelah ia tinggal di Paris. Dengan
modal pengusaan bahasa yang baik, ia dapat mempelajari berbagai cabang
ilmu pengetahuan dari buku-buku berbahasa Perancis. Ia juga mempelajari
teknik penerjemahan. Al-Tahtawi pernah mendapat hadiah dua buku
karangan Silvestre de Sacy atas keunggulannya dalam penguasaan bahasa
Perancis; kemudian kedua buku tersebut diterjemahkan oleh al-Tahtawi
sendiri ke dalam bahasa Arab. Pada ujian akhir setelah lima tahun tinggal di
Paris al-Tahtawi melahirkan 12 buku terjemahan hasil karyanya sendiri, di
antaranya Kitab al-Ma’ad dan Nubzah fi Tarikh Iskandar Al-Akbar.
Tiba di Kairo al-Tahtawi diangkat sebagai guru bahasa Perancis dan
penerjemah di Sekolah Kedokteran. Tidak lama kemudian Muhammad Ali
memindahkannya ke sekolah Artileri untuk mengepalai bagian terjemah,
khususnya bidang-bidang teknik, geometri, dan militer. Atas hasil jerih payah
dan kontribusi al-Tahtawi dalam bidang pengembangan ilmu pengetahuan, ia
diberi gelar kehormatan Bek.
Pada tahun 1835 al-Tahtawi mendapat tugas medirikan sekolah
Terjemah (Qalam Al-Tarjamah) yang kemudian namanya berubah menjadi
sekolah Bahasa-Bahasa Asing (Al-Alsun). Beberapa bahasa yang diajarkan
adalah bahasa Perancis, Italia, Turki, Persia, dan Bahasa Arab sendiri. Selain
mata pelajaran bahasa diajarkan pula ilmu teknik, sejarah, dan ilmu bumi.
44
Kegiatan menerjemah bahasa di sekolah ini dilakukan oleh staf khusus dan
para mahasiswanya. Menurut keterangan sekitar 2000 buku yang berhasil
diterjemahkan ke bahasa Arab dan Turki oleh lembaga ini dari tahun 1822-
1842.
Selain tugas sebagai penerjemah dan mengepalai sekolah militer, al-
Tahtawi juga memimpin penerbitan majalah sastra Raudah al-Madaris. Ia
pernah meminpin surat kabar al-Waqai’ al-Misriah yang bukan hanya
memuat berita-berita resmi, tetapi juga pengetahuan-pengetahuan tentang
kemajuan Barat. Al-Tahtawi adalah seorang penulis yang aktif; ia tak pernah
berhenti menulis dan menerjemah hingga akhir hayatnya di tahun 1873. Atas
jasa al-Tahtawi akhirnya Mesir mempunyai banyak penerjemah, intelektual,
insinyur, baik mereka itu muridnya langsung atau pemikir-pemikir yang
berpengaruh oleh karya-karya yang sangat berguna itu.
A. Ide-ide Pembaharuan al-Tahtawi
Gerakan pembaharuan yang jelas terlihat di Mesir bermula setelah
terusirnya pasukan Perancis di tahun 1801. Pengaruhnya yang paling besar
adalah masuknya peradaban Barat ke negara-negara Arab, khususnya Mesir.
Aspek-aspek yang menyebabkan timbulnya gerakan pembaharuan di abad
XIX adalah berdirinya sekolah-sekolah modern dan nilai-nilai baru dan
lembaga-lembaga seperti yang terdapat di Barat, seperti percetakan, pers,
semangat kebebasan pribadi, lembaga-lembaga sastra dan ilmiah,
perpustakaan umum, museum, dan seni sandiwara. Posisi al-Tahtawi dalam
gerakan ini jelas sangat kuat. Ia adalah seorang pemikir dan sastrawan,
sehingga ia dijuluki bapak pembaharuan di Mesir karena jasanya yang besar
dalam memasukan ide-ide dan kebudayaan Barat ke Mesir.
Dalam buku Takhlis al-Ibriz, ia menyatakan gagasan-gagasannya
mengenai soal-soal kehidupan secara umum : politik, sosial, ekonomi,
pendidikan, dan militer yang bersumber dari pengalamnya selama tinggal di
Perancis. Ia mengungkapkan bahwa ciri-ciri kehidupan modern adalah
kebebasan pribadi (al-hurriyah al-syakhsiah). Pengaruh konsep ini besar
sekali di dunia Arab, sehingga melahirkan pemikiran-pemikiran yang bebas
sehingga membuka mata rakyat untuk menuntut persamaan hak dan
kewajiban. Jiwa kebebasan ini telah diterapkan oleh pelajar-pelajar Mesir
yang dikirim Muhammad Ali ke Paris; terlihatlah mereka selalu berusaha
45
melepaskan diri dari adat kebiasaan yang menghantarkan kepada
kemunduran. Al-Tahtawi juga menyatakan bahwa keadilan adalah dasar dari
kemajuan Negara dan menjamin ketentraman antara penguasa dan rakyat.
Secara terselubung ia mengeritik keadaan sosial di Mesir di mana tersebarnya
kezaliman dan pungli. Rakyat terlalu banyak dibebani pajak, sehingga
mereka selalu mengeluh.
Sebenarnya al-Tahtawi setibanya di Paris sangat kaget melihat ilmuwan
di sana menyatakan bahwa bumi itu bulat, tapi akhirnya diyakininya juga.
Doktrin baru ini disampaikan kepada rakyat Mesir dengan sangat hati-hati,
agar para pembacanya tidak menolaknya atau tidak menertawakannya. Jadi,
dalam mengungkapkan ide-ide baru ia bersikap sebagai penerjemah saja
tanpa menyatakan pendapat pribadinya, apakah ia setuju atau tidak.
Al-Tahtawi berpendapat bahwa memajukan ekonomi adalah penting
karena ia menyadari itulah sebab kemakmuran. Kesejahteraan seperti di
Eropa akan tercapai dengan memajukan ekonomi. Al-Tahtawi ingin merobah
kebiasaan yang dipengaruhi oleh ajaran tarekat untuk tidak mementingkan
dunia agar taraf hidup dapat dinaikkan.
Dalam bukunya Manahij al-Bab al-Alba al-Tahtawi mengatakan
bahwa raja yang baik ialah yang mampu menjalankan kekuasaannya dengan
baik, tetapi agar kekuasaan itu tidak menimbulkan kesewenang-wenangan
perlu dibatasi oleh syariat dan syura ulama. Raja harus tunduk pada
ketentuan-ketentuan syariat dan menjadikan ulama sebagai sebagai
pembantunya agar dapat memberikan tuntunan yan sesuai dengan tuntunan
syariat. Di samping ulama pun harus melengkapi pengetahuannya sejalan
dengan ilmu dan teknik agar dapat memahami ajaran-ajaran syariat dengan
benar dan sesuai dengan perkembangan zaman. Sejak ummat Islam
mengalami kemunduran sesuadah Baghdad jatuh, ummat Islam semakin
sempit pandangannya dengan membatasi diri untuk mempelajari soal-soal
keagamaan saja dan meninggalkan falsafat , aljabar, kimia, sejarah, dan ilmu
pengetahuan lain yang pernah berkembang di zaman keemasan Islam.
Akibatnya negeri-negeri Islam tertinggal dari kemajuan yang dicapai di
Eropa. Menyadari hal ini al-Tahtawi berjuang keras untuk mengembangkan
ilmu pengetahuan melalui penerjemahan buku-buku asing ke dalam bahasa
Arab dan menulis sediri beberapa buku.
46
Dalam bagian lain bukunya Manahij al-Bab al-Misriah, al-Tahtawi
mengemukakan konsep Plato mengenai Negara yang menyatakan bahwa
Negara tersusun dari 4 golongan yaitu, raja, ulama, dan para cendikiawan,
tentara, dan kaum produsen. Keempat golongan ini merupakan komponen
yang saling melengkapi satu sama lain. Raja sebagai penguasa harus
didampingi ulama dan cendikiawan yang membantu pelaksanaan kekuasaan
raja sesuai dengan tujuan yang benar. Dua golongan yang lain adalah
golongan yang diperintah, harus memiliki loyalitas dan ketaatan pada
golongan yang memerintah. Mengingat konsep kerajaan merupakan sistem
yang berlaku di seluruh dunia Islam pada waktu itu, maka al-Tahtawi dalam
teori politiknya banyak menggambarkan sistem kerajaan yang ideal.
Kemudian ia melanjutkan bahwa pemerintah kerajaan akan mengalami
stagnasi karena tidak mendapatdukungan dan ketaatan dari rakyat. Sedang
untuk menjaga agar ketaatan benar-benar terwujud dalam kehidupan
“bernegara”, harus dikembangkan hubungan antara yang memerintah dan
yang diperintah secara baik; masing-masing mempunyai hak dan kewajiban.
Sekalipun raja memduduki tahtanya bukan dipilih oleh rakyat, dalam
hal ini golongan tentara dan kaum produsen, jadi raja tidak bertanggung
jawab kepada mereka (tanggung jawab raja semata kepada Allah). Namun
raja tidak boleh melupakan rakyat, tidak boleh bersikap zalim dan sewenang-
wenang kepada rakyat sebab hal itu bertentangan dengan ketentuan syariat
Allah. Untuk itu raja harus mengerahkan tenaga dan pikiran untuk
memajukan perekonomian dan perdagangan, pertanian dan pendidikan.
Produksi bahan-bahan kebutuhan bagi kehidupan rakyat harus pula
dikembangkan untuk mencapai kesejahteraan dan kemajuan perekonomian.
Demikian pula produksi peralatan militer dan pendidikan personil harus
mendapat perhatian raja untuk menjamin terwujudnya tentara yang mampu
menangkal serangan musuh dan menjamin keamanan nasional.
Al-Tahtawi menulis buku al-Mursyid al-Amin li al-Banat wa al-Banin
dalam bidang pendidikan. Ia mengemukakan pentingnya pendidikan bagi
wanita agar dapat mengetahui hak dan kewajiban sosial yang menjadi
tanggung jawab dalam hubungan dengan lawan jenis maupun hak dan
kewajiban sesama mereka sendiri. Wanita harus diajarkan baca tulis,
berhitung, dan pengetahuan lain. Dengan pendidikan wanita akan lebih
cerdas dan beradab, sehingga mereka mampu mendampingi suami sebagi istri
47
maupun sebagai kawan berdiskusi untuk menyelesaikan masalah-masalah
rumah tangga atau kemasyarakatan. Menurut al-Tahtawi, penekanan
terhadap wanita hanya untuk memenuhi kebutuhan suami sebenarnya adalah
warisan jahiliah sebelum Islam. Dikatakan selanjutnya bahwa pendidikan
wanita akan menyebabkan mereka memiliki budi pekerti yang baik dan
terpuji yang pada gilirannya akan berpengaruh terhadap pendidikan anak-
anak mereka. Tentang pendidikan wanita ini al-Tahtawi mendasarkan
argumentasinya kepada hadis Nabi yang artinya menyatakan bahwa baca
tulis adalah mubah. Demikian pula pembaruan dengan kalangan pria dalam
kelas juga tidak dilarang sepanjang hal itu bersifat wajar dan sesuai dengan
kodrat masing-masing.
Al-Tahtawi adalah pemikir Mesir pertama yang menyatakan dengan
jelas pentingnya pendidikan wanita. Setelah ia wafat masalah hak dan
kedudukan wanita sering diangkat menjadi topik pembahasan dalam artikel-
artikel dan ceramah-ceramah. Adapun masalah kerudung wanita tidak banyak
dibahas di masa itu sampai Qasim Amin menulis bukunya Tahrir al-Mar’ah.
Hal ini disebabkan oleh karena kebanyakan pembela wanita setelah al-
Tahtawi adalah kaum Nasrani. Konsep pendidikan yang dikemukakan al-
Tahtawi ini pada dasarnya adalah anjuran emansipasi wanita (Tahrir al-
Mar’ah) seperti yang dikemukakan Qasim Amin, tetapi al-Tahtawi
mengemukakan konsep ini 30 tahun lebih dulu, sejak dia berada di Perancis.
Di bagian lain dari buku-buku yang ditulisnya al-Tahtawi
melontarkan ide baru tentang hubungan al-wathan (patriotisme). Konsep
pemikiran ini untuk pertama kali muncul di dunia Islam, terutama bila
dikaitkan dengan pendidikan, yaitu bahwa tujuan pendidikan bukanlah
semata-mata pengajaran ilmu pengetahuan dan keterampilan, tetapi juga
untuk membentuk sikap kepribadian dan patriotism. Pemikiran yang mapan
kala itu ialah bahwa seluruh dunia Islam adalah tanah air (watan) bagi orang
muslim. Dengan konsep cinta tanah air ini al-Tahtawi menawarkan
pandangan baru mengenai konsep tanah air yang tidak berdasarkan pertalian
agama, sebagaimana pandangan yang berlaku ketika itu. Ditekankannya
bahwa Mesir adalah tanah air orang-orang Mesir, sekalipun mereka tidak
beragama Islam. Tumbuh pemikiran alternatif untuk mengembangkan ikatan
persaudaraaan; yang pertama ikatan berdasarkan kesamaan agama dan yang
kedua berdasarkan ikatan tanah air. Tidak dipersoalkan mana yang penting,
48
sebab kedua-keduanya sama penting. Tetapi, dalam perkembangan
selanjutnya persaudaraan setanah air lebih banyak dianut di negeri-negeri
Islam dari pada persaudaraan seagama, ikatan setanah air berdirinya Negara-
negara Islam dewasa ini.
Salah satu pengalaman al-Tahtawi yang lain selama tinggal di
Perancis ialah sikap masyarakat yang tidak mempercayai qada dan qadar
Tuhan, mereka tidak mempercayai ketergantungan manusia kepada Tuhan.
Tentang hal ini al-Tahtawi tidak sependapat. Sebaliknya dia melihat
masyarakat Mesir bersikap fatalistik. Menyerahkan semua soal kehidupan
kepada qada dan qadar Tuhan tanpa melakukan ikhtiar terlebih dahulu. Al-
Tahtawi mencela kedua-duanya. Manusia tidak boleh menyerahkan bulat-
bulat semua soal kehidupannya kepada Tuhan tanpa mau berusaha; demikian
pula manusia tidak boleh menolak adanya qada dan qadar Tuhan sebab hal
itu menyalahi kodrat manusia sendiri.
B. Kesimpulan
Sebagai penerjemah seringkali al-Tahtawi hanya menyampaikan ide-
idenya kepada masyarakat tanpa menyatakan pendapatanya sendiri ; seperti
yang dilakukannya dalam cabang ilmu geografi atau mengenai konsep
demokrasi. Jadi, konsep demokrasi yang dibawanya belum bisa berpengaruh
karena di Perancis sendiri di kala itu belum juga mantap. Al-Tahtawi hanya
membahas masalah-masalah tersebut, bukan harus untuk diterapkan
langsung; barulah di kemudian hari konsep-konsep ini berkembang dan
diterapkan. Meniru langkah yang dilakukan al-Tahtawi, akhirnya para
pembaharu mulai meninggalkan tradisi taklid dan menghasilkan karya-karya
bebas. Al-Tahtawi telah berhasil mempengaruhi kaum terpelajar di Mesir,
khususnya para ulama al-Azhar.
49
JAMALUDDIN AL-AFGHANI
IDE-IDE PEMBAHARUAN DAN KEGIATAN POLITIK
Oleh
H.A. Hafizh Anshari
A. Pendahaluan
Di dalam sejarah perkembangan modern di dunia Islam, nama Sayyid
Jamaluddin al-Afghani tercatat sebagai salah seorang tokoh besar dan
pemimpin pembaharuan yang sangat berpengaruh. Ide-ide pembaharuan yang
dilontarkannya bergema di seluruh dunia Islam, sehingga di mana-mana
kaum muslimah bangkit berjuang membebaskan diri dari cengkeraman
kolonialisme dan berusaha memperbaiki keadaan mereka.
Ia, putera Safdar, keturunan Husain bin Ali bin Abi Talib, yang lahir
di As’adabad, dekat Konar, wilayah Kabul, Afghanistan, pada tahun 1254
H/1839, telah mencurahkan hidup dan perhatiannya untuk kebangkitan dan
kejayaan ummat Islam (Lewis, dkk., 1965:416-417). Ia sangat prihatin
terhadap dominasi Barat di dunia Timur, despotisme sejumlah penguasa
muslim, dan kelemahan serta kemunduran ummat Islam. Karena itu, ia
melanglang buana dari satu negara ke negara lain menyerukan persatuan
Islam, mengingatkan kaum muslimin akan bahaya imperialisme Barat, dan
membangkitkan semangat mereka untuk berjuang mewujudkan kejayaan
sebagaimana kejayaan yang pernah diperoleh ummat Islam pada zaman
klasik (650-1250).
”Di mana pun ia berada,” kata Ahmad Amin, “saya melihat api yang
menyala-nyala, pemikiran-pemikiran yang bangkit, tuntutan-tuntutan yang
menggebu-gebu, dan pemerintahan yang terguncang. Ia telah menetapkan
tujuan hidupnya dan mencurahkan segenap kemampuannya untuk mencapai
tujuan tersebut, yaitu membangkitkan negara-negara Islam dari kelemahan,
membuka pandangan bangsa-bangsa akan hak-hak mereka, melepaskan
belenggu bangsa asing dari mereka, menetapkan batas-batas penguasa dan
rakyat, dan mengikat negara-negara Islam dengan satu ikatan kekhalifahan di
Istambul (Amin, 1965:291).
50
Aktivitasnya Sayyid Jamaluddin al-Afghani (selanjutnya
disebut al-Afghani) memang tidak terbatas di tempat kelahirannya,
Afghanistan. Ia juga bergelut dalam dunia politik di berbagai negara. Ia
pernah tinggal di India, Mesir, Turki, Iran, Inggris, dan Perancis. Bahkan,
pengaruh terbesar yang ditinggalkannya bukan di negerinya sendiri,
melainkan di Mesir; sekalipun ia berada di negara ini hanya sekitar delapan
tahun atau di tahun 1871-1879 (Nasution, 1988:51-53). Selama ia berada di
Mesir, banyak tokoh yang dekat dan menjadi muridnya, antara lain
Muhammad Abduh, Sa’ad Zaglul (pemimpin kemerdekaan Mesir), Ibrahim
al-Laqani, Ibrahim al-Halbawi, Mahmud Sami al-Barudi, Ibrahim al-
Muwailihi, dan Adib Ishak (Amin, 1965:292).
Dalam kepastiannya sebagai filosof, penulis, orator, dan jurnalis
(Gibb dan Kramers, 1953:85), di samping politikus uang ulung, di tambah
dengan pengalaman yang banyak dan kedalaman ilmu pengetahuan yang
dimilikinya, di mana pun ia berada, ia selalu mendapat simpati dan
memperoleh banyak pengikut, sekaligus dibenci dan dimusuhi oleh sebagian
yang lain. Ia dibenci karena di mana pun ia berada, ia selalu meneriakkan
penentangan terhadap kolonialisme dan despotisme penguasa. Karenanya,
kaum imperialis dan para penguasa despotis tidak senang terhadapnya. Ia
juga menyerukan pembaharuan pemahaman dan iterpretasi ajaran-ajaran
Islam agar ajaran agama tersebut sesuai dengan situasi dan kondisi
perkembangan zaman. Seruan terakhir ini membuat sebagian tokoh agama,
khususnya kelompok tradisional, tidak menyukainya karena hal itu dianggap
dapat menodai ajaran agama.
Perjalanan hidup al-Afghani yang cukup panjang penuh dihiasi
dengan aktivitas dan perjuangan untuk kemajuan dan kejayaan Islam. Sampai
ia wafat di Istambul (Turki) pada tanggal 9 Maret 1897 karena kanker yang
menyerang rahang, kemudian menjalar ke lehernya (Adams, 1933:12). Ide-
ide baru yang dibawa dan aktivitas politik yang dilakukannya memberikan
pengaruh yang besar terhadap gerakan pembaharuan dan perlawanan
terhadap kolonialisme di periode sesudahnya.
B. Ide-ide pembaharuan
Apabila ide pembaharuan Muhammad Ali Pasya (1765-1849) yang
lebih menonjol adalah pembaharuan di bidang pranata sosial dan melahirkan
sejumlah kaum intelektual berpendidikan Barat dan Rafi’ al-Tahtawi (1801-
1873) di bidang pemikiran, maka ide pembaharuan al-Afghani yang pokok
adalah di bidang politik. Karena itu, beberapa penulis lebih menempatkan al-
Afghani sebagai pemimpin politik ketimbang pemimpin dan pembaharu
dalam Islam. “Tetapi”, demikian Prof. Dr. Harun Nasution, “tak boleh
51
dilupakan bahwa kegiatan politik yang dijalankan al-Afghani sebenarnya
didasarkan pada ide-idenya tentang pembaharuan dalam Islam. Kegiatan
politik itu timbul sebagai akibat yang semestinya dari pemikiran-
pemikirannya tentang pembaharuan” (Nasution, 1988:54).
Jika dilihat kapasitas ilmu agama yang dimiliki al-Afghani dan latar
belakang aktivitas politik yang dilakukannya, apa yang dikemukakan oleh
Harun Nasution di atas cukup beralasan, antara lain karena :
1. Aktivitas politik yang dilakukan al-Afghani menentang dominasi Barat
dan despotisme penguasa didasarkan pada kenyataan bahwa dominasi
Barat dan despotisme penguasa tersebut sangat merugikan ummat Islam
dan membawa mereka kepada kemiskinan, kebodohan, dan
keterbelakangan. Ummat Islam sendiri ketika itu bersifat statis dan
fatalistis, menyerahkan diri kepada nasib,dan tak berbuat apa-apa kecuali
taat dan patuh kepada penguasa (Amin, 1965:294). Kenyataan ini
merupakan salah satu faktor penyebab lemah dan mundurnya mereka.
Fatalisme dan statisme itu terjadi antara lain karena kekeliruan
pemahaman terhadap ajaran agama, khusunya pemahanan tentang qada
dan qadar. Bagi al-Afghani qada dan qadar mestilah mestilah difahami
sebagai hukum kausalitas (Nasution 1988:55), bukan pasrah tanpa
berbuat apa-apa,
2. Dominasi Barat dan despotisme penguasa yang menyebabkan kaum
muslimin menderita dan sengsara adalah suatu perbuatan aniaya. Tuhan
tidak membenarkan orang berbuat zalim dan memerintahkan ummat
Islam untuk memerangi kezaliman.
3. Slogan perjuangan yang dibawa al-Afghani ialah firman tuhan
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum kecuali
mereka sendiri yang mengubah keadaan mereka (surah al-Ra’d ayat 11).
Selama beberapa abad, ayat ini seperti tidak mendapat perhatian. Ummat
Islam telah terjebak ke dalam jurang kejumudan dan kepasrahan yang
naïf.
4. Aktivitas politik dan ide-ide pembaharuan al-Afghani bertujuan untuk
kepentingan dan kemajuan ummat Islam. Memperhatikan ummat Islam
dan berusaha memperbaiki keadaan mereka merupakan bagian dari ajaran
Islam. Tidak ada fakta sejarah yang menunjukkan bahwa kegiatan politik
al-Afghani bertujuan untuk mengantarkannya ke puncak kekuasaan
tertinggi.
5. Disamping ahli politik, al-Afghani juga ahli agama, bahkan dalam usia
relatf muda, 18 tahun, dapat dikatakan bahwa segala ilmu pengetahuan
Islam telah dipelajari dan diketahuinya (Adams, 1933:4). Sejak kecil ia
rajin menuntut ilmu. Pada usia lima sampai sepuluh tahun ia belajar di
52
sekolah di kampungnya. Sejak umur sepuluh tahun ke atas ia belajar di
berbagai daerah di Iran dan Afghanistan. Dalam usia 18 tahun, disamping
pengetahuan agama, ia juga telah mempelajari dan mengetahui logika,
filsafat, fisika, metafisika, matematika, astronomi, kedokteran, anotomi,
dan lain-lain. Ia juga pandai berbahasa Afgan, Persia, Turki, dan Arab, di
usia tersebut. Dalam usia 18 tahun ini pula ia berangkat ke India untuk
menambah ilmu pengetahuan. Ia mempelajari ilmu-ilmu pengetahuan
Barat dan metodologi berfikir mereka serta belajar bahasa Inggris, dan
tinggal di India selama sekitar satu setengah tahun (Adams, 1933:5).
Dengan beberapa alasan di atas, adalah logis bila dikatakan bahwa ide-
ide pembaharuan dan aktivitas yang dilakukan al-Afghani tidak terlepas dari
kerangka keagamaan. Aktivitas politik yang dilakukannya serta ide-ide yang
terkandung di dalamnya merupakan wujud dari pembaharuan yang
dicanangkannya.
Al-Afghani adalah pelopor gerakan salafiyah modern (Lewis dkk.,
1965:416). Ide-ide pembaharuannya nampaknya tercermin pada pemikiran-
pemikiran yang terkandung di dalam gerakan Salafiyahnya ini. Salafiyah,
menurut H. Munawir Sadzali, MA, adalah suatu aliran keagamaan yang
berpendirian bahwa untuk dapat memulihkan kejayaannya, ummat Islam
harus kembali kepada ajaran Islam yang masih murni seperti yang dahulu
diamalkan oleh generasi pertama Islam, yang biasa disebut salaf (pendahulu)
yang saleh” (Sjadzali, 1990:124). Pemikiran-pemikiran yang terkandung di
dalam gerakan Salafiyah al-Afghani ini meliputi tiga komponen utama :
1. Keyakinan bahwa kebangunan dan kejayaan kembali Islam hanya
mungkin terwujud kalau ummat Islam kembali kepada ajaran Islam
yang masih murni, dan meneladani pola hidup para sahabat Nabi,
khususnya Al-Khulafa al-Rasyidun.
2. Perlawanan terhadap kolonialisme dan dominasi Barat, baik politik,
ekonomi, maupun kebudayaan.
3. Pengakuan terhadap keunggulan Barat dalam bidang ilmu dan
teknologi, dan karenanya ummat Islam harus belajar dari Barat dalam
dua bidang tersebut, yang pada hakikatnya hanya mengambil kembali
apa yang dahulu disumbangkan oleh dunia Islam kepada Barat, dan
kemudian secara selektif dan kritis memanfaatkan ilmu dan teknologi
Barat itu untuk kejayaan kembali dunia Islam (Sjadzali, 1990:125).
Ide pembaharuan yang terkandung dalam komponen pertama di atas
tampaknya adalah keperluan akan adanya interpretasi baru terhadap ajaran-
ajaran Islam, sehingga ajaran tersebut sesuai dengan perkembangan zaman.
Pada komponen kedua terkandung ide anti-kolonialisme dan dominasi Barat
53
yang melahirkan gagasan al-Afghani tentang persatuan ummat Islam atau
lebih popular dengan sebutan pan-Islamisme. Sedangkan pada komponen
ketiga terkandung pemikiran tentang pengambil-alihan ilmu dan teknologi
dari Barat ke dunia Islam. Berikut ini akan dibahas ide-ide tersebut secara
ringkas.
1. Interpretasi Baru terhadap Ajaran Islam
Salah satu faktor penyebab kemunduran ummat Islam, menurut
pandangan al-Afghani, adalah ditinggalkannya ajaran Islam yang sebenarnya
dan mengikuti ajaran-ajaran yang datang dari luar lagi asing bagi Islam
(Nasution, 1988:51-53). Hal ini antara lain karena ummat Islam terbelenggu
oleh taklid dan tertutupnya pemikiran untuk melakukan ijtihad.
Kecenderungan terhadap taklid mengakibatkan mereka dengan mudah
dipermainkan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawan sehingga
ajaran-ajaran Islam yang sebenarnya hanya tinggal di atas kertas. Apa yang
dikatakan oleh orang-orang terdahulu (ulama atau tokoh tertentu yang
dikagumi) dipegang erat-erat tanpa dilakukan penilaian kritis dan
penyelidikan akan kebenaran pendapat itu. Akibatnya banyak ajaran Islam
yang difahami secara keliru.
Salah satu contoh yang dikemukakan al-Afghani ialah pemahaman
tentang qada dan qadar. Akibat pemahaman yang tidak tepat, kepercayaan
terhadap qada dan qadar membawa kepada sikap statis dan fatalistik.
Padahal, ummat Islam di zaman klasik dapat maju, bersikap dinamis,
melahirkan peradaban yang tinggi, sehingga dikagumi oleh dunia
internasional, karena keyakinan dan kepercayaan mereka terhadap adanya
qada dan qadar. Bagi ummat Islam di masa lampau, keyakinan kepada qada
dan qadar justru memupuk keberanian dan kesabaran mereka dalam
menghadapi berbagai macam bahaya dan kesukaran sehingga mereka dapat
keluar sebagai pemenang dan memperoleh kejayaan. Menurut al-Afghani,
“qada dan qadar sebenarnya mengandung arti bahwa segalau sesuatu terjadi
menurut ketentuan sebab-musabab. Kemauan manusia merupakan salah satu
dari mata rantai sebab-musabab itu” (Nasution, 1988:51-53).
Penulis tidak menemukan uraian lengkap tentang qada dan qadar
menurut di-Afghani; namun, dari penjelasan singkat di atas dapat dikatakan
bahwa al-Afghani tetap mempercayai adanya kada dan kadar, hanya
pengertiannya yang tidak sama dengan pemahaman mayoritas ummat ketika
itu. Mayoritas kaum muslimin memahami qada dan qadar sebagai suatu
ketentuan Tuhan yang bersifat mutlak dan tidak bisa diubah. Segala-galanya
sudah ditetapkan-Nya. Manusia hanya menjalani apa yang sudah menjadi
ketetapan Tuhan itu. Bagi al-Afghani qada dan qadar adalah hukum
54
kausalitas (sebab-akibat) yang disebut oleh Ahmad Amin sebagai sunnatullah
(Amin, 1965:138). Karena itu, apa pun yang terjadi pada diri manusia
tergantung kepada usaha manusia itu sendiri.
Karena pemahaman keagamaan yang berkembang di zamannya
ternyata membawa ummat Islam kepada sikap statis dan fatalistis sehingga
mereka berada dalam kemunduran dan keterbelakangan, maka al-Afghani
melontarkan ide pembaharuan berupa dorongan untuk melakukan interpretasi
baru terhadap ajaran agama. Dengan interpretasi baru ini, Islam akan mampu
menjawab setiap tantangan zaman. Idenya ini nampaknya didasari oleh
keyakinannya bahwa Islam adalah agama yang sesuai untuk semua bangsa,
semua zaman, dan semua keadaan (Nasution, 1988:54). Konsekuensi dari
pandangan dan keyakinannya ini adalah keharusan ummat Islam melakukan
ijtihad. Memang, baginya pintu ijtihad tidak tertutup (Nasution, 1988:55).
sebagaimana diyakini oleh mayoritas ummat ketika itu. Di samping itu, al-
Afghani adalah salah seorang penentang taklid yang gigih berjuang
membebaskan kaum muslimin dari belenggu taklid (Enayat, 1982:56).
Jalan fikiran al-Afghani sebagaimana tercermin dalam conth qada dan
qadar di atas menunjukkan bahwa ia adalah seorang rasional. Memang, jika
dilihat pemikiran-pemikiran dan aktivitas serta gerakan pembaharuan yang
dilakukannya, al-Afghani nampaknya juga meniupkan angin rasionalisasi ke
dunia Islam; angin yang selama berabad-abad tidak berhembus. Tetapi,
rasionalisme yang dikembangkan al-Afghani tidaklah liberal, dalam arti
bebas nilai sama sekali. Rasionalisasinya yang dikembangkannya tetap
terikat dengan ajaran dasar agama. Dalam hal emansipasi wanita, misalnya,
ia memandang kemampuan intelektual wanita tidak berbeda dengan laki-laki.
Ia berpendapat, wanita boleh saja bekerja di luar rumah jika memang
diperlukan, tetapi harus didasari oleh niat dan tujuan yang baik. Ia juga tidak
melarang wanita membuka tutup kepalanya, asal tidak sampai menimbulkan
hal-hal yang negatif (Amin, 1965:114). Karena itu, wanita mempunyai hak
yang sama untuk mendapatkan pendidikan sebagaimana laki-laki. Namun,
perlu dicatat di sini bahwa al-Afghani tidak mencetuskan konsep emansipasi
wanita. Ia hanya bicara sedikit mengenai masalah ini.
2. Pan-Islamisme
Ide pembaharuan al-Afghani yang terpenting adalah gagasan tentang
persatuan ummat Islam (Pan-Islamisme). Beberapa penulis menyebutkan
bahwa persatuan ummat Islam yang dimaksudkan oleh al-Afghani ialah
persatuan di bawah naungan seorang khalifah. Charles C. Adams, misalnya
mengatakan, tujuan utama yang ingin dicapai oleh al-Afghani dalam
perjuangannya ialah menegakkan persatuan seluruh ummat Islam di bawah
55
satu pemerintahan Islam yang dikepalai oleh seorang khalifah yang berkuasa
penuh, sebagaimana di zaman keemasan Islam dahulu (Adams, 1933: 13).
Hal senada juga dikemukakan oleh H.A.R Gibb dan J.H. Kramers (Gibb dan
Kramers, 1953:85). Bahkan, Ahmad Amin lebih tegas menyebutkan bahwa
ikatan negara-negara Islam menjadi satu yang dikehendaki oleh al-Afghani
adalah ikatan kekhalifahan di Istambul (Amin, 1965:291). Pernyataan-
pernyataan ini menggambarkan seolah-olah al-Afghani ingin mengembalikan
sistem kekhalifahan di dunia Islam sebagaimana zaman kejayaan Islam
dahulu. Benarkah demikian, kiranya perlu dikaji kembali. Pernyataan-
pernyataan tersebut barangkali muncul dari kesimpulan adanya gerakan
Salafiyah yang dipelopori oleh al-Afghani karena Salafiyah, sesuai dengan
namanya, berorientasi kepada masa lampau, dan masa lampau itu memakai
sistem kekhalifahan.
Karena al-Afghani tidak memberikan penegasan khusus dalam
masalah ini, maka untuk memahami maksud al-Afghani dapat dilihat dari
pendiriannya tentang pemerintahan. Ini dapat ditelusuri dalam tulisan Prof.
Dr. Harun Nasution berikut :
Corak pemerintahan otokrasi (menurut al-Afghani, pen.) harus dirubah dengan co-
rak pemerintahan demokrasi. Kepala Negara harus mengadakan syura dengan
pemimpin-pemimpin masyarakat yang banyak mempunyai pengalaman.
Pengetahuan manusia secara individual terbatas sekali. Islam dalam pendapat al-
Afghani, menghendaki pemerintahan republik yang di dalamnya terdapat
kebebasan mengeluarkan pendapat dan kewajiban kepala negara tunduk kepada
undang-undang dasar (Nasution, 1988:56).
Ada dua hal penting yang perlu mendapat perhatian dari tulisan di atas,
yaitu demokrasi dan republik yang merupakan ide pemerintahan ideal
menurut al-Afghani. Demokrasi biasanya diartikan “bentuk atau sistem
pemerintahan yang segenap rakyat turut serta memerintah dengan
perantaraan wakilnya; pemerintahan rakyat” (Moeliono, 1989:195). Republik
berarti “pemerintahan yang berkedaulatan rakyat dan dikepalai oleh seorang
presiden” (Moeliono, 1989:195). Apabila diperhatikan sejarah khalifah-
khalifah sejak zaman al-Khulafa’a al-Rasyidun hingga zaman Turki Usmani
tidak akan ditemukan sistem pemerintahan sebagaimana pengertian
demokrasi dan republik di atas. Karena itu, kalau al-Afghani ingin
mengembalikan sistem kekhalifahan, dalam arti sebagaimana kekhalifahan di
masa lampau berarti bertentangan dengan pendiriannya tentang bentuk
pemerintahan yang dikehendakinya.
Dengan demikian, Pan-Islamisme yang dicanangkan oleh al-Afghani
bukanlah dimaksudkan untuk mengumpulkan kekuasaan di tangan seorang
khalifah sebab hal itu sangat sulit dilakukan karena beberapa hal, antara lain :
56
1. Ummat Islam sudah terpecah-pecah ke dalam berbagai Negara dan telah
memiliki pemerintahan sendiri-sendiri.
2. Meskipun kesadaran nasionalisme belum tumbuh subur di zaman al-
Afghani, namun pengaruh etnis yang ditunjang oleh eksistensi
pemerintahan masing-masing, menyebabkan timbulnya kesulitan
mempersatukan ummat Islam di bawah satu pemerintahan.
3. Para penguasa muslim yang berasal dari berbagai macam latar belakang
rata-rata berambisi untuk menjadi penguasa tertinggi sehingga sulit
diharapkan mereka bersedia tunduk kepada perintah satu orang.
4. Tidak ada figur pemersatu yang bisa diterima secara mutlak oleh semua
pihak.
Al-Afghani sendiri nampaknya tidak menghendaki kekuasaan berada
di tangan satu orang. Yang dikehendakinya ialah ummat Islam seluruhnya
tunduk kepada al-Qur’an dan menjadikan agama sebagai penunjuk jalan.
Tiap Negara Islam yang sudah ada hendaknya berusaha sekuat tenaga
membela Negara Islam yang lain karena wujud Negara Islam yang satu
berkaitan erat dengan eksistensi Negara Islam yang lain (Amin, 1965:84).
Dengan demikian, Pan-Islamisme yang dibawa al-Afghani merupakan suatu
ikatan politik yang mempersatukan ummat Islam seluruhnya yang didasarkan
atas solidaritas akidah Islam dengan tujuan membina kesetiakawanan dan
persatuan ummat Islam (Sjadzali, 1990:125-126).
Ummat Islam yang ingin dipersatukan oleh al-Afghani lewat gagasan
Pan-Islamismenya ini tidak terbatas hanya untuk kaum Sunni saja, tetapi
seluruh kaum muslimin dari aliran apa pun, termasuk kaum Syi’ah. Karena
itu, al-Afghani dikenal sebagai tokoh yang berusaha mempersatukan Sunni-
Syi’ah. bahkan, menurut Hamid Enayat, al-Afghani lebih taat asas di banding
dengan pemersatu yang lain (dalam hal ini Muhammad Abduh) karena latar
belakangnya sendiri yang berakar pada tradisi Sunni maupun Syi’ah dan
karena statusnya yang “tak bernegara” sehingga ia mampu menyerukan
toleransi supra-mazhab (Enayat, 1982:83).
Gagasan Pan-Islamisme al-Afghani ini ditanggapi positif oleh Ahmad
Amin sehingga ia mengecam Sa’ad Azhlul yang mengatakan, “Nol ditambah
no sama dengan nol,” Artinya, Negara terjajah biarpun bersatu tetap tidak
akan bisa berbuat apa-apa. Pernyataan Sa’ad Zaglul itu, kata Ahmad Amin,
tidak benar. Yang bena ialah, “Minus lima dikali minus lima sama dengan
plus dua puluh lima”. Satu Negara jajahan mungkin tidak mempunyai arti
apa-apa, tetapi kalau semua negara jajahan bersatu tentu sanggup
menghadapi kolonialisme Eropa (Amin, 1965:139).
57
Al-Afghani menganggap perlu ummat Islam bersatu karena ia melihat
bahwa salah satu faktor lemahnya ummat Islam adalah karena mereka tidak
bersatu itu. “Tali persaudaraan Islam telah terputus, bukan di kalangan awam
saja, tetapi juga di kalangan alim ulama. Ulama Turki tidak kenal lagi pada
ulama Hejaz, demikian pula ulama India tidak mempunyai hungan dengan
ulama Afghanistan. Tali persaudaraan antara raja-raja Islam juga sudah
terputus” (Amin, 1965:139). Di samping itu, ide Pan-Islamisme ini muncul
tentu tidak lepas dari gerakan politik yang dilakukannya: Menentang
imperialisme dan dominasi Barat dan despotisme para penguasa. Ia dikenal
seorang yang sangat anti terhadap kolonialisme dan merupakan orang Islam
pertama yang menyadari sepenuhnya akan bahaya dominasi Barat (Stoddard,
1921:63).
Untuk mewujudkan ide Pan-Islamismenya, al-Afghani menggunakan
segala kemampuan yang dimilikinya, baik berpidato, menulis, berorganisasi,
maupun melalui jalur pengajian dan diskusi-diskusi dan pendekatan dengan
para tokoh terkemuka. Namun, usahanya itu tidak berhasil (Nasution.
1988:56), barangkali karena beberapa hal :
1. Para penguasa muslim dan ummat Islam belum siap menerima gagasan
Pan-Islamisme yang dilontarkannya.
2. Jalan yang ditempuh oleh al-Afghani adalah cara-cara revolusioner. Dan
ini nampaknya merupakan sikapnya yang tidak bisa diubah sehingga ia
disebut sebagai seorang revolusioner Islam yang tidak hanya menyerukan
perlawanan terhadap para penguasa muslim yang despotis (Fernau,
1955:67). Hal ini tentu tidak bias diterima oleh para penguasa muslim
yang berambisi untuk tetap bertahan di atas singgasana kekuasaannya,
padahal, bagaimanapun, keberhasilan Pan-Islamisme, pada akhirnya
banyak tergantung pada para penguasa muslim itu.
3. Al-Afghani, sekalipun seorang tokoh besar, tetapi tidak semua orang
dapat menerimanya. Bahkan golongan ulama pun ada yang menolaknya
seperti ulama-ulama konservatif di Mesir karena usahanya yang ingin
menghidupkan pelajaran filsafat, suatu ilmu yang dianggap musuh oleh
mereka (Adams, 1933:7). Akibatnya, tentu gagasan-gagasannya tidak
bisa berjalan mulus.
4. Pengaruh Barat sangat kuat di dunia Islam, terutama pengaruh terhadap
para penguasa muslim, sehingga dalam beberapa hal, al-Afghani tidak
bisa berbuat banyak. Ia diusir dari Mesir pada tahun 1879 Khedewi
Taufiq atas tekanan Inggris menunjukkan kuatnya pengaruh Barat
terhadap penguasa Mesir itu (Nasution, 1988:52).
5. Di dunia Islam tidak ada pemimpin atau penguasa yang dapat diterima
menjadi pemimpin dunia Islam dan dapat dijadikan tokoh sentral.
58
6. Belajar dari Barat. Meskipun al-Afghani sangat anti kolonialisme dan
dominasi Barat, namun di pihak lain ia menganjurkan ummat Islam agar
mempelajari ilmu pengetahuan dan teknologi yang dikuasai oleh bangsa-
bangsa Barat. Ia berpendapat, untuk mencapai tujuan kaum muslimin
(persatuan ummat Islam dan melepaskan diri dari cengkeraman bangsa
Barat), mereka harus memiliki teknik kemajuan Barat dan mempelajari
rahasia-rahasia kekuatan Eropa (Stoddard, 1921:65). Kemajuan yang
dicapai oleh Barat, baik di bidang militer, politik, ekonomi, maupun
kebudayaan, tidak lain karena mereka menguasai dunia ilmu
pengetahuan. Karena itu, untuk bias maju, ummat Islam juga harus
mempelajari ilmu pengetahuan dan teknologi mereka.
Dalam janga waktu yang cukup lama, banyak ulama-ulama Islam yang
tidak membenarkan kaum muslimin mempelajari sesuatu dari Barat karena
Barat bukan beragama Islam sehingga apa pun produk mereka tidak bisa
diterima. Ketika itu memang yang dikenal oleh ummat Islam adalah “Islam”
dan “kafir”.
Sebenarya, kebudayaan, ilmu pengetahuan, dan teknologi Barat sudah
diperkenalkan oleh Napoleon Bonaparte ketika ia melakukan ekspedisi ke
Mesir (1798-1801 M) dan ketika Muhammad Ali Pasya berkuasa di Mesir
(1805-1849 M), ia banyak mengirim mahasiswa ke Eropa serta mendirikan
beberapa lembaga pendidikan yang diilhami oleh kemajuan Eropa, namun
sampai pada+ zaman al-Afghani masih banyak ditemui ulama-ulama
konservatif yang tidak menyukai dipelajarinya ilmu pengetahuan Barat itu.
Untuk mengatasi masalah ini, al-Afghani menegaskan bahwa ilmu
pengetahuan dan teknologi yang dimiliki Barat sekarang berasal dari orang
Islam. Karena itu, mempelajari ilmu pengetahuan dan teknologi dari Barat
pada hakikatnya adalah mengambil kembali milik ummat Islam itu (Sjadzali,
1990:125).
3. Kegiatan Politik
Dalam perjalanan sejarah hidup al-Afghani sejak usia remaja hingga
akhir hayatnya, ia selalu terlibat dalam kegiatan politik. Ini tentu tidak bisa
terlepas dari tujuan pokok yang ingin diperjuangkannya, yaitu kemerdekaan
kaum muslimin dari dominasi Barat dan ummat Islam memperoleh
kejayaannya kembali. Ia menyadari bahwa tujuan itu bisa dicapai melalui
proses yang panjang lewat jalur pendidikan dan adaptasi ajaran agama Islam
dengan keadaan zaman, namun ia yakin pula bahwa aksi revolusioner tidak
dapat dihindarkan (Antonius, 1981:69). Karena itulah, dimana pun ia berada,
ia selalu menyulut api revolusi menentang dominasi Barat dan despotisme
59
penguasa karena despotisme penguasa pada dasarnya juga merupakan faktor
lemah dan mundurnya ummat Islam.
Aktivitas politiknya nampaknya dimulai setelah ia kembali dari
menunaikan ibada haji tahun 1857. Ia diangkat menjadi pegawai Pangeran
Dost Muhammad Khan, Amir yang memerintah di Afghanistan ketika itu.
Dost Muhammad Khan sendiri memerintah di Afghanistan sejak tahun 1819
s.d. 1863. Ia digantikan oleh Shir Ali Khan dari 1863 hingga 1866 (Robinson,
1987:2). Pada masa pemerintahan Shil Ali ini, ia diangkat menjadi penasehat
di tahun 1864 (Nasution, 1988:51). Ketika terjadi perang saudara antara Shir
Ali dengan Muhammad A’zam Khan, al-Afghani berpihak kepada
Muhammad A’zam, dan berhasil menang. Muhammad A’zam naik tahta, al-
Afghani pun diangkat menjadi Perdana Menteri saat ia berumur 27 tahun
(Adams, 1933:5). Tak lama kemudian perang saudara pecah lagi. Kali ini
dengan bantuan tentara dan emas dari Inggris Shir Ali menang, Muhammad
A’zam diusir dan meninggal dunia.
Meskipun al-Afghani berfihak kepada Muhammad A’zam, namun
karena ia seorang sayyid yang sangat berpengaruh, Shir Ali tidak berani
memusuhinya secara terang-terangan. Namun, demi keamanannya, al-
Afghani berangkat ke India (1869). Tapi, di sini ia tidak lama karena tekanan
pemerintah setempat yang dimotori oleh Inggris karena India ketika itu sudah
di bawah kekuasaan Inggris. Pada tahun 1879 ia pindah ke Mesir dan tinggal
disana sampai 1879. Kegiatan politik yang menonjol yang dilakukannya di
sini ialah menghubungi para tokoh dan pejabat, menulis artikel di media-
media cetak yang ada, berbicara di berbagai forum pertemuan dan majelis-
majelis tertentu, dan memberikan pelajaran politik di tempat mana pun ia
berada (Amin, 1965:292). Disamping itu, ia juga mendirikan partai Al-Hizb
al-Wathani yang bertujuan untuk memperjuangkan pendidikan universal,
kemerdekaan pers, dan pemasukan unsur-unsur Mesir ke dalam posisi-posisi
penting dalam militer. Salah seorang anggota partai ini, Khedewi Taufiq,
berhasil naik tahta, berkat dukungan al-Hizb al-Wathani, setelah Khedewi
Ismail, ayahnya, digulingkan, Khedewi Taufiq yang naik tahta 25 Juni 1876
diharapkan dapat berbuat banyak sesuai dengan tuntutan partai, ternyata tidak
seperti yang diharapkan. Akibat tekanan Inggris, al-Afghani sendiri diusir
oleh Khedewi Taufiq, September 1879 (Adams, 1933:7).
Dari Mesir sekali lagi al-Afghani pergi ke India dan tinggal di
Hyderabad Deccan. Di sini ia menulis sebuah karya berjudul The Refutation
of the Materialist (Bantahan Terhadap Golongan Materialis) dalam bahasa
Parsi yang berisi pembelaan tehadap Islam dari serangan kaum Dahriah.
Kemudian ia pergi ke Eropa dan menetap di Paris sekitar tiga tahun. Disini ia
60
membentuk sebuah perkumpulan bernama Al-‘Urwah al-Wusqa yang
bertujuan untuk memperkuat rasa persaudaraan Islam, membela Islam, dan
membawa ummat Islam kepada kemajuan. Anggota-anggotanya adalah kaum
muslimin yang berasal dari India, Mesir, Rusia, Afrika Utara, dan lain-lain.
Perkumpulan ini selanjutnya menerbitkan sebuah majalah dengan nama yang
sama Al-‘Urwah al-Wusqa (Nasution, 1988:53). Namun majalah ini hanya
sempat terbit 18 edisi. Edisi pertama diterbitkan pada tanggal 15 Jumadil
Awwal 1301 H/ 12 Maret 1883 dan yang terakhir tanggal 26 Zulhijjah 1301
H/17 Oktober 1883 (Amin, 1965:82) karena peredarannya di negeri-negeri
Islam dihalangi oleh penguasa colonial (Sjadzali, 1990:118). Kegiatan politik
lain yang cukup penting bagi al-Afghani ialah keterlibatannya dalam usaha
penyelesaian sengketa Rusia-Persia yang timbul akibat politik pro-Inggris
pemerintah Persia. Tapi karena terjadi perselisihan faham dengan Syah Nasir
al-Din, al-Afghani akhirnya meninggalkan Persia. Yang terakhir ia tinggal di
Istambul (Nasution, 1988:53). Ia datang ke sini karena diundang oleh Sultan
Abdul Hamid pada tahun 1892 (Stoddard, 1921:64). Sultan Abdul Hamid
tertarik dengan ide Pan-Islamisme al-Afghani. Karena itu, segera al-Afghani
diangkat menjadi Kepala Biro Propaganda Pan-Islamisme (Nasution,
1988:54).
Meskipun pada mulanya kerja sama kedua tokoh ini berjalan baik,
namun akhirnya hubungan mereka merenggang, karena terdapat perbedaan
prinsip yang mendasar di antara keduanya. Al-Afghani mempunyai
pemikiran yang demokratis, sementara Sultan Abdul Hamid ingin
mempertahankan otokrasi lamanya. Al-Afghani tidak dapat keluar dari
Istambul karena dilarang Sultan, sampai ia wafat pada tahun 1897.
C. Penutup
Ide pembaharuan terpenting dari al-Afghani adalah pembaharuan di
bidang politik yang didasari oleh pemikiran-pemikiran keagamaan. Meskipun
idenya, semacam Pan-Islamisme tidak berhasil baik, namun, pengaruhnya
sangat besar di kemudian hari dengan lahirnya usaha-usaha pembebasan diri
dari kolonialisme. Bahkan pengaruh itu menjalar sampai ke Indonesia yang
tercermin dari perjuangan Syarikat Islam.
Ide-ide pembaharuan yang dicetuskan oleh al-Afghani yang diikuti
dengan aktivitas politik tanpa henti merupakan wujud dari kerinduannya
yang dalam akan kejayaan dan keagungan Islam seperti yang pernah dialami
di masa klasik. Ia juga meninggalkan sejumlah warisan hidup yang tak
ternilai harganya, antara lain Syekh Muhammad Abduh, murid terkasihnya.
61
MUHAMMAD ABDUH :
TEOLOGI RASIONAL DAN IDE-IDE PEMBAHARUAN
Oleh
Ahmad Rofiq
Pendahuluan
Dalam peta pembaharuan dalam Islam, Muhammad Abduh (1849-
1905) boleh jadi merupakan tokoh yang paling berpengaruh, bukan saja di
Mesir yang menjadi wilayah garapannya melalui Universitas Al-Azhar, tetapi
juga di seluruh dunia Islam, termasuk Indonesia. Di dunia Arab, menurut J.L.
Esposito, ia dicatat sebagai bapak modernisme Islam (Esposito, 1988:132).
Muhammad Abduh, memang bukan yang pertama melakukan gerakan
pembaharuan, tetapi ide-idenya yang mencakup aspek-aspek politik, agama,
dan khususnya pendidikan serta reformasi sosial melahirkan gaung
pembaharuan yang masih terasa hinga kini. Di Indonesia, gerakan
pembaharuan yang dimotori oleh al-Irsyad dan Muhammadiyah, tampaknya
juga dipengaruh Muhammad Abduh melalui tulisan-tulisannya dan karya-
karya muridnya. Lebih dari itu atas pengaruh pemikirannya, telah melahirkan
ulama-ulama modern, seperti Mustafa al-Maraghy, Mustafa abd al-Raziq,
Farid Wajdi, dan lain-lain.
Basis pemikiran pembaharuan Abduh, adalah pandangannya bahwa
agama dan akal saling melengkapi, agama dan sains tidak ada pertentangan
(Esposito, 1988:132). Namun menurut Abduh, hal ini tidak mendapat
perhatian yang memadai dari ummat Islam. Ummat Islam telah tenggelam
dalam samudra taklid dan bid’ah yang menjadikan mereka tertidur
berkepanjangan. Islam sebagai ajaran, menurut Abduh, sebenarnya
diturunkan kepada ummat Islam yang berpikir jauh kedepan karena
kemampuan akalnya. Ketika Abduh terlibat polemik dengan Ernest Renan,
Filosuf Prancis. Abduh sempat mendesak Renan tentang keunggulan ajaran
Islam. Tetapi ketika Renan menanyakan ummat mana di antara ummat Islam
yang merupakan gambaran Islam yang hebat itu. Muhammad Abduh pun
bagai tanduk terkesima dan dengan sedih berkata bahwa ummat Islam
mundur karena meninggalkan ajaran agamanya. Sebaliknya orang-orang
Kristen Eropa maju karena meninggalkan ajaran agamanya (Esposito,
1988:15).
62
Sebagai tokoh pembaharu kiranya tidak perlu diperdebatkan, corak
pemikirannya menjadi dasar ide-ide pembaharuannya mempengaruhi dunia
Islam, termasuk di Indonesia (Nasution, 1987:97). Tulisan ini akan mencoba
mengungkap pemikiran teologi dan ide-ide pembaharuannya.
Biografi Singkat Muhammad Abduh
Muhammad Abduh lahir pada tahun 1849 bertepatan dengan tahun
1265 H di daerah perkampungan wilayah Mesir. Bapaknya bernama Abduh
Khairullah pernah masuk penjara karena dituduh terlibat sebagaimana
kakeknya, menentang pemerintahan Muhammad Ali. Abduh mula-mula
dibesarkan di Mahallat Nasr, dengan kegiatan menulis dan membaca di
rumah. Dilanjutkan belajar menghapal al-Qur’an dan bisa diselesaikan dalam
tempo dua tahun. Pada usia 14 tahun, ia dikirim oleh orang tuanya ke Tanta
untuk meluruskan bacaannya di masjid al-Ahmadi. Selain itu, Abduh juga
belajar bahasa Arab dan fiqh, namun karena metode menghafal yang tidak
disertai dengan penjelasan, meski satu setengah tahun ia tempuh, ia masih
belum mengerti apa-apa (Nasution, 1987:97). Dan tampaknya hal ini
membawa akibat yang kurang menguntungkan bagi dirinya. Ia tinggalkan
Tanta dan pulang ke Mahallat Nasr dengan niat tidak akan belajar lagi.
Tahun 1292 H/1366 ia kawin dan 40 hari setelah itu, oleh orang
tuanya, Abduh dipaksa kembali ke Tanta. Konsisten dengan niatnya, ia
memilih lari ke Kanisah Urin, dan bertemulah dengan seorang sufi kerabat
ayahnya Syeikh Daswisy Khadr. Ahmad Amin melukiskan, kalau saja Abduh
tidak bertemu dengan Syeikh Darwisy, Abduh yang terkenal itu adalah
Abduh sebagai petani yang hanya dikenal di kampungnya yang terdaftar
dalam buku mutasi penduduk yang tercatat dalam daftar kelahiran dan
kematian (Amin, 1965:283). Atas bimbingan dan dorongan Syeikh Darwisy,
Abduh bangkit dari keputusasaan dan mulailah ke Tanta, ia telah dapat
memahami apa yang diberikan gurunya dan yang ia baca sendiri. Beberapa
bulan kemudian ia pergi ke al-Azhar, yang dianggap sebagai pusat kajian
Islam. Di al-Azhar, Abduh tampaknya juga kecewa, karena metode
pengajarannya tidak jauh berbeda dengan di Tanta yaitu menghapal, dan
mempelajarinya terbatas terbatas ilmu-ilmu agama dan bahasa Arab, Logika,
Matematika, Ilmu ukur dan sebagainya tidak dipelajari (Nasution, 1987:12).
membaca buku biografi, ilmu alam atau falsafah adalah haram malahan
memakai sepatu adalah bid’ah (Nasution, 1987:13). Meskipun Muhammad
Ali dan al-Tahtawi, telah merintis pembaharuan pendidikan modern, bahkan
berkiblat ke Barat, dan juga merangkul akademisi al-Azhar, dikhotomi
pendidikan tampaknya tak dapat dihindarkan; sayap tradisional begitu kokoh
dengan pendiriannya, sementara pendidikan sekuler – jika boleh dikatakan
63
demikian – berjalan didukung kekuasaan politik dan militer yang bertambah
mapan. Di mata rakyat awam, citra Muhammad Ali terasa menakutkan, maka
rakyat termasuk ayah Muhammad Abduh berpindah-pindah tempat.
Bagi ulama al-Azhar, ilmu-ilmu umum atau sains dipandang termasuk
fardu kifayah dan cukup diajarkan oleh ulama di luar al-Azhar (Aqqad t.t:39),
seperti Syeikh Hasan al-Jabarti, karena itu al-Azhar telah terlepas dari
kewajiban mengajarkan ilmu-ilmu demikian. Segala sesuatu yang datang dari
Eropa dipandang haram dan membawa kekafiran.
Menghadapi kenyataan demikian, Abduh, meski tetap menuntul ilmu
di al-Azhar, tetapi berusaha mencari ilmu-ilmu dunia di luar al-Azhar. Di
antaranya ia belajar kepada Syeikh Hasan al-Tawil, yang tahu filsafah,
logika, ilmu ukur, soal-soal dunia dan politik (Nasution, 1987:13). Selain itu
Abduh lebih suka membaca buku-buku yang dipilihnya di perpustakaan al-
Azhar. Abduh juga belajar falsafah, matematika, teologi dan lain-lain kepada
Jamaluddin al-Afghani yang datang ke Mesir di penghujung tahun 1286 H/
1870. Bahkan ia sempat mempengaruhi banyak temannya untuk belajar
kepada tokoh pembaharu dari Afghanistan ini. Perkenalan intelektualnya ini
nanti banyak mewarnai karirnya, dan bekerja sama dalam menyebarkan
gagasan-gagasan pembaharuan. Kecenderungan teologinya sempat
menggoncangkan tokoh-tokoh di al-Azhar, karena ia menyebarkan pemikiran
Mu’tazilah. Ia sempat dituduh ingin menghidupkan kembali aliran Islam
liberal. Tekadnya untuk membasmi taklid dan Abduh tidak ingin melakukan
taklid baik kepada Asy’ari maupun Mu’tazilah. Yang Abduh utamakan
adalah bagaimana membangun argumen yang kuat (Ridha, 1931:134).
Di tengah-tengah kesibukan belajarnya, Abduh sejak perkenalannya
dengan al-Afghani, telah memulai menulis artikel-artikel di harian al-Ahram
yang baru saja didirikan (Nasution, 1987:15), meliputi sains, sastra Arab,
politik, agama dan sebagainya. Tahun 1877 Abduh menyelesaikan studinya
di al-Azhar, dengan hasil “baik”, penilaian yang dinilai tidak fair, karena
penguji-pengujinya tidak senang, bahkan berniat menjatuhkannya.
