26 bab 2 tinjauan teoritis 2.1 tinjauan teoritis 2.1.1 teori

25
26 BAB 2 TINJAUAN TEORITIS 2.1 Tinjauan Teoritis 2.1.1 Teori Agensi Hubungan keagenan (agency relationship) terjadi ketika satu atau lebih individu, yang disebut sebagai prinsipal menyewa individu atau organisasi lain, yang disebut sebagai agen, untuk melakukan sejumlah jasa dan mendelegasikan kewenangan untuk membuat keputusan kepada agen tersebut. Menurut Jensen dan Meckling (1927) teori agensi adalah hubungan antara satu pihak atau lebih (principal) memperkejakan orang lain (agent) untuk memberikan suatu jasa dan kemudian mendelegasikan wewenang pengembalian keputusan kepada agent tersebut. Menurut Brigham & Houston (2006: 26-31) para manajer diberi kekuasaaan oleh pemilik perusahaan, yaitu pemegang saham, untuk membuat keputusan, dimana hal ini menciptakan potensi konflik kepentingan yang dikenal sebagai teori keagenan (agency theory). Sedangkan menurut Hendriksen dan Michael (2000) menyatakan agen menutup kontrak untuk melakukan tugas-tugas tertentu bagi prinsipal dan prinsipal menututp kontrak untuk memberikan imbalan kepada agen. Sebagian orang memandang perusahaan merupakan sekumpulan kontrak antara pihak perusahaan dengan pihak pemegang saham. Pada pihak prinsipal atau pemilik perusahaan menyerahkan seluruh tugasnya pada pihak manjemen. Manajer yang merupakan pihak pengelola perusahaan wajib menyediakan laporan keuangan yang akan digunakan untuk melaporkan sesuatu yang memaksimalkan utitlitasnya dan mengorbankan kepentingan pemegang saham. Sebab, manajer

Upload: lekien

Post on 21-Jan-2017

256 views

Category:

Documents


5 download

TRANSCRIPT

Page 1: 26 BAB 2 TINJAUAN TEORITIS 2.1 Tinjauan Teoritis 2.1.1 Teori

26

BAB 2

TINJAUAN TEORITIS

2.1 Tinjauan Teoritis

2.1.1 Teori Agensi

Hubungan keagenan (agency relationship) terjadi ketika satu atau lebih

individu, yang disebut sebagai prinsipal menyewa individu atau organisasi lain,

yang disebut sebagai agen, untuk melakukan sejumlah jasa dan mendelegasikan

kewenangan untuk membuat keputusan kepada agen tersebut.

Menurut Jensen dan Meckling (1927) teori agensi adalah hubungan antara satu pihak atau lebih (principal) memperkejakan orang lain (agent) untuk memberikan suatu jasa dan kemudian mendelegasikan wewenang pengembalian keputusan kepada agent tersebut.

Menurut Brigham & Houston (2006: 26-31) para manajer diberi kekuasaaan oleh pemilik perusahaan, yaitu pemegang saham, untuk membuat keputusan, dimana hal ini menciptakan potensi konflik kepentingan yang dikenal sebagai teori keagenan (agency theory).

Sedangkan menurut Hendriksen dan Michael (2000) menyatakan agen

menutup kontrak untuk melakukan tugas-tugas tertentu bagi prinsipal dan

prinsipal menututp kontrak untuk memberikan imbalan kepada agen.

Sebagian orang memandang perusahaan merupakan sekumpulan kontrak

antara pihak perusahaan dengan pihak pemegang saham. Pada pihak prinsipal atau

pemilik perusahaan menyerahkan seluruh tugasnya pada pihak manjemen.

Manajer yang merupakan pihak pengelola perusahaan wajib menyediakan laporan

keuangan yang akan digunakan untuk melaporkan sesuatu yang memaksimalkan

utitlitasnya dan mengorbankan kepentingan pemegang saham. Sebab, manajer

Page 2: 26 BAB 2 TINJAUAN TEORITIS 2.1 Tinjauan Teoritis 2.1.1 Teori

27

merupakan pihak yang memiliki banyak informasi internal perusahaan dan

prospek perusahaan dibandingkan pihak pemegang saham. Manajer juga

berkewajiban untuk memberikan sinyal mengenai kondisi perusahaan kepada

pemilik sebagai wujud dari tanggung jawab atas pengelolaan perusahaan namun

informasi yang disampaikan terkadang diterima tidak sesuai dengan kondisi

perusahaan sebenarnya sehingga hal ini memacu terjadinya konflik keagenan.

Dalam kondisi yang demikian ini dikenal sebagai informasi yang tidak simetris

atau asimetris informasi (Imanda dan Nasir, 2006).

Menurut Jensen dan Meckling (dalam Siti Muyassaroh, 2008), adanya masalah keagenan memunculkan biaya agensi yang terdiri dari:

(1). The monitoring expenditure by the principle, yaitu biaya pengawasan yang dikeluarkan oleh prinsipal untuk mengaawasi perilaku dari agen dalam mengelola perusahaan. (2). The bounding expenditure by the agent (bounding cost), yaitu biaya yang dikeluarkan oleh agen untuk menjamin bahwa agen tidak bertindak yang merugikan prinsipal. (3). The Residual Loss, yaitu penurunan tingkat utilitas prinsipal maupun agen karena adanya hubungan agensi.

Menurut Eisenhardt (dikutip oleh Ujiyantho dan Pramuka, 2008), menggunakan tiga asumsi sifat dasar manusia guna menjelaskan tentang teori agensi yaitu: (1) manusia pada umumnya mementingkan diri sendiri (self interest), (2) manusia memiliki daya pikir terbatas mengenai persepsi masa mendatang (bounded rationality), dan (3) manusia selalu menghindari resiko (risk averse).

