al umm [1] 1 taharah juz 1 bag i

124
IMAM SYAFI`I Mukhtashar KITAB AL UMM Fi al-fiqh 1 1

Upload: harun-fazan

Post on 17-Feb-2015

174 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Al umm

TRANSCRIPT

Page 1: Al Umm [1] 1 Taharah Juz 1 Bag i

IMAM SYAFI`I

Mukhtashar

KITAB

AL UMM

Fi al-fiqh

1

1

Page 2: Al Umm [1] 1 Taharah Juz 1 Bag i

Imam Syafi’i

(Abu Abdillah Muhammad bin Idris)

MUKHTASHAR

AL UMM

Fii al-fiqh

Kitab Induk Madzhab Syafi’i

2

Page 3: Al Umm [1] 1 Taharah Juz 1 Bag i

Imam Syafi`i Abu Abdillah Muhammad bin Idris

Ringkasan al- Umm / Imam Syafi`i Abu Abdillah Muhammad bin Idris;

Penerjemah : Abu Vida` Anshari, dkk.

Judul Asli : Mukhtashar Kitab al- Umm fi al-Fiqhi

Judul buku : Mukhtashar Kitab al-Umm fi al-Fiqhi

Pengarang : Imam Syafi`i Abu Abdillah Muhammad bin Idris

Peringkas dan Peneliti : Husain Abdul Hamid Abu Nasir Nail

Penerbit : Darul Arqam bin Abil Arqam, Beirut Libanon.

Edisi Terjemah :

MUKHTASHAR KITAB AL- UMM

3

Page 4: Al Umm [1] 1 Taharah Juz 1 Bag i

Allah swt. berfirman :

إ�ن�م�ا ي�خ�ش�ى ال� م�ن� ع�ب�اد�ه� الع�ل�م�ؤ�ا

“Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara

hamba-hamba-Nya hanyalah ulama.”

( Surat Faathir (35) : 28 )

Pengantar Penterjemah

4

Page 5: Al Umm [1] 1 Taharah Juz 1 Bag i

Bismillahirrahmaanirrahiim

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah. Salawat dan salam tersanjung

kepada Nabi-Nya, Muhammad Saw, berikut keluarga, para sahabat dan terlimpah

kepada seluruh pengikutnya. Berkat inayah Allah, kami dapat menyelesaikan

penterjemahan kitab Al-Umm, sebuah kitab induk madzham Syafi’I yang paling

utama.

Al-Umm adalah sebuah kitab kelasik karya terbesar imam Syafií. Beliau

bernama Abu Abdillah Muhammad bin Idris. Panggilan Syafií diperoleh dari

datuknya, Syafií bin al-Saib. Nasab beliau tercatat dalam sejarah sampai pada

Abdi Manaf, datuk Rasulullah Saw.

Imam Syafií dikenal sebagai peletak dasar metodologi pemahaman hukum

dalam Islam. Kitab Al Umm adalah buah karya terbesar beliau yang berisi fatwa-

fatwa fikih hasil pengembangan motode qiyas yang berfungsi untuk memperjelas

suatu posisi hukum. Kitab ini menjadi kitab induk bagi penganut faham sunni

yang bermadzhab syafií. Banyak ulama fikih yang lahir sesudah beliau

menempatkan Al Umm menjadi rujukan utama dalam mengembangkan fatwa-

fatwa fikih kontemporer. Masyarakat muslim di Indonesaia adalah pengikut

madzhab Syafií yang paling besar di dunia.

Imam Syafií adalah ulama yang paling terkenal kehati-hatiannya

(ikhtiyath) dalam memutuskan persoalan hukum. Namun begitu dibanding tiga

madzhab yang lain (Maliki, Hambali dan Hanafi), keputusan-keputusan hukum

yang dibuat imam Syafií cenderung moderat; sekalipun tidak dipungkiri terdapat

juga sebagian fatwa beliau yang tegas dan berat.

Kitab Al Umm berisi persoalan-persoalan fiqhiyah keseharian yang

5

Page 6: Al Umm [1] 1 Taharah Juz 1 Bag i

berkaitan dengan ibadah, muamalah dan siyasah. Topik pembahasannya terasa

masih relevan dengan kondisi terkini. Inilah salah satu bagian dari kehebatan

kitab Al Umm.

Hadirnya kitab terjemahan ini di tangan pembaca diharap

mempermudah penyerapan pengetahuan fikih imam Syafi’i. Adalah

sangat ironis jika banyak orang mengakui mengikuti madzhab Syafi’i,

tetapi nyatanya belumpernah melihat apalagi membaca karya besar

ulama ini.

Itu sebabnya muncul kecenderungan yang membedakan antara

pengikut Syafi’ dan Syafi’iyah. Pengikut yang pertama berarti dalam

memahami fikih berpegangan langsung pada pandangan-pandangan

imam Syafi’i. Sedangkan yang kedua cenderung mengambil

ringannya cukup berpegang pada pandangan-pandangan ulama

pengikut madzhab Syafi’i dalam berfikih. Apapun adanya perbedaan

itu memang seharusnya pengikut madzhab Syafi’i mengetahui

langsung pandangan-pandangan beliau dalam berfikih.

Semoga kehadiran buku ini bermanfaat bagi kita semua.

Kudus, 9 Juli 2006

Abu Vida Anshari

Mukaddimah

6

Page 7: Al Umm [1] 1 Taharah Juz 1 Bag i

Segala puji hanya bagi Allah swt. penguasa semesta alam. Shalawat dan

salam seenantiasa terlimpah kepada mahluk Allah yang paling mulia, baginda

Nabi Muhammad saw. Segala puji hanya bagi Allah swt. yang telah melebihkan

dan mengangkat derajat para ulama dengan al-Qur`an dan Sunnah Rasul-Nya,

serta dengan ilmu yang telah mengantarkan Islam beserta pengikutnya menuju

kejayaan dan kemuliaan. Allah swt. berfirman :

إ�ن�م�ا ي�خ�ش�ى ال� م�ن� ع�ب�اد�ه� الع�ل�م�ؤ�ا

“Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya

hanyalah ulama.” ( Surat Faathir (35) : 28 )

Pada saat kami mendatangi perpustakaan Islam untuk menyerahkan kitab

yang berjudul Mukhtashar al-Umm karya seorang ulama besar, Imam Syafi`i

untuk diterbitkan, terbersit dalam pikiran kami semoga kitab ini dapat

memberikan kontribusi yang sangat berharga kepada umat manusia terutama bagi

semua pelajar dan pembaca. Kami sangat berterima kasih dan bersyukur karena

telah berhasil menyelesaikan ringkasan, mentahqiq dan sekaligua memberikan

komentar terhadap kitab ini. Karya ini adalah merupakan permintaan Ustadz

Akram Thiba`, seorang direktur penerbit Dar al-Qalam yang berpusat di Beirut,

Lebanon. Oleh sebab itu, sekali lagi kami berterima kasih atas perhatian yang

besar dari beliau terhadap penyebaran warisan Islam yang berupa buku induk

dalam bidang kajian fiqih dalam kemasan baru yang lebih menarik.

Semoga Allah swt. menjadikan karya ini sebagai amal baik yang mulia,

yang dapat menambah beratnya timbangan kebaikan kita semua. Amiin.

Husain Abdul Hamid Nashir Nail

7

Page 8: Al Umm [1] 1 Taharah Juz 1 Bag i

BIOGRAFI IMAM SYAFI`I.

Nasab dari pihak ayah.

Ayahnya bernama Muhammad bin Idris bin Abbas bin Utsman bin Syafi`

bin Sa`ib bin Abid bin Abu Yazid bin Hisyam bin Muthalib bin Abdu Manaf bin

Qusayyi bin Kilab bin Murrah, nasab beliau bertemu dengan Rasulullah saw. pada

Abdu Manaf bin Qusayyi.

Nasab dari pihak Ibu.

Ibnunya bernama Fatimah binti Abdullah bin Hasan bin Husain bin Ali bin

Abi Thalib. Orang-orang mengatakan bahwa mereka tidak mengetahui

Hasyimiyah melahirkan keturunan kecuali Imam Ali bin Abi Thalib dan Imam

Syafi`i.

Kelahiran Imam Syafi`i.

Dia dilahirkan pada tahun 150 H. bertepatan dengan dimana Imam Abu

Hanifah meninggal dunia. Dia dilahirkan di desa Ghazzah, Asqalan. Ketika

usianya mencapai dua tahun, ibunya mengajak pindah ke Hijaz dimana sebagian

besar penduduknya berasal dari Yaman, ibunya sendiri berasal dari Azdiyah. Lalu

keduanya menetap di sana. Akan tetapi saat usianya telah mencapai sepuluh

tahun, ibunua mengajak pindah ke Makkah lantaran khawatir akan melupakan

nasabnya.

Jenjang Pendidikan Imam Syafi`i.

Imam Syafi`i sejak kecil hidup dalam kemiskinan, pada waktu dia

diserahkan ke bangku pendidikan, para pendidik tidak memperoleh upah dan

mereka hanya terbatas pada pengajaran. Akan tetapi setiap kali seorang guru

mengajarkan sesuatu pada murid-murid, terlihat Syafi`i kecil denga ketajaman

akal pikiran yang dimilikinya mampu menangkap semua perkataan serta

penjelasan gurunya. Setiap kali gurunya berdiri untuk meninggalkan tempatnya,

Syafi`I kecil mengajarkan kembali apa yang dia dengar dan dia pahami kepada

8

Page 9: Al Umm [1] 1 Taharah Juz 1 Bag i

anak-anak yang lain, sehingga dai apa yang dilakukan Syafi`i kecil ini

mendapatkan upah. Sesudah usianya menginjak ke tujuh, Syafi`i telah berhasil

menghafal al-Qur`an dengan baik.

Imam Syafi`i bercerita: “Saat kami menghatamkan al-Qur`an dan

memasuki masjid, kami duduk di majlis para ulama. Kami berhasil menghafal

beberapa hadits dan beberapa masalah Fiqih. Pada waktu itu, rumah kami berada

di Makkah. Kondisi kehidupan kami sangat miskin, dimana kami tidak memiliki

uang untuk membeli kertas, akan tetapi kami mengambil tulang-tulang sehingga

dapat kami gunakan untuk menulis.”

Pada saat menginjak usia tiga belas tahun, dia juga memperdengarkan

bacaan al-Qur`an kepada orang-orang yang berada di Masjid al-Haram, dia

memiliki suara yang sangat merdu.

Suatu ketika Imam Hakim menceritakan hadits yang berasal dari riwayat

Bahr bin Nashr, bahwa dia berkata: “Jika kami ingin menangis, kami mengatakan

kepada sesama teman “Pergilah kepada Syafi`i !” jika kami telah sampai

dihadapannya, dia memulai membuka dan membaca al-Qur`an sehingga manusia

yang ada di sekitarnya banyak yang berjatuhan di hadapannya lantaran kerasnya

menangis. Kami terkagum-kagum dengan keindahan dan kemerduan suaranya,

sedemikian tinggi dia memahami al-Qur`an sehingga sangat berkesan bagi para

pendengarnya.

Guru-guru Imam Syafi`i.

1. Muslim bin Khalid al-Zanji, seorang Mufti Makkah pada tahun 180 H.

yang bertepatan dengan tahun 796 M. dia adalah maula Bani

Mkhzum.

2. Sufyan bin Uyainah al-Hilali yang berada di Makkah, dia adalah salah

seorang yang terkenal kejujuran dan keadilannya.

3. Ibrahim bin Yahya, salah satu ulama di Madinah.

4. Malik bin Anas, Imam Syafi`i pernah membaca kitab al-Muwatha`

kepada Imam Malik sesudah dia menghafalnya diluar kepala,

kemudian dia menetap di Madinah sampai Imam Malik wafat pada

9

Page 10: Al Umm [1] 1 Taharah Juz 1 Bag i

tahun 179 H. bertepatan dengan tahun 795 M.

5. Waki` bin Jarrah bin Malih al-Kufi.

6. Hammad bin Usamah al-Hasyimi al-Kufi

7. Abdul Wahab bin Abdul Majid al-Bashri.

Isteri Imam Syafi`i.

Dia menikah dengan seorang perempuan yang bernama Hamidah binti

Nafi` bin Unaisah bin Amru bin Utsman bin Affan.

Keistimewaan Imam Syafi`i.

1. Keluasan ilmu pengetahuan dalam bidang sastera serta nasab, yang

sejajar dengan al-Hakam bin Abdul Muthalib, dimana Rasulullah saw.

pernah bersabda:

�إ�ن�م�ا ب�ن�و� ه�اش�م, و�ب�ن�و الم�ط'ل�ب� ش�ي�ء" و�اح�د

“Sesungguhnya Keturunan (Bani) Hasyim dan keturunan (Bani) Muthalib

itu hakekatnya adalah satu.” 1

2. Kekuatan menghafal al-Qur`an dan kedalaman pemahaman antara

yang wajib dan yang sunnah, serta kecerdasan terhadap semua disiplin

ilmu yang dia miliki, yang tidak semua manusia dapat melakukannya.

3. Kedalaman ilmu tentang Sunnah, dia dapat membedakan antara

Sunnah yang shahih dan yang dha`if. Serta ketinggian ilmunya dalam

bidang ushul fiqih, mursal, maushul, serta perbedaan antara lafadl yang

umum dan yang khusus.

4. Imam Ahmad bin Hambal berkata: Para ahli hadits yang dipakai oleh

Imam Abu Hanifah tidak diperdebatkan sehingga kami bertemu

dengan Imam Syafi`i. Dia adalah manusia yang paling memahami

kitab Allah swt. dan Sunnah Rasulullah saw. serta sangat peduli

terhadap hadits beliau.

5. Karabisy 2 berkata: Imam Syafi`i adalah rahmat bagi umat Nabi

Muhammad saw.

1 . H.R. Ibnu Majah, dalam kitab yang menjelaskan tentang Wasiat, bab “Qismah al-Khumus,” hadits no. 2329.2 . Karabisy dinisbatkan pada profesi penjual pakaian, namanya adalah Husain bin Ali bin Yazid.

10

Page 11: Al Umm [1] 1 Taharah Juz 1 Bag i

6. Dubaisan 3 berkata: Kami pernah bersama Ahmad bin Hambal di

Masjid Jami` yang berada di kota Baghdad, yang dibangun oleh al-

Manshur, lalu kami datang menemui Karabisy, lalu kami bertanya:

Bagaimana menurutmu tentang Syafi`i ? kemudian dia menjawab:

Sebagaimana apa yang kami katakan bahwa dia memulai dengan

Kitab (al-Qur`an), Sunnah, serta ijma` para ulama`. Kami orang-orang

terdahulu sebelum dia tidak mengetahui apa itu al-Qur`an dan Sunnah,

sehingga kami mendengar dari Imam Syafii tentang apa itu al-Qur`an

Sunnah dan ijma`.

Humaidi berkata: Suatu ketika kami ingin mengadakan perdebatan

dengan kelompok rasionalis kami tidak mengetahui bagaimana cara

mengalahkannya. Kemudian Imam Syafi`i datang kepada kami,

sehingga kami dapat memenangkan perdebatan itu.

Imam Ahmad bin Hambal berkata: Kami tidak pernah melihat

seseorang yang lebih pandapai dalam bidang fiqih (faqih) terhadap al-

Qur`an daripada pemuda quraisy ini, dia adalah Muhammad bin Idris

al-Syafi`i.

7. Ibnu Rahawaih pernah ditanya: Menurut pendapatmu, bagaimanakah

Imam Syafii dapat menguasai al-Qur`an dalam usia yang masih relatif

muda ? lalu dia menjawab: Allah swt. mempercepat akal pikirannya

lantaran usianya yang pendek.

8. Rabi` berkata: Kami pernah duduk bersama di Majelisnya Imam

Syafi`i setelah beliau meninggal dunia di Basir, tiba-tiba datang

kepada kami orang A`rabi (badui). Dia mengucapkan salam, lalu

bertanya: Dimanakah bulan dan matahri majleis ini ? lalu kami

mejawab: Dia telah wafat. Kemudian dia menangis lalu berkata:

Semoga Allah swt. memncurahkan rahmat dan mengampuni semua

dosanya. Sungguh beliau telah membuka hujjah yang selama ini

tertutup, telah merubah wajah orang-orang yang ingkar dan juga telah

membuka kedok mereka, dan juga telah membuka pintu kebodohan

3 . Namanya adalah Abu Dubais bin Ali al-Qashbani.

11

Page 12: Al Umm [1] 1 Taharah Juz 1 Bag i

disertai penjelasannya, lalu tidak beberapa lama orang badui itu pergi.

Sikap Rendah Hati yang dimiliki Imam Syafi`i.

Hasan bin Abdul Aziz al-Jarwi al-Mishri mengatakan, bahwa Imam Syafii

pernah berkata: Kami tidak menginginkan kesalahan terjadi pada seseorang, kami

sangat ingin agar ilmu yang kami miliki itu ada pada setiap orang dan tidak

disandarkan pada kami.

Imam Syafi`i berkata: Demi Allah kami tidak menyaksikan seseorang lalu

kami menginginkan kesalahan padanya. Tidaklah bertemu dengan seseorang

melainkan kami berdo`a “Ya Allah, jadikanlah kebenaran ada pada hati dan

lisannya ! jika kebenaran berpihak kepada kami, semoga dia mengikuti kami, dan

jika kebenaran berpihak kepadanya semoga kami mampu mengikutinya.

Imam Syafii adalah Pakar Ilmu Pengetahuan dari Quraisy.

Imam Ahmad bin Hambal berkata: Jika kami ditanya tentang satu masalah

dan kami tidak mengetahuinya, maka kami menjawab dengan menukil perkataan

syafi`i, lantaran dia seorang imam besar yang ahli dalam ilmu pengetahuan yang

berasal dari kaum Quraisy.

Dalam suatu hadits diriwayatkan dari Rasulullah saw. bahwa beliau

bersabda:

ع�ا�ل7 ق7ر�ي�ش, ي�م�ل3 ال�ر�ض� ع�ل�م/ا

“Orang alim dari Quraisy ilmunya akan memenuhi bumi.” 4

Ar-Razi berkata: Kriteria orang orang yang disebutkan di atas ini akan

terpenuhi apabila seseorang memiliki kriteria sebagai berikut :

Pertama; berasal dari suku Quraisy.

Kedua; memiliki ilmu pengetahuan yang sangat luas dari kalangan ulama.

Ketiga; memiliki ilmu pengetahuan yang luas, dan dikenal oleh penduduk

Timur dan Barat.

Benar kriteria di atas hanya terdapat pada diri Imam Syafi`i, dia adalah

seorang ahli ilmu pengetahuan yang berasal dari suku Quraisy.

Berikut beberapa hadits yang berkaitan dengan hal di atas.

4 . Manaqib karya Imam Baihaqi, juz 1, hlm. 45.

12

Page 13: Al Umm [1] 1 Taharah Juz 1 Bag i

1. Riwayat dari Ibnu Mas`ud bahwa dia berkata bahwa Rasulullah saw.

bersabda:

ل� ت�س�بGو�ا ق7ر�ي�ش/ا ف�إ�ن' ع�ال�م�ه�ا ي�م�ل3 ال�ر�ض� ع�ل�م/ا ال'له�م� أ�ذ�قت� أ�و�ل�ه�م� ع�ذ�اب/ا ف�أ�ذ�ق� أ�خ�ر�ه�م� ن�و�ال:

“Janganlah kalian mencaci maki suku Quraisy, karena sesungguhnya ahli

ilmu di antara mereka akan memenuhi dunia. Ya Allah ya Tuhan kami,

Engkau telah menimpakan azab yang terdahulu dari mereka, maka

anugerahkan nikmat-Mu yang terakhir dari mereka.” 5

2. Riwayat dari Abu Hurairah ra. bahwa Rasulullah saw. bersabda :

ا�ل'له�م� اه�د� ق7ر�ي�ش/ا ف�إ�ن' ع�ال�م�ه�ا ي�م�ل3 ط�ب�اق� ال�ر�ض� ع�ل�م/ا ا�لل'ه�م� ك�م�ا ا�ذ�قت�ه�م� ع�ذ�اب/ا ف�أ�ذ�قه�م� ن�و�ال: د�ع�ا

ب�ه�ا ث�ل�ث� م�ر�ات

”Ya Allah tunjukkanlah orang-orang Quraisy, karena

sesungguhnya orang alim di antara mereka akan memenuhi dunia. Ya Allah,

sebagaimana Engkau telah memberikan azab kepada mereka, maka berikanlah

juga Ni`mat-Mu atas mereka.” Beliau mengulanginya sampai tiga kali .6

3. Dia adalah orang Quraisy dari Bani al-Muthalibi, Rasulullah saw. bersabda:

إ�ن�م�ا ب�ن�و� ه�اش�م, و�ب�ن�و الم�ط'ل�ب� ش�ي�ء" و�اح�د� ث7م� ش�ي�ك� ر�س�و�ل7 ال� ص�ل'ى ال3 ع�ل�ي�ه� و�س�ل'م� ب�ي�ن� أ�ص�اب�ع�ه�

“Sesungguhnya Bani Hasyim dan Bani Muthalib adalah adalah satu.”

Lalu Rasulullah saw. merapatkan jari tangannya. 7

Selanjutnya Rasulullah saw. kembali bersabda :

إ�ن' ال� ي�ب�ع�ث7 ل�ه�ذ�ه� ال7م�ة� ع�ل�ى ر�أس� ك7ل\ م�ائ�ة� س�ن�ة, م�ن� ي�ج�دXد� ل�ه�ا د�ي�ن�ه�ا

“sesungguhnya Allah swt. mengutus untuk umat ini pada setiap setiap

seratus tahun seseorang yang memperbaharui agama-Nya.” 8

5 . H.R. Abu Daud Thabalasi dalam kitab Musnad-nya, hlm. 39-40.6 . Khatib, dalam Tarikh, juz 2, hlm. 61.7 . H.R. Sunan Kubra, juz 6, hlm. 340.8 . Al-Mustadrak, juz 4, hlm. 522, dan Khatib dalam Tarikh, juz 2, hlm. 61.

13

Page 14: Al Umm [1] 1 Taharah Juz 1 Bag i

Anak-anak Imam Syafi`i.

1. Abu Usman Muhammad, dia seorang hakim di kota Halib, Syam

(Syiria).

2. Fatimah.

3. Zainab.

Imam Syafi`i ke Mesir.

Imam Syafi`i datang ke Mesir pada tahun 199 H. atau 814/815 M. pada

masa awal khalifah al-Ma`mun, lalu dia kembali ke Baghdad dan bermukim di

sana selama satu bulan, kemudian dia kembali lagi ke Mesir. Dia tinggal di sana

sampai akhir hayatnya pada tahun 204 H. atau 819/820 M.

Kitab-kitab Karya Imam Syafi`i.

1. Al-Risalah al-Qadimah (kitab al-Hujjah)

2. Al-Risalah al-Jadidah.

3. Ikhtilaf al-Hadits.

4. Ibthal al-Istihsan.

5. Ahkam al-Qur`an.

6. Bayadh al-Fardh.

7. Sifat al-Amr wa al-Nahyi.

8. Ikhtilaf al-Malik wa al-Syafi`i.

9. Ikhtilaf al- Iraqiyin.

10. Ikhtilaf Muhammad bin Husain.

11. Fadha`il al-Quraisy

12. Kitab al-Umm

13. Kitab al-Sunan

Wafatnya Imam Syafi`i.

Beliau menderita penyakit ambeien pada akhir hidupnya, sehingga

mengakibatkan beliau wafat di Mesir pada malam Jum`at sesudah shalat

Maghrib, yaitu pada hari terakhir di bulan Rajab. Beliau di makamkan pada Hari

Jum`at pada tahun 204 H. bertepatan tahun 819/820 M. makamnya berada di kota

14

Page 15: Al Umm [1] 1 Taharah Juz 1 Bag i

Kairo, di dekat masjid Yazar, yang berada dalam lingkungan perumahan yang

bernama Imam Syafi`i.

KITAB TATA CARA BERSUCI (THAHARAH )

Imam Syafi`i berkata: Allah swt. berfirman :

15

Page 16: Al Umm [1] 1 Taharah Juz 1 Bag i

يا أيها الذين امنوا إذا قمتم إل الصلة فاغسلوا وجوهكم وأيديكم إل الرافق

وامسحوا برءوسكم وأرجلكم إل الكعبي وإن كنتم جنبا فاطهروا وإن كنتم مرضى

أو على سفر أو جاء أحد منكم من الغائط أولستم النساء فلم تدوا ماء فتيمموا

صعيدا طيبا فامسحوا بوجوهكم وأيديكم منه ما يريد ال ليجعل عليكم من حرج

ولكن يريد ليطهركم وليتم نعمته عليكم لعلكم تشكرون

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan

shalat, maka basuhlah mukamu dan tangamu sampai dengan siku, dan

sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki,

dan jika kamu junub maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam

perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh

perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah

dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan

tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak

membersihkan kamu dan menyempurnakan ni`mat-Nya bagimu supaya

kamu bersyukur.” ( Surat al-Maidah (5): 6 )

Imam Syafi`i berkata: Allah swt. Dialah yang Suci dan Maha Tinggi,

Dialah yang menciptakan air bagi mahluk-Nya, manusia tidak memiliki

kemampuan sedikitpun dalam penciptaannya. Dia telah menyebutkan air secara

umum, maka di dalamnya termasuk juga air hujan, air sungai, air sumur, air yang

keluar dari celah-celah bukit, air laut, baik yang asin maupun yang tawar. Semua

jenis air itu dapat dipergunakan untuk bersuci bagi yang hendak berwudlu atau

mandi. Makna secara lahir dari ayat di atas mengisyaratkan bahwa semua jenis air

adalah suci, baik air laut maupun air yang lain.

Imam Syafi`i berkata: Hadits diriwayatkan dari Abu Hurairah ra. bahwa

seseorang bertanya kepada Rasulullah saw. “Wahai Rasulullah, kami pernah

berlayar, sedangkan kami hanya memiliki sedikit persediaan air. Jika kami

berwudlu dengannya, maka kami akan kehausan, maka apakah kami boleh

berwudlu dengan air laut ?” kemudian Rasulullah saw. bersabda :

16

Page 17: Al Umm [1] 1 Taharah Juz 1 Bag i

هو� الط'ه�و�ر� م�اؤ�ه� ا�لح�لp م�ي�ت�ت�ه�

“Laut itu airnya suci dan bangkainya halal.” 9

Imam Syafii berkata: Hadits diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra. dari

Rasulullah saw. bahwa beliau bersabda :

من� ل�م� ي�طه�ر�ه� الب�ح�ر� ف�ل� ط�ه�ر�ه� ال3

“Barang siapa tidak dapat disucikan dengan air laut, maka Allah swt.

tidak mensucikannya.” 10

Imam Syafi`i berkata: Setiap air tetap suci selama belum bercampur

dengan najis. Tidak ada yang membersihkan dan menyucikan kecuali air atau

tanah, baik air embun, salju yang mencair, air yang dipanaskan atau tidak

dipanaskan, lantaran air memiliki sifat untuk menyucikan dan api tidak

merubahnya menjadi najis. Kami tidak memandang makruh menggunakan air

yang dipanaskan dengan sinar matahari untuk bersuci, hanya saja tidak baik dari

sisi kesehatan, lantaran hal itu dapat menyebabkan penyakit kusta.

Air Yang Dapat Berubah Menjadi Najis.

Imam Syafi`i berkata: Air dibagi menjadi dua macam: yaitu yang

mengalir dan tergenang.

a. Air Mengalir.

Jika di dalam air yang mengalir itu terdapat sesuatu yang diharamkan;

sebagaimana bangkai, darah atau sejenisnya dan berhenti pada suatu muara, maka

air yang tergenang itu menjadi najis jika kadar air lebih sedikit dari jumlah

bangkai, yakni kurang lebih lima bejana. 11

Namun jika airnya lebih dari lima bejana, maka dia tidak dikategorikan

najis, melainkan jika rasa, warna dan baunya telah berubah lantaran najis, karena

air yang mengalir akan menghanyutkan semua kotoran.

Jika bangkai atau kotoran hanyut dalam aliran air, maka bagi seseorang

boleh bersuci pada bagian air yang datang setelahnya, karena air yang mengikuti

9 . H.R. Nasa`i, dalam kitab yang menjelaskan tentang air, bab “Wudlu dengan air laut.” Juz 1, hlm. 176.10 . H.R. Ibnu Majah, dalam kitab yang menjelaskan tentang bersuci, bab “Wudlu dengan air laut.” Hadits no. 309.11 . Lima geriba sama dengan seperempat hasta orang dewasa; baik panjang, dalam dan luasnya.

17

Page 18: Al Umm [1] 1 Taharah Juz 1 Bag i

bangkai tersebut tidak dianggap air yang ditempati bangkai itu disebabkan tidak

dicampuri oleh najis. Jika kadar air yang mengalir itu sedikit dan di dalamnya

terdapat bangkai, kemudian seseorang berwudlu dengan air yang ada disekitarnya,

maka hal itu tidak diperbolehkan apabila air yang berada di sekitar bangkai itu

kurang dari lima geriba. Akan tetapi baginya boleh bersuci dengan air yang

berikutnya.

Imam Syafi`i berkata: Jika air yang mengalir –baik jumlahnya seikit atau

banyak- itu bercampur dengan najis sehingga bau, rasa dan warnanya berubah,

maka air itu menjadi najis. Jika aliran air melewati sesuatu yang haram dan dapat

merubah keadaan air dimana keduanya bercampur, kemudian aliran air itu

melewati sesuatu yang haram dan dapat merubah keadaan air dimana keduanya

bercampur, lalu aliran itu melewati saluran lain yang tidak berubah, maka air yang

tidak berubah itu suci sedangkan air yang berubah itu menjadi najis.

b. Air Tergenang.

Air tergenang terdiri dari dua macam :

Pertama, air yang tidak najis jika bercampur dengan sesuatu yang haram,

kecuali jika warna, bau dan rasanya telah berubah. Jika sesuatu yang haram

terdapat dalam air itu dan merubah salah satu sifat yang disebutkan, baik warna,

bau dan rasanya, maka air itu menjadi najis baik seikit maupun banyak.

Kedua, air yang najis jika bercampur dengan sesuatu yang haram,

sekalipun yang haram itu tidak terdapat padanya. Jika seseorang bertanya:

“Apakah alasan dalam membedakan antara air yang najis dan air yang tidak najis,

padahal tidak ada perubahan apapun pada salah satunya ?” maka sebagai

jawabannya adalah hujjah yang berasal dari al-Sunnah. Yaitu hadits yang

diriwayatkan dari Abdullah bin Umar, dari ayahnya, bahwa Rasulullah saw.

bersabda :

إ�ذ�ا ك�ان� الم�اء3 ق7ل'ت�ي�ن� ل�م� ي�ح�م�ل ن�ج�س/ا

“Jika air ada dua kolam, maka dia tidak membawa najis.” 12

Imam Syafi`i berkata: Jika kadar air berukuran lima bejana, maka air

yang mengalir itu tidak mengandung najis. Akan tetapi jika air kurang dari lima

12 . H.R. Tirmidzi, bab “wudlu”, hadits no. 67, jilid 1, hlm. 97.

18

Page 19: Al Umm [1] 1 Taharah Juz 1 Bag i

bejana dan bercampur dengan bangkai, maka air itu dikategorikan sebagai air

najis. Bejananyapun najis sekalipun isinya sudah dibuang, akan tetapi dapat suci

kembali jika disucikan.

Akan tetapi jika air yang kurang dari lima geriba itu bercampur dengan

najis dan keadaan air itu menjadi berubah, maka hukumnya adalah najis. Namun

apabila dituangkan air lain sampai menjadi lima geriba atau lebih, maka air

tersebut dianggap sebagai air yang suci. Demikian juga jika air yang bercampur

najis itu dituangkan ke air yang lain yang lebih sedikit darinya atau lebih banyak,

dan sesudah dicampur keduanya mencapai kadar lima bejana atau lebih, maka

salah satu dari keduanya tidak merubah yang lainnya menjadi najis. Jika keduanya

telah mencapai lima bejana, maka keduanya adalah suci. Kemudian jika

dipisahkan kembali keduanya tidak dihukumi najis setelah keduanya dalam

kondisi suci, melainkan jika ada najis yang mencampurinya.

Imam Syafi`i berkata: Kotoran burung –baik yang dagingnya boleh

dimakan atau tidak- jika berbaur dengan air, maka air itu menjadi najis, lantaran

kotoran itu menjadi basah sebab berbaur dengan air. Sedangkan keringat orang

Nasrani, orang Majusi, orang yang sedang Junud serta wanita yang sedang haidl

tidak najis. Demikian juga keringat setiap binatang ternak dan binatang buas tidak

najis, kecuali anjing dan babi.

Imam Syafi`i berkata: Demikian juga dengan keringat manusia jika

bercampur dengan air, maka ia tidak najis, lantaran keringat seluruh manusia dan

binatang ternak tidak najis dari tempat manapun keringat itu keluar, baik dari arah

ketiak manusia atau lainnya.

Imam Syafi`i berkata: Jika bejana tanah atau sumur yang dibangun (diberi

dinding) terkena najis yang di dalamnya terdapat sedikit air, padahal dapat

menampung banyak air, kemudian ada juga benda haram yang bercampur dengan

air itu, kemudian dituangkan ke dalamnya air lain sehingga benda haram iu

menjadi tidak ada, akan tetapi kadar air masih sedikit, maka air itu dianggap najis.

Kemudian jika dituangkan lagi pada air itu air lain yang sebanding dengan air

tadi, sehingga tidak ada lagi benda haram, maka air itu menjadi suci. Bejana tanah

dan sumur yang berisi air itu menjadi suci, keduanya dihukumi najis karena

19

Page 20: Al Umm [1] 1 Taharah Juz 1 Bag i

airnya.

Jika air telah menjadi suci, maka sesuatu yang disentuh oleh air itu juga

dihukumi suci. Bejana itu tidak merubah hukum air. Sebagaimana air tidak

merubah hukum bejana, hanya saja bejana mengikuti hukum air, ia suci dengan

sucinya air dan dianggap najis lantaran airnya najis.

Jika air sedikit yang berada dalam satu bejana bercampur dengan najis,

maka cukup dengan membuang airnya dan mencucinya. Kecuali jika anjing dan

babi meminum air bejana tersebut, maka cara mensucikannya dengan mencuci

bejana tersebut sampai tujuh kali dimana pada cucian pertama atau terakhir

menggunakan tanah, karena ia tidak suci selain dengan cara semacam itu.

Jika seseorang berada di laut dan tidak mendapatkan tanah, kemudian

orang tersebut mencucinya dengan sesuatu yang dapat menggantikan tanah,

sebagaimana abu gosok, sikat atau yang lain, maka dalam permasalahan ini ada

dua pandangan:

Pertama; bejana itu tetap tidaksuci, lantaran cara mensucikannya tidak

boleh dengan sesuatu yang lain kecuali tanah.

Kedua; bejana itu dapat disucikan dengan sesuatu yang menggantikan

tanah atau yang dapat lebih membersihkan daripada tanah.

Imam Syafi`i berkata: Jika seseorang bertanya: “Apakah alasan kamu

mengatakan bahwa jika seekor anjing atau babi meminum air dari suatu bejana

maka bejana itu tidak akan dapat disucikan melainkan dengan tujuh kali basuhan,

dimana salah satunya dicampur dengan debu, sedangkan bangkai atau darah yang

jatuh ke dalam bejana itu cukup dengan sekali cuci saja, sekalipun semuanya tidak

memberi perubahan apapun pada air itu ?” Maka sebagai jawaban yang

disampaikan kepada orang tersebut adalah bahwa yang demikian itu mengikuti

Rasulullah saw.

Imam Syafi`i berkata: Hadits telah diriwayatkan dari Abu Hurairah ra.

bahwa dia berkata: bahwa Rasulullah saw. bersabda :

إ�ذ�ا ش�ر�ب� الك�لب� م�ن� إ�ن�اء� أ�ح�د�ك7م� ف�لي�غ�س�له� س�ب�ع� م�ر�ات,

“Jika seekor anjing menjilat suatu bejana salah satu diantara kalian,

20

Page 21: Al Umm [1] 1 Taharah Juz 1 Bag i

maka hendaklah dia membasuhnya sampai tujuh kali.” 13

Imam Syafi`i berkata: Kita mengatakan bahwa hukum anjing adalah najis,

hal ini berdasarkan sabda Rasulullah saw. sedangkan babi tidak lebih buruk

keadaannya daripada anjing, maka kami mengatakan hukumnay juga sama,

lantaran disamakan dengan hukum anjing. Sedangkan pendapat kami bahwa

selain keduanya (anjing dan babi) adalah najis, lantaran berdasarkan cerita yang

disampaikan kepada kami oleh Ibnu Uyainah dari Hisyam bin Urwah. Dia

mendengar dari isterinya –Fatimah binti al-Mundzir- dari Asma, bahwa dia

berkata: “Suatu ketika seorang wanita bertanya kepada Rasulullah saw.: Wahai

Rasulullah, bagaimanakah menurut pendapatmu apabila salah seorang diantara

kami pakaiannya terkena darah haidl ?” kemudian Rasulullah saw. bersabda

kepadanya:

إ�ذ�ا أ�ص�اب� ث�و�ب� إ�ح�د�اك7ن� الد�م� م�ن� الح�ي�ض�ة� ف�لت�قر�ص�ه� ث7م� ل�ت�ن�ض�ح�ه� ل�ت�ص�ل\ ف�ي�ه�

“Jika baju salah satu diantara kalian terkena darah haidl, hendaklah dia

mengeriknya dengan kuku kemudian dipercikkan air, lalu dia shalat

dengannya.” 14

Imam Syafi`i berkata: Tidaklah najis hukumnay jika binatang yang masih

hidup menyentuh air yang kadarnya sedikit, baik dengan cara meminumnya atau

masuk kedalam air itu, atau memasukkan salah satu anggota tubuhnya (kecuali

anjing dan babi); hanya saja binatang yang telah mati adalah najis.

