agung_ayu_review buku soedjatmoko: menimbang perjalanan seorang “intelektual bebas”

5
Esai Resensi Buku untuk Kompas, Pustakaloka, 23 November 2002 MENIMBANG PERJALANAN SEORANG “INTELEKTUAL BEBAS” Oleh: Agung Ayu Ratih Ada sejumlah pertanyaan yang mengganggu benak saya ketika menghadiri Soedjatmoko Memorial Lecture untuk memperingati 80 tahun kelahiran Soedjatmoko pada 30 September 2002 yang lalu. Pertanyaan awal dipicu oleh pernyataan menggugah dalam Orasi Kemanusiaan yang disampaikan Dr. Karlina Leksono-Supelli, “Hari ini, 30 September 2002, kita mengenang seorang humanis di atas ingatan pedih peristiwa tiga puluh tujuh tahun lalu. Peristiwa yang menyebabkan lebih dari lima ratus ribu orang dibunuh dan ratusan ribu lainnya dipenjara; sementara anggota keluarga, kerabat, serta teman mereka cerai-berai menjalani kehidupan sehari-hari dalam ketakutan yang sunyi, tercerabut dari lingkungan sosialnya, dan kehilangan kesempatan wajar mencari nafkah”. Bagaimana seorang humanis seperti Soedjatmoko melihat tragedi kemanusiaan yang mengikuti kudeta gagal G30S 1965? Pertanyaan berikutnya berkaitan dengan peluncuran dua buku mengenai Soedjatmoko yang menyertai acara tersebut di atas. Buku pertama, Pergumulan Seorang Intelektual, merupakan biografi yang ditulis berdasarkan skripsi M. Nursam, lulusan jurusan Sejarah Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, sedangkan buku kedua, Surat-surat Pribadi Soedjatmoko kepada Presiden (Jenderal) Soeharto, berisi 29 pucuk surat yang dilayangkan almarhum semasa Soedjatmoko menjadi Duta Besar AS antara 1968-1971. Kalau penjelasan di kulit belakang buku pertama menyatakan bahwa Soedjatmoko termasuk dalam kategori intelektual “yang bertugas memberikan penjelasan tentang dunia kepada masyarakatnya”, mengapa buku yang mengiringi biografi ini justru ulasan seorang dubes tentang politik dunia kepada atasannya? Lewat esai-esai yang ditulis orang lain maupun Soedjatmoko sendiri, ia dikenal sebagai pemikir yang konsisten memperjuangkan otonomi dan kebebasan manusia. Soedjatmoko sendiri ingin disebut sebagai “intelektual yang bebas”. Di sisi lain, Soedjatmoko menghabiskan sebagian hidupnya untuk melayani pemerintahan yang tak segan-segan memasung kebebasan asasi warga negeri ini atas nama keamanan dan ketertiban umum. Jadi, apa yang dimaksud Soedjatmoko dengan “intelektual yang bebas”? Atau, lebih jauh lagi, apa sebenarnya yang terkandung dalam pemikiran Soedjatmoko tentang otonomi dan kebebasan manusia? Mereka Semesta Soedjatmoko Ada harapan besar pertanyaan-pertanyaan di atas akan beroleh jawab dari buku Pergumulan Seorang Intelektual. Biografi tentang Soedjatmoko sudah sepantasnya menyajikan gambaran lebih utuh tentang dunia yang menghidupi dan dihidupi sang intelektual, tentang pelbagai hubungan personal dan sosial yang mungkin berpengaruh terhadap lahir dan berkembangnya pemikiran-pemikiran Soedjatmoko, dan kaitan timbal-balik antara pemikiran-pemikiran tersebut dengan keputusan-keputusan politis yang dibuatnya. Janji dari penerbit pun tidak tanggung-tanggung, “membaca buku ini anda akan tercerahkan dan hanyut dalam alur perjalanan hidup Soedjatmoko yang sangat manusiawi, bahwa menjadi seorang intelektual adalah sebuah pilihan yang tidak muncul begitu saja dari ruang hampa, jatuh dari langit, tetapi dari sebuah proses panjang yang dibentuk oleh krisis dan revolusi”. Tak terlalu berlebihan apabila pembaca kemudian berharap biografi ini tidak hanya bercerita tentang perjalanan hidup Soedjatmoko, tetapi juga kehidupan intelektual Indonesia di paruh akhir abad ke-20, saat peran Soedjatmoko dianggap cukup sentral. Dari sisi penulis, M. Nursam, tujuan yang ingin dicapai cukup jelas: mengimbangi keterbatasan tulisan-tulisan terdahulu tentang Soedjatmoko yang semata-mata dipersiapkan sebagai “pengantar” bagi kumpulan esai-esainya. Padahal menurutnya, untuk tetap mengingat

