w 7088 uzgaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/w-7088-uz-sungging-raga.pdfw 7088 uz di...
TRANSCRIPT
W 7088 UZdan 9 kisah lainnya
Sungging Raga
1. W7088 UZ
2. MENGUKUR PERPISAHAN
3. SEORANG GADIS DI DALAM SENJA
4. BEGITU BANYAK BULAN BERLALU
5. MEANKOLIA LABA-LABA
6. MAS SALEM
7. PASAR ENSIFERA
8. CIUMAN REVOLUSI
9. YU NALEA
10. YANG TERSANDAR DI SIALANG PASUNG
W 7088 UZ
Di dalam bus malam W 7088 UZ, aku adalah pengembara kesunyian, yang tak
beriman kepada jalan pulang.
“Ayo Madiun, Solo, Jogja!”
Pukul 00.10, bus hampir terisi penuh. Suasana begitu padat malam ini.
Orang-orang berjejal di terminal Bungurasih, orang-orang miskin, orang-orang kaya,
orang-orang hampir miskin, orang-orang hampir kaya, membawa beragam barang,
kardus mi, tempe bacem, tape, pepes ikan, sampai binatang peliharaan. Bus-bus
malam menjadi rebutan di semua jurusan, Bus Sugeng Rahayu, Bus Eka, Bus Mila,
Bus Mira, Bus Harapan Jaya, Bus Akas Asri, Bus Restu, Bus Pelita Indah, berbaris di
antara manusia yang berjejal. Tukang copet mendapat rezeki tambahan. Para calo
sampai lupa ke belakang, para mandor menyeret-nyeret penumpang, “Ngendi
Mbak? Jogja? Ayo langsung. Biasa. Tarip biasa.”
Libur panjang memang membuat manusia rindu tentang muasal, tentang
desa yang tak ditikam kemacetan, tentang jalan setapak persawahan, tentang
keluarga peternak ayam, tentang langgar tempat mengaji alif ba ta, tentang gadis
tetangga yang diperebutkan, tentang sekolah yang tidak pernah direnovasi meski
terus berganti menteri pendidikan.
Pukul 00.20, W 7088 UZ keluar dari terminal, sang kernet masih sibuk
membuka-tutup pintu untuk penumpang. Sang sopir tampak tenang dengan topi
kuningnya. Kemudian bus pun melaju setelah masuk di jalur antar propinsi.
Pada kaca depan, kulihat malam jatuh sepanjang jalan, bersama cahaya-
cahaya yang hadir sekilas, dan sorot lampu mobil yang saling membalas. Di dalam
bus, kuserahkan hidupku pada perjalanan di atas aspal yang bergelombang, telah
kutitipkan maut pada sopir yang tidak boleh mengantuk sedikit pun, telah kubiarkan
nasib bergelantungan pada padatnya kendaraan musim libur panjang.
Malam telah begitu larut tapi kernet masih saja sigap melihat orang-orang
yang berdiri di pinggir jalan, yang hanya disinari kusam lampu trotoar, atau warung
remang-remang. Sementara di dalam, kami melaju bersama suara video musik yang
diputar oleh sopir. Tentu saja konser dangdut, Sagita, ewer-ewer, koplo, remix,
buka stik jos, wayang soro, kelangan, mung sewates angen, semua mengalun silih
berganti. Kulihat di panggung itu ramai penonton bergoyang, pemain seruling
berambut gondrong, suara MC yang berat, para biduanita yang menimbulkan fantasi
tertentu seakan mengalihkan dunia para penumpang, membuat rindu istri di rumah,
membuat Bang Toyib bertobat, mengingatkan pada kekasih yang menikah dengan
orang lain, atau mengaransemen melodrama patah hati. Bus malam tiba-tiba
menjelma parade kenangan, atau ensiklopedi masa silam. Lagu berputar, suara
seruling, suara melodi gitar yang dipetik, silih berganti, seperti penumpang yang
turun di Krian, kemudian masuk penumpang baru di Mojokerto, bus menepi, pintu
dibuka, “Ayo-ayo cepat, macet!” Kondektur menarik karcis, kembaliannya nanti,
kurang seribu.
Kemudian aku tidak tahu lagi di mana ini. Bus melaju di jalan bergelombang.
Aku sempat tertidur, terjaga, tertidur, lalu terjaga lagi. Memang tidak pernah
nyaman tidur dalam bus, terantuk-antuk kaca dan besi pegangan, tidak enak kalau
bersandar ke bahu penumpang. Seperti diombang-ambing antara mimpi dan
kenyataan. Bus menyalip kiri di Peterongan, bus ambil kanan setelah Bra’an, buka
jalur di Saradan, lampu dim naik turun sepanjang kelok hutan, klakson bertukar
kebisingan, masuk gigi maksimal, bus mengejar ambulan, menjelma jet darat, kernet
merangkap navigator, “Kiri prei! Lanjut! Terus! Masuk! Bos! Jalan bos!” Bus
bergoyang. Penumpang di kursi belakang mual-mual, persediaan kantung plastik
habis.
“Alon-alon wae Pak Supir!”
“Poin!”
Di dalam bus W 7088 UZ, aku hendak menuju Yogya. Kota yang konon
dipenuhi orang-orang kreatif. Kota budaya. Kota seni. Berhati Nyaman dan Berhati
Mantan. Adakah aku bisa bertemu jodoh? Atau bertemu mantan? Atau bertemu
seorang gadis yang tak akan bisa kudapatkan? Kota Yogya tidak pernah menanyakan
masa lalu, sebagaimana ia tak menjanjikan masa depan. Cuma ada banyak khayalan
dalam bus, melaju di saraf-saraf pikiran.
Semakin lama, jalanan ternyata semakin lengang. Hanya satu dua mobil
berkejaran, menyalip di antara truk-truk penuh muatan. Terkadang bus dihambat
palang perlintasan kereta api, terkadang tidak berani menyalip di marka lurus
karena ada polisi, sampai tidak peduli kapan harus berhenti.
“Mas, Pertigaan Caruban apa sudah lewat?” tanya seorang penumpang
perempuan. Sendirian.
“Lho. Sudah tadi Mbak. Kelewat jauh.”
Di dalam bus malam, selalu ada yang tertidur, selalu ada yang terlewatkan.
Sungguh tidak nyaman ketika harus diturunkan di tengah malam, tanpa tahu apa
yang akan terjadi selanjutnya, apalagi jika tak punya ongkos cadangan. Lebih baik
melaju saja, melaju dalam lukanya kesepian.
Di dalam bus, semua orang menjadi sama. Yang seorang karyawan, yang
seorang juragan ayam, yang seorang pengepul kenangan, pegawai ekspor-impor
kesedihan, atau sekadar pengangguran. Kami menyerahkan riwayat dalam W 7088
UZ, kotak kaleng yang bisa balapan. Dalam bangku rapat kanan tiga kiri dua.
Terkadang di antara kami ada yang cepat tertidur, ada yang main ponsel, tapi
terkadang ada pula percakapan, tentang pekerjaan, tentang keluarga, dan kenalan-
kenalan.
“Wah, saya punya saudara jauh di Jombang.”
“Anakku yang nomor sembilan kuliah di Kertosono.”
“Saya sudah lama tidak pulang ke Nganjuk!”
“Dulu mbahku asalnya dari Sidowayah.”
“Ooh, itu dekat sama Pakdhe saya. Rumahnya yang dekat mesjid kecamatan.”
Obrolan-obrolan ringan yang beradu dengan deru mesin, dengung AC, dan
denting mimpi para pelamun. Dan akulah pelamun terbaik, yang serba pesimistis.
Kulamunkan seorang gadis duduk di sebelahku. Gadis kesepian yang terus saja
melihat ke layar ponsel meski tak ada pesan. Apakah gadis itu berharap ada yang
menghubunginya tengah malam begini? Sedang apa? Sudah sampai belum? Selamat
ulang tahun. Aku ingin kita balikan... Tapi nyatanya di sebelahku adalah seorang
anak muda berambut gondrong, dengan kaus yang tulisannya sulit dibaca seperti
gundukan kayu-kayu api unggun.
Di dalam bus, aku melakukan perjalanan yang tak ingin pulang. Biarkanlah
duniaku hanya berupa kursi terdepan, tepat di belakang kernet. Kulihat dashboard
sopir, spidometer yang mati, jarum merahnya pasrah pada keabadian, kabel-kabel
melilit tak karuan, tombol-tombol tua berbaris rapi yang sepertinya tidak peduli
manakah yang masih berfungsi, juga asap rokok yang membubung dari sopir meski
bus menggunakan AC.
Di dalam bus W 7088 UZ... Ah, sesungguhnya tak perlu sampai menyebut plat
nomornya. Ada ratusan bus dengan ribuan penumpang, dan mereka tidak pernah
peduli plat nomor bus yang mereka tumpangi. Tapi 7088, hm. bagaimana jika aku
bisa hidup sampai 7088 purnama? pastilah membosankan, aku menjadi tua dan
kesepian, istri sudah lebih dulu dimakamkan, anak dan cucu menjadi komunitas
paling asing dalam ingatan, cuma pulang kalau lebaran. Sementara aku terus
dikoyak-koyak sepi, meski tak sampai mampus seperti di sajak Chairil Anwar, sebab
sesaat adalah abadi dalam bus ini, kalau meminjam sejenak sajak Sapardi.
Maka begitulah, dari jendela bus, kulihat malam masih paripurna. Sudah
lewat pukul tiga, bus melaju di hutan-hutan, terkadang melewati masjid yang masih
padam, juga lampu merah yang dihiraukan. Sudah sampai Madiun, sudah sampai
Maospati, sudahkah kita sampai di ujung penderitaan ini? Dari Ngawi sampai
Gendingan, dari Mantingan sampai Masaran. Aku ingin pasrah menuju masa depan,
yang semakin dipikirkan, semakin mencemaskan.
Di dalam bus W 7088 UZ, akhirnya aku tertidur lelap sebelum perbatasan
Jawa Timur dan Jawa tengah, perbatasan angan-angan dan kenyataan, perbatasan
senyum dan kesedihan.
Dalam tidurku, aku bermimpi melakukan perjalanan ke kota-kota di luar
ingatan, menjadi pengembara yang tak beriman kepada jalan pulang.***
MENGUKUR PERPISAHAN
Malam belum lunglai ketika aku tiba di stasiun Cipeundeuy dengan kereta
Malabar. Entah mengapa, seperti ada hubungan yang begitu dekat antara diriku dan
stasiun ini. Aku bahkan masih menghapal letak loket, tempat parkir, hingga warung
nasi di luar stasiun. Tapi aku tak bisa menceritakannya lebih dari itu.
Pemandangan di luar jendela telah buram, hanya putih cahaya lampu yang
tak memberikan bentuk-bentuk apapun. Terdengar hiruk-pikuk di luar. Banyak
penumpang yang turun untuk menyalakan pabrik asap dalam tubuhnya. Biasanya
kereta memang berhenti lama di stasiun Cipeundeuy, entah karena tunggu bersilang
dengan kereta lain, atau karena dilakukan pemeriksaan rem. Sebab di jalur terjal
berbukit ini, segalanya begitu rawan seperti kenangan.
Sebagai seorang penulis fiksi, aku terbiasa mendramatisir sesuatu. Terkadang
kubayangkan diriku seperti Kawabata, yang bisa jatuh cinta pada perempuan yang
tidak pernah ada. Namun sebenarnya aku tidak setolol itu. Aku punya kekasih, nun
jauh di Surabaya, namanya Nalea, yang mungkin sekarang sedang tidur dengan
lelaki yang berbeda. Bagiku cinta telah lebih remeh dari udara yang terhirup tebalnya
cuaca. Di masa sekarang, cinta lebih mudah dari harga promosi di supermarket.