Seharusnya Abduh mendapat predikat amat baik. Bahkan kalau saja ada
predikat cum laude, seharusnya ia memperoleh derajat akademik tertinggi ini
(Ridha, 1931:103).
Karir akademinya dilanjutkan sebagai pengajar kampus almamaternya
dan di Darul Ulum dan juga menjadikan rumahnya sebagai tempat belajar
bagi murid-muridnya. Di Azhar, ia mengajarkan logika, teologi dan falsafah.
Di Darul Ulum ia mengajar sejarah dengan buku Mukaddimah karya Ibnu
Khaldun sebagai buku referensi. Di rumah, ia mengajarkan etika dengan
merujuk buku Tahzib al-Akhlaq karya filosuf Islam Ibn Maskawaih, dan
64
Sejarah Peradaban Eropa karangan F. Guizot dari Perancis, Bagi Abduh,
sasaran pengajarannya adalah mendidik mahasiswa berpikir karena itulah
majlis pengajarannya selalu dikerumuni banyak mahasiswa. Selain mengajar,
tampaknya Abduh tidak bisa menolak keterlibatan politik, akibat pengaruh
gurunya al-Afghani. Hal ini karena penguasa Mesir, Khedewy Ismail, dalam
melancarkan modernisasi yang dirintis Muhamma Ali, merubah Kairo dan
Iskandariah bagaikan kota Eropa dengan pinjaman dana dari Inggris dan
Perancis. Untuk kepentingan program ini, Inggris dan Perancis turut campur
tangan soal urusan dalam negeri Mesir. Inilah, yang oleh al-Afghani
ditentang. Ia membentuk al-Hizb Watani (Partai Nasional Mesir) untuk
membangkitkan semangat cinta tanah air rakyat Mesir yang dirintis al-
Tahtawi (Nasution, 1987:61).
Muhammad Abduh sendiri tidak segan-segan membicarakan isu
nasionalisme di dalam kuliah-kuliah dan tulisannya di koran. Cara ini
tampaknya cukup efektif untuk membakar semangat nasionalisme Mesir,
melawan rezim Khedewy Ismail yang telah terperangkap dalam kekuasaan
Inggris dan Prancis. Karena terdesak, ia menyerahkan kekuasaannya kepada
anaknya Khedewy Tewfik. Penguasa baru mengusir al-Afghani dan Abduh
dari Mesir, 1879. Tetapi jiwa Nasionalisme telah tumbuh subur di kalangan
rakyat Mesir. Tahun 1882 pecah pemberontakan Urabi Pasya, tapi gagal.
Abduh sendiri tidak setuju dengan cara politik Urabi yang menuntut
parlemen. Karena Abduh tahu bahwa rakyat Mesir belum matang untuk
kehidupan parlemen. Bagi Abduh, yang terpenting justru pendidikan yang
baik, yang dapat mencerdaskan rakyat (Nasution, 1987:17).
Keterlibatannya dalam pemberontakan ini, menerima hukuman
dibuang ke luar negeri setelah ditahan selama 3 bulan. Mula-mula ia memilih
Beirut, kemudian atas undangan al-Afghani, ia datang ke Paris untuk
kemudian membentuk gerakan dan penerbitan al-Urwah al-Wusqa. Tema
sentralnya menentang kolonialisme Eropa di dunia Islam, meski hanya terbit
18 kali selama delapan bulan. Tahun 1885 Abduh berpisah dengan al-
Afghani dan kembali ke Beirut untuk kemudian memusatkan perhatian dan
kegiatannya pada ilmu dan pendidikan. Ia menafsirkan al-Qur’an sesuai
dengan ijtihadnya sendiri. Tanpa terikat kepada penafsir klasik. Ia juga
mengajar di madrasah Sultaniyah logika, teologi, sejarah Islam dan Fiqh.
Orang Nasrani juga ikut belajar di sini, selain orang Islam Sunni, Syi’ah dan
Druz. Ceramah-ceramahnya di madrasah Sultaniyah kelak menjadi buku
monumental Risalah al-Tauhid.
Tahun 1888 Abduh baru bisa kembali ke Mesir, atas lobbying
kalangan istana dengan Lord Cromer dari pihak Inggris, dan Ahmad Mukhtar
65
Pasya dari pihak kerjaan Usmani serta teman-teman Abduh di Kairo
(Nasution, 1987:19 dan Amin, 1965: 310). Tapi niatnya mengajar kembali di
Dar al-Ulum tak disetujui oleh Khedewy Tewfik karena dikhawatirkan
pemikiran politiknya akan mempengaruhi para mahasiswa.
Untuk itu ia diangkat sebagai hakim pengadilan negeri, mulanya di
Benha di Zagazig. Kemudian dipindahkan ke Kairo menjadi hakim
pengadilan negeri. Tahun 1890 diangkat menjadi Penasehat pada Mahkamah
Tinggi (Nasution, 1087:19). Keadilan menjadi pegangan utama dalam
menjalankan tugasnya sebagai hakim. Selain itu cita-citanya memperbaharui
kurikulum al-Azhar tetap mendapat perhatiannya.
Tahun 1899 Abduh diangkat menjadi mufti Mesir, suatu jabatan resmi
penting yang berwenang menafsirkan hukum syariah untuk seluruh Mesir,
dan fatwa-fatwa yang dikeluarkannya memiliki sifat mengikat. Produk
pemikiran hukumnya diwarnai kebebasan ijtihadnya dengan tidak terikat
dengan produk pemikiran hukum ulama-ulama sebelumnya. Pada tahun ini
juga ia diangkat menjadi Majlis Syura, dewan legislatif Mesir Majlis Syura
di saat hubungan dengan pemerintah tidak harmonis. Berkat ketekunan dan
cita-citanya mendidik rakyat memasuki kehidupan politik demokrasi
berdasarkan musyawarah, ia dapat menjadi mediator kedua lembaga di atas.
Pemerintah telah menaruh kepercayaan kepada Majlis Syura dalam
membahas rencana-rencana pembangunannya untuk kepentingan rakyat
Mesir. Meskipun demikian, keterlibatannya di kancah politik tampaknya
tidak sepenuhnya menjadi pilihannya. Bahkan ia menulis “aku berlindung
kapada Allah dari politik, kata dan arti politik” (Abduh, 1973 :100-1).
Apresiasinya terhadap kemajuan sains dan kebudayaan Barat,
ditunjuk melalui upaya memperluas cakrawala pengetahuannya. Pada usia 44
tahun, Abduh belajar bahasa Perancis. Begitu pentingnya bahasa untuk
mengetahui sains Barat, ia seakan mensyaratkan bahwa orang yang tidak
mengetahui salah satu bahasa Eropa di zaman modern, tidaklah bisa disebut
ulama (alim). Pilihannya kepada bahasa Perancis, karena di Mesir telah
didominasi kebudayaan Perancis. Setelah menguasai bahasa Perancis, ia
banyak membaca buku-buku Perancis meliputi falsafah, sosiologi,
pendidikan, psikologi, etika, matematika, ilmu alam, sejarah dan karya-karya
orientalis tentang Islam. Masa-masa liburan selama belajarnya digunakan
berkunjung ke Eropa mengunjungi Universitas Oxford dan Cambridge. Juga
menjumpai ilmuwan-ilmuwan Barat seperti Gustave Lebon, H. Spencer, W.
Blunt dan E. Brown. Yang terakhir ini bahkan menganggapnya sebagai guru.
Tahun 1905, tepatnya pada tanggal 11 Juli, Abduh harus memenuhi
panggilan Tuhan, setelah agak lama menderita kanker hati, dan belum sempat
66
menunaikan ibadah haji, karena faktor politis, yaitu kecurigaan Khedewy
Abbas di Mesir dan sultan Abdul Hamid Istambul (Nasution, 1987:27).
Teologi Rasional
Corak teologi Muhammad Abduh adalah teologi rasional. Corak
tersebut dapat ditelusuri melalui karya-karyanya, antara lain Risalah al-
Tauhid, Hasyiyah al-Syarh al-Dawwani li al-Aqaid al-Adudiah, dan Tafsir
al-Nanar. Di kalangan ilmuwan, sistem teologi Abduh tetap kontroversial.
C.C. Adams misalnya berkesimpulan bahwa ajaran teologi Muhammad
Abduh termasuk dalam teologi Ahlussunnah (Adams, 1933:115). Horten
sebagaimana dikutip Prof. Harun Nasution, menganggap Abduh mengikuti
Ahlussunnah secara ekstrim (Nasution, 1987:3).
Michel dan Abd al-Raziq yang menerjemahkan Risalah al-Tauhid ke
dalam bahasa Perancis cenderung menilai Abduh dalam sifat-sifat Tuhan
sebagai pengikut Asy’ari, dan dalam kebebasan memberi kritik sebagai
seorang Mu’tazilah modern (Nasution, 1987:3). Mereka yang menilai Abduh
sebagai Ahlus Sunnah umumnya berpegang kepada buku Risalah al-Tauhid,
yang ditulis pada tahun 1885 dari kumpulan ceramahnya di madrasah
Sultaniyah. Prof. Harun Nasution melalui penelitiannya yang intens dalam
tesis Ph. D-nya berkesimpulan bahwa corak teologi Muhammad Abduh
adalah Mu’tazilah (Nasution, 1987:92) atau paling tidak banyak
persamaannya dengan Mu’tazilah (Dunia, 1958:62). Sependapat dengan ini,
adalah Jomier, Usman Amin, Gardet dan Anawati, Caspar, Kerr dan
Sulaiman Dunia. Malahan yang terakhir ini menilai Abduh memberikan
kedudukan akal lebih tinggi daripada Mu’tazilah.
Akal menurut Abduh memiliki kemampuan bukan hanya empat
masalah; mengetahui tuhan, kewajiban mengetahui tuhan, mengetahui baik
dan buruk dan mengetahui kewajiban berbuat baik dan meninggalkan
kejahatan, tetapi mempunyai dua kelebihan, yaitu pertama, mengetahui
adanya kehidupan, tetapi mempunyai dua kelebihan, yaitu pertama,
mengetahui adanya kehidupan akhirat sesudah kehidupan dunia, dan kedua,
mengadakan hukum-hukum tentang apa-apa yang diketahui akal itu dan
mengajak manusia untuk tunduk kepada hukum itu (Nasution, 1987:92).
Karena memberikan kedudukan tinggi kepada akal, maka peran wahyu lebih
banyak berfungsi konfirmasi. Karena pada dasarnya antara akal dan agama
tidak terdapat pertentangan (Esposito, 1989:132). Ummat manusia saat Islam
datang --kata Abduh-- telah mencapai usia dewasa dan menghendaki agama
yang rasional (Nasution, 1987:45). Apa yang mereka cari terdapat dalam
Islam. Nabi juga berbicara kepada akal dan membuat akal menjadi hakim
67
antara apa yang benar dan apa yang salah. Di dalam Islam agama berteriak
kepada akal, sehingga ia tersentak dari tidurnya yang panjang (Nasution,
1987:148).
Bagi Abduh, pemikiran rasional adalah jalan untuk memperoleh iman
yang sejati. Iman tidak sempurna, kalau tidak didasarkan atas akal. Dan
akallah yang menjadi sumber keyakinan pada Tuhan dan Ilmu serta
kemahakuasaan-Nya dan para Rasul (Nasution, 1987:124). Namun demikian,
kemampuan akal menurut Abduh, memiliki keterbatasan. Karena itu manusia
tetap memerlukan wahyu yang berfungsi pertama, untuk memberi penjelasan
tentang alam gaib yang penuh rahasia. Kedua, untuk mengatur masyarakat
manusia dengan baik – atas dasar prinsip keadilan. Maka nabi-nabi pun
dikirim Tuhan ke permukaan bumi (Nasution, 1987:60). Selain itu, wahyu
menjelaskan kepada akal cara beribadat dan berterima kasih kepada Tuhan,
mengetahui perincian kebaikan dan kejahatan, menguatkan pendapat akal
melalui sifat sakral dan absolut yang terdapat dalam wahyu (Nasution, 1987:
61).
Karena akal mendapat porsi yang tinggi, maka Abduh terlebih dahulu
mempelajari falsafah kemudian baru melihat teks ayat. Kalau teks ayat sesuai
dengan falsafah dan pemikirannya, arti harfiah ayat diterima. Tetapi kalau
tidak sesuai, teks ayat diberi arti metaforsis, atau setidak-tidaknya bahwa
yang dimaksud bukan arti harfiah dan menyerahkan kepada Allah maksud
dari ayat itu (Nasution, 1987:93).
Dalam kaitannya dengan masalah teologi Qadariyah dan Jabariyah,
Muhammad Abduh sepaham dengan teologi Mu’tazilah yang menganut
paham Qadariyah. Muhammad Abduh sangat menonjolkan bahwa Sunnah
Allah, hukum alam adalah ciptaan Tuhan.
Daya manusia untuk memilih dan melakukan perbuatannya, menurut
Abduh telah diciptakan Allah sejak lahir, sementara Mu’tazilah berpendapat
daya tersebut diciptakan Allah ketika sebelum melakukan perbuatan.
Selanjutnya dalam pembahasannya mengenai sifat-sifat Tuhan, keadilan
Tuhan, diciptakannya kalam Tuhan, kehendak mutlak Tuhan,
antropomorfisme dan melihat Tuhan di akhirat, dan perbuatan Tuhaan
Muhammad Abduh sejalan dengan Mu’tazilah (Nasution, 1987:95). Maka
wajar saja apabila orang lain menyebutnya sebagai Mu’tazilah. Tetapi
menurut orang Mu’tazilah sendiri, Muhammad Abduh jelas tidak cukup
syarat disebut sebagai Mu’tazilah. Karena kata ak-Khayyat, orang baru dapat
disebut Mu’tazilah adalah orang yang percaya kepada Ushul al-Khamsah
Mu’tazilah, yaitu tauhid, al-‘adl, al-amr bi al-ma’ruf wa al-nahy ‘an al-
68
munkar (Nasution, 1987:52). Dengan demikina uraian di atas dapat
disimpulkan bahwa corak teologi Muhammad Abduh adalah teologi rasional.
Ide-ide pembaharuan Muhammad Abduh
Ide-ide pembaharuan yang disampaikan Muhammad Abduh
sebenarnya telah mulai nampak sejak mudanya kala ia harus menimba ilmu
pengetahuan. Sikapnya yang tidak pernah puas menghadapi pola pengajaran,
baik ketika di Tanta maupun di al-Azhar, secara diam-diam telah coba
diatasinya melalui usahanya sendiri (otodidak). Lebih-lebih di al-Azhar yang
hanya memberikan pelajaran bahasa Arab dan ilmu agama, dan
mengharamkan sains dan falsafah yang datang dari Barat. Melalui
perpustakaan dan orang-orang yang dipandang kompeten seperti Syeikh
Hasal al-Tawil, ia mendapat banyak pengetahuan umum seperti logika,
falsafah, ilmu ukur, sejarah, politik dan lain-lain. Perkenalannya dengan
Syaikh Jamaluddin al-Afghani memberi nuansa baru bagi perjalanan
hidupnya. Selain sebagai guru al-Afghani juga sebagai sahabat terutama
dalam menerbitkan al-Urwa al-Wutsqa.
Ketika keduanya dalam pengasingan, keterlibatan Abduh dalam
bidang politik, dirasakannya sebagai penghambat untuk melancarkan ide-ide
pembaharuannya. Karena itu ia memilih memusatkan perhatiannya dalam
bidang pengajaran dan pendidikan. Muhammad al-Bahy, pemikir modern
Mesir, mencatat bahwa pemikiran Abduh di bidang pendidikan dan
pengajaran mencakup :
a. Perlawanan terhadap taklid dan kemazhaban.
b. Perlawanan terhadap buku-buku yang tendensius, untuk diperbaiki
dan disesuaikan dengan pemikiran rasional dan historis.
c. Reformasi al-Azhar yang merupakan jantung ummat Islam; jika ia
rusak maka rusaklah ummat, dan jika baik maka baiklah ummat;
d. Menghidupkan kembali buku-buku lama untuk mengenal
intelektualisme Islam yang ada dalam sejarah ummatnya, serta
mengikuti pendapat-pendapat yang benar disesuaikan dengan yang
ada (Bahy, 1986:84).
Prof. Harun Nasution, mencatat bahwa yang menjadi tujuan hidup
Muhammad Abduh adalah dua :
1. Membebaskan pemikiran dari ikatan taklid dan memahami ajaran
agama sesuai dengan jalan yang ditemupuh ulama zaman klasik
(salaf) zaman sebelum timbulnya perbedaan-perbedaan paham, yaitu
dengan kembali kepada sumber-sumber utamanya;
69
2. Memperbaiki bahasa Arab yang dipakai baik di instansi-instansi
pemerintah, maupun surat-surat kabar dan masyarakat pada umumnya
dalam surat-menyurat mereka (Nasution, 1983:24).
Dua kutipan di atas dengan jelas menunjukkan ide-ide
pembaharuan Muhammad Abduh, terutama dalam bidang pendidikan,
meskipun dalam kenyataan tidak bisa terlepas dari masalah-masalah
politik dalam rangka membangkitkan kesadaran bangsa Mesir
(Nasionalisme). Konsekuensinya, ia ditangkap, ditahan, dan
diasingkan merupakan pengalaman yang biasa dalam karir hidupnya.
Tetapi Abduh tidak pernah putus asa, termasuk juga dalam
menghadapi kelompok-kelompok tradisionalis yang selalu menentang
ide-ide pembaharuannya. Ia sering dituduh Mu’tazilah dan ingin
menghidupkan ajaran liberal yang pernah mencatat nuktah hitam
dalam sejarah pemikiran Islam yang terkenal dengan peristiwa
Mihnah.
3. Langkah konkret pembaharuannya telah dimulai sejak ia lulus dari al-
Azhar dan mendapat hak dan wewenang mengajar di al-Azhar. Ia
mulai mengajarkan pelajaran yang tergolong fardu kifayah menurut
kelompok tradisionalis, jika tidak malah diharamkan, seperti logika,
teologi, falsafah, sejarah, etika, dan peradaban Eropa. Agar ide-ide
pembaharuannya tidak hanya diserap oleh kalangan akademisi, ia
juga rajin menulis artikel-artikel di harian, terutama al-Ahram agar
dapat diserap oleh khalayak umum. Tulisannya mencakup sains, sastra Arab, jurnalistik, politik, agama, sosial dan sebagainya
(Nasution, 1983:24). Lahan untuk menyebarkan gagasan
pembaharuannya semakin luas, ketika ia pada tahun 1880 diangkat
menjadi pimpinan redaksi al-Waqai’ al-Misriyah.
4. Ia juga menulis artikel-artikel mengenai masalah sosial, politik,
hukum, agama, pendidikan dan kebudayaan (Nasution, 1983:15). Atas
gagasannya pada 15 Januari 1895, Khedewy Abbas mengeluarkan
keputusan tentang pembentukan dewan pimpinan al-Azhar, yang
terdiri dari ulama-ulama besar dari Mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’I
dan Hanbali. Ia diangkat sebagai wakil pemerintah Mesir, di mana ia
bertindak sebagai motor dan jiwa penggerak dari dewan ini (Nasution,
1983:20). Hal ini tidak lain sebagai penjabaran dari komitmennya
untuk memberantas taklid dan kejumudan serta bid’ah dan khurafat
yang membuat ummat menyeleweng dari ajaran Islam yang
sebenarnya. Bagi Abduh, ummat Islam harus kembali ke ajaran-ajaran
Islam yang otentik; ajaran Islam sebagaimana terdapat di zaman salaf,
70
yaitu zaman sahabat dan ulama-ulama besar (Nasution, 1987:63).
Namun demikian, ajaran Islam harus disesuaikan dengan keadaan
modern karena zaman telah berubah.
Karena itu diperlukan interpretasi baru, dan pintu ijtihad perlu dibuka.
Tapi tidak sembarang orang boleh berijtihad. Baginya seorang mujtahid perlu
memenuhi syarat. Pendapat ulama lama tidak mengikat. Ijtihad dijalankan
langsung dari al-Qur’an dan Hadis. Abdullah Mahmud Syahatain dalam
penelitiannya berkesimpulan bahwa metode penafsiran al-Qur’an yang
digunakan Abduh terdapat 9 poin (Syahataih, t.t:42). Bagi Muhammad
Abduh, al-Qur’an dan Hadis melarang ummat Islam bersifat taklid. Al-
Qur’an berbicara kepada manusia bukan semata kepada hatinya tetapi juga
kepada akalnya. Karena itu agama Islam adalah agama rasional. Wahyu tidak
membawa hal-hal yang bertentangan denga akal. Kalau zahir ayat
bertentangan dengan akal, haruslah dicari interpretasi yang membuat ayat itu
sesuai dengan pendapat akal.
Selain itu Abduh menonjolkan konsep sunnatullah (natural laws),
kebebasan manusia dalam kemauan dan perbuatan (free will dan free act),
dan ummat Islam harus mempelajari dan mementingkan sains.
Konsekuensinya, ummat Islam harus mementingkan soal pendidikan. Dan ini
sudah ditempuh dalam perbaikan dan pembaharuannya pada Universitas al-
Azhar. Selain untuk al-Azhar yang telah dimodernisasi, ia juga memikirkan
untuk memasukkan pendidikan agama yang kuat pada sekolah-sekolah
pemerintah, seperti administrasi, militer, kesehatan, dan perindustrian. Atas
usulnya didirikanlah Majlis Pengajaran Tinggi ((Nasution 1983: p. 63-68).
Abduh tidak ingin terjadi dualisme pendidikan terus menerus berkelanjutan,
karena itu sedapat-dapatnya ia ingin memperkecil jurang pemisah antara
ulama dan ilmuwan. Jadi, bagi Muhammad Abduh faktor pendidikan adalah
segala-galanya. Artinya, untuk membangkitkan kesadaran nasional rakyat
Mesir adalah dengan mencerdaskan kehidupan bangsa, bukan dengan jalan
politik, meski ia sama sekali tidak dapat melepaskan keterlibatannya dalam
politik.
Kesimpulan
Muhammad Abduh yang hidup akhir abad 19 dan awal 20 adalah
pemikir pembaharu Islam yang berpengaruh baik di dunia Arab maupun
dunia Islam pada umumnya. Corak teologinya serupa dengan Mu’tazilah,
bahkan dalam menempatkan akal lebih tinggi daripada Mu’tazilah itu. Meski
demikian, Muhammad Abduh menurut orang Mu’tazilah sendiri belum
cukup syarat untuk disebut sebagai Mu’tazilah. Ia memiliki corak teologi
rasional, karena tidak mau taklid kepada para ulama terdahulu.
71
Ide-ide pembaharuannya yang menonjol adalah di bidang pendidikan
dan pengajaran. Ia memasukkan pelajaran umum seperti sains, politik,
sejarah, falsafah, teologi, matematika, etika, kebudayaan Barat pada
kurikulum Universitas al-Azhar. Di samping itu juga memasukkan pelajaran
agama pada sekolah-sekolah umum. Hal ini ia maksudkan agar ummat Islam
tidak memisahkan antara urusan agama dan keduniaan. Dan semua itu untuk
kemajuan dan kepentingan ummat Islam dalam mengejar ketertinggalannya
dari dunia Barat.
72
RASYID RIDHA DAN IDE-IDE PEMBAHARUANNYA
Oleh
Cecep
A. Riwayat Hidup Rasyid Ridha dan Langkah-langkah Perjuangannya
Rasyid Ridha adalah murid Muhammad Abduh yang terdekat.
Ia lahir pada tahun 1865 di al-Qalamun, suatu desa di Libanon yang letaknya
tidak jauh dari kota Tripoli (Suriah). Menurut keterangan ia berasal dari
keturunan al-Husain, cucu Nabi Muhammad. Oleh karena itu ia memakai
gelar al-Sayyid di depan namanya (Nasution, 1975:69).
Seperti halnya anak-anak seusianya, mula-mula Ridha dimasukkan ke
madrasah tradisional di kampungnya untuk belajar baca tulis, al-Qur’an, dan
dasar-dasar ilmu hitung. Setelah selesai ia meneruskan belajar ke sekolah al-
Rasyidiyyah, sekolah milik pemerintah di Tripoli. Disamping Nahwu Saraf
dan ilmu hitung, diajarkan pula ilmu-ilmu yang lainnya, seperti geografi,
teologi, hukum Islam dan yang lainnya. Adapun bahasa pengantar yang
dipergunakan ialah bahasa Turki sebab alumni sekolah ini dipersiapkan untuk
menjadi pegawai di pemerintahan Turki. Oleh karena Ridha tidak berminat
untuk menjadi pegawai Turki, segera ia meninggalkan sekolah ini padahal
baru satu tahun ia belajar di sekolah ini (Al-Adawi, t.t.:23).
Pada tahun 1882 ia meneruskan pelajarannya ke sekolah Nasional Islam
di Tripoli. Sebenarnya sudah sejak lama tertanam di benak Ridha keinginan
untuk bisa belajar di sekolah ini, namun ayahnya baru mengizinkan setelah
Ridha dipandang cukup dewasa untuk tidak terpengaruh dengan kehidupan
dan pergaulan kota. Sekolah ini jauh lebih maju ketimbang sekolah yang
disebut sebelumnya karena bukan hanya ilmu-ilmu agama Islam yang
dipelajarinya, ilmu-ilmu umumpun seperti mantiq, olahraga, fasafah juga
dipelajari. Bahasa pengantar yang dipergunakan adalah bahasa Arab
disamping bahasa Turki dan Perancis. Sekolah ini didirikan oleh Syaikh
Husain al-Jisr, seorang ulama berpikiran modern yang berpendapat bahwa
ummat Islam tidak akan maju kecuali dengan menguasai ilmu agama dan
ilmu dunia sekaligus dengan metode modern. Sekolah ini didirikan untuk
mengimbangi sekolah-sekolah Kristen dan Amerika di Suriah yang menarik
tidak sedikit anak-anak penduduk setempat. Hanya sekolah ini tidak berumur
panjang karena mendapat tantangan dari Turki Usmani (Al-Syirbasyi, t.t.:
121). Sungguhpun sekolah ini telah dibubarkan, Ridha meneruskan hubungan
baiknya dengan Syaikh al-Jisr dan berusaha mengikuti kuliah-kuliahnya di
73
tempat lain, Madrasah al-Rahbiyyah di Tripoli, sehingga akhirnya ia berhasil
mendapatkan ijazah dan kewenangan untuk bisa mengajar.
Selain al-Jisr yang mempengaruhi perkembangan kepribadiannya, dua
tokoh idolanya, Jamaluddin dan Syaikh Muhammad Abduh, amat
mempengaruhi kepribadian dan perkembangan pemikirannya. Meskipun
pada awalnya pemikiran-pemikiran kedua tokoh dimaksud dicerna melalui
tulisan-tulisannya dalam Majalah Al-‘Urwah al-Wusqa yang diterbitkan oleh
keduanya di tempat isolasinya, Paris, konon Ridha tidak merasa puas
membaca majalah itu sebelum menyalin dengan tangannya sendiri dan
mendiskusikannya dengan al-Jisr. Timbullah dalam diri Ridha keinginan dan
kerinduan untuk bisa bergabung dengan kedua tokoh dimaksud namun tak
kesampaian, karena al-Afghani meninggal sebelum Ridha sempat
melaksanakan obsesinya.
Di bulan Syawal tahun 1897 belum lama setelah Jamaluddin al-Afghani
wafat. Ridha bermaksud Hijrah ke Mesir karena di Mesir dinilai lebih
memberikan harapan untuk dapat berkarya dan mengeluarkan gagasan-
gagasannya baik dalam bentuk tulisan maupun lisan. Lebih dari itu,
sebenarnya ia ingin berguru kepada orang yang paling dekat dengan al-
Afghani. Pada anggal 3 Januari 1898 Ridha tiba di Mesir melalui Iskandaria,
dan pada tanggal 23 dalam bulan yang sama ia menuju Kairo dan hari
berikutnya ia berjumpa dengan Syaih Muhammad Abduh di rumahnya (Al-
Syirbasyi t.t.:136). Sebelum ia datang di Mesir, sebenarnya Ridha pernah
mendapat kesempatan baik berjumpa dan berdialog dengan Muhammad
Abduh, sewaktu Abduh berada dalam pembuangannya di Beirut.
Perjumpaan-perjumpaan dan dialognya dengan Muhammad Abduh
meninggalkan kesan yang baik dalam dirinya. Pemikiran-pemikiran
pembaharuan yang diperolehnya dari Al-Jisr yang kemudian diperluas lagi
dengan ide-ide al-Afghani dan Abduh amat mempengaruhi jiwanya
(Nasution, 1975:70). Suatu waktu ia ditanya, mengapa anda memilih
meninggalkan tanah kelahiran sendiri, yang disana tidak kau jumpai
kemunkaran dan kata-kata kasar seperti di Mesir ini. Ridha menjawab, di
tanah airku aku tidak mempunyai kemerdekaan untuk mengutarakan yang
hak baik secara lisan maupun tulisan, padahal hati kecilku berkata
mengutarakan yang hak adalah kewajibanku. Seandainya aku mempunyai
kebebasan melakukan semua ini di negeriku tentu aku berada di sana.
Setelah agak lama berada di Mesir, sebagai langkah pertama, Ridha
mendesak dan meyakinkan gurunya, Muhammad Abduh agar mau
menerbitkan sebuah media Dakwah wa al-Islah untuk kemajuan ummat
Islam. Karena ide ini dinilai baik akhirnya guru setuju dan di bulan Sawal
74
tanggal 22 tahun 1315 H/ 15 Maret 1898 terbitlah majalah perdana dengan
nama Majalah al-Manar.
Dalam nomor perdananya dijelaskan bahwa tujuan al-Manar sama
dengan al-‘Urwah al-Wusqa yakni sebagai media pembaharuan dalam bidang
agama, sosial, ekonomi, menghilangkan paham yang menyimpang dari Islam,
peningkatan mutu pendidikan dan membela ummat Islam dari ketidak adilan
politik Barat (Adams, 1933:181).
Ridha melihat bahwa al-Qur’an yang merupakan hidayah bagi manusia
harus dipahami untuk selanjutnya diaktualisasikan dalam realitas sosial. Al-
Qur’an yang masih merupakan konsep samawi itu perlu diinterprestasikan
secara modern. Itulah sebabnya, sebagai langkah kedua, ia mendesak
gurunya, Muhammad Abduh agar segera menafsirkan al-Qur’an secara
modern. Obsesi Ridha berhasil setelah di tahun 1896 guru mulai memberikan
kuliah mengenai tafsir modern di al-Azhar (Al-Syirbasyi, t.t.:14).
Keterangan-keterangan yang diberikan guru ia catat untuk seterusnya ia
susun dalam bentuk karangan teratur. Apa yang ia tulis ia serahkan kepada
guru untuk diperiksa. Setelah mendapat persetujuan, karangan itu ia siarkan
dalam majalah al-Manar. Dengan demikian timbullah apa yang kemudian
dikenal dengan tafsir al-Manar. Muhammad Abduh memberikan kuliah-
kuliah Tafsir sampai ia meninggal di tahun 1905. Setelah guru meninggal,
murid meneruskan penulisan tafsir sesuai dengan jiwa dan ide yang
dicetuskan gurunya. Muhammad Abduh sempat memberikan tafsir sampai
dengan ayat 125 surat al-Nisa (Jilid III dari Tafsir Al-Manar) dan selanjutnya
adalah tafsiran murid sendiri (Nasution, 1985:71).
Sepeninggalan Muhammad Abduh, selain aktif menulis, Ridha juga aktif
dalam bidang politik dan dakwah. Tercatat tidak kurang dari delapan kali ia
melakukan kunjungan ke berbagai negara dalam rangka kegiatan politik dan
dakwah.
Di antaranya ke Istambul untuk mempersatukan kelompok Turki dan
kelompok Arab setelah Sultan Abdul Hamid turun tahta, sekaligus mencari
dukungan dana bagi pendirian Jam’iyyah wa al-Irsyad. Untuk maksud yang
sama ia juga pergi ke India dan berhasil mendapatkan sumbangan dana yang
cukup besar untuk proyeknya itu. Madrasah ini dengan segera didirikan
karena tersiar informasi dari berbagai penjuru khususnya dari Jawa, Sudan,
Singapura tentang kegiatan-kegiatan missionaris. Di tahun 1912 madrasah itu
secara resmi dibuka dan langsung menerima pendaftaran mahasiwa baru dari
seluruh dunia Islam dengan seleksi ketat dan prioritas bagi peserta yang
datang dari negara-negara yang sangat membutuhkan kader-kader dakwah.
75
Pada tahun 1916 sementara Perang Dunia I masih berlangsung dia pergi
ke Hijaz untuk menunaikan ibadah haji dan sekaligus mengucapkan selamat
atas keberhasilan Syarif Husain memberontak terhadap kekuasaan Turki.
Pada tahun 1920 dia menjadi presiden Kongres Nasional Siria yang memilih
Faisal sebagai Raja Siria (Inayat, 1988:169).
Pada tahun 1925 dalam kapasitasnya sebagai seorang anggota Partai
Persatuan di Kairo ia pergi ke Jenewa untuk ikut serta dalam Kongres Suria
Palestina. Dalam tahun yang sama ia berkunjung ke Hijaz untuk yang kedua
kalinya untuk mengadiri Kongres Islam yang membicarakan soal
pemerintahan Islam dan jabatan Khalifah. Waktu itu Hijaz sudah dikuasai
oleh Raja Abdul Aziz bin Su’ud, setelah berhasil mengusir Syarif Husain.
Terakhir pada tahun 1931 ia pergi ke Palestina atas undangan seorang
sahabat dan muridnya, Amin Husaini, Mufti Palestina, untuk menghadiri
kongres yang membicarakan kehadiran masyarakat Yahudi di Palestina dan
kemungkinan mendirikan satu Universitas Islam di sana (Sjadzali, 1990:
124). Di masa tua, meskipun kesehatannya selalu terganggu, ia tidak mau
tinggal diam dan senantiasa aktif. Akhirnya ia meninggal dunia di bulan
Agustus 1935, sekembalinya mengantarkan Pangeran Su’ud dari kapal Suez
(Nasution, 1975:72).
IDE-IDE PEMBAHARUANNYA
Sebagai seorang intelektual yang merasa bertanggung jawab atas
keterbelakangan ummat Islam dan terpanggil untuk mencari terapi
penyembuhannya, Ridha berusaha keras melahirkan konsep-konsep untuk
memperbaiki kehidupat ummat Islam dengan melakukan analisis terlebih
dahulu apa sebab-sebab keterbelakangan ummat tersebut. Paling tidak ada
tiga masalah pokok, menurut Ridha, yang perlu segera diperbaharui, yaitu:
A. Bidang Agama
Ridha prihatin melihat kondisi ummat Islam yang jauh ketinggalan dari
Barat. Setelah sekian lama merenung, ia berkesimpulan bahwa
keterbelakangan ummat Islam ternyata bukanlah karena ajaran Islam itu
sendiri, tetapi justru karena ummat Islam telah salah memahami Islam. Islam
dianggap sebagai beban dan pengahalang dalam dinamika kehidupan,
padahal sebenarnya Islam sangatlah mudah dan sederhana untuk diamalkan,
tetapi karena sudah dimasuki upacara-upacara spiritual yang sifatnya
bukanlah merupakan prinsip Islam kelihatannya menjadi berat dan sekaligus
penghalang bagi dinamika kehidupan. Akhirnya aktifitas dan dinamika
76
ummat Islam menjadi lemah dan tidak sesuai dengan jiwa semangat ajaran
Islam itu sendiri.
Dalam pandangan Ridha, telah masuk banyak bid’ah yang merugikan
bagi perkembangan dan kemajuan ummat Islam. Di antara bid’ah itu ialah
pendapat bahwa dalam Islam terdapat ajaran kekuatan batin yang membuat
pemiliknya dapat memperoleh segala apa yang dikehendakinya, sedangkan
kebahagian di akhirat dan dunia sebenarnya diperoleh melalui hukum alam
yang diciptakan Tuhan (Nasution, 1975:72). Untuk itu Ridha berpendapat
bahwa ummat Islam harus dibawa kembali kepada ajaran Islam yang
sebenarnya, murni dari segala bid’ah, sederhana dalam ibadah dan sederhana
dalam muamalahnya. Dalam soal muamalah hanya dasar-dasar yang
diberikan seperti keadilan, persamaan, pemerintahan Syura. Perincian-
perincian dan pelaksanaan dari dasar-dasar itu diserahkan kepada ummat
untuk menentukannya (Nasution, 1975:73).
Islam, demikian Ridha, melarang manusia berlebih-lebihan dalam agama,
memberantas ajaran-ajaran penyiksaan diri demi agama. Ini dibuktikan
dengan diperbolehkannya memakan makanan yang lezat-lezat dan memakai
perhiasan yang indah dan elok asal tidak berlebih-lebihan dan tidak bersikap
sombong (Al-Syirbasyi t.t.:455).
Rasyid Ridha sebagai Muhammad Abduh, menghargai akal, namun
penghargaannya terhadap akal tidak setinggi penghargaan yang diberikan
guru (Al-Syirbasyi t.t.:74). Salah seorang teman Ridha bercerita bahwa pada
suatu waktu ia dan kawan-kawannya terlibat diskusi dalam masalah-masalah
politik, sehingga diskusi itu tidak menghasilkan kesimpulan. Ridha adalah
salah seorang dari peserta diskusi. Setelah ia melihat semua kawan-kawannya
tidak mampu memberikan jawaban, Ridha mencoba mengutarakan
pemahamannya dengan penuh kesungguhan. Ternyata jawaban Ridha itu
dinilai tepat dan memuaskan para peserta diskusi, sehingga keluarlah
komentar dari kawan-kawannya bahwa Ridha hafal secara lafazh dan makna
akan Sulam Hanafi. Padahal pengakuan Ridha sendiri apa yang ia utarakan,
hanya berdasar pemahaman akalnya. Sehingga sejak itulah, Ridha tidak mau
menerima sesuatu kecuali bisa dimengerti oleh akal (Adawi t.t.:73).
Kelihatannya Ridha percaya bahwa akal yang sehat dan merdeka bakal bisa
mencapai kebenaran yang hakiki.
Masih berhubungan dengan akal ini, lebih jauh Ridha berkata bahwa al-
Qur’an datang memberi petunjuk kepada seluruh pengikut mazhab dan
penganut agama-agama kuno, agar mereka mempergunakan akalnya disertai
perasaan dan hati nurani untuk sampai kepada ilmu dan petunjuk serta
77
ketentraman dalam beragama. Agar tidak menganggap cukup hanya dengan
mengikuti saja jejak nenek moyangnya dalam bemazhab dan beragama,
sebab perbuatan taklid itu merupakan pelanggaran terhadap pitrah
kemanusiaan, pemerkosaan terhadap akal, fikiran dan kalbu, yang justru
dengan itu manusia jadi berbeda dan istimewa dibanding makhluk lain (Al-
Syirbasyi t.t.: p. 428). Ridha meyakini bahwa Islam itu adalah agama yang
menjunjung ilmu dan menganjurkan kebebasan berfikir dan dapat
diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari (Al-Syirbasyi t.t.:429). Tesis
Ridha ini menghargai kemerdekaan akal yang berujung pada masih
terbukanya kesempatan ijtihad, sekaligus mengecam sikap taklid yang hanya
akan memenjarakan ummat Islam dalam kejumudan.
Faktor utama keterbelakangan ummat Islam dalam pandangan Ridha
ialah adanya paham fatalisme di kalangan ummat Islam. Sebaliknya salah
satu sebab yang membawa masyarakat Eropa kepada kemajuan ialah paham
dinamika yang terdapat di kalangan mereka. Padahal Islam mengandung
ajaran dinamika. Orang Islam disuruh bersikap aktif. Dinamika dan sikap
aktif itu terkandung dalam kata jihad. Jihad dalam arti berusaha keras dan
bersedia mengorbankan harta bahkan jiwa untuk mencapai tujuan
perjuangan. Paham jihad serupa inilah yang menyebabkan ummat Islam di
zaman klasik dapat menguasai dunia (Nasution 1975:74).
Terhadap sikap fanatik yang terdapat di zamanya ia menganjurkan supaya
toleransi bermazhab dihidupkan. Menurutnya, yang perlu dipertahankan dan
tidak perlu diubah adalah yang berkaitan dengan ajaran dasar Islam (ushul),
sedangkan yang bukan ushul dan bersifat mualamat diberikan kemerdekaan
bagi setiap orang untuk menjalankannya sesuai dengan pilihannya (Nasution,
1975:37).
Kelihatannya Ridha masih mentolerir tentang keberadaan mazhab dan
menilai semua mazhab itu benar sejauh masih mempunyai landasan dalam al-
Qur’an dan hadis. Ridha sendiri menganut mazhab salaf yang dikembangkan
Taimiyyah dan dipelopori Ahmad Ibn Hanbal. Malah ada sumber yang
menyatakan bahwa Ridha adalah pengamal Thariqat Naqsyabandiyah (Al-
Syirbasyi t.t.:125). Sebelumnya ia banyak mengenal dunia tasawuf lewat
Kitab Ihya Ulumuddin karya Imam Gazali dan ternyata kitab Ihya ini
berpengaruh terhadap pola hidupnya.
B. PENDIDIKAN
Dalam upaya mengejar keterbelakangan dalam segala bidang Ridha
menilai bahwa pembaharuan dalam bidalng pendidikan adalah prinsip dan
78
tidak perlu ditunda-tunda. Keberhasilan dalam bidang pendidikan merupakan
syarat mutlak untuk mencapai kemajuan. Pembaharuan dalam bidang
pendidikan, bagi Ridha, disamping fasilitas harus mencukupi, yang paling
penting adalah penyempurnaan dan pembaharuan dalam bidang kurikulum.
Untuk itu, Ridha berpendapat bahwa perlu ditambahkan ke dalam kurikulum
itu mata-mata pelajaran sebagai berikut: teologi, pendidikan moral, sosiologi,
ilmu bumi, sejarah, ekonomi, ilmu hitung (matematika), ilmu kesehatan,
bahasa-bahasa asing dan ilmu mengatur rumah tangga (semacam pkk),
disamping fiqih, tafsir, hadis dan lain-lain yang biasa diberikan di madrasah-
madrasah (Nasution, 1975:71).
Peradaban barat modern, menurut Ridha, didasarkan atas ilmu
pengetahuan dan teknologi, yang sama sekali tidak bertentangan dengan
Islam. Demi kemajuan Islam, ummat harus mau menerima peradaban
Barat.Ia mengatakan bahwa kemajuan ummat Islam di zaman klasik karena
mereka menguasai bidang ilmu pengetahuan. Barat maju karena mereka
mengambil ilmu pengetahuan yang dikembangkan ummat Islam. Dengan
demikian, mengambil ilmu pengetahuan barat modern sebenarnya berarti
mengambil kembali ilmu pengetahuan yang pernah dimiliki ummat Islam
(Nasution, 1975:100-101).
Dalam berbagai artikel yang dimuat dalam al-Manar, sering Ridha
mengungkap tentang kedudukan harta dalam Islam. Harta harus dijadikan
sarana untuk mencapai cita-cita haiki yaitu Ridha Tuhan. Harta tidak boleh
dijadikan tujuan dan sasaran hidup manusia. Dalam kaitannya dengan
masalah pendidikan, Ridha berpendapat bahwa ummat Islam harus berani
berkorban dengan harta untuk membangun sarana pendidikan. Membangun
sarana pendidikan lebih baik ketimbang membangun masjid. Baginya, masjid
tidak mempunyai nilai yang berarti apabila orang-orang yang saleh di
dalamnya hanyalah orang-orang yang bodoh. Menurutnya, pembangunan
sarana pendidikan adalah media yang dapat menghapus kebodohan. Satu-
satunya cara menuju kemakmuran adalah perluasan dan pemerataan
pendidikan secara umum (Adams, 1933:195-196).
Gagasan pembaharuan Ridha dalam bidang pendidikan ini nampaknya
tidak terlepas dari pengaruh dua tokoh yang mendahuluinya, yaitu al-Jisr dan
Abduh. Al-Jisr, misalnya, berpendapat bahwa satu-satunya jalan yang harus
ditempuh ummat Islam untuk mencapai kemajuan adalah memadukan ilmu-
ilmu keIslaman dan ilmu-ilmu sekuler dengan menggunakan metode modern
(Adawi t.t.:24 dan Al- Syirbasyi t.t.:121).
79
Demikian pula halnya Abduh, di mana ia mengatakan bahwa ummat
Islam harus mau mempelajari dan mementingkan ilmu pengetahuan, sekolah-
sekolah modern harus dibuka, di mana-mana ilmu pengetahuan modern perlu
diajarkan disamping pengetahuan agama. Dengan memasukkan ilmu
pengetahuan modern ke dalam al-Azhar dan dengan memperkuat pendidikan
agama di sekolah-sekolah pemerintah, demikian Abduh, bahaya dualisme dan
dikhotomi antara ilmu pengetahuan agama dan umum akan dapat diperkecil
(Nasution, 1987:67).
Pengaruh al-Jisr tampak lebih kentara ketika di tahun 1912 Ridha
mendirikan Madrasah al-Dakwah wa al-Irsyad. Kalau al-Jisr mendirikan
madrasah di Tripoli untuk mengimbangi missionaris Kristen, demikian juga
Ridha membangun Madrasah ini untuk menangkal missionaris Kristen dalam
sekala besar. Ridha berpendapat bahwa missionaris Kristen hanya akan bisa
di tangkal dengan penyebaran dai-dai profesional yang kelak akan dihasilkan
sekolah ini ke berbagai penjuru dunia. Dai-dai yang dicita-citakan Ridha
ialah mereka yang mampu dalam ilmu keagamaan secara baik dan mengenal
secara luas luas ilmu-ilmu dunia, disamping memiliki kepribadian yang
mantap. Dakwah yang dilaksanakan adalah dakwah dalam arti luas dengan
metode dan tekhnik yang cocok untuk setiap daerah.
C. Politik
Sebagaimana al-Afghani, Ridha melihat perlunya dihidupkan kembali
kesatuan ummat Islam. Salah satu sebab kemunduruan ummat Islam ialah
perpecahan yang terjadi di kalangan mereka. Kesatuan yang dimaksud
bukanlah kesatuan yang didasarkan atas kesatuan bahasa atau kesatuan
bangsa, tetapi kesatuan atas dasar keyakinan yang sama. Oleh karena itu, ia
tidak setuju dengan gerakan nasionalisme yang dipelopori Mustafa Kamil di
Mesir dan gerakan Nasionalisme Turki yang dipelopori Turki Muda. Ia
menganggap bahwa paham nasionalisme bertentangan dengan ajaran
persaudaraan selurut ummat Islam. Persaudaraan dalam Islam tidak kenal
pada perbedaan bahasa, tanah air dan perbedaan bangsa (Nasution1975: p.
74). Semua ummat bersatu dibawah satu keyakinan, satu sistem moral dan
satu sistem pendidikan dan tunduk pada satu sistem hukum. Hukum dan
undang-undang tidak dapat dijalankan tanpa kekuasaan pemerintah. Oleh
karena itu kesatuan ummat perlu mengambil bentuk negara. Negara yang
dianjurkan Rasyid Ridha ialah negara dalam bentuk kekhalifahan. Kepala
Negara ialah khalifah. Khalifah karena mempunyai kekuasaan legislatif harus
mempunyai sifat mujtahid tetapi dalam pada itu khalifah tidak boleh
mempunyai sifat absolut bangsa (Nasution, 1975:74).
80
Ridha bukan hanya mempertahankan lembaga kekhilafahan, malah
mempertahankan lembaga khilafah ini agar tetap di tangan bangsa Turki. Al-
Manar, majalah yang dipimpinnya meskipun ide dasarnya sebagai media
pembaharuan, secara politis majalah ini merupakan sarana untuk mendukung
kekhalifahan Turki. Lebih dari itu, pengertian Jami’ah Islamiyyah bagi Ridha
ialah persatuan dan kesatuan ummat Islam dibawah kepemimpian Sultan
Abdul Hamid (Marakisy t.t.:114).
Sulit mencari alasan mengapa Ridha begitu loyal terhadap imperial
Turki, khususnya kepada Sultan Abdul Hamid. Rupa-rupanya dalam
kapasitasnya sebagai seorang pembaharu ia merasa perlu mendapatkan
dukungan moral dari penguasa, lebih-lebih setelah Ridha mendirikan
Madrasah al-Dakwah wa al-Irsyad, bukan hanya memerlukan dukungan
moral tetapi juga dukungan material, sungguhpun harapan yang disebut
terakhir ini tidak didapatinya kecuali dari India. Ridha adalah penganut Sunni
fanatik yang meyakini bahwa kedudukan Sultan Turki adalah sebagai
pengganti (khalifa) dan penerus Nabi yang secara syar’i wajib ditaati.
Mengulang betapa pentingnya mewujudkan khilafah dalam dunia
Islam, Ridha mengatakan bahwa mendirikan khilafah itu adalah kewajiban
yang berdasar atas syara, berdosa semua ummat bila tak seorangpun
mendirikannya. Malah ummat menempati posisi jahiliyyah bila mati tanpa
terwujud khilafah. Semua ummat dituntut untuk merealisasikannya. Suara
ummat ditampung dan diwakili oleh ahlu al-Halli wa al-‘Aqdi. Jadi ahlu al-
halli wa al-‘aqdi inilah yang harus bertanggung jawab atas keberadaan
khilafah dan kemaslahatan ummat secara umum (Ridha t.t.:58).
Mengenai tesis Ridha ini, kalau boleh menilai, nampaknya profesi ini merupakan kesimpulan yang tegesa-gesa. Karena kalau kita kaji ayat-ayat
dalam al-Qur’an, seperti kata para ahli, tidak ada satupun yang menyatakan
bahwa negara itu harus mengambil bentuk khilafah. Memang benar dalam
hidup bermasyarakat tiap kelompok manusia memerlukan penguasa yang
mengatur dan melindungi kehidupan mereka, tetapi pemerintahan itu tidak
mesti mengambil bentuk khilafah, melainkan dapat beraneka ragam bentuk
dan sip\fatnya disesuaikan engan perkembangan zaman, sebab masalah ini
masalah ijtihadi, bisa berbentuk konstitusional, kekuasaan absolut, republik
atau bentuk lainnya. Kedudukan Negara dalam Islam adalah sebagai suatu
alat (instrumen) untuk membumikan cita-cita moral Islam berupa kebebasan,
keadilan, kemakmuran persamaan, persaudaraan dan sebagainya sesuai
dengan petunjuk al-Qur’an, namun al-Qur’an sendiri tidak menunjukkan
bentuk atau model pasti yang harus diambil. Itulah sebabnya ulama bersilang
81
pendapat mengenai bentuk dan sistem instrumen tersebut. Dengan demikian,
mengenai sistem pemerintahan ini termasuk masalah ijtihad, sejauh tidak
bertentangan denga cita-cita moral Islam bentuk dan sifat manapun yang
diambil tidak dilarang dalam Islam.
Mengenai siapa ahlu al-halli wa al-aqdi ini, kelihatannya konsep
Ridah agak maju selangkah ketimbang pemikir klasik lainnya. Bagi Ridha
ahlu al-halli wa al-aqdi bukan hanya terdiri dari ulama mujtahid saja tetapi
jug dari pemuka-pemuka masyarakat di berbagai bidang, termasuk bidang
perdagangan, perindustrian dan sebagainya (Ridha t.t.:58). Tetapi baru
sampai batas itu konsep ahlu al-halli wa al-aqdi dalam pandangan Ridha. Ia
tidak menjelaskan lebih lanjut tentang bagaimana pengangkatan ahlu al-halli
wa al-aqdi itu, apakah dipilih oleh rakyat atau ditunjuk oleh khalifah.
Selanjutnya, ahlu al-halli wa al-aqdi ini tidak berakhir dengan usainya
pengangkatan Khalifah. Mereka terus berperan sebagai pengawas terhadap
jalannya pemerintahan dan harus menghalangi dari berbuat penyelewengan,
kalau perlu dengan jalan kekerasan. Menurut Ridha, mereka harus
mengadakan perlawanan terhadap kezhaliman dan ketidak-adilan Khalifah.
Dan kalau kepentingan ummat dibahayakan, mereka dapat mengakhiri
kekuasaannya dengan perang atau kekerasan sekalipun (Maharakisi t.t.:138
Sjadzali, 1990:135).
Ridha membedakan antara fungsi khalifah dan ahlu al-halli wa al-
aqdi. Fungsi khalifah ialah menyebarkan kebenaran, menegakkan keadilan,
memelihara agama dari serangan musuh dan bermusyawarah dalam hal-hal
yang tidak ada nasnya dalam al-Qur’an, dengan pengawasan ahlu al-halli wa
al-aqdi (Ridha t.t.:140). Begitu berat tugas Khalifah, maka khalifah haruslah
seorang mujtahid besar dan dibawah Khalifah serupa inilah kemajuan dapat
dicapai dan kesatuan ummat dapat diwujudkan. Dalam kesatuan ini termasuk
segala golongan ummat Islam. Untuk mewujudkan kesatuan ummat
meletakkan harapan pada kerajaan Usmani, tetapi harapan itu hilang setelah
Mustafa Kamil berkuasa di Istambul. Selanjutnya ia meletakkan harapan itu
pada kerajaan Saudi Arabia setelah Abdul Aziz berkuasa, tapi itupun tak jadi
kenyataan (Nasution, 1975:75).
D, PENUTUP
Setelah mengkaji prestasi, karir dan gagasan-gagasan Ridha dalam
pembaharuan agaknya penulis mempunyai kecenderungan untuk
menempatkan Ridha dalam kelompok pembaharu bercorak tradisional yang
bersifat moderat. Ide-ide Ridha, memang tidak jauh berbeda dengan apa yang
telah diungkap kedua gurunya, Al-Afghani dan Abduh. Namun dalam
82
beberapa hal ide-ide Ridha dalam bidang pendidikan dan politik tampak lebih
jelas dan realistis. Dan ide-idenya, dalam bidang politik sangat berpengaruh
dalam masyarakat Indonesia.
83
MUHAMMAD ABDUH DAN RASYID RIDHA
(PERBANDINGAN ANTARA GURU DAN MURID)
Oleh
Nasarudin Umar
I. Perbandingan Latar Belakang
Abduh dan Ridha menempati posisi yang amat penting dalam sejarah
pergerakan pemikiran dan pembaharuan dalam Islam, baik di Mesir maupun
dunia Islam pada umumnya. Ide-idenya begitu cepat meluas ke berbagai
pelosok dunia Islam.
Hubungan antara Abduh dan Ridha adalah sebagai guru dan murid. Ridha
mulai mengenal Abduh ketika Abduh berada dalam pembuangan di Beirut.
Namun demikian, Ridha sudah mengenal Abduh jauh lewat karya-karyanya
di dalam majalah Al-Urwah al-Wustqa.
Ia mencoba menjalankan ide-ide pembaharuannya ketika masih tinggal di
Suriah, tetapi usaha-usahanya mendapat tantangan dari pihak kerajaan
Ustmani, karena merasa terikat dan tidak bebas, maka ia memutuskan untuk
ke Mesir bergabung dengan Muhammad Abduh pada bulan Januari 1898.
Beberapa bulan kemudian ia mulai menerbitkan majalah yang termasyur,
Al-Manar al-Wusqa, yakni mengadakan pembaharuan dalam bidang agama
sosial dan ekonomi, memberantas tahayul dan bid’ah yang masuk dalam
Islam, menghilangkan faham fatalisme dan faham-faham keliru lainnya yang
dibawa tarekat-tarekat tasawuf, meningkatkan mutu pendidikan dan membela
ummat Islam dari permainan politik negara Barat.
Apa yang termuat di dalam Al-Manar sesungguhnya tidak lain adalah ide-
ide Abduh, bahkan di antara artikel-artikel yang terdapat di dalamnya adalah
karangan-karangan atau bahan-bahan kuliah Abduh.
Meskipun demikian, tidak berarti Abduh identik dengan Ridha. Dalam
banyak hal pemikiran Abduh kelihatan jauh lebih liberal dibandingkan
dengan pemikrian Ridha, sebagaimana yang akan diuraikan nanti. Hal itu
mungkin disebabkan oleh latar belakang lingkungan keluarga, pendidikan,
pengalaman pribadi, dan yang tak kurang pentingnya adalah faktor
kecerdasan.
84
Ayah Abduh termasuk keluarga yang sangat memperhatikan pendidikan.
Dalam tempo dua tahun Abduh sudah hafal Al-Qur’an ketika usianya baru
dua belas tahun, setelah itu Abduh diupayakan oleh orang tuanya untuk
melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi, tetapi watak yang
keras Abduh menyebabkan ia berpindah-pindah dari satu sekolah ke sekolah
yang lain. Ia tidak puas terhadap sekolah yang hanya menerapkan metode
menghafal di luar kepala yang dinilainya tidak memberikan hasil seperti yang
diharapkan. Abduh mulai bergairah kembali belajar setelah diperkenalkan
metode baru oleh Syeikh Darwisy Khadr, seorang guru yang pernah
mengecap pendidikan di Mesir, Libia, dan Tripoli. Selanjutnya Abduh
melanjutkan pendidikannya di Al-Azhar dan di sanalah ia bertemu tokoh
idolanya, Jamaluddin al-Afghani.
Rasyid Ridha yang memakai gelar al-Sayyid di depan namanya karena ia
berasal dari keturunan al-Husain, cucu Nabi Muhammad SAW. Ia
melanjutkan pndidikan disebuah sekolah yang didirikan oleh Syeikh Husain
al-Jisr, yang telah dipengaruhi ide-ide modern. Sekolah tersebut sudah
memasukan mata kuliah Barat (bahasa Perancis dan sains). Namun demikian
materi pendidikan agama masih dipengaruhi secara mendalam oleh tulisan-
tulian al-Ghazali. Pada mulanya Ridha mencoba kehidupan spiritual dengan
menjalankan ajaran sufi sekalipun kemudian ia keluar karena ketidak-
setujuannya akan penekanan mereka pada tata-cara dan upacara eksotis.
Pikirannya mulai berubah dalam tahun 1893 setelah menemukan salinan-
salinan Al-Urwah al-Wusqa, di antara tumpukan buku-buku ayahnya dan
sejak itu Ridha mulai sangat tertarik pada ide-ide al-Afghani. Ridha tambah
bersemangat setelah sempat bertemu dan berdialog dengan murid Afghani,
yakni Muhammad Abduh.
Sepintas dapat dilihat adanya perbedaan latar belakang pendidikan dan
pengalaman keagamaan anatara Abduh dan Ridha. Abduh sejak kecil
nampaknya secara bebas menentukan model pendidikan yang disukainya.
Sedangkan Ridha sampai dalam usia 28 tahun masih terikat dengan pola
kehidupan sufistik.
Kecemerlangan Abduh dan Ridha tak dapat dipisahkan dengan pengaruh
Jamaluddin Afghani. Abduh tertarik dan banyak dipengaruhi oleh ide-ide
Afghani, sekalipun anatar keduanya sering terjadi perbedaan, demikian pula
Ridha, sekalipun ia tidak pernah bertemu dengan Afghani tetapi melalui
karya-karyanya ia banyak mengenal ide-ide Afghani.
Kalau Ridha tidak pernah bertemu langsung dengan Afghani, sebaliknya
Abduh beretemu langsung dengannya, bahkan seringkali terlibat secara
85
bersama-sama dalam suatu masalah politik, ia seringkali turut memikul
akibat yang sesungguhnya disebabkan oleh Afghani, gurunya.
