warta buruh migran oktober 2011

16
Halaman 1 | Warta Buruh Migran | Oktober 2011 Warta Buruh Migran | Edisi VIII | Oktober 2011 Klik www.buruhmigran.or.id Akhir bulan September 2011 lalu pemerintah mengumumkan 4 negara yang layak menjadi negara tujuan penempatan TKI. Negara-negara tersebut adalah Arab Saudi, Malaysia, Taiwan, dan Hong Kong. Benarkah pertimbangan pemerintah yang hanya akan mengirim TKI PRT ke empat negara tersebut sudah matang? Pemerintah, di lain sisi, tengah mengevaluasi negara yang selama ini menjadi negara tujuan TKI. Dua negara pertama (Malaysia dan Arab Saudi) merupakan negara dengan tingkat pelanggaran tertinggi terhadap hak TKI. TKI banyak disiksa dan tidak dipenuhi hak-hak mereka. Kedua negara tersebut juga kerap absen dalam perlindungan TKI. Pada edisi ini Warta Buruh Migran akan mengkaji kebijakan moratorium pemerintah. Pertanyaannya, apakah tindakan pemerintah tersebut sudah tepat ataukah justru memperparah kondisi TKI? Seluruh tulisan dan foto dalam buletin ini dilisensikan dalam bendera Creative Common (CC). Siapapun bisa mengutip, menyalin, dan menyebarluaskan sebagian atau keseluruhan tulisan dengan menyebutkan sumber tulisan dan jenis lisensi yang sama, kecuali untuk kepentingan komersil. Salam Redaksi Yogyakarta Penanggung Jawab Yossy Suparyo Muhammad Irsyadul Ibad Pimpinan Redaksi Fika Murdiana Tim Redaksi Muhammad Khayat Fathulloh Muhammad Ali Usman Kontributor Muhammad Ali Usman Farrastika Shinta Devie Muhammad Nasrudin Tata Letak Wahyu Widayat N Ilustrator Muhammad Alamsyah Alamat Redaksi Jl.Veteran Gg.Janur Kuning No.11A Pandean Umbulharjo Yogyakarta, Telp/Fax:0274-372378 E-mail:[email protected] Twiter: @infoburuhmigran Facebook; Buruh Migran Portal: http://buruhmigran.or.id Penerbitan buletin ini atas dukungan: Sebanyak 41 siswa dan 9 guru Jurusan Pekerjaan Sosial SMK Ma'arif Kyai Gading, Desa Candisari, Kecamatan Mranggen, Kabupaten Demak, Jawa Tengah mengunjungi redaksi Pusat Sumber Daya Buruh Migran (PSD-BM) di Yogyakarta (23/10/11). Rombongan kegiatan "Belajar Lapangan" tersebut tiba di Sekretariat PSD-BM sejak pukul 13.30 WIB dan berdiskusi pelbagai hal tentang kerja sosial dan pengelolaan informasi buruh migran bersama beberapa anggota redaksi seperti Muhammad Irsyadul Ibad, Muhammad Khayat, dan Fathulloh. "Saling bertukar informasi dan pengetahuan antar buruh migran merupakan kegiatan penting agar buruh migran menjadi berdaya, apabila ada sebuah kasus menimpa seorang buruh migran, maka banyak pihak bisa saling berbagi peran dalam kerja penanganan kasus, dan kerja advokasi melalui media informasi menjadi salah satu peran yang dilakukan PSD-BM," jawab Fathulloh Fahsin M Fa'al, salah satu guru sekaligus pendamping rombongan, memulai perkenalan dan menyampaikan tujuan kegiatan belajar lapangan yang dilakukan Siswa SMK Ma'arif Kyai Gading. Kegiatan belajar lapangan diharapkan menambah pengetahuan Siswa Jurusan Pekerjaan Sosial SMK Ma'arif Kyai Gading tentang prinsip dasar dalam kerja sosial. SMK Ma'arif Kyai Gading kunjungi PSD-BM Tim Redaksi

Upload: infest-yogyakarta

Post on 06-Mar-2016

236 views

Category:

Documents


5 download

DESCRIPTION

Pada edisi ini Warta Buruh Migran akan mengkaji kebijakan moratorium pemerintah. Pertanyaannya, apakah tindakan pemerintah tersebut sudah tepat ataukah justru memperparah kondisi TKI?

TRANSCRIPT

Page 1: Warta Buruh Migran Oktober 2011

Halaman 1 | Warta Buruh Migran | Oktober 2011

Warta Buruh Migran| Edisi VIII | Oktober 2011

Klik www.buruhmigran.or.id

Akhir bulan September 2011 lalu pemerintah mengumumkan 4

negara yang layak menjadi negara tujuan penempatan TKI.

Negara-negara tersebut adalah Arab Saudi, Malaysia, Taiwan,

dan Hong Kong. Benarkah pertimbangan pemerintah yang

hanya akan mengirim TKI PRT ke empat negara tersebut sudah

matang?

Pemerintah, di lain sisi, tengah mengevaluasi negara yang

selama ini menjadi negara tujuan TKI. Dua negara pertama

(Malaysia dan Arab Saudi) merupakan negara dengan tingkat

pelanggaran tertinggi terhadap hak TKI. TKI banyak disiksa dan

tidak dipenuhi hak-hak mereka. Kedua negara tersebut juga

kerap absen dalam perlindungan TKI.

Pada edisi ini Warta Buruh Migran akan mengkaji kebijakan

moratorium pemerintah. Pertanyaannya, apakah tindakan

pemerintah tersebut sudah tepat ataukah justru memperparah

kondisi TKI?

Seluruh tulisan dan foto dalam buletin ini dilisensikan dalam bendera Creative Common (CC). Siapapun bisa mengutip, menyalin, dan menyebarluaskan sebagian atau keseluruhan tulisan dengan menyebutkan sumber tulisan dan jenis lisensi yang sama, kecuali untuk kepentingan komersil.

Salam Redaksi Yogyakarta

Pena ng g ung Jawab

Yossy Suparyo

Muhammad Irsyadul Ibad

Pim pinan Reda ksi

Fika Murdiana

T im Reda ksi

Muhammad Khayat

Fathulloh

Muhammad Ali Usman

Kont ribut or

Muhammad Ali Usman

Farrastika Shinta Devie

Muhammad Nasrudin

T a ta Let ak

Wahyu Widayat N

I lust rat or

Muhammad Alamsyah

A lam at Reda ksi

Jl.Veteran Gg.Janur Kuning No.11A

Pandean Umbulharjo Yogyakarta,

Telp/Fax:0274-372378

E-mail:[email protected]

Twiter: @infoburuhmigran

Facebook; Buruh Migran

Portal: http://buruhmigran.or.id

Penerbi ta n bule t in ini a ta s dukung a n:

Sebanyak 41 siswa dan 9 guru Jurusan Pekerjaan Sosial SMK Ma'arif Kyai Gading, Desa Candisari, Kecamatan Mranggen, Kabupaten Demak, Jawa Tengah mengunjungi redaksi Pusat Sumber Daya Buruh Migran (PSD-BM) di Yogyakarta (23/10/11).

Rombongan kegiatan "Belajar Lapangan" tersebut tiba di Sekretariat PSD-BM sejak pukul 13.30 WIB dan berdiskusi pelbagai hal tentang kerja sosial dan pengelolaan informasi buruh migran bersama beberapa anggota redaksi seperti Muhammad Irsyadul Ibad, Muhammad Khayat, dan Fathulloh.

"Saling bertukar informasi dan pengetahuan antar buruh migran merupakan kegiatan penting agar buruh migran menjadi berdaya, apabila ada sebuah kasus menimpa seorang buruh migran, maka banyak pihak bisa saling berbagi peran dalam kerja penanganan kasus, dan kerja advokasi melalui media informasi menjadi salah satu peran yang dilakukan PSD-BM," jawab Fathulloh

Fahsin M Fa'al, salah satu guru sekaligus pendamping rombongan, memulai perkenalan dan menyampaikan tujuan kegiatan belajar lapangan yang dilakukan Siswa SMK Ma'arif Kyai Gading. Kegiatan belajar lapangan diharapkan menambah pengetahuan Siswa Jurusan Pekerjaan Sosial SMK Ma'arif Kyai Gading tentang prinsip dasar dalam kerja sosial.

SMK Ma'arif Kyai Gading kunjungi

PSD-BM

Tim Redaksi

Page 2: Warta Buruh Migran Oktober 2011

Halaman 2 | Warta Buruh Migran | Oktober 2011

02 | Sekilas Peristiwa

Taiwan

Atin Safitri beserta empat perwakilan Asosiasi Tenaga Kerja

Indonesia (ATKI) Taiwan lainnya mengikuti pelatihan advokasi dan

lobi untuk pendampingan buruh migran yang dilaksanakan di

Shih Shin University 110, Lane , Sec 1 , Mu-Cha Rd, Taipei, Taiwan

(23/10/11).

Pelatihan atas kerja sama ATKI dengan Asia Pasific Mission for

Migrant (APMM) tersebut, juga diikuti oleh perwakilan pekerja

migran dari Filipina. Pelatihan yang dipandu oleh Mr.Butch,

perwakilan dari APMM ini bertujuan untuk meningkatkan

kemampuan pegiat organisasi buruh migran di Taiwan dalam hal

advokasi dan lobi untuk kerja-kerja perlindungan buruh migran di

Taiwan.

