warta hak asasi manusia - balitbangham.go.idpendidikan formal maupun yang lahir dari lingkungan...

44
PENGHAPUSAN DISKRIMINASI DAN KEKERASAN TERHADAP ANAK Pemenuhan Hak Partisipasi Anak dalam Pembangunan Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak Humanis Warta Hak Asasi Manusia VOLUME 1 TAHUN XI JULI 2015 ISSN 1412-3916

Upload: others

Post on 17-Jan-2020

11 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Warta Hak Asasi Manusia - balitbangham.go.idpendidikan formal maupun yang lahir dari lingkungan keluarga sendiri. Melalui surat pembaca, saya ingin menyumbangkan saran untuk Majalah

PENGHAPUSAN DISKRIMINASI DAN KEKERASAN TERHADAP ANAK

Pemenuhan Hak Partisipasi Anakdalam Pembangunan

Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak

HumanisWarta Hak Asasi Manusia

VOLUME 1 TAHUN XI JULI 2015 ISSN 1412-3916

Page 2: Warta Hak Asasi Manusia - balitbangham.go.idpendidikan formal maupun yang lahir dari lingkungan keluarga sendiri. Melalui surat pembaca, saya ingin menyumbangkan saran untuk Majalah

PELANTIKAN PEJABAT ESELON IDI LINGKUNGAN KEMENTERIAN HUKUM DAN HAM

TAHUN 2015

Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan HAMKementerian Hukum dan HAM RIJl. HR. Rasuna Said Kav. 4-5 Kuningan, Jakarta Selatan

www.balitbangham.go.id ©2015 - Humas dan Informasi

Foto: Erfina

Foto: Erfina

Page 3: Warta Hak Asasi Manusia - balitbangham.go.idpendidikan formal maupun yang lahir dari lingkungan keluarga sendiri. Melalui surat pembaca, saya ingin menyumbangkan saran untuk Majalah

Humanis Volume 1 Tahun XI Juli 2015 1

HumanisWarta Hak Asasi Manusia

Daftar IsiHalaman

Surat Pembaca 2

Buah Bibir Meramu Keberhasilan Sistem Penal 3

OpiniPerspektif HAM dalam Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat (Adat) Melalui Sektor Pariwisata 6

Hak-Hak Narapidana Ditinjau dari Perspektif HAM 10

Pemenuhan Hak Partisipasi Anak dalam Pembangunan 15

Teori Pemidanaan (Hukuman) dalam Pandangan Hukum 19

FokusImplementasi Konvensi ILO No. 182 Tahun 1999 dalam Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak ditinjau dariPerspektif HAM 22

Hak Hidup Pengungsi Bangla-desh dan Etnis Rohingya dalam Perspektif HAM di Aceh 27

Upaya Penghapusan Diskrimi-nasi dan Kekerasan terhadap Anak Perempuan 32 Agenda 36

Apa dan Siapa 40

Dari RedaksiPelindung

Menteri Hukum dan HAMRepublik Indonesia

PengarahY. Ambeg Paramarta, S.H., M.Si.

Penanggung JawabChairani Idha K.

RedakturSamuel Purba,S.H., M.Hum.Trisasi Dwi Handahyni, S.H.

RR. Risma Indriyani, S.H., M.Hum.Djoko Pudjiraharjo, S.H., M.Hum

Redaktur PelaksanaDrs. Halasan Pardede

Penyunting/EditorSabir R, Bc.KN., S.Sos.

Daryono, S.H.

Desain Grafis dan FotograferAgus Priyatna, A.Md.

Maria Erfina Oktaviani, S.I.P.

SekretariatSyafril M., S.Sos.Tri Wantustri, S.H.

PenerbitBadan Penelitian dan Pengembangan

Hukum dan Hak Asasi Manusia

Alamat RedaksiJl. HR. Rasuna Said Kav. 4-5,

Kuningan-Jakarta Selatan, Telp. 021-2525165, Fax. 2526438website:www.balitbangham.go.id

Redaksi menerima tulisan, artikel, karikatur, yang berkaitan dengan HAM.

Redaksi berhak mengedit tanpa mengubah substansi. Surat dikirim ke redaksi Humanis atau melalui email :

[email protected]

Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada diri manusia yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap warga negara. Namun realita kehidupan di tengah-tengah masyarakat tidak dapat dipungkiri bahwa terjadinya diskriminasi, penyiksaan, pengabaian atas hak-hak masyarakat, perdagangan anak dan perempuan, kekerasan terhadap anak perempuan dan berbagai jenis pelanggaran HAM lainnya merupakan kejadian yang semakin marak terjadi. Menyikapi beragam pelanggaran HAM tersebut, pada edisi kali ini redaksi menyajikan beragam topik kajian tentang HAM dari sudut pandang yang beragam pula, di antaranya terkait dengan kesejahteraan masyarakat adat, tentang hak-hak narapidana, pemenuhan hak anak dalam pembangunan, penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak, hak pengungsi dan upaya penghapusan diskriminasi dan kekerasan terhadap anak perempuan. Harapan redaksi, melalui sudut pandang penanggulangan pelanggaran HAM dalam edisi ini, pembaca mendapatkan tambahan pengetahuan dan pemahaman tentang HAM.

Foto Cover: http://kidzedge.com/recent-issues/empowering-children/

Page 4: Warta Hak Asasi Manusia - balitbangham.go.idpendidikan formal maupun yang lahir dari lingkungan keluarga sendiri. Melalui surat pembaca, saya ingin menyumbangkan saran untuk Majalah

Humanis Volume 1 Tahun XI Juli 20152

SURAT PEMBACA

Pendidikan HAM pada Sekolah Dasar

Redaksi yang terhormat ,

Kesadaran akan nilai Hak Asasi Manusia pada

dasarnya tidak pernah didapat dengan sendirinya,

tetapi melalui proses yang bertahap, baik melalui

pendidikan formal maupun yang lahir dari lingkungan

keluarga sendiri. Melalui surat pembaca, saya ingin

menyumbangkan saran untuk Majalah HUMANIS

bahwa pendidikan HAM seharusnya sudah dimulai

dari tingkat Sekolah Dasar. Dalam hal ini, Badan

Penelitian dan Pengembangan HAM mungkin dapat

menerbitkan majalah mengenai HAM di samping

kurikulum PPKN yang sudah ada untuk tingkat

Sekolah Dasar dan selanjutnya, sehingga anak

didik akan mendapat gambaran yang utuh mengenai

HAM sejak dini. Diharapkan dengan meningkatnya

pemahaman HAM tawuran antarpelajar maupun

mahasiwa dapat diminimalisir.

Dina Suhandi

Jl. Garuda Raya Bekasi

Sdr. Dina

Di Bekasi

Terima kasih atas surat Anda. Redaksi menyambut

baik pandangan Saudara akan pentingnya

pendidikan Hak Asasi Manusia sejak dini, yaitu dari

tingkat Sekolah Dasar, mengingat pembentukan

karakter manusia berada pada tingkat pendidikan

Sekolah Dasar, sehingga diharapkan kelak menjadi

manusia yang berbudi pekerti yang baik, dengan

menghormati dan menjunjung tinggi nilai-nilai Hak

Asasi Manusia.

Pemetaan Permasalahan HAM di Indonesia

Redaksi yang terhormat,

Dalam kesempatan ini saya sebagai pembaca

Majalah HUMANIS mempunyai harapan yang sangat

besar dalam perkembangan HAM di Indonesia.

Berkaitan dengan itu, saya berharap majalah

HUMANIS bisa menyampaikan pemberitaan tentang

kemajuan HAM di Indonesia secara konkrit.

Untuk itu mungkin dapat ditampilkan juga dengan

pemetaan permasalahan HAM yang terjadi di bumi

Indonesia.

Dengan demikian saya sebagai pembaca dapat

mengetahui dan memperoleh informasi yang baik

dan valid serta pada umumnya masyarakat luas pun

dapat mengetahuinya.

Fajar

Jl. Korma Tangerang (Islamic)

Sdr. Fajar

Di Tangerang

Terima kasih atas harapan yang Saudara utarakan

kepada Redaksi HUMANIS. Redaksi dengan segala

keterbatasan akan tetap terus berusaha mencari

data yang valid, akurat dan terkini yang berhubungan

dengan permasalahan HAM dan laporan kemajuan

permasalahan HAM di Indonesia. Hal ini tidak dapat

dengan mudah diperoleh serta membutuhkan waktu

yang tidak singkat. Oleh karena itu, mudah-mudahan

suatu saat Redaksi dapat menyampaikannya dengan

baik dalam bentuk cetakan. Untuk sementara ini,

Saudara dapat membuka website Badan Penelitian

dan Pengembangan HAM yang sudah menampilkan

permasalahan HAM di setiap provinsi.

Page 5: Warta Hak Asasi Manusia - balitbangham.go.idpendidikan formal maupun yang lahir dari lingkungan keluarga sendiri. Melalui surat pembaca, saya ingin menyumbangkan saran untuk Majalah

Humanis Volume 1 Tahun XI Juli 2015 3

BUAH BIBIR

Kelebihan kapasitas

narapidana, penyalahgunaan

dan gembong narkoba,

serta inkapasitas staf telah

diindikasikan oleh banyak pihak

sebagai problematika layanan

pemasyarakatan kontemporer.

Berangkat dari temuan yang

dipublikasikan tentang berbagai

pelanggaran di beberapa

lembaga pemasyarakatan

(lapas) selama dua tahun

terakhir, khususnya hal yang

terkait kasus narkoba, sebagian

besar masalah yang mengakar

ini kerap dianggap sebagai

kegagalan institusional tunggal

ketimbang ‘ketidakharmonisan’

secara struktural. ‘Struktural’

dalam hal ini untuk menyatakan

bahwa pemasyarakatan perlu

diletakkan pada dua aspek, di

satu sisi sebagai mekanisme sah

negara untuk menghukum dan

di sisi lainnya sebagai otoritas

negara untuk memperbaiki pelaku

kriminal.

Dari perspektif yang

lebih luas, hukuman melalui

Meramu Keberfungsian Sistem Penal

Harison Citrawan*

penahanan (incarceration) dan

kebijakan pengendalian kejahatan

merupakan konsep yang terjalin

yang patut dilihat dalam sistem

pidana secara keseluruhan. Oleh

karena itu, dalam mengupas

pemasyarakatan paling baik

dilakukan dalam bingkai sistem

peradilan pidana nasional yang

terpadu; yang ternyata perspektif

terhadap hilir sistem ini, yakni

pemasyarakatan, masih sangat

kurang.

Pertama, jika kita

menempatkan premis dasar

kebutuhan untuk memperbaiki

sistem peradilan pidana nasional

yang terpadu maka gagasan

terhadap pemberdayaan atau

penguatan aparat penegak

hukum harus linier dengan visi

reformasi sistem pemasyarakatan.

Sebagaimana paradigma hari

ini antar-aparat sistem peradilan

yang cenderung bekerja sendiri-

sendiri ketimbang bahu-membahu

secara bersama, kebijakan hukum

pidana nasional harus mampu

memastikan bahwa semua

institusi pemangku kepentingan,

yaitu: pengadilan, kepolisian,

kejaksaan, hingga lembaga

pemasyarakatan, bekerja pada

arah yang sama.

Kedua, sebuah arah

bersama yang didasarkan pada

premis pertama perlu disandarkan

pada kebijakan pengendalian

kejahatan nasional. Sampai saat

ini, kebijakan tersebut belum

digali secara serius oleh setiap

lembaga hukum; sementara itu

fakta bahwa forum Dilkumjakpol

(yang terdiri Pengadilan Negeri,

Kementerian Hukum dan Hak

Asasi Manusia, Kepolisian dan

Kejaksaan) tampak masih ‘samar-

samar’ secara kelembagaan.

Oleh karena itu, visi hukum terkait

pengendalian kejahatan (crime

control) merupakan kebutuhan

genting di antara lembaga-

lembaga sistem peradilan pidana

terpadu.

Mengingat dua basis di

atas, lembaga pemasyarakatan

sebagai tempat penahanan

Page 6: Warta Hak Asasi Manusia - balitbangham.go.idpendidikan formal maupun yang lahir dari lingkungan keluarga sendiri. Melalui surat pembaca, saya ingin menyumbangkan saran untuk Majalah

Humanis Volume 1 Tahun XI Juli 20154

BUAH BIBIR

para pelaku kriminal menjalani

hukuman mereka harus

secara konsekuen dibina

atau dibentuk kembali dalam

konteks pencegahan kejahatan

masa depan. Keberfungsian

kekuasaan pemidanaan, seperti

Foucault berpendapat, “is that

distributed throughout the social

space, legible like an open

book, operating by a permanent

recodification of the mind of the

citizens, eliminating crime by

those obstacles placed before

the idea of a crime, and acting

invisibly and uselessly on the

‘soft fibres of the brain’.”

Sementara kelebihan

kapasitas dianggap sebagai

masalah utama saat ini di

hampir seluruh lembaga

pemasyarakatan, solusi

proaktif dan jangka panjang

membutuhkan visi yang lebih

komprehensif dengan tidak

menempatkan kelebihan

kapasitas tersebut sebagai

fenomena kelembagaan yang

terpisah. Dalam sudut pandang

sistem peradilan pidana terpadu,

fenomena tersebut harus dilihat

sebagai masalah dari sistem

secara keseluruhan.

Patut diakui, belum ada data

yang komprehensif mengenai

efektivitas sistem peradilan pidana

terpadu di Indonesia, khususnya

dalam memulihkan dan memperbaiki

kelakuan buruk kriminal menjadi

masyarakat yang mulia (noble

society); contoh praktisnya ialah kita

sulit menemukan tingkat residivis di

negeri ini selama dekade terakhir.

Meskipun demikian, mengingat

jumlah narapidana yang sangat

besar di hampir semua fasilitas

pemasyarakatan di Indonesia,

dan masih meningkat sampai saat

ini, dapat diasumsikan bahwa kita

sangat memerlukan kebijakan

nasional dalam mengendalikan

kejahatan.

Melalui sebuah studi dari

Sistem Penjara Amerika Serikat,

Lynch menyampaikan bahwa,

“raising the rate of incarceration is

unlikely to lower crime if crime is

caused by factors that incarceration

does not or cannot address.” Jika

kita mengambil contoh penjahat

penyalahgunaan dan pengedar obat

di Indonesia, yang tidak diragukan

lagi berkembang pesat di sebagian

besar lembaga pemasyarakatan,

maka kita akan sampai pada

sebuah kesimpulan bahwa hukum

dan penerapan hukum itu sendiri

belum dipadukan secara kongruen

dengan kebijakan penghukuman.

Menghukum pelaku kriminal

melalui penahanan mungkin

memberikan efek jera di tengah

masyarakat, tetapi kondisi

‘over-punishment’ saat ini

justru menumpahkan masalah

yang lebih kompleks baik di

dalam maupun di luar lembaga

pemasyarakatan. Akibatnya,

lembaga pemasyarakatan

bagaimanapun tampak gagal

dalam berfungsi sebagai sebuah

sistem yang, sebagaimana Lynch

menjelaskan, “. . . has a crime

suppression effect, or one that

reduces the level of crime in

society.”

Tanpa visi mengendalikan

kejahatan secara nasional, kita

mungkin akan menghadapi

masalah-masalah lama yang

sama di masing-masing institusi

peradilan pidana. Terlepas dari

kenyataan bahwa penguatan

sistem peradilan pidana

terpadu nasional, terutama

dengan menegaskan posisi

pemasyarakatan sebagai

bagian integral dari sistem,

telah ditetapkan oleh Badan

Perencanaan Pembangunan

Nasional sebagai prioritas

pemerintah dalam lima tahun ke

depan, maka akan menjadi sia-sia

jika tidak didukung oleh kemauan

politik yang kuat, termasuk politik

Page 7: Warta Hak Asasi Manusia - balitbangham.go.idpendidikan formal maupun yang lahir dari lingkungan keluarga sendiri. Melalui surat pembaca, saya ingin menyumbangkan saran untuk Majalah

Humanis Volume 1 Tahun XI Juli 2015 5

BUAH BIBIR

legislasi.

Sebagaimana pandangan

kita terkait penegakan hukum

sebagian besar merujuk pada

proses ajudikasi, dari sudut

pandang sistem yang terintegrasi

maka strategi harus merujuk pada

mekanisme penegakan hukum

dari perspektif yang lebih besar

untuk menyertakan proses post-

ajudikasi. Langkah-langkah saat ini

meliputi revisi KUHP dan KUHAP,

hingga perubahan terhadap UU

Pemasyarakatan semoga akan

menjadi langkah besar berikutnya

untuk menjamin kehadiran negara

dalam kehidupan publik.

Akhirnya, keberhasilan sistem

hukum dalam suatu masyarakat

tidak ditentukan semata-mata

oleh jumlah undang-undang

berlaku, maupun seberapa

banyak jumlah penjara dibangun,

ataupun kuantitas aparat penegak

hukum dengan pendapat yang

tinggi; tetapi lebih kepada tingkat

kepatuhan dan kesesuaian warga

negara terhadap hukum.

===

*Penulis adalah Fungsional Peneliti

Pertama pada Bidang Studi Hukum

dan Pengadilan di Puslitbang

Transformasi Konflik Balitbang HAM

Gambar: Google

Page 8: Warta Hak Asasi Manusia - balitbangham.go.idpendidikan formal maupun yang lahir dari lingkungan keluarga sendiri. Melalui surat pembaca, saya ingin menyumbangkan saran untuk Majalah

Humanis Volume 1 Tahun XI Juli 20156

OPINI

Inti dari pembangunan,

khususnya pembangunan

ekonomi adalah menaikkan

tingkat kesejahteraan hidup

masyarakat, yang umumnya

dikaitkan dengan kenaikan

tingkat pendapatan individu dan

masyarakat, atau bangsa dalam

konteks lebih umumnya. Korelasi

antara pendapatan dan tingkat

kemiskinan dapat dirumuskan

dalam teori ukuran kemiskinan

Foster-Greer-Thorbecke (1984),

yakni sub-group monicity.

Aksioma ini menyatakan jika

pendapatan di suatu sub-group

berubah maka ukuran kemiskinan

sub-group dan ukuran kemiskinan

keseluruhan juga berubah. Hal

ini dikenal juga dengan istilah

efek tetesan ke bawah (trickle

down effect) atau dampak

ganda pembangunan (multiplier-

effect). Konsep pembangunan

berbasis pendapatan (trickle

down effect) ini yang dijadikan

acuan oleh pemerintah Indonesia

Perspektif HAM dalam Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat (Adat) Melalui Sektor Pariwisata

Rahjanto*

untuk mengentaskan kemiskinan.

