11 bab ii
DESCRIPTION
tinjauan teoriTRANSCRIPT
BAB IITINJAUAN PUSTAKA
2.1. Peyakit Rabies
2.1. 1.Definisi Rabies
Rabies atau dikenal juga dengan istilah penyakit anjing gila adalah
penyakit infeksi yang bersifat akut pada susunan saraf pusat yang disebabkan oleh
virus Rabies. Bersifat fatal viral encephalomyelitis akut yang menyerang karnivora
dan kelelawar, meskipun dapat menginfeksi mamalia juga manusia Menurut cara
penularannya Rabies termasuk golongan zoonosis langsung (direct zoonosis) yaitu
zoonosis yang hanya memerlukan satu jenis vertebrata saja untuk kelangsungan
hidupnya, dan agen penyebab penyakit hanya sedikit berubah atau malahan tidak
mengalami perubahan sama sekali selama penularan. Sedangkan menurut reservoir
utamanya Rabies digolongkan dalam antropozoonosis, yaitu penyakit yang secara
bebas berkembang di alam di antara hewan-hewan liar maupun domestik. Manusia
hanya kadang-kadang saja terinfeksi dan merupakan titik akhir dari infeksi. Menurut
agen penyebabnya Rabies merupakan zoonosis kausa viral. Rabies dapat ditularkan
oleh satwa liar (wild life zoonosis), hewan piara (domesticated animal zoonosis)
maupun hewan yang hidup dipemukiman manusia (domiciliated zoonosis)
(Kementerian Pertanian Republik Indonesia, 2012).
2.1.2 Epidemiologi
Rabies terdapat dalam dua bentuk epidemiologik :
a. Urban : Disebar luaskan terutama oleh anjing, dan kucing rumah yang tidak
diimunisasi.
b. Sylatic : Disebar luaskan oleh singung (skunk), rubah, racoon, luwak
(monggos), serigala, dan kelelawar.
6
7
Infeksi pada manusia cenderung terjadi pada tempat Rabies bersifat enzootik
atau epizootik, yaitu jika terdapat banyak populasi binatang jinak yang tidak
diimunisasi, dan manusia kontak dengan udara terbuka (Prabowo B, 2009).
Sembilan puluh persen kasus Rabies ditularkan ke manusia melalui gigitan
anjing. Anjing dan kucing merupakan sumber penularan Rabies yang paling penting,
karena dua jenis hewan inilah yang paling dikenal sebagai pet animal sehingga kedua
hewan ini pula yang paling sering kontak dengan manusia. Semua mamalia pada
dasarnya peka terhadap infeksi virus Rabies tetapi terdapat urutan kepekaan dari
berbagai species dari mamalia. Mamalia yang paling peka dan seringkali merupakan
kasus rabies spontan adalah golongan anjing misalnya anjing domestika (anjing
peliharaan), anjing hutan, serigala dan rubah. Beberapa species lain digolongkan ke
dalam kepekaan sedang yaitu racoon, sigung, kelelawar vampire, sedangkan
golongan yang kurang kepekaannya adalah golongan tupai.
Kepekaan terhadap infeksi rabies dan masa inkubasinya tergantung pada latar
belakang genetic dan host, strain virus Rabies, konsenstrasi reseptor virus pada sel
host, jumlah inokulum, serta jarak antara tempat masuknya virus ke sel host dengan
central nervous system (Rahayu Asih, 2010)
2.1.3. Etiologi
Penyebab Rabies adalah virus Rabies yang termasuk famili Rhabdovirus.
Bentuk virus menyerupai peluru, berukuran 180 nm dengan diameter 75 nm, dan
pada permukaannya terkihat bentuk-bentuk paku dengan panjang 9 nm. Virus ini
tersusun dari protein, lemak, RNA, dan karbohidrat. Sifat virus adalah peka terhadap
panas namun dapat mati bila berada pada suhu 50˚C selama 15 menit. Ada dua
macam antigen, yaitu antigen glikprotein dan antigen nukleoprotein. Virus ini akan
mati dengan sinar matahari dan sinar ultraviolet serta mudah dilarutkan dengan
detergen (Widoyono, 2009).