ATKI Taiwan yang didirikan pada 20 Desember 2009 merupakan

bentuk lebih rapi dari lembaga yang sebelumnya bernama

Persatuan BMI Tolak Overcharging (biaya yang berlebihan) di

Taiwan (Pillar) yang didirikan pada 1 Maret 2009.

Saat ini persoalan terkait perlindungan dan pemenuhan hak hak-

hak buruh migran di Taiwan masih banyak yang harus

diperjuangkan. Mulai dari besarnya biaya penempatan, hak libur

yang belum merata diterima pekerja migran, gaji dan dokumen

yang ditahan agensi, permintaan pekerjaan (job order) yang tidak

sesuai dengan pekerjaan, dan pelbagai kasus lainnya merupakan

contoh dari sekian banyak persoalan yang harus diperjuangkan

pekerja migran di Taiwan.

Pelatihan Advokasi dan Lobi untuk Pegiat ATKI Taiwan

Peserta pelatihan juga belajar strategi organisasi pekerja migran

dalam menuntut dan memperjuangkan hak pekerja migran,

seperti strategi berdemonstrasi, berdialog, dan menggelar sebuah

konverensi atau pertemuan antar jaringan organisasi pekerja

migran.

“Setelah pelatihan tersebut kami akan menyusun rencana

strategis untuk enam bulan ke depan, misalnya terkait biaya

penempatan, kami akan menggelar diskusi sesama organisasi

pekerja di Taiwan, mengumpulkan data, menggalang aspirasi dan

keterlibatan lebih luas TKI di Taiwan, kemudian kami akan

menggelar demonstrasi di tempat-tempat strategis” tutur Atin

Safitri, Tenaga Kerja Indonesia (TKI) asal Trenggalek Jawa Timur

yang juga aktif di ATKI Taiwan saat diwawancarai redaksi

buruhmigran.or.id.

Melalui pelatihan tersebut Atin Safitri beserta pegiat ATKI Taiwan lainnya mengharapkan Pemerintah Indonesia maupun Taiwan segera meratifikasi Konvensi Internasional tentang Perlindungan Buruh Migran dan Keluarga, serta bersikap tanggap atas setiap persoalan yang muncul disekitar buruh migran.

Sumber Foto: Atin Safitri (Facebook)

Page 3: Warta Buruh Migran Oktober 2011

Halaman 3 | Warta Buruh Migran | Oktober 2011

Cilacap

8 TKI Jawa Tengah

Terancam Hukuman

Mati

Kasus yang dituduhkan kepada

para Tenaga Kerja Indonesia

tersebut adalah kasus

pembunuhan dan kasus

penyelundupan heroin.

Berdasar dokumen surat yang di terbitkan Kementrian Luar

Negeri Republik Indonesia kepada Gubernur Jawa Tengah,

ada 8 buruh Migran jawa tengah yang terancam hukuman

mati di Arab Saudi dan China di tahun 2011.

Delapan orang tersebut antara lain: (1) Satinah Binti Jumadi, berasal dari Kab. Semarang. Ia dituduh membunuh istri majikan di Arab Saudi, (2) Tarsini Binti Tamir, berasal dari Kab. Brebes, ia di tuduh membunuh anak majikannya di Arab Saudi, (3) Nur Bidayati asal Wonosobo. ia di tuduh melakukan penyelundupan heroin di China, (4) Dyah Purwaningsih, berasal dari Kab. Boyolali, ia di tuduh membawa Narkoba di China, (5) Ari Ani hidayah, berasal dari Kab. Banyumas, dituduh membawa narkoba di China, (6) Tuti, mantan TKi asal Cilacap, ia dituduh membawa Narkoba, (7) Sri Mulyani asal Kendal, dituduh membawa Narkoba di Honngkong/China, (8) Sri Bidayati asal Kab. Pati, ia juga di tuduh membawa narkoba.

Dari data tersebut bisa dilihat, bahwa kasus di Arab Saudi semuanya pembunuhan, dan kasus di China semua nya adalah kasus narkoba. Melihat kecenderungan jenis kasus, direktur lakpesdam NU Cilacap Khazam Bisri mengatakan perlu adanya kajian mendalam dan kritis mengenai fenomena TKI yang terncam hukuman mati diluar negeri.(Akhmad Fadli)

Banyumas

Ari Ani Hidayah Terancam Hukuman

Mati di China

Ari Ani Hidayah (37), TKI asal RT 02/03, Desa Karangsari, Kecamatan

Kebasen, Kabupaten Banyumas adalah salah satu dari enam TKI Jawa

Tengah yang terancam hukuman mati di Negeri Cina. Ia bersama

enam rekannya terbukti melanggar hukum di negeri tirai bambu itu

karena kedapatan membawa jenis obat-obatan terlarang.

Berdasarkan pemberitaan Harian Suara Merdeka (11/10/11),

Suswoyo, kontributor www.buruhmigran.or.id yang juga pegiat

Paguyuban Perlindungan Buruh Migran dan Perempuan "Seruni"

Banyumas mengunjungi keluarga Ari Ani Hidayah (18/10/11).

Ani adalah anak sulung dari pasangan Mukhtar Jamaludin (59) dan

Darsini (54). Ani mengawali menjadi Tenaga Kerja Wanita (TKW)

pertama kali ke Arab Saudi dalam usia yang relatif masih muda. Ia

hanya mengenyam pendidikan sampai sekolah Menengah Pertama,

di SMP Diponegoro, Sampang, Cilacap. Sejak tamat SMP, Ani sempat

bekerja di Jakarta selama dua tahun. Dirasa kurang berhasil Ani nekat

untuk bekerja di luar negeri mengikuti sponsor dari Kemranjen yang

bernama Kusrin. Saat itu Arab Saudi menjadi pilihan negara tujuan

pertamanya.

“Ani memang sosok yang tidak betah di rumah. Setamat dari

sekolah, kalau pulang dari perantauan, ia hanya tinggal sebentar

dengan orang tua. Ia memang mempunyai tekad kuat untuk

memperbaiki nasib dirinya dan orang tuanya” tutur Darsini, Ibu Ani.

Kini, saat anaknya menjalani proses hukum di China, Darsini

senantiasa meminta doa kepada siapapun yang berkunjung ke

rumahnya agar Ani lolos dari hukuman mati. Termasuk kepada

Gabungan Organisasi Wanita (GOW) Kabupaten Banyumas dan

Paguyuban Peduli Buruh Migran dan Perempuan SERUNI, saat

berkunjung ke rumah orang tua Ani di Kebasen, Selasa, 18 Oktober

2011 yang lalu. (Suswoyo)

03 | Sekilas Peristiwa

Page 4: Warta Buruh Migran Oktober 2011

Halaman 4 | Warta Buruh Migran | Oktober 2011

04 | Kajian

Kedua, adalah soal upah. Apakah ada jaminan bahwa gaji BMI akan dibayarkan senilai RM 700 seperti dalam kesempahaman upah standar BMI? Prosedur pembayaran gaji melalui rekening apakah menutup seluruh kemungkinan untuk memotong gaji? Belum. Majikan bisa saja menetapkan biaya sewa tempat tinggal dan biaya makan bagi BMI. Rincian ini luput luput dari pembahasan. Bagaimanakah BMI yang berupah di atas angka itu? Alih-alih melindungi, bisa saja kesepakatan tersebut justeru menjadi alibi penurunan upah BMI.

Ketiga, soal jam kerja. Kesepakatan hak BMI untuk libur satu hari dalam sepekan tidak sepenuhnya menjamin BMI bisa menikmati hari libur tersebut, apalagi mengingat mereka belum tentu boleh keluar rumah majikan. Perlu ada kepastian bahwa BMI boleh melakukan kegiatan sosial di luar jam kerja seperti BMI Hongkong yang bisa berkumpul setiap ahad pagi di Victoria Park. Di Victoria Park BMI dapat berkumpul, melakukan banyak kegiatan sosial yang bermanfaat, seperti pengajian, peringatan hari besar agama, komunitas kepenulisan, dan kegiatan lain.

Satu hal yang absen dari kesepakatan antara RI-Malaysia adalah pembatasan jam kerja dalam sehari. Boleh jadi BMI mendapatkan libur sehari dalam sepekan, tapi dalam keseharian mereka bekerja melampaui jam kerja standar (8 jam), bahkan 14 jam atau lebih. Hal ini tentu saja melanggar peraturan umum tentang ketenagakerjaan dan eksploitasi dan melanggar HAM. Bukan tidak mungkin majikan nakal akan memanfaatkan celah ini untuk mengekspoitasi BMI.

Moratorium adalah momentum untuk meningkatkan posisi tawar masyarakat Indonesia sebagai sebuah bangsa, juga Buruh Migran Indonesia (BMI) di Malaysia. Warga Malaysia, pada banyak kasus, memiliki superiorioritas dengan menganggap bahwa mereka lebih mulia dan hebat tinimbang BMI. Hal ini muncul karena majikan yang mempekerjakan BMI sebagai Penata Laksana Rumah Tangga (PLRT) cenderungan menilai status sosial PLRT lebih rendah.