Cinta telah lama usang, ketika kau menyadari bahwa berapa banyak omong kosong
diciptakan manusia di dalamnya.
Di luar pintu kereta, kulihat beberapa petugas memeriksa setiap roda, dengan
senter yang cahayanya kecil mirip laser. Sementara aku duduk di salah satu sisi
peron paling ujung. Ada kepulan asap. Beberapa pabrik bekerja. Sayangnya aku tidak
merokok. Jadi agak sulit mencari kesibukan. Kalau saja di dalam gerbong tidak
terlampau dingin, aku pasti lebih suka meringkuk dalam selimut dan tidur sampai
kereta ini melemparkanku ke tujuan akhir. Meskipun aku lebih suka berharap untuk
tinggal di dalam kereta selamanya. Sehingga tidak perlu ada tujuan akhir.
Kubuka layar ponsel, menelusuri beranda facebook yang seperti selokan
kumuh, dipenuhi sampah-sampah penuh serapah, bangkai kata-kata, pekat amarah
dan kepedihan. Tapi kuberi juga beberapa jempol untuk setiap tulisan yang mencoba
bahagia. Kupikir aku harus menulis sesuatu juga, seperti puisi pendek dengan
lampiran foto stasiun ini. Tapi kamera ponsel telah lama buram seperti masa
depanku. Jadi aku hanya memandang langit. Pekat. Udara malam menyergap jaket.
Seperti ada beberapa tetes air jatuh di kepalaku, entah hujan ataukah kotoran
burung.
Lalu aku teringat Tuhan.
Di langit ada Tuhan. Ada pula jawaban-jawaban dari segala pertanyaan hidup
yang sengaja tak dikabarkan agar selalu misterius.
Misterius. Ya, aku menyukai misteri, ketidakjelasan, keterkejutan,
ketidakterdugaan, di mana semua itu lebih sering melukai. Barangkali aku seorang
masokis, aku suka sesuatu yang melukai. Dan aku suka melihat seseorang dilukai,
sementara ia tak mampu membalasnya. Aku sudah terbiasa dilukai. Kalau mau, aku
bisa saja menelepon Nalea di Surabaya, dan akan kudengar suara lelaki lain yang
sedang bersamanya. Tapi aku tidak menganggap Nalea perempuan brengsek, binal,
atau pelacur. Tidak. Semua perempuan adalah baik-baik, tapi kehidupan inilah yang
membuat sebagiannya terpaksa menjadi tidak baik-baik. Padahal perempuan paling
brengsek sekalipun, ketika ia menangis, membuat kita kasihan padanya. Membuat
kita menyadari bahwa batinnya masihlah seputih salju, andai ia tidak digerus
gelombang pahit kehidupan, seperti pasir pantai yang menjadi penuh tumpukan
sampah setelah manusia menghabisi keindahannya. Yang tersisa kemudian hanyalah
seorang yang ikhlas, serupa juru selamat. Ia kemudian memunguti sampah itu,
berusaha mengembalikan keindahannya, menanam pohon pertama, yang akarnya
adalah doa, dan buahnya adalah pemberian maaf dan melupakan masa lalu.
Ah, bayangkan, setiap perempuan yang terluka, selalu memiliki satu juru
selamat. Mungkin aku adalah penyelamat yang ditunggu-tunggu oleh Nalea?
Sepertinya tidak, Nalea telah diselamatkan oleh botol-botol Vodka para pejabat di
akhir pekan, atau oleh pelukan laki-laki yang suka balapan liar di tengah malam.
Bagi Nalea, aku cuma identitas agar ia terlihat lebih normal. Aku suka mengajaknya
duduk menatap senja di taman Bungkul, sambil menikmati es krim sundae, sesekali
memberinya nasihat yang kudapat dari mesin pencari google. Selalu seperti itu,
sampai akhirnya malam tiba, dan kami pun berpisah seperti debu yang beterbangan.
Kemudian Nalea kembali pada kefasihan tubuhnya sendiri. Barangkali di situ
ia merasa bahagia di atas derita yang tak disadarinya.
Ataukah setiap wanita juga memiliki juru derita?
Bagaimana jika seorang wanita justru berpasangan, hidup bersama, bertahun-
tahun, dengan seorang lelaki yang ditakdirkan untuk membuatnya menderita?
Malam ini, di suatu tempat, mungkin ada perempuan yang baru selesai menangis,
mengingat hidupnya yang telah hancur, atau perempuan yang baru saja membunuh
kekasihnya yang sedang tertidur. Mungkin juga ada seorang wanita yang telah
bersabar, mengobati luka-luka yang tak bisa lagi disembuhkan bahkan oleh obat
kedokteran paling canggih sekalipun. Ia bertahan karena sesuatu yang entah apa,
mungkin anak, atau uang, atau perasaan yang memang tak bisa lagi dibuat lebih
hancur dari yang telah ia alami.
Mungkin di stasiun Cipeundeuy ini pun, ada perempuan yang tengah
memutar diorama. Seorang wanita yang ditinggalkan suaminya untuk mencari kerja
di luar pulau, seorang wanita yang membawakan bekal untuk suaminya yang
seorang masinis kereta, atau sekadar pasangan yang hanya menjadikan satu sama
lain sebagai persinggahan. Di mana cinta mereka lebih rapuh dari stasiun tua yang
dikaratkan hujan.
Pada akhirnya, setiap orang adalah perjalanan bagi manusia lainnya, dan
setiap perjalanan terbuat dari dua hal: pertemuan dan perpisahan. Tinggal kita ukur
saja mana yang lebih dekat. Bahkan kubayangkan baris pepohonan di seberang
stasiun itu adalah para wanita yang dulunya pernah mengharapkan sebuah
pertemuan, lalu menunggu sampai mati, dan jasadnya abadi sebagai pohon asam,
pohon mangga, atau pohon jatake. Seorang wanita memang makhluk yang suka
sekali menunggu, menunggu untuk ditinggalkan.
Kereta pun telah meninggalkan banyak hal, memisahkan banyak hal. Dan
cinta, tak lebih dari sebutir pasir yang ringan dalam timbangan.
Tiba-tiba aku merasa haus, kutengok beberapa pedagang asongan yang
menjulur-julurkan dagangannya di luar pagar, sebab penjual memang tak lagi
diizinkan masuk ke area stasiun. Namun sebelum sempat kudatangi seorang
pedagang minuman, ada suara yang mendahuluiku.
“Salem!”
Suara perempuan memanggil namaku. Cukup keras, tapi rapuh dan tak yakin.
Aku menoleh. Seorang wanita di balik pagar, dengan wajah tirus dan rambut yang
agak kusut, memancarkan perjuangan hidup yang begitu berat. Aku mungkin
mengenalnya, mungkin juga tidak. Kami berpandangan, tanpa ekspresi, seperti
saling menunggu siapa di antara kami yang pertama kali mengingat lebih dalam, lalu
tersenyum, atau menangis. Tapi tak ada. Semua datar. Aku mengenalnya tapi gagal
menebalkan pikiranku tentangnya. Kami bertatapan tapi otakku seperti pita kaset
yang kusut, seperti piringan hitam yang retak, Seperti CD yang banyak tergores.
Siapa dia? Wajahnya begitu familiar tapi tumpukan kabut perpisahan telah membuat
segalanya memudar.
Oh. Ternyata ia tidak sendirian, di sampingnya berdiri seorang bocah lelaki,
kurus, mengenakan baju kedodoran, dengan wajah yang juga menyiratkan
kepedihan.
Sepertinya aku mengenal karakter wajahnya itu, guratan yang sangat
kupahami... Apakah sebentar lagi anak itu akan memanggilku ayah?
Ah, aku hanya penulis fiksi, semua ini pastilah hanya dramatisasi. Aku bahkan
tak jadi membeli minuman tatkala terdengar seorang petugas kereta memanggil.
Rupanya semboyan 40 dan 41 telah diberikan. Para produsen asap juga telah
menutup pabriknya. Kubiarkan wanita dan bocah kecil itu. Diam serapuh bahasa.
Aku segera berbalik dan naik. Kututup pintu gerbong.
Kereta berangkat...
***
Sudah kubilang, aku seperti memiliki hubungan yang dekat dengan stasiun
Cipeundeuy. Tapi aku tak bisa menceritakannya lebih dari itu.***
SEORANG GADIS DI DALAM SENJA
Seharusnya, gadis itu telah berumur ratusan tahun.
Ia terperangkap di dalam senja lebih dari seabad yang lalu. Tepatnya ketika ia
masih seperti remaja tujuh belas tahun. Sejak saat itu usianya tak bertambah lagi, ia
tetap muda dan tak bisa kembali. Namun gadis itu tidak pernah dianggap hilang,
sebab orang-orang masih bisa melihat kemunculannya hampir setiap hari, yaitu
menjelang petang ketika langit tampak kuning kemerah-merahan di barat jembatan
sungai Serayu.
Hamparan sungai yang melewati desa Kebasen ini memang menawarkan
pemandangan tersendiri. Dari sini lah Anda bisa melihat dengan jelas bagaimana
sosok gadis itu di dalam senja. Meskipun langit itu jauh, tapi gadis itu terlihat jelas
sebesar rembulan. Ia kadang berlari, kadang berjalan, kadang pula hanya duduk
termenung. Ia seperti berada dalam selaput bening yang menyelimutinya. Seolah-
olah ia terperangkap dalam sebuah gelembung raksasa, tapi ini bukan gelembung,
ini senja, dan ia terkurung di balik langit yang tampak transparan itu.
Anehnya, gadis itu tak bisa terlihat di tempat yang lain, di senja yang lain. Ia
tak akan muncul di langit senja pantai Kuta, atau di bukit Kadungora, atau di mana
pun tempat senja bisa dilihat dengan sejelas-jelasnya. Di tempat lain, hanya akan
ada senja biasa, matahari bundar seperti koin yang menyalakan cakrawala. Gadis itu
hanya bisa dilihat dari tepi sungai Serayu. Di atas barisan pohon pinus dan jalan raya
ke arah Purwokerto. Karena itulah, banyak orang berkumpul di sana.
“Siapa pun harus menolongnya.” Begitu yang biasa diucapkan seseorang kalau
baru pertama kali melihatnya.
“Ya. Sudah seratus tahun mereka berkata harus ada yang menolongnya tapi
tak seorang pun tahu caranya,” jawab yang lain. Maka mereka pun hanya bisa
menatap gadis itu.
Di langit yang kuning-kemerahan, di antara awan tipis yang berarak pelan,
gadis itu seperti berjalan mengambang, duduk juga mengambang. Kadang ia terlihat
menusuk-nusuk selaput langit itu dengan tangannya, sehingga langit itu seperti akan
robek dan entah apa yang akan terjadi di muka bumi ini kalau sampai langit benar-
benar robek, mungkin seisi lambung langit akan tumpah, akan muncul hujan yang
tidak pernah ada dalam bayangan manusia. Apakah surga pun akan jatuh ke bumi
bersama bidadari yang berhamburan dengan pakaian-pakaian berhias safir dan
mutiara?
Namun langit tetap kokoh. Gadis itu tidak pernah berhasil. Setiap kali ia
merasa telah melubangi langit sebesar jari kelingking, maka langit itu akan dengan
cepat menutup lubangnya sendiri. Dan gadis itu akan kelelahan.
Pada kemunculan di senja berikutnya, gadis itu tetap saja menyempatkan
untuk melubangi langit itu lagi. Dan saat ia menyerah, ia hanya akan duduk dengan
tatapan kosong, berjalan mondar-mandir, atau diam seperti sedang melamun.