2.1.4. Patogenensis
Setelah virus Rabies masuk ke tubuh manusia, selama 2 minggu virus menetap
pada tempat masuk dan di jaringan otot di dekatnya. Virus berkembang biak atau
8
langsung mencapai ujung-ujung serabut saraf perifer tanpa menunjukkan perubahan-
perubahan fungsinya. Selubung virus menjadi satu dengan membran plasma dan
protein ribonukleus dan memasuki sitoplasma. Beberapa tempat pengikatan adalah
reseptor asetil-kolin-post-sinaptik pada neuromuscular junction di susunan saraf pusat
(SSP). Dari saraf perifer virus menyebar secara sentripetal melalui endoneurium sel-
sel Schwan dan aliran aksoplasma mencapai ganglion dorsalis dalam waktu 60-72
jam dan berkembang biak. Selanjutnya virus menyebar dengan kecepatan 3 mm/jam
ke susunan saraf pusat (medula spinalis dan otak) melalui cairan serebrospinal. Di
otak virus menyebar secara luas dan memperbanyak diri dalam semua bagian neuron,
kemudian bergerak ke perifer dalam serabut saraf eferen dan pada saraf volunter
maupun saraf otonom. Penyebaran selanjutnya dari SSP ke saraf perifer termasuk
serabut saraf otonom, otot skeletal, otot jantung, kelenjar adrenal (medula), ginjal,
mata pankreas. Pada tahap berikutnya virus akan terdapat pada kelenjar ludah,
kelenjar lakrimalis, sistem respirasi. Virus juga tersebar pada air susu dan urin. Pada
manusia hanya dijumpai kelainan pada midbrain dan medula spinalis pada Rabies tipe
furious (buas) dan pada medula spinalis pada tipe paralitik (Aru W, 2009).
Periode inkubasi Rabies sangat bervariasi, antara 10 hari sampai lebih dari 1
tahun (rata-rata 1 sampai 2 bulan). Periode waktu tampak tergantung pada jumlah
virus yang masuk, jumlah jaringan yang terserang, mekanisme pertahanan penjamu
dan jarak sesungguhnya virus berjalan dari daerah inokulasi ke sistem saraf pusat.
Kasus Rabies manusia dengan periode inkubasi yang panjang (2 sampai dengan 7
tahun) telah dilaporkan tapi jarang terjadi. Respons imun penjamu dan strain viral
juga dapat mempengaruhi ekspresi penyakit. Respon imun yang diperantai sel dicatat
pada pasien dengan ensefalitis Rabies, tetapi tidak ada pasien dengan Rabies paralitik
(Prabowo B, 2009)
2.1.5.Manifestasi Klinis
a. Manifestasi Klinis Pada Hewan
Anjing muda relatif lebih peka dibandingkan hewan dewasa. Masa
inkubasi rata-rata 3 – 6 minggu dengan variasi yang tinggi, bisa 10 hari atau 6 bulan,
9
jarang kurang dari 2 munggu atau lebih dari 4 bulan. Virus Rabies dijumpai pada air
liur anjing segera setelah gejala klinis tampak.
Ada tiga bentuk Rabies pada hewan yaitu :
1) Bentuk ganas (Furious Rabies)
Masa eksitasi panjang, kebanyakan akan mati dalam 2-5 hari setelah tanda-
tanda terlihat. Tanda-tanda yang sering terlihat:
a) Hewan menjadi penakut atau menjadi galak.
b) Senang bersembunyi di tempat-tempat yang dingin, gelap dan menyendiri tetapi
dapat menjadi agresif.
c) Tidak menurut perintah majikannya.
d) Nafsu makan hilang.
e) Air liur meleleh tak terkendali.
f) Hewan akan menyerang benda yang ada disekitarnya dan memakan benda-benda
asing seperti batu, kayu, dsb.
g) Menyerang dan menggigit barang bergerak apa saja yang dijumpai.
h) Kejang-kejang disusul dengan kelumpuham; ekor diantara 2 paha.
2) Bentuk diam (Dumb Rabies)
Masa eksitasi pendek, paralisa cepat terjadi, Tanda-tanda yang terlihat:
a. Bersembunyi di tempat yang gelap dan sejuk
b. Kejang-kejang dapat berlangsung sangat singkat, bahkan tidak terlihat
c. Lumpuh, tidak dapat menelan, mulut terbuka
d. Air liur keluar terus menerus (berlebihan)
e. Mati
3) Bentuk Asimptomatis
Hewan tidak menunjukkan gejala sakit dan hewan tiba-tiba mati (Kementerian
Pertanian Republik Indonesia, 2012).
10
b. Manifestasi Klinis Pada Manusia
Menurut (Aru W, 2009) Masa inkubasi Rabies 95% antara 3-4 bulan, masa
inkubasi bisa bervariasi antara 7 hari hingga 7 tahun, hanya 1% kasus dengan
inkubasi 1-7 tahun. Karena lamanya inkubasi kadang-kadang pasien tidak dapat
mengingat kapan terjadinya gigitan. Pada anak-anak masa inkubasi biasanya lebih
pendek daripada orang dewasa. Lamanya masa inkubasi dipengaruhi oleh dalam dan
besarnya luka gigitan, lokasi luka gigitan (jauh dekatnya ke sistem saraf pusat),
derajat patogenitas virus dan persarafan daerah luka gigitan. Luka pada kepala
inkubasi 25-48 hari, dan pada ekstremitas 46-78 hari.
2.1.6. Cara Penularan
Sumber penularannya 90% dari anjing, 6% dari kucing, dan 4% dari
monyet dan hewan lain. Setelah menyerang dan mengakibatkan radang otak, virus
akan menyebar ke air liur penderita Rabies. Pada anjing, virus ditemukan kurang dari
lima hari sebelum munculnya gejala. Gigitan hewan terinfeksi bisa langsung
menularkan penyakit. Cakaran kuku hewan terinfeksi perlu diwaspadai karena
kebiasaan hewan yang menjilati cakarnya (Widoyono, 2009).