Afghani yang berpengaruh terhadap kedua tokoh yang kita bahas ini,
hingga sekarang belum ada kesepakatan tentang asal usulnya. G.H. Jansen
menduga bahwa dia adalah seorang anggota utama salah satu tarekat yang
bergerak dari suatu daerah ke daerah lain seperti di India, Persia, Mesir,
Turki, Inggris, Iran, dan Rusia. Dalam kapasitasnya pembawa misi tertentu,
ia terkadang bertindak sebagai guru atau da’i yang menarik dari Afghani
ialah kemana saja ia pergi di situ mempunyai murid dan pengikut. Murid-
muridnya pun bermacam-macam, ada yang menonjol sebagai politisi, seperti
Arabi Pasha, dan ada yang menonjol sebagai penulis seperti Adib Ishaq,
murid dan sekaligus sahabatnya yang paling menonjol dan paling memahami
ide-idenya ialah Muhmmad Abduh. Abduh sering kali menyertai lawatan
gurunya, termasuk ketika gurunya itu melakukan lawatan ke Paris. Dalam
lawatan ke Paris ini, Abduh merasa mendapat pengalaman berharga terutama
ia sempat mengikuti dialog antara gurunya dengan filosof dan sejarawan
Perancis terkenal, Ernest Renan, yang banyak mendalami karya-karya Ibn
Rusyd dan Ibn Sina.
Optimisme Afghani yang kemdian ditularkan kepada murid-muridnya
didasarkan pada kenyataan bahwa keunggulan Islam atas agama lain, dari
Hinduisme sampai Kristen dan Zoroasterianisme, terletak pada dogma-
dogmanya (Islam) yang fundamental yang sepenuhnya dapat dirasionalkan
dan bebas dari unsur-unsur rahasia. Konsep rasionalisasi dogma Afghani
selanjutnya berpengaruh kepada murid-muridnya. Abduh misalnya, secara
gamblang telah menguraikan hal tersebut ke dalam berbagai karyanya. Ridha
juga mencoba melanjutkan ide-ide tersebut dalam berbagai karyanya tetapi
kelihatan Ridha lebih hati-hati, seperti ketika ia membahas tentang fungsi
wahyu, soal perbuatan manusia, dan sifat-sifat Tuhan, kelihatan Abduh jauh
lebih liberal.
Abduh yang banyak melakukan perjalanan ke luar negeri dan menguasai
beberapa bahasa di Eropa seperti bahasa Perancis, demikian pula banyaknya
jabatan profesi yang pernah didudukinya, seperti Mufti Mesir, Anggota
Majlis Perwakilan (Legislative Concil), di samping kapasitasnya sebagai
seorang guru. Pengalaman-pengalaman yang padat yang pernah dilalui
memberinya wawasan yang luas. Sedangkan Ridha, meskipun juga
mempunyai banyak pengalaman tetapi tidak seluas pengalaman gurunya,
sekalipun masa hidup Ridha lebih lama (70 th) dibanding dengan Abduh (56
th). Kalau ide-ide Abduh dengan gurunya (Afghani) tidak dijumpai
86
perbedaan yang mendasar tetapi Ridha dengan gurunya (Abduh) dapat
ditemukan beberapa perbedaan mendasar.
II. Perbandingan Metodologi
Kalau kita meminjam istilah dalam teologi, metodologi berfikir itu dapat
dibagi pada dua bagian, yaitu pola berfikir Mu’tazilah, yang memberikan
peran lebih besar kepada akal dan pola berfikir Asy’ariah yang memberikan
peran yang sangat kecil kepada akal. Mungkin pola ini kurang tepat, tetapi
dalam memudahkan permasalahan untuk sementara pola ini dipergunakan
pada kedua tokoh yang kita bahas; yakni Abduh menganut pola yang pertama
sedangkan Ridha menganut pola yang kedua.
Indikator yang dapat mendukung dasar kategori tersebut adalah sebagai
berikut:
1. Sebagai halnya Ridha, Abduh mendasarkan pikirannya pada al-
Qur’an dan Hadits, tetapi Abduh, sebagaimana halnya mu’tazilah,
menerapkan ta’wil dalam memahami ayat-ayat al-Qur’an dan
hanya berpegang kepada hadits-hadits mutawatir, sedangkan Ridha
tidak membenarkan ta’wil pada ayat-ayat mutajassimah dan bukan
hanya berpegang kepada hadits-hadits mutawatir tetapi juga
kepada hadits-hadits shahih.
2. Sebagaimana halnya Mu’tazilah, Abduh tidak mau terikat pada
salah satu aliran atau mazhab, sedangkan Ridha masih mengikuti
suatu mazhab, yaitu mazhab Ahmad ibn Hanbal dan pendapat-
pendapat Ibn Taimiyah dan Wahabiyah.
3. Dalam menafsirkan al-Qur’an, Abduh, sebagaimana halnya
Mu’tazilah, menekankan kepada penafsiran secara filosofis,
sehingga surga dan neraka misalnya, menurut Abduh tidak bersifat
fisik tetapi bersifat rohaniah, sedangkan Ridha banyak menghindar
kepada penafsiran secara filosofis, sehingga surga dan neraka
menurutnya sama dengan pendapat Asy’ariah, yaitu bersifat
jasmaniah.
III. Perbandingan Pemikiran
Perbedaan pokok Pemikiran antara Abduh dan Ridha dapat ditemukan
pada tiga hal pokok, yaitu mengenai fungsi wahyu dan kekuatan akal,
perbuatan dan kebebasan manusia, dan sifat-sifat Tuhan.
87
1. Fungsi Wahyu dan Kekuatan Akal.
Perbedaan pandangan teologis antara Abduh dan Ridha dapat dianalisa
melalui pernyataan-pernyataan dan penafsiran-penafsirannya terhadap
beberapa ayat dalam al-Qur’an.
Abduh mengaggap kekuatan akal dapat mengetahui Tuhan dan sifat-
sifat-Nya, mengetahui adanya hidup di akhirat, mengetahui bahwa
kebahagiaan jiwa di akhirat bergantung pada mengenal Tuhan dan
berbuat baik, sedangkan kesengsaraanya bergantung pada tidak
mengenal Tuhan dan perbuatan jahat, mengetahui wajibnya mengenal
Tuhan, mengetahui wajibnya manusia berbuat baik dan wajibnya
menjauhi perbuatan jahat untuk kebahagiannya di akhirat, dan membuat
hukum-hukum untuk kewajiban itu.
Begitu besar peranan akal bagi Abduh sehingga tidak tampak fungsi
wahyu. Banhkan walau demikian pandangan teologis Abduh, berarti
Abduh jauh lebih liberal dari pada tokoh-tokoh Mu’tazilah lain
sebelumnya. Abduh mengemukakan enam poin dan bandingkan dengan
Asy’ary yang hanya mnegemukakan satu poin, Maturidi Bukhara dua
poin dan Maturidi Samarkan tiga poin.
Sebagai murid Abduh, Ridha juga memberikan peran akal yang
besar, yaitu mampu mengantarkan pada bukti-bukti adanya al-wajib al-
wujub, ilmu dan hikmahnya, kewajiban bersyukur dan mengagungkan
serta kewajiban beribadah kepada-nya. Bahkan menurut Ridha akal juga
dapat menerima ajaran tentang kekekalan jiwa. Sampai di sini belum
ditemukan perbedaan yang prinsip dengan gurunya, bahkan pada bagian
lain ketika Ridha menjelaskan fungsi wahyu, ia hanya menukil pendapat
gurunya tanpa memberikan komentar, misalnya ketika menjelaskan
tentang kebutuhan manusia pada Rasul.
Meskipun Ridha nampaknya menghargai kedudukan akal, tetapi
agaknya ia tidak konsisten. Terbukti ketika membahas ajaran-ajaran
yang bersifat ‘ubudiyah nampaknya menekankan penggunaan akal. Bagi
Ridha persoalan-persoalan seperti ‘ubudiyah tidak perlu diijtihadkan
lagi; ijtihad hanya diperlukan dalam soal hidup kemasyarakatan.
Demikian pula terhadap ayat-ayat dan hadis-hadis yang mengandung arti
tegas, ijtihad tidak diperlukan lagi, akal hanya diperlukan pada ayat-ayat
dan hadis-hadis yang pengertiannya tidak tegas dan tidak mendapatkan
penjelasan dari ayat-ayat lain atau dari hadis.
88
Perbandingan antara keduanya dapat pula dilihat ketika keduanya
memberikan komentar terhadap hadis-hadis Nabi tentang terpecahnya
ummat menjadi 73 golongan dan hanya satu golongan di antara golongan
tersebut yang dinyatakan masuk surga. Abduh tidak menegaskan siapa
yang satu golongan tersebut karena menurutnya semua golongan tersebut
tetap mendasarkan pandangan-pandangannya kepada Al-Qur’an dan
Hadits serta ijma’. Sedangkan Rida menegaskan bahwa golongan yang
selamat tersebut ialah golongan al-Hadis dan ulamanya yang mendapat
petunjuk dari orang-orang salaf, yakni ulama yang mendahulukan kalam
Allah dan Rasul-Nya atas segala sesuatu dan tidak mentakwilkannya.
Ridha memahami sikap gurunya yang tidak memberikan ketegasan
karena gurunya dianggap masih kurang menelaah kitab-kitab hadis, lagi
pula gurunya waktu itu masih sedang menekuni ilmu kalam, ditambah
lagi al-Azhar pada waktu itu sedang dikembangkan kebebasan berfikir
dan menentang fanatisme dan taklid.
Yang sangat kontradiksi dengan gurunya adaah mengenai ta’wil, Ridha
menolak penggunaan ta’wil sedangkan Abduh membolehkannya.
2. Perbuatan dan Kebebasan Manusia
Menurut Ridha, perbuatan manusia atas dasar kehendak dan
pilihannya sediri, apakah itu perbuatan baik atau buruk. Semua
perbuatan manusia, termasuk iman terjadi karena perbuatan dan
pilihannya, hanya saja yang menjadikan manusia mewujudkan
perbuatannya adalah iradah Allah. Kasb dan masyiah Allah, dengan
demikian, manusia tidak dapat membebaskan diri dari Allah ia
senantiasa membutuhkan taufik dan pertolongannya. Ridha beranggapan
bahwa Tuhan telah membuat sunnah Allah yang tidak berubah-ubah
yang berlaku untuk semua makhluk. Sunnah tersebut ia juga
menyebutnya dengan nidhzam al-‘am.
Ridha beranggapan bahwa daya (qudrah), kemampuan, dan iradah
manusia untuk berbuat adalah pemberian Allah dan dijadikan menurut
masyiah-Nya. Tuhan menciptakan manusia dengan daya yang terbatas
dan dengan masyiah yang berpangkal pada perbuatan yang dipilihnya
sendiri. Tuhan menjadikan sesuatu dengan qadar dan taqdir, yakni
menciptakan aturan yang di dalamnya berlaku hukum sebab akibat.
Ridha lebih jauh menjelaskan bahwa manusia itu tidak menciptakan
perbuatannya sendiri secara bebas tanpa masyiah Tuhan dan Sunnah-Nya
pada makhluk-Nya. Nampaknya menurut Ridha, pilihan manusia itu
terbatas hanya pada memilih hukum sebab akibat yang telah disediakan
89
kepadanya, agaknya ia ingin mengatakan bahwa perbuatan itu bukan
semata-mata perbuatannya sendiri melainkan ada keterlibatan Tuhan di
dalamnya, tetapi ia juga enggan mengatakan bahwa perbuatan itu
sepenuhnya kehendak Allah. Yang jelas kita dapat lihat dalam uraian
tersebut bahwa manusia dalam melakukan perbuatannya adalah tidak
merdeka, karena perbuatan-perbuatannya tidak murni dari manusia tetapi
ada campur tangan Tuhan, karenanya, menurut pendapat ini, manusia itu
lemah dan bergantung kepada kehendak kekuasaan Allah dan dengan
demikian sesungguhnya Tuhanlah yang lebih aktif dalam mewujudkan
perbuatan manusia.
Pandangan teologis Ridha ketika menafsirkan ayat 123 Surah Hud,
mengigatkan kita pada konsep kasb-nya Asy’ary yang cenderung searah
dengan faham Jabariah. Ridha mengatakan bahwa :
Begitu pula ketika menafsirkan ayat 20 Surah Al-Baqarah ia mengatakan:Dari
uraian tersebut dapat dilihat betapa lemahnya posisi manusia dalam
menentukan dan melakukan perbuatannya di mata Ridha. Berbeda dengan
Abduh yang memandang manusia itu mempunyai kebebasan dalam kemauan
dan perbuatannya. Kebebasan manusia menurut Abduh hanya dibatasi oleh
perhitungan-perhitungannya sendiri dalam meraih sukses bukan karena
keterbatasan kemampuan yang Tuhan berikan kepadanya melainkan
kelemahan manusia dalam memperhitungkan perilaku Sunnah Allah. Jadi,
kegagalan manusia dalam meraih sukses bukan karena keterbatasan
kemampuan yang Tuhan berikan kepadanya melainkan kelemahan manusia
dalam memperhitungkan perilaku Sunnah Allah. Mengenai Sunnah Allah,
Ridha seolah-olah membayangkan Tuhan itu adalah bagaikan raja yang
absolut, bebas berbuat tanpa keterikatan dengan Sunnan yang sudah dibuatnya,
berbeda dengan Abduh, seolah-olah menganggap Sunnan Allah dibuat oleh
Tuhan dan juga dirinya.
3. Sifat-sifat Tuhan
Ridha dengan tegas mengakui adanya sifat-sifat Allah. Ia
menempatkan pengetahuan tentang Allah, sifat-sifat, dan perbuatanny,
sebagai ilmu yang fundamental bagi kesempurnaan manusia,
sebagaimana yang ia katakan:
ىن انه اعظم الوسائل لكمال العلم العلم بااهلل تعاىل ىف خلقه فهو وسيلة ومقصد، اع الذى قبله ومن قرب الطرق اليه واقوى االيات الدلة عليه
Lebih jauh Ridha mengatakan bahwa Allah sendirilah yang mentapkan
sifat-sifat itu bagi dirinya akan tetapi sifat-sifat itu tidak serupa dengan
90
sifat-sifat yang ada pada makhluknya, semua sifat-sifat Allah
menunjukkan kepada kesempurnaan yang paripurna. Allah
mengunakan sifatnya dengan bahasa manusia agar manusia dapat
memahami sifat –sifat tersebut sesuai dengan tingkat kemampuannya;
namun, perbandingan antara sifat Tuhan dengan sifat makhluk nya
adalah ketidak serupaan pada essensinya.Ridha banyak menukil
pendapat Ahlu Sunnah dalam membela pendapat-pendapatnya tentang
adanya sifat-sifat Tuhan dengan mengatakan bahwa Allah itu Maha
Suci dari keserupaan dengan makhluknya, baik dalam zat, sifat,
maupun perbuatannya. Bagi Ridha, penggunaan nama yang sama tidak
mengharuskan persamaan pada sesuatu yang diberi nama tersebut.
Pendapat Ridha ini sangat berbeda dengan pendapat gurunya yang
cenderung kepada pendapat filosof yang meniadakan sifat-sifat Allah.
Ayat-ayat yang berhubungan dengan sifat-sifat Tuhan, Ridha
cenderung melakukan penafsiran secara harfiah dengan berpegang
kepada tanzih, sebaliknya gurunya cenderung menafsirkannya secara
rasional dan filosofis, sebagai contoh, melihat Tuhan di akhirat, bagi
Ridha adalah suatu kenikmatan yang tertinggi dan sempurna, tentang
cara melihatnya, Ridha mengikuti pendapat ulama Salaf yakni ru’yah
bi la kaif. Sedangkan Abduh berpendapat bahwa melihat Tuhan di
akhirat adalah dengan suatu daya yang ada pada manusia ataupun daya
yang baru yang akan diciptakan dalam dirinya dan mungkin dalam
hatinya. Contoh lain mengenai al-arsy, Ridha menafsirkan sebagai
pusat pengendali alam semesta, sedangkan Abduh menafsirkan dengan
kerajaan atau kekuasaan.
Tentang Kalam Allah, Ridha memandangnya sebagai sifat
kesempurnaan Tuhan yang berkaitan dengan ilmu. Kalam adalah sifat
yang tetap bagi Allah, sedangkan essensi Kalam Allah adalah qadim
dan azali dan tidak dapat dikatakan sebagai mahluk atau baharu
(hadits). Sedangkan Abduh, kalam bukanlah sifat Tuhan melainkan
perbuatan Tuhan, dengan demikian, al-Qur’an adalah diciptakan.
Metode berfikir Ridha dapat dikategorikan masih terikat pada
metode berfikir tradisional, masih terikat pada salah satu aliran dan
mazhab salaf, sedangkan Abduh memakai metode berfikir rasional dan
tidak lagi terikat pada salah satu aliran atau mazhab.
Perbedaan pola fikir antar guru dan murid mungkin disebabkan
oleh perbedaan latar belakang lingkungan keluarga, pendidikan,
pengalaman, dan kecerdasan antara keduanya.
91
Ridha masih dapat ditempatkan ke dalam deretan tokoh
pembaharu, karena sesungguhnya yang tradisional hanyalah
pemikirannya tetapi sikap-sikap yang ditampilkannya adalah sikap
dinamis. Mungkin karena itu Charles Adams menyebutkan sebagai
pembaharu yang konservatif.
92
QASIM AMIN :
EMANSIPASI WANITA
Oleh
Sulaiman Abdullah
I. Pendahuluan
Gerakan pembaharuan di Mesir, sebenarnya telah dimulai pada
penghujung abad XVIII ketika Muhammad Ali Pasya berkuasa setelah
berhasil mengusir pasukan Napoleon ynag menduduki Mesir tanggal 22 Juli
1798 sampai 31 Agustus 1801 (Nasution, 1975:29-30). Kehadiran ekspedisi
Napoleon di Mesir, bagaimanapun telah membuka mata ummat Islam Mesir
akan kelemahan dan kemunduran mereka serta membangunkan mereka dari
tidur nyenyaknya, mengenali jati diri dan membenahi posisinya sebagai suatu
bangsa.
Pembaharuan yang dibawa oleh Muhammad Ali yang mulai berkuasa
penuh di Mesir 1811, tak dapat dilepaskan dari kepentingannya untuk
mempertahankan dan memperkokoh kekuasaannya. Oleh karena itu, ia mulai
mengadakan pembaharuan kekuatan militer yang didukung oleh kekuatan
ekonomi yang keduanya menghendaki ilmu-ilmu modern yang dikenal orang
di Eropa. Untuk itu ia bangun beberapa sekolah yang gurunya didatangkan
dari Barat, disamping mendorong siswa-siswa untuk belajar ke Eropa
(Nasution, 1975:29-30). Iapun mengadakan pembaharuan di bidang
administrasi negara.
Beberapa kemajuan yang dicapai Muhammad Ali, betapapun banyak
melahirkan orang orang pintar bangsa Mesir yang berwawasan luas dan
berjiwa nasionalis yang secara samar telah mulai dicetuskan oleh Rifa’ah
Badawi Rafi’ al-Tahtawi yang pengaruhnya sangat besar di pertengahan aba
XIX di Mesir, yaitu lahirnya beberapa tokoh pembaharu nasionalis Mesir
yang berjuang bagi kemerdekaan Mesir dari jajahan bangsa asing (Inggris
1882-1922).
Akan tetapi untuk mencapainya perlu dipersiapkan kondisi masyarakat;
pendidikannya, cara berpikir, kekuatan ekonominya serta kedudukan sosial
masyarakat, diperbaharui sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan
modern dan tidak menyimpang dari ajaran agama.
Salah satu titik lemah yang berada pada bangsa Mesir kala itu ialah
diskriminasi antara kedudukan lelaki dan wanita. Wanita diperlakukan secara
93
tidak adil oleh belenggu adat istiadat yang ketat yang merendahkan derajat
wanita dan telah berlangsung selama berabad-abad. Jumlah wanita
berimbang dengan lelaki, sehingga seperdua dari keseluruhan potensi
nasional tidak dapat digerakkan dalam perjuangan memajukan bangsa.
Karena itu, usaha perbaikan kedudukan wanita adalah merupakan kegiatan
dari gerakan pembaharuan Mesir.
Beberapa tokoh pembaharu di Mesir merasa terpanggil untuk merubah
dan memperbaharui kedudukan wanita. Sebelumnya al-Tahtawi (1801-1873)
telah mengemukan pendapatnya yang termuat dalam bukunya al-Mursyid al-
Amin li al-Banat wa al-Banin bahwa wanitapun harus diberikan pendidikan
dan pengajaran sebagai yang diberikan kepada lelaki (Nasution 1975: p. 48).
Muhammad Abduh pun telah mengemukakan bahwa dalam Islam, wanita
mempunyai kedudukan tinggi, tetapi adat istiadat yang berasal dari luar Islam
merubah hal itu sehingga wanita Islam akhirnya mempunyai kedudukan
rendah dalam masyarakat (Nasution, 1975:79).
Akan tetapi yang mengupas secara meluas tentang ide persamaan
kedudukan antara lelaki dan wanita itu adalah Qasim Amin, salah seorang
murid dan pengikut Muhammad Abduh. Ia menyadari perlunya perbaikan
kedudukan wanita dengan membebaskannya dari belenggu adat yang
bertentangan dengan ajaran Islam. Ia menegaskan bahwa “perbaikan keadaan
suatu bangsa tak mungkin terwujud tanpa memperbaiki kedudukan wanita”
(Amin, 1978:27).
Ide inilah yang dikupas Qasim Amin dalam bukunya Tahrir al-Mar’ah
(Emansipasi Wanita) yang diterbitkan pada tahun 1899. Menurut
pendapatnya, kemunduran ummat Islam disebabkan kaum wanita tidak
pernah memperolah pendidikan sekolah. Karena itu, ia menuntut agar kaum
wanita diberikan pendidikan dan pengajaran seperti yang diperoleh kaum
lelaki, supaya mereka dapat mengatur rumah tangga dengan baik dan
memberikan pendidikan bagi anak-anak. Ia pun menuntut pilihan kedua belah
pihak dalam soal perkawinan di mana wanitapun diberi hak dalam memilih
jodoh. Sejalan dengan itu, iapun menuntut supaya isteri diberi hak cerai.
Praktek poligami menurut pendapatnya, walaupun disebut dalam al-Qur’an
tidaklah dianjurkan, tetapi sebaliknya dianjurkan monogami.
Sebagaimana halnya terhadap setiap inovasi baru akan mendapat reaksi
pro-kontra, demikian pulalah halnya dengan ide emansipasi yang dilontarkan
Qasim Amin. Tidak sedikit tokoh-tokoh terkemuka Mesir yang
mengecamnya, lebih-lebih terhadap pernyataannya bahwa hijab (penutup
wajah wanita) bukan merupakan ajaran Islam, karena bukan merupakan aurat
94
(Nasution, 1975:79). Tetapi cukup banyak pula pemuka Mesir yang
menyetujui dan mendukung pendapatnya itu.
Untuk menjawab tantangan dan kecaman pihak yang tak setuju tersebut,
Qasim Amin menulis bukunya ´Al-Mar’at al-Jadidah yang berisi ia tentang
perbandingan antara kemajuan wanita Eropa dan Amerika di satu pihak, dan
kemunduran wanita Mesir yang muslim di lain pihak.
Biografi Singkat Qasim Amin
Qasim Amin lahir di Iskandariyah pada tahun 1963 (Bahauddin, 1969:10
dan Farukh, 1969:10). Ayahnya, Muhammad Bek Amin, adalah keturunan
Turki, bekerja sebagai tentara yang didatangkan dari Iraq ke Mesir. Ibunya
adalah wanita Mesir dari al-Sha’id (Amin, 1978:11). Pendidikan dasarnya di
madrasah Ra’s al-tin Iskandariyah dan pendidikan menengah di madrasah Al-
Tajhiziyah di Kairo. Setamatnya dari sekolah menengah tersebut, ia
melanjutkan studi di Madrasah al-Huquq (Sekolah Tinggi Hukum) dan
memperoleh ijazah Lisence pada tahun 1881 (Farukh, 1969:10). Selain
pendidikan itu, ia bekerja pada kantor Pengacara Mustafa Fahmi di Kairo.
Kemudian ia berangkat ke Perancis untuk mendalami ilmu hukum di
Universitas Montpellier (Farukh, 1969:10).
Sebelum berangkat, ia telah ikut dalam persiapan revolusi Arab pimpinan
Urabi Pasya. Selama di Paris ia tetap mengikuti perkembangan keadaan di
Mesir. Revolusi yang dipimpin oleh Urabi Pasya dapat dipatahkan Inggris
yang merasa kepentingannya terancam, lalu menduduki Mesir tahun 1882.
Muhammad Abduh yang turut memainkan peranan ditangkap dan buang
pada penutup tahun 1882. Pada tahun 1884 ia pergi ke Paris dan bersama
sama dengan al-Afghani mengeluarkan majalah Al ‘Urwath al-Wusqa
(Nasution, 1975:61-62). Qasim Amin pun ikut ambil bagian mengisi
tulisannya. Qasim Amin ketika itu membantu Muhammad Abduh
mempelajari bahasa Perancis (Amin, 1978:12-13). Majalah Al-Urwah al-
Wusqa tidak berumur panjang karena pada tahun 1885 sudah dibredel oleh
pihak penjajah.
Pada tahun 1885 itu pula, Qasim Amin kembali ke Mesir dan diangkat
menjadi hakim pada al-Mahkamah al-Mukhtalathah (Tribunal Mixte).
Setelah berpindah pindah ke beberapa kota sebagai hakim, kemudian ia
diangkat menjadi Mustasyar (Hakim Agung) pada Mahkamah al-Isti’naf
pada tahun 1892 (Farukh, 1969:10).
Pekerjaannya sebagai hakim tidaklah menghalanginya untuk
memperhatikan kepentingan masyarakat umum. Maka pada pada tahun 1900
95
ia mendirikan organisasi sosial Islam (Al-Jam’iyah al-Khairiyah al-
Islamiyah) dan tahun 1906 mendirikan Universitas Mesir (Al-Jami’ah al-
Mishriyah ) bersama sama dengan Sa’ad Zaglul, Ahmad Ramzi dll. (Farukh,
1973:176). Universitas ini dirubah namanya menjadi Universitas Fuad I pada
tahun 1940 dan menjadi Universitas Kairo (Jami’ah al-Qahirah) pada tahun
1952.
Kedudukannya sebagai Mustasyar pada Mahkamah al-Isti’naf dan
sebagai pekerja aktif dalam lapangan kemasyarakatan itu tetap diembannya
sampai akhir hayatnya pada tahun 1908 (Farukh 1969:10).
Dari data data tersebut di atas, jelaslah bahwa Qasim Amin adalah
seorang nasionalis dan patriot yang ikut dalam gerakan kemerdekaan
bangsanya, tetapi tidak mengikuti garis revolusioner seperti yang dijalankan
oleh Sa’ad Zaglul, seorang ahli hukum/hakim ulung, penulis yang
produktifm, seorang sastrawan yang menghayati keindahan dan aspirasi
masyarakat, yang memandang bahwa sebab terbesar dari kemunduran bangsa
Mesir adalah keterbelakangan mereka dari pengetahuan estetika, sendi dan
musik yang dapat mendidik sikap mental untuk mencintai keindahan dan
kesempurnaan (Amin, 1978:14). Dengan latar pendidikannya, ia berusaha
memadukan kebudayaan Perancis dengan kebudayaan Mesir tanpa
melanggar ketentuan agama yang dianutnya. Ide ide pembaharuannya
dituangkan dalam bentuk tulisan baik dalam bahasa Arab maupun dalam
bahasa Perancis. Buku-bukunya tang ditulis dalam bahasa Arab, ada tiga
buah: pertama, Tahrir al-Mar’ah, yang namanya popular; kedua, al-Mar’at
al-Jadidah, yang membahas secara luas tentang kebebasan wanita di Eropa
dan Amerika; ketiga, Asbab wa Nataij wa Akhlaq wa Mawa’zh yang
merupakan kumpulan dari artikel yang ditulisnya di beberapa majalah dan
surat kabar (Farukh, 1969:203).
II. Ide-ide Pembaharuan Qasim Amin
Ide pembaharuan Qasim Amin yang menonjol, adalah hasratnya untuk
meningkatkan harkat dan martabat wanita Mesir setara dengan kaum pria. Ia
merasa prihatin dan tersentuh menyaksikan keterbelakangan kaum wanita
Mesir sebagai akibat terbelenggu oleh adat kebiasaan yang menurutnya tak
sejalan dengan ajaran Islam, bukan karena ajaran Islam seperti yang
dituduhkan oleh seorang Perancis, Le Duc d’hartcourt dalam bukunya
L’Egypte et les Egyptiens (Farukh, 1969:204) yang bermaksud meburuk-
burukkan Mesir dan Islam. Oleh karena itu, Qasim Amin membantahnya
dengan menulis bukunya Les Egyptiens Response am Le Duc d’hartcourt di
mana dikemukakannya pembelaannya terhadap Islam yang dicap oleh
d’hartcourt sebagai penyebab kemunduran dan ketebelakangan bangsa Mesir.
96
Keprihatinan itu mendorong Qasim Amin untuk memperbaiki kedudukan
wanita Mesir pada khususnya dan perbaikan kehidupan rakyat Mesir dan
Arab/Islam pada umumnya. Ia menyadari bahwa keterbelakangan masyarakat
Mesir dibandingkan dengan Eropa dan Amerika, disebabkan tingginya
pendidikan mereka tanpa membedakan antara lelaki-wanita dan keikut-
sertaan lelaki-wanita dalam kegiatan sosial ekonomi dan kegiatan lainnya.
Oleh karena itu, untuk memacu kemajuan Mesir sejajar dengan kemajuan
yang telah diperoleh Barat adalah dengan peningkatan pendidikan dan
pengajaran baik bagi lelaki maupun wanita. Karena di Mesir terdapat
perbedaan besar antara kedudukan hak wanita dengan lelaki, maka titik berat
perhatiannya terfocus pada perbaikan hak dan kedudukan kaum wanita Mesir
dan meningkatkan emansipasi wanita Mesir. Untuk itu, menurutnya, kaum
wanita Mesir harus dibebaskan dari belenggu ada istiadat yang keliru : hijab,
praktek perkawinan, poligami dan talak yang merugikan pihak wanita dan
merendahkan martabatnya baik dilihat dari sudut kemasyarakatan maupun
syariat Islam. Wanita harus mendapatkan pendidikan dan hak hak lain yang
didapatkan kaum lelaki.
Berikut ini, dikemukakan ide Qasim Amin terhadap perbaikan kedudukan
wanita.
1. Pendidikan dan pengajaran
Menurut Qasim Amin, pendidikan bagi wanita adalah sangat penting
sekali, karena wanita adalah juga manusia yang sama dengan lelaki baik
dalam bentuk tubuh, tugas, perasaan maupun pikiran. Perbedaannya hanya
terletak pada perbedaan kelamin (Amin, 1978:41) Kelebihan lelaki dari
wanita dalam kekuatan fisik dan mental, karena lelaki lebih dahulu diberikan
kesempatan bekerja dan berpikir, sedang wanita dilarang untuk menggunakan
dayanya bekerja dan berpikir.
Selanjutnya Qasim Amin menegaskan, bahwa menelantarkan pendidikan
bagi wanita sama halnya dengan membiarkan seperdua jumlah penduduk
berada dalam kegelapan dan kebodohan, sebab jumlah kaum wanita
diperkirakan sekitar setengah dari jumlah penduduk sesuatu negeri (Amin,
1978:43). Tertutupnya lapangan pendidikan, menyebabkan wanita Mesir
tidak dapat melakukan berbagai aktivitas seperti yang dilakukan oleh wanita
Barat dalam berbagai bidang: ilmu pengetahuan, kesenian, kesusasteraan,
perdagangan dan perindustrian. Sekiranya wanita Mesir diberikan pendidikan
dan dituntun dengan baik, niscaya memberi faedah besar bagi kemajuan
bangsanya. Dengan bekal pengetahuan intelektual dan bekal rohaniah yang
cukup, wanita Mesir akan dapat mengatur rumah tangga dengan baik dan
dapat memilih yang baik serta dapat membuang tahayul dan kepercayaan
97
yang salah yang banyak melanda kaum wanita yang tak bependidikan (Amin,
1978:42).
Menurut pendapat Qasim Amin, kebodohan wanita Mesir termasuk para
isteri sudah demikian parahnya, sebagaimana digambarkannya:
…bahkan dalam urusan yang termasuk pekerjaannya dan wanita diciptakan
untuk itu, sang suami tidak melihat pada isterinya hal yang menarik hatinya.
Kebanyakan isteri tidak terbiasa menyisir rambutnya setiap hari, mandi tidak
lebih dari sekali setiap minggu, tidak tahu mempergunakan sikat gigi, tidak
memperhatikan keindahan dan kebersihan pakaiannya yang berpengaruh besar
dalam menggairahkan suami. Dan tidak tahu bagaimana menumbuhkan
keinginan pada suami, bagaimana memeliharanya dan bagaimana
memenuhinya. Itu disebabkan wanita yang bodoh, tidak mengetahui gerakan-
gerakan batin dalam jiwa. Apabila ingin menggairahkan suami, biasanya ia
berbuat kebalikannya (Amin, 1978:57).
Menurut Qasim Amin, pendidikan dan pengajaran yang diberikan pada
kaum wanita, minimal cukup tingkat dasar seperti yang diberikan kepada
anak lelaki (Amin, 1978:68). Akan tetapi jangan dibatasi pada pengetahuan
kerumah-tanggaan, seperti menjahit, menyetrika dan memasak saja (Amin,
1978:52). Pendidikan wanita harus mencakup pendidikan jasmani,
pendidikan moral dan intelektual. Wanita mesti diberikan kesempatan
berolah raga seperti wanita di Barat, karena tanpa olahraga wanita jadi
kurang sehat, mudah diserang penyakit, sangat menderita sewaktu hamil dan
melahirkan. Apabila wanita dikurung di dalam rumah, kondisi fisiknya lemah
karena tak sempat berolahraga, tidak kena cahaya matahari dan tdak
menghirup udara segar, sehingga ketika bersalin untuk pertama kalinya
banyak yang jatuh sakit bahkan meninggal dunia (Amin, 1978:157-159).
Kesehatan jasmani ibu perlu baginya dan bagi pencegahan penularan
penyakit ibu kepada anaknya.
Diperlukannya pendidikan moral bagi wanita terutama ibu, karena
mereka berperan besar dalam membentuk moral anak anaknya. Dengan
mengetahui akhlak yang baik, wanita dapat menjadi ibu yang saleh yang
pandai menanamkan budi pekerti yang baik dan kebiasaan yang benar pada
anak-anaknya (Amin, 1978:157-159).
Juga diperlukan pendidikan intelektual bagi wanita agar mereka
mengetahui alam sekitarnya termasuk dirinya. Dengan mengetahui hakikat
sesuatu ia dapat mengarahkan pekerjaannya kepada yang bermanfaat bagi
dirinya dan menikmati pengetahuan itu, sehingga hidupnya berbahagia
(Amin, 1978:160).
98
Keinginan untuk menikmati ilmu pengetahuan itu sama bagi lelaki dan
wanita, mereka sama ingin mengetahui rahasia dan keajaiban alam dan sama
sama ingin mempelajari keadaan alam, masyarakat dan sejarahnya.
Memberikan pendidikan intelektual kepada wanita bukan berarti menjejali
otaknya mengahafal materi pengetahuan yang diberikan, tetapi yang lebih
penting ialah menanamkan rasa cinta kebenaran dan memberikan motivasi
agar tetap merindukannya dan mencarinya. Pendidikan ini bermanfaat bagi
wanita sebagai bekal mengatur ekonomi rumah tangga, menciptakan suasana
rumah tangga menyenangkan suami dan anak-anak, pendidikan seni dan
musik sebagai bagian pendidikan intelektual, diperlukan pula bagi wanita
untuk memperhalus perasaan, menyenangi sesuatu yang sempurna dan indah.
Bila ilmu pengetahuan mengajarkan hakikat itu karena tampak dalam bentuk
yang sempurna seperti yang digambarkan dalam lukisan. Seni musik
merupakan bahasa yang paling tepat dalam mengungkapkan isi hati dan
sesuatu yang terindah dalam pendengaran (Amin, 1978:157-161-162).
Sebagian besar masyarakat Mesir berpendapat bahwa pendidikan dan
pengajaran bagi wanita bukanlah merupakan kewajiban. Bahkan mereka
mempertanyakan apakah belajar tulis baca itu dibolehkan oleh syariat atau
diharamkan sama sekali (Amin, 1978:41). Sehingga tak mengherankan
apabila Qasim Amin menyadari bahwa sebahagian masyarakat Mesir
mengkhawatirkan pendidikan wanita dapat merusak akhlak mereka. Ini
merupakan kendala bagi idenya. Oleh karena itu anggapan masyarakat yang
tak benar itu dibantahnya dengan keras dengan mengemukakan argumentasi
bahwa pendidikan itu disertai dengan pendidikan akhlak. Lebih jauh ia
terangkan bahwa bila pendidikan intelektual diimbangi dengan pendidikan
akhlak, tentulah akan mengangkat harkat dan martabat wanita,
menyempurnakan akalnya sehingga membuatnya berfikir mengamati dalam
berhati-hati dalam menghadapi atau melakukan sesuatu pekerjaan. Wanita
yang baik akan bertambah kebaikan dan kesalehan serta ketakwaannya
dengan ilmu pengetahuan,. Mereka lebih berhati-hati dalam melakukan
pekerjaan dibanding wanita yang bodoh (Amin, 1978:73).
2. Pengertian Hijab
Menurut asalnya pengertian hijab ialah membungkus seluruh tubuh
wanita dari ujung rambut sampai tapak kaki, akan tetapi dalam prakteknya di
Mesir dan sebagian besar negeri Islam, diterapkan lebih luas, mencakup
pengekangan kebebasan wanita sehingga hidup terpenjara dalam rumah atau
dibalik tirai kereta dan tidak dapat berjalan keluar rumah untuk menuntut
ilmu atau melakukan kegiatan masyarakat lainnya, kecuali bila sudah
menjadi mayat terbungkus kain kafan untuk dikuburkan. Demikianlah
99
keadaan yang berlaku bagi umumnya wanita Mesir dari golongan menengah
keatas (Amin, 1978:39 dan 168).
Adat hijab seperti inilah yang ditentang habis-habisan oleh Qasim Amin,
sebab tidak sesuai dengan ajaran Islam yang membolehkan wanita membuka
wajah dan kedua tapak tangannya dan membolehkan keluar melakukan
kegiatan sosial ekonomi. Islam hanya melarang wanita berduaan dengan
lelaki bukan muhrim di tempat yang dapat menimbulkan kecurigaan (Amin 1978: p. 84).
Qasim Amin tidak menuntut agar kaum wanita Mesir meniru cara
berpakaian wanita Barat seratus persen yang sudah diluar batas kesopanan
bahkan menarik nafsu syahwat. Ia hanya menuntut agar cadar yang menutupi
wajah dihilangkan dan kaum wanita diberi kebebasan untuk keluar rumah
baik untuk keperluan mengikuti pendidikan, bekerja, maupun untuk
berkomunikasi dan berinteraksi dengan masyarakat seperti halnya kaum
lelaki. Menurut Qasim Amin, “adat hijab” di mana wanita menutup wajahnya
dengan burqa’ (seperti topeng) atau dengan niqab (cadar tipis dan halus),
adalah adat istiadat lama yang sudah ada sebelum Islam dan dilanjutkan
setelah Islam, karena adat seperti ini tidak terkenal di negeri Islam bagian
Timur (Amin 1978: p. 88-89). Untuk membenarkan pendapatnya, ia kemukakan
bahwa dalam mazhab Syafi’i, Maliki dan Hanbali berpendapat bahwa wajah
dan dua tapak tangan wanita bukan aurat yang wajib ditutup (Amin 1978: p. 81-82).
Mengenai hijab dalam arti mengurung wanita di dalam rumah dan
melarangnya berinteraksi dengan kaum lelaki, Qasim Amin membaginya
kepada dua bagian :
a. Hijab yang khusus bagi isteri-isteri Nabi SAW.
b. Hijab bagi kaum wanita muslimah selain isteri Nabi SAW
Mengenai hijab bagi isteri-isteri Nabi SAW, menurut Qasim Amin, telah
disepakati oleh kitab-kitab Fikih dari semua mazhab dan kitab-kitab tafsir
bahwa hal itu dikususkan bagi para isteri Nabi SAW., karena mereka tidak
sama dengan kaum wanita muslimah lain, berdasarkan sebab turun ayat 53
surat al-Ahzab tentang hijab adalah khusus pada isteri-isteri Nabi SAW. Oleh
karena mengenai hijab bagi wanita muslimah lainnya tidaklah merupakan
fardhu dan kewajiban (Amin, 1978:90). Dari sudut kemasyarakatan, Qasim
Amin menilai bahwa kebiasaan mengungkung wanita sejak kecil (umur 12-
14) hanyalah kebiasaan adat istiadat yang diwarisi turun temurun dan diikuti
secara naluri tanpa pertimbangan rasio. Adat seperti itu tak dapat dibenarkan
mengingat anak pada usia tersebut berada pada tahap transisi dan perlu
100
pengetahuan dan pengalaman hidup di mana mereka telah mengetahui
bangsa, agama, tanah airnya. Dalam usia seperti itu tampak ativitas dan
kreativitasnya, sehingga jika dikekang akan menyebabkannya mundur dan
kehilangan masa depannya. Mereka harus dilepaskan dari kungkungan serta
dibenarkan berkomunikasi dan berinteraksi dengan kaum lelaki.
Pengungkungan kaum wanita sekalipun dengan alasan menyayanginya, akan
merusak kesehatannya karena tidak mendapatkan udara segar dan cahaya
matahari (Amin, 1978:90-93).
Pendapat yang mengatakan bahwa wanita yang aktif berkomunikasi
dengan kaum lelaki mempunyai pikiran rendah yang menjurus kepada
perbuatan amoral ditentangnya, dengan mengatakan bahwa wanita yang biasa
bekerja dan belajar di tengah kaum lelaki lebih terhindar dari pikiran jelek
dibandingkan wanita yang dipingit. Alasannya, wanita yang terbiasa bebas
melihat lelaki dan mendengar bicaranya, tidaklah mudah tergerak nafsu
syahwatnya, betapapun gagahnya lelaki itu. Sebaliknya wanita yang terbiasa
terkurung, maka sekali ia melihat lelaki dengan cepat dan tanpa disadarinya,
tergerak pikirannya pada perbedaan seks (Amin, 1978:101-102). Selain dari
itu, dengan mengungkung kaum wanita samalah artinya dengan tidak
menaruh kepercayaan kepada mereka, kepada ibu kita, kepada isteri dan
puteri-puteri kita, bahwa mereka tahu menjaga kehormatan dirinya. Tentulah
tidak pantas kita menaruh kecurigaan kepada wanita wanita yang kita cintai
dan tidak mempercayai mereka dapat menjaga kehormatan dirinya,
kehormatan wanita tidak terletak pada pakaian yang membungkus badannya,
tetapi pada kesanggupan mereka memelihara diri. Sikap inilah yang
seharusnya ditanamkan sejak dini pada kaum wanita, dengan
membiasakannya berhubungan dengan lelaki baik dari kerabatnya maupun
bukan, dengan tetap memelihara batas-batas ketentuan syariat dan kesopanan,
atas bimbingan orang tuanya atau walinya (Amin, 1978:104 dan 106).
3. Perkawinan dan Talaq
Menurut pendapat Qasim Amin, praktek perkawinan dan perceraian yang
terjadi di kalangan masyarakat Mesir pada masanya, terdapat unsur
penghinaan dan perendahan martabat kaum wanita. Wanita diperlakukan tak
lebih dari objek yang tidak mempunyai hak untuk memilih calon jodohnya
dan dengan cara sewenang wenang dapat diceraikan oleh suaminya melalui
talak. Wanita dipandang sebagai alat pemuas seks semata dalam suatu
perkawinan. Di dalam buku-buku Fiqih, perkawinan didefinisikan sebagai
satu akad yang menyebabkan seseorang lelaki menguasai kehormatan wanita.
Definisi ini, dinilai Qasim Amin tidak memperlihatkan adanya kewajiban
kedua belah pihak dan tidak sesuai dengan penegasan al-Qur’an dalam surah
101
al-Rum ayat 21 yang menempatkan perkawinan sakinah (ketenangan batin),
mawaddah (cinta) dan rahmah (kasih sayang). Penegasan ini nampaknya
telah dirubah oleh ulama fikih sebagai alat bersenang-senang kaum lelaki
(Amin, 1978:139). Oleh karena itu, maka untuk terjalinnya suatu mawaddah
dan rahmah sehingga menimbulkan sakinah, lelaki dan wanita yang akan
melakukan akad nikah dibenarkan untuk saling mengenal.
Di sini terlihat betapa seriusnya Qasim Amin untuk mengangkat derajat
kaum wanita dari hanya sekedar objek menjadi setara dengan derajat kaum
lelaki sebagai subjek. Ia tidak dapat menerima perkawinan yang dilaksanakan
tanpa proses perkenalan lebih dahulu walaupun dalam waktu singkat. Sulit
bagi seorang pria dan wanita yang sehat akalnya akan dapat hidup bersama
dengan bergaul dengan baik bila tidak saling mengenal sebelumnya. Pria
zaman now, tidak mau kawin dengan wanita yang tak dilihatnya. Mereka
ingin isteri yang mencintai dan dicintainya bukan pelayan wanita yang
melayani kebutuhannya (Amin, 1978:147).
Perkawinan poligami, menurut Qasim Amin berasal dari adat istiadat
kuno yang tersebar di masa lahirnya Islam dari berbagai penjuru dunia ketika
kaum wanita dianggap sebagai makhluk antara manusia dan binatang (Amin
1978: p. 148). Poligami merupakan bentuk penghinaan besar terhadap wanita.
Karena tak seorangpun lelaki yang rela dimadu. Betapapun keadaannya,
seorang wanita yang menghormati dirinya akan merasa pedih hatinya bila
melihat suaminya kawin dengan wanita lain. Ia merasa pedih karena
tempatnya yang masih tersisa telah runtuh dan tidak ada harapan baginya
untuk menegakkan kembali kedudukan yang terhormati itu (Amin, 1978:
149).
Qasim Amin menginginkan adanya pembatas yang ketat dalam poligami,
yaitu hanya dibolehkan dalam hal-hal yang sangat mendesak seperti isteri
sakit berkepanjangan sehingga tak dapat melayani kebutuhan biologis suami
atau bila isteri mandul sehingga keinginan kebanyakan suami untuk
mendapatkan turunan tak terpenuhi (Amin 1078: p. 152-153). Sungguhpun
demikian, Qasim Amin tidak senang juga bila suami dengan alasan tersebut
kawin lagi dengan wanita lain, karena hal itu bukan kesalahan isteri.
Sepatutnya suami turut merasakan penderitaan dan kesedihan isterinya (Amin
1978: p. 153). Hanya dua alasan itulah yang dibenarkan Qasim Amin untuk
diperbolehkan berpoligami, sedang alasan-alasan lain merupakan alasan
untuk memenuhi syahwat hayawaniyah (Amin 1978: p. 153). Mengenai ayat
yang membolehkan poligami, menurut Qasim Amin, mengandung kebolehan
dan larangan, boleh jika sanggup berlaku adil, dilarang jika tak sanggup
berlaku adil. Pendapat seperti ini telah lebih dahulu dikemukakan oleh al-
102
Tahtawi dan Muhammad Abduh (Hourani 1962 p. 166). Jadi ia mengikuti
pendapat kedua pendahulunya.
Mengenai hal talaq, Qasim Amin mengemukakan perlunya diadakan
pembatasan yang ketat dalam penggunaannya oleh suami, sesuai dengan
ketentuan agama yang hanya membolehkan menjatuhkan talaq bila sudah
tidak mungkin lagi hidup rukun antara suami-isteri. Ia mengecam kebiasaan
mentalaq isteri secara sewenang-wenang tanpa suatu alasan yang dibenarkan
agama. Ia merasa prihatin melihat banyaknya perceraian yang terjadi di
Mesir seperti terjadi pada tahun 1898 dimana dari 12.000 perkawinan terjadi
3.300 perceraian (Amin 1298 H sampai tahun 1315 H.). Ia meminta agar
perceraian diputuskan melalui proses peradilan, tidak cukup dengan ucapan
talaq dari suami yang kadangkala diucapkan tanpa pertimbangan. Bahkan ia
menginginkan agar isteri juga mendapat hak cerai bila merasa dianiaya atau
dapat perlakuan kekerasan oleh suami.
IV. Kesimpulan
Ide emansipasi wanita yang dicanangkan dan diperjuangkan dengan
serius oleh Qasim Amin, namun sementara bagi pihak lain dianggap
berbahaya dan dapat menyebarkan kemorosatan akhlak di tengah masyarakat
dan melemahkan bangsa Mesir. Tantangan terhadap ide ini, antara lain
datang dari Tal’t Harb, seorang tokoh nasionalis Mesir dan dari Mustafa
Kamil. Pemimpin nasionalis Mesir. Qasim Amin dituduh sebagai agen
imperialis Eropa yang ingin merusak persatuan nasional, karena ia bukan
orang Mesir asli.
Akan tetapi tidak kurang pula yang mendukungnya agar terus
memperjuangkan idenya itu, antara lain dari Muhammad Rasyid Ridha, dari
sastrawan seperi penya’ir Syauqi Bek dan dari kalangan wanita terpelajar. Ide
ini disambut mereka dengan gagap gempita karena sejalan dengan ajaran
Islam yang menghargai kedudukan wanita dan mensejajarkannya dengan
kaum lelaki.
Ide emansipasi Qasim Amin ini akhirnya diterima dan dilaksanakan
dalam kehidupan wanita Mesir, yaitu :
1. Dilarangnya pemakaian cadar sejak tahun 1922.
2. Lahirnya organisasi wanita Mesir, “Jam’iyat al-Ittihad al-Nisa’I
al-Misri” pada tahun 1923, dibawah pimpinan Huda Sya’rawi.
3. Dibukanya sekolah menengah untuk anak-anak wanita sejak tahun
1925 yang kemudian terus berkembang sampai ke tingkat
perguruan tinggi.
103
MUSTAFA KAMIL: NASIONALISME MESIR
Oleh
Afifi Fauzi Abbas
A. Riwayat Hidup Mustafa Kamil
Mustafa Kamil dilahirkan di Kairo pada tanggal 14 Agustus 1874 dan
meninggal pada tahun 1908. Kedua orangtuanya tergolong sebagai keluarga
terpelajar, ayahnya seorang ahli mesin. Mustafa Kamil merupakan produk
dari pendidikan modern yang telah dirintis oleh Moh. Ali Pasya. Ia masuk
sekolah hukum pada tahun 1891, dan pada tahun berikutnya 1892, bersamaan
dengan dibukanya Sekolah Hukum Perancis di Kairo, Mustafa Kamil masuk
ke sekolah ini. Kemudian Mustafa Kamil melanjutkan studinya ke Perancis
dan pada tahun 1894 ia memperoleh gelar licence dalam bidang hukum dari
Universitas Taulouse.
Sifat kepemimpinanya sudah terlihat sejak ia masih menjadi mahasiswa.
Sepulangnya dari Perancis pada tahun 1894 ia mendirikan Hizb-al-Wathan
(Partai Nasional). Dia pernah meminpin demonstrasi ke kantor surat kabar
harian Al-Muqattan, untuk memprotes sikap pimpinan harian ini yang
mendukung police Cromer, wakil Inggris di Mesir. Surat kabar tersebut
didirikan oleh orang Kristen Libanon, Nimer dan Sarrouf.
Untuk mengantisipasi berita dari al-Muqattan orang-orang Mesir
menerbitkan pula surat kabar, antara lain al-Mu’ayyad yang diterbitkan al-
Liwa. Al-Liwa diterbitkan dalam dua bentuk, dalam bentuk surat kabar
harian, diterbitkan pada tahun 1900 dan dalam bentuk majalah kuartalan
diterbitkan pada tahun 1902. Surat kabar al-Liwa juga diterbitkan dalam edisi
Inggris dan Perancis. Sirkulasi surat kabar ini cukup luas untuk ukuran Mesir
saat itu. Oplahnya mencapai 10.000 eksemplar atau 20.000 eksemplar dengan
edisi Inggris dan Perancis.
Kemahiran Mustafa Kamil dalam bidang jurnalistik dipupuknya lewat
persahabatan yang dalam dengan seorang jurnalis Perancis bernama Juliette
Adam.
104
Pada tahun 1904 Sultan Abdul Hamid II memberikan gelar Pasya kepada
Mustafa Kamil, berkat dukungan yang diberikannya kepada kebijaksanaan
Turki tentang Pan-Islamisme. Dukungan tersebut dimanifestasikan dengan
mendukung rencana pembangunan jalan kereta api di Hejaz.
Ketika Khedewi Abbas II mengadakan pendekatan dengan Inggris
terutama ketika Cromer diberhentikan dan digantikan oleh Grost. Mustafa
Kamil melancarkan sikap oposisi dan membangkitkan sentimen nasional
rakyat Mesir. Hal ini terutama semakin berkobar ketika terjadi peristiwa
Danishway, 3 Juni 1906, di mana Inggris menginjak-injak hak-hak rakyat
Mesir. Sikap Inggris ini mendapat dukungan dari Khedewi Abbas II.
Peristiwa Danishway ini adalah bentrokan yang terjadi antara penduduk
desa Denishway dekat delta Nil dengan sekelompok serdadu Inggris yang
sedang berburu/menembak burung di sana. Perburuan serdadu-serdadu
Inggris ini suatu ketika menegenai seorang wanita desa Denishway. Para
petani desa tersebut menuntut balas dengan memukuli serdadu-serdadu
Inggris tersebut. Dalam peristiwa tersebut salah seorang serdadu Inggris mati
terbunuh ketika hendak berusaha melarikan diri. Cromer yang menjadi wakil
Inggris di Mesir memerintahkan untuk menghukum petani desa tersebut
tanpa ampun. Empat orang di antaranya dihukum gantung di depan umum
(tanggal 28 Juni 1906) dan tujuh orang dicambuk untuk kemudian
dimasukkan ke penjara.
Peristiwa ini menimbulkan kegoncangan kedudukan Inggris di Mesir.
Protes-protes bermunculan di mana-mana, terutama yang dipimpin oleh
Mustafa Kamil, sehingga memaksa Perdana Menteri Inggris Sir Campbell
Bannerman memerintahkan Cromer untuk mundur, dan menggantikannya
dengan Sir Eldon Grost. Peristiwa ini oleh Qasim Amin dinilai sebagai
pukulan bagi rakyat Mesir.
Mustafa Kamil meninggal dalam usia yang amat muda, yaitu 34 tahun. Ia
meninggal pada tanggal 10 Februari 1908 akibat dari penyakit ringan yang
dideritanya. Kematiannya meninggalkan bekas yang mendalam bagi rakyat
Mesir, sehingga gagasannya tentang nasionalisme Mesir akan tetap dikenang
oleh rakyat Mesir sepanjang zaman.
B. Nasionalisme Mesir
Konsep tentang tanah air (wathan) dan rasa cinta kepada tanah air
(patriotisme-wathaniyyah), yang berujung pada rasa kebangsaan Mesir yang
benihnya sudah mulai ditabur oleh al-Tahtawi. Tahtawi agaknya orang yang
105
pertama yang mengenalkan kedua konsep tersebut ke dalam dunia Islam.
Ikatan yang berdasarkan persaudaraan setanah air inilah yang kemudian
melahirkan nasionalisme yang menjadi dasar berdirinya negara-negara Islam.
Gerakan kebangsaan Mesir ini semakin tumbuh dan berkembang akibat
terlalu jauhnya campur tangan orang-orang Eropa (Inggris dan Perancis)
dalam kehidupan politik dan keuangan Mesir . Hal ini dimanfaatkan oleh
Mustafa Kamil dan Saad Zaghlul untuk membangkitkan perasaan dan
kesadaran kebansaan rakyat Mesir. Zaghlul berjuang dalam kegiatan politik
praktis, sedangkan Kamil muda yang masih energik menampilkan
nasionalisme Mesir lewat pidato dan tulisan-tulisannya. Ini dimaksudkan
oleh Kamil agar bangsa Mesir dapat membebaskan dirinya dari kekuasaan
Inggris.
Patriotisme Mesir mempunyai arti sebagai upaya menyadarkan bangsa
Mesir sebagai suatu bangsa yang mandiri, bebas dari kekuasaan asing. Ide ini
dikembangkan oleh Kamil ketika ia menyaksikan Mesir berada di bawah
kekuasaan dan kontrol Inggris, meskipun dalam struktur pemerintahan Mesir
ada raja, ada badan perwakilan dan ada kabinet, akan tetapi hakikatnya
pemerintahan diatur dan dikendalikan oleh Inggris.
Mustafa Kamil tidak puas dengan keadaan ini. Bagi Kamil
kebudayaan Mesir tidak akan dapat bertahan lama pada waktu yang akan
datang, kecuali apabila dia berdiri atas usaha bangsa Mesir sendiri, dan
apabila orang Mesir menyadari bahwa manusia mempunyai hak moril untuk
hidup secara wajar, maka mencintai tanah air adalah suatu perasaan batin
yang sangat luhur. Bangsa yang tidak merdeka mengatur dirinya sendiri, pada
hakikatnya bangsa itu tidak ada di bumi ini. Cinta tanah airlah yang
mendorong suatu bangsa untuk dapat menuju puncak kemajuan dan
kemulian.
Mustafa Kamil mempunyai semboyan : “ Bangsa Mesir untuk Mesir dan
Mesir untuk bangsa Mesir”. Yang dituntut Kamil adalah kemerdekaan Mesir
dari kekuasaan asing. Mesir tidak akan mencapai kemajaun sesuai dengan
yang diinginkan manakala Mesir tidak dapat melepaskan diri dari
cengkeraman Inggris. Oleh karena itu menurut Kamil semua orang Mesir
berkewajiban memperjuangkan dan membebaskan tanah airnya dari
kekuasaan asing. Hal ini baru dapat tercapai apabila rakyat Mesir bersatu.
Persatuan dapat dibangun atas perasaan ikut memiliki Mesir dan ikut
bertanggung jawab terhadapnya dengan dasar setanah air. Jiwa patriotik
(wathaniyyah) adalah rahasia kekuatan orang Eropa dan menjadi dasar bagi
106
kebudayaan mereka. Perasaan itu bukan berdasarkan bahasa, agama ataupun
kedudukan dalam ikatan wathaniyyah, akan tetapi tekanannya adalah pada
negeri tumpah darah Mesir.
Lebih lanjut Kamil mengungkapkan bahwa antara agama dan kehidupan
kebangsaan (nasionalisme) dapat berdampingan dan tidak akan menimbulkan
konflik, apabila disadari bahwa agama yang benar akan mengajarkan
patriotisme yang benar pula. Fokus utama pemikiran Kamil bukan Islam dan
bukan pula ummat, akan tetapi adalah negeri Mesir. Gejolak semangatnya ini
terpantul di antara pidatonya tentang Mesir sebagai berikut ;
“ Negeriku, oh negeriku, bagimu cinta dan kasihku.
Bagimu hidup dan keberadaanku. Bagimu jiwa dan darhku.
Bagimu fikiran dan ucapanku. Engkau . . . . engkaulah Mesir
hidup itu sendiri.
Dan tiada kehidupan kecuali dalam dirimu”.
Meskipun demikian bagi Kamil Islam tetap dipandang penting karena ia
merupakan agama rakyat Mesir, namun berada di bawah status aspek
kebudayaan nasional.
Esensi dari pemikiran Kamil adalah Mesirisme, suatu doktrin yang
menuntut pengabdian tanpa akhir terhadap keberlangsungan kebudayaan dan
tanah air Mesir. Pemikiran Kamil ini mendapat sambutan terutama ketika ia
pada tahun 1907 tampil sebagai tokoh dominan pada “Partai Nasional” dan
berhasil menghimpun pendukung penting dari kalangan mahasiswa dan
massa perkotaan.
Ide nasionalisme Kamil ini adalah suatu lompatan pemikiran yang jauh
pada waktu itu, sebab dunia Islam masih dilingkupi oleh pemikiran al-Jamiah
al-Islamiyah al-Afghani. Bagaimanapun konsep Afghani sehingga ia
mendapat kecaman dari pendukung-pendukung Abduh.