Namun konsep yang digunakan

sebagai acuan dalam kebijakan

sosial berbasis pendapatan di

banyak negara kesejahteraan

(welfare state) termasuk Indonesia,

tidak bisa menjelaskan fenomena

meningkatnya jumlah penduduk

miskin di satu sisi dan meningkatnya

jumlah orang kaya di sisi lain

namun tidak berdampak terhadap

pengurangan jumlah penduduk

miskin. Hal ini dikarenakan konsep

pembangunan berbasis pendapatan

tidak mempunyai arah dan visi

jangka panjang bagi peningkatan

dan perubahan yang bermakna

bagi manusia. Hal ini diperkuat

oleh kajian Sherraden (2006)) yang

memperlihatkan kebijakan sosial

yang hanya melandaskan diri pada

pendapatan dan pola konsumsi

masyarakat sebagai indikator

keberhasilan pengentasan

kemiskinan terbukti tidak berhasil

mengentaskan kemiskinan di

berbagai negara yang menganut

asas welfare state.1

Dalam bidang pembangunan

pariwisata, konsep yang

digunakan merujuk pada

pembangunan berbasis

pendapatan. Hal ini terlihat di kota-

kota yang menjadi tujuan wisata

di Indonesia. Di Bali, sepanjang

jalan Pantai Kuta penuh dengan

klub, diskotik dan kafe yang

merupakan produk impor dari

luar daerah. Di Yogyakarta,

pembangunan pariwisata

dilakukan dengan membangun

mal dan pusat perbelanjaan bagi

wisatawan. Ini mengindikasikan

bahwa pembangunan pariwisata

cenderung mengabaikan

potensi dan aset utama, yakni

kekayaan budaya dan nilai-

nilai lokal masyarakat yang

seharusnya menjadi selling point

1 Cecep Rukendi dan Bra Baskoro, ‘Pembangunan Pariwisata Berbasis Aset dalam rangka Memerangi Kemiskinan di Indonesia’ dalam Henky Hermantaro, (et.all), Pariwisata Mengikis Kemiskinan, Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Kepariwisataan, 2010, hal. 52-53.

Page 9: Warta Hak Asasi Manusia - balitbangham.go.idpendidikan formal maupun yang lahir dari lingkungan keluarga sendiri. Melalui surat pembaca, saya ingin menyumbangkan saran untuk Majalah

Humanis Volume 1 Tahun XI Juli 2015 7

OPINI

dari pembangunan pariwisata

Indonesia.2

Konsep pembangunan pariwisata

yang lainnya adalah pembangunan

pariwisata berbasis aset yang

relatif baru di Indonesia. Konsep

ini mengacu pada pendapat

Sherraden (2006), Yunus (2007),

de Soto (2006) dan Cohen (1984).

Konsep ini berperan sebagai

usaha pengentasan kemiskinan

karena dampak sektor pariwisata

secara positif yakni meningkatkan

pendapatan masyarakat yang

mendorong pada akumulasi aset.

Secara sederhana, pembangunan

pariwisata berbasis aset adalah

pembangunan sosial, politik

dan ekonomi yang mendorong

pemerataan pendapatan dan

akumulasi aset pada masyarakat

lokal (adat – pen.) dan pemerintah

daerah dengan menjadikan

pariwisata sebagai core business

yang sesuai dengan potensi dan

aset yang dimiliki. Hal ini dicirikan

oleh kepemilikan dan akses

masyarakat lokal (adat-pen.)

terhadap sumber daya ekonomi

pariwisata, dikembangkannya

social entrepreneur masyarakat

lokal (adat-pen.) dalam

pembangunan pariwisata, adanya

akses dana bagi masyarakat.3

2 Ibid., hal. 56.3 Ibid., hlm. 57.

Contohnya adalah pembangunan

pariwisata di Pulau Kura-Kura

(Turtle Island) seluas 500 hektar

di Kepulauan Fiji oleh Richard

Evanson pada tahun 1972.4 Saat

dibeli oleh Evanson, pulau tersebut

tidak berpenghuni dan mengalami

degradasi akibat terlalu lama

diabaikan. Tumbuhan dan hewan

telah musnah, erosi tanah dan

ekosistem termasuk hutan bakau,

batu karang dan pantai telah rusak.

Dengan kerja keras dan partisipasi

aktif penduduk lokal yang

diberdayakan oleh Evanson, pada

tahun 1980 resort tersebut dibuka

dengan visi “to provide a genuine

and loving Fijian experience for

carring people, and to be a vital

resource to our community.”

Pulau Kura-Kura melaksanakan

berbagai program dan aktivitas

yang inovatif berdasarkan

lingkungan dan komunitas untuk

memenuhi visi tersebut, termasuk

menanam lebih dari satu juta

pohon dari tempat perawatan di

pulau tersebut. Vegetasi tumbuh

memenuhi permukaan pulau lebih

dari 10% s.d. 82% termasuk pohon

buah. Hal ini mencegah erosi dan

menyediakan habitat untuk burung

dan kehidupan liar yang sekarang

kaya keberagamannya. Indikator

4 Ibid., 57-58.

kunci: jumlah pohon yang telah

ditanam dan persentase jumlah

vegetasi alami. Staf lokal diberikan

pelatihan manajemen lingkungan

dan rehabilitasi, pemasaran hasil

kebun, pekerjaan bangunan yang

sulit dan juga pekerjaan dalam

operasional resort. Indikator

kunci: persentase pertumbuhan

produksi lokal dan persentase

staf yang telah diberikan pelatihan

keahlian kunci. Selain itu Pulau

Kura-Kura telah meningkatkan

kualitas peralatan kesehatan yang

tersedia melalui provisi sumber

peralatan kesehatan, termasuk

merespon kebutaan epidemik

yang disebabkan oleh katarak

dan diabetes. Saat ini lebih dari

11.000 orang Fiji telah diperiksa

matanya, lebih dari 9.000 pasang

kacamata telah diberikan secara

cuma-cuma, lebih dari 1.000

operasi telah dilakukan (terutama

katarak) dan 20 cangkok kornea.

Pulau Kura-Kura juga mengelola

klinik kesehatan lainnya:

dermatologi, kesehatan wanita

dan klinik gigi yang menyediakan

jasa spesialis. Contoh ini

menunjukkan bagaimana bisnis

pariwisata singular mampu

memberi kontribusi yang

signifikan dalam hal kesehatan

dan kenyamanan komunitas

Page 10: Warta Hak Asasi Manusia - balitbangham.go.idpendidikan formal maupun yang lahir dari lingkungan keluarga sendiri. Melalui surat pembaca, saya ingin menyumbangkan saran untuk Majalah

Humanis Volume 1 Tahun XI Juli 20158

OPINI

lokal, seperti restorasi ekologi

yang signifikan dan pengerjaan

konservasi. Pulau Kura-Kura

menyediakan pendanaan di

bawah program usaha sosial,

mengeluarkan USD 1 juta

dalam program pembangunan

tiga resort. Pulau Kura-Kura

memainkan peranan aktif dalam

pemasaran dan manajemen

resort, serta peran yang proaktif

dalam transfer pengetahuan.

Resort tersebut secara langsung

dan tidak langsung menciptakan

lebih dari 100 kesempatan kerja

baru. Bunga dari pinjaman lunak

untuk mendirikan bisnis ini akan

dibayarkan dari keuntungan

pembangunan resort.5

Di Indonesia, konsep tersebut

pernah dilakukan melalui

program desa wisata, wisata

budaya, atau desa cagar wisata,

namun konsep tersebut kurang

berhasil karena sifatnya top-

down, tanpa ada pemberdayaan

masyarakat lokal dan tanpa ada

pemetaan aset yang dimiliki

oleh daerah wisata. Hal ini

berbeda dengan Pulau Kura-

Kura (Fiji) dan TOMM (Australia).

Di kedua obyek wisata ini,

5 United Nations – World Tourism Organization, Indicators of Sustainable Development for Tourism Destinations: A Guidebook, Madrid, Spain: World Tourism Organization, 2004, pp. 100.

pembangunan pariwisata dimulai

dengan pemetaan aset dan potensi

yang dimiliki daerah, kemudian

diaplikasikan dalam visi dan misi

serta program kerja. Langkah

selanjutnya adalah penyebaran

informasi ke masyarakat lokal dan

melakukan pemberdayaan secara

aktif dalam pembangunan obyek

wisata. Di TOMM (Australia),

masyarakat lokal memiliki saham

dalam resort tersebut. Hal yang

sama terjadi di Pulau Kura-Kura,

masyarakat lokal diberdayakan dan

diberi pelatihan untuk dapat menjadi

pegawai di resort. Secara berkala,

Pulau Kura-Kura juga berperan

aktif meningkatkan kesehatan

masyarakat lokal daerahnya.6

Kegagalan pembangunan destinasi

pariwisata terkadang disebabkan

oleh produk pariwisata yang tidak

mempunyai akar di masyarakat

setempat, kadang produk tersebut

diimpor dari luar hanya untuk

memenuhi selera wisatawan

mancanegara agar datang.

Pernahkah terlintas di pikiran kita

mengapa orang Amerika Serikat,

Inggris, Prancis, dan sebagainya

datang ke Bali? Bukankah di daerah

mereka juga terdapat banyak pantai

yang indah? Jika dikaji lebih dalam,

ternyata yang menjadi tujuan mereka

6 Cecep Rukendi dan Bra Baskoro, Op. Cit., hal. 60.

adalah melihat kebudayaan

Bali yang terkenal eksotik dan

unik (Rukendi, 2006), yang

merupakan laboratorium hidup

kebudayaan Hindu yang berada

dengan kebudayaan mereka.

Apabila Bali tidak menawarkan

nilai tambah budayanya, mungkin

daya tarik wisatawan datang

ke Bali tidak akan sebesar ini.

Hal ini membuktikan bahwa

pembangunan pariwisata harus

didasarkan pemahaman potensi

dan aset yang dimiliki oleh

daerah wisata. Tanpa pemetaan

yang komprehensif maka produk

pariwisata akan kurang berhasil

dalam menarik partisipasi

masyarakat lokal dan minat

wisman untuk datang.7

Kekayaan flora, fauna, alam,

kemajemukan cultural heritage

dan wisata bahari di Indonesia,

semua merupakan aset yang

apabila dikembangkan secara

optimal dapat menjadi solusi

bagi pengembangan pariwisata

dan pengentasan kemiskinan di

Indonesia. Malaysia adalah bukti

nyata negara yang memanfaatkan

aset secara optimal untuk

pengembangan pariwisata

sebagai pendapatan utama

negara. Sudah saatnya Indonesia

menyusun kembali pembangunan

7 Ibid., hal. 60-61.

Page 11: Warta Hak Asasi Manusia - balitbangham.go.idpendidikan formal maupun yang lahir dari lingkungan keluarga sendiri. Melalui surat pembaca, saya ingin menyumbangkan saran untuk Majalah

Humanis Volume 1 Tahun XI Juli 2015 9

OPINI

pariwisata sebelumnya, seperti

pariwisata kerakyatan atau

pariwisata berbasis masyarakat.

Namun konsep-konsep tersebut

seringkali masih terbatas

pada konsep pemberdayaan

masyarakat dengan kenaikan

pendapatan sebagai tolok ukur

keberhasilannya.8

8 Ibid., hal. 62.

Tabel

Perbedaan Pembangunan Pariwisata Berbasis Pendapatan dengan AsetPembangunan Berbasis

PendapatanPembangunan Berbasis Aset

Pengertian

Pembangunan pariwisata yang bertujuan untuk meningkatkan pendapatan masyarakat dengan mendasarkan pada pembangunan destinasi wisata yang dapat menarik wisatawan, terutama mancanegara

Pembangunan pariwisata yang bertujuan untuk mendorong terciptanya akumulasi aset dan investasi masyarakat dengan pembangunan destinasi wisata yang sejalan dengan potensi dan aset ekonomi yang ada di masyarakat

Tujuan Jangka Pendek dan Menengah Jangka Menengah dan Panjang

Perilaku IndividuKonsumtif, Boros, Tidak mempunyai perencanan dalam pembangunan pariwisata

Hemat, mempunyai perencanaan dalam pembangunan pariwisata

Sumber Penghasilan

Pendapatan tergantung kepada besar-kecilnya jumlah wisatawan yang datang ke destinasi wisata. Jika, yang datang sedikit maka pendapatannya sedikit. Begitupula sebaliknya

Sumber ekonomi destinasi wisata, Aset, investasi, besar-kecil wisatawan yang datang merupakan pendapatan tambahan yang menunjang potensi ekonomi masyarakat

Partisipasi Masyarakat

Kurang terlibat dalam perencanaan dan pembangunan pariwisata.

Terlibat secara aktif dalam proses pembangunan pariwisata. Bahkan dibeberapa destinasi wisata, masyarakat local mempunyai saham di destinasi itu, sehingga mendukung bagi peningkatan partisipasi destinasi wisata

Perencanaan dan Pelaksaan Pembangunan

Top down. Kebijakan ditentukan oleh sekelompok orang yang mempunyai kepentingan terhadap pembangunan destinasi wisata tersebut

Bottom Up. Kebijakan ditentukan berdasarkan partisipasi masyarakat dan potensi serta asset yang telah ada atau memungkinkan dikembangan sebagai sumber daya ekonomi sekaligus destinasi wisata.

Titik Fokus Pembangunan Pariwisata

Terpusat pada destinasi wisata tertentu, yang dapat menarik kunjungan wisatawan, terutama mancanegara. Destinasi wisata yang dibangun lebih disesuaikan dengan trend yang ada.

Terpusat pada potensi dan aset yang ada di masyarakat, terutama merupakan sumber daya ekonomi masyarakat yang sekaligus dapat dikembangkan menjadi destinasi wisata. bisnis dan ekonomi yang merupakan basis ekonomi sebuah masyarakat

Pemberdayaan Ekonomi Pariwisata

Terpusat pada sektor-sektor tertentu. Kurang mendukung pengembangan bisnis yang merupakan basis ekonomi sebuah masyarakat

Mendukung pengembangan bisnis dan ekonomi yang merupakan basis ekonomi sebuah masyarakat

Makro Ekonomi Peningkatan pendapatan dan konsumsi masyarakat

Stabilitas fiskal, tabungan dan investasi

Sumber: Cecep Rukendi dan Bra Baskoro, 2010.

--ooOoo--

Daftar Pustaka

Hermantaro, Henky, (et.all),

Pariwisata Mengikis

Kemiskinan, Jakarta:

Pusat Penelitian

dan Pengembangan

Kepariwisataan, 2010.

*) Penulis adalah Fungsional Peneliti Tingkat Pertama Bidang Studi Hukum dan Pengadilan pada Puslitbang Hak-Hak Sipil dan Politik Balitbang HAM

Page 12: Warta Hak Asasi Manusia - balitbangham.go.idpendidikan formal maupun yang lahir dari lingkungan keluarga sendiri. Melalui surat pembaca, saya ingin menyumbangkan saran untuk Majalah

Humanis Volume 1 Tahun XI Juli 201510

OPINI

L e m b a g a

pemasyarakatan (lapas) di

Indonesia masih menjadi sorotan

publik karena kerap mengalami

permasalahan gangguan

keamanan dan ketertiban,

di antaranya kerusuhan dan

kaburnya narapidana. Pada 11

Juli 2013 terjadi kerusuhan dan

pembakaran di Lapas Tanjung

Gusta dan pada 16 Februari

2014 terjadi kerusuhan dan

pembakaran di Lapas Klas II

A Lhokseumawe. Gangguan

lainnya berupa pelarian,

perkelahian narapidana dan

penggunaan obat terlarang

(narkotika).

Kriminolog dari

Universitas Indonesia, Iqrak

Sulhin, menyebutkan tiga faktor

penyebab gangguan keamanan

dan ketertiban di dalam lapas1:

1 Kerusuhan di Lembaga Pemasyarakatan Bisa Jadi By Design, diunduh dari http://news.okezone.com/read/2013/08/20/62/ 852609/ kerusuhan-di-Lembaga Pemasyarakatan , Selasa, 20 Agustus 2013.

Hak-Hak NarapidanaDitinjau Dari Perspektif HAM

Gunawan*

(1) buruknya kondisi lapas karena

kelebihan kapasitas; (2) lemahnya

kemampuan lapas untuk memenuhi

hak-hak dasar narapidana; (3)

terciptanya budaya penjara

yang memungkinkan memiliki

posisi tawar: hubungan informal

narapidana dan petugas, kedua

belah pihak saling memanfaatkan

kondisi yang dapat mendatangkan

keuntungan.

Jika dilihat dari tiga faktor

tersebut, dapat diilustrasikan bahwa

kapasitas lapas yang tidak cukup

menampung narapidana akhirnya

mengakibatkan keterbatasan

kuantitas petugas pengamanan

lapas. Idealnya rasio petugas

pengamanan dengan narapidana

di lapas adalah satu orang petugas

pengamanan menangani 25

narapidana. Namun hampir semua

lapas di Indonesia belum dapat

memenuhi rasio perbandingan

petugas dan narapidana yang

ideal2.

2 “Keruwetan Kehidupan di Dunia” diunduh dari http://hukum.kompasiana.com/2013

Apabila kapasitas lapas

tidak mampu menampung jumlah

narapidana, besar kemungkinan

akan mempengaruhi lapas

dalam memenuhi hak-hak

narapidana serta mempengaruhi

ketidakmaksimalan petugas

keamanan dalam memberikan

pembinaan bagi narapidana.

Indonesia sebagai negara

yang telah mengakomodir

International Convenant on

Economic Social Culture Rights

(ICESCR) maupun International

Convenant on Civil Politic Rights

(ICCPR) dituntut untuk melakukan

implementasi nilai-nilai HAM

dalam kehidupan bermasyarakat,

berbangsa dan bernegara. Lapas

harus mengakomodir nilai-

nilai HAM dalam pelaksanaan

kegiatannya. Dengan demikian,

perspektif HAM menjadi hal yang

relevan untuk melihat penerapan

hak-hak narapidana di lapas.

/05 /17 /keruwetan-d i -Lembaga Pemasyarakatan-dan-keruwetan-kehidupan-di-dunia-560914.html, Kamis, 20 Februari 2014

Page 13: Warta Hak Asasi Manusia - balitbangham.go.idpendidikan formal maupun yang lahir dari lingkungan keluarga sendiri. Melalui surat pembaca, saya ingin menyumbangkan saran untuk Majalah

Humanis Volume 1 Tahun XI Juli 2015 11

OPINI

Dalam Pasal 10 Ayat

(1) ICCPR, “Setiap orang yang

dirampas kebebasannya wajib

diperlakukan secara manusiawi

dan dengan menghormati

martabat yang melekat pada

diri manusia”. Ketentuan

tersebut mengisyaratkan bahwa

kehilangan kemerdekaan

merupakan satu-satunya

penderitaan yang dikenakan

terhadap narapidana. Mereka

harus tetap diperlakukan secara

manusiawi dan dihormati

martabatnya sebagai manusia.

Pasal 26 ICCPR menyatakan

“Semua orang berkedudukan

sama di hadapan hukum dan

berhak atas perlindungan hukum

yang sama tanpa diskriminasi

apapun”. Dalam pemenuhan

hak-hak narapidana sebagai

konsekuensi penerapan hukum

tidak dibenarkan adanya perlakuan

diskriminasi.

