alur penerimaan perkara di pa (1) (1)

Download Alur Penerimaan Perkara Di Pa (1) (1)

If you can't read please download the document

Upload: rahmat-arijaya

Post on 17-Feb-2016

26 views

Category:

Documents


15 download

DESCRIPTION

Alur Penerimaan Perkara Di Pa (1) (1)

TRANSCRIPT

Dr. Ahmad Mujahidin, SH.,MH.-CJE-2014- 1ALUR PENERIMAAN PERKARA DI LINGKUNGAN PENGADILAN AGAMAOleh :DR. HASBI HASAN,SH., MH.DR. AHMAD MUJAHIDIN, SH.MHDR. H. BUNYAMIN ALAMSYAH, SH.M.HumDisampaikan dalam Diklat CJE (Continuing Judicial Education) Lingkungan Peradilan AgamaBADAN LITBANG DIKLAT KUMDIL MA-RIBAGIAN IPENDAHULUANLembaga Peradilan sebagai sebuah institusi kenegaraan yang berfungsi untuk menegakkan hukum dan keadilan bagi masyarakat pencari keadilan berkewajiban untuk membuat tata kerja yang baku agar memudahkan bagi para pencari keadilan dalam berperkara dan mewujudkan efesiensi dan efektifitas serta akuntabilitas pejabat pengadilan dalam menyelesaikan perkara. Masih banyak masyarakat mengeluhkan mengenai prosedur dan sistem kerja penerimaan dan pelayanan masyarakat oleh pengadilan agama. Keluhan tersebut bukan hanya menyangkut martabat, integritas, dan kepercayaan publik (public trust) terhadap peradilan agama, namun juga menyangkut persoalan ketepatan dan kecepatan pelayanan. Munculnya keluhan masyarakat ini, apabila dibiarkan pasti berimplikasi pada menguatnya sikap ketidakpercayaan masyarakat secara luas terhadap pengadilan agama. Ketidakpercayaan masyarakat terhadap lembaga peradilan agama itu salah satunya disebabkan ketidakjelasan prosedur dan alur penerimaan perkara di pengadilan agama. Hal ini berakibat para pihak yang ingin berperkara di pengadilan agama dimanfaatkan oleh para mafia peradilan, baik dari oknum-oknum pengadilan agama itu sendiri, ataupun oknum-oknum bukan pegawai pengadilan agama. Pasal 54 UU No. 7 Tahun 1989 yang isinya tidak diubah baik dalam UU No. 3 Tahun 2006 maupun dalam UU No. 50 Tahun 2009 Tentang Perubahan Pertama dan Kedua Tentang Peradilan Agama disebutkan : Hukum acara yang berlaku pada pengadilan dalam lingkungan peradilan agama adalah hukum acara perdata yang berlaku pada pengadilan dalam lingkungan peradilan umum, kecuali yang telah diatur secara khusus dalam undang-undang ini.Adapun hal-hal yang telah diatur secara khusus menurut undang-undang organik di lingkungan peradilan agama antara lain :Perkara cerai talak diajukan kepada pengadilan agama yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman termohon, kecuali apabila termohon dengan sengaja meninggalkan tempat kediaman yang ditentukan bersama tanpa izin pemohon (pasal 66 UU No. 7 Tahun 1989);Perkara cerai gugat diajukan kepada pengadilan agama yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman Penggugat;Pemanggilan bagi tergugat/ termohon ghaib (tidak jelas alamatnya di seluruh wilayah Indonesia), pemanggilan dilakukan dengan cara menempelkan surat gugatan/permohonan pada papan pengumuman di pengadilan agama dan mengumumkannya melalui satu atau beberapa mess media yang ditetapkan oleh pengadilan agama. Pengumuman dilakukan sebanyak 2 (dua) kali dengan tenggang waktu satu bulan antara pengumuman pertama dan kedua. Tenggang waktu antara panggilan terakhir dengan persidangan ditetapkan sekurang-kurangnya 3 (tiga) bulan. Jika tergugat tidak hadir maka diputus verstek (Pasal 27 PP No. 9 Tahun 1975).Pemeriksaan perkara perceraian di lingkungan peradilan agama dilakukan secara tertutup, sedang pembacaan putusan tetap dilakukan dalam siding terbuka untuk umum (Pasal 33 dan 34 UU No. 7 Tahun 1989);Perdamaian wajib dilaksanakan oleh hakim dalam perkara perceraian pada setiap persidangan sampai perkara diputus. Pada sidang pertama suami istri harus datang secara pribadi untuk perdamaian tersebut, kecuali salah satu pihak berada di luar negeri dapat diwakilkan oleh kuasanya yang secara khusus dilakukan untuk keperluan tersebut (Pasal 82 UU No. 7 Tahun 1989);Gugatan perceraian wajib menghadirkan keluarga atau orang dekat masing-masing pihak untuk diminta keterangan dan sekaligus dijadikan saksi dalam perkara tersebut (Pasal 27 PP No. 9 Tahun 1975 jo Pasal 76 UU No. 7 Tahun 1989);Gugatan Lian terjadi karena suami menuduh istri berbuat zina atau mengingkari anak dalam kandungan atau yang sudah lahir dari istrinya, sedangkan istri menolak tuduhan dan / atau mengingkari tersebut;Biaya dalam perkara cerai talak maupun cerai gugat dibebankan kepada pihak yang mengajukan perceraian. BAGIAN IIDASAR HUKUM ALUR PERKARA HUKUM ACARA PERDATA PENGADILAN AGAMA Dasar Hukum Alur Perkara Pengadilan AgamaBerdasar UU No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasan Kehakiman bahawa pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatau perkara yang diajukan kepadanya dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya. UU Nomor 48 Tahun 2009, Pasal 10 (1). Dalam bidang hukum acara peradilan agama, hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dan rasa keadilan yang tidak menyimpang dari Syariah Islam. UU Nomor 48 Tahun 2009 Pasal 5 (1) hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Kewajiban hakim untuk menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai yang hidup di masyarakat dilakukan apabila sudah tidak ditemukan lagi dalam undang-undang dan peraturan yang berlaku. Adapun peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang hukum acara peradilan agama khususnya dalam hal alur perkara diantaranya diatur dalam :HIR (Herziene Inlandsch Reglement) untuk Jawa dan Madura, RBg (Rechtsreglement Voor De Buitengewesten) untuk luar Jawa dan Madura. Kedua aturan hukum acara ini diberlakukan di Pengadilan Agama, kecuali dalam hal yang sudah diatur secara khusus dalam UU No. 3 Tahun 2006 dan UU No. 50 Tahun 2009 Tentang Perubahan Pertama dan Kedua Atas UU No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama, misalnya pembebanan biaya perkara yang harus dibayar oleh penggugat/pemohon, pembuktian dengan alasan syiqaq, gugatan perceraian yang didasarkan atas alasan zina (lian) dan beberapa ketentuan lain yang diatur secara khusus. Prof. Dr. H. Abdul Manan, SH.,S.IP.,M.Hum, Penerapan Hukum Acara Perdata Dilingkungan Peradilan Agama, Yayasan Al-Himah, Jakarta, 2000, halaman 5B.Rv. (Reglement Op De Bugerlijke Rechtsvordering) diperuntukkan untuk golongan Eropa yang berperkara di muka Raad van Justitie dan Residentie gerecht, dengan dihapuskannya Raad van Justitie dan Hoogerechtshof, maka B.Rv. sudah tidak berlaku lagi. Akan tetapi hal-hal yang diatur dalam B.Rv. banyak yang masih relevan dengan perkembangan hukum acara dewasa ini. Misalnya tentang formulasi surat gugatan, perubahan surat gugat, intervensi dan beberapa ketentuan hukum acara perdata lainnya;BW ( Burgerlijke Wetbook voor Indonesia), yang dalam bahasa Indonesia disebut dengan KUH Perdata, terdapat juga sumber hukum acara perdata khususnya buku IV tentang pembuktian, yang termuat dalam Pasal 1865 s/d 1993.WvK (Wetboek van Koophandel ), yang dalam bahasa Indonesia dikenal dengan KUH Dagang. Dalam kaitan dengan hukum dagang ini, terdapat juga hukum acara perdata yang diatur dalam failissements Verordering (aturan