Sebagai konsekuensi idealismenya, Kamil menghendaki agar campur
tangan asing (Inggris) di Mesir suapaya segera diakhiri. Kamil menyadari
bahwa dengan bercokolnya Inggris dalam pemerintahan Mesir akan
menunjukkan bahwa Mesir belum mampu mengatur sendiri. Dalam
menyerukan pengusiran Inggris Kamil tidak mau minta belas kasihan pada
orang lain, namun secara praktis Kamil tidak mau menggerakan perjuangan
bersenjata, karena ia menyadari bahwa itu hanya akan merugikan diri dan
pengikutnya. Jadi Kamil tidak memobilisasi rakyat untuk melakukan
pemberontakan fisik, tapi hanya menganjurkan pemogokan umum.
107
Disamping itu untuk menyebarkan faham nasionalismenya, Kamil tidak
lupa memperhatikan dunia pendidikan. Ia memperhatikan pendidikan bagi
generasi muda disekolah-sekolah dan kursus-kursus untuk menanamkan
kesadaran nasional. Kamil menanamkan kesadaran nasional terutama
patriotisme kepada masyarakat luas lewat perkumpulan-perkumpulan massa
yang terorganisir. Pendidikan dan kesadaran politik juga ia hembuskan
kepada kaum intelektual lewat al-Liwa.
Al-Liwa berfungsi sebagai alat penyebar ide-ide nasionalisme Partai
Nasional mendapat sambutan dari masyarakat, sehingga oplahnya dari waktu
ke waktu semakin besar jumlahnya. Hal ini dimungkinkan karena masyarakat
Mesir sedang bergelora hatinya menuntut kemerdekaan, menentang
penjajahan dan ingin berdiri sendiri. Jadi Kamil mempunyai peran dana andil
yang cuckup besar dalam membentuk kesadaran berbangsa bagi rakyat
Mesir. Kesadaran bahwa Mesir adalah untuk bangsa Mesir dan bangsa Mesir
adalah untuk Mesir. Bangsa Mesir harus memegang kekuasaan di negerinya
sendiri. Kekuatan asing harus dilenyapkan dari Mesir. Untuk itu rakyat Mesir
harus bersatu tanpa harus membedakan agama, bahasa maupun asal muasal
masing-masing.
Disamping kegiatannya mengobarkan semangat cinta tanah air, Kamil
juga melahirkan gagasan-gagasan baru yang membawa kepada kemajuan
bangsa Mesir. Gagasan-gagasan itu antara lain adalahMesir perlu mengambil
apa yang berharga dari peradaban Barat, tetapi Mesir harus selektif dalam
menapaki jejak Barat tanpa harus melupakan prinsip Islam yang
diinterprestasikan secara benar. Bagi Kamil, Islam pada hakikatnya adalah
patriotisme, keadilan, perjuangan, persatuan, persamaan, dan toleransi. Ini
dapat dijadikan basis untuk membentuk cara kehidupan Islam yang
mengambil kekuatannya dari ilmu pengetahuan dan pemikiran yang luas dan
tinggi.
Meskipun mungkin banyak lagi yang dapat diperbuat oleh Kamil, namun
ia harus berhenti, karena ia keburu meninggal dunia dalam usia yang relatif
muda. Setelah kematiannya Saad Zaghlul tampil sebagai pemimpin
pergerakan nasional dan berhasil mendapat dukungan dari rakyat dan
membawa kemerdekaan bagi Mesir.
C. Kesimpulan
Berdasarkan uraian-uraian di atas, kiranya dapat disimpulkan bahwa
konsep nasionalisme Mesir yang dicetuskan oleh Mustafa Kamil merupakan
ide baru bagi masyarakat Mesir pada waktu itu. Kalau Tahtawi dan
108
Jamaluddin al-Afghani baru mencetuskan patriotisme, maka Kamil
mencetuskan nasionalisme Mesir. Nasionalisme yang dimaksud ialah faham
kebangsaan yang didasarkan atas kesatuan dan cinta tanah air, Nasionalisme
tidak disebabkan oleh bahasa, agama maupun status, ia pada prinsipnya
meliputi bagi semua orang yang hidup di tanah Mesir.
Bagi Kamil agama dan faham kebangsaan tetap dapat berdampingan,
karena menurut dia agama yang benar maupun kebangsaan yang benar sama-
sama mengajarkan patriotisme yang benar pula.
Meskipun Kamil anti kekuasaan asing, baginya upaya untuk mengusir
kekuatan asing dari Mesir, tidaklah mesti dengan perjuangan fisik/senjata,
tetapi dengan menyebarkan faham kebangsaan dan cinta tanah air kepada
seluruh rakyat Mesir. Dalam perjuangannya Kamil juga tidak berdiri dalam
kalangan elite pemerintahan seperti halnya Saad Zaghlul. Doktrin Mesirisme
Kamil pada dasarnya adalah akibat pengaruh dari produk pendidikan Barat
yang pernah ia peroleh di Perancis. Ia agak longgar terhadap ajaran Islam,
karena menurut pengamatannya, bagi Mesir masalah akidah tidak lagi
menjadi masalah. Akibatnya membuat ia tersesat ke dalam orbit pemikiran
Barat. Pengaruh Barat yang paling penting terhadap nasionalisme Mesir
adalah loyalitas dan prioritas baru yang disuntikan ke dalam kehidupan
rakyat Mesir. Cita pembentukan kekhalifahan sebagai media pengendali
ummat di bawah kendali Syariah, diganti dengan patriotisme regional, di
mana kemerdekaan tanah air dan institusi konstitusionalisme Barat liberal
menjadi sasaran utama.
Ini adalah wajar karena nasionalisme merupakan tema politik dominan di
Eropa di akhir abad XIX, dan sangatlah alamiah jika Kamil juga berupaya
mengembangkan Mesir dalam versi serupa, apalagi Mesir pada waktu itu
berada di bawah pendudukan Inggris.
109
ALI ABD RAZIQ: KONTROVERSI SISTEM POLITIK KHILAFAH
Oleh
Najmudin Zuhdi
A. PENDAHULUAN
Rasulullah wafat pada tanggal 8 Juni 632 setelah menderita sakit kurang
lebih empat malam. Tak ada bukti yang kuat yang menunjukkan bahwa
beliau telah mempertimbangkan cara yang harus digunakan untuk
melanjutkan pemerintahannya setelah beliau wafat.
Setelah terjadi perdebatan yang seru, akhirnya ummat Islam memilih Abu
Bakar sebagai pemimpin mereka. Seusai dibaiat, Abu Bakar menyandang
gelar Khalifat Rasulullah. Saat itulah gelar Khalifah untuk pertama kali
dipakai oleh pemimpin tertinggi di kalangan ummat Islam dan dilestarikan
penggunanya sampai abad kedua puluh.
Sistem Khilafah mengalami kegoncangan saat Bagdad dihancurkan oleh
pasukan tentara dari Mongol yang dipimpim oleh Hulagu para tahun 1258,
untung saat itu dinasti Mamluk berhasil menyelamatkannya. Pada masa
kerjaan Usmani mencapai kejayaannya dan menjadi negara adi kuasa, sistem
khilafah mengalami jaya kembali, tetapi pada tahun 1924 sistem tersebut
sirna di muka bumi ini karena dihapuskan oleh Mustafa Kamal Atarturk.
Penghapusan khilafah di Turki tersebut menimbulkan pro dan kontra,
khsususnya di kalangan ulama Mesir dan di dunia Islam pada umumnya,
karena kebanyakan mereka menganggap bahwa sistem khilafah itu
merupakan ajaran agama. Oleh karena itu penghapusannya bertentangan
dengan ajaran agama Islam.
Ali Abd Raziq salah seorang ulama Mesir pada waktu itu berpendapat
lain, sistem khilafah itu bukan berasal dari agama dan tidak disinggung dalam
al-Qur’an maupun Hadis. Oleh karena itu dalam ajaran Islam tidak terdapat
ketentuan-ketentuan tentang corak pemerintahan. Nabi hanya memperoleh
tugas kerasulan dan dalam misinya tidak termasuk tugas pembentukan
negara. Abu Bakar yang dilantik setelah nabi wafat tidak mempunyai tugas
keagamaan, dia hanyalah kepala negara bukan kepala agama demikian pula
Umar Ibn Khattab, Usman Ibn Affam dan Ali.
110
Soal corak dan bentuk pemerintahan bukanlah soal agama tetapi termasuk
soal duniawi dan diserahkan sepenuhnya kepada akal manusia untuk
menentukannya. Oleh karena itu tindakan Mustafa Kamal dalam
penghapusan khilafah bukanlah suatu tindakan yang bertentangan dengan
ajaran agama Islam.
B. RIWAYAT HIDUP ALI ABD RAZIQ
Ali Ibn Raziq dilahirkan di pedalaman propinsi Menia Mesir pada tahun
1888 dan dari keluarga yang kaya raya dan aktif dalam kegiatan politik
ayahnya bernama Hasan Abd Raziq. Ayahnya seorang pasya besar yang
mempunyai pengaruh besar di kalangan masyarakatnya.
Hasan Abd Raziq berkecimpung dalam dunia politik bahkan dia pernah
menjadi wakil ketua Hizb al-Ummah pada tahun 1907. Setelah revolusi tahun
1919, dibentuklah partai politik baru yang bernama Hizb al-Ahram al-
Dusturiyah, yang merupakan kelanjutan dari Partai Rakyat dan mempunyai
hubungan erat dengan Inggris. Pada waktu itu dia menjadi pejabat pada
kantor Sultan Husain yang merupakan agen Inggris pada masa perang dunia
ke-1. Pada tahun 1922 Hasan terbunuh ketika keluar dari rapat partai.
Ali Abd Raziq mempunyai saudara yang lain bernama Musthafa Abd
Raziq, kedua-duanya belajar di perguruan al-Azhar. Setelah menamatkan
perguruan tersebut, Musthafa Abd Raziq melanjutkan studinya ke Paris dan
pada tahun 1945 – 1947 diangkat menjadi rektor al-Azhar. Sedangkan Ali
Abd Raziq selain belajar di al-Azhar juga belajar di al-Jami’ah al-Mishriyyah
untuk memperluas ilmunya. Pada tahun 1911 dia lulus dari al-Azhar dan
setahun kemudian diangkat menjadi pengajar di almamaternya dalam mata
kuliah Retorika dan Bahasa Arab. Pada tahun 1912 dia berangkat ke Inggris
untuk melanjutkan studinya di Universitas Oxford. Di tempat ini Ali Abd
Raziq mendalami ilmunya di bidang ekonomi dan politik. Setelah belajar
selama satu tahun. Ali Abd Raziq pulang ke Mesir karena saat itu sedang
terjadi Perang Dunia I, meskipun studinya belum selesai.
Pada tahun 1915 Ali Abd Raziq memangku jabatannya yang pertama
sebagai Hakim pada Mahkamah Syar’iah di Mesir, mula-mula di Alexandria
kemudian pindah ke propinsi lainnya. Selama di Alexandria dia memberikan
perkuliahan di masjid dalam mata kuliah Sejarah dan Bahasa Arab. Pada
waktu itulah Ali Abd Raziq mengadakan penelitian dan hasil penelitiannya
dibukukan dalam bukunya al-Islam wa Ushlul al-Hukm, yang terbit terbit
pada tahun 1925.
111
C. ALI ABD RAZIQ DAN SISTEM KHILAFAH
Khilafah secara bahasa merupakan mashdar dari kata ختلف. Seorang
dikatakan menggantikan orang lain apabila dia melaksanakan fungsi yang
telah diberikan orang itu kepadanya baik bersama-sama orang tersebut atau
sesudahnya. Jadi khilafah berarti menggantikan orang lain baik karena yang
digantikan itu meninggal dunia, tidak mampu melaksanakan tugas, atau
alasan-alasan lain. Adapun arti khilafah yang berlaku di kalangan kamu
muslimin yaitu kepemimpinan yang menyeluruh dalam persoalan yang
berkenaan dengan masalah keagamaan dan duniawi sebagaimana fungsi
Rasulullah.
Atas dasar definisi ini Abu Bakar yang dibaiat oleh kaum muslimin
sepeninggal Rasulullah diberi gelar khalifat Rasulullah. Gelar ini memiliki
wibawa, kekuatan dan pesona yang hebat dapat mendorong kaum muslimin
untuk tunduk kepadanya dalam bentuk keagamaan sebagaimana tunduk
mereka kepada Nabi. Kaum muslimin berusaha pula untuk mempertahankan
kekuasaan Abu Bakar sebagaimana yang mereka lakukan terhadap apa yang
akan menjatuhkan agama mereka.
Sementara itu Ibn Khaldun mengatakan bahwa khilafah merupakan
tanggung jawab umum yang sesuai dengan syariat Islam dengan tujuan
menciptakan kemaslahatan hidup ummat manusia di dunia ini dan di akhirat
kelak.
Sistem khilafah menurut para ulama wajib hukumnya dan sebagai
konsekuensinya berdosalah seluruh kaum muslimin apabila sistem tersebut
tidak diwujudkan. Meskipun banyak di antara mereka bersepakat atas
wajibnya sistem khilafah tapi mereka berselisih tentang dasar yang
mewajibkannya, di antaranya yaitu :
a. Wajibnya khilafah itu didasarkan atas ijma’ sahabat dan Tabi’in.
Setelah Rasullah meninggal, para sahabat memberikan baiatnya kepada Abu
Bakar dan mempercayakan semua urusan dan persoalannya kepada Abu
Bakar. Demikian pula yang terjadi pada masa-masa berikutnya, dan ummat
Islam tidak dibiarkan sesaat pun dalam keadaan kacau balau tanpa seorang
pemimpin dan dengan dasar ini pula mereka jadikan dasar atas wajibnya
sistem tersebut.
b. Adanya sistem khilafah itu sesuai dengan nash-nash ajaran agama
Islam, karena perintah amar ma’ruf dan nahy munkar yang wajib hukumnya
itu tidak dapat terlaksana dengan baik kecuali bila ada seorang pemimpin
atau khalifah. Bila tidak ada yang menduduki jabatan tersebut ummat tidak
112
mungkin dapat diorganisir bahkan akan muncul pertentangan, kezhaliman
meraja lela, sikap bermusuhan sulit dihentikan, dan lain-lain. Oleh karena itu
tidak diragukan lagi wajibnya sistem khilafah.
c. Sementara itu sebagian ulama’ termasuk di dalamnya Rasyid Rida
menyatakan bahwa mendirikan khilafah itu merupakan keharusan agama
yang didasarkan atas ayat-ayat al-Qur’an seperti :
آمنوا أطيعوا اهلل وأطيعوا الرسول واوىل األمر منكمياأيها الذين Artinya :
Wahai orang-orang yang beriman taatilah Allah dan Rasulnya dan ulil amri
di antara kamu.
واذا جآءهم أمر من األمن او اخلوف أذا عوابه ولوردوه اىل اوىل األمر منهم لعلمه الذين يستبطونه منهم
Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun
ketakutan mereka lalu menyiarkannya. Dan kalau mereka menyerahkannya
kepada Rasul dan Ulil Amri di antara mereka, tentulah mereka yang ingin
mengetahui kebenarannya akan dapat mengetahuinya dari Rasul dan Ulil
Amri.
Mengajak kebaikan dan melarang kemungkaran adalah wajib
hukumnya. Kewajiban ini tidak akan terlaksana dengan baik kecuali bila
disana ada pemimpin atau khalifah yang menanganinya.
d. Para ulama’ Mu’tazilah dan Khawarij berpendapat bahwa ummat
Islam tidak harus membentuk khilafah. Tugas khilafah adalah menegakkan
pelaksanaan hukum dan peraturan Syariat. Kalau Syariat sudah dapat
terlaksana dengan baik begitu pula keadilan, maka tidak diperlukan lagi
seorang khalifah.
Para ulama juga membicarakan perihal kedudukan khalifah, mereka
berpendapat bahwa khalifah, mereka berpendapat bahwa khalifah itu adalah
pengganti Nabi yang di waktu hidupnya menangani masalah-masalah
keagamaan yang diterima dari Allah. Setelah Nabi meninggal, para sahabat
Nabi menjadi penggantinya dalam memelihara kelestarian ajaran agama dan
mengurus persoalan duniawi. Mereka juga menambahkan bahwa kedudukan
khalifah di hadapan ummatnya sama dengan para rasul di tengah-tengah
113
kaumnya. Khalifah memiliki kekuasaan yang menyeluruh, hak untuk ditaati,
wewenang untuk mengurus persoalan agama dengan demikian dia harus
melaksanakan fungsinya di tengah-tengah ummatnya dalam batas-batas yang
ditetapkan oleh agama. Khalifah juga memiliki hak untuk mengatur
persoalan-persoalan yang berkenaan dengan urusan duniawi mereka, oleh
karena itu ummat wajib menghormatinya dan mematuhi segala perintahnya.
Disamping itu mereka juga berpendapat bahwa khalifah itu memperoleh
kedaulatan dan kekuasaannya dari Allah bahkan mereka berpendapat bahwa
khalifah itu adalah bayangan Allah. Dalam hal ini khalifah Ja’far al-Manshur
sendiri mengagap dirinya sebagai sultan Allah di muka bumi ini. Pendapat ini
tersebar luas dan sering mereka lontarkan dalam ucapan syair-syair mereka
yang isinya dapat ditangkap bahwa Allah yang menjatuhkan pilihannya
terhadap seorang khalifah dan Dia-lah memberikan wewenang kekhalifahan
kepadanya, seperti :
من أمة إصالحها ورشادها# لقد أراد اهلل اذ والكها Allah telah memilihmu saat Dia memberimu kuasa untuk mengatur ummat
dan memberi mereka bimbingan.
اهلل لناس والذى به يتجلى عن كل أرض ظالمها هشام خيارHisyam pilihan Allah untuk manusia yang dengannya sirnalah kegelapan
yang menutupi bumi.
مساء برجى للمحمول غمامها# وأنت هلذا الناس بعد نبيهم Kaulah Hisyam penguasa mereka sesudah Nabi, tumpuan harapan untuk
melenyapkan awan.
Setelah mengemukakan pendapat para ulama tentang khilafah, Ali
Abd Raziq mulai mengemukakan pendapat-pendapatnya sendiri, yaitu
Khilafah ialah salah satu pola pemerintahan di mana kekuasaan tertinggi dan
mutlak berada pada sorang kepala Negara atau pemerintahan dengan gelar
khalifah, pengganti Nabi dengan kewenangan untuk mengatur kehidupan dan
urusan ummat baik keagamaan maupun keduniaan yang hukumnya wajib
bagi ummat untuk taat dan patuh sepenuhnya.
114
Seperti disinggung sebelumnya bahwa mendirikan kekhilafahan bagi
para ulama pada umumnya wajib hukumnya dan bila tidak ditegakkan ummat
menjadi dosa. Pernyataan tersebut oleh Ali Abd Raziq ditolak dengan
menyatakan bahwa pengangkatan Abu Bakar sebagai khalifah tidak terjadi
atas dasar ijma’ karena tidak semua sahabat ikut memberikan baiatnya. Di
antara sahabat yang tidak ikut memberikan baiatnya ialah Ali Ibn Abi Thalib
dan Saad Ibn Abi Ubadah.
Bila melihat sejarah, kita akan mengetahui bahwa sistem khilafah ini
menimbulkan perpecahan di kalangan mereka. Hal tersebut terbukti saat
kaum muslimin memerintah berbagai daerah yang mereka taklukkan, kaum
Anshar berkata kepada Muhajirin: “Sebaiknya kami mempunyai seorang
pemimpin sendiri begitu pula kalian”. Abu Bakar menjawab dengan tegas:
“Kamilah yang menjadi pimpinan, sedangkan kalian dari Anshar menjadi
pembantu kami “.
Selanjutnya Ali Abd Raziq menyatakan bahwa Yazid Ibn Mu’awiyah
karena kecintaannya terhadap jabatan khilafah, gairah yang tinggi, dan
tersedianya kekuatan yang besar menyebabkan dia menghalalkan tumpahnya
darah Husain Ibn Ali Ibn Abi Thalib dan memporak porandakan kota
Medinah. Malik Ibn Marwan yang berani menghancurkan Ka’bah karena
kecintaannya pada khilafah. Begitu pula Abu Abbas al-Saffah yang berubah
menjadi seorang yang haus darah karena cintanya kepada jabatan khilafah,
padahal darah yang ditumpahkan itu adalah darah kaum muslimin dari Bani
Umayyah,dan juga para khalifah lainnya dari berbagai dinasti.
Disamping itu Ali Abd Raziq juga berpendapat bahwa adanya sistem
khilafah itu tidak memiliki landasan yang kuat dari al-Qur’an, untuk
menguatkan pendapatnya ini dia mengemukakan alasan bahwa al-Qur’an
sama sekali tidak menyebutkan sistem khilafah dengan pengertian khusus
yang dikenal dalam sejarah. Semua ayat yang dianggap sebagai dalil
pendukung sistem khilafah dalam kenyataannya tidaklah demikian. Ayat-ayat
tersebut hanya memerintahkan kaum muslimin agar taat pada Allah, Rasul,
dan para Ulil amri, seperti firman Allah :
أطيعوا اهلل وأطيعوا الرسول واوىل األمر منكم
Ayat ini tidaklah mengandung sesuatu yang dapat dijadikan pegangan
sebagai dalil untuk itu. Selanjutnya Ali Abd Raziq menyatakan bahwa Ulil
Amri yang tertera pada ayat tersebut telah mendorong para mufassir untuk
menafsirkan para pemimpin kaum muslimin pada masa Rasulullah dan masa-
115
masa sesudahnya termasuk para khalifah, para panglima perang, dan para
ulama, tetapi baginya Ulil Amri berarti: para pembesar sahabat yang
memahami seluk-beluk persoalan ummat atau yang menjadi pemimpin
mereka. Disamping itu dia menambahkan bahwa ayat tersebut sama sekali
tidak mengandung dalil yang cocok untuk diterapkan pada wajibnya khilafah,
melainkan ayat tersebut menunjukkan adanya keharusan bagi kaum muslimin
untuk memiliki sekelompok orang yang dapat dijadikan tempat rujukan bagi
persoalan yang mereka hadapi dan makna yang demikian itu lebih umum dan
luas dari pada arti khilafah.
Adapun hadis-hadis yang dianggap sebagai dasar wajibnya khilafah
ialah :
األئمة من قريش Para imam itu dari kalangan Quraisy.
تلزم مجاعة املسلمني Tetaplah berada dalam jamaah kaum muslimin.
من مات وليس ىف عنقه بيعة فقد مات ميتة جاهلةBarang siapa mati dan tidak pernah berniat, maka ia mati dalam keadaan
jahiliyah.
من بايع إماما فأعطاه صفتة يده ومثرة قلبه فليطعه ان استطاع فإن جاء آخر ينازعه فاضربوا عنق اآلخر
Barang siapa yang telah memberikan baiatnya kepada seorang imam dengan
sepenuh hati maka hendaknya ia mentaati imamnya itu bila dia mampu, dan
bila ada orang lain yang menentangnya. maka bunuhlah dia.
ااقتدوا بالذين من بعدى اىب بكر وعمر اخلIkutilah para pemimpin sesudahku Abu Bakar, Umar dan lain-lain.
116
Ali Abd Raziq berpendapat bahwa hadis-hadis yang dikemukakan di
atas tadi sama sekali tidak mengandung petunjuk yang dapat dijadikan
argumentasi bagi pendapat mereka yang menyatakan bahwa syariat mengakui
adanya khilafah atau imamah.
Selain itu Ali Abd Raziq juga berpendapat bahwa Muhammad itu
hanyalah seorang Rasul yang bertugas menyampaikan ajaran-ajaran agama.
Dengan dakwahnya kepada bangsa Arab mereka dapat bersatu tidak berpecah
belah. Persatuan mereka bukanlah persatuan politik dan tidak pula
mempunyai arti kerajaan atau pemerintahan, tetapi itu adalah persatuan
keimanan atau keagamaan. Oleh karena itu baginya Risalah itu tidak sama
dengan pemerintahan.
Selanjutnya Ali Abd Raziq menyatakan bahwa Muhammad adalah
semata-mata seoarang utusan Allah untuk menempatkan agama Islam tanpa
maksud untuk mendirikan negara. Nabi tidak mempunyai kekuasaan duniawi,
negara, maupun pemerintah. Dia adalah nabi sebagaimana para nabi
sebelumnya.
Oleh karena itu sepeninggalnya berhentilah tugas kerasulannya dan
kepemimpinanya dan tak seorang pun yang berhak menggantikan tugas
beliau yaitu menegakkan Risalahnya. Ali Abd Raziq menambahkan bahwa
kepimpinan sesudah Nabi merupakan kepemimpinan dalam bentuk baru dan
tak ada hubungan sedikitpun dengan tugas kerasulan dan bukan pula untuk
memelihara agama. Karena itu kepemimpinan tersebut adalah kepemimpinan
duniawi yang bercorak kekuasaan dan pemerintahan bukan kepemimpinan
agama. Menurutnya, Abu Bakar adalah raja pertama dalam sejarah Islam.
Barangkali ada beberapa faktor yang mendorong masyarakat
melakukan kesalahan hingga mereka menganggap pemerintahan Abu Bakar
itu bercorak agama.
Abu Bakar memang mempunyai kedudukan istimewa di sisi Nabi dan
menjadi pengikutnya yang paling setia. Dengan seluruh kemampuan yang
dimilikinya dia menjalankan roda pemerintahannya sesuai dengan ajaran
Islam. Oleh karena itu tidak diragukan lagi ketika melaksanakan tugasnya
sebagai kepala Negara yang baru, Abu Bakar selalu berusaha mewarnai
semua kegiatannya dengan warna Islami.
Gelar Khalifat Rasullah dengan berbagai atributnya merupakan salah
satu sebab yang melahirkan kesalahan di kalangan ummat Islam hingga
117
mereka mengkhayalkan bahwa kekhilafan itu merupakan sesuatu yang
berkaitan dengan agama dan orang yang diserahi mengurus persoalan ummat
Islam dianggap memiliki kedudukan yang sama dengan Rasullah. Sejak masa
permulaan Islam banyak di antara mereka yang meyakini bahwa khalifah itu
merupakan jabatan yang bercorak agama sebagai pengganti Rasulullah.
Mempulerkan kesalahan semacam ini di tengah-tengah masyarakat
merupakan sesuatu yang menguntungkan bagi para khalifah atau raja,
sehingga mereka dapat memanfaatkan agama sebagai perisai untuk menolak
berbagai ancaman dari para pemberontak. Mereka menanamkan konsep di
tengah-tengah masyarakat bahwa mentaati khalifah berarti mentaati Allah
dan ingkar kepadanya berarti mengingkari Allah.
Barangkali dari sini masalah khilafah mejadi bagian yang tak
terpisahkan dari akidah agama dan ummat Islam menempatkan khilafah
sebagai bahan kajian yang sejajar dengan sifat-sifat Allah dan sifat-sifat
Rasullah, bahkan konsep khilafah dianggap sebagai bagian dua kalimat
Syahadat.
Kenyataan yang sebenarnya adalah bahwa Islam tidak mengenal
sistem khilafah seperti yang selama ini dikenal oleh ummat Islam di seluruh
dunia. Sistem khilafah sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan ajaran
agama Islam, demikian halnya dengan masalah-masalah yang berkenaan
dengan politik. Agama Islam tidak mengenal lembaga semacam itu tetapi
juga tidak menolak wujudnya. Agama tidak memerintahkan dan juga tidak
melarangnya, semua itu terserah kepada manusia untuk
mempertimbangkannya sebagaimana masalah-masalah lainnya, seperti
organisasi kemiliteran dalam Islam, pemerintah daerah, dan lain-lain.
Disamping itu di dalam Islam tidak terdapat larangan bagi ummatnya
untuk berlomba dengan bangsa-bangsa lain di berbagai hal seperti ilmu,
militer, politik dan lain-lain. Untuk itu mereka diberi hak untuk menolak
sistem khilafah yang telah usang dan yang menjadi sebab kemunduran
mereka dan mereka bebas memilih landasan dan sistem apapun bagi
pemerintahan mereka, yaitu sistem yang dianggap cocok melalui berbagai
pengalaman dari berbagai bangsa di seluruh dunia.
Buku al-Islam wa Ushul al-Hukm karangan Ali Abd Raziq
menimbulkan pro dan kontra di kalangan ualama pada waktu itu di antara
mereka yang pro kepadanya ialah Bahauddin, Husain Heikal, Mahmud Pasya
Abd Raziq dan lain-lain. Dari berbagai artikel mereka dapat disimpulkan
sebagai berikut :
118
a. Mereka menetapkan bahwa Ali Abd Raziq adalah pahlawan
bangsa sebab dia menentang Inggris yang bermaksud menegakkan
kekhilafahan Islam di Mesir.
b. Mereka juga menetapkan bahwa Ali Abd Raziq adalah pahlawan
kemerdekaan, pejuang konstitusi, dan pejuang demokrasi, sebab
dia berani menentang raja Fuad yang saat itu berada dalam puncak
kekuasaan dan berambisi untuk menegakkan kembali
kekhilafahan di Mesir setelah dihapuskan di Turki pada tanggal 3
Maret 1924.
c. Mereka juga menetapkan Ali Abd Raziq adalah Imam mujtahid,
pemikir hebat, dan Pembaharu sebab dia berani menentang para
ulama al-Azhar melalui pandangan barunya yang ditulis dalam
bukunya yang menghebohkan itu. Buku tersebut dapat mendobrak
kejumudan ummat Islam, membuka pintu ijtihad, dan
mengobarkan revolusi intelektual yang pengaruhnya tersebar ke
berbagai negara Islam di seluruh dunia.
Adapun di antara ulama yang menentang buku Ali Abd Raziq
ialah Rasyid Ridha, Syeikh M. Syakir, Syeikh Bukhait, Yusuf al-
Dajwa dan lain-lain. Karena banyaknya ulama yang menentang
bukunya, akhirnya Ali Abd Raziq diajukan ke pengadilan
mahkamah dengan tuduhan sebagai berikut :
a. Menjadikan Syariat Islam sebagai syariat yang semata-mata
bercorak spriritual yang tidak memiliki kaitan dengan hukum
duniawi.
b. Jihad yang dilaksanakan oleh Rasulullah itu untuk
mempertahankan kekuasaanya dan tidak dalam rangka
keagamaan dan bukan pula untuk menyampaikan dakwah ke
seluruh alam.
c. Sistem pemerintahan periode Nabi adalah suatu hal yang
kabur penuh dengan hal-hal yang meragukan, dan kurang
informasi semuanya ini menimbulkan kebingunggan bagi
ummat Islam sepeninggalnya.
d. Tugas Rasul hanyab menyampaikan syariat tanpa ada
kaitannya sedikitpun dengan masalah pemerintahan maupun
pelaksanaannya.
e. Ali Abd Raziq mengingkari ijma’ para sahabat yang berkenan
dengan wajibnya jabatan khilafah.
f. Ali Abd Raziq mengingkari peradilan yang merupakan tugas
syari’ah.
g. Ali Abd Raziq beranggapan bahwa pemerintahan Abu Bakar
dan para khulafa’ al-Rasyidun lainnya tidak bercorak agama.
119
Atas dasar tujuh tuduhan tersebut di atas, Ali Abd Raziq
dikeluarkan dari barisan ulama al-Azhar oleh Syeikh al-Azhar
yang didukung oleh 24 ulama besar lainnya. Bahkan ada beberapa
ulama seperti Rasyid Rida, M. Syakir, Yusuf al-Dajwa, dan M.
Bukhait menyatakan bahwa Ali Abd Raziq telah murtad dari
Islam.
D. KESIMPULAN
a. Ali Abd Raziq adalah seorang ulama Mesir yang belajar di Oxford
Inggris hingga beberapa pemikirannya dipengaruhi oleh Barat.
b. Yang mula-mula menggunakan gelar khalifah adalah Abu Bakar
tetapi pengangkatannya tidak didasarkan atas ijma’ sahabat, di
mana masih ada beberapa sahabat yang tidak mau membaitnya.
c. Gelar Khalifat Rasulullah menimbulkan kesalahan di kalangan
ummat Islam, mereka beranggapan bahwa khilafah itu bagian dari
agama dan tak dapat dipisahkan darinya, dan mereka wajib
menegakkannya.
d. Sistem Khilafah tidak mempunyai landasan dari al-Quran dan
Hadis, bentuk dan corak pemerintahan ummat Islam diserahkan
seluruhnya kepada mereka untuk menentukannya. bagi
e. Berdirinya beberapa negara republik di berbagai negara, sedikit
banyak dipengaruhi oleh idenya.
120
NEO-MODERNISME ISLAM DAN ISLAM DI INDONESIA:
Mempertimbangkan Fazlur Rahman
Oleh
Ahmad Syafii Maarif*)
Pendahuluan
Dalam lingkungan sosio-relijius Pakistan yang telah melahirkan tokoh
pemikir seperti Iqbal, ternyata konflik pemikiran antara kelompok pembaharu
dan kaum tradisional, atau antara kaum tradisional dan pemerintah sangat
sulit untuk dijembatani. Ambillah misalnya keluarga berencana yang di
Indonesia tampaknya tidak banyak mendapat tentangan di Pakistan pada
tahun 1960-an, oposisi ulama terhadapnya begitu sengit dan keras. Fazlur
Rahman yang antara 1962-1968 menjadi Direktur Lembaga Pusat Riset Islam
yang dibentuk oleh Pemerintah Ayub Khan, pada tahun 1971 menulis tentang
ini sebagai berikut :
Beberapa minggu menjelang meledaknya agitasi dari khalayak ramai terhadap
rejim Ayub Khan pada musim'semi 1963, seorang alim dalam suatu konferensi
besar. ulama di Rawalpindi menyatakan bahwa para Fir'aun menurut Al-Qur’an
telah menghabisi anak laki-laki Yahudi di Mesir tetapi anak perempuannya
dibiarkan hidup, sementara orang-orang Arab pagan dalam praktek pembunuhannya
terhadap anak-anak telah melakukan yang sebaliknya, Ayyub Khan lebih jahat dari
keduanya karena lewat program keluarga berencananya, ia memusnahkan baik laki-
laki maupun perempuan. (Rahman, Vol. No.4, November, 1971:12).
Retorika yang senada dengan itu dalam menghadapi kasus-kasus lain
seperti masalah bunga Bank, sembelihan dengan mesin, soal warisan, telah
menggusur kemungkinan dialogis antara pihak-pihak yang berbeda
pandangan. Dalam iklim yang serupa ini "perbedaan pendapat bukan lagi
rahmat, tapi malapetaka". Fazlur Rahman yang ingin melihat Islam itu benar-
benar dijalankan dalam kehidupan modern secara bertanggungjawab dalam
seluruh bidang kegiatan manusia, akhirnya kewalahan juga menghadapi aksi
massa yang tak terkendali ini. Akhirnya ia hijrah ke Chicago sejak 1970
sampai saat meninggalnya pada 26 Juli 1988. Dari Chicago-lah ia selama
lebih kurang delapan belas tahun melontarkan gagasan-gagasan pemikiran
keislamannya yang dipandang kontroversial itu.
_________
*) Disampaikan dalam seminar sehari Pikiran-Pikiran Fazlur Rahman, yang diselenggarakan
Lembaga Studi Agama dan Filsafat (LSAF) Jakarta, 3 Desember 1988.
121
Dalam makalah ini akan kita lihat secara kritis tentang pemikiran-
pemikiran Fazlur Rahman sebagai seorang intelektual, Muslim yang .gelisah,
gagasannya tentang neo-modernisme Islam sebagai alternatif yang
ditawarkannya; dan sebelum penutup akan kita kaitkan pula tinjauan dengan
iklim pemikiran Islam di Indonesia.
Fazlur Rahman: Cerminan Kegelisahan Intelektual yang Bertanggung-
jawab
Dalam salah satu kuliahnya di awal 1980-an Rahman mengatakan :
"Bila bahan bakar minyak lenyap dari dunia, mungkin akan ada gantinya.
Tapi bila Islam yang lenyap, gantinya tidak akan ada." Pernyataan ini adalah
pernyataan komitmen Rahman yang amat kuat dan dalam terhadap Islam.
Islam bila difahami secara benar dan cerdas akan dapat ditawarkan sebagai
dasar peradaban alternatif bagi dunia yang akan datang. Namun ia menyadari
sepenuhnya bahwa ummat Islam secara keseluruhan belum siap untuk itu.
Menurut perkiraannya pada tahun 1979 lalu, ummat Islam baru akan
memiliki suatu fondasi intelektualisme Islam yang kokoh dalam jangka
waktu 20-30 tahun (Kuliah tanggal 8 Juni 1979). Ia mengkui betapa kuatnya
keterkaitan ummat terhadap Islam, tapi "intelektualisme mereka adalah nol"
(Kuliah tanggal 8 Juni 1979). Fenomena inilah yang agak merisaukannya.
Oleh sebab itu ia mengimbau agar kita menempuh cara berpikir yang radikal
untuk menangkap maksud al-Qur’an. Ia mengatakan : "Study the Qur'an first,
then judge the past and present situation with it" (Kuliah tanggal 15 Mei
1979). Sikap yang sangat Qur'an Oriented inilah yang membedakan Rahman
dengan para pemikir Muslim lainnya, baik yang klasik maupun yang
kontemporer. Sampai di mana dia berhasil merumskan suatu metodologi
untuk memahami al-Qur’an dapat kita nilai dari beberapa karyanya, baik
dalam bentuk buku maupun masih berupa artikel (Rahman, 1982, 5-8;
Rahman, 1980; Rahman, 1986: 45-49; Rahman, terj. Taufik Adnan Amal,
1987:54-67). Di antara kritiknya terhadap kaum modernis Muslim, apalagi
kaum tradisionalis dan fundamentalis, adalah karena mereka tidak
menawarkan suatu metodologi yang sistematis dan padu dalam memahami
al-Qur’an. Pendekatan parsial dan ad hoc, menurut Rahman, terhadap al-
Qur’an, tidak mungkin membuahkan hasil yang dituntut oleh Kitab Suci ini
(Rahman, 1982: 5-8).
Kalaulah Rahman dapat mengendalikan diri untuk tidak
menggunakan ungkapan-ungkapan yang terlalu tajam untuk meredam lawan-
lawannya, dan ini di antara kelemahannya menurut hemat saya, gagasan-
gagasan pembaharuannya mungkin akan cepat mendapat pendukung yang
lebih luas dan merata. Metoda pendekatannya yang kurang persuasif dalam
melontarkan ide-idenya merupakan salah satu kendala mengapa radius
pengaruh pemikirannya masih terbatas pada sebagian elit intelektual Muslim.
122
Sebagai ilustrasi dapat saya sebutkan di sini bahwa Catatan Pengantar untuk
buku Islam and Modernity yang a.l. berbunyi:
Di sini saya ingin mencatat bahwa dua tokoh intelektual Pakistan, Abu'l-A'la
Mawdudi dan Ishtiaq Husain Qureishi, meninggal bulan September 1979 dan
Januari 1981. Kepergian mereka adalah sebuah kehilangan bagi Islam, sentana
kritik saya keras terhadap mereka, dan saya percaya dapat dibenarkan sepenuhnya
(Rahman, 1982: 5-8).
Semula tidak akan dicantumkan. Adalah karena saran dari saudara
Wan Mohd. Nor Wan Daud (mahasiswa Rahman dari Kelantan, Malaysia),
sekadar penghargaan itu diberikan kepada Mawdudi dan Qureshi, dua nama
besar yang mendapat kritik tajam dari Rahman dalam buku di atas. Dalam
melumpuhkan argumentasi lawan, Rahman rupanya lupa akan satu diktum al-
Qur’an yang memerintahkan Musa dan saudaranya Harun agar berkata lunak
dan sopan (qaulan layyinan), (QS. Thaha:44), sekalipun terhadap musuh
beratnya Fir'aun. Saya berharap agar kritik-kritik keras dan tajam yang
mungkin telah melampaui etik al-Qur’an tidak merupakan ciri dari neo-
modernisme Islam, yang kini sedang menyeruak memasuki bursa pemikiran
ummat yang kreatif dan kritis. Sebuah iklim "berbeda dalam persaudaraan
atau bersaudara dalam perbedaan" perlu kita budayakan dalam kehidupan
ummat, teristimewa di lingkungan intelektual Muslim. Dengan cara ini
diharapkan agar model sengketa klasik antara al-Ghazali dan para filosuf atau
antara Ibn Taimiyah dengna kaum sufi, teolog dan juga filosuf, tidak kita
warisi di abad kita. Cara-cara semacam itu telah meninggalkan trauma
sejarah yang dalam dan sulit menghapusnya.
Rahman memang menghadapi tembok-tembok konservatisme yang
tebal dan kuat. Menurut pendapatnya, tembok-tembok itu harus dirubuhkan,
manakala Islam itu memang ingin ditegakkan secara berwibawa dalam
kehidupan modern. Maka perlawanan keras yang diterimanya dari para
ulama tradisional konservatif dan golongan fundamentalis telah
dijawabnya dengan cara yang tidak kurang tegar dan kerasnya. Cara-cara
semacam ini tampaknya merupakan bagian dari kegelisahan intelektualnya
yang teramat dalam dan mendasar. Kita kutip kritiknya terhadap dinding-
dinding tebal tradisionalisme :
Suatu masyarakat yang harus memulai hidup dalam kerangka masa lampau
betapapun manis kenangannya dan gagal dalam menghadapi realitas kekinian secara
jujur betapapun tidak seronoknya, ia pasti menjadi sebuah fosil; dan sudahlah
merupakan hukum Tuhan yang tetap bahwa fosil tidak tahan lama: "Bukanlah Kami
berbuat zalim terhadap mereka; merekalah yang menzalimi diri mereka sendiri"
(XI: 101; VXI.-33, dl1.), (Rahman, 1965:176).
123
Bagi Rahman tampaknya adalah sebuah kezaliman bila
mempertahankan tradisi yang sudah lapuk, yang telah kehilangan dinamika
dan kesegaran, atau untuk meninjau Rendra: sebuah budaya "kasur tua" yang
kumal dan apak. Dalam konteks hubungan antar kelompok modernis dan
tradisionalis Muslim di Pakistan, Rahman pernah merekamkan: "The
modernist accuses the traditionalist of worshipping history, not God
(Rahman, dalam Little (ed.),1976:301). Suatu cara polemik yang jelas tidak
sehat bila dilihat dari sisi etik al-Qur’an. Dalam pada itu dengan cara yang
tidak kurang pedasnya golongan konservatif lewat jurnalnya a.l. al-Bayyinat,
telah menuduh Rahman sebagai munkir Qur’an (penampik al-Qur’an),
(Rahman, dalam Little (ed.),1976:300), dengan alasan yang akan kita
jelaskan lebih jauh pada waktu kita membicarakan neo-modernisme Islam.
Yang mengherankan adalah bila Rahman kita jejerkan dengan Iqbal
dalam soal kritik-mengkritik ini. Iqbal dalam ungkapan-ungkapan yang jauh
lebih pedas tinimbang Rahman dalam mengeritik realitas ummat, tidak
mengundang perlawanan yang berarti. Apakah ini karena Iqbal
menyampaikannya dalam bahasa puisi yang menawan, sementara Rahman
dalam bahasa prosa yang langsung. Atau mungkin juga Iqbal terlalu besar
untuk dilawan. Allahu a'lam. Yang jelas ialah bahwa Iqbal diminati oleh
seluruh lapisan masyarakat konservatif, tradisional dan modernis. Sebenarnya
bukan saja diminati, tapi dipuja dan disenandungkan. Dalam perspektif ini
dapat kita katakan bahwa beruntunglah mereka yang mampu
menyampaikan ide-ide pembaharuan lewat bahasa puisi. Kasus Iqbal adalah
di antara bukti untuk ini. Inilah contoh kritik Iqbal terhadap mulia (ulama
tradisionalis) : (Agama Tuhan 1ebih dilecehkan ocehkan tinimbang
kekufuran, Gara-gara mulia, seorang mu'min, berdagang dalam kekafiran!),
(May, Vol XVIII, No.4 1978:21). Anehnya lagi adalah Rahman yang sering
mengutip sajak-sajak Iqbal yang berisi kritikan terhadap kaum ulama, yang
dimarahi bukan si penyairnya, tapi si pengutip!.
Puncak dari kemarahan publik Pakistan terhadap Rahman yang
memang disulut oleh para ulama terjadi pada bulan September 1968. Ini
beranjak dari pendapatnya tentang wahyu yang termuat dalam bukunya Islam
yang kemudian dilarang di negerinya. Rahman dituduh berpendapat bahwa
al-Qur’an adalah karya kerjasama antara Allah dan Muhammad, suatu posisi,
menurut Rahman, yang tidak mungkin dipegang oleh seorang Muslim pun.
Tapi akibatnya memang fatal. Para ulama bukan saja marah kepada Rahman,
tapi kepada Presiden Ayyub Khan yang telah memintanya untuk
merumuskan Islam dalam kerangka modern. Di Lahore bahkan ada poster-
poster dinding yang mengumumkan sebuah harga dari kepala Rahman (L.S.
May, Vol XVIII, No.4 1978:21), padahal yang bersangkutan baru saja keluar
dari Rumah Sakit akibat serangan jantung yang berat. Iklim anti Rahman ini
124
juga terdapat di Dakka, Pakistan Timur (waktu itu), dengan corak yang tidak
kurang ganasnya.
Demi meredakan suasana yang sudah demikian mendidih, akhirnya
Fazlur Rahman mundur dari jabatannya sebagai Direktur Lembaga Pusat
Riset Islam untuk kemudian menatap di Chicago, sebagaimana yang telah
kita sebutkan sebelumnya. Itulah sebuah episode dari budaya anti-
intelektualisme Pakistan yang belum, dan mudah-mudahan tidak terjadi
Indonesia.
Neo-modernisme Islam : Sebuah Alternatif
Sampai kira-kira pertengahan 1970-an, Rahman, sepanjang sumber
yang saya ketahui, belum lagi berbicara tentang gagasan neo-modernisme
Islami. Bahkan sebenarnya Rahman tidak sering menggunakan ungkapan
neo-modernisme Islam itu, sekalipun ia menawarkannya sebagai pra-syarat
bagi kebangkitan Islam (Islamic Renaissance), Rahman, dalam Welch &
Cachia (eds.), 1979: 323-327). Neo-modernisme Islam tidak lain dari
modernisme Islam plus metodologi yang mantap dan benar untuk memahami
al-Qur’an dan sunnah nabi dalam perspektif sosio-historis. Bagi Rahman,
tanpa suatu metodologi yang tepat dalam memahami Islam dan seluruh
pesannya, orang akan sulit menangkap secara jelas dan tajam kaitan organik
antara fondasi teologisnya dengan persoalan dan nilai praktis kemanusiaan
dalam kehidupan kolektif. Oleh sebab itu Rahman berkali-kali menegaskan
bahwa, seperti yang telah kita kutip sebelumnya, al-Qur’an harus dijadikan
pedoman pertama dan utama dalam memahami Islam: "study the Qur'an first,
then judge the past and the present situation with it" (Kuliah Rahman, 15
Mei 1979). Dengan dasar inilah ia kemudian mempertanyakan secara sangat
serius tentang posisi Islam sejarah bila dihadapkan kepada Islam cita-cita. Di
mata kaum modernis Muslim Pakistan, kelompok tradisionalis sudah tidak
mampu lagi membedakan antara Islam sejarah dan Islam cita-cita, hingga
mereka demikian terpautnya dengan Islam yang menjadi sejarah itu. Mereka
kehilangan kemandirian dalam memahami Islam. Mereka "menyembah
sejarah, bukan Tuhan", (Rahman, dalam Little (ed.),1976:301). kata kaum
modernis. Fazlur Rahman dalam hal ini tampaknya sama-sama satu biduk
dengan kaum modernis dalam menilai kelompok tradisionalis berpikir itu.
Sebenarnya bukan saja kehilangan, tapi kemerdekaan berpikir itu mereka
pandang sebagai bahaya besar bagi Islam, yaitu Islam sebagaimana yang
mereka fahami.
Di samping alergi terhadap kemerdekaan berpikir, ada alasan lain
mengapa pihak tradisionalis tidak percaya kepada kaum modernis. Alasan itu
berkaitan dengan latar belakang pendidikan kaum modernis pada umumnya,
yaitu pendidikan Barat. Trauma sejarah dari masa kolonialisme Barat
memang merupakan beban psikologis tersendiri bagi ummat Islam. Islam
125
memang selalu dihadapkan kepada apa saja yang bercorak Barat, kecuali
ilmu dan teknologi. Beban psikologis inilah yang turut bertanggungjawab
mengapa ummat Islam sangat curiga kepada Barat. Kecurigaan ini semakin
bertambah intens setelah menyaksikan hancurnya moral dan sistem famili di
sana.
Tapi apakah kaum modernis mau meniru Barat seperti yang
dituduhkan itu? Tidak selalu demikian, sekalipun tokoh seperti Ahmad Khan,
Ameer Ali dan beberapa nama yang lain memang terasa agak apologetik bila
mengaitkan Islam dengan Barat. Tapi tokoh-tokoh seperti Iqbal dan Fazlur
Rahman tidak dapat kita sama ratakan dengan mereka. Dala menyoroti
masalah sosial dan moral dalam masyarakat Barat, Rahman sepenuhnya
mengikuti jejak Iqbal, dan sampai batas tertentu tidak berbeda dengan
pandangan kaum tradisionalis. Salah satu sajak Iqbal yang menjadi favorit
Rahman menggambarkan betapa kritisnya ia membaca perkembangan sosial
dan moral di Barat yang dikatakan sebagai bagian dari utilitarianisme
sekuler. Sajak itu adalah :
Yang menakjubkan
Bukanlah terutama karena Anda memiliki
Seni penyembuhan mukjizati, penaka Yesus;
Yang lebih menakjubkan
Adalah karena si pasien anda
Bahkan lebih sakit tinimbang sebelumnya. (Kuliah Rahman, 15 Mei 1979); Rahman, dalam Little (ed.),1976:301); (Rahman,
dalam Little (ed.),1976:301).
Masyarakat Barat yang kehilangan orientasi etis-spiritual, melalui
sajak Iqbal itu, dinilai Rahman sebagai si pasien yang bertambah sakit,
sementara "seni penyembuhan mukjizati" yang ditawarkan adalah sia-sia
belaka. Tetapi kubu tradisionalis dan fundamental tidak mau melihat
kenyataan ini. Bagi mereka, produksi pendidikan Barat pasti membawa
"penyakit menular", betapapun sungguh dan seriusnya mereka mencintai 'dan
mempelajari. Islam. Bahkan dalam kasus Ahmad Khan yang dituduh
penghianat oleh al-Afghani misalnya, kita tidak boleh membernarkan
tuduhan itu secara semena-mena. Tokoh modernis ini dengan tradisi Aligarh-
nya telah memberikan sumbangan yang sangat berarti bagi kebangkitan
intelektualisme Islam di anak benua India itu. Tidaklah dapat kita bayangkan
sebuah renaisans pemikiran Islam di Asia Selatan itu tanpa Aligarh dengan
Ahmad Khan, Syibli Nu'mani, Ameer Ali dan lain-lain. Pendekatan yang
bersifat "black and white" terhadap sejarah masa lampau adalah pendekatan
yang ceroboh dan sebuah intellectual myopia.
Sekarang kita lihat metodologi yang ditawarkan Rahman untuk
memahami Islam dengan al-Qur’an sebagai tolok ukurnya yang utama.
126
Tawaran metodologi inilah yang memberikan cap khas kepada Neo-
modernisme-nya Rahman. Dengan metodologi ini diharapkan agar Islam
dapat menyelesaikan persoalan-persoalan, betapapun ruwetnya, yang
dihadapi ummat manusia dengan landasan moral yang solid. "... an Islam that
does not solve human problems has, at best, a precarious future, indeed!",
tulis Rahman dalam"' sebuah jurnal. Keprihatinan akan masa depan Islam
inilah yang memaksanya untuk mencari jalan keluar yang secara iman dapat
dibenarkan dan secara ilmu dapat dipertanggungjawabkan. Di bawah ini kita
ringkaskan metodologi itu.
Asumsi dasarnya adalah bahwa al-Qur’an harus difahami secara utuh
dengan mempertimbangkan secara kritis latar belakang sosio-historis
turunnya ayat (asbab al-nuzul). Bagi Rahman cita-cita moral (moral ideals)
al-Qur’an haruslah ditangkap lebih dulu sebelum merumuskan suatu
ketentuan hukum yang bersifat positif. Kasus-kasus warisan, poligami,
jumlah saksi wanita untuk suatu perkara misalnya, haruslah dilihat di bawah
sinar cita-cita moral al-Qur’an itu.
Kita ambil umpamanya soal poligami. Dalam al-Qur’an surat al-Nisa':
3 kita membaca suatu diktum tentang bolehnya seseorang beristeri lebih dari
satu asal dapat bersifat adil terhadap isteri-isterinya itu. Bila tidak, jumlah
isteri cukup satu saja. Kemudian pada surat yang sama ayat 129, al-Qur’an
menegaskan bahwa seseorang tak mungkin bersifat adil terhadap isteri-
isterinya, sekalipun ia ingin benar untuk berbuat demikian.
Tentang masalah ini Rahman menulis: "Kelihatannya ada satu
kontradiksi antara izin poligami sampai empat; tuntutan keadilan di antara
para isteri; dan deklarasi yang tegas bahwa keadilan yang semacam itu dalam
wujudnya tidaklah mungkin".
Bila demikian soalnya, mengapa masalah tuntutan akan kedilan ini
tidak dijadikan klausal pokok dalam menetapkan sistem perkawinan dalam
Islam? Rahman kemudian menegaskan : "Interpretasi tradisionalis adalah
bahwa klausal izin (untuk berpoligami) punya kekuatan legal sementara
tuntutan akan keadilan, sekalipun penting, diserahkan kepada kesadaran sang
suami". Pendapat yang semacam inilah yang dipandang tidak tepat oleh
golongan modernis. Bagi mereka, yang utama adalah tuntutan akan
keadilan dan deklarasi tentang tidak mungkinnya berbuat adil. Oleh sebab itu
menurut pendapat mereka bahwa izin poligami haruslah bersifat sementara
dan untuk satu maksud yang terbatas. Dengan pertimbangan ini, Rahman
kemudian berbicara tentang-cita moral al-Qur’an tentang masalah
perkawinan ini. Kita kutip : "Yang benar tampaknya adalah bahwa izin
poligami menjadi legal dengan sanksi-sanksi yang dikenakan atasnya adalah
dalam wujud suatu cita-cita moral ke arah mana masyarakat diharapkan
untuk bergerak, karena tidaklah mungkin menghapuskan poligami secara
legal dengna satu kali pukulan". Tegasnya Rahman berpendapat bahwa
127
poligami secara berangsur, tapi pasti harus dihapuskan, kecuali dalam
menghadapi kasus-kasus yang sangat darurat. Dari sudut pendekatan ini,
penghapusan sistem poligami dalam Islam bukanlah karena ayat 3 surat al-
Nisa' itu tidak berlaku lagi, tapi karena evolusi pembumian cita-cita moral.
al-Qur’an menuntut kita untuk sampai kepada kesimpulan semacam itu. Hal
yang serupa dapat pula kita temui dalam kasus perbudakan dalam Islam yang
pada akhirnya harus kita temui dalam kasus perbudakan dalam Islam yang
pada akhirnya harus dihapuskan.
Pada halaman terdahulu kita telah menyinggung tentang tuduhan
ulama terhadap Rahman berkenaan dengna al-Qur’an sebagai wahyu Allah.
Rahman sama sekali tidak mengatakan bahwa al-Qur’an adalah: "... bahwa
al-Qur’an adalah seluruhnya kalam Allah sejauh ia bersifat sempurna dan
sepenuhnya bebas dari kesalahan, tetapi, sejauh ia turun ke hati Muhammad
dan kemudian (diucapkan) lewat lidahnya, ia seluruhnya adalah
perkataannya". Penegasan ini didasarkan Rahman atas pemahamannya
terhadap ayat: Al-Ruh al-Amin telah membawanya turun ke dalam hatimu
agar engkau menjadi salah seorang di antara orang-orang yang memberi
peringatan. Dengan demikian jibril datang kepada Muhammad bukanlah
seperti tukang pos pengantar surat.
Persoalan di atas bukanlah persoalan murni "akademik", kata
Rahman, tapi ia punya konsekuensi-konsekuensi yang sangat jauh dan
mendasar tentang metoda penafsiran al-Qur’an. Rahman berpendapat tentang
terpisahnya gagasan keabadian dan sifat keTuhanan al-Qur’an dari gagasan
keabadian muatan hukumnya secara spesifik (the eternity of its specificlly
legal content). Ketentuan hukum seperti tentang poligami dan perbudakan
adalah di antara muatan hukum yang spesifik itu.
Ringkasnya, metodologi dalam memahami al-Qur’an yang
ditawarkan Rahman adalah seperti berikut ini. Dia mengistilahkannya
sebagai gerakan ganda : dari situasi kekinian ke masa al-Qur’an, kemudian
balik lagi ke masa kini. Ada dua langkah yang harus ditempuh untuk gerakan
pertama. 1. Orang harus memahami makna dari suatu pernyataan tertentu
dengan melihat situasi sejarah atau masalah yang kemudian diberi jawaban
oleh al-Qur’an. Langkah ini menuntut adanya pemahaman yang utuh tentang
makna al-Qur’an, disamping juga memahami terma-terma spesifik yagn
merupakan jawaban terhadap situasi spesifik. Langkah-langkah pertama
sebenarnya telah mengandung langkah kedua, dan akan mengarah ke sana.
Al-Qur’an secara keseluruhan punya sikap yang pasti terhadap hidup dan
punya suatu Weltanschauung yang konkrit. 2. Menggenerasasikan jawaban-
jawaban yang spesifik itu dan menyatakannya sebagai pernyataan-pernyataan
tentang tujuan-tujuan moral-sosial umum yang dapat "disaring" dari teks-teks
spesifik dengan memperhatikan latar belakang sosio-historis dan rationes
legis yang sering dinyatakan.
128
Gerakan kedua dari masa al-Qur’an ke masa kini mengandung makna
bahwa dari prinsip-prinsip umumhya diambilkan yang spesifik yang harus
dirumuskan dan direalisasikan sekarang. Artinya prinsip-prinsip umumnya
harus diwujudkan ke dalam konteks sosio-historis yang konkrit. Jelas ini
menuntut kajian yang cermat terhadap situasi sekarang. Dengan cara ini kita
menempatkan perintah-perintah al-Qur’an menjadi hidup dan efektif kembali.
Menurut Rahman, kerja ini adalah jihad intelektual yang secara tehnis disebut
ijtihad.
Bagaimana dengan pemikiran Islam di Indonesia bila ditempatkan
dalam pemikiran Rahman, akan kita bicarakan selintas dibawah ini.
Fazlur Rahman dan Iklim Pemikiran Islam di Indonesia
Arus pemikiran Islam di Indonesia lebih banyak dipengaruhi oleh
arus pemikiran yang datang dari luar. Terakhir arus pemikiran Rahman mulai
kita rasakan di sini. Dengan kata lain, kita di Indonesia lebih banyak tampil
sebagai intelektual konsumen tinimbang yang mampu berfiklr orisinal. Tapi
menurut hemat saya, tidak ada yang perlu dirisaukan, asal kita secara
sungguh-sungguh berusaha untuk melahirkan pemikiran-pemikiran yang
mendekati orisinalitas dengan ramuan dari berbagai arus pemikiran yang
dapat dicerna.
Rahman telah menawarkan suatu metodologi untuk memahami al-
Qur’an dan cara melaksanakan ajaran-ajaannya dalam darah dan daging
sejarah pada waktu sekarang. Metodologi itu perlu kita tanggapi secara
apresiatif tapi kritis. Sikap yang diambil oleh Prof. Naquib al-Attas terhadap
Rahman tampaknya bukanlah sikap seorang kritis tapi sikap seorang yang a
priori antipati. Kita kutip Naquib: ...karena 30 tahun tinggal di Amerika,
Rahman tidak mengenal persoalan-persoalan Islam. Dia hanya melontarkan
pemikiran-pemikiran yang bersifat spekulatif."