Masa Inkubasi virus Rabies sekitar 20-90 hari, namun beberapa literatur
menyebutkan 30-60 hari. Masa inkubasi dipengaruhi oleh lokasi tempat gigitan
hewan penular. Makin jauh tempat gigitan dari kepala, makin panjang perjalanan
penyakitnya. Karena itu, gigitan pada leher lebih cepat menunjukkan manufestasi
klinis daripada gigitan pada tungkai(Widoyono, 2009).
Penularan dari orang ke orang secara teoritis dimungkinkan oleh karena liur
orang yang terinfeksi dapat mengandung virus, namun hal ini belum pernah
didokumentasikan. Transplantasi organ (cornea) orang yang meninggal karena
penyakit sistem saraf pusat yang tidak terdiagnosa dapat menularkan Rabies kepada
penerima organ tadi. Penyebaran melalui udara telah dibuktikan, namun kejadiannya
sangat jarang (Kementerian Pertanian Republik Indonesia, 2012).
11
2.1.7 Diagnosis
Suspect Rabies didasarkan pada pertimbangan banyak faktor, termasuk
riwayat paparan hewan, tanda-tanda klinis yang sugestif, tentunya sesuai dengan
penyakit. Untuk mengkonfirmasi diagnosis sekarang ini didasarkan pada pemeriksaan
laboratorium virus, antigen, antibodi, atau asam nucleid (Rosenau M, 2010).
Uji langsung fluorescent antibody (DFA) merupakan tes standar pilihan. Tes
DFA sangat sensitif dan spesifics, dan hanya membutuhkan beberapa jam untuk
dilakukan. Pengujian didasarkan pada deteksi antigen virus dalam potongan jaringan
otak dengan pewarnaan langsung dan gambaran mikroskopik dari reaksi antigen-
antibodi (Rosenau M, 2010)
Hewan yang terjangkit Rabies dapat didiagnosis dengan immunoflourensi
langsung dari jaringan otak. Dapat pula menggunakan reaksi rantai polymerase
(PCR). Dari diagnosis antemortem dapat digunakan uji flourensease atau PCR pada
biopsi kulit, sediaan sentuhan kornea atau sediaan air liur. Diagnosis pada hewan
berdasar gejala klinis awal dan observasi atas perubahan perilaku hewan, terutama
yang melakukan penyerangan tanpa inisiasi. Satu-satunya uji yang menghasilkan
keakuratan 100% terhadap virus Rabies adalah dengan uji antibody fluoresensi
langsung (dFAT) pada jaringan otak hewan yang terinfeksi. Diagnosis secara ELISA
juga direkomendasikan oleh OIE untuk menentukan tingkat imunitas post vaksinasi
pada anjing dan kucing (bahan regulasi pergerakan dan perdagangan internasional)
dan populasi anjing liar (monitoring program vaksinasi hewan liar) dengan spesimen
berupa serum anjing, kucing dan anjing liar (Platelia Rabies II). Beberapa prosedur
diagnosis lainnya : FAT (Fluorescent Antibody Technique) test, Isolasi kultur sel,
Identifikasi dengan antibody monoclonal dan Intra vitam diagnosis (Kementerian
Pertanian Republik Indonesia, 2012).
2.1.8.Penatalaksanaan
Menurut (Prabowo B, 2009) tidak ada terapi untuk penderita yang sudah
menunjukkan gejala Rabies; penanganan hanya berupa tindakan suportif dalam
penanganan gagal jantung dan gagal nafas. Walaupun tindakan perawatan intensif
12
umumnya dilakukan, hasilnya tidak menggembirakan. Perawatan intensif hanyalah
metode untuk memperpanjang dan bila mungkin menyelamatkan hidup pasien dengan
mencegah komplikasi respirasi dan kardiovaskuler yang sering terjadi. Isolasi
penderita penting segera setelah diagnosa ditegakkan untuk menghindari rangsangan-
rangsangan yang dapat menimbulkan spasme otot dan mencegah penularan. Staf
rumah sakit perlu menghindarkan diri terhadap penularan virus dari air liur, urin, air
mata, cairan lain dan yang paling berbahaya adalah kontak dengan mukosa atau kulit
yang terluka khususnya akibat gigitan dengan universal precaution (memakai sarung
tangan dan sebagainya). Virus ini tidak menular melalui darah dan tinja. Yang
penting dalam pengawasan penderita Rabies adalah terjadinya hipoksia, aritmia,
gangguan elektrolit, hipotensi, edema serebri.
Penderita Rabies dapat diberikan obat-obat sedatif dan analgesik secara adekuat
untuk memulihkan ketakutan dan nyeri yang terjadi. Penggunaan obat-obat anti
serum, anti virus internefron, kortikosteroid dan imunosupresif lainnya tidak terbukti
efektif (Prabowo B, 2009).