Upload: institut-sejarah-sosial-indonesia-issi

Post on 20-Jun-2015

447 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

Page 1: Agung_Ayu_review Buku Soedjatmoko: MENIMBANG PERJALANAN SEORANG “INTELEKTUAL BEBAS”

Esai Resensi Buku untuk Kompas, Pustakaloka, 23 November 2002

MENIMBANG PERJALANAN SEORANG “INTELEKTUAL BEBAS”

Oleh: Agung Ayu Ratih

Ada sejumlah pertanyaan yang mengganggu benak saya ketika menghadiri Soedjatmoko Memorial Lecture untuk memperingati 80 tahun kelahiran Soedjatmoko pada 30 September 2002 yang lalu. Pertanyaan awal dipicu oleh pernyataan menggugah dalam Orasi Kemanusiaan yang disampaikan Dr. Karlina Leksono-Supelli, “Hari ini, 30 September 2002, kita mengenang seorang humanis di atas ingatan pedih peristiwa tiga puluh tujuh tahun lalu. Peristiwa yang menyebabkan lebih dari lima ratus ribu orang dibunuh dan ratusan ribu lainnya dipenjara; sementara anggota keluarga, kerabat, serta teman mereka cerai-berai menjalani kehidupan sehari-hari dalam ketakutan yang sunyi, tercerabut dari lingkungan sosialnya, dan kehilangan kesempatan wajar mencari nafkah”. Bagaimana seorang humanis seperti Soedjatmoko melihat tragedi kemanusiaan yang mengikuti kudeta gagal G30S 1965?

Pertanyaan berikutnya berkaitan dengan peluncuran dua buku mengenai Soedjatmoko yang menyertai acara tersebut di atas. Buku pertama, Pergumulan Seorang Intelektual, merupakan biografi yang ditulis berdasarkan skripsi M. Nursam, lulusan jurusan Sejarah Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, sedangkan buku kedua, Surat-surat Pribadi Soedjatmoko kepada Presiden (Jenderal) Soeharto, berisi 29 pucuk surat yang dilayangkan almarhum semasa Soedjatmoko menjadi Duta Besar AS antara 1968-1971. Kalau penjelasan di kulit belakang buku pertama menyatakan bahwa Soedjatmoko termasuk dalam kategori intelektual “yang bertugas memberikan penjelasan tentang dunia kepada masyarakatnya”, mengapa buku yang mengiringi biografi ini justru ulasan seorang dubes tentang politik dunia kepada atasannya?

Lewat esai-esai yang ditulis orang lain maupun Soedjatmoko sendiri, ia dikenal sebagai pemikir yang konsisten memperjuangkan otonomi dan kebebasan manusia. Soedjatmoko sendiri ingin disebut sebagai “intelektual yang bebas”. Di sisi lain, Soedjatmoko menghabiskan sebagian hidupnya untuk melayani pemerintahan yang tak segan-segan memasung kebebasan asasi warga negeri ini atas nama keamanan dan ketertiban umum. Jadi, apa yang dimaksud Soedjatmoko dengan “intelektual yang bebas”? Atau, lebih jauh lagi, apa sebenarnya yang terkandung dalam pemikiran Soedjatmoko tentang otonomi dan kebebasan manusia?

