2m i pendalaman materi hukum i i - mahkamah agung

255
PROYEK PENINGKATAN TERTIB HUKUM DAN PEMBINAAN HUKUM MAHKAMAH AGUNG RI 'i i J 2 m i II £:!! I PENDALAMAN MATERI HUKUM CAMAH AGUNG RI 347.014 Pen MAHKAMAH AGUNG RI J 993 ________-H 2-iL - -

Upload: others

Post on 05-Oct-2021

2 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: 2m i PENDALAMAN MATERI HUKUM I I - Mahkamah Agung

PROYEK PENINGKATAN TERTIB HUKUM DAN PEMBINAAN HUKUMMAHKAMAH AGUNG RI

'i iJ2m

iI I£:!!I

PENDALAMAN MATERI HUKUM

CAMAH AGUNG RI

347.014Pen

MAHKAMAH AGUNG RI J 993

________- H 2 - iL • ■ - -

Page 2: 2m i PENDALAMAN MATERI HUKUM I I - Mahkamah Agung

PROYEK PENINGKATAN TERTIB HUKUM DAN PEMBINAAN HUKUMMAHKAMAH AGUNG RI

PENDALAMAN MATERI HUKUMIV

M i l i k Perpustakaan

Mahkamah Agung R.I.

MAHKAMAH AGUNG RI 1993

Page 3: 2m i PENDALAMAN MATERI HUKUM I I - Mahkamah Agung

Mil ik \Perpustakaan

v 'hkanaah Agung R.T.-

N©. Kla3. i

) t K u ’'/V' : S i

Page 4: 2m i PENDALAMAN MATERI HUKUM I I - Mahkamah Agung

DAFTAR ISI

Panitia Penyelenggara vDaftar Peserta viiDaftar Kelompok ix

I. Suatu Studi Perbandingan Antara Wewenang Peradilan Umum dan Peradilan Tata Usaha Negara Mengenai Kasus Pertanahandi Indonesia 11. Kelompok Bouraq 32. Kelompok Garuda 83. Kelompok Mandala 134. Kelompok Merpati 165. Kelompok Sempati 246. Kelompok Sriwijaya .29

II. Masalah-masalah Yang Dapat Terjadi Sehubungan Dengan Penyelenggaraan Peradilan Mengenai Hak Uji Materialdi Indonesia. 371. Kelompok Bouraq 392. Kelompok Garuda . 443. Kelompok Mandala 494. Kelompok Merpati 535. Kelompok Sempati 596. Kelompok Majapahit 63

IH. Hukum Acara Perdata Nasional Yang Diharapkan Berlakudi Masa Yang Akan Datang 691. Kelompok Bouraq 712. Kelompok Garuda 733. Kelompok Mandala 784. Kelompok Merpati 825. Kelompok Sempati 876. Kelompok Padjajaran 91

iii

Page 5: 2m i PENDALAMAN MATERI HUKUM I I - Mahkamah Agung

IV. Suatu Studi Perbandingan Antara Wewenang Peradilan Umumdan Peradilan Tata Usaha Negara Dalam Menangani Masalah Lingkungan Menurut Hukum di Indonesia 971. Kelompok Bouraq 992. Kelompok Garuda 1053. Kelompok Mandala 1154. Kelompok Merpati 1195. Kelompok Sempati . 1306. Kelompok Sriwijaya 137

V. Suatu Tinjauan Mengenai Wewenang Peradilan Umum danPeradilan Tata Usaha Negara Dalam Menangani Kasus Kewarganegaraan di Indonesia 1491. Kelompok Bouraq 1512. Kelompok Garuda 1593. Kelompok Mandala 1664. Kelompok Merpati 1695. Kelompok Sempati 1776. Kelompok Majapahit 183

VI. Penerapan Azas-azas Kepemimpinan dan Manajemen DalamPraktek Peradilan di Indonesia 1931. Kelompok Bouraq 1952. Kelompok Garuda 2033. Kelompok Mandala 2154. Kelompok Merpati 2195. Kelompok Sempati 2286. Kelompok Padjajaran 234

IV

Page 6: 2m i PENDALAMAN MATERI HUKUM I I - Mahkamah Agung

PANITIA PENYELENGGARA PENDALAMAN MATERI HUKUM HAKIM TINGGI

PERADILAN UMUM S E INDONESIA DI BANDUNG

1. Penanggung Jawab :H. SOERJONO, SH.Ketua M uda Mahkamah Agung RI.Urusan lingkungan Peradilan Umum Bidang Hukum Perdata Adat.