kepailitan) yang diatur dalam Stb. 1906 Nomor 348.UU No. 20 Tahun 1947 tentang Acara Perdata dalam hal Banding bagi Pengadilan Tinggi di Jawa dan Madura. Sedangkan untuk daerah luar Jawa dan Madura diatur dalam Pasal 199-205 R.Bg.UU No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman. Dalam peraturan perundang-undangan ini memuat beberapa ketentuan tentang hukum acara perdata dalam praktik peradilan di Indonesia.UU Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang peraturan pelaksana undang-undang perkawinan tersebut.UU Nomor 14 Tahun 1985, yang telah diubah dan disempurnakan dengan UU Nomor 5 Tahun 2004 dan UU No. 3 Tahun 2009 Tentang Mahkamah Agung yang memuat tentang acara perdata dan hal-hal yang berhubungan dengan kasasi dalam proses berperkara di Mahkamah Agung.UU Nomor 3 Tahun 2006 dan UU No. 50 Tahun 2009 Tentang Perubahan Pertama dan Kedua Atas UU No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama, dalam undang-undang ini, khususnya Pasal 54 menyebutkan bahwa hukum acara yang berlaku dilingkungan peradilan agama adalah sama dengan hukum acara yang berlaku di lingkungan peradilan umum, kecuali hal-hal yang telah diatur secara khusus dalam undang-undang tersebut.Peraturan Mahkamah Agung RI, Surat Edaran Mahkamah Agung RI., dan Surat Keputusan Mahkamah Agung RI., meliputi : PERMA-RI Nomor : 1 Tahun 2001 Tentang Permohonan Kasasi Perkara Perdata Yang Tidak Memenuhi Persyaratan Formil; Keputusan KMA Nomor : KMA/42/SK/III/2002 Tentang Perubahan Keputusan Ketua MA Nomor : 027A/SK/VI/2000 Tentang Biaya Perkara Yang Dimohonkan Kasasi; Keputusan KMA Nomor : KMA/042/SK/III/2001 Tentang Perubahan Keputusan Ketua MA Nomor : 02A/SK/VI/2000 Tentang Biaya Perkara Perdata dan Tata Usaha Negara Yang Dimohonkan Peninjauan Kembali;Keputusan KMA Nomor : KMA/028/SK/V/1996 Tentang Biaya Permoho nan Pemeriksaan Sengketa Kewenangan Mengadili Dalam Perkara Perdata; Surat Edaran MA-RI Nomor : 2 Tahun 2000 tentang Perubahan Surat Edaran MA-RI Nomor : 4 tahun 1998 Tentang Biaya Administrasi; Surat Edaran MA-RI Nomor : 3 Tahun 2000 Tentang Penyelesaian Perkara; Surat Edaran MA-RI Nomor : 01 Tahun 1996 Tentang Petunjuk Permohonan Pemeriksaan Sengketa Kewenangan Mengadili Dalam Perkara Perdata; Surat Edaran MA-RI Nomor : 05 Tahun 1994 Tentang Biaya Administrasi; Surat Edaran MA-RI Nomor : 06 Tahun 1994 Tentang Surat Kuasa Khusus; Surat Edaran MA/Kumdil/225/VIII/K/1994 Tentang Legalisasi Surat; Surat Edaran MA-RI Nomor 01 Tahun 1994 Tentang Pengawasan dan Pemeriksaan Administrasi Perkara; Surat Edaran MA-RI Nomor 05 Tahun 1993 Tentang Pembinaan Pengawasan Oragnisasi dan Tata Kerja Serta Pejabat Kepaniteraan Pengadilan; Surat Edaran MA-RI Nomor 02 Tahun 1990 Tentang Petunjuk Pelaksanaan UU Nomor 7 Tahun 1989; Surat Edaran MA-RI Nomor 03 Tahun 2002 Tentang Penanganan Perkara Yang Berkaitan Dengan Asas Nebis In Idem;Surat Edaran MA-RI Nomor 01 Tahun 2002 Tentang Pemberdayaan Pengadilan Tingkat Pertama Menerapkan Lembaga Damai (Eks Pasal 130 HIR/154 RBg); Surat Edaran MA-RI Nomor : MA/KUMDIL/P/01/II/2002 Tentang Petunjuk Penerimaan Tamu; Surat Edaran MA-RI Nomor 07 Tahun 2001 Tentang Pemeriksaan Setempat; Surat Edaran MA-RI Nomor 03 Tahun 2001 Tentang Perkara-Perkara Hukum Yang Perlu mendapat Perhatian Pengadilan;Surat Edaran MA-RI Nomor 07 Tahun 1992 Tentang Pengawasan dan Pengurusan Biaya Perkara; Surat Edaran MA-RI Nomor 02 Tahun 1993 Tentang Pengiriman Laporan Oleh PA dan PTA; Surat Edaran MA-RI Nomor : MA/KUMDIL/012/I/K/1994 Tentang Tata Cara Penerimaan Perkara; Surat Edaran MA-RI Nomor : 32/TUADA-AG/III-UM/IX/1993 Tentang Pelaksanaan Pola Bindalmin Peradilan Agama; Surat Edaran MA-RI Nomor 01 Tahun 1993 Tentang Pengawasan dan Pengurusan Biaya Perkara; Surat Edaran MA-RI Nomor : 43/TUADA-AG/III-UM/X/1992 Tentang Biaya Perkara di Lingkungan Peradilan Agama;Surat Edaran MA-RI Nomor : 12/TUADA-AG/III-UM/II/1992 Tentang Pola Pembinaan dan Administrasi Kepaniteraan Peradilan Agama; Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia. Yang dimaksud dengan yurisprudensi adalah pengumpulan yang sistematis dari keputusan Mahkamah Agung dan keputusan pengadilan tinggi yang diikuti oleh hakim lain dalam memberikan keputusan terhadap masalah yang sama. Kamus Fockema Andrea, sebagaimana dikutip oleh Lilik Mulyadi (1998 : 14). Hakim tidak boleh terikat pada putusan yurisprudensi tersebut, sebab Negara Indonesia tidak menganut asas the binding force of precedent jadi bebas memilih antara meninggalkan yurisprudensi dengan memakai dalam suatu perkara yang sejenis dan telah mendapat putusan sebelumnya. Hakim harus berani meninggalkan yurisprudensi kalau sekiranya yurisprudensi itu sudah usang dan sudah tidak sesuai lagi dengan tuntutan zaman dan keadaan masyarakat, tetapi tidak ada salahnya untuk tetap dipakai kalau yurisprudensi itu masih sesuai dengan keadaan zaman dan sesuai dengan nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. Abdul Manan, op.cit., halaman 7. Buku II, Pedoman Pelaksanaan dan Administrasi Peradilan Agama, Edisi Revisi, Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung Republik Indonesia, 2010.Alur Penerapan Hukum dalam Pembuatan PutusanKebebasan Hakim Pengadilan Agama dalam memutus perkara yang ditanganinya tidaklah tanpa resiko. Atas nama kebebasan yang diberikan oleh undang-undang, hakim sebagai manusia biasa dapat juga menyalahgunakan kekuasaan tersebut, untuk itu harus diciptakan batasan-batasan tertentu tanpa harus mengorbankan prinsip kebebasan sebagai hakekat kekuasaan kehakiman. Pembatasan-pembatasan tersebut berlaku dalam bentuk-bentuk sebagai berikut : Bagir Manan, op.cit.., halaman 12.Hakim hanya memutus menurut hukum. Setiap putusan hakim harus dapat menunjukkan secara tegas ketentuan hukum yang ditetapkan dalam suatu perkara kongkrit. Hal ini sejalan dengan asas legalitas dalam sebuah negara yang berdasarkan atas hukum- bahwa setiap tindakan harus didasarkan pada aturan hukum tertentu.Hakim memutus semata-mata untuk memberikan keadilan. Untuk mewujudkan keadilan ini, hakim dimungkinkan untuk menafsirkan, melakukan konstruksi hukum, bahkan tidak menerapkan atau mengenyampingkan suatu ketentuan hukum yang berlaku. Dalam hal hakim tidak dapat menerapkan hukum yang berlaku, maka hakim wajib menemukan hukum demi terwujudnya suatu putusan yang adil. Karena penafsiran, konstruksi, tidak menerapkan atau menemukan hukum tersebut semata-mata untuk mewujudkan keadilan, maka tidak dapat dilaksanakan secara sewenang-wenang.Dalam melakukan penafsiran, konstruksi atau menemukan hukum, hakim harus berpegang teguh pada asas-asas umum hukum (general principle of law) dan asas keadilan yang umum (the general principles of natural justice).Harus diciptakan suatu mekanisme yang memungkinkan menindak hakim yang sewenang-wenang atau menyalahgunakan kebebasan. Di Amerika Serikat , mekanisme ini ditempuh melalui impeachment yaitu suatu peradilan oleh kongres (trial by Congress). Lembaga impeachment ini mengandung makna tindakan terhadap hakim tidak mudah, selain berdasarkan alasan-palasan yang khusus (disebutkan dalam UUD), juga forumnya tidak mudah (yaitu kongres). UUD