kajian alur tata niaga kapulaga (amomum cardomum l

253
Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 479 KAJIAN ALUR TATA NIAGA KAPULAGA (Amomum cardomum L.) SEBAGAI SALAH SATU PRODUK HASIL HUTAN RAKYAT POLA AGROFORESTRY DI KABUPATEN TASIKMALAYA Soleh Mulyana Balai Penelitian Teknologi Agroforestri Jl. Raya Ciamis-Banjar Km 4 Ciamis 46201 Tlp. (0265)771352 Fax (0265) 775866 e-mail: [email protected] ABSTRAK Kapulaga (Amomum cardamomum L.) merupakan salah satu produk hasil hutan rakyat pola agroforstry. Kapulaga dihasilkan umumnya dalam sekala kecil namun demikian sangat membantu dalam menopang kebutuhan sehari-sehari para petani. Tujuan kajian ini untuk mengetahui alur tataniaga serta marjin pemasaran komoditi kapulaga. Metode wawancara serta snawbal sampling untuk mengetahui alur tananiaga serta marjin pemasaran. Hasil kegiatan diperoleh data dimana produk kapulaga rata-rata dihasilkan para petani dalam skala kecil kemudian pemasaran dilakukan petani secara umum masih dalam keadaan sedangkan permintaan pasar produk dalam kering. Saluran tataniaga kapulaga terdapat 8 pola yang terdiri dari 4 pola pemasaran masih keadaan basah dan 4 pola pemasaran kering yang dilakukan para ppetani. Berdasarkan parameter Setyaningsih 2008. Marjin pemasaran tertinggi (79,71%), marjin keuntungan (75,40%), bagian petani tertinggi (95,56%) dan efisiensi pemasaran (1,80%). Kata Kunci : alur tataniaga, kapulaga, hasil hutan rakyat, marjin pemasaran I. PENDAHULUAN Kapulaga merupakan salah satu produk hasil hutan rakyat pola agroforestri yang secara umum dihasilkan dalam skala-skala kecil. Sebagaimana dikatakan Hardjanto (2003) dalam Achmad et. al. (2007) karakteristik produksi komoditi agroforestry ditandai dengan variasi produksi tahunan, variasi produksi musiman, konsentrasi geografis, dan variasi biaya produksi. Sebagaimana masyarakat di Kabupaten Tasikmalaya sejak dulu telah membudidayakannya seiring dengan pernyataan Hyne (1987) bahwa, kapulaga merupakan tumbuhan liar di pegunungan di Jawa Barat Tasikmalaya, Manonjaya dan Garut dan sekitarnya telah dibudayakan sejak tahun 1912. Sedangakan Santoso (1988) kapulaga dikenal dari zaman dulu oleh nenek moyang kita dan merupakan tanaman asli Indonesia yaitu kapulaga lokal (Amomum cardamomum Wild.). Seiring dengan perkembangan hutan rakyat, kapulaga merupakan salah satu jenis tanaman yang dapat tumbuh di bawah tegakan selain itu tingginya permintaan pasar terhadap komoditi kapuluga menjadi motivasi bagi para petani untuk membudidayakan. Pemasaran sangat memegang peranan penting, salah satu faktor penentu dalam keberhasilan suatu bidang usaha. Sebagaimana Trison (2008; 3-2) konsep pemasaran terdiri atas empat pilar yaitu pasar sasaran, kebutuhan pelanggan, pemasaran terintregasi, dan kemampuan menghasilkan laba. Mengingat kebutuhan serta kemampuan para petani, sehingga produk yang dipasarkan umumnya masih memerlukan penanganan atau proses perubahan bentuk sebelum sampai ke konsumen akhir. Seiring ungkapan Achmad et.all.(2009), pemasaran adalah penjualan dari suatu hasil produksi yang tidak terlepas dari faktor 1) permodalan, 2) transportasi, 3) penyimpanan, 4) pengolahan dan kualitas (grade), serta 5) informasi pasar. Keberadaan serta peranan lembaga pemasaran sangat membatu namun ada kalanya dapat merugikan para petani, dimana banyaknya keterlibatan lembaga pemasaran tentu akan memperpanjang pola saluran pemasaran atau alur tataniaga. Begitu pula diungkapkan Awang et.al (2002) Pembentukan dan eksistensi dari aktor-aktor yang timbul dalam aktivitas pemasaran memberikan suatu kondisi tersendiri dalam menentukan bentuk perokonomian dari hasil kayu sengon. Beberapa aktor yang timbul dari adanya pemasaran kayu sengon meliputi : (1) Petani

Upload: dangthien

Post on 12-Jan-2017

357 views

Category:

Documents


16 download

TRANSCRIPT

Page 1: KAJIAN ALUR TATA NIAGA KAPULAGA (Amomum cardomum L

Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 479

KAJIAN ALUR TATA NIAGA KAPULAGA (Amomum cardomum L.) SEBAGAI SALAH SATU PRODUK HASIL HUTAN RAKYAT POLA AGROFORESTRY DI KABUPATEN TASIKMALAYA

Soleh Mulyana

Balai Penelitian Teknologi Agroforestri Jl. Raya Ciamis-Banjar Km 4 Ciamis 46201 Tlp. (0265)771352 Fax (0265) 775866

e-mail: [email protected]

ABSTRAK

Kapulaga (Amomum cardamomum L.) merupakan salah satu produk hasil hutan rakyat pola agroforstry. Kapulaga dihasilkan umumnya dalam sekala kecil namun demikian sangat membantu dalam menopang kebutuhan sehari-sehari para petani. Tujuan kajian ini untuk mengetahui alur tataniaga serta marjin pemasaran komoditi kapulaga. Metode wawancara serta snawbal sampling untuk mengetahui alur tananiaga serta marjin pemasaran. Hasil kegiatan diperoleh data dimana produk kapulaga rata-rata dihasilkan para petani dalam skala kecil kemudian pemasaran dilakukan petani secara umum masih dalam keadaan sedangkan permintaan pasar produk dalam kering. Saluran tataniaga kapulaga terdapat 8 pola yang terdiri dari 4 pola pemasaran masih keadaan basah dan 4 pola pemasaran kering yang dilakukan para ppetani. Berdasarkan parameter Setyaningsih 2008. Marjin pemasaran tertinggi (79,71%), marjin keuntungan (75,40%), bagian petani tertinggi (95,56%) dan efisiensi pemasaran (1,80%).

Kata Kunci : alur tataniaga, kapulaga, hasil hutan rakyat, marjin pemasaran

I. PENDAHULUAN

Kapulaga merupakan salah satu produk hasil hutan rakyat pola agroforestri yang secara umum dihasilkan dalam skala-skala kecil. Sebagaimana dikatakan Hardjanto (2003) dalam Achmad et. al. (2007) karakteristik produksi komoditi agroforestry ditandai dengan variasi produksi tahunan, variasi produksi musiman, konsentrasi geografis, dan variasi biaya produksi. Sebagaimana masyarakat di Kabupaten Tasikmalaya sejak dulu telah membudidayakannya seiring dengan pernyataan Hyne (1987) bahwa, kapulaga merupakan tumbuhan liar di pegunungan di Jawa Barat Tasikmalaya, Manonjaya dan Garut dan sekitarnya telah dibudayakan sejak tahun 1912. Sedangakan Santoso (1988) kapulaga dikenal dari zaman dulu oleh nenek moyang kita dan merupakan tanaman asli Indonesia yaitu kapulaga lokal (Amomum cardamomum Wild.).

Seiring dengan perkembangan hutan rakyat, kapulaga merupakan salah satu jenis tanaman yang dapat tumbuh di bawah tegakan selain itu tingginya permintaan pasar terhadap komoditi kapuluga menjadi motivasi bagi para petani untuk membudidayakan.

Pemasaran sangat memegang peranan penting, salah satu faktor penentu dalam keberhasilan suatu bidang usaha. Sebagaimana Trison (2008; 3-2) konsep pemasaran terdiri atas empat pilar yaitu pasar sasaran, kebutuhan pelanggan, pemasaran terintregasi, dan kemampuan menghasilkan laba. Mengingat kebutuhan serta kemampuan para petani, sehingga produk yang dipasarkan umumnya masih memerlukan penanganan atau proses perubahan bentuk sebelum sampai ke konsumen akhir. Seiring ungkapan Achmad et.all.(2009), pemasaran adalah penjualan dari suatu hasil produksi yang tidak terlepas dari faktor 1) permodalan, 2) transportasi, 3) penyimpanan, 4) pengolahan dan kualitas (grade), serta 5) informasi pasar.

Keberadaan serta peranan lembaga pemasaran sangat membatu namun ada kalanya dapat merugikan para petani, dimana banyaknya keterlibatan lembaga pemasaran tentu akan memperpanjang pola saluran pemasaran atau alur tataniaga. Begitu pula diungkapkan Awang et.al (2002) Pembentukan dan eksistensi dari aktor-aktor yang timbul dalam aktivitas pemasaran memberikan suatu kondisi tersendiri dalam menentukan bentuk perokonomian dari hasil kayu sengon. Beberapa aktor yang timbul dari adanya pemasaran kayu sengon meliputi : (1) Petani

Page 2: KAJIAN ALUR TATA NIAGA KAPULAGA (Amomum cardomum L

480 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

pemilik, (2) Bakul/pedagang (pengepul perantara), (3) Pengumpul besar/bandsaw (depo), dan (4) Sentra Industri (sengon, kayu lain). Sedangkan Kotler (2002) bahwa, jauh pendeknya rantai distribusi, saluran distribusi dapat dikelompokan menjadi dua yaitu : 1) Saluran distribusi langsung : yaitu saluran distribusi dimana produk dari produsen langsung ke

tangan konsumen tanpa melalui perantara atau penyalur. 2) Saluran distribusi tidak langsung : yaitu perusahaan dalam mendistribusikan produknya

menggunakan penyaluragen perantara dan juga pengecer sebelum sampai ke tangan konsumen. Sistim pemasaran yang menggunakan rantai pemasaran dikatakan efisien apabila memenuhi

beberapa persyaratan (Mubyarto 1987 dalam Setyaningsih 2008) yaitu : 1) Mampu menyampaikan hasil-hasil dri produsen (petani) kepada konsumen dengan biaya

semurah-murahnya 2) Mampu mengadakan pembagian yang adil dari keseluruhan harga yang dibayar konsumen

terakhir kepada semua pihak yang ikut serta dalam kegiatan produksi dan tataniaga barang itu. Adil yang dimaksudkan disini adalah bahwa terjadi pemberian balas jasa fungsi pemasaran sesuai sumbangan masing-masing.

Sedangkan Roshetko (2008) dalam Sundawati (2008) mengatakan bahwa dalam pemasaran produk agroforestry seperti pada umumnya produk-produk pertanian dan kehutanan seringkali berada pada posisi yang lebih lemah, hal ini terutama berkaitan dengan karateristik petani kecil diantaranya : a) Rendahnya kualitas dan kuantitas produk b) Tidak ada akses informasi pasar c) Terbatasnya keterampilan komersial Rendahnya kualitas input. d) Ketidak-amanan pasar untuk memproduksi e) Terbatasnya akses terhadap penyuluh Sedangan pedagang atau agen pemasaran memiliki karakteristik yang bertentangan dengan petani yaitu : a) Terbatasnya pembeli b) Masalah dengan kualitas, kuantitas, kesepakatan waktu, dan makan waktu banyak untuk

berhubungan dengan petani. c) Memiliki akses yang sangat baik terhadap informasi pasar d) Biasanya memiliki keterampilan komersial e) Beberapa agen telah berusaha membangun kerjasama dengan petani.

Apabila pemasaran dapat dilakukan secara langsung oleh pemilik komoditi kepada pengguna

(konsumen akhir atau industri pengolah) maka efisiensi pemasaran yang optimal bisa dicapai (Achmad, et.al, 2009). Sedangkan Soekartawi (1997) efisiensi pemasaran apabila biaya pemasaran lebih rendah dari pada produk yang dipasarkan, semakin rendah biaya pemasaran dari nilai produk yang dipasarkan semakin efisien melaksanakan pemasaran. Permintaan pasar terhadap komoditi kapulaga yang merupakan salah satu hasil hutan rakyat pola agroforestry menjadi peluang usaha bagi para pelaku pasar. Keadaan ini sehingga menginspirasi untuk mengetahui: 1) pola saluran tataniaga, dan 2) marjin pemasaran khususnya komoditi kapulaga yang terjadi di Kabupaten Tasikmalaya.

II. METODE PENELITIAN

A. Lokasi dan Waktu Penelitian

Desa Sodonghilir Kecamatan Sodonghilir dan Desa Cisarua Kecamatan Cineam Kabupaten Tasikmalaya, terpilih sebagai lokasi penelitian merupakan rekomendasi petugas penyuluh lapangan kehutanan dimana penduduk setempat secara umum pengelola hutan rakyat pola agroforestri komoditi kapulaga. Kegiatan dilaksanakan pada bulan Maret sampai bulan Oktober 2013.

Page 3: KAJIAN ALUR TATA NIAGA KAPULAGA (Amomum cardomum L

Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 481

B. Pengumpulan dan Analisis Data Kegiatan penelitian menggunakan metode penelusuran (snowball sampling), responden

petani dipilih secara sengaja (pourpsive sampling) sebanyak 20 orang setiap Desa. a) Koordinasi dengan Dinas Kehutanan dan Perkebunan, Dinas Pertanian dan Ketahan Pangan

Kabupaten Tasikmalaya Bidang Seksi Usaha Biofarmaka diperoleh data informasi wilayah pengelola hutan rakyat pola agroforestri komoditi kapulaga serta data produk komoditi kapulaga Kabupaten Tasikmalaya.

b) Koordinasi dengan Kantor Badan Penyuluh Pertanian, Perikanan, Peternakan dan Kehutanan (BP4K) Kecamatan Cineam dan Sodonghilir diperoleh data kelompok tani pengelola hutan rakyat pola agroforestry komoditi kapulaga.

c) Hasil wawancara bersama petani diperoleh data identitas, teknik budidaya, penanganan produk, pemasaran serta informasi lembaga pemasaran yang terlibat komoditi kapulaga.

d) Hasil penelusuran dan wawancara diperoleh data lembaga pemasaran: identitas, kegiatan yang dilakukan diantaranya; pedagang pengepul (PP) tingkat Dusun/Desa, bandar menengah (BM) tingkat Kecamatan bandar besar (BB) Kabupaten dan supplier (Sp).

C. Analisis Data

Data yang terkumpul dianalisis secara deskriptif kualitatif. Sedangkan untuk mengetahui marjin pemasaran komoditi kapulaga digunakan parametar menurut (Setyaningsih. 2008.4.1): 1. Marjin Pemasaran (marketing margin) untuk setiap lembaga pemasaran pendekatan dengan

menggunakan rumus MP = Pr – Pf Atau Mp = ∑ bi + ∑ki

Dimana : MP = marjin pemasaran pada tingkat lembaga pemasaran ke j; Pr = harga di tingkat lembaga pemasaran ke j; Pf = harga ditingkat lembaga pemasaran ke f,(sebelum lembaga pemasaran ke j); bi = biaya pemasaran; ki = keuntungan lembaga pemasaran. 2. Marjin keuntungan (profit margin), pendekatan dengan menggunakan rumus sebagai berikut:

3. Bagian Petani (farmer share) :

Dimana : Ski, Sbi = bagian keuntungan yang diterima lembaga pemasaran, Sp = besarnya kontribusi harga yang diterima produsen bi = biaya tata niaga ke i. ki = keuntungan ke i Pr = harga ditingkat konsumen (user). Pf = harga ditingkat produsen (farmer)

4. Tingkat efisiensi pemasaran, pendekatan dengan menggunakan rumus sebagai berikut:

Page 4: KAJIAN ALUR TATA NIAGA KAPULAGA (Amomum cardomum L

482 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Keadaan Umum Kabupaten Tasikmalaya

Kabupaten Tasikmalaya luas wilayah 271.252 ha, dengan jumlah penduduk sebanyak 1.705.763 orang terletak pada titik koordinat 70 02’ dan 7050’ lintang selatan dan 108097’ dan 108025’ bujur timur. Seluas 13.05% bagian terletak pada dataran rendah dengan ketinggian dari 0 m - 200 m, dan seluas 86,95 % merupakan bukit dan pegunungan dengan ketinggian 200 m – 2.168 m. Curah hujan 2.400 – 4.000 mm/tahun dengan suhu 180 - 350 C. Peta lokasi penelitian di Kabupaten Tasikmalaya sebagaimana disajikan pada Gambar 1.

Sumber : http://tasikmap.blogspot.com diunduh 10 Juni 2014

Gambar 1. Peta Kabupaten Tasikmalaya

Gambar 1 batas wilayah sebelah utara Kabupaten Ciamis dan Kota Tasikmalaya, sebelah timur Kabupaten Ciamis, sebelah barat Kabupaten Garut dan selatan Samudera Indonesia. Lokasi kegiatan merupakan bagian poros tengah wilayah Kabupaten Tasikmalaya dimana Desa Sodonghilir terletak sebelah barat sedangkan Desa Cisarua terletak sebelah timur. Hasil pengukuran menggunakan GPS kedua lokasi memiliki kesamaan terletak pada ketinggian 600 – 700 m dpl, dengan suhu rata –rata 180 – 260 C merupakan perbukitan dan pengungan. Keadaan tempat tersebut sangat mendukung untuk membudidayakan tanaman kapulaga, begitupula sebagaimana diungkapkan Hyne (1987) dimana kapulaga merupakan tumbuhan liar di pegunungan dan tersebar di Jawa Barat, Tasikmalaya Garut telah dibudayakan sejak tahun 1912. B. Harga dan Produk Kapulaga Berdasarkan wawancara dari produsen dan lembaga pemasaran diperoleh data informasi harga kapulaga basah per kg. Sedangkan keadaan produksi kapulaga basah diperoleh dari Dinas Pertanian dan Ketahan Pangan bidang seksi Tanaman Biofarmaka Kabupaten Tasikmalaya. Hasil olah data primer dan sekunder selama empat tahun mulai tahun 2010 s/d 2013 terakhir disajikan pada Gambar 2.

Gambar 2 grafik menunjukan keadaan produksi kapulaga setiap tahun terus meningkat. Hal ini terjadi dikarenakan beberapa faktor yang memotivasi para petani dalam membudidayakan tanaman kapulaga diantaranya: 1) Mudah dibudidayakan, mudah mendapatkan bibit, dapat tumbuh dibawah tegakan pohon, dan

cepat berproduksi 2) Produk kapulaga sekalipun keadaan basah serta dalam sekala kecil (< 1 kg) mudah menjual

dipasaran lokal . 3) Produk kapulaga sangat menopang kebutuhan petani sehari-hari.

Page 5: KAJIAN ALUR TATA NIAGA KAPULAGA (Amomum cardomum L

Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 483

Sumber : olah data sekunder dan Primer 2013.

Gambar 2. Grafik Keadaan Produksi dan Fluktuasi Harga Komoditi Kapulaga Mulai Tahun 2010 s/d 2013.

Produk komoditi kapulaga 90 % untuk memenuhi konsumen Negara Cina, sebagaimana kita

ketahui bahwa setiap imfortir selalu menggunakan (MOU) dengan suatu perjanjian yang mengikat baik dari segi harga maupun kuantitas. Sebagaimana yang terjadi pada tahun 2013 keadaan produk melimpah yang melebihi permintaan pasar sehingga posisi tawar di tingkat petani menururn sebesar (14,29%). Sedangkan pada tahun 2011 terjadinya harga menurun sebesar (21,43%) akibat bencana alam (Banjir dan Gempa) yang melemahkan prekonomian Negara Cina yang akhirnya berdampak terhadap nilai jual di tingkat petani kapulaga. C. Biaya Usaha Tani Kapulaga

Berdasarkan perolehan data luas garapan rata-rata 0,5 ha apabila diasmsikan usaha kapulaga dengan jarak tanam 1,5m x 1,5m dengan pendekatan daur atau produk selama daur 3 tahun disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Analisis Biaya Usaha Kapulaga Selama 3 tahun

No. Jenis kegiatan (activities type) Tahun (year)

Biaya (Cost) Rp.

Prosentase (Prosentage)

%

A. Biaya Produksi

1 Persiapan lahan, Bibit, Penanaman, Pupuk, Pemeliharaan, Nutrisi

0 – 1 5,290,000

2 Pemeliharaan, pupuk, Nutris, Pemanenan 2 2,180,000

3 Pemeliharaan, pupuk, Nutris, Pemanenan 3 2,180,000

4 Baya PBB 1 – 3 30,000

Total Biaya Usaha 9,680,000 26.09

B Hasil Produksi

1 Pemanenan 1 -

2 Pemanenan 2.500 kg basah x Rp. 7.000,- 2 17,500,000

3 Pemanenan 2.800 kg basah x Rp. 7.000,- 3 19,600,000

Total Hasil Produksi 37,100,000

Pendapatan

27,420,000 73.91

C Biaya Produksi & Pendapatan

1 Biaya Produksi Per- Kg 1,826 26.09

(Ton) 1.070,02

(Ton) 1.319,51 (Ton)

1.502,37

(Ton) 4.784,50

(Rp.) 6.000

(Rp.) 5.500

(Rp.) 7.000

(Rp.) 6.000

2010 2011 2012 2013

Data Produksi dan Harga Basah Kapulaga Basah Thn. 2010 s/d 2013

Page 6: KAJIAN ALUR TATA NIAGA KAPULAGA (Amomum cardomum L

484 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

No. Jenis kegiatan (activities type) Tahun (year)

Biaya (Cost) Rp.

Prosentase (Prosentage)

%

2 Hasil Produksi Per - Kg 7,000

Pendapatan 5,174 73.91

Sumber : hasil olah data primer 2013 Keterangan Luas Lahan : 350 Bata = 0,5 Ha) (Land Area : 350 Bata =0.5 Ha)

Jarak Tanam : 1,5 m X 1,53 m (Plant Interval : 1,5 m x 1,5 m)

Jumlah Tanaman : 2.000 Rumpun (Total Plants : 2,000 Grove )

Waktu Produksi : 3 Th. (Recyled Production : 3 Year)

Tabel 1 menunjukan luas lahan 0,5 ha selama 3 tahun biaya produksi sebesar (26,09%),

pendapatan (73,91%) nilai produk Rp. 37.100.000,- rata-rata biaya produksi Rp. 1.826,-/Kg, pendapatan Rp. 5.174,-/Kg dari nilai produk Rp. 7.000,-/Kg kapulaga basah. Daur atau masa produksi kapulaga adalah 5 tahun pada kenyataan di lapangan kebanyakan selama 3 tahun. Hal ini dikarenakan mengikuti daur ekonomis yang berlaku terhadap kayu alabasia dimana pada umum 3 tahun pohon sebagai pelindung kapulaga sudah dipasarkan atau di tebang karena desakan kebutuhan. D. Peranan Lembaga dan Pola Saluran Pemasaran.

Hasil wawancara bersama lembaga pemasaran diperoleh imformasi mengenai kegiatan dan peranan setiap tingkatan lembaga pemasaran antaralain : 1. Produsen/ petani (P) : sebagai penghasil komoditi kapulaga untuk dijual dalam keadan basah

atau kering yang memberikan peluang usaha ke lembaga pemasran (PP) , Bandar Menengah (BM) atau ke Bandar Besar (BB) dan (Sp.)

2. Pedagang Pengepul (PP) : pemiliki modal terbatas sebagai pembeli dan manampung komoditi kapulaga dalam keadaan basah maupun kering dari para yang berada disekitar Dusun/Desa. Transaksi tidak dibatasi keadaan waktu (siang, malam) dan tempat (rumah, kebun, pertemuan , dll) setelah terkumpul untuk dijual kembali baik keadaan basah atau setelah kering.

3. Bandar Menegah (BM) : pemilik modal dan tempat transaksi yang jelas (toko, jongko, rumah) berada disekitar lokasi pasar Kecamatan sebagai pembeli dan menampung kapulaga dalam keadaan basah atau kering dan dibatasi keadaan waktu, dari (P) dan atau (PP), seteleh terkumpul untuk dijual kembali dalam keadaan kering.

4. Bandar Besar (BB) : pemilik modal dan tempat transaksi yang jelas serta pergudangan, berada di perkotaan Kabupaten, sebagai pembeli dan menampung hanya kapulaga kering dari (P), (PP) dan atau (BM) dengan dibatasi keadaan waktu. kegiatannya pengecekan kualitas terutama kadar air 18 %. Proses transaksi penjualan selalu dilakukan dengan adanya suatu perjanjian kontrak (MOU) dengan lembaga pemasaran selanjutnya.

5. Supplier (Sp) : pemilik modal dan tempat transaksi yang jelas serta kapasitas pergudangan lebih besar, sebagai pembeli dan penjual kapulaga kering selalu menggunakan (MOU). Kegiatannya packing, cek kadar air dan penentu harga, keadaan ini sangat berpengaruh terhadap harga sampai ke tingkat petani.

Kemudian dari hasil penelusuran terhadap lembaga pemasaran yang terlibat dalam komoditi kapulaga dijumpai 8 pola alur tataniaga teridiri dari 4 pola alur tataniaga kapulaga masih keadaan basah dan 4 pola alur tataniaga kapulaga kering diantaranyan : a) Pola alur tataniaga kapulaga basah

1) Pola alur tataniaga 1 : P →BM (pengeringan) → BB → Sp. 2) Pola alur tataniaga 2 : P → PP (pengeringan) → BM → BBr →Sp. 3) Pola alur tataniaga 3 : P → PP ( pengeringan )→ BM → BB → Sp. 4) Pola alur tataniaga 4 : P → PP (pengeringan) → BB → Sp.

Page 7: KAJIAN ALUR TATA NIAGA KAPULAGA (Amomum cardomum L

Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 485

b) Saluran pemasaran kapulaga kering

1) Pola alur tataniaga 5 : P → BB → SP. 2) Pola alur tataniaga 6 : P → PP → BB→ Sp. 3) Pola alur tataniaga 7 : P → PP → BM → BBr → Sp. 4) Pola alur tataniaga 8 : P → BM→ BB → Sp.

Dengan demikian pola alur tataniaga (saluran pemasaran) komoditi kapulaga yang terjadi sebagaimana disajikan pada Gambar 3 .

Sumber : hasil penelusuran terhadap lembaga pemasaran 2013

Gambar 3. Bagan Alur Tataniaga (Pola Saluran Pemasaran) Kapulaga Basah dan Kering E. Pemasaran 1. Marjin Pemasaran (marketing margin)

Hasil olah data dimana marjin pemasaran setiap saluran tataniaga (pola pemasaran) disajikan pada Tabel 2. Tabel 2. Analisis Marjin Pemasaran (Marketing Margin) Kapulaga.

Saluran Pemasaran

Uraian Nilai (Rp /

M3) Prosentase % Keterangan

Pemasaran Kapulaga Basah dari Petani (Produsen)

Saluran I

Petani (P) Produksi

1.926 21,40 (64,93) Basah + Transportasi

Bandar Menegah (BM) Beli 7.770 (10,56) Prose Pengeringan

Bandar Besar (BB) Beli

8.720 (3,11) Kering + Packing Konsumen / Supplier (Sp.) Akhir

9.000 100 Kering

Ket :

5

5,6

7, 8 7, 8 7

6

8

6,7

Bandar

Besar

(BB)

P

E

T

A

N

I

(P)

Bandar

Menengah

(BM)

Supplier

(Sp.)

Pedagang

Pengepul

(PP)

Pemasaran kapulaga basah Pemasaran kapulaga kering

4

1

1,2,

3,4 1,2,

3 3

2

2,3,

4

Bandar

Besar

P

E

T

A

N

I

Bandar

Menengah

Supplier

Pedagang

Pengepul

Page 8: KAJIAN ALUR TATA NIAGA KAPULAGA (Amomum cardomum L

486 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

Saluran Pemasaran

Uraian Nilai (Rp /

M3) Prosentase % Keterangan

Marjin Pemasaran

7.074 (78,60)

Saluran II

Petani (P) Produksi

1.826 20.29 (58,60) Basah Pedagang Pengepul (PP) Beli

7.100 (7,44) Basah

Bandar Menengah (BM) Beli 7.770 (10,56) Prose Pengeringan Bandar Besar (BB) Beli 8.720 (3,11) Kering + Packing Konsumen / Supplier (Sp.) Akhir 9.000 100 Kering

Marjin Pemasaran

7.174 (79,71)

Saluran III

Petani (P) Produksi

1.826 20,29 (60,49) Basah Bandar Menegah (BM) Beli

7.270 (12,78) Prose Pengeringan

Bandar Besar (BB) Beli

8.420 (6,44) Kering + Packing Konsumen / Supplier (Sp.) Beli

9.000 100 Kering

Marjin Pemasaran

7.174 (79,71)

Saluran IV

Petani (P) Produksi

1.826

20,29 (60,71) Basah Pedagang Pengepul (PP) Beli 7.290 (15,89)

Proses Pengeringan

Bandar Besar (BB) Beli

8.720 (3,11) Kering + Packing Konsumen / Supplier (Sp.) Beli

9.000 100 Kering

Marjin Pemasaran

7.174 (79,71)

Pemasaran Kapulaga Kering dari Petani (produsen)

Saluran V

Petani (P) Produksi

2.116 23,51 73,38 Kering Bandar Besar (BB) Beli 8.720 3,11 Kering + Packing Konsumen / Supplier (Sp.) Beli

9.000 100 Kering

Marjin Pemasaran

6.884 (76,49)

Saluran VI

Petani (P) Produksi

2.076

23,07 (68,49) Kering Pedagang Pengepul Beli 8.240 (5,33) Kering

Page 9: KAJIAN ALUR TATA NIAGA KAPULAGA (Amomum cardomum L

Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 487

Saluran Pemasaran

Uraian Nilai (Rp /

M3) Prosentase % Keterangan

(PP)

Bandar Besar (BB) Beli

8.720 (3,11) Kering + Packing Konsumen / Supplier (Sp.) Beli

9.000 100 Kering

Marjin Pemasaran .924 (76,93)

Saluran VII

Petani (P) Produksi 2.076

23,07 (68,49) Kering Pedagang Pengepul (PP) Beli

8.240 (2,00) Kering

Bandar Menengah (BM) Beli 8.420 (3,33) Kering Bandar Besar (BB) Beli 8.720 (3,11) Kering + Packing Konsumen / Supplier (Sp.) 9.000 100 Kering Marjin Pemasaran 6.924 (76,93)

Saluran VIII

Petani (P) Produksi 2.096

23,29 (70,27) Kering Bandar Menengah (BM) Beli 8.420 (3,33) Kering Bandar Besar (BB) Beli 8.720 (3,11) Kering + Packing Konsumen / Supplier (Sp.) 9.000 100 Marjin Pemasaran 6.904 (76,71)

Sumber : hasil olah data primer 2013 Tabel 2 menunjukan marjin pemasaran kapulaga antara (76,49% - 79,61%), biaya prodruksi antara (20,29%-23,51%). Kapulaga basah terkecil (78,60%) pada saluran 1 dengan biaya pemasaran (21,40%), dan tertinggi pada saluran 2, 3 dan 4 yaitu (79,71%) dengan biaya (20,29%). Sedangkan kapulaga kering terkecil sebesar (76,49%), biaya pemasaran (23,51%) pada saluran 5 dan tertinggi (76,93%) biaya pemasaran (23,07%) pada saluran 6 dan 7. 2. Marjin keuntungan (profit margin) Berdasarkan hasil olah data marjin keuntungan setiap saluran pemasaran diasajikan pada Tabel 3. Tabel 3. Analisis Marjin Keuntungan (Profit Margin).

Saluran Pemasaran

Kapulaga Basah Dari Petani (Rp. /Kg.)

Biaya Produksi

(a)

Beli (b)

Jual (c)

Marjin Keuntungan d = c–(a+b)

Prosentase d/c x 100%

Keterangan

1 2 3 4 5 6 7

Saluran I

Petani (P) 1.926 - 7.500 5.574 74,32 Basah Bandar Menengah (BM)

270 7.500 8.600 830 9,65 Pengeringan

Bandar Besar (BB) 120 9.000 280 3,11 Kering ( 0.2 Kg)

Page 10: KAJIAN ALUR TATA NIAGA KAPULAGA (Amomum cardomum L

488 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

Saluran Pemasaran

Kapulaga Basah Dari Petani (Rp. /Kg.)

Biaya Produksi

(a)

Beli (b)

Jual (c)

Marjin Keuntungan d = c–(a+b)

Prosentase d/c x 100%

Keterangan

1 2 3 4 5 6 7

8.600 Konsumen Supplier (Sp.) - 9.000 Kering ( 0.2 Kg)

Saluran II

Petani (P) 1,826 - 7.000 5.174 73.91 Basah Pedagang Pengepul (PP) 100

7.000

7.500 400 5,33 Basah

Bandar Menengah (BM)

270 7.500 8.600 830 9,65 Proses pengeringan

Bandar Besar (BB) 120 8.600 9.000 280 3,11 Kering ( 0.2 Kg) Konsumen Supplier (Sp.) 9.000 Kering ( 0.2 Kg)

Saluran III

Petani (P) 1.826 - 7.000 5.174 73,91 Basah Pedagang Pengepul (PP)

270 7.000 8.400 1.130 13.45 Proses pengeringan

Bandar Menengah (BM) 20 8.400 8.600 180 2,09 Kering ( 0.2 Kg) Bandar Besar (BB) 120 8.600 9.000 280 3,11 Kering ( 0.2 Kg) Konsumen Supplier (Sp.) 9.000 Kering ( 0.2 Kg)

Saluran IV

Petani (P) 1.826 - 7.000 5.174 73,91 Basah Pedagang Pengepul (PP)

290 7.000 8.600 1.310 15,23 Proses pengeringan

Bandar Besar (BB) 120 8.600 9.000 280 3,11 Kering ( 0.2 Kg) Konsumen Supplier (Sp.) 9.000 Kering ( 0.2 Kg)

Kapulaga Kering dari Petani

Saluran V

Petani (P) 2.116 - 8.600 6.484 75,40 Proses pengeringan

Bandar Besar (BB) 120 8.600 9.000 280 3,11 Kering ( 0.2 Kg) Konsumen Supplier (Sp.) - 9,000 Kering ( 0.2 Kg)

Saluran VI

Petani (P) 2.076 - 8.200 6.124 74,68 Proses pengeringan

Pedagang Pengepul (PP) 40 8.200 8.600 360 4,19 Kering ( 0.2 Kg) Bandar Besar (BB) 120 8.600 9.000 280 3,11 Kering ( 0.2 Kg) Konsumen Supplier (Sp.) 9.000 Kering ( 0.2 Kg)

Saluran VII

Petani (P) 2.076 - 8.200 6.124 74,68 Proses pengeringan

Page 11: KAJIAN ALUR TATA NIAGA KAPULAGA (Amomum cardomum L

Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 489

Saluran Pemasaran

Kapulaga Basah Dari Petani (Rp. /Kg.)

Biaya Produksi

(a)

Beli (b)

Jual (c)

Marjin Keuntungan d = c–(a+b)

Prosentase d/c x 100%

Keterangan

1 2 3 4 5 6 7

Pedagang Pengepul (PP) 40 8.200 8.400 160 1,90 Kering ( 0.2 Kg) Bandar Menengah (BM) 20 8.400 8.600 180 2,09 Kering ( 0.2 Kg) Bandar Besar (BB) 120 8.600 9.000 280 3,11 Kering ( 0.2 Kg) Konsumen Supplier (Sp.) 9.000 Kering ( 0.2 Kg)

Saluran VIII

Petani (P) 2.096 - 8.400 6.304 75,05 Proses pengeringan

Bandar Menengah (BM) 20 8.400 8.600 180 2,09 Kering ( 0.2 Kg) Bandar Besar (BB) 120 8.600 9.000 280 3,11 Kering ( 0.2 Kg) Konsumen Supplier (Sp.) 9.000 Kering ( 0.2 Kg)

Sumber : hasil olah data primer 2013. Tabel 3 menunjukan petani mendapatkan prosentase keuntungan tertinggi sebesar (75,40%) pada saluran tataniaga 5, hal ini dikarenakan langsung menjualnya ke lembaga pemasaran (BB) tentu telah melewati 2 lembaga pemasaran. Prosentase terkecil diraih lembaga pemasaran (BM) sebesar (2,09%) pada saluran 3, 7 dan 8, hal ini dikarenakan lembaga pemasaran (BM) hanya sebagai penampung kapulaga kering. 3. Bagian Petani (farmer share) :

Begitu pula yang terjadi dengan bagian petani (Farmer Share) di sajikan pada Tabel 4. Tabel 4. Bagian Petani (Farmer Share).

No. Saluran Pemasaran (Marketing

Channel) Prosentase

(Procentage) %

1 Saluran Pemasran I 83.33

2 Saluran Pemasaran II 77.78

3 Saluran Pemasaran III 77.78

4 Saluran Pemasaran IV 77.78

5 Saluran Pemasaran V 95.56

6 Saluran Pemasaran VI 91.11

7 Saluran Pemasaran VII 91.11

8 Saluran Pemasaran VIII 93.33

Sumber : hasil olah data primer 2013

Tabel 4 menunjukan bagian petani (Farmer Share) prosetase tertinggi pada pola saluran 5 sebesar (95,56%) dari nilai produk Rp. 9.000,- / (0,2 Kg) hal ini terjadi dikarenakan kapulaga dipasarkan keadaan kering dari petani, selain itu alur tataniaga lebih pendek. 4. Tingkat efisiensi pemasaran (mark-up on selling)

Sebagaimana terjadinya 8 pola saluran pemasaran dimana efisiensi pemasaran hasil olah data di sajikan pada Tabel 5.

Page 12: KAJIAN ALUR TATA NIAGA KAPULAGA (Amomum cardomum L

490 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

Tabel 5. Analisis Efsiensi Pemasaran.

Pola Saluran Pemasaran

Total Nilai Produk (Rp/Kg)

Total Biaya Pemasaran (Rp/Kg)

Efisiensi Pemasaran (%)

Saluran Pemasaran I

Petani (P)

7,500

100

1.33 Bandar Menengah (BM)

8,600

20

0.23

Bandar Besar (BB)

9,000

120

1.33

Saluran Pemasaran II

Petani (P)

700

-

- Pedagang Pengepul (PP)

7,500

100

1.33

Bandar Menengah (BM)

8,600

20

0.23

Bandar Besar (BB)

9,000

120

1.33

Saluran Pemasaran III

Petani (P)

7,000

-

Pedagang Pengepul (PP)

8,400

20

8,400

Bandar Menengah (BM)

8,600

20

8,600

Bandar Besar (BB)

9,000

120

9,000

Saluran Pamesaran IV

Petani (P)

7,000

-

- Pedagang Pengepul (PP)

8,600

40

0.47

Bandar Besar (BB)

9,000

120

1.33

Saluran V

Petani (P) 8,600

40

0.47

Bandar Besar (BB) 9,000

120

1.33

Saluran Pemasaran VI

Petani (P) 8,200

-

-

Pedagang Pengepul (PP)

8,600

40

0.47

Bandar Besar (BB) 9,000

120

1.33

Saluran Pemasaran VII

Petani (P) 8,200

-

-

Pedagang Pengepul

Page 13: KAJIAN ALUR TATA NIAGA KAPULAGA (Amomum cardomum L

Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 491

Pola Saluran Pemasaran

Total Nilai Produk (Rp/Kg)

Total Biaya Pemasaran (Rp/Kg)

Efisiensi Pemasaran (%)

(PP) 8,400 20 0.24 Bandar Menengah (BM)

8,600

20

0.23

Bandar Besar (BB) 9,000

120

1.33

Saluran Pamesaran VIII

Petani (P) 8,400

-

-

Bandar Menengah (BM)

8,600

20

0.23

Bandar Besar (BB) 9,000

120

1.33

Sumber : hasil olah data primer 2013

Tabel 5 menunjukan efisiensi pemasaran (Mark-up on Selling) kapulaga terdapat pada saluran 5 sebesar (1,80%) dengan total biaya pemasaran Rp. 160,- per 0,2 kg nilai produk Rp. 9.000,-. Sebagai ilustrasi data hasil wawancara bersama salah seorang lembaga pemasaran tingkat supplier (Sp) di Magelang, bahwa komoditi kapulaga yang kering diperoleh dari Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur. priangan timur, Jawa untuk memenuhi permintaan imfortir dari Negara Cina dengan / bulan kapulaga kering.

IV. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan 1. Alur tataniaga kapulaga yang terjadi terdapat 8 pola saluran pemasaran; Kaapulaga basah

terdapat 4 pola saluran pemasaran, dan kapulaga kering terdapat 4 pola saluran pemasaran, terjadinya 8 pola alur tataniaga seharusnya kapulaga dipasarkan sudah dalam keadaan kering sesuai permintaan konsumen, namun desakan kebutuhan dan waktu sehingga masih banyak yang menjual dalam keadaan basah.

2. Marjin pemasaran (Marketing Margin) pada kapulaga basah terkecil (78,60%) pada saluran 1 , tertinggi (79,71%) terdapat pada saluran (2, 3,4) . Sedangkan kapulaga kering terkecil sebesar (76,49%) pada saluran 5 dan tertinggi (76,93%) pada saluran 6 dan 7. Marjin keuntungan (Profit Margin) petani mendapatkan keuntungan tertinggi sebesar (75,40%) pada saluran 5. Bagian petani (Farmer Share) tertinggi sebesar (95,56%) pada saluran 5. Efisiensi pemasaran (Mark-up on Selling) kapulaga sebesar (1,80%) terdapat pada saluran 5.

B. Saran

Komoditi kapulaga untuk memenuhi permintaan konsumen Negara Cina, pentingnya peranan pemerintah dalam mencari peluang pasar ke Negara lain untuk melindungi para petani dalam rangka menghindari monopoli pasar maupun harga, sehingga dapat bersaing dengan negara lainnya baik di Asia maupun Eropa sebagai konsumen kapulaga.

DAFTAR PUSTAKA ----------2007. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P.30/Menhut-II/2012 tentang

Penataanusahaan Hasil Hutan yang Berasal dari Hutan Hak.

Page 14: KAJIAN ALUR TATA NIAGA KAPULAGA (Amomum cardomum L

492 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

---------2012. Pedoman Teknis Kegiatan Jaringan Pemasaran Hasil Pertanian di Pusat dan Daerah. Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian Departemen Petanian. TA. 2012.

---------2010 Profil Kawasan Kapulaga di Jawa Barat. Dinas Pertanian Tanaman Pangan. Pemerintah

Provinsi Jawa Barat. Bandung. 2010. ---------2013. Peta Kabupaten Tasikmalaya. http://margamulyastore58. blogspot.com/2013/02/peta-

kabupaten-tasikmalaya.html diunduh 10 Juni 2014. Achmad, B., Soleh M., U supriyadi dan Deny SR. 2004. Kajian Tataniaga Kayu Rakyat di Kabupaten

Kuningan. LHP Balai Penelitian Kehutanan Ciamis (tidak diterbitkan). Achmad, B., Soleh M., Devy P. Kuswantoro. 2006. Kajian Implementasi Tatausaha dan Tataniaga

Kayu Rakyat di Kabupaten Garut. Prosiding Puslitbang Sosial Ekonomi dan Kebijakan Kehutanan. Bogor. 2006.

Achmad, B., Soleh Mulyana, Devy P. Kuswantoro. 2007. Kajian Potensi Usaha Sukun di Cilacap.

Prosiding Puslitbang Hutan Tanaman Bogor. 2007. Achmad. B., Soleh M., Triono P., Darsono, dan Nana Sutrisna 2009. Kajian Pemanfaatan Dan

Pemasaran Hasil Hutan Rakyat. LHP Balai Penelitian Kehutanan Ciamis (tidak diterbitkan). Awang SA., Andayani W, Himmah B, Widayanti, TW dan Affianto A. 2002. Hutan Rakyat. Sosial

Ekonomi dan Pemasaran. Fakultas Ekonomi UGM. BPFE.Yogyakarta. Anggota IKAPI. Hyne. K. 1987. Tumbuhan berguna Indonesia Cetakan ke I. Jilid I, II, III dan IV Badan Litbang

Kehutanan Jakarta. Penerbit Yayasan Sarana Wana Jaya. Jakarta. Setyaningsih L. (2008). Analisis Rantai Pemasaran Produk Agroforestry (4.1). Pemasaran Produk-

Produk Agroforestry. Kerjasam Fakultas Kehutanan-Institut Pertanian Bogor World Agroforestry Centre (ICRAF). Cetakan Pertama 2008.

Soekartawi. 1997. Analisis Fungsi Produksi. Jakarta. CV. Baldad Grafiti Pres. Sundawati L. 2008. Penegmbangan dan Kelestarian Agroforestry (2.1). Pemasaran Produk-Produk

Agroforestry. Kerjasam Fakultas Kehutanan-Institut Pertanian Bogor World Agroforestry Centre (ICRAF). Cetakan Pertama 2008.

Page 15: KAJIAN ALUR TATA NIAGA KAPULAGA (Amomum cardomum L

Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 493

OPTIMALISASI PERAN KELOMPOK TANI DALAM PENGEMBANGAN USAHATANI AGROFORESTRY: STUDI DI DESA CUKANGKAWUNG KABUPATEN TASIKMALAYA

Idin Saepudin Ruhimat

Balai Penelitian Teknologi Agroforestry Ciamis Jl. Raya Ciamis-Banjar Km 4 Ciamis, Telp. (0265) 771352 Fax. (0265) 775866

E-mail : [email protected]

ABSTRAK Agroforestry merupakan salah satu bentuk usahatani berkelanjutan yang menguntungkan secara ekonomi, sosial, dan ekologi. Rendahnya peran kelompok tani merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap keberhasilan pengembangan usahatani agroforestry. Penelitian ini bertujuan untuk (1) mengetahui peran kelompok tani dan (2) usaha untuk mengoptimalkan peran kelompok tani dalam pengembangan usahatani agroforestry. Penelitian dilaksanakan di Desa Cukangkawung, Kecamatan Sodong Hilir, Kabupaten Tasikmalaya, Provinsi Jawa Barat mulai bulan Juli sampai dengan September 2015. Data diolah dan dianalisis secara desktiptif. Hasil penelitian menunjukkan (1) peran kelompok tani dalam pengembangan usahatani agroforestry di Desa Cukang Kawung masih rendah baik peran sebagai wahana belajar, wahana kerjasama, maupun kesatuan unit usaha dan (2) optimalisasi peran kelompok tani dapat dilakukan melalui peningkatan partisipasi anggota, dan kemampuan kelompok tani dalam pengembangan usahatani agroforestry di Desa Cukangkawung. Kata kunci : peran kelompok tani, usahatani agroforestry, dan penelitian deskriptif

I. PENDAHULUAN

Agroforestry merupakan sistem usahatani yang menggabungkan tanaman kehutanan dengan tanaman pertanian, ternak, dan atau ikan pada lahan yang sama sehingga membentuk sebuah pola pengusahaan dengan tujuan untuk mengoptimalkan manfaat sosial, ekonomi, dan ekologi (Mayrowati, H., dan Ashari, 2011). Pengembangan usahatani agroforestry diharapkan dapat mendukung program pembangunan pertanian/kehutanan berkelanjutan yang secara ekonomi menguntungkan, secara sosial dapat diterima oleh masyarakat, dan secara ekologi bersifat ramah terhadap lingkungan hidup.

Pada kenyataannya, proses pengembangan usahatani agroforestry dibeberapa daerah belum optimal sehingga usahatani agroforestry belum dapat diterapkan secara berkelanjutan. Puspitodjati, dkk (2013) menyebutkan bahwa salah satu penyebab ketidakoptimalan pengembangan usahatani agroforestry yang dilakukan masyarakat adalah masih rendahnya peran kelembagaan masyarakat, salah satunya peran kelompok tani. Pada umumnya, kelompok tani yang ada di Indonesia dibentuk oleh pemerintah dengan tujuan untuk memenuhi syarat pelaksanaan sebuah program sehingga kelompok tani belum optimal dalam memenuhi kebutuhan petani, meningkatkan kapasitas petani, meningkatkan daya saing petani, mendukung kontinuitas usaha, dan mengurangi tingkat ketergantungan kelompok tani terhadap program pemerintah (Anantanyu, 2009).

Pendekatan kelompok, kelompok tani, merupakan salah satu pendekatan yang diharapkan dapat mempercepat proses pengembangan bidang pertanian/kehutanan di pedesaan, termasuk pengembangan usahatani agroforestry. Pengembangan kelompok tani telah menjadi salah satu program unggulan pemerintah mulai dari Orde Baru sampai dengan sekarang (Anantanyu, 2009). Kelompok tani diharapkan dapat berperan sebagai wahana belajar, wahana kerjasama, dan unit usaha bersama untuk anggotanya sehingga pengembangan usahatani agroforestry dapat dilakukan secara optimal. Oleh karena itu, salah satu solusi untuk mengoptimalkan pengembangan usahatani agroforestry adalah dengan mengoptimalkan peran kelompok tani dalam mendukung pengembangan usahatani agroforestry.

Page 16: KAJIAN ALUR TATA NIAGA KAPULAGA (Amomum cardomum L

494 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

Berdasarkan latar belakang tersebut maka penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peran kelompok tani dan usaha yang dapat dilakukan untuk mengoptimalkan peran kelompok tani dalam pengembangan usahatani agroforestri di Desa Cukangkawung.

II. METODE PENELITIAN

A. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Desa Cukang Kawung, Kecamatan Sodonghilir, Kabupaten Tasikmalaya, Provinsi Jawa Barat mulai bulan Juli sampai dengan bulan Oktober 2015.

B. Teknik Pengumpulan dan Analisis Data Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data sekunder. Data Primer dikumpulkan melalui pengisian kuisioner, diskusi kelompok, pengamatan langsung di lokasi penelitian, dan wawancara mendalam (depth interview) dengan informan penelitian yang berasal dari petani anggota kelompok tani yang memiliki pengetahuan secara mendalam tentang kelompok tani, tokoh masyarakat, penyuluh kehutanan, dan instansi terkait. Data sekunder dikumpulkan dengan melakukan analisis terhadap dokumen dan literatur yang berkaitan dengan tema penelitian seperti data monografi desa, data profil kecamatan, profil kelompok tani, data kecamatan dalam angka, dan sebagainya.

Kuisioner penelitian disusun secara tertutup yang memuat berbagai pertanyaan yang berhubungan dengan peran kelompok tani dalam pengembangan usahatani agroforestry. Jawaban pertanyaan disusun menggunakan skala likert dengan lima pilihan jawaban. Masing-masing jawaban memiliki skor nilai yaitu nilai 1 untuk jawaban yang sangat tidak mendukung pernyataan, nilai 2 untuk jawaban yang tidak mendukung pernyataan, nilai 3 untuk jawaban yang cukup mendukung pernyataan, nilai 4 untuk jawaban yang mendukung pernyataan, dan nilai 5 untuk jawaban yang sangat mendukung pernyataan.

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh anggota kelompok tani yang berada di Desa Cukangkawung. Jumlah petani yang tergabung dalam kelompok tani di wilayah Desa Cukangkawung adalah sebanyak 507 orang yang tersebar ke dalam 14 kelompok tani. Banyaknya anggota kelompok tani yang dijadikan sebagai sampel (responden) dalam penelitian ini adalah 84 orang yang dihitung dengan menggunakan rumus solvin sebagai berikut (Mun’im, 2012; Wiyono, 2011; Riduwan dan Kuncoro, 2007):

21 Ne

Nn

n = ukuran sampel N = populasi e = margin of error (pada penelitian ini ditetapkan 0,1 )

Penentuan responden pada penelitian ini dilakukan dengan menggunakan teknik penarikan sampel bertahap (multisstage sampling). Adapun tahapan penarikan sampel tersebut adalah sebagai berikut : (1) menggunakan metode sensus yaitu metode penarikan sampel dengan memilih seluruh kelompok tani yang berada di Desa Cukangkawung sebagai sampel penelitian. Jumlah kelompok tani yang terdapat di Desa Cukangkawung adalah 14 kelompok tani, dan (2) menggunakan metode proposionate random sampling yaitu memilih sampel penelitian secara acak dan proporsional sesuai dengan jumlah anggota setiap kelompok tani. Adapun rumus alokasi proporsional untuk menentukan jumlah responden pada setiap kelompok tani adalah sebagai berikut (Riduwan dan Kuncoro, 2007)

dimana : ni = jumlah sampel dalam stratum i, n = jumlah sampel seluruhnya, Ni = jumlah populasi dalam stratum i, dan N = jumlah populasi seluruhnya

Page 17: KAJIAN ALUR TATA NIAGA KAPULAGA (Amomum cardomum L

Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 495

Berdasarkan rumus alokasi proporsional tersebut, maka jumlah sampel untuk masing-masing-masing kelompok tani adalah Kelompok Tani Karang Hegar 7 orang, Tani Jaya 7 orang, Sari Tani 5 orang, Sinar Mukti 6 orang, Sabanda 5 orang, Mekarwangi I 5 orang, Mekarwangi II 5 orang, Sahate I 6 orang, Sahate II 7 orang, Sahate III 9 orang, Sukatani 7 orang, Sabilulhidayah 5 orang, Mutiara Tani 7 orang, dan Candra Jaya 5 orang.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Kelompok Tani di Desa Cukangkawung

Desa Cukangkawung memiliki 14 kelompok tani yaitu Kelompok Tani Kawunghegar, Tani Jaya, Sari Tani, Sinar Mukti, Sabanda, Mekarwangi I, Mekarwangi II, Sahate I, Sahate II, Sahate III, Sukatani, Sabilulhidayah, Mutiara Tani, dan Candra Jaya. Pada umumnya, kelompok tani yang terdapat di Desa Cukangkawung masih belum memiliki sarana dan prasarana yang mendukung kinerja kelompok tani seperti sekretariat yang belum memadai, administrasi yang masih belum rapi, sistem pelaporan keuangan kelompok yang belum transparan, dan belum terdapat regenerasi kepengurusan kelompok tani akibat lemahnya pengkaderan yang dilakukan kelompok tani. Nama kelompok tani, tahun berdiri, total anggota jumlah anggota, dan komoditas yang diusahakan kelompok tani terlihat pada Tabel 2. Tabel 2. Nama kelompok tani, tahun berdiri, total anggota dan komoditas usahatani

Sumber : Anonim, 2015 Berdasarkan Tabel 1. semua kelompok tani yang terdapat di Desa Cukangkawung memiliki komoditas utama pada bidang pertanian (seperti cabe merah, padi) dan perkebunan (tanaman teh) sedangkan tanaman kehutanan merupakan komoditas non unggulan seperti manglid, sengon, ganitri, Jabon, Gmelina, dan Mahoni.

Anggota kelompok tani di Desa Cukangkawung sudah terbiasa melakukan kegiatan usahatani tumpangsari antara tanaman perkebunan dengan tanaman kehutanan. Akan tetapi, pada umumnya budidaya tanaman kehutanan tersebut dilakukan hanya sebagai tanaman pelindung untuk tanaman perkebunan sehingga secara kuantitas maupun kualitas tanaman kehutanan masih belum diperhatikan. Tanaman kayu masih belum menjadi prioritas usahatani bagi petani di Desa Cukangkawung Tanaman teh merupakan tanaman perkebunan yang menjadi primadona untuk masyarakat di Desa Cukangkawung. Tanaman teh yang dibudidayakan masyarakat di Desa Cukang Kawung adalah hasil program pengembagan perkebunan teh oleh pemerintah pusat (Departemen Pertanian) pada tahun 1980-an. Selain tanaman teh, tanaman padi dan cane merah merupakan komoditas utama hasil usahatani anggota kelompok tani. Pada umumnya, hasil padi yang ditanam oleh anggota

Page 18: KAJIAN ALUR TATA NIAGA KAPULAGA (Amomum cardomum L

496 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

kelompok tani tidak diperjualbelikan tetapi dipergunakan untuk kebutuhan seluruh anggota keluarga. B. Peran Kelompok Tani dalam Pengembangan Usahatani Agroforestry Kelompok tani diartikan sebagai kumpulan orang-orang tani atau petani yang terdiri dari petani dewasa (pria atau wanita) maupun petani taruna (pemuda atau pemudi) yang dibentuk berdasarkan atas dasar keserasian, kebutuhan bersama, kesamaan kepentingan, kesamaan kondisi lingkungan (sosial, ekonomi, sumber daya), dan keakraban untuk mencapai tujuan bersama (Mardikanto, 1993; Septian, 2010). Terdapat beberapa ciri kelompok tani, yaitu beranggotakan petani, memiliki interaksi dan interelasi sesama anggotanya, mempunyai pandangan dan kepentingan yang sama dalam mengelola usahataninya, memiliki struktur dan pembagian tugas yang jelas, memiliki kaidah atau norma tertentu yang disepakati bersama, dan mempunyai tujuan yang sama (Ruhimat, 2013 dan Negara, 2008). Anantanyu (2009), Sukriah (2011), dan Ruhimat (2013) mengemukakan terdapat tiga peran kelompok tani yang dapat dioptimalkan dalam pengembangan usahatani pertanian yaitu (1) kelompok tani sebagai wahana belajar. Kelompok tani berperan sebagai tempat belajar mengajar bagi anggotanya untuk meningkatkan kapasitas manajerial, teknis, dan kapasitas sosial dalam pengelolaan usahatani, (2) kelompok tani sebagai wahana kerjasama. Kelompok tani berperan sebagai tempat untuk melakukan kerjasama yang erat dan sinergis diantara sesama anggota maupun dengan anggota kelompok tani lain, dan (3) kelompok tani sebagai sebagai kesatuan unit usaha. Kelompok tani berperan sebagai satu kesatuan usaha dari masing-masing anggota kelompok tani untuk mencapai skala ekonomi, baik dipandang dari segi kuantitas, kualitas maupun kontinuitas Hasil analisis deskriptif penilaian anggota kelompok tani terhadap peran kelompok tani dalam pengembangan usahatani agroforestry di Desa Cukangkawung menunjukkan bahwa secara umum, peran kelompok tani masih rendah. Hal ini dicirikan dengan aspek peran kelompok tani secara umum memiliki indeks skor sebesar 26,51 atau berada pada selang 0 – 33,33 sehingga berada pada kategori rendah. Hasil penilaian anggota kelompok tani terhadap peran kelompok tani dalam pengembangan usahatani agroforestry terlihat seperti pada Tabel 2. Tabel 2. Hasil penilaian anggota terhadap peran kelompok tani dalam pengembangan

usahatani agroforestry

Aspek Total Skor Indeks Skor Kategori Skor

Peran Kelompok Tani Wahana Belajar Wahana Kerjasama Unit Usaha Bersama

2077 783 715 579

26,51 33,04 28,20 18,08

Rendah Rendah Rendah Rendah

Rendahnya kategori skor peran kelompok tani secara umum disebabkan oleh rendahnya indeks skor ketiga peran kelompok tani dalam pengembangan usahatani agroforestry yang terdiri dari peran kelompok tani sebagai wahana belajar, wahana kerjasama, dan kesatuan unit usaha bersama. Penilaian anggota kelompok tani terhadap peran kelompok tani sebagai wahana belajar menghasilkan indeks skor sebesar 33,04 atau berada pada kategori rendah. Berdasarkan hasil diskusi dan wawancara dengan informan penelitian dapat diketahui bahwa rendahnya peran kelompok tani sebagai wahana belajar disebabkan oleh rendahnya tingkat partisipasi anggota dan kapasitas kelompok tani dalam menciptakan suasana belajar yang dinamis untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan sikap para anggota dalam mengembangkan usahatani agroforestry. Rendahnya pengetahuan dan keterampilan petani dalam pengelolaan usahatani agroforestry menyebabkan rendahnya minat dan motivasi petani untuk mengembangkan usahatani agroforestry. Hal ini sejalan dengan pendapat Negara (2008) yang menyebutkan bahwa kelompok tani sebagai kelas belajar seharusnya menjadikan kelompok tani sebagai wadah bagi setiap anggota kelompok

Page 19: KAJIAN ALUR TATA NIAGA KAPULAGA (Amomum cardomum L

Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 497

untuk berinteraksi guna meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan sikap dalam berusahatani yang lebih baik, menguntungkan, dan menumbuhkan dorongan untuk lebih mandiri. Peran kelompok tani sebagai wahana kerjasama bagi petani di Desa Cukangkawung masih berada pada kategori rendah. Hal ini didasarkan kepada hasil penilaian anggota kelompok tani terhadap peran kelompok tani sebagai wahana kerjasama yang berada pada indeks skor 28,20 atau berada pada selang penilaian 0 - 33,33. Rendahnya peran kelompok tani sebagai wahana kerjasama dalam usahatani agroforestry disebabkan oleh rendahnya partisipasi anggota dan kapasitas kelompok tani dalam mempererat kerjasama diantara para anggota dalam kelompok, antar kelompok tani, dan pihak lain. Ketidakmampuan kelompok tani menjadi wadah kerjasama anggota telah menyebabkan rendahnya posisi tawar para petani terhadap pihak lain seperti pedagang, pemerintah, dan sawsta. Hal ini sejalan dengan pendapat Negara (2008) dan Yani (2009) yang menyebutkan bahwa peran kelompok tani sebagai wahana kerjasama seharusnya menjadikan kelompok tani sebagai wadah untuk mempererat kerjasama di antara petani dalam kelompok dan antar kelompok dengan pihak lain untuk menghadapi berbagai ancaman, tantangan, hambatan, dan gangguan pada pra panen, pasca panen, pemasaran dan pemupukan modal sehingga petani mempunyai kekuatan tawar (bargaining position). Peran kelompok tani sebagai unit usaha bersama dalam pengembangan usahatani agroforestry di Desa Cukangkawung masih berada dalam kategori rendah. Rendahnya peran kelompok tani disebabkan oleh rendahnya kesadaran petani angggota untuk menjadikan keompok tani sebagai unit usaha bersama, rendahnya pengetahuan dan keterampilan petani dalam mengelola usahatani agroforestry, dan rendahnya kapasitas kelompok tani dalam mewujudkan kelompok tani sebagai kesatuan unit usahatani. Rendahnya peran kelompok tani sebagai kesatuan unit usaha menyebabkan rendahnya produktivitas tanaman yang diusahakan, rendahnya mutu hasil produksi, dan belum tercapainya skala ekonomi yang lebih menguntungkan. Hal ini memiliki kesesuaian dengan pendapat Negara (2008) yang menyebutkan kelompok tani merupakan kesatuan unit usahatani untuk bertindak dalam (a) meningkatkan produktivitas, (b) meningkatkan mutu hasil produksi, dan (c) mencapai skala ekonomi yang lebih menguntungkan. C. Optimalisasi Peran Kelompok Tani dalam Pengembangan Usahatani Agroforestry Pendekatan kelompok tani merupakan pendekatan yang lebih efektif dan efisien dalam mengembangkan usahatani agroforestry. Yani (2009) menyebutkan pendekatan kelompok sangat bermanfaat untuk mengembangkan komunikasi yang efektif diantara para petani dalam proses belajar dan kerjasama, sehingga akan meningkatkan pengetahuan, sikap, dan keterampilan petani dalam mengelola usahatani yang dilakukannnya. Oleh karena itu, optimalisasi peran kelompok tani sebagai wahana belajar, wahana kerjasama, dan kesatuan unit usaha bersama harus dioptimalkan. Optimalisasi peran kelompok tani dalam pengembangan usahatani agroforestry dapat dilakukan dengan cara meningkatkan partisipasi anggota kelompok tani dan peningkatan kapasitas kelompok tani dalam mengembangkan usahatani agroforestry (Gambar 1). Anantanyu (2009) mendefiniskan partisipasi anggota kelompok tani sebagai keseluruhan peran serta petani sebagai anggota suatu kelompok tani dalam seluruh kegiatan kelompok yang meliputi perencanaan, pelaksanaan, monitoring, dan evaluasi kegiatan. Selain itu, Anantanyu (2009) mendefiniskan kapasitas kelompok tani sebagai kemampuan kelompok tani untuk mencapai tujuan, menjaga keberlanjutan, meningkatkan keinovatifan, serta menjaga peran dan fungsi kelompok tani. Pada Gambar 1. disajikan usaha yang dilakukan stakeholder untuk meningkatkan partisipasi petani anggota dan kapasitas kelompok tani dalam pengembangan usahatani agroforestry. Usaha tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut: 1. Pemerintah. Pemerintah diharapkan dapat memberikan dukungan dalam bentuk kebijakan

pengembangan usahatani agroforestry melalui program yang terencana, terarah dan berkelanjutan. Selain itu, pemerintah juga diharapkan dapat memberikan dukungan terhadap

Page 20: KAJIAN ALUR TATA NIAGA KAPULAGA (Amomum cardomum L

498 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

keberlangsungan program pendidikan, pelatihan, dan penyuluhan kepada kelompok tani dalam meningkatkan kapasitas kelompok tani dalam pengembangan usahatani agroforestry.

2. Penyuluh. Penyuluh melakukan optimalisasi pelaksanaan program pendidikan, pelatihan, dan penyuluhan kepada kelompok tani . Penyuluh juga harus mengoptimalkan perannya sebagai pendidik, pendamping, dan fasilitator petani melalui kelompok tani.

3. Swasta. Pihak swasta dapat mengoptimalkan perannya sebagai mitra petani dalam bentuk kemitraan yang saling menguntungkan dan setara. Bentuk kemitraan yang dapat dilakukan pihak swasta tidak hanya terbatas bantuan sarana produksi dan permodalan tetapi juga diarahkan untuk meningkatkan kapasitas kelompok tani dan merangsang partisipasi anggota untuk mengoptimalkan peran kelompok tani sebagai wahana belajar, kerjasama, dan kesatuan unit produksi.

Gambar 1. Usaha untuk mengoptimalkan peran kelompok tani dalam pengembangan usahatani

agroforestry

Optimalisasi peran stakeholder diharapkan mampu meningkatkan partisipasi anggota dalam setiap kegiatan kelompok tani yang berhubungan dengan pengembangan usahatani agroforestry. Optimalisasi tingkat partisipasi anggota kelompok tani akan mendorong terjadinya peningkatan kapasitas kelompok tani, sehingga akan mendorong peningkatan peran kelompok tani dalam proses pengembangan usahatani agroforestry, baik peran sebagai wahana belajar, wahana kerjasama, maupun sebagai kesatuan usaha bersama.

Keberhasilan pengembangan usahatani agroforestry di Desa Cukangkawung akan berdampak kepada optimalnya manfaat yang diperoleh dari usahatani agroforestry yaitu terjadinya peningkatan pendapatan petani, lingkungan hidup yang berkualitas, dan kondisi sosial budaya yang terjaga.

IV. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Peningkatan Kapsitas

Kelompok Tani

Peningkatan Peran

Kelompok Tani

Peningkatan Partisipasi

Anggota Kelompok Tani

Optimalisasi

Pengembangan AF

Manfaat Ekonomi Manfaat Sosial Manfaat Ekologi

Optimalisasi Manfaat AF

Pemerintah Swasta Penyuluh

Dukungan

Kebijakan/Program

Kemitraan Diklatluh

Page 21: KAJIAN ALUR TATA NIAGA KAPULAGA (Amomum cardomum L

Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 499

Peran kelompok tani dalam pengembangan usahatani agrofrestry di Desa Cukangkawung masih rendah baik peran sebagai wahana belajar, wahana kerjasama, dan kesatuan unit produksi bersama. Usaha untuk mengoptimalkan peran kelompok tani dalam pengembangan usahatani agroforestry dapat dilakukan dengan meningkatkan partisipasi anggota dan kapasitas kelompok tani.

B. Saran

Disarankan kepada instansi pemerintah pusat seperti Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Cimanuk Citanduy dan daerah seperti Dinas Pertanian Tanaman Pangan (Distan) Kabupaten Tasikmalaya, Dinas Kehutanan dan Perkebunan (Dishutbun) Kabupaten Tasikmalaya, dan Badan Pelaksana Penyuluhan Pertanian Perikanan dan Kehutanan (BP4K) untuk memprioritaskan usaha peningkatkan partisipasi anggota dan kapasitas kelompok tani dalam program pengembangan usahatani agroforestry di lokasi penelitian.

DAFTAR PUSTAKA

Anantanyu, S. 2009. Partisipasi Petani dalam Meningkatkan Kapasitas Kelembagaan Kelompok

Petani. (Disertasi). Program Studi Ilmu Penyuluhan Pembangunan, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Badan Pusat Statistik. 2014. Kecamatan Sodonghilir dalam Angka Tahun 2014. Badan Pusat Statistik

Kabupaten Tasikmalaya. Tasikmalaya. Mardikanto, T. 1993. Penyuluhan Pembangunan Pertanian. Sebelas Maret University Press.

Surakarta. Mayrowati, H. & Ashari. 2011. Pengembangan agroforestry untuk mendukung ketahanan pangan

dan pemberdayaan petani sekitar hutan. Jurnal Forum Penelitian Agro Ekonomi, 29 (2), 83-98.

Mun’im, A. 2012. Analisis faktor ketersediaan, akses dan penyerapan pangan di kabupaten surplus

pangan: pendekatan Partial Least Square Path Modelling. Jurnal Agroekonomi, 30 (1), 41-56. Negara, T.C. 2008. Analisis Persepsi Anggota Terhadap Kinerja Organisasi Kelompok Usaha

Tanaman Hias Akuarium (Kutha) Bunga Air Di Desa Ciawi, Kabupaten Bogor. Skripsi. Program Studi Manajemen Agribisnis, Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Puspitodjati, T., Junaidi, E., Ruhimat, I.S., Kuswantoro, D.P., Handayani, W., & Indrajaya, Y. 2013.

Kajian lanskap agroforestry pada DAS prioritas. (Laporan Hasil Penelitian). Ciamis: Balai Penelitian Teknologi Agroforestry.

Riduwan dan Kuncoro. (2007). Cara menggunakan dan memaknai analisis jalur. Bandung: Alfabeta. Ruhimat, I.S. 2013. Optimalisasi Peran Kelompok Tani dalam Peningkatan Kapasitas Petani Hutan

Rakyat (pp 199-207). In T.S. Hadi, Y.F. Arifin, dan H. Fauzi (Eds.), Prosiding Ekspose Hasil Penelitian: 30 Tahun BPK Banjarbaru dalam Pembangunan Kehutanan. Banjarbaru: Puslitbang Peningkatan Produktivitas Hutan.

Septian, D. 2010. Peran Kelembagaan Kelompok Tani Terhadap Produksi Dan Pendapatan

Petani Ganyong Di Desa Sindanglaya Kecamatan Sukamantri Kabupaten Ciamis Jawa Barat. Skripsi. Departemen Agribisnis Fakultas Ekonomi Dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Page 22: KAJIAN ALUR TATA NIAGA KAPULAGA (Amomum cardomum L

500 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

Sukriah. 2011. Peran dan fungsi kelompok tani. Diunduh dari http://bpkp-sidrap.

Blogspot.com/2011/ 03/kelompok-tani-poktan.html. (12 Januari 2014). Wiyono, G. 2011. Merancang penelitian bisnis dengan SPSS dan SmartPLS 2.0.Yogyakarta: Unit

Penerbit dan Percetakan STIM YKPN.

Page 23: KAJIAN ALUR TATA NIAGA KAPULAGA (Amomum cardomum L

Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 501

POLA RELASI GENDER DALAM PENGELOLAAN HUTAN RAKYAT: KASUS DI SUB DAS CITANDUY HULU

Sanudin dan Eva Fauziyah

Balai Penelitian Teknologi Agroforestry Ciamis [email protected]

ABSTRAK

Mayoritas perempuan perdesaan kurang memiliki akses terhadap sumberdaya pertanian seperti terbatasnya akses dan hak atas lahan dan sumberdaya lainnya. Tanpa akses sumberdaya yang memadai, perempuan perdesaan tidak dapat menerima insentif yang cukup untuk mengelola sumberdaya alam dan konsekuensinya pembangunan perdesaan akan terhambat. Perbedaan akses antara laki-laki dan perempuan tersebut menjadi salah satu penyebab terjadinya kesenjangan gender yang berdampak pada lemahnya kontrol, manfaat, dan partisipasi perempuan dalam kegiatan usahatani secara keseluruhan. Penelitian ini bertujuan untuk: menganalisis pola relasi gender dalam pengelolaan hutan rakyat di Sub DAS Citanduy Hulu pada Bulan Juni-Agustus 2012. Penelitian ini menggunakan pendekatan instrument Analisis Gender (Socio Economic and Gender Analysis—SEAGA) dimana pengumpulan data dilakukan pada tingkat keluarga petani dilakukan wawancara. Responden penelitian adalah masyarakat petani (petani laki-laki dan perempuan). Hasil penelitian menunjukkan bahwa Pola relasi gender dalam pengelolaan hutan rakyat responsif gender di Sub DAS Citanduy Hulu masih didominasi oleh laki-laki terutama dalam hal akses terhadap lahan, palawija, informasi, pendidikan, pelatihan, penyuluhan pertanian, modal, kredit, peralatan, pengolahan lahan, penyemaian atau pembibitan, pemupukan, pola tanam, pengendalian hama dan penyakit, sedangkan perempuan lebih dominan dalam pengolahan hasil panen, pemasaran, dan hasil penjualan panen. Peran yang dilakukan bersama antara laki-laki dan perempuan adalah akses dalam hal informasi dan pemeliharaan. Kondisi ini secara kuantitatif ditunjukkan oleh nilai Indeks Keadilan Kesetaraan Gender (IKKG) yang lebih kecil dari 0,5. Kata kunci: relasi gender, akses, SEAGA, IKKG

I. PENDAHULUAN

Gender adalah kontruksi sosial yang mengacu pada perbedaan sifat perempuan dan lelaki yang tidak didasarkan pada perbedaan sifat perempuan dan laki-laki pada perbedaan biologis tetapi pada nilai-nilai sosial budaya yang menentukan perempuan dan laki-laki dalam kehidupan perseorangan (pribadi) dan dalam tiap bidang masyarakat yang menghasilkan peran gender (Hubeis, 2010). WHO (2012) mendefinisikan gender sebagai seperangkat peran, perilaku, kegiatan, dan atribut yang dianggap layak bagi laki-laki dan perempuan yang dikontruksikan secara sosial dalam suatu masyarakat.

Gender pada dasarnya membahas permasalahan perempuan dan laki-laki dalam kehidupan bermasyarakat agar terjadi keadilan dan kesetaraan. Kesetaraan gender adalah suatu kondisi yang setara, seimbang, dan sederajat dalam hubungan peran, kedudukan, fungsi, hak, dan tanggungjawab antara perempuan dan laki-laki, sedangkan keadilan gender mengandung pengertian suatu kondisi dan perlakuan yang adil tanpa ada perbedaan dalam hubungan peran, fungsi, kedudukan, hak, dan tanggungjawab antara perempuan dan laki-laki (Hartomo, 2007).

Mayoritas perempuan perdesaan kurang memiliki akses terhadap sumberdaya pertanian seperti terbatasnya akses dan hak atas lahan dan sumberdaya lainnya. Tanpa akses sumberdaya yang memadai, perempuan perdesaan tidak dapat menerima insentif yang cukup untuk mengelola sumberdaya alam dan konsekuensinya pembangunan perdesaan akan terhambat (Rwelamira, 1999 dalam Hartomo, 2007). Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui pola relasi gender dalam pengelolaan hutan rakyat di Sub DAS Citanduy Hulu.

Page 24: KAJIAN ALUR TATA NIAGA KAPULAGA (Amomum cardomum L

502 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

II. METODE PENELITIAN

A. Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Sub DAS Citanduy Hulu. Pengamatan lapangan dan wawancara

dilakukan di enam desa yakni Desa Guranteng, Sukapada, Sundakerta, Kiarajangkung yang termasuk Kabupaten Tasikmalaya dan Desa Sukamaju, Medanglayang yang termasuk Kabupaten Ciamis pada bulan Juli – Agustus 2012.

B. Pengumpulan dan Analisis Data

Pengumpulan data primer dilakukan secara partisipatif melalui diskusi, wawancara, pengisian kuesioner, serta pengamatan langsung terhadap pengelolaan hutan rakyat di lokasi penelitian. Data sekunder diperoleh dari hasil penelitian, studi pustaka, laporan dan dokumen dari berbagai instansi yang berhubungan dengan bidang penelitian. Sampel responden untuk analisis gender adalah anggota kelompok tani yang dipilih secara acak (random sampling) yang terdiri dari laki-laki dan perempuan masing-masing sebanyak 30 orang.

Dengan menggunakan pendekatan instrumen Sosial Ekonomi dan Analisis Gender (Socio Economic and Gender Analysis – SEAGA) secara partisipatif diperoleh informasi tentang bagaimana laki-laki dan perempuan mengalokasikan sumberdaya dalam pengelolaan hutan rakyat seperti lahan, palawija, informasi, pendidikan, latihan, penyuluhan pertanian, hasil penjualan, kredit, modal, dan peralatan kerja dan bagaimana tahapan-tahapan kegiatan pengelolaan hutan rakyat dilakukan meliputi: pengolahan tanah, pembibitan, pola tanam, pemupukan, pemeliharaan/perawatan, penyiraman, pengendalian hama dan penyakit, pengolahan hasil panen, dan pemasaran hasil.

Menurut Hartomo (2007), pada setiap tahapan tersebut pendapat responden dipilah menurut pendapat laki-laki dan perempuan. Pendapat petani laki-laki dan perempuan baik dalam bentuk kualitatif maupun kuantitatif selanjutnya dianalisis menggunakan tabulasi dan persentase untuk melihat pola relasi (hubungan) laki-laki sebagai suami dan perempuan sebagai isteri (suami-isteri) dalam melakukan kegiatan pengelolaan hutan rakyat. Secara kuantitatif pola relasi gender petani dalam melakukan kegiatan usahatani ditunjukkan dalam bentuk nilai Indeks Keadilan dan Kesetaraan Gender (IKKG). Secara matematis, angka IKKG dihitung menggunakan rumus sebagai berikut:

( )

( )

dimana: (po) = proporsi perempuan yang mempunyai karakteristik tertentu

(1-po) = proporsi perempuan yang mempunyai karakteristik lainnya

(p1) = proporsi laki-laki yang mempunyai karakteristik yang sama

(1- p1) = proporsi laki-laki yang mempunyai karakteristik lainnya

Pola relasi gender secara kuantitatif ditunjukkan dalam bentuk angka IKKG seperti

ditunjukkan Tabel 1. Tabel 1. Nilai IKKG dan Klasifikasi Pola Relasi Laki-laki dan perempuan

No. IKKG Klasifikasi Simbol

1. 0.00 > IKKG ≤ 0.50 Dominan Laki-laki DL

2. 0.50 > IKKG ≤ 1.00 Bersama-sama BS

3. IKKG > 1.00 Dominan Perempuan DP

Ket: DL = Dominan Laki-laki, BS = Laki-Laki dan Perempuan sama-sama dominan, DP = Dominan Perempuan

Page 25: KAJIAN ALUR TATA NIAGA KAPULAGA (Amomum cardomum L

Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 503

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Pengelolaan Hutan Rakyat Sebagian besar pemilik hutan rakyat di semua desa penelitian bekerja sebagai petani dan

atau sebagai buruh tani. Berdasarkan hasil pengukuran dan pengamatan lapangan pada keenam desa penelitian diketahui bahwa jenis tanaman yang diusahakan di hutan rakyat cukup banyak namun yang didominasi oleh jenis sengon (Paraserianthes falcataria). Beberapa pertimbangan petani dalam memilih jenis sengon sebagai tanaman yang dominan yakni: kayunya lebih cepat menghasilkan dibanding dengan jenis kayu lain dengan daur 5 tahun, bibit mudah diperoleh baik dengan cara membeli dari penjual keliling atau dari anakan alami, dan kayu sengon mudah dijual (Sanudin et al., 2012).

Sementara jenis tanaman perkebunan dan tanaman pertanian yang paling banyak diusahakan adalah aren, kapulaga, pisang, singkong, talas, cabe. Salah satu keunggulan penerapan pola agroforestry adalah dapat diperolehnya kontinyuitas pendapatan dimana tanaman semusim dan perkebunan digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, sedangkan pendapatan dari kayu selain bisa digunakan untuk kebutuhan sehari-hari juga untuk memenuhi kebutuhan yang sifatnya temporal seperti kebutuhan anak sekolah, hajatan/pesta, membangun rumah, dan kebutuhan mendesak lainnya.

Kegiatan pengelolaan hutan rakyat yang dilakukan oleh petani di semua lokasi penelitian studi relatif sama meliputi persiapan lahan, pengadaan bibit, penanaman dan pemeliharaan, sedangkan kegiatan pemanenan rata-rata dilakukan oleh pedagang pengumpul (bandar).

B. Pola Relasi Gender

Dalam melakukan kegiatan usahatani hutan rakyat, ada perbedaan akses antara laki-laki dan perempuan., misalnya, dalam hal mengatasi masalah yang dihadapi dan menentukan jenis komoditas utama yang akan diusahakan lebih dominan dilakukan oleh laki-laki, sedangkan perempuan lebih berperan dalam hal penentuan harga dan pemasaran serta penentuan jenis tanaman sampingan.

Akses laki-laki terhadap sumberdaya dan tahapan kegiatan pengelolaan hutan rakyat relatif lebih tinggi dibandingkan dengan perempuan, meskipun laki-laki dan perempuan memiliki kesempatan yang (hampir) sama dan biasanya mengelola hutan rakyat secara bersama-sama. Laki-laki dan perempuan saling membantu secara bergantian dan bekerjasama dalam melakukan pengelolaan hutan rakyat. Laki-laki dan perempuan memiliki hak dan kesempatan dalam memanfaatkan sumberdaya. Akses terhadap sumberdaya dan tahapan kegiatan pengelolaan hutan rakyat menurut para responden laki-laki dan perempuan dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Akses Terhadap Sumberdaya dan Tahapan Kegiatan Menurut Responden

Uraian

Akses

Responden Petani Laki-laki Responden Petani

Perempuan

Petani L (%)

Petani P (%)

Petani L (%)

Petani P (%)

Sumberdaya

1. Lahan Hutan Rakyat 86,67 53,33 90 60

2. Palawija 86,67 26,67 93,33 86,67

3. Informasi 90 23,33 90 63,33

4. Pendidikan 93,33 23,33 93,33 53,33

5. Latihan 93,33 26,67 90 43,33

6. Penyuluhan Pertanian 96,67 53,33 90 60

7. Hasil Penjualan 63,33 73,33 70 76,67

8. Modal 96,67 40 96,67 56,67

Page 26: KAJIAN ALUR TATA NIAGA KAPULAGA (Amomum cardomum L

504 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

9. Kredit 93,33 23,33 93,33 56,67

10. Peralatan Kerja 96,67 23,33 100 43,33

Tahapan Kegiatan

1. Pengolahan lahan 96,67 23,33 86,67 63,33

2. Pembibitan 96,67 23,33 83,33 80

3. Pola Tanam 96,67 26,67 83,33 66,67

4. Pemupukan 96,67 26,67 80 76,67

5. Perawatan/Pemeliharaan 93,33 66,67 76,67 83,33

6. Penyiraman 93,33 30 80 86,67

7. Pengendalian Hama dan Penyakit

90 30 80 70

8. Pengolahaan Hasil Hutan 66,67 53,33 76,67 83,33

9. Pemasaran 53,33 66,67 53,33 70

Sumber: Data primer, 2012

Berdasarkan Tabel 2 dapat dilihat bahwa menurut responden laki-laki dan perempuan, akses terhadap sumberdaya dan tahapan kegiatan pengelolaan hutan rakyat lebih didominasi oleh laki-laki. Dominasi laki-laki tersebut terutama terhadap sumberdaya lahan hutan rakyat, palawija, informasi, pendidikan, pelatihan, penyuluhan pertanian, modal, kredit, peralatan, dan terhadap tahapan kegiatan pengelolaan hutan rakyat seperti pengolahan lahan, penyemaian atau pembibitan, pola tanam, pemupukan, penyiraman, dan pengendalian hama dan penyakit. Perempuan juga mempunyai akses yang lebih dominan dibandingkan dengan laki-laki tertutama dalam hal hasil penjualan panen, pengolahan hasil panen, dan pemasaran. Laki-laki dan perempuan secara bersama-sama berperan dalam mengakses terhadap pemeliharaan/perawatan dalam pengelolaan hutan rakyat.

Kondisi diatas disebabkan oleh keberadaan perempuan yang mau bekerja membantu laki-laki sesuai dengan kemampuan yang dimiliki. Keadaan ini tergambar dalam setiap tahapan kegiatan usahatani yang dilakukan, mulai dari pembibitan sampai pengolahan hasil panen dan pemasaran. Palit (2009) menyebutkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi akses dan kontrol laki-laki dan perempuan terhadap sumberdaya dan manfaat terdiri dari faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal seperti umur, pendidikan formal, jumlah anggota keluarga, luas lahan/modal dan pendapatan. Faktor eksternal mencakup intensitas mengakses informasi dan keterlibatan dalam kelompok.

Nilai IKKG untuk setiap variabel sumberdaya dan tahapan kegiatan usahatani pada aspek akses dan kontrol dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Nilai IKKG untuk Setiap Variabel Sumberdaya dan Tahapan Kegiatan

Uraian Akses

IKKG Klasifikasi

Sumberdaya

1. Lahan Hutan Rakyat 0,410 DL

2. Palawija 0,285 DL

3. Informasi 0,182 DL

4. Pendidikan 0,143 DL

5. Latihan 0,133 DL

6. Penyuluhan Pertanian 0,368 DL

7. Hasil Penjualan 1,268 DP

8. Modal 0,202 DL

9. Kredit 0,260 DL

10. Peralatan Kerja 0,189 DL

Page 27: KAJIAN ALUR TATA NIAGA KAPULAGA (Amomum cardomum L

Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 505

Uraian Akses

IKKG Klasifikasi

Tahapan Kegiatan

1. Pengolahan lahan 0,176 DL

2. Pembibitan 0,232 DL

3. Pola Tanam 0,193 DL

4. Pemupukan 0,264 DL

5. Perawatan/Pemeliharaan 0,776 BS

6. Penyiraman 0,348 DL

7. Pengendalian Hama dan Penyakit 0,292 DL

8. Pengolahaan Hasil Hutan 1,195 DP

9. Pemasaran 1,641 DP

Sumber: Data primer, 2012 Ket: DL = Dominan Laki-laki, BS = Laki-Laki dan Perempuan sama-sama dominan, DP = Dominan

Perempuan

Tabel 3 menunjukkan bahwa sebagian besar sumberdaya dan tahapan kegiatan didominasi oleh laki-laki yang ditunjukkan oleh nilai IKKG sebesar kurang dari 0,5, sementara hanya variabel hasil penjualan, pengolahan hasil, dan pemasaran didominasi oleh perempuan dengan nilai IKKG lebih dari 1. Namun ada variabel pemeliharaan/perawatan dalam tahapan kegiatan pengelolaan hutan rakyat dengan nilai IKKG antara 0,5 dan 1 yakni sebesar 0,776, yang berarti bahwa kegiatan tersebut dilakukan secara bersama-sama baik oleh laki-laki maupun perempuan.

IV. KESIMPULAN

Pola relasi gender dalam pengelolaan hutan rakyat responsif gender di Sub DAS Citanduy

Hulu masih didominasi oleh laki-laki terutama dalam hal akses terhadap lahan, palawija, informasi, pendidikan, pelatihan, penyuluhan pertanian, modal, kredit, peralatan, pengolahan lahan, penyemaian atau pembibitan, pemupukan, pola tanam, pengendalian hama dan penyakit, sedangkan perempuan lebih dominan dalam pengolahan hasil panen, pemasaran, dan hasil penjualan panen. Peran yang dilakukan bersama antara laki-laki dan perempuan adalah akses dalam hal informasi dan pemeliharaan.

DAFTAR PUSTAKA

Hartomo, W. 2007. Kebijakan Sistem Usaha Tani Berkelanjutan Responsif Gender di Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah. Disertasi. Sekolah Pasca Sarjana, Insititut Pertanian Bogor. Bogor.

Hubeis, A.V.S. 2010. Pemberdayaan Perempuan dari Masa ke Masa. PT. Penerbit IPB Press. Bogor. Palit, M.A. 2009. Status dan Peran Wanita Tani Etnik Papua dalam Pengambilan Keputasan Rumah

Tangga di Distrik Sentani Kabupaten Sentani Propinsi Papua. Tesist. Insititut Pertanian Bogor.

Sanudin, Devy Priambodo Kuswantoro, Nana Sutrisna. 2012. Laporan Akhir Penelitian Kajian Sosial

Ekonomi Lanskap Agroforestry di DAS Citanduy. Balai Penelitian Teknologi Agroforestry. Ciamis.

World Healt Organization (WHO). 2012. What Do We Mean By ‘Sex’ and ‘Gender’.

http://www.who.int/gender/whatisgender/en/index.html. Diakses tanggal 2 Oktober 2015.

Page 28: KAJIAN ALUR TATA NIAGA KAPULAGA (Amomum cardomum L

506 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

HUTAN LINDUNG DAN SKEMA HUTAN KEMASYARAKATAN (HKM) DI DESA KARANG JAYA, KECAMATAN MERBAU MATARAM, KABUPATEN LAMPUNG SELATAN

Sanudin

Balai Penelitian Teknologi Agroforestry Ciamis [email protected]

ABSTRAK

Penelitian bertujuan untuk mengetahui pentingnya skema hutan kemasyarakatan dalam pengelolaan hutan lindung. Penelitian dilakukan di Desa Karangjaya Kecamatan Merbau Mataram, Kabupaten Lampung Selatan Propinsi Lampung pada Bulan November 2014. Desa ini dipilih sebagai contoh karena pada tahun 2014 terpilih sebagai Juara pertama tingkat Kabupaten Lampung Selatan untuk kategori Kelompok Tani Pelestari Hutan Lindung. Data yang dikumpulkan berupa data primer dan data sekunder. Pengumpulan data primer dilakukan melalui wawancara dengan tokoh masyarakat dan pengurus kelompok tani serta pihak pemerintah (Dinas Kehutanan) untuk mengetahui persepsi masyarakat terhadap HKm dan melalui pengamatan lapangan. Data sekunder berupa hasil-hasil penelitian dikumpulkan dari berbagai instansi seperti Dinas Kehutanan Propinsi, LSM Watala, dan sebagainya. Data yang telah dikumpulkan kemudian dianalisis secara deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kebutuhan terhadap lahan yang meningkat dan keterbatasan alternatif pekerjaan mendorong masyarakat melakukan kegiatan penggarapan lahan di kawasan hutan lindung Register 17. Masyarakat berinteraksi dengan hutan lindung dengan memanfaatkan hasil hutan bukan kayu berupa buah. Kondisi kawasan hutan lindung Register 17 sudah mengalami kerusakan yang cukup parah dengan tingginya tingkat penggarapan lahan oleh masyarakat. Konsep HKm merupakan solusi yang bisa dilakukan untuk kondisi dimana kawasan hutan sebagian besar atau seluruhnya sudah diokupasi oleh masyarakat agar masyarakat dapat memanfaatkan hasil hutan terutama hasil hutan bukan kayu dengan tetap menjaga kelestarian hutan Kata kunci: hutan lindung, hutan kemasyarakatan, hasil hutan bukan kayu

I. PENDAHULUAN

Hutan kemasyarakatan (HKm) adalah hutan negara yang pemanfaatan utamanya ditujukan untuk memberdayakan masyarakat setempat (Pasal 1 (1) Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P.37/Menhut-II/2007 tentang Hutan Kemasyarakatan). Selanjutnya dalam Pasal 4 Permenhut P.37/Menhut-II/2007 disebutkan bahwa HKm dimaksudkan untuk pengembangan kapasitas dan pemberian akses terhadap masyarakat setempat dalam mengelola hutan secara lestari guna menjamin ketersediaan lapangan kerja bagi masyarakat setempat untuk memecahkan persoalan ekonomi dan sosial yang terjadi di masyarakat. HKm dapat dilakukan pada kawasan hutan lindung dan hutan produksi yang tidak dibebani hak dengan jangka waktu Izin Usaha Pemanfaatan Pengelolaan HKm (IUPHKm) selama 35 tahun dan diperpanjang sesuai dengan hasil evaluasi setiap 5 tahun.

Kebijakan HKm walaupun tidak secara spesifik telah diinternalisasi dalam kerangka organisasi pemerintah daerah baik kegiatan/fungsi maupun organisasinya. Tetapi dalam praktek ada saling lempar tanggung jawab terutama antara pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten dan Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BPDAS) terhadap ‘fungsi fasilitasi’ untuk mendampingi kelompok/desa dalam memperoleh areal kerja HKm. Pengabaian fungsi pendampingan kabupaten terhadap komunitas/desa diperparah dengan status bidang kehutanan sebagai urusan pilihan, keterbatasan anggaran dan personil lapangan (Suhirman et al., 2012).

Masih menurut Suhirman et al. (2012), masalah utama pencapaian target HKm adalah pada jumlah usulan dari daerah (46% terhadap target), pada penetapan areal kerja (PAK) HKm (30% terhadap verifikasi dan evaluasi atau hanya 16% terhadap total target) dan pemberian IUPHKm (31%

Page 29: KAJIAN ALUR TATA NIAGA KAPULAGA (Amomum cardomum L

Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 507

terhadap PAK HKm). Hal ini sebabkan oleh: a) keterbatasan kapasitas komunitas dalam mengajukan areal kerja, b) saling lempar tanggung jawab antara BPDAS dengan Dinas Kabupaten dalam mendampingi HKm, dan c) dari sisi prosedur, insiatif pengusulan HKm harus bermula dari masyarakat melalui kelompok. Persoalannya masyakat tidak memiliki informasi yang memadai mengenai hak mereka terhadap hutan tempat mereka berada. Kalaupun masyarakat memiliki informasi, mereka tidak memiliki kapasitas memadai untuk menginisiasi HKm. Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui pentingnya HKm dalam pengelolaan hutan lindung yang sudah diokupasi oleh masyarakat.

II. METODE PENELITIAN

A. Lokasi dan Waktu

Penelitian ini dilaksanakan di Desa Karangjaya Kecamatan Merbau Mataram Kabupaten Lampung Selatan Propinsi Lampung pada Bulan Oktober- November 2014. Desa ini dipilih sebagai lokasi penelitian karena pada tahun 2014, kelompok ini mendapatkan penghargaan dari Bupati Lampung Selatan sebagai Kelompok Pelestari Kawasan Hutan Lindung.

B. Pengumpulan dan Analisis Data

Data yang dikumpulkan berupa data primer dan data sekunder. Pengumpulan data primer dilakukan melalui wawancara dengan tokoh masyarakat dan pengurus kelompok tani serta pihak pemerintah (Dinas Kehutanan) untuk mengetahui persepsi masyarakat terhadap HKm dan melalui pengamatan lapangan. Data sekunder berupa hasil-hasil penelitian dikumpulkan dari berbagai instansi seperti Dinas Kehutanan Propinsi, LSM Watala, dan sebagainya. Data yang telah dikumpulkan kemudian dianalisis secara deskriptif.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. HKm di Provinsi Lampung dan Kabupaten Lampung Selatan Propinsi Lampung memiliki luas wilayah 3.301.545 ha dimana seluas 1.004.735 ha (30,43%)

dari luas tersebut berstatus kawasan hutan negara. Menurut Pahlawanti dan Saroso (2009), hampir sebagian besar Izin Usaha Pemanfaatan Hutan Kemasyarakatan (IUPHKm) di Lampung (baik yang berizin definitif maupun yang sedang dalam proses pengajuan) berada di kawasan hutan lindung.

Perkembangan HKm di Propinsi Lampung meskipun berjalan cukup progresif dimana data menunjukkan bahwa realisasi IUPHKm dan Penetapan Areal Kerja (PAK) seluas 64.430,74 ha (75,80%) dari total target HKm seluas 85.000 ha pada tahun 2015 (Anonim, 2012b). Meskipun demikian terdapat kesenjangan pemahaman dan implementasi HKm antar kabupaten di Provinsi Lampung, ada kabupaten yang sudah mencapai tahap ‘tingkat lanjut’ (advanced) dalam pelaksanaan HKm, ada kabupaten yang baru tahap ‘mencermati’ dan ‘mulai menyusun proposal’ (Pahlawanti dan Saroso, 2009).

Beberapa permasalahan yang dihadapi dalam pelaksanaan HKm di Propinsi Lampung di antaranya adalah: a) masih terdapat penafsiran yang berbeda tentang HKm di tingkat penyelenggara, b) kebijakan HKm selama ini masih bersifat parsial dan belum dilaksanakan di seluruh kawasan hutan di Lampung, c) permasalahan lintas kabupaten yang belum terakomodasi dengan baik, tegas, dan jelas, d) penyelenggaraan HKm pada kawasan hutan yang merupakan batas antar kabupaten kurang harmonis, dan e) sumberdaya manusia dan anggaran masih terbatas (Dinas Kehutanan Provinsi Lampung, 2009).

Program HKm di Kabupaten Lampung Selatan merupakan program yang baru disosialisasikan pada tahun 2012, sementara di Kabupaten lain seperti Lampung Barat , HKm sudah berjalan dan dikenal sejak tahun 2007. Sosialisasi yang dilakukan oleh Dinas Kehutanan Kabupaten Lampung Selatan semakin gencar untuk memberikan pemahaman kepada petani penggarap tentang pentingnya mengurus izin (HKm) untuk mendapatkan kepastian hukum dan berusaha. Di Kabupaten

Page 30: KAJIAN ALUR TATA NIAGA KAPULAGA (Amomum cardomum L

508 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

Lampung Selatan sendiri sampai saat ini baru sembilan (9) kelompok tani yang sedang dan sudah mengurus izin HKm yang terdiri dari lima kelompok tani yang sudah mendapatkan PAK HKm dari Menteri Kehutanan namun belum mendapatkan IUPHKm dari Bupati dan empat kelompok tani sedang mengajukan PAK ke Menteri Kehutanan. B. Interaksi Masyarakat dengan Hutan Lindung

Kelompok Tani Betung Jaya termasuk dalam kategori kelompok tani yang sedang mengajukan PAK ke Menteri Kehutanan dimana usulannya baru diajukan pada Bulan Juni 2014. Masyarakat Desa Karang Jaya Kecamatan Merbau Mataram yang didominasi oleh Orang Ogan (Sumatera Selatan) sudah sejak lama berinteraksi dengan kawasan hutan lindung Register 17 (Batu Serampok) yang jaraknya ± 2 km dari batas desa. Sejak tahun 1958 masyarakat Ogan pertama kali datang, membuka hutan, dan membuat pemukiman serta berkembang di daerah tersebut.

Kebutuhan terhadap lahan yang meningkat dan keterbatasan alternatif pekerjaan mendorong masyarakat melakukan kegiatan penggarapan lahan di kawasan hutan lindung Register 17. Selain lahan marga, hampir sebagian besar masyarakat mempunyai lahan garapan di kawasan hutan lindung untuk memanfaatkan hasil hutan terutama hasil hutan bukan kayu.

Hasil pengamatan lapangan menunjukkan bahwa hampir tidak ada kawasan hutan lindung Register 17 (Batu Serampok) yang tidak dirambah oleh masyarakat termasuk daerah dengan kemiringan terjal juga sudah dirambah. Kondisi ini diperparah dengan tersedianya akses jalan yang bisa dilalui dengan kendaraan roda dua sampai ke puncak hutan lindung.

Hal ini tentunya tidak memungkinkan bagi petani penggarap untuk menambah/membuka garapan baru karena kawasan yang belum dirambah tidak ada lagi. Mekanisme ganti rugi ‘lahan garapan’ di kawasan hutan lindung merupakan salah satu cara bagi petani yang ingin menambah ‘lahan garapan’. Beberapa alasan yang mendasari jual beli lahan garapan di hutan lindung di antaranya adalah terdesak kebutuhan ekonomi, memindahkan lahan garapan ke lokasi lain yang lebih dekat, dan sebagainya.

Sumberdaya hayati yang diperoleh masyarakat dari dalam hutan dapat dikelompokkan menurut Primack (1993) yakni: a) produktif, yaitu yang diperjual belikan di pasar, dan b) konsumtif, yaitu yang dikonsumsi sendiri atau tidak dijual. Jenis tanaman yang banyak diusahakan dan dimanfaatkan oleh masyarakat di kawasan hutan lindung didominasi oleh jenis MPTs sepeti kemiri, karet, pala, durian, petai, jengkol, melinjo, selain pisang dan coklat. Jenis tersebut sebagian besar diperjualbelikan dan sisanya di konsumsi sendiri.

Keberadaan pedagang pengumpul yang ada di desa mempermudah sistem pemasaran hasil hutan bukan kayu (buah) baik yang dijual secara borongan dimana pedagang pengumpul mendatangi lokasi pohon yang buahnya akan dijual ataupun petani memanen sendiri hasilnya lalu dijual ke pedagang pengumpul. Pertimbangan kemudahan dan jarak dari rumah ke kawasan hutan lindung menjadi alasan pemilihan cara pemasaran hasil hutan bukan kayu.

C. Pentingnya HKm bagi Masyarakat

Persepsi pihak pemerintah daerah (dinas kehutanan) Kabupaten Lampung Selatan terhadap HKm adalah bahwa HKm memberi kesempatan kepada masyarakat di sekitar kawasan hutan untuk dapat mengelola hutan dengan tetap menjaga fungsi hutan. Sedangkan bagi masyarakat, HKm dipandang sebagai kebijakan yang memberikan peluang kepada masyarakat untuk dapat mengelola kawasan hutan, mengambil manfaat, menjaga dan melestrikan kawasan hutan.

Ada dua bentuk respon masyarakat terhadap konsep HKm yakni menerima dan menolak (Indrawirawan et al., 2004). Bagi masyarakat yang kurang tertarik mengikuti HKm berpendapat bahwa tanpa izin HKm juga kegiatan penggarapan lahan di kawasan hutan lindung masih tetap akan dilakukan. Terkait hal tersebut, Dinas Kehutanan Kabupaten Lampung Selatan hanya bisa mengajak dan menghimau petani penggarap untuk mengurus izin HKm serta tidak mempunyai kewenangan untuk memaksa sehingga perkembangan HKm di Kabupaten Lampung Selatan belum sesuai dengan yang diharapkan.

Page 31: KAJIAN ALUR TATA NIAGA KAPULAGA (Amomum cardomum L

Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 509

Bagi yang menerima konsep HKm, mereka berpendapat bahwa selama ini sudah banyak memperoleh dan merasakan manfaat dari keberadaan hutan lindung yang ada di sekitarnya. Manfaat tersebut seperti sumber mata pencarian, ketersediaan air yang dapat dimanfaatkan untuk rumah tangga dan pertanian terjaga, dan hubungan yang baik antara pemerintah dan pihak terkait lainnya. HKm juga diyakini sebagai salah satu solusi untuk menyelesaikan konflik-konflik kehutanan antara masyarakat dengan pihak pemegang otoritas hutan lindung yakni pemerintah kabupaten (dinas kehutanan) terutama kegiatan perambahan hutan, illegal logging, kebakaran hutan.

Pada tahun 2007, masyarakat membentuk perkumpulan petani yang menggarap lahan di kawasan hutan lindung dan saat ini kelompok tani beranggotakan 75 orang. Saat ini kelompok tani Betung Jaya sedang mengajukan permohonan untuk mendapatkan PAK dari Menteri Kehutanan. Permohonan ini bertujuan agar mereka mendapatkan kepastian lahan dan kepastian hukum dalam mencari sumber penghidupan.

Masyarakat di desa ini mempunyai motivasi dan komitmen yang cukup tinggi untuk menjaga dan memelihara kelestarian hutan lindung yang sudah menjadi sumber utama mata pencaharian mereka. Motivasi dan komitmen tersebut ditunjukkan dengan adanya aturan kelompok yang sudah disepakati bersama sejak tahun 2007. Beberapa aturan tersebut di antaranya adalah: kewajiban bagi petani untuk menanam jenis MPTs dan kayu-kayuan seperti medang, mencegah terjadinya kebakaran hutan dan lahan, memelihara dan tidak menebang pohon yang ada dan hanya mengambil hasil buahnya saja (MPTs).

Tingkat kepatuhan masyarakat terhadap aturan tersebut sangat tinggi. Hal ini terbukti dengan hampir tidak adanya kegiatan pencurian kayu secara illegal maupun pembukaan lahan baru di kawasan hutan lindung sejak tahun 2007 ketika kesepakatan kelompok tersebut dibuat. Hal ini diakui oleh penyuluh kehutanan lapangan dan Polisi Kehutanan dari Dinas Kehutanan Kabupaten Lampung Selatan yang wilayah kerjanya termasuk di Register 17 ini bahwa kawasan hutan lindung register 17 sudah bebas dari ancaman illegal logging dan perambahan hutan. Kondisi disebabkan dengan semakin meningkatnya tingkat kesadaran masyarakat terhadap pentingnya dan manfaat kawasan hutan lindung yang ada di sekitarnya karena manfaat yang mereka rasakan sendiri.

IV. PENUTUP

Kebutuhan terhadap lahan yang meningkat dan keterbatasan alternatif pekerjaan

mendorong masyarakat melakukan kegiatan penggarapan lahan di kawasan hutan lindung Register 17. Masyarakat berinteraksi dengan hutan lindung dengan memanfaatkan hasil hutan bukan kayu berupa buah. Kondisi kawasan hutan lindung Register 17 sudah mengalami kerusakan yang cukup parah dengan tingginya tingkat penggarapan lahan oleh masyarakat. Konsep HKm merupakan solusi yang bisa dilakukan untuk kondisi dimana kawasan hutan sebagian besar atau seluruhnya sudah diokupasi oleh masyarakat agar masyarakat dapat memanfaatkan hasil hutan terutama hasil hutan bukan kayu dengan tetap menjaga kelestarian hutan.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 2012b. Refleksi Percepatan Implementasi Hutan Kemasyarakatan (HKm) di Lampung

Menuju Masyarakat Sejahtera dan Kelestarian Hutan. WATALA, Dinas Kehutanan Propinsi Lampung, dan Kemitraan, Bandar Lampung.

Indrawirawan, D, F. Riza, G. Pasya, Rozi, Ismaison, R. Hariwibowo. 2004. Pelaksanaan Kebijakan

HKm di Propinsi Lampung. WATALA, World Agroforestry Center SE Asia Regional Office, Ford Foundation, DFID.

Kemitraan. 2011. Mendorong Percepatan Hutan Kemasyarakatan, Policy Brief, Jakarta.

Page 32: KAJIAN ALUR TATA NIAGA KAPULAGA (Amomum cardomum L

510 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

Pahlawanti, R., O. Saroso H.N. (peny.). 2009. Hutan Kemasyarakatan: Melestarikan Hutan untuk Kesejahteraan Rakyat-Catatan 10 Tahun Program HKm di Provinsi Lampung. Watala dan Partnership for Governance Reform in Indonesia (PGR Indonesia). Bandar Lampung.

Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.37/Menhut-II/2007 jo Peraturan Menteri Kehutanan Nomor

P.13/Menhut-II/2010 jo Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.52/Menhut-II/2011 tentang Perubahan Ketiga atas tentang Hutan Kemasyarakatan.

Primack, R. B. 1993. Essentials of Conservation Biology. Sinauer Associates Inc. Suhirman, Z. Alamsyah, A. Zaini, Sulaiman, dan A. Nikoyan. 2012. Studi Perencanaan &

Penganggaran bagi Pengelolaan Hutan berbasis Masyarakat di Indonesia: Studi Kasus Provinsi Jambi, Kalimantan Barat, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Tenggara. Laporan Utama Sebagai hasil studi lapangan. Kemitraan (Bagi Pembaruan Tata Kepemerintahan di Indonesia).

