1. pengertian anak luar kawin -...
TRANSCRIPT
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian dan Kedudukan Anak Luar kawin
1. Pengertian Anak Luar Kawin
Menurut Undang-Undang Perkawinan, status anak dibedakan menjadi dua
yakni anak yang sah dan anak yang dilahirkan diluar perkawinan. Anak sah
menurut Pasal 42 Undang-Undang Perkawinan adalah “ anak yang dilahirkan
dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah”. Dari rumusan tersebut dapat
dijabarkan sebagai berikut, bahwa termasuk dalam golongan anak sah menurut
Pasal 42 Undang-Undang Perkawinan adalah :
1. Anak yang dibenihkan dan dilahirkan dalam perkawinan yang sah
2. Anak yang dibenihkan sebelum perkawinan dan dilahirkan dalam
perkawinan yang sah.
3. Anak yang dibenihkan dalam perkawinan yang sah dan dilahirkan
dan dilahirkan setelah perkawinan itu putus.
Anak yang lahir diluar perkawinan seringkali disebut dengan istilah anak luar kawin atau
anak tidak sah. Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan tidak memberikan
pengertian tentang apa yang dimaksud dengan anak luar kawin. Dengan berpegang pada
rumusan Pasal 42 Undang-Undang Perkawinan diatas, maka dapat dirumuskan bahwa
termasuk anak luar kawin adalah anak yang tidak memenuhi kriteria sebagai anak sah.
Kompilasi Hukum Islam tidak menentukan secara khusus dan pasti
tentang pengelompokan jenis anak, sebagaimana pengelompokan yang terdapat
dalam BW. Kompilasi Hukum Islam dijelaskan tentang kriteria anak sah,
sebagaimana yang dicantumkan dalam Pasal 99 Kompilasi Hukum Islam, yang
berbunyi bahwa anak yang sah adalah :
1. Anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah.
2. Hasil pembuahan suami isteri yang diluar rahim dan dilahirkan oleh
isteri tersebut
Berdasarkan pemahaman tersebut, maka kriteria anak luar kawin adalah :1
1. Anak yang dibenihkan dan dilahirkan diluar perkawinan yang sah
2. Hasil pembuahan sperma dan ovum dari laki-laki dan perempuan diluar rahim
dimana keduanya tidak dalam ikatan perkawinan yang sah, atau
3. Hasil pembuahan suami istri yang sah diluar rahim dan dilahirkan oleh wanita
bukan istri tersebut.
Dikenal juga anak yang lahir diluar perkawinan yang sah, seperti yang tercantum
dalam Pasal 100 Kompilasi Hukum Islam bahwa “ anak yang lahir diluar
perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga
ibunya ”.
Dengan demikian sejalan dengan Pasal 43 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun
1974 yang rumusannya sama dengan Pasal 100 KHI, adalah : “anak yang lahir di
1 Christiana Tri Budhayati.2012.Putusan MK No 46/PUU-VIII/2010 Merombak Hukum Keluarga di Indonesia.
Jurnal Ilmu Hukum. Hal 235.
luar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga
ibunya.” Yang termasuk anak yang lahir di luar perkawinan adalah :2
1. Anak yang dilahirkan oleh wanita yang tidak mempunyai ikatan
perkawinan yang sah dengan pria yang menghamilinya.
2. Anak yang dilahirkan oleh wanita yang kehamilannya akibat korban
perkosaan oleh satu orang pria atau lebih.
3. Anak yang dilahirkan oleh wanita yang di li’an (diingkari) oleh
suaminya.
4. Anak yang dilahirkan oleh wanita yang kehamilannya akibat salah
orang (salah sangka) disangka suaminya ternyata bukan.
5. Anak yang dilahirkan oleh wanita yang kehamilannya akibat
pernikahan yang diharamkan seperti menikah dengan saudara kandung
atau sepersusuan.
Menurut hukum adat anak sah adalah anak yang dilahirkan dari perkawinan
bapak ibu yang sah, walaupun terjadinya perkawinan tersebut setelah ibunya
melahirkan terlebih dahulu. Oleh karena itu sejak dalam kandungan hingga anak
tersebut lahir sampai dengan anak tersebut tumbuh di dalam masyarakat adat akan
selalu diadakan ritual khusus untuk mendoakan keselamatan anak tersebut.3
2 www.kerinci.kemenag.go.id/2013/06/22/status-anak-di-luar-nikah-dalam-kompilasi-hukum-islam/ , diunduh 6
September 2013
3 Bushar Muhammad (2006), Pokok-Pokok Hukum Adat, Jakarta, PT Pradnya Paramita, Hal 5.
Dalam hukum adat tidak memberikan pengertian tentang apa yang dimaksud
dengan anak luar kawin. Dengan berpegang pada rumusan pengertian anak sah menurut
hukum adat diatas, maka dapat dirumuskan bahwa yang termasuk anak luar kawin
adalah anak yang tidak memenuhi kriteria sebagai anak sah, yakni anak yang dilahirkan
diluar perkawinan yang sah, dimana anak tersebut dilahirkan dari seorang wanita yang
tidak mempunyai ikatan perkawinan yang sah dengan pria yang menghamilinya.
