1

AHLI SUNNAH WALJAMA’AH SIMBOL FAHAMAN AGAMA TULEN SEBAGAI SISTEM NILAI DARU DA’WAH WAL-IRSYAD

Prof Dr H A Syamsul Bahri Andi Galigo, MA (Ketua Umum Pengurus Besar DDI)

Abstrak

Kajian ini memaparkan konsep fahaman Islam mengikut panduan Ahli Sunnah Waljamaah.

Darud Da’wah wal-Irsyad sebagai gerakan da’wah dan pendidikan yang lahir di Mangkoso

Sulsel, telah berhasil mengekalkan dan mengukuhkan kefahaman Ahli Sunnah Waljama’ah

sebagai system nilai dalam menggerakkan aktivitas da’wah dan pembangunan

pendidikannya. Kajian ini juga berusaha meyakinkan umat Islam umumnya dan warga DDI

khususnya bahwa aqidah Islam yang sebenar yang telah diwariskan oleh Rasulullah adalah

aqidah Ahli Sunnah Waljama’ah. Manhaj Ahli Sunnah Waljma’ah yang telah dirumus oleh

ulama terdahulu (salaf) adalah manhaj yang sesuai sepanjang zaman dalam memahami nas

al-Quran dan Hadis Rasulullah. Kemunculan firqah-firqah pemikiran dalam perkembangan

masyarakat Islam adalah satu bentuk tantangan yang perlu ditangani secara bijaksana, agar

mereka yang terpengaruh dapat sadar dan kembali kepangkuan Ahli Sunnah Waljma’ah.

Keungulan sifat dan ciri yang dirumus dalam fahaman Ahli Sunnah Waljama’ah menjadikan

ajaran dan nilai Islam sangat serasi dan sebati dengan kehidupan umat Islam sepanjang

zaman. Dan seterusnya menjadikan agama ini semakin diminati dan selalu menjadi

perhatian umat sejagat. Walaupun ada segelintir umat Islam terutama belianya yang

terpesona dengan sikap ekstrim dan melampau atasnama agama, tetapi umat Islam Ahli

Sunnah Waljma’ah tetap dominan dalam memberikan corak keseimbangan (wasatiyyah)

beragama sebagai mercutanda Islam sebagai agama rahmat bagi seluruh alam.

2

Pendahuluan

Allah Subahanahu wata’ala telah menjadikan ummat Islam sebagai Umatan Wasatan (ummat wasatiy, pertengahan, seimbang dan pilihan). Allah juga telah mengutus Rasul pilihan shallallahu ‘alayhi wasallam yang mengajak kepada keadilan, kebajikan dan menyempurnakan akhlakul karimah. Nabi Muhammad-lah yang mengajarkan kepada umat sejagat nilai-nilai peradaban dan ketamadunan bersaskan prinsip wasatiyah dan akhlak yang mulia setelah kegelapan zaman jahiliyyah, zaman yang diwarnai dengan berbagai kemaksiatan, kezaliman dan tindakan-tindakan keji yang tidak bermoral dan jauh dari prikemanusiaan.

Setelah Rasulullah wafat, para Sahabat, Tabi’in dan Atba’ tabi’ian, orang-orang yang diberikan pemahaman dan pengetahuan agama Islam (Qurra’, Fuqaha’), benar-benar mengikuti jejak Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam. Sehingga sejarah masyarakat Islam bersinar dengan tokoh-tokoh yang berpandangan wasatiyyah, seimbang dan membawa kebenaran yang tulen. Mereka itulah para ulama besar “Ahli Sunnah Waljama’ah” yang jauh dari sikap melampau (ekstrim) dan sikap sambil lewa; dalam perbuatan, perkataan dan keyakinan (aqidah), mereka senantiasa dipandu oleh kitab suci al-Quran dan Hadits Rasulullah sallahu ‘alaihi wasallam.

Dengan berlalunya waktu dan perjalanan masa, muncul pula orang-orang yang ingin mencoreng dan melakukan pengrusakan terhadap manhaj wasatiyyah, pendekatan pertengahan dan keseimbangan yang sudahpun dibangunkan oleh Ahli Sunnah Waljama’ah sejak zaman awal lagi. Mereka mencoba mengarahkan lemparannya kepada Ahli Sunnah Waljama’ah, pukulan-pukulan yang penuh kedengkian dan kebencian. Para pelampau (ekstrimis) sepanjang masa selalu berusaha menjauhkan ummat Islam dari manhaj yang hakiki dan tulen. Malah terkadang mereka mengatasnamakan juga dirinya sebagai Ahli Sunnah Waljama’ah secara dusta untuk mengelabui mata umat Islam.

Antara pendekatan yang mereka biasa gunakan ialah melakukan pembohongan (iftira’) terhadap para ulama dan tokoh Ahli Sunnah Waljama’ah dan menuding mereka telah musyrik dan kafir, untuk menjauhkan orang-orang awam dari para ulama, dan selanjutnya menghasut mereka untuk menghina para ulama tersebut dan membunuh siapapun yang

3

menyalahi fahaman mereka yang menyeleweng dengan slogan: mensucikan negeri Islam dari syirik dan pelbagai bid’ah.

Dengan sebab banyaknya pembohongan terhadap para ulama dan tingginya pekikan suara para pengacau tersebut, banyak masyarakat yang belum diterangi dengan cahaya ilmu dan tidak bersandar kepada pondasi yang kukuh tidak dapat membedakan mana Ahli Sunnah Waljama’ah yang tulen (sebenar) dan mana yang mengaku-ngaku secara dusta sebagai Ahli Sunnah. Bahkan pemahaman sebagian orang terbalik-balik, mereka menganggap bahwa Ahli Sunnah Waljama’ah adalah golongan yang sesat dan menyesatkan, sedangkan orang-orang yang memerangi dan memusuhi Ahli Sunnah merekalah golongan yang selamat, orang-orang yang bertakwa dan mendapatkan petunjuk Allah. Wa’iyazu billah.

Dengan demikian, ada keperluan yang mendesak agar para ulama dan ilmuan muslim menjelaskan tentang hakikat kebenaran yang sesungguhnya untuk membela golongan yang benar, memperkukuh fahaman Ahli Sunnah Waljama’ah dengan pendekatan wasatiyyahnya dan menjelaskan kebohongan para pendusta dan pengacau yang menyebarkan berbagai-bagai kebohongan dan kedustaan terhadap golongan Ahli Sunnah Waljama’ah yang tulen.

Sungguh kita tengah berada di zaman yang semakin memerlukan bimbingan dan penjelasan tentang hakikat kebenaran Islam dan penerangan terhadap ajaran dan fahaman yang benar tentang agama Islam serta pernyataan yang kukuh tentang kebatilan stigma yang dilekatkan kepada agama Islam dari orang-orang yang menisbahkan diri secara dusta kepada Islam dan berlagak seperti gaya Islam dan dari isu-isu negatif yang dilekatkan oleh musuh-musuh Islam yang banyak kita dengar dan diviralkan hari ini.

Sebenarnya, tidak ada yang mampu memikul tugas yang berat ini kecuali orang yang berilmu, jujur yang mengetahui fakta-fakta kebenaran agama dan mampu menjelaskannya dengan dalil-dalil yang kukuh dan nasihat yang baik. Sebenarnya usaha sedemikian telah dilakukan dan dicontohkan oleh sekian banyak para ulama yang ikhlas sepanjang masa ketika mereka menilai ada keperluan untuk itu, dan disebutkan disini sebagai contoh tanpa mengbatasi, seperti pakar hadits, al-Hafizh: Abul Qasim Ali bin Hasan bin Hibatallah bin ‘Asakir (w 571H).

Beliau menulis kitab yang bertajuk “ ب إلى اإلمام أبى الحسن االشعرىين كذب المفترى فيما نسيتب ” dan telah mematahkan berbagai tuduhan para pendusta dan membantahnya satu demi satu. Kitab tersebut telah berperanan dalam menghilangkan kerancuan yang terdapat pada sebagian orang, iaitu prasangka mereka bahwa imam Abu Hasan al-Asy’ari adalah seorang yang sesat dan ahli bid’ah, Wal ‘iyadzu billah. Dan oleh itu, Imam al-Subki menyatakan bahwa barang siapa yang tidak memiliki/ memahami isi kitab “tabyin” maka ia tidak kukuh pegangannya sebagai pengikut Ahli Sunnah Waljma’ah (kulu sunniyyin la yakunu indahu kitab al-tabyin libni Asakir, falaisa min amri nafsihi ‘ala bashirah).

Apabila kita cermati dan kita lihat realitas umat Islam di masa sekarang ini dan bahaya yang mengepung ummah dari semua arah. Musuh dari luar selalu mengintai dan berusaha memecah belah kita agar mereka mudah untuk menguasai kekayaan-kekayaan dan mengendalikan kita, maka merekapun menyebarkan di antara kita golongan-golongan dan jama’ah-jama’ah yang membawa pemikiran-pemikiran melampau yang merusak, untuk menyebarkan fitnah dalam pemikiran generasi muda kita dan menyulap mereka menjadi

4

bom waktu yang menghancurkan, membunuh dan merusak negara dengan simbol jihad yang disalah tafsirkan, padahal agama Islam tidak ada sangkut pautnya dengan mereka ini. Bukannya mereka menjadi pemuda-pemuda yang produktif yang membangun negeri dan mengangkatnya di atas pondasi dan prinsip dasar yang benar untuk mengiringi modernitas, perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan yang semakin rancak.