Amerika Serikat, Pasal 4. Hal ini di satu pihak dimaksudkan untuk melindungi kebebasan hakim, di pihak lain untuk mencegah hakim dari perbuatan tercela. Perlu ditegaskan bahwa tindakan terhadap hakim seperti proses impeachment tidak mengenai pelaksanaan fungsi yustisialnya. Tidak ada suatu kekuasaan yang dapat menindak hakim karena putusanya dianggap kurang adil. Tindakan terhadap hakim hanya mengenai tingkah laku pribadi yang merugikan negara atau menurunkan martabat kekuasaan kehakiman.BAGIAN IIIALUR PERKARA HUKUM ACARA PERDATAPERADILAN AGAMATAHAP 1 : MEJA INFORMASIKegunaan Meja InformasiKeluhan masyarakat mengenai tata cara penerimaan dan pelayanan pengadilan agama terhadap masyarakat pencari keadilan akhir-akhir ini sungguh tidak mencerminkan sebagai lembaga hukum di bidang al akhwalussakhsiyyah. Di di lingkungan peradilan agama banyak berkeliaran oknum-oknum mafia peradilan dengan menawarkan berbagai iming-iming untuk memudahkan penyelesaian perkara kepada pihak-pihak berperkara sesuai keinginan, dan segalanya mudah diatur tergantung transaksi yang disepakati antara oknum mafia peradilan dengan pihak-pihak berperkara. Hal ini terjadi, diantaranya adalah disebabkan oleh ketiadaannya pusat infomasi di pengadilan agama tersebut atau sebenarnya telah ada, namun belum berjalan secara optimal. Sehingga kedatangan para pihak ke kantor pengadilan agama yang notabene tidak tahu menahu tentang tata cara berperkara di pengadilan agama, maka keadaan inilah para oknum mafia peradilan dengan berbagai cara dan rayuan telah siap untuk memangsanya. Keluhan masyarakat tersebut di atas ternyata bukan hanya menyangkut martabat, integritas, dan kepercayaan publik (public trust) terhadap peradilan agama semata, ternyata juga merembet kepada persoalan keterbukaan informasi, ketepatan dan kecepatan pelayanan. Munculnya keluhan masyarakat ini, apabila dibiarkan pasti berimplikasi pada menguatnya sikap ketidakpercayaan masyarakat secara luas terhadap pengadilan agama. Ketidakpercayaan masyarakat terhadap lembaga peradilan agama itu salah satunya yang paling dominan adalah disebabkan karena ketidakjelasan prosedur dan alur penerimaan perkara di pengadilan agama. Hal ini berakibat para pihak yang ingin berperkara di pengadilan agama dimanfaatkan oleh para mafia peradilan, baik dari oknum-oknum pengadilan agama itu sendiri, ataupun oknum-oknum bukan pegawai pengadilan agama. Permasalahan di atas harus segera diakhiri. Hal ini dimaksudkan untuk menumbuhkan kembali kepercayaan masyarakat terhadap keberadaan lembaga peradilan agama, sehingga martabat, kehormatan, dan integritas dapat terpelihara secara terhormat dan dihormati. Untuk itu, peradilan agama dan segenap aparat pendukungnya harus menjunjung tinggi etika secara proporsionalitas dan profesionalitas. Untuk itu perlu dengan sungguh-sungguh diwujudkan fungsi pelayanan dan keterbukaan dalam penerimaan dan pelayanan pihak-pihak yang sedang berpekara di pengadilan agama dengan menunjuk seseorang atau beberapa yang secara professional bertugas pada Meja Informasi. Pentingnya diadakannya Meja Informasi dengan petugas yang terdidik untuk mampu memberikan informasi hal-hal yang berkaitan dengan teknis yudisial maupun non teknis yudisial adalah untuk menjauhkan segala kemungkinan hubungan yang dapat menimbulkan purbasangka dan penyalahgunaan wewenang. Untuk itu, hakim, majelis hakim, pejabat kepaniteraan, dan semua aparat di lingkungan peradilan agama dilarang menerima tamu dari pihak atau yang berkepentingan dengan suatu perkara yang belum diputus, sedang atau sudah diperiksa dan diputus, kecuali menyangkut proses administrative dari perkara tersebut. Apabila karena ada suatu pertimbangan tertentu yang menurut petugas meja I harus diterima dan tidak bisa dielakkan sehingga harus diterima, maka pertemuan tersebut harus dihadiri oleh pihak-pihak yang berperkara, tidak boleh hanya salah satu pihak saja. Meskipun demikian, harus melalui presedur yang benar, yakni pihak yang akan menghadap harus mengajukan permohonan dan wajib memberitahu lawan mengenai kehendak menghadap tersebut. Apabila tata cara ini tidak/belum ditempuh, maka kehendak menghadap tersebut oleh Petugas Meja Informasi harus menolaknya.Tugas Meja InformasiPetugas meja informasi adalah petugas yang tahu sedikit tentang banyak mengenai seluk beluk tugas pokok dan fungsi masing-masing pejabat kepaniteraan, kejurusitaan, hakim, dan tugas pimpinan pengadilan agama. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan informasi awal kepada pihak-pihak berperkara di pengadilan agama, lebih-lebih kepada pihak yang akan berperkara, maka petugas meja informasi harus mampu menjelaskan dan menunjukkan kepada pihak berperkara tersebut mengenai alur berperkara di pengadilan agama.Adapun tugas pokok Petugas Meja Informasi di lingkungan peradilan agama diantaranya sebagai berikut :Calon Penggugat / Pemohon menghadap Petugas Meja Informasi bahwa ia akan berperkara di pengadilan agama; Petugas informasi menanyakan tentang kelengkapan syarat administratif pengajuan perkara, dan panjar biaya perkara;Petugas informasi menyiapkan check list tentang kelengkapan syarat-syarat pengajuan perkara di pengadilan agama;Calon penggugat/pemohon yang tidak bisa baca tulis, diberikan penjelasan tentang tata cara pembuatan surat gugatan atau permohonan. Calon penggugat/pemohon yang tidak bisa membuat surat gugat/permohonan sendiri disarankan untuk meminta bantuan kepada advokat/posbakum; Apabila tidak mampu untuk membayar disarankan untuk prodeo. Apabila calon pemohon/penggugat ternyata sudah lengkap syarat pengajuan perkaranya di pengadilan agama, maka petugas meja informasi memerintahkan agar calon pemohon/penggugat menghadap kepada petugas meja I;Adapun syarat kelengkapan pengajuan perkara di pengadilan agama adalah berfareasi tergantung pada perkaranya. Dalam hal ini dapat dicontohkan dalam perkara cerai talak dan cerai gugat, yakni : Perkara cerai talak, syarat-syarat pengajuannya yang lazim berjalan selama ini adalah :1). Surat permohonan cerai talak, dibuat minimal rangkap 6 (3 untuk majelis, 2 untuk pemohon dan termohon, dan 1 untuk meja II );2).Kutipan akta nikah, dan di photo copy serta dinazegelen di kantor pos.3). Photo copy KTP milik pemohon.4). Uang panjar biaya perkara sesuai radius, dengan rumus P2, T 3, ditambah P1 dan T1 untuk ikrar talak.5).Perkara prodeo, harus dilampirkan surat keterangan tidak mampu dari kepala desa/kelurahan (pasal 60B UU No. 50 Tahun 2009) atau surat keterangan social lainnya seperti : KKM (Kartu Keluarga Miskin), JASKESMAS (Kartu Jaminan Kesehatan Masyarakat), PKH (Kartu Program Keluarga Harapan), atau kartu BLT (Bantuan Langsung Tunai).b. Perkara cerai gugat, syarat-syarat pengajuannya yang lazim berjalan selama ini adalah : 1). Surat permohonan cerai gugat, dibuat minimal rangkap 6 (3 untuk majelis hakim, 2 untuk penggugat dan tergugat, dan 1 untuk meja II );2).Kutipan akta nikah, dan di photo copy serta dinazegelen di kantor pos.3). Photo copy KTP milik penggugat.4). Uang panjar biaya perkara sesuai radius, dengan rumus P2, T 3;5).Perkara prodeo, harus dilampirkan surat keterangan tidak