Orang-orang juga tak bisa mendengar suaranya. Kalau gadis itu berteriak-
teriak—terlihat dari gerakan mulutnya—orang-orang tak pernah mendengar apa-
apa, tak tahu apa yang diucapkannya. Gadis itu seperti bisu, seperti sedang
beradegan pantomim. Namun semua tahu gadis itu tidak bisu. Pernah datang
seorang yang dikenal ahli membaca gerak bibir untuk menafsirkan ucapannya, tapi
gagal karena ia bahkan tak bisa memahami bahasa yang dipakai gadis itu.
“Seperti bukan bahasa Banyumas atau bahasa Indonesia,” katanya.
Maka yang tampak kemudian seperti sebuah rutinitas. Setiap sore, bantaran
sungai Serayu dipenuhi orang-orang yang hendak menonton gadis itu sambil
menikmati senja yang begitu romantis. Beberapa pasangan muda bahkan tidak malu
untuk bermesraan di sudut-sudut ilalang yang lebih sepi, padahal gadis itu bisa
melihat mereka dengan jelas.
Setiap kali ada kereta lewat menjelang senja, orang-orang di dalam kereta
juga selalu menyempatkan untuk memandang ke luar jendela, menyaksikan gadis itu
dengan sedih. Bahkan kadang masinis sengaja mengurangi laju kereta agar gadis itu,
senja itu, bisa dipandang lebih lama oleh para penumpang.
“Lihat, Ma. Di langit ada orang,” kata seorang anak pada ibunya.
“Gadis itu lagi. Dia sudah ada sejak dulu.”
“Siapa yang memberinya makan? Apa ia tidak lapar?” kata orang yang lain.
Dan mereka selalu memandang takjub, bertanya-tanya, bagaimana gadis itu
bisa terperangkap begitu lamanya?
“Apa kita juga bisa ke sana?”
“Dia harus dibebaskan. Mungkin dia hanya sedang tersesat.”
Usaha pembebasan bukannya tidak pernah dilakukan. Selalu ada saja yang
mencari ide agar setidaknya bisa menemukan kejelasan tentang riwayat gadis itu.
Pernah beberapa tahun lalu, beberapa orang yang merupakan pakar, peneliti,
sekaligus ilmuwan luar angkasa, mengadakan pertemuan khusus untuk
memecahkan keindahan itu—ah, mengapa keindahan butuh untuk dipecahkan?
Mereka mencari cara bagaimana setidaknya bisa mendekati gadis itu, agar
bisa bertanya apa yang pernah menimpanya. Maka, pada suatu hari di masa lalu,
sebuah pesawat pun meluncur ke arah senja. Pesawat supercepat itu melaju ke barat,
tapi ternyata tak pernah bisa mencapai gadis itu. Langit seperti mundur dan
menjauh, gadis itu ikut menjauh, terus menjauh, hingga pesawat pun hanya bisa
menembus atmosfer, menuju ruang hampa udara. Berakhir dalam kekosongan,
karena senja telah berakhir.
Pesawat itu pun akan pulang dengan perasaan hampa.
Selain dengan teknologi, ada pula yang masih menggunakan pemikiran
tradisional, serupa mitos, dongeng, legenda. Ada yang bilang gadis itu dulunya anak
raja yang enggan dijodohkan, sehingga raja meminta seorang penyihir untuk
mengurung gadis itu di langit. Ada pula yang mengatakan bahwa gadis itu hanya bisa
diselamatkan oleh seorang laki-laki yang tepat. Namun laki-laki yang tepat itu
mungkin lupa bahwa ia sangat dibutuhkan untuk menjawab semua teka-teki ini.
Selain dua kisah di atas, ada kisah lain yang lebih terkenal, yaitu bahwa gadis
itu sesungguhnya adalah seorang bidadari yang dihukum karena melanggar aturan
surga, bidadari itu nekat turun untuk mandi di sungai Serayu, padahal mandi di
bumi merupakan hal yang tabu. Entah siapa yang mengarang cerita ini. Bahwa
bidadari itu kini dihukum dalam wujud manusia, dikurangi kecantikannya,
ditampakkan bagi penduduk bumi. Dan ia berusaha keluar dengan melubangi langit,
tapi selalu berakhir sia-sia.
Setiap orang akan mempercayai berdasarkan versinya sendiri. Dan bagaimana
pun masa lalunya, gadis itu hanya bisa meratapi nasib terperangkap di dalam senja.
Gadis itu mungkin bosan melihat banyak manusia memandanginya dari
waktu ke waktu, melihat kereta yang melaju di mana jendela gerbong memantulkan
warna merah termasuk bayang-bayang dirinya. Namun tak ada yang bisa ia lakukan
kecuali ikut menghilang bersama terbenamnya matahari.
“Gadis itu, sesungguhnya tidak pernah sendirian,” kata seorang penyair suatu
kali.
“Matahari menemaninya di kala malam,” kata penyair yang lain.
“Benar. Matahari besar sekali, pasti gadis itu tidak kesepian. Ia bisa tidur
memeluk matahari.”
“Memeluk? Hm, aku jadi iri pada matahari.”
Pada akhirnya, gadis itu pun tetap hidup di dalam senja. Sungai Serayu akan
semakin ramai. Akan tumbuh bangunan-bangunan berupa kafe dan losmen untuk
meraup keuntungan dari para pengunjung, karena tempat itu mulai dijadikan obyek
wisata. Manusia pun berangsur tua dan mati, anak-anak muda akan meneruskan
kekaguman orangtua mereka tentang pemandangan ajaib dari tepi sungai Serayu...
Dan barangkali saja, suatu hari gadis itu benar-benar berhasil melubangi
langit senja, lalu ia pun akan terjatuh di daerah pegunungan. Kemudian ia berjalan
menyusuri bumi yang kian tua ini. Mungkin manusia yang masih hidup saat itu akan
mengalami ketakjuban luar biasa, akan ada banyak kejadian yang mengherankan
dan sama sekali tak terduga berkaitan dengan gadis tersebut.
Namun tentu saja, ketika saat itu tiba, saya sudah tidak bisa lagi
menceritakannya.***
BEGITU BANYAK BULAN BERLALU
Nyi Saminah memandangi kalender yang baru dipasangnya sore tadi. Lalu
menghela napasnya. “Begitu banyak bulan berlalu. Tahun sudah berganti lagi. Masih
belum ada tanggal yang harus dilingkari...”
Bulan basah. Musim penghujan terasa begitu padat bersama cuaca lembap
yang menusuk tubuh. Angin masuk lewat jendela, mengusap tubuh perempuan tua
itu. Nyi Saminah beranjak ke pintu dapur, melihat punggung anak semata
wayangnya, Dulkarip, sedang mengasah batang-batang bambu untuk dijadikan
kandang ayam di halaman belakang.
“Seharusnya kamu sudah membuat rumah untuk keluargamu. Bukan
membuat kandang ayam.” Nyi Saminah hampir saja mengucapkan kalimat itu, tapi
diurungkannya. Ia hanya diam memandangi anaknya.
Dulkarip telah berusia 29 tahun, tapi belum tampak tanda-tanda ia akan
menikah. Ia masih seperti anak-anak muda yang merasa bebas melakukan apa saja
tanpa perlu memikirkan beratnya kehidupan rumah tangga.
Kenyataan ini membuat Nyi Saminah merasa malu pada orang-orang sekitar,
sebab pemuda lain seusia Dulkarip sudah banyak yang menikah, bahkan sebagian
sudah punya anak. Seolah tinggal Dulkarip saja yang belum mendapat pasangan.
“Mak, jodoh itu seperti kematian, sama-sama rahasia Tuhan. Ada yang cepat,
ada yang lama. Kalau Mak mau jalan keliling kampung, pasti banyak yang
seumuranku belum menikah,” kata Dulkarip setiap kali ibunya itu bertanya tidakkah
ia ingin cepat menikah seperti yang lain.
“Tapi mungkin kamu harus sering-sering ke pasar, biar dapat kenalan. Kalau
di rumah terus, kamu jadi tidak kenal orang-orang,” kata Nyi Saminah.
“Jodoh itu di tangan Tuhan, aku akan memintanya langsung kepada Tuhan.
Sabar, Mak, jangan dengarkan apa yang dibicarakan orang.”
***
Begitu banyak bulan berlalu. Setiap malam, ketika Nyi Saminah tidur di atas
ranjang yang tua seperti dirinya, ia tak henti-henti berdoa, agar Dulkarip cepat
mendapat jodoh. Namun ia juga tak ingin Dulkarip menikah hanya karena seperti
diburu waktu. Ia ingat masa lalunya sendiri, ketika dirinya berusia 30 tahun, ia
merasa cemas tidak bisa berumahtangga.
“Sudahlah, yang penting menikah dulu, Minah, buat menghapus status
perawan tua di masyarakat, perkara sebulan bercerai ya itu urusan gampang,” kata
orangtua Nyi Saminah waktu itu.
Memang, status perawan tua seperti aib yang sangat dihindari. Maka tawaran
dari juragan minyak wangi kreditan untuk menjadikannya istri kedua pun
diterimanya begitu saja. Dari pernikahan itu lahirlah Dulkarip, tapi kemudian Nyi
Saminah harus membesarkannya sendiri, sebab tiba-tiba sang suami
meninggalkannya begitu saja.
Jadi, Nyi Saminah tahu rasanya tertekan karena tak kunjung menikah.
Orangtuanya uring-uringan setiap hari. Warga sekitar selalu bertanya padanya setiap
kali ada acara selamatan atau arisan.
“Mana pasangannya?”
“Masih betah sendirian?”
Semua itu memberinya beban dari hari ke hari.
Sekarang ia pun tahu, Dulkarip hanya pura-pura tabah, pura-pura tenang,
padahal juga menanggung beban serupa dirinya di masa lalu. Apalagi biaya menikah
dari hari ke hari semakin mahal. Menikah sudah menjadi lahan mencari uang, sebab
warga mulai terbiasa dengan pesta pernikahan yang mewah seperti yang sering
mereka lihat di televisi-televisi. Para gadis akan mencari calon yang bisa
membuatkan resepsi di gedung-gedung megah. Kalau tidak cepat mengumpulkan
biaya dan menikah, Dulkarip bisa semakin kesulitan.
Semakin memikirkan hal itu, Nyi Saminah semakin sedih. Namun ia yakin,
masih ada perempuan yang mau berpasangan dengan anaknya. Meski kelak pesta
pernikahannya tidak semewah orang lain, meski hanya berupa perayaan sederhana
di halaman rumah. Sebab harta Dulkarip hanya ayam-ayam Bangkok yang dipelihara
di halaman belakang. Kalau semua itu dijual paling maksimal dapat dua sampai tiga
juta. Sementara biaya resepsi dari sewa gedung sampai katering itu bisa di atas 25
juta.
Nyi Saminah masih terus berdoa. Usianya kini menjelang 60 tahun, ia tak lagi
bermimpi untuk menimang cucu, toh tubuhnya juga tak akan kuat karena sudah
digerogoti banyak penyakit kambuhan. Ia hanya berdoa agar Dulkrip tidak lagi
kesepian, ia ingin melihat anaknya itu menikah, tersenyum di atas pelaminan.
Tapi kapan?
Ah. Tiba-tiba malam pun datang menghujam sampai ke lubuk hatinya. Hari
pun berlalu lagi. Nyi Saminah berbaring di tempat tidurnya, memejamkan
matanya...
***
Berbulan-bulan kemudian, segalanya telah berubah. Kalender di rumah kecil
itu menampakkan lingkaran-lingkaran merah pada beberapa tanggalnya. Lingkaran-
lingkaran yang bahagia.
