11 bab ii

30
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Peyakit Rabies 2.1. 1.Definisi Rabies Rabies atau dikenal juga dengan istilah penyakit anjing gila adalah penyakit infeksi yang bersifat akut pada susunan saraf pusat yang disebabkan oleh virus Rabies. Bersifat fatal viral encephalomyelitis akut yang menyerang karnivora dan kelelawar, meskipun dapat menginfeksi mamalia juga manusia Menurut cara penularannya Rabies termasuk golongan zoonosis langsung (direct zoonosis) yaitu zoonosis yang hanya memerlukan satu jenis vertebrata saja untuk kelangsungan hidupnya, dan agen penyebab penyakit hanya sedikit berubah atau malahan tidak mengalami perubahan sama sekali selama penularan. Sedangkan menurut reservoir utamanya Rabies digolongkan dalam antropozoonosis, yaitu penyakit yang secara bebas berkembang di alam di antara hewan-hewan liar maupun domestik. Manusia hanya kadang-kadang saja terinfeksi dan merupakan titik akhir dari infeksi. Menurut agen penyebabnya Rabies merupakan zoonosis kausa viral. Rabies dapat ditularkan oleh satwa liar (wild life zoonosis), hewan piara (domesticated animal zoonosis) maupun hewan yang hidup 6

Upload: eben-maranatha-zalukhu

Post on 04-Jan-2016

224 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

tinjauan teori

TRANSCRIPT

Page 1: 11 BAB II

BAB IITINJAUAN PUSTAKA

2.1. Peyakit Rabies

2.1. 1.Definisi Rabies

Rabies atau dikenal juga dengan istilah penyakit anjing gila adalah

penyakit infeksi yang bersifat akut pada susunan saraf pusat yang disebabkan oleh

virus Rabies. Bersifat fatal viral encephalomyelitis akut yang menyerang karnivora

dan kelelawar, meskipun dapat menginfeksi mamalia juga manusia Menurut cara

penularannya Rabies termasuk golongan zoonosis langsung (direct zoonosis) yaitu

zoonosis yang hanya memerlukan satu jenis vertebrata saja untuk kelangsungan

hidupnya, dan agen penyebab penyakit hanya sedikit berubah atau malahan tidak

mengalami perubahan sama sekali selama penularan. Sedangkan menurut reservoir

utamanya Rabies digolongkan dalam antropozoonosis, yaitu penyakit yang secara

bebas berkembang di alam di antara hewan-hewan liar maupun domestik. Manusia

hanya kadang-kadang saja terinfeksi dan merupakan titik akhir dari infeksi. Menurut

agen penyebabnya Rabies merupakan zoonosis kausa viral. Rabies dapat ditularkan

oleh satwa liar (wild life zoonosis), hewan piara (domesticated animal zoonosis)

maupun hewan yang hidup dipemukiman manusia (domiciliated zoonosis)

(Kementerian Pertanian Republik Indonesia, 2012).

2.1.2 Epidemiologi

Rabies terdapat dalam dua bentuk epidemiologik :

a. Urban : Disebar luaskan terutama oleh anjing, dan kucing rumah yang tidak

diimunisasi.

b. Sylatic : Disebar luaskan oleh singung (skunk), rubah, racoon, luwak

(monggos), serigala, dan kelelawar.

6

Page 2: 11 BAB II

7

Infeksi pada manusia cenderung terjadi pada tempat Rabies bersifat enzootik

atau epizootik, yaitu jika terdapat banyak populasi binatang jinak yang tidak

diimunisasi, dan manusia kontak dengan udara terbuka (Prabowo B, 2009).

Sembilan puluh persen kasus Rabies ditularkan ke manusia melalui gigitan

anjing. Anjing dan kucing merupakan sumber penularan Rabies yang paling penting,

karena dua jenis hewan inilah yang paling dikenal sebagai pet animal sehingga kedua

hewan ini pula yang paling sering kontak dengan manusia. Semua mamalia pada

dasarnya peka terhadap infeksi virus Rabies tetapi terdapat urutan kepekaan dari

berbagai species dari mamalia. Mamalia yang paling peka dan seringkali merupakan

kasus rabies spontan adalah golongan anjing misalnya anjing domestika (anjing

peliharaan), anjing hutan, serigala dan rubah. Beberapa species lain digolongkan ke

dalam kepekaan sedang yaitu racoon, sigung, kelelawar vampire, sedangkan

golongan yang kurang kepekaannya adalah golongan tupai.

Kepekaan terhadap infeksi rabies dan masa inkubasinya tergantung pada latar

belakang genetic dan host, strain virus Rabies, konsenstrasi reseptor virus pada sel

host, jumlah inokulum, serta jarak antara tempat masuknya virus ke sel host dengan

central nervous system (Rahayu Asih, 2010)

2.1.3. Etiologi

Penyebab Rabies adalah virus Rabies yang termasuk famili Rhabdovirus.