2.1.9.Komplikasi
Berbagai komplikasi dapat terjadi pada penderita Rabies dan biasanya timbul
pada fasekoma. Komplikasi neurologik dapat berupa peningkatan tekanan
intrakranial; kelainan pada hipotalamus berupa diabetes insipidus, Sindrom
Abnormalitas Hormon Antidimetik (SAHAD), disfungsi otonomik yang
menyebabkan hipertensi, hipotensi, hipertermia /hipotermia, aritmia dan henti
jantung. Kejang dapat lokal maupun generalisata dan sering bersamaan dengan
aritmia dan gangguan respirasi. Pada stadium prodromal sering terjadi komplikasi
hiperventilasi dan alkalosis respiratorik, sedangkan hipoventilasi dan depresi
pernafasan terjadi pada fase neurologik akut. Hipotensi terjadi karena gagal jantung
kongestif, dehidrasi dan gangguan otonomik (Aru W, 2009).
2.1.10. Prognosis
Kematian karena infeksi virus Rabies boleh dikatakan 100% bila virus sudah
mencapai sistem saraf pusat. Dari tahun 1857 sampai tahun 1972 dari kepustakaan
13
dilaporkan 10 pasien yang sembuh dari Rabies namun sejak tahun 1972 hingga
sekarang belum ada pasien Rabies yang dilaporkan hidup. Prognosis seringkali fatal
karena sekali gejala Rabies telah tampak hampir selalu kematianterjadi 2-3 hari
sesudahnya sebagai akibat gagal nafas/henti jantung ataupun paralisis generalista.
Berbagai Penelitian dari tahun 1986 sampai 2000 yang melibatkan lebih 800
kasus gigitan anjing pengidap Rabies di negara endemis yang segera mendapat
perawatan luka, pemberian VAR dan SAR, mendapatkan angka survival 100% (Aru
W, 2009).
2.1.11. Pencegahan
Rabies dapat dicegah dengan menghindari paparan. Selain itu, profilaksis
tertentu dapat dipertimbangkan setelah paparan, atau vaksinasi dapat diberikan pada
populasi tertentu yang berisiko sebelum paparan (Rosenau M, 2010). Pada daerah
endemik Rabies, gigitan anjing tanpa provokasi (anjing tidak diganggu) harus
dianggap menularkan Rabies (Widoyono, 2009). Pembersihan semua luka yang
terkontaminasi dengan virus Rabies sangat penting dalam pertolongan pertama.
Penggunaan antibiotik dan profilaksis tetanis dapat diindikasikan untuk luka yang
ditimbulkan oleh hewan (Rosenau M, 2010).
Jika anjing atau kucing yang sehat menggigit orang, maka binatang itu
ditangkap, diisolasi dan diobservasi selama 10 hari. Jika timbul penyakit atau tingkah
laku yang abnormal pada binatang itu selama periode observasi, binatang itu dibunuh
untuk menunjukkan bahwa binatang yang tetap sehat selama 10 hari setelah gigitan
tidak akan menularkan virus Rabies pada waktu menggigit (Prabowo B, 2009).
a. Penanganan Luka
Pengobatan lokal luka gigitan adalah faktor penting dalam pencegahan Rabies.
Luka gigitan harus segera dicuci dengan sabun, dilakukan debridemen dan diberikan
desinfektan seperti alkohol 40-70%, atau larutan ephiran 0.1%. Luka akibat gigitan
binatang penular Rabies tidak dibenarkan dijahit, untuk menghindari kesempatan
untuk kontaminasi jaringan lebih lanjut oleh virus Rabies, kecuali bila keadaan
memaksa dapat dilakukan jahitan situasi. Profilaksis tetanus dapat diberikan dan
14
infeksi bakterial yang berhubungan dengan luka gigitan perlu diberikan antibiotic
(Aru W, 2009)
b. Vaksinasi
1) Vaksinasi Post-exposure.
Dasar vaksinasi post-exposure (pasca paparan) adalah neutralizing antibody
terhadap virus Rabies dengan segera terbentuk dalam serum setelah masuknya virus
kedalam tubuh dan sebaiknya terdapat dalam titer yang cukup tinggi selama setahun
sehubungan dengan panjangnya inkubasi penyakit. Secara garis besar ada 2 tipe
vaksin anti Rabies (VAR) yaitu :
a) Nerve tissue vaksin (NTV), yang dapat berasal dari otak hewan dewasa seperti
kelinci, kambing, domba, dan monyet, atau dapat berasal dari otak bayi hewan
mencit seperti Suckling Mouse Brain Vaccine (SCMBC).
b) Non Nerve Tissue Vaksin yang berasal dari telur itik bertunas (Duck Embryo
Vaccine = DEV) dan vaksin yang berasal dari biakkan jaringan seperti Human
Diploid Cell Vaccine (HDCV) dan Purified Vero Cell Rabies Vaccine (PVRV).