Persepsi umum yang populer adalah bahwa BMI butuh pekerjaan di Malaysia. Sebaliknya, orang Malaysia tidak butuh BMI, karena ketersediaan tenaga kerja dari negara selain Indonesia cukup melimpah. Persepsi kerap membuat majikan bertindak sewenang-wenang terhadap tenaga kerja asing asal Indonesia. Perspektif ini tentu perlu diluruskan. Moratorium yang berjalan menyebabkan kelangkaan tenaga kerja di Malaysia. Saat ini, warga Malaysia benar-benar merasakan bahwa mereka tidak bisa hidup tanpa bantuan BMI yang sebagiannya berprofesi sebagai PLRT. Tak tanggung-tanggung, masyarakat Malaysia titip pesan kepada Perdana Menteri Razak yang akan berunding di Lombok seperti dikutip Koran Tempo (11 September 2011). Pertanyaannya, apakah pemerintah RI memanfaatkan momen tersebut secara maksimal? Di atas kertas, seakan begitu. Pemerintah memiliki kesepahaman baru yang mengatur beberapa rincian soal BMI di Malaysia, seperti (i) paspor tetap dipegang langsung oleh TKI, bukan lagi majikan; (ii) hak libur satu kali dalam satu pekan; (iii) upah minimal RM 700 per bulan, dan; (iv) pembayaran upah dilakukan lewat transfer bank agar ada bukti tertulis. Keempat hal tersebut perlu perlu dicermati kembali secara lebih rinci. Persoalan paling mendasar, seperti sempat disinggung Anis Hidayah, direktur Migrant Care dalam berita di portal kampungtki.com, adalah tidak adanya tuntutan akan hak BMI untuk membentuk Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) di Malaysia. Meskipun sebagian besar BMI tidak bekerja di sektor formal, tetapi SBMI ini perlu dan kian dibutuhkan. Situasi sektor informal sangat memungkinkan bagi para pengguna jasa BMI untuk bertindak tidak adil. SBMI akan menjadi jaring pengaman sosial bagi BMI dan berfungsi sebagai kantung-kantung perlindungan. SBMI akan menjadi jejaring komunikasi efektif untuk berbagi informasi. BMI yang selama ini dibungkam lebih bisa bersuara. Mereka dapat bersuara saat ada penyalur BMI nakal, pengusaha tak membayar upah sesuai standar atau saat ada pengusaha yang mempekerjakan BMI melampaui jam kerja. SBMI juga dapat menangani BMI yang bermasalah, baik lewat jalur hukum maupun nonhukum. Bukankah salah satu hak asasi yang harus dijamin negara adalah hak berserikat dan menyampaikan pendapat?

Per panjang M or ator ium BM I PLRT ke M alays ia !Oleh: M.Nasrudin

Page 5: Warta Buruh Migran Oktober 2011

Halaman 5 | Warta Buruh Migran | Oktober 2011

Keempat, soal pengawasan. Dalam sektor informal, tidak

mudah melakukan pengawasan atas pelaksanaan

kesepakatan antara pemerintah RI dengan Malaysia.

Apalagi, lokasi tempat permberlakuan kesepahaman di

wilayah kuasa hukum Malaysia. Boleh jadi komitmen

Pemerintah Malaysia berbeda dengan praktik di lapangan

atau pada penerapannya. Keberadan satuan tugas (Satgas)

kedua negara yang disepakati melakukan kontrol belum

memiliki kejelasan mekanisme kerja.

Kelima, terkait dengan sanksi. Tak ada kejelasan atas

mekanisme pelaporan tatkala ada pihak yang mengingkari

kesepakatan tersebut. Bila, misalnya, ada pengusaha yang

tidak membayar BMI sesuai standar, kepada siapa BMI

melapor dan apa sanksi yang dijatuhkan kepada

pengusaha tersebut. Hal ini tentu perlu kejelasan dan

ketegasan yang diatur secara rinci. Sebagaimana umumnya

kesepakatan dua negara, kesepahaman ini tidak bisa

langsung diterapkan di negara tersebut tanpa ratifikasi.

Komitmen pemerintah Malaysia perlu diawasi, salah

satunya dengan ratifikasi kesepahaman tersebut dalam

hukum Malaysia.

Pemerintah Malaysia harus membuat

peraturan yang mengikat seluruh

pengguna jasa BMI dengan sanksi

yang tegas dan jelas, juga

mekanismenya. Setelah ada

komitmen, barulah pemerintah RI

boleh mencabut moratorium

tersebut.

Hal lain juga absen dalam pembahasan RI-Malaysia. Ada

indikasi bahwa jumlah BMI ilegal jauh lebih besar

ketimbang BMI legal di Malaysia. Posisi mereka jauh lebih

rawan ketimbang BMI legal. Pemerintah RI harusnya

memanfaatkan moratorium ini untuk memberikan

perlindungan terhadap BMI ilegal.

M. NasrudinMahasiswa magister hukum UII Yogyakarta.

Warga komunitas Obrolan Wijilan.

Pemerintah harusnya bisa memaksa Malaysia untuk

bekerjasama melakukan pemutihan status, mendata, dan

memberikan paspor kepada BMI ilegal agar mereka

memperoleh jaminan kesejahteraan dan keselamatan.

Tak lupa, pemerintah RI dan Malaysia harus berkomitmen

dalam memberantas mafia perdagangan manusia (human

trafficking) dan penyaluran BMI ilegal. Ada kesan bahwa

pemerintah Malaysia enggan mengurus hal ini, karena

banyak pengusaha mereka yang lebih memilih BMI ilegal.

Dengan status ilegal, BMI bisa diperlakukan seenaknya

karena tiada perlindungan, seperti dalam bentuk

rendahnya upah kerja yang diterima. Jika seluruh persoalan

tersebut belum tuntas, maka terang sudah bahwa

pencabutan moratorium pada 1 Desember adalah tindakan

yang terburu-buru dan gegabah. []

05 |Kajian

Page 6: Warta Buruh Migran Oktober 2011

Halaman 6 | Warta Buruh Migran | Oktober 2011

06 |Kajian

Sangat wajar jika muncul banyak tudingan bahwa kebijakan moratorium TKI tidak lebih hanya sebagai kebijakan pencitraan pemerintah SBY agar dianggap telah memberikan perhatian dan perlindungan nasib TKI. Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) yang bekerja di bawah koordinasi langsung presiden dan diberikan tugas khusus untuk manangani TKI ternyata gagal memberikan perlindungan kepada TKI.

Wakil Ketua DPR RI, Priyo Budi Santoso, menyatakan bahwa DPR RI telah menerima 218 laporan TKI yang sedang tersangkut kasus hukum di luar negeri. Mayoritas permasalahan mereka terkait ancaman hukuman mati karena kasus pembunuhan majikan. Permasalahan tertinggi terjadi di Malaysia dengan jumlah 151 kasus. Kemudian di Arab Saudi ada 43 kasus, di China ada 22 kasus, dan 2 kasus di Singapura. Dari 43 kasus di Arab Saudi, ada 5 TKI yang terancam hukuman pancung, 8 orang sedang mengajukan banding, 8 di tingkat I, 11 orang sedang di dalam tahanan penyidik, 5 masih dalam proses, dan 6 orang sedang menjalani proses persetujuan pemaafan lewat jalur keluarga.

Banyaknya kasus TKI yang tidak mampu ditangani secara sigap oleh pemerintah semakin meragukan kita terhadap efektivitas kerja lembaga-lembaga dan orang-orang yang diberi tugas, wewenang, dan tanggung jawab untuk mengurus TKI. Sebagaimana jamak diketahui, pemerintah dikenal sangat hobi membuat satuan tugas (satgas), termasuk membuat satgas perlindungan TKI.

Satgas ini diberikan tugas khusus untuk menangani kasus-kasus hukum yang sedang dialami para TKI di luar negeri. Akan tetapi, faktanya satgas ini tidak banyak membantu menyelesaikan persoalan, alias mandul. Harus diakui, hingga hari ini moratorium TKI ke Arab Saudi masih hanya sebatas kebijakan kulit, karena belum diikuti oleh pembuatan kebijakan lanjutan yang substantif dan strategis pascakebijakan moratorium.

Terhitung sejak pemberlakuan moratorium TKI ke Arab Saudi pada tanggal 1 Agustus 2011 lalu, tepatnya pasca pemancungan TKI asal Bekasi Ruyati Binti Satubi, tidak ada satu pun kebijakan radikal yang diambil pemerintah dalam memberikan dukungan pada program moratorium. Bahkan, Memorandum of Understanding (MoU) tentang penempatan dan perlindungan TKI dengan Arab Saudi yang ditargetkan rampung akhir tahun ini masih belum ada kabar lanjutannya.

Dalam rangka mensukseskan kebijakan moratorium TKI, ada empat hal yang dapat dilakukan pemerintah: Pertama, melakukan evaluasi dan perbaikan menyeluruh terhadap semua proses pengiriman TKI. Sebagaimana diketahui, hampir 80 persen persoalan TKI terjadi di dalam negeri, bukan di luar negeri. Perbaikan kebijakan tentang TKI tersebut dimulai dari proses perekrutan, pembekalan, hingga pemberangkatan. Pada tahap ini, kasus yang seringkali muncul adalah sewaktu calon TKI berada di penampungan. Banyak calon TKI yang merasa ditipu oleh pihak PJTKI. Di samping soal negara tujuan kerja yang tidak pasti, tugas dan jenis pekerjaan yang belum jelas, para calon TKI juga seringkali dipaksa menandatangani kontrak kerja sesuai dengan perintah PJTKI. Mereka sama sekali tidak diberikan hak untuk menegosiasikan haknya.