Apakah kamu tidak memperhatikan bahwa jika seseorang mengendarai

seekor keledai, keledai itu sampai mengeluarkan keringat, sedangkan orang itu

tetap berada di atasnya dan dia halal menyentuhnya ?” Jika seseorang bertanya:

Apakah dalil yang menunjukkan halalnya ini ?” maka sebagai jawabannya adalah

hadits Rasulullah saw. yang berasal dari Ibrahim bin Muhammad, dari Daud bin

Husain, dari ayahnya, dari Jabir bin Abdullah, bahwa Rasulullah saw. pernah

ditanya oleh seseorang: “Apakah seseorang boleh berwudlu dengan air sisa dari

keledai ?” kemudian Rasulullah saw. bersabda :

13 . H.R. Muslim, hadits no. 91 dalam kitab Thaharah.14 . H.R. Bukhari, dalam kitab yang menjelaskan tentang haidl, bab “Membasuh Darah Haidl,” juz 1, hlm. 84.

21

Page 22: Al Umm [1] 1 Taharah Juz 1 Bag i

نعم� و�ب�م�ا أ�فض�ل�ت� السXب�اع� ك7ل'ه�ا

“Ya, dia juga berwudlu dari air sisa seluruh binatang buas.” 15

Imam Syafi`i berkata: Hadits diriwayatkan dari Kabsyah binti Ka`ab bin

Malik, dari Ibnu Abi Qatadah bahwa suatu ketika Abu Qatadah menuangkan air

untuk berwudlu, kemudian tiba-tiba seekor kucing datang dan meminum dari

bejana itu. Abu Qatadah melihatku sedang memandanginya, maka dia bertanya:

“Apakah engkau heran, wahai puteri saudaraku ? Rasulullah saw. bersabda :

إ�ن�ه�ا ل�ي�س�ت� ب�ن�ج�س, إ�ن�ه�ا م�ن� الط'و�اف�ي�ن� ع�ل�ي�ك7م� أ�و� الط'و�اف�ات,

“Sesungguhnya kucing itu tidak najis dan sesungguhnya ia adalah

binantang yang suka mengelilingi kamu.” 16

Imam syafii berkata: Jika air yang sedikit atau banyak telah berubah

sehingga membusuk atau berubah warnanya disebabkan bercampur dengan

sesuatu yang tidak haram, maka air itu dikategorikan sebagai air yang suci.

Demikian halnya juga jika seseorang yang kencing dalam air dan tidak diketahui

apakah air itu bercampur najis atau tidak, sedangkan warna, bau dan rasanya telah

berubah, maka air itu tetap suci sehingga diketahui dengan jelas penyebab

najisnya. Lantaran ketika air itu dibiarkan dan tidak ambil sebagai air minum,

maka barangkali saja dia berubah disebabkan bercampur dengan daun kayu dan

lain sebagainya.

Imam Syafi`i berkata: Jika sesuatu yang halal terjatuh pada air dan

merubah bau dan rasanya, namun air tidak menjadi rusak olehnya, maka

seseorang bisa menggunakannya untuk berwudlu, seperti jika yang jatuh ke dalam

air itu adalah kayu sehingga menimbulkan bau tersendiri.

Sedangkan apabila air bercampur dengan susu, madu, tepung atau yang

lainnya, lalu air itu didominasi oleh benda-benda tadi, maka air itu tidak dapat

digunakan untuk berwudlu disebabkan air itu didominasi oleh benda-benda itu

15 . Musnad Imam Syafii, Syarh al-Sunnah, karya al-Baghawi, juz 2, hlm. 71.16 . H.R. Abu Daud, dalam kitab yang menjelaskan tentang bersuci, bab “Air Liur Kucing,” Musnad Imam Ahmad bin Hambal, juz 5, hlm. 33. Tirmidzi, bab “Wudlu”, hadits no. 92; dan Ibnu Majah, dalam kitab yang menjelaskan tentang bersuci dan sunnah hukumnya.

22

Page 23: Al Umm [1] 1 Taharah Juz 1 Bag i

dinisbatkan kepada apa yang mendominasinya, sebagaimana dikatakan; air

tepung, air susu, atau air madu.

Lalu jika sesuatu yang memiliki kadar rendah dimasukkan kedalam air

tersebut, baik berupa tepung, susu atau madu, kemudian benda-benda ini tampak

pada air tersebut, maka air yang suci dan tidak berubah rasanya ini boleh

digunakan untuk berwudlu, karena air itu tidak berubah (sebagaimana mestinya).

Imam Syafii berkata: Demikian halnya apabila dituangkan minyak kayu

cendana di atas air sehingga air tersebut menimbulkan aroma minyak kayu

cendana, maka seseorang tidak boleh berwudlu dengannya. Namun apabila tidak

menimbulkan bau, maka diperbolehkan untuk menggunakannya, lantaran jika

minyak kayu cendana atau air mawar dicampur dengan air, maka keduanya tidak

dapat dibedakan.

Apabila minyak wangi, minyak ambar, kayu cendana atau sesuatu yang

memiliki aroma dituangkan kedalam air, akan tetapi tidak dapat melebur di

dalamnya melainkan hanya menimbulkan bau, maka diperbolehkan berwudlu

dengan air itu, lantaran tidak ada sesuatupun dari benda-benda tersebut yang

bercampur dengannya.

Apabila dituangkan minyak kasturi atau dzarirah (sejenis wangi-wangian)

atau sesuatu yang larut dalam air sehingga air itu melebur dan tidak dapat

dibedakan, kemudian timbul bau padanya, maka tidak boleh berwudlu dengan air

itu, lantaran dia bukan air lagi, akan tetapi air yang bercampur dengan benda.

Air Sisa yang dipakai oleh Orang yang Junub.

Imam Syafi`i berkata: Hadits diriwayatkan dari Aisyah r.a. bahwa dia

berkata:

أ�ن' ر�س�و�ل� ال� ص�ل'ى ال3 ع�ل�ي�ه� و�س�ل'م� ك�ان� ي�غ�ت�س�ل7 م�ن� الق�د�ح� و�ه�و� الف�ر�ق� و�ك7ن�ت� أ�غت�س�ل7 أ�ن�ا و�ه�و

م�ن� إ�ن�اء, و�اح�د

”Bahwa Rasulullah saw. mandi dari al-Qadah (maksudnya al-

Faraq) 17 Kami dan beliau pernah mandi dari satu bejana “.18

17 . Maksdunya bejana yang berukuran sekitar tiga sha`. Akan tetapi sebagian ulama Syafi`iyah mengatakan bahwa satu sha` air untuk mandi sama dengan delapan liter air.18 . H.R. Muslim, dalam kitab yang menjelaskan tentang haidl, bab “Mandi dengan air sisa orang

23

Page 24: Al Umm [1] 1 Taharah Juz 1 Bag i

Imam Syafii berkata: Hadits diriwayatkan dari Ibnu Abbas ra. dari

Maimunah.19

أ�ن�ه�ا ك�ان�ت� ت�غ�ت�س�ل7 ه�ي� و�الن�ب�يG ص�ل'ى ال3 ع�ل�ي�ه� و�س�ل'م� م�ن� إ�ن�اء, و�اح�د,

“Bahwa dia dan Nabi saw. mandi dari satu bejana.” 20

Imam Syafi`i berkata: Hadits diriwayatkan dari Qasim, dari Aisyah ra.

bahwa dia berkata:

أ�ن�ا و�ر�س�و�ل7 ال� ص�ل'ى ال3 ع�ل�ي�ه� و�س�ل'م� م�ن� إ�ن�اء, و�اح�د, م�ن� الج�ن�اب�ة�

“Kami dan Rasulullah saw. mandi dari satu bejana lantaran janabah.” 21

Imam Syafii berkata: Demikian yang menjadi pegangan kami, bahwa

seseorang diperbolehkan mandi dengan menggunakan air sisa yang dipakai oleh

seseorang yang mandi lantaran junub atau haidl, karena Rasulullah saw. dan

Aisyah ra. pernah mandi dari satu bejana dimana keduanya dalam kondisi junub,

masing-masing dari keduanya mandi dengan menggunakan sisa air mereka. Haidl

tidak terletak pada tangan, dan orang mukmin bukanlah orang yang najis. Mandi

hanya bersifat ta`abbudi (ibadah), dimana pada sebagian keadaan seseorang

diharuskan menyentuh air (mandi) akan tetapi tidak pada kesempatan yang lain.

Air Orang Nasrani dan Berwudlu Dengan air itu.

Imam Syafi`i berkata: Sesungguhnya Umar bin Khatab pernah berwudlu

menggunakan air milik wanita Nasrani yang ada dalam sebuah kendi.

Imam syafi`i berkata: Seseorang diperbolehkan berwudlu dengan

menggunakan air orang musyrik dan sisa air wudlunya sendiri, selama tidak

diketahui adanya najis padanya, lantaran air memiliki kesucian bagi siapa saja dan

dimana saja sampai diketahui najis yang bercampur dengannya.

BAB : BEJANA YANG BOLEH DIGUNAKAN SEBAGAI TEMPAT

lain.” Hadits no. 41.19 . Dia adalah isteri Rasulullah saw., nama lengkapnya adalah Barrah binti Maimunah al-Harits al-Hilaliyah al-Mu`ziyah, Rasulullah saw. memanggilnya dengan nama Maimunah lantaran beliau menikah dengannya pada saat penaklukan kota Makkah.20 . H.R. Muslim, jilid 1, hlm. 621, dalam kitab yang menjelaskan tentang haidl, bab “Laki-laki dan perempuan boleh Mandi dalam satu tempat air.”21 . H.R. Muslim, jilid 1, dalam kitab yang menjelaskan tentang haidl, bab “Perempuan boleh mandi dalam satu tempat air,” hlm. 620.

24

Page 25: Al Umm [1] 1 Taharah Juz 1 Bag i

UNTUK BERWUDLU.

Imam Syafii berkata: Riwayat dari Ibnu Abbas ra. bahwasanya dia

berkata:

م�ر� الن�ب�يG ص�ل'ى ال3 ع�ل�ي�ه� و�س�ل'م� ب�ش�اة� م�ي�ت�ة, ق�د� ك�ان� أ�ع�ط�اه�ا م�و�ل�ه� ل�م�ي�م�و�ن�ة� ز�و�ج� الن�ب�يX ص�ل'ى ال

إ�ن�م�ا ح�رXم� أ�كل7ه�ا ف�ه�ل' ا�ن�ت�ف�ع�ت�م� ب�ج�لد�ه�ا ق�ال7و�ا ي�ا ر�س�و�ل7 ال� إ�ن�ه�ا م�ي�ت�ة} ف�ق�الع�ل�ي�ه� و�س�ل'م� ق�ال

“Suatu ketika Nabi saw. melewati bangkai seekor kambing yang telah

diberikannya kepada seorang bekas budak Maimunah, isteri Nabi saw.

beliau bertanya: “Apakah kamu tidak memanfaatkan kulitnya ?”

kemudian para sahabat menjawab: “Itu kan bangkai,” kemudian

Rasulullah saw. bersabda: “Sesungguhnya yang diharamkan hanyalah

memakannya.” 22

Imam Syafii berkata: Hadits diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa Nabi

saw. bersabda :

إ�ذ�ا د�ب�غ� ال�ه�اب� ف�ق�د� ط�ه�رإ

“Apabila kulit telah disamak, maka dia telah suci.” 23

Imam Syafii berkata: Jika kulit bangkai dari binatang apapun sudah

disamak, maka seseorang diperbolehkan berwudlu dengan menggunakannya.

Demikian halnya dengan kulit binatang-binatang buas yang tidak boleh dimakan

dagingnya, lantaran dianalogikan dengan kulit binatang yang sudah menjadi

bangkai. Kecuali kulit anjing dan babi, keduanya tidak bisa disucikan sekalipun

telah disamak, lantaran najis yang ada pada pada keduanya sudah ada sejak

keduanya masih hidup.

Sedangkan kulit binatang yang dapat disucikan dengan disamak hanyalah

binatang yang tidak najis saat masih hidup. Sedangkan proses penyamakannya

dengan menggunakan alat samak yang sudah dipakai oleh orang Arab;

sebagaimana daun salam atau benda lain yang dapat menggantikan fungsinya,

22 . H.R. Muslim, dalam kitab yang menjelaskan tentang haidl, bab “Mensucikan kulit dari binatang yang sudah mati dengan cara menyamak,” hadits no. 102, jilid 1, hlm. 659.23 . H.R. Muslim, dalam kitab yang menjelaskan tentang haidl, bab “Mensucikan kulit dari binatang yang sudah mati dengan cara menyamak,” hadits no. 106, jilid 1, hlm. 660.

25

Page 26: Al Umm [1] 1 Taharah Juz 1 Bag i

sehingga dapat mengeringkan lendirnya, membaguskan dan mencegahnya dari

kerusakan jika terkena air. Kulit bangkai tidak akan suci dengan disamak,

melainkan setelah melewati proses yang sudah kami jelaskan. Apabila kulit itu

berbulu, maka bulunya hukumnya najis. Jika disamak dan bulunya dibiarkan lalu

menyentuh air, maka airnya hukumnya najis. Akan tetapi apabila air itu ada di

bagian dalam kulit, sedangkan bulunya di sisi luarnya, maka air tersebut tidak

dihukumi najis, sebab tidak bersentuhan dengan bulunya. Sedangkan kulit setiap

binatang yang disembelih dan diperbolehkan untuk memakan dagingnya, maka

tidak mengapa minum dan berwudlu darinya sekalipun tidak disamak, lantaran

pensuciannya cukup dengan disembelih.

Imam Syafi`i berkata: Tidak diperbolehkan berwudlu dan minum dengan

menggunakan tulang bangkai yang disembelih dimana binatang tersebut tidak

boleh dimakan dagingnya; sebagaimana tulang gajah, tulang singa, dan tulang-

tulang lain yang sejenisnya, lantaran proses penyamakan dan pensuciannya tidak

dapat mensucikan tulang tersebut.

Imam Syafi`i berkata: Barangsiapa berwudlu darinya, maka hendaklah dia

mengulangi wudlunya dan membasuh apa yang disentuh oleh air yang ada dalam

tulang itu.

BAB : BEJANA YANG TIDAK TERBUAT DARI KULIT.

Imam Syafi`i berkata: Kami tidak memandang makruh bejana yang

terbuat dari batu, besi, tembaga dan segala sesuatu yang tidak bernyawa.

Sedangkan emas dan perak, kami memandang makruh bagi seseorang yang

berwudlu dengan memakainya.

Imam Syafi`i berkata: Hadits telah diriwayatkan dari Ummi Salamah,

bahwa Rasulullah saw. bersabda :

ال'ذ�ي� ي�ش�ر�ب� ف�ي إ�ن�اء� الف�ض�ة� إ�ن�م�ا ي�ج�ر�ج�ر� ف�ي� ب�طن�ه� ن�ار� ج�ه�ن�م�

“Orang yang minum dengan menggunakan bejana yang terbuat dari

perak, sesungguhnya dia menuangkan api Jahanam ke dalam perutnya.” 24

24 . H.R. Ibnu Majah, dalam kitab yang menjelaskan tentang minuman, bab “Minum dengan

26

Page 27: Al Umm [1] 1 Taharah Juz 1 Bag i

Imam Syafi`i berkata: Kami memandang makruh berwudlu dan

meminum dari bejana perak, akan tetapi kami tidak memerintahkannya untuk

mengulangi wudlu. Kami tidak berpendapat bahwa air yang diminum dan

makanan yang dimakannya menjadi haram, hanya saja perbuatan itu dianggap

sebagai maksiat. Jika ditanyakan: “Bagaimana kamu melarang yang demikian itu,

sedangkan air yang ada yang padanya tidak diharamkan ?” Maka katakanlah pada

orang itu: “Sesungguhnya Rasulullah saw. hanya melarang perbuatan –berwudlu

dan minum- serta tidak melarang kepingan bejana perak itu, lantaran

sesungguhnya zakat telah diwajibkan pada bejak perak itu, dan kaum muslimin

menjadikannya sebagai harta. Seandainya bejana perak itu najis, niscaya tidak

ada seorangpun yang mau mengambilnya sebagai harta dan pasti tidak halal

diperjual-belikan.”

BAB : AIR YANG DI RAGUKAN.

Imam Syafi`i berkata: Jika seseorang melakukan perjalanan jauh dengan

membawa air, kemudian dia menduga bahwa air itu telah bercampur dengan

benda najis, akan tetapi dia tidak begitu yakin, maka air itu tetap dihukumi suci,

dia boleh meminum dan berwudlu darinya sampai dia benar-benar yakin bahwa

air itu telah bercampur dengan najis. Jika dia telah yakin bahwa air tersebut

bercampur dengan najis, kemudian dia bermaksud menumpahkan dan

menggantinya dengan air yang lain, akan tetapi dia menjadi ragu apakah telah

melakukannya atau belum, maka air itu tetap dianggap najis sampai diyakini

bahwa dia telah menumpahkan dan menggantinya dengan air yang lain.

Imam Syafi`i berkata: Jika seseorang melakukan perjalanan dengan

membawa dua air, sedangkan dia meyakini bahwa salah satu dari air itu najis dan

yang lainnya suci, kemudian dia menumpahkan air yang diyakini kesuciannya,

akan tetapi dia merasa hawatir merasa haus, maka baginya boleh untuk tidak

membuang air yang diyakini bercampur dengan najis itu kemudian berwudlu

dengan air yang diyakini suci. Apabila ada yang bertanya: “Dia telah meyakini

menggunakan tempat dari emas,” hadits no. 2755, jilid 2, hlm. 248. Dan Tartib Musnad Imam Stafi`i, alam kitab yang menjelaskan tentang tata cara bersuci, bab “Tempat dan Tata cara menyamak,” hadits no. 62, hlm. 27.

27

Page 28: Al Umm [1] 1 Taharah Juz 1 Bag i

bahwa salah satu dari kedua air itu ada yang najis, maka bagaimanakah dia

berwudlu, sedangkan dia tidak yakin kesucian air tersebut ?” Sebagai jawaban

terhadap pertanyaan tersebut adalah, jika dia yakin adanya najis pada salah

satunya dan dia juga meyakini adanya kesucian pada yang lain, maka hal itu tidak

meruak wudlunya, kecuali apabila dia benar-benar yakin bahwa air yang

digunakannya adalah bernajis.

Imam Syafii berkata: Jika seseorang mendapati air yang sedikit

dipermukaan tanah, di dalam sumur, di dalam lubang batu atau di tempat yang

lain, dan air itu sudah sangat berubah, akan tetapi dia tidak mengetahui apakah air

itu bercampur dengan air kencing binatang atau selainnya, maka dia boleh

berwudlu dengan air itu, lantaran air itu terkadang berubah dengan sesuatu yang

tidak haram. Apabila yakin bahwa tidak ada masalah dalam air ini, maka air

tersebut tetap suci, sampai dia meyakini adanya najis yang bercampur dengan air

itu.

Imam Syafi`i berkata: Apabila seseorang melihat air lebih dari lima

bejana, kemudian meyakini bahwa seekor kijang telah kencing di dalamnya dan

menemui rasa, warna, dan baunya telah berubah, maka air itu telah najis,

sekalipun dia menduga bahwa mungkin perubahannya itu bukan akibat kencing,

karena pada awalnya dia telah meyakini adanya najis yang telah mencampurinya

dan mendapati air tersebut benar-benar telah mengalami perubahan. Sedangkan

perubahan yang disebabkan oleh air kencing dan yang lainnya berbeda.

Hal-hal Yang Mewajibkan Wudlu.

Imam Syafii berkata: Allah swt. berfirman :

يا أيها الذين امنوا إذا قمتم إل الصلة فاغسلوا وجوهكم وأيديكم إل الرافق

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan

shalat, maka basuhlah mukamu dan tangamu sampai dengan siku.”

( Surat al-Maidah (5): 6 )

Imam Syafi`i berkata: Hadits diriwayatkan dari Abu Hurairah ra. bahwa

dia berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda :

28

Page 29: Al Umm [1] 1 Taharah Juz 1 Bag i

إ�ذ�ا اس�ت�ي�ق�ظ� أ�ح�د�ك7م� م�ن� ن�و�م�ه� ف�ل� ي�غ�م�س� ي�د�ه� ف�ي ال�ن�اء� ح�ت�ى ي�غ�س�ل�ه�ا ث�ل�ث:ا ف�إ�ن�ه� ل� ي�د�ر�ي� أ�ي�ن� ب�ات�ت

ي�د�ه

“Jika salah seorang di antara kalian bangun dari tidurnya, maka

janganlah dia membenamkan tangannya ke dalam bejana sebelum dia

mencucinya tiga kali, karena dia tidak mengetahui di manakah tangannya

bermalam.” 25

Imam Syafi`i berkata: Barang siapa tidur dengan terlentang, maka baginya

wajib berwudlu kembali, lantaran dia berarti bangun dari tidur. Tidur dapat

menghilangkan fungsi akal. Barang siapa akalnya tidak berfungsi akibat gila atau

sakit, baik dia dalam kondisi terlentang atau tidak, maka baginya wajib berwudlu,

lantaran kondisinya lebih banyak menyerupai orang tidur. Bahkan, orang yang

tidur bisa sadar dengan sebab tergeraknya sesuatu atau tanpa sebab sesuatu.

Sedangkan orang yang akal pikirannya tidak berfungsi akibat gila atau sebab

lainnya, dia tidak akan bergerak sekalipun ada sesuatu yang menggerakkannya.

Imam Syafi`i berkata: Jika seseorang tidur dalam kondisi duduk, maka

kami lebih suka apabila orang tersebut berwudlu kembali.

Imam Syafii berkata: Jika dia tidur pada posisi duduk tegak, maka kami

memandang bahwa dia tidak wajib berwudlu kembali, karena orang yang tidur

dengan posisi terlentang tidak sama dengan orang yang tidur dalam keadaan

duduk, hal ini disebabkan tidur dengan posisi terlentang akan terasa lebih

nyenyak, sehingga akal fikirannya akan terasa lebih tidak berfungsi dibanding

orang yang tidur dalam kondisi duduk.

Imam Syafi`i berkata: Jika dia telah bergeser dari posisi duduk tegak saat

tidur, maka dia wajib mengulang wudlunya, lantaran orang yang tidur dalam

kondisi duduk itu menekan dirinya pada lantai dan hampir tidak keluar sesuatu

melainkan dia akan menyadarinya. Jika dia telah bergeser dari duduknya yang

tegak, maka dia berada dalam batasan tidur dengan terlentang yang sangat

memungkinkan terjadinya hadats. Jika seseorang tidur dengan posisi ruku` atau

25 . H.R. Abu Daud, dalam kitab yang menjelaskan tentang wajibnya wudlu, bab “Seorang laki-laki yang memasukkan tangannya ke dalam bejana sebelum mencucinya,” hadits no. 203, Aun al-Ma`bud Syarh Sunan Abu Daud, jilid 1, hlm. 177.

29

Page 30: Al Umm [1] 1 Taharah Juz 1 Bag i

sujud, maka kami dia kami wajibkan untuk berwudlu, karena posisi ini lebih

rawan terjadinya hadats, lantaran posisi seperti ini lebih rawan dimana hadats

keluar dengan tanpa disadarinya dibandingkan orang yang tidur dengan posisi

terlentang.

Imam Syafi`i berkata: Yang mewajibkan seseorang untuk berwudlu

kembali karena tidur ialah hilangnya fungsi akal pikiran, baik tidur ringan atau

tidur nyenyak. Sedangkan orang yang fungsi akalnya tidak hilang, baik tidur

dengan posisi terlentang, menganggukkan kepala karena mengantuk atau karena

adanya bisikan hati, maka hal itu tidak mewajibkan untuk berwudlu kembali,

sehingga dia yakin bahwa dia telah berhadats.

Imam Syafi`i berkata: Sama halnya apakah seseorang berada di atas

bahtera, menunggang kuda ataupun binatang lainnya, atau orang yang duduk

tegak di lantai pada saat telah melewati kriteria “tegak” pada saat duduk, atau

tidur dalam posisi berdiri, ruku`, sujud, atau terlentang, maka wajib atas orang

tersebut mengulangi wudlunya. Jika orang tersebut ragu tentang kondisi tidurnya

dan terbersit dalam fikirannya sesuatu yang tidak diketahuinya, apakah dia

bermimpi atau hanya bisikan hati, maka orang tersebut tidak termasuk orang

yang tidur. Jika dia yakin bermimpi dan ragu apakah dia tidur atau tidak, maka

yang dia anggap telah tidur dan harus mengulangi wudlunya.

Sedangkan untuk mengambil sikap hati-hati pada masalah yang pertama

bisa dilakukan dengan cara berwudlu kembali. Dia wajib berwudlu lantaran

bermimpi dan ketika dia yakin bahwa dia telah tidur, sekalipun tidak lama.

Berwudlu Karena Menyentuh Wanita dan Buang Air Besar.

Imam Syafi`i berkata: Allah swt. berfirman :

يا أيها الذين امنوا إذا قمتم إل الصلة فاغسلوا وجوهكم وأيديكم إل الرافق

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan

shalat, maka basuhlah mukamu dan tangamu sampai dengan siku.”

( Surat al-Maidah (5): 6 )

Dalam ayat ini Allah swt. menyebutkan wudlu bagi orang yang berdiri

hendak mengerjakan shalat. Maksud yang lebih dominan adalah orang yang

bangun dari tidur terlentang. Allah swt. juga menyebutkan bersuci dari janabah.

30

Page 31: Al Umm [1] 1 Taharah Juz 1 Bag i

Lalu sesudah menyebutkan bersuci dari janabah, Allah swt. berfirman :

غائط أولستم تم مرضى أو على سفر أو جاء أحد منكم من ال فاطهروا وإن كن با تم جن وإن كنالنساء فلم تدوا ماء فتيممواصعيدا طيبا

“dan jika kamu junub maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam

perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh

perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah

dengan tanah yang baik (bersih).” ( Surat al-Maidah (5): 6 )

Imam Syafi`i berkata: Telah sampai kepadaku riwayat dari Ibnu Mas`ud

yang mendekati makna perkataan Ibnu Umar: Jika seorang laki-laki

menyentuhkan tangannya kepada isterinya, atau bersentuhan sebagian tubuhnya

pada sebagian tubuh isterinya dimana tidak ada pembatas antara dia dan isterinya,

baik dengan disertai nafsu birahi atau tidak, maka keduanya wajib berwudlu.

Demikian juga apabila sentuhan itu dari pihak isteri, maka keduanya pun

wajib berwudlu. Dengan kata lain, mana saja dari badan keduanya yang tersentuh

pada yang lain, baik dari pihak laki-laki yang menyentuh kulit wanita atau wanita

yang menyentuh kulit laki-laki, maka keduanya wajib berwudlu.

Jika laki-laki menyentuhkan tangannya pada rambut wanita, namun tidak

sampai menyentuh kulitnya, maka orang itu tidak wajib berwudlu, baik terdorong

oleh nafsu birahi atau tidak. Demikian juga halnya jika dia bernafsu kepada

isterinya, akan tetapi dia tidak menyentuhnya, maka baginya tidak wajib

berwudlu kembali. Nafsu tidak dapat dijadikan ukuran dalam menetapkan hukum,

sebab ia hanya ada dalam hati. Bahkan yang harus dijadikan ukuran adalah

perbuatan seseorang, sedangkan rambut berbeda dengan kulit.

Imam Syafi`i berkata: Kalau seseorang ingin bersikap hati-hati, misalnya

ketika dia menyentuh rambut wanita kemudian dia berwudlu, maka hal itu lebih

kami sukai.

Apabila seseorang menyentuh dengan tangannya apa yang dikehendaki

dari badan wanita; baik dilapisi kain tipis maupun yang tebal, atau dilapisi dengan

benda lain, disertai rasa nikmat atau tidak, dan hal itu dilakukan juga oleh wanita,

31

Page 32: Al Umm [1] 1 Taharah Juz 1 Bag i

maka bagi mereka tidak wajib berwudlu, lantaran masing-masing dari keduanya

tidak saling bersentuhan. Hanya saja, setiap salah seorang dari keduanya

menempel pada lawan jenisnya.

Berwudlu Karena Buang Air Besar, Air Kecil dan Kentut.

Imam Syafii berkata: Hadits diriwayatkan dari Abdullah bin Zaid, bahwa

suatu ketika seorang laki-laki datang mengadu kepada Rasulullah saw. tentang

sesuatu yang mengganggunya dalam shalat, kemudian Rasulullah saw. bersabda :

ل� ي�ن�ص�ر�ف� ح�ت�ى ي�س�م�ع� ص�و�ت/ا ا�و� ي�ج�د� ر�ي�ح/ا

“Janganlah dia beranjak sehingga dia mendengar suara atau mendapati

angin.” 26

Imam Syafi`i berkata: Ketika sunnah menunjukkan bahwa orang tersebut

itu meninggalkan shalat dikarenakan kentut dari tempat keluarnya kotoran

(dubur), maka buang air adalah lebih jelas daripada sekedar buang angin, dengan

kata lain batalnya wudlu lantaran buang air kecil lebih jelas daripada disebabkan

keluar angin.

Imam Syafi`i berkata: Hadits diriwayatkan dari Ibnu Shammah :

أ�ن' ر�س�و�ل� ال� ص�ل'ى ال3 ع�ل�ي�ه� و�س�ل'م� ب�ال� ف�ت�ي�م�م�

“Bahwa Rasulullah saw. membuang air kecil (kencing) lalu

bertayammum.” 27

Imam Syafii berkata : Hadits diriwayatkan dari Miqdad bin Aswad bahwa

Ali bin Thalib ra. menyuruhnya untuk bertanya kepada Rasulullah saw. tentang

seorang laki-laki yang mengeluarkan madzi apabila mendekati isterinya, maka

apakah yang harus dia lakukan ? Sahabat Ali bin Abi Thalib berkata: “Aku selalu

bersama puteri Rasulullah saw. oleh sebab itu aku malu menanyakan kepada

Rasulullah saw.

Kemudian Miqdad melanjutkan, maka aku menanyakan hal tersebut

26 . H.R. Nasa`i, dalam kitab yang menjelaskan tentang tata cara bersuci, bab “Wudlu yang disebabkan keluarnya angin,” dan H.R. Bukhari, juz 1, dalam kitab yang menjelaskan tentang Wudlu,” bab “Tidak harus berwudlu bagi yang Ragu.”27 . Tartib Musnad Imam Syafi`i, dalam kitab yang menjelaskan tentang bersuci, bab “Tayammum,” hadits no. 132, jilid 1, hlm. 44.

32

Page 33: Al Umm [1] 1 Taharah Juz 1 Bag i

kepada Rasulullah saw., lalu beliau bersabda :

إ�ذ�ا و�ج�د� أ�ح�د�ك7م� ذ�ل�ك� ف�لي�ن�ض�ح� ف�ر�ج�ه� و�ي�ت�و�ض�أ و�ض�و�ء�ه� ل�لص�ل� ة�

“Jika salah satu di antara kalian menemukan hal demikian, maka

hendaklah dia memercikkan air pada alat kelaminnya lalu dia berwudlu

untuk menjalankan shalat.” 28

Sunnah telah menjelaskan wajibnya seseorang untuk berwudlu lantaran

disebabkan keluarnya air madzi dan kencing. Penjelasan lain yang mewajibkan

untuk berwudlu adalah lantaran keluarnya angin. Dengan kata lain tidak ada

maksud lain melainkan segala sesuatu yang keluar dari qubul dan dubur baik laki-

laki maupun, yang merupakan jalur hadats itu mewajibkan adanya wudlu.

Demikian juga halnya cacing, batu serta semua yang keluar dari salah satu di

antara kedua jalan tersebut, demikian juga angin yang keluar dari kemaluan laki-

laki atau wanita, wajib adanya wudlu.

Imam Syafi`i berkata: Seseorang tidak diwajibkan berwudlu kembali

hanya karena muntah, keluar darah dari hidung, bekam atau sesuatu yang keluar

dari tubuh selain yang dikeluarkan oleh kemaluan yang tiga; yaitu dzakar, vagina

dan anus.

Berwudlu Karena Menyentuh Kemaluan.

Imam Syafi`i berkata: Marwan bin al-Hakam berkata: Telah menceritakan

kepadaku Basrah binti Shafwan, bahwa dia mendengar Rasulullah saw. bersabda:

إ�ذ�ا م�س� أ�ح�د�ك7م� ذ�ك�ر�ه� ف�لي�ت�و�ض�أ

“Jika salah satu dari kalian menyentuh kemaluannya, maka hendaklah dia

berwudlu.” 29

Hadits diriwayatkan dari Abu Hurairah ra. dari Rasulullah saw.

bahwasanya beliau bersabda:

28 . H.R. Muslim, dalam kitab yang menjelaskan tentang haidl, bab “Air Madhi dan hukumnya,” hadits no. 19, jilid 1, hlm. 599; dalam kitab al-Kuwaththa` karya Imam Malik, dalam kitab yang menjelaskan tentang bersuci, bab “Wudlu karena keluar air Madhi,” hadits no.53,jilid 1, hlm. 40.29 . H.R. Ibnu Majah dalam kitab yang menjelaskan tentang bersuci, bab “Berwudlu Lantaran Memegang Kemaluan,” hadits no. 388, dan H.R. an-Nasa`i dalam kitab yang menjelaskan tentang berwudlu lantaran memegang kemaluan, jilid 1, hlm. 100.

33

Page 34: Al Umm [1] 1 Taharah Juz 1 Bag i

إ�ذ�ا أ�فض�ى أ�ح�د�ك7م� ب�ي�د�ه� إ�ل�ى ذ�ك�ر�ه� ل�ي�س� ب�ي�ن�ه� ش�ي�ء" ف�لي�ت�و�ض�أ��

“Jika salah satu dari kalian menyentuh kemaluannya yang tidak ada

pembatas, maka hendaklah dia berwudlu.” 30

Imam Syafi`i berkata: Jika seseorang menyentuh kemaluannya dengan

telapak tangannya, dimana tidak ada pembatas antara tangan dan kemaluannya,

maka dia wajib berwudlu kembali.

Imam Syafi`i berkata: Hukumnya sama saja apakah seseorang sengaja atau

tidak sengaja, lantaran setiap yang mewajibkan untuk mengulangi wudlu adalah

sikap sengaja. Maka demikian juga ketika dalam kondisi tidak sengaja, keduanya

sama saja, baik sedikit atau banyak dia menyentuh kemaluannya.

Demikian juga jika dia menyentuh dubur atau qubul-nya menyentuh

dubur isterinya atau menyentuh dubur anak kecil, maka wajib atasnya mengambil

wudlu.

Apabila dia menyentuh dua pelirnya atau pantatnya, atau dua lututnya

dan tidak menyentuh kemaluannya, maka baginya tidak wajib berwudlu, baik hal

tersebut dilakukan kepada orang yang sudah mati atau yang masih hidup. Akan

tetapi jika dia menyentuh bagian tubuh binatang, maka baginya tidak wajib

mengulagi wudlu, lantaran anak Adam memiliki kemuliaan dan kehormatan,

sedangkan binatang tidak beribadah sebagaimana hal anak Adam.

Jika kemaluannya tersentuh oleh punggung telapak tangannya, dengan

lengannya atau sesuatu yang bukan telapak tangan, maka dia tidak wajib

mengulangi wudlu.

Imam Syafi`i berkata: Pada saat Rasulullah saw. memerintahkan untuk

mencuci tangan dari darah haidl dan tidak memerintahkan mengulangi wudlu,

maka hal tersebut menunjukkan bahwa darah lebih najis daripada kemaluan.

Imam Syafi`i berkata: Semua yang sudah kami katakan tentang wajibnya

berwudlu terhadap laki-laki yang menyentuh kemaluannya; atau seorang wanita

yang menyentuh kemaluan suaminya atau suami yang menyentuh vagina

30 . H.R. Abu Daud, bab “Wudlu disebabkan menyentuh kemaluan, hlm. 308, dan dalam kitab Aun al-Ma`bud Syarh Sunan Abu Daud.

34

Page 35: Al Umm [1] 1 Taharah Juz 1 Bag i

isterinya, keduanya tidak ada perbedaan.

BAB : TIDAK BERWUDLU KARENA SESUATU YANG DIMAKAN

OLEH SESEORANG.

Imam Syafii berkata:

أ�ن' ر�س�و�ل� ال� ص�ل'ى ال3 ع�ل�ي�ه� و�س�ل'م� أ�ك�ل� ك�ت�ف� ش�اة, ث7م� ص�ل'ى و�ل�م� ي�ت�و�ض�أ

“Sesungguhnya Rasulullah saw. makan tulang rusuk kambing, kemudian

beliau mengerjakan shalat dengan tanpa berwudlu kembali.” 31

Imam syafii berkata : Berdasarkan hadits ini kami mengambil kesimpulan

bahwa barangsiapa makan sesuatu yang tersentuh api atau tidak tersentuh api,

maka dia tidak wajib berwudlu kembali.

Demikian juga halnya apabila dia benar-benar terpaksa memakan bangkai,

maka dia tidak wajib mengulangi wudlunya, baik yang dimakannya itu masih

mentah atau telah dimasak. Dalam hal seperti ini, dia hanya diharuskan untuk

mencuci tangan, mulut serta bagian badan yang tersentuh bangkai. Akan tetapi

jika dia tidak mencucinya atau membasuhnya, maka dia harus mengulangi setiap

shalat yang dikerjakannya setelah makan bangkai itu. Demikian juga jika dia

memakan setiap sesuatu yang diharamkan, maka dia tidak boleh menjalankan

shalat sebelum dia mencuci bagian tubuh yang tersentuh, yakni dua tangan, mulut

atau bagian lainnya. Jika dia makan makanan yang halal, maka dia tidak harus

berwudlu lagi.

Berbicara dan Memotong Kumis.

Imam syafi`i berkata: Seseorang tidak mengulangi karena berbicara,

sekalipun suara terdengar keras, dan tidak wajib mengulangi wudlu lantaran

tertawa di dalam shalat dan diluar shalat.