mampu dari kepala desa/kelurahan (pasal 60B UU No. 50 Tahun 2009) atau surat keterangan social lainnya seperti : KKM (Kartu Keluarga Miskin), JASKESMAS (Kartu Jaminan Kesehatan Masyarakat), PKH (Kartu Program Keluarga Harapan), atau BLT (Kartu Bantuan Langsung Tunai).TAHAP 2 : PETUGAS MEJA ISetelah pihak yang ingin berperkara di pengadilan agama mendapat penjelasan dan check list mengenai kelengkapan syarat-syarat berperkara yang disampaikan oleh Petugas Meja Informasi, dan oleh pihak berperkara telah memenuhi beberapa persyaratan tersebut, maka langkah berikutnya (tahap ke 2) pihak berperkara menghadap ke Petugas Meja I untuk menyerahkan beberapa persyaratan tersebut.Adapun langkah-langkah yang harus dilakukan oleh Petugas Meja I setelah pihak berperkara menghadap kepadanya adalah sebagai berikut :Petugas Meja I Menerima surat gugatan, permohonan, perlawanan (verzet), pernyataan banding, kasasi, peninjauan kembali dan eksekusi. Adapun beberapa hal yang harus diperhatikan oleh Petugas Meja I adalah meliputi : Perlawanan atas putusan verstek berupa verzet tidak didaftar sebagai perkara baru dan pelawan dibebani biaya untuk pemanggilan dan pemberitahuan pihak-pihak yang ditaksir oleh petugas meja I; Perlawanan pihak ketiga atau disebut dengan derden verzet didaftar sebagai perkara baru dalam register gugatan; Dalam pendaftaran perkara, dokumen yang perlu diserahkan kepada Petugas Meja I adalah :Surat gugatan atau permohonan yang ditujukan kepada ketua pengadilan agama yang berwenang;Surat kuasa khusus dalam hal penggugat atau pemohon menguasakan kepada pihak lain;Photo copy kartu anggota advokat bagi yang menggunakan jasa advokat;Bagi kuasa insidentil harus ada surat keterangan tentang hubungan keluarga dari kepala desa/lurah dan/atau surat izin khusus dari atasan bagi PNS dan anggota TNI/Polri. SE-TUADA ULDILTUN MA-RI No. MA/KUMDIL/8810/1987Salinan putusan untuk permohonan eksekusi;Salinan surat-surat yang dibuat di luar negeri harus disahkan oleh kedutaan atau perwakilan Indonesia di negara tersebut dan harus diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh penerjemah yang disumpah. Bila di Negara tersebut tidak ada kedutaan / perwakilan RI yang ada hanya kamar dagang, dapat disahkan oleh kamar dagang;Surat gugatan/permohonan diserahkan kepada meja I sebanyak jumlah pihak ditambah 3 (tiga) rangkap termasuk aslinya untuk majelis hakim; Petugas meja I menerima dan memeriksa kelengkapan berkas dengan menggunakan daftar periksa (check list);Memeriksa kelengkapan berkas perkara.Jika gugatan/ permohonan belum dibuat oleh pihak berperkara, Petugas Meja I memberikan penjelasan agar ia meminta bantuan kepada Advocat (posbakum) untuk memberi bantuan membuat surat gugatan/ permohonan.Petugas Meja I mempersiapkan SKUM panjar biaya perkara dengan memberi penjelasan dan penafsiran panjar biaya perkara yang kemudian dituangkan dalam SKUM (Surat Kuasa Untuk Membayar). Dalam menentukan panjar biaya perkara yang dituangkan dalam SKUM, Petugas Meja I harus memperhatikan hal-hal berikut ini :Dalam menentukan panjar biaya perkara Petugas Meja I berpedoman pada SK Ketua Pengadilan Agama Tentang Panjar Biaya Perkara. SK ini merujuk pada PP No. 53 Tahun 2008 tentang PNBP, PERMA RI No. 2 Tahun 2009 Tentang Biaya Proses Penyelesaian dan Pengelolaannya pada Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya, Surat Wakil Ketua MA-RI masing-masing : No. 33/WK-MA.N.Y/IX/2008 tanggal 26 September 2008 tentang PP No. 53 tahun 2008 dan No. 42/WK-MA.N.Y/XI/2008 tanggal 4 November 2008 tentang Petunjuk Pelaksanaan PP No. 53 tahun 2008 serta peraturan terkait lainnya;Surat keputusan ketua pengadilan agama tentang panjar biaya perkara harus ditempel pada papan pengumuman pengadilan agama;Dalam penaksiran panjar biaya perkara perlu dipertimbangkan hal-hal sebagai berikut : Jumlah pihak-pihak yang berperkara; Jarak tempat tinggal dan kondisi daerah para pihak; Dalam perkara cerai talak harus diperhitungkan juga biaya pemanggilan para pihak untuk sidang ikrar talak; Biaya pemanggilan para pihak untuk menghadiri proses mediasi lebih dahulu dibebankan kepada pihak penggugat melalui uang panjar biaya perkara. Surat kuasa untuk membayar (SKUM) dibuat oleh Petugas Meja I rangkap 4 (empat) dan menyerahkannya kepada : Lembar warna hijau untuk bank yang bersangkutan; Lembar warna putih untuk penggugat/pemohon; Lembar warna merah untuk kasir; Lembar warna kuning untuk dilampirkan dalam berkas;Setelah pihak berperkara melengkapi beberapa persyaratan untuk berperkara di pengadilan agama oleh Petugas Meja I, termasuk di dalamnya Petugas Meja I telah menuliskan dalam SKUM (Surat Kuasa Untuk Membayar) berupa : Nomor Perkara (dalam tahap ini SKUM belum diberi nomor perkara); Nama Penggugat/Pemohon (harus sudah ditulis lengkap nama Pemohon/Penggugat); Alamat (harus ditulis lengkap sebagaimana tersebut dalam surat gugatan/permohonan); Panjar biaya perkara (harus ditulis angka secara jelas); Terbilang (harus ditulis sejumlah uang panjar biaya perkara sebagaimana angka (4) dengan huruf);Untuk pembayaran (harus ditulis dengan jelas maksud pembayaran panjar biaya perkara itu sesuai perihal dalam surat gugatan/permohonan);Tempat pengadilan agama, tanggal, bulan, dan tahun (harus ditulis tempat pengadilannya, tanggal dibuatkan SKUM oleh Petugas Meja I, bulan dan tahun). Penyetor (harus sudah ditulis nama lengkap dan tanda tangan Penggugat/Pemohon);Kasir Pengadilan Agama (dalam tahap ini belum ditulis nama dan tanda tangan Kasir);Teller Bank (dalam tahap ini teller bank menuliskan apa-apa).Petugas meja I menyerahkan kembali surat gugatan/ permohonan kepada calon penggugat atau pemohon untuk membayar sejumlah uang panjar perkara yang tercatat dalam SKUM tersebut ke bank yang ditunjuk.Jika pihak berperkara tidak mampu untuk membayar biaya perkara, petugas Meja I memberikan penjelasan untuk mengajukan gugatan/ permohonan secara prodeo.TAHAP 3 : BANK YANG DITUNJUK Setelah pihak yang mau berperkara menerima kembali surat gugatannya/permohonannya dari Petugas Meja I kemudian calon penggugat atau pemohon melakukan pembayaran sejumlah uang panjar biaya perkara yang tercatat dalam SKUM tersebut ke bank yang ditunjuk dengan menyerahkan sejumlah SKUM (rangkap 4) kepada Teller Bank.Adapun yang dilakukan oleh Teller Bank yang ditunjuk oleh Pengadilan Agama itu biasanya melakukan hal-hal sebagai berikut :Teller Bank yang ditunjuk menerima Surat Kuasa Untuk Membayar (SKUM) rangkap 4 (empat) dari Pemohon/Penggugat;Teller Bank yang ditunjuk menerima sejumlah uang sebagaimana tercantum dalam SKUM yang dibuat oleh Petugas Meja I;Teller Bank yang ditunjuk memberikan tanda validasi dalam SKUM itu rangkap 4 (empat);Teller Bank yang ditunjuk memberikan tanda paraf di dalam SKUM itu rangkap 4 (empat);Teller Bank yang ditunjuk tidak menulis nomor perkara yang tercantum dalam SKUM;Teller Bank yang ditunjuk mengambil 1 (satu) SKUM berwarna hijau yang telah divalidasi dan diparaf untuk disimpan di Bank;Teller Bank yang ditunjuk mengembalikan SKUM warna putih, kuning, dan merah setelah divalidasi dan diparaf oleh Teller Bank kepada Pemohon/Penggugat. Nomor