volk. i
DESCRIPTION
previewTRANSCRIPT
I PENDAHULUAN
Bab pertama ini bertujuan untuk memperkenalkan ilmu gunung api atau
volkanologi kepada mahasiswa mengapa perlu dipelajari, bagaimana sistematika
pembelajarannya, apa saja yang menjadi pengertian dasar gunung api serta
bagaimana sejarah perkembangan ilmu pengetahuan tersebut. Sebagai salah satu
cabang dari ilmu-ilmu kebumian (Earth Sciences), khususnya geologi, dan karena
banyaknya gunung api di muka bumi ini maka wajarlah volkanologi dipelajari di
perguruan tinggi. Sebaran gunung api yang luas, baik di dunia maupun di Indonesia,
menyebabkan adanya hubungan yang sangat erat dengan manusia dan lingkungan
hidup. Dalam interaksinya, gunung api telah, sedang dan akan terus memberikan
sumberdayanya bagi kelangsungan hidup manusia. Namun di sisi lain, gunung api
sekali waktu dapat menimbulkan bencana bagi kehidupan di sekitarnya. Disinilah
dituntut peranan manusia untuk menyikapinya secara baik dan benar terhadap
perilaku gunung api agar tetap dapat hidup harmonis berdampingan dengan alam
gunung api. Manusia wajib mengolah sumber daya alam gunung api untuk
dimanfaatkan bagi kelangsungan hidup secara aman, menguntungkan serta
berkelanjutan.
Sistematika isi bab 1 ini dimulai dari latar belakang, pokok bahasan,
pengertian dasar gunung api, sejarah perkembangan volkanologi, ringkasan dan
latihan soal.
1.1 Latar Belakang
Semenjak dekade 1980 ilmu kegunung apian berkembang sangat pesat, yaitu
dengan ditandai oleh letusan besar Mount St. Helens di Amerika Serikat pada Mei
1980. Kejadian letusan tersebut menyadarkan para ahli gunung api bahwa ternyata
ada proses alam berupa longsoran besar tubuh gunung api yang semula hanya
diperkirakan terjadi bila bersama-sama dengan kegiatan tektonika. Lebih daripada
itu kejadian yang sangat langka dalam kurun kehidupan manusia itu mendorong
para ahli gunung api untuk lebih meningkatkan penelitian, baik dalam rangka
pengembangan ilmu pengetahuan, khususnya ilmu gunung api atau volkanologi,
maupun aplikasi teknologi dari ilmu tersebut untuk menanggulangi bencana letusan
gunung api maupun memanfaatkan sumber daya alam gunung api. Berdasarkan
data statistik (Simkin, 1993) melaporkan bahwa sejak 1790 Masehi kegiatan gunung
api cenderung meningkat sekalipun yang bersekala besar relatif konstan (Gb. 1.1).1- 1
Gb.1.1 Erupsi gunung api yang dilaporkan sejak 1790 AD. Grafik atas menggambarkan jumlah gunung api yang meletus setiap tahun (garis tipis) dan rata-rata setiap 10 tahun (garis tebal). Grafik bawah menunjukkan jumlah gunung api yang meletus besar, mengeluarkan magma atau tefra 0,1 km3, setiap tahun (garis tipis) dan rata-rata setiap 10 tahun (Simkin, 1993).
Di Indonesia sendiri sangat banyak dijumpai gunung api dan batuan gunung
api. Kurang lebih 500 gunung api masa kini yang di antaranya 128 tergolong aktif
tersebar di kepulauan wilayah Indonesia. Hal itu mendorong para ahli geologi,
geofisika dan geokimia untuk lebih meningkatkan penelitian di bidang
kegunungapian. Dengan pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas serta untuk
lebih mempermudah para mahasiswa geologi dalam mempelajari ilmu gunung api
atau volkanologi maka disusunlah bahan ajar volkanologi ini.