Saya pernah menyatakan bahwa siapapun bebas untuk menerima atau
menolak pemikiran Rahman. Tapi sebelum sampai kepada kesimpulan
menerima atau menolak, seluruhnya atau sebagian, orang perlu lebih dulu
mempelajarinya secara mendalam. Saya mendapat kesan Prof. Naquib belum
mempelajari karya-karya Rahman secara menyeluruh, hingga dengan
demikian kritiknya belum punya landasan teoretik yang dapat dipertanggung
jawabkan.
Pemikiran Rahman tampaknya secara berangsur akan berpengaruh di
Indonesia, terutama melalui lembaga paska sarjana IAIN. Lembaga ini
menurut penglihatan saya adalah mereka yang pada umumnya cukup
potensial secara akademik. Mereka bukanlah tipe orang yang a priori-priori-
an. Metodologi yang ditawarkan Rahman agaknya akan menjadi bahan
pertimbangan untuk memahami Islam secara lebih bertanggung-jawab.
129
Tentang masalah ini Rahman dapat dijadikan contoh. Setahu saya Rahman
dapat memahami bahasa-bahasa, aktif atau pasif, Persi, Turki, Urdu, Jerman,
Perancis, Greek, Arab, dan Inggris.
Penutup
Sebagai penutup saya rekamkan kembali pemikiran Fazlur Rahman
dalam bukunya Islamic Methodology in History dalam makalah ini: Suatu
masyarakat yang memulai dalam kerangka masa lampau betapapun manis
kenangannya dan gagal menghadapi realitas kekinian secara jujur betapapun
tidak seloroknya ia pasti menjadi sebuah fosil; dan sudahlah merupakan
hukum Tuhan yang tetap bahwa fosil tidak tahan lama: "Bukanlah kami
berbuat zalim terhadap mereka; merekalah yang menzalimi diri mereka
sendiri" (XI; 101; XVI; 33, dll.)
130
Nurcholish Majid: Arus Baru Islam di Indonesia
Oleh
M. Amin Nurdin
Tak ada intelektual muslim di Indonesia saat ini yang hampir
sebagian besar hidupnya sarat dengan kontroversi seperti Nurcholish Majid.
Gagasan-gagasanya yang telah menimbulkan polemik yang cukup sengit itu
bukan hanya membentuk arus baru, tapi juga diterima oleh kalangan luas.
Sejak menyampaikan dua pemikirannya, yaitu “Keharusan
Pembaharuan Pemikiran dan Masalah Integritas Ummat” (14 Oktober 1970)
dan “menyegarkan faham keagamaan di Kalangan Ummat Islam Indonesia”
(28 Oktober 1972), Nurkholis memulai polemik panjang. Makalah yang
pertama mengelola dua gagasan utama “Islam Yes, Partai Islam No”, dan
konsep tauhid yang merupakan pangkal dari sekulerisasi. Dalam makalah
kedua, Nurkholis menolak gagasan Negara Islam.
Dengan tiga gagasan itu, ia adalah pemikir Islam Indonesia pertama
dengan gigih mencoba memisahkan Islam sebagai Agama dengan Islam
sebagai lembaga. Pemisahan demikian memang lazim bagi generasi Islam
sekarang. Tetapi ide itu, pada masanya, begitu sulit karena mengandung cara
pandang keagamaan yang lain sama sekali. Ummat Islam terlalu terbiasa
dengan penyetaraan antara Islam sebagai agama dengan Islam sebagai
lembaga partai politik. Dengan kata lain, terjadi sakralisasi atas lembaga.
Kesertaan seseorang dalam partai Islam, misalnya, menentukan apakah ia
Muslim atau kurang Muslim.
Sakralisasi semacam ini, dalam pandangan Nurcholish Majid, sama
sekali bertolak belakang dengan gagasan tauhid. Jika selama ini tauhid secara
sederhana dipahami sebagai pengesahan Allah, yaitu pengakuan akan Tuhan
sebagai satu-satunya yang layak disembah, maka nurkholis menarik lebih
jauh konsekuensi dari paham itu. Baginya, tauhid berarti mengesahkan Allah
sebagai satu-satunya sesembah yang sakral, sementara obyek-obyek lain
bersifat profan atau duniawi belaka. Ia sampai kepada suatu pendapat bahwa
tauhid adalah pangkalan dari sekulerisasi. Jika hanya Allah yang sakral, maka
yang lain tidak, termasuk lembaga-lembaga Islam. Ikatan pada partai Islam,
dengan demikian, bukanlah mutu keislaman seseorang. Pada saat partai Islam
131
sebagai bagian integral dari agama itu sendiri, pandangan ini jelas
menggoncangkan.
Berangkat dari sana, ia menolak gagasan Negara Islam. Baginya
gagasan itu sejenis apologia yang muncul dari perasaan rendah diri ummat
terhadap Barat. Penolakan Nurcholish atas Negara Islam mengandung suatu
tafsiran yang menarik tentang kata dien (agama) itu sendiri. Sebagai
kalangan Islam, ia terpesana dengan ideologi-ideologi Barat modern yang
bersifat totaliter, yang “bersifat menyeluruh dan secara mendetail mengatur
setiap segi kehidupan, khususnya politik, sosial, ekonomi, budaya, dan lain-
lain”. Hal ini menimbulkan pikiran pada kalangan Islam yang ideologis itu
untuk membawa Islam sebagai dien sebagai sistem yang totaliter
bertentangan dengan kenyataan bahwa istilah itu dipakai bukan saja untuk
Islam, tetapi juga agama lain, seperti Yahudi dan Kristen. Kita bisa
mengatakan bahwa kedua Agama itu adalah dien, sebagai mana Islam.
Dengan demikian, dien bukanlah betara dengan ideologi yang bersifat
totaliter dan tertutup, seperti ideologi-ideologi sekuler yang lain. Dien,
sebagaimana dielaborasi oleh Nurcholish dalam gagasan-gagasannya yang
lanjut di tahun 1990-an, adalah sebentuk kepasrahan diri kepada Tuhan
adalah inti dari keberagaman yang otentik. Pengelolaan negara adalah bidang
duniawi, dimana ummat Islam dengan kemantapan hati bisa belajar dari
bangsa-bangsa lain yang unggul dalam bidang-bidang duniawi itu, meskipun
ada perbedaan dien atau agamanya.
Dengan gagagasan ini, Nurcholish sebenarnya memperkenalkan
keberislaman yan terbuka. Inilah sumbangan Nurcholish yang cukup besar
dalam membentuk kembali pandangan dunia ummat Islam Indonesia.
Pandangan ini jelas, jika kita sekarang menyaksikan golombang
keberagaman yang menekankan esensi agama ketimbang bentuk-bentuk
lahiriah dan semua dari agama itu; jika sekarang orang-orang bicara tentang
Islam yang inklusif, maka tanpa ragu kita akan menyebut Nurcholish sebagai
pemikir yang memungkinkan hal ini semua bisa terjadi. Ia telah
memperkenalkan cara keberIslaman baru. Setelah kehadiran Nurcholish,
keberIslaman Indonesia mempunyai corak yang lain.
Banyak orang mengira, bahwa dengan gagasannya menggendor
pandangan keagamaan yang telah mapan, Nurcholish sepenuhnya tercerabut
dari akar. Ia telah dianggap melawan tradisi, sekurang-kurangnya melawan
bentuk Islam murni sebagaimana dicontohkan oleh Nabi. Hal ini jelas keliru,
tetapi inilah tuduhan yang hampir selalu ditudingkan kekalangan pemikir
yang kerap disebut sebagai “pembaharu” dimana-mana. Pada tahun 1984, ia
menerbitkan esai panjang “Warisan Intelektual Islam” sebagai pengantar
132
buku Khasanah Intelektual Islam. Di sana, ia menekankan pentingnya
semcam rasa hayat kesejarahan serta penghargaan terhadap kekayaan tradisi
intelektual Islam. Ia bahkan mengutip kebijaksanaan klasik yang masyhur,
al-muhafazhatu ‘ala al-qadim al-shalih, wa al-akhzdu bi al-jadid al-ashlah
(memelihara yang baik dari yang lama, serta mengambil hal-hal baru yang
lebih baik). Ia sendiri menulis disertasi tentang pemikiran klasik yang
dianggapnya terlalu apologetik, dan kurang memberikan apresiasi tradisi
pemikiran Islam klasik.
Sepulang dari studinya di University of Chicago, Amerika Serikat,
pada tahun 1984, ia bersama teman-teman pendukungnya mendirikan
Yayasan Paramadina dan mencurahkan tenaganya untuk sumber-sumber
klasik bagi upaya pembaharuan pemikiran Islam di Indonesia. Melalui
lembaga baru ini, Nurcholish mencoba mendakwahkan suatu pola
keberIslaman yang selain terbuka atas tantangan-tantangan modern, juga
sadar atas kekayaan tradisi klasik Islam. Bagi Nurcholish, pengkajian atas
warisan klasik ini akan menimbulkan suatu sikap relativisme internal pada
ummat Islam, yaitu sikap untuk menerima setiap bentuk peradaban sebagai
bagian keberagaman ijtihad yang boleh jadi benar, boleh juga salah, dan oleh
karena itu sikap mutlak-mutlakan bukanlah sesuatu yang tepat dari sudut
pandang Islam.
Tema inilah yang ia kemukakan dalam pidato kebudayaan di Taman
Ismail Marzuki (TIM) pada 21 Oktober 1992 dengan judul Beberapa
Perenungan tentang Kehidupan Keagaaman di Indonesia untuk Generasi
Mendatang. Pidato ini menandai polemik tahap kedua dalam karir pemikiran
bagi Nurcholish. Dalam pidato itu, ia mempertajam gagasan-gagasannya
tentang Islam sebagai agama yang hanif atau inklusif, serta melakukan kritik
keras atas gejala fundamentalisme agama. Dalam pidato ini pula, ia
melontarkan gagasan tentang kepasrahan sebagai inti dasar keIslaman,
tentang Islam sebagai sebutan generis untuk semua bentuk keberagaman
yang berdasarkan pada kepasrahan terhadap kebenaran mutlak. Islam, dalam
pandangan Nurcholis, bukan saja sebutan khusus buat agama yang selama ini
membawa nama itu, tetapi juga sebutan yang berlaku untuk semua agama
dengan semangat kepasrahan itu. Dengan pandangan seperti ini, ia telah
memberikan definifisi baru atas Islam dalam cara yang sama sekali tak
konvesional.
Gagasan tentang Islam sebagai agama hanif dianggap oleh para
pengkritiknya sebagai usaha mengaburkan Islam itu sendiri. Tetapi, gagasan
Nucholish ini bukan tanpa suatu dasar yang kokoh dari tradisi itu sendiri. Ia
melandaskan idenya tentang Islam sebagai agama kepasrahan ini tak kurang
pada otoritas klasik yang kebetulan menjadi bahan disertasinya, yaitu Ibn
133
Taimiyyah. Ia juga merujuk dua otoritas besar dalam Islam, yakni al-Qur’an
dan Hadis, yang dalam banyak kesempatan berbicara tentang warisan
Ibrahim yang mengalir dalam tiga agama besar, Yahudi, Islam, Kristen.
Warisan itu tak lain agama hanifiyyah-samhah, agama kepasrahan toleran.
Gagasan Nurcholish ini sesungguhnya adalah kelanjutan pikiran-
pikirannya di tahun 1970-an tentang desakaralisasi dan sekulerisasi. Baik
dulu atau sekarang, Nurcholish selalu ingin membedakan antara Islam
sebagai nilai yang universal dengan lembaga yang partikular. Ia selalu setia
pada yang pertama, dan mencoba mengatasi dampak-dampak buruk yang
timbul dari fanatisme buta kepada aspek Islam yang kedua itu. Saat
menyampaikan pidato di TIM itu, Nurcholish boleh jadi sadar benar, bahwa
fundamentalisme sudah menjadi gejala keagamaan yang meluas di kalangan
muslim perkotaan, dan itu adalah tantangan yang harus dipikirkan dengan
sungguh-sungguh oleh ummat Islam. Fundamentalisme telah membawa cara
keberagamaan yang tertutup, sehingga tidak menguntungkan dari sudut
pandang pengembangan hubungan harmonis antara ummat beragama.
Pemikir yang lahir di Jombang, 17 Maret 1939 ini memang bukan
seorang agama soliter yang hanya mengukung diri di kamar perpustakaan. Ia
adalah intelektual publik yang seluruh energi pemikirannya dikerahkan untuk
memikirkan soal-soal yang dihadapi oleh ummat Islam dalam konteks
Negara bahasa Indonesia.
Posisi inilah yang menyebabkan gagasan Nurcholish bukan saja
menjadi diskusi terbatas di ruang akademis yang sepi, tetapi juga menjadi
bagian percakapan publik yang ramai. Gagasan Nurcholish telah memberikan
kepekaan dalam keberIslaman, kepekaan atas keberagaman, baik internal
maupun eksternal. Pikiran-pikirannya telah melahirkan Islam baru Indonesia.
Nurcholish telah membentuk mazhab pemikiran yang sama sekali
berbeda dengan arus-arus sebelumnya. Ia adalah perintis, pembuka jalan.
Jalan itu, kini, boleh jadi telah menjadi jalan rutin yang dilalui oleh banyak
orang, sehingga seolah menjadi kehilangan arti pentingnya sebagai jalan
baru. Saat ini hampir semua orang telah menerima begitu saja kenyataan
bahwa Islam di Indonesia adalah Islam yang moderat, seolah-olah Islam yang
demikian itu sudah hadir dengan sendirinya, tanpa kerja keras tangan-tangan telaten para perintis. Kita layak menempatkan Nurkholis sebagai salah satu
nama yang penting, dalam deretan perintis-perintis yang memulai jalan
moderat.
134
WASATIYYAT ISLAM UNTUK PERADABAN DUNIA:
KONSEPSI DAN IMPLEMENTASI
Oleh
Din Syamsuddin
I. PENDAHULUAN
Wasatiyyat Islam (berasal dari istilah Arab, Wasatiyyatul Islam, di
Indonesia dikenal dengan Islam Wasathiyah), adalah suatu corak
pemahaman dan praksis Islam. Ia juga merupakan suatu metode atau
pendekatan dalam mengkontekstualisasi Islam di tengah peradaban global.
Kehadiran Wasatiyyat Islam sangat perlu dan dibutuhkan baik di
lingkungan ummat Islam sendiri, maupun di tengah pergulatan Islam
dengan beragam agama dan sistem dunia lainnya. Dalam upaya
menyebarluaskan pemahaman, konsep dan praktik Wasatiyyat Islam,
vernakularisasi, indigenisasi dan kontekstualisasi Islam merupakan langkah
strategis untuk mengembangkan dan mengimplementasikan praktik
keIslaman wasatiyah. Pemahaman dan praksis keIslaman wasatiyah
menjadi keniscayaan di tengah tantangan krisis di banyak bagian Dunia
Muslim dan peradaban dunia yang disebabkan pemahaman dan praksis
keagamaan tidak wasatiyah dan perkembangan dunia yang tidak
berkeseimbangan dalam berbagai aspek kehidupan seperti politik,
ekonomi, sosial-budaya, sains- teknologi, ilmu pengetahuan, lingkungan
hidup dan lain-lain.
Wasatiyyat Islam juga mendorong adanya islah (reformasi)
peradaban sebagaimana makna yang terkandung di dalamnya. Agenda
membangun peradaban dunia lebih damai, berkeadilan dan
berkeseimbangan merupakan agenda Wasatiyah Islam baik di Dunia
Muslim maupun lingkungan internasional lebih luas. Dalam agenda
membangun peradaban tersebut terdapat pilar-pilar peradaban seperti
agama dan spiritualitas, ekonomi, politik, sains, pranata sosial, dan
demografi yang perlu mendapat perhatian khusus.
Berbagai pilar tersebut mesti bersatupadu dan bersinergi untuk
membangun kembali peradaban baru. Tanpa agama yang mengandung
nilai spritualitas dan etika, niscaya peradaban damai, adil dan
berseimbangan tidak dapat terwujud. Dengan sains, berbagai inovasi dan
temuan yang berharga dan berguna bagi masyarakat mempercepat laju
kemajuan peradaban. Sains berkontribusi pada perkembangan politik dan
135
ekonomi dan mengubah pola hidup masyarakat. Pranata sosial
merupakan prasyarat berikutnya berdirinya dan berkembangnya
peradaban. Lalu, demografi. Penduduk yang majemuk, terdiri dari berbagai
kelompok usia, turut menentukan dan menjadi pilar peradaban.
Konsultasi tentang Wasatiyat Islam kali ini bukanlah prakarsa
baru karena sudah luas dimaklumi adanya prakarsa-prakarsa terdahulu,
antara lain: Pertama, al-Azhar asy-Syarif di Kairo, Mesir, sebagai pusat
pendidikan dan kebudayaan Islam, yang memiliki pengaruh dalam
keberagaman ummat Islam di banyak negara. Luas diketahui, celupan
(shibghah) al-Azhar berwarna Wasatiyat Islam. Shibghah ini telah
mempengaruhi persebaran manhaj wasati sebagai arus utama pemikiran
keIslaman di dunia Islam. Kedua, Pangeran Ghazi ibn Talal dari Yordania
yang memprakarsai terbitnya Pesan Amman (Risalat Amman), sebagai
hasil kesepakatan ratusan ulama dan cendekiawan Muslim dunia, juga
menampilkan orientasi wasati. Prakarsa yang melahirkan gerakan pijakan
yang sama (kalimatun sawa) jelas berwarna wasati karena mengajak
ummat berbeda agama untuk menekankan persamaan daripada perbedaan.
Ketiga, Raja Abdullah bin Abdul Aziz dari Saudi Arabia lebih lanjut
menekankan signifikasi Wasatiyat Islam, yakni dengan mendirikan
Pusat Dialog Internasional (King Abdullah International Centre for
Interreligious and Intercultural Dialogue) yang berpusat di jantung
Eropa, Wina, Austria. KAICIID adalah salah satu gerakan dialog yang
inklusif dan aktif membangun upaya saling memahami dan saling
menghormati di dalam pemeluk agama dan budaya yang berbeda.
Keempat, dari Asia Tenggara, prakarsa Perdana Menteri Malaysia Tun
Najib Razak patut diapresiasi yaitu dengan pendirian Gerakan Kaum
Moderat Dunia (Global Movement of the Moderate). Gerakan ini secara
relatif ikut menampilkan citra Islam sebagai agama dengan prinsip
wasatiyah
Kelima, patut juga diketahui di Indonesia dari Indonesia,
Menteri Agama Tarmizi Taher pada tahun 1990-an pernah merevitalisasi
wawasan wasatiyat Islam yang sesungguhnya sudah secara historis dan
kultural menjadi warna dasar keberagaman ummat Islam di Indonesia. Hal
ini mengejawantah pada keberadaan ratusan ormas dan lembaga Islam yang
tersebar di seluruh pelosok Indonesia sekaligus menjadi ciri khas Islam di
Indonesia. Organisasi-organisasi Islam ini merupakan organisasi massa dan
gerakan kebudayaan sekaligus. Inilah yang telah menjadi tulang punggung
berdirinya negara Republik Indonesia yang rancang bangunnya pada
tingkat tertentu dapat dipandang sebagai manifestasi wasatiyat Islam.
136
Konsultasi Bogor dimaksudkan sebagai upaya revitalisasi
semua prakarsa mencerahkan tersebut dalam konteks peradaban
global yang mengalami dekadensi dan kerusakan sehingga Wasatiyat
Islam dapat diajuka n sebagai solusi.
II. KONSEPSI WASATIYYAT ISLAM
Konsepsi Wasatiyyat Islam salah satu ajaran sentral dalam Islam
untuk pembentukan kepribadian dan karakter Muslim, baik
individual ataupun kolektif. Konsep ini melekat dengan konsep ummatan
wasathan. Konsep Wasatiyyat Islam berhubungan dengan ajaran Islam
secara keseluruhan. al-Quran dan Hadits juga berulangkali
menekankan pentingnya menjadi wasatiyyah. Konsep wasatiyyah
inheren (menyatu dan melekat dan sifat atau watak yang tidak dapat
dipisahkan) dalam ajaran Islam. Wasatiyyah yang dalam
bahasa Arab berasal dari kata ‘wasat’ berarti penengah, perantara, yang
berada di posisi tengah, pusat, jantung, mengambil jalan tengah atau cara
yang bijak atau utama, indah dan terbaik, bersifat teguh dalam pandangan,
berbuat adil. Dalam kajian Islam akademik, ‘Wasatiyyat
Islam’, sering diterjemahkan sebagai ‘justly-balanced Islam’, ‘the middle
path’ atau ‘the middle way’ Islam dan Islam sebagai mediating and
balancing power untuk memainkan peran mediasi dan pengimbang. Istilah-
istilah ini menunjukkan pentingnya keadilan dan keseimbangan serta jalan
tengah dalam Islam untuk tidak terjebak pada ekstremitas. Selama ini
konsep Wasatiyyat Islam dipahami, merefleksikan prinsip tawassut
(tengah), tasamuh, tawazun (seimbang), i`tidal (adil), iqtisad (sederhana).
Dengan demikian, istilah Ummatan Wasatan sering juga disebut sebagai ‘a
just people’ atau ‘a just community. yaitu masyarakat atau komunitas yang
menampilkan kriteria di atas.
Ada yang memahami bahwa watak Wasatiyyat Islam berhubungan
dengan posisi tengahan Islam antara dua agama samawi terdahulu, yaitu
Yahudi yang menekankan keadilan (din al-‘adalah) dan Kristen yang
menekankan kasih (din al-rahmah). Islam sebagai agama tengahan
memadukannya menjadi agama keadilan dan kasih sayang sekaligus
(din al-‘adalah rahmah). Dengan tidak terjebak ke dalam dua titik
ekstrimitas (al-ghuluw wa al-taqsir). Wasatiyyat Islam juga dipahami
sebagai jalan tengah antara dua orientasi beragama yang asketis-
spritualistik dan legalistik-formalistik. Hal ini menunjukkan bahwa
Wasatiyyat adalah watak dasar Islam sejak kelahirannya. Wasatiyyat Islam
dengan demikian adalah upaya untuk memadukan kehidupan dunia dan
137
akhirat dan mencapai kebahagiaan duniawi dan ukhrawi (sa’adat al-
daraini).
Dalam perspektif di atas, ummatan wasatan adalah ‘komunitas
terbaik’ (khayr-ummah), yang dalam al-Qur’an menganjurkan pada
kebaikan dan mencegah kemunkaran, serta beriman kepada Allah.
Dengan demikian, ummatan wasatan sebagai khaira-ummah adalah
komunitas yang senantiasa berorientasi pada kualitas dan prestasi,
dengan demikian dapat memimpin perwujudan peradaban utama.
Berdasarkan penjelasan di atas dan mempertimbangkan pendapat
para ulama dan cendekiawan Muslim di dunia, para ulama Indonesia
melalui Musyawarah Nasional Majelis Ulama Indonesia pada tahun
2015, terdapat 12 Prinsip Wasatiyyat Islam, yaitu:
1. Tawassut (mengambil jalan tengah), yaitu pemahaman dan
pengamalan agama yang tidak ifrat (berlebih-lebihan dalam
beragama) dan tafrit (mengurangi ajaran agama).
2. Tawazun (berkeseimbangan), yaitu pemahaman dan pengamalan
agama secara seimbang yang meliputi semua aspek kehidupan, baik
duniawi maupun ukhrawi; tegas dalam menyatakan prinsip yang
dapat membedakan antara inhiraf (penyimpangan) dan ikhtilaf
(perbedaan).
3. I’tidal (lurus dan tegas), yaitu menempatkan sesuatu pada
tempatnya, melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban dan
tanggung jawab secara proporsional, bersikap tegas dan berpegang
teguh pada prinsip.
4. Tasamuh (toleransi), yaitu mengakui dan menghormati perbedaan,
baik dalam aspek keagamaan dan berbagai aspek kehidupan lainnya
dan oleh karena itu wasatiyyat menuntut sikap fair dan berada di
atas semua kelompok/golongan.
5. Musawah (egaliter), yaitu tidak bersikap diskriminatif pada yang
lain disebabkan perbedaan keyakinan, status sosial-ekonomi,
tradisi, asal usul seseorang, dan atau gender.
6. Syura (musyawarah), yaitu menyelesaikan persoalan dengan jalan
musyawarah untuk mencapai mufakat dengan prinsip menempatkan
kemaslahatan di atas segalanya.
138
7. Ishlah (reformasi), yaitu mengutamakan prinsip reformatif
untuk mencapai keadaan lebih baik yang mengakomodasi
perubahan dan kemajuan zaman dengan berpijak pada
kemaslahatan umum (mashlahah ‘ammah) dengan tetap
berpegang pada prinsip al- muhafazah ‘ala al-qadimi al-salih wa
al-akhdzu bi al-jadid al-aslah.
8. Aulawiyah (mendahulukan yang prioritas), yaitu kemampuan
mengidentifikasi hal ihwal yang lebih penting harus diutamakan
untuk diimplementasikan dibandingkan dengan yang kepentingan
lebih rendah.
9. Tatawwur wa ibtikar (dinamis dan inovatif), yaitu selalu terbuka
melakukan perubahan sesuai dengan perkembangan zaman serta
menciptakan hal baru untuk kemaslahatan dan kemajuan ummat
manusia.
10. Tahadhdhur (berkeadaban), yaitu menjunjung tinggi akhlakul
karimah, karakter, identitas, dan integritas sebagai khair-ummah
dalam kehidupan kemanusiaan dan peradaban.
11. Wathaniyah wa muwathanah, yaitu penerimaan eksistensi
negara-bangsa (nation-state) di manapun berada dengan
mengedepankan orientasi kewarganegaraan.
12. Qudwatiyah, yaitu melakukan kepeloporan dalam prakarsa-
prakarsa kebaikan demi kemaslahatan hidup manusia (common
good and well-being) dan dengan demikian ummat Islam yang
mengamalkan Wasatiyat memberikan kesaksian (syahadah).
Prinsip-prinsip di atas seyogyanya mengkristal dalam paradigma dan
perilaku Muslim baik individual maupun kolektif dalam berbagai aspek
kehidupan. Wasatiyyat Islam adalah aktualisasi atau pengejawantahan
Islam Rahmatan lil ‘Alamin (QS.21: 107). Keadilan, misalnya, mendapat
tempat dalam praktik keseharian Rasulullah Saw dan generasi terdahulu.
Teladan keadilan Rasulullah adalah ketika beliau mengingatkan supaya
keadilan ditegakkan kepada siapa saja walaupun kepada keluarga sendiri.
Bila keadilan diabaikan karena yang melakukan ketidakadilan adalah
seorang tokoh atau pejabat, hal tersebut sudah menjadi ancaman binasanya
suatu kaum.
Salah satu contoh dari pengalaman dari prinsip wasatiyyat
adalah tentang mengatasi masalah dengan konsultasi dan musyawarah.
Dalam menghadapi berbagai masalah dalam kehidupan sosial, ekonomi,
139
dan politik, Rasulullah melakukan musayawarah dan konsultasi dengan
para sahabat. Dalam mengambil keputusan Rasulullah meminta pendapat
sahabat Abu Bakar dan Umar. Bahkan pendapat Umar sering dikukuhkan
dengan turunnya ayat terkait masalah yang ditanyakan. Ahl al-masyurah
dan ahl al-hall wal-aqd merupakan pranata sosial-politik yang
memberikan pertimbangan kepada pemimpin tertinggi ketika ada
masalah yang harus diselesaikan. Bentuk konsultasi dan musyawarah
dapat berupa keputusan, kontrak, perjanjian, dan kesepakatan. Contoh
penerapan jalan tengah dalam sejarah Islam adalah keberadaan
dokumen, seperti piagam (mitsaq), penjanjian gencatan senjata (hudnah),
perjanjian perdamaian (mu'ahadah), aliansi (hilf) perjanjian kerja sama
(ittifaq ta'awun). Bahkan terjadinya konsesi (tanazul) dan adanya
kompensasi (ta'wid) juga merupakan jalan tengah, apabila hal ini
merupakan jalan keluar yang adil dalam kondisi tertentu.
Selanjutnya, prinsip tasamuh dalam berbeda pendapat
dicontohkan Rasulullah dalam berbagai aspek seperti memberikan
kebebasan beragama dan tidak memaksakan kabilah atau seseorang untuk
pindah agama. Praktek tasamuh menjadi penting di tengah dunia yang
sedang dilanda saling curiga terhadap kelompok lain berbeda. Anggapan
yang mengatakan, Islam intoleran dan tidak menghargai jelas tidak
mendasar. Faktanya, ketika ummat Islam menjadi mayoritas di
wilayah tertentu, kelompok minoritas non-Muslim dapat dengan leluasa
melakukan aktivitas keagamaannya.
Sebagai contoh bagaimana Islam mengajarkan toleransi, dalam
hadits riwayat al-Bukhari menyatakan, suatu ketika Nabi Muhammad SAW
pernah berdiri menghormati jenazah seorang Yahudi yang melewatinya lalu
ditanya kenapa beliau berdiri. Beliau menjawab “Apakah dia bukan seo-
rang manusia?”. Dari hadits tersebut dapat dipahami, Rasulullah
bertoleransi dengan berdiri menghormati jenazah seseorang meskipun dia
Yahudi.
Wasatiyyat Islam juga berorientasi pada perilaku yang menghargai
etos keunggulan. Perilaku ini didasari atas posisi ilmu pengetahuan
(knowledge) yang sentral dalam Islam. Banyaknya kata dalam ayat
Al-Qur’an yang mengandung pentingnya proses berfikir seperti
ulul albab, afalaa yatadabbarun, afalaa ya’qiluun. Hal ini merefleksikan
nilai penting yang mendorong pada pencarian ilmu pengetahuan
berkesinambungan. Proses ini akhirnya menghasilkan keunggulan di
berbagai bidang. Kehadiran ilmuwan- ilmuwan Muslim dalam sejarah
kejayaan Islam merupakan manifestasi dari kecintaan pada ilmu
140
pengetahuan yang tidak hanya memberi kontribusi positif pada
perkembangan infra struktur peradaban Islam di masa itu, tetapi juga
menjadi katalisator bagi perkembangan di Barat di era selanjutnya. Nama-
nama seperti Ibnu Sina, Ibnu Rushd, Ibnu Haitam telah menghasilkan
banyak temuan penting bagi perkembanngan sains moderen di bidang
kedokteran, matematika, astronomi, arsitektur dan lain-lain.
Selanjutnya, salah satu karakter dari wasatiyyat Islam adalah al-
hanifiyyah al-samhah, yaitu semangat mencari kebenaran yang disertai
dengan sikap terbuka, lapang dada, dan toleran. Konsep ini mengandung
dua arti.
Pertama, Islam melarang pemaksaan dalam menerima kebenaran (QS
2:256). Dalam sejarah pembebasan kota Mekkah di masa Nabi Muhammad
misalnya, masyarakat Quraisy tidak dipaksa untuk konversi ke Islam.
Kebijakan serupa juga ditemukan dalam pembebasan Palestina di masa al-
Khulafa al-Rasyidun. Ummat Nasrani dan Yahudi diberikan kebebasan untuk
tetap memeluk agamanya. Sikap semacam ini didasari pandangan bahwa
meskipun setiap manusia memiliki naluri mencari kebenaran, namun
pencarian kebenaran tersebut memerlukan proses bervariasi. Bagi mereka
yang terlahir dalam keluarga Muslim dan dibesarkan dalam pendidikan
Islami, proses menemukan kebenaran lebih mudah. Namun bagi mereka
yang terlahir dan dibesarkan dalam lingkungan yang tidak mengenal
Islam, bisa jadi proses pencarian tersebut tidak mudah dan memerlukan
waktu tidak singkat. Oleh karena itu Islam menekankan untuk menghormati
proses yang tengah dilalui para pencari kebenaran dengan mengapresiasi
keberagamaan yang mereka anut.
Kedua, Islam menganjurkan untuk mencari kesamaan dalam
perbedaan (QS 3:64). Keaneka-ragaman agama yang dipeluk oleh
masyarakat adalah sesuatu yang alami dan harus dihormati lantaran semua
orang selalu berproses dalam mencari kebenaran. Oleh karena itu yang
perlu dibangun adalah pengelolaan kemajemukan. Upaya mencari titik
kesamaan dapat ditemukan dalam kepemimpinan Nabi Muhammad di
Madinah. Beliau menyatukan masyarakat Madinah yang majemuk dalam satu
kepentingan, yaitu melindungi Madinah dari serangan musuh dan
membangun masyarakat Madinah sesuai dengan landasan agama masing-
masing.
141
III. WASATIYYAT ISLAM DALAM LINTASAN
SEJARAH PERADABAN ISLAM
Konsepsi Wasatiyyat Islam telah dielaborasi dalam berbagai
kajian dan referensi. Terdapat banyak pendapat mengenai ummatan
wasatan yang kemudian dikaitkan dengan Wasatiyyat Islam. Wasatiyyat
Islam dapat dimaknai sebagai justly-balanced. Sifat dan karakter ini
merupakan cerminan umma atau komunitas yang adil, komunitas terbaik,
dan komunitas tengahan (seimbang). Pada bagian ini, berbagai praktek
Wasatiyyat Islam dalam lintasan sejarah, sejak masa Ta’sis,
Tathwir, dan Tahdits, akan dielaborasi sebagai bagian dari upaya melihat
bahwa Wasatiyyat Islam merupakan warisan sejarah yang pantas dan layak
ditindaklanjuti ummat Islam saat ini.
1. Masa Pembentukan (Ta’sis)
Kedatangan Islam dan kerasulan Nabi Muhammad SAW merupakan
rahmat bagi semesta alam. Namun, kedatangan Islam dan kerasulan Nabi
Muhammad SAW bukan rahmat bagi ummat Islam saja, tetapi juga bagi
seluruh ummat manusia dan alam semesta. Islam sebagai agama rahmat
terbukti telah memberikan perbaikan nyata. Artinya, rahmat dalam konteks
ini bukan sekedar kasih sayang, namun juga perbaikan peradaban. Pada masa
pembentukan ini, praktek Wasatiyyat Islam selama rentang masa kenabian
selama 23 tahun, Rasulullah berhasil mengkader individu-individu dan
kelompok masyarakat dengan landasan keimanan yang kuat, dan
mengimplementasikan sebuah rancang bangun (blue-print) peradaban.
Sebagai tokoh yang sukses mengubah peradaban manusia, Rasul merupakan
figur yang wasat (adil dan seimbang). Dalam berbagai perjanjian dengan
kaum Quraisy, Rasul memprioritaskan nilai- nilai perdamaian dan mencari
jalan tengah untuk kebaikan bersama. Misalnya, dalam Perjanjian
Hudaibiyah Rasul menunjukkan jiwa besar dan kesabarannya. Kemudian,
Rasul juga pernah mempersilakan komunitas Kristen Najran untuk
melakukan sembahyang di Masjid Nabawi.
Contoh lainnya praktek Wasatiyyat Islam di masa Rasul ketika
menjadi pemimpin Negara Madinah dengan membangun komunitas
orang-orang beriman yang diikat dalam Piagam Madinah (Mitsaq al-
Madinah). Prinsip- prinsip dasar mengenai pembangunan masyarakat
majemuk terjamin di dalamnya seperti: larangan membunuh, kebebasan
beragama, kebebasan menyatakan pendapat, perlindungan harta benda,
kerjasama membangun masyarakat dan saling membantu saat menghadapi
peperangan. Inilah konstitusi modern pertama yang jauh lebih modern dari
zamannya.
142
Selain itu, praktik Wasatiyyat Islam dapat disimak pada peristiwa
Fathu Makkah. Saat memasuki Makkah, Nabi mengedepankan sikap
ksatria dan terpuji dengan tidak menonjolkan sikap ego sebagai pemenang.
Sebagi pihak yang unggul, yang nasib dan takdir penduduk Mekkah berada
di genggaman tangan dan telapak kaki pasukannya, Rasul justru
memberikan amnesti kepada Quraisy Mekkah yang di masa sebelumnya
hendak membunuh, mengusir, menyakiti, membunuh, dan menganiaya
sahabat-sahabat Rasul. Memaafkan di saat kemenangan sudah diraih
merupakan cermin kebesaran jiwa yang tidak dikotori oleh dendam dan
dengki. Rasul mewariskan suatu teladan mengenai kebaikan, kemanusiaan,
keteguhan menepati janji serta bersikap adil.
Pada masa kekhalifahan, praktik Wasatiyyat Islam dapat dilihat
paska wafatnya Rasul. Pada era Khalifah Umar Ibn Khattab, setelah
penaklukan Yerusalem, Umar berkunjung ke kota suci ketiga ummat Islam
tersebut untuk penyerahan pribadi. Saat tiba, orang-orang Kristen
menyangka Khalifah Islam itu ingin melakukan shalat di dalam gereja
mereka yang paling suci sebagai tanda kemenangannya, tapi Umar
menolak. Umar mengatakan kepada orang- orang Kristen bahwa ummat
Islam akan hidup bersama, beribadah sesuai dengan keyakinan, dan
menetapkan contoh lebih baik. Jika orang-orang Kristen menyukai, silakan
bergabung. Jika tidak, biarkan saja. Allah telah mengatakan, tidak ada
paksaan dalam agama.
2. Masa Pengembangan (Tathwir)
Salah satu tonggak penting Wasatiyyat Islam pada masa ini adalah
yang terjadi di masa Umar ibn Ábd Aziz (wafat 101 H/720 M) dengan
upayanya mengembangkan inklusivisme intra-ummat dan mengakomodasi
kelompok Syiah dan merehabilitasi nama Ali ibn Abi Thalib melalui apa
yang dikenal dengan tarbi’, yaitu menyatakan bahwa khalifah yang sah
terdahulu, yang disebut al- Khulafa’al-Rasyidun, ada empat, yaitu Abu
Bakr, Umar, Utsman, dan Ali. Sebelumnya, terdapat tiga versi: bagi
kaum nawashib dari kalangan Umawi ialah Abu Bakr, Umar, dan
Utsman, tanpa Ali, tapi sebagian memasukkan Muawiyah; bagi kaum
Khawarij, hanya Abu Bakr dan Umar, sedangkan Utsman, Ali dan
Muawiyah semuanya kafir; bagi kaum Syiah Rafidah hanyalah Ali
seorang, sedang yang lain adalah perampas hak sah Ali yang telah
diwasiatkan Rasulullah Saw. Tarbi’ menjadi bentuk Wasatiyyat Islam dan
penyebutan tersebut tumbuh menjadi kebiasaan ummat, dan salah satu
lambang paham jamaah dan sunnah.
143
Dalam bidang akidah al-Asy’ari menjadi penengah
nengah antara pertentangan paham Qadariyah dan Jabariyah dengan
memperkenalkan paham kasb (perolehan, acquisition) yang rumit.
Metodenya dianggap paling berimbang sehingga berkembang menjadi
paham Sunni di bidang akidah.
Di masa Dinasti Utsmani, praktik Wasatiyyat Islam mewujud dalam
sistem sosial yang melindungi dan menjamin kebebasan dan
kehidupan beragama yang bernama Millet. Millet merupakan sistem yang
mengatur hubungan antara komunitas beragama yang berbeda di
kekhalifahan. Sistem ini bertanggung jawab atas ritual keagamaan,
pendidikan, keadilan, amal, dan pelayanan sosial sendiri di tiap-tiap
kelompok agama. Hasilnya adalah terwujudnya Millet Yahudi, Millet
Armenia, Millet Komunitas Ortodoks Timur di bawah kekuasaan
Utsmani—selain tentu saja ummat Muslim. Masing-masing millet
menjalankan fungsi koordinatif di internal mereka dan melaporkan ke
Sultan bila terdapat isu atau masalah yang perlu diselesaikan.
Sultan mengayomi seluruh millet dan ummat Islam memiliki pemimpin
puncak sendiri yang disebut sebagai Syaikh al-Islam. Sistem millet
merupakan salah satu bentuk Wasatiyah Islam dalam pengelolaan
keragaman agama dan pemerintahan yang membentang hingga Eropa
Timur. Namun seiring kian melemahnya kekaisaran Utsmani di tahun
1700-1800, sistem millet tidak berlangsung hingga masa akhir
kekaisaran Utsmani dan digantikan dengan sistem sekular.
3. Masa Modernisasi (Tahdits)
Ekspresi wasatiyyat Islam dalam hal modernisasi dapat ditemukan
sejak perempatan terakhir abad 19. Periode ini adalah masa di mana
hampir seluruh dunia Islam seperti Mesir, India, dan Indonesia dijajah
negara-negara Eropa. Meskipun penjajahan menyebabkan hancurnya
kekuatan politik ummat Islam, tetapi di sisi lain juga menyebabkan
bangkitnya kesadaran ummat Islam mengenai pentingnya
mengembangkan melakukan tahdits dalam berbagai bidang sejak dari
kemiliteran, pemerintahan, pranata dan lembaga sosial, ekonomi,
kebudayaan dan pendidikan. Alih-alih menolak berbagai aspek
kemajuan Eropa penjajah, ummat Islam justru mempelajari dan
mengembangkannya. Karena dalam prinsip wasatiyyat Islam,
kemajuan yang bersumber dari ilmu pengetahuan adalah milik
Allah. Mencapai kemajuan melalui ilmu pengetahuan termasuk yang
berkembang di Eropa tidak menjadi halangan bagi ummat Islam. Atas
dasar pandangan itulah untuk mencapai kemajuan pelajar-pelajar terbaik
144
dari dunia Islam dikirim ke negara-negara Eropa untuk mempelajari
ilmu pengetahuan.
Pada masa ini, praktik wasatiyyat memasuki era untuk
kembali mencapai kebangkitan (‘asrun nahdah). Intelektual-intelektual
Muslim melakukan pembaharuan dan mengejar ketertinggalan dari
bangsa Barat. Praktik wasatiyat mulai melangkah untuk mencapai
kemajuan dengan mengadopsi dan mengakomodasi peradaban Eropa. Masa
ini, bergeraklah berbagai tokoh pemikir dan aktivis gerakan pembaharuan
Islam moderen di seluruh dunia, Muhammad Ali Pasha, Rifa’ah Rafi Al-
Tahtawi, Nawawi Al-Bantani, Ahmad Khatib Al-Minangkabawi,
Mahfudz Al-Termasi dan lain-lain.
Di Turki Usmani, ekspresi wasatiyyat Islam dalam hal
modernisasi mulai muncul sejak era Tanzimat. Tanzimat berarti mengatur,
menyusun, dan memperbaiki kembali (islah atau reform). Era ini
merupakan gerakan pembaharuan yang bermula sejak pertengahan abad 19.
Masa ini praktik wasatiyat ini ditandai dengan munculnya gerakan yang
dipelopori sejumlah tokoh pembaharuan Turki Usmani yang belajar dari
Barat dalam bidang pemerintahan, kemiliteran, hukum, administrasi,
pendidikan, keuangan dan perdagangan.
Era kebangkitan mendorong munculnya banyak tokoh pembaharu
di berbagai belahan dunia Islam. Karena itu fase ini disebut era
pembaharuan dan reformasi (tajdid wa al-islah). Era ini melahirkan tokoh
pembaharu seperti Jamaludin Al-Afghani, Muhammad Abduh, Rasyid
Ridha, Ahmad Khan, Muhammad Iqbal, Ahmad Dahlan, Hasyim Asy’ari, Rahmah El-
Yunusiyah, Soekarno, Mohammad Hatta, Muhammad Natsir dan lain-lain.
Era tajdid wa al-islah memberikan momentum bagi praktik
wasatiyyah yang belanjut di zaman mu’asharah. Di masa ini, tokoh-
tokohnya di dunia, antara lain; Mahmud Syaltut, Wahbah Zuhaili, Fazlur
Rahman, Mohammed Arkoun, Ismail Raji al-Faruqi, Mahmood Ayub,
Harun Nasution, Nurcholish Majid, Abdurrahman Wahid, Aisyah
Abdurrahman (bint Asy-Syati’), Seyyed Husein Nasr, Murtadha Muthahari,
Abdullah Badawi, Tuty Alawiyah dan lain-lain.
IV. WASATIYYAT ISLAM: TANTANGAN
DAN PELUANG DI TENGAH PERADABAN GLOBAL
Peradaban global saat ini mengalami situasi ketidakpastian
(uncertainty), kekacauan dan ketidakteraturan (disorder). Beberapa ahli juga
menyebutkan tentang sedang terjadinya great shift, big disruption. Semua
145
ini mengakibatkan accumulative global damage. Pendapat semacam ini
mencerminkan trend yang menunjukkan resiko ke arah kembalinya Perang
Dingin dengan terbentuknya blok-blok kekuatan politik, militer dan
ekonomi baru di dunia. Selain itu, tantangan dunia juga terjadi berupa
munculnya fenomena post-truth society yang sesungguhnya menjadi
tantangan bagi agama- agama.
Selain itu, pasca Perang Dingin situasi dan keadaan di banyak
bagian Dunia Islam sendiri terjebak pada proxy war di antara
kekuatan-kekuatan global. Lebih jauh, masalah-masalah yang mendera
akibat terjadinya perang proxy adalah tetap tingginya indeks
keterbelakangan di negara-negara Dunia Muslim Islam dan terus terjadinya
konflik dan perang yang terkait kepentingan perang proxy.
Situasi ini tidak lepas dari gejala dunia yang mengalami
kekeringan nilai etik dan moral, dan kebajikan bersama (common good)
karena cara pandang dunia antroposentris dan mengabaikan ketuhanan, etika
dan moral (teosentrisme). Di tengah keadaan tidak menguntungkan itu,
Dunia Muslim yang kaya dengan sumber daya alam, sumber daya manusia,
serta sumber daya sejarah karena di masa silam memiliki sejarah peradaban
gemilang—memiliki potensi dan peluang untuk menjawab tantangan
kontemporer dengan membangun dunia dengan peradaban etik dan moral
(spiritualized world) melalui Wasatiyat Islam.
1. Tantangan
Dunia mengalami perkembangan, kemajuan dan percepatan di
berbagai bidang yang terkait dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi. Kemajuan manusia secara bertahap sudah terjadi sejak awal
peradaban manusia muncul dan berkembang hingga terus melalui revolusi
industri I, II, III, dan kini memasuki industri IV (4.0) di mana cyber-
physical-systems akan mewarnai arah materialisasi dunia yang akan
bertabrakan dengan tata-nilai dan etika global. Pada tahap ini, di
tengah perkembangan dan kemajuan di berbagai bidang, dunia internasional
tetap dihantui berbagai persoalan kemanusiaan yang muncul di berbagai
belahan dunia.
Berikut beberapa tantangan:
a. Global Disorder dan Hilangnya Public Civility/ Common Good
Perubahan sistem internasional yang ditandai dengan multipolaritas
dan kompetisi power telah menimbulkan banyak ketidakpastian. Pasca
krisis ekonomi dunia 1997-1998 dan 2008, kapasitas ekonomi negara-negara
146
Great Power mengalami penurunan. Namun demikian, kondisi ini tidak
meredupkan hegemoni negara-negara ini secara global. Aliansi baru yang
mereplikasi blok- blok Perang Dingin menemukan momentumnya kembali
pada dinamika politik global di Asia Pasifik dan Arab Spring. Pendulum
ekonomi yang mulai bergerak ke wilayah Asia, telah membuat Great
Powers seperti Amerika Serikat terlibat dalam ketegangan di berbagai
penjuru dunia. Peningkatan ekonomi Tiongkok semakin menambah eskalasi
ketegangan di wilayah ini.
Sementara itu, dinamika Arab Spring membuka kembali
ketegangan antara aliansi AS-NATO dan Aliansi Rusia-Tiongkok di
Timur Tengah. Aliansi-aliansi ini juga membawa kembali negara-negara di
kawasan ke dalam pusaran konflik yang lebih kompleks. Konflik
Suriah merefleksikan kepentingan yang saling berbenturan.
Kekacauan dalam sistem internasional juga berkaitan dengan
migrasi internasional yang memunculkan persoalan menguatnya
konservatisme politik dan agama. Gelombang pengungsi internasional
ke Eropa dan Amerika menimbulkan babak baru ketegangan Dunia
Islam dan Barat. Sejumlah penelitian menunjukkan, keberadaan
pengungsi dan warga keturunan Muslim di Eropa dan AS menimbulkan
persoalan ekonomi dan sosial, seperti pengangguran dan peningkatan
kriminalitas. Ketidak-mampuan migran Muslim di Eropa dan Amerika
untuk berintegrasi dengan budaya lokal juga memberi kontribusi pada
gesekan-gesekan antara warga Asli Eropa dan Amerika dan migran
Muslim. Belakangan, home grown terrorism dalam bentuk serangan-
serangan bom di kota-kota Eropa, yang melibatkan warga migran
Muslim semakin menambah situasi ketidak-amanan dan meningkatkan
Islamophobia. Kondisi ini memicu respon negatif dari kalangan
konservatif di Eropa dan Amerika yang memanfaatkan situasi ini untuk
kepentingan politik populis anti migran dan anti Muslim. Populisme
politik dan agama juga berada di balik kemenangan Donald Trump di AS,
Brexit di Inggris dan menguatnya dukungan untuk partai-partai konservatif
di Perancis, Belanda dan Jerman.
Menguatnya populisme dan konservatisme politik dan agama
menyebabkan kian merosotnya public civility dan common good dalam
perilaku banyak kalangan masyarakat internasional. Jelas kecenderungan
ini menimbulkan dampak negatif dalam usaha merealisasikan perdamaian
global.
147
b. Kesenjangan Global
Dominasi dan hegemoni kekuatan global yang menguasai berbagai
bidang kehidupan mulai dari ekonomi, politik, militer hingga sosial
budaya menimbulkan problematika rumit dan kompleks. Keadaan ini
menciptakan kesenjangan dan pola interaksi global asimetris. Selanjutnya
kondisi ini menimbulkan sederet persoalan seperti krisis ekonomi dan
finansial, kemiskinan, perdagangan manusia (human trafficking), krisis
lingkungan hidup.
Ketidakadilan dan kesenjangan dalam tahap ini dapat memicu
kemunculan berbagai kelompok radikal atas nama agama dan juga
kelompok anti-globalisasi. Aksi kekerasan mereka dan tindakan aparat
keamanan menimbulkan lingkaran dendam yang sulit untuk diselesaikan
(unbroken circles of revenge). Perkembangan teknologi juga memberi
dampak negatif dengan mudahnya penyebaran paham radikal melalui
internet dan media sosial. Keberhasilan ISIS misalnya merekrut ribuan anak
muda melalui media sosial harus mendapat perhatian serius. Di sisi
lain, perkembangan teknologi informasi yang fenomenal tidak diiringi
kemampuan negara-negara Muslim menguasai dan mengembangkan infra
dan suprastruktur sains dan teknologi. Sehingga mereka menjadi konsumen
teknologi semata.
Akibatnya, peradaban dunia saat ini mengalami apa yang
disebut sebagai, lack of moral values, lack of well-being, dan moral
illiteracy. Banyak kalangan masyarakat dunia mengalami berbagai
disorientasi dalam kehidupan. Hal ini membuat upaya menciptakan
perdamaian dunia kian tidak kondusif.
c. Lemahnya Fondasi Wasatiyyat
Kelemahan ini bersumber atau berkaitan dengan primordialisme yang
kuat serta orientasi sektarianisme yang tinggi dalam institusi sosial dan
politik di banyak bagian dunia Islam. Lemahnya tatakelola pemerintahan
yang baik (good governance) mengakibatkan meluasnya perbuatan mudharat
seperti korupsi, dan rendahnya sikap tasamuh dan toleran. Semua ini
memperlemah fondasi Wasatiyyat Islam. Kondisi ini akhirnya
memunculkan kepemimpinan otoriter dan korup. Primordialisme politik dan
orientasi yang sektarian melahirkan perpecahan semakin akut dalam entitas
politik dunia Islam.
148
d. Civil Society di Dunia Muslim
Eksistensi dan peran civil society di banyak bagian Dunia Islam juga
masih sangat terbatas. Civil Society masih dianggap sebagai produk Barat
yang tidak sesuai dengan nilai-nilai Islam. Dalam beberapa kasus, kehadiran
civil society dianggap sebagai oposisi yang menciptakan instabilitas
keamanan dan mengancam legitimasi kepemimpinan. Jika civil society eksis,
perannya masih terbatas pada aktivitas filantrofis karitatif yang belum
menghasilkan efek pemberdayaan dan penguatan elemen masyarakat yang
memiliki civic culture dan civility.
2. Peluang
a. Solidaritas Ummah dan peningkatan kerjasama global
Transformasi sistem internasional moderen sejak awal abad 20
melahirkan negara bangsa (nation-state) di Dunia Islam dengan sistem
pemerintahan beragam. Akan tetapi, hal ini tidak serta merta membuat
lemahnya solidaritas ummah di kalangan masyarakat Muslim. Solidaritas
merupakan faktor pengikat yang membentuk identitas kolektif yang
bersifat transnasional. Karena itu, solidaritas dapat menjadi landasan
yang mengikat negara-negara Muslim dan komunitas Muslim yang
hidup dalam lokasi geografis berbeda-beda. Solidaritas ummah bisa
dirasakan sejak awal terbentuknya banyak negara bangsa di Dunia Islam.
Negara-negara Muslim saling memberi dukungan untuk perjuangan
kemerdekaan dan pengakuan internasional atas kedaulatan. Indonesia pada
1945 misalnya merupakan negara yang kemerdekaannya pertama kali diakui
negara-negara Muslim lain di Timur Tengah.
Solidaritas ummah membentuk jaringan global di kalangan
masyarakat Muslim yang dapat memberi manfaat luas. Kejadian-kejadian
penting di suatu negara Muslim mendapat respon cepat dari masyarakat
Muslim lain yang hidup di negara dan bentuk dukungan politik untuk
perjuangan rakyat Palestina atau Rohingya (Myanmar) misalnya merupakan
contoh sangat jelas solidaritas ummah. Dunia Islam juga terus memberi
perhatian khusus pada krisis kemanusiaan yang terjadi di Thailand
Selatan dan juga pada konflik Kashmir, Afghanistan dan Suriah. Masyarakat
Muslim global juga memberi perhatian pada Islamophobia yang
menimbulkan persoalan politik dan sosial pada komunitas Muslim yang
hidup di Barat. Solidaritas ummah bisa berfungsi sebagai fondasi untuk
mempererat kerjasama internasional di antara negara-negara Muslim.
149
Perkembangan teknologi informasi membuat jaringan
solidaritas ummah kian menguat. Perkembangan teknologi juga telah
melahirkan kultur popular yang inklusif (inclusive digital ummah) di
kalangan generasi milenial Muslim. Di satu sisi, perkembangan ini semakin
merekatkan identitas ummah. Akan tetapi identitas ummah yang muncul ini
juga melahirkan diversitas dan pilihan-pilihan lifestyle beragam. Pharrell
Williams seorang bintang pop dan produser film merilis lagu berjudul happy
yang menjadi viral. Lagu ini menggambarkan ekspresi keragaman kehidupan
(lifestyle) Muslim di Inggris yang mampu menjaga diversitas dan hidup
bahagia (happy).
b. Pertumbuhan Kelas Menengah Muslim
Seiring dengan meningkatnya laju pertumbuhan ekonomi di Negara-
negara Muslim, kelas menengah Muslim juga semakin tumbuh. Hal ini tidak
terlepas dari keberhasilan memadukan peningkatan ekonomi dengan nilai-
nilai Islam. Keberhasilan ini juga terkait dengan meningkatnya tingkat
pendidikan generasi muda dan interaksi mereka dengan modernisme.
Indonesia, Malaysia, India dan beberapa negara Muslim di Timur Tengah
dan Afrika memiliki kelas menengah yang terus meningkat secara
signifikan. Kelas menengah populasi Muslim juga sedang mengalami
peningkatan di Eropa dan Amerika.
Peningkatan kelas menengah Muslim juga diiringi dengan
tumbuhnya kesadaran pada identitas religious. Saat ini mudah menemukan
figur Muslim, di kalangan generasi milenial moderen, berpendidikan
tinggi dan a berbeda. Inisiatif-inisiatif bantuan kemanusiaan d a n
m e m i l i k i pekerjaan dengan income yang baik, sekaligus sangat asertif
mengekspresikan identitas Islam dalam berpakaian dan sikap kritis
menyikapi berbagai persoalan di Dunia Islam.
Indonesia secara khusus mengalami pertumbuhan ekonomi yang
relatif baik dalam tiga atau empat dasawarsa terakhir. Perkembangan ini
berkontribusi pada bertambahnya jumlah kelas menengah Muslim di
Indonesia. Kelas menengah Muslim Indonesia juga mencakup generasi
milenial yang progresif. Generasi ini memiliki pandangan terbuka, toleran
dan inklusif terhadap perbedaan.
Berbagai survei tentang peningkatan kelas menengah Muslim
menunjukkan bahwa mereka tidak hanya memberi perkembangan positif
pada pertumbuhan ekonomi negara-negara Muslim, tetapi juga memberi
pengaruh positif pada ekonomi global. Kelas menengah mendorong
pertumbuhan pelbagai industri menengah dan maju seiring dengan
150
meningkatnya daya beli masyarakat Muslim. Pertumbuhan industri halal,
bank Islam, fashion Muslim dan turisme halal adalah beberapa contoh
penting efek positif yang dihasilkan peningkatan kelas menengah di Dunia
Muslim. Perkembangan kelas menengah Muslim dengan gaya hidup seperti
itu tidak terbatas pertumbuhannya di negara-negara Muslim, tetapi juga
mendapat perhatian besar di negara-negara non-Muslim di Eropa, Amerika
Utara, Asia seperti Thailand, Korea dan Jepang.
c. Kekuatan Kepemimpinan Dunia Islam yang Potensial
Dunia Islam merupakan komunitas global yang memiliki sumber
daya alam, sumber daya manusia, serta sumber daya sejarah yang kaya
karena di masa silam memiliki sejarah peradaban gemilang. Potensi ini bisa
menjadi modal bagi dunia Islam untuk tampil sebagai kekuatan yang
memayungi dan memberikan tawaran solusi atas berbagai permasalahan
global. Kekayaan etik dan moral berupa Wasatiyyat Islam sesungguhnya
merupakan kekuatan luar biasa. Seiring dengan meningkatnya laju
pertumbuhan ekonomi di Negara- negara Muslim, kelas menengah Muslim
juga semakin tumbuh. Hal ini tidak terlepas dari keberhasilan memadukan
peningkatan ekonomi dengan nilai-nilai Islam. Keberhasilan ini juga terkait
dengan meningkatnya tingkat pendidikan generasi muda dan interaksi
mereka dengan modernisme. Indonesia, Malaysia, India dan beberapa negara
Muslim di Timur Tengah dan Afrika memiliki kelas menengah yang terus
meningkat secara signifikan. Kelas menengah populasi Muslim juga
sedang mengalami peningkatan di Eropa dan Amerika.
Peningkatan kelas menengah Muslim juga diiringi dengan
tumbuhnya kesadaran pada identitas religious. Saat ini mudah menemukan
figur Muslim, di kalangan generasi milenial moderen, berpendidikan
tinggi dan a berbeda. Inisiatif-inisiatif bantuan kemanusiaan d a n
m e m i l i k i pekerjaan dengan income yang baik, sekaligus sangat asertif
mengekspresikan identitas Islam dalam berpakaian dan sikap kritis
menyikapi berbagai persoalan di Dunia Islam.
Indonesia secara khusus mengalami pertumbuhan ekonomi yang
relatif baik dalam tiga atau empat dasawarsa terakhir. Perkembangan ini
berkontribusi pada bertambahnya jumlah kelas menengah Muslim di
Indonesia. Kelas menengah Muslim Indonesia juga mencakup generasi
milenial yang progresif. Generasi ini memiliki pandangan terbuka, toleran
dan inklusif terhadap perbedaan.
