tradisi lisan nyanyian rakyat anak-anak pada
TRANSCRIPT
77
Kajian Linguistik, Februari 2015, 77-98
Copyright ©2015, Program Studi Linguistik FIB USU, ISSN 1693-4660
TRADISI LISAN NYANYIAN RAKYAT ANAK-ANAK PADA MASYARAKAT
BATAK TOBA DI KECAMATAN LINTONGNIHUTA KABUPATEN HUMBANG
HASUNDUTAN
Demak Magdalena Perawati Silaban
Hamzon Situmorang, Mhd. Takari
Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara
Abstract
Folksong is a form of folklore consisting of the wordsand songs, which
circulated orally among members of a particular collective, traditionally
shaped, and has many variants. This research aimed to determine the factors
that influence the extinction of children folksong on Batak Toba society,
analyze the function and meaning, context, and local wisdom. For that, the
theory of functionalism and semiotics were used. The method used was
descriptiv equalitative method. The data were the lullaby songs to make the
child sleeping (lullaby) and the children playing song were recorded directly
in Lintongnihuta Humbang Hasundutan District. The results showed that
both lullaby and children play songs had the same functions suac as to
entertain, educate the child, to be a mean of coercion of social norms and
social control, and to reinforce the bond of brotherhood. However, the
difference is that the play song has a function of critic for another people
while the lullaby was not. In terms of contexts, both lullaby and children
playing song took the venue as the background of singing the children
folksong. They listened to the atmosphere and use natural resources to sing
them. The lullaby had local wisdom values that were respecting the parents,
honor the women, while the local wisdom values of children playing song
were sharing, health, brothers harmony, and love the environment. From the
discussion, it was concluded that the oral tradition of lullaby and children
playing song on MBT contained local knowledge therefore need to be
preserved as an oral tradition of MBT.
Keywords: Folksong, lullaby, children playing song, Batak Toba society,
and local wisdom.
LATAR BELAKANG
Awal mula tradisi lisan berkembang di Indonesia adalah adanya bentuk interaksi
secara lisan dalam suatu masyarakat yang memiliki adat istiadat atau tradisi, sehingga
pada saat itu tradisi kelisanan lebih mendominasi daripada tradisi keberaksaraan.Tradisi
lisan, dengan tradisi dan adat istiadat masyarakat, merupakan aset budaya yang penting
dan berharga yang layak untuk dikaji dan dilestarikan karena tradisi lisan merupakan
kekuatan kultural dalam pembentukan identitas dan karakter bangsa. Hal ini diperkuat
oleh Sibarani (2012: 15) yang mengatakan bahwa tradisi lisan dapat menjadi kekuatan
kultural dan salah satu sumber utama yang penting dalam pembentukan identitas dan
membangun peradaban.
Tahun ke-12, No 1
78
Folklor merupakan bagian dari tradisi lisan, sebagai suatu memori kolektif yang tersebar
dan diwariskan turun-temurun secara tradisional, dalam versi yang berbeda, baik dalam
bentuk lisan maupun contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu
pengingat (mnemonic device) (baca juga Danandjaja 2007: 2). Berdasarkan klasifikasi
folklor menurut ahli folklor dari Amerika Serikat yaitu Brunvand (dalam Danandjaja,
2007: 22-153), folklor dikelompokkan menjadi 3 bagian yaitu folklor lisan, folklor
sebagian lisan, dan folklor bukan lisan.
Wujud tradisi lisan dapat berupa tradisi berkesusasteraan lisan seperti tradisi
menggunakan bahasa rakyat, tradisi penyebutan ungkapan tradisional, tradisi pertanyaan
tradisional atau berteka-teki, berpuisi rakyat, bercerita rakyat, melantunkan nyanyian
rakyat, dan menabalkan gelar kebangsawanan (Sibarani, 2012: 48). Sastra lisan
merupakan tradisi yang berkembang di tengah kehidupan masyarakat, sastra lisan
menggunakan bahasa sebagai media utama. Finnegan (1977: 17) berpendapat bahwa
sastra untuk dapat disebut lisan harus memenuhi tiga kriteria yaitu 1) segi komposisi, 2)
segi transmisi, 3) segi penyajian atau pementasan.Kriteria yang terakhir tidak selalu harus
di hadapan orang banyak seperti teater.
Penelitian khazanah tradisi lisan di Indonesia pada awalnya digalakkan setelah muncul
kesadaran akan semakin banyaknya penutur dan penikmat yang hilang. Perkembangan
zaman yang modern juga sedikit banyaknya mendukung hilangnya dan pupusnya tradisi
lisan. Nyanyian rakyat merupakan salah satu wujud tradisi lisan yang dikhawatirkan
kehilangan penutur dan penikmatnya. Nyanyian rakyat merupakan bunyi (suara) yang
berirama dan berlagu musik yang terangkai sehingga menghasilkan suatu harmonisasi
yang indah. Hal ini diperkuat oleh Brunvand (dalam Danandjaja, 1994: 141) yang
menyatakan bahwa nyanyian rakyat merupakan salah satu bentuk folklor yang terdiri dari
kata-kata dan lagu, yang beredar secara lisan di antara anggota kolektif tertentu,
berbentuk tradisional, serta memiliki banyak varian.
Menurut Brunvand (dalam Danandjaja, 1994: 142) nyanyian rakyat terdiri dari tiga jenis
yaitu: 1) nyanyian rakyat yang berfungsi yaitu nyanyian rakyat yang kata-kata dan
lagunya memegang peranan yang sama penting, contoh: nyanyian kelonan/menidurkan
anak (lullaby), nyanyian kerja (working song), dan nyanyian permainan (playing song); 2)
nyanyian rakyat yang bersifat liris yaitu nyanyian rakyat yang teksnya bersifat liris, yang
merupakan pencetusan rasa haru pengarangnya; dan 3) nyanyian rakyat yang bersifat
berkisah (narrative song). Sebagai salah satu bentuk kesenian tradisional, nyanyian
rakyat tidak diketahui siapa penciptanya karena pada saat nyanyian tersebut diciptakan
rasa kebersamaan masih jauh lebih dipentingkan daripada kepentingan individual.
Nyanyian anak, baik itu nyanyian menidurkan anak (lullaby), maupun nyanyian
permainan anak (playing song) dahulu sudah menjadi kebiasaan bagi orang tua untuk
menyanyikan nyanyian pengantar tidur anaknya. Berbeda dengan masa sekarang, orang
tua sudah jarang menyanyikan nyanyian pengantar tidur bagi anaknya, memperdengarkan
lagu-lagu klasik dirasa lebih bermanfaat dan sesuai dengan perkembangan zaman. Begitu
juga nyanyian permainan anak yang pada masa lalu begitu populer digunakan anak-anak
dalam mengiringi permainan mereka, tetapi pada masa sekarang mereka umumnya sudah
tidak menggunakan bahkan tidak mengenal lagi nyanyian-nyanyian permainan tersebut.
Nyanyian menidurkan anak (lullaby) dan nyanyian permainan (playingsong) termasuk ke
dalam golongan nyanyian rakyat yang memiliki fungsi di dalamnya. Disebut berfungsi
karena baik lirik maupun lagunya cocok dengan irama aktivitas khusus dalam kehidupan
manusia. Nyanyian menidurkan anak berisi pesan-pesan, nasihat-nasihat, petuah-petuah,
harapan, cita-cita, dan keinginan orang tua terhadap anaknya dari kecil hingga beranjak
dewasa, sedangkan nyanyian permainan menurut Danandjaja (1991: 147) adalah
nyanyian yang mempunyai irama gembira serta kata-kata lucu dan selalu dikaitkan
dengan permainan (play) atau permainan bertanding (game).
Demak Magdalena Perawati Silaban
79
Kajian Linguistik, Tahun Ke-12, No 1, Februari 2015
Setiap suku bangsa di Indonesia memiliki nyanyian rakyat, demikian pula dengan
masyarakat Batak Toba (selanjutnya disingkat MBT) yang berada di Kecamatan
Lintongnihuta, Kabupaten Humbang Hasundutan. MBT memiliki berbagai jenis nyanyian
rakyat yang dimiliki secara turun-temurun dari nenek moyang mereka. Salah satu jenis
nyanyian rakyat MBT yang sudah mulai tertinggal adalah nyanyian anak, baik itu
nyanyian menidurkan anak maupun nyanyian permainan anak.
Dalam MBT nyanyian menidurkan anak disebut dideng. Biasanya sebelum menidurkan
anak, para orang tua pada MBT gemar sekali mendidengkan anaknya, dan ketika hendak
mendidengkan anak maka si anak akan digendong (diompa) dengan memakai kain
gendongan yang disebut parompa, atau memasukkannya ke dalam ayunan. Ketika si
anak sudah dalam gendongan si orang tua, maka si orang tua tersebut mulai
mendidengkan anaknya sambil menepuk-nepuk bokong si anak dengan pelan ataupun
mengelus-elus badannya. Selain itu hentakan kaki si orangtua akan turut mengikuti irama
lagu yang dinyanyikan. Nyanyian permainan anak adalah nyanyian yang biasanya
dinyanyikan anak-anak pada saat bermain, baik dilakukan di dalam rumah, maupun di
luar rumah waktu siang atau sore hari dalam keadaan cerah, atau di tempat lain di tempat
mereka bermain yang menurut mereka nyaman, seperti di lapangan terbuka. Nyanyian
permainan anak ini biasanya dinyanyikan secara kolektif baik oleh anak laki-laki maupun
perempuan yang jumlahnya minimal empat atau enam orang.Biasanya tidak semua
daérah sama dalam hal isi lagu permainan anak, tergantung tempat di mana mereka
tinggal. Nyanyian permainan anak pada MBT yang dibahas dalam penelitian ini adalah
nyanyian permainan anak yang masih eksis di lapangan penelitian yaitu Sampele
sampele, Jambatan Tapanuli, Kacang koring, dan Sada dua tolu.
Beberapa nyanyian anak pada MBT memiliki beberapa varian. Pewarisan nyanyian anak
yang dilakukan secara lisan oleh nenek moyang Batak Toba mengakibatkan nyanyian
anak tersebut memiliki banyak varian. Halini pun terjadi dalam pelantunan beberapa
nyanyian anak misalnya Sampele sampele, Jambatan Tapamuli memiliki beberapa varian.