Page 33: KAJIAN ALUR TATA NIAGA KAPULAGA (Amomum cardomum L

Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 511

MODAL SOSIAL MASYARAKAT PONTREN DALAM MENDUKUNG PENGEMBANGAN HUTAN RAKYAT

Eva Fauziyah

Balai Penelitian Teknologi Agroforestry Jl. Raya Ciamis-Banjar Km. 4 PO BOX 5 Ciamis 46201 Telp. (0265)771352 Fax. (0265) 775866

ABSTRAK

Pengembangan hutan rakyat tidak hanya melibatkan lembaga formal tetapi juga lembaga non formal diantaranya adalah Pondok Pesantren (pontren). Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui kondisi modal sosial yang dimiliki oleh masyarakat pontren dalam mendukung pengembangan hutan rakyat. Penelitian dilakukan di Desa Cilolohan Kecamatan Tanjungjaya Kabupaten Tasikmalaya dan Desa Majasari Kecamatan Cibiuk Kabupaten Garut pada bulan April sampai September tahun 2009. Pengumpulan data dilakukan melalui wawancara dengan menggunakan kuesioner yang dipersiapkan terlebih dahulu. Responden dipilih secara sengaja yaitu petani hutan rakyat yang telah menjadi anggota pesantren dan terlibat dalam kegiatan pengembangan hutan rakyat bersama pontren, sebanyak 29 orang. Data yang dikumpulkan diolah dan dianalisis secara deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan secara keseluruhan tingkat modal sosial masyarakat pontren di Desa Cilolohan maupun di Desa Majasari masih tergolong rendah, dengan skor masing-masing 57,52 dan 58,48. Jika dilihat dari tiga pilar modal sosial diketahui bahwa tingkat kepercayaan (trust) pada masyarakat pontren tergolong tinggi, dan inilah karakter mendasar yang ada pada masyarakat pontren. Sementara itu unsur jaringan sosial dan norma sosial tergolong rendah. Kondisi ini menunjukkan dalam pengembangan hutan rakyat, masyarakat pontren masih memerlukan dukungan modal lainnya dan juga dukungan dari pihak lain agar modal sosial yang dimiliki bisa dimaksimalkan. Bentuk dukungan tersebut diantaranya penyuluhan dan pendampingan yang berkaitan dengan hutan rakyat maupun kehutanan secara umum. Kata kunci: hutan rakyat, modal sosial, masyarakat pontren

I. PENDAHULUAN

Dalam rangka mengembangkan hutan rakyat pemerintah (Departemen Kehutanan) telah meluncurkan berbagai program kerjasama atau kemitraan dan dengan beragam lembaga baik lembaga formal maupun non formal. Salah satu lembaga non formal dilibatkan adalah Pondok Pesantren (Pontren). Pontren merupakan lembaga non formal yang memiliki karakteristik unik dibandingkan dengan lembaga non formal lainnya. Pontren memiliki kekuatan tersendiri untuk terlibat dalam kegiatan kehutanan, meskipun juga mempunyai sejumlah kelemahan yang harus di minimalkan. Pontren juga diyakini mempunyai peluang yang sangat besar dalam pengelolaan hutan, karena pontren rata-rata berada di pedesaan dengan kyai yang memiliki karisma baik di mata masyarakat sehingga pontren mempunyai pengaruh yang cukup kuat dalam memberdayakan masyarakat (Benda, 1958 dalam O’Hanlon, 2006; Qamarudin, 2005). Hal ini menunjukkan bahwa pada dasarnya pontren mempunyai modal sosial untuk terlibat dalam kegiatan pembangunan kehutanan.

Putnam (1993) dalam Productivity Commision (2003) mendefinisikan modal sosial sebagai gambaran kehidupan sosial yang memungkinkan para partisipan bertindak bersama secara lebih efektif untuk mencapai tujuan bersama. Sedangkan menurut Morgan (2000) dalam Rustiadi et al. (2004), sumberdaya modal sosial pada dasarnya merupakan suatu stok sumberdaya yang bersifat non spesifik tetapi produktif yang terkamulasi sebagai keterkaitan seasal (cognate) diantara anggota masyarakat atau keterkaitan tidak seasal (noncognate) di antara anggota masyarakat dan individu di luar masyarakat. Sedangkan komponen-komponen kunci dari modal sosial yang diidentifikasi oleh Putnam (1993); Fukuyama (1995); Knack dan Keefer (1997) dalam Productivity Commision (2003)

Page 34: KAJIAN ALUR TATA NIAGA KAPULAGA (Amomum cardomum L

512 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

adalah jaringan pertemuan/dialog masyarakat (networks of civic engagement), norma-norma yang saling berinteraksi (norms of generalized reciprocity), dan social trust.

Modal sosial memang tidak dapat berdiri sendiri, sehingga perpaduan kerjasama pontren dengan pemerintah, swasta dan masyarakat umum sangat penting untuk memadukan modal sosial yang dimiliki oleh pontren dan modal lainya baik modal finansial maupun modal sumberdaya manusia. Seperti disebutkan oleh Kartodihardjo et al.(2000), kinerja sebuah pembangunan sangat dipengaruhi oleh empat faktor kunci yaitu sumberdaya alam (natural capital), sumberdaya manusia (human capital), sumberdaya buatan manusia (man made capital), serta pranata institusi formal maupun informal masyarakat (social capital). Modal sosial ini tentu dimiliki oleh semua komunitas masyarakat termasuk komunitas masyarakat pontren yang saat ini terlibat dalam pengembangan hutan rakyat bersama pontren. Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui kondisi modal sosial yang dimiliki oleh masyarakat pontren.

II. METODE PENELITIAN

A. Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilakukan di Desa Cilolohan Kecamatan Tanjungjaya Kabupaten Tasikmalaya dan Desa Majasari Kecamatan Cibiuk Kabupaten Garut pada bulan April sampai bulan Desember 2009. B. Pengumpulan Data

Pengambilan sampel dalam penelitian ini dilakukan secara purposive sampling, dengan unit penelitian adalah petani yang menjadi anggota pesantren dan terlibat dalam kegiatan pengembangan hutan rakyat bersama pontren. Jumlah responden terdiri dari 16 orang untuk Desa Cilolohan dan 13 orang untuk Desa Majasari. Pengumpulan data dilakukan melalui wawancara dengan kuesioner yang telah dipersiapkan terlebih dahulu, dengan menggunakan instrument Social Capital Assesment Tool (SOCAT).

C. Analisis Data

Data yang yang diperoleh diolah dengan menggunakan program Microsoft Excel dan dianalisis secara deskriptif.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

Kepercayaan. Mollering (2001) dalam Dharmawan (2002) menyebutkan bahwa modal sosial mempunyai enam fungsi penting yaitu: a) kepercayaan dalam arti confidence yang merupakan ranah psikologis individual sebagai sikap yang akan mendorong seseorang mengambil keputusan setelah menimbang resiko yang akan diterima; b) kerjasama yang menempatkan trust sebagai dasar hubungan antar individu tanpa rasa saling curiga; c) penyederhanaan pekerjaan yang memfungsikan trust sebagai sumber untuk membantu meningkatkan efisiensi dan efektivitas kerja kelembagaan-kelembagaan sosial; d) ketertiban dimana trust sebagai inducing behaviour setiap individu untuk menciptakan kedamaian dan meredam kekacauan sosial, sehingga trust membantu menciptakan tatanan sosial yang teratur, tertib, dan beradab; e) pemelihara kohesivitas sosial yang membantu merekatkan setiap komponen sosial yang hidup dalam komunitas menjadi kesatuan; dan f) trust sebagai modal sosial yang menjamin struktur sosial berdiri secara utuh dan berfungsi secara operasional serta efisien.

Pada Gambar 1 dapat dilihat bahwa skor kepercayaan responden untuk menjalin hubungan sosial di dalam komunitasnya di Desa Cilolohan tergolong tinggi (86,67) dan di Desa Majasari tergolong sedang (72,73). Demikian pula dengan kepercayaan untuk menjalin hubungan sosial dengan komunitas luar dan kepercayaan responden untuk menjalin kerjasama dengan orang lain tanpa saling curiga termasuk katagori tinggi di Desa Cilolohan dan sedang di Desa Majasari.

Page 35: KAJIAN ALUR TATA NIAGA KAPULAGA (Amomum cardomum L

Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 513

Gambar 1. Sebaran tingkat kepercayaan responden di Desa Cilolohan dan Desa Majasari

Adanya kepercayaan yang tinggi terhadap anggota masyarakat lain dalam komunitas akan mendorong setiap individu untuk berinteraksi dan bekerjasama mencapai tujuan yang diinginkan. Interaksi yang terjadi antar anggota dalam komunitas dalam bentuk kerjasama diawali oleh adanya rasa saling percaya pada tingkat individu dalam suatu komunitas dan selanjutnya membentuk hubungan-hubungan sosial.

Hubungan sosial untuk mencapai keuntungan bersama tersebut dapat terjalin karena dilandasi oleh sikap kooperatif, keinginan untuk melibatkan diri, akomodatif, menerima tugas dan penugasan untuk kepentingan bersama dan munculnya keyakinan bahwa kerjasama akan mendatangkan keuntungan (Uphoff et al., 2000 dalam Vipriyanti, 2007). Kerjasama secara sukarela menurut Putnam (1993) dalam Lenggono (2004) lebih mudah terjadi di dalam suatu komunitas lokal yang telah mewarisi sejumlah modal sosial yang substansial dalam bentuk aturan-aturan, pertukaran timbal balik dan jaringan-jaringan kesepakatan warga yang menjadi basis bagi kerjasama sukarela itu biasanya tercipta, bila tingkat partisipasi yang setara dan adil (equal participation) di dalam komunitas sudah terwujud.

Seperti karakteristik masyarakat pedesaan pada umumnya, masyarakat di kedua lokasi penelitian juga mempunyai tradisi gotong royong. Menurut Subejo (2004) tradisi dan praktek gotong royong yang masih mengakar di pedesaan memiliki aturan yang disepakati bersama (norms), pihak yang terlibat memberikan kontribusi dan mendapat manfaat (reciprocity), ada bingkai saling percaya (trust), dan diikat oleh pertalian hubungan antar pelaku (network). Budaya gotong royong tersebut menuntut adanya partisipasi dari warganya. Partisipasi tersebut dapat dilihat dari kontribusinya terhadap sebuah kegiatan terutama kegiatan umum.

Secara keseluruhan skor kepercayaan pada masyarakat Desa Cilolohan dan Desa Majasari termasuk kategori sedang dengan skor masing-masing adalah 79,05 dan 71,43. Hal ini dapat mendukung keberhasilan suatu program yang datang/ada di desa tersebut. Namun sejauh ini keberhasilan dari program pengembangan hutan rakyat masih rendah. Hal ini tidak hanya disebabkan oleh faktor internal petani itu sendiri, tetapi juga karena adanya faktor eksternal seperti tidak berlanjutnya program dan kurangnya penyuluhan dan pendampingan dari stakeholder terkait. Kondisi tersebut menggambarkan adanya ketidaksesuaian harapan dari seluruh anggota kelompok dengan kenyataan yang terjadi, sehingga kepercayaan yang sudah terbangun mengalami penurunan. Rumusan trust tersebut membawa konotasi pada aspek negosiasi harapan dan kenyataan yang dibawakan oleh tindakan sosial individu atau kelompok dalam kehidupan bermasyarakat. Tingkat kepercayaan akan tinggi, bila penyimpangan antara harapan dan realisasi tindakan sangat kecil. Sebaliknya, tingkat kepercayaan menjadi sangat rendah apabila harapan yang diinginkan tak dapat dipenuhi oleh realisasi tindakan sosial.

Jaringan sosial. Menurut Colement (1990) dalam Rahmat (2008) modal sosial merupakan inheren dalam struktur relasi antar individu. Struktur relasi membentuk jaringan sosial yang menciptakan berbagai ragam kualitas sosial berupa saling percaya, terbuka, kesatuan norma, dan

86,7 93,3 93,3

86,7

100

72,7 72,7 69,2

100 100

0

20

40

60

80

100

120

1 2 3 4 5 6

Cilolohan

Majasari

Page 36: KAJIAN ALUR TATA NIAGA KAPULAGA (Amomum cardomum L

514 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

menetapkan berbagai jenis sangsi bagi anggotanya. Jaringan sosial dapat dipahami sebagai jaring-jaring hubungan diantara sekumpulan orang yang saling terkait baik secara langsung maupun tidak langsung, sehingga analisa jaringan sosial akan terkait dengan hubungan-hubungan sosial yang ada dalam masyarakat. Hubungan sosial ini tidak terlepas dari komunikasi yang terbangun dalam jaringan sosial tersebut.

Komunikasi antar individu dalam masyarakat dilakukan untuk mencapai tujuan atau kepentingan bersama yang telah disepakati. Terbangunnya komunikasi antar anggota masyarakat terlihat dari adanya kegiatan-kegiatan komunikasi yang dilakukan seperti musyawarah antar elemen kelompok atau masyarakat. Di kedua lokasi penelitian kegiatan musyawarah dilakukan secara rutin maupun tidak rutin. Musyawarah rutin dilakukan oleh anggota masyarakat yang sudah memiliki keterikatan dalam sebuah kelompok baik formal maupun informal, misalnya kegiatan arisan atau pengajian yang dilakukan sebulan sekali, sedangkan musyawarah tidak rutin dilakukan ketika ada masalah-masalah mendesak yang harus segera atasi bersama.

Menurut Stones dan Hughes (2002) dalam Alfiasari (2007) modal sosial mempunyai dua ukuran utama yaitu jaringan sosial (networks) dan karakterisktik jaringan sosial (network characteristic). Jaringan sosial dilihat dengan menggunakan beberapa ukuran yaitu: a) ikatan informal yang dikarakteristikkan dengan adanya kepercayaan dan hubungan timbal balik yang lebih familiar dan bersifat personal seperti ikatan pada keluarga, pertemanan, dan pertetanggaan; b) ikatan yang sifatnya lebih umum seperti ikatan pada masyarakat setempat, masyarakat umum, masyarakat dalam kesatuan kewarganegaraan. Ikatan ini dikarakteristikkan dengan adanya kepercayaan dan hubungan timbal balik yang sifatnya umum; dan c) ikatan kelembagaan yang dikarakteristikkan dengan adanya kepercayaan dalam kelembagaan yang ada.

Sementara itu, karakteristik jaringan sosial (network characteristic) dapat dilihat dari tiga karakteristik yaitu bentuk dan luas (size and extensiveness), kerapatan dan ketertutupan (density dan closure), dan keragaman (diversity). Gambar 2 memperlihatkan kondisi jaringan sosial di lokasi penelitian.

Gambar 2. Kondisi jaringan sosial di Desa Cilolohan dan Majasari

Dari Gambar 2 terlihat bahwa basis jaringan sosial yang terbangun antara anggota

masyarakat dalam komunitasnya baik di Desa Cilolohan maupun Desa Majasari dilandasi oleh hubungan kekerabatan dan pertetanggan. Hal ini sangat dimungkinkan karena hampir sebagian besar penduduk di Desa Cilolohan dan Desa Majasari memiliki hubungan keluarga, diantaranya karena adanya pernikahan antar warga setempat, sehingga hubungan kekerabatan lebih mendominasi dibandingkan dengan pertetanggaan. Jaringan komunitas yang kuat merupakan perekat yang baik untuk berjalannya program/kegiatan dalam masyarakat. Tetapi disisi lain kondisi jaringan sosial yang terlalu kuat dengan kerabat atau tetangga bisa menimbulkan dampak negatif seperti adanya kolusi atau nepotisme, apabila tidak ada kontrol sosial.

Sifat jaringan sosial di kedua desa sebagian besar adalah informal seperti dinyatakan oleh 100% responden di Desa Cilolohan dan 91,67% di Desa Majasari. Responden di kedua desa studi

56,3 56,3 50

18,8

100

86,7

33,3 26,7

46,7

20

100

0

20

40

60

80

100

120

1 2 3 4 5 6 7

Cilolohan

Majasari

Page 37: KAJIAN ALUR TATA NIAGA KAPULAGA (Amomum cardomum L

Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 515

merasa hubungan yang dilakukan dengan anggota masyarakat lebih nyaman dilakukan secara informal, karena lebih alami dan terbangun apa adanya tanpa ada rasa paksaan apapun. Selain itu responden menilai hubungan informal ini bisa mengurangi timbulnya biaya-biaya yang tidak diperlukan dalam melakukan hubungan sosial. Sifat jaringan sosial informal menunjukkan adanya hubungan sosial yang lebih lentur yang terbangun oleh dorongan terhadap kebutuhan untuk menjalin hubungan sosial dengan orang lain. Menurut Alfiasari (2007), kelenturan hubungan sosial yang terjadi bila dipupuk akan memperkuat hubungan sosial yang terjadi dan kemungkinan menjadi hubungan permanen yang lebih personal yang dapat berguna dalam mencapai tujuan bersama. Luas jaringan sosial ditinjau dari pihak-pihak yang berinteraksi dengan responden, dimana luas jaringan sosial di kedua desa termasuk kategori rendah. Sebagian besar responden cenderung berinteraksi dengan kerabat dan tetangga yang ada di lingkungan tempat tinggal. Sementara itu hubungan sosial di luar komunitas, selain dengan kerabat juga berinteraksi dengan teman, baik teman dalam berbisnis atau dalam kegiatan-kegiatan lain yang memaksa individu untuk berinteraksi.

Interaksi dengan pihak luar juga sangat penting dilakukan oleh masyarakat pedesaan, supaya bisa memperluas jaringan tidak hanya dengan kerabat atau tetangga saja. Dengan jaringan sosial yang luas, komunikasi yang terbangun akan lebih mudah dan petani juga bisa memperoleh informasi dan pengetahuan. Skor untuk komponen kedalaman jaringan sosial untuk kedua desa termasuk kategori rendah. Kedalaman jaringan sosial dilihat dari pengetahuan responden terhadap kegiatan keseharian masyarakat lain di lingkungan tempat tinggalnya. Sebagian besar responden mengaku bahwa untuk hal-hal yang bersifat pribadi, tidak mau terlalu ikut campur terkecuali orang tersebut meminta bantuan kepada responden. Namun dilihat dari keterbukaan jaringan, semua responden mengaku terbuka dengan kehadiran pihak luar. Sikap terbuka itu dapat dilihat dari adanya anggota masyarakat lain yang berbeda asal daerah di kedua desa tersebut. Responden menilai sejauh kehadiran pihak luar membawa arah yang positif dan tidak mengganggu maka akan disambut positif oleh masyarakat desa. Jaringan sosial yang ada bisa berlangsung secara permanen namun bisa juga hanya bersifat temporal. Sebagian besar responden di kedua desa termasuk temporal dalam membangun suatu jaringan.

Kondisi tersebut menunjukkan adanya kecenderungan bahwa apabila pendanaan masih ada maka program pemerintah akan berjalan lancar, namun jika tidak ada umumnya kegiatan akan akan berhenti. Gejala ini perlu menjadi perhatian pemerintah/pemberi program untuk meyakinkan masyarakat bahwa program tersebut akan memberikan manfaat bagi mereka dan keberhasilannya tidak sepenuhnya bergantung kepada inisiator program. Oleh karena itu dalam implementasi program apapun, dorongan dari pemerintah untuk menggali potensi modal sosial yang dimiliki oleh masyarakat sendiri sangat diperlukan. Secara keseluruhan jaringan sosial keseluruhan untuk kedua desa termasuk rendah yakni sebesar 40,18 untuk Desa Cilolohan dan 44,76 untuk Desa Majasari.

Norma. Norma masyarakat merupakan elemen penting untuk menjaga agar hubungan sosial dalam suatu sistem sosial (masyarakat) dapat terlaksana sesuai dengan yang diharapkan (Soekanto, 1990). Modal sosial dibentuk dari norma-norma informal berupa aturan-aturan yang sengaja dibuat untuk mendukung terjadinya kerjasama diantara dua atau lebih individu. Norma dapat terbentuk dari aturan-aturan tertulis seperti yang ada dalam organisasi sosial. Menurut Feddereke et al. (1999) dalam Alfiasari (2007) dinyatakan bahwa organisasi sosial didalamnya mengandung norma-norma berupa aturan-aturan informal dan nilai-nilai yang memfasilitasi adanya koordinasi diantara anggota dalam sebuah sistem sosial. Hal ini menurutnya memungkinkan adanya tindakan-tindakan kerjasama dalam memudahkan pekerjaan guna mencapai keuntungan kolektif yang dirasakan bersama.

Narayan (1999) dalam Dharmawan (2002) menganggap penting adanya institusi formal dan informal yang menjamin trust agar berfungsi secara operasional. Dalam penelitian ini, keberadaan norma sosial yang ada dalam masyarakat yang dilihat meliputi norma tertulis, norma tidak tertulis, dan norma agama. Hasil penelitian menunjukkan dalam berhubungan sosial sebagian responden tidak banyak menggunakan norma/aturan tertulis, sehingga keberadaan norma tertulis ini dinilai rendah. Aturan tertulis dalam masyarakat hanya ditemui dalam kelompok-kelompok formal.

Page 38: KAJIAN ALUR TATA NIAGA KAPULAGA (Amomum cardomum L

516 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

Berbeda dengan norma tertulis, responden mengaku dalam menjalin hubungan sosial dengan siapapun, sangat memperhatikan keberadaan norma-norma tidak tertulis seperti adanya saling tolong menolong, pinjam meminjam, saling menghargai, menjaga tatakrama, sopan santun dan lain sebagainya. Seperti disebutkan oleh Fukuyama (2001) dalam Alfiasari (2007) dalam menjalin kerjasama dalam sebuah interaksi sosial juga terkait dengan nilai-nilai tradisional yang merupakan aturan tidak tertulis dalam sebuah sistem sosial, yang mengatur masyarakat untuk berperilaku dalam interaksinya dengan orang lain. Nilai-nilai tersebut berupa kejujuran, sikap menjaga komitmen, pemenuhan kewajiban, ikatan timbal balik dan yang lainnya.

Adanya norma sosial juga akan mondorong terjalinnya kerjasama pada anggota dalam komunitas karena norma-norma selalu mengajarkan anggota komunitasnya untuk bekerjasama dalam kehidupan sosial. Untuk norma agama, secara langsung maupun tidak langsung banyak digunakan oleh masyarakat dalam menjalin hubungan sosial dengan masyarakat lain, namun sejauh ini masyarakat lebih banyak menggunakan norma-norma tidak tertulis. Sebaran norma sosial di kedua desa disajikan Gambar 3.

Gambar 3. Sebaran norma sosial

Rekapitulasi skor keseluruhan untuk masing-masing komponan modal sosial di kedua desa

disajikan pada Gambar 4.

Gambar 4. Kondisi kecukupan modal sosial di lokasi penelitian

Secara keseluruhan kondisi kecukupan modal sosial masyarakat di kedua desa hampir sama

yakni termasuk kategori rendah dengan skor keseluruhan 57,52 untuk Desa Cilolohan dan 58,48 untuk Desa Majasari. Namun demikian penjumlahan skor modal sosial ini tidak selalu bisa

60

100

77

100

0

20

40

60

80

100

120

Norma tertulis Norma tidaktertulis

Norma agama

Cilolohan

Majasari

79,1

40,2

53,3

71,4

44,8

59,3

0

10

20

30

40

50

60

70

80

90

Kepercayaan Jaringan sosial Norma sosial

Cilolohan

Majasari

Page 39: KAJIAN ALUR TATA NIAGA KAPULAGA (Amomum cardomum L

Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 517

menggambarkan kondisi modal sosial dari seluruh komponen modal sosial. Hal itu disebabkan karena bisa saja dalam sebuah masyarakat meskipun secara keseluruhan rendah, namun untuk beberapa hal memiliki skor nilai yang tinggi.

IV. KESIMPULAN

Tingkat modal sosial pada masyarakat pontren di kedua desa tergolong rendah, dimana

kondisi setiap elemen modal sosial adalah sebagai berikut: ada rasa saling percaya (kategori sedang) antar anggota masyarakat dan juga antar anggota dengan tokoh masyarakat, b) jaringan sosial masyarakat tergolong rendah, terutama jaringan anggota kelompok tani dengan pihak luar., c) norma sosial tergolong rendah. Tidak ada norma tertulis dalam menjalin hubungan di dalam pengembangan hutan rakyat. Sebagai saran agar program pengembangan HR dapat berjalan baik maka perlu ada dukungan pemerintah atau pihak lain untuk menggali potensi-potensi modal sosial yang dimiliki masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA

Alfiasari. 2007. Analisis Ketahanan Pangan Rumah Tangga Miskin dan Peranan Modal Sosial (Studi

Kasus pada Rumah Tangga Miskin di Kecamatan Tanah Sareal dan Kecamatan Bogor Timur, Kota Bogor). Tesis Sekolah Pascasarjana IPB. Bogor. Tidak diterbitkan.

Arikunto, S. 1997. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek. Rineka Cipta. Jakarta. Dharmawan, A.H. 2002. Kemiskinan Kepercayaan (The Poverty of Trust), Stok Modal Sosial dan

Disintegrasi Sosial. http://www.psp3ipb.or.id/uploaded/Trust_Society_Mimbar_Sosek_Arya_final_2006.pdf. Diakses pada tanggal 1 Maret 2009.

Kartodihardjo, H., K. Murtilaksono., H. Pasaribu, dan U. Sudadi. 2000. Kajian Institusi Pengelolaan

DAS. K3SB. Bogor. Lenggono, P.S. 2004. Modal Sosial dalam Pengelolaan Tambak (Studi Kasus pada Komunitas

Petambak di Desa Muara Pantuan Kecamatan Anggana Kabupaten Kutai Kertanegara). Tesis Sekolah Pascasarjana IPB. Bogor. Tidak diterbitkan.

Productivity Commission. 2003. Social Capital: Reviewing the Concept and its Policy Implications.

Research Paper. AusInfo.Canberra. Rustiadi, E., S. Saefulhakim, dan D.R. Panuju. 2004. Social Capital dan Pengembangannya (Suatu

Telaah Teoritis) dalam Diktat Perencanaan dan Pengembangan Wilayah. Fakultas Pertanian, IPB. Bogor. Tidak diterbitkan.

Suyuti, A. 2008. Pengertian Pondok Pesantren. http///www.damandiri.or.id /file/

ahmadsuyutiunairbab2.pdf. Diakses pada tanggal 24 Juli 2008. Vipriyanti, N.U. 2007. Studi Sosial Ekonomi tentang Keterkaitan antara Modal Sosial dan

Pembangunan Ekonomi Wilayah. Disertasi Sekolah Pascasarjana IPB. Bogor. Tidak diterbitkan.

Page 40: KAJIAN ALUR TATA NIAGA KAPULAGA (Amomum cardomum L

518 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

ANALISIS GENDER DALAM PENGELOLAAN SISTEM AGROFORESTRI TRADISIONAL (STUDI KASUS DUKUH DI DESA KIRAM, KABUPATEN BANJAR)

Adnan Ardhana1 , Pranatasari Dyah Susanti 2 dan Krisna Irawan1

1 Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru, Jl. A.Yani, km 28,7, Kalimantan Selatan 2Balai Penelitian Teknologi Kehutanan Pengelolaan DAS, Jl. Jend. A Yani Pabelan, Surakarta

Email : [email protected]

ABSTRAK Dukuh merupakan sistem pengelolaan hutan turun-temurun dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan sosial budaya masyarakat di Kabupaten Banjar. Sistem pengelolaan hutan secara tradisional ini, tentu memerlukan partisipasi seluruh anggota keluarga untuk menjamin keberlangsungannya. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis peran gender sebagai nilai sosial budaya dalam pengelolaan Dukuh di Desa Kiram, Kabupaten Banjar, Propinsi Kalimantan Selatan. Pengambilan data dilakukan dengan teknik wawancara dan observasi lapangan. Jumlah responden adalah 30% dari populasi dengan teknik penentuan secara acak. Analisis nilai gender menggunakan Analisis Model Harvard. Hasil penelitian menunjukkan bahwa peran anggota keluarga laki-laki dan perempuan dalam kegiatan produktif yang meliputi permudaan atau penanaman, pemeliharaan, pengamanan, pemanenan dan pemasaran di Desa Kiram tidak terjadi perbedaan yang menonjol. Prosentase nilai peran anggota keluarga laki-laki mencapai rata-rata 46,67% dan anggota keluarga perempuan sebesar 38,18%. Pada tingkat keluarga, besarnya peran suami dan istri dalam kegiatan pengelolaan Dukuh hampir sama besarnya. Peran suami dalam kegiatan ini memiliki nilai rata-rata 33,33%, sedangkan peran istri 32,82%. Bahkan peran istri memiliki nilai tertinggi dalam kegiatan pemeliharaan dan pemasaran dengan nilai masing-masing 39,74%. Anak juga berperan dalam kegiatan pengelolaan Dukuh, baik anak laki-laki maupun perempuan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa ketidakadilan gender maupun stereotip masyarakat dimasa lalu tentang perempuan dan laki-laki tidak berlaku dalam pengelolaan Dukuh di Desa Kiram. Kata kunci : agroforestri, Dukuh, gender.

I. LATAR BELAKANG

Salah satu bentuk agroforestri tradisional yang masih bertahan hingga saat ini dan menjadi bagian dari kehidupan sosial budaya masyarakat setempat adalah pengelolaan dukuh di Kalimantan Selatan. Dukuh merupakan suatu areal yang ditumbuhi oleh kelompok pohon yang didominasi jenis buah-buahan dengan pola tanam tidak teratur, strata umur yang tidak seragam, serta berada di sekitar pemukiman atau bekas ladang masyarakat (Hafizianor,2002). Dalam ilmu agroforestri dukuh termasuk kedalam bentuk multipurpose forest tree production systems, yaitu sistem pengelolaan dan penanaman berbagai jenis kayu, yang tidak hanya untuk hasil kayunya, akan tetapi juga daun-daunan dan buah-buahan dan dapat digunakan sebagai bahan makanan manusia, ataupun pakan ternak.

Pengelolaan dukuh yang mampu bertahan hingga saat ini menunjukkan bahwa sebenarnya pengelolaaan sumberdaya alam berdasarkan pengetahuan yang berasal dari proses belajar dan pengalaman sehari-hari masyarakat, ternyata mampu memberikan manfaat serta menjaga kelestarian sumberdaya alam. Keberlanjutan dari sistem tersebut tentu saja membutuhkan peran serta dari masing-masing anggota keluarga, baik anggota keluarga laki-laki maupun perempuan demi tercapainya kesetaraan gender dalam pengelolaan dukuh.

Gender biasanya berkaitan dengan perbedaan peran laki-laki dan perempuan dalam kegiatan sehari-hari yang umumnya dibagi dalam kegiatan produktif, kegiatan reproduktif, kegiatan merawat masyarakat dan kegiatan politik masyarakat. Permasalahan akan terjadi apabila: salah satu jenis kelamin dirugikan, salah satu jenis kelamin dibedakan derajatnya, salah satu jenis kelamin

Page 41: KAJIAN ALUR TATA NIAGA KAPULAGA (Amomum cardomum L

Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 519

dianggap tidak mampu, salah satu jenis kelamin diperlakukan lebih rendah, dan salah satu jenis kelamin mengalami ketidakadilan gender. Ketidakadilan gender terjadi karena adanya keyakinan dan pembenaran yang ditanamkan sepanjang peradaban manusia dalam berbergai bentuk yang bukan hanya menimpa perempuan saja tetapi juga dialami oleh laki-laki. Meskipun secara agregat ketidakadilan gender dalam berbagai kehidupan ini lebih banyak dialami oleh perempuan, namun ketidakadilan gender itu berdampak pula terhadap laki-laki (Puspitawati,2012).

Laki-laki dan perempuan memiliki peran masing-masing dalam segala kehidupan, baik kegiatan produktif maupun non produktif dalam pengelolaan dukuh. Pembagian peran antara perempuan dan laki-laki merupakan wujud dari peran gender. Secara umum ada kerja sama yang erat antara pembagian peran tersebut untuk pengambilan keputusan. Pembagian peran tersebut dilihat dari 3 peran atau triple roles yang terdiri atas peran publik dengan kegiatan produktifnya, peran domestik dengan kegiatan reproduktifnya dan peran kemasyarakatan dengan kegiatan sosial budayanya dan profil akses dan kontrol dan faktor yang mempengaruhi kegiatan akses dan kontrol. (Puspitawati, 2012). Sesuai dengan tujuan penelitian ini, kegiatan masyarakat yang dipelajari adalah mengenai pembagian peran anggota rumah anggota rumah tangga laki-laki dan perempuan dalam kegiatan produktif pengelolaan dukuh di Desa Kiram, Kabupaten Banjar, Propinsi Kalimantan Selatan.

II. METODE PENELITIAN

A. Lokasi dan waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Desa Kiram, Kabupaten Banjar, Propinsi Kalimantan Selatan pada

bulan Agustus 2013 sampai dengan Desember 2013. B. Teknik Penentuan Responden

Responden dalam penelitian ini adalah kepala keluarga (KK) yang mempunyai dukuh di Desa Kiram, Kecamatan Karang Intan, Kabupaten Banjar dengan jumlah 106 KK. Sampel ditentukan sebesar 30% secara acak sehingga didapatkan jumlah 32 KK. C. Teknik Pengumpulan Data

Pengambilan data dilakukan dengan cara observasi, wawancara dan studi pustaka. 1. Observasi

Kegiatan yang dilakukan pada observasi yakni: melihat kehidupan sehari–hari masyarakat setempat dalam kegiatan produktif pengelolaan dukuh. 2. Wawancara

Wawancara dilakukan kepada semua sampel dalam penelitian. Wawancara adalah tanya jawab lisan antara dua orang atau lebih secara langsung untuk menggali informasi dari tiap individu. Informasi yang diperoleh diantaranya: a. Identifikasi responden (umur, pekerjaan, luas lahan yang dimiliki, pendapatan, pendidikan, jumlah

anggota keluarga) b. Identifikasi kegiatan produktif yang berlaku dalam KK dalam pengelolaan dukuh dan peran gender

(Contoh : penyiapan lahan, penanaman dan lain-lain). 3. Studi pustaka

Studi pustaka merupakan pengumpulan informasi sekunder yang berhubungan dengan tujuan penelitian baik berupa naskah publikasi ilmiah maupun popular.

D. Teknik Analisis Data

Menurut Rahayu (2001) ada beberapa teknik analisa gender yang dapat dilakukan diantaranya dengan menggunakan metode Harvard. Salah satu metode yang dikembangkan dalam metode Harvard yang digunakan sebagai landasan untuk mencapai suatu profil gender adalah dengan mengidentifikasi profil aktivitas berdasarkan pembagian kerja gender, perempuan melakukan apa dan laki-laki melakukan apa di dalam aktivitas produktifnya. Dengan diketahuinya

Page 42: KAJIAN ALUR TATA NIAGA KAPULAGA (Amomum cardomum L

520 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

jenis-jenis kegiatan produktif serta jumlah frekuensi tenaga kerja di dalam pengelolaan dukuh baik di tingkat KK maupun di tingkat kelompok, maka persen nilai perspektif gender dapat kita hitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut :

Nilai gender = Σ frekuensi tenaga kerja / Σ total frekuensi tenaga kerja x 100%................(1)

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Kondisi Umum Dukuh di Desa Kiram Secara umum proses terbentuknya dukuh di Desa Kiram berasal dari hutan alam dan semak

belukar/padang alang-alang. Lahan tersebut dianggap masyarakat tidak memiliki manfaat ekonomis sehinga digarap untuk dijadikan ladang dan ditanami padi. Kegiatan berladang ini dikombinasikan dengan kegiatan menanam biji buah-buahan yang berasal dari biji buah tanaman lokal setempat. Berdasarkan Verheij dan Coronel (1997) sistem pertanaman ini lebih disebut sebagai sistem pertanaman dukuh gunung dimana sistem pertanaman dilakukan melalui pengumpulan buah liar dengan umur pohon dari acak sampai seragam dan jarak tanamannya ada yang acak dan ada yang bergerombol.

Pada perkembangannya ladang yang mereka buat pada tahun-tahun ke depan menjadi tidak produktif lagi untuk dipertahankan menjadi ladang pertanian, sedangkan tanaman buah-buahan terus berkembang menjadi tanaman dominan yang menutupi lahan bekas ladang mereka. Pada saat tersebutlah masyarakat memutuskan untuk menetap dan menjadikan bekas ladang tersebut menjadi sebuah dukuh. Adapun beberapa alasan yang membuat keberadaan dukuh di desa Kiram masih bertahan sampai saat ini adalah sebagai berikut : pertama, penanaman biji buah-buahan pada ladang memiliki fungsi sebagai alat penunjuk terhadap hak kepemilikan lahan, kedua, tanaman buah-buahan memiliki nilai ekonomis yang sangat bermanfaat bagi kehidupan, ketiga, sebagai bentuk kebanggaan nilai sosial dimata masyarakat dimana semakin luas dan banyak dukuh yang mereka miliki maka nilai sosialnya menjadi lebih tinggi, selain itu ada rasa kepuasan tersendiri jika dapat memakan buah dari hasil tanaman sendiri dibandingkan membelinya dari orang lain (pasar), keempat, sebagai bentuk investasi masa depan dimana selain umur dan tenaga yang semakin berkurang untuk terus berladang dukuh dapat diwariskan untuk anak cucunya kelak dan kelima, sebagai ladang amal dimana dengan buah-buahan mereka dapat saling berbagi dengan tetangga dan kerabat dekatnya.

B. Manajemen Pengelolaan Dukuh

Berdasarkan informasi para responden, sistem manajemen pengelolaan dukuh di Desa Kiram meliputi lima sistem, yaitu: manajemen permudaan/penanaman, manajemen pemeliharaan, manajemen pengamanan, manajemen pemanenan dan manajemen pemasaran hasil. 1. Manajemen Permudaan/Penanaman

Berdasarkan riwayatnya, tanaman dukuh yang ada di Desa Kiram telah berumur diatas seratus tahun sehingga perlu dilakukan regenerasi. Regenerasi tanaman buah-buahan dilakukan dengan proses permudaan alam secara alami dengan memelihara tanaman yang tumbuh dari biji yang berjatuhan di tanah yang berasal dari jatuhan biji buah yang dimakan oleh binatang. Penanaman secara langsung oleh masyarakat dilakukan hanya pada lahan-lahan kosong yang tidak terdapat permudaan alam dengan teknik puteran atau cabutan serta penanaman biji langsung di tanah atau lahan kosong dengan menggunakan parang, cangkul dan terak (linggis). Karena permudaannya dilakukan secara alami menyebabkan pola tanam pada dukuh menjadi tidak beraturan. 2. Manajemen Pemeliharaan

Intensitas pelaksanaan kegiatan pemeliharaan dukuh dilakukan tergantung dari masa berbunga dan masa panen tanaman buah-buahan tersebut. Pemeliharaan hanya dilakukan disaat bunga buah telah membentuk buah sebesar jempol orang dewasa sampai dengan masa panen,

Page 43: KAJIAN ALUR TATA NIAGA KAPULAGA (Amomum cardomum L

Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 521

masyarakat setempat sering menggunakan istilah tanaman telah mentil. Kegiatan pemeliharaan yang dilakukan hanya berupa penyiangan tumbuhan bawah dengan menggunakan parang, sedangkan kegiatan pemeliharaan lain seperti pemupukan tidak dilakukan. 3. Manajemen Pengamanan

Kegiatan pegamanan dilakukan mengikuti kegiatan pemeliharaan dan masa panen, dimana kegiatan tersebut dilakukan untuk menjaga dukuh dari pencurian dan binatang pengganggu seperti tupai, monyet dan binatang lainnya. Peralatan yang digunakan dalam pengamanan tersebut berupa senapan angin dan parang. Pengamanan dilakukan secara intensif di waktu pagi, siang, sore dan malam hari dengan membuat pondok (lampau) di sekitar lahan dukuh tersebut. Sedangkan untuk pengamanan binatang malam seperti kelelawar, pengamanan dilakukan dengan pemasangan katilai yang terbuat dari kain pakaian / sarung yang di pasang pada pohon seperti bendera yang fungsinya sama seperti orang-orangan sawah. Katilai digerakkan oleh angin dan tali yang ditarik dari pondok pengawasan (lampau).

Selain dalam rangka pengawasan dan pengamanan hasil buah-buahan, kegiatan pengamanan juga dilakukan masyarakat terhadap ancaman kebakaran hutan dan lahan. Kegiatan tersebut dilakukan secara bergotong royong oleh seluruh komponen masyarakat di Desa Kiram. Kegiatan ini dilakukan jika terjadi kebakaran hutan dan lahan yang mengancam keberadaan desa serta dukuh mereka. Kegiatan ini berupa pemadaman api langsung menggunakan teknik pemukulan badan api dengan menggunakan semak belukar yang banyak terdapat di lahan dukuh/desa. 4. Manajemen Pemanenan

Teknis pelaksanaan kegiatan pemanenan buah-buahan di dukuh dilakukan dengan dua cara, yaitu dengan cara pemetikan langsung dan menunggu buah tersebut jatuh dari pohonnya. Adapun jenis tanaman di dalam dukuh yang di panen dan menghasilkan nilai ekonomi dapat dilihat dari Tabel 1. berikut.

Tabel 1. Jenis-jenis tanaman buah di dalam dukuh

No. Nama Jenis Tanaman

Latin Lokal

1. Durio zibethinus Rumph. ex Murray Durian

2. Artocarpus integer (Thunb.) Merr. Cempedak

3. Lansium domesticum Langsat

4. Bouea macrophylla Griffith Rahmania

5. Garcinia mangostana L. Manggis

6. Nephelium lappaceum L. Rambutan

7. Mangifera casturi Kasturi

Sumber : Data primer, 2013 Jenis tanaman Cempedak, Langsat, Rahmania, Manggis dan Rambutan merupakan jenis

tanaman yang pemanenannya dilakukan dengan cara memetik langsung. Teknik pemanenan dilakukan dengan menggunakan bantuan alat panjat sigai sejenis tangga yang terbuat dari bambu dan dengan menggunakan galah atau yang sering disebut dengan penjuluk. Pemanenan tidak dilakukan sendiri oleh pihak pemilik dukuh, tetapi dengan menggunakan bantuan tenaga ahli yang biasa melakukan pemanenan buah-buahan yang ada di Desa Kiram. 5. Manajemen Pemasaran

Manajemen pemasaran oleh pemilik dukuh setelah kegiatan pemanenan melibatkan praktek-praktek pengumpulan buah, pemilihan dan pemilahan buah serta pemasaran. Berdasarkan hal tersebut harga buah dapat ditentukan, buah berukuran besar dengan tingkat kematangan dan kualitas yang baik tentu saja memiliki harga yang lebih tinggi. Pemasaran buah-buahan biasanya dilakukan dua kali sehari, pertama dipagi hari untuk memasarkan hasil panenan buah pada malam hari, kedua disore hari untuk memasarkan hasil panenan buah yang di panen pada siang hari. Penentuan harga masing-masing komoditi buah-buahan ditentukan dari proses tawar menawar yang

Page 44: KAJIAN ALUR TATA NIAGA KAPULAGA (Amomum cardomum L

522 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

dilakukan antara pemilik dukuh dengan pedagang perantara, dimana harga yang ditentukan tidak terlepas dari harga pasaran buah-buahan yang sedang berlangsung pada musim tersebut.

C. Kondisi Tenaga Kerja Pengelola Dukuh di Desa Kiram

Tenaga kerja yang dipergunakan dalam mengelola dukuh berasal dari anggota keluarga yang terdiri dari ayah, ibu dan anak dengan usia produktif dalam pengelolaan mulai dari umur 20 tahun. Berdasarkan data hasil wawancara terhadap para responden di Desa Kiram, jika dilihat dari komposisi umur responden menunjukkan bahwa pengelolaan dukuh merata dari usia muda (<50 tahun) sampai dengan usia lanjut (>50 tahun). Hal tersebut menunjukkan bahwa sistem regenerasi pengelolaan telah berjalan dengan baik, dimana para orang tua menyerahkan dan mempercayakan pengelolaan dukuh kepada generasi di bawahnya.

Tabel 2. Komposisi umur responden pengelola dukuh

Kelompok Umur (tahun)

Jumlah Jiwa

Laki-laki Perempuan

20 – 30 1 -

31 – 40 9 1

41 – 50 6 -

51 – 60 9 2

> 60 2 2

Jumlah 27 5

Sumber : Data primer, 2013

Sedangkan jika dilihat dari jumlah anggota keluarga di dalam keluarga responden, jumlah tenaga kerja produktif dalam pengelolaan dukuh berjumlah sebanyak 78 orang yang terdiri dari 38 orang laki-laki dan 40 orang perempuan. Hal tersebut menandakan bahwa ketersediaan tenaga kerja di Desa Kiram dalam pengelolaan dukuh cukup besar, belum lagi jika ditambah jumlah anggota keluarga yang masih di bawah 20 tahun dimana kedepan mereka-merekalah yang menjadi penerus yang akan melanjutkan pengelolaan dukuh di Desa Kiram. Tabel 3. Komposisi Umur Keluarga Responden

Kelompok Umur (tahun)

Jumlah Jiwa

Laki-laki Perempuan

< 20 16 21

> 20 38 40

Jumlah 54 61

Sumber : Data primer, 2013 D. Peran Gender dalam Kegiatan Produktif Pengelolaan Dukuh di Desa Kiram

Analisis peran gender dalam pengelolaan sistem dukuh di Desa Kiram didekati dengan mengidentifikasi kegiatan yang berlaku dalam lingkup individu (keluarga) pengelola dukuh. Kegiatan yang akan digambarkan pada penelitian ini merupakan kegiatan produktif dalam pengelolaan dukuh di Desa Kiram. Kegiatan ini dilakukan untuk mengetahui keterlibatan seluruh anggota masyarakat baik laki-laki maupun perempuan dalam individu (keluarga) di dalam pengelolaan sistem dukuh di Desa Kiram.

Kegiatan produktif adalah semua kegiatan yang dapat memberikan sumbangan dalam produksi barang atau jasa yang mendapatkan penghasilan. Sesuai dengan tujuan penelitian, kegiatan produktif yang disajikan hanya yang berkaitan dengan kegiatan dalam pengelolaan dukuh yang dibagi menjadi; kegiatan permudaan/penanaman, pemeliharaan, pengamanan, pemanenan dan pemasaran.

Page 45: KAJIAN ALUR TATA NIAGA KAPULAGA (Amomum cardomum L

Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 523

Tabel 4. Frekuensi tenaga kerja dukuh dalam kegiatan produktif di Desa Kiram.

Kegiatan Produktif N

Laki-Laki Perempuan

n % n %

A. Permudaan / penanaman 78 38 48,72 20 25,64

B. Pemeliharaan 78 38 48,72 40 51,28

C. Pengamanan 78 38 48,72 26 33,33

D. Pemanenan 78 38 48,72 26 33,33

E. Pemasaran 78 30 38,46 33 42,31

Rata-rata 46,67 37,18

Sumber : Data primer, 2013 Keterangan :

N : Jumlah tenaga kerja (usia produktif) n : Jumlah yang melakukan kegiatan

Berdasarkan tabel tersebut diatas, dapat diketahui bahwa pekerjaan produktif pengelolaan

dukuh lebih banyak dilakukan oleh laki-laki yaitu rata-rata sebesar 46,67% sedangkan perempuan mempunyai peran rata-rata sebesar 37,18%. Secara keseluruhan peran laki-laki tersebar merata pada setiap komponen kegiatan produktif, terutama pada kegiatan permudaan/penanaman, pengamanan dan pemanenan. Peran lebih besar anggota keluarga laki-laki pada ketiga kegiatan tersebut tidak lain karena memerlukan alokasi tenaga, waktu serta resiko yang mungkin bisa terjadi.

Peran perempuan yang terbesar pada kegiatan produktif terletak pada kegiatan pemeliharaan dan pemasaran. Lebih lanjut, besar dan letak perbedaan peran perempuan dan laki-laki dari seluruh anggota keluarga disajikan pada Tabel 5 berikut. Tabel 5. Profil tenaga kerja dukuh dalam kegiatan produktif pada tingkat keluarga

Kegiatan Produktif N

Orang Tua Anak

Suami Istri Laki-Laki Perempuan

n % N % n % N %

A. Permudaan / penanaman

78 26 33.33 18 23.08 12 15.38 2 2.564

B. Pemeliharaan 78 26 33.33 31 39.74 12 15.38 9 11.538

C. Pengamanan 78 26 33.33 24 30.77 12 15.38 2 2.564

D. Pemanenan 78 26 33.33 24 30.77 12 15.38 2 2.564

E. Pemasaran 78 26 33.33 31 39.74 4 5.13 2 2.564

Rata-rata 33.33 32.82 13.33 4.36

Sumber : Data primer, 2013 Keterangan: N: Jumlah tenaga kerja usia produktif (orang) n: Jumlah yang melakukan kegiatan (orang)

Berdasarkan tabel tersebut diatas, terlihat bahwa besarnya peranan suami dan istri dalam

kegiatan produktif pengelolaan dukuh hampir sama besarnya. Peranan suami lebih merata pada semua kegiatan dibandingkan peranan istri yang tinggi pada beberapa kegiatan saja. Pada peranan anak, anak laki-laki lebih banyak berperan dalam kegiatan pengelolaan dukuh dibandingkan peran anak perempuan.

Jumlah tertinggi keterlibatan peran laki-laki dan perempuan terjadi pada kegiatan pemeliharaan dukuh, hal ini terjadi karena pohon buah yang telah mentil harus segera dibersihkan

Page 46: KAJIAN ALUR TATA NIAGA KAPULAGA (Amomum cardomum L

524 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

agar menjaga kelembaban tanah dan untuk memudahkan pengawasan/pengamanan sehingga hasil panen buah-buahan menjadi maksimal. Pada kegiatan tersebut, semua keluarga dilibatkan untuk segera membersihkan dukuh mereka masing-masing. Dalam pengelolaan dukuh peranan perempuan lebih menonjol pada kegiatan pemasaran di bandingkan laki-laki. Hal tersebut terjadi karena perempuan memiliki posisi tawar yang baik dalam menentukan harga jual hasil produksi dukuh yang mereka hasilkan dibandingkan laki-laki.

Secara keseluruhan berdasarkan hasil penelitian diatas, dapat dilihat bahwa tidak ada perbedaan peran antara laki-laki dan perempuan dalam pengelolaan dukuh di setiap kegiatan produktif. Semua anggota keluarga baik laki-laki maupun perempuan memiliki hak dan tanggung jawab yang sama dalam menjalankan keberlanjutan pengelolaan dukuh yang mereka miliki. Hal tersebut menunjukkan bahwa ketidakadilan gender menurut Mulyoutami (2012) di masyarakat yang termanifestasikan dalam bentuk marginalisasi, subordinasi, stereotip, tindak kekerasan, dan beban kerja lebih panjang/banyak tidak terjadi di Desa Kiram. Selain itu, stereotipe gender sebagai nilai sosial budaya di masa lalu yang dikemukakan oleh Hendarto (2003), dimana perempuan hanya bertugas untuk urusan dalam (domestik), laki-laki untuk urusan luar (publik), perempuan untuk pekerjaan yang halus, sedangkan laki-laki untuk pekerjaan yang kasar, hal tersebut juga tidak berlaku dalam pengelolaan dukuh di Desa Kiram.

IV. KESIMPULAN DAN SARAN

Dukuh merupakan salah satu bentuk sistem pengelolaan agroforestri tradisional yang dilaksanakan secara turun temurun dan masih bertahan hingga saat ini. Kelestarian sistem ini tidak terlepas dari peran serta seluruh elemen masyarakat dengan sistem pengelolaan yang cukup baik meliputi lima kegiatan manajemen, yaitu: manajemen permudaan/penanaman, manajemen pemeliharaan, manajemen pemanenan dan manajemen pemasaran hasil.

Dalam pelaksananaan keseluruhan sistem tersebut diketahui peran dan partisipasi yang merata dalam segi umur yang berada pada setiap keluarga serta dalam penyediaan tenaga kerja produktif. Peran anggota keluarga laki-laki mencapai rata-rata 46,67% dan anggota keluarga perempuan 38,18%. Pada tingkat keluarga peran suami dan istri hampir seimbang. Peran suami dalam kegiatan ini memiliki nilai rata-rata 33,33%, sedangkan peran istri 32,82%, meskipun demikian terdapat beberapa kegiatan manajemen dimana istri memiliki nilai tinggi, yaitu pada kegiatan pemeliharaan dan pemasaran dengan nilai masing-masing 39,74%. Dukuh juga memerlukan peran anak, baik anak laki-laki maupun anak perempuan. Hasil ini menunjukkan bahwa ketidakadilan gender maupun stereotip masyarakat dimasa lalu tentang perempuan dan laki-laki tidak berlaku dalam pengelolaan Dukuh di Desa Kiram, Kabupaten Banjar. Berdasarkan kesimpulan tersebut dapat disarankan bahwa kelestarian dan keberlanjutan pengelolaan sistem agroforestri tradisional dukuh ini sangat penting untuk dipertahankan. Dukungan dari pemerintah daerah untuk senantiasa menjembatani dan memperlancar setiap proses produktif sangat diperlukan. Salah satu hal yang penting lainnya adalah perlunya pengawasan atau kontrol terhadap kelestarian lingkungan, agar sumberdaya alam yang digunakan dalam pengelolaan sistem agroforestri tradisional ini tetap lestari, dengan tetap memperhatikan kualitas dan mutu produksi yang dihasilkan oleh setiap pengelola dukuh.

DAFTAR PUSTAKA Hafizianor. 2002. Pengelolaan Dukuh Ditinjau dari Perspektif Sosial-Ekonomi dan Lingkungan. Tesis

Program Pasca Sarjana Studi Kehutanan Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. 2002. Tidak dipublikasikan.

Puspitawati, 2012. Pengenalan Konsep Gender, Kesetaraan dan Keadilan Gender. Makalah

disampaikan pada Rapat Koordinasi Kesetaraan Gender Se Wilayah 1 Bogor.

Page 47: KAJIAN ALUR TATA NIAGA KAPULAGA (Amomum cardomum L

Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 525

__________,2012. Gender dan Keluarga: Konsep dan Realita di Indonesia. PT IPB Press. Bogor. Hendarto, K. A. 2003. Proyek Kehutanan Sosial dan Penganggaran Berwawasan Gender : Suatu

Ulasan Teoritis. Jurnal Hutan Rakyat. Volume V No. 3 Tahun 2003. ISSN : 1411-1861. Mulyoutami, E. 2012. Memahami Isu Gender dalam Pengelolaan Lingkungan. Jurnal World

Agroforestry Centre (ICRAF) Indonesia Volume 5, No. 3. Desember. 2012. ISSN : 2089-2500. Rahayu, L. W. F. 2001. Gender Dalam Program Pembangunan Kehutanan. Jurnal Hutan Rakyat.

Volume III No. 1 Mei 2001. ISSN : 1411-1861. Verheij, E. W. N dan R. E. Coronel. 1997. Buah-Buahan Yang Dapat Dimakan. PT. Gramedia Pustaka

Umum. Jakarta.

Page 48: KAJIAN ALUR TATA NIAGA KAPULAGA (Amomum cardomum L

526 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

INTENSIFIKASI PEMANFAATAN LAHAN USAHA TANI MELALUI BUDIDAYA TAMBAK POLIKULTUR, KASUS DI WILAYAH PESISIR TIMUR SINJAI, SULAWESI SELATAN

Sri Suharti

Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan, Bogor Email : [email protected]

ABSTRAK

Keterbatasan pemilikan lahan usaha tani disertai kebutuhan ekonomi yang terus meningkat mendorong masyarakat di wilayah pesisir Timur Sulawesi Selatan untuk memanfaatakan lahan usaha tani yang dimiliki secara lebih intensif. Salah satu upaya yang dikembangkan adalah intensifikasi pemanfaatkan lahan melalui pola budidaya tambak polikultur. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji strategi yang dikembangkan warga pesisir Timur Sulawesi Selatan dalam rangka intensifikasi pemanfaatan lahan melalui budidaya tambak polikultur. Penelitian dilakukan dengan menggunakan metode survai di kawasan pesisir Timur, Kabupaten Sinjai, Sulawesi Selatan. Penentuan responden dilakukan secara purposif yaitu pada warga yang mengembangkan usaha tani tambak polikultur. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pola usahatani tambak polikultur yang dikembangkan sebagian besar masih menggunakan sistim tradisional yang hanya mengandalkan sistim sirkulasi air dari pasang surut air laut untuk memperoleh suplai air yang kontinyu. Kombinasi jenis komoditi yang dikembangkan bervariasi, antara berbagai jenis biota perairan (ikan, udang), dan kombinasi antara biota perairan dengan rumput laut. Pola usaha tani bandeng dan rumput laut jenis Gracilaria sp merupakan model yang lebih disukai sebagian besar petani karena memberikan penghasilan yang relatif besar (Rp 39.285.715,-/ha/th) dengan frekuensi pendapatan yang lebih sering (setiap 40 hari sekali) serta resiko kegagalan yang lebih kecil. Keputusan untuk menentukan pilihan komoditi yang dikembangkan dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain kepemilikan modal, penguasaan tehnik budidaya, ketersediaan tenaga kerja, potensi pendapatan yang akan diperoleh dan resiko kegagalan yang dihadapi serta pendampingan dari petugas lapang untuk antisipasi berbagai persoalan yang timbul dalam dalam kegiatan budidaya tambak polikultur. Pola usahatani tambak polikultur masih berpotensi untuk lebih dikembangkan dengan menggunakan sistim usaha tani yang lebih modern serta input produksi yang lebih tinggi. Kata kunci: Usaha tani, tambak polikultur, pendapatan masyarakat

I. LATAR BELAKANG

Pembangunan wilayah pesisir secara berkelanjutan merupakan kebijakan penting dari Kementerian Kelautan dan Perikanan. Kebijakan tersebut didasarkan pada pemikiran bahwa wilayah pesisir khususnya lahan budidaya tambak secara ekologis dan ekonomi sangat penting dan potensial untuk dikembangkan bagi kesejahteraan masyarakat. Di Indonesia, budidaya perairan yang paling umum dilakukan adalah di kolam/empang, tambak, keramba serta keramba apung. Menurut UU No.31/2004, pembudidayaan ikan adalah kegiatan untuk memelihara, membesarkan dan/atau membiakkan ikan serta memanen hasilnya dalam lingkungan yang terkontrol. Kegiatan-keguatan yang umumnya dikembangkan adalah budidaya ikan, udang, tiram, kepiting dan rumput laut.

Biggs et al (2005) menyatakan bahwa yang dimaksud dengan tambak adalah badan air yang berukuran antara 1 m2 hingga 2 ha baik yang bersifat permanen maupun musiman baik yang terbentuk secara alami maupun buatan manusia. Sementara itu Rodriquez-Rodriquez (2007) menambahkan bahwa budidaya tambak/kolam umumnya dilakukan pada lahan dengan lapisan tanah yang kurang berporus. Kesesuaian lahan bagi pengembangan usaha tani tambak akan menentukan keberhasilan usaha. Menurut Baderan (2013), jenis tanah yang paling sesuai untuk budidaya tambak adalah yang mengandung banyak lempung dan sedikit berpasir. Pada lahan dengan tingkat porositas yang tinggi akan kurang mampu menahan air karena tekstur nya lebih

Page 49: KAJIAN ALUR TATA NIAGA KAPULAGA (Amomum cardomum L

Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 527

cepat terurai sehingga kurang cocok untuk budidaya tambak karena tanggul tambak mudah longsor dan hancur.

Pengembangan budidaya tambak merupakan salah satu sistim usaha tani andalan masyarakat di Sinjai Timur. Berbagai upaya dilakukan masyarakat dalam rangka mengoptimalkan pola usaha tani tambak yang dibudidayakan. Salah satu strategi yang dkembangkan adalah melalui pengembangan usaha tambak polikultur berbagai jenis komoditi dalam rangka intensifikasi pemanfaatan lahan yang ada. Dengan demikian tambak polikultur merupakan sistem usaha tani yang membudidayakan lebih dari satu jenis komoditi pada sebidang tambak dengan tujuan untuk intensifikasi pemanfaatan lahan dalam rangka maksimisasi penghasilan.

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji strategi yang dikembangkan warga pesisir Timur Sulawesi Selatan dalam rangka intensifikasi pemanfaatan lahan melalui budidaya tambak polikultur. Hasil penelitian diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam merumuskan kebijakan pengembangan wilayah pesisir di Provinsi Sulawesi Selatan.

II. METODE PENELITIAN

Penelitian dilaksanakan dengan menggunakan metode survai pada desa-desa di wilayah

pesisir Timur Kecamatan Sinjai Timur, Kabupaten Sinjai, Provinsi Sulawesi Selatan. Pengumpulan data dilakukan melalui wawancara dengan 48 responden yang dipilih secara purposif yaitu pada kelompok masyarakat yang mengembangkan kegiatan usahatani tambak di wilayah tersebut. Untuk melengkapi data dan informasi yang diperlukan, observasi lapangan serta pengumpulan sejumlah data pendukung dari berbagai pustaka, laporan serta dokumen lainnya yang terkait juga dikumpulkan dalam penelitian ini.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Kondisi biofisik lokasi penelitian Kabupaten Sinjai terletak di pesisir timur bagian selatan Provinsi Sulawesi Selatan yang

berhadapan langsung dengan perairan Teluk Bone. Kabupaten Sinjai terletak antara 5°2’56” sampai 5°21’16” Lintang Selatan dan antara 119°56’30” sampai 120°25’33” Bujur Timur. Dengan luas wilayah 819,96 km2 (81.996 Ha), Kabupaten Sinjai terdiri dari 9 Kecamatan definitif yang terbagi dalam 67 desa dan 13 kelurahan (Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Sinjai 2014 a). Kabupaten Sinjai memiliki panjang garis pantai sekitar 31 km dan terdapat lima sungai besar yang bermuara di sepanjang pantai yakni Sungai Tangka, Sungai Mangottong, Sungai Panaikang, Sungai Bua dan Sungai Pattongko. Keberadaan sungai-sungai tersebut juga merupakan batas wilayah administrasi baik desa, kecamatan dan kabupaten.

Dengan panjang garis pantai sepanjang 31 km, Kabupaten Sinjai memiliki prospek yang cerah dalam hal pengembangan usaha di sektor perikanan dan kelautan, seperti perikanan tangkap, budidaya laut (keramba dan jaring apung), budidaya tambak, budidaya air tawar dan wisata bahari. Budidaya laut dan budidaya tambak merupakan sumber pendapatan utama warga Sinjai (Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Sinjai 2014a). Dengan potensi perikanan yang cukup besar dan didukung ketersediaan sarana dan prasarana yang memadai, sangat memungkinkan bagi pengembangan usaha di sektor kelautan dan perikanan dalam upaya mewujudkan Kabupaten Sinjai sebagai pemasok ikan terbesar di Sulawesi Selatan.

Sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil merupakan salah satu sumberdaya yang penting bagi hajat hidup manusia dan dapat dijadikan sebagai penggerak utama (prime mover) perekonomian nasional. Hal ini didasari pada beberapa pertimbangan yaitu; Pertama, Indonesia memiliki potensi sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil yang tinggi dengan karakteristik wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang beraneka ragam. Kedua, sebagian besar kegiatan industri pada kabupaten/kota berada di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Ketiga, kegiatan industri di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil memiliki keterkaitan (backward and forward linkage) yang kuat dengan

Page 50: KAJIAN ALUR TATA NIAGA KAPULAGA (Amomum cardomum L

528 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

industri-industri lainnya. Keempat, wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil merupakan basis sumberdaya lokal bagi industri perikanan atau dikenal dengan istilah resources-based industries, dan Kelima, wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di Indonesia memiliki keunggulan (comparative advantage) yang tinggi sebagaimana tercermin dari potensi sumberdaya ikannya (Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Sinjai 2013). Program pengembangan kawasan sentra perikanan Sinjai adalah pembangunan ekonomi berbasis perikanan yang dilaksanakan dengan jalan mensinergikan berbagai potensi yang ada, utuh dan menyeluruh, berdaya saing berbasis kerakyatan, berkelanjutan dan terdesentralisasi yang digerakkan oleh masyarakat dan difasilitasi oleh pemerintah (Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Sinjai 2013). B. Budidaya tambak di Sinjai Timur

Budidaya tambak di Kecamatan Sinjai Timur merupakan pola usaha tani yang diwariskan secara turun temurun sejak lama dan dikembangkan di sepanjang wilayah pesisir timur yang membentang dari arah timur laut ke arah tenggara. Jika dilihat melalui pengamatan dengan penginderaan jauh, hamparan tambak masyarakat terlihat seperti mosaik petak-petak lahan. Luas lahan budidaya tambak bervariasi dari 0,25 ha sampai dengan 2 ha (Gambar 1).

Gambar 1. Daerah pengembangan usaha tani tambak di pesisir Sinjai Timur

Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan, Kabupaten Sinjai, 2014b

Budidaya tambak yang dikembangkan di Sinjai Timur umumnya masih berupa pola usaha tani tradisional dengan penggunaan input produksi (bibit, pupuk, obat dan alat) yang terbatas. Pola tradisional dikembangkan oleh sebagian besar warga karena keterbatasan modal/biaya serta lahan yang dimiliki. Budidaya tambak tradisional dikembangkan oleh petani yang belajar secara otodidak dan mengandalkan ilmu yang diperoleh secara turun temurun dari para pendahulu mereka. Sistim ini hanya mengandalkan sistem sirkulasi air dari pasang surut air laut untuk mendapatkan suplai air yang kontinyu. Namun sejak beberapa tahun terakhir, sebagian warga sudah mulai mengembangkan pola usaha ke arah yang lebih intensif dalam rangka intensifikasi penggunaan lahan yang ada. Gambaran tentang perbedaan dalam penggunaan input dan tingkat teknologi pada pola usaha tani tambak tradisonal, semi intensif dan intensif (modern) disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Tipologi usahatani tambak berdasarkan penggunaan input dan teknologi

No Kriteria Budidaya Tambak

Tradisisional Budidaya Tambak Semi

Intensif Budidaya Tambak

Intensif

1 Sumber pakan utama Sangat bergantung pada sumber pakan alami yang tersedia

Lebih banyak bergantung pada sumber pakan alami

Pemberian pakan disesuaikan dengan volume kebutuhan

Page 51: KAJIAN ALUR TATA NIAGA KAPULAGA (Amomum cardomum L

Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 529

No Kriteria Budidaya Tambak

Tradisisional Budidaya Tambak Semi

Intensif Budidaya Tambak

Intensif

(lumut, ganggang, klekap)

yang tersedia (lumut, ganggang, klekap)

gizi biota yang dipelihara

2 Sumber pakan tambahan

Tidak ada pemberian pakan tambahan

Penggunaan pakan tambahan terbatas

Pemberian pakan berkualitas tinggi (pelet)

3 Penggunaan input produksi (pupuk, obat)

Tidak ada input produksi tambahan yang diberikan

Input tambahan diberikan secara sangat terbatas

Penggunaan input produksi secara intensif

4 Persiapan dan pengolahan lahan

Dilakukan sangat minimal

Sudah ada kegiatan persiapan dan pengolahan lahan secara minimal

Persiapan dan pengolahan lahan dilakukan secara intensif

3 Populasi penebaran biota yang dipelihara

Rendah Moderat sampai padat Tinggi

4 Hasil produksi per satuan luas

Rendah Cukup tinggi Tinggi

5 Biaya produksi Rendah Moderat Tinggi

6 Pengaturan sirkulasi air

Mengandalkan pasang surut air laut

Sudah dilengkapi dengan peralatan pompa yang sederhana

Ada pengaturan aerasi dan resirkulasi air tambak secara modern

Sumber: Mokhlesurrahman et al, 1992. Budidaya tambak semi intensif merupakan sistim usaha tani yang membutuhkan

modal/biaya yang relatif lebih besar dibandingkan dengan sistim tradisional. Modal tersebut antara lain dialokasikan untuk biaya bibit, pakan tambahan, pupuk, obat, tenaga kerja serta peralatan. Meskipun warga Sinjai Timur mengetahui bahwa budidaya secara lebih intensif mampu memberikan pendapatan yang jauh lebih besar dibanding sistim tradisional, namun sebagian besar masyarakat lebih memilih pola budidaya tambak tradisional. Menurut sebagian responden, intensifikasi lahan melalui pola tambak polikultur memerlukan alokasi waktu, tenaga, pikiran serta modal yang tidak sedikit. Disamping itu belum semua warga menguasai teknik budidaya secara lebih intensif dengan pola usaha tani secara polikultur. Karena keterbatasan modal yang dimiliki, sebagian warga juga khawatir akan resiko kegagalan jika mereka menginvestasikan modal yang lebih besar untuk intensifikasi usaha tani. Dengan melihat kondisi ini maka pendampingan secara intensif dari berbagai pihak (terutama petugas penyuluhan) masih sangat diperlukan untuk meningkatkan pemahaman warga akan teknik budidaya tambak polikultur, antisipasi resiko yang dihadapi serta informasi tentang prospek intensifikasi pemanfaatan lahan tambak dengan sistim polikultur untuk peningkatan penghasilan masyarakat. Selain itu dukungan bantuan permodalan dengan tingkat suku yang bunga lunak juga diperlukan agar masyarakat dengan keterbatasan modal serta sumberdaya yang dimiliki mendapat kesempatan untuk mengembangkan usaha tani mereka melalui intensifikasi pengelolaan lahan. Deskripsi tentang pengembangan usaha tani tambak di Sinjai Timur disajikan pada Tabel 2. Tabel 2. Pengembangan berbagai pola usaha tani tambak di Sinjai Timur

No Areal

Budidaya

Samataring Tongke-tongke Panaikkang Passimarannu Sanjai

Luas (Ha; %)

∑ (petak)

Luas (Ha;%)

∑ (petak)

Luas (Ha;%)

∑ (petak)

Luas (Ha;%)

∑ (petak)

Luas (Ha ;%)

∑ (peta

k)

1 Tambak tradisional

- - 5,4

(5,5) 10

1,3 (6,6)

7 - - - -

Page 52: KAJIAN ALUR TATA NIAGA KAPULAGA (Amomum cardomum L

530 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

No Areal

Budidaya

Samataring Tongke-tongke Panaikkang Passimarannu Sanjai

Luas (Ha; %)

∑ (petak)

Luas (Ha;%)

∑ (petak)

Luas (Ha;%)

∑ (petak)

Luas (Ha;%)

∑ (petak)

Luas (Ha ;%)

∑ (peta

k)

bandeng/ udang

2

Tambak tradisional bandeng + rumput laut

119,3 (89,2)

415

83,4

(84,8)

337

18,1 (91,4)

101 28,5

(99,3) 230

2,3 (35,4)

14

3

Tambak Semi intensif Bandeng/ udang + rumput laut

12,4 (9,3)

24 3,2

(3,3) 14 - - - -

3,3 (50,8)

5

4 Potensi Tambak

2,0 7 6,3 7 0,4 1 0,2 1 0,9 11

5 Total 133,7 446 98,3 368 19,8 109 28,7 231 6,5 30

Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Sinjai, 2013 (Data diolah)

Dari Tabel 2, terlihat bahwa pola usaha tani yang dikembangkan warga di Sinjai Timur sebagian besar adalah tambak tradisional dengan pola ikan (bandeng) + rumput laut dan pola ikan (bandeng) + udang. Usaha tani tambak semi intensif sudah mulai dikembangkan meskipun proporsinya masih sangat sedikit jika dibandingkan dengan pola tradisional. Bahkan di dua desa penelitian yaitu di Desa Panaikkang dan Desa Passimarannu, warganya hanya mengembangkan pola tambak tradisional. Sementara itu pola usaha tani tambak intensif (modern) belum dikembangkan sama sekali di daerah ini. Namun jika dilihat dari segi alokasi pemanfaatan lahan, pengembangan budidaya tambak di Sinjai Timur sudah hampir maksimal mengingat proporsi areal potensi tambak yang masih tersedia dan belum dimanfaatkan saat ini hanya tinggal sedikit (Tabel 2). Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakat Sinjai Timur sudah berupaya memaksimalkan peluang pengembangan tambak pada kawasan yang memang berpotensi dan sesuai bagi pengembangan usaha tani tambak meskipun teknologi serta asupan input produksi yang digunakan masih sangat minimal sehingga penghasilan yang diperoleh juga belum maksimal. C. Intensifikasi Usaha tani Tambak dengan sistim Polikultur

Sebagaimana diuraikan sebelumnya, pola budidaya tambak yang dikembangkan warga di Sinjai Timur beragam, mulai dari pola tradisional sampai pola budidaya semi intensif. Pola tradisional umumnya memerlukan alokasi input yang disesuaikan dengan kemampuan pengelola tambak yang terbatas dan jenis komoditi yang dikembangkan umumnya adalah monokultur (satu jenis komoditi saja), meskipun ada yang sudah mengembangkan secara polikultur (Tabel 2). Sedangkan bagi petani pengelola yang memiliki kelonggaran sumberdaya (input produksi,tenaga, modal, lahan), pola yang dikembangkan adalah pola semi intensif dengan pola budidaya polikultur.

Page 53: KAJIAN ALUR TATA NIAGA KAPULAGA (Amomum cardomum L

Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 531

Gambar 2. Budidaya tambak polikultur bandeng + rumput laut di Sinjai Timur

Budidaya tambak dengan sistem polikultur adalah pola budidaya dua atau lebih jenis biota

yang berkembang di satu petak tambak agar dapat menghasilkan manfaat sosial, ekonomi dan lingkungan yang optimal bagi kehidupan. Pemilihan jenis komoditi (biota untuk budidaya) yang kompatibel sangat menentukan keberhasilan usaha tani tambak yang dikembangkan. Di Sinjai Timur pola budidaya polikultur yang mulai banyak dikembangkan adalah budidaya rumput laut jenis Gracilaria sp yang dikombinasikan dengan bandeng dan/atau udang. Rumput laut jenis Gracilaria sp merupakan salah satu jenis rumput laut penghasil agar-agar atau disebut dengan agarophytes. Selain Gracillaria sp, rumput laut penghasil agar-agar lainnya adalah Gelidium, Pterocladia, dan Gelidiela. Pada tahun 2009 total produksi agarophytes di Indonesia mencapai 35.050 ton kering yang 81,60 % -nya (28.600 ton) diserap oleh industri nasional dan sisanya diserap industri luar negeri (Anggadiredja et al 2011). Gracilaria sp dalam hal ini memberikan kontribusi paling besar yaitu > 90 % sebagai penyumbang bahan baku agar-agar dibandingkan dengan genus agarophytes lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa Gracilaria sp sudah banyak dibudidayakan, sementara jenis agarophytes lainnya masih mengandalkan dari hasil panen dari alam.

Meskipun memerlukan curahan tenaga kerja yang lebih besar, pola usahatani ikan (bandeng) + rumput laut lebih disukai daripada pola ikan (bandeng) + udang karena sifat kedua komoditi tersebut yang bersifat simbiose mutualistik. Gracilaria sp dapat berfungsi sebagai biofilter di tambak bandeng atau udang. Sedangkan bandeng dapat memakan lumut yang menempel pada Gracilaria sp, sehingga rumput laut yang dibudidayakan bersama bandeng atau udang akan bersih dari lumut dan pertumbuhannya lebih cepat (Julianto dan Badrudin 2014). Selain itu rumput laut dapat dipanen dengan frekuensi yang lebhi sering per tahunnya dibandingkan bandeng yang maksimal hanya bisa dipanen tiga kali/th atau udang maksimal dua kali/th. Tingginya frekuensi panen rumput laut yaitu setiap 40 hari sekali (8 - 9 kali per tahun menghasilkan pendapatan yang jauh lebih besar.

Sementara itu pola ikan (bandeng) + udang walaupun di masa yang lalu merupakan pola usaha yang paling disukai oleh masyarakat, beberapa tahun terakhir mulai ditinggalkan oleh petani karena resiko kegagalan yang lebih besar sebagai akibat serangan penyakit jamur pada udang serta hama ikan dari laut yang masuk ke wilayah tambak dan memangsa bandeng dan udang yang dibudidayakan. Sebagian responden menyatakan bahwa dalam budidaya tambak udang, potensi kegagalan lebih besar dari pada keberhasilannya.

Jika diperbandingkan, penghasilan yang diperoleh dari pengembangan usaha tani ikan (bandeng) + rumput laut jauh lebih besar dari pada penghasilan yang didapat dari pola usaha tani ikan (bandeng) + udang. Deskripsi perolehan pendapatan dari usaha tani tambak serta kontribusinya terhadap pendapatan total masyarakat dapat dilihat pada Tabel. 3.

Page 54: KAJIAN ALUR TATA NIAGA KAPULAGA (Amomum cardomum L

532 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

Tabel 3. Analisis Usaha tani Budidaya tambak Monokultur dan Polikultur di Sinjai Timur

N o Jenis Pemanfaatan Penghasilan Rata-rata/Th/ha

(Rp)

1 Budidaya tambak bandeng monokultur 8.427.329

2 Budidaya rumput laut monokultur 11.358.091

3 Usahatani Bandeng+rumput laut semi intensif

39.285.715

Sumber: Analisis data primer Dari hasil analisis usahatani budidaya tambak di Sinjai Timur didapatkan bahwa pola

usahatani polikultur kombinasi ikan (bandeng) + rumput laut memberikan kontribusi pendapatan rata-rata terbesar/ha/tahun dibandingkan pola usaha tani monokultur bandeng maupun rumput laut. Sementara itu, hasil penelitian Chusnul et al (2010) pada usahatani monokultur udang vannamei di Desa Dinoyo, Kecamatan Deket, Kabupaten Lamongan mendapatkan bahwa penghasilan petani cukup besar yaitu sebesar Rp 27.506.144,-/ha/tahun jauh lebih besar daripada budidaya bandeng dan rumput laut di Sinjai Timur. Namun peluang perolehan penghasilan ini menghadapi resiko yang sangat besar yaitu serangan penyakit pada udang. Hasil wawancara dengan responden di Sinjai Timur diperoleh informasi bahwa peluang kegagalan budidaya udang lebih besar daripada peluang keberhasilannya, sehingga diibaratkan dalam setiap lima kali budidaya udang hanya satu kali yang berhasil, sedangkan yang empat kalinya menemui kegagalan panen. Total pendapatan yang diperoleh dari pula polikultur tambak bandeng + rumput laut memberikan penghasilan sebesar Rp 39. 285.715,-/ha/th. Jika dibandingkan dengan hasil studi Julianto dan Badrudin (2014) terhadap budidaya rumput laut monokultur sebesar Rp 38.195.000,-/ha/th, penghasilan tambak polikultur di Sinjai Timur masih lebih besar. Namun jika dibandingkan dengan penghasilan dari budidaya tambak polikultur dengan frekuensi panen yang hanya enam kali/tahun yaitu sebesat Rp 47. 625.000,- maka penghasilan petani tambak di Sinjai Timur masih jauh lebih kecil (Lampiran 1). Masih telatif rendahnya penghasilan dari usaha tambak polikultur di Sinjai Timur mungkin disebabkan masih belum intensifnya pola usaha tani yang dikembangkan sehingga penghasilan yan diperoleh juga belum maksimal.

Sumberdaya kelautan dan perikanan di Sinjai Timur merupakan kawasan ekosistem yang memiliki peran sangat besar baik secara ekonomi, sosial maupun ekologi. Oleh karena itu setiap tujuan dan bentuk pemanfaatan sumberdaya mangrove di Sinjai Timur perlu mengakomodasikan berbagai peran tersebut agar tidak menimbulkan eksternalitas negatif kepada tujuan dan bentuk pemanfaatan yang lain. Harahap (2010) menyatakan bahwa upaya optimalisasi dalam pengelolaan suatu sumberdaya dapat tercapai jika terdapat keseimbangan hubungan antar sistem yang ada dalam sumberdaya tersebut. Dalam upaya pengembangan tambak polikultur, beberapa hal yang perlu menjadi pertimbangan utama adalah; kompatibilitas komoditi yang dikembangkan dalam pola polikultur; ketersediaan modal yang dimiliki (modal, tenaga kerja, biaya); kesesuaian lahan dan tipologi biofisik; penguasaan teknik budidaya (kompatibilitas komoditi); potensi pendapatan yang akan diperoleh beserta resiko kegagalan yang akan dihadapi serta; adanya pendampingan dari petugas lapang untuk antisipasi berbagai persoalan yang timbul dalam dalam kegiatan budidaya tambak polikultur.

IV. KESIMPULAN DAN SARAN

1. Pola usaha tani tambak polikultur merupakan strategi yang dikembangkan petani muntuk pemenfaatan lahan yang dimiliki secara lebih intensif dalam rangka maksimalisasi pendapatan.

2. Pola usahatani tambak polikultur di Sinjai Timur sebagian besar masih menggunakan sistim tradisional yang hanya mengandalkan sistim sirkulasi air dari pasang surut air laut untuk memperoleh suplai air yang kontinyu.

Page 55: KAJIAN ALUR TATA NIAGA KAPULAGA (Amomum cardomum L

Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 533

3. Kombinasi jenis komoditi yang dikembangkan bervariasi, antara berbagai jenis biota perairan (ikan, udang), dan kombinasi antara biota perairan dengan rumput laut.

4. Pola usaha tani bandeng + rumput laut jenis Gracilaria sp merupakan model polikultur yang lebih disukai petani karena memberikan penghasilan yang besar dengan frekuensi pendapatan yang lebih sering (setiap 40 hari sekali) serta resiko kegagalan yang lebih kecil.

5. Keputusan untuk menentukan pilihan komoditi yang dikembangkan dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain kapasitas modal usaha yang tersedia (lahan, tenaga kerja, biaya); kesesuaian lahan dan tipologi biofisik; penguasaan teknik budidaya (kompatibilitas komoditi); potensi pendapatan yang akan diperoleh serta resiko kegagalan yang akan dihadapi serta; adanya pendampingan dari petugas lapang untuk antisipasi berbagai persoalan yang timbul dalam kegiatan budidaya tambak polikultur.

6. Pola usahatani tambak polikultur masih berpotensi untuk lebih dikembangkan dengan menggunakan sistim usaha tani yang lebih modern serta input produksi yang lebih tinggi.

7. Pendampingan secara intensif dari berbagai pihak (terutama petugas penyuluhan) masih sangat diperlukan untuk meningkatkan pemahaman akan teknik budidaya tambak polikultur (kompatibilitas komoditi), antisipasi resiko serta informasi tentang prospek intensifikasi pemanfaatan lahan dengan sistim polikultur untuk peningkatan pendapatan.

8. Perlu adanya dukungan bantuan permodalan dengan tingkat suku yang bunga lunak agar masyarakat dengan keterbatasan modal serta sumberdaya yang dimiliki mendapat kesempatan untuk mengembangkan usaha tani melalui intensifikasi pengelolaan lahan.

DAFTAR PUSTAKA

Anggadiredja, JT, MA Widodo, A Arfah, A Zatnika, S Kusnowirjono, I Indrayani, D Ma’mun, Samila

dan S Hadi. 2011. Kajian Strategi Pengembangan Industri Rumput Laut dan Pemanfaatannya Secara Berkelanjutan, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Asosiasi Petani dan Pengelola Rumput Laut Indonesia (ASPPERLI) dan Indonesia Seaweed Society (ISS).

Baderan. D W K, 2013. Model Valuasi Ekonomi Sebagai Dasar Untuk Rehabilitasi Kerusakan Hutan

Mangrove di Wilayah Pesisir Kecamatan Kwandang Kabupaten Gorontalo Utara, Provinsi Gorontalo. Disertasi, Fakultas Geografi, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.

Biggs J, Williams P, Whitfield M, Nicolet P, Weatherby A 2001. 15 years of Pond Assessment in

Britain: Results and Lesson learned from the work of pond conservation. Aquatic conservation; Marine Freshwater Ecosystem. 15: 693-714.

Chusnul A Z, Januar J dan Soejono D. 2010 Kajian Sosial Ekonomi Budidaya Udang Vannamei

(Litopenaeus Vannamei) di Dea Dinoyo, Kecamatan Seket, Kabupaten Lamongan. J-SEP Vol 4 No 1. Maret 2010 pp 15-

Dinas Kelautan dan Perikanan Pemerintah Kabupaten Sinjai 2014 a. Laporan Akhir Inventarisasi dan

pemetaan Luasan Lahan Budidaya Tambak di Kabupetan Sinjai. Dinas Kelautan dan Perikanan.

Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Sinjai 2013. Rencana Strategis Dinas Kelautan dan

Perikanan Kabupaten Sinjai Tahun 2013 – 2018. Pemerintah Daerah Kanupaten Sinjai. Dinas Kelautan dan Perikanan 2014 b. Diseminasi Hasil Kegiatan Pengukuran dan Pemetaan

Budidaya Tambak Berbasis Spasial (Citra Satelit Penginderaan Jauh Resolusi Tinggi SPOT 6). Pemerintah Kabupaten Sinjai, Sinjai, Sulawesi Selatan.

Page 56: KAJIAN ALUR TATA NIAGA KAPULAGA (Amomum cardomum L

534 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

Harahap N. 2010. Penilaian Ekonomi Ekosistem Hutan Mangrove dan Aplikasinya dalam

Perencanaan Wilayah Pesisir. Yogyakarta (ID): Graha Ilmu. Julianto B S, Badrudin 2014. Budidaya Rumput Laut Gracilaria sp di Tambak. World Wild Fund

(WWF) – Indonesia. Mokhlesurrahman M, Varga I dan Chowdhury. 1992. Fish Production with Polyculure. Manual on

polyculture and integrated fish farming in Bangladesh 1992. Fisheries and Aquaculture Department. http://www.fao.org/docrep/field/003/ac375e/AC375E03.htm Diakses 25 Oktober 2015.

Rodriquez-Rodriquez M 2007. Hydrogeology of ponds, pools and playa-lakes of Southern Spain.

Wetlands 27:819-830. Rusdianah 2006. Kajian Ekonomi dan Ekologi Pemanfaatan Ekosistem Mangrove di Pesisir Tongke-

tongke Kabupaten Sinjai, Sulawesi Selatan [Tesis], Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Samsudin I. 2015. Model Pengelolaan Ekosistem Mangrove Berbasis Ekominawisata di desa

Tongke-tongke, Kecamatan Sinja Timur, Kabupaten Sinjai. Tesis, Univesitas Muslim Makassar.

Page 57: KAJIAN ALUR TATA NIAGA KAPULAGA (Amomum cardomum L

Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 535

Lampiran 1. Analisis Usaha Budidaya Gracilaria sp Sistem Monokultur

Uraian Kebutuhan Jumlah Harga Satuan

(Rp) Jumlah

(Rp)

1. Saponin (kg) 40 12.000 480.000

2. Pembelian bibit rumput laut (kg) 1500 1.500 2.250.000

3. Pupuk (kg) 30 5.000 150.000

4. Kapur (kg) 250 500 125.000

5. Perbaikan tambak (paket) 1 500.000 500.000

6. Peralatan jemur (unit) 1 500.000 500.000

7. Peralatan panen (unit) 1 200.000 200.000

8. Biaya tanam pertama 400.000

9. Biaya perawatan 1.200.000

10. Biaya panen 1.000.000

11. Biaya Pengeringan dan Pengepakan 1.200.000

12. Biaya pengeluaran lain 200.000

13. Sewa tambak/tahun 4.000.000

Total Pengeluaran 12.205.000

1. Gracilaria (6 kali panen/tahun) 7200 7.000 50.400.000

Total Pendapatan 50.400.000

Keuntungan 38 .1 95.000

Sumber: Julianto dan Badrudin 2014

Page 58: KAJIAN ALUR TATA NIAGA KAPULAGA (Amomum cardomum L

536 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

Lampiran 2. Analisis Usaha Budidaya Gracilaria sp Sistem Polikultur

Uraian Kebutuhan Jumlah Harga Satuan

(Rp) Jumlah

(Rp)

1. Saponin (kg) 40 12.000 480.000

2. Pembelian bibit rumput laut (kg) 1500 1.500 2.250.000

3. Pupuk (kg) 30 5.000 150.000

4. Kapur (kg) 250 500 125.000

5. Perbaikan tambak (paket) 1 500.000 500.000

6. Peralatan jemur (unit) 1 500.000 500.000

7. Peralatan panen (unit) 1 200.000 200.000

8. Pembelian nener (ekor) 2 x tebar 3 .00 0 1.050.000

9. Pembelian benur ukuran tokolan (ekor) 2 x tebar 10 .000

600.000

10. Pakan udang (kg) 200 1.400.000

11. Biaya tanam pertama 400.000

12. Biaya perawatan 6.000.000

13. Biaya panen 1.000.000

14. Biaya Pengeringan dan Pengepakan 1.200.000

15. Biaya pengeluaran lain 200.000

16. Sewa tambak/tahun 4.000.000

Total Pengeluaran 20.055.000

1. Gracilaria (6 kali panen/tahun) 7200 7000 50 .400.000

2. Bandeng 480 11000 5.280.000

3. Udang 200 60000 12.000.000

Total Pendapatan 67 .680.000

Keuntungan 47 .625.000

Sumber: Julianto dan Badrudin 2014

Page 59: KAJIAN ALUR TATA NIAGA KAPULAGA (Amomum cardomum L

Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 537

POSISI, TANTANGAN DAN POTENSI PENYULUHAN AGROFORESTRI DI INDONESIA: STUDI KASUS DI GUNUNGKIDUL, SUMBAWA DAN TIMOR TENGAH SELATAN

Riyandoko1, Endri Martini1, Aulia Perdana1, James M. Roshetko1

1World Agroforestry Center (ICRAF) Southeast Asia Regional Office : Jl Cifor Situ Gede, Sindang Barang, Bogor 16115, Indonesia

Email : [email protected]; [email protected]; [email protected]; [email protected]

ABSTRAK

Penyuluhan diperlukan sebagai media untuk menyampaikan inovasi-inovasi agroforestri dan mendukung terciptanya inovasi tersebut. Akan tetapi sistem penyuluhan yang saat ini berlaku di Indonesia lebih difokuskan pada kegiatan pertanian, dengan posisi bidang agroforestri yang belum terkategori dengan jelas. Hal ini berdampak pada terbatasnya informasi tentang inovasi agroforestri yang sampai pada petani, terutama di sekitar hutan, yang mengandalkan hidupnya dari sistem agroforestri. Oleh karena itu studi ini dilakukan untuk melihat posisi, tantangan dan potensi dari penyuluhan agroforestri untuk mendukung peningkatan penghidupan petani di pedesaan dan sekitar hutan. Studi dilakukan dengan metode Focus Group Disscusion (FGD) dengan enam kelompok tani; FGD dengan empat kelompok penyuluh; dan wawancara dengan narasumber kunci di Kabupaten Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta; Kabupaten Sumbawa, Nusa Tenggara Barat; dan Kabupaten Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur. Informasi yang dikumpulkan pada studi ini adalah jumlah dan kualitas penyuluh, program penyuluhan, sumber-sumber anggaran dan ketersediaan media komunikasi penyuluhan di masing-masing kabupaten. Hasil dari studi ini menunjukkan penyuluhan agroforestri di sistem penyuluhan yang saat ini berlaku masih belum menjadi prioritas, akan tetapi untuk ke depannya bisa dikembangkan potensinya melalui (i) peningkatan jumlah penyuluh agroforestri dan pengetahuan para penyuluh tentang agroforestri; (ii) pengkhususan program penyuluhan agroforestri; (iii) mengutamakan penganggaran untuk penyuluhan agroforestri; dan (iv) peningkatan jumlah media penyuluhan yang lebih mudah diterima dan dimengerti oleh petani. Membangun kemitraan dengan berbagai pihak menjadi utama dalam meningkatkan potensi penyuluhan agroforestri di Indonesia. Kata kunci : penyuluh, program penyuluhan, media penyuluhan, anggaran penyuluhan

I. PENDAHULUAN

Inovasi sudah cukup banyak dihasilkan pada bidang penelitian dan pengembangan agroforestri (Pattanayak et al., 2003). Rogers (1983) mendefinisikan bahwa inovasi adalah suatu ide, gagasan, praktik atau benda yang disadari dan diterima sebagai suatu hal yang baru oleh seseorang atau kelompok untuk diadopsi. Dalam bidang agroforestri, inovasi tersebut dapat berupa informasi, teknologi, kelembagaan dan kebijakan. Inovasi–inovasi tersebut akan bermanfaat ketika disampaikan secara luas kepada petani atau penerima manfaat lainnya. Penyuluhan merupakan salah satu media yang diperlukan untuk menyampaikan inovasi-inovasi agroforestri dan mendukung terciptanya inovasi tersebut.

Saat ini pelaksanaan penyuluhan di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Negara Republik Indonesia No 16/2006 tentang sistem penyuluhan pertanian, perikanan dan kehutanan. Penyuluhan yang dimaksud dalam undang-undang tersebut adalah adalah proses pembelajaran bagi pelaku utama serta pelaku usaha agar mereka mau dan mampu menolong dan mengorganisasikan dirinya dalam mengakses informasi pasar, teknologi, permodalan, dan sumberdaya lainnya, sebagai upaya untuk meningkatkan produktivitas, efisiensi usaha, pendapatan, dan kesejahteraannya, serta meningkatkan kesadaran dalam pelestarian fungsi lingkungan hidup. Dimana dalam praktik sistem penyuluhan di Indonesia saat ini lebih difokuskan pada sektor pertanian, dengan posisi bidang agroforestri yang belum terkategori dengan jelas.

Page 60: KAJIAN ALUR TATA NIAGA KAPULAGA (Amomum cardomum L

538 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

Ketidakjelasan posisi bidang agroforestri di dalam sistem penyuluhan, berdampak pada terbatasnya inovasi hasil penelitian agroforestri yang sampai pada petani. Terutama petani yang tinggal di sekitar hutan, yang menggantungkan penghidupannya dari sistem agroforestri. Studi ini dilakukan untuk melihat posisi, tantangan dan potensi dari penyuluhan agroforestri untuk mendukung peningkatan penghidupan petani di pedesaan dan sekitar hutan. Peningkatan pengetahuan,keterampilan,penguatan kelembagaan petani dan kebijakan yang dilakukan melalui penyuluhan diharapkan dapat berkontribusi terhadap peningkatan penghidupan petani sekitar hutan.

II. METODE PENGUMPULAN DATA

Studi ini dilakukan di tiga kabupaten di tiga provinsi dimana agroforestri dan kehutanan

menjadi sumber penghidupan para petaninya, yaitu di Kabupaten Gunungkidul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta; Kabupaten Sumbawa, Provinsi Nusa Tenggara Barat; dan Kabupaten Timor Tengah Selatan, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Ketiga provinsi tersebut dipilih karena perbedaan kondisi infrastruktur dan akses terhadap informasi. Yogyakarta tergolong sebagai daerah yang maju infrastrukturnya, sedangkan NTB terkategori sedang, dan NTT terkategori kurang berkembang dengan baik pembangunan infrastrukturnya. Pemilihan ketiga tipe daerah yang berbeda ini diharapkan dapat mewakili kondisi situasi penyuluhan agroforestri di Indonesia. Pengumpulan data dilakukan pada bulan Januari 2015–Maret 2015. Metode pengumpulan data dalam studi ini adalah kombinasi antara wawancara dan diskusi kelompok terarah (Focus Group Discussion/FGD). Pada masing-masing kabupaten, FGD dilakukan dengan empat kelompok penyuluh dan enam kelompok petani. Wawancara mendalam dilakukan terhadap informan kunci. Selain itu juga dilakukan pengamatan lapangan dan kajian pustaka. Data yang dikumpulkan dalam studi ini meliputi: data jumlah penyuluh, program penyuluhan dan media penyuluhan dan anggaran penyuluhan. Analisa akan menggunakan analisa kuantitatif dan kualitatif untuk melihat posisi penyuluhan yang terkait dengan agroforestri.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Posisi dan tantangan penyuluhan agroforestri

Posisi, tantangan dan potensi penyuluhan agroforestri di Indonesia pada studi ini dilihat dari jumlah dan kualitas penyuluh, program penyuluhan di masing-masing kabupaten, media penyuluhan yang diterima dan diberikan pada petani, dan juga anggaran untuk kegiatan penyuluhan agroforestri di masing-masing kabupaten. Posisi penyuluhan agroforestri saat ini di sistem penyuluhan tentunya dapat dicermati dari anggaran yang berimplikasi pada jumlah dan kualitas penyuluh, program penyuluhan dan media penyuluhan yang bisa diproduksi. 1. Jumlah dan kualitas penyuluh

Penyuluh di Indonesia saat ini dibedakan menjadi tiga kelompok yaitu penyuluh pertanian, penyuluh perikanan dan penyuluh kehutanan. Penyuluh pertanian memiliki jumlah yang lebih banyak dibanding penyuluh lainnya di ketiga lokasi studi (Gambar 1.). Tugas penyuluh di masing –masing sektor sudah jelas, penyuluh pertanian bertugas dalam kegiatan penyuluhan pertanian tanaman pangan, tanaman perkebunan dan peternakan; penyuluh perikanan bertugas dalam semua kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya ikan dan lingkungannya secara berkelanjutan; dan penyuluhan kehutanan melakukan penyuluhan yang terkait dengan hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan yang diselenggarakan secara terpadu dan berkelanjutan.

Page 61: KAJIAN ALUR TATA NIAGA KAPULAGA (Amomum cardomum L

Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 539

Sumber: SK BP2KP Gunungkidul No 36/KTPTS/2014, SK Bupati Sumbawa No 401/2015, SK Bupati

Timor Tengah Selatan No BKD.820/107/3/2012. Gambar 1. Jumlah penyuluh pegawai negeri sipil di ketiga lokasi studi berdasarkan sektoral dan usia.

Selain jumlahnya yang kurang, juga saat ini belum banyak dilakukan peremajaan staf penyuluh pegawai negeri. Sekitar 55,86% penyuluh pegawai negeri di ketiga lokasi berusia di atas limapuluh tahun (Gambar 1). Usia penyuluh yang sebagian besar telah mendekati masa pensiun menjadi salah satu tantangan dalam pelaksanaan penyuluhan secara umum. Motivasi dan kreatifitas penyuluh cenderung menurun ketika mendekati masa pensiun.

Pengetahuan penyuluh terhadap konsep agroforestri relatif masih minim, karena belum banyaknya dilakukan pelatihan terkait dengan agroforestri secara khusus. Konsep dari penyuluhan polivalen sebetulnya mendekati pada konsep dari agroforestri, hanya saja perlu ada pembekalan agar penyuluh dapat memodifikasi pendekatannya dalam menyampaikan pengetahuan tentang pertanian, perikanan, maupun kehutanan. Pelaksanaan penyuluhan polivalen ini walaupun sudah pernah diwacanakan dalam UU No. 16/2006, tapi dalam pelaksanaannya sudah tidak dilakukan lagi karena alasan keahlian penyuluh masih berbasis sektoral. 2. Program penyuluhan

Penyusunan program penyuluhan di tingkat kabupaten menjadi tugas dan tanggungjawab Badan Pelaksana Penyuluhan Kabupaten. Program penyuluhan di ketiga lokasi secara umum terbagi dalam tiga sektor yaitu penyuluhan pertanian; penyuluhan kehutanan dan penyuluhan perikanan. Program penyuluhan yang disusun belum menunjukkan adanya keterkaitan antar sektor dan terlihat terpisah.

Secara umum, program penyuluhan pertanian meliputi teknis budidaya tanaman pangan, teknis budidaya tanaman perkebunan, teknis budidaya peternakan dan kelompok tani pertanian. Program penyuluhan perikanan meliputi: teknis perikanan budidaya, teknis perikanan tangkap dan kelompok tani perikanan. Program penyuluhan kehutanan meliputi: teknis budidaya tanaman kehutanan, pengendalian aliran permukaan, konservasi sumber daya alam dan kelompok tani kehutanan. Dari program penyuluhan yang ada di ketiga lokasi belum ada yang secara langsung menyatakan kegiatan yang berhubungan dengan agroforestri. Namun dari program penyuluhan yang ada beberapa yang dapat terkait dengan agroforestri terutama pada program pertanian dan kehutanan.

17

2

0

59

11

5

58

10

60

4

22

44

1

17

51

6

0 20 40 60 80 100 120

penyuluh pertanian

penyuluh perikanan

penyuluh kehutanan

penyuluh pertanian

penyuluh perikanan

penyuluh kehutanan

penyuluh pertanian

penyuluh perikanan

penyuluh kehutanan

Kab

upat

enG

unu

ngkid

ul

Kab

upat

enS

um

baw

a

kab

upet

enT

imo

r

Ten

gah

Sel

atan

Usia ≤50 th Usia > 50 th

Page 62: KAJIAN ALUR TATA NIAGA KAPULAGA (Amomum cardomum L

540 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

Berdasarkan pada lokasi kegiatan program penyuluhan yang berada di kebun rakyat atau hutan rakyat, maka program-program tersebut dapat dikategorikan sebagai terkait dengan agroforestri jika dilaksanakan di kebun rakyat atau hutan rakyat (Tabel 1.). Di antaranya program penyuluhan pertanian dan kehutanan yang terkait dalam bidang agroforestri yaitu : i). Budidaya tanaman pangan di bawah tegakan tanaman kayu; ii). Budidaya tanaman perkebunan (seperti kakao, kopi dan kemiri) dengan tanaman pangan; iii) Budidaya tanaman perkebunan dengan tanaman kehutanan; dan iv) Pengolahan lahan yang memperhatikan kaidah konservasi tanah dan air. Tabel 1. Program penyuluhan per sektor dan keterkaitannya dengan bidang agroforestri di

Kabupaten Gunungkidul, Kabupaten Sumbawa, dan Kabupaten Timor Tengah Selatan.

Keterangan: GK= Gunungkidul; SBW= Sumbawa; TTS = Timor Tengah Selatan. Sumber: Hasil analisa berdasarkan program penyuluhan Kabupaten Gunungkidul, Kabupaten

Sumbawa dan Kabupeten Timor Tengah Selatan tahun 2014. 3. Media penyuluhan

Media penyuluhan merupakan salah satu alat bantu untuk menyampaikan informasi dalam penyuluhan. Bentuk media komunikasi penyuluhan yang paling sering digunakan pada kegiatan penyuluhan di Kabupaten Gunungkidul, Kabupaten Sumbawa dan Kabupaten Timor Tengah Selatan adalah buku, terutama di Kabupaten Sumbawa, sedangkan leaflet paling sering digunakan di Kabupaten Gunungkidul (Gambar 2).

Program penyuluhan per sektor

Terkait ke dalam bidang agroforestri? (Ya (Y) /Tidak (T))

Budidaya Pemasaran Kebijakan

GK Sbw TTS GK Sbw TTS GK Sbw TTS

Pertanian dan peternakan

Teknis budidaya tanaman pangan

Y Y Y T T T T T T

Teknis budidaya perkebunan

Y Y Y T T T T T T

Teknis budidaya peternakan

Y Y Y T T T T T T

Bidang kelembagaan pertanian

T T T T T T T T T

Bidang ekonomi pertanian T T T Y Y Y T T T

Kehutanan

Teknis Budidaya tanaman kehutanan

Y Y Y T T T T T T

Konservasi tanah dan air Y Y Y T T T T T T

Kelembagaan kelompok tani kehutanan

Y Y Y Y Y Y Y Y Y

Bidang ekonomi kehutanan

T T T Y Y Y T T T

Kesejahteraan petani T T T T T T T T T

Perikanan

Teknis perikanan budidaya T T T T T T T T T

Teknis perikanan tangkap T T T T T T T T T

Bidang ekonomi perikanan T T T T T T T T T

Page 63: KAJIAN ALUR TATA NIAGA KAPULAGA (Amomum cardomum L

Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 541

Sumber: Riyandoko et al., 2015. Gambar 2. Bentuk media komunikasi penyuluhan yang digunakan dalam kegiatan penyuluhan di Kabupaten Gunungkidul, Kabupaten Sumbawa dan Kabupaten Timor Tengah Selatan

Badan pelaksana penyuluhan kabupaten di lokasi studi belum semuanya memproduksi media penyuluhan. Penyuluh masih menggunakan media penyuluhan yang diproduksi oleh lembaga atau badan lain seperti Badan Koordinasi Penyuluhan di Tingkat Provinsi, Dinas Pertanian, Dinas Kehutanan dan lembaga bukan pemerintah. Kurangnya media penyuluhan yang diproduksi di antaranya dipengaruhi oleh i) kurangnya akses ke materi pengetahuan baru untuk disebarluaskan; dan ii) kurangnya anggaran yang dialokasikan untuk pembuatan media penyuluhan.

4. Anggaran penyuluhan Sumber anggaran penyuluhan di Kabupaten Gunungkidul, Kabupaten Sumbawa dan Kabupaten Timor Tengah Selatan secara umum sama yaitu dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kabupaten, Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Provinsi dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). APBD Kabupaten dan APBD Provinsi dialokasikan untuk program demonstrasi plot setiap tahunnya. Sumber dana dari APBN adalah dana baku setiap tahunnya berupa biaya operasional penyuluhan yang dialokasikan diantaranya untuk pertemuan rutin, transportasi kegiatan penyuluhan, dan konsumsi penyuluhan. Selain itu dari APBN ada Dana Alokasi Khusus yang penggunaannya di antaranya untuk membangun/merenovasi kantor Balai Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (BP3K), pengadaan kendaraan bermotor, dan pengadaan alat kerja (laptop/komputer).

Biaya operasional dalam penyuluhan di setiap daerah berbeda, biaya operasional di Kabupaten Gunungkidul sebesar Rp 112.000,00/bulan/penyuluh; Kabupaten Sumbawa sebesar Rp 400.000,00/bulan/penyuluh; dan kabupaten Timor Tengah Selatan sebesar Rp 500.000,00/bulan/penyuluh. Biaya opersional penyuluhan tersebut dinilai masih kurang untuk melaksanakan penyuluhan di masing-masing wilayah. Kurangnya anggaran penyuluhan menjadi kendala dalam pelaksanaan penyuluhan seperti tidak berkelanjutannya kegiatan penyuluhan; belum terjangkaunya semua wilayah dalam kegiatan penyuluhan; kurangnya media penyuluhan yang dibuat sebagai alat penyebar informasi.

0%

10%

20%

30%

40%

50%

60%

70%

80%

90%

Buku leaflet CD/DVD Gabungan

Buku dan

CD/DVD

Gabungan

Buku dan

Leaflet

Gabungan

bukum

leaflet dan

CD/DVD

Tidak tahu

Perse

nta

se r

esp

on

den

da

ri to

tal resp

on

den

per k

ab

up

ate

n

Media penyuluhan yang dibagikan dan diterima petani

Kabupaten Gunungkidul (n=84)

Kabupaten Sumbawa (n=51)

Kabupaten TTS (n=51)

Page 64: KAJIAN ALUR TATA NIAGA KAPULAGA (Amomum cardomum L

542 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

B. Potensi penyuluhan agroforestri Dari jumlah penyuluh masih kurang memadai, begitupun pengetahuan para penyuluh

tentang konsep dan pengetahuan baru di bidang agroforestri masih minim. Kurangnya jumlah penyuluh, dapat diatasi dengan pemberdayaan penyuluh swadaya dan swasta seperti yang sudah diatur dalam UU No. 16/2006, dan juga Permentan No. 61 tahun 2008 tentang pedoman pembinaan penyuluh pertanian swadaya dan penyuluh pertanian swasta.

Dari sisi program penyuluhan yang saat ini terencana di penyuluhan pemerintah, sekitar 26% dari total program yang ada sudah cukup terkait dengan bidang agroforestri. Pembekalan pada para penyuluh tentang konsep agroforestri perlu dilakukan agar penyuluh dapat melakukan modifikasi metode penyuluhan maupun pengkombinasian pengetahuan yang bermanfaat untuk disampaikan pada para petani agroforestri di Indonesia. Untuk kedepannya, perlu adanya integrasi program penyuluhan antar sektor mulai dari penyusunan program hingga pelaksanaan penyuluhan. Skema penyuluhan bersama yang dilakukan antar sektor (misal penyuluh pertanian dan penyuluh kehutanan) dapat menjadi pilihan ketika skema penyuluh polivalen belum atau tidak dapat dilakukan.

Dari segi media penyuluhan, masih cukup sedikit diproduksi karena kurangnya akses ke materi pengetahuan baru dan juga kecilnya anggaran untuk pembuatan media penyuluhan. Potensi untuk memperbanyak media penyuluhan yang dapat disalurkan ke petani mungkin dilakukan dengan memperkuat hubungan dengan lembaga penelitian agroforestri yang terbiasa menghasilkan media-media untuk mengkomunikasikan hasil penelitiannya ke pihak-pihak yang relevan.

