11. bab 6. industrialisasi rumput laut (ii)_ver_ipb irzal

Upload: echa-nindya-prameswary-herlanda

Post on 14-Oct-2015

97 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

industri rumput laut

TRANSCRIPT

Laporan AkhirBab 6. Industrialisasi Rumput Laut

Bab6INDUSTRIALISASI RUMPUT LAUT6.1.Pasar Rumput Laut6.1.1. Pasar EksporRumput laut merupakan salah satu komoditas perikanan budidaya yang memiliki potensi bisa menggerakan perekonomian nasional. Beberapa jenis rumput laut, seperti cotonii dan gracilaria, telah dibudidayakan dan diperdagangkan secara luas dengan jumlah besar sebagai bahan baku industri, terutama untuk perdagangan luar negeri (ekspor), sehingga bisa menghasilkan devisa bagi negara. Keunggulan rumput laut lainnya selain bisa menghasilkan devisa bagi negara, adalah bisa dijadikan komoditas dalam rangka pemberdayaan masyarakat pesisir. Dengan teknologi yang relatif sederhana, budidaya rumput laut bisa dilakukan oleh segenap lapisan masyarakat, termasuk kaum marjinal sekalipun, sehingga berpotensi bagi penyediaan lapangan pekerjaan secara masal di sekitar kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil. Siklus produksi komoditas ini juga relatif singkat (45 hari), sehingga manfaat ekonomi pengembangan komoditas ini bisa cepat dirasakan oleh masyarakat dan dapat diukur secara langsung.

Di sisi lain, komoditas ini merupakan spesies tanaman air yang pertumbuhan biomasanya bergantung kepada kesuburan perairan. Biota ini memiliki kemampuan menyerap hara terutama nitrogen dan fosfat di perairan, dan mengubah unsur tersebut, dengan bantuan cahaya matahari dalam proses fotosintesis, menjadi karbohidrat. Karaginan, agar dan alginat merupakan salah satu bentuk dari karbohidrat yang memiliki sifat kimia bisa menggumpal pada suhu tertentu, dan sifat ini sangat bermanfaat bagi berbagai industri, baik dalam proses maupun hasil akhir, seperti industri makanan, minuman, farmasi, tekstil, kecantikan, kulit dan industri kimia lainnya. Oleh karena itu komponen kandungan lokal (local content) dalam memproduksi rumput laut hampir mencapai 100 persen, berbasis sumber daya alam (natural resource-based). Komponen utama dalam memproduksi rumput laut adalah cahaya matahari dan hara di perairan. Dengan kemampuan menyerap hara dan mineral di perairan, rumput laut bisa menjaga keseimbangan ekosistem dan pelestarian lingkungan. Dari uraian di atas, dengan demikian pengembangan industri rumput laut dapat memenuhi harapan pembangunan kelautan dan perikanan dalam rangka mewujudkan empat pilar pembangunan, yaitu pro-poor (pengentasan kemiskinan), pro-job (penyerapan tenaga kerja), pro-growth (pertumbuhan), dan pro-environment (pemulihan dan pelestarian lingkungan). Permintaan pasar ekspor rumput laut cenderung stabil. Hal ini bisa dilihat dari volume impor yang dilakukan oleh negara importir pada 2005-2009 yang berkisar antara 300-330 ribu ton kering per tahun atau rata-rata 320 ribu ton kering per tahun (Tabel 6.1). China merupakan negara importir terbesar rumput laut dunia, diikuti oleh Jepang pada posisi kedua dan Amerika Serikat (USA) pada posisi ketiga. Selama kurun waktu 2005 hingga 2009, ketiga negara tersebut mengimpor 54,91 persen dari seluruh impor dunia, sesuai dengan data yang diperoleh dari FAO (Food and Agriculture Organization). Lebih dari setengah produk rumput laut dunia diserap oleh ketiga negara importir terbesar tersebut. Indonesia diharapkan bisa memiliki daya saing dan menguasai pasar internasional rumput laut, terutama di negara utama importir tersebut di atas ditambah beberapa negara importir lainnya seperti Perancis, Korea Selatan dan Taiwan.Tabel 6.1. Negara importir rumput laut dunia (FAO, 2010) No.ImportirVolume Impor per Tahun (ton)TotalRata-rata

20052006200720082009

1.Cina64.44178.78079.54394.445101.337418.54683.709

2.Jepang83.10073.06363.04252.27448.882320.36164.072

3.USA25.85830.05627.36529.36126.394139.03427.807

4.Prancis32.26114.63118.23918.63819.639103.40820.682

5.Korea16.40115.70715.20213.81111.06972.19014.438

6.Taiwan15.23614.19615.60816.15715.65376.85015.370

7.Denmark12.5136.9057.1438.5313.81038.9027.780

8.Hongkong9.7529.91912.1513.4781.26036.5607.312

9.Inggris11.79223.15413.07910.5769.61968.22013.644

10.Spanyol9.1987.5059.1945.0125.80036.7097.342

11.Negara lain49.84953.33456.35769.30160.413289.25457.851

Volume Impor Dunia330.410327.250316.923321.584303.8761.600.043320.009

Rasio*)84,9183,7082,2278,4580,1981,9281,92

(Sumber: FAO, 2010)Keterangan: *) Rasio Impor 10 negara utama terhadap total impor dunia (dalam persen)

Seiring dengan permintaan dunia yang relatif konstan, produksi rumput laut dunia mengalami peningkatan pada 2005-2010, yakni dari hampir 15 juta ton menjadi hampir 20 juta ton berat basah. Beberapa negara produsen bersaing memproduksi rumput laut dengan kuantitas yang besar dan kualitas terbaik, memperebutkan pangsa pasar rumput laut kering yang ada. Berdasarkan data FAO dari 2005 hingga 2010, Cina memproduksi rata-rata 60,69 persen produksi rumput laut dunia, sekaligus menjadikan negara ini sebagai produsen utama rumput laut dunia. Produksi rumput laut Cina mencapai 11,4 juta ton basah pada 2010. Produsen rumput laut kedua adalah Indonesia dengan pangsa produksi 12,58 persen dari total produksi dunia, dan Philipina pada posisi ketiga sebagai produsen rumput laut dunia dengan pangsa produksi 9,32 persen (Tabel 6.2). Namun demikian, untuk rumput laut jenis kotoni (cotonii) dan Gracilaria, Indonesia dan Filipina merupakan produsen utama dunia, dan sekitar 95 persen produksi kedua rumput laut tersebut berasal dari kedua negara tersebut.Tabel 6.2. Produsen utama rumput laut dunia berdasarkan volume produksi (FAO, 2012)Negara ProdusenVolume Produksi per Tahun Basah (ton)TotalRata-rata

200520062007200820092010

China9.756.3819.777.22310.081.34510.299.98510.772.07511.338.89062.025.89910.337.650

66,31 %64,64 %58,41 %60,86 %58,90 %57,00 %60,69 %60,69 %

Indonesia918.3661.174.9961.733.1182.147.9782.966.5863.917.71412.858.7582.143.126

6,24 %7,77 %10,04 %12,69 %16,22 %19,69 %12,58 %12,58 %

Philipina1.338.8961.469.2191.505.4211.666.9441.740.4291.801.7459.522.6541.587.109

9,10 %9,71 %8,72 %9,85 %9,52 %9,06 %9,32 %9,32 %

Korea Selatan636.366779.349811.142934.890869.502914.7154.945.964824.327

4,32 %5,15 %4,70 %5,52 %4,75 %4,60 %4,84 %4,84 %

Korea Utara444.295444.300444.300444.300444.300444.3002.665.795444.299

3,02 %2,94 %2,57 %2,63 %2,43 %2,23 %2,61 %2,61 %

Jepang612.635603.727617.566561.005560.529529.3963.484.858580.810

4,16 %3,99 %3,58 %3,31 %3,06 %2,66 %3,41 %3,41 %

Chile425.343339.334339.938412.266456.225380.7592.353.865392.311

2,89 %2,24 %1,97 %2,44 %2,49 %1,91 %2,30 %2,30 %

Malaysia40.00060.00080.000111.298138.857207.892638.047106.341

0,27 %0,40 %0,46 %0,66 %0,76 %1,05 %0,62 %0,62 %

Zanzibar73.62076.76084.850107.925102.682125.157570.99495.166

0,50 %0,51 %0,49 %0,64 %0,56 %0,63 %0,56 %0,56 %

Prancis23.09919.19239.79239.81019.03222.717163.64227.274

0,16 %0,13 %0,23 %0,24 %0,10 %0,11 %0,16 %0,16 %

Negara lainnya444.748380.6791.521.669198.410218.763209.4192.973.688495.615

3,02 %2,52 %8,82 %1,17 %1,20 %1,05 %2,91 %2,91 %

Total Produksi Dunia14.713.74915.124.77917.259.14116.924.81118.288.98019.892.704102.204.16417.034.027

Ratio96,98 %97,48 %91,18 %98,83 %98,80 %98,95 %97,09 %97,09 %

(Sumber: FAO, 2012)Kecenderungan melemahnya pasar rumput laut kering dunia sudah terasa dalam beberapa tahun terakhir ini. Harga rumput laut yang pernah mencapai angka di atas Rp 11.000/kg kering, beberapa tahun terakhir ini hanya Rp 6.000- 7.000/ kg kering saja. Hal ini antara lain disebabkan salah satunya oleh adanya kebijakan pemerintah negera importir, seperti di Cina, yakni sanitary and phytosanitary measurement. Kebijakan tersebut menjadi salah satu hambatan atau ganjalan dalam upaya perluasan pasar rumput laut Indonesia. Kebijakan ini dikeluarkan dalam rangka keselamatan pangan di negara tujuan ekspor yang berkaitan dengan kandungan beberapa zat yang dianggap berbahaya bagi kesehatan manusia, seperti pestisida, antibiotik dan sebagainya. Hambatan yang sifatnya non tarif tersebut diharapkan dan seharusnya bisa dikurangi dengan penerapan HACCP dan cara produksi yang benar di negara produsen rumput laut, termasuk Indonesia. Penyebab lain adalah adanya kebijakan lingkungan, seperti yang diterapkan di Cina. Di negara tirai bambu ini kebijakan tersebut ditujukan untuk mengurangi limbah industri yang dihasilkan oleh pabrik, termasuk pabrik pengolah rumput laut menjadi karaginan. Dalam proses produksi karaginan dari rumput laut kering ternyata menghasilkan limbah yang relatif banyak. Memang sesungguhnya rumput laut kering mengandung sedikit saja karaginan, sisanya kebanyakan adalah sampah. Kebijakan Pemerintah Cina ini berdampak cukup signifikan terhadap negara eksportir utama rumput laut dunia, termasuk Indonesia.Produksi rumput laut dunia cenderung meningkat dari 15 juta ton basah (sekitar 1,5 juta ton kering) pada 2005 menjadi hampir 20 juta ton basah (sekitar 2 juta ton) kering pada 2010, sementara itu permintaan rumput laut kering relatif konstan (dilihat dari volume impor beberapa negara importir utama). Sudah saatnya Indonesia tidak lagi mengekspor rumput laut dalam bentuk raw material (kering), melainkan dalam bentuk karaginan yang memiliki nilai tambak lebih. Peningkatan produksi rumput laut nasional sebagai dampak dari keberhasilan program KKP ini harus diimbangi oleh penyerapan pasar dalam negeri untuk kebutuhan industri pabrik karaginan dalam rangka memproduksi karaginan, baik semi-refine carrageenan (SRC) maupun refine carrageenan (RC). Perluasan pasar produk olahan rumput laut berupa karaginan dan agar-agar ini juga sudah dilakukan terutama ke Jepang. Melihat pertumbuhan produksi karaginan dan agar-agar yang meningkat secara eksponensial, maka diperlukan ketersediaan bahan baku berupa rumput laut kering. Kebutuhan rumput laut karaginofit kering untuk keperluan industri karaginan dunia diperkirakan mencapai 400.000 ton pada 2012, dan ini berarti 2 kali lipat dari permintaan rumput laut jenis ini pada 2007 yang mencapai 200.000 ton (Gambar 6.1). Melihat kecenderungan pertumbuhan kebutuhan rumput laut jenis karagenofit yang meningkat secara eksponensial, sesungguhnya kita tidak perlu khawatir mengenai nasib pemasaran komoditas ini dalam bentuk kering.Gambar 6.1. Proyeksi permintaan rumput laut dunia penghasil karaginan (ton kering)