Hadits cerita dari Abu Hurairah ra. dari Rasulullah saw. bahwa beliau

bersabda :

م�ن� ح�ل�ف� ب�ال'ل�ت� ف�لي�ق7ل ل� إ�ل�ه� إ�ل' ال3

“Barang siapa bersumpah dengan al-Laata, maka hendaklah dia

31 . H.R. Bukhari dalam kitab yang menjelaskan tentang wudlu, bab “Tidak berwudlu karena makan daging dan tepung.” Jilid 1, hlm. 63.

35

Page 36: Al Umm [1] 1 Taharah Juz 1 Bag i

mengucapkan Laa Ilaaha Illallah.” 32

Imam Syafii berkata : Hadits cerita dari Abu Hurairah ra. bahwa

Rasulullah saw. bersabda :

أ�ع�ف7و�ا الل\ح�ى و�خ�ذ7و�ا الش�و�ار�ب� و�غ�ي�ر�و�ا ش�ي�ب�ك7م� و�ل� ت�ش�ب�ه�و�ا ب�الي�ه�و�د�

“Biarkanlah janggut itu lebat dan panjang, dan potonglah kumis serta

ubahlah uban, dan janganlah kalian menyerupai orang Yahudi.” 33

Imam Syafi`i berkata: Barang siapa telah berwudlu kemudian memotong

kuku, rambut, janggut, dan kumisnya, maka dia tidak harus mengulangi

wudlunya, bahkan hal itu dinilai sebagai tambahan kebersihan dan kesucian.

BAB : ISTINJA`

Imam Syafi`i berkata : Allah swt. berfirman :

سحوا فق وام ل الرا يديكم إ جوهكم وأ سلوا و صلة فاغ ل ال تم إ نوا إذا قم لذين ام ها ا يا أيوأرجلكم إل الكعبي برءوسكم

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan

shalat, maka basuhlah mukamu dan tangamu sampai dengan siku, dan

sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki.”

( Surat al-Maidah (5): 6 )

Imam Syafii berkata : Tidak ada keharusan beristinja` ( membersihkan

kotoran setelah buang air kecil atau air besar dengan menggunakan biji batu atas

seseorang yang dharuskan untuk berwudlu, melainkan jika dia membuang air

besar atau air kecil, maka dia harus beristinja` dengan batu atau air.

Riwayat dari Abu Hurairah ra. bahwa Rasulullah saw. bersabda :

إ�ن�م�ا أ�ن�ا ل�ك7م� م�ثل7 الو�ال�د� ف�إ�ذ�ا ذ�ه�ب� أ�ح�د�ك7م� إ�ل�ى الغ�ائ�ط� ف�ل� ي�س�ت�قب�ل� الق�ب�ل�ة� و�ل� ي�س�ت�د�ب�ر� ه�ا ب�غ�ائ�طي�س�ت�ن�ج�ي� الر�ج�ل7 ب�ي�م�ي�ن�ه و�ل� ب�و�ل, و�لي�س�ت�ن�ج� ب�ث�ل�ث�ة� أ�ح�ج�ار, و�ن�ه�ى ع�ن� الر�و�ث� و�الرXم�ة� و� أ�ن

“Sesungguhnya aku bagi kalian bagaikan seorang ayah. Apabila

seseorang dari kalian hendak membuang hajat, maka janganlah

32 . H.R. Muslim dalam kitab yang menjelaskan tentang iman, bab “Barangsiapa bersumpah dengan al-Laata, maka hendaklah dia mengucapkan Laa Ilaaha illallah,” hadits no. 5.33 . H.R. Imam Ahmad dalam kitab Musnadnya, juz 2, hlm. 356.

36

Page 37: Al Umm [1] 1 Taharah Juz 1 Bag i

menghadap ke kiblat dan tidak juga membelakanginya ketika sedang

membuang air besar atau kecil. Hendaklah dia beristinja dengan tiga

batu, dan dilarang beristinja dengan kotoran binatang atau rimmah

(tulang yang telah membusuk), serta dilarang beristinja dengan tangan

kanannya.” 34

Imam Syafi`i berkata: Barangsiapa buang air besar atau air kecil, maka

baginya cukup menyapu dengan tiga batu; batu bata, kayu bakar atau barang yang

suci dan bersih dan dapat membersihkan, sebagaimana: debu rumput, tembikar

dan lain sebagainya.

Imam Syafi`i berkata: Jika dia menemukan batu, batu bata atau batu api

yang memiliki tiga sisi, kemudian seseorang menyapu dengan masing-masing sisi

itu, maka hal itu sama dengan tiga batu. Jika dia menyapu dengan tiga batu

kemudian dia mengetahui bahwa masih ada bekasnya, maka hal itu tidak cukup

baginya melainkan jika dia menyapu kembali sehingga dia melihat bahwa

bekasnya tidak ada lagi.

Imam Syafi`i berkata: Beristinja` dari buang air kecil adalah seperti

beristinja` dari kotoran (tahi), keduanya tidak memiliki perbedaan. Jika air seni

berhamburan kepinggir lubang (tempat keluarnya kotoran), maka baginya cukup

dengan beristinja`. Akan tetapi jika berhamburan dan melewati pinggir lubang,

maka baginya tidak cukup melainkan disucikan dengan air.

Orang yang buang air kecil hendaknya menuntaskan keluarnya air seni

supaya tidak menetes. Kami lebih suka jika seseorang menuntaskan keluarnya air

seni dan berdiam sesaat sebelum beristinja` kemudian sesudah itu dia berwudlu.

Apabila seseorang terkena penyakit ambeien dan luka di dekat pantat atau

pada bagian dalamnya, kemudian mengalir darah atau nanah yang bercampur

darah, maka hendaklah dia beristinja` dengan air dan tidak cukup dengan batu,

karena air dapat mensucikan seluruh najis. Keringanan beristinja` menggunakan

batu tidak dapat diperluas cakupannya dari apa yang sudah ditentukan.

Demikian juga buang air besar dan air kecil jika melampui tempatnya dan

mengenai salah satu anggota badan, maka tidak ada yang dapat mensucikannya

34 . H.R. Ibnu Majah dalam kitab yang menjelaskan tentang bersuci, bab “Istinja` dengan batu-batu dan larangan menggunakan kotoran dan tulang belulang,” hadits no. 252, jilid 1, hlm. 57.

37

Page 38: Al Umm [1] 1 Taharah Juz 1 Bag i

melainkan dengan menggunakan air.

Imam Syafi`i berkata: Jika seseorang wajib mandi, maka baginya tidak

boleh membersihkan bagian keluarnya najis melainkan mencucinya dengan air.

BAB : BERSIWAK.

Imam Syafii berkata: Hadits diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra. bahwa

Rasulullah saw. bersabda :

ل�و�ل� أ�ن أ�ش�ق� ع�ل�ى أ7م�ت�ي� ل� م�ر�ت�ه�م� ب�السXو�اك� ع�ن�د� ك7ل\ و�ض�و�ء, و�ب�ت�أخ�ي�ر� الع�ش�اء�

“Seandainya aku tidak takut memberatkan umatku, maka aku akan

perintahkan kepada mereka bersiwak setiap kali hendak berwudlu dan

mengakhirkan shalat Isya`.” ( H.R. Baihaqi, juz 1, hlm. 35 )

Dari Aisyah ra. dari Rasulullah saw. bahwa beliau bersabda :

Xف�م� م�ر�ض�اة} ل�لر�به�ر�ة} ل�لو�اك� م�طXالس

“Bersiwak itu dapat mensucikan mulut dan membuat Tuhan ridha.” 35

Imam Syafi`i berkata: Dari hadits ini dapat diketahui bahwa bersiwak

tidak wajib dan hanya berbentuk anjuran (sunah). Lantaran apabila bersiwak itu

wajib, maka Rasulullah saw. akan menyuruh umatnya untuk bersiwak, baik dalam

kondisi sulit maupun lapang.

Imam Syafi`i berkata: Kami menyukai supaya seseorang bersiwak pada

setiap kondisi, baik ketika bau mulut berubah atau ketika bangun dari tidur, diam

yang lama, dan setiap kali makan makanan atau meminum-minuman yang dapat

mengubah bau mulut, atau setiap kali hendak shalat. Namun barang siapa tidak

bersiwak, lalu mengerjakan shalat, maka dia tidak perlu mengulangi shalatnya dan

baginya tidak wajib berwudlu.

BAB : MEMBASUH KEDUA TANGAN SEBELUM WUDLU

Imam Syafi`i berkata: Hadits diriwayatkan dari Abu Hurairah ra., bahwa

dia berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda :

إ�ذ�ا ا س�ت�ي�ق�ظ� أ�ح�د�ك7م� م�ن� ن�و�م�ه� ف�لي�غ�س�ل ي�د�ي�ه� ق�ب�ل� إ�د�خ�ال�ه�م�ا ف�ي الو�ض�و�ء� ف�إ�ن' أ�ح�د�ك7م� ل� ي�د�ر�ي� أ�ي�ن

35 . H.R. Nasa`i, dalam kitab yang menjelaskan tentang tata cara bersuci, bab Targhib fi Siwak.

38

Page 39: Al Umm [1] 1 Taharah Juz 1 Bag i

ب�ات�ت� ي�د�ه“Apabila salah seorang di antara kalian bangun dari tidurnya, maka

hendaklah dia membasuh kedua tangannya sebelum memasukkannya ke

dalam air wudlu, karena sesungguhnya seseorang diantara kalian tidak

mengetahui dimana tangannnya bermalam.” 36

Imam Syafi`i berkata: Hadits diriwayatkan dari Abu Hurairah ra. bahwa

dia berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda:

إ�ذ�ا ات�ي�ق�ظ� أ�ح�د�ك7م� م�ن� م�ن�ام�ه� ف�ل� ي�غ�م�س� ي�د�ه� ف�ي ال�ن�اء� ح�ت�ى ي�غ�س�ل�ه�ا ث�ل�ث:ا ف�إ�ن' أ�ح�د�ك7م� ل� ي�د�ر�ي� أ�ي�نب�ا ت�ت� ي�د�ه

“Apabila salah seorang diantara kalian bangun dari tidurnya, maka janganlah dia mencelupkan tangannya ke dalam bejana sehingga dia membasuhnya sampai tiga kali, karena sesungguhnya dia tidak mengetahui dimana tangannya bermalam.” 37

Imam Syafi`i berkata: Apabila seseorang memasukkan tangannya ke

dalam bejana sebelum mensucikannya dan tidak meyakini bahwa ada najis yang

menyentuh tangannya, maka wudlunya tidak batal. Demikian juga halnya apabila

dia ragu bahwa dia menyentuh najis. Apabila tangannya telah menyentuh najis

lalu dimasukkan ke dalam air wudlunya, dan apabila air wudlu itu kadarnya

kurang dari dua kolam, maka air itu dikategorikan sebagai air yang rusak,

sehingga dia harus menuang air itu dan mencuci bejananya.

Berkumur-kumur dan Memasukkan Air ke dalam Hidung.

Imam Syafi`i berkata: Allah swt. berfirman :

يا أيها الذين امنوا إذا قمتم إل الصلة فاغسلوا وجوهكم وأيديكم إل الرافق

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan

shalat, maka basuhlah mukamu dan tangamu sampai dengan siku.”

( Surat al-Maaidah (5): 6 )

Imam Syafi`i berkata: Kami lebih menyukai orang berwudlu yang

36 . H.R. Ibnu Majah, dalam kitab yang menjelaskan tentang tata cara bersuci dan sunnahnya, bab “Seseorang yang Bangun dari Tidurnya,” hadits no. 314.37 . H.R. An-Nasa`i, dalam kitab yang menjelaskan tentang Bersuci, jilid 1, juz 1., hlm. 6.

39

Page 40: Al Umm [1] 1 Taharah Juz 1 Bag i

memulainya dengan berkumur-kumur dan memasukkan air ke dalam hidungnya

tiga kali setelah membasuh kedua tangannya, yaitu dengan cara mengambil air

dengan telapak tangannya untuk mulut dan hidungnya, kemudian memasukkan

air itu ke dalam hidungnya sampai batas yang terlihat bahwa air itu masuk ke

bagian dalam hidungnya. Namun apabila dia berpuasa, hendaknya memasukkan

air ke dalam hidungnya dengan lembut, agar air itu tidak masuk ke bagian

kepalanya.

Berkumur-kumur dan memasukkan air ke dalam hidung adalah sunah,

karena dengannya bau mulut dan hidung akan hilang.

BAB : MEMBASUH MUKA.

Imam Syafi`i berkata: Allah swt. berfirman:

فاغسلوا وجوهكم وأيديكم إل الرافق

“maka basuhlah mukamu dan tangamu sampai dengan siku.”

( Surat al-Maaidah (5): 6 )

Adalah satu hal yang logis bahwa muka itu menjadi tempat tumbuhnya

rambut kepala sampai kepada dua telinga, tulang rahang dan dagu. Bukanlah

dinamakan muka jika melewati tempat tumbuhnya rambut kepala, dan dua tepi

dahi itu termasuk bagian dari kepala. Demikian halnya bagian yang botak yang

ada di kepala, botak itu bukanlah bagian dari kepala.

Kami lebih menyukai jika dua tepi dahi itu dibasuh beramaan dengan

muka. Akan tetapi jika hal itu ditinggalkan, maka tidak ada hukum untuknya,

artinya tidak menjadi masalah, jika janggut yang tumbuh pada diri seseorang tidak

lebat dan menutup sebagian muka, maka dia harus membasuh mukanya,

sebagaimana ketika janggut itu belum tumbuh. Akan tetapi jika janggut itu lebat

sehingga menutupi sebagian wajahnya, maka tindakan yang lebih berhati-hati

(ihtiyath) adalah dengan membasuh semuanya. Kami tidak mengetahui tentang

dalil yang menunjukkan kewajiban membasuhnya, lantaran hal itu hanya pendapat

mayoritas ulama dari para ulama yang kami jumpai.

Imam Syafi`i berkata: Kami tidak memandang wajib membasuh bagian

bawah tempat tumbuhnya jenngot. Jika tidak wajib membasuhnya, maka menyela-

40

Page 41: Al Umm [1] 1 Taharah Juz 1 Bag i

nyelanya dengan jari jemaripun tidak termasuk hal yang diwajibkan. Hendaknya

melewatkan air pada permukaan bulu jenggotnya, sebagaimana halnya

melewatkan air pada wajahnya; dan menyapukan air pada permukaan rambut

kepala adalah benar.

Apabila bulu jenggot atau bulu kening yang tipis, atau antara tempat

tumbuhnya jenggot terputus, yang kelihatan dari muka, maka hendaklah dia

membasuhnya.

Demikian juga apabila bulu jenggot tidak banyak seperti bulu-bulu halus

yang berada di antara bibir bawah dan dagu, bulu kumis dan bulu jenggot, maka

diwajibkan membasuhnya.

Demikian juga jika seluruh jenggot yang menempel hanya sedikit, maka

diwajibkan untuk membasuhnya. Akan tetapi jika jenggotnya lebat, maka

diwajibkan membasuhnya karena akan menghalangi air untuk bisa sampai pada

permukaan kulit.

BAB : MEMBASUH KEDUA TANGAN.

Imam Syafii berkata: Allah swt. berfirman :

فاغسلوا وجوهكم وأيديكم إل الرافق

“maka basuhlah mukamu dan tangamu sampai dengan siku.”

( Surat al-Maaidah (5): 6 )

Kami tidak mengetahui bahwa ada perbedaan pendapat tentang

membasuh siku, seakan-akan mereka memahami bahwa arti ayat ini adalah

“Maka basuhlah mukamu dan kedua tanganmu sampai ke siku.”

Dengan demikian, tidak cukup sekedar membasuh kedua tangan dengan

tanpa membasuh di antara tepi jari-jemari sampai ke siku-pun ikut bersih, dan

hendaknya dimulai dari sebelah kanan kemudian pindah ke sebelah kiri. Menurut

pendapat kami makruh jika memulai membasuh anggota wudlu yang sebelah kiri,

akan tetapi dia tidak harus mengulanginya jika telah melakukannya.

Jika orang yang berwudlu itu terpotong tangannya, maka dia cukup

membasuh tangan yang masih ada sehingga dapat membasuh kedua sikunya.akan

tetapi jika kedua sikunya terpotong juga, maka terangkat jarinya kewajiban

41

Page 42: Al Umm [1] 1 Taharah Juz 1 Bag i

membasuh kedua tangan.

BAB : MENGUSAP KEPALA.

Imam Syafii berkata: Allah swt. berfirman :

وامسحوا برءوسكم

“dan sapulah kepalamu.” ( Surat al-Maidah (5) : 6 )

Logis sekali bahwa pada ayat ini dijelaskan tentang barangsiapa telah

mengusap sebagian dari rambut kepalanya, maka sesungguhnya dia dianggap

telah mengusap kepala. Ayat ini juga tidak memiliki kemungkinan makna lain

selain yang sudah disebutkan, dimana hal itu merupakan makna yang lebih kuat.

Makna yang dianggap lebih kuat adalah mengusap seluruh rambut kepalanya.

Imam Syafi`i berkata: Hadits diriwayatkan dari Mughirah bin Syu`bah;

أ�ن' ر�س�و�ل� ال� ص�ل'ى ال3 ع�ل�ي�ه� و�س�ل'م� ت�و�ض�أ� و�م�س�ح� ب�ن�اص�ي�ت�ه� و�ع�ل�ى ع�م�ام�ت�ه� و�خ�ف'ي�ه�

“Bahwa Rasulullah saw. berwudlu dan menyapu ubun-ubunnya dan juga

di atas surbannya serta di atas sepatunya (muzah).” 38

Imam Syafii berkata: Hadits diriwayatkan dari Atha` :

أ�ن' ر�س�و�ل� ال� ص�ل'ى ال3 ع�ل�ي�ه� و�س�ل'م� ت�و�ض�أ� ف�ح�س�ر� الع�م�ام�ة� ع�ن� ر�أس�ه� و�م�س�ح� م�ق�د�م� ر�أس�ه� ( أ�و� ق�ال� )

ن�اص�ي�ت�ه� ب�الم�اء�

“Bahwa Rasulullah saw. berwudlu kemudian membuka surban dari

kepalanya dan mengusap bagian depan kepalanya,” atau Atha` berkata:

“mengusap ubun-ubunnya dengan air.” 39

Imam Syafi`i berkata: Telah menceritakan kepada kami Malik dari Amr bin Yahya al-Mazini, dari ayahnya, bahwa dia berkata: “Aku pernah berkata kepada Abdullah bin Zaid al-Anshari: “Dapatkah kamu memperlihatkan kepadaku ketika Rasulullah saw. berwudlu ? Kemudian Abdullah bin Zaid menjawab : “Ya”.

غ�س�ل و�د�ع�ا ب�و�ض�و�ء, ف�أ�فر�غ� ع�ل�ى ي�د�ي�ه� ف�غ�س�ل� ي�د�ي�ه� م�ر�ت�ي�ن� و�ت�م�ض�م�ض� و�اس�ت�ن�ش�ق� ث�ل�ث:ا ث�ل�ث:اث7م� غ�س�ل� و�ج�ه�ه� ث�ل�ث:ا ث7م ي�د�ي�ه� م�ر�ت�ي�ن� م�ر�ت�ي�ن� إ�ل�ى الم�ر�ف�ق�ي�ن� ث7م� م�س�ح� ر�أس�ه� ب�ي�د�ي�ه� و�أ�قب�ل� ب�ه�م�ا و�أ�د�ب�ر� ب�د�أ� ب�م�ق�د�م� ر�أس�ه� ث7م� ذ�ه�ب

38 . H.R. Muslim dalam kitab yang menjelaskan tentang tata cara bersuci, bab “Bolehnya mengusap semua atau sebagian rambut kepala,” hadits no. 83.39 . Tartib Musnad Imam Syafi`i, dalam kitab yang menjelaskan tentang Thaharah, bab ke-5, “sifat Wudlu,” hadits no. 87, hlm. 32.

42

Page 43: Al Umm [1] 1 Taharah Juz 1 Bag i

ر�د�ه�م�ا إ�ل�ى الم�و�ض�ع� ال'ذ�ي� ب�د�أ� م�ن�ه� ث7م� غ�س�ل� ر�ج�ل�ي�ه إ�ل�ى ق�ف�اه� ث7م ب�ه�م�ا

“Kemudian dia meminta air untuk berwudlu, lalu dituangkan di atas

kedua tangannya, dia membasuh tangannya dua kali-dua kali, lalu

berkumur dan memasukkan air ke dalam hidungnya tiga kali, lalu dia

membasuh wajahnya tiga kali, membasuh kedua tangannya dua kali-dua

kali sampai ke siku, lalu membasuh kepalanya dengan kedua tangannya.

Dia menggeser kedua tangannya ke depan lalu ke belakang. Dia memulai

dengan bagian depan kepalanya, lalu menggeser kedua tangannya ke

bagian tengkuknya, kemudian mengembalikan keduanya pada posisinya

semula. Dan kemudian dia membasuh kedua kakinya.” 40

Imam Syafi`i berkata: Kami lebih menyukai mengusap kepala tiga kali,

namun sekali saja sudah cukup. Kami juga lebih menyukai menyapu bagian luar

kedua telinga dan juga bagian dalamnya dengan air, selain dengan air yang

digunakan untuk membasuh kepala, yaitu mengambil air untuk kedua telinga

kemudian dimasukkan dua jari pada bagian yang tampak dari lubang telinga yang

bersambung ke bagian kepala.

Jika seseorang meninggalkan, yakni tidak mengusap dua telinga, maka dia

tidak perlu mengulangi. Lantaran seandainya kedua telinga itu bagian dari wajah,

niscaya ia dibasuh bersamaan dengan membasuh wajah, atau seandainya ia bagian

dari kepala, niscaya ia akan diusap bersamaan dengan mengusap kepala.

BAB : MEMBASUH KEDUA KAKI.

Imam Syafi`i berkata : Sesungguhnya Allah swt. berfirman :

وأرجلكم إل الكعبي

“dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki.”

( Surat al-Maidah (5): 6 )

Imam Syafi`i berkata: Kami membaca ayat tersebut “Wa-arjulakum”

dengan arti basuhlah wajah, tangan kaki dan usaplah kepalamu.

Imam Syafi`i berkata: Kami tidak mendengar adanya perbedaan pendapat

tentang kedua mata kaki yang disebutkan oleh Allah swt. pada wudlu, yaitu 40 . H.R. Bukhari, dalam kitab yang menjelaskan tentang Wudlu, bab “Membasuh kepala secara keseluruhan,” juz 1, hlm. 58.

43

Page 44: Al Umm [1] 1 Taharah Juz 1 Bag i

bahwa kedua mata kaki yang dimaksud adalah yang menonjol, dan keduanya

merupakan tempat bertemunya pergelangan betis dan kaki. Keduanya harus

disapu, seakan-akan maknanya menjadi “Basuhlah kakimu sehingga membasuh

kedua mata kakimu,” tidak cukup bagi seseorang jika dia tidak membasuh kedua

telapak kakinya, baik bagian atas maupun bagian bawah, pinggir dan kedua mata

kakinya, melainkan sampai merata pada setiap bagian yang berdekatan dengan

mata kaki dan berhubungan dengan pangkal betis. Kemudian dia memulai dengan

menegakkan kedua telapak kakinya, lalu menumpahkan air kepada keduanya

dengan tangan kanannya, atau ditumpahkan oleh orang lain, lalu dia menyela-

nyela jari jemari kakinya. Dia tidak boleh meninggalkan hal ini melainkan jika dia

telah mengetahui benar bahwa air itu sudah sampai pada semua sela-sela jari

jemari kaki.

Imam Syafi`i berkata: Apabila terdapat pada seseorang dua jari atau lebih

yang saling melekat, maka dia harus membasuh dengan air bagian yang tampak

dari kulitnya, baginya tidak cukup melainkan dengan cara demikian. Dan baginya

tidak boleh memisahkan jari jemarinya yang saling melekat itu.

BAB : TEMPAT BERDIRINYA ORANG YANG MEMBANTU

ORANG LAIN BERWUDLU.

Imam Syafi`i berkata: Jika seseorang berdiri untuk membantu wudlu

orang lain, maka hendaknya dia berdiri pada sisi kiri orang yang hendak

diwudlukan, lantaran yang demikian lebih memungkinkan baginya menuangkan

air serta lebih sopan. Akan tetapi jika dia berdiri pada sisi kanan atau berdiri pada

sisi mana saja, kemudian menuangkan air kepada orang yang berwudlu, maka hal

itu cukup baginya, lantaran yang wajib hanyalah wudlu bukan posisi wudlu.

BAB : BATASAN AIR UNTUK BERWUDLU.

Imam Syafi`i berkata: Hadits diriwayatkan dari Anas bin Malik, bahwa dia

berkata: “Kami pernah melihat Rasulullah saw. saat waktu shalat Ashar telah

tiba, lalu kebanyakan manusia mencari air untuk berwudlu namun mereka tidak

memperolehnya. Kemudian Rasulullah saw. datang dengan membawa air untuk

berwudlu, lalu meletakkan tangannya pada bejana itu dan memerintahkan orang

44

Page 45: Al Umm [1] 1 Taharah Juz 1 Bag i

banyak untuk berwudlu dengan air tersebut. Kami menyaksikan air itu muncul di

antara jari-jemari Rasulullah saw. sehingga banyak orang berwudlu sampai

kepada orang yang paling terakhir.” ( HR. Nasai, dalam kitab yang menjelaskan

tentang tata cara bersuci, bab “Mengambil air wudlu dari bejana”, , juz 1, jilid

1hal 60 ).

Imam Syafi`i berkata: Senada dengan hal ini, hadits yang telah

diriwayatkan bahwa Rasulullah saw. dan isterinya mandi dari satu bejana. Apabila

orang-orang berwudlu secara bersama-sama, maka hal ini menunjukkan tidak

adanya batasan tertentu bagi air yang boleh digunakan untuk berwudlu selain

mengerjakan apa yang diperintahkan Allah swt. yang berupa basuhan dan

sapuan, demikian juga apabila dua orang mandi bersama.

Apabila seseorang mengerjakan apa yang diperintahkan Allah swt.

(membasuh dan mengusap), maka dia berarti telah melaksanakan apa yang

diperintahkan kepadanya, baik air itu sedikit atau banyak, sebab terkadang dia

bertujuan menghemat air yang sedikit agar mencukupi. Sebaliknya apabila boros,

maka air itu tidak dapat mencukupinya.

Batasan minimal dianggap mencukupi anggota wudlu yang harus dibasuh

adalah; seseorang mengambil air untuk anggota wudlu tersebut kemudian

mengalirkannya di atas muka, kedua tangan, dan dua kaki. Seandainya air itu

mengalir sendiri hingga merata pada anggota tubuh tersebut, maka hal itu cukup

baginya. Akan tetapi apabila dia mengalirkan air di atas anggota wudlu tersebut

dengan tangannya seraya menggerak-gerakkannya, niscaya hal itu lebih bersih

dan lebih kami sukai.

Apabila ada sedikit tanah merah atau selainnya yang mengotori anggota

badannya, lalu dia mengalirkan air padanya namun tidak juga hilang, maka tidak

wajib baginya mengulang membasuh anggota tubuh itu, karena dalam hal ini dia

telah mengerjakan batas minimal yang diwajibkan kepadanya. Akan tetapi kami

lebih menyukai apabila dia membasuhnya hingga tanah tersebut hilang

seluruhnya.

Apabila ada getah atau sesuatu yang tebal dibadannya sehingga dapat

mencegah sampainya air ke kulit, maka dia tidak boleh berwudlu dalam keadaan

45

Page 46: Al Umm [1] 1 Taharah Juz 1 Bag i

seperti itu, sehingga dia menghilangkannya terlebih dahulu, atau hilang darinya

apa yang diketahui.

Tidak ada wudlu tanpa disertai dengan niat; yakni bahwa dia berwudlu

dengan niat bersuci dari hadats, bersuci untuk shalat fardlu atau shalat sunah,

untuk membaca al-Qur`an, untuk shalat janazah, atau yang serupa dengannya di

antara hal-hal yang tidak dapat dikerjakan selain oleh orang yang berada dalam

kondisi suci.

Imam Syafi`i berkata: Apabila seseorang sudah membasuh sebagian

anggota wudlu dengan tidak disertai niat, kemudian dia berniat pada saat

membasuh anggota wudlu yang lain, maka hal itu tidak mencukupi kecuali

apabila dia mengulangi wudlu terhadap anggota wudlu, yang tidak disertai dengan

niat itu, lalu dia berniat yang karenanya wudlunya menjadi sah.

Imam Syafi`i berkata: Apabila dia mendahulukan niat bersamaan dengan

memulai wudlu, maka wudlu itu cukup baginya. Namun apabila dia

mendahulukan niat sebelum memulai wudlu kemudian niat hilang darinya, maka

wudlunya tidak tidak sah.

Apabila dia berwudlu dengan niat bersuci, kemudian niat itu hilang

darinya, maka hal itu boleh baginya selama tidak terbetik niat lain; seperti untuk

mendinginkan badan atau membersihkan diri dengan air.

Apabila dia membasuh mukanya dengan disertai niat hendak bersuci,

kemudian dia niat membasuh kedua tangannya dan anggota wudlu yang lain untuk

membersihkan atau mendinginkan badan dan bukan untuk bersuci, maka

wudlunya tidak sah, melainkan dengan mengulangi membasuh anggota wudlu

yang telah dia kerjakan dengan tanpa niat bersuci. Jika dia mengusap kepalanya

dengan sisa air wudlu kedua tangannya, atau mengusap kepalanya dengan sisa air

wudlu jenggotnyam, maka hal tersebut tidak cukup melainkan jika dia

menggunakan air yang baru.

Jika seseorang berwudlu dengan menggunakan air sisa dari orang lain

(tidak bekas wudlu), maka hal tersebut cukup baginya. Jika dia berwudlu dengan

air yang sudah dipakai orang lain untuk berwudlu dan tidak ada najis pada

anggota badannya, maka wudlunya itu tidak sah disebabkan air itu adalah air yang

46

Page 47: Al Umm [1] 1 Taharah Juz 1 Bag i

telah dipakai untuk berwudlu. Demikian juga jika dia berwudlu dengan air yang

sudah dipakai orang lain untuk mandi junub (mandi wajib), dan air itu kurang dari

dua kolam, maka wudlunya tidak sah. Jika air itu sebanyak lima bejana atau lebih,

kemudian seseorang yang tidak bernajis menyelam di dalamnya sambil berwudlu

dengan air itu, maka wudlunya dianggap sah disebabkan hal itu tidak merusak

kesucian air.

Imam Syafi`i berkata: Kami mengatakan: “Seseorang tidak boleh

berwudlu dengan air yang sudah dipakai oleh orang lain untuk berwudlu, karena

Allah swt. telah berfirman:

فاغسلوا وجوهكم وأيديكم إل الرافق

“maka basuhlah mukamu dan tangamu sampai dengan siku”

( Surat al-Maidah (5): 6 )

Adalah sesuatu yang logis bahwa wajah itu tidak dikatakan terbasuh

melainkan jika dibasuh dengan air yang belum digunakan sebelumnya.

Menurut pendapat kami, membasuh kedua tangan haruslah sebagaimana

membasuh muka dari segi pengambilan air dan pembasuhannya. Jika

menggunakan air kembali yang sudah dibasuhkan pada wajahnya, maka tidak

akan sama antara membasuh kedua tangan dan wajah. Tidaklah keduanya menjadi

sama sehingga kedua tangan dibasuh dengan air yang baru, sebagaimana dia

membasuh wajahnya dengan air yang baru, lantaran Rasulullah saw. mengambil

air baru untuk setiap anggota wudlunya.

BAB : MENDAHULUKAN WUDLU SERTA TATA TERTIBNYA.

Imam Syafii berkata: Allah swt. berfirman :

سحوا فق وام ل الرا يديكم إ جوهكم وأ سلوا و صلة فاغ ل ال تم إ نوا إذا قم لذين ام ها ا يا أيبرءوسكم وأرجلكم إل الكعبي

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan

shalat, maka basuhlah mukamu dan tangamu sampai dengan siku, dan

sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki”

( Surat al-Maidah (5): 6 )

Rasulullah saw. berwudlu sesuai dengan yang diperintahkan Allah swt.

47

Page 48: Al Umm [1] 1 Taharah Juz 1 Bag i

kepadanya, dan memulai dengan apa yang diperintahkan oleh Allah swt. dengan

demikian orang yang berwudlu hendaknya memperhatikan dua hal; yaitu

memulai dengan apa yang diperintahkan oleh Allah swt., dan hendaknya

menyempurnakan apa yang diperintahkan kepadanya. Barang siapa yang memulai

dengan kedua tangannya sebelum wajah, atau kepalanya sebelum kedua

tangannya, atau kedua kakinya sebelum kepalanya, maka menurut kami

hendaknya dia mengulang wudlunya sampai dia membasuh sesuai dengan urutan.

Wudlunya tidak sah melainkan jika dilakukan sesuai dengan urutannya.

Kemudian jika dia telah melaksanakan shalat, maka hendaklah dia mengulangi

shalatnya sesudah berwudlu terlebih dahulu sesuai dengan urutan.

Jika dia lupa mengusap kepalanya dan dia telah sampai kepada membasuh

kedua kakinya, maka hendaklah dia mengulanginya lagi. Hanya saja kami

berpendapat bahwa dia hendaknya mengulangi sebagaimana yang sudah kami

katakan, sama seperti pandangan sebagian ulama tentang firman Allah swt. :

يه أن يطوف بما ومن مر فل جناح عل لبيت أو اعت لروة من شعائر ال فمن حج ا إن الصفا وافإن ال شاكر عليم تطوع خيا

“Sesungguhnya Shafaa dan Marwah adalah sebahagian dari syi`ar Allah.

Maka barang siapa yang beribadah haji ke Baitullah atau ber-`umrah,

maka tidak ada dosa baginya mengerjakan sa`i antara keduanya. Dan

barang siapa yang mengerjakan suatu kebajikan dengan kerelaan hati,

maka sesungguhnya Allah Maha Mensyukuri kebaikan lagi Maha

Mengetahui.” ( Surat al-Baqarah (2) : 158 )

Maka Rasulullah saw. memulai dari Shafa dan beliau bersabda :

ن�ب�د�أ7 ب�م�ا ب�د�أ� ال3 ب�ه�

“Kami memulai dengan apa yang dimulai Allah swt.”

Imam Syafi`i berkata: Allah swt. menyebutkan kedua tangan dan kaki

secara bersamaan, maka kami lebih menyukai seseorang memulai dari sebelah

kanan sebelum yang sebelah kiri. Akan tetapi jika dia memulai dari sebelah kiri

sebelum yang sebelah kanan, maka dia telah berbuat sesuatu yang tidak baik,

akan tetapi dia tidak harus mengulanginya. Kami juga menyukai wudlu yang

dilakukan secara tartib, atau tidak mengacaknya, hal ini mengingat Rasulullah

48

Page 49: Al Umm [1] 1 Taharah Juz 1 Bag i

saw. melakukan wudlu secara tartib.

Imam Syafi`i berkata: Jika dia berpindah dari satu tempat ke tempat yang

lain dimana dia telah melakukan wudlu dengan sebagian anggota badannya

dikarenakan tempat tersebut lebih bersih dan lebih luas, maka tidak menjadi

masalah dia melanjutkan wudlunya dengan anggota wudlu yang belum selesai.

Demikian halnya jika dia berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain

karena pilihannya sendiri dan bukan sesuatu yang mendesak. Jika dia memutuskan

wudlu dalam waktu yang lama lantaran satu hajat atau melakukan pekerjaan di

luar wudlu, baik air wudlunya menjadi kering atau tidak, maka kami lebih suka

agar dia mengulangi wudlunya.

Tidak jelas bagi kami bagi kami dalil yang menunjukkan terhadap

keharusan untuk mengulangi wudlu dari awal, sekalipun diputuskan dalam waktu

yang lama, selama tidak terjadi hadats padanya. Sedangkan jika terjadi hadats,

maka wudlu yang sudah dia lakukan terdahlu yakni membasuh sebagian anggota

wudlunya dianggap batal. Sesungguhnya kami tidak menjumpai dalil yang

mengharuskan dalil wudlu harus berkesinambungan, seperti dalil yang kami temui

dalam hal mendahulukan sebagian anggota wudlu dan mengakhirkan anggota

lainnya.

Imam Syafi`i berkata: Hadits telah diriwayatkan dari Ibnu Umar

bahwasanya dia berwudlu di pasar, kemudian dia membasuh muka, kedua tangan

serta mengusap kepalanya. Lalu dia diseru untuk melakukan shalat jenazah, maka

dia masuk ke masjid untuk menjalankan shalat jenazah tersebut. 41

Imam Syafi`i berkata: Dari yang dikerjakan oleh Ibnu Umar ini

menunjukkan tidak adanya keharusan untuk berkesinambungan dalam berwudlu,

dan mungkin saja air wudlunya sudah kering. Bahkan, air wudlu itu bisa saja

kering pada jarak yang dekat daripada jarak antara masjid dan pasar itu. Kami

dapati bahwa pada saat dia meninggalkan tempat wudlunya untuk menuju masjid,

dia sudah melakukan perbuatan selain wudlu dan memutuskan kesinambungan

wudlu itu sendiri.

BAB : MEMBACA BASMALAH SAAT WUDLU.

41 . Tartib Musnad Imam Syafi`i, dalam kitab yang menjelaskan tentang tata cara bersuci, bab “Mengusap Dua Muzah” hadits no. 118, hlm. 41.

49

Page 50: Al Umm [1] 1 Taharah Juz 1 Bag i

Imam Syafi`i berkata: Kami menyukai seseorang yang memulai wudlunya

dengan membaca basmalah. Namun apabila lupa, dia bisa membacanya kapan

saja ketika mengingatnya sekalipun wudlu itu akan selesai. Apabila dia

meninggalkan membaca basmalah, baik lupa atau sengaja, maka wudlunya tidak

batal.