Mereka Semesta Soedjatmoko

Ada harapan besar pertanyaan-pertanyaan di atas akan beroleh jawab dari buku Pergumulan Seorang Intelektual. Biografi tentang Soedjatmoko sudah sepantasnya menyajikan gambaran lebih utuh tentang dunia yang menghidupi dan dihidupi sang intelektual, tentang pelbagai hubungan personal dan sosial yang mungkin berpengaruh terhadap lahir dan berkembangnya pemikiran-pemikiran Soedjatmoko, dan kaitan timbal-balik antara pemikiran-pemikiran tersebut dengan keputusan-keputusan politis yang dibuatnya. Janji dari penerbit pun tidak tanggung-tanggung, “membaca buku ini anda akan tercerahkan dan hanyut dalam alur perjalanan hidup Soedjatmoko yang sangat manusiawi, bahwa menjadi seorang intelektual adalah sebuah pilihan yang tidak muncul begitu saja dari ruang hampa, jatuh dari langit, tetapi dari sebuah proses panjang yang dibentuk oleh krisis dan revolusi”. Tak terlalu berlebihan apabila pembaca kemudian berharap biografi ini tidak hanya bercerita tentang perjalanan hidup Soedjatmoko, tetapi juga kehidupan intelektual Indonesia di paruh akhir abad ke-20, saat peran Soedjatmoko dianggap cukup sentral.

Dari sisi penulis, M. Nursam, tujuan yang ingin dicapai cukup jelas: mengimbangi keterbatasan tulisan-tulisan terdahulu tentang Soedjatmoko yang semata-mata dipersiapkan sebagai “pengantar” bagi kumpulan esai-esainya. Padahal menurutnya, untuk tetap mengingat

Page 2: Agung_Ayu_review Buku Soedjatmoko: MENIMBANG PERJALANAN SEORANG “INTELEKTUAL BEBAS”

kebesaran sang tokoh yang diperlukan adalah, “pemahaman yang komprehensif dan holistik dari sosok dan pemikiran Soedjatmoko …”, pembahasan tentang Soedjatmoko dalam “proses penyejarahannya” yang bisa menggambarkan “semesta” Soedjatmoko. (hal. 7-14) Memang upaya yang sudah dilakukan untuk mewujudkan keinginan ini dengan mengumpulkan bahan-bahan primer, baik tertulis maupun lisan sangat mengesankan. Ia memperoleh seluruh esai Soedjatmoko berikut ulasan mengenainya yang sudah diterbitkan, koleksi dokumen pribadi, seperti korespondensi, catatan harian, dan buku agenda dari perjalanan hidup Soedjatmoko selama paling tidak 50 tahun, dan mewawancarai 25 orang yang dekat dengan almarhum, termasuk anggota keluarganya. Namun, kelengkapan bahan ternyata tidak menjamin terpenuhinya gambaran “semesta” Soedjatmoko.

Sejak awal tampaknya penulis kebingungan dengan pembedaan antara “biografi” dan “sejarah” yang dibuatnya sendiri. Menurut pandangan Nursam karena obyek bahasan sebuah biografi adalah kehidupan individu, penulis bisa terjebak dalam sikap subyektif yang akan mengurangi kadar keilmiahan hasil penelitiannya. Maka, untuk mencegah munculnya subyektifisme diperlukan kesadaran “akademis” dan “sejarah” yang mendalam. (hal. 9-10) Secara tak sadar Nursam sudah terjebak dalam dikotomi palsu antara obyektifitas dan subyektifitas di dalam studi sejarah yang memang belum berhasil diatasi oleh kalangan sejarawan Indonesia pada umumnya. Alhasil, upayanya menggambarkan panggung sejarah tempat Soedjatmoko berkiprah terganggu oleh pemilahan-pemilahan antara apa yang mungkin dianggap personal (subyektif ~ biografi) dan sosial (obyektif ~ sejarah), seperti yang akan dipaparkan di bawah ini.