(Sumber : Anggadiredja, 2010 diolah 2012)Indonesia mengekspor karaginan ke luar negeri, selain ke Cina dan Jepang juga ke Irlandia, Korea Selatan, Singapura, Malaysia, India, Taiwan, Thailand, Cili, Perancis, Jerman, Spanyol, Amerika Serikat, Belanda, Denmark, dan sebagainya. Di negara importir tersebut karaginan Indonesia digunakan untuk berbagai industri, baik industri makanan (food) maupun non food seperti industri farmasi, pewarnaan, penyamakan, wewangian (parfum), dan sebagainya. 6.1.2. Pasar DomestikProduksi rumput laut kering nasional diserap oleh pabrik pengolahan di dalam negeri diperkirakan hanya 20-25% saja, dan sebagian besar sisanya diekspor (Tabel 6.3). Sebaliknya, pada industri agar-agar, 81,6% produksi nasional rumput laut Gracilaria diserap oleh industri dalam negeri. Berdasarkan data Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), produksi rumput laut mencapai 4,3 juta ton basah pada 2011, dan diprediksi akan terus meningkat di masa yang akan datang mengingat komoditas ini dijadikan salah satu komoditas unggulan perikanan budidaya. Tahun 2012, pemerintah menargetkan produksi rumput laut basah sebanyak 5,1 juta ton basah dan bahkan pada 2014 ditargetkan mencapai 10 juta ton basah. Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, sudah saatnya Indonesia menggarap pasar domestik rumput laut karaginofit, sehingga sebagian besar produksi rumput laut karaginofit kering bisa diserap oleh pasar dalam negeri. Salah satu strategi dengan mengembangkan industri pabrik karaginan.Tabel 6.3. Produksi dan penyerapan rumput laut kering untuk pasar dalam negeri (DN) dan pasar luar negeri (LN) pada 2009 dan 2010.Tahun/TipeProduksi (berat ton kering)Penyerapan DNPenyerapan LN

ton kering%ton kering%

2009

Carrageenophytes155,06036,07023.25118,99076.75

Agarophytes35,05028,60081.66,45018.4

2010

Carrageenophytes140,02033,81524.15106,20575.85

Agarophytes20,70024,80580.85,89519.2

(Sumber : Anggadiredja, 2011)Dewasa ini produksi karaginan dan agar-agar nasional dilakukan oleh beberapa pabrik saja. Sekurang-kurangnya terdapat 32 pabrik pengolah rumput laut menjadi karaginan dan agar-agar yang beroperasi di Indonesia, dengan status aktif, tidak aktif, dalam proses konstruksi dan dalam perencanaan. Industri yang bergerak dalam produksi karaginan semata diperkirakan sebanyak 10 pabrik saja, dan beberapa diantaranya dalam proses pembangunan atau tidak aktif lagi (Tabel 6.4). Dari 10 pabrik penghasil karaginan tersebut diperkirakan bisa diproduksi karaginan sebanyak 12.312 ton per tahun dan membutuhkan bahan baku sebanyak 62.100 ton per tahun. Sementara itu produksi rumput laut nasional sekitar 4,3 juta ton basah pada 2011 atau sekitar 430.000 ton kering, sehingga dengan kebutuhan baku untuk 10 pabrik karaginan yang hanya mencapai 62.100 ton saja, maka seharusnya bisa dibangun lebih banyak lagi pabrik karaginan guna menyerap produksi rumput laut kering nasional tersebut. KKP perlu menggerakkan Ditjen P2HP untuk memfasilitasi pembangunan industri pengolahan rumput laut menjadi semi-refine carrageenan atau bahkan refine-carrageenan.Setiap perusahaan pengolah rumput laut tersebut ternyata memiliki jaringan pengadaan bahan baku rumput kering masing-masing. Sumber bahan baku rumput laut kering umumnya berasal dari Sumenep, Takalar, Jeneponto, Maluku, Kendari, Palopo, Bantaeng, Bone, Nunukan, Sabu, Bulukumba, Baubau, Makasar, Luwuk, Bali, Kupang, Maumere, Lembata, Parigi Moutong dan sebagainya. Sebagian besar rumput laut kering dari kawasan tersebut yang dipasarkan di dalam negeri diolah menjadi karaginan semi murni dan sebagian kecil saja menjadi karaginan murni.Tabel 6.4. Industri pengolahan rumput laut menjadi karaginan, baik murni (refine carrageenan) maupun semi murni (semi refine carrageenan) di IndonesiaNo.Nama PerusahaanLokasi pabrikJenis ProduksiKapasitas Produksi Saat ini (ton/thn)Utilisasi (ton/thn)Asal Bahan BakuKeterangan

Produk Kebutuhan Bahan Baku Produk Kebutuhan Bahan Baku

1PT. Galic Artha BahariCikarangATC dan SRC2.0408.5681.2245.141Sumenep, Takalar, Jeneponto, MalukuAktif

2PT. Gumindo Perkasa IndustriBantenSRC1.2006.0007203.60070% dari Sulawesi (Kendari, Palopo) dan MalukuAktif

3PT. Giwang Citra LautTakalarATC dan SRC9604.0325762.419Takalar, JenepontoAktif

4PT. Cahaya CemerlangMakassarATC dan SRC7203.0244321.814Takalar, JenepontoAktif

5PT. Bantimurung IndahMakassarATC dan SRC3.00012.6001.8007.560Takalar, Bantaeng,Jeneponto, Bone, Palopo, Nunukan, Sabu, Bulukumba, BaubauAktif

6PT. Algalindo PerdanaPasuruanATC dan RC1.5607.9569364.774Sulsel, Maluku, NTTAktif

7PT. Centram PasuruanPasuruanRC4326.4802593.888Maumere, LaembataAktif

8PT. Indo SeaweedMojokertoSRC1.5607.800--Dalam pembangunan

9PT. Amarta CarragenanGempol-PasuruanSRC4802.4002881.440Makasar, Luwuk, Bali, NTT (Kupang)Aktif

10PT. Surya Indo Algas

Jimbaran Wetan, Kec. Wonoayu, SidoarjoAgar-Agar2401.440144864Parigi MoutongAktif

Refine Carrageenan1201.800--Berhenti proses

TOTAL12.312 62.100 6.379 31.500 Setara dengan 1.564.200 ton RL basah

(Sumber : Anggadiredja, 2011) Rumput laut sebagian besar diolah menjadi karaginan, baik murni (refine carrageenan) maupun semi murni (semi-refine carrageenan), dan agar-agar. Produk olahan karaginan berbahan baku rumput laut kering kotoni (Kappaphycus alvarezii, Euchema spinosum), sedangkan agar-agar berasal dari rumput laut Gracilaria spp. Selain itu rumput laut juga diperjualbelikan sebagai rumput laut kering yang telah diputihkan sebagai bahan baku manisan atau cendol rumput laut. Permintaan tipe produk rumput laut kering Gracilaria tidak sebanyak rumput laut kering kotoni mengingat tipe produk rumput laut kering Gracilaria umumnya dipasarkan di dalam negeri dan permintaan kuat hanya pada saat tertentu saja, terutama pada saat menjelang bulan puasa.

Kuatnya pasar rumput laut bisa dilihat dari peningkatan produksi nasional produk olahan komoditas ini berupa karaginan dan agar-agar (Tabel 6.5). Produksi karaginan selalu meningkat dalam kurun 2006-2010 dari 6.070 ton menjadi 9.080 ton. Peningkatan produksi karaginan yang cukup signifikan terjadi terutama pada jenis semi murni (semi refine carrageenan, SRC) untuk bukan makanan (non food grade). Sebagai negara produsen rumput laut, Indonesia hingga kini masih bergantung pada impor produk olahan. Sepanjang tahun 2011, impor karaginan mencapai 1.380 ton, atau 70 persen dari total kebutuhan. Pemerintah, dalam hal ini Kementrian Kelautan dan Perikanan, berupaya mengendalikan impor karaginan dengan cara mentargetkan volume impor menjadi 25% saja dari total kebutuhan dalam negeri. Selain impor karaginan, Indonesia juga mengimpor 800 ton tepung agar-agar.

Tabel 6.5. Produksi produk olahan rumput laut Indonesia berupa karaginan dan agar-agar pada 2006-2010TahunKaraginan (RC)Karaginan (SRC-f)Karaginan (SRC-nf)JumlahAgar-agar

20066701320408060702700

20077201500492071402780

20087401620540077602870

20097801860624088802980

20108001920636090802820

(Sumber : Anggadiredja, 2011)Impor karaginan ini disebabkan oleh belum memadainya industri pengolahan rumput laut nasional dalam menyerap produksi rumput laut kering dan memproduksi karaginan dan agar-agar. Jumlah industri pengolahan rumput laut menjadi karaginan tersebut pada 2012 ini mengalami penurunan dibandingkan dengan tahun 2011 (Tabel 6.6). Pada 2011 jumlah pabrik pengolah rumput laut untuk produksi karaginan mencapai 14 unit, dan untuk produksi agar-agar mencapai 11 unit. Salah satu permasalahan yang dihadapi oleh industri pengolahan rumput laut tersebut adalah bahan baku rumput laut kering yang tepat waktu, tepat jumlah, tepat mutu dan tepat harga. Hal ini disebabkan oleh sebagian besar rumput laut kering dari golongan karaginofit ini diekspor dan sebagian kecil saja yang diolah di dalam negeri.