Kebijakan moratorium TKI ke Arab Saudi yang dikeluarkan oleh pemerintah hingga hari ini masih belum menampakkan pengaruh signifikan terhadap BMI di Arab Saudi.

Menanti Kebijakan Kongkrit

Pemerintah Pascamoratorium TKIOleh: Muhammad Ali Usman

Page 7: Warta Buruh Migran Oktober 2011

Halaman 7 | Warta Buruh Migran | Oktober 2011

Persoalan lain adalah terkait Kartu Tenaga Kerja Luar Negeri (KTKLN). Hingga hari ini masih banyak ditemukan para calon TKI dan TKI yang berangkat kerja ke luar negeri tanpa memiliki KTKLN.

Salah satu tujuan penerbitan KTKLN adalah sebagai kartu identitas bagi TKI dan dokumen pemberangkatan bagi TKI yang telah memiliki persyaratan dan prosedur bekerja ke luar negeri. Kartu ini berbentuk smartcard berbasis chip microprocessor contactless.

Sebenarnya, KTKLN ini sudah diatur di dalam UU Ketenagakerjaan, yaitu pada Pasal 26 ayat (2) butir (f) UU No. 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlinduangan TKI di Luar Nageri yang menyebutkan bahwa "TKI yang ditempatkan wajib memiliki KTKLN", sedangkan pasal 62 ayat (1) menyebutkan, "Setiap TKI yang ditempatkan di luar negeri wajib memiliki dokumen KTKLN yang dikeluarkan oleh pemerintah.”

Kedua, menyiapkan kerjasama perlindungan TKI dengan semua negara tujuan, khususnya dengan negara tujuan yang belum memiliki UU Perlindungan Buruh Migran, seperti Arab Saudi dan negara-negar Timur Tengah lain. Terkait dengan Arab Saudi, pemerintah harus berani mendesak pemerintah Arab Saudi untuk duduk bersama membuat MoU perlindungan TKI, sehingga ketika kebijakan moratorium dicabut, TKI sudah memiliki perlindungan hukum dan mendapatkan hak-haknya secara penuh sebagai buruh.

Ketiga, mencarikan para calon TKI negara tujuan kerja alternatif. Tentunya, negara tujuan yang sudah memiliki kebijakan perlindungan bagi buruh migran di negaranya. Menurut data BNP2TKI, saat ini daftar negara Timur Tengah yang mendapat moratorium adalah Arab Saudi, Jordania, Kuwait, dan Syria. BNP2TKI menyatakan, potensi jumlah TKI yang gagal berangkat yang diakibatkan kebijakan moratorium mencapai 360 ribu per tahun.

Jika jumlah calon TKI gagal berangkat yang sangat besar ini tidak dicarikan jalan keluar, maka pemerintah dianggap mengabaikan hak warga negara untuk mendapatkan hak kesejahteraan hidup.

Keempat, membuat program pelatihan kerja di setiap daerah tingkat II. Saat ini banyak Balai Latihan Kerja (BLK) dan Balai Latihan Kerja Luar Negeri (BLK-LN) yang memiliki nasib merana. Tidak mendapatkan perawatan yang memadai. Belum lagi ditambah soal materi pelatihan yang tidak fokus dan trainer yang memiliki SDM rendah.

Muhammad Ali Usman

Kontributor Pusat Sumber Daya

Buruh Migran

Karena itu, tidak heran jika banyak alumni BLK yang tidak berkualitas meskipun mereka telah mengikuti pelatihan berminggu-minggu di BLK. Program pelatihan bagi masyarakat usia kerja ini menjadi sebuah keniscayaan, karena mayoritas para calon TKI memiliki pendidikan rendah, yaitu SD dan SMP. Selama ini mereka tidak memiliki kepercayaan diri untuk bersaing dengan kompetitor lain yang memiliki basis pendidikan profesi karena mereka sama sekali tidak memiliki bekal keahlian. Andai mereka bekerja pun, wilayah kerja mereka lebih banyak di sektor informal, yaitu Penata Laksana Rumah Tangga (PLRT).

Jika pemerintah mampu memberikan

bekal keahlian dan kualitas skill kerja

yang baik maka TKI akan memiliki nilai

tambah dan daya tawar lebih di

negeara tujuan.

Langkah ini sudah dilakukan oleh negara Filipina, di mana hampir 80 persen pekerja mereka bekerja di sektor formal di berbagai negara. Bekerja di sektor formal akan memberikan banyak keuntungan bagi TKI, di antaranya, gaji lebih yang tinggi daripada ketika kerja di sektor informal, perlindungan dan asuransi kerja yang lebih maksimal, serta mereka dapat terus meningkatkan kualitas skill kerja seiring dengan iklim kompetisi kerja yang bebas.

07 |Kajian

Sumber Foto: http://pdk.or.id

Page 8: Warta Buruh Migran Oktober 2011

Halaman 8 | Warta Buruh Migran | Oktober 2011

08 | Kajian

Menyoal Peran Negara

Melindungi Buruh Migran

PerempuanOleh: Farrastika Shinta Devie Rifka Annisa

Persoalan yang dialami Buruh Migran Indonesia (BMI) bisa jadi hanya menguap cepat kemudian hilang, dan akan terus muncul kembali. Sampai hari ini tidak ada data manapun yang secara komprehensif bisa menjadi acuan berapa banyak jumlah pekerja migran Indonesia yang tersebar di luar negeri baik yang secara resmi maupun tidak resmi (migrasi ilegal). Lalu bagaimana dengan jumlah, jenis, dan kasus pelanggaran yang dialami oleh pekerja migran perempuan?

Sungguh sebuah ironi, ketika kebijakan Pemerintah untuk mendorong rakyat mengais pendapatan di negeri orang justeru tidak diikuti dengan adanya ukuran (standardisasi) perlindungan pekerja migran. Padahal setiap tahun jumlah pekerja migran Indonesia di luar negeri semakin meningkat.

Kekerasan hingga kematian Buruh Migran Perempuan (BMP) Indonesia selama tahun 2009 sampai 2011, merupakan potret buramnya empati pemerintah terhadap BMP. Bayangkan saja, ketika kasus penyiksaan maupun kematian BMP diketahui publik, pemerintah tetap lambat merespon. Lebih memperihatinkan lagi, perlindungan hukum terhadap BMP tetap lemah. Tetesan keringat dan darah BMP tidak mampu memberi pesan kepada pemerintah sebagai pengambil kebijakan publik untuk bertindak cepat melakukan perbaikan. Alih-alih memberi perlindungan, pemerintah justru lebih asyik menghitung nilai devisa yang dihasilkan.

Sudah terlalu lama buruh migran dan keluarganya memimpikan perlindungan dan kedaulatan. Sudah terlalu banyak nyawa melayang, hanya karena tidak ada perlindungan. Pelbagai kasus pada BMP yang bekerja di luar negeri, khususnya pekerja sektor informal, dapat dilihat dari dua sisi, yakni kerentanan sosial dan hukum.

Jenis kerentanan sosial dan hukum yang dialami BMP, biasanya berupa: (1) eksploitasi di tempat kerja, dan (2) kekerasan fisik dan pelecehan seksual. Contoh kasus eksploitasi ditempat kerja misalnya: upah tidak dibayar, upah terlalu rendah, jam kerja yang panjang, tidak ada libur, tidak ada uang ganti lembur, dan masih banyak lagi lainnya. Sedangkan contoh dari kekerasan fisik dan pelecehan seksual, antara lain: pemukulan, penyiksaan baik fisik mapun psiskis, pengurungan, tempat tidur yang tidak layak, pelecehan seksual, hingga pemerkosasaan.

Daftar persoalan berikutnya adalah akses ke jaring pengaman sosial yang sangat kurang, karena budaya tempat bekerja yang berbeda. Ada beberapa budaya negara tujuan yang cenderung mempersulit BMP untuk bersosialisasi, misalnya BMP tidak boleh melaksanakan upacara/ibadah keagamaan. Apalagi agama BMP adalah agama minor di negara tujuan, sehingga kebijakannya pun tidak mengakomodir kepentingan keberagamaan BMP. Persoalan perbedaan budaya juga tidak hanya mengena pada hal-hal primsip semisal Ibadah, namun masalah perbedaan juga bisa muncul saat komunikasi sehari-hari.

Page 9: Warta Buruh Migran Oktober 2011

Halaman 9 | Warta Buruh Migran | Oktober 2011

Melihat sekian banyak kerentanan

pengamanan sosial karena masalah

perbedaan budaya, lantas kepada siapa

mereka akan mengadukan nasib?

Apalagi ditambah dengan masalah

diluar permalahan itu?

Bayangkan saja, dari sebelum keberangkatan, saat bekerja, sampai saat kembali ke tanah air, semuanya berada dalam lingkaran kerentanan dan ancaman.

Situasi semacam ini bisa membuat kita merasakan betapa berat dan keras kehidupan Buruh Migran Perempuan. BMP ibarat pasukan yang dikirim berperang tanpa senjata. Bekal kemampuan (skill) yang minim, perlindungan sosial dan hukum yang kurang, belum lagi kondisi budaya yang berbeda. Menghadapi situasi kompleks tersebut tentu saja BMP memerlukan bantuan dari pihak-pihak yang mengerti permasalahan.