2. Kedudukan Hukum Anak Luar Kawin
Kedudukan seorang anak pada umumnya memiliki posisi yang cukup
penting dalam tiap kehidupan berkeluarga dan bernegara karena biar
bagaimanapun juga seperti yang dikatakan oleh Darwan Prinst, SH bahwa “ anak
adalah merupakan bagian dari generasi muda, penerus cita-cita perjuangan
bangsa.”4
Dalam sistem kekerabatan masyarakat adat, keturunan merupakan hal
yang penting untuk meneruskan garis keturunan, baik garis keturunan lurus atau
menyamping. Seperti di masyarakat Bali dimana laki-laki nantinya akan
meneruskan Pura keluarga untuk menyembah para leluhurnya.
Individu sebagai keturunan (anggota keluarga ) mempunyai hak dan
kewajiban tertentu yang berhubungan dengan kedudukannya dalam keluarga yang
bersangkutan. Menurut Prof. Bushar Muhammad, SH keturunan dapat bersifat :5
4 Prints, Darwan (2003), Hukum Anak di Indonesia, PT.Citra Aditya Bakti, Bandung. Hal 30
5 Bushar Muhammad (2006), Pokok-pokok Hukum Adat, Jakarta, PT Pradnya Paramita,hal 4
a. Lurus, apabila orang seorang merupakan langsung keturunan dari yang lain,
misalnya antara bapak dan anak; antara kakek, bapak dan anak, disebut lurus
kebawah apabila rangkaiannya dilihat dari kakek, bapak ke anak, sedangkan
disebut lurus keatas apabila rangkaiannya dilihat dari anak, bapak ke kakek.
b. Menyimpang atau bercabang, apabila antara kedua orang atau lebih terdapat
adanya ketunggalan leluhur, misalnya bapak ibunya sama (saudara
sekandung), atau sekakek nenek dan lain sebagainya.
Dalam struktur masyarakat adat menganut adanya tiga (3) macam sistem
kekerabatan, yaitu :6
a. Sistem kekerabatan parental.
Sistem kekerabatan yang menarik garis keturunan dari keduabelah pihak yaitu
ayah dan ibu. Susunan sistem kekerabatan parental berlaku pada masyarakat
Jawa, Madura, Kalimantan dan Sulawesi.
b. Sistem kekerabatan patrilineal
Anak menghubungkan diri dengan ayahnya (berdasarkan garis keturunan laki-
laki). Sistem kekerabatan ini anak juga menghubungkan diri dengan kerabat
ayah berdasarkan garis keturunan laki-laki secara unilateral. Di dalam susunan
masyarakat Patrilineal yang berdasarkan garis keturunan bapak (laki-laki),
keturunan dari pihak bapak (laki-laki) dinilai mempunyai kedudukan lebih
tinggi serta hak-haknya juga akan mendapatkan lebih banyak. Susunan sistem
kekerabatan Patrilineal berlaku pada masyarakat Batak dan Bali.
c. Sistem kekerabatan Matrilineal
6 Van Dijk(2006), Pengantar Hukum Adat Indonesia, Bandung, Mandar Maju, hal 40
Anak menghubungkan diri dengan ibunya (berdasarkan garis keturunan
perempuan). Sistem kekerabatan ini anak juga menghubungkan diri dengan
kerabat ibu berdasarkan garis keturunan perempuan secara unilateral. Dalam
masyarakat yang susunannya matrilineal, keturunan menurut garis ibu
dipandang sangat penting, sehingga menimbulkan hubungan pergaulan
kekeluargaan yang jauh lebih rapat dan meresap diantara para warganya yang
seketurunan menurut garis ibu, hal mana yang menyebabkan tumbuhnya
konsekuensi (misalkan, dalam masalah warisan) yang jauh lebih banyak dan
lebih penting daripada keturunan menurut garis bapak. Susunan sistem
kekerabatan Matrilinel berlaku pada masyarakat Minangkabau.7
Hubungan anak yang lahir diluar perkawinan dengan wanita yang
melahirkan maupun dengan pria yang bersangkutan dengan anak tersebut tiap
daerah tidak mempunyai pandangan yang sama. Di Mentawai, Timor, Minahasa,
dan Ambon, misalnya wanita yang melahirkan anak itu dianggap sebagai ibu anak
yang bersangkutan. Anak yang di lahirkan diluar perkawinan tersebut di Jawa di
sebut anak haram jadah, di Astra, Lampung di sebut anak kappang. Anak-anak
tersebut bisa menjadi sah dan masuk dalam persekutuan apabila dengan
pembayaran ataupun sumbangan adat. Hubungan antara anak dengan bapak yang
tidak/belum kawin dengan ibu yang melahirkan, seperti di Minahasa, hubungan
anak dengan pria yang tak kawin dengan ibu yang melahirkannya, adalah biasa
seperti hubungan anak dengan bapak. Bila si ayah hendak menghilangkan
kesangsian mengenai hubungan tersebut, maka ia harus memberikan lilikur (hadiah)
7 Bushar Muhammad (2006), Pokok-pokok Hukum Adat, Jakarta, PT Pradnya Paramita,hal 5
kepada ibu anaknya (dalam hal ini antara bapak dengan si ibu tidak tinggal satu
rumah).8 Di daerah lain, anak lahir di luar perkawinan, menurut hukum adat adalah
anak yang tidak berbapak. Anak luar kawin meskipun didalam masyarakat dianggap
rendah tetapi dianggap oleh persekutuan kekerabatannya , misalnya di Jawa tidak
ada pembedaan anak luar kawin dengan ayahnya, maka berlaku pula terhadap
kekerabatanya. Sedangkan ada daerah lain seperti Lejang yang menganggap anak
luar kawin itu dianggap rendah sehingga anak luar kawin tidak mempunyai
hubungan dengan kekerabatannya.9
Hukum Islam telah merumuskan bahwa semua anak yang dilahirkan di luar
perkawinan yang sah disebut dengan anak zina. Anak zina ialah anak yang
dikandung oleh ibunya dari seorang lelaki yang menggaulinya tanpa nikah yang
dibenarkan oleh syara'. Apabila ada seorang perempuan melahirkan anak dalam
keadaan pernikahan yang sah dengan seorang laki-laki, akan tetapi jarak waktu
antara terjadinya pernikahan dengan saat melahirkan kurang dari 6 (enam) bulan,
maka anak yang dilahirkan itu bukanlah anak yang sah bagi suami ibunya.