Tabel 6.6. Jumlah industri pengolahan rumput laut berupa agar-agar dan karaginan di IndonesiaJenis ProdukJumlah Industri (unit)Produksi (ton)

Agar-agar113,000

Karaginan

a. Refine3900

b. Semirefine (puder dan chips, f dan nf)1110,600

Alginat--

(Sumber : Anggadiredja, 2011) Kebutuhan bahan baku untuk memproduksi karaginan murni adalah sebesar 5 kali dari volume hasil produk olahan, sedangkan untuk produk semi murni diperlukan 4 kali. Untuk memproduksi karaginan semi murni untuk tujuan bukan makanan diperlukan bahan baku sebanyak 3 kali dari produksi olahan. Untuk memproduksi agar-agar diperlukan bahan baku berupa rumput laut Gracilaria kering dengan kandungan air 12,5 persen sebanyak 8 kali dari hasil olahannya. Oleh karena itu dengan meningkatnya produksi dan permintaan karaginan dan agar-agar, maka permintaan bahan baku berupa rumput laut kering juga akan meningkat secara linier. Ini adalah peluang pasar pengembangan rumput laut pada level onfarm.

6.2. Gambaran Umum Industri Rumput Laut Nasional6.2.1. Karakteristik Industri

Industri rumput laut di Indonesia dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok besar, yaitu on farm dan off farm (Gambar 6.2):1. On farm adalah bagian dari industri yang memproduksi atau membudidayakan rumput laut dengan produk utamanya adalah rumput laut kering. Pelaku utama on farm adalah pembudidaya atau petani rumput laut yang berkarakter pertanian. Karakter pertanian pada umumnya adalah bergantung pada musim, produksi tidak seragam, tidak tepat waktu, harga, jumlah dan kualitas, produksi tidak kontinyu, dan bermodal kecil.2. Off farm yang merupakan bagian dari industri rumput laut yang mencakup pengolahan menjadi berbagai produk, antara lain karaginan. Termasuk di dalam kelompok ini adalah distribusi produk hingga ke konsumen (pemasaran). Pelaku yang termasuk dalam off farm ini adalah pengumpul, eksportir, pabrik karaginan dan pabrik yang berbahan baku karaginan. Karakter umum dari kelompok off farm ini diantaranya adalah produksi tidak bergantung kepada musim, dapat berproduksi sepanjang tahun, tepat waktu, harga, jumlah dan kualitas, serta bermodal besar. Karakter kelompok off farm ini kebalikan dari karakter on farm.On farm yang berkarakter pertanian (agricultural) harus berhadapan dengan pabrik pengolah rumput laut yang berkarakter industri (industrial). Permasalahan yang dihadapi dalam industri rumput laut adalah terjadinya rantai yang putus antara on farm dengan off farm.

Gambar 6. 2. Industri budidaya rumput laut nasional: pembudidaya/petani rumput laut versus industriawan karaginan.

6.2.2. Keragaman Mutu Rumput Laut KeringTerdapat keragaman (variasi) mutu rumput laut kering yang dihasilkan oleh pembudidaya. Hal ini bergantung kepada jenis (spesies), varitas (sub-spesies), lokasi budidaya (lingkungan/kesuburan perairan), umur panen, cara panen, penangan pascapanen (penjemuran, pengepakan dan distribusi), dan sebagainya. Resultante dari berbagai faktor tersebut menyebabkan terjadinya variasi mutu rumput laut kering yang dihasilkan. Sebagai contoh adalah adanya perbedaan kualitas antara rumput laut kering yang berasal dari Indonesia dengan Filipina (Tabel 6.7). Dalam tabel tersebut di atas ternyata kualitas rumput laut Indonesia masih di bawah Filipina. Kualitas rumput laut kering dinyatakan dalam beberapa parameter seperti kadar air (moisture content), kemurnian/kebersihan (impurities), hasil/rendemen (yield), kekuatan jeli (gell strength), warna, dan sebagainya. Persyaratan mutu rumput laut sangat diperhatikan oleh industri pengolahan rumput laut (pabrik karaginan dan agar), dan bila persyaratan tersebut tidak dipenuhi seringkali produk rumput laut kering tersebut ditolak atau dihargai rendah oleh industri pengolahan. Hal ini (aspek kualitas) sering kali tidak dipahami sepenuhnya oleh pembudidaya rumput laut yang berorientasi kepada kuantitas. Kurang dipenuhinya persyaratan kualitas atau mutu oleh para produsen rumput laut kering pada level on farm disebabkan oleh perbedaan persepsi antara produsen rumput laut kering (pembudidaya) dengan kalangan industriawan tentang produk rumput laut kering. Peran pengumpul untuk menjembatani dan menyelaraskan perbedaan persepsi mutu produk rumput laut kering tersebut menjadi sangat penting. Saringan (screening) mutu rumput laut kering dari para pembudidaya pada umumnya dilakukan oleh para pengumpul rumput laut kering.Tabel 6.7. Perbandingan rumput laut kering Indonesia dengan Filipina. ParameterStandarE. cottonii Filipina

E. cottonii Indonesia

Moisture content37% maximum42%-55%42%-55%

Impurities (sand&salt)3% maximum3%-10%5%-14%

Yield( in SRC powder)28% minimum22%-26%17%-23%

Clean anhydrous weed (CAW)50% minimum35%-50%30-45%

Water gel strength250 gm/cm2 minimum250-450 gm/cm2150-300 gm/cm2

KCl gel strength750 gm/cm2 minimum700-100 gm/cm2500-780 gm/cm2

Seaweed color (visual)lighter colorlighter colorMostly dark brown/black

(Sumber : Neish, 2010)6.2.3. Ekspor Rumput Laut NasionalPada 2010 negara tujuan ekspor rumput laut Indonesia adalah ke Cina (51,7%), Filipina (12,28%), Vietnam (7,7%), Cili (4,5%), Jerman (3,9%), Amerika Serikat (3,3%) dan Inggris (3,2%) dan beberapa negara importir lainnya (Tabel 6.8). Lebih dari setengah ekspor rumput laut Indonesia ditujukan ke Cina. Selama tahun 2006-2010 peningkatan permintaan pasar rumput laut China mencapai 59,10% sedangkan untuk Hongkong terjadi penurunan permintaan walaupun di periode 2009-2010 kembali meningkat. Jumlah total rumput laut kering yang diekspor pada tahun tersebut mencapai 123.074 ton senilai US$ 135.939.000. Umumnya terjadi kenaikan persentase volume ekspor rumput laut nasional ke negara importir utama antara 2009-2010, kecuali Amerika Serikat, Korea Selatan dan Prancis. Kenaikan persentase volume ekspor rumput laut nasional tertinggi terjadi pada ekspor ke Jerman (196%) dalam kurun waktu tersebut di atas, sedangkan penurunan paling besar terjadi pada ekspor ke Korea Selatan. Data pada Tabel 6.8 tersebut dapat menjelaskan bahwa di beberapa negara tertentu, Indonesia memiliki pasar yang cukup baik dan cukup potensial untuk menjadi market leader rumput laut kering.Tabel 6.8.Perkembangan rumput laut Indonesia berdasarkan negara tujuanNegara20062007200820092010Kena-ikan 2006-2010 (%)Kenaikan 2009-2010

(dalam US$ 000)Vol (ton)US$ 000% shareVol (ton)US$ 000% share%Nilai

Cina12.87611.18035.23351.08539.00844,,4472.21370.27751,7059,1041,3680,16

Filipina6.0527.08027.8966.7017.7468,8212.51216.68912,2823,6086,74115,45

Vietnam1.4033.1823.47513.9917.1308,1215.23210.4667,7062,038,8746,78

Cili1.4452.2295.2621.4252.7193,102.9466.0724,4735,94105,76123,3

Jerman8129051.9512739011,038095.2873,8945,40196,35486,89

USA3.8433.0172.5631.7643.0363,461.5844.4783,293,17-10,2447,52

Inggris2.4162.0256.2081.0385.6446,437204.3283,1824,49130,6-23,32

Korea Selatan2.2813.4047.5775.0195.5766,353.0564.0172,9617,65-39,11-27,95

Prancis5491.2432.9803.0582.9933,412.2112.5721,8948,69-27,68-14,07

Hongkong4.6068.0372.0182.3238410,965.2521.9841,46-32,58126,05135,84

Lainnya13.30415.22114.9917.36512.18713,886.5399.7697,19

Jumlah49.58757.523110.15494.04287.781100,00123.074135.939100,0027,6330,8754,86

(Sumber : FAO, 2012)6.2.4. KelembagaanKelembagaan dalam industri rumput laut nasional mencakup pemerintah, swasta dan masyarakat. Lembaga pemerintah yang terkait dengan komoditas ini mencakup dinas teknis (Dinas Kelautan dan Perikanan) di tingkat provinsi dan daerah, balai perekayasaan dan balai penelitian. Kelembagaan swasta mencakup pengumpul, eksportir, importir, pabrik pengolahan rumput laut, perbankan, koperasi dan sebagainya, sedangkan kelembagan di masyarakat mencakup kelompok pembudidaya rumput laut, paguyuban (society), asosiasi, LSM dan sebagainya. Dalam upaya meningkatkan performa rumput laut, baik dari penyediaan benih yang berkualitas maupun hasil panen yang optimum diperlukan peran kelembagaan untuk mendukung keberhasilan budidaya rumput laut. Salah satu upaya yang telah dilakukan Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau (BRPBAP) Maros, Sulawesi Selatan untuk meningkatkan hasil rumput laut adalah teknik perbanyakan rumput laut secara in vitro melalui kultur jaringan, spora, protoplas, teknik embriogenesis dan sebagainya. Teknik ini diharapkan bisa menjadi alat dalam rekayasa genetik rumput laut untuk mendapatkan jenis rumput laut unggul, dengan keunggulan antara lain kandungan yeald tinggi, tahan penyakit dan tumbuh dengan cepat. Untuk mentransfer ilmu dan teknologi yang telah dikuasai oleh balai penelitian tersebut, diperlukan adanya pelatihan bagi pembudidaya rumput laut. Di samping itu diperlukan juga dukungan pembiayaan dari lembaga keuangan dalam kaitannya dengan permodalan dengan mempermudah proses peminjaman modal usaha bagi pembudidaya rumput laut, sehingga dapat memperlancar pengembangan usaha rumput laut di masyarakat.Kultur jaringan adalah teknik perbanyakan (propagation) rumput laut melalui sepotong jaringan tanaman ini di dalam tabung (in vitro). Jaringan tersebut diharapkan bisa berkembang di dalam tabung menjadi individu rumput laut yang baru, kemudian ditumbuhkan di dalam wadah yang lebih besar di rumah kaca (indoor system), selanjutnya dalam wadah lebih besar lagi di dalam sistem out door, dan akhirnya ditumbuhkan di lapangan (laut). Dengan demikian rumput laut hasil perbanyakan melalui kultur jaringan ini telah mengalami serangkaian fase aklimatisasi sebelum ditanam di laut. Kultur jaringan rumput laut juga telah dilakukan oleh Biotrop Bogor.6.3. Prioritas Industrialisasi Rumput Laut6.3.1. Rencana Penambahan Luas Areal Budidaya Rumput LautDalam rangka industrialisasi budidaya rumput laut, pemerintah telah menetapkan 4 provinsi sebagai percontohan (demfarm), yakni Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara dan Sulawesi Tengah dan Nusa Tenggara barat (Tabel 6.9). Pada 2012 total areal percontohan mencapai 12.630 ha, meningkat menjadi 15.156 ha pada 2013 dan 19.703 ha pada 2014.Tabel 6.9. Target luas areal laut dalam rangka industrialisasi budidaya rumput laut nasional (ha).