Pertama, penulis memulai buku ini dengan niat menampilkan Soedjatmoko sebagai manusia yang utuh, bukan hanya sebagai “aktor sejarah” di wilayah publik. Dengan sendirinya perlu penggambaran yang memadai tentang Soedjatmoko sebagai anak, suami, bapak dan kakek berdasarkan kisah-kisah yang dituturkan anggota keluarga pun sanak-saudara terdekat. Dalam bab “Jagat Awal Soedjatmoko” penulis cukup telaten menelusuri latar belakang sosio-kultural orang tua dan sejarah pendidikan formal dan informal Soedjatmoko. Tapi, dalam bab-bab berikutnya hampir tidak disinggung kehidupan Soedjatmoko dengan anggota keluarganya. Bahkan keterangan mengenai pernikahannya dengan Ratmini disampaikan sambil lalu di catatan kaki. (hal. 144) Padahal kekuatan sebuah biografi justru terasa ketika kehangatan sang tokoh sebagai manusia biasa yang bisa jatuh cinta, berbahagia, atau tenggelam dalam duka dan kecewa terlukiskan melalui cerita orang-orang yang paling dikasihinya.

Kedua, Nursam rupanya menghadapi kesulitan menjalin momen-momen tertentu dimana peran Soedjatmoko cukup signifikan dengan peristiwa-peristiwa lain yang tampak tidak berkaitan dengan kehidupan Soedjatmoko tapi penting bagi pemahaman sejarah pembaca. Rangkaian panjang penjelasan di catatan kaki menunjukkan kejelian penulis memilih bahan-bahan yang menarik dan penting bagi studi sejarah, tetapi terlanjur dipisahkan dari teks utama. Kalau memang biografi dipercaya bisa membantu kita “memahami denyut sejarah secara lebih mendalam” (hal. 9), ia perlu memperluas penjelasan tentang suasana sosial-politik yang memberi karakter tersendiri pada kesadaran intelektual dan politik Soedjatmoko. Misalnya, tercatat bahwa Soedjatmoko mulai tertarik dengan masalah kebangsaan dan kemerdekaan ketika ia menjadi mahasiswa di Sekolah Tinggi Kedokteran, GHS dan bergabung dengan organisasi mahasiswa Unitas Studiosorum Indonesiensis (USI). (hal. 26-28) Disini penulis memaparkan perkembangan kesadaran Soedjatmoko tentang persoalan bangsanya seakan-akan sudah selayaknya terjadi pada seorang anak negeri jajahan. Sementara realita penjajahan itu sendiri tak tergambarkan dengan baik. Apakah GHS terbuka untuk kaum pribumi dari segala lapisan masyarakat? Apakah organisasi-organisasi mahasiswa diperbolehkan melakukan kegiatan politik secara terbuka? Bagaimana aktifis organisasi-organisasi mahasiswa ini membangun kesadaran kebangsaan di kalangan mahasiswa? Apakah para mahasiswa ini membahas ide-ide nasionalisme para pejuang yang sudah terlebih dahulu terlibat dalam gerakan anti-kolonialisme, seperti Soekarno, Hatta, Sjahrir, atau aktifis-aktifis pergerakan dari 1920an?

Page 3: Agung_Ayu_review Buku Soedjatmoko: MENIMBANG PERJALANAN SEORANG “INTELEKTUAL BEBAS”

Kesulitan serupa ini sebenarnya selalu terjadi dalam penulisan biografi tokoh publik. Sejauh mana konteks sejarah perlu dijelaskan kepada pembaca? Ada peristiwa-peristiwa yang langsung berkaitan dengan keberadaan si tokoh walaupun ia mungkin tidak berperan terlalu besar di dalamnya. Ada pula peristiwa-peristiwa lain yang tidak ada sangkut-pautnya dengan si tokoh tapi dampaknya sedemikian luas dan besar sehingga perlu dipertimbangkan sebagai faktor yang mempengaruhi cara pandang dan jalan hidup tokoh tersebut. Karena itu lah penulisan biografi seringkali dilakukan sebuah tim, atau dibantu penyunting, agar persona sang tokoh tetap terjaga otentisitasnya secara historis.