Kurangnya anggaran yang diberikan oleh pemerintah sebaiknya dapat diatasi melalui kerjasama yang dapat dilakukan antara lembaga penyuluhan pemerintah dengan pihak swasta dan juga pusat-pusat penelitian. Keleluasaan untuk melakukan kemitraan dengan pihak lainnya dalam melakukan penyuluhan sebenarnya sudah diatur dalam UU No. 16./2006, hanya saja perlu ada kesadaran dari semua pihak tentang perlunya melakukan kemitraan dalam melakukan penyuluhan agroforestri.

IV. KESIMPULAN

Secara umum, sistem penyuluhan di Indonesia pada saat ini berfokus pada penyuluhan

pertanian, perikanan dan kehutanan, dimana penyuluhan agroforestri belum secara jelas disebutkan dan diatur. Penyuluhan agroforestri jika dalam sistem penyuluhan di Indonesia dapat dilakukan dengan melakukan integrasi antar sektor dan kerjasama antara penyuluh, baik penyuluh pemerintah, penyuluh swadaya maupun penyuluh swasta. Wacana tentang penyuluh polivalen dapat menjadi jawaban kebutuhan antar kebutuhan penyuluhan agroforestri.

Dalam pelaksanaannya, penyuluhan agroforestri memiliki tantangan berupa: i). Jumlah penyuluh yang tidak seimbang antar sektor, jumlah penyuluh pertanian lebih banyak dibanding penyuluh kehutanan dan perikanan; ii). Masih kurangnya materi tentang agroforestri dalam program penyuluhan yang berpengaruh pada kapasitas penyuluh dalam bidang agroforestri; iii). Masih kurangnya penganggaran dalam penyuluhan sehingga kurang effektifnya kerja penyuluhan; iv). Media penyuluhan yang masih terbatas dan belum ada yang berkaitan dengan agroforestri.

Potensi penyuluhan agroforestri bisa ditingkatkan di antaranya melalui: (i) peningkatan jumlah penyuluh agroforestri dan pengetahuan para penyuluh tentang agroforestri; (ii) pengkhususan program penyuluhan agroforestri; (iii) mengutamakan penganggaran untuk penyuluhan agroforestri; dan (iv) peningkatan jumlah media penyuluhan yang lebih mudah diterima dan dimengerti oleh petani. Selain itu, membangun kemitraan dengan berbagai pihak menjadi utama dalam meningkatkan potensi penyuluhan agroforestri di Indonesia.

Page 65: KAJIAN ALUR TATA NIAGA KAPULAGA (Amomum cardomum L

Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 543

UCAPAN TERIMA KASIH

Studi ini terlaksana atas pendanaan dari Australian Centre for International Agricultural Research (ACIAR) pada proyek Pengembangan Produksi dan Strategi Pemasaran Kayu dan Hasil Hutan Bukan Kayu Untuk Peningkatan Penghidupan Petani Di Indonesia. Penulis mengucapkan terima kasih kepada tim KANOPPI- ACIAR, petani, penyuluh, instansi pemerintah dan lembaga bukan pemerintah di lokasi studi yang membantu dalam proses pengumpulan data studi ini.

DAFTAR PUSTAKA Pattanayak SK, Mercer DE, Sills E, Yang J-C. 2003. Taking stock of agroforestry adoption studies.

Agroforestry Systems 57: 173-186. Pemerintah Daerah Sumbawa, 2015. Keputusan Bupati Sumbawa No 401 2015 Tentang Penetapan

Wilayah Kerja Penyuluh Pertanian, Perikanan dan Kehutanan Di Lingkungan Pemerintah Kabupaten Sumbawa. Sekretariat Daerah Sumbawa. Sumbawa.

Pemerintah Kabupaten Timor Tengah Selatan, 2012. Keputusan Bupati Timor Tengah Selatan

Nomor: BKD.820/107/2012 Tentang Penempatan Penyuluh Pada Wilayah Kerja Di Kabupaten Timor Tengah Selatan. Sekretariat Daerah Timor Tengah Selatan. Timor Tengah Selatan.

Pemerintah Kabupaten Gunungkidul, 2014. Keputusan Kepala Badan Pelaksanan Penyuluhan dan

Ketahanan Pangan No 36/KPTS/2014 Tentang Alih Tugas Pertanian/Perkebunan, Perikanan dan Kehutanan.: BP2KP Kabupaten Gunungkidul. Gunungkidul.

Rebuplik Indonesia, 2006. Undang-Undang No 16 Tahun 2006 Tentang Sistem Penyuluhan

Pertanian, Perikanan dan Kehutanan. Lembar Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 92. Sekretariat Negara Republik Indonesia. Jakarta.

Riyandoko, Endri Martini, Aulia Perdana, Amira Yumn, James M. Roshetko, 2015. Kebutuhan dan

Tantangan dari Pelaksanaan Sistem Penyuluhan Kehutanan dan Agroforestri di Indonesia. In prep. Working Paper ICRAF SEA. Bogor.

Rogers EM. 1983. Diffusion of Innovations (third edition). New York: Free Press. ISBN 978-0-02-

926650-2.

Page 66: KAJIAN ALUR TATA NIAGA KAPULAGA (Amomum cardomum L

544 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

SIAPA LEBIH DOMINAN? KAJIAN MENGENAI PEMBAGIAN KERJA PEREMPUAN DAN LAKI-LAKI DALAM PENGELOLAAN SISTEM AGROFORESTRI DI INDONESIA

Elok Mulyoutami1, Betha Lusiana1, Desi Awalina1, Eva Fauzyah2, Tri Sulistyati Widyaningsih2, James

M Roshetko1

1World Agroforestry Centre, ICRAF SEARO, Indonesia, Bogor 2Balai Penelitian Teknologi Agroforestry, Ciamis, Indonesia

Laki-laki dan perempuan memiliki peran berbeda dan saling melengkapi dalam pengelolan lahan pertanian dan perkebunan. Namun demikian, berbagai studi gender menyatakan peran perempuan seringkali diabaikan atau tidak diakui. Studi ini menelaah pembagian kerja antara laki-laki dan perempuan pada berbagai sistem penggunaan lahan di Indonesia serta melihat konsistensi persepsi mengenai pembagian kerja tersebut. Survei dilakukan di tiga wilayah Indonesia dengan komposisi dan kondisi penduduk serta kondisi fisik yang berbeda yaitu Jambi, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara dan Jawa Barat. Sekitar 92 diskusi kelompok terpilah gender dilakukan pada 40 desa yang mencakup sistem pertanian semusim, agroforestri coklat, kopi, karet, kayu, serta kebun campur dan kebun sawit. Secara umum kontribusi perempuan (48,6%) dan laki-laki (51,4%) hampir setara, meski laki-laki nampak lebih mendominasi, kecuali pada sistem pertanian semusim. Kontribusi perempuan pada seluruh sistem penggunaan lahan, terutama pada kegiatan pemasaran hasil agroforestri dan pertanian (76,1%) sedangkan laki-laki terutama pada persiapan lahan (74,9%) dan pemeliharaan (62,1%). Peran perempuan dalam pemeliharaan tanaman yang tertinggi terlihat pada sistem agroforestri karet (57,1%). Persepsi tentang pembagian peran antara laki-laki dan perempuan cukup sama. Secara umum, perbedaan yang besar terjadi terkait pendapat mengenai peran laki laki. Ada situasi dimana perempuan menganggap laki-laki berperan lebih tinggi daripada yang dinyatakan kaum laki-laki itu sendiri, demikian pula sebaliknya. Implikasi hasil studi ini adalah pentingnya melibatkan petani perempuan (tidak hanya laki-laki) dalam kegiatan perencanaan pembangunan pertanian, terutama di bidang pemasaran, panen dan pasca panen.

Kata kunci : gender, pembagian kerja, penggunaan lahan, persepsi, agroforestri

I. LATAR BELAKANG

Laki-laki dan perempuan memiliki peran berbeda yang saling melengkapi dalam pengelolan

lahan pertanian dan perkebunan. Namun demikian, berbagai studi gender menyatakan peran perempuan seringkali tidak terlihat dan dianggap sama dengan peran laki-laki. Istilah petani pun seringkali merujuk kepada salah satu gender, mengabaikan representasi petani perempuan.

Studi terkini yang dilakukan oleh Mulyoutami dkk (2009) di Kalimantan Timur, Mulyoutami dkk (2012) di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara, Rice dkk (1998) di Meksiko dan Martini dkk (2012) di Sumatera Utara menemukan pola yang nyaris sama dimana perempuan dan laki-laki berkontribusi dan berkolaborasi dalam pengelolaan lahan pertanian dan perkebunan. Biasanya, perempuan memiliki peran yang lebih besar di areal lahan yang dekat dengan rumah dan berkaitan dengan pemasaran, sementara laki-laki bertanggung jawab di produksi lahan. Jadi, perempuan dan laki-laki memiliki pola pembagian kerja tersendiri yang terpilah tergantung dengan sistem dan pola penggunaan lahan yang mereka terapkan. Studi ini berupaya menelaah lebih lanjut mengenai pola pembagian kerja antara laki-laki dan perempuan pada berbagai sistem penggunaan lahan di beberapa wilayah di Indonesia.

Colfer (2015) mengemukakan pentingnya mengenali dan memahami bagaimana kontribusi perempuan dalam produksi pertanian dan pengelolaan rumah tangga, khususnya dari persepsi laki-laki. Studi ini juga berupaya melihat konsistensi persepsi yang terpilah gender mengenai pembagian kerja di setiap penggunaan lahan. Upaya memahami dan mengenali beda persepsi ini dapat menjadi langkah awal untuk mengubah pola pikir baik perempuan maupun laki-laki untuk lebih menghargai kontribusi kerja mereka baik dalam pengelolaan rumah tangga maupun dalam produksi pertanian dan perkebunan.

Page 67: KAJIAN ALUR TATA NIAGA KAPULAGA (Amomum cardomum L

Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 545

II. METODE PENELITIAN

Diskusi kelompok terfokus dilakukan di tiga pulau besar di Indonesia dengan komposisi dan

kondisi penduduk serta kondisi fisik yang berbeda yaitu Jambi (Sumatera), Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Gorontalo (Sulawesi) dan Jawa Barat (Jawa). Sekitar 92 diskusi kelompok terpilah gender dilakukan pada 40 desa yang mencakup sistem pertanian semusim, agroforestri coklat, kopi, karet, kayu, serta kebun campur dan kebun sawit. Masing-masing diskusi memiliki set pertanyaan yang sama dengan menerapkan berbagai permainan sederhana untuk memudahkan proses pengambilan data dan analisa. Pembobotan dan perankingan dengan menggunakan 100 buah kancing dilakukan di masing-masing kelompok guna mendapatkan gambaran proporsi perempuan dan laki-laki yang bekerja di masing-masing sistem penggunaan lahan. Diskusi terpilah gender dilakukan untuk memahami persepsi masing-masing gender. Ilustrasi mengenai metode penggunaan kancing/pebble dapat dilihat dalam metode GroLuv dalam Mulyoutami dkk (2013), Mulyoutami dkk (2014), dan Fauziyah dkk (2014).

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Sistem penggunaan lahan yang penting bagi masyarakat

Diskusi kelompok dilakukan untuk melihat berbagai sistem penggunaan lahan yang penting baik bagi kelompok laki-laki maupun bagi kelompok perempuan. Relevansi penting disini dilihat dari banyaknya curahan waktu yang diberikan dari petani laki-laki dan petani perempuan (secara terpisah) pada setiap sistem penggunaan lahan. Sistem penggunaan lahan yang diobservasi adalah lahan pertanian semusim, meliputi pertanian sawah, lahan jagung, dan lahan semusim lainnya yang memiliki tanaman komoditas berbeda untuk setiap desa dan kabupaten. Kemudian, lahan perkebunan tahunan yang meliputi kebun campur serta berbagai kebun yang didominasi oleh pohon komoditas seperti kopi, coklat, karet, cengkeh dan berbagai jenis kayu-kayuan, serta kebun kelapa sawit. Kebun campur disini merupakan suatu sistem lahan yang banyak diterapkan masyarakat baik di areal pekarangan maupun yang jauh dari rumah, dengan mengkombinasikan berbagai tanaman tahunan yang seringkali juga ditambah dengan tanaman semusim.

Page 68: KAJIAN ALUR TATA NIAGA KAPULAGA (Amomum cardomum L

546 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

Tabel 1. Kondisi umum desa di masing-masing kabupaten

Propinsi Kabupaten Jumlah Desa

Sistem pertanian dan perkebunan

Demografi

Akses ke pasar N –

diskusi Tipe penduduk Proporsi

penduduk perempuan

Proporsi petani/pekebun

Perempuan

Jambi

Kerinci 4

Sawah, Palawija Karet

Kayu manis

Lokal (Melayu) 60% 40 – 50%

Rendah – Sedang

8

Muara Bungo

4 Kelapa sawit

56.25% 30 – 40% Sedang 8

Tanjung Jabung Barat

4 Kelapa sawit, Kelapa dalam

Migran spontan (Banjar, Bugis)

48% 40 – 45% Sedang – Tinggi 8

Sulawesi Selatan

Bantaeng 4 Kebun campur, coklat, kopi, tanaman semusim

Cengkeh Lokal (Makassar, Bugis, Konjo)

58% 50 – 60% Rendah – Tinggi 8

Bulukumba 4 Lahan kayu-kayuan 56% 45 – 55% Sedang – Tinggi 8

Sulawesi Tenggara

Konawe 4

Kebun campur, Kebun coklat, Tanaman semusim

50% migran (Transmigran Jawa, Bali dan NTT) Migran spontan (Bugis dan Tana Toraja)

48.9%

50 – 55%

Rendah - Sedang

8

Kolaka Timur

5 48.5% Rendah – Sedang

10

Gorontalo Gorontalo 4 Kebun campur, coklat, kelapa,

kayu, Tanaman semusim Lokal (Gorontalo) 49.12% 30 – 40%

Sedang 8

Boalemo 4 Sedang 8

Jawa Barat

Ciamis 4 Kebun campur (kapulaga), lahan berbasis kayu, kebun kopi

Lokal (Sunda) 45% 30 – 40% Sedang - Tinggi 16

Total 41 92

Page 69: KAJIAN ALUR TATA NIAGA KAPULAGA (Amomum cardomum L

Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 547

Sawah merupakan sistem penggunaan lahan yang dianggap penting hampir di semua kabupaten, meski sebarannya hanya di beberapa desa yang memiliki sawah (sekitar 41% dari total keseluruhan desa). Pengertian sawah disini merupakan lahan padi basah dengan menggunakan irigasi sederhana, teknis dan semi teknis, serta juga sawah tadah hujan. Kerinci merupakan kabupaten dengan luasan sawah yang terbesar dibandingkan dengan kabupaten lain yang menjadi lokasi studi.

Jagung merupakan sumber penghidupan yang cukup penting bagi masyarakat di Kabupaten Gorontalo dan Kabupaten Boalemo di Propinsi Gorontalo, serta juga merupakan lahan pertanian yang utama di sejumlah desa di Kabupaten Bantaeng, seperti di desa Kayu Loe dan Bonto Karaeng. Selain jagung untuk sumber pangan keluarga, mereka juga memproduksi jagung untuk pakan ternak yang telah dikeringkan dan digiling terlebih dahulu sebelum kemudian dipasarkan.

Sistem pertanian semusim lainnya meliputi produksi tanaman sayuran dan obat-obatan. Kabupaten Gorontalo cukup terkenal dengan produksi tanaman obat seperti kunyit dan jahe. Budi daya tanaman Kapulaga di Kabupaten Ciamis, yang meskipun biasanya dikelola dibawah tegakan pohon kayu namun juga dapat ditemukan tanaman kapulaga yang dikelola secara monokultur. Tanaman cabai dan sayur-sayuran merupakan komoditi yang cukup penting di sejumlah desa di Kabupaten Kerinci dan di Kabupaten Gorontalo.

Lahan karet merupakan sumber pendapatan yang cukup penting bagi sejumlah besar masyarakat di Kabupaten Bungo dan sebagian kecil masyarakat di Tanjung Jabung Barat. Karet yang dikelola masyarakat dalam sistem karet monokultur, sebagian lainnya dalam model kebun campur. Sebagian tanaman karet dikelola di daerah yang bergambut.

Kebun kopi monokultur menjadi sumber pendapatan penting di sejumlah desa di Kecamatan Rajadesa, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat serta juga di beberapa desa di Kabupaten Bantaeng, Sulawesi Selatan. Di Ciamis, kebun kopi ada yang dikelola di dalam wilayah desa dimana mereka tinggal, ada juga yang dikelola di luar desa. Kebun kopi yang dikelola di luar desa menggunakan mekanisme PHBM (Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat) di sejumlah lahan PERHUTANI dan yang mereka miliki sendiri (di Lampung dan di Gunung Sawal). Kebun coklat monokultur merupakan model penggunaan lahan yang cukup dominan di sejumlah besar desa di Kabupaten Konawe dan Kolaka Timur, Sulawesi Tenggara.

Kebun campur merupakan sistem perkebunan yang dianggap penting di 70% desa yang menjadi lokasi studi. Dominasi tanaman di kebun campur berbeda untuk masing-masing desa di setiap kabupaten, tergantung dari tanaman yang menjadi komoditas unggulan di daerahnya. Di Kabupaten Gorontalo dan Boalemo, Provinsi Gorontalo, model kebun campur didominasi oleh pohon kelapa sebagai penghasil kopra, termasuk juga di daerah Tanjung Jabung Barat, Provinsi Jambi, dimana kelapa dicampur dengan pinang. Di Ciamis, Jawa Barat, model kebun campur didominasi tanaman kopi yang dicampur dengan kapulaga dan pohon kayu, serta juga dominasi kayu diantara tanaman semusim dan kapulaga. Di Kabupaten Bantaeng dan Bulukumba, tidak ada dominasi tanaman yang nyata, kopi, coklat dan cengkeh serta tanaman semusim menjadi jenis tanaman yang umum di lokasi kebun campur mereka. Di Kabupaten Konawe dan Kolaka Timur, coklat menjadi tanaman yang mendominasi kebun campur mereka. Meski demikian, di wilayah ini, tanaman campuran selain coklat hanya sedikit. Kebun yang didominasi dengan kayu-kayuan terutama terdapat di Ciamis, Jawa Barat, dimana terdapat akasia, afrika, albasiyah. Sementara di Sulawesi Selatan, di Kabupaten Bulukumba kayunya adalah jati, mahoni, surian, gmelina, dan sengon.

B. Siapa lebih dominan?

Rata-rata kontribusi perempuan (48,6%) dan laki-laki (51,4%) dari seluruh sistem pengelolaan lahan pertanian hampir setara, meski laki-laki nampak lebih mendominasi. Pada sistem pertanian semusim, khususnya pada kegiatan penanaman sayuran atau cabai, kontribusi perempuan dari persepsi perempuan dan laki-laki (60,4%), lebih tinggi dari laki-laki (39,6%). Pada pertanian semusim, perempuan memegang peranan penting dalam penanaman dan pemanenan, paska panen

Page 70: KAJIAN ALUR TATA NIAGA KAPULAGA (Amomum cardomum L

548 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

serta pemasaran (Gambar 1) khususnya di Sulawesi (Gorontalo, Sulawesi Selatan, dan Sulawesi Tenggara). Di Jawa Barat, kontribusi perempuan untuk kegiatan sawah yang tertinggi adalah pada kegiatan penanaman dan panen. Hal yang cukup menarik di Jawa Barat adalah saat menanam dan panen terutama dikerjakan oleh kelompok orang yang sama, dengan menggunakan sistem gotong royong, yang terutama didominasi oleh perempuan. Upah yang diperoleh dari menanam dan panen adalah padi yang dihasilkan dari rangkaian kegiatan menanam dan panen tersebut. Hal ini membentuk hubungan semacam kontrak tidak tertulis, bahwa orang yang membantu menanam tidak akan diberi upah kecuali jika membantu pada saat memanen. Laki-laki, lebih banyak berperan dalam persiapan lahan, serta memastikan sistem pengairan sawah dan menyemprot hama dan penyakit padi.

Gambar 1. Pembagian kerja perempuan dan laki-laki dalam pengelolaan lahan dengan tanaman semusim

Page 71: KAJIAN ALUR TATA NIAGA KAPULAGA (Amomum cardomum L

Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 549

Gambar 2. Pembagian kerja perempuan dan laki-laki dalam pengelolaan kebun campur

Page 72: KAJIAN ALUR TATA NIAGA KAPULAGA (Amomum cardomum L

550 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

Gambar 3. Pembagian kerja perempuan dan laki-laki dalam pengelolaan berbagai tipe pengelolaan lahan berbasis komoditi

Page 73: KAJIAN ALUR TATA NIAGA KAPULAGA (Amomum cardomum L

Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 551

Kontribusi perempuan (gabungan persepsi laki-laki dan perempuan) pada seluruh sistem penggunaan lahan campuran yang berbasis pada tanaman komoditi (Gambar 2 dan Gambar 3), terutama pada kegiatan pemasaran hasil agroforestri dan pertanian (76,1%) sedangkan laki-laki terutama pada persiapan lahan (74,9%) dan pemeliharaan (62,1%). Peran perempuan dalam pemeliharaan tanaman yang tertinggi terlihat pada sistem agroforestri karet (57,1%). Pemeliharaan kebun coklat, kopi dan sawit cukup rumit menurut pendapat petani perempuan, jadi mereka tidak banyak berkontribusi. Lagipula, penerapan pupuk dan obat-obatan merupakan bagian yang cukup penting dan sering dilakukan pada kebun coklat, kopi dan sawit, dan umumnya pekerjaan tersebut lebih banyak dilakukan oleh laki-laki.

Pada lahan berbasis kayu, peran perempuan sangat minim (16.7%). Wawancara terhadap sejumlah peserta diskusi perempuan menyatakan bahwa perempuan tidak memiliki ketertarikan untuk terlibat dalam produksi di lahan berbasis kayu. Perempuan tidak terlalu memahami bagaimana memperkirakan volume kayu dan harganya, terutama dalam pemanenan dan pemasaran. Gambar 4 menunjukkan bahwa kontribusi perempuan yang besar terdapat pada persiapan, penanaman dan pemeliharaan, dimana pekerjaan ini biasanya dilakukan bersama-sama dengan laki-laki.

Gambar 4. Pembagian kerja perempuan dan laki-laki dalam pengelolaan berbagai tipe pengelolaan lahan berbasis kayu

C. Persepsi perempuan dan laki-laki terhadap peran gender

Gambar 5 menunjukkan kesamaan pendapat laki-laki dan perempuan mengenai peranan terpilah gender di kebun campur. Jika nilai berada di garis 1:1 menunjukkan bahwa pendapat antara laki-laki dan perempuan persis sama. Secara umum, perbedaan yang besar terjadi terkait pendapat mengenai peran laki laki. Ada situasi dimana perempuan menganggap laki-laki berperan lebih tinggi daripada yang dinyatakan kaum laki-laki itu sendiri, demikian pula sebaliknya ada situasi dimana perempuan menggangap laki-laki berperan lebih rendah daripada yang diungkapkan kaum laki-laki. Namun, rata-rata pendapat perempuan dan laki-laki relatif sama, yang menunjukkan adanya pemahaman dari kaum perempuan maupun laki-laki mengenai besarnya peran masing-masing pihak dalam kegiatan pertanian.

Page 74: KAJIAN ALUR TATA NIAGA KAPULAGA (Amomum cardomum L

552 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

Gambar 5. Kesamaan pendapat perempuan dan laki-laki mengenai pembagian kerja terpilah gender dalam pengelolaan berbagai tipe pengelolaan lahan berbasis komoditi.Titik pada garis 1:1 (terputus) menunjukkan pendapat perempuan dan laki-laki persis sama mengenai perannya dan lawan dalam mengelola lahan.

IV. KESIMPULAN DAN SARAN

Studi ini menunjukkan bahwa perempuan memiliki kontribusi yang hampir setara dengan

laki-laki untuk hampir semua kegiatan pertanian, kecuali kebun kayu. Meski demikian, laki-laki tetap nampak lebih dominan dalam setiap tahapan kegiatan bercocok tanam. Peran perempuan yang terbesar adalah dalam aspek pemasaran. Persepsi perempuan dan laki-laki sama terkait peran masing-masih dalam pengelolaan lahan pertanian. Adapun implikasi hasil studi ini adalah pentingnya melibatkan petani perempuan (tidak hanya laki-laki) dalam kegiatan perencanaan pembangunan pertanian, terutama di bidang pemasaran, panen dan pasca panen.

DAFTAR PUSTAKA

COLFER, C.J.P., ACHDIAWAN, R., ADNAN, H., MOELIONO, M., MULYANA, A., MULYOUTAMI, E., ROSHETKO, J.M., YULIANI, E.L., BALANG, LEPMIL. 2015a. Preparing the ground for better landscape governance: gendered realities in southern Sulawesi, Forests, Trees and Livelihoods, 24:1, 59-83, DOI: 10.1080/14728028.2014.951002.

COLFER, C.J.P., ACHDIAWAN, R., ROSHETKO, J.M., MULYOUTAMI, E., YULIANI, E.L., MULYANA, A.,

MOELIONO, M., ADNAN, H. 2015b (in review). The Balance of Power in Household Decision-Making: Encouraging News on Gender in Southern Sulawesi. Submitted to World Development.

Page 75: KAJIAN ALUR TATA NIAGA KAPULAGA (Amomum cardomum L

Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 553

FAUZIYAH, E., WIDYANINGSIH, T.S., MULYOUTAMI, E., AWALINA, D., LUSIANA, B. 2014. Dinamika penelitian gender di hutan rakyat: pengalaman penerapan metode di Kecamatan Panjalu, Ciamis, Jawa Barat. Presented at Seminar Nasional Agroforestri 5, Ambon, November 2014. . Bogor, Indonesia. World Agroforestry Centre (ICRAF) Southeast Asia Regional Program.

MARTINI, E., ROSHETKO, J. M., VAN NOORDWIJK, M., RAHMANULLOH, A., MULYOUTAMI, E., JOSHI,

L., and BUDIDARSONO, S. 2012. Sugar palm (Arenga pinnata [Wurmb] Merr.) for livelihoods and biodiversity conservation in the orangutan habitat of Batang Toru, North Sumatra, Indonesia: mixed prospects for domestication. Agroforestry systems, 86(3), 401-417.

MULYOUTAMI. E., MARTINI, E., KHUSUSIYAH, N., ISNURDIANSYAH, SUYANTO, S. 2012. Agroforestry

and Forestry in Sulawesi series: Gender, livelihoods and land in South and Southeast Sulawesi. Working paper 158. Bogor, Indonesia: World Agroforestry Centre (ICRAF) Southeast Asia Regional Program. 74p. DOI: 10.5716/WP12057.PDF.

MULYOUTAMI, E., KHUSUSIYAH, N., MARTINI, E., and SUYANTO, S. 2014. Gender-specific assessment

of natural resources using the pebble game. In Equal Measure: A User Guide to Gender Analysis in Agroforestry, 29.

MULYOUTAMI, E., RISMAWAN, R., and JOSHI L. 2009. Local knowledge and management of

simpukng (forest gardens) among the Dayak people in East Kalimantan, Indonesia. Forest ecology and management 257 (10): 2054-2061.

RICE, E., SMALE, M., and BLANCO, J. L. 1998. Farmers' use of improved seed selection practices in

Mexican maize: Evidence and issues from the Sierra de Santa Marta. World Development, 26(9), 1625-1640.

Page 76: KAJIAN ALUR TATA NIAGA KAPULAGA (Amomum cardomum L

554 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PERLINDUNGAN HUTAN POLA AGROFORESTRY DI KECAMATAN BUA KABUPATEN LUWU SULAWESI SELATAN

Muhammad Agung

Staff Pengajar Fakultas Kehutanan Universitas Hasanuddin [email protected]

ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji pemahaman para petani tentang teknik agroforestry dalam pengelolaan lahan, keterlibatan masyarakat dalam mendukung dan mengaplikasikan teknik agroforestry dalam mengelola lahannya, dan kemampuan masyarakat atau petani dalam mengukur dan mengevaluasi keberhasilan mengelolaa lahan dengan teknik agroforestry. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh rumah tangga petani di Desa Posi, Desa Tiromanda, dan Desa Tana Rigella Kecamatan Bua Kabupaten Luwu. Jumlah rumah tangga petani masing-masing desa adalah Desa Posi 267 KK, Desa Tiromanda 443 KK, dan Tana Rigella 282 KK. Sampel ditetapkan sebanyak 10% (sepuluh persen) dari populasi (jumlah rumah tangga petani) sehingga diperoleh sampel masing untuk Desa Posi 27KK, Desa Tiromanda 44 KK, dan Desa Tana Rigella 28. Metode pengumpulan data dilakukan dengan cara angket (disampaikan kepada tiap-tiap kepala keluarga petani pada lokasi pengambilan sampel), observasi (pengamatan langsung dengan tujuan untuk memperoleh secara langsung dalam kaitannya dengan partisipasi masyarakat tani), wawancara, dan dokumentasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa masyarakat Kecamatan Bua memperoleh informasi dan pengetahuan tentang pengelolaan lahan dengan pola agroforestry lebih besar dari pengalaman keluarga kemudian ditambahkan oleh peran para penyuluh baik pertanian, kehutanan, maupun peternakan. Sebagian besar masyarakat kecamatan bua memahami bahwa tujuan pengelolaan lahan dengan pola agroforestry adalah untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan dijual untuk memenuhi kebutuhan lainnya yang tidak dapat diperoleh dari hasil panen. Sebagian kecil juga memahami pola agroforestry dapat memperbaiki lingkungan hidup. Masyarakat Kecamatan Bua dalam melalakuakan pengelolaan lahan pola agroforestry cenderung dengan model yang sama yaitu menanam campuran secara acak pada satu unit lahan dengan lebih dari 3 komoditi. Kata kunci : partisipasi masyarakat , perlindungan hutan, pola agroforestri

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kecamatan Bua merupakan kecamatan dengan peringkat ke 5 terluas di wilayah Kabupaten Luwu dengan luas wilayah 204,01 km2 atau 6,28% dari wilayah Kabupaten Luwu dan terdiri dari 13 desa, yaitu : Lare-Lare, Karang-karangan, Lengkong, Raja, Pammesakang, Puty, Bukit Harapan, Posi, Tiromanda, Tana Rigella, Sakti, Barowa, dan Padang Kalua. Berdasarkan letak geografis, Kecamatan Bua terletak sekitar 0 – 100 meter di atas permukaan laut dan penduduknya tersebar di seluruh ketinggian tempat termasuk daerah-daerah yang memiliki ketinggian dan kemiringan lereng yang sulit untuk dijangkau. Kecamatan Bua yang dilalui 2 sungai besar yaitu sungai Kandoa dan sungai Bua. Sungai Bua yang hulunya di desa Posi, Tiromanda, dan Desa Tana Rigella merupakan desa yang dilalui dan sering menerima dampak yang paling besar jika terjadi banjir, dan hilirnya di pantai desa Barowa. Terjadinya banjir tersebut ada hubungannya dengan aktivitas masyarakat di hulu dalam hal ini Desa Posi dan Tiromanda, dan sebagian juga dari masyarakat Tana Rigella yang memiliki areal kebun di hulu. Melalui penelitian ini akan dikaji seberapa besar informasi, pemahaman, dan aplikasi pengelolaan lahan dengan pola agroforestry untuk tiga desa (Desa Posi, Tiromanda, dan Tana Rigella) yang dianggap memegang andil terhadap lingkungan yang ada di Kecamatan Bua. B. Rumusan Masalah

Page 77: KAJIAN ALUR TATA NIAGA KAPULAGA (Amomum cardomum L

Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 555

Sistem agroforestry pada tingkat petani sebenarnya sudah cukup lama telah dilaksanakan meskipun dengan istilah yang berbeda, namun pelaksanaannya belum secara maksimal. Kurang maksimalnya pelaksanaan agroforestry tersebut disebabkan oleh banyak hal di antaranya masih kurangnya pemahaman petani tentang agroforetsry terutama dalam membedakan antara pertanian, perkebunan, dan kehutanan itu sendiri. Kendala lain adalah sulitnya para petani untuk mendapatkan bibit berkualitas, rendahnya pengetahuan dan keterampilan petani dalam memili dan menggunakan teknologi yang tepat untuk teknik agroforestry. C. Tujuan dan Kegunaan

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji beberapa hal diantaranya: 1. Pemahaman para petani tentang teknik agroferestry dalam mengelola lahan. 2. Keterlibatan masayarakat dalam mendukung dan mengaplikasikan teknik agroforestry dalam

mengelola lahannya. 3. Kemampuan masyarakat atau petani dalam mengukur dan mengevaluasi keberhasilan mengelola

lahan dengan teknik agroforestry. Penelitian ini akan memberikan manfaat baik secara ekologis, ekonomis, maupun secara

sosial. Secara ekologis, akan memperbaiki kondisi lahan yang telah mengalami kerusakan dan mempertahankan yang masih normal. Secara ekonomis, apabila masyarakat telah memahami dan melaksanakan teknik agroforestry tersebut maka tingkat pendapatan dan kesinambungan produksi dapat terpenuhi. Secara sosial, teknik agroforestry dapat membangun kembali kearifan lokal yang ada khususnya di lokasi penelitian. Dan akan menjadi sumber referensi bagi pengambil kebijakan dalam menetapkan suatu aturan pengelolaan lahan hutan dengan pola agroforestry.

II. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Kecamatan Bua Kabupaten Luwu dengan mengambil 3 desa sebagai titik penelitian yaitu: Desa Posi, Tiromanda, dan Desa Tana Rigella. Penelitian ini berlangsung sejak bulan April hingga Juni 2015. B. Populasi dan Sampel

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh Rumah Tangga Petani di Desa Posi, Desa Tiromanda, dan Desa Tana Rigella Kecamatan Bua Kabupaten Luwu. Jumlah Rumah Tangga Petani masing-masing desa adalah Desa Posi 267 KK, Desa Tiromanda 443 KK, dan Tana Rigella 282 KK. Berdasarkan populasi di atas maka sampel yang diambil sebagai responden dalam penelitian ini adalah 10% (sepuluh persen) dari populasi (jumlah Rumah Tangga Petani) sehingga diperoleh sampel masing-masing untuk Desa Posi 27 KK, Desa Tiromanda 44 KK, dan Desa Tana Rigella 28 KK. C. Metode Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan dengan maksud untuk memperoleh berbagai informasi yang dibutuhkan untuk menyelesaikan penyusunan laporan skripsi. Adapun metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode angket, observasi dan wawancara. D. Metode Analisis Data

Untuk mengetahui tingkat partisipasi responden, diberikan sebanyak 24 item pertanyaan pokok yang berkaitan dengan kegiatan agroforestry. Setiap pertanyaan mempunyai kemungkinan jawaban dengan skor 1 sampai skor 3, sehingga dari seluruh pertanyaan diperoleh total skor minimum 24 dan total skor maksimum 72. Berdasarkan total skor tersebut, tingkat partisipasi petani dalam kegiatan agroforestry diklasifikasikan menjadi 3 kelas, yaitu rendah, sedang, tinggi.

Page 78: KAJIAN ALUR TATA NIAGA KAPULAGA (Amomum cardomum L

556 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

Dari hasil pembagian nilai range = 48 (diperoleh dari pengurangan total skor maksimum dan skor minimum), jumlah kelas = 3, nilai kelas interval = 16, sehingga klasifikasi tingkat partisipasi dapat disusun sebagai berikut : a. Partisipasi rendah, jika responden memiliki total skor 24 sampai dengan 40 b. Partisipasi sedang, jika responden memiliki total skor 41 sampai dengan 57 c. Partisipasi tinggi, jika responden memiliki total skor 58 sampai dengan 72

Untuk mengetahui perbedaan tingkat partisipasi petani Desa Posi, Tiromanda, dan Tana Rigella yang dibandingkan, dipakai pendekatan nilai Chi Kuadrat dari bentuk tabel frekuensi yang digunakan, diperoleh nilai derajat kebebasan (d x b) sebagai berikut : d x b = (b-1) x (k-1) = (3-1) x (3-1) = 4

Berdasarkan nilai kebebasan = 4, nilai Chi Kuadrat sebagai batas teoritik atas dasar taraf signifikan perbedaan tingkat partisipasi petani tiga desa di Kecamatan Bua yang dibandingkan : taraf signifikasi 50 % = 3,357 taraf signifikasi 30 % = 4,878 taraf signifikasi 20 % = 5,989 taraf signifikasi 10 % = 7,779 taraf signifikasi 5 % = 9,488 taraf signifikasi 1 % = 13,277

Data yang diperoleh dari responden, kemudian ditabulasi untuk mengetahui kecenderungan arah dari partisipasi petani dengan menggunakan rumus Chi Kuadrat untuk mengetahui perbedaan tingkat partisipasi petani tiga desa di Kecamatan Bua.

ng.nk

Rumus : Fh = N

Keterangan : Fh = frekuensi yang diharapkan ng = jumlah golongan nk = jumlah kategori N = sampel

III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil 1. Partisipasi Petani Dalam Merencanakan Pengelolaan Lahan pola Agroforestry Tabel 1. Intensitas kelompok petani menghadiri pertemuan di Kecamatan Bua.

No.

Intensitas Kehadiran

Responden

Desa Posi Desa Tiromanda

Desa Tana Rigella

Jumlah

F % F % F % F %

1 0 kali 2 7,41 1 2,27 1 3,57 4 4,04

2 1- 3 kali 16 59,26 23 52,27 14 50,00 53 53,54

3 4 kali 9 22,22 20 45,45 13 46,43 42 42,42

Jumlah 27 100 44 100 28 100 99 100

Sumber : Data Primer setelah diolah, 2015.

Page 79: KAJIAN ALUR TATA NIAGA KAPULAGA (Amomum cardomum L

Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 557

2. Partisipasi Masyarakat Petani Dalam Melaksanakan Program-Program Agroforestry. Tabel 2. Partisipasi masyarakat petani Kecamatan Bua menurut jumlah Jenis komoditi yang

dibudidayakan.

No.

Jumlah Komoditi

Responden

Desa Posi Desa Tiromanda

Desa Tana Rigella

Jumlah

F % F % F % F %

1 1 - 2 6 22,22 4 9,09 2 11.11 12 12.12

2 3 - 4 17 62,96 25 56,82 11 39,29 53 53,53

3 5 -6 4 14,81 15 55,56 15 53,57 34 34,34

Jumlah 27 100 44 100 28 100 99 100

Sumber : Data Primer setelah diolah, 2015. Tabel 3. Cara kelompok petani melaksanakan pengolahan lahan pola agroforestry.

No.

Cara Pelaksanaan

Responden

Desa Posi Desa Tiromanda

Desa Tana Rigella

Jumlah

F % F % F % F %

1 Mengupahkan 2 7,41 1 2,27 1 3,57 4 4,04

2 Mengerjakan sendiri 16 59,26 23 52,27 14 50,00 53 53,54

3 Mengupahkan dan

nmengerjakan sendiri

9 22,22 20 45,45 13 46,43 42 42,42

Jumlah 27 100 44 100 28 100 99 100

Sumber : Data Primer setelah diolah, 2015. 3. Partisipasi Petani Dalam Menilai Dan Memanfaatkan Hasil Pertanian dari system agroforestry Tabel 4. Tujuan pemanfaatan hasil pengelolaan lahan pola agroforestry di Kecamatan Bua.

No.

Tujuan

Responden Desa Posi Desa

Tiromanda Desa Tana

Rigella Jumlah

F % F % F % F %

1 Mencukupi kebutuhan rumah

tangga

8 29,63 14 31,82 7 25,00 29 29,29

2 Mencukupi kebutuhan RT

dan

peningkatan ekonomi

10 37,04 15 34,09 13 46,43 38 38,38

3 Mencukupi kebutuhan RT,

peningkatan sosial ekonomi, perbaikan lingkungan

9 33,33 15 34,09 8 28,57 32 32,32

Jumlah 27 100 44 100 28 100 99 100

Sumber : Data Primer setelah diolah, 2015.

Page 80: KAJIAN ALUR TATA NIAGA KAPULAGA (Amomum cardomum L

558 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

4. Tingkat Partisipasi Masyarakat Kecamatan Bua Dalam Pengelolaan Lahan Pola Agroforestry Tabel 5. Tingkat partisipasi masyarakat tani di Kecamatan Bua dalam system pengelolan lahan pola

agroforestry

No.

Tingkat Partisipasi

Responden

Desa Posi Desa Tiromanda

Desa Tana Rigella

Jumlah

F % F % F % F %

1 Rendah 8 29,63 16 36,36 9 32,14 33 33,33

2 Sedang 11 40,74 19 43,18 10 35,72 40 40,40

3 Tinggi 8 29,63 9 20,45 9 32,14 26 26,26

Jumlah 27 100 44 100 28 100 99 100

Sumber : Data Primer setelah diolah, 2015. 5. Analisis Partisipasi Masyarakat Dalam Usaha Pengelolaan Lahan Pola Agroforestry Tabel 6. Tabel frekuensi yang diperoleh

No Tingkat Partisipasi

Responden

Jumlah Desa Posi Desa Tiromanda

Desa Tana Rigella

1 Rendah 8 16 9

33

2 Sedang 11 19 10

40

3 Tinggi 8 9 9

26

Jumlah 27 44 28 99

Sumber : Data Primer setelah diolah, 2015.

Mencari dan menyusun frekuensi yang diharapkan berdasarkan frekuensi yang diperoleh dari sampel, dengan rumus :

ng.nk Rumus : Fh =

N Keterangan : Fh = frekuensi yang diharapkan ng = jumlah golongan nk = jumlah kategori N = sampel

Berdasarkan rumus tersebut dapat diperoleh frekuensi yang diharapkan pada setiap partisipasi, pada tiga desa di Kecamatan Bua disajikan dalam Tabel 7. Tabel 7. Tabel frekuensi yang diharapkan

No Tingkat Partisipasi

Responden Jumlah Desa Posi Desa

Tiromanda Desa Tana

Rigella

Fh Fh Fh nk

1 Rendah 9,0 14,67 9,33

33

2 Sedang 10,90 17,78 11,31

40

Page 81: KAJIAN ALUR TATA NIAGA KAPULAGA (Amomum cardomum L

Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 559

No Tingkat Partisipasi

Responden Jumlah Desa Posi Desa

Tiromanda Desa Tana

Rigella

Fh Fh Fh nk

3 Tinggi 7,09 11,56 7,35

26

Jumlah (ng) 27 44 28 ∑N = 99

Sumber : Data Primer setelah diolah, 2015.

Mencari nilai Chi kuadrat berasrkan nilai Fo (frekuensi yang diperoleh), dan Fh (frekuensi yang diharapkan), melalui tabel. Lihat di tabel 8. Tabel 8. Tabel kerja mencari Chi Kuadrat

Kelompok petani/Tingkat partisipasi

Fo Fh Fo-Fh (Fo-Fh)2 (Fo-Fh) 2 : N

Posi : Rendah 8 9,0

-1,0

1,0

0,0101

Sedang 11 10,90

0,1

0,001 0,0001

Tinggi 8 7,09

0,91

0,828 0,0084

Jumlah 27 27 0 0,0186

Tiromanda : Rendah

16 14,67

1,33

1,7689

0,0178

Sedang 19 17,78

1,22 1,4884 0,0150

Tinggi 9 11,56 -2,56 6,5536 0,0662

Jumlah 44 44 0 0,0990

Tana Rigella:

Rendah 9 9,33 -0,33 0,1089 0,0011

Sedang 10 11,31

-1,31 1,7161 0,0173

Tinggi 9 7,35

1,65 2,7225 0,0275

Jumlah 28 20 0 0,0459

Total Jumlah 70 70 0 Chi-kuadrat 0,1635

B. Pembahasan

Partisipasi masyarakat di Kecamatan Bua dalam usaha pengelolaan lahan pola agroforestry tercermin pada perbedaan dan bentuk persebaran tingkat partisipasinya. Perbedaan dan bentuk persebaran tingkat partisipasi ditunjukkan oleh proporsinya. Di Desa Posi, proporsi tertinggi pada tingkat partisipasi sedang, yaitu 40,74 %, dan terendah pada tingkat partisipasi rendah dan tinggi, yaitu 29,63 %. Di Desa Tiromanda proporsi tertinggi pada tingkat partisipasi sedang, yaitu 43,18 %, dan terendah pada tingkat partisipasi tinggi, yaitu 20,45 %. Di Desa Tana Rigella, proporsi tertinggi pada tingkat partisipasi sedang, yaitu 35,72 %,dan terendah pada tingkat partisipasi rendah dan tinggi, yaitu 32,14 %. (lihat Tabel 17). Berdasarkan proporsi tingkat partisipasi di tiga desa pengamatan menunjukkan tidak ada perbedaan. Dimana ketiga lokasi memberikan hasil yang sama yaitu proporsi tertinggi terdapat pada tingkat partisipasi sedang. Proporsi masing-masing, Desa Posi 40,74%, Desa Tiromanda 43,18%, dan Desa Tana Rigella 32,14%.

Page 82: KAJIAN ALUR TATA NIAGA KAPULAGA (Amomum cardomum L

560 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

Hasil analisis tingkat perbedaan besarnya partisipasi di tiga desa sebagai lokasi pengamatan yang mewakili Kecamatan Bua ditunjukkan dengan hasil perhitungan Nilai Chi Kuadrat. Diperoleh Nilai Chi Kuadrat sebesar 0,1635 yang berarti nilai tersebut lebih kecil dari nilai Chi Kuadrat teoritik atas dasar taraf signifikan 50 %, yaitu 3,357. Hal itu menunjukkan, partisipasi masyarakat tani di Kecamatan Bua (Desa Posi, Tiromanda, dan Tana Rigella) adalah sama. Nilai Chi Kuadrat tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar petani yang ada di wilayah Kecamatan Bua mengelola lahannya dengan pola agroforestry. Dan model yang diterapkan juga cenderung sama yaitu dengan sistem campuran antara tanaman pertanian, perkebunan, kehutanan, dan peternakan. Kondisi tersebut dapat disebabkan oleh pengaruh faktor sosial atau kultur, serta tingkat kebutuhan masyarakat Kecamatan Bua yang cenderung sama.

IV. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan Dari pembahasan hasil penelitian, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: 1. Masyarakat Kecamatan Bua memperoleh informasi dan pengetahuan tentang pengelolaan lahan

dengan pola agroforestry lebih besar dari pengalaman keluarga kemudian ditambahkan oleh peran para penyuluh baik pertanian, kehutanan, maupun peternakan.

2. Sebagian besar masyarakat Kecamatan Bua memahami bahwa tujuan pengelolaan lahan dengan pola agroforestry adalah untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan dijual untuk memenuhi kebutuhan lainnya yang tidak dapat diperoleh dari hasil panen. Sebagian kecil juga memahami pola agroforestry dapat memperbaiki lingkungan hidup.

3. Masyarakat Kecamatan Bua dalam melakukan pengelolaan lahan pola agroforestry cenderung dengan model yang sama yaitu menanam campuran secara acak pada satu unit lahan dengan lebih dari 3 komoditi.

4. Hasil analisis tingkat perbedaan besarnya partisipasi di tiga desa sebagai lokasi pengamatan yang mewakili Kecamatan Bua ditunjukkan dengan hasil perhitungan nilai chi kuadrat, menunjukkan tingkat partisipasi yang sama.

B. Saran

Berdasarkan hasil penelitian di atas, dimana masyarakat pada umumnya telah menerapkan system agroforestry dalam pengelolaan lahannya hanya saja masih sangat tradisional yaitu warisan dari keluarga sebelumnya yang dilakukan dengan cara yang sangat sederhana sehingga hasil yang diberikan belum mampu menopang kehidupan menjadi lebih layak. Untuk itu demi kemajuan sistem pertanian di Kecamatan Bua masih sangat perlu peningkatan pengetahuan dan keterampilan para petani. Peran para penyuluh dalam hal peningkatan pengetahuan dan keterampilan tersebut sangat diharapkan. Peran pemerintah dalam penyediaan modal dan asupan teknologi perlu diperhatikan dan didistribusi secara merata. Kontrol dari semua pihak sangat membantu dalam upaya peningkatan taraf kehidupan masyarakat dan kelestarian lingkungan.

DAFTAR PUSTAKA

Arsyad Sitanala, 1989. Konservasi Tanah dan Air. Bogor : IPB A.G. Kartasapoetra, Ir, 1991. Teknologi Konservasi Tanah Dan Air. Jakarta : Rineka Cipta. Anonim, 2001. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka. Anonim, 1997. Berbagai Teknik Rehabilitasi Lahan Dan Konservasi Tanah Sebagai Upaya

Pengendalian Erosi Dan Sedimentasi. Semarang : Balai Rehabilitasi Lahan Dan Konservasi Tanah Wilayah V.

Page 83: KAJIAN ALUR TATA NIAGA KAPULAGA (Amomum cardomum L

Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 561

E. Soepardja. 1989. Penanganan Lahan Kritis Dari Masa Ke Masa. Bandung : Angkasa. Hadi, Sutrisno. 1986. Statistik Jilid 2. Yogyakarta : Yayasan Penerbitan Fakultas Psikologi UGM. http://lateral.4t.com/custom.html. http:// rudict. 250x.com/sem 1 012/maria montolalu.htm. ©2001 Maria Montolalu Usahatani

Konservasi Untuk pelestarian Sumberdaya Alam. http:// menkslek. Tripod.com. Tantangan Model Partisipasi. 2004. http://www.lablink.or.id/Agro/agr-sust.htm. Pertanian berkelanjutan. 2001. http://www.balaidesa.or.id/prapar.htm. Partisipasi manipulative. http://www.w3.org/TR/REC-html40. ©2003 Agus Zaenal. Penilaian Secara Ekonomi Konservasi Dan

Erosi Tanah. Jayadinata, T. Johara. 1999. Tata Guna Tanah Dalam Pedesaan, Perkotaan, Dan Wilayah, Bandung :

ITB. Moh. Tika Pabundu., 1997. Metode Penelitian Geografi. Jakarta : Gramedia. Putro, Bambang E. 1988. Skripsi : Partisipasi Petani Anggota Subak Abian Dalam Kegiatan Konservasi

Tanah Di Kecamatan Pupuan Kabupaten Tabanan. Yogyakarta : UGM. Rencana Detail Tata Ruang Kota Ibu Kota Kecamatan Undaan Kabupaten Kudus Tahun 1996-2006.

Pemda : Kudus. Sarief, Saifudin E. 1986. Konservasi tanah dan Air. Bandung : CV. Pustaka Buana. Seta, Ananto Kusuma. 1987. Konservasi Sumber Daya Tanah Dan Air. Jakarta : Kalam Mulia. Suhandini Purwadi, Purwadi. 1991. Karakteristik Iklim Indonesia. Semarang : IKIP Semarang Press. Susanti, Kesi. 2004. Skripsi : Partisipasi Petani Dalam Mengelola Air Irigasi Brondong Untuk

Kebutuhan Padi Sawah Di Kecamatan Kesesi Kabupaten Pekalongan. Semarang : UNNES. Sosialisasi Perda No. 8 tahun 2003 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Kudus.

Page 84: KAJIAN ALUR TATA NIAGA KAPULAGA (Amomum cardomum L

562 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

KUALITAS, KUANTITAS DAN PEMASARAN KOPI ARABIKA DARI KEBUN AGROFORESTRI DI KABUPATEN BANTAENG, SULAWESI SELATAN

Syarfiah Zainuddin1, Endri Martini1, Aulia Perdana1, James M. Roshetko1

World Agroforestry Centre (ICRAF), Jl. CIFOR Situgede, Sindang barang, Bogor, 16115 Email korespondensi : [email protected]

ABSTRAK Kopi arabika merupakan komoditas ekspor yang menyumbangkan devisa bagi negara. Di dunia, kopi arabika Indonesia sudah cukup punya nama, akan tetapi pengelolaannya masih terbatas terutama karena sekitar 96% kopi arabika Indonesia diproduksi oleh petani agroforest skala kecil. Peningkatan kualitas, kuantitas dan pemasaran kopi dapat meningkatkan penghidupan petani penghasil kopi. Studi ini dilakukan untuk mengetahui kondisi sekarang dan potensi perbaikan kualitas, kuantitas dan pemasaran kopi para petani agroforestri di Kabupaten Bantaeng, Sulawesi Selatan. Data untuk studi ini dikumpulkan melalui wawancara dengan 30 petani binaan, 10 orang pedagang, dan perwakilan Dinas Perindustrian dan Perdagangan. Informasi yang dikumpulkan adalah perubahan kuantitas, kualitas dan pemasaran kopi setelah 2 tahun pendampingan oleh pemerintah daerah dan lembaga swasta. Hasil menunjukkan bahwa pendampingan yang dilakukan oleh pemerintah daerah bekerjasama dengan lembaga swasta dapat meningkatkan kualitas kopi dari yang sebelumnya panen hijau menjadi panen merah, dan melakukan perbaikan paska panen yang menghasilkan kopi dengan kualitas lebih baik dan harga lebih tinggi. Tapi dari segi kuantitas belum mencukupi karena kopi belum menjadi komoditas utama yang diprioritaskan di tingkat petani, terutama karena harganya yang fluktuatif dan lebih rendah dari komoditas agroforest lainnya seperti kakao dan cengkeh, sehingga petani tidak secara intensif mengelola kebunnya. Dari sisi pemasaran, perlu adanya pemutusan rantai penjualan kopi dengan menghubungkan petani langsung dengan pasarnya di Makassar dengan melakukan pemasaran berkelompok. Dukungan dari pemerintah daerah diperlukan untuk memastikan adanya pendampingan yang intensif bagi para petani kopi arabika di Bantaeng dalam meningkatkan kualitas dan kuantitas kopinya agar dapat bersaing dengan kopi dari daerah lainnya misalnya kopi Toraja. Kata kunci: panen merah, harga, AgFor, pendampingan pemerintah

I. PENDAHULUAN

Kopi arabika merupakan komoditas ekspor yang menyumbangkan devisa bagi negara. Di dunia, kopi arabika Indonesia sudah cukup punya nama, akan tetapi pengelolaannya masih terbatas terutama karena sekitar 96% kopi arabika Indonesia diproduksi oleh petani agroforest skala kecil (AEKI, 2014) dengan pengelolaan ekstensif. Kebutuhan dunia akan kopi arabika yang terus meningkat seharusnya dapat meningkatkan potensi peningkatan penghidupan petani penghasil kopi melalui peningkatan kualitas, kuantitas dan pemasaran kopi (Kustiari, 2007).

Sulawesi Selatan termasuk salah satu provinsi di Indonesia yang menghasilkan kopi arabika dalam jumlah besar. Di Bantaeng, salah satu kabupaten di Sulawesi Selatan, kopi arabika termasuk ke dalam salah satu komoditas unggulan perkebunan yang berkontribusi terhadap penghidupan masyarakatnya. Secara umum, berdasarkan data dari kementerian pertanian di tahun 2014, di Bantaeng terdapat sekitar 970 ha kebun agroforest kopi arabika, dengan produksi 420 ton kopi beras per tahun. Rendahnya produksi kopi di Bantaeng terkendala dari segi harganya yang rendah sehingga kurang memotivasi petani untuk mengelola kebunnya, dan teknik pengelolaan paska panennya yang masih sederhana (Khususiyah et al., 2012).

Pada tingkat rumah tangga, produksi kopi per ha di Bantaeng sekitar 778 kg/ha/thn untuk kebun monokultur dan 313 kg/ha/thn untuk kebun agroforest (Rahmanulloh et al., 2012). Jika dibandingkan dengan tipe penggunaan lahan lainnya di Bantaeng, kebun campur kopi memiliki profitabilitas yang terendah, ini yang menyebabkan banyak petani di Bantaeng mulai beralih ke jenis

Page 85: KAJIAN ALUR TATA NIAGA KAPULAGA (Amomum cardomum L

Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 563

tanaman lain untuk penghidupannya. Rendahnya harga juga menyebabkan petani hampir tidak memupuk kebunnya, padahal produksi kebun masih bisa meningkat jika petani memupuk dan memelihara pohon kopi di kebunnya.

Dari sisi kondisi lingkungan di Bantaeng, sebenarnya sangat mendukung untuk produksi kopi arabika dengan jumlah dan mutu yang lebih baik dari yang saat ini dihasilkan di Bantaeng. Akan tetapi kendala-kendala yang saat ini ada di Bantaeng menjadikan komoditas kopi semakin tidak diminati oleh petani. Oleh karena itu studi ini dilakukan untuk untuk mengetahui kondisi sekarang dan potensi perbaikan kualitas, kuantitas dan pemasaran kopi para petani agroforestri di Bantaeng. Harapannya hasil penelitian ini bisa dijadikan acuan bagi pemerintah daerah dalam merancan kegiatan-kegiatan yang dapat meningkatkan produksi kopi arabika di daerah Bantaeng dan juga meningkatkan pendapatan petani kopi arabika petani di Bantaeng.

II. METODE PENGAMBILAN DATA

Penelitian ini dilakukan pada bulan Maret 2015 hingga Mei 2015 di 4 desa di Kabupaten

Bantaeng, yaitu Desa Pattaneteang, Desa Pa’bumbungan, Desa Bontotappalang dan Kelurahan Campaga. Pemilihan desa ditentukan berdasarkan desa yang paling banyak memproduksi kopi arabika dan merupakan binaan ICRAF melalui program AgFor.

Data untuk studi ini dikumpulkan melalui wawancara dengan 30 petani binaan ICRAF-AgFor, 10 orang pedagang, dan perwakilan Dinas Perindustrian dan Perdagangan. Informasi yang dikumpulkan adalah perubahan kuantitas (persentase perubahan jumlah produksi kopi), kualitas (jumlah responden yang petik peco, pengolahan paska panen) dan pemasaran kopi (jalur pemasaran dan harga yang diterima) setelah 2 tahun pendampingan hasil kerjasama antara pemerintah daerah dan lembaga swasta (ICRAF melalui program AgFor). Data dianalisa dengan deskriptif statistik dan kualitatif.

Pendampingan yang dilakukan diantaranya mengajarkan tentang cara budidaya kopi, pemanenan kopi, paska panen kopi (penjemuran hingga penggorengan kopi) dan juga pemasaran kopi. Pendampingan dilakukan dengan cara melakukan kunjungan ke petani setiap 2 minggu dan memberikan pelatihan melalui sekolah lapang pengelolaan kebun, mengirim beberapa petani ke pusat penelitian kopi dan kakao di Jember untuk belajar tentang pengolahan paska panen kopi, dan menghubungkan serta memfasilitasi penjualan kopi petani dengan pelaku pasar di Makassar.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Kondisi Secara Umum tentang Produksi Kopi di Bantaeng Produksi kopi di Bantaeng rata-rata sekitar 300 liter peco kering (depulped coffee)/ha/tahun,

dengan rata-rata luas lahan perkebun kopi 0,5 ha. Dengan total luas kebun kopi di Bantaeng sekitar 400 ha, sehingga Bantaeng memiliki potensi produksi kopi arabika per tahun sebanyak 120 ton peco kering kopi. Rendahnya produksi kopi di Bantaeng karena beberapa hal yang kurang diperhatikan petani dalam budidaya, maupun pengelolaan paska panen kopi. Kurangnya perhatian petani disebabkan oleh kurangnya penyuluhan tentang kopi diberikan kepada petani sehingga pengetahuannya tentang cara pengelolaan kopi menjadi minim, selain itu juga karena harga kopi yang memiliki fluktuasi yang cukup tinggi dengan nilai yang cukup rendah, terkadang dapat mencapai sekitar Rp 2000/kg peco.

Kopi arabika yang dipelihara petani di Bantaeng baru ditanam sekitaran 1980-an ketika ada program bantuan dari pemerintah. Sebelumnya kopi yang dikembangkan di Bantaeng adalah kopi robusta, tapi karena harga kopi robusta yang rendah dan juga produksinya yang lebih rendah dari kopi arabika, maka kopi robusta hanya sedikit yang masih dipelihara untuk keperluan keluarga sehari-hari.

Petani di Bantaeng rata-rata menanam kopi arabika dari bibit kopi cabutan yang diperoleh di sekitar indukannya. Walaupun di beberapa lokasi seperti di Pabumbungan, ada bantuan dari

Page 86: KAJIAN ALUR TATA NIAGA KAPULAGA (Amomum cardomum L

564 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

pemerintah daerah untuk pengembangan kopi arabika berupa bibit unggul yang didatangkan dari Pusat Penelitian Kopi dan Kakao di Jember, Jawa Timur.

Untuk pemeliharaannya, petani memupuk kopinya sekali setahun, dan memangkas berat kopinya setelah panen dilakukan (satu kali setahun). Adapun pangkas ringan dilakukan tiap kali dibutuhkan yakni memangkas ranting yang mereka anggap tidak produktif lagi misalnya tunas air.

Panen kopi dilakukan oleh petani satu kali dalam setahun, yaitu antara April hingga Juni. Pemanenan umumnya dilakukan dengan sistem dipetik yang ada yang sudah matang saja, tanpa membedakan yang sudah merah ataupun yang masih hijau. Cara ini dilakukan karena lebih cepat pengerjaannya. Setelah itu kopi yang sudah dipanen dibawa ke rumah untuk dikupas kulitnya dengan alat depulper, setelah kulitnya dikupas biasanya kopi direndam satu malam, kemudian besoknya dicuci sampai bersih gunanya membersihkan sisa lendir yang masih menempel di kulit tanduk kopi di dalam ember atau bak. Setelah itu, kopi dijemur selama 3 jam jika cuaca memungkinkan, apabila tidak bisa lebih dari 3 jam sebelum dijual petani menyortir kopi dengan cara memilih kopi yang bagus dan cacat setelah itu siap untuk dijual dengan nama kopi peco. Karena tidak memisahkan kopi merah dengan kopi hijau, sehingga ketika sudah kering banyak biji yang cacat, rusak dan bahkan berjamur. Hal ini menyebabkan kualitas kopi berkurang dari sisi aroma dan rasanya.

Sementara beberapa petani yang memetik campur ada juga yang memisahkan buah merah dengan hijau, buah yang hijau disimpan dahulu dalam karung selama 3 hari sebelum diolah untuk dikupas kulitnya dan dijemur. Tapi tidak terlalu banyak petani yang melakukan ini karena dinilai banyak menghabiskan waktu dengan menyortir buah berdasarkan kematangannya.

Beberapa istilah yang lazim digunakan di Bantaeng terkait dengan produk kopi adalah kopi peco, kopi beras dan kopi bubuk. Kopi peco adalah kopi yang baru diolah satu kali melalui proses depulping atau pengupasan daging buah. Setelah menjadi kopi peco biasanya akan dijemur lagi untuk kemudian diolah dengan mesin untuk memisahkan kulit ari biji kopi dengan bji kopinya. Produk kopi yang sudah dikupas kulit ari bijinya dinamakan kopi beras. Sedangkan kopi bubuk adalah kopi beras yang sudah digoreng dan ditumbuk menjadi bubuk dan siap untuk disajikan. B. Hasil Pendampingan Pemasaran Kopi yang Dilakukan di Kabupaten Bantaeng

Secara kuantitas, hanya 17% dari total responden yang jumlah hasil kopinya meningkat dengan melakukan perbaikan pemangkasan pohon kopi yang produktif dengan umur lebih dari 10 tahun. Kopi yang dihasilkan meningkat sekitar 300-600 liter peco kopi/ ha. Dan hanya ada 1 orang yang mengaku menerapkan pemupukan seperti yang disarankan dan mendapatkan peningkatan hasil sebanyak 200 liter peco kopi/ha. Tidak banyaknya responden yang meningkat hasil kopinya terutama karena responden tidak terlalu memfokuskan pemeliharaan kebunnya terhadap tanaman kopi, terutama karena harga kopi yang fluktuatif dan cenderung lebih rendah jika dibandingkan tanaman kakao ataupun cengkeh. Untuk pengelolaan paska panen, setelah 2 tahun pendampingan, sekitar 10% dari responden masih menjual gelondongan, sedangkan 83% lainnya sudah mulai menjual peco, dan ada sekitar 7% yang menjual dalam bentuk beras. Sebelum pendampingan dilakukan biasanya petani menjual gelondongan. Motivasi petani diantaranya karena harga yang lebih menguntungkan jika mereka menjual peco, walaupun secara waktu akan lebih banyak tenaga kerja dikeluarkan jika membuat kopi peco. Harga yang diterima oleh petani jika menjual peco adalah lebih mahal sekitar 50% dari ketika mereka menjual gelondongan. Perbandingan harga yang diterima oleh petani jika menjual gelondongan sekitar Rp 2000/liter, jika menjual peco sekitar Rp 9500/liter, dan jika menjual beras sekitar Rp 14000/kg. Sekitar 46,7% dari petani binaan sudah mulai memetik kopi yang merah, walaupun masih ada sekitar 53,3% yang masih memetik campur. Petani yang memetik merah karena mereka juga yang biasanya mengolah kopinya menjadi peco, dan menurut mereka jika tidak dipisahkan antara yang merah dan hijau maka kualitas kopinya akan mudah rusak sehingga pedagang akan menghargainya dengan harga yang termurah. Petani yang masih mempraktekkan petik campur rata-

Page 87: KAJIAN ALUR TATA NIAGA KAPULAGA (Amomum cardomum L

Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 565

rata karena kebun kopinya cukup luas sehingga tidak dapat melakukan penyortiran, dan biasanya mereka juga adalah yang menjual kopi dalam bentuk gelondongan ke pedagang. Pengelolaan paska panen kopi yang dipilih oleh petani hanya sampai pada produksi kopi beras. Untuk produksi kopi bubuk belum dilakukan diantaranya karena pasarnya belum jelas dan juga peralatan yang diperlukan untuk menghasilkan kopi bubuk masih belum tersedia di desa-desa, dan harga peralatannya cukup mahal jika harus dibeli. Setelah 2 tahun pendampingan oleh AgFor bekerja sama dengan pemerintah daerah Kabupaten Bantaeng dan perusahaan kopi di Makassar, terjadi perubahan rantai pemasaran yang dulunya petani menjual produk kopi arabika dalam bentuk peco ke pedagang pengumpul desa dengan sistem pembayaran setelah panen berakhir dan bahkan setahun setelah panen petani baru menerima uang hasil jual kopi, sekarang petani petani mulai menjual langsung kopinya ke pedagang besar dengan harga yang lebih tinggi dari harga yang ada di desa. Meskipun ketika membawa kopi ke pedagang di provinsi, petani harus mengeluarkan modal untuk biaya transportasi, oleh karena itu biasanya hal ini hanya dilakukan oleh petani-petani binaan AgFor yang memiliki modal tinggi. Bagusnya petani binaan AgFor yang bermodal tinggi ini juga membantu petani binaan AgFor lainnya yang berada dalam satu kelompok belajar AgFor untuk menjual hasil kopinya ke pedagang di Makassar dengan syarat hanya komoditas yang dipetik merah dan memiliki kualitas yang baik. C. Potensi Pengembangan Produksi Kopi Arabika di Bantaeng

Berdasarkan hasil diskusi dengan perwakilan pemerintah daerah dan pedagang kopi di Bantaeng, beberapa tantangan dalam produksi di Bantaeng terkait dengan: 1) Mutu kopi yang masih rendah sebagai akibat dari belum dilakukannya teknik budidaya dan paska panen yang dianjurkan; dan 2) Praktek ijon masih banyak dijumpai dimana kebanyakan petani biasanya sebelum panen sudah mengambil uang dari pedagang, hal ini mempersulit pemutusan rantai pemasaran untuk mendapatkan harga yang lebih baik. Berbeda dengan perspektif dari petani yang mengetengahkan pentingnya harga kopi untuk memotivasi mereka melakukan teknik budidaya dan paska panen kopi yang baik, para pedagang dan perwakilan pemerintah daerah berpendapat bahwa harga kopi tidak termasuk kendala untuk mendukung produktivitas kebun kopi, yang paling utama adalah kualitas kopinya. Jika kualitasnya baik, pasti banyak pedagang yang berani bayar mahal untuk mendapatkan kopi berkualitas tersebut.

Kerjasama antara Pemerintah Daerah Bantaeng dengan pihak swasta untuk pemasaran kopi arabika belum dilakukan karena belum ada pengusaha ataupun pedagang yang berani menanamkan modalnya untuk pemasaran kopi di Bantaeng. Kebanyakan pedagang lebih banyak berinvestasi untuk penjualan kopi Toraja yang sudah memiliki nama di dunia dan juga digolongkan sebagai salah satu dari 8 kopi specialty yang ada di Indonesia.

Berdasarkan test pasar yang sudah dilakukan oleh tim ICRAF AgFor dalam memasarkan kopi Bantaeng, banyak konsumen yang tertarik dengan rasa kopi arabika Bantaeng yang dinilai ringan dan memiliki rasa yang khas dengan rasa rempah. Dari segi kualitas, kopi arabika Bantaeng yang diproses dengan teknik yang dipelajari dari Pusat Penelitian Kopi dan Kakao, memiliki kualitas lolos persyaratan SNI. Sehingga pendampingan pada petani kopi arabika perlu dilakukan secara intensif melalui kerjasama antara pihak pemerintah daerah dengan pihak-pihak terkait agar kopi arabika Bantaeng dapat dipasarkan secara luas.

IV. KESIMPULAN DAN SARAN

Penelitian ini menunjukkan bahwa perubahan kuantitas, kualitas dan jalur pemasaran dapat terjadi dengan adanya pendampingan yang intensif yang dilakukan oleh pemerintah daerah dengan pihak-pihak lain yang relevan. Walaupun untuk pengembangan di Bantaeng yang kondisi alamnya memungkinkan untuk melakukan penanaman jenis-jenis tanaman selain kopi, harga kopi yang kalah bersaing dengan jenis tanaman lain seperti kakao dan cengkeh menyebabkan kopi tidak menjadi tanaman yang diprioritaskan. Pada daerah-daerah yang berketinggian tempat di atas 1000 mdpl,

Page 88: KAJIAN ALUR TATA NIAGA KAPULAGA (Amomum cardomum L

566 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

maka kopi arabika termasuk komoditas yang paling baik untuk ditanam dan dikembangkan. Jika harganya baik, maka petani akan mau menginvestasikan waktunya untuk melakukan perbaikan produksi dan kualitas, yang tentunya akan berdampak pada perbaikan harga yang diterimanya. Jalur pemasaran kopi arabika yang terlalu panjang dapat diputus dengan menghubungkan petani langsung ke pedagang besar atau mencoba merubah sistem ijon yang umum ada di antara petani dengan pedagang kopi. Dukungan dari pemerintah daerah diperlukan untuk memastikan adanya pendampingan yang intensif bagi para petani kopi arabika di Bantaeng dalam meningkatkan kualitas dan kuantitas kopinya agar dapat bersaing dengan kopi dari daerah lainnya misalnya kopi Toraja.

UCAPAN TERIMA KASIH

Penelitian ini dilakukan atas dukungan dari program Agroforestry and Forestry: Linking Knowledge to Action (AgFor) project (Contribution Arrangement No.7056890) yang didanai oleh Department of Foreign Affairs, Trade, and Development (DFATD) Canada. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada para petani, pedagang dan pemerintah daerah di Kabupaten Bantaeng, Sulawesi Selatan atas kerjasamanya dalam proses pengumpulan data.

DAFTAR PUSTAKA

BPS. 2012. Statistik Daerah Kabupaten Bantaeng. Bantaeng, Indonesia: Badan Pusat Statistik Kabupaten Bantaeng.

Khususiyah N, Janudianto, Isnurdiansyah, Suyanto and Roshetko JM .2012. Agroforestry and Forestry

in Sulawesi series: Livelihood strategies and land use system dynamics in South Sulawesi. Working paper 155. Bogor, Indonesia: World Agroforestry Centre (ICRAF) Southeast Asia Regional Program. 47p. DOI: 10.5716/WP12054.PDF.

Kustiari, R. 2007. Perkembangan pasar kopi dunia dan implikasinya bagi Indonesia. Forum Penelitian

Agro Ekonomi 25(1): 43-55. Perdana A, Roshetko JM. 2012. Agroforestry and Forestry in Sulawesi series: Rapid market appraisal

of agricultural, plantation and forestry commodities in South and Southeast Sulawesi. Working paper 160. Bogor, Indonesia: World Agroforestry Centre (ICRAF) Southeast Asia Regional Program. 17p. DOI: 10.5716/WP12059.PDF.

Rahmanulloh A, Sofiyudin M, Suyanto. 2012. Agroforestry and Forestry in Sulawesi series:

Profitability and land-use systems in South and Southeast Sulawesi. Working paper 157. Bogor, Indonesia: World Agroforestry Centre (ICRAF) Southeast Asia Regional Program. 16p. DOI: 10.5716/WP12056.PDF.

Page 89: KAJIAN ALUR TATA NIAGA KAPULAGA (Amomum cardomum L

Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 567

REVITALISASI BALAI PENYULUHAN PERTANIAN MELALUI PUSAT INFORMASI AGROFORESTRI DI TINGKAT KECAMATAN: POTENSI DAN TANTANGAN

Endri Martini1 dan James M. Roshetko1

World Agroforestry Centre (ICRAF), Jl. CIFOR Situgede, Sindang barang, Bogor, 16115 Email korespondensi : [email protected]

ABSTRAK

Pusat informasi agroforestri dibutuhkan terutama di daerah dimana agroforestri menjadi sumber pendapatan utama masyarakatnya, sebagai tempat untuk mencari informasi terbaru tentang penelitian-penelitian di bidang agroforestri yang dapat meningkatkan produktivitas kebun agroforestri. Lemahnya komunikasi antara peneliti, penyuluh dan petani bisa dijembatani melalui adanya pusat informasi agroforestri. Secara kelembagaan, pada sistem penyuluhan nasional, Balai Penyuluhan Pertanian (BPP) atau Balai Penyuluhan Pertanian Perikanan dan Kehutanan (BP3K) yang bekerja di tingkat kecamatan memiliki potensi sebagai pusat informasi agroforestri melalui revitalisasi fungsinya sebagai media bagi petani dan penyuluh untuk berbagi informasi. Oleh karena itu, studi ini dilakukan untuk melihat potensi dan tantangan pengembangan BPP atau BP3K menjadi sebagai pusat informasi agroforestri. Studi dilakukan melalui wawancara dan focus group discussion (FGD) dengan stakeholder kunci di tingkat kabupaten dari pemerintahan dan pihak swasta, dengan mengambil contoh kondisi di Kabupaten Bantaeng, Sulawesi Selatan. SWOT analysis dilakukan untuk merangkum persepsi yang diberikan oleh masing-masing stakeholder kunci tersebut. Hasil SWOT analisa kemudian dipadukan dengan hasil studi pustaka. Hasil analisa menunjukkan bahwa pusat informasi agroforestri memiliki potensi untuk dibangun di BPP terutama melalui perbaikan sistem perpustakaan yang ada di BPP. Sistem perpustakaan tersebut baiknya terhubung secara online dengan sistem perpustakaan pusat penelitian agroforestri untuk updating informasinya. Tantangan anggaran dan keberlanjutan pusat informasi agroforestri ini dapat dikurangi dengan melakukan kerjasama antara pemerintah daerah, lembaga penelitian agroforestri dan pihak swasta. Paper ini menjelaskan lebih lanjut tentang rekomendasi bentuk pusat informasi agroforestri yang mungkin dibentuk di BPP. Kata kunci: lembaga penelitian agroforestri, pihak swasta, Bantaeng, perpustakaan

I. PENDAHULUAN

Ketersediaan informasi pertanian yang sangat terbatas merupakan salah satu sebab adanya kecenderungan penurunan aktivitas pembangunan pertanian (Mayrowani, 2012). Akses petani terhadap informasi pertanian maupun agroforestri di Indonesia dapat dikatakan masih minim dan belum merata. Petani di daerah Jawa cenderung memiliki akses terhadap informasi yang lebih baik dengan interaksi antar penyuluh dan petani yang juga baik (Andriaty dan Setyorini, 2012), dibandingkan dengan daerah Indonesia di pulau lainnya, khususnya Indonesia bagian timur seperti Sulawesi. Sehingga untuk petani di Sulawesi misalnya, mereka cenderung mengandalkan diskusi dengan petani lain yang dinilai lebih sukses untuk pemenuhan kebutuhan akan informasi pertanian maupun agroforestri (Martini et al., 2014).

Informasi yang terbaru dan terpercaya diperlukan oleh petani untuk mengatasi permasalahan yang mereka hadapi terkait dengan peningkatan produktivitas kebunnya, juga dalam menghasilkan inovasi-inovasi teknologi yang dapat menekan biaya produksi yang harus mereka keluarkan. Saat ini sumber informasi yang paling mudah dijangkau adalah petani sukses di desa masing-masing, penyuluh pertanian dan media massa. Untuk penyuluh pertanian, tidak semua petani dapat dengan mudah menemui penyuluh terutama karena jumlahnya yang masih kurang, sehingga mengurangi intensitas pertemuan antara penyuluh dengan petani.

Pusat informasi pertanian ataupun agroforestri dibutuhkan terutama di daerah dimana agroforestri menjadi sumber pendapatan utama masyarakatnya, sebagai tempat untuk mencari informasi terbaru tentang hasil-hasil penelitian di bidang agroforestri yang dapat meningkatkan

Page 90: KAJIAN ALUR TATA NIAGA KAPULAGA (Amomum cardomum L

568 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

produktivitas kebun agroforestri. Lemahnya komunikasi antara peneliti, penyuluh dan petani bisa dijembatani melalui adanya pusat informasi agroforestri (Takoutsing et al., 2014).

Secara kelembagaan, pada sistem penyuluhan nasional Indonesia, Balai Penyuluhan Pertanian (BPP) atau Balai Penyuluhan Pertanian Perikanan dan Kehutanan (BP3K) yang bekerja di tingkat kecamatan memiliki potensi sebagai pusat informasi agroforestri melalui revitalisasi fungsinya sebagai wadah bagi petani dan penyuluh untuk berbagi informasi. Dalam UU No. 16/2006, BP3K diperankan sebagai pos simpul koordinasi, sinkronisasi program dan pelaksanaan kegiatan pembangunan pertanian di tingkat kecamatan, serta sekaligus berperan sebagai pusat data dan informasi bagi mitra terkait. BP3K berfungsi sebagai pelaksana penyuluhan sejak tahun 1975, tapi sempat mengalami penurunan fungsi di tahun 1991, sehingga saat ini fungsinya lebih kepada instalasi penyuluhan saja.

Setiawan et al. (2009) menyarankan bahwa perlu ada peningkatan peran BPP dalam penyuluhan pertanian saat ini, diantaranya melalui fungsionalisasi Badan Penyuluhan dan BPP sebagai sekretariat bersama penyuluh dan petani; menjadikan program CSR pihak swasta sebagai perekat, stimuli dan program penyuluhan bersama; mengaktifkan musrenbang tingkat kecamatan dan desa sebagai forum koordinasi pengelolaan pembangunan pertanian; meningkatkan inovasi, demplot, diskusi, pelatihan dan penelitian partisipatif di tingkat desa.

Selain BP3K, di Indonesia, sejak tahun 1983 ada juga pusat informasi pertanian yang dikelola secara swadaya oleh petani baik secara perorangan maupun berkelompok dengan nama P4S (Pusat Pelatihan Pertanian dan Perdesaan Swadaya). Secara konsep, P4S ini mengetengahkan azas swadaya, walaupun dalam pelaksanaannya saat ini, pemerintah pusat melalui BP2SDMP (Balai Penyuluhan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pertanian) mendukung terciptanya P4S yang mandiri, berkualitas dan berprestasi. Salah satunya dengan mengadakan pemilihan P4S yang berprestasi yang diatur dalam Peraturan Menteri Pertanian Republik Indonesia No. 46/Permentan/OT.140/4/2014 tentang Pedoman Penilaian Pusat Pelatihan Pertanian dan Perdesaan Swadaya Berprestasi.

Dari aspek sustainability atau keberlanjutan pusat informasi ini, dari sisi kelembagaannya, BP3K cenderung memiliki peluang untuk berlangsung fungsinya lebih baik dari P4S, karena pendanaannya yang cukup jelas dan rutin dari pemerintah pusat. Sedangkan untuk P4S, secara kelembagaan masih perlu dilakukan penguatan, selain itu konsep bisnis yang bisa dikembangkan sebagai sumber pendanaan belum bisa berkelanjutan dengan kondisi sosial ekonomi di Indonesia saat ini. Hal ini juga sama dengan kondisi di negara berkembang lainnya seperti di Cameroon (Degrande et al., 2014) yang masih mempertanyakan keberlangsungan pendanaan untuk pusat informasi agroforestri yang dikelola secara swadaya. Berbeda dengan situasi di Jerman dan negara maju lainnya yang tingkat kesejahteraan masyarakatnya sudah mapan, konsep pendirian pusat informasi pertanian yang memberikan jasa konsultasi dengan dibayar oleh petani, dapat berlangsung dengan baik.

Oleh karena itu, studi ini dilakukan untuk melihat potensi pengembalian fungsi dari BPP atau BP3K sebagai tempat pertemuan para penyuluh, petani, pelaku usaha untuk memfasilitasi pelaksanaan penyuluhan pertanian. Potensi dan tantangan dianalisa untuk mendukung revitalisasi BP3K menjadi pusat informasi pertanian dan agroforestri di tingkat kecamatan yang dapat diakses dengan baik dan lancar oleh petani yang berdomisili di sekitarnya.

II. METODE PENGUMPULAN DATA

Studi dilakukan melalui wawancara dan diskusi kelompok terarah (Focus Group Discussion/FGD) dengan stakeholder kunci di tingkat kabupaten dari pemerintahan dan pihak swasta, dengan mengambil contoh kondisi di Kabupaten Bantaeng, Sulawesi Selatan. Diskusi dilakukan dengan BaKTI, Badan Ketahanan Pangan dan Penyelenggaraan Penyuluhan (BKP3) Kabupaten Bantaeng, petani, dan penyuluh. Selain itu juga dilakukan konsultasi dengan peneliti dari

Page 91: KAJIAN ALUR TATA NIAGA KAPULAGA (Amomum cardomum L

Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 569

World Agroforestry Centre/ICRAF yang bergerak di bidang penyuluhan agroforestri di Afrika. Studi pustaka dilakukan untuk melengkapi informasi yang disajikan melalui data primer.

Informasi yang dikumpulkan adalah persepsi para mitra terkait dengan pembangunan pusat informasi agroforestri di Kabupaten Bantaeng, Sulawesi Selatan. Pengumpulan informasi dilakukan pada bulan Agustus hingga September 2015. SWOT analisis dilakukan untuk merangkum persepsi yang diberikan oleh masing-masing stakeholder kunci tersebut. Hasil SWOT analisa kemudian dipadukan dengan hasil studi pustaka.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Tahapan Pembentukan Pusat Informasi Agroforestri Pengalaman yang sudah dilakukan oleh tim World Agroforestry Centre/ICRAF di Afrika yang

sejak tahun 2006 sudah mengembangkan Pusat Informasi dan Pelatihan Agroforestri di Cameroon, Burkina Faso, Republik Demokratik Kongo, Mali dan Nigeria (Degrande et al., 2015), menarik untuk ditarik pembelajarannya untuk modifikasi dengan situasi yang ada di Indonesia. Secara prinsip, Pusat Informasi dan Pelatihan Agroforestri yang dikembangkan ICRAF di Afrika mirip dengan P4S di Indonesia, yaitu dikelola oleh organisasi swadaya yang beroperasi di luar dari model penyuluhan pemerintah yang formal. Kegiatan-kegiatannya ditekankan pada peningkatan pengetahuan, pembelajaran yang interaktif dan pembangunan jaringan antara petani dengan petani dan petani dengan aktor lainnya.

Secara sarana, dalam satu Pusat Informasi dan Pelatihan Agroforestri terdiri dari pembibitan tanaman agroforestri, kebun contoh, ruang pelatihan, perpustakaan dan ruang administrasi. Di beberapa Pusat Informasi dan Pelatihan Agroforestri juga ada yang menyediakan fasilitas penginapan beserta kateringnya, tergantung pada modal dan kebutuhan dari masing-masing.

Pusat Informasi dan Pelatihan Agroforestri ini pendanaannya dari 3 sumber, yaitu a) sumbangan dari organisasi pendampingan masyarakat seperti LSM, gereja dan organisasi donor yang berorientasi pembangunan, b) penjualan produk yang dihasilkan (biji, bibit, hasil pertanian), dan c) jasa pelatihan yang dikenakan pada pesertanya. Sumbangan dari organisasi pendampingan masyarakat biasanya digunakan sebagai modal awal untuk beberapa tahun pertama, setelah itu, Pusat Informasi dan Pelatihan Agroforestri ini akan bergantung pada dana dari hasil penjualan produk dan jasa pelatihan.

Tahapan-tahapan yang dapat dilakukan untuk mengawali pembentukan Pusat Informasi dan Pelatihan Agroforestri ini adalah: 1) Melakukan survey kebutuhan informasi dan pelatihan dari para petani yang berada di daerah

tersebut. 2) Memilih petani dan pihak yang tertarik dalam pengembangan pusat informasi dan pelatihan

tersebut. 3) Memberikan pelatihan pada calon pengurus dan staff pusat informasi dan pelatihan tersebut

pada aspek teknis, juga dalam hal komunikasi dan keterampilan melakukan penyuluhan. 4) Menciptakan pembibitan agroforestri dan secara bertahap mengembangkan fasilitas pelatihan

dan kebun contoh. 5) Mengadakan kegiatan pelatihan, memfasilitasi adanya kegiatan kunjungan lapang, dan

mengundang pada petani yang tertarik untuk melakukan praktek secara langsung di kebun-kebun contohnya.

6) Membangun jaringan dan kemitraan dengan lembaga lainnya untuk meningkatkan kualitas jasa yang diberikan.

Hingga akhir 2011, masih ada sekitar 8 dari total 12 Pusat Informasi dan Pelatihan

Agroforestri yang masih berjalan untuk memberikan jasa pada sekitar 1200 petani di Cameroon (Takoutsing et al., 2014). Empat Pusat Informasi dan Pelatihan Agroforestri yang tidak berfungsi lagi karena adanya penurunan motivasi dari para pengurusnya. Keberlanjutan dari Pusat Informasi dan

Page 92: KAJIAN ALUR TATA NIAGA KAPULAGA (Amomum cardomum L

570 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

Pelatihan Agroforestri ini, tergantung pada kapasitas stafnya, keberlanjutan pendanaan, dan kapasitasnya dalam mengembangkan sinergitas dan kemitraan dengan aktor penyuluh pertanian lainnya.

Pembelajaran yang dapat diambil dari yang sudah dilakukan ICRAF di Afrika adalah untuk mendirikan pusat informasi dan pelatihan memerlukan sumber pendanaan yang cukup banyak, sehingga perlu dilakukan modifikasi yang dapat menekan biaya pembentukan pusat informasi tersebut. Salah satunya adalah dengan mempergunakan fasilitas penyuluhan yang sudah ada seperti BP3K, dan melakukan modifikasi kegiatan dengan pertama kali memfokuskan pada penyediaan informasi saja dengan tidak terlalu memfokuskan pada sisi pelatihannya. Setelah pusat informasi ini menjadi lebih banyak bermanfaat untuk para petani, baru dinaikkan fungsinya menjadi pusat informasi dan pelatihan agroforestri.

Untuk penerapan pelaksanaan pembangunan pusat informasi agroforestri dengan memberdayakan BP3K, tahapan yang dapat dilakukan diantaranya: a) memperjelas arahan kegiatan dengan melakukan identifikasi kebutuhan informasi di tingkat petani dan juga identifikasi ketersediaan informasi di tingkat BP3K; b) merancang rencana kegiatan tahunan di pusat informasi dengan melibat petani dan penyuluh; c) membangun jaringan dengan pihak-pihak yang dapat berpartisipasi dalam rencana kegiatan tahunan di masing-masing pusat informasi; dan d) merancang potensi penambahan sumber dana dari penjualan produk pertanian dari pusat informasi ini. B. Mitra-mitra dalam Pembangunan Pusat Informasi Agroforestri

Ada lima mitra utama yang perlu dilibatkan dalam Pembangunan Pusat Informasi Agroforestri, yaitu: 1) Pemerintah Daerah, 2) Lembaga Penelitian, 3) Petani dan Kelompok Tani, 4) Lembaga Penyuluhan Pemerintah, Penyuluh Swadaya dan Penyuluh Swasta, dan 5) Lembaga Pengelola Informasi. Untuk situasi di Kabupaten Bantaeng, lembaga selain pemerintah daerah dan petani adalah BPTA, ICRAF, CIFOR, Universitas Hasanuddin, dan BPTP Sulawesi Selatan dari lembaga penelitian; dan Yayasan BaKTI (Bursa Pengetahuan Kawasan Timur Indonesia) sebagai lembaga pengelola informasi (Tabel 1.). Sedangkan untuk pihak swasta, belum teridentifikasi pihak swasta yang berpotensi untuk dijadikan mitra dalam pembangunan pusat informasi agroforestri di Bantaeng. Komitmen perlu dibangun dengan para mitra potensial tersebut terutama tentang peran dan kontribusinya bagi pusat informasi agroforestri. Tabel 1. Kelompok mitra utama dalam pembangunan pusat informasi agroforestri

Kelompok mitra Peran Pihak potensial yang

terkait dengan situasi di Bantaeng

Pemerintah Pusat dan Daerah

Pembuatan kebijakan yang terkait pada keberlangsungan pusat informasi agroforestri (termasuk tentang potensi sumber anggaran kegiatan).

Bupati, DPRD, Kementerian Pertanian.

Badan Ketahanan Pangan dan Penyelenggaraan Penyuluhan

Aktor utama dalam penyelenggaraan pusat informasi agroforestri.

BKP3 Kabupaten Bantaeng; BP3K Dampang, BP3K Tompo Bulu, BP3K Eremerasa, BP3K Sinoa, BP3K Bantaeng.

Lembaga penyuluhan swadaya dan swasta

Memfasilitasi kegiatan yang dilakukan di pusat informasi agroforestri.

Menjadi narasumber kegiatan yang dilakukan di pusat informasi agroforestri.

Membantu pembangunan jaringan informasi dan komunikasi.

Penyuluh pertanian swadaya, PKSM (Penyuluh Kehutanan Swadaya Masyarakat)

Petani dan kelompok Membantu pembangunan jaringan Petani dan Kelompok tani

Page 93: KAJIAN ALUR TATA NIAGA KAPULAGA (Amomum cardomum L

Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 571

Kelompok mitra Peran Pihak potensial yang

terkait dengan situasi di Bantaeng

tani informasi dan komunikasi. yang dibina oleh proyek-proyek berbasis agroforestri

Lembaga Penelitian Penyedia sumber informasi terbarukan tentang agroforestri, pertanian dan kehutanan.

Penyedia narasumber untuk pelatihan aspek teknis agroforestri.

BPTA, ICRAF, Universitas Hasanuddin, BPTP Sulawesi Selatan.

Lembaga Pengelola Informasi

Membantu pembangunan jaringan informasi dan komunikasi.

Penyedia narasumber untuk pelatihan tentang pengelolaan informasi untuk pengurus pusat informasi.

Yayasan BaKTI

Pihak Swasta Kemitraan dalam pelaksanaan kegiatan yang direncanakan dalam pusat informasi agroforestri

Belum teridentifikasi

Sumber: Hasil diskusi dengan stakeholder terkait. C. Potensi dan Tantangan BP3K sebagai Pusat Informasi Agroforestri

Fungsi dari BPP atau BP3K adalah menyediakan dan menyebarkan informasi yang diperlukan oleh pelaku utama dan pelaku usaha secara cepat dan tepat sasaran. Akan tetapi karena belum optimalnya dukungan pemerintahan dalam sarana, prasarana dan pembiayaan, sehingga fungsi BPP/BP3K belum optimal. Untuk di daerah Sulawesi, kebanyakan petani enggan berkunjung ke BP3K terutama karena hanya satu hari dalam seminggu dimana dapat ditemui penyuluh di BP3K, selebihnya BP3K hanya kantor yang tidak berpenghuni. Sehingga fungsinya sebagai tempat pertemuan antara petani dan penyuluh menjadi semakin tidak nyata. Dari segi potensi, jika mengacu pada UU No. 16/2006 tentang tupoksi BP3K, seharusnya BP3K menjadi tombak utama dalam pelaksanaan penyuluhan pertanian dan mendapatkan porsi perhatian yang lebih dari pemerintah terutama dari segi anggaran operasional maupun pengadaan sarana dan prasarana. Berdasarkan studi yang dilakukan oleh Mayrowani (2012), alokasi dana dari pemerintah daerah untuk kegiatan penyuluhan pertanian hanya sekitar 3-10 persen dari total APBD, bahkan pada daerah yang pertanian menjadi sumber PAD daerahnya. Oleh karena itu untuk sumber pendanaan kegiatan yang berada di BP3K seharusnya tidak hanya mengandalkan pada pendanaan dari pemerintah, tapi juga perlu dicari sumber pendanaan lainnya baik melalui kemitraan ataupun usaha agribisnis yang dikelola oleh BP3K dan mitra. Revitalisasi fungsi dari BP3K terutama yang terkait dengan fungsinya sebagai tempat pertemuan antara petani dan penyuluh perlu dilakukan dengan tujuan mempermudah petani dalam mengakses informasi pertanian yang diperlukan dalam mengelola lahan pertaniannya. Pembangunan Pusat Informasi Agroforestri dapat merupakan salah satu program yang dapat dikembangkan oleh pengelola BP3K untuk menstimulasi para petani untuk berkunjung ke BP3K dan mendapatkan informasi yang bermanfaat tentang pengelolaan agroforestri. Salah satu usaha yang dapat dilakukan untuk merevitalisasi fungsi BP3K dengan menjadikannya sebagai pusat informasi adalah dengan melakukan penataan ulang perpustakaan yang ada di BP3K, juga mengadakan pertemuan rutin dengan mengundang petani secara umum seperti untuk mempromosikan fasilitas-fasilitas yang ada di BP3K.

Page 94: KAJIAN ALUR TATA NIAGA KAPULAGA (Amomum cardomum L

572 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

IV. Kesimpulan dan Saran

Akses petani terhadap informasi pengelolaan agroforestri dapat ditingkatkan dengan adanya pusat informasi agroforestri, yang juga berfungsi sebagai tempat bertemunya para pelaku agroforestri dari mulai petani, penyuluh maupun pihak swasta. Dalam pengelolaannya, pusat informasi agroforestri dapat dikelola secara swadaya seperti yang sudah dilakukan oleh ICRAF di Afrika, tapi dapat juga dikelola dengan memfungsikan fasilitas-fasilitas yang dimiliki oleh pemerintah seperti BP3K. Fungsi BP3K di beberapa daerah di Sulawesi khususnya masih belum optimal karena tidak adanya dukungan dari segi sarana, prasarana maupun pembiayaan dari pemerintah. Tidak optimalnya fungsi BP3K tersebut menyebabkan petani mengalami keterbatasan dalam mengakses informasi yang terbarukan dan terpercaya. Oleh karena itu revitalisasi BP3K perlu dilakukan, dan pembangunan pusat informasi agroforestri dapat menjadi salah satu program untuk merevitalisasi BP3K terutama di daerah-daerah yang agroforestri menjadi sumber mata pencaharian utama masyarakatnya. Pendanaan untuk pembangunan pusat informasi agroforestri dapat didiversifikasi dengan melakukan kerjasama dan pembangunan jaringan informasi dan komunikasi dengan mitra terkait baik lembaga penelitian maupun dari pihak swasta.

UCAPAN TERIMA KASIH

Penelitian ini dilakukan atas dukungan dari program Agroforestry and Forestry: Linking Knowledge to Action (AgFor) project (Contribution Arrangement No.7056890) yang didanai oleh Department of Foreign Affairs, Trade, and Development (DFATD) Canada, dan ICRAF-FTA program. Ucapan terimakasih ditujukan pada petani di Kabupaten Bantaeng, Badan Ketahanan Pangan dan Penyelenggaraan Penyuluhan Kabupaten Bantaeng, dan BaKTI atas kerjasamanya dalam proses pengambilan data.

DAFTAR PUSTAKA

Andriaty E, Setyorini E. 2012. Ketersediaan sumber informasi teknologi pertanian di beberapa kabupaten di Jawa. Jurnal Perpustakaan Pertanian 21(1): 30-35.

Degrande, A., Tchoundjeu, Z., Kwidja, A. and Fongang Fouepe, G. 2015. Rural Resource Centres: A

Community Approach to Extension. Note 10. GFRAS Good Practice Notes for Extension and Advisory Services. GFRAS: Lindau, Switzerland.

Martini E, Roshetko JM, Paramita E. 2014: Farmer to farmer interpersonal communication in

agroforestry innovation dissemination in Sulawesi, Indonesia. Paper presented at 3rd World Congress of Agroforestry, New Delhi, India, Feb 2014.

Mayrowani H. 2012. Pembangunan Pertanian pada Era Otonomi Daerah: Kebijakan dan

Implementasi. Forum Penelitian Agro Ekonomi 30(1): 31-47. Setiawan I, Hapsaari H, Tridakusumah A.C. 2009. Peningkatan efektivitas integrasi dan koordinasi

peran antara penyuluh pertanian pemerintah, swasta dan swadaya bagi pemberdayaan petani dan pelaku agroindustri skala kecil menengah: Studi kasus di Kecamatan Cililin Kabupaten Bandung Barat. Laporan Akhir Penelitian Peneliti Muda Universitas Padjadjaran. Jurusan Sosial Ekonomi Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran, Bandung.54p.

Takoutsing, B., Tchoundjeu, Z., Degrande, A., Asaah, E. and Tsobeng, A. 2014. Scaling-up sustainable

land management practices through the concept of the rural resource centre: reconciling

Page 95: KAJIAN ALUR TATA NIAGA KAPULAGA (Amomum cardomum L

Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 573

farmers’ interests with research agendas. International Journal of Agricultural Extension Education, 20(5): 463–483.

Page 96: KAJIAN ALUR TATA NIAGA KAPULAGA (Amomum cardomum L

574 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

PERAN DAN MEKANISME LEMBAGA PENDUKUNG HUTAN KEMASYARAKATAN MODEL BERBASIS AGROFORESTRI DI KABUPATEN TANAH LAUT KALIMANTAN SELATAN

Mahrus Aryadi1, Hamdani Fauzi1, Trisnu Satriadi1

1Fakultas Kehutanan Universitas Lambung Mangkurat [email protected]; [email protected]

ABSTRAK

Hutan Kemasyarakatan Model berbasis agroforestripada kawasan hutan lindung Gunung Langkaras Kabupaten Tanah Laut Kalimantan Selatan dibangun sejak tahun 2011 dengan kegiatan rekonstruksi sosial. Kegiatan fisik lapangan dimulai sejak tahun 2012 hingga 2015 seluas 87 Ha, dengan tanaman pokok karet dan tanaman semusim padi ladang, lombok, kacang panjang dan labu. Keberhasilan kegiatan hutan kemasyarakatan model berbasis agroforestri ini tidak terlepas dari berbagai lembaga yang telah terlibat aktif sesuai fungsi dan perannya. Tujuan penelitian adalah untuk mengidentifikasi dan menggali peran dan mekanisme hubungan antar lembaga yang terlibat dalam kegiatan ini. Metode yang digunakan adalah wawancara mendalam dengan informan yang dipilih secara purposive sampling. Lembaga yang terlibat secara langsung pada kegiatan ini adalah: Kelompok Tani Hutan Kemasyarakatan Ingin Maju, Fakultas Kehutanan UNLAM, JIFPRO&W-Bridge, PT. Bridgestone Kalimantan Plantation, Dinas Kehutanan Kabupaten Tanah Laut dan BP DAS Barito. Lembaga yang terlibat secara tidak langsung Balai Penyuluhan Tanah Laut. Peran antar lembaga berjalan sesuai dengan tugas pokok dan fungsi masing-masing.Mekanisme hubungan langsung dan tidak langsung antar lembaga yang terjadi pada kegiatan ini dapat berjalan secara harmonis karena adanya peran sentral dari Tim Fahutan UNLAM yang melakukan fasilitasi aktif dan membangun komunikasi secara dinamis dengan lembaga lainnya. Kata Kunci: agroforestri, Hutan Kemasyarakatan, lembaga, mekanisme, peran

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Hutan Kemasyarakatan (HKm) adalah hutan negara yang pemanfaatan utamanyaditujukan

untukmemberdayakan masyarakat setempat. Penyelenggaraan hutan kemasyarakatan dimaksudkan untuk pengembangan kapasitas dan pemberian akses terhadap masyarakat setempat dalam mengelola hutan secara lestari guna menjamin ketersediaan lapangan kerja bagi masyarakat setempat untuk memecahkan persoalanekonomi dan sosial yang terjadi di masyarakat. Hutan kemasyarakatan bertujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat melalui pemanfaatan sumber daya hutan secara optimal, adil dan berkelanjutan dengan tetap menjaga kelestarian fungsi hutan dan lingkungan hidup.

Prinsip penyelenggaraan HKm adalah: a) tidak mengubah status dan fungsi kawasan hutan; b) pemanfaatan hasil hutan kayu hanya dapat dilakukan dari hasil kegiatan penanaman; c) mempertimbangkan keanekaragaman hayati dan keanekaragaman budaya; d) menumbuhkembangkan keanekaragaman komoditas dan jasa; e) meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang berkelanjutan; f) memerankan masyarakat sebagai pelaku utama; g.adanya kepastian hukum; h) transparansi dan akuntabilitas publik; i) partisipatif dalam pengambilan keputusan (Departemen Kehutanan, 2007).

Berdasarkan prinsip penyelenggaraan HKm di atas, maka salah satu kawasan yang dapat dikembangkan sebagai HKm Model adalah di kawasan hutan lindung Gunung Langkaras Kabupaten Tanah Laut Kalimantan Selatan. Kawasan ini sebelum dilakukan kegiatan HKm Model merupakan padang alang-alang dan sering terjadi kebakaran hutan dimusim kemarau. Berdasarkan SK Bupati Kabupaten Tanah Laut pada Bulan Desember Tahun 2011, luas wilayah HKm untuk Desa Tebing Siring sekitar 679,11 Ha, dan berdasarkan hasil Berita Acara Verifikasi/ Klarifikasi Nomor BA.681/BPDAS.Brt.3/2014, tanggal 25 September 2014 menjadi seluas 400 Ha.

Page 97: KAJIAN ALUR TATA NIAGA KAPULAGA (Amomum cardomum L

Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 575

Kegiatan HKm model dimulai pada tahun 2011, dengan melakukan rekonstruksi sosial yang dilaksanakan oleh Tim Fakultas Kehutanan UNLAM. Kegiatan rekonstruksi sosial meliputi: a) diskusi mendalam dengan tokoh-tokoh masyarakat ttg desa, masyarakat, kebutuhan, permasalahan dan peluang sesuai kebijakan yang ada; b) sosialisasi bertahap dan berulang kemasyarakat tentang kebijakan pemerintah sebagai peluang pembangunan desa; c) membangun kesepahaman dan kesepakatan dengan masyarakat “terpilih” yang mau terlibat dalam kegiatan; d) menyusun rencana kerja bersama; dan e) penguatan administrasi kelompok (Aryadi, dkk 2014).

Kegiatan fisik dimulai ketika kelompok tani HKm Ingin Maju sudah siap secara pemahaman dan terbangun kekompakan kelompok untuk berbuat bersama untuk kegiatan lapangan pada tahun 2012. Sebelum kegiatan penanaman, dilakukan pelatihan kelompok tani untuk penanaman dan pemeliharaan tanaman pokok karet. Tahun 2012 ditanam seluas 12 Ha dengan tanaman pokok karet (80%) dan MPTs (20%). Tahun 2013 ditanam seluas 13 Ha, dengan tanaman pokok karet (80%) dan MPTs (20%), dan tumpang sari (sistem agroforestri) dengan tanaman padi, jagung dan lombok di lokasi penanaman tahun 2012. Tahun 2014 ditanam seluas 12 Ha dengan tanaman pokok karet (80%) dan MPTs (20%), dan kegiatan agroforestri pada lokasi penanaman 2012 dan 2013 dengan jenis tanaman padi, kacang panjang, jagung dan labu. Pada tahun 2014 juga ditanam pakan lebah (apiculture) seluas 50 Ha dengan tanaman kaliandra, kapuk randu, mahoni, dan MPTs yang didanai oleh Dinas Kehutanan Kabupaten Tanah Laut (APBD).

Keberhasilan kegiatan HKm Model berbasis agroforestri ini tidak lepas dari peran lembaga-lembaga yang memfasilitasi, mendukung dan membantu dana terhadap kelompok tani HKm Ingin Maju. Bagaimana peran antar lembaga dan mekanisme hubungan kerjanya merupakan hal yang menarik untuk dikaji sebagai bagian dari keberhasilan sebuah kegiatan. B. Tujuan dan Manfaat

Tujuan penelitian adalah untuk menggali peran antar lembaga dan mekanisme hubungan kerjanya dalam rangka mendukung keberhasilan program HKm Model berbasis Agroforestri. Manfaat penelitian adalah memberikan gambaran tentang lembaga yang terkait dengan kegiatan ini dan mekanisme hubungannya sehingga dapat dijadikan acuan dalam kegiatan sebidang.

II. METODE PENELITIAN

Penelitian dilakukan di Kabupaten Tanah Laut, Provinsi Kalimantan Selatan, khususnya pada Desa Tebing Siring Kecamatan Bajuin yang telah melaksanakan kegiatan HKm berbasis Agroforestri sejak tahun 2011 hingga sekarang. Waktu penelitian dimulai dari bulan Mei hingga Juni 2015.

Data yang dikumpulkan adalah data primer dan sekunder. Pengumpulan data primer dilakukan dengan metode wawancara mendalam (in-depth interviewed) dengan informan terpilih(purposive). Informan terpilih berasal dari lembaga-lembaga yang terlibat langsung maupun tidak langsung dalam kegiatan HKm Model. Data sekunder didapat dari penelusuran pustaka dan laporan dari berbagai instansi terkait. Data ditabulasi, dianalisis secara deskriptif kualitatif.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Peran Lembaga

Berdasarkan pengertiannya, kelembagaan adalah aturan main etika, sikap, tingkah laku seseorang atau organisasi atau suatu sistem, sedangkan organisasi merupakan wadah dari kelembagaan tersebut. Kelembagaan sendiri bisa mempunyai beragam arti sesuai dengan bidang ilmu yang diikutinya, seperti: Sosiologi-antropologi berarti sebagai norma, tingkah laku, adat-istiadat; Politik: aturan main; psikologi: tingkah laku manusia; Hukum: instrumen; ekonomi: biaya transaksi. Menurut Aryadi (2012), untuk kehutanan/ekologi maka kelembagaan dapat diartikan sebagai suatu analisis sistem lingkungan, struktur dan fungsi produksi untuk produktifitas, stabilitas, sustainabilitas, ataupun kemerataan. Kelembagaan merupakan landasan untuk membangun tingkah

Page 98: KAJIAN ALUR TATA NIAGA KAPULAGA (Amomum cardomum L

576 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

laku sosial masyarakat, menghasilkan interaksi, untuk mencapai tujuan bersama, yang didasari aturan dan penegakan hukum, berbentuk organisasi. Secara singkat lahirnya kelembagaan adalah untuk integrasi dan stabilisasi.

Peranan adalah suatu perilaku yang diharapkan oleh orang lain dari sesorang yang menduduki status tertentu. Peran lebih menunjuk pada fungsi, artinya seseorang menduduki suatu posisi tertentu dalam masyarakat dan menjalankan suatu peran (Cohen, 1992). Peranan mencakup tiga hal, yaitu : 1) Peran meliputi norma-norma yang dihubungkan dengan posisi atau tempat seseorang dalam

masyarakat. 2) Peran adalah suatu konsep tentang apa yang dapat dilakukan oleh individu dalam masyarakat

sebagai organisasi. 3) Peran juga dapat dikatakan sebagai perilaku individu yang penting bagi struktur sosial

masyarakat. (Levinson yang dikutip oleh Syarbaini, 2009), Dikaitkan dengan peran kelembagaan dalam penelitian ini, maka dapat diartikan sebagai

peranan suatu lembaga atau para-pihak dalam program HKm berbasis agroforestri, baik dalam proses persiapan, perencanaan, pelaksanan, maupun evaluasi. Peranan lembaga dalam program HKm, selama ini lebih banyak ditentukan secara normatif oleh Pemerintah, sedangkan masyarakat hanya menerima peran atau kondisi tersebut atau sebagai sesuatu yang “given” dari atas. Hasil penelitian menunjukkan bahwa peran yang telah dilakukan oleh lembaga terkait sebagian berdasarkan aturan yang telah ada dan sebagian lagi berjalan sesuai dinamika selama kegiatan berlangsung.