Rasa perih dari kekerasan akibat eksploitasi ekonomi, politik, dan seksual itu sudah tidak terperikan. Tahun 2009, catatan Migrant Care menunjukkan, angka kematian buruh migran Indonesia mencapai 1.018 orang di seluruh negara penempatan, dan 683 orang atau 67% diantaranya meninggal di Malaysia (belum terhitung pekerja di negara-negara selain Malaysia). Sementara 2.878 orang mengalami kekerasan pada tahun yang sama, dan terus meningkat pada setiap tahunnya. Kesemuanya disebabkan Indonesia belum mempunyai formula yang memadai dalam hal perlindungan hak asasi manusia (HAM) dan jaminan perlindungan Buruh Migran Perempuan dari awal keberangkatan, saat bekerja di negeri luar, dan saat kepulangan.

Idealnya, perlindungan diterima BMP sejak masih berada di wilayah jurisdiksi Indonesia, seperti yang berkaitan dengan mekanisme pembuatan perjanjian kerja, pelaksanaan, dan tata cara penempatan. Perlindungan buruh migran yang sudah berada di luar negeri, prakteknya hanya dapat dilakukan melalui mekanisme yang diakui oleh hukum internasional. Perlindungan buruh migran di luar negeri sepanjang yang diperkenankan oleh hukum Internasional adalah melalui pelaksanaan fungsi perlindungan melalui konsuler dan diplomatik yang harus lebih peka dengan isu kekerasan terhadap BMP. Perwakilan Indonesia di luar negeri,

sepanjang diperbolehkan oleh hukum nasional negara

setempat dan sesuai dengan hukum internasional yang berlaku, dapat melakukan upaya perlindungan terhadap BMP melalui prosedur seperti yang diatur dalam hukum diplomatik dan konsuler. Mekanisme penegakan hukum dalam rangka pelaksanaan pemberlakuan isi dari Perjanjian Kerja tidak dapat dilakukan oleh Perwakilan RI, tetapi hanya dapat dilakukan oleh otoritas hukum negara penerima.

Hal ini merupakan konsekuensi logis dari prinsip hukum di mana perjanjian kerja tersebut, sekali pun dirumuskan dan distandardisasikan oleh pelbagai pihak termasuk pemerintah, tetap diatur oleh hukum negara penerima. Instrumen lain yang juga sesuai dengan konteks upaya perlindungan untuk buruh migran adalah perjanjian kerja sama penempatan dengan mitra Perusahaan Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Swasta (PPTKIS) di negara penerima.

Walaupun masih terdapat beberapa kendala, terutama berkaitan dengan budaya hukum dan sistem hukum yang berbeda antara negara pengirim dan penerima, pelbagai upaya untuk peningkatan perlindungan secara maksimal bagi BMP, terutama menyangkut standardisasi perjanjian kerja, wajib untuk dilakukan. Hal tersebut penting, sehingga pelbagai persoalan dapat diminimalisir.

Persoalan peran negara negara selanjutnya adalah kemampuan negara menjadi penyedia layanan publik yang sehat dan bertanggungjawab. Tentang penyedian layanan publik bagi BMP, negara perlu lebih memperhatikan keberadaan layanan publik di setiap KBRI (perwakilan Indonesia di luar negeri). Pelayanan publik di KBRI harus dapat diterima oleh BMP secara merata, adil, luwes (fleksibel), dan mudah untuk diakses setiap saat. Selama ini BMP terkendala waktu pelayanan untuk aduan yang sangat terbatas sesuai jam kerja, sehingga BMP akan kesusahan untuk mengadu di saat berada dalam situasi darurat dan membutuhkan pertolongan.

Daftar persoalan dan peluang perbaikan yang telah disampaikan di atas, akan tetap menjadi sekadar data dan saran jika pelbagai pihak di lingkaran persoalan buruh migran tidak bersikap tegas dalam upaya perlindungan TKI. Baik BMP, keluarga, lemabaga swasta, masyarakat luas dan khususnya pemerintah sebagai pengemban amanat rakyat butuh untuk saling bersinergi, bahu-membahu dalam mengurai pelbagai persoalan buruh migran, khususnya BMP.

09 |Kajian

Page 10: Warta Buruh Migran Oktober 2011

Halaman 10 | Warta Buruh Migran | Oktober 2011

10 | Inspirasi

Terpanggil untuk PeduliOleh: Andreas Soge

Wawancara dengan Andreas Soge, pegiat buruh migran

asal Larantuka, Nusa Tenggara Timur. Berawal dari

perkenalan di media jejaring sosial (Facebook), Fathulloh,

salah satu anggota redaksi Pusat Sumber Daya Buruh

Migran (PSD-BM) berkenalan dan mewawancarai Andreas

Soge (43), seorang pegiat buruh migran asal Larantuka yang

juga bergabung dalam organisasi Serikat Buruh Migran

Indonesia wilayah Kepulauan Riau (SBMI Kepri). Berikut

kutipan wawancaranya:

Redaksi:

Selamat Malam.

Andreas Soge:

Malam juga.

Redaksi:

Mas, kami pernah membaca informasi tentang kegiatan

Anda mengawal kepulangan TKI dari Malaysia dari dinding

Facebook, bisakah diceritakan bagaimana awal mula

keterlibatan Anda dalam pemulangan Tenaga Kerja

Indonesia (TKI) asal NTT pada pertengahan Oktober

kemarin?

Andreas Soge:

Awalnya ketika saya bekerja di Batam tahun 2007, saat itu

saya bertemu dengan begitu banyak perantau asal NTT,

saya tergerak untuk lebih memperdalam kenapa mereka

banyak di Batam dengan standar hidup yang sangat

memprihatinkan, maka diam-diam saya datangi setiap

komunitas dan berdiskusi dengan mereka, dari diskusi ini

saya mengetahui mayoritas mereka pernah bekerja di

Malaysia dan dipulangkan secara paksa karena persoalan

dokumen (ilegal).

Sebenarnya banyak informasi tentang persoalan pekerja

migran di Batam yang saya dapat sejak tahun 2007. Selama

2 tahun saya mengumpulkan informasi. Saya mendatangi

sendiri pelabuhan pemulangan di Tanjung Pinang dan

mengamati beberapa pelabuhan, baik international atau

pelabuhan tikus di Batam.

Pelabuhan tikus sendiri merupakan pelabuhan yang biasa digunakan untuk penyelundupan baik barang dan manusia, untuk manusia selalu dilakukan para tekong (Calo TKI) di malam hari. Hingga pada Juni 2009 dalam sebuah diskusi yang diadakan Komisi Migran Perantau Keuskupan Pangkal Pinang, saya bertemu dengan Suster Rita RGS. Dari diskusi yang kami lakukan, ternyata kami mempunyai komitmen yang sama, maka sejak itu kami jalan bareng menangani persoalan pelbagai persoalan seputar perantau atau buruh migran.Redaksi:Pelabuhan “tikus” berada di titik mana saja mas?Andreas Soge:Pelabuhan tikus ada di beberapa titik di Batam seperti Tanjung Sengkuang, Batu Amapar, Teluk Bakau, Sagulung, Pelabuhan Pancung Sekupang, Tanjung Uma, Nongsa, Marina dan bisa ada beberapa tempat lain yang luput dari pengamatan saya terlebih pulau-pulau kecil di sekitaran Batam.Redaksi:Apakah sejak saat itu Anda sendirian dalam melakukan pemantauan?Andreas Soge:Kalau dibilang sendiri ya memang iya, karena saya sering melakukan sendiri tanpa ditemani, tetapi saya punya beberapa teman yang selama ini konsen terhadap persoalan BMI seperti Ramses D Aruan (Wakil Ketua Umum Serikat Buruh Migran Indonesia) yang sering saya ajak diskusi.Redaksi:Kemudian selama pemantauan di beberapa pelabuhan, apa saja yang dilakukan Mas?Andreas Soge:Selama pemantauan ada pengalaman menegangkan, pada Oktober 2007 ada tekong yang hendak membawa masuk sepasang suami istri, Rovinus Napa, sang suami berasal dari Ende Flores dan Ani, sang istri berasal dari Bali, karena rasa empati itu maka saya coba melarang -