Berbagai survei tentang peningkatan kelas menengah Muslim
menunjukkan bahwa mereka tidak hanya memberi perkembangan positif
151
pada pertumbuhan ekonomi negara-negara Muslim, tetapi juga memberi
pengaruh positif pada ekonomi global. Kelas menengah mendorong
pertumbuhan pelbagai industri menengah dan maju seiring dengan
meningkatnya daya beli masyarakat Muslim. Pertumbuhan industri halal,
bank Islam, fashion Muslim dan turisme halal adalah beberapa contoh
penting efek positif yang dihasilkan peningkatan kelas menengah di Dunia
Muslim. Perkembangan kelas menengah Muslim dengan gaya hidup seperti
itu tidak terbatas pertumbuhannya di negara- negara Muslim, tetapi juga
mendapat perhatian besar di negara-negara non- Muslim di Eropa,
Amerika Utara, Asia seperti Thailand, Korea dan Jepang.
c. Kekuatan Kepemimpinan Dunia Islam yang Potensial
Dunia Islam merupakan komunitas global yang memiliki sumber daya alam,
sumber daya manusia, serta sumber daya sejarah yang kaya —karena di
masa silam memiliki sejarah peradaban gemilang. Potensi ini bisa menjadi
modal bagi dunia Islam untuk tampil sebagai kekuatan yang memayungi dan
memberikan tawaran solusi atas berbagai permasalahan global. Kekayaan
etik dan moral berupa Wasatiyyat Islam sesungguhnya merupakan kekuatan
luar biasa untuk memberi sumbangsih bagi peradaban dunia. Hal ini
menuntut p r a s y a r a t pekerjaan dengan income yang baik, sekaligus
sangat asertif mengekspresikan identitas Islam dalam berpakaian dan sikap
kritis menyikapi berbagai persoalan di Dunia Islam.
Indonesia secara khusus mengalami pertumbuhan ekonomi yang
relatif baik dalam tiga atau empat dasawarsa terakhir. Perkembangan ini
berkontribusi pada bertambahnya jumlah kelas menengah Muslim di
Indonesia. Kelas menengah Muslim Indonesia juga mencakup generasi
milenial yang progresif. Generasi ini memiliki pandangan terbuka, toleran
dan inklusif terhadap perbedaan.
Berbagai survei tentang peningkatan kelas menengah Muslim
menunjukkan bahwa mereka tidak hanya memberi perkembangan positif
pada pertumbuhan ekonomi negara-negara Muslim, tetapi juga memberi
pengaruh positif pada ekonomi global. Kelas menengah mendorong
pertumbuhan pelbagai industri menengah dan maju seiring dengan
meningkatnya daya beli masyarakat Muslim. Pertumbuhan industri halal,
bank Islam, fashion Muslim dan turisme halal adalah beberapa contoh
penting efek positif yang dihasilkan peningkatan kelas menengah di Dunia
Muslim. Perkembangan kelas menengah Muslim dengan gaya hidup seperti
itu tidak terbatas pertumbuhannya di negara- negara Muslim, tetapi juga
mendapat perhatian besar di negara-negara non- Muslim di Eropa,
Amerika Utara, Asia seperti Thailand, Korea dan Jepang.
152
V. WASATIYYAT ISLAM: PENGALAMAN INDONESIA
Secara konseptual, Wasatiyyat Islam telah banyak dikaji dan
dibahas oleh para ahli pemikiran Islam, baik klasik maupun kontemporer.
Namun, nilai lebih yang dimiliki Indonesia adalah bagaimana penerapan
dan aktualisasi Wasatiyyat Islam telah berlangsung sejak lama sampai
sekarang dan ke masa depan. Wasatiyyat Islam adalah karakter dan
distingsi Islam Indonesia dan merupakan salah satu kekayaan khazanah
(legacy) Islam Indonesia. Penerapan Wasatiyyat Islam di Indonesia dapat
ditinjau dari empat ciri atau aspek. Pertama, corak pemahaman dan
praktek Islam; kedua, kultur atau budaya; dan ketiga, masyarakat sipil
(sosiologis dan historis). Ketiga, pendidikan. Keempat, negara.
Pertama, corak pemahaman dan praksis Islam Indonesia sejak
masa awal bersifat wasatiyah berkat penyebaran yang damai dan
berangsur-angsur selama beberapa abad. Hal ini tidak terlepas dari proses
masuknya Islam ke Indonesia yang apresiatif terhadap budaya lokal
seperti metode dakwah para guru sufi pengembara dengan mengadopsi
budaya lokal seperti wayang dan pranata sosial seperti dayah, surau dan
pesantren. Dari segi arsitektur, masjid yang dibangun oleh para Wali
penyiar Islam mengadopsi tradisi dan budaya khas setempat dan masa
itu, sebagaimana yang terdapat di Masjid Agung Demak dan juga
Masjid Sunan Kudus yang masih nampak pengaruh tradisi budaya pra-
Islam.
Selain itu, praktik Wasatiyyat Islam di tanah air dapat dari
sejarah adopsi tradisi lokal pra-Islam yang telah diIslamisasikan untuk
kepentingan dakwah. Sunan Kalijaga, salah seorang Wali Sanga, para
penyiar Islam di Jawa, menggunakan tradisi pra-Islam setelah sintesa
dengan ajaran Islam seperti wayang dan pesan pewayangan untuk
menyebarkan Islam. Sangat banyak contoh lain, tetapi poin terpenting
dalam hal ini adalah kesediaan para penyiar Islam dan ulama selanjutnya
mengakomodasi dan mengadopsi tradisi lokal melalui proses Islamisasi
tertentu. Karena itulah Islam Indonesia akrab dengan tradisi lokal. Hal ini
merupakan bentuk rekonsiliasi antara agama dan budaya yang berlangsung
dengan baik di Indonesia. Hal ini karena dalam proses akulturasi agama
dan budaya, para ulama tidak secara frontal menolak atau
membuangnya; bila ada hal yang masih sesuai diteruskan, bila ada yang
kurang dimodifikasi sesuai prinsip yang bermanfaat tetap diambil (ma la
yudraku kulluhu, la yutraku kulluhu).
Corak Islam Indonesia itu sejak abad 17 menghasilkan ortodoksi
Islam Indonesia yang terdiri dari tiga aspek: Pertama, kalam Asy’ariyah
153
yang merupakan jalan tengah antara kalam khawarij literal
dan Mu’tazilah rasional-liberal; kedua, fiqh mazhab Syafi’i yang merupakan
jalan tengah antara fiqh Hanbali yang cenderung rigid dengan fiqh Hanafi
yang lebih rasional; ketiga, tasawuf Ghazalian yang merupakan jalan tengah
antara tasawuf falsafi yang teoritis-spekulatif dengan tasawuf antinomian
yang eksesif.
Warisan ortodoksi Islam Indonesia bisa ditemukan dalam
banyak literatur lokalyang menggunakan berbagai bahasa lokal. Dengan
begitu, kekayaan warisan intelektual Islam Indonesia mengalami
vernakularisasi—pengungkapan dalam bahasa lokal—yang kemudian
menciptakan proses indigenisasi dan kontekstualisasi. Proses-proses ini juga
memainkan peran instrumental dalam pertumbuhan dan penguatan tradisi
Wasatiyyat Islam di Indonesia.
Perkembangan dan dinamika kehidupan agama, pendidikan, sosial,
budaya dan politik dalam empat dasawarsa terakhir memperkuat tradisi
Islam yang cair (fluid) sejak zaman bahari. Fluiditas itu yang membuat
sektarianisme di antara mazhab dan aliran intra Islam tidak pernah kuat di
Indonesia. Dalam masa kontemporer, fluiditas itu pula menghasilkan
terjadinya ‘konvergensi’ keagamaan di antara berbagai tradisi Islam yang
sedikit berbeda dalam hal furu’iyah. Dengan konvergensi keagamaan itu
pula, Wasatiyyat Islam Indonesia menjadi kian terkonsolidasi.
Ortodoksi Islam Indonesia sebagai Wasatiyyat Islam—yang
juga disebut sebagai Ahl al-Sunnah wa al-Jamaah—yang sudah menjadi
paradigma jumhur ulama Indonesia ini terus mengalami konsolidasi
sejak abad 17 melintasi masa penjajahan Belanda. Konsolidasi Islam
Wasatiyyat Indonesia menemukan momentumnya sejak awal abad 20
beriringan dengan bangkitnya pergerakan nasional menuju kemerdekaan
Indonesia.
Satu persatu ormas Islam pendukung dan penyebar Islam
wasatiyah muncul dan berkembang baik dengan cakupan nasional maupun
lokal. Mereka menjadi arus utama (mainstream) Islam Indonesia. Daftar
yang tidak exhaustive mulai dari Jamiat Khair (1905), Sarekat Dagang
Islam (SDI)/Sarekat Islam (SI, 1905/1911), Persatuan Ummat Islam (PUI,
1911)Muhammadiyah (1912), al- Irsyad (1914), Mathlaul Anwar (1916),
Thawalib Summatera (1920), Persatuan Islam (Persis 1923), Nahdlatul Ulama
(1926), Jam’iyatul Washliyah (1930), Tarbiyah Islamiyah (Perti 1930), al-
Khairat (1930), Masyumi (1937), Darud Dakwah wal Irsyad (1937),
Nahdlatul Wathan (NW, 1953), Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia
(DDII, 1967), Dewan Masjid Indonesia (DMI, 1972) dan masih banyak
154
lagi organisasi lain yang berskala nasional sehingga jumlahnya mencapai
lebih dari 100.
Ormas-ormas tersebut pada dasarnya adalah organisasi massa dan
organisasi kebudayaan yang menyebarkan dan memperkuat Wasatiyyat Islam
melalui berbagai usaha dakwah dan penyiaran Islam, pendidikan,
pelayanan sosial, pelayanan kesehatan, peningkatan sosial ekonomi dan
sebagainya. Kebanyakan berdiri sebelum kemerdekaan 17 Agustus 1945,
ormas-ormas Islam aktif sepenuhnya menegakkan dan berkomitmen pada
NKRI, Pancasila, UUD 1945 dan Bhinneka Tunggal Ika.
Selain itu, tidak kalah pentingnya adalah Islam Indonesia
memberikan posisi yang tinggi dan luas bagi aktualisasi peran perempuan.
Secara signifikan ini terlihat dengan adanya ratu (sultanah) di Kesultanan
Aceh pada abad 17 misalnya. Di masa Kerajaan Aceh tercatat nama-nama
besar seperti Sulthanah Syafiatuddin Syah dan Laksamana Malahayati
yang memimpin armada laut melawan kolonialisme Eropa. Empat Sultanah
Aceh menjadi patron para ulama dalam pengembangan ilmu pengetahuan.
Pada awal era modern ekspresi kaum perempuan Muslimah Indonesia terlihat
dengan kemunculan organisasi-organisasi perempuan; mereka melaksanakan
Kongres Wanita Indonesia pertama di tahun 1928. Kongres ini di kemudian
hari menjadi awal bangkitnya gerakan perempuan di Indonesia dalam
melawan penjajahan dan mencapai Indonesia Merdeka dan ditetapkan
sebagai Hari Ibu. Ormas-ormas Islam yang disebutkan di atas, juga memiliki
sayap ormas perempuan masing-masing.
Selanjutnya, ormas-ormas Islam tersebut juga aktif dan giat dalam
menggerakkan filantropi dan berkontribusi meningkatkan kesadaran filantropi
Islam di Indonesia. Filantropi yang semula bersifat charity dan sporadis
dengan pola pemberian langsung, kemudian berkembang menjadi lebih
produktif dan terlembagakan secara modern dan lebih tertata. Dana-dana
zakat, infaq, shadaqah, dan juga wakaf dimaksimalkan penggunaannya
tidak saja kepada ashnaf yang sebagaimana telah diatur al-Qur’an, namun
juga kepada ashnaf tafsirnya telah diperluas dan lebih kontekstual dengan
tantangan zaman. Gerakan filantropi Islam Indonesia juga kini tidak hanya
terfokus pada penanggulangan bencana alam dan kemanusiaan baik di dalam
ataupun luar negeri Myanmar seperti —seperti membangun rumah sakit di
Gaza.Palestina dan di Rakhine dan tetapi juga dalam mengembangkan
‘filantropi Islam untuk keadilan sosial’. Karena itu, filantrofi Islam
Indonesia kini aktif dalam upaya pemberdayaan ekonomi mikro dan
kecil, penguatan gender dan HAM, penciptaan perdamaian (peace camp)
155
dan juga dalam program Sustainable Development Goals (SDGs) yang
diinisiasi PBB.
Kedua, Islam Indonesia memiliki ruang cukup besar dan lapang
untuk mengakomodasi budaya lokal. Islam Indonesia juga
mengadopsi banyak perayaan atau kegiatan sosial-keagamaan, sejak dari
slametan, tasyakuran atau ziarah, yang belakangan juga berkembang
dalam berbagai bentuk walimah. Beberapa walimah tidak hanya walimah
al-‘ursy, tapi juga walimah al-khitan, walimah al-safar, walimah al-haj,
walimah al-‘umrah. Semua tradisi sosial keagamaan ini memainkan peran
penting dalam memperkuat silaturahim, kohesi sosial dan juga saling
berbagi doa, makanan dan berkah.
Ketiga, yakni masyarakat sipil atau persisnya masyarakat sipil atau
masyarakat madani berbasis Islam (Islamic-based civil society).
Masyarakat sipil Islam Indonesia terdiri dari ormas-ormas Islam yang sudah
disebutkan di atas dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM, atau non-
government organizations/NGOs). Sesuai dengan definisi masyarakat sipil
mereka adalah ‘independen dari Negara, mengatur dan membiayai diri sendiri
dan menjadi mediasi dan kekuatan pengimbang antara negara dengan
masyarakat akar rumput. Islamic-based civil society Indonesia sangat
vibran dan dinamis memainkan berbagai peran, khususnya penguatan
Wasatiyyat Islam.
Eksistensi masyarakat sipil ini juga menjadi distingsi Islam
Indonesia yang membedakannya dengan negara-negara Muslim lain yang
tidak memiliki basis civil society sejak pra dan pasca-Perang Dunia II
khususnya. Akibatnya, tidak ada kekuatan penengah dan mediasi untuk
mencegah terjadinya konflik di antara negara dengan rakyat akar rumput.
Absennya civil society juga menjadi salah satu penyebab utama kenapa
transisi dari otoritarianisme ke demokrasi tidak bisa berlangsung baik di
banyak negara berpenduduk mayoritas Muslim.
Di luar ormas Islam dan LSM, masyarakat sipil yang
digerakkan alumni-alumni Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri
(PTKIN), Perguruan Tinggi Islam Swasta (PTAIS), dan juga Perguruan
Tinggi Umum Negeri (PTUN) dan Perguruan Tinggi Umum Swasta
(PTUS). Mereka yang memiliki latar pendidikan keIslaman atau
mempunyai komitmen keIslaman yang kuat menggerakkan organisasi non-
pemerintah yang mengusung dan mengkampanyekan nilai-nilai Wasatiyyat
Islam yang bersifat universal dan kosmopolit. Mereka mencoba mengajukan
Islam Indonesia yang wasatiyah ke dalam wacana pemikiran yang
terkontekstualisasi dengan norma-norma internasional baru. Mereka
156
menerjemahkan kemanusiaan ke dalam perspektif Wasatiyyat Islam menjadi
kemanusiaan yang terbuka dengan keterbukaan, menerima Hak Asasi
Manusia (HAM),mengakomodasi ide kompatibilitas Islam dengan
demokrasi, kesetaraan gender, kewarganegaraan, pluralisme dan toleransi.
Pendidikan Islam Indonesia turut berperan mengembangkan
karakter Wasatiyyat Islam. Pendidikan Islam di pesantren, madrasah dan
sekolah Islam merupakan model sangat baik tentang bagaimana pendidikan
Islam dalam berkolaborasi dan adaptif terhadap kultur lokal dan sekaligus
dinamika perubahan. Dalam ilmu-ilmu yang dipelajari, ilmu-ilmu Islam
tradisional berspektif wasatiyah menjadi bagian integral di berbagai
lembaga pendidikan Islam ini, yang dipadukan dengan ilmu
pengetahun modern. Lembaga pendidikan Islam ini sulit ditemui di
negara-negara lain. Pendidikan Islam khas Indonesia ini turut berkontribusi
kepada pendidikan Islam yang mengajarkan Wasatiyyat Islam.
Dari aspek negara, negara yang dibayangkan dan dicita-citakan
para pendiri bangsa adalah negara yang sejalan dengan semangat Islam
rahmat bagi semesta dengan menderivasikannya ke dalam konstitusi dan
kebijakan negara. Negara turut mendorong penguatan Wasatiyyat Islam
dengan mengakomodasi aspirasi ummat Islam dengan mengadopsi Pancasila
yang ‘bersahabat’ dengan agama’ (religiously friendly) sebagai dasar negara.
Negara dan pemerintah juga hampir selalu mempertimbangkan aspirasi
ummat Islam dalam berbagai kebijakan Negara.
Dasar negara Pancasila merupakan konsekuensi logis dari sikap
Wasatiyyat para ulama dan intelektual Muslim yang lebih
memprioritaskan kemaslahatan bersama dengan komponen bangsa lain
dalam perdebatan dan pembahasan mengenai dasar negara Indonesia
yang dibayangkan merdeka seusai Perang Dunia II. Perdebatan para
pendiri bangsa di awal kemerdekaan saat menentukan dasar negara
merupakan peristiwa yang menentukan dalam sejarah bangsa. Sejak tahun
1920-1930-an, perdebatan diwarnai oleh dua kutub yang saling
berseberangan, nasionalisme dan Islam dengan dua tokoh terdepannya,
Soekarno dan Mohammad Natsir. Perdebatan yang dimulai di media
massa di tahun 1920-1930-an, berlanjut ke ruang-ruang PPKI dan
BPUPKI di tahun 1945 saat membahas mengenai asas negara.
Dalam perkembangan selanjutnya, para pimpinan dan tokoh ormas
menyatakan komitmen penuh pada Pancasila dan NKRI. NU secara resemi
menerima Pancasila melalui khittah 1926 yang diputuskan pada muktamar
1984 di Situbondo. Demikian pula Muhammadiyah melalui konsep sebagai
Negara Darul ‘Ahd wa al-Syahadah (Negara Pancasila sebagai tempat
157
perjanjian dan kesaksian). Dokumen resmi dari masing-masing organisasi ini
menunjukkan hubungan antara agama dan Negara di Indonesia berjalan
akomodatif dan harmonis. Pancasila sendiri merupakan kristalisasi dari nilai-
nilai Islam. Mulai dari hadirnya aspek ketuhanan, kemanusiaan, persatuan,
musyawarah, dan keadilan social, yang kesemuanya merupakan nilai-nilai
dasar ajaran agama.
Dengan berbagai faktor tadi, Wasatiyyat Islam Indonesia bukan tidak
menghadapi tantangan baik dari sudut politik domestik dan transnasional;
ketegangan, benturan dan kontestasi bukan tidak terjadi di lingkungan intra-
Islam, antar agama dan juga dengan pemerintah. Tetapi dengan karakter
Wasatiyyat Islam yangtelah mapan di Indonesia beserta budaya yang telah
embedded dalam Islam, sintesa-sintesa merupakan ‘jalan tengah’ baru yang
juga selalu dapat ditemukan. Mempertimbangkan semua ini, orang boleh
optimis dengan masa depan Wasatiyyat Islam sebagai berkembang dan terus
terkonsolidasi di Indonesia.
VI. PENUTUP
Sangat jelas Wasatiyat Islam adalah ajaran Islam yang sentral namun
dalam banyak hal masih bersifat potensial, belum aktual dalam kehidupan
ummat Islam baik dalam aspek ibadat maupun muamalat, baik pada skala
lokal maupun pada skala nasional dan global. Wasatiyyat Islam
mengandung dimensi keluasan, keluhuran dan keindahan. Ajaran ini
membawa kedamaian, keteraturan dan keharmonian.
Oleh karena itu, adalah tanggung jawab keagamaan ummat Islam di
seluruh dunia untuk mengamalkan Sepuluh Prinsip Wasatiyat Islam dalam
kehidupan nyata, terutama untuk mengeliminasi bahkan meniadakan
perilaku yang menyimpang dari sebagian kecil Muslim yang menampilkan
kekerasan bahkan dalam bentuk yang ekstrim seperti kekerasan semacam
pembunuhan manusia tak berdosa dan berbagai bentuk perbuatan merusak
lainnya.
Begitu pula Wasatiyat Islam dapat diajukan untuk menjadi
solusi bagi peradaban manusia yang mengalami berbagai bentuk krisis
(sejak krisis pangan, krisis energi, sampai kepada krisis lingkungan hidup).
Berbagai krisis tadi jelas berpangkal pada sistem dunia yang keliru, yang
berwajah antroposentrik dan jauh dari spiritualitas, etika dan moral. Oleh
karena itu, kini saatnya ummat Islam bangkit memperbaiki diri,
mengamalkan ajaran Islam yang sejati sehingga Islam dapat menjadi
penyelesai masalah peradaban (problem solver), bukan sebagai bagian dari
masalah, dan apalagi pencipta masalah peradaban dunia.
158
ISLAM INDONESIA SEBAGAI POROS WASATHIYAH ISLAM
DUNIA
Oleh
M. Amin Nurin
Indonesia adalah sebuah negara yang unik dengan masyarakat
multikultural, terdiri dari 300 etnis dan berdiam di 17.508 pulau, masing-
masing memiliki budaya mereka sendiri dan menerima 6 agama besar dunia
sebagai agama resmi pemerintah. Yaitu Islam, Protestan, Katholik, Hindu,
Buddha, dan Konghucu.
Indonesia adalah negara dengan berpenduduk Muslim terbesar di
dunia. Total jumlah penduduk adalah 260 juta: 87.18% adalah Muslim;
6.96% Protestan; 2.91% Katholik; 1.69% Hindu; 0.72% Buddha; 0.05%
Konghucu; dan 0.13 animis atau kepercayaan. Meski kaum Muslim adalah
penduduk mayoritas, namun Indonesia bukan negara Islam dan tidak pula
negara sekuler.
Kaum Muslim Indonesia terdiri dari 3 karakter, yaitu 1. karakter
Islam Indonesia adalah moderat, inklusif, dan toleran. 2. Islam di Indonesia
sangat kompatibel dengan ke-moderenan, demokrasi, dan fenomena lain dari
dunia kontemporer. 3. Islam tetap toleran dan inklusif sebagai karakter
mainstream Islam di Indonesia, meski akhir-akhir ini ada indikasi
kemunduran akibat perkembangan modernisasi dan globalisasi. (Azra, 2005:
2).
Akhir-akhir ini, isu tentang wasathiyah (moderatisme) Islam kerap
terdengar sejak berbagai peristiwa kekerasan maupun terorisme yang
dituduhkan kepada ummat Islam. Konflik sosial keagamaan yang disertai
kekerasan meningkat sejak Pasca Soeharto –Era Reformasi. Konflik
bernuansa agama tidak hanya antar agama (Islam vs Kristen), tetapi juga intra
agama, seperti kalangan Sunni vs Syi’ah di Lombok Timur; suku/etnis,
seperti kalangan Sunni vs Syi’ah di Lombok Timur; dan konflik kelompok
sosial dan suku/etnis, seperti penduduk pribumi dengan pendatang Bali di
Lampung. Konflik dan kekerasan banyak terkait dengan perebutan dan
kesenjangan penguasaan sumber ekonomi dan politik.
159
Wasathiyah: Tawazzun dan I’tidal
Istilah wasathiyah tidak terlepaskan dari dua kata yang mengikatnya,
yaitu berimbang (tawazun/balance) dan keadilan (i’tidal/justice). Moderat
bukan berarti kita kompromi dengan prinsip-prinsip pokok (ushuliyah) ajaran
agama yang kita yakini demi bersikap toleran kepada agama lain. Moderate
berarti confidence, right balancing and justice. Tanpa keduanya seruan
moderasi beragama tidak akan efektif. Keduanya harus mendekat dan
mencari titik temu dan masing-masing pihak tidak boleh ekstrim.
Karakter Islam Indonesia adalah Wasathiyah. Tradisi mainstream
Muslim Indonesia adalah karakter wasathiyah dengan menekankan tawazun
dan i’tidal seperti yang dicerminkan oleh Muhammadiyah dan NU. Ummat
Islam Indonesia adalah ummatan washatan yg memberikan cukup ruang bagi
saling respek, toleransi, kompromi, dan akomodasi. Tradisi wasathiyah telah
berkembang berkat pemahaman berimbang (balance) terhadap sumber-
sumber Islam (al-Qur’an, Hadis, dan qaul ulama). Pemahaman dan praktek
Islam wasathiyah diperkuat dengan kontekstualisasi dan akomodasi tradisi
sosial budaya lokal yang pada dasarnya tidak bertentangan dengan akidah
dan ajaran pokok ajaran Islam.
Tradisi wasathiyah Indonesia kaya dengan berbagai tradisi sosial
budaya keagamaan lokal yang pada gilirannya tidak hanya memperkuat
ibadah keagamaan tetapi sekaligus juga memperkuat tali silaturahim dan
kohesi ummat-bangsa. Pertemuan wasathiyah Islam dengan tradisi lokal
Indonesia kemudian menjadi ijtihad para ulama dengan istilah Islam
Nusantara. Sementara Muhammadiyah menggunakan istilah Islam yang
Berkemajuan. Pandangan hidup masyarakat Indonesia ini kemudian menjadi
inspirasi para intelektual/ulama (a.l. Bassam Tibi dan Tariq Ramadhan) yang
hidup di Eropa agar kaum Muslim Eropa bisa hidup berdampingan dengan
masyarakat Eropa berkulit putih dengan damai tanpa ada kecurigaan dan
diskriminatif dengan melakukan ijtihad: Islam Nusantara Eropa (Euro-Islam
Norms). Dengan demikian Islam Wasathiyah Indonesia menjadi contoh
teladan bagi dunia internasional. Karena itu tradisi ini perlu disosialisasikan
ke segala penjuru dunia.
Pancasila Dan Bhinneka Tunggal Ika
Faktor pemersatu yang merukunkan bangsa Indonesia yang sangat
beragam adalah Pancasila dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika.
Pancasila adalah jalan tengah (wasathiyah) yang diambil oleh pemimpin
Indonesia beserta rakyat Indonesia sebagai ijtihad untuk mempersatukan
masyarakat Indonesia yang majmuk kedalam suatu kesatuan NKRI. Salah
160
satu sumbangan wasathiyah Islam Indonesia terhadap bangsa Indonesia
adalah mencari kompabilitas Islam dan Demokrasi.
Pendekatan Islam Wasathiyah
Kemunculan kelompok moderat bukan untuk mengajak berpaling dari
perjuangan kelompok ummat yang tarzalimi karena tidak ada balance dan
justice, melainkan menolak penggunaan jalan pintas dlm proses perlawanan
dan pembebasan. Menurut Syafii Maarif, jalan pintas yang digunakan
kelompok Islam radikal itu sebagai harakiri. Sejarah peradaban manusia
menceritakan bhw radikalisme dlm bentuk teror berujung dg kegagalan
karena berpijak pada kebencian dan fanatisme (self defeating). Pendekatan
Islam moderat menawarkan wacana pembebasan yang mencerahkan dalam
bentuk elegan, sistematis, dan evolutif. Pendekatan dialog, khususnya “dialog
emansipatoris” secara terbuka dan pemahaman timbal balik dengan penuh
kejujuran, iktikad baik dan siap merubah persepsi yang keliru. (Nurdin dan
Ropi, 2011:20.)
Islam moderat merupakan usaha membangun peradaban dunia dan
sekaligus penyelamatan terhadap kondisi dunia saat ini. Namun tak dapat
dipungkiri, banyak kritikan terhadap kaum moderat yang dianggap kurang
tegas dalam menyikapi aksi-aksi kekerasan yan dilakukan kelompok garis
keras. Seringkali ormas-ormas arus utama ini dianggap ambigu dan
membiarkan kekerasan terjadi.
Kompatibilitas Islam dan Demokrasi: Titik Temu Islam Wasathiyah
Istilah demokrasi, menjadi perdebatan di kalangan ulama Islam:
Apakah Islam itu kompatibel (cocok) dengan demokrasi. Bagi Abul Ála al-
Maududi, Islam itu tidak kompatibel dengan demokrasi karena sudah ada
hukum Islam yang mengatur segala kehidupan ummat Islam. Begitu pula
Sayyid Qutub, diperlukan negara Islam/khilafah yang beradasarkan hukum
al-Qurán yang mengatur dengan prinsip syura yang disebut dengan hukum
syariat. Sementara ulama/intelektual Islam lain memandang Islam kompatibel
dengan demokrasi. Demokrasi di negara-negara Barat secara historis
mengambil bentuk sekularisme sebagai ideologi, sedangkan negara Islam
mengambil agama sebagai landasan hukum. Ada perbedaan mendasar antara
sekularisme dan negara Islam. Negara Islam meyakini ada hubungan vertikal
antara Tuhan dengan manusia yang disebut dengan kedaulatan Tuhan,
sedangkan sekularisme berdasarkan hubungan horizontal antara manusia
dengan manusia (kedaulatan rakyat). Dari perbedaan ini muncul dan
berkembang interpretasi di kalangan ulama/pemikir tentang politik
keagamaan di dalam membangun demokrasi dengan menggunakan konsep
161
syura, ijma, dan ijtihad. Proses demokrasi yang sedang berlangsung di
Indonesia, bisa dijadikan sebuah model pembangunan kerangka politik
agama di antara pergumulan kompabilitas demokrasi dan Islam di dunia
Islam. Indonesia dianggap sebagai negara yang menerapkan demokrasi
terbaik ketiga di dunia setelah US dan India.
Hubungan Islam dengan Demokrasi: Tiga Pemikiran
Secara Umum ada tiga ada tiga kelompok pemikiran yang berbeda
tentang hubungan Islam dan demokrasi( M. Amin Nurdin, dkk., 2014:15) :
1. Kelompok yang menolak adanya hubungan antara Islam dan
demokrasi. Alasan penolakan:
a. Prinsip persamaan (kelas, ras, dan jender) tidak mungkin diterapkan
dalam Islam.
b. Islam merupakan pedoman hidup. Karena itu, Muslim tidak
memerlukanlegislasi lain. Tugas manusia hanya melaksanakan
hukum Tuhan di muka bumi, bukan menciptakan hukum baru.
c. Kedaulatan Tuhan di muka bumi berlaku baik melalui sunnatullah
maupun wahyu.
d. Syura tidak otomatis membawa pada demokrasi.
e. Prinsip mayoritas tidak otomatis selalu benar dan adil secara
moral.
f. Demokrasi, sebenarnya hanya sebagai alat Barat semata untuk
mendiskreditkan Islam.
Tokoh: Syakh Fadlallah Nuri, Sayyid Qutub, al Sya’rawi, Ali
Benhadj dan Thabathabai.
2. Kelompok yang menyetujui bahwa ada kemiripan dan perbedaan
antara sistem syura dalam Islam dan demokrasi. Alasannya:
a. Keduanya memiliki kesamaan dalam prinsip-prinsipnya seperti
keadilan, musyawarah, dan akuntabilitas penguasa.
b. Keduanya memiliki perbedaan, seperti konsep kedaulatan rakyat.
Jika pada sistem demokrasi yang ada sekarang ini kedaulatan rakyat
bersifat mutlak, sementara dalam Islam kedaulatan mereka dibatasi
oleh kedaulatan Tuhan atau syari’ah. Islam berada antara theokrasi
dan demokrasi. Karena, parlemen memiliki ruang untuk membuat
legislasi sepanjang tidak diatur oleh syariah.
Tokoh: Abu A’la al-Maududi dan Moh. Natsir
162
3. Kelompok yang berpendapat bahwa Islam dan demokrasi dapat
dipadukan. Alasannya:
a. Keduanya sama baik dalam prinsip maupun prosedur kenegaraan.
b. Sistem demokrasi pertama dicanangkan oleh Islam.
Argumentasinya : “Islam menghendaki pemerintahan yang
disetujui rakyatnya, penolakan kediktatoran, pemilu sebagai
kesaksian rakyat, menjunjung tinggi keadilan dan toleransi, keyakinan
bahwa imamah merupakan kontrak sosial. Karena itu, demokrasi
berarti mengembalikan sistem sebagaimana yang dipraktekkan Nabi.
Titik Temu Pemikiran
Jawaban kelompok ketiga terhadap kritik dari dua kelompok
sebelumnya adalah:
a. Demokrasi tidak berarti menolak kedaulatan Tuhan
b. Mayoritas tidak identik dengan kesesatan
c. Legislasi tidak berarti menentang hukum Tuhan
d. Sistem multipartai dalam demokrasi menghindari kezaliman
e. Meminta kekuasaan itu dilarang, tapi mengajukan diri sebagai
kandidat dibolehkan sebagaimana Nabi Yusuf dan Sulaiman.
f. Hukum-hukum tertentu seperti hudud atau qishash bukanlah ajaran
murni Islam dan tidak berlaku sepanjang masa. Itu hanya sebagai
ajaran subsider dan transisional belaka. Karena ajaran itu hanya
merupakan akomodasi Islam terhadap ajaran ajaran sebelumnya.
Tokoh: Fahmi Huwaidi, Mahmoud Muhammed Abdullah An-Naim,
Mohammad Arkoun, dll.
Hubungan Agama dan Negara
Ada tiga macam hubungan agama dan negara dan masing-masing
memiliki alasan sendiri-sendiri seperti terlihat berikut ini.
1. Paradigma Integralistik: Agama dan negara tidak dapat dipisahkan.
Alasannya: Islam tidak mengenal pemisahan agama dan negara (Islam
din wa daulah). Pada konsep ini kehidupan bernegara diatur dengan
menggunakan hukum agama. Contoh: Iran, Arab Saudi, Pakistan dll.
2. Paradigma Simbiotik: Hubungan agama dan negara saling
membutuhkan dan timbal balik. Dalam konteks ini, agama
membutuhkan negara dalam rangka mengembangkan dan melestari-
163
kan nilai-nilai agama, sementara negara membutuhkan agama karena agama
dapat menjadi penjaga moral dan spiritual warga negara. Contoh: Indonesia,
Malaysia, dll.
3. Paradigma Sekularistik: Ada pemisahan antara agama dan negara.
Menurut paradigma ini, agama dan negara memiliki garapan masing-masing
dan sehingga keberadaannya harus dipisahkan dan tidak boleh intervensi.
Hukum negara didasarkan pada hukum positif dan konsensus. Contoh:
Turki.
Dengan penjelasan di atas terlihat Indonesia memilih bentuk nomor 2,
yaitu Paradigma Simbiotik, dimana agama dan negara saling membutuhkan
secara timbal balik.
164
Tafsir Atas Islam Nusantara:
(Dari Islamisasi Nusantara Hingga Metodologi Islam Nusantara)
Oleh
Abdul Moqsith Ghazali
Pendahuluan
Sejak dicanangkan menjadi tema muktamar NU ke 33 di Jombang
Jawa Timur pada 1-5 Agustus 2015, Islam Nusantara sebagai sebuah ide atau
gagasan terus menjadi percakapan publik. Percakapan tentangnya begitu riuh.
Ada yang menyorot dari sudut linguistik. Tapi, tak sedikit juga yang
mempertanyakannya secara epistemologis dan metodologis. Intinya, gagasan
Islam Nusantara menimbulkan sikap pro dan kontra. Sejumlah buku dan
artikel pun ditulis untuk menjelaskan gagasan Islam Nusantara tersebut.
Namun, yang menarik, hingga artikel ini ditulis Pengurus Besar Nahdhatul
Ulama (PBNU) sebagai penyelenggara muktamar tak mengeluarkan satu
buku apapun tentang Islam Nusantara
Dengan ini, NU seakan ingin menyerahkan definisi dan batasan
termasuk metodologi Islam Nusantara ini ke publik akademik. Dari sinilah,
cikal bakal kesalah-pahaman mengenai Islam Nusantara bermula. Sejumlah
prasangka terus dilemparkan terutama terhadap Ketum PBNU, KH Said Agil
Siradj. Kiai Said dituduh hendak menciptakan agama baru dengan ide Islam
Nusantaranya. Bagi penentang Islam Nusantara jelas bahwa Islam tak perlu
dinusantarakan. Justru Nusantaralah yang harus diIslamkan. Sebab, sekiranya
Islam (al-Qur’an) merupakan wahyu yang bersifat sakral dan universal, maka
budaya nusantara adalah produk manusia yang profan dan partikular.
Argumen mereka jelas, tak mungkin yang sakral dan yang universal
ditundukkan pada sesuatu yang profan dan yang partikular. Justru yang harus
dilakukan adalah sebaliknya; mengIslamkan Nusantara. Sampai di sini, apa
yang dikemukakan pihak kontra itu tentu tak salah jika dilihat dari sudut
pandang agama Islam. Hanya pertanyaannya, bagaimana proses pengIslaman
Nusantara itu?
165
KH Said Aqil Siradj menegaskan bahwa Islam Nusantara bukanlah
sekte atau aliran baru dan tidak dimaksudkan untuk mengubah doktrin Islam.
Menurutnya, Islam Nusantara adalah pemikiran yang berlandaskan pada
sejarah Islam yang masuk ke Indonesia tidak melalui peperangan, tetapi
melalui kompromi terhadap budaya (Sahal, 2015:15). Zainul Milal Bizawie
menegaskan bahwa Islam Nusantara adalah Islam yang khas Indonesia,
gabungan nilai Islam teologis dengan nilai-nilai tradisi lokal, budaya, dan
adat istiadat di Tanah Air. Bagi Bizawie, Islam Nusantara arif menyinergikan
ajaran Islam dengan adat istiadat lokal di Nusantara (Bizawie, 2016:3). Ini
selaras dengan cara berfikir NU yang mendorong munculnya ekspresi
keberIslaman yang toleran, damai, dan akomodatif terhadap budaya
nusantara (Sahal, 2015:15). Selanjutnya, bagaimana definisi, sejarah
Islamisasi Nusantara, dan metodologi Islam Nusantara, artikel ini coba
membantu menjelaskannya sehingga sejumlah kesalahpahaman perihal
gagasan Islam Nusantara itu bisa diminimalkan.
Pengertian Dasar Islam Nusantara
Menarik, sebagian kiai membahas Islam Nusantara dengan mengurai
frase “Islam Nusantara” itu dari sudut gramatika bahasa Arab. Dalam sebuah
forum diskusi di arena muktamar NU di Jombang, Kiai Afifuddin Muhajir
menjelaskan bahwa “Islam Nusantara” itu tarkib idhafi. Karena itu, Islam
Nusantara memiliki tiga kemungkinan makna. Pertama, Islam Nusantara
bermaka Islam yang dipahami dan dipratekkan kemudian menginternalisasi
dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Inilah pengertian Islam Nusantara
dengan memperkirakan adanya huruf jar “fi” pada frase Islam Nusantara
(Islam fi Nusantara).
Kedua, dengan memperkirakan huruf jar “ba`” di antara kata Islam
dan Nusantara, Islam bi Nusantara. Dengan ini, maka Islam Nusantara
menunjuk pada konteks geografis, yaitu Islam yang berada di kawasan
Nusantara. Lalu, apa yang dimaksud Nusantara itu? Nusantara bisa merujuk
pada wilayah Indonesia modern sekarang, yaitu negara dengan gugusan
pulau-pulau besar dan kecil yang membentang dari Sabang sampai Merauke.
Indonesia modern ini merupakan kelanjutan dari wilayah kekuasaan
penjajahan Belanda, di kenal sebagai “Hindia Belanda” atau Hindia Timur
Belanda (Dutch East Indies). Walau begitu cukup jelas bahwa Indonesia
bukan hasil bentukan Belanda atau pemerintah penjajah. Indonesia adalah
hasil perjuangan melawan penjajahan itu (Madjid, 2004:9). Nusantara yang
lebih besar dari Indonesia modern sekarang, mencakup Semenanjung
Melayu, Kalimatan bagian Utara, Mindanao, Thailand bagian selatan, hingga
Formusa dan Madagarskar.
166
Dua makna Islam Nusantara di atas jelas menunjuk pada pengertian
Islam Nusantara yang bersifat antropologis dan sosiologis (Yusqi, 2015:5).
Karena itu, jenis keIslaman yang tumbuh dan berkembang di Nusantara bisa
berbeda dengan jenis keIslaman yang tumbuh dan berkembang di Timur
Tengah. Dua makna Islam Nusantara di atas meniscayakan kehadiran Islam
terus menerus yang berdialektika dengan kebudayaan masyarakat Nusantara.
Dalam proses dialektika itu tak jarang Islam Nusantara berhasil menciptakan
simbol-simbol keIslaman baru yang tak ada di kawasan Timur Tengah.
Contoh yang bisa ditunjuk dengan mudah adalah fenomena kebiasaan para
santri Nusantara mengenakan sarung. Padahal jelas, selain untuk kepentingan
menurut aurat, sarung itu tak pernah diteladankan Nabi Muhammad SAW
dan tak menunjuk secara langsung pada ajaran universal Islam. Namun,
sebagaimana diketahui, sarung secara kultural telah menjadi simbol
keIslaman di tanah air. Hingga sekarang, tradisi mengenakan sarung itu terus
dilestarikan oleh kalangan santri dan kaum nahdhiyyin. Bahkan, NU sering
disebut sebagai organisasi kaum sarungan.
Ketiga, pengertian Islam Nusantara dengan memperkirakan huruf jar
“lam” yang mengantarai kata “Islam” dan “Nusantara”. Dengan ini, maka
“Islam” tampak sebagai subyek, sementara “Nusantara” adalah obyek.
Dengan demikian, Islam Nusantara adalah pengejawantahan ajaran Islam
kepada masyarakat Nusantara. Dahulu misalnya para Wali Songo
mendakwahkan ajaran Islam yang ramah dan santun kepada masyarakat
Jawa. Nilai-nilai toleransi dan kemanusiaan yang bercorak sufistik itulah
yang membentuk corak keIslaman yang berkembang di tanah air.
Namun, yang penting diperhatikan dari pengertian Islam Nusantara
yang ketiga adalah kenyataan bahwa tingkat penerimaan masyarakat
Nusantara terhadap Islam tidaklah sama. Ada yang menerima ajaran Islam
secara “kaffah” dan ada yang menerimanya secara “setengah-setengah”. Di
sebagian masyarakat Islam Nusantara, ada keengganan untuk menerima
Islam secara “kaffah”, jika ajaran Islam itu memberangus tradisi masyarakat
yang sudah berjalan ratusan tahun. Salah satu peristiwa yang paling
representatif menggambarkan itu adalah pecahnya Perang Padri (1822-1823)
di Summatera Barat yang kemudian melahirkan satu tagline, “adat basandi
syara`, syara` basandi kitabullah” (adat bersendikan syara` dan syara`
bersendikan al-Qur’an).
Perbedaan tingkat dan dosis penerimaan penduduk Nusantara
terhadap ajaran Islam itu menyebabkan Islam Nusantara pun tidak tunggal.
Begitu juga sebaliknya; penerimaan Islam terhadap keragaman budaya yang
167
tersebar di Nusantara tidaklah sama. Azyumardi Azra menjelaskan, tingkat
penerimaan Islam pada satu bagian atau bagian yang lainnya tergantung tidak
hanya pada waktu pengenalannya, melainkan juga pada watak budaya lokal
yang dihadapi Islam itu (Azra, 2002:17-18). Dari situ lahirlah ekspresi
keberIslaman yang plural. Ada Islam Jawa, Islam Sasak, Islam Minang, Islam
Bugis yang menunjukkan kebhinekaan Islam Nusantara. Perkembangan
Islam di Nusantara pun berbeda. Taufik Abdullah mencatat sekurangnya ada
empat macam model pertumbuhan dan perkembangan Islam di Indonesia,
yaitu model Aceh, model Minang, model Goa, dan model Jawa (Abdullah,
1987:32).
Jika demikian, maka pertanyaan berikutnya adalah; apakah yang
terjadi di Nusantara itu Islamisasi Nusantara atau Nusantarasasi Islam? Ini
jelas memiliki makna yang berbeda. Sekiranya Islamisasi Nusantara
bermakna mengIslamankan Nusantara, maka nusantaraisasi Islam bermakna
menusantarakan Islam; bahwa Islam perlu menyesuaikan diri dengan
kenyatataan-kenyataan sosial dan religius di Nusantara. Artinya, Nusantara
bukanlah satu entitas yang harus ditaklukkan untuk diselaraskan dengan
ajaran Islam melainkan Islamlah yang perlu menyelaraskan diri dengan
kehidupan Nusantara. Jika ditelusuri, semuanya ini terkait dengan pola-pola
dakwah pada periode awal Islam di Nusantara.
Islamisasi Nusantara
Islam masuk ke Nusantara tak menghancurkan seluruh kebudayaan
masyarakat. Wali Songo mendakwahkan Islam bahkan dengan menggunakan
strategi kebudayaan. Dalam beberapa kasus, Islam justru mengakomodasi
budaya yang sedang berjalan di masyarakat Nusantara. Tradisi sesajen yang
sudah berlangsung lama dibiarkan berjalan untuk selanjutnya diberi makna
baru. Sesajen dimaknai sebagai bentuk kepedulian kepada sesama bukan
sebagai pemberian terhadap dewa. Begitu juga tradisi nadran dengan
mengalirkan satu kerbau ke pantai Jawa tak dihancurkan, melainkan
diubahnya hanya dengan membuang kepala kerbau atau kepala sapi ke laut.
Nadran tak lagi dimaknai sebagai persembahan pada dewa, melainkan
sebagai wujud syukur kepada Allah. Hasil bumi yang terhidang dalam
upacara tak ikut dilarungkan ke laut, tapi dibagi ke penduduk.
Dalam menyampaikan ajaran Islam Wali Songo menggunakan cara-
cara persuasif bukan konfrontatif. Anasir-anasir Arab yang tak menjadi
bagian dari ajaran Islam tak dipaksakan untuk diterapkan. Sunan Kudus
membangun mesjid dengan menara menyerupai candi atau pura.
Memodifikasi konsep “Meru” Hindu-Budha, Sunan Kalijogo membangun
168
ranggon atau atap mesjid dengan tiga susun yang menurut Abdurrahman
Wahid untuk melambangkan tiga tahap keberagamaan seorang muslim, yaitu
iman, Islam, dan ihsan. Ini kearifan dan cara ulama dalam memanifeskan
Islam sehingga ummat Islam tetap bisa ber-Islam tanpa tercerabut dari akar
tradisi mereka sendiri (Wahid, 2001:118).
Para Wali tak ragu meminjam perangkat-perangkat budaya sebagai
perangkat dakwah. Sunan Kalijogo menggunakan Wayang Kulit sebagai
media dakwah. Ia memasukkan kalimat syahadat dalam dunia pewayangan.
Doa-doa, mantera-mantera, jampi-jampi yang biasanya berbahasa Jawa
ditutupnya dengan bacaan dua kalimat syahadat. Dengan cara ini, kalimah
syahadat menjelma di hampir semua mantera-mantera yang populer di
masyarakat. Alih-alih mengharamkan wayang dan gamelan, para wali justru
menggunakan keduanya sebagai sarana dakwah Islam. Gamelan yang
dipadukan dengan unsur-unsur upacara Islam populer telah melahirkan tradisi
Sekatenan di pusat-pusat kekuasaan Islam seperti Cirebon, Demak,
Yogyakarta, dan Solo.
Yang paling spektakuler dari dialektika antara Islam dan budaya lokal
itu adalah adalah upacara peringatan untuk orang-orang yang sudah
meninggal dunia. Upacara itu dikenal dengan istilah Tahlilan, (hari pertama
sampai hari ketujuh dari kematian, lalu diperingati lagi pada hari ke 40, 100,
1000 hari). Upacara seperti sulit ditemukan contohnya pada zaman Nabi
Muhammad SAW. Akan tetapi, menurut Nurcholish Madjid, itu adalah cara
yang paling efektif untuk menanamkan jiwa tauhid dalam kesempatan
suasana keharuan yang membuat orang menjadi sentimentil (penuh perasaan)
dan sugestif -gampang menerima paham atau pengajaran (Madjid, 1995:
551). Namun, bagi kalangan Islam tradisional seperti kaum nahdhiyyin, lebih
dari sekedar pendidikan tauhid, tahlilan juga berfungsi untuk menghadiahkan
pahala (ihda` al-tswab) untuk orang yang sudah meninggal dunia.
Lepas dari itu, cara dakwah yang ditempuh para ulama Nusantara
ternyata efektif dalam mengubah masyarakat. Dalam berdakwah, para ulama
Nusantara sempurna mengamalkan firman Allah, ud`u ila sabili rabbika bil
hikmah wal maw`idhatil hasanah wa jadilhum billati hiya ahsan. Jika
dakwah dengan jalan hikmah dan mau`idhah hasanah tak menghasilkan
perubahan, maka jalan dialog yang dilakukan, bukan pentungan dan pedang
yang dihunjamkan.
Dengan cara dan strategi dakwah yang demikian, Islam dianut banyak
orang. Islam memang masuk ke Indonesia sejak abad ke 13, tapi
kenyataannya Islam betul-betul dipilih warga Nusantara secara luas baru
pada periode Wali Songo. Ini berkah dari dakwah penuh perdamaian para
169
ulama. Jawa bisa diIslamkan tanpa pertumpahan darah. Begitu juga dengan
dakwah damai yang dilakukan para ulama Nusantara lain di Summatera
bagian utara, Kalimantan, Maluku, dan lain-lain bahkan hingga ke Melaka.
Cara-cara persuasif para ulama Nusantara dalam menyiarkan Islam
tersebut, menjadi “trademark” Islam Nusantara, yaitu Islam yang sanggup
berdialektika dengan kebudayaan masyarakat. Ajaran-ajaran Islam bisa
diserap masyarakat tanpa menumbangkan basis-basis tradisi masyarakat.
Hubungan Islam dan kebudayaan Nusantara adalah ‘alaqah jadaliyah
(hubungan dialektik) bukan ‘alaqah ikhdha’ (hubungan penundukan-
subordinatif) oleh satu pihak pada pihak lain. Islam Nusantara sekali lagi
lebih mendahulukan cara-cara persuasi daripada konfrontasi, lebih
mengutamakan jalan damai ketimbang jalan perang walau dalam beberapa
kasus perang tak terhindarkan terutama sejak kaum penjajah merampas
kedaulatan Nusantara.
Dengan menggunakan cara bil hikmah wal mau`idah al-hasanah wal
mujadalah bil husna, para ulama berhasil mengIslamkan Nusantara. Dengan
dakwah seperti ini, penduduk Nusantara--meminjam bahasa al-Qur’an--
yadkhuluna fi dini Allah afwaja (mereka berbondong-bondong masuk Islam).
Mungkin benar, Islam masuk ke Nusantra sejak abad ke 13 M. Namun, yang
memeluk Islam saat itu diperkirakan hanya para pedagang dari luar.
Sementara penduduk asli Nusantara masih memeluk agama-agama lama.
Berbagai sumber menyatakan bahwa pemelukan Islam secara masif dari
orang-orang Nusantara baru terjadi dua abad berikutnya, yaitu pada era Wali
Songo.
Keberhasilan dakwah wali songo itu mencengangkan dan menjadi
renungan para kiai NU dalam kurun waktu lama. Tak sedikit dari mereka
yang bertanya-tanya; apa yang istimewa dari dakwah para wali itu sehingga
banyak orang melepas agama lamanya dan berpindah ke agama baru, Islam.
Setelah mempelajari sejarah, para pengusung Islam Nusantara berkesimpulan
bahwa dakwah para wali itu mengikuti pola dakwah Nabi Muhammad; Islam
disebarkan dengan penuh rahmat dan kasih sayang. Para wali lebih
mendahulukan cara dialog ketimbang konfrontasi. Masyarakat kerap
dibiarkan menjalankan tradisi leluhurnya sambil sedikit demi sedikit ajaran
tauhid diinjeksikan ke dalamnya. Memberantas kemungkaran pun tak
dilakukan dengan cara-cara mungkar (al-nahyu `an al-munkar bi ghair al-
munkar).
Mengikuti pola turunnya wahyu yang tak sekaligus, para sufi
Nusantara tak memaksa orang-orang yang baru masuk Islam untuk langsung
170
melaksanakan syariat secara penuh. Syariat Islam dijalankan setahap demi
setahap mengikuti tingkat kesiapan masyaratakat. Sebagaimana dicontohkan
Nabi Muhammad, Islam didakwahkan para wali itu secara bertahap (al-tadrij
fi al-tasyri`), tak memberatkan (`adam al-haraj), dan tak banyak beban (taqlil
al-takalif). Cara-cara ekstrem (tatharruf) dalam penyelesaian masalah dijauhi
para wali. Menurut KH Said Aqil Siroj, dalam menyebarkan Islam, para sufi
Nusantara berdiri di atas prinsip toleransi (tasamuh) dan moderatisme
(tawassuth). Dengan prinsip toleransi, Sunan Kudus pernah melarang ummat
Islam menyembelih sapi khusus daerah Kudus Jawa Tengah sebagai bentuk
penghormatan terhadap orang-orang Hindu yang memercayai kesucian
binatang tersebut.
Itulah kesimpulan para kiai ketika membaca metode dakwah dan
melihat ekspresi keberIslaman yang diteladankan para wali di Nusantara
dulu. Menurut saya, jika itu yang menjadi narasi utama Islam Nusantara,
maka pro-kontra di atas tak diperlukan. Sebab, baik yang pro maupun yang
kontra sesungguhnya tak sedang mempertentangkan sesuatu. Mereka hanya
membicarakan sesuatu dari ranah berbeda. Sekiranya kelompok kontra Islam
Nusantara berbicara pada tataran normatif-ideal, maka para pengusung Islam
Nusantara itu berbicara pada tataran riil-empirikal. Tentu, sesuatu yang ideal
itu tak boleh dibiarkan--meminjam bahasa Kiai Afifuddin Muhajir--“hanya
menggantung di langit”. Sesuatu yang ideal itu harus dibawa ke ruang yang
lebih realistis. Dalam konteks itu, para wali tak ragu untuk “menusantarakan”
hal-hal tertentu dalam Islam.
Disebut “hal-hal tertentu”, sebab tak semua hal dalam Islam bisa
dinusantarakan. Sebagaimana diketahui, Islam memiliki dua jenis ajaran.
Pertama, adalah ajaran yang tetap-tak berubah (al-tsawabit). Akidah adalah
salah satu hal dari al-tsawabit tersebut. Ummat Islam dimanapun misalnya
harus meyakini tentang keesaan Allah SWT, kenabian Muhammad SAW,
dan kewahyuan al-Qur’an al-Karim. Tak bisa dengan alasan budaya, ummat
Islam Nusantara menolak ajaran tauhid-monoteisme. Dimana pun berada,
syahadat ummat Islam adalah sama, asyhadu an la ilaha illa Allah wa
asyhadu anna Muhammadan Rasulullah. Dengan ini jelas, tak ada akidah
Islam Nusantara yang distingtif dengan akidah ummat Islam lain.
Contoh lain adalah soal shalat. Dalam pokok soal ini, Islam Nusantara
tak masuk pada syarat dan rukun shalat. Tak bisa dengan alasan budaya,
bacaan shalat diganti dengan tembang Nusantara. Terkait shalat, yang bisa
dinusantarakan adalah soal tempat pelaksanaan shalat dan pakaian penutup
aurat dalam shalat. Apakah ummat Islam misalnya boleh membangun mesjid
dengan desain dan arsitektur gereja atau pura. Begitu juga, soal bentuk
mukena dan pakaian yang menjadi penutup aurat seorang muslim dalam
171
shalat. Dalam dua perkara itu, Islam bisa berdialektika dengan kebudayaan.
Di Jawa dan Madura misalnya laki-laki muslim biasanya mengenakan sarung
ketika shalat. Sunan Kudus membangun mesjid menyerupai bentuk pura di
Bali.
Kedua, adalah ajaran yang tidak tetap dan berubah (al-
mutaghayyirat). Jenis ajaran kedua ini sebagian besar berada pada domain
mu`amalah, siyasah (politik), dan `urf-ijtima`i (sosial-budaya). Pada bidang
ini, Islam sesungguhnya lebih banyak bicara mengenai prinsip-prinsip etis-
moral seperti tahqiq al-`adalah (mewujudkan keadilan), syura baynahum
(musyawarah), ishlah dzati al-bayn (perdamaian), mu`asyarah bi al-ma`ruf
(pergaulan yang baik), wujud al-taradhi (adanya kerelaan), izalah al-dharar
(menghilangkan kemudaratan), `adam al-ikrah (tak ada pemaksaan), dan
`adam al-gharar (tak ada penipuan). Intinya, seluruh hal terkait relasi antar
manusia, mulai dari lingkungan keluarga, masyarakat hingga negara harus
didasarkan pada prinsip menarik maslahat (jalbu al-mashlahah) dan menolak
mafsadat (dar’u al-mafsadah).
Prinsip-prinsip itulah yang menjadi acuan etis para pengusung Islam
Nusantara dalam merespons problem-problem sosial-ekonomi dan politik di
masyarakat. Misalnya, ketika baru merdeka, Indonesia terjebak dalam dua
pilihan sulit; menjadikannya sebagai negara Islam atau sebagai negara
sekuler. Jika yang satu memaksakan negara Islam, maka yang lain
memaksakan negara sekular. Tarik menarik di antara keduanya cukup keras
hingga ditemukan satu traktat politik, Pancasila. Dengan Pancasila, Indonesia
bisa selamat dari ancaman perpecahan dan peperangan sesama anak bangsa.
Mengacu pada kaidah fikih, menolak terjadinya kemafsadatan harus
didahulukan daripada menarik kemaslahatan (dar’u al-mafasid muqaddam
`ala jalbi al-mashalih), NU menerima Pancasila.
Begitu juga ketika sebagian ummat Islam Indonesia gamang apakah
akan menerima konsep Hak Asasi Manusia atau menolaknya. Para kiai
berkumpul dan bersepakat bahwa ada sub bahasan di dalam kitab kuning
yang bisa menjadi rujukan hak asasi manusia dalam Islam yang disebut
dengan al-kulliyat al-khams (lima pokok ajaran), yaitu memelihara jiwa
(hifzh al-nafs), memelihara agama (hifzh al-din), memelihara akal (hifzh al-
`aql), memelihara harta (hifzh al-mal), memelihara kehormatan-keturunan
(hifzh al-`irdh wa al-nasab). Lima ajaran pokok ini di samping didasarkan
pada ayat-ayat al-Qur’an, juga dilandaskan pada pidato Nabi Muhammad
SAW pada Haji Wada` yang memerintahkan ummat Islam untuk menjaga
jiwa, harta, dan kehormatan (inna dima’akum wa amwalakum wa
172
a`radhakum haramun `alaikum kahurmati yawmikum hadzi wa syahrikum
hadza wa baladikum hadza).
Dengan paparan di atas, maka tak seharusnya Islam Nusantara
ditampik. Di era Indonesia modern, Islam Nusantara telah berhasil
menjembatani sejumlah ketegangan antara Islam dan budaya, Islam dan
Negara Bangsa, Islam dan Pancasila, Islam dan Demokrasi, Islam dan Hak
Asasi Manusia. Keberhasilan ini bisa dicapai karena kecakapan Islam
Nusantara dalam meramu dalil normatif Islam (fiqh al-nushush) dengan
fakta-fakta empirik di lapangan (fiqh al-waqi`). Dengan demikian, dalam
mengoperasikan Islam Nusantara, para ulama perlu memperhatikan nash al-
Qur’an-hadits dan konteks sosial-ekonomi-politik secara sekaligus. Dengan
cara ini kiranya fatwa ulama Nusantara tak hanya membuahkan maslahat
bagi ummat Islam secara terbatas di Indonesia melainkan justru sebagai
rahmat bagi seluruh ummat manusia.
Hanya untuk pengembangan gagasan Islam Nusantara ke depan, tentu
ia membutuhkan perangkat metodologinya. Dengan kehadiran metodologi
itu, maka pengusung Islam Nusantara akan tahu obyek dan wilayah garapan
Islam Nusantara. Metodologi yang ditawarakan ini bukanlah metodologi
baru. Ia adalah penyederhanaan dari ushul fikih yang disusun para ulama
seperti Imam Syafii, Imam Ghazali, Imam Izzu al-Din ibn Abdi al Salam, al-
Syathibi, dan lain-lain.