Bentuk virus menyerupai peluru, berukuran 180 nm dengan diameter 75 nm, dan

pada permukaannya terkihat bentuk-bentuk paku dengan panjang 9 nm. Virus ini

tersusun dari protein, lemak, RNA, dan karbohidrat. Sifat virus adalah peka terhadap

panas namun dapat mati bila berada pada suhu 50˚C selama 15 menit. Ada dua

macam antigen, yaitu antigen glikprotein dan antigen nukleoprotein. Virus ini akan

mati dengan sinar matahari dan sinar ultraviolet serta mudah dilarutkan dengan

detergen (Widoyono, 2009).

2.1.4. Patogenensis

Setelah virus Rabies masuk ke tubuh manusia, selama 2 minggu virus menetap

pada tempat masuk dan di jaringan otot di dekatnya. Virus berkembang biak atau

Page 3: 11 BAB II

8

langsung mencapai ujung-ujung serabut saraf perifer tanpa menunjukkan perubahan-

perubahan fungsinya. Selubung virus menjadi satu dengan membran plasma dan

protein ribonukleus dan memasuki sitoplasma. Beberapa tempat pengikatan adalah

reseptor asetil-kolin-post-sinaptik pada neuromuscular junction di susunan saraf pusat

(SSP). Dari saraf perifer virus menyebar secara sentripetal melalui endoneurium sel-

sel Schwan dan aliran aksoplasma mencapai ganglion dorsalis dalam waktu 60-72

jam dan berkembang biak. Selanjutnya virus menyebar dengan kecepatan 3 mm/jam

ke susunan saraf pusat (medula spinalis dan otak) melalui cairan serebrospinal. Di

otak virus menyebar secara luas dan memperbanyak diri dalam semua bagian neuron,

kemudian bergerak ke perifer dalam serabut saraf eferen dan pada saraf volunter

maupun saraf otonom. Penyebaran selanjutnya dari SSP ke saraf perifer termasuk

serabut saraf otonom, otot skeletal, otot jantung, kelenjar adrenal (medula), ginjal,

mata pankreas. Pada tahap berikutnya virus akan terdapat pada kelenjar ludah,

kelenjar lakrimalis, sistem respirasi. Virus juga tersebar pada air susu dan urin. Pada

manusia hanya dijumpai kelainan pada midbrain dan medula spinalis pada Rabies tipe

furious (buas) dan pada medula spinalis pada tipe paralitik (Aru W, 2009).

Periode inkubasi Rabies sangat bervariasi, antara 10 hari sampai lebih dari 1

tahun (rata-rata 1 sampai 2 bulan). Periode waktu tampak tergantung pada jumlah

virus yang masuk, jumlah jaringan yang terserang, mekanisme pertahanan penjamu

dan jarak sesungguhnya virus berjalan dari daerah inokulasi ke sistem saraf pusat.

Kasus Rabies manusia dengan periode inkubasi yang panjang (2 sampai dengan 7

tahun) telah dilaporkan tapi jarang terjadi. Respons imun penjamu dan strain viral

juga dapat mempengaruhi ekspresi penyakit. Respon imun yang diperantai sel dicatat

pada pasien dengan ensefalitis Rabies, tetapi tidak ada pasien dengan Rabies paralitik

(Prabowo B, 2009)

2.1.5.Manifestasi Klinis

a. Manifestasi Klinis Pada Hewan

Anjing muda relatif lebih peka dibandingkan hewan dewasa. Masa

inkubasi rata-rata 3 – 6 minggu dengan variasi yang tinggi, bisa 10 hari atau 6 bulan,

Page 4: 11 BAB II

9

jarang kurang dari 2 munggu atau lebih dari 4 bulan. Virus Rabies dijumpai pada air

liur anjing segera setelah gejala klinis tampak.

Ada tiga bentuk Rabies pada hewan yaitu :

1) Bentuk ganas (Furious Rabies)

Masa eksitasi panjang, kebanyakan akan mati dalam 2-5 hari setelah tanda-

tanda terlihat. Tanda-tanda yang sering terlihat:

a) Hewan menjadi penakut atau menjadi galak.

b) Senang bersembunyi di tempat-tempat yang dingin, gelap dan menyendiri tetapi

dapat menjadi agresif.

c) Tidak menurut perintah majikannya.

d) Nafsu makan hilang.

e) Air liur meleleh tak terkendali.

f) Hewan akan menyerang benda yang ada disekitarnya dan memakan benda-benda

asing seperti batu, kayu, dsb.

g) Menyerang dan menggigit barang bergerak apa saja yang dijumpai.

h) Kejang-kejang disusul dengan kelumpuham; ekor diantara 2 paha.

2) Bentuk diam (Dumb Rabies)

Masa eksitasi pendek, paralisa cepat terjadi, Tanda-tanda yang terlihat:

a. Bersembunyi di tempat yang gelap dan sejuk

b. Kejang-kejang dapat berlangsung sangat singkat, bahkan tidak terlihat

c. Lumpuh, tidak dapat menelan, mulut terbuka

d. Air liur keluar terus menerus (berlebihan)

e. Mati

3) Bentuk Asimptomatis

Hewan tidak menunjukkan gejala sakit dan hewan tiba-tiba mati (Kementerian

Pertanian Republik Indonesia, 2012).