Pernikahan itu direncanakan begitu sederhana, Dulkarip telah menjual
sebagian ternak ayamnya sebagai tambahan biaya walimah dan pembelian mas
kawin. Mungkin ia memang beruntung, ternyata ia mendapat pasangan seorang
gadis dari pemilik toko pakan ayam.
“Saya memang cari mantu peternak ayam Bangkok,” kata calon mertua
Dulkarip saat itu. Betapa bahagianya Dulkarip. Jalan itu kini terbuka, benar-benar
terbuka.
Pemuda itu jadi sering melingkari kalender. Entah itu tanggal pertemuan
pertama dengan calon istrinya, tanggal melamar, sampai penentuan tanggal
pernikahan. Ia beruntung, jodoh itu datang tak jauh dari kegemarannya memelihara
ayam. Berawal dari kebiasaannya membeli pakan ayam di kios yang baru dibuka di
seberang pasar, Dulkarip jatuh hati pada gadis yang suka menjaga kios itu. Pada
akhirnya Dulkarip juga mudah akrab dengan ayah gadis itu, keduanya kadang duduk
di warung kopi, membicarakan pasaran ayam hari ini, tentang ayam yang bagus
untuk diadu dan berharga mahal. Akhirnya kecocokan itu melahirkan jalan keluar
tentang masalah Dulkarip selama ini.
“Menikahlah dengan Siti anak saya,” kata orangtua gadis itu pada Dulkarip.
Maka segalanya berjalan lancar seperti aliran sungai. Hingga hari pun tiba.
Kain tenda sudah dipasang, batang-batang bambu dipancangkan sebagai tiang,
hiasan kertas warna-warni melintang bersama lampu-lampu. Banyak tetangga yang
membantu sejak kemarin, mulai dari urusan dapur sampai dekorasi. Suara musik
terdengar semalam suntuk, malam midodareni, banyak warga laki-laki yang tidak
tidur entah mempersiapkan alat atau pun cuma sekadar main kartu. Undangan juga
sudah disebar sejak pekan lalu.
“Tidak kusangka Dulkarip akhirnya mendapat pasangan.”
“Benar. Kukira dia akan membujang seumur hidup bersama ayam-ayamnya.”
Pagi ini semua sudah tertata, tapi tepat satu jam sebelum pesta
pernikahannya digelar, Dulkarip meminta izin pada orang-orang untuk pergi
sebentar. Ia lalu melangkah sendirian ke kompleks pemakaman desa yang jaraknya
sekitar 500 meter dari rumah.
Berbeda dengan rumahnya yang sedang ramai, kini dirasakannya suasana
makam yang sepi, angin menyapu daun-daun kering, cericit burung, aroma bunga
kamboja...
Setelah tiba di tengah kompleks, ia lantas berhenti dan bersimpuh di sebuah
makam yang dipenuhi tumpukan daun-daun kamboja kering.
Dulkarip mengusap nisan itu, ia seperti ingin menangis...
“Mak... Aku menikah hari ini,” katanya lirih.
Kini ia benar-benar tahu, memang sudah begitu banyak bulan berlalu.***
MELANKOLIA LABA-LABA
Aku telah mencintaimu sebelum aku menyadari bahwa diriku tetaplah hanya
seekor laba-laba. Sudah lama aku memendam perasaanku dengan cara berdiam di
celah lemari dan meja riasmu, menciptakan jaring untuk memanjangkan kesepian,
menangkap apa saja yang datang seperti sebuah kerinduan, dan selalu siap untuk
disingkirkan.
Apakah ini kutukan menyedihkan? Aku tahu, mungkin ini hanya episode lain
dari kisah cinta binatang dengan manusia. Aku laba-laba rumah, nama latinku
Achaeranea tepidariorum, kau gadis beraroma kesunyian, namamu Nalea Mendieta.
Di kamar ini kita berada dalam satu semesta, tapi dengan dunia yang berbeda.
Kamarmu adalah tempat di mana aku hidup sampai kelak menjemput
kematian, sementara kau tidak selalu berada di sini, apakah duniamu begitu
luasnya? Aku mengenal kegelapan saat kau padamkan lampu. Aku mengenal
kerinduan saat kau tutup pintu untuk pergi entah kemana.
Selain diriku, di ruangan ini ada beberapa ekor laba-laba lain, sudut dan celah
kamarmu selalu menjadi surga bagi makhluk kecil seperti kami. Kadang kulihat laba-
laba betina yang bergembira karena anak-anaknya terlahir, seekor laba-laba jantan
menjaga mereka. Sementara aku memilih sudut dekat meja riasmu, jadi aku bisa
diam-diam mengintip wajahmu saat sedang becermin, berdandan, mengoleskan
lipstik. Aku juga hapal aroma parfummu setiap kali kau hendak pergi dan nantinya
kembali dengan rambut kusut dan wajah yang lelah.
Kadang aku berharap kita bisa saling menyapa atau setidaknya saling
menyadari keberadaan satu sama lain, tapi aku tak bermimpi kau menciumku
seperti kisah pangeran kodok. Aku tak akan menjelma manusia, ini bukan cerita
surealis. Aku hanya tahu, bahwa aku sudah belajar mencintaimu beberapa saat
setelah terlahir ke dunia.
“Ibu, siapa itu?”
“Dia gadis penghuni kamar ini. Namanya Nalea. Kau akan melihatnya setiap
hari.”
“Dan kau harus waspada terhadapnya,” ayahku menambahkan.
Pada akhirnya, kedua orangtuaku yang tidak waspada. Mereka mati terbawa
sapu saat ada seorang lelaki membersihkan kamar ini, kebetulan aku sedang
bersembunyi di sudut paling dalam, paling gelap, dan paling tak terjangkau. Lelaki
itu mengenakan masker dan merapikan banyak benda, lantas kau memberinya uang.
Apakah kau membayarnya untuk membunuh orangtuaku? Entahlah, aku sedih
sekali, tapi cintaku tetap tumbuh mengalahkan kesedihanku.
Sejak saat itu, aku telah belajar, bahwa mencintaimu adalah sumber bahaya.
Namun tentu saja aku bertahan. Aku terus tumbuh. Semakin besar tubuhku, maka
aku semakin mencintaimu. semakin lebar dan tebal jaring yang kubentangkan,
semakin kuat perasaan ini. Aku tentu tidak sedang merasa bahwa kau mencintaiku
juga. Aku tak mengidap erotomania. Tapi tentu, sebuah perasaan cinta memiliki
saat-saat depresif, ingin rasanya aku muncul untuk melakukan hal entah apa agar
setidaknya kita bisa berinteraksi lebih dekat—atau bahkan mengutarakan
perasaanku. Namun aku ragu, bisa jadi kau justru takut jika melihatku, bahkan
mungkin alergi dengan kakiku yang sangat banyak ini.
Hidupku menjadi penuh dengan ketidakpastian. Belum lagi ejekan yang
kudengar dari anak-anak laba-laba. Cinta telah membuatku lupa pada usia. Generasi
laba-laba rupanya telah berganti. Kini tak satupun dari mereka yang kukenal. Setiap
kali anak-anak laba-laba itu bermain di dekat jaringku, mereka selalu membicarakan
diriku.
“Laba-laba itu kok tidak mati-mati?”
“Mau sampai kapan, ya?”
“Kabarnya, dia sudah ada sebelum ayahku lahir.”
“Tidak. Dia bahkan sudah ada sebelum kakekku lahir.”
“Dia ternyata sudah ada sebelum ayah dari kakekku lahir.”
“Bahkan setahuku dia sudah ada sebelum kakek dari kakekku lahir.”
“Ya. Intinya. Dia senior.”
“Atau laba-laba abadi.”
“Abadi? Hii...”
“Lho, kenapa merinding begitu?”
“Aku takut menjadi abadi.”
Aku tentu mendengar obrolan mereka tentang diriku, aku tidak bisa pura-
pura untuk tidak mendengarnya. Anak-anak itu berbicara seperti sedang
mencemaskan nasib dunia. Anak-anak itu memang tak tahu apa-apa, mereka hanya
bisa bermain, saling melempar jaring, menggelantung seperti makhluk konyol.
Aku tidak tahu berapa usia normal seekor laba-laba, aku tak pernah membaca
ensiklopedi laba-laba. Aku hanya mencintaimu, berusaha mencintaimu selama aku
bisa. Rasanya sudah bertahun-tahun aku hidup. Dan semakin lama kau tampak
semakin cantik. Aku paling suka mendengarkanmu bernyanyi sambil duduk di
depan cermin untuk menyisir rambutmu. Kadang aku ikut bergoyang-goyang sambil
tetap menempel di jaring. Aku selalu berdoa kepada Tuhan agar kau bahagia,
sebagaimana kau juga selalu berdoa di tengah malam—seringkali sambil menangis.
Kau seperti meratapi dan menyesali banyak hal dalam hidupmu. Aku tahu kita
berdoa kepada Tuhan yang sama, Tuhan yang menciptakan kita, yang
menjadikanmu manusia sementara menakdirkanku sebagai laba-laba. Aku tentu
sangat bersyukur. Sebab mungkin saja aku tak akan mencintaimu jika keadaannya
dibalik, aku menjadi manusia sementara kau yang menjadi laba-laba. Aku senantiasa
berdoa dalam hening dan tulus, bahkan ketika ada seekor nyamuk yang terjerat
jaringku saat aku sedang berdoa, aku akan memotong jaringku dan melepasnya.
“Pergilah, nyamuk. Aku sudah kenyang. Jangan ganggu aku berdoa.” Ucapku.
Nyamuk itu biasanya akan terbang dengan wajah yang heran.
Aku tak tahu apa yang biasa kau ucapkan dalam doamu, sementara doaku
jelas, agar aku bisa tetap menemukan cara untuk mencintaimu. Maka aku pun terus-
menerus berdoa.
Hingga tibalah hari di mana akhirnya aku menyerah. Hari di mana aku tahu
bahwa doaku ternyata tidak dikabulkan, karena yang terjadi justru sebaliknya.
Dan hari itu adalah pagi ini.
Aku baru saja membuka mata ketika kulihat seekor laba-laba betina muncul
di dekatku. Laba-laba ini entah datang dari mana, aku belum pernah melihatnya.
Jelas ia bukan penduduk asli kamar ini. Apakah ia tersapu angin?
“Kenalkan. Aku Nalea.” Laba-laba betina ini menjulurkan salah satu kaki
depannya. Melihat keadaan ini, aku pun terpaksa menjulurkan kaki. Kami berjabat
kaki.
“Ha? Nalea?” Aku tentu sangat terkejut, itu adalah namamu.
“Ya. Kau Sarelgaz, kan? Laba-laba paling senior di kamar ini.”
“Bagaimana kau bisa tahu namaku? Apakah penulis cerita ini yang
memberitahu?”
“Tidak, semua juga sudah tahu.”
Aku tertegun, siapa laba-laba asing yang baru kukenal ini, perutnya tak begitu
besar tapi ia tampak rapi, kaki-kakinya yang jenjang itu berwarna kebiruan dengan
bintik-bintik cerah di seluruh tubuhnya. Dari cara berjalannya, ia seperti laba-laba
betina yang bekerja sebagai model majalah laba-laba dewasa.
Namun rasa heranku akan kehadiran laba-laba betina ini dikalahkan oleh
suara-suara lain yang lebih mengejutkan. Di luar kamarmu pagi ini, aku mendengar
suara tangis, bukan satu orang, melainkan banyak orang menangis. Ada juga suara
meraung-raung. Aku belum pernah mendengar rumahmu ribut seperti ini.