No.ProvinsiKabupaten201220132014

1Sulawesi Selatan Takalar dan Jeneponto 8.497.7 10.196,5 13.253,8

2Sulawei Utara Minahasa Utara 410,4 490,9 639,5

3Sulawesi Tengah Parigi moutong 2.307,8 2.771 3.602,4

4Nusa Tenggara Barat Sumbawa 1.413,9 1.697,5 2.207,1

T o t a l 12.630 15.156 19.703

(Sumber: Presentasi Dirjen Perikanan Budidaya pada Seminar Bioteknologi Akuakultur, 2012)6.3.2. LokasiIndustrialisasi rumput laut nasional tahap I dilaksanakan di 5 kabupaten prioritas pengembangan yaitu Kabupaten Sumbawa Nusa Tenggara Barat (NTB), Jeneponto dan Takalar Sulawesi Selatan (Sulsel), Parigi Moutong Sulawesi Tengah (Sulteng) dan Kabupaten Minahasa Utara Sulawesi Utara (Sulut). Pada Tahap II dan III (2013 dan 2014), lokasi prioritas ini akan ditambah hingga mencakup Kabupaten Sumba Timur NTB, Morowali Sulawesi Tenggara (Sultra), Rote Ndao dan Sumenep Jawa Timur (Jatim). Lokasi prioritas tersebut adalah sentra produksi rumput laut nasional dan tentunya memiliki potensi SDA yang mendukung pengembangan serta aksesibilitas yang tinggi, baik untuk distribusi sarana produksi dan pemasaran hasil. Di kawasan tersebut dilakukan percontohan (demfarm) budidaya rumput laut pada sejumlah luasan areal, dan diharapkan bisa menjadi stimulus pelaksanaan program untuk bergerak ke arah yang diharapkan. Berikut ini adalah penilaian lokasi prioritas pengembangan industrialisasi pada tahap I yang berdasarkan data luas, jumlah pembudidaya, produksi dan aksesibilitas terhadap sarana produksi dan pemasaran hasil (Tabel 6.10). Penilaian dilakukan secara kualitatif (sangat tinggi, tinggi dan cukup tinggi) berdasarkan data kuantitatif pada tahun terakhir (2011). Aksesibilitas dinilai berdasarkan kepada jarak lokasi tersebut ke ibu kota provinsi yang biasanya terdapat pelabuhan kargo untuk pengangkutan rumput laut kering ke luar daerah bahkan ekspor, dan pengadaan sarana produksi. Takalar dinilai memiliki luas produksi, produktivitas pembudidaya, dan aksesibilitas yang sangat tinggi, sedangkan Minahasa Utara memiliki produktivitas perairan paling tinggi di antara lokasi prioritas pengembangan industrialisasi rumput lau lainnya. Jeneponto memiliki jumlah pembudidaya paling banyak. Sumbawa dinilai memiliki luas areal, produksi, produkstivitas pembudidaya dan aksesibilitas yang cukup tinggi. Tabel 6. 10. Penilaian lokasi prioritas pengembangan industrialisasi rumput laut tahap INo.LokasiLuas ArealProduksiProduktivitas PerairanPembudidayaProduktivitas PembudidayaAksesibilitas

Sarana produksiPasar

1Sumbawa+++++++++

2Jeneponto++++++++++++++

3Takalar++++++++++++++++++

4Parigi Moutong++++++++++

5Minahasa Utara++++++++++++

Keterangan:

+++ sangat tinggi++ tinggi

+ cukup tinggi

6.3.3. Data Baseline6.3.3.1. Luas Areal Budidaya

Diantara kabupaten prioritas program industrialisasi rumput laut nasional, pada 2010 luas areal budidaya rumput laut paling banyak di Kabupaten Takalar (lebih dari 10 ribu ha) dan diikuti oleh Kabupaten Jeneponto (Gambar 6.3, Lampiran 5). Di kabupaten ini, luas areal budidaya rumput laut cenderung meningkat antara tahun 2009-2010, sementara di Jeneponto cenderung menurun. Dalam satu provinsi terjadi fluktuasi luas areal budidaya rumput laut yang sangat dinamis. Sementara itu di Kabupaten Minahasa Utara terjadi kenaikan luas areal budidaya rumput laut antara 2010-2011. Sifat budidaya rumput laut masih sangat bergantung kepada faktor alam (oseanografi, klimatologi, kualitas air, ekosistem perairan), sehingga areal budidaya berubah-ubah secara dinamis bergantung kepada kondisi alam. Gambar 6.3. Luas areal budidaya rumput laut di setiap kabupaten prioritas industrialisasi rumput laut nasional 2009-2011

(Sumber : Direktorat Jendral Perikanan Budidaya, diolah 2012)6.3.3.2. Produksi dan Produktivitas PerairanMengikuti luas areal budidaya, produksi rumput laut di antara lokasi prioritas Tahap I ini yang paling tinggi adalah di Kabupaten Takalar yakni sekitar 417.424 ton pada 2010 (Gambar 6.4). Di kabupaten ini terjadi kenaikan produksi antara 2009-2010, mengikuti kenaikan luas areal budidaya pada kurun waktu yang sama (Gambar 6.3). Hal sama juga terjadi di Kabupaten Minahasa Utara, produksi meningkat antara 2010-2011 mengikuti peningkatan areal budidaya. Di Kabupaten Jeneponto terjadi kondisi kontradiksi yaitu terjadi peningkatan produksi rumput laut di saat terjadi penurunan luas areal budidaya. Hal ini mungkin terjadi karena peningkatan produktivitas di areal perairan budidaya yang ada.Gambar 6.4. Produksi rumput laut (basah) di setiap kabupaten prioritas industrialisasi rumput laut nasional 2009-2011

(Sumber : Direktorat Jendral Perikanan Budidaya, diolah 2012)Produktivitas perairan yang paling tinggi terjadi di Kabupaten Minahasa Utara yang mencapai hampir 155 ton/ha pada 2010, namun menurun menjadi 111 ton/ha pada 2011 (Gambar 6.5). Produktivitas tertinggi kedua di antara lokasi prioritas industrialisasi rumput laut nasional Tahap I ini adalah Kabupaten Takalar yang hampir mencapai 88 ton/ha, namun menurun menjadi kurang dari setengahnya sekitar 44 ton/ha. Produktivitas perairan untuk budidaya rumput laut di Kabupaten Minahasa Utara mencapai lebih dari 2 kali lipat produktivitas perairan di Kabupaten Takalar. Di Kabupaten Jeneponto, seperti telah dinyatakan di atas, memang terjadi peningkatan produktivitas perairan untuk budidaya rumput laut antara 2009-2010 dari 31 menjadi 44 ton/ha. Terjadi disparitas produktivitas yang sangat lebar antar kabupaten lokasi prioritas berproduktivitas tinggi dengan yang berproduktivitas rendah. Hal ini memang sudah menjadi karakteristik budidaya rumput laut, yakni variabilitas produktivitas perairan yang sangat tinggi, yang disebabkan oleh sifat budidaya ini yang masih sangat dipengaruhi oleh faktor alam. Faktor eksternal lingkungan terhadap sistem produksi dalam budidaya rumput laut masih sangat besar, sehingga menyebabkan variabilitas produktivitas yang lebar.Gambar 6.5. Produktivitas perairan (dalam bobot basah) di setiap kabupaten prioritas industrialisasi rumput laut nasional 2009-2011

(Sumber : Direktorat Jendral Perikanan Budidaya, diolah 2012) 6.3.3.3. Jumlah Pembudidaya dan Produktivitas PembudidayaDi Jeneponto, jumlah pembudidaya rumput laut mencapai 8.368 RTP pada 2009-2010 tertinggi di antara kabupaten yang menjadi prioritas industrialisasi rumput laut nasional, padahal luas areal budidaya dan produksinya lebih sedikit dari Kabupaten Takalar (Gambar 6.6). Sementara di Kabupaten Takalar dengan produksi rumput laut paling tinggi, ternyata memiliki jumlah pembudidaya yang paling sedikit yaitu sekitar 478 RTP pada 2010 meningkat dari 337 RTP pada 2009. Hal ini menyebabkan produktivitas per pembudidaya di Kabupaten Takalar adalah paling tinggi (Gambar 6.7). Di kabupaten ini produktivitas budidaya rumput laut mencapai 873,27 ton/RTP pada 2010, meningkat dari 782,92 ton/RTP pada 2009. Produktivitas pembudidaya di Kabupaten Jeneponto hanya mencapai 17,8 ton/RTP pada 2010 paling rendah di antara kabupaten prioritas industrilisasi budidaya rumput laut.Gambar 6.6. Jumlah pembudidaya di setiap kabupaten prioritas industrialisasi rumput laut nasional 2009-2011

(Sumber : Direktorat Jendral Perikanan Budidaya, diolah 2012) Gambar 6.7. Produktivitas pembudidaya di setiap kabupaten prioritas industrialisasi rumput laut nasional 2009-2011

(Sumber : Direktorat Jendral Perikanan Budidaya, diolah 2012) 6.3.3.4. Nilai Produksi

Nilai produksi rumput laut paling tinggi terjadi di Kabupaten Takalar pada 2010 yaitu sebesar Rp 626,14 milyar. Nilai produksi rumput laut di Kabupaten Takalar ini disebabkan oleh produksi rumput laut yang tinggi (Gambar 6.4). Peningkatan nilai produksi pada tahun 2009-2010 terjadi di Kabupaten Jeneponto, Takalar dan Minahasa Utara. Kabupaten Jeneponto mengalami peningkatan nilai produksi dari Rp 202,05 milyar menjadi Rp 203,38 milyar, Kabupaten Takalar mengalami peningkatan nilai produksi dari Rp 359,77 milyar menjadi Rp 626,14milyar sedangkan nilai produksi rumput laut di Kabupaten Minahasa Utara meningkat dari Rp 80,71 milyar menjadi Rp 118,59 milyar (Gambar 6.8).