Page 5: 11 BAB II

10

b. Manifestasi Klinis Pada Manusia

Menurut (Aru W, 2009) Masa inkubasi Rabies 95% antara 3-4 bulan, masa

inkubasi bisa bervariasi antara 7 hari hingga 7 tahun, hanya 1% kasus dengan

inkubasi 1-7 tahun. Karena lamanya inkubasi kadang-kadang pasien tidak dapat

mengingat kapan terjadinya gigitan. Pada anak-anak masa inkubasi biasanya lebih

pendek daripada orang dewasa. Lamanya masa inkubasi dipengaruhi oleh dalam dan

besarnya luka gigitan, lokasi luka gigitan (jauh dekatnya ke sistem saraf pusat),

derajat patogenitas virus dan persarafan daerah luka gigitan. Luka pada kepala

inkubasi 25-48 hari, dan pada ekstremitas 46-78 hari.

2.1.6. Cara Penularan

Sumber penularannya 90% dari anjing, 6% dari kucing, dan 4% dari

monyet dan hewan lain. Setelah menyerang dan mengakibatkan radang otak, virus

akan menyebar ke air liur penderita Rabies. Pada anjing, virus ditemukan kurang dari

lima hari sebelum munculnya gejala. Gigitan hewan terinfeksi bisa langsung

menularkan penyakit. Cakaran kuku hewan terinfeksi perlu diwaspadai karena

kebiasaan hewan yang menjilati cakarnya (Widoyono, 2009).

Masa Inkubasi virus Rabies sekitar 20-90 hari, namun beberapa literatur

menyebutkan 30-60 hari. Masa inkubasi dipengaruhi oleh lokasi tempat gigitan

hewan penular. Makin jauh tempat gigitan dari kepala, makin panjang perjalanan

penyakitnya. Karena itu, gigitan pada leher lebih cepat menunjukkan manufestasi

klinis daripada gigitan pada tungkai(Widoyono, 2009).

Penularan dari orang ke orang secara teoritis dimungkinkan oleh karena liur

orang yang terinfeksi dapat mengandung virus, namun hal ini belum pernah

didokumentasikan. Transplantasi organ (cornea) orang yang meninggal karena

penyakit sistem saraf pusat yang tidak terdiagnosa dapat menularkan Rabies kepada

penerima organ tadi. Penyebaran melalui udara telah dibuktikan, namun kejadiannya

sangat jarang (Kementerian Pertanian Republik Indonesia, 2012).

Page 6: 11 BAB II

11

2.1.7 Diagnosis

Suspect Rabies didasarkan pada pertimbangan banyak faktor, termasuk

riwayat paparan hewan, tanda-tanda klinis yang sugestif, tentunya sesuai dengan

penyakit. Untuk mengkonfirmasi diagnosis sekarang ini didasarkan pada pemeriksaan

laboratorium virus, antigen, antibodi, atau asam nucleid (Rosenau M, 2010).

Uji langsung fluorescent antibody (DFA) merupakan tes standar pilihan. Tes

DFA sangat sensitif dan spesifics, dan hanya membutuhkan beberapa jam untuk

dilakukan. Pengujian didasarkan pada deteksi antigen virus dalam potongan jaringan

otak dengan pewarnaan langsung dan gambaran mikroskopik dari reaksi antigen-

antibodi (Rosenau M, 2010)

Hewan yang terjangkit Rabies dapat didiagnosis dengan immunoflourensi

langsung dari jaringan otak. Dapat pula menggunakan reaksi rantai polymerase

(PCR). Dari diagnosis antemortem dapat digunakan uji flourensease atau PCR pada

biopsi kulit, sediaan sentuhan kornea atau sediaan air liur. Diagnosis pada hewan

berdasar gejala klinis awal dan observasi atas perubahan perilaku hewan, terutama

yang melakukan penyerangan tanpa inisiasi. Satu-satunya uji yang menghasilkan

keakuratan 100% terhadap virus Rabies adalah dengan uji antibody fluoresensi

langsung (dFAT) pada jaringan otak hewan yang terinfeksi. Diagnosis secara ELISA

juga direkomendasikan oleh OIE untuk menentukan tingkat imunitas post vaksinasi

pada anjing dan kucing (bahan regulasi pergerakan dan perdagangan internasional)

dan populasi anjing liar (monitoring program vaksinasi hewan liar) dengan spesimen

berupa serum anjing, kucing dan anjing liar (Platelia Rabies II). Beberapa prosedur

diagnosis lainnya : FAT (Fluorescent Antibody Technique) test, Isolasi kultur sel,

Identifikasi dengan antibody monoclonal dan Intra vitam diagnosis (Kementerian

Pertanian Republik Indonesia, 2012).