BAB : BILANGAN WUDLU DAN BATASANNYA

Imam Syafi`i berkata: Hadits diriwayatkan dari Ibnu Abbas ra. bahwa dia

berkata :

ت�و�ض�أ� ر�س�و�ل7 ال� ص�ل'ى ال3 ع�ل�ي�ه� و�س�ل'م� ف�أ�د�خ�ل� ي�د�ه� ف�ي ال��ن�اء� و�اس�ت�ن�ش�ق� و�ت�م�ض�م�ض� م�ر�ة: و�اح�د�ة: ث7مأ�د�خ�ل� ي�د�ه� ف�ص�ب� ع�ل�ى و�ج�ه�ه� م�ر�ة: و�اح�د�ة: و�ص�ب� ع�ل�ى ي�د�ي�ه� م�ر�ة: و�م�س�ح� ب�ر�أس�ه� و�أ7ذ7ن�ي�ه� م�ر�ة: و�اح�د�ة

“Rasulullah saw. berwudlu lalu memasukkan tangannya ke dalam bejana,

kemudian beliau memasukkan air ke dalam hidung dan berkumur-kumur

sebanyak satu kali. Kemudian beliau memasukkan tangannya lalu

menuangkan untuk kedua tangannya sebanyak satu kali, lalu membasuh

kepala dan kedua telinganya sebanyak satu kali.” 42

Imam Syafi`i berkata: Hadits diriwayatkan dari Humran, bekas budak

Utsman bin Affan, dari Utsman bin Affan bahwasanya dia berwudlu sebanyak

tiga kali-tiga kali, kemudian beliau berkata: Kami mendengar Rasulullah saw.

bersabda :

م�ن� ت�و�ض�أ� و�ض�و�ئ� ه�ذ�ا خ�ر�ج�ت� خ�ط�اي�اه� م�ن� و�ج�ه�ه� و�ي�د�ي�ه� و�ر�ج�ل�ي�ه�

“Barang siapa berwudlu seperti wudluku ini, maka seluruh kesalahannya

akan keluar dari wajahnya, kedua tangan dan kedua kakinya.”

Imam Syafi`i berkata: Ini bukanlah perbedaan riwayat, akan tetapi

menunjukkan bahwa Rasulullah saw. ketika mengambil air wudlu jumlah

bilangannya ada yang tiga kali dan ada juga yang sekali saja. Yang sempurna dari

semua adalah tiga kali. Akan tetapi apabila sekali saja, maka itu dianggap telah

42 . Tartib Musnad Imam Syafi`i, dalam kitab yang menjelaskan tentang tata cara bersuci, bab “Sifat Wudlu,” hadits no. 76, jilid 1, hlm. 31. H.R. Ibnu Majah, dalam kitab yang menjelaskan tentang tata cara bersuci, bab “Wudlu dengan sekali basuhan,” hadits no. 331, jilid 1, dan dalam kitab Sunan al-Darimi, dalam kitab yang menjelaskan tentang tata cara wudlu.”

50

Page 51: Al Umm [1] 1 Taharah Juz 1 Bag i

mencukupi.

Kami lebih menyukai apabila seseorang membasuh wajah, kedua tangan,

kedua kaki dan mengusap kepalanya sebanyak tiga kali-tiga kali. Ketika

mengusap kepala, hendaknya dia meratakannya. Apabila dia menyingkat

mengusap kepala dengan sekali usapan saja, maka hal itu dianggap telah

mencukupi, namun itulah yang paling sedikit dari yang seharusnya.

Apabila dia membasuh sebagian anggota tubuhnya dengan sekali basuhan,

sebagian yang lain sebanyak dua kali, dan sebagian yang lain dengan tiga kali,

maka hal itu telah dianggap mencukupi; karena satu kali apabila telah mencukupi

pada seluruh anggota wudlu, maka sudah tentu mencukupi sebagiannya.

Imam Syafi`i berkata: Hadits diriwayatkan dari Abdullah bin Zaid bahwa

Rasulullah saw. berwudlu dengan membasuh mukanya sebanyak tiga kali, kedua

tangannya sebanyak dua kali-dua kali, serta mengusap kepalanya dengan kedua

tangannya. Lalu beliau menggeser kedua tangan itu ke depan dan ke belakang.

Beliau memulai dari bagian depan kepalanya, kemudian menjalankan kedua

tangannya ke tengkuknya (belakang kepala). Kemudian dikembaikan lagi ke

tempatnya semula, lalu beliau membasuh kedua kakinya.

Imam Syafi`i berkata: Kami tidak menyukai seseorang berwudlu lebih

dari tiga kali usapan, walaupun kami tidak memandangnya sebagai perkara yang

makruh. Apabila seseorang membasuh mukanya dan kedua tangannya lalu dia

berhadats, maka dia harus mengulangi wudlunya itu.

BAB : MENYAPU KEDUA SEPATU.

Imam Syafi`i berkata: Allah swt. berfirman :

سحوا فق وام ل الرا يديكم إ جوهكم وأ سلوا و صلة فاغ ل ال تم إ نوا إذا قم لذين ام ها ا يا أيبرءوسكم وأرجلكم إل الكعبي

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan

shalat, maka basuhlah mukamu dan tangamu sampai dengan siku, dan

sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki.”

( Surat al-Maidah (5): 6 )

51

Page 52: Al Umm [1] 1 Taharah Juz 1 Bag i

Imam Syafi`i berkata: Ada kemungkinan perintah Allah swt. tentang

membasuh kedua telapak kaki berlaku kepada seluruh orang yang berwudlu, dan

ada kemungkinan juga hanya berlaku kepada sebagiannya saja. Hal ini

diindikasikan oleh apa yang pernah dilakukan oleh Rasulullah saw. yang menyapu

di atas kedua sepatunya. Dengan demikian, apa yang tersebut di atas ditujukan

kepada orang yang tidak memakai sepatu (dan tidak berlaku bagi mereka yang

memakai sepatu) apabila dia mengenakannya dalam keadaan suci secara

sempurna.

Imam Syafi`i berkata: Hadits diriwayatkan dari Atha` bin Yasar, dari

Usamah bin Zaid, dia berkata bahwa Rasulullah saw. masuk bersama Bilal, lalu

beliau pergi untuk buang air besar. Kemudian berwudlu lalu membasuh wajahnya

dengan kedua tangannya, dan menyapu kepalanya serta kedua sepatunya.

Imam Syafi`i berkata: Sesungguhnya Mughirah bin Syu`bah pernah

berperang bersama Rasulullah saw. pada perang Tabuk Mughirah berkata: Lalu

Rasulullah saw. buang air besar sebelum terbitnya fajar, kemudian aku membawa

satu bejana kecil berisi air kepada beliau. Tatkala Rasulullah saw. kembali, aku

menuangkan air yang ada dalam bejana itu ke atas dua tangannya. Lalu beliau

membasuh kedua tangannnya sampai tiga kali, kemudian beliau membasuh

wajahnya. Kemudian beliau menyingsingkan jubahnya dari dua lengannya.

Ternyata kedua lengan jubahnya sempit, maka beliau memasukkan kedua

tangannya ke dalam jubah, sehingga beliau mengeluarkan kedua lengannya dari

bawah jubah. Lalu beliau membasuh kedua lengannya sampai ke siku, kemudian

beliau berwudlu dan menyapu kedua sepatunya. Sesudah itu, beliau pergi untuk

melaksanakan shalat.

Mughirah meneruskan, maka aku pergi bersama beliau. Kami

mendapatkan orang banyak telah mengangkat Abdurrahman bin `Auf sebagai

imam, dia mengimami mereka. Rasulullah saw. mendapati satu dari dua rakaat,

sehingga beliau shalat dengan orang banyak pada rekaat yang terakhir. Tatkala

Abdurrahman bin `Auf telah membaca salam, Rasulullah saw. berdiri untuk

menyempurnakan rekaat yang tertinggal. Hal itu membuat kaum muslimin

terkejut, mereka banyak membaca subhanallah.

52

Page 53: Al Umm [1] 1 Taharah Juz 1 Bag i

Tatkala Rasulullah saw. telah selesai dari shalatnya, beliau memandang

kepada mereka, kemudian bersabda :

أ�ح�س�ن�ت�م� ( أ�و� ق�ال� ) أ�ص�ب�ت�م�

“Kalian telah berbuat baik.” Atau beliau mengatakan “Kalian benar.”

Beliau merasa bahagia, karena mereka mengerjakan shalat tepat pada

waktunya. 43

BAB : ORANG YANG BOLEH MENYAPU SEPATU.

Imam Syafi`i berkata: Hadits dari Urwah bin Mughirah bin Syu`bah, dari

ayahnya, bahwa dia berkata: Aku bertanya: “Wahai Rasulullah, adakah engkau

menyapu kedua sepatu ?” Rasulullah saw. menjawab :

ن�ع�م� إ�نXي� أ�د�خ�لت�ه�م�ا و�ه�م�ا ط�اه�ر�ت�ان�

“Ya, aku memasukkan kedua kaki dan keduanya itu dalam kondisi suci.”44

Imam Syafi`i berkata: Barang siapa tidak memasukkan salah satu dari

kedua kakinya kedalam kedua sepatu, maka shalatnya tetap sah dan kesuciannya

tetap sempurna, dan baginya boleh mengusap di atas dua sepatu.

Sedangkan caranya; dia berwudlu dengan sempurna. Jika sudah

menyempurnakan wudlunya, maka dia memasukkan kakinya kedalam sepatu. Jika

sesudah itu dia berhadats, maka baginya boleh mengusap kedua sepatunya. Akan

tetapi jika dia sudah memasukkan kedua kakinya atau salah satunya kedalam

kedua sepatunya sebelum dia boleh melakukan shalat, maka baginya tidak

diperbolehkan mengusap kedua sepatu tersebut.

Sedangkan deskripsinya adalah; seseorang membasuh wajah dan kedua

tangannya, mengusap kepala dan membasuh salah satu kakinya, kemudian

memasukkannya ke dalam sepatu, kemudian dia membasuh kaki yang satunya dan

dimasukkannya kedalam sepatu, kemudian dia membasuh kaki yang satunya dan

dimasukkannya kedalam sepatu. Jika dia berhadats, maka baginya tidak boleh

43 . H.R. Muslim, dalam kitab yang menjelaskan tentang tata cara bersuci, bab “Mengusap Kepala dan Dua Sepatu,” hadits no. 81, jilid 1, hlm. 563. Dan Tartib Musnad Imam Syafi`i, dalam kitab yang menjelaskan tentang tata cara bersuci, bab “Mengusap Dua Sepatu” juz 1, hlm. 42.44 . H.R. Muslim, dalam kitab yang menjelaskan tata cara bersuci, bab “Mengusap kepala dan Dua Sepatu” hadits no. 80, jilid 1, hlm. 562.

53

Page 54: Al Umm [1] 1 Taharah Juz 1 Bag i

mengusap kedua sepatu, lantaran dia telah memasukkan salah satu dari kedua

kakinya ke dalam sepatu pada saat kesuciannya belum sempurna dan dia belum

diperbolehkan shalat.

Apabila seseorang telah wudlu dengan sempurna, kemudian dia memakai

sepatu pada salah satu kakinya, lalu memasukkan kaki yang satunya lagi ke dalam

sepatu akan tetapi terus ditariknya sampai ke betis dengan tanpa menyisakan

sepatu ditelapak kakinya sampai kahirnya dia berhadats, maka baginya tidak boleh

menyapu sepatunya, karena dia tidak disebut sebagai pemakai sepatu sebelum

telapak kakinya berada dalam sepatu. Dalam hal seperti ini dia harus melepas

sepatu itu dan mengulang wudlunya kembali.

Jika pada dua sepatu itu ada yang terkoyak atau sobek sehingga tampak

angota wudlunya; baik telapak kaki, permukaannya, bagian tepinya atau bagian

atasnya sampai pada kedua mata kaki, maka dia tidak boleh mengusapnya,

lantaran mengusap sepatu itu adalah suatu keringanan (rukhshah) bagi orang yang

tertutup kedua kakinya dengan dua sepatu.

Jika sepatu itu sobek dan tampak kaus kaki yang menutupi telapak

kakinya, maka menurut pandangan kami baginya tidak boleh mengusap sepatu,

lantaran sepatu itu bukanlah kaus kaki. Jika dia hanya memakai kaus kaki dengan

tanpa sepatu, maka akan tampak sebagian dari kedua kakinya.

Imam Syafi`i berkata: Jika bagian luar sepatu rusak atau sobek sedangkan

bagian dalamnya masih tetap utuh, dimana telapak kaki tidak nampak, maka dia

boleh mengusapnya, lantaran semua itu adalah sepatu, sedangkan kaus kaki itu

bukanlah sepatu.

Imam Syafi`i berkata: Semua pembahasan terdahulu itu berkaitan dengan

khuf (muzah), yakni sepatu yang terbuat dari kulit binatang, baik onta, lembu atau

kayu, dan yang paling banyak adalah terbuat dari kulit kambing.

Jika kedua sepatu itu terbuat dari bulu, anyaman kain atau kurma, maka itu

tidak termasuk kategori khuf sebab tidak terbuat dari kulit atau kayu yang dapat

bertahan lama jika sering dipakai berjalan kaki. Dan hendaknya bagian-bagian

tempat wudlu dibuat agak tebal serta tidak tembus pandang. Jika sepatu itu seperti

yang kita sifatkan, maka baginya boleh mengusap sepatunya. Sedangkan jika

54

Page 55: Al Umm [1] 1 Taharah Juz 1 Bag i

tidak demikian, maka baginya tidak boleh mengusap sepatu.

Imam Syafi`i berkata: Jika seseorang memakai terumpah, dan bagian

terumpah yang menutup anggota wudlu itu tebal, akan tetapi bagian atas anggota

wudlu tipis (transparan), maka boleh diusap; sebab jika bagian atas anggota wudlu

itu tidak ditutupi oleh sesuatu, tetap tidak mengapa mengusap sepatu yang

menutupi bagian anggota wudlu saja. Akan tetapi jika terdapat bagian anggota

wudlu yang tidak tertutupi, maka tidak boleh diusap. Jika seseorang memakai

sepasang kaus kaki yang menggantikan fungsi sepatu dan dia menyapunya,

kemudian dia melapisi kaus kaki itu dengan sepasang sepatu, atau dia melapisi

lagi sepatu itu dengan sepasang sepatu yang lain, atau dia memakai sepasang

jurmuq (sepatu pendek yang terkadang dipakai untuk melapisi khauf) di atas

sepatu tadi, maka baginya boleh mengusap sepatu yang paling dekat dengan

kedua kakinya, dan usapan tidak boleh dilakukan pada sepatu yang kedua atau

pada jurmuq.

Jika dia berwudlu kemudian menyempurnakan sampai selesai, lalu dia

memakai kedua sepatu atau sesuatu yang dapat menggantikannya lalu melapisinya

dengan sepasang jurmuq, lalu dia berhadats dan bermaksud mengusap kedua

jurmuq tersebut, maka hal itu tidak boleh baginya. Bahkan dia harus membuka

sepasang jurmuq itu, lalu mengusap sepatu yang paling dekat dengan kakinya

kemudian memakai jurmuq kembali apabila dia menghendaki. Sedangkan jika dia

menyapu jurmuq sedangkan sesudah jurmuq terdapat sepatu, maka hal itu tidak

boleh baginya dan shalatnya tidak sah.

Imam Syafi`i berkata : Apabila dia memakai kaus kaki, hal itu tidak dapat

menggantikan kedudukan dua sepatu (khuf). Kemudian jika dia memakai dua

sepatu di atas dua kaus kaki, maka hendaknya dia mengusap bagian atas terdiri

dari dua sepatu itu, lantaran tidak ada sesudah telapak kaki itu sesuatu yang

menggantikan kedudukan kedua sepatu. Sangat jarang seseorang memakai

sepatu kecuali sebelumnya dia memakai pelapis kaki, baik berupa kaus kaki atau

yang dapat menggantikan kedudukannya, untuk menjaga dan memelihara kaki

dari gesekan jahitan sepatu ataupun sobekan yang ada padanya.

Imam Syafi`i berkata: Jika kedua sepatu itu najis, maka dia tidak boleh

55

Page 56: Al Umm [1] 1 Taharah Juz 1 Bag i

melaksanakan shalat. Jika sepatu itu terbuat dari kulit bangkai yang bukan

binatang anjing dan babi, atau terbuat dari kulit binatang buas yang sudah

disamak, maka dia boleh melaksanakan shalat dengan memakai kulit tersebut

selama kulit itu tidak berbulu, lantaran menyamak kulit tidak dapat mensucikan

bulu, sehingga sepatu yang terbuat dari kulit berbulu tidak dapat dipakai saat

shalat. Jika sepatu itu terbuat dari kulit bangkai atau kulit binatang buas yang

belum disamak, maka tidak boleh dipakai untuk shalat. Sedangkan jika terbuat

dari kulit binatang yang boleh dimakan dagingnya dan mati karena disembelih,

maka boleh digunakan untuk shalat sekalipun belum disamak.

BAB : WAKTU MENGUSAP KEDUA SEPATU.

Imam Syafi`i berkata: Hadits diriwayatkan dari Abdurrahman bin Abi

Bakrah, dari ayahnya dari Rasulullah saw. :

أ�ن�ه� ر�خ�ص� ل�لم�س�اف�ر� أ�ن ي�م�س�ح� ع�ل�ى الخ�ف'ي�ن� ث�ل�اث�ة� أ�ي�ام, و�ل�ي�ال�ي�ه�ن� و�ل�لم�ق�ي�م� ي�و�م/ا و�ل�ي�ل�ة:

“Bahwasanya beliau memberikan keringanan terhadap orang yang

melakukan perjalanan untuk mengusap kedua sepatu selama tiga hari

tiga malam dan untuk orang yang mukim selama sehari semalam.” 45

Imam Syafi`i berkata: Jika seseorang memakai dua sepatu, sedangkan dia

dalam kondisi suci (suci yang membolehkan shalat), maka dia boleh melakukan

shalat dengan memakai dua sepatu tersebut. Kemudian dia dia berhadats, maka

hendaknya dia mengetahui waktu dia berhadats. Jika dia bermukim (tidak

musafir) maka boleh baginya mengusap sepatu sampai kepada waktu dimana dia

berhadats dari keesokan harinya,46 dan itu artinya sehari semalam, tidak boleh

lebih dari itu. Akan tetapi jika dia mengadakan perjalanan jauh, maka dia boleh

mengusap kedua sepatunya untuk tiga hari tiga malam, sampai batas pengusapan

pada waktu dimana dia memulai untuk mengusapnya pada hari yang ketiga, dan

tidak boleh lebih dari itu.

45 . H.R. Ibnu Majah, dalam kitab yang menjelaskan tentang tata cara bersuci dan sunah-sunahnya, bab ke-86 “Waktu Mengusap –dua sepatu- untuk orang yang mukim dan musafir,” hadits no. 451, jilid 1, hlm. 91; dan dalam kitab Tartib Musnad Imam Syafi`i, dalam kitab yang menjelaskan tata cara bersuci, bab ke-8, “Mengusap Dua Sepatu” hadits no. 123, juz 1, hlm. 42.46 . Contohnya jika seseorang berhadats pada hari ini jam 10 pagi, maka waktu bolehnya dia mengusap sepatu adalah sampai pada jam 10 pagi di keesikan harinya.

56

Page 57: Al Umm [1] 1 Taharah Juz 1 Bag i

Imam Syafi`i berkata: Jika seseorang berwudlu dan memakai kedua

sepatunya, kemudian dia berhadats sebelum tergelincirnya matahari kemudian

mengusap kedua sepatunya untu melaksanakan shalat Dhuhur, Ashar, Maghrib,

Isyak dan Subuh, maka dia dapat mengerjakan shalat dengan pengusapan yang

pertama selama wudlunya belum batal. Akan tetapi jika sudah batal, maka dia

boleh mengusapnya sampai waktu dia berhadats dari keesokan harinya. Yang

demikian itu terbatas hanya satu hari satu malam. Jika batas waktu tersebut telah

tiba, maka wudlunya menjadi batal, sekalipun dia belum berhadats dan dia harus

membuka kedua sepatunya. Jika dia membuka kedua sepatu dan berwudlu, maka

dia tetap dalam kondisi suci. Kemudian jika dia memakai sepatunya lalu

berhadats, maka baginya boleh tetap mengusap sepatu seperti pada saat dia

pernah berhadats, lalu wudlunya dianggap batal pada waktu dia berhadats

sekalipun dia tidak berhadats.

Imam Syafi`i berkata: Jika seseorang mengusap sepatu sedang dia dalam

kondisi bermukim pada saat matahari tergelincir, kemudian dia melaksanakan

shalat Dhuhur lalu keluar untuk bepergian, maka dia boleh melaksanakan shalat

dengan pengusapan itu sampai mencapai satu hari satu malam, tidak boleh lebih

dari waktu itu, lantaran masa tenggang kesucian pengusapannya adalah bahwa

dia hanya menggunakan pengusapan yang mempunyai masa tenggang selama

satu hari satu malam.

Demikian juga halnya jika dia mengusap kedua sepatunya dan dia dalam

kondisi mukim, lalu dia tidak menjalankan shalat sehingga keluar untuk

bepergian, maka baginya tidak boleh menjalankan shalat dengan mengusap sepatu

yang dia lakukan ketika dia bermukim, selain satu hari satu malam, sama seperti

keadaannya ketika dia bepergian.

Imam Syafi`i berkata: Jika seseorang berhadats sedangkan dia dalam

kondisi mukim, kemudian dia tidak mengusap kedua sepatunya melainkan

sesudah keluar untuk perjalanan jauh, maka baginya boleh shalat dengan usapan

itu saat dalam perjalanannya untuk tiga hari tiga malam.

Imam Syafi`i berkata: Jika dia mengusap dalam kondisi bermukim,

kemudian dia bepergian dengan tanpa mengalami hadats sebelumnya, kemudian

57

Page 58: Al Umm [1] 1 Taharah Juz 1 Bag i

dia berwudlu dan mengusap dalam perjalanannya, maka baginya tidak boleh

shalat dengan usapan itu kecuali selama sehari semalam, lantaran mengusap

sepatu yang dilakukan saat bepergian tersebut tidak memiliki makna. Karena hal

ini dia lakukan saat masih dalam kondisi suci sebagai akibat perbuatannya

mengusap sepatunya sebelum bepergian. Maka mengusap sepatu yang dia lakukan

saat bepergian itu dianggap tidak pernah ada, lantaran tidak ada yang

menjadikannya suci melainkan penyucian dirinya yang pertama yakni sebelum

bepergian.

Imam Syafi`i berkata: Jika seseorang mengusap kedua sepatunya saat

bepergian kemudian menjalankan satu shalat atau lebih, kemudian datang ke

suatu negeri untuk bermukim di sana selama empat hari, maka baginya tidak ada

kesempatan untuk melaksanakan shalat dengan usapan saat bepergian tersebut

sesudah bermukim melainkan untuk menyempurnakan satu hari satu malam, tidak

boleh lebih dari itu, lantaran sesungguhnya baginya boleh menajalankan shalat

dengan mengusap sepatu selama tiga hari jika dia dalam kondisi bepergian. Ketika

perjalanannya sudah selesai; maka hukum mengusap sepatu baginya sama seperti

ketentuan mengusap sepatu bagi mereka yang tidak melakukan bepergian.

Imam Syafi`i berkata: Jika seseorang bepergian kemudian lupa apakah

dia sudah mengusap sepatu sebagai orang yang mukim atau sebagai orang yang

bepergian, maka dia tidak boleh menjalankan shalat ketika timbul keraguan itu

melainkan hanya satu hari satu malam. Akan tetapi jika dia telah menjalankan

shalat dengan pengusapan itu satu hari satu malam, kemudian ingat bahwa dia

telah mengusap karena alasan bepergian, maka dia shalat berdasarkan usapan itu

untuk waktu tiga hari tiga malam.

Imam Syafi`i berkata: Jika seseorang ragu pada permulaannya apakah

sudah mengusap sepatu untuk satu hari satu malam ataukah belum, maka dalam

kondisi seperti ini dia harus melepaskan kedua sepatunya dan berwudlu kembali.

Jika seseorang yakin bahwa dia sudah mengusap sepatu lalu melaksanakan

tiga shalat, akan tetapi dia ragu apakah telah melaksanakan shalat yang keempat

atau belum, maka tidak ada yang harus dia lakukan melainkan menjadikan dirinya

telah mengerjakan shalat dengan usapan yang keempat, supaya dia tidak

58

Page 59: Al Umm [1] 1 Taharah Juz 1 Bag i

melaksanakan shalat dengan usapan sepatu yang dia ragukan apakah telah

dilakukan atau belum, dan dia tidak meninggalkan shalat yang keempat sampai

dia yakin bahwa dia telah melaksanakannya.

BAB : HAL-HAL YANG MEMBATALKAN USAPAN SEPATU YANG

KEDUA

Imam Syafi`i berkata: Seseorang boleh mengusap kedua sepatunya pada

waktunya, selama kedua sepatunya itu berada pada kedua kakinya. Jika dia

mengusap sesudah mengeluarkan salah satu dari kedua kakinya atau keduanya,

maka pengusapan itu batal dan alangkah baiknya dia berwudlu, jika dia memakai

sepatunya lalu berhadats, maka dia boleh mengusapnya.

Imam Syafi`i berkata: Demikian juga jika salah satu dari kedua telapak

kakinya atau sebagiannya tidak berada dalam sepatunya, sehingga tampaklah

sebagian kakinya yang termasuk anggota wudlu, maka pengusapannya dianggap

batal.

Lalu jika seseorang menghilangkan kakinya dari dasar sepatu, akan tetapi

tidak tampak dua mata kakinya serta bagian yang harus terkena air wudlu, maka

kami menyukai supaya memulai wudlunya kembali, akan tetapi tidak jelas bagi

kami dalil yang mengharuskannya.

Demikian juga jika sepatu sobek sementara orang yang memakainya

mengenakan kaus kaki yang menutup kakinya, kemudian kaus kakinya tampak

dari luar sepatu, dimana jika tidak mengenakan kaus kaki tersebut niscaya

kakinya akan terlihat, maka hal ini juga membatalkan mengusap sepatu.

Hal-hal yang Mewajibkan Mandi.

Imam Syafi`i berkata: Allah swt. berfirman :

عابري باإل لون ول جن ما تقو موا تم سكارى حت تعل بوا الصلة وأن نوا ل تقر لذين أم ها ا يا أي من الغائط أو لستم النساء وإن كنتم مر ضى أو على سفر أو جاء أحد منكم سبيل حت تغتسلوا

فوافلم تدوا ماء فتيمموا صعيدا طيبا فامسحوا بوجوهكم وأيديكم إن ال كان عغفورا

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu

dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan,

59

Page 60: Al Umm [1] 1 Taharah Juz 1 Bag i

(jangan pula hampiri masjid) sedang kamu dalam keadaan junub,

terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi. Dan jika kamu sakit

atau sedang dalam musafir atau datang dari tempat buang air atau kamu

telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, maka

bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci), sapulah mukamu

dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha

Pengampun.” ( Surat an-Nisa` (4): 43 )

Imam Syafi`i berkata: Allah swt. mewajibkan mandi yang disebabkan

oleh janabah. Sudah populer pada lisan orang Arab bahwa janabah artinya

bersetubuh (jima`) sekalipun dalam bersetubuh itu tidak disertai keluarnya air

sperma.

Syekh Rabii berkata: Yang dimaksudkan adalah tidak inzal (tidak

mengeluarkan sperma). Sunnah menunjukkan bahwa janabah adalah bersetubuh

antara laki-laki dan perempuan, sehingga dzakar (penis) laki-laki masuk (tidak

tampak) dalam kemaluan perempuan, atau terlihat air yang memancar sekalipun

tidak bersetubuh.

Imam Syafi`i berkata: Sesungguhnya Abu Musa al-Asy`ari bertanya

kepada Aisyah tentang bertemunya kemaluan laki-laki dan perempuan, lalu

Aisyah berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda :

إ�ذ�ا الت�ق�ى الخ�ت�ان�ان� أ�و� م�س� الخ�ت�ان7 ف�ق�د� و�ج�ب� الغ�س�ل7

“Apabila telah bertemu atau bersentuhan antara kemaluan laki-laki dan

perempuan, maka wajib mandi atasnya.” 47

Imam Syafii berkata: Hadits diriwayatkan dari Ummi Salamah bahwa dia

berkata: Bahwa Ummu Sulaim –isteri Abu Thalhah– datang kepada Rasulullah

saw. seraya bertanya: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Allah tidak malu dalam

kebenaran, apakah wanita itu (wajib) mandi apabila dia bermimpi ?” Rasulullah

saw. menjawab :

ن�ع�م� إ�ذ�ا ه�ي� ر�أ�ت� الم�اء�

47 . H.R. Imam Malik dalam kitab al-Muwatha`, dalam kitab yang menjelaskan tentang tata cara bersuci, bab “Wajib Mandi Jika dua khitan bertemu,” hadits no. 72, jilid 1, hlm. 46.

60

Page 61: Al Umm [1] 1 Taharah Juz 1 Bag i

“Ya, apabila dia melihat air.” 48

Imam Syafi`i berkata: Barang siapa melihat air yang memancar, baik

terasa nikmat atau tidak, maka dia wajib mandi. Demikian juga halnya apabila dia

bersetubuh lalu dia mengeluarkan sperma, maka dia wajib mandi. Apabila keluar

lagi air yang memancar setelah mandi, maka dia harus mengulangi mandinya, dan

sama saja apakah sebelum membuang air kecil atau sesudahnya. Jadi, keluarnya

air yang terpancar dari seseorang merupakan tanda bahwa dia wajib mandi, baik

sebelum membuang air kecil ataupun sesudahnya.

Imam Syafi`i berkata: Air yang terpancar adalah yang hangat dan darinya

terlahir seorang anak, serta baunya menyerupai serbuk kurma.

Imam Syafi`i berkata: Apabila penis seorang laki-laki telah tenggelam

dalam kemaluan wanita, baik adanya rasa nikmat atau tidak, digerak-gerakkan

atau tidak; atau seorang wanita memasukkan kemaluan suaminya ke dalam

kemaluannya, baik laki-laki itu sadar atau dalam keadaan tertidur sehingga dia

tidak mengetahuinya, maka keduanya wajib mandi.

Demikian juga halnya apabila seseorang memasukkan kepala penisnya ke

dalam vagina dan dubur wanita lain atau binatang, maka dia wajib mandi dan

dianggap telah berbuat dosa karena melakukan hal itu kepada selain isterinya.

Madzhab kami memandang haram apabila seorang suami menyetubuhi isterinya

dari duburnya. Demikian juga apabila dia menenggelamkan penisnya ke dalam

kemaluan isterinya yang telah meninggal dunia, maka dia wajib mandi pula.

Apabila penisnya dimasukkan ke dalam darah, khamer atau sesuatu yang

tidak bernyawa, baik yang diharamkan atau tidak, maka dia tidak wajib mandi

sebelum mengeluarkan air mani.

Imam Syafi`i berkata: Demikian juga apabila dia melakukan masturbasi

(onani) dan tidak mengeluarkan sperma, maka tidak ada kewajiban mandi

atasnya, karena telapak tangan bukanlah farji (kemaluan wanita).

Imam Syafi`i berkata: Apabila dia menemukan air sperma di dalam

kainnya dan dia lupa bahwa air sperma itu berasal dari mimpi atau dari selainnya,

48 . H.R. Bukhari, bab “Mandi apabila wanita bermimpi mengeluarkan sperma,” dan juga diriwayatkan oleh Muslim, dalam kitab yang menjelaskan tentang haidl, bab “Wajib Mandi Bagi Perempuan Karena Keluar air Sperma.”

61

Page 62: Al Umm [1] 1 Taharah Juz 1 Bag i

maka kami lebih menyukai apabila dia mandi dan mengulangi shalatnya.

Hendaknya seseorang bersikap teliti dengan mengulangi semua shalat yang

diduga dilakukan setelah air sperma itu keluar, atau dia mengulangi shalat yang

dilakukannya setelah bangun tidur, dimana dia melihat sesuatu yang di duga telah

menyebabkan air spermanya keluar.

Imam Syafi`i berkata: Apabila seseorang melihat sesuatu dalam mimpinya

dan dia tidak mengetahui air spermanya keluar (ejakulasi) kecuali jika tidak ada

yang memakai pakaiannya selain dia, maka diketahui bahwa air sperma itu berasal

darinya dalam kondisi seperti ini maka dia wajib mandi, yaitu pada waktu dia

tidak ragu bahwa mimpi telah ada sebelumnya.

Demikian juga halnya apabila dia teringat pada tidur yang telah

dilakukannya. Apabila dia telah melaksanakan satu shalat sesudahnya, maka dia

harus mengulanginya. Namun apabila dia belum melaksanakan shalat apapun,

maka dia harus mandi untuk melaksanakan shalat berikutnya.

Imam Syafi`i berkata: Mandi yang lebih utama menurutku (untuk

dikategorikan sebagai mandi wajib setelah mandi janabah ) adalah mandi setelah

memandikan mayit. Kami tidak suka meninggalkannya, bagaimanapun

keadaannya. Orang yang menyentuh mayit hendaknya berwudlu, kemudian mandi

untuk shalat jum`at. Ini merupakan perintah atas dasar pilihan artinya hanya

merupakan anjuran. Imam Syafi`i berkata: “Adapun mandi Jum`at, dalil-dalil

yang ada pada kami menunjukkan bahwa dia diperintahkan atas dasar pilihan

yakni hanya anjuran.”

Imam Syafi`i berkata: Seorang laki-laki dari sahabat Rasulullah saw.

memasuki masjid pada hari Jum`at dan Umar bin Khatab sedang membaca

khutbah, lalu Umar bertanya kepadanya: “Waktu apakah ini ?” Laki-laki itu

menjawab: “Wahai Amirul Mukminin, kami pulang dari pasar lalu mendengar

seruan adzan, maka kami tidak menambah lagi kecuali berwudlu. “ Umar bin

Khatab lalu berkata: “Wudlu juga sementara engkau telah mengetahui bahwa

Rasulullah saw. memerintahkan mandi. “

Imam Syafi`i berkata: Apabila seorang musyrik masuk Islam, maka kami

lebih menyukai dia mandi serta mencukur rambutnya. Akan tetapi jika dia tidak

62

Page 63: Al Umm [1] 1 Taharah Juz 1 Bag i

melakukannya dan tidak berjunub, maka baginya cukup berwudlu dan

melaksanakan shalat.

Imam Syafi`i berkata: Disebutkan, jarang sekali manusia yang gila kecuali

sperma telah keluar darinya. Jika kondisinya demikian, maka orang yang sembuh

dari gila tersebut harus mandi lantaran keluarnya sperma tersebut. Akan tetapi

apabila dia ragu apakah telah mengeluarkan sperma atau tidak, maka menurut

pendapat yang lebih kami sukai adalah orang tersebut lebih baik mandi untuk

lebih bersikap hati-hati, akan tetapi kami tidak menganggap wajib, melainkan

apabila dia yakin telah mengeluarkan sperma (ejakulasi).

BAB : KELUAR MADZI.

Imam Syafi`i berkata: Jika seorang laki-laki mendekati isterinya

kemudian dia mengeluarkan madzi, maka dia wajib berwudlu, lantaran madzi itu

adalah suatu hadats yang keluar dari dzakar. Jika dia menyentuh tubuh isterinya

dengan tangannya, maka dia juga wajib berwudlu ditinjau dari dua sisi, yaitu

mengeluarkan madzi serta menyentuh isteri, namun baginya cukup berwudlu satu

kali untuk keduanya.

Demikian juga orang yang wajib berwudlu karena semua sebab yang

mewajibkan wudlu, kemudian sesudah itu dia berwudlu dengan satu wudlu, maka

hal itu cukup baginya dan dia tidak wajib mandi dengan sebab mengeluarkan

madzi.

BAB : TATA CARA MANDI.

Imam Syafi`i berkata: Allah swt. berfirman :

ول جنبا إل عابري سبيل حت تغتسلوا

“(jangan pula hampiri masjid) sedang kamu dalam keadaan junub,

terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi.

( Surat an-Nisa` (4): 43 )

Allah swt. mewajibkan mandi secara mutlak dan Dia tidak menyebutkan

apa yang harus didahulukan saat mandi sebelum yang lainnya, dengan kata lain

Allah swt. tidak menyebutkan urutan-urutan yang harus didahulukan pada saat

mandi. Jika seseorang mandi, niscaya hal itu sudah cukup baginya dan Allah swt.

63

Page 64: Al Umm [1] 1 Taharah Juz 1 Bag i

lebih mengetahui bagaimana cara seseorang mandi, serta tidak ada waktu husus

untuk mandi.

Imam Syafi`i berkata: Hadits telah diriwayatkan bahwa Rasulullah saw.

berkata kepada Abu Dzar: “Apabila engkau memperoleh air, maka basuhkanlah

air itu ke kulitmu.”

Abu Dzar tidak menceritakan bahwa Rasulullah saw. menyifatkan kadar

air itu kepadanya selain dengan mengusap atau membasuh kulit, namun cara

terbaik untuk mandi janabah adalah sebagaimana apa yang telah dikisahkan oleh

Aisyah ra.

Imam Syafi`i berkata: Hadits diriwayatkan dari Aisyah ra. :

أ�ن' الن�ب�ي� ص�ل'ى ال3 ع�ل�ي�ه� و�س�ل'م� ك�ان� إ�ذ�ا اغت�س�ل� م�ن� الج�ن�اب�ة� ب�د�أ� ف�غ�س�ل� ي�د�ي�ه� ث7م� ي�ت�و�ض�أ7 ك�م�ا ي�ت�و�ض�أ ل�لص�ل�ة� ث7م� ي�د�خ�ل7 أ�ص�اب�ع�ه� ف�ي الم�اء� ف�ي�خ�ل'ل7 ب�ه�ا أ7ص�و�ل� ش�ع�ر�ه� ث7م� ي�ص�بG ع�ل�ى ر�أس�ه� ث�ل�ث� غ7ر�ف�ات

ع�ل�ى ج�لد�ه� ك7ل\ه ب�ي�د�ي�ه� ث7م� ي�ف�ي�ض� الم�اء“Bahwasanya Rasulullah saw. apabila mandi karena janabah, maka

beliau membasuh kedua tangannya lalu berwudlu seperti berwudlu untuk

melaksanakan shalat. Kemudian beliau memasukkan jari-jemari

tangannya ke dalam air, lalu menyela-nyela pangkal rambutnya dengan

jari-jemari itu. Kemudian beliau menuangkan ke atas kepalanya tiga

timba air dengan kedua tangannya, lalu beliau meratakan air ke seluruh

kulitnya.” 49

Imam Syafi`i berkata: Apabila seorang wanita mempunyai rambut yang

terikat (disanggul), maka dia tidak harus membuka sanggulnya itu ketika mandi

karena janabah atau haidl tanpa ada perbedaan antara keduanya.