Gambar 6.8. Nilai produksi di setiap kabupaten prioritas industrialisasi rumput laut nasional 2009-2011

(Sumber : Direktorat Jendral Perikanan Budidaya, diolah 2012) Harga rumput laut di kabupaten prioritas industrialisasi rumput laut nasional berkisar antara Rp 1.100,- hingga Rp 4.000,- dengan rata-rata sekitar Rp 1.700 per kilogram rumput laut basah. Harga rumput laut tertinggi yaitu Rp 4.000,- berada di Kabupaten Paragi Moutong (Gambar 6.9). Hal tersebut yang menyebabkan nilai produksi rumput laut yang lebih tinggi dibandingkan kabupaten lainnya kecuali Kabupaten Takalar yang memang memiliki produksi paling tinggi (Gambar 6.4).

Gambar 6.9. Harga produk rumput laut (basah) di setiap kabupaten prioritas industrialisasi rumput laut nasional 2009-2011

(Sumber : Direktorat Jendral Perikanan Budidaya, diolah 2012) Lampiran 5 menyajikan data keseluruhan kinerja budidaya rumput laut di lokasi prioritas pengembangan Tahap I yang mencakup Sumbawa, Janeponto, Takalar, Parigi Moutong dan Minahasa Utara. Data tersebut diharapkan bisa menjadi data baseline dalam rangka menentukan target indikatif program industrialisasi budidaya rumput laut di lokasi prioritas. Luas area budidaya rumput laut di 5 kabupaten prioritas pengembangan dalam tahun terakhir (2010-2011) adalah sebesar 18.608 ha. Produksi rumput laut basah pada tahun terakhir (2010-2012) dari ke lima lokasi prioritas tersebut mencapai 748.745,2 ton, dengan produkstivitas rata-rata dalam 3 tahun terkahir mencapai 62,76 ton/ha/tahun.

Dalam budidaya rumput laut fluktuasi luasan area sering terjadi. Hal ini disebabkan oleh tingginya faktor luar (eksternalitas) yang mempengaruhi usaha budidaya ini, terutama kondisi alam (klimatologi, oseanografi, kualitas dan ekosistem perairan). Keadaan tersebut menyebabkan usaha budidaya rumput laut memiliki ketidakpastian yang tinggi (high uncertainty) dan tidak stabil. Walaupun seperti itu budidaya rumput laut ini masih menjadi prioritas pemerintah sebagai komoditas unggulan perikanan budidaya, sehingga perkembangan luas area budidaya rumput laut terjadi peningkatan 73,03 persen setiap tahunnya. Hal ini juga terlihat dari jumlah RTP (Rumah Tangga Pembudidaya) yang mengalami kenaikan sebanyak 22,17 persen setiap tahunnya. Jumlah produksi yang dihasilkan dari ke 5 kabupaten prioritas tadi rata-rata 167.508 ton/tahun dan produktivitas perairannya 56,05 ton/ha. Untuk menghasilkan rumput laut sebanyak 837.542,2 ton diperlukan bibit 200.457 ton. Produksi rumput laut terjadi perkembangan sebesar 43,01 persen setiap tahun sedangkan produktivitas perairan mengalami penurunan 11,36 persen. Penurunan produktivitas perairan ini terjadi karena peningkatan produksi yang dihasilkan tidak optimal dibanding dengan perluasan area budidaya yang meningkat pesat. Walaupun produktivitas perairan menurun tetapi produktivitas pembudidaya meningkat sebesar 208,49 ton/ RTP, dengan kenaikan produktivitas 16,89 persen setiap tahunnya. Nilai produksi rumput laut yang dihasilkan sebesar Rp 1.266.485.709.000,-. 6.3.4 Rantai Pasok Industri dan Analisis Finansial6.3.4.1. Rantai Pasok IndustriIndustri rumput laut Indonesia (Gambar 6.10) menghasilkan sejumlah jenis rumput laut yang dapat diperdagangkan dalam kondisi segar dan kering, yaitu kelompok Euchema, kelompok Gracilaria/Gelidium, dan kelompok Sargassum yang masing-masing menghasilkan produk berbeda, yaitu agar-agar, karaginan, dan alginat. Di dalam perdagangan, kelompok pertama dikenal pula sebagai rumput laut kotoni. Produk tersebut menjadi bahan baku farmasi, industri non pangan, dan bahan pangan dengan kebutuhan kualitas (grade) tertentu yang mempengaruhi harga jual rumput laut. Nilai tambah diperoleh pembudidaya apabila diproduksi rumput laut dengan kandungan produk yang tinggi dan melakukan penjualan rumput laut kering dibandingkan dengan rumput laut basah/segar. Harga rumput laut basah kotoni dari jenis Euchema cotonii sebesar Rp 800-1.250 per kg, dan yang kering Rp. 6.500-8.500 per kg dengan rendemen mencapai 12 persen (dari 1000 kg rumput laut basah menjadi 120 kg rumput laut kering, atau sekitar seperdelapan).

Gambar 6.10. Pohon industri rumput laut Indonesia

(Sumber : Direktorat Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan, diolah 2012)

Rantai pasok rumput laut (Gambar 6.11) terbagi ke dalam dua sisi, yaitu sisi penawaran dan sisi permintaan. Sisi penawaran meliputi bahan baku berupa bibit rumput laut dan material lain yang diperlukan untuk proses produksi rumput laut, arus logistik yang masuk ke dalam proses industri budidaya rumput laut. Sisi permintaan meliputi arus logistik keluar dari sistem budidaya rumput laut sampai konsumen, melalui pengumpul, pengolah, pedagang besar, dan pengecer. Penjualan rumput laut sama dengan komoditas perikanan budidaya lainnya, yaitu pembeli datang ke lokasi produsen sehingga produsen tidak mengeluarkan biaya penjualan, tetapi memerlukan fasilitas pengeringan dan gudang penyimpanan.

Gambar 6. 11. Rantai pasok industri rumput laut Indonesia

(Sumber : Direktorat Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan, diolah 2012)

6.3.4.2. Analisis Finansial

Analisis finansial budidaya rumput laut dilakukan berdasarkan kegiatan budidaya rumput laut dengan menggunakan metode rawai dan longline. Asumsi-asumsi yang digunakan dalam perhitungan analisis usaha dan analisis kriteria investasi adalah sebagai berikut:

1. Metode budidaya yang digunakan dalam budidaya rumput laut adalah teknologi longline dan rawai.

2. Metode longline menggunakan tali dengan panjang 17 m dengan jumlah tali 100 bentangan.

3. Metode rawai luas petak 2.500 m2, dengan jumlah rumpun sebanyak 10.000 rumpun.4. Harga bibit rumput laut Rp 2.000,00 per kg.5. Rumput laut yang hidup sampai panen diasumsikan 90 persen dari total rumpun yang ditanam.6. Berat rata-rata panen rumput laut basah pada metode rawai adalah 700 gram per rumpun dan pada longline adalah 800 gram per rumpun.

7. Rendemen yang dihasilkan dari rumput laut basah menjadi kering pada budidaya rawai adalah 43 persen pada rawai dan 35 persen pada longline.

8. Rumput laut dijual dalam bentuk rumput laut kering. Harga jual rumput laut hasil panen dari metode rawai adalah Rp 6.000,00 perkg dan dari longline Rp 8.500,00 per kg.

9. Satu tahun produksi pada metode rawai adalah enam kali siklus dan pada longline empat kali siklus.10. Produksi rumput laut kering pada metode rawai adalah 21,6 ton/tahun dan metode longline adalah 2.4 ton/tahun11. Umur ekonomis dalam analisis kriteria investasi adalah 5 tahun berdasarkan pada umur teknis dari investasi.

12. Discount rate yang digunakan sebesar 14 % berdasarkan tingkat suku bunga pinjaman Bank BRI bulan Desember 2012.

Kebutuhan investasi dan biaya pada kegiatan budidaya rumput laut dapat dilihat pada Lampiran 18-21. Masing-masing teknologi pada budidaya rumput laut memberikan nilai analisis usaha yang berbeda seperti terlihat pada Tabel 6.11 berikut iniTabel 6.11.Analisis usaha budidaya rumput laut untuk metode rawai dan longlineNoKomponenSatuanRawaiLongline

1InvestasiRp18,800,000.0011,107,500.00

2Biaya TetapRp23,500,000.002,442,928.57

3Biaya variabelRp24,000,000.0013,160,000.00

4Biaya totalRp47,500,000.0015,602,928.57

5PenerimaanRp129,600,000.0019,495,000.00

6KeuntunganRp82,100,000.003,892,071.43

7R/C2.731.25

8BEPRp28,840,909.097,517,741.52

9BEPKg4,806.82812.90

10Payback Periode (PP)Tahun0.232.85

11Return on Investment (ROI)%436.70285.39

Berdasarkan nilai analisis usaha, keuntungan tertinggi diperoleh pada kegiatan budidaya rumput laut dengan metode rawai. Demikian pula halnya dengan rasio antara penerimaan dan biaya yang tertinggi pada budidaya ini. Keuntungan usaha budidaya rumput laut dengan rawai sebesar Rp 82.100.000,00 dengan nilai R/C 2,73 yang artinya setiap satu rupiah biaya yang dikeluarkan akan menghasilkan penerimaan sebesar Rp 2,73 sedangkan keuntungan pada metode longline adalah Rp 19.495.000,00 dan R/C sebesar 1,25. Perbedaan nilai keuntungan dan R/C yang cukup tinggi disebabkan karenaperbedaan pada lahan yang digunakan danperbedaan jumlah panen yang dilakukan dalam waktu satu tahun, pada metode rawai dapat melakukan panen enam kali setahun sedangkan pada longline hanya empat kali. Nilai tingkat pengembalian investasinya (PP dan ROI) yang dihasilkan lebih besar pada metode rawai. ROI sebesar 436,70 % pada budidaya rumput laut metode rawai menunjukkan bahwa investasi yang ditanamkan pada usaha ini memberikan pengembalian investasi sebesar 436,70 % dan nilai payback periode sebesar 0,23 tahun menunjukkan bahwa pada periode pemeliharaan sekitar 3 bulan, investasi yang ditanamkan sudah kembali.Analisis kriteria investasi pada kegiatan budidaya budidaya rumput laut dijelaskan pada Tabel 6.12 secara terperinci dapat dilihat pada Lampiran 18-21.Tabel 6.12. Analisis kriteria investasi usaha budidaya rumput laut untuk metode rawai dan longlineNoKomponenSatuanRawaiLongline