Adanya varian dalam nyanyian anak pada MBT menjadi sebuah fenomena yang menarik
untuk dianalisis. Sebagai sebuah seni, nyanyian anak juga memiliki fungsi. Salah satu
fungsinya yang sangat menonjol adalah nyanyian anak berfungsi untuk mendidik, yakni
di dalam nyanyian anak tersebut berisi nasihat-nasihat, petuah-petuah, cita-cita, dan
harapan-harapan para orang tua yang diperuntukkan bagi anak-anaknya ketika beranjak
dewasa. Lirik nyanyian anak terdiri dari barisan kata-kata yang memiliki makna
mendalam atau tujuan tertentu yang dipesankan kepada masyarakat sebagai
pendengarnya. Selain itu lirik nyanyian anak mengandung makna yang dapat
mempengaruhi pembentukan identitas dan karakter mereka. Kemudian, nyanyian anak
berkaitan erat dengan konteks pertunjukan yang meliputi dua hal: konteks situasi dan
konteks budaya. Konteks situasi merupakan lingkungan atau tempat peristiwa
berlangsung. Selain konteks situasi, konteks budaya pun turut mempengaruhi dalam hal-
hal yang berkaitan dengan peristiwa yang melatari pertunjukan. Di samping memiliki
fungsi dan makna, nyanyian anak yang merupakan warisan budaya juga sarat akan
kearifan-kearifan lokal yang mencerminkan nilai-nilai budaya yang sangat penting untuk
digali yang dapat digunakan untuk memecahkan permasalahan hidup yang dihadapi
sehingga dapat melangsungkan kehidupan bahkan berkembang secara berkelanjutan.
Berdasarkan uraian yang telah dijelaskan diatas yaitu tentang latar belakang penelitian
dengan objek kajian nyanyian rakyat anak-anak pada MBT yang berada di Kecamatan
Lintongnihuta Kabupaten Humbang Hasundutan. Adapun alasan pengambilan data di
lokasi tersebut karena keberadaan tradisi lisan khususnya nyanyian rakyat anak-anak
masih bertahan di daerah tersebut ditengah masyarakat yang telah mengalami
modernisasi. Sehubungan dengan nyanyian rakyat anak-anak memiliki banyak
80
varian, maka penelitian dilakukan di dua desa di Kecamatan Lintongnihuta yaitu
Desa Nagasaribu dan Desa Tapian Nauli.
LANDASAN TEORI
Teori Fungsionalisme Folklor
Dalam menganalisis nyanyian rakyat anak-anak pada MBT, akan digunakan teori
fungsionalisme folklor, teori semiotik, dan teori teks, konteks serta konteks. Teori
fungsionalisme folklor terbagi dua yaitu:
Fungsionalisme Murni
Teori fungsi awalnya dikemukakan oleh Malinowski, seorang antropolog sosial.
Berbicara fungsi folklor, menurut Bascom (1965b: 280) tidak dapat dilepaskan begitu
saja dari kebudayaan secara luas, dan juga dengan konteksnya. Folklor milik seseorang
dapat dimengerti sepenuhnya hanya melalui pengetahuan yang mendalam dari
kebudayaan orang yang memilikinya. Pemilik folklor tidak menganggap penting tentang
asal-usul atau sumber folklornya, melainkan fungsi dari folklor itu lebih menarik mereka.
Prop (1975: 21) menyatakan: “Function is understood as an act of character, defined
from point of view of its significance for the course of the action: Dalam konteks ini,
fungsi merupakan bentuk “ketergantungan” secara utuh pada sebuah sistem budaya.
Dalam kaitan ini, fungsi dapat terkait dengan perjuangan kelas (strata sosial).
Fungsionalisme Struktural
Teori fungsionalisme struktural memiliki fungsi bagi pemenuhan keutuhan dan sistematik
struktur sosial. Struktur sosial dapat dipahami sebagai pengaturan kontinu atas orang-
orang dalam kaitan yang ditemukan oleh institusi, yakni norma dan pola perilaku yang
dimapankan secara sosial. Masyarakat pemilik folklor adalah sebuah institusi yang satu
sama lain saling terkait. Mereka saling isi-mengisi demi keutuhan folklor itu sendiri. Hal
tersebut sesuai dengan yang dikatakan Leach (1949: 542) bahwa struktur sosial
merupakan bentuk “eksis” pada tataran objektivitas yang kira-kira sama dengan anatomi
manusia. Anatomi manusia jelas saling ada ketergantungan dalam kerjanya, begitu pula
folklor.Setiap folklor memiliki jaringan yang saling berhubungan. Jaringan itu
membentuk struktur yang unik.
Dari pendapat tersebut dapat dikatakan bahwa pengkajian folklor dari aspek struktural
fungsional akan menghubungkan masing-masing unsur struktur sosial. Setiap unsur
memiliki tujuan, peranan, keyakinan, ambisi, dan lain-lain demi kelangsungan sebuah
struktur. Pada situasi demikian, peneliti akan meninjau lebih jauh seberapa fungsi
masing-masing unsur ke dalam struktur yang lebih besar. Setiap unsur struktur ada
kalanya memiliki pola hidup tersendiri, yang harus diteima atau ditolak oleh unsur lain.
Setiap unsur struktur dihadapkan pula pada “pola pilihan” yang harus diambil. Pada saat
itu masyarakat akan menentukan pilihan dan memutuskan.
Teori Semiotika
Semiotika adalah ilmu tentang tanda-tanda. Tokoh perintis semiotik adalah Ferdinand de
Saussure (1857-1913) seorang ahli linguistik dan Charles Sander Pierce (1839-1914).
Saussure menyebut ilmu itu dengan nama semiologi, sedang Pierce menyebutnya
semiotik (semiotics).Tanda mempunyai dua aspek, yaitu penanda (signifier) dan petanda
(signified). Penanda adalah bentuk formalnya yang menandai sesuatu yang disebut
petanda, sedangkan petanda adalah sesuatu yang ditandai oleh penanda itu, yaitu artinya.
Jenis-jenis tanda yang utama ialah ikon, indeks, dan simbol. Dikaitkan dengan
pelopornya, maka dalam semiotika terdapat dua aliran utama, yaitu Saussurean dan
Demak Magdalena Perawati Silaban
81
Kajian Linguistik, Tahun Ke-12, No 1, Februari 2015
Pericean. Menurut Zoest (Ratna, 2006: 103), dihubungkan dengan bidang-bidang yang
dikaji, pada umumnya semiotika dapat dibedakan paling sedikit menjadi tiga aliran,
sebagai beikut: 1) Aliran semiotika komunikasi, 2) Aliran semiotika konotatif, dan 3)
Aliran semiotika ekspansif.
Dalam menganalisis makna teks nyanyian rakyat anak-anak ini akan digunakan semiotika
yang dikemukakan oleh Roland Barthes. Barthes mengembangkan semiotik menjadi dua
tingkatan pertandaan, yaitu tingkat denotasi dan konotasi. Sistem denotasi adalah sistem
pertandaan tingkat pertama, yang terdiri dari rantai penanda dan petanda, yakni hubungan
materialitas penanda atau konsep abstrak di baliknya. Pada sistem konotasi—atau sistem
penandaan tingkat kedua—rantai penanda/petanda pada sistem denotasi menjadi penanda,
dan seterusnya berkaitan dengan petanda yang lain pada rantai pertandaan lebih tinggi.
Makna denotasi (denotative meaning), dalam hal ini adalah makna pada apa yang tampak.
Denotasi adalah tanda yang penandaannya mempunyai tingkat konvensi atau kesepakatan
yang tinggi. Sedangkan konotasi adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan
antara penanda dan petanda, yang di dalamnya beroperasi makna yang tidak eksplisit,
tidak langsung dan tidak pasti (artinya terbuka terhadap berbagai kemungkinan). Ia
menciptakan makna lapis kedua, yang terbentuk ketika penanda dikaitkan dengan
berbagai aspek psikologis, seperti perasaan, emosi atau keyakinan. Misalnya, tanda
“bunga” mengkonotasikan “kasih sayang”. Konotasi dapat menghasilkan makna lapis
kedua yang bersifat implisit, tersembunyi, yang disebut makna konotatif (conotative
meaning).
Teks, Koteks, dan Konteks
Setiap tradisi lisan memiliki bentuk dan isi. Bentuk terbagi atas teks, ko-teks, dan
konteks, sedangkan isi terdiri dari makna dan fungsi, nilai dan norma, serta kearifan lokal
(Sibarani, 2012: 241-242). Teks merupakan unsur verbal baik berupa bahasa yang
tersusun ketat “tightly formalized language” seperti bahasa sastra maupun bahasa naratif
yang mengantarkan tradisi lisan non verbal seperti teks pengantar sebuah performansi.
Struktur itu dapat dilihat dari struktur makro, struktur alur, dan struktur mikro. Struktur
makro merupakan makna keseluruhan, makna global atau makna umum dari sebuah teks
yang dapat dipahami dengan melihat topik atau tema dari sebuah teks. Struktur alur
merupakan skema atau alur sebuah teks. Sebuah teks, termasuk teks tradisi lisan secara
garis besar tersusun atas tiga elemen yaitu pendahuluan (introduction), bagian tengah
(body), dan penutup (conclusion), yang masing-masing saling mendukung secara koheren
(Sibarani, 2012: 242).
Ko-teks menurut Cook (1994) adalah hubungan antar wacana yang merupakan
lingkungan kebahasaan yang melingkupi suatu wacana. Menurut Sibarani (2012: 242)
koteks adalah keseluruhan unsur yang mendampingi teks seperti unsur paralinguistik,
proksemik, kinetik, dan unsur material lainnya. Deskripsi paralinguistik mencakup
intonasi, aksen, jeda, dan tekanan sedangkan kinetik merupakan bidang ilmu yang
mengkaji gerak isyarat. Proksemik merupakan bidang ilmu yang mempelajari penjagaan
jarak antara pembicara dan pendengar sebelum dan ketika sedang terjadi komunikasi.
Deskripsi sikap dan penjagaan jarak antar pelaku dan antara pelaku dengan penonton
akan memberikan kontribusi pada interpretasi makna dalam tradisi lisan. Bentuk ko-teks
lain yang sangat perlu dikaji dalam tradisi lisan adalah unsur material atau benda yang
sering mendampingi penggunaan teks. Unsur-unsur material yang dipergunakan dalam
praktik tradisi lisan dapat berupa perangkat pakaian dengan gayanya, penggunaan warna
dengan ragam pilihannya, penataan lokasi dengan dekorasinya, dan penggunaan berbagai
properti dengan fungsi masing-masing. Dalam penelitian nyanyian anak-anak pada MBT
yang menjadi ko-teks adalah intonasi, aksen, jeda, dan tekanan dari nyanyian anak
82
tersebut, dan juga benda-benda atau material yang digunakan dalam nyanyian permainan
tersebut.