Pada luka gigitan yang ringan pemberian vaksin saja sudah cukup tetapi pada
semua kasus gigitan yang parah dan semua gigitan binatang liar yang biasanya
menjadi vektor Rabies, kombinasi vaksin dan Serum Anti Rabies (SAR) adalah yang
paling ideal dan memberikan proteksi yang jauh lebih baik dibandingkan dengan
vaksin saja. SAR dapat digolongkan dalam golongan serum homolog yang berasal
dari manusia (Human Rabies Immune Globulin=HRIG) dan serum heterolog yang
berasal dari hewan.
Cara vaksinasi pasca-paparan yang dilakukan pada paparan yang ringan berupa
pemberian VAR secara intramuskuler pada otot deltoid atau anterolateral paha
dengan dosis 0,5 ml pada hari 0, 3, 7, 14, 28 (regimen Essen/rekomendasi WHO),
atau pemberian VAR 0,5 ml pada hari 0, 7, 21 (regimen Zagreb/rekomendasi Depkes
RI). Pada orang yang sudah mendapat vaksin Rabies dalam waktu 5 tahun terakhir,
bila digigit binatang tersangka Rabies, vaksin cukup diberikan 2 dosis pada hari 0 dan
3, namun bila gigitan dikategorikan berat, vaksin diberikan lengkap.
15
Pada luka gigitan yang parah, gigitan di daerah leher ke atas, pada jari tangan
dan genitalia diberikan SAR 20 IU per kilogram berat badan dosis tunggal. Cara
pemberian SAR adalah setengah dosis infiltrasi pada daerah sekitar luka dan setengah
dosis intramuskular pada tempat yang berlainan dengan suntikan SAR, diberikan
pada hari yang sama dengan dosis pertama SAR.
2) Vaksinasi Pre-Exposure
Untuk menghindari infeksi virus Rabies, di samping pemberian VAR setelah
mendapatkan gigitan binatang tersangka Rabies, pencegahan lebih dini juga dapat
dilakukan dengan memberikan suntikan yang sama tetapi dengan waktu, cara dan
dosis yang berbeda melalui profilaksis pre-exposure (pra-paparan).
Individu yang beresiko tinggi untuk kontak dengan virus Rabies seperti dokter
hewan, pekerja di kebun binatang, petugas karantina hewan, penangkap binatang,
petugas laboratorium yang bekerja dengan virus Rabies, dokter dan perawat yang
menangani penderita Rabies, wisatawan yang berkunjung ke daerah endemis Rabies
seperti Meksiko, Thailand, Filipina, india, Sri Lanka dianjurkan untuk mendapatkan
pencegahan pre-exposure. Vaksin anti Rabies diberikan dengan dosis 1 ml secara
intra muskuler pada hari 0, 7 dan 28 lalu booster setelah 1 tahun dan tiap 5 bulan (Aru
W, 2009).
2.1.12. Tingkatan Pencegahan Penyakit
Dalam epidemiologi, pencegahan penyakit dibagi menjadi beberapa
tingkatan sesuai dengan perjalanan penyakit yaitu:
a. Pencegahan Primer
Pencegahan tungkat pertama ini merupakan upaya untuk mempertahankan
orang yang sehat agar tetap sehat atau mencegah orang yang sehat menjadi sakit.
Secara garis besar, upaya pencegahan ini dapat berupa pencegahan umum dan
pencegahan khusus. Pencegahan umum dimaksudkan untuk mengadakan pencegahan
pada masyarakat umum, misalnya pendidikan kesehatan masyarakat dan kebersihan
lingkungan. Pencegahan khusus ditujukan pada orang-orang yang mempunyai risiko
dengan melakukan imunisasi.
16
b. Pencegahan Sekunder.
Tingkat pencegahan kedua ini merupakan upaya manusia untuk mencegah
orang yang telah sakit agar sembuh, menghambat progresifitas penyakit,
menghindarkan komplikasi, dan mengurangi ketidakmampuan. Pencegahan sekunder
ini dapat dilakukan dengan cara mendeteksi penyakit secara dini dan mengadakan
pengobatan yang cepat dan tepat. Deteksi penyakit secara dini dapat dilakukan
dengan cara :
1) Penyaringan
2) Pengamatan epidemiologis
3) Survei epidemiologis
4) Memberi pelayanan kesehatan sebaik-baiknya pada sarana pelayanan umum atau
praktek dokter swasta
c. Pencegahan Tersier
Pencegahan ini dimaksudkan untuk mengurangi ketidakmampuan dan
mengadakan rehabilitasi. Upaya pencegahan tingkat ketiga ini dapat dilakukan
dengan :
1) Memaksimalkan fungsi organ yang cacat
2) Membuat protesa ekstremitas
3) Mendirikan pusat-pusat rehabilitasi medik
Pencegahan penyakit ini terus diupayakan selama orang yang menderita belum
meninggal dunia (Budiarto E, 2010)
2.2.Pengetahuan
2.2.1. Pengertian Pengetahuan
Pengetahuan adalah merupakan hasil “ TAHU” dan ini terjadi setelah
orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan
terjadi melalui panca indera manusia yakni indera penglihatan, pendengaran,
penciuman, rasa dan raba sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh me
lalui mata dan telinga (Notoatmodjo, 2011).