Fenomena gangguan

keamanan dan ketertiban di

lapas ini penting sebagai bahan

pertimbangan dalam perumusan

kebijakan mengenai pelaksanaan

HAM oleh negara terhadap

narapidana. Hal ini menunjukkan

kesungguhan pemerintah dalam

memenuhi tiga kewajiban negara

(three layers of state) berupa

penghormatan, pemenuhan dan

perlindungan HAM.

Pemerintah telah mengatur

hak-hak bagi narapidana melalui

Pasal 14 Ayat (1) UU No.12 Tahun

1995 tentang Pemasyarakatan.

Hak-hak tersebut berkaitan

dengan hak ekonomi, sosial, dan

budaya serta hak sipil dan politik,

mencakup:

a. Melakukan ibadah sesuai

dengan agama atau

kepercayaannya;

b. Mendapat perawatan baik

rohani maupun jasmani;

c. Mendapatkan pendidikan dan

pengajaran;

d. Mendapatkan pelayanan

kesehatan dan makan yang

layak;

e. Menyampaikan keluhan;

f. Mendapatkan bahan bacaan

dan mengikuti siaran

media massa lainnya yang

tidak dilarang;

g. Mendapatkan upah atau

premi atas pekerjaan

yang dilakukan;

h. Menerima kunjungan

keluarga, penasehat hukum,

atau orang tertentu lainnya;

i. Mendapatkan pengurangan

masa pidana;

j. Mendapatkan kesempatan

berasimilasi ternasuk cuti

mengunjungi keluarga;

k. Mendapatkan pembebasan

bersyarat;

l. Mendapatkan cuti menjelang

bebas;

m. Mendapatkan hak-hak

narapidana sesuai dengan

peraturan perundang-

undangan yang berlaku.

Hak-hak narapidana

dalam tataran instrumen

nasional diatur dalam Pasal 14

Ayat (1) UU No.12 Tahun 1995

tentang Pemasyarakatan yang

pelaksanaannya diatur dengan

Peraturan Pemerintah Republik

Indonesia No.32 Tahun 1999

tentang Syarat dan Tata Cara

Pelaksanaan Hak Warga Binaan

Pemasyarakatan. Peraturan

tersebut kemudian diubah dengan

Peraturan Pemerintah No.28

Tahun 2006 tentang Perubahan

atas Peraturan Pemerintah No.32

Tahun 1999 tentang Syarat dan

Tata Cara Pelaksanaan Hak

Warga Binaan Pemasyarakatan

dan Peraturan Pemerintah No.99

Tahun 2012 tentang Perubahan

Kedua atas Peraturan Pemerintah

No.32 Tahun 1999 tentang Syarat

dan Tata Cara Pelaksanaan Hak

Warga Binaan Pemasyarakatan.

Adapun pengertian

narapidana menurut UU

Page 14: Warta Hak Asasi Manusia - balitbangham.go.idpendidikan formal maupun yang lahir dari lingkungan keluarga sendiri. Melalui surat pembaca, saya ingin menyumbangkan saran untuk Majalah

Humanis Volume 1 Tahun XI Juli 201512

OPINI

No.12 Tahun 1995 tentang

Pemasyarakatan adalah:

“Narapidana adalah terpidana

yang menjalani pidana hilang

kemerdekaan di lapas.

Sedangkan terpidana adalah

seseorang yang dipidana

berdasarkan putusan pengadilan

yang telah memperoleh kekuatan

hukum tetap.”

Hilang kemerdekaan

tidak menjadikan HAM yang

melekat pada diri narapidana

hilang sehingga ia diperlakukan

semena-mena oleh pihak lain.

Narapidana, seperti halnya

manusia lain, merupakan entitas

berhak menikmati hak-haknya.

Berkenaan dengan hak-hak

narapidana dalam perspektif

HAM, maka dapat sekiranya

dijelaskan hak-hak narapidana

dikaitkan dengan prinsip-rinsip

HAM sebagaimana tersebut:

U n i v e r s a l i t y

dimaksudkan bahwa semua

orang dilahirkan merdeka,

mempunyai martabat dan hak-

hak yang sama (Pasal 1 DUHAM)

termasuk narapidana sebagai

manusia.

I n a l i e n a b i l i t y

dimaksudkan bahwa HAM adalah

mutlak, tidak boleh diambil kecuali

dalam situasi tertentu dan sesuai

dengan proses hukum. Narapidana

memiliki keterbatasan dalam hak

bergerak namun tidak memiliki

keterbatasan dalam pemenuhan

hak-hak lainnya seperti hak atas

kesehatan, hak mendapatkan

remisi, dan sebagainya.

Interdependent dan

indivisible dimaksudkan bahwa

HAM baik hak sipil dan politik, sosial,

budaya dan ekonomi, semuanya

inheren, menyatu sebagai bagian

dari harkat-martabat manusia

yang tak terpisahkan. Hal tersebut

sebagaimana hak yang dimiliki

oleh narapidana, bahwasanya hak-

hak yang terkandung dalam Pasal

14 Ayat (1) UU No.12 Tahun 1995

tentang Pemasyarakatan terdiri dari

hak-hak sipil dan politik serta hak-

hak ekonomi, sosial, dan budaya.

Equal and non

discriminatory dimaksudkan

bahwa HAM melarang diskriminasi

atas dasar jenis kelamin, ras,

warna kulit dan sebagainya.

Prinsip non-diskriminasi dilengkapi

dengan prinsip kesetaraan, dan

untuk itulah HAM dikatakan

universal sebagaimana tertuang

dalam Pasal 1 DUHAM. Seburuk-

buruknya narapidana tidak berarti

ia harus mendapatkan perlakuan

diskriminasi.

Both right and obligation

dimaksudkan dalam hukum

internasional, negara-negara

diharapkan untuk menghormati

dan menjamin hak-hak para

individu. Badan-badan PBB

yang membentuk perjanjian

HAM PBB telah mengadopsi

tripartie typology kewajiban

negara terhadap HAM, yakni

negara wajib menghormati (to

respect), memenuhi (to fulfil)

dan melindungi (to protect)

HAM. To respect berarti negara

berkewajiban untuk menghindari

tindakan intervensi terhadap

HAM yang dapat berakibat pada

pelanggaran HAM itu sendiri.

To fulfil mengandung arti bahwa

negara mempunyai kewajiban

untuk mengambil tindakan-

tindakan legislatif, administratif,

peradilan, dan praktis

(kebijakan) yang diperlukan

untuk memastikan bahwa

HAM dilaksanakan sebesar

mungkin. Sedangkan to protect

berarti negara dituntut untuk

melakukan aksi-aksi yang positif

untuk menghindari terjadinya

pelanggaran HAM3.

Negara sebagai Pemangku 3 What are Human Rights? Diunduh

dari situs resmi Office of the High Commissioner for Human Rights, United Nations, http://www.ohchr.org/en/issues/pages/whatarehumanrights.aspx, Rabu, 5 Maret 2014.

Page 15: Warta Hak Asasi Manusia - balitbangham.go.idpendidikan formal maupun yang lahir dari lingkungan keluarga sendiri. Melalui surat pembaca, saya ingin menyumbangkan saran untuk Majalah

Humanis Volume 1 Tahun XI Juli 2015 13

OPINI

Kewajiban dalam Menerapkan

Hak Narapidana

Peran lapas sangat penting

dalam hal menghormati HAM

narapidana melalui pembinaan

terutama yang hukuman

pidananya cukup lama, karena

sekalipun telah diusahakan

berbagai hal dalam rangka

pembinaan narapidana, namun

ternyata dampak psikologis akibat

pidana penjara masih nampak

dan memerlukan pemikiran yang

tuntas.

Seorang narapidana tidak

hanya dipidana secara fisik tetapi

juga secara psikologis. Hukuman

pidana penjara secara psikologis

merupakan beban berat bagi

narapidana. Berbagai dampak

psikologis dan hilangnya beberapa

hak, antara lain:4

a. Lose of personaling. Seorang

narapidana selama dipidana

akan kehilangan kepribadian

diri, identitas diri akibat

peraturan dan tata cara di

lapas.

b. Lose of security. Pengawasan

setiap saat, narapidana akan

ragu dalam bertindak, kurang

percaya diri, dan tidak mampu

mengambil keputusan secara

baik.

4 CI. Harsono, Sistem Baru Pembinaan Narapidana, Djambatan 1995, hal.80.

c. Lose of liberty. Hilangnya

kemerdekaan individual seperti

berpendapat dan sebagainya.

d. Lose of personal

communication. Hilangnya

kebebasan berkomunikasi.

e. Lose of good and service.

Hilangnya pelayanan

menyebabkan narapidana

kehilangan affection, kasih

sayang yang biasanya didapat

di rumah.

f. Lose of heterosexual. Hilangnya

penyaluran nafsu seks yang

terpendam sehingga akan

terjadi abnormalitas seksual

(homoseks).

g. Lose of prestige. Narapidana

akan kehilangan dirinya, seperti

kamar tidur (sel) yang hanya

berpintu terali besi.

h. Lose of believe. Karena hukum

yang dijalani narapidana cukup

lama maka ia akan kehilangan

rasa percaya diri, seperti

kurang memiliki stabilitas jiwa

yang mantap.

i. Lose of creativity. Narapidana

akan terampas kreativitasnya,

ide-idenya, bahkan impian dan

cita-citanya.

Pembinaan di lapas ditujukan

agar selama masa pembinaan

dan setelah selesai menjalankan

pidananya para narapidana dapat:

a. Berhasil memantapkan kembali

harga diri dan kepercayaan

dirinya serta bersikap optimis

akan masa depannya.

b. Memperoleh pengetahuan,

minimal keterampilan untuk

bekal mampu hidup mandiri dan

berpartisipasi dalam kegiatan

pembangunan nasional.

c. Berhasil menjadi manusia

yang patuh hukum yang

tercermin pada sikap dan

perilaku yang tertib, disiplin

serta mampu menggalang rasa

kesetiakawanan nasional.

d. Memiliki jiwa dan semangat

pengabdian terhadap bangsa

dan negara.

Pembinaan narapidana

tidak hanya dilakukan oleh

petugas pemasyarakatan saja,

tapi juga diperlukan bantuan

berbagai pihak. Prinsip-prinsip

dasar pembinaan harus berjalan

seiring, searah dan selaras

untuk mencapai tujuan. Prinsip

itu adalah kemauan atau hasrat

narapidana untuk membina

sendiri, keterlibatan keluarga

dalam membina anggota

keluarganya yang menjadi

narapidana dan keterlibatan

masyarakat untuk ikut serta

membina narapidana dan peran

masyarakat serta pemerintah

Page 16: Warta Hak Asasi Manusia - balitbangham.go.idpendidikan formal maupun yang lahir dari lingkungan keluarga sendiri. Melalui surat pembaca, saya ingin menyumbangkan saran untuk Majalah

Humanis Volume 1 Tahun XI Juli 201514

OPINI

dalam membina narapidana

Sebagai bagian dari

masyarakat, narapidana perlu

mendapat perhatian yang

sungguh-sungguh dari berbagai

lapisan masyarakat agar para

narapidana itu dapat menikmati

hidup bermasyarakat yang

tenteram5. Peran dari lapas yang

bertugas membina narapidana

adalah membekali mereka

dengan pengertian norma-norma

kehidupan serta melibatkan

dalam kegiatan sosial yang dapat

menumbuhkan rasa percaya diri

dalam kehidupan bermasyarakat,

agar mereka sanggup hidup

mandiri. Narapidana itu harus

mempunyai daya tahan, dalam

arti harus mampu hidup bersaing

dengan masyarakat tanpa

melakukan kejahatan lagi.

Kesimpulan

HAM menentukan bahwa

setiap individu berhak untuk

mendapatkan kebebasan secara

pribadi, termasuk hak bergerak.

Namun apabila terdapat individu

yang dianggap membahayakan

keamanan nasional dan

ketertiban umum, kesehatan atau

moral masyarakat, atau hak-

hak dan kebebasan dari orang

5 Djisman Samosir, Fungsi Pidana Penjara dalam Pemidanaan di Indonesia, Binacipta, 1992, hal 70.

lain, maka hak atas kebebasan

individu tersebut harus dibatasi6.

Walau demikan, seorang individu

yang dibatasi atau dirampas

kebebasannya, ia tetap wajib

diperlakukan secara manusiawi

dan dengan menghormati

martabat yang melekat pada diri

manusia7. Perlakuan manusiawi

dan penghormatan atas martabat

semua individu yang dirampas

kemerdekaannya adalah standar

dasar penerapan universal,

dan harus selalu diterapkan

tanpa diskriminasi sebagaimana

ditentukan oleh pasal 2 ayat (1)

ICCPR8.

Narapidana merupakan

individu yang sebagian haknya

dibatasi, khususnya hak

mendapatkan kebebasan, namun

narapidana tetap dapat menikmati

hak-hak lainnya tanpa diskriminasi.

Penerapan hak-hak narapidana

di lapas sangat erat kaitannya

dengan bagaimana niat negara/

pemerintah untuk menegakan

HAM. Indonesia tentunya tidak akan

berdiam dengan penerapan HAM

khususnya bagi narapidana, karena

sesuai dengan ketentuan dalam

ICCPR dikatakan bahwa sebagai

negara yang telah meratifikasi dan

6 Pasal 12 ayat (3) ICCPR7 Pasal 10 ayat (1) ICCPR8 Komentar Umum nomor 9 tentang Pasal

10 ICCPR

telah mengundangkan ke dalam

hukum nasionalnya, Indonesia

berkomitmen menerapkan

hak-hak masyarakat termasuk

narapidana untuk selanjutnya

dilaporkan ke PBB. Adanya sikap

pamrih dari beberapa narapidana

terhadap pentingnya berkelakuan

dan bersifat baik perlu ditekankan

kembali sehingga dapat

memupuk kesadaran diri bahwa

berbuat baik tidak selalu diikuti

dengan diberikannya “hadiah”

berupa pengurangan masa

pidana. Pembinaan mental dan

spiritual serta moralitas akan

menjadi modal utama dalam

pembekalan bagi narapidana

selanjutnya. Kerjasama yang

sinergi antaraparat penegak

hukum dan beberapa instansi

terkait juga berperan besar

dalam upaya penerapan hak

narapidana.

*) Penulis adalah Kepala Subbidang Publikasi Hasil Penelitian pada Bidang Pengembangan Puslitbang Hak-Hak Kelompok Khusus Balitbang HAM

Page 17: Warta Hak Asasi Manusia - balitbangham.go.idpendidikan formal maupun yang lahir dari lingkungan keluarga sendiri. Melalui surat pembaca, saya ingin menyumbangkan saran untuk Majalah

Humanis Volume 1 Tahun XI Juli 2015 15

OPINI

Pemenuhan Hak Partisipasi Anak

dalam Pembangunan

Insan Firdaus*

Dalam suatu negara yang

demokratis dan menjunjung Hak

Asasi Manusia (HAM), partisipasi

merupakan suatu pengakuan

negara akan pentingnya

keberadaan dan peran serta

rakyat dalam pembangunan.

Di era keterbukaan, hak atas

partisipasi bukan hanya ditujukan

dan domain bagi orang dewasa

saja, anak-anak juga diberikan

hak yang sama dan memiliki

kesempatan untuk berpartisipasi

dalam pembangunan. Tentunya

bentuk partisipasi anak tidak

sepenuhnya sama dengan

orang dewasa. Penggunaan

hak partisipasi anak disesuaikan

dengan kematangan umur, mental

dan kemampuan berpikir anak

serta terbatas pada hal-hal yang

berkaitan dengan kepentingan

pemenuhan hak anak.

Begitu pentingnya hak

partisipasi anak, maka dalam

Konvensi Hak Anak (Convention

on the Right of the Child) hak

partisipasi merupakan salah

satu dari empat hak dasar anak

yang harus dipenuhi. Dengan

diberikannya hak partisipasi

bagi anak dalam pembangunan

menempatkan anak sebagai pihak

yang harus diikutsertakan dalam

proses pembangunan sehingga

hasil-hasil pembangunan benar-

benar berpihak, memberi manfaat

dan berguna bagi anak.

Secara hukum, hak

partisipasi anak diatur dalam Pasal

10 Undang Undang Nomor 35

Tahun 2014 tentang Perlindungan

Anak yang berbunyi, “Setiap anak

berhak menyatakan dan didengar

pendapatnya, menerima, mencari,

dan memberikan informasi sesuai

dengan tingkat kecerdasan dan

usianya demi pengembangan

dirinya sesuai dengan nilai-nilai

kesusilaan dan kepatutan”.

Pasal 24 memerintahkan

pada negara dan pemerintah

untuk menjamin agar anak dapat

berpartisipasi dalam pembangunan

dan dalam kehidupan sosial

kemasyarakatan, “Negara dan

pemerintah menjamin anak untuk

dapat mempergunakan haknya

dalam menyampaikan pendapat

sesuai dengan usia dan tingkat

kecerdasan anak.”

Hak partisipasi anak akan

lebih efektif apabila disalurkan

melalui suatu perkumpulan,

kelompok atau forum sehingga

aspirasi atau suara anak tersebut

bisa mewakili kepentingan

anak secara luas berkaitan

dengan pemenuhan hak-

hak anak. Dengan disalurkan

melalui kelompok-kelompok

akan memudahkan pihak yang

berkewajiban dan bertanggung

jawab terhadap pemenuhan

hak anak dalam menampung

dan menentukan skala prioritas

pemenuhan hak anak yang harus

segera dilaksanakan sesuai

dengan aspirasi, suara dan

pendapat anak.

Selama ini partisipasi

anak di berbagai daerah kurang

mendapat perhatian, mungkin

disebabkan oleh kekeliruan

Page 18: Warta Hak Asasi Manusia - balitbangham.go.idpendidikan formal maupun yang lahir dari lingkungan keluarga sendiri. Melalui surat pembaca, saya ingin menyumbangkan saran untuk Majalah

Humanis Volume 1 Tahun XI Juli 201516

OPINI

pemahaman bahwa cara

berpikir anak yang belum

matang sehingga tidak perlu

dipertimbangkan, dan dianggap

belum mampu ikut serta dalam

pembangunan. Padahal yang

justru perlu didengar pendapatnya

adalah anak, berkenaan masa

depan bangsa dan negara yang

akan mereka jalani nantinya1.

Sebagai upaya

pemenuhan hak partisipasi

anak, maka dibentuk Forum

Anak sebagai media, wadah dan

pranata pemenuhan hak anak

untuk menyampaikan pendapat

dan aspirasi anak. Forum Anak

adalah organisasi atau lembaga

sosial yang digunakan sebagai

wadah partisipasi bagi anak

yang belum berusia 18 tahun

dimana anggotanya merupakan

perwakilan dari kelompok anak

atau kelompok kegiatan anak

yang dikelola oleh anak-anak

dan dibina oleh pemerintah

sebagai media untuk mendengar

dan memenuhi aspirasi, suara,

pendapat, keinginan dan

kebutuhan anak dalam proses

pembangunan.