Secara harfiah, konteks berarti “something accompanying text”, yang berarti: sesuatu
yang inheren dan hadir bersama teks. Konteks diungkapkan melalui karakterisasi bahasa
yang digunakan penutur (Halliday & Hasan, 1985). Di dalam teori Halliday, pengertian
harfiah itu diterjemahkan dalam batasan Saussure yang menyatakan bahwa bahasa
sebagai suatu fakta sosial. Oleh Halliday “something” di atas diolah menjadi “sesuatu
yang telah ada dan hadir dalam partisipan sebelum tindak komunikasi dilakukan, karena
itu konteks mengacu pada konteks kultural dan konteks sosial (Halliday, 1978) yang
diidentifikasikan melalui medan, pelibat dan sarana (Sinar, 2010).
Dalam kajian tradisi lisan peranan konteks sangat penting. Dalam penelitian tradisi lisan
nyanyian rakyat anak-anak pada MBT, konteks merupakan salah satu yang harus
diamaati sehingga pemaknaan nyanyian anak-anak dapat dilihat secara keseluruhan. Oleh
karena itu penulis tertarik dalam mendeskripsikan nyanyian anak-anak dalam konteks
sosial dan konteks situasi yang dikemukakan oleh Sibarani. Dalam Sibarani (2012: 326)
konteks sosial mengacu pada faktor-faktor sosial yang mempengaruhi atau menggunakan
konteks. Konteks sosial ini meliputi orang-orang yang terlibat seperti pelaku, pengelola,
penikmat dan bahkan komunitas pendukungnya. Konteks situasi mengacu pada waktu,
tempat dan cara penggunaan teks. Hal ini terlihat jelas pada nyanyian anak-anak,
siapakah penutur, pengelola dan penikmatnya. Dan kapan nyanyian anak-anak itu
dilakukan, di mana tempatnya, serta bagaimana melakukannya
Kearifan Lokal
Kearifan lokal merupakan perpaduan antara nilai-nilai suci firman Tuhan dan berbagai
nilai yang ada. Kearifan lokal terbentuk sebagai keunggulan budaya masyarakat setempat
maupun kondisi geografis dalam arti luas. Kearifan lokal merupakan produk budaya masa
lalu yang patut secara terus menerus dijadikan pegangan hidup. Meskipun bernilai lokal
tetapi nilai yang terkandung di dalamnya dianggap sangat universal.
Kearifan lokal memiliki suatu nilai tersendiri yang mana nilai-nilai yang terkandung
dalam kearifan lokal dapat tercermin dalam kehidupan sehari-hari. Adapun kearifan lokal
yang mencerminkan nilai budaya diantaranya adalah kesejahteraan, kerja keras, disiplin,
pendidikan, kesehatan, gotong royong, pengelolaan jender, pelestarian dan kreativitas
budaya, peduli lingkungan, kedamaian, kesopansantunan, kejujuran, kesetiakawanan
sosial, kerukunan dan penyelesaian konflik, komitmen, pikiran positif, dan rasa syukur
(Sibarani, 2012: 133-134) yang dikelompokkan menjadi kearifan lokal inti (core local
wisdom) yaitu kesejahteraan dan kedamaian.
METODOLOGI
Metode penelitian yang digunakan dalam meneliti Tradisi lisan Nyanyian Rakyat Anak-
Anak Pada Masyarakat Batak Toba di Kecamatan Lintongnihuta Kabupaten Humbang
Hasundutan adalah metode deskriptif kualitatif. Metode deskriptif dipilih karena
penelitian yang dilakukan bertujuan untuk menggali, menggambarkan, dan menjelaskan
objek yang diteliti secara alamiah yaitu mendeskripsikan data berdasarkan permasalahan
dalam penelitan ini yaitu keberadaan nyanyian anak pada MBT, fungsi dan makna,
konteks, serta kearifan lokal.
Demak Magdalena Perawati Silaban
83
Kajian Linguistik, Tahun Ke-12, No 1, Februari 2015
1. Deskripsi Tradisi Lisan Nyanyian Menidurkan Anak (dideng)
Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan, waktu di desa Nagasaribu menunjukkan
pukul dua belas (12) siang, ibu L. Sinaga telah selesai memberi makan anak bayinya
yang berumur enam (6) bulan yang bernama Mauliate Sinaga. Saatnya anaknya akan
ditidurkan, sambil menunggu anak-anaknya yang lain pulang sekolah. Sudah menjadi
kebiasaan dalam menidurkan anaknya, ibu Sinaga selalu menyanyikan nyanyian
pengantar tidur bagi anaknya. Terlebih dahulu ibu Sinaga mengambil sebuah kain
panjang (parompa) yang akan digunakan untuk menggendong anaknya. Posisi
menggendong anaknya adalah gendong depan (ompa jolo) agar ibu dapat mengelus-elus
bokong maupun badan anaknya (Gambar 4.1) agar anaknya cepat tidur. Dengan irama
lagu yang pelan serta mendayu-dayu ibu Sinaga menyanyikan nyanyian dideng-dideng
secara terus menerus sambil mengelus-elus badan anaknya hingga anaknya tertidur lelap.
Setelah anaknya tertidur, barulah ibu Sinaga berhenti menyanyikan nyanyian dideng
dideng dan kemudian meletakkannya di tempat tidur. Ibu Sinaga dan suaminya adalah
seorang petani, hampir setiap hari ibu itu dan suaminya pergi ke kebunnya yang berada
tidak jauh dari rumahnya yaitu di belakang rumahnya. Setelah anak-anaknya pulang
sekolah, ibu itu pergi ke kebun dan menyuruh anak-anaknya menjaga dan mengawasi
adiknya yang masih bayi. Jika anak bayinya tersebut terbangun dari tidurnya dan
menangis, maka dengan segera anak-anaknya akan memanggil ibunya yang bekerja di
kebun di belakang rumah untuk menyusui maupun mendidengkan anaknya kembali.
Gambar 4.1. Ibu L. Sinaga mendidengkan anaknya dalam gendongannya
Sumber: Dokumentasi penulis tanggal 3 Mei 2014
Variasi lirik nyanyian menidurkan anak Dideng dideng dapat dilihat pada tabel 4.1
berikut:
Tabel 4.1: Variasi lirik nyanyian menidurkan anak Dideng dideng
Versi informan Op.
Felix Sihombing
Versi informan ibu
S. Sihombing
Versi Ibu L.Sinaga
di desa Nagasaribu
Versi Ibu D.
Simanullang di desa
Tapian Nauli
Molo huingot i
sude
loja ni dainang i
marmudu au sian
na metmet
tu na balga
Molo huingot i
sude
loja ni dainang i
marmudu au sian
na metmet
tu na balga
Molo huingot i
sude
loja ni dainang i
marmudu au sian
na metmet
tu na balga
Molo huingot i sude
loja ni dainang i
marmudu au sian na
metmet tu na balga
84
Diabing au
diompa au
asa sonang
modom au
dideng dideng
didok tu au
o hasian
Diabing au
diompa au
asa sonang
modom au
dideng dideng
didok muse
o hasian
Diabing au
diompa au asa
sonang modom
au
dideng dideng
didok muse
o hasian
Diompa au
diabing au
asa sonang
modom au
dideng dideng
didok muse
o hasian
2. Deskripsi Nyanyian Permainan Anak Pada Masyarakat Batak Toba
Deskripsi Nyanyian Permainan Kacang koring
Tradisi lisan nyanyian permainan Kacang koring direkam pada tanggal 5 Mei 2014 di
desa Tapian Nauli dan tanggal 16 Juni 2014 di desa Nagasaribu. Nyanyian ini
dinyanyikan ketika hendak bermain petak umpat (martabun tabuni). Nyanyian
permainan kacang koring merupakan nyanyian permainan untuk menentukan giliran
dalam sebuah permainan yaitu siapa yang menang (yang akan dicari) dan yang kalah
(yang akan mencari). Jumlah pemain biasanya minimal empat orang anak.
Di desa Tapian Nauli nyanyian permainan ini dilakukan oleh delapan (8) orang anak,
mereka adalah Nova, Lamtiur, Novita, Rotua, Sanni, Anna, Marito dan Lusi. Dalam
melakukan permainan ini mereka membentuk lingkaran kecil, mereka menurunkan
tangan kanannya masing-masing dengan telapak tangan menghadap ke bawah (Gambar
4.3), kemudian secara bersama-sama mereka mengucapkan „kacang koring sibuat na
otik’. Ketika mengucapkan suku kata terakhir yaitu „tik‟, masing-masing memperlihatkan
salah satu telapak tangan mereka dengan bagian telapak tangan menghadap ke bawah
atau ke atas. Pemenang adalah jumlah minimal anak yang posisi telapak tangannya tidak
sama dengan telapak tangan temannya yang lain. Pemenang pertama adalah Rotua dan
Sanni, telapak tangan mereka berdua menghadap ke bawah, sedangkan telapak tangan
enam (6) orang lainnya menghadap ke atas. Pemenang kedua adalah Novita dan
Lamtiur, telapak tangan mereka berdua menghadap ke atas sedangkan yang empat
lainnya menghadap ke bawah. Pemenang selanjutnya adalah Marito, telapak tangannya
menghadap ke atas sedangkan telapak tangan tiga orang lainnya menghadap ke bawah.