17
2.2.2. Beberapa Faktor yang Mempengaruhi Pengetahuan Seseorang, yaitu :
a. Pendidikan.
Pendidikan adalah suatu usaha untuk mengembangkan kepribadian dan
kemampuan di dalam dan di luar sekolah dan berlangsung seumur hidup. Pendidikan
mempengaruhi proses belajar, makin tinggi pendidikan seeorang makin mudah orang
tersebut untuk menerima informasi. Dengan pendidikan tinggi maka seseorang akan
cenderung untuk mendapatkan informasi, baik dari orang lain maupun dari media
massa. Semakin banyak informasi yang masuk semakin banyak pula pengetahuan
yang didapat tentang kesehatan. Pengetahuan sangat erat kaitannya dengan
pendidikan dimana diharapkan seseorang dengan pendidikan tinggi, maka orang
tersebut akan semakin luas pula pengetahuannya. Namun perlu ditekankan bahwa
seorang yang berpendidikan rendah tidak berarti mutlak berpengetahuan rendah pula.
Peningkatan pengetahuan tidak mutlak diperoleh di pendidikan formal, akan tetapi
juga dapat diperoleh pada pendidikan non formal. Pengetahuan seseorang tentang
sesuatu obyek juga mengandung dua aspek yaitu aspek positif dan negatif. Kedua
aspek inilah yang akhirnya akan menentukan sikap seseorang terhadap obyek
tertentu. Semakin banyak aspek positif dari obyek yang diketahui, akan
menumbuhkan sikap makin positif terhadap obyek tersebut .
b. Mass Media / Informasi.
Informasi yang diperoleh baik dari pendidikan formal maupun non formal dapat
memberikan pengaruh jangka pendek (immediate impact) sehingga menghasilkan
perubahan atau peningkatan pengetahuan. Majunya teknologi akan tersedia
bermacam-macam media massa yang dapat mempengaruhi pengetahuan masyarakat
tentang inovasi baru. Sebagai sarana komunikasi, berbagai bentuk media massa
seperti televisi, radio, surat kabar, majalah, dan lain-lain mempunyai pengaruh besar
terhadap pembentukan opini dan kepercayan orang. Dalam penyampaian informasi
sebagai tugas pokoknya, media massa membawa pula pesan-pesan yang berisi sugesti
yang dapat mengarahkan opini seseorang. Adanya informasi baru mengenai sesuatu
18
hal memberikan landasan kognitif baru bagi terbentuknya pengetahuan terhadap hal
tersebut.
c. Sosial Budaya dan Ekonomi.
Kebiasaan dan tradisi yang dilakukan orang-orang tanpa melalui penalaran
apakah yang dilakukan baik atau buruk. Dengan demikian seseorang akan bertambah
pengetahuannya walaupun tidak melakukan. Status ekonomi seseorang juga akan
menentukan tersedianya suatu fasilitas yang diperlukan untuk kegiatan tertentu,
sehingga status sosial ekonomi ini akan mempengaruhi pengetahuan seseorang.
d. Lingkungan.
Lingkungan adalah segala sesuatu yang ada di sekitar individu, baik lingkungan
fisik, biologis, maupun sosial. Lingkungan berpengaruh terhadap proses masuknya
pengetahuan ke dalam individu yang berada dalam lingkungan tersebut. Hal ini
terjadi karena adanya interaksi timbal balik ataupun tidak yang akan direspon sebagai
pengetahuan oleh setiap individu.
e. Pengalaman.
Pengalaman sebagai sumber pengetahuan adalah suatu cara untuk memperoleh
kebenaran pengetahuan dengan cara mengulang kembali pengetahuan yang diperoleh
dalam memecahkan masalah yang dihadapi masa lalu. Pengalaman belajar dalam
bekerja yang dikembangkan memberikan pengetahuan dan keterampilan professional
serta pengalaman belajar selama bekerja akan dapat mengembangkan kemampuan
mengambil keputusan yang merupakan manifestasi dari keterpaduan menalar secara
ilmiah dan etik yang bertolak dari masalah nyata dalam bidang kerjanya.
f. Usia.
Usia mempengaruhi terhadap daya tangkap dan pola pikir seseorang. Semakin
bertambah usia akan semakin berkembang pula daya tangkap dan pola pikirnya,
sehingga pengetahuan yang diperolehnya semakin membaik. Pada usia madya,
individu akan lebih berperan aktif dalam masyarakat dan kehidupan sosial serta lebih
banyak melakukan persiapan demi suksesnya upaya menyesuaikan diri menuju usia
tua, selain itu orang usia madya akan lebih banyak menggunakan banyak waktu untuk
19
membaca. Kemampuan intelektual, pemecahan masalah, dan kemampuan verbal
dilaporkan hampir tidak ada penurunan pada usia ini (Ramadhan,2009.)