Peran Forum Anak dalam 1 Pedoman Pengembangan Forum

Anak. Jakarta: Deputi Tumbuh Kem-bang Anak Kementerian Pember-dayaan Perempuan dan Perlindun-gan Anak, 2013.

Pembangunan Daerah

Pembentukan Forum

Anak merupakan langkah konkrit

setelah adanya pemahaman yang

memadai tentang makna, arti

penting dan urgensi partisipasi

anak dalam pembangunan. Forum

Anak merupakan ruang bagi

anak untuk berpartisipasi dalam

menuntut pemenuhan hak-hak

anak. Forum Anak diperlukan

karena suara, aspirasi, kebutuhan

dan kepentingan anak perlu

menjadi bahan pertimbangan

dalam pengambilan keputusan

dan merupakan bagian yang tidak

terpisahkan dalam setiap proses

pembangunan nasional.

Keberadaan Forum Anak

dalam proses pembangunan daerah

mempunyai peranan strategis

dalam rangka merencanakan

pembangunan yang berpihak pada

pemenuhan dan perlindungan

hak-hak anak, melalui pelibatan

Forum Anak pada Musyawarah

Perencanaan Pembangunan

(Musrenbang)2. Forum Anak

berperan sebagai perwakilan anak-

anak yang akan menyampaikan

aspirasi, kebutuhan, kepentingan

dan berbagai permasalahan anak

yang perlu mendapat respon dalam

perencanaan pembangunan.

Aspirasi tersebut diperlukan untuk

2 Ibid.hal 2

memastikan bahwa hak-hak

anak terpenuhi, misalnya hak

mendapatkan akta kelahiran,

hak bermain, hak memanfaatkan

waktu luang, hak mendapatkan

informasi yang layak dan lain-

lain.

Pembentukan Forum

Anak Daerah tidak hanya untuk

memenuhi hak partisipasi

anak saja, tetapi juga sebagai

jembatan komunikasi antara

anak-anak dan pemerintah

dalam rangka penghormatan,

pemenuhan dan perlindungan

hak-hak anak lainnya. Di satu

sisi, melalui forum ini anak-anak

dapat menyampaikan berbagai

hal mengenai hak-hak anak yang

belum terpenuhi atau terjadinya

pelanggaran HAM terhadap anak.

Di sisi lain, negara dan pemerintah

dapat mengetahui tentang

aspirasi, masukan dan hak-hak

anak yang belum terpenuhi atau

pelanggaran HAM yang terjadi,

sehingga pemerintah dapat

menentukan kebijakan, program

dan kegiatan pembangunan

yang akan dilakukan untuk

memberikan perlindungan

terhadap pemenuhan hak-hak

anak.

Page 19: Warta Hak Asasi Manusia - balitbangham.go.idpendidikan formal maupun yang lahir dari lingkungan keluarga sendiri. Melalui surat pembaca, saya ingin menyumbangkan saran untuk Majalah

Humanis Volume 1 Tahun XI Juli 2015 17

OPINI

Fungsi Forum Anak Peran dan KewenanganForum Anak

1) Memantau pemenuhan hak anak dan pelaksanaan kewajiban anak;

2) Sosialisasi hak dan kewajiban anak di lingkungan teman sebaya anak;

3) Menyuarakan aspirasi anak;

4) Melibatkan diri dalam proses pengambilan keputusan;

5) Mendorong anak-anak aktif mengembangkan potensinya

1) Memutuskan kegiatan mana yang bermanfaat atau tidak bermanfaat untuk anak;

2) Menentukan cara atau metode dalam menyuarakan aspirasi anak;

3) Menjadi lembaga yang mewakili suara, aspirasi, kebutuhan, kepentingan dan kekhawatiran anak;

4) Memberikan pendapat bila terjadi kasus kekerasan terhadap anak, diminta maupun tidak diminta;

5) Mewakili anak di berbagai tingkatan forum anak.

Pemenuhan hak atas

partisipasi anak juga merupakan

salah satu indikator kabupaten/kota

layak anak, dimana pemerintah

kabupaten/kota berkewajiban

untuk memberi ruang bagi anak-

anak mengeluarkan pendapat dan

berpartisipasi aktif pada proses

pembangunan.

Peran pemerintah

khususnya pemerintah daerah

diperlukan dalam meningkatkan

partisipasi anak melalui Forum

Anak, sebagaimana diatur dalam

lampiran Peraturan Menteri Negara

Pemberdayaan Perempuan dan

Perlindungan Anak Republik

Indonesia Nomor 4 tahun 2011

Tentang Petunjuk Pelaksanaan

Kebijakan Partisipasi Anak Dalam

pembangunan, yaitu:

a. Menyusun dan menetapkan

kebijakan provinsi, kabupaten

dan kota.

b. Melakukan sosialisasi dan

advokasi pada SKPD atau

lembaga tingkat provinsi dan

kabupaten/kota.

c. Memfasilitasi pengembangan

kebijakan partisipasi anak.

d. Menyiapkan dana dan

dukungan sumberdaya

lainnya.

e. Mengembangkan jaringan

tingkat provinsi, kabupaten

dan kota.

f. Menyediakan sekretariat forum

anak provinsi, kabupaten dan

kota.

Permasalahan yang Dihadapi

dalam Pengembangan Forum

Anak

Pada umunya Forum Anak

Daerah mengalami beberapa

hambatan dalam melaksanakan

peran dan fungsinya, baik yang

bersifat kelembagaan, ekonomi

sosial budaya, sumber daya

manusia dan sarana prasarana

pendukung, antara lain:

1. Secara kelembagaan,

Forum Anak daerah kurang

mendapatkan perhatian

secara penuh oleh stakeholder

di daerah dan masih terdapat

pimpinan stakeholder yang

belum memahami dan

memanfaatkan peran dan

fungsi forum anak dalam

pembangunan.

2. Forum anak belum

diikutsertakan dalam

Page 20: Warta Hak Asasi Manusia - balitbangham.go.idpendidikan formal maupun yang lahir dari lingkungan keluarga sendiri. Melalui surat pembaca, saya ingin menyumbangkan saran untuk Majalah

Humanis Volume 1 Tahun XI Juli 201518

OPINI

musyawarah perencanaan

pembangunan. Hal ini

menyebabkan tidak

tersalurkannya aspirasi dan

masukan dari Forum Anak

tentang pemenuhan hak-hak

anak dalam pembangunan

daerah.

3. Dukungan anggaran dan

sarana prasarana yang

minim dari Pemerintah

Daerah menyebabkan

terhambatnya pelaksanaan

peran dan fungsi Forum

Anak dalam berpartisipasi.

4. Peranan masyarakat yang

belum optimal. Masyarakat

belum mengenal dan

memberdayakan peranan

forum anak dalam kehidupan

sehari-hari terutama dalam

perlindungan hak anak.

Kesimpulan

Pemenuhan hak partisipasi

anak dalam pembangunan

merupakan tanggung jawab

pemerintah sebagai pemegang

kewajiban pemenuhan HAM.

Keterlibatan anak dalam memberi

masukan dan partispasinya dalam

pembangunan khususnya melalui

keikutsertaan Forum Anak daerah

di musyawarah perencanaan

pembangunan akan berdampak

pada hasil pembangunan yang

berpihak pada kepentingan dan

pemenuhan hak anak. Oleh karena

itu diperlukan kesadaran dari setiap

stakeholder untuk memahami dan

membuat kebijakan-kebijakan

yang mendukung terpenuhinya

hak partisipasi anak dalam

pembangunan.

=====

Daftar Pustaka

Pedoman Pengembangan Forum

Anak. Jakarta: Deputi Tum-

buh Kembang Anak Kemen-

terian Pemberdayaan Per-

empuan dan Perlindungan

Anak, 2013.

Undang-Undang Nomor 35 Tahun

2014 tentang Perubahan

Atas Undang-Undang

Nomor 23 Tahun 2002

tentang Perlindungan Anak.

*Penulis adalah Fungsional Peneliti Pertama Bidang Studi Hukum dan Pengadilan pada Puslitbang Hak-hak Kelompok Khusus Balitbang HAM

Page 21: Warta Hak Asasi Manusia - balitbangham.go.idpendidikan formal maupun yang lahir dari lingkungan keluarga sendiri. Melalui surat pembaca, saya ingin menyumbangkan saran untuk Majalah

Humanis Volume 1 Tahun XI Juli 2015 19

FOKUS

Banyak kejahatan dapat

diketahui dari korbannya. Dalam

beberapa kasus, kejahatan

terhadap manusia baik dari

kondisi fisik maupun jiwa yang

terluka terlihat pada korban.

Begitu pula pada kasus kejahatan

terhadap harta benda yang dicuri

atau dirusak. Hal ini menyebabkan

apa yang disebut dengan istilah

tuduhan terhadap pelaku. Korban

mengekspresikan permusuhan

terhadap orang yang membuatnya

terluka melalui cara yang sah

di dalam masyarakat. Yang

dimaksud korban di sini bukan

hanya pribadi korban tetapi juga

melibatkan keluarga korban, serta

masyarakat pada umumnya yang

tidak suka terhadap perbuatan

pelaku kejahatan. Setelah itu

munculah rasa cemas dari

masyarakat dan korban mengingat

perbuatan yang dilakukan dan

terjadi pada mereka berpotensi

untuk dilakukan dan terjadi pada

orang lain. Jika dia berpendapat

adanya norma pembalasan adalah

sesuatu yang sangat fundamental

bagi interaksi manusia,

permusuhan antara jumlah korban

dengan pelanggar atau pelaku

kejahatan adalah rintangan untuk

menghilangkan hukuman kepada

pelaku kejahatan dari kehidupan

sosial. Perbandingan antara orang

yang merasa dirugikan terhadap

perbuatan pelanggar memang

jauh. Studi empiris menunjukan

keberagaman perasaan bagi

korban kejahatan. Serta beragam

reaksi yang disampaikan sebagai

pembalasan terhadap perbuatan

yang dilakukan oleh pelanggar.

Fungsi hukuman adalah

mengakomodasi seluruh keinginan

masyarakat yang merupakan wujud

reaksi sosial. Walaupun beragam

ukuran dan bentuk yang diinginkan

namun hukuman harus ada dan

persamakan sebagai wujud untuk

menjaga keseimbangan dalam

masyarakat. Kasus pencurian

akan memiliki reaksi berbeda

dengan pembunuhan. Walaupun

kasus sama tetapi reaksi mungkin

saja berbeda. Misalnya jika ada

kasus pemerkosaan tentu reaksi

masyarakat berbeda pendapat

terhadap penghukuman juga

berbeda. Seorang wanita akan

berpendapat pelaku pemerkosaan

harus dibunuh, tetapi pihak laki-

laki akan berpendapat pelakunya

dihukum penjara.

Pemidanaan secara

sederhana dapat diartikan dengan

penghukuman. Penghukuman

yang dimaksud berkaitan dengan

penjatuhan pidana dan alasan-

alasan pembenar (justification)

dijatuhkannya pidana terhadap

seseorang yang dengan

putusan pengadilan yang telah

berkekuatan hukum tetap (incracht

van gewijsde) dinyatakan secara

sah dan meyakinkan terbukti

melakukan tindak pidana. Hak

penjatuhan pidana dan alasan

pembenar penjatuhan pidana

serta pelaksanaannya tersebut

berada penuh di tangan negara.

Secara garis besar,

teori pemidanaan terbagi dua

Teori Pemidanaan (Hukuman)

dalam Pandangan Hukum

Syafril Mallombasang*

Page 22: Warta Hak Asasi Manusia - balitbangham.go.idpendidikan formal maupun yang lahir dari lingkungan keluarga sendiri. Melalui surat pembaca, saya ingin menyumbangkan saran untuk Majalah

Humanis Volume 1 Tahun XI Juli 201520

FOKUS

dan dari penggabungan kedua

teori pemidanaan tersebut lahir

satu teori pemidanaan lainnya.

Adapun tiga teori pemidanaan

yang dijadikan alasan pembenar

penjatuhan pidana :

1. Teori Absolut atau Teori

Pembalasan (vergeldings

theorien),

2. Teori Relatif atau Teori

Tujuan (doeltheorien),

3. Teori Gabungan

(verenigingstheorien).

1. Teori Absolut atau Teori

Pembalasan (vergeldings

theorien).

Teori ini juga dikenal dengan

Teori Mutlak ataupun Teori

Imbalan, lahir pada akhir abad

ke-18. Menurut Teori Absolut

ini, setiap kejahatan harus

diikuti dengan pidana —tidak

boleh tidak— tanpa tawar-

menawar. Seseorang mendapat

pidana karena telah melakukan

kejahatan1. Pemberian pidana

di sini ditujukan sebagai bentuk

pembalasan terhadap orang

yang telah melakukan kejahatan.

Ada banyak filsuf dan dan ahli

hukum pidana yang menganut

teori ini, di antaranya ialah

Immanuel Kant, Hegel, Herbart,

Stahl, JJ Rousseau. Dari banyak

1 Wirjono Prodjodikoro, loc.cit.

pendapat ahli tersebut, penulis

tertarik dengan pendapat yang

disampaikan Hegel mengenai

argumennya terhadap hukuman bila

dikolerasikan dengan Teori Absolut.

Di mana hukuman dipandang dari

sisi imbalan sehingga hukuman

merupakan dialectische vergelding.2

Dalam teori ini, pidana dapat

disimpulkan sebagai bentuk

pembalasan yang diberikan

oleh negara yang bertujuan

menderitakan penjahat akibat

perbuatannya. Tujuan pemidanaan

sebagai pembalasan pada

umumnya dapat menimbulkan rasa

puas bagi orang, yang dengan jalan

menjatuhkan pidana yang setimpal

dengan perbuatan yang telah

dilakukan3.

2. Teori Relatif atau Teori Tujuan

(doeltheorien).

Lahirnya teori ini menurut penulis

merupakan suatu bentuk negasi

terhadap Teori Absolut, walaupun

secara historis teori ini bukanlah

suatu bentuk penyempurnaan

dari Teori Absolut, yang hanya

menekankan pada pembalasan

dalam penjatuhan hukuman

terhadap penjahat. Teori yang

2 Leden Marpaung, Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana, Jakarta: Sinar Grafika, 2005, hal. 105..

3 Djoko Prakoso, Hukum Penitensier di Indonesia, Yogyakarta: Liberty, 1988, hal. 47.

juga dikenal dengan nama

Teori Nisbi ini menjadikan dasar

penjatuhan hukuman pada tujuan

dan maksud hukuman sehingga

ditemukan manfaat dari suatu

penghukuman (nut van destraf).

Teori ini berprinsip penjatuhan

pidana guna menyelenggarakan

tertib masyarakat yang

bertujuan membentuk suatu

prevensi kejahatan. Wujud

pidana ini berbeda-beda:

menakutkan, memperbaiki, atau

membinasakan. Lalu dibedakan

prevensi umum dan khusus.

Prevensi umum menghendaki

agar orang-orang pada umumnya

tidak melakukan delik4.

Feurbach sebagai salah satu filsuf

penganut aliran ini berpendapat

pencegahan tidak usah dilakukan

dengan siksaan tetapi cukup

dengan memberikan peraturan

yang sedemikian rupa sehingga

setelah orang membaca itu akan

membatalkan niat jahatnya5.

Selain dengan pemberian

ancaman hukuman, prevensi

umum (general preventie) juga

dilakukan dengan cara penjatuhan

hukuman dan pelaksanaan

hukuman (eksekusi). Eksekusi

yang dimaksud dilangsungkan

4 Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta: Rineka Cipta, 1994, hal. 34.

5 Djoko Prakoso, loc. cit.

Page 23: Warta Hak Asasi Manusia - balitbangham.go.idpendidikan formal maupun yang lahir dari lingkungan keluarga sendiri. Melalui surat pembaca, saya ingin menyumbangkan saran untuk Majalah

Humanis Volume 1 Tahun XI Juli 2015 21

FOKUS

dengan cara-cara yang kejam

agar khalayak umum takut dan

tidak melakukan hal yang serupa

yang dilakukan oleh si penjahat.

Pada prevensi khusus, tujuan

pemidanaan ditujukan kepada

pribadi si penjahat agar ia tidak

lagi mengulangi perbuatan yang

dilakukannya. Van Hamel dalam

hal ini menunjukkan bahwa

prevensi khusus dari suatu pidana

ialah:

1. Pidana harus memuat suatu

unsur menakutkan supaya

mencegah penjahat yang

mempunyai kesempatan untuk

tidak melakukan niat buruknya.

2. Pidana harus mempunyai unsur

memperbaiki si terpidana.

3. Pidana mempunyai unsur

membinasakan penjahat yang

tidak mungkin diperbaiki.

4. Tujuan satu-satunya pidana

ialah mempertahankan tertib

hukum.6

Dengan demikian dapat

disimpulkan bahwa dalam

Teori Relatif negara dalam

kedudukannya sebagai pelindung

masyarakat menekankan

penegakkan hukum dengan cara-

cara preventif guna menegakkan

tertib hukum dalam masyarakat.

3. Teori Gabungan

(verenigingstheorien)

6 Andi Hamzah, hal. 36.

Teori Gabungan merupakan

suatu bentuk kombinasi dari

Teori Absolut dan Teori Relatif

yang menggabungkan sudut

pembalasan dan pertahanan

tertib hukum masyarakat. Dalam

teori ini, unsur pembalasan

maupun pertahanan tertib hukum

masyarakat tidaklah dapat

diabaikan antara satu dengan

yang lainnya.

Berdasarkan penekanan atau

sudut dominan dalam peleburan

kedua teori tersebut ke dalam

bentuk Teori Gabungan, teori

ini dibedakan menjadikan tiga

bentuk yaitu, Teori Gabungan

yang menitikberatkan unsur

pembalasan, Teori Gabungan

yang menitikberatkan pertahanan

tertib masyarakat, dan Teori

Gabungan yang memposisikan

seimbang antara pembalasan dan

pertahanan tertib masyarakat.

Menurut Wirjono Prodjodikoro,

bagi pembentuk undang-undang

hukum pidana, bagi para jaksa

dan hakim tidak perlu memilih

salah satu dari ketiga macam teori

hukum pidana tersebut dalam

menunaikan tugas7. Dengan

demikian menjadi penting bagi

para pembuat undang-undang

hukum pidana untuk tidak saja

memiliki pengetahuan dan

7 Wirjono Prodjodikoro, op.cit., hal. 29.

pemahaman yang lengkap

termasuk aspek hukum dan hak

asasi manusia, lebih dari itu dapat

mengedepankan kebijaksanaan

yang bersifat melampaui batasan

waktu dalam keberlakuan undang-

undang tersebut.

--oOo—

Daftar Pustaka

Cressey, and Sutherland (disadur oleh Sudjono D), The Control of Crime Hukuman dalam Perkembangan Hukum Pidana, Bandung: Tarsito, 1974.