Antara alat dari skenario yang menghancurkan ini adalah kumpulan-kumpulan yang menggunakan pemikiran takfir syumuli (pengkafiran secara mutlak) sebagai wasilah untuk meraih kekuasan dan kedudukan di pemerintahan. Para pengikut kumpulan-kumpulan tersebut berani mengkafirkan, menghalalkan darah dan harta semua orang di luar kumpulan mereka atau yang tidak meyakini keyakinan mereka. Bahkan mereka telah berani menyesatkan majoritas umat Islam, mereka mengkafirkan ratusan juta kaum muslimin, yakni pengikut Ahli Sunnah Waljama’ah (Asya’irah dan Maturidiyyah) dengan tudingan bahwa mereka adalah para ahli bid’ah dan penyembah kuburan. Termasuk dalam barisan mereka yang dikafirkan ini, para ulama Islam yang meriwayatkan dan membawa agama kita ini secara turun temurun, generasi khalaf dari generasi salaf dari kalangan para Qurra’, Fuqaha’, para huffazh, muhadditsin, ahli tafsir, ahli bahasa, ahli ilmu aqidah; para ulama tauhid, tokoh ulama tasawwuf yang saleh. Pada hal mereka inilah yang memperjuankan Islam secara berterusan yang dapat dibuktikan melalui sanad dan syajarah ilmu yang kukuh.

Ahli Sunnah Waljama’ah Bukan Golongan Pelampau

Sebelum mengenalkan tentang golongan “Ahli Sunnah Waljama’ah”, perlu menjelaskan hadits Rasulullah tentang Iftiraq al-ummah (perpecahan umat) dan riwayat-riwayatnya disertai kesimpulan yang dapat diambil dari hadits tersebut untuk menentukan siapakah golongan yang selamat yang berpegang teguh kepada fahaman Islam yang tulen. Ini sebagai pengantar untuk mengenalkan tentang hakikat golongan yang dikenal sebagai “Ahli Sunnah Waljama’ah”.

Hadits Iftiraq al-ummah telah diriwayatkan para huffazh dalam kitab-kitab hadis mereka dengan berbagai riwayat melalui sanad hadits yang banyak. Imam Abdul Qahir al-Baghdadi menyatakan bahwa khulafa’ rasyidin dan banyak sahabat telah meriwayatkan hadits ini. Dalam riwayat Abu Dawud dalam Sunan-nya, ia berkata: maksudnya: “(1) Telah meriwayatkan kepada kami Ahmad bin Hanbal dan Muhammad bin Yahya, mereka berdua berkata: Telah meriwayatkan kepada kami Abu al-Mughirah dan meriwayatkan kepada kami Sofwan, (2) (Sanad Lain) Telah meriwayatkan kepada kami ‘Amr bin Utsman, telah meriwayatkan kepada kami Baqiyyah, dia berkata: Telah meriwayatkan kepadaku Sofwan bahwasanya Sofwan berkata: Telah meriwayatkan kepadaku Azhar bin Abdillah al-Harazi dari Abi ‘Amir al Hauzaniy dari Mu’awiyah bin Abi Sufyan, ia berdiri di hadapan kami dan berkata: Ketahuilah bahwa Rasulullah pernah berdiri di hadapan kami dan bersabda:

ا الكتاب أه ل من قب لكم من إن أال ثالث على ستف ترق ال مل ة هذه وإن مل ة، وسب عي ن ثن تي ن على اف ترقو

ن ثن تان وسب عي ن داود أبو رواه ”ال ـجماعة وهي ال ـجن ة في وواحدة الن ار في وسب عو

Maksudnya: “Ketahuilah sesungguhnya orang-orang sebelum kalian dari ahlul kitab telah berpecah menjadi 72 golongan dan sesungguhnya umat ini akan berpecah menjadi 73

5

golongan, 72 masuk neraka dan satu golongan masuk surga, iaitu al jama’ah”. (H.R. Abu Dawud dan al Hafizh Ibnu Hajar menilai riwayat ini hasan)

Hadits ini diriwayatkan oleh Imam al-Thabarani dalam al-Mu’jam al-kabir dengan lafazh:

“ تلف ـة هذه وتـخ قة وسب عي ن ثالث على األم نـتان فر ن اثـ ،”ال ـجن ة في وواحدة الن ار في وسب عو

الطبراني رواه. ”األع ظم الس واد : قال لنا، ان عت هم : فقل نا

Maksudnya: “Dan umat ini akan berpecah menjadi 73 golongan, 72 masuk neraka dan satu golongan masuk surga, kami pun berkata: sifatilah mereka untuk kami, maka beliaupun bersabda: al-Sawad al-A’zham (kumpulan yang terbanyak)” (H.R. al-Thabarani)

Hadits ini diriwayatkan oleh Imam al-Tirmidzi dengan lafazh:

“ ا ل يا هي ومن : قالو حابي و علي ه أنا ما: قال ؟، للا رسـو التـرمذي رواه ”أص

Maksudnya: Mereka berkata: “Siapakah mereka wahai Rasulullah? Beliaupun bersabda: Mereka adalah orang-orang yang memegang teguh ajaranku dan para sahabatku”. (H.R. al-Tirmidzi)

Tiga riwayat dalam hadits ini sebenarnya memiliki maksud yang sama, difahami darinya bahwa golongan yang selamat (al Firqah al-Najiyah) adalah jumlah terbanyak di tengah umat Nabi Muhammad, karena kebanyakan orang yang menisbahkan diri kepada agama Islam akan tetap berada dalam aqidah yang benar. Meski mereka memiliki beberapa kelalaian dan kemaksiatan, akan tetapi mereka tidak keluar dari lingkaran iman, sesuai kaedah yang disepakati oleh ulama Ahli Sunnah Waljama’ah: “Seorang muslim tidak boleh dikafirkan karena perbuatan dosa yang dilakukannya selama ia tidak menghalalkannya”.

Berbeda dengan fahaman golongan Khawarij yang mengkafirkan pelaku dosa besar. Salah satu firkah Khawarij; iaitu kelompok al-Bayhasiyyah, malah mengkafirkan penguasa muslim hanya karena memberlakukan undang-undang buatan manusia, meski dalam satu permasalahan sekalipun. Dari sini kemudian mereka menuntut rakyat untuk memberontak kepada penguasa tersebut. Jika tidak mahu memberontak, maka rakyat -dalam anggapan mereka- telah bekerja sama dengan penguasa mereka dalam kekufuran.

Dengan slogan “menerapkan undang-undang dan Syari’at Islam (tatbiq syari’ah)”, kita dapat melihat para pelampau melakukan profokasi terhadap masyarakat dan berbagai bangsa agar memberontak kepada para penguasa mereka. Mereka menggunakan berbagai bentuk kekerasan dan ekstrim, cara yang tidak diterima oleh syari’ah, yang mengakibatkan kerusakan dan kehancuran negeri-negeri kaum muslimin, dan memecah belah bangsa menjadi kelompok-kelompok yang bertikai dan saling bermusuhan.

Anehnya, ketika telah mencapai tampuk kekuasaan di suatu negara atau kawasan, kelompok-kelompok ekstrim tersebut sangat jauh dari menerapkan hukum syari’ah. Ini menambah keyakinan kita bahwa slogan yang mereka teriakkan “menerapkan undang-undang Islam”, dengan kejahilan mereka terhadap hukum-hukum syari’ah tidak lain hanyalah cara untuk meraih simpati dan empati kalangan masyarakat awam untuk

6

mendukung agenda besar mereka, iaitu mencapai tampuk kekuasaan dan kedudukan di pemerintahan.

Ringkasnya, sesungguhnya pemikiran al-Takfir al-Syumuli (pengkafiran secara menyeluruh) yang disuarakan oleh kalangan eksterimis terbantah dengan hadits di atas yang mengidentifikasi bahwa golongan yang selamat (al Firqah an-Najiyah) adalah al-Sawad al A’zham; jumlah terbanyak dan terbesar di tengah-tengah ummat Islam. Oleh karenanya, sangat aneh ketika ada sekelompok orang di masa sekarang yang jumlah mereka tidak lebih dari beberapa juta saja mengklaim dan menganggap bahwa merekalah golongan yang selamat dan selain mereka, iaitu ratusan juta kaum muslimin yang berseberangan dengan mereka dikatakan sesat..!

Sifat golongan yang selamat bahwa mereka adalah al-Sawad al A’zham; jumlah terbanyak, membantah klaim dan pengakuan mereka dan menyingkapi penyimpangan mereka. Bahkan, sebanyak apapun jumlah kelompok-kelompok sesat yang menisbatkan diri mereka kepada Islam tanpa asas, jumlah individu pengikutnya tidak akan melebihi jumlah individu pengikut golongan yang selamat, karena golongan yang selamat akan selalu menjadi jumlah terbanyak sepanjang masa, sebagaimana telah dinyatakan oleh Rasulullah dalam hadits yang dinyatakan di atas.

Umat Islam di Nusantara Penganut Ahli Sunnah Waljama’ah

Apabila kita lihat negara-negara umat Islam sekarang ini, kita pasti mendapatkan bahwa al-Sawad al A’zham; jumlah terbanyak di tengah umat di belahan timur dan barat adalah Ahli Sunnah Waljama’ah. Sebagai contoh; negara-negara di Nusantara (alam Melayu); Brunei, Indonesia, Malaysia, Singapura, Filipina Selatan dan Thailand selatan, penduduknya dan para ulamanya, sekarang maupun di masa lalu, adalah mayoritas penganut Madrasah Asya’irah dan Mazhab al-Syafi’iyyah, bahkan lembaga-lembaga pendidikan tradisional hingga sekarang, yang dikenal dengan “ma’had” atau pondok pesantren masih mengajarkan sifat dua puluh sesuai pendekatan pembelajaran ilmu tauhid ulama Asya’irah dan Maturidiyah. Mereka masih berpedoman dengan kitab-kitab Asya’irah dalam aqidah seperti Jawharat at-Tawhid, Ummul barahin (al-Sanusiyyah), Sullam al Mubtadiy, al-Durr al-Tsamin, Hidayah al-Salikin, Mathla’ al Badrayn, Aqidah an-Naajiin, Aqidah al-awam dan kitab-kitab lain yang masyhur. Sedangkan dari segi fiqhinya ialah mazhab al-Syafi’iyyah.