2. Ketua PelaksanaNy. RETNOWULAN SUTANTIO, SH.Kepala Litbang Diklat Mahkamah Agung RI.

3. Sekretaris/Anggota:ISHAK RACHIM, SH.

4. Keuangan/Anggota:I. MIFTAFFUR RASJID, SH.2. SUBAGYO.

5. Pengumpulan dan Pengolahan Bahan/Anggota1. H. EDDY DJUNAEDI, SH. MCJ.2. ASEP IWAN IRIAWAN, SH.

6. Penceramah :1. H.R. PURWOTO S. GANDASUBRATA, SH.

(Ketua Mahamah Agung RI.).2. OLDEN BIDARA, SH.

(Ketua Muda Mahkamah Agung RI. Urusan Lingkungan PTUN).3. H. TOMY BOESTOMI, SH.

(Hakim Agung).4. NY. RETNOWULAN SUTANTIO, SH.

(Kalitbang Diklat MARI).5. Prof. DR. CFG. SUNARYATI HARTONO, SH.

(Kepala BPHN Dep. Kehakiman).6. NY. H. MURSIAH BUSTAMAN, SH.

(Ketua PT. Tanjungkarang).7. H. EDDY DJUNAEDI, SH., MCJ.

(Staf Litbang Diklat MARI).8. NY. ANAK AGUNG AYU MIRAH, SH.

(Hakim Tinggi PT. Bandung).9. WAHONO BAUD, SH.

Page 7: 2m i PENDALAMAN MATERI HUKUM I I - Mahkamah Agung

(Hakim Tinggi PT. Ujung Pandang)10. NY. POPY YAYATI SARWORO, SH.

(Hakim Tinggi PT. TUN. Surabaya).'1 1. NY. NOERWATI SALEH,

(Hakim PN. Jakarta Barat).12. Kol. Prof. DR. SOEDJONO DIRDJOSIS WORO, SH , MBA.

(Kapok Ahli Bakorstranasda Jabar Guru Besar UNPAR).13. Prof. BOEDI HARSONO, SH.

(Guru Besar Univ. Trisakti).. 14. Brigjen. (Pum) Drs. FRED AMELN, SH.

(Ketua Perhuki). ;15. DR. DAUD SILALAHI, SH.

(Dosen FH. UNPAD).16. Drs. M. ARIEF

(Widyaiswara Dep. Kehakiman).17. SENTANOE KERTONEGORO, M.Sc.

(Direktur Pelayanan Teknis PT. ASTEK (Persero).18. Drs. PITOYO, MA.

(Deputy L.A.N).19. N. MOERWIBOWO, SH.

(Biro Hukum Bank Indonesia).20. Drs. H.A. PARINDING

(Staf Dirjen Bea Cukai).21. HENDRI GUNANTO, SH.

(Pakar Asuransi)22. INYOM AN TJEGER, SH.

(Kepala Biro Hukum BAPPEPAM).

7. Pembantu Umum :1. RATMOKO, SH.2. RAMLI3. ASEPSAFEI

8. N o t u l i s :1. WASDI PERMANA, SH.2. MAURID SINAGA, SH.3. S U M A D I , SH.4. TITO SUHID, SH.5. S U D I R A , SH.6. DALYUSRA, SH.

(Calon Hakim pada Pengadilan Negeri Bandung).

vi

Page 8: 2m i PENDALAMAN MATERI HUKUM I I - Mahkamah Agung

DAFTAR PESERTAPENDALAMAN MATERI HUKUM HAKIM TINGGI

SE INDONESIA

1. WADJIHAR HAKAM, SH.2. H. ROSMA IDRIS, SH.3. SOEKIRNO, SH.4. WALUJO SEJATI, SH.5. FATIMAH ACHYAR, SH.6. GUSTAF ARMENIA P., SH.7. Dra. TAMROEKMI M.C., SH.8. MARCUS LANDE, SH.9. OLOAN H. SIMARMATA, SH.10. H. KARTINI ILYAS, SH.11. W. LUMBAN TOBING, SH.12. H. KARTINI SOEWANTA, SH.13. KAMARA H. HARAHAP, SH.14. SLAMET RIYANTO, SH.15. SUTARMIATI, SH.16. SAM’ANI SOEDJONO, SH.17. KOESTRINI, SH.18. SJAFEI HIDAYAT, SH.19. ZAID HAYIK, SH.20. H. RIYANTO, SH.21. J. SOEKARDI, SH.22. SITI MOERYANI, SH.23. MACHMUD, SH.24. SOEMARNO, SH.25. WAHONO BAUD, SH.