Konflik yang timbul antara manajer dan pemegang saham atau yang biasa

disebut dengan masalah keagenan dapat meminimumkan dengan suatu

mekanisme pengawasan yang dapat mensejajarkan kepentingan tersebut sehingga

timbul biaya keagenan (agency cost). Sehingga dengan adanya agency cost,

diantaranya adanya kepemilikan saham oleh institusional dan kepemilikan

manajemen oleh manajemen (Tendi Haruman, 2008).

Page 3: 26 BAB 2 TINJAUAN TEORITIS 2.1 Tinjauan Teoritis 2.1.1 Teori

28

2.1.2 Legitimacy Theory

Menurut Haniffa et al., (Sayekti dan Wondabio, 2007) Legitimacy Theory

perusahaan memiliki kontrak dengan masyarakat untuk melakukan kegiatannya

berdasarkan nilai-nilai justice, dan perusahan menanggapi berbagai kelompok

kepentingan untuk melegitimasi tindakan perusahaan. Maka dari itu, perusahaan

semakin menyadari bahwa kelangsungan hidup suatu perusahaan juga bergantung

dengan hubungan masyarakat dan lingkungan sekitar perusahaan.

Nasi, Philips, and Zyglidopoulos (dalam Nurhayati et al., 2006) mengatakan

bahwa “Legitimacy theory focuses of the adequacy of corporate social

behaviour”. Ini berarti bahwa society judge organisasi berdasarkan citra yang

akan perusahaan ciptakan untuk perusahaan itu sendiri. Selanjutnya organisasi

dapat menetapkan legitimasi mereka dengan memadukan anatar kinerja

perusahaan dengan ekspektasi atau persepsi publik. Menurut (Nurhayati et al.,

2006) ketika terdapat kesenjangan antara penghargaan dari masyarakat dan

perilaku sosial perusahaan, maka akan muncul masalah legitimasi.

Menurut Suchman (dalam Barkemeyer, 2007) memberikan definisi mengenai organisational legitimacy sebagai berikut: Legitimacy is a generalized perception or assumption that the actions of an entity are desirable, proper, or appropriate within someocially constructed system of norms, values, beliefs, and definitions.

Barkemeyer (2007) mengungkapkan bahwa penjelasan tentang kekuatan teori legitimasi organisasi dalam konteks tanggung jawab sosial perusahaan di negara berkembang terdapat dua hal, pertama : kapabilitas untuk menempatkan motif maksimalisasi keuntungan membuat gambaran yang lebih jelas tentang motivasi perusahaan memperbesar tanggung jawab sosialnya. Kedua : legitimasi organisasi dapat untuk memasukkan faktor budaya yang membentuk tekanan institusi yang berbeda dalam konteks yang berbeda.

Page 4: 26 BAB 2 TINJAUAN TEORITIS 2.1 Tinjauan Teoritis 2.1.1 Teori

29

Dengan adanya uraian teori yang telah dikemukakan di atas telah dijelaskan

bahwa teori legitimasi tersebut merupakan salah satu teori yang mendasari

pengungkapan CSR. Pengungkapan tanggunga jawab perusahaan dilakukan untuk

mendapatkan nilai positif dan legitimasi dari masyarakat.

2.1.3 Teori Stakeholder (Stakeholder Theory)

Perusahaan tidak hanya sekedar bertanggungjawab terhadap para pemilik

saham sebagaimana terjadi selama ini, namun bergeser lebih luas yaitu sampai

ranah sosial kemasyarakatan, selanjutnya disebut dengan tanggung jawab sosial.

Fenomena seperti ini terjadi karena adanya tuntutan dari masyarakat akibat

negative externalities yang timbul serta ketimpangan sosial yang terjadi (Harahap,

2002). Untuk itu, tanggungjawab perusahaan yang semula hanya diukur sebatas

pada indikator ekonomi dalam laporan keuangan, kini harus bergeser dengan

memperhitungkan faktor-faktor sosial terhadap stakeholder, baik internal maupun

eksternal.

Stakeholder adalah semua pihak baik internal muapun eksternal yang

memiliki hubungan baik bersifat mempengaruhi maupun dipengaruhi atau bersifat

langsung maupun tidak langsung oleh perusahaan. Yang dimaksud pihak internal

maupun eksternal seperti pemerintahan, perusahaan pesaing, masyarakat sekitar

lingkungan internasional, lembaga di luar perusahaan (LSM dan sejenisnya),

lembaga pemerhati lingkungan, para pekerja perusahaan, kaum minoritas dan lain

sebagainya yang keberadaanya sangat mempengaruhi dan dipengaruhi

perusahaan.

Page 5: 26 BAB 2 TINJAUAN TEORITIS 2.1 Tinjauan Teoritis 2.1.1 Teori

30

Batasan stakeholder tersebut di atas mengisyaratkan bahwa perusahaan

hendaknya memperhatikan stakeholder karena mereka adalah pihak yang

mempengaruhi dan dipengaruhi baik secara langsung maupun tidak langsung atas

aktivitas serta kebijakan yang diambil dan dilakukan perusahaan. Jika perusahaan

tidak memperhatikan stakeholder bukan tidak mungkin akan menuai protes dan

dapat mengeliminasi legitimasi stakeholder.

2.1.4 Teori Kontrak Sosial

Kontrak sosial muncul adanya interaksi dalam kehidupan sosial masyarakat

agar terjadi keselarasan, keserasian dan keseimbangan, termasuk terhadap

lingkungan. Perusahaan yang merupakan kelompok orang yang memiliki

kesamaan tujuan dan berusaha mencapai tujuan secara bersamaan adalah bagian

dari masyarakat dalam lingkungan yang lebih besar. Keberadaannya, sangat

ditentukan oleh masyarakat dimana antara keduanya saling mempengaruhi. Untuk

itu, agar terjadi keseimbangan maka perlu kontrak sosial baik secara eksplisit

maupun implisit sehingga terjadi kesepakatan yang saling melindungi

kepentingannya.