Entah apa yang sebenarnya terjadi, pagi ini aku tak melihatmu yang biasanya
baru bangun tidur dan membuka jendela, aku menunggu beberapa jam ternyata kau
tak muncul juga, justru ada beberapa orang berseragam yang seolah sibuk
memeriksa seluruh isi kamarmu kemudian membawa beberapa benda. Siang harinya
aku masih bersabar, tapi kau tak muncul juga, sampai berhari-hari kemudian aku
tetap tak melihatmu di kamar ini, seakan kau raib begitu saja.
Ruangan ini pun berangsur dipenuhi debu dan menjadi pengap, pintunya
selalu tertutup dan lampu tak pernah dinyalakan. Suasana yang sebenarnya seperti
surga bagi kami para laba-laba. Maka seiring berjalannya waktu, mulailah
bermunculan keluarga laba-laba baru, mereka membuat jutaan jaring dari sudut ke
sudut.
Laba-laba betina asing itu juga telah membuat jaring tak jauh dariku, setiap
hari ia memandangiku dan tersenyum, seolah aku adalah pajangan. Aku sudah
cukup membencinya sejak pertama ia berani memakai namamu, aku semakin
membencinya saat ia bercerita bahwa dirinya adalah dirimu yang sengaja
meninggalkan jasad manusia untuk menjelma laba-laba agar bisa bertemu
denganku. “Bertemu dengan cinta yang sesungguhnya,” begitu ia berkata. Sungguh
bodoh yang diucapkannya, yang seperti itu hanya ada dalam dongeng. Namun ia
tidak jera juga.
Akhirnya, karena kesabaranku sudah habis, Malam ini kudorong ia keluar
kamar lewat salah satu lubang angin, kusuruh ia tinggal di pohon-pohon di luar
sana, biar ia bertarung dengan hujan dan angin. Kuancam dia untuk jangan pernah
kembali lagi. Wajahnya tampak sedih sekali, seperti menampakkan kekecewaan yang
besar. Tapi aku tak bisa ditipu. Sebab tak seekor laba-laba pun bisa menggantikan
dirimu, Nalea, seorang gadis manusia yang akan selalu kucintai...
Seorang gadis yang hingga kini tak pernah kulihat lagi.***
MAS SALEM
Setelah Mas Salem memutuskan untuk pergi, aku merasa ia tidak akan
kembali.
Malam itu adalah malam terakhir Mas Salem berada di rumah. Ketika ibu dan
bapak sudah tidur lelap, Mas Salem membangunkan kedua adiknya: aku dan Nalea,
kemudian mengajak kami ke kursi bambu yang ada di teras. Tidak pernah
sebelumnya Mas Salem membangunkan kami di tengah malam, seperti ada hal
penting yang ingin dibicarakannya.
“Ada apa, Mas?” kataku dengan sedikit mengantuk, juga Nalea yang beberapa
kali mengucek matanya. Udara begitu dingin.
“Sekarang, aku mau pergi. Kamu berdua, jagalah Ibu dan Bapak,” katanya.
“Mas mau kemana?”
“Kalian tidak perlu tahu. Yang jelas, aku cuma pergi untuk meringankan
beban di rumah ini. Kalian sudah mulai dewasa. Kamu, Nurdin, jangan lupa dengan
pekerjaan rutin setiap pagi dan sore, menyapu rumah, menyiram halaman, memberi
makan ayam. Bantulah bapak. Dan kamu Nalea, sudah kelas lima, belajarlah
mencuci piring dan baju sendiri, dan jangan bermain sampai larut.”
Nalea mengangguk. Mungkin ia tidak begitu paham karena masih terlalu kecil
untuk mengetahui apa yang sebenarnya sedang terjadi. Sementara aku, yang sudah
kelas tiga SMA, mengerti bahwa Mas Salem sedang membicarakan hal yang sangat
serius.
“Kenapa tidak tunggu pagi, Mas?” tanyaku.
Mas Salem tersenyum, “Biar bapak ibu tidak tahu. Sudah ya. Cepatlah tidur
lagi.”
Ia tampaknya telah siap untuk pergi, sudah ada tas yang kemudian segera
digendongnya, kemudian ia pun melangkah ke arah jalan kampung yang remang.
Menjauh, terus menjauh, dan akhirnya lenyap di kegelapan.
***
Sehari-hari, Mas Salem sangat jarang keluar rumah, bahkan untuk sekadar
duduk dengan tetangga atau main ke pos ronda pun ia enggan. Setelah kuliahnya
selesai di kota sebelah, ia memilih pulang kampung, dan lebih banyak menghabiskan
waktu di kamar, membaca buku, mengetik, dan minum kopi. Sebenarnya kami tidak
tahu apakah Mas Salem lulus dari kuliahnya atau tidak. Ia suka bersedih kalau
ditanyakan tentang hal itu, terutama oleh bapak dan ibu. Yang jelas, Mas Salem tidak
bekerja, setidaknya itu menurut pandangan kami, meskipun entah bagaimana Mas
Salem terkadang bisa mendapat uang, sehingga bisa mengajak aku serta Nalea jajan
di indomaret atau alfamart yang mulai banyak di kampung. Tapi bagi orang-orang,
Mas Salem tetaplah dianggap pengangguran, dan juga belum menikah di usianya
yang ke 28. Di kampung ini, laki-laki di usia 28 biasanya sudah menggendong anak.
Semakin lama, Mas Salem pun semakin pemurung. Mungkin telah lama ia
menanggung sesuatu, sampai akhirnya ia memilih pergi tengah malam.
Pagi harinya, ketika ibu dan bapak bangun, mereka tidak mendapati Mas
Salem di kamarnya.
“Kemana dia? Tumben pagi sudah hilang?” tanya ibu.
“Mungkin jalan-jalan. Dia kan di kamar terus, jarang dapat sinar matahari,”
jawab bapak.
Ibu dan bapak tidak tampak cemas. Seperti biasa, pagi itu ibu menggoreng
telur, mempersiapkan bekal untuk Nalea yang hendak ke sekolah. Sementara aku
mengeluarkan sepeda. Biasanya, aku akan mengantar Nalea terlebih dahulu,
sebelum lanjut ke sekolahku. Kehidupan di sekolah seperti menjadi sebuah istirahat
sejenak dengan apa yang terjadi di rumah.
Apakah Mas Salem malu dengan lingkungan kami karena ia merasa gagal?
Mas Salem mungkin bersedih karena dibilang pengangguran, sehingga jarang mau
ada di luar rumah. Kalau lebaran pun ia tampak tidak bahagia karena selalu ditanya
kapan menikah dan bekerja apa. Jika rumah kedatangan tamu, baik itu tetangga atau
pun sanak saudara jauh, Mas Salem memilih tetap berada di kamar. Padahal di
rumah yang kecil ini, setiap percakapan akan terdengar, bagaimana setiap kali para
tamu itu bertanya, “Sekarang Salem bekerja di mana?” Maka ayah dan ibu akan
kebingungan menjawabnya. Dan Mas Salem pasti mendengar itu. Aku sering
berpikir, untuk apa hal-hal semacam itu ditanyakan? Adakah kepentingan dari
jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu?
Bagi kami, Mas Salem tetaplah kakak yang baik. Aku benar-benar tahu, ia
bukanlah pemalas, hanya memang seperti tidak mampu berbuat apa-apa. Mas Salem
pernah bercerita, ia ingin bekerja apa saja, yang penting bisa membantu sekolah
kami dan keuangan keluarga. Ia bahkan tidak memikirkan dirinya sendiri. Namun
katanya, ia tak punya keterampilan. Tidak bisa bekerja berat seperti menambang
pasir atau menjadi kuli bangunan. Mungkin Mas Salem merasakan beban yang aku
tidak tahu seberapa beratnya. Mungkin aku pun kelak mengalaminya.
Hari demi hari berlalu dan suasana rumah terasa aneh bagiku. Bapak dan ibu
menganggap Mas Salem pergi mencari kerja, jadi tidak perlu dicemaskan. Kalau
tetangga bertanya, kami selalu bilang Mas Salem mendapat kerja di luar pulau, di
Batam, atau di Kalimantan, Sulawesi, atau entah di mana. Padahal kami pun tidak
tahu, di manakah Mas Salem saat ini? Apakah ia punya teman yang memberinya
tempat tinggal?
Terkadang aku khawatir kalau Mas Salem merintih kelaparan di stasiun, atau
kehabisan ongkos di kota yang tak dikenalnya, atau menjadi korban penjambretan,
atau dipukuli preman karena menolak menyerahkan sepatunya, atau tidak
menemukan tempat bermalam sehingga harus tidur di trotoar, di gardu rusak, di
halte reyot, atau di pos yang lama tak terpakai. Namun aku juga takut bagaimana
kalau tiba-tiba Mas Salem ditemukan mencuri, ikut komplotan pembobol ATM, atau
jadi pelaku bom, atau menjadi aktivis yang ikut protes-protes besar, atau tiba-tiba
berada di pulau tertentu ikut organisasi terlarang, sebagaimana kebanyakan berita
yang kulihat di televisi.
Mengapa Mas Salem tidak memberi kabar? Bahkan ketika hari raya tiba, tidak
ada tanda-tanda ia akan kembali untuk sekadar menjenguk kami. Tidak pula ada
kiriman surat apapun. Tidak rindukah ia?
“Dia laki-laki, sudah dewasa. Biarlah dia berjuang untuk hidupnya sendiri,”
kata ayah setiap kali aku mencoba membicarakan tentang Mas Salem.
Ayah seperti yakin bahwa Mas Salem tidak akan berakhir sebagai
gelandangan yang tidur di trotoar-trotoar Jakarta, yang kemudian dibawa Satpol PP
karena tidak punya identitas yang jelas. Ataukah Ayah sebenarnya memang sudah
tidak peduli lagi? Sudah tidak menganggapnya sebagai anak? Kamar Mas Salem
yang telah lama kosong itu kini dijadikan seperti gudang, beberapa barang seperti
televisi rusak dan kursi-kursi tua dipindahkan ke sana. Jendela yang tidak pernah
dibuka, debu yang menggunung bersama sarang laba-laba. Padahal masih ada baju-
baju Mas Salem di lemari itu. Bagaimana jika Mas Salem tiba-tiba pulang dan
mendapati kamarnya ternyata tidak dirawat? Apakah ini semacam tanda bahwa ia
memang tidak diharapkan lagi kehadirannya?
Sekarang, setiap malam, setiap kali kudengar pintu bambu di pekarangan
berderit, aku sering membayangkan suara itu diikuti langkah kaki, dan kuharapkan
itu Mas Salem, yang datang dengan pakaian lusuh, tas yang kempes, dengan wajah
pucat dan tubuh yang semakin kurus. Kemudian mengetuk pintu, mengucap salam.
Kami sekeluarga pasti akan menyambutnya. Atau kubayangkan Mas Salem datang
dengan menuntun sepeda motor hasilnya bekerja entah di mana. Pastilah ia
kemudian dibilang sukses. Dan kami akan mengundang tetangga untuk acara
syukuran kecil-kecilan... Akan tetapi, itu cuma bayang-bayang yang kemudian gugur
seperti daun-daun kering di luar jendela. Kulihat keluar, cuma ada angin yang
berembus, menggerakkan ranting-ranting, seperti mematahkan setiap harapan
kami.