Pada kegiatan HKm berbasis Agroforestri yang telah dilaksanakan dan berkembang baik di Desa Tebing Siring hingga saat ini, lembaga-lembaga yang terkait langsung dan perannya adalah: 1) Kelompok Tani Hutan Kemasyarakatan (KT HKm) Ingin Maju, berperan menyatukan anggota

masyarakat untuk mau terlibat dalam kegiatan persiapan, perencanaan, penanaman, pemanfaatan hasil dan evaluasi; melakukan komunikasi aktif dan bekerjasama dengan pihak luar sesuai dengan rencana yang telah disusun.

2) Fakultas Kehutanan Universitas Lambung Mangkurat (UNLAM), berperan memfasilitasi rekonstruksi sosial; mendampingi dalam perencanaan dan penanaman, membangun jaringan kerjasama dengan pihak luar; dan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat.

3) JIFPRO/ W-Bridge Project, Jepang, berperan memfasilitasi pertemuan-pertemuan kelompok tani, penelitian, dan membangun kerjasama dengan pihak lainnya dari Jepang

4) PT. Bridgestone Kalimantan Plantation (BSKP), berperan memfasilitasi pelatihan petani, menyediakan bibit karet berkualitas dan pendampingan terhadap penyakit tanaman

5) Dinas Kehutanan Kabupaten Tanah Laut/ KPHP Tanah Laut, berperan dalam kebijakan penunjukkan lokasi kegiatan HKm, membantu penanaman pakan lebah (50 Ha) dan penyediaan stup lebah.

6) Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BP DAS) Barito, merupakan institusi yang langsung di bawah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI, melaksanakan program HKm di lahan kritis khususnya kawasan hutan lindung dengan sumber dana APBN

Lembaga yang tidak terkait langsung namun berkontribusi dalam keberhasilan kegiatan di lapangan adalah:Penyuluh Kabupaten Tanah Laut, berperan dalam fasilitasi pertemuan kelompok tani dan informasi yang berkembang di tingkat kabupaten. Peran masing-masing lembaga sangat dipengaruhi oleh kebijakan pada masing-masing lembaga tersebut dan keinginan maju untuk bekerjasama dari pelaku/ pimpinan/ koordinatornya. Pada kegiatan di atas, maka terlihat bahwa peran Kelompok Tani HKm Ingin Maju dan Fakultas Kehutanan UNLAM lebih dominan dari lembaga lainnya. Hal ini terjadi karena kedua lembaga tersebut mempunyai kepentingan yang sama besar, yaitu ingin memanfaatkan kawasan hutan lindung menjadi bermanfaat bagi sosial dan ekonomi bagi masyarakat dan ekologi untuk kemaslahan umat manusia.

Page 99: KAJIAN ALUR TATA NIAGA KAPULAGA (Amomum cardomum L

Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 577

Gambar 1. Fasilitasi Tim Fahutan UNLAM, Pelatihan PT. BSKP, Koordinasi antar Institusi B. Mekanisme Hubungan Kerja antar Lembaga

Mekanisme merupakan cara kerja suatu organisasi (perkumpulan dan sebagainya), atau hal saling bekerja seperti mesin (yang satu bergerak yang lain turut bergerak) (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2003). Dengan demikian, mekanisme hubungan kerja lembaga pendukung program HKm berbasis agroforestri adalah cara kerja yang saling berhubungan antar lembaga terkait, baik langsung maupun tidak langsung untuk mencapai tujuan bersama. Peran yang telah dimainkan akan sangat dipengaruhi oleh mekanisme hubungan kerja antar lembaga, sehingga peran yang diemban masing-masing lembaga bisa berjalan secara optimal (Aryadi, 2012). Gambar 2. Mekanisme hubungan antar lembaga Keterangan: : Garis Hubungan Langsung : Garis Hubungan Tidak Langsung

Dari gambar di atas, mekanisme hubungan antar lembaga atau para-pihak secara langsung dan tidak langsung pada HKm berbasis Agroforestri dapat diuraikan sebagai berikut: 1) KT HKm Ingin Maju: sebagai pemeran utama melakukan komunikasi dan koordinasi dengan Tim

Fakultas Kehutanan UNLAM untuk melakukan sebuah kegiatan bersama di lahan HKm yang telah diusulkan oleh Bupati ke Kemenhut RI. Bersama Tim Fahutan UNLAM melakukan koordinasi dan kerjasama dengan lembaga lainnya.

2) Fakultas Kehutanan UNLAM: sebagai fasilitator dan mediator melakukan komunikasi mendalam dengan JIFPRO/ W-Bridge Project untuk bisa berpartisipasi dalam kegiatan HKm berbasis Agroforestri di Desa Tebing Siring. Tim Fahutan UNLAM telah melakukan komunikasi dan

Fak. Kehutanan

UNLAM

KT HKm Ingin Maju

Tebing Siring

JIFPRO/ W- Bridge

Project

PT. BSKP Kalsel Dinas Kehutanan

Kab. Tanah Laut/

KPHP Tala

BP DAS Barito

Kalsel

Penyuluh Kab.

Tanah Laut

Page 100: KAJIAN ALUR TATA NIAGA KAPULAGA (Amomum cardomum L

578 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

koordinasi ke Dinas Kehutanan Tanah Laut berkaitan dengan wilayah kerja dan peluang kegiatan yang bisa dilaksanakan oleh Dishut Tala. Tim Fahutan UNLAM telah melakukan koordinasi dengan BP DAS Barito untuk kerjasama program-program yang ada di BP DAS dan percepatan perizinan HKm di Kemen LHK.

3) JIFPRO/ W-Bridge Project: berperan sebagai pendukung kegiatan dengan memfasilitasi dana untuk penguatan kelompok tani dan penyediaan bibit tanaman, serta melakukan koordinasi dengan para pihak di Jepang, terutama Bridgestone Jepang untuk dapat memberikan bantuan bibit karet berkualitas. Setiap kegiatan JIFPRO/ W-Bridge Project harus berkoordinasi dengan Tim Fahutan UNLAM, tidak langsung dengan KTH Ingin Maju.

4) PT. Bridgestone Kalimantan Plantation: berperan menyediakan bibit karet dan pelatihan petani setelah adanya koordinasi JIFPRO/ W-Bridge Project dengan Bridgestone Jepang.

5) Dinas Kehutanan Kabupaten Tanah Laut/ KPHP Tala: sebagai pengelola wilayah mendukung dan mendorong percepatan izin HKm dan kegiatan fisik lapangan dari dana APBD. Berkoordinasi dengan lembaga lainnya untuk setiap kegiatan yang dilaksanakan di wilayah kerja mereka.

6) BP DAS Barito: Berkoordinasi dengan Tim Fahutan UNLAM dan Dishut Tala/ KPHP untuk mendorong perizinan HKm dan melaksanakan kegiatan fisik dari dana APBN.

7) Penyuluh Kabupaten Tanah Laut: berperan melakukan pendampingan KT HKm Ingin Maju dalam pelatihan yang dilaksanakan oleh lembaga terkait, namun tidak secara langsung karena harus melalui Dishut Tala.

Mekanisme hubungan langsung menggambarkan bahwa lembaga tersebut dapat secara langsung berkomunikasi dan membuat kesepakatan untuk melakukan kegiatan bersama-sama. Hubungan langsung juga dapat menggambarkan bahwa adanya kewenangan lembaga tersebut untuk membuat kebijakan berkaitan dengan kegiatan-kegiatan yang sedang dan akan berlangsung. Hal ini bisa dilihat hubungan langsung antara KT HKm dengan Fahutan UNLAM; Fahutan UNLAM dengan JIFPRO/ W-Bridge Project; dan Fahutan UNLAM dengan Dishut Tala. Hubungan tidak langsung antar lembaga menggambarkan bahwa antar lembaga tersebut hanya dapat membuat kesepakan kerjasama melalui pihak lainnya, seperti Penyuluh Kabupaten Tanah Laut yang harus berkoordinasi terlebih dahulu dengan Dishut Tala dan Tim Fahutan UNLAM; JIFPRO/ W-Bridge Project dengan KT HKm Ingin Maju yang difasilitasi oleh Fahutan UNLAM; dan Fahutan UNLAM dengan PT. BSKP yang harus melalui JIFPRO/ W-Bridge Project. Mekanisme hubungan langsung dan tidak langsung antar lembaga yang terjadi pada kegiatan HKm berbasis Agroforestri di Desa Tebing Siring dapat berjalan secara harmonis karena adanya peran sentral dari Tim Fahutan UNLAM, melakukan fasilitasi aktif sesuai kebutuhan kelompok tani dan membangun komunikasi secara dinamis dengan lembaga lainnya.

IV. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil dan pembahasan yang diuraikan di atas, ditarik kesimpulan bahwa peran dan mekanisme hubungan antar lembaga dalam mendukung keberhasilan dan keberlanjutan sebuah program sangatlah penting. Dua lembaga yang berperan aktif adalah Kelompok Tani HKm Ingin Maju sebagai pemeran utama dan pelaksana kegiatan; dan Fakultas Kehutanan UNLAM sebagai fasilitator dan mediator serta penghubung dengan lembaga terkait lainnya. Harmonisasi hubungan antar lembaga sangat dipengaruhi oleh keberadaan Tim Fahutan UNLAM.

UCAPAN TERIMA KASIH

Kegiatan penelitian ini atas kerjasama dengan JIFPRO/ W-Bridge Project. Kami ucapkan terima kasih kepada Mr. Eiichiro Nakama, Dr. Kazuo Tanaka, Dr. Seiichi Ohta dan Prof. Yasushi Morikawa atas kerjasamanya dalam kegiatan ini.

Page 101: KAJIAN ALUR TATA NIAGA KAPULAGA (Amomum cardomum L

Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 579

DAFTAR PUSTAKA

Aryadi, Mahrus, 2012.Hutan Rakyat: Fenomenologi Adaptasi Budaya Masyarakat. Penerbit UMM Press, Malang.

Aryadi, Mahrus, Hamdani Fauzi, Trisnu Satriadi, dkk, 2014. Seminar Nasional HHBK dengan Tema:

Peranan Hasil Hutan Bukan Kayu dalam Meningkatkan Daya Guna Kawasan Hutan. Pembicara Utama dengan judul: Pengembangan HHBK Kawasan Hutan Lindung Berbasis Perhutanan Sosial. 6 November 2014, University Club UGM. Fakultas Kehutanan UGM, Yogyakarta.

Cohen, 1992., Bruce, 1992. Sosiologi Suatu Pengantar. Penerbit Rineka Cipta, Jakarta. Departemen Kehutanan, 2007. Peraturan Menteri Kehutanan No. P.37/Menhut-II/2007 tentang

Hutan Kemasyarakatan. (http://storage.jak-stik.ac.id/ProdukHukum/kehutanan /P37_07.pdf).

Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga Departemen Pendidikan Nasional, Balai Pusaka,

2003:728, Jakarta. Syarbaini, Syahrial, 2009. Dasar-dasar Sosiologi. Penerbit Graha Ilmu, Jakarta.

Page 102: KAJIAN ALUR TATA NIAGA KAPULAGA (Amomum cardomum L

580 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

EVALUASI KINERJA PETANI PENYULUH DALAM MENGATASI MINIMNYA PENYULUH AGROFORESTRI DI KONAWE DAN KOLAKA TIMUR, SULAWESI TENGGARA

Heru Tuwuh Maulana1, Endri Martini1, James M. Roshetko1, Taufiq2

1World Agroforestry Center , ICRAF Southeast Asia Regional Office 2Operation Wallacea Terpadu, Sulawesi Tenggara

Email : [email protected]; [email protected] [email protected]

ABSTRAK

Minimnya jumlah penyuluh pemerintah menyebabkan tidak optimalnya penyelenggaraan penyuluhan, yang berakibat pada rendahnya tingkat pengetahuan petani dalam mengelola kebunnya. Petani penyuluh atau penyuluh swadaya yang berprofesi sebagai petani, merupakan salah satu alternatif solusi untuk mengatasi kekurangan penyuluh. Di Indonesia, sejak tahun 2006, petani penyuluh diakui perannya oleh negara untuk membantu proses penyuluhan, akan tetapi belum banyak kajian dilakukan untuk melihat seberapa jauh peran petani penyuluh dan bagaimana hubungannya serta posisinya dibandingkan dengan penyuluh pemerintahan. Untuk itu studi ini dilakukan dengan harapan dapat dijadikan sebagai bahan evaluasi untuk meningkatkan kinerja petani penyuluh khususnya pada bidang agroforestri. Studi ini dilakukan melalui wawancara terhadap 67 petani yang disuluh oleh petani penyuluh dan 4 penyuluh pemerintahan, dengan membandingkan kinerja penyuluh swasta, penyuluh swadaya/petani penyuluh dan penyuluh pemerintah dari segi pengetahuan, kemudahan berkomunikasi dan metode penyampaian. Berdasarkan uji statistik Kruskal Wallis, terdapat perbedaan tingkat pengetahuan (P=0,000) dan kemudahan berkomunikasi (P=0,004), dan metode penyampaian (P=0,004) secara nyata antara penyuluh swasta, penyuluh pemerintah dan penyuluh swadaya atau petani penyuluh. Petani penyuluh dinilai memiliki pengetahuan dan kemudahan berkomunikasi yang sama dengan penyuluh pemerintah, sedangkan penyuluh swasta lebih baik. Akan tetapi dari segi metode penyampaian, penyuluh pemerintah lebih baik dari petani penyuluh dan penyuluh swasta. Oleh karena itu pelatihan tentang metode-metode penyuluhan dapat diberikan pada petani penyuluh atau penyuluh swadaya sehingga kinerjanya menjadi lebih baik sebagai pelengkap penyuluh pemerintah. Kata kunci: penyuluh swadaya, penyuluh swasta, penyuluh pemerintah, metode penyuluhan.

I. PENDAHULUAN

Penyuluhan agroforestri di Indonesia belum diatur secara khusus kelembagaannya, sehingga sementara ini masuk ke dalam penyuluhan pertanian. Undang Undang Nomor 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani menyebutkan bahwa sekurang-kurangnya satu penyuluh untuk setiap desa, sehingga dibutuhkan sekitar 75.224 penyuluh. Sementara berdasarkan data dari Badan Penyuluhan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BP2SDM) Pertanian tahun 2013, jumlah total penyuluh saat ini sekitar 47.955 orang, terdiri atas 27.476 orang Penyuluh PNS dan 20.479 Tenaga Harian Lepas Tenaga Bantu Penyuluh Pertanian (THL-TBPP). Sehingga, masih diperlukan sekitar 27.269 penyuluh pertanian untuk memenuhi program satu penyuluh satu desa (BP2SDM, 2013). Minimnya jumlah penyuluh pertanian dapat menyebabkan tidak optimalnya penyelenggaraan penyuluhan, yang berakibat pada rendahnya tingkat pengetahuan petani dalam mengelola kebunnya.

Di Indonesia sejak tahun 2006 ada paradigma baru dalam sistem penyuluhan pertanian dengan dikeluarkannya UU No. 16/2006 yang di dalamnya mengakui adanya tiga kelompok aktor penyuluhan, yaitu penyuluh pemerintah, penyuluh swadaya dan penyuluh swasta. Penyuluh swadaya adalah pelaku utama yang berhasil dalam usahanya dan warga masyarakat lainnya yang dengan kesadarannya sendiri mau dan mampu menjadi penyuluh. Sedangkan penyuluh swasta adalah penyuluh yang berasal dari dunia usaha dan atau lembaga yang mempunyai kompetensi dalam bidang penyuluhan.

Page 103: KAJIAN ALUR TATA NIAGA KAPULAGA (Amomum cardomum L

Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 581

Petani penyuluh atau penyuluh swadaya yang berprofesi sebagai petani, merupakan salah satu alternatif solusi untuk mengatasi kekurangan penyuluh (Syahyuti, 2014). Saat ini di Indonesia kurang lebih ada 8.000 penyuluh swadaya yang diberdayakan untuk mengisi kekurangan jumlah penyuluh. Akan tetapi kinerja dari penyuluh swadaya dalam melengkapi keberadaan dan fungsi dari penyuluh pemerintah masih harus dievaluasi untuk penyempurnaannya.

Untuk di daerah yang penghidupan masyarakatnya didominasi dengan sektor pertanian (termasuk agroforestri di dalamnya) seperti di Sulawesi Tenggara, evaluasi terhadap kinerja penyuluh baik penyuluh pemerintah maupun penyuluh swadaya bisa membantu kesuksesan pencapaian program pengembangan pertanian (Surahmanto et al., 2014). Studi yang dilakukan oleh Syafruddin et al. (2014) menunjukkan bahwa di Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara ada 130 penyuluh pertanian PNS, yang terdiri dari 91 orang penyuluh tanaman pangan, 25 orang penyuluh perkebunan dan 14 orang penyuluh peternakan. Untuk issue agroforestri yang masuk ke dalam kategori perkebunan, 25 orang penyuluh pemerintah tentunya tidak cukup untuk memfasilitasi petani yang berada di 320 desa. Oleh karena itu ada beberapa program pemerintah, diantaranya FEATI (Farmer Empowerment through Agricultural Technology and Information), dan program dari lembaga swasta seperti ICRAF yang telah menghasilkan penyuluh swadaya di bidang agroforestri (Roshetko et al., 2015).

Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan untuk melihat kinerja petani penyuluh atau penyuluh swadaya dalam penyuluhan agroforestri berdasarkan persepsi petani yang mendapatkan penyuluhan dari para penyuluh swadaya. Selain itu, pada penelitian ini juga dianalisa peran penyuluh swadaya dalam sistem penyuluhan pemerintah. Lokasi penelitian diambil di Sulawesi Tenggara yang pendapatan masyarakatnya sebagian besar dari agroforestri (Janudianto et al., 2012) tapi masih belum banyak penyuluhan agroforestri ada di lokasi ini (Martini et al., 2013). Harapannya hasil studi ini dapat dijadikan sebagai bahan evaluasi untuk meningkatkan kinerja petani penyuluh atau penyuluh swadaya pada penyuluhan agroforestri.

II. METODOLOGI

A. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Provinsi Sulawesi Tenggara, tepatnya di Kabupaten Konawe dan

Kolaka Timur yang masyarakatnya menjadikan agroforestri sebagai salah satu mata pencaharian utamanya. Penelitian ini dilakukan dari bulan Mei 2015 hingga Agustus 2015. Berdasarkan informasi dari Badan Koordinasi Penyuluhan (Bakorluh) Provinsi Sulawesi Tenggara, pada tahun 2015, total jumlah penyuluh pertanian pemerintah untuk provinsi Sulawesi Tenggara adalah 706 orang, sedangkan penyuluh swadaya sebanyak 620 orang. Dengan total jumlah desa di Sulawesi Tenggara sebanyak 2272 desa, maka masih diperlukan sekitar 946 penyuluh pertanian, perikanan dan kehutanan. Untuk Kabupaten Konawe, ada sekitar penyuluh pertanian pemerintah sebanyak 115 orang, sedangkan penyuluh swadayanya sebanyak 196 orang, total desa 347. Belum ada data yang pasti tentang jumlah penyuluh di Kolaka Timur, sementara ini yang terdaftar hanya ada 44 orang penyuluh pemerintah dan penyuluh swadayanya 10 orang. Hal tersebut karena Kolaka Timur adalah Kabupaten baru yang mekar dari Kabupaten Kolaka pada tahun 2013, sehingga secara administratif masih dalam pembenahan, oleh karena itu sebagian besar penyuluhnya masih terdaftar pada Kabupaten Kolaka. Kolaka Timur memiliki 133 desa. B. Metode pengumpulan data dan data analisis

Studi ini dilakukan melalui wawancara terhadap 67 petani yang disuluh oleh petani penyuluh untuk membandingkan kinerja penyuluh swasta yang bekerja di bidang agroforestri (ICRAF), penyuluh swadaya/petani penyuluh yang bekerja untuk program agroforestri AgFor dan penyuluh pemerintah atau penyuluh PNS, dari segi pengetahuan, kemudahan berkomunikasi dan metode penyampaian, dengan metode ranking. Diskusi dengan 4 penyuluh pemerintah juga dilakukan untuk

Page 104: KAJIAN ALUR TATA NIAGA KAPULAGA (Amomum cardomum L

582 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

mengetahui persepsi mereka tentang peran dari penyuluh swadaya dalam mendukung program penyuluhan pemerintah. Definisi yang digunakan pada studi ini bersumber pada UU No. 16/2006, yaitu penyuluh pegawai negeri sipil adalah pegawai negeri sipil yang diberi tugas, tanggung jawab, wewenang, dan hak secara penuh oleh yang berwenang pada satuan organisasi lingkup pertanian, perikanan, atau kehutanan untuk melakukan kegiatan penyuluhan. Penyuluh swasta adalah penyuluh yang berasal dari dunia usaha dan/atau lembaga yang mempunyai kompetensi dalam bidang penyuluhan. Penyuluh swadaya adalah pelaku utama yang berhasil dalam dan warga masyarakat lainnya yang dengan kesadarannya sendiri mau dan mampu menjadi penyuluh. Data dianalisa dengan deskriptif statistik dan kualitatif. Untuk data perbedaan kinerja antara petani penyuluh, penyuluh swasta dan penyuluh pemerintahan, dilakukan uji statistik Kruskal Wallis Rank Sum karena data yang disuguhkan berupa nilai ranking.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Kinerja petani penyuluh Petani penyuluh bidang agroforestri berkunjung ke desa-desa yang disurvey, sejak tahun

2014 hingga saat ini. Biasanya petani penyuluh ini mengunjungi petani secara perorangan dengan jumlah sekitar 1 hingga 5 orang untuk sekali kunjungan, dan dalam sebulan hanya melakukan kegiatan penyuluhan selama 8 hari. Pada awalnya para petani penyuluh, melakukan penyuluhan secara swadaya di desanya masing-masing, kemudian diminta untuk membantu program AgFor di daerah lain yang berlokasi di kecamatan yang sama dengan tempat desanya berada, dengan difasilitasi dari segi biaya transportasi oleh program AgFor. Secara total, ada 20 petani penyuluh yang diperbantukan pada program AgFor dan dievaluasi kinerjanya pada studi ini. Hasil evaluasi menunjukkan bahwa 9% dari total petani responden sangat puas, 46,3 % puas, 25,4% agak puas dan ada sekitar 19,4% tidak puas dengan kinerja petani penyuluh. Penyuluh yang kinerjanya dinilai oleh petani dengan sangat memuaskan hingga agak memuaskan memberikan pengetahuan baru pada petani ketika melakukan kunjungan, sedangkan yang mendapat hasil evaluasi tidak memuaskan tidak memberikan pengetahuan baru pada petani. Oleh karena itu, penting untuk melakukan pembekalan pengetahuan baru pada petani penyuluh sehingga kinerjanya dalam melakukan penyuluhan menjadi lebih tepat sasaran. Tabel 1. Hasil evaluasi kinerja petani penyuluh dan topik hal baru yang dipelajari oleh petani

binaannya.

Topik hal baru yang dipelajari petani binaan dari petani

penyuluh

Hasil evaluasi kinerja petani penyuluh (n)

Sangat Memuaskan Memuaskan

Agak Memuaskan

Tidak memuaskan

Pemangkasan karet 1

Pemangkasan merica 1 1

Pembibitan merica 1 11

Pembibitan merica dan pembuatan bubur bordo 7

Pembibitan merica dan pembuatan pupuk organik 3 1

Pembibitan merica dan pembuatan rorak 1 1

Pembuatan bubur bordo dan pemangkasan durian 1

Pembuatan bubur bordo dan topping karet 1

Page 105: KAJIAN ALUR TATA NIAGA KAPULAGA (Amomum cardomum L

Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 583

Topik hal baru yang dipelajari petani binaan dari petani

penyuluh

Hasil evaluasi kinerja petani penyuluh (n)

Sangat Memuaskan Memuaskan

Agak Memuaskan

Tidak memuaskan

Pembuatan pestisida nabati 2 1 1

Pembuatan pupuk organik 1 1

Pembuatan pupuk organik dan bubur bordo 1

Pembuatan pupuk organik dan pestisida nabati 2

Pemupukan 2

Pemupukan merica 1

Penanaman merica 1

Penanggulangan hama dan penyakit 1

Perbanyakan vegetatif 1 2

Perbanyakan vegetatif dan pemupukan 2

Tidak ada 2 3 13

Grand Total 6 31 17 13

Sumber: data primer dari hasil wawancara dengan responden

Adapun hal-hal baru yang dipelajari oleh petani binaan di antaranya tentang pemangkasan karet dan merica, pembibitan merica, pembuatan bubur bordo, pembuatan pupuk organik, pembuatan pestisida nabati, teknik-teknik perbanyakan vegetatif tanaman (Tabel 1.). Dari topik-topik yang diajarkan oleh petani penyuluh, topik tentang pembibitan merica menjadi topik utama yang cukup menarik dan baru bagi petani binaan, hal ini karena selama ini petani biasanya langsung melakukan penanaman sulur merica di lapangan tanpa membibitkannya dahulu sebelumnya. Teknik pembibitan merica yang diajarkan oleh petani penyuluh diperoleh dari sekolah lapang yang diselenggarakan oleh program AgFor dengan mendatangkan ahli dari Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat (Balittro) Bogor, dan kemudian pembelajarannya difasilitasi oleh penyuluh swasta dari AgFor. B. Perbandingan kinerja petani penyuluh dengan penyuluh pemerintah dan penyuluh swasta

Berdasarkan hasil wawancara dengan petani binaan, terdapat perbedaan frekuensi kunjungan antara aktor penyuluh, penyuluh pemerintah rata-rata berkunjung 4 kali dalam setahun, sedangkan penyuluh swadaya dan penyuluh swasta berkunjung 2 kali dalam sebulan atau sekitar 24 kali dalam setahun. Hal ini karena penyuluh pemerintah memiliki kendala dari segi areal kerja yang harus dilingkupi dan juga keterbatasan sarana dan prasarana dalam melakukan penyuluhan jika dibandingkan dengan penyuluh swasta. Perbedaan kinerja antara petani penyuluh, penyuluh pemerintah dan penyuluh swasta dilihat dari ranking yang diberikan oleh responden dari kemudahan berkomunikasi, pengetahuan dan metode penyampaian penyuluhan (Tabel 2.). Berdasarkan uji statistik Kruskal Wallis Rank Sum, terdapat ranking perbedaan tingkat pengetahuan (P=0,000) dan kemudahan berkomunikasi (P=0,004), dan metode penyampaian (P=0,004) secara nyata antara penyuluh swasta, penyuluh pemerintah dan penyuluh swadaya atau petani penyuluh. Petani penyuluh dinilai memiliki pengetahuan dan kemudahan berkomunikasi yang sama dengan penyuluh pemerintah, sedangkan penyuluh swasta lebih baik. Akan tetapi dari segi metode penyampaian, penyuluh pemerintah lebih baik dari petani penyuluh dan penyuluh swasta.

Page 106: KAJIAN ALUR TATA NIAGA KAPULAGA (Amomum cardomum L

584 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

Tabel 2. Ranking kemudahan berkomunikasi, pengetahuan dan metode penyampaian yang dilakukan oleh penyuluh pemerintah, penyuluh swadaya dan penyuluh swasta.

Parameter Ranking

Penyuluh Pemerintah Petani Penyuluh/

Penyuluh Swadaya Penyuluh Swasta

Kemudahan berkomunikasi

3 2 1

Pengetahuan 2 3 1

Metode Penyampaian 1 3 2

Keterangan: 1 adalah ranking yang paling utama. Sumber: data primer dari hasil wawancara dengan responden

Dari hasil wawancara, diketahui bahwa petani penyuluh masih memiliki ranking sedang hingga rendah, terutama dari segi pengetahuan dan metode penyampaian penyuluhan. Sehingga akan lebih baik jika para petani penyuluh ini mendapatkan lebih banyak pelatihan yang dapat memperkaya pengetahuan mereka dan keterampilan mereka dalam melakukan kombinasi-kombinasi metode penyampaian penyuluhan.

C. Peran petani penyuluh untuk melengkapi kinerja penyuluh pemerintah

Berdasarkan hasil diskusi dengan para penyuluh, keberadaan petani penyuluh mendukung program penyuluhan yang sudah direncanakan oleh pemerintah mengingat keterbatasan jumlah personil penyuluh di setiap BP3K dan luasnya areal kerja yang harus mereka kunjungi tidak memungkinkan penyuluh untuk berkunjung ke desa binaan lebih sering. Di samping itu petani penyuluh juga menjadi sebagai sumber informasi bagi petani lainnya tentang teknologi dan informasi baru di bidang pertanian dan kehutanan, dan juga sebagai tempat berkonsultasi jika ada permasalahan yang petani hadapi. Hal penting dari keberadaan petani penyuluh, adalah perannya dalam menjembatani kesenjangan yang terjadi antara penyuluh pemerintah dengan petani, terutama karena petani penyuluh mengerti kondisi di desa mereka dan lebih mudah berkomunikasi dengan petani. Saat ini pada setiap kegiatan penyuluhan dari pemerintah, petani penyuluh selalu dilibatkan agar dapat kegiatan penyuluhan menjadi lancar dan tepat sasaran.

IV. KESIMPULAN

Kinerja petani penyuluh atau penyuluh swadaya dalam penyuluhan agroforestri jika dibandingkan dengan penyuluh swasta dan penyuluh pemerintah, masih perlu peningkatan terutama di bidang pengetahuan mereka dan metode penyampaian penyuluhan. Dengan kinerja saat ini petani binaan merasa puas dengan kinerja petani penyuluh, dan penyuluh pemerintah juga merasa terbantu dengan keberadaan petani penyuluh. Untuk ke depannya perlu ada peningkatan kapasitas bagi para petani penyuluh, seperti yang sudah diatur dalam Permentan No. 61 tahun 2008 tentang pedoman pembinaan penyuluh pertanian swadaya dan penyuluh pertanian swasta. Sehingga fungsi, peran, motivasi dan kinerja petani penyuluh atau penyuluh swadaya maupun penyuluh swasta bisa ditingkatkan. Perlu juga diciptakan mekanisme kerja kemitraan antara petani penyuluh atau penyuluh swadaya, penyuluh swasta dan penyuluh pemerintah dalam melakukan penyuluhan, sehingga bisa saling mengisi. Sesuai dengan UU No. 16/ 2006 pasal 21, pemerintah dan pemerintah daerah memiliki peran penting dalam memfasilitasi pelaksanaan pendidikan dan pelatihan bagi penyuluh swadaya maupun penyuluh swasta.

Page 107: KAJIAN ALUR TATA NIAGA KAPULAGA (Amomum cardomum L

Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 585

UCAPAN TERIMA KASIH

Penelitian ini dilakukan atas dukungan dari program Agroforestry and Forestry: Linking Knowledge to Action (AgFor) project (Contribution Arrangement No.7056890) yang didanai oleh Department of Foreign Affairs, Trade, and Development (DFATD) Canada. Ucapan terimakasih ditujukan pada petani responden dan penyuluh pemerintah di Kabupaten Konawe dan Kolaka Timur, Bakorluh Provinsi Sulawesi Tenggara, dan staff lembaga Operation Wallacea Terpadu (OWT), atas kerjasamanya selama pengumpulan data.

DAFTAR PUSTAKA

Badan Penyuluhan dan Pengembangan SDM Pertanian. 2013. Data Penyuluh Pertanian Swadaya sampai dengan Juli 2011. http://cybex.deptan.go.id/page/penyuluh-swadaya.

Janudianto, Khususiyah N, Isnurdiansyah, Suyanto and Roshetko JM. 2012. Agroforestry and Forestry

in Sulawesi series: Livelihood strategies and land use system dynamics in Southeast Sulawesi. Working paper 156. Bogor, Indonesia: World Agroforestry Centre (ICRAF) Southeast Asia Regional Program. 53p. DOI: 10.5716/WP12055.PDF.

Martini E, Tarigan J, Purnomosidhi P, Prahmono A, Surgana M, Setiawan E, Megawati, Mulyoutami E,

Meldy BW, Syamsidar, Talui R, Janudianto, Suyanto, Roshetko JM. 2013. Seri Agroforestri dan Kehutanan di Sulawesi: Kebutuhan penyuluhan agroforestri pada tingkat masyarakat di lokasi proyek AgFor di Sulawesi Selatan dan Tenggara, Indonesia. Working paper 168. Bogor, Indonesia: World Agroforestry Centre (ICRAF) Southeast Asia Regional Program. 44p. DOI: 10.5716/WP13044.PDF.

Roshetko JM, Purwanto E, Moeliono M, Perdana A, Widayati A, Purnomosidhi P, Mahrizal, Wau D,

Martini E, Paramita E, Suyanto S, Khasanah N, Dewi S, Rohadi D, Yuliani EL, Adnan H, Millang S, Umar A, Manurung G, Finlayson R, Dahlia L. 2015. Agroforestry and Forestry in Sulawesi: linking knowledge to action. Annual progress report Year 4 (April 2014 – March 2015). Bogor, Indonesia: World Agroforestry Centre (ICRAF) Southeast Asia Regional Program; Center for International Forestry Research; Operation Wallacea Trust; Makassar, Indonesia: Faculty of Forestry, Hasanuddin University.

Surahmanto, Haryadi FT, Sumadi. 2014. Kinerja Penyuluh Pertanian Sebagai Penyebar Informasi,

Fasilitator dan Pendamping dalam Pencapaian Program Pengembangan Sapi Bali (Bos sondaicus) di Kabupaten Muna Provinsi Sulawesi Tenggara. Buletin Peternakan 38(2): 116-124.

Syafruddin, Hariadi SS, Wastutiningsih SP. 2014. Tingkat Kinerja Penyuluh Pertanian di Kabupaten

Konawe Provinsi Sulawesi Tenggara. Jurnal Penyuluhan 10(2): 183-196. Syahyuti. 2014. Peran strategis penyuluh swadaya dalam paradigma baru penyuluhan pertanian di

Indonesia. Majalah Forum Agro Ekonomi 32(1):43-58.

Page 108: KAJIAN ALUR TATA NIAGA KAPULAGA (Amomum cardomum L

586 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

INOVASI METODE PENYULUHAN AGROFORESTRI UNTUK PERBAIKAN KEBUN DI SULAWESI SELATAN

Ummu Saad, Endri Martini, James M. Roshetko

World Agroforestry Centre (ICRAF), Jl. CIFOR Situgede, Sindang Barang, Bogor, Indonesia, 16680 E-mail Korespondesi :[email protected]

ABSTRAK

Penyuluhan yang terfokus pada isu agroforestri masih kurang banyak dilakukan.Metode-metode penyuluhan yang dilakukan pun masih cenderung bersifat umum, sehingga produktivitas kebun agroforestri masih kurang dan belum optimum dalam meningkatkan pendapatan pemiliknya.Oleh karena itu inovasi perlu dilakukan untuk menciptakan metode penyuluhan agroforestri yang efektif dan efisien. Studi ini dilakukan untuk menggali bentuk metode penyuluhan agroforestri untuk perbaikan kebun melalui wawancara dengan 150 petani yang mengikuti sekolah lapang agroforestri yang dilakukan selama 1 tahun di Kabupaten Bantaeng dan Bulukumba, Sulawesi Selatan. Informasi yang dikumpulkan di antaranya adalah preferensi bentuk kegiatan dalam sekolah lapang, manfaat yang diterima, dampaknya terhadap perubahan pengelolaan, hasil kebun dan pendapatan petani.Hasil penelitian menunjukkan bahwa kombinasi metode penyuluhan yang dilakukan pada sekolah lapang agroforestri cukup efektif untuk merubah pengelolaan kebun.Interaksi peneliti-petani penting dalam meningkatkan motivasi petani untuk merubah pengelolaan kebunnya, sedangkan interaksi petani-petani penting untuk meningkatkan pengetahuan petani.Metode penyuluhan yang dipilih oleh petani tergantung pada tipe pengetahuan yang dicari dan kemudahan memahami pengetahuan yang disampaikan.Pelibatan petani yang sukses menjadi penyuluh dapat menjadi salah satu alternatif untuk menekan biaya pelaksanaan penyuluhan agroforestri.Inovasi metode penyuluhan agroforestri dapat diciptakan dengan mengkombinasikan beberapa metode penyuluhan yang disesuaikan dengan tujuan program penyuluhan, preferensi petani, dan biaya yang teranggarkan. Kata kunci: sekolah lapang agroforestri, kunjungan lapang, peneliti-petani, petani-petani, diskusi-praktek

I. LATAR BELAKANG

Metode penyuluhan yang umum dilakukan di Indonesia dibagi berdasarkan besarnya kegiatan, yaitu jika ada proyek nasional, maka yang digunakan adalah sekolah lapang dan kunjungan lapang, sedangkan untuk kegiatan rutin biasanya metode yang digunakan berupa metode pendekatan perorangan dan metode pendekatan kelompok. Perbedaan metode tersebut disebabkan karena keterbatasan dana dan akses ke narasumber kegiatan penyuluhan. Hal ini yang menyebabkan metode penyuluhan sekolah lapang tidak banyak diterapkan oleh penyuluh karena biayanya yang cukup tinggi jika tidak didukung oleh proyek nasional.

Beberapa penelitian menyebutkan bahwa penyuluhan yang tepat dan hemat dapat dilakukan dengan mengkombinasikan beberapa metode penyuluhan. Contoh kombinasi seperti yang disebutkan Sluijer (1995), penyuluhan budidaya perikanan dilakukan dengan beberapa kegiatan dimulai dari melakukan komunikasi pertama dengan pimpinan desa untuk membuat janji melakukan pertemuan dengan masyarakat di tingkat desa, lalu memberikan materi budidaya perikanan kepada petani dengan penayangan slide dan diskusi, dilanjutkan dengan kegiatan kunjungan lapang dan menggunakan motivator yang menyediakan layanan penyuluhan kepada petani yang lambat mengadopsi, dan terakhir menggunakan pamphlet untuk disebarkan petani sebagai sumber informasi spesifik dalam budidaya perikanan. Hosseini (2011) menyebutkan bahwa kunjungan lapang dan pelatihan praktis adalah metode yang paling efektif dalam meningkatkan pengelolaan hutan berkelanjutan.Hasil penelitian Anandajasekeram et al. (2007) menyebutkan bahwa prinsip sekolah lapang bisa diterapkan dengan mengkombinasikan dengan metode penyuluhan yang sudah biasa dilakukan di sistem yang tersedia.

Page 109: KAJIAN ALUR TATA NIAGA KAPULAGA (Amomum cardomum L

Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 587

Untuk bidang agroforestri belum banyak dilakukan penelitian untuk menganalisa kombinasi metode penyuluhan yang baik dalam menyampaikan hasil penelitian agroforestri sehingga bisa membantu petani dalam meningkatkan hasil pertaniannya dan pendapatannya.Untuk itulah penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk menggali alternatif kombinasi metode penyuluhan agroforestri yang tepat.

II. METODE

Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Bantaeng dan Bulukumba, Sulawesi Selatan yang terdiri dari 10 desa: 5 desa dilaksanakan penyuluhan dari peneliti ke petani (n=56 responden) dan 5 desa dilaksanakan penyuluhan dari petani ke petani (n=94 responden). Pengambilan data dalam penelitian ini yaitu pada bulan Mei-Agustus 2014.

Penelitian ini dilakukan dengan menganalisa pelaksanaan dan hasil dari sekolah lapang agroforestri yang dilaksanakan oleh ICRAF di Kabupaten Bantaeng dan Kabupaten Bulukumba Sulawesi Selatan selama 1 tahun (2013-2014).Pada sekolah lapang agroforestri ini dikombinasikan beberapa metode penyuluhan dari metode penyuluhan diskusi dan praktek antara peneliti ke petani, metode penyuluhan diskusi dan praktek antara petani ke petani, dan metode kunjungan lapangan ke kebun petani yang sukses.Tujuan dari sekolah lapang ini adalah untuk meningkatkan pengetahuan petani dalam pengelolaan kebun agroforestri yang produktif dan ramah lingkungan. Ketiga metode tersebut dievaluasi dengan mewawancarai 150 peserta sekolah lapang yang juga petani, dari preferensi peserta, manfaat yang diterima, dampaknya terhadap perubahan pengelolaan, hasil dan pendapatan petani. Responden tersebut tersebar di beberapa desa tempat dimana dilaksanakan sekolah lapang agroforestri dengan metode peneliti ke petani: Balang Pesoang, Campaga, Pattaneteang, Tugondeng, Karassing; dan metode petani ke petani: Bonto Bulaeng, Bonto Karaeng, Kayu Loe, Pa’bumbungan dan Onto; dan semua desa untuk kunjungan lapang. Data yang dikumpulkan kemudian dianalisa dengan menggunakan analisa data statistik deskriptif dan kualitatif.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Manfaat dari kombinasi metode penyuluhan pada sekolah lapang agroforestri Manfaat yang diperoleh petani dari metode penyuluhan pada sekolah lapang agroforestri

dengan metode diskusi dan praktek baik pada peneliti ke petani maupun petani ke petani ditunjukkan pada Grafik 1.Tipe manfaat yang diterima bervariasi pada 2 tipe metode penyuluhan tersebut.

Grafik 1.Tipe-tipe manfaat yang diterima oleh peserta sekolah lapang agroforestri berdasarkan

metode penyuluhan yang diterapkan (Peneliti-petani dan Petani-petani) di masing-masing desa.

0102030405060708090

Pengetahuanbaru

bertambah

Hasilmeningkat

Motivasimeningkat

Pendapatanmeningkat

Tidak ada

Per

sen

tase

dar

i to

tal

resp

on

de

n p

er

tip

e k

elas

de

sa

(%)

Tipe manfaat yang diterima dari sekolah lapang agroforestri

Peneliti-petani (n=56)

Petani-petani (n=94)

Page 110: KAJIAN ALUR TATA NIAGA KAPULAGA (Amomum cardomum L

588 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

Metode penyuluhan dengan interaksi antara petani dengan petani lain dinilai cukup efektif dalam menambah pengetahuan dan meningkatkan hasil kebun petani sasaran. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Khaila et al. (2015), dengan menggunakan petani sebagai penyuluh dalam suatu kegiatan penyuluhan dapat meningkatkan akses informasi petani sehingga membantu dalam diseminasi informasi dan meningkatkan produksi pertanian.Ditambahkan pula oleh Kundhlandeet al.(2014), penyuluhan petani ke petani adalah salah satu bentuk pendekatan yang digunakan oleh banyak organisasi.Telah diamati bahwa organisasi yang menggunakan pendekatan petani ke petani untuk beberapa alasan, termasuk peningkatan cakupan dalam biaya yang rendah dan meningkatkan keberlanjutan.Pendekatan ini juga dikatakan mampu meningkatkan adopsi teknologi.Sedangkan metode penyuluhan dengan interaksi antara peneliti ke petani selain efektif dalam meningkatkan pengetahuan dan meningkatkan hasil kebun juga meningkatkan motivasi petani dalam menerapkan teknologi yang disampaikan oleh peneliti. Berdasarkan hasil wawancara, responden merasakan adanya perubahan pendapatan dari penerapan teknologi yang disampaikan dalam sekolah lapang agroforestri (Tabel 1.). Dari beberapa topik yang disampaikan terdapat 3 topik yang memberikan perubahan pendapatan petani, yaitu tentang pemupukan, pemangkasan dan produksi bibit berkualitas.Akan tetapi petani yang mendapatkan perubahan pendapatan hanya 18% dari total responden.Hal ini dikarenakan dalam penerapan teknologi agroforestri yang disampaikan dalam sekolah lapang membutuhkan waktu kurang lebih 3 tahun untuk dapat melihat perubahan yang banyak karena kondisi tanaman agroforestri merupakan tanaman tahunan. Tabel 1. Perubahan Pendapatan Petani per Tahun yang Menerapkan Teknologi

Topik (jumlah responden) Peningkatan Pendapatan

Pemupukan (n=4) Rp 2.420.000

Pemangkasan (n=20) Rp 878.400

Produksi bibit berkualitas (n=3) Rp 91.667

Sumber : Data Primer yang Telah Diolah, 2015.

B. Preferensi bentuk metode penyuluhan yang disukai petani Metode petani ke petani termasuk yang diminati dengan persentase sekitar 49% dari total

responden, kedua adalah metode peneliti ke petani dengan persentase sekitar 35%, ketiga adalah kunjungan lapang dengan persentase sekitar 6% (Tabel 2.).Alasan metode petani-petani diminati terutama karena mudah dipahami dan dingat, langsung praktek dan bahasanya mudah dipahami.Metode peneliti ke petani diminati terutama karena informasi yang diberikan merupakan informasi baru yang terpercaya.Sedangkan kunjungan lapang diminati karena dapat langsung melihat buktinya dan berdiskusi dengan petani sukses di lapangan. Tabel 2. Preferensi bentuk metode penyuluhan yang disukai beserta alasannya

Kelompok alasan

Alasan

Tipe metode penyuluhan

Kunjungan lapang (n=9)

Peneliti-petani (n=52)

Petani-petani

(74)

Lainnya (n=2)

Tidak tahu

(n=13)

Metode penyampaian (n=42)

Ada prakteknya - 3 9 1 -

Bahasa mudah dipahami - - 6 - -

Belajar sesama petani - - 1 - -

Dapat langsung melihat dan diskusi di lapangan

6 - - - -

Mudah dipahami dan diingat

- 5 9 - -

Tidak menganggu - - 1 - -

Page 111: KAJIAN ALUR TATA NIAGA KAPULAGA (Amomum cardomum L

Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 589

Kelompok alasan

Alasan

Tipe metode penyuluhan

Kunjungan lapang (n=9)

Peneliti-petani (n=52)

Petani-petani

(74)

Lainnya (n=2)

Tidak tahu

(n=13)

rutinitas

Bertukar pengalaman - - 1 - -

Tipe informasi (n=16)

Banyak pengalaman baru 2 - - - -

Informasi baru dari peneliti lebih dipercaya

- 13 - - -

Sudah ada buktinya - - 1 - -

Tidak tahu (n=92) 1 31 46 1 13

Sumber : Data Primer yang Telah Diolah, 2015.

Jika dilihat dari kelompok alasan petani dalam memilih metode penyuluhan, ada 2 kelompok yaitu kelompok metode penyampaian dan tipe informasi yang diterimanya.Metode penyampaian sebaiknya yang mudah dipahami oleh petani, bisa dipraktekkan langsung dan tidak menganggu rutinitas petani.Sedangkan tipe informasi baiknya adalah informasi yang baru yang sudah terbukti atau terpercaya.Hasil penelitian Puspadi et al. (2005), petani lebih suka belajar dengan mengalami langsung.Hal ini mengindikasikan bahwa metode pembelajaran yang relatif efektif untuk merubah perubahan prilaku para petani, kalau metode tersebut mampu menyentuh domain sikap dan emosinya. Domain tersebut akan tersentuh kalau yang bersangkutan langsung mengalami langsung. Oleh karena itu dalam memberikan penyuluhan pertanian perlu diperhatikan apakah metode yang diberikan kepada petani sesuai dengan preferensi mereka dalam belajar.

C. Biaya pelaksanaan metode penyuluhan pada sekolah lapang agroforestri

Total biaya yang dikeluarkan untuk pelaksanaan sekolah lapang agroforestri pengelolaan kebun dengan kombinasi metode penyuluhan diskusi-praktek (petani ke petani dan peneliti ke petani) dan kunjungan lapang (petani ke petani) untuk 5 komoditas agroforestri (merica, cengkeh, kopi, coklat dan durian) selama 1 tahun sekolah lapang pada 10 desa binaan di Bantaeng-Bulukumba, adalah Rp 65.200.000. Jika dirinci, biaya terbesar dikeluarkan pada kegiatan kunjungan lapang, yaitu sebesar Rp 8.000.000 per kunjungan dengan sekitar 30 orang peserta.Sedangkan jika dilakukan kegiatan diskusi-praktek, biayanya adalah sekitar Rp 6.300.000 jika digunakan pendekatan metode peneliti-petani, dan Rp 2.500.000 jika digunakan pendekatan metode petani-petani.Perbedaan besaran biaya antara pendekatan peneliti ke petani dan petani ke petani karena biaya narasumber yang berbeda antara mendatangkan narasumber dari luar dengan menggunakan narasumber lokal yang terpercaya.Oleh karena itu pelibatan petani yang sukses menjadi narasumber ataupun penyuluh dapat menjadi salah satu alternatif untuk menekan biaya pelaksanaan penyuluhan agroforestri.

Shrestha (2013) menemukan bahwa pendekatan petani ke petani merupakan pendekatan dengan biaya yang efektif, meningkatkan akses ke layanan penyuluhan oleh petani miskin dan kelompok yang kurang beruntung dan meningkatkan partisipasi petani dalam perencanaan.Tambahannya, pendekatan petani ke petani membantu dalam penganggaran dan implementasi program pembangunan pertanian.Selain itu, pendekatan pemberdayaan kelompok yang kurang beruntung dengan menyediakan kesempatan kepada mereka untuk menjadi penyuluh dan meningkatkan adopsi teknologi baru.

D. Potensi Kombinasi Metode Penyuluhan Agroforestri

Dari hasil penelitian ditemukan bahwa kegiatan penyuluhan efektif manfaatnya dan efisien apabila dikombinasikan metode-metode penyuluhan yang dapat mendorong petani dalam memperbaiki pengelolaan kebun agroforestri dan pada akhirnya dapat meningkatkan kesejahteraan

Page 112: KAJIAN ALUR TATA NIAGA KAPULAGA (Amomum cardomum L

590 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

petani. Langkah awal yang dilakukan dengan meningkatkan pengetahuan petani dan memperbarui sumber informasi pada topik pengelolaan agroforestri dengan memberikan penyuluhan melalui metode diskusi dan praktek langsung menggunakan narasumber peneliti sebagai tahap awal dan dilanjutkan menggunakan petani sebagai narasumber, lalu dilakukan kunjungan lapang untuk meningkatkan daya analisa dan memperluas jaringan sumber informasi petani yang dapat membantu petani untuk memecahkan masalah yang mereka hadapi di kebun mereka.

Penyuluhan dengan kombinasi metode penyuluhan juga dilakukan oleh FAO dalam budidaya perikanan dengan mengkombinasikan pendekatan kelompok dan individu dimana pendekatan penyuluhan berkelompok merupakan metode yang penting untuk membangkitkan kesadaran dan memfasilitasi proses pengambilan keputusan untuk mengadopsi budidaya perikanan dan pendekatan individu melengkapi penyuluhan penyuluhan kelompok. Setelah diberikan banyak informasi tentang dasar budidaya perikanan, dan hanya petani yang menunjukkan minatnya yang akan ditindaklanjuti untuk mengikuti kegiatan kunjungan lapang (Sluijer, 1995). Dalam metode penyuluhan yang dilakukan oleh FAO juga menggunakan motivator yang merupakan petani yang memiliki pengetahuan yang lebih banyak dan bersedia berbagi dan memberikan layanan penyuluhan kepada petani lain yang lambat mengadopsi teknologi budidaya perikanan. Kombinasi ini efektif dan efisien dalam pelakasanaan penyuluhan untuk meningkatkan adopsi teknologi.

Untuk itu, dalam penyuluhan agroforestri, pelibatan petani untuk membantu penyuluh dalam diseminasi informasi sangat penting untuk diperhatikan karena mampu meningkatkan pengetahuan petani dalam pengelolaan kebun dan juga menekan biaya penyuluhan. Menurut Kundhlande et al.(2014), petani dilibatkan dalam mengkomunikasikan informasi dan menyebarkan teknologi kepada sesama petani di dalam komunitas mereka. Pemerintah dan organisasi lainnya yang menyediakan layanan penyuluhan untuk petani memiliki anggaran yang terbatas, sehingga mereka tidak mampu menyewa penyuluh dalam jumlah yang banyak untuk mencapai semua petani yang membutuhkan layanan tersebut. Keterlibatan petani menjangkau banyak petani lain dengan biaya yang murah.

IV. KESIMPULAN DAN SARAN

Inovasi metode penyuluhan agroforestri yang perlu dibuat adalah kombinasi dari beberapa metode penyuluhan yang disesuaikan dengan tujuan program penyuluhan dan terutama kondisi sosial ekonomi masyarakatnya.Metode peneliti ke petani, petani ke petani, kunjungan lapang, diskusi dan praktek adalah pilihan-pilihan metode penyuluhan agroforestri yang dapat dikombinasikan dalam pelaksanaannya. Preferensi petani di lokasi setempat dan juga biaya yang teranggarkan merupakan 2 aspek penting yang perlu dipertimbangkan dalam pemilihan kombinasi metode penyuluhan inovatif yang akan dilaksanakan, sehingga penyuluhan agroforestri lebih hemat dan tepat sasaran.

UCAPAN TERIMA KASIH

Penelitian ini dilakukan atas dukungan dari program Agroforestry and Forestry: Linking Knowledge to Action (AgFor) project (Contribution Arrangement No.7056890) yang didanai oleh Department of Foreign Affairs, Trade, and Development (DFATD) Canada. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada para petani di Kabupaten Bantaeng dan Bulukumba, Sulawesi Selatan atas kerjasamanya dan kepada Jalaluddin yang ikut membantu dalam proses pengumpulan data dalam penelitian ini.

Page 113: KAJIAN ALUR TATA NIAGA KAPULAGA (Amomum cardomum L

Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 591

DAFTAR PUSTAKA

Anandajasekeram, Davis K, Workneh S. 2007. Farmer Field School : An Alternative to Existing Extension Systems? Experience from Eastern and Southern Africa. Journal of International Agricultural and Extension Education Volume 14, Number 1 : 81-93.

Hosseini SJ. 2011. Effective Extension Methods in Improving Sustainable Forest Management in Iran.

ARPN Journal of Agricultural and Biological Sciences Vol. 6 No. 12 : 8-11. Khaila S, Tchuwa F, Franzel S, Simpson B. 2015. The Farmer-to-Farmer Extension Approach in Malawi

: A Survey of Lead Farmers. ICRAF Working Paper No.189. Nairoba, World Agroforestry Centre. DOI: http://dx.doi.org/10.5716/WP14200.PDF.

Kundhlande G, Franzel S, Simpson B, Gausi E. 2014. Farmer-to-Farmer Extension Approach in Malawi

: A Survey of Organizations Using The Approach ICRAF Working Paper N0. 183. Nairobi, World Agroforestry Center. DOI: http://dx.doi.org/10.5716/WP14384.PDF.

Puspadi K, Hastuti S, Wijayanto K. 2005. Preferensi Petani Terhadap Inovasi Pertanian dan Metode

Pembelajaran pada Agroekosistem Lahan Kering Kasus di Kabupaten Lombok Timur.Prosiding Seminar Nasional Lahan Marginal 2005, tanggal 30-31 Agustus 2005 di Mataram. Hlm: 410-421. PERHIMPI (Perhimpunan Meterologi Pertanian Indonesia).

Shrestha S, Rana S. 2013. Decentralizing the Farmer-to-Farmer Extension Approach to The Local

Level. Paper Submitted to CAPSA for the “Technology Transfer for Smallholder Farmers” Policy Dialogue.

Sluijer, J.V. 1995. Aquaculture Extension Guidelines for Small Scale Farmers. ALCOM Report No.16.

Food and Agriculture Organization of The United Nations Zimbabwe.

Page 114: KAJIAN ALUR TATA NIAGA KAPULAGA (Amomum cardomum L

592 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

PERAN PENYULUHAN AGROFORESTRI DALAM PENINGKATAN PENGETAHUAN DAN PENDAPATAN MASYARAKAT PEDESAAN DI SULAWESI TENGGARA

Yeni Angreiny1, Endri Martini1, Noviana Khususiyah1, James M. Roshetko1

World Agroforestry Centre (ICRAF), Jl. CIFOR Situgede, Sindang barang, Bogor, 16117. Email korepondensi : [email protected]

ABSTRAK

Agroforestri termasuk sebagai sumber pendapatan utama petani di Indonesia. Secara umum, penyuluhan yang dilakukan oleh pemerintah belum terfokuskan pada bidang agroforestri, sehingga menyebabkan rendahnya pengetahuan petani dalam mengelola kebun agroforestnya. Hal tersebut berdampak pada rendahnya pendapatan petani agroforestri. Rendahnya kuantitas dan kualitas penyuluhan agroforestri diantaranya disebabkan oleh minimnya kajian dilakukan untuk melihat dampak dari penyuluhan agroforestri terhadap pendapatan petani. Oleh karena itu, studi ini dilakukan dengan harapan dapat dijadikan sebagai acuan pemerintah dalam memprioritaskan agroforest pada program penyuluhannya terutama di daerah dimana agroforestri menjadi sumber pendapatan utama petani seperti di Sulawesi Tenggara. Informasi untuk studi ini diperoleh melalui wawancara terhadap 227 petani agroforestri di Kabupaten Konawe dan Kabupaten Kolaka Timur. Informasi yang dikumpulkan melalui wawancara adalah frekuensi dan topik penyuluhan yang diterima, serta peningkatan pengetahuan dan pendapatan petani dalam periode 2012-2014. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 211 respondents atau 93% dari total respondent mendapatkan penyuluhan agroforestri yang dilakukan oleh pihak swasta dan pemerintah. Dalam kurun waktu 2 tahun, penyuluhan yang berfokus pada kegiatan agroforestri terbukti dapat meningkatkan pengetahuan 93% dari petani yang mendapatkan penyuluhan. Sedangkan peningkatan pendapatan diperoleh oleh 203 petani (89%) dan peningkatan hasil kebun diperoleh oleh 195 petani (86%) melalui perbaikan kebun agroforest produktif dan penjualan bibit. Dengan peningkatan hasil kebun dan pendapatan sekitar 18%. Rendahnya peningkatan pendapatan, karena tanaman agroforestri adalah tanaman tahunan, sehingga program penyuluhan agroforestri minimal dilakukan selama 3 tahun untuk menghasilkan dampak terhadap pendapatan yang lebih nyata. Kerjasama antara pemerintah dengan lembaga swasta dapat meningkatkan kualitas dan kuantitas penyuluhan agroforestri, yang akan meningkatkan pendapatan petani. Kata kunci: Konawe, Kolaka Timur, prioritas program penyuluhan, kualitas penyuluhan, intensitas penyuluhan

I. PENDAHULUAN

Agroforestri (kombinasi perkebunan dan kehutanan) belum secara langsung menjadi prioritas program penyuluhan pertanian yang saat ini dilaksanakan oleh pemerintah Indonesia (Programa Penyuluhan Pertanian Nasional, 2015). Sedangkan pada program penyuluhan kehutanan, sejak lima tahun terakhir penyuluhan untuk bidang kehutanan sudah mulai terorganisir dengan baik dengan dikeluarkannya pedoman penyusunan programa penyuluhan kehutanan melalui Permenhut No. P.41/Menhut-II/2010, akan tetapi belum banyak yang terfokus pada bidang agroforestri. Padahal, berdasarkan data BPS tahun 2013, 17 juta petani di Indonesia mengandalkan pendapatannya dari sektor agroforestri. Peneliti penyuluhan pertanian van den Ban dan Hawkins (1999) mengemukakan penyuluhan adalah bagian penting dari pembangunan pertanian, yang dapat meningkatkan produktivitas, pendapatan dan kesejahteraan petani. Penyuluhan dapat memfasilitasi terjadinya perubahan sikap mental, cara berpikir dan cara kerja, pengetahuan dan ketrampilan petani dan bantuan permodalan agar petani mampu mengadopsi teknologi secara efektif serta memberikan motivasi kepada petani untuk meningkatkan produksinya. Akan tetapi, secara umum, penyuluhan yang dilakukan oleh pemerintah di Indonesia belum terfokuskan pada bidang agroforestri, sehingga menyebabkan rendahnya pengetahuan petani dalam mengelola kebun agroforestnya. Hal tersebut berdampak pada rendahnya pendapatan petani agroforestri.

Page 115: KAJIAN ALUR TATA NIAGA KAPULAGA (Amomum cardomum L

Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 593

Dalam hubungannya dengan peningkatan pengetahuan dan pendapatan petani, kegiatan penyuluhan agroforestri di antaranya dilakukan melalui pembentukan badan usaha (Roshetko et al., 2007a), dan untuk membangun alternatif mata pencaharian yang berkelanjutan yang berkontribusi pada peningkatan kesejahteraan masyarakat setempat dan memperbaiki strategi konservasi keanekaragaman hayati (Roshetko et al., 2007b, Martini et al., 2007). Rendahnya kuantitas dan kualitas penyuluhan agroforestri khususnya di daerah Indonesia bagian Timur seperti di Sulawesi Tenggara (Martini et al., 2013) diantaranya disebabkan oleh minimnya kajian dilakukan untuk melihat dampak dari penyuluhan agroforestri terhadap pendapatan petani. Oleh karena itu, studi ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui dampak dari kegiatan penyuluhan dalam peningkatan pengetahuan dan pendapatan masyarakat melalui perbaikan sistem agroforestri di Sulawesi Tenggara. Harapannya, studi ini dapat dijadikan sebagai acuan pemerintah dalam memprioritaskan agroforest pada program penyuluhannya terutama di daerah dimana agroforestri menjadi sumber pendapatan utama petani seperti di Sulawesi Tenggara.

II. METODE PENGUMPULAN DATA

A. Lokasi dan waktu penelitian

Studi ini dilakukan di 2 kabupaten di provinsi Sulawesi Tenggara, yaitu kabupaten Konawe dan kabupaten Kolaka Timur. Kedua kabupaten ini merupakan dua kabupaten utama di Sulawesi Tenggara yang mengusahakan perbaikan pengelolaan kebun agroforestri, dengan komoditas utama kakao, merica dan cengkeh (Janudianto et al., 2012). Pengambilan data dilakukan pada bulan Februari – Maret 2015.

B. Metode dan data analisis

Pengumpulan data tentang potensi penyuluhan agroforestri, frekuensi penyuluhan dan dampak penyuluhan agroforestri terhadap peningkatan pengetahuan dan pendapatan dilakukan melalui wawancara terhadap 227 petani responden yang tersebar di kedua kabupaten. Responden dipilih dengan purposive sampling yaitu petani yang memiliki kebun agroforest. Data primer yang terkumpul dianalisa secara kuantitatif melalui deskriptif statistik dan kualitatif.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Penyuluhan agroforestri yang diterima oleh petani di Sulawesi Tenggara

Hasil penelitian menunjukkan bahwa 211 responden atau 93% dari total responden mendapatkan penyuluhan agroforestri yang dilakukan oleh pihak swasta dan pemerintah. Kendala utama dari 7% responden yang tidak mendapatkan penyuluhan agroforestri adalah karena kurang informasi tentang adanya penyuluhan dari pihak penyuluh. Berdasarkan hasil wawancara dengan responden, frekuensi kunjungan penyuluh berbeda tergantung dari pelaku penyuluhannya. Untuk penyuluh swasta rata-rata sekitar 8 kali dalam setahun, sedangkan untuk penyuluh pemerintah hanya sekitar 3 kali dalam setahun. Topik yang dibahas pun bervariasi tergantung pada kebutuhan petani dan sumber daya penyuluh yang ada. Topik yang dibahas oleh penyuluh pemerintahan terutama terkait dengan peningkatan produksi kakao melalui program nasional gernas kakao di Sulawesi Tenggara, yaitu tentang (i) sambung samping untuk peremajaan pohon kakao, (ii) pemangkasan coklat, dan (iii) pengendalian hama dan penyakit coklat. Sedangkan topik yang dibahas oleh penyuluh swasta (Lembaga Penelitian ICRAF dan LSM OWT) lebih kepada multikomoditas yang bisa dipadupadankan dalam sistem kebun campur atau agroforestri. Topik-topik yang dibahas oleh penyuluh swasta adalah tentang (i) pembuatan bibit unggul untuk berbagai komoditas, (ii) pemupukan (dengan pupuk organik maupun pupuk kimia), (iii) pengaturan jarak tanam pada kebun campur, (iv) pengendalian hama dan penyakit pada kebun campur, dan (v) pemeliharaan pohon (termasuk pemangkasan, penjarangan).

Page 116: KAJIAN ALUR TATA NIAGA KAPULAGA (Amomum cardomum L

594 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

Keberadaan penyuluh pemerintah dan swasta yang memberikan penyuluhan menguntungkan petani, terutama karena karakteristik topik yang diajarkan oleh 2 tipe pelaku penyuluhan ini berbeda. Sehingga dengan menerima penyuluhan dari 2 pihak dapat memperkaya pengetahuan yang diterima oleh petani. B. Manfaat penyuluhan agroforestri yang diterima oleh petani

Berdasarkan hasil wawancara dengan responden, rata-rata pendapatan dari sektor agroforestri di Konawe dan Kolaka Timur relatif sama dengan kisaran antara Rp 10.000 hingga Rp 35.000 per hari. Perbedaan pendapatan terutama tergantung pada umur dari kebun agroforest yang dikelola, untuk kebun agroforestri yang berumur di bawah 5 tahun cenderung menghasilkan pendapatan yang lebih kecil dibandingkan kebun yang berumur produktif (5-30 tahun). Dalam kurun waktu 2 tahun (2013-2015), penyuluhan yang berfokus pada kegiatan agroforestri yang diberikan pada responden terbukti dapat meningkatkan pengetahuan dari 211 petani (93%) yang mendapatkan penyuluhan. Sedangkan peningkatan pendapatan diperoleh oleh 203 petani (89%) dan peningkatan hasil kebun diperoleh oleh 195 petani (86%). Besarnya peningkatan pendapatan dan hasil kebun yang bervariasi (Gambar 1. dan Gambar 2.). Rata-rata peningkatan hasil kebun adalah 19% (Standard deviasi=16%) sedangkan peningkatan pendapatan adalah 18% (Standard deviasi=15%). Peningkatan hasil kebun dan pendapatan lebih dari 30% didapat oleh 27 petani (12% dari total responden) yang kebunnya sudah produktif dengan perbaikan yang dilakukan adalah melalui sambung samping dan pemupukan pada kebun agroforest kakao berumur lebih dari 15 tahun.

Grafik 1. Jumlah responden yang mengalami peningkatan hasil kebun setelah mengikuti penyuluhan

agroforestri selama 2 tahun.

34

1

62

14

39

9 9 7

14

1 3 2

0

10

20

30

40

50

60

70

3 5 7 10 15 20 25 30 35 40 60 50 70 75 80

Jum

lah

res

po

nd

en (

n)

peningkatan hasil kebun 2 tahun setelah penyuluhan agroforestri (%)

Page 117: KAJIAN ALUR TATA NIAGA KAPULAGA (Amomum cardomum L

Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 595

Grafik 2. Jumlah responden yang mengalami peningkatan pendapatan setelah mengikuti penyuluhan

agroforestri selama 2 tahun. Rendahnya jumlah responden yang dapat meningkatkan pendapatan maupun hasil kebun lebih dari 30% setelah 2 tahun penyuluhan, diantaranya karena tanaman agroforestri adalah tanaman tahunan, sehingga untuk melihat dampak nyata terhadap perubahan pendapatan dan hasil kebun diperlukan waktu minimal 3 tahun setelah penyuluhan dilakukan jika tanaman yang ditanam adalah kakao, kopi dan merica, dan lebih dari 5 tahun jika tanaman yang ditanam adalah durian, cengkeh dan tanaman kayu-kayuan. C. Tantangan dan potensi peningkatan penyelenggaran penyuluhan agroforestri di tingkat desa

Berdasarkan hasil diskusi dengan petani di lokasi studi, diidentifikasi 4 tantangan yang dihadapi petani dalam mengikuti kegiatan penyuluhan agroforestri di Sulawesi Tenggara, yaitu: 1. Kurangnya penyuluh yang berkunjung ke petani, karena terbatasnya tenaga penyuluh lapangan

dari pemerintah sehingga masih banyak petani yang tidak terjangkau dan mendapatkan informasi tentang penyuluhan agroforestri.

2. Kurangnya informasi ke petani tentang adanya kegiatan penyuluhan, ini biasa terjadi ketika ada satu pihak di desa yang tidak menyampaikan undangan penyuluhan ke masyarakat desa yang membutuhkannya. Harapannya ini dapat dihindari dengan memberikan undangan pada berbagai lapisan masyarakat di desa yang disuluh, sehingga penyuluhan agroforestri dapat secara merata diterima oleh petani.

3. Penyuluhan yang diberikan tidak sesuai dengan kebutuhan petani, sehingga mengakibatkan petani tidak terlalu mendapatkan manfaat dari mengikuti kegiatan penyuluhan. Hal ini berdampak pada kurangnya minat petani untuk berpartisipasi dalam kegiatan penyuluhan. Sehingga biasanya petani lebih memilih mengerjakan kegiatan yang dinilai berkontribusi langsung terhadap kehidupannya.

4. Metode penyajian penyuluhan kurang menarik dan disajikan dalam bahasa yang sulit dipahami oleh petani. Umumnya, petani lebih senang ketika dilakukan penyuluhan langsung di lapangan dengan porsi praktek yang lebih banyak, sehingga memudahkan petani memahami apa yang hendak disampaikan melalui penyuluhan yang diberikan.

Tantangan-tantangan di atas jika tidak ditangani dengan baik tentunya dapat berimbas kepada peningkatan kapasitas tentang pengetahuan petani dalam mengelola kebunnya. Yang nantinya akan berujung pada peningkatan pendapatan petani. Oleh karena itu, para penyuluh perlu membuat strategi khusus dalam melakukan penyuluhan, terutama yang dapat menarik minat dari petani untuk berpartisipasi dalam kegiatan penyuluhan.

1

21

88

14

33

8 11

2 6

12

1 5

1 0

10

20

30

40

50

60

70

80

90

100

3 5 7 10 15 20 25 30 35 40 60 50 70 75 80

Jum

lah

res

po

nd

en (

n)

peningkatan pendapatan 2 tahun setelah penyuluhan agroforestri (%)

Page 118: KAJIAN ALUR TATA NIAGA KAPULAGA (Amomum cardomum L

596 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

Beberapa potensi yang dapat dilakukan oleh penyuluh dalam meningkatkan kualitas penyelenggaraan penyuluhan agroforestri di antaranya: 1. Menambah tenaga penyuluh agroforestri di masing-masing desa dengan memberdayakan petani

unggul yang juga dapat berperan sebagai penyuluh agroforestri. Hal ini juga yang dilakukan oleh ICRAF di Sulawesi Tenggara melalui program AgFor untuk memenuhi kebutuhan penyuluh dengan memberdayakan petani unggul di beberapa desa untuk bertugas sebagai penyuluh, atau yang juga disebut petani penyuluh. Petani penyuluh biasanya akan menggunakan bahasa lokal yang lebih dipahami oleh petani.

2. Memastikan informasi tentang rencana penyuluhan diketahui oleh berbagai lapisan masyarakat yang ada di desa agar penyelenggaraan penyuluhan lebih merata menjangkau masyakarat petani yang membutuhkannya.

3. Perlu dilakukan inovasi dalam penyampaian materi penyuluhan, dan juga menyampaikan penyuluhan yang memang dibutuhkan oleh petani. Hal ini dapat dilakukan dengan mengadakan diskusi kelompok terarah (Focus Group Discussion) untuk menggali kebutuhan penyuluhan agroforestri yang diperlukan oleh petani dalam waktu terkini. Sehingga petani dapat merasakan manfaat dan dampaknya dari menginvestasikan waktunya mengikuti kegiatan penyuluhan. Penyuluhan yang berupa praktek dengan mempergunakan kebun contoh sebagai kebun belajar juga dapat dengan cepat dipahami oleh petani.

4. Kerjasama dengan multipihak juga perlu dilakukan oleh penyuluh agar informasi yang disampaikan baru dan terpercaya. Beberapa kerjasama juga dapat meringankan biaya penyuluhan yang harus dilakukan karena adanya sharing biaya dengan pihak lain.

IV. KESIMPULAN DAN SARAN

Hasil studi ini menunjukkan bahwa penyuluhan agroforestri memiliki peran dalam

peningkatan pengetahuan dan pendapatan masyarakat pedesaan di Sulawesi Tenggara. Dampak dari penyuluhan agroforestri lebih cepat terlihat pada peningkatan pengetahun dari peningkatan pendapatan, hal ini karena tanaman agroforestri adalah tanaman keras yang hasil dari perbaikan pengelolaan baru dapat dilihat setelah 3 atau 5 tahun. Setelah 2 tahun pendampingan penyuluhan agroforestri, petani telah merubah pola pemeliharaan kebunnya menjadi lebih intensif dan ramah lingkungan.

Peran dari penyuluhan agroforestri yang cukup besar dalam pembangunan masyarakat pedesaan di Sulawesi Tenggara perlu ditngkatkan dengan menggali potensi penyuluhan agroforestri perlu dilakukan oleh pelaku penyuluhan, dimana di Sulawesi Tenggara, penyuluh pemerintah merupakan aktor utama dalam kegiatan penyuluhan. Perlu dilakukan upaya-upaya pemerintah agar penyuluhan tidak hanya terfokus pada kegiatan penyuluhan tanaman pangan, tapi juga bisa dikembangkan dari segi jumlah penyuluh maupun penganggaran ke bidang lainnya seperti bidang agroforestri. Tantangan-tantangan yang dihadapi penyuluh dalam melakukan tugasnya seharusnya dapat diatasi melalui kerjasama yang menguntungkan antara penyuluh pemerintah dengan lembaga swasta yang dapat meningkatkan kualitas dan kuantitas penyuluhan agroforestri.

UCAPAN TERIMAKASIH

Penelitian ini dilakukan atas dukungan dari program Agroforestry and Forestry: Linking Knowledge to Action (AgFor) project (Contribution Arrangement No.7056890) yang didanai oleh Department of Foreign Affairs, Trade, and Development (DFATD) Canada. Ucapan terimakasih ditujukan pada petani responden di Kabupaten Konawe dan Kolaka Timur, staff lembaga Operation Wallacea Terpadu (OWT), mahasiswa Universitas Haluoleo (UHO), beserta pemerintah setempat atas kerjasamanya dalam proses pengambilan data.

Page 119: KAJIAN ALUR TATA NIAGA KAPULAGA (Amomum cardomum L

Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 597

DAFTAR PUSTAKA

BPS Sultra, 2013. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Provinsi Sulawesi Tenggara. Janudianto, Khususiyah N, Isnurdiansyah, Suyanto and Roshetko JM. 2012. Agroforestry and Forestry

in Sulawesi series: Livelihood strategies and land use system dynamics in Southeast Sulawesi. Working paper 156. Bogor, Indonesia: World Agroforestry Centre (ICRAF) Southeast Asia Regional Program. 53p. DOI: 10.5716/WP12055.PDF.

Martini E, Tarigan J, Purnomosidhi P, Prahmono A, Surgana M, Setiawan E, Megawati, Mulyoutami E,

Meldy BW, Syamsidar, Talui R, Janudianto, Suyanto, Roshetko JM. 2013. Seri Agroforestri dan Kehutanan di Sulawesi: Kebutuhan penyuluhan agroforestri pada tingkat masyarakat di lokasi proyek AgFor di Sulawesi Selatan dan Tenggara, Indonesia. Working paper 168. Bogor, Indonesia: World Agroforestry Centre (ICRAF) Southeast Asia Regional Program. 44p. DOI: 10.5716/WP13044.PDF.

Martini E, Tarigan J, Roshetko JM, Manurung G, Kurniawan I, Tukan J, Budidarsono S, Abdo M, and

van Noordwijk M. 2008. Capacity Building Activities to Strengthen Agroforestry for Economic Development and Conservation. Working Paper No. 61. Bogor, Indonesia: World Agroforestry Centre – ICRAF, SEA Regional Office. P 70.

Roshetko JM, Nugraha E, Tukan JCM, Manurung G, Fay C, and van Noordwijk M. 2007a. Agroforestry

for Livelihood Enhancement and Enterprise Development. In: Djoeroemana S, Myers B, Russell-Smith J, Blyth M, and Salean IET, eds. Integrated Rural Development in East Nusa Tenggara, Indonesia. Proceedings of a workshop to identify sustainable rural livelihoods, held in Kupang, Indonesia, 5–7 April 2006. ACIAR Proceedings 126, Australian Centre for International Agricultural Research. p 137–148.

Roshetko JM, Martini E, Tarigan J, Manurung G, Budidarsono S, Wijaya K, Tukan JC, Kurniawan I,

Galudra G, Nugroho DK, Ekadinata A, Dewi S, Harja D, Lusiana B, van Noordwijk M, and Purba J. 2007b. Agroforestry on the Interface of Orangutan Conservation and Sustainable Livelihoods in Batang Toru (North Sumatra). Working Paper 56. Bogor, Indonesia: World Agroforestry Centre – ICRAF, SEA Regional Office. P 26.

van den Ban, A. W. and H. S. Hawkins. 1999. Penyuluhan Pertanian. Yogyakarta: Kanisius

Page 120: KAJIAN ALUR TATA NIAGA KAPULAGA (Amomum cardomum L

598 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

KONTRIBUSI AGROFORESTRI DALAM MENINGKATKAN PENDAPATAN DAN PEMERATAAN PENDAPATAN MASYARAKAT PENGELOLA HUTAN KEMASYARAKATAN DI SESAOT LOMBOK

Noviana Khususiyah 1 dan Suyanto1

1 World Agroforestry Centre (ICRAF), PO Box 16, Bogor 16001, Indonesia E-mail address: [email protected]

ABSTRAK Propinsi Nusa Tenggara Barat memiliki jumlah penduduk sekitar 4,36 juta jiwa pada tahun 2008, dan 23,81% diantaranya tergolong masyarakat miskin. Persentase ini jauh lebih tinggi dibandingkan dengan persentase penduduk miskin di Indonesia yaitu sekitar 15,42%. Tingginya angka kemiskinan dan keterbatasan lahan pertanian, maka masyarakat pedesaaan yang hidup di sekitar hutan pada umumnya memanfaatkan lahan hutan sebagai salah satu sumber mata pencahariannya. Pengelolaan Hutan Lindung Sesaot oleh masyarakat di sekitarnya sebagai sumber mata pencaharian telah berlangsung sejak tahun 1970an. Dari tahun 1995 hingga sekarang, 6.000 kepala keluaraga atau 18.000 jiwa di kawasan hutan lindung Sesaot menggantungkan sumber kehidupannya dari pengelolaan kawasan hutan. Survei terhadap 110 rumah tangga yang terdiri dari 40 rumah tangga yang memiliki ijin hak pengelolaan hutan (HKm), 40 rumah tangga yang belum mendapat ijin HKm dan 30 rumah tangga bukan pengelola lahan hutan (non HKm)yang dipilih secara acak (random sampling) dilakukan di kawasan hutan Sesaot. Proporsi pendapatan dari hasil kebun agroforestri dari kawasan hutan pada petani yang belum mendapat ijin HKm mencapai 59% dari total pendapatan, pada petani yang telah mendapat ijin HKm mencapai 33%, sedangkan pada petani non HKm, proporsi pendapatan terbesar berasal dari kebun agroforestri di lahan pribadi yaitu sebesar 38%. Pendapatan dari kebun agroforestri di kawasan hutan yang dikelola masyarakat terbukti meningkatkan pemerataan pendapatan, baik bagi petani yang telah mendapat ijin HKm maupun petani yang belum mendapat ijin HKm yang ditunjukkan oleh nilai koefisien konsentrasi 0,9 (kurang dari satu). Kata kunci: agroforestri, pendapatan rumah tangga, pemerataan pendapatan dan Hutan Kemasyarakatan

I. PENDAHULUAN

Propinsi NTB memiliki jumlah penduduk sekitar 4,36 juta jiwa pada tahun 2008, dan 23,81% diantaranya tergolong masyarakat miskin. Persentase ini jauh lebih tinggi dibandingkan dengan persentase penduduk miskin di Indonesia yaitu sekitar 15,42% (BPS). Dengan tingginya angka kemiskinan dan keterbatasan lahan pertanian, maka masyarakat pedesaaan yang hidup di sekitar hutan pada umumnya memanfaatkan lahan hutan sebagai salah satu sumber mata pencahariannya.

Pengelolaan Hutan Lindung Sesaot oleh masyarakat di sekitarnya sebagai sumber mata pencaharian sesungguhnya telah berlangsung cukup lama. Sejak tahun 1995 hingga sekarang, 6.000 KK atau 18.000 jiwa di kawasan Sesaot menggantungkan sumber kehidupannya dari pengelolaan kawasan tersebut. Kawasan seluas 5.950,18 hektar ini merupakan kawasan hutan yang sangat strategis, sebab wilayah ini merupakan daerah tangkapan air yang memasok kebutuhan air bagi masyarakat wilayah Kota Mataram, Kabupaten Lombok Barat dan Lombok Tengah, baik untuk kebutuhan air minum melalui PDAM Menang Mataram maupun untuk pemenuhan kebutuhan air bagi irigasi pertanian.

Pengelolaan lahan di kawasan Sesaot ini pada umumnya berupa kebun campuran (agroforestri). Keputusan petani untuk menanam dengan pola agroforestri komplek, yaitu agroforestri berbasis buah-buahan/kayu-kayuan atau agroforestri sederhana yang berupa agroforestri berbasis kakao atau kopi, tergantung pada tujuan petani. Secara umum, petani berlahan sempit cenderung memilih berinvestasi dengan resiko rendah, yaitu menerapkan pola agroforestri komplek. Apabila salah satu jenis tanaman mengalami gagal panen, masih ada harapan pada jenis tanaman lainnya (Khususiyah et al. 2014).

Page 121: KAJIAN ALUR TATA NIAGA KAPULAGA (Amomum cardomum L

Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 599

Agroforestri yang secara umum dikenal sebagai kebun campur dengan komponen tanaman tahunan dan semusim merupakan suatu pengelolaan lahan yang dapat ditawarkan sebagai suatu strategi alternatif mata pencaharian bagi masyarakat miskin yang memiliki lahan dan modal terbatas, tetapi dapat meningkatkan mata pencaharian dan manfaat lingkungan secara berkelanjutan. Sebagai contoh, ‘agroforestry’ kopi yang diterapkan oleh para petani kecil di Lampung, Sumatera dapat menyediakan jasa lingkungan dan secara bersamaan meningkatkan kesejahteraan petani (Van Noordwijk et al. 2004).

Dalam studi ini, pengelolaan lahan di kawasan Sesaot dibedakan menjadi tiga kelompok yaitu kelompok yang telah mendapatkan ijin HKm (HKM ijin), kelompok yang belum mendapatkan ijin HKm (HKm non ijin) dan kelompok yang mengelola lahan pribadi/milik (Non HKm).

II. METODE PENELITIAN

Penelitian ini dilakukan di sekitar kawasan Sesaot Lombok Barat, sekitar 5950.18 ha yang dikelola oleh dua kelompok, yaitu Wana Darma dan Wana Lestari (gambar 1). Kedua kelompok tani tersebut, sekarang sedang dalam proses untuk mendapatkan ijin pengelolaan HKm. Sebagian dari lokasi Wana Darma terdapat kelompok Masyarakat Pengelola Hutan Bunut Ngengkang (KMPH), yaitu seluas 21 ha. Kelompok KMPH ini sudah mendapatkan ijin pengelolaan HKm sejak tahun 2008 dari Pemerintah kabupaten Lombok Barat.

Pengumpulan data dilakukan dengan pengamatan langsung di lapangan, wawancara dengan panduan kuisioner dan studi pustaka. Penentuan lokasi penelitian dilakukan secara sengaja,yaitu di DAS Sesaot. Pengambilan sampel rumah tangga dilakukan secara acak (random sampling) dilakukan di kawasan Sesaot dengan menggunakan panduan kuesioner. Survei terhadap 110 rumah tangga yang terdiri dari 40 rumah tangga yang memiliki ijin hak pengelolaan hutan (HKm), 40 rumah tangga yang belum mendapat ijin HKm (HKm non ijin) dan 30 rumah tangga bukan pengelola lahan hutan (non HKm). Survey dilakukan untuk mendapatkan informasi mengenai kepemilikan lahan, jenis tanaman yang ditanam, pendapatan dari sistem pengelolaan lahan yang dimiliki dan lainnya. Dalam setiap rumah tangga, suami dan istri diwawancara secara bersama-sama untuk memperoleh data yang lebih akurat.

Gambar 1. Lokasi Penelitian

Page 122: KAJIAN ALUR TATA NIAGA KAPULAGA (Amomum cardomum L

600 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Distribusi Kepemilikan Lahan

Rata-rata kepemilikan lahan rumah tangga petani non HKm adalah 0,42 ha, sementara petani HKm ijin adalah 0,39 ha dan petani HKm non ijin adalah 0,64 ha (gambar 2). Perbedaan luas kepemilikan lahan ini disebabkan karena cara memiliki/menguasai lahan yang berbeda-beda pada masing-masing tipologi (gambar 3).

Gambar 2. Distribusi Luas Penguasaan Lahan Rumah tangga Petani

Dari gambar 3 terlihat bahwa terdapat perbedaan cara penguasaan lahan. Petani HKm ijin, sebagian besar (55%) cara penguasaan lahan berasal dari pembagian dari Pemerintah melalui dinas Kehutanan Lombok Barat dan kelompok. Sedangkan petani HKm non ijin sebagian besar (44%) dari membuka langsung dari bekas hutan yang sudah menjadi belukar/hutan sekunder. Sebaliknya, petani Non HKm hampir semua responden (94%) cara memiliki lahan milik adalah dari warisan orang tua.

Gambar 3. Grafik cara memiliki/menguasai Lahan

B. Sumbangan Agroforestri terhadap penerimaan/pendapatan petani

Gambar 4 menunjukkan proporsi penerimaan rumah tangga dari kebun campuran. Pada rumah tangga petani HKm ijin, proporsi penerimaan terbesar berasal dari tanaman coklat dan kopi, yaitu sebesar 43%. Demikian pula pada rumah tangga petani HKm non ijin, proporsi penerimaan terbesar berasal dari hasil tanaman coklat dan kopi, yaitu sebesar 39%. Sebaliknya bagi rumah

0,00

0,10

0,20

0,30

0,40

0,50

0,60

HKm Ijin HKm Non Ijin Non HKm

0,37

0,57

0,00 0,02

0,07

0,42

Luas

Lah

an (

Ha)

K. Kawasan

Page 123: KAJIAN ALUR TATA NIAGA KAPULAGA (Amomum cardomum L

Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 601

tangga petani non HKm, proporsi penerimaan terbesar berasal dari hasil tanaman MPTs (Multi Purpose Tree Species) seperti tanaman buah-buahan dan kemiri, yaitu sebesar 58%. Hasil MPTs ini memberikan kontribusi yang sangat besar bagi penerimaan rumah tangga petani non HKm karena tanaman buah-buahan di kebun milik pada umumnya sudah menghasilkan. Baik pada petani HKm ijin, petani HKm non ijin dan petani non HKm, tidak ada hasil dari kayu, walaupun sebenarnya di kebun milik (lahan pribadi) terdapat pohon kayu, akan tetapi dalam periode satu tahun terakhir tidak ada pohon kayu yang ditebang untuk dijual atapun dipakai untuk keperluan sendiri. Sedangkan di lahan kawasan, pohon kayu tidak boleh ditebang.

Gambar 4. Persentase Penerimaan rumah tangga dari Agroforestri (Kebun campuran)

Apabila dilihat dari jenis tanaman yang ada di kebun campuran (agroforestri komplek), maka

kelihatan bahwa berbagai macam tanaman ditanam pada satu plot kebun (tabel 1). Hal ini karena menurut pendapat petani, secara ekonomi pola agroforestri komplek, yang berbasis pohon buah-buahan atau kayu-kayuan memberikan manfaat lebih tinggi bila dibandingkan dengan pola monokultur tanaman semusim. Berdasarkan pada pemanfaatan lahan, terlihat jelas bahwa petani cenderung memanfaatkan lahannya yang relatif sempit untuk diversifikasi tanaman. Pola diversifikasi penggunaan lahan pada petani yang memiliki lahan sempit dilakukan dengan mengkombinasikan antara tanaman semusim sebagai strategi penyediaan pangan rumah tangga dengan tanaman berbasis pohon yaitu kakao, kopi, buah-buahan dan kayu-kayuan sebagai strategi untuk menghasilkan pendapatan.

Tabel 1. Jenis tanaman yang ada di kebun campuran (agroforestri) di Sesaot Lombok

Tanaman Pangan

Tanaman Tahunan

Tanaman Buah-buahan

Tanaman Kayu

1. Keladi 1. Coklat 1. Rambutan 1. Mahoni

2. Renggak 2. Kopi 2. Durian 2. Bajur

3. Kacang Tanah 3. Kemiri 3. Sengon

4. Cabai 4. Manggis 4. Dadap

5. Sirih 5. Sirsak 5. Sonokeling

6. Mangga 6. Gaharu

7. Nangka 7. Akasia

8. Sawo 8. Jati

9. Alpukat 9. Lainnya

10. Pisang

11. Lainnya

Page 124: KAJIAN ALUR TATA NIAGA KAPULAGA (Amomum cardomum L

602 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

Secara umum, petani berlahan sempit cenderung memilih berinvestasi dengan resiko rendah, yaitu menerapkan pola agroforestri komplek. Pola agroforestri ini layak sebagai strategi bagi petani yang hanya menguasai lahan rata-rata kurang dari 1 hektar per rumah tangga, karena pabila salah satu jenis tanaman mengalami gagal panen, masih ada harapan pada jenis tanaman lainnya. Diversifikasi pola agroforestri pada lahan sempit yang dimiliki petani, mulai pola agroforestri sederhana berbasis kakao atau kopi hingga agroforestri komplek berbasis pohon buah-buahan bercampur kayu dapat meningkatkan pendapatan, meminimalkan resiko fluktuasi harga komoditas, mengurangi resiko kegagalan panen, pengendalian hama dan penyakit serta menghindari pengaruh negatif dari iklim. C. Pendapatan

Pendapatan rumah tangga petani dapat mencerminkan keadaan ekonomi rumah tangganya. Tinggi rendahnya tingkat pendapatan rumah tangga dapat digunakan sebagai salah satu indikator tinggi rendahnya tingkat kesejahteraan suatu rumah tangga. Pada umumnya pendapatan masyarakat di Sesaot berasal dari pengelolaan lahan pertanian di lahan negara yang berupa kebun campuran (agroforestri), lahan pertanian milik sendiri berupa sawah dan kebun, usaha (warung), proffesional (guru), upahan dan lainnya.

Gambar 4. Pendapatan masyarakat Sesaot berdasarkan sumber pendapatan

Tingginya tingkat proporsi pendapatan dari lahan kawasan ini membuktikan bahwa

masyarakat yang tinggal di sekitar hutan Sesaot sangat membutuhkan lahan kawasan sebagai sumber utama mata pencaharian mereka, khususnya bagi petani HKm non ijin. Pendapatan dari sektor pertanian yang berupa kebun campuran (agroforestri) pada lahan kawasan berperan dalam mengurangi kemiskinan. Hal ini terlihat dari besarnya proporsi pendapatan petani HKm ijin dan petani HKm non ijin dari lahan kawasan. Proporsi pendapatan petani HKm ijin dari lahan kawasan yang berupa kebun campuran (agroforestri), mencapai 33% dari total pendapatan. Begitu juga petani HKm non ijin, proporsi pendapatan yang berasal dari lahan kawasan, yang berupa kebun campuran (agroforestri) mencapai 59%. Sedangkan pada petani non HKm, proporsi pendapatan yang terbesar berasal dari kebun campuran (agroforestri) pada lahan pribadi/milik yaitu sebesar 38%.

Tingginya tingkat proporsi pendapatan dari lahan kawasan yang berupa kebun campuran (agroforestri) ini membuktikan bahwa masyarakat yang tinggal di sekitar hutan Sesaot sangat membutuhkan lahan kawasan sebagai sumber utama mata pencaharian mereka, khususnya bagi petani HKm non ijin.

Page 125: KAJIAN ALUR TATA NIAGA KAPULAGA (Amomum cardomum L

Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 603

Gambar 5. Rata-rata pendapatan per kapita per hari masyarakat Sesaot

Rata-rata pendapatan per kapita per hari petani HKm ijin adalah sebesar Rp. 12.654 (1.3 US

$) dan pendapatan per kapita per hari petani HKm non ijin sebesar Rp. 11.679 (1.2 US $). Jika dibandingkan dengan pendapatan per kapita per hari petani non HKm yang mencapai Rp. 14.748 (1.6 US $), maka dapat dikatakan bahwa petani HKm baik HKm ijin maupun non ijin, kurang sejahtera dibandingkan petani non HKm. Dengan menggunakan standar garis kemiskinan international tahun 2008 yaitu sebesar 1.25 US $ per kapita per hari (World Bank), maka dapat dikatakan bahwa petani non HKm termasuk masyarakat yang sejahtera karena pendapatan per kapita per harinya diatas 1.25 US $. Sedangkan petani HKm ijin dan petani HKm non ijin pendapatan per kapita per harinya berada di sekitar garis kemiskinan. Perbedaan rata-rata pendapatan per kapita antara petani HKm ijin, petani HKm non ijin serta petani non HKm tidak terlalu besar. Namun demikian, petani HKm non ijin telah merasakan adanya peningkatan pendapatan dan mereka berharap pendapatan tersebut akan lebih meningkat dengan adanya pemberian ijin HKm dari pemerintah. D. Pemerataan Pendapatan

Distribusi pendapatan petani di Sesaot secara umum relatif merata. Hal ini terlihat dari nilai gini rasio yang berkisar 0,26 – 0,38.

Untuk mengukur apakah suatu sumber pendapatan tertentu dapat meningkatkan pemerataan atau meningkatkan ketimpangan pendapatan, dapat diukur dengan koefisien konsentrasi. Sumber pendapatan tertentu berperan dalam meningkatkan pemerataan pendapatan bila nilai koefisien konsentrasi kurang dari satu. Sebaliknya bila nilai koefisien konsentrasi lebih besar dari satu, maka sumber pendapatan itu berperan dalam meningkatkan ketimpangan pendapatan (Alderman and Garcia, 1993) dikembangkan oleh Fei, Ranis, and Kuo (1978) and Pyatt, Chen, and Fei (1980).

Pendapatan dari kebun campuran (agroforestri) di lahan kawasan yang dikelola masyarakat terbukti mengurangi ketimpangan atau meningkatkan pemerataan pendapatan, baik bagi petani HKm ijin maupun petani HKm non ijin, yang ditunjukkan dengan nilai koefisien konsentrasi 0.9 (kurang dari satu). Ini juga membuktikan bahwa lahan negara merupakan sumber kepemilikan lahan yang sangat penting bagi petani di sekitar hutan, karena pada umumnya lahan negara dapat dikelola petani tanpa harus memiliki modal untuk membeli, melainkan ada pembagian lahan kelola dari pemerintah dan juga sebagian masyarakat membuka dari belukar atau hutan sekunder. Sebaliknya pendapatan dari pertanian di lahan pribadi dapat meningkatkan ketimpangan pendapatan. Sebagian besar lahan pribadi diperluas melalui pembelian dan warisan, sehingga hanya orang kaya yang mampu membeli atau mewariskan ke anaknya.

Page 126: KAJIAN ALUR TATA NIAGA KAPULAGA (Amomum cardomum L

604 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

Gambar 5. Sumber pendapatan yang mempengaruhi tingkat Pemerataan dan Ketimpangan pendapatan di Sesaot.

IV. KESIMPULAN

1. Rata-rata kepemilikan lahan rumah tangga petani HKm non ijin (0.64ha) adalah paling tinggi dibandingkan dengan petani non HKm (0.42ha) dan petani HKm ijin (0.39ha).

2. Diversitas tanaman pada lahan HKm dengan sistem Agroforestri dapat memberikan kontribusi dalam kecukupan pangan

3. Pendapatan per kapita per hari petani non HKm (1.6 US $) paling tinggi dibandingkan dengan petani HKm ijin (1.3 US $) dan petani HKm non ijin (1.2 US $).

4. Pendapatan dari kebun campuran (agroforestri) pada lahan negara (lahan kawasan) memberikan proporsi pendapatan yang cukup tinggi, berkisar antara 33%-59%.

5. Pendapatan dari kebun campuran (agroforestri) berperan dalam mengurangi kemiskinan dan meningkatkan Pemerataan Pendapatan.

DAFTAR PUSTAKA

Alderman, H, and M.Garcia (1993): Poverty, household food security and nutrition in rural Pakistan.

Research Report 96. Washington,D.C. : International Food Policy Research Institute. Fei, J.C.H, G. Ranis and S.W.Y.Kuo (1978): Growth and family distribution of income by factor

component. Quarterly Journal of Economics 92:17-53. Khususiyah N, Rahayu S, Asmawan T and Suyanto S. 2012. Carbon and Watershed Function as

Conditionality for Community Forestry (Case study in Sesaot Lombok). The First International Conference of Indonesian Forestry Researchers (INAFOR). Bogor, 5 – 7 December 2011. Bogor, Indonesia. Ministry of Forestry-Forestry Research and Development Agency.

Khususiyah,N, Janudianto. Isnurdiansyah, Suyanto and Roshetko JM. 2012. Livelihood strategies and

land use system dynamics in South Sulawesi. ICRAF Working Paper (Agroforestry and Forestry in Sulawesi series). 155: 47.

Page 127: KAJIAN ALUR TATA NIAGA KAPULAGA (Amomum cardomum L

Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 605

Khususiyah, N, Rahayu,S and Suyanto. 2014. Agroforestry: sistem penggunaan lahan yang mampu meningkatkan pendapatan masyarakat dan menjaga keberlanjutan lingkungan. Seminar Nasional Agroforestri 2013.

Pyatt, G., C. Chen, and John Fei. (1980). The distribution of income by factor components. Quarterly

Journal of Economics 95 (3): 451^173. Van Noordwijk, M., F. Chandler, and T. P. Tomich. 2004. An introduction to the conceptual basis of

RUPES: rewarding upland poor for the environmental services they provide. International Centre for Research in Agroforestry Southeast Asia, Bogor, Indonesia.

Page 128: KAJIAN ALUR TATA NIAGA KAPULAGA (Amomum cardomum L

606 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

STUDI KRITIS PENERAPAN KEBIJAKAN KONSERVASI DALAM KEGIATAN REHABILITASI MELALUI SISTEM AGROFORESTRY DI TAMAN NASIONAL MERU BETIRI, JEMBER JAWA

TIMUR)

Dewi Gunawati Prodi PPKn,FKIP, Universitas Sebelas Maret ,Jl.Ir.Sutami No.46 A Surakarta

[email protected],

ABSTRAK

Sejatinya pengelolaan dan pengembangan zona penyangga (buffer zona) di Taman Nasional bertujuan untuk menjamin keutuhan kawasan taman nasional, secara simultan berkontribusi dalam meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap kelestarian lingkungan dan meningkatkan taraf hidup masyarakat disekitarnya. Dalam upaya tersebut pengelolaan konservasi dilakukan dalam kegiatan rehabilitasi melalui sistem agroforestry sebagaimana diatur dalam Undang-undang No.5 Tahun 1990 Tentang KSAHE, Surat Persetujuan Dirjen PHKA Nomor: 1008/Dj-VI/LH/1998 tanggal 4 Nopember 1998 dan Surat Persetujuan Dirjen PHKA Nomor: 1354/Dj-V/KK/1999. Selanjutnya ditindaklanjuti dengan keluarnya Surat Keputusan Kepala Balai TNMB Nomor: 451/Sek.01/VI-TNMB/1999 ,Nota Kesepakatan Bersama Nomor.2272/BTNMB-1/2011. Namun dalam tataran praktis, penerapan perundang-undangan dan kebijakan konservasi diatas menimbulkan disharmoni regulasi, kelembagaan dan cultural.Penelitian ini bertujuan untuk i) mendeskripsikan implementasi kegiatan rehabilitasi melalui sistem agroforestry di Taman Nasional Meru Betiri, ii) menganalisis penerapan kebijakan konservasi dalam kegiatan rehabilitasi di Taman Nasional Meru Betiri, ,Jember ,Jawa Timur. Pengumpulan data penelitian dilakukan melalui studi dokumen yan terkait dengan pengelolaan konservasi di TNMB, Observasi kegiatan rehabilitasi dan Focus discuss group dengan Mitra Polisi Hutan, Petugas Ekosistem Hutan, indepth interview dengan masyarakat penyangga di zona rehabilitasi di Desa Curah nongko, dan Andong rejo ,Kecamatan Tempurejo. studi dokumen,observasi dan depth interview.Hasil analisis menunjukan, pertama Kesepakatan yang disusun oleh TNMB tidak disusun berdasarkan kebutuhan riil di dalam masyarakat( Community Need Assesment) yang dikonotasikan sebagai proses penilaian terhadap keadaan yang diinginkan oleh masyarakat terhadap prioritas status kebutuhan warga. Kedua, Kebijakan konservasi yang diterapkan membatasi akses masyarakat dalam memanfaatkan secara lestari sumber daya alam hutan,Pengelola TNMB seringkali memiliki agenda yang sangat terkesan melindungi taman nasional dari campur tangan masyarakat sekitar hutan. Padahal program rehabilitasi dengan sistem agroforestry memerlukan pelibatan masyarakat sebagai penggarap.Kesepakatan yang terkesan kaku dan menguntungkan secara sepihak, membuat masyarakat menjadi pesimis terhadap kegiatan konservasi, yang berdampak masyarakat bersikap masa bodoh dan kontra produktif terhadap aksi konservasi. Kata Kunci: Studi kritis, Penerapan , kebijakan Konservasi Sumber daya alam hayati, Rehabilitasi, Agroforestry

I. LATAR BELAKANG

Taman nasional didefinisikan sebagai kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan,menunjang budidaya, pariwisata dan rekreasi. Untuk mendukung upaya tersebut Di dalam taman nasional terdapat daerah penyangga, dalam realitanya ditemukan banyak permasalahan di daerah penyangga (buffer zone) yang meliputi tumpang tindih kepentingan potensial (potential conflict of Interest) diantara kepentingan pemilik atau pengelola lahan di daerah penyangga dengan kepentingan pengelola kawasan konservasi. (Wandoyo S,1998:23) Inti dari konflik tersebut adalah masalah kemiskinan yang melanda masyarakat di zona penyangga. Merujuk pada data statistik Taman Nasional Meru Betiri, penghasilan penduduk disekitar kawasan TNMB sangat rendah dengan penghasilan rata-rata antara Rp.500.000 per tahun sampai Rp.1.174.686 per tahun . Pendapatan ini berakibat pada tingginya angka ketergantungan masyarakat terhadap sumber daya alam di Taman Nasional Meru Betiri.

Page 129: KAJIAN ALUR TATA NIAGA KAPULAGA (Amomum cardomum L

Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 607

Sejatinya pengelolaan dan pengembangan zona penyangga (buffer zona) di Taman Nasional bertujuan untuk menjamin keutuhan kawasan taman nasional, secara simultan berkontribusi dalam meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap kelestarian lingkungan dan meningkatkan taraf hidup masyarakat disekitarnya. Dalam upaya tersebut pengelolaan konservasi dilakukan dalam kegiatan rehabilitasi melalui sistem agroforestry.

Realitanya kebijakan sebagaimana diatur dalam Undang-undang No.5 Tahun 1990 Tentang KSDAHE, Surat Persetujuan Dirjen PHKA Nomor: 1008/Dj-VI/LH/1998 tanggal 4 Nopember 1998 dan Surat Persetujuan Dirjen PHKA Nomor: 1354/Dj-V/KK/1999. Selanjutnya ditindaklanjuti dengan keluarnya Surat Keputusan Kepala Balai TNMB Nomor: 451/Sek.01/VI-TNMB/1999 ,Nota Kesepakatan Bersama Nomor.2272/BTNMB-1/2011 menimbulkan disharmoni regulasi, kelembagaan dan cultural. Mencermati ilustrasi diatas, penelitian ini akan mengulas tentang Studi kritis Penerapan Kebijakan Konservasi dalam Kegiatan Rehabilitasi melalui Sistem Agroforestry di Taman Nasional Meru Betiri, Jember Jawa Timur.

II. METODE Penelitian

Pendekatan penelitian yang digunakan penulis adalah penelitian doktrinal dan non doctrinal.Penentuan lokasi penelitian dilakukan secara purposive (sengaja). Untuk memperoleh data dan informasi terhadap permasalahan yang akan dibahas. Lokasi penelitian dalam upaya penelusuran implementasi program REDD+ di Taman Nasional Meru Betiri ,Jember, Jawa Timur, adalah sebagai berikut: 1. Balai Taman Nasional Meru Betiri (BTNMB) Kabupaten Jember, Provinsi Jawa Timur. 2. Kelompok Masyarakat yang tergabung dalam kelompok tani rehabilitasi , SPKP Permata Resi,

Jaketresi, Balai Permusyawaratan Kelurahan, Lembaga Swadaya Masyarakat Kail, Jember ,MMP (Masyarakat Mitra Polhut). Sumber data dalam penelitian ini adalah data sekunder dan data primer.Adapun rinciannya adalah sebagai berikut:1). Data primer dalam penelitian ini diperoleh dengan:a)Wawancara dilakukan dengan informan Kelompok tani rehabilitasi yang tergabung dalam SPKP, Badan Permusyawaratan Desa, dan Masyarakat di Desa Andong Rejo dan Curah Nongko yang berada disekitar Taman Nasional Meru Betiri yang dianggap mengerti permasalahan yang penulis teliti. b.)FGD ( Focuss group discussion)Metode FGD merupakan kategori metode kualitatif. FGD dilaksanakan di Balai Taman Nasional Meru Betiri dan menghadirkan staf balai taman nasional meru betiri yang meliputi PEH, Tenaga Fungsional, dan Polisi Hutan.

III. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Pembentukan zona rehabilitasidi TNMB diawali dengan penetapan hutan Meru Betiri

sebagai hutan lindung yang merupakan keputusan dari Besluit ban den,Direktur Landbouw neveirheiden handel,No.7347/B, pada Tanggal 29 Juli 1931.Pada Tanggal 6 juni 1972,hutan Lindung Meru Betiri ditetapkan sebagai Suaka Margasatwa, selanjutnya pada Tahun 1997 melalui SK Menteri Kehutanan No.277/Kpts-VI/1997 Meru Betiri ditetapkan sebagai Taman Nasional. (RPTN,2014:21)Dalam upaya meningkatkan kesejahteraan petani, di terapkan kegiatan rehabilitasi .Rehabilitasi dimaknai sebagai upaya pemulihan fungsi dan kondisi hutan yang telah rusak melalui kegiatan penanaman,pengayaan dan pemeliharaan spesies dengan tumbuhan asli setempat. ( Purwaningsih,2006). Dalam menunjang kegiatan rehabilitasi tersebut diupayakan demplot agroforestry seluas 7 ha untuk pelestarian dan pemanfaatan tumbuhan obat yang telah lama dilakukan sejak tahun 1994.Sistem agroforestry, dimaknai sebagai upaya pengolahan sumber daya hutan yang terfokus pada peningkatan produksi hasil pertanian dan sumber daya hutan sebagai upaya peningkatankesejahteraan masyarakat di sekitar hutan.