Metodologi Islam Nusantara
Seperti dijelaskan pada paparan berikutnya, ide Islam Nusantara
datang bukan untuk mengubah doktrin Islam. Ia hanya ingin membentuk
tafsiran ajaran yang sesuai dengan ajaran universal Islam dan mencari cara
bagaimana melabuhkan Islam dalam konteks budaya masyarakat yang
beragam. Upaya akademik pertama itu dalam ilmu ushul fikih disebut takhrij
al-manath, sedangkan upaya kedua disebut tahqiq al-manath. Penjelasan
sederhananya demikian. Pertama, takhrij al-manath sebagai kerja intelektual
untuk membuat tafsir Islam yang relevan dengan konteks zaman. Salah satu
hasil akademik dari kerja takhrij al-manath ini adalah dirumuskannya
Pancasila sebagai dasar negara Republik Indonesia. Penetapan Pancasila
sebagai dasar negara dicapai berdasarkan konsensus di kalangan para pendiri
bangsa (founding fathers) setelah sebelumnya terjadi perdebatan panjang di
antara mereka. Nurcholish Madjid dengan meminjam bahasa al-Qur’an
menyebut Pancasila kalimah sawa’ (Madjid, 1995:76), atau common platform
yang merekatkan seluruh warga negara.
173
Melalui penulusuran selintas bisa dikatakan bahwa yang
menyebabkan Pancasila dengan cepat diterima seluruh elemen bangsa,
karena di dalam Pancasila itu terdapat sila bahkan sila pertama, yaitu
Ketuhanan Yang Maha Esa. Namun, ada kekhawatiran sila pertama
menimbulkan kontroversi penafsiran, maka dengan cepat Soekarno
mengantisipasi melalui pidato politiknya tanggal 1 Juni 1945. Bung Karno
berkata:
“Bukan saja bangsa Indonesia ber-Tuhan, tetapi masing-masing orang Indonesia hendaknya ber-Tuhan. Tuhannya sendiri. Yang Kristen menyembah Tuhan menurut petunjuk Isa Al-Masih; yang Islam menurut petunjuk Nabi Muhammad Saw.; orang Buddha menjalankan ibadatnya menurut kitab-kitab yang ada padanya. Tetapi, marilah kita semuanya ber-Tuhan. Hendaknya negara Indonesia ialah negara yang tiap-tiap orangnya dapat menyembah Tuhannya dengan cara yang leluasa. Segenap rakyat hendaknya ber-Tuhan secara kebudayaan, yakni dengan tiada “egoisme agama”. Dan hendaknya Negara Indonesia satu negara yang bertuhan” (Latif, 2014:2-3). Bung Karno tampaknya hendak menyerahkan soal ketuhanan kepada
setiap ummat beragama. Biarlah setiap ummat merumuskan konsep
ketuhanan sendiri-sendiri. Ketuhanan menurut Islam dirumuskan ummat
Islam. Begitu juga ketuhanan menurut Hindu, Budha, Kristen, Katolik,
Konghucu dan Aliran Kepercayaan lain hendaknya dirumuskan ummat
masing-masing.
Atas dasar itu, NU merumuskan satu deklarasi tentang Pancasila
termasuk tentang sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Dalam Muktamar NU ke
27 di Situbondo, pada 16 Rabi’ul Awwal 1404 H/21 Desember 1983 M tahun
1983, NU menyatakan:
1. Pancasila sebagai dasar dan falsafah Negara Republik Indonesia
bukanlah agama, tidak dapat menggantikan agama dan tidak dapat dipergunakan untuk menggantikan kedudukan agama.
2. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai dasar Negara Republik Indonesia menurut pasad 29 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945, yang menjiwai sila-sila yang lain, mencerminkan tauhid menurut pengertian keimanan dalam Islam.
3. Bagi Nahdlatul Ulama, Islam adalah akidah dan syariah, meliputi aspek hubungan manusia dengan Allah dan hubungan antar manusia.
4. Penerimaan dan pengamalan Pancasila merupakan perwujudan dari upaya ummat Islam Indonesia untuk menjalankan syariat agamanya.
174
Sebagai konsekuensi dari sikap di atas, Nahdlatul Ulama berkewajiban mengamankan pengertian yang benar tentang Pancasila dan pengamalannya yang murni dan konsekwen oleh semua pihak (Keputusan Musyawarah Alim Ulama Nahdlatul Ulama, Nomor II/MAUNU/1404/1983 Tentang Pemulihan Khittah Nahdlatul Ulama 1926).
Rumusan dekralasi itu bukan hanya menunjukkan sikap politik NU
untuk terus bertumpu pada Pancasila melainkan juga merupakan penjelasan
teologis NU kepada ummat Islam mengapa ummat Islam menerima Pancasila
dan mengapa juga mereka harus ikut merawat Pancasila. KH As`ad Syamsul
Arifin (Pengasuh PP Asembagus Situbondo) menyatakan bahwa
mengamalkan Pancasila meruapakan kewajiban bagi semua ummat (Feilard,
1999:239). Dalam perkembangannya, penerimaan NU terhadap Pancasila itu
diikuti ormas-ormas Islam lain seperti Muhammadiyah.
Tentang keunikan Pancasila, menarik memperhatikan penjelasan Izzat
Mufti (pejabat tinggi Arab saudi) sebagaimana dikutip As`ad Said Ali. Dalam
sebuah kunjungan ke Indonesia tahun 1980-an, setelah mendengarkan
penjelasan tentang Pancasila di Museum Satria Mandala, Izzat Mufti
menyatakan demikian:
“Arab Saudi menjadikan Alquran dan Hadis sebagai landasan bernegara karena seluruh warganya adalah muslim. Indonesia yang multiagama menjadikan Pancasila sebagai dasar negara di mana sila pertamanya adalah Ketuhanan Yang Maha Esa. Itu keputusan yang benar dan tidak bertentangan dengan Islam” (Ali, 2009:xi). Dengan ini bisa dinyatakan bahwa Pancasila merupakan hasil ijtihad
(takhrij al-manath) para pendiri bangsa Indonesia. Pancasila hanya ada di
Indonesia, tidak ada di negara-negara lain. Ia dianggap paling relevan untuk
menyatukan seluruh bangsa yang menganut agama yang berbeda-beda.
Dengan perkataan lain, Pancasila adalah semen yang merekatkan seluruh
warga negara yang berbeda latar belakang agama, budaya, bahasa, etnis, dan
suku.
Kedua, yaitu tahqiq al-manath yang dalam prakteknya bisa berbentuk
mashlahah mursalah, istihsan dan `urf. Dengan merujuk pada dalil, “apa
yang dipandang baik oleh kebanyakan manusia, maka itu juga baik menurut
Allah” (ma ra’ahu al-muslimuna hasanan fahuwa `inda Allah hasanun),
ulama Malikiyah tak ragu menjadikan istihsan sebagai dalil hukum. Dan kita
tahu, salah satu bentuh istihsan adalah meninggalkan hukum umum (hukm
kulli) dan mengambil hukum pengecualian (hukm juz’i)
Sekiranya istihsan banyak membuat hukum pengecualian, maka `urf
sering mengakomodasi kebudayaan lokal. Sebuah kaidah menyatakan, al-
175
tsabitu bil `urfi kats tsabiti bin nash (sesuatu yang ditetapkan berdasar tradisi
“sama belaka kedudukannya” dengan sesuatu yang ditetapkan berdasar al-
Qur’an-Hadits). Kaidah fikih lain menyatakan, al-`adah muhakkamah (adat
bisa dijadikan sumber hukum). Tentang `urf atau tradisi, Abdul Wahab
Khallaf membuat pernyataan demikian: “Oleh karena itu para ulama berkata: al-`adat syari`ah muhakkamah (adat adalah syariat yang dijadikan hukum). Dan adat kebiasaan (`urf) dalam syara` harus dipertimbangkan. Imam Malik membangun banyak hukum dengan bertumpu pada perilaku penduduk Madinah. Imam Abu Hanifah dan para ulama pendukungnya berbeda pendapat dalam soal hukum yang diakibatkan perbedaan adat kebiasaan mereka. Setelah berdiam diri di Mesir, Imam Syafii mengubah sebagian pendapat hukumnya yang ditetapkan ketika dia berada Baghdad. Ini karena perbedaan tradisi (dua negeri itu). Karena itu, ia mempunyai dua pandangan hukum, yang lama (qaul qadim) dan yang baru (qaul jadid). Dan dalam fikih Hanafi banyak hukum yang didasarkan pada adat kebiasaan. …. Karena itu ada ungkapan-ungkapan populer, “al-ma`rufu `urfan ka al-masyruthi syarthan” (yang baik menurut adat kebiasaan adalah sama nilainya dengan syarat yang harus dipenuhi); “al tsabit bi al-nash ka al-tsabiti bi al-nash” (apa yang ditetapkan oleh tradisi sama nilanya dengan apa yang ditetapkan berdasarkan nash -Qur`an atau Hadits (Khallaf, 1968:90).
Ini menunjukkan, betapa Islam sangat menghargai kreasi-kreasi
kebudayaan masyarakat. Sejauh tradisi itu tak menodai prinsip-prinsip
kemanusiaan, maka ia bisa tetap dipertahankan. Sebaliknya, jika tradisi itu
mengandung unsur yang mencederai martabat kemanusiaan, maka tak ada
alasan untuk melestarikan. Dengan demikian, Islam Nusantara tak
menghamba pada tradisi karena tradisi memang tak kebal kritik. Sekali lagi,
hanya tradisi yang menghormati nilai-nilai kemanusiaan yang perlu
dipertahankan. Sementara tradisi yang bertentangan dengan universalitas
Islam, maka ia harus ditentang. Menurut Nurcholish Madjid, Islam adalah
agama yang menentang satu sikap yang secara a priori memandang bahwa
tradisi lelulur selalu baik dan harus dipertahankan serta diikuti. Menurutnya,
sikap kritis terhadap tradisi inilah yang menjadi unsur penyebab terjadinya
transformasi sosial masyarakat yang mengalami perjumpaan dengan Islam
(Madjid, 1995:552).
Ini karena Islam berpendirian bahwa tak boleh ada tradisi yang layak
dipertahankan sekiranya bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan.
Penghormatan pada nilai-nilai kemanusiaan adalah soko guru hukum Islam.
Izzuddin ibn Abdis Salam dalam Qawa’id al-Ahkam fi Mashalih al-Anam
menyatakan, tercapainya kemaslahatan manusia adalah tujuan dari seluruh
176
pembebanan hukum dalam Islam -innama al-takalif kulluha raji’atun ila
mashalihil `ibad (Madjid, 1995:552). Demikian pentingnya kemaslahatan
tersebut, maka kemaslahatan yang tak diafirmasi oleh teks al-Qur’an-Hadits
pun bisa dijadikan sebagai sumber hukum. Tentu dengan catatan,
kemaslahatan itu tak dinegasi nash al-Qur’an-Hadits. Itulah mashlahah
mursalah.
Dengan demikian jelas bahwa dalam penerapan al-Qur’an dan Hadits,
Islam Nusantara secara metodologis bertumpu pada tiga dalil tersebut, yaitu
mashlahah mursalah, istihsan, dan `urf. Tiga dalil itu dipandang relevan
karena sejatinya Islam Nusantara lebih banyak bergerak pada aspek ijtihad
tathbiqi ketimbang ijtihad istinbathi. Jika ijtihad istinbathi tercurah pada
bagaimana menciptakan hukum (insya’ al-hukm), maka ijtihad tathbiqi
berfokus pada aspek penerapan hukum (tathbiq al-hukm). Sekiranya ujian
kesahihan ijtihad istinbathi dilihat salah satunya dari segi koherensi dalil-
dalilnya, maka ujian ijtihad tathbiqi dilihat dari korespondensinya dengan
aspek kemanfaatan di lapangan (Ghazali dalam Sahal, 2015:106).
Contoh terang dari ijtihad tathbiqi adalah kebijakan Khalifah Umar
ibn Khattab yang tak memotong tangan para pencuri saat krisis, tak membagi
tanah hasil rampasan perang, tak memberi zakat pada para muallaf. Ketika
Khalifah Umar dihujani kritik karena kesukaannya mengubah-ubah
kebijakan, ia menjawab, “dzaka `ala ma qadhaina, wa hadza `ala ma
naqdhi” (itu keputusanku yang dulu, dan ini keputusanku yang sekarang).
Perubahan kebijakan ini ditempuh Khalifah Umar setelah memperhatikan
perubahan situasi dan kondisi di lapangan. Sebuah kaidah fikih menyebutkan,
“taghayyur al-ahkam bi taghayyur al-azminah wa al-amkinah wa al-ahwal
wa al-`adat” (perubahan hukum mengikuti perubahan situasi, kondisi, dan
tradisi).
Mengambil inspirasi dari kasus Sayyidina Umar ibn Khtattab
tersebut, Islam Nusantara datang bukan untuk mengubah hukum waris al-
Qur’an misalnya. Namun, bagaimana hukum waris itu diimplementasikan
sekarang. Dalam kaitan implementasi itu, di Indonesia misalnya dikenal harta
gono-gini, yaitu harta rumah tangga yang diperoleh suami-istri secara
bersama-sama. Harta gono-gini biasanya dipisahkan terlebih dahulu sebelum
pembagian waris Islam dilakukan. Penyesuaian hukum ini dijalankan
masyarakat secara turun-temurun karena rupanya narasi keluarga Islam di
Indonesia berbeda dengan narasi keluarga Islam di Arab sana.
177
Begitu juga, tak ada yang membantah bahwa menutup aurat adalah
perintah syariat. Namun, di kalangan para ulama terjadi perselisihan
mengenai batas aurat. Ada ulama yang longgar, tapi ada juga ulama yang
ketat dengan menyatakan bahwa seluruh tubuh perempuan bahkan suaranya
adalah bagian dari aurat yang harus disembunyikan. Keragaman pandangan
ulama mengenai batas aurat tersebut tak ayal lagi berdampak pada keragaman
ekspresi perempuan muslimah dalam berpakaian. Beda dengan pakaian istri
para ustad sekarang, istri tokoh-tokoh Islam Indonesia zaman dulu terlihat
hanya memakai kain-sampir, baju kebaya, dan kerudung penutup kepala.
Pakaian seperti itu hingga sekarang dilestarikan salah satunya oleh istri
almarhum Gus Dur, Ibu Shinta Nuriyah Abdurrahman Wahid.
Penutup
Dengan paparan ini, maka penting dikatakan. Pertama,
kesalahanpahaman sebagian orang tentang Islam Nusantara tidak berdasar.
Jika ada yang berkata Islam Nusantara ingin mengubah wahyu, maka itu
tidak benar. Sebab, ummat Islam sekarang tak hidup di zaman wahyu. Pasca
era pewahyuan, tugas ummat Islam adalah bagaimana menafsirkan dan
mengimplementasikan wahyu tersebut dalam konteks masyarakat yang terus
berubah. Dalam kaitan itu, bukan hanya pluralitas penafsiran yang
merupakan keniscayaan. Keragaman ekpresi pengamalan Islam pun tak
terhindarkan. Itu bukan sebuah kesalahan, asal tetap dilakukan dengan
menggunakan metodologi yang bisa dipertanggungjawabkan.
Kedua, di tengah kecenderungan sebagian ummat Islam untuk
mendakwahkan Islam dengan jalan kekerasan, maka “jalan damai Islam”
yang fondasinya telah diletakkan para ulama Nusantara bisa dijadikan solusi
untuk menyelesaikan konflik dan ketegangan. Harapannya, melalui jalan
damai ini kemajuan di berbagai aspek kehidupan bisa dicapai. Bukankah
dalam suasana damai, ummat Islam bisa bekerja lebih produktif dengan
mengembangkan ilmu pengetahuan, memperbaiki pereokonomian ummat,
dan lain-lain. Sebaliknya, dalam kekerasan yang tak berkesudahan, energi
ummat Islam akan terkuras untuk pekerjaan yang tak banyak gunanya bagi
kepentingan izzul Islam wal muslimin, izzu Nusantara wa nusantariyyin, izzu
Indonesia wa indunisiyyin.
178
JARINGAN INTELEKTUAL MUDA ISLAM LIBERAL (JIL):
RUH HIDUP DALAM JASAD KAKU:
Oleh
Media Zainul Bahri
“Setiap orang adalah intelektual, tetapi tidak semua orang dalam
masyarakat memiliki fungsi intelektual.” (Antonio Gramsci)
Pendahuluan
Boleh jadi, bagi sebagian Muslim muda Indonesia saat ini, mendengar
istilah Islam liberal atau Jaringan Islam Liberal (JIL) tidak terlalu familiar
lagi dibanding mendengar nama NU, Muhammadiyyah, atau Hizbut Tahrir
Indonesia yang masih populer. JIL saat ini masih eksis, dalam pengertian
masih menggelar diskusi-diskusi aktual keIslaman, namun suaranya
terdengar sayup-sayup saja. Padahal kelompok ini pernah menjadi primadona
dalam diskursus Islam Indonesia pada awal dan pertengahan tahun 2000.
Islam liberal adalah lumbung gagasan; sebuah wadah elit-intelektual muda
yang menyebarkan ide-ide Islam progresif dan intelektual. Ia memang
dirancang bukan sebagai organisasi massa. Meski telah melewati masa
keemasan periode pertama, jejak dan spirit Islam liberal masih terasa dalam
konstelasi keindonesiaan dan keIslaman. Dalam beberapa hal gagasan-
gagasan progresif Islam liberal masih kontekstual. Jika Islam liberal
mengkampanyekan pluralisme agama, toleransi, HAM, kesetaraan gender
dan menolak teokrasi, maka saat ini “rumah Indonesia” masih sesuai dengan
harapan mereka. Bersama-sama dengan NU dan Muhammadiyah, spirit
gagasan-gagasan pokok Islam liberal sesungguhnya telah memberi kontribusi
bagi wajah Indonesia modern. Artikel ini hanya berfokus pada isu-isu utama
Jaringan Islam liberal pada masa keemasan mereka pada periode pertama
(2001-2009) seperti gagasan mengenai ‘Islam yang hidup’, pluralisme
agama, menolak negara Teokrasi, dan penafsiran ulang mengenai kesucian
Kitab al-Quran. Artikel ini akan ditutup oleh penjelasan singkat mengenai
faktor-faktor meredupnya gerakan Islam liberal di Indonesia sejak 2010
hingga kini.
179
Kemunculan Jaringan Islam Liberal
Secara khusus, Jaringan Islam Liberal (JIL) mulai aktif pada Maret
2001 dengan menggelar kelompok diskusi maya (milis) yang tergabung
dalam Islamliberal@yahoogroups.com. Kemudian gagasan-gagasan JIL juga
disebarkan lewat website www.Islamlib.com (Assyaukani, 2007:xvii dan 87).
Sejak Juni 2001, JIL mengisi satu halaman Jawa Pos Minggu,1 berikut
puluhan Koran jaringannya, dengan artikel dan wawancara seputar perspektif
Islam Liberal. Tiap kamis malam, JIL menyiarkan talkshow dan diskusi
interaktif dengan para kontributor dan tokoh Islam yang sepaham dengan
mereka, melalui kantor Berita Radio 68H Utan Kayu, dan disiarkan juga oleh
beberapa radio jaringannya (Husaini, 2002:4-5). Pada mulanya, kegiatan JIL
tidak bisa dipisahkan dengan dua figur: Luthfi Assyaukani2 (Universitas
Paramadina Mulya) dan Ulil Abshar Abdalla,3 yang saat itu bekerja di ISAI
(Institut Studi Arus Indonesia) dan Lakpesdam NU. Saat itu, Luthfi yang
memulai membuka website JIL dan membuat milisnya untuk diskusi terbuka,
dan Ulil—yang dianggap memiliki kemampuan intelektual dan retorika yang
bagus—dijadikan jurubicara ide-ide JIL.4 Terkait dengan ide-ide JIL yang
dimuat satu halaman penuh di Koran Jawa Pos, maka Goenawan Muhamad
adalah figur yang sangat berperan karena ia adalah salah satu pemilik saham
Jawa Pos.
Selain Luthfi dan Ulil, terdapat tiga tokoh perdana yang sangat aktif
di JIL, yaitu Akhmad Sahal, Hamid Basyaib dan Saiful Muzani. Secara
umum, mereka berlima yang menggerakkan diskusi, kajian dan kegiatan di
JIL. Mereka juga aktif menulis opini di Koran-koran nasional seperti
1 Sebagai contoh sebagian besar artikel-artikel Luthfi di Jawa Pos kemudian
diterbitkan menjadi buku, Islam Benar versus Islam Salah (2007). 2 Luthfi Assyaukani lahir di Jakarta 27 Agustus 1967. Menyelesaikan sekolah
Menengah dan Atas di sebuah pesantren di Bekasi, Jawa Barat. Menyelesaikan S-1 bidang
Hukum Islam dan Filsafat di University of Yordan, Amman-Yordania, meraih gelar master
dari International Institute of Islamic Thought and Civilization (ISTAC) Malaysia, dan
mendapat Ph.D dalam bidang Pemikiran Politik Islam dari University of Melbourne,
Australia (2006). 3 Ulil Abshar Abdalla lahir di Pati, Jawa Tengah. Menyelesaikan Pendidikan
Menengah dan Atas di pesantren Maslakul Huda, Kajen-Pati pimpinan KH Sahal Mahfudz.
Menyelesaikan S-1 pada Fakultas Syariah Lembaga Pendidikan Islam dan Arab (LIPIA)
Jakarta dan pernah kuliah di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara. Mendapat gelar master di
Boston University, Amerika Serikat. 4 Ulil Abshar adalah Direktur Eksekutif JIL yang pertama. Ketika kemudian Ulil
mengambil S-2 di Amerika dan Luthfi kuliah S-3 di Australia, Hamid Basyaib menjadi
Direktur yang kedua. Setelah Luthfi selesai S-3, ia menjadi Direktur yang ke-3, lalu Moqsith
yang ke-4.
180
Kompas, Media Indonesia, dan Koran Tempo, dengan perspektif Islam
Liberal. Di masa awal kegiatan-kegiatan di JIL, terdapat beberapa tokoh yang
aktif menjadi narasumber seperti Komaruddin Hidayat, Azyumardi Azra,
Bakhtiar Effendi, Kautsar Azhari Noer, Zainun Kamal, dan Nasaruddin Umar
dari UIN Jakarta, Said Aqiel Siraj5 dan Masdar Mas’udi dari NU, Jalaluddin
Rakhmat (tokoh Syiah Indonesia) dari Yayasan Muthahhari Bandung, dan
lain-lain.
Jika melihat proses ‘pematangan’ Islam intelektual para penggagas
JIL, maka sesungguhnya Ulil, Luthfi dan Sahal adalah santri-santri Muslim
yang berlatar belakang pesantren tradisional dengan penguasaan kitab-kitab
klasik Islam yang memadai. Pengetahuan Islam tradisional mereka kemudian
dipertajam dan diperluas dengan wawasan Filsafat Islam, Filsafat Barat,
Sosiologi modern dan Ilmu Politik yang mereka pelajari di perguruan tinggi.
Karena itu, JIL memiliki fondasi tradisional Islam yang kuat, tetapi mereka
“melampauinya” dengan pisau analisis ilmu-ilmu sosial dan humaniora
modern. Dalam pengertian ini, JIL bukanlah komunitas Muslim yang sedang
“bermain-main” dengan Islam atau hanya ingin tampil beda semata,
melainkan memang memiliki “citarasa” Islam intelektual.
Sebelum Islam liberal menjadi gerakan atau komunitas eksklusif,
Muslim Indonesia telah mengenal dua buku berbahasa Indonesia yang terbit
dengan memakai nama Islam liberal, yaitu Wacana Islam Liberal: Pemikiran
Islam Kontemporer tentang Isu-Isu Global (2001) karya Charles Kurzman,
dan Gagasan Islam Liberal di Indonesia: Pemikiran Neo-Modernisme
Nurcholish Madjid, Djohan Effendi, Ahmad Wahib dan Abdurrahman Wahid
1968-1980 (1999) karya Greg Barton. Dua buku itu diterbitkan oleh
Paramadina, salah satunya bekerjasama dengan Penerbit Pustaka Antara,
adalah sebuah Yayasan yang didirikan oleh Nurcholish Madjid. Jika buku
Kurzman memang judul aslinya adalah Liberal Islam: A Sourcebook (terbit
pada 1998), namun judul asli karya Barton (yang berasal dari Disertasinya di
Monash University, Australia), adalah A Textual Study Examining the
Writings of Nurcholish Madjid, Djohan Effendi, Ahmad Wahib and
Abdurrahman Wahid 1968-1980. Untuk lebih provokatif buku ini diberi judul
Gagasan Islam Liberal di Indonesia dengan studi empat tokoh yang disebut
Barton dalam disertasinya itu. Karena popularitas Penerbit Paramadina dan
wibawa intelektual Nurcholish Madjid, buku-buku terbitan Paramadina selalu
laris di pasaran, dan karena itu pula sejak tahun 2000, istilah Islam liberal
5 Said Aqil Siraj pernah aktif menjadi narasumber bulanan JIL sampai menjadi
ketua umum PBNU untuk kajian sufisme Ibn ‘Arabi. Wawancara dengan Abd. Moqsith
Ghazali, Jakarta, 5 Maret 2015.
181
menjadi cukup hangat diperbincangkan oleh kaum Muslim muda Indonesia.
Pada saat inilah, kemunculan JIL dengan Ulil Abshar sebagai tokoh
utamanya berada pada momentum yang tepat.
Secara umum, kemunculan JIL dapat dibaca dengan banyak faktor.
Azhar Ibrahim (2014) misalnya, seorang peneliti tamu di National University
of Singapore, menjelaskan tujuh faktor kemunculan JIL (Ibrahim, 2014:234-
237). Bagi saya, terdapat empat faktor yang paling signifikan yang
memunculkan gerakan JIL secara agresif. Pertama, Konteks global. Saya
setuju dengan Zuly Qodir bahwa kemunculan Islam liberal Indonesia tak bisa
dilepaskan dari perkembangan global ketika banyak negara di planet bumi ini
mengalami perubahan besar dan mendasar, terutama tuntutan demokratisasi
dalam kehidupan sosial, politik dan keagamaan. Agama, dalam alam
demokrasi, harus diredefinisikan untuk sesuai dengan tuntutan kehidupan
yang demokratis seperti soal hubungan agama dan negara, kesetaraan jender,
pluralisme, hak asasi manusia, hubungan dengan non-Muslim dan lain-lain.
Hanya agama dalam definisi, spirit dan bentuknya yang progresif, setelah
direkonstruksi, yang dapat menyesuaikan diri dengan alam demokrasi. Dalam
pengertian inilah, para pemikir Muslim Indonesia, termasuk tokoh-tokoh JIL,
“mengidolakan” para sarjana Barat dan Timur ahli Islam yang dianggap
progresif dan liberal seperti Abdullah Ahmad an-Naim, Farid Esack, Hasan
Hanafi, Arkoun, Abid al-Jabiri, Hamid Abu Zayd, Abdul Karim Soroush,
Muhammad Syahrur, dan lain-lain (Qodir, 2010:89-90). Pemikiran keIslaman
mereka dianggap cocok dengan perubahan dunia yang sedang terjadi saat itu.
Kedua, era reformasi—dengan tumbangnya rezim Orde Baru (1998)
membuka kran kebebasan berekspresi dan berpendapat. Dalam kehidupan
keagamaan, banyak muncul paham Islam garis keras yang diimpor dari
Timur Tengah, suatu model Islam yang sebenarnya tidak cocok dengan
Indonesia. Pada momen ini fundamentalisme Islam menguat. Muslim
skripturalis terus menyuarakan pentingnya formalisme Islam (syariah) bagi
masyarakat Indonesia. Kemunculan JIL tidak semata karena euphoria
reformasi, melainkan juga usaha untuk melawan fundamentalisme dan
formalisme Islam itu. Karena itu, relevan ungkapan Luthfi bahwa salah satu
misi Islam liberal adalah “mengembalikan semangat kebangkitan pemikiran
Islam yang sejak satu abad silam telah dibajak oleh konservatisme dan
fundamentalisme agama.” Benar, di dunia Islam telah satu abad, tapi di
Indonesia baru beberapa tahun fundamentalisme Islam menguat. Bagi JIL,
fundamentalisme Islam ala Timur Tengah itu berlawanan dengan sejarah
berabad-abad Islam kultural Indonesia yang moderat dan toleran.
Secara politik, rezim otoriter Orde Baru yang berkuasa 32 tahun telah
mengontrol kegiatan sosial-politik ummat Islam di “pusat” supaya tetap
182
terjaga “kemurniannya.” Karena itu, menurut Daniel S. Lev, perubahan
secara signifikan lebih mudah dilakukan di “pinggiran” daripada di “pusat.”
Masa reformasi adalah masa ketika sejarah terbuka untuk perubahan besar
karena negara sedang lemah, suasana sosial, politik dan intelektual sangat
labil, dan masyarakat mengharapkan perubahan (Lev dalam Assyaukani, ed.,
2002: p. xiii). JIL muncul di saat yang tepat. Tetapi di sisi lain, secara politik
juga isu-isu yang diangkat JIL seperti mengapresiasi pluralisme dan toleransi
serta menolak teokrasi sesungguhnya sangat menguntungkan pemerintah.
Karena itu, JIL tidak pernah dilarang secara resmi dan tidak dimusuhi
pemerintah.
Kedua, saya setuju dengan Ibrahim bahwa sejak tahun 1990-an
diskursus Islam intelektual telah menyebar luas di banyak IAIN di Indonesia
(sekarang UIN). Hal ini terjadi karena banyak dosen IAIN yang telah pulang
dari sekolah di Barat (Ibrahim, 2014:235-236). Selain membawa gelar Master
dan Doktor, mereka juga membawa isu-isu baru seperti Islam dan pluralisme,
Islam dan demokrasi, Islam dan hak asasi manusia, Islam dan konsep nation-
state, Islam dan dialog antar-agama dan lain-lain. Penting dicatat bahwa
dengan sumber daya manusia unggul, IAIN dan UIN di kota-kota besar di
Indonesia memainkan peran yang sangat signifikan dalam mengembangkan
kajian teoritis Studi keIslaman (Islamic studies) di satu sisi, dan menyebarkan
gagasan Islam moderat, bahkan Islam liberal di sisi lain. Tokoh-tokoh UIN,
terutama di Jakarta dan Yogyakarta, setelah Harun Nasution dan Mukti Ali,
seperti Azyumardi Azra dan Abdul Munir Mulkhan dengan isu Islam kultural
Indonesia, Komaruddin Hidayat dan Amin Abdullah dengan diskursus
Hermeneutik, Din Syamsuddin dan Bahtiar Effendi dengan politik Islam
Indonesia, dan Nasaruddin Umar dengan isu Islam dan kesetaraan gender
(Ibrahim, 2014:236), adalah para penopang yang kuat bagi eksistensi dan
masa keemasan JIL pada periode 2000-an. Mereka ‘dimanfaatkan’ JIL untuk
menjadi para kontributor utama dalam acara-acara yang digelar JIL. Tentu
saja, JIL mendapat dukungan dari tokoh senior seperti Abdurrahman Wahid
dengan NU, Nurcholish Madjid dengan Paramadina, dan dua tokoh senior
lain, Djohan Effendi dan Dawam Rahardjo. JIL dan para tokoh itu kemudian
menjadi semacam “elit Islam Indonesia” yang menjadi rujukan kaum muda
Muslim Indonesia yang progresif.
Ketiga, Islam kultural yang toleran yang selama ini dikampanyekan
oleh NU, Muhammadiyah dan Paramadina (Ibrahim, 2014:236), bagi JIL
adalah bagian dari kehidupan keseharian dan keIslaman mereka. Para tokoh
dan simpatisan JIL hampir seluruhnya adalah anak-anak muda yang
dibesarkan di lingkungan NU dan Muhammadiyah. Mereka tidak semata
merasa berkewajiban menjaga Islam kultural tetapi juga ingin
183
mengembangkannya menjadi Islam intelektual dengan spektrum yang lebih
luas dan mendalam. Dalam konteks ini, harus dipahami bahwa tiga figur
senior, yaitu Harun Nasution dengan Islam Rasional, Nurcholish Madjid
dengan Islam Peradaban dan Kemodernan, dan Abdurrahman Wahid dengan
Pribumisasi Islam, dijadikan ikon-ikon yang banyak diapresiasi oleh tokoh-
tokoh JIL.
Pengertian Islam Liberal
Apa itu Islam liberal? Charles Kurzman—yang pada mulanya sering
dirujuk oleh para tokoh JIL—mendefinisikan Islam liberal sebagai kelompok
yang secara kontras berbeda dengan Islam adat (customary Islam) dan Islam
revivalis (revivalist Islam). Islam adat adalah Islam yang diekspresikan dalam
bentuk budaya-budaya lokal tempat Islam itu tumbuh, seperti Islam yang
merayakan ziarah kubur kepada orang-orang suci, membunyikan bedug,
tradisi musikal, menghormati roh orang mati, dan lain-lain. Sedangkan Islam
revivalis adalah kelompok Islam yang biasa disebut sebagai “Islam
Fundamentalis” atau “Wahhabisme.” Islam Revivalis suka menyerang Islam
adat karena dianggap Islam mereka tidak murni lagi. Sementara tradisi Islam
liberal adalah tradisi Islam yang menghadirkan masa lalu dalam konteks
modernitas, dan menyatakan bahwa Islam jika dipahami secara benar maka ia
akan sejalan dengan liberalisme Barat (Kurzman dalam Charles Kurzman,
ed., 1998:5-6).
Kurzman lalu menyebut tiga bentuk utama Islam liberal. Pertama,
syariah liberal (liberal shari’a). Model ini menyatakan bahwa syariah bersifat
liberal pada dirinya sendiri jika dipahami secara tepat. Kurzman menyebut
beberapa nama sarjana Muslim liberal untuk bentuk yang pertama ini seperti
Ali Bullac, Muslim liberal Turki; Syafique Ali Khan dari Pakistan, dan
Abdelkebir Alaoui M’Daghri dari Maroko yang berpendapat bahwa syariah
membangun kebebasan berpikir (Kurzman dalam Charles Kurzman, ed.,
1998:14). Kedua, Syariah yang diam (silent shari’a). Model ini menyatakan
bahwa syariah tidak memberi jawaban yang pasti tentang topik-topik tertentu.
Kaum Muslim bebas mengadopsi sikap liberal dalam hal-hal yang oleh
syariah dibiarkan terbuka untuk dipahami oleh akal budi dan kecerdasan
manusia (Kurzman dalam Charles Kurzman, ed.,1998:14-15). Ketiga, syariah
yang ditafsirkan (interpreted shari’a). Terdapat kesan bahwa syariah yang
bersifat ilahiah ditujukan bagi berbagai penafsiran manusia yang beragam.
Tidak ada tafsir tunggal terhadap syariah kecuali untuk beberapa doktrin
ibadah yang sudah pasti (qath’iy) (Kurzman dalam Charles Kurzman, ed.,
1998: 5-6) (Kurzman dalam Charles Kurzman, ed.,1998:16). Dalam batas-
batas tertentu JIL mengambil inspirasi dari definisi dan tiga model Kurzman
184
itu. Selebihnya, JIL melangkah lebih jauh dengan mengambil referensi yang
luas untuk mengolah isu-isu keagamaan yang lebih kompleks.
Ulil sendiri dalam banyak kesempatan menjelaskan makna “liberal”
dan pengertian “Islam liberal” yang seringkali disalahpahami oleh banyak
Muslim Indonesia. Menurut Ulil, banyak Muslim yang memahami bahwa
istilah “liberal” dalam Islam liberal mempunyai makna kebebasan tanpa
batas, sebuah sikap permisif, ibahiyah (serba boleh), sikap menolelir setiap
hal tanpa mengenal batas yang pasti. Dengan cara pandang seperti ini, Islam
liberal dianggap sebagai ancaman terhadap keberagamaan yang sudah
terlembaga (Abdalla dalam Abd Moqsit Ghazali, ed.,2015:xviii), bahkan
dianggap sebagai “musuh” Islam itu sendiri. Padahal kata Ulil, tidak begitu
pengertian Islam liberal. Ulil menulis:
Bahwa dengan membubuh kata liberal pada Islam, sesungguhnya
saya hendak menegaskan kembali dimensi kebebasan dalam Islam yang
jangkarnya adalah niat atau dorongan-dorongan emotif-subyektif
dalam manusia itu sendiri. Dan sebaiknya kata liberal dalam ‘Islam
liberal’ dipahami dalam kerangka semacam ini. Kata ‘liberal’ di sini tidak
tersangkut paut dengan kebebasan tanpa batas, dengan sikap-sikap permisif
yang melawan kecenderungan ‘intrinsik’ dalam diri manusia itu sendiri.
Dengan menekankan kembali dimensi kebebasan manusia, dan menempat-
kan manusia pada fokus penghayatan keagamaan, maka kita telah
memulihkan kembali integritas wahyu dan Islam itu sendiri (Abdalla dalam
Abd Moqsit Ghazali, ed.,2015:xix).
Menurut Ulil, kebebasan memiliki nilai yang tinggi dalam Islam
karena ia berhubungan langsung dengan penggunaan nalar dan keagungan
martabat manusia. Agama tidak diturunkan bagi keledai yang dungu, tapi
bagi manusia yang memiliki kemampuan untuk memaksimalkan akal dan
nalarnya. Nabi menyebut bahwa al-din huwal ‘aql. La dina liman la aqla
lahu: agama adalah akal, tidak ada agama bagi mereka yang tidak
mempunyai akal. Dalam konteks penggunaan akal dan jaminan kebebasan
itu, maka seorang Muslim boleh tidak menjalankan syariat jika ia tidur
(pingsan), menjadi gila dan seorang anak kecil. Artinya hanya orang dewasa
dan berakal yang diberi beban untuk melaksanakan syariah (atau memilih
untuk menjalankan atau tidak). Menurut Ulil, yang terlihat menonjol di dunia
Muslim adalah ‘bahasa kewajiban’, yaitu tekanan-tekanan kewajiban
menjalankan syariah kepada Tuhan. Bahasa ‘hak dan kebebasan manusia’
jarang muncul. Dalam pengertian inilah, Islam liberal muncul untuk
menyeimbangkan “neraca” antara bahasa kewajiban dan kebebasan/hak
(Abdalla dalam Abd Moqsit Ghazali, ed.,2015:xviii).
185
Secara lebih spesifik, Luthfi menyebut istilah “Islam liberal” berarti
“pembebasan” kaum Muslim dari dua hal. Pertama, dari cengkraman
kolonialisme yang menguasai hampir seluruh dunia Islam di masa lalu.
Kedua, pembebasan kaum Muslim dari pola pikir dan sikap keagamaan yang
jumud yang menghambat kemajuan. Pembebasan yang kedua ini adalah yang
masih relevan dan kontekstual untuk terus dikembangkan. Pola pikir yang
jumud biasanya akan melahirkan sikap keagamaan yang konservatif dan
fundamentalis, dalam pengertiannya yang negatif. Karena itu menurut Luthfi,
‘musuh utama’ Islam liberal adalah konservatisme dan fundamentalisme
yang menghinggap sebagian besar kaum Muslim. Termasuk dalam
fundamentalisme adalah ide teokrasi yang ingin dipertahankan kaum Muslim
fundamentalis (Assyaukani, 2007:61-65).
Dalam menyebar gagasan-gagasannya, JIL memiliki beberapa agenda
pokok. Dalam milis resmi JIL, islib.com disebutkan beberapa agenda JIL,
yakni (a) Membuka pintu ijtihad pada semua dimensi Islam, (b)
Mengutamakan semangat religio etik, bukan makna literal teks, (c)
Mempercayai kebenaran yang relatif, terbuka dan plural, (d), Memihak pada
yang minoritas dan tertindas, (e) Meyakini kebebasan beragama, dan (f)
Memisahkan otoritas duniawi dan ukhrawi, otoritas keagamaan dan politik.
Luthfi, menyebut empat agenda utama yang harus menjadi perhatian para
pembaharu Muslim, termasuk JIL, yaitu (1) agenda politik. Ide negara
teokrasi harus dilawan. (2) hubungan Muslim dan non-Muslim. Untuk
memperkuat hubungan itu, ide tentang teologi pluralisme harus
dikembangkan. (3) memberdayakan peran perempuan. Untuk agenda ini,
kaum Muslim harus memikirkan kembali ajaran-ajaran Islam yang cenderung
merugikan dan mendiskreditkan kaum perempuan. (4) Kebebasan
berpendapat harus mendapat prioritas dalam kehidupan kaum Muslim
modern. Islam sangat menghormati HAM, dan karena itu juga, sangat
menghormati kebebasan berpendapat (Assyaukani, 2007:72-75).
Untuk menyuburkan kebebasan berpikir dalam Islam, maka Islam
liberal mendorong kreativitas ber-ijtihad. Moqsith Ghazali, tokoh JIL yang
lain, menegaskan bahwa Islam harus dikembalikan ke posisi awalnya sebagai
agama yang membebaskan dan mencerahkan. Islam harus liberatif untuk
mengatasi keterbelakangan kaum Muslim. Islam harus dibersihkan dari
beban-beban sejarah masa lalunya yang kelam. Islam, yang saat ini telah
banyak dimanupulasi oleh elit-elit ulama sehingga tampak kacau balau harus
dipulihkan kembali dengan cara menyemarakkan aktivitas ijtihad. Hanya
ijtihad cara yang paling efektif untuk menghidupkan kembali rasionalitas
Islam. Di sinilah relevansi dan signifikansi peran-peran intelektual JIL
Ghazali dalam Ijtihad Islam Liberal.
186
Tiga Pionir Islam Liberal
Seperti telah disinggung, terdapat tiga figur senior, yaitu Harun
Nasution dengan Islam Rasional, Nurcholish Madjid dengan Islam Peradaban
dan Kemodernan, dan Abdurrahman Wahid dengan Pribumisasi Islam, yang
dijadikan ikon awal oleh tokoh-tokoh JIL. Karena itu, penting mengingat
kembali ide-ide pokok ketiga tokoh yang kelak pemikiran “Islam liberal”
yang sering disematkan kepada mereka kemudian menjadi institusi jaringan
Islam liberal.
Harun Nasution pada era 1970-1980-an dikenal sebagai tokoh Islam
Rasional. Ia yang merombak model perkuliahan di IAIN Jakarta yang kental
dengan corak fikih dan teologi Asy’ari yang fatalistik ke arah model Islam
rasional Mu’tazilah. Menurut Harun, kehidupan Muslim Indonesia tidak
berkembang karena kuatnya orientasi fikih dan teologi tradisional Asy’ari
yang jumud dan fatalistik. Padahal zaman keemasan Islam pada 650 hingga
1250 M adalah karena kaum Muslim mengembangkan Islam rasional.
Sedangkan pemikiran tradisional berkembang pada masa 1250 hingga 1800
M. Islam rasional dapat berkembang karena tingginya kedudukan akal dalam
memahami al-Quran dan hadis serta perjumpaan Islam dengan filsafat
Yunani, Mesir dan Persia. Pada masa itu, pemikiran para filosof Muslim dan
penemuan-penemuan ulama-saintis tidak ada yang bertentangan dengan al-
Quran dan hadis. Filsafat, teologi dan sains berkembang bersamaan pada
masa keemasan Islam itu. Itulah masa Islam Rasional. Sebaliknya, pada
model pemikiran Islam tradisional, peran akal tidak begitu menentukan
dalam memahami ajaran al-Quran dan hadis. Pemikiran tradisional sulit
sekali menyesuaikan diri dengan perkembangan modern sebagai hasil dari
filsafat, sains, dan teknologi (Nasution, 1995:7-9).
Budhy Munawar Rachman, seorang kontributor JIL, ketika menulis
tentang Islam Rasional ala Harun Nasution menegaskan bahwa landasan
epistemologis dari Islam Rasional ini adalah keyakinan bahwa pada dasarnya
Islam itu bersifat rasional. Rasionalitas menjadi entitas paling akhir dan
paling menentukan untuk kebenaran sebuah proposisi Islam. Yang membuat
rasionalisme Islam menjadi “betul-betul rasional” adalah karena dalam
rasionalisme ini termuat sifat kritis, dengan penghargaan yang tinggi terhadap
peran akal. Kritisisme ini terlihat dalam tekanan yang kuat ketika membuat
distingsi-distingsi, kategori-kategori, analisa, dan sebagainya. Sifat analitik
inilah menurut Rachman, yang menjadikan “Islam Rasional” begitu kuat
sebagai sebuah teologi rasional (Rahman dalam Jurnal Ulumul Qur’an No. 3,
vol. VI, 1995:27). Secara umum, dalam teologi Islam rasional, Nasution
mendiskusikan soal fungsi wahyu bagi manusia, kebebasan manusia,
187
hubungan antara keadilan dan kekuasaan Tuhan, serta perbuatan Tuhan
terhadap manusia.
Nurcholish Madjid, lokomotif pembaharuan Islam Indonesia, dikenal
luas karena gagasannya tentang sekularisasi, neo-modernisme Islam dan
belakangan soal pluralisme agama. Menurut Madjid, istilah sekular dan
sekularisasi berhubungan erat, tetapi tidak identik dengan sekularisme.
Sekular yang berarti dunia atau duniawi adalah istilah yang netral, tidak
positif tidak pula negatif. Sekular yang berarti duniawi berarti bahwa
manusia adalah makhluk duniawi, untuk menunjukkan bahwa ia hidup di
alam dunia sekarang ini, dan belum mati atau berpindah ke alam baka. Jika
kata ‘duniawi’ diganti dengan kata ‘sekular’, maka istilah bahwa ‘manusia
adalah makhluk sekular’ tidak saja benar melainkan juga sesuai dengan
kenyataan (Madjid, 1997:217). Dalam konteks ajaran Islam tentang dunia,
maka bagi Islam menurut Madjid, dunia bukanlah tempat yang rendah, hina
dan harus dimusuhi oleh kaum Muslim. Ummat Islam tidak boleh curiga atau
memandang pesimis terhadap dunia, apalagi lari dari problem-problem
duniawi. Hal itu sangat dilarang oleh Islam (Madjid, 1997:217).
Dari pemahaman sekular diatas, Madjid melangkah kepada soal
sekularisasi. Bagi Madjid, sekularisasi adalah proses ‘penduniawian,’ sebuah
proses membawa sesuatu ‘turun ke bumi,’ yang selama ini proses tersebut
telah lama disingkirkan dan digantikan oleh kebohongan-kebohongan atas
nama kesucian agama. Efek dari pemahaman sekularisasi bagi Madjid adalah
bahwa persoalan-persoalan duniawi harus diberi perhatian oleh ilmu
pengetahuan dan metodologinya. Hanya dengan cara ini dunia dan proses
penduniawian (sekularisasi) dapat dipahami secara tepat (Madjid, 1997:218).
Bagi Madjid, yang sakral atau yang harus disakralkan hanya Tuhan saja.
Selain Tuhan bersifat profan dan sekular. Dengan gagasan mengenai
sekularisasi pada era 1970 hingga 80-an, Madjid mengritik keras sikap
ummat Islam yang ‘mensakralkan’ atribut-atribut keagamaan, lembaga
agama dan partai agama, yang sebenarnya semua hal itu bersifat sekular dan
profan saja. Tetapi berkali-kali Madjid mengingatkan bahwa “sekularisasi
tidak sama dengan sekularisme.” Sekularisme adalah suatu paham tentang
keduniawian; bahwa yang duniawi adalah segala-galanya. Bagi Madjid,
sekularisme tidak hanya diharamkan oleh Islam tapi juga ditentang oleh
agama-agama dunia(Madjid, 1997:218). Sekali lagi bagi Madjid, sekularisasi
tidak otomatis mengarah kepada sekularisme apalagi identik dengan
sekularisme.
Dari diskursus mengenai sekularisasi, Madjid lalu mendiskusikan soal
modernisasi. Baginya, pengertian yang mudah mengenai modernisasi adalah
188
pengertian yang hampir identik dengan rasionalisasi. Modernisasi berarti
merombak pola pikir dan tata kerja yang tidak rasional dan digantikan
dengan pola pikir dan kerja yang rasional. Menurut Madjid, sesuatu disebut
‘modern’ jika ia bersifat rasional, ilmiah, dan sesuai dengan hukum-hukum
alam (Madjid, 1997:174-175)). Karena modernisasi berarti penerapan ilmu
pengetahuan, maka modernisasi bagi Madjid adalah “suatu keharusan, malah
kewajiban yang mutlak. Modernisasi merupakan perintah dan ajaran Tuhan
YME.” Karena itu, keIslaman dan komodernan adalah sesuatu yang identik.
Modernitas (sikap modern) dalam pengertian yang lebih mendalam lagi, bagi
Madjid, adalah pendekatan kepada Kebenaran Mutlak, kepada Allah. Jadi,
modernitas berada dalam suatu proses, yaitu proses penemuan kebenaran-
kebenaran yang relative menuju ke Kebenaran Yang Mutlak, yaitu Allah.
Dan yang modern secara mutlak adalah yang benar secara mutlak, yaitu
Tuhan saja (Madjid, 1997:174-175).
Pada era 1990-an Madjid membuat banyak tulisan mengenai Islam
dan pluralisme agama. Pada masa inilah istilah ‘pluralisme agama’ menjadi
sangat populer di Indonesia. Menurut Madjid, kemajemukan agama adalah
takdir Tuhan yang tidak bisa dilawan, dan pluralitas komunitas keagamaan
adalah fakta yang tak mungkin dihindari. Al-Quran sendiri berkali-kali
menegaskan bahwa keseragaman dan kesatuan sejarah manusia tidak
diinginkan oleh Tuhan. Tuhan memang menghendaki bahwa tiap-tiap
komunitas keagamaan yang beragam telah memiliki orientasi kehidupan dan
keagamaan masing-masing (Madjid dalam Jurnal Ulumul Qur’an No. 3, vol.
VI, 1995:62). Meskipun berbeda-beda dalam doktrin dan dogma keagamaan,
namun para pemeluk agama yang beragam itu memiliki titik-temu dan
kesatuan substansial di antara ajaran keagamaan mereka. Kata Madjid, ibarat
roda, pusat roda itu adalah Tuhan, dan jari-jari adalah jalan dari berbagai
agama. Artinya meskipun jalan-jalan keagamaan itu banyak dan beragam tapi
mereka menuju Pusat Tujuan yang sama, yaitu Tuhan, karena mereka
memang berasal dari Sumber yang sama, yaitu Tuhan Yang Esa itu. Menurut
Madjid, Islam itu bersifat inklusif, dan jika dipahami secara mendalam,
pemahaman akan Islam akan terus meluncur menjadi pluralis (Madjid dalam
Grose dan Hubbard 1998: xix). Bagi Madjid, doktrin pluralisme agama yang
dipahami dari ajaran Islam sesungguhnya sangat relevan dengan bangsa
Indonesia yang memiliki banyak agama dan kepercayaan. Juga sesuai dengan
ideologi Pancasila dan falsafah hidup berbangsa, yaitu Bhineka Tunggal Ika,
meskipun berbeda-beda tetapi tetap satu jua (Madjid, 1997:64-65).
Abdurrahman Wahid, presiden keempat RI dan Ketua Umum PBNU
dua periode, adalah pembela gigih humanisme dan pluralisme, dan karena itu
ia dijuluki “Bapak pluralisme Indonesia modern. ”Selain banyak
189
mendiskusikan soal pluralisme dan inklusivisme Islam, ia juga sangat
terkenal dengan gagasannya tentang ‘Pribumisasi Islam.’ Pribumisasi Islam
adalah lokal Islam atau bagaimana inti ajaran Islam diekspresikan dalam
bentuk budaya lokal. Tesis Pribumisasi bagi Wahid bermula dari sebuah
kenyataan bahwa Islam mengalami perubahan-perubahan besar dalam
sejarahnya. Dalam bidang teologi, fikih, politik dan unsur-unsur Islam
lainnya, Islam selalu mengalami pergumulan dan dialektika dengan budaya-
budaya diseluruh dunia tempat Islam datang dan disambut. Ruh Islam tetap
pada esensinya, namun bentuk-bentuk luarnya tidak harus selalu di
“Arabkan,” karena tidak adanya keharusan (kewajiban) hukum agama untuk
diseragamkan. Dalam konteks Islam Indonesia, Wahid bertanya: mengapa
harus menggunakan kata ‘shalat,’ kalau kata ‘sembahyang’ juga tidak kalah
benarnya? Mengapa harus ‘dimushalakan,’ padahal dahulu toh cukup langgar
atau surau? Belum lagi ulang tahun, yang baru terasa ‘sreg’ kalau dijadikan
‘milad.’ Dahulu tuan guru atau kiai sekarang harus ustadz dan syekh, baru
terasa berwibawa. Bukankah ini pertanda Islam tercabut dari lokalitas yang
semula mendukung kehadirannya di Nusantara ini? (Wahid dalam Ismail, ed.,
2000:64 dan Wahid dalam majalah Tempo: 16 Juli 1983).
Menurut Wahid, yang ‘dipribumikan’ adalah manifestasi atau
ekspresi kehidupan Islam, bukan ajaran yang menyangkut inti keimanan dan
peribadatan formalnya. Tidak diperlukan adanya ‘al-Qur’an Batak’ atau
‘Hadis Jawa.’ Islam tetap Islam, di mana saja berada. Namun tidak berarti
semua harus disamakan ‘bentuk-luar’nya. Karena itu, sebagai bentuk
kecintaan kepada budaya-budaya yang telah lama berakar di Nusantara,
Wahid lagi-lagi bertanya secara retoris: salahkah jika Islam ‘dipribumikan’
sebagai manifestasi kehidupan? (Wahid dalam Ismail, ed.,2000:64 dan
Wahid dalam majalah Tempo: 16 Juli 1983). Tentu saja bagi Wahid, jawaban
atas pertanyaaan itu adalah bukan semata tidak salah melainkan juga perlu
demi menunjukkan Islam yang rahmatan lil ‘alamin, dimana rahmat-Nya
bisa “menyentuh” atau “mengakomodasi” kebudayaan ummat manusia yang
sejalan dengan esensi ajaran Islam, bahkan rahmat itu bisa mewujud dalam
wajah kebudayaan yang humanis.
Semasa hidupnya, Wahid aktif sebagai kontributor dalam acara-acara
JIL, terutama on air di Radio 68H setiap Sabtu pagi selama 4 tahun (2005-
2009), dengan acara khusus “Kongkow Bersama Gus Dur”.6 Dalam salah
6 Host acara ini adalah Muhammad Guntur Romli. Romli adalah alumni Pesantren
Al-Amin, Madura (1997) dan menyelesaikan Bachelor/LC di Universitas al-Azhar, Mesir
(2004). Ia bergabung dengan JIL pada 2005. Salah satu karyanya yang terkait dengan
aktivitasnya di JIL adalah Islam Tanpa Diskriminasi (2013). Tidak lama sebelum Romli
bergabung dengan JIL, terdapat anak-anak muda progresif yang telah bergabung dengan JIL
190
satu acara on air bersama JIL (2006), Wahid pernah membuat pernyataan
yang menghebohkan. Ketika menjelaskan hubungan lelaki dengan
perempuan dalam al-Quran, Wahid berseloroh bahwa “al-Quran adalah kitab
suci paling porno di dunia.” Kontan saja, muncul reaksi keras dan kemarahan
sebagian Muslim Indonesia. Mereka meminta Wahid untuk meminta maaf
kepada ummat Islam karena dianggap telah “melecehkan” al-Quran. Namun,
Wahid enggan melakukannya dengan argumen bahwa ia sedang
membicarakan sesuatu yang faktual dalam al-Quran, dan bukan sedang
menghina al-Quran. Kejadian itu cepat berlalu, dan Wahid tetap dihormati
oleh sebagian besar warga NU karena kewibawaan intelektual dan spiritual
yang melekat pada dirinya.
Pemikiran tiga tokoh di atas: Nasution, Madjid dan Wahid, bagi
sebagian Muslim awam Indonesia dianggap ‘terlalu tinggi,’ dan sulit
dipahami. Kesulitan memahami mereka pada saat itu juga dihubungkan
dengan isu-isu emosional seperti ‘proyek orientalis’, ‘antek asing’ dan lain-
lain. Akhirnya, alih-alih merenungkan ide-ide keIslaman mereka, yang
seringkali muncul adalah kecurigaan, kecaman, dan kebencian terhadap
ketiga tokoh di atas, terutama dari kelompok Muslim skripturalis.
Bagaimanapun, dalam diskursus Islam Indonesia, ketiga tokoh itu bersama-
sama dengan Ahmad Wahib dan Djohan Effendi dianggap sebagai “tokoh
Islam liberal Indonesia” periode pertama.7 Dan karena itu, sulit memisahkan
pada 2002 seperti Anick HT, Burhanuddin Muhtadi dan Novriantoni Kahar. Novri adalah
alumni Pesantren Gontor, Jawa Timur (1996), menyelesaikan Bachelor/LC di Universitas al-
Azhar, Mesir pada 2001 dan S-2 di Universitas Indonesia pada 2005. Moqsith bergabung
pada 2003. Bisa dikatakan bahwa Anick, Burhan, Novri, Moqsith Ghazali, dan Guntur Romli
adalah generasi kedua JIL setelah Ulil Abshar- Abdalla. 7 Termasuk dalam tokoh liberal periode ini adalah Munawir Sjadzali (1925-2004),
mantan diplomat dan mantan Menteri Agama RI dua periode (1983-1993). Sjadzali
dibesarkan di sebuah pesantren di Solo, dan mendapat gelar Master di Amerika Serikat
dengan tesis tentang politik Islam Indonesia. Sjadzali dikenal luas setelah melontarkan
gagasan mengenai hukum waris Islam yang bersifat adil, yaitu laki-laki dan perempuan mendapat jatah waris yang sama. Padahal ketentuan waris al-Quran adalah laki-laki
mendapat dua, sedangkan perempuan mendapat satu. Gagsan Syadzali tentu mendapat reaksi
dan penolakan yang luas dari Muslim Indonesia karena dianggap bertentangan dengan teks
al-Quran. Dalam salah satu karyanya, Ijtihad Kemanusiaan (1997), Sjadzali kembali
menunjukkan karakternya sebagai Muslim liberal. Ia mengulas isu-isu kemanusiaan dan
keIslaman dengan perspektif kedudukan nalar yang tinggi. Teks-teks Islam dipahami oleh
Syadzali secara kontekstual. Syadzali banyak merujuk kepada Umar Ibn Khattab yang
dianggapnya liberal. Kasus-kasus Umar dengan Nabi dan para Sahabat menunjukkan bahwa
Umar “melampaui teks” dengan cara melihat konteks dan penggunaan nalar untuk
kemaslahatan ummat Islam. Syadzali dikenal dekat dengan tokoh-tokoh liberal seperti
Abdurrahman Wahid dan Nurcholish Madjid. Lihat Munawir Syadzali, Kontekstualisasi
Ajaran Islam (1995) dan Ijtihad Kemanusiaan (1997). Dalam menolak negara teokrasi dan
mengkampanyekan negara Pancasila, Sjadzali menulis satu buku berjudul Islam dan Tata
191
kemunculan dan perkembangan JIL dengan gagasan ‘Islam progresif’ dari
kelima tokoh itu. JIL, terutama pada sosok Ulil Abshar-Abdalla, telah
mengambil banyak inspirasi, isu dan metodologi dari para tokoh Islam liberal
periode pertama. Di samping itu, seperti telah disebut--JIL juga mendapat
banyak pengaruh dari para sarjana Muslim global dari Barat dan Timur.