1.2 Pokok Bahasan
Untuk lebih memudahkan mahasiswa mempelajari volkanologi maka
sistematika penyajian buku ajar ini dimulai dari pemerian data obyektif atau data
pemerian gunung api kemudian diikuti dengan penjelasan asal-usul dan proses
pembentukannya. Buku ini terdiri dari 14 bab dan masing-masing bab mempunyai
beberapa sub bab, diawali dengan uraian singkat maksud, tujuan dan sistematika
penulisan bab kemudian diakhiri dengan ringkasan isi bab serta latihan soal. Ke 14
bab itu adalah Pendahuluan, Sebaran Gunung Api, Magma, Bentuk dan Struktur
Gunung Api, Erupsi Gunung Api, Hasil Erupsi Eksplosiva, Hasil Erupsi Efusiva dan 1- 2
Intrusi Dangkal, Lahar dan Endapan Sekunder, Batuan Gunung Api, Bahaya
Gunung Api, Penanggulangan Bencana Gunung api, Manfaat Terapan, Manfaat
untuk Pengembangan Geosains, dan Diskusi dan Ringkasan. Latihan soal lebih
banyak berupa pertanyaan yang bersifat analisis agar penguasaan materi oleh
mahasiswa tidak hanya sampai dengan menghafal, tetapi juga mampu menjelaskan
dengan bahasa sendiri, logis dan sistematis apa yang tersurat dan tersirat di dalam
bahasan bab. Lebih daripada itu mahasiswa diharap mulai menghubungkan
permasalahan volkanologi dengan ilmu geologi dasar seperti geomorfologi,
mineralogi, petrologi, sedimentologi, stratigrafi dan struktur geologi.
Bab 1, Pendahuluan, berisi latar belakang perlunya mempelajari volkanologi,
pokok bahasan, dan penjelasan sistematika pembelajaran dari Bab 1 hingga yang
terakhir, pengertian dasar volkanologi dan sejarah perkembangan volkanologi. Bab
2 membahas sebaran gunung api secara geografi di dunia dan di Indonesia,
pembagian gunung api aktif di Indonesia, serta penjelasan kemunculan dan
sebaran gunung api tersebut berdasar Teori Tektonika Lempeng. Gunung api dan
teori itu sangat erat dengan pembentukan dan kegiatan magma di bawah
permukaan bumi. Oleh sebab itu pada bab 3 dibahas tentang magma, mencakup
definisi, asal-usul, sifat-sifat fisik dan kimiawi. Magma yang naik ke permukaan bumi
menghasilkan berbagai macam bentuk dan struktur gunung api, baik dalam ukuran
besar, menengah maupun relatif kecil. Hal itu akan dibahas di dalam bab 4 dan
dihubungkan dengan kedudukan tektonikaa serta komposisi magmanya.
Proses keluarnya magma ke permukaan bumi diuraikan di dalam bab 5,
meliputi definisi, klasifikasi, mekanisme dan besaran letusan gunung api. Hasil
erupsi gunung api yang berupa bahan padat, baik yang masih berupa bahan lepas
maupun telah menjadi batuan dibahas di dalam 3 bab, yaitu bab 6, hasil erupsi
eksplosiva, bab 7, hasil erupsi efusiva dan intrusi dangkal, serta bab 8, lahar dan
endapan sekunder. Bab 9 berisi uraian tentang batuan gunung api. Hal ini sangat
penting bagi mahasiswa untuk mengenal batuan gunung api, baik di lapangan
maupun di laboratorium, sekalipun bentuk gunung apinya sudah tidak kelihatan.
Pembahasan yang cukup panjang lebar terhadap hasil erupsi gunung api itu karena
materi ini dipandang sangat penting sebagai dasar pembelajaran geologi gunung
api, baik di bidang mineralogi dan petrologi batuan gunung api, sedimentologi,
maupun stratigrafi, serta mencakup batuan gunung api hasil kegiatan masa kini
ataupun kegiatan masa lampau dimana bentuk gunung apinya sudah tidak jelas.
Pembelajaran asal-usul, mekanisme dan identifikasi batuan gunung api masa kini 1- 3
dapat menjadi kunci untuk mengetahui genesa batuan gunung api hasil kegiatan
masa lalu. Hal itu didasarkan pada salah satu prinsip geologi, yaitu ‘the present is
the key to the past’.