1NPVRp276.533.899,799.438.874,39

2Net B/CRp15,711,85

3IRR%469,1843,80

4Payback Periode (PP)Tahun0,242,27

Analisis kriteria investasi menunjukkan nilai kelayakan usaha dalam pengembangan budidaya rumput lautselama 5 tahun.Usaha budidaya rumput laut yang paling tinggi memberi manfaat pada pembudidaya adalah budidaya rumput laut dengan metode rawai. Berdasarkan nilai NPV yang diperoleh menunjukkan bahwa manfaat bersih yang dihasilkan dari usaha budidaya rumput laut dengan rawai selama 5 tahun adalah sebesar Rp 276.533.899,79. Nilai net B/C sebesar 15,71 berarti bahwa satu rupiah biaya yang dikeluarkan akan menghasilkan manfaat bersih sebesar Rp 15,71 sedangkan nilai IRR menunjukkan bahwa usaha ini memperoleh tingkat keuntungan atas investasi yang ditanamkan sebesar 469,18 %. Periode pengembalian investasi jangka panjang dari usaha ini adalah sekitar 3 bulan.Analisis sensitivitas dilakukan dengan menggunakan metode switching value dan dianalisis berdasarkan terjadinya kenaikan harga bibit rumput laut dan penurunan harga jual rumput laut kering (Tabel 6.13). Perhitungan terperinci dapat dilihat pada Lampiran 18-21.Tabel 6.13. Analisis sensitivitas usaha budidaya rumput laut untuk metode rawai dan longlineNoKomponenSatuanRawaiLongline

1Kenaikan harga bibit%559,3742,96

2Harga bibit awalRp2.000,002.000,00

3Harga bibit setelah kenaikanRp13.187,472.859,19

4Kenaikan harga bibitRp11.187,47859,19

5Penurunan harga jual %62,1517,74

6Harga jual awalRp6.000,008.500,00

7Harga jual setelah penurunanRp2.270,846.991,90

8Penurunan harga jualRp3.729,161.508,10

Usaha budidaya rumput laut dengan metode longline lebih sensitif pada perubahan kenaikan harga bibit dibandingkan dengan metode rawai. Penurunan harga jual rumput laut kering lebih sensitif dibanding dengan kenaikan harga bibit rumput laut sehingga dalam pengembangan usaha rumput laut perlu memperhatikan terjadinya fluktuasi perubahan harga jual rumput laut kering yang pada umumnya digunakan untuk keperluan industri. Maksimal kenaikan harga bibit pada usaha rumput laut metode longline agar usaha ini masih layak untuk dijalankan adalah sebesar 42,96 % atau kenaikan sebesar Rp 859,19. Lebih dari nilai ini maka usaha tidak layak untuk dijalankan. Penurunan harga jual maksimal pada metode longline adalah sebesar 17,74 % atau sebesar Rp 1.508,10. Jika lebih dari nilai ini maka usaha budidaya rumput laut tidak layak untuk diteruskan.6.3.5. Analisis Fungsi Produksi

Model fungsi produksi yang digunakan dalam kegiatan budidaya rumput laut ini adalah fungsi Cobb Douglas dan metode budidaya rumput laut yang digunakan adalah metode longline. Faktor-faktor produksi yang diduga berpengaruh dalam usaha rumput laut metode long line adalah bibit (X1) dan adanya pengaruh musim (D1). Persamaan model fungsi produksi usaha budidaya rumput laut adalah: Ln Y = - 0,679 + 0,97 Ln X1 + 0,70 Ln D1

atau

Y = - 0.679 X1 0,97 D1 0,70 Dimana:

Y = Produksi rumput laut (kg/100 bentang)

X1 = Jumlah bibit rumput laut (kg/100 bentang)

D1= musim (1=musim bagus, 0=musim tidak bagus)

Hasil pendugaan fungsi produksi Cobb Douglas usaha budidaya rumput laut terlihat pada Tabel 6.14.Tabel 6. 14. Hasil Pendugaan Fungsi Produksi Cobb Douglas Pada Usaha Budidaya Rumput LautVariableCoefficientStd. Errort-StatisticProb.

C-0.6788260.217613-3.1194160.0062

X0.9735200.03256329.896390.0000

D10.7008330.004691149.38870.0000

Berdasarkan Tabel 6.14 dan Lampiran 26 model fungsi produksi telah memenuhi syarat tidak terjadi multikolinearitas antar peubah bebas, model menyebar secara normal dan tidak terjadi heteroskedastisitas. Pendugaan model menunjukkan nilai koefisien determinasi (R2) adalah sebesar 99,9 persen. Berarti bahwa sebesar 99,9 persen dari variasi produksi rumput laut dapat dijelaskan oleh faktor jumlah bibit yang digunakan pada budidaya rumput laut (X1) dan pengaruh musim tanam rumput laut (D1) . Sedangkan 0,1 persen lainnya dijelaskan oleh faktor-faktor lain diluar model.6.3.5.1. Elastisitas Produksi dan Skala Usaha Budidaya Rumput Laut

Dalam model fungsi produksi Cobb Douglas nilai koefisien regresi merupakan nilai elastisitas dari masing-masing variabel tersebut, sedangkan penjumlahan dari nilainilai elastisitas dapat digunakan untuk menduga keadaan skala usaha. Dari dugaan model fungsi produksi rumput laut nilai elastisitasnya adalah sebesar 1,67 yang berasal dari penjumlahan koefisien regresi bibit sebesar 0,97 dan musim sebesar 0,70.. Jumlah nilai elastisitas 1,67 ( Ep>1), menunjukkan bahwa usaha budidaya rumput laut berada pada skala kenaikan hasil yang bertambah (increasing return to scale). Nilai ini mengandung arti bahwa penambahan 1 (satu) persen dari masing-masing faktor produksi secara bersama-sama akan meningkatkan produksi sebesar 1,67 persen atau proporsi penambahan output produksi melebihi proporsi penambahan input produksi. Adanya pengaruh musim terhadap jumlah produksi rumput laut yang dihasilkan ditunjukkan dengan koefisien variabel musim (D1) yang bernilai positif (0,70) artinya pendugaan fungsi produksi terjadi pada musim bagus atau produksi yang dihasilkan cukup tinggi. Berdasarkan hasil analisis fungsi produksi Cobb Douglas menunjukkan elastisitas faktor produksi jumlah bibit rumput laut sebesar 0,97 yang berarti setiap penambahan satu persen bibit rumput laut akan meningkatkan jumlah produksi sebesar 0,97 persen, dengan asumsi faktor lain dianggap tetap (ceteris paribus). 6.3.5.2 Analisis Efisiensi Produksi Budidaya Rumput Laut

Hasil analisis optimalisasi input pada budidaya rumput laut dapat dilihat pada Tabel 6.15. Analisis ini menunjukkan penggunaan faktor-faktor produksi aktual dan rasio Nilai Produk Marjinal (NPM) dengan Biaya Korbanan Marjinal (BKM) pada usaha budidaya rumput laut yang menunjukkan bahwa penggunaan faktor-faktor produksi dalam usaha rumput laut belum efisien secara ekonomi. Hal ini dikarenakan nilai-nilai rasio NPM terhadap BKM tidak ada yang sama dengan satu. Rasio ini juga berarti bahwa penggunaan faktor-faktor produksi pada usaha budidaya rumput laut belum optimal pada suatu hasil produksi (Tabel 6.15)Tabel 6. 15. Analisis optimalisasi usaha budidaya rumput lautFaktor ProduksiSatuanRata-rata InputbiNPMBKMNPM/BKMInput Optimal

Jumlah bibit (X1)Kg/100 bentang8000.973,741.972,5001.501,197.4

D10.70

Rata-rata Produksi (Kg/m2)512.5

Harga Produksi(Rp/Kg)6,000

Berdasarkan hasil analisis menunjukkan bahwa rasio antara NPM dan BKM dari jumlah bibit rumput laut adalah 1,50 (> 1), berarti bahwa jumlah bibit rumput laut belum efisien dalam penggunaannya. Dengan demikian, untuk mencapai kondisi efisiensi secara ekonomi maka jumlah bibit rumput laut yang saat ini digunakan sebesar 8 kg/ bentang harus ditingkatkan menjadi 12 kg/ bentang. Budidaya rumput laut yang menghasilkan produksi yang optimal dilakukan pada musim bagus yakni tiga kali musim tanam per tahun.6.3.6. Isu dan Permasalahan

Isu dan permasalahan yang dihadapi dalam program Industrialisasi Perikanan Budidaya rumput laut di Indonesia diantaranya adalah:1. Rendahnya tingkat pemanfaatan sumber daya perairan laut potensial untuk budidaya rumput laut.2. Rendahnya produktivitas usaha budidaya rumput laut yang hanya berkisar antara 33,9 ton/ha/tahun (basah) atau 3,4-12 ton/ha/tahun (kering).

3. Ketersedian bibit rumput laut yang tepat waktu, tepat jumlah, tepat mutu dan tepat harga.

4. Rendahnya kapasitas SDM dan kelembagaan usaha.

5. Penyakit dan kegagalan panen.

6. Kurangnya nilai tambah produk usaha budidaya rumput laut. Tabel 6.16. Isu dan permasalahan dalam kegiatan budidaya rumput laut.

VariabelIsu dan PermasalahanSolusi

A. Input

BibitKetersediaan bibit rumput laut yang tidak tepat waktu, tepat mutu dan tepat hargaPenyediaan kebun bibit di wilayah pengembangan

Penyediaan bibit rumput laut dari berbagai varietas

Penyediaan demfarm kebun bibit dilokasi pengembangan

Pengembangan kultur jaringan rumput laut

B. Proses Produksi

TeknologiRendahnya produktivitas usaha budidaya rumput laut yang hanya berkisar antara 33,9 ton/ha/tahun (basah) atau 3,4-12 ton/ha/tahun (kering)Pemakaian teknologi terbaru budidaya rumput laut

PenyakitPenyakit dan kegagalan panenPembuatan SOP dalam bentuk buku sebagai pedoman budidaya

Sarana produksiKeterbatasan fasilitas produksiMempermudah fasilitas produksi untuk petani

C. Infrastruktur

Area budidayaRendahnya tingkat pemanfaatan sumber daya perairan laut potensial untuk budidaya rumput lautPenataan kawasan detil setiap kabupaten

Penambahan luas wilayah kawasan budidaya rumput laut setiap tahun

KomunikasiJaringan komunikasi masih terbatasPerbaikan jaringan telepon atau komunikasi.