Oleh sebab itulah, jika para pembaca sekalian, kelak pada suatu hari, suatu
masa, suatu peristiwa, menemukan seseorang yang mengaku bernama Salem, entah
bertemu di halte, di kantor polisi, atau di terminal, mungkin ia adalah Mas Salem
kakakku. Jika benar, maka sampaikan salam rindu kami kepadanya. Katakan bahwa
ayah sangat merindukannya--berbohong sedikit tak apa. Atau Anda bisa simpan
lembaran cerita ini untuk ditunjukkan kepadanya. Sebab sampai cerita ini
kuselesaikan, Mas Salem tidak pernah kembali.***
PASAR ENSIFERA
Sejak dahulu, pasar di desa Ensifera memang dikenal tidak aman, segala jenis
tindak kriminal terjadi setiap hari, pencurian sepeda motor, penjambretan,
penodongan, perkelahian, pemerasan, semuanya terjadi silih berganti, seakan telah
menjadi hal rutin bagi setiap pedagang dan pengunjung.
Konon, pasar di desa Ensifera memang dikuasai banyak preman; untuk
definisi ini, dengan mudah dapat dijelaskan bahwa yang dimaksud adalah lelaki-
lelaki berbadan kekar yang suka melakukan pungutan liar, lelaki-lelaki bertato
piranha yang selalu berkeliaran sampai ke sudut-sudut lapak pedagang untuk
mengintimidasi, meneror para pembeli tanpa alasan, dan masih banyak lagi.
Preman-preman itu telah membagi pasar menjadi beberapa wilayah
kekuasaan. Pedagang dan pembeli mau tak mau harus beradaptasi dengan segalanya
tanpa bisa menuntut sama sekali, apalagi jabatan preman mengalahkan petugas
keamanan di situ. Para petugas keamanan hanya rajin mengunjungi pasar menjelang
akhir bulan, tepatnya beberapa hari sebelum gaji mereka dicairkan dari kas desa.
Petugas keamanan tak mau terlalu sering bertatap muka dengan para preman,
mereka berdalih bahwa menertibkan preman bukan lagi tanggungjawabnya.
Suasana semacam ini mungkin mengingatkan kita pada suasana di
pedalaman Amerika Latin. di mana setiap daerah memiliki seorang sherif yang harus
selalu siap menghadapi aksi gerombolan penjahat di wilayahnya. Namun tak ada
sosok berwibawa semacam itu di desa Ensifera, juga tak ada kantor polisi, sebab desa
itu tampak tak memberi masa depan cerah bagi polisi. Yang ada hanyalah seorang
kepala desa biasa.
Sudah turun-temurun dari generasi ke generasi, warga selalu mengeluh pada
kepala desa perihal keadaan ini, tapi segalanya selalu berakhir dengan janji. Sampai
suatu hari, Kepala Desa yang baru saja terpilih bulan lalu, menemukan ide untuk
mengadakan kontes Pemilihan Preman Pasar Terfavorit. Ide ini muncul ketika ia
sedang duduk santai melihat berita kampanye di televisi. Sambil ditemani istri
keduanya, sang Kepala Desa lantas berpikir, adakah hal lain yang bisa
dikampanyekan selain pemilihan kepala desa di wilayahnya? Dan tak ada yang
diingatnya kecuali keluhan warga akan kesewenang-wenangan preman di pasar
Ensifera.
“Benar juga, kalau Preman-preman itu diakomodasi, mungkin bisa jadi jalan
keluar. Setidaknya, akan ada perubahan pada kondisi pasar, perubahan untuk
pertamakali sejak berpuluh-puluh tahun.”
Kepala Desa tahu, ide ini belum pernah dicoba sebelumnya. Maka keesokan
harinya, ia mengadakan rapat bersama seluruh perangkat desa. Dengan penuh
semangat, ia menerangkan ide tersebut secara panjang lebar, dan anggota rapat—
yang datang hanya untuk mendapat uang rapat serta konsumsi—mengangguk-
angguk begitu saja tanda sepakat.
Begitulah acara Pemilihan Preman Terfavorit kemudian disiapkan. Kontes ini
dimaksudkan untuk memilih siapa preman yang paling bengis dan paling kejam di
antara preman yang ada, di mana pemenangnya berhak untuk menguasai seluruh
wilayah pasar, melantik preman-preman baru, dan mengusir preman lain yang tak
sesuai dengan seleranya atau tak mau diajak kerjasama. Yang akan diberikan hak
pilih dalam hal ini adalah seluruh pedagang, tukang parkir, petugas keamanan, dan
juga pengunjung pasar. Sang Kepala Desa berharap, dengan terpilihnya preman
favorit, angka kejahatan bisa ditekan lebih rendah, sebab memang tidak mungkin
menghapus secara total keberadaan preman tersebut, ia terlalu takut untuk
perubahan semacam itu.
Seperti digerakkan oleh semangat reformasi, Kepala Desa segera membentuk
panitia pemilihan, kemudian dibuatlah pengumuman, sosialisasi, dibuka
pendaftaran calon dan pengumpulan berkas. Butuh waktu satu bulan hingga
akhirnya didapat empat orang calon preman yang berkasnya lolos verifikasi, mereka
yang beruntung dan akan bertarung adalah Sulgitem, Dodo, Jabrik, dan Bili.
Keempatnya akan bersaing meraih simpati penghuni pasar, bersaing menunjukkan
siapa yang paling berjiwa preman.
Beberapa hari kemudian masuklah masa kampanye. Keempat preman ini
ternyata memilih cara yang berbeda. Calon pertama, Sulgitem, lebih suka memajang
posternya hampir di setiap kios pedagang, gerbang, pohon, dan tembok pasar, poster
yang bertuliskan: “Sulgitem, Tenang, Kejam, Bersahaja.” Entah darimana ia
mendapat slogan tersebut. Sementara itu, Dodo lebih suka mengadakan kampanye
terbuka di pelataran parkir, ia sering berpidato, menceritakan bagaimana dirinya
terpaksa menjadi preman, dan jika terpilih, ia berjanji akan memperbaiki pasar dan
membina preman-preman lainnya agar tak terlalu kejam dan mau lebih dekat
dengan masyarakat, turun langsung membantu warga yang kerepotan menaikkan
barang belanjaan ke atas sepeda motor, atau membantu merapikan tempat parkir,
atau mengadakan bakti sosial. Sungguh kampanye yang penuh janji. Sedangkan
Jabrik lebih suka mencari simpati dengan cara membagikan amplop-amplop berisi
uang pada siapapun yang mau mendukungnya, tapi jika si pendukung ternyata
terbukti memilih calon lain, maka uang itu akan ditagih kembali dan tahu sendiri
akibat selanjutnya.
Berbeda dengan ketiga calon, Bili lebih suka menyepi, ia hanya rajin
mengunjungi makam para sesepuh preman, yakni mereka yang telah meninggal
karena kerasnya kehidupan. Bili berharap ia mewarisi jiwa kepremanan mereka,
sementara urusan menang atau kalah, itu hanya masalah takdir. Untuk
pertamakalinya ia pasrah pada takdir.
Selama masa kampanye, bandar-bandar taruhan langsung membuka lapak.
Perdukunan dan tukang ramal pun tak luput diserbu para petaruh, penghasilan
mereka bahkan naik 200% dibanding hari-hari keramat. Namun satu hal yang paling
mengejutkan, selama masa kampanye ini, kejahatan di pasar menurun drastis, itu
dikarenakan para preman sibuk mempromosikan dirinya untuk mendulang suara
sebanyak mungkin, sehingga mereka tak sempat berbuat onar. Bagi pedagang dan
pengunjung, masa kampanye adalah masa yang paling membahagiakan, mereka
bebas berbelanja dan bertransaksi, mereka bahkan berharap setiap hari adalah
kampanye. Mereka memberi usul pada panitia kontes untuk memperpanjang masa
kampanye, bahkan kalau bisa selamanya. Namun toh semuanya harus berakhir,
undangan hak pilih telah dibagikan, jadwal tak bisa digeser, dan hari yang dijanjikan
pun tiba.
Hari itu, pasar dibuka lebih pagi. Di pelataran parkir dibangun tenda untuk
melakukan pemilihan, beberapa orang sudah sibuk sejak pukul dua dini hari,
menyiapkan kotak suara, papan, spidol, dan berbagai keperluan yang harus ada.
Tepat pukul enam pagi, seluruh calon preman terfavorit sudah berkumpul.
Mereka berbaju safari, pinjaman dari koperasi. Tampak senyum cerah di wajah
keempat preman itu. Acara pemilihan pun dibuka, para pedagang mulai hadir
membawa undangan, mengambil surat suara, masuk ke bilik suara, mencoblos, dan
memasukkannya surat tersebut ke kotak suara. Proses itu berlangsung sampai
menjelang siang. Suasana Pasar Ensifera hari itu sungguh lebih meriah dari
biasanya, perbincangan tentang siapa yang akan terpilih tiba-tiba menjadi topik
utama di kalangan para pengunjung, dari tukang becak sampai pedagang grosiran,
bahkan orang gila yang suka berguling-guling di dekat pos keamanan pun ikut
ditanyakan siapa yang akan menang.
Sore harinya suara dihitung. Hasilnya: kemenangan mutlak diraih oleh
Jabrik, yang memang telah menghabiskan banyak biaya untuk menyebar amplop.
Tanpa harus dua putaran, Jabrik pun dinobatkan sebagai preman terfavorit di Pasar
Ensifera.
Namun beberapa minggu setelah acara pemilihan itu, suasana pasar ternyata
sama saja. Jabrik memang menguasai seluruh wilayah pasar, tapi ia kemudian
merekrut anak buah dan membagi lagi wilayah kekuasaannya. Ia bahkan menambah
tiga preman baru setiap bulan sebagai bentuk regenerasi terhadap preman yang
dianggap sudah layak pensiun demi memikirkan hari tua. Para pedagang dan
pembeli tetap saja menjadi korban kejahatan. Mereka mulai protes pada Kepala
Desa.
“Pak Kades ini bagaimana, mengadakan pemilihan preman, tapi suasana
pasar tetap sama saja. Kejahatan di sana-sini. Acara itu hanya menghambur-
hamburkan kas desa saja.”
“Benar. Percuma ada acara seperti itu. Penjambretan tetap marak, banyak
orang kehilangan dompet dan tak jadi belanja.”
“Pungli juga masih jalan. Belum laris satu ikat bayam, kami para pedagang
sudah disuruh bayar iuran ini itu.”
Mendengar protes itu, sang Kepala Desa hanya diam, larut dalam
keheranannya sendiri. Barangkali, ia hanya terlambat menyadari, bahwa acara
pemilihan-pemilihan semacam itu—terutama di desa terasing seperti Ensifera, tak
pernah memberikan perubahan apa-apa.***
CIUMAN REVOLUSI
Jika Anda tidak percaya bahwa suatu perubahan besar di masyarakat bisa
terjadi hanya karena sebuah ciuman, maka bacalah kisah seorang pemuda berikut
ini.
Namanya Salem, pemuda kusut yang setiap hari menggelandang di jalanan
desa Cikuya. Kausnya yang compang-camping, celana yang lusuh dan sobek, sampai
kakinya yang tak mengenakan alas apapun, membuatnya layak dikira sebagai orang
gila, bahkan jika orang gila melihatnya, orang gila itu pasti menganggap dirinya
waras dan Salem lah orang gila sejati yang telah sampai pada tingkatan makrifat.
Namun jelas Salem bukan orang gila, setidaknya itu yang diketahui oleh
penduduk desa Cikuya. Ia hanya agak sulit diajak bicara, entah saraf mana yang
terlepas dalam kepalanya sejak lahir, ia hanya bisa memahami perkataan yang
diucapkan beberapa kali. Ia tidak tuli, tidak pula bisu, tapi memang begitulah,
segalanya serba diproses sangat lambat, barangkali tuhan memberinya jatah isi otak
yang sedikit sekali.