Sebagaimana juga para ulama terkenal di alam Melayu adalah Ahli Sunnah Waljama’ah (ulama Asya’irah) seperti;

- Syekh Muhammad Zain bin Jalaluddin dari Aceh, pengarang kitab Bidayah al Hidayah (lahir pada abad 10 H),

- Syekh Daud bin Abdullah al-Fathaniy; pengarang kitab-kitab yang populer yang di antaranya Sullam al Mubtadiy (lahir pada tahun 1183 H),

- Syekh Abdu Shamad dari Palembang (W. 1206 H), - Syekh Abdul Qadir bin Abdurrahim; asal Trengganu (wafat sekitar tahun 1280 H), - Syekh Tuan Manal Zainal ‘Abidin al Fathaniy; (ulama abad ke 17 H), - Syekh Muhammad Umar bin Nawawi al Bantani; (W. 1314 H),

7

- Syekh Muhammad Shaleh Darat; seorang ulama besar di Jawa dan sahabat Syekh Nawawi al-Bantani serta murid Syaikh Ahmad Zaini Dahlan, yang menulis terjemahan dan penjelasan terhadap Jawharah at-Tawhid (W. 1321 H),

- Syekh Haji Abdullah Fahim yang terkenal sangat berpegang teguh dengan aqidah Asya’irah (W. 1330 H),

- Syekh Muhammad bin Isma’il Daud al Fathaniy; pengarang kitab Mathla’ al Badrayn (W. 1333 H),

- Syekh Ahmad Khatib dari Minangkabau (W. 1334 H), - Syekh Husein bin Muhammad Nashir bin Muhammad Thayyib al Mas’udi dari Banjar;

pengarang kitab Hidayah al Mutafakkirin (W. 1354 H), - Syekh Mukhtar bin ‘Atharid al Bantawi al Bogori; menetap di Makkah dan pengarang

kitab Ushuluddin I’tiqad Ahli Sunnah Waljama’ah, - Syekh Wan Isma’il bin Abdul Qadiir bin Mushthafa al Fathani; pengarang kitab

Baakuurah al Amani, - Al-Musnid al-Muhaddits Syekh Yasin al Fadani (W. 1410 H) (Pendiri Darul Ululm

Mekah) - Sultan ‘Alauddin Sulaiman Syah yang mengarang kitab yang disebutkan di dalamnya

aqidah Asya’irah di Malaya, - Sultan Haji Omar Ali Sayfuddin Sa’dul Khairi Waddin, Sultan dan Yang Dipertuan

Negara Brueni Darussalam ke 28. - Syekh Kiyai Haji Ahmad Dahlan (Pendiri Muhammadiyah, Jokjakarta) - Syakh Kiyai Haji Hasyim Asyari (Pendiri Nahdalul Ulama, Jatim) - Syekh Sayyid Salim al-Jufri, Guru Tua (Pendiri al-Khaerat, Palu Sulteng)) - Tuan Guru Zainuddin (Pendiri Nahdatul Watan, Mataram NTB) - Anre Gurutta Haji Abdul Rahaman Ambo Dalle (Pendiri DDI , Sulsel)

Sangat jelas juga bagi kita, masih berlangsungnya berbagai tradisi dan syi’ar-syi’ar Ahli Sunnah Waljama’ah di negeri-negeri tersebut. Cukuplah menjadi contoh atas perkara itu, peringatan maulid Nabi yang menghiasi negeri-negeri tersebut dan diikuti oleh para pegawai pemerintah dan kerajaan, orang-orang fakir miskin dan umumnya masyarakat muslimin. Contoh lain bacaan qashidah-qashidah tawassul dan salawat seperti Burdah-nya al-Bushiri, zikir Syaraf al-anam, nazam al-Barazanji dan lainnya. Para ulama di negeri-negeri tersebut tetap konsisten dengan ajaran dan tradisi Ahli Sunnah Waljama’ah hingga masa ini, meskipun ada sekelompok kecil yang sedikit jumlahnya menyempal dari golongan majoritas. Lihatlah negeri ini; Brunei Darussalam, Malaysia, Indonesia yang penduduknya lebih dari dua ratus juta, para ulama-nya mayoritasnya adalah Ahli Sunnah Waljama’ah; madrasah Asya’irah dari segi aqidah dan mazhab Syafi’iyyah dalam perkara fiqh.

Keadaan sebagian besar negeri-negeri kaum muslimin juga sama seperti: Mesir, Irak, Syiria, Lebanon, Palestina, Yordania, Tunisia, Moroko, Hijaz, Libiya, al Jaza-ir, Habasyah, Afrika, Turki, Pakistan, Bangladesh dan lain-lain. Kaum muslimin di Negara-negara tersebut adalah Asya’irah atau Maturidiyyah. Bahkan India dan Cina, kaum muslimin di kedua-dua Negara tersebut mayoritasnya adalah pengikut Maturidiyyah dalam keyakinan (aqidah) dan madzhab Hanafi dalam fiqh. Jadi kesimpulan dari realitas yang nyata ini, bahwa madrasah al-Asya’irah dan al-Maturidiyyah yang berjumlah ratusan juta, mereka-lah jumlah terbesar (majoritas) yang disampaikan oleh Nabi bahwa mereka-lah al Firqah an-Najiyah; golongan yang selamat.

8

Simbol Ahli Sunnah Waljama’ah

Simbol Ahli Sunnah Waljama’ah telah digunakan oleh ulama salaf untuk menyebut al Firqah al-Na-jiyah; golongan yang selamat yang dimaksud oleh Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wasallam dalam hadits yang telah disebutkan. Al Firqah al-Na-jiyah; golongan yang selamat itu telah dikenali dengan nama “Ahli Sunnah Waljama’ah” dari masa generasi Salaf dan nama tersebut berterusan hingga sekarang.

Ibnu Abbas Radiyallahu ‘anhuma menafsirkan “yawma tabyaddu wujuh, wataswaddu wujuh” yaitu pada hari kiamat ketika wajah-wajah Ahli Sunnah Waljama’ah putih berseri-seri, sementara ahlu bid’ad mukanya menjadi hitam legam. Salah satu bukti bertulis, perkataan Imam Abu Ja’far Ahmad bin Salamah al-Thahawi (w 331 H) yang merupakan salah seorang imam besar generasi al-Salaf al-Shalih. Beliau berkata di bagian pendahuluan kitab aqidahnya yang masyhur:

“ ر هذا ل عقي دة بيان ذك وال ـجماعة السن ة أه ”.

“Ini adalah penuturan penjelasan tentang aqidah (keyakinan) Ahli Sunnah Waljama’ah”.

Malah Imam Abu Abdillah Husein bin Hasan al-Halimiy (w 403H) telah meriwayatkan satu hadits yang secara tegas Rasulullah menyebut Ahli Sunnah dalam kitabnya “al-Minhaj fie Syuabil Iman”:

عن عمرو بن العاص رضي للا عنه عن النبي صلى للا عليه وسلم قال ثالثة من اهل السنة، الصالة مع كل امارة، اهل القبلة والجهاد مع كل خالفة لك جهاده وعليه شره، والصالة على من مات من

Simbol Ahli Sunnah Waljama’ah ini diambil oleh para ulama dari hadits-hadits Nabi yang mulia. Penamaan golongan yang selamat dengan “Ahli Sunnah” juga diambil dari hadits-hadits Nabi seperti hadits:

“ ك تـي فساد عن د بسن تـي ال متمس ر لـه أم األوسط المعجم في الطبراني رواه ”شهي د أج

Maksudnya: “Orang yang berpegang teguh dengan sunnahku (peganganku) di saat rusaknya ummatku maka baginya (ia memperoleh) pahala (yang menyerupai pahala orang yang mati) syahid”. (H.R ath-Thabarani dalam kitabnya al Mu’jam al Awsath)

Maksud ( سن تـي) dalam hadits ini adalah pegangan agama Rasulullah. Karena al Firqah al-Na-jiyah; golongan yang selamat, mereka-lah yang berpegang teguh dengan ajaran Nabi dan para sahabatnya, maka mereka dinamakan Ahlu Sunnah.

Sedangkan sebutan “al Jama’ah” diambil dari beberapa hadits, di antaranya hadits:

“ قة وإي اكم بال ـجماعة علي كم أب عد، االث ني ن من وهو ال واحد مع الش ي طان فإن والفر

حة أراد من بو يل زم ال ـجن ة بـح وغيره التـرمذي رواه ”ال ـجماعة فل

9

Maksudnya : “Bergabunglah selalu dengan al Jama’ah dan janganlah kalian berpecah belah (memisahkan diri), karena sesungguhnya setan itu lebih dekat dengan orang yang menyendiri dan dia dari dua orang akan lebih jauh, barang siapa yang menginginkan tempat lapang di surga maka hendaklah ia menetapi (mengikuti) al Jama’ah” (H.R. at- Tirmidzi, 10 dan lainnya)

Maksud ”al Jama’ah” dalam hadits ini adalah Jama’ah umat Islam; yakni mayoritas ummat Islam.