Hamzah, Andi, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta:Rineka Cipta, 1994.

Marpaung, Leden. Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana, Jakarta: Sinar Grafika, 2005.

Prodjodikoro, Wirjono, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, Bandung: PT. Refika Aditama, 2008,.

Soetikno, Filsafat Hukum Bagian I, Jakarta: PT. Pradnya Paramita, Jakarta, 2008.

*Penulis adalah Pengolah Data Aplikasi

dan database pada Subbagian Hubungan

Masyarakat dan Protokol Bagian

Hubungan Masyarakat dan Informasi,

Sekretariat Balitbang HAM

Page 24: Warta Hak Asasi Manusia - balitbangham.go.idpendidikan formal maupun yang lahir dari lingkungan keluarga sendiri. Melalui surat pembaca, saya ingin menyumbangkan saran untuk Majalah

Humanis Volume 1 Tahun XI Juli 201522

FOKUS

Implementasi Konvensi ILO No. 182 Tahun 1999 dalam

Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak

ditinjau dari Perspektif HAM

Sabir*

Sebagian besar negara

mencantumkan permasalahan

hak-hak dasar ke dalam

konstitusinya, termasuk

Indonesia dengan UUD-nya.

Masalah perlindungan akan

selalu terkait dengan penegakan

hukum karena perlindungan

merupakan salah satu bagian

dari tujuan penegakan hukum.

Negara ini adalah negara yang

berdasar atas hukum, maka

perlindungan HAM merupakan

tujuan penegakan hukum secara

konsisten1.

Salah satu bidang HAM

yang menjadi perhatian baik di

dunia internasional maupun di

Indonesia adalah hak anak. Saat

ini, kondisi ideal yang diperlukan

untuk melindungi hak-hak anak

belum mampu diwujudkan negara.

Anak mempunyai hak asasi,

sebagaimana yang dimiliki orang

dewasa, namun pemberitaan

1 Olivia Riska, “ Perlindungan dan Hak-Hak Pekerja Anak” diarsipkan pada <http://ajrc-aceh.org/wp-content/uploads/2009/05/pia-makalah.pdf> [07/07/10]

mengenai hak-hak anak tidak

segencar pemberitaan hak-hak

orang dewasa atau isu gender yang

menyangkut hak perempuan. Tidak

banyak pihak melakukan langkah-

langkah konkret perlindungan hak

anak, padahal anak merupakan

gambaran dan cermin masa depan,

aset keluarga, agama, bangsa dan

negara.

Anak dapat bermakna sosial

(kehormatan harkat dan martabat

keluarga tergantung pada sikap

dan perilaku anak), budaya (anak

merupakan harta/kekayaan yang

harus dijaga, sekaligus lambang

kesuburan dalam keluarga),

politik (anak adalah penerus trah

atau suku masyarakat tertentu),

ekonomi (anggapan masyarakat

Jawa khususnya ada adagium

”banyak anak banyak rejeki,

sehingga ’mengkaryakan’ anak

dapat menambah penghasilan atau

rejeki”), hukum (anak mempunyai

posisi dan kedudukan strategis di

depan hukum, tidak hanya sebagai

penerus dan ahli waris keluarga,

namun juga bagian dari subyek

hukum dengan segala hak dan

kewajibannya yang mendapat

jaminan hukum)2. Dunia anak

adalah dunia sorga, di mana

anak menikmati hari-harinya

dengan keceriaan bermain dan

bersekolah. Mereka bergerak

bebas, mengembangkan potensi

dalam kasih orangtua dan

bimbingan guru. Namun tidak

semua anak bisa menikmati dunia

sorga tersebut. Dunia bermain

dan belajar menjadi kemewahan

bagi sebagian anak karena

terpaksa harus bekerja3. Krisis

ekonomi sejak pertengahan 1997

dan berlanjut hingga kini telah

menyebabkan tingkat pendapatan

penduduk menurun. Dampaknya

adalah meningkatnya penduduk

miskin yang diiringi dengan

meningkatnya pekerja anak baik

yang berusia 5-9 tahun atau 10-

14 tahun4.

2 Fifik Wiryani, “Perlindungan Hukum Bagi Pekerja Anak”, 11:2 Legality Jurnal Ilmiah Hukum (2004)

3 Ibid.4 Ibid.

Page 25: Warta Hak Asasi Manusia - balitbangham.go.idpendidikan formal maupun yang lahir dari lingkungan keluarga sendiri. Melalui surat pembaca, saya ingin menyumbangkan saran untuk Majalah

Humanis Volume 1 Tahun XI Juli 2015 23

FOKUS

Organisasi Perburuhan

Internasional (International Labour

Organization/ILO) bersama

dengan Badan Pusat Statistik

(BPS) mengadakan survei

tentang pekerja anak di Indonesia

mencakup semua pekerja

anak berusia 5–12 tahun tanpa

memperhatikan jam kerja merek,

pekerja anak berusia 13–14 tahun

yang bekerja lebih dari 15 jam/

minggu dan pekerja anak usia 15–

17 tahun yang bekerja lebih dari

40 jam/minggu. Temuan utama

dari survei tersebut adalah:5

1. Jumlah keseluruhan anak

berusia 5–17 tahun ±58,8 juta:

4,05 juta (6,9%) di antaranya

termasuk kategori anak

yang bekerja. Dari jumlah

keseluruhan anak yang

bekerja, 1,76 juta (43,3%)

merupakan pekerja anak.

2. Dari jumlah pekerja anak

berusia 5–17 tahun, sebanyak

48,1 juta (81,8%) bersekolah;

24,3 juta (41,2%) terlibat

dalam pekerjaan rumah; dan

6,7 juta (11,4%) tergolong

sebagai ‘idle’, yaitu tidak

bersekolah, tidak membantu

di rumah dan tidak bekerja.

3. Sekitar 50% pekerja anak 5 ILO–BPS, “Keluarkan Data Nasional

Mengenai Pekerja Anak di Indonesia”, 2010, <http://bravo.ilo.org/jakarta/info/public/pr/lang--en/contLang--id/WCMS_122351/index.htm> [03/06/10]

bekerja sedikitnya 21 jam/

minggu dan 25% bekerja 12

jam/minggu. Secara rata-

rata, anak bekerja 25,7 jam/

minggu, sementara mereka

yang tergolong pekerja anak

bekerja 35,1 jam/minggu.

Sekitar 20,7% dari anak yang

bekerja itu bekerja pada

kondisi berbahaya, misalnya

lebih dari 40 jam/minggu.

4. Anak yang bekerja umumnya:

masih sekolah; bekerja tanpa

dibayar sebagai anggota

keluarga; terlibat dalam

bidang pekerjaan pertanian,

jasa dan manufaktur.

Jenis pekerjaan terburuk

semakin marak ditemukan:

dilacurkan, diperdagangkan,

bekerja di pertambangan, anak

jermal dan lain-lain. Pada tahun

1990-an muncul isu anak jalanan

(anjal) dan tahun 1996 muncul

isu perdagangan anak (child

trafficking) untuk dilacurkan,

pembantu rumah tangga anak dan

bentuk-bentuk pekerjaan terburuk

anak lainnya6.

Anak yang bekerja

umumnya berada dalam posisi

rentan untuk dieksploitasi,

khususnya oleh orang dewasa

atau sistem yang memperoleh

6 Yoga Utami (et al), “Pekerja Anak di India”, 2002, Jakarta: Kerjasama JARAK dan ACILS

keuntungan dari tenaga kerja.

Berbagai studi menunjukkan

bahwa pekerja anak umumnya

rentan terhadap eksploitasi

ekonomi. Di sektor industri formal,

mereka berada dalam kondisi jam

kerja panjang, berupah rendah,

menghadapi risiko kecelakaan

kerja dan gangguan kesehatan,

atau menjadi sasaran pelecehan

dan kesewenang-wenangan

orang dewasa. Misalnya pekerja

anak dalam dunia hiburan

(entertainment) baik sebagai

penyanyi, artis dan lain-lain

pekerja di sektor informal seperti

di sektor industri rumah tangga7.

Berdasarkan penelitian

Sidik Sunaryo (1999) tentang pola

hubungan antara pekerja industri

rumah tangga keramik dengan

majikan di Kota Malang dan

Kabupaten Malang menunjukkan

banyak pekerja anak yang tidak

mendapatkan jaminan haknya

sebagai pekerja, seperti jam kerja

dan jam istirahat yang disamakan

dengan pekerja dewasa tetapi

upahnya jauh lebih rendah dari

pekerja dewasa (upah yang

diterima anak sekitar 40%-50%

dari upah pekerja dewasa dalam

jenis pekerjaan yang sama,

yakni sebagai penghalus hasil

cetakan keramik sebelum proses

7 Fifik Wiryani, Op.cit.

Page 26: Warta Hak Asasi Manusia - balitbangham.go.idpendidikan formal maupun yang lahir dari lingkungan keluarga sendiri. Melalui surat pembaca, saya ingin menyumbangkan saran untuk Majalah

Humanis Volume 1 Tahun XI Juli 201524

FOKUS

finishing)8.

Pekerja anak merupakan

rantai ”lingkaran setan”,

tidak hanya disebabkan

oleh kemiskinan, tetapi juga

menyebabkan ”pemiskinan”,

Anak-anak yang bekerja dan

tidak mengecap pendidikan

akan hidup dalam kemiskinan

di kemudian hari, begitu pula

dengan generasi berikutnya.

Juan Somavia, Direktur Jenderal

ILO mengatakan:”Kerja berat bukanlah jenis pekerjaan yang pantas untuk anak. Pekerjaan tersebut selain tidak memberikan pengalaman berharga, juga bukan merupakan praktik kerja sambil sekolah yang berguna untuk meningkatkan kehidupan anak-anak saat ini dan di masa yang akan datang. Pekerjaan yang dilakukan oleh anak-anak dalam bentuk terburuknya adalah kesewenang-wenangan, p e n g e k s p l o i t a s i a n generasi muda yang naif, lugu, lemah, rapuh dan labil demi keuntungan

pribadi orang dewasa”.

8 Ibid

Instrumen HAM dalam

Penghapusan Pekerjaan Terburuk

untuk Anak

Indonesia telah meratifikasi

instrumen internasional Konvensi

Hak Anak (Conventions on the

Rights of the Childs, 1989) dengan

Keputusan Presiden No.36 Tahun

1990, kemudian dikukuhkan dalam

UU No.23 Tahun 2002 tentang

Perlindungan Anak. Salah satu isu

yang banyak mendapat tanggapan

masyarakat internasioanl dalam

konvensi hak anak adalah mengenai

anak-anak yang memerlukan

perlindungan khusus, misalnya

mereka yang bekerja dalam situasi

berbahaya.

Indonesia juga telah

meratifikasi Konvensi ILO 182

Tahun 1999 mengenai Pelarangan

dan Tindakan Segera Penghapusan

Bentuk-Bentuk Pekerjaan

Terburuk untuk Anak melalui UU

No.1 Tahun 2000. Sebagai dasar

pelaksanaannya, pemerintah

Indonesia telah mengeluarkan

Keputusan Presiden No.12 Tahun

2001 tentang Pembentukan Komite

Aksi Nasional (KAN) Penghapusan

Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk

untuk Anak, ditindaklanjuti dengan

Keputusan Presiden No.59 Tahun

2002 tentang Rencana Aksi

Nasional (RAN) sebagai acuan

dari pedoman KAN dalam

operasionalisasinya.

Dengan diratikasinya

konvensi tersebut, secara

hukum, negara berkewajiban

melindungi anak dari bentuk-

bentuk pekerjaan terburuk.

Kenyataannya, negara masih

belum mampu memenuhi

kewajibannya untuk melindungi

hak-hak anak. Salah satu

permasalahan yang masih terjadi

adalah keberadaan pekerja anak.

Bekerja juga membawa dampak

buruk bagi anak-anak, baik

secara fisik maupun psikis.

Menghormati hak

anak sama halnya dengan

menghormati HAM. Smith

bahkan menguatkan bahwa

secara sempurna, keseluruhan

instrumen HAM internasional

justru berada pada “jantung”

hak-hak anak. Sayangnya, fakta

menunjukkan anak termasuk

bagian dari kelompok yang

rentan pada kekerasan. Usia dan

faktor kematangan psikologis dan

mental membuatnya kerap kali

terpinggirkan dalam pengambilan

kebijakan9.

Lahirnya konvensi PBB 9 Majda El Muhtaj, Dimensi-Dimensi

HAM: Mengurai Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, Jakarta, PT Rajagrafindo Persada, 2008, hlm 223 – 224

Page 27: Warta Hak Asasi Manusia - balitbangham.go.idpendidikan formal maupun yang lahir dari lingkungan keluarga sendiri. Melalui surat pembaca, saya ingin menyumbangkan saran untuk Majalah

Humanis Volume 1 Tahun XI Juli 2015 25

FOKUS

tentang anak, International

Convention on the Rights of

the Child (1989) merupakan

bukti normatif tentang visi dan

paradigma baru perlindungan

terhadap anak. Konsideransi

ketentuan ini menyatakan bahwa

pembinaan kesejahteraan anak

termasuk pemberian kesempatan

untuk mengembangkan haknya,

pelaksanaannya tidak saja

merupakan tanggung jawab

orangtua, keluarga, dan negara

melainkan diperlukan pula

kerjasama internasional.

Bentuk komitmen pada

perlindungan anak semakin

menemukan momentumnya

dengan lahirnya beberapa

ketentuan internasional: Optional

Protocol to the Convention on the

Rightd of the Child on the Sale

of Children, Child Prostitution

and Child Pornography, Optional

Protocol to the Convention on

the Rights of the Child on the

Involvement of Children in Armed

Conflict; Minimum Age Convention,

1973 (No.138); dan Worst Forms

of Child Labour Convention, 1999

(No.182).

Secara yuridis, Indonesia

memiliki seperangkat perundang-

undangan untuk menjamin hak-

hak anak dan mengurangi dampak

bekerja dari anak: UUD 1945,

UU No.39 Tahun 1999 tentang

Hak Asasi Manusia, Deklarasi

Universal Hak Asasi Manusia

(DUHAM), Ratifikasi Konvensi

ILO No.138 menjadi UU No.20

Tahun 1999 tentang Usia Minimum

Untuk Diperbolehkan Bekerja,

Ratifikasi Konvensi ILO No.182

menjadi UU No. 1 Tahun 2000

tentang Pelarangan dan Tindakan

Segera Penghapusan Bentuk-

Bentuk Pekerjaan Terburuk Untuk

Anak, UU No.23 Tahun 2002

tentang Perlindungan Anak, dan

UU No.13 Tahun 2003 tentang

Ketenagakerjaan.

Dalam Pasal 2 ayat (1)

Konvensi ILO No.138 tentang Usia

Minimum Untuk Diperbolehkan

Bekerja disebutkan bahwa

“Untuk pekerjaan-pekerjaan

yang membahayakan kesehatan,

keselamatan, atau moral anak

harus diupayakan tidak boleh

kurang dari 18 (delapan belas)

tahun, kecuali untuk pekerjaan

ringan tidak boleh kurang dari

16 (enam belas) tahun.” Hal ini

ditegaskan lebih lanjut dalam

lampiran UU No.20 Tahun 1999

tentang Pengesahan Konvensi

ILO No.138 bahwa pemerintah

menyatakan usia minimum untuk

diperbolehkan bekerja adalah 15

(lima belas) tahun.

Dengan meratifikasi

Konvensi ILO No. 182 Tahun 1999

tentang Pelarangan dan Tindakan

Segera Penghapusan Bentuk-

Bentuk Pekerjaan Terburuk Untuk

Anak melalui UU No.1 Tahun

2000 pada bulan Maret 2000,

Pemerintah Indonesia dalam hal

ini sebagai pelaksana undang-

undang, secara resmi terikat

untuk segera mengambil tindakan

dalam rangka penghapusan

bentuk-bentuk pekerjaan terburuk

untuk anak baik dalam peraturan

perundang-undangan dan juga

implementasinya.

Perlindungan anak adalah

segala kegiatan untuk melindungi

anak dan hak-haknya agar dapat

hidup, tumbuh, berkembang, dan

berpartisipasi secara optimal

sesuai dengan harkat dan

martabat kemanusiaan, serta

mendapat perlindungan dari

kekerasan dan diskriminasi, demi

terwujudnya anak Indonesia yang

berkualitas, berakhlak mulia, dan

sejahtera10. Berbagai pelanggaran

terhadap hak-hak anak yang

masih sering terjadi tercermin dari

masih adanya anak-anak yang

mengalami kekerasan, eksplotasi

dan diskriminasi. Masalah pekerja

anak merupakan isu sosial yang

10 Ibid, hlm. 233

Page 28: Warta Hak Asasi Manusia - balitbangham.go.idpendidikan formal maupun yang lahir dari lingkungan keluarga sendiri. Melalui surat pembaca, saya ingin menyumbangkan saran untuk Majalah

Humanis Volume 1 Tahun XI Juli 201526

FOKUS

sukar dipecahkan dan cukup

memprihatinkan karena terkait

dengan aspek sosial, ekonomi

dan budaya masyarakat11.

Harapan bagi Penghapusan

Pekerjaan Terburuk bagi Anak

di Indonesia

Perlindungan anak

semestinya tetap berpedoman

pada upaya holistik menjadikan

anak sebagai manusia yang patut

mendapat perhatian yang baik.

Dalam konteks ini, Abdul Hakim

Garuda Nusantara (mantan Ketua

Komnas HAM), mengatakan

bahwa masalahnya tidak semata-

mata bisa didekati secara yuridis,

tetapi perlu pendekatan yang

lebih luas, yaitu ekonomi, sosial

dan budaya. Sejalan dengan itu,

Shanti Dellyana mengatakan

bahwa perlindungan anak

merupakan satu usaha yang

mengadakan kondisi di mana

setiap anak dapat melaksanakan

hak dan kewajibannya12.

Langkah konkret

yang diharapkan adalah

membangun kesamaan persepsi

dan pemahaman di antara

stakeholders, seperti pemerintah,

pengusaha, agen pekerja, 11 Ibid, hlm. 23412 Majda El Muhtaj, Dimensi-Dimensi

HAM: Mengurai Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, Jakarta, PT Rajagrafindo Persada, 2008, hlm 226

maupun orang tua, bahwa anak

bukanlah pekerja sebagaimana

orang dewasa yang telah memiliki

tanggung jawab penuh. Anak

adalah bagian masa depan yang

memiliki kebutuhan khusus dan

memiliki kerentanan yang menjadi

tanggung jawab orang dewasa

untuk melindungi, menghormati

dan memenuhi hak anak tersebut

dengan mengedepankan

kepentingan terbaik bagi anak.

Pemerintah diharapkan

bertindak secara aktif melakukan

upaya-upaya yang bersifat

menjadi jalan keluar dari realitas

tersebut, bukan hanya melakukan

pemantauan dan pelarangan bagi

mereka. Para pengusaha dapat

memberikan jenis pekerjaan yang

memang aman untuk pekerja

anak-anak tersebut sehingga

mereka tetap dapat berkontribusi

secara ekonomi bagi keluarganya.