Salem baru dianggap sebagai orang gila jika sudah berada di luar wilayah
desanya. Tepatnya di jalan raya Cisoka-Adiyasa. Setiap hari ia berjalan kaki sejauh
lima kilometer menuju pasar. Salem—karena tidak gila—selalu membawa lembaran
uang lusuh di sakunya, tapi jika ia berdiri untuk mencegat angkot, tak satu pun sopir
angkot yang mau berhenti. Bahkan meskipun Salem melambai-lambaikan uang
kertas di tangannya. Saat itulah, ia tahu bahwa di luar desanya, ia resmi dianggap
orang gila. Dan parahnya, Salem sangat menjiwai perannya itu. Ia suka bersiul-siul,
tertawa tolol kepada pembatas jalan, memanggil secara acak para pengendara motor,
hingga menggumam tak keruan. Terkadang pula kencing di tiang listrik—meski ini
bukan tabiat khusus orang gila. Segala tingkah laku itu membuatnya kuat berjalan
sampai ke pasar. Telapak kakinya juga telah kebal terhadap panas matahari dan
bebatuan.
Biasanya, Salem tiba di pasar menjelang siang. Bukan waktu yang pas karena
umumnya pasar telah mulai sepi. Tapi itu bukan masalah bagi Salem, karena ia
bukan hendak menjual atau membeli sesuatu. Keberadaannya di pasar telah
dianggap biasa oleh pedagang. Jika Salem berhenti agak lama di suatu lapak, maka
tahulah si pemilik lapak bahwa Salem hanya bisa beranjak setelah diberi uang. Salem
memang tidak menadahkan tangan, tapi keberadaannya yang compang-camping
tentu menjengkelkan karena bisa membuat para pembeli enggan singgah di situ.
Tapi ada juga yang suka memakai tenaga Salem. Mandor beras terkadang
memanggilnya untuk membantu kuli lain menurunkan karung-karung beras dari
truk, Salem akan meringis ketika berjalan terbungkuk-bungkuk karena punggungnya
tertindih karung beras. Dan untuk yang seperti ini, ia justru tidak dibayar
sepeserpun, karena Salem selalu buru-buru pergi ketika badannya mulai kelelahan.
Salem kemudian lebih suka menghabiskan waktunya di tengah pasar,
tepatnya di depan toilet umum yang menghadap ke persimpangan jalan. Itu tempat
favoritnya. Dan di situ pula ia bisa sedikit dihargai sebagai manusia. Para tukang
parkir dan tukang ojek sering mengajaknya bercanda. Terkadang Salem diajak main
kartu dengan taruhan-taruhan kecil, dan uangnya akan habis tanpa ia sadari. Tukang
parkir sangat menyukai Salem karena bisa menghibur hati mereka di tengah
kejenuhan menjaga sepeda motor. Ketika mendengar suara pengamen yang
memutar musik dangdut, Salem suka menari-nari hingga ke tengah jalan, membuat
beberapa pengendara motor kaget tapi kemudian mencoba memaklumi.
Keberadaan Salem sejatinya tak diharapkan tapi toh tak merugikan.
Setidaknya, ia tak pernah melakukan tindakan yang berbahaya seperti memukul,
memecahkan kaca, atau meneror pedagang, sebagaimana preman pasar yang bengis
semacam Fogi. Maka seperti sebuah tuntutan penceritaan, kita tinggalkan Salem
sejenak dengan kegilaannya, dan beranjak dulu kepada sosok Fogi.
Fogi adalah preman berbadan kekar, rambutnya dipotong tipis seperti orang
yang gagal masuk pendidikan tentara. Ia telah berkuasa selama lebih dari sepuluh
tahun di pasar Cisoka. Untuk lebih menekankan kekuasaanya, ia bahkan tak bisa
disingkirkan oleh pergantian kapolsek dan kepala desa. Fogi memang akrab dengan
penangkapan dan penjara, tapi itu seperti kamar kontrakan baginya. Petugas
terkadang mengurung Fogi sebagai bentuk formalitas menjalankan hukum. Namun
esok paginya Fogi sudah kembali ke pasar, menagih biaya lapak dan iuran keamanan
bersama dua anak buahnya, Sapto dan Mimin. Sapto bertugas menggertak, Mimin
bertugas di bagian pembukuan. Mimin mencatat mana saja pedagang yang belum
bayar lapak, tapi tidak pernah mencatat mana yang sudah bayar. Sehingga seringkali
belum genap setahun, sebuah lapak sudah dimintainya lagi. Mereka memang
menagih tanpa kuitansi, pernah suatu kali seorang pedagang gorden meminta bukti
kuitansi agar tak ditagih ulang, esoknya seisi lapaknya berserakan, kain-kain
gordennya telah tercabik dan digunting tak keruan. Si pedagang gorden hanya bisa
menangis, tapi itu tak membangkitkan solidaritas apapun dari pedagang lainnya,
kecuali dari pembeli yang tak tahu apa-apa. Teror Fogi seakan dianggap bagian lain
dari takdir, belum lagi ketika menjelang hari raya, ada biaya tunjangan yang harus
diberikan kepada Fogi, yang besarnya tergantung jenis lapak.
Siang itu, ketika Salem baru saja menghabiskan uangnya karena kalah
bermain kartu dengan tukang parkir, muncullah Fogi dan dua anak buahnya yang
baru saja membuat seorang pemilik lapak daging menangis karena jualannya diacak-
acak, daging-dagingnya dilempar ke tempat pembuangan sampah. Melihat
kedatangan Fogi, para tukang parkir menyingkir dan memberikan tempat duduk
untuknya. Mereka sudah bisa mengenali perbedaan gelagat, kapan Fogi sedang bisa
diajak bercanda dan kapan Fogi sedang sangat sensitif dengan wajah bengisnya.
Hari itu yang terpancar adalah gelagat yang kedua. Maka tukang parkir dan
tukang ojek pun berpindah untuk mencari aman, kecuali Salem, yang tetap duduk
sambil mengamati seorang pedagang balon.
“Heh, tikus busuk, minggir,” kata Fogi yang segera duduk di sampingnya.
Salem yang sedang takjub pada balon-balon, tak mendengar panggilan itu.
“Budeg ya.”
Kemudian Salem pun menoleh. Ada wajah Fogi di dekatnya, kepala Fogi yang
bulat dan hanya ada sedikit rambut itu barangkali membawa Salem kepada dunia
imajiner tentang bayang-bayang keindahan balon yang mengudara dengan begitu
indah menawan... Maka, terbawa suasana imajiner itu, tiba-tiba Salem pun
mendekatkan mulutnya kepada balon itu...
Dan... cup, ia mencium pipi Fogi.
Perlu pembaca ketahui, sepanjang karirnya di dunia preman, Fogi terbiasa
mendapat pukulan, hantaman, tendangan, hingga sayatan pisau dan letusan peluru,
tapi preman senior itu tak pernah menduga akan ada serangan semacam ini. Ia tak
punya kesempatan menangkis ciuman Salem yang selama ini dianggap sebagai orang
gila. Ciuman itu mendarat seperti paku yang ditancapkan lalu langsung dicabut
kembali. Mukanya langsung merah, percampuran antara erupsi kemarahan dan rasa
malu. Padahal peristiwa itu tak sampai dua detik, tapi itu sudah cukup menjadi
alasan meletusnya gunung berapi di kepala Fogi. Ia tahu beberapa orang jelas
melihatnya, dan mencoba menahan tawa sebisa mungkin. Hal itu adalah aib yang
bahkan tidak bisa ditukar dengan sembilan nyawa sekalipun, sebab ia yakin kejadian
ini akan menjadi cerita yang melegenda.
Maka terjadilah yang terjadi. Salem, pemuda kurang waras bertubuh dekil,
akhirnya dihajar habis-habisan oleh centeng pasar yang telah dipenjara belasan kali
dan memenangkan lebih dari sepuluh pertarungan jalanan. Orang-orang pasar
hanya terdiam ketika melihat Salem menjerit, mengaduh, menangis, meraung-
raung, termasuk beberapa kali mendengar suara “krek” seperti urat yang patah.
Lima menit kemudian dua orang polisi datang, tidak melerai apa-apa karena
segalanya sudah selesai. Bahkan meski segalanya belum selesai, polisi tetap hanya
akan menunggu sampai segalanya benar-benar selesai. Mereka terlalu malas untuk
membuang-buang tenaga melerai penganiayaan itu, mereka juga tak berbuat apa-
apa ketika esok harinya (dan esok-esok selanjutnya) Salem tak terlihat lagi di mana
pun, di tempat-tempat mana pun. Dan preman pasar itu, yang telah hancur harga
dirinya karena ciuman mendadak, ternyata tetap tak bisa bangkit dari keterpurukan
mental itu. Fogi juga menghilang entah kemana.
Sejak saat itulah pasar justru menjadi lebih aman. Tak ada tagihan-tagihan
liar, para pedagang merasa merdeka, bahkan mereka tak takut pada preman-preman
ingusan yang mencoba menjadi pengganti Fogi. Pasar Cisoka menjadi lebih nyaman,
aman, tertib, seperti slogan-slogan sebuah kota yang bahagia. Semua itu berkat
Salem. Orang yang dianggap gila dan tak mampu berbuat apa-apa, ternyata bisa
melakukan perubahan besar yang tak bisa dilakukan oleh kapolsek atau pun kepala
desa. Hal itu menjadi satu-satunya jasa Salem, sekaligus jasanya yang terakhir, di
dunia.***
YU NALEA
Kami memanggilnya Yu Nalea, pemilik warung nasi di daerah Selokan
Mataram, di salah satu sudut kota Yogyakarta, dekat Universitas Gadjah Mada.
Bagi mahasiswa yang kebetulan mendapatkan tempat kos atau kontrakan di
daerah itu, mereka pasti mengenal Yu Nalea, sebab posisi warungnya strategis,
berdiri di sudut simetris, antara pangkalan ojek dan sepasang minimarket yang
berbaris. Entah sejak kapan ia berjualan nasi, tapi keberadaannya telah diwariskan
turun-temurun, mahasiswa angkatan tua akan memberitahu mahasiswa angkatan
muda agar makan di warung itu. Mahasiswa abadi akan memberitahu mahasiswa
yang tak mau abadi agar selalu singgah di situ untuk sarapan atau makan siang,
sebab jika tidak maka duka-Mu akan abadi.
Biasanya, nama-nama tempat makan di Yogyakarta memang selalu diikuti
nama pemiliknya. Gudeg Yu Narni, Gudeg Yu Jum, Gudeg Bu Ahmad, hingga Sego
Pecel Bu Wiryo yang pernah disukai Presiden Jokowi. Nama-nama itu telah
melegenda, dan dipastikan sukses. Namun Yu Nalea, ia hanya penjual nasi biasa.
Warungnya kecil, hanya dua meja disusun berbaris dan tiga kursi panjang, tidak
lebih besar dari warung-warung burjo yang sempat mencapai puncak eksistensinya
di Yogyakarta di tahun dua ribuan.
Di warung itu pun Yu Nalea hanya sendiri. Selalu sendiri. Tapi tangannya
seakan digandakan, begitu cekatan melayani pembeli yang datang dan pergi seperti
kenangan. Ada yang minta dibungkus, ada yang makan di tempat, ada yang hanya
pesan kopi, lalu berbincang kesana-kemari, dari pagi sampai senja, sampai akhirnya
datang lapisan-lapisan malam, melemparkan para pengunjung seperti nasib-nasib
yang berserakan.