2.1.8.Penatalaksanaan

Menurut (Prabowo B, 2009) tidak ada terapi untuk penderita yang sudah

menunjukkan gejala Rabies; penanganan hanya berupa tindakan suportif dalam

penanganan gagal jantung dan gagal nafas. Walaupun tindakan perawatan intensif

Page 7: 11 BAB II

12

umumnya dilakukan, hasilnya tidak menggembirakan. Perawatan intensif hanyalah

metode untuk memperpanjang dan bila mungkin menyelamatkan hidup pasien dengan

mencegah komplikasi respirasi dan kardiovaskuler yang sering terjadi. Isolasi

penderita penting segera setelah diagnosa ditegakkan untuk menghindari rangsangan-

rangsangan yang dapat menimbulkan spasme otot dan mencegah penularan. Staf

rumah sakit perlu menghindarkan diri terhadap penularan virus dari air liur, urin, air

mata, cairan lain dan yang paling berbahaya adalah kontak dengan mukosa atau kulit

yang terluka khususnya akibat gigitan dengan universal precaution (memakai sarung

tangan dan sebagainya). Virus ini tidak menular melalui darah dan tinja. Yang

penting dalam pengawasan penderita Rabies adalah terjadinya hipoksia, aritmia,

gangguan elektrolit, hipotensi, edema serebri.

Penderita Rabies dapat diberikan obat-obat sedatif dan analgesik secara adekuat

untuk memulihkan ketakutan dan nyeri yang terjadi. Penggunaan obat-obat anti

serum, anti virus internefron, kortikosteroid dan imunosupresif lainnya tidak terbukti

efektif (Prabowo B, 2009).

2.1.9.Komplikasi

Berbagai komplikasi dapat terjadi pada penderita Rabies dan biasanya timbul

pada fasekoma. Komplikasi neurologik dapat berupa peningkatan tekanan

intrakranial; kelainan pada hipotalamus berupa diabetes insipidus, Sindrom

Abnormalitas Hormon Antidimetik (SAHAD), disfungsi otonomik yang

menyebabkan hipertensi, hipotensi, hipertermia /hipotermia, aritmia dan henti

jantung. Kejang dapat lokal maupun generalisata dan sering bersamaan dengan

aritmia dan gangguan respirasi. Pada stadium prodromal sering terjadi komplikasi

hiperventilasi dan alkalosis respiratorik, sedangkan hipoventilasi dan depresi

pernafasan terjadi pada fase neurologik akut. Hipotensi terjadi karena gagal jantung

kongestif, dehidrasi dan gangguan otonomik (Aru W, 2009).

2.1.10. Prognosis

Kematian karena infeksi virus Rabies boleh dikatakan 100% bila virus sudah

mencapai sistem saraf pusat. Dari tahun 1857 sampai tahun 1972 dari kepustakaan

Page 8: 11 BAB II

13

dilaporkan 10 pasien yang sembuh dari Rabies namun sejak tahun 1972 hingga

sekarang belum ada pasien Rabies yang dilaporkan hidup. Prognosis seringkali fatal

karena sekali gejala Rabies telah tampak hampir selalu kematianterjadi 2-3 hari

sesudahnya sebagai akibat gagal nafas/henti jantung ataupun paralisis generalista.

Berbagai Penelitian dari tahun 1986 sampai 2000 yang melibatkan lebih 800

kasus gigitan anjing pengidap Rabies di negara endemis yang segera mendapat

perawatan luka, pemberian VAR dan SAR, mendapatkan angka survival 100% (Aru

W, 2009).

2.1.11. Pencegahan

Rabies dapat dicegah dengan menghindari paparan. Selain itu, profilaksis

tertentu dapat dipertimbangkan setelah paparan, atau vaksinasi dapat diberikan pada

populasi tertentu yang berisiko sebelum paparan (Rosenau M, 2010). Pada daerah

endemik Rabies, gigitan anjing tanpa provokasi (anjing tidak diganggu) harus

dianggap menularkan Rabies (Widoyono, 2009). Pembersihan semua luka yang

terkontaminasi dengan virus Rabies sangat penting dalam pertolongan pertama.

Penggunaan antibiotik dan profilaksis tetanis dapat diindikasikan untuk luka yang

ditimbulkan oleh hewan (Rosenau M, 2010).

Jika anjing atau kucing yang sehat menggigit orang, maka binatang itu

ditangkap, diisolasi dan diobservasi selama 10 hari. Jika timbul penyakit atau tingkah

laku yang abnormal pada binatang itu selama periode observasi, binatang itu dibunuh

untuk menunjukkan bahwa binatang yang tetap sehat selama 10 hari setelah gigitan

tidak akan menularkan virus Rabies pada waktu menggigit (Prabowo B, 2009).

a. Penanganan Luka

Pengobatan lokal luka gigitan adalah faktor penting dalam pencegahan Rabies.

Luka gigitan harus segera dicuci dengan sabun, dilakukan debridemen dan diberikan

desinfektan seperti alkohol 40-70%, atau larutan ephiran 0.1%. Luka akibat gigitan

binatang penular Rabies tidak dibenarkan dijahit, untuk menghindari kesempatan

untuk kontaminasi jaringan lebih lanjut oleh virus Rabies, kecuali bila keadaan

memaksa dapat dilakukan jahitan situasi. Profilaksis tetanus dapat diberikan dan

Page 9: 11 BAB II

14

infeksi bakterial yang berhubungan dengan luka gigitan perlu diberikan antibiotic

(Aru W, 2009)

b. Vaksinasi

1) Vaksinasi Post-exposure.