Imam Syafi`i berkata: Hadits diriwayatkan dari Ummu Salamah, dia

berkata: “Aku bertanya kepada Rasulullah saw. dan mengatakan bahwa aku

adalah wanita yang memiliki sanggul rambut yang sangat besar, apakah aku harus

membukanya ketika mandi janabah ?” Maka Rasulullah saw. menjawab :

49 . H.R. Bukhari, dalam kitab yang menjelaskan tentang mandi, bab “Wudlu sebelum mandi” H.R. Muslim, dalam kitab yang menjelaskan tentang haidl, bab “Sifat Mandi Jinabah” hadits no. 34, jilid 1, cet. al-Sya`bi, Kairo, hlm. 613.

64

Page 65: Al Umm [1] 1 Taharah Juz 1 Bag i

ل� إ�ن�م�ا ي�كف�ي�ك� أ�ن ت�ح�ث�ي� ع�ل�ي�ه� ث�ل�ث� ح�ث�ي�ات, م�ن� م�اء, ث7م� ت�ف�ي�ض�ي�ن� ع�ل�ي�ك� الم�اء� ف�ت�طه�ر�ي�ن�

“Tidak, sesungguhnya telah mencukupi bagimu dengan menyiram ke atas

sanggul itu tiga timba air, kemudian engkau ratakan air itu pada tubuhmu

sehingga engkau suci.”

Dalam hadits lain beliau bersabda: “Jika demikian, engkau telah suci.”

Apabila dia tidak memiliki rambut (gundul), maka cara mandinya sama

sebagaimana cara mandi di atas.

Demikian juga halnya apabila ada seorang laki-laki yang mengikat sanggul

rambut kepalanya atau mengepangnya, maka dia tidak perlu membukanya, namun

dia harus mengalirkan air ke pangkal rambutnya.

Imam Syafi`i berkata: Apabila rambutnya lebat lalu dia menyiram air

sebanyak tiga timba, namun dia mengetahui bahwa air itu belum merata ke

seluruh pangkal rambutnya walaupun seluruh rambutnya telah basah, maka

hendaklah dia menyiram rambutnya kembali dan memasukkan air ke pangkal

rambutnya sampai dia yakin bahwa air itu telah sampai ke rambut dan kulit

kepalanya.

Apabila dia telah mencukur rambutnya (sampai botak) dan dia mengetahui

bahwa air itu telah sampai ke rambut dan kulit kepalanya dengan satu timba saja,

niscaya hal itu telah memadai. Akan tetapi kami lebih menyukai dengan tiga

timba. Hanya saja Rasulullah saw. memerintahkan kepada Ummu Salamah untuk

menyiram dengan tiga timba karena sanggul rambutnya. Adapun kami

berpendapat bahwa hal itu adalah batas minimal untuk mengalirkan air ke kulit

rambut. Rasulullah saw. memiliki rambut yang melewati daun telinga, beliau

membasuh kepalanya dengan tiga basuhan. Begitu juga dalam hal berwudlu,

beliau saw. lebih sering melakukannya tiga kali dalam hidup beliau. Akan tetapi

menyiram satu kali bila telah merata dianggap telah mencukupi, baik ketika mandi

atau wudlu, sebab dengan menyiram satu kali telah bisa dinamakan mandi atau

wudlu, selama diketahui bahwa air telah mengenai rambut dan kulit.

Orang yang lupa berkumur-kumur dan memasukkan Air ke dalam

Hidung Pada Mandi Janabah.

Imam Syafi`i berkata: Kami tidak menyukai seseorang yang meninggalkan

65

Page 66: Al Umm [1] 1 Taharah Juz 1 Bag i

berkumur dan memasukkan air ke dalam hidung pada saat mandi janabah. Namun

apabila dia terlanjur meninggalkannya, maka kami lebih menyukai agar dia

berkumur-kumur saja. Apabila dia tidak mengerjakan hal itu juga, maka dia tidak

harus mengulangi shalatnya.

Demikian juga dia tidak harus memercikkan air atau membasuh kedua

matanya, karena kedua mata bukanlah bagian luar dari badannya dimana letak

keduanya di bawah pelupuk mata.

Imam Syafi`i berkata: Berdasarkan hal itu, maka seseorang harus

membasuh bagian luar dan bagian dalam dari telinganya, karena kedua telinga itu

termasuk anggota badan bagian luar sehingga harus memasukkan air pada bagian

yang tampak dari daun telinga, dan dia tidak harus memasukkan air pada bagian

telinga yang tidak nampak.

Imam Syafi`i berkata: Kami lebih menyukai seseorang menggosok

tubuhnya sesuai dengan kemampuannya ketika mandi. Namun apabila dia tidak

mengerjakan hal itu dan air telah merata pada kulitnya, maka hal itu sudah cukup

baginya.

Demikian halnya apabila dia membenamkan diri pada sebuah sungai atau

sumur sehingga air dapat merata ke seluruh rambut dan kulitnya, maka hal itu

telah cukup baginya; atau dia berdiri di bawah pancuran air atau membasahi

dirinya dengan hujan sehingga air dapat sampai kepada rambut dan kulitnya,

maka hal itu sudah cukup baginya.

Imam Syafi`i berkata: Mandi yang telah kami terangkan di atas tidak

dianggap suci apabila tidak disertai niat mandi janabah. Demikian halnya dengan

wudlu, tidak dianggap sebagai wudlu apabila tidak disertai dengan niat wudlu.

Apabila dia berniat mandi untuk bersuci dari janabah dan berniat wudlu

untuk bersuci dari hal-hal yang mewajibkan wudlu; atau dia berniat wudlu untuk

melaksanakan shalat, baik fardlu maupun nafilah seperti shalat jenazah atau

membaca al-Qur`an, maka semua itu boleh baginya dikarenakan dia telah

meniatkan semuanya untuk bersuci.

Imam Syafi`i berkata: Apabila seseorang mandi dan memulai dari kedua

kakinya sebelum kepalanya, atau dia memisah-misahkannya dimana pada saat

66

Page 67: Al Umm [1] 1 Taharah Juz 1 Bag i

tertentu membasuh sebagian anggota badannya dan pada setelah satu jam

berikutnya dia baru memulai membasuh bagian tubuhnya yang lain, maka hal itu

telah mencukupinya. Namun lain halnya dengan wudlu, dia harus

mengurutkannya sesuai dengan apa yang telah disebutkan Allah swt. di dalam

kitab-Nya.

Orang yang mandi janabah dan orang yang berwudlu hendaknya menyela-

nyela jari-jemari kakinya sehingga dia yakin air itu telah sampai di antara jari-

jemari kakinya. Apabila dia tidak yakin akan sampainya air, maka hal itu tidak

cukup baginya. Apabila air itu telah mengenainya, maka hal itu sudah mencukupi

walaupun dia tidak menyela-nyelainya.

Alasan Orang yang Mewajibkan Mandi dan Wudlu.

Imam Syafi`I berkata: Allah swt. berfirman :

وإن كنتم جنبا فاطهروا وإن كنتم مرضى أو على سفر أو جاء أحد منكم من الغائط “dan jika kamu junub maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam

perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus). “

( Surat al-Maaidah (5): 6 )

Imam Syafi`i berkata: Allah swt. tidak memberikan keringanan (rukhshah)

dalam bertayamum kecuali pada beberapa keadaan, yaitu dalam perjalanan atau

dalam kesulitan air atau saat sakit.

Apabila seseorang sakit, maka dia boleh bertayamum baik dia mukim atau

sedang dalam perjalanan, atau saat dia memperoleh air atau tidak.

Imam Syafi`i berkata: Sakit adalah suatu kata yang mengumpulkan semua

jenis penyakit. Adapun yang kami dengar tentang sakit yang dengannya boleh

bertayamum adalah luka.

Imam Syafi`i berkata: Bengkak yang tidak parah itu juga masuk dalam

katagori luka, karena yang ditakutkan adalah bagian tersebut terkena air yang

kemudian akan bernanah sehingga menyebabkan kematian atau menimbulkan

penyakit yang mengkhawatirkan. Inilah ketakutan minimal yang ada dalam

masalah ini.

Apabila luka itu berlubang dimana dikhawatirkan tersentuh air sehingga

67

Page 68: Al Umm [1] 1 Taharah Juz 1 Bag i

akan menambah parah sakitnya, maka boleh baginya bertayamum. Namun apabila

luka itu ringan dan tidak berlubang, serta tidak dikhawatirkan bernanah apabila

dibasuh dengan air, maka dia tidak boleh bertayamum dikarenakan alasan Allah

swt. memberikan keringanan kepada seseorang untuk bertayamum telah hilang

darinya.

Tidak boleh bagi seseorang bertayamum kecuali ada luka, baik pada

musim dingin atau panas. Apabila dia melakukannya, maka hendaklah dia

mengulangi shalat yang dikerjakannya dengan tayamum itu.

Begitu juga seseorang tidak boleh bertayamum ketika berada di musim

dingin. Apabila dia terkena luka pada kepalanya atau pada bagian lain dari

tubuhnya, maka dia harus membasuh bagian lain dari badannya yang terkena

najis; dan tidak ada yang mencukupi kecuali hal itu, sebab bertayamum itu untuk

janabah.

Begitu juga terhadap setiap najis yang mengenai anggota badannya, maka

tidak cukup bagiya kecuali membasuhnya.

Seseorang mempunyai banyak luka, dan salah satunya ada lubang luka

yang terkena najis, sementara dia takut jika lubang itu terkena air. Jika dia tidak

membasuhnya, maka dia harus mengulangi setiap shalat yang dikerjakannya itu.

Apabila luka itu terdapat pada telapak tangannya (bukan pada tubuh),

maka dia harus membasuh seluruh tubuh kecuali telapak tangan. Namun dengan

melakukan hal seperti itu, dia belum dianggap suci apabila belum bertayamum,

karena dia tidak mandi sebagaimana yang diwajibkan Allah swt kepadanya.

Jika dia bertayamum dan sanggup membasuh sebagian dari tubuhnya

tanpa adanya bahaya yang ditimbulkan (mudharat), maka dia tidak boleh

melakukan tayamum dan harus membasuh seluruh tubuh yang dia mampu

menjangkaunya, sebab bertayamum tidak boleh dengan mengusap sebagian dan

meninggalkan bagian yang lain.

Jika luka itu terdapat pada bagian depan (bukan pada bagian belakang

kepalanya), maka dia harus membasuh kepala bagian belakangnya. Demikian juga

dengan sebagian kepala bagian depan (tidak pada bagian yang lain), maka dia

harus membasuh bagian yang tidak ada lukanya dan meninggalkannya bagian

68

Page 69: Al Umm [1] 1 Taharah Juz 1 Bag i

yang terkena luka, jika luka terdapat pada muka dan tidak pada bagian kepala.

Akan tetapi jika dibasuh, maka air akan menetes ke bagian muka (tentu akan

mengenai luka yang ada di mukanya), sementara dia tidak boleh meninggalkan

basuhan kepalanya. Bahkan hendaknya dia mengambil posisi terlentang atau

menutupi wajahnya, kemudian dia menyiramkan air ke tempat lain agar tidak

mengenai mukanya.

Demikian pula apabila luka terdapat pada badannya, lalu dia khawatir jika

menyiram air pada bagian yang tidak sakit akan mengenai bagian yang sakit,

maka dia harus mengusapkan air pada bagian yang tidak sakit dan tidak boleh

menyiramnya, cukup baginya dengan membasahi rambut dan kulit. Adapun bila

dia mampu mengambil siasat untuk menyiramkan ke badannya tanpa harus

mengenai bagian yang sakit, maka dia harus menyiramnya.

Imam Syafi`i berkata: Cara bersuci bagi wanita yang sedang haidl sama

seperti orang yang berjunub, sebagaimana yang telah kami jelaskan sebelumnya.

Demikian juga apabila seorang laki-laki atau seorang wanita akan mandi junub,

maka cara mandinya adalah seperti itu.

Imam Syafi`i berkata: Apabila pada wanita haidl ada bekas darah dan

pada orang junub terdapat najis, yang mana keduanya sanggup menahan apabila

terkena air, maka keduanya harus mandi. Namun apabila tidak sanggup, maka

keduanya boleh bertayamum lalu mengerjakan shalat. Keduanya tidak perlu

mengulangi shalat, baik masih di dalam waktu shalat maupun di luar waktu shalat.

Imam Syafi`i berkata: Demikian juga setiap najis yang mengenainya, baik

dia mandi maupun berwudlu, maka tidak ada yang dapat menyucikan najis itu

kecuali air.

Apabila orang yang terkena najis itu sedang haidl atau junub dan orang

yang berwudlu tidak memperoleh air, maka dia boleh bertayamum kemudian

mengerjakan shalat. Akan tetapi jika dia memperoleh air, maka hendaknya dia

membasuh bagian yang terkena najis itu dan mandi apabila ada kewajiban wudlu

atasnya, serta mengulangi seluruh shalat yang telah dikerjakan saat najis

menempel padanya, karena najis tida dapat disucikan selain dengan air.

Imam Syafi`i berkata: Apabila seseorang memperoleh air yang dapat

69

Page 70: Al Umm [1] 1 Taharah Juz 1 Bag i

menyucikan najis yang ada padanya dimana dia dalam keadaan safar, sementara

dia tidak mendapatkan air untuk mandi (apabila ia wajib mandi) atau untuk

berwudlu, maka dia harus membasuh bekas najis itu kemudian bertayamum dan

mengerjakan shalat. Dia tidak perlu mengulangi shalatnya, karena dia shalat

dalam keadaan suci dari najis, yang mana sucinya itu dengan bertayamum setelah

mandi dan wudlu yang wajib atasnya.

Imam Syafi`i berkata: Apabila orang yang junub telah menemukan air

untuk bersuci, sementara dia khawatir akan kehausan, maka dia dihukumi seperti

orang yang tidak memperoleh air, dia harus membasuh najis yang telah

mengenainya kemudian bertayamum. Keterangan ini cukup memadai dalam

menjelaskan masalah membersihkan najis. Jika dia takut kehausan apabila (air

digunakan untuk) mencuci najis sebelum memperoleh air yang lain, maka dia

harus mengusap najis dan bertayamum, kemudian mengerjakan shalat. Lalu

mengulangi shalat itu apabila telah mencuci najis dengan air (memperoleh air).

Apabila tidak takut kehausan jika air yang tidak memadai itu digunakan

untuk membasuh najis, dan jika digunakan pun tidak bisa menghilangkan najis

yang ada di badannya, maka hendaknya dia terlebih dahulu membasuh bagian

yang terkena najis lalu membasuh anggota badan yang dikehendaki dengan sisa

air itu, karena dia telah beribadah dengan membasuh seluruh badannya bukan

hanya sebagiannya. Oleh sebab itu, dia harus memcuci seluruh badan apabila

menghendaki dan anggota wudlu atau anggota tubuh yang lain. Anggota wudlu

tidak lebih wajib di basuh saat mandi janabah bila dibandingkan dengan anggota

badan lainnya. Setelah itu, dia bertayamum dan shalat. Dia pun tidak perlu

mengulangi shalatnya apabila mendapatkan air, karena dia shalat dalam keadaan

suci.

Imam Syafi`i berkata: Apabila seseorang bertanya: “Mengapa

menghilangkan najis yang mengenainya tidak cukup kecuali dengan dibasuh air,

namun janabah dan wudlu cukup dengan bertayamum ?”

Maka dikatakan, bahwa inti kesucian adalah dengan air, hanya saja Allah

swt. menjadikan tanah itu suci untuk digunakan oleh mereka yang dalam

perjalanan atau bagi mereka yang kesulitan memperoleh air, baik saat mukim atau

70

Page 71: Al Umm [1] 1 Taharah Juz 1 Bag i

dalam perjalanan, atau dalam kondisi sakit.

Tidak ada yang dapat membersihkan najis yang mengenai kulit atau yang

lainnya melainkan dengan air, melainkan apabila Allah swt. menjadikan tanah

pengganti air untuk mensucikan najis. Namun Allah swt. hanya menjadikan tanah

sebagai pengganti air dalam rangka beribadah kepada-Nya melalui wudlu dan

mandi. Beribadah dengan melaksanakan wudlu maupun mandi adalah suatu

kewajiban ibadah bukan untuk menghilangkan najis yang nampak. Najis apabila

melekat pada tubuh atau pakaian seseorang, maka cara menghilangkannya dengan

air dianggap suatu ibadah sampai najis itu tidak lagi melekat pada tubuh dan

pakaiannya. Inilah peribadatan yang memiliki alasan yang dapat diterima oleh

akal fikiran.

Imam Syafi`i berkata: Wanita yang sedang haidl dalam hal bersuci sama

sebagaimana orang yang sedang junub, tidak ada perbedaan di antara keduanya,

hanya saja kami lebih menyukai wanita haidl yang mandi dari janabah dengan

mengoleskan minyak wangi pada bekas darahnya. Akan tetapi jika tidak ada

minyak wangi, maka boleh menggunakan benda apa saja yang berbau wangi,

karena hal itu merupakan Sunnah Rasulullah saw. namun jika tidak

melakukannya juga, maka cukuplah air sebagai pencucinya.

Imam Syafi`i berkata: Hadits diriwayatkan dari Aisyah ra. bahwa dia

berkata: “Suatu ketika seorang wanita datang menghadap Rasulullah saw.

kemudian bertanya tentang tata cara mandi dari haidl. Lalu Rasulullah saw.

bersabda :

خ�ذ�ي� ق7ر�ص�ة: م�ن� م�س�ك, ف�ت�ط'ه�ر�ي� ب�ه�ا ق�ال�ت� ك�ي�ف� أ�ت�ط�ه�ر� ؟ ق�ال� : ت�طه�ر�ي� ب�ه�ا ق�ال�ت� : ك�ي�ف� أ�ت�ط'ه�ر ب�ه�ا ف�اج�ت�ذ�ب�ت�ه�ا و�ع�ر�ف�ت ص�ل'ى ال3 ع�ل�ي�ه� و�س�ل'م� : س�ب�ح�ان� ال� و�اس�ت�ت�ر� ب�ث�و�ب�ه� ت�ط�ه�ر�ي ب�ه�ا ف�ق�ال� الن�ب�ي

ال'ذ�ي� أ�ر�اد� ف�ق7لت� ت�ت�ب�ع�ي� ب�ه�ا أ�ث�ر� الد�م� ي�ع�ن�ي الف�ر�ج

“Ambillah sedikit minyak kasturi lalu bersucilah dengannya” lalu

wanita tersebut bertanya lagi; “Bagaimana aku bersuci dengan minyak

kasturi itu ?” Kemudian Rasulullah saw. menjawab; “Bersucilah

dengannya !” lalu wanita tersebut bertanya lagi; “Bagaimana aku

bersuci dengannya ?” kemudian Rasulullah saw. bersabda; “Maha Suci

71

Page 72: Al Umm [1] 1 Taharah Juz 1 Bag i

Allah” Rasulullah menutup dirinya dengan kain; “Bersucilah

dengannya”. Kemudian aku (Aisyah) menarik wanita itu dan mengajarkan

kepada wanita itu tentang sesuatu yang dikehendaki oleh Rasulullah saw.

aku katakan kepada wanita itu; “Sertakanlah minyak kasturi itu pada

bekas darah 50 maksudnya kemaluan.”

Imam Syafi`i berkata: Orang yang sedang bepergian yang tidak

menemukan air dan orang yang menyendiri di tempat penggembalaan onta, maka

bagi mereka boleh bersetubuh dengan isterinya. Bagi mereka cukup

bertayammum, dengan catatan sudah membasuh apa yang mengenai

kemaluannya sampai dia menemukan air. Jika dia sudah menemukan air, maka

keduanya harus mandi.

Masalah yang Berkaitan dengan Tayamum bagi Muqim dan Musafir.

Imam Syafi`i berkata: Allah swt. berfirman :

سحوا فق وام ل الرا يديكم إ جوهكم وأ سلوا و صلة فاغ ل ال تم إ نوا إذا قم لذين ام ها ا يا أي برءوسكم وأرجلكم إل الكعبي وإن كنتم جنبا فاطهروا وإن كنتم مرضى أو على سفر أو جاء

غائط با فامسحوا بوجوهكم أحد منكم من ال فتيمموا صعيدا طي ماء لم تدوا أولستم النساء ف عليكم لعلكم عليكم من حرج ولكن يريد ليطهركم وليتم نعمته وأيديكم منه ما يريد ال ليجعل

تشكرون

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan

shalat, maka basuhlah mukamu dan tangamu sampai dengan siku, dan

sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki,

dan jika kamu junub maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam

perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh

perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah

dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan

tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak

membersihkan kamu dan menyempurnakan ni`mat-Nya bagimu supaya

kamu bersyukur.” ( Surat al-Maidah (5): 6 )

Imam Syafi`i berkata: Allah swt. telah menunjukkan hukum 50 . H.R. Bukhari, dalam kitab yang menjelaskan tentang haidl, bab “Haidl Perempuan” jilid 1, juz 1, Dar al-Jabal, Beirut, hlm. 85. H.R. Muslim, dalam kitab yang menjelaskan tentang haidl, bab ke-61, jilid 1, Dar al-Sya`b, Kairo, hlm. 627.

72

Page 73: Al Umm [1] 1 Taharah Juz 1 Bag i

diperbolehkannya tayammum pada dua kondisi: Pertama, dalam perjalanan dan

sulit mendapatkan air, Kedua, bagi orang yang sakit baik di tempat pemukiman

atau dalam perjalanan. Hal ini menunjukkan bahwa orang yang bepergian wajib

berusaha terlebih dahulu untuk mendapatkan air, hal ini berdasarkan firman Allah

swt.:

فلم تدوا ماء فتيمموا

“Lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah.”

( Surat al-Maidah (5): 6 )

Imam Syafii berkata: Setiap orang yang keluar meninggalkan suatu negeri

ke negeri yang lain, maka hal itu dapat dikatakan “perjalanan” baik jarak

perjalanan itu ataupun panjang.

Kami tidak mengetahui dalil hadits yang menunjukkan bahwa sebagian

musafir boleh bertayamum dan sebagiannya lagi tidak, akan tetapi yang nampak

dari kitab suci al-Qur`an adalah semua musafir boleh bertayammum, baik jarak

perjalanan itu jauh atau dekat.

Imam Syafi`i berkata: Dari Nafi`, dari Ibnu Umar, bahwa dia datang dari

al-Jarf. Jika berada di al-Marbad (daerah satu mil dari Madinah) maka dia

bertayamum. Dia mengusap wajah dan kedua tangannya, kemudian melaksanakan

shalat Ashar lalau memasuki Madinah, sedangkan sinar matahari masih meninggi,

namun dia tidak mengulangi shalatnya. 51

Imam Syafii berkata: Al-Jarf adalah suatu tempat di dekat kota Madinah.

BAB : WAKTU DIPERBOLEHKANNYA TAYAMUM UNTUK

SHALAT.

Imam Syafi`i berkata: Allah swt. telah menetapkan waktu-waktu bagi

setiap shalat yang akan dilaksanakan. Seseorang tidak dikatakan melaksanakan

shalat sebelum tiba waktunya, sebagaimana kita diperintahkan untuk

melaksanakan shalat jika waktunya telah masuk.

Demikian juga Allah swt. memerintahkan tayamum pada saat seseorang

hendak melaksanakan shalat dan butuh air, akan tetapi dia tidak menemukannya.

51 . Tartib Musnad Imam Syafi`i, dalam kitab yang menjelaskan tentang tata cara bersuci, bab ke-9 “Tayamum” hadits no. 136, jilid 1, hlm. 45.

73

Page 74: Al Umm [1] 1 Taharah Juz 1 Bag i

Barangsiapa bertayamum sebelum tiba waktu shalat, maka shalatnya dianggap

tidak sah. Oleh karenanya, hendaklah dia melaksanakan shalat dengan

bertayamum sesudah tiba waktu shalat dan tidak menemukan air.

Imam Syafi`i berkata: Jika seseorang bertayamum ketika tidak

menemukan air, akan tetapi dia belum berusaha mencarinya, maka dia harus

mengulangi tayamum itu sesudah berusaha mencari air akan tetapi tidak

menemukannya.

Jika seseorang mengetahui bahwa dia tidak memiliki sedikitpun air, maka

hendaknya dia mencari pada orang lain. Jika seseorang diberi air secara cuma-

cuma atau dengan harga yang wajar dan orang yang memiliki air tidak hawatir

akan kehausan atau kelaparan jika air itu dibeli darinya, maka baginya tidak boleh

bertayamum.

Jika pemilik air tidak memberikan secara cuma-cuma dengan suka rela

dan seseorang harus membelinya dengan harga yang tinggi dari yang seharusnya,

maka dia tidak perlu membeli air itu sekalipun dia mampu atau sekalipun

tambahan harga air itu tidak terlalu tinggi.

Imam Syafi`i berkata: Jika seseorang menemukan sebuah sumur akan

tetapi dia tidak memiliki tali, namun dia sanggup untuk menggapai air dengan tali

itu atau dengan kain, maka baginya tidak boleh bertayamum sampai dia berusaha

mencari bejana atau timba. Jika tidak mampu menemukannya, maka dia dapat

menjatuhkan ujung kain ke dalam air tersebut kemudian memerasnya sampai

mengeluarkan air. Ini dilakukan secara terus menerus sampai mendapatkan air

yang cukup untuk berwudlu. Apabila demikian, dia tidak boleh untuk bertayamum

selama dia masih mampu melakukan hal ini atau ada orang lain yang mau

melakukan untuknya.

Apabila dia tidak sanggup melakukannya akan tetapi mampu turun ke

sumur dengan tanpa rasa takut, maka dia boleh melakukan hal itu. Akan tetapi jika

merasa takut untuk turun ke sumur, maka dia tidak perlu untuk turun ke dalam

sumur itu.

Imam Syafi`i berkata: Jika seseorang bertayamum kemudian menjalankan

shalat, akan tetapi sesudah itu dia teringat bahwa dalam barang bawaannya ada

74

Page 75: Al Umm [1] 1 Taharah Juz 1 Bag i

air, maka hendaknya dia mengulangi shalatnya.

Jika dia teringat atau mengetahui bahwa ada sumur di dekatnya dimana dia

sanggup untuk memperoleh air, maka dia tidak perlu mengulangi shalatnya. Akan

tetapi jika dia mengulanginya, maka hal itu boleh saja dilakukan lantaran lebih

menunjukkan sikap hati-hati.

Imam Syafi`i berkata: Perbedaan antara apa yang berada dalam barang-

barang bawaannya dengan sumur adalah, bahwa dia lebih mengetahui kondisi

barang-barang bawaannya sebagaimana dia mengetahui urusan pribadinya, dan

dia mendapat beban untuk mengetahui segala urusan dirinya. Sedangkan yang

bukan menjadi miliknya, maka dia hanya dibebani untuk mengetahui yang

nampak saja dengan tanpa perlu mengetahui yang lebih terperinci.

BAB : NIAT TAYAMUM.

Imam Syafi`i berkata: Tayamum tidak cukup melainkan sesudah berusaha

mencari air akan tetapi tidak menemukannya, dan seseorang harus mengerjakan

tayamum disertai niat.

Jika dia bertayamum sebelum mencari air, maka tayamumnya tidak sah.

Dia harus mengulangi tayamumnya sesudah mencari air akan tetapi tidak

berhasil.

Imam Syafi`i berkata: Jika seseorang niat untuk melakukan tayamum

dalam rangka bersuci untuk melaksanakan shalat fardlu, kemudian dia

melaksanakan ibadah lainnya sebagaimana; shalat sunah, membaca kitab suci al-

Qur`an, melakukan shalat janazah, sujud tilawah serta sujud syukur, sesudah itu

tiba waktu shalat fardlu yang lain dan dia belum berhadats, maka dia tidak boleh

melaksanakan shalat fardlu itu, namun hendaknya dia mencari air kembali. Jika

dia tidak menemukannya, maka dia boleh memulai niat untuk bertayamum guna

melaksanakan shalat.

Imam Syafi`i berkata: Apabila telah lepas beberapa shalat fardlu, maka

seseorang harus mengulangi tayamum untuk setiap shalat fardlu itu, sebagaimana

yang telah kami jelaskan.

Apabila dia mengerjakan dua shalat fardlu dengan sekali tayamum, maka

75

Page 76: Al Umm [1] 1 Taharah Juz 1 Bag i

dia harus mengulangi shalat yang kedua lantaran tayamumnya hanya untuk shalat

yang pertama.

Jika dia bertayamum untuk shalat sunah, maka dia tidak boleh

melaksanakan shalat fardlu dengan tayamum itu sehingga dia berniat tayamum

untuk shalat fardlu.

Imam syafi`i berkata: Jika seseorang bertayamum dengan niat shalat

fardlu, maka baginya tidak mengapa melakukan shalat sunah, shalat jenazah, dan

membaca al-Qur`an sebelum melakukan shalat fardlu.

Imam Syafi`i berkata: Tayamum itu tidaklah dianggap sah melainkan

telah memenuhi syarat. Sebagaimana kamu ketahui bahwa jika seseorang

bertayamum lalu menemukan air, maka hendaklah dia berwudlu.

Demikian halnya dengan wanita haidl dan wanita yang sedang

mengeluarkan darah istihadlah jika mendapatkan air, maka tidak ada perbedaan

antara dia dan orang yang bertayamum dimana mereka berwudlu setiap kali

hendak melaksanakan shalat fardlu, lantaran tayamum adalah bersuci yang

sifatnya darurat dan bukan kesucian yang sempurna.

Imam Syafi`i berkata: Jika seseorang bertayamum kemudian memulai

melaksanakan shalat sunah atau shalat janazah kemudian tidak beberapa lama dia

melihat air, maka teruskan saja shalatnya itu. Jika dia sudah selesai dari shalatnya,

apabila dia sanggup, maka dia boleh berwudlu untuk melaksanakan shalat fardlu.

Akan tetapi jika tidak sanggup, maka dia cukup menghadirkan niat shalat fardlu

kemudian bertayamum untuk shalat fardlu itu.

Begitu juga apabila dia memulai dengan shalat sunah, lalu mulai bertakbir

kemudian melihat air, maka teruskan saja shalat itu sampai dua reka`at dan tidak

boleh melebihkannya, lalu mengucapkan salam. Kemudian, setelah itu barulah

mengambil air.

Apabila seseorang bertayamum dan memulai dengan shalat fardlu

kemudian dia melihat air, maka dia tidak perlu memutuskan shalatnya, bahkan

hendaknya dia menyempurnakan. Apabila telah selesai, maka dia boleh berwudlu

untuk shalat yang lain. Tidak boleh baginya mengerjakan shalat sunah dengan niat

tayamum untuk shalat fardlu, apabila dia memperoleh air setelah selesai dari

76

Page 77: Al Umm [1] 1 Taharah Juz 1 Bag i

shalat fardlu tersebut.

Apabila seseorang bertayamum dan memulai shalat fardlu kemudian dia

mimisan (keluar darah dari hidungnya) lalu memutuskan shalat karena hendak

membasuh darahnya, kemudian dia memperoleh air, maka tidak boleh baginya

menyambung shalat fardlu yang terputus tadi kecuali dia berwudlu terlebih

dahulu. Hal itu diarenakan dia berada dalam kondisi yang tidak boleh

dilaksanakannya shalat, sebab telah mendapatkan air untuk berwudlu.

BAB : BAGAIMANA BERTAYAMUM

Imam Syafi`i berkata: Allah swt. berfirman:

فتيمموا صعيدا طيبا فامسحوا بوجوهكم وأيديكم منه

“Maka bertayamumlah dengan tanah yang baik (bersih) sapulah mukamu

dan tanganmu dengan tanah itu.” ( Surat al-Maa`idah (5): 6 )

Hadits riwayat Ibnu Shammah :

أ�ن' ر�س�و�ل� ال� ص�ل'ى ال3 ع�ل�ي�ه� و�س�ل'م� ت�ي�م�م� ف�م�س�ح� و�ج�ه�ه� و�ذ�ر�اع�ي�ه�

“Sesungguhnya Rasulullah saw. bertayamum lalu menyapu mukanya dan

kedua lengannya.” 52

Imam Syafi`i berkata: Seseorang tidak dinamakan bertayamum kecuali

apabila dia telah menyapu muka dan kedua lengan sampai kepada dua siku, dan

kedua siku termasuk bagian yang disapu. Apabila dia meninggalkan salah satunya

lalu mengerjaan shalat, maka dia harus mengulangi shalatnya, baik yang

ditinggalkan itu lebih besar atau lebih kecil bahkan sama besar dengan uang satu

dirham selama masih dapat dilihat oleh pandangan matanya atau dia yakin telah

meninggalkan bagian itu. Apabila dia tidak melihat bagian yang tidak di sapu,

namun dia yakin telah meninggalkan sesuatu, maka wajib baginya mengulangi

shalat yang telah dilakukan sebelum dia mengulangi tayamum.

Imam Syafi`i berkata: Tayamum tidak dianggap memadai kecuali dengan

meletakkan telapak tangan pada tanah, lalu menyentuhkannya sekali ke wajahnya.

Kami lebih menyukai apabila dia menyentuhnya dengan kedua tangannya secara

52 . H.R. Muslim, dalam kitab yang menjelaskan tentang haidl, bab “Tayamum,” hadits no. 113, jilid 1, hlm. 670.

77

Page 78: Al Umm [1] 1 Taharah Juz 1 Bag i

bersama-sama. Namun apabila dia hanya membatasi dengan satu telapak

tangannya untuk menyapunya ke seluruh wajahnya, maka hal itu telah cukup

baginya.

Apabila debu itu dihembuskan angin sehingga merata pada wajahnya lalu

dia menyapu dengan kedua tangannya, maka hal itu dianggap tidak memadai

karena dia tidak mengambil debu itu dengan tangannya melainkan oleh sebab

angin.

Apabila dia mengambil debu dari atas kepalanya lalu mengusapkan pada

wajahnya, maka hal itu telah memadai. Demikian juga telah memadai apabila dia

mengambil debu itu dari anggota tubuhnya yang lain selain muka dan telapak

tangannya.

Imam Syafi`i berkata: Hendaknya seseorang yang akan bertayamum

menyapu kedua lengannya dengan kedua tangannya, tidaklah cukup apabila dia

tidak melakukan hal itu. Karena dia tidak sanggup menyapu tangan selain dengan

tangan yang berbeda, maka dia menyapu lengan kanan dengan tangan kiri dan

menyapu lengan kiri dengan tangan kanan, dan dia menyela-nyela jemari

tangannya dengan debu dan mengikuti anggota-anggota wudlu, sebagaimana

apabila dia melakukannya dengan air.

Imam Syafi`i berkata: Jika dia memulai tayamum dengan kedua tangan

sebelum muka, hendaklah dia mengulanginya dengan mengusap muka kemudian

kedua lengannya.

Apabila dia memulai dari bagian kiri lengannya sebelum bagian kanan,

maka dia tidak harus mengulanginya, namun hal itu kami pandang sebagai hal

yang makruh.

Imam Syafi`i berkata: Apabila satu tangan atau kedua tangannya terputus,

maka dia hanya mengusap anggota tayamum yang masih tersisa dari tangannya.

Sementara apabila yang terputus itu dari sikunya, maka dia mengusap tayamum

pada anggota yang tersisa dari sikunya.

Imam Syafi`i berkata: Apabila orang yang sedang bepergian memperoleh

air, namun tidak dapat mensucikan seluruh anggota badannya, maka dia tidak

perlu membasuh sesuatu darinya.

78

Page 79: Al Umm [1] 1 Taharah Juz 1 Bag i

Sehubungan dengan persoalan ini Imam Syafi`i memiliki pendapat lain,

yaitu, hendaklah dia membasuh sebagian anggota badan wudlunya dengan kadar

air yang dia miliki, kemudian dia bertayamum setelah itu.

BAB : TANAH YANG DIPAKAI UNTUK BERTAYAMUM.

Imam Syafi`i berkata: Allah swt. berfirman :

فتيمموا صعيدا طيبا فامسحوا بوجوهكم وأيديكم منه

“Maka bertayamumlah dengan tanah yang baik (bersih) sapulah mukamu

dan tanganmu dengan tanah itu.” ( Surat al-Maa`idah (5): 6 )

Imam Syafi`i berkata: Setiap sesuatu yang dinamakan sha`id (tanah) yang

tidak bercampur dengan najis, maka dia adalah tanah yang baik (sha`id thayyib)

yang boleh dipakai untuk bertayammum. Sebaliknya setiap sesuatu yang

terhalang untuk dinamakan tanah, maka dia tidak boleh dipakai untuk

bertayammum, dan kata sha`id tidaklah digunakan melainkan untuk tanah yang

berdebu.

Imam Syafi`i berkata: Adapun tempat yang dilalui air hingga

meninggalkan batu-batu kerikil, baik batu-batu tersebut tebal atau tipis atau batu

pipih yang tebal, tidak dapat dinamakan sha`id (debu). Apabila bercampur dengan

debu atau lumpur kering, maka yang bercampur itu dinamakan sha`id.

Apabila orang yang bertayamum menyentuhkan kedua tangannya ke tanah

(shai’d) tadi lalu terdapat debu yang melekat padanya, maka dia boleh

bertayamum dengannya. Namun apabila dia menyentuhkan kedua tangannya ke

tanah tersebut atau ke tempat lain, namun debu tidak melekat, maka dia tidak

boleh bertayamum dengannya.

Demikian juga seluruh permukaan bumi, baik berupa tanah yang gembur,

lumpur yang kering, batu-batu yang terdapat pada jalur air dan selainnya yang

dapat melekatkan debu apabila disentuhkan tangan kepadanya, maka cukup

memadai untuk digunakan tayamum.