Perubahan mendasar muncul pada tahun 1998 dimana krisis ekonomi yang terjadi berdampak terhadap kehidupan masyarakat disekitar taman nasional. Krisis ekonomi dimanfaatkan

Page 130: KAJIAN ALUR TATA NIAGA KAPULAGA (Amomum cardomum L

608 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

masyarakat sekitar untuk melakukan penebangan,penjarahan secara besar-besaran kayu jati dan hasil hutan yang lainnya.Tindak pidana kehutanan diatas berdampak pada deforestasi hutan jati seluas 4000 ha, serta munculnya konflik antara taman nasional dan masyarakat disekitar hutan. Setelah perambahan tersebut maka terjadilah pembukaan lahan bekas tegakan jati yang oleh masyarakat dikenal dengan istilah “tetelan”.(Evrizal Zuhud, 2010:12)

Berdasarkan hasil wawancara, dari 2600 ha lahan dalam kawasan konservasi baru 7 ha yang sudah dilakukan penghutanankembali.Merujuk pada Surat Persetujuan Dirjen PHKA Nomor:1008/Dj-V/KK/1999 tanggal 4 Nopember 1998 dan Surat Persetujuan Dirjen PHKA Nomor 1354/Dj-V/KK/1999. Selain itu berdasarkan Surat Keputusan Kepala Balai TNMB Nomor:451/Sek.01/VI-TNMB/1999 tentang penetapan tim rehabilitasi kawasan. Adapun total luasan wilayah yang direncanakan untuk rehabilitasi adalah +2.500 Ha. Dalam menunjang kegiatan rehabilitasi kawasan taman nasional menggunakan pola kolaboratif/kemitraan yaitu rehabilitasi kawasan yang mengikutsertakan masyarakat sekitar kawasan TNMB. Berdasarkan data yang dihimpun Taman nasional Meru Betiri sampai tahun 2013 lahan yang sudah direhabilitasi seluas 2565,35 ha yang tersebar di 4 resort . Dalam pelaksanaannya masih banyak lahan yang belum dikelola secara optimal, hal tersebut mengindikasikan bahwa upaya konservasi yang selama dilaksanakan sangat jauh dari kata berhasil, hal tersebut dikarenakan masalah utama yang dihadapi petani belum diselesaikan yaitu kemiskinan,sementara alternatif penghasilan lain tidak ada. Sehingga petani sangat bergantung pada taman nasional.

Sistem agroforestry memiliki dua keuntungan yaitu keuntungan ekonomis dan ekologis. Keuntungan ekonomi terkait dengan upaya mengentaskan kemiskinan sehingga berkontribusi bagi peningkatan hidup petani. Keuntungan ekologi mampu mengembalikan kondisi hutan yang telah gundul. Konsep dasar sistem agroforestry adalah tanaman selingan diantara tanaman pokok selama pertumbuhannya tidak mempengaruhi dan dipengaruhi tanaman pokok. Agroforestry yang diterapkan di Taman nasional Meru Betiri adalah konsep agroforestry sederhana yang merupakan sustu sistem pertanian dimana pepohonan ditanam secara tumpang sari dengan satu atau lebih tanaman semusim ( Foresta dan Michon).Perpaduan dalam sistem ini menyempit menjadi satu unsur pohon yang memiliki peran ekologi dan ekonomi.Spesies dilahan rehabilitasi adalah tanaman pokon dan tanaman sela.Spesies yang banyak ditanam adalah nangka (Artocarpus Integra) petai (parkia speciosa),kedawung ( Parkia Timoriana). Pada dasarnya penerapan sistem agroforestry yang seharusnya adalah penanaman tanaman kehutanan dan pertanian pada satu lahan secara bersamaan. Yang ditaman di lahan rehabilitasi adalah tanaman kehutanan sedang yang lainnya adalah tanaman buah. Ilustrasi tersebut mendeskripsikan adanya inkonsistensi penerapan konsep agroforestry sebagaimana diatur dalam pustaka. Padahal rehabilitasi merupakan kegiatan untuk memulihkan fungsi dan kondisi hutan yang telah rusak dengan kegiatan penanaman,pemeliharaan serta pengkayaan melalui spesies tanaman asli setempat (Purwaningsih,2006).

Berdasarkan data bahwa tanaman yang ditanam di zona rehablitasi meliputi tanaman endemic (tanaman asli) dan tanaman eksotik( tanaman yang berasal dari luar). Dan tanaman eksotik lebih banyak dari pada tanaman endemic. Oleh karena itu perlunya pengkayaan agar memperkaya varietas keanekaragaman hayati spesies tanamaan asli sehingga akan mencegah kepunahan jenis tanaman sehingga akan mewujudkan prinsip biological diversity. Tabel 1. Jenis tanaman endemic di Taman Nasional Meru Betiri adalah sebagai berikut:

No Tanaman Asli Tanaman Eksotik

1 kedawung ( parkia timoriana) Petai ( parkia speciosa)

2 Kepuh (steclia foetida) Nangka (artocarpus integra)

3 Kemiri (aleirities moluccana) Mangga (mangifera indica)

4 Pakem (pangium edule) Alpukat (parsea amaricana)

5 Sukun (artocarpus communis) Jambu mete (annacardium occidental)

6 Pinang (areca catechu) Mengkudu (morinda citrifolia)

7 Kenitu (chrysophylum cainto) Kluwih (artocarpus altilis)

Page 131: KAJIAN ALUR TATA NIAGA KAPULAGA (Amomum cardomum L

Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 609

No Tanaman Asli Tanaman Eksotik

8 Jowo lawe (vitex quinata) Melinjo (gnetum gnemon)

9 Asem (tamarindus indica) Jambu

10 Biji (psidium guajava)

11 Sirsak (annona muricata)

12 Durian (Durio zibethinus)

13 Jengkol (pithecellobium lobatum)

14 Kedondong (spondial dulcis)

Serta adanya tanaman peje yang beradal dari PT Perkebunan Nusantara yang terletak dekat

desa curah nongko. Keberadaan lahan rehabilitasi berkontribusi bagi petani.Melalui sistem agroforestry yang diterapkan di lahan rehabilitasi dikaji dari aspek ekonomi membantu petani dalam hal:1) Peningkatan keluaran karena produknya lebih bervariasi seperti pangan,serta, kayu bakar dll, 2) memperkecil kegagalan panen karena gagal atau menurunnya panen dari salah satu komponen masih dapat ditutupi oleh komponen lain, 3) meningkatkanya pendapatan petani karena input yang diberikan akan memberkan output yang berkelanjutan.

SK: 1008/Dj-VI/LH/1998 tanggal 4 Nopember 1998 dan Surat Persetujuan Dirjen PHKA Nomor: 1354/Dj-V/KK/1999. Selanjutnya ditindaklanjuti dengan keluarnya Surat Keputusan Kepala Balai TNMB Nomor: 451/Sek.01/VI-TNMB/1999 tentang penetapan Tim Rehabilitasi Kawasan. Kebijakan tersebut menyisakan permasalahan birokrasi pengelola kawasan taman nasional yang tidak dirancang untuk pengelolaan secara aktif, budaya administratif yang ada tidak menyediakan kerangka acuan yang layak, lemahnya pemantauan dan dan kontrol kinerja serta kurangnya terhadap evaluasi suatu kegiatan

Penerapan kebijakan konservasi yang merunjuk pada Undang-undang No.5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya alam hayati dan ekosistem menuai kompleksitas permasalahan yang terkait dengan hak pemanfaatan dan pengelolaan oleh masyarakat disekitar taman nasional meru betiri terhadap sumber daya alam di TNMB.Penerapan kebijakan berdampak pada konflik sosial dan tenurial yang terjadi di TNMB yang melibatkan masyarakat dan TNMB maupun masyarakat dan kelompok masyarakat dalam pemanfaatan sumber daya alam TNMB.

Mencermati uraian tersebut diatas dimaknai terciptanya kesenjangan ditataran “konsep” dan “aplikasi” atau pengelolaan taman nasional meru betiri.Terrpatri pada kebijakan konservasi yang diterapkan di TNMB yang bertujuan perlindungan dan pelestarian sumber daya alam hayati namun dalam aplikasinya menegasikan eksistensi masyarakat sekitar hutan dalam pengelolaan taman nasional yang berujung pada konflik tenurial. Fenomena tersebut menyiratkan adanya “ambiguitas” antara upaya konservasi dan tujuan untuk mensejahterakan masyarakat.Dampaknya, regulasi yang disusun tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat hal tersebut karena regulasi yang ada tidak disusun untuk mengatasi akar masalah konservasi yaitu interaksi masyarakat lokal dengan sumber dayataman nasional yang belum pernah secara tuntas dikaji dan direkayasa agar menjadi interaksi positif yang saling menguntungkan.

Menurut Barda, (Barda Nawawi Arief, 2008:10) suatu kebijakan yang baik jika mampu mengatasi akar masalah melalui pendekatan simtomatik bukan secara fragmentair (parsial) sehingga kebijakan tersebut mampu menjadi tool yang dapat dioperasionalkan di lapangan.Berpijak pada fenomena tersebut, perlu diupayakan penyelarasan antara regulasi yang mengatur perlindungan dan pengelolaan hutan dengan kebutuhan masyarakat, serta memposisikan masyarakat sebagai subyek yang terlibat aktif dalam konservasi. Permasalahan pengelolaan taman nasional yang berujung pada kompleksitas permasalahan sebagaimana penulis deskripsikan diatas, karena belum terciptanya keterpaduan atau titik temu antara pengelola BTNMB dan masyarakat, karena masyarakat terkendala oleh hak akses terhadap sumber daya alam. Sedangkan pengelola TNMB terkendala oleh regulasi yang berlaku. Mencermati visi pengelolaan kawasan sebagaimana tertuang dalam Rencana Pengelolaan TNMB bahwa Visi yang telah ditetapkan oleh Balai TNMB

Page 132: KAJIAN ALUR TATA NIAGA KAPULAGA (Amomum cardomum L

610 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

adalah“Menjadikan Taman Nasional Meru Betiri sebagai Pusat Wisata Edukasi dengan Biodiversitas Terutuh di Indonesia ”. (Dewi Gunawati,2015:384)

Mencermati visi tersebut hanya terpatri pada kepentingan TNMB yang berkutat pada upaya perlindungan dan pengelolaan TNMB. Visi tersebut menguatkan konsep biosentrime yang memaknai eksosistem terlepas dari campur tangan manusia. Hal tersebut berdampak pada penegasian eksistensi masyarakat disekitar hutan dalam aktivitas pengelolaan kawasan konservasi. Komitmen TNMB dalam upaya perlindungan dan pengelolaan kawasan kurang memperhatikan kepentingan masyarakat melalui pelibatan secara aktif dalam perlindungan dan pengelolaan kawasan sehingga berdampak terhadap konflik tenurial yang terjadi di TNMB.

Mensikapi hal tersebut, perlu adanya rekonstruksi terhadap visi yang ada, visi yang disusun harus responsive terhadap permasalahan yang dihadapi masyarakat sehingga kebijakan yang disusun memiliki keberterimaan ,dipahami , serta dilaksanakan oleh kedua pihak.Pelaksanaan kegiatan konservasi di zona rehabilitasi Nota kesepakatan No .2272/BTNMB-1/2011mengatur hak-hak dan kewajiban petani dalam pengelolaan zona rehabilitasi. Adapun substansi yang diatur dalam nota kesepakatan tersebut berisi hal-hal sebagai berikut: a) Petani atau KTMR (Kelompok Tani Mitra Rehabilitasi) diharuskan menanam tanaman pokok

berupa tanaman asli yang bermanfaat obat atau manfaat ekonomi yang disediakan oleh TNMB b) KTMR boleh menanam tanaman tumpang sari disela-sela tanaman pokok sampai batas waktu

tertentu (5 Tahun diadakan evaluasi) c) KTMR tidak diperbolehkan menanam tanaman perkebunan (misalnya kopi,coklat,

tembakau).Jenis tanaman tersebut bukan endemik di Taman Nasional Meru Betiri sehingga dapat menyebabkan pencemaran genetik,di kawasan taman nasional tersebut

d) Status tanah adalah tanah negara berupa kawasan hutan yang tidak boleh diubah menjadi hak milik atau status-status lainnya.

e) Hasil tanaman pokok berupa buah menjadi hak KTMR sedangkan tanaman pokok tidak boleh ditebang dan merupakan asset Taman Nasional Meru Betiri

f) KTMR wajib membantu pengamanan kawasan bersamaan petugas dilapangan dan dilarang menebang hutan agar hutan lestari.

g) Pembagian lahan rehabilitasi berdasarkan kemampuan seseorang penggarap untuk mengelola lahan dilapangan, sehingga ada penggarap yang hanya memperoleh lahan 0,25 ha tetapi ada juga yang memperoleh lebih dari 0,25 ha.

h) Jenis-jenis lain yang tidak tercantum dalam 39 jenis yang telah disepakati,tetapi sudah terlanjur tumbuh dan besar,untuk sementara dibiarkan terlebih dahulu sambil menunggu rencana yang akan diterapkan.

Mencermati kesepakatan tersebut diatas, berikut penulis deskripsikan persepsi petani

penggarap terhadap nota kesepakatan dalam kegiatan rehabilitasi berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan penulis terhadap warga masyarakat penggarap adalah sebagai berikut:(Dewi Gunawati,2015:380) a) Masyarakat disekitar hutan yang rata-rata miskin, melihat sumber daya alam hutan sebagai asset

yang dapat dimanfaatkan untuk keperluan hidup. Untuk keperluan hidupnya, mereka mengharapkan kepastian hukum akan hak memanen hasil tanaman pokok yang mereka tanam dilahan rehabilitasi.Kegiatan rehabilitasi merupakan jaminan agar bisa tetap memanfaatkan sumber daya hutan yang mereka bangun secara lestari. Tuntutan masyarakat terhadap izin untuk menggarap/mengelola tegakan yang telah ditanami serta dapat memperoleh hasil dari tegakan yang telah ditanami serta izin agar izin garap dapat diwariskan.Tuntutan muncul karena adanya kekhawatiran apabila suatu hari tegakan telah besar/dewasa,maka akan hilang izin yang diberikan. Anggota KTMR menyadari bahwa lahan yang digarap adalah kawasan konservasi yang harus dilindungi,sehingga tuntutan masyarakat tidak terhadap pemilikan lahan tetapi izin untuk menggarap/mengelola tegakan yang telah ditanami dan dapat memperoleh hasil bila tegakan

Page 133: KAJIAN ALUR TATA NIAGA KAPULAGA (Amomum cardomum L

Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 611

yang ditanami sudah berbuah.Adapun jenis tanaman yang menjadi obyek rehabilitasi adalah nangka,kluwek, kemiri, pisang dll.

b) Walaupun petani sudah menanam jenis-jenis tanaman yang sudah disepakati ,namun pendapatan yang didapat dari kegiatan tersebut masih dibawah standar kehidupan.

c) Masyarakat i) mempunyai harapan besar terhadap kegiatan rehabilitasi dengan memanen tanaman pokok yang ditanam jika sudah berubah,harapan tersebut timbul karena kondisi ekonomi dan sosial yang rendah. Untuk maksud tersebut maka petani minta agar dapat menanam tanaman perkebunan misalnya kopi,karena hasilnya lebih menjajanjikan /menguntungkan ,namun pihak TNMB tidak memberikan izin dengan alasan i) untuk menghindari konflik diantara petani penggarap, ii) akar tanaman perkebunan adalah akar serabut sehingga mudah terkikis kalau ada hujan deras sehingga mengakibatkan terjadinya longsor, iii) Petani penggarap juga tidak boleh mendirikan gubuk di hutan, karena akan memicu terjadinya perambahan.

Mencermati nota kesepakatan serta data empiris terkait persepsi masyarakat terhadap nota kesepakatan diatas, analisis penulis adalah sebagai berikut : a. kesepakatan yang disusun oleh TNMB tidak disusun berdasarkan kebutuhan riil di dalam

masyarakat (Community Need Assesment) (Kieth Carter, 1992:54) yang dikonotasikan sebagai proses penilaian terhadap keadaan yang diinginkan oleh masyarakat terhadap prioritas status kebutuhan warga. Kebutuhan (need) adalah kesenjangan antara situasi yang sedang terjadi dan situasi yang seharusnya terjadi.Penilaian kebutuhan-kebutuhan supaya membantu menemukan kebutuhan riil dalam meningkatkan kualitas hidupnya. Kebutuhan riil petani penggarap adalah pendapatan yang mampu meningkatkan kualitas kehidupannya, mencermati hal itu seharusnya pihak TNMB lebih arif dan tidak terkesan kukuh pada pendiriannya dengan memaksakan kesepakatan tersebut kepada masyarakat untuk menanam tanaman seperti yang disepakati TNMB.

b) Kesepakatan yang disusun membatasi akses masyarakat dalam memanfaatkan secara lestari sumber daya alam hutan. Pengelola TNMB seringkali memiliki agenda yang sangat terkesan melindungi taman nasional dari campur tangan masyarakat sekitar hutan. Padahal program rehabilitasi dengan sistem agroforestry memerlukan pelibatan masyarakat sebagai penggarap.

c) Kesepakatan yang terkesan kaku dan menguntungkan secara sepihak, membuat masyarakat menjadi pesimis terhadap kegiatan konservasi, yang berdampak masyarakat bersikap masa bodoh dan kontra produktif terhadap aksi konservasi. Hal itu menyebabkan munculnya pelanggaran-pelanggaran yang terjadi di lahan rehabilitasi. Pada umumnya masyarakat sudah paham akan fungsi dan manfaat program rehabilitasi tetapi kesadaran petani untuk mendukung tercapainya kelestarian hutan masih rendah.

d) Tenurial tidak selalu menjadi masalah yang terkait dengan kepemilikan atau lahan, tetapi juga tentang jaminan hak untuk mengelola kawasan. Hak atas pengelolaan lahan dapat diatur melalui perjanjian kerja sama jangka panjang yang terdiri dari hak dan kewajiban setiap pihak yang telah mencapai kesepakatan, dan dikembangkan melalui pendekatan partisipatif. Kesepakatan yan baik adalah kesepakatan yang mempertimbangkanprinsip-prinsipberbagiyang didasarkanpada asas musyawarah dan mufakat serta kegotong royongan.

IV. KESIMPULAN

A. Kesimpulan

Penerapan kegiatan rehabilitasi di Taman Nasional Meru betiri menyiratkan adanya “ambiguitas” antara upaya konservasi dan tujuan untuk mensejahterakan masyarakat. Dampaknya : 1. Kesepakatan yang disusun oleh TNMB tidak disusun berdasarkan kebutuhan riil di dalam

masyarakat( Community Need Assesment) yang dikonotasikan sebagai proses penilaian terhadap keadaan yang diinginkan oleh masyarakat terhadap prioritas status kebutuhan warga.

Page 134: KAJIAN ALUR TATA NIAGA KAPULAGA (Amomum cardomum L

612 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

2. Kebijakan konservasi yang diterapkan membatasi akses masyarakat dalam memanfaatkan secara lestari sumber daya alam hutan,Pengelola TNMB seringkali memiliki agenda yang sangat terkesan melindungi taman nasional dari campur tangan masyarakat sekitar hutan. Padahal program rehabilitasi dengan sistem agroforestry memerlukan pelibatan masyarakat sebagai penggarap.

3. Kesepakatan yang terkesan kaku dan menguntungkan secara sepihak, membuat masyarakat menjadi pesimis terhadap kegiatan konservasi, yang berdampak masyarakat bersikap masa bodoh dan kontra produktif terhadap aksi konservasi.

B. Saran 1. Program rehabilitasi dengan sistem agroforestry memerlukan pelibatan masyarakat sebagai

pelaku aktif dalam kegiatan rehabilitasi, mencermati hal tersebut Balai Taman Nasional Meru Betiri harus melibatkan masyarakat dalam penyusunan perencanaan program rehabilitasi melalui mengidentifikasi kebutuhan riil ( Community Need Assesment) .

2. Balai taman nasional meru betiri perlu menyusun grand design atau perencanaan menyeluruh serta pembahasan mengenai Rencana Pengelolaan taman nasional yang memadu serasikan program seluruh stake holders yang terintegrasi dalam rencana pembangunan .

DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 2014. Rencana Pengelolaan Taman Nasional Meru Betiri, 1995-2015, Balai Taman Nasional

Meru Betiri, Jember Jawa Timur. Barda Nawawi Arief, 2008. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana (perkembangan Penyusunan

Konsep KUHP Baru), Kencana Prenada Media Group,Jakarta. De Foresta,michon, 1997, The agroforest alternative to imperata grasslands when smaller

agriculture and forestry research sustibability, Agroforestry system. Dewi Gunawati, 2015, Harmonisasi Hukum Perlindungan dan Pengelolaan Hutan dalam upaya

mitigasi perubahan iklim global, Studi implementasi program REDD+ di Taman Nasional Meru Betiri Jember Jawa Timur, Disertasi Program Doktoral Ilmu Hukum, Universitas Sebelas Maret, Surakarta.

Endang Suhendang, 2004. Ilmu Kehutanan, Yayasan Penerbit Fakultas Kehutanan, Bogor. Konservasi Alam Indonesia Lestari, 2010. Daftar Tanaman pokok TNMB, Jember. Purwaningsih, 2006. Studi manfaat kegiatan rehabilitasi dalam peningkatan pendapatan masyarakat

dan reduksi gangguan terhadap kawasan TNMB, Skripsi, IPB. Ervizal A.M.Zuhud. 2010. Developing Conservation Based Industry from Rehabilitation Zone in Meru

Betiri National Park, ITTO PD 519/08/REV.1(F): In Cooperation with Forestry Research and Development Agency Ministry of Forest, Indonesia, Bogor

Keith A Carter and Lionel J Bealieu1992, ”Conducting A Community Needs Assesment”, dalam Florida

Cooperative Extension Service, University of Florida, Florida Wandoyo Siswanto, 1998. “Pengembangan Daerah Penyangga Taman Nasional ”Pengalaman

Lapangan di Taman Nasional Kerici Seblat, Makalah dalam Lokakarya Kepala Balai dan Kepala Unit Taman Nasional se-Indonesia, Lido Tanggal 21-25 Oktober 1998, Kerjasama antara

Page 135: KAJIAN ALUR TATA NIAGA KAPULAGA (Amomum cardomum L

Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 613

Departemen Kehutanan dan Perkebunan dan U.S Agency For International Development dan Natural Resources and Management program

Page 136: KAJIAN ALUR TATA NIAGA KAPULAGA (Amomum cardomum L

614 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

PENGELOLAAN KOLABORATIF HUTAN PENDIDIKAN UNIVERSITAS GORONTALO

Iswan Dunggio1, Tuti Herawati2, Dede Rohadi2

1Universitas Gorontalo-Sulawesi, Jalan Jend. Sudirman No 247, Limboto. Gorontalo 2Seconded Scientist CIFOR, Centre for International Forestry Research, Jalan Situ Gede-Bogor

Email: [email protected], [email protected];

ABSTRAK

Makalah ini membahas temuan awal kegiatan penelitian dan pembelajaran dari proses pengembangan model pengelolaan kolaboratif Hutan Pendidikan Gunung Damar di Kabupaten Gorontalo. Hutan Pendidikan Gunung Damar meliputi areal seluas 4.000 ha. Kawasan hutan memiliki vegetasi dominan Pinus mercusii dan Agathis sp. yang berpotensi sebagai penghasil getah pinus dan damar dan dapat diusahakan secara komersil. Kegiatan penelitian diawali dengan pelaksanaan analisa pemangku kepentingan (stakeholder analysis) atas kawasan hutan tersebut melalui serangkaian diskusi kelompok (Focus Group Discussion) dan wawancara terhadap beberapa tokoh masyarakat di Desa Dulamayo Selatan, Kecamatan Tibawa, Kabupaten Gorontalo yang letaknya berbatasan dengan kawasan hutan tersebut. Disamping itu dilakukan wawancara terhadap beberapa nara sumber (key informant interviews) yang mewakili pihak pengelola kawasan hutan, instansi pemerintahan terkait di Kabupaten Gorontalo, serta pihak pengusaha yang menampung dan memasarkan getah. Hasil kajian menyimpulkan bahwa Hutan Pendidikan Gunung Damar, selain berfungsi sebagai sarana pendidikan bagi para mahasiswa, juga menjadi sumber produksi getah pinus dan damar yang menjadi salah satu sumber pendapatan bagi sebagian masyarakat yang tinggal di wilayah sekitar kawasan hutan tersebut. Sekitar 40 orang penyadap getah yang berasal dari desa-desa yang berada di sekitar kawasan (Dulamayo Selatan, Dulamayo Barat dan Modelidu). Terdapat 11 pihak yang terlibat dalam pengelolaan HPG. Hasil kajian awal ini menunjukkan adanya pemahaman yang berbeda antara aktor dalam pola pemanfaatan getah. Perjanjian kemitraan membatasi pengembangan lebih lanjut dari pengelolaan sumber daya hutan yang adil dan lestari. Studi ini mengusulkan model perjanjian kemitraan yang melibatkan otoritas universitas, masyarakat lokal dan swasta untuk memberikan manfaat bersama untuk semua aktor yang terlibat. Kata kunci: hutan pendidikan, Gorontalo, manajemen kolaboratif, analisis stakeholder, getah.

I. PENDAHULUAN

Twarkins dan Robertson (2001) mengemukakan, bahwa pengelolaan hutan secara korporasi tidak menimbulkan dampak ekonomi secara signifikan bagi masyarakat sekitar, yang terjadi adalah peristiwa hancurnya sumberdaya hutan secara masif dan makin tingginya angka kemiskinan disekitar kawasan hutan. Sejalan dengan permasalahan tersebut maka paradigma pengelolaan hutan secara partisipatif sangat penting untuk dipertimbangkan. Partisipasi masyarakat adalah suatu proses yang memberi kesempatan kepada masyarakat secara individu atau kelompok untuk mempengaruhi keputusan publik termasuk di dalamnya kesempatan berpartisipasi dalam pengelolaan hutan (Cohan and Sharp, 1995) dalam (Poteeteand Ostrom, 2004).

Permasalahan seperti yang dikemukakan diatas juga terjadi pada kawasan hutan pendidikan Gunung Damar Universitas Gorontalo. Sebelum ditunjuk oleh pemerintah sebagai hutan pendidikan, kawasan hutan pendidikan merupakan kawasan hutan lindung Gunung Damar.

Wilayah ini telah mengalami berbagai tekanan akibat pertumbuhan pendudu, okupasi lahan, konflik pemanfaatan getah pinus dan getah damar serta persoalan sosial ekonomi lainnya.

Pengalihan status pengelolaan hutan lindung Gunung Damar dari pemerintah ke pihak Universitas Gorontalo belum mampu mengatasi permasalahan atas. Pengalihan situasi pengelolaan kawasan tidak serta merta mengugurkan status kawasan hutan lindung, dimana konsep pengelolaan hutan lindung versi pemerintah yang berbeda dari pemahaman masyarakat yang telah mendiami kawasan hutan lindung sebelum ditetapkan sebagai hutan lindung Gunung Damar (SK Menhut No 452/Menhut-II/1999 jo.SK 325/Menhut-II/2010).

Page 137: KAJIAN ALUR TATA NIAGA KAPULAGA (Amomum cardomum L

Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 615

Permasalahan semakin mengemukaka ketika terjadi konflik pemanfaatan getah pinus antara pihak pemerintah Kabupaten Gorontalo, Fakultas Pertanian Universitas Gorontalo, koperasi Universitas Gorontalo, pengusaha dan masyarakat penyadap pinus. Permasalahan yang terjadi di HPGD terkait dengan pemanfaatan getah pinus maupun pola-pola pemanfaatan lahan di HPGD merupakan masalah kelembagaan terutama menyangkut hak penguasaan dan pengelolaan sumberdaya alam antara pemerintah, pengelola dan masyarakat lokal.

Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi pembagian peran antar stakeholder yang terkait dalam pemanfaatan getah di Hutan Pendidikan Gunung Damar, untuk mencari alternative solusi atas permasalahan yang terjadi diantara para pihak terkait.

II. METODE

Penelitian ini dilaksanakan selama 3 bulan mulai dari bulan Juli-September 2015 dan lokasi penelitian berada di Hutan Pendidikan Gunung Damar Universitas Gorontalo Provinsi Gorontalo. Secara garis besar penelitian ini dilaksanakan dalam 4 tahap yaitu tahap pengumpulan data, tahap pengolahan data, tahap analisis data dan tahap penulisan laporan.

Pengumpulan data dilakukan dalam dua tahap. Pertama dengan melakukan observasi yang ditujukan untuk verifikasi data dan informasi yang diperoleh dari . Tahap kedua adalah survey. Survei dilakukan dengan teknik wawancara mendalam (indepth interview). Kedua teknik digunakan untuk menggali informasi lebih mendalam dari responden.

Teknik analisis yang digunakan adalah dengan menggunakan analisis model interaktif (interactive model of analysis) yang telah dimodifikasi serta mengikuti model pola pemikiran kualitatif yang bersifat empirical inductive) (Milles,& Huberman, 1992). Analisis data menggunakan metode Analisis stakeholder. Analisis ini dimulai dengan identifikasi stakeholder terkait ke dalam kelompok kelompok prioritas (stakeholders utama, stakeholders kunci dan stakeholders pendukung). Allen dan Kilvington (2001) memberikan pedoman untuk membuat tabel stakeholder, terdapat 3 tahap yang harus dilakukan dalam analisis stakeholder, ketiga tahap tersebut adalah: 1) Identifikasi kelompok stakeholder utama, 2) penentuan kepentingan, pengaruh dan dampak (3) serta penerapan strategi pelibatan.

Hasil analisis stakeholder berupa strategi pelibatan stakeholder dengan menentukan tipe partisipasi yang sesuai. Dick (1997) dalam Pratiwi (2008) merekomendasikan bentuk partisipasi mulai dilibatkan cukup hanya sebagai informan, dikonsultasi, langsung terlibat dalam pengambilan keputusan, dan atau diposisikan sebagai mitra kerja.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN Pada awalnya Hutan pendidikan Gunung Damar (HPGD) Universitas Gorontalo ditetapkan

sebagai kawasan hutan dengan tujuan khusus berdasarkan SK Menteri Kehutanan 396/Menhut-II/2004 dengan luas 10.000 ha dan terletak pada fungsi hutan produksi dan hutan lindung. Namun pada tahun 2010 luas HPGD Universitas Gorontalo menciut menjadi 4550,23 ha sebagai akibat dari adanya perubahan luas fungsi seluruh kawasan hutan di Provinsi Gorontalo yang ditetapkan berdasarkan SK 325/Menhut-II/2010 tentang Penunjukkan Kawasan Hutan di Provinsi Gorontalo. Sebelum di tetapkan sebagai KHDTK, kawasan hutan lindung merupakan wilayah klaim masyarakat, hal ini dibuktikan dengan luasnya wilayah okupasi masyarakat. Situasi ini membuktikan adanya sebuah interdependensi dalam kawasan hutan lindung Gunung Damar. Untuk mengarahkan interdependensi tersebut maka dibutuhkan sebuah kelembagaan yang mengatur pengelolaan hutan lindung Gunung Damar. Salah satu bentuk kelembagaan tersebut adalah ditetapkannya pihak Universitas Gorontalo sebagai pengelola dan SK Menhut No 396/Menhut-II/2004 sebagai perangkat aturan main.

Secara administrasi HPGD Universitas Gorontalo diapit oleh empat kecamatan dan enam desa di Kabupaten Gorontalo yang meliputi Kecamatan Limboto Barat (Desa Daenaa), Kecamatan

Page 138: KAJIAN ALUR TATA NIAGA KAPULAGA (Amomum cardomum L

616 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

Limboto (Desa Malahu), Desa Dulamayo Selatan, Desa Dulamayo Barat dan Desa Tapaluluo (Kecamatan Telaga) dan Desa Dulamayo Utara (Kecamatan Telaga Biru. Berdasarkan penelusuran sejarah yang didapatkan dari hasil wawancara, kawasan hutan diwilayah hutan lindung Gunung Damar telah dikelola secara tradisional oleh masyarakat di enam desa secara turun temurun. Total jumlah penduduk yang tinggal disekitar HPGD Universitas Gorontalo adalah 9.149 jiwa dengan rata-rata tingkat kepadatan penduduk mencapai 44 jiwa per km2. Tingkat pendidikan umumnya tidak tamat SD sebesar 6619 orang atau 72,83%. Beberapa potensi utama sumberdaya hutan yang dimiliki HPGD adalah pinus, damar, kemiri, cengkih, aren, rambutan, mahoni, durian, langsat dan jati. Untuk tanaman semusim masyarakat masih mengusahakan tanaman jagung, cabe dan beberapa jenis sayuran. Berdasarkan potensi inilah mata pencaharian masyarakat disekitar HPGD adalah petani.

Sejak ditetapkannya hutan lindung Gunung Damar sebagai wilayah KHDTK maka terdapat beberapa permasalahan terkait dengan pemanfaatan kawasan HPGD. Permasalahan tersebut antara lain, tidak diperkenankannya kegiatan-kegiatan yang bersifat eksploitasi di dalam kawasan KHDTK HPGD Universitas Gorontalo, karena tujuan ditetapkannya KHDTK HPGD Universitas Gorontalo adalah untuk kepentingan pendidikan dan penelitian. Situasi ini membuat masyarakat yang selama ini memanfaatkan kawasan HPGD selama ratusan tahun terpaksa harus melaksanakan kegiatan pemanfaatan secara sembunyi-sembunyi karena pihak pengelola HPGD melarang kegiatan eksploitasi di dalam kawasan HPGD. Akibat dari pelarangan ini, kegiatan-kegiatan perambahan untuk perluasan lahan pertanian dan perkebunan berangsur berangsur menurun. Kegiatan-kegiatan penelitian yang dilakukan oleh mahasiswa dan dosen serta institusi lain di wilayah KHDTK hendak menegaskan kehadiran institusi pengelola KHDTK hutan pendidikan Gunung Damar. (wawancara pribadi dengan Abdul Samad Hiola, 2015). Namun demikian, kondisi seperti ini membuat masyarakat yang selama memanfaatkan kawasan HPGD untuk mengeksploitasi beberapa SDH seperti getah pinus dan getah damar menjadi “tidak aman”. Adanya rasa tidak aman yang dialami oleh masyarakat sekitar HPGD dalam memanfaatkan getah pinus dan damar secara tradisional sesungguhnya berpotensi menimbulkan konflik. Puncak konflik yang sesungguhnya terjadi saat datangnya investor CV Surya Timur Sejahtera (STS) yang berkeinginan untuk melakukan kerjasama untuk memanfaatkan getah pinus di HPGD. Pihak investor menawarkan akan menanggung seluruh biaya investasi dan akan merekrut tenaga kerja lokal untuk dipekerjakan sebagai petani penyadap serta akan memberikan institional fee kepada pihak Universitas Gorontalo. Pihak investor hanya mengharapkan pihak Universitas Gorontalo (UG) melalui KSU Karya Dharma UG mengurus perijinannya melalui Dinas Kehutanan Pertambangan dan Energi Kabupaten Gorontalo. Namun kesepakatan ini ditentang oleh pengelola HPGD yaitu Fakultas Pertanian, karena sesuai mandat SK Menhut No 396/Menhut-II/2004 yang menyatakan bahwa HPGD hanya diperuntukkan kepentingan pendidikan dan penelitian. Bahkan pihak pengelola HPGD melaporkan pihak STS kepada pihak berwajib dengan delik aduan penyerobatan lahan HPGD. Berdasarkan aduan tersebut, maka pihak berwajib meminta kepada pihak STS untuk menghentikan sementara kegiatan penyadapan getah pinus. Disisi lain, pihak rektorat UG memanggil pengelola HPGD, Dinas Kehutanan, KSU Karya Dharma UG untuk mencoba memediasi konflik dan mencari solusi. Pertemuan tersebut menghasilkan kesimpulan bahwa, pemanfaatan getah pinus di HPGD UG tidak melanggar aturan, karena tidak ditemukannya klausul dalam peraturan perundangan yang melarang pemanfaatan getah pinus dalam kawasan KHDTK, pihak rektorat juga meminta agar dibuatkan surat perjanjian antara pihak KSU dan CV STS dalam pemanfaatan getah pinus dan meminta pihak STS untuk memprioritaskan tenaga lokal sebagai penyadap getah pinus. Kesepakatan ini berimbas pada dicabutnya pengaduan pihak pengelola HPGD kepada pihak STS. Pihak berwajib pun mengambil kesimpulan bahwa pengaduan tersebut tidak bisa dilanjutkan karena tidak ada pihak yang dirugikan dan pemanfaatan getah pinus tidak merusak dan merubah ekosistem hutan. Saat ini total penyadap getah pinus di HPGD berjumlah 40 orang dan seluruh pekerjanya merupakan masyarakat yang tinggal disekitar kawasan HPGD.

Berdasarkan hasil pembahasan diatas maka terdapat 2 isu penting terkait tata kelola pengelolaan lahan hutan di HPGD Universitas Gorontalo, yang pertama adalah isu tentang land

Page 139: KAJIAN ALUR TATA NIAGA KAPULAGA (Amomum cardomum L

Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 617

tenure dan kedua adalah isu tentang pola pemanfaatan SDH. Terkait dengan isu ini, maka perlu di identifikasi para para pihak yang mempunyai kepentingan dan pengaruh terkait dengan isu land tenure dan pola pemanfaatan SDH. Berdasarkan hal tersebut setidaknya terdapat 11 para pihak yang sangat terkait dengan kedua isu ini yaitu: 1) BPKH Wilayah XV Gorontalo, 2). KPHP unit VI Gorontalo 3) Dinas Kehutanan dan Pertambangan Energi, 4).BAPPEDA 5). Dinas Pertanian dan Tanaman Pangan, 6) PT Putri Sinar Buana, 7) Kepala Desa (formal leader), 8). Koperasi Karya Dharma Universitas Gorontalo, 9) petani penyadap pinus 10) Pengelola HPGD Universitas Gorontalo 11) CV Surya Timur Sejahtera. Stakeholder yang disebutkan diatas mempunyai kepentingan yang berbeda-beda dalam pengelolaan hutan HPGD. Kepentingan tersebut bisa dilihat dari kewenangan yang dimiliki. Adapun kewenangan tersebut dijelaskan dalam matriks berikut. Tabel 1. Stakeholders dan kepentingan utamanya dalam pengelolaan hutan

Stakeholder Kewenangan

I. Pemerintah Pusat

BPKH Wilayah XV Gorontalo Melaksanakan kegiatan pemantapan kawasan hutan

II. Pemerintah Daerah

Dinas Kehutanan dan Pertambangan Energi Melaksanakan pengendalian dan pelestarian hutan negara, pengembangan HHBK dan penanganan lahan kritis

Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA)

Perencanaan pembangunan wilayah

Dinas Pertanian Tanaman Pangan Melaksanakan kegiatan pengembangan dan peningkatan pertanian serta pemasaran hasil-hasil pertanian

KPHP unit VI Gorontalo Melaksanakan kegiatan pembinaan kawasan, perlindungan dan pemberdayaan masyarakat sekitar hutan

Kepala desa Melaksanakan kebijakan pembangunan didesa, mengkoordinasikan pembangunan di desa secara partisipastif

III. Non Pemerintah

PT. Putri Sinar Buana Melaksanakan kegiatan pemanfaatan getah pinus dengan cara membeli dari petani

CV. Surya Timur Sejahtera Melaksanakan kegiatan pemanfaatan hasil hutan getah pinus

Pengelola HPGD Universitas Gorontalo Melaksanakan kegiatan pengelolaan terdiri dari: penelitian, pengajaran dan pengabdian pada masyarakat

Koperasi KSU Karya Dharma Universitas Gorontalo

Pemegang izin pemanfaatan getah pinus sekaligus penerima manfaat

Petani penyadap getah Melaksanakan kegiatan operasional pemanfaatan getah pinus

Hasil analisa terhadap kewenangan diatas mengindikasikan bahwa baik pemerintah pusat,

pemerintah daerah dan institusi non pemerintah pusat dan daerah mempunyai kepentingan dan pengaruh yang berbeda-beda. Kepentingan dan pengaruh sangat penting untuk melihat sejauh mana “power” organisasi tersebut mempengaruhi kebijakan. Pengklasifikasian stakeholder berdasarkan pengaruhnya dan tingkat kepentingan keterlibatan dalam sebuah kegiatan merupakan salah satu cara untuk mengidentifikasi peluang partisipasi dan kemungkinan resiko yang dapat ditimbulkan oleh stakeholder tertentu. Menurut Pratiwi (2008), tingkat pengaruh mengindikasikan

Page 140: KAJIAN ALUR TATA NIAGA KAPULAGA (Amomum cardomum L

618 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

kemampuan stakeholder untuk mempengaruhi keberhasilan atau ketidakberhasilan suatu kegiatan. Sedangkan tingkat kepentingan keterlibatan berkaitan dengan dampak yang akan diterima oleh stakeholder. Semakin besar dampak yang akan diterima oleh stakeholder semakin tinggi tingkat kepentingan keterlibatannya. Adapun rinciannya tentang tingkat kepentingan keterlibatan dan tingkat pengaruhnya disajikan pada tabel berikut. Tabel 2. Stakeholder dan pengaruh serta tingkat kepentingannya dalam pemanfaatan getah pinus di HPGD Universitas Gorontalo

Stakeholder

Kepentingan

Pengaruh

Peluang Partisipasi

I. Pemerintah Pusat

BPKH Wilayah XV Gorontalo Tinggi, koordinasi pemantapan kawasan hutan

Rendah. Tidak mempunyai otoritas menentukan pemanfaatan kawasan

Koordinasi dan penyedia informasi potensi kawasan hutan

II. Pemerintah Daerah

Dinas Kehutanan dan Pertambangan Energi Tinggi, Melaksanakan fungsi managemen dan administrasi dalam rangka pengelolaan, pemanfaatan dan penggunaan kawasan HPGD

Rendah. Tidak mempunyai kewenangan dalam mengatur pemanfaatan dan penggunaan kawasan HPGD.

Pembinaan dan pengawasan pengelolaan hutan

Pembangunan Daerah (BAPPEDA) Rendah. Dukungan sumberdaya terbatas

Tinggi, perencana pembangunan wilayah

Kontrol terhadap pemanfaatan lahan sesuai RTRW

Dinas Pertanian Tanaman Pangan Tinggi. Intensitas pemanfaatan lahan hutan untuk budidaya pertanian tanaman pangan dan hortikultura tinggi

Rendah. Tidak memiliki kekuatan intervensi terhadap kebijakan kehutanan

Kontrol pemanfaatan lahan hutan

KPHP unit VI Gorontalo Tinggi. Pengaturan dalam pemanfaatan SDH di HPGD

Tinggi. Mempunyai kewenangan memberikan rekomendasi

Dapat bekerjasama dengan pihak HPGD untuk optimalisasi

Page 141: KAJIAN ALUR TATA NIAGA KAPULAGA (Amomum cardomum L

Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 619

Stakeholder

Kepentingan

Pengaruh

Peluang Partisipasi

dalam rangka pemanfaatan kawasan HPGD

pemanfaatan kawasan

Kepala desa Tinggi. Memiliki kewenangan untuk mengatur semua kepentingan dan kebutuhan masyarakat desa.

Tinggi. Mempunyai kekuatan dalam menggalang partisipasi masyarakat dan memiliki kekuatan untuk intervensi kebijakan

Melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap warga masyarakat

III Non Pemerintah

PT. Putri Sinar Buana Tinggi. Menampung potensi SDH HHBK getah pinus yang mempunyai nilai jual

Rendah. Tidak Mempunyai kemampuan teknis dalam pemanfaatan pinus

Membangun kemitraan yang setara dan saling menguntungkan dengan masyarakat.

CV. Surya Timur Sejahtera Tinggi. Memanfaatkan getah pinus sebagai bahan dasar pembuatan gondorukem dan lilin batik

Tinggi. Mempunyai kemampuan teknis dalam memanfaatkan HHBK.

Membangun kemitraan yang setara dan saling menguntungkan dengan masyarakat

Universitas Gorontalo Tinggi. Pemangku kawasan HPGD

Rendah. Tidak mempunyai akses untuk mempengaruhi kebijakan

Menyediakan data dan informasi

Petani penyadap Tinggi. Melaksanakan kegiatan budidaya dilahan garapan

Tinggi. Mempunyai kemampuan untuk mensupply getah pinus

Terlibat langsung dalam kegiatan peningkatan kapasitas dan implementasi kegiatian

Koperasi KSU Karya Dharma Tinggi. Memiliki unit usaha pemanfaatan SDH di HPGD

Tinggi. Mempunyai legalitas dalam memanfaatkan HHBK di HPGD

Mempunyai peluang menjalin kerjasama dengan pihak investor,

Page 142: KAJIAN ALUR TATA NIAGA KAPULAGA (Amomum cardomum L

620 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

Stakeholder

Kepentingan

Pengaruh

Peluang Partisipasi

pedagang pengumpul dan petani penyadap pinus

Berdasarkan tabel di atas terlihat stakeholder mempunyai kepentingan dan pengaruh yang

berbeda-beda dalam kaitannya dengan pengelolaan HPGD Universitas Gorontalo di Kabupaten Gorontalo. Apabila tingkat pengaruh dan kepentingan dikombinasikan, kemudian diterjemahkan kedalam bentuk matriks, maka dapat dilihat ilustrasi mengenai fenomena penelitian yang terjadi berkenaan dengan tingkat kepentingan dan pengaruh untuk seluruh para pihak secara bersamaan. Secara sederhana stakeholder yang dianalisa berdasarkan kepentingan dan pengaruhnya terbagi menjadi empat komponen yaitu subyek (subject), pemain (player), pengamat (bystanders) dan penonton dapat dilihat pada gambar di bawah ini.

Gambar 1. Matriks kepentingan dan pengaruh stakeholders pengelolaan HPGD

Posisi kuadran A (subyek) terdapat stakeholders, dengan tingkat kepentingan tinggi dan tingkat pengaruh yang rendah yaitu, PT. Sinar Putri Buana, Dinas Pertanian dan Tanaman Pangan, Dinas Kehutanan, Pengelola HPGD, BPKH XV Gorontalo. Peningkatan kemampuan manajerial dan peningkatan kemampuan teknis terhadap pemanfaatan getah pinus merupakan salah satu upaya yang dapat ditempuh untuk melibatkan stakeholder ini dalam kegiatan pengelolaan hutan.

Posisi kuadran B (pemain) stakeholders dengan tingkat kepentingan tinggi dan tingkat pengaruh yang tinggi yaitu KPHP unit VI Gorontalo, petani penyadap pinus, CV Surya Timur Sejahtera, KSU Karya Dharma UG dan kepala desa. Stakeholder ini memiliki pengaruh kuat dalam hal pengambilan keputusan dalam pemanfaatan pinus. Stakeholder ini merupakan kelompok yang paling kritis karena memiliki kepentingan dan pengaruh yang sama tinggi. Perlu dilakukan kerjasama yang baik agar kegiatan pemanfaatan getah pinus dapat mencapai kinerja yang diharapkan.

Posisi kuadran C (pengamat) terdapat stakeholders, dengan tingkat kepentingan rendah dan tingkat pengaruh yang tinggi yaitu BAPPEDA. Hal ini dapat diinterpretasikan bahwa kepentingan dari stakeholder kelompok ini bukan merupakan target dari kegiatan. Oleh karena itu dalam konteks pencapaian kegiatan pengelolaan hutan, stakeholders ini dapat dipandang sebagai sumber dari resiko bagi ketidakberhasilan kegiatan. Meskipun demikian stakeholder ini memiliki manfaat dalam rangka merumuskan atau menjembatani keputusan dan opini dalam pengelolaan hutan. Mereka

Page 143: KAJIAN ALUR TATA NIAGA KAPULAGA (Amomum cardomum L

Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 621

dapat menjadi intermediaries atau fasilitator dalam proses dan cukup berpengaruh terhadap pengambilan keputusan. Kuadran D (penonton), tidak ditemukan stakeholders, dengan tingkat kepentingan rendah dan tingkat pengaruh yang rendah dalam pemanfaatan getah pinus.

Menurut Oakerson (1996) dan Ostrom (2003) untuk melihat keefektifan kinerja kelembagaan yang dijalankan oleh para pihak maka salah satu satunya bisa dikaji melalui pola interaksi antar organisasi. Penulis menafsirkan interaksi yang dimaksud adalah pola koordinasi yang dilakukan oleh para pihak. Hal ini sesuai dengan pendapat Uphoff (1986) yang menyatakan bahwa kinerja suatu institusi dapat diukur melalui bagaimana institusi dapat menyelesaikan tugas pokoknya antara lain dengan koordinasi. Identifikasi interaksi stakeholder dilakukan dengan metode 4R’s (Rights, Responsibility, Reward dan Relationship) yang dimodifikasi dari Sunudin (2009).

Pola interaksi ini hanya dibatasi pada stakeholder kunci yang mempunyai pengaruh dan kepentingan tinggi terhadap pengelolaan hutan. Mengacu kepada WHO (2010) stakeholder kunci dalam pengelolaan hutan lindung Gunung Damar adalah stakeholder yang termasuk dalam kuadran A, B dan C yang meliputi; BPKH, KPHP unit VI Gorontalo, Dinas Kehutanan Pertambangan dan Energi, Kepala Desa, Dinas Pertanian dan Tanaman Pangan, PT Sinar Putri Buana, CV Surya Timur Sejahtera, petani penyadap, BAPPEDA, KSU Karya Dharma Universitas Gorontalo dan Pengelola HPGD Universitas Gorontalo. Tabel 3. Bentuk dan interaksi yang seharusnya terjadi antar stakeholders (normatif)

Stakeholder Subyek Pemain dan Pengamat

Rights

o Menikmati sumberdaya yang dihasilkan pinus

o Memperoleh izin pemanfaatan

o Mengetahui rencana peruntukkan hutan, pemanfaatan hasil hutan

o Memberi informasi dan pertimbangan dalam pemanfaatan HPGD

o Memberi dan mencabut izin pemanfaatan

o Melakukan pengelolaan terhadap kawasan hutan

o Melakukan pengawasan, penilaian dan memfasilitasi program

Responsibility

o Ikut memelihara dan menjaga kawasan hutan dari gangguan dan perusakan

o Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan pembangunan kehutanan

o Melakukan kegiatan teknis yang menunjang pemanfataan HPGD

o Melakukan pengelolaan hutan secara lestari

o Melaksanakan kewenangan otonomi daerah dalam rangka pelaksanaan tugas desentralisasi dibidang kehutanan

o Melaksanakan kebijakan pengelolaan hutan

o Berupaya mewujudkan program pemulihan kawasan Hutan

o Memberi dukungan penuh terhadap segala bentuk kegiatan pengelolaan hutan

Rewards

o Meningkatnya kesejahteraan masyarakat di dalam dan disekitar kawasan hutan

o Mendapatkan keuntungan dengan penjualan getah pinus

o Mendapatkan pengetahuan

o Meningkatnya PAD o Terwujudnya visi misi

organisasi o Menikmati kualitas lingkungan

hidup yang dihasilkan oleh hutan

Page 144: KAJIAN ALUR TATA NIAGA KAPULAGA (Amomum cardomum L

622 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

Stakeholder Subyek Pemain dan Pengamat

baru melalui kegiatan riset

Relationship

o Terlibat dalam kegiatan teknis kehutanan melalui dukungan tenaga kerja

o Dapat menyiapkan dukungan dana

o Menyediakan informasi yang berkaitan dengan pemanfaatan getah pinus

o Menyiapkan norma, standar, pedoman dan kriteria pengelolaan hutan

o Menyiapkan dukungan dana

Ket: ­ Subyek adalah : PT. Sinar Putri Buana, Dinas Pertanian dan Tanaman Pangan, KSU Karya

Dharma, Surya Timur Sejahtera, Pengelola HPGD Universitas Gorontalo dan petani penyadap ­ Pemain dan Pengamat : BPKH Wilayah XV, KPHP unit VI Gorontalo, Dinas Kehutanan

Pertambangan dan Energi, kepala desa.

Berdasarkan identifikasi masing masing stakeholder maka stakeholder subyek yang terdiri dari PT Sinar Putri Buana, CV Surya Timur Sejahtera, pengelola HPGD Universitas Gorontalo, KSU Karya Dharma Universitas Gorontalo dan telah mengarah pada hak pemanfaatan. Hal ini disebabkan karena stakeholder subyek mempunyai kemampuan teknis dan modal dalam memanfaatkan getah pinus sedangkan hak stakeholder pemain dan pendukung yang terdiri dari BPKH Wilayah XV Gorontalo, BP-DAS Bone Bolango, Dinas Kehutanan Pertambangan dan Energi, kepala desa, BAPPEDA, KPHP unit VI Gorontalo sebagai pembuat kebijakan atau institusi yang dapat mempengaruhi sebuah kebijakan telah sesuai dengan konsep-konsep kelembagaan.. Sangat terlihat bahwa pemerintah daerah telah menyadari bahwa institusi pemerintah seharusnya bermain pada level regulator dan bukan bertindak sebagai “pemain”.

IV. KESIMPULAN 1. Konflik pemanfaatan yang terjadi di HPGD Universitas Gorontalo terjadi karena terdapat

perbedaan pemahaman terhadap aturan main atau kebijakan dalam pola pemanfaatan getah pinus (HHBK) di kawasan KHDTK Universitas Gorontalo

2. Dalam pengelolaan dan pemanfaatan HPGD-UG terdapat 11 para pihak yang terlibat dengan tingkat pengaruh dan kewenangan yang berbeda-beda yaitu 1) BPKH Wilayah XV Gorontalo, 2). KPHP unit VI Gorontalo 3) Dinas Kehutanan dan Pertambangan Energi, 4).BAPPEDA 5). Dinas Pertanian dan Tanaman Pangan, 6) PT Putri Sinar Buana, 7) Kepala Desa (formal leader), 8). Koperasi Karya Dharma Universitas Gorontalo, 9) petani penyadap pinus 10) Pengelola HPGD Universitas Gorontalo 11) CV Surya Timur Sejahtera

3. Berdasarkan identifikasi masing masing stakeholder maka stakeholder subyek yang terdiri dari PT Sinar Putri Buana, CV Surya Timur Sejahtera, pengelola HPGD Universitas Gorontalo, KSU Karya Dharma Universitas Gorontalo dan petani seharusnya mengarah pada hak pemanfaatan, sedangkan hak stakeholder pemain dan pendukung yang terdiri dari BPKH Wilayah XV Gorontalo, BP-DAS Bone Bolango, Dinas Kehutanan Pertambangan dan Energi, kepala desa, BAPPEDA seharusnya sebagai pembuat kebijakan atau institusi yang dapat mempengaruhi sebuah kebijakan. Artinya institusi pemerintah seharusnya bermain pada level regulator dan bukan bertindak sebagai “pemain”. Terlihat pada pihak Dinas Pertanian Tanaman Pangan yang seharusnya bertindak pada level kebijakan justru “bermain” pada level operasional

4. Model kolaborasi yang terjadi dalam pengelolaan HPGD adalah sangat berperannya aktor-aktor seperti pengelola HPGD Universitas Gorontalo, KSU Karya Dharma Universitas Gorontalo, CV STS, masyarakat penyadap pinus dan para pemanfaat lain untuk membangun kesepakatan yang lebih

Page 145: KAJIAN ALUR TATA NIAGA KAPULAGA (Amomum cardomum L

Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 623

adil diantaras sesama mereka dan disisi lain intervensi pemerintah sangat kecil, pemerintah daerah telah bertindak sebagai regulator atau wasit dalam memediasi konflik yang terjadi.

DAFTAR PUSTAKA

Allen W and M Kilvington. 2001. Stakeholder Analysis. Manaaki Whenua Landcare Research. Maga, J, 2009. Potensi Keanekaragaman Hayati di HPGD Universitas Gorontalo. (Skripsi). Universitas

Gorontalo. Limboto. MacKinnon, JK, G. Child, J. Thorsell. 1990.Pengelolaan Kawasan yang Dilindungi di Daerah Tropika.

Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Messalina L Salampessy, Bramasto Nugroho, Herry Purnomo, 2010. Partisipasi Kelompok Masyarakat

Dalam Pengelolaan Kawasan Hutan Lindung, Kasus Di Hutan Lindung Gunung Nona Kota Ambon Propinsi Maluku. Jurnal Perennial, 6(2) : 99-107.

Milles, M.B. & Huberman, A. M. 1992. Analisis Data Kualitatif . Jakarta: Terjemahan. UI Press. Ostrom 2003. How Types Goods dan Property Right Jointly Affect Collective Action. Journal of

Theoritical Politics, 15 (3): 239-270. Oakerson, R.J. (1992), ‘Analyzing the Commons: A Framework’, in D.W. Bromley (ed.), Making the

Commons Work: Theory, Practice, and Policy, San Francisco: ICS Press. Pratiwi, S. 2008. Model Pengembangan Institusi Ekowisata untuk Penyelesaian Konflik di Taman

Nasional Halimun Gunung Salak [Disertasi]. Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Sanudin, 2009. Strategi Pengembangan Hutan Rakyat Pinus di Kabupaten Humbang Hasundutan,

Sumatra Utara. Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan-FORDA Vol 6 No 2 tahun 2009. Bogor. Twarkins, M.; L. Fisher and T. Robertson. 2001 . Public Involvement in Forest Management Planning:

A view from the Northeast . Haworth Press. Inc. New York, Journal Sustainable Forestry. Vol. 1. pp. 19-25.

Yuwono S. 2006. Persepsi dan Partisipasi Masyarakat Terhadap Pembangunan Hutan Rakyat Pola

Kemitraan di Kabupaten Musi Rawas Provinsi Sumatera Selatan [Tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

[WHO] Worl Health Organization. 2010. Health Service Planning Policy Making A Tool Kit for Nurses

and Midwives. Module 2 Stakeholders Analysis and Network. http://www.wpro.who.int/NR/rdonlyres

Page 146: KAJIAN ALUR TATA NIAGA KAPULAGA (Amomum cardomum L

624 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

VALUASI EKONOMI LAYANAN EKOSISTEM AGROFORESTRY (STUDI KASUS DI HUTAN RAKYAT DESA TUNDAGAN, KABUPATEN KUNINGAN)

Dhika Suwardhika1, Parikesit2, dan M. Fani Cahyandito2

1Penyuluh Kehutanan Pertama BKP3 Kabupaten Kuningan 2Dosen Program Studi Ilmu Lingkungan Universitas Padjadjaran Bandung

[email protected]

ABSTRAK

Hutan alam yang dikelola secara tradisional oleh masyarakat Indonesia sejak berabad-abad yang lalu dalam bentuk agroforestry telah terbukti mampu memberikan kelestarian hasil dan layanan ekosistem. Namun, seiring dengan perkembangan manusia, hutan lebih diidentikkan sebagai penghasil kayu. Kedua manfaat agroforestry di atas sering diabaikan dan sering dianggap sebagai manfaat yang dapat diambil secara cuma-cuma oleh masyarakat karena tidak adanya nilai pasar untuk beberapa hasil hutan non kayu dan layanan ekosistem yang diberikan oleh hutan. Tujuan dari penilitian ini adalah untuk mengetahui pengelolaan hutan rakyat yang ada di Desa Tundagan, mengetahui nilai kesediaan membayar (WTP) masyarakat terhadap layanan ekosistem pengaturan iklim mikro, pengendali erosi, dan penyediaan kayu bakar dari agroforestry, serta untuk mengetahui nilai ekonomi yang dapat diperoleh dari agroforestry. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah melalui contingent valuation method dengan teknik survey melalui wawancara langsung. Teknik pengambilan sampel adalah purposeful sampling dengan unit yang akan diamati adalah kepala keluarga sebagai responden di Desa Tundagan. Hasil studi menunjukkan pola tanam hutan rakyat yang ada di Desa Tundagan adalah berbentuk campuran antara tanaman berkayu dengan tanaman buah-buahan serta tanaman semusim. Nilai kesediaan membayar (WTP) untuk layanan ekosistem pengendalian erosi tanah, pengaturan iklim mikro, dan penyediaan kayu bakar berturut-turut adalah Rp. 84.172.800,- Tahun-1, Rp. 82.857.600,- Tahun-1 dan Rp. 78.254.400,- Tahun-1. Dari perhitungan diperoleh nilai ekonomi (nilai guna total) dari hutan rakyat adalah sebesar Rp. 2.076.898.599,- dalam satu daur (8 tahun). Kata kunci : hutan rakyat, agroforestry, layanan ekosistem, kesediaan untuk membayar (WTP), valuasi ekonomi

I. PENDAHULUAN

Berkurangnya luas hutan alam berdampak terhadap hasil hutan berupa kayu yang dihasilkan dari hutan alam, yang biasanya adalah jenis kayu lokal seperti meranti (Shorea sp.), eboni (Diospyros celebica), kamper (Dryobalanops lanceolata), dan keruing (Dipterocarpus sp.), yang hanya dapat tumbuh baik di hutan alam tertentu saja. Berkurangnya kayu yang dihasilkan dari hutan alam telah menyebabkan produsen kayu beralih dari hutan alam ke hutan rakyat sebagai sumber penghasil kayu yang potensial. Hal ini cenderung mengubah sistem pengelolaan hutan rakyat yang ada secara tradisional berupa agroforestry bergeser menjadi hutan tanaman rakyat yang terdiri dari satu jenis saja yang dibudidayakan (monokultur).

Dengan asumsi hutan rakyat pola agroforestry kompleks memiliki strata tajuk dan jenis tanaman yang beragam sehingga dapat memberikan layanan ekosistem yang mirip dengan yang diberikan oleh hutan alam, dan hutan tanaman rakyat memberikan layanan ekosistem yang mirip dengan hutan tanaman indistri, maka hutan rakyat pola agroforestry memiliki layanan ekosistem yang lebih baik dibandingkan layanan ekosistem yang diberikan oleh hutan tanaman rakyat. Perpaduan antara pepohonan dan tanaman pertanian dan/atau ternak dalam system agroforestry memiliki potensi untuk meningkatkan kesuburan tanah, mengurangi erosi, meningkatkan kualitas air, meningkatkan keanekaragaman hayati, meningkatkan nilai keindahan dan penangkapan karbon (Garret and McGraw, 2000; Garrity, 2004; Williams-Guillen et al., 2008; Nair et al., 2009 dalam (Cerdan, Rebolledo, Soto, Rapidel, & Sinclair, 2012)). Hanya dalam segi produktifitas kayu, serat, dan

Page 147: KAJIAN ALUR TATA NIAGA KAPULAGA (Amomum cardomum L

Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 625

kayu bakar hutan tanaman rakyat memberikan nilai yang lebih baik dari hutan rakyat pola agroforestry, dalam penyediaan keanekaragaman hayati hutan rakyat pola agroforestry memiliki peran yang lebih besar bila dibandingkan dengan hutan tanaman rakyat (Bauhus, Vandermeer, & Kanninen, 2010).

Kesulitan dalam menilai dan ketiadaan harga pasar untuk beberapa hasil hutan non kayu dan layanan ekosistem merupakan salah satu alasan manusia jarang memberikan perhatian besar dalam pembuatan keputusan yang dilakukan oleh perseorangan, kepentingan umum, dan perusahaan (Bauhus, Vandermeer, & Kanninen, 2010). Oleh sebab itu, melalui valuasi ekonomi layanan ekosistem agroforestry diharapkan ketertarikan masyarakat untuk menerapkan pola agroforestry di hutan rakyat dapat meningkat serta dapat menjadi bahan pertimbangan pemerintah dalam memilih dan menerapkan kebijakan yang akan dilakukan di hutan rakyat.

II. METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan metode penelitian dominant quantitative less dominant qualitative (Creswell, 2002). Metode kuantitatif digunakan secara dominan dalam mengumpulkan data yang diukur dan dianalisis secara statistik untuk mendeskripsikan layanan ekosistem agroforestry hutan rakyat dalam pengaturan iklim mikro, pengaturan pencegahan erosi dan penyediaan kayu bakar, serta nilai ekonomi produk hasil hutan yang dimiliki agroforestry berupa nilai kayu, kayu bakar dan hasil hutan non kayu.

Penentuan besar sampel dilakukan berdasarkan rumus (Lynch, Hollnsteiner, & Covar, 1974): Keterangan : n = Ukuran sampel N = Ukuran populasi Z = Nilai angka baku (1,96) pada reliabilitas 0,95 p = The largest posibble propotion = 50% d = Sampling error sebesar 10% 1. Metode Pengukuran Parameter Iklim Mikro

Parameter iklim mikro yang digunakan dalam penelitian adalah suhu, kelembaban udara, arah angin, dan kecepatan angin. Lokasi pengukuran parameter iklim mikro terdiri dari 6 lokasi pengukuran, yaitu 2 lokasi pengukuran di dalam kawasan hutan rakyat, 2 lokasi pengukuran di perbatasan hutan rakyat, dan 2 lokasi lagi di luar kawasan hutan rakyat (di sekitar pemukiman masyarakat). Waktu pengukuran untuk masing-masing parameter adalah 3 waktu pengukuran: pagi, siang, dan sore hari yang dilakukan selama 15-30 menit untuk setiap pengukuran (waktu pemasangan alat sampai dengan pembacaan angka di alat ukur) yang dilakukan sebanyak 2 kali ulangan. 2. Metode Pengukuran Erosi Tanah

Laju tingkat erosi di hutan rakyat pola agroforestry dihitung dengan menggunakan model prediksi erosi USLE dengan persamaan empiris berikut :

Dimana : Ea = erosi total (ton/ha/tahun) R = indeks erosivitas hujan (cm) KET = faktor erodibilitas tanah LPL = faktor panjang lereng (m) SKL = faktor kemiringan lereng (%) CPT = faktor pengelolaan tanaman PPL = faktor pengelolaan lahan Tabel 3. Faktor-faktor yang Digunakan dalam Perhitungan Laju Erosi Total

( )

( )

Page 148: KAJIAN ALUR TATA NIAGA KAPULAGA (Amomum cardomum L

626 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

Faktor Perhitungan Laju Erosi Total Simbol Jenis Peta yang Digunakan

Indeks erosivitas R Peta curah hujan

Indeks erodibilitas tanah K Peta tanah

Indeks nilai panjang dan kemiringan lereng LS Peta kelas lereng

Indeks penutupan vegetasi C Peta penggunaan lahan

Indeks pengolahan lahan P Peta penggunaan lahan

Sumber: Herawati (2009)

Berdasarkan rumus USLE yang digunakan, maka diperlukan empat jenis peta sebagai dasar perhitungan laju erosi total, yaitu peta curah hujan, peta jenis tanah, peta kemiringan lahan, dan peta penutupan/penggunaan lahan. Hubungan antara jenis peta dan faktor-faktor yang digunakan dalam perhitungan laju erosi total disajikan dalam Tabel 3.

Hasil perhitungan nilai laju erosi dengan menggunakan rumus USLE kemudian diklasifikasi menjadi lima kelas, yaitu sangat ringan, ringan, sedang, berat, dan sangat berat. Klasifikasi tingkat bahaya erosi dapat dilihat pada

Tabel 4. Tabel 4. Klasifikasi Tingkat Bahaya Erosi

No. Kelas Tingkat Bahaya Erosi Kehilangan Tanah

(Ton/Ha/Th) Keterangan

1 I < 15 Sangat ringan

2 II 16 - 60 Ringan

3 III 61 - 180 Sedang

4 IV 181 - 480 Berat

5 V > 480 Sangat berat

Sumber: Herawati (2009)

Pengukuran parameter erosi tanah dilakukan dengan menganalisis terhadap masing-masing jenis peta untuk memperoleh kelima jenis nilai faktor yang diperlukan dalam perhitungan nilai erosi tanah (USLE). Setelah keempat jenis peta selesai diolah, proses berikutnya adalah overlay seluruh peta menjadi satu peta gabungan yang menghasilkan sebaran lokasi perhitungan erosi tanah. Peta tersebut mengelompokkan desa Tundagan ke dalam 37 kelompok berdasarkan curah hujan, jenis tanah, kelas kelerengan, dan penggunaan lahan. 3. Metode Analisis

Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis kuantifikasi nilai ekonomi layanan ekosistem agroforestry dalam hal penyediaan kayu bakar, pengaturan iklim mikro dan erosi tanah, dengan menggunakan valuasi nonmarket dengan pengukuran secara langsung atau melalui survey (expressed willingness to pay). Metode valuasi non-market melalui survey yang akan dipakai adalah Contingent Valuation Method (CVM). Adapun metode analisis lainnya yang akan dilakukan adalah analisis faktor-faktor yang mempengaruhi WTP dimana akan dianalisis secara statistik menggunakan program SPSS dan adapun analisis nilai guna agroforestry dilakukan secara sederhana dengan menjumlah nilai-nilai moneter yang telah diperoleh dari hasil WTP.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

Secara umum potensi hutan yang dapat dimanfaatkan dari hutan di desa Tundagan adalah kayu, getah/resin, madu, kayu bakar, buah-buahan, rempah-rempah, dan hijauan/pakan ternak. Adapun dari hutan rakyat, hasil yang umum dihasilkan adalah kayu, kopi, cengkeh, pala, kakao, dan

Page 149: KAJIAN ALUR TATA NIAGA KAPULAGA (Amomum cardomum L

Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 627

palawija. Rata-rata per tahun desa Tundagan menghasilkan 1600 m3 kayu (kayu jati, sengon, afrika, suren dan mahoni) (Monografi Desa Tundagan Tahun 2012). A. Pengukuran Parameter Erosi Tanah

Nilai besaran erosi yang berlangsung di desa Tundagan dihitung dengan menggunakan metode USLE dengan rumus:

Dimana : R = Erosivitas Hujan K = Erodibiitas Tanah LS = Panjang dan kemiringan Lereng C = Pengelolaan Tanaman P = Pengolahan Tanah/Tindakan Konservasi Tabel 5. Nilai Erosi Tanah (A) dan Tingkat Bahaya Erosi (TBE)

No. Penggunaan

Lahan CH R JT K S LS C P A TBE

1 HR 2250 242.30 Pod 0.249 3 - 8 2.03 0.1 0.4 4.90 SR

2 HR 2750 243.40 Pod 0.249 3 - 8 2.03 0.1 0.4 4.92 SR

3 TL 2250 242.30 Pod 0.249 3 - 8 2.03 0.4 0.4 19.60 R

4 TL 2750 243.40 Pod 0.249 3 - 8 2.03 0.4 0.4 19.69 R

5 STH 2250 242.30 Pod 0.249 3 - 8 2.03 0.561 0.4 27.48 R

6 STH 2750 243.40 Pod 0.249 3 - 8 2.03 0.561 0.4 27.61 R

7 P 2250 242.30 Pod 0.249 3 - 8 2.03 1 1 122.48 S

8 P 2750 243.40 Pod 0.249 3 - 8 2.03 1 1 123.03 S

9 HR 2250 242.30 Pod 0.249 8 - 15 5.25 0.1 0.4 12.67 SR

10 HR 2750 243.40 Pod 0.249 8 - 15 5.25 0.1 0.4 12.73 SR

11 TL 2250 242.30 Pod 0.249 8 - 15 5.25 0.4 0.4 50.68 R

12 TL 2750 243.40 Pod 0.249 8 - 15 5.25 0.4 0.4 50.91 R

13 STH 2250 242.30 Pod 0.249 8 - 15 5.25 0.561 0.4 71.08 S

14 STH 2750 243.40 Pod 0.249 8 - 15 5.25 0.561 0.4 71.40 S

15 P 2250 242.30 Pod 0.249 8 - 15 5.25 1 1 316.75 B

16 P 2750 243.40 Pod 0.249 8 - 15 5.25 1 1 318.18 B

17 HR 2250 242.30 Pod 0.249 15 -25 10.85 0.1 0.4 26.18 R

18 HR 2750 243.40 Pod 0.249 15 -25 10.85 0.1 0.4 26.30 R

19 TL 2250 242.30 Pod 0.249 15 -25 10.85 0.4 0.4 104.74 S

20 TL 2750 243.40 Pod 0.249 15 -25 10.85 0.4 0.4 105.21 S

21 STH 2750 243.40 Pod 0.249 15 -25 10.85 0.561 0.4 147.56 S

22 P 2750 243.40 Pod 0.249 15 -25 10.85 1 1 657.58 SB

23 HR 2250 242.30 Pod 0.249 25 -40 20.6 0.1 0.4 49.71 R

24 HR 2750 243.40 Pod 0.249 25 -40 20.6 0.1 0.4 49.94 R

25 STH 2750 243.40 Pod 0.249 25 -40 20.6 0.561 0.4 280.16 B

26 P 2750 243.40 Pod 0.249 25 -40 20.6 1 1 1248.50 SB

27 HR 2250 242.30 Pod 0.249 40 -90 51.65 0.1 0.4 124.65 S

28 HR 2750 243.40 Pod 0.249 40 -90 51.65 0.1 0.4 125.21 S

29 TL 2250 242.30 Pod 0.249 40 -90 51.65 0.4 0.4 498.59 SB

Page 150: KAJIAN ALUR TATA NIAGA KAPULAGA (Amomum cardomum L

628 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

No. Penggunaan

Lahan CH R JT K S LS C P A TBE

30 STH 2250 242.30 Pod 0.249 40 -90 51.65 0.561 0.4 699.27 SB

31 STH 2750 243.40 Pod 0.249 40 -90 51.65 0.561 0.4 702.45 SB

32 P 2750 243.40 Pod 0.249 40 -90 51.65 1 1 3130.33 SB

33 HR 2250 242.30 Lat 0.186 3 - 8 2.03 0.1 0.4 3.66 SR

34 STH 2250 242.30 Lat 0.186 3 - 8 2.03 0.561 0.4 20.53 R

35 HR 2250 242.30 Lat 0.186 8 - 15 5.25 0.1 0.4 9.46 SR

36 STH 2250 242.30 Lat 0.186 8 - 15 5.25 0.561 0.4 53.09 R

37 P 2250 242.30 Lat 0.186 40 -90 51.65 1 1 2327.75 SB

Sumber: Pengolahan data dari hasil analisis peta (2015)

Hasil perhitungan erosi tanah (USLE) diperoleh nilai erosi tanah terendah adalah 4.90 Ton Tahun-1 yang dimiliki oleh hutan rakyat, dan nilai terbesar 3.130,33 Ton Tahun-1 dihasilkan dari permukiman. Nilai erosi tanah pada jenis tanah podsolik kuning dan hidromorf kelabu menghasilkan nilai erosi tanah yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan nilai yang dihasilkan pada jenis tanah latosol coklat dan regosol. Secara umum nilai erosi tanah meningkat seiring berubahnya penggunaan lahan dari hutan rakyat, tanah ladang, sawah tadah hujan, dan permukiman baik itu pada jenis tanah podsolik maupun latosol.

B. Pengukuran Parameter Iklim Mikro

Iklim mikro yang dimiliki desa Tundagan cukup bervariasi seiring dengan kondisi topografi desa Tundagan yang berbukit. Dari hasil pengukuran iklim mikro di 6 lokasi yang diperoleh nilai suhu udara, kelembaban udara, kecepatan angin dan arah angin yang bervariasi untuk masing-masing lokasi

Tabel 6. Tabel 6.Hasil Pengukuran Parameter Iklim Mikro

Lokasi Suhu udara

(°C) Kelembaban

udara (%) Kecepatan angin (m/s)

Arah angin (°)

Waktu pengukuran

A.

Di dalam hutan rakyat

1. 07° 03' 35.3'' S 108° 25' 10.2'' E

22 85 0.12 - 3.36 50 8:00

26 69 0.28 - 2.32 22 14:00

24 84 0.18 - 2.07 270 17:00

Rata-rata 24 79.33 1.39

2. 07° 04' 01.8'' S 108° 25' 59.0'' E

26 72 0.02 - 0.57 150 8:00

33 50 0.10 - 0.92 163 14:00

26 73 - - 17:00

Rata-rata 28.33 65 0.27

B.

Di batas hutan rakyat

1. 07° 03' 26.8'' S 108° 26' 15.4'' E

23.5 80 0.16 - 2.83 135 8:00

27 66 0.06 - 0.72 58 14:00

25 80 0.31 - 2.47 15 17:00

Rata-rata 75.50 226 1.09

2. 07° 03' 59.7'' S 108° 25' 59.6'' E

26 67 0.55 - 1.68 158 8:00

33 50 0.05 - 2.37 152 14:00

27 65 0.12 - 1.42 230 17:00

Page 151: KAJIAN ALUR TATA NIAGA KAPULAGA (Amomum cardomum L

Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 629

Lokasi Suhu udara

(°C) Kelembaban

udara (%) Kecepatan angin (m/s)

Arah angin (°)

Waktu pengukuran

Rata-rata 28.67 60.67 1.03

C.

Di luar hutan rakyat

1. 07° 03' 32.1'' S 108° 26' 36.3'' E

24 70 0.06 - 1.98 45 8:00

31 54 0.47 - 2.22 35 14:00

25.5 75 0.11 - 2.55 315 17:00

Rata-rata 26.83 66.33 1.23

2. 07° 03' 49.7'' S 108° 26' 06.1'' E

29 59 0.41 - 5.69 90 8:00

34 56 0.32 - 6.02 88 14:00

27 64 0.10 - 3.35 265 17:00

Rata-rata 30 59.67 2.65

Sumber: Hasil Analisis Data (2015)

Hasil pengukuran parameter iklim mikro di atas menunjukkan bahwa keberadaan hutan rakyat mampu untuk menurunkan suhu udara, meningkatkan kelembaban udara, dan menurunkan kecepatan angin. Hal tersebut senada dengan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh (Prasetyo, 2012) dimana semakin banyak vegetasi (tanaman) maka semakin rendah suhu udara yang dihasilkan, begitupun dengan kelembaban udara semakin banyak vegetasi maka semakin tinggi kelembaban udara yang dihasilkan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa semakin banyak vegetasi yang membentuk hutan rakyat maka semakin baik layanan ekosistem yang diberikan oleh hutan rakyat dalam pengaturan iklim mikro.

C. Contingent Valuation Method (CVM) / Survey 1. Willingness to Pay (WTP)

Hasil kegiatan survey menunjukkan bahwa persentase nilai WTP terhadap layanan erosi tanah yang sanggup dibayar oleh seluruh populasi adalah Rp. 84.172.800,- per tahunnya. Begitupun untuk layanan ekosistem pengaturan iklim mikro, nilai harga WTP untuk seluruh populasi adalah Rp. 82.857.600 per tahunnya. Sedangkan untuk layanan penyediaan kayu bakar nilai WTP untuk seluruh populasi adalah Rp. 78.254.400,- per tahunnya.

Nilai WTP keseluruhan yang diberikan oleh ketiga layanan yang diberikan di atas dapat diartikan juga sebagai nilai estimasi WTP dari pola agroforestry yang ada di hutan rakyat, yang besarnya adalah RP. 175.284.800,- Tahun-1 atau setara dengan Rp. 26,08 m-2 Tahun-1. Nilai tersebut jauh dengan nilai WTP terhadap agroforestry yang dilakukan oleh (Franco, Franco, Mannino, & Zanetto, 2001) terhadap masyarakat di kota Venice, Itali dimana nilai WTP yang diperoleh adalah sebesar Rp. 965,58,- m-2 Tahun-1. 2. Persepsi Masyarakat terhadap Layanan Ekosistem Hutan Rakyat

Persepsi masyarakat terhadap layanan ekosistem pengendalian erosi tanah menggambarkan pemahaman masyarakat terhadap peranan hutan rakyat dalam pengendalian erosi tanah. Secara keseluruhan masyarakat memberikan jawaban bahwa hutan rakyat mampu mengurangi laju erosi tanah yang diakibatkan oleh hujan atau aliran permukaan tanah.

Hasil yang diperoleh untuk persepsi masyarakat terhadap layanan pengaturan iklim mikro menunjukkan responden yang tinggal kurang dari (≤) 2 km jaraknya dari hutan rakyat (14,13%) merasakan udara yang sejuk, adapun yang jarakanya lebih dari (>) 2 km (85,87%) merasakan udara sehari-hari adalah sedang atau panas. Selain itu, 100% responden beranggapan bahwa kondisi hutan rakyat yang baik memberikan peranan yang penting dalam mengatur iklim mikro, dalam hal ini masayarkat merasakan kesejukan udara yang dirasakan sehari-hari.Begitupun hasil yang diperoleh untuk persepsi masyarakat terhadap layanan penyediaan kayu bakar, seluruh responden (37%) menganggap penting peranan keberadaan hutan rakyat dalam menyediaakan kayu bakar. 3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Willingness to Pay (WTP)

Page 152: KAJIAN ALUR TATA NIAGA KAPULAGA (Amomum cardomum L

630 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

Bedasarkan analisis regresi diketahui bahwa variable-variabel yang berpengaruh terhadap WTP layanan pengendalian erosi tanah, pengaturan iklim mikro, dan penyediaan kayu bakar adalah tingkat pendapatan dan jenis pekerjaan. Adapun penelitian layanan ekosistem hutan yang dilakukan di DAS Ciliwung Hulu menerangkan bahwa dari hasil analisis regresi diketahui variabel yang berpengaruh terhadap besarnya WTP di kawasan Puncak adalah: pendapat responden terhadap kondisi lingkungan di Puncak dan penghasilan keluarga responden (Pramono A. A., 2009).

Pengaruh yang diberikan pendapatan terhadap WTP cukup kuat dan searah. Dimana hubungan antara pendapatan responden dengan WTP berbanding positif, yang dapat diartikan semakin besar pendapatan yang diperoleh oleh responden maka semakin besar pula kesedian membayar (WTP) dari responden. Peningkatan pendapatan diikuti dengan kenaikan nilai WTP juga diperoleh dalam penelitian (Franco, et al., 2001), (Blomquist & Whitehead, 1998), (Zhongmin, et al., 2003) dimana nilai WTP tersebut berkaitan dengan layanan ekosistem yang diberikan oleh agroforestry, lahan basah, dan daerah oasis. Hubungan tersebut juga disebabkan pendapatan keluarga merupakan variable yang penting baik secara teoritis maupun logika yang akan mempengaruhi kepala keluarga dalam memberikan keputusan mengenai besar kecilnya nilai WTP responden (Fauzi, 2010).

Hubungan atara variabel jenis pekerjaan dengan nilai WTP adalah erat namun tidak searah. Hasil analisis regresi linier menunjukkan nilai t hitung yang lebih besar dari nilai t tabel yang berarti variabel jenis pekerjaan memberikan pengaruh yang signifikan terhadap nilai WTP. Adapun nilai koefisien regresi yang diperoleh untuk variabel jenis pekerjaan adalah bernilai negatif. Artinya setiap perubahan variabel pekerjaan berdampak pada penurunan nilai WTP. Hal ini juga berarti pekerjaan petani memberika nilai WTP yang paling besar dibandingkan pekerjaan lainnya. Beberapa variabel sosio ekonomi secara nyata memberikan pengaruh terhadap distribusi WTP dari sampel. Petani memberikan nilai WTP yang secara signifikan lebih besar dibandingkan kelompok-kelompok kerja lainnya (Franco, et al., 2001).

D. Nilai Ekonomi Hutan Rakyat

Hasil survey menunjukkan komoditas kayu yang umumnya merupakan primadona hasil dari hutan rakyat hanya memberikan 2,24% dari total pendapatan yang diperoleh dari usahatani hutan rakyat di desa Tundagan, adapun hasil yang terbesar disumbangkan dari komoditas cengkeh yang mencapai 89,51% per tahunnya.

Komoditas lainnya yang memiiki proporsi yang cukup besar terhadap pendapatan petani hutan rakyat adalah kopi, diikuti kapolaga, merica, cokelat, pala dan melinjo yaitu secara berurutan 6,01%, 0,84%, 0,79%, 0,32%, 0,17% dan 0,05%. Sedangkan komoditas lainnya seperti kayu bakar, pete, salak, jengkol, lengkuas, talas, singkong, ubi jalar dan kunyit hanya memberikan pendapatan dibawah 3 juta rupiah per tahunnya atau kurang dari 0,03%.

Hutan rakyat memiliki nilai guna yang dapat dihitung secara moneter sehingga dapat bernilai secara ekonomi. Nilai guna disini adalah berupa nilai guna langsung hutan rakyat berupa hasil panen yang menggunakan metode pendekatan nilai pasar, dan nilai guna tidak langsung berupa layanan ekosistem menggunakan metode valuasi kontingensi. Dari kedua metode tersebut diperoleh nilai guna total dari hutan rakyat adalah sebesar Rp. 2.076.898.599,- dalam satu daur (8 tahun) atau setara dengan Rp. 259.612.325,- Tahun-1. Menurut luasan hutan rakyat nilai guna yang diperoleh adalah Rp. 2.725.589,- Ha-1 Tahun-1.

IV. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan 1. Hutan rakyat yang ada di desa Tundagan adalah berbentuk agroforestry dengan pola tanam yang

membentuknya adalah campuran antara tanaman albasia, mahoni, dan cengkeh sebagai tanaman yang dominan. Sistem pengelolaan hutan rakyat dilakukan secara perorangan dengan dana swadaya.

Page 153: KAJIAN ALUR TATA NIAGA KAPULAGA (Amomum cardomum L

Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 631

2. Metode valuasi kontingensi yang dilakukan secara survey menghasilkan nilai kesediaan membayar (WTP) untuk layanan ekosistem pengendalian erosi tanah, pengaturan iklim mikro, dan penyediaan kayu bakar sebesar Rp. 84.172.800 Tahun-1, Rp. 82.857.600,- dan Rp. 78.254.400,-.

3. Kegiatan usahatani hutan rakyat yang dilakukan oleh petani hutan rakyat di desa Tundagan mampu memberikan pendapatan tahunan petani hutan rakyat sebesar Rp. 16.774.043,-. Dari perhitungan diperoleh nilai ekonomi (nilai guna total) dari hutan rakyat adalah sebesar Rp. 2.076.898.599,- dalam satu daur (8 tahun) atau setara dengan Rp. 259.612.325,- Tahun-1. Adapun nilai guna yang diperoleh per luasan hutan rakyat adalah Rp. 2.725.589,- Ha-1 Tahun-1.

B. Saran 1. Diperlukan penelitian lanjutan yang mengkaji layanan ekosistem lainnya yang disediakan hutan

rakyat pola agroforestry untuk mendapatkan nilai ekonomi hutan rakyat agroforestry yang komprehensif.

2. Peningkatan peran pemerintah terutama dalam pendampingan teknis dan usaha hutan rakyat melalui penyuluhan dan sosialisasi yang diperlukan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya keberlajutan keberadaan hutan rakyat.

DAFTAR PUSTAKA

Bauhus, J., Vandermeer, P., & Kanninen, M. (2010). Ecosystem Goods and Services from Plantation

Forests. London, Washington DC: Earthscan.

Cerdan, C., Rebolledo, M., Soto, G., Rapidel, B., & Sinclair, F. (2012). Local knowledge of impacts of

tree cover on ecosystem services in smallholder coffee production systems. Agricultural Systems 110, 119-130.

Creswell, J. W. (2002). Research Design: Quantitative and Qualitative Approaches. California: Sage

Publication, Inc.

Franco, D., Franco, D., Mannino, I., & Zanetto, G. (2001). The role of agroforestry networks in

landscape socioeconomic processes: the potential and limits of the contingent valuation method. Landscape and Urban Planning 55, 239-256.

Herawati, T. (2009). Analisis Spasial Tingkat Bahaya Erosi di Wilayah DAS Cisadane Kabupaten Bogor.

Bogor: Pusat Litbang Hutan dan Konservasi Alam.

Lynch, F., Hollnsteiner, M. R., & Covar, L. C. (1974). Data Gathering by Social Survey. Trial Edition.

Quezon City, Philippines: Philippines Social Science Council Inc.

Paningbatan Jr, E. (2001). Hydrology and Soil Erosion Models for Catchment Research and

Management. In A. Maglinao, & R. Leslie, Soil Erosion Management Research in Asia (pp. 100-123).

Pramono, A. A. (2009). Jasa Lingkungan Hutan bagi Masyarakat Lokal di DAS Ciliwung Hulu.

Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 6 No. 1, 39-51.

Prasetyo, A. T. (2012). Pengaruh Ruang Terbuka Hijau (RTH) terhadap Iklim Mikro di Kota Pasuruan.

Skripsi. Jurusan Geografi, Program Studi Pendidikan Geografi, Fakultas Ilmu Sosial. Malang: Universitas Negeri Malang.

Page 154: KAJIAN ALUR TATA NIAGA KAPULAGA (Amomum cardomum L

632 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

Scudo, G. (2002, October). Thermal Comfort. Retrieved 2015 7-February from Green Structur Planning: http://www.greenstructureplanning.eu/COSTC11/comfort2.htm#3

Suripin. (2004). Pelestarian Sumber Daya Tanah dan Air. Yogyakarta: Penerbit Andi.

Utomo. (1989). Mencegah Erosi. Jakarta: Penebar Swadaya.

Page 155: KAJIAN ALUR TATA NIAGA KAPULAGA (Amomum cardomum L

Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 633

STRATEGI PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE DENGAN SISTEM SILVOFISHERI UNTUK MENDUKUNG KELESTARIAN LINGKUNGAN

DEBBY V PATTIMAHU

Program Pascasarjana Universitas Pattimura Ambon Jurusan Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Pattimura Ambon

Email : [email protected]

ABSTRAK Sektor kehutanan kini diperhadapkan dengan tantangan yang cukup berat terutama dengan meningkatnya permintaan akan barang dan jasa hutan seperti konservasi lahan, alih fungsi lahan hutan, kebutuhan akan air bersih dan terjadinya penyusutan lahan. Kondisi ini terjadi sebagai implikasi dari peningkatan penduduk yang terus bertambah yang tidak diimbangi dengan ketersediaan lahan. Solusi yang dapat menyeimbangkan kehutanan dengan sektor lain secara berkelanjutan sangat dibutuhkan oleh masyarakat, melalui sistem agroforestri. Di Wael Kabupaten Seram Bagian Barat masyarakat melakukan usaha pembuatan tambak kepiting di belakang hutan mangrove, usaha ini sangat memberikan kontribusi positif bagi peningkatan ekonomi masyarakat sekitarnya . Praktek Silvofisheri ini sangat potensial untuk meningkatkan perekonomian masyarakat, karena masyarakat dapat memanfaatkan hutan mangrove untuk mencari kayu bakar, disamping mencari ikan, dan masyarakat dapat pula melakukan budidaya tambak kepiting bakau. Sistem Silvofisheri memiliki manfaat ekologis yang terpenting sebagai blue carbon dalam mitigasi perubahan iklim serta mempertahankan keberlanjutan lingkungan ekosistem wilayah pesisir. Penelitian ini bertujuan untuk (1). Mengetahui faktor internal dan eksternal dari pengelolaan hutan mangrove dengan sistem Silvofisheri di Desa Wael Kabupaten Seram Bagian Barat dan (2). Menentukan prioritas strategi pengelolaan hutan mangrove sebagai upaya mitigasi perubahan iklim. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah SWOT dan QSPM. Berdasarkan hasil analisis diperoleh prioritas strategi yang tepat untuk pengelolaan ekosistem hutan mangrove adalah : (1) .Merumuskan kebijakan daerah tentang pengelolaan hutan mangrove di Kabupaten Seram bagian Barat; (2) Meningkatkan koordinasi antara pemerintah dan stakeholder pengelola mangrove; (3). Meningkatkan SDM pesisir dengan berbagai kegiatan Pemerintah, LSM dan lembaga swasta lainnya untuk menunjang ekonomi masyarakat. dan (4). Melakukan pelatihan kepada masyarakat sekitar areal mangrove Kata kunci : hutan mangrove, strategi pengelolaan, QSPM

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Sumberdaya pesisir dan laut merupakan potensi besar yang dapat dimanfaatkan untuk

meningkatkan pembangunan. Sumberdaya pesisir yang menjadi perhatian utama adalah perikanan, mangrove dan terumbu karang (Dahurietal.,2001). Hutan mangrove adalah salahsatu komponen ekosistem penting bagi kawasan pesisir. Hutan mangrove merupakan tipe hutan tropis yang khas tumbuh disepanjang pantai atau muara sungai dan dipengaruhi oleh pasang surut air laut (Kusmana, 2003).

Dari sekitar15.900 juta ha hutan mangrove yang terdapat di dunia, 27 % atau sekitar 4,293 juta ha berada di Indonesia (Kusmana, 2003). Berdasarkan data referensi lainnya seperti peta RePProt, data SPOT dan potret udara yang dilakukan oleh INTAG, luas hutan mangrove di seluruh wilayah Indonesia diperkirakan 3.735.250 ha pada tahun 1993, artinya bahwa luas hutan mangrove di Indonesia telah mengalami degradasi sekitar13 % atau sekitar 515.761 ha dalam kurun waktu 11 tahun. Penyebaran hutan mangrove ditemukan hampir di seluruh kepulauan Indonesia, sebagian besar terkonsentrasi di Papua dengan luasan sebesar 1,3 juta Ha dan sisanya di wilayah Indonesia lainnya (Kusmana,2003). Sampai saat ini luas hutan mangrove di Provinsi Maluku sebesar 165.775, 05 Ha (BAPEDALDA, 2004). Kondisi lingkungan akibat tingginya aktivitas manusia pada wilayah pesisir perairan Amahai telah menyebabkan komunitas mangrove pada beberapa areal mengalami tekanan

Page 156: KAJIAN ALUR TATA NIAGA KAPULAGA (Amomum cardomum L

634 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

yang relative tinggi. Hal ini seperti dikatakan oleh King (2000) bahwa komunitas mangrove tidak dapat bertahan hidup dengan baik atau cenderung mengalami penurunan jumlah dan menuju kepunahan. Hal ini juga akan mempengaruhi keberadaan biota perairan khususnya ikan, udang dan kepiting yang sangat bergantung pada ekosistem tersebut. Permasalahan yang terjadi adalah masih kurangnya kesadaran sebagian besar masyarakat terhadap peranan komunitas mangrove terhadap lingkungan sekitar, termasuk terhadap kehidupan manusia. Penebangan hutan mangrove secara semena-mena oleh sebagian masyarakat masih saja terjadi, terutama pada perairan pantai yang terletak dekat dengan daerah pemukiman. Hal ini mengakibatkan komunitas mangrove mengalami tekanan pertumbuhan sehingga berdampak pada ketidakstabilan keseimbangan ekosistem mangrove, yang ditandai dengan terjadinya penurunan kerapatan vegetasi dan penyusutan luas lahan mangrove.

Di Wael Kabupaten Seram Bagian Barat masyarakat melakukan usaha pembuatan tambak kepiting di belakang hutan mangrove, usaha ini sangat memberikan kontribusi positif bagi peningkatan ekonomi masyarakat sekitarnya. Praktek Silvofisheri ini sangat potensial untuk meningkatkan perekonomian masyarakat, karena masyarakat dapat memanfaatkan hutan mangrove untuk mencari kayu bakar, disamping mencari ikan, dan masyarakat dapat pula melakukan budidaya tambak kepiting bakau. Sistem Sivofisheri memiliki manfaat ekologis yang terpenting sebagai blue carbon dalam mitigasi perubahan iklim serta mempertahankan keberlanjutan lingkungan ekosistem wilayah pesisir. B. TUJUAN PENELITIAN 1. Mengetahui faktor internal dan eksternal dari pengelolaan hutan mangrove dengan sistem di

Desa Wael Kabupaten Seram Bagian Barat; 2. Menentukan prioritas strategi pengelolaan hutan mangrove sebagai upaya mitigasi perubahan

iklim.yang terpenting sebagai blue carbon

II. METODE PENELITIAN Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis SWOT dan analisis QSPM.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

Dampak kegiatan Pengelolaan hutan mangrove terhadap masyarakat lokal seputar areal mangrove dan dapat dianalisa dengan analisis SWOT, dapat digolongkan dalam faktor eksternal dan internal. Kedua faktor tersebut memberikan dampak positif yang berasal dari peluang dan kekuatan dan dampak negatif yang berasal dari ancaman dan kelemahan. Dengan menggunakan matrik internal dan eksternal,maka dapat diberikan bobot dan rating pada parameter yang telah ditentukan, sehingga akan diperoleh nilai (skor). Nilai ini yang akan memberikan arahan tentang prospek kedepan dalam pengelolaan hutan masngrove guna memperoleh konsep strategi pengelolaan hutan mangrove di Wael Kabupaten Seram Bagian Barat. A. Identifikasi Faktor-faktor Internal dan Eksternal

Beberapa faktor internal dan eksternal yang menjadi pertimbangan untuk menentukan prioritas strategi pengelolaan dan peluang pengelolaan hutan mangrove adalah : 1. Kekuatan (Strengths) a. Potensi lahan Mangrove : 10.26 Ha b. Mangrove sebagai tempat budidaya kepiting. c. Keragaman spesies hutan mangrove tinggi. 2. Kelemahan (Weaknesses) a. Partisipasi masyarakat rendah. b. Konversi lahan mangrove.

Page 157: KAJIAN ALUR TATA NIAGA KAPULAGA (Amomum cardomum L

Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 635

c. Kurangnya pelibatan stakeholder dalam pengelolaan hutan mangrove. d. Kurangnya sosialisasi dan informasi pengelolaan mangrove ke masyarakat sekitar. 3. Peluang (Opportunities) a. Hutan mangrove dapat menjadi objek wisata alam. b. Hutan mangrove akan mendorong peningkatan ekonomi masyarakat pesisir. c. Adanya kebijakan otonomi daerah (UU No.32 thn. 2007) d. Adanya berbagai program pemerintah untuk meningkatkan kualitas SDM pesisir. e. Adanya kegiatan pemerintah untuk rehabilitasi mangrove. 4. Ancaman (Threats) a. Penurunan vegetasi akibat penebangan liar, pemukiman masyarakat, dll. b. Belum adanya kebijakan pemberlakuan konservasi pantai. c. Belum adanya regulasi pengelolaan mangrove d. Ketidakberhasilan penanaman mangrove. e. Belum adanya kelembagaan kelola mangrove B. Analisa Strategi dengan Pendekatan SWOT Untuk memperoleh formulasi strategi yang tepat, maka digunakan analisis SWOT, yang diawali dengan mengidentifikasi faktor internal dan eksternal. Berdasarkan hasil identifikasi faktor internal dan eksternal kemudian dilakukan pembobotan, rangking dan skor dari masing-masing unsur dan dilanjutkan dengan penetapan strategi pengelolaan dengan menggunakan Matrik SWOT. Tabel 1. Faktor Strategis Internal

Faktor Dimensi Internal Bobot Rating Skor

Kekuatan (S)

1. Potensi lahan mangrove : 10,26 Ha 0,1681658 3,38 0,5685606

2. Mangrove sebagai tempat budidaya kepiting 0,1503949 3,14 0,4726698

3. Keragaman spesies hutan mangrove tinggi. 0,1517788 3,05 0,4625642

1,5037948

Kelemahan (W)

1. Partisipasi masyarakat rendah 0,1328299 2,76 0,3668637

2. Konversi lahan mangrove 0,1288165 2,71 0,3496450

3. Kurangnya pelibatan stakeholder dalam pengelolaan hutan mangrove

0,1311389 2,76 0,3621932

4. Kurannya sosialisasi dan informasi pengelolaan masyarakat ke masyarakat sekitar. 0,1368747 2,86 0,3910708

TOTAL 1,4697728

Tabel 2. Faktor Strategis Eksternal

Faktor Dimensi Eksternal Bobot Rating Skor

Peluang (O)

1. Hutan mangrove dapat menjadi objek wisata alam 0,1270124 3,95 0,5020094

2. Hutan mangrove akan mendorong peningkatan ekonomi masyarakat pesisir 0,1172130 3,67 0,4297810

3. Adanya kebijakan otonomi daerah (UU 0,1050044 3,33 0,3500148

Page 158: KAJIAN ALUR TATA NIAGA KAPULAGA (Amomum cardomum L

636 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

Faktor Dimensi Eksternal Bobot Rating Skor

Peluang (O)

No.32 Tahun 2007)

4. Adanya berbagai program pemerintah untukmeningkatkan kualitas SDM Pesisir 0,1024964 3,24 0,3318932

5. Adanya kegiatan pemerintah untuk rehabilitasi mangrove. 0,1041664 3,29 0,3422612

1,9559518

Tantangan (T)

1. Penurunan vegetasi akibat Penebangan liar, pemukiman masyarakat, dll 0,0914130 2,95 0,2698860

2. Belum adanya kebijakan pemberlakuan konservasi pantai 0,0734901 2,38 0,1749765

3. Belum adanya regulasi pengelolaan mangrove 0,0875792 2,86 0,2502263

4. Ketidakberhasilan penanaman mangrove 0,0907247 2,90 0,2635337

5. Belum adanya kelembagaan kelola mangrove 0,1009000 3,29 0,3315287

TOTAL 1,2901515

Berdasarkan hasil pengolahan data pada matrik evaluasi faktor strategis internal dan

eksternal, didapatkan besaran nilai dari masing-masing matrik, yang kemudian akan dimasukan dalam analisa kuadran. a) Nilai Matrik Evaluasi Faktor Strategis Internal : Total Kekuatan – Total Kelemahan1,50 – 1,46 = 0,04 b) Nilai Matrik Evaluasi Faktor Strategis Eksternal : Total Peluang – Total Ancaman 1,95 – 1,29 = 0,66

Gambar 1 . Hasil Analisa Kuadran

Kuadran I (SO)

Agresif

Kuadran II (ST)

Diversifikasi

Kuadran IV (WT)

Defensif

Kuadran III (WO)

Turn Around

Peluang (O)

Kekuatan (S)

Ancaman (T)

Kelemahan

(W)

(0,04 ; 0,66) 1

2

-

1 -

2

1 2 -

2

-

1

Page 159: KAJIAN ALUR TATA NIAGA KAPULAGA (Amomum cardomum L

Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 637

Berdasarkan Gambar 1, hasil analisis kuadran menunjukan bahwa posisi pengelolaan hutan mangrove berada pada Kuadran I. Posisi ini menggambarkan manajemen pengelolaan menghadapi berbagai macam ancaman, namun masih memiliki kekuatan dari segi internal. Strategi yang perlu dikembangkan adalah dengan menggunakan kekuatan untuk memanfaatkan peluang sehingga dapat mengatasi kelemahan dan ancaman. C. Alternatif Strategi Pengelolaan Hutan Mangrove

Dari hasil analisa SWOT yang dilakukan, pengelolaan ekositem mangrove di Wael berada pada posisi Kuadran Pertama diagram SWOT, adapun alternatif strategi yang digunakan adalah SO (Strength and Opportunities), dengan pertimbangan bahwa hutan mangrove di Wael, mempunyai potensi mangrove yang cukup tinggi sehingga layak dikembangkan dengan sistem silvofishery untuk meningkatkan ekonomi masyarakat pesisir.Dengan demikian pengelolaannya harus menciptakan strategi dengan menggunakan kekuatan (strength) untuk memanfaatkan peluang (opportunities). Beberapa strategi SO (strength opportunities) yang menjadi alternatif meliputi : 1. Merumuskan kebijakan daerah tentang pengelolaan Hutan mangrove di Kabupaten Seram

bagian Barat Pemerintah memiliki peran strategis mengembangkan kebijakan sektor kehutanan dan

faktor penunjangnya. Kebijakan mencakup perangkat perundangan strategis seperti penataan ruang konservasi hingga instrument teknil perihal layanan, yang diperankan oleh pemerintah pusat hingga daerah (lokal). Dalam posisi ini pemerintah menetapkan aturan pokok perihal batasan wilayah, potensi, perlindungan dan penyelamatan, perencanaan pengelolaan, infrastruktur partisipasi sektor swasta, dan pemberdayaan penduduk lokal. 2. Meningkatkan koordinasi antara pemerintah dan stakeholdersdalam pengelolaan mangrove.

Kegiatan pengelolaan mangrove pada hakekatnya melibatkan peran dari seluruh pemangku kepentingan yang ada. Pemangku kepentingan dimaksud meliputi 3 (tiga) pihak yaitu : pemerintah, swasta dan masyarakat, dengan segenap peran dan fungsinya masing-masing. Oleh karena itu dalam kerangka kegiatan pengelolaan ekositem mangrove, setiap upaya atau program pelestarian yang dilaksanakan harus memperhatikan posisi, potensi dan peran masyarakat sebagai subjek atau pelaku dalam pengelolaan ekosistem mangrove tersebut. Pengelolaan mangrove dengan pelibatan semua stakeholders dalam mengembangkan Silvofisheri yang merupakan usaha terpadu antara budidaya tumbuhan mangrove dan budidaya perikanan air payau perlu ditingkatkan. Dalam kerangka pengelolaan ekosistem mangrove yang lestari salah satu aspek mendasar bagi keberhasilan penanaman ekosistem mangrove adalah dapat melibatkan masyarakat setempat yang tinggal di sekitar areal hutan mangrove untuk menjaga dan memelihara ekosistem Hutan Mangrove , maka harus melibatkan semua pihak yang terkait dalam menjaga dan melestarikan lingkungan tersebut. Instansi terkait yang memiliki peran sebagai pemangku kepentingan antara lain yaitu Pemerintah Kabupaten, Dinas Kehutanan Kabupaten, Dinas Perikanan, Kantor lingkungan Hidup , lembaga Non Pemerintah (Perguruan Tinggi dan LSM). Selain daripada itu keikutsertaan para stakeholders tersebut diharapkan dapat mendukung peningkatan kesejahteraan dan mutu kehidupan masyarakat serta mendorong kelestarian sumber daya alam. 3. Meningkatkan SDM pesisir dengan berbagai kegiatan Pemerintah, LSM dan lembaga swasta

lainnya untuk menunjang ekonomi masyarakat. Keikutsertaan masyarakat untuk menjaga dan melestarikan hutan mangrove sebagai

langkah awal memberikan kesempatan kepada mereka untuk berperan dalam pengembangan pengelolaan mangrove, dengan memberikan pendidikan dan pelatihan kepada masayarakat sekitar mengenai kegiatan usaha yang dapat membantu meningkatkan kesejahteraan dan mendukung pengembangan ekosistem mangrove, misalnya menjadikan masyarakat seputar areal mangrove untuk dapat menghasilkan atau membudidayakan anakan mangrove untuk kebutuhan rehabilitasi hutan mangrove di daerah sekitarnya, disamping itu memberikan benih kepiting bakau bagi pengembangan budidaya kepiting di Wael. .

Page 160: KAJIAN ALUR TATA NIAGA KAPULAGA (Amomum cardomum L

638 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

Mangrove merupakan salah satu sumberdaya pesisir yang akan dibudidaya dan diatur pengelolaannya agar nantiya dapat dijadikan sebagai salah satu obyek wisata alam dengan nilai pendidikan yang tinggi, sehingga dapat dikembangkan sebagai tempat penelitian, rekreasi dan dapat memberikan mata pencaharian alternatif bagi masyarakat seputar areal mangrove, sehingga secara ekonomi dapat memberikan insentif bagi masyarakat sekitarnya. 4. Melakukan pelatihan kepada masyarakat sekitar areal mangrove

Dalam upaya peningkatan kemampuan para petani atau stakeholders pengelola mangrove perlu dilakukan pelatihan mengenai budidaya kepiting bakau dan penanaman mangrove yang tepat agar tingkat keberhasilan yang dicapai dapat memberikan kontribusi ekonomi bagi masyarakat atau keberhasilan penanaman mangrove dapat dinikmati oleh masyarakat sekitar areal mangrove. Penanaman mangrove disesuaikan dengan zonasinya agar mangrove berkelanjutan dan dapat memberikan kontribusi yang berarti bagi pengembangan budidaya kepiting bakau. D. Prioritas Strategi Pengelolaan Hutan Mangrove

Untuk mengetahui prioritas strategi yang akan diimplementasikan, maka dilakukan evaluasi pilihan strategi alternatif dengan pendekatan Quantitative Strategies Planning Matrix (QSPM). Tahapan ini dilakukan dengan tujuan untuk menentukan strategi mana yang dianggap paling baik untuk diimplementasikan. Matriks QSPM akan menentukan keterkaitan relatif (relative attractiveness) strategi terhadap faktor-faktor kunci (key factors) dari lingkungan internal dan eksternal. Berdasarkan perhitungan QSPM dapat diketahui prioritas strategi yang ditentukan dengan melakukan ranking terhadap strategi-strategi yang didasarkan pada nilai TAS dari yang terbesar sampai terkecil. Urutan tersebut dapat dilihat pada Tabel3. Tabel 3. Hasil Pemeringkatan Matriks Quantitative Strategic Planning (QSPM)

No Alternatif Strategi TAS

1. Merumuskan kebijakan daerah tentang pengelolaan Hutan mangrove di Kabupaten Seram bagian Barat

3.65

2. Meningkatkan koordinasi antara pemerintah dan stakeholders dalam pengelolaan mangrove.

3,40

3. Meningkatkan SDM pesisir dengan berbagai kegiatan Pemerintah, LSM dan lembaga swasta lainnya untuk menunjang ekonomi masyarakat.