Sampai dengan bab 9 ini mahasiswa telah mampu memahami dasar-dasar
ilmu gunung api sehingga pada bab 10 mulai diajarkan penerapan mempelajari
volkanologi, yaitu mengenal bahaya gunung api, baik bahaya langsung maupun
bahaya tidak langsung, sebagai akibat erupsi eksplosiva, erupsi efusiva, lahar dan
bahaya ikutan lainnya. Berhubung bahaya tersebut dapat menimbulkan bencana
bagi manusia dan lingkungan hidupnya maka pada bab 11 disajikan usaha-usaha
penanggulangan bencana, secara fisik dan non-fisik, sebelum, pada saat dan
sesudah terjadi bencana, manajemen penanggulangan bencana, penilaian potensi
bahaya, pemetaan kawasan rawan bencana, pemantuan kegiatan gunung api, serta
pemberlakuan prosedur tetap sistem peringatan dini.
Gunung api juga memberi manfaat bagi kelangsungan hidup manusia maka
pada bab 12 mahasiswa diperkenalkan berbagai macam manfaat terapan sumber
daya gunung api di bidang sumber daya energi, sumber daya lingkungan dan
sumber daya mineral. Pemahaman manfaat gunung api ini akan menjadi dasar bagi
para mahasiswa untuk menapak lebih lanjut terhadap pembelajaran geologi
terapan, baik di bidang mineral ekonomi, ketenagaan maupun lingkungan hidup,
termasuk geologi teknik, geohidrologi dan pengembangan wilayah di kawasan
gunung api. Bab 13 berisi manfaat ilmu gunung api untuk pengembangan Geosains,
dengan memperkenalkan Pandangan Geologi Gunung Api. Bab 14 merupakan
diskusi akhir kuliah untuk mematangkan penguasaan ilmu gunung api dan
ringkasan.
Untuk mempercepat dan sekaligus menambah wawasan dalam mempelajari
volkanologi, mahasiswa disarankan agar banyak membaca literatur, lebih aktif
berdiskusi dengan sesama mahasiswa atau dengan dosen pengasuh mata kuliah
volkanologi, melakukan kunjungan ke lapangan gunung api dan daerah berbatuan
gunung api, serta ke instansi yang menangani masalah-masalah di bidang
kegunung apian, pemanfaatan sumber daya alam dan penanggulangan
bencananya.
1- 4
1.3 Pengertian Dasar
Ilmu gunung api atau Volkanologi atau Vulkanologi adalah ilmu yang
mempelajari permasalahan gunung api. Kata volkanologi berasal dari bahasa
Inggris volcanology terdiri dari kata volcano yang berarti gunung api, dan logy
berasal dari kata logos yang berarti ilmu pengetahuan. Kata vulkano diadopsi dari
bahasa Belanda vulkaan atau dari bahasa Itali vulcano. Dengan demikian di
Indonesia orang dapat menggunakan istilah Ilmu Gunung api, Volkanologi atau
Vulkanologi.
Alzwar dkk. (1988) mendefinisikan gunung api adalah :
1). Merupakan bentuk timbulan di permukaan bumi yang dibangun oleh timbunan
rempah gunung api.
2). Jenis atau kegiatan magma yang sedang berlangsung.
3). Merupakan tempat munculnya batuan leleran dan rempah lepas gunung api
yang berasal dari dalam bumi.
Definisi itu mempunyai beberapa kelemahan, yaitu :
a. Suatu definisi seharusnya tercakup dalam satu kesatuan kalimat, tidak dipisah-
pisah menjadi beberapa butir.
b. Butir 1) baru menunjukkan bentuk bentang alam tinggian yang tersusun oleh
batuan gunung api. Onggokan batuan gunung api ini dapat saja berasal dari
proses non gunung api, misalnya resedimentasi atau tektonika, dan sisa
erosinya.
c. Butir 2) memberikan kesan bahwa gunung api hanya diperuntukkan pada jenis
atau magma yang sedang berlangsung pada saat ini dan dapat diamati
langsung dengan mata kepala atau menggunakan peralatan pemantauan.
Sedangkan kegiatan gunung api masa lalu baik yang sekarang sudah mati dan
menjadi fosil gunung api maupun yang beristirahat sangat lama sehingga
kegiatannya belum pernah tercatat di dalam sejarah dapat dipandang sebagai
bukan gunung api.
d. Butir 3) membatasi gunung api sebagai tempat keluarnya batuan pijar dari
dalam bumi yang pada di dalam uraian bahan ajar ini disebut kawah atau
kaldera.