Di tingkat grassroot kepedulian

sesama anggota masyarakat di

lingkungan perlu diwujudkan lebih

real terhadap keberadaan pekerja

anak-anak dari keluarga-keluraga

yang memerlukan intervensi

ekonomi. Bila semua pihak mau

bergerak secara bersinergi maka

permasalahan ekonomi yang

melekat pada pekerja anak-anak

dapat teratasi secara optimal, yang

pada akhirnya menghilangkan

adanya pekerja anak-anak

tersebut. Semoga.

--ooOoo—

Daftar Pustaka:Fifik Wiryani, “Perlindungan

Hukum Bagi Pekerja Anak”, 11:2 Legality Jurnal Ilmiah Hukum (2004)

Yoga Utami (et al), “Pekerja Anak di India”, 2002, Jakarta: Kerjasama JARAK dan ACILS

Majda El Muhtaj, Dimensi-Dimensi HAM: Mengurai Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, Jakarta, PT Rajagrafindo Persada, 2008, hlm 223 – 224

Olivia Riska, “ Perlindungan dan Hak-Hak Pekerja Anak” <http://ajrc-aceh.org/wp-content/uploads/2009/05/pia-makalah.pdf> [07/07/10]

ILO – BPS, “Keluarkan Data Nasional Mengenai Pekerja Anak di Indonesia”, 2010, <http://bravo.ilo.org/jakarta/info/public/pr/l ang - -en /con tLang- - i d /WCMS_122351/index.htm> [03/06/10]

*Penulis adalah Kepala Subbagian Hubungan Masyarakat dan Protokol pada Bagian Hubungan Masyarakat dan Informasi Balitbang HAM

Page 29: Warta Hak Asasi Manusia - balitbangham.go.idpendidikan formal maupun yang lahir dari lingkungan keluarga sendiri. Melalui surat pembaca, saya ingin menyumbangkan saran untuk Majalah

Humanis Volume 1 Tahun XI Juli 2015 27

FOKUS

Hak Hidup Pengungsi Bangladesh dan Etnis Rohingya

dalam Perspektif HAM di Aceh

Hidayat*

Indonesia merupakan

salah satu negara tujuan dan

persinggahan pengungsi dari

negara lain. Menurut data

Kementerian Luar Negeri,

sejumlah 11.941 pengungsi

menempati wilayah Indonesia

(Maret 2015). Sebagai negara

yang tidak menandatangani

Konvensi Pengungsi 1951,

Indonesia memiliki keterbatasan

akses untuk bertindak terhadap

para pengungsi, salah satunya

adalah tidak adanya otoritas

untuk menetapkan status para

pengungsi. Para pengungsi

tersebut menunggu penetapan

status pengungsi dari UNHCR

(United Nations High Commissioner

for Refugee) sebagai organisasi

yang memiliki otoritas untuk

menetapkan status pengungsi1.

1 UNHCR berdiri berdasarkan Resolusi Majelis Umum 319A (IV) tanggal 3 Desember 1949. UNHCR dibentuk pada 1 Januari 1951 sebagai organ pendamping bagi Majelis Umum, yang pada awalnya bertugas untuk jangka waktu 3 tahun. Sebelum UNHCR, lembaga ini bernama International Refugees Organization (IRO). Footnote diambil dari Majda el Muhtaj, Dimensi-Dimensi HAM Mengurai Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, (PT RajaGrafindo Persada, 2008) footnote

Mereka berada di Indonesia untuk

menunggu verifikasi dari UNHCR

dan penempatan ke negara

ketiga. Meski demikian, pada

Mei 2015 Indonesia mendapat

apresiasi dari publik dunia atas

tindakan terhadap pengungsi

Bangladesh dan Etnis Rohingya

yang merapat di wilayah perairan

Aceh. Pemerintah Indonesia

memberikan penyediaan tempat

tinggal, makanan dan obat-obatan.

Khusus untuk kasus pengungsi,

negara-negara di dunia harus

melindungi HAM, baik warga

negara itu sendiri maupun warga

negara lain sebagai sesama

manusia dan sesama bagian dari

warga dunia2.

Prinsip negara-negara nomor 122, hal. 288.

2 Salah satu contoh kasus yang berhubungan dengan ketenteraman hidup manusia sebagai sesama anggota warga dunia adalah kasus pengungsi yang akan menjadi fokus dalam proposal penelitian ini. Fact Sheet No. 20 Human Rights and Refugees menyebutkan “the refugee situation has become a classic example of the interdependence of the international community. It fully demonstrates how the problems of one country can have immediate consequences for other countries. It is also an example of interdependence between issues.”

di dunia untuk memberikan

perlindungan HAM kepada

pengungsi terdapat dalam

Konvensi PBB tentang Pengungsi

Tahun 1951 atau Convention

Relating to the Status of

Refugee3. Konvensi tersebut

efektif sejak 22 April 19544.

Konvensi tentang pengungsi

mendefinisikan pengungsi

sebagai seseorang yang

dikarenakan oleh ketakutan yang

beralasan akan penganiayaan,

yang disebabkan oleh alasan

ras, agama, kebangsaan,

keanggotaan kelompok sosial

tertentu dan keanggotaan partai

politik tertentu, berada di luar

negara kebangsaannya dan tidak

menginginkan perlindungan dari

negara tersebut5. Definisi tersebut

memberikan pemahaman bahwa

pengungsi merupakan orang-3 United Nations, Human Rights;

A Compilation of International Instruments, Vol. 1 (Second Part) (New York : United Nations, 2002), hal. 629-642.

4 Majda El Muhtaj, Dimensi-Dimensi HAM Mengurai Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (PT RajaGrafindo Persada, 2008), hal. 290.

5 Pengungsi, http://www.unhcr.or.id/id/siapa-yang-kami-bantu/pengungsi, diakses pada 11 Juni 2015.

Page 30: Warta Hak Asasi Manusia - balitbangham.go.idpendidikan formal maupun yang lahir dari lingkungan keluarga sendiri. Melalui surat pembaca, saya ingin menyumbangkan saran untuk Majalah

Humanis Volume 1 Tahun XI Juli 201528

FOKUS

orang yang meninggalkan

negara asalnya karena berbagai

alasan yang disebutkan di

atas, terpaksa meninggalkan

negara asalnya serta tidak

mendapatkan perlindungan dari

negara asalnya. Oleh karena itu,

sebagai anggota warga dunia,

perlindungan terhadap pengungsi

menjadi tanggung jawab bersama

komunitas internasional.

Format perlindungan HAM bagi

pengungsi tidak lain adalah

bentuk keinginan bersama

untuk memosisikan mereka

sebagaimana laiknya manusia

yang bermartabat6. Kondisi

yang menyebabkan terjadinya

pengungsian bukan merupakan

alasan negara lain untuk

mengabaikan atau melakukan

pembiaran pemenuhan HAM.

Meskipun bukan merupakan

warga negaranya, pengungsi

merupakan anggota warga dunia

yang harus dipenuhi HAM-nya.

Pemenuhan HAM

pengungsi harus memberikan

jaminan kepastian perlindungan

hak dan kebebasan asasi. Selain

pemenuhan hak-hak dasar

sebagai manusia, pemenuhan

hak asasi terkait kondisi

khusus pengungsi pun harus

terpenuhi, yaitu jaminan untuk 6 Majda el Muhtaj, op.cit., hal. 289.

tidak dikembalikan ke negara asal

tempat ia mendapati ancaman

karena alasan ras, rumpun bangsa,

keanggotaan dalam kelompok

sosial tertentu atau pandangan

politiknya7. Salah satu prinsip yang

dianut Konvensi Pengungsi 1951

adalah prinsip non-refoulment (tidak

melakukan pemulangan) dan prinsip

non-expulsion (tidak melakukan

pengusiran). Nilai-nilai prinsip

non-refoulment dan prinsip non-

expulsion dituangkan dalam Pasal

33 Ayat (1) Konvensi Pengungsi

Tahun 1951 yang diterjemahkan

sebagai berikut :

Tidak satupun dari negara-negara yang mengadakan perjanjian akan mengusir atau mengembalikan seorang pengungsi dengan cara apapun ke perbatasan wilyah-wilayah dimana kehidupan dan kebebasannya akan terancam oleh karena suku, agama, kebangsaan, keanggotaan pada

kelompok sosial.

Dengan demikian para

pengungsi dibebaskan dari

kewajiban untuk melengkapi

dokumen keimigrasian dan

dianggap tidak pernah melakukan

pelanggaran administrasi imigrasi. 7 Koesparmono Irsan, Pengungsi Internal

dan Hukum Hak Asasi Manusia, (Jakarta : Komnas HAM RI, 2007), hal. 3.

Negara yang menandatangani

Konvensi Pengungsi 1951

memiliki kewajiban untuk tidak

memulangkan pengungsi yang

memasuki wilayah negaranya.

Pengecualian terhadap

penerimaan pengungsi hanya

dapat dilakukan apabila ternyata

pengungsi yang memasuki

wilyah teritorial negara penerima

merupakan ancaman serius

terhadap keamanan negara,

dimana ia dinyatakan oleh putusan

pengadilan yang berkekuatan

hukum tetap sebagai terpidana8.

Konvensi 1951 dapat

dianggap sebagai pencetus

perkembangan hukum HAM

karena merupakan instrumen

yuridis internasional pertama yang

mentransformasikan ketentuan-

ketentuan tertentu dalam

DUHAM untuk kategori orang

tertentu. Tindakan ini dilanjutkan

oleh komunitas internasional

dengan membuat instrumen-

instrumen yuridis internasional

lain untuk menuangkan

keseluruhan prinsip atau prinsip

tertentu dalam DUHAM yang

berlaku bagi semua orang atau

kategori orang tertentu ke dalam

instrumen internasional yang

mengikat secara hukum, yang

8 Lihat Pasal 33 Ayat (2) Konvensi Pengungsi 1951.

Page 31: Warta Hak Asasi Manusia - balitbangham.go.idpendidikan formal maupun yang lahir dari lingkungan keluarga sendiri. Melalui surat pembaca, saya ingin menyumbangkan saran untuk Majalah

Humanis Volume 1 Tahun XI Juli 2015 29

FOKUS

bersifat komprehensif, tematis

atau yang besasaran kategori

orang tertentu9. Meski demikian,

Konvensi Pengungsi 1951

menitikberatkan jangka waktu

keberlakuannya untuk peristiwa

pengungsian yang terjadi sebelum

tahun 1951 yang merupakan

pengungsi Eropa10. Konvensi

Pengungsi tidak bisa berperan

banyak mengatasi persoalan dan

problematika pengungsi pasca

tahun 195111. Penyataan ini

dijelaskan dalam Pasal 1 huruf (b)

Konvensi Pengungsi 1951 yang

berbunyi12:9 Majda el Muhtaj, op.cit., hal. 292,

yang diambil dari Enny Soeprapto, “Implementasi Prinsip-Prinsip Humaniter dalam Penanganan Masalah Pengungsi dan Internally Displaced Persons (IDPs),” makalah disampaikan pada Penataran Tingkat Lanjut Hukum Humaniter dan Hak Asasi Manusia (Advanced Course on International Humanitarian Law and Human Rights), Surabaya, 7–11 Oktober 2002.

10 Lihat Pasal 1 huruf (b) Konvensi Pengungsi 1951.

11 Konvensi Pengungsi 1951 menurut Enny Soeprapto memberlakukan pengaturan yang bersifat mundur ke belakang (backward looking). Konvensi pengungsi tidak bisa berperan banyak mengatasi persoalan dan problematika pengungsi pasca tahun 1951. Ketika itu ada ribuan orang dari Hungaria meninggalkan negara mereka pada tahun 1956 sebagai akibat perlawanan rakyat terhadap “penundukan” Uni Soviet dan penindasan brutal oleh pasukan Uni Soviet terhadap perlawanan itu, masuk ke berbagai negara di Eropa Barat untuk mencari keselamatan. Permasalahan yang timbul kemudian adalah orang-orang Hungaria yang berpindah ke negara di Eropa Barat tersebut tidak dapat ditangani dengan konvensi pengungsi karena terjadi di Tahun 1956.

12 Pasal 1 Huruf (b) Konvensi Pengungsi

For the purposes of this Convention , the words “events occurring before 1 January 1951” in article 1, Section A, shall be understood to mean either (A) “events occurring in Europe before 1 January 1951” ; or (b) events occuring in Europe or elsewhere before 1 January 1951; “ and each contracting state shall make a declaration at the time of signature, ratification, or accession, specifying which of these meanings it applies fot the purpose of its obligations

under this Convention.

Banyaknya peristiwa

pengungsian pasca 1951

mendasari perubahan Konvensi

Pengungsi Tahun 1951 ke

dalam Protokol mengenai

Status Pengungsi 1967 (The

Protocol Relating to the Status of

Refugees)13.

Di Indonesia, terminologi

pengungsi berdasarkan Kamus

Besar Bahasa Indonesia dimaknai

sebagai orang yang pergi

menghindarkan (menyingkirkan)

diri dari bahaya atau

menyelamatkan diri (ke tempat

yang dirasa aman)14. Hukum positif 1951.

13 United Nations, op.cit., hal. 634-646. 14 Istilah pengungsi dalam Bahasa

Inggris dikenal dengan refugees dan IDPs (Internally Displaced Persons). Kata refugees diterjemahkan sebagai

Indonesia yang pertama kali

mengatur mengenai pengungsi

adalah UU No. 37 Tahun 1999

tentang Hubungan Luar Negeri.

Pengungsi diatur dalam Pasal

25 s.d. 27 UU Hubungan Luar

Negeri. Namun permasalahan

yang timbul adalah tidak ada

Keputusan Presiden yang

menindaklanjuti ketentuan Pasal

25 s.d. 27 UU Hubungan Luar

Negeri tersebut15. Pengaturan

pengungsi kemudian diatur lebih

lanjut dalam Keputusan Presiden

RI No. 3 Tahun 2001 tentang

Badan Koordinasi Nasional

Penanggulangan Bencana

dan Penangangan Pengungsi.

Keputusan Presiden No. 3 Tahun

2001 mengatur penanganan

pengungsi, yaitu upaya

pelayanan dan perlindungan

kemanusiaan terhadap pengungsi

yang timbul akibat konflik, baik

sosial maupun politik yang

terjadi pada suatu daerah, yang

meliputi kegiatan pencegahan, pengungsi eksternal, yaitu pengungsi yang berpindah tempat ke wilayah teritorial Negara lain. Sedangkan IDPs diterjemahkan sebagai pengungsi yang berpindah wilayah namun masih dalam wilayah teritorial suatu Negara. Istilah ini jamak digunakan PBB dan UNHCR di tahun 1975. Majda el Muhtaj, op.cit., hlm. 294-295.

15 Indonesia Perlu Ratifikasi Konvensi tentang Pengungsi, http://www.hukumon l ine .com/ber i ta /baca /l t 4 f 3 5 1 a a c c 4 a 7 0 / i n d o n e s i a -perlu-ratifikasi-konvensi-tentang-pengungsi, diakses pada 13 Juni 2015.

Page 32: Warta Hak Asasi Manusia - balitbangham.go.idpendidikan formal maupun yang lahir dari lingkungan keluarga sendiri. Melalui surat pembaca, saya ingin menyumbangkan saran untuk Majalah

Humanis Volume 1 Tahun XI Juli 201530

FOKUS

tanggap darurat, penampungan,

pemindahan dan pengembalian

atau relokasi pengungsi. Seiring

perkembangan situasi sosial

politik, Keputusan Presiden No.

3 Tahun 2001 diubah menjadi

Keputusan Presiden No. 11 Tahun

2001 tentang Perubahan atas

Keputusan Presiden No. 3 Tahun

2001 tentang Badan Koordinasi

Nasional Penanggulangan

Bencana dan Penanganan

Pengungsi. Pengaturan

pengungsi dalam hukum positif

Indonesia selanjutnya ditemui

dalam UU No. 24 Tahun 2007

tentang Penanggulangan

Bencana. Pengungsi dalam UU

Penanggulangan bencana berarti

orang atau kelompok orang yang

terpaksa atau dipaksa keluar dari

tempat tinggalnya untuk jangka

waktu yang belum pasti sebagai

akibat dampak buruk bencana16.

Menurut Komisi Nasional

Hak Asasi Manusia (Komnas

HAM) ada dua manfaat

utama ratifikasi konvensi dan

protokol tentang pengungsi: (1)

pemerintah dapat menentukan

sendiri status para pengungsi

dan pencari suaka, sehingga

pemerintah dapat terlibat dan 16 Republic Indonesia, Undang-Undang

Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, Pasal 1 Nomor 20. LN Tahun 2007 Nomor 66, TLN No. 4723.

berkontribusi langsung dalam

penanganan masalah pengungsi

sesuai kepentingan nasional;

(2) pemerintah dimungkinkan

mendapat bantuan internasional

terkait penguatan kapasitas nasional

dalam penanganan pengungsi

dan pencari suaka17. Pemerintah

Indonesia akan lebih mudah

mendapatkan bantuan dari negara

lain untuk memberikan pemenuhan

hak bagi para pengungsi. Meskipun

pemerintah Indonesia belum

meratifikasi Konvensi Pengungsi

Tahun 1951 dan Protokol tentang

Pengungsi 1967, tidak berarti

pemerintah Indonesia dapat

menolak atau memulangkan

pengungsi yang memasuki

wilayah teritorialnya. Pemerintah

Indonesia terikat dengan prinsip

non-refoulment yang terdapat

dalam Pasal 14 Ayat (1) DUHAM,

Konvensi Anti Penyiksaan (CAT)

dan Konvensi tentang Hak-Hak Sipil

dan Politik (ICCPR) yang sudah

diratifikasi dalam UU No. 12 Tahun

2005. Pemulangan para pengungsi

berarti pembiaran terhadap

penyiksaan dan pelanggaran hak

sipil dan politik yang mungkin

terjadi di daerah asalnya, sehingga

jelas melanggar konvensi tentang

penyiksaan dan konvensi tentang

hak sipil dan politik. Selain itu, prinsip

17 Ibid.

non-refoulment merupakan ius

cogen atau norma dasar hukum

internasional. Sebagaimana

yang ditentukan dalam Konvensi

Wina 1969, norma dasar yang

sudah diakui oleh masyarakat

internasional menjadi hukum

internasional yang seharusnya

tidak boleh dilanggar oleh negara

manapun di belahan dunia.

Pada medio tahun 2015,

terjadi kasus pengungsian yang

melibatkan wilayah teritorial

Indonesia. Pengungsi dari Ras

Rohingya negara Myanmar dan

Bangladesh merapat di pantai

Aceh. Para pengungsi sempat

terombang-ambing di perairan

Aceh selama kurang lebih 4

bulan sebelum ditemukan oleh

nelayan-nelayan di perairan

Aceh. Gelombang pengungsian

Etnis Rohingya sebenarnya

sudah berlangsung sejak lama.