Apabila tanah itu kering dan orang yang hendak bertayamum

menyentuhkan tangannya, lalu tanah itupun melekat padanya dalam jumlah yang

banyak, maka tidak mengapa jika dia mengibaskannya sedikit saja hingga yang

79

Page 80: Al Umm [1] 1 Taharah Juz 1 Bag i

tersisa hanya debunya. Setelah itu, dia boleh mengusapkan ke seluruh mukanya.

Imam Syafi`i berkata: Apabila seseorang mengambil debu dari dinding,

maka dia boleh bertayamum dengannya.

Apabila dia meletakkan tangannya pada dinding dan debu itu melekat pada

tangannya, lalu diapun bertayamum, maka tayamumnya dianggap sah.

Apabila debu itu bercampur dengan kapur, jerami halus, tepung gandum

atau yang lainnya, maka dia tidak boleh bertayamum dengannya sampai debu itu

benar-benar tidak tercampur dengan sesuatu apapun.

Imam Syafi`i berkata: Apabila batu, tembikar, atau marmer yang hancur

ditumbuk halus hingga menjadi seperti debu, maka tidak boleh bertayamum

dengan benda-benda ini.

Imam Syafi`i berkata: Tidak boleh bertayamum dengan tawas, dzarirah

(sejenis harum-haruman), kemenyan, serbuk kayu, serbuk perak atau sejenisnya.

Tidak boleh juga bertayamum apabila telah diketahui bahwa tanah itu

mengandung najis sehingga dia yakin bahwa air itu telah mensucikannya, seperti

yang telah kami jelaskan terdahulu tentang tanah yang bercampur dengan sesuatu

yang tidak berbentuk seperti air kencing, arak serta yang menyerupainya, yaitu

dengan menyiramkan air kepadanya hingga menggenanginya. Sedangkan untuk

tanah yang bercampur dengan najis yang mempunyai bentuk, maka najis tersebut

harus dihilangkan darinya dan tempatnya disiram dengan air, atau tempatnya

digali hingga diketahui tidak tersisa sedikitpun dari najis itu.

Tidak boleh bertayamum dengan tanah kuburan yang bercampur dengan

nanah orang meninggal, daging serta tulang-belulang mereka.

Apabila makam itu terkena air hujan, maka tidak boleh bertayamum

dengan debu kuburan itu, karena mayit tetap ada dan tidak dapat dihilangkan oleh

air, sebagaimana air menghilangkan debu.

BAB : BERDZIKIR KEPADA ALLAH TANPA WUDLU.

Imam Syafi`i berkata: Hadits diriwayatkan dari Ibnu Umar ra. bahwa

seorang laki-laki melewati Rasulullah saw. dimana beliau sedang membuang air

kecil. Lalu dia memberi salam kepada Rasulullah saw., maka Rasulullah saw.

80

Page 81: Al Umm [1] 1 Taharah Juz 1 Bag i

membalas salamnya. Ketika orang itu telah lewat, lalu dia dipanggil oleh

Rasulullah saw. dan beliau pun bersabda :

إ�ن�م�ا ح�م�ل�ن�ي� ع�ل�ى الر�دX ع�ل�ي�ك� خ�ش�ي�ة: أ�ن ت�ذه�ب� ف�ت�ق7و�ل7 إ�نXي س�ل'م�ت� ع�ل�ى الن�ب�يX ص�ل'ى ال3 ع�ل�ي�ه� و�س�ل'مف�إ�ذ�ا ر�أ�ي�ت�ن�ي� ع�ل�ى ه�ذ�ه� الح�ال� ف�ل� ت�س�ل\م� ع�ل�ي� ف�إ�ن�ك� إ�ن ت�فع�ل ل� أ�ر�دG ع�ل�ي�ك ف�ل�م� ي�ر�د� ع�ل�ي

“Sesungguhnya yang membuatku menjawab salam engkau adalah karena

takut ketika engkau pergi, engkau akan mengatakan,”Aku telah memberi

salam kepada Rasulullah saw. namun beliau tidak menjawab salamku.”

Apabila engkau melihatku dalam keadaan seperti ini, maka janganlah

engkau memberi salam kepadaku. Apabila engkau melakukannya juga,

maka aku tidak akan menjawab salammu.” 53

Hadits cerita Ibnu Shammah, bahwa dia berkata: “Suatu ketika aku

melewati Rasulullah saw. dimana beliau sedang membuang air kecil, maka aku

memberi salam kepadanya. Akan tetapi beliau tidak membalas salamku sampai

beliau berdiri dekat dinding, lalu beliau menggosok dinding itu dengan tongkat

yang ada bersama beliau. Kemudian beliau mengusap dinding itu dengan kedua

tangannya, lalu beliau menyapu muka dan kedua lengannya. Kemudian, barulah

beliau menjawab salamku.” 54

Hadits cerita dari Sulaiman bin Yasar :

أ�ن' الن�ب�ي� ص�ل'ى ال3 ع�ل�ي�ه� و�س�ل'م� ذ�ه�ب� إ�ل�ى ب�ئر� ج�م�ل, ل�ح�اج�ت�ه� ث7م� أ�قب�ل� ف�س�ل'م� ع�ل�ي�ه� ف�ل�م� ي�ر�د� ع�ل�ي�ه� ح�ت�ى ت�م�س�ح� ب�ج�د�ار

ث7م� ر�د� ع�ل�ي�ه� الس�ل�م

“Bahwa Rasulullah saw. pergi ke sumur Jamal untuk suatu keperluan

(buang hajat), kemudian beliau kembali. Lalu Sulaiman bin Yasar

memberi salam kepada Rasulullah saw., namun beliau tidak

menjawabnya sampai beliau mengusap dinding, kemudian beliau

menjawab salam Sulaiman bin Yasar itu.” 55

Imam Syafi`i berkata: Ini merupakan dalil bahwa seyogyanya siapa saja

53 . Tartib Musnad Imam Syafi`i, dalam kitab yang menjelaskan tentang tata cara bersuci, bab ke-9 “Tayammum”, hadits no. 133, juz 1, hlm. 44.54 . Tartib Musnad Imam Syafi`i, dalam kitab yang menjelaskan tentang tata cara bersuci, bab ke-9 “Tayammum”, hadits no. 132, juz 1, hlm. 44.55 . Tartib Musnad Imam Syafi`i, dalam kitab yang menjelaskan tentang tata cara bersuci, bab ke-9 “Tayammum”, hadits no. 134, juz 1, hlm. 45.

81

Page 82: Al Umm [1] 1 Taharah Juz 1 Bag i

yang melewati seseorang yang sedang membuang air kecil atau air besar supaya

menahan dirinya dari memberi salam kepadanya.

Ini juga merupakan dalil bahwa bolehnya (mubah) menjawab salam pada

kondisi demikian, karena Rasulullah saw. menjawab salam dalam keadaan seperti

itu. Juga sebagai dalil bolehnya tidak menjawab salam hingga keluar dari kondisi

seperti itu, lalu bertayamum kemudian menjawab salam. Meninggalkan untuk

menjawab salam (pada kondisi tersebut) tidak termasuk mengabaikan syariat

menjawab salam, akan tetapi menangguhkannya hingga selesai tayamum.

BAB: HAL-HAL YANG DAPAT MENSUCIKAN TANAH DAN

YANG TIDAK.

Imam Syafi`i berkata: Hadits diriwayatkan dari Abu Hurairah ra. bahwa

seorang Arab Badui masuk ke masjid lalu berdoa: “Ya Allah, anugerahkanlah

rahmat kepadaku dan kepada Muhammad Rasulullah, dan jangan engkau rahmati

salah seorang pun selain kami.” Lalu Rasul saw. bersabda :

ل�ق�د� ت�ح�ج�ر�ت� و�اس�ع/ا

“Sungguh engkau telah membatasi tempat yang luas.” 56

Abu Hurairah ra. meneruskan: Lalu orang Arab badui itu membuang air

kecil di sudut masjid. Para sahabat seakan-akan ingin bertindak terhadap orang

arab badui itu, namun mereka dilarang oleh Rasulullah saw. kemudian beliau

memerintahkan agar didatangkan beberapa ember atau timba besar yang penuh

dengan air untuk dituangkan ke atas tempat kencing itu, kemudian Rasulullah

saw. bersabda :

ع�ل\م�و�ا و�ي�سXر�و�ا و�ل� ت�ع�سXر�و�ا

“Ajarkanlah dan mudahkan, jangan kalian mempersulit.” 57

Imam Syafi`i berkata: Hadits diriwayatkan dari Anas bin Malik bahwa dia

berkata: “Pada suatu ketika seorang Arab Badui membuang air kecil di dalam

56 . Yakni engkau telah menyempitkan apa yang dilapangkan oleh Allah swt. dan engkau hanya menghususkan untuk dirimu tanpa orang lain.57 . Tartib Musnad Imam Syafi`i, dalam kitab yang menjelaskan tentang tata cara bersuci, bab ke-2 “Najis-najis dan cara mensucikannya,” hadits no. 52, jilid 1, hlm. 25. H.R. Tirmidzi, bab ke-20, dalam kitab yang menjelaskan tentang wudlu, bab ke-112 “Air kencing yang mengenai tanah, hadits no. 143.

82

Page 83: Al Umm [1] 1 Taharah Juz 1 Bag i

masjid. Seketika itu juga banyak orang hendak bertindak terhadap orang Arab

badui itu, akan tetapi Rasulullah saw. melarang mereka dan bersabda:

ص�بGو�ا ع�ل�ي�ه� د�لو/ا م�ن� م�اء,

“Tuangkanlah setimba air.” 58

Imam Syafi`i berkata: Apabila seseorang buang air kecil di atas tanah yang

basah atau kering dan air kencing itu diserap oleh tanah, kemudian dituangkan air

di atasnya hingga menggenanginya, lalu air kencing itu ikut terserap ke dalam

tanah sementara air mengalir di atasnya sehingga wujud, warna dan baunya

hilang, maka tanah tersebut dianggap telah suci.

Sekurang-kurangnya kadar air yang dituangkan itu adalah yang dapat

dimakumi, yaitu satu ember besar untuk ukuran kencing seorang laki-laki. Namun

apabila lebih dari itu, maka air itu akan berlipat ganda banyaknya dari kencing

tersebut.

Imam Syafi`i berkata: Apabila seseorang membuang air kecil di atas air

kencing orang lain, maka tempat itu tidak dapat disucikan kecuali dengan air

sebanyak dua timba.

Apabila dua orang kencing pada tempat kencing orang yang pertama,

maka tempat itu tidak dapat disucikan selain dengan tiga ember air. Namun

apabila jumlah mereka lebih banyak, maka tempat tersebut tidak dapat disucikan

selain dengan menuangkan air pada setiap tempat kencing, untuk satu orang

dengan satu ember besar.

Apabila terdapat khamer (minuman keras) pada posisi air kencing, maka

cara mensucikannya dapat dilakukan dengan dituangkan air padanya sebagaimana

halnya menuangkan air pada tempat air kencing dengan tidak ada perbedaan kadar

air di antara keduanya. Sehingga apabila telah hilang warna dan baunya dari debu,

maka debu yang mencampurinya dianggap suci.

Akan tetapi apabila warnanya hilang sementara baunya tidak, maka dalam

hal ini ada dua pendapat :

58 . Tartib Musnad Imam Syafi`i, dalam kitab yang menjelaskan tentang tata cara bersuci, bab ke-2 “Najis-najis dan cara mensucikannya,” hadits no. 51, jilid 1, hlm. 25.

83

Page 84: Al Umm [1] 1 Taharah Juz 1 Bag i

Pertama, tanah itu tidak suci sampai baunya ikut hilang.

Kedua, apabila telah dituangkan air padanya dengan kadar yang dianggap

telah dapat menyucikannya sehingga warnanya hilang, maka tanah itu dianggap

telah suci.

Apabila kadar khamer (minuman keras) yang dituang di atas tanah itu

banyak, maka kadar air yang dituangkan padanya seperti ketika menuangkan air

di atas kencing, sebagaimana yang telah kami uraikan.

Apabila ada bangkai di atas permukaan tanah, lalu mengalir sesuatu

darinya, maka cara mensucikannya adalah dengan menghilangkan jasadnya dan

menuangkan air pada tempat mengalirnya sesuatu dari bangkai itu, sebagaimana

ketika menuangkan air pada air kencing dan arak. Hendaknya pula dituangkan air

padanya sehingga warna, wujud dan baunya hilang.

Imam Syafi`i berkata: Apabila dituangkan benda cair di atas tanah seperti

air kencing, khamer, nanah dan sejenisnya, kemudian bekas warna dan baunya

hilang baik terkena sinar matahari atau tidak, maka dia sama saja yaitu tidak

dianggap suci selain dengan menuangkan air kepadanya.

Apabila hujan turun dan diketahui bahwa air hujan yang mengenai tempat

kencing tersebut lebih banyak dari yang kami terangkan terdahulu, maka air hujan

itulah yang mensucikannya.

Apabila dituangkan najis ke atas tanah seperti air kencing lalu tempat itu

segera digali sehingga tidak tertinggal lagi sedikitpun tanah yang basah, maka

seluruh najis itu dianggap hilang dan dia telah suci tanpa disiram dengan air.

Imam Syafi`i berkata: Adapun semua najis yang berwujud seperti

bangkai, tahi, darah serta yang menyerupainya, maka cara mensucikannya yaitu

dengan menghilangkan benda-benda najis itu dari tempatnya, kemudian

menuangkan air pada tempat yang basah jika ada, seperti halnya menuangkan

pada air kencing dan khamer.

Apabila jasad berbaur dengan tanah sehingga tidak dapat dibedakan antara

keduanya, seperti kuburan, maka tidak dikerjakan shalat padanya dan tidak pula

dianggap suci, karena tanah itu tidak dapat dibedakan lagi; mana yang bercampur

dengan hal-hal haram dan mana yang tidak.

84

Page 85: Al Umm [1] 1 Taharah Juz 1 Bag i

Apabila bangkai menghilang dari tanah dan debu menutupinya, namun

debu yang menutupinya itu tidak dibasahi (dalam keadaan kering), maka jika

tanahnya menjadi basah akibat bangkai tersebut kami memandang makruh shalat

ditempat itu. Namun apabila seseorang terlanjur shalat ditempat itu, maka kami

tidak menyuruhnya untuk mengulangi shalat.

Tempat Lewatnya Orang Berjunub dan Orang Musyrik.

Imam Syafi`i berkata: Allah swt. berfirman:

عابري باإل ما تقولون ول جن موا تم سكارى حت تعل صلوة وأن بوا ال نوا ل تقر لذين أم ها ا يا أيسبيل حت تغتسلوا

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu

dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan,

(jangan pula hampiri masjid) sedang kamu dalam keadaan junub,

terkecuali sekedar berlalu saja hingga kamu mandi.”

( Surat an-Nisa` (4) :43 )

Imam Syafi`i berkata: Sebagian ulama mengatakan tentang firman Allah

swt. :

ول جنبا إل عابري سبيل حت تغتسل

“(jangan pula hampiri masjid) sedang kamu dalam keadaan junub,

terkecuali sekedar berlalu saja hingga kamu mandi.” bahwa maknanya adalah,

“Janganlah kamu hampiri tempat shalat”. Karena tidak ada dalam shalat melewati

jalan, yang ada hanyalah melewati tempat shalat, yaitu masjid. Maka, tidak

mengapa seorang yang berjunub melewati mesjid dengan tidak berhenti padanya.

Imam Syafi`i berkata: Hadits diriwayatkan dari Utsman bin Abi Sulaiman

bahwa kaum musyrik Quraisy ketika datang ke Madinah pada saat penebusan

orang-orang musyrik yang tertawan dalam peperangan, mereka itu bermalam di

dalam masjid.

Imam Syafi`i berkata: Tidak mengapa orang musyrik bermalam di seluruh

masjid kecuali masjidil haram, karena Allah swt. berfirman:

85

Page 86: Al Umm [1] 1 Taharah Juz 1 Bag i

يا أيها الذين أمنوا إنا الشركون نس فل يقربوا السجد الرام بعد عامهم هذا

“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya orang-orang musyrik itu

najis, maka janganlah mereka mendekati Masjidil Haram sesudah tahun

ini.” ( Surat at-Taubah (9): 28 )

Apa yang Boleh Digunakan Menyambung (Bagian Tubuh) Pria dan

Wanita.

Imam Syafi`i berkata: Apabila tulang seorang wanita patah dan hancur,

maka dia tidak boleh menempelnya dengan tulang lain selain tulang binatang yang

disembelih dan dimakan dagingnya. Demikian juga apabila giginya tanggal, maka

gigi itu menjadi bangkai dan tidak boleh disambungkan kembali kecuali dengan

gigi binatang sembelihan yang dagingnya dimakan.

Apabila tulang seseorang ditempelkan dengan tulang bangkai, tulang

binatang sembelihan yang tidak dimakan dagingnya, atau tulang manusia, maka

itu dianggap seperti bangkai sehingga ia harus mencabutnya dan mengulang setiap

shalat yang telah dikerjakan. Jika dia tidak mencabutnya, maka penguasa

(pemerintah) boleh memaksanya untuk mencabut. Jika tidak tercabut juga sampai

dia mati, maka tidak perlu dicabut lagi setelah kematiannya, karena dia telah

menjadi mayat seluruhnya dan Allah-lah yang akan meng-hisab-nya.

Pria dan wanita dianggap tidak mengerjakan shalat apabila keduanya

menyambung rambutnya dengan rambut manusia, dengan bulu binatang yang

tidak dimakan dagingnya, atau bulu binatang yang dimakan dagingnya, kecuali

apabila binatang itu masih hidup, maka hal itu maknanya seperti binatang yang

disembelih, sebagaimana air susu semakna dengan yang disembelih.

Imam Syafi`i berkata: Hadits diriwayatkan dari Fatimah binti Mundzir,

dari Asma` binti Abu Bakar, bahwa dia berkata: Seorang wanita datang kepada

Rasulullah saw., lalu mengatakan: “Wahai Rasulullah, anak perempuanku terkena

penyakit campak sehingga rambutnya rusak, maka apakah aku boleh

menyambung rambutnya itu ?” Rasulullah saw. menjawab :

ل7ع�ن�ت� الو�اص�ل�ة7 و�الم�و�ص�ل�ة7

86

Page 87: Al Umm [1] 1 Taharah Juz 1 Bag i

“Dikutuk yang menyambung dan yang disambung.” 59

Imam Syafi`i berkata: Apabila srigala dan dhaba` (sejenis biawak)

disembelih, maka boleh shalat di atas kulit kedua binatang itu karena daging

keduanya boleh dimakan.

Demikian juga apabila diambil bulunya, sedangkan dia masih hidup, maka

boleh shalat di atasnya. Semua binatang yang dimakan dagingnya apabila

disembelih, maka boleh shalat di atas kulitnya. Boleh juga shalat pada rambut dan

bulunya, apabila diambil saat binatang tersebut masih hidup.

Adapun binatang yang tidak boleh dimakan dagingnya, apabila kulitnya

diambil dalam keadaan hidup atau setelah disembelih, maka tetap tidak boleh

shalat di atasnya. Apabila seseorang shalat di atasnya, maka dia harus mengulangi

shalatnya, alasannya karena binatang jenis ini tidak dianggap suci saat hidup.

BAB: KESUCIAN PAKAIAN.

Imam Syafi`i berkata: Allah swt berfirman:

وثيابك فطهر

“Dan pakaianmu bersihkanlah.” ( Surat al-Mudatstsir (74): 4 )

Ada yang berpendapat bahwa maksudnya adalah “shalatlah dengan

menggunakan pakaian yang suci (bersih)”, karena Rasulullah saw. memerintahkan

agar membasuh darah haidl yang mengenai kain. Setiap kain yang tidak diketahui

siapa penenunnya, maka kain itu dianggap suci kecuali apabila telah diketahui

bahwa ada najis padanya. Demikian juga kain anak-anak kecil, karena Rasullah

saw. mengerjakan shalat dan menggendong Umamah binti Abi Al `Ash, 60 dimana

dia adalah bayi wanita yang mengenakan pakaian anak kecil.

Apabila seseorang mengerjakan shalat dengan memakai pakaian orang

musyrik atau orang muslim, kemudian dia tahu bahwa kain itu bernajis, maka dia

harus mengulangi shalat yang telah dikerjakannya.

Setiap yang mengenai pakaian; seperti air besar (berak) yang basah,

59 . H.R. Bukhari, dalam kitab yang menjelaskan tentang pakaian, bab “Menyambung Rambut” jilid 3, juz 7, hlm. 212. H.R. Muslim, dalam kitab yang menjelaskan tentang pakaian dan perhiasan, bab “Haram Menyambung Rambut,” hadits no. 115.60 . Tartib Imam Syafi`i, dalam kitab yang menjelaskan tentang tata cara bersuci, bab ke-8 “Segala sesuatu yang dilarang melakukannya dalam shalat dan yang diperbolehkannya di dalamnya,” hadits no. 347, jilid 1, hlm. 117.

87

Page 88: Al Umm [1] 1 Taharah Juz 1 Bag i

kencing, darah, khamer atau barang yang diharamkan apapun bentuknya, lalu

pemilinya meyakini bahwa kain itu mengandung najis baik terlihat secara kasat

mata atau tidak, maka dia harus membasuhnya.

Apabila dia kesulitan mengetahui tempat yang pasti dari najis itu, maka dia

harus mencuci seluruhnya.

BAB : AIR SPERMA

Imam Syafi`i berkata: Allah swt. memulai penciptaan Adam dari air dan

tanah, Dia menjadikan keduanya digunakan untuk bersuci. Lalu Dia memulai

penciptaan keturunan Adam dari air yang memancar (mani) maka Allah swt. pada

awalnya menciptakan Adam dari dua unsur yang digunakan untuk bersuci.

Imam Syafi`i berkata: Dari Aisyah ra. bahwa dia berkata :

ك7ن�ت� أ�فر�ك� الم�ن�ي� ف�ي� ث�و�ب� ر�س�و�ل� ال� ص�ل'ى ال3 ع�ل�ي�ه� و�س�ل'م�

“Aku pernah menggosok (mengerok) mani yang menempel di kain yang

dipakai oleh Rasulullah saw.” 61

Imam Syafi`i berkata: Air sperma itu tidak najis. Apabila ada yang

bertanya: “mengapa digosok atau disapu?” Maka, katakan padanya bahwa hal itu

seperti menggosok dahak atau air ludah. Apabila seseorang shalat dengan kain

yang demikian sebelum digosok atau disapu, maka hal itu tidak mengapa karena

itu tidak membuat sesuatu menjadi najis.

Imam Syafi`i berkata: Setiap yang keluar dari kelamin laki-laki (dzakar);

baik air kencing, madzi dan wadi yang dikenal maupun tidak, maka semua itu

adalah najis kecuali air sperma.

Air sperma adalah cairan hangat yang membuahkan janin, yang memiliki

aroma seperti aroma serbuk kurma, tidak ada suatu cairan yang keluar dari

kelamin laki-laki (dzakar) yang memiliki aroma yang baik kecuali mani.

Imam Syafi`i berkata: Apabila ada yang berkata: “Apakah logikanya

sehingga air mani itu dikatakan tidak najis ?” Maka jawabannya : Sesungguhnya

Allah swt. memulai penciptaan Adam dari air dan tanah, dan keduanya Dia

jadikan untuk digunakan bersuci. Tanah digunakan untuk bersuci saat kesulitan

61 . H.R. Muslim, dalam kitab yang menjelaskan tata cara bersuci, bab “Hukum Air Sperma,” hadits ke-108, jilid 1, hlm. 584.

88

Page 89: Al Umm [1] 1 Taharah Juz 1 Bag i

mendapatkan air. Inilah kondisi kebanyakan ciptaan-Nya, yaitu dalam keadaan

suci dan tidak najis. Allah swt. telah menjadikan anak keturunan Adam dari air

yang terpancar.

Imam Syafi`i berkata: Apabila seseorang yakin bahwa najis telah

mengenai kainnya yang dia pakai untuk shalat, namun dia tidak mengetahui kapan

kain itu terkena najis, maka kewajiban atasnya adalah; apabila terdapat sedikit

keyakinan kapan najis itu mengenai kainnya, maka dia boleh shalat atas dasar

keyakinan itu.62 Namun apabila dia tidak yakin sedikitpun, maka dia harus

meneliti dengan cermat sehingga dia merasa telah mengulangi kembali semua

shalat yang dikerjakan dengan kain yang terkena najis, dan dia pun tidak perlu

mengulangi shalat kecuali apa yang diyakininya. Fatwa dan pilihan yang mesti

dilakukannya adalah seperti yang telah kami deskripsikan.

Kain dan tubuh sama-sama tercemar oleh najis yang menyentuh keduanya.

Demikian halnya sepatu dan sandal, termasuk pakaian. Apabila seseorang

melaksanakan shalat dengan menggunakan keduanya, sedangkan keduanya telah

terkena najis basah dan dia tidak membasuhnya, maka dia harus mengulangi

shalatnya. Namun apabila terkena najis kering lalu dia mengikisnya atau

menggosoknya sehingga sepatu dan sandal itu menjadi bersih, maka dia boleh

melaksanakan shalat dengan menggunakannya.

Apabila seseorang berada dalam perjalanan dimana dia hanya memperoleh

air dengan jumlah yang sedikit, lalu kainnya terkena najis, maka dia harus

membasuh najis itu lalu bertayamum. Apabila dia tidak mendapatkan air untuk

mendapatkan air untuk membasuh najis itu, maka dia boleh langsung bertayamum

lalu mengerjakan shalat. Dia harus mengulangi shalat itu (apabila tidak

membasuh najis), alasannya karena najis tidak dapat disucikan kecuali dengan

menggunakan air.

Apabila ada yang mengatakan: “mengapa tanah dapat menyucikan

janabah serta hadats, namun tidak dapat menyucikan najis yang menyentuh salah

satu anggota wudlu atau bukan anggota wudlu ?”

Kami menjawab: Mandi dan wudlu karena hadats atau junub bukan

62 . Maksudnya adalah jika terdapat sedikit keyakinan bahwa dia telah melakukan satu kali shalat sejak najis itu mengenai kainnya, maka dia harus mengulangi shalatnya itu.

89

Page 90: Al Umm [1] 1 Taharah Juz 1 Bag i

menunjukkan seorang muslim itu adalah najis, akan tetapi yang diinginkan

darinya adalah agar seorang muslim beribadah dengan mandi dan wudlu itu. Lalu

tanah dijadikan sebagai pengganti air dalam bersuci yang bersifat ibadah

mahdhah (ibadah yang manafaatnya hanya kepada Allah swt.) Akan tetapi tanah

tidak dijadikan sebagai pengganti air dalam bersuci yang dilakukan karena makna

tertentu, dan bukan sebagai makna ibadah. Bahkan bersuci karena terkena najis

tujuannya adalah untuk menghilangkan najis tersebut dengan air, bukan berarti hal

itu adalah ibadah mahdhah.

Apabila pakaian seseorang terkena najis dan dia tidak memperoleh air

untuk membasuhnya, maka dia boleh mengerjakan shalat dengan tidak berpakaian

tanpa harus mengulangi shalatnya. Tidak boleh bagi seseorang untuk

melaksanakan shalat dengan menggunakan kain yang terdapat najis dalam kondisi

bagaimanapun, namun boleh baginya melaksanakan shalat dengan tidak

berpakaian (telanjang) jika kesulitan mencari pakaian yang suci.

Apabila orang itu memiliki air namun air itu telah terkena najis, maka dia

tidak boleh berwudlu dengan air tersebut, karena berwudlu dengan air itu akan

semakin menambah kenajisannya.

Apabila seseorang memiliki dua air, yang satu najis dan yang satunya suci,

namun dia tidak dapat membedakan mana air yang suci dan mana air yang terkena

najis, maka dia harus memilih dengan cermat lalu berwudlu dari salah satunya

serta mencegah diri dari berwudlu dan meminum dari yang satunya; kecuali

apabila dia terpaksa meminumnya, maka boleh baginya meminumnya. Namun

apabila dia terpaksa harus berwudlu, maka dia tidak boleh berwudlu dengan

menggunakan air itu, karena tidak ada dosa baginya meninggalkan wudlu

disebabkan dia boleh mengganti wudlu dengan tayamum. Namun kekhawatiran

(rasa haus) akan membawa kepada kematian merupakan kondisi darurat yang

membolehkannya meminum air yang terkena najis, jika dia tidak mendapatkan air

yang lainnya.

Apabila seseorang dalam perjalanan atau bermukim lalu berwudlu dengan

air yang najis, atau dia dalam keadaan berwudlu namun menyentuh air yang

terkena najis, maka dia tidak boleh mengerjakan shalat. Apabila dia shalat dalam

90

Page 91: Al Umm [1] 1 Taharah Juz 1 Bag i

keadaan seperti itu, maka dia harus mengulangi shalatnya, namun terlebih dahulu

membasuh apa yang telah disentuh oleh najis itu.

KITAB YANG MENJELASKAN TENTANG HAIDL

Imam Syafi`i berkata: Allah swt. berfirman:

ويسئلونك عن اليض قل هو أذى فاعتزلوا النساء ف اليض

“Mereka bertanya kepadamu tentang haid, katakanlah, ‘Haid itu adalah

kotoran, oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di

waktu haid.” ( Surat al-Baqarah (2): 222 )

Imam Syafi`i berkata: Allah swt. menjelaskan bahwa ketika seorang

wanita mengalami haidl, maka dia tidak suci. Dia memerintahkan agar jangan

mendekati wanita haidl sampai dia kembali suci (berhenti haidl), dan dia tidak

dianggap suci kecuali setelah mensucikan dirinya dengan menggunakan air.

Sesudah itu, dia baru termasuk golongan mereka yang boleh mengerjakan shalat.

Tidak halal bagi seseorang untuk menyetubuhi isterinya yang sedang haidl

sehingga dia kembali suci, karena sesungguhnya Allah swt. telah menjadikan

tayamum sebagai cara untuk bersuci ketika seseorang tidak mendapatkan air atau

dalam keadaan sakit.

Wanita haid diperbolehkan melaksanakan shalat apabila telah mandi

(setelah menemukan air) atau bertayamum (jika dia kesulitan menemukan air).

Imam Syafi`i berkata: Sunah Rasulullah saw. telah mengisyaratkan bahwa

wanita yang mengeluarkan darah istihadlah tetap melaksanakan shalat. Hal ini

menunjukkan bolehnya bagi suami melakukan hubungan biologis dengan

isterinya yang sedang mengeluarkan darah istihadlah. Karena, Allah swt hanya

memerintahkan agar menghindari hubungan biologis dengan mereka saat tidak

dalam keadaan suci, dan membolehkan hal itu apabila mereka telah suci.

Hal-hal yang Diharamkan Untuk Dilakukan Terhadap Wanita Haidl.

Imam Syafi`i berkata: Sebagian orang cerdik pandai menafsiri firman

Allah swt di dalam kitab suci al-Qur`an:

فإذا تطهرن فأتوهن من حيث أمركم ال

91

Page 92: Al Umm [1] 1 Taharah Juz 1 Bag i

“Apabila mereka telah suci, maka datangilah mereka dari arah yang

diperintahkan Allah kepadamu.” ( Surat al-Baqarah (2): 222 )

Kalimat “jauhi mereka” berarti jauhilah tempat (keluarnya) haidl pada diri

mereka.

Imam Syafi`i berkata: Sunah Rasulullah saw. telah mengisyaratkan agar

menjauhi bagian badan wanita yang berada di bawah kain atau kemaluan dan

membolehkan selain yang itu.

Meninggalkan Shalat Bagi Wanita Haidl.

Imam Syafi`i berkata: Allah swt. berfirman:

ويسئلونك عن اليض قل هو أذى فاعتزلوا النساء ف اليض

“Mereka bertanya kepadamu tentang haidl. Katakanlah: “Haidl itu

adalah kotoran, oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari

wanita di waktu haidl.” ( Surat al-Baqarah (2): 222 )

Imam Syafi`i berkata: Allah swt. menetapkan hukum bagi seseorang yang

sedang junub agar tidak melaksanakan shalat sampai dia mandi. Jelaslah bahwa

tidak ada masa suci bagi orang junub kecuali setelah ia mandi, dan tidak ada masa

bagi wanita haid kecuali haidnya telah berhenti kemudian di susul dengan mandi,

berdasarkan firman Allah swt. “Sampai mereka suci”. Hal itu ditandai dengan

berhentinya haid. Sedangkan firman-Nya, “Apabila mereka telah suci”, yaitu

dengan mandi, sunah pun telah menjelaskan bahwa masa haidl diakhiri dengan

mandi.

Imam Syafi`i berkata: Hadits diriwayatkan dari Aisyah ra. bahwa dia

berkata :

ف�ق�د�م�ت� م�ك'ة� و�أ�ن�ا ح�ائ�ض� و�ل�م� أ�ط7ف� ب�الب�ي�ت� و�ل� ب�ي�ن� الص�ف�ا و�الم�ر�و�ة� ف�ش�ك�و�ت� ذ�ل�ك� إ�ل�ى الن�ب�يX ص�ل'ىال3 ع�ل�ي�ه� و�س�ل'م� ف�ق�ال� افع�ل�ي� ك�م�ا ي�فع�ل7 الح�اجG غ�ي�ر� أ�ن ل�ت�ط7و�ف�ي� ب�الب�ي�ت� ح�ت�ى ت�طه�ر�ي

“Aku datang ke Makkah sedangkan aku sedang haidl, aku tidak thawaf di

Baitullah dan tidak pula bersa`i di antara Shafa dan Marwah. Lalu aku

menemui Rasulullah saw. untuk mengadukan permasalahanku, maka

Rasulullah saw. bersabda: “Lakukanlah semua apa yang dilakukan oleh

seorang yang berhaji, melainkan thawaf di Baitullah sampai engkau

92

Page 93: Al Umm [1] 1 Taharah Juz 1 Bag i

suci.” 63

Imam Syafi`i berkata: Hadits diriwayatkan dari Aisyah ra. bahwa dia

berkata: “Kami pernah keluar bersama Rasulullah saw. dalam menjalankan ibadah

haji, kami tidak melihatnya kecuali haji. Maka tatkala kami tiba di Saraf atau

sekitarnya, aku kedatangan haidl. Lalu Rasulullah saw. masuk ke tempatku, dan

ketika itu aku sedang menangis, Rasulullah saw. bersabda :

م� ف�اقض�ي ن�ات� أ�د� ل�ى ب� ع�ال�ى ع� ه� ال3 ت� م�ر� ك�ت�ب� ق�ال� : إ�ن ه�ذ�ا أ� م� . ب�ال7ك� أ�ن�ف�س�ت� ؟ ق7لت� : ن�ع� م�ا ل� ت�ط7و�ف�ي� ب�الب�ي�ت� ح�ت�ى ت�طه�ر�ي الم�ن�اس�ك� ك7ل'ه�ا غ�ي�ر� أ�ن

“Bagaimana kabarmu? Apakah engkau sedang nifas ? (maksudnya

sedang haidl). Kami menjawab: “Ya” Beliau lalu bersabda:

“Sesungguhnya ini adalah ketetapan Allah swt. atas keturunan Adam,

maka lakukanlah apa yang dilakukan oleh seorang yang berhaji, hanya

saja tidak thawaf di Baitullah sampai engkau suci dari haidlmu.” 64

Waktu Haidl Tidak Mengqadla Shalat.

Imam Syafi`i berkata: Allah swt. berfirman:

حافظوا على الصلوات والصلوة الوسطى وقوموا ل قانتي

“Peliharalah segala shalat(mu) dan peliharalah shalat wustha. Berdirilah

karena Allah (dalam shalatmu) dengan khusu`.”

( Surat al-Baqarah (2): 238 )

Imam Syafi`i berkata: Barang siapa telah mencapai umur (akil baligh),

maka dia akan berdosa apabila meninggalkan shalat, sebab telah tiba waktu shalat

dan dia tidak lupa. Adapun wanita haidl walaupun dia telah mencapai akil baligh,

sadar, mampu dan tidak lupa, hukum Allah swt. menetapkan bahwa dia tidak

boleh di dekati oleh suaminya. Hukum Rasulullah saw. pun menunjukkan bahwa

jika suami diharamkan untuk mendekatinya karena haidl, maka haram atasnya

mengerjakan shalat. Hal ini menunjukkan bahwa kewajiban shalat tidak berlaku

atas wanita yang sedang haidl. Kemudia apabila hukum shalat tidak berlaku

atasnya sementara dia telah akil baligh, sadar dan mampu, maka tidak berlaku

63 . H.R. Bukhari, dalam kitab yang menjelaskan tentang haji, juz 2, jilid 1, hln. 195.64 . H.R. Ibnu Majah, dalam kitab yang menjelaskan tentang manasik, bab “Bolehnya orang haidl melakukan Manasik Haji melainkan Thawaf,” hadits no. 2398, jilid 2, hlm. 163.

93

Page 94: Al Umm [1] 1 Taharah Juz 1 Bag i

pula baginya qadla (mengganti) shalat. Bagaimana dia mengganti sesuatu yang

tidak wajib baginya karena kewajiban shalat (saat haidl) telah dihilangkan

darinya. ?

Wanita Mustahadlah.

Imam Syafi`i berkata: Hadits diriwayatkan dari Aisyah ra. bahwa dia

berkata bahwa Fatimah binti Abi Hubaisy bertanya kepada Rasulullah saw.,

“Sesungguhnya kami tidak suci, maka apakah boleh meninggalkan shalat ?”