Kemudian Nova menyusul sebagai pemenang berikutnya, telapak tangannya mengahadap
ke atas sedangkan telapak tangan dua orang lainnya menghadap ke bawah. Akhirnya
tinggal dua pemain yaitu Anna dan Lusi, untuk menentukan siapa yang menang dari
antara mereka berdua maka mereka melakukan sut. Siapa yang yang kalah bermain sut
maka dia akan bertugas sebagai penjaga pos. Anna kalah dalam bermain sut, sehingga dia
mendapat giliran sebagai penjaga pos. Anna menghadapkan wajahnya ke dinding sambil
menunggu temannya yang lain mencari tempat persembunyian. Sambil menunggu Anna
mengucapkan kata „nunga”? (sudah?), jika masih ada temannya yang menjawab „daung’
(belum), berarti mereka belum menemukan tempat persembunyian, tetapi jika tidak ada
lagi yang menjawab, menandakan bahwa mereka sudah berada di tempat
persembunyiannya masing-masing dan sudah bisa untuk dicari. Pertama sekali Anna
menemukan Nova yang bersembunyi di balik bunga, setelah Nova ditemukan Anna
mengucapkan „tul si Nova‟ sambil memegang dinding tempat di mana wajahnya
dihadapkan tadi. Selanjutnya Anna dan Nova bersama-sama mencari teman mereka
yang lain. Begitu seterusnya dilakukan hingga semua teman mereka temukan.
Demak Magdalena Perawati Silaban
85
Kajian Linguistik, Tahun Ke-12, No 1, Februari 2015
Gambar 4.3 Nyanyian permainan anak Kacang koring di desa Tapian Nauli
Sumber: Dokumentasi penulis tanggal 5 Mei 2014
Di desa Nagasaribu nyanyian permainan ini dilakukan oleh enam (6) orang anak
(Gambar 4.4), mereka adalah Paskah, Daniel, Heppy, Dewi, Masta dan Lambok.
Pemenang pertama adalah Daniel dan Dewi, pemenang kedua adalah Masta, pemenang
ketiga adalah Paskah. Heppy dan Lambok melakukan sut dan Heppy adalah
pemenangnya, yang juga berarti bahwa Lambok adalah pemain yang kalah yang akan
bertugas sebagai penjaga pos. Dia menghadapkan wajahnya ke dinding dan menghitung
satu sampai lima puluh (50) sedangkan teman-temannya yang lain sibuk mencari tempat
persembunyian. Temannya yang pertama ditemukan adalah Daniel yang bersembunyi di
atas pohon, kemudian Masta ditemukan dibalik bunga pangkas. Ketika Lambok
meninggalkan pos dan sibuk mencari temann-temannya, Paskah datang ke pos dan
langsung memegang dinding tadi sambil mengatakan „tul’ lalu dia kembali mencari
tempat persembunyian. Hal itu berarti bahwa Lambok kembali menghadapkan wajahnya
ke dinding dan menghitung satu sampai lima puluh. Ketika Lambok menemukan Paskah,
segera lambok datang ke pos dan memegang dinding sambil mengatakan tul si Paskah,
tetapi tanpa disadari dari belakangnya telah datang Daniel dan Masta meraka langsung
memegang dinding sambil mengatakan tul. Hal itu berarti bahwa Lambok kembali
menjaga pos dan menghitung satu sampai lima puluh. Begitu terus dilakukan hingga dia
berhasil mengamankan pos dan menemukan teman-temannya di tempat persembunyian
mereka.
Gambar 4.4 Nyanyian permainan anak Kacang koring di desa Nagasaribu
Sumber: Dokumentasi penulis tanggal 16 Juni 2014
Berdasarkan pengamatan di lapangan lirik nyanyian permainan Kacang koring versi
informan ibu S. Sihombing, versi anak-anak di desa Nagasaribu dan desa Tapian Nauli
memiliki lirik yang sama atau tidak memiliki varian. Hal tersebut disebabkan lirik
nyanyian permainan ini yang pendekyang hanya dua baris sehingga mudah untuk diingat.
Liriknya adalah sebagai berikut:
86
Kacang koring (kacang kering)
sibuat na otik (ambil sedikit)
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Bagian ini terdiri dari tiga bagian, bagian pertama yaitu deskripsi keberadaan nyanyian
menidurkan anak dan nyanyian permainan anak pada MBT saat ini, analisis fungsi dan
makna, koteks, konteks, serta pembahasan refleksi kearifan lokal.
Keberadaan Tradisi Lisan Nyanyian Menidurkan Anak Pada Masyarakat Batak
Toba Saat Ini
Keberadaan nyanyian menidurkan anak dideng pada MBT saat ini sudah mulai sulit
ditemukan. Ini terlihat dengan adanya pergeseran dan perubahan budaya yang
dipengaruhi oleh mobilitas zaman yang cepat dan begitu sangat berpengaruh terhadap
kehidupan sosial masyarakat. Kemajuan teknologi yang semakin merata baik di desa
maupun di kota turut mempengaruhi keberlangsungan dideng pada MBT. Sekarang, di
zaman yang canggih dan modern ini para orangtua lebih suka memperdengarkan
nyanyian-nyanyian atau musik-musik melalui media elektronik seperti CD, DVD, VCD,
radio, dan media elektronik lainnya. Mereka cenderung lebih suka memperdengarkan
musik-musik klasik yang diputar melalui audiovisual, atau media-media elektronik
daripada dideng dideng dalam menidurkan anak. Hal itu dirasa lebih praktis, tidak
merepotkan dan lebih up to date (sesuai dengan perkembangan zaman). Kebiasaan para
orang tua Batak Toba yang sudah mulai terpengaruh oleh kemajuan teknologi perlahan-
lahan membuat mereka menjadi orang tua yang pasif yang berakibat pada kedekatan
mereka dengan anak-anak mereka secara psikologis akan berkurang. Seperti yang telah
dijelaskan pada bab sebelumnya, dalam mendideng, selain menyanyi orang tua juga akan
kreatif menciptakan gerakan yang bisa membuat anaknya cepat tidur seperti mengelus-
elus badan si anak, menepuk-nepuk bokongnya, dan lain-lain. Tetapi dengan hadirnya CD
maupun DVD telah dapat menggantikan tradisi dideng tersebut yang dulunya biasa
dilakukan oleh nenek moyang mereka. Kondisi seperti ini perlahan-lahan akan membuat
tradisi dideng tersebut akan benar-benar hilang di tengah-tengah kehidupan MBT itu
sendiri. Dan sebagai generasi penerus Batak Toba, nyanyian dideng dideng hendaknya
dipelihara dan diwariskan kepada generasi selanjutnya karena nyanyian ini adalah salah
satu kekayaan budaya daerah dari Batak Toba yang sangat sayang untuk dilupakan begitu
saja.
Keberadaan Nyanyian Permainan Anak Pada Masyarakat Batak Toba Saat Ini
Keberadaan nyanyian permainan anak pada MBT akhir-akhir ini juga sudah mulai
mengalami kepunahan. Berdasarkan penelitian di lapangan hal tersebut disebabkan oleh
beberapa faktor.
1. Teknologi
Kemajuan teknologi membawa banyak kemudahan bagi manusia. Permainan modern
dalam komputer yang dikenal dengan games yang kaya dengan sensasi, mengasyikkan,
dan penuh fantasi diciptakan. Dan sebagai bayarannya permainan anak tradisional kini
mulai ditinggalkan. Permainan anak tradisional yang kaya nilai digantikan dengan
permainan anak modern produk teknologi. Games modern dirasa lebih praktis karena
tidak memerlukan tanah lapang dan banyak teman, cukup sendirian di depan komputer
seseorang bisa terjun dalam permainan yang mengasyikkan. Hal tersebutlah yang juga
menghampiri anak-anak Batak Toba saat ini tak terkecuali yang di desa, bisa memainkan
bermacam-macam games di komputer merupakan suatu kebanggaan tersendiri karena hal
Demak Magdalena Perawati Silaban
87
Kajian Linguistik, Tahun Ke-12, No 1, Februari 2015
itu menunjukkan bahwa mereka dapat mengikuti arus perkembangan zaman. Padahal di
balik semua itu anak-anak tersebut tidak menyadari bahwa bermain games di komputer
lama kelamaan akan berpengaruh buruk bagi mereka. Pengaruh buruk tersebut antara
lain: a) Membunuh kreatifitas anak-anak sebagai generasi muda. Permainan tradisional
biasanya dibuat langsung oleh para pemainnya. Mereka menggunakan barang-barang,
benda-benda, atau tumbuh- tumbuhan yang ada di sekitar mereka. Hal tersebut
mendorong mereka untuk lebih kreatif menciptakan alat-alat permainan. b) Hilangnya
kecerdasan spiritual anak. Dalam permainan tradisional terdapat konsep menang dan
kalah. Namun, menang dan kalah ini tidak menjadikan para pemainnya bertengkar atau
minder. Bahkan ada kecenderungan, orang yang sudah bisa melakukan permainan
mengajarkan secara langsung kepada teman-temannya yang belum bisa. c) Hilangnya
kecerdasan natural anak, banyak alat-alat permainan yang dibuat atau digunakan dari
tumbuhan, tanah, genting, batu, atau pasir. Aktivitas tersebut mendekatkan anak terhadap
alam sekitarnya sehingga anak lebih menyatu terhadap alam. d) Matinya kecerdasan
kinestetik anak, pada umumnya, permainan tradisional mendorong para pemainnya untuk
bergerak, seperti melompat, berlari, menari, berputar, dan gerakan-gerakan lainnya.
Menguasai teknologi bukanlah hal yang salah, tetapi menguasai teknologi lalu melupakan
dan meninggalkan tradisi budaya yang sudah diwariskan nenek moyang adalah hal yang
salah.
2. Pendidikan
Dewasa ini, sekolah sebagai lingkungan pendidikan dan sebagai rumah kedua bagi anak
sudah tidak lagi berkontribusi dalam memperkenalkan atau mensosialisasikan nyanyian
permainan anak. Hal itu disebabkan karena guru sekolah sendiri tidak paham permainan
tradisi yang seharusnya diajarkan kepada anak dalam kaitan implementasi kurikulum
muatanlokal. Karen awalaupun ada buku permainan tradisi khususnya yang
menggunakan nyanyian, tetapi tidak disertai notasi sehingga syair nyanyian tersebut
hanya sebatas sekelompok kata-kata saja. Berdasarkan pengamatan di lapangan, hanya
beberapa sekolah di Kecamatan Lintongnihuta yang dalam pembelajarannya mengajarkan
permainan tradisi yang menggunakan nyanyian salah satunya adalah SD Negeri Nababan
Dolok desa Nagasaribu. Kalaupun ada sedikit sekolah yang mengajarkan permainan
tradisi, hanya sebatas permainan yang tidak menggunakan nyanyian yang diajarkan dalam
pelajaran olahraga. Sekolah sebagai lembaga pendidikan formal sepantasnya juga
mengajarkan kepada anak didik nyanyian permainan yang merupakan warisan nenek
moyang ini yang didalamnya terkandung pendidikan karakter.