3,22

4. Melakukan pelatihan kepada masyarakat sekitar areal mangrove 2,90

IV. KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN 1. Berbagai masalah internal dan eksternal dalam pengelolaan hutan mangrove di Wael Kabupaten

Seram Bagian Barat adalah sebagai berikut : potensi lahan mangrove 10.26 Ha; mangrove sebagai tempat budidaya kepiting; keragaman spesies hutan mangrove tinggi; partisipasi masyarakat rendah; konversi lahan mangrove; kurangnya pelibatan stakeholder dalam pengelolaan hutan mangrove; kurangnya sosialisasi dan informasi pengelolaan mangrove ke masyarakat sekitar; hutan mangrove dapat menjadi objek wisata alam; hutan mangrove akan mendorong peningkatan ekonomi masyarakat pesisir; adanya kebijakan otonomi daerah (UU No.32 thn. 2007); adanya berbagai program pemerintah untuk meningkatkan kualitas SDM pesisir; adanya kegiatan pemerintah untuk rehabilitasi mangrove; penurunan vegetasi akibat penebangan liar, pemukiman masyarakat, dll; belum adanya kebijakan pemberlakuan konservasi

Page 161: KAJIAN ALUR TATA NIAGA KAPULAGA (Amomum cardomum L

Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 639

pantai; belum adanya regulasi pengelolaan mangrove; ketidakberhasilan penanaman mangrove; dan belum adanya kelembagaan kelola mangrove.

2. Prioritas strategi pengelolaan hutan mangrove di Wael Kabupaten Seram Bagian Barat adalah sebagai berikut : (1) Merumuskan kebijakan daerah tentang pengelolaan Hutan mangrove di Kabupaten Seram bagian Barat ; (2) .Meningkatkan koordinasi antara pemerintah dan stakeholder pengelola mangrove; (3). Meningkatkan SDM pesisir dengan berbagai kegiatan Pemerintah, LSM dan lembaga swasta lainnya untuk menunjang ekonomi masyarakat. dan (4). Melakukan pelatihan kepada masyarakat sekitar areal mangrove

B. SARAN 1. Pengelolaan mangrove harus dilaksanakan secara terkoordinasi, terintegrasi dan berkelanjutan

oleh semua pihak yang berkepentingan. 2. Diperlukan penelitian lanjutan pada daerah-daerah lain dalam Kabupaten Seram bagian Barat

untuk mendukung pengelolaan mangrove dengan sistem silvofisheri guna peningkatan ekonomi masyarakat pesisir.

DAFTAR PUSTAKA

BAPEDALDA , 2004. Basic data sumberdaya alam dan lingkungan. Badan Pengendalian Dampak

Lingkungan Maluku. Dahuri & dkk., 2001. Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan lautan Secara Terpadu PT. Pradnya

Paramita. Jakarta. Kusmana,C., Sri.W., Iwan.H.,H. Prijanto. P, Cahyo, W.Tatang. T., Adi. T., Yunasfi., Hamzah., 2003.

Teknik Rehabilitasi Mangrove. Fakultas Kehutanan IPB. Bogor. King R.C Turner, dkk. 2000. The Mangrove communities of Danjungan Island Cavayan Negros

Occidental, Philipines Submission is Silirman Journal. Philipines.

Page 162: KAJIAN ALUR TATA NIAGA KAPULAGA (Amomum cardomum L

640 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

PEMBANGUNAN AGROFORESTRY BERBASIS CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY SEBAGAI ALTERNATIF MATA PENCAHARIAN BAGI MASYARAKAT SEKITAR KAWASAN KONSERVASI

Mei Mei Meilani1 dan Kristiana Tri Wahyudiyati2

1Peneliti Senior MAP Institute, Vila Bogor Indah 2 Blok DD2 No. 31, Bogor, 16157, 2Staf di Puslitbang Sosial Ekonomi, Kebijakan, dan Perubahan Iklim, Badan Litbang dan Inovasi, Kementerian

Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Jl. Gunung Batu No. 5, Bogor email: [email protected] atau [email protected]

ABSTRAK

Penetapan status Kawasan Konservasi di Indonesia sangatlah penting dalam upaya penyelamatan lahan gambut yang masih tersisa. Namun, perubahan status kawasan seringkali menimbulkan konflik dengan masyarakat sekitar hutan karena tingkat ketergantungan masyarakat terhadap sumberdaya hutan masih cukup tinggi. Oleh karena itu, penetapan status Kawasan Konservasi, khususnya Taman Nasional, yang berdampak pada pembatasan kegiatan masyarakat di dalam kawasan hutan, haruslah disertai dengan upaya-upaya penyediaan alternatif mata pencaharian bagi masyarakat di sekitarnya, diantaranya agroforestry berbasis Corporate Social Responsibility (CSR). Landasan hukum CSR adalah UUNo. 40/2007 tentang Perseroan Terbatas, dan diturunkan ke dalam PPNo.47/2012 tentang Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perseroan Terbatas. Kajian ini menggunakan studi kasus di Taman Nasional Sebangau (TNS), Kalimantan Tengah, yang merupakan lahan gambut yang berubah status dari hutan produksi menjadi hutan konservasi. Data dikumpulkan melalui focus group discussion (FGD) di tiga desa dan wawancara mendalam dengan pihak-pihak terkait. Hasil studi menunjukkan bahwa perubahan status kawasan telah mengubah mata pencaharian masyarakat sekitar dari penebang menjadi petani, khususnya pertanian pangan dan perikanan. Perubahan tersebut dilakukan akibat adanya pembatasan kegiatanmasyarakat di hutan. Meski demikian, masyarakat mengakui adanya manfaat perubahan status tersebut yaitu mencegah masyarakat luar desa untuk mengeksploitasi sumberdaya hutan Sebangau. Salah satu strategi yang bisa diupayakan untuk memberikan alternatif mata pencaharian adalah agroforestry berbasis CSR melalui budidaya penanaman tanaman pangan di dalam zona pemanfaatan di kawasan TNS. Alternatif tersebut menumbuhkan harapan dan juga menghadapi beragam tantangan, terutama terkait aspek legal, sosial, dan budaya dari masyarakat sekitar hutan sendiri. Kata kunci : Agroforestry, CSR, ketahanan pangan, masyarakat sekitar hutan, kawasan konservasi

I. PENDAHULUAN

Penetapan status kawasan konservasi di sejumlah hutan gambut yang tersisa di wilayah Indonesia sangatlah penting mengingat konservasi hutan gambut akan mengurangi emisi karbon sebagai akibat menurunnya kualitas lahan gambut secara drastis. Hutan gambut di Indonesia berlokasi di dekat wilayah perairan dimana lapisannya tersusun dari akumulasi pembusukan tanaman bawah permukaan yang kaya akan karbon dan ketebalannya bisa mencapai 10 meter atau bahkan lebih dalam kurun waktu ribuan tahun(Olbrei, 2013). Hutan gambut dapat menyimpan karbon dengan kapasitas mencapai 20 kali lebih banyak dari hutan hujan tropis yang tumbuh pada tanah dengan kandungan mineral normal dimana 90 persen-nya berada di bawah permukaan(Jaenicke, Englhart, & Siegert, 2011). Deforestasi dan penurunan kualitas hutan dapat mengakibatkan pelepasan karbon seperti halnya dekomposisi atau pembakaran gambut (Olbrei, 2013). Indonesia memiliki lahan gambut tropis terbesar di dunia dan lahan gambut menyimpan karbon sekitar 57 miliar ton (Giga ton atau Gt)(Page, Rieley, & Banks, 2011). Sebagian besar lahan gambut Indonesia berlokasi di pulau Sumatera, Kalimantan, dan Papua. Sayangnya, lahan gambut di Sumatera dan Kalimantan sudah sangat rusak sehingga dibutuhkan aksi nyata untuk menyelamatkan dan memperbaiki lahan gambut yang tersisa.

Page 163: KAJIAN ALUR TATA NIAGA KAPULAGA (Amomum cardomum L

Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 641

Konservasi lahan gambut dan sumberdaya alam lainnya di negara-negara berkembang, seperti Indonesia, harus memperhatikan keterkaitan antara kerusakan sumberdaya alam dan kemiskinan. Hal ini penting karena sebagian besar sumberdaya alam, termasuk hutan, pada umumnya dekat dengan pemukiman masyarakat setempat yang sebagian besar merupakan penduduk miskin. Salah satu upaya untuk melindungi sumberdaya alam adalah dengan menetapkannya sebagai kawasan konservasi. Akan tetapi, upaya ini seringkali menimbulkan konflik dengan masyarakat setempat karena penetapan status kawasan konservasi seringkali diiringi dengan pembatasan akseskegiatan masyarakat terhadap sumberdaya alam di dalam kawasan.

Studi ini mengkaji dampak dari upaya penyelamatan hutan gambut melalui penetapan kawasan konservasi, terhadapmata pencaharian masyarakat. Kajian tentang dampak pembatasan kegiatanmasyarakat di kawasan konservasi ini sangat penting sebagai langkah untuk mencari alternatif mata pencaharian bagi masyarakat setempat. Peningkatan mata pencaharian dan konservasi sumberdaya alam merupakan dua kepentingan yang kompetitif sehingga diperlukan upayaalternatifkegiatan yang memberikan manfaat ekonomi dan sosial namun juga tidak merusak lingkungan, antara lain denganagroforestryyang pengelolaannya bermitra dengan perusahaan yang beroperasi disekitar kawasan konservasi tersebut, sehingga pola pengelolaan agroforestry dikenal dengan agroforestry berbasis Corporate Social Responsibility (CSR).

II. METODE PENELITIAN

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi dan memahami dampak dari penetapan status taman nasional serta mengevaluasi kegiatan di dalam kawasan yang dapat dijadikan sebagai mata pencaharian bagi masyarakat setempat tanpa merusak sumberdaya hutan. Untuk mencapai tujuan tersebut, penelitian telah dilakukan secara terstruktur, terorganisir, dan melalui proses yang sistematis berdasarkan teori dan ilmu pengetahuan dengan fokus pada masyarakat setempat yang mata pencahariannya tergantung pada sumberdaya hutan gambut di lokasi penelitian. Fokus dari penelitian ini adalah perubahan mata pencaharian masyarakat setempat sebagai akibat dari penetapan status taman nasional. Penelitian ini juga mengevaluasi agroforestry sebagai salah satu alternatifmata pencaharian masyarakat setempat. A. Lokasi Studi

Penelitian dilakukan di kawasan Taman Nasional Sebangau (TNS), Provinsi Kalimantan Tengah (Kalteng), dan desa-desa yang berada di sekeliling kawasan yang meliputi tiga kabupaten/kota yaitu Kota Palangkaraya, Kabupaten Katingan, dan Kabupaten Pulang Pisau. Kawasan Sebangau dijadikan sebagai taman nasional pada 2004 setelah lebih dari 30 tahun menjadi hutan produksi. TNS dikategorikan sebagai kawasan yang terdegradasi dimana 45% dari luas kawasan (568.700 ha) perlu direhabilitasi. Setelah dinyatakan sebagai taman nasional, TNS dikelola oleh Badan Konservasi Sumberdaya Alam (BKSDA) Provinsi Kalteng hingga akhirnya terbentuk Balai Taman Nasional Sebangau (BTNS) pada tahun 2006. Di sekitar kawasan, terdapat lebih dari 50 desa yang dihuni 15.176 kepala keluarga (KK) dan sebagian diantaranya memiliki ketergantungan yang cukup tinggi terhadap sumberdaya hutan gambut.

Tiga desa ditetapkan sebagai lokasi studi berdasarkan tujuan penelitian. Ketiga desa tersebut adalah Desa Kereng Bangkirai di Kecamatan Sebangau, Kota Palangkaraya; Desa Baun Bango di Kecamatan Kamipang; dan Desa Mekar Tani di Kecamatan Mendawai, keduanya di Kabupaten Katingan. B. Pengumpulan dan Analisis Data

Data dikumpulkan melalui; (1) focus group discussion (FGD) dan wawancara mendalam dengan pihak-pihak terkait di tiga desa; (2) analisis konten yang bersumber dari data sekunder; dan (3) observasi. Pihak-pihak terkait sebagaimana tersebut pada butir 1 diantaranya adalah masyarakat sekitar TNS yang memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap sumberdaya alam di TNS, tokoh

Page 164: KAJIAN ALUR TATA NIAGA KAPULAGA (Amomum cardomum L

642 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, dan pengelola TNS. Data yang dikumpulkan meliputi: (1) proses, kekuatan, dan arah perubahan mata pencaharian masyarakat akibat penetapan kawasan sebagai TNS; (2) tujuan, proses, dan capaian dari TNS, termasuk peran serta masyarakat dalam pengelolaan TNS dan peran TNS untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar; dan (3) alternatif pemanfaatan sumberdaya TNS untuk masyarakat sekitar, termasuk agroforestry berbasis corporate social responsibility (CSR). Data yang terkumpul kemudian dianalisis menggunakan software analisis data qualitative yaitu NVivo 9.0.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Taman nasional sebangau dan beberapa tujuan dari penetapan kawasan konservasi Tujuan utama penetapan kawasan Sebangau sebagai taman nasional tertuang dalam

dokumen Rencana Pengelolaan Taman Nasional Sebangau Tahun 2007-2016, yaitu: (1) menjaga dan melestarikan ekosistem hutan rawa gambut tropis sebagai bagian dari sistem pendukung kehidupan di tingkat lokal, regional, dan global; (2) menjamin kelestarian sumberdaya alam, khususnya flora dan fauna yang tergolong endemik, dilindungi, dan langka; dan (3) memberikan manfaat yang berkesinambungan bagi masyarakat, khususnya masyarakat sekitar kawasan.

Berdasarkan hasil wawancara dengan tokoh masyarakat yang bermukim di tiga desa (Kereng Bangkirai, Baun Bango, dan Mekar Tani)terungkap bahwa masyarakat terlibat sejak awal penetapan TNS. Namun, tingkat keterlibatan masing-masing desa berbeda disesuaikan dengan sumberdaya BTNS, kebutuhan masing-masing desa, dan regulasi. BTNS memiliki sumber daya manusia yang terbatas sehingga pelaksanaan program tidak dapat dilakukan secara serentak, namun demikian melalui beberapa tahapan, program kegiatan dapat dilaksanakan sesuai dengan prioritas kepentingan masing-masing desa. Sebagai contoh, dalam upaya penanganan gangguan terhadap TNS, pihak BTNS menerapkan aksi represif melalui patroli dan serangan polisi hutan ke desa-desa dengan tingkat penolakan yang cukup tinggi. Sementara itu, di desa-desa dengan tingkat penolakan yang rendah, pihak BTNS menerapkan aksi preventif, yakni berupa program pemberdayaan masyarakat lokal, yang kemudian menjadikannyasebagai contoh bagi desa-desa lainnya. Sejumlah anggota dan tokoh masyarakat juga mengakui terlibat dalam diskusi dan proses pengambilan keputusan terkait pengelolaan TNS. Terdapat dua topik yang dibahas bersama antara masyarakat dan BTNS, yaitu tata batas kawasan dan zonasi. Pembahasan kedua topik ini difasilitasi oleh lembaga swadaya masyarakat WWF (World Wildlife Fund) yang telah sejak lama bekerjasama dengan masyarakat sebelum pembentukan TNS. Zonasi adalah sistem pengelolaan di dalam kawasan taman nasional dimana kawasan dibagi dalam zona-zona berdasarkan peruntukkannya diantaranya zona inti, zona rimba, dan zona lainnya, termasuk zona tradisional, zona religi, dan zona pemanfaatan. Setiap zona memiliki ketentuan tersendiri terkait kegiatan yang diperbolehkan dan dilarang bagi pihak-pihak terkait, termasuk masyarakat. B. Implikasi perubahan status kawasan pada kehidupan masyarakat sekitar kawasan konservasi

Pembatasan akitivitas masyarakat di TNS merupakan aturan yang paling memberatkan masyarakat sekitar kawasan, meskipun penetapan TNS bukanlah satu-satunya penyebab terbatasnya kegiatan masyarakat di dalam kawasan. Bahkan, ketika kawasan tersebut berstatus sebagai hutan produksi, masyarakat lokal bukanlah pihak yang mendapatkan manfaat paling banyak dari pemanfaatan sumberdaya hutan melainkan perusahaan hak pengelolaan hutan (HPH).

Masyarakat di Desa Kereng Bangkirai dan Baun Bango meyakini bahwa mereka memiliki hak penuh untuk memanfaatkan sumberdaya hutan Sebangau yang diperolehnya dari para leluhur mereka melalui hukum adat. Mayoritas masyarakat di kedua desa tersebut adalah suku Dayak yang memang lahir dan dibesarkan di kawasan ini.

Masyarakat Dayak terbiasa memanfaatkan sumberdaya hutan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Seorang tokoh masyarakat di Desa Kereng Bangkirai menjelaskan bahwa ada tiga fungsi utama hutan bagi masyarakat Dayak yaitu sebagai sumber pendapatan, sumber obat-obatan,

Page 165: KAJIAN ALUR TATA NIAGA KAPULAGA (Amomum cardomum L

Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 643

dan sumber makanan sehari-hari. Ikan adalah sumber mata pencaharian utama masyarakat Dayak. Mereka melakukan penangkapan ikan di dua sungai besar yang mengitari TNS yaitu Sungai Sebangau dan Sungai Katingan. Selain itu ikan juga diperoleh dari danau-danau besar dan kecil di dalam kawasan, serta kanal-kanal yang dahulu dibuat oleh perusahaan-perusahaan kayu sebagai sarana untuk mengangkut kayu dari dalam kawasan ke bagian hilir sungai. Masyarakat juga melakukan pengambilan getah jelutung untuk bahan pembuat karet dan kulit kayu untuk bahan pembuat obat nyamuk. Sumberdaya hutan juga menjadi sumber obat-obatan masyarakat Dayak akibat masih minimnya jumlah dokter dan tenaga medis kesehatan di beberapa desa terpencil di pinggiran Sungai Katingan. Masyarakat Dayak juga menangkap ikan, mengambil buah-buahan dan sayuran, serta berburu binatang seperti kijang dan babi, untuk kebutuhan makanan sehari-hari.

Ketika kawasan Sebangau dijadikan sebagai hutan produksi dan sebanyak 13 HPH di kawasan ini beroperasi, banyak masyarakat Dayak yang bekerja di perusahaan-perusahaan tersebut, baik di perusahaan yang melakukan pemanenan maupun yang melakukan pemotongan kayu. Mereka mengakui bahwa pendapatan dari bekerja di perusahaan kayu jauh lebih besar daripada usaha mereka sebagai nelayan meskipun beban pekerjaannya jauh lebih berat.

Sementara itu, penduduk Desa Mekar Tani adalah para transmigran yang lahir dan dibesarkan di Pulau Jawa yang kemudian mengikuti program pemerintah kala itu untuk memindahkan penduduk dari daerah yang padat ke daerah yang masih minim penduduknya. Transmigrasi dilakukan pada 1985 ketika kawasan itu masih berstatus sebagai hutan produksi. Sulitnya mengembangkan pertanian di lahan gambut membuat para transmigran memilih untuk bekerja sebagai tukang kayu pada perusahaan-perusahaan kayu yang beroperasi di kawasan Sebangau. Hal itu masih dilakukan hingga saat ini meskipun kawasan tersebut sudah dijadikan sebagai kawasan konservasi. Mereka berkelana di kota-kota di Kalimantan Tengah dan Barat dimana perusahaan-perusahaan kayu masih beroperasi. Tidaklah mengherankan jika kebanyakan penduduk Desa Mekar Tani yang tinggal dan berdomisili di desanya adalah perempuan dan anak-anak. Sementara para lelaki berkelana berbulan-bulan meninggalkan keluarganya untuk mencari pekerjaan sebagai tukang potong kayu.

Penduduk Desa Mekar Tani yang seluruhnya adalah suku Jawa tidak terbiasa memanfaatkan sumberdaya hutan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Mereka memilih bercocok tanam dan beternak seadanya. Mereka juga menyadari statusnya sebagai pendatang di pulau Kalimantan yang didominasi masyarakat Dayak, sehingga mereka menyebut dirinya tidak berhak untuk memasuki kawasan hutan dan memanfaatkan sumberdaya alamnya, karena semua itu adalah milik masyarakat Dayak sebagai tuan rumah. C. Dampak Penetapan Status Taman Nasional Sebangau terhadap Mata Pencaharian Masyarakat

Sekitar Kawasan Dampak dari perubahan status kawasan Sebangau dari hutan produksi menjadi kawasan

konservasi bervariasi diantara penduduk masing-masing desa. Masyarakat yang pernah bekerja di perusahaan logging merasakan dampak negatif akibat hilangnya pekerjaan, sementara petani tidak terpengaruh. Masyarakat juga merasakan dampak positif dari keberadaan TNS, terutama dampak terhadap kondisi ekologis di lingkungannya. Seorang istri mantan tukang kayu menyatakan sangat setuju dengan upaya konservasi hutan karena dapat mengurangi atau bahkan menghilangkan banjir, kebakaran hutan dan bahaya asap.

Hasil studi menunjukkan bahwa perubahan status kawasan telah mengubah mata pencaharian masyarakat sekitar dari penebang menjadi petani, khususnya pertanian pangan dan perikanan. Masyarakat berpikir bahwa pertanian memberikan hasil yang lebih berkesinambungan dibandingkan dengan kayu. Perubahan tersebut dilakukan akibat adanya pembatasan kegiatan masyarakat di hutan. Meski demikian, masyarakat mengakui adanya manfaat perubahan status tersebut yaitu mencegah masyarakat luar desa untuk mengeksploitasi sumberdaya hutan Sebangau.

Page 166: KAJIAN ALUR TATA NIAGA KAPULAGA (Amomum cardomum L

644 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

D. Strategi Perbaikan Kehidupan Masyarakat Sekitar Kawasan Karena Adanya Pembatasan Kegiatan di Dalam Kawasan Konservasi

Salah satu strategi untuk meningkatkan pendapatan masyarakat akibat adanya pembatasan kegiatan di hutan adalah dengan mengembangkan budidaya tanaman pangan di zona pemanfaatan khususnya zona tradisional. Masyarakat percaya bahwa upaya budidaya adalah alternatif usaha yang dapat mencegah terjadinya eksploitasi sumberdaya alam yang berlebihan. Masyarakat lokal mengusulkan budidaya yang dikembangkan adalah budidaya jelutung, gemor (kulit kayu), ikan dan burung. Upaya lain yang dapat diupayakan adalah melalui agroforestry berbasis corporate social responsibility (CSR). 1. Agroforestry dan Corporate Social Cesponsibility (CSR)

Salah satu strategi yang bisa diupayakan untuk memberikan alternatif mata pencaharian adalah agroforestry berbasis CSR melalui budidaya penanaman tanaman pangan di dalam zona pemanfaatan di kawasan TNS. Alternatif tersebut menumbuhkan harapan dan juga menghadapi beragam tantangan, terutama terkait aspek legal, sosial, dan budaya dari masyarakat sekitar hutan sendiri.

Landasan hukum CSR adalah UU No. 40/2007 tentang Perseroan Terbatas, dan aturan pelaksanaannya ditetapkan melalui PP No.47/2012 tentang Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perseroan Terbatas. Dalam peraturan tersebut dinyatakan bahwa perusahaan yang melakukan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam, wajib untuk melakukan tanggung jawab sosial dan lingkungan. Tanggung jawab tersebut dilaksanakan baik di dalam maupun di luar lingkunganperusahaan. Dengan demikian perusahaan wajibuntuk turut serta dalam program pengembangan pemberdayaan masyarakat dan peningkatan pendapatan, yang antara lain melalui pembangunan agroforestry.Hal ini merupakan perwujudan tanggung jawab sosial perusahaan bagi masyarakat setempat, sedangkan tanggung jawab lingkungan dapat diterapkan melalui penanaman jelutung, yang juga merupakan spesies tanaman asli kawasan TNS.

Demikian halnya di sekitar kawasan TNS, program CSR perusahaan yang beroperasi di sekitar TNS dapat dimanfaatkan untuk berkontribusi dalam pengembangan agroforestry. Dibawah koordinasi BKSDA, dilakukan perjanjian kemitraan antara perusahaan dan masyarakat. Beberapa manfaat yang diperoleh dari perjanjian tersebut adalah perusahaan bertanggung jawab secara sosial kepada masyarakat sekitar, yang akan meningkatkan image perusahaan baik bagi stakeholder setempat maupun stakeholder di tingkat propinsi dan nasional. Selain itu bagi konsumen, produk yang dibeli dari perusahaan mensyaratkan adanya kepedulian terhadap masyarakat setempat dan lingkungan. Kelompok konsumen dimaksud umumya berasal dari negara maju yang peduli akanproduk yang berasal dari pengelolaan secara lestari dengan memperhatikan aspeksosial, ekonomi dan lingkungan.

Perjanjian kemitraan diatur melalui bagi hasil antara perusahaan, masyarakat dan BTNS sebagai pengelola kawasan. Perjanjian kemitraan melalui bagi hasil ini juga dapat dipergunakan sebagai bargaining power bagi pihak yang bermitra. Masing-masing pihak akan mendapatkan keuntungan dari perjanjian tersebut. Keuntungan bagi perusahaan adalah bahwa perusahaan telah melakukan tanggung jawab sosial dan lingkungan.Bagi masyarakat, keuntungan yang diperoleh yaitu mereka dapat memperolehalternatif pendapatan, dan kawasan TNS dapat terjaga baik dari perambah, penebang liar maupun kebakaran hutan.

Penerapan CSR dapat dilakukan secara bottom-up yakni perusahaan bersama BTNS menggali informasi tentang kebutuhan masyarakat terkait dengan sumber mata pencaharian. Budidaya tanaman jelutung dan gemor yang dikombinasikan dengan tanaman pertanian (agroforestry) merupakan strategi alternatif sumber pendapatan. Getah jelutung dan kulit kayu gemor berkontrubusi dalam meningkatkan pendapatan dari tanaman hutan, sedangkan budidaya tanaman pertanian dapat memberikan pendapatan jangka pendek bagi masyarakat.Agar tanaman pertanian dapat tumbuh dengan baik dan mendapat cukup sinar matahari, tanaman kehutanan ditanam dengan memperhatikan jarak yang memadai dimana sinar matahari tidak tertutup oleh tajuk.

Page 167: KAJIAN ALUR TATA NIAGA KAPULAGA (Amomum cardomum L

Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 645

Dengan demikian, tanaman kehutanan dan pertanian tidak saling berkompetisi namun saling melengkapi sehingga keduanya dapat tumbuh dengan baik.

IV. KESIMPULAN

A. Kesimpulan Hasil studi menunjukkan bahwa pembatasan kegiatan masyarakat sebagai konsekuensi dari

penetapan TNS telah berdampak buruk pada mata pencaharian masyarakat sekitar kawasan. Akan tetapi, sebagian besar masyarakat memahami adanya manfaat ekologis dari penetapan status kawasan konservasi tersebut. Dinamika hubungan antara masyarakat sekitar dan pemanfaatan sumberdaya alam dipengaruhi oleh latar belakang sejarah dari pembatasan akses ke dalam kawasan konservasi. Dalam hal ini, masyarakat menyadari bahwa mereka tidak pernah merasakan manfaat yang sesungguhnya dari keberadaan hutan tersebut karena selama ini yang lebih banyak merasakan manfaatnya adalah orang-orang dari luar desa-desa mereka (misalnya perusahaan).

Masyarakat menyadari bahwa salah satu manfaat dari keberadaan TNS adalah mencegah pihak luar untuk mengeksploitasi sumberdaya alam di TNS. Oleh karena itu, mereka merasa perlu untuk beradaptasi dengan aturan baru sehubungan dengan penetapan kawasan itu sebagai kawasan konservasi untuk kepentingan mereka sendiri. Proses negosiasi antara masyarakat dan pengelola TNS ditujukan untuk mencari strategi terbaik yang melibatkan masyarakat setempat dan pengelola TNS melalui sistem zonasi dan program pemberdayaan masyarakat.

Beberapa strategi untuk memperbaiki dan mempertahankan mata pencaharian masyarakat setempatdilakukan dengan diterbitkannya aturan tentang pembatasan dari pengelola TNS, termasuk: (1) pemanfaatan getah jelutung dan kulit kayu (gemor) sehingga masyarakat tetap dapat melakukan kegiatanuntuk meningkatkan pendapatan tanpa harus mengancam keseimbangan ekologis hutan; (2) mengembangkan sistem perikanan dengan mengubah strategi dari perikanan tangkap ke perikanan budidaya; (3) melibatkan masyarakat dalam program rehabilitasi di dalam zona rehabilitasi; (4) mengembangkan ekowisata dengan memanfaatkan jasa lingkungan hutan seperti pemandangan alam dan keanekaragaman hayati; dan (5) agroforestry berbasis CSR. B. Saran

Kebijakan yang strategis ditingkat lokal perlu diciptakan bagi keberlangsungan pendapatan masyarakat sekaligus dapat mempertahankan ekosistem. Untuk itu diperlukan kerjasama yang baik antara perusahaan, BTNS dan masyarakat melalui program CSR perusahaan. Alternatif peningkatan pendapatan masyarakat dapat dilakukan melalui sistem agroforestry yang berbasis CSR dimana masing-masing pihak mendapatkan keuntungan.

Pada tingkat nasional, landasan hukum penerapan CSR telah jelas mengatur tentang kewajiban sosial dan lingkungan bagi perusahaan yang bidang usahanya terkait dengan pengelolaan sumber daya alam. Namun demikian, monitoring dan evaluasi sangat penting dalam meningkatkan pelaksanaan CSR. Khususnya di TNS, koordinasi dan komunikasi tiga pihak yang bermitra perlu ditingkatkan untuk memaksimalkan program agroforestry bebasis CSR.

DAFTAR PUSTAKA

Jaenicke, J., Englhart, S., & Siegert, F. (2011). Monitoring the Effect of Restoration Measures in Indonesian Peatlands by Radar Satellite Imagery. Journal of Environmental Management, 92(3), 630-638. doi: doi: http://dx.doi.org/10.1016/j.jenvman.2010.09.029.

Olbrei, E. (2013). Indonesia Sets a Carbon Time-Bomb. http://theconversation.com/indonesia-sets-a-

carbon-time-bomb-17216.

Page 168: KAJIAN ALUR TATA NIAGA KAPULAGA (Amomum cardomum L

646 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

Page, S. E., Rieley, J. O., & Banks, C. J. (2011). Global and Regional Importance of the Tropical Peatland Carbon Pool. Global Change Biology, 17(2), 798-818. doi: http: 10.1111/j.1365-2486.2010.02279.x

Page 169: KAJIAN ALUR TATA NIAGA KAPULAGA (Amomum cardomum L

Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 647

PERSEPSI PETANI TERHADAP PENERAPAN SISTEM AGROFORESTRY DI LAHAN MILIK MASYARAKAT: STUDI DI DESA CUKANGKAWUNG, KABUPATEN TASIKMALAYA

Idin Saepudin Ruhimat

Balai Penelitian Teknologi Agroforestry Ciamis Jl. Raya Ciamis-Banjar Km 4 Ciamis, Telp. (0265) 771352 Fax. (0265)775866

E-mail : [email protected]

ABSTRAK

Persepsi yang baik tentang usahatani agroforestry merupakan dasar tindakan petani untuk berpartisipasi aktif dalam membangun dan mengembangkan usahatani agroforestry. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui persepsi petani terhadap penerapan sistem agroforestry di lahan milik masyarakat. Penelitian dilaksanakan di Desa Cukangkawung, Kecamatan Sodonghilir, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat mulai bulan Juli sampai dengan September 2015. Analisis data dilakukan secara deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan (1) tingkat persepsi petani terhadap penerapan sistem agroforestry di lahan masyarakat berada pada kategori cukup baik, (2) petani memiliki persepsi cukup baik pada aspek keuntungan relatif dan tingkat kemudahan untuk diamati serta persepsi kurang baik pada aspek tingkat kesesuaian, tingkat kerumitan, dan kemudahan sistem agroforestry untuk diujicoba. Pemerintah daerah melalui dinas terkait seperti Dinas Kehutanan dan Perkebunan, Dinas Pertanian Tanaman Pangan, dan lembaga penyuluhan disarankan untuk memberikan pemahaman tentang usahatani agroforestry secara sistematis, komprehensif, dan intensif kepada petani. Kata kunci : persepsi petani, usahatani, dan agroforestry

I. PENDAHULUAN

Agroforestry memiliki manfaat penting dalam kehidupan masyarakat baik secara ekonomi, sosial, maupun ekologi. Secara ekonomi, agroforestry bermanfaat untuk meningkatkan dan memberikan pendapatan yang berkesinambungan/berjenjang kepada petani baik pendapatan harian, mingguan, bulanan maupun tahunan; secara ekologi agroforestry bermanfaat untuk mengurangi tingkat erosi tanah, mengatur iklim mikro, dan menjaga kesuburan tanah; dan secara sosial, penerapan sistem agroforestry bermanfaat dalam memperluas kesempatan dan lapangan kerja, dan mengurangi kesenjangan sosial diantara masyarakat (Butarbutar, 2012 dan Harun, 2011)

Penerapan sistem agroforestry oleh petani dapat berjalan secara optimal apabila diawali oleh persepsi yang benar dan kuat tentang sistem agroforestry. Persepsi petani terhadap penerapan sistem agroforestry di lahan milik masyarakat terbentuk melalui proses pemilihan dan penyaringan informasi tentang sistem agroforestry yang diterima oleh petani untuk dijadikan sebagai bahan keputusan petani dalam menerapkan atau tidak menerapkan sistem agroforestry.

Persepsi yang kurang baik tentang sistem usahatani agroforestry merupakan salah satu penyebab rendahnya tingkat penerapan sistem agroforestry oleh petani. Oleh karena itu, pengetahuan tentang persepsi petani dalam penerapan sistem agroforestry merupakan salah satu solusi untuk meningkatkan daya adopsi petani terhadap penerapan sistem usahatani agroforestry di lahan milik masyarakat.

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan maka penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat persepsi petani dalam penerapan sistem agroforestry di lahan milik masyarakat. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan untuk para stakeholder dalam meningkatkan persepsi petani dalam penerapan sistem agroforestry di lahan milik masyarakat yang berada di Desa Cukangkawung.

Page 170: KAJIAN ALUR TATA NIAGA KAPULAGA (Amomum cardomum L

648 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

II. METODE PENELITIAN

A. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Desa Cukangkawung, Kecamatan Sodonghilir, Kabupaten

Tasikmalaya mulai dari bulan Juli 2015 sampai dengan bulan September 2015. Pemilihan Desa Cukangkawung sebagai lokasi penelitian dilakukan secara purposive (bertujuan) dengan pertimbangan bahwa Desa Cukangkawung merupakan salah satu lokasi yang akan dijadikan sebagai model pengembangan usahatani agroforestry di Kabupaten Tasikmalaya.

B. Teknik Pengumpulan dan Analisis Data

Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dengan cara pengisian kuisioner oleh petani, diskusi kelompok, wawancara mendalam (depth interview) dengan informan penelitian, dan pengamatan langsung di lokasi penelitian. Data sekunder dikumpulkan dari berbagai pustaka dan dokumentasi yang dihasilkan oleh berbagai instansi yang memiliki keterkaitan dengan tema penelitian. Data yang telah dikumpulkan ditabulasi, diolah dan dianalisis secara deskriptif.

Penilaian terhadap persepsi petani dilakukan berdasarkan persepsi petani di wilayah Desa Cukangkawung terhadap penerapan sistem agroforestry, yang diukur menggunakan skala likert dengan tiga alternatif jawaban.

Populasi dalam penelitian adalah seluruh kepala rumah tangga di Desa Cukangkawung yang bermatapencaharian sebagai petani. Berdasarkan data yang terdapat dalam profil desa Cukangkawung menyebutkan kepala keluarga di Desa Cukangkawung yang bermata pencaharian petani berjumlah 1774 KK. Oleh karena itu, sampel dalam penelitian ini berjumlah 96 KK yang diperoleh dari hasil perhitungan dengan menggunakan rumus solvin sebagai berikut (Mun’im, 2012; Wiyono, 2011):

21 Ne

Nn

n = ukuran sampel N = populasi e = margin of error (pada penelitian ini ditetapkan 0,1 )

Penentuan responden pada penelitian ini dilakukan dengan menggunakan teknis penarikan

sampel bertahap (multisstage sampling) dengan tahapan sebagai berikut : (1) menggunakan metode sensus yaitu memilih seluruh dusun yang berada di Desa Cukangkawung sebagai lokasi sampel penelitian. Jumlah dusun di Desa Cukangkawung adalah 8 dusun, (2) menggunakan metode unproposionate random sampling yaitu memilih responden penelitian dengan jumlah sama banyak dan acak pada setiap dusun yang terpilih. Adapun jumlah kepala keluarga setiap dusun yang dijadikan sebagai responden pada penelitian ini adalah 12 KK.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian

Desa Cukangkawung merupakan salah satu desa yang berada di wilayah Kecamatan Sodonghilir, Kabupaten Tasikmalaya, Provinsi Jawa Barat dengan wilayah seluas 14,42 km2 atau 1.442 hektar, yang terbagi kedalam 8 dusun dengan 50 rukun tetangga. Secara administrasi, Desa Cukangkawung berbatasan dengan Desa Singasari dan Desa Raksari Kecamatan Taraju di sebelah Barat, Desa Sodonghilir di sebelah Timur, Desa Cikubang Kecamatan Taraju di sebelah Utara, dan Desa Cukang Jayaguna di sebelah Selatan (Anonim, 2013)

Menurut data Badan Pusat Statistik (2014) jumlah penduduk Desa Cukangkawung sampai dengan tahun 2013 adalah 10.209 jiwa (5099 jiwa laki-laki dan 5110 jiwa perempuan) yang

Page 171: KAJIAN ALUR TATA NIAGA KAPULAGA (Amomum cardomum L

Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 649

terhimpun ke dalam 2647 kepala keluarga. Adapun mata pencaharian penduduk Desa Cukangkawung yang berusaha di sektor pertanian (petani dan buruh tani) adalah 67,47 %, peternakan 26,42 %, pedagang 3 %, dan sisanya (3,7 %) terdiri dari buruh migran, PNS, karyawan swasta, TNI-Polri, dan pensiunan.

Komoditas pertanian unggulan yang dihasilkan oleh masyarakat di Desa Cukangkawung diantaranya tanaman teh, tanaman cabe, dan tanaman padi. Anonim (2015) mengemukakan bahwa sebagian besar tanah di Desa Cukangkawung dijadikan sebagai lahan perkebunan yang didominasi oleh tanaman teh yaitu seluas 1046 hektar atau 72,43 % dari total luas wilayah Desa Cukangkawung, sedangkan sisanya dimanfaatkan sebagi tanah pemukiman, sawah, kebun, dan hutan rakyat.

Budidaya tanaman dengan menggunakan sistem agroforestry telah dilakukan oleh sebagain kecil petani di Desa Cukang Kawung diantaranya pola agroforestry manglid dengan tanaman teh, ganitri dengan tanaman teh, sengon dengan tanaman teh, dan manglid sengon dengan tanaman teh. Akan tetapi, budidaya tanaman dengan pola agroforestry tersebut belum dilakukan secara intensif sehingga belum mampu menghasilkan pendapatan yang optimal bagi petani.

B. Persepsi Petani Terhadap Penerapan Sistem Agroforestry

Persepsi merupakan suatu proses pengelolaan, pemilihan, dan pemberian makna pada sebuah informasi yang diterima oleh panca indera untuk diubah menjadi sebuah gambaran yang utuh dan lengkap (Wulandari, 2010). Terdapat beberapa indikator yang digunakan untuk mengukur persepsi petani dalam menerima atau menolak penerapan sistem agroforestry di lahan milik masyarakat, yaitu persepsi petani tentang tingkat keuntungan relatif (relative advantages) sistem agroforestry, tingkat kesesuaian (compatibility) sistem agroforestry dengan sosial budaya masyarakat, tingkat kerumitan (complexity) sistem agroforestry, tingkat kemungkinan bisa dicoba sendiri oleh petani (trialibility), dan kemungkinan diamati (observability) (Arimbawa, 2004)

Secara umum, tingkat persepsi petani terhadap penerapan sistem agroforestry memiliki indeks skor 64,41 dan berada pada selang antara 33,34 – 66,33 sehingga dikategorkan cukup baik. Hal ini mengandung pengertian bahwa petani telah mengenal sistem agroforestry sebagai salah satu sistem budidaya tanaman tetapi agroforestry belum sepenuhnya dapat diterima dan diterapkan oleh masyarakat. Petani telah memahami bahwa keuntungan relatif yang akan diterima dari penerapan sistem agroforestry jauh lebih besar dibandingkan dengan sistem budidaya yang secara dominan diusahakan oleh petani sekarang (budidaya padi dan perkebunan). Belum optimalnya persepsi petani terhadap penerapan sistem agroforestry disebabkan oleh masih terdapatnya pemahaman petani bahwa sistem agroforestry tidak memiliki kesesuaian dengan sistem usahatani yang telah dan sedang dilakukan oleh masyarakat, memiliki tingkat kerumitan yang tinggi dalam penerapannya, dan sangat sulit untuk diujicoba di lahan masyarakat. Total skor, indeks skor, dan kategori skor untuk masing-masing aspek persepsi petani terhadap penerapan sistem agroforestry terlihat pada Tabel 1. Tabel 1. Persepsi petani terhadap penerapan sistem agroforestry

Aspek/Indikator Total Skor Indeks Skor Kategori skor

Tingkat persepsi petani - Keuntungan relatif - Kesesuaian - Kerumitan - Kemungkinan dicoba - Kemungkinan diamati

2640 652 436 448 456 648

64,41 34,90 6,67 8,33 9,38

34,37

Cukup baik Kurang baik Kurang baik Kurang baik Kurang baik Cukup baik

Petani memiliki persepsi yang cukup baik tentang penerapan sistem agroforestry di lahan miliknya. Hal ini dapat terlihat pada Gambar. 1 yang menggambarkan bahwa sebagian besar petani responden menilai sistem agroforestry memiliki nilai keuntungan relatif yang lebih besar (59%

Page 172: KAJIAN ALUR TATA NIAGA KAPULAGA (Amomum cardomum L

650 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

responden menilai cukup menguntungkan, dan 5 % menguntungkan) dibandingkan sistem sistem budidaya tanaman yang telah dan sedang dilakukan petani.

Gambar 1. Persepsi petani terhadap tingkat keuntungan relatif penerapan agroforestry

Berdasarkan pendapat informan penelitian menyebutkan bahwa keuntungan relatif yang diperoleh petani ketika menerapkan sistem agroforestry dapat dilihat dari dua dimensi, yaitu dimensi jumlah pendapatan dan dimensi waktu memperoleh pendapatan. Pada dimensi jumlah pendapatan, petani akan memperoleh pendapatan yang relatif lebih besar dibandingkan dengan sistem monokultur tanaman kehutanan, perkebunan, atau pertanian. Pada dimensi waktu, petani akan memperoleh pendapatan yang berkesinambungan baik pendapatan jangka pendek (harian, mingguan), pendapatan jangka menengah (bulanan) dan pendapatan jangka panjang (tahunan). Hal ini memiliki kesesuaian dengan pendapat Roger dan Schoemaker dalam Purnaningsih (2006) yang menyebutkan bahwa keuntungan relatif merupakan tingkatan dimana ide/gagasan/inovasi suatu teknologi memiliki keuntungan secara ekonomi dibandingkan dengan teknologi sebelumnya. Suatu teknologi yang dianggap baru oleh petani harus memiliki kesesuaian dengan kondisi sosial dan budaya masyarakat. Perubahan yang bersifat revolusi terhadap kebiasaan petani akan menimbulkan sebuah penolakan terhadap inovasi teknologi tersebut, sehingga diperlukan suatu inovasi yang mampu diterima dan memiliki kesesuaian dengan kondisi sosial budaya petani. Sebagian besar petani responden beranggapan bahwa penerapan sistem agroforestry tidak memiliki kesesuaian dengan sistem budidaya yang dilakukan oleh petani pada saat ini. Hal ini terlihat pada diagram persepsi petani terhadap tingkat kesesuaian penerapan agroforestry pada Gambar 2.

Gambar 2. Persepsi petani terhadap tingkat kesesuaian penerapan agroforestry

AF Tidak

Menguntungkan

[PERCENTAGE]

AF Cukup

Menguntungkan

[PERCENTAGE]

AF Menguntungkan

[PERCENTAGE]

Persepsi Petani Terhadap Tingkat Keuntungan Relatif Penerapan AF

Tidak Sesuai

[PERCENTAGE]

Cukup Sesuai

[CATEGORY

NAME][PERCENT

AGE]

Sesuai

[PERCENTAGE]

Persepsi Petani Terhadap Tingkat Kesesuaian Penerapan AF

Page 173: KAJIAN ALUR TATA NIAGA KAPULAGA (Amomum cardomum L

Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 651

Berdasarkan hasil diskusi mendalam dengan tokoh masyarakat di Desa Cukangkawung, pada umumnya petani di Desa Cukangkawung sudah terbiasa dengan budidaya perkebunan teh, cabe merah, dan padi sehingga perubahan secara revolusi terhadap kedua komoditas tersebut sulit dilakukan. Hal ini sejalan dengan pendapat Arimbawa (2004) yang menyebutkan bahwa sebuah inovasi teknologi dapat diterima oleh masyarakat apabila memiliki kesesuaian dengan kebiasaan yang ada masyarakat, termasuk kebiasan dalam hal budidaya tanaman. Persepsi petani terhadap tingkat kerumitan dalam penerapan sistem agroforestry sangat berpengaruh besar terhadap keputusan petani dalam menerima atau menolak sistem agroforestry di lahan milik masyarakat. Diagram pada Gambar 3 menunjukkan petani di Desa Cukangkawung masih beranggapan bahwa sistem agroforestry yang mengkombinasikan antara tanaman kehutanan dengan tanaman pertanian masih bersifat rumit untuk diterapkan di lahan milik masyarakat. Hal ini terlihat pada Gambar 3 yang meggambarkan hampir sebagian besar petani responden menyebutkan sistem agroforestry yang mengkombinasikan tanaman kehutanan dengan tanaman perkebunan atau tanaman semusim masih dirasa rumit (89 %) sehingga susah untuk diujicobakan (87 %).

(a) (b) Gambar 3. Persepsi petani terhadap tingkat kerumitan penerapan agroforestry (a); Persepsi petani terhadap tingkat kemudahan agroforestry untuk diujicoba (b) Berdasarkan hasil diskusi dan wawancara dengan responden dan informan penelitian, sistem agroforestry masih bersifat rumit dan susah diujicobakan oleh petani di Desa Cukangkawung. Penggunaan sistem agroforestry dengan memasukan tanaman kayu pada lahan perkebunan teh atau pertanian semusim milik masyarakat akan menyebabkan rendahnya produktivitas tanaman teh akibat efek naungan dari tanaman kayu. Padahal tanaman teh dan tanaman semusim (cabe dan padi) merupakan tanaman unggulan masyarakat di Desa Cukangkawung. Menurut tokoh masyarakat di Desa Cukangkawung, untuk merubah sistem budidaya tanaman dengan tidak melibatkan tanaman perkebunan yang telah dimiliki masyarakat sangat sulit untuk dilakukan. Selain faktor pengaruh negatif naungan, faktor kebiasaan, faktor sosial, dan faktor keterbatasan modal yang dimiliki masyarakat untuk mengganti sistem budidaya tanaman merupakan faktor utama yang menyebabkan rendahnya tingkat penerapan sistem agroforestry di lahan milik masyarakat. Indraningsih (2010) menyebutkan bahwa sebuah inovasi teknologi harus mudah dipahami, dan diujicobakan oleh masyarakat. Semakin mudah suatu inovasi dipahami dan diujicobakan maka semakin cepat inovasi tersebut diadopsi oleh masyarakat. Persepsi petani tentang tingkat kemungkinan sistem agroforestry untuk diamati dan dikomunikasikan kepada orang lain merupakan faktor kelima yang menentukan tingkat penerapan sistem agroforestry di lahan masyarakat. Zulvera (2014) mengemukakan tingkat keteramatan suatu inovasi sangat nyata terhadap adopsi inovasi teknologi. Oleh karena itu semakin bisa diamati dan dikomunikasikan sebuah inovasi maka akan semakin besar daya adopsi masyarakat terhadap inovasi tersebut.

Rumit

[PERCENTAGE]

Cukup

Mudah [PERCE

NTAGE]

Mudah

[PERCENTAGE]

Persepsi Petani Terhadap Tingkat

Kerumitan Penerapan AF Susah

Diujicoba [PERCENT

AGE]

Cukup Mudah

[PERCENTAGE]

Mudah [PERCENT

AGE]

Persepsi Petani Terhadap Tingkat

Kemudahan AF Untuk Diujicoba

Page 174: KAJIAN ALUR TATA NIAGA KAPULAGA (Amomum cardomum L

652 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

Gambar 4. Persepsi petani terhadap tingkat kemungkinan AF untuk diamati

Diagram pada Gambar 4 memperlihatkan bahwa 58 persen responden memiliki persepsi yang positif tentang tingkat kemungkinan sistem agroforestry untuk dapat diamati dan dikomunikasikan dengan petani lainnya. Responden penelitian berpendapat bahwa sistem agroforestry akan cukup mudah untuk diamati dan dikomunikasikan kepada petani lain apabila sudah terdapat areal pencontohan (demplot) penanaman sistem agroforestry di Desa Cukangkawung. Hal ini dikarenakan petani akan mampu untuk mengamati secara langsung dan membandingkan sistem agroforestry tersebut dengan sistem budidaya yang dimiliki oleh petani saat ini. Selain itu, terdapat 42 persen responden yang mengemukakan bahwa sistem agroforestry susah untuk diamati dan dikomunikasikan kepada petani lain. Hal ini sebabkan oleh adanya persepsi sebagian besar responden tentang sistem agroforestry yang bersifat untuk dipahami dan diujicobakan oleh petani di lahan milik petani.

IV. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Persepsi petani terhadap penerapan sistem agroforestry di lahan milik masyarakat berada pada kategori cukup baik. Petani memiliki persepsi cukup baik terhadap penerapan sistem agroforestry di lahan masyarakat pada aspek keuntungan relatif dan tingkat kemudahan untuk diamati; dan persepsi kurang baik pada aspek tingkat kesesuaian, tingkat kerumitan, dan kemudahan diujicoba.

B. Saran

Pemerintah melalui dinas terkait seperti Dinas Kehutanan dan Perkebunan, Dinas Pertanian Tanaman Pangan, dan lembaga penyuluhan disarankan untuk memberikan pemahaman usahatani agroforestry secara sistematis, komprehensif dan intensif kepada petani di Desa Cukangkawung.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2013. Profil Desa Cukangkawung. Pemerintah Desa Cukangkawung. Tasikmalaya. Anonim. 2015. Rencana kerja penyuluhan pertanian: wilayah binaan desa cukangkawung,

kecamatan sodonghilir, kabupaten tasikmalaya. Balai Penyuluhan Pertanian Perikanan dan Kehutanan Kecamatan Sodonghilir. Tasikmalaya.

Susah Diamati [PERCENTAGE]

Cukup Mudah Diamati [PERCENTAGE]

Mudah Diamati [PERCENTAGE]

Persepsi Petani Terhadap Tingkat Kemungkinan AF untuk Diamati

Page 175: KAJIAN ALUR TATA NIAGA KAPULAGA (Amomum cardomum L

Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 653

Arimbawa, P. 2004. peran kelompok untuk meningkatkan kemampuan anggota dalam penerapan inovasi teknologi. Tesis. Program Studi Ilmu Penyuluhan Pembangunan, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Badan Pusat Statistik. 2014. Kecamatan Sodonghilir dalam Angka Tahun 2014. BPS Kabupaten

Tasikmalaya. Tasikmalaya. Butarbutar, T. 2012. Agroforestri untuk adaptasi dan mitigasi perubahan iklim. Jurnal Analisis

Kebijakan Kehutanan, 9 (1), 1-10. Harun, M.K. 2011. Analisis pengembangan jelutung dengan sistem agroforestry untuk memulihkan

lahan gambut terdegradasi di Provinsi Kalimantan Tengah. (Tesis). Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Indraningsih, K.S. 2010. Penyuluhan pada petani lahan marjinal: kasus adopsi inovasi usaha tani ter-

padu lahan kering di Kabupaten Cianjur dan Ka-bupaten Garut Provinsi Jawa Barat. (Disertasi). Program Studi Ilmu Penyuluhan Pembangun-an, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Mun’im, A. 2012. Analisis faktor ketersediaan, akses dan penyerapan pangan di kabupaten sur-plus

pangan: pendekatan Partial Least Square Path Modelling. Jurnal Agroekonomi, 30(1), 41-56. Purnaningsih, N. 2006. Adopsi Inovasi Sistem Kemitraan Agribisnis Sayuran di Provinsi Jawa Barat.

Program Studi Ilmu Penyuluhan Pembangunan, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Wiyono, G. 2011. Merancang penelitian bisnis dengan SPSS dan SmartPLS 2.0.Yogyakarta: Unit

Penerbit dan Percetakan STIM YKPN. Wulandari, C. 2010. Studi persepsi masyarakat tentang pengelolaan lanskap agroforestry di sekitar

Sub DAS Way Besar Provinsi Lam-pung. Jurnal Ilmu Pertanian Indonesia, 15(3), 137-140. Zulvera. 2014. Faktor penentu adopsi sistem pertanian sayuran organik dan keberdayaan petani di

Provinsi Sumatera Barat. (Disertasi). Program Studi Ilmu Penyuluhan Pembangunan, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Page 176: KAJIAN ALUR TATA NIAGA KAPULAGA (Amomum cardomum L

654 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

PERSEPSI MASYARAKAT TERHADAP BAMBU

Tri Sulistyati Widyaningsih, Eva Fauziyah, dan Devy Priambodo Kuswantoro Balai Penelitian Teknologi Agroforestry

Email: [email protected]; [email protected]; [email protected]

ABSTRAK

Bambu merupakan salah satu jenis tanaman penyusun hutan rakyat di Provinsi Jawa Barat, diantaranya di Desa Sukaharja, Kecamatan Rajadesa, Kabupaten Ciamis. Kajian ini bertujuan untuk mendeskripsikan persepsi masyarakat Desa Sukaharja terhadap tanaman bambu. Data dikumpulkan pada bulan September-Oktober 2015 melalui wawancara terhadap 84 orang responden yang dipilih secara sengaja. Data yang terkumpul diolah, dianalisis, dan disajikan secara deskriptif. Hasil kajian menunjukkan bahwa seluruh responden mengetahui tanaman bambu. Tanaman bambu di lahan hutan rakyat yang dikelola responden, sebagian besar ditanam sebagai batas kepemilikan lahan, di samping tanaman lainnya yaitu albasia, afrika, kopi, dan kapulaga. Persepsi responden terhadap tanaman bambu mayoritas positif yaitu bambu adalah tanaman yang perlu dibudidayakan karena banyak manfaatnya baik secara ekonomi (dapat dijual) serta konservasi (dapat menyimpan air). Produk dari tanaman bambu merupakan produk yang tahan lama terutama ketika digunakan sebagai bahan bangunan seperti usuk dan reng. Tanaman bambu juga dapat diolah menjadi produk lain tanpa bantuan mesin, misalnya kerajinan anyaman. Masyarakat sudah terbiasa melakukan transaksi jual beli bambu terutama dalam bentuk batang. Harga pasaran bambu saat ini dinilai cukup bagus dengan kisaran Rp 2.500-3.000/batang di hutan serta Rp 5.000-6.000 di tepi jalan desa, meningkat 2-3 kali lipat dari tahun-tahun sebelumnya. Sebagian petani menggunakan tanaman bambu untuk keperluan sendiri seperti bahan membuat pagar, usuk, reng, kandang ternak, dan lain-lain. Adanya persepsi positif petani terhadap tanaman bambu menumbuhkan minat yang cukup tinggi terhadap program pengembangan tanaman bambu terutama dalam hal diversifikasi jenis tanaman bambu dan pengolahan pasca panen yang dapat meningkatkan nilai jual dan keuntungan bambu bagi petani. Kata kunci: Bambu, hutan rakyat, persepsi, anyaman, Ciamis

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Bambu merupakan tumbuhan dengan manfaat serbaguna bagi kehidupan manusia yang termasuk dalam kelompok rumput-rumputan anak suku Bambusoideae (Ensiklopedia Nasional Indonesia, 1991). Bambu banyak tersebar di Indonesia, sekitar 67% hutan bambu dunia ada di Indonesia dan sekitar 70% berada di lahan milik masyarakat (Widjaja, 2011). Sebanyak 160 spesies bambu berada di Indonesia dengan 122 jenis asli Indonesia. Potensi bambu tersebut sebagian besar dihasilkan di Provinsi Jawa Barat dengan populasi bambu sebanyak 76,83% dari populasi di Indonesia (Statistic of Bureau of Indonesia, 2004 dalam Herawati et al., 2011). Bambu di Jawa Barat merupakan salah satu jenis tanaman penyusun hutan rakyat, termasuk di Desa Sukaharja, Kecamatan Rajadesa, Kabupaten Ciamis. Pengembangan bambu di hutan rakyat akan dipengaruhi oleh persepsi petani selaku pelaku usaha bambu. Persepsi adalah cara atau proses penerimaan, pengelolaan dan interpretasi tentang hal-hal yang diterima individu dari lingkungan ke dalam suatu gambaran yang mempunyai makna (Wijanarko, 1994 dalam Samapaty, 2006). Kajian ini bertujuan untuk mendeskripsikan persepsi masyarakat Desa Sukaharja terhadap tanaman bambu.

II. METODE

A. Lokasi dan Waktu Kajian

Page 177: KAJIAN ALUR TATA NIAGA KAPULAGA (Amomum cardomum L

Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 655

Kajian dilakukan di Desa Sukaharja, Kecamatan Rajadesa, Kabupaten Ciamis. Pemilihan lokasi didasarkan atas pertimbangan banyaknya potensi bambu di Desa Sukaharja yang bisa dikembangkan lebih lanjut dengan gambaran lokasi tertera pada Tabel 1. Kajian dilakukan pada bulan September-Oktober 2015.

Tabel 1. Gambaran lokasi kajian

No. Uraian Keterangan

1. Lokasi administratif

Desa Sukaharja, Kecamatan Rajadesa, Kabupaten Ciamis, Provinsi Jawa Barat

2. Tahun kelahiran

1900

3. Letak dan kondisi geografis

7°09'05.377 S/108°28'40.609 E, dan berada di 527,40 dpl. Topografi Desa Sukaharja berbukit-bukit + 200 ha dan dataran tinggi + 300 ha dengan iklim kemarau dan penghujan.

4. Batas wilayah

Sebelah Utara dengan Desa Sukajaya Kecamatan Rajadesa Sebelah Selatan dengan Desa Andapraja Kecamatan Rajadesa Sebelah Timur dengan Desa Kawunglarang Kecamatan Rancah Sebelah Barat dengan Desa Tigaherang Kecamatan Rajadesa

5. Kondisi demografis

Penduduk pada tahun 2014 sebanyak 6.018 Jiwa (dari 1.907 KK) yang terdiri 2.995 penduduk laki-laki dan 3.023 penduduk perempuan. Penduduk berkategori kaya 328 KK, sedang 730 KK, dan kategori miskin 819 KK. Masyarakat bermata pencaharian sebagai buruh tani dan petani, dengan penduduk usia produktif 2.697 jiwa dan usia non produktif 2.811 jiwa. Pendidikan terdiri dari tidak/belum tamat SD 537 orang, SD/sederajat 2.894 orang, SMP/sederajat 872 orang, diploma 56 orang serta sarjana dan pasca sarjana 41 orang.

6. Potensi desa Sektor pertanian, peternakan, perkebunan, dan hutan rakyat dengan komoditas: padi, palawija (jagung), sayuran (buncis), buah-buahan, daging ayam, kopi, dan kayu albasia. Potensi perikanan air tawar antara lain ikan nila, gurame, mas, dan ikan mujair. Potensi pariwisata: Cekdam Giri Mekarharja dan penangkaran rusa di tanah pangangonan Desa Sukaharja (di Dusun Giri Mekarharja dan Dusun Cihawar). Potensi industry: pengolahan kayu, kerajinan anyaman bambu, tikar pandan, makanan olahan, dan sebagainya yang sebagian sudah dijual ke luar Jawa. Fasilitas: 1 pasar desa, 3 perusahaan pengolahan kayu, 6 heuler gabah, 23 toko kelontong, dan 60 warung yang didukung oleh BUMDES Mekar Raharja dan SPP PNPM Desa Sukaharja.

Sumber: Pemerintah Desa Sukaharja, 2014

B. Sampel Kajian dan Pengumpulan Data Unit analisis kajian ini adalah petani hutan rakyat baik yang menggarap lahan desa maupun

tidak serta yang memiliki bambu maupun tidak. Responden dipilih secara sengaja sebanyak 84 (delapan puluh empat) orang petani dengan karakteristik tertera pada Tabel 2. Data dikumpulkan melalui wawancara menggunakan bantuan kuesioner yang dipersiapkan sebelumnya, observasi, dan dokumentasi.

Page 178: KAJIAN ALUR TATA NIAGA KAPULAGA (Amomum cardomum L

656 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

Tabel 2. Karakteristik responden

No. Uraian Penggarap lahan desa

Bukan penggarap lahan desa

Jumlah keseluruhan

PB TPB Jumlah PB TPB Jumlah PB TPB Jumlah

1. Jenis kelamin (orang)

a. Perempuan N 14 8 22 3 0 3 17 8 25

% 16,67 9,52 26,19 3,57 0,00 3,57 20,24 9,52 29,76

b. Laki-laki N 24 13 37 21 1 22 45 14 59

% 28,57 15,48 44,05 25,00 1,19 26,19 53,57 16,67 70,24

Jumlah N 38 21 59 24 1 25 62 22 84

% 45,24 25,00 70,24 28,57 1,19 29,76 73,81 26,19 100,00

2. Umur (tahun)

a. <15 N 0 0 0 0 0 0 0 0 0

% 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00

b. 15-64 N 35 15 50 14 1 15 49 16 65

% 41,67 17,86 59,52 16,67 1,19 17,86 58,33 19,05 77,38

c. >64 N 3 6 9 10 0 10 13 6 19

% 3,57 7,14 10,71 11,90 0,00 11,90 15,48 7,14 22,62

Jumlah N 38 21 59 24 1 25 62 22 84

% 45,24 25,00 70,24 28,57 1,19 29,76 73,81 26,19 100,00

3. Tempat kelahiran

a. Desa Sukaharja N 30 17 47 22 1 23 52 18 70

% 35,71 20,24 55,95 26,19 1,19 27,38 61,90 21,43 83,33

b. Luar desa N 8 4 12 2 0 2 10 4 14

% 9,52 4,76 14,29 2,38 0,00 2,38 11,90 4,76 16,67

Jumlah N 38 21 59 24 1 25 62 22 84

% 45,24 25,00 70,24 28,57 1,19 29,76 73,81 26,19 100,00

4. Pendidikan

a. SD/sederajat N 29 20 49 14 1 15 43 21 64

% 34,52 23,81 58,33 16,67 1,19 17,86 51,19 25,00 76,19

b. SMP/sederajat N 7 0 7 5 0 5 12 0 12

% 8,33 0,00 8,33 5,95 0,00 5,95 14,29 0,00 14,29

c. SMA/sederajat N 1 1 2 3 0 3 4 1 5

% 1,19 1,19 2,38 3,57 0,00 3,57 4,76 1,19 5,95

d. Perguruan tinggi

N 1 0 1 2 0 2 3 0 3

% 1,19 0,00 1,19 2,38 0,00 2,38 3,57 0,00 3,57

Jumlah 38 21 59 24 1 25 62 22 84

45,24 25,00 70,24 28,57 1,19 29,76 73,81 26,19 100,00

5. Pekerjaan utama

a. Bertani N 20 9 29 13 0 13 33 9 42

% 23,81 10,71 34,52 15,48 0,00 15,48 39,29 10,71 50,00

b. Buruh tani N 0 3 3 2 1 3 2 4 6

% 0,00 3,57 3,57 2,38 1,19 3,57 2,38 4,76 7,14

c. Burun non tani N 3 1 4 1 0 1 4 1 5

% 3,57 1,19 4,76 1,19 0,00 1,19 4,76 1,19 5,95

d. Pegawai (apar desa, PNS, pensiunan, karyawan)

N 2 0 2 4 0 4 6 0 6

% 2,38 0,00 2,38 4,76 0,00 4,76 7,14 0,00 7,14

e. Wiraswasta (berdagang, beternak, ojeg, dll)

N 5 3 8 2 0 2 7 3 10

% 5,95 3,57 0.0952 2,38 0,00 2,38 8,33 3,57 11,90

f. Mengurus rumah tangga

N 8 5 13 2 0 2 10 5 15

% 9,52 5,95 15,48 2,38 0,00 2,38 11,90 5,95 17,86

Page 179: KAJIAN ALUR TATA NIAGA KAPULAGA (Amomum cardomum L

Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 657

Jumlah N 38 21 59 24 1 25 62 22 84

% 45,24 25,00 70,24 28,57 1,19 29,76 73,81 26,19 100,00

6. Status pernikahan

a. Belum menikah N 0 1 1 0 0 0 0 1 1

% 0,00 1,19 1,19 0,00 0,00 0,00 0,00 1,19 1,19

b. Menikah N 34 17 51 21 1 22 55 18 73

% 40,48 20,24 60,71 25,00 1,19 26,19 65,48 21,43 86,90

c. Duda/ janda N 4 3 7 3 0 3 7 3 10

% 4,76 3,57 8,33 3,57 0,00 3,57 8,33 3,57 11,90

Jumlah N 38 21 59 24 1 25 62 22 84

% 45,24 25,00 70,24 28,57 1,19 29,76 73,81 26,19 100,00

7. Jumlah tanggungan keluarga (jiwa)

a. Tidak punya N 2 4 6 1 0 1 3 4 7

% 2,38 4,76 7,14 1,19 0,00 1,19 3,57 4,76 8,33

b. ≤3 N 25 14 39 20 1 21 45 15 60

% 29,76 16,67 46,43 23,81 1,19 25,00 53,57 17,86 71,43

c. 4-6 N 10 3 13 3 0 3 13 3 16

% 11,90 3,57 15,48 3,57 0,00 3,57 15,48 3,57 19,05

d. > 6 N 1 0 1 0 0 0 1 0 1

% 1,19 0,00 1,19 0,00 0,00 0,00 1,19 0,00 1,19

Jumlah N 38 21 59 24 1 25 62 22 84

% 45,24 25,00 70,24 28,57 1,19 29,76 73,81 26,19 100,00

8. Pengalaman usaha tani (tahun)

a. Tidak punya N 10 2 12 6 0 6 16 2 18

% 11,90 2,38 14,29 7,14 0,00 7,14 19,05 2,38 21,43

b. ≤10 N 2 4 6 1 0 1 3 4 7

% 2,38 4,76 7,14 1,19 0,00 1,19 3,57 4,76 8,33

c. 11-20 N 3 2 5 2 0 2 5 2 7

% 3,57 2,38 5,95 2,38 0,00 2,38 5,95 2,38 8,33

d. 21-30 N 8 3 11 5 0 5 13 3 16

% 9,52 3,57 13,10 5,95 0,00 5,95 15,48 3,57 19,05

e. 31-40 N 10 5 15 4 0 4 14 5 19

% 11,90 5,95 17,86 4,76 0,00 4,76 16,67 5,95 22,62

f. 41-50 N 5 5 10 4 1 5 9 6 15

% 5,95 5,95 11,90 4,76 1,19 5,95 10,71 7,14 17,86

g. > 50 N 0 0 0 2 0 2 2 0 2

% 0,00 0,00 0,00 2,38 0,00 2,38 2,38 0,00 2,38

Jumlah N 38 21 59 24 1 25 62 22 84

% 45,24 25,00 70,24 28,57 1,19 29,76 73,81 26,19 100,00

9. Kemampuan membuat kerajinan dari bambu

a. Mampu N 6 3 9 4 0 4 10 3 13

% 7,14 3,57 10,71 4,76 0,00 4,76 11,90 3,57 15,48

b. Tidak mampu N 32 18 50 20 1 21 52 19 71

% 38,10 21,43 59,52 23,81 1,19 25,00 61,90 22,62 84,52

Jumlah N 38 21 59 24 1 25 62 22 84

% 45,24 25,00 70,24 28,57 1,19 29,76 73,81 26,19 100,00

Keterangan: PB=punya bambu; TPB=tidak punya bambu Sumber: data primer, diolah 2015 C. Analisis Data

Data primer yang diperoleh selanjutnya diklasifikasikan untuk memudahkan interpretasi. Hasil interpretasi data primer selanjutnya dianalisis dengan dukungan data-data sekunder dan disajikan secara deskriptif kualitatif.

Page 180: KAJIAN ALUR TATA NIAGA KAPULAGA (Amomum cardomum L

658 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

Persepsi merupakan cara-cara individu memperlakukan informasi yang diterima (Newcomb et al., 1985). Persepsi masyarakat tentang bambu dipengaruhi oleh pengetahuannya tentang bambu. Rakhmat (2005) dalam Ramdhani (2011) menyatakan bahwa persepsi ditentukan oleh faktor personal dan situasional yaitu faktor fungsional berasal dari kebutuhan, pengalaman masa lalu dan hal-hal lain yang termasuk dalam faktor-faktor personal. Persepsi tidak ditentukan oleh jenis atau bentuk stimuli, tetapi karakteristik orang yang memberikan respon pada stimuli tersebut, sedangkan struktural berasal dari sifat stimuli fisik dan efek-efek saraf yang ditimbulkannya pada sistem saraf individu. Kondisi persepsi petani akan mempengaruhi tinggi rendahnya peran serta petani dalam program pengembangan bambu di masyarakat.

A. Persepsi Petani tentang Tanaman Bambu

Seluruh responden kajian ini menyatakan bahwa mereka mengetahui tanaman bambu dan mayoritas (86,90%) mengetahui bambu sejak kecil (sebelum tahun 1980) terutama dari keluarga. Hal tersebut karena tanaman bambu banyak ditanam oleh masyarakat di Indonesia terutama di daerah pedesaan. Sebagian responden (39,28%) sengaja menanam bambu dengan alasan banyak manfaatnya (untuk memenuhi kebutuhan pribadi, bisa dijual, menahan longsor), serta semakin sedikit yang menanam. Beberapa jenis bambu yang banyak tumbuh di Desa Sukaharja yaitu bambu tali (Gigantochloa apus), bambu gombong (Dendrocalamus giganteus Munro), bambu haur/ampel (Bambusa vulgaris), dan bambu betung (Dendrocalamus asper). Tanaman bambu yang dimiliki oleh sebagian responden, ditanam sebagai batas kepemilikan lahan, di samping tanaman lainnya yaitu sengon, afrika, kopi, dan kapulaga.

Sebagian besar tanaman bambu yang tumbuh di Desa Sukaharja merupakan tanaman warisan orang tua atau pendahulu para responden, sehingga responden menyatakan bahwa tanaman bambu merupakan warisan leluhur. Populasi tanaman bambu di Desa Sukaharja menurut 58,33% responden semakin sedikit. Hal tersebut dikarenakan banyak yang ditebang untuk dijual tanpa diimbangi dengan penanaman kembali serta dibongkar diganti dengan tanaman kopi dan albasia yang dinilai lebih menguntungkan daripada bambu. Populasi tanaman bambu yang semakin langka menyebabkan responden berpendapat bahwa tanaman bambu perlu dibudidayakan karena bambu banyak manfaatnya dan sangat diperlukan oleh masyarakat sebagaimana tertera pada Tabel 3.

Bambu bermanfaat baik sebagai bahan konstruksi bangunan (untuk reng, usuk, dan lain-lain), juga sebagai bahan baku berbagai keperluan masyarakat seperti pagar, kandang hewan ternak, serta perabot rumah tangga (kursi, lemari, bilik bambu, hihid/kipas, aseupan/pengukus, tambir/tampah, boboko/tempat nasi, dan lain-lain). Selain banyak manfaatnya, mayoritas responden juga memiliki persepsi jika bambu menguntungkan secara ekonomi karena dapat dijual terutama batangnya. Harga batang bambu bervariasi tergantung lokasi tempat membeli dan jenis bambunya, sebagai contoh bambu tali berharga Rp 4.500 dan bambu gombong Rp 6.000-7,000 di tepi jalan. Bambu menguntungkan secara konservasi karena dapat mencegah longsor, menghasilkan air, dan menjaga mata air.

Terkait dengan anggapan bahwa rumpun bambu adalah tempat tinggal makhluk halus, sebagian responden menyatakan bahwa hal tersebut merupakan kepercayaan orang-orang zaman dahulu yang bertujuan agar bambu tidak ditebang. Perakaran bambu yang kuat dipercaya dapat menahan air dan lama-kelamaan menimbulkan mata air jika tanaman bambu di suatu tempat tidak ditebang habis. Jika tanaman bambu ditebang tanpa penanaman kembali dikhawatirkan sumber-sumber air semakin berkurang.

Page 181: KAJIAN ALUR TATA NIAGA KAPULAGA (Amomum cardomum L

Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 659

Tabel 3. Persepsi responden tentang tanaman bambu

No Pernyataan/ tanggapan

Penggarap lahan desa Bukan penggarap lahan desa

PB TPB Sub total PB TPB Sub total

N % N % N % N % N % N %

1. Bambu merupakan warisan leluhur

S 38 100 21 1.00 59 1.00 23 0.96 1 1.00 24 0.96

R 0 0 0 0.00 0 0.00 0 0.00 0 0.00 0 0.00

TS 0 0.00 0 0.00 0 0.00 1 0.04 0 0.00 1 0.04

TJ 0 0.00 0 0.00 0 0.00 0 0.00 0 0.00 0 0.00

Sub total

38 1.00 21 1.00 59 1.00 24 1.00 1 1.00 25 1.00

2. Bambu perlu dibudidayakan

S 33 0.87 20 0.95 53 0.90 24 1.00 0 0.00 24 0.96

R 1 0.03 0 0.00 1 0.02 0 0.00 0 0.00 0 0.00

TS 4 0.11 1 0.05 5 0.08 0 0.00 1 1.00 1 0.04

TJ 0 0.00 0 0.00 0 0.00 0 0.00 0 0.00 0 0.00

Sub total

38 1.00 21 1.00 59 1.00 24 1.00 1 1.00 25 1.00

3. Bambu memiliki banyak manfaat

S 38 1.00 21 1.00 59 1.00 24 1.00 1 1.00 25 1.00

R 0 0.00 0 0.00 0 0.00 0 0.00 0 0.00 0 0.00

TS 0 0.00 0 0.00 0 0.00 0 0.00 0 0.00 0 0.00

TJ 0 0.00 0 0.00 0 0.00 0 0.00 0 0.00 0 0.00

Sub total

38 1.00 21 1.00 59 1.00 24 1.00 1 1.00 25 1.00

4.

Tanaman bambu menguntungkan secara ekonomi

S 34 0.89 18 0.86 52 0.88 22 0.92 0 0.00 22 0.88

R 1 0.03 1 0.05 2 0.03 2 0.08 1 1.00 3 0.12

TS 2 0.05 1 0.05 3 0.05 0 0.00 0 0.00 0 0.00

TJ 1 0.03 1 0.05 2 0.03 0 0.00 0 0.00 0 0.00

Sub total

38 1.00 21 1.00 59 1.00 24 1.00 1 1.00 25 1.00

5.

Bambu bermanfaat untuk konservasi

S 37 0.97 18 0.86 55 0.93 23 0.96 1 1.00 24 0.96

R 1 0.03 3 0.14 4 0.07 1 0.04 0 0.00 1 0.04

TS 0 0.00 0 0.00 0 0.00 0 0.00 0 0.00 0 0.00

TJ 0 0.00 0 0.00 0 0.00 0 0.00 0 0.00 0 0.00

Sub total

38 1.00 21 1.00 59 1.00 24 1.00 1 1.00 25 1.00

6.

Tanaman bambu merupakan tempat tinggal makhluk halus

S 6 0.16 1 0.05 7 0.12 1 0.04 0 0.00 1 0.04

R 2 0.05 1 0.05 3 0.05 0 0.00 0 0.00 0 0.00

TS 29 0.76 19 0.90 48 0.81 23 0.96 1 1.00 24 0.96

TJ 1 0.03 0 0.00 1 0.02 0 0.00 0 0.00 0 0.00

Sub total

38 1.00 21 1.00 59 1.00 24 1.00 1 1.00 25 1.00

7. Bambu tidak S 5 0.13 1 0.05 6 0.10 0 0.00 0 0.00 0 0.00

Page 182: KAJIAN ALUR TATA NIAGA KAPULAGA (Amomum cardomum L

660 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

No Pernyataan/ tanggapan

Penggarap lahan desa Bukan penggarap lahan desa

PB TPB Sub total PB TPB Sub total

N % N % N % N % N % N %

tahan lama R 2 0.05 0 0.00 2 0.03 1 0.04 0 0.00 1 0.04

TS 31 0.82 20 0.95 51 0.86 23 0.96 1 1.00 24 0.96

TJ 0 0.00 0 0.00 0 0.00 0 0.00 0 0.00 0 0.00

Sub total

38 1.00 21 1.00 59 1.00 24 1.00 1 1.00 25 1.00

Keterangan: PB=punya bambu; TPB=tidak punya bambu; S=setuju; R=ragu-ragu; TS=tidak setuju; TJ=tidak menjawab Sumber: data primer, diolah 2015 B. Persepsi Petani tentang Pengolahan Bambu

Responden memiliki persepsi bahwa tanaman bambu merupakan tanaman yang menguntungkan. Keuntungan tersebut akan meningkat jika dilakukan pengolahan lebih lanjut terhadap bagian-bagian bambu. Pengolahan bambu yang dikenal masyarakat Desa Sukaharja diantaranya adalah menganyam. Menganyam adalah pekerjaan menjalin pita yang disusun menurut dua, tiga, dan empat arah, bahkan lebih, sehingga terbentuk benda-benda seperti tikar, dinding dan sebagainya (Tocharman, 2009). Persepsi responden tentang pengolahan bambu tertera pada Tabel 4 dengan penjelasan tertera pada Tabel 5. Tabel 4. Persepsi responden tentang pengolahan bambu

No Pernyataan/ tanggapan

Penggarap lahan desa Bukan penggarap lahan desa

PB TPB Sub total PB TPB Sub total

N % N % N % N % N % N %

1.

Bambu mudah diolah

menjadi produk lain

S 35 0.92 17 0.81 52 0.88 22 0.92 1 1.00 23 0.92

R 1 0.03 2 0.10 3 0.05 1 0.04 0 0.00 1 0.04

TS 2 0.05 1 0.05 3 0.05 1 0.04 0 0.00 1 0.04

TJ 0 0.00 1 0.05 1 0.02 0 0.00 0 0.00 0 0.00

Sub total

38 1.00 21 1.00 59 1.00 24 1.00 1 1.00 25 1.00

2. Setiap bagian bambu dapat

diolah

S 8 0.21 3 0.14 11 0.19 9 0.38 0 0.00 9 0.36

R 2 0.05 1 0.05 3 0.05 0 0.00 0 0.00 0 0.00

TS 28 0.74 15 0.71 43 0.73 15 0.63 1 1.00 16 0.64

TJ 0 0.00 2 0.10 2 0.03 0 0.00 0 0.00 0 0.00

Sub total

38 1.00 21 1.00 59 1.00 24 1.00 1 1.00 25 1.00

3

Bambu diolah secara

tradisional (tanpa mesin)

S 38 1.00 20 0.95 58 0.98 23 0.96 1 1.00 24 0.96

R 0 0.00 0 0.00 0 0.00 1 0.04 0 0.00 1 0.04

TS 0 0.00 0 0.00 0 0.00 0 0.00 0 0.00 0 0.00

TJ 0 0.00 1 0.05 1 0.02 0 0.00 0 0.00 0 0.00

Sub total

38 1.00 21 1.00 59 1.00 24 1.00 1 1.00 25 1.00

4 Masyarakat S 17 0.45 10 0.48 27 0.46 11 0.46 0 0.00 11 0.44

Page 183: KAJIAN ALUR TATA NIAGA KAPULAGA (Amomum cardomum L

Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 661

No Pernyataan/ tanggapan

Penggarap lahan desa Bukan penggarap lahan desa

PB TPB Sub total PB TPB Sub total

N % N % N % N % N % N %

sudah biasa mengolah

bambu

R 6 0.16 2 0.10 8 0.14 3 0.13 1 1.00 4 0.16

TS 15 0.39 8 0.38 23 0.39 10 0.42 0 0.00 10 0.40

TJ 0 0.00 1 0.05 1 0.02 0 0.00 0 0.00 0 0.00

Sub total

38 1.00 21 1.00 59 1.00 24 1.00 1 1.00 25 1.00

5

Kreativitas dalam

pengolahan bambu dapat meningkatkan

nilai jualnya

S 35 0.92 16 0.76 51 0.86 22 0.92 1 1.00 23 0.92

R 3 0.08 2 0.10 5 0.08 1 0.04 0 0.00 1 0.04

TS 0 0.00 2 0.10 2 0.03 1 0.04 0 0.00 1 0.04

TJ 0 0.00 1 0.05 1 0.02 0 0.00 0 0.00 0 0.00

Sub total

38 1.00 21 1.00 59 1.00 24 1.00 1 1.00 25 1.00

Sumber: data primer, diolah 2015 Tabel 5. Penjelasan responden tentang pengolahan bambu

No. Tanggapan Penggarap lahan Penggarap lahan

PB TPB PB TPB

1. Bambu mudah diolah menjadi produk lain

S Dapat diolah untuk beragam keperluan dengan cara sederhana tanpa menggunakan mesin (reng, usuk, ayakan, tempat ikan, dan lain-lain)

Banyak manfaatnya dan dapat diolah dengan peralatan sederhana karena seratnya lurus, misalnya bambu hitam dan haur

Tinggal tebang dan dipotong sesuai ukuran yang dibutuhkan, misalnya untuk membuat anyaman, pagar, dan laku dijual

-

R Harus ulet mengolahnya Tidak tahu cara mengolahnya

Lebih baik membeli, harus rajin mengolahnya

-

TS Tidak bisa mengolahnya Sulit mengolahnya Tergantung orangnya -

2. Setiap bagian bambu dapat diolah

S Dapat diolah menjadi beragam produk

Semua bagian bambu dapat diolah menjadi produk lain

Batang dapat digunakan untuk umbul-umbul dan tempat buah, daun untuk kemasan ketupat dan akar untuk obat

-

R Hanya batangnya - - -

TS Hanya batangnya saja, terutama sepanjang 6 meter serta daunnya untuk kemasan ketupat

Hanya batangnya saja, 3 ruas di pangkal dibuang

Yang bisa diolah hanya batang dan tunas

-

3. Bambu diolah secara tradisional (tanpa mesin)

S Pengolahan bambu menjadi anyaman (ayakan, telebug, pipiti, tudung saji, nyiru, dan lain-lain), reng, dan usuk menggunakan alat yang

Mengolah bambu menjadi anyaman seperti bilik dan kerajinan menggunakan tangan dan peralatan

Mengolah bambu menjadi anyaman dan kerajinan tangan tidak memerlukan mesin, hanya menggunakan pisau, golok, dan

-

Page 184: KAJIAN ALUR TATA NIAGA KAPULAGA (Amomum cardomum L

662 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

No. Tanggapan Penggarap lahan Penggarap lahan

PB TPB PB TPB

sederhana (gergaji) tanpa mesin

sederhana, tanpa mesin

gergaji

R - - Tergantung mampu tidaknya mengolah

-

TS - - - -

4. Masyarakat sudah biasa mengolah bambu

S Ada beberapa pengrajin anyaman di Desa Sukaharja. Masyarakat terbiasa membuat reng, usuk, pagar, gubuk, dan rumah dari bambu

Terutama untuk olahan sederhana (bilik, kandang ayam, bangunan rumah, pagar)

Untuk olahan sederhana seperti ayakan, tampir, nyiru, boboko, sair, bilik

-

R Jarang yang bisa mengolah bambu, mayoritas menjual dalam bentuk batang

Hanya sebagian orang yang bisa mengolah

Sebagian hanya mengambil batang bambu tetapi tidak diolah

-

TS Hanya sebagian kecil yang bisa mengolah bambu menjadi kerajinan

Hanya beberapa orang yang rajin

Hanya sebagian kecil yang bisa mengolah

-

5. Kreativitas dalam pengolahan bambu dapat meningkatkan nilai jualnya

S Produk olahannya akan semakin bagus, produk kerajinan dari sebatang bambu (Rp 3000-5000/batang) bisa meningkat harganya menjadi 30.000-60.000

Karena lebih fungsional, harga meningkat sesuai manfaatnya, karena membutuhkan minat dan keahlian, harga produk olahan akan lebih tinggi daripada dijual bentuk batang

Harga produk kerajinan lebih tinggi daripada menjual batang bambu, adanya kesulitan dalam membuat kerajinan sehingga harganya menjadi tinggi, memerlukan pelatihan

-

R Memang diperlukan tetapi kalah oleh plastik

- Tergantung pengrajin apakah mau meningkatkan kreativitas atau tidak

-

TS - Karena semakin tinggi persaingan antar produk, pembeli akan memilih yang termurah

Tergantung pembeli -

Sumber: data primer, diolah 2015 C. Persepsi Petani tentang Pemasaran Bambu

Pengolahan bambu perlu didukung dengan adanya pasar yang membeli dan menyalurkan kembali hasil pengolahan bambu tersebut baik ke pelaku pasar selanjutnya maupun ke konsumen akhir. Sebagian besar responden menyatakan bahwa bambu mudah dijual, namun hanya batangnya. Meskipun responden menyatakan bahwa kreativitas dalam mengolah bambu akan meningkatkan harga jual, tetapi masyarakat lebih banyak yang menjual bambu dalam bentuk batangan. Masyarakat Desa Sukaharja sudah terbiasa melakukan transaksi jual beli bambu terutama dalam bentuk batang, bukan produk olahan termasuk anyaman. Hal tersebut dipengaruhi oleh keberadaan pasar sebagaimana pernyataan Sukarno et al. (2015) bahwa keberadaan pasar dengan pembeli yang tidak variatif juga menggiring kepada lambannya perkembangan produk anyaman bambu yang

Page 185: KAJIAN ALUR TATA NIAGA KAPULAGA (Amomum cardomum L

Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 663

dihasilkan. Hampir setiap hari terdapat pembeli batang bambu di Desa Sukaharja yang kebanyakan dijual lagi ke Cirebon.

Di Desa Sukaharja terdapat sepuluh orang bandar yang rutin membeli bambu dari petani, selain adanya pembeli-pembeli insidental dari luar Desa Sukaharja maupun luar Kecamatan Rajadesa. Transaksi jual beli bambu dilakukan baik di kebun maupun di tepi jalan yang dapat dilalui kendaraan roda empat untuk mengangkut batang-batang bambu. Jarak kebun menuju tepi jalan mempengaruhi harga bambu dengan selisih harga Rp 1.000-2.000 per batang. Harga pasaran bambu saat ini berkisar Rp 2.500-3.000/batang di kebun serta Rp 5.000-6.000 di tepi jalan desa. Harga tersebut dinilai cukup tinggi karena meningkat 2-3 kali lipat dari tahun-tahun sebelumnya dan relatif stabil dari hari ke hari dimana petani tidak perlu mengeluarkan biaya tebang, angkut, serta biaya operasional lainnya. Adanya kemitraan menurut responden akan menjamin kepastian pasar bambu meskipun petani tetap memperhatikan harga jual dalam menjalin kemitraan tersebut. Persepsi responden tentang pemasaran bambu tertera pada Tabel 6. Tabel 6. Persepsi responden tentang pemasaran bambu

No Pernyataan/ tanggapan

Penggarap lahan desa Bukan penggarap lahan desa

PB TPB Sub total PB TPB Sub total

N % N % N % N % N % N %

1. Bambu mudah dijual

S 38 1.00 20 0.95 58 0.98 24 1.00 1 1.00 25 1.00

R 0 0.00 0 0.00 0 0.00 0 0.00 0 0.00 0 0.00

TS 0 0.00 0 0.00 0 0.00 0 0.00 0 0.00 0 0.00

TJ 0 0.00 1 0.05 1 0.02 0 0.00 0 0.00 0 0.00

Sub total

38 1.00 21 1.00 59 1.00 24 1.00 1 1.00 25 1.00

2.

Setiap bagian bambu dapat dijual

S 5 0.13 13 0.62 18 0.31 20 0.83 0 0.00 20 0.80

R 1 0.03 1 0.05 2 0.03 2 0.08 0 0.00 2 0.08

TS 32 0.84 5 0.24 37 0.63 2 0.08 1 1.00 3 0.12

TJ 0 0.00 2 0.10 2 0.03 0 0.00 0 0.00 0 0.00

Sub total

38 1.00 21 1.00 59 1.00 24 1.00 1 1.00 25 1.00

3.

Banyak pembeli

bambu di Desa

Sukaharja

S 35 0.92 19 0.90 54 0.92 22 0.92 0 0.00 22 0.88

R 2 0.05 0 0.00 2 0.03 2 0.08 1 1.00 3 0.12

TS 0 0.00 1 0.05 1 0.02 0 0.00 0 0.00 0 0.00

TJ 1 0.03 1 0.05 2 0.03 0 0.00 0 0.00 0 0.00

Sub total

38 1.00 21 1.00 59 1.00 24 1.00 1 1.00 25 1.00

4.

Masyarakat Desa

Sukaharja biasa

melakukan jual beli bambu

S 35 0.92 20 0.95 55 0.93 23 0.96 0 0.00 23 0.92

R 2 0.05 0 0.00 2 0.03 1 0.04 1 1.00 2 0.08

TS 1 0.03 0 0.00 1 0.02 0 0.00 0 0.00 0 0.00

TJ 0 0.00 1 0.05 1 0.02 0 0.00 0 0.00 0 0.00

Sub total

38 1.00 21 1.00 59 1.00 24 1.00 1 1.00 25 1.00

5. Harga

bambu

S 27 0.71 13 0.62 40 0.68 21 0.88 0 0.00 21 0.84

R 9 0.24 4 0.19 13 0.22 1 0.04 1 1.00 2 0.08

Page 186: KAJIAN ALUR TATA NIAGA KAPULAGA (Amomum cardomum L

664 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

No Pernyataan/ tanggapan

Penggarap lahan desa Bukan penggarap lahan desa

PB TPB Sub total PB TPB Sub total

N % N % N % N % N % N %

saat ini cukup baik

TS 2 0.05 2 0.10 4 0.07 2 0.08 0 0.00 2 0.08

TJ 0 0.00 2 0.10 2 0.03 0 0.00 0 0.00 0 0.00

Sub total

38 1.00 21 1.00 59 1.00 24 1.00 1 1.00 25 1.00

6.

Kemitraan dapat

menjamin prospek

pasar bambu

S 26 0.68 9 0.43 35 0.59 16 0.67 0 0.00 16 0.64

R 7 0.18 9 0.43 16 0.27 7 0.29 1 1.00 8 0.32

TS 5 0.13 1 0.05 6 0.10 1 0.04 0 0.00 1 0.04

TJ 0 0.00 2 0.10 2 0.03 0 0.00 0 0.00 0 0.00

Sub total

38 1.00 21 1.00 59 1.00 24 1.00 1 1.00 25 1.00

Sumber: data primer, diolah 2015

IV. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan Persepsi masyarakat Desa Sukaharja terhadap bambu mayoritas termasuk persepsi positif.

Persepsi positif tersebut akan turut mempengaruhi keberhasilan dalam difusi pengembangan bambu pada petani hutan rakyat khususnya dan masyarakat Desa Sukaharja pada umumnya.

B. Saran

Adanya persepsi positif terhadap tanaman bambu perlu didukung dengan kegiatan pendidikan dan pelatihan usaha bambu untuk meningkatkan wawasan dan pengetahuan petani tentang budidaya, pengolahan pasca panen, pengembangan desain, serta pemasaran bambu. Selain itu perlu adanya dukungan dari pemerintah untuk menginformasikan jenis-jenis bambu yang dapat dimanfaatkan seluruh bagiannya baik untuk tujuan konsumsi maupun komersial serta penyediaan sarana produksi yang mendukung pengembangan bambu. Kegiatan ini dapat dilakukan dengan cara penyuluhan, studi banding, temu usaha, dan sekolah lapang.

DAFTAR PUSTAKA

Ensiklopedia Nasional Indonesia. 1991. Cipta Adi Pustaka. Jakarta. Herawati, T., Sutiyono, dan T. Rostiwati. 2011. Utilization of Gigantochloa apus as material for craft:

A Rapid Assessment at Bamboo Craft Centre Garut-West Java. Prosiding International Seminar “Strategies and challanges on bamboo and potencial non timber forest product (NTFPs) management and utilization” di Bogor tanggal 23-24 November 2011: 303-308.

Newcomb, T.M., R.H. Turner, P. E. Converse. 1985. Psikologi Sosial. CV Diponegoro. Bandung. Pemerintah Desa Sukaharja. 2014. Potensi Desa Sukaharja Kecamatan Rajadesa Kabupaten Ciamis,

Jawa Barat. Ramdhani, H.S. 2011. Studi Sosial Ekonomi dan Persepsi Masyarakat Terhadap Corporate Social

Responsibility (CSR) Perusahaan Hutan Tanaman Industri PT. Nityasa Idola Di Kalimantan Barat. Skripsi. Departemen Manajemen Hutan. Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Tidak Diterbitkan.

Page 187: KAJIAN ALUR TATA NIAGA KAPULAGA (Amomum cardomum L

Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 665

Samapaty, U.D.U. 2006. Kajian Persepsi Masyarakat Pemilik Hutan terhadap Pelestarian Hutan

Rakyat di Sumba-Barat. Tesis. Program Studi Ilmu Kehutanan Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Tidak Diterbitkan.

Sukarno, M., E.T. Sulistyo, dan N. Yulianto. 2015. Model Pengembangan Desain berbasis Partisipasi

Perajin untuk Meningkatkan Diversifikasi Produk Kriya Anyaman Bambu di Ringinagung Magetan. https://eprints.uns.ac.id/11187/1/Publikasi_Jurnal_(28).pdf. Diakses pada tanggal 25 Februari 2015.

Tocharman, M. 2009. Anyaman Bambu, Melestarikan Budaya Kriya Anyaman. Makalah pada

Workshop Anyaman dan Gerabah di Museum Sri Baduga Bandung. Widjaja E.A. 2011. The utilization of bamboo: at present and for the future.Prosiding International

Seminar “Strategies and challanges on bamboo and potencial non timber forest product (NTFPs) management and utilization” di Bogor tanggal 23-24 November 2011: 79-85.

Page 188: KAJIAN ALUR TATA NIAGA KAPULAGA (Amomum cardomum L

666 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

SUMBER-SUMBER PENGHIDUPAN DARI KEBUN AGROFORESTRY BAGI PETANI DI SEKITAR KAWASAN KPHL RINJANI BARAT

Devy Priambodo Kuswantoro1, Tri Sulistyati Widyaningsih1, dan Suyarno1

Balai Penelitian Teknologi Agroforestry Email: [email protected], [email protected], [email protected]

ABSTRAK

Tingginya kebutuhan masyarakat akan adanya lahan yang dapat dikelola dan menjadi sumber penghasilan, menyebabkan masyarakat merambah kawasan hutan KPHL Rinjani Barat untuk dibuka sebagai tempat berkebun. Mereka telah lama membuka hutan untuk membuat kebun agroforestry sebagai sumber kehidupan mereka. KPHL Rinjani Barat berupaya untuk bersama masyarakat mengelola hutan dengan kegiatan produktif sekaligus mencegah masyarakat untuk semakin jauh merambah hutan. Kajian ini bertujuan untuk mengidentifikasi sumber-sumber penghidupan masyarakat dari usaha kebun agroforestry baik yang berada di dalam kawasan KPHL Rinjani Barat maupun di lahan miliknya. Kajian dilakukan pada bulan September 2015 dengan melakukan wawancara dan diskusi kelompok dengan perwakilan petani di Desa Kekait, Kecamatan Gunungsari dan Desa Pusuk Lestari, Kecamatan Batulayar di wilayah Kabupaten Lombok Barat. Hasil kajian menunjukkan bahwa hutan lindung di wilayah KPHL Rinjani Barat telah dirambah masyarakat dikedua desa sejak tahun 1980an dengan membuka kawasan hutan, menebang kayunya dan berkebun pisang maupun tanaman lain seperti kopi, durian, dan buah-buahan lain. Kebun agroforestry yang digarap masyarakat benar-benar menjadi sumber penghidupan sehari-hari baik untuk kebutuhan pangan maupun investasi. Produk kebun agroforestry yang diunggulkan oleh masyarakat diantaranya: 1) aren, sebagai hasil utama sehari-hari yang dijual dalam bentuk tuak manis dan gula aren; 2) pisang sebagai hasil bulanan; 3) kopi yang dapat dikonsumsi sendiri dan dijual; 4) durian dan buah-buahan tahunan; 5) melinjo; dan 6) nangka. Dengan mengetahui produk kebun agroforestry ini, dapat dikembangkan pola kemitraan yang dapat memberikan bantuan perbaikan budidaya, fasilitasi pasca panen, pemasaran dan penguatan kelembagaan seperti pembentukan koperasi. Kata kunci: agroforestry, sumber penghidupan, KPHL Rinjani Barat, kemitraan

I. PENDAHULUAN

Kehidupan perekonomian masyarakat sekitar hutan umumnya adalah perekonomian yang subsisten yaitu usaha-usaha pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari (Awang, 2003). Identifikasi yang telah dilakukan oleh Departemen Kehutanan (2009) menunjukkan bahwa masyarakat desa di dalam dan luar kawasan hutan sangat bergantung pada kegiatan di sektor pertanian, termasuk sub sektor kehutanan. Oleh karena itu, masyarakat sekitar hutan pada umumnya sangat bergantung pada sumber daya lahan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya (Kadir et al., 2013). Tingginya kebutuhan masyarakat akan adanya lahan yang dapat dikelola dan menjadi sumber penghasilan, menyebabkan masyarakat masuk dan merambah kawasan hutan. Tidak dapat dipungkiri bahwa hutan memberikan andil bagi penghidupan masyarakat. Perambahan kawasan hutan negara oleh masyarakat sekitar hutan sudah menjadi hal yang umum bahkan masuk dalam tingkat mengkhawatirkan yang apabila tidak segera diatasi akan mengakibatkan semakin rusaknya kawasan hutan.

Kondisi kawasan hutan di Pulau Lombok, baik kawasan hutan lindung, hutan produksi, dan hutan konservasi dikaji oleh Elvida dan Alviya (2009) berada pada tingkat yang mengkhawatirkan sebagai akibat dari masih adanya penebangan liar, perambahan, dan okupasi lahan. Pembangunan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) yang menjadi amanat dari kebijakan kehutanan adalah untuk mewujudkan kelestarian fungsi ekonomi, sosial, dan lingkungan dari hutan agar dapat berjalan efisien dan optimal. Kehadiran KPH Lindung Rinjani Barat yang mengelola kawasan hutan Gunung

Page 189: KAJIAN ALUR TATA NIAGA KAPULAGA (Amomum cardomum L

Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 667

Rinjani dan sekitarnya seluas + 40.983 hektar diharapkan dapat membawa perubahan dan perbaikan kawasan hutan Rinjani dan sekitarnya. Tidak dapat dipungkiri, adanya interaksi dengan masyarakat justru dapat menjadi aspek kekuatan untuk dapat bersinergi membangun hutan dan memanfaatkannya dengan prinsip-prinsip yang tepat dan mengakomodir kepentingan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan.

Kajian ini bertujuan untuk mengidentifikasi sumber-sumber penghidupan masyarakat dari usaha pertanian baik yang berada di dalam kawasan KPHL Rinjani Barat maupun di lahan miliknya. Diharapkan dengan teridentifikasinya sumber-sumber penghidupan masyarakat ini, dapat menjadi salah satu panduan dalam mengelola hutan bersama masyarakat di wilayah KPHL Rinjani Barat

II. METODE

A. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan pada level desa yang berada di sekitar kawasan KPHL Rinjani Barat. Pemilihan desa dilakukan secara sengaja (studi kasus) yaitu desa disekitar kawasan wisata Pusuk, KPHL Rinjani Barat. Penentuan secara sengaja ini ingin sesuai dengan arah pengembangan kawasan lindung yang salah satunya berkonsep ekowisata dan ingin melihat sejauhmana perambahan dilakukan oleh masyarakat desa. Desa yang terpilih adalah Desa Kekait, Kecamatan Gunungsari dan Desa Pusuk Lestari, Kecamatan Batulayar yang keduanya berada di wilayah Kabupaten Lombok Barat. Kegiatan penelitian dilakukan pada bulan September 2015. B. Pengumpulan dan Analisis Data Data-data dikumpulkan melalui penelusuran data sekunder di kantor desa, kantor statistik, maupun kantor KPHL Rinjani Barat serta pengumpulan data primer melalui wawancara dan diskusi kelompok. Wawancara menggunakan kuesioner dilakukan terhadap 30 orang petani di setiap desa untuk mengetahui kondisi sosial ekonomi keluarga petani, aspek kepemilikan dan pengelolaan lahan, dan usaha taninya. Diskusi kelompok terfokus dilakukan dengan menghadirkan perwakilan unsur-unsur masyarakat (aparat, tokoh, petani, dll) secara terpilah gender sehingga didapatkan informasi dari pihak laki-laki maupun pihak perempuan. Diskusi kelompok ini membahas kondisi desa dan juga interaksi masyarakat desa dengan kawasan hutan sampai saat ini sejak hutan dikelola oleh KPHL Rinjani Barat. Adapun data-data yang didapatkan kemudian ditabulasikan dan dianalisis secara deskriptif (Ruhimat, 2010; Kadir et al., 2012).

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Interaksi Masyarakat Sekitar Hutan dengan Kawasan KPHL Rinjani Barat

Isu strategis yang berkaitan dengan masyarakat sekitar kawasan KPHL Rinjani Barat diantaranya masyarakat yang masih miskin, adanya pembukaan/perambahan kawasan oleh masyarakat tanpa ijin kelola, belum optimalnya organisasi pengelola, yang sedikit banyak mempengaruhi terhadap bertambahnya jumlah lahan kritis dan penurunan kinerja DAS (KPHL Rinjani Barat, 2012). Permasalahan DAS menjadi serius dikarenakan kawasan hutan Gunung Rinjani merupakan sumber air bagi masyarakat di 4 wilayah kabupaten/kota di Pulau Lombok. Oleh karena itu, pengelolaan perambahan hutan yang sudah terjadi ini menjadi sangat penting sebagai salah satu indikator kesuksesan pengelolaan KPHL Rinjani Barat. Pengelola KPH sudah mencanangkan untuk bekerja bersama dengan masyarakat kembali menciptakan kawasan hutan yang hijau dengan mengakomodir kepentingan masyarakat dengan kegiatan pemberdayaan yang produktif dan mengurangi perambahan.

Hasil diskusi kelompok bersama masyarakat di kedua desa terpilih menegaskan kembali bahwa masyarakat memang mempunyai interaksi yang erat dengan kawasan hutan dan sudah masuk dan bekerja di kawasan hutan. Tabel 1 memperlihatkan interaksi masyarakat desa dengan kawasan hutan KPHL Rinjani Barat.

Page 190: KAJIAN ALUR TATA NIAGA KAPULAGA (Amomum cardomum L

668 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

Tabel 1. Interaksi masyarakat desa dengan kawasan hutan KPHL Rinjani Barat

Perihal Desa Kekait Desa Pusuk Lestari

Jenis interaksi Masyarakat menggarap lahan sejak tahun 1940-an sejak masih tergabung dalam desa induk. Mereka menggarap di blok Eat Grenggeng, Gunung Tembolak, dan Batu Belah dengan menanam pisang, kopi, durian, dan nangka. Masyarakat menggarap lahan dengan luas sekitar 30 are sampai dengan 1 hektar. Perambahan hutan pada tahun 1990-an semakin marak. Pohon mahoni dibabat habis dan diganti dengan tanaman buah-buahan seperti pisang, nangka, dan kopi. Hutan sekitar Desa Kekait tidak saja digarap oleh penduduk dari Desa Kekait. Ada penduduk dari desa lain yang juga turut menggarap.

Jauh sebelum Desa Pusuk Lestari terbentuk, masyarakat sudah merambah sejak tahun 1940-an. Mereka membuat petak-petak kebun dengan batas pohon pinang dan gamal. Rata-rata setiap keluarga mempunyai 1-2 lokasi dengan luasan 30-50 are. Lahan juga ditinggali dengan dibangun pondok kerja untuk pengawasan dan efisiensi waktu. Jenis tanaman yang diusahakan adalah durian, nangka, kopi, dan melinjo.

Keterlibatan dalam Program

Tahun 2000-an masuk program Hutan Cadangan Pangan (HCP) dari Dinas Kehutanan Provinsi NTB. Dibentuk kelompok tani untuk mengkoordinir kegiatan masyarakat dalam mengelola lahan seluas 100 hektar. Jenis-jenis tanaman yang diberikan adalah tanaman MPTS seperti durian, nangka, aren, kopi, dan melinjo. Tanaman kelapa tidak diperbolehkan untuk ditanam di lahan hutan. Tahun 2012 seiring dengan terbentuknya KPHL Rinjani Barat, sudah diadakan sosialisasi terhadap kelompok tani. KPHL juga memberikan bantuan bibit yaitu bibit tanaman karet. Akan tetapi, petani yang lebih memilih bantuan tanaman MPTS buah-buahan yang dapat dipanen terus hasilnya tanpa menebang pohon di hutan

Dalam era pengelolaan Dinas Kehutanan, dalam rangka penghijauan lahan kritis, masyarakat diminta untuk menanam mahoni, bajur, sengon, dan gaharu di kebunnya. Dalam masa pengelolaan KPHL Rinjani Barat (2012), sudah diadakan sosialisasi agar masyarakat tidak lagi menetap dalam hutan serta sosialisasi keberadaan KPHL walaupun belum mencakup seluruh masyarakat penggarap. Ada masyarakat yang diangkat sebagai mandor KPHL. Masyarakat juga menerima bantuan bibit tanaman seperti durian, manggis, duku, mahoni, karet untuk ditanam di lahan milik maupun lahan hutan. Masyarakat masih tetap menggarap lahan hutan namun dengan pengelolaan bersama KPHL dengan menanam tanaman MPTS buah-buahan dan bukan kayu agar tidak cenderung ingin menebang.

Sumber: pengolahan data primer (2015)

Interaksi masyarakat di Desa Kekait maupun Desa Pusuk Lestari menegaskan hubungan yang sudah lama terjalin antara masyarakat dengan hutan jauh sebelum suatu lembaga formal dibentuk. Manullang (1999) telah mengkaji bahwa masyarakat pada umumnya telah secara turun temurun menjalankan kehidupan tradisionalnya. Hal yang sama juga diperlihatkan dari kajian Kadir et al. (2012) di kawasan Taman Nasional Bantimurung Bulusarung, bahwa masyarakat sekitar telah

Page 191: KAJIAN ALUR TATA NIAGA KAPULAGA (Amomum cardomum L

Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 669

memanfaatkan sumber daya hutan baik pemanfaatan lahan untuk berbagai tujuan, pemungutan hasil hutan (kayu dan non kayu). Meskipun pada awal-awal tahun mungkin masih terbatas, tetapi terlihat bahwa pada era 1990-an, kegiatan masuk ke hutan semakin intensif. Kurang optimalnya tenaga pengelola hutan saat itu dapat pula menjadi andil dalam perambahan disamping isu-isu reformasi yang kala itu menjadi euforia bagi seluruh masyarakat. Akan tetapi dengan pendekatan KPHL Rinjani Barat, saat ini masyarakat di kedua desa sudah lebih memahami arti penting hutan dan bahkan mulai berusaha menjaga dengan hanya mengelola tanaman MPTS yang lebih menjanjikan daripada menebang pohon. Pola ini yang digunakan KPHL untuk berusaha menambah luas tutupan hutan dengan menggunakan pohon multi guna.