Dari hadits-hadits yang telah disebutkan menjadi jelas bahwa “Ahlu Sunnah Waljama’ah” adalah al-Firqah al-Na-jiyah; golongan yang selamat dan mereka adalah majoritas (jumlah terbanyak) ummat Islam. Mereka adalah para sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka dalam prinsip-prinsip keyakinan (ushul al I’tiqad) yang disebutkan dalam hadits Jibril bahwa Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam bersabda:

“ م ورسله وكتبه ومالئكته بالل من تؤ أن اإليـ مان ه خي ره والقدر اآلخر واليو مسلم رواه ”وشر

Maksudnya: “Iman adalah engkau beriman kepada Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para rasul-Nya, hari kiamat dan qadar Allah (serta al maqdur) yang baik dan buruk” (H.R. Muslim)

Generasi terbaik Ahli Sunnah Waljama’ah adalah mereka yang hidup pada tiga abad terawal hijriyyah, mereka-lah yang dimaksud dalam hadits Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam:

“ ن خي ر ني القرو نـهم ال ذي ن ثـم قر نـهم ال ذي ن ثـم يلو الترمذي رواه ”يلو

Maksudnya: “Abad (generasi) terbaik adalah (generasi) abad di mana aku hidup, kemudian orang-orang yang hidup satu abad setelah-ku, kemudian orang-orang yang hidup satu abad setelahnya”. (H.R. al-Tirmidzi)

Kata ( ن maknanya adalah seratus tahun, pendapat ini yang dinilai kuat (rajih) oleh al (القر Hafizh Abu al Qasim ibn ‘Asa-kir dan lainnya.

Imam Abdul Qahir al-Baghdadi dalam kitab “al-Farqu bainal firaq” menegaskan bahwa para imam dan ulama Ahli Sunnah Waljama’ah diawali dengan sahabat Ali bin Abi Talib yang telah bermunazarah dengan golongan Khawarij dan Qadariyah di zamannya, kemudian Abdullah bin Abbas dan Abdullah bin Umar....kemudian dikalangan ulama Tabi’in; Umar bin Abd Aziz kemudian Zaid bin Ali Zainal Abidin, Hasan al-Basri, al-Sya’bi dan al-Zuhri, mereka ini telah berhadapan dengan golongan Qadariyah dan masing-masing telah menulis risalah tentang kesesatan aqidah golongan ini.

Seterusnya al-Baghdadi mencatatkan bahwa Imam Ja’far bin Muhammad al-Sodiq telah mewariskan bantahan terhadap golongan Khawarij, Rawafid dan Syiah al-Ghulah. Muncul juga fuqaha, ulama mujtahidin; Imam Abu Hanifah, Malik, Syafiiy, Ahmad bin Hanbal dan lain-lain. Setelah mereka datanglah tiga orang tokoh yang mampu merumus kembali prinsip aqidah Islam yang telah diwariskan oleh Rasulullah dan para sahabatnya mengikut perkembangan ilmu dizamannya dengan menggunakan manhaj kalam khusus untuk

10

membentengi aqidah Ahli Sunnah Waljma’ah dari pencemaran dan penodaan yang telah dibangkitkan oleh golongan mubtadi’ah seperti mu’tazilah, musyabbihah dan mujassimah di samping firqah-firqah lain yang muncul ketika itu. Mereka itu ialah Abu Hasan al-Asy’ariy, Abu Mansur al-Maturidiy dan Abu Ja’far al-Thahawiy.

Oleh karena pengikut Asya’irah dan Maturidiyyah adalah mayoritas ummah yang berpegang teguh dengan ajaran Nabi dan para sahabatnya terutama aqidahnya, maka para ulama menegaskan:

Al-Hafizh Murtadla al-Zabidi (1978) dalam Syarh Ihya’ ‘Ulumiddin pada bab ke dua menegaskan:

“ لق إذا ل أط وال ماتري دي ة األشاعرة بـهم فال مراد وال ـجماعة السن ة أه “.

“Jika disebut Ahlu Sunnah Waljama’ah maka yang dimaksud dengan mereka ini adalah al-Asya’irah dan al-Maturidiyyah 14 “.

Allamah Ibnu ‘Abidin (1992), seorang ulama fiqh madzhab Hanafi dalam Hasyiyah-nya mengatakan:

“ وال ماتري دي ة األشاعرة وهم وال ـجماعة السن ة أه ل “.

“Ahlu Sunnah Waljama’ah dan mereka adalah al Asya’irah dan al Maturidiyyah”

Imam Tajuddin al-Subki (1993) mengatakan:

بعة ال مذاهب وهذه “ د ولل األر ل من ها لـحق من إال واحدة العقائد في ال ـحم تـزال بأه سي م، االع وإال والت ج رها هو ، على فجم ن ال ـحق و جع فر أبي عقي دة يقر ل، وخلفا سلفا العلماء تلق اها ال تي الط حاوي بال قبو

ن ال ـحسن أبي السن ة شي خ برأ ي لل ويدي نو عري ه لـم ال ذي األش .“مب تدع إال يعارض

“Dan keempat-empat madzhab ini –Alhamdulillah- dalam aqidah yang sama, kecuali oknum-oknum yang mengikuti pembawa aqidah I’tizal dan tajsim. Kecuali oknum-oknum tersebut, maka mayoritas pengikut madzhab empat berada dalam kebenaran. Mereka mengakui kebenaran aqidah Abu Ja’far al-Thahawi yang diterima oleh para ulama salaf mahupun khalaf. Mereka beragama kepada Allah dengan rumusan aqidah yang disusun oleh Syaikh Ahli Sunnah, Abu al-Hasan al-Asy’ari, tidak akan ada yang menentang beliau kecuali ahli bid’ah”.

Penegasan dari para ulama, bahwa madrasah Asya’irah adalah pengikut ulama salaf yang sebenarnya. Mereka mengakui kebenaran al ‘Aqidah al-Thahawiyyah yang merupakan kesimpulan keyakinan al-Salaf al-Shaleh. Al-Asya’irah juga tidak memunculkan aqidah baru yang menyalahi aqidah para ulama salaf. Al-Asya’irah tidaklah seperti yang dikesankan oleh sebagian orang, bahwa Asya’irah mengikuti para ulama khalaf dan tidak mengikuti para ulama salaf. Al-Asya’irah bukanlah seperti mereka yang mengaku-ngaku sebagai pengikut para ulama Salaf, mereka mengklaim mengikuti aqidah al-Thahawi namun mereka

11

membantah pengarangnya dalam hasyiyah-hasyiyah mereka, dan mereka juga mencaci Imam al-Thahawi karena perkataannya:

د عن ) للا أي( تعالى“ كان والغايات ال ـحدو ضاء واألر وي ه ال واألدوات، واألع ت ال ـجهات تـح كسائر الس .“ال مب تدعات

“Allah Maha suci dari ukuran-ukuran, batas akhir, sisi-sisi, anggota badan yang besar, anggota badan yang kecil, yang tidak diliputi salah satu di antara enam arah penjuru maupun semua arah penjuru”.

Dalam pernyataan ini Imam al-Thahawi menegaskan bahwa aqidah para ulama Salaf ialah mensucikan Allah (tanzih) dari unsur benda, anggota-anggota badan serta tidak mengaitkan sifat Allah dengan tempat dan arah.

Syaikhuna Abdul Rahman Ambo Dalle dalam kitab “Maziyah”nya telah menetapkan ulama salaf yang menjadi rujukan Ahli Sunnah Waljama’ah, yaitu ulama Hadits, ulama Fiqh, ulama Usuluddin dan ulama Tasawwuf. Takhassus dan kepakaran mereka menjadi benteng dalam mempertahankan dan memelihara nilai dan ajaran Ahli Sunnah Waljama’ah sepanjang zaman.

Prinsip Aqidah Ahli Sunnah Waljama’ah

Seorang ulama paling terkenal yang membahas tentang prinsip dan karakteristik al Firqah al-Najiyah; golongan yang selamat ialah seorang ulama, ahli fiqh dan ushuluddin yaitu; Imam Abu Manshur Abdul Qahir bin Thahir at-Tamimi al-Baghdadi (w 429H/1037M) dan merupakan salah seorang pemuka ulama Asya’irah di zamannya dalam kitabnya yang masyhur; al-Farq bayn al-Firaq. Buku ini sesungguhnya adalah penjelasan tentang hadits iftiraq al-ummah, dalam buku ini beliau menjelaskan tentang golongan-golongan yang menyempal dari mayoritas kaum muslimin, mematahkan pendapat-pendapat mereka dan membantah mereka secara ringkas. Imam Al-Baghdadi kemudian membuat bab khusus untuk menjelaskan siapakah Firqah Najiyah (golongan yang selamat). Dalam kajian yang ringkas ini, tidak mungkin dituturkan semua apa yang disebutkan oleh al Baghdadi. Hanya saja salah satu perkara terpenting yang disampaikan dalam kitab ini tentang perinsip dan ciri-ciri Firqah Na-jiyah:

نا قد “ ل الباب في ذكر ا وسل م علي ه للا صل ى الن بي أن الكتاب هذا من األو ته اف تراق ذكر لـم ثالثا بع ده أم قة وسب عي ن بر فر قة أن وأخ قة عن سئل ناجية من ها واحدة فر هم ال ذي ن إلى فأشار صفتها وعن الن اجية الفر

حابه هو علي ه ما على نا وأص م نجد ولس ة فرق من اليو حابة موافقة على هم من األم غي ر عن هم للا رضي الص ل ة فقهاء من وال ـجماعة السن ة أه فاتي ة ومتكل مي هم األم .“الص

“Kami telah menyebutkan pada bab pertama dari kitab ini bahwa Nabi shallallahu ‘alayhi wasallam ketika menyebutkan tentang perpecahan ummatnya setelahnya menjadi 73 golongan, beliau juga mengkhabarkan bahwa satu dari golongan-golongan tersebut akan selamat. Ketika itu beliau ditanya tentang Firqah Na-jiyah dan sifat-sifatnya, beliaupun menyifati mereka dengan sifat bahwa mereka adalah orang-orang yang mengikuti ajaran Nabi dan para sahabatnya. Sekarang ini, kita tidak mendapatkan firqah yang sesuai dengan ajaran para sahabat kecuali Ahlu Sunnah Waljama’ah dari kalangan ahli fiqh ummat

12

Muhammad dan ahli kalam yang menetapkan sifat-sifat bagi Allah (al-Shifatiyyah)”. (al-Baghdadiy 1977)