Rasulullah saw. menjawab :

إ�ن�م�ا ذ�ل�ك� ع�ر�ق� و�ل�ي�س� ب�الح�ي�ض�ة� ف�إ�ذ�ا أ�قب�ل�ت� الح�ي�ض�ة7 ف�د�ع�ي الص�ل�ة� ف�إ�ذ�ا ذ�ه�ب� ق�د�ر�ه�ا ف�اغس�ل�ي الد�مع�ن�ك� و�ص�ل\ي

“Itu hanya penyakit dan bukan haidl. Apabila engkau kedatangan haidl,

maka tinggalkanlah shalat. Apabila telah berlalu waktunya, bersihkanlah

darah itu darimu lalu shalatlah.” 65

Imam Syafi`i berkata: Hadits diriwayatkan dari Imran bin Thalhah, dari

ibunya -Hamnah binti Jahsy- bahwa dia berkata: “Kami pernah mengalami

istihadlah dengan mengeluarkan darah yang banyak dan deras. Kami pun

mendatangi Rasulullah saw. untuk meminta fatwa darinya. Kami mendapati

Rasulullah saw. di rumah saudara perempuanku, Zainab. Kami berkata

kepadanya: “Wahai Rasulullah, kami memiliki keperluan yang mendesak namun

kami malu untuk mengungkapkannya.”

Kemudian Rasulullah saw . bersabda : “Apakah urusanmu itu, wahai

Hinthah ?” Dia (Hamnah) berkata: “Kami mengalami istihadlah dengan

mengeluarkan darah yang banyak dan deras, bagaimanakah pendapatmu tentang

hal itu? Beliau telah menghalangiku untuk mengerjakan shalat dan puasa.”

Rasulullah saw. menjawab: “Sesungguhnya aku menjelaskan kepadamu tentang

kapas bahwa dia dapat menyerap darah.” Hamnah berkata: “Darah yang

dikeluarkan kadarnya lebih banyak dari kapas itu.” Rasulullah saw. bersabda:

”Sumbatkanlah dengan kapas itu.” Hamnah kembali bersabda: “Darah yang

dikeluarkan lebih banyak dari kapas itu.” Rasulullah saw.: “Ambillah sehelai 65 . H.R. Bukhari, dalam kitab yang menjelaskan tentang Haidl, bab “Istihadlah”, hlm. 84, bagian 1, jilid 1, dan H.R. Muslim, dalam kitab yang menjelaskan tentang Haidl, hadits no. 64, jilid 64.

94

Page 95: Al Umm [1] 1 Taharah Juz 1 Bag i

kain.” Hamnah berkata lagi: “Darahnya lebih banyak dari kain itu, ia adalah

darah yang terpancar.”

Rasulullah saw. bersabda: “Aku akan memerintahkan kepadamu dua

perkara, mana saja yang engkau kerjakan, maka sudah cukup bagimu. Namun

apabila engkau dapat melakukan keduanya, maka engkau yang lebih mengetahui.”

Rasulullah saw. bersabda lagi: “Itu hanyalah bisikan syetan. Engkau haidl selama

enam atau tujuh hari atas sepengetahuan Allah swt., kemudian mandilah. Apabila

engkau merasa telah suci dan bersih. Shalatlah dua puluh empat hari dengan

malamnya, atau dua puluh tiga hari dengan malamnya, dan puasalah. Karena itu

sudah cukup bagimu. Lakukanlah hal itu setiap bulan, sebagaimana halnya wanita

haid.”

Dalam kitab yang lain ditambahkan: “Apabila engkau mampu

mengakhirkan waktu dluhur dan menyegerakan waktu ashar, maka mandilah

sehingga kamu suci. Kemudian engkau mengerjakan shalat dluhur dan Ashar

secara bersamaan, lalu engkau mengakhirkan shalat Maghrib dan menyegerakan

Isya. Kemudian engkau mandi lalu menggabung shalat maghrib dan Isya`, maka

lakukanlah dan mandilah ketika fajar. Kemudian engkau mengerjakan shalat

Subuh. Demikianlah yang engkau lakukan, dan berpuasalah jika engkau mampu.”

Disebutkan, “Ini yang paling kami sukai dari dua perkara itu.” 66

Imam Syafi`i berkata: Hadits diriwayatkan dari Ummu Salamah, isteri

Rasulullah saw. :

أ�ن' ام�ر�أ�ة: ك�ان�ت� ت�ه�ر�ق� الدXم�اء� ع�ل�ى ع�ه�د� ر�س�و�ل� ال� ص�ل'ى ال3 ع�ل�ي�ه� و�س�ل'م� ف�اس�ت�فت�ت� ل�ه�ا أ7مG س�ل�م�ة ال3 ع�ل�ي�ه� و�س�ل'م� ف�ق�ال� ر�س�و�ل7 ال� ص�ل'ى ال3 ع�ل�ي�ه� و�س�ل'م� ل�ت�ن�ظ7ر� ع�د�د� الل'ي�ال�ي و�ال�ي�ام ر�س�و�ل� ال� ص�ل'ى

ذ�ل�ك� م�ن� الش�ه�ر ال'ت�ي� ك�ان�ت� ت�ح�ي�ض�ه�ن� م�ن� الش�ه�ر� ق�ب�ل� أ�ن ي�ص�ي�ب�ه�ا ال'ذ�ي� أ�ص�اب�ه�ا ف�لت�ت�ر�ك� الص�ل�ة� ق�د�رف�إ�ذ�ا ف�ع�لت� ذ�ل�ك� ف�لت�غ�ت�س�ل ث7م� ل�ت�ص�ل\ي

“Sesungguhnya ada seorang wanita pada masa Rasulullah saw. yang

banyak mengeluarkan darah, lalu Ummu Salamah meminta fatwa kepada

Rasulullah saw. bagi wanita itu. Maka Rasulullah saw. memerintahkan

agar memperhatikan bilangan malam dan hari dimana dia terkena haidl

pada bulan itu, sebelum dia mendapat musibah yang telah menimpa

66 . H.R. Tirmidzi, bab “Ghusli”, hadits no. 128, , jilid 1, hal 2211.

95

Page 96: Al Umm [1] 1 Taharah Juz 1 Bag i

dirinya. Maka, hendaklah dia meninggalkan shalat pada masa itu.

Apabila dia telah berbuat demikian, maka hendaklah dia mandi dan

mengikat tempat keluarnya darah, kemudian dia mengerjakan shalat.” 67

Imam Syafi`i berkata: Apabila darah itu dapat dipisahkan, maka pada

beberapa hari darah akan berwarna merah pekat, tebal, hangat dan agak beku; dan

pada beberapa hari yang lain tampak tipis, kekuning-kuningan atau kadarnya

sedikit. Pada hari-hari dimana darah itu merah, pekat, deras, hangat dan agak

beku, maka itu adalah hari-hari haidl. Sedangkan pada hari-hari dimana darah

nampak tipis, maka itu adalah hari-hari istihadlah.

Imam Syafi`i berkata: Dalam hadits Aisyah tidak disebutkan mandi ketika

haidl berhenti, akan tetapi disebutkan membasuh atau mencuci darah. Maka kami

memahami adanya mandi pada firman Allah swt.:

ويسئلونك عن اليض قل هو أذى

“Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah, haid itu adalah

kotoran.” ( Surat al-Baqarah (2): 222 )

Imam Syafi`i berkata: Jawaban Rasulullah saw. kepada Ummu Salamah

tentang wanita yang istihadlah itu menunjukkan bahwa wanita yang ditanyakan

Ummu Salamah itu tidak terpisah darahnya, maka Rasulullah saw.

memerintahkan agar dia meninggalkan shalat menurut bilangan malam dan hari

pada bulan dimana dia terkena haidl.

Imam Syafi`i berkata: Ini menunjukkan bahwa tidak ada masa tertentu

bagi haidl apabila seorang wanita melihat haidl (benar-benar darah haidl) dan

mengetahui waktu suci dengan benar. Apabila wanita itu haidl satu hari atau lebih,

maka itu adalah haidl. Demikian juga apabila melampaui sepuluh hari, maka itu

adalah darah haidl, karena Rasulullah saw. memerintahkan meninggalkan shalat

menurut bilangan malam dan siang hari dimana dia haidl. Rasulullah saw. tidak

bersabda: “Kecuali ada sekian dan sekian”. Artinya, kecuali setelah melampaui

batas masa sekian hari.

Imam Syafi`i berkata: Apabila seorang wanita mulai haidl dan dia belum

67 . H.R. Abu Daud, dalam kitab yang menjelaskan tentang tata cara bersuci, bab “Wanita Haidl,” hadits no. 271.

96

Page 97: Al Umm [1] 1 Taharah Juz 1 Bag i

pernah mengalami haidl sebelumnya, sementara itu darah terus keluar; jika

penggolongan darah dapat dipisahkan, niscaya hari haidlnya adalah hari-hari yang

darahnya hangat, merah pekat dan agak beku. Sementara masa istihadlah adalah

hari-hari dengan darah yang tipis.

Seandainya darahnya tidak dapat dipisahkan, maka dalam hal ini ada dua

pendapat:

Pertama, dia meninggalkan shalat selama enam atau tujuh hari kemudian

mandi dan mengerjakan shalat, sebagaimana yang biasa terjadi pada wanita haidl.

Kedua, dia meninggalkan shalat lebih sedikit dari yang diketahui dari haidl

mereka, yaitu selama sehari semalam, kemudian dia mandi dan mengerjakan

shalat. Pada saat itu suaminya boleh mendatanginya. Akan tetapi apabila

suaminya lebih berhati-hati dimana tidak berhubungan badan dengan isterinya

sampai pertengahan haidl pada umumnya atau lebih lama, maka yang demikian

itu lebih kami sukai.

Yang berpendapat seperti ini niscaya akan mengatakan bahwa Hamnah

sekalipun tidak tertulis dalam haditsnya yang menegaskan bahwa haidlnya enam

atau tujuh hari namun kemungkinan haditsnya mengandung makna yang terdapat

pada hadits Ummu Salamah, dimana pada hadits ini terdapat keterangan yang

menunjukkan haidlnya selama enam atau tujuh hari, karena pada hadits Ummu

Salamah itu Rasul saw. bersabda :

ت�ت�ح�ي�ض� س�ت�ا أ�و� س�ب�ع/ا ث7م� اغت�س�ل�ي� ف�إ�ذ�ا ر�أ�ي�ت� أ�ن�ك� ق�د� ط�ه�ر�ت� ف�ص�ل\ي�

“Engkau haidl selama enam atau tujuh hari kemudian mandilah. Apabila

engkau merasa telah suci, maka laksanakan shalat.”

Bab : Perbedaan Pendapat Tentang Wanita Mustahadlah.

Imam Syafi`i berkata: Ada yang mengatakan kepada kami: “Wanita

mustahadlah itu boleh mengerjakan shalat namun tidak boleh di datangi oleh

suaminya”. Orang itu mengaku bahwa madzhab yang berpendapat seperti dia

berargumen dengan firman Allah swt.

ويسئلونك عن اليض قل هو أذى

“Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah, haid itu adalah

97

Page 98: Al Umm [1] 1 Taharah Juz 1 Bag i

kotoran.” ( Surat al-Baqarah (2): 222 )

Dia mengatakan: “Saat wanita dalam waktu-waktu kotor (adza), maka

Allah swt. memerintahkan menjauhinya. Tidak halal bagi suaminya untuk

berhubungan badan dengannya.”

Imam Syafi`i berkata: Maka dikatakan bahwa hukum Allah swt. mengenai

haidl adalah menjauhi wanita tersebut, dan Sunah Rasulullah saw. menunjukkan

bahwa hukum Allah swt. mengenai wanita haidl adalah tidak mengerjakan shalat.

Maka, hukum Allah swt. dan hukum Rasul-Nya menunjukkan bahwa batas waktu

supaya suami menjauhi isterinya karena haidl ialah waktu dimana wanita tersebut

diperintahkan untuk shalat setelah haidlnya berakhir.

Orang itu menjawab: “Ya”

Maka dikatakan padanya: “Bahwa wanita haidl itu tidak suci walaupun

dia mandi, tidak halal baginya mengerjakan shalat dan menyentuh mushaf al-

Qur`an.”

Orang itu menjawab: “Ya”

Lalu dikatakan kepadamya: “Hukum Rasulullah saw. menunjukkan bahwa

hukum hari-hari istihadlah adalah suci, sementara Allah swt. membolehkan bagi

suaminya mendatangi isterinya apabila telah bersuci dari haidl. Kami tidak

mengetahui kecuali kamu telah menyalahi kitab Allah swt., sebab kamu telah

mengharamkan apa yang di halalkan Allah swt. untuk dilakukan terhadap wanita

yang telah bersuci, dan anda juga menyalahi Sunah Rasulullah yang menetapkan

bahwa mandinya wanita setelah masa haidl berakhir dapat menghalalkan untuk

shalat pada hari-hari istihadlah. Rasulullah-pun membedakan antara dua darah itu

dengan hukumnya dan sabdanya tentang istihadlah, bahwa itu adalah penyakit

dan bukan haidl.”

Dapat kami katakan di sini, jelaslah bahwa Rasulullah saw. telah

membedakan hukumnya; dijadikannya wanita dalam kategori haidl pada salah

satu dari dua kotoran dan diharamkan baginya shalat, lalu dijadikannya wanita

dalam kategori suci pada salah satu dari dua kotoran itu dan diharamkan baginya

meninggalkan shalat. Maka, bagaimana anda mengumpulkan apa yang dipisahkan

Rasulullah saw.

98

Page 99: Al Umm [1] 1 Taharah Juz 1 Bag i

Imam Syafi`i berkata: Ditanyakan kepada orang yang berkata demikian:

“Apakah engkau menganggap haram jika pada diri wanita itu ada perubahan;

seperti keluar cairan atau perubahan bau yang tidak sedap selain darah?”

Orang itu menjawab: “Tidak, itu bukanlah kotoran haidl.”

Kami mengatakan: “kotoran istihadlah bukanlah kotoran haidl.”

Bantahan Terhadap Orang yang Mengatakan Bahwa Tidak Dikatakan

Haidl Jika Kurang dari Tiga Hari.

Imam Syafi`i berkata: Sebagian orang berselisih pendapat dengan kami

tentang haidl dan istihadlah. Ada yang mengatakan: “Tidak ada haidl yang

kurang dari tiga hari. Wanita yang melihat darahnya sehari, dua hari, atau

sebagian hari yang ketiga, maka hal ini tidaklah dikategorikan sebagai darah haidl.

Wanita itu dalam keadaan suci, dia boleh mengganti (qadla) shalat. Bukanlah

haidl apabila lebih dari sepuluh hari, sedangkan yang melampaui sepuluh hari

dengan tambahan sehari atau kurang dari sehari bahkan lebih, maka itu adalah

istihadlah. Tidaklah tenggang waktu antara dua masa haid itu kurang dari lima

belas hari.”

Imam Syafi`i berkata: Maka dikatakan kepada orang yang mengatakan

seperti itu: “Bagaimana menurut pendapatmu jika mengatakan: “Tidak ada

sesuatu, padahal diketahui bahwa sesuatu itu ada. Apakah kamu tidak merasa

bahwa kamu telah membuat kesalahan yang disengaja? Dengan demikian, kamu

wajib memikul dosa perkataan dan kebodohan yang kamu lakukan, karena kamu

telah mengatakan sesuatu tanpa di dasari ilmu pengetahuan.”

Orag itu menjawab: “Tidak boleh selain apa yang kami katakan, baik ada

argumen maupun tidak.”

Kami menjawab: Kami telah menjumpai seorang wanita yang mengatakan

kepada kami bahwa dia senantiasa terkena haidl satu hari dan tidak lebih dari

masa itu. Sebagian wanita juga mengaku kepada kami bahwa mereka senantiasa

terkena haidl kurang dari tiga hari. Sementara sebagian wanita yang lain mengaku

bahwa mereka senantiasa terkena haidl selama lima belas hari, dan sebagian yang

lain terkena selama tiga belas hari. Dengan demikian, bagaimana kamu telah

mengklaim hal yang seperti itu?

99

Page 100: Al Umm [1] 1 Taharah Juz 1 Bag i

Imam Syafi`i berkata: Orang itu menjawab: “Kami mengatakan sesuatu

yang telah kami riwayatkan dari Anas bin Malik.”

Maka kami balik bertanya kepadanya: “Bukankah yang anda maksud

adalah hadits Al-Jalad bin Ayyub?”

Dia menjawab: “Ada.”

Lalu kami berkata: Telah menceritakan kepada kami Ibnu Aliyah dari al-

Jalad bin Ayyub, dari Muawiyah bin Qurrah, dari Anas bin Malik, bahwasanya

dia berkata: “Haidnya wanita atau darah haidl wanita itu tiga atau empat hari

sampai sepuluh hari.”

Ibnu Aliyah berkata kepada kami bahwa al-Jalad bin ayyub itu seorang

berkebangsaan Arab yang hidup di desa, dia tidak mengetahui seluk beluk hadits.

Dia berkata kepada kami bahwa ada seorang wanita dari keluarga Anas ada yang

mengalami istihadlah, lalu Ibnu Abbas ditanya tentang permasalahan wanita itu.

Kemudian Ibnu Abbas mengeluarkan fatwa tentang wanita itu, sementara pada

masa itu Anas masih hidup. Maka, bagaimanakah anda berkata sementara dia ada

pada saat itu ?

Mereka pun ingin bertanya kepada yang lain tentang apa yang ada padanya

dan juga tentang ilmu pengetahuan yang dimiliki. Sesungguhnya kami dan juga

anda tidak dapat menetapkan adanya hadits yang diriwayatkan dari al-Jalad, dan

berdalil atas kekeliruan seseorang yang hafalannya lebih kuat sedikit daripada al-

Jalad. Anda juga telah meninggalkan riwayat dari Anas bin Malik, yang berbunyi:

“Apabila seorang laki-laki kawin dengan seorang wanita sedangkan dia

mempunyai isteri yang lain, maka bagi perawan yang dikawini itu tujuh hari dan

bagi janda tiga hari.”

Inilah yang sesuai dengan Sunah Rasulullah saw. anda telah meninggalkan

Sunah dan perkataan Anas itu, serta mengklaim bahwa anda menerima perkataan

itu dari Ibnu Abbas yang jelas diketahui telah menyalahi Sunah.

Orang itu menjawab: “Menurut pendapatmu, apakah hadits Anas (yang

diriwayatkan oleh Al Jallad) adalah hadits yang benar?”

Kami menjawab: “Tidak, dan tidak juga menurut ahli hadits, akan tetapi

kami senang apabila kamu mengetahui bahwa kamu menyembunyikan sesuatu

100

Page 101: Al Umm [1] 1 Taharah Juz 1 Bag i

yang tidak memiliki hujjah.”

Orang itu menjawab: “Bagaimana apabila terbukti bahwa hadits itu benar

dari Anas bin Malik ?”

Kami berkata: “Itu tidak terbukti, kamu boleh bertanya mengenai hal ini.”

Orang itu menjawab, “Berikan jawaban dengan berdasar kepada hadits

yang benar.”

Kami menjawab: “Seandainya benar ada, niscaya apa yang kamu katakan

pasti mempunyai ta`wil (interpretasi) yang lain.”

Orang itu bertanya: “Bagaimana ?”

Kami menjawab: “Kalaupun benar ada, maka sesungguhnya Anas hanya

menceritakan bahwa dia melihat ada wanita yang pernah mengalami masa haidl

selama tiga hari, dan juga wanita yang mengalami haidl antara tiga sampai

sepuluh hari. Sesungguhnya maksudnya hanya ingin mengatakan bahwa haidl

wanita itu berlaku sebagaimana kebiasaannya, wanita yang mengalami masa haidl

tiga hari tidak akan pindah kepada sepuluh hari, demikian juga tidaklah berpindah

wanita yang haidl sepuluh hari kepada tiga hari. Sesungguhnya haidl itu adalah

manakala wanita itu telah melihat darah. Anas tidak mengatakan: ‘Tidaklah haidl

itu kurang dari tiga hari dan tidak lebih banyak dari sepuluh hari,” dan dia lebih

tahu dari orang yang mengatakan: “Tidak seorang pun dari makhluk Allah swt.

yang tidak tahu, barang kali hal itu telah ada atau akan ada.”

Imam Syafi`i berkata: Lalu salah seorang dari mereka mengatakan:

“Apabila seorang wanita biasa mengalami haidl selama sepuluh hari lalu

mengalami perubahan, dimana dia melihat darah sehari kemudian tidak keluar

pada hari berikutnya, lalu dia melihat darah itu pada hari ke sepuluh dari

permulaan haidlnya, niscaya wanita itu terkena haidl pada hari pertama dan

delapan hari yang dia tidak melihat darah padanya, serta pada hari ke sepuluh

yang dia melihat darah padanya.”

Imam Syafi`i berkata: Orang itu kemudian menambahkan seraya berkata:

“Apabila masalahnya demikian, namun wanita itu melihat darah sesudah hari ke

sepuluh sebanyak lima atau sepuluh hari, niscaya pada hari yang pertama dan

delapan hari sesudahnya adalah haidl.” Kami tidak tahu persis apakah orang itu

101

Page 102: Al Umm [1] 1 Taharah Juz 1 Bag i

mengatakan bahwa hari ke sepuluh dan hari-hari sesudahnya tergolong istihadlah

yang nota bene adalah suci, atau dia mengatakan, bahwa sesudah hari ke sepuluh

itu dia tergolong istihadlah yang nota bene adalah suci.

Dengan perkataan seperti ini, temannya mencela. Kami mendengar dia

mengatakan: “Subhanallah! Tidak halal selamanya bagi seseorang melakukan

kesalahan seperti itu dalam berfatwa, dia menjadikan wanita pada hari-hari

melihat darah digolongkan suci dan hari-hari tidak melihat darah dikategorikan

haidl. Dia menyalahi dua permasalahan. dia mengklaim pada masalah yang

pertama bahwa wanita itu suci pada hari pertama dan hari ke delapan serta hari ke

sepuluh. Dia juga mengklaim pada masalah yang kedua bahwa wanita itu suci

pada hari yang pertama dan delapan hari sesudahnya, dan mengalami haidl pada

hari ke sepuluh dan yang sesudahnya sampai cukup sepuluh hari. Kemudian dia

mengklaim bahwa jika wanita itu haidl pertama-tama tiga hari dan dia suci pada

empat atau lima hari, kemudian dia haidl lagi tiga atau dua hari, maka wanita itu

dikategorikan haidl pada hari-hari dimana dia melihat darahnya dan hari-hari

dimana dia merasa suci.”

Orang itu mengatakan: “Seorang wanita dianggap suci apabila dia berada

di antara dua masa haidl, dan berada dalam masa haidl apabila dua masa haidl itu

lebih banyak dari hari-hari tidak melihat darah (suci) lebih banyak daripada masa

melihat darah, maka hari-hari tidak melihat darah itu tidak dianggap masa haidl.”

Imam Syafi`i berkata: Kami katakan padanya: “Kamu telah mencela

orang. Kami melihat bahwa kamu telah mendekat kepada apa yang kamu cela,

oleh karena kamu tidak boleh mencela sesuatu kemudian mengucapkannya.”

Orang itu menjawab: “Kami hanya mengatakan, yaitu apabila dua masa

melihat darah yang ada di antara keduanya itu terdapat masa tidak melihat darah

(suci) lebih banyak daripada masa tidak melihat darah atau sama sepertinya.”

Imam Syafi`i berkata: Kami bertanya kepadanya: “Siapakah yang

mengatakan hal itu kepadamu ?”

Orang itu bertanya kembali: “Apa?”

Kami katakan kepadanya: “Masa tidak melihat darah tidak dapat dikatakan

sebagai haidl. Apabila kamu mengatakan bahwa kami yang mengatakannya,

102

Page 103: Al Umm [1] 1 Taharah Juz 1 Bag i

niscaya kami mengatakan; itu adalah hal yang mustahil yang tidak dipersoalkan

lagi. Apakah perkataan anda itu dikuatkan dengan sebuah hadits ?”

Dia menjawab: “Tidak.”

Kami bertanya kembali: “Apakah dengan analogi ?”

Dia menjawab: “juga tidak.”

Kami berkata lagi: “Dengan akal pikiran ?”

Dia menjawab: “Ya, bahwa wanita tidaklah melihat darah terus menerus,

akan tetapi dia melihatnya sekali dan darah itu terputus pada kali yang lain.”

Kami berkata: “Wanita yang kamu gambarkan terputus putus darahnya,

niscaya masa haidl dan suci telah masuk satu sama lain (tidak dapat dibedakan).”

Lalu kami melanjutkan: “Apabila dia mengikatkan sesuatu pada pantatnya

lalu mendapatkan darah, walaupun tidak mengalir atau lebih sedikit dari itu, baik

darah itu merah atau keruh, maka apabila dia tidak lagi mendapati hal-hal tersebut

berarti tidak ada yang dapat mengeluarkannya dari persoalan di atas (yakni

membedakan masa haidl dan suci) kecuali dengan keluarnya cairan berwarna

putih.”

Orang itu bertanya: “Bagaimana apabila wanita itu melihat apa yang

kamu katakan, yaitu berupa cairan putih satu hari atau dua hari, kemudian dia

melihat kembali darah pada hari-hari dimana dia biasa haidl ?”

Kami menjawab: “Wanita itu suci ketika dia melihat cairan putih hingga

dia melihat darah, sekalipun sesaat.”

Orang itu bertanya: “Siapa yang mengatakan hal itu ?”

Kami menjawab: “Ibnu Abbas.”

Dia bertanya lagi: “Apakah itu benar diriwayatkan oleh Ibnu Abbas ?”

Kami menjawab: “Ya, benar hal itu diriwayatkan oleh Ibnu Abbas, dan

hal itu juga sejalan dengan makna al-Qur`an dan dapat diterima oleh akal pikiran.”

Dia bertanya: “Dimana?”

Kami menjawab: “Apakah kamu melihat ketika Allah swt. menyuruh

menjauhkan wanita saat sedang dalam kondisi haidl, dan mengizinkan

menyetubuhinya apabila dia telah bersuci ? Niscaya kamu mengetahui bahwa

haidl adalah dengan darah dan suci itu dengan hilangnya darah, yaitu dengan

103

Page 104: Al Umm [1] 1 Taharah Juz 1 Bag i

melihat cairan putih.”

Orang itu menjawab: “Tidak.”

Lalu kami bertanya: “Bagaimana pendapatmu tentang wanita yang

haidlnya sepuluh hari setiap bulan ? kemudian berpindah menjadi setiap dua

bulan, setiap tahun, sesudah sepuluh tahun, atau menjadi tiga hari setelah sepuluh

tahun ? Kemudian wanita itu mengatakan: “Aku meninggalkan shalat pada masa

aku biasa mengalami haidl, dan yang demikian itu terjadi sepuluh hari pada setiap

bulan.”

Orang itu menjawab: “Wanita itu tidak boleh berbuat demikian.”

Kami menjawab: “al-Qur`an telah menunjukkan bahwa wanita dianggap

haidl apabila dia melihat darah, dan dia tidak dianggap haidl sepanjang dia belum

melihat darah.” Orang itu menjawab: “Ya”.

Kami lalu berkata: “Begitu juga menurut akal pikiran.”

Dia menjawab: “Ya.”

Kemudian kami bertanya: “Maka, mengapa kamu tidak mengatakan

sebagaimana yang kami katakakan, sehingga perkataanmu akan sesuai dengan al-

Qur`an dan akal pikiran.”

Dia berkata: “Masih tersisa satu permasalahan yang akan menjadi polemik

bagi pandanganmu.”

Kami menjawab: “Apakah itu ?”

Dia menjawab: “Bagaimanakah menurut pendapatmu apabila wanita itu

melihat tanda suci satu hari dan melihat darah di hari berikutnya hingga

berlangsung selama sepuluh hari, apakah kamu menganggap ini sebagai satu kali

haidl; atau dia dianggap haidl apabila melihat darah, dan suci apabila dia melihat

tanda suci ?”

Kami menjawab: “Bahkan dia dianggap haidl apabila melihat darah dan

dianggap suci apabila melihat tanda suci.”

Orang itu berkata: “Kalau wanita itu adalah wanita yang diceraikan

suaminya, niscaya masa iddahnya akan selesai hanya dalam waktu enam hari.”

Imam Syafi`i berkata: Kami berkata kepadanya: “Kami tidak tahu

manakah diantara dua perkataanmu yang paling lemah argumennya, apakah

104

Page 105: Al Umm [1] 1 Taharah Juz 1 Bag i

perkataan yang pertama atau yang kedua ini ?”

Lalu dia bertanya: “Apakah kelemahan terhadap argumentasi ini?”

Kami menjawab: “Kamu menjadikan keadaan wanita itu yang

mengerjakan shalat satu hari dan meninggalkan satu hari sebagai alasan

berakhirnya masa iddah, padahal kedua persoalan ini memiliki perbedaan.”

Dia berkata: “Lalu apakah yang kamu katakan ?”

Kami menjawab: “Tidak ada celah-celah untuk menganalogikan shalat

dan iddah.”

Dia bertanya: “Lalu bagaimana bisa demikian ?”

Kami menjawab: “Adakah kamu melihat wanita yang sudah putus dari

haidl (menopause) dan belum mengalami haidl, dan juga wanita hamil ?

Bukankah mereka itu juga mengalami masa iddah dan harus mengerjakan shalat

sehingga berlalu masa iddahnya? Atau pada masa iddah tersebut mereka tetap

meninggalkan shalat pada sebagian hari, sebagaimana yang ditinggalkan oleh

wanita yang sedang haidl ?”

Orang itu berkata: “Bahkan tetap mengalami masa iddah dan tidak boleh

meninggalkan shalat.”

Kami bertanya: “Apabila seorang wanita diceraikan lalu dia pingsan, gila,

atau hilang kesadarannya, bukankah masa iddahnya tetap berlaku, dan dia tidak

mengerjakan satu shalat pun ?”

Orang itu menjawab: “Ya, iddahnya berlaku. “

Kami lalu bertanya: “Mengapa kamu mengklaim bahwa iddahnya berlaku

dan dia tidak mengerjakan shalat berhari-hari?”

Orang itu menjawab: “Karena faktor akal fikirannya yang tidak berfungsi

dan iddah bukanlah terkait dengan shalat.”

Kami bertanya: “Bagaimana menurut pendapat kamu tentang wanita yang

haidl sebagaimana haidlnya kaum wanita dan suci sebagaimana sucinya kaum

wanita, apabila dia iddah tiga kali haidl kemudian ragu terhadap dirinya ?”

Orang itu menjawab: “Wanita itu tidak boleh menikah sehingga dia

memastikan kesucian rahimnya dari janin (istibra`).”

Kami berkata: “Wanita itu beriddah tidak dengan haidl dan tidak dengan

105

Page 106: Al Umm [1] 1 Taharah Juz 1 Bag i

bulan, akan tetapi beriddah dengan memastikan kesucian rahimnya dari janin.”

Dia berkata: “Ya, apabila dia merasakan sesuatu dan khawatir akan

hamil.”

Kami berkata: “Demikian juga wanita yang beriddah dengan bulan.

Apabila dia ragu, niscaya dia harus menahan diri untuk menikah.”

Dia menjawab: “Benar.”

Kami berkata: “Jika demikian, wanita yang telah suci rahimnya dari janin

berlainan dengan wanita yang rahimnya belum dipastikan suci dari janin.”

Dia menjawab: “Ya, dan wanita yang mengalami haidl sehari dan suci

sehari itu lebih ragu dan tidak terlepas dari kehamilan dibandingkan wanita yang

anda sebutkan. Kita telah dianugerahi akal pikiran oleh Allah swt. bahwa pada

kata iddah itu dua makna, yaitu mengosongkan rahim dari janin dan tambahan

peribadatan. Allah swt. menjadikan iddah thalak itu tiga bulan atau tiga kali suci.

Dia menjadikan iddah hamil dengan melahirkan kandungan, dan yang demikian

itu benar-benar puncak dari kepastian kosongnya rahim daripada janin. Tiga kali

suci merupakan masa kepastian sucinya rahim daripada janin, sekaligus sebagai

peribadatan, sebab dua kali haid saja telah dapat memastikan bahwa rahim kosong

dari janin.

Kita memahami bahwa tidak ada iddah melainkan terkandung padanya dua

hal; kesucian rahim dari janin serta unsur yang bernilai ibadah. Karena, iddah

tidak kurang dari tiga bulan atau tiga kali suci, empat bulan sepuluh hari, atau

melahirkan.

Wanita yang mengalami haidl satu hari dan suci satu hari tidak dapat

dipastikan rahimnya suci dari janin. Sementara kamu telah membatalkan iddah

dengan perhitungan haidl dan bulan, seraya mengembalikannya kepada persoalan

kosongnya rahim dari janin apabila wanita itu mengalami keraguan, sebagaimana

kamu mengklaim bahwa menjadi keharusan bagi kami untuk mengatakan bahwa

wanita yang mengalami haidl satu hari dan melihat tanda suci satu hari, niscaya

masa iddahnya akan selesai dalam masa enam hari.”

BAB: DARAH HAIDL

Imam Syafi`i berkata: Hadits diriwayatkan dari Fatimah binti Mundzir,

106

Page 107: Al Umm [1] 1 Taharah Juz 1 Bag i

bahwa dia berkata: Kami telah mendengar Asma mengatakan: “Kami bertanya

kepada Rasulullah saw. tentang darah haidl yang mengenai kain. Beliau

menjawab:

ح�ث\ي�ه� ث7م� أ�قر�ص�ي�ه� ب�الم�اء� و�ان�ض�ح�ي�ه� و�ص�ل\ي� ف�ي�ه�

‘Keriklah darah itu kemudian gosoklah dengan air lalu basuhlah, dan

shalatlah dengan menggunakannya.” 68

Imam Syafi`i berkata: Term “qarashahu” bermakna “farakahu” yang

berarti menggosok. Sedangkan perkataannya “Bil-maa`i”, yaitu membasuh

dengan air.

Imam Syafi`i berkata: Sekurang-kurangnya masa haidl ialah sehari

semalam dan maksimalnya adalah lima belas hari (berikut malamnya), dan

sekurang-kurangnya masa suci itu juga lima belas hari (berikut malamnya).

Apabila seorang wanita pada permulaan haidlnya mengeluarkan darah

yang terus menerus keluar, maka dia diperintahkan agar meninggalkan shalat

sampai lima belas hari. Jika darah itu berhenti pada hari yang ke lima belas, maka

masa itu adalah masa haidl. Namun jika lebih dari lima belas hari, maka wanita itu

tengah mengalami istihadlah.

Imam Syafi`i berkata: Adapun wanita yang mengetahui hari-hari haidl

ditandai dengan darah yang terus keluar, maka hendaknya dia memperhatikan

bilangan malam dan hari dimana dia biasa mengalami haidl pada hari-hari itu

setiap bulannya, dan dia harus meninggalkan shalat pada hari-hari dan malam-

malam itu. Namun apabila telah lewat waktunya maka dia harus mandi kemudian

mengerjakan shalat dan berwudlu setiap kali hendak shalat.

Jika dia mengetahui hari-hari haidlnya, lalu dia lupa atau tidak mengetahui

apakah awal bulan atau sesudahnya itu kurang dua hari atau lebih, maka dia harus

mandi setiap kali hendak melaksanakan shalat, sebab tidak sah baginya shalat

tanpa mandi terlebih dahulu dikarenakan mungkin saja ketika dia hendak

melaksanakan shalat Shubuh itu adalah waktu sucinya, maka dia harus mandi;

atau bila tiba waktu dhuhur, mungkin saja itu adalah waktu sucinya. Oleh karena

68 . H.R. Bukhari, dalam kitab yang menjelaskan tentang haidl, bab “Membasuh Darah Haidl,” juz 1, hlm. 83.

107

Page 108: Al Umm [1] 1 Taharah Juz 1 Bag i

itu, dia harus mandi. Begitulah yang dikerjakan pada setiap waktu apabila dia

hendak mengerjakan shalat, tidak sah baginya apabila dia tidak mandi.

Jika shalat itu fardlu baginya, maka ada kemungkinan dia boleh

melaksnakan shalat dengan berwudlu dan ada kemungkinan juga tidak boleh

melaksanakan shalat melainkan dengan mandi. Oleh sebab itu, dia tidak boleh

melaksanakan shalat melainkan dengan meyakini bahwa dia telah suci. Dalam

kondisi seperti itu dia haruss mandi, lantaran keyakinan dan keraguan terdapat

pada wudlu. Sementara itu tidaklah sah melaksanakan shalat jika ragu.

Sedangkan apabila mandi dapat membuatnya yakin, maka hendaknya dia mandi

setiap kali ingin menjalankan ibadah shalat.

KITAB SHALAT

Kewajiban Shalat.

Imam Syafi`i berkata: Allah swt. berfirman :

إن الصلوة كانت على الؤمني كتابا موقوتا

“Sesungguhnya shalat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya

atas orang-orang yang beriman.” ( Surat an-Nisa` (4): 103 )

Allah swt. kembali berfirman :

توا الزكاة وذلك دين موا الصلة ويؤ فاء ويقي لدين حن له ا ل ملصي بدوا ا مروا إل ليع وما أالقيمة

“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan

memurnikan keta`atan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan

Lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan

yang demikian itulah agama yang lurus.” ( Surat al-Bayyinah (98): 5 )

Imam Syafi`i berkata: Suatu ketika Rasulullah saw. ditanya tentang Islam,

kemudian beliau bersabda :

خ�م�س� ص�ل�و�ات, ف�ي الي�و�م� و�الل'ي�ل�ة� ف�ق�ال� الس�ائ�ل7 ه�ل ع�ل�ي� غ�ي�ر�ه�ا ؟ ق�ال� : ل� إ�ل' أ�ن ت�ط�و�ع�

“Lima kali shalat satu hari satu malam,” kemudian orang itu bertanya

kembali, “Apa ada yang selainnya ?” lalu beliau menjawab: “Tidak ada,

108

Page 109: Al Umm [1] 1 Taharah Juz 1 Bag i

melainkan apabila engkau melakukan yang sunnah.” 69

BAB : AWAL KEWAJIBAN SHALAT.

Imam Syafi`i berkata: Sesungguhnya Allah swt. menurunkan kewajiban

shalat kemudian menghapusnya dengan kewajiban yang lain, lalu menghapusnya

untu kedua kalinya dengan menurunkan kewajiban melaksanakan shalat lima

waktu.