1. Analisis Tradisi Lisan Nyanyian Menidurkan Anak
a. Analisis Fungsi Tradisi Lisan Nyanyian Menidurkan Anak
Pada dasarnya dideng berfungsi sebagai media, baik itu media penghibur anak, media
untuk menyampaikan pesan, media untuk menyampaikan doa dan harapan untuk anak,
media untuk belajar bagi anak, media untuk penguat tali kasih sayangan tara orang tua
dan anak dan juga media untuk mencurahkan kasih sayang orang tua kepadaanaknya.
Berdasarkan hal tersebut jika dikaitkan dengan teori diatas, maka dapat dikatakan bahwa
fungsi dideng adalah sebagai: (1) sebagai bentuk hiburan; (2) sebagai alat pendidikan
anak; (3) sebagai alat pemaksa berlakunya norma-norma sosial dan pengendali sosial;
dan(4) berfungsi sebagai penguat ikatan persaudaraan.
88
1. Sebagai bentuk hiburan
Fungsi dideng dikatakan sebagai bentuk hiburan karena dideng sendiri merupakan
nyanyian yang dinyanyikan ketika hendak menidurkan anak. Nyanyian bagi anak
bayi Mauliate Sinaga (6 bulan) dan Lina Simanullang (2 bulan) akan membuat mereka
semakin terlelap dalam tidur, sedangkan bagi ibu mereka yang menyanyikannya yaitu ibu
L. Sinaga dan ibu D. Simanullang juga dapat menghilangkan sedikit kepenatan dan
keletihan mereka dalam bekerja sehari-hari yang berprofesi sebagai petani. Hal ini
disebabkan dengan bernyanyi ibu Sinaga dan ibu Simanullang akan lebih bersantai
sejenak dan melupakan hal-hal ataupun kejadian yang tidak mengenakkan. Hal ini senada
dengan teori yang dikemukakan oleh Danandjaja bahwa nyanyian rakyat memiliki fungsi
rekreatif, yaitu untuk merenggut kita dari kebosanan hidup sehari-hari walaupun untuk
sementara waktu atau menghibur diri dari kesukaran hidup, sehingga dapat pula menjadi
semacam pelipur lara atau untuk melepaskan diri dari segala ketegangan perasaan
sehingga dapat memperoleh kedamaian jiwa.
2. Sebagai alat pendidikan anak
Selain sebagai bentuk hiburan dideng juga berfungsi sebagai alat pendidikan anak. Fungsi
pendidikan mengarah kepada fungsi pembentukan karakter, etika, dan moral. Hal ini
dapat dihubungkan dengan berbagai nilai yang benar dan salah, nilai baik dan buruk.
Dideng merupakan nyanyian yang diperuntukkan bagi bayi dan anak-anak usia dini.
Proses belajar bayi maupun anak usia dini seperti Mauliate Sinaga dan Lina Simanullang
tidak sama dengan proses belajar anak-anak pada umumnya. Pada umumnya proses
belajar anak-anak dapat dilakukan disekolah. Selain itu faktor lingkungan juga turut
memberikan pengalaman belajar bagi anak. Sangat berbeda dengan proses belajar bayi
maupun anak usia dini karena pada masa ini anak hanya belajar dari orang tuanya. Maka
dari itulah dideng juga berfungsi sebagai alat pendidikan anak karena di dalam dideng
tersebut terdapat pesan-pesan moral, petuah-petuah dan pengajaran yang diberikan oleh
orang tua sehingga secara tidak langsung anak akan mulai belajar. Pesan atau pengajaran
yang terdapat dalam nyanyian Dideng dideng ini adalah agar setiap anak selalu
menghormati orangtuanya khususnya ibunya, karena pengorbanan seorang ibu bukan
hanya ketika melahirkan anaknya saja tetapi juga ketika merawat anaknya dari kecil
hingga dewasa. Oleh karena itu, ketika seorang anak sudah dewasa janganlah menjadi
anak yang durhaka kepada ibunya, tetapi menjadi anak yang berbakti.
3. Sebagai alat pemaksa berlakunya norma-norma sosial dan pengendali sosial
Begitu pula halnya dengan fungsi dideng sebagai alat pemaksa berlakunya norma-norma
sosial dan pengendali sosial. Pesan-pesan yang disampaikan orang tua kepada anaknya
lewat dideng biasanya berisi tentang hal-hal yang mengandung nilai-nilaimoral. Hal ini
bertujuan agar kelak ketika sang anak dewasa ia menjadi pribadi yang baik, yang
menghormati orang tua, mertua, maupun orang-orang yang lebih tua darinya, serta
bertindak serta berlaku sesuai aturan dan norma-norma yang berlaku sehingga akan
menjadi manusia yang berguna baik bagi bangsa, maupun masyarakat.
4. Sebagai penguat ikatan persaudaraan
Selanjutnya fungsi dideng sebagai penguat ikatan persaudaraan merupakan bentuk adanya
cinta dan kasih sayang yang besar antara ibu dan anaknya. Dengan mendidengkan
anaknya ibu Sinaga dan ibu Simanullang dapat mencurahkan segala keinginan dan
harapannya kepada anak-anak yang sangat mereka kasihi. Dari sanalah akan semakin
tumbuh dan tercipta ikatan tali cinta kasih antara anak dan ibunya.
Demak Magdalena Perawati Silaban
89
Kajian Linguistik, Tahun Ke-12, No 1, Februari 2015
2. Analisis Makna Tradisi Lisan Nyanyian Menidurkan Anak
Nyanyian dideng dideng merupakan nyanyian yang menggambarkan perwujudan kasih
sayang seorang ibu kepada anaknya dari kecil hingga dewasa. Dalam konteks mandideng
si anak yang ditidurkan adalah masih bayi, atau usia dini. Anak yang masih bayi atau usia
dini tentu belum bisa mengungkapkan atau mengekspresikan kasih sayang ibunya
kepadanya melalui kata-kata maupun nyanyian. Dalam hal ini sang ibulah yang
bernyanyi dengan harapan kelak nanti anaknya dewasa, anaknya tersebut akan tetap
mengingat dan menghargai semua perjuangan ibunya yang telah membesarkannya dari
kecil hingga dewasa.
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa lirik nyanyian dideng dideng versi
informan, dan versi kedua ibu yang mendideng anaknya di Desa Nagasaribu dan Desa
Tapian Nauli adalah sama atau tidak memiliki varian. Lirik pada bait pertama adalah
sebagai berikut:
molo huingot i sude jika kuingat semua itu
loja ni dainang i lelahnya ibuku
marmudu au sian na metmet merawat aku dari kecil
tu na balga hingga besar
Lirik tersebut di atas memiliki makna denotatif yang menghasilkan makna eksplisit,
langsung, dan pasti. Lirik tersebut menggambarkan anak yang tidak pernah melupakan
segala susah payah maupun perjuangan yang dilalui ibunya ketika merawatnya dari kecil
hingga dewasa. Sejak ibu mengandung anaknya, banyak hal yang harus dialami ibu,
mulai dari sakitnya mengidam hingga pertaruhan nyawa ketika melahirkan. Setelah
anaknya lahir, tugas utama ibu adalah menyusui anaknya karena air susu merupakan
makanan utama bagi bayi. Setelah masa-masa menyusui, seorang anak harus tetap berada
di bawah pengawasan ibu untuk mengontrol pertumbuhan dan perkembangan anaknya.
Memberi anaknya makan, memandikan, menidurkan, merupakan tanggung jawab harian
ibu, di samping harus melakukan aktivitas lain mengurus rumah tangga, dan juga
membantu suami mencari nafkah. Semua itu dilakukan ibu hari berganti hari, minggu
berganti minggu, bulan berganti bulan bahkan tahun berganti tahun, hal itu terus
dilakukan demi anak dan keluarganya. Setelah anaknya remaja dan beranjak dewasa
bukan berarti ibu tidak lagi mengurusi anaknya, memang tanggung jawab untuk
menyuapi, memandikan, menidurkan anaknya tidak lagi dilakukan, tetapi justru di masa-
masa inilah ibu juga harus tetap mengawasi pertumbuhan anaknya, khususnya
pertumbuhan karakternya, agar kelak anaknya tumbuh menjadi anak yang baik, anak
yang berguna bagi keluarga, masyarakat dan bangsa. Semua hal yang dilalui ibunya
tersebut membuat anak sadar bahwa hanya karena ibulah dia bisa tumbuh dan
berkembang hingga dewasa. Dengan tetap mengingat susah payah seorang ibu dalam
membesarkannya dari kecil hingga dewasa, seorang anak telah menunjukkan bahwa dia
adalah anak yang menghargai orang tuanya, tetapi anak yang melupakannya adalah anak
durhaka.
Selanjutnya pada bait ke dua nyanyian dideng dideng terdapat lirik sebagai berikut:
diabing au diompa au dipangku aku digendong aku
asa sonang modom au agar aku tenang tidur
dideng dideng dideng dideng
didok muse o hasian disebut lagi oh sayang
90
Lirik pada bait ke dua nyanyian dideng dideng di atas juga memiliki makna denotatif.
Lirik tersebut menggambarkan usaha-usaha yang dilakukan ibu di kala hendak
menidurkan anaknya. Menidurkan anak bukanlah hal yang mudah, karena anak hanya
bisa tidur kalau dia sudah merasa nyaman. Banyak cara yang dilakukan seorang ibu agar
anaknya cepat tidur dan terlelap. Pada umumnya ibu-ibu terlebih dahulu menyusui
anaknya sebelum menidurkannya, karena anak yang sudah kenyang pada umumnya akan
cepat tidur. Tetapi terkadang dengan perut yang sudah kenyang pun, si anak masih tetap
rewel, di sinilah ibu harus berusaha mengupayakan agar anaknya cepat tidur. Kadang-
kadang anaknya dipangku (diabing), tetapi kalau belum juga bisa tidur dalam
pangkuannya, anaknya digendong (diompa) lagi. Dan kalau anaknya belum juga bisa
tidur dengan cara dipangku maupun digendong, maka ibu akan mendidengkan anaknya
dengan menyanyikan nyanyian pengantar tidur dideng dideng.