Macdonald (1972) mendefinisikan “volcano is both the place or opening from
which molten rock or gas, and generally both, issues from the earth’s interior onto
the surface, and the hill or mountain built up around the opening by accumulation of
the rock material”. Definisi di dalam bahasa Inggris itu jika diterjemahkan secara 1- 5
bebas ke dalam bahasa Indonesia menjadi Gunung api adalah tempat atau
bukaan darimana batuan kental pijar atau gas, dan umumnya kedua-duanya,
keluar dari dalam bumi ke permukaan, dan bahan batuan yang mengumpul di
sekeliling bukaan itu membentuk bukit atau gunung. Tempat atau bukaan yang
dimaksudkan di sini adalah kawah, bila diameternya kurang dari 2000 meter, atau
disebut kaldera bila diameternya lebih besar atau sama dengan 2000 meter (e.g.
Macdonald, 1972). Bukaan ini berupa cekungan bila tidak tertutup oleh bahan
gunung api yang lebih muda. Batuan kental pijar dan gas di sini adalah magma.
Pembentukan bukit atau gunung di sini tidak merupakan sesuatu yang mutlak;
dapat saja suatu gunung api tidak membentuk bukit atau gunung, yaitu bila tidak
terjadi akumulasi batuan gunung api di sekeliling kawah atau kaldera. Dengan
demikian gunung api harus dibedakan dengan pengertian bukit atau gunung. Kedua
istilah terakhir itu hanya bersifat topografis yang lebih tinggi daripada daerah
sekitarnya. Masyarakat umum menyebut gunung api sebagai gunung berapi karena
sebagai gunung yang dapat mengeluarkan api, yaitu pada saat terjadi letusan.
Istilah volkanisme (volcanism) adalah proses alam yang berhubungan dengan
kegiatan kegunung apian, mulai dari asal-usul pembentukan magma di dalam bumi
hingga kemunculannya di permukaan bumi dalam berbagai bentuk dan
kegiatannya. Kegiatan magma di dalam bumi dapat direkam dengan peralatan
geofisika dan geokimia, sedangkan kegiatan di permukaan berupa letusan gunung
api, lapangan solfatara, fumarola, mata air panas, bualan lumpur dan kenampakan-
kenampakan lain yang biasanya dijumpai di daerah gunung api dan lapangan panas
bumi. Pengertian ini memberikan pencerminan bahwa cakupan ilmu gunung api
sangat luas dimulai dari magmatologi atau petrologi batuan beku hingga
sedimentologi batuan hasil kegiatan gunung api. Sedemikian luas lingkup
volkanologi sehingga para ahli membentuk organisasi profesi internasional bernama
International Association on Volcanology and Chemistry of Earth Interior (IAVCEI).
Dengan demikian lingkup ilmu gunung api atau volkanologi meliputi bahasan khuluk
(bentuk fisik alamiah, nature), mula jadi (asal-usul, origin, genesa), bahaya dan
penanggulangannya (volcanic hazards and their mitigations), serta manfaat sumber
daya gunung api. Prinsip pemahaman terhadap lingkup volkanologi itu dapat
dipelajari secara bertahap mulai dari pemerian (descriptive), tafsiran (interpretative)
dan kemanusiaan (humanistic). Pemerian adalah uraian daripada obyektivitas data
yang diamati terhadap gunung api dan volkanisme. Data tersebut menjadi dasar
untuk melakukan penafsiran terhadap hal-hal yang tidak teramati, misalnya asal-1- 6
usul sumber erupsi, lingkungan asal, mekanisme letusan, mekanisme pengendapan
batuan gunung api, lingkungan pengendapan dan umur kejadian. Prinsip humanistik
di sini dimaksudkan sebagai hubungan antara gunung api dengan kehidupan
manusia, baik berupa ancaman bahaya gunung api terhadap kehidupan dan
lingkungan hidup manusia, usaha penanggulangan bencana letusan gunung api
serta pemanfaatan sumber daya alam gunung api.
Istilah yang juga sangat penting adalah gunung api aktif, namun sejauh ini
pemahamannya belum ada keseragaman di antara para ahli gunung api.