Di sini perusahaan ataupun organisasi bentuk lain, memiliki kewajiban

terhadap masyarakat untuk memberi kemanfaatan bagi masyarakat setempat.

Interaksi perusahaan/ organisasi dengan masyarakat akan selalu berusaha untuk

memenuhi dan mematuhi aturan dan norma-norma yang berlaku di masyarakat,

sehingga kegiatan perusahaan dapat dipandang legitimasi.

Page 6: 26 BAB 2 TINJAUAN TEORITIS 2.1 Tinjauan Teoritis 2.1.1 Teori

31

2.1.5 Nilai Perusahaan

Nilai perusahaan dapat memberikan kemakmuran pemegang saham secara

maksimum apabila harga saham perusahaan meningkat. Semakin tinggi harga

saham, maka makin tinggi kemakmuran pemegang saham. Untuk mencapai nilai

perusahaan umumnya para pemodal menyerahkan pengelolaannya kepada para

profesional. Para profesional diposisikan sebagai manajer ataupun komisaris.

Tujuan utama perusahaan adalah untuk meningkatkan nilai perusahaan melalui

peningkatan kemakmuran pemilik atau para pemegang saham (Wahidawati,

2002). Nilai perusahaan pada dasarnya diukur dari beberapa aspek salah satunya

adalah harga pasar saham perusahaan, karena harga pasar saham perusahaan

mencerminkan penilaian investor atas keseluruhan ekuitas yang dimiliki

(Wahyudi dan Pawestri, 2006).

Menurut Rika dan Ishlahuddin (2008), nilai perusahaan didefinisikan sebagai

nilai pasar. Alasannya karena nilai perusahaan dapat memberikan kemakmuran

atau keuntungan bagi pemegang saham secara maksimum jika harga saham

perusahaan meningkat. Dengan semakin tinggi nya harga saham, maka semakin

tinggi pula keuntungan para pemegang saham, sehingga para investor akan

memiliki minat yang tinggi, dengan adanya minat yang tinggi tersebut maka nilai

perusahaan akan meningkat. Nilai perusahaan juga dapat dicapai dengan

memaksimumkan jika para pemegang saham menyerahkan pengelolaan

sepenuhnya kepada orang yang berkompeten.

Para investor juga menggunakan rasio-rasio keuangan untuk mengetahui nilai

pasar perusahaan, karena rasio tersebut dapat memberikan indikasi bagi

Page 7: 26 BAB 2 TINJAUAN TEORITIS 2.1 Tinjauan Teoritis 2.1.1 Teori

32

manajemen untuk penilaian investor terhadap kinerja perusahaan pada masa

lampau ataupun masa yang akan datang. Salah satu rasio yang digunkan untuk

menilai pasar perusahaan adalah Tobin‟s Q. Dengan menggunakan Tobin‟s Q

rasio tersebut dapat memberikan informasi paling baik, karena di dalam Tobin‟s

Q memasukkan semua unsur hutang dan modal saham perusahaan, tidak hanya

saham biasa saja dan tidak hanya ekuitas perusahaan yang dimasukkan namun

seluruh asset perusahaan. Dengan memasukkan seluruh asset perusahaan berarti

perusahaan tidak hanya terfokus pada satu tipe investor saja yaitu investor dalam

bentuk saham namun juga untuk kreditur karena sumber pembiayaan operasional

perusahaan bukan hanya dari ekuitasnya saja tetapi juga dari pinjaman yang

diberikan oleh kreditur (Sukamulja, 2004).

Jadi, dengan semakin besarnya nilai pada Tobin‟s Q menunjukkan bahwa

perusahaan memiliki prospek pertumbuhan yang baik terhadap nilai perusahaan.

Hal ini dapat terjadi karena semakin besar nilai pasar asset perusahaan

dibandingkan dengan nilai buku asset perusahaan maka semakin besar kerelaan

investor untuk mengeluarkan pengorbanan yang lebih untuk memiliki perusahaan

tersebut (Sukamulja, 2004).

2.1.6 Kepemilikan Manajemen

Berdasarkan teori keagenan, perbedaan kepentingan antara manajer dan

pemegang saham ini mengakibatkan timbulnya konflik yang biasa disebut agency

conflict. Konflik kepentingan yang sangat potensial ini menyebabkan pentingnya

suatu mekanisme yang diterapkan guna melindungi kepentingan pemegang saham

(Jensen dan Meckling, 1976). Kepemilikan manajemen adalah proporsi pemegang

Page 8: 26 BAB 2 TINJAUAN TEORITIS 2.1 Tinjauan Teoritis 2.1.1 Teori

33

saham dari pihak manajemen yang secara aktif ikut dalam pengambilan keputusan

perusahaan (Diyah dan Erman, 2009). Dengan adanya kepemilikan manajemen

dalam perusahaan maka dapat menimbulkan dugaan bahwa nilai perusahaan dapat

meningkat jika kepemilikan manajemen meningkat. Kepemilikan manajemen

yang besar akan efektif untuk mengawasi aktivitas perusahaan.