3. Analisis Konteks Nyanyian Menidurkan Anak
Ko-teks adalah keseluruhan unsur yang mendampingi teks seperti unsur paralinguistik,
proksemik, kinetik, dan unsur material lainnya. Dalam hal budaya, nyanyian menidurkan
anak dideng dideng termasuk kepada pertunjukan budaya. Kata-kata yang digunakan
sepenuhnya adalah kosakata bahasa Batak Toba. Kata-kata ini merupakan kata-kata yang
memiliki makna, sementara nyanyian tersebut disajikan dalam bentuk melodis. Mimik
muka ibu yang mendidengkan anaknya yaitu ibu Sinaga dan ibu Simanullang
mengekspresikan kasih sayang yang tulus dari mereka kepada anak-anak mereka yaitu
Mauliate Sinaga dan Lina Simanullang. Gerak yang dilakukan ibu Sinaga dan ibu
Simanullang adalah gestur kegiatan menyayangi anak. Ketika Mauliate Sinaga berada
dalam gendongan ibu Sinaga yaitu posisi gendong depan, secara spontan ibu Sinaga
mengelus-elus bokong maupun badan anaknya pelan-pelan, hal itu dimaksudkan agar
anaknya cepat tidur senada dengan irama lagu Dideng dideng yang pelan dan mendayu-
dayu. Begitu juga ketika Lina Simanullang berada dalam ayunan, gerakan tangan ibu
Simanullang yang mengayun anaknya dengan pelan-pelan juga mengikuti irama lagu.
Karena nyanyian ini merupakan pertunjukan budaya sehari-hari yang tidak begitu
menonjolkan segi artistik, tetapi lebih menonjolkan guna dan fungsi sosial, maka kostum,
tata cahaya, gaya rambut, properti, setting tak begitu diutamakan. Artinya ibu
melakukannya dengan alamiah saja, apaadanya, mengalir dalam budaya Batak Toba.
Pakaian yang digunakan oleh ibu Sinaga dan ibu Simanullang juga adalah pakaian
sehari-hari wanitaBatak Toba yang padaumumnya selalu memakai sarung (mandar) dan
laman laman apabila sedang bekerja di luar rumah atau di kebun untuk menghindari
terik matahari dan hujan. Unsur material yang digunakan dalam nyanyian Dideng dideng
ini adalahkain panjang (parompa) yang digunakan untuk menggendong anak baik dalam
posisi gendong depan maupun posisi gendong belakang, tetapi dalam hal ini posisi
menggendong anak adalah posisi gendong depan. Jika anak yang didideng adalah dalam
ayunan, maka yang digunakan adalah ayunan (anggunan) yang terbuat dari segitiga besi
dan per/pegas.
4. Analisis Konteks Nyanyian Menidurkan Anak
1. Tempat berlangsungnya dideng
Dideng dalam menidurkan anak biasanya berlangsung didalam rumah sang anak itu
sendiritepatnyadiruang tengah karenadisanalahayunandiletakkanatau digantungkan.
Orang-orang tua Batak Toba jarang meletakkan atau menggantungkan ayunan di ruang
depan atau di ruang tamu, karena jika ada tamu yang datang, si anak pasti tidak akan bisa
tidur karena akan terganggu oleh pembicaraan tamu. Begitu juga dengan di dapur, di
dapur jarang diletakkan atau digantungkan ayunan karena dapur adalah tempat memasak,
Demak Magdalena Perawati Silaban
91
Kajian Linguistik, Tahun Ke-12, No 1, Februari 2015
suasana dapur yang penuh asap maupun aroma-aroma menyengat dari masakan tidak baik
untuk kesehatan anak. Tetapi, menurut pengamatan di lapangan, ayunan lebih sering
ditempatkan atau digantungkan di dalam kamar orang tua si anak dengan tujuan agar tidur
si anak lebih tenang, dan tidak sering dilalui oleh orang yang berjalan di rumah. Tetapi
jika sang ibu turut membawa anaknya ke sawah ataupun ke ladang, maka dideng juga
bisa berlangsung di tempat tersebut. Biasanya ibu menidurkan anaknya di sebuah gubuk
agar terhindar dari binatang liar, tetapi apabila anaknya menangis ibu akan segera
meninggalkan pekerjaannya dan menggendong anaknya dengan kain parompa dengan
cara ompa jolo karena di gubuk tersebut tidak ada ayunan, dan tidak mungkin ayunan bisa
digantungkan di dalam sebuah gubuk yang terbuat dari bahan-bahan yang tidak kuat
karena gubuk hanyalah sebagai tempat berteduh dan beristirahat sebentar.
2. Waktu berlangsungnya dideng
Dideng hanya dilakukan dalam konteks menidurkan anak. Dideng bisa dilakukan kapan
saja disaat anak hendak tidur baik di waktu malam maupun di siang hari. Akan tetapi
waktu yang lebih dominan berlangsungnya dideng adalah di waktu sianghari, karena pada
waktu malam hari si anak biasanya tidur di samping ibunya, jika anaknya menangis ibu
segera menyusui anaknya dan biasanya dengan hanya disusui saja tanpa didideng si anak
sudah langsung tidur.
3. Pelibatatau pelantun dideng
Orang yang mendidengkankan anak biasanya adalah ibu. Ibu adalah orang yang
bertanggung jawab mengurus anak dan mengurus rumah tangga, sedangkan seorang ayah
bertanggung jawab untuk menghidupi keluarganya dengan bekerja mencari nafkah diluar
rumah. Selain itu, sosok ibu adalah figur yang paling dekat dengan anak, yang paling
mengerti kebutuhan anak, sebagai tempat untuk mengadu, bermanja, maupun bermain.
Keterikatan batin antara ibu dan anak juga kuat dan sangat dibutuhkan oleh anak
terutamaanak bayi dan usia dini.
4. Pelibat yang mendengar dideng
Orang yang mendengar atau berada dilokasi berlangsungnya dideng adalah anak itu
sendiri (anak yang menjadi tujuan utama dilantunkannya dideng). Hal ini disebabkan oleh
jika terlalu banyak orang lain berada disana maka anak tersebut akan sulit untuk tidur
karena sudah barang tentu terjadi kebisingan, sementara itu agar cepat tidur sang anak
butuh ketenangan.
5. Suasana ketika berlangsungnya dideng
Suasana yang tercipta ketika berlangsungnya dideng adalah suasana yang tenang dan
sunyi dimana hanya ada ibu dan anak ketika proses dideng tersebut berlangsung. Seperti
telah dijelaskan sebelumnya, bahwasanya dalam menidurkan anak dibutuhkan suasana
yang sunyi dan tenang agar sang anak dapat segera tertidur. Hal ini disebabkan
berdasarkan pengamatan dilapangan anak akan sulit untuk tidur apabila berada ditengah
suasana yang ramai dan ribut karena pada dasarnya anak usia dini memiliki ketajaman
pendengaran sehingga apabila terdengar suara yang gaduh ia akan mudah untuk
terbangun lagi.
92
6. Analisis Tradisi Lisan Nyanyian Permainan Anak
1. Analisis Tradisi Lisan Nyanyian Permainan Anak Kacang Koring
a. Analisis fungsi nyanyian permainan anak kacang koring
Pada hakikatnya „bermain‟ bukanlah suatu kegiatan yang tidak ada artinya.Bermain
memberi banyak manfaat positif terutama bagi upaya membekal i anak -anak
dengan kemampuan ter tentu agar dapat bertahan hidup dalam lingkungannya.
Dengan bermain, anak-anak akan memperoleh berbagai kemampuan,
keterampilan, dan pengetahuan yang sangat penting untuk keberlangsungan hidup
mereka, tanpa harus merasa jemu ketika berada dalam proses mempelajari ketrampilan
dan pengetahuan tersebut.
Pada dasarnya fungsi nyanyian permainan anak kacang koring juga sama dengan
fungsi folklor seperti yang telah diuraikan sebelumnya.
1. Sebagai bentuk hiburan
Pada dasarnya setiap nyanyian permainan anak memiliki fungsi sebagai bentuk hiburan
atau rekreatif, demikian juga nyanyian permainan kacang koring juga memiliki fungsi
sebagai bentuk hiburan atau rekreatif. Hal itu disebabkan nyanyian permainan kacang
koring merupakan nyanyian yang dinyanyikan anak-anak ketika hendak memulai
permainan. Dengan bermain anak-anak di desa Nagasaribu dan desa Tapian Nauli dapat
menghilangkan sedikit kepenatan dan keletihan mereka dalam beraktivitas sehari-hari
seperti belajar di sekolah maupun di rumah dan membantu orang tua bekerja.
2. Sebagai alat pendidikan anak
Selain sebagai bentuk hiburan nyanyian permainan kacang koring juga berfungsi sebagai
alat pendidikan anak. Kacang koring merupakan nyanyian permainan yang dilakukan
oleh anak-anak usia sekolah. Selain mendapatkan pendidikan formal di sekolah, anak-
anak di desa Nagasaribu dan di desa Tapian Nauli juga mendapatkan pendidikan non
formal di luar sekolah yaitu melalui bermain. Nyanyian permainan kacang koring ini
memiliki nilai pendidikan, pesan maupun petuah bagi anak yaitu saling berbagi, hal
tersebut dapat dilihat pada lirik “sibuat na otik” (ambil sedikit). Jika anak-anak diberi
makanan, biasanya masing-masing anak akan berlomba mengambil sebanyak-banyaknya
tanpa menghiraukan apakah temannya yang lain sudah mendapat bagian atau tidak. Jika
sifat seperti ini terus dibiarkan tentu akan terbawa-bawa sampai mereka dewasa. Maka
melalui nyanyian ini anak-anak diajari untuk saling berbagi, tidak rakus, adalah lebih baik
mengambil sedikit saja atau secukupnya saja agar teman-teman yang lain juga mendapat
bagian.