Berdasarkan analisis umur batuan gunung api, terutama penarikan umur secara
radiometri, para ahli gunung api di Jepang dan Selandia Baru menyatakan bahwa
seluruh gunung api yang pernah meletus antara 50.000 tahun yang lalu hingga
sekarang dinyatakan sebagai gunung api aktif. Gunung api yang kegiatannya antara
50.000 dan 100.000 tahun yang lalu dinyatakan mempunyai potensi aktif kembali
(capable volcanoes), sedang gunung api yang kegiatannya lebih tua dari 100.000
tahun yang lalu dipandang sudah mati atau sebagai fosil gunung api. Mengacu
pendapat Neumann van Padang (1951) Direktorat Vulkanologi dan Mitigasi
Bencana Geologi, Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, R.I. menyatakan
bahwa gunung api aktif adalah semua gunung api yang pernah meletus sejak tahun
1600, gunung api yang belum pernah meletus sejak 1600 tetapi masih
memperlihatkan kenampakan volkanisme, serta daerah yang bentuk gunung apinya
tidak jelas tetapi masih dijumpai lapangan solfatara dan fumarola, serta
kenampakan panas bumi lainnya.
Dari pembahasan G. Muria di Jawa Tengah (Anonim, 1997) Prof. McBirney,
seorang ahli gunung api senior di Amerika Serikat menyatakan bahwa keaktifan
suatu gunung api sangat erat hubungannya dengan kegiatan tektonikaa daerah
setempat. Selama kegiatan tektonikaa di daerah itu masih berlangsung maka hal itu
dapat menyebabkan reaktivasi kegiatan gunung api. Pada waktu sekarang mungkin
saja gunung apinya tidak menunjukkan kegiatan, apalagi tertangkap di permukaan,
tetapi dengan dipicu oleh gerak-gerak tektonikaa maka gunung api itu dapat
meletus kembali. Oleh sebab itu untuk gunung api yang berumur kurang dari 5 juta
tahun masih perlu diperhatikan kemungkinan terjadi letusan kembali. Salah satu
contoh kawasan gunung api yang sebelumnya dipandang sudah tidak aktif tetapi
setelah beristirahat selama 14.500 tahun kemudian meletus pada tahun 1987 –
1989 adalah G. Anak Ranakah di P.Flores bagian barat (Abdurachman dkk., 1988).
Di Filipina, Mt. Pinatubo yang sebelumnya dianggap bukan gunung api aktif ternyata 1- 7
telah meletus hebat pada tahun 1991 (Newhall & Punongbayan, 1996). Setelah
dilakukan penelitian, ternyata diketahui bahwa aktivitas gunung api itu sudah mulai
sejak 1 juta tahun yang lalu, dan sebelum letusan 1991 gunung api itu telah
mengalami istirahat panjang selama lebih kurang 500 tahun.
Ferari (1995) memandang gunung api aktif bila lama hidupnya, dari lahir
sampai menjelang mati, secara statistik belum terlampui. Tabel 1.1 menunjukkan
lama hidup dan waktu istirahat setiap tipe gunung api di dunia. Sebagai contoh,
gunung api kaldera tunggal mempunyai durasi hidup rata-rata 846.000 tahun dan
maksimum 3,8 juta tahun. Apabila batuan termuda gunung api itu berumur 500.000
tahun maka gunung api itu masih tergolong gunung api aktif. Sebaliknya jika umur
kaldera itu sudah lebih dari 4 juta tahun, atau waktu istirahat terkini sudah lebih dari
waktu istirahat maksimum (> 850.000 ribu tahun) maka gunung api itu sudah dapat
dianggap mati.
Newhall & Dzurisin (1988) memperkenalkan istilah volcanic unrest yang
didefinisikan sebagai a significant change (usually an increase) in seismicity, ground
deformation, fumarolic activity, or other parameters, within or adjacent to a volcanic
system (suatu perubahan penting, biasanya berupa suatu peningkatan, pada
kegempaan, deformasi muka tanah, aktivitas fumarol dan lain-lain parameter di
dalam atau di sekitar suatu sistem gunung api). Di sini paling tidak ada empat tipe
kegiatan yang diperhatikan, yaitu:
Tabel 1.1 Lama hidup atau durasi dan waktu istirahat setiap tipe gunung api di dunia (Ferari, 1995). S = asam, I = menengah, M = basa.