Demikian pula apabila seorang janda yang ditinggalkan mati oleh suaminya
kemudian melahirkan anak setelah lebih dari satu tahun dari kematian suaminya,
maka anak yang dilahirkan bukanlah anak sah bagi almarhum suami perempuan
tersebut. 10
8 Iman Sudiyat (2007), Hukum Adat (sketsa asas), Yogyakarta, Liberty, hal 92
9 Bushar Muhammad (2006), Pokok-pokok Hukum Adat, Jakarta, PT Pradnya Paramita,hal 7
10 Citra Putri, Kedudukan Anak Luar Kawin Ditinjau dari Hukum Perdata dan Hukum Islam, Yogyakarta, 2012
www.apakabarakta.blogspot.com/2012/06/kedudukan-anak-luar-kawin-ditinjau-dari.html, diunduh 18 Juli 2013
Jika seorang anak telah dihukumkan sebagai anak luar kawin, maka
terdapat beberapa akibat hukum menyangkut hak dan kewajiban antara anak, ibu
yang melahirkannya dan ayah biologisnya, yaitu :11
a. Hubungan Nasab
Pasal 100 Kompilasi Hukum Islam sebagaimana yang telah dikemukakan,
dinyatakan bahwa anak yang lahir diluar perkawinan hanya mempunyai
hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya saja. Hal demikian
secara hukum anak tersebut sama sekali tidak dapat dinisbahkan kepada
ayah biologisnya, meskipun secara nyata ayah biologisnya tersebut
merupakan laki-laki yang menghamili wanita yang melahirkannya itu.
Meskipun secara sekilas terlihat tidak manusiawi dan tidak berimbang
antara beban yang diletakkan di pundak pihak ibu saja, tanpa
menghubungkannya dengan laki-laki yang menjadi ayah biologis anak
tersebut, namun ketentuan demikian dinilai menjunjung tinggi keluhuran
lembaga perkawinan, sekaligus menghindari pencemaran terhadap lembaga
perkawinan.
b. Nafkah
Oleh karena status anak tersebut menurut hukum hanya mempunyai
hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya semata, maka yang
wajib memberikan nafkah anak tersebut adalah ibunya dan keluarga ibunya
11
www.kerinci.kemenag.go.id/2013/06/22/status-anak-di-luar-nikah-dalam-kompilasi-hukum-islam/ , diunduh 6
September 2013
saja. Sedangkan bagi ayah biologisnya, meskipun anak tersebut secara
biologis merupakan anak yang berasal dari spermanya, namun secara yuridis
formal sebagaimana maksud Pasal 100 Kompilasi Hukum Islam diatas,
tidak mempunyai kewajiban hukum memberikan nafkah kepada anak
tersebut.
c. Hak-Hak Waris
Sebagai akibat lanjut dari hubungan nasab seperti yang dikemukakan, maka
anak tersebut hanya mempunyai hubungan waris-mewarisi dengan ibunya
dan keluarga ibunya saja, sebagaimana yang ditegaskan pada Pasal 186
Kompilasi Hukum Islam : “ anak yang lahir diluar perkawinan hanya
mempunyai hubungan saling mewarisi dengan ibunya dan keluarganya dari
pihak ibunya”. Dengan demikian, maka anak tersebut secara hukum tidak
mempunyai hubungan hukum saling mewarisi dengan ayah biologisnya.
d. Hak Perwalian
Apabila dalam satu kasus bahwa anak yang lahir akibat darti perbuatan zina
(diluar perkawinan) tersebut ternyata wanita, dan setelah dewasa anak
tersebut akan menikah, maka ayah biologisnya tidak berhak atau tidak sah
menjadi wali nikahnya, sebagaimana ketentuan wali nikah dalam Pasal 19
Kompilasi Hukum Islam :
Wali nikah dalam perkawinan merupakan rukun yang harus dipenuhi
bagi calon mempelai wanita yang bertindak untuk menikahkannya.
Yang bertindak sebagai wali nikah ialah seorang laki-laki yang
memenuhi syarat hukum Islam yakni Muslim, aqil dan baligh.
Ketentuan hukum yang sama sebagaimana ketentuan hukum
terhadap anak luar nikah tersebut, sama halnya dengan status hukum
semua anak yang lahir diluar pernikahan yang sah sebagaimana
disebutkan diatas.