3. Sebagai alat pemaksa berlakunya norma-norma sosial dan pengendali sosial
Nyanyian permainan Kacang koring juga berfungsi sebagai alat pemaksa berlakunya
norma-norma sosial dan pengendali sosial. Pesan-pesan yang disampaikan melalui
nyanyian ini mengandung nilaimoral. Halini bertujuan agar kelak ketika sang anak
dewasa dan dalam kehidupan sehari-harinya ia menjadi pribadi yang menyenangkan,
hidup sederhana, tidak berlebihan, taat pada ajaran-ajaran, serta bertindak dan berlaku
sesuai aturan dan norma-norma yang berlaku sehingga akan menjadi manusia yang
berguna baik bagi bangsa maupun masyarakat.
b. Analisis makna tradisi lisan nyanyian permainan anak Kacang koring
Nyanyian permainan kacang koring adalah nyanyian permainan yang memiliki makna
Demak Magdalena Perawati Silaban
93
Kajian Linguistik, Tahun Ke-12, No 1, Februari 2015
denotatif yang menghasilkan makna eksplisit, langsung dan pasti. Nyanyian permainan
ini mengandung nasihat. Hal tersebut dapat dilihat pada lirik: “sibuat na otik” (ambil
sedikit). Kacang koring (kacang kering) adalah sejenis makanan ringan yang disukai oleh
semua orang termasuk anak-anak. Dalam lirik nyanyian permainan ini anak-anak
dianjurkan untuk mengambil kacang kering tersebut sedikit saja. Lirik tersebut bermakna
agar anak-anak jangan rakus, jangan egois, tetapi harus mau berbagi dengan teman-teman
yang lain. Mampu berbagi akan menjadikan anak-anak menjadi pribadi-pribadi yang
memiliki etika dan tata krama sehingga kelak mereka dewasa dan terjun ke masyarakat
mereka bisa hidup teratur.
c. Analisis koteks tradisi lisan nyanyian permainan anak Kacang koring
Dalam hal budaya, nyanyian permainan anak Kacang koring termasuk kepada
pertunjukan budaya. Kata-kata yang digunakan sepenuhnya adalah kosakata bahasa Batak
Toba. Kata-kata ini merupakan kata-kata yang memiliki makna, sementara nyanyian
tersebut disajikan dalam bentuk melodis. Mimik muka anak-anak yang menyanyikan
nyanyian permainan ini adalah ceria, senang bercampur penasaran akan telapak tangan
siapa yang berbeda dari yang lain, karena telapak tangan yang berbeda dari yang lain
akan menjadi salah satu pemain yang menang atau pemain yang akan dicari dalam tempat
persembunyian nanti. Gerak yang dilakukan anak-anak adalah dengan serentak
menunjukkan telapak tangan masing-masing di akhir lagu, karena jika lambat dapat
dipastikan bahwa setelah melihat telapak tangan teman-temannya si anak tersebut akan
menunjukkan telapak tangan yang berbeda dari temannya tersebut karena takut kalah dan
menjadi pemain yang akan mencari temannya di tempat persembunyiannya. Hal tersebut
menunjukkan bahwa si anak tersebut adalah anak yang tidak mempunyai kepribadian
tegas, yang takut mengambil resiko. Karena nyanyian permainan ini j u g a merupakan
pertunjukan budaya sehari-hari yang tidak begitu menonjolkan segi artistik, tetapi lebih
menonjolkan guna dan fungsi sosial, maka kostum, tata cahaya, gaya rambut, properti,
setting tak begitu diutamakan. Artinya anak-anak melakukannya dengan alamiah saja,
apa adanya, mengalir dalam budaya Batak Toba. Pakaian yang digunakan oleh anak-anak
adalah pakaian sehari-hari.
d. Analisis konteks tradisi lisan nyanyian permainan anak Kacang koring
1. Pelaku permainan
Nyanyian permainan ini biasanya dinyanyikan sewaktu bermain petak umpat (martabun
tabuni), nyanyian ini merupakan nyanyian permainan untuk menentukan giliran dalam
sebuah permainan atau siapa yang menang dan kalah. Jumlah pemain minimal empat
orang anak. Dalam pengamatan langsung, tidak hanya dalam nyanyian permainan kacang
koring ini, tetapi juga dalam nyanyian permainan yang lain, pelaku nyanyian permainan
ini lebih banyak didominasi oleh perempuan, hal itu dikarenakan anak-anak laki-laki pada
umumnya sudah disuruh orang tua mereka untuk mengurusi ternak mereka, seperti
mencari rumput untuk makanan kerbau atau menjemput kerbau dari tempat
penggembalaannya di sore hari yaitu di ladang, sedangkan anak perempuan tinggal di
rumah untuk memasak dan melakukan pekerjaan rumah lainnya. Dan jika anak-anak
perempuan tersebut sudah selesai melakukan tugasnya mereka bermain bersama anak-
anak yang lain.
2. Tempat berlangsungnya permainan
Permainan ini biasanya dilakukan di luar rumah, tetapi bisa juga di dalam rumah,
tergantung situasi. Kalau cuaca sedang gerimis, hujan, atau terik matahari, maka tidak
94
baik bagi anak-anak untuk bermain di luar rumah, sehingga permainan ini juga bisa
dilakukan di dalam rumah, apalagi jika rumahnya cukup besar dan memiliki banyak
kamar sebagai tempat persembunyian.
3. Waktu berlangsungnya permainan
Nyanyian permainan ini biasanya dilakukan di sore hari, setelah anak-anak pulang dari
sekolah atau setelah anak-anak membantu orang tua mereka, karena pada umumnya anak-
anak yang tinggal di pedesaan sudah dilibatkan orang tuanya untuk bekerja walaupun
sekedar membantu-bantu. Selain itu cuaca di sore hari tidak sepanas dan seterik di siang
hari, sehingga baik untuk kesehatan anak-anak.
4. Cara melakukan permainan
Permainan ini dilakukan dengan membentuk lingkaran kecil, secara bersama-sama anak-
anak mengucapkan kalimat „kacang koring sibuat na otik’. Ketika mengucapkan suku
kata terakhir yaitu „tik‟, masing-masing anak memperlihatkan salah satu telapak tangan
dengan bagian dalam telapak tangan menghadap ke bawah atau ke atas. Pemenang adalah
anak yang memperlihatkan telapak tangan yang berbeda dari anak lainnya. Ketika anak-
anak yang lain sudah menang, maka pemain yang kalah ditentukan oleh dua anak yang
tersisa dengan melakukan sut. Anak yang kalah sut mendapat giliran sebagai penjaga pos.
Si anak tersebut menghadapkan wajahnya ke dinding atau ke tiang untuk menunggu anak
yang lain mencari tempat persembunyian. Sambil menunggu si anak tersebut
mengucapkan kata „nunga”? (sudah?), jika masih ada anak yang menjawab „daung’
(belum), berarti mereka belum menemukan tempat persembunyian, tetapi jika tidak ada
lagi yang menjawab, menandakan bahwa mereka sudah di tempat persembunyian dan
sudah bisa untuk dicari. Jika si anak tersebut sudah memukan salah satu temannya, dia
harus mengucapkan kata „tul‟ sambil menyebutkan nama temannya tersebut. Begitu
seterusnya hingga semua anak ditemukan.
5. Pelibat yang mendengar nyanyian permainan Kacang koring
Orang yang berada di lokasi atau orang yang mendengarkan nyanyian permainan Kacang
koring ini adalah anak-anak itu sendiri sebagai pelaku nyanyian permainan ini. Tetapi,
sehubungan dengan nyanyian permainan ini dilakukan di luar rumah atau di lapangan,
maka petutur atau penikmat nyanyian permainan ini bisa juga masyarakat atau orang
yang berada di sekitar lokasi, seperti: orang yang kebetulan lewat, ataupun orang-orang
yang dengan sengaja ingin menonton anak-anak yang sedang bermain nyanyian
permainan ini.
PEMBAHASAN
1. Kearifan Lokal Nyanyian Menidurkan Anak
Di dalam penelitian kearifan lokal nyanyian menidurkan anak terdapat beberapa
kearifan yang merupakan nilai dan norma warisan leluhur yang menurut fungsinya dalam
menata kehidupan sosial masyarakatnya seperti yang dianalisis berdasarkan pengamatan
langsung.
a. Menghormati orang tua
Dalam nyanyian menidurkan anak dideng dideng digambarkan bagaimana susah
payah dan perjuangan orang tua khususnya ibu dalam membesarkan anaknya dari kecil
hingga dewasa. Semua itu dilakukan ibu sebagai perwujudan kasihnya kepada anaknya.
Demak Magdalena Perawati Silaban
95
Kajian Linguistik, Tahun Ke-12, No 1, Februari 2015
Oleh karena itu, sebagai balasannya setiap anak hendaknya menghormati orangtuanya.
Hal ini juga sesuai dengan ungkapan dalam MBT yaitu tentang kedudukan orangtua yang
sangat tinggi sehingga diibaratkan sebagai Debata na ni ida (Allah yang dapat dilihat).
Allah adalah Tuhan pencipta langit, bumi dan segala isinya, Dia adalah Maha segala-
galanya, dari padaNya kita meminta berkat dan hanya kepadaNya pulalah kita
menyembah dan mengucap syukur. Hal ini berarti bahwa setiap anak wajib menghargai
dan menghormati orangtuanya agar mendapat berkat. Di sisi lain, ada beberapa ungkapan
dalam MBT tentang menghormati orangtua (Sahril, 2011:51) yaitu:
- “Natoras na tutu mangkaholongi ianakkonna, ianakkon na tutu pasangap natorasna”,
artinya orang tua yang benar ialah yang mencintai anak-anaknya dan anak-anak yang
benar ialah yang menghormati orang tua.
- “Tinaba hau toras bahen sopo di balian, na burju marnatoras ingkon dapotan
parsaulian, alai na tois marnatoras, olo ma i gomahan ni babiat”, artinya orang yang
mengasihi orang tuanya dan selalu melayani mereka sebaik-baiknya akan mendapat
kebahagiaan, tetapi yang durhaka terhadap orangtuanya akan mendapat marabahaya.