Tipe Gunung api Durasi (ribu tahun) Waktu istirahat (tahun)Rata-rata Maksimum Rata-rata Maksimum Minimum
Kaldera tunggal 846 3.800 130.751 850.000 1.467Kompleks kaldera
3.778 14.000 673.714 1.000.000 85.000Gunung api strato
(S-I) 600 1.800 309 5.300 3Gunung api strato
(I-M) 240 1.300 15 50 < 1Gunung api
monogenesa 2.987 5.700 2.750 - -Gunung api
tameng 647 6.200 < 1 - -
- keaktifan yang langsung mengarah kepada suatu letusan, dan ini suatu tanda-
tanda awal (precursor) yang jelas terhadap kegiatan gunung api.1- 8
- Keaktifan yang tidak segera menuju suatu erupsi, tetapi mencerminkan salah
satu rangkaian kejadian pada jangka waktu lama (misalnya penerobosan
magma secara berulang-ulang) yang setelah dilakukan analisis secara terpadu
dengan data yang lain mengarah ke letusan gunung api
- Keaktifan yang terjadi di antara fase-fase suatu letusan yang memanjang/
menerus
- Keaktifan yang tidak berhubungan dengan letusan gunung api, contohnya
kegiatan tektonikaa regional di dekat suatu gunung api, atau perubahan-
perubahan panas sebagai hasil pengembangan dan perekahan pada suatu
sistem hidrotermal.
Dari pendapat ini jelas bahwa di daerah yang secara tektonikaa masih aktif,
berumur Kuarter, maka gunung apinya juga dipandang aktif atau setidak-tidaknya
mempunyai potensi untuk aktif kembali, sekalipun di permukaan tidak
memperlihatkan kegiatan. Gunung api itu mungkin saja sedang menghimpun
kekuatan di bawah permukaan bumi, misalnya melalui diferensiasi magma atau
percampuran magma, sehingga pada suatu saat bila energinya sudah sangat kuat
dan mempunyai jalan keluar ke permukaan maka dapat terjadi letusan. Pendapat ini
terlihat senada dengan pendapat Prof. McBirney dan Ferari (1995) di atas bahwa
kegiatan gunung api sangat erat berhubungan dengan kegiatan tektonikaa.
Kegiatan tektonikaa menyebabkan terbentuknya magma sebagai bahan utama
gunung api dan sekaligus membentuk rekahan-rekahan yang memungkinkan
magma keluar ke permukaan bumi.
Dari uraian di atas penulis dapat menarik batasan gunung api aktif sebagai
gunung api dimana kegiatan magmanya masih dapat diamati di permukaan
dan atau di bawah permukaan bumi. Kegiatan magma di permukaan antara lain
berupa letusan gunung api, semburan gas gunung api, mata air panas dan berbagai
bentuk kenampakan panas bumi di kawasan gunung api. Kegiatan magma di bawah
permukaan bumi dapat diidentifikasi dengan menggunakan berbagai metoda dan
peralatan pemantauan gunung api, baik secara geofisika maupun geokimia.
1.4 Sejarah Perkembangan Volkanologi
1- 9
Sejarah perkembangan ilmu gunung api berawal dari pengertian manusia
terhadap gejala alam yang teramati sekalipun terbatas pada tingkatan yang sangat
sederhana dan bersifat animistik (Alzwar dkk., 1988). Bangsa Poline beranggapan
bahwa kegiatan gunung api berada di bawah kekuasaan Dewa Pelee, sehingga
gunung apinya disebut Mount Pelee. Sementara itu orang Indian di Oregon,
Amerika Serikat mempunyai legenda yang mengisahkan adanya perang antara
Dewa Api yang bermukim di Mount Mazama (Crater Lake sekarang) dengan Dewa
Salju yang bertempat di Mount Shasta. Pertempuran kedua dewa itu
menyebabkan hancurnya Mount Mazama dan membentuk apa yang sekarang
dikenal dengan nama Crater Lake. Cerita senada juga ditemukan dalam dongeng
atau legenda kuno bangsa Yunani dan Romawi, serta daerah gunung api di
berbagai negara seperti Jepang, Selandia Baru, Hawaii dan Indonesia sendiri.