Ketika warung sedang ramai-ramainya, orang-orang membicarakan banyak
hal, tukang ojek mengobrol tentang semakin tergusurnya mereka oleh ojek online,
para kuli berbincang tentang taruhan-taruhan skor sepakbola. Adapun mahasiswa
seperti kami, biasanya berbincang tentang tugas-tugas yang tak selesai.
Yu Nalea hanya sesekali menanggapi pembicaraan kami, sebab ia selalu sibuk
mengambil piring, menuang kuah sayur, menggoreng ikan, atau membuat minuman
seperti teh atau kopi.
Di sela-sela menuang kopi, Yu Nalea kadang bersin, Hatsyi!
Segera orang-orang berebut ingin mendapatkan kopi tersebut. “Buat diambil
berkahnya.”
“Oo, dasar gemblung.”
Lha memang kami semua ini tiba-tiba menjadi gemblung di hadapan Yu
Nalea, tidak ada lagi kecerdasan dan strata sosial. Bahkan Paimo yang pernah
menang olimpiade matematika, mendadak ciut di hadapan Yu Nalea, kecerdasannya
menjadi tidak berguna. Kesederhanaan Yu Nalea justru tak bisa dipecahkan dengan
rumus trigonometri atau persamaan diferensial elementer, Paimo seperti bocah lugu.
Kami sampai khawatir dia jatuh cinta kepada Yu Nalea. Maklum lah, Paimo terlalu
sibuk dengan rumus-rumus, jadi jarang memandang perempuan.
Yu Nalea, wajahnya tidaklah terlalu manis. Ia jelas kalah kalau dibandingkan
dengan Ayu Tingting atau Zaskia Gotik. Kecantikannya pas-pasan, suaranya juga
tidak serak-serak sehingga mengundang khayalan erotis seperti tokoh perempuan
dalam cerpen Dilarang Menyanyi di Kamar Mandi. Hanya saja, barangkali Yu Nalea
punya inner beauty, kecantikan dari dalam, dan kami semua tenggelam di dalamnya,
berenang-renang dalam kolam imajiner yang tak terpecahkan oleh rumus-rumus
aritmatik atau ideologi-ideologi revolusioner.
Keberadaan warung Yu Nalea seperti menjadi bagian penting dari masa-masa
kami menjadi mahasiswa, yang menganggap kota Yogyakarta bisa memberikan
setumpuk masa depan. Padahal tentu ada pula yang gagal, yang kandas, yang tidak
mampu bertahan, sehingga hidupnya lebih terbengkalai, ingin kembali ke kampung
tapi selalu urung, karena “Pulang Malu, Tak Pulang Rindu.”
Bagi Yu Nalea, semua pembeli ibarat keluarganya. Kadang ia izinkan beberapa
orang untuk berhutang, terutama tukang ojek yang takut pulang cepat karena
istrinya pasti menyambut dengan sederet maklumat. Yu Nalea juga memaklumi
sikap kami para mahasiswa, seperti Salem yang kalau akhir bulan, mengambil
gorengan lima mengakunya tiga, tapi selalu dibalik ketika awal bulan baru dapat
kiriman uang dari kampung, ia mengambil tiga mengakunya lima. Atau Itmam,
lelaki perantauan yang kalau makan, lauk tempenya dimasukkan ke saku, dibawa
pulang untuk makan malam. Dan masih banyak lagi. Yu Nalea selalu menghibur
kami semua, seolah-olah, di warung itu kita bisa menumpahkan segala keluh-kesah,
selain tentunya menumpahkan uang untuk membeli nasi dan lauk-pauk.
Namun sekian tahun berselang, kini semua telah menjadi kenangan...
Tentu saja, segala hal tidak akan diceritakan sebelum ia menjadi kenangan.
Tahun demi tahun beranjak baka, Yu Nalea telah menghilang entah kemana,
warungnya juga sudah tak ada bekasnya.
Mahasiswa yang dahulu menjadi pelanggan Yu Nalea mungkin kini sudah
sukses. Ada yang lulus lalu jadi pegawai negeri. Ada yang lulus lalu berbakti sebagai
pengangguran kelas internasional. Ada yang tak sempat lulus dan memilih naik
kereta yang tak pernah kembali.
Adapun aku, datang ke kota ini dengan pesawat paling pagi, untuk
menghadiri seminar nasional statistika yang diadakan oleh sebuah universitas
terbesar di negeri ini. Dengan segala fasilitas penjemputan, akomodasi, termasuk
santapan. Aku tergolong cukup sukses setelah lulus, setidaknya aku tidak perlu
menjadi penulis cerita pendek untuk mengais-ngais honorarium yang tak seberapa.
Di perjalanan, aku minta sopir untuk melewati warung tempat Yu Nalea
berjualan dahulu. Aku yakin, setiap orang yang punya kenangan dengan Yu Nalea,
pastilah menyempatkan untuk menoleh ke sudut jalan itu. Namun semuanya tampak
kumuh karena beberapa warga menumpuk sampah. Hanya tersisa tiang listrik
dengan tempelan iklan badut ulang tahun, sedot WC, sisa poster pilkada, juga
tembok kusam dengan coretan-coretan jorok, seakan hanya menjadi penanda
diorama yang telah begitu jauh. Nyaris tak ada sisa jejak sedikit pun bahwa dahulu
pernah ada sosok Yu Nalea meracik segala kenangan kami di situ.
Mahasiswa hari ini pasti tak mengenal Yu Nalea. Mahasiswa hari ini lebih
suka membeli makanan secara online. tapi bagi kami, tempat kumuh yang kini
seakan tak pernah dianggap itu, tetaplah menjadi titik rawan kenangan. Kenangan
yang selalu meminta untuk kembali, meskipun ia seringkali melukai...
“Memangnya ada apa di sini, Pak?” tanya sopir yang mengantarku. Aku pun
kembali dari sebuah lamunan panjang.
“Oh, bukan apa-apa. Ya sudah, jalan lagi.”
Mobil berbelok kiri, ke arah jalan raya Kaliurang yang kian padat, kian butuh
pertaruhan nyawa untuk sekadar menyeberang. Tapi aku masih sesekali melirik ke
kaca spion, seakan-akan mengharapkan keajaiban akan melihat sesuatu yang tak
terbayangkan.
Yu Nalea... Ia memang tidak meminta kami mengingatnya, tapi kami
mengingatnya.
Sesekali mengingatnya.***
YANG TERSANDAR DI SIALANG PASUNG
Jika Anda naik perahu kayu dari Selatpanjang menuju dermaga Sialang
Pasung di Pulau Rangsang, Anda akan mendapati sebuah perahu besar yang tampak
kesepian, tertambat pada tambang dan tiang-tiang bambu yang kokoh.
Perahu itu kini memang tak lagi digunakan, tapi ia memiliki sebuah cerita
yang telah membentang selama seratus tahun lebih. Cerita yang bermula pada masa
para penjajah Belanda masih berkeliaran di Kepulauan Meranti.
Alkisah, di masa itu, hiduplah seorang gadis jelita dari Pulau Rangsang, sebut
saja namanya Nalea. Ia anak dari seorang pencari sagu. Meskipun hidup dalam
keluarga sederhana, kecantikannya yang mulai terlihat di usia remaja itu begitu
cepat tersebar luas dari mulut ke mulut, hingga dari laut ke laut.
Di antara orang-orang yang mendengar cerita itu adalah Kolonel Rafael von
Hammersdeer, yang saat itu bertugas di pelabuhan Camat Tebingtinggi. Seperti
diembuskan angin laut, Kolonel Rafael penasaran dengan kabar tentang Nalea.
Apalagi, para kuli angkut dan buruh kapal suka membicarakan kecantikan Nalea di
sela-sela kesibukan mereka, sambil berangan-angan untuk mendapatkannya. Maka
dengan jabatannya yang tinggi, sang Kolonel pun dengan mudah berangkat bersama
pengawalnya ke pulau Rangsang, dan langsung mencari rumah gadis itu, yang
terletak di belakang Musala Baiturrohim.
Ketika akhirnya bertemu dan melihat kecantikan Nalea, Kolonel Rafael von
Hammersdeer seperti hendak pingsan, ia seakan melihat sesuatu yang lebih rapuh
dari cahaya, tapi lebih tajam dari kilat yang menyambar hatinya. Ia pun langsung
meminangnya. Orangtua Nalea langsung setuju, disebabkan Kolonel membawa
sejumlah uang dan sertifikat tanah yang siap ditandatangani, tapi Nalea menolak
mentah-mentah.
“Aku tidak bisa dipinang kecuali dengan memenuhi syarat yang kubuat
sendiri,” ujarnya, mencoba mempermainkan perasaan.
“Apa itu?” tanya sang kolonel muda.
“Begini. Kau harus membuat perahu terbesar dalam satu malam. Kemudian
pagi harinya harus sudah tiba di tepi dermaga.”
Kolonel tertawa terpingkal-pingkal, “Apa kamu ingin menipuku seperti kisah-
kisah semacam Candi Roro Jonggrang atau Gunung Tangkuban Perahu?”
“Apa maksudmu?”
“Jangan main-main, aku tidak sebodoh itu menjadi korban legenda-legenda.”
Nalea mulai kebingungan. Memang benar, diam-diam ia bercita-cita menjadi
tokoh mitos dan legenda yang diceritakan turun-temurun.
“Dengar wahai Nalea binti Anip, cerita semacam itu sudah terlalu banyak. Aku
jelas bisa membuat perahu dalam satu malam. Dan esok kita bertemu di dermaga
Sialang Pasung.” Setelah berkata seperti itu, sang kolonel pun pamit kembali ke
seberang. Ia lantas mengerahkan ratusan pekerja untuk membuat perahu.
Sementara itu, bayangan Nalea bahwa dirinya akan dikenang menjadi bagian dari
legenda setara Sangkuriang, Malin Kundang, atau Bandung Bandawasa, kini mulai
lenyap. Ia bahkan tak bisa lagi bermimpi menandingi ratu pantai selatan.
Maka malam itu, ratusan orang bekerja di pelabuhan Camat, sebenarnya
mereka hanya memperbaiki sebuah perahu tua yang sudah ada, sehingga semuanya
bisa selesai bahkan sebelum azan subuh. Dan pagi itu juga, sang Kolonel berlayar ke
seberang dengan perahu tersebut. Sedangkan Nalea masih berharap pernikahan itu
gagal, ia memanggil beberapa nelayan untuk diam-diam menyusup dan melobangi
perahu. Namun para nelayan itu menolak.
“Tidak bisa, kami juga tidak ingin jadi tokoh jahat dalam legenda.”
Akhirnya ketika perahu bersandar dan Kolonel von Hammersdeer turun
dengan gagahnya, Nalea pun mengerti, ia tak bisa apa-apa. Pagi itu juga, di dermaga
Sialang Pasung, keduanya benar-benar menikah dengan mahar sebuah perahu.
Diadakan pula sebuah pesta yang cukup mewah untuk ukuran para penduduk desa.
Lalu bagaimana kisah mereka selanjutnya?
Konon, setelah kemerdekaan didapat Indonesia, Nalea dibawa suaminya ke
Belanda. Di sana, Nalea berbisnis mi sagu. Ternyata bisnis itu sukses besar.
Tampaknya Nalea tidak terlalu menyesal meskipun gagal menjadi cerita legenda
yang diingat masyarakat.
Sedangkan perahu besar itu masih tersandar di dermaga Sialang Pasung,
dalam keadaan masih kokoh kayu dan papannya, kecuali di beberapa bagian catnya
telah mengelupas. Sekian tahun berlalu, perahu itu kini tak pernah digunakan lagi,
dan tak seorang pun peduli pada kisahnya.***