Kedudukan anak juga diatur dalam Undang-Undang Perkawinan dalam
Bab IX Pasal 42 sampai 43. Masalah kedudukan anak ini, terutama adalah dalam
hubungannya dengan bapaknya, sedangkan terhadap pihak ibunya secara umum
dapat dikatakan tidak terlalu susah untuk mengetahui siapa ibu dari anak yang
dilahirkan tersebut. Untuk mengetahui siapa ayah dari seorang anak, masih dapat
menimbulkan kesulitan. Bagi seseorang anak dianggap selalu mempunyai hubungan
hukum dengan ibunya. Dengan pihak bapak, anak tidaklah demikian, anak tidak
mempunyai hubungan hukum dengan pihak ayah yang telah membenihkannya.12
Dalam Pasal 43 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan dikatakan bahwa
kedudukan anak luar kawin selanjutnya akan diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Akan tetapi sampai saat ini Peraturan Pemerintah yang dimaksud belum juga
diterbitkan. Peraturan Pemerintah No 9 Tahun 1975 yang merupakan Peraturan
Pelaksanaan Undang-Undang tersebut tidak mengatur mengenai status anak
tersebut. Anak luar kawin tersebut tidak dapat dinasabkan dengan bapaknya
sehingga ia tidak akan mempunyai hubungan baik secara hukum maupun
kekerabatan dengan bapaknya. Sehingga secara yuridis formal ayah tidak wajib
12
Darmabrata dan Sjarif, op.cit, hal 131
www. lontar.ui.ac.id/file?file=digital/119718-T%2025316%20Peranan%20notaris--Literatur.pdf, diunduh 5 Mei
2013
memberikan nafkah kepada anak itu, walaupun secara biologis anak itu adalah anak
sendiri.
B. Pengakuan Anak Luar Kawin
Menurut Erna Sofwan Syukrie, sebagaimana dikutip Abdul Manan,
pengakuan anak dalam pengertian formil adalah suatu bentuk pemberian
keterangan dari seorang pria yang menyatakan pengakuan terhadap anak-anaknya.
Sedangkan dalam pengertian materiil, pengakuan anak merupakan suatu
perbuatan hukum untuk menimbul kan hubungan kekeluargaan antara anak dan
orang yang mengakuinya.13
Jadi, Pengakuan Anak adalah pengakuan yang dilakukan oleh ayah atas
anak yang lahir di luar perkawinan yang sah menurut hukum. Pada dasarnya,
pengakuan anak bisa dilakukan baik oleh ibu maupun ayah, tetapi karena
berdasarkan Pasal 43 Undang-Undang Perkawinan yang pada intinya menyata
kan bahwa anak yang lahir di luar perkawinan tidak mempunyai hubungan
perdata dengan ayahnya, maka untuk mendapatkan hubungan perdata yang baru,
seorang ayah dapat melakukan Pengakuan Anak.14
Meski ada ketentuan yang memungkinkan seorang laki-laki atau ayah
melakukan pengakuan anak, namun pengakuan itu hanya bisa dilakukan dengan
persetujuan ibu. Pasal 284 KUH Perdata menyatakan bahwa suatu pengakuan
terhadap anak luar kawin, selama hidup ibunya, tidak akan diterima jika si ibu
13
Abdul Manan(2006), Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta, Prenada Media Grup, hal 84.
14 LBH Apik(2010), Pengakuan Anak Luar Kawin, Jakarta Timur, hal 2
tidak menyetujui. Pasal 278 KUH Pidanapun mengatur tentang ancaman pidana
bagi orang yang mengakui anak luar kawin yang bukan anaknya.
Ketentuan mengenai pengakuan anak luar kawin diatur dalam KUH
Perdata:
a. KUHPerdata juga memungkinkan seorang ayah melakukan pengakuan
anak pada saat atau setelah perkawinan dilangsungkan. Seperti yang
ditetapkan dalam Pasal 273, yang menyatakan bahwa anak yang
dilahirkan di luar kawin, selain karena perzinahan atau dosa darah,
dianggap sebagai anak sah, apabila bapak dan ibunya itu kemudian
menikah, dan sebelum perkawinan diselenggarakan, anak tersebut
diakui oleh ayah ibunya.
b. Ketentuan lain mengenai pengakuan anak luar kawin diatur dalam
Pasal 281 sampai dengan Pasal 286 KUHPerdata.
Pengakuan anak ada dua macam, yakni:
a. Pengakuan secara sukarela; pengakuan anak secara sukarela
dirumuskan sebagai suatu pernyataan yang mengandung
pengakuan bahwa yang bersangkutan adalah ayah dari anak luar
kawin yang diakui olehnya.
Mengingat ketentuan dalam Pasal 43 Undang-Undang Perkawinan,
bahwa bagi seorang ibu, untuk timbulnya hubungan hukum antara
dirinya dan anak yang dilahirkannya tidak lagi dibutuhkan adanya
pengakuan. Maka dapat disimpulkan bahwa pengakuan anak luar
kawin sebagaimana ketentuan Pasal 280 KUHPerdata sekarang
hanya dikhususkan bagi ayah si anak. Pengakuan itu cukup
dilakukan dengan pernyataan sepihak dari laki-laki yang
mengakui, tentunya dengan ijin dari si ibu dari anak tersebut
dengan cara sebagaimana ditentukan dalam Pasal 281
KUHPerdata.