Pergumulan yang Hilang

Dari keseluruhan isi buku ini bagian yang paling menarik dan sesuai dengan frasa yang dipakai sebagai judul adalah bab III dan IV, yaitu catatan perjalanan Soedjatmoko sejak Proklamasi Kemerdekaan sampai meletus peristiwa G30S 1965. Dalam periode ini lah gagasan-gagasan orisinal Soedjatmoko tentang kemerdekaan, kebangsaan, dan penghormatan terhadap martabat manusia berkembang secara sehat karena kerap harus berhadapan dengan situasi darurat yang menuntut kecepatan dan ketepatan berpikir, serta dengan gagasan-gagasan yang berbeda pijakan teoretiknya. Selain itu keterlibatannya dalam politik bukan semata-mata sebagai pejabat pemerintah, tetapi lebih sebagai intelektual-aktifis memberinya keleluasaan untuk melontarkan analisa kritis terhadap fenomena sosial, politik maupun kebudayaan yang dianggap mengingkari cita-cita kemerdekaan bangsa ini.

Peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa 20 tahun setelah Proklamasi Kemerdekaan memicu Soedjatmoko untuk berpikir serius tentang isyu-isyu ekonomi dan politik. Hanya lima tahun setelah pasukan Belanda meninggalkan Indonesia Soedjatmoko menyatakan bahwa negara-bangsa baru ini sedang menghadapi krisis politik yang luar biasa. Soedjatmoko melihat bahwa gejala-gejala krisis yang paling menonjol adalah ketidakstabilan pemerintahan paska kemerdekaan, pertikaian sengit antara pemimpin-pemimpin politik, dan tidak adanya perkembangan ekonomi. Gejala-gejala ini menurut Soedjatmoko menunjukkan persoalan yang lebih serius, yaitu bangsa Indonesia tidak memiliki kemampuan menghadapi modernitas. Untuk mengatasi krisis ini baginya tak ada cara lain: bangsa Indonesia harus “mengadakan penyesuaian diri secara kreatif” ke dunia modern, yang berarti mereka harus merangkul teknologi, industri dan usaha komersial. (hal. 100-101)

Gagasan Soedjatmoko ini disampaikan melalui artikel “Mengapa Konfrontasi?” yang dimuat dalam edisi perdana jurnal Konfrontasi, Juli-Agustus 1954. Seruannya segera mengundang tentangan dari kaum intelektual sejaman. Salah satu tanggapan keras datang dari Bujung Saleh, sejarawan yang belakangan menjadi tahanan politik pemerintah Soeharto, dimuat di majalah kebudayaan Siasat pada 29 Agustus 1954. Perdebatan dengan Bujung di majalah Siasat berlanjut selama kurang lebih 3 bulan. Bujung berpendapat bahwa seruan Soedjatmoko untuk melakukan penyesuaian ke dunia modern tidak lebih dari dorongan untuk mengembalikan dominasi “dunia kemodalan” yang dipandu Eropa Barat dan Amerika Serikat di Indonesia. Padahal justru dominasi inilah yang menjadi sumber segala persoalan di dalam negeri. Menurut Bujung penyelesaian terbaik adalah mengurangi kompromi dengan modal internasional – yang tampaknya dianggap Soedjatmoko sebagai pembawa modernitas – dan mengubah secara fundamental struktur sosial yang diwarisi bangsa ini dari kolonialisme. Bagi Bujung, bangsa Indonesia perlu mencapai modernitas menurut syarat-syarat yang ditetapkannya sendiri walaupun syarat-syarat tersebut mengusik keinginan negara-negara industri maju. (hal. 101-102)

Polemik antara Soedjatmoko dan Bujung Saleh, yang mengundang tanggapan pula dari sastrawan Pramoedya Ananta Toer dan Asrul Sani, merupakan salah satu peristiwa kebudayaan yang mengagumkan dan menampilkan contoh “pergumulan intelektual” yang sejati dalam sejarah modern Indonesia. Sayangnya, Nursam tidak memaparkan lebih jauh

Page 4: Agung_Ayu_review Buku Soedjatmoko: MENIMBANG PERJALANAN SEORANG “INTELEKTUAL BEBAS”

perkembangan perdebatan ini. Posisi Bujung selintas saja disinggung, sementara tanggapan dari orang-orang lain ditambahkan di catatan kaki. Bab ini akan jauh lebih kaya warna apabila penulis menjelajahi posisi-posisi yang berbeda dengan posisi Soedjatmoko dan memperlihatkan bagaimana Soedjatmoko menanggapi lalu-lintas gagasan yang terjadi.