Shliefer dan Vishny (dalam Siallagan dan Machfoedz, 2006) menyatakan

bahwa kepemilikan saham yang besar dari segi nilai ekonomisnya memiliki

insentif untuk memonitor. Menurut Jensen dan Meckling (1976), ketika

kepemilikan saham oleh manajemen rendah maka ada kecenderungan akan

terjadinya perilaku opportunistic manajer yang meningkat akan juga. Kepemilikan

manajemen tidak hanya terhadap nilai perusahaan, tetapi juga berhubungan

dengan saham. Maka dengan adanya kepemilikan manajemen terhadap saham

perusahaan dapat dipandang baik dalam menyelaraskan potensi perbedaan

kepentingan antara manajemen dan pemegang saham , sehingga permasalahan

yang timbul antara agen dan prinsipal diasumsikan akan hilang apabila seseorang

manajer juga sekaligus sebagai pemegang saham.

Morck, Shleifer dan Vishny (dalam Siallagan dan Machfoedz, 2006) menemukan bahwa pada level 0-5% terdapat hubungan non linier antara kepemilikan manajerial dengan kinerja perusahaan, berhubungan negatif pada level 5-25%, berhubungan positif antara kepemilikan manajerial dengan nilai perusahaan pada level 25-50% dan berhubungan negatif pada level > 50%.

Page 9: 26 BAB 2 TINJAUAN TEORITIS 2.1 Tinjauan Teoritis 2.1.1 Teori

34

2.1.7 Kepemilikan Institusional

Jensen dan Meckling (1976) menyatakan bahwa kepemilikan institusional

memiliki peranan yang sangat penting dalam meminimalisasi konflik keagenan

yang terjadi antara manajer dan pemegang saham. Selain kepemilikan manajemen

yang dapat mengawasi secara efektif aktivitas perusahaan, keberadaan

kepemilikan institusional juga dianggap mampu menjadi mekanisme pengawasan

terhadap setiap keputusan yang diambil oleh pihak manajemen. Hal ini

dikarenakan para investor institusional terlibat dalam pengambilan yang strategis

sehingga tidak mudah percaya terhadap tindakan memanipulasi laba perusahaan.

Kepemilikan institusional adalah kepemilikan saham perusahaan yang

dimiliki oleh institusi atau lembaga seperti perusahaan asuransi, bank, perusahaan

investasi dan kepemilikan institusi lain (Tarjo, 2008). Kepemilikan institusional

memiliki arti penting dalam mengawasi manajemen karena dengan adanya

kepemilikan oleh institusional akan mendorong peningkatan pengawasan yang

lebih optimal. Pengawasan tersebut akan menjamin kemakmuran untuk pemegang

saham, pengaruh kepemilikan institusional sebagai agen pengawas ditekan

melalui investasi mereka yang cukup besar dalam pasar modal. Dengan

kepemilikan institusional yang tinggi maka akan menimbulkan usaha pengawasan

yang lebih besar oleh pihak investor institusional sehingga dapat menghalangi

perilaku opportunistic manajer.

Menurut Shleifer and Vishny (dalam Barnae dan Rubin, 2005) bahwa

institutional shareholders, dengan kepemilikan saham yang besar, memiliki

insentif untuk memantau pengambilan keputusan perusahaan. Begitu juga

Page 10: 26 BAB 2 TINJAUAN TEORITIS 2.1 Tinjauan Teoritis 2.1.1 Teori

35

penelitian Wening (2009) Semakin besar kepemilikan oleh institusi keuangan

maka semakin besar pula kekuatan suara dan dorongan untuk mengoptimalkan

nilai perusahaan.

Kepemilikan institusional memiliki kelebihan antara lain:

1.Memiliki profesionalisme dalam menganalisis informasi sehingga dapat

menguji keandalan informasi.

2. Memiliki motivasi yang kuat untuk melaksanakan pengawasan lebih ketat atas

aktivitas yang terjadi di dalam perusahaan.

Penelitian Smith (1996) (dalam Suranta dan Midiastuty, 2004) menunjukkan

bahwa aktivitas monitoring institusi mampu mengubah struktur pengelolaan

perusahaan dan mampu meningkatkan kemakmuran pemegang saham. Hal ini

didukung oleh Cruthley et al., (dalam Suranta dan Midiastuty, 2004) yang

menemukan bahwa pengawasan yang dilakukan institusi mampu mensubstutisi

biaya keagenan lain sehingga biaya keagenan menurun dan nilai perusahaan

meningkat.

2.1.8. Corporate Social Responsibility (CSR) atau Pertanggungjawaban Social

Perusahaan

Konsep dari CSR merupakan sebagai salah satu pedoman penting dalam

manajemen korporat. Meskipun konsep CSR baru dikenal pada awal tahun 1970-

an , tetapi konsep dari CSR ini sudah ditemukan oleh Howard R. Bowen pada

tahun 1953 (Dwi Kartini, 2009). Menurut Carroll, konsep CSR memuat

komponen-komponen sebagai berikut :

Page 11: 26 BAB 2 TINJAUAN TEORITIS 2.1 Tinjauan Teoritis 2.1.1 Teori

36

1. Economic responsibilities yaitu tanggung jawab ekonomi lembaga bisnis yang

terdiri dari aktivitas ekonomi yang menghasilkan barang dan jasa bagi

masyarakat secara menguntungkan

2. Legal responsibilities yaitu masyarakat berharap bisnis dijalankan dengan

mentaati hukum dan peraturan yang berlaku yang pada hakikatnya dibuat oleh

masyarakat melalui lembaga legislatif.

3. Ethical responsibilities yaitu masyarakat berharap perusahaan menjalankan

bisnis secara etis yaitu menunjukkan refleksi moral yang dilakukan oleh pelaku

bisnis secara perorangan maupun kelembagaan untuk menilai suatu isu dimana

penilaian ini merupakan pilihan terhadap nilai yang berkembang dalam suatu

masyarakat.

4. Discreationary responsibilities yaitu masyarakat mengharapakan keberadaan

perusahaan dapat memberikan manfaat bagi mereka.