Imam Syafi`i berkata: Seakan-akan maksud firman Allah swt. adalah :

يا أيها الزمل قم الليل إل قليل نصفه أو انقص منه قليل

“Hai orang-orang yang berselimut (Muhammad), bangunlah (untuk

sembahyang) di malam hari, kecuali sedikit (daripadanya), (yaitu)

seperduanya atau kurangilah dari seperdua itu sedikit.” ( Surat al-

Muzammil (73) : 1-3 )

Dalam ayat ini Allah swt. menghapus kewajiban shalat satu malam,

separuhnya, kurang atau lebih darinya dan diganti dengan yang lebih mudah.

Dikatakan; telah dihapuskan sesuatu yang kami gambarkan pada surat al-

Muzammil dengan berdasarkan firman-Nya:

أقم الصلة لدلوك الشمس إل غسق الليل وقرأن الفجر إن قرأن الفجر كان مشهودا

“Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap

malam dan (dirikanlah pula shalat) Subuh. Sesungguhnya shalat Subuh

itu disaksikan oleh malaikat.” ( Surat al-Isra` (17) 78 )

Makna dari tergelincirnya matahari adalah condongnya :

إل غسق الليل

“sampai gelap malam” ( Surat al-Isra` (17) 78 )

Maksudnya adalah waktu shalat Isya` yang terakhir atau sepertiga malam.

وقرأن الفجر إن قرأن الفجر كان مشهودا

69 . Tartib Musnad Imam Syafi`i, dalam kitab yang menjelaskan tentang Iman dan Islam, hadits no. 1, jilid 1, hlm. 12.

109

Page 110: Al Umm [1] 1 Taharah Juz 1 Bag i

“dan (dirikanlah pula shalat) Subuh. Sesungguhnya shalat Subuh itu

disaksikan oleh malaikat.” ( Surat al-Isra` (17) 78 )

Maksudnya adalah shalat Subuh.

Dan selanjutnya Allah swt. berfirman :

ومن الليل فتهجد به نافلة لك عسى أن يبعثك ربك مقاما ممودا

“Dan pada sebagian malam hari bersembahyang tahajudlah kamu

sebagai suatu ibadah tambahan bagimu; mudah-mudahan Tuhanmu

mengangkat kamu ke tempat yang terpuji.” ( Surat al-Isra` (17) 79 )

Allah swt. memberitahukan bahwa shalat malam itu hukumnya sunah.

Sedangkan shalat yang wajib itu terdapat pada firman Allah swt. :

فسبحان ال حي تسون وحي تصبحون

“Maka bertasbihlah kepada Allah di waktu kamu berada di petang hari

dan waktu kamu berada di waktu Subuh.” ( Surat ar-Ruum (30): 17 )

Maksudnya adalah shalat Maghrib dan Isyak dan shalat Subuh.

Lalu Allah swt. berfirman :

“dan bagi-Nya-lah segala puji di langit dan di bumi dan diwaktu kamu

berada di waktu dhuhur.” ( Surat ar-Ruum (30): 18 ) Maksudnya adalah shalat

Ashar.

Imam Syafii berkata: Semua penjelasan yang kami terangkan

tergambarkan pada sunnah Rasulullah saw. yang diriwayatkan dari Thalhah bin

Ubaidilah dia mengatakan; suatu ketika seorang laki-laki datang menghadap

Rasulullah saw.. kemudian dia bertanya tentang Islam, maka Rasulullah saw.

bersabda :

خ�م�س� ص�ل�و�ات, ف�ي الي�و�م� و�الل'ي�ل�ة� ف�ق�ال� ه�ل ع�ل�ي� غ�ي�ر�ه�ا ؟ ق�ال� : إ�ل' أ�ن ت�ط�و�ع�

“Lima kali shalat dalam satu hari satu malam,” lalu laki-laki itu kembali

bertanya: “Adakah yang selainnya ?” Rasulullah saw. menjawab: “Tidak

ada, selain engau melakukan yang sunah.” 70

70 . H.R. Abu Daud, dalam kitab yang menjelaskan tentang shalat, hadits no. 387, jilid 2, hlm. 53.

110

Page 111: Al Umm [1] 1 Taharah Juz 1 Bag i

Imam Syafi`i berkata: Shalat fardhu itu ada lima waktu, selainnya adalah

sunat. Shalat sunat itu ada dua cara; dengan berjama`ah dan munfarid (sendirian).

Shalat sunat berjama`ah adalah sunah muakkad (sangat dianjurkan) dan

menurut kami tidak boleh ditinggalkan bagi orang yang mampu dalam kondisi

apapun, yaitu shalat sunat Idul Fitri dan Idul Adha, shalat sunat gerhana matahari

dan gerhana rembulan serta shalat Istisqa` (meminta siraman hujan).

Sedangkan mendirikan shalat pada bulan Ramadhan, kami lebih menyukai

jika dikerjakan sendirian. Hal inilah yang kami anjurkan.

Bilangan Shalat Lima Waktu.

Imam Syafi`i berkata: Allah swt. menetapkan bilangan shalat wajib dalam

kitab-Nya dengan melalui lisan Rasul-Nya Muhammad saw., dan sesuatu yang

harus dilaksanakan dan yang harus dilarang oleh umat manusia. Telah dinukil

bahwa shalat Dhuhur dilakukan empat rekaat dengan suara pelan (sirri) ketika

membaca bacaan-bacaan shalat, demikian juga shalat Ashar. Sedangkan shalat

Maghrib dilakukan sebanyak tiga reka`at dengan mengeraskan suaranya (jahr)

dua reka`at pertama, dan pada reka`at ketiga dengan suara pelan. Dan shalat Isya`

empat reka`at dengan mengeraskan suara pada sua reka`at yang pertama,

sedangkan pada reka`at ketiga dan keempat dengan suara pelan. Shalat Subuh

sebanyak dua reka`at dengan mengeraskan bacaan pada semua reka`at.

Orang Yang Wajib Melaksanakan Shalat.

Imam Syafi`i berkata: Allah swt. berfirman :

وإذا بلغ الطفال منكم اللم فليستأذنوا كما استأذن الذين من قبلهم كذلك يبي ال لكم أيتهوال عليم حكيم

“Dan apabila anak-anakmu telah sampai umur baligh, maka hendaklah

mereka meminta izin, seperti orang-orang yang sebelum mereka meminta

izin. Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat-Nya. Dan Allah Maha

Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” ( Surat an-Nur (24): 59 )

Allah swt. kembali berfirman :

وابتلوا اليتمى حت إذا بلغوا النكاح فإن أنستم منهم رشدا فادفعوا إليهم أموالم

111

Page 112: Al Umm [1] 1 Taharah Juz 1 Bag i

“Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin.

Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai

memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya.”

( Surat an-Nisa` (4): 6 )

Allah swt. menyebutkan “dewasa” yang mengharuskan harta-harta mereka

diserahkan, melainkan sesudah sampai waktu nikah. Jika anak laki-laki telah

melewati masa mimpi dan anak perempuan telah haidl, dan keduanya tidak

terganggu akal fikirannya, maka kepadanya diwajibkan melaksanakan shalat dan

ibadah-ibadah fardlu lainnya.

Sekalipun usia mereka masih kurang dari lima belas tahun, mereka

diwajibkan untuk melaksanakan shalat, hal itu apabila keduanya sudah mengerti.

Akan tetapi jika belum mengerti, maka mereka tidaklah sebagaimana orang

dewasa, dan hendaklah mereka dihukum dengan hukuman yang ringan lantaran

meninggalkan shalat. Sedangkan bagi yang terganggu akal fikirannya lantaran

penyakit, maka kewajiban shalat hilang darinya. Allah swt. berfirman :

واتقون يا أول اللباب

“dan bertakwalah kepada-Ku hai orang-orang yang berakal.”

( Surat al-Baqarah (2): 197 )

Shalat Orang Yang Mabuk.

Imam Syafii berkata: Allah swt. berfirman :

يا أيها الذين أمنوا ل تقربوا الصلة وأنتم سكارى حت تعلموا ما تقولون

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang

kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu

ucapkan.” ( Surat an-Nisa` (4): 43 )

Imam Syafi`i berkata: Barang siapa yang melakukan shalat ketika sedang

mabuk, maka shalatnya tidaklah sah lantaran adanya larangan Allah swt.

kepadanya, sampai dia mengerti apa yang dia katakan. Akan tetapi jika dia shalat

dalam kondisi mabuk, maka hendaklah dia mengulanginya ketika dia sudah sadar

dari mabuknya.

Jika dia minum minuman keras akan tetapi tidak sampai mabuk, maka dia

112

Page 113: Al Umm [1] 1 Taharah Juz 1 Bag i

berarti telah berbuat maksiat lantaran minum minuman yang haram tersebut, akan

tetapi dia tidak perlu mengulangi shalatnya, lantaran dia termasuk orang yang

memahami apa yang dia katakan, sedangkan orang yang mabuk adalah orang

yang tidak memahami apa yang dia katakan.

Barangsiapa minum suatu minuman agar akalnya tidak berfungsi, maka

dia telah berbuat maksiat dengan melakukan perbuatan itu, dan dia tidak boleh

melaksanakan shalat dalam kondisi seperti itu. Maka orang yang seperti itu dan

orang yang sedang mabuk meng-qadla shalat yang tidak dilaksanakan selama dia

mabuk. Jika dia telah memulai shalatnya dalam keadaan berakal sehat, akan tetapi

sebelum mengucapkan salam akalnya menjadi terganggu, maka dia harus

mengulangi shalatnya, lantaran sekalipun dia tidak merusak awal shalatnya,

namun dia telah merusak akhir shalatnya.

Gangguan Pada Akal Fikiran disebabkan sesuatu yang Tidak

Maksiat.

Imam Syafi`i berkata: Jika seseorang terganggu akal fikirannya lantaran

gangguan jin, lemah akalnya atau sakit, apapun bentuk sakitnya, maka terangkat

darinya kewajiban shalat selama dia masih menderita penyakit itu. Dia tidak

diperintahkan untuk melakukan shalat sehingga dia mengerti apa yang dia

katakan. Dia juga termasuk orang yang tidak berakal sehat, karena orang yang

tertutup akal pikirannya oleh sesuatu tidaklah berdosa, bahkan dia memperoleh

pahala dan menjadi kafarat (tebusan) bagi dosa-dosanya.

Demikian juga jika dia minum obat yang mengandung racun, padahal dia

menduga bahwa obat itu dapat menyehatkannya, dia tidak berdosa karena

meminumnya, sebab usaha meminumnya bukan untuk membahayakan diri atau

menghilangkan fungsi akalnya.

Jika seseorang makan atau minum sesuatu yang halal namun memiliki

dampak terhadap gangguan akal fikiran, atau melakukan lompatan sehingga

otaknya terbalik, atau menunggingkan badan ke bawah sampai otaknya tergerak

dan akalnyapun terganggu, akan tetapi tidak bermaksud menghilangkan fungsi

akalnya, maka baginya tidak wajib mengulangi shalat yang dia lakukan. Akan

tetapi jika dia melompat-lompat yang tidak ada manfaatnya atau dia menungging

113

Page 114: Al Umm [1] 1 Taharah Juz 1 Bag i

dengan menjadikan kepalanya berada di bawah supaya fungsi akalnya menjadi

hilang, maka dia dianggap telah melakukan dosa. Apabila akalnya telah kembali

normal, maka dia harus mengulangi seluruh shalat yang telah dikerjakan selama

dia kehilangan akal ataupun shalat yang dia tinggalkan.

Shalatnya Orang Murtad.

Imam Syafi`i berkata: Apabila sesorang murtad (pindah agama) dari

Islam, kemudian dia masuk Islam kembali, maka dia harus mengulangi (qadla)

setiap shalat yang ditinggalkannya pada masa murtad-nya dan setiap zakat yang

wajib atasnya.

Apabila dia kehilangan fungsi akalnya pada saat murtad-nya, baik karena

sakit atau sebab lain, maka dia harus mengulangi (qadla) shalat pada hari-hari

dimana akalnya tidak berfungsi.

Jika ditanyakan: “Mengapa kamu tidak menganalogikan orang murtad itu

dengan orang musyrik yang masuk Islam, sehingga kita tidak memerintahkan

kepadanya untuk mengulangi shalatnya.”

Sebagai jawabannya adalah, bahwa Allah swt. membedakan antara

keduanya, sebagaimana tersebut dalam firman-Nya:

قل للذين كفروا إن ينتهوا يغفر لم ما قد سلف وإن يعودوا فقد مضت سنت الولي

“Katakanlah kepada orang-orang kafir itu, jika mereka berhenti (dari

kekafirannya), niscaya Allah akan mengampuni mereka tentang dosa-dosa

mereka yang telah lalu; dan jika mereka kembali lagi sesungguhnya akan

berlaku (kepada mereka) sunnah (Allah terhadap) orang-orang

terdahulu.” ( Surat al-anfal (8): 38 )

Allah swt. membatalkan amalnya dengan sebab murtad. Rasulullah saw.

menerangkan bahwa hukum orang murtad adalah dibunuh apabila dia tidak

bertaubat dan hartanya berstatus mauquf (dibiarkan), lalu menjadi harta rampasan

jika dia telah meninggal dunia, atau dikembalikan kepadanya jika dia bertaubat.

Permasalahan Yang Berhubungan dengan Waktu-waktu Shalat

Imam Syafi`i berkata: Allah swt. meneguhkan hukum dalam kitab-Nya

bahwa kewajiban shalat adalah dalam waktu-waktu yang telah ditentukan, dan

Allah swt. lebih mengetahui waktu dan bilangan shalat itu. Allah swt. berfirman.

114

Page 115: Al Umm [1] 1 Taharah Juz 1 Bag i

إن الصلوة كانت على الؤمني كتبا موقوتا

“Sesungguhnya shalat itu adalah suatu kewajiban yang ditentukan

waktunya atas orang-orang yang beriman.” ( Surat an-Nisa` (4): 103 )

Hadits cerita dari Ibnu Abbas ra. bahwasanya Rasulullah saw. bersabda:

أ�م�ن�ي� ج�ب�ر�ي�ل7 ع�ل�ي�ه� الس�ل�م� ع�ن�د� ب�اب� الك�ع�ب�ة� م�ر�ت�ي�ن� ف�ص�ل'ى الظ7ه�ر� ح�ي�ن� ك�ان� الف�ي�ء3 م�ثل الشXر�اك� ث7م� ص�ل'ى الع�ص�ر� ح�ي�ن� ك�ان� ك7لp ش�ي�ء, ب�ق�د�ر� ظ�ل\ه� و�ص�ل'ى الم�غ�ر�ب� ح�ي�ن� أ�فط�ر� الص�ائ�م� ث7م ص�ل'ى الع�ش�اء� ح�ي�ن� غ�اب� الش�ف�ق� ث7م� ص�ل'ى الصGب�ح� ح�ي�ن� ح�ر�م� الط'ع�ام� و�الش�ر�اب� ع�ل�ى الص�ائ�م ث ص�ل'ى الم�ر�ة� ال�خ�ي�ر�ة� الظpه�ر� ح�ي�ن� ك�ان� ك7لp ش�ي�ء, ق�د�ر� ظ�ل\ه� ق�د�ر� الع�ص�ر� ب�ال�م�س� ث7م� ص�ل'ى الع�ص�ر� ح�ي�ن ك�ان� ظ�لp ش�ي�ء, م�ثل�ي�ه� ث7م� ص�ل'ى الم�غ�ر�ب� الق�د�ر� ال�و�ل� ل�م� ي�ؤ�خXر�ه�ا ث7م� ص�ل'ىالع�ش�اء� ال�خ�ر�ة� ح�ي�ن ذ�ه�ب� ث7ل7ث7 الل'ي�ل� ث7م� ص�ل'ى الص�ب�ح� ح�ي�ن� أ�س�ف�ر� ث7م� الت�ف�ت� ف�ق�ال� ي�ا م�ح�م�د� ه�ذ�ا و�قت� ال�ن�ب�ي�اء� م�ن

ق�ب�ل�ك� و�الو�قت� ف�ي�م�ا ب�ي�ن� ه�ذ�ي�ن� الو�قت�ي�ن

“Jibril mengimamiku di pintu ka`bah sebanyak dua kali, dia shalat

Dhuhur ketika bayang-bayang itu seperti berjalannya sandal di belakang

telapak kaki, kemudian dia mengerjakan shalat Ashar pada saat setiap

sesuatu menurut kadar bayang-bayangnya. Dia shalat Maghrib ketika

orang yang berpuasa berbuka puasa, dia shalat Isya` ketika hilangnya

awan merah, kemudian dia mengerjakan shalat Shubuh ketika diharamkan

makan dan minum bagi orang yang berpuasa. Kemudian dia mengerjakan

shalat Dhuhur untuk yang kedua kalinya ketika setiap sesuatu sama

dengan panjang bayang-bayangnya, seperti kadar waktu shalat Ashar

yang kemarin. Kemudian dia mengerjakan shalat Ashar ketika bayang-

bayang segala sesuatu itu menjadi dua kali, lalu mengerjakan shalat

Maghrib seperti waktu yang pertama dan dia tidak mengakhirkannya.

Kemudian dia shalat Isya` untuk kedua kalinya setelah masuk sepertiga

malam, lalu mengerjakan shalat Subuh ketika pagi telah nampak.

Kemudian dia berpaling dan berkata “Wahai Muhammad, ini adalah

waktu nabi-nabi sebelum engkau, dan waktu shalat adalah yang berada di

115

Page 116: Al Umm [1] 1 Taharah Juz 1 Bag i

antara dua waktu ini.” 71

Waktu Dhuhur.

Imam Syafi`i berkata: Awal waktu Dhuhur itu apabila seseorang yakin

dengan tergelincirnya matahari dari pertengahan langit dan bayang-bayang

matahari pada musim panas itu berbentuk kuncup, sehingga tidak ada bayang-

bayang yang tegak lurus di siang hari dalam kondisi apapun. Apabila ada yang

demikian, maka matahari telah tergelincir dan itu tanda berakhirnya waktu

Dhuhur, dimana bayang-bayang sesuatu berbanding lurus dengannya. Apabila

bayang-bayang sesuatu telah melampauinya, maka waktu Dhuhur telah berakhir

dan masuk kepada waktu Ashar, tidak ada pemisah di antara keduanya.

Bayang-bayang pada musim dingin, musim semi dan musim rontok

berbeda dengan musim panas. Cara mengetahui bahwa matahari telah tergelincir

yaitu dengan memperhatikan bayang-bayang dan mengontrol kekurangannya.

Apabila kekurangannya telah selesai, maka bayang-bayang itu akan bertambah;

dan apabila bertambah setelah kekurangannya selesai, maka itulah yang disebut

al-Zawal (waktu tergelincirnya matahari) dan itulah awal (permulaan) waktu

Dhuhur.

Imam Syafi`i berkata: Apabila terdapat kabut tebal, maka hendaklah dia

memperhatikan matahari dan berhati-hati dari mengakhirkannya, sebab bisa jadi

waktu shalat Ashar telah masuk. Apabila dia ragu, maka ikutilah kemana pikiran

lebih condong. Dengan hal itu, maka shalatnya menjadi sah. Yang demikian itu

karena watunya cukup panjang sehingga dia dapat mengetahui bahwa matahari itu

tergelincir, baik mengetahuinya sendiri maupun diberitakan oleh orang yang

dipercayai bahwa dia telah mengerjakan shalat sebelum tergelincir matahari.

Apabila dia ragu dengan berita itu, maka dia harus mengulangi shalat. Apabila dia

mendustakan orang yang memberitahukan kepadanya bahwa dia telah

mengerjakan shalat sebelum tergelincir matahari, maka dia tidak wajib

mengulanginya. Akan tetapi supaya lebih berhati-hati, hendaknya dia mengulangi

71 . H.R. Abu Daud, dalam kitab yang menjelaskan tentang shalat, bab “Waktu Shalat” hadits no. 389, jilid 2, hlm. 55. Aun al-Ma`bud Syarh Sunan Abi Daud, H.R. Tirmidzi, dalam kitab yang menjelaskan tentang shalat, bab “Waktu-waktu shalat,” hadits no. 139, juz 1, hlm. 278. Tartib Musnad Imam Syafi`i, dalam kitab yang menjelaskan tentang shalat, bab 1, hadits no. 145, juz 1, hlm. 50.

116

Page 117: Al Umm [1] 1 Taharah Juz 1 Bag i

shalatnya.

Apabila dia buta, maka boleh baginya mempercayai berita orang-orang

yang dapat dipercaya kebenaran beritanya tentang waktu shalat, dan boleh

mengikuti orang-orang yang melakukan adzan pada saat itu. Apabila dia berada di

tempat yang gelap atau dengan kata lain dia adalah orang yang buta, yang tidak

ada seorangpun yang berada di dekatnya, maka dia shalat sesuai dengan

kehendaknya. Shalatnya dianggap mencukupi selama tidak ada keyakinan bahwa

dia telah mengerjakan shalat sebelum waktunya.

Menyegerakan Dhuhur dan Mengakhirkannya.

Imam Syafi`i berkata: Orang yang sudah yakin (dengan waktu shalat)

boleh menyegerakan shalat Dhuhur, baik dia dalam posisi sebagai imam maupun

sendirian pada setiap waktu; kecuali apabila pada waktu dimana panas sangat

menyengat, maka sang imam hendaknya mengakhirkan shalat Dhuhur sehingga

orang-orang yang datang dari jauh bisa mendatangi shalat jama`ah. Hal ini

berdasarkan hadits Rasulullah saw. yang diriwayatkan dari Abu hurairah ra.

bahwa Rasul saw. bersabda :

إ�ذ�ا اش�ت�د� الح�رG ف�أ�ب�ر�د�و�ا ب�الص�ل�ة� ف�إ�ن' ش�د�ة� الح�رX م�ن� ف�ي�ح� ج�ه�ن�م� و�اش�ت�ك�ت� الن�ار� إ�ل�ى ر�بXه�اب�ع�ض/ا ف�أ�ذ�ن� ل�ه�ا ب�ن�ف�س�ي�ن� ن�ف�س, ف�ي الشXت�اء� و�ن�ف�س ف�ق�ال�ت� : ي�ا ر�بX ! أ�ك�ل� ب�ع�ض

ف�ي الص�ي�ف� ف�ه�و� أ�ش�دG م�ا ت�ج�د�و�ن� م�ن� الح�رX و�أ�ش�دG م�ا ت�ج�د�و�ن� م�ن� الب�ر�د� م�ن� الز�م�ه�ر�ي�ر�

“Apabila panas sangat menyengat, maka tangguhkanlah shalat hingga

dingin kembali, karena sesungguhnya terik panas itu adalah sengatan api

neraka. Nerakapun mengadu kepada Tuhannya seraya berkata:

“Sebagian aku melahap sebagian yang lain.” Maka Tuhan mengizinkan

kepadanya dua nafas, yaitu nafas pada musim dingin dan nafas pada

musim panas. Maka, terik panas yang engkau dapatkan adalah hasil

panas dari musim panas, dan dingin yang menyengat adalah dingin yang

berasal dari musim dingin.” 72

Hadits cerita Abu Hurairah ra. bahwasanya Rasulullah saw. bersabda:

72 . H.R. Bukhari, bab “Waktu-waktu shalat dan keistimewaannya,” dan H.R. Muslim, dalam kitab yang menjelaskan tentang masjid dan tempat-tempat shalat dan bab “Sunah menunggu shalat ketika cuaca terik,” hadits no. 174.

117

Page 118: Al Umm [1] 1 Taharah Juz 1 Bag i

“Apabila panas terik, maka tunggulah sampai dingin lalu kamu shalat, karena

sesungguhnya panas terik matahari merupakan sengatan neraka jahanam.” 73

Imam Syafi`i berkata: Mengakhirkan waktu shalat Dhuhur bukanlah

sampai pada akhir waktunya, akan tetapi waktu dingin; dan yang dimaksudkan

adalah (sebagaimana yang telah dipahami), yaitu memperlambat shalat Dhuhur. Ia

selesai shalat sebelum waktunya berakhir, sehingga antara selesainya dia dan

akhir waktu ada pembatas.

Adapun orang yang mengerjakan shalat Dhuhur dirumahnya atau dengan

berjama`ah di halaman rumahnya, maka hendaklah dia melaksanakan shalat

Dhuhur itu di awal waktu, karena hal itu tidaklah terlalu membuat mereka merasa

kepanasan. Adapun pada musim dingin, shalat Dhuhur tidak ditunda sebagaimana

keadaannya.

Waktu Shalat Ashar.

Imam Syafi`i berkata: Waktu shalat Ashar pada musim panas yaitu

apabila bayang-bayang sesuatu melewatinya, saat itu adalah berakhirnya waktu

Dhuhur.

Apabila bayangan sesuatu tidak nampak, maka diukur kekurangan

bayangan itu. Apabila bayangan itu bertambah setelah terjadi kekurangan, maka

itu adalah tanda tergelincirnya matahari (zawal), dan pada musim panas diukur

apabila bayangan sesuatu berdiri tegak lurus. Apabila telah melewati batas

kelurusannya, maka hal itu berarti telah masuk awal waktu Ashar.

Shalat Ashar hendaknya dikerjakan pada awal waktu, dan kami tidak

menyukai apabila ia ditangguhkan.

Apabila terdapat kabut tebal atau seseorang tertahan dalam tempat yang

gelap, atau dia buta pada suatu tempat dimana tidak ada seorang pun bersamanya,

maka orang itu hendaknya melakukan seperti apa yang telah kami gambarkan

pada shalat Dhuhur, tidak ada bedanya sedikitpun.

Barang siapa menangguhkan shalat Ashar sehingga bayangan sesuatu

melewatinya hingga dua kali lipat seperti pada musim panas, maka telah luput

73 . H.R. Bukhari, bab “Waktu-waktu shalat dan keistimewaannya,” dan bab “Menunggu cuaca dingin saat cuaca panas,” dan H.R. Muslim, dalam kitab yang menjelaskan tentang masjid dan tempat-tempat shalat, bab “Sunah menunggu shalat ketika cuaca terik,” hadits no. 169, jilid 2, hlm. 262.

118

Page 119: Al Umm [1] 1 Taharah Juz 1 Bag i

baginya waktu pilihan, dan orang itu tidak dikatakan telah luput waktu Ashar

secara mutlak.

Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra. bahwasanya Rasulullah saw.

bersabda:

م�ن� أ�د�ر�ك� ر�كع�ة: م�ن� الصGب�ح� ق�ب�ل� أ�ن ت�طل7ع� الش�م�س� ف�ق�د� أ�د�ر�ك� الصGب�ح� و�م�ن� أ�د�ر�ك� ر�كع�ةالش�م�س� ف�ق�د� أ�د�ر�ك� الع�ص�ر�م�ن� الع�ص�ر� ق�ب�ل� أ�ن ت�غ�ر�ب

“Barang siapa mendapatkan satu reka`at sebelum terbitnya matahari, maka dia

telah mendapati Subuh. Barang siapa mendapati satu reka`at shalat Ashar

sebelum terbenamnya matahari, maka dia telah mendapati shalat Ashar.” 74

Imam Syafi`i berkata: Barang siapa tidak mendapatkan satu reka`at dari

shalat Ashar sebelum terbenamnya matahari, maka dia telah lepas dari shalat

Ashar, dan reka`at itu adalah satu reka`at dengan dua sujud.

Hadits cerita dari Naufal bin Muawiyah ad-Da`ili, bahwa dia berkata

bahwa Rasulullah saw. bersabda :

م�ن� ف�ات�ه� الع�ص�ر� ف�ك�أ�ن�م�ا و�ت�ر� أ�ه�ل�ه� و�م�ال�ه�

“Barang siapa lepas dari shalat Ashar, maka seakan-akan dia

membinasakan keluarga dan hartanya.”

Waktu Shalat Maghrib.

Imam Syafi`i berkata: Waktu shalat Maghrib hanya satu, yaitu ketika

terbenamnya matahari. Hal itu telah dijelaskan dalam hadits yang berkaitan

dengan Malaikat jibril yang mengimami Rasulullah saw.

Hadits diceritakan dari Abu Na`im, dari Jabir, bahwa dia berkata, “Kami

pernah shalat Maghrib bersama Rasulullah saw. kemudian kami keluar untuk

berlomba memanah, sehingga kami tiba dirumah-rumah suku Bani Salmah, dan

kami melihat tempat jatuhnya anak panah pada saat matahari terbenam.”

Imam Syafi`i berkata: Jika dikatakan, sesungguhnya waktu shalat Maghrib

itu lepas apabila tidak dikerjakan shalat pada waktunya, maka Allah swt. yang

74 . H.R. Bukhari, bab “Waktu-waktu shalat serta keistimewaannya,” dan bab “Orang yang menemukan satu reka`at dan Shalat Fajar,” bagian 1,jilid 1, hlm. 151.

119

Page 120: Al Umm [1] 1 Taharah Juz 1 Bag i

lebih tahu tentang perkataan itu.

Orang-orang yang berada dalam kawasan berkabut tebal, atau tertahan

dalam tempat yang gelap atau dia buta, mereka bisa melaksanakan shalat sesuai

sesuai dengan kehendak mereka seperti yang telah kami gambarkan tentang waktu

shalat Dhuhur. Mereka pun dapat mengakhirkannya hingga melihat (yakin) telah

masuk waktu shalat, atau telah melampaui masa masuknya.

Waktu Shalat Isya`.

Imam Syafi`i berkata: Hadits diriwayatkan dari Ibnu Umar ra. bahwasanya

Nabi saw. bersabda :

ل� ي�غ�ل�ب�ن�ك7م� ال�ع�ر�اب� ع�ل�ى اس�م� ص�ل�ت�ك7م� ه�ي� الع�ش�اء3 إ�ل' أ�ن�ه�م� ي�ع�ت�م�و�ن� ب�ال�ب�ل�

“Kamu tidak dikalahkan oleh orang Arab (pedusunan) mengenai nama

shalatmu, ia adalah shalat Isya`, selain bahwa mereka itu datang dengan

terlambat bersama unta.” 75

Imam Syafi`i berkata: Kami menyukai bahwa dia tidak dinamakan

melainkan dengan nama Isya`, sebagaimana Rasulullah saw. telah

menamakannya. Awal waktunya yaitu ketika hilangnya awan merah (syafaq).

Syafaq adalah warna merah yang berada pada tempat terbenamnya

matahari. Apabila warna merahnya telah lenyap dan tidak kelihatan sedikitpun,

maka hal itu menandakan bahwa waktu shalat Isya` telah masuk. Seseorang yang

telah memulai shalat Isya`, akan tetapi masih tertinggal sedikit warna merah itu,

maka dia harus mengulangi shalatnya. Tidak seorang pun yang boleh mengerjakan

suatu shalat kecuali apabila waktunya telah tiba.

Akhir waktu shalat Isya` adalah berlalunya sepertiga malam. Apabila

seseorang telah lepas dari sepertiga malam pertama, maka kami menganggapnya

telah lepas dari waktu shalat Isya`, karena itu adalah akhir waktunya. Tidak ada

penjelasan dari Rasulullah saw. yang menunjukkan bahwa dia tidak lepas selain

sesudah waktu itu.

Waktu Shalat Fajar.

Imam Syafi`i berkata: Allah swt. berfirman:

75 . H.R. Muslim, dalam kitab yang menjelaskan masjid-masjid, bab “Waktu shalat Isya`,” hadits no. 215, jilid 2, hlm. 287.

120

Page 121: Al Umm [1] 1 Taharah Juz 1 Bag i

أقم الصلة لدلوك الشمس إل غسق الليل وقرأن الفجر إن فرأن الفجر كان مشهودا

“Dirikanlah dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan

(dirikanlah pula shalat) subuh. Sesungguhnya shalat Subuh itu disaksikan

oleh para Malaikat.” ( Surat al-Isra` (17): 78 )

Rasulullah saw. bersabda: “Barang siapa mendapati satu reka`at dari

shalat Subuh (maka dia telah mendapati shalat Subuh).”

Shalat Subuh itu adalah shalat fajar, ia hanya memiliki dua nama yaitu

subuh dan fajar. Kami tidak menyukai nama lain selain dua nama itu.

Imam Syafi`i berkata: Hadits diriwayatkan dari Aisyah ra. bahwa dia

berkata: “Apabila Rasulullah saw. hendak melaksanakan shalat Subuh, para

wanita pergi dengan menutup kepala mereka sehingga mereka hampir saja tidak

dikenal lantaran gelap.” 76

Seseorang tidak dikatakan lepas melaksanakan shalat Subuh sehingga

matahari terbit, dan dia belum melaksanakan satu rekaatpun, yang dinamakan satu

reka`at itu adalah satu reka`at beserta sujudnya.

Barang siapa belum menyempurnakan satu reka`at itu terbitnya matahari,

maka dia lepas dari shalat Subuh berdasarkan hadits Rasulullah saw. yang

berbunyi:

م�ن� أ�د�ر�ك� ر�كع�ة: م�ن� الصGب�ح� ق�ب�ل� أ�ن ت�طل7ع� الش�م�س� ف�ق�د� أ�د�ر�ك� الصGب�ح�

“Barang siapa mendapati satu reka`at dari shalat Subuh sebelum

terbitnya matahari, maka dia telah mendapati shalat Subuh.”

Perbedaan Waktu.

Imam Syafi`i berkata: Suatu ketika malaikat Jibril mengimami Rasulullah

saw. pada saat mukim (tidak dalam perjalanan) serta tidak ada hujan, dan dia

berkata: “Diantara dua hal ini adalah waktu dimana seseorang tidak boleh

melakukan shalat dengan bersandar pada kondisi waktu shalat pada waktu mukim

atau ketika tidak turun hujan, melainkan pada waktu seperti ini. Larangan ini

supaya seseorang melaksanakan shalat satu persatu (tidak boleh di-jamak)

Hal di atas seperti hadits yang mengisahkan tentang malaikat Jibril yang

76 . H.R. Bukhari, dalam kitab yang menjelaskan waktu-waktu shalat dan keistimewaannya, bab “Waktu Shalat Fajar,” bagian 1, jilid 1, hlm. 151.

121

Page 122: Al Umm [1] 1 Taharah Juz 1 Bag i

pernah melaksanakan shalat bersama Rasulullah saw. dan beliau melaksanakan

shalat sesudah itu dalam kondisi mukim sepanjang hidupnya.

Ketika Rasulullah saw. melakukan jamak shalat di Madinah dalam kondisi

aman dan mukim, maka hal itu tidak memiliki kemungkinan melainkan telah

bertentangan dengan hadits ini, atau adanya kemungkinan bahwa kondisi dimana

dia menjamak shalat tersebut saat mukim (tidak dalam perjalanan). Berbeda

dengan kondisi dimana dia tidak melaksanakan shalat satu persatu pada saat

mukim. Maka tidak boleh dikatakan bahwa perbuatan Rasulullah saw. yang

melakukan jamak shalat waktu mukim menyalahi perbuatan beliau yang

melaksanakan shalat satu persatu saat mukim pula. Hal ini berdasarkan dua hal;

Pertama; lantaran masing-masing dari keduanya memiliki legitimasi

tersendiri. Dan yang meriwayatkan dua hadits tersebut hanya satu perawi, yaitu

Ibnu Abbas. Dengan demikian, kiat mengetahui bahwa perbuatan Rasulullah saw.

yang melakukan jamak shalat ketika mukim memiliki alasan tersendiri yang

membedakannya dengan perbuatan beliau yang melaksanakan shalat satu persatu

waktu beliau mukim. Oleh sebab itu tidak ada sebab lain yang membedakannya

melainkan hujan, karena tidak mungkin alasannya adalah perasaan takut.

Kita dapati bahwa hujan dapat menimbulkan kesulitan, sebagaimana

halnya alasan yang memperbolehkan seseorang melakukan jamak shalat pada

waktu safar (bepergian) dan hal itu termasuk dalam kategori kesulitan secara

umum.

Kami mengatakan, apabila demikian hujan merupakan alasan yang

menyebabkan beliau melakukan shalat jamak antara Dhuhur dan Ashar, serta

antara shalat Maghrib dan Isya` saat beliau mukim.

Tidak boleh melakukan jamak shalat kecuali dengan alasan hujan pada

waktu seseorang tidak dalam perjalanan. Jika dia melaksanakan salah satu dari

dua shalat kemudian hujan berhenti, maka dia tidak boleh menjamak shalat yang

lain dengan shalat tadi. Akan tetapi jika dia melaksanakan salah satu dari dua

shalat kemudian hujan turun, lalu dia mulai melaksanakan shalat yang lainnya lalu

turun hujan dan kemudian berhenti, maka dia boleh meneruskan shalatnya. Jika

dia boleh masuk ke dalam shalat, maka boleh juga baginya untuk

122

Page 123: Al Umm [1] 1 Taharah Juz 1 Bag i

menyempurnakan.

Imam Syafi`i berkata: Shalat dapat dijamak, baik hujannya deras atau

tidak. Seseorang tidak boleh menjamak shalat ketika hujan kecuali bagi yang

keluar dari rumah menuju masjid, dimana disana dikerjakan shalat jamak.

Seseorang tidak boleh menjamak shalatnya ketika berada dirumah, karena

Rasulullah saw. melakukan hal itu di masjid.

Apabila seseorang shalat Dhuhur dalam kondisi tidak hujan, kemudian

turun hujan, maka tidak boleh baginya mengerjakan shalat Ashar, karena dia telah

selesai mengerjakan Dhuhur; dan dia tidak boleh menjamaknya dengan shalat

Ashar.

Demikian halnya apabila dia memulai shalat Dhuhur dalam keadaan tidak

turun hujan, kemudian setelah itu turun hujan, maka dia tidak boleh menjamaknya

dengan shalat Ashar. Seseorang tidak boleh menjamak shalatnya, kecuali apabila

ketika dia masuk pada waktu shalat yang pertama, dia telah berniat untuk

menjamak shalat. Jika keadaannya seperti ini, maka hal itu boleh baginya.

Apabila dia menjamak dapat antara dua waktu shalat pada waktu hujan,

maka dia mengerjakannya pada waktu shalat yang pertama dan tidak

mengakhirkannya pada waktu shalat yang kedua. Dan, tidak boleh menjamak

(menggabungkan) shalat pada saat mukim (tidak bepergian) ketika tidak ada

hujan.

123

Page 124: Al Umm [1] 1 Taharah Juz 1 Bag i

124