Krisis politik yang sebenarnya muncul tiga tahun setelah perdebatan ini usai. Pembahasan konstitusi baru di Majelis Konstituante mengalami kebuntuan (1957) dan di luar Jawa Pemberontakan PRRI/Permesta (1958) meledak. Selain ringkasan pidato Soedjatmoko di hadapan sidang Konstituante, tidak ada bagian yang menjelaskan pandangan Soedjatmoko tentang kedua peristiwa penting tersebut di buku ini. Sebagai anggota Konstituante, tentunya Soedjatmoko terlibat sepenuhnya dalam perdebatan ketat dan panjang di majelis ini. Apa peran Soedjatmoko dalam perdebatan tersebut? Akan menarik pula diketahui tanggapan Soedjatmoko terhadap pemberontakan-pemberontakan yang terjadi di luar Jawa, terutama karena Soedjatmoko adalah anggota Partai Sosialis Indonesia (PSI) yang dituduh terlibat dalam PRRI/Permesta.

Secara singkat periode 1945-1965 boleh dikatakan merupakan suatu masa dimana perdebatan intelektual demikian terbuka, tajam, dan mendalam. Penulis sendiri mengakui betapa dinamis dan bergairahnya kehidupan intelektual pada saat itu. (hal. 103) Kalau saja ia meluangkan ruang yang lebih luas untuk menjelaskan pelbagai perdebatan yang berlangsung dan mengkaji posisi Soedjatmoko di dalamnya, semangat pergumulan intelektual yang sesungguhnya sebelum Tragedi 1965 terjadi akan lebih jelas tergambar.

Apapun kekurangannya, sebagai karya perdana sarjana S1 biografi ini sudah menunjukkan hasil kerja keras dan kesungguhan seorang intelektual muda yang langka didapati dewasa ini. Seharusnya penulis memperoleh bimbingan lebih serius baik dari pihak universitas maupun dari pihak penerbit untuk memperkaya perangkat analisa yang digunakannya dalam penelitian ini.

Bergumul dengan Optimisme Orde Baru

Buku kedua, Surat-surat Pribadi Soedjatmoko kepada Presiden (Jendral) Soeharto, menunjukkan bahwa Soedjatmoko melakukan pekerjaan tambahan di luar tugas resminya sebagai Duta Besar Amerika Serikat pada 1968-1971. Soedjatmoko tampaknya melihat bahwa ia perlu membagikan pengetahuannya di bidang politik internasional kepada sang presiden baru. Tidak ada keterangan apakah Soeharto membalas surat-surat tersebut dengan derajat keseriusan yang sama. Yang jelas surat-surat ini terpisah dari laporan-laporan resmi yang Soedjatmoko kirimkan secara teratur dan dimaksudkan untuk mendidik seorang jendral dari desa Kemusuk yang tak punya pengalaman menghadapi dunia internasional.

Jika dibandingkan dengan masa pemerintahan Soekarno maka jelas terlihat dari surat-surat ini adanya perubahan radikal dalam politik luar negeri Indonesia setelah pemerintahan Orde Baru terbentuk pada 1967. Indonesia pada jaman Soekarno dikenal dengan penolakannya terhadap bantuan dan modal asing dari negeri-negeri kapitalis seperti Amerika Serikat, Eropa Barat dan Jepang. Slogan yang dilontarkan Soekarno “Go to hell with your aid!” menjadi identik dengan Indonesia tahun 1960an. Sedangkan sejak Soeharto memegang kendali pemerintahan Indonesia berusaha sekuat tenaga memperoleh dukungan politik dan bantuan ekonomi dari negeri-negeri tersebut, terutama dari AS. Sebagai duta besar pertama di masa Orde Baru, Soedjatmoko seakan dituntut mengerahkan segala kemampuan intelektual pun pengalamannya berpolitik untuk memastikan bahwa AS bersedia memberikan bantuan keuangan bagi Indonesia.