Dengan demikian bahwa dalam pengakuan ini tidak diperlukan syarat-
syarat lain, kecuali:
- Adanya pernyataan sepihak si ayah,
- Sesuai dengan cara yang ditetapkan dalam Pasal 281 KUHPerdata, dan;
- Tidak adanya keberatan dari ibu si anak. Hal ini untuk menjamin bahwa ayah
itu benar-benar laki-laki yang membenihkan anaknya.15
Akan tetapi hal itu tidak berarti pengakuan yang sengaja dilakukan berlawanan
dengan kenyataan, harus diterima tetap sah saja. Maksudnya tidak berarti bahwa
jika laki-laki yang mengakui itu tidak terbukti tahu bahwa ia bukan ayah biologis
dari anak tersebut, pengakuan itu, atas tuntutan pihak yang berkepentingan tidak
bisa dibatalkan.16
b. Pengakuan karena terpaksa
15
Ali Afandi (2000), Hukum Waris, Hukum Keluarga, Hukum Pembuktian, Jakarta, Rineka Cipta, hal 146-147
16 J. Satrio(2000), Hukum Keluarga Tentang Kedudukan Anak dalam Undang-Undang, Bandung, Citra Aditya, hal
113.
Terjadi jika hakim dalam suatu perkara gugatan kedudukan anak atas
dasar persangkaan bahwa seorang laki-laki tertentu adalah ayah dari
anak tertentu menetapkan bahwa laki-laki itu adalah ayah dari anak
yang bersangkutan. Hal ini dikaitkan dengan Pasal 287 ayat 2
KUHPerdata yang menyatakan bahwa:
“Sementara itu, apabila terjadi salah satu kejahatan tersebut tersebut
dalam pasal 285 sampai dengan 288, 294 atau 332 Kitab Undang -
Undang Hukum Pidana dan saat berlangsungnya kejahatan itu
bersesuaian dengan saat kehamilan perempuan terhadap si apa
kejahatan itu dilakukan, maka atas tuntutan mereka yang
berkepentingan, bolehlah si tersalah dinyatakan sebagai ayah si anak.”
Jadi, jika hakim menetapkan bahwa seorang laki-laki adalah ayah dari seorang
anak tertentu, maka ketetapan tersebut membawa akibat hukum dari laki-laki
yang bersangkutan terhadap seorang anak yang telah ditetapkan sebagai anaknya.
Karena merupakan ketetapan dari pengadilan, maka pengakuan semacam ini
merupakan pengakuan yang dipaksakan atau terpaksa.
Ada empat cara pengakuan anak luar kawin menurut hukum Perdata,
yaitu:
1. Di dalam akta kelahiran anak (Pasal 291 ayat 1 KUHPerdata), yaitu ayah
atau ibunya menghadap sendiri atau dengan perantara orang lain yang
diberi perantaraan khusus, dengan bekal surat kuasa otentik untuk
menghadap pejabat catatan sipil dan melaporkan tentang kelahiran anak
itu.
2. Di dalam akta perkawinan, yakni pengakuan dengan cara melaksanakan
perkawinan yang sah antara wanita yang melahirkan dengan pria yang
membuahinya sekaligus mengakui anak luar kawinnya. Anak luar kawin
yang diakui di sini adalah anak luar kawin yang sudah di lahirkan dan
pada waktu melaporkan kelahiran belum diberikan pengakuan oleh
ayahnya.
3. Di dalam akta otentik, pengakuan dengan cara menuangkannya dalam akta
notaris, kemudian ditindaklanjuti dengan melaporkan pada kantor catatan
sipil, di mana anak itu telah didaft arkan dan minta agar pengakuan itu di
catat dalam minit akta kelahiran anak yang bersangkutan. Pengakuan anak
ini harus dilakukan secara tegas dan tidak boleh disimpulkan saja.
4. Di dalam akta otentik yang dibuat oleh pejabat catatan sipil, yaitu
pengakuan yang dilakukan dengan akta yang dibuat oleh pegawai catatan
sipil dan dibukukan dalam register ke lahiran menurut hari
penanggalannya (Pasal 281 ayat (2) KUHPerdata).17
Kesimpulannya,
pengakuan tersebut dilakukan terhadap anak yang sudah dicatat
kelahirannya sebagai anak luar kawin di dalam register kelahiran di
Kantor Catatan Sipil.
C. Pembuktian Asal-Usul Anak
Sebenarnya dalam Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan telah
mencantumkan penetapan asal usul anak menjadi kewenangan Lembaga Peradilan
Agama. Oleh karena adanya Peraturan Mahkamah Agung RI No 1 Tahun 1977 yang
masih membatasi kewenangan Peradilan Agama, maka penetapan asal usul anak itu
17
Soetojo Prawirohamidjojo (1986), Hukum Orang dan Keluarga, Bandung, Alumni, hal 187.
masih dilaksanakan oleh Pengadilan Negeri. Baru setelah lahirnya Undang-Undang No 7
Tahun 1989 tentang Peradilan Agama pada tanggal 29 Desember 1989 kewenangan
tentang penetapan asal usul anak bagi yang beragama islam menjadi kewenangan
Peradilan Agama. Penentapan atau putusan Pengadilan Agama menjadi dasar bagi Kantor
Catatan Sipil untuk mengeluarkan akta kelahiran anak bagi yang memerlukannya.
Tentang asal usul anak ini telah diatur dalam Pasal 55 Undang-Undang No 1
Tahun 1975 tentang Perkawinan jo Pasal 103 Kompilasi Hukum Islam. Didalam Pasal 55
Undang-Undang Perkawinan menegaskan:
1. Asal-usul seorang anak hanya dapat dibuktikan dengan akta kelahiran
yang otentik, yang dikeluarkan oleh Pejabat yang berwenang.