2.2.3.Pengetahuan Mengenai Domain Kognitif Mempunyai 6 (Enam) Tingkat
a. Tahu (Know)
Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telahdipelajari sebelumnya
termasuk mengingat kembali terhadapsuatu yang spesifik dari seluruh bahan yang
dipelajari ataurangsangan yang telah diterima. tahu merupakan tingkatpengetahuan
yang paling rendah. Kata kerja untuk mengukurbahwa orang tahu tentang apa yang
dipelajari antara lain:menyebutkan, menguraikan, mendefinisikan, menyatakan
dansebagainya.
b. Memahami (Comprehension)
Memahami adalah suatu kemampuan menjelaskan secarabenar tentang suatu
materi yang diketahui dan dapatmenginterpretasi materi tersebut secara benar. Orang
yangtelah memahami terhadap suatu objek atau materi harus dapatmenjelaskan,
menyebutkan contoh dan menyimpulkan materiyang dipelajari.
c. Aplikasi (Application)
Aplikasi adalah kemampuan untuk menggunakan materi yangtelah dipelajari
pada situasi atau kondisi yang sebenarnya.Aplikasi disini dapat diartikan aplikasi atau
penggunaanhukum-hukum, rumus, metode, prinsip dan sebagainya.
d. Analisis (Analysis)
Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materiatau suatu objek ke
dalam komponen-komponen, tetapi masihdalam suatu struktur organisasi tersebut dan
masih adakaitannya satu sama lain. kemampuan analisis ini dapatdilihat dari
penggunaan kata-kata kerja: dapatmenggambarkan (membuat bagan),
membedakan,memisahkan, mengelompokkan dan sebagainya.
e. Sintesis (Synthesis)
Sintesis menunjuk pada suatu kemampuan untuk meletakkanatau
menghubungkan bagian-bagian dalam suatu bentukkeseluruhan yang baru. sintesis
merupakan suatukemampuan untuk menyusun formulasi baru dari
20
formulasiformulasiyang ada. Kata kerja yang digunakan untuk sintesisadalah dapat
menyusun, merencanakan, meringkaskan,menyesuaikan dan sebagainya.
f. Evaluasi (Evaluation)
Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukanjustifikasi atau
penilaian terhadap suatu materi atau objek.Penilaian-penilaian itu berdasarkan suatu
kriteria yangditentukan sendiri atau menggunakan kriteria –kriteria yangtelah
ada.Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancaraatau angket yang
menanyakan tentang isi materi yang ingindiukur dari subjek penelitian atau
responden. Kedalamanpengetahuan yang ingin kita ketahui atau kita ukur
dapatdisesuaikan dengan tingkat-tingkat tersebut di atas (rogers dalam Riyantini,
2010):
2.2.4. Pengukuran dan Hasil Ukur Pengetahuan.
Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan memberikan seperangkat alat
tes / kuesioner tentang object pengetahuan yang mau diukur, selanjutnya dilakukan
penilaian dimana setiap jawaban benar dari masing-masing pertanyaan diberi nilai 1
dan jika salah diberi nilai 0.Selanjutnya prosentase jawaban diinterpretasikan dalam
kalimat kualitatif dengan acuan hasil baik dan buruk. (Ramadhan 2009).
2.3. Pendidikan Kesehatan
2.3.1. Pengertian Pendidikan Kesehatan.
Pendidikan kesehatan adalah suatu usaha untuk menyediakan kondisi
psikologis dan sasaran agar seseorang mempunyai pengetahuan, sikap dan
keterampilan yang sesuai dengan tuntutan nilai-nilai kesehatan (Notoatmodjo, 2007).
Menurut wood dalam maulana (2009) pendidikan kesehatan adalah sejumlah
pengalaman yang berpengaruh secara menguntungkan terhadap kebiasaan, sikap dan
pengetahuan terkait dengan kesehatan individu, masyarakat dan bangsa. Lebih lanjut,
Joint Committee On Terminology In Health Education Of United States 1973 dalam
Maulana, (2009) mengartikan pendidikan kesehatan sebagai proses yang mencakup
dimensi dan kegiatan-kegiatan intelektual, psikologi dan sosial yang diperlukan untuk
meningkatkan kemampuan individu dalam mengambil keputusan secara sadar dan
21
yang mempengaruhi kesejahteraan diri, keluarga dan masyarakat. pendidikan
kesehatan itu juga proses belajar pada individu, kelompok atau masyarakat dari tidak
tahu tentang nilai-nilai kesehatan menjadi tahu, dari tidak mampu mengatasi masalah-
masalah kesehatannya menjadi tahu, dari tidak mampu mengatasi masalah-masalah
kesehatannya sendiri menjadi mampu dan lain sebagainya (Notoatmodjo 2007 dalam
Riyantini, 2010)
Berdasarkan pengertian tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa pendidikan
kesehatan adalah proses belajar pada individu, kelompok atau masyarakat yang
mencakup dimensi intelektual, psikologis dan sosial, diberikan oleh perawat untuk
meningkatkan kemampuan individu dalam mengambil keputusan yang berpengaruh
secara menguntungkan terhadap kebiasaan, sikap dan pengetahuan terkait dengan
kesehatan individu dan masyarakat.