Di tengah kekalutan yang diakibatkan intervensi AS ke Vietnam, upaya membangun koeksistensi damai dengan Uni Soviet dan pertikaian Uni Soviet dan RRC, Soedjatmoko mencoba merumuskan posisi Indonesia yang paling fleksibel dan menguntungkan. Indonesia

Page 5: Agung_Ayu_review Buku Soedjatmoko: MENIMBANG PERJALANAN SEORANG “INTELEKTUAL BEBAS”

tetap bersikap anti-komunis di dalam negeri, sedangkan di luar negeri bisa bekerjasama dengan negeri manapun tanpa batas-batas ideologi. (hal. 169) Namun, ketika menjabarkan pilihan-pilihan yang mungkin bagi Indonesia, sebenarnya Soedjatmoko hanya menawarkan satu hal: menyesuaikan diri terhadap strategi politik AS. Pandangan-pandangannya tentang negeri-negeri “komunis”, seperti Uni Soviet dan RRC, sangat dipengaruhi hasil perbincangannya dengan pejabat eksekutif AS atau para intelektual yang mengabdikan diri pada golongan konservatif di AS, seperti Guy Pauker dari lembaga riset Rand Corporation. (hal. 20, 77).

Kuat tertangkap kesan bahwa Soedjatmoko sangat berhati-hati dalam menyampaikan pikiran-pikirannya pada Soeharto, bahkan sejak awal ia putuskan untuk menulis rangkaian surat pribadi ini. Kalimat-kalimat yang menyatakan “keseganan” mengganggu atau memberatkan sang presiden, atau “memberanikan diri” untuk mengemukakan gagasan berulangkali muncul seakan-akan ada kekhawatiran Soeharto meragukan kemampuannya sebagai dubes. (hal. 1, 19, 132, 62) Tampak pula bahwa ulasan yang ia sampaikan dengan demikian sistematis dan jernih tentang politik domestik pun luar negeri AS sebenarnya untuk menjelaskan mengapa tak mudah bagi AS untuk mencairkan bantuan bagi Indonesia.

Sementara itu, seperti digambarkan dalam biografinya, pengalaman Soedjatmoko dengan Soekarno sejak muda senantiasa penuh dengan perdebatan hangat, bahkan saling teriak ketika mereka berbeda pendapat. (Lihat Biografi hal. 36-37, 154-155). Agak mengherankan bahwa Soedjatmoko memperlakukan Soeharto sedemikian terhormatnya mengingat peran Soedjatmoko dalam sejarah pendirian republik ini boleh dikatakan lebih besar dan lebih penting daripada peran Soeharto.

Namun, dari seluruh surat-surat ini mungkin yang paling sulit untuk dipahami adalah usaha Soedjatmoko untuk menampilkan citra baik Indonesia dengan mendiskreditkan gerakan-gerakan progresif yang mengkritik pelanggaran HAM di negeri ini dan mengupayakan bantuan militer bagi ABRI. (hal. 70, 120-22, 143) Di saat dunia diguncang gerakan sosial yang menggugat intervensi AS ke Vietnam, memperjuangkan hak-hak kaum perempuan dan kulit hitam, serta kesejahteraan bagi kaum miskin, Soedjatmoko, seorang humanis universal, intelektual, menyatakan bahwa protes terhadap pelanggaran HAM di Indonesia yang dilancarkan kelompok-kelompok ini sebagai “aksi-aksi komunis …. untuk mencemarkan itikad baik Pemerintah Indonesia”. (hal. 121)

Tentu saja kita bisa melihat tindakan ini sebagai konsekuensi pilihan “bebas” menjelang Orde Baru. Pada tataran yang sama, kita perlu menganalisis lebih tajam konsep “humanisme” dan “kebebasan” yang ditawarkan Soedjatmoko, memberi kualifikasi lebih luas dari yang selama ini dirayakan tanpa tentangan. Agaknya ramalan Soe Hok Gie, seorang humanis sejati, tidak berlebihan, “Saya pribadi melihat, bahwa generasi yang akan datang akan banyak sekali mengecam generasi intelektual Indonesia sekarang. Sebagian besar dari mereka, tutup mulut dan tidak berbicara terhadap pelanggaran-pelanggaran yang paling kasar terhadap manusia yang terjadi di Indonesia”. (Lihat Kompas, 20 Oktober 1969)

Agung Ayu RatihAnggota Jaringan Kerja Budaya (JKB), Jakarta