Demikian juga, Imam Abu Manshur al-Maturidiy (w. 333H) menyusun bab dengan judul: ( بيان ل تمعت ال تي األصو السن ة أه ل علي ها اج ) “Penjelasan tentang prinsip-prinsip aqidah yang disepakati

oleh Ahli Sunnah Waljama’ah” dalam kitabnya “Ta’wilat Ahli Sunnah”. Beliau berbicara panjang lebar dalam menjelaskan perkara tersebut. Kertas ini akan mencoba meringkas sebagian prinsip-prinsip aqidah tersebut dalam beberapa poin, sehingga dari poin-poin tersebut dapat diperjelas siapakah Firqah Na-jiyah (Ahli Sunnah Waljama’ah) di masa sekarang ini:

1. Ahlu Sunnah Waljama’ah bersepakat untuk menetapkan adanya hakikat segala sesuatu dan meyakini kebenaran hakikat ilmu, berbeda dengan kalangan Sofistik طائي ة ) ف س .dari kalangan failasuf yang mengingkari hakikat ilmu (السو

2. Ahlu Sunnah Waljama’ah bersepakat bahwa alam ini seluruhnya adalah baru (hadis) dan alam bukanlah Allah dan bukan pula sifat-sifat Allah, berbeda dengan para failasuf dan Bathiniyyah serta golongan semacamnya sebagaimana ditegaskan oleh para ulama Ahlu Sunnah dari kalangan para ulama seperti Imam al Junaid al Baghdadi, Abu Hamid al-Ghazali dan lainnya.

3. Ahlu Sunnah Waljama’ah menyepakati bahwa Allah-lah Pencipta segala sesuatu, Allah yang menciptakan para hamba dan perbuatan-perbuatan mereka, berbeda dengan golongan Mu’tazilah dan yang berfahaman liberal.

4. Ahlu Sunnah Waljama’ah menyepakati bahwa Allah tidak memiliki permulaan ada-Nya. Allah maha suci dari ukuran, batas akhir dan jisim serta sifat-sifat jism, berbeda dengan golongan Karramiyyah dan Musyabbihah yang memahami ayat dan hadis mutasyabihat secara tekstual.

5. Ahlu Sunnah Waljama’ah menyepakati bahwa Allah mustahil disifati dengan rupa bentuk, gambar dan anggota badan, berbeda dengan Dawud al-Hawwal dan pengikut Mujassimah lainnya.

6. Ahlu Sunnah Waljama’ah menyepakati bahwa Allah tidak diliputi oleh tempat dan tidak dilalui oleh perjalanan masa, berbeda dengan perkataan sebahagian dari golongan Karramiyyah yang mengatakan bahwa Allah menempel dan menyentuh serta duduk bersemayam diatas ‘Arasy.

7. Ahlu Sunnah Waljama’ah sepakat mensucikan Allah dari sifat bergerak dan diam, berbeda dengan golongan Hisyamiyyah.

8. Ahlu Sunnah Waljama’ah sepakat bahwa Allah tidak berhajat kepada makhluk, tidak mengambil manfaat dari makhluk dan tidak menjauhkan marabahaya dari Dzat-Nya dengan makhluk, berbeda dengan perkataan orang-orang Majusi.

9. Ahlu Sunnah Waljama’ah menyepakati bahwa Allah satu (bukan dari segi bilangan), tidak ada sekutu bagi-Nya, berbeda dengan golongan Tsanwiyyah dari kalangan Majusi.

10. Ahlu Sunnah Waljama’ah menyepakati bahwa ilmu Allah, kekuasaan-Nya, hidup-Nya, kehendak-Nya, pendengaran-Nya, penglihatan-Nya dan kalam-Nya adalah sifat-sifat Allah yang azali (tidak bermula) dan abadi (tidak berpenghabisan), berbeda dengan golongan Muta’zilah dan Jahmiyah yang menafikan sifat-sifat Allah sedemikian.

11. Ahlu Sunnah Waljama’ah menyepakati bahwa Allah akan dilihat oleh orang-orang mukmin di akhirat (dalam Syurga) tanpa disifati dengan sifat-sifat makhluk, tanpa

13

tempat dan tanpa arah, berbeda dengan golongan Qadariyyah dan Jahmiyyah yang menafikannya.

12. Ahlu Sunnah Waljama’ah menyepakati bahwa kalam Allah ‘azza wa jalla adalah sifat Allah yang azali, bukan makhluk dan tidak diciptakan dan bukan baru (hadis), berbeda dengan perkataan Qadariyyah/Muktazilah yang mengklaim bahwa Allah menciptakan kalam-Nya pada jism (benda) tertentu, berbeda dengan perkataan Karramiyyah bahwa kalam Allah baharu (muncul) pada dzat-Nya.

13. Ahlu Sunnah Waljama’ah menyepakati bahwa Allah mengutus para rasul-Nya kepada para hamba-Nya. Rasul pertama ialah Nabi Adam dan rasul terakhir ialah Nabi Muhammad. Berbeda dengan golongan Barahimah yang mengingkarinya.

14. Ahlu Sunnah Waljama’ah menyepakati bahwa para nabi lebih mulia dari para wali. Berbeda dengan pendapat yang mengganggap di antara para wali ada yang lebih mulia dari para nabi.

15. Ahlu Sunnah Waljama’ah menyepakati bahwa Abu Bakar al-Siddiq adalah khalifah yang sah setelah Rasulullah.

16. Ahlu Sunnah Waljama’ah menyepakati bahwa iman tidak akan hilang karena melakukan dosa di bawah kekufuran. Barang siapa yang melakukan perbuatan dosa di bawah kekufuran maka ia dihukumi sebagai muslim, akan tetapi dinilai fasiq karena dosanya, berbeda dengan golongan Khawarij.

17. Ahlu Sunnah Waljama’ah tidak saling mengkafirkan di antara mereka, dan tidak ada di antara mereka perbezaan yang mengakibatkan keterlepasan dari sebagian yang lain dan mengkafirkannya.

Peranan Ulama Memelihara ketulenan Ahli Sunnah Waljama’ah

Sebagai contoh yang terang atas peranan para ulama dan para pemimpin dari kalangan Asya’irah dan Maturidiyyah dalam menjaga ketulinan Ahli Sunnah Waljama’ah, dan contoh yang paling baik atas perkara ini adalah Sultan Mujahid al ‘Alim al Faqih Shalahuddin al Ayyubi yang beraqidah Ahli Sunnah Waljama’ah (Asy’ari) dan bermadzhab Syafi’i, lahir pada tahun 532H, beliau adalah orang yang ‘alim, shalih, tawadlu’, wara’ dalam beragama, zuhd, sangat memperhatikan shalat berjama’ah, bersamangat dalam melaksanakan sunnah, shalat sunnah dan shalat malam, hafaz al Qur’an, hafaz kitab al-Tanbih dalam fiqih Syafi’i, banyak mendengarkan hadits dan merasa cukup dengan pemberian Allah serta tidak takut akan celaan orang yang mencela dalam membela agama Allah.

Beliau sangat perihatin dalam membangun persatuan ummah, maka beliau menjaga negara-negara umat Islam serta menguasai dari penjuru Yaman ke al Maushal, dari Tharabulus bahagian barat ke Naubah, menguasai semua daratan Syam, semua daerah Yaman dan penduduknya, Qatar, Bahrain, Oman, seluruh daerah Hijaz seluruh daerah Najd dan Mesir. Beliau memakmurkan masjid-masjid dan sekolah-sekolah, mamakmurkan daerah pegunungan, tembok perbatasan-perbatasan Mesir, membangun kubah maqam Imam Syafi’i, mengalahkan musuh, menaklukan lebih dari 70 kota dan membebaskan al Quds setelah dijajah 90 tahun. Beliau wafat pada tahun 598H.

Sedangkan peranannya dalam menjaga ketulenan Ahli Sunnah Waljama’ah adalah seperti yang disebut dalam Manaqib-nya: Menyuruh para muadzin untuk mengumandangkan waktu

14

tasbih/tarhim di atas menara pada malam hari dengan membaca al ‘Aqidah al Mursyidah yang merupakan ringkasan aqidah Ahli Sunnah Waljama’ah, maka para muadzin membacakannya setiap malam di setiap masjid jami’. Hal tersebut berlangsung selama 400 tahun lebih.

Ahli sejarah Taqiyuddin al Maqrizi (w 845H) berkata dalam kitabnya “al Mawa’izh wal I’tibar bi Zikr al Khuthath wa al Atsar”: “Setelah Sultan Shalahuddin Yusuf bin Ayyub berkuasa, beliau memerintahkan para muadzin untuk mengumandangkan waktu tasbih dan tarhim pada waktu malam di atas menara dengan menbacakan aqidah yang masyhur dengan sebutan al Mursyidah, maka para muadzin membacanya setiap malam disemua masjid jami’ Mesir sampai sekarang”.

Al-Hafizh Jalaluddin al-Suyuthi al-Syafi’i (w 911 H) dalam kitabnya al-Wasail fi Musamarat al-Awail: ”Setelah Sultan Shalahuddin bin Ayyub berkuasa beliau menyuruh para muadzin untuk mengumandangkan di waktu tasbih dengan membacakan aqidah Ahli Sunnah Waljma’ah (Asyariyyah), maka para muadzin membacanya setiap malam sampai saat ini”.

Al-‘Allamah Muhammad bin ‘Alan al-Siddiqi al-Syafi’i (w 1057H) mengatakan dalam kitabnya al-Futuhat ar-Rabbaniyyah ‘ala al Adzkar an-Nawawiyyah: ”Setelah Shalahuddin bin Ayyub berkuasa dan membawa manusia atas keyakinan madrasah al Asy’ariyah beliau menyuruh para muadzin untuk megumandangkan aqidah Ahli Sunnah yang terkenal dengan al-Aqidah al Mursyidah pada waktu tasbih, maka mereka membacanya setiap malam”.