Setidaknya dalam 3 tahun

terakhir UNHCR mencatat

sejumlah 120.000 Etnis Rohingya

telah meninggalkan Myanmar

dengan menggunakan kapal.

Di awal tahun 2015 tercatat

sebanyak 25.000 Etnis Rohingya

mengungsi dari Myanmar.

Apresiasi datang dari

publik internasional lantaran

tindakan pemerintah Indonesia

Page 33: Warta Hak Asasi Manusia - balitbangham.go.idpendidikan formal maupun yang lahir dari lingkungan keluarga sendiri. Melalui surat pembaca, saya ingin menyumbangkan saran untuk Majalah

Humanis Volume 1 Tahun XI Juli 2015 31

FOKUS

yang menjunjung tinggi nilai-nilai

kemanusiaan. Walaupun tidak ada

dasar hukum yang mengharuskan

pemerintah Indonesia

bertanggung jawab terhadap para

pengungsi, Indonesia menampung

para pengungsi tersebut di

wilayahnya. Pemerintah Indonesia

menerapkan nilai-nilai hak

hidup sebagai hak asasi yang

paling mendasar bagi diri setiap

manusia. Hak hidup merupakan

non-derogable rights atau hak-

hak yang tidak dapat dikurangi

dalam keadaan apapun. Jika tidak

ada hak untuk hidup maka tidak

ada pokok persoalan dalam HAM

lainnya. Hak hidup diatur dalam

Pasal 3 DUHAM yang merumuskan

bahwa setiap orang mempunyai

hak atas kehidupan, kemerdekaan

dan keselamatannya. Ketentuan

hak hidup diatur pula dalam Pasal

6 Ayat (1) Konvensi Hak Sipil

dan Politik (ICCPR). Pasal 6 ayat

1 ICCPR menyatakan, “Setiap

manusia melekat hak untuk

hidup. Hak ini harus dilindungi

oleh hukum. Tidak seorangpun

insan manusia yang secara

gegabah boleh dirampas hak

kehidupannya.”

Perumusan hak hidup di

Indonesia tertuang dalam UUD

1945 dalam Pasal 28 A yang

menyebutkan “Setiap orang

berhak untuk hidup serta berhak

untuk mempertahankan hidup dan

kehidupannya.” Kemudian dalam

Pasal 28 (I) UUD RI 1945 disebutkan

“Hak untuk hidup, hak untuk tidak

disiksa, hak kemerdekaan pikiran

dan hati nurani, hak beragama,

hak untuk tidak diperbudak, hak

untuk diakui sebagai pribadi

di hadapan hukum dan hak

untuk tidak dituntut berdasarkan

hukum yang berlaku surut adalah

hak asasi manusia yang tidak

dapat dikurangi dalam keadaan

apapun.” Prinsip ini menjadi dasar

pemerintah Indonesia dalam

menerima dan memperlakukan

para pengungsi Etnis Rohingya.

Pemerintah Indonesia melalui

Badan Nasional Penanggulangan

Bencana, Kementerian Sosial

dan pemerintah daerah Aceh

memberikan bantuan makanan dan

tempat tinggal serta pengobatan.

Pemerintah Indonesia

berkomitmen untuk tetap

membantu para pengungsi

asal Rohingya Myanmar dan

Bangladesh. Dalam waktu dekat

lokasi para pengungsi yang saat ini

ditampung di Provinsi Aceh akan

dipisahkan dengan pemukiman

masyarakat setempat. Pemerintah

daerah di Aceh akan membuat

shelter penampungan bagi

pengungsi untuk memudahkan

pengawasan yang dibuat di

daerah Aceh Timur, Aceh Utara

dan Lhokseumawe.

Pemerintah tengah

menyiapkan draft Peraturan

Presiden (Perpres) terkait

penanganan pengungsi imigran

yang terdampar di Indonesia.

Perpres tersebut salah satunya

akan mengatur mekanisme

penyediaan anggaran bagi

pemerintah daerah yang

ditugaskan mengurus para

pengungsi. Ke depannya, Perpres

tersebut akan menjadi payung

hukum bagi pemerintah dalam

menangani pengungsi, serta

membongkar upaya perdagangan

dan penyelundupan manusia.

Hal lain yang menjadi

catatan yaitu kepedulian beberapa

negara yang tergabung dalam

Perhimpunan Negara-negara Asia

Tenggara (ASEAN) menyatakan

diri siap membantu Indonesia

untuk menyediakan tempat

penampungan para pengungsi

asal Rohingya Myanmar. Di

antara negara-negara itu adalah

Filipina dan Kamboja.

*Penulis adalah Peneliti pada Puslitbang Hak-Hak Ekosob Balitbang HAM

Page 34: Warta Hak Asasi Manusia - balitbangham.go.idpendidikan formal maupun yang lahir dari lingkungan keluarga sendiri. Melalui surat pembaca, saya ingin menyumbangkan saran untuk Majalah

Humanis Volume 1 Tahun XI Juli 201532

FOKUS

Diskriminasi terhadap

anak perempuan masih banyak

dijumpai meskipun Indonesia

telah mengikatkan diri dengan

meratifikasi instrumen hukum

HAM internasional1, mengatur

jaminan hak asasi dalam

peraturan perundang-undangan

dan program yang dicanangkan.

Kegagalan penghapusan

tindakan diskriminasi terhadap

anak perempuan disebabkan

karena upaya yang dilakukan

sebatas mengatur jaminan

penikmatan HAM dalam

peraturan perundang-undangan

dan kebijakan tanpa diikuti 1 Konvenan Hak Sipil dan Hak Politik

(1966) diratifikasi UU No.12/2005; Konvenan Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (1966) diratifikasi UU No.11/2005; Konvensi Penghapusan Semua Bentuk Diskriminasi Rasial (1965) diratifikasi UU No.29/1999; Konvensi Penghapusan Semua Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (1979) diratifikasi UU No.7/1994; Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi dan Merendahkan Martabat (1984) diratifikasi UU No.5/1998; Konvensi Hak Anak (1989) diratifikasi Keppres No.36/1990; Konvensi ILO 182 tentang Pelarangan dan Tindakan Segera penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk diratifikasi UU No 1/2000 .

Upaya Penghapusan Diskriminasi dan

Kekerasan terhadap Anak Perempuan

Yose Rizal Triarto*

implementasi, monitoring dan

evaluasi, penegakan hukum dan

penganggaran. Di sisi lain, upaya

tranformasi norma-norma universal

HAM ke dalam hukum domestik

mereduksi secara substansi

semangat yang menjiwai instrumen

Hukum Internasional HAM.

Berdasar sumber di atas

maka terdapat fenomena berikut:

a. Wilayah potensi diskriminasi

terhadap anak perempuan

tidak hanya pada level

pemerintah pusat, namun

pada level pemerintah daerah

seiring dengan otonomi

daerah. Potensi ini dilakukan

oleh aparat pemerintah daerah

melalui kebijakan publik yang

ditetapkannya.

b. Politik HAM yang

ditetapkan pemerintah tidak

memprioritaskan sumber daya

yang ada untuk pemenuhan

hak asasi anak khususnya anak

perempuan.

c. Pemerintah gagal merespon

isu-isu spesifik yang dialami

masyarakat.

d. Pemerintah gagal

melaksanakan kewajibannya

untuk menghapus tradisi

yang mendiskriminasi anak

perempuan (harmful tradition

against girl-child)2.

Negara Belum Merespon Isu-

Isu Spesifik Terkait dengan

Diskriminasi terhadap Anak

Perempuan

K e t i d a k b e r p i h a k a n

pemerintah dalam merespon isu-

isu spesifik yang dialami oleh

anak perempuan nampak dari

ketiadaan undang-undang yang

mengatur hal-hal berikut:

a. Kewajiban institusi

pendidikan untuk menjamin

hak anak perempuan yang 2 Kewajiban ini dicantumkan dalam

Pasal 5 huruf a CEDAW yang menyatakan bahwa negara-negara peserta wajib membuat peraturan-peraturan yang tepat;(a) untuk mengubah pola tingkah laku sosial dan budaya laki-laki dan perempuan dengan maksud untuk mencapal penghapusan prasangka-prasangka, kebiasaan-kebiasaan dan segala praktek lainnya yang berdasarkan atas inferioritas atau superioritas salah satu jenis kelamin atau berdasar peranan stereotip bagi laki-laki dan perempuan;

Page 35: Warta Hak Asasi Manusia - balitbangham.go.idpendidikan formal maupun yang lahir dari lingkungan keluarga sendiri. Melalui surat pembaca, saya ingin menyumbangkan saran untuk Majalah

Humanis Volume 1 Tahun XI Juli 2015 33

FOKUS

hamil dan/telah menikah tetap

dapat melanjutkan ke jenjang

pendidikan yang lebih tinggi.

b. Penanganan, pelayanan dan

fasilitas aborsi yang aman

bagi anak perempuan.

c. Larangan praktik sunat bagi

anak perempuan (female

genital mutilation/cutting).

d. Larangan mempekerjakan

anak perempuan sebagai

pekerja rumah tangga (PRT)

dan perlindungan hukum bagi

PRT.

e. Larangan perdagangan

anak, perlindungan dan

penanganan khusus terhadap

anak korban perdagangan.

f. Penghapusan praktik

perhambaan yang sampai

saat ini masih ditemui dan

menjadi bagian dari budaya

masyarakat Sumba3 .

g. Penghapusan praktik

kekerasan dengan alasan

dan cara apapun yang

3 Praktek budaya perhambaan di Sumba Timur dapat di kategorikan dalam pelayanan dimana karena adat istiadat, kelompok yang di sebut “ata” atau “anak-anak dalam rumah” terikat untuk hidup dan bekerja di atas tanah milik marambanya dan memberikan pelayanan yang telah ditentukan kepada maramba tersebut baik dengan imbalan atau tidak, dan para ata atau “anak-anak dalam rumah” tersebut tidak bebas untuk merubah statusnya. Antarini Arna, et.al, Laporan Penelitian, Kekerasan Terhadap Anak Berbasis Budaya di Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur, UNICEF dan Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Nusa Tenggara Timur, 2007

menurunkan martabat

kemanusiaan anak.

h. Penghapusan terhadap praktik

budaya yang berpotensi

melanggar hak anak.

Dampak Ketidakberpihakan

Kebijakan Publik terhadap Anak

Perempuan

1. Pendidikan

Anak perempuan yang hamil

dan/telah menikah tidak dapat

melanjutkan sekolah ke jenjang

yang lebih tinggi. Kondisi

ini menyumbang tingginya

angka anak perempuan putus

sekolah. Data Departemen

Pendidikan memperlihatkan

kesenjangan gender yang

signifikan antara jumlah anak

laki-laki dan perempuan yang

putus sekolah di tingkat SD

maupun SLTP. Kemungkinan

anak perempuan untuk putus

sekolah lebih besar. Di SD,

dari 10 anak yang putus

sekolah: 6 di antaranya anak

perempuan dan 4 lainnya

anak laki-laki. Demikian

halnya di SLTP, kesenjangan

gender antara murid laki-

laki dan perempuan yang

putus sekolah yaitu 7 anak

perempuan dibandingkan 3

anak laki-laki (Departemen

Pendidikan Nasional, 2002)4.

2. Kesehatan

Ketiadaan perlindungan

hukum bagi anak perempuan

yang melakukan aborsi dan

tidak tersedianya fasilitas

aborsi yang aman berakibat

mereka melakukan aborsi

secara terselebung tanpa ada

jaminan terhadap kualitas

layanan yang diberikan.

Padahal angka aborsi di

Inonesia mencapai 750.000–

1.000.000 kejadian per tahun.

Antara 40%–50% (sebagian

besar adalah aborsi yang

tidak aman) dilakukan

oleh remaja perempuan5.

Sementara itu, ketiadaan

larangan praktik sunat

terhadap anak perempuan

berakibat di berbagai wilayah

di Indonesia praktik-praktik

tersebut masih dilakukan.

Survey di Yogyakarta dan

Madura (2002) menunjukkan

tingginya pravelansi female

genital cutting. Di Yogyakarta

terdapat 43,5% dan di

Madura 94,7%. Hasil survey

menunjukkan indikasi bahwa

4 Lembar Fakta UNICEF: Pendidikan untuk Anak Perempuan Indonesia

5 PKBI, Kebutuhan akan Informasi dan Pelayanan Kesehatan Reproduksi Remaja: Laporan Need Assessment di Kupang, Palembang, Singkawang, Cirebon dan Tasikmalaya, PKBI, UNPF dan BKKBN, 2001, hal. 8.

Page 36: Warta Hak Asasi Manusia - balitbangham.go.idpendidikan formal maupun yang lahir dari lingkungan keluarga sendiri. Melalui surat pembaca, saya ingin menyumbangkan saran untuk Majalah

Humanis Volume 1 Tahun XI Juli 201534

FOKUS

di Yogyakarta masyarakat

yang masih memaknai tradisi

ini berdasarkan alasan

agama mencapai 31%,

sementara itu di Madura

menunjukkan 79,3%6.

3. Perlindungan Hukum

PRT di Indonesia tidak

dianggap sebagai pekerja

dan tidak termasuk dalam

peraturan ketenagakerjaan

nasional yang menjamin

hak-hak dasar di bidang

ketenagakerjaan seperti

upah minimum, upah lembur,

8 jam kerja/hari dan 40 jam

kerja/minggu, satu hari libur

dalam seminggu, liburan,

dan jaminan sosial bagi

pekerja di sektor formal.

Pengecualian dari hak-hak di

atas yang dialami oleh PRT

menyebabkan tidak adanya

perlindungan setara bagi

mereka di mata hukum; hal

ini berdampak diskriminatif

terhadap perempuan dan

anak-anak yang merupakan

mayoritas terbesar pekerja

rumah tangga. Menurut ILO,

saat ini ada 2,6 juta PRT

di Indonesia: sedikitnya

6 Muhajir Darwin, et.al,. Male and Female Genital Cutting: Konteks, Makna dan Keberlangsungan Praktik dalam Masyarakat Yogyakarta dan Madura, Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan UGM, tanpa tahun, hal. 13-15.

688.132, sebagian besar

adalah anak-anak perempuan

di bawah usia 18 tahun

adalah PRT-anak7. Upaya

penghapusan praktik-praktik

perhambaan yang berdampak

pada terjadinya kekerasan

fisik sudah semestinya diubah

melalui aturan hukum. Di

Sumba, kekerasan fisik karena

praktik perhambaan dialami

oleh anak-anak terutama

golongan atas karena kondisi

subordinasi orang tuanya

dikarenakan status sosialnya.

Anak-anak golongan ata

mengalami kekerasan ganda,

yakni yang dilakukan oleh

orang tuanya dan maramba

serta keluarga maramba

lainnya8. Sementara ketiadaan

undang-undang yang mengatur

7 Human Rights Watch, Selalu Siap Disuruh Pelecehan dan Eksploitasi terhadap Pekerja Rumah Tangga Anak di Indonesia, Vol. 17, No.7 (C), Juni 2005, hal. 10.

8 Hukum HAM Internasional secara konsisten tetap melarang perbudakan dan praktek yang menyerupai perbudakan. Statuta Roma untuk Pengadilan Pidana Internasional yang di adopsi PBB pada tahun 1998 memasukkan praktek memperbudak sebagai salah satu kategori Kejahatan Kemanusiaan. Pasal 7 C Statuta Roma tahun 1978 menjelaskan bahwa yang disebut memperbudak adalah ”tindakan penguasaan atas diri seseorang berdasarkan hak kepemilikan, termasuk tindakan penguasaan untuk memperjual-belikan manusia terutama perempuan dan anak-anak.”. Antarini Arna, et.al,. Laporan Penelitian, Kekerasan Terhadap Anak Berbasis Budaya di Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur, UNICEF dan Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Nusa Tenggara Timur, 2007.

tindak pidana perdagangan

anak memicu kenaikan

angka perdangangan anak.

Di Indonesia, diperkirakan

30% pekerja seks komersil

wanita berumur <18 tahun.

Bahkan ada beberapa yang

masih berumur 10 tahun.

Diperkirakan pula ada

40.000–70.000 anak menjadi

korban eksploitasi seks

dan sekitar 100.000 anak

diperdagangkan tiap tahun9.

Rekomendasi

Tindakan diskriminasi

yang masih terjadi dan dialami

oleh anak perempuan seharusnya

direspon oleh pemerintah melalui

upaya berikut:

a. Memastikan peraturan

p e r u n d a n g - u n d a n g a n

(legislative policy) secara

penuh berkesesuaian

dengan prinsip norma-norma

HAM universal. Peraturan

perundang-undangan yang

perlu segera direvisi meliputi:

1) UU No. 23 Tahun 2002

tentang Perlindungan

Anak karena berbasis

sekterian (pendekatan

agama), khususnya

9 Lembar Fakta UNICEF: Eksploitasi Seks Komersil dan Perdagangan Anak.

Page 37: Warta Hak Asasi Manusia - balitbangham.go.idpendidikan formal maupun yang lahir dari lingkungan keluarga sendiri. Melalui surat pembaca, saya ingin menyumbangkan saran untuk Majalah

Humanis Volume 1 Tahun XI Juli 2015 35

FOKUS

yang menyangkut dan

mengatur permasalahan

kuasa asuh, perwalian,

pengasuhan dan adopsi

anak.

2) UU No. 23 Tahun 1992

tentang Kesehatan

karena UU ini sangat

minim mengatur tentang

pemenuhan hak anak

atas derajat kesehatan

yang optimal. Hak anak

atas kesehatan diatur

dalam Pasal 4 dan Pasal

17. Pasal-pasal tersebut

tidak secara eksplisit

mengatur hak anak

atas fasilitas kesehatan

dan layanan kesehatan

reproduksi termasuk

hak anak perempuan

untuk melakukan aborsi

yang aman.

3) UU No. 20/2003 tentang

Sistem Pendidikan

Nasional belum

mengatur hak anak

perempuan yang hamil

dan/menikah untuk

melanjutkan pendidikan

dan kewajiban institusi

pendidikan untuk

membuka akses dan

perlakuan khusus bagi

mereka. Di samping

itu larangan praktek

penghukuman fisik

(corporal punishment)

dan pendisiplinan

dengan kekerasan di

sekolah semestinya

juga diatur dalam revisi

tersebut.

4) UU No.13/2003 tentang

Ketenagakerjaan belum

mengatur perlindungan

hukum bagi PRT

dan larangan untuk

mempekerjakan anak

sebagai PRT.

5) Peningkatan landasan

hukum ratifikasi

Konvensi Hak Anak

berdasarkan Keppres

36 Tahun 1990 menjadi

UU karena tidak dapat

menjadi rujukan hukum.