Dalam perkembangannya CSR secara konseptual menurut Rika dan

Islahuddin (2008) yang mulai dibahas sejak tahun 1980-an yang disebabkan oleh

hal-hal sebagai berikut :

1. Runtuhnya tembok Berlin yang merupakan simbol tumbangnya paham komunis

dan bergantinya ke imperium kapitalisme secara global.

2. Meluasnya operasi perusahaan multinasional di negara berkembang sehingga

dituntut memperhatikan keadaan sosial, limgkungan dan HAM.

3. Globalisasi dan berkurangnya peran pemerintah telah menyebabkan munculnya

lembaga sosial masyarakat (LSM) yang lebih memperhatikan isu kemiskinan

Page 12: 26 BAB 2 TINJAUAN TEORITIS 2.1 Tinjauan Teoritis 2.1.1 Teori

37

sampai kekhawatiran punahnya spesies tumbuhnya dan hewan akibat

ekosistem yang semakin labil.

4. Kesadaran perusahaan akan pentingnya citra perusahaan dalam membawa

perusahaan menuju bisnsi berkelanjutan.

Selain menurut Rika dan Islahudin, menurut Deegan (dalam Chariri dan

Ghozali, 2007) alasan yang paling mendorong adanya praktik CSR dan

lingkungan antara lain :

1. Mematuhi persyaratan yang ada dalam UU.

2. Pertimbangan rasionalitas ekonomi

3. Mematuhi pelaporan dan proses akuntabilitas.

4. Mematuhi persyaratan peminjaman.

5. Mematuhi harapan masyarakat.

6. Konsekuensi ancaman atas legitimasi perusahaan.

7. Mengelola kelompok stakeholder tertentu.

8. Menarik dana investasi.

9. Mematuhi persyaratan industri.

10. Memenangkan penghargaan pelaporan.

Menurut Taman Achda (2007) CSR sebagai komitmenperusahaan untuk mempertanggungjawabkan dampak operasinya dalam dimensi sosial, ekonomi, dan lingkungan serta harus menjaga agar dampak tersebut bermanfaat bagi masyarakat dan lingkungan

Tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility)

merupakan satu bentuk tindakan yang berangkat dari pertimbangan etis

perusahaan yang diarahkan untuk meningkatkan ekonomi, yang dibarengi dengan

peningkatan kualitas hidup bagi karyawan berikut keluarganya, serta sekaligus

Page 13: 26 BAB 2 TINJAUAN TEORITIS 2.1 Tinjauan Teoritis 2.1.1 Teori

38

peningkatan kualitas hidup masyarakat sekitar dan masyarakat secara lebih luas.

Pertanggungjawaban sosial perusahaan juga diungkap dalam laporan yang disebut

Sustainability Reporting. Sustainability Reporting adalah pelaporan mengenai

kebijakan ekonomi, lingkungan dan sosial, pengaruh dan kinerja organisasi dan

produknya didalam konteks pembangunan berkelanjutan (sustainable

development) . Sustainability Reporting meliputi pelaporan mengenai ekonomi,

lingkungan dan pengaruh sosial terhadap kinerja organisasi. Sustainability

Reporting harus menjadi dokumen strategik yang berlevel tinggi yang

menempatkan isu, tantangan dan peluang Sustainability Development yang

membawanya menuju kepada core business dan sektor industri.

Pengungkapan CSR berpengaruh pada nilai perusahaan. Hal ini sejalan

dengan paradigma enlightened self-interest yang menyatakan bahwa stabilitas dan

kemakmuran ekonomi jangka panjang hanya dapat dicapai jika perusahaan

melakukan tanggung jawab sosial kepada masyarakat (Hartanti, 2006).

2.1.9. Pengungkapan Sosial dalam Laporan Tahunan

Menurut Hendriksen (dalam Rika dan Ishlahuddin, 2008), mendefinisikan

pengungkapan (disclosure) sebagai penyajian informasi yang dibutuhkan untuk

pengoperasian secara optimal pasar modal yang efisien. Suatu pengungkapan ada

yang bersifat wajib (mandatory) yaitu pengungkapan suatu informasi tentang

laporan wajib dilakukan oleh perusahaan berdasarkan peraturan atau standar

tertentu. Selain itu ada yang bersifat sukarela (voluntary) yang merupakan

pengungkapan informasi tambahan perusahaan. Setiap pelaku ekonomi selain

Page 14: 26 BAB 2 TINJAUAN TEORITIS 2.1 Tinjauan Teoritis 2.1.1 Teori

39

berusaha untuk kepentingan pemegang saham dan berfokus pada pencapaian laba

disamping itu juga mempunyai tanggung jawab sosial terhadap masyarakat

sekitar, dan hal itu perlu diungkapkan dalam laporan tahunan.

Bapepam yang merupakan lembaga yang mengatur dan mengawasi

pelaksanaan pasar modal dan lembaga keuangan di Indonesia telah mengeluarkan

beberapa aturan tentang disclosure yang harus dilakukan oleh perusahaan-

perusahaan yang go public. Peraturan ini dimaksudkan untuk melindungi para

pemilik modal dari adanya asimetri informasi. Perusahaan dapat memberikan

disclosure melalui laporan tahunan yang telah diatur oleh Bapepam (mandatory

disclosure), maupun melalui pengungkapan sukarela (voluntary disclosure)

sebagai tambahan pengungkapan minimum yang telah ditetapkan.