Page 11: Warta Buruh Migran Oktober 2011

Halaman 11 | Warta Buruh Migran | Oktober 2011

dan mengamcam melaporkan peristiwa ini ke pihak berwajib namun semua ini luluh ketika suami istri ini mengatakan kepada saya bahwa hal ini adalah keinginan mereka. Mereka tetap masuk Malaysia pada 21 Oktober 2007. Perlu diketahui dua hari kemudian saya dikontak Pak Gaspar Mbuli, paman atau bapak kecil dari sang suami bahwa keponakannya beserta istrinya tertangkap, dan ketika mereka dipulangkan saya yang menjemput mereka di tanjung pinang.Kisah lain pada Januari 2009, saya menolong seorang BMI asal NTT yang sedang hamil tua untuk dirawat di Rumah Sakit dan mendapat bantuan untul proses persalianannya, serta beberapa temuan kasus yang lain.Redaksi:Baik, kembali pada upaya menjemput kepulangan 15 BMI asal NTT dari Malaysia pada pertengahan Oktober 2011, apa yang ada dalam pikiran Anda hingga memutuskan berangkat ke Jakarta untuk mengawal kepulangan mereka?Andreas Soge:Memutuskan ke Jakarta itu seperti pulang ke rumah sendiri, karena saya pernah 13 tahun hidup di Jakarta seperti yang saya katakan di atas, pada Juni 2009 saya berkenalan dengan para Suster Gembala Baik yang konsen terhadap persoalan yang sama, maka kami mulai berkolaborasi. Saya coba melihat langsung seperti apa proses pemulangan di Tanjung Priok. Mulai awa Oktober 2011, saya coba melakukan pengamatan. Walau awalnya agak kesulitan karena saya tidak diijinkan masuk, tetapi setelah saya katakan saya dari SBMI, baru saya diperbolehkan masuk pelabuhan.Redaksi:Kemudian KM. Umsini mengantar 169 buruh migran asal Indonesia (di antaranya 15 orang BMI berasal dari NTT), Kapal itu tiba kapan mas?Andreas Soge:Kapal itu tiba Selasa tanggal 18 Oktober 2011 pukul 15.00 WIB menurut rencana, namun bergeser hingga pukul 15.30 WIBRedaksi: Kira-kira apa saja tantangan yang dijumpai selama membantu mengawal kepulangan TKI?Andreas Soge:Yang menjadi tantangan utama adalah pihak aparat yang mencurigai kegiatan yang saya lakukan, keberadaan kaki tangan PPTKIS, tekong, dan kesadaran bermigrasi aman pada masyarakat NTT sendiriRedaksi:Bukan rahasia lagi jika Persoalan TKI, salah satunya adalah masih banyaknya "mafia" atau pihak yang hanya memikirkan keuntungan semata, nah pernah tidak Mas Andreas mendapat ancaman dari mereka?

Andreas Soge:Kalau soal yang satu itu, saya pernah diancam akan dibunuh oleh kaki tangan PJTKI yang ketika itu ada 214 TKI asal NTT yang disekap di Tanjung Uma Batam, karena rasa peduli saya coba ikut mengadvokasi agar PJTKI yang bersangkutan dapat dikenai hukuman saat itulah saya sempat diancam akan dibunuh. (kasus ini diberitakan oleh beberapa media pada 20 Juni 2011)Redaksi:Dari sekian pengalaman Mas Andreas, kira-kira apa saja prinsip yang harus dipegang bagi orang yang dalam tanda petik ingin menjadi seperti mas Andreas (mengambil peran, untuk terlibat dalam kegiatan advokasi TKI)?Andreas Soge:Mungkin yang pertama adalah rasa terpanggil untuk peduli, kalau sudah terpanggil untuk peduli, maka harus banyak belajar dari orang-orang yang kita anggap mempunyai pengalaman lebih, serta selalu mengikuti perkembangan di media massa. Tak kalah pentingnya jangan pernah tinggal diam, terus bergerak karena persoalan ini juga terus bergerak, baik dalam perekrutan maupun cara (modus) dan teknologi yang digunakan.Redaksi:Dalam melakukan advokasi kasus TKI Anda juga membangun jaringan, nah apa kira-kira peran penting berjejaring bagi Anda?Andreas Soge:Saya sangat merasakan manfaat dari berjejaring dan itu yang saya lakukan selama ini, pada kasus tertentu, ada pihak dalam sebuah jaringan yang saling meninggalkan ditengah jalan, ketika sebuah proses penanganan kasus sedang berjalan. Kalau saya justru sangat mengharapkan semua pihak menanggalkan ego kelompok ketika sebuah jejaring dibangun.Redaksi:Pada perbincangan kita, tampak jelas betapa carutmarutnya persoalan TKI kita. Lantas Mas Andreas sendiri memandang peran negara saat ini seperti apa? dan kira-kira apa yang pertama kali harus dimulai bagi negara ini jika memang serius untuk mengurai benang kusut persoalan TKI?Andreas Soge:Sebenarnya peran Negara sudah ada, tetapi belum maksimal, Negara masih menggunakan isu ini sekadar untuk mengeruk keuntungan. Oleh karena itu yang harus dilakukan Negara saat ini adalah membenahi mulai dari hulu sampai ke hilir tidak sekadar menjadi petugas pemadam kebakaran ketika persoalan muncul.

11 | Inspirasi

Page 12: Warta Buruh Migran Oktober 2011

Halaman 12 | Warta Buruh Migran | Oktober 2011

Redaksi:Adakah hal lain yang ingin disampaikan pada pegiat buruh migran lainnya di Indonesia?Andreas Soge:Untuk teman pegiat BMI di daerah, sesuai pengalaman saya jangan segan membangun jejaring dengan semua elemen masyarakat yang peduli dengan Buruh migran, tanggalkan ego pribadi, kelompok atau organisasi sekalipun, karena itu tidak pernah mendatangkan keuntungan apapun untuk buruh migran yang kita dampingi.Redaksi:Boleh tahu berapa usia mas Andreas Soge saat ini?Andreas Soge:Saya sekarang 43 tahun, sudah tua sebenarnya jika harus selalu mobile untuk membantu menangani kasus seperti ini, tetapi saya masih menikmati.

Andreas Soge

Pegiat Buruh Migran

asal Larantuka,

Flotim, NTT

Redaksi:Baik, terima kasih telah berkenan berbincang dengan kami, semoga pengetahuan yang telah dibagi bisa bermanfaat bagi banyak pihak.Andreas Soge:Terima kasih juga telah mau berbincang dengan saya karena saya pikir apa yang saya lakukan biarlah itu menjadi bagian dari panggilan hidup.

12 | Jejak Kasus

Enam Tahun Tidak Digaji Majikan Jejak Kasus Siti Nurkhasanah, Mantan TKW yang Pulang dalam Kondisi Depresi Berat

Seperti yang telah diberitakan sebelumnya (mantan TKW

Arab Saudi Depresi, 6 Tahun Tidak Digaji ), Siti Nurkhasanah

warga Dusun Bojong Maros Rt 03 Rw 17 Desa Pahonjean,

Kecamatan Majenang ,Kabupaten Cilacap diketahui

mengalami depresi setelah kepulangannya dari Arab Saudi

(01/10/2011). Berikut kronolgi kasus dan tuntutan keluarga

atas hal yang menimpa Siti Nurkhasanah.

Kondisi Siti Nurkhasanah.

Secara fisik, Siti Nurkhasanah (41) bisa dikategorikan cukup

sehat. Pada waktu-waktu tertentu Ia juga masih mampu

berkomunkasi secara normal. Ia masih bisa melakukan

pekerjaan rumah tangga seperti mencuci dan menyapu.

Namun, pada saat tertentu ia bisa tiba-tiba marah-

marah dan bicara sendiri, terutama jika disuruh makan

dan diajak berbicara mengenai pekerjaannya di Arab

Saudi. Gejala depresi ini diketahui oleh keluarga sejak

kepulangannya 01 Oktober 2011 lalu. Menurut

penuturan Imam Androngi, Siti Nurkhasanah jauh

berbeda kondisinya dengan dulu ketika ia berangkat.

"Jelas sekali ia mengalami depresi," ujar Imam

Androngi, adik Siti Nurkhasanah.

Page 13: Warta Buruh Migran Oktober 2011

Halaman 13 | Warta Buruh Migran | Oktober 2011

Kronologi Kasus Siti Nurkhasanah

Tahun 1998: Siti Nurkhasanah pergi ke Arab Saudi sampai tahun 2001 (3 tahun) – tanpa masalah-Tahun 2001: Kembali Siti Nurkhasanah pergi Ke Arab saudi melalui PT Amri Margatama dengan majikan Abdullah Saad bin Saad selama 3 tahun, yakni pulang tahun 2004. Keberangkatan dan kepulangan periode ini sukses ia jalani selama 3 tahun.Oktober 2005: Siti Nurkhasanah pergi ke Jakarta diantar oleh adik laki-laki nya Imam Androngi ke PT . Amri Margatama Jakarta .November 2005: Siti Nurkhasanah berangkat secara  legal ke Arab Saudi tepatnya kota Riyadh melalui PT. Amri Margatama Jakarta. Keberangkatan ketiga ini melalui PT dan Majikan yang sama dengan keberangkatan yang ke-2. Pada pada bulan November ini juga Siti Nurkhasnah menandatangani kontrak kerja dengan majikan Saad Abdullah Saad Hadba untuk bekerja di rumahnya dengan gaji 600 real (tertera dalam kontrak kerja).Komunikasi Siti Nurkhasanah pada tahun pertama lancar dan tanpa halangan. Setiap kali keluarganya menghubungi dan menyebut Indonesia, maka secara langsung teleopon akan diberikan kepada Siti Nurkhasanah.Namun setelah satu tahun tersebut (sekitar akhir tahun 2006) komunikasi terputus sama sekali. Setiap kali keluarga menghubungi lewat telepon dan mengatakan dari Indonesia, maka telelpon akan langsung ditutup.Sejak itu tidak ada kabar sama sekali dari Siti Nurkhasanah, menurut penuturan keluarga kemungkinan Siti juga tidak boleh keluar rumah dan menghubungi keluarga di Indoensia.1 Oktober  2011: Siti Nurkhasanah pulang ke rumah paman-nya Mahrur di Pahonjean. Siti hanya membawa tas kecil dan baju yang ia pakai.  Dalam tas kecil tersebut ditemukan dokumen kontrak kerja, paspor tahun 2001, medical check tahun 2001, exit final visa, dan beberapa uang rupiah (kurang lebih satu juta rupiah). Satu hari kemudian keluarga mengetahui bahwa Siti Nurkhasanah mengalami depresi.