rekening yang dibayar oleh pihak penggugat/pemohon yang tercantum dalam Surat Kuasa Untuk Membayar (SKUM) adalah nomor rekening milik Pengadilan Agama tempat pihak penggugat/pemohon berperkara. Biasanya nomor rekening itu sudah dicetak dalam SKUM, sehingga tidak dimungkinkan untuk diubah atau dimanipulasikan oleh siapapun termasuk oleh Petugas Meja I.Pembayaran panjar biaya perkara ke Bank yang ditunjuk, masing-masing pengadilan agama berbeda-beda dalam praktiknya, artinya pihak Bank yang ditunjuk itu mengirimkan petugas Tellernya ke pengadilan agama dan di pengadilan agama telah disiapkan ruangan khusus untuk pembayaran panjar biaya perkara, hal ini biasanya apabila perkara di pengadilan agama itu cukup banyak seperti Pengadilan Agama Jember, Pengadilan Agama Banyuwangi, Pengadilan Agama Kabupaten Malang, dan lain-lain, dan yang banyak para pihak berperkara sendiri yang harus mendatangi bank yang ditunjuk oleh pengadilan agama, hal ini dikarenakan perkara yang masuk ke pengadilan agama tidak cukup banyak.Pihak penggugat/pemohon setelah melakukan pembayaran sejumlah uang panjar biaya perkara di Bank yang ditunjuk itu, maka biasanya pada hari itu juga kembali ke pengadilan agama untuk mendaftarkan perkaranya ke Kasir untuk mendapatkan nomor perkara. Namun tidak tertutup kemungkinan pihak penggugat/pemohon tidak langsung kembali ke pengadilan agama untuk mendaftarkan perkaranya ke kasir, namun menunda pada hari-hari berikutnya atau pada hari-hari yang tidak ditentukan batas waktunya, terhadap hal ini tidak diatur batas waktunya untuk kembali mendaftar ke pengadilan agama, karena meskipun pihak penggugat/pemohon telah membayar uang panjar biaya perkaranya di bank yang ditunjuk belum berarti sudah terjadi ikatan dengan pengadilan agama, karena pengadilan agama belum mendaftarkan perkara pihak penggugat/pemohon itu dalam bentuk pemberian nomor perkara dalam SKUM maupun dalam surat gugatannya/permohonannya atau mencatat dalam buku jurnal keuangan perkara. TAHAP 4 : KASIR PERKARA PENGADILAN AGAMA Pihak penggugat/pemohon setelah membayar panjar biaya perkara sebagaimana tercatat dalam Surat Kuasa Untuk Membayar (SKUM) melalui Bank yang ditunjuk oleh pengadilan agama, maka penggugat/pemohon menghadap ke kasir pengadilan agama untuk mendaftarkan diri sebagai pihak yang ingin berperkara.Adapun kasir pengadilan agama berkewajiban untuk menerima penggugat/pemohon itu dengan langkah-langkah sebagai berikut :Kasir menerima berkas gugatan penggugat/permohonan pemohon yang berisi didalamnya berupa rangkap surat gugatan/permohonan, SKUM warna putih, merah, dan kuning yang telah divalidasi dan paraf oleh teller bank yang ditunjuk oleh pengadilan agama, dan lampiran-lampiran lainnya.Kasir memberikan cap tanda lunas, nomor perkara, dan menandatangani pada SKUM;Kasir memberikan cap nomor perkara dan tanggal pendaftaran pada setiap halam pertama bagian atas kanan surat gugatan/permohonan dan sekaligus mencatat nomor perkara dan tanggal pendaftaran pada cap tersebut.Nomor urut perkara yang ditulis dalam SKUM dan setiap halaman pertama surat gugatan/permohonan adalah diurutkan sesuai dengan nomor urut pada Buku Jurnal Keuangan Perkara;Nomor urut perkara pada pengadilan agama adalah berurutan selama waktu satu tahun yang dimulai dari tanggal masuknya perkara pertama di bulan januari dan berakhir sampai dengan masuknya perkara terakhir pada bulan desember;Kasir membukukan uang panjar biaya perkara ke dalam buku jurnal keuangan perkara. Buku Jurnal Keuangan Perkara dibuat perperkara yang meliputi seberapa besar pemasukan sesuai dengan SKUM dan sejumlah pengeluaran untuk biaya perkara itu sampai dengan putusan. Kasir harus teliti dalam mencatat uang panjar biaya perkara itu ke dalam BJKP (Buku Jurnal Keuangan Perkara) karena masing-masing perkara terdapat jenis dan tingkatan yang berbeda. BJKP (Buku Jurnal Keuangan Perkara) terdiri dari 6 jenis dan tingkatan, yakni : 1). KI.PA. 1/a : untuk perkara permohonan, 2). KI.PA. 1/b : untuk perkara gugatan, 3). KI.PA. 2 :untuk perkara banding, 4). KI.PA. 3 : untuk perkara kasasi, 5). KI.PA. 4 : untuk perkara penijauan kembali, 6). KI.PA. 5 : untuk permohonan eksekusi. Kasir sebelum memasukkan atau mencatat seluruh kegiatan dalam buku induk keuangan perkara, maka kasir harus mencatat terlebih dahulu ke dalam buku kas pembantu. Buku kas pembantu dibuat oleh kasir perhari yang diisi meliputi jumlah saldo hari yang lalu dan ditambah pemasukan hari ini, dan setiap harinya ditandatangani oleh kasir dengan mengetahui panitera.Kasir setelah mencatat semuanya sebagaimana angka 1 s.d. 8, maka kasir mengambil satu SKUM warna merah untuk disimpan di kasir sebagai bukti pembayaran;Kasir setelah melakukan hal-hal sebagaimana angka 1 s.d. 9, maka kasir menyerahkan berkas perkara yang berisi sejumlah surat gugatan/permohonan dan lainnya termasuk SKUM warna putih dan kuning kepada Penggugat/Pemohon agar didaftarkan kepada Meja II Setelah melakukan tugas-tugas sebagaimana angka 1 s.d. 10, kasir berkewajiban untuk mengadministrasi biaya perkara tersebut dengan langkah-langkah :Hak-hak kepaniteraan berupa biaya pendaftaran dikeluarkan dari BJKP (Buku Jurnal Keuangan Perkara : KI-PA1) dan BIKP (Buku Induk Keuangan Perkara : KI-PA6) setelah diterimanya panjar biaya perkara;Biaya materai dan hak redaksi dikeluarkan pada saat perkara diputus;Setelah dikeluarkan dari KI-PA1 dan KI-PA6, biaya pendaftaran dan hak redaksi dibukukan dalam BPH2K (Buku Penerimaan Hak-Hak Kepaniteraan : KI-PA8);Penerimaan dan pengeluaran uang hak kepaniteraan lainnya sebagai PNBP dibukukan dalam buku tersendiri;Semua pengeluaran yang merupakan hak-hak kepaniteraan merupakan pendapatan Negara;Seminggu sekali pemegang kas menyerahkan uang hak-hak kepaniteraan kepada bendaharawan penerima untuk disetorkan ke kas Negara. Setiap penyerahan uang dicatat dalam kolom 19 (kolom keterangan) KI-PA8 dengan dibubuhi tanggal dan tandatangan serta nama bendaharawan penerima;Pengeluaran untuk proses perkara meliputi : 1). Panggilan, 2). Pemberitahuan, 3). Pelaksanaan sita, 4). Discente, 5). Sumpah, 6). Penerjemah, dan 7). Eksekusi. Kesemuanya harus dicatat secara tertib dalam buku jurnal masing-masing.Pemegang kas mencatat penerimaan dan pengeluaran uang setiap hari dalam buku jurnal yang bersangkutan dan mencatat dalam buku kas bantu yang dibuat rangkap 2, lembar pertama disimpan oleh pemegang kas dan lembar kedua diserahkan kepada panitera sebagai laporan;Buku jurnal keuangan perkara digunakan untuk mencatat semua kegiatan penerimaan dan pengeluaran biaya untuk setiap perkara : Pengadilan tingkat pertama dimulai dari penerimaan panjar ditutup pada tanggal putusan; Pengadilan tingkat banding, kasasi, dan PK dimulai dari penerimaan panjar ditutup setelah pbt; Eksekusi dimulai dari penerimaan panjar ditutup pada tanggal selesai eksekusi; Buku jurnal diberi nomor halaman, halaman pertama dan terakhir ditandatangani ketua dan halaman lainnya diparaf; Jumlah halaman setiap buku jurnal dinayatakan oleh ketua pada halaman pertama dan ditandatangani ketua; Buku induk keuangan perkara penuh dan pindah ke buku selanjutnya , maka pada buku baru