Dongeng Dayang Sumbi dihubungkan dengan terbentuknya Gunung api
Tangkubanperahu dan Danau Bandung di Jawa Barat. G. Galunggung di dekat
Tasikmalaya Jawa Barat merupakan istananya Raja Galuh Agung. Khusus cerita G.
Merapi dan Manusia Jawa disampaikan oleh Triyoga (1991). Di Jawa Timur G.
Bromo dan G. Tengger dihubungkan dengan dongeng Roro Anteng dan Joko
Seger.
Penalaran ilmiah tentang gunung api mungkin dimulai oleh Empedocles (492-
432 SM), berdasarkan pengamatannya dari dekat terhadap kegiatan Mount Etna di
Itali. Dari pengamatannya selama beberapa tahun dia meyakini bahwa di dalam
perut bumi terdapat larutan panas yang membentuk gunung api. Setelah
Empedocles, muncul beberapa pengamat seperti Strabo (63 BC – 30), Seneca (2
BC – 65), Pliny (23), Giordano Bruno (1600), Martin Lister (1638 – 1711), Charles
Lyell dan Scrope. Pada tahun 1827, Scrope-lah yang meletakkan dasar pengertian
volkanologi modern. Di dalam teorinya Scrope berpendapat bahwa kegiatan gunung
api adalah arti dan fungsi gas yang terkandung dalam magma. Beberapa dekade
kemudian, Frank A. Perret mendukung pendapat Scrope, dengan menyatakan
bahwa gas adalah agen aktif atau motor penggerak magma.
Sejak itu penelitian kegunung apian mengalami perkembangan pesat.
Junghuhn (1809 –1864) membuat pemerian teliti perihal gunung api di Indonesia.
Juga Verbeek yang merupakan orang pertama meneliti letusan Krakatau pada
tahun 1883. Letusan-letusan besar gunung api lainnya, seperti di G. Merapi, G.
Kelut telah ditulis kembali oleh Kusumadinata (1979). Di luar Indonesia, Stubel
mengadakan penelitian kegunung apian di Ekuador dan Columbia. Para ahli gunung 1- 10
api menjadi semakin tertarik mengadakan penelitian secara seksama setelah terjadi
letusan Krakatau 1883, letusan Mount Soufriere dan kehancuran tragis kota Saint
Pierre di Kepulauan Antile oleh letusan Mount Pelee yang keduanya terjadi pada
tahun 1902.
Perkembangan ilmu gunung api abad 20 dirintis oleh Jaggar, seorang profesor
geologi dari Massachusset Institute of Technology, dan Perret, seorang insinyur
listrik. Sejarah perkembangan ilmu gunung api tidak terpisah dari sejarah kegiatan
pengamatan gunung api. Pada tahun 1911 di Hawaii didirikan Hawaiian Volcano
Observatory untuk merekam dan menelaah kegiatan gunung api di daerah tersebut
secara terus menerus. Pemerintah Hindia Belanda mendirikan Dinas Penjagaan
Gunung api untuk mengamati kegiatan gunung api di Indonesia (Kusumadinata,
1979). Berdasarkan pengamatan langsung kegiatan gunung api aktif masa kini Van
Bemmelen (1949) telah meletakkan dasar-dasar ilmu gunung api modern untuk
mempelajari batuan gunung api tua atau fosil gunung api. Satu hal penting dalam
tahapan sejarah penelitian kegunung apian adalah didirikannya International Centre
of Volcanology di Catania, Itali oleh Pemerintah Itali dan Belgia, di bawah pimpinan
ahli gunung api kenamaan Rittmann. Sejak itu arus penelitian kegunung apian
semakin berkembang antara lain di Jepang, Iceland, New Zealand, Perancis,
negara-negara Amerika Latin, Filipina, Papua New Guinea dan Benua Antartika.
Untuk mempublikasikan hasil-hasil penelitian terkini secara internasional, maka para
ahli gunung api yang tergabung di dalam organisasi asosiasi ahli gunung api dunia
(IAVCEI) secara aktif melakukan pertemuan ilmiah di berbagai tempat dan negara.