Proses kepulangan

(Berdasarkan informasi dari Siti Nurkhasanah saat ditanya

Imam Androngi, adiknya)

Di Bandara Soekarno Hatta

Siti Pulang menggunakan exit final visa. Sebelum pulang ia

dibayar gaji satu bulan. Kemungkinan ditukar rupiah di

bandara, dengan jumlah total tukar Rp. 1.900.000,- .

Siti kehilangan barang bawaannya berupa tas besar yang ia letakkan lewat bagasi di Bandara Soekarno Hatta. Sesuai penutura Siti, ia sempat dibawa ke Rumah Sakit Polri di Kramat Jati, Jakarta Timur selama 10 hari. Paspor terakhirnya dipegang oleh salah seorang suster yang bekerja di rumah sakit tersebut.Di perjalanan pulang ke CilacapSiti dibawa kembali ke Bandara untuk dipulangkan dengan menggunakan travel. Ia membayar biaya travel sebesar Rp. 600.000,-. Ketika di perjalanan Siti kembali ditarik biaya sebesar Rp. 200.000,- oleh supir, keterangan yang diberikan pada Siti saat itu, biaya tersebut untuk jatah supir.Tiba di rumahSiti sampai di rumah tanggal 01 Oktober 2011 di rumah pamannya Mahrur di desa Pahonjean Kecamatan Majenang Kabupaten Cilacap.Menurut penuturan imam Androngi, keluarga belum melakukan upaya lanjutan mengenai hal yang menimpa Siti Nurkhasanah. Ia sempat menelpon staf PT. Amri Margatama, namun tidak mendapat respon. Staf tersebut mengatakan tidak tahu menahu.Harapan dan keinginan keluargaImam Androngi, adik Siti Nurkhasanah yang mewakili keluarga mengungkapkan bahwa ia dan keluarganya berharap  gaji dibayarkan, minimal selama periode sesuai kontrak kerja. Biaya pengobatan ditanggung sampai sembuh. Jika ada hak asuranisi, setidaknya bisa diproses dan dicairkan.Perkembangan penanganan Berkas berita acara saat ini telah diserahkan Akhmad Fadli (pendamping dari PTK Mahnettik Cilacap) kepada Suparman, Staf Penanganan Kasus Pusat Sumber Buruh Migran (25/10/11), penanganan kasus ini mendapat dukungan dari Migrant Institute Dompet Dhuafa. Kepada Redaksi PSD-BM, Abdul Ghofur, perwakilan Migrant Institute menyampaikan kesediaan lembaganya untuk terlibat dan berkolaborasi dalam penanganan kasus tersebut.

“Ia dan keluarganya berharap  gaji dibayarkan, minimal selama periode sesuai kontrak kerja. Biaya pengobatan ditanggung sampai sembuh. Jika ada hak asuranisi, setidaknya bisa diproses dan dicairkan.”

13 | Jejak Kasus

Page 14: Warta Buruh Migran Oktober 2011

14 | Analisis Bulanan

Halaman 14 | Warta Buruh Migran | Oktober 2011

Dunia Buruh Migran Indonesia (BMI) bagai benang kusut yang sulit

diurai menjadi benang yang bisa pakai. Keruwetan dunia BMI ini kerap

terjadi sejak di dalam negeri. Pemalsuan identitas calon BMI hingga

paspor dan visa kerja adalah beberapa contoh saja. Pemerasan dibalik

dalih pengurusan dokumen dan administrasi oleh oknum-oknum

disekitar pemerintah, calo dan perusahaan penyalur menambah

daftar tersebut. Di luar negeri, banyak BMI yang merasa ditipu karena

hak dan kewajibannya tidak sesuai dengan kontrak kerja maupun

perjanjian awal, kekerasan, atau bahkan terjerat kasus hukum di

negara tujuan.

Kasus tersebut, contohnya, terjadi pada Siti Nurkhasanah (38). Buruh

Migran Perempuan (BMP) asal Majenang Cilacap ini mengalami

depresi berat sekembali bekerja dari Arab Saudi 1 Oktober 2011 lalu

lantaran gaji selama 6 tahun tidak dibayarkan oleh majikan.

Kadangkala bicaranya menracau. Ia marah-marah ketika ada yang

menanyainya soal pekerjaan. Tidak hanya itu, kedatangannya ke

rumah tanpa membawa barang-barang layaknya BMP lainnya juga

menimbulkan kecurigaan kelurga. Ternyata Siti tak hanya kehilangan

6 tahun gajinya tapi juga barang-barangnya ketika di bandara

Soekarno-Hatta. Ketika pulang ia hanya membawa satu tas kecil yang

berisi exit final visa, kontrak kerja, paspor tahun 2001-2004, dan

catatan test medis. Paspor terakhir dan dokumen lainnya beserta

barang-barangnya entah berada dimana.

Seharusnya depresi yang diderita oleh Siti bisa langsung tertangani

dengan baik oleh pemerintah dengan keberadaan sistem terminal 3

yang mereka ciptakan. Prosedur terminal 3 harusnya bisa mendeteksi

kejanggalan yang terjadi pada Siti. Prosedur tersebut seharunya juga

memproses hal-hal yang terkait dengan pelanggaran kontrak. Siti

lebih lanjut berhak mendapatkan fasilitas untuk memulihkan depresi

yang dialaminya. Petugas terminal 3 seperti tidak jeli dengan keadaan

dan kejadian yang menimpa Siti sekembali dari Arab Saudi. Mungkin

bukan hanya Siti saja yang tidak mendapatkan fasilitas dan pelayanan

yang seharusnya.

Awal mula gagasan pemerintah menyediakan terminal 3 khusus untuk

BMI adalah memastikan hak-hak BMI terpenuhi dan tidak ada

pelanggaran kontrak, penganiayaan maupun pelecehan seksual. Jika

terjadi pelanggaran kontrak maupun masalah lainnya, pemerintah

sesegera mungkin menanganinya.

Perpanjang Jangka Moratorium ke Arab Saudi

Banyaknya kasus yang menimpa BMI di Arab Saudi terkait kontrak

dan kekerasan harus menjadi pertimbangan utama bagi kebijakan

yang akan diambil pemerintah. Salah satu aspek yang harus ada

dalam pertimbangan pemerintah adalah perlindungan penuh

terhadap BMI, bukan hanya didasarkan pada besaran negara

penerima BMI terbanyak.

Tentu tragedi kekerasan yang dialami oleh BMP Sumiati

dan pemancungan Ruyati yang baru-baru ini menjadi

perbincangan di media masih melekat pada ingatan kita.

Sumiyati, Ruyati, Siti Nurkhasanah adalah sebagian kecil

potret buruh migran yang mengalami nasib buruk dan

diabaikan negara. Jaringan kerja negara maupun

pemerintah lagi-lagi lalai menunaikan tugas pelayanan

dan perlindungan bagi warganya. Akhirnya masyarakat

kecillah yang sering menjadi tumbalnya.

Kebijakan pemerintah setelah kasus-kasus yang

menimpa BMI tersebut adalah moratorium pengiriman

BMI hingga kedua negara (negara pengirim BMI dan

penerima) mencapai kesepakatan. Waktu moratorium

inilah yang menjadi momentum penting yang harus

digunakan pemerintah untuk menjaga harkat martabat

bangsa dan menaikkan daya tawar bagi BMI. Daya tawar

dibutuhkan oleh BMI kita agar tidak diperlakukan

semena-mena layaknya budak. Poin penting yang harus

ada dalam kesepakatan bersama antar dua negara

adalah sistem perlindungan yang jelas dan sanksi tegas

bagi setiap pelanggaran yang terjadi tanpa pandang bulu.

Perbaikan Layanan untuk BMI

Akhir bulan Juni 2011 kemarin Badan Nasional

Penempatan dan Perlindungan TKI (BNP2TKI)

meluncurkan layanan call center “Halo TKI” yang

bertujuan memberi informasi dan respon cepat jika ada

pengaduan. Awalnya itikad baik pemerintah membenahi

pelayanan untuk BMI ini disambut baik oleh masyarakat.

Implementasinya, layanan “Halo TKI” tidak banyak

membantu BMI.

Salah satu cerita soal layanan “Halo TKI” sempat

ditulis oleh Fera Nuraini di buruhmigran.or.id. BMI yang

sudah sekian tahun bekerja di Hong Kong ini mencoba

menggunakan layanan “Halo TKI” untuk memperoleh

informasi. Bukan kejelasan informasi yang diperoleh

Fera ketika menghubungi call center “Halo TKI”

melainkan kebingungan, pernyataan antar operator

layanan tidak sama dan senada. Tanggapan dari operator

terlihat disederhanakan dibalik dalih “informasi hanya

untuk kalangan terbatas” agar pekerjaan lekas beres.

BNP2TKI selaku pelaksana dan penanggung jawab

urusan BMI harusnya bisa menyediakan layanan yang

baik untuk BMI. Dalam hal ini aspek pelayanan dan

perlindungan harus menjadi prioritas pertama

ketimbang aspek penempatan.

Aspek penting lainnya yang harus disediakan pemerintah

adalah keterbukaan informasi terkait BMI. Baik informasi

yang berkaitan dengan kebijakan, peraturan, alur

pelayanan, maupun besaran pembiayaan yang harus

dikeluarkan calon BMI.