B. Kehidupan dan Sumber Penghidupan Masyarakat Sekitar KPHL Rinjani Barat

Hasil wawancara dengan responden di Desa Pusuk Lestari memperlihatkan bahwa sebagian besar responden bekerja dalam sektor pertanian lahan kering sebagai petani lahan milik, petani hutan, buruh tani, maupun buruh antar waktu (dalam bahasa lokal disebut nandu dengan pekerjaan terutama di saat panen buah di hutan). Pekerjaan sebagai buruh tani adalah pekerjaan yang dominan di Desa Pusuk Lestari karena ketiadaan lahan milik. Sekitar 60% penduduk yang tingkat kesejahteraannya kurang adalah para buruh tani. Tidak adanya lahan milik yang dapat digarap membuat penduduk beralih ke hutan. Adanya tanaman aren di hutan/kebun yang dapat dimanfaatkan niranya untuk pembuatan gula aren maupun tuak manis (minuman dari nira aren segar yang langsung dapat dikonsumsi) ternyata mampu menopang perekonomian penduduk. Hal ini dikarenakan nira tersebut dapat langsung dijual/diolah. Banyak buruh tani yang juga berprofesi sebagai tukang panen nira dan pengolah gula dengan sistem bagi hasil. Pendapatan kas yang langsung dapat dinikmati sebagai pendapatan harian mampu digunakan untuk menopang hidup sehari-hari.

Responden di Desa Kekait pun mengungkapkan hal yang senada dengan responden di Desa Pusuk Lestari mengenai keadaan sosial ekonomi desanya. Sektor pekerjaan pertanian menjadi tumpuan utama penduduk Kekait. Para peserta diskusi berpendapat bahwa para petani aren mampu menjaga tingkat kesejahteraannya dengan rutin bekerja menyadap nira dan membuat gula. Pohon aren banyak tumbuh di wilayah Kekait, bahkan sudah ada beberapa pelatihan untuk dapat meningkatkan mutu gula aren produksi Kekait. Hal yang menarik ditemukan bahwa tukang nandu pun dapat memperoleh kesejahteraan yang cukup, seperti saat-saat panen buah-buahan seperti durian. Bila musim durian tiba, kegiatan berkebun bisa menjadi suatu peristiwa yang besar karena terjadi aktivitas mulai dari menjaga kebun, memanen, pengangkutan, dan pemasaran yang melibatkan para tukang nandu.

Aktivitas ekonomi di sektor pertanian nyang menjadi sumber penghidupan adalah menggarap lahan kering yang ditanami atau ditumbuhi bermacam jenis tanaman. Konsep pengelolaan seperti ini adalah bentuk agroforestry kompleks yang akhirnya dapat memberikan ragam pendapatan per satuan waktu yang dapat digunakan untuk pemenuhan kehidupan sehari-hari. Di dalam sistem agroforestry kompleks ini, selain terdapat beraneka jenis pohon, juga tanaman perdu, tanaman memanjat (liana), tanaman musiman dan rerumputan dalam jumlah banyak sehingga mirip dengan hutan (Kessler dan Breman, 1991). Sebagai upaya KPHL Rinjani Barat untuk menghutankan kembali kelompok hutan Rinjani, usaha perhutanan bersama masyarakat ini dapat dipandang sebagai usaha yang positif. Sumber-sumber pendapatan dari kebun agroforestry baik yang dikelola di lahan milik maupun di lahan KPHL Rinjani Barat dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Sumber-sumber penghidupan dari kebun agroforestry

Kelompok lahan Desa Kekait Desa Pusuk Lestari

Kebun agroforestry di lahan milik

aren, pisang, kelapa, durian, nangka, aren, kopi, dan melinjo

aren, melinjo, pisang, kelapa, durian, manggis, duku, mahoni, sengon

Kebun agroforestry di lahan kopi, durian, nangka aren, durian, kopi, nangka,

Page 192: KAJIAN ALUR TATA NIAGA KAPULAGA (Amomum cardomum L

670 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

Kelompok lahan Desa Kekait Desa Pusuk Lestari

KPHL Rinjani Barat melinjo

Sumber: pengolahan data diskusi kelompok (2015) Hasil kebun agroforestry tersebut dapat dimanfaatkan sendiri, dimanfaatkan langsung, dilakukan proses pengolahan, atau dijual langsung ke pasar yang akan dapat memberikan pendapatan tunai bagi keluarga petani. Contoh hasil kebun yang dapat dimanfaatkan sendiri adalah kopi yang ditanam memang untuk kebutuhan sehari-hari mengingat lahan yang sudah rimbun oleh berbagai tanaman membuat kopi kurang berkembang dengan baik. Adapun hasil kebun yang dapat dimanfaatkan langsung adalah nira aren untuk dijual sebagai tuak manis. Hasil kebun yang perlu pengolahan adalah pembuatan gula aren. Sedangkan hasil kebun berupa buah-buahan langsung dijual kepada pedagang pengumpul yang datang atau kaum wanita biasanya membawa hasil panen ke pasar desa terdekat. Dengan berbagai macam hasil kebun tersebut, petani mendapatkan ragam waktu pendapatan uang yang berkesinambungan. Pendapatan harian didapat dari menjual nira aren untuk minuman tuak manis. Pendapatan sampai mingguan didapat dari penjualan gula aren. Pendapatan bulanan didapat dari usaha menjual pisang dan kelapa. Pendapatan tahunan didapat dari panen buah durian dan buah-buah hutan lainnya. Masyarakat dapat pula menjajakan sendiri sebagai barang dagangan di sekitar Kawasan Wisata Pusuk Pass yang berada tak jauh dari kedua desa tersebut sehingga bisa mendapatkan marjin keuntungan yang memadai.

Pada intinya, kegiatan pemberdayaan masyarakat dengan pola kebun agroforestry ini dapat menjadi salah satu solusi bagi program penghutanan kembali kawasan KPHL Rinjani Barat yang sudah dirambah. Hanya saja tetap perlu memperhatikan karakteristik masyarakat sekitar sehingga program serupa dapat diterima dengan baik. Pendekatan KPHL Rinjani Barat sebagai mitra masyarakat untuk bersama mengambil manfaat dari hutan harus benar-benar dirasakan oleh masyarakat. sangat diperlukan juga dukungan dari pihak-pihak terkait seperti SKPD terkait, lembaga keuangan mikro, dan semangat masyarakat untuk merubah diri menjadi lebih baik.

IV. KESIMPULAN DAN SARAN

Kebun agroforestry baik yang berada di lahan milik maupun dalam wilayah perambahan di

lokasi KPHL Rinjani Barat yang digarap masyarakat benar-benar menjadi sumber penghidupan sehari-hari baik untuk kebutuhan pangan maupun investasi yang dominan masih kurang sejahtera. Produk kebun agroforestry yang diunggulkan oleh masyarakat diantaranya: 1) aren, sebagai hasil utama sehari-hari yang dijual dalam bentuk tuak manis dan gula aren; 2) pisang sebagai hasil bulanan; 3) kopi yang dapat dikonsumsi sendiri dan dijual; 4) durian dan buah-buahan tahunan; 5) melinjo; dan 6) nangka. Dengan mengetahui produk kebun agroforestry ini, dapat dikembangkan pola kemitraan yang dapat memberikan bantuan perbaikan budidaya, fasilitasi pasca panen, pemasaran dan penguatan kelembagaan seperti pembentukan koperasi. Interaksi masyarakat dengan hutan dapat dioptimalkan dalam kegiatan produktif yang berkesinambungan sehingga tidak berakhir pada penebangan dan perusakan hutan.

Pihak KPHL Rinjani Barat dapat bekerja sama dengan instansi terkait seperti Dinas Perindustrian dan Perdagangan, Dinas Koperasi dan UKM untuk membantu masyarakat melakukan pengelolaan kebun agroforestry baik yang berada di dalam kawasan maupun luar kawasan agar menghasilkan hasil yang produktif yang dapat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA

Awang, S.A. 2003. Politik Kehutanan Masyarakat. Centre for Critical Social Studies bekerjasama

dengan Kreasi Wacana. Yogyakarta.

Page 193: KAJIAN ALUR TATA NIAGA KAPULAGA (Amomum cardomum L

Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 671

Departemen Kehutanan. 2009. Identifikasi Desa di Dalam dan di Sekitar Kawasan Hutan 2009. Departemen Kehutanan Bekerjasama dengan Badan Pusat Statistik. Jakarta.

Elvida, Y.S dan I. Alviya. 2009. Kendala dan Strategi Implementasi Pembangunan KPH Rinjani Barat.

Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan 6(1): 1-14. Kadir, A., S.A. Awang, R.H. Purwanto, dan E. Poedjirahajoe. 2012. Peremajaan Kemiri (Aleurites

mollucana Wild) Pada Kawasan Taman Nasional Bantimurung Bulusarung (Sebuah Tinjauan Kebijakan Pemerintah). Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan 9(3): 176-189.

Kadir, A., Nurhaedeah, M., dan R. Purwanti. 2013. Konflik pada Taman Nasional Bantimurung

Bulusarung Provinsi Sulawesi Selatan dan Upaya Penyelesaiannya. Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan 10(3): 186-198.

Kessler, J.J. dan H. Breman. 1991. Agroforestr yin the Sahel and The Savannah Zone of West Africa.

Agroforestry Systems 13 : 42-46. KPHL Rinjani Barat. 2012. Rencana Pengelolaan Hutan Jangka Panjang KPHL Rinjani Barat tahun

2014-2023. Mataram. Manullang, S. 1999. Kesepakatan Konservasi Masyarakat dalam Pengelolaan Kawasan Konservasi.

Discussion Paper. The Natural Resources Management/EPIQ Program’s Protected Areas Management Office. Jakarta.

Ruhimat, I.S. 2010. Implementasi Kebijakan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) di Kabupaten Banjar.

Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan 7(3): 169-178.

Page 194: KAJIAN ALUR TATA NIAGA KAPULAGA (Amomum cardomum L

672 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

MODEL PENGELOLAAN HASIL HUTAN DAMAR (KOPAL) SEBAGAI UPAYA PENINGKATAN PENDAPATAN MASYARAKAT SECARA BERKELANJUTAN DI DAERAH PEGUNUNGAN,

KABUPATEN SERAM BAGIAN BARAT

Evelin Parera1, S.Hut, M.Si, Ir. Thomas. M. Silaya1, MP Jurusan Kehutanan Fakultas Pertanian, Universitas Pattimura

Email : [email protected], [email protected]

ABSTRAK

Salah satu kebijakan pembangunan kehutanan adalah memanfaatkan sumber daya hutan berupa hasil hutan bukan kayu secara berkelanjutan bagi peningkatan pendapatan masyarakat, daerah dan nasional. Pemanfaatan komoditi hasil hutan terutama hasil hutan bukan kayu dapat dikembangkan sehingga mampu memberikan kontribusi bagi pertumbuhan ekonomi. Jenis-jenis hasil hutan bukan kayu berupa rotan, bambu, getah-getahan (kopal, tanin, resin), minyak atsiri dan jasa hutan lainnya. Tujuan penelitian ini adalah (1) adanya suatu model pengelolaan hasil hutan damar (kopal) yang telah dikembangkan dari model pengelolaan yang digunakan masyarakat selama ini, sehingga dapat meningkatkan produksi dan kualitas getah damar/kopal serta dikelola secara berkelanjutan, (2) meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat melalui pengelolaan hasil hutan damar yang produktif dan berkualitas, (3) mengalihkan aktivitas masyarakat dari pemanfaatan hasil hutan kayu kepada pemanfaatan hasil hutan bukan kayu, sehingga kelestariah hutan tetap terpelihara. Penelitian ini menggunakan metode eksperimental untuk mengetahui produksi dan kualitas getah damar/kopal dan metode survei untuk mengetahui tingkat pendapatan masyarakat saat ini dari hasil hutan damar. Penentuan desa atau lokasi penelitian dilakukan secara purposive berdasarkan aspek kepemilikan hutan damar dan aktifitas masyarakat dalam pemungutan getah damar/kopal. Metode pengumpulan data yang digunakan terdiri atas: (a) wawancara individual; (b) observasi dan pengukuran/ pengujian; dan (c) diskusi kelompok terfokus. Sedangkan metode analisis yang digunakan terdiri atas: analisis/pengujian kualitas damar/kopal, analisis tingkat pendapatan masyarakat, serta analisis kualitatif untuk mengetahui keterlibatan masyarakat dalam sistim pemasaran hasil hutan damar/kopal. Hasil penelitian menunjukan bahwa 1) Pohon damar di Desa Hunitetu pada awalnya tumbuh secara alami dan tersebar tidak merata, namun saat ini telah dilakukan upaya budidaya/penanaman oleh masyarakat; 2) Proses pemungutan getah damar/ kopal di desa Hunitetu masih dilakukan secara sederhana sehingga kualitasnya masih rendah; 3) Produksi getah damar per pohon sebanyak 8 kg dan dapat dipanen setiap tiga bulan dengan total penerimaan masyarakat Rp. 263.287.500/tahun, atau rata-rata KK sebesar Rp. 835.000/tahun. Kata kunci: kopal, kualitas, pendapatan, kesejahteraan, berkelanjutan.

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Salah satu kebijakan pembangunan kehutanan adalah memanfaatkan sumber daya hutan

berupa hasil hutan bukan kayu secara berkelanjutan bagi peningkatan pendapatan masyarakat, daerah dan nasional. Pemanfaatan komoditi hasil hutan terutama hasil hutan bukan kayu dapat dikembangkan sehingga mampu memberikan kontribusi bagi pertumbuhan ekonomi. Jenis-jenis hasil hutan bukan kayu berupa rotan, bambu, getah-getahan (kopal, tanin, resin), minyak atsiri dan jasa hutan lainnya. (Oszaer, 2006)

Jenis hasil hutan bukan kayu yang banyak dimanfaatkan oleh masyarakat desa di daerah pegunungan kabupaten Seram Bagian Barat adalah getah damar atau kopal. Masyarakat lokal di daerah ini merupakan kelompok masyarakat yang sebahagian besar (> 80 %) berada di bawah garis kemiskinan (data statistik Kabupaten Seram Bagian Barat, 2012), mereka masih menggantungkan hidupnya pada sumberdaya hutan. Hasil hutan berupa getah damar atau kopal merupakan sumber pendapatan penting bagi mereka untuk kebutuhan hidup sehari-hari, dan teristimewa untuk biaya pendidikan anak-anak.

Page 195: KAJIAN ALUR TATA NIAGA KAPULAGA (Amomum cardomum L

Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 673

Getah damar atau kopal banyak diusahakan oleh masyarakat di daerah pegunungan Seram Bagian Barat secara turun temurun, karena di daerah ini terdapat hutan damar (Agathis spp) yang dulunya cukup luas, namun karena banyak yang ditebang oleh pengusaha pemegang Hak Pengusaaan Hutan (HPH ) beberapa tahun yang lalu ( tahun 1970 – 1980) maka keberadaannya semakin berkurang. Pada sisi lain produksi dan kualitas getah damar yang diusahakan oleh masyarakat di daerah ini masih tergolong rendah karena proses pengelolaannya masih bersifat tradisional berdasarkan teknik atau metode yang diwariskan secara turun temurun. Demikian pula sistim pemasaran getah damar/kopal masih dikendalikan oleh para pengusaha yang datang membeli kopal di desa setempat. Masyarakat tidak memiliki kemampuan negosiasi dengan pengusaha/pembeli kopal dalam menentukan harga jual yang menguntungkan kedua belah pihak.

Getah damar/kopal diperoleh melalui peneresan kulit batang pohon damar, karena pada kulit bagian dalam terdapat saluran damar yang terletak sejajar dengan sumbu pohon. Getah damar atau kopal akan mengalir melalui saluran-saluran damar tersebut. Aliran getah damar/kopal dalam jumlah yang banyak terdapat pada bagian-bagian tertentu dari kulit bagian dalam. Untuk itu perlu dilakukan suatu kajian untuk mengembangkan metode pengelolaan hasil hutan damar yang meliputi teknik peneresan, kondisi pohon (umur, diameter dan tinggi bebas cabang) yang memiliki kandungan getah damar yang tinggi, kondisi lingkungan (iklim dan kerapatan tegakan), sehingga dapat meningkatkan produksi dan kualitas getah damar yang berakibat pada peningkatan pendapatan masyarakat. B. TUJUAN Penelitian ini secara khusus bertujuan untuk : 1. Meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat melalui pengelolaan hasil hutan damar

yang produktif dan berkualitas. 2. Mengetahui saluran pemasaran kopal,baik pemasaran lokal maupun eksport yang lebih

menguntungkan masyarakat.

II. METODE PENELITIAN

A. Lokasi Penelitian Penetapan lokasi penelitian dilakukan berdasarkan penelusuran hasil-hasil penelitian terdahulu, baik yang dilakukan oleh kelompok, maupun peneliti-peneliti perorangan, serta diskusi dengan tokoh-tokoh masyarakat setempat. Melalui hasil penelusuran awal ditetapkan secara purposive desa Hunitetu dan Sukowati. B. Bahan dan Alat

Bahan dan alat untuk kegiatan penelitin ini berupa : kompas; GPS; kamera digital; kamera video; Tape recorder; Laptop + infocus 1. Pendekatan Metodologi Penelitian ini menggunakan metode survei untuk mengetahui potensi hutan damar dan tingkat pendapatan masyarakat (termasuk dari damar/kopal), metode eksperimental untuk mengetahui produksi dan kualitas getah damar/kopal serta metode deskriptif kualitatif untuk mengetahui para pihak yang terlibat dalam pengelolaan dan pemasaran kopal di daerah pegunungan kabupaten Seram Bagian Barat. 2. Metode Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini, metode pengumpulan data yang digunakan terdiri atas: (a) wawancara individual (individual interview); (b) pengamatan terlibat (participant observation); dan (c) diskusi kelompok terfokus (focused group discussion). a. Wawancara Individual (individual interview)

Metode ini dilakukan melalui wawancara indept interview dan wawancara bertipe open-ended, menggunakan pedoman wawancara dan kuesioner. Indept interview digunakan untuk

Page 196: KAJIAN ALUR TATA NIAGA KAPULAGA (Amomum cardomum L

674 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

dimana : II = Keuntungan (profit)

TR = Total Revenue (Penerimaan total)

TC = Total Cost yang merupakan gabungan dari biaya

tetap (Fixed Cost) dan biaya variable

(Variabel Cost)

mengumpulkan data-data menyangkut aktivitas pengelolaan hutan yang terjadi dan hak-hak kepemilikan atas sumberdaya hutan. Selain itu, digunakan pula dalam penelusuran sejarah pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya hutan dalam rentang waktu tertentu (Vayda 1996). b. Pengamatan Terlibat (participant observation)

Metode ini digunakan terutama dalam mengamati secara langsung fungsi kelembagaan adat dalam mengatur pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya hutan. Pengamatan difokuskan pada sejauh mana masyarakat menerapkan prinsip-prinsip kelestarian, serta sejauh mana peran lembaga adat dalam mengatasi permasalahan-permasalahan yang dihadapi oleh anggotanya. Beberapa perilaku terselubung (covered behavior) lainnya dicatat dan diharapkan dapat memberikan kontribusi positif terhadap penelitian yang dilakukan. Upaya ini dilakukan guna mencari pola peningkatan potensi dan produksi getah damar/kopal.

3. Analisis Data a. Tingkat Pendapatan

Untuk mengukur tingkat pendapatan masyarakat pemungut getah damar/kopal dilakukan penjumlahan hasil dari berbagai kegiatan setelah dikalikan dengan harga pada saat itu, dengan rumus sebagai berikut :

II = TR – TC

Untuk menghitung biaya total yang merupakan gabungan dari total biaya tetap dan total biaya variabel , digunakan rumus sebagai berikut :

TC = TFC + TVC

Sedangkan untuk menghitung besar penerimaan/revenue, maka digunakan rumus sebagai berikut :

TR = Q x PQ

Sedangkan besarnya kontribusi hasil hutan damar/kopal terhadap keluarga dihitung dengan

rumus :

dimana : Q = Jumlah barang produksi

PQ = Harga jual

dimana : P = kontribusi hasil hutan damar

x = pendapatan dari hasil hutan damar selama

1 tahun

y = total pendapatan keluarga selama 1 tahun

dimana : TFC = Total Fixed Cost (Biaya tetap total)

TVC = Total Variable Cost (Biaya Variabel

Total)

P = x/y x 100%

Page 197: KAJIAN ALUR TATA NIAGA KAPULAGA (Amomum cardomum L

Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 675

III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Kondisi Hutan Damar dan Pengelolaannya

Hutan damar di Hunitetu tumbuh secara alami sehingga letak pohonnya tidak beraturan sehingga walaupun memiliki kawasan hutan yang cukup luas tapi tidak semua lahan ditumbuhi oleh damar. Pohon damar tidak memerlukan perlakukan khusus dalam pemeliharaannya, hanya jika akan peneresan dan pengambilan hasil, petani melakukan pembersihan sekitar pohon agar lebih mudah mengambil getah damar yang jatuh ke tanah. Hal tersebut dilakukan karena mereka tidak menggunakan wadah untuk menampung getah damar jika jatuh ke tanah, getah yang jatuh akan menjadi kotor karena bercampur dengan tanah, batu kecil, daun kering dan kulit kayu pohon damar yang diteres. Pohon damar rata-rata berumur 60 tahun bahkan lebih, karena pohon damar ini sudah ada sejak zaman dulu dan sudah dikelola sejak turun temurun. Jenis damar yang diproduksi adalah Damar hitam, Damar mata kucing, Damar papeda, namun jenis getah damar papeda tidak dijual belikan, karena tidak memiliki kualitas baik yaitu teksturnya lembut sesuai dengan namanya. Getah Damar papeda jika tercampur dengan getah damar lainnya pada saat pemanenan akan berdampak terhadap penurunan harga jual.

Berdasarkan pengamatan di lapangan terlihat bahwa pengelolaan hutan damar oleh

masyarakat di desa Hunitetu yang berdiam di daerah pegunungan dilakukan dengan selalu mempertimbangkan kondisi lingkungannya. Menurut mereka pohon damar merupakan pohon yang lebih besar dari pohon-pohon lain disekitarnya sehingga pohon damar merupakan pelindung bagi kawasan hutan, termasuk didalamnya sumber-sumber air dan berbagai hewan liar.

Pohon damar tumbuh secara alami dan ada pula yang ditanam oleh masyarakat setempat. Pengalaman masyarakat selama ini ternyata pohon damar termasuk jenis pohon yang pembudidayaannya perlu dilakukan dengan baik/intensif. Untuk membudidayakan pohon damar memerlukan waktu yang lama, sejak ditanam sampai berproduksi membutuhkan waktu sekitar 60 tahun, walupun demikian masyarakat tetap mengusahakannya.

Pohon-pohon damar dikelola dengan baik oleh masyarakat sehingga tidak rusak, batangnya selalu dibersihkan dan dilukai dengan hati-hati agar dapat mengeluarkan getah secara teratur. Penduduk setempat sepakat untuk tidak membuka ladang dekat lokasi hutan damar sehingga pohon damar tetap lestari dan produktif. Pengalaman mereka bahwa pohon damar sangat peka terhadap lingkungan, bila pohon-pohon lain yang ada disekitarnya ditebang maka pohon damar kurang mengeluarkan getah dan lama kelamaan akan menjadi kering. Oleh karena itu maka perlu pengawasan terhadap lingkungan dimana pohon damar tersebut tumbuh, salah satu lembaga adat yang bertugas adalah Kewang, bertugas mengawasi pohon-pohon damar dan lingkungannya melalui kegiatan sasi, hal ini juga dikemukakan oleh (Silaya, 2007).

Selain desa Hunitetu memiliki hasil hutan getah damar atau kopal yang sangat potensial, masyarakat di desa ini juga biasanya mewariskan pengetahuan dan pengalamannya dalam memanen getah damar kepada anak-anak (generasi) berikutnya, sehingga jenis usaha ini dapat tetap berlanjut.

Gambar 1. Hutan dan Getah Damar di Desa Hunitetu

Page 198: KAJIAN ALUR TATA NIAGA KAPULAGA (Amomum cardomum L

676 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

Sumber : Data Primer, 2015

Sedangkan dari aspek manajemen usaha, pemungutan dan pemasaran getah damar/ kopal ini masih dilakukan secara perorangan atau individual, belum terkoordinir secara baik. Kegiatan jual-beli getah damar/ kopal walaupun sudah berlangsung lama dan sudah tersedia pasar atau pembeli (mekanisme jual beli sudah terjadi), namun mekanisme pemasarannya masih bersifat sepihak. Artinya penentuan harga kopal atau getah damar selama ini ditentukan atau diatur oleh pembeli.

Terdapat aturan adat yang merupakan kearifan lokal yang dapat menunjang keberlanjutan pengelolaan (pemungutan dan pemasaran) kopal di Hunitetu, seperti dusung, sasi dan kewang. Sedangkan terkait dengan proses pemasaran kopal, sudah tersedia pasar atau pembeli yang dapat membeli kopal hasil usaha masyarakat desa. B. Identifikasi potensi (produksi dan kualitas damar/kopal)

Kepemilikan hutan damar di Desa Hunitetu berdasarkan Soa (kelompok marga). Jumlah Soa yang ada di Desa Hunitetu sebanyak 9 Soa. Soa tersebut ada yang memiliki hutan damar dan ada pula yang tidak memiliki hutan damar. Kepemilikan hutan damar dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Luas Kepemilikan Hutan Damar Berdasarkan Soa

NO SOA/MARGA LUAS HUTAN (ha)

JUMLAH Hunitetu Tala

1 LATU : Laturaja, Latunesie, Latumadina, Seriholo, Ukakalekohu,

30 40 70

Ukakale 15 30 45

2 MOLY : Molylumainei, Molykiane, Molyparabatu, Lumapuy, Wattimury,

20 5 25

Nurubulu 20 20 40

3 LAIULUY : Laineyamate 15 15

5 TANIWEL : Iyai Hokeyate, Nisaruan 40 40

6 TEBIARI : Ursana, Lilatale, Lihu, Silaka 30 30

Paunusa 15 15

Jumlah 115 165 280

Total luas hutan damar yang berproduksi adalah 280 ha.Berdasarkan pengamatan di

lapangan jumlah pohon per hektar sebanyak kurang lebih 10 pohon dan berdasarkan hasil wawancara rata-rata produksi per pohon 8 kg dengan frekuensi panen 4 kali dalam setahun. Total produksi rata-rata per tahun 84.800 kg atau 302 kg/ha. Besar produksi tergantung pada jumlah pohon yang produksi dan kemampuan produksi pohon, walaupun memiliki luas hutan damar yang besar. Pohon damar yang tumbuh secara alami penyebarannya tidak merata cenderung mengelompok. Kepemilikan hutan damar selain yang dimiliki bersama oleh soa juga ada yang dimiliki oleh masing-masing keluarga, hasil pembelian lahan atau kontrak hutan damar.

C. Proses Pengambilan Getah Damar

Proses pengambilan getah damar oleh petani pengumpul dilakukan secara sederhana dan tradisional, menggunakan peralatan seadanya yaitu parang untuk meneres dan memanen getah damar, penadah, karung untuk menampung getah damar. D. Pendapatan Masyarakat dan Kontribusi Pendapatan dari Getah Damar (Kopal)

Rata-rata total produksi sebanyak 43.881,25 kg dengan rata-rata total penerimaan Rp. 263.287.500.-. Harga getah damar Rp. 6.000,- dan Rp. 7.000,-. Perbedaan harga tersebut ditentukan

Page 199: KAJIAN ALUR TATA NIAGA KAPULAGA (Amomum cardomum L

Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 677

oleh pembeli di Desa Hunitetu. Perbedaan harga getah berdasarkan kualitas fisiknya. Getah damar dalam kondisi kotor dihargai Rp. 6.000,- dan yang bersih adalah Rp. 7.000,-.

Untuk meningkatkan kapabilitas masyarakat pengelola getah damar telah dilakukan beberapa kegiatan seperti, tahun 2006 dilakukan studi banding ke Lampung yang difasilitasi oleh Dinas Kehutanan Kehutanan Provinsi Maluku, dan tahun 2007 Dinas Kehutanan Provinsi Maluku melakukan kegiatan pelitihan peningkatan kualitas getah damar, yaitu pelatihan cara produksi untuk menghasilkan damar yang bersih dengan menggunakan terpal sebagai wadah penampung agar damar bebas dari kotoran ampas kayu dan daun kering. Namun kegiatan tersebut tidak berlanjut dikarenakan memerlukan dana yang tinggi.

Usaha masyarakat dalam memenuhi kebutuhan hariannya berasal dari berbagai sumber pendapatan baik itu pertanian, perkebunan maupun usaha lainnya. Hasil pertanian hanya sebagian kecil yang dijual seperti pisang sedangkan umbi-umbian untuk konsumsi sendiri. Hasil perkebunan yang dijual yaitu cengkih dan buah-buahan yaitu durian. Sumber pendapatan dari usaha lain yaitu wirausaha (pedagang) dan pegawai negeri sipil (Guru). Kontribusi pendapatan dari berbagai sumber usaha adalah pertanian 4,41%, perkebunan 9,15%, usaha lain, 81,99% dan getah damar 4,46%. E. Pemasaran lokal dan eksport kopal.

Pemasaran getah damar oleh petani hanya di tingkat desa karena biaya transportasi yang mahal jika dijual di Kota Kecamatan. Keadaan ini menyebabkan penentuan harga yang pasif artinya harga getah damar ditentukan oleh pembeli di tingkat desa, dengan kategori jumlah dan kondisi kebersihan getah damar. Oleh karena itu perlu ketelitian dalam produksi getah damar sebagai salah satu faktor dalam peningkatan pendapatan.

Ada 2 jenis damar yang diproduksi yaitu damar mata kucing dan damar papeda namun yang dijual hanya damar mata kucing, tetapi seringkali damar papeda tercampur dengan damar mata kucing sehingga harus dipisahkan. Damar papeda tidak laku di pasaran karena memiliki kualitas yang tidak baik (lengket).

Penjualan hasil hutan kayu dan non kayu ke luar daerah kabupaten harus disertai dengan surat izin kecuali untuk hasil perkebunan seperti cengkih dan pala tidak disertai dengan surat izin. Sehubungan dengan kondisi tersebut maka penjualan damar pada saat sekarang ini masih di tingkat lokal karena jika dieksport memerlukan surat izin dengan biaya yang tinggi dan mekanisme yang cukup rumit. Padahal hasil penjualan damar ini sangat dibutuhkan oleh masyarakat yaitu untuk memenuhi kebutuhan harian keluarganya. Oleh karena itu maka proses penjualan dammar perlu dilakukan dengan cepat. Penjualan getah damar ke pasar Kairatu dilakukan 6 – 7 kali dalam setahun dalam kapasitas rata-rata 1 ton untuk mengoptimalkan biaya transportasi sebesar Rp. 200.000,- per trip transportasi dengan harga jual /kg Rp. 8.000 (kotor) dan Rp. 8.500 (bersih). Tujuan lokasi penjualan damar biasanya ke Makassar dan Surabaya.

Permasalahan dalam usaha damar diantaranya adalah sebagai berikut : 1. Mahalnya biaya transportasi untuk mengangkut getah damar ke pasar lokal di Kecamatan

Monopoli harga oleh pedagangan pengumpul yang memiliki investasi yang besar. 2. Tidak adanya koperasi yang dapat membeli hasil dengan harga yang layak. 3. Masyarakat dilibatkan dalam pelatihan peningkatakan kualitas damar namun tidak

disosialisasikan sehingga tidak berkembang dengan baik. Atau maksudnya adalah “Tidak ada pendampingan di masyarakat agar pelatihan peningkatan kualitas damar dapat diterapkan dan dilaksanakan supaya kualitas dan produksi damar meningkat.”

Saluran pemasaran getah damar dapat dilihat pada Gambar 5.

Page 200: KAJIAN ALUR TATA NIAGA KAPULAGA (Amomum cardomum L

678 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

Gambar 5. Saluran Pemasaran Getah Damar di Desa Hunitetu Gambar 5 menunjukkan proses saluran pemasaran getah damar yaitu petani pengumpul di

Desa Hunitetu, membawa getah damar ke pembeli di tingkat desa kemudian dari pembeli tingkat desa dijual ke pembeli tingkat kecamatan Kairatu dan dijual lagi ke Makasar dan Surabaya (dibatasi garis putus-putus berwarna biru). Solusi yang dapat diusulkan untuk peningkatan pendapatan dari getah damar adalah perlu adanya peraturan daerah tentang penetapan harga getah damar (kopal) (dibatasi garis putus-putus berwarna merah).

IV. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dikemukakan, dapat disimpulkan : 1. Pohon damar di Desa Hunitetu pada awalnya tumbuh secara alami dan tersebar tidak merata,

namun saat ini telah dilakukan upaya budidaya/penanaman oleh masyarakat. 2. Proses pemungutan getah damar/ kopal di desa Hunitetu masih dilakukan secara sederhana

sehingga kualitasnya masih rendah. 3. Produksi getah damar per pohon sebanyak 8 kg dan dapat dipanen setiap tiga bulan dengan total

pendapatan masyarakat Rp. 263.287.500/tahun, atau rata-rata KK sebesar Rp. 835.000/tahun. B. Saran

Berdasarkan kesimpulan dapat disarankan bahwa : 1. Perlu peningkatan teknologi dalam rangka peningkatan kualitas getah damar untuk peningkatan

pendapatan petani pengumpul getah damar. 2. Penelitian lanjutan untuk uji kualitas dan diversifikasi produk dari getah damar. 3. Perlu adanya peraturan daerah tentang penetapan harga getah damar (kopal)

DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 1995. Pohon Kehidupan. Badan Pengelola Gedung Manggala Wanabakti dan Yayasan Prosea-Bogor.

Anonim, 2000.Penyusunan Rancangan Model Pengelolaan dan Pemasaran Hasil hutan Non Kayu

oleh Usaha Kecil dan Koperasi di Seram Barat. Kerjasama Dinas Kehutanan Provinsi Maluku dan Fakultas Pertanian Unpatti.

Anonim, 2000.a. Laporan Tahunan Dinas Kehutanan Provinsi Maluku-Ambon.

Page 201: KAJIAN ALUR TATA NIAGA KAPULAGA (Amomum cardomum L

Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 679

Awang, S.A, 2004. Politik Kehutanan Masyarakat. CCSS .bekerjasama dengan Kreasi Wacana Yogyakarta.

Kainama, L.P.L. 1992. Persepsi Masyarakat Seram Barat terhadap Pohon Damar.Kecamatan Kairatu

Kabupaten Seram Bagian Barat. (Skripsi Fakultas Pertanian Unpatti, tidak dipublikasikan). Oszaer, R. 2006. Perencanaan Pengelolaan Hutan pada Pulau-Pulau Kecil; Prociding Workshop

Pembangunan Hutan Maluku dan Maluku Utara. Kerjasama Fakultas Pertanian Unpatti-Departemen Kehutanan-National Forest Programme (FAO).

Santo. E, 2005. Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat: Kajian Strategis Pembangunan

Kesejahteraan Sosial dan Pekerjaan Sosial. Jakarta: PT. Refika. Sardjono, M.A, 2004. Mosaik Sosiologis Kehutanan. Masyarakat Lokal, Politik dan Kelestarian

Sumberdaya. Debut Press-Yogyakarta. Silaya, 2007 Kajian Aspek Manajemen, Eokonomi dan Lingkungan Agroforestry Tradisional “Dusung”

pada Beberapa Desa di Pulau Ambon. Silaya. Th, 2011. Kearifan Masyarakat Lokal dalam Pengelolaan Sumber daya Hutan di Daerah

Pegunungan Kabupaten Seram Bagian Barat. Vayda AP. 1996. Methods and Explanations in the Study of Human Actions and

Their Environmental Effets. Special Publications. Bogor, Indonesia: CIFOR.

Page 202: KAJIAN ALUR TATA NIAGA KAPULAGA (Amomum cardomum L

680 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

PEMBANGUNAN HUTAN RAKYAT AGROFORESTRY BERBASIS PERENCANAAN PARTISIPATIF (STUDY KASUS DI DESA MARGAHARJA, KECAMATAN SUKADANA, KABUPATEN CIAMIS,

JAWA BARAT)

Aris Sudomo1 Dan Dwinarto Rasyid2 1Balai Penelitian Teknologi Agroforestry

2Yayasan Masyarakat Indonesia JL Raya Ciamis-Banjar Km 04 PO Box 5, Ciamis 46201

Email : [email protected]

ABSTRAK

Keberhasilan pembangunan ditentukan oleh sejauh mana partisipasi masyarakat. Masyarakat secara langsung menjadi aktor utama menentukan arah sejak perencanaan sampai dengan pelaksanaan kegiatan. Tujuan dari penelitian ini adalah mewujudkan pengelolaan hutan rakyat yang berkelanjutan berbasis partisipatif masyarakat. Lokasi penelitian adalah Di Desa Margaharja, Kecamatan Sukadana, Kabupaten Ciamis, Provinsi Jawa Barat. Metode penelitian dilakukan dengan fasilitasi perencanaan kegiatan pembangunan hutan rakyat agroforestry dengan metode Fokus Group Discussion/FGD. FGD melibatkan 20 anggota masyarakat Desa Margaraharja meliputi aparat desa, pengurus kelompok tani dan petani hutan rakyat. Data yang dikumpulkan meliputi meliputi (1) Simulasi peningkatan produktivitas lahan dan pendapatan masyarakat yang diharapkan masyarakat; (2) Simulasi peningkatan sarana irigasi, simulasi penurunan serangan hama dan panyakit, simulasi kemudahan akses sarana produksi dalam pembangunan hutan rakyat; (3) Analisis biaya dan kebutuhan dalam rangka kegiatan pembangunan hutan rakyat agroforestry; (4) Perencanaan detail kegiatan dan scedule pelaksanaan partisipatif selama 5 tahun. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa masyarakat berharap selama lima tahun kegiatan kedepan terjadi peningkatan pendapatan sebesar 500.000/bulan pada setiap tahunnya dari usaha hutan rakyat agroforestry. Masyarakat mengharapkan peningkatan produksi padi sebesar 1 ton pada setiap tahunnya. Hal ini dapat ditempuh dengan perbaikan irigasi, perbaikan tata ruang lahan, pemenuhan sarana produksi, pengendalihan hama dan penyakit dan peningkatan jumlah petani/regenerasi kader petani masa depan. Kegiatan yang dibutuhkan berdasarkan perencanaan partisipatif adalah (1) pemetaan lahan partisipatif (2) pembuatan persemaian, penanaman pohon pada lahan hutan rakyat, dan daerah tangkapan air serta optimalisasi agroforestry palawija; (3) pembangunan cek dam 35 titik dan penataan irigasi; (4) pembentukan koperasi dan badan usaha; (5) pendidikan dan pelatihan tentang kelembagaan (pembentukan koperasi dan kelompok tani) dan teknologi agroforestry. Masyarakat masih berorientasi pada pengelolaan usaha komoditi pertanian. Komoditi kayu hanya sekedar usaha sampingan untuk tabungan jangka panjang. Agroforestry menjadi solusi untuk pembangunan hutan rakyat agroforestry. Usaha agroforestry ini bertujuan mewujudkan collective action masyarakat dan sinergitas antar sektor. Kata kunci : Agroforestry, collective action, hutan rakyat dan partisipatif.

I. PENDAHULUAN

Berdasarkan SK Menteri Kehutanan No. 49/Kpts -11/1997 hutan rakyat adalah hutan yang tumbuh di atas tanah milik dengan luas minimal 0,25 ha dengan penutupan tajuk didominasi oleh tanaman perkayuan (lebih dari 50%) dan atau tanaman tahun pertama minimal 500 batang. Hutan rakyat saat ini menduduki posisi yang semakin strategis dalam pembangunan kehutanan. Hal ini berkaitan dengan semakin terasanya kekurangan hasil kayu dari kawasan hutan negara, baik hasil kayu sebagai kayu pertukangan, kayu industri, maupun kayu bakar. Selain itu pembangunan hutan rakyat juga berfungsi untuk menanggulangi lahan kritis, konservasi lahan, perlindungan hutan, penyangga kehidupan serta sebagai salah satu upaya pengentasan kemiskinan dengan pemberdayaan masyarakat setempat.

Pembangunan hutan rakyat mempunyai beberapa aspek tujuan yaitu aspek peningkatan ekonomi, ekologi dan sosial. Aspek ekonomi diharapkan dapat membantu meningkatkan

Page 203: KAJIAN ALUR TATA NIAGA KAPULAGA (Amomum cardomum L

Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 681

kesejahteraan masyarakat, sedangkan aspek ekologi diharapkan dengan establish-nya hutan rakyat dapat merehabilitasi lahan kritis sehingga meningkatkan kelestarian lingkungan. Ketertarikan masyarakat terhadap usaha hutan rakyat yang dapat memberi keuntungan ekonomi dan ekologi tersebut di harapkan dapat menimbulkan tindakan sosial untuk membangun hutan rakyat sehingga upaya rehabilitasi hutan dan lahan kritis dapat berjalan dengan baik. Selama ini telah terbukti bahwa sumberdaya hutan (hutan alam, hutan tanaman dan hutan rakyat) di Indonesia telah memberikan manfaat sebagai salah satu modal utama pembangunan ekonomi nasional, antara lain dalam bentuk pertumbuhan ekonomi, devisa, penyerapan tenaga kerja dan pengembangan wilayah. Oleh karena itu dalam pengembangan hutan rakyat diperlukan dukungan/intervensi pemerintah baik dari aspek pendanaan, teknologi, pengembangan SDM (community capacity building) dan manajemen kelembagaan (institution strengtening) serta hasil riset mutahir yang sesuai dengan lokasi setempat (Natawijaya, 2008).

Manajemen hutan rakyat sebagai bentuk usaha agribisnis rumah tangga skala kecil juga menggunakan dasar-dasar ilmu pengetahuan baik yang berupa indegenius knowledge, experience knowledge ataupun input dari fasilitator/perencana yang berupa scientific knowledge. Perencanaan pembangunan hutan rakyat adalah untuk kepentingan masyarakat sehingga banyak yang terlibat di dalamnya sebagai stakeholder dengan kompleksitas dalam perencanaannya. Sinergitas antar pengetahuan dan lembaga dalam perencanaan menjadi penting untuk mewujudkan hutan rakyat lestari (ekonomi dan ekologi).

Dalam progam pengembangan agribisnis hutan rakyat maka input-nya sumber daya alam dan sumber daya manusia adalah ketersediaan lahan, tenaga kerja, keluarga, kesadaran masyarakat, modal, musim hujan. Input tersebut perlu proses yang dilakukan oleh pengelola hutan rakyat sebagai sumber daya manusia yang meliputi aksi bersama (collective action), organisasi, persiapan lahan, pembibitan, penanaman, pemeliharaan. Proses inilah yang memegang peranan penting bagi keberhasilan suatu pengelolaan hutan rakyat. Oleh karena itu perlu didukung dengan pola manajemen perencanaan yang lebih komprehensif, menyeluruh, interkoneksitas, partisipatif mengakomodir stakeholder sehingga peluang keberhasilan lebih tinggi. Hasil dari proses manajemen tersebut akan menghasilkan output berupa hasil produksi kayu, non kayu, jasa lingkungan dan ketersediaan air. Selain itu outcome yang di harapkan adalah lingkungan lebih baik, tersedia sumber air, income naik, pemberdayaan masyarakat/empowerment.

Kelemahan perencanaan di Indonesia adalah cenderung sentralistik dan top-down. Hal ini yang mengakibatkan tidak berkembangnya komunitas (comunity capacity building). Hal ini berbeda untuk perencanan tingkat daerah yang menggunakan bottom-up dengan pendekatan regional. Perencanaan tingkat rakyat baik pedesaan cenderung menggunakan perencanaan partisipatif dengan pendekatan komunitas. Menurut Salim, (2007) perencanaan adalah intervensi pada rangkaian kejadian-kejadian sosial-masyarakat dengan maksud untuk memperbaiki rangkaian kejadian yang ada dengan meningkatkan efisiensi dan rasionalitas, membantu atau menggantikan pasar serta merubah atau memperluas pilihan-pilihan. Hal ini untuk menuju tingkat kesejahteraan yang lebih tinggi bagi seluruh warga masyarakat. Perencanaan semestinya melibatkan masyarakat karena tujuan perencanaan adalah kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu bagaimana proses perencanaan ini melibatkan masyarakat untuk mengelola input SDA, kelembagaan, finansial sehingga dihasilkan output berupa indikator pembangunan yang menghasilkan manusia seutuhnya tersebut. Tujuan penelitian ini dengan perencanaan partisipatif adalah (1) Bagaimana permasalahan pengelolaan hutan rakyat sehingga belum memberikan peningkatan kesejahteraan yang signifikan bagi masyarakat? Bagaimana hasil perencanaan partisipatif dalam pengembangan agribisnis hutan rakyat agroforestry untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat.

II. METODE PENELITIAN

A. Lokasi Dan Waktu

Page 204: KAJIAN ALUR TATA NIAGA KAPULAGA (Amomum cardomum L

682 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

Penelitian di lakukan di Di Desa Margaharja, Kecamatan Sukadana, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat. Penelitian dilakukan pada bulan Februari- Agustus 2015.

B. Metode Pengambilan Data

Kajian ini menggunakan Participatory Rural Appraisal (PRA) yaitu metode yang mendorong masyarakat pedesaan untuk turut serta meningkatkan pengetahuan dan menganalisa kondisi mereka sendiri, wilayahnya sendiri yang berhubungan dengan hidup mereka sehari-hari agar dapat membuat rencana dan tindakan yang harus dilakukan, dengan cara pendekatan berkumpul bersama (Chamber, 1996). Pelaksanaan perencanaan partisipatif dengan metode FGD (Focus Group Discussion). FGD melibatkan 20 anggota masyarakat Desa Margaraharja meliputi aparat desa, pengurus kelompok tani dan petani hutan rakyat. Data yang dikumpulkan meliputi meliputi (1) Simulasi peningkatan produktivitas lahan dan pendapatan masyarakat yang diharapkan masyarakat; (2) Simulasi peningkatan sarana irigasi, simulasi penurunan serangan hama dan panyakit, simulasi kemudahan akses sarana produksi dalam pembangunan hutan rakyat; (3) Analisis biaya dan kebutuhan dalam rangka kegiatan pembangunan hutan rakyat agroforestry; (4) Perencanaan detail kegiatan dan scedule pelaksanaan partisipatif selama 5 tahun.

C. Analisis Data

Menurut Moleong, (1995) penelitian deskriptif kualitatif dengan membuat tabulasi dari data primer dan data sekunder. Data hasil dari perencanan partisipatif untuk pembangunan hutan rakyat agroforestry disusun dalam bentuk tabulasi.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

Perencanaan partisipatif menjadi metode agar pembangunan hutan rakyat bisa

berkelanjutan. Partisipasi masyarakat akan menjadi sarat belajar sosial dan belajar berdasar pengalaman sehingga mampu meningkatkan kapasitas dan kemandirian masyarakat ( Salman, 2005). Partisipatif juga dapat mengidentifikasi permasalahan, potensi dan menyusun rencana untuk pelaksanaan pembangunan secara bersama-sama. Berdasarkan FGD pendapatan masyarakat rata-rata pada tahun 2015 sebesar 2.500.000/bulan. Data permasalahan dalam pengelolaan lahan berdasarkan perencanaan partisipatif dengan FGD disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Hasil identifikasi permasalahan di masyarakat dalam pengelolaan lahan

No Permasalahan No Permasalahan

1 Pendapatan Petani Berkurang 12 Sumber Air Berkurang

2 Produksi Menurun 13 Kebijakan Pemerintah Belum Berpihak

3 Tata ruang kurang jelas 14 Kesadaran Masyarakat Kurang

4 Adanya Serangan Hama 15 Hutan Gundul

5 Tanaman Kekeringan 16 Organisasi Petani Lemah

6 Kurangnya Modal 17 Penebangan Liar

7 Jumlah Petani Berkurang 18 Kurangnya Kerjasama

8 Irigasi Kurang Baik 19 SDM Petani Lemah

9 Komoditi yang tidak seragam/serempah 20 Jalan Rusak

10 Munculnya Kepentingan Pribadi 21 Pemasaran Belum Maksimal

11 Banyak Petani Kurang Lahan 22 Penyuluhan Kurang

Sumber : Data Primer Diolah (Focus Group Discustion)

Page 205: KAJIAN ALUR TATA NIAGA KAPULAGA (Amomum cardomum L

Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 683

Kesadaran masyarakat terhadap fungsi hutan rakyat sebagai perlindungan tanah dan air serta peningkatan produksi belum maksimal. Pola fikir masyarakat dalam mengelola lahan milik cenderung individual, tidak dilakukan secara bersama dalam hamparan yang sama, sehingga melemahkan nilai tawar dari hasil produksi. Komoditi yang dibudidayakan tidak seragam dan cenderung individual action sehingga nilai tawar petani menjadi rendah. Jumlah produksi setiap komoditi menjadi kecil sehingga tidak menarik pasar datang. Jika laku dalam pemasaran maka nilai tawar petani menjadi rendah. Oleh karena itu pengelolaan hutan rakyat sebaiknya dilakukan secara collective action. Petani akan mempunyai nilai tawar jika melakukan pengelolaan lahan secara bersama dalam satu hamparan Unit Manajemen Hutan Rakyat. UMHR merupakan unit pengelolaan hutan rakyat dibawah lingkup administratif Desa. Hal ini sesuai dengan UU no 6 tahun 2014 tentang Pemerintahan Desa unutk mendorong Badan Usaha Milik Desa (BUM Desa).

Keterlibatan kaum ibu/wanita dalam penentuan kebijakan pengelolaan lahan relatif kecil. Hal ini ditunjukkan pada saat pertemuan kelompok untuk membahas perencanaan pengelolaan lahan didominasi oleh kaum pria. Disisi lain pada saat pelaksanaan di lapangan dalam pengelolaan lahan kaum wanita terlibat secara langsung sebagai tenaga kerja. Pada saat penanaman, pemeliharaan di lahan agroforestry kebanyakan dilakukan oleh kaum wanita. Pada saat pemanenan umumnya dilakukan oleh ibu-ibu. Lahan agroforestry yang diusahakan misalnya adalah sengon+kopi+ sayur-sayuran. Sedangkan kaum pria kerja buruh bangunan diluar kota. Sebaiknya kaum wanita diberi kewenangan untuk turut menentukan komoditi yang akan diusahakan di lahan milik.

Permasalahan yang dihadapi adalah minimnya irigasi dan sumber mata air yang berkurang. Permasalahan kekeringan lahan terjadi belum lama akibat dari perubahan fungsi lahan. Lahan yang sebelumnya tangkapan air berubah menjadi pemukiman dan ladang. Hal ini diperlukan perencanaan tata ruang dalam pengelolaan lahan sehingga kawasan konservasi (catcment area) yang berada di wilayah lahan hak tidak beralih fungsi. Supaya bisa mencukupi untuk kebutuhan irigasi pertanian di lingkup desa tersebut.

Penggunaan pupuk oleh masyarakat sangat tergantung dengan pupuk kimia. Disisi lain permodalan petani rendah sehingga kekurangan pupuk. Hal ini banyak ditemui di petani sawah. Permasalahn ini dapat diatasi dengan pengggunaan pupuk kandang yang melimpah di petani. Keberadaan kandang ternak milik petani memungkinkan untuk memproduksi pupuk. Subsidi dari pemerintah untuk memenuhi sarana produksi belum tepat sasaran. Hal ini disebabkan oleh data luas pemanfaatan lahan (sawah, kebun, tegalan dan hutan) setiap petani belum sesuai dengan kondisi terkini.

Kegiatan penyuluhan dalam pengelolaan lahan relatif masih kurang. Kegiatan masih sekedar keproyekan dan tidak dengan semangat untuk pengembangan potensi lokal demi kesejahteraan petani. Misalnya penggunaan bibit sengon dari luar yang ternyata membawa penularan hama dan penyakit. Penggunaan bibit lokal selama ini menunjukkan relatif lebih terbebas serangan hama dan penyakit. Namun semenjak didatangkan bibit sengon dari luar ternyata menyebabkan penularan penyakit karat puru. Sebaiknya digunakan bibit lokal yang telah adapted atau bibit unggul yang tahan karat puru. emerintah juga masih kurang. Hal ini menyebabkan muncul PKSM (Penyuluh Kehutanan Swadaya Mandiri)

Regenerasi petani relatif kurang sehingga jumlah petani semakin berkurang. Hal ini disebabkan status sosial (prestige) profesi petani dianggap rendah sehingga jumlahnya semakin berkurang. Orang tua lebih berharap anaknya bekerja di kota meskipun sebagai buruh. Anak muda juga enggan menggeluti kegiatan pertanian karena dianggap rendah dan tidak menguntungkan. Hal ini diperparah oleh kebijakan-kebijakan yang belum secara langsung meningkatkan taraf hidup petani.

Perencanaan yang dihasilkan dalam ruang lingkup multiusaha/sektor dan berbagai penggunaan lahan yaitu pertanian, kehutanan, perkebunan, peternakan dan perikanan dalam sistem landskap agroforestry. Berdasarkan hasil identifikasi permasalahan-permasalahan diatas dan

Page 206: KAJIAN ALUR TATA NIAGA KAPULAGA (Amomum cardomum L

684 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

memperhatikan potensi desa maka disusun perencanaan partisipatif sebagaimana disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Hasil perencanaan partisipatif untuk peningkatan produktivitas lahan agroforestry

Sumber : Data Primer Diolah (Focus Group Discustion)

Melalaui tata ruang lahan hak di desa, masyarakat dapat membuat perencanaan

pengelolaan lahan sesuai peruntukannya secara terukur dan efektif. Rencana pengelolaan lahan yang semula dilakukan sendiri-sendiri menjadi collective action. Dengan pengelolaan bersama diharapkan dapat meningkatkan produktivitas lahan hutan rakyat. Penanaman pohon di hutan rakyat menjadi lebih optimal sesuai tata ruang lahan.

Pembangunan hutan rakyat lebih intensif untuk peningkatan produktivitas. Pemilihan jenis komoditi yang sesuai dengan lahan, pemasaran mudah, dan disukai oleh masayarakat menjadi penting untuk keberlanjutan usaha. Dengan diketahuinya kondisi pemanfaatan ruang dan lahan di Desa maka proses penanaman pohon untuk sumber mata air lebih tepat sesuai luasan catcment area. Hal ini dapat mendukung untuk suply air bagi terbentuknya embung/cek dam/penampung air. Suply air akan berkelanjutan dan terukur sesuai kebutuhan lahan pertanian. Ketersediaan air menjadi penting seiring dengan terjadinya kekeringan dan kemarau panjang efek dari perubahan iklim.

Sekolah lapangan dilakukan berdasarakan potensi lokal dan minat. Harapannya petani dapat melakukan pengelolaan lahan secara optimal untuk meningkatkan produktivitas dengan tetap memperhatikan aspek kelestarian. Petani dapat mengukur potensi kayu dari lahan hutan rakyat. Hal ini akan meningkatkan posisi tawar petani dalam penjualan sehingga tidak mengalami kerugian. Dukungan Teknologi budidaya dengan penyuluhan terhadap petani diperlukan agar dapat melengkapi eksperience knowledge petani.

Unit Manajamen Hutan Rakyat Lestari mempunyai data potensi desa baik perikanan, pertanian, kehutanan dan peternakan terkini. Hal ini dapat mendorong BUMDes untuk memudahkan pemasaran berdasarkan potensi yang dimiliki oleh Desa. Petani bergerak diberbagai bidang /multisistem usaha yaitu petani kebun, petani ladang, petani sawah dan peternak. Hal ini memerlukan dukungan pemerintah dari berbagai sektor (kehutanan, pertanian, pekerjaan umum, peternakan) untuk pengembangan berbagai multiusaha. Hal ini secara komprehensif tercakup dalam sistem agroforestry yang merupakan praktik pengelolaan lahan kombinasi kehutanan, pertanian, peternakan dan perikanan.

Bantuan (%)Swadaya (%)

1 Pembuatan Cek Dam 35 Titik Material, HOK Dan Alat 80 20 5.750.000

2 Penanaman Hutan Rakyat Bibit pohon ± 72.000 100 0 1.440.000

3 Penanaman Pohon Di Sumber Mata Air Bibit pohon ± 20.000 100 0 100.000

4 Irigasi (Jaringan Irigasi Desa) Material, HOK Dan Alat 80 20 1.715.000

5 Pembentukan Koperasi Tani Hutan Rakyat Bangunan 80 20 250.000

Prasarana

Permodalan

6 Pelatihan Pemberdayaan Kelompok Tani Hutan Akomodasi 80 20 30.000

(pemetaan dan perencanaan partisipatif) Konsumsi

Alat Dan Bahan

7 Penyuluhan Dan Sekolah Lapangan Tenaga ahli kehutanan. 80 20 60.000

Pertanian

Perikanan

Peternakan

8 Pembuatan Persemaian Alat Dan Bahan 80 20 100.000

Sumber benih

9 Optimalisasi Lahan Untuk Palawija Alat Dan Bahan 80 20 150.000

Konsumsi

HOK

Sumber Pendanaan Estimasi Biaya

(x1000)KebutuhanKegiatanNo

Page 207: KAJIAN ALUR TATA NIAGA KAPULAGA (Amomum cardomum L

Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 685

BUMdes merupakan usaha pengelolaan hutan rakyat agroforestry secara collective action. Bentuk BUMDes adalah koperasi desa sehingga semua masyarakat dapat mendapat akses menjadi anggota koperasi. Koperasi merupakan sistem ekonomi masyarakat yang paling cocok dengan budaya bangsa indonesia. Harapannya akan terjalin hubungan usaha yang saling menguntungkan antar anggota untuk peningkatan kesejahteraan. BUMDes dalam mewujudkan hutan rakyat lestari perlu dilembagakan dan dikuatkan dengan pembuatan peraturan tingkat desa. Peraturan ini akan membatasi individu petani untuk mengkonversi lahan agar tidak berubah fungsi peruntukan. Konversi lahan menyebabkan luasan lahan pertanian berkurang. Hal ini menyebabkan kelestarian hasil pertanian terancam untuk mewujudkan swasembada pangan.

Pembangunan agribisnis hutan rakyat memerlukan suply bibit dan benih. Hal ini dapat dipenuhi dengan pembangunan persemaian lokal. Pengembangan bibit lokal diharapkan lebih adapted dan potensial tumbuh dengan baik di lahan hutan rakyat. Kebuthan bibit tngkat desa dapat dipenuhi sendiri tanpa mendatangkan dari luar daerah.

Peningkatan produktivitas lahan perlu dilakukan dengan pemanfaatan lahan di bawah tegakan dengan sistem agroforestry. Tanaman bawah yang ditanam di lahan tegalan adalah jagung, kacang tanah, jeruk, padi. Tanaman caliandra digunakan masyarakat sebagai pakan ternak. Ternak yang banyak dipelihara adalah kambing. Kolam diperuntukan budidaya perikanan. Kombinasi komoditi kehutanan, pertanian, perkebunan, perikanan dan peternakan dalam suatu landskap agroforestry merupakan multiusaha yang mendukung peningkatan kesejahteraan masayarakat. Kebutuhan dana yang diperlukan oleh masyarakat untuk kegiatan pembangunan hutan rakyat agroforestry selama 5 tahun adalah sebesar (Rp 9.595.000.000). Dari total kebutuhan dana tersebut masyarakat menyanggupi dengan dana swadaya sebesar 20% (Rp. 1.919.000.000).

IV. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil dan pembahasan diatas dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai

berikut : 1. Partisipasi masyarakat dalam pembuatan tata ruang lahan hak menjadi penting dalam

pengambilan kebijakan untuk mewujudkan usaha agribisnis hutan rakyat yang berkelanjutan. Dengan tata ruang dapat direncanakan pemanfaatan lahan untuk komoditi pertanian, kehutanan, perkebunan dan konservasi tanah dan air secara terukur dan efektif tanpa mengubah fungsi lahan.

2. Optimalisasi lahan dibawah tegakan untuk pemenuhan kebutuhan jangka pendek, menengah dan panjang potensial dilakukan dengan sistem agroforestry.

3. Kebijakan pemerintah akan tepat sasaran dengan ketersediaan data base potensi desa dari sisi sumber daya alam dan kapasitas sumber daya manusia.

4. Usaha hutan rakyat agroforestry lebih efektif dilakukan secara collective action dalam bentuk BUMdes/ Koperasi desa untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat

DAFTAR PUSTAKA

Chamber, R. 1996. PRA –Participatory Rural Appraisal, Memahami Desa Secara Partisipatif.

Yogyakarta. Kanisius. Oxfam Dan Yayasan Mitra Tani. Moleong. L.J. 1995. Metodologi Penelitian Kualitatif Ramaja Karya. Bandung. Natawijaya, 2008. Peningkatan Produktivitas Lahan Hutan Rakyat Berbasis Tanaman Sumber Energi.

Seminar Pembangunan Hutan Rakyat Melalui Optimalisasi Hasil dan Diversifikasi Produk Tanaman Multiguna dalam Menunjang Kemandirian Energi dan Ekonomi. Balai Penelitian Kehutanan Ciamis. 2008.

Page 208: KAJIAN ALUR TATA NIAGA KAPULAGA (Amomum cardomum L

686 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

Salim, Agus, 2007, Hand Out Materi filsafat dan Teori Perencanaa, PSKMP, UNHAS. Salman, D. 2005. Pembangunan Partisipatoris. Modul Konsentrasi Manajemen Perencanaan Program

Studi Administrasi Pembangunan . Unhas. Makassar.

Page 209: KAJIAN ALUR TATA NIAGA KAPULAGA (Amomum cardomum L

Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 687

ANALISIS FINANSIAL PRAKTEK AGROFORESTRY PADA HUTAN RAKYAT (Studi Kasus pada Desa Cibatok Dua, Kecamatan Cibungbulang,

Kabupaten Bogor, Jawa Barat)

Ina Lidiawati1,Messalina L Salampessy1, Asep Madyantoro3

1,2 Fakultas Kehutanan Universitas Nusa Bangsa Bogor 3PT. Komatsu Marketing & Support Indonesia

ABSTRAK

Pengembangan hutan rakyat telah terbukti memberi keuntungan bagi masyarakat dimana komoditas kayu yang diusahakan memiliki nilai jual yang baik. Penerapan praktek agroforestri dapat memberikan nilai tambah tersendiri bagi masyarakat tersebut karena praktek agroforestri dapat menyediakan sumber penghidupan bagi masyarakat tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan analisis finansial dari implementasi praktek agroforestri dalam pengelolaan hutan rakyat. Metode yang digunakan adalah studi kasus, dimana pengumpulan data dilakukan melalui wawancara mendalam, observasi partisipan dan analisis dokumen. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengusahaan hutan rakyat ini dengan menerapkan praktek agroforestri memberikan kontribusi sebesar 36% dari total pendapatan petani dan secara finansial layak untuk diusahakan. Prosentase jumlah ini cukup menjanjikan mengingat hasil agroforestri seringkali hanya menjadi pendapatan sampingan.Untuk itulah maka praktek agroforestri yang intensif dan kebijakan yang mendukung diharapkan akan memotivasi peran aktif masyarakat dalam pengembangan praktek agroforestri di hutan rakyat. Kata Kunci : Agroforestri, Analisis finansial ,Hutan rakyat.

I. PENDAHULUAN

Sebagai suatu sistem pemanfataan lahan, agroforestri dapat berkotribusi terhadap strategi pembangunan nasional dengan memberikan peluang kerja, mengentaskan kemiskinan, meningkatkan ekonomi daerah dengan mempertahankan keseimbangan lingkungan (Rohadi, et all, 2013). Sabarnurdin et all, 2011 dalam Rohadi et all, 2013 menyatakan bahwa sistem agroforestri diprediksi kuat menjadi solusi bagi berbagai masalah sosial maupun lingkungan. Bagi negara Indonesia, startegi ekonomi berbasis masyarakat mempunyai daya dorong yang tinggi pada tingkat nasional. Strategi tersebut menarik peran serta masyarakat karena dapat meningkatkan kesejahteraan serta mempunyai daya topang terhadap ekonomi lokal (Rusli,2005 dalam Rohadi,2013).

Sebagai sebuah sumberdaya, hutan rakyat memberikan banyak manfaat terhadap pemiliknya, baik manfaat ekologis maupun secara ekonomis (Mahendra,2009). Menurut Soemitro,1985 dalam Mahendra,2009 salah satu tujuan pembangunan hutan rakyat adalah untuk meningkatkan pendapatan petani sekaligus meningkatkan kesejahteraannya. Hutan rakyat bagi beberapa masyarakat merupakan salah satu dari beberapa unsur penopang kelangsungan hidup, untuk itulah maka upaya penerapan pola agroforestri pada hutan rakyat diharapkan memberi nilai lebih (keuntungan finansial) bagi petani tersebut.(Widayati,2005). Penelitian ini sangat penting, karena dapat menjelaskan kelayakan usaha dari segi finansial pada implementasi sistem agroforestri pada hutan rakyat..Oleh karena itu, penelitian yang dilakukan ini bertujuan untuk menjelaskan analisis finansial dari implementasi praktek agroforestri dalam pengelolaan hutan rakyat. Pengetahuan dan pemahaman tersebut akan bermanfaat bagi berbagai pihak yang terkait dalam membuat suatu rekomendasi pengelolaan hutan rakyat yang adil, sejahtera, dan berkelanjutan.

II. METODE PENELITIAN

A. Waktu dan Lokasi Penelitian

Page 210: KAJIAN ALUR TATA NIAGA KAPULAGA (Amomum cardomum L

688 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

Penelitian dilakukan dari bulan Mei sampai dengan Juni 2015 di hutan rakyat di Desa Cibatok Dua, Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Penelitian ini menggunakan metode studi kasus, dimana Wawancara melibatkan 32 responden dari petani yang mengusahakan hutan rakyat di lokasi penelitian. B. Pengumpulan dan Analisis Data

Pengumpulan data dilakukan dengan beberapa cara, yaitu: wawancara mendalam, pengamatan terlibat, dan analisis dokumen yang dilakukan dengan mengkaji publikasi, laporan dan lain-lain. Data yang terkumpul selanjutnya dianalisis secara finansial dengan menghitung nilai Net Present Value (NPV), Benefit Cost Ratio (BCR), dan Internal Rate of Return (IRR). Jika nilai NPV > 0, BCR > 1, dan IRR > tingkat suku bunga, maka pola penggunaan lahan hutan rakyat secara finansial layak untuk diusahakan (Tabel 1). Tabel 1. Indikator dan kriteria keputusan analisis finansial

Indikator Rumus Kriteria keputusan

NPV ∑ ( )

NPV > 0

BCR

BCR > 1

IRR

( )

IRR > i

Keterangan: Bt = penerimaan kotor pada tahun t, Ct = biaya kotor pada tahun t, n = lama rotasi, t = periode produksi, i = suku bunga

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Pola Agroforestry yang Dikembangkan Luas potensi hutan rakyat di desa cibatok adalah 177,168 ha yang meliputi penggunaan

unruk persawahan seluas 162 ha, pekarangan 31 ha dan tegalan 53 ha. Jenis pohon penyusun hutan rakyat yang dijumpai didesa Cibatok antaralain sengon (Albizia moluccana), jabon (Anthocephalus cadamba), akasia (Acacia mangium) dan suren (Toona sureni).

Masyarakat desa Cibatok merupakan suatu bentuk masyarakat yang menjaga keharmonisan dengan sumbredaya alam di sekitarnya. Sumber mata pencaharian yang dilakukan oleh masyarakat adalah berasal dari hutan rakyat, petani, pedagang, PNS, buruh, jasa dan pekerjaan lainnya

Petani di Desa Cibatok Dua tergabung dalam beberapa kelompok tani yang dibina oleh Badan Ketahanan Pangan dan Pelaksana Penyuluh Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (BKP5K) Kabupaten Bogor Wilayah Binaan Cibatok Satu. Kelompok tani tersebut antara lain kelompok Sumber Tani, Tepang Sono, Warga Mukti, KWT Teratai dan KWT Mekar Jaya.

Sistem agroforestry yang dikembangkan di desa cibatok adalah sistem agroforestri sederhana yaitu suatu sistem pertanian dimana pepohonan ditanam secara tumpangsari dengan satu atau lebih jenis tanaman semusim. Pepohonan biasanya ditanam sebagai pagar mengelilingi petak lahan tanaman pangan, secara acak dalam petak lahan, atau dengan pola lain misalnya berbaris dalam larikan sehingga membentuk lorong/pagar.

Lahan agroforestri di Desa Cibatok Dua dibangun di lahan tegal. Dimana Sengon (Albizia moluccana) menjadi tanaman utama di lahan tersebut. Jenis ini dianggap memiliki nilai ekonomis tinggi dan menjadi tabungan keluarga yang dapat digunakan untuk keperluan tertentu yang

n

t ti

Ct

n

t ti

Bt

BCR

1 )1(

1 )1(

Page 211: KAJIAN ALUR TATA NIAGA KAPULAGA (Amomum cardomum L

Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 689

mendesak, seperti pendidikan dan pernikahan. Sengon mempunyai nilai ekonomis yang tinggi dimana setelah mencapai diameter lebih dari 10 cm atau umur 6 tahun telah dapat dipanen. Jenis-jenis penghasil buah yang dikombinasikan bersama sengon adalah cengkeh, pisang, pepaya,dan kelapa. Sementara jenis-jenis untuk tanaman palawija adalah tanaman jagung, bengkoang, lengkuas, pandan, singkong dan ubi.

Sengon ditanam dengan jarak tanam 2 x 2 m dan daur 6 tahun. Pola tanam dapat dilihat pada gambar 1 sebagai berikut:

1 m

2 m

Sengon Palawija Gambar 1. Pola Hutan Rakyat dengan sistem Agroforestri di Desa Cibatok 2

Para Petani memiliki pandangan terhadap sistem agroforestri yang dikembangkan ini yaitu

aneka hasil kebun hutan adalah sebagai "bank" yang sebenarnya. Pendapatan dari agroforestri umumnya dapat menutupi kebutuhan sehari-hari yang diperoleh dari hasil-hasil yang dapat dipanen secara teratur misalnya pepaya, kelapa, jagung, cengkeh, ubi, bengkoang dan lengkuas. Selain itu, agroforesrit juga dapat membantu menutup pengeluaran tahunan dari hasil-hasil yang dapat dipanen secara musiman seperti buah-buahan.

Struktur yang tetap dengan diversifikasi tanaman komersil, menjamin keamanan dan kelenturan pendapatan petani, walaupun sistem ini tidak memungkinkan adanya akumulasi modal secara cepat dalam bentuk aset-aset yang dapat segera diuangkan. Melalui diversifikasi hasil-hasil sekunder, agroforestri menyediakan kebutuhan sehari-hari petani. Agroforestri juga berperan sebagai "kebun dapur" yang memasok bahan makanan pelengkap (sayuran, buah, rempah dan bumbu) sebagai hasil subsisten.

B. Analisis Finansial Praktek Agroforestri pada Hutan Rakyat

Sumber utama pendapatan responden berasal dari hasil pertanian 54,12% dan hasil agroforestri 43,08%, serta 1,64% dari peternakan dan 1,17% dari perdagangan. Hasil-hasil pertanian tidak semuanya diperdagangkan, biasanya ada juga yang dikonsumsi untuk rumah tangga (subsisten) seperti ternak dan beberapa jenis tanaman palawija. Pendapatan dari agroforestri juga cukup besar yaitu 43,08%, meliputi 24,96% dari penjualan kayu sengon dan 18,12% dari tanaman tumpangsari. Secara keseluruhan, pendapatan dari agroforestri masih lebih kecil dibandingkan pendapatan dari pertanian karena pengelolaan agroforestri di lokasi penelitian masih belum intensif dimana masyarakat menjalankan pola agroforestri ini dengan modal mandiri, belum ada bantuan dari pemerintah ataupun pihak swasta. Pengembangan agroforestry dalam skala yang lebih luas layak dipertimbangkan, antara lain mendapat pinjaman dari Bank ataupun dengan pola bagi hasil sebagai alternatif dalam memperoleh keuntungan melalui usaha hutan rakyat dengan pola agroforestri. Pengelolaan tanaman agroforestri belum maksimal dimana pemeliharaan tanaman hanya berlangsung diawal daur atau pada waktu awal penanaman. Pemeliharaan ditahun tahun berikutnya

Page 212: KAJIAN ALUR TATA NIAGA KAPULAGA (Amomum cardomum L

690 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

tidak dilakukan, seperti kegiatan penyulaman, pemangkasan, penjarangan dan pengendalian hama dan penyakit. Tabel 2. Rata-rata Pendapatan Petani di Desa Cibatok Dua

Sumber pendapatan Rata-rata (Rp/tahun) Persentase (%)

Agroforestri : 43,08

Sengon 16.701.823 24,96

Tanaman tumpangsari 12.120.438 18,12

Pertanian dan Peternakan :

Pertanian 36.207.422 54,12

Ternak 1.096.875 1,64

Sumber lain :

Perdagangan 781.250 1,17

Total 66.907.807 100

Pengeluaran petani umumnya lebih banyak untuk kebutuhan sehari-hari seperti pangan,

pendidikan dan biaya harian. Tabel 3. Rata-rata Pengeluaran Rumah Tangga Petani di Desa Cibatok Dua

Jenis pengeluaran Rata-rata (Rp/tahun) Persentase (%)

Pangan 21.412.500 75,57

Sandang 621.875 2,19

Kesehatan 250.000 0,88

Pendidikan 2.517.188 8,88

Jenis pengeluaran Rata-rata (Rp/tahun) Persentase (%)

Listrik, air dll

1.661.875 5,87

Tabungan 1.062.500 3,75

Biaya lain-lain 808.125 2,85

Total 28.334.063 100

Pengelolaan pada lahan pertaian di Desa Cibatok Dua cukup besar memberikan kontribusi

terhadap pendapatan petani. Pada Gambar 2, nampak bahwa pengelolaan agroforestri memberikan kontribusi sebesar 36% dari seluruh pendapatan petani. Jumlah ini cukup besar mengingat hasil agroforestri seringkali hanya menjadi pendapatan sampingan.

Perhitungan analisis finansial dilakukan berdasarkan asumsi-asumsi sebagai berikut:

1. Harga yang berlaku adalah tingkat harga selama penelitian dilakukan, yaitu pada bulan Mei-Juni 2015.

2. Tingkat suku bunga rata-rata sebesar 7,5%. 3. Jangka waktu pola agroforestri untuk tanaman utaman sengon, diasumsikan diusahakan selama 6

tahun karena disesuaikan dengan jangka waktu tanaman tersebut dapat dipanen

36% 64%

Pendapatan

Agroforestri

Pendapatan

Non Agroforestri

Page 213: KAJIAN ALUR TATA NIAGA KAPULAGA (Amomum cardomum L

Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 691

4. Luas lahan yang diusahakan adalah 35,8 ha

Tabel 1. Analisis Kelayakan Finansial

Parameter Satuan Nilai

Net Present Value (NPV) Rp 64.197.125 Internal Rate Of Return (IRR) % 15 Net Benefit Cost Ratio (Net B/C Rasio) Point 2

Analisis finansial usaha agroforestri di Desa Cibatok Dua dengan metode Discounted Cash

Flow menggunakan discount rate 7,5%. Pada tahun ke-6, usaha ini akan memberikan sejumlah manfaat, ditunjukkan oleh nilai NPV yang lebih besar dari 0. Nilai IRR (15%) lebih besar dari tingkat suku bunga (7,5%), menunjukkan bahwa investasi masih dapat terbayarkan pada tingkat suku bunga. Nilai Net B/C lebih dari 1 menunjukkan bahwa biaya dapat tertutupi oleh keuntungan yang diperoleh dan dapat memberikan manfaat bersih. Dari ketiga kriteria kelayakan ini, dapat dikatakan bahwa usaha agroforestri sengon layak untuk diusahakan dan mampu memberikan keuntungan bagi petani pengelolanya.

Tantangan yang masih dihadapi petani di Desa Cibatok Dua adalah masih rendahnya tingkat pendidikan petani yang tentunya berpengaruh terhadap cara berpikir dan bersikap dalam pengelolaan agroforestri. Petani tidak menerapkan pengaturan jarak tanam yang baik, dan hanya sebagian petani yang menerapkan sistem pemaangkasan cabang. Petani banyak yang menjual sengon pada umur yang belum siap panen yaitu pada umur kurang dari 6 tahun sehingga diameter pohon yang ditebang kecil dan harga menjadi murah. Rantai pemasaran produk pertanian di Desa Cibatok Dua juga melalui tengkulak, bandar/pengepul, pengecer dan konsumen, sehingga harga yang diterima oleh petani sangat rendah.

Diperlukan penyuluhan dan pelatihan yang intensif bagi petani dan pemberian bantuan modal dari pemerintah ataupun pihak swasta serta perlu dibentuk koperasi atau bentuk usaha lain yang dapat langsung membeli kepetani dengan harga yang tinggi.

IV. KESIMPULAN

A. Kesimpulan Praktek agroforestri pada hutan rakyat yang terdapat di desa Cibatok Dua secara finansial

layak untuk diusahakan. Peran serta dan pengetahuan petani bagi pengembangan sistem agroforestri telah memberikan pengaruh bagi peningkatan pendapatan petani.

B. Saran

Penerapan praktek agroforestri sangat memerlukan penerapan sistem silvikultur yang intensif sehingga hasilnya lebih maksimal. Bagi aktivitas pemasaran pentingnya di bentuk Koperasi yang membantu memasarakan hasil dan melepaskan ketergantungan dari peran tengkulak

DAFTAR PUSTAKA

Mahendra F, 2009. Sistem Agroforestri dan Aplikasinya.Graha Ilmu. Rohadi D, Herawati T, Firdaus N, Maryani R, Permadi P, 2013. Strategi nasional Penelitian

agroforestri 2013-2030. Forda Press. Widayati W,Riyanto S, Himmah B, 2005. Kajian potensi Hutan Rakyat dan analisis Interaksi

masyarakat dengan sumberdaya alam di Kabupaten Boyolali. Jurnal Hutan Rakyat Vol VII No. 2 tahun 2005. Pusat Kajian Hutan rakyat Fakultas Kehutanan UGM.

Page 214: KAJIAN ALUR TATA NIAGA KAPULAGA (Amomum cardomum L

692 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

PENGELOLAAN HUTAN RAKYAT DI DESA LINGGAJAYA, KECAMATAN CISITU, KABUPATEN SUMEDANG (LOKASI DEMPLOT AGROFORESTRY TANAMAN HUTAN PENGHASIL OBAT

Syzygium cumini Linn)

Maria Palmolina1, Aris Sudomo1, dan Soleh Mulyana1

Balai Penelitian Teknologi Agroforestry Jl. Raya Ciamis-Banjar Km 4 Ciamis 46201 Telp. (0265) 771352, Fax. (0265) 775866

E-mail: [email protected]

ABSTRAK

Kajian ini bertujuan untuk mengetahui pengelolaan hutan rakyat di Desa Linggajaya Kecamatan Cisitu Kabupaten Sumedang yang merupakan daerah demplot agroforestry tanaman hutan penghasil obat jenis jamblang (Syzygium cumini Linn). Data dikumpulkan pada bulan Juni-September 2015 melalui observasi dan wawancara terhadap 35 (tiga puluh lima) orang anggota kelompok tani. Mayoritas responden berjenis kelamin laki-laki dengan usia >30 tahun dan berpendidikan SD/sederajat. Jenis tanaman kayu yang dikembangkan adalah mahoni, albasia, afrika, tisuk, aren, gmelina, suren, dan akasia. Sementara tanaman HHBK yang ditanam adalah tanaman buah (mangga, rambutan, sawo, jeruk Sunkist; bali; limau, nangka, cengkeh, lada, cabai arey), tanaman pangan (jagung manis; hibrida, talas, singkong, ubi jalar, pete, jengkol, cabai merah, cabai keriting, cengek, tomat, sawi, kucai, bawang daun, bawang merah, buncis, kangkung, dan kacang-kacangan; kacang panjang, merah, hijau, tanah, kacang gondola), serta tanaman herbal (jahe, kunyit, kencur, ponglay, sereh, raja/laos). Pengelolaan hutan rakyat dilakukan secara swadaya terdiri dari kegiatan persiapan lahan, penanaman, pemeliharaan, dan pemanenan. Persiapan lahan dan pemeliharaan tanaman kayu dilakukan bersamaan dengan persiapan dan pemeliharaan lahan untuk tanaman bawah. Tanaman kayu ditanam pada batas-batas lahan milik tanpa jarak tanam. Bibit diperoleh petani selain dari bantuan pemerintah dan non pemerintah, juga dari semaian yang ada di tegakan pohon induk di lahan milik. Pemanenan dilakukan dengan sistem tebang pilih (sesuai dengan kebutuhan rumah tangga petani). Dampak positif pengelolaan hutan rakyat di Desa Linggajaya yaitu debit air terus terjaga.

Kata kunci : pengelolaan hutan rakyat, konservasi, Sumedang.

I. PENDAHULUAN

Hutan rakyat adalah hutan yang tumbuh di atas tanah yang dibebani hak milik maupun hak lainnya di luar kawasan hutan dengan ketentuan luas minimal 0,25 hektar, penutupan tajuk tanaman kayu-kayuan dan/atau jenis tanaman lainnya lebih dari 50% (Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 9 tahun 2013). Kabupaten Sumedang, khususnya di Desa Linggajaya Kecamatan Cisitu merupakan wilayah yang memilki lahan hutan rakyat yang relatif luas. Kajian ini merupakan bagian dari kajian penelitian Penerapan Model Agroforestry Tanaman Hutan Penghasil Obat Jenis Jamblang (Syzygium cumini Linn). Dalam kajian ini yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana masyarakat mengelola hutan rakyat? Maka tujuan dari penelitian ini adalah mendeskripsikan pengelolaan hutan rakyat yang telah dikembangkan oleh masyarakat.

II. METODOLOGI

Kajian ini menggunakan pendekatan studi kasus. Studi kasus adalah uraian dan penjelasan komprehensif mengenai berbagai aspek seorang individu, suatu kelompok, suatu organisasi (komunitas), suatu program, atau suatu situasi sosial (Mulyana : 2002). Strategi studi kasus dalam penelitian ini merupakan studi kasus tunggal, sebagaimana yang dijelaskan oleh Basuki dan Isbandi (2008), bahwa studi kasus tunggal adalah penelitian yang diarahkan pada satu karakteristik, dalam

Page 215: KAJIAN ALUR TATA NIAGA KAPULAGA (Amomum cardomum L

Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 693

hal ini adalah sejumlah pribadi, yakni warga masyarakat di Desa Linggajaya Kecamatan Cisitu Kabupaten Sumedang.

Pengumpulan data primer dilakukan melalui kegiatan observasi tentang pengelolaan lahan di lokasi kajian dan dengan teknik wawancara semi terstruktur terhadap 35 orang responden. Selanjutnya data primer dan data sekunder yang telah terkumpul dianalisis secara deskriptif kualitatif untuk menjelaskan pengelolaan hutan rakyat yang berlangsung di Desa Linggajaya, meliputi: jenis komoditas yang ditanam, kepemilikan lahan, dan dominasi akses yang mengelola lahan.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Karakteristik Masyarakat Petani

Karakteristik masyarakat petani di Desa Linggajaya dapat digambarkan melalui profil responden (tabel 1). Mayoritas responden bermata pencaharian sebagai petani sawah dan kebun, serta peternak (68%). Pengelolaan lahan didominasi oleh responden laki-laki, dengan usia >30 tahun, yakni 30-50 tahun sebanyak 54%, dan >50 tahun sebanyak 46%. Mayoritas petani berpendidikan SD/sederajat (57%) dan jumlah tanggungan keluarga antara 1-3 orang (80%). Tabel 1. Karakteristik Responden

No. Uraian Jumlah %

1 Suku

Sunda 35 100

lainnya:……………… 0 0

2 Jenis Kelamin

a. Laki-laki 30 86

b. Perempuan 5 14

3 Usia (tahun)

a. < 30 0 0

b. 30-50 19 54

c. > 50 16 46

4 Tempat lahir

a. Dalam Desa 22 63

b. Luar Desa: 8 23

c. Luar Kecamatan 3 9

d. Luar Kabupaten 2 5

e. Luar Propinsi 0 0

5 Jumlah tanggungan keluarga

a. 1 - 3 orang 28 80

b. 4 - 6 orang 7 20

c. > 6 orang 0 0

6 Tingkat pendidikan

a. SD/sederajat 20 57

b. SLTP/sederajat 8 23

c. SLTA/sederajat 5 14

d. Diploma 1/2/3 1 3

e. Perguruan tinggi (S1/S2/S3) 1 3

7 Pekerjaan utama

Page 216: KAJIAN ALUR TATA NIAGA KAPULAGA (Amomum cardomum L

694 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

No. Uraian Jumlah %

a. Petani 20 57

b. Buruh tani 4 11

c. Non pertanian (tukang bangunan, pedagang, pns, pensiunan, tukang listrik)

11 32

8 Pekerjaan sampingan

a. Petani 8 23

b. Buruh tani 5 14

c. Peternak 7 20

d. Non pertanian (tukang kayu, peternak, tukang bangunan, pedagang, pns, pensiunan, ojek)

13 37

d. Tidak punya 2 6

Sumber: Data Primer 2015

Sebagian besar responden bermata pencaharian sebagai petani sawah dan kebun, serta peternak (68%). Mereka lebih intensif mengelola lahan basah dan ternak dibandingkan dengan lahan keringnya. Oleh karenanya, banyak dari lahan kering yang dimiliki responden dibiarkan saja tanpa ada pengelolaan yang intensif, sekalipun mereka memiliki lahan kering yang relatif lebih luas dari lahan basahnya. Secara umum lahan kering di Desa Linggajaya masih banyak yang terlantar baik lahan milik maupun lahan desa. Program dari Desa Linggajaya sendiri adalah berusaha menghijaukan kembali lahan kering di desa mereka.

B. Jenis Tanaman Hutan Rakyat

Kombinasi jenis tanaman kayu yang dikembangkan oleh masyarakat Desa Linggajaya, Cisitu, Sumedang adalah tanaman kayu-kayuan seperti: mahoni, afrika, tisuk, sengon/albasia, jati, bambu, gmelina, manglid, suren, akasia, dan jabon. Sementara tanaman hasil hutan bukan kayu (HHBK) yang ditanam adalah tanaman buah-buahan (jengkol, nangka, rambutan, mangga, manggis, sawo, pisang, jambu, petai, mices, jeruk bali, jeruk sunkist, alpukat, kopi, kelapa, aren, dan durian), tanaman penghasil minyak (cengkeh), tanaman bawah: (a) empon-empon/herbal: jahe, kunyit, laos, kunir, sereh, pandan wangi, dan salam, (b) palawija: padi, cengek (cabe rawit), cabe merah, jagung hibrida, jagung manis, tomat, bawang daun, seledri, kacang tanah, dan (c) umbi-umbian: cikur dan ubi kayu. Selain bertani, masyarakat pun memelihara ikan dan hewan ternak (tabel 2).

Melihat pola pemanfaatan lahan yang dilakukan oleh masyarakat petani di Desa Linggajaya ini, tampaklah bahwa mereka menggunakan pola agroforestry dalam pengelolaannya sebagaimana yang dijelaskan oleh Nair (1993) bahwa agroforestry merupakan sistem penggunaan lahan terpadu, yang memiliki aspek sosial dan ekologi, dilaksanakan melalui kombinasi pepohonan dengan tanaman pertanian dan/atau ternak (hewan), baik secara bersama-sama atau bergiliran, sehingga dari satu unit lahan tercapai hasil total nabati atau hewani yang optimal dalam arti berkesinambungan. Pengelolaan lahan yang dilakukan oleh masyarakat petani tersebut adalah dengan tujuan agar pendapatan mereka berkelanjutan sepanjang tahun; pemenuhan kebutuhan rumah tangga petani dalam jangka waktu pendek, didapat dari pertanian, pemenuhan kebutuhan jangka menengah didapat dari peternakan dan perikanan, dan untuk pemenuhan kebutuhan jangka panjang didapat dari pohon buah-buahan dan kayu.

Tabel 2. Jenis tanaman yang dikelola oleh masyarakat petani di Desa Linggajaya

Kelompok Nama pohon

Kayu mahoni, afrika, tisuk, sengon/albasia, jati, bambu, gmelina, manglid, suren, akasia, jabon.

Page 217: KAJIAN ALUR TATA NIAGA KAPULAGA (Amomum cardomum L

Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 695

Kelompok Nama pohon

HHBK Buah jengkol, nangka, rambutan, mangga, manggis, sawo, pisang, jambu, petai, mices, jeruk bali, jeruk sunkist, alpukat, kopi, kelapa, aren, durian

HHBK Minyak Cengkeh

Tanaman Bawah

empon-empon/herbal: jahe, kunyit, laos, kunir, sereh, pandan wangi, salam,

palawija: padi, cengek (cabe rawit), cabe merah, jagung hibrida, jagung manis, tomat, bawang daun, seledri, kacang tanah.

umbi-umbian: cikur, ubi kayu.

Kolam mujaer, mas, nilem.

Ternak ayam, kambing, sapi.

Sumber: Data Primer 2015 Kini, masyarakat petani di Sumedang khususnya Desa Linggajaya lebih suka menanam

tanaman kayu seperti: jati, mahoni, sengon, gmelina, acasia mangium, tisuk, daripada tanaman mpts yang dulunya dominan ditanam oleh masyarakat Sumedang yakni tanaman jengkol. Menurut masyarakat Sumedang tanaman kayu harganya tinggi tanpa harus perawatan, pasarannya mudah, dan umur panen kayu lebih pendek daripada tanaman jengkol. Selain itu juga adanya pengaruh dari pedagang bibit tanaman kayu yang mempromosikan bibit dagangannya dengan gencar. Sementara menurut Kepala Dukuh (2015); Potensi lahan di Desa Linggajaya dan sekitarnya dapat dikembangkan dengan diversifikasi lahan yaitu antara lain dengan penanaman buah-buahan dan perkebunan untuk menjaga kestabilan hasil per waktu daripada hanya menanam tanaman kayu.

C. Kepemilikan dan Luas lahan Garapan

Dulu, tanah atau lahan hanyalah dianggap sebagai jalan yang dilewati atau tempat tinggal sementara. Namun dalam perkembangannya, tanah/lahan memiliki makna penting yang tidak lagi sebagai tempat singgah sementara, tetapi sebagai tempat hidup. Saat konsep pertanian dikenal, manusia mulai memanfaatkan tanah/lahan sebagai sumber produksi untuk bertahan hidup bahkan menjadi sumber kekuasaan. Tanah/lahan menjadi bagian yang penting dalam kehidupan manusia, terutama pada masyarakat agraris. Tanah/lahan kini menjadi persoalan hidup mati (survival), kepentingan, harga diri, eksistensi, “ideologi”, dan nilai (Suryadi, 2010). Demikian halnya dengan masyarakat petani di Desa Linggajaya; tanah/lahan bagi petani merupakan tumpuan hidup. Tanpa tanah/lahan, petani kehilangan sumber penghidupannya apalagi bagi petani yang memiliki tanah/lahan sempit. Rata-rata masyarakat petani di Desa Linggajaya memiliki luas lahan garapan < 0,25 ha (51,4%). Selebihnya (48,6%) memiliki lahan antara 0,25 sampai dengan 1 ha sejumlah 22,9% dan diatas 1 ha (> 1 ha) sejumlah 25,7% (gambar 1). Kepemilikan lahan tersebut berasal dari warisan, membeli dan pembagian dari desa.

Gambar 1. Distribusi Responden Berdasarkan Luas Kepemilikan Lahan

0,00%

20,00%

40,00%

60,00%

< 0.25 ha 0,25 - 1 ha > 1 ha

< 0.25 ha

0,25 - 1 ha

> 1 ha

Page 218: KAJIAN ALUR TATA NIAGA KAPULAGA (Amomum cardomum L

696 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

D. Dominasi Akses Mengelola Lahan Garapan Pengelolaan lahan banyak dilakukan oleh kaum pria dan wanita (48%), satu sama lain

memiliki tugas sendiri. Namun ada juga pengelolaan lahan dilakukan oleh kaum pria saja (44%) atau perempuan saja (8%) (gambar 2). Hal ini dikarenakan pada sebagian responden (44%) menyatakan bahwa bagian perempuan adalah domestik, sementara para pria berkewajiban mencari nafkah, yang itu berarti mereka melakukan pekerjaan di luar rumah, diantaranya bekerja di lahan (kebun/sawah). Sementara sebagian responden (8%) yang menyatakan bahwa pengelolaan lahan dilakukan oleh kaum perempuan dikarenakan anggota keluarganya termasuk suami telah tak ada, sementara untuk mengupah orang lain tak ada biaya dan luasan yang dimiliki pun masih terjangkau oleh tenaga mereka.

Gambar 2. Distribusi Responden Berdasarkan yang Mengelola Lahan

Pengelolaan hutan rakyat dilakukan secara swadaya terdiri dari kegiatan persiapan lahan,

penanaman, pemeliharaan, dan pemanenan. Persiapan lahan dan pemeliharaan tanaman kayu dilakukan bersamaan dengan persiapan dan pemeliharaan lahan untuk tanaman bawah. Tanaman kayu ditanam pada batas-batas lahan milik tanpa jarak tanam. Bibit diperoleh petani selain dari bantuan pemerintah dan non pemerintah, juga dari semaian yang ada di tegakan pohon induk di lahan milik. Pemanenan dilakukan dengan sistem tebang pilih (sesuai dengan kebutuhan rumah tangga petani).

Penanaman tanaman baik itu tanaman jenis kayu-kayuan (buah-buahan) maupun tanaman bawah seperti: padi, sayuran, dan rempah-rempah umumnya dilakukan pada musim hujan. Sedangkan tanaman umbi-umbian, seperti ubi kayu bisa ditanam pada musim kemarau. Sementara itu untuk pemanenanya; untuk buah-buahan sepanjang tahun/tiap bulan panen; untuk sayuran puncaknya di bulan Februari-April; untuk umbi-umbian pada bulan agustus, untuk rempah-rempahan di bulan Juni-Juli; untuk tanaman obat pada bulan Juni dan Agustus; dan untuk jagung, terbagi 2: bila jagung manis di bulan januari dan jagung hibrida di bulan Februari.

Perolehan bibit di Desa Linggajaya dominan dari bantuan pemerintah dan non pemerintah, hal ini yang menyebabkan masyarakat petani kurang inisiatif untuk menanam. Karakter dari petani desa Linggajaya adalah bilamana ada bantuan bibit, mereka baru mau melakukan penanaman, tetapi begitu selesai tanam mereka tidak mau lebih lanjut mengelolanya. Tanaman tersebut dibiarkan tumbuh sejadinya, setelah cukup umur, dipanen tanpa melakukan penanaman kembali sambil menunggu datangnya bantuan lagi. Pemanenan dilakukan bilamana kayu telah berusia 5 tahun dan atau kondisi keuangan rumah tangga sedang membutuhkan dana cepat dan besar, namun umumnya pemanenan kayu dilakukan pada bulan Juni-Juli di saat ajaran baru, anak-anak masuk sekolah.

Kecenderungan pengelolaan hutan rakyat yang dilakukan oleh masyarakat bersifat subsisten/semi komersial karena masih merupakan usaha sampingan skala kecil pada lahan-lahan sempit dan kritis, input teknologi rendah, dan sebagai pemenuhan kebutuhan sehari-hari (pangan, sandang, perumahan). Menurut Scott (1981), para petani subsisten lebih mengutamakan apa yang dianggap aman dan dapat diandalkan dari pada keuntungan yang dapat diperoleh pada jangka panjang. Petani lebih enggan menerima resiko dan lebih memilih untuk meminimkan resiko, sulit

laki-laki (44%)

perempuan (8%)

laki-laki dan perempuan(48%)

Page 219: KAJIAN ALUR TATA NIAGA KAPULAGA (Amomum cardomum L

Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 697

menerima inovasi bukan karena pendidikan rendah, melainkan disebabkan oleh kehidupan mereka yang subsisten.

Dampak positif pengelolaan hutan rakyat di Desa Linggajaya yaitu debit air terus terjaga, hingga penelitian dilakukan yakni di musim kemarau yang sangat kering, persediaan air masih cukup banyak. Hanya saja untuk pengairan sawah/kebun berkurang.

Gambar 3. Lahan hutan rakyat

Gambar 4. Lahan demplot penerapan agroforestry tanaman obat jenis jamblang (Syzygium cumini Linn)

IV. KESIMPULAN DAN SARAN A. KESIMPULAN

Pengelolaan hutan rakyat di Desa Linggajaya Kecamatan Cisitu Kabupaten Sumedang bersifat subsistem/semi subsistem. Sekalipun luasan hutan rakayat luas dalam artian penggunaan lahan lebih banyak ditanami tanaman kayu, namun masih dalam rangka pemenuhan kebutuhan primer untuk dapat survive mempertahankan kehidupan rumah tangga. Pengelolaan Hutan Rakyat yang dilakukan oleh masyarakat petani di Desa Linggajaya memberikan dampak positif bagi ketersediaan air.

B. SARAN

Masyarakat Desa Linggajaya memerlukan sosialisasi pengelolaan hutan rakyat yang menyediakan lapangan pekerjaan/menumbuhkan sektor-sektor usaha rakyat dari hasil hutan rakyat. Dalam hal ini, berkaitan dengan kegiatan pembangunan demplot agroforestry tanaman hutan jenis obat Syzygium cumini Linn, maka diharapkan kedepannya kegiatan pembangunan demplot agroforestry, tidak hanya menanam, namun juga memberikan solusi pemasaran hasil dari agroforestry tanaman obat tersebut.

Page 220: KAJIAN ALUR TATA NIAGA KAPULAGA (Amomum cardomum L

698 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

DAFTAR PUSTAKA

Basuki dan Isbandi. 2008. Konstruksi Sosial Peran Pemuka Agama Dalam Menciptakan Kohesivitas Komunikasi Sosial Di Kota Mataram. Jurnal Ilmu Komunikasi, Volume 6, Nomor 2, Mei – Agustus 2008. http://repository.upnyk.ac.id/2304/1/Basuki-Isbandi.pdf Tanggal akses: 1 November 2015.

Mulyana, Deddy. 2002. Metode Penelitian Kualitatif. Remaja Rosdakarya. Bandung. Nair, P. K. R. 1993. An Introduction to Agroforestry. The Netherlands; Kluwer Academic Publiser. Scott, James. 1981. Moral Ekonomi Petani. Terjemah dari : The Moral Ekonomy of the peasant.

Penerjemah: Hasan Basari; Editor: Bur Rasuanto. LP3ES. Jakarta. Suryadi, Ringga Arie. 2010. Pengaruh Kepemilikan Tanah Terhadap Pendapatan Petani. Jurusan

Manajemen Sumber Daya Manusia. Universitas Bhayangkara. Surabaya. (Skripsi). Tidak diterbitkan.

Page 221: KAJIAN ALUR TATA NIAGA KAPULAGA (Amomum cardomum L

Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 699

KONTRIBUSI AGROFORESTRI TERHADAP PENDAPATAN RUMAH TANGGA PETANI (Studi Kasus: Desa Janji Raja, Kecamatan Sitiotio, Kabupaten Samosir, Sumatera Utara)

Pebrianto Rajagukguk, Evi Sribudiani, M. Mardhiansyah

Jurusan Kehutanan, Faperta, Universitas Riau

ABSTRACT

Agroforestri is a land use system which combines woody plants with agricultural crops or combines woodys. Janji Raja village became one of the villages that make agroforestri as a source of their economy. The research was conducted to provide information regarding the contribution of agroforestri to the farmer households , information about the agroforestri system adopted as well as level efficiency of the agroforestri system adopted by local farmers. The results of research showed that farmers implement simple agroforestry system who combined trees with fruit crops and trees with crops in which land with agroforestri systems contribute to farmer household income was 55.24% and agroforestri system is considered to be very efficient with the value of an efficiency of 13,78. Keywords: agroforestri, contribution, revenue, efficient

I. PENDAHULUAN Agroforestri merupakan suatu sistem pengelolaan lahan untuk mengatasi masalah

ketersediaan lahan dan peningkatan produktivitas lahan. Masalah yang sering timbul adalah alih fungsi lahan yang menyebabkan lahan hutan semakin berkurang. Agroforestri diterapkan untuk mengatasi masalah tersebut dan masalah ketersediaan pangan.

Pada umumnya di masyarakat pedesaan, pola dan pengembangan agroforestri yang diterapkan telah menjadi sebuah tradisi secara turun temurun. Bentuk agroforestri tradisional dapat ditemukan di Desa Janji Raja, Kecamatan Sitiotio, Provinsi Sumatera Utara.

Desa Janji Raja merupakan salah satu desa di Kabupaten Samosir yang menjadikan agroforestri sebagai sumber ekonominya. Walaupun agroforestri dikelola secara tradisional, kontribusinya terhadap pemenuhan kebutuhan primer hingga sekunder sangat dirasakan oleh petani.

Masyarakat petani Desa Janji Raja mengelola lahan yang dimiliki dengan sistem tanam campur bertujuan untuk mengoptimalkan penggunaan lahan. Pada umumnya, petani berusaha memanfaatkan lahan dengan membudidayakan tanaman-tanaman yang bernilai tinggi dan cepat menghasilkan. Pemilihan jenis tanaman tersebut guna mendapatkan hasil atau pendapatan yang lebih besar. Luasan lahan yang dimiliki oleh masyarakat petani juga mempengaruhi keinginan petani untuk menerapkan sistem agroforestri. Komoditas utama tanaman di Desa Janji Raja adalah tanaman kopi dan jenis buah-buahan. Sedangkan tanaman kehutanan seperti pohon suren dijadikan sebagai tanaman selingan atau disisipi diantara tanaman komoditi utama. Hal tersebut sangat menarik untuk didalami karena komoditi tersebut dijadikan sebagai sumber pendapatan keluarga.

II. METODE PENELITIAN

Penelitian dilaksanakan di Desa Janji Raja, Kecamatan Sitiotio, Kabupaten Samosir, Provinsi Sumatera Utara. Objek penelitian adalah seluruh petani yang menerapkan system agroforestri. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara dan studi pustaka.

Beberapa metode perhitungan dilakukan dengan rumus-rumus sebagai berikut (Rachman, 2011):

Page 222: KAJIAN ALUR TATA NIAGA KAPULAGA (Amomum cardomum L

700 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

1. Pendapatan petani dari kegiatan agroforestri Keterangan : Produk agroforestri = hasil penjualan kayu, buah dan palawija

2. Pendapatan petani dari kegiatan non agroforestri Keterangan : Produk non agroforestri = hasil perdagangan, gaji, peternakan dan sumber lainnya

3. Pendapatan total petani

Keterangan : Itot = Jumlah pendapatan total rumah tangga petani

4. Presentase pendapatan dari agroforestri terhadap total pendapatan

Keterangan : Iaf% = Presentase pendapatan dari agroforestri

5. Menghitung total pengeluaran Keterangan : Ctot = Total pengeluaran rumah tangga selama periode satu tahun C = Jumlah biaya yang dikeluarkan untuk memenuhi kebutuhan

6. Presentase pendapatan total rumah tangga terhadap total pengeluaran Keterangan : Itot% = Presentase pendapatan total rumah tangga terhadap total pengeluaran

7. Efisiensi Keterangan : Bt = Manfaat (benefit) Ct = Biaya (cost)

Pengelolaan agroforestri tergolong efisien apabila hasil perhitungan net B/C menunjukkan nilai >1. Semakin besar nilai net B/C semakin tinggi pula tingkat efisiensinya (Pattisahusiwa, 2007).

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Kondisi Umum Lokasi Penelitian

Iaf=ΣPendapatan petani dari agroforestri

Inaf=ΣPendapatan petani dari non agroforestri

Itot = Iaf + Inaf

Iaf% = ( Ihr / Itot ) × 100%

Ctot = Σ C

Itot % = ( Itot / Ctot ) ×100%

⁄ ∑ ( )

∑ ( )

Page 223: KAJIAN ALUR TATA NIAGA KAPULAGA (Amomum cardomum L

Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 701

Secara geografis Kabupaten Samosir terletak pada 20 21'38'' – 20 49'48'' Lintang Utara dan 980 24'00'' – 990 01'48'' Bujur Timur. Kabupaten Samosir merupakan pemekaran dari Kabupaten Toba Samosir yang diresmikan pada tanggal 7 Januari 2004 dengan Ibu Kota Pangururan. Luas wilayah Kabupaten Samosir adalah 2.069,05 km2. Kabupaten Samosir terdiri dari 9 kecamatan, 6 diantaranya terdapat di pulau Samosir dan 3 kecamatan lainnya berada di seberang pulau (termasuk Kecamatan Sitiotio). Jarak Kecamatan Sitiotio dengan Kota pangururan adalah 22 km. (BPS, 2014).

Desa Janji Raja terletak di Kecamatan Sitiotio Kabupaten Samosir. Desa Janji Raja merupakan salah satu dari delapan desa yang terdapat di Kecamatan Sitiotio. Luas wilayahnya adalah ±6,31 km2 atau 12,34% dari luas Kecamatan Sitiotio, dihuni 1.177 jiwa dengan jumlah laki-laki 578 jiwa, perempuan 599 jiwa dan jumlah kepala keluarga 293 kk. Kepadatan penduduk rata-rata sebesar 143,03 jiwa/km² (Potensi desa, 2014). Desa Janji Raja merupakan daerah bagian dari jajaran bukit barisan dengan ketinggian mulai dari 904 mdpl hingga 2.157 mdpl.sebagian besar (66,67%) desa di Kecamatan Sitiotio berada pada lereng pegunungan. Luas lahan yang dikelola masyarakat untuk kegiatan agroforestri adalah seluas 63 ha dan untuk lahan pertanian lainnya seluas 37 ha. Desa Janji Raja berada pada kelerengan antara 15-25%. Terdapat 4 dermaga kapal dimana alat transportasi yang paling dominan digunakan masyarakat adalah kapal karena lokasi desa berada di pesisir danau toba (BPS, 2014).

Berdasarkan data potensi Desa Janji Raja (2014 ), curah hujan rata-ratanya adalah 118-369 mm/bulan yaitu termasuk klasifikasi iklim tipe A yaitu iklim tropis yang mempunyai musim kemarau dan musim hujan dengan temperatur udara rata-rata 21,30 C. Jenis tanah yang terdapat di Desa Janji Raja ada tiga jenis yaitu ultisol, entisol dan aluvial (pada lahan persawahan), merupakan daerah berbatuan dengan jenis batuan aluvium, sedimen dan volkanik.

Desa Janji Raja terdiri dari tiga dusun yaitu Dusun Rapusan, Dusun Sosorpea dan Dusun Hutagurgur. Batas wilayah Desa Janji Raja adalah:

Sebelah utara berbatasan dengan Desa Holbung Kecamatan Sitiotio Kabupaten Samosir

Sebelah selatan berbatasan dengan Desa Tipang Kecamatan Baktiraja Kabupaten Humbang Hasundutan

Sebelah barat berbatasan dengan Desa Tipang Kecamatan Baktiraja Kabupaten Humbang Hasundutan

Sebelah timur berbatasan dengan danau toba

B. Karakteristik Petani Agroforestri Karakteristik responden di Desa Janji Raja diperoleh dari hasil wawancara. Jumlah responden

yang diambil adalah 30 orang anggota kelompok tani yang menerapkan sistem agroforestri pada lahannya. Data yang dikumpulkan meliputi identitas, umur, tingkat pendidikan, pekerjaan, jumlah anggota keluarga, pendapatan dan pengeluaran responden. 1. Umur

Berdasarkan data yang dikumpulkan, umur responden yang paling muda adalah 34 tahun dan yang paling tua berumur 66 tahun. Data mengenai umur responden disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Umur responden

No. Umur (Tahun) Jumlah (Orang) Persentase (%)

1 34-39 5 16.67 2 40-45 4 13.33 3 46-51 5 16.67 4 52-57 7 23.33 5 58-63 4 13.33 6 ≥64 5 16.67

Total 30 100.00

Sumber : Data olahan, 2015

Page 224: KAJIAN ALUR TATA NIAGA KAPULAGA (Amomum cardomum L

702 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

Tabel 1 menunjukkan persentase umur responden terbesar berada pada selang umur 52-57 tahun sebesar 23,33%. Hal ini membuktikan bahwa petani agroforestri setempat merupakan generasi tua. Adanya responden yang berusia muda menunjukkan bahwa pada dasarnya kepemilikan lahan di Desa Janji Raja tersebut merupakan lahan warisan yang telah dimiliki secara turun temurun dari satu generasi ke generasi berikutnya. Usia hingga umur 57 tahun adalah masih tergolong produktif. Usia yang mulai melemah produktivitasnya adalah mulai dari 58 tahun ke atas. Hal ini didukung dengan semakin menurunnya daya tahan tubuh seseorang pada usia tua (Sumarsono, 2003 dalam Setiawan, 2010). 2. Pendidikan

Tingkat pendidikan berpengaruh terhadap pola pikir petani dalam mengelola lahan yang dimilikinya. Tingkat pendidikan yang dijalani responden disajikan dalam Tabel 2. Tabel 2. Tingkat pendidikan responden

No Tingkat Pendidikan Jumlah (Orang) Persentase (%)

1 SD 13 43.33 2 SMP 6 20.00 3 SMA 11 36.67

Total 30 100.00

Sumber : Data olahan, 2015 Tingkat pendidikan sangat berpengaruh dalam kegiatan usaha tani, karena semakin tinggi

pendidikan maka pengalaman yang diperoleh akan semakin luas dalam pengelolaan lahan (Suryadi, 1994 dalam Setiawan, 2010).