Mengkampanyekan Islam yang hidup, Pluralisme dan Menolak
Teokrasi
Pada 18 November 2002 panggung Islam Indonesia dihebohkan oleh
Tulisan Ulil di Harian Kompas. Di Koran dengan oplah terbesar di Indonesia
itu, Ulil menulis sebuah opini bertitel Menyegarkan Kembali Pemahaman
Islam. Dalam tulisan itu, Ulil terlihat “geram” sekali dengan kaum
fundamentalisme Islam. Ada empat hal pokok isi tulisan itu. Pertama, soal
jilbab, potong tangan, qishas, hukum rajam, jenggot dan jubah tidak wajib
diikuti oleh kaum Muslim karena itu hanya ekspresi lokal partikular Islam di
Arab. Kedua, menurut Ulil, tidak ada “hukum Tuhan” dalam pengertian yang
biasa dipahami oleh ummat Islam. Yang ada adalah prinsip-prinsip umum
universal yang disebut dengan maqashid al-syari’ah (tujuan umum syariat
Islam). Ketiga, kaum Muslim tidak wajib mengikuti Rasul secara harfiah,
sebab apa yang dilakukan olehnya di Madinah adalah upaya menegosiasikan
antara nilai-nilai universal dengan situasi sosial Madinah dengan seluruh
kendala yang ada. Islam di Madinah adalah hasil suatu trade-off antara yang
“universal” dengan yang “partikular.” Lagi pula kata Ulil, Islam di Madinah
adalah one among others, salah satu jenis Islam yang hadir di muka bumi.
Keempat, adanya kecenderungan ummat Islam Indonesia yang “me-
monumenkan” Islam hingga Islam menjadi agama yang beku dan mati.
Seolah-olah Islam adalah “paket” Tuhan yang taken for granted; tidak bisa
dipikirkan dan diperdebatkan lagi. Karena itu, Ulil mengajak pembacanya
untuk mengembangkan Islam yang hidup, yang segar, yang cerah, yang lebih
dapat memenuhi maslahat ummat manusia (Abshar dalam Kompas, 18
November 2002).
Kontan saja, setelah tulisan itu tersebar luas, muncul kemarahan
ummat Islam di mana-mana dan menganggap Ulil telah “menghina” Islam.
Suara Hidayatullah, sebuah majalah bulanan milik Muslim konservatif
Negara (1990). Dalam buku itu, Sjadzali menegaskan bahwa Nabi di Madinah tidak pernah
membentuk negara Islam (teokrasi). Yang Ia bentuk adalah negara madani dengan konsep
pluralitas warganya. Piagam Madinah yang dibuat Nabi adalah aturan hidup bersama antara
kaum Muslim dan para penganut agama lain di Madinah. Piagam itu menurut Sjadzali,
sangat inklusif. Indonesia yang majemuk dengan ideologi Pancasila dan Bhineka Tunggal
Ika, menurut Sjadzali, sudah sangat sesuai dengan negara madani yang dibentuk oleh Nabi.
192
membuat jajak pendapat dengan pertanyaan: setujukah bahwa tulisan Ulil
telah menghina Islam? Jawaban responden: 78.15% setuju, 17.68% tidak
setuju, dan 4.17% tidak tahu. Tulisan Ulil juga telah membuat 80 ulama Jawa
Timur, Jawa Tengah dan Jawa Barat yang tergabung dalam Forum Ulama-
Ummat Indonesia (FUUI) berkumpul di Bandung pada 1 Desember 2002.
Hasil dari pertemuan itu sangat mengejutkan. Para ulama menuntut Ulil—dan
siapapun yang telah menghina Islam, Allah dan Rasulullah untuk “dihukum
mati.” Untuk mengeksekusi tuntutan itu, FUUI kemudian melaporkan Ulil ke
Polri. Ulil sendiri mengaku merasa agak takut meskipun ia menilai “fatwa”
FUUI itu tidak kredibel karena NU dan Muhammadiyah tidak ikut
menandatangani. (Jurnal Dirosah Islamiyah, Vol. 1, No. 1,2003:7-9.
Peristiwa itu membuat JIL semakin populer dan menjadi buah bibir
ditengah masyarakat. Ulil dan JIL “dikutuk” di mana-mana namun juga
didukung oleh kaum muda Muslim progresif. Bagi kaum muda Muslim,
pemikiran Ulil dan para pembaharu yang lain adalah sebuah “harapan” akan
kelangsungan dan masa depan Islam itu sendiri. Agama yang hidup adalah
agama yang bisa beradaptasi menghadapi perubahan. Adaptasi dan reformasi
tafsir keagamaan tidak akan menghilangkan prinsip pokok ajaran agama.
Kaum beragama harus berusaha mengadaptasi dan memahami setiap konsep-
konsep baru yang berkembang di dunia modern untuk diselaraskan dengan
jiwa dan nilai agama. Jika mereka menemukan kontradiksi, mereka akan
menafsirkan ulang doktrin-doktrin lama yang mereka anut agar sesuai dengan
semangat zaman yang dihadapi.
Apakah setelah kegaduhan akibat fatwa FUUI Ulil menjadi bungkam?
Ternyata tidak. Tokoh-tokoh Muslim moderat di NU, Muhammadiyah, UIN
dan Paramadina kerap membelanya, sehingga Ulil merasa memiliki banyak
dukungan. Bagi Ulil, agama adalah suatu kebaikan buat ummat manusia; dan
karena manusia adalah organisme yang terus berkembang, baik secara
kuantitatif dan kualitatif, maka agama juga harus bisa mengembangkan diri
sesuai kebutuhan manusia itu sendiri. Karena itu, yang dibutuhkan adalah
“agama yang hidup” atau “Islam yang hidup” sebagai lawan dari “Islam yang
mati” milik kaum fundamentalis (Abshar dalam Kompas, 18 November
2002).
Salah satu bentuk Islam yang hidup adalah mengapresiasi pluralisme.
Untuk isu ini, Ulil memulai dengan cara mendekonstruksi pandangan kaum
Muslim bahwa Islam adalah agama yang paling benar dan sempurna.
Menurut Ulil, pandangan ini begitu kuat di abad 20 ketika kaum Muslim
inferior di hadapan modernitas dan peradaban Barat yang unggul. Padahal,
jika menelaah tradisi penafsiran Quran pada periode klasik (yaitu antara abad
ke-8 hingga ke-12 Masehi, periode di mana kegiatan intelektual dalam dunia
193
Islam mencapai puncak kreativitasnya), konsep “kelengkapan/
kesempurnaan” itu tidak terlalu mendapatkan perhatian yang khusus. Saat itu,
Islam sedang berada di puncak tertinggi peradaban. Karena itu, konsep
kesempurnaan tidak terlalu dimunculkan oleh para sarjana Muslim saat itu.
Menurut Ulil, menganggap Islam sebagai yang paling sempurna
seperti terlihat sangat mencolok di abad modern ini, melahirkan perasaan
“superior budaya.” Perasaan superior itu akan menyebabkan rasa “cukup
diri” (self sufficiency) secara kebudayaan, sehingga tak perlu belajar dari
golongan lain. Jika saya atau kami sudah cukup, kenapa mesti mengambil
dari yang lain? Dari superior budaya, lahirlah sikap tertutup (eksklusif), yang
sebenarnya sangat berbahaya. Sikap tertutup dan menutup diri itulah yang
sekarang menimpa kaum Muslim dimana-mana. Mereka tidak mau belajar
dan menerima kebenaran dari orang lain.
Ulil kemudian bertanya, apakah maksud kesempurnaan Islam adalah
bahwa agama ini telah menjelaskan semua pesoalan keagamaan dan
kehidupan yang kompleks ini? Tentu saja jawabannya: tidak! Persoalan-
persoalan keagamaan yang sederhana seperti bagaimana hukumnya merokok,
halal, haram atau makruh? Al-Quran tidak menjelaskan secara eksplisit.
Bagaimana hukumnya KB, bayi tabung, menikah jarak jauh (melalui
telepon), dan lain-lain, al-Quran juga tidak menjelaskan secara gamblang.
Apakah al-Quran dan hadis Nabi menjelaskan undang-undang penerbangan
sipil, undang-undang moneter dan fiskal, undang-undang migas dan batubara,
dan undang-undang mengenai perlindungan hutan, laut, dan kekayaan alam?
Tentu saja tidak. Menurut Ulil, setiap tahun ada ribuan undang-undang dan
peraturan yang dibuat oleh parlemen di seluruh dunia yang tidak ada
pedomannya di dalam agama.
Lalu mengapa kaum Muslim menganggap Islam sebagai agama yang
paling sempurna? Sempurna itu maksudnya apa? Menurut Ulil, kaum Muslim
harus merumuskan kembali konsep kesempurnaan itu melalui dua penafsiran
yang progresif. Pertama, kesempurnaan itu terletak pada aspek akidah dan
norma umum. Norma-norma umum ini yang kemudian dikembangkan lebih
jauh oleh para sarjana Muslim menjadi norma khusus. Misalnya, dalam al-
Quran ada ayat tentang pentingnya melakukan musyawarah diantara kaum
Muslim. Konsep musyawarah ini ternyata kompatibel dengan model
demokrasi modern. Kedua, watak kesempurnaan Islam artinya sebuah watak
dan sikap yang terbuka untuk menerima berbagai kebenaran dan kekayaan
dari berbagai agama dan tradisi lain. Jadi, kesempurnaan justru bermakna
kesanggupan untuk menampung berbagai kebenaran dari orang lain, bukan
malah ketertutupan. Karena itu menurut Ulil, kebenaran ada dimana-mana di
194
luar kaum Muslim; ada di agama Zoroaster, Yahudi, Kristen dan lain-lain.
Dengan merujuk kepada Fazlur Rahman, justru ciri orang bertakwa adalah
rendah hati, yaitu sikap mau menerima hikmah (wisdom) dari orang lain.8
Menurut Ulil dengan mengutip Nurcholish Madjid, pada masa Nabi,
Islam tidak dikenal sebagai nama agama, tapi sebuah sikap ketundukan dan
kepasrahan kepada Tuhan. Pada mulanya, Islam adalah sebuah kualitas
personal, bukan agama institusional. Dalam pengertian kepasrahan ini, agama
Islam dengan agama lain sesungguhnya sejajar (Qodir, 2010:205) . Ulil
kemudian mengutip ayat al-Quran tentang ‘khataman nabiyyin’. Kaum
Muslim biasanya mengartikan ‘khatim’ sebagai penutup. Maksudnya Nabi
Muhammad adalah yang terakhir karena ia penutup para nabi. Tetapi, Ulil
lebih memilih membaca ayat itu sebagai ‘khatam’ yang berarti cincin. Nabi
Muhammad adalah jari di antara jari-jari yang ada, hanya saja “jari Nabi”
begitu istimewa karena mengenakan cincin kehormatan. Dengan tafsir ini,
maka Ulil meyakini bahwa sejarah kenabian tidak berakhir dengan
meninggalnya Nabi Muhammad. Karena itu, setiap Muslim adalah
“Muhammad-Muhammad kecil” yang mengemban sejarah profetis
sebagaimana Muhammad dulu. Tafsir ini menurut Ulil, lebih progresif
dibanding penafsiran kaum Muslim fundamentalis yang hanya ingin menjadi
“replika” atau “imitator” Nabi tanpa berusaha keras membuat sejarah yang
progresif (Abshar, 2007:77).
Terkait konsep pluralisme agama, Abd. Moqsith Ghazali,9 akademisi
UIN Jakarta yang pernah menjadi Direktur Eksekutif JIL periode 2008-2013,
menulis sebuah buku akademik berjudul Argumen Pluralisme Agama,
Membangun Toleransi Berbasis Al-Qur’an (2009). Buku ini adalah disertasi
Doktoral Moqsith dalam bidang Tafsir al-Quran. Moqsith mendiskusikan
tema-tema pokok yang cukup sensitif di kalangan kaum Muslim yaitu soal
8 Terkait pandangan-pandangan Ulil ini, saya ringkaskan dari dua artikel Ulil di
blog-nya, yaitu “Tentang Quran, Konsep Kelengkapan, dan Superioritas Budaya ( 9 Juli
2010),” dan “Memahami Kitab Kitab Suci Secara non-Apologetik (6 Agustus 2008)”. Lihat
www.Ulil.net 9 Moqsith adalah santri Pesantren Salafiyah Syafi’iyyah, Situbondo, Jawa Timur,
yang diasuh oleh Kyai Romo As’ad Syamsul Arifin, tokoh besar NU. Ia tinggal di pesantren
itu hingga menyelesaikan S-1 pada Institut Agama Islam Ibrahimi (1995) milik pesantren itu.
Kemudian menyelesaikan S-2 (1999) dan S-3 (2007), keduanya pada Pascasarjana UIN
Jakarta. Moqsith diajak bergabung dengan JIL pada 2003 karena dianggap memiliki
kemampuan mendalam membaca dan menganalisis kitab-kitab klasik Islam, terutama
Hukum Islam dan Tafsir. Selain itu, retorikanya juga memukau. Saya kira penunjukkan
Moqsith menjadi Direktur Eksekutif JIL ke-4 adalah karena penguasaannya terhadap kitab
klasik Islam untuk memperkuat argumen eksistensi Islam liberal, karena kitab-kitab klasik
itu biasa menjadi rujukan kaum Muslim, terutama ulama-ulamanya.
195
toleransi dan kebebasan beragama, pengakuan akan keselamatan ummat non-
Islam, doktrin tentang kafir, syirik, ahli kitab, kebolehan menikah dengan
pasangan non-Muslim, soal perbedaan jihad dan perang. Tema-tema itu
dieksplorasi menurut ayat-ayat al-Quran dan perspektif para mufasir.
Moqsith mengurai secara detail pandangan para ahli tafsir klasik dan modern,
baik yang eksklusif maupun yang inklusif, kemudian mengarahkan
pembicaraan ke arah tafsir al-Quran yang humanis dan progresif dalam
bingkai Islam yang pluralis. Yang istimewa dalam karya itu adalah bahwa
Moqsith berhasil menyajikan wawasan al-Quran dan perspektif para mufasir
mengenai doktrin Islam yang bersifat lokal-partikular dan ajaran lain yang
humanis-universal.
Gagasan pluralisme agama yang diusung Madjid, Wahid, Djohan
Effendi, dan diperkuat oleh tokoh-tokoh JIL di atas mengundang kemarahan
kaum Muslim konservatif. Bagi mereka, pandangan yang ingin menyetarakan
Islam dengan agama-agama lain, sangat membahayakan akidah kaum
Muslim. Melalui lobi-lobi mereka yang cukup intens kepada Majelis Ulama
Indonesia (MUI), akhirnya pada 2006 MUI mengeluarkan fatwa haram bagi
paham pluralisme agama. Dalam fatwa itu, MUI menjelaskan bahwa yang
dimaksud pluralisme agama adalah “suatu paham yang mengajarkan bahwa
semua agama adalah sama dan karenanya kebenaran setiap agama adalah
relatif; oleh sebab itu, setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim bahwa
hanya agamanya saja yang benar sedangkan agama lain salah. Pluralisme
agama juga mengajarkan bahwa semua pemeluk agama yang berbeda-beda
akan masuk surga dan hidup berdampingan di dalamnya.” Dengan paham
seperti itu, maka bagi MUI “Pluralisme, sekularisme, dan liberalisme agama
adalah paham yang bertentangan dengan ajaran agama Islam.” “Ummat Islam
haram mengikuti paham pluralisme, sekularisme, dan liberalisme agama”
(Sekretariat Majelis Ulama Indonesia, 2011:91-92). Bagi MUI jelas, secara
teologis, kebenaran dan keselamatan di akhirat hanya milik agama Islam
yang dibawa oleh Nabi Muhammad, dan hanya Islam satu-satunya agama
yang mendapat ridha Tuhan (Sekretariat Majelis Ulama Indonesia 2011:89-
90).
Segera setelah fatwa itu diumumkan, para tokoh Islam moderat dan
liberal berkumpul untuk memberikan reaksi yang sangat keras. Dalam
konferensi pers, secara bergantian, Wahid, Syafii Ma’arif, Azyumardi Azra,
dan Ulil Abshar memberikan pernyataan yang berisi keprihatinan atas fatwa
itu dan mengkritik keras MUI. Menurut Wahid, dengan fatwa itu MUI
seolah-olah menutup mata atas kemajemukan Indonesia, namun di sisi lain
ingin tetap hidup di tengah masyarakat Indonesia yang majemuk. Ulil sendiri
196
secara emosional menyebut para ulama dalam MUI bukanlah orang-orang
yang berilmu (ulama) melainkan orang-orang yang bodoh (juhala).
Fatwa hukuman mati bagi Ulil dan fatwa keharaman pluralisme
ternyata memiliki efek yang serius bagi munculnya teror dan kekerasan.
Dengan merujuk kepada fatwa-fatwa itu, beberapa laskar Islam seperti Forum
Ummat Islam (FUI), Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), dan Front Pembela
Islam (FPI) mulai aktif berdemo menuntut kepada pemerintah bahwa JIL
harus dibubarkan. Ada banyak kampanye di media massa dan foster-foster
yang bertuliskan “Indonesia damai tanpa JIL.” FPI secara aktif juga
menyerang markas JIL di Utan Kayu dan menuntut markas itu untuk ditutup.
Ulil sendiri merasakan bahwa nyawanya dalam bahaya. Ia sering diintai oleh
orang-orang tak dikenal. Bahkan, seorang aktivis Islam, Iqbal Husaini telah
tiga kali mendatangi markas JIL di Utan Kayu dengan niat membunuh Ulil.
Namun sayang, ia tak memiliki kesempatan yang tepat untuk bisa membunuh
Ulil. Menurut Luthfi yang mengutip laporan majalah Tempo (2005), niat
pembunuhan terhadap Ulil itu didasarkan Husaini pada fatwa FUUI (2002)
yang mengeluarkan fatwa mati untuk Ulil (Assyaukani, 2007:147-148). Tak
diragukan, di satu sisi, aksi-aksi demonstrasi dan tindak kekerasan terhadap
tokoh-tokoh pengusung pluralisme dan liberalisme membuat suatu
kecemasan yang serius, namun di sisi lain hal itu membuat JIL semakin
populer. JIL dan tokoh-tokoh senior Muslim moderat yang membela Islam
liberal menjadi pembicaraan luas di kalangan Muslim Indonesia. Tindakan
pembunuhan tidak terjadi, dan segala kegaduhan akhirnya terhenti. Dalam
suatu cara yang “halus” kelihatannya beberapa tokoh di pemerintahan
berhasil “melindungi” tokoh-tokoh Muslim moderat-liberal.
Gagasan dan praktik mengenai Islam yang hidup dan pluralisme
agama tidak akan tumbuh berkembang di negara yang menganut ‘negara
Islam.’ Karena itulah, sejak awal JIL menolak konsep negara teokrasi dan
mendukung konsep negara-bangsa (nation state) dengan sistem demokrasi.
Menurut Luthfi, Islam liberal meyakini bahwa urusan pemerintahan dan
politik adalah persoalan ijtihad manusia, dan bukan sesuatu yang baku yang
datang dari masa silam dan dipaksa untuk diterapkan bagi manusia modern.
Argumen formalisme negara Islam tak lagi memadai untuk menjawab
kompleksitas kehidupan masyarakat modern yang mengidealkan pluralitas,
persamaan hak, dan demokrasi. Bagi Luthfi, Islam liberal meyakini bahwa
dasar negara harus dikembalikan kepada unsurnya yang paling luhur, yaitu
keadilan dan persamaan, dan bukan pada formalisme monolitik—seperti
yang dikampanyekan kaum Muslim fundamentalis, yang hanya akan
memecah belah masyarakat yang heterogen (Assyaukani, 2007:xxvi) .
197
Mendekonstruksi Pandangan tentang Kesucian al-Quran
Bagi kaum Muslim dimanapun, al-Quran adalah kitab suci yang
sangat sakral dan harus diperlakukan secara sakral pula. Ia menjadi ‘pusat
fokus’ kaum Muslim dalam kehidupan material dan spiritual. JIL memiliki
perhatian serius mengenai posisi al-Quran ini. Dengan mengambil inspirasi
dari seorang ulama klasik ahli kajian al-Quran, Jalaluddin al-Suyuti, dan
beberapa sarjana Muslim modern seperti Fazlur Rahman dan Muhammad
Arkoun, tiga tokoh JIL: Ulil Abshar, Luthfi Assyaukani, dan Moqsith
Ghazali menulis beberapa artikel kritis tentang sejarah al-Quran, proses
kodifikasi al-Quran, kemungkinan kesalahan gramatik al-Quran dan
bagaimana seharusnya kaum Muslim memperlakukan al-Quran. Puncaknya,
tiga tokoh JIL itu menulis satu buku berjudul Metodologi Studi al-Quran
(2009). Menurut mereka, al-Quran harus dilihat dalam dua hal yang berbeda.
Pertama, ia adalah wahyu aural, wahyu yang didengarkan. Persis seperti
wahyu dalam Weda yang disebut Sruti, yang artinya “sesuatu yang
didengarkan” oleh orang-orang bijak yang dalam tradisi Hindu disebut rshi.
Al-Quran adalah wahyu yang didengarkan, lalu kemudian “dibaca” (dalam
bahasa Arab menjadi al-Quran, artinya bacaan). Kedua, al-Quran harus
dilihat sebagai kitab suci yang ditulis (scripture) dan dikodifikasi (Ghazali,
dkk.,2009:38-39). Ada proses manusiawi atau proses sejarah dalam penulisan
dan kodifikasi al-Quran.
Wahyu atau wahyu aural adalah sesuatu yang berada di alam ilahi
bukan di area manusiawi. Klaim penerimaan wahyu oleh kaum Muslim
adalah klaim subjektif yang berada di luar nalar ilmiah. Persoalan wahyu
sepenuhnya adalah persoalan keimanan, dan bukan persoalan ilmu
pengetahuan. Karena itu klaim keterjagaan al-Quran seperti firman-Nya,
“Kami yang menurunkan al-Quran dan Kami pula yang menjaganya (sura al-
Hijr: 9),” harus dipahami bukan dalam konteks manusiawi, tetapi dalam
konteks ilahi. Sebaliknya, berbeda dengan hal itu, menurut ketiganya,
penulisan dan kodifikasi al-Quran adalah proses panjang pengumpulan,
penyeleksian, pengeditan, dan percetakan hingga akhirnya menjadi sebuah
buku suci. Menjadi jelas bahwa penulisan adalah proses manusiawi yang bisa
diuji dan diverifikasi secara objektif. Proses penulisan kitab suci tak lebih
dari sekedar proses penulisan buku, melibatkan berbagai unsur: budaya,
bahasa, politik, dan kekuasaan.10
Dari sini harus dipahami, menurut tiga
10
Seperti diketahui secara umum oleh kaum Muslim bahwa Mushaf yang ada
sekarang disebut Mushaf Utsmani karena dikodifikasi secara seruagam oleh Khalifah
Utsman Ibn Affan. Kodifikasi itu tentu saja adalah sebuah ijtihad yang baik tapi tetap saja
melibatkan sisi subyektif Utsman dan adanya kekuasaan politik sang Khalifah. Misalnya
komisi yang dibentuk Utsman adalah Zayd Ibn Tsabit, Abdullah Ibn Zubayr, Abdullah Ibn
198
tokoh itu, sakralisasi al-Quran berkaitan erat dengan proses pembentukan dan
perjalanan wahyu sebagai kitab suci. Proses sakralisasi berkembang seiring
proses penulisan dan kodifikasi al-Quran. Dalam perkembangan itulah,
pensucian atau menganggap suci al-Quran adalah konstruksi sebuah
masyarakat. Al-Quran dianggap suci karena ada sekelompok masyarakat
yang menganggapnya suci(Ghazali, dkk.,2009:31-32) , tanpa pernah
memperhatikan secara kritis adanya proses-proses manusiawi didalamnya.
Menurut ketiga figur JIL, saat ini yang terjadi adalah kecenderungan
kaum Muslim untuk mensakralkan huruf, script atau tulisan al-Quran
dibanding semangat pembebasan dan pemuliaan manusia yang dikandung
Quran. Kaum Muslim telah meletakkan Quran hanya sebagai kitab suci yang
tertulis dan sebagai kitab hukum yang kaku dan rigid. Akibatnya, pertama,
terjadi penguatan skripturalisme yang eksesif, yaitu anggapan bahwa huruf
dan kalimat yang tertera dalam kitab suci harus dimengerti secara “harfiah”,
dan bahwa maksud Tuhan terkandung secara transparan dan langsung dalam
huruf itu. Kedua, al-Quran disempitkan menjadi sekedar dokumen hukum
yang kedudukannya tidak jauh berbeda dengan naskah hokum dalam
pengertian hukum positif modern saat ini (Ghazali, dkk.,2009:43-44).
Dengan kata lain, al-Quran dimerosotkan derajatnya hanya menjadi “huruf”
dan “kanon resmi”, menjadi kitab aturan, atau dalam bahasa Muhammad
Arkoun menjadi “korpus resmi yang tertutup”. Artinya, kanon resmi yang
dibaca dan dipahami menurut penafsiran tertentu yang dianggap otoritatif,
dan mengabaikan adanya pemahaman dan penafsiran lain yang beragam.
Padahal menurut ketiganya, al-Quran adalah kitab petunjuk, kitab ilham yang
membuka peluang banyak penafsiran. Al-Quran adalah sumber inspirasi yang
membebaskan, sebagai bagian dari ritual sosial, sebagai ilham dalam
penciptaan artistik, sebagai elemen yang juga ikut membentuk fantasi dan
harapan komunitas Muslim di sebuah tempat tertentu, pada waktu tertentu
pula(Ghazali, dkk.,2009:44-45) .
‘Amr Ibn ‘Ash dan Abdullah Ibn ‘Abbas. Nama-nama itu juga hasil seleksi Khalifah Utsman
yang dianggap mampu melakukan tugas besar, dan yang terpenting adalah loyal kepada
Khalifah. Sebenarnya ada tokoh senior seperti Ibn Mas’ud tapi tidak dipilih oleh Utsman
karena Ibn Mas’ud adalah tokoh senior yang keras kepala. Sebelum Mushaf Utsmani
dikodifikasi, sebenarnya terdapat 15 Mushaf primer, diantaranya Mushaf Umar Ibn Khattab,
Mushaf Ibn Mas’ud, Mushaf Ali Ibn Abi Thalib, Mushaf Ibn ‘Abbas dan lain-lain. Tetapi
Utsman, dengan segala kekuasaan politiknya, ingin agar Mushaf al-Quran milik ummat
Islam hanya satu saja. Maka terbentuklah Mushaf Utsmani. Ternyata, antara Mushaf
Utsmani dan Mushaf-Mushaf yang primer itu terdapat beberapa perbedaan dalam hal jumlah
Surat, ayat dan kalimat-kalimat ayat al-Quran. Lebih lanjut soal ini baca Taufik Adnan
Amal, Rekonstruksi Sejarah Al-Quran (Jakarta: Pustaka al-Vabet, 2013).
199
Melalui pandangan diatas, JIL telah mengkritik sikap Bibliolatria11
kaum Muslim Indonesia, yaitu sikap memuja dan menyembah kitab suci.
Menurut Ulil, kesalahan fatal kaum Muslim adalah meyakini bahwa al-Quran
adalah kitab yang mengandung ketentuan yang seluruhnya bersifat permanen,
universal, dan abadi. Al-Quran dianggap sebagai kitab yang “selalu relevan
untuk semua waktu dan tempat.” Al-Quran diyakini sebagai kitab yang
sempurna, mengandung seluruh kata kunci penyelesaian atas semua masalah.
Pandangan ini seringkali dipakai sebagai ‘jargon politik’ oleh kelompok-
kelompok tertentu dan partai politik. Karena itu, pandangan ini harus
didekonstruksi. Kaum Muslim harus menyadari secara logis dan realistis
bahwa ada beberapa ajaran dari Quran yang bersifat permanen dan universal,
tetapi banyak juga yang bersifat temporer dan kontekstual. Adalah keliru
menganggap bahwa seluruh isi al-Quran bersifat permanen dan universal
(Ghazali, dkk.,2009:136-137) .
Menurut Ulil, universalisasi al-Quran adalah sama bahayanya dengan
universalisasi HAM dalam pandangan modern yang juga ditentang dimana-
mana. Alasannya sederhana: kehidupan manusia pada dasarnya bersifat
konkret, dan kehidupan semacam itu bersifat partikular bukan universal. Al-
Quran turun dalam konteks kehidupan Sahabat dan masyarakat Arab yang
partikular, sehingga tidak bisa dilakukan universalisasi al-Quran yang pada
mulanya turun kepada konteks yang konkret dan partikular. Bagi JIL, sikap
menguniversalkan al-Quran—yang melahirkan sikap bibliolatria--harus
dilawan (Ghazali, dkk.,2009:137). Sikap bibliolatria hanya ingin meletakkan
al-Quran semata-mata sebagai teks yang terisolasi dari kenyataan dunia
sekitarnya. Seolah-olah ummat Islam bisa dengan mudah ditarik mundur ke
zaman Nabi abad ke-7, dan al-Quran tidak bisa diajak berdialog dengan
kenyataan dan pengalaman hidup kaum Muslim di abad industri ini (Ghazali,
dkk.,2009:134). Menurut JIL, agar al-Quran sebagai wahyu aural dan sebagai
tulisan dapat menjadi kitab suci yang hidup, maka kaum Muslim harus dapat
menangkap visi etis al-Quran yang mencerahkan (Ghazali, dkk.,2009:138).
Al-Quran memiliki konsepsi yang cerah, optimis dan maju tentang manusia.
Karena itu, al-Quran berbicara tentang doktrin “takrim” atau pemuliaan
manusia; bahwa manusia dapat menjadi “agen” atau khalifah dalam
memakmurkan planet bumi (Ghazali, dkk.,2009:111).
Untuk dapat menangkap visi etis al-Quran, kaum Muslim harus berani
“menyebrangi teks” atau go beyond text. Menyebrangi teks tidak berarti
“meninggalkan teks”. Itu dua hal yang berbeda (Ghazali, dkk.,2009:135).
11
Kata Bibliolatry secara harfiah berarti “Penyembahan Bibel.” Secara umum kata
itu berarti “Pengagungan” Kitab Suci secara berlebihan sehingga menyerupai penyembahan.
Kata itu dikutip oleh Ulil dari buku T.H. Huxley, Science and Hebrew Tradition.
200
Kaum Muslim menurut JIL, harus menyadari bahwa wahyu verbal dalam al-
Quran hanyalah separuh wahyu, separuh lainnya adalah wahyu non-verbal
berupa pengalaman sejarah manusia (Ghazali, dkk.,2009:138). Teks dan
konteks harus terus berdialog. Dengan cara itu, al-Quran benar-benar
memiliki fungsi inspiratif dan transformatif bagi kaum Muslim modern.
Apa yang dilakukan JIL diatas tidak semata mengkritik tapi juga ingin
mendekonstruksi cara pandang konvensional kaum Muslim terhadap al-
Quran, sebuah kitab yang sangat sakral bagi kaum Muslim. JIL ingin
mendekonstruksi bahwa al-Quran bukan segala-galanya bagi kehidupan
Muslim. Sejarah dan pengalaman hidup manusia juga memiliki nilai yang
penting untuk membangun hidup yang lebih baik. Kandungan al-Quran juga
tidak semuanya bersifat final, permanen dan universal. Kritik atau
dekonstruksi JIL ini tentu saja mendapat reaksi yang sangat keras dari
Muslim Indonesia. Sebagian besarnya adalah reaksi berupa amarah yang
tidak proporsional.
Salah satu kritik yang cukup “proporsional” dan “akademik” kiranya
muncul dari Eva Nugraha, seorang akademisi Studi al-Quran dan tafsir UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.12
Menurut Nugraha, JIL dalam Metodologi Studi
al-Quran (2009) tidak merujuk kepada karya-karya kesarjanaan tentang teori-
teori kitab suci, misalnya What Is Scripture (19) karya W.C. Smith dan The
Divine Inspiration of Holy Scripture (1981) karya William Abraham. Cara
pandang JIL terhadap al-Quran persis sama dengan cara pandang orang-
orang Barat atau Kristen Barat terhadap Al-Kitab yang menganggap kitab
suci sebagai buku hasil intervensi manusia. Jika JIL merujuk kepada Smith
dan William Abraham, maka akan dipahami bahwa apa yang disebut kitab
suci (scripture) adalah yang tertulis yang bermula dari wahyu aural dan oral,
lalu menjadi teks yang tertulis yang tetap memiliki sakralitas dan otoritas.
Dua hal ini yang amat penting: sakralitas dan otoritas. Kitab suci, meskipun
ia telah menjadi buku yang tertulis sebagai hasil intervensi manusia, namun
ia tidak kehilangan sakralitas dan otoritasnya bagi para pembacanya. Bagi
JIL, kitab suci, termasuk al-Quran—melalui proses kodifikasi yang
manusiawi--seolah-olah telah kehilangan sakralitas dan otoritasnya. Menurut
Nugraha, inilah letak kekeliruan pertama JIL.
Kedua, tulisan JIL tentang al-Quran terkesan seolah ingin membuat
perbandingan dengan karya-karya lain yang serupa, misalnya “Ketika Torah
menjadi Buku,” atau “Ketika Al-Kitab menjadi Buku.” Namun, menurut
12
Nugraha menulis disertasi tentang Komodifikasi dan Sakralitas Kitab Suci: Studi
Industri Penerbitan Mushaf al-Quran di Indonesia (2015).
201
Nugraha, yang tidak dipertimbangkan JIL secara cermat adalah adanya fakta
terdapat ratusan versi Al-Kitab yang akhirnya mengerucut kepada Al-Kitab
versi King James yang kemudian digunakan sampai sekarang. Fakta ini
berbeda dengan kasus al-Quran. Jika dibuat perbandingan dengan Al-Kitab
misalnya, maka naskah-naskah Mushaf yang dianggap valid dan otoritatif
yang kemudian “diseleksi” hingga menjadi Mushaf Utsmani seperti yang ada
saat ini jumlahnya tidak mencapai ratusan seperti dalam kasus Al-Kitab.
Taufik Adnan Amal misalnya, mencatat hanya terdapat 15 Mushaf primer
dan 13 Mushaf sekunder yang diseleksi oleh tim Utsman bin Affan (Amal,
174-175). Fakta ini mengisyaratkan dua hal. Pertama, secara prinsipil, tidak
terdapat pertentangan yang signifikan dalam hal makna dalam mushaf-
mushaf yang diseleksi, terutama pada mushaf-mushaf primer. Biasanya yang
terlihat berbeda adalah dalam hal lafadz atau ekspresinya, tidak dalam
maknanya. Karena itu, kedua, meskipun terdapat intervensi, namun intervensi
itu tidak terlalu jauh dan rumit. Hanya mencocokkan, memilah dan mengedit
mushaf-mushaf yang ada lalu dikerucutkan dan diputuskan satu mushaf saja
yang dianggap valid dan otoritatif, yaitu Mushaf Utsmani. Sekali lagi, proses
inipun bukan mengintervensi terlalu jauh dan kompleks karena mushaf-
mushaf yang ada secara umum sudah seirama dalam hal susunan, lafadz dan
maknanya.13
Menurut Nugraha, jika membaca karya JIL tentang al-Quran, akan
muncul kesan seolah hanya kitab al-Quran yang paling terkena intervensi
manusia dibanding kitab-kitab suci yang lain. Padahal faktanya sama saja.
Semua kitab suci selalu mengalami proses manusiawi. Dan yang terpenting,
meskipun telah menjadi buku suci tetapi kitab-kitab suci itu tetap tidak
kehilangan dua wataknya, yaitu sakralitas dan otoritas. Kritik JIL terhadap
ummat Islam yang mensakralkan kitab al-Quran dengan “tanpa pernah
memperhatikan secara kritis adanya proses-proses manusiawi didalam
pembentukannya menjadi buku suci” memberi kesan bahwa wahyu Allah
yang telah menjadi kitab suci al-Quran itu telah kehilangan sakralitasnya.
Menurut Nugraha, kritik JIL itu kurang tepat. JIL sesungguhnya masih bisa
mengingatkan kaum Muslim untuk lebih memahami isi dan spirit al-Quran
tanpa perlu “menghajar” proses kodifikasi Mushaf Utsmani. Karena proses
kodifikasi kitab suci semua agama pasti mengalami intervensi manusia.
Ketiga, dengan banyak mengutip al-Suyuthi, bagi Nugraha,
pandangan-pandangan JIL sesungguhnya bukan hal yang baru. Yang berbeda
adalah bahwa al-Suyuthi sejak abad 10 H atau 17 Masehi telah menceritakan
pandangan banyak orang tentang pewahyuan al-Quran dan beragam cara
13
Menurut Nugraha, proses.
202
membacanya tanpa ada motivasi untuk “menghajar” kitab (buku) al-Quran
itu. Berbeda dengan JIL yang sedari awal sudah “curiga” dengan semua hal
(proses) manusiawi dalam formasi al-Quran. Keempat, JIL sering
menyatakan bahwa sejarah (kodifikasi) al-Quran adalah sejarah kekuasaan.
Menurut Nugraha, dalam kajian sejarah, telah sejak lama sejarah memang
“milik” penguasa. Dan Mushaf Utsmani sendiri memang lahir ketika
sebagian besar sejarah ditentukan oleh kekuasaan politik. Fenomena ini juga
menimpa sebagian besar sejarah dan perkembangan agama-agama ummat
manusia yang arahnya ditentukan oleh kekuasaan (termasuk formasi kitab-
kitab suci mereka). Baru di abad modern muncul secara kuat penulisan-
penulisan sejarah yang fokusnya pada masyarakat biasa (sejarah sosial), dan
bukan pada penguasa. Dengan model ini, sekarang masyarakat jadi pemilik
dan penentu sejarah. Namun sekali lagi menurut Nugraha, kritik JIL terhadap
kekuasaan Utsmani yang telah membukukan al-Quran memberi kesan yang
kuat seolah hanya al-Quran saja kitab suci sebagai hasil (produk) kekuasaan
dari karya tulis sejarah (historiografi).
Kritik-kritik lain terhadap JIL biasanya bersifat emosional. Beberapa
buku kemudian diterbitkan untuk mengkritik JIL, diantaranya Islam Liberal:
Sejarah, Konsepsi, Penyimpangan, dan Jawabannya karya Adian Husaini
dan Nuim Hidayat (2002), Melawan Konspirasi Jaringan Islam Liberal karya
Fauzan Anshori (2003), Membedah Islam Liberal: Memahami dan
Menyikapi Manuver Islam Liberal di Indonesia karya Adian Husaini dkk
(2003), Menangkal Bahaya JIL dan FLA (Fikih Lintas Agama) karya
Hartono Ahmad Jaiz dan Agus Hasan Bashori (2004) dan lain-lain. Biasanya
tulisan-tulisan dalam buku-buku itu adalah reaksi yang bersifat emosional,
berisi asumsi-asumsi dan tuduhan yang menghubungkan JIL dan tokoh-tokoh
senior pembaharu seperti Nurcholish Madjid dan Harun Nasution dengan
proyek Yahudi-Zionisme dan misi Kristenisasi. Adian Husaini misalnya,
seorang Islamis yang sangat aktif mengkritik JIL dan tokoh-tokoh pembaharu
menegaskan bahwa pemikiran teologi inklusif-pluralis, yang diusung oleh
Madjid dan JIL, adalah “hal yang sangat serius dalam penghancuran akidah
Islam” (Husaini dan Hidayat, 2002:82). Tentu saja, tuduhan Husaini itu
terlalu berlebihan, karena puluhan buku dan artikel yang ditulis oleh Madjid
dan tokoh pembaharu lainnya tidak pernah dimaksudkan untuk
menghancurkan akidah Islam kaum Muslim Indonesia. Sebaliknya, karena
mencintai Islam, Madjid dan Nasution misalnya--justru merumuskan model
Islam yang selaras dengan kemodernan dan keindonesiaan. Dalam buku
Husaini dan Nuim Hidayat, Islam Liberal (2002), kita menemukan puluhan
halaman berisi asumsi-asumsi dan tuduhan-tuduhan keduanya bahwa JIL dan
para tokoh pembaharu sangat terkait erat dengan penghancuran akidah Islam,
203
penghancuran syariat Islam serta hubungan Islam liberal dengan
imperialisme Barat dan Zionisme.
Adanya kritik dan reaksi emosional terhadap JIL adalah sesuatu yang
lumrah dan dapat dipahami karena cara pandang dan referensi yang berbeda
dalam memahami Islam. Bacaan yang luas dan pengalaman bersentuhan
dengan banyak hal yang membentuk cakrawala dan horison yang luas tentu
berbeda dengan bacaan yang terbatas dan pengalaman terbatas dalam
berinteraksi dengan dunia yang luas dan kompleks. Dalam konteks ini, saya
setuju dengan catatan Zuly Qodir bahwa tema-tema yang diangkat dalam
diskursus JIL—dan para pembaharu senior—adalah tema-tema yang tidak
semua orang dapat mengikutinya. Tema-tema tersebut adalah khas kaum
intelektual yang telah dibekali dengan ilmu politik, sosiologi modern,
antropologi, filsafat dan ilmu sejarah. Di dalam kajian Islam sendiri, mereka
telah membaca ulumul qur’an, ulumul hadits, dan sirah nabawiyah. Karena
itu menurut Qodir, discourse Islam liberal memang discourse tingkat tinggi
yang membuat ‘orang awam’ kelabakan. Dan JIL sendiri memang bukan
komunitas “sembarangan,” tetapi kelompok eksklusif yang hendak
menawarkan discourse masa depan Islam Indonesia. Meski eksklusif
menurut Qodir, sisi positif dari discourse Islam liberal adalah sosialisasi
topik-topik keIslaman yang dahulu dianggap sangat “elitis” hanya milik
kaum ulama, para mujtahid dan intelektual Islam semata (Qodir, 2007:120-
122). Tema-tema keIslaman yang dahulu elitis itu kini disebarluaskan oleh
JIL, dan secara terbuka didiskusikan oleh publik Muslim dengan respons
yang sangat beragam.
Masa Redup dan Kemungkinan Masa Depan
Memasuki dasawarsa kedua era 2000, komunitas JIL dan istilah Islam
liberal tidak populer lagi. Sesekali terdengar nama itu secara sayup-sayup.
Mungkin ada faktor kritik keras, serangan, dan fatwa kaum ulama tentang
bahaya JIL bagi ummat Islam, tapi menurut Moqsith, hal itu tidak terlalu
signifikan. Moqsith Ghazali mengungkapkan setidaknya ada tiga hal pokok
yang sangat signifikan yang membuat JIL semakin lemah. Pertama, JIL
kalah cepat merespons isu-isu aktual keIslaman dari lembaga lain seperti NU
dan UIN. Kedua, ketiadaan lagi dukungan dana yang memadai untuk
kegiatan-kegiatan JIL. Tahun 2001 hingga 2005 JIL didanai oleh The Asia
Foundation (TAF). Setelah itu ada evaluasi dari TAF. Kabarnya TAF tidak
mengurusi lagi soal teologi, dan karena itu para Indonesianis yang menjadi
konsultan TAF menganggap tidak perlu lagi kerjasama dengan JIL
diteruskan. Indonesia dianggap sudah menjadi negara yang sangat
demokratis, sehingga lembaga-lembaga donor memindahkan proyeknya ke
204
negara-negara yang penuh konflik seperti Afghanistan, Pakistan, Mesir,
Libya dan lain-lain (Wawancara dengan Moqsith Ghazali, Jakarta, 5 Maret,
2015).
Ketiga, JIL dan penyebutan ‘Islam liberal’ mendapat kritik dari
tokoh-tokoh NU, Muhammadiyah, dan UIN yang dulu menjadi para
pendukungnya. Ada beberapa peristiwa kompleks yang bisa dijelaskan.
Ketika Islam radikal melakukan aksi terorisme di banyak tempat di Indonesia
dan menyedot perhatian publik, maka tokoh-tokoh Muslim moderat dari NU,
Muhammadiyah, dan UIN melakukan kritik tajam terhadap radikal Islam dan
mengkampanyekan Islam moderat. Namun bersamaan dengan mengkritik
Islam radikal (ekstrim kanan), mereka juga mengkritik Islam liberal (ekstrim
kiri) demi mengkampanyekan Islam moderat (Wawancara dengan Moqsith
Ghazali, Jakarta, 5 Maret, 2015).
Terkecuali Gus Dur, Madjid, Djohan Effendi dan Dawam Rahardjo,
beberapa tokoh terkemuka NU dan Muhammadiyah seperti Hasyim Muzadi,
Said Aqil Siraj dan Din Syamsuddin kerap mengkritik Islam liberal.
Beberapa tokoh UIN—yang dulu menjadi kontributor—mulai “menjaga
jarak” dengan JIL dan isu-isu Islam liberal karena alasan-alasan politis,
misalnya sekarang telah menjadi pejabat tinggi di universitas atau Kemenag
RI, atau menginginkan diterima sebagai pejabat tinggi di lembaga Islam lain.
Dalam persepsi banyak Muslim Indonesia, di tengah semangat kembalinya
Muslim Indonesia kepada Islam moderat, maka Islam liberal dianggap sama
bahayanya dengan Islam radikal. Dalam pengertian inilah, para tokoh itu
harus menjaga jarak dengan isu-isu Islam liberal (Wawancara dengan
Moqsith Ghazali, Jakarta, 5 Maret 2015).
Dari sisi keilmuan, diskursus yang kerap diusung JIL seperti
hubungan Islam dengan pluralisme, Hermeneutik, HAM dan kesetaraan
gender, sudah tidak banyak lagi didiskusikan. Tokoh-tokoh UIN seperti
Komaruddin Hidayat dan Amin Abdullah tidak lagi banyak mendiskusikan
hermeneutik. Hidayat lebih banyak menulis tentang spiritualitas Islam,
pentingnya agama bagi masyarakat, dan perlawanan terhadap fundamentalis
Muslim yang mengusung ide teokrasi.14
Sementara Abdullah lebih banyak
14
Karya terlaris Komar dalam satu dasawarsa terakhir adalah Psikologi Kematian
(2005). Karya ini sampai sekarang masih dicetak dan diperbincangkan dikalangan kelas
menengah Muslim awam perkotaan. Pada 2012 Komar menerbitkan bukunya yang lain
berjudul Agama Punya Seribu Nyawa. Sedangkan karya teranyar Komar adalah Kontroversi
Khilafah: Islam, Negara, dan Pancasila (2014), sebuah karya kumpulan tulisan Komar
dengan para sarjana Muslim Indonesia lainnya sebagai respons terhadap gerakan Hizbut
Tahrir Indonesia yang getol mengkampanyekan negara teokrasi.
205
merumuskan integrasi ilmu-ilmu Islam dengan sains untuk pengembangan
keilmuan di universitas Islam.15
Nasaruddin Umar yang dulu sangat terkenal
dengan isu Islam dan kesetaraan gender, sekarang setelah menjabat sebagai
pejabat tinggi Kemenag RI lebih banyak menulis tentang pentingnya sufisme
Islam bagi Muslim Indonesia.16
Kiranya saat ini tema-tema yang dulu
diusung JIL sudah tidak relevan. Perubahan dan dinamika pemikiran dan
gerakan Islam Indonesia hari ini menyebabkan para pemikir Muslim senior
lebih senang mendiskusikan tema-tema yang sedang aktual. Secara umum
topik-topik seputar spiritualitas Islam dan normatif Islam masih menyedot
perhatian publik Muslim. Sebaliknya, diskursus tentang Islam progresif dan
isu-isu Islam yang lebih akademik-intelektual sudah kurang diberitakan oleh
media massa, kurang publikasi, karena itu kurang pula respons dari
masyarakat luas.
Momen pemilu 2004, terlebih lagi pada pemilu 2009 dan 2014,
sebagian besar anak-anak muda Muslim terlibat dalam politik praktis, baik
untuk menjadi anggota legislatif maupun menjadi pendukung calon-calon
presiden yang akan bertarung. Kini, anak-anak muda itu menjadi pragmatis.
Dalam tujuh tahun terakhir, perhatian masyarakat Muslim juga tersedot
terutama pada soal-soal sosial dan politik, sesekali terjadi perbincangan
keagamaan karena insiden intoleransi. Namun, diskursus Islam intelektual
dengan respons yang luas seperti pada masa 1990-an dan awal 2000-an sudah
melemah. Menurut Moqsith, JIL dan isu-isu Islam liberal semakin melemah
ketika tokoh-tokoh senior Muslim liberal seperti Madjid, Wahid meninggal,
Djohan dan Dawam sudah meninggal. Tidak ada generasi pertama setelah
mereka yang memiliki akar Islam sosial (pengikut) yang kuat seperti Wahid,
dan akar Islam institusional seperti Madjid. Ringkasnya, figur-figur muda
seperti Ulil, Luthfi, Ihsan Ali Fauzi, Saiful Muzani, Moqsith Ghazali dan
lain-lain kurang memiliki wibawa Islam intelektual dan spiritual seperti yang
dimiliki tokoh-tokoh senior di atas.
Masa depan gagasan-gagasan Islam liberal di Indonesia
sesungguhnya masih terbuka, namun harus dikemas dalam format yang bisa
diterima kaum Muslim secara luas. Sesungguhnya, meskipun JIL sudah
redup, namun tokoh-tokohnya masih aktif memberikan sumbangan pemikiran
bagi Indonesia, baik melalui tulisan-tulisan di media massa maupun dalam
15
Gagasan besar Amin Abdullah tentang hubungan agama dan sains dirumuskannya
dalam apa yang ia sebut Integrasi-Interkoneksi. Proyek besar Abdullah ini kemudian menjadi
“ benchmark” UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta yang diimplementasikan dalam kurikulum-
kurikulum yang dirancang dan bangunan fisik kampus. 16
Karya terbaru Nasaruddin Umar tentang tasawuf adalah Tasawuf, Gender dan
Deradikalisasi Tafsir Agama (2014).
206
ceramah-ceramah yang mereka sampaikan di mana-mana. Sebagian ide-ide
besar Islam liberal sesungguhnya senafas dengan ide-ide Muslim moderat
yang ada di NU, Muhammadiyah, Paramadina dan UIN. Pandangan
keIslaman yang moderat dan liberal juga sejalan dengan nilai-nilai di dalam
Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika. Karena itu, pemerintah juga akan
“mendukung” ide-ide progresif mereka. Hanya saja, ide-ide progresif Islam
liberal harus muncul dengan nama lain yang simpatik, karena istilah ‘Islam
liberal,’ bagi sebagian besar Muslim Indonesia, sudah terlanjur menjadi hantu
yang menakutkan, sama menakutkannya dengan istilah ‘Islam radikal.’
Sepertinya, nama JIL sudah “tamat” bagi sebagian besar Muslim Indonesia.
Akhirul kalam, ide, pikiran, dan gagasan sejatinya tak akan pernah
mati. Ia seperti ruh; selalu hidup dalam alam yang abstrak namun denyut
kehidupannya selalu terasa dalam alam yang nyata. Karena itu, jika anak-
anak muda Muslim yang terdidik dalam Islam intelektual terus merawat
idealisme mereka untuk pembaharuan Islam, untuk Islam yang dinamis, dan
untuk Indonesia yang modern—dan dengan dukungan pendanaan yang
memadai, maka ruh dan gagasan-gagasan besar Islam liberal sesungguhnya
tidak pernah mati.
207
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Taufik,. Islam dan Masyarakat: Pantulan Sejarah Indonesia,
Jakarta: LP3ES 1987
Adams, Charles C., Islam and Modernism in Egypt, Oxford university
Press. London, 1933
Ahmad, Kamaruzzaman Bustamam). Melacak Akar Sosial-Politik
Intelektual Islam Indonesia: Sebuah Survey Bibliografis, dalam
Culture and Literature, Kyoto Review of Southeast Asia, 8-9
March 2007
Ali, As`ad Said, Negara Pancasila: Jalan Kemaslahatan Berbangsa, Jakarta:
LP3ES, 2009.
Ali, Fachry dan Effendy, Bahtiar, Merambah Jalan Baru Islam: Rekonstruksi
Pemikiran Islam masa Orde Baru. Bandung: Mizan, 1986
Al-Salam, Izzu al-Din Ibn Abdi, Qawaid al-Ahkam fi Mashalih al-Anam,
Beirut: Dar al-Jil, Tanpa Tahun
Amin, Ahmad, Yaum al-Islam. Kairo: Maktabah al-Nahdah al-
Mishriyyah, t.t.
______, Zu’ama’ al-Ishlal fi al-‘Ashr al-Hadis, Kairo: Maktabah al-
Nahdah al-Mishriyyah, 1979
Amin, Qasim, Tahrir al-Mar’ah Dar al-Ma’arif, Kairo, 1970
______, Al-Minhaj al-Jadidah fi al-Adab al-Arabiy, Jl.II, Dar al-‘ilm li al-
Malayin, Bairut, 1969
Antonius, George, The Arab Awakening : The Story of the Arab National
Movement. New York: Gordon Press, 1981
Anwari, Tontowi dan Rahmawati, Evi, Pembaruan Pemikiran Islam di
Indonesian. Jakarta: LSAF, 2011
Azra, Azyumardi, Jaringan Ulama, Timur Tengah dan Kepulauan
Nusantara Abad XVII dan XVIII. Bandung: Mizan, ,1999
_____, ‘Teching Tolerance Through Education in Indonesia’,
Symposium International Paper in Cutivating Wisdom,
Harvesting Peace, Multy-Face Centre Graffith University, 10-13
Auguts 2005
Bahar, Saafroedin dkk (eds.), Risalah Sidang BPUPKI & PPKI 28 Mei 1945-
22 Agustus 1945, Jakarta: Sekretariat Negara RI, 1995.
Russel, Bertrand , History of Western Philosophy. London: Routledge, 1966
Bizawie, Zainul Milal, Masterpiece Islam Nusantara: Sanad dan Jejaring
Ulama Santri (1830-1945), Ciputat-Tangerang: Pustaka Compass,
2016
208
Carl Brockelmann, History of The Islamic People. London: Routledge &
Kegan Paul, 1980
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa
Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1988
Donohue, John J dan Esposito, John L. Islam dan pembaruan. Jakarta:
Rajawali Press, 1999
Enayat, Hamid, Modern Islamic Political Thought, The Macmillan Press,
London: LTD., 1982
Encyclopedia Britanica, USA: William Benton Publisher, vol.XV, 1970
Esposito, Jhon L., Dinamika kebangkitan Islam. Jakarta: Rajawali Press,
(2001).
Feilard, Andree, NU Vis a Vis Negara: Pencarian Isi, Bentuk dan Makna,
Yogyakarta: LKiS, 1999.
Fernau, F.W., Moslems on the March : People and Politics in the World of
Islam, London: Robert Hale Limited, (1955).
Gibb, H.A.R., dan J.H. Kramers, Shorter Encyclopaedia of Islam. New York:
Cornell University Press, 1953
Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1975
Hourani, Albert, Arabic Thought in the Liberal Age. London: Oxford
University Press, 1962
Huntington, Samuel P., The Clash of Civilization: Remaking of the World
Order. New York: Simon and Schister. Lapidus, M. Ira “Sejarah sosial
Ummat Islam”. Rajawali Press, 1997
Jamhari dan Jahroni, Jajang (ed.). Gerakan Salafi Radikal di Indonesia.
Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2004
Jan Aritonang, Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam, Jakarta: BPK Gunung
Mulia
Khallaf, Abdul Wahab, `Ilm Ushul al-Fiqh, Mesir: Maktabah al-Da`wah al-
Islamiyah, 1968.
Lewis, B., dkk. (Editor), The Encyclopaedia of Islam, Leiden: volume II, E.J.
Brill, L., (1965).
Lorens Bagus, Kamus Filsafat. Jakarta: Gramedia, 1996
Madjid, Nurcholish, (1993). “Beberapa Renungan tentang Keagamaan untuk
Generasi Mendatang, dalam Ulumul Qur’an 1, IV, 1993
______, Indonesia Kita, Jakarta: Universitas Paramadina, 2004.
______, Islam Agama Kemanusiaan: Membangun Tradisi dan Visi Baru
Islam Indonesia, Jakarta: Paramadina, 1995
______, Islam Doktrin dan Peradaban, Jakarta: Paramadina, 1995.
______, Khazanah Intelektual Islam. 1995. Jakarta: Bulan Bintang.
May, L.S., Iqbal, the Humanist: In Memoriam. Iqbal Review, Vol XVIII,
No.4, 1978
209
Moelino, Anton M. (Penyunting Penyelia), Kamus Besar Bahasa Indonesia,
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, Jakarta, cetakan ke-2,
(1989).
Nasution, Harun, Pembaharuan dalam Islam: Sejarah dan Gerakan.
Jakarta: Bulan Bintang, 1984
Nurcholish Madjid. (1995).
Nurdin, M. Amin and Ropi, Ismatu, Respon Kelompok Non-Islam terhadap
Islam di Indonesia. Jakarta: Idayus, 2011
Panitia Muktamar NU, (1986). Hasil Muktamar Nahdaltul Ulama ke-27
Situbondo. Semarang: Sumber Barakah, 1986
Rahman, FazlurIslam dan Modernitas. Bandung: Pustaka, , 1985
______, Islam: SejarahPemikiran dan Peradaban. Jakarta: LSAF, 2017
______, Interpreting the Qur'an Inquiry, 1986.
______, Islamand Modernity:Transformatioan of an Intellectual Tradition,
Chicago & London: The University of Chicago Press, 1982
______, Islamic Methodology in History, Karachi: Central Institute of
Islamic Research ,1965
______, "Some Islamic Issues in the Ayyub Khan Era" dalam Donal P.
Little (ed.), Essays on Islimic Civilization: Presented to Niyazi
Berkes, Leiden: E.J. Brill, 1976
______, “Islam: Challenges and Opportunities,” dalam Alford T.Welch &
Pieree Cachia (eds.), Islam: Past Infeluence and Present Challenge,
Edinburgh: Edinburgh University Press, 1979
______, Rahman, Fazlur, Major Themes of the Qur'an, Minneapolis-
Chicago: Bibliotheca Islamica, 1980
______ , The Ideological Experience of Pakistan. Islam and the Modern
Age, Vol. No.4, 1971
Rippin, Andrew, “Interpreting the Bible Through the Qur’an.” Dalam
Hawting, G.R. dan Shareef Abdul-Kader A. (eds.). Approaches to the
Qur’an. London: Routledge, 1993
Ropi, Ismatu, “Wacana Inklusif Ahl al-Kitab.” Jakarta: Paramadina 1, no. 1,
1999.
Russel, Bertrand, History of Western Philosophy. London: Routledge, ,1966
Sahal, Ahmad, “Prolog: Kenapa Islam Nusantara”, dalam Akhmad Sahal
(ed.), Islam Nusantara: Dari Ushul Fiqh Hingga Paham Kebangsaan,
Bandung: Mizan, 2015.
Sidjabat, Bonar, Religious Tolerance and the Christian Faith: A Study the
Concept of Divine Omnipotence in the Indonesian Constitution in the
Light of Islam and Christianity. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1965
Sjadzali, Munawir, H.,MA., Islam dan Tata Negara : Ajaran Sejarah, dan
Pemikiran, Jakarta: UI-Press, 1990
Tal’at harb, Tarbiyat al-Mar’at wa al-Hijab. Kairo: Dar al-Ma’arif, 1905
210
Wahid, Abdurrahman, Islam Kosmopolitan: Nilai-Nilai Indonesia &
Transformasi Kebudayaan, Jakarta: The Wahid Institute, 2007
______, Pergulatan Negara, Agama dan Kebudayaan, Jakarta: Desantara,
2001
Yudi Latif, Mata Air Keteladanan: Pancasila dalam Perbuatan, Bandung:
Mizan, 2014
Yusqi, M. Isom, dkk, Mengenal Konsep Islam Nusantara, Jakarta: Pustaka
STAINU, 2015
211
TENTANG EDITOR
Dr. M. Amin Nurdin, MA adalah Dosen Tetap Fakultas Ushuluddin
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Alumni Pondok
Modern Gontor Ponorogo lalu melanjutkan kuliah di Fakultas Ushuluddin
Jurusan Perbandingan Agama IAIN Jakarta (sekarang UIN). Mengambil
Master dan Doktoral di UIN Jakarta dengan melakukan penelitian disetasi di
Universitas Melbourne Australia dengan judul Islam dan Multikulturalisme
di Australia pada tahun 1999-2000. Pada tahun 2016 menjadi peneliti tamu di
Univesitas Philipps Marburg Jerman dengan tema penelitian Islam di Eropa.
top related