2. Bila akta kelahiran tersebut dalam Ayat (1) Pasal ini tidak ada,maka
Pengadilan dapat mengeluarkan penetapan tentang asal-usul seorang anak
setelah diadakan pemeriksaan yang teliti berdasarkan bukti-bukti yang
memenuhi syarat.
3. Atas dasar ketentuan Pengadilan tersebut Ayat (2) Pasal ini,maka instansi
Pencatat Kelahiran yang ada dalam daerah hukum Pengadilan yang
bersangkutan mengeluarkan akta kelahiran bagi anak yang bersangkutan.18
Di dalam Pasal-Pasal di atas ada beberapa hal yang diatur. Pertama, anak sah
adalah yang lahir dalam dan akibat perkawinan yang sah. Paling tidak ada dua bentuk
kemungkinan: Anak sah lahir akibat perkawinan yang sah dan Anak yang lahir dalam
perkawinan yang sah.19
18
Pasal 55 Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
19 www.scribd.com/doc/58741590/Dalam-Kompilasi-Hukum-Islam-asal-usul-anak-diatur-dalam, diunduh 25 Juli
2013
Dengan adanya Akta Lahir atas nama anak yang bersangkutan, dibuktikan bahwa
dari hasil pernikahan yang sah tersebut telah lahir anak dari bapak dan ibu yang namanya
disebut dalam akta lahir tersebut. Dengan demikian, anak yang disebut dalam akta
kelahiran, memiliki hubungan nasab dengan orang tua (ayah dan ibu) yang namanya
tercantum dalam akta lahirnya.
Berkenaan dengan pembuktian asal-usul anak, dalam Kompilasi Hukum Islam
asal-usul anak hanya dapat dibuktikan dengan akta kelahiran dan alat bukti lainnya. Akan
tetapi Pengadilan Agama diberikan kewenangan untuk mengeluarkan ketetapan (itsbat)
bila tidak ada akta kelahiran dari anak tersebut. Pengadilan memeriksa asal-usul anak
dengan mendasarkan pada alat-alat bukti yang sah, seperti keterangan saksi-saksi, tes
DNA, pengakuan ayah (istilhaq), sumpah ibunya dan alat-alat bukti lain yang sah
menurut hukum. Atas dasar ketetapan Pengadilan Agama tersebut, maka instansi Pencatat
Kelahiran yang ada dalam daerah hukum Pengadilan Agama mengeluarkan akta
kelahiran bagi anak yang bersangkutan.
Kompilasi Hukum Islam asal-usul anak diatur dalam Pasal 103 KHI yang
menyatakan :
1. Asal-usul seorang anak hanya dapat dibuktikan dengan akta kelahiran
atau alat bukti lainnya.
2. Bila akta kelahiran atau alat bukti lainnya tersebut dalam Ayat (1) tidak
ada, maka Pengadilan Agama dapat mengeluarkan penetapan tentang
asal-usul seorang anak setelah mengadakan pemeriksaan yang teliti
berdasarkan bukti-bukti yang sah.
3. Atas dasar ketetapan Pengadilan Agama tersebut Ayat (2) maka instansi
Pencatat Kelahiran yang ada dalam daerah hukum Pengadilan Agama
tersebut yang mengeluarkan akta kelahiran bagi anak yang
bersangkutan.20
Akibat hukum dari anak yang dilahirkan akibat perbuatan zina dalam syariat
Islam diatur bahwa si anak tidak mempunyai hubungan keturunan (nasab), waris dan hak
untuk menjadi wali nikah (bagi anak perempuan) dengan lelaki yang menyebabkan
kelahirannya. Akan tetapi, lelaki yang menjadi bapaknya dapat dikenakan hukuman
(ta’zir) untuk memberikan nafkah atau kebutuhan hidup si anak dan memberikan
hartanya (hak waris) bila dia meninggal melalui wasiat wajibah.
D. Pewarisan Anak Luar kawin
Hukum waris adat meliputi norma-norma hukum yang menetapkan harta
kekayaan baik yang materiil maupun yang immaterial yang manakah dari
seseorang yang dapat diserahkan kepada keturunannya serta yang sekaligus juga
mengatur saat, cara dan proses peralihannya.
Hukum waris adat merupakan corak-corak yang khas dari aliran pikiran
tradisional Indonesia. Hukum waris adat bersendi atas prinsip yang timbul dari
aliran pikiran-pikiran komunal serta konkrit bangsa Indonesia. Oleh karena itu,
maka hukum waris adat memperlihatkan perbedaan yang principal dengan hukum
waris adat barat.21
Hukum waris yang diatur dalam KUHPerdata mengenal hak tiap-tiap
waris atas bagian tertentu dari harta peninggalan. Segala barang harta peninggalan
itu merupakan suatu kesatuan abstrak, yang dapat dinilai dengan sejumlah uang
20
Pasal 102, Pasal 103 Kompilasi Hukum Islam
21 Surojo Wignjodipuro(1983), Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat, Jakarta, Gunung Agung, hal 161-163
yang tertentu banyaknya dan yang tiap-tiap waktu dapat dibagi-bagi dalam
pecahan berdasar ilmu berhitung menurut perhitungan pada waktu meninggalnya
pewaris. Jika mungkin, pembagian harta peninggalan akan dilakukan dengan jalan
membagi barang-barang. Akan tetapi jika pembagian demikian tidak dapat
dijalankan, maka pembagiannya akan berlaku seperti membagi sejumlah uang,
yang akan diterima, apabila barang-barang harta peninggalan itu dijual.