Tingkat pendidikan SMA pada umumnya didominasi oleh responden yang berusia lebih muda. Tingkat pendidikan yang masih rendah menyebabkan keterbatasan kemampuan untuk mengembangkan sistem yang telah diterapkan belum lagi kebutuhan hidup rumah tangganya yang mendesak, sehingga yang dilakukan responden adalah meneruskan sistem agroforestri sebelumnya. Kesesuaian jenis tanaman yang dikelola, cara pengelolaan dan cara merespon pasar sangat penting. Hal ini dapat meningkatkan pendapatan. 3. Pekerjaan Responden

Responden merupakan anggota kelompok tani, namun perbedaan tingkat pengeluaran rumah tangga semakin mendorong petani untuk mencari pekerjaan sampingan. Pekerjaan sampingan yang dimiliki responden bervariasi. Jenis pekerjaan tersebut disajikan dalam Tabel 3. Tabel 3. Pekerjaan responden

No Pekerjaan Utama dan Sampingan

Jumlah (Orang)

Persentase (%)

1 Petani 11 36.67 2 Petani, buruh tani 9 30.00 3 Petani, wiraswasta 7 23.33 4 Petani, nelayan 2 6.67 5 Petani, PNS 1 3.33

Total 30 100.00

Sumber : Data olahan, 2015 Persentase pekerjaan sampingan paling besar responden adalah sebagai buruh tani yaitu

sebesar 30%. Banyaknya pekerjaan sampingan sebagai buruh tani karena dalam pengelolaan lahan pertanian membutuhkan tenaga kerja hampir setiap hari. Alasan lainnya adalah rendahnya penghasilan yang diperoleh dari lahan milikinya. Sebagian besar responden menggunakan sistem upah terhadap pekerja untuk mengelola lahannya terutama pada areal persawahan, karena mulai dari pengelolaan lahan, penanamam hingga pemanenan padi sangat membutuhkan tenaga kerja. Hal

Page 225: KAJIAN ALUR TATA NIAGA KAPULAGA (Amomum cardomum L

Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 703

ini disebabkan oleh banyaknya responden yang telah berusia tua, sehingga tenaga kerja yang dimilikinya semakin lemah. Pada umumnya, tingkat pendapatan yang rendah semakin mendorong keinginan seseorang untuk mencari pekerjaan sampingan (Hernanto, 1994 dalam Setiawan, 2010). 4. Jumlah Anggota Keluarga

Berdasarkan hasil wawancara yang telah dilakukan, jumlah anggota keluarga petani sangat bervariasi. Jumlah anggota keluarga responden tersebut disajikan pada Tabel 4. Tabel 4. Jumlah anggota keluarga responden

No Jumlah anggota keluarga (Orang)

Jumlah (Orang)

Persentase (%)

1 2-4 4 13.33 2 5-7 12 40.00 3 8-10 14 46.67

Total 30 100.00

Sumber : Data olahan, 2015 Persentase jumlah anggota keluarga paling tinggi adalah 8-10 orang yaitu 46.67%. Jumlah

anggota keluarga sangat berpengaruh terhadap pengeluaran rumah tangga dan hal ini sangat mendorong keinginan petani untuk mencari penghasilan tambahan dalam memenuhi kebutuhannya (Sicat dan Arndt, 1991 dalam Barus, 2015). sebagian besar dari anggota keluarga responden telah berusia dewasa. Anggota keluarga responden banyak yang sudah menikah dan pergi ke daerah lain untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dengan mencari pekerjaan lain dan menetap di luar daerah.

C. Sistem Agroforestri

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilaksanakan, sistem agroforestri yang diterapkan oleh petani di Desa Janji Raja adalah menggunakan sistem agroforestri sederhana. Masyarakat mengelola lahan miliknya dengan mengkombinasikan jenis pepohonan baik yang memiliki nilai ekonomi tinggi maupun rendah. Hal ini mengacu pendapat Sagata (2011) yang menyatakan bahwa agroforestri sederhana juga merupakan kombinasi pepohonan dengan tanaman tahunan.

Jenis tanaman yang dikombinasikan masyarakat petani pada umumnya adalah tanaman kopi dengan jenis pohon lainnya seperti suren, mangga, kakao, kemiri, mimba atau gamal. Namun ada juga masyarakat yang mengelola lahan miliknya dengan mengkombinasikan pohon dengan tanaman semusim. Jenis tanaman semusim yang ditanam adalah ubi kayu atau kacang tanah. Jenis pohon pada lahan agroforestri di Desa Janji Raja disajikan pada Tabel 5. Tabel 5. jenis pohon pada lahan agroforestri di Desa Janji Raja

No. Jenis tanaman Nama ilmiah

1 Kopi Coffea arabica 2 Kakao Theobroma cacao L. 3 Kemiri Aleurites moluccana 4 Mangga Mangifera indica 5 Suren Toona sureni 6 Mimba Azadirachta indica Juss. 7 Dadap Erythrina variegata L 8 Kelapa Cocos nucifera 9 Gamal Gliricidia sepium

10 Cengkeh Syzygium aromaticum

Sumber : Data olahan, 2015 Tanaman yang menjadi komoditas utama adalah kopi. Pemilihan jenis tanaman ini karena

tanaman kopi dapat tumbuh dengan baik di daerah tersebut dan dapat tumbuh dibawah naungan

Page 226: KAJIAN ALUR TATA NIAGA KAPULAGA (Amomum cardomum L

704 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

tanaman lainnya. Tanaman kopi juga memiliki nilai ekonomi yang tinggi dan permintaan pasar terus meningkat. Alasan lainnya petani menanam tanaman tersebut karena hasil buah yang dipanen dapat secara rutin dan berkesinambungan. Hasil tersebut sangat membantu masyarakat dalam memenuhi kebutuhan sehari-harinya. Anonim (2013) menyatakan bahwa tanaman kopi dapat tumbuh dengan baik pada daerah dengan ketinggian 700-1500 mdpl. Hal ini membuktikan bahwa tanaman kopi dapat tumbuh dengan baik di Desa Janji Raja. Tanaman gamal ditanam diantara tanaman kopi dengan tujuan untuk menyuburkan tanah. Hal ini sesuai dengan pendapat Bratamiharja (1991) dalam Pattisahusiwa (2007) yang menyatakan bahwa tanaman gamal dapat menyuburkan tanah sekaligus sebagai tanaman naungan. Petani di Desa Janji Raja juga mengelola sebagian lahan miliknya dengan sistem monokultur. Jenis tanaman pertanian yang ditanam petani juga bervariasi. Hampir semua responden menanam tanaman padi.

Pertanian monokultur ini diterapkan untuk menambah pendapatan rumah tangga. Jenis tanaman pertanian pada pertanian monokultur dan agroforestri disajikan pada Tabel 6. Tabel 6. Jenis tanaman pertanian di Desa Janji Raja

No. Jenis tanaman Nama ilmiah

1 Padi Oryza sativa 2 Bawang Merah Allium cepa L. 3 Kacang Tanah Arachis hypogea 4 Singkong Manihot esculenta 5 Pisang Musa acuminata

Sumber : Data olahan, 2015

Tanaman pertanian monokultur dikelola pada lahan yang berbeda dengan agroforestri. Pemilihan jenis didasarkan pada kesesuaian jenis tanaman di lokasi pertanian, seperti tanaman bawang merah ditanam karena tanaman tersebut dapat tumbuh dengan baik di lahan milik petani.

D. Kontribusi Agroforestri 1. Pendapatan Responden

Pendapatan dihitung dalam jangka waktu satu tahun terakhir berdasarkan perolehan dari pekerjaan masing-masing responden baik dari agroforestri, pertanian monokultur maupun non agroforestri. Pendapatan agroforestri dihitung dari hasil penjualan kayu, panen buah dan palawija yang dikelola oleh petani. Pendapatan dari pertanian monokultur dihitung dari hasil usaha pertanian tanaman sejenis yang dikelola pada lahan yang terpisah dari lahan agroforestri. Sedangkan pendapatan non agroforestri dihitung dari hasil perdagangan, peternakan, gaji atau upah dan lain-lain. Data penghasilan responden disajikan pada Tabel 7.

Tabel 7. Pendapatan seluruh responden tahun 2014

Sumber Pendapatan Jumlah (Rp

/Tahun) Rata-rata

(Rp/Tahun) Persen

(%)

Agroforestri

a. Kayu 107.100.000,00 3.570.000,00 13.44

b. Buah 323.400.000,00 10.780.000,00 40.57

c. Palawija 9.900.000,00 330.000,00 1.24

Pertanian monokultur 180.750.000,00 6.025.000,00 22.67

Non Agrofotrestri 176.050.000,00 5.868.333,00 22.08

Total 797.200.000,00 26.573.333,00 100

Sumber : Data olahan, 2015 Persentase pendapatan agroforestri terbesar diperoleh dari hasil penjualan buah yaitu

40.57%. Sedangkan pendapatan terkecil diperoleh dari hasil penjualan tanaman palawija yaitu

Page 227: KAJIAN ALUR TATA NIAGA KAPULAGA (Amomum cardomum L

Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 705

1.24%. Pendapatan dari pemanenan kayu tidak besar karena masyarakat memanen kayu dari lahan miliknya pada saat ada kebutuhan mendesak. Pertanian monokultur yang dikelola responden adalah tanaman padi dan bawang merah. Pertanian monokultur diusahakan petani pada lahan yang berbeda dengan lahan agroforestri. Sedangkan pendapatan dari non agroforestri adalah 22.08% yaitu sebesar Rp176.050.000,00. Pendapatan dari non agroforestri ini didominasi dari gaji/upah responden, karena sebagian besar pekerjaan sampingan responden adalah sebagai buruh tani.

Besarnya pendapatan petani dari penjualan buah diperoleh dari penjualan buah kopi. Berbeda dengan agroforestri pada umumnya yang mengandalkan pendapatan dari hasil penjualan kayu. Masyarakat tetap menanam tanaman berkayu di lahan miliknya. Pada umumnya, petani menjadikan kayu tersebut sebagai tabungan untuk kebutuhan mendesak yang dikenal istilah daur butuh. Kayu ditebang pada saat ada kebutuhan yang mendadak.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa sistem penjualan hasil agroforestri petani adalah langsung tanpa perantara atau tengkulak. Dalam penjualan hasil kayu, pembeli langsung datang jika ada kayu yang mau dijual. Masyarakat umumnya menjual hasil kayunya kepada pembuat kapal kayu ataupun kepada orang yang mau membangun rumah yang ada di desa tersebut. Harga jual yang digunakan sesuai dengan harga pasar, sehingga keuntungan yang diperoleh petani semakin besar. Hal ini sejalan dengan pendapat (Afriantho, 2008) yang menyatakan bahwa penjualan hasil usaha tani dengan perantara tengkulak akan mengurangi harga jual suatu barang. Harga jual langsung ke tempat industri lebih tinggi dibandingkan dengan perantara tengkulak. Pada umumnya, pembeli datang langsung ke lokasi dan biaya pengangkutan ditanggung oleh pembeli tersebut. 2. Pengeluaran Responden

Pengeluaran responden dihitung untuk semua keperluan mulai dari kebutuhan tetap tahunan, biaya insidental dan biaya lainnya yang dikeluarkan responden selama tahun 2014. Pengeluaran responden sangat bervariasi karena jumlah anggota keluarga yang ditanggung berbeda-beda. Data pengeluaran responden disajikan pada Tabel 8. Tabel 8. Pengeluaran responden untuk biaya tetap tahun 2014

Jenis Pengeluaran

Jumlah (Rp/Tahun)

Rata-rata (Rp/Tahun)

Persen (%)

Pangan 408.200.000,00 13.606.667,00 62.65 Sandang 15.600.000,00 520.000,00 2.39 Pendidikan 141.300.000,00 4.710.000,00 21.69 Sarana rumah tangga 15.450.000,00 515.000,00 2.37

Tabungan 25.700.000,00 856.666,00 3.95 Kesehatan 45.300.000,00 1.510.000,00 6.95

Total 651.550.000,00 21.718.333,00 100.00

Sumber : Data olahan, 2015 Tabel 8 menunjukkan bahwa total biaya tetap tahunan responden adalah sebesar

Rp651.550.000,00. Pengeluaran terbesar dialokasikan untuk memenuhi kebutuhan pangan dengan persentase 62.65% yaitu sebesar Rp408.200.000,00. Sedangkan pengeluaran yang paling kecil dialokasikan untuk memenuhi kebutuhan sarana rumah tangga, besar persentasenya adalah 2.37%. Rendahnya pengeluaran ini karena masyarakat Desa Janji Raja tinggal di pinggiran danau toba dan adanya mata air dari pengunungan sehingga tidak perlu mengeluarkan biaya untuk membeli air untuk keperluan sehari-hari. Penggunaan listrik responden pun masih tergolong rendah yaitu berkisar Rp20.000,00-80.000,00/bulannya. Berdasarkan potensi Desa Janji Raja (2014), pembayaran pajak diambil dari anggaran bantuan pemerintah.

Tabel 9 juga memberikan informasi bahwa pendapatan responden ada dialokasikan untuk tabungan, hal tersebut membuktikan bahwa masyarakat telah memikirkan masa depan yaitu dengan menyimpan sebagian kecil dari penghasilan yang diperoleh. Besar persentase tabungan dari keseluruhan responden adalah 3,95%. Jumlah tersebut terbilang sangat kecil jika dibandingkan

Page 228: KAJIAN ALUR TATA NIAGA KAPULAGA (Amomum cardomum L

706 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

dengan rasio pendapatan terhadap pengeluaran. Jika ada sisa pendapatan, responden cenderung mengalokasikan sisa pendapatannya untuk diinvestasikan membeli emas. Alasan utamanya adalah karena nilai ekonomis emas yang meningkat tiap tahunnya.

Pada umumnya, konsumsi atau pengeluaran rumah tangga petani dipengaruhi oleh tingkat pendapatan. Apabila tingkat pendapatan relatif rendah, maka kebutuhan pengeluaran akan memprioritaskan untuk pemenuhan kebutuhan pangan dibandingkan kebutuhan bukan pangan. Namun demikian, seiring pergeseran dan peningkatan pendapatan, proporsi pola pengeluaran untuk kebutuhan bukan pangan akan semakin meningkat. Dari hal tersebut dapat diukur tingkat kesejahteraan rumah tangga, hasil seluruh pendapatan yang diperoleh akan diusahakan sesuai distribusinya dengan total pengeluaran. Jika kebutuhan pangan telah terpenuhi, maka kebutuhan bukan pangan akan dipenuhi sesuai penghasilan (Sugiarto, 2008).

Struktur pengeluaran rumah tangga dipengaruhi oleh perubahan pengeluaran menurut waktu, perbedaan selera, perbedaan tingkat pendapatan dan lingkungan. Perilaku pengeluaran rumah tangga yang tersedia harus sesuai dengan tingkat kemampuan pendapatan yang diperoleh dan bagaimana mendistribusikannya, sehingga ada keseimbangan antara pendapatan dan pengeluaran. Pada dasarnya pengeluaran terhadap kebutuhan pangan dan bukan pangan tergantung pada daya beli, tingkat pendapatan dan harga yang dibeli (Sugiarto, 2008). Selain biaya tetap tahunan, pengeluaran responden untuk biaya insidental dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9. Pengeluaran responden untuk biaya insidental Tahun 2014

Biaya Insidental

Jumlah (Rp) Rata-rata (Rp/jumlah

responden yang mengeluarkan biaya)

Pesta adat 57.000.000,00 14.250.000,00 Lain-lain 25.700.000,00 856.667,00

Sumber : Data olahan, 2015 Biaya insidental merupakan biaya yang dikeluarkan dalam jumlah besar dengan waktu yang

mendesak. Biaya rata-rata insidental responden diperoleh dari total pengeluaran untuk masing-masing responden yang mengeluarkan biaya tersebut, karena tidak semua responden mengeluarkan biaya insidental dalam kurun waktu satu tahun (Octavianingsih, 2010). Biaya insidental yang dikeluarkan responden selama tahun 2014 untuk pesta adat dalam budaya Batak adalah sebesar Rp57.000.000,00. Jumlah yang mengeluarkan biaya pesta adat adalah 4 rumah tangga. Pesta adat tersebut meliputi pernikahan anak, pesta adat orangtua dan acara permandian cucu. Sedangkan biaya lain-lain yang dikeluarkan adalah untuk biaya transportasi, rekreasi maupun sumbangan yang diberikan. Besarnya biaya lain-lain yang dikeluarkan adalah Rp25.700.000,00. Seluruh responden mengeluarkan biaya lain-lain. Biaya yang paling banyak dikeluarkan adalah untuk acara adat istiadat. Dalam budaya Batak, setiap ada pesta yang ada kaitan kekeluargaannya baik di daerah tersebut ataupun di luar daerah, masyarakat akan manggarar adat atau membantu biaya pesta tersebut. Hal ini telah menjadi tradisi bagi masyarakat setempat Perbandingan antara pendapatan dan pengeluaran secara keseluruhan dapat dilihat pada Tabel 10. Tabel 10. Perbandingan total pendapatan dan pengeluaran seluruh responden

Jumlah (Rp/Thn) Rata-rata (Rp/Thn)

Total Pendapatan Responden 797.200.000,00 26.573.333,00

Total Pengeluaran Responden 734.250.000,00 24.475.000,00

Sisa Pendapatan 62.950.000,00 2.098.333,00

Sumber : Data olahan, 2015

Page 229: KAJIAN ALUR TATA NIAGA KAPULAGA (Amomum cardomum L

Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 707

Petani mampu membiayai kebutuhannya dengan baik dari hasil agroforestri, pertanian monokultur dan non agroforestri. Sebagai tolak ukur tingkat kesejahteraan petani didekati dengan konsep nilai tukar petani. Hal yang diperhatikan adalah rasio antara harga yang diterima petani dengan harga yang dikeluarkan petani. Menurut Simatupang et al., (2007) dalam Sugiarto (2008), nilai tukar petani adalah perbandingan antara pendapatan dengan pengeluaran rumah tangga petani. Petani dapat dikatakan sejahtera apabila pendapatan masih ada yang belum dialokasikan untuk pemenuhan kebutuhan. 3. Kontribusi Agroforestri Terhadap Pendapatan

Kontribusi agroforestri terdiri dari dua yaitu kontribusi pendapatan dari agroforestri terhadap total pendapatan dan pengeluaran. Selain itu hasil dari non agroforestri dan pertanian monokultur dapat dihitung kontribusinya. Pada umumnya, kontribusi yang diperoleh dari hasil agroforestri sangat membantu dalam pemenuhan kebutuhan sehari-hari. Jika besar kontribusi yang diberikan agroforestri sebesar 10% dari total pendapatan sudah sangat membantu dalam pemenuhan kebutuhan (Suharjito, 2000 dalam Octavianingsih, 2010). Hasil perhitungan kontribusi tersebut disajikan dalam Tabel 11. Tabel 11. Persentase kontribusi pendapatan terhadap pendapatan

Sumber Pendapatan Kontribusi Terhadap

Pendapatan (%)

Kontribusi Terhadap

Pengeluaran (%)

Agroforestri a. Kayu 13.43 14.59 b. Buah 40.57 44.04 c. Palawija 1.24 1.35 Pertanian Monokultur 22.67 24.61 Non Agroforestri 22.09 23.98

Total 100.00 108.57

Sumber : Data olahan, 2015 Kontribusi yang diperoleh dari hasil agroforestri di Desa Janji Raja jauh di atas 10%. Besarnya

persentase kontribusi agroforestri (kayu, buah dan palawija) terhadap pendapatan petani adalah 55.24%. Hal ini membuktikan bahwa lahan agroforestri merupakan sumber pendapatan utama petani. Peranannya sangat penting dan dapat dimanfaatkan secara berkesinambung an. Selain itu, lahan yang dikelola memberikan dampak yang positif baik dibidang ekonomi maupun ekologi.

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, petani agroforestri di Desa Janji Raja tergolong dalam keluarga sejahtera I dari segi ekonomi. Berbeda dengan data BPS, 2014 yang menyatakan bahwa masyarakat di Desa Janji Raja tergolong keluarga satu tingkat di atas prasejahtera. Berdasarkan Kantor Menteri Negara Kependudukan dalam Handayani (2015), keluarga sejahtera I adalah apabila keluarga tersebut telah mampu memenuhi kebutuhan dasar. Minimumnya dalam hal sandang, papan, pangan dan pelayanan kesehatan yang sangat dasar. Masyarakat Desa Janji Raja telah mampu memenuhi kebutuhan dasar tersebut. Hal ini didukung dengan adanya sisa pendapatan petani yang belum dialokasikan untuk memenuhi kebutuhannya. Perbedaan data BPS dengan hasil penelitian ini diduga karena responden yang diambil dalam penelitian ini hanya petani yang menerapkan sistem agroforestri dalam pada lahan miliknya (30 orang). Sedangkan data BPS tersebut merupakan profil dari masyarakat Desa Janji Raja secara keseluruhan.

E. Efisiensi

Pada penelitian ini efisiensi didefinisikan sebagai perbandingan nilai sekarang manfaat yang diperoleh dengan dengan nilai sekarang biaya yang dibayarkan (net B/C). Tingkat suku bunga yang digunakan adalah sebesar 7.5% yaitu berdasarkan satuan Bank Indonesia tahun 2015. Hasil perhitungan efisiensi pendapatan dari agroforestri responden adalah :

Page 230: KAJIAN ALUR TATA NIAGA KAPULAGA (Amomum cardomum L

708 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

⁄ ∑ ( )

∑ ( )

= ( )

( )

= 13.78 Dari hasil perhitungan terlihat bahwa nilai efisiensi yang diperoleh dari hasil pendapatan

agroforestri terhadap total pengeluaran diperoleh nilai sebesar 13.78. Hal ini membuktikan bahwa sistem agroforestri di Desa Janji Raja tergolong sangat efisien. Mengacu pendapat Pattisahusiwa (2007) yang menyatakan bahwa apabila nilai efisiensi yang diperoleh dari perhitungan net B/C menunjukkan >1 maka hasil tersebut tergolong efisien. Semakin besar nilai net B/C semakin tinggi pula tingkat efisiensinya. Efisiensi ini terlihat dari besarnya penghasilan kotor dibandingkan dengan biaya yang dikeluarkan untuk mengelola atau mengurus lahan agroforestri tersebut. Dalam sistem agroforestri, masyarakat pada umumnya menggunakan tenaga kerja sendiri dalam perawatan lahan miliknya, dan tidak dimasukkan ke dalam komponen upah. Penggunaan pupuk kimia juga sangat kecil dan bahkan hampir seluruh responden hanya menggunakan kompos untuk lahan miliknya. Berbeda dengan sistem pertanian monokultur yang mengandalkan penggunaan pupuk kimia. Pada umumnya penyiangan tanaman dilakukan sendiri oleh petani. Tenaga kerja diambil pada saat-saat tertentu seperti pada saat pemanenan buah.

IV. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan Dari hasil penelitian dapat disimpulkan : 1. Kontribusi agroforestri terhadap pendapatan rumah tangga petani adalah sebesar 55.24% dengan

nilai Rp440.400.000,00. Kontribusi agroforestri yang terbesar diperoleh dari penjualan buah yaitu sebesar 40.57% dari totalnya.

2. Sistem agroforestri yang diterapkan responden adalah sistem agroforestri sederhana yang ditanami tanaman kopi dengan jenis pohon lainnya maupun tanaman palawija.

3. Sistem agroforestri di Desa Janji Raja tergolong sangat efisien dimana nilai efisiensi yang diperoleh >1 yaitu sebesar 13.78.

B. Saran Perlu diadakan proses penyuluhan yang lebih intensif mengenai pemanfaatan lahan dengan sistem agroforestri, sehingga hasil yang diperoleh lebih optimal baik dari segi ekonomi maupun ekologinya.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2013. Keuntungan dalam Usaha Budidaya Tanaman Kopi Arabica. www.darmanet.org/download. Diakses tanggal 20 Juli 2015.

Afriantho, Guruh. 2008. Prospek Kontribusi Hutan Rakyat Terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD)

Kabupaten Bogor (Studi kasus Hutan Rakyat di Kecamatan Nanggung). Skripsi Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor.

Arikunto, Suharsimi. 2002. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan dan Praktek. Jakarta: Rineka

Cipta. Badan Pusat Statistik Kabupaten Samosir. 2014. Hasil Pencacahan Lengkap Sensus Penduduk

Indonesia Menurut Provinsi dan Kabupaten atau Kotamadya. Badan Pusat Statistik. Samosir.

Page 231: KAJIAN ALUR TATA NIAGA KAPULAGA (Amomum cardomum L

Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 709

Barus. 2015. Pengaruh Sisa Pendapatan Terhadap Tingkat Kesejahteraan Masyarakat.

www.damarnet.org/download. Diakses tanggal 20 Juli 2015. Handayani, Ning. 2015. Konsep Tentang Kemiskinan. Jakarta. Octavianingsih, Dian. 2010. Kontribusi Hutan Rakyat Terhadap Kesejahteraan Rumah Tangga Petani

Hutan Rakyat (Studi kasus di Kecamatan Ngilpar, Semin dan Paliyan, Kabupaten Gunungkidul, Yogyakarta tahun 2009). Skripsi Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor.

Pattisahusiwa, Nurhayati. 2007. Kinerja Agroforestri (Kasus dudukuhan di Desa Parakanmuncang,

Kecamatan Nanggung, Bogor, Jawa Barat). Skipsi Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor.

Rachman, Raditya Machdi. 2011. Kontribusi Pengelolaan Agroforestri Terhadap Pendapatan Rumah

Tangga Petani (Studi kasus : Desa Bangunjaya, Kecamatan Cigudeg, Kabupaten Bogor, Jawa Barat). Skipsi Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor.

Sagata, Sigit. 2011. Agroforestri. www.sistem-agroforestri/sagata.blogspot.com. Diakses tanggal 30

Juli 2015. Setiawan, Satrio Adi. 2010. Pengaruh Umur, Pendidikan, Pendapatan, Pengalaman Kerja dan Jenis

Kelamin Terhadap Mencari Kerja Bagi Tenaga Kerja Terdidik di Kota Magelang. Skripsi Fakultas Ekonomi. Universitas Diponegoro. Semarang.

Sugiarto. 2008. Analisa Tingkat Kesejahteraan Petani Menurut Pola Pendapatan dan Pengeluaran

di Perdesaan. Jawa Barat. Bogor. Suhardi, dkk. 2002. Hutan dan Kebun Sebagai Sumber Sebagai Sumber Pangan Nasional. Penerbit

Kanisius. Yogyakarta.

Page 232: KAJIAN ALUR TATA NIAGA KAPULAGA (Amomum cardomum L

710 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

IDENTIFIKASI PARTISIPASI MASYARAKAT TERHADAP PELESTARIAN HUTAN MANGROVE SEBAGAI PRAKTEK SILVOFISHERI DI DESA TELUK PAMBANG KECAMATAN BANTAN

KABUPATEN BENGKALIS PROVINSI RIAU (STUDI KASUS KELOMPOK BELUKAP)

M. Mardhiansyah1), Yossi Oktorini1), Yuni Elfiza 2)

1) Dosen Jurusan Kehutanan – Fakultas Pertanian – Universitas Riau 2) Mahasiswa Jurusan Kehutanan – Fakultas Pertanian – Universitas Riau

Email: [email protected]

ABSTRACT

Silvofisheri on mangrove forest in the Teluk Pambang Village, Sub District of Bantan, Bengkalis District is managed by Kelompok Pengelola Mangrove (KPM) Belukap. KPM Belukap is an organization which is formed through a Co- Fish project’s program (rural development programs in the field of fisheries ). This study aims to determine the form and level of community participation in the conservation of mangrove forests for silvofisheri, in this case KPM Belukap. The determine the forms of participation and a qualitative descriptive analysis was used and to measure the level of participation Likert scale was used. Analysis of Likert scale is able to indicate clearly the level of participation of members KPM Belukap on each form of participation which are planning, implementation, and utilization. The level of participation was obtained from the factors that influence which are knowledge and expertise, occupation, education, and culture (the belief in a particular culture). The results showed that the forms of public participation in the preservation of mangrove forests for silvofisheri which is managed by KPM Belukap are planning, implementation, and utilization. The level of community’s participation in the conservation of mangrove forests for silvofisheri which is managed by KPM Belukap is in the middle participation category with 14 people out of 20 respondents. Keywords: Silvofisher, Mangrove Forest, Participation, Conservation, Community

I. PENDAHULUAN

Pohon mangrove berfungsi ganda, yaitu fungsi ekologis dan fungsi sosial-ekonomi. Fungsi ini sejak zaman dahulu telah dimanfaatkan secara tradisional oleh sebagian besar masyarakat pesisir Indonesia. Hutan mangrove pada satu sisi sebagai ekosistem yang sangat potensial bagi kesejahteraan masyarakat (penghasil kayu bakar/arang, bahan bangunan, dan ikan), pada sisi lain hutan mangrove sangat rentan terhadap perubahan-perubahan yang terjadi akibat aktivitas manusia maupun bencana alam, sehingga ketersediaannya dari waktu ke waktu semakin berkurang. Hutan mangrove dikembangkan sebagai salah satu bentuk silvofisheri. Silvofisheri merupakan suatu bentuk praktek pola agroforestri yang mengkombinasikan tanaman kehutan dan budidaya perikanan.

Kawasan yang memiliki ekosistem mangrove di Kabupaten Bengkalis salah satunya adalah Desa Teluk Pambang. Desa Teluk Pambang merupakan daerah dengan posisi letak yang strategis, terletak di sisi timur Pulau Sumatera yang berhubungan langsung dengan Selat Malaka. Dengan keberadaan yang strategis ini, tentunya mampu memacu tingkat perkembangan ekonomi dan perubahan penduduk di daerah ini. Dengan keberadaan yang strategis, kawasan ini tentu akan memikul beban lingkungan yang berat, diantaranya adalah kemungkinan terjadinya degradasi kondisi lingkungan dan sumber daya alam yang ada, khususnya hutan mangrove. Menyadari hal tersebut, maka upaya perlibatan masyarakat setempat dalam pengelolaan mangrove menjadi penting.

Desa Teluk Pambang terdapat beberapa Kelompok Pengelola Mangrove (KPM) yang terus aktif berpartisipasi dalam melakukan kegiatan pengelolaan hutan mangrove berbasis masyarakat (community based management) diantaranya KPM Belukap dan KPM Perepat. Kelompok-kelompok tersebut secara resmi didirikan berdasarkan Surat Keputusan Kepala Desa Teluk Pambang dan Surat

Page 233: KAJIAN ALUR TATA NIAGA KAPULAGA (Amomum cardomum L

Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 711

Keputusan Bupati Bengkalis No. 824 Tahun 2004 yang diterbitkan pada saat berjalannya Program Co-Fish Project tahun 2004 di Kabupaten Bengkalis.

Untuk menciptakan kelestarian hutan mangrove diperlukan partisipasi dari masyarakat. Oleh karena itu perlu dilakukan identifikasi partisipasi masyarakat terhadap pelestarian hutan mangrove. Adapun tujuan penelitian ini adalah mengetahui bentuk-bentuk dan tingkat partisipasi masyarakat pada pelestahrian hutan mangrove sebagai praktek silvofisheri di Desa Teluk Pambang Kecamatan Bantan Kabupaten Bengkalis Provinsi Riau.

II. BAHAN DAN METODE

Lokasi penelitian ini dilakukan di kawasan ekosistem hutan mangrove Desa Teluk Pambang

Kecamatan Bantan Kabupaten Bengkalis Provinsi Riau. Lokasi dipilih secara purposive yaitu penentuan lokasi secara langsung. Pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan Unrestricted Random Sample. Pengambilan sampel secara keseluruhan tanpa membagi populasi guna mendapatkan data yang akurat untuk kemudahan penelitian. Populasi yang diambil pada penelitian ini ialah kelompok Belukap yang beranggotakan 20 orang, dimana semua populasi ini akan diwawancarai dengan penyertaan kuisioner.

Analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis kuantitatif dan kualitatif. Analisis kuantitatif dilakukan dengan menggunakan analisis skala likert 1,2,3 dan analisis kualitatif dilakukan dengan metode deskriptif kualitatif. Untuk mengukur tingkat partisipasi masyarakat digunakan Skala likert. Cara pengukurannya dengan menyajikan responden dengan suatu pertanyaan kemudian komentar responden tersebut diberi nilai 1, 2, 3, pada masing-masing pertanyaan dengan memberikan skor tertinggi (3) pada jawaban yang diharapkan (a), dan skor (1) pada jawaban yang paling tidak diharapkan (c). Setelah semua pertanyaan dijawab, diadakan penggolongan berdasarkan kelas-kelas interval tertentu.

Untuk memperoleh panjang interval digunakan metode sebagai berikut:

Keterangan: ί : panjang interval R : selisih nilai tertinggi dengan nilai terendah K : jumlah interval kelas

Dengan menggunakan metode tersebut, dapat diketahui nilai pada masing-masing kelas atau kategori yang didapat dari 63 pertanyaan kuisioner dengan 3 ketentuan yang telah ditetapkan oleh peneliti sehingga nilai masing-masing kelas dapat diformulasikan dalam 3 kategori seperti terlihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Kategori tingkat partisipasi masyarakat dalam pelestarian mangrove.

No Pencapaian skor Tingkat partisipasi masyarakat

Bobot skor

1 148-189 Tinggi 3

2 105-147 Sedang 2

3 63-104 Rendah 1

Adapun langkah-langkah untuk mengolah data adalah sebagai berikut:

1. Mengumpulkan semua data yang diinginkan 2. Menentukan besar kategori tingkat partisipasi masyarakat dengan menggunakan skala likert 3. Menganalisis secara deskriptif kualitatif nilai akhir tersebut.

Page 234: KAJIAN ALUR TATA NIAGA KAPULAGA (Amomum cardomum L

712 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Bentuk Partisipasi Masyarakat Dalam Pelestarian Hutan Mangrove Untuk Mendukung Silvofisheri di Desa Teluk Pambang.

Pelestarian hutan mangrove dalam praktek silvofisheri merupakan upaya untuk memulihkan, mempertahankan, dan meningkatkan fungsi hutan dan lahan serta potensi ekonomi perikanan sehingga daya dukung produktivitas dan peranannya dalam mendukung sistem penyangga kehidupan tetap terjaga. Kesuburan perairan mangrove ini menjadikannya sebagai daerah yang banyak dikunjungi oleh beragam satwa dan menyumbang hara bagi perairan pantai terdekat (Bengen, Dietriech G, 2004).

Pelestarian hutan mangrove membutuhkan partisipasi masyarakat. Joesfira (2012) menjelaskan bahwa partisipasi merupakan pengambilan bagian atau keterlibatan anggota masyarakat dengan cara memberikan dukungan (tenaga, pikiran maupun materi) dan tanggung jawabnya terhadap setiap keputusan yang telah diambil demi tercapainya tujuan yang telah ditentukan. Adapun bentuk-bentuk partisipasi anggota KPM Belukap dalam pelestarian hutan mangrove pada praktek silvofisheri ada tiga, yaitu: 1. Perencanaan.

Partisipasi pada tahap ini berupa pelibatan anggota KPM Belukap pada tahap penyusunan rencana dan strategi dalam setiap kegiatan yang dilakukan di KPM Belukap. Anggota KPM Belukap dinilai berpartisipasi dengan memberikan usulan, saran dan kritik melalui pertemuan-pertemuan yang diadakan. 2. Pelaksanaan

Partisipasi pada tahap ini berupa pelibatan anggota KPM Belukap pada pelaksanaan pekerjaan dalam setiap kegiatan yang dilakukan di KPM Belukap. Anggota KPM Belukap dapat memberikan tenaga, uang ataupun material/barang serta ide-ide sebagai salah satu wujud partisipasinya pada kegiatan tersebut. 3. Pemanfaatan

Partisipasi pada tahap ini berupa pelibatan anggota KPM Belukap pada pemanfaatan suatu hasil dari kegiatan yang telah selesai dikerjakan. Anggota KPM Belukap dinilai berpartisipasi apabila kegiatan yang dilakukan bermanfaat bagi kelompok dan masyarakat sekitar.

Faktor-faktor yang mempengaruhi partisipasi masyarakat terdiri dari faktor dari dalam masyarakat (internal), yaitu kemampuan dan kesediaan masyarakat untuk berpartisipasi, maupun faktor dari luar masyarakat (eksternal) yaitu peran aparat dan lembaga formal yang ada. Menurut Max Weber dan Zanden dalam Yulianti (2012), mengemukakan pandangan multidimensional tentang stratifikasi masyarakat yang mengidentifikasi adanya 3 komponen di dalamnya, yaitu kelas (ekonomi), status (prestise) dan kekuasaan. Pada tiga bentuk partisipasi anggota KPM Belukap dalam pelestarian hutan mangrove pada praktek silvofisheri terdapat beberapa kegiatan, yaitu: a. Pemetaan

Kegiatan pemetaan bertujuan untuk membuat peta kawasan hutan mangrove yang dikelola oleh KPM Belukap. Peta kawasan hutan mangrove KPM Belukap dibuat oleh beberapa anggota KPM Belukap dari tahun 2005 dengan masih menggunakan kompas, kemudian tahun berikutnya direvitalisasi menggunakan GPS. b. Transek

Kegiatan transek bertujuan untuk survei sebaran vegetasi yang terdapat dalam kawasan hutan mangrove yang dikelola KPM Belukap. Kegiatan transek ini dilakukan oleh beberapa anggota KPM Belukap. Sebelumnya anggota KPM Belukap belajar melakukan kegiatan transek melalui diskusi dan pendidikan yang diadakan oleh peneliti sebelumnya yang melakukan penelitian di hutan mangrove yang dikelola KPM Belukap. c. Pembibitan

Kegiatan pembibitan bertujuan untuk memperbanyak anakan secara buatan yang mencakup pengadaan dan penyediaan bibit-bibit yang berkualitas dalam jumlah yang cukup untuk memenuhi

Page 235: KAJIAN ALUR TATA NIAGA KAPULAGA (Amomum cardomum L

Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 713

kebutuhan pembuatan tanaman reboisasi. Pembibitan ini dilakukan oleh anggota KPM Belukap dan masyarakat setempat. d. Pemanenan

Kegiatan pemanenan dilakukan dengan sistem land clearing, yang bertujuan memberikan ruang bagi tanaman baru untuk tumbuh dan memanfaatkan tanaman yang siap untuk diproduksi sebagai tambahan penghasilan bagi anggota KPM Belukap. Pemanenan baru sekali dilakukan oleh KPM Belukap, yaitu pada awal tahun 2004. Hal ini dikarenakan KPM Belukap ini baru diresmikan pada tahun 2004 dan baru mulai masa penanaman pada tahun yang sama. e. Penanaman

Kegiatan penanaman bertujuan untuk memperbaiki kondisi hutan mangrove yang dulunya rusak akibat kegiatan panglong arang. Dengan diperbaikinya kondisi hutan mangrove ini, maka akan mengurangi resiko air laut naik sampai ke pemukiman masyarakat sekitar yang bertempat tinggal tidak jauh dari laut. Vegetasi mangrove yang baik juga merupakan tempat tinggal siput, lokan, ikan, udang dan sejenis hewan laut lainnya untuk berkembang biak. Kondisi hutan mangrove yang baik akan memberikan habitat yang baik untuk tumbuh, berkembang dan berkembang biaknnya biota laut khususnya perikanan. f. Pemeliharaan

Kegiatan pemeliharaan bertujuan untuk mengamati tanaman yang ditanam sebelumnya tetapi mengalami kerusakan. Penyulaman dilakukan apabila ada tanaman yang rusak dan ketika tanaman sudah besar dan memerlukan ruang tumbuh yang lebih. Penyiangan dilakukan oleh anggota KPM Belukap dalam dua minggu sekali. Untuk tanaman yang baru ditanam memerlukan pengontrolan setiap hari selama empat bulan pertama. g. Pengawasan

Kegiatan pengawasan bertujuan untuk mencegah terjadinya illegal loging yang dapat mengancam keseimbangan lingkungan mangrove di kawasan kelola KPM Belukap, seperti penebangan pohon bakau (Rhizophora spp.) oleh buruh panglung arang, penebangan untuk kayu teki, penebangan kayu sesup (Lumnitzera spp.) untuk bahan gading-gading kapal dan sebagainya. Kegiatan pengawasan ini dilakukan satu kali dalam seminggu. Pengawasan dilakukan dengan menelusuri hutan mangrove sepanjang pinggiran sungai menggunakan boat dan berjalan menelusuri hutan mangrove yang dikelola KPM Belukap.

B. Tingkat Partisipasi Masyarakat dalam Pelestarian Hutan Mangrove Untuk Mendukung

Silvofisher di Desa Teluk Pambang Kecamatan Bantan Kabupaten Bengkalis Kondisi hutan mangrove yang dikelola KPM Belukap dari tahun ke tahunnya semakin

membaik, terlihat dari ekosistem hutannya yang semakin beragam, diantaranya untuk jenis tanamannya didominasi oleh tanaman Bakau putih (Rhizophora apiculata), Nyirih (Xylocarpus spp.), Belukap (Rhizophora mucronata), Lenggadai (Bruguiera parviflora), Sesup (Lumnitzera littorea), Tengo (Ceriops tagal), dan Perepat. Pada jenis hewannya masih banyak ditemui Lokan (Geloina erosa), Buah tanah (Geloina expansa), Siput mata merah (Cerithidea obtuse), Siput timba (Nerita linneata), Kepiting bakau (Scylla serrata), Kepiting pantai (Portunus pelagicus), dan Udang (Penaeus monodon). Keberhasilan pelestarian hutan mangrove akan menjamin peningkatan produktifitas dan keberhasilan praktek silvofisheri. Untuk itu diperlukan peran dan partisipasi masyarakat dalam menjaga kelestarian hutan mangrove dalam upaya meningkatkan keberhasilan silvofisheri. Tabel 2. Tingkat partisipasi kelompok belukap dalam pelestarian hutan mangrove

No Kategori partisipasi Jumlah responden n (orang)

1 Tinggi 6

2 Sedang 14

3 Rendah 0

Total 20

Sumber : Olahan Data, 2013.

Page 236: KAJIAN ALUR TATA NIAGA KAPULAGA (Amomum cardomum L

714 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

Berdasarkan bentuk-bentuk partisipasi masyarakat dalam pelestarian hutan mangrove, yaitu perencanaan, pelaksanaan, dan pemanfaatan, dapat dijelaskan bahwa tingkat partisipasi masyarakat pada pelestarian hutan mangrove dilihat dari faktor-faktor yang mempengaruhi yaitu pengetahuan dan keahlian, pekerjaan, pendidikan, dan budaya. Hasil penelitian didapat tingkat partisipasi masyarakat dalam pelestarian hutan mangrove yang dikelola oleh KPM Belukap (Tabel 2).

Untuk lebih meningkatkan partisipasi anggota KPM Belukap dalam pelestarian hutan mangrove yang dikelola oleh KPM Belukap, perlu diadakannya pemberdayaan masyarakat yang bisa membangkitkan rasa percaya diri para anggota masyarakat khususnya anggota KPM Belukap dengan mengadakan penyuluhan yang menarik yang bisa membuat mereka tertarik dan ingin ikut dalam kegiatan penyuluhan itu sehingga potensi mereka dalam proses pelestarian hutan mangrove bisa lebih ditingkatkan. Sesuai dengan pernyataan Dephut dalam Zaizul (2009) yang menyatakan bahwa partisipasi dapat ditingkatkan dengan cara melakukan pemberdayaan masyarakat melalui penciptaan suasana iklim yang memungkinkan berkembangnya potensi masyarakat, memperkuat potensi atau daya yang dimiliki oleh masyarakat dan melindungi masyarakat melalui keberpihakan kepada masyarakat untuk mencegah persaingan yang tidak sehat. Sastropoetro dalam Aziz (2006) bahwa faktor yang mempengaruhi partisipasi seseorang ada tiga hal yaitu : (1) Keadaan sosial masyarakat yang meliputi tingkat pendidikan, pendapatan, kebiasaan, dan kedudukan dalam sistem sosial, (2) Kegiatan program pembangunan, (3) Keadaan alam sekitar yang mencakup faktor fisik atau keadaan geografis daerah yang ada pada lingkungan tempat hidup masyarakat tersebut.

IV. KESIMPULAN

1. Bentuk-bentuk pasrtisipasi masyarakat dalam pelestarian hutan mangrove sebagai upaya mendukung praktek silvofisheri yang dikelola KPM Belukap adalah perencanaan, pelaksanaan, dan pemanfaatan.

2. Tingkat partisipasi masyarakat dalam pelestarian hutan mangrove sebagai upaya mendukung praktek silvofisheri yang dikelola KPM Belukap adalah dalam kategori tingkat partisipasi sedang sebanyak 14 orang dari 20 orang responden.

DAFTAR PUSTAKA

Aziz N.A. 2006. Partisipasi Masyarakat Dalam Program Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan Dan

Lahan (GN-RHL) : Kasus di Desa Sirnagalih dan Pamalayan, Kecamatan Bayongbong serta Desa Margaluyu dan Ciburial, Kecamatan Leles, Kabupaten Garut. Skripsi Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor.

Bengen, Dietriech G. 2004. Pedoman Teknis Pengenalan dan Pengelolaan Ekosistem Mangrove.

Pusat kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan IPB. Bogor. Joesfira N. 2012. Definisi dan Bentuk Partisipasi.

www.newjoesfirablog.bogspot.com/2012/06/definisi.dan.bentuk.partisipasi.html. Diakses pada tanggal 19 Maret 2013.

Yulianti Y. 2012. Analisis Partisipasi Masyarakat Dalam Pelaksanaan Program Nasional

Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri Perkotaan di Kota Solok. Tesis Program Pascasarjana Universitas Andalas Padang. (Tidak dipublikasikan).

Zaizul. 2009. Tingkat Partisipasi Masyarakat Terhadap Pelestarian Taman Nasional Bukit Tigapuluh

Di Kecamatan Batang Gangsal Kabupaten Indragiri Hulu, Riau. Skripsi Fakultas Kehutanan Universitas Lancang Kuning. Pekanbaru.

Page 237: KAJIAN ALUR TATA NIAGA KAPULAGA (Amomum cardomum L

Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 715

ANALISIS KARAKTERISTIK SOSIAL DAN EKONOMI SISTEM AGROFORESTRI DI DESA KARANGWANGI, KECAMATAN CIDAUN, KABUPATEN CIANJUR

Annas Dwitri Malik1, Abi Abidin1, Riky Novalia Suhendi2

1Program Studi Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Padjadjaran 2Program Studi Antropologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Padjadjaran

[email protected] , [email protected] , [email protected]

ABSTRAK

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan melakukan analisis karakteristik sosial ekonomi dan dinamika pengelolaan lahan talun masyarakat petani agroekosistem desa Karangwangi kecamatan Cidaun, kabupaten Cianjur. Lokasi talun yang ada di desa ini tersebar pada delapan rukun warga. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa petani agroekosistem desa Karangwangi mengalami periode penanaman jenis tanaman yang berbeda. Terdapat tiga periode utama yaitu periode awal (dekade 60an-awal tahun 90an), periode pertengahan (dekade 90an-awal tahun 2000), dan periode akhir (awal tahun 2000an-sekarang). Maka, pengaruhnya sampai saat ini adalah sistem pengelolaan lahan yang bersifat tumpang sari. Sistem ini menjadikan tanaman berkayu sebagai tanaman utama di lahan talun. Selanjutanya dikombinasikan dengan tanaman pangan seperti padi dan palawija serta tanaman perkebunan. Kombinasi penanaman jenis tanaman terbagi menjadi tiga yaitu agrosilvikultur, agrosilvopastur, dan silvopastur. Jenis tanaman kayu utamanya meliputi Jengjen (Albizia chinensis), Hanja (Neolamarckia cadamba) dan mahoni (Swietenia macrophylla). Tanaman kayu yang masuk ke desa Karangwangi diinisiasi dengan adanya program pemerintah setempat, guna reboisasi wilayah tersebut. Aspek sosial yang muncul dari hal tersebut adalah masyarakat memiliki strategi hidup dalam mengelola lahan, yakni dengan sistem tumpang sari. Masyarakat tetap membudidayakan tanaman pangan, palawija, dan tanaman perkebunan lain guna memenuhi kebutuhan sehari-hari, kebutuhan pasar, dan sebagai investasi (tanaman kayu). Dilihat dari aspek ekonomi, diperkirakan periode masa panen hasil talun dapat berlangsung 5-7 tahun. Tolak ukur periode ini adalah umur panen tanaman kayu (khususnya Jengjen). Padi dan tanaman palawija seperti kacang tanah, masa intensif panennya berlangsung selama dua tahun pertama. Pada tahun ketiga dan berikutnya tanaman bawah tidak terlalu intensif untuk ditanam, namun masyarakat memanfaatkannya dengan menanam jenis tanaman kapol (Amonum cordomonum). Dan investasi utama dari masyarakat adalah pada tahun ke-5 sampai tahun ke-7, yaitu dapat dilakukan panen tanaman kayu. Cara pemasaran kayu masyarakat terbagi menjadi tiga macam yaitu kayu palet, dibuat kayu jadi, dan sistem jual borongan. Harga penjualannya cukup beragam dari ketiga cara pemasaran tersebut. Kata Kunci : Agroekosistem Talun, Sosial-Ekonomi, Desa Karangwangi, Cianjur

I. LATAR BELAKANG

Salah satu karakteristik mendasar yang terjadi pada beberapa negara berkembang adalah tingginya tingkat pertumbuhan penduduk yang membawa konsekuensi terhadap peningkatan kebutuhan akan pangan, sandang, dan papan. Pemenuhan kebutuhan akan hal-hal tersebut yang terjadi di Indonesia, salah satunya dapat ditunjang dengan lahan agroekosistem seperti talun, kebun campuran dan tegalan. Upaya-upaya intensifikasi telah dilakukan dalam rangka mengoptimalkan luasan lahan yang ada.

Talun merupakan salah satu komponen yang umum ditemukan pada agroekosistem di Jawa Barat. Talun adalah suatu tata guna lahan dimana vegetasi yang menutupinya didominasi oleh berbagai jenis tumbuhan/tanaman berumur panjang (perennial) (Soemarwoto dan Soemarwoto, 1984; Christanty, 1996 dalam Yanto, 2004). Talun telah lama dikenal oleh masyarakat pedesaan dan mempunyai beragam fungsi ekologi, sosial, dan ekonomi.

Masyarakat secara langsung dan tidak langsung memiliki ketergantungan terhadap sistem agroekosistem, dalam hal ini khusus talun. Secara langsung masyarakat memanfaatkan lahan talun sebagai sumber penghidupan sehari-hari, seperti kebutuhan pangan dan papan termasuk sumber

Page 238: KAJIAN ALUR TATA NIAGA KAPULAGA (Amomum cardomum L

716 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

bahan kayu bakar. Masyarakat memiliki pola tanam tersendiri dalam memanfaatkan lahan talunnya. Dan secara tidak langsung, keberadaan talun menjadikan masyarakat belajar dalam konservasi, yakni mempertahankan keragaman jenis tumbuhan. Dilihat dari segi sosial dan ekonomi, masyarakat telah membentuk sistem pengelolaan lahan dan pemanfaatan hasil produksi talun.

Keberlanjutan pengelolaan lahan talun menjadi hal yang perlu diperhatikan, mengingat peran dan fungsi talun memberikan manfaat bagi masyarakat. Lahan talun yang ada di desa Karangwangi kecamatan Cidaun kabupaten Cianjur, cukup luas dan menjadi salah satu sumber perekonomian masyarakat, yaitu dari hasil penjualan produksi kayunya. Oleh karena itu, dilakukan penelitian yang bertujuan 1) menganalisis karakteristik sosial ekonomi masyarakat petani agroekosistem talun, 2) menganalisis dinamika pengelolaan lahan talun desa Karangwangi.

II. METODE PENELITIAN

Penelitian dilaksanakan di desa Karangwangi, yang terbagi menjadi delapan rukun warga (RW). Lokasi lahan talun tersebar pada kedelapan RW tersebut. Peneltian ini bersifat kualitatif, yaitu untuk melakukan analisis karakteristik sosial ekonomi dan dinamika pengelolaan lahan talun masyarakat petani agroekosistem. Daerah penelitian ini termasuk dalam dataran rendah sekitar 200 mdpl. Penelitian dilakasanakan pada bulan September 2015.

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode survey, dimana teknik pengumpulan data yang digunakan adalah pencatatan jenis tanaman yang ada pada unit sampel dan wawancara. Wawancara dilakukan untuk menggali informasi mengenai dinamika pengelolaan lahan talun dan melihat aspek sosial, ekonomi dan budaya yang mempengaruhi pola tanam di lahan talun. Sebagai alat bantu wawancara dibuatlah panduan wawancara yang memuat pertanyaan yang berkaitan dengan tujuan penelitian. Selanjutnya dilakukan analisis deskriptif terhadap data beberapa faktor fisik, sosial dan ekonomi talun yang di dapat dari pengukuran langsung dan hasil wawancara.

Alat bahan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu alat tulis, draft panduan wawancara, buku catatan, GPS, alat ukur panjang (meteran) untuk menentukan luasan unit sampel, dan lembar kerja (worksheet) lapangan.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Kondisi Geografis Kawasan Desa Karangwangi

Luas desa Karangwangi sekitar 2.300,17 Ha. Desa ini terbagi ke dalam delapan rukun warga (RW) yang tersebar melingkupi bentukan cekungan Cagar Alam Bojonglarang Jayanti. Dapat dikatakan desa ini merupakan buffer atau penyangga cagar alam. Sekitar 100 m di atas permukaan laut dengan dataran sedang yang kondisinya agak berbukit. Suhu rata-rata 33:C dengan dua musim kemarau dan hujan yang cukup mempengaruhi produktivitas pertanian dimana sebagian para petani mengandalkan hujan dalam produksi pertaniannya (Elmeidian, 2010). Fungsi lahan pada umumnya terdiri dari hutan lindung dan pantai, lahan pertanian sawah, ladang dan peternakan (mayoritas), perumahan penduduk, pemakaman umum, rumah ibadah, sarana dan prasarana umum, dan infra struktur desa. B. Dinamika Pengelolaan Sistem Agroforestri di Desa Karangwangi

Mayoritas masyarakat Desa Karangwangi memilliki mata pencaharian sebagai petani kebun (non-sawah), hal ini ditunjukkan dengan sistem penggunaan lahan yang didominasi oleh perkebunan. Luas lahan perkebunan di Desa Karangwangi berkisar antara 4 are – 100 are. Aktivitas berkebun di masyarakat Desa Karangwangi menggunakan sistem Ngahuma yang diaplikasikan sejak tahun 60an. Ngahuma atau dengan sebutan lain yaitu ladang berpindah merupakan sebuah sistem pertanian yang dilakukan dengan cara mengubah hutan alam menjadi lahan untuk digarap dengan mengandalkan air hujan sebagai sumber utama pengairannya. Ladang-ladang huma di wilayah Desa Karangwangi dulu ditanami jenis tanaman yang beragam. Sejak awal

Page 239: KAJIAN ALUR TATA NIAGA KAPULAGA (Amomum cardomum L

Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 717

dilakukannya aktivitas Ngahuma, para petani menanam Pare Sintung sebagai jenis tanaman utama yang ditanam pada setiap tahunnya. Penanaman Pare Sintung dibarengi dengan tanaman palawija seperti tanaman kacang dan cabai sekitar tahun 90an. Sistem penanaman dilakukan dengan cara tumpang sari. Padi yang mempunyai masa panen setahun sekali jika dibarengi dengan menanam palawija yang mempunyai masa panen 3 kali setahun membuat para petani mendapatkan nilai ekonomi yang lebih dibanding hanya menanam padi dalam satu lahan. Kegiatan tumpang sari tersebut terus berlanjut, sampai pada dekade akhir 90an dan awal 2000an, mulai masuk sistem menanam kayu seperti Hanja (Neolamarckia cadamba), Jengjen (Albizia chinensis), Mahoni (Swietenia macrophylla) dan lain-lain. Tabel 1. Jenis-jenis Tanaman di Desa Karangwangi Berdasarkan Periode Penanaman

Jenis Tanaman

Periode awal (dekade 60an-awal tahun 90an)

Periode Pertengahan (dekade 90an-awal tahun 2000)

Periode Akhir (awal tahun 2000an-sekarang)

Pare Sintung (Oryza sativa)

Cabai Merah (Capsicum anuum) Kacang Tanah (Arachis hypogaea) Kacang Hiris (Cajanus cajan)

Jengjen (Albizia chinensis) Mahoni (Swietenia macrophylla) Hanja (Neolamarckia cadamba) Bungur (Lagerstroemia speciosa) Jati Putih (Gmelina arborea) Pangsor (Ficus callosa) Ki Hiang (Albizia procera) Mindi (Melia azedarach)

C. Karakteristik Pengelolaan Sistem Agroforestri di Desa Karangwangi

Pengelolaan sistem agroforestri di Desa Karangwangi saat ini dilakukan secara intensif dan non intensif. Sejak mulai dikenalkan tanaman berkayu seperti jengjen dan hanja pada awal tahun 2000an, para petani mulai menanam tanaman berkayu sebagai tanaman utama di lahan pertaniannya. Sistem agroforestri di Desa Karangwangi yang dikelola secara intensif membentuk sebuah siklus tanam yang khas.

Gambar 1. Siklus Tanam pada Sistem Agroforestri di Desa Karangwangi

Ngahuma

Padi dan Palawija

(3 bulan)

Jengjen

(4 bulan)

Palawija Panen Lahan

dibiarkan Kapol Tanam

Jengjen Panen

(5 tahun) Kapol Panen Ngahuma

Page 240: KAJIAN ALUR TATA NIAGA KAPULAGA (Amomum cardomum L

718 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

Pengelolaan sistem agroforestri di Desa Karangwangi menjadikan tanaman berkayu sebagai tanaman utama, kemudian dengan sistem tumpang sari, tanaman kayu tersebut dikombinasikan dengan tananam pangan seperti padi dan palawija, serta tanaman perkebunan.

Tabel 2. Komponen Sistem Agroforestri yang Dikembangkan oleh Masyarakat Desa Karangwangi

Jenis Tanaman

Komponen Sistem Pengelolaan

Kayu Akasia, Jengjen (Albasiah), Hanja, Mahoni, Jati, Jati Putih, Bambu

Agrosilvi-kultur

Agrosilvo-pastur

Silvo-pastur

Pangan Kacang-kacangan, padi, cabai

Perkebunan/buah

Kelapa, Jambu, Jeruk garut, pisang, kopi, nangka, pepaya, sukun

Kombinasi tanaman yang umum diterapkan petani adalah tanaman penghasil kayu +

tanaman pangan + tanaman perkebunan (Agrosilvikultur), kemudian sebagian petani menerapkan kombinasi tanaman penghasil kayu + tanaman pangan + tanaman perkebunan + ternak (Agrosilvopastur), dan sebagian lain menerapkan kombinasi tanaman kayu + ternak (Silvopastur).

D. Aspek Sosial dalam Pengelolaan Sistem Agroforestri di Desa Karangwangi

Salah satu sistem agroforestri di Jawa Barat dikenal dengan sebutan talun. Namun di Desa Karangwangi, sistem penggunaan lahan seperti demikian lebih dikenal dengan sebutan kebon tatangkalan karena setiap lahan pemilik kebun didominasi oleh tanaman-tanaman pohon seperti Jengjen (Albizia chinensis) dan Hanja (Neolamarckia cadamba). Pada tahun 2000an, masyarakat desa yang semula menanam tanaman padi dan palawija di lahan-lahan huma garapannya, mulai berganti ke tanaman berkayu, namun tidak meninggalkan budaya menanam dengan sistem tumpang sari yang sudah turun temurun serta untuk meningkatkan ketahanan pangan dan menerapkan pertanian berkelanjutan. Masuknya tanaman jengjen (Albizia chinensis) ke Desa Karangwangi dimulai dengan pembibitan gratis yang diberikan oleh pemerintah lewat program sengonisasi hutan rakyat dari Dinas Kehutanan. Program pembagian bibit jengjen secara gratis tersebut ditujukan kepada para peladang yang memiliki lahan garapan untuk mulai mengganti jenis tanaman yang sebelumnya padi dan palawija menjadi tanaman kayu seperti albasia dan jabon. Tujuan lain dari program tersebut yaitu dalam usaha pemerintah untuk melakukan penghijauan (reboisasi) hutan-hutan yang sudah dirubah menjadi lahan-lahan garapan. Selain melalui program pemerintah, masyarakat juga mendapatkan bibit jengjen melalui penjual bibit jengjen yang sudah disemai.

Tabel 3. Pemanfaatan dan Kondisi Pasar setiap Komponen Agroforestri di Desa Karangwangi

Jenis Tanaman

Peruntukan / Pemanfaatan Kondisi Pasar

Padi Kebutuhan pangan sehari-hari Tidak ada / sangat minim

Palawija Kebutuhan pangan sehari-hari serta dijual ke luar desa / pasar mingguan

Lebih luas daripada padi

Kayu Sebagian besar dijual ke pengepul dari luar desa Sangat luas

E. Aspek Ekonomi dalam Pengelolaan Sistem Agroforestri di Desa Karangwangi

Sistem tumpang sari yang dilakukan selain untuk mendapatkan masa panen tanaman yang teratur, juga bertujuan untuk mendapatkan hasil panen yang lebih produktif. Dalam satu lahan yang ditanam memiliki keragaman masa panen, bisa jadi dalam satu musim ada beberapa jenis tanaman yang dapat dipanen sehingga kebun tersebut bisa lebih produktif dibandingkan jika hanya menanam satu jenis tanaman dalam satu kebun. Alasan ekonomi juga menjadi pendorong para petani untuk mengembangkan kebun miliknya dengan menggunakan sistem tumpang sari agar

Page 241: KAJIAN ALUR TATA NIAGA KAPULAGA (Amomum cardomum L

Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 719

ketahanan ekonomi keluarga dapat terjaga dengan mengandalkan hasil panen setiap jenis tanaman yang ditanam.

Tanaman berkayu seperti Jengjen, Hanja, dan Ki Hiang menjadi sumber penghasilan utama yang berasal dari sistem agroforestri. Jengjen dapat dipanen 5-7 tahun setelah penanaman. Hanja dapat dipanen 7-10 tahun setelah penanaman, dan Ki Hiang dipanen 15-30 tahun setelah penanaman. Setelah datangnya program sengonisasi dari pemerintah, jengjen/albasia menjadi pilihan utama untuk dibudidayakan di lahan pertanian karena durasi dari waktu tanam hingga panen relatif lebih singkat daripada jenis-jenis kayu lain. Apabila terdapat kebutuhan mendesak dari petani atau dari pasar maka umur pohon albasia untuk dipanen bisa dipercepat antara 3 tahun sampai 5 tahun. Pemasaran hasil pertanian berupa kayu, terutama yang dihasilkan dari pohon jengjen, dapat dilakukan melalui tiga cara, yaitu dengan cara borongan, palet, dan dibuat bahan/barang jadi, dengan setiap jenis pemasaran memberikan keuntungan yang berbeda-beda. Tabel 3. Cara dan Hasil Pemasaran Kayu Jengjen di Desa Karangwangi

Cara Pemasaran Hasil

Borongan Tidak tentu karena tawar menawar harga dilakukan sebelum pemanenan

Palet

Kayu dengan diameter > 25 cm = Rp 890.000,- per kubik. Kayu dengan diameter < 25 cm = Rp 670.000,- per kubik.

Dibuat bahan/barang jadi Rp 1.500.000,- s.d. Rp 2.000.000,- per kubik

IV. KESIMPULAN

Berdasarkan penelitian ini dapat disimpulkan bahwa karakteristik sosial ekonomi masyarakat

petani agroekosistem talun desa Karangwangi cenderung berpola tumpang sari. Hal ini merupakan salah satu strategi masyarakat desa tersebut dalam memenuhi kebutuhan hidup, khususnya kebutuhan keluarga. Sistem tumpang sari yang terbentuk selama ini terkategori menjadi tiga macam, yaitu agrosilvikultur, agrosilvopastur, dan silvopastur. Dari aspek ekonomi masyarakat, padi bukanlah bahan yang diperjualbelikan namun lebih kepada pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari. Sedangkan untuk jenis palawija dan tanaman perkebunan seperti pisang, adalah sumber perekonomian karena adanya permintaan pasar walaupun pasar lokal. Dan yang menjadi komponen perekonomian utama adalah tanaman kayu yang menjadi investasi sekitar 5-7 tahun (secara umum). Dinamika pengelolaan lahan talun masyarakat merupakan hasil pengetahuan turun temurun dari para pendahulu. Sistem tumpang sari adalah salah satu warisan pengetahuan masyarakat dalam pengelolaan lahan talun. Tanaman jenis kayu sebagai komponen utama talun, memiliki peran penting dalam terbinanya agroekosistem talun.

DAFTAR PUSTAKA

Yanto, J. 2004. Studi Struktur Vegetasi Talun Di Desa Sukamukti Kecamatan Tanjung Medar

Kabupaten Sumedang. Skripsi Jurusan Biologi FMIPA UNPAD. Jatinangor. Elmeidian, M.. 2010. Profil Desa Karang Wangi Kecamatan Cidaun Kabupaten Cianjur Propinsi Jawa

Barat. http://krwangi.blogspot.com/2010/04/profile-desa-karang-wangi-kecamatan.html. Diakses pada 25 Oktober 2015.

Page 242: KAJIAN ALUR TATA NIAGA KAPULAGA (Amomum cardomum L

720 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

RAGAM PEKERJAAN PETANI PENGGARAP DI RPH KANAR LUK WILAYAH KPHP BATULANTEH, KABUPATEN SUMBAWA

Dian Diniyati

Balai Penelitian Teknologi Agrofrestry Jl. Raya Ciamis Banjar Km 4 Dsn Pamalayan Ciamis

ABSTRAK

Tindakan ekonomi yang dilakukan oleh petani adalah upaya untutk memenuhi kebutuhan rumah tangga keluarganya. Tindakan tersebut akan dilakukan semaksimal mungkin dan disesuaikan dengan sumberdaya yang tersedia. Tulisan ini bertujuan untuk memberikan gambaran dan informasi tentang ragam pekerjaan yang dilakukan oleh petani penggarap di RPH Kanar Luk wilayah KPHP Batulanteh, Kabupaten Sumbawa. Penelitian dilaksanakan di bulan Agustus dan Oktober 2015. Responden adalah petani sebanyak 34 orang, dipilih secara sengaja. Pengumpulan data dilakukan dengan teknik wawancara dan FGD (focus group discussion), dan di analisis secara kualitatif dan disajikan secara diskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jenis pekerjaan petani penggarap terbagi menjadi dua yaitu pekerjaan pada musim hujan dan kemarau. Kondisi musim dan cuaca mempengaruhi jenis pekerjaan yang dilakukan petani. Namun demikian ada beberapa jenis pekerjaan yang dapat dilakukan sepanjang tahun yaitu : mencari rumput untuk pakan ternak, mencari batu dan pasir serta berternak. Seluruh pekerjaan yang dilakukan petani penggarap sangat tergantung sekali dengan sumberdaya yang ada di sekitarnya. Untuk mengurangi ketergantungan maka perlu dilakukan pengayaan jenis pekerjaan. Pengayaan pekerjaan ini dapat dilakukan melalui penyuluhan ataupun pelatihan oleh instansi terkait tentang alterntif jenis pekerjaan lainnya seperti ternak lebah madu. Kata kunci: petani, tindakan ekonomi, sumberdaya alam, musim dan cuaca, alternative pekerjaan.

I. PENDAHULUAN

Petani sebagai mahluk ekonomi akan berusaha untuk memenuhi kebutuhan hidup pribadi dan keluarganya dengan memanfaatkan sumberdaya yang tersedia. Sumberdaya untuk memenuhi kebutuhan petani dapat berasal dari sumberdaya pertanian dan non pertanian.

Demikian juga dengan kondisi petani penggarap di kawasan hutan RPH Kanar Luk wilayah KPHP Batulanteh, akan melakukan tindakan ekonomi dengan memanfaatkan sumberdaya yang ada di sekitarnya. Oleh karena itu, ketergantungan petani terhadap sumberdaya alam ini sangat tinggi. Karena hanya sektor pertanian ini lah seluruh petani penggarap dapat melakukan tindakan ekonomi sehingga dapat menghasilkan pendapat untuk memenuhi seluruh kebutuhan rumah tangga.

Kenyataannya pendapatan yang bersumber dari pertanian pada umumnya tidak dapat mencukupi kebutuhan rumah tangga, untuk itulah ada upaya lain yang dilakukan oleh petani dengan bekerja di luar sektor pertanian. Diharapkan berkembangnya kesempatan kerja dan berusaha di sektor luar pertanian merupakan alternative kegiatan dan sumber pendapatan masyarakat pedesaan terutama bagi para petani berlahan sempit (small size land holding farmers) dan petani tanpa lahan (landless farmers) (Sugiarto, 2008).

Seiring dengan kondisi tersebut maka tulisan ini bertujuan untuk memberikan gambaran dan informasi tentang ragam pekerjaan yang dilakukan oleh petani penggarap di RPH Kanar Luk wilayah KPHP Batulanteh, Kabupaten Sumbawa dan memberikan masukan bagi penentu kebijakan tentang upaya peningkatan ragam jenis pekerjaan petani supaya tidak tergantung terhadap sumber daya hutan di kawasan.

Page 243: KAJIAN ALUR TATA NIAGA KAPULAGA (Amomum cardomum L

Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 721

II. METODE PENELITIAN

Kegiatan penelitian ini dilaksanakan di wilayah KPHP Batulanteh Sumbawa, RPH Kanar Luk secara administrative terletak di Kecamatan Labuhan Badas Desa Labuhan Badas Dusun Kayu Madu - Kampung Bronjong. Penelitian dilaksanakan pada bulan Agustus dan Oktober 2015. Responden penelitian adalah petani penggarap di kawasan hutan KPHP Batulanteh RPH Kanar Luk sebanyak 34 orang, pemilihan responden dilakukan secara sengaja. Pengumpulan data dilakukan dengan teknik wawancara secara terstruktur dengan menggunakan kuisioner yang telah dipersiapkan terlebih dahulu terhadap responden terpilih dan FGD (focus group discussion). Data yang terkumpul di analisis secara kualitatif dan disajikan secara diskriptif.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

Pekerjaan yang dilakukan oleh responden di lokasi penelitian tidak jauh berbeda dengan jenis pekerjaan petani pada umumnya, yaitu usaha di bidang pertanian dan non pertanian (Gunawan et al, 2013; Nurrani dan Tabba, 2013). Adapun jenis pekerjaan yang dilakukan oleh responden sangat tergantung dengan cuaca, karena kondisi cuaca dapat mempengaruhi jenis pekerjaan yang dilakukan oleh responden. Lebih jauh dikatakan oleh Ariyanto (2010) bahwa cuaca mempengaruhi produktivitas kacang hijau. Volume curah hujan bulan Mei sangat mempengaruhi produktivitas kacang hijau yang ditanam pada musim tanam ke dua (MT) di lahan kering di Kabupaten Pati. Berbagai usaha yang dilakukan oleh responden, dapat dikelompok sebagai berikut:

A. Kegiatan Pada Musim Hujan

Pada saat musim hujan, merupakan waktunya responden untuk melakukan kegiatan pertanian. Kegiatan pertanian yang dilakukan oleh petani seluruhnya dilakukan di kawasan hutan. Pada umumnya jenis-jenis tanaman yang dibudidayakan oleh responden merupakan jenis tanaman yang langsung dapat dimanfaatkan seperti padi, kacang tanah, lembui, jagung, buah mangga, pisang, nangka dan jambu mente. Periode penanamannya seperti diperlihatkan oleh gambar I berikut ini.

Bulan

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12

Musim hujan Musim hujan

Banyak angin

Banyak angin

Tanam padi Panen padi

Tanam padi

Kacang tanah ke 1

Kacang tanah ke 2 Kacang tanah ke

1

Lembui Lembui

Jagung Panen dibiarkan kering di pohon Jagung

Cari rumput untuk pakan ternak

Gambar 1. Transek horisontal periode tanam responden penggarap di kawasan hutan

Musim hujan di Kampung Bronjong - Desa Kayu Madu dimulai pada bulan Nopember – April, pada saat tersebut petani akan memulai menanam. Angin akan banyak terdapat pada bulan Agustus - September dan bulan Februari – Maret. Kedua cuaca tersebut akan mempengaruhi pola tanam yang dilakukan oleh responden. Tanaman yang pertama kali ditanam pada awal musim penghujan adalah Padi, kacang tanah, lembui dan jagung, seluruh jenis tanaman tersebut akan ditanam pada bulan Desember, demikian juga masa panennya dilakukan hampir bersamaan, yaitu padi akan dipanen pada awal bulan Mei kemudian gabahnya akan dijemur di ladang, setelah kering diangkut ke

Page 244: KAJIAN ALUR TATA NIAGA KAPULAGA (Amomum cardomum L

722 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

rumah. Kacang tanah ditanam sebanyak 2 kali, panen pertama yaitu pada bulan Februari diperuntukkan untuk dikonsumsi dan dijual sedangkan panen yang kedua untuk kebutuhan bibit dilakukan pada bulan Mei, bersamaan dengan itu maka petani akan melakukan pemanenan tanaman lembui dan tanaman jagung. Kusus untuk jagung, pada bulan Mei bongkol jagung tidak langsung dipanen, melainkan akan dibiarkan kering, hal ini dilakukan karena jagung ini untuk dijual ke pabrik. Pengeringan jagung dengan metode ini memudahkan petani dalam mengontrol tanamannya. Seluruh jenis tanaman tersebut hanya bisa ditanam sebanyak satu kali, karena setelah bulan Mei di wilayah Dusun Kayu Madu ini sudah tidak turun hujan lagi, sehingga petani sudah tidak bisa lagi melakukan penanaman.

B. Kegiatan Pada Musim Kemarau

Pada saat musim kemarau petani di lokasi penelitian sudah tidak melakukan pekerjaan budidaya pertanian. Namun demikian responden pada musim kemarau ini justru mempersiapkan lahan/ladangnya untuk menyambut musim penghujan, sehingga pada saat musim penghunjan datang maka budidaya pertanian bisa langsung dilaksanakan. Kegiatan yang sering dilakukan adalah : nerabas (membersihkan ladang dengan cara dicangkul kemudian dibakar) dan membetulkan pagar, kegiatan ini bisa dilakukan oleh responden selama 6 bulan, tergantung dengan luas lahan garapannya. Pembetulan pagar perlu dilakukan supaya binatang seperti sapi dan kuda tidak bisa masuk ke ladang/kebun sehingga tidak dapat merusak tanaman.

Pada bulan Juli –Nopember kegiatan produktif yang dapat dilakukan oleh petani adalah memetik dan memungut buah mente, dan yang paling banyak produksi mentenya adalah pada bulan September – Oktober, sedangkan pada bulan Desember buah mente sudah tidak bisa diambil lagi karena tidak laku dijual disebabkan buahnya sudah jelek karena terkena hujan. Pada musim kemarau ini pohon mente juga mulai berbunga yaitu pada bulan Juli –November.

Selain melakukan pekerjaan yang berkaitan dengan kegiatan pertanian, biasanya responden juga melakukan kegiatan lainnya dengan tetap memanfaatkan sumber daya yang ada di sekitarnya, seperti pekerjaan mengambil pasir, batu dan memukul batu. Kegiatan ini dilakukan karena pemukiman responden dikelilingi oleh sungai dan pada saat musim kemarau sungai tersebut kering, sehingga memudahkan responden untuk melakukan kegiatan tersebut. Akan tetapi pada saat musim penghujan, petani tetap dapat melakukan kegiatan memukul batu karena sebelum musim penghujan datang telah mempersiapkan bahan bakunya di dekat rumah, sehingga pekerjaan memukul batu dapat terus dilakukan. Namun frekuensi pekerjaan ambil batu, pasir dan pukul batu di musim penghujan tidak seintensif di musim kemarau. Pada umumnya tenaga kerja yang terlibat adalah perempuan. Kegiatan ini dilakukan oleh kaum perempuan dengan tujuan supaya dapat memberikan kontribusi pendapatan bagi rumah tangga. Seperti hasil penelitian dari Sulistiyanto (2013) bahwa usaha memecah batu merupakan salah satu usaha kecil di Desa Rebug Kecamatan Kemiri Kabupaten Purworejo, usaha ini didominasi oleh kaum perempuan. Usaha memecah batu ini merupakan usaha sambilan yang dilakukan oleh para perempuan sehingga penghasilan dari usaha ini mampu berkontribusi terhadap pemenuhan kebutuhan keluarga.

Periode waktu usaha responden di musim kemarau seperti diperlihatkan oleh Gambar 3, sedangkan Gambar 4 memperlihat usaha ambil pasir dan pukul batu.

Bulan

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12

Kegiatan nerabas

Memperbaiki pagar

Ambil buah mente

Pohon mente berbunga

Ambil pasir, batu dan pukul batu

Ambil rumput untuk pakan ternak

Gambar 3. Transek horisontal periode waktu kegiatan responden pada saat musim kemarau

Page 245: KAJIAN ALUR TATA NIAGA KAPULAGA (Amomum cardomum L

Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 723

Gambar 4. Kegiatan responden mengumpulkan pasir, batu dan pukul batu

C. Kegiatan Peternakan Ada satu jenis pekerjaan yang dilakukan oleh petani yang cukup unik yaitu pekerjaan ternak.

Ternak yang banyak dipelihara oleh petani yaitu sapi, kuda dan ayam. Ternak yang banyak dipelihara hampir seluruh petani adalah sapi. Tabel 1 memperlihatkan teknik berternak sapi

Tabel 1. Ternak Sapi di Lokasi Penelitian

No Uraian Petani di dalam kawasan hutan

Persentase (%)

1 Jenis ternak

- Sapi 17 50,00

- Kuda 2 5,88

- Ayam 1 2,94

2 Status Kepemilikan

a. Milik sendiri

- Sapi 7 20,59

- Kuda 2 5,88

- ayam 1 2,94

b. Milik orang lain (ngadas)

- Sapi 17 50,00

- Kuda 0 0,00

- ayam 0 0,00

Sumber: diolah dari data primer 2015 Hewan ternak yang menjadi primadona di daerah Sumbawa adalah sapi, demikian juga

dengan kondisi di lokasi penelitian, hewan ternak yang paling banyak dipelihara adalah sapi. Tidak semua sapi yang dipelihara oleh keluarga petani tersebut merupakan hewan ternak milik sendiri, namun ada juga yang merupakan hewan ternak milik orang lain yang dititipkan untuk dipelihara, disebut dengan istilah ngadas yaitu memelihara sapi milik orang lain dan upahnya adalah anaknya yang pertama, sedangkan anak ke dua milik pemilik sapi (Yudilastiantoro, 2011). Responden petani yang melakukan ngadas sebanyak 17 orang (50%) sedangkan milik sendiri hanya sebanyak 7 orang (20,59%).

Sistem manajemen yang dilakukan jika sapi dipelihara dengan cara ngadas yaitu: 1) Tidak ada perjanjian tertulis, hanya ada kesepakatan antara petani dan pemilik sapi. 2) anak sapi pertama diberikan kepada petani (pengangon), anak sapi ke dua baru pemilik sapi, begitu seterusnya, 3) pemilik tidak memberikan biaya pemeliharaan, biaya pemeliharaan jadi tanggung jawab petani (pengangon). Sistem pemeliharaan hewan ternak seperti diperlihatkan oleh Tabel 2.

Page 246: KAJIAN ALUR TATA NIAGA KAPULAGA (Amomum cardomum L

724 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

Tabel 2. Sistem pemeliharaan hewan ternak sapi

No Sistem Pemeliharaan Jumlah responden (orang)

Persentase (%)

1 Diikat di pohon dekat rumah 1 2,94

2 Di lepas di ladang 16 47,06

Sumber: diolah dari data primer 2015 Hampir seluruh petani memelihara sapinya dengan cara di lepas di ladang, sehingga sapinya

bebas berkeliaran kemana-mana untuk mencari makan, namun jika sudah saatnya malam maka sapi tersebut akan kembali ke ladang tempatnya. Tapi ada juga petani di dalam kawasan hutan yang memelihara sapi dengan cara campuran antara di ikat dan di lepas, yaitu pada saat musim hujan maka sapi peliharaannya akan diikat di ladang, karena di sekitar ladang banyak terdapat pakan sapi, tapi jika musim kemarau maka sapi akan dibiarkan (dilepas) supaya bisa mencari makan sendiri. Pakan sapi dan kuda adalah rumput, biasanya responden mencari rumput di wilayah hutan, kegiatan mencari rumput ini dapat dilakukan oleh responden sepanjang tahun.

Kondisi dan situasi pemeliharaan hewan sapi seperti ini dapat menimbulkan konflik. Biasanya sapi yang diliarkan akan menerobos masuk ke ladang petani lain dan dapat merusak tanaman yang ada di ladang, tanaman yang sering dirusak oleh sapi adalah jambu mente.

Biasanya petani di Desa Labuhan Badas Dusun Kayu Madu –Kampung Bronjong, untuk menghindari konflik antar petani karena banyaknya hewan sapi dan kuda yang dilepas, maka ladang atau rumah akan dibuatkan pagar yang tinggi supaya hewan sapi dan kuda tidak bisa melompati dan merusak tanaman seperti gambar 2 berikut ini. Cara tersebut cukup ampuh untuk menghalau hewan tersebut, namun demikian setiap tahun pagar tersebut harus diperbaiki karena cepat rusak.

Gambar 2. Ladang di beri pagar

IV. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan Petani penggarap di kawasan hutan KPHP Batulanteh RPH Karna Luk, jenis pekerjaan yang

dilakukan sangat tergantung sekali dengan kondisi sumberdaya alam yang ada di sekitarnya, baik itu yang berhubungan dengan kegiatan pertanian maupun kegiatan lainnya.

B. Saran

Untuk meningkatkan pendapatan petani penggarap di kawasan hutan KPHP Batulanteh RPH Kanar Luk, perlu adanya pengayaan jenis pekerjaan yang dapat dilakukan oleh petani. Jenis pekerjaan tersebut harus sesuai dengan kondisi sosial, ekonomi, budaya dan lingkungan. Jenis pekerjaannya yang dapat dilakukan oleh petani diantaranya adalah budidaya lebah madu, peningkatan nilai tambah buah jambu mente, peningkatan nilai tambah buah asam dan lainnya. Selanjutnya untuk penerapan jenis pekerjaan tersebut perlu dilakukan pelatihan dan penyuluhan terlebih dahulu. Pelaksanaan kegiatan ini dapat dilaksanakan oleh instansi terkait.

Page 247: KAJIAN ALUR TATA NIAGA KAPULAGA (Amomum cardomum L

Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 725

DAFTAR PUSTAKA

Ariyanto, S.E. 2010. Kajian Dampak Perubahan Iklim Terhadap Produktivitas Kacang Hijau (Phaseolus radiatus l.) di Lahan Kering. Jurnal Sain Desember 2010. Website: http://eprints.umk.ac.id/89/1/KAJIAN DAMPAK PERUBAHAN IKLIM.pdf. Diakses Pada tanggal 28 Maret 2016.

Gunawan, H., M. Bismark dan H. Krisnawati. 2013. Kajian Sosial Ekonomi Masyarakat Sekitar sebagai

Dasar Penetapan Tipe Penyangga Taman Nasional Gunung Merbabu, Jawa Tengah. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam. Volumme 10 Nomor 2, Agustus Tahun 2013. Hlm 103-119.Pusat Penelitian dan Pengambangan Konservasi dan Rehabilitasi. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Kementerian Kehutanan. Bogor.

Nurrani, L dan S. Tabba. 2013. Persepsi dan Tingkat Ketergantungan Masyarakat Terhadap

Sumberdaya Alam Taman Nasional aketajawe Lolobata di Provinsi Maluku Utara. Jurnal Penelitian Sosial dan ekonomi Kehutanan. Volume 10 Nomor 1, Maret Tahun 2013. Hlm 61 – 73. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Kementerian Kehutanan. Bogor.

Sugiarto. 2008. Analisis Pendapatan, Pola Konsumsi dan Kesejateraan Petani Padi pada Basis

Agroekosistem Sawah Irigasi di Perdesaan. Seminar Nasional. Dinamika Pembangunan Pertanian dan Perdesaan: Tantangan dan Peluang bagi Peningkatan Kesejahteraan Petani. Bogor, 19 Nopember 2008. Pusat Analisis Sosial ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Departemen Pertanian.

Sulistiyanto, A. 2013. Analisis Usaha Perempuan Pemecah batu dan Kontribusinya Terhadap

Pemenuhan Kebutuhan Keluarga di Desa Rebug Kecamatan Kemiri Kabupaten Purworejo. Skripsi. Jurusan Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Semarang. Website: http://lib.unnes.ac.id/18247/1/7450408083.pdf. Diakses pada tanggal 28 Maret 2016

Yudilastiantoro, C. 2011. Faktor-faktor Sosial Ekonomi yang Berpengaruh Terhadap Luas Lahan

Garapan di KHDTK Rarung, Lombok, Nusa Tenggara Barat. Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan. Volume 8 Nomor 1, Maret Tahun 2011. Hlm. 19 – 33. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan. Badan Penelitian dan Pengambangan Kehutanan. Kementerian kehutanan. Bogor.

Page 248: KAJIAN ALUR TATA NIAGA KAPULAGA (Amomum cardomum L

726 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

PROPERTY RIGHTS PADA SISTEM AGROFORESTRI DI HUTAN RAKYAT JAWA (PROPERTY RIGHTS ON AGRO FORESTRY SYSTEM IN PRIVATE FOREST IN JAVA)

S. Andy Cahyono1 dan Yonky Indrajaya2

1)Balai Penelitian Kehutanan Pengelolaan DAS Jl. Jend A. Yani-Pabelan, Kartasura. PO BOX 295 Surakarta 57102

Telp/Fax: (0271) 716709; 716959 Email: [email protected]

2)Balai Penelitian Teknologi Agroforestry Jl. Raya Ciamis-Banjar Km 4 Ciamis 46201

Telp/Fax: (0265)771352; 775866 Email: [email protected]

ABSTRACT

The aim of this study is to elaborate property rights on agroforestry system in private forest in Java. Agroforestry system in private forest produces many products: timber, non timber and environmental services. Notwithstanding agroforestry is developed in private land which is private property rights, but forest flow i.e. goods and services not always be private goods. Agroforestry products can be classified into: public goods, private goods, and common pool resources. Insights and certainty on property rights ensure the benefit of agroforestry, incentive on forest resources management and more appropriate management of forest resources. Keywords: rights, private goods, common pool resources, public goods

ABSTRAK

Tujuan penelitian ini adalah mengetahui property rights pada sistem agroforestri di hutan rakyat Jawa. Agroforestri pada hutan rakyat menghasilkan beragam produk yaitu hasil hutan kayu, non kayu dan jasa lingkungan. Meskipun agroforestri dikembangkan pada lahan milik yang merupakan private property rigths, namun flow hutan berupa barang dan jasa tidak selalu private goods. Produk agroforestri dapat dikelompokkan menjadi public goods, private goods dan common pool resources. Pemahaman dan kepastian property rigths akan menjamin kepastian manfaat agroforestri, insentif pengelolaan sumberdaya hutan dan pengelolaan sumberdaya hutan yang lebih tepat. Kata kunci: property rights, private goods, common pool resources, public goods

I. PENDAHULUAN

Agroforestri sudah lama dikenal di Indonesia selama berabad-abad (Michon dan de Foresta, 1995) dan merupakan nama baru dari praktek tanam menanam yang sudah dikenal lama (Sabarnurdin, 2010) dengan pengabungan pohon dan pertanian (Garrity,et al., 2006) misalnya sistem ladang berpindah, parak, limbo, tumpangsari, pekarangan, repong, kebun campuran, talun dan sebagainya. Agroforestri yang dilakukan petani ada yang dilakukan secara tradisional, ada juga yang sudah dilakukan secara modern.

Agroforestri banyak dilakukan oleh petani di Indonesia karena merupakan teknik penggunaan lahan yang sangat cocok untuk dilakukan di lahan yang sempit dan tegalan (lahan kering). Selain produksinya yang kontinu berupa produk non kayu (perkebunan/pertanian) sebagai hasil bulanan/mingguan/harian dan produk kayu sebagai hasil tahunan. Selain itu, jasa lingkungan yang dihasilkan oleh agroforestri cukup besar.

Page 249: KAJIAN ALUR TATA NIAGA KAPULAGA (Amomum cardomum L

Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 727

Kelestarian pengelolaan hutan dan eksistensi masyarakat lokal menjadi isu yang menarik di tingkat lokal, nasional dan global (Chomitz et al. 2007; Suharjito at al. 2000). Apalagi Pulau Jawa dengan jumlah penduduk yang besar membutuhkan sistem pengelolaan hutan dan pertanian yang tepat. Sistem agroforestri yang dikembangkan pada lahan milik (hutan rakyat) menjadi solusi persoalan tersebut. Selain pemecahan secara lokal dan nasional, juga menjadi solusi atas persoalan perubahan iklim yang menjadi masalah global.

Namun, pengembangan agroforestri pada hutan rakyat seringkali hanya dijadikan sebagai “sambilan”, sehingga belum menjadi perhatian utama dan seringkali pengembangannya hanya ditujukan pada tanah kosong atau lahan kritis. Akibatnya, pengembangan hutan rakyat kurang memperhatikan kesejahteraan petani. Implikasi selanjutnya, pengembangan hutan rakyat dianggap kurang bernilai (Cahyono, et al., 2002) dan kurang mendapat perhatian (Ekawati, et al., 2003). Bahkan masyarakat yang sudah mengembangkan agroforestri pada hutan rakyat, kembali mengusahakan lahannya untuk usahatani semusim seperti terjadi di daerah Ponorogo, Wonogiri, Boyolali (Donie, 1996) dan Bangkalan (Indrawati, et al., 1997). Agroforestri sebagai pengabungan pertanian dan kehutanan akan menghasilkan banyak fungsi dengan banyak produk yang dihasilkannya, banyak kepentingan yang terlibat, dan kebijakan yang melingkupinya. Agroforestri di Pulau Jawa sebagian besar dikembangkan pada lahan milik (hutan rakyat) yang merupakan private property rights, sedangkan sumberdaya hutan banyak yang mengolongkannya sebagai common pool resources. Pemahaman akan property rights pada agroforestri di hutan rakyat akan menentukan pengelolaan sumberdaya hutan yang ada didalamnya dan interaksi para pihak yang terlibat.

North (1990) berpendapat bahwa property rights dapat menurunkan ketidakpastian dalam interaksi antarmanusia terkait sumberdaya meskipun tidak mengefisienkan pengalokasiannya. Jaminan property rights tidak saja menjamin aliran pendapatan tetapi juga insentive untuk berinvestasi pada teknologi produksi dan praktek yang berkelanjutan. Namun banyak program pemerintah yang diimplementasikan tanpa memahami kompleksitas property rights dan keterjaminan land tenure (Gregorio, et al, 2008; Swallow et.al., 2008). Beberapa kajian menunjukkan bahwa ketidakokohan dan ketidakjelasan property rights meningkatan deforestasi di Brasil (Araujo et.al., 2009) Kebijakan pemerintah, perubahan peraturan dan hukum mendorong ketidakkokohan property rights yang selanjutnya mendorong terjadinya konflik dan deforestasi di bagian timur Amazon (Olieviera, 2008). Kerusakan sumberdaya hutan dan kegagalan pengelolaan sering dikarenakan eksploitasi berlebih karena ketidakjelasan hak kepemilikan (property rights). Untuk itu pemahaman terhadap sifat barang perlu diketahui dahulu sebelum membahas aspek pengelolaan sumberdaya alam. Sehingga tujuan penelitian ini adalah mengetahui property rights pada agroforestri di hutan rakyat Jawa.

II. METODE PENELITIAN

Penelitian ini merupakan desk study terhadap property rights pada agroforestri di hutan

rakyat Jawa. Minimnya penelitian tentang property rights apalagi di hutan rakyat menjadi tantangan tersendiri kajian ini, selain kompleksitasnya persoalan property rights itu sendiri.

Metode deskriptif kualitatif dipergunakan untuk menganalisis data sekunder yang berasal dari infomasi ilmiah, publikasi ilmiah dan sebagainya. Selain itu pengalaman lapangan selama peneliti menjelajah hutan rakyat di Jawa cukup membantu dalam memahami kompleksitas property rights. Penyajian hasil dilakukan secara deskriptif dengan memaparkan temuan yang diperoleh dan selanjutnya ditarik kesimpulan serta saran yang dapat diberikan.

Property rights adalah hubungan sosial yang terjadi antara pemilik dan non pemilik berkenaan dengan objek, merupakan hak atas sesuatu, dan mendapat perlindungan hukum atas klaim tersebut (Libecap, 2008). Property rights mengacu pada klaim untuk menggunakan atau mengontrol sumberdaya yang diakui secara legimitasi oleh entitas yang lebih besar dari individu dan sosial atau secara mekanisme hukum yang mendefinisikan dan melindungi klaim tersebut (biasanya

Page 250: KAJIAN ALUR TATA NIAGA KAPULAGA (Amomum cardomum L

728 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

oleh Negara) (Swallow et al., 2003). Oleh karena itu, unsur terpenting dari property rights adalah penegakan (enforcement). Property rights mencakup minimal dua hal yaitu (1) hak guna seperti hak untuk mengakses sumberdaya, mengambil sumberdaya atau mengeksploitasi sumberdaya untuk manfaat ekonomi. (2) hak kontrol atau pengambilan keputusan seperti hak untuk mengelola (tanaman), menyingkirkan dan mencegah pihak lain mengakses sumberdaya dan mengasingkan (menjual, menyewakan atau memberikan) (Dick et al, 2004).

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

Dalam pandangan ekonomi, barang dapat dikelompokkan menurut kriteria penggunaan/konsumsi dan hak kepemilikannya. Dari sisi konsumsi, suatu barang dapat dikelompokkan apakah menimbulkan ketersaingan untuk mengkonsumsinya atau tidak (rivalry). Sifat rivalry berarti suatu barang tidak dapat dinikmati secara bersamaan tanpa saling meniadakan manfaat. Dengan demikian, sifat ini pada dasarnya akan menimbulkan persaingan yang dapat mengarah pada timbulnya konflik antara rasionalitas individu dan kolektif. Dari sisi kepemilikan dapat dilihat apakah pemilik /produsen memiliki kemampuan untuk mencegah pihak lain yang tidak berkontribusi (free riders) untuk memiliki (memanfaatkan) sumberdaya hutan atau bersifat excludable. Sifat eksklusif ini berarti untuk mengkonsumsi barang ini diperlukan syarat, misal membayar. Tanpa adanya suatu kelembagaan yang dapat mencegah free riders, maka sumberdaya hutan tersebut pada dasarnya menjadi open acces resources.

Survei lapangan dan penelusuran terhadap publikasi terkait agroforestri di hutan rakyat Jawa menunjukkan bahwa terdapat tiga tipologi sumberdaya hutan terkait dengan property rights yaitu barang publik murni, common pool resources dan barang private. Sebagaian besar sumberdaya dalam agroforestri termasuk dalam kategori common pool resources. Adapun sumberdaya hutan dalam agroforestri yang berupa jasa lingkungan termasuk dalam kategori barang publik. Sumberdaya hutan yang termasuk kategori barang private antara lain pohon (sengon, jati, mindi dan sebagainya), tanaman bawah tegakan (salak, kapulaga, laos, jahe, cabe dan sebagainya). Tabel 7. Sumberdaya hutan sistem agroforestri dan property rights nya Table 1. Natural resources in agroforestry system and its property rights

Ekskludibilitas

Rendah (biaya transaksi rendah)

Tinggi (biaya transaksi tinggi)

Sub

stra

ktab

ilita

s

Ren

dah

(Tid

ak b

ersa

ing

dal

am k

on

sum

si)

Barang Publik (public goods) - Udara bersih - Perlindungan alam - Iklim mikro - Unsur hara - Pengatur tata air - Kesejukan - Keindahan - Pendaur ulang sampah

Barang iuran (club atau Toll goods) - Tidak ada

Page 251: KAJIAN ALUR TATA NIAGA KAPULAGA (Amomum cardomum L

Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 729

Ekskludibilitas

Rendah (biaya transaksi rendah)

Tinggi (biaya transaksi tinggi)

Tin

ggi

(ber

sain

g d

alam

men

gko

nsu

msi

)

Common pool resources - Ranting pohon dan dahan kering dan

yang jatuh ketanah) - Buah-buahan yang jatuh ke tanah) - Pakan ternak - rumput - Kayu bakar - Daun jati - Belalang - Daun pisang

Barang pribadi (private goods) - Tegakan/pohon (sengon,

jati, mindi, nangka dan sebagainya)

- Tanaman bawah tegakan yang ditanam (kopi, kapulaga, cabe, salak, empon-empon, ubi kayu dan sebagainya)

Hasil hutan kayu dan non kayu serta jasa lingkungan pada dasarnya merupakan aliran (flow)

yang berasal dari keberadaan agroforestri yang merupakan stock. Kegiatan konservasi, penanaman, perlindungan, pemupukan merupakan kegiatan yang dapat meningkatkan stock. Sedangkan kegiatan penebangan dan pemungutan hasil hutan merupakan flow yang dihasilkan dari agroforestri. Peningkatan kapasitas stock agroforestri pada hutan rakyat akan meningkatkan flow agroforestri berupa produk dan jasa untuk masyarakat. Meskipun agroforestri dikembangkan di hutan rakyat yang umumnya merupakan private property rights, namun produk dan jasa yang dihasilkannya tidak semuanya menjadi private goods.

Hasil hutan kayu dan tanaman yang bernilai ekonomis tinggi serta membutuhkan input dan pengelolaan umumnya termasuk dalam private goods. Hanya pemilik lahan yang dapat mengakses untuk memanfaatkan sumberdaya hutan tersebut. Meskipun demikian, private goods pada sumberdaya hutan seperti buah-buahan, cabe, bumbu dapur, empon-empon dapat saja diambil oleh pihak lain atau juga dapat menjadi common pool resources. Dapat saja sang pemilik agroforestri melakukan eksklusi dengan memagari hutan rakyatnya dari pihak yang tidak berhak. Namun ini tidak dilakukan karena (1) membutuhkan biaya yang sangat besar, (2) secara moral tidak baik membatasi pemanfaatan sumberdaya hutan yang dapat dinikmati semua orang, (3) secara ekonomi tidak merugikan karena nilainya yang relatif kecil, (4) secara budaya tidak “lumrah” apabila karena barang yang tidak seberapa dapat menimbulkan konflik. Nilai sosial budaya masyarakat memungkinkan pemanfaatan bersama atas sumberdaya hutan agroforestri yang bersifat common pool resources dan barang private yang bernilai kecil. Namun apabila barang private pada agroforestri berupa tegakan kayu yang diambil maka akan menimbulkan masalah sosial dan hukum karena sudah dianggap pencurian.

Agroforestri selain menghasilkan kayu juga menghasilkan hasil hutan non kayu yang bermanfaat bagi masyarakat. Hasil hutan non kayu tersebut antara lain kayu bakar, pakan ternak (rumput), serangga, ternak, getah, buah-buahan, bumbu masak, jahe, lengkuas, kapulaga, empon-empon, bahan obat dan sebagainya. Hasil hutan non kayu umumnya merupakan sumberdaya terbuka (open acces resource). Semua warga masyarakat dapat mengambilnya. Dalam kondisi ini berlaku ketentuan “siapa cepat dia dapat”. Imbasnya adalah setiap pihak dengan pikiran rasional individualnya akan berusaha memaksimalkan eksploitasi sumberdaya hutan untuk kepentingannya sendiri yang selanjutnya berdampak pada terdegradasinya sumberdaya hutan tersebut.

Hardin (1968) menunjukkan bahwa tidak adanya institusi yang dapat mengendalikan pemanfaatan common pool resources maka kehancuran yang disebutnya “The tragedy of the commons” yang terjadi. Solusinya menurut Hardin (1968) adalah (1) pengalihan sumberdaya menjadi miliki pribadi dan (2) penyerahan pengelolaannya kepada pemerintah. Namun pengamatan lapangan dan informasi yang diperoleh pada agroforestri di hutan rakyat Jawa tidak menunjukkan hal tersebut. Konflik dan persaingan perebutan sumberdaya common pool resources pada agroforestri tidak terjadi karena, pertama masyarakat melihat bahwa sumberdaya hutan non kayu

Page 252: KAJIAN ALUR TATA NIAGA KAPULAGA (Amomum cardomum L

730 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

ini melimpah tersedia untuk memenuhi kebutuhan mereka dan pihak lain yang menginginkannya. Kedua, hasil hutan non kayu tersebut dianggap kurang signifikan memberikan penghasilan. Ketiga, masyarakat melihat hasil hutan non kayu hanya hasil ikutan semata dari penanaman kayu dan tanaman lain yang bernilai ekonomi. Keempat, tidak etis mempermasalahkan sumberdaya yang tidak seberapa dengan mengorbankan keharmonisan masyarakat.

Jasa lingkungan merupakan eksternalitas positif dari pengembangan agroforestri di hutan rakyat yang menghasilkan kesejukan, oksigen, iklim mikro dan sebagainya yang merupakan barang publik. Barang publik ini dapat dimanfaatkan suatu pihak dan tidak mengurangi kuantitas untuk dimanfaatkan oleh pihak lain, tetapi kualitasnya dapat saja menurun.

IV. KESIMPULAN

Agroforestri merupakan kompromi kepentingan kehutanan dan pertanian yang menghasilkan beragam produk yaitu tanaman pangan, tanaman pertanian, hasil hutan kayu, non kayu dan jasa lingkungan. Agroforestri pada lahan milik yang merupakan private property rigths, menghasilkan barang dan jasa tidak selalu private goods. Produk agroforestri dapat dikelompokkan menjadi public goods, private goods dan common pool resources. Kondisi sosial ekonomi, budaya, dan kebiasaan membuat belum timbulnya konflik kepentingan dalam pemanfaatan sumberdaya hutan rakyat dengan beragam property rights.

DAFTAR PUSTAKA

Araujo, C, C. A. Bonjean, J.L. Combes, P. C. Motel, dan E.J. Reis. 2009. Property rights and deforestation in the Brazilian Amazon. Ecological Economics 68 (2009) 2461–2468.

Cahyono,S.A, N. P. Nugroho, dan N. A. Jariyah. 2005. Tinjauan Faktor Kelayakan, Keuntungan dan

Kesinambungan pada Pengembangan Hutan Rakyat. Info Sosial ekonomi, 5 (2):99—107. Puslit Sosek dan Kebijakan Kehutanan. Bogor.

Cahyono, S.A, N. Haryanti, Sunaryo, dan Purwanto. 2002. Kajian Sumbangan Pendapatan Hutan

Rakyat Terhadap Pendapatan Rumah Tangga Petani: di Sub DAS Temon dan DAS Keduang, Solo Hulu. Makalah Ekspose Hasil Penelitian Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Pengelolaan Daerah Aliran sungai Wilayah Indonesia Bagian Barat. Wonogiri, 1 Oktober 2002. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, Departemen Kehutanan. Bogor.

Chomitz K., D.L.Giacomo, B. Piet B., S.T.Timothy, dan W.K. Sheila. 2007. Perluasan Pertanian,

Pengentasan Kemiskinan dan Lingkungan di Hutan Tropis. Laporan Penelitian Kebijakan Bank Dunia. Salemba Empat. Jakarta.

Dick, R.M, R. Pradhan dan M. Di Gregorio. 2004. Understanding Property Rights. Focus 11 Brief 3.

International Food Policy Research Institute. Washington. Donie, S. 1996. Kajian Model Pengelolaan dan Pemanfaatan Hutan Rakyat Berwawasan Kelestarian.

Kegiatan Pengkajian dan Penerapan Hasil Penelitian Kehutanan Balai Teknologi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Solo. Surakarta.

Ekawati, S., D. Subaktini, N. Haryanti, dan Sunaryo. 2003. Kajian Kelembagaan Pengelolaan Hutan

Rakyat. Laporan Penelitian. Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Wilayah Indonesia Bagian Barat. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Surakarta.

Page 253: KAJIAN ALUR TATA NIAGA KAPULAGA (Amomum cardomum L

Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 731

Garrity, D., A. Okono, M. Grayson dan S. Parrott, eds. 2006. World Agroforestry into the Future. Nairobi: World Agroforesty Centre.

Gregorio, M, K. Hagedorn, M. Kirk, B. Korf, N.McCarthy, R.M.Dick, dan B. Swallow. 2008. roperty

rights, Collective Action and Poverty:The Role of Institutions for Poverty Reduction. CAPRi Working Paper No. 81 June 2008. Capri. Washington.

Hardin, G. 1968. The Tragedy of the Commons. Science, 162: 1243-1248. Indrawati, D.R., Sunaryo, dan S. Donie. 1997. Laporan Kajian Faktor Penentu Keberhasilan Hutan

Rakyat di Kabupaten Bangkalan dan Wonosobo. Balai Teknologi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Surakarta. Surakarta.

Libecap, G.D. 2008. Transaction Costs, Property Rights, and the Tools of the New Institutional

Economics: Water Rights and Water Markets dalam Brousseau, E dan J.E. Glachant. New Institutional economics: a guidebook. Cambridge University Press. Cambridge.

Michon G. and de Foresta H. 1995. The Indonesian Agroforest Model: Forest Resource Management

and Biodiversity Conservation. Dalam: Halladay P and Gilmour DA (eds.), Conserving Biodiversity outside protected areas. The role of traditional agroecosystems. IUCN: 90-106.

North, D. C., 1990. Institutions, Institutional Change, and Economic Performance. Cambridge

University Press, Cambridge. Oliveira, J.A.P. 2008. Property rights, land conflicts and deforestation in the Eastern Amazon. Forest

Policy and Economics 10 (2008) 303–315 Sabarnurdin, M.S. 2010. Agroforestri: Kehutanan dan Pendidikan Rimbawan. Prosiding Agroforestri

Tradisional di Indonesia. INAFE, SEANAFE, FKKM, UNILA dan The Ford Foundation. Bandar Lampung.

Suharjito, D, A. Khan, W.A. Djatmiko, M.T. Sirait dan S. Evelyna. 2000. Karakteristik pengelolaan

hutan berbasis masyarakat. Aditya Media. Yogyakarta. Swallow, B, R.M.Dick, dan M. Noordwijk. 2008. Localizing Demand and Supply of Environmental

Service: interactions with property rights, collective action and the welfare of the poor. CAPRI Working paper 42. CAPRI. Washington.

Swallow, B, L. Onyango dan R.M. Dick. 2003. Catchment Property Rights and the Case of Kenya’s

Nyando Basin. Prosiding Preparing the Next Generation of Watershed Management Programmes, FAO dan ICRAF. Nairobi.