Hasil-hasil penelitian dan pertemuan ilmiah tersebut kemudian diterbitkan di dalam
Bulletin of Volcanology atau buku teks volkanologi dan majalah-majalah ilmiah
bertaraf internasional lainnya yang menyangkut permasalahan kegunung apian.
1.5 Ringkasan
Banyaknya gunung api dan batuan gunung api serta sangat eratnya
hubungan dengan kehidupan manusia mendorong perlunya ilmu gunung api atau
volkanologi diajarkan kepada mahasiswa yang mempelajari ilmu-ilmu kebumian
pada umumnya dan geologi secara khusus. Bahan ajar volkanologi ini mencakup
aspek pemerian gunung api, asal-usul pembentukan gunung api, karakter dan
evolusi serta masalah bahaya gunung api, usaha penanggulangan bencana dan
pemanfaatan sumber daya alam gunung api. Volkanologi adalah ilmu yang
mempelajari permasalahan gunung api, mulai dari permasalahan dasar kegunung 1- 11
apian hingga masalah penerapannya untuk kepentingan hidup manusia. Gunung
api atau gunung berapi didefinisikan sebagai tempat atau bukaan darimana batuan
kental pijar atau gas, dan umumnya kedua-duanya, keluar dari dalam bumi ke
permukaan, dan bahan batuan yang mengumpul di sekeliling bukaan itu
membentuk bukit atau gunung. Dinyatakan sebagai gunung api aktif apabila
kegiatan magmanya masih dapat diamati secara visual atau instrumental di
permukaan dan atau di bawah permukaan bumi. Masa hidup gunung api sangat
bervariasi dan yang terpanjang adalah gunung api kompleks kaldera yaitu dapat
mencapai 14 juta tahun.
Perkembangan ilmu gunung api berawal dari pengertian manusia terhadap
gejala alam yang sangat sederhana dan bersifat animistik. Penalaran ilmiah
volkanologi dimulai oleh Empedocles (492 – 432 SM) berdasarkan pengamatannya
secara langsung terhadap letusan Mount Etna di Itali. Penelitian gunung api mulai
berkembang pesat pada abad 19 dimana terjadi letusan terbesar sepanjang sejarah
manusia, yaitu G. Tambora (1815) dan G. Krakatau (1883). Van Bemmelen (1949)
meletakkan dasar-dasar penelitian gunung api aktif untuk diterapkan pada fosil
gunung api yang dimasa mendatang banyak menyumbangkan informasi tentang
sumber daya mineral gunung api. Letusan Mt. St. Helens pada 1980 lebih
menyadarkan kita akan perlunya terus melakukan pembelajaran terhadap
volkanologi. Untuk melakukan komunikasi ilmiah volkanologi secara internasional,
maka para ahli gunung api membentuk organisasi asosiasi ahli gunung api dunia
yang disebut IAVCEI.
1.6 Latihan Soal1- 12
Untuk menguji tingkat pemahaman saudara terhadap isi dari bab I ini, cobalah untuk
menjawab pertanyaan di bawah ini.
1. Jelaskan mengapa volanologi perlu diajarkan kepada mahasiswa !
2. Jelaskan bagaimana hubungan gunung api dengan makhluk hidup, khususnya
manusia !
3. Menurut pendapat saudara bagaimana manusia harus bertindak dalam rangka
menghadapi ancaman bahaya gunung api ?
4. Jelaskan mengapa pada awalnya manusia memuja gunung api !
5. Ada kejadian apa pada dekade 1990-an sehingga terjadi revolusi pemahaman
terhadap ilmu gunung api ?
6. Mengapa organisasi profesi ahli gunung api termasuk juga ahli ilmu kimia
bagian dalam bumi ?
7. Jelaskan pengertian gunung api, volkanisme, kaldera dan kawah gunung api !
8. Apa yang terjadi dengan batuan beku terobosan dan magma di bawah gunung
api bila terjadi letusan berkali-kali yang di antaranya dibatasi oleh waktu istirahat
yang panjang ?
9. Jelaskan pengertian khuluk gunung api di dalam lingkup volkanologi !
10. Apa perbedaan pandangan antara orang awam dengan ahli gunung api
terhadap istilah gunung api aktif ?
1- 13