Berbeda dengan hukum waris adat, hukum waris adat bersendi atas
prinsip-prinsip yang timbul dari aliran pikiran komunal dan konkret dari bangsa
Indonesia. Hukum waris adat memuat peraturan yang mengatur proses
meneruskan serta mengalihkan barang harta benda dan barang yang tidak
berwujud benda dari satu generasi manusia kepada keturunannya.22
Di Indonesia, hukum adat memiliki sistemnya sendiri terutama berkenaan
dengan kewarisan. Hukum waris adat memiliki 3 sistem kewarisan, yaitu :
a) Sistem kewarisan individual memiliki ciri-ciri yaitu harta
peninggalan atau harta warisan dapat dibagi-bagikan diantara para
ahli waris seperti yang terjadi dalam masyarakat bilateral (parental)
Jawa. Di Jawa, setiap anak dapat memperoleh secara individual
harta peninggalan dari ayah ibu atau kakek neneknya. Sistem
pewarisan individual, yang memberikan hak mewaris secara
individual atau perorangan kepada ahli waris seperti di Jawa,
Madura, Toraja, Aceh, dan Lombok.
22
Soepomo (2003), Bab-Bab Tentang Hukum Adat, Jakarta, Pradnya Paramita, hal 83-84
b) Sistem kewarisan kolektif memilki ciri-ciri bahwa semua harta
peninggalan terutama harta asal atau harta pusaka diwariskan
kepada sekelompok ahli waris yang berasal dari satu ibu asal
berdasarkan garis silsilah keibuan seperti di Minangkabau atau
pada masyarakat woe-woe Ngadhubhaga di Kabupaten Ngada-
Flores yaitu khususnya terhadap ngora ngadhu-bhaga-bhaga dan
ngora ana woe yaitu harta pusaka tinggi warisan leluhur. Para ahli
waris secara bersama-sama merupakan semacam badan hukum di
mana harta tersebut disebut harta pusaka, tidak boleh dibagi-bagi
kepemilikannya diantara para ahli waris yang bersangkutan dan
hanya boleh dibagi-bagikan pemakaian atau penggarapannya saja
diantara para ahli waris.
c) Sistem kewarisan mayorat memiliki ciri-ciri bahwa harta
peninggalan yaitu harta warisn terutama harta pusaka seluruh atau
sebagian besar diwariskan hanya kepada satu anak saja. Seperti di
Bali hanya diwariskan kepada anak laki-laki tertua atau di Tanah
Semendo di Sumatra Selatan hanya diwariskan kepada anak
perempuan tertua saja.23
Seorang anak yang lahir karena hubungan diluar perkawinan hanya
memiliki hubungan waris dengan ibu dan keluarga ibunya. Dalam masyarakat
23
Dominikus Rato (2011), Hukum Perkawinan dan Waris Adat, Surabaya, Laksbang Yustitia, hal 117-118
matrilineal Minangkabau menisbatkan anak kepada keturunan ibu, tetapi tidak
dimunculkan pada penyebutan dibelakang nama si anak.
Sistem Matrilineal, yaitu sistem keturunan yang ditarik menurut garis ibu,
dimana kedudukan wanita lebih menonjol pengaruhnya dari kedudukan pria
didalam pewarisan.. Akibat yang ditimbulkan, semua keluarga adalah keluarga
ibu, anak-anak adalah masuk keluarga ibu. Suami atau ayah tidak termasuk dalam
keluarga ibu atau tidak masuk dalam keluarga istri. Contohnya : dalam
masyarakat Minagkabau.
Di Minangkabau sejak dulu hingga sekarang berlaku sistem keturunan dari
pihak ibu (matrilineal), yaitu mereka berasal dari satu ibu asal. Dengan
sendirinya, anak-anak itu hanya dapat menjadi ahli waris dari ibunya sendiri, baik
untuk harta pusaka tinggi maupun untuk harta pusaka rendah. Jika yang
meninggal itu adalah seorang laki-laki maka anak-anaknya dan jandanya tidaklah
ahli waris mengenai harta pusaka tinggi, tetapi ahli warisnya adalah seluruh
kemenakannya dari pihak laki-laki.
Dalam waris adat matrilineal, ahli waris tetaplah anak perempuan, dan
bagaimananapun kejadian anak tersebut di luar kawin, tidaklah mengubah akses
anak tesebut untuk berhubungan secara hukum dengan ibu dan keluarga ibunya.
Eksistensi anak perempuan sebagai ahli waris dan kedudukannya dalam klannya
tetap diakui oleh masyarakat adat sekalipun anak tersebut diluar kawin atau tidak.
Sistem kewarisan menurut hukum adat berbeda dengan hukum islam.