Listrik dan airKetersediaan listrik dan air yang masih sulitPenyediaan pasokan listrik dan air

JalanAkses jalan yang sulit dan belum terbangun dengan baikPerbaikan jalan dan penambahan sarana angkutan

D. Pemanenan dan Pemasaran

PasarManajemen pemasaran kurang baikPengembangan manajemen

Iklan sebagai sarana promosi

Penanganan pasca panenKualitas rumput laut yang rendahPeningkatan mutu rumput laut

pelatihan dan pengepakan rumput laut 6 kali setahun

Keterbatasan fasilitas pengolahanPenyediaan fasilitas pengolahan

Jenis produkKurangnya nilai tambah produk usaha budidaya rumput lautPeningkatan variasi pengemasan produk

Penambahan jumlah pabrik karaginan di kawasan pengembangan bertambah

Penambahan jumlah produk berbahan baku rumput laut

Rantai pasarMargin pembudidaya kecilMempermudah petani memperoleh daftar harga yang up to date

Peningkatan harga olahan rumput laut

E. SDM dan Kelembagaan

Kelembagaan usahaLemahnya kelembagaan usahaPenguatan kelembagaan usaha budidaya rumput laut

Peningkatan jumlah dan kapasitas kelompok pembudidaya setiap tahun

PermodalanRendahnya aksesibilitas ke sumber permodalanPeningkatan jumlah petani yang memanfaatkan koperasi dan lembaga keuangan mikro

Peningkatan jumlah investor usaha budidaya rumput laut

SDMRendahnya kapasitas SDM dan kelompokPengenalan berbagai macam metode budidaya rumput laut kepada pembudidaya

Pelatihan rutin kepada pembudidaya rumput laut

Penguatan kelompok pembudidaya

F. Kebijakan dan Sistem Usaha

DemfarmKurangnya percontohan industrialisasiPenambahan luas wilayah demfarm uji coba dikawasan pengembangan

Tata ruangKonflik pemanfaatan perairanPenyusunan zonasi pada kawasan untuk usaha budidaya rumput laut

6.4.Strategi Pengembangan

Berdasarkan isu dan permasalahan dalam industri budidaya rumput laut seperti disajikan di atas, maka strategi pengembangan industrialisasi rumput laut adalah sebagai berikut:

1) Meningkatkan produksi, produktivitas, kualitas produk dan kualitas bahan baku melalui intensifikasi, seperti :a) Pemakaian teknologi terbaru budidaya rumput laut

b) Pembuatan SOP dalam bentuk buku sebagai pedoman budidayac) Peningkatan jumlah petani yang memanfaatkan koperasi dan lembaga keuangan mikro

d) Peningkatan jumlah investor usaha budidaya rumput laut

e) Pengenalan berbagai macam metode budidaya rumput laut kepada pembudidaya

f) Pelatihan rutin kepada pembudidaya rumput laut2) Meningkatkan kapasitas prasarana dan sarana produksi rumput laut, melalui :

a) Penyediaan kebun bibit di wilayah pengembangan

b) Penyediaan bibit rumput laut dari berbagai varietas

c) Penyediaan demfarm kebun bibit dilokasi pengembangan

d) Pengembangan kultur jaringan rumput laut

3) Mengembangkan sentra produksi potensial sebagai basis industrialisasi rumput laut melalui ekstensifikasi, seperti :a) Penambahan luas wilayah demfarm uji coba dikawasan pengembangan

b) Penyusunan zonasi pada kawasan untuk usaha budidaya rumput laut4) Membangun dan mengembangkan manajemen infrastruktur dasar dan pelayanan publik yang terintegrasi, seperti :a) Penataan kawasan detil setiap kabupaten

b) Perbaikan jaringan telepon atau komunikasic) Penyediaan pasokan listrik dan air

d) Perbaikan jalan dan penambahan sarana angkutan6.5.Target Indikatif

Target yang ingin dicapai dari program industrilisasi rumput laut di lokasi atau kabupaten prioritas mengacu kepada Renstra Kementrian Kelautan dan Perikanan (KKP) 2010-2014 sebagaimana tertuang dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor Per.15/Men/2012 berdasarkan data baseline kinerja. Penetapan target juga memperhatikan data baseline kinerja budidaya di setiap kabupaten prioritas pengembangan industrialisasi rumput laut nasional. Asumsi yang digunakan dalam menetapkan target indikatif ini disajikan Tabel 6.17 di bawah ini, mencakup persentase peningkatan luas areal budidaya dan peningkatan produktivitas, jumlah tenaga kerja, bibit, tali ris per ha, dan sebagainya.Tabel 6. 17. Asumsi yang digunakan dalam menetapkan target indikatif industrialisasi rumput laut di kabupaten prioritas.

IndikatorKabupatenTahun

20122013201420152016201720182019

Peningkatan Luas areal budidaya/ ekstensifikasi (%)Sumbawa5,007,5010,0012,5015,0017,5020,0022,50

Jeneponto5,007,5010,0012,5015,0017,5020,0022,50

Takalar5,007,5010,0012,5015,0017,5020,0022,50

Parigi Moutong5,007,5010,0012,5015,0017,5020,0022,50

Minahasa Utara5,007,5010,0012,5015,0017,5020,0022,50

Peningkatan Produktivitas/ Intensifikasi (%)Sumbawa0,140,140,140,140,140,140,140,14

Jeneponto0,150,150,150,150,150,150,150,15

Takalar0,150,150,150,150,150,150,150,15

Parigi Moutong0,100,100,100,100,100,100,100,10

Minahasa Utara0,030,030,030,030,030,030,030,03

Tenaga kerja 22orang/ha

Kebutuhan bibit4ton/ha

Harga kering7.500,00Rp/kg

Tali ris (metode longline)100kg/ha

Jumlah kebun bibit2kebun/1000ha

Luas kebun bibit10ha/kebun

Produktivitas kebun 2000ton/kebun/thn

Biomasa panen8Kali dari biomasa tanam

Jumlah Pembudidaya2RTP/ha

Jumlah Sampan2Unit/ha

Berdasarkan asumsi tersebut di atas, maka tabel di bawah ini menyajikan target indikatif industrialisasi rumput laut di kabupaten prioritas (Tabel 6.18). Peningkatan produksi rumput laut dicapai melalui perluasan areal budidaya dan peningkatan produktivitas. Pada 2014 ditargetkan produksi rumput laut dari kabupaten prioritas mencapai 1,5 juta ton basah dengan nilai Rp 1,4 trilyun, dan pada 2019 diharapkan mencapai 6,5 juta ton basah dengan nilai Rp 6 trilyun, meningkat dari 837, 5 ribu ton pada 2011 (data baseline) dengan nilai Rp 785 milyar. Dengan demikian pada 2014 diharapkan terjadi peningkatan produksi hampir 2 kali lipat dibandingkan dengan 2011. Produktivitas diharapkan meningkat dari 62 ton/ha/tahun pada 2011 menjadi 83 ton/ha/tahun pada 2014 dan kemudian menjadi 140 ton/ha/tahun pada 2019. Peningkatan produktivitas rumput laut dilakukan melalui pemilihan lokasi yang tepat, penerapan cara budidaya rumput laut yang benar, penggunaan bibit yang baik, manajemen budidaya yang benar dan sebagainya. Seiring dengan bertambahnya luas areal budidaya rumput laut melalui program ekstensifikasi, maka jumlah tenaga kerja yang terlibat juga akan meningkat dari 368.438 orang manjadi 457.462 orang pada 2014 dan menjadi lebih dari 1 juta orang pada 2019. Target indikatif untuk setiap kabupaten disajikan dalam Tabel 6.19. Kabupaten Takalar ditargetkan memiliki luas areal budidaya yang paling luas serta produksi dan nilai produksi yang paling tinggi pada 2014 dan 2019, masing-masing seluas 11.661 dan 26.059 ha dan sebanyak 796.956 dan 3.648.245 ton basah. Kebutuhan bibit kabupaten ini pun paling banyak yakni 46.646 dan 104.236 ton masing-masing pada 2014 dan 2019.Tabel 6. 18. Target indikatif industrialisasi rumput laut

NoKegiatan UtamaIndikator2010/2011 (baseline)20122013201420152016201720182019

1Peningkatan produksi, produktivitas dan kualitas komoditas dan bahan bakuProduksi (ton)837.542995.9911.214.2991.516.8361.940.1232.539.4763.399.7024.652.5236.505.284

Produktivitas (ton/ha/thn)6268758392102113126140

Jumlah Pembudidaya (RTP)33.49435.16937.80741.58746.78653.80463.21975.86392.933

Nilai produksi (Rp Milyar)7859341.1381.4221.8192.3813.1874.3626.099

Jumlah tenaga kerja (orang)368.438386.860415.875457.462514.645591.842695.414834.4971.022.259

2Peningkatan kapasitas prasarana dan sarana pelaksanaan sistem jaminan mutu dan keamanan produk kelautan dan perikananKebutuhan Bibit (ton/thn)66.98970.33875.61483.17593.572107.608126.439151.727185.865

Jumlah Sampan (unit)33.49435.16937.80741.58746.78653.80463.21975.86392.933

Jumlah tali ris (ton)1.6751.7581.8902.0792.3392.6903.1613.7934.647

3Pengembangan sentra-sentra produksi potensial sebagai basis industrialisasi kelautan dan perikananLuas areal (ha)16.74717.58518.90320.79423.39326.90231.61037.93246.466

4Pembangunan dan manajemen infrastruktur dasar dan pelayanan publik terintegrasiJumlah unit kebun bibit (unit)333538424754637693

Tabel 6. 19. Target indikatif industrialisasi rumput laut di setiap kabupaten prioritas

IndikatorKabupaten2010/201120122013201420152016201720182019

Luas areal (ha)16.74717.58518.90320.79423.39326.90231.61037.93246.466

Sumbawa1.8631.9572.1032.3142.6032.9933.5174.2205.170

Jeneponto3.3513.5183.7824.1604.6805.3826.3247.5899.297

Takalar9.3929.86210.60111.66113.11915.08717.72721.27326.059

Parigi Moutong1.1711.2291.3221.4541.6361.8812.2102.6523.249

Minahasa Utara9701.0191.0951.2051.3551.5581.8312.1972.692

Produksi (ton)837.542995.9911.214.2991.516.8361.940.1232.539.4763.399.7024.652.5236.505.284

Sumbawa88.797106.682131.221165.158212.596279.741376.094516.394723.804

Jeneponto148.920180.481223.938284.322369.191490.047664.607920.5231.301.546

Takalar417.424505.889627.701796.9561.034.8461.373.6061.862.8982.580.2343.648.245

Parigi Moutong74.59686.426102.517124.432154.463196.004254.123336.485454.825

Minahasa Utara107.805116.513128.921145.969169.028200.078241.981298.886376.865

Produktivitas (ton/ha/thn)6268758392102113126140

Sumbawa485562718293107122140

Jeneponto445159687991105121140

Takalar445159687991105121140

Parigi Moutong6470788694104115127140

Minahasa Utara111114118121125128132136140

Nilai produksi (Rp Milyar)785,20933,741.138,401.422,031.818,872.380,763.187,224.361,746.098,70

Sumbawa83,25100,01123,02154,84199,31262,26352,59484,12678,57

Jeneponto139,61169,20209,94266,55346,12459,42623,07862,991.220,20

Takalar391,34474,27588,47747,15970,171.287,761.746,472.418,973.420,23

Parigi Moutong69,9381,0296,11116,65144,81183,75238,24315,46426,40

Minahasa Utara101,07109,23120,86136,85158,46187,57226,86280,21353,31

Kebutuhan Bibit (ton/thn)66.98970.33875.61483.17593.572107.608126.439151.727185.865