Dalam kitab Thabaqat al-Syafi’iyah al-Kubra karangan Tajuddin al-Subki (1993) disebutkan bahwa Syaikh Fahkruddin ibn ‘Asakir rahimahullah (w. 620H) mengajar al ‘Aqidah al Mursidah di Damsyiq.

Al Hafidz Shalahuddin al ‘Alai (w 761H) berkata sebagaimana yang dinukil oleh al-Subki dalam ath-Thabakat: ”Penulis al ‘Aqidah al Mursidah ini berada di atas manhaj dan keyakinan yang lurus serta benar dalam mensucikan Allah ta’ala”.

Tajuddin al-Subki (w 771H) berkata dalam kitabnya Mu’id an-Niqam wamubid an-niqam: ”Keyakinan aqidah Imam al Asy‘ariy merupakan keyakinan yang terkandung dalam aqidah Abu Ja’far al-Thahawi, aqidah Abu al Qasim al Qusyairi dan al ‘Aqidah al Mursyidah, semuanya sama dalam dasar dan prinsip aqidah Ahlu Sunnah Wal jama’ah”.

Beliau berkata lagi, setelah menyebutkan “al-‘Aqidah al-Mursyidah” secara sempurna: ”Ini adalah akhir dari aqidah dan di dalamnya tidak ada ajaran yang di ingkari oleh ulama Ahli Sunnah Waljama’ah”.

Shalahuddin al-Ayyubi menyuruh untuk mengajarkan nazham yang dikarang untuknya oleh Muhammmad bin Hibah al Barmaki al-Asy’ariy yang namanya Hadaiq al Fushul wajawahir al ‘Uqul kepada anak-anak di sekolah dan madrasah, di antara bait sya’irnya :

تشبيه عن للا تعالى قطر يحويه ال الـعـالـم وصانـع كانا ما على االن وحكمه مكـانـا وال مـوجـودا كـان قد الزمان تغير عن وعز المكان عن جـل سبحانه

15

العلو بجهة خصه من الغلو فـي وزاد غـال فـقـد

-Dan Pencipta alam tidak diliputi oleh arah, Allah maha suci dari menyurapai (mahkluk-Nya).

-Sungghu Allah sememangnya (sebelum ada tempat) dan (setelah menciptakan tempat) Allah ada seperti sedia kala.

-Mahasuci (Allah) Mahaagung daripada tempat dan Maha Suci (Allah) Mahaperkasa dari perubahan waktu

-Maka sungguh melampau dan sangat berlebihan, orang yang menetapkan (Allah) berada di arah (tempat) atas.

Dari uraian dan penerangan di atas dapat disimpulkan sebagai berikut:

1- Berbagai riwayat hadits tentang perpecahan umat menunjukkan bahwa golongan yang selamat adalah golongan majoritas umat ini yang berpegang teguh dengan ajaran agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alayhi wasallam dan ditumbuh suburkan oleh sahabat, tabiin dan atba’ tabiin.

2- Golongan Ahli Sunnah Waljama’ah adalah golongan majoritas yang berpegang teguh dengan ajaran agama yang dibawa Rasulullah dan para sahabat Baginda, maka merekalah yang dimaksud dengan al firqh al-Najiyah.

3- Simbol “Ahli Sunnah Waljama’ah” diambil dari hadis-hadis Nabi dan yang sesuai dengan pendekatan Fuqaha’ dari mazahib arba’ah dan manhaj aqidah Madrasah Asya’irah dan Maturidiyyah.

4- Tokoh-tokoh dan para ulama Nusantara (alam Melayu) yang terkenal merupakan dari golongan Ahli Sunnah Waljama’ah dari Madrasah Asya’irah.

5- Para ulama dan pemimpin yang berasal dari madrasah al-Asya’irah dan al-Maturidiyyah mempunyai sumbangan yang besar dan peranan yang sangat penting dalam menjaga ketulenan aqidah umat Islam hingga ke hari ini.

DDI DAN AHLI SUNNAH WAL JAMA”AH Kesepakatan ulama Ahli Sunnah Waljama’ah di Sulawesi Selatan tentang berdirinya satu

organisasi keagamaan (jam’iyyah diniyyah) yang diberi nama: Daru Da’wah wal-Irsyad (DDI)

adalah satu segmen sejarah yang cukup signifikan akan perkembangan umat Islam di tanah

Bugis, Sulawesi Selatan dan sekitarnya. Perkataan “Daru Da’wah wal-Irsyad” dari bahasa

Arab bermakna: Wadah perjuangan untuk dakwah dan pendidikan.,

Organisasi ini merupakan organisasi terawal di abad ke-20 di Sulawesi Selatan. Ia merupakan

satu gerakan keagamaan yang dilimpahkan pelaksanaannya, baik secara organisasi maupun

pendidikan kepada AGH. Abdul Rahman Ambo Dalle. Ia adalah gerakan dakwah dan

16

pendidikan yang bertujuan untuk membangun masyarakat dari segi fahaman keislaman yang

mengedepankan manhaj Ahli Sunnah Waljama’ah (ASWJ) melalui dakwah dan pendidikan

mengikut perkembangan zaman.

Keadaan umat Islam yang melatarbelakangi berdirinya organisasi ini adalah munculnya

pelbagai fahaman Islam yang saling bertentangan antara satu sama lain yang

membingungkan masyarakat Islam ketika itu. Masalah furuiyyah dalam fiqh Islam terkadang

menjadi ajang perbincangan di kalangan para muballig dalam mesjid, begitu juga munculnya

pengaruh ajaran kebatinan melalui praktek tarikat tasawwuf sehingga institusi tarikat

tasawwuf menjadi sasaran serangan oleh sebagian masyarakat Islam ketika itu.

Musyawarah Alim Ulama ASWJ berpendapat bahwa usaha memelihara ASWJ diperlukan

peningkatan sistem pendidikan Islam. Itulah merupakan jalan terbaik untuk menyelesaikan

persoalan masyarakat sedemikian, karena masa itu Indonesia pun telah berdiri sebagai

sebuah Negara Merdeka (1945) dan Raja-raja di tanah Bugis telah menerima integrasi

kerajaan masing-masing untuk bergabung ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia

(NKRI).

Dengan sistem pendidikan yang sepadu dan teratur dapat mengukuhkan fahaman ASWJ dan

mengurangi perselisihan pandangan umat Islam dan seterusnya akan lebih mementingkan

persatuan dan persaudaraan sesama umat Islam dan warganegara dalam mengisi

kemerdekaan yang baru saja diraihnya.

Di antara ulama yang hadir dalam musyawarah tersebut ialah Syaikh Abdul Rahman Firdaus

(Parepare), Syaikh Ahmad Afifi al-Masriy (Sengkang) Syaikh Sayyid Muhammad Alwi al-Ahdal

(Mandar), Syaikh Abdul Rahman al- Jawwad (Bone), AGH. Abdul Rahman Ambo Dalle

(Soppeng Riaja), AG. Haji Daud Ismail (Soppeng), AGH. Abduh Pabbajah (Sidenreng), Sayyid

Hasan Yamani (Teteaji), Sayyid Abdul Rahman al-Saqqaf (Maros), AGH. Abdul Muin Yusuf

(Rappang), AGH. H. Muhammad Saleh (Majene), AG. Haji Jalaluddin (Pambusuang) AG. Haji

Ramli (Palopo), AG. Haji Junaide (Bone), AGH. Muhammad Yafii (Parepare) dan lain-lain.

17

SIMBOL DARUD DA’WAH WAL-IRSYAD (DDI)

Beberpa simbol atau nama yang diusulkan ketika itu, sebagai nama organisasi tersebut, di

antaranya Awn al-Rafiq, al-Furqan, Nasr al-Haq dan Darud Da’wah wal Irsyad dan lain-lain

lagi. Nama DARUD DA’WAH WAL-IRSYAD adalah nama yang diilhamkan oleh Syaikh Abdul

Rahman Firdaus, (Seorang ulama asal Hijaz yang sejak tahun 1921 berhijrah ke Sulawesi

Selatan) salah seorang anggota Musyawarah Alim Ulama ASWJ ketika itu yang berlangsung

di Kota Soppeng. Beliau mengusulkan nama tersebut karena di Mesir ketika itu telah eksis

satu gerakan pemikiran Islam yang dikembangkan oleh Syeikh Sayyid Rasyid Reeda (Sahabat

Syeikh Muhammad Abduh dan Syeikh Jamaluddin al-Afghani) yang juga diberi nama:

دار الدعوة واالرشاد

Gerakan ini telah berjaya menetralisir dua pemikiran Islam yang berkembang di dunia Islam

ketika itu, yaitu Pemikiran Salaf Wahabi, dan Pemikiran Salaf Asyairah. Pemikiran Salaf

Wahabi yang cenderung tekstual (nassiy) sementara pemikiran salaf Asyairah lebih terbuka

dan terfokus kepada pendekatan rasional (aqliy). Penomena ini telah dicermati oleh Syeikh

Rasyid Reeda di Cairo Mesir kemudian menghasilkan persatuan atau jam’iyyah: DARU

DA’WAH WAL-IRSYAD sebagai satu wadah gerakan untuk menjembatani antara kedua aliran

pemikiran tersebut dengan menitik beratkan kepada pendekatan WASATIYAH Ahli Sunnah

Waljama’ah.

Dari sudut terminilogi, Darud Da’wah Wal-Irsyad merangkumi tiga patah kata, yaitu “dar”

yang berarti wadah atau tempat, “da’wah” yang berarti sosialisasi Islam kepada non muslim

dan “irsyad” adalah panduan peneterapan nilai-nilai (pendidikan) Islam di kalangan umat

Islam.