PT. Padang (WK)PT. Palembang (WK)PT. Mataram (WK)PT. Ambon (WK)PT. TUN Jakarta (WK)PT.TUN Medan (WK)PT. TUN Surabaya (WK)PT. TUN. Ujung Pandang (WK) PT. Jakarta (HT)PT. Bandung (HT)PT. Bandung (HT)PT. Semarang (HT)PT. Semarang (HT)PT. Surabaya (HT)PT. Surabaya (HT)PT. Banjarmasin (HT)PT. Tanjung Karang (HT)PT. Pekanbaru (HT)PT. Banda Aceh (HT)PT. Medan (HT)PT. Bengkulu (HT)PT. Kendari (HT)PT. Ujung Pandang (HT)PT. Denpasar (HT)PT. Ujun g Pandagn (HT)

Page 9: 2m i PENDALAMAN MATERI HUKUM I I - Mahkamah Agung
Page 10: 2m i PENDALAMAN MATERI HUKUM I I - Mahkamah Agung

DAFTAR KELOMPOK

1. Bouraq1. Wadjihar Hakam, SH.2. Ny. Sutarmiati, SH.3. Gustaf A. Pasaribu, SH.4. Zaid Haylk, SH.5. Kamara H. Harahap, SH.

2. Garuda1. Fatimah Achyar, SH.2. H. Sam’ani Soedjono, SH.3. Wahono Baud, SH.4. H. Kartini Ilyas, SH.5. H. Riyanto, SH.

3. Mandala1. Walujo Sedjati, SH.2. Siti Moeryani, SH.3. W. Lumban Tobing, SH.4. Sjafei Hidayat, SH.5. Machmud, SH.

4. Merpati1. Soekimo, SH.2. Dra. Tamroekmi M.C., SH.3. H. Kartini Soewanta, SH.4. Slamet Riyanto, SH.5. J. Soekardi, SH.

5. Sempati1. Ny. H. Rosma Idris, SH.2. Marcus Lande, SH.3. Oloan K Simarmata, SH.4. —Koestrini, SH.5. Soemamo, SH.

6. Majapahit1. Fatimah Achyar, SH.2. Slamet Riyanto, SH.3. Waluyo Sedjati, SH.4. Wadjihar Hakam, SH.5. H. Kartini Suwanta, SH.6. Zaid Hayik, SH.7. Koestrini, SH.8. Sjafei Hidayat, SH.

7. Padjajaran1. Seokimo, SH.2. H. Kartini Ilyas, SH.3. Marcus Lande, SH.4. Siti Moeryani, S., SH.5. Soemamo, SH.6. Oloan H. simarmata, SH.7. Kamaria H. Harahap, SH.8. Wahono Baud, SH.

8. Sriwijaya1. Dra. Tamroekmi M. C., SH.2. H. Riyanto, SH.3. H. Rosma Idris, SH.4. Gustaf Armenia Pasaribu, SH.5. Sutarmiati, SH.6. W. Lumban Tobing, SH.7. J. Soekardi, SH.8. Machmud, SH.9. Sam’ani Soedjono, SH.

IX

Page 11: 2m i PENDALAMAN MATERI HUKUM I I - Mahkamah Agung
Page 12: 2m i PENDALAMAN MATERI HUKUM I I - Mahkamah Agung

SUATU STUDI PERBANDINGAN ANTARA

WEWENANG PERADILAN UMUM DAN PERADILAN TATA USAHA NEGARA

MENGENAIKASUS PERTANAHAN DI INDONESIA

i

Page 13: 2m i PENDALAMAN MATERI HUKUM I I - Mahkamah Agung
Page 14: 2m i PENDALAMAN MATERI HUKUM I I - Mahkamah Agung

SUATU STUDI PERBANDINGAN ANTARA WEWENANG PERADILAN UMUM DAN PERADILAN TUN

MENGENAI KASUS PERTANAHAN DI INDONESIA Oleh : Kelompok BOURAQ

PE N D A H U L U A NSebelum berlakunya Peradilan Tata Usaha Negara yang diatur dalam

Undang-undang No. 5 laliuu 1986 maka semua sengketa Tata Usaha Negara diperiksa di Peradilan Umum.