Sumbawa7.4537.8268.4139.25410.41111.97314.06816.88220.680

Jeneponto13.40314.07315.12816.64118.72121.53025.29730.35737.187

Takalar37.56839.44742.40546.64652.47660.34870.90985.090104.236

Parigi Moutong4.6844.9185.2875.8156.5427.5248.84010.60812.995

Minahasa Utara3.8814.0754.3804.8185.4216.2347.3258.79010.768

Jumlah tenaga kerja (orang)368.438386.860415.875457.462514.645591.842695.414834.4971.022.259

Sumbawa40.99443.04446.27250.89957.26165.85177.37592.849113.741

Jeneponto73.71577.40183.20691.527102.968118.413139.135166.962204.529

Takalar206.625216.956233.228256.551288.619331.912389.997467.996573.296

Parigi Moutong25.76027.04829.07631.98435.98241.37948.62158.34571.472

Minahasa Utara21.34422.41224.09226.50229.81434.28740.28748.34459.222

Jumlah tali ris (kg)1.674.7201.758.4561.890.3402.079.3742.339.2962.690.1903.160.9743.793.1684.646.631

Sumbawa186.336195.653210.327231.359260.279299.321351.702422.043517.003

Jeneponto335.070351.824378.210416.031468.035538.240632.433758.919929.676

Takalar939.204986.1641.060.1271.166.1391.311.9071.508.6931.772.7142.127.2562.605.889

Parigi Moutong117.090122.945132.165145.382163.555188.088221.003265.204324.875

Minahasa Utara97.020101.871109.511120.462135.520155.848183.122219.746269.189

Jumlah unit kebun bibit (unit)333538424754637693

Sumbawa4445567810

Jeneponto7788911131519

Takalar192021232630354352

Parigi Moutong223334456

Minahasa Utara222233445

Jumlah Sampan33.49435.16937.80741.58746.78653.80463.21975.86392.933

Sumbawa3.7273.9134.2074.6275.2065.9867.0348.44110.340

Jeneponto6.7017.0367.5648.3219.36110.76512.64915.17818.594

Takalar18.78419.72321.20323.32326.23830.17435.45442.54552.118

Parigi Moutong2.3422.4592.6432.9083.2713.7624.4205.3046.497

Minahasa Utara1.9402.0372.1902.4092.7103.1173.6624.3955.384

Jumlah Pembudidaya33.49435.16937.80741.58746.78653.80463.21975.86392.933

Sumbawa3.7273.9134.2074.6275.2065.9867.0348.44110.340

Jeneponto6.7017.0367.5648.3219.36110.76512.64915.17818.594

Takalar18.78419.72321.20323.32326.23830.17435.45442.54552.118

Parigi Moutong2.3422.4592.6432.9083.2713.7624.4205.3046.497

Minahasa Utara1.9402.0372.1902.4092.7103.1173.6624.3955.384

6.6. Road MapBerdasarkan pendekatan dan kegiatan utama disusun rencana aksi untuk setiap tahun hingga 2019 (Tabel 6.20). Terdapat 5 kegiatan utama, yaitu : 1) peningkatan produksi, produktivitas dan kualitas komoditas dan bahan baku2) penerapan sistem pengendalian dan jaminan mutu dan keamanan pangan produk kelautan dan perikanan3) peningkatan kapasitas prasarana dan sarana pelaksanaan sistem jaminan mutu dan keamanan produk kelautan dan perikanan4) pengembangan sentra-sentra produksi potensial sebagai basis industrialisasi kelautan dan perikanan5) pembangunan dan manajemen infrastruktur dasar dan pelayanan publik terintegrasi.Tabel 6. 20. Road map industrilisasi rumput lautNoPendekatanKegiatan utamaRencana Aksi2013201420152016201720182019Pelaku

1Pengembangan komoditas dan produk unggulan berorientasi pasarPeningkatan produksi, produktivitas dan kualitas komoditas dan bahan bakuPengembangan metode budidayaKKP, DKP Provinsi dan Kabupaten

Pengendalian mutu dan keamanan produkPengembangan teknologi budidayaKKP, DKP Provinsi dan Kabupaten

Pengembangan jumlah pembudidaya rumput lautKKP, DKP Provinsi dan Kabupaten

Pengembangan kelompok pembudidayaKKP, DKP Provinsi dan Kabupaten, Bappeda

Studi identifikasi lokasi kebun bibitKKP, DKP Provinsi dan Kabupaten

Pengembangan bibit unggulKKP, DKP Provinsi dan Kabupaten

Penyusunan SOP kebun bibitKKP, DKP Provinsi dan Kabupaten

Pengadaan bibit berbagai varitas dari berbagai sumber bibit nasionalKKP, DKP Provinsi dan Kabupaten

2Pengendalian mutu dan keamanan produkPenerapan sistem pengendalian dan jaminan mutu dan keamanan pangan produk kelautan dan perikananStandarisasi mutu rumpu laut keringKKP, DKP Provinsi dan Kabupaten, Desprindag Provinsi dan Kabupaten

Peningkatan kapasitas prasarana dan sarana pelaksanaan sistem jaminan mutu dan keamanan produk kelautan dan perikananSosialisasi standar mutu rumput laut kering untuk industriKKP, DKP Provinsi dan Kabupaten, Desprindag Provinsi dan Kabupaten

Peningkatan mutu produk rumput laut basah dan kering, baik putihan maupun asalanKKP, DKP Provinsi dan Kabupaten, Desprindag Provinsi dan Kabupaten

3Penataan dan pengembangan kawasan dan sentra produksi secara berkelanjutan. Pengembangan konektivitas dan infrastruktur.Pengembangan sentra-sentra produksi potensial sebagai basis industrialisasi kelautan dan perikanan. Pembangunan dan manajemen infrastruktur dasar dan pelayanan publik terintegrasi Pengadaan fasilitas produksi (tambang, tali, jangkar, perahu)KKP, DKP Provinsi dan Kabupaten

Pengadaan para-para jemur, mesin pres (balling) dan gudangKKP, DKP Provinsi dan Kabupaten

Pengadaan peralatan pengujian kadar air rumput lautKKP, DKP Provinsi dan Kabupaten, Desprindag Provinsi dan Kabupaten

Desain detil pabrik karaginanKKP, DKP Provinsi dan Kabupaten, Desprindag Provinsi dan Kabupaten

Penyusunan detil tata ruang kawasan untuk pengembangan budidaya rumput laut KKP, DKP Provinsi dan Kabupaten, Bappeda

Konstruksi dan operasi pabrik karaginanKKP, DKP Provinsi dan Kabupaten, Desprindag Provinsi dan Kabupaten

Pengembangan sarana dan prasarana transportasi KPU, KKP, Dinas PU, DKP Provinsi dan Kabupaten

Pengembangan sarana dan prasarana komunikasiKPU, KKP, Dinas PU, DKP Provinsi dan Kabupaten

Pengembangan pasokan energi dan air bersihKESDM, Dinas ESDM,DKP Provinsi dan Kabupaten

4Pengembangan usaha dan investasi1. Pengembangan pola kemitraan usaha kelautan dan perikanan; 2. Optimalisasi pemanfaatan sumberdaya kelautan dan perikanan; 3. Promosi investasi usaha kelautan dan perikanan.Pengembangan koperasi dan lembaga keuangan mikro agribisnis rumput laut KKP, DKP Provinsi dan Kabupaten, Desprindag Provinsi dan Kabupaten, Dinas Koperasi-UKM

Studi kelayakan (bisnis, teknis, lokasi, lingkungan/Amdal) pembangunan pabrik karaginanKKP, DKP Provinsi dan Kabupaten, Desprindag Provinsi dan Kabupaten

Pengembangan industri makanan berbahan baku rumput laut (kerupuk, dodol, mie instan, manisan, dan sebagainya)KKP, DKP Provinsi dan Kabupaten, Desprindag Provinsi dan Kabupaten

Pengembangan pengemasan produk alternatif rumput lautKKP, DKP Provinsi dan Kabupaten, Desprindag Provinsi dan Kabupaten

Peningkatan peran eksportir KKP, DKP Provinsi dan Kabupaten, Desprindag Provinsi dan Kabupaten

Pengembangan kemitraan dan kerjasama antara pembudidaya dengan pengumpul lokal atau eksportirKKP, DKP Provinsi dan Kabupaten, Desprindag Provinsi dan Kabupaten, BKPMD

Promosi rumput laut daerahKKP, DKP Provinsi dan Kabupaten, Desprindag Provinsi dan Kabupaten, BKPMD

Pengembangan informasi pasarKKP, DKP Provinsi dan Kabupaten, Desprindag Provinsi dan Kabupaten

Pengembangan kerjasama dengan investor lokal , regional dan nasionalKKP, DKP Provinsi dan Kabupaten, Desprindag Provinsi dan Kabupaten, BKPMD

Promosi investasi daerahKKP, DKP Provinsi dan Kabupaten, Desprindag Provinsi dan Kabupaten, BKPMD

Penyusunan petunjuk investasiKKP, DKP Provinsi dan Kabupaten, Desprindag Provinsi dan Kabupaten, BKPMD

5Pengembangan Iptek dan sumber daya manusiaPenerapan terkini pemuliaan induk, benih dan produksi komoditas unggulan.Kajian identifikasi potensi pengembangan kawasan budidaya rumput lautKKP, DKP Provinsi dan Kabupaten, Bappeda

Demfarm uji coba dan kaji tindak usaha budidaya rumput laut di kawasan potensial pengembangan KKP, DKP Provinsi dan Kabupaten

Demfarm kebun bibit di lokasi pengembangan KKP, DKP Provinsi dan Kabupaten

Pengembangan kultur jaringanKKP, DKP Provinsi dan Kabupaten

Pelatihan, pendampingan dan percontohan usaha (demfarm) budidaya rumput lautKKP, DKP Provinsi dan Kabupaten

Pelatihan penanganan dan pengepakan rumput laut keringKKP, DKP Provinsi dan Kabupaten, Desprindag Provinsi dan Kabupaten

Peningkatan peran lembaga perantara lokal / pengumpul lokalKKP, DKP Provinsi dan Kabupaten, Desprindag Provinsi dan Kabupaten

Pembinaan pengumpul dan eksportir rumput lautKKP, DKP Provinsi dan Kabupaten, Desprindag Provinsi dan Kabupaten

Pembentukan dan pembinaan forum/asosiasi rumput laut daerahKKP, DKP Provinsi dan Kabupaten, Desprindag Provinsi dan Kabupaten

Pembudidaya

Pembudidaya

Pengumpul

Industriawan

Pengumpul besar

Eksportir

Pabrik karaginan dalam negeri

Pabrik karaginan luar negeri

Industri minuman, makanan, farmasi, kimia

Jasa Konsultansi

Kajian Strategi Pengembangan Industrialisasi Perikanan Budidaya