Di Indonesia, pengungkapan dalam laporan tahunan pada dasarnya telah

diatur dalam PSAK No. 1. Selain diatur dalam PSAK No.1, pemerintah Indonesia

melalui keputusan ketua Bapepam No: kep-134/BL/2006 juga mengatur mengenai

pengungkapan informasi dalam laporan keuangan tahunan perusahaan di

Indonesia. Sedangkan pengungkapan informasi yang diatur oleh pemerintah atau

suatu lembaga yaitu Ikatan Akuntnasi Indonesia (IAI) merupakan pengungkapan

yang wajib dipatuhi oleh perusahaan yang telah go public. Tujuannya adalah

untuk melindungi kepentingan investor dari ketidakseimbangan informasi antara

manajemen dengan pemegang saham dengan adanya kepentingan manajemen.

Pengungkapan corporate social responsibility dalam penelitian ini

menggunakan 78 item yang terbagi menjadi enam tema. 78 item tersebut terbagi

didapatkan dari penelitian Eddy Rismanda Sembiring (2005) yang diperoleh

Page 15: 26 BAB 2 TINJAUAN TEORITIS 2.1 Tinjauan Teoritis 2.1.1 Teori

40

dengan cara menyesuaikan item pengungkapan milik Hockson dan Milne yang

semua terdiri dari 90 item pengungkapan dalam enam tema. Berdasarkan

peraturan Bapepam no VIII.G.2 tentang laporan tahunan dan kesesuaian item

tersebut untuk aplikasi di indonesia, maka penyesuaian kemudian dilakukan. 12

item dihapuskan karena kurangnya sesuai untuk diterapkan di Indonesia, sehingga

total tersisa 78 item pengungkapan. Menurut Sayekti dan Wondabio (2007) juga

terdapat 78 item dari 6 tema. Daftar pengungkapan tersebut adalah sebagai

berikut:

Lingkungan

1. Pengendalian polusi kegiatan operasi pengeluran riset dan pengembangan untuk

pengurangan polusi.

2. Pernyataan yang menunjukkan bahwa operasi perusahaan tidak mengakibatkan

polusi atau memenuhi ketentuan hukum dan peraturan polusi.

3. Pernyataan yang menunjukkan bahwa polusi operasi telah atau akan dikurangi.

4. Pencegahan atau perbaikan kerusakan lingkungan akibat pengolahan sumber

alam, misalnya, reklamasi daratan atau reboisasi.

5. Konservasi sumber alam, misalnya mendaur ulang kaca, besi , minyak, air dan

kertas.

6. Penggunaan material daur ulang.

7. Menerima penghargaan berkaitan dengan program lingkungan yang dibuat

perusahaan.

8. Merancang fasilitas yang harmonis dengan lingkungan.

9. Kontribusi dalam seni yang bertujuan untuk memperindah lingkungan.

Page 16: 26 BAB 2 TINJAUAN TEORITIS 2.1 Tinjauan Teoritis 2.1.1 Teori

41

10. Kontribusi dalam pemugaran bangungan sejarah.

11. Pengolahan limbah.

12. Mempelajari dampak lingkungan untuk memonitor dampak lingkungan

perusahaan.

13. Perlindungan lingkungan hidup.

Energi

1. Menggunakan energi secara lebih efisien dalam kegiatan operasi.

2. Memanfaatkan barang bekas untuk memproduksi energi.

3. Mengungkapkan penghematan energi sebagai hasil produk daur ulang.

4. Membahas upaya perusahaan dalam mengurangi konsumsi energi.

5. Pengungkapan peningkatan efisiensi energi dari produk.

6. Riset yang mengarah pada peningkatan efisiensi energi dari produk.

7. Mengungkapkan kebijakan energi perusahaan.

Tenaga Kerja

1. Mengurangi polusi, iritasi, atau risik dalam lingkungan kerja.

2. Mempromosikan keselamatan tenaga kerja dan kesehatan fisik atau mental.

3. Mengungkapkan statistik kecelakaan kerja.

4. Mentaati peraturan standar kesehatan dan keselamatan kerja.

5. Menerima penghargaan berkaitan dengan keselamatan kerja.

6. Menetapkan suatu komite keselamatan kerja.

7. Melaksanakan riset untuk meningkatkan keselamatan kerja.

8. Mengungkapkan pelayanan kesehatan tenaga kerja.

9. Perekrutan atau memanfaatkan tenaga kerja wanita/orang cacat.

Page 17: 26 BAB 2 TINJAUAN TEORITIS 2.1 Tinjauan Teoritis 2.1.1 Teori

42

10. Mengungkapkan persentase/jumlah tenaga kerja wanita/orang cacat dalam

tingkat managerial.

11. Mengungkapkan tujuan penggunaan tenaga kerja wanita/orang cacat dalam

pekerjaan.

12. Program untuk kemajuan tenaga kerja wanita/orang cacat.

13. Pelatihan tenaga kerja melalui program tertentu di tempat kerja.

14. Memberi bantuan keuangan pada tenaga kerja dalam bidang pendidikan.

15. Mendirikan suatu pusat pelatihan tenaga kerja.

16. Mengungkapkan bantuan atau bimbingan untuk tenaga kerja yang dalam

proses mengundurkan diri atau yang telah membuat kesalahan.

17. Mengungkapkan perencanaan kepemilikan rumah karyawan.

18. Mengungkapkan fasilitas untuk aktivitas rekreasi

19. Mengungkapkan presentase gaji untuk pensiun

20. Mengungkapkan kebijakan penggajian dalam perusahaan

21. Mengungkapkan jumlah tenaga kerja dalam perusahaan

22. Mengungkapkan tingkatan managerial yang ada

23. Mengungkapkan disposisi staff dimana staff ditempatkan

24. Mengungkapkan jumlah staff, masa kerja dan kelompok usia mereka

25. Mengungkapkan statistik tenaga kerja, misal: penjualan per tenaga kerja

26. Mengungkapkan kualifikasi tenaga kerja yang direkrut

27. Mengungkapkan rencana kepemilikan saham oleh tenaga kerja.

28. Mengungkapkan rencana pembagian keuntungan lain.

Page 18: 26 BAB 2 TINJAUAN TEORITIS 2.1 Tinjauan Teoritis 2.1.1 Teori

43

29. Mengungkapkan informasi hubungan manajemen dengan tenaga kerja dlm

meningkatkan kepuasan dan motivasi kerja

30. Mengungkapkan informasi stabilitas pekerjaan tenaga kerja dan masa depan

perusahaan.