Dasar vaksinasi post-exposure (pasca paparan) adalah neutralizing antibody

terhadap virus Rabies dengan segera terbentuk dalam serum setelah masuknya virus

kedalam tubuh dan sebaiknya terdapat dalam titer yang cukup tinggi selama setahun

sehubungan dengan panjangnya inkubasi penyakit. Secara garis besar ada 2 tipe

vaksin anti Rabies (VAR) yaitu :

a) Nerve tissue vaksin (NTV), yang dapat berasal dari otak hewan dewasa seperti

kelinci, kambing, domba, dan monyet, atau dapat berasal dari otak bayi hewan

mencit seperti Suckling Mouse Brain Vaccine (SCMBC).

b) Non Nerve Tissue Vaksin yang berasal dari telur itik bertunas (Duck Embryo

Vaccine = DEV) dan vaksin yang berasal dari biakkan jaringan seperti Human

Diploid Cell Vaccine (HDCV) dan Purified Vero Cell Rabies Vaccine (PVRV).

Pada luka gigitan yang ringan pemberian vaksin saja sudah cukup tetapi pada

semua kasus gigitan yang parah dan semua gigitan binatang liar yang biasanya

menjadi vektor Rabies, kombinasi vaksin dan Serum Anti Rabies (SAR) adalah yang

paling ideal dan memberikan proteksi yang jauh lebih baik dibandingkan dengan

vaksin saja. SAR dapat digolongkan dalam golongan serum homolog yang berasal

dari manusia (Human Rabies Immune Globulin=HRIG) dan serum heterolog yang

berasal dari hewan.

Cara vaksinasi pasca-paparan yang dilakukan pada paparan yang ringan berupa

pemberian VAR secara intramuskuler pada otot deltoid atau anterolateral paha

dengan dosis 0,5 ml pada hari 0, 3, 7, 14, 28 (regimen Essen/rekomendasi WHO),

atau pemberian VAR 0,5 ml pada hari 0, 7, 21 (regimen Zagreb/rekomendasi Depkes

RI). Pada orang yang sudah mendapat vaksin Rabies dalam waktu 5 tahun terakhir,

bila digigit binatang tersangka Rabies, vaksin cukup diberikan 2 dosis pada hari 0 dan

3, namun bila gigitan dikategorikan berat, vaksin diberikan lengkap.

Page 10: 11 BAB II

15

Pada luka gigitan yang parah, gigitan di daerah leher ke atas, pada jari tangan

dan genitalia diberikan SAR 20 IU per kilogram berat badan dosis tunggal. Cara

pemberian SAR adalah setengah dosis infiltrasi pada daerah sekitar luka dan setengah

dosis intramuskular pada tempat yang berlainan dengan suntikan SAR, diberikan

pada hari yang sama dengan dosis pertama SAR.

2) Vaksinasi Pre-Exposure

Untuk menghindari infeksi virus Rabies, di samping pemberian VAR setelah

mendapatkan gigitan binatang tersangka Rabies, pencegahan lebih dini juga dapat

dilakukan dengan memberikan suntikan yang sama tetapi dengan waktu, cara dan

dosis yang berbeda melalui profilaksis pre-exposure (pra-paparan).

Individu yang beresiko tinggi untuk kontak dengan virus Rabies seperti dokter

hewan, pekerja di kebun binatang, petugas karantina hewan, penangkap binatang,

petugas laboratorium yang bekerja dengan virus Rabies, dokter dan perawat yang

menangani penderita Rabies, wisatawan yang berkunjung ke daerah endemis Rabies

seperti Meksiko, Thailand, Filipina, india, Sri Lanka dianjurkan untuk mendapatkan

pencegahan pre-exposure. Vaksin anti Rabies diberikan dengan dosis 1 ml secara

intra muskuler pada hari 0, 7 dan 28 lalu booster setelah 1 tahun dan tiap 5 bulan (Aru

W, 2009).

2.1.12. Tingkatan Pencegahan Penyakit

Dalam epidemiologi, pencegahan penyakit dibagi menjadi beberapa

tingkatan sesuai dengan perjalanan penyakit yaitu:

a. Pencegahan Primer

Pencegahan tungkat pertama ini merupakan upaya untuk mempertahankan

orang yang sehat agar tetap sehat atau mencegah orang yang sehat menjadi sakit.

Secara garis besar, upaya pencegahan ini dapat berupa pencegahan umum dan

pencegahan khusus. Pencegahan umum dimaksudkan untuk mengadakan pencegahan

pada masyarakat umum, misalnya pendidikan kesehatan masyarakat dan kebersihan

lingkungan. Pencegahan khusus ditujukan pada orang-orang yang mempunyai risiko

dengan melakukan imunisasi.

Page 11: 11 BAB II

16

b. Pencegahan Sekunder.