itu ditulis halaman, dimulai dari halaman s.d. (nomor halaman melanjutkan nomor buku sebelumnya), ditandatangani ketua dan stempel; Buku induk keuangan perkara digunakan untuk mencatat seluruh kegiatan penerimaan perkara dan pengeluaran dari seluruh perkara (kecuali permohonan eksekusi) dan dicatat menurut urutan tanggal penerimaan dan pengeluaran dalam buku jurnal yang terkait, yang dimulai setiap awal bulan dan ditutup pada akhir bulan; Buku keuangan biaya eksekusi digunakan untuk mencatat seluruh kegiatan penerimaan dan pengeluaran eksekusi menurut urutan tanggal penerimaan dan pengeluaran dalam buku jurnal eksekusi; Buku penerimaan uang hak-hak kepnaiteraan digunakan untuk mencatat penerimaan uang hak-hak kepaniteraan dan kolom keterangan diisi dengan tanggal, jumlah uang yang disetor, serta tanda tangan dan nama bendaharawan penerima;Buku induk keuangan perkara, buku keuangan biaya eksekusi dan buku penerimaan hak-hak kepaniteraan diberi nomor halaman. Halaman pertama dan terakhir ditandatangani oleh ketua dan halaman lainnya diparaf;Banyaknya halaman dan tandatangan serta paraf tersebut diterangkan pada halaman awal dari masing-masing buku, dan keterangan tersebut ditandatangani oleh ketua;Penutupan buku induk keuangan perkara dan buku keuangan biaya eksekusi dilakukan oleh panitera dan diketahui oleh ketua;Pada setiap penutupan buku induk keuangan perkara harus dijelaskan sisa uang menurut buku kas, sisa uang dalam kas maupun yang disimpan di bank, serta perincian dari uang tersebut;Apabila terdapat selisih antara jumlah uang menurut buku kas dengan uang kas sesungguhnya, maka harus dijelaskan alasan terjadinya selisih tersebut;Ketua menandatangani buku induk keuangan perkara harus meneliti kebenaran keadaan uang menurut buku kas dan menurut keadaan yang nyata, baik dalam brankas maupun yang tersimpan di bank dengan disertai bukti penyimpanan di bank;Ketua setiap saat dapat memerintahkan panitera untuk menutup buku induk keuangan perkara dan meneliti kebenaran setiap penerimaan dan pengeluaran uang perkara sesuai dengan buku jurnal dan meneliti keadaan uang menurut buku kas dan uang yang ada dalam brankas maupun disimpan di bank, sertai bukti-buktinya;Penutupan buku induk keuangan perkara atas dasar perintah ketua hendaknya dilakukan secara mendadak sekurang-kurangnya 3 (tiga) bulan sekali, dengan dibuatkan berita acara pemeriksaan;Buku jurnal dan buku induk keuangan setiap tahun harus diganti dan tidak boleh digabung dengan tahun sebelumnya. ; dan Bila dianggap perlu kasir memberikan penjelasan secukupnya kepada penggugat/pemohon yang berkenaan dengan perkara yang diajukan. TAHAP 5 : MEJA IIPada tahal kelima ini, pihak penggugat/pemohon setelah menghadap ke kasir pengadilan agama untuk mendaftarkan diri sebagai pihak yang ingin berperkara, maka langkah selanjutnya adalah menghadap ke Petugas Meja II Pengadilan Agama.Adapun hal-hal yang dilakukan oleh pihak berperkara dan Petugas Meja II adalah sebagai berikut :Pihak berperkara menyerahkan berkas gugatan /permohonan yang berisi didalamnya berupa rangkap surat gugatan/permohonan yang telah diberi cap nomor perkara dan tanggal pendaftaran oleh kasir, SKUM warna putih, dan kuning yang telah divalidasi dan paraf oleh teller bank yang ditunjuk oleh pengadilan agama dan juga telah diberi cap tanda lunas, nomor perkara, dan tanda tangan kasir, serta lampiran-lampiran lainnya.Petugas meja II mendaftar gugatan/permohonan tersebut dalam Buku Register Dalam menggunakan buku register perkara gugatan/permohonan, petugas meja II harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut :Buku register diberi nomor halaman, halaman pertama dan terakhir ditandatangani oleh ketua dan halaman lainnya diparaf;Banyaknya halaman pada setiap buku register dinyatakan pada halaman awal dan keterangan tersebut ditandatangani oleh ketua. Apabila penuh, maka halaman awal ditulis : Buku register ini merupakan lanjutan dari buku sebelumnya terdiri dari . Halaman.Buku register induk perkara memuat seluruh data perkara dalam tigkat pertama, banding, kasasi, PK, dan eksekusi;Perkara ekonomi syaraiah adalah perkara gugatan, maka harus dicatat dalam buku register induk perkara gugatan;Buku register harus diganti setiap tahun dan tidak boleh digabung dengan tahun sebelumnya;Buku register induk perkara gugatan dan permohonan ditutup setiap bulan. Nomor urut setiap bulan dimulai dari nomor 1, sedangkan nomor perkara berlanjut untuk satu tahun;Penutupan buku register setiap akhir bulan ditandatangani petugas register dan diketahui paniteradengan perincian sebagai beriktu :Sisa bulan lalu: perkara;Masuk bulan ini: perkara;Putus bulan ini: perkara.Sisa bulan ini: . Perkara.Penutupan buku register setiap akhir tahun ditandatangani oleh panitera dan diketahui ketua, dengan perincian sebagai berikut :Sisa tahun lalu: perkara;Masuk tahun ini: perkara;Putus tahun ini: perkara.Sisa tahun ini: perkara.Buku register permohonan banding, kasasi, dan PK ditutup setiap akhir tahun dengan rekapitulasi sebagai berikut :Sisa tahun lalu: perkara;Masuk tahun ini: perkara;Putus tahun ini: perkara.Sisa akhir bulan : . Perkara.Sudah dikirim: . Perkara.Belum dikirim: perkara.Perkara Gugatan/ Permohonan, Buku Register Perkara di pengadilan agama adalah meliputi : 1. Register induk gugatan (RI-PA1G, 2). Register induk perkara permohonan (RI-PA1P), 3). Register permohonan banding (RI-PA2), 4). Register permohonan kasasi (RI-PA3), 5). Register permohonan peninjauan kembali (RI-PA4),6).Register penyitaan barang bergerak (RI-PA5), 7). Register penyitaan barang tidak bergerak (RI-PA6), 8). Register surat kuasa khusus (RI-PA7), 8). Register eksekusi (RI-PA8), 9). Register akta cerai (RI-PA9), 10). Register perkara jinayat (RI-PA10), 11) Register permohonan pembagian harta peninggalan diluar sengketa (RA-PA11), 12). Register ekonomi syariah (RI-PA12), 13). Register itsbat ruyatul hilal dan pemberian nasehat/keterangan tentang perbedaan penentuan arah kiblat dan penentuan awal waktu shalat (RA-PA13), 14). Register eksekusi putusan Basyarnas (RI-PA14), 15). Register mediasi (RI-PA15) yang kolomnya terdiri dari nomor urut, nomor perkara, para pihak, nama mediator, hasil mediasi dan keterangan. dengan mencatat:1). Nomor perkara;2). Tanggal pendaftaran; 3). Nama Para pihak berperkara;4). Petitum gugatan/permohonan.3.Petugas Meja II mengatur berkas perkara dalam map berkas perkara serta melengkapinya dengan instrument-instrumen yang diperlukan untuk memproses perkara tersebut;4.Mengembalikan satu rangkap surat gugatan/permohonan dan SKUM warna putih kepada penggugat/pemohon.Petugas meja II menyerahkan berkas perkara gugatan/permohonan kepada Ketua melalui wapan dan Panitera untuk Pembuatan Penetapan Majelis Hakim.TAHAP 6 : KETUA PENGADILAN AGAMAPada tahap ke-enam ini, pihak penggugat/pemohon setelah menghadap pada Petugas Meja II Pengadilan Agama, dan Petugas Meja II memeriksa kelengkapan proses pendaftaran dan dinyatakan telah memenuhi persyaratan pendaftaran, maka pihak berperkara telah sah dan resmi untuk menyelesaikan perkaranya di pengadilan agama. Setelah Petugas Meja II menyelesaikan