Perbedaan ini, walaupun secara teoritis, sebelum adanya KHI, namun secara
umum kiranya dapat dikemukakan bahwa sistem pewarisan islam masih tampak
mengandung sisa pengaruh struktur masyarakat yang organisasinya didasarkan
atas ketunggalan darah melalui garis keturunan laki-laki (banu). Sedangkan pola
pembagiannya adalah individual bilateral. Dasar berlakunya sistem tersebut ialah
Al-Qur’an Surat IV An-Nissa’ yang menyatakan : “Bagi orang laki-laki ada hak
atau bagian dari harta peninggalan ibu-bapak serta kerabatnya, dan bagi orang
perempuan ada hak atas bagiannya pula dari harta peninggalan bapak-ibu dan
kerabatnya, sedikit atau banyak menurut bagian yang telah ditetapkan. Dan bila
sewaktu pembagian itu hadir warga kerabat, anak yatim dan orang miskin, maka
berilah mereka itu sekedarnya dari harta tersebut dan ucapkanlah kata mereka
yang baik kepada mereka.”24
Mengenai besarnya bagian waris anak luar kawin terhadap harta ibunya
menurut hukum Islam, bagiannya sama dengan bagian waris anak sah yang
dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah, bahkan anak luar kawin juga
dapat mewarisi dari keluarga ibunya. Terhadap laki-laki yang menghamili ibunya
menurut hukum Islam, anak luar kawin tidak mempunyai hubungan hukum atau
hubungan nasab dengan laki-laki yang menghamili ibunya, walaupun laki-laki
yang menghamili ibunya tersebut ingin mengakui anak luar kawinnya, sehingga
di antara mereka tidak ada hubungan waris mewaris. Hal ini terlihat sangat
berbeda dengan anak angkat, dimana anak angkat adalah anak yang tidak
mempunyai hubungan darah sama sekali dengan orang tua angkatnya. Walaupun
24
Ibid., hal 119
demikian, anak angkat tetap berhak untuk memperoleh hibah, wasiat atau wasiat
wajibah yang sebesar-besarnya sepertiga dari harta warisan orang tua angkatnya.
Pasal 862 KUHPerdata hanya memberikan hak mewaris kepada anak luar
kawin yang ada hubungan perdata dengan si pewaris berdasarkan Pasal 281
KUHPerdata yang menyatakan pengakuan dalam akte kelahiran atau akte otentik
yang dicatat dipinggir akte kelahiran. Pasal 862 KUHPerdata mengikatkan hak
mewaris anak yang tidak sah pada adanya hubungan perdata antara orang tua
dengan anak. Hubungan yang demikian antara ibu dan anak terjadi dengan
sendirinya karena kelahiran kecuali anak zinah dan sumbang antara ayah dan
hanya terjadi hubungan perdata karena pengakuan seperti yang tercantum dalam
Pasal 280 KUHPerdata.
Dalam Pasal 863 KUHPerdata : “ Jika yang meninggal meninggalkan
keturunan yang sah atau seorang suami atau istri, maka anak-anak luar kawin
mewaris sepertiga dari bagian yang mereka terima, andaikata mereka anak-anak
sah.” Jadi pada intinya :
1) Anak luar kawin mewaris dengan ahli waris golongan I, bagiannya : 1/3
dari bagiannya seandainya ia anak sah.
2) Anak luar kawin mewaris dengan ahli waris golongan II dan III,
bagiannya : ½ dari seluruh warisan.
3) Anak luar kawin mewaris dengan ahli waris golongan IV, bagiannya : ¾
dari seluruh warisan.25
Ketentuan pembagian warisan untuk anak luar kawin diakui dalam Kitab
Undang – Undang Hukum Perdata dijelaskan secara jelas dan terperinci dalam
Pasal – Pasalnya, sehingga jelas jumlah bagian yang akan diterima oleh anak luar
kawin diakui apabila dia sebagai pewaris. Pasca Putusan MK No 46/PUU-
VIII/2010, karena ada hubungan perdata antara anak luar kawin dengan ibu dan
ayah serta keluarga ibu dan ayah, maka anak luar kawin dapat menjadi pewaris
baik dari ibu dan keluarga ibu serta ayah dan keluarga ayah. Sekalipun anak luar
kawin sebagai implikasi dari Putusan MK tersebut kemungkinan menjadi ahli
waris ibu dan ayah serta keluarga ibu dan ayah, tentu saja bagian yang diterima
anak luar kawin akan berbeda dengan bagian yang diterima anak anak sah.
Ketentuan bagian waris anak luar kawin sebagaimana yang diatur dalam Pasal
863 KUHPerdata dapat diberlakukan bagi mereka yang tunduk pada KUHPerdata.
Sedangkan bagi mereka yang tunduk dalam hukum islam, ketentuan KHI belum
mengatur.26
Berdasarkan KUHPerdata dan Undang-Undang Perkawinan, Surat
Keterangan Hak Waris biasanya dibuat oleh Notaris yang berisikan keterangan
mengenai pewaris, para ahli waris dan bagian-bagian yang menjadi hak para ahli
waris berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Anak Luar Kawin
25
Effendi Perangin (2011), Hukum Waris, Jakarta, PT Rajawali Grafindo Persada, hal 63-66
26 Christiana Tri Budhayati (2010), Putusan MK No 46/PUU-VIII/2010, Merombak Hukum Keluarga di Indonesia,
Jurnal Ilmu Hukum, Fakultas Hukum UKSW, hal 242
dalam KUH Perdata bisa mendapat bagian waris melalui proses pengakuan yang
ditetapkan oleh pengadilan. Walaupun dengan adanya perbuatan hukum
pengakuan ini sang anak maksimal mendapat 1/3 bagian waris.