Dengan lahirnya PeradilanTata Usaha Negara maka kewenangan Perdilan Umum untuk memeriksa dan mengadili sengketa Tata Usaha Negara berakhir dan berpindah kepada Peradilan Tata Usaha Negara.

Yang dimaksud dengan sengketa Tata Usaha Negara adalah sengketa yang timbul dalam bidang Tata Usaha Negara antara orangatau Badan Hukum privat dengan Badan atau Pejabat Tata Usaha negara sebagai akibat dikeluarkannya keputusan Tata Usaha Negara.

Dari pembatasan tersebut dapat disimpulkan bahwa unsur-unsur sengketa Tata Usaha Negara adalah :a. Subyek yang bersengketa adalah orang atau badan privat di satu pihak dan

Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara di lain pihak.b. Obyek sengketa adalah keputusan yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat

Tata Usaha Negara.Yang dimaksud dengan Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu

penetapan tertulis yang dikeluarkan olehBadan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara berdasarkan peraturan perundang- undangan yang berlaku yang bersifat konkrit, individual dan final serta menimbulkan akibat hukum bagi seorang atau Badan Hukum privat.

Dari penjelasan di atas jelas bahwa keputusan Tata Usaha Negara itu harus merupakan tertulis yang bersifat menetapkan yang biasanya disebut ’’penetapan” atau beschikking, tanpa adanya penetapan teresebut tidak akan ada sengketa yang dapat diputus oleh Tata Usaha Negara.

Perbuatan materiel (materiil daad) saja tidak dapat menimbulkan sengketa Tata Usaha Negara, dan bilamana ada perbuatan demikian yang menimbulkan kerugian pada seseorang maka tuntutan ganti rugi karena Onrechtmatige overheidsdaad diajukan kepada Peraadilan Umum dan bukan pada Peradilan Tata Usaha Negara.

3

Page 15: 2m i PENDALAMAN MATERI HUKUM I I - Mahkamah Agung

Sebagai kekecualian daripada harus tertulis, maka penetapan Pejabat atau Badan Tata Usaha Negara adalah apa yang ditentukan dalam pasal 3 Undang-undang No. 5 tahun 1986 yang berbunyi sebagai berikut:ayat 1. Apabila Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara mengeluarkan

keputusan, sedangkan itu menjadi kewajibannya, maka hal tersebut disamakan dengan keputusan Tata Usaha Negara.

ayat 2. Jika suatu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara mengeluarkana keputusan yang dimohon, sedangkan jangka waktu sebagaimana ditentukan dalam peraturan perundang-undangan yang dimaksud telah lewat, maka Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara dianggap telah menolak mengeluarkan putusan yang dimaksud.

ayat 3. Dalam hal peraturan perundang-undangan yang bersangkutan tidak menentukan jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat 2, maka setelah lewat jangka waktu 4 (empat bulan sejak diterimanya permohonan, Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang bersangkutan dianggap telah mengeluarkan keputusan penolakan.

Dari uraian tersebut di atas jelas sudah obyek sengketa yang menjadi kewenangan Peradilan Tata Usaha Negara yang tadinya sebelum berlakunya Undang-undang No. 5 tahun 1986 merupakan kewenangan Peradilan Umum.

Namun dalam praktek peradilan ditemui tumpang tindih penyelesaian mengenai kewenangan masing-masing lingkungan peradilan, sebagaimana yang akan kami uraikan pada bab berikutnya.