Moratorium, Kasus Siti Nurkhasanah, dan Carut Marut Layanan TKIOleh: Redaksi PSD-BM

Page 15: Warta Buruh Migran Oktober 2011

15 | Panduan

Halaman 15 | Warta Buruh Migran | Oktober 2011

10 Langkah Penanganan Kasus (Bagian 1)

Sejak Oktober 2011 atas dukungan Yayasan Tifa

Jakarta, Jaringan Pusat Sumber Daya Buruh Migran (PSD-BM)

akan memiliki tenaga bantuan penanganan kasus Buruh

Migran di Jakarta. Tenaga penanganan kasus tersebut akan

menjalani kontrak selama enam bulan terhitung sejak oktober

2011 dan bertugas menerima pengaduan dari daerah guna

diselesaikan dengan pihak-pihak terkait yang ada di Jakarta

(misal, PPTKIS, BNP2TKI, Kemenlu, KBRI, dll).

Keberadaan tenaga penanganan kasus pada tahap pertama

akan diprioritaskan untuk pengaduan kasus yang bersumber

dari jaringan dan kontributor PSD-BM, hal ini penting karena

setiap penanganan kasus dibutuhkan mitra atau pendamping

dengan tempat tinggal yang tidak terlalu jauh dari tempat

tinggal korban dan keluarganya untuk kepentingan

kemudahan pengumpulan data, komunikasi, dan

pendampingan.

Karena pola penanganan kasus di PSD-BM bersifat kolaboratif

maka, setiap pihak yang terlibat akan berbagi peran masing-

masing agar proses penanganan kasus berjalan dengan lancar

dan terkoordinasikan dengan baik. Semangat dan niat dalam

menangani setiap kasus TKI penting untuk kita jaga untuk tetap

hadir tanpa tendensi apapun kecuali membantu sesama.

Pola Advokasi di PSD-BM dilakukan melalui kegiatan

pendampingan, pengiriman aduan ke lembaga-lembaga

terkait, audiensi dengan Lembaga-lembaga terkait, gerakan

sosial media, advokasi lewat pemberitaan di

buruhmigran.or.id, dan penggalangan solidaritas khalayak

media.

Beragam kegiatan tersebut kemudian dibagi dalam peran-

peran yang dibagi antar pihak yang berkolaborasi dalam

sebuah penanganan kasus. Setiap pihak membuat catatan

proses penanganan kasus sesuai dengan bagi peran masing-

masing pihak. Hal ini penting sebagai rekam jejak penanganan

kasus untuk melihat perkembangan penanganan kasus.

Agar kerja pendampingan berjalan dengan baik, maka pada

edisi ini akan bahas langkah demi langkah dam proses

pendampingan kasus TKI.

Langkah 1: Persiapan Pendampingan

Persiapkanlah segala sesuatunya pada diri anda, agar

langkah – langkah selanjutnya akan berjalan dengan

baik.

Bagi TKI Korban

1.Siapkan Catatan Kisah Permasalahan yang akan

diadukan

2.Siapkan Dokumen Asli dan Photo Copy Jati Diri TKI

Korban, misal Passport, KTP, Ijazah terakhir, Ijasah

BLK, Bukti Pembayaran dengan PL / sponsor, dsb.

3.Pilihlah seorang relawan pendamping yang

dianggap nyaman untuk mendampingi pengaduan

permasalahan

4.Tentukan waktu dan tempat yang dianggap nyaman

untuk wawancara dengan relawan pendamping.

Bagi Relawan Pendamping

1.Siapkan Alat Tulis

2.Siapkan Daftar Pertanyaan untuk wawancara

dengan TKI Korban

3.Siapkan Formulir yang diperlukan untuk wawancara

4.Buatlah kesepakatan tempat dan waktu dengan

mantan / Keluarga TKI Korban

5.Pastikanlah bahwa kondisi emosional anda sedang

stabil.

6.Pakailah pakaian yang rapih, sederhana dan sopan

Langkah 2: Memulai Wawancara

Wawancara tak lain seperti kegiatan obrolan biasa

namun lebih terstruktur. Pertanyaan telah disiapkan

sebelumnya. Kegiatan ini sangat penting dilakukan

agar semua informasi terkait identitas baik TKI yang

tertimpa permasalahan maupun relawan

pendamping dapat saling mengenal. Dan yang

terpenting adalah wawancara adalah suatu cara yang

ditempuh agar adanya saling bertukar informasi

terkait semua permasalahan TKI, cara penanganan

TKI beserta resikonya maupun peraturan – peraturan

perundang-undangan yang berlaku

Page 16: Warta Buruh Migran Oktober 2011

16 | Panduan

Halaman 16 | Warta Buruh Migran | Oktober 2011

Bagi TKI Korban dan Relawan Pendamping

1.Ucapkan salam perjumpaan

2.Ucapkan terima kasih atas kepercayaan dan pemberian waktu

luangnya

3.Mintalah konfirmasi bila ada orang lain untuk ikut dalam

pertemuan wawancara atau diminta meninggalkan ruangan

4.Persilahkan untuk memulai membuka pembicaraan

5.Mulailah melakukan wawancara berdasarkan daftar

pertanyaan

6.Catatlah semua informasi yang dituturkan oleh TKI korban

7.Baca ulang penuturan pengaduan TKI korban

8.Mintalah konfirmasi kepada TKI korban, apakah penuturan

pengaduan sudah benar dan lengkap.

9.Mintalah dan kumpulkan dokumen – dokumen milik TKI

korban sebagai pendukung surat pengaduan yang dibutuhkan

10.Berilah pemahaman tentang peraturan perundangan-

undangan terkait permasalahan TKI dengan santun dan tidak

terkesan menggurui

11.Jabarkan rencana proses pelaksanaan pengaduan

12.Jabarkan resiko penggunaan biaya selama pelaksanaan

penanganan permasalah.

13.Buatlah kesepakatan bersama terkait tanggungan resiko

dalam penanganan permasalahan misalnya : ijin suami / istri /

orang tua TKI, penggunaan waktu, pengadaan biaya dan lain

sebagainya

14.Buatlah kesepakatan untuk pertemuan berikutnya

15.Buatlah kesepakatan menutup wawancara

16.Ucapkanlah terima kasih atas pertemuannya

17.Ucapkan salam perpisahan untuk pertemuan saat itu.

Langkah 3: Pelajari Data dan Dokumen yang Ada

Pelajarilah secara teliti duduk perkara dan permasalahan korban

atau pelapor, dokumen-dokumen TKI, serta regulasi atau

peraturan yang dapat dijadikan acuan atau pedoman

pengaduan.

Pelajari dengan seksama hasil wawancara dengan TKI yang

mengalami permasalahan beserta informasi pendukung dari

dokumen – dokumennya. Pastikan kondisi fisik dan emosi Anda

sedang stabil, pastikan Anda berada di tempat yang bebas dari

gangguan selama mempelajari catatan dan bahan pendukung

lainnya.

Idealnya semua informasi yang terkumpul harus mampu

menjawab keterangan-keterangan berikut (menjawab siapa,

dimana, kapan, apa kasusnya, mengapa terjadi, dan bagaimana

kronologinya).

Hal-hal penting terkait TKI bermasalah

pastikan hal-hal berikut:

1.Keterangan data pihak-pihak terkait atau

"keterangan siapa?", pastikan siapakah TKI

bermasalah itu?, pastikan siapakah pihak yang

bertanggungjawab hingga TKI itu mengalami

permasalahan?

2.Keterangan tempat atau "dimana", dimanakah TKI

itu mengalami permasalahan?

3.Kapankah permasalahan itu terjadi?

4.Apakah permasalahannya ?

5.Mengapa permasalahan itu terjadi?

6.Bagaimanakah alur permasalahan itu?

Hal–hal yang harus dipikirkan relawan

pendamping :

1.Siapakah pihak-pihak yang paling

bertanggungjawab untuk menyelesaikan

permasalahan?

2.Siapakah lembaga-lembaga ataupun individu yang

mau berpihak dan bisa membantu mendukung

penyelesaian permasalahan TKI?

3.Dimanakah alamat pihak-pihak yang akan dijadikan

sasaran pengaduan permasalahan?

4.Dimanakah alamat lembaga-lembaga ataupun

individu yang mau berpihak dan bisa membantu

mendukung penyelesaian permasalahan TKI?

5.Apa saja peraturan perundang-undangan yang

dapat dijadikan acuan pengaduan permasalahan

TKI? Pelajarilah Direktori peraturan terkait TKI.

6.Mengapa TKI itu kurang terlindungi? Jadikanlah

pertanyaan ini untuk bahan usulan bagi lembaga

anda maupun stakeholder lainnya.

7.Bagaimanakah langkah-langkah yang harus

ditempuh relawan pendamping? Langkah-langkah ini

sudah dijelaskan dalam buku panduang yang sedang

anda baca.

8. Kapankah relawan pendamping memulai proses

pengaduan dan kapan pula perkiraan

penyelesaianya? Bacalah jadwal waktu penanganan

(time schedule)

Disarikan dari panduan Jurus Pintar Menangani Masalah TKI (Paguyuban Perlindungan Buruh Migran dan Perempuan SERUNI Banyumas)

Bersam bung di edis i bula n November 2011