6) Meninjau kembali

perda yang mengatur

dan membatasi

perempuan termasuk

anak perempuan untuk

m e n g e k s p r e s i k a n

hak asasi mereka

berbasis syariah melalui

executive review.

b. Menerbitkan kebijakan di

bidang pendidikan yang

menjamin agar setiap anak

perempuan yang hamil dan

atau telah menikah dapat

melanjutkan pendidikannya

ke jenjang yang lebih tinggi

berdasarkan kepentingan

terbaik bagi anak perempuan.

c. Mendorong adanya

mekanisme penanganan dan

pendekatan khusus anak

korban perdagangan orang.

d. Meningkatkan akses layanan

fasilitas bagi anak perempuan

yang akan melakukan aborsi

yang aman dan memberikan

perlindungan hukum terhadap

tindakan aborsi tersebut.

e. Menghapus praktik-praktik

budaya dan ritualitas agama

yang mengancam integritas,

kehormatan, dan martabat

anak perempuan seperti:

budaya ngenger merupakan

ancaman terhadap PRT Anak;

female genital cutting yang

mengancam hak reproduksi

perempuan; dan perhambaan

di Sumba.

f. Mengalokasikan anggaran

secara khusus untuk

menjamin pemenuhan hak

asasi anak perempuan.

*) Penulis adalah seorang pemerhati dan penggiat HAM berdomisili di Yogyakarta.

Page 38: Warta Hak Asasi Manusia - balitbangham.go.idpendidikan formal maupun yang lahir dari lingkungan keluarga sendiri. Melalui surat pembaca, saya ingin menyumbangkan saran untuk Majalah

Bertempat di Aula Balitbang

HAM, Bagian Kepegawaian

mengadakan diskusi untuk

membekali pengetahuan dan

keterampilan kepada peneliti,

dengan tema "Pengembangan

Jabatan Fungsional Peneliti

di Lingkungan Balitbang

HAM" (2/7) sehingga dapat

mewujudkan peneliti yang

berkualitas dan profesional.

Perkembangan IPTEK saat ini

sangat pesat, sehingga perlu

adanya dukungan hasil litbang

yang dapat digunakan untuk

kepentingan masyarakat. Peran

serta pejabat fungsional yang

ada saat ini belum seperti yang

diharapkan. Jumlah jabatan

fungsional, khususnya jumlah

peneliti yang masih sedikit

dengan ruang lingkup kerja

yang semakin luas, yang

menyebabkan pelaksanaan

litbang di bidang HAM

belum maksimal. Diskusi

ini menitikberatkan pada Metodologi Penelitian

(lanjutan). Lilis Mulyani

(LIPI) memaparkan teknik:

Wawancara, Analisa Data,

Mengkonstruksi Argumen dan

Analisa Wacana.

Humanis Volume 1 Tahun XI36

AGENDA

Focus Group Discussion Penyusunan Buku Pedoman HAMPenanganan Tenaga Kerja Indonesia yang Dideportasi

Pengembangan Jabatan Fungsional Peneliti

Pemerintah daerah merupakan

pihak yang paling berperan

dalam melakukan perlindungan

WNI yang dideportasi. Hak-

hak deportan dalam hal

penampungan, pelayanan

kesehatan, transportasi

pemulangan ke daerah asal

dapat dituntut oleh deportan

saat penanganan deportasi

kepada pemerintah daerah.

Pola penanganan perlindungan

diatur melalui Peraturan

Presiden RI No.45 Tahun 2013

tentang Koordinasi Pemulangan

Tenaga Kerja Indonesia yang

diselenggarakan dan menjadi

tanggung jawab instansi

pemerintah sesuai dengan tugas

dan fungsi masing-masing.

Dalam rangka melindungi hak-

hak deportan, Pusat Penelitian

dan Pengembangan Hak-hak

Sipil dan Politik mengadakan

Focus Group Disscussion (FGD)

Penyusunan Buku Pedoman

HAM Penanganan Tenaga Kerja

Indonesia yang Dideportasi di

Wilayah Perbatasan yang

diselenggarakan di Aula Kantor

Wilayah Kementerian Hukum

dan HAM Provinsi Sumatera

Utara (9/4). Buku pedoman

ini selayaknya menjadi jalan

keluar bagi SKPD sebagai

pemangku kepentingan terkait

kendala koordinasi di level

provinsi dan nasional. Buku

pedoman difokuskan dan

berisikan penanganan TKI

yang dideportasi dari wilayah

perbatasan.

Page 39: Warta Hak Asasi Manusia - balitbangham.go.idpendidikan formal maupun yang lahir dari lingkungan keluarga sendiri. Melalui surat pembaca, saya ingin menyumbangkan saran untuk Majalah

Humanis Volume 1 Tahun XI Juli 2015 37

AGENDA

Seminar Nasional

Kebijakan Perlindungan Pembela HAM di Indonesia

Evaluasi Perlindungan Hukum dan HAMBagi Perempuan Korban Tindak Kekerasan

Pusat Penelitian dan

Pengembangan Hak-

hak Ekonomi, Sosial dan

Budaya, Badan Penelitian

dan Pengembangan HAM

bekerja sama dengan The Asia

Foundation menyelenggarakan

Seminar Nasional Kebijakan

Perlindungan Pembela HAM di

Indonesia bertempat di Hotel JS

Luwansa, Jakarta (8/7). Pembela

HAM merupakan entitas yang

selama ini dikenal kritis terhadap

pemerintah sebagai upaya

memastikan negara melakukan

tindakan yang diperlukan bagi

pemenuhan HAM. Gerakannya

yang kritis dan seringkali dianggap

tidak sejalan dengan agenda

pemerintah, membuat Pembela

HAM seringkali dianggap bukan

sebagai pilar dalam demokrasi

dan pemenuhan HAM, tetapi

sebagai musuh keamanan

nasional yang perlu disingkirkan.

Jaminan perlindungan hukum

bagi para penggiat/pembela

HAM menjadi agenda mendesak

negeri ini dan itu harus mulai

dari revisi/perubahan terhadap

substansi UU No.39 Tahun

1999 tentang HAM kemudian

memasukkan aturan tentang

hak perlindungan bagi pembela

HAM dalam salah satu BAB-nya.

Dalam merumuskan kebijakan

tentang pembela HAM harus

mempertimbangkan kepentingan

nasional, misalnya saja dalam

memberikan sosialisasi atau

diseminasi tentang HAM yang

berupa kampanye HAM, pembela

HAM tidak merugikan kepentingan

umum dan pemerintah.

Pusat Penelitian dan

Pengembangan Hak-hak

Kelompok Khusus melaksanakan

kegiatan Focus Group Discussion

(FGD) kajian evaluasi perlindungan

hukum dan HAM bagi perempuan

korban tindak kekerasan di

Provinsi Jawa Timur (26/5-29/5).

Kekerasan terhadap perempuan

merupakan salah satu bentuk

pelanggaran HAM yang dapat

terjadi dalam rumah, lingkungan

kerja maupun di masyarakat.

Sayangnya, sebagian besar

masyarakat belum memandang

keadaan tersebut sebagai wujud

diskriminasi terhadap perempuan

dan menyadari bahwa konsekuensi

dari diskriminasi tersebut adalah

banyaknya terjadi kekerasan

terhadap perempuan.

Kekerasan terhadap perempuan

masih menjadi salah satu

pekerjaan rumah bagi seluruh

pemerintah daerah di Indonesia.

Kondisi ini tentunya perlu menjadi

perhatian bersama karena

sesungguhnya pemerintah pusat

dan pemerintah daerah telah

melakukan berbagai upaya untuk

meminimalisir terjadinya kasus

kekerasan terhadap perempuan.

Page 40: Warta Hak Asasi Manusia - balitbangham.go.idpendidikan formal maupun yang lahir dari lingkungan keluarga sendiri. Melalui surat pembaca, saya ingin menyumbangkan saran untuk Majalah

Humanis Volume 1 Tahun XI Juli 201538

AGENDA

Focus Group Discussion Pedoman HAM

Penanganan Tenaga Kerja Indonesia yang Dideportasi

Workshop Proses Pengangkatan Anak

dalam Upaya Perlindungan Hak Identitas Anak

Minimnya pendidikan Tenaga

Kerja Indonesia (TKI) di sektor

informal menjadi salah satu

kendala yang dialami TKI di luar

negeri. Akibatnya, mereka tidak

tahu identitas mereka dipalsukan

di paspor, tidak paham isi kontrak

dan tidak dapat menyesuaikan

diri. Dalam hal terjadi deportasi

besar-besaran melalui wilayah

perbatasan, UU No.39 Tahun 2004

Pasal 73 ayat (3) menyatakan

Perwakilan Republik Indonesia,

Badan Nasional Penempatan dan

Perlindungan TKI, Pemerintah

dan Pemerintah Daerah bekerja

sama mengurus kepulangan TKI

sampai ke daerah asal TKI. Pola

penanganan perlindungan diatur

melalui Perpres RI No.45 Tahun 2013

tentang Koordinasi Pemulangan

TKI, yang diselenggarakan dan

menjadi tanggung jawab instansi

pemerintah sesuai dengan

tusinya. Untuk melindungi hak

deportan, perlu disusun pedoman

penanganan WNI yang dideportasi

di wilayah perbatasan yang

dapat dijadikan pedoman baik

oleh Satgas, LSM maupun TKI

sebagai bentuk perlindungan

HAM dalam melindungi TKI

yang dideportasi. Tujuan FGD ini

adalah memberikan pemahaman

tentang perlindungan HAM

bagi WNI, khususnya TKI yang

bermasalah, hingga tersusunnya

rumusan kebijakan terkait

dalam upaya penanganan WNI

yang dideportasi di Provinsi

Kalimantan Timur. Kegiatan

ini dilaksanakan oleh Pusat

Penelitian dan Pengembangan

Hak-hak Sipil dan Politik (1/4) di

Kanwil Kementerian Hukum dan

HAM Provinsi Kalimantan Timur.

Pusat Penelitian dan

Pengembangan Hak-hak

Kelompok Khusus melaksanakan

workshop tentang Proses

Pengangkatan Anak dalam

Upaya Perlindungan Hak

Identitas Anak di Indonesia

bertempat di Aula Kantor Wilayah

Kemenkumham Provinsi Kepulauan

Riau (30/7). Proses pengangkatan

anak memiliki korelasi dengan

3 sistem hukum yang berlaku

di Indonesia. Masyarakat perlu

mengetahui ketiga sistem hukum

ini sehingga paham prosedur mana

yang diberlakukan ketika mereka

melakukan proses pengangkatan

anak sebagaimana diatur dalam

Undang-Undang No.23 Tahun

2002 tentang Perlindungan Anak,

Undang-Undang No.3 Tahun 2006

tentang perubahan atas UU No.7

Tahun 1989 tentang Peradilan

Agama. Dengan mengikuti

prosedur pengangkatan anak,

calon anak angkat, termasuk anak

yang memerlukan perlindungan

khusus, dapat memperoleh

orang tua angkat yang dapat

memberikan pemenuhan

kebutuhan dasar dan terpenuhi

hak-haknya secara bertanggung

jawab.

Page 41: Warta Hak Asasi Manusia - balitbangham.go.idpendidikan formal maupun yang lahir dari lingkungan keluarga sendiri. Melalui surat pembaca, saya ingin menyumbangkan saran untuk Majalah

Humanis Volume 1 Tahun XI Juli 2015 39

AGENDA

Pengembangan Mekanisme Peringatan Dini Gangguan

Keamanan dan Ketertiban di Lembaga Pemasyarakatan

Skenario gangguan keamanan dan

ketertiban di Lapas dapat diuraikan

ke dalam 5 dimensi: konteks,

kebutuhan, kapasitas, aktor dan

konflik. Berdasarkan 5 dimensi di

atas, tingginya kasus pelarian dari

penjara di Aceh disebabkan oleh

kondisi sarana dan prasarana

yang tidak mendukung untuk

standar lapas (kondisi tempik dan

kawat yang memudahkan warga

binaaan melarikan diri), kualitas

sumber daya manusia dan rasa

tanggung jawab petugas yang

minim sehingga mudah diajak

bekerja sama dengan warga

binaan, serta ketiadaan buku blok

dan buku roling warga binaan

yang berguna untuk mengetahui

jumlah napi dan penempatan napi

pada sel tahanan. Berdasarkan

kasus di atas, Pusat Penelitian

dan Pengembangan Transformasi

Konflik melaksanakan Focus

Group Discussion tentang

Pengembangan Mekanisme

Peringatan Dini Gangguan

Keamanan dan Ketertiban di

Lembaga Pemasyarakatan di

Provinsi Aceh (11/6). Untuk

selanjutnya, diperlukan adanya

pola penanganan ketertiban

dan keamanan yang baku

dan seragam sehingga dapat

diterapkan di seluruh lapas.

Adat semakin lama semakin hilang

atau rusak. "Perkembangan

Indonesia terlalu cepat tanpa

memandang bagaimana Indonesia

Merdeka," ujar Aleta Baun yang

sering disapa dengan Mama Aleta

saat diwawancarai oleh tim peneliti

Puslitbang Hak-hak Ekonomi,

Sosial dan Budaya, yang sedang

melakukan penelitian tentang

Perlindungan Hak Berkebudayaan

Bagi Masyarakat Adat di provinsi

Penelitian Perlindungan Hak Berkebudayaanbagi Masyarakat Adat

Nusa Tenggara Timur (11/5).

Mama Aleta menceritakan

perjuangannya dalam upaya

penyelesaian kasus pertambangan

Batu Marmerdi Mollo Kabupaten

Timor Tengah Selatan. Salah satu

alasan dari penolakan ini karena di

wilayah tersebut memiliki batu

nama, kayu nama dan air nama,

bahkan marga orang Timorpun

diambil dari batu. Batu disakralkan

karena sebelum ada agama masuk

di Indonesia, masyarakat selalu

sembahyang di batu. Adanya

penambangan batu marmer

menyebabkan masyarakat adat

kehilangan hak-haknya dalam

melakukan aktivitas ekonomi,

sosial dan budaya (ekosob) yang

dalam penelitian disebut sebagai

hak berkebudayaan.

Kegiatan Penelitian Perlindungan

Hak Berkebudayaan bagi

Masyarakat Adat yang dilakukan

di tiga provinsi (Maluku, NTT dan

Sulawesi Selatan) diharapkan

dapat menggali informasi

mengenai hambatan masyarakat

adat dalam menjalankan aktivitas

ekosob (hak berkebudayaan)

dan upaya perlindungan yang

telah dilakukan oleh pemerintah

dalam mengatasi permasalahan

tersebut.

Page 42: Warta Hak Asasi Manusia - balitbangham.go.idpendidikan formal maupun yang lahir dari lingkungan keluarga sendiri. Melalui surat pembaca, saya ingin menyumbangkan saran untuk Majalah

Humanis Volume 1 Tahun XI Juli 201540

APA DAN SIAPA

Samuel Purba, S.H., M.Hum.

RIWAYAT JABATAN1998 Kepala Rumah Tahanan Negara Klas IIB Lubuk

Pakam, Sumatera Utara2004 Kepala Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB Lubuk

Pakam, Sumatera Utara2005 Kepala Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Binjai,

Sumatera Utara2011 Kepala Lembaga Pemasyarakatan Klas I Medan,

Sumatera Utara2011 Kepala Divisi Pemasyarakatan pada Kantor

Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Provinsi D.I. Yogyakarta.

2011 Inspektur Wilayah pada unit Inspektur Jenderal Kementerian Hukum dan HAM, Jakarta

2012 Kepala Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Provinsi Kalimantan Tengah

2013 Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Hak-hak Sipil dan Politik Badan Penelitian dan Pengembangan HAM Kementerian Hukum dan HAM RI

2015 Kepala Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Maluku Utara

BIODATANama Samuel Purba, S.H., M.Hum. Tempat/Tanggal Lahir Haranggaol, 27 Juli 1956Pekerjaan Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Hak-hak Sipil dan PolitikPangkat Pembina Utama Muda (IV/c)Status Kawin, 1 anakPENDIDIKAN1986 Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta2005 Universitas Sumatera Utara

PENDIDIKAN DAN PELATIHAN JABATAN1998 Adum2002 Kepemimpinan Tingkat III2009 Kepemimpinan Tingkat II2000 Rapat Kerja Teknis Pemasyarakatan2003 Rapat Kerja Teknis Pemasyarakatan2004 Diklat Kesamaptaan2009 Bimtek HAM bagi Kepala UPT Pemasyarakatan Se-Sumatera2011 Rapat Kerja Nasional Asosiasi Pengajar HTN dan HAN Se-Indonesia

Samuel Purba, S.H., M.Hum. lahir 27 Juli 1956 di Haranggaol. Memulai karirnya sebagi Pegawai Negeri Sipil pada Maret 1980 ditempatkan di Lembaga Pemasyarakatan Kelas I Cipinang (Jakarta). Menyelesaikan pendidikan S1 Hukum di Universitas 17 Agustus 1945 (Jakarta) dan S2 di Universitas Sumatera Utara. Beliau pernah menjabat sebagai Kepala Rumah Tahanan Negara Klas IIB Lubuk Pakam (Sumatera Utara), Kepala Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB Lubuk Pakam (Sumatera Utara), Kepala Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Binjai (Sumatera Utara), Kepala Lembaga Pemasyarakatan Klas I Medan (Sumatera Utara), Kepala Divisi Pemasyarakatan pada Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM D.I. Yogyakarta, Inspektur Wilayah pada unit Inspektorat Jenderal Kementerian Hukum dan HAM (Jakarta), Kepala Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Kalimantan

Tengah. Beliau kemudian dipercaya untuk menjabat sebagai Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Hak-hak Sipil dan Politik pada Badan Penelitian dan Pengembangan HAM (Balitbang HAM) Kementerian Hukum dan HAM RI terhitung sejak tahun 2013. Pada akhir Agustus 2015, beliau resmi dilantik sebagai Kepala Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Maluku Utara. Selamat mengemban tugas baru di Maluku Utara, Pak!

Page 43: Warta Hak Asasi Manusia - balitbangham.go.idpendidikan formal maupun yang lahir dari lingkungan keluarga sendiri. Melalui surat pembaca, saya ingin menyumbangkan saran untuk Majalah

Humanis Volume 1 Tahun VIII Juli 2012 41

Samuel Purba S.H., M.Hum. menjadi pembicara dalam acara Rapat Koordinasi Teknis Penyusunan Anggaran Divisi Pelayanan Hukum dan Hak Asasi Manusia

Bersama dengan Kepala Badan, Sekretaris Badan dan para Kepala Pusat Litbang Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia dalam pembukaan Rapat Koordinasi Teknis 2015

Foto bersama dengan seluruh pegawai di Pusat Penelitian dan Pengembangan Hak-hak Sipil dan Politik Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia

Selamat mengemban tugas baru di Kanwil Maluku Utara, Bapak Samuel!

APA DAN SIAPA

Foto: Daryono

Foto: Daryono

Foto: Sabir

Page 44: Warta Hak Asasi Manusia - balitbangham.go.idpendidikan formal maupun yang lahir dari lingkungan keluarga sendiri. Melalui surat pembaca, saya ingin menyumbangkan saran untuk Majalah