PER M ASA LA H A N1. Sengketa tanah bersertifikat.2. Gugatan Ganti Rugi akibat onrechtmatige overheidsdaad dari Penguasa.3. Akibat hukum dari Peraturan Pemerintah No. 43 tahun 1992.a d . l . Setelah Peradilan Tata Usaha Negara mulai operasional pada tanggal 14

Januari 1991, di dalam praktek ternyata dijumpai permasalahan di bidang pertanahan tentang wewenang mengadili.Kadang-kadang pada gugatan tentang sengketa tanah yang diajukan ke Peradilan Tata Usaha Negara yang pada pokoknya memohon agar suatu sertifikat yang dikeluarkan Badan Pertanahan Nasional (BPN), pada posita gugatan diuraikan tentang asal-usul pemilikan tanah tersebut. Selanjutnya dalam persidangan terjadilah jawab menjawab antara penggugat dengan tergugat, di mana masing-masing pihak menyatakan dan mempertahankan pihaknyalah yang berhak atas tanah yang tercantum dalam sertifikat tanah tersebut, dengan kata lain timbul sengketa tentang

4

Page 16: 2m i PENDALAMAN MATERI HUKUM I I - Mahkamah Agung

hak milik.Dalam hal ini perlulah dicari jalan penyelesaiannya karena Peradilan Tata Usaha Negara tidak berwenang mengadili sengketa hak milik yang nota bene bukan merupakan keputusan Tata Usaha Negara (beschikking) akan tetapi sengketa perdata, sehingga penyelesaian sengketa hak milik tersebut adalah wewenang Peradilan Umum. Dalam suatu sengketa tentang tanah bersertifikat bisa timbul sengketa Tata Usaha Negara yaitu tentang sertifikat yang dikeluarkan BUPN dan sengketa perdata. Apabila terjadi hal seperti itu tentulah harus dicari jalan penyelesaiannya. Terlebih dahulu perlu kita ingat bahwa suatu sertifikat tanah adalah merupakan keputusan Tata Usaha Negara (beschikking) sebagaimana dimaksud dan diatur dalam pasal 1 ayat (3) Undang-undang No. 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara yang berbunyi sebagai berikut:’’Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara berdasarkan peraturan perundang- undnagan yang berlaku, yang bersifat konkrit, individual dan final yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata ’ ’. Sertifikat yang dikeluarkan oleh Badan Pertanahan Nasional sertifikat itu berisi tindakan hukum yaitu menetapkan bahwa tanah yang dicantumkan didalamnya milik dari orang yang disebut namanya disitu.Sertifikat itu bersifat konkrit karena didalamnya ditentukan di mana letak tanah itu dan berapa luasnya.Sertifikat itu individual karena didalamnya telah dituliskan siapa pemiliknya.Sertifikat itu bersifat final karena sertifikat adalah produksi terakhir dari suatu proses yang panjang mulai diajukan permohonan memperoleh sertifikat.Sertifikat itu menimbulkan akibat hukum yaitu bahwa tanah itu tidak milik orang lain selain dari pada orang yang disebut didalamnya. Berhubung karena sudah dipenuhi semua unsur-unsur yang disebut dalam peraturan perundang-undangan tersebut di atas maka wewenang untuk memeriksa, mengadili dan menyelesaikan sengketa tentang pembatalan suatu sertifikat adalah wewenang Peradilan Tata Usaha Negara.Akan tetapi dalam praktek sering juga dijumpai bahwa di dalam suatu gugatan yang diajukan kepada Pengadilan Tata Usaha Negara, yang menjadi alasan gugatan adalah hak milik.