Tingkat pencegahan kedua ini merupakan upaya manusia untuk mencegah

orang yang telah sakit agar sembuh, menghambat progresifitas penyakit,

menghindarkan komplikasi, dan mengurangi ketidakmampuan. Pencegahan sekunder

ini dapat dilakukan dengan cara mendeteksi penyakit secara dini dan mengadakan

pengobatan yang cepat dan tepat. Deteksi penyakit secara dini dapat dilakukan

dengan cara :

1) Penyaringan

2) Pengamatan epidemiologis

3) Survei epidemiologis

4) Memberi pelayanan kesehatan sebaik-baiknya pada sarana pelayanan umum atau

praktek dokter swasta

c. Pencegahan Tersier

Pencegahan ini dimaksudkan untuk mengurangi ketidakmampuan dan

mengadakan rehabilitasi. Upaya pencegahan tingkat ketiga ini dapat dilakukan

dengan :

1) Memaksimalkan fungsi organ yang cacat

2) Membuat protesa ekstremitas

3) Mendirikan pusat-pusat rehabilitasi medik

Pencegahan penyakit ini terus diupayakan selama orang yang menderita belum

meninggal dunia (Budiarto E, 2010)

2.2.Pengetahuan

2.2.1. Pengertian Pengetahuan

Pengetahuan adalah merupakan hasil “ TAHU” dan ini terjadi setelah

orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan

terjadi melalui panca indera manusia yakni indera penglihatan, pendengaran,

penciuman, rasa dan raba sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh me

lalui mata dan telinga (Notoatmodjo, 2011).

Page 12: 11 BAB II

17

2.2.2. Beberapa Faktor yang Mempengaruhi Pengetahuan Seseorang, yaitu :

a. Pendidikan.

Pendidikan adalah suatu usaha untuk mengembangkan kepribadian dan

kemampuan di dalam dan di luar sekolah dan berlangsung seumur hidup. Pendidikan

mempengaruhi proses belajar, makin tinggi pendidikan seeorang makin mudah orang

tersebut untuk menerima informasi. Dengan pendidikan tinggi maka seseorang akan

cenderung untuk mendapatkan informasi, baik dari orang lain maupun dari media

massa. Semakin banyak informasi yang masuk semakin banyak pula pengetahuan

yang didapat tentang kesehatan. Pengetahuan sangat erat kaitannya dengan

pendidikan dimana diharapkan seseorang dengan pendidikan tinggi, maka orang

tersebut akan semakin luas pula pengetahuannya. Namun perlu ditekankan bahwa

seorang yang berpendidikan rendah tidak berarti mutlak berpengetahuan rendah pula.

Peningkatan pengetahuan tidak mutlak diperoleh di pendidikan formal, akan tetapi

juga dapat diperoleh pada pendidikan non formal. Pengetahuan seseorang tentang

sesuatu obyek juga mengandung dua aspek yaitu aspek positif dan negatif. Kedua

aspek inilah yang akhirnya akan menentukan sikap seseorang terhadap obyek

tertentu. Semakin banyak aspek positif dari obyek yang diketahui, akan

menumbuhkan sikap makin positif terhadap obyek tersebut .

b. Mass Media / Informasi.

Informasi yang diperoleh baik dari pendidikan formal maupun non formal dapat

memberikan pengaruh jangka pendek (immediate impact) sehingga menghasilkan

perubahan atau peningkatan pengetahuan. Majunya teknologi akan tersedia

bermacam-macam media massa yang dapat  mempengaruhi pengetahuan masyarakat

tentang inovasi baru.  Sebagai sarana komunikasi, berbagai bentuk media massa

seperti televisi, radio, surat kabar, majalah, dan lain-lain mempunyai pengaruh besar

terhadap pembentukan opini dan kepercayan orang. Dalam penyampaian informasi

sebagai tugas pokoknya, media massa membawa pula pesan-pesan yang berisi sugesti

yang dapat mengarahkan opini seseorang. Adanya informasi baru mengenai sesuatu

Page 13: 11 BAB II

18

hal  memberikan landasan kognitif baru bagi terbentuknya pengetahuan terhadap hal

tersebut.

c. Sosial Budaya dan Ekonomi.

Kebiasaan dan tradisi yang dilakukan orang-orang tanpa melalui   penalaran

apakah yang dilakukan baik atau buruk. Dengan demikian seseorang akan bertambah

pengetahuannya walaupun tidak melakukan. Status ekonomi seseorang juga akan

menentukan tersedianya suatu fasilitas yang diperlukan untuk kegiatan tertentu,

sehingga status sosial ekonomi ini akan mempengaruhi pengetahuan seseorang.

d. Lingkungan.

Lingkungan adalah segala sesuatu yang ada di sekitar individu, baik lingkungan

fisik, biologis, maupun sosial. Lingkungan berpengaruh terhadap proses masuknya

pengetahuan ke dalam individu yang berada dalam lingkungan tersebut. Hal ini

terjadi karena adanya interaksi timbal balik ataupun tidak yang akan direspon sebagai

pengetahuan oleh setiap individu.

e. Pengalaman.

Pengalaman sebagai sumber pengetahuan adalah suatu cara untuk memperoleh

kebenaran pengetahuan dengan cara mengulang kembali pengetahuan yang diperoleh

dalam memecahkan masalah yang dihadapi masa lalu. Pengalaman belajar dalam

bekerja yang dikembangkan memberikan pengetahuan dan keterampilan professional

serta pengalaman belajar selama bekerja akan dapat mengembangkan kemampuan

mengambil keputusan yang merupakan manifestasi dari keterpaduan menalar secara

ilmiah dan etik yang bertolak dari masalah nyata dalam bidang kerjanya.

f. Usia.