Dengan pemahaman makna seperti itulah para ulama Sulawesi Selatan yang bermusyawarah

ketika itu di Soppeng bersepakat menerima baik nama Darud Dakwah wal-Irsyad kemudian

disingkat DDI dalam versi Bahasa Indonesia dan Addariyah dalam versi bahasa Arab. Hal ini

disebabkan karena tujuan dan hadaf yang dicita-citakan oleh mereka adalah untuk mencari

jalan tengah (manhaj wasatiy) dalam mengantisipasi pemikiran Islam yang berkembang di

Sulawesi Selatan pada masa itu, yaitu pemikiran Islam kaum muda dan kaum tua yang

18

ternyata memberi kesan negatif kepada nilai-nilai Islam yang berkembang di tanah Bugis

ketika itu. Apatah lagi, dengan munculnya pelbagai ideologi yang menyimpang, baik yang

bersifat tradisional melalui tarikat-tarikat tasawuf yang berbauh kebatinan, maupun yang

moderen seperti sekularisme, komunisme, libralisme, kapitalisme dan sosialisme (fahaman

dari Barat)

MAI MANGKOSO BENIH UNGGUL DARUD DA’WAH WAL-IRSYAD

Kesepakatan musyawarah ulama ASWJ memberi kepercayaan penuh kepada AGH. Abdul

Rahaman Ambo Dalle untuk memimpin serta menggerakkan organisasi itu. Dengan

pertimbangan bahwa beliau telah terbukti kepemimpinannya, telah berhasil membangun

Madrasah Arabiyah wal-Islamiyah (MAI) Mangkoso, jauh lebih berkembang malah

mengalahkan MAI Sengkang pada waktu itu. Angre Gurutta juga memiliki pengetahuan

managerial yang baik yang telah dipelajarinya melalui sekolah Syarikat Islam (SI) di Makassar

dan mempunyai kemahiran administrasi pendidikan yang cukup mumpuni ketika itu.

Langka awal yang dibenahi oleh Angre Gurutta di Mangkoso adalah integrasi MAI yang

dipimpinnya menjadi bagian dari aktivitas organisasi Darud Da’wah Wal-Irsyad. Oleh sebab

itulah MAI Mangkoso bisa dikategorikan sebagai bibit unggul dalam perkembangan awal

Darud Da’wah wal-Irsyad. Di Mangkosolah titik awal munculnya Darud Da’wah wal-Irsyad,

baik dari segi organisasi maupun sebagai lembaga pendidikan; madrasah atau pesantren.

Oleh karena MAI Mangkoso sebagai cikal bakal DDI sudah berdiri dan berjalan lancar sejak

sembilan tahun sebelumnya, yaitu tahun 1938, maka seyogia perhitungan awal sejarah DDI

ialah tahun 1938. Hanya nama dan simbol DDI, baru dikenal setelah Musyawarah Alim

Ulama Ahli Sunnah Waljama’ah di Watang Soppeng pada tahun 1947. Pandangan ini telah

direstui oleh AGH Ali Yafie (Ketua Majelis Syuyukh DDI) di Jakarta baru-baru ini.

Angre Gurutta Ambo Dalle terus berpacu membangun DDI, baik sebagai organisasi maupun

sebagai pusat pendidikan Islam (pesantren). Perkembangan ini ditandai dengan pembukaan

cabang-cabang DDI yang berbasis madrasah dan pesantren di berbagai kawasan dan daerah

di Sulawesi Selatan, misalnya di Pattojo - Soppeng, Paria - Wajo, Siwa - Wajo, Bonto-bonto-

19

Pangkajene dan lain-lain. Dengan demikian Angre Gurutta Ambo Dalle dalam perkembangan

DDI selanjutnya telah disepakati sebagai Pendiri Darud Da’wah wal-Irsyad.

Di antara ulama yang aktif membantu Angre Gurutta membangunkan DDI pada peringkat

awal adalah AG. Muahammad Amin Nasir, AG. Haruna Rasyid, AG. Abdul Rahman

Matammeng, AG. Muhammad Ali Yafi, AG. Muhammad Abduh Pabbajah, AG. Muhammad

Yusuf Hamzah, AG. Muhammad Aqib Siangka, AG. Muhammad Amberi Said, dan AG.

Mahmud Fasih.

Di samping pembukaan cabang DDI di kawasan Sulawesi, Anre Gurutta juga meluaskan

aktivitasnya dengan menemui ulama-ulama besar yang sama-sama berkiprah di dunia

pendidikan dan da’wah. Antara yang beliau kunjungi dipringkat awal ialah Guru Tua, Sayyid

Idrus bin Salim al-Jufrie (Pendiri Al-Khaerat, w 1969) di Palu, Sulawesi Tengah. Dalam

pertemuan inilah dapat bersilaturahmi dengan Tuan Guru Muhammad Zainuddin Abdul

Majid (Pendiri Nahdatul Watan di Mataran, w 1987) yang kebetulan juga datang menziarahi

Guru Tua. Tiga tokoh ulama pendidikan dan da’wah ini telah bertekat bersama memelihara

dan mempertahankan Ahli Sunnah Waljama’ah di lembaga pendidikan masing-masing

dalam mengisi kemerdekaan NKRI. Angre Gurutta pernah mengatakan bahawa syair

kemerdekaan yang ditulis oleh Guru Tua langsung dibaca bersama dihadapan guru-guru al-

Khaerat ketika itu dan kami yang mengaminkannya.

Selanjutnya Angre Gurutta membuka pesantren kedua di Kota Parepare dan pada waktu itu

beliau dilantik menjadi Qadi Parepare. Beberapa waktu lamanya beliau ulang alik Mangkoso-

Parepare, akhirnya DDI Mangkoso diamanahkan kepada kader terbaiknya yaitu AGH. Ambri

Said (Gurutta Puang Imam) untuk meneruskan kepemimpinan Pesantren DDI Mangkoso,

yang kini diteruskan oleh putranya, AGH. Prof Dr Muhammad Faried Wajdie, MA.

DDI Parepare dipimpin langsung oleh Angre Gurutta yang berlokasi pada awalnya di samping

Mesjid Raya Parepare dan mengalami perkembangan yang cukup pesat sehingga hanya

beberpa tahun kemudian, DDI Parepare menjadi terkenal di Sulawesi dan di luarnya. Maka

berdatanganlah santri-santri dari berbagai pelosok tanah air, termasuk dari Pulau Sumatra

dan Kalimantan. Oleh sebab lokasinya sudah tidak cukup lagi menampung santri yang

20

berdatangan itu, akhirnya Anre Gurutta berikhtiar untuk pindah lokasi di pinggir kota

Parepare yang dikenal sebagai Ujung Baru lalu kemudian santri lelakinya dipindahkan ke

Ujung Lare. Kini Pesantren DDI Ujung Lare Parepare dipimpin oleh AGH. Prof Dr Abdul Rahim

Arsyad, MA.

AGH. Mahmud Fasih adalah seorang tokoh dakwah DDI, sejak awal gerakan DDI di Mangkoso

beliau telah berkeliling di Sulawesi, Kalimantan dan Sumatra memperkenalkan DDI dan ikut

mendorong masyarakat untuk mengirim anak-anak mereka belajar di DDI. Malah dikatakan

bahwa beliau telah merintis berdirinya madrasah DDI di Johor, Malaysia (kini madrasah itu

telah diambil oleh pemerintah dan diganti nama menjadi Madrasah Bughisiyyah Johor).

Demikianlah DDI Parepare dan DDI Mangkoso sebagai pusat pendidikan Islam Sulawesi

Selatan berkembang dengan pesatnya, walaupun rintangan dan tantangan dalam

perjuangan Anre Gurutta tetap saja ada. Terutama setelah ditakdirkan beliau masuk hutan

bersama Abdul Qahhar Muzakkar, pimpinan pergerakan Darul Islam (DI) di Sulawesi Selatan.

Walaupun Angre Gurutta masuk hutan akan tetapi beliau masih meneruskan aktivitas

pendidikannya walaupun dalam bentuk yang sangat terbatas.

AGH Ali Yafie dan AGH Muhammad Abduh Pabbajah adalah dua sosok ulama DDI yang

memberi sumbangan besar kepada pengembangan DDI dibidang organisasi dengan

menyusun Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga DDI untuk pertama kalinya dalam

dua versi Arab dan Indonesia.

AGH Muhammad Amin Nasir juga telah dikirim oleh DDI ke Jakarta atas permintaan Liga

Islam di Jakarta. Demikian juga ketika AGH. Ambo Dalle di hutan bersama Abdul Qahhar

Muzakkar, AGH Ambri Said terus membenahi bidang pendidikan Darud Da’wah wal-Irsyad di

Mangkoso dan AGH. Haruna Rasyid di Parepare.

Pada awal tahun 1960an, AGH Ambo Dalle kembali aktif di Parepare dengan membenahi

pesantren yang telah ditinggalkan beberapa tahun. Perkembangan demikian pesat sehingga

dalam masa tak begitu lama DDI, Ujung Lare kembali maju dan telah berhasil mendirikan

Pusat Kaderisasi Ulama yang disebut al-Ma’had al-‘aliy li al-Dirasat al-Islamiyyah, Lembaga

21

pendidikan ini dikukuhkan melalui “haeat al-takaful” di atas kerja sama antara empat

pondok Pesantren besar di Sulawesi Selatan, yaitu Pesantren DDI (Parepare), Pesantren

As’adiyah (Sengkang), Pesantren al-Tarbiyyah (Soppeng) dan Pesantren al-Hadith (Bone).