Dalam ajaran agama Kristen terdapat juga perintah untuk menghormati orang tua yaitu
dalam Patik Palimahon (Titah ke lima) yang berbunyi: “Ingkon pasangap on mu
natorasmu asa martua ho jala leleng mangolu di tano na ni lehon ni Jahowa Debatam di
ho”, artinya hormatilah orang tuamu agar kamu beroleh umur panjang di tanah yang
diberikan Tuhan Allahmu kepadamu. Dari sini jelas terlihat bahwa pandangan MBT dan
ajaran agama tentang menghargai dan menghormati orang tua adalah suatu keharusan dan
kewajiban bagi setiap anak agar beroleh berkat, kebahagiaan, dan umur panjang.
b. Menghormati kaum perempuan
Satu hal yang tidak bisa dilakukan kaum laki-laki dan hanya bisa dilakukan oleh kaum
perempuan, dan yang menjadi perbedaan antara kaum laki-laki dan perempuan adalah
bahwa kaum perempuan bisa mengandung dan melahirkan anak.Sebagai kaum
perempuan, ibu telah merawat anaknya sejak dalam kandungan, kemudian melahirkannya
dan membesarkannya. Dalam MBT kedudukan kaum perempuan/ibu sangat tinggi,
bahkan kita harus memberi penghormatan lebih kepadanya dibanding kepada kaum bapak
(Sahril, 2011: 52) seperti pada ungkapan berikut: “sada sangap tu ama, dua sangap tu
ina”, artinya di samping menerima penghormatan biasa yang diterima oleh kaum bapak,
maka ibu harus lagi menerima penghormatan istimewa, karena ibu diciptakan oleh Tuhan,
untuk melahirkan anak-anak yang membawa kebahagiaan tertinggi dalam rumah tangga
orang Batak.
c. Pantang menyerah
MBT merupakan masyarakat yang pantang menyerah, mereka selalu giat berusaha demi
mencapai apa yang dicita-citakan. Sikap pantang menyerah ini juga tercermin dalam
nyanyian menidurkan anak dideng dideng yaitu pada lirik: diabing au diompa au/asa
sonang modom au/ dideng dideng didok muse/o hasian
(dipangku aku/digendong aku/agar tenang aku tidur/dideng-dideng disebut lagi/oh
sayang). Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, menidurkan anak yang masih bayi
bukanlah pekerjaan yang mudah, bayi hanya akan tidur jika dia sudah merasa nyaman.
Bayi belum bisa berbicara, segala ketidaknyamanan yang dia rasakan hanya bisa dia
ungkapkan melalui tangisan. Dalam lirik tersebut di atas tergambar berbagai cara yang
dilakukan ibu agar anaknya bisa tidur tenang dan terlelap, ibu tidak menyerah apabila
satu cara yang dia lakukan belum bisa membuat anaknya tidur. Terkadang ibu memangku
anaknya, dan jika anaknya belum bisa tidur dalam pangkuannya, ibu menggendongnya,
dan jika anaknya belum juga bisa tidur dengan dipangku dan digendong, maka ibu
menyanyikan nyanyian pengantar tidur yaitu dideng dideng. Setiap kali ibu hendak
96
menidurkan anaknya, semua itu terus dilakukan tanpa mengeluh sedikitpun. Bagi MBT
anak adalah segalanya, apapun akan dilakukan orangtua untuk memperjuangkan anaknya,
hal ini sesuai dengan ungkapan orang Batak yang menyatakan “anak hon hi do
hamoraon di au” (anakku adalah kekayaan bagiku).
2. Kearifan Lokal Nyanyian Permainan Anak Kacang Koring
Dalam nyanyian permainan kacang koring terdapat nilai kearifan lokal yaitu saling
berbagi. Hal ini tercermin pada lirik „si buat na otik‟ (ambil sedikit). Kacang koring
(kacang kering) merupakan snack khas MBT, dan jenis kacang kering yang terkenal dari
Batak Toba adalah kacang garing sihobuk. Kacang ini aslinya berasal dari desa Sihobuk,
Tarutung, Kabupaten Tapanuli Utara. Kacang Sihobuk memiliki karakter rasa yang kuat,
gurih dan renyah berkat proses pembuatannya yang cukup unik. Terlebih dahulu dipilih
kacang yang tebal kulitnya agar tidak mudah hancur ketika sedang diproses, kemudian
direndam selama satu sampai dua hari, lalu dijemur sampai kering selanjutnya
digongseng di atas bara di dalam tungku yang bercampur pasir
(http://blogspot.com/makanan-tradisional-sumatera-utara.html). Kacang ini sangat baik
untuk kesehatan karena tidak digoreng melainkan digongseng. Dahulu, kacang ini hanya
bisa dijumpai di daerah Tarutung sekitarnya, oleh karena itu para perantau selalu
memburu kacang ini sebagai oleh-oleh khas Tarutung. Berkat pembuatannya yang unik,
dan kegunaannya yang baik untuk kesehatan, serta hanya bisa dijumpai di kota asalnya,
maka tidak heran kalau kacang ini dulunya sangat mahal, sehingga orang-orang pun
hanya membelinya secukupnya saja, yang penting ada sedikit-sedikit untuk dibagi-bagi
kepada famili maupun anggota keluarga.
Sekarang ini, kacang garing sihobuk disuguhkan di pesta-pesta Batak Toba seperti pesta
pernikahan, memasuki rumah baru, kematian, dan lain-lain. Kacang ini sengaja dipesan
atau dibeli dari daerah asalnya yaitu Tarutung. Kacang ini dibagi-bagikan oleh pihak boru
yang mengadakan pesta kepada para tamu yang terdiri dari hula-hula, dongan tubu, ale-
ale, dongan sahuta, bersama dengan snack yang lain seperti lampet (lepat), teh manis,
kopi, dan lain-lain. Cara pembagian kacang ini adalah diberi sejumput-sejumput kepada
para tamu, hal ini bermaksud agar semua tamu mendapat bagian karena yang dibagi
adalah sedikit. Tetapi, jika kacang sihobuk tidak ada maka kacang kering yang biasa
dijual di onan (pasar) lah sebagai penggantinya. Meskipun lebih murah dan lebih mudah
didapat, tetap kacang ini dibagi sejumput-sejumput kepada para tamu.
Membagi-bagikan snack kacang kering walaupun hanya sejumput-sejumput merupakan
simbol penghormatan dari pihak yang mengadakan pesta kepada para tamu. Meskipun
demikian para tamu termasuk hula-hula, dongan tubu sudah merasa senang dan
terhormat. Hal ini menunujukkan bahwa di manapun MBT selalu menunujukkan sikap
berbagi yang tinggi, walaupun posisinya sebagai hula hula mereka tidak bersikap serakah
dengan meminta bagian yang lebih banyak dari tamu yang lain. Jadi, kacang koring
sibuat na otik mengandung nilai kearifan lokal bahwa MBT memiliki sikap saling
berbagi. Hal ini juga sesuai dengan ungkapan MBT yang mengatakan “holan babiat do
siallang na godang”(hanya harimau yang makan banyak).
SIMPULAN DAN SARAN
1. Simpulan
Keberadaan nyanyian rakyat anak-anak pada MBT saat ini yaitu nyanyian menidurkan
anak dan nyanyian permainan anak sudah mulai mengalami pergeseran dipengaruhi oleh
beberapa faktor yaitu: bahasa, teknologi dan pendidikan. Nyanyian anak pada MBT
adalah nyanyian anak yang memiliki fungsi. Fungsi nyanyian menidurkan anak adalah
sebagai bentuk hiburan, alat pendidikan anak, alat pemaksa berlakunya norma-norma
Demak Magdalena Perawati Silaban
97
Kajian Linguistik, Tahun Ke-12, No 1, Februari 2015
sosial, dan penguat ikatan persaudaraan, sedangkan fungsi nyanyian permainan anak
masing-masing adalah sebagai bentuk hiburan, sebagai alat pendidikan anak, sebagai alat
pemaksa berlakunya norma-norma sosial dan pengendali sosial, dan sebagai penguat
ikatan persaudaraan. Makna nyanyian menidurkan anak adalah menghargai perjuangan
ibu, sedangkan makna nyanyian permainan anak masing-masing tidak boleh rakus,
menjaga kebersihan badan, kebersamaan, dan cinta lingkungan. Konteks nyanyian
menidurkan anak dan nyanyian permainan anak ini adalah mengenailatar atau tempat
berlangsungnya nyanyian anak tersebut, siapa yang melantunkan, siapa yang
mendengarkan, bagaimana suasananya, serta bagaimana melakukannya. Nilai kearifan
lokal yang terdapat pada nyanyian menidurkan anak adalah menghormati orang tua,
menghormati kaum perempuan, sedangkan kearifan lokal nyanyian permainan anak
masing-masing adalah saling berbagi, kesehatan, saling berbagi, kerukunan bersaudara,
serta cinta lingkungan. Nyanyian menidurkan anak dan nyanyian permainan anak MBT
merupakan tradisi lisan yang memiliki kearifan lokal yang sangat baik oleh karena itu
perlu dilestarikan sebagai tradisi lisan MBT.
DAFTAR PUSTAKA
Barthes, Roland. (2007). Petualangan Semiologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Barthes, Roland. (2009). Mitologi. Yogjakarta: Kreasi Wacana.
Bascom, William R. (1965b). Four Functions of Folklore dalam Alan Dundes The Study
of Folklore. Englewood Cliff: Prentice Hall Inc.
Cook, Guy. (1994). Discourse. Oxford: Oxford University Press.
Danandjaja, James. (1991). Folklor Indonesia: Ilmu Gosip, Dongeng, dan lain-lain.
Jakarta: Grafiti.
Danandjaja, James. (1994). Metode Mempergunakan Folklor Sebagai Bahan Penelitian
Antropologi Psikologi dalam Antropologi Psikologi: Teori, Metode, dan
Perkembangannya. Jakarta: Rajawali Press.
Danandjaja, James. (2002). Folklor Amerika: Cermin Multikultural yang Manunggal.
Jakarta: Grafiti.
Danandjaja, James. (2007). Pendekatan Folklor dalam Penelitian Bahan-Bahan Tradisi
Lisan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Finnegan, Ruth. (1977). Oral Poetry. Its Nature, Significance and Social Context.
London: Cambridge University Press.
Halliday, M.A.K. (1978). Language as Social Semiotics. London: University Park Press.
Halliday, M.A.K. Hasan R. (1985). Language, Context, and Text: Aspect of Language in
A Social Semaiotic Perspective. London: Oxford University Press.
Leach, Maria. (1949). (Ed.). Dictionary of Folklore Mythology and Legend. New York:
Funk & Wagnalls Company.
Prop, Vladimir. (1975). Morfology of the Folktale. Austin, London: University of Texas
Press.
Ratna, Nyoman Kutha. (2006). Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
98
Sibarani, Robert. (2012). Kearifan Lokal Hakikat. Peran, dan Metode Tradisi Lisan.
Medan: Asosiasi Tradisi Lisan
Sinar, T.S. (2010). Teori dan Analisis Wacana. Medan: Pustaka Bangsa Press.
Media internet
(http://blogspot.com/makanan-tradisional-sumatera-utara.html). Diunggah tanggal 3
Agustus 2014.
Demak Magdalena Perawati Silaban