Usia mempengaruhi terhadap daya tangkap dan pola pikir seseorang. Semakin

bertambah usia akan semakin berkembang pula daya tangkap dan pola pikirnya,

sehingga pengetahuan yang diperolehnya semakin membaik. Pada usia madya,

individu akan lebih berperan aktif dalam masyarakat dan kehidupan sosial serta lebih

banyak melakukan persiapan demi suksesnya upaya menyesuaikan diri menuju usia

tua, selain itu orang usia madya akan lebih banyak menggunakan banyak waktu untuk

Page 14: 11 BAB II

19

membaca. Kemampuan intelektual, pemecahan masalah, dan kemampuan verbal

dilaporkan hampir tidak ada penurunan pada usia ini (Ramadhan,2009.)

2.2.3.Pengetahuan Mengenai Domain Kognitif Mempunyai 6 (Enam) Tingkat

a. Tahu (Know)

Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telahdipelajari sebelumnya

termasuk mengingat kembali terhadapsuatu yang spesifik dari seluruh bahan yang

dipelajari ataurangsangan yang telah diterima. tahu merupakan tingkatpengetahuan

yang paling rendah. Kata kerja untuk mengukurbahwa orang tahu tentang apa yang

dipelajari antara lain:menyebutkan, menguraikan, mendefinisikan, menyatakan

dansebagainya.

b. Memahami (Comprehension)

Memahami adalah suatu kemampuan menjelaskan secarabenar tentang suatu

materi yang diketahui dan dapatmenginterpretasi materi tersebut secara benar. Orang

yangtelah memahami terhadap suatu objek atau materi harus dapatmenjelaskan,

menyebutkan contoh dan menyimpulkan materiyang dipelajari.

c. Aplikasi (Application)

Aplikasi adalah kemampuan untuk menggunakan materi yangtelah dipelajari

pada situasi atau kondisi yang sebenarnya.Aplikasi disini dapat diartikan aplikasi atau

penggunaanhukum-hukum, rumus, metode, prinsip dan sebagainya.

d. Analisis (Analysis)

Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materiatau suatu objek ke

dalam komponen-komponen, tetapi masihdalam suatu struktur organisasi tersebut dan

masih adakaitannya satu sama lain. kemampuan analisis ini dapatdilihat dari

penggunaan kata-kata kerja: dapatmenggambarkan (membuat bagan),

membedakan,memisahkan, mengelompokkan dan sebagainya.

e. Sintesis (Synthesis)

Sintesis menunjuk pada suatu kemampuan untuk meletakkanatau

menghubungkan bagian-bagian dalam suatu bentukkeseluruhan yang baru. sintesis

merupakan suatukemampuan untuk menyusun formulasi baru dari

Page 15: 11 BAB II

20

formulasiformulasiyang ada. Kata kerja yang digunakan untuk sintesisadalah dapat

menyusun, merencanakan, meringkaskan,menyesuaikan dan sebagainya.

f. Evaluasi (Evaluation)

Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukanjustifikasi atau

penilaian terhadap suatu materi atau objek.Penilaian-penilaian itu berdasarkan suatu

kriteria yangditentukan sendiri atau menggunakan kriteria –kriteria yangtelah

ada.Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancaraatau angket yang

menanyakan tentang isi materi yang ingindiukur dari subjek penelitian atau

responden. Kedalamanpengetahuan yang ingin kita ketahui atau kita ukur

dapatdisesuaikan dengan tingkat-tingkat tersebut di atas (rogers dalam Riyantini,

2010):

2.2.4. Pengukuran dan Hasil Ukur Pengetahuan.

Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan memberikan seperangkat alat

tes / kuesioner tentang object pengetahuan yang mau diukur, selanjutnya dilakukan

penilaian dimana setiap jawaban benar dari masing-masing pertanyaan diberi nilai 1

dan jika salah diberi nilai 0.Selanjutnya prosentase jawaban diinterpretasikan dalam

kalimat kualitatif dengan acuan hasil baik dan buruk. (Ramadhan 2009).

2.3. Pendidikan Kesehatan

2.3.1. Pengertian Pendidikan Kesehatan.

Pendidikan kesehatan adalah suatu usaha untuk menyediakan kondisi

psikologis dan sasaran agar seseorang mempunyai pengetahuan, sikap dan

keterampilan yang sesuai dengan tuntutan nilai-nilai kesehatan (Notoatmodjo, 2007).

Menurut wood dalam maulana (2009) pendidikan kesehatan adalah sejumlah

pengalaman yang berpengaruh secara menguntungkan terhadap kebiasaan, sikap dan

pengetahuan terkait dengan kesehatan individu, masyarakat dan bangsa. Lebih lanjut,

Joint Committee On Terminology In Health Education Of United States 1973 dalam

Maulana, (2009) mengartikan pendidikan kesehatan sebagai proses yang mencakup

dimensi dan kegiatan-kegiatan intelektual, psikologi dan sosial yang diperlukan untuk

meningkatkan kemampuan individu dalam mengambil keputusan secara sadar dan

Page 16: 11 BAB II

21

yang mempengaruhi kesejahteraan diri, keluarga dan masyarakat. pendidikan

kesehatan itu juga proses belajar pada individu, kelompok atau masyarakat dari tidak

tahu tentang nilai-nilai kesehatan menjadi tahu, dari tidak mampu mengatasi masalah-

masalah kesehatannya menjadi tahu, dari tidak mampu mengatasi masalah-masalah

kesehatannya sendiri menjadi mampu dan lain sebagainya (Notoatmodjo 2007 dalam

Riyantini, 2010)

Berdasarkan pengertian tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa pendidikan

kesehatan adalah proses belajar pada individu, kelompok atau masyarakat yang

mencakup dimensi intelektual, psikologis dan sosial, diberikan oleh perawat untuk

meningkatkan kemampuan individu dalam mengambil keputusan yang berpengaruh

secara menguntungkan terhadap kebiasaan, sikap dan pengetahuan terkait dengan

kesehatan individu dan masyarakat.