5

Page 17: 2m i PENDALAMAN MATERI HUKUM I I - Mahkamah Agung

Karena penggugat merasa ia yang berhak atas tanah yang diuraikan dalam sertifikat yang dimohon dibatalkan itu, padahal sebaliknya tergugat dalam jawabannya mengatakan dialah yang berhak, maka terjadilah suatu permasalahan, sebab Peradilan Tata Usaha Negara tidak berwenang memeriksa, mengadili dan menyelesaikan sengketa perdata.Di dalam hal seperti inilah Badan Peradilan Umum berperan. Dengan kata lain di dalam sengketa tanah bersertifikat ada dua badan peradilan yang berwenang menyelesaikannya yaitu Badan Peradilan Umum dan Badan Peradilan Tata Usaha Negara. Persoalan selanjutnya ialah bagaimana seorang Penggugat akan menyelesaikan sengketanya. Apakah Peradilan Tata Usaha Negara menunda sidang sampai waktu yang tidak ditentukan (tot nader) sampai sengketa kepemilikan itu mempunyai kekuatan hukum yang tetap,, atau Perdilan Tata Usaha Negara memutus dengan Niet O nvankelijk V erklaard , dengan terlebih dahulu mempertimbangkan bahwa berhubung karena belum jelas siapa yang berhak, maka haruslah terlebih dahulu hal itu diputus pada Perdilan Umum.Bagaimana pula cara penyelesaiannya apabila dalam gugatan yang diajukan pada Pengadilan Negeri dalam salah satu petitum gugatan dimohon agar Pengadilan memutuskan bahwa sertifikat yang digugat itu dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum atau tidak mengikat.Di dalam hal ini Pengadilan Negeri hanya berwenang mengadili sengketa hak milik tentang petitum yang memohon pembatalan sertifikat tersebut Pengadilan Negeri dalam diktum putusan akan menyatakan gugatan tidak dapat diterima (N.O) dengan terlebih dahulu dalam pertimbangannya menjelaskan bahwa pembatalan sertifikat dimaksud bukan wewenang Pengadilan Negeri akan tetapi wewenang Peradilan Tata Usaha Negara. Masalah selanjutnya yang bisa timbul ialah perbedaan yang bersifat berlawanan kontradiktief antara putusan Peradilan Umum dengan Peradilan Tata Usaha Negara. Bisa terjadi bahwa Pengadilan Negeri menyatakan bahwa sertifikat yang digugat dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum, akan tetapi Peradilan Tata Usaha Negara menyatakan bahwa sertifikat yang digugat itu adalah sah, atau dengan kata lain Pengadilan Tata Usaha Negara menolak pembatalan sertifikat. Dalam keadaan seperti ini teijadilah ketidak pastian hukum. Untuk menghindari hal seperti itu, kiranya perlu Mahkamah Agung memberi petunjuk cara penyelesaiannya karena dapatlah kita bayangkan bagaimana resahnya para pencari keadilan bila menghadapi masalah seperti itu.

a d . 2. Gugatan ganti rugi akibat tindakan materiel dari Badan atau Pej abat Tata

6

Page 18: 2m i PENDALAMAN MATERI HUKUM I I - Mahkamah Agung

Usaha Negara yang menimbulkan kerugian pada orang atau Badan Hukum diajukannya kepada Peradilan Umum. Apabila Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara dalam melakukan tindakan materiel tersebut sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku harus didasarkan pada suatu keputusan atau beschikking, namun beschikking itu tidak ada maka apabila menimbulkan kerugian pada orang atau Badan Hukum, gugatan ganti rugi diajukan kepada Perdilan Tata Usaha Negara,

a d. 3. Menurut Peraturan Pemerintah No. 43 tahun 1992 ganti rugi yang dapat dikabulkan oleh Perdilan Tata Usaha Negara maksimum adalah sebesar limajuta rupiah (Rp. 5.000.000,00). Tetapi dalam praktek kerugian dapat melebihi jumlah maksimum dari Peraturan Pemerintah tersebut di atas. Apabila permohonan ganti rugi tersebut diajukan kepada Peradilan Tata Usaha Negara dikabulkan sesuai dengan jumlah maksimum, sedang kekurangannya diajukan permohonan kepada Peradilan Umum akan terkena Res Judikata Pro Vesitata Habitumm, dan oleh Peradilan Umum akan diputus N.O.Maka sebagai jalan keluarnya, apabila ganti rugi jumlahnya melebihi lim ajuta rupiah, gugatan ganti rugi jangan diajukan kepada Peradilan Tata Usaha Negara, akan tetapi diajukan kepada Badan Peradilan Umum.

K E S IM P U L A N .Wewenang masing-masing Peradilan Tata Usaha Negara dan Badan

Peradilan Umum dalam menangani kasus tanah secara teoritis sudah jelas dan sebenarnya tidak ada masalah lagi. Namun di dalam praktek masih ditemui kesalahan-kesalahan.S A R A N .1. Agar Peradilan Tata Usaha Negara memasyarakat, supaya penyuluhan

Peradilan Tata Usaha Negara tidak hanya dilakukan terhadap Pejabat/ Badan Tata Usaha Negara sebagai tergugat saj a, tetapi penyuluhan secara meluas hendaknya juga diberikan kepada masyarakat sebagai pihak penggugat agar masyarakat mengetahui hak-haknya dan wewenang daripada Peradilan Tata Usaha Negara.

2. Untuk memenuhi azas peradilan yang murah dan cepat, Hakim perdata adalah aktif, maka kepada masyarakat sebagai penggugat, apabila mengajukan gugatannya ke Peradilan Tata Usaha Negara dan ternyata salah satu petitumnya tidak termasuk wewenang Peradilan Tata Usaha Negara sebelum perkara ditetapkan sidangnya, dianjurkan untuk memperbaiki gugatannya dan demikian sebaliknya apabila gugat diaj ukan ke Peradilan Umum.