31. Membuat laporan tenaga kerja yang terpisah.

32. Melaporkan hubungan perusahaan dengan serikat buruh.

33. Melaporkan gangguan dan aksi tenaga kerja.

34. Mengungkapkan informasi bagaimana aksi tenaga kerja dinegosiasikan.

35. Peningkatan kondisi kerja secara umum.

36. Informasi reorganisasi perusahaan yang mempengaruhi tenaga kerja.

37. Informasi dan statistik perputaran tenaga kerja.

Produk

1.Pengungkapan informasi pengembangan produk perusahaan, termasuk

pengemasannya.

2. Gambaran pengeluaran riset dan pengembangan produk.

3. Pengungkapan informasi proyek riset perusahaan untuk memperbaiki produk.

4. Pengungkapan bahwa produk memenuhi standar keselamatan.

5. Membuat produk lebih aman untuk konsumen.

6. Melaksanakan riset atas tingkat keselamatan produk perusahaan.

7. Pengungkapan peningkatan kebersihan/kesehatan dalam pengolahan dan

penyiapan produk.

8. Pengungkapan informasi atas keselamatan produk perusahaan.

Page 19: 26 BAB 2 TINJAUAN TEORITIS 2.1 Tinjauan Teoritis 2.1.1 Teori

44

9. Pengungkapan informasi mutu produk yang dicerminkan dalam penerimaan

penghargaan.

10. Informasi yang dapat diverifikasi bahwa mutu produk telah meningkat

(misalnya ISO 9001).

Keterlibatan Masyarakat

1. Sumbangan tunai, produk, pelayanan untuk mendukung aktivitas masyarakat,

pendidikan dan seni.

2. Tenaga kerja paruh waktu dari mahasiswa/pelajar.

3. Sebagai sponsor untuk proyek kesehatan masyarakat.

4. Membantu riset medis.

5. Sebagai sponsor untuk konferensi pendidikan, seminar atau pameran seni.

6. Membiayai program beasiswa.

7. Membuka fasilitas perusahaan untuk masyarakat.

8. Sebagai sponsor kampanye nasional.

9. Mendukung pengembangan industri lokal.

Umum

1. Pengungkapan tujuan/kebijakan perusahaan secara umum berkaitan dengan

tanggung jawab sosial perusahaan kepada masyarakat.

2. Informasi berhubungan dengan tanggung jawab sosial perusahaan selain yang

disebutkan di atas.

Page 20: 26 BAB 2 TINJAUAN TEORITIS 2.1 Tinjauan Teoritis 2.1.1 Teori

45

2.2 Penelitian Terdahulu

Penelitian tentang kepemilikan manajemen, kepemilikan institusional, dan

corpporate social responsibility telah banyak dilakukan oleh banyak peneliti

antara lain :

Zuhroh dan Putu (2003) menyatakan bahwa pengungkapan sosial dalam

laporan tahunan perusahaan yang go publik telah terbukti berpengaruh terhadap

volume perdagangan saham bagi perusahaan yang masuk kategori high profile.

Artinya bahwa investor sudah memulai merespon dengan baik informasi-

informasi sosial yang disajikan perusahaan dalam laporan tahunan. Semakin luas

pengungkapan sosial yang dilakukan perusahaan dalam laporan tahunan ternyata

memberikan pengaruh terhadap volume perdagangan saham perusahaan dimana

terjadi lonjakan perdagangan pada seputar publikasi laporan tahunan.

Siallagan dan Machfoedz (2003) menyimpulkan bahwa dengan menggunakan

OLS maupun 2SLS kepemilikan manajerial berpengaruh negatif terhadap nilai

perusahaan sehingga disimpulkan bahwa dengan kepemilikan manajemen yang

tinggi akan menurunkan nilai perusahaan.

Wahyudi dan Pawesti (2006) tentang implikasi struktur kepemilikan terhadap

nilai perusahaan dengan keputusan keuangan sebagai variabel intervening dengan

sampel perusahaan non keuangan yang terdaftar di BEJ tahun 2003 dan tahun

2002 sebagai komperasinya yang menemukan bahwa kepemilikan manajemen

berpengaruh terhadap nilai perusahaan, sedangkan kepemilikan institusional tidak

berpengaruh terhadap nilai perusahan.

Page 21: 26 BAB 2 TINJAUAN TEORITIS 2.1 Tinjauan Teoritis 2.1.1 Teori

46

Rika Nurlela dan Islahuddin (2008) menguji pengaruh corporate social

responsibility terhadap nilai perusahaan dengan persentase kepemilikan

manajemen sebagai variabel moderating. Metode analisis penelitian ini adalah

dengan menggunakan metode analisis regresi linear berganda. Penelitian ini

menemukan bahwa corporate social responsibility, persentase kepemilikan, serta

interaksi antara corporate social responsibility dengan persentase kepemilikan

manajemen secara simultan berpengaruh signifikan terhadap nilai perusahaan.

.