Di samping pusat pendidikan ini, DDI juga telah berhasil mendirikan sebuah universitas

pertama di Parepare yang diberi nama Universitas Islam Addariyah. Universitas ini telah

mengembangkan sayapnya dengan membuka beberapa fakultasnya di daerah-daerah

berpotensi seperti Mangkoso (Syariah), Pinrang (Tarbiyah), Polman (Pendidikan), Majene

(Tarbiyah), Sidrap (Tarbiyah) dan Pangkep (Tarbiyah). Namun sekarang kesemua ini telah

termakan masa yang tinggal hanyalah Institut Agama Islam DDI Polman, Universitas

Asy’ariyah DDI Polman dan STAI DDI dibeberapa daerah seperti Parepare, Pinrang,

Mangkoso, Pangkep dan Maros.

Setelah di Parepare kelihatan berkembang dan cukup maju, maka Angre Gurutta

mengamanahkan kepemimpinan DDI Ujung Lare kepada AGH. Muhammad Yusuf Hamzah

bersama AGH. Abu Bakar Zainal meneruskannya. Dan Angre Gurutta berhijrah ke Pinrang

(Desa Kaballangan) atas permintaan tokoh-tokoh Pinrang terutama Haji Andi Patonangi

(Bubati Pinrang) dan Puang Milu (Ketua DPRD) dan Petta Baso Bau Massepe. Penghijrahan

ini terjadi pada akhir 1978 yang ditandai dengan masuknya Angre Gurutta ke Golkar

bergabung dengan pemerintahan Soeharto pada waktu itu. Walaupun masyarakat Islam

ketika itu menganggap satu yang tabuh jika seorang ulama masuk Golkar akan tetapi atas

dasar istikharah Angre Gurutta di samping pertimbangan demi kelancaran pendidikan dan

dakwah yang diembannya beliau memberanikan diri menerima tawaran Golkar sebagai

perahu politiknya, dan akhirnya masyarakatpun menerimanya.

Dengan sikap dan ikhtiar seperti itu, Angre Gurutta berhasil membangun Pesantrennya yang

ketiga yang diberi nama Manahilil Ulum Kabalangan Pinrang menjadi pondok Pesantren

terbesar di Indonesia bahagian timur di masa hidup beliau. Di pesantren inilah beliau

berjuang membangun masyarakat Islam melalui pendidikan dan dakwah hingga beliau

menerima panggilan Ilahi. Sekarang ini Pesantren Manahilil ‘Ulum DDI Kaballangan Pinrang

dipimpin oleh AGH Drs Lukmanul Hakin bersama putra satu-satunya Angre Gurutta yang

masih hidup yaitu Ustaz Haji Muhammad Rasyid Rida Ambo Dalle, Sag.

22

Demikian DDI berkembang dengan pesatnya mulai dari awal berdirinya pada tahun 1930an

hinggalah kepada kewafatan Angre Gurutta Ambo Dalle al-Maghfuru lah pada tahun 1996.

Tiga pesantren yang dibangunnya yaitu Pesantren DDI Mangkoso (Barru), Ujung Lare

(Parepare) dan Kaballangan (Pinrang) merupakan pilar keunggulan DDI yang tidak boleh

dipisahkan satu sama lain, karena ketiga-tiganya adalah buah tangan atau hasil jihad dan

ijtihad Angre Gurutta yang diwariskan kepada kita warga DDI semua. Tiga pesantren ini

merupakan Three in One yang mesti dipadukan menjadi ikon (mercu suar) DDI diseluruh

Indonesia.

Dan akhirnya, semoga DDI tetap melaju mempertahankan khittah dan sirah DDI menjadi

sebuah organisasi dan gerakan dakwah dan pendidikan dalam rangka memelihara nilai-nilai

dan ajaran Islam mengikut panduan manhaj Ahli Sunnah Waljama’ah. Di samping

memulihara keutuhan dan kelangsungan NKRI berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.

23

BUKU BACAAN

1- Al-Subki, Tajuddin Abdul Wahhab bin Ali, Thabaqat asy-Syifi’iyyah al Kubra ( Hijr. C 2, 1413 H )

2- Al-Subki, Tajuddin Abdul Wahhab bin Ali, Mu’id an-Niqam wamubid an-niqam ( al Qahirah, maktabah al Khanijiy, C 2, 1413 H/ 1993 M )

3- Ibnu ‘Abidin, Muhammad Amin bin Umar, Radd al Muhtar ‘ala addurr al Mukhtar, ( Beirut, Darul Fikr, C 2, 1412 H/1992 M )

4- Ibnu ‘Asakir, Ali bin al Hasan bin Hibatullah, Tabin Kadzib al Muftari ‘ala Abi al Hasan al Asy’ari ( Beirut, Darul Kitab al ‘Arabiy, 1399 H/ 1979 M )

5- Ibnu ‘Allan, Muhamad ash-Shiddiqiy, al Futuhat ar-Rabbaniyyah ‘ala al Adzkar an-Nawawiyyah ( al Maktabah al Islamiyyah li Riyadl asy-Syekh)

6- Abu Daud, sulaiman bin al Asy’ats, Sunan Abi Daud ( Beirut, al Maktabah al ‘Asyriyyah)

7- Al-Baghdadi, Abu Manshur ‘Abdul Qahir bin Thahir, al Farq Baina al Firaq, (Beirut, Dar al Afaq al Jadidah, C 2, 1977 H)

8- Al-Tirmidzi, Muhammad bin ‘Isa, Sunan at-Tirmidzi, (al Qahirah, Syarikah wamathba’ah Mushthafa al Baby al Halabiy, C 2, 1411 H/1976 M)

9- Al-Hakim, Muhammad bin Abdillah, al Mustadrak ‘ala ash-Shahihain, (Beirut, Dar al Maktabah al ‘Ilmiyyah, C 1, 1411 H, 1975 M)

10- Al-Zabidi, Muhammad Murtadla, Ithaf as-Sadat al Muttaqin bi Syarhi Ihya’ Ulumiddin, (Beirut, Dar al Fikr)

11- Al-Suyuthi, Abdurrahman, al Wasail fi Musamarat al Awail, (Beirut, Dar al Kutub al ‘Ilmiyyah)

12- Al-Thabarani, Sulaiman bin Ahmad, al Mu’jam al Awsath, (al Qahirah, Dar al Haramain)

13- Al-Thabariy, Muhammad bin Jarir, Jami’ al Bayan fi Ta’wili al Qur’an, (Beirut, Muassasah ar-Risalah, C 1, 1420 H/2000 M)

14- Al-Thahawi, Abu Ja’far Ahmad bin Salamah, al ‘aqidah ath-Thahawiyah, silsilah al Mutun (1416 H/1995 M)

15- Al-‘Asqalani, Ahmad bin Hajar,Talkhish al Habir, (Mesir, Muassasah Qurthubah, 1416 H/ 1995 M)

16- Al-Qurthubi, Muhammad bin Ahmad, Tafsir al Qurthubi, (al Qahirah, Dar al Kutub al Mishriyyah, 1384 H/1964 M)

24

17- Al-Haitsami, Ali bin Abi Bakr, Majma’ az-Zawaid wamanba’ al Fawaid, (al Qahirah, Maktabah al Maqdisi, 1414 H/ 1994)

18- Wan Muhammad Abdullah, Majmu’ah al A’mal al ‘Ilmiyyah, (Kuala lumpur, al Khazanah al Fathaniyyah, 1991 M).

19- Pusat Pengkajian Kefahaman ASWJ, Siri Panduan Kefahaman Ahli Sunnah Waljama’ah(3). (Penerbit KUPU SB, 2015).

25

KETERANGAN PERIBADI

PROF DR H A SYAMSUL BAHRI ANDI GALIGO @-Ketua Umum Pengurus Besar Darud Da’wah Wal-Irsyad (Indonesia) @-Guru Besar (Profesor), Pusat Pengkajian Kefahaman Ahli Sunnah Waljama’ah, KUPU SB (Brunei Darussalam) Pendidikan: -PhD, Usuluddin & Falsafah (Universiti Kebangsaan Malaysia) 1998 -MA, Falsafah Islam (University Cairo, Mesir) 1987 -BA, Aqidah & Falsafah (University al-Azhar, Mesir) 1983 -Ma’had ‘Aliy DDI (Parepare, Sulsel) 1978 Pengalaman: -Tutor/Dosen, Universitas Islam Addariyah dan STAI DDI, -Pensyarah/Pensyarah Kanan, Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM), -Prof. Madya/Profesor di Universiti Sains Islam Malaysia (USIM), -Timbalan Dekan Fakulti Kepimpinan dan Pengurusan, USIM, -Ketua Program Dakwah dan Pengurusan Islam, FKP, USIM, -Ketua Bidang Pengkajian Aqidah, Institut Pengurusan Fatwa Sedunia (INFAD) USIM, -Ahli Pentashih Terjamah & Tafsir Al-Quran al-Karim (Bahasa Bugis), Majlis Ulama Indonesia, Sulawesi Selatan. -Pengarah Pusat Pengkajian Kefahaman ASWJ, di Kolej Universiti Perguruan Ugama Seri Begawan Negara Brunei Darussalam -Menyelia puluhan tesis dan disertasi MA & Ph. D di UKM, USIM dan KUPU SB. -Pemeriksa Luar/ Dalam pelbagai tesis MA & Ph. D yang berkaitan bidangnya. -Menilai permohonan kesepakaran untuk naik pangkat Profesor/Profesor Madya. -Membentang dan menilai pelbagai artikel peringkat kebangsaan dan anatarabangsa. Penyelidikan & Penulisan: Menulis puluhan buku ilmiah dan pelbagai artikel akademik yang dibentangkan di persidangan dalam dan luar Negara. Telah menyelesaikan pelbagai penyelidikan ilmiah dalam bidang: -Aqidah Ahli Sunnah Waljamaah, -Pengajian dakwah dan pemikiran Islam, -Pendidikan Akhlaq dan Tasawwuf. Kepakaran: Bidang ilmu Usuluddin, Dakwah dan Falsafah Islam.