7

Page 19: 2m i PENDALAMAN MATERI HUKUM I I - Mahkamah Agung

SUATU STUDI PERBANDINGAN ANTARA WEWENANG PERADILAN UMUM DAN PERADILAN TUN

MENGENAI KASUS PERTANAHAN DI INDONESIA O leh : Kelompok GARUDA

I. PENDAHULUAN.Dengan telah diundangkannya Undang-undang No. 5 tahun 1986

tentang Peradilan Tata Usaha Negara, tertanggal 29 Desember 1986 dan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah RI No. 7 tahun 1991 tentang penerapan Undang-undang No. 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, maka ketentuan yang termuat dalam pasal 10 Undang-undang No. 14 tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman yang mengharuskan adanya 4 badan Peradilan telah terpenuhi yaitu :1. Peradilan Umum.2. Peradilan Agama.3. Peradilan Militer.4. Peradilan Tata Usaha Negara.

Sehubungan lahirnya Peradilan Tata Usaha Negara disamping peradilan yang lain terutama Peradilan Umum, membingungkan masyarakat tentang apakah yang menjadi kewenangan Peradilan Umum dan apakah yang men­jadi kewenangan Peradilan Tata Usaha Negara demi penyelesaian suatu perkara, termasuk penanganan kasus pertanahan di Indonesia.

Bahwa dalam menangani kasus pertanahan di Indonesia terdapat titik singgung antara Peradilan TUN dan Peradilan Umum.

H. KEWENANGAN PERADILAN TUN DAN KEWENANGAN PER­ADILAN UMUM DALAM PENYELESAIAN PERKARA.

I. Wewenang Peradilan TUN.Menurut pasal 50 Undang-undang No. 5 tahun 1986. Pengadilan

Tata Usaha Negara bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara di tingkat pertama.

Bahwa yang dimaksudkan dengan sengketa Tata Usaha Negara adalah sengketa yang timbul dalam bidang Tata Usaha Negara antara orang atau Badan Hukum Perdata dengan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara baik di pusat maupun di daerah sebagai akbiat dikeluar­kannya keputusan Tata Usaha Negara.

Sedangkan yang dimaksud dengan keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau

8

Page 20: 2m i PENDALAMAN MATERI HUKUM I I - Mahkamah Agung

Pejabat Tata Usaha Negara yang berdasarkan peraturan perundang- undangan yang berlaku yang bersifat konkrit, individual dan final yang menimbulkan akibat hukum bagi seorang atau Badan Hukum Perdata.

Kewenangan Peradilan Tata Usaha Negara dalam menangani kasus pertanahan hanya sebatas mengenai keputusan-keputusan Tata Usaha negara yang bersifat konkrit, individual dan final yang menimbulkan akibat hukum bagi seorang atau Badan Hukum Perdata.

2. Wewenang Peradilan Umum.Menurut pasal 50 Undang-undang No. 2 tahun 1986, Pengadilan

Negeri bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesai­kan perkara pidana dan perkara perdata di tingkat pertama.

Berdasarkan ketentuan di atas, maka Pengadilan Negeri sebagai Badan Peradilan Umum tingkat pertama berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan semua perkara perdata kecuali yang menjadi wewenang Badan Peradilan lain termasuk Badan Peradilan Tata Usaha Negara.

m . PERMASALAHANMenurut kelompok Garuda mengingat posisi tanah yang sedemikian

penting dan strategisnya, maka tanah menjadi ajang perdebatan ataupun permainan para pengusaha dalam konteks semua lapisan, soal harga nomor dua, yang bagaimana mengembangkan sayap usaha/keuntungan dengan menguasai sebidang tanah terlibat dengan banyaknya proyek yang ber­munculan untuk membebaskan tanah dengan berkedok demi kepentingan umum, ataupun dengan alasan demi kepentingan pembangunan namun demikian senyatanya rakyat yang menderita, sehingga tidak mustahil kiranya akan bermunculan kasus-kasus pertanahan yang sekaligus diajukan kepada kedua badan Peradilan yaitu Badan Peradilan Tata Usaha dan Badan Peradilan Umum.