tugas-tugasnya dalam proses pendaftaran perkara sebagaimana diuraikan di atas, maka langkah berikutnya adalah menindaklanjuti seluruh berkas pendaftaran perkara itu kepada Ketua Pengadilan Agama. Adapun hal-hal yang dilakukan oleh Ketua Pengadilan Agama adalah sebagai berikut :Ketua pengadilan agama menerima berkas secara lengkap dari Panitera untuk dibaca dengan maksud untuk menentukan siapa-siapa hakim yang secara khusus dalam perkara yang khusus pula memiliki kemampuan lebih dari pada yang lain untuk menangani perkara yang khusus itu.Ketua Pengadilan Agama membuat Penetapan Majelis Hakim (PMH) yang akan menyidangkan dengan selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari kerja sejak perkara didaftarkan. Apabila ketua pengadilan agama karena kesibukannya berhalangan untuk membuat PMH, maka ia dapat melimpahkan tugas tersebut untuk seluruhnya atau sebagiannya kepada wakil ketua pengadilan agama atau hakim senior yang bertugas di pengadilan agama itu (Buku II, halaman 25).Pada pengadilan agama yang banyak perkaranya, biasanya Ketua Pengadilan Agama telah menetapkan susunan majelis hakim dalam jangka waktu tertentu secara tetap, Ketentuan ketua majelis dalam persidangan pengadilan agama adalah : a). Ketua dan wakil ketua pengadilan agama selalu menjadi ketua majelis; 2). Ketua majelis adalah hakim senior pada pengadilan tersebut. Senioritas tersebut didasarkan pada lamanya seorang menjadi hakim; 3). Tiga orang hakim yang menempati urutan senioritas terakhir dapat saling menjadi ketua mejelis dalam perkara yang berlainan (Buku II, halaman 26). kecuali dalam perkara tertentu ketua dapat membentuk majelis khusus, misalnya ekonomi syariah, sengketa wakaf, waris, dll. Ketua Pengadilan menyerahkan berkas perkara secara utuh kepada Panitera yang didalamnya telah dilampirkan susunan majelis yang dibuat oleh Ketua dalam bentuk PMH (Penetapan Majelis Hakim). Biasanya dalam praktik yang perkaranya banyak, berkas perkara yang telah ditetapkan majelis hakimnya diambil kembali oleh Petugas Meja II untuk dicatat mengenai tanggal penetapan majelis hakim dan nama majelis hakim ke dalam Buku Register Perkara, kemudian baru diserahkan secara utuh pula kepada Panitera lewat Wapan.Petugas Meja II mencatat tanggal Penetapan Majelis Hakim dan nama Majelis Hakim yang di tetapkan oleh ketua ke dalam Buku Register Perkara.Setelah dicatat tanggal PMH dan majelis hakimnya di Buku Register Perkara, maka Petugas Meja II menyerahkan berkas tersebut kepada panitera melalui wakil penitera. Bisa juga Petugas Meja II setelah menerima berkas yang yang didalamnya terdapat PMH yang ditetapkan oleh Ketua, belum mencatat terlebih dahulu ke dalam buku register perkara, namun sekalian lengkap penunjukan PP, JSP, dan PHS.TAHAP 7 : PANITERA PENGADILAN AGAMAPada tahap ketujuh ini, berkas pendaftaran perkara yang telah diproses oleh Ketua Pengadilan Agama sebagaimana diuraikan di atas, maka berkas pendaftaran perkara tersebut diserahkan kembali kepada Panitera Pengadilan Agama untuk diproses lebih lanjut. Adapun hal-hal yang dilakukan oleh Panitera Pengadilan Agama adalah sebagai berikut :Panitera menerima berkas secara utuh yang didalamnya juga telah ada Penetapan Majelis Hakim (PMH) yang dibuat oleh Ketua;Panitera membuat SP3 (Surat Penunjukkan Panitera Pengganti) yang akan mendampingi Majelis Hakim dalam persidangan dan SPJP (Surat Penunjukkan Jurusita Pengganti). Penunjukan panitera pengganti dan juru sita pengganti dibuat dalam bentuk surat penunjukan yang ditandatangani oleh panitera.Panitera menyerakhan berkas perkara kepada Petugas Meja II melalui wakil panitera. Dalam praktik standart operating prosedurnya adalah petugas meja II mengambil berkas perkara yang telah ditunjuk PPnya dan JSPnya oleh Panitera untuk kemudian diserahkan kepada Wakil Panitera.Petugas Meja II mencatat tanggal penunjukan Panitera Pengganti (PP) dan Juru Sita Pengganti (JSP) berikut nama masing-masing yang ditunjuk itu ke dalam Buku Register Perkara.Petugas Meja II menyerahkan berkas perkara secara utuh yang dilampiri juga berupa PMH (Penetapan Majelis Hakim), SP3 (Surat Penunjukan Panitera Pengganti), dan SP-JSP (Surat Penunjukan Juri Sita Pengganti) kepada Majelis Hakim yang ditetapkan dalam PMH tersebut .TAHAP 8 : KETUA MAJELIS HAKIM Pada tahap kedelapan ini, berkas pendaftaran perkara yang telah diterima oleh Panitera Pengadilan Agama dari Ketua sebagaimana diuraikan di atas, maka berkas pendaftaran perkara tersebut diserahkan kepada Ketua Majelis Hakim yang ditunjuk berdasar pada PMH (Penetapan Majelis Hakim) yang dibuat oleh Ketua Pengadilan Agama untuk diproses lebih lanjut. Adapun hal-hal yang dilakukan oleh Ketua Majelis Hakim Pengadilan Agama adalah sebagai berikut :Ketua majelis menerima berkas perkara secara utuh yang dilampiri PMH (Penetapan Majelis Hakim), SP3 (Surat Penunjukan Panitera Pengganti), dan SP-JSP (Surat Penunjukan Juri Sita Pengganti); Ketua majelis mempelajari berkas dalam waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kerja harus sudah dibuat PHS (Penetapan Hari Sidang). Khusus pemeriksaan perkara perceraian dilakukan selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal surat gugatan/permohonan didaftarkan di kepaniteraan pengadilan agama;Ketua Majelis membuat Penetapan Hari Sidang (PHS) dengan memperhatikan jauh/dekatnya tempat tinggal para pihak yang berperkara dengan tempat persidangan; Sebelum ketua majelis membuat penetapan hari sidang (PHS) terlebih dahulu harus dimusyawarahkan dengan para anggota majelis. Ketua Majelis menyerahkan instrumen penetapan hari sidang melalui Panitera Pengganti kepada Petugas Meja II.Ketua Majelis memerintahkan kepada Panitera Pengganti untuk lapor kepada Petugas Meja II dalam bentuk instrument agar dicatat tanggal penetapan PHS dalam Buku Register Perkara.Ketua Majelis memerintahkan Panitera Pengganti untuk menyerahkan salinan Penetapan Hari Sidang (PHS) kepada JSP (Juru Sita Pengganti) yang ditunjuk oleh Panitera untuk dilakukan pemanggilan kepada pihak-pihak berperkara. TAHAP 9 : JURU SITA PENGGANTI (JSP) Pada tahap kesembilan ini, berkas perkara yang telah diterima oleh Ketua Mejelis Pengadilan Agama untuk ditindaklanjuti sebagaimana diuraikan di atas, maka Ketua Majelis Hakim memerintahkan kepada Juru Sita Pengganti (JSP) untuk melakukan pemanggilan. Adapun hal-hal yang dilakukan oleh Juru Sita Pengganti (JSP) Pengadilan Agama adalah sebagai berikut :Juru Sita Pengganti (JSP) menerima salinan PHS (Penetapan Hari Sidang) dari Panitera Pengganti atas perintah Ketua Majelis;Berdasar surat penunjukan Juru Sita Pengganti yang dibuat oleh Panitera dan berdasar Salinan PHS yang dibuat Ketua Majelis, maka Juru Sita Pengganti itu mempersiapkan relaas panggilan baik untuk pihak penggugat maupun pihak tergugat dengan tepat sesuai identitas dan alamat yang tercantum dalam surat gugatan penggugat.Setelah Juru Sita Pengganti mempersiapkan relaas panggilan kepada pihak-pihak berperkara, kemudian JSP mengajukan permohonan biaya panggilan kepada kasir.Kasir meneliti kembali surat penunjukan JSP, Salinan PHS, dan memperhatikan tabel radius yang ditetapkan oleh ketua pengadilan agama untuk mengeluarkan biaya panggilan kepada JSP; Kasir mencatat pengeluaran biaya panggilan yang diberikan kepada JSP (Juru Sita Pengganti) itu ke dalam Buku Jurnal Keuangan Perkara dan Buku Induk Keuangan Perkara.Juru sita pengganti setelah menerima uang panggilan dari Kasir melakukan panggilan kepada pihak berperkara atau kuasanya ditempat tinggal pihak masing-masing secara resmi dan patut, atau kepada pihak yang ditunjuk oleh undang-undang dalam keadaan tertentu. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pemanggilan adalah :1). Apabila para pihak tidak dapat ditemui di tempat tinggalnya, maka surat panggilan diserahkan kepada lurah/kepala desa dengan mencatat nama penerima, untuk diteruskan kepada yang bersangkutan (pihak berperkara yang dipanggil);2). Tenggang waktu antara panggilan para pihak dengan hari sidang minimal 3 (tiga) hari kerja;3).Pemanggilan terhadap pihak yang berada di luar yurisdiksi dilaksanakan dengan meminta bantuan pengadilan agama di mana para pihak berada, dan pengadilan agama yang diminta bantuan tersebut harus segera mengirim relaas kepada pengadilan agama yang meminta bantuan;4).Relaas panggilan kepada tergugat untuk sidang pertama harus dilampiri salinan surat gugatan, dan JSP memberitahukan kepada pihak tergugat bahwa ia boleh mengajukan jawabannya secara lisan atau tertulis dalam persidangan;5).Apabila tempat kediaman pihak yang dipanggil tidak diketahui atau tidak mempunyai tempat kediaman yang jelas di Indonesia, maka pemanggilannya dilaksanakan melalui Bupati/Walikota setempat dengan cara menempelkan surat panggilan pada papan pengumuman pengadilan agama;6).Dalam hal yang dipanggil meninggal dunia, maka panggilan disampaikan kepada ahli warisnya. Jika ahli warisnya tidak dikenal atau tidak diketahui tempat tinggalnya, maka panggilan dilaksanakan melalui kepala desa/lurah;7).Pemanggilan dalam perkara perkawinan dan tergugat/termohon tidak diketahui tempat tinggalnya (ghoib), pemanggilan dilaksanakan : Melalui satu atau beberapa surat kabar atau media massa lainnya yang ditetapkan oleh ketua pengadilan agama; Pengumuman melalui surat kabar atau media massa sebagaimana tersebut di atas harus dilaksanakan sebanyak 2 (dua) kali dengan tenggang waktu antara pengumuman pertama dan kedua selama 1 (satu) bulan. Tenggang waktu antara panggilan terakhir dengan persidangan ditetapkan sekurang-kurangnya 3 (tiga) bulan; Pemberitahuan (PBT) isi putusan ditempel pada papan pengumuman pengadilan agama selama 14 (empat belas) hari;8). Pemanggilan terhadap tergugat/termohon yang berada di luar negeri harus dikirim melalui Departemen Luar Negeri c.q. Dirjen Protokol dan Konsuker Departemen Luar Negeri dengan tembusan disampaikan kepada Kedutaan Besar Indonesia di Negara yang bersangkutan. Pemanggilan ini tidak perlu dilampiri surat panggilan tetapi permohonan tersebut dibuat tersendiri yang sekaligus berfungsi sebagai surat panggilan (relaas). Meskipun surat panggilan (relaas) itu tidak kembali atau tidak dikembalikan oleh Derektorat Jenderal Protokol dan Konseler Deplu, panggilan ini sudah dianggap sah, resmi, dan patut (Surat Ketua MA kepada Ketua PA Batam No. 055/75/91/UMTU/Pdt/1991, tanggal 11 Mei 1991). Adapun tenggang waktu antara pemanggilan dengan persidangan sekurang-kurangnya 6 (enam) bulan sejak surat permohonan pemanggilan dikirimkan. Setelah Juru Sita Pengganti melakukan pemanggilan dalam bentuk apapun keadaan pemanggilan sebagaimana diuraikan dalam catatan kaki angka (6), maka JSP menyerahkan relaas panggilan itu kepada Ketua Majelis melalui Panitera Pengganti (PP), dengan mencatat dalam buku kendali yang pegang JSP;Panitera Pengganti (PP) menerima relaas panggilan dari Juru Sita Pengganti (JSP) dengan membubuhkan paraf tanda terima dalam catatan yang dibuat oleh JSP dalam buku kendali yang dipegangnya. Selanjutnya PP memasukkan relaas panggilan itu ke dalam berkas perkara bersangkutan;Panitera Pengganti (PP) sebelum memasukkan relaas panggilan itu ke dalam berkas sebagaimana angka (8) mencatat terlebih dahulu dalam instrument mengenai tanggal pemanggilan dalam perkara itu, dan instrument tersebut diserahkan kepada Petugas Meja II.Petugas Meja II mencatat tanggal panggilan dan jenis panggilan dalam Buku Register Perkara.PENUTUPSebagian masyarakat pencari keadilan masih ada yang mengeluhkan mengenai prosedur penerimaan perkara di lingkungan peradilan agama. Bahkan di lingkungan peradilan agama banyak berkeliaran oknum-oknum mafia peradilan dengan menawarkan berbagai iming-iming untuk memudahkan penyelesaian perkara kepada pihak-pihak berperkara sesuai keinginan, dan segalanya mudah diatur tergantung transaksi yang disepakati antara oknum mafia peradilan dengan pihak-pihak berperkara. Hal ini terjadi, diantaranya adalah disebabkan oleh ketiadaannya pusat infomasi di pengadilan agama tersebut atau sebenarnya telah ada, namun belum berjalan secara optimal. Keluhan masyarakat tersebut di atas ternyata bukan hanya menyangkut martabat, integritas, dan kepercayaan publik (public trust) terhadap peradilan agama semata, ternyata juga merembet kepada persoalan keterbukaan informasi, ketepatan dan kecepatan pelayanan. Munculnya keluhan masyarakat ini, apabila dibiarkan pasti berimplikasi pada menguatnya sikap ketidakpercayaan masyarakat secara luas terhadap pengadilan agama. Ketidakpercayaan masyarakat terhadap lembaga peradilan agama itu salah satunya yang paling dominan adalah disebabkan karena ketidakjelasan prosedur dan alur penerimaan perkara di pengadilan agama. Hal ini berakibat para pihak yang ingin berperkara di pengadilan agama dimanfaatkan oleh para mafia peradilan, baik dari oknum-oknum pengadilan agama itu sendiri, ataupun oknum-oknum bukan pegawai pengadilan agama. Permasalahan di atas harus segera diakhiri. Hal ini dimaksudkan untuk menumbuhkan kembali kepercayaan masyarakat terhadap keberadaan lembaga peradilan agama, sehingga martabat, kehormatan, dan integritas dapat terpelihara secara terhormat dan dihormati. Untuk itu, peradilan agama dan segenap aparat pendukungnya harus menjunjung tinggi etika secara proporsionalitas dan profesionalitas. Untuk itu perlu dengan sungguh-sungguh diwujudkan fungsi pelayanan dan keterbukaan dalam penerimaan dan pelayanan pihak-pihak yang sedang berpekara di pengadilan agama dengan menunjuk seseorang atau beberapa yang secara professional bertugas pada Meja Informasi. DAFTAR PUSTAKA Prof. Dr. Abdul Manan, SH., SIP,. M.Hum., Penerapan Hukum Acara Perdata di lingkungan Peradilan Agama, Jakarta, Kencana, 2005. Dr.Ahmad Mujahidin, Sh. MH., Pembaharuan Hukum Acara Peradilan Agama (Dilengkapi Format Formulir Beperkara), Ghalia Indonesia, Jakarta, 2012.Mahkamah Agung RI Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama, Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan Agama Buku II Edisi Revisi 2010.Mahkamah Agung RI, Himpunan Surat Edaran Mahkamah Agung Tahun 1955-2011.Balitbang Diklat Kumdil MA-RI Pusdiklat Teknis Peradilan, Praktek Kejurusitaan Pengadilan, Edisi Revisi, 2008.Balitbang Diklat Kumdil MA-RI Pusdiklat Teknis Peradilan, Panitera Pengadilan Tugas, Fungsi dan Tanggung Jawab, 2008.