Page 22: 26 BAB 2 TINJAUAN TEORITIS 2.1 Tinjauan Teoritis 2.1.1 Teori

47

2.3 Rerangka Pemikiran

Gambar 1

2.4 Perumusan Hipotesis

2.4.1 Kepemilikan Manajemen Terhadap Nilai Perusahaan

Konflik keagenan disebabkan prinsipal dan agen mempunyai kepentingan

sendiri-sendiri yang saling bertentangan karena agen dan prinsipal berusaha

memaksimalkan utilitasnya masing-masing. Menurut Haruman (2008), perbedaan

kepentingan antara manajemen dan pemegang saham mengakibatkan manajemen

berperilaku curang dan tidak etis sehingga merugikan pemegang saham. Oleh

karena itu diperlukan suatu mekanisme pengendalian yang dapat mensejajarkan

perbedaan kepentingan antara manajemen dengan saham. Penelitian yang

dilakukan oleh Wahyudi dan Pawestri (2006) menemukan bahwa kepemilikan

manajerial memiliki pengaruh terhadap nilai perusahaan. Hubungan antara

kepemilikan manajerial dan nilai perusahaan adalah hubungan nonmonotonic

yang muncul karena adanya insentif yang dimiliki oleh manajer dan mereka

Kepemilikan Manajemen

Kepemilikan Institusional

Corporate Social Responsibilit

Nilai Perusahaan

Page 23: 26 BAB 2 TINJAUAN TEORITIS 2.1 Tinjauan Teoritis 2.1.1 Teori

48

berusaha melakukan pensejajaran kepentingan dengan outsider ownership dengan

cara meningkatkan kepemilikan saham mereka jika nilai perusahaan meningkat.

Sementara itu menurut Tendi Haruman (2008) menyimpulkan bahwa semakin

tinggi proporsi kepemilikan manajerian maka akan menurunkan market value.

Sehingga hipotesis penelitian yang diungkapkan adalah :

H1 : Kepemilikan Manajemen berpengaruh positif terhadap Nilai

Perusahaan

2.4.2 Kepemilikan Institusional Terhadap Nilai Perusahaan

Kepemilikan institusional, dimana umumnya dapat bertindak sebagai pihak

yang mengawasi perusahaan. Semakin besar kepemilikan institusional maka

semakin efisien pemanfaatan aktiva perusahaan dan diharapkan juga dapat

bertindak sebagai pencegahan terhadap pemborosan yang dilakukan oleh

manajemen (Faizal, 2004). Begitu pula menurut Wening (2009) Semakin besar

kepemilikan oleh institusi keuangan maka semakin besar pula kekuatan suara dan

dorongan untuk mengoptimalkan nilai perusahaan. Keberadaan institusional justru

menurunkan kepercayaan publik terhadap perusahaan. Akibatnya pasar saham

mereaksi negatif yang berupa turunnya volume perdagangan saham dan harga

saham, sehingga menurunkan nilai pemegang saham. Menurut Wahyudi dan

Pawestri (2006) semakin tinggi kepemilikan institusional maka akan mengurangi

perilaku opportunistic manajer yang dapat mengurangi agency cost yang

diharapkan akan meningkatkan nilai perusahaan. Menurut Sheilfer dan Vishny

(dalam Tendi Haruman, 2008), jumlah pemegang saham yang besar mempunyai

arti penting dalam memonitor perilaku manajer dalam perusahaan. Perusahaan

dengan kepemilikan institusional yang besar (5%) mengindikasikan

Page 24: 26 BAB 2 TINJAUAN TEORITIS 2.1 Tinjauan Teoritis 2.1.1 Teori

49

kemampuannya untuk memonitor manajemen. Sehingga hipotesis penelitian yang

diungkapkan adalah :

H2 : Kepemilikan Institusional berpengaruh terhadap positif Nilai

Perusahaan.

2.4.3 Corporate Social Responsibility Terhadap Nilai Perusahaan

Tujuan utama perusahaan adalah meningkatkan nilai perusahaan. Nilai

perusahaan akan terjamin tumbuh secara berkelanjutan jika perusahaan

memperhatikan dimensi ekonomi, sosial dan lingkungan hidup karena

keberlanjutan merupakan keseimbangan antara kepentingan-kepentingan

ekonomi, lingkungan dan masyarakat. Oleh sebab itu dengan adanya praktik CSR

yang baik, diharapkan nilai perusahaan akan dinilai dengan baik oleh investor

(Rika dan Islahuddin, 2008). Dengan adanya kosentrasi kepemilikan, maka para

pemegang saham besar seperti kepemilikan oleh kepemilikan institusional akan

dapat memonitor tim manajemen secara efektif dan nantinya dapat meningkatkan

nilai perusahaan. Tingginya kepemilikan oleh institusi akan meningkatkan

pengawasan terhadap perusahaan. Pengawasan yang tinggi ini akan

meminimalisasi tingkat penyelewengan yang dilakukan oleh pihak manajemen

yang akan menurunkan nilai perusahaan.

Corporate social responsibility atau tanggung jawab sosial perusahaan dapat

memberikan kontribusi terhadap kinerja keuangan. Hal ini dikarenakan dalam

pengambilan keputusan, perusahaan harus mempertimbangkan berbagai masalah

sosial dan lingkungan jika perusahaan ingin memaksimalkan hasil keuangan

jangka panjang yang nantinya dapat meningkatkan nilai perusahaan (Matteww

Brine, 2008) Semakin luas pengungkapan sosial yang dilakukan perusahaan

Page 25: 26 BAB 2 TINJAUAN TEORITIS 2.1 Tinjauan Teoritis 2.1.1 Teori

50

dalam laporan tahunan ternyata memberikan pengaruh terhadap volume

perdagangan saham perusahaan dimana terjadi lonjakan perdagangan pada seputar

publikasi loparan tahunan sehingga meningkatkan nilai perusahaan. Sehingga

hipotesis penelitian yang diungkapkan adalah :

H3 : Corporate social responsibility berpengaruh positif terhadap Nilai

Perusahaan