2.3.2. Tujuan Pendidikan Kesehatan

Tujuan pendidikan kesehatan secara umum adalah mengubah pengetahuan,

sikap dan keterampilan individu atau masyarakat di bidang kesehatan, yang dapat

dirinci sebagai berikut (Maulana, 2009): menjadikan kesehatan sebagai sesuatu yang

bernilai di masyarakat, menolong individu agar mampu secara mandiri atau

berkelompok, mengadakan kegiatan untuk mencapai tujuan hidup sehat dan

mendorong pengembangan dan penggunaan secara tepat sarana pelayanan kesehatan

yang ada.

2.3.3 Ruang Lingkup Pendidikan Kesehatan

Pendidikan kesehatan dilihat dari sasarannya dapat diberikan pada individu,

kelompok dan masyarakat, sedangkan dilihat dari tempatnya pendidikan kesehatan

dapat dilakukan disekolah, di rumah sakit dan tempat-tempat kerja yang lain

(Notoatmodjo (2007). Pendidikan kesehatan yang diberikan di rumah sakit

mempunyai sasaran klien atau keluarga klien di rumah sakit maupun puskesmas.

2.3.4. Metode Pendidikan Pengetahuan, Sikap dan Keterampilan

Pendidikan kesehatan pada hakikatnya adalah suatu kegiatan atau usaha untuk

menyampaikan pesan kesehatan kepada individu, kelompok atau masyarakat agar

Page 17: 11 BAB II

22

memperoleh pengetahuan tentang kesehatan yang lebih baik dan diharapkan

berpengaruh terhadap pengetahuan, sikap dan keterampilannya. ada beberapa metode

yang dapat digunakan dalam memberikan pendidikan kesehatan tetapi tergantung

pada sasarannya. Metode yang digunakan untuk memberikan pendidikan kesehatan

kepada individu/perorangan adalah bimbingan dan penyuluhan, bentuk ini

memungkinkan kontak antara klien dengan perawat lebih intensif, setiap masalah

yang dihadapi oleh klien dapat dikaji lebih dalam dan dibantu penyelesaiannya.

Pendidikan kesehatan yang diberikan dengan sasaran kelompok, metode yang

digunakan adalah ceramah, seminar, diskusi kelompok, curah pendapat, bermain

peran dan permainan simulasi.

2.3.5. Alat Bantu dan Media Pendidikan Kesehatan

Alat bantu pendidikan adalah alat-alat yang digunakan oleh pendidik dalam

menyampaikan bahan pendidikan/pengajaran. alat bantu ini lebih sering disebut ‘alat

peraga’ karena berfungsi untuk membantu dan memeragakan sesuatu dalam proses

pendidikan pengajaran.

Klien di dalam proses pendidikan dapat memperoleh pengalaman /pengetahuan

melalui berbagai macam alat bantu pendidikan. Masing-masing alat mempunyai

intensitas yang berbeda-beda dalam membantu persepsi seseorang. alat bantu yang

dapat digunakan dalam memberikan pendidikan kesehatan adalah alat bantu lihat

(visual aids), diantaranya adalah: slide, film, film strip, gambar, bagan dan

sebagainya, sedangkan untuk alat bantu dengar (audio aids), alat yang dapat

digunakan adalah piringan hitam, radio, pita suara dan sebagainya. Alat bantu yang

lain yang dapat digunakan adalah alat bantu yang dikenal dengan audio visual aids

(ava), seperti: televise dan video cassette.

Page 18: 11 BAB II

23

2.4. Kerangka Konsep Penelitian

Pre Test Post Test

Pengetahuan

masyarakat

tentang rabies.

-Baik

-Cukup

-Kurang

Pendidikan

kesehatan

Pengetahuan

masyarakat

tentang

penyakit rabies

-Baik

-Cukup

-Kurang

Skema 2.1. Kerangka Konsep Penelitian Pengaruh Pendidikan Keseha

tan Terhadap Pengetahuan Masyarakat Tentang Penyakit

Rabies Di Desa Lasarabaene Di Wilayah Kerja Puskesmas

Rawat Inap Plus Mandrehe Tahun 2014.

2.5. Hipotesis Penelitian

Hipotesis dalam penelitian ini adalah terdapat pengaruh pendidikan

kesehatan terhadap pengetahuan masyarakat tentang penyakit rabies di desa

Lasarabaene di wilayah kerja Puskesmas Rawat Inap Plus Mandrehe Tahun 2014.