2.3.2. Tujuan Pendidikan Kesehatan
Tujuan pendidikan kesehatan secara umum adalah mengubah pengetahuan,
sikap dan keterampilan individu atau masyarakat di bidang kesehatan, yang dapat
dirinci sebagai berikut (Maulana, 2009): menjadikan kesehatan sebagai sesuatu yang
bernilai di masyarakat, menolong individu agar mampu secara mandiri atau
berkelompok, mengadakan kegiatan untuk mencapai tujuan hidup sehat dan
mendorong pengembangan dan penggunaan secara tepat sarana pelayanan kesehatan
yang ada.
2.3.3 Ruang Lingkup Pendidikan Kesehatan
Pendidikan kesehatan dilihat dari sasarannya dapat diberikan pada individu,
kelompok dan masyarakat, sedangkan dilihat dari tempatnya pendidikan kesehatan
dapat dilakukan disekolah, di rumah sakit dan tempat-tempat kerja yang lain
(Notoatmodjo (2007). Pendidikan kesehatan yang diberikan di rumah sakit
mempunyai sasaran klien atau keluarga klien di rumah sakit maupun puskesmas.
2.3.4. Metode Pendidikan Pengetahuan, Sikap dan Keterampilan
Pendidikan kesehatan pada hakikatnya adalah suatu kegiatan atau usaha untuk
menyampaikan pesan kesehatan kepada individu, kelompok atau masyarakat agar
22
memperoleh pengetahuan tentang kesehatan yang lebih baik dan diharapkan
berpengaruh terhadap pengetahuan, sikap dan keterampilannya. ada beberapa metode
yang dapat digunakan dalam memberikan pendidikan kesehatan tetapi tergantung
pada sasarannya. Metode yang digunakan untuk memberikan pendidikan kesehatan
kepada individu/perorangan adalah bimbingan dan penyuluhan, bentuk ini
memungkinkan kontak antara klien dengan perawat lebih intensif, setiap masalah
yang dihadapi oleh klien dapat dikaji lebih dalam dan dibantu penyelesaiannya.
Pendidikan kesehatan yang diberikan dengan sasaran kelompok, metode yang
digunakan adalah ceramah, seminar, diskusi kelompok, curah pendapat, bermain
peran dan permainan simulasi.
2.3.5. Alat Bantu dan Media Pendidikan Kesehatan
Alat bantu pendidikan adalah alat-alat yang digunakan oleh pendidik dalam
menyampaikan bahan pendidikan/pengajaran. alat bantu ini lebih sering disebut ‘alat
peraga’ karena berfungsi untuk membantu dan memeragakan sesuatu dalam proses
pendidikan pengajaran.
Klien di dalam proses pendidikan dapat memperoleh pengalaman /pengetahuan
melalui berbagai macam alat bantu pendidikan. Masing-masing alat mempunyai
intensitas yang berbeda-beda dalam membantu persepsi seseorang. alat bantu yang
dapat digunakan dalam memberikan pendidikan kesehatan adalah alat bantu lihat
(visual aids), diantaranya adalah: slide, film, film strip, gambar, bagan dan
sebagainya, sedangkan untuk alat bantu dengar (audio aids), alat yang dapat
digunakan adalah piringan hitam, radio, pita suara dan sebagainya. Alat bantu yang
lain yang dapat digunakan adalah alat bantu yang dikenal dengan audio visual aids
(ava), seperti: televise dan video cassette.
23
2.4. Kerangka Konsep Penelitian
Pre Test Post Test
Pengetahuan
masyarakat
tentang rabies.
-Baik
-Cukup
-Kurang
Pendidikan
kesehatan
Pengetahuan
masyarakat
tentang
penyakit rabies
-Baik
-Cukup
-Kurang
Skema 2.1. Kerangka Konsep Penelitian Pengaruh Pendidikan Keseha
tan Terhadap Pengetahuan Masyarakat Tentang Penyakit
Rabies Di Desa Lasarabaene Di Wilayah Kerja Puskesmas
Rawat Inap Plus Mandrehe Tahun 2014.
2.5. Hipotesis Penelitian
Hipotesis dalam penelitian ini adalah terdapat pengaruh pendidikan
kesehatan terhadap pengetahuan masyarakat tentang penyakit rabies di desa
Lasarabaene di wilayah kerja Puskesmas Rawat Inap Plus Mandrehe Tahun 2014.