Masalah-masalah yang timbul tersebut antara lain sebagai b e rik u t:

1. Kasus Tanah Plumpang, Jakarta.Para Penggugat (penghuni dari tanah komplek Plumpang) mengajukan gugatan terhadap Pertamina dan Gubernur KDH Tk. I DKI Jakarta dengan dasar Fundamentum Petendinya yang sama, ke Pengadilan Negeri berdasarkan Surat Keputusan penggusuran tanah yang tidak sah dan selanjutnya menuntut ganti rugi, sedangkan ke Pengadilan Tata Usaha Negara menuntut pembatalan Surat Keputusan tentang Peng­

9

Page 21: 2m i PENDALAMAN MATERI HUKUM I I - Mahkamah Agung

gusuran Tanah yang dikeluarkan oleh Gubernur dan menuntut ganti rugi.

2. Kasus tanah H. Mursid Jalan Karet Tengsin - Jalan Jendral Sudirman Jakarta.Penggugat megnajukang guatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara mohon agar izin bangunan yang diterbitkan oleh Gubernur KDH Tk. I Jakarta dibatalkan, karena Penggugat merasa sebagai pemilik yang sah dari tanah dimana izin bangunan tersebut diterbitkan.Sedangkan ke Pengadilan Negeri Penggugat mengajukan gugatan tentang kepemilikkan tanah dan tuntutan ganti rugi atas dasar Perbuatan Melawan Hukum.

3. Kasus Tanah di Medan.Penggugat mohon eksekusi ke Pengadilan Negeri untuk melakukan pelelangan terhadap tanah yang telah disita.Pengadilan mengabulkan permohonan tersebut dengan menerbitkan surat penetapan eksekusi lelang, sedangkan di pihak lain orang yang menguasai tersebut mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara dengan permohonan agar surat penetapan lelang ditangguhkan dan dibatalkan.

4. Permasalahan megnenai ganti rugi dalam kasus pertanahan.Timbul permasalahan mengenai siapakah yang berwenang untuk memberikan ganti rugi, apakah Peradilan Umum atau Peradilan Tata Usaha Negara, mengingat Peradilan Tata Usaha Negara menurut pasal 53 (1) Undang-undang No. 5 tahun 1986 juga berwenang selain pembatalan atau menyatakan tidak sah Surat Keputusan Tata Usaha Negara yang merugikan seseorang atau Badan Hukum Perdata, yang berwenang untuk memberikan ganti rugi.

IV. PEMECAHAN MASALAH1. Kasus Tanah Plumpang, Jakarta.

Oleh Pengadilan Negeri gugatan tersebut dikabulkan sebagian yaitu tentang ganti rugi atas dasar Perbuatan Melawan Hukum oleh Pertamina sedangkan Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara gugatan tersebut ditolak seluruhnya karena SK.Gubemur Jakarta tentang penggusuran

10

Page 22: 2m i PENDALAMAN MATERI HUKUM I I - Mahkamah Agung

adalah sah menurut Hukum, tidak ada cacat baik menyangkut ke- wenangan maupun prosedurnya.Menurut pendapat kelompok Garuda, badan Peradilan tersebut berwenang memeriksa dan memutus yaitu Pengadilan Negeri tentang Perbuatan Melawan Hukum, dan ganti ruginya sedangkan Pengadilan Tata Usaha Negara tentang keabsahan SK. Gubernur.

Seyogyanya antara kedua putusan tersebut saling mendukung, tidak bertentangan satu sama lain.

2. Kasus Tanah Haji Mursid Jalan Karet Tengsin - jalan Sudirman Jakarta.Menurut Kelompok Garuda seyogyanya Hakim Tata Usaha N egara dalam memeriksa sengketa tersebut dalam menjatuhkan putusannya tersebut menunggu setelah putusan Pengadilan Negeri tentang kepemilikan tanahnya telah berkekuatan hukum yang tetap, sehingga tidak akan terdapat putusan yang saling bertentangan.

3. Kasus Tanah di Medan.Bahwa Penetapan Lelang dari kantor lelang itu didasarkan oleh penetapan dari Ketua Pengadilan Negeri yang nota bene bukan keputusan Pejabat Tata Usaha Negara, sehingga penetapan tersebut bukan objek yang menjadi wewenang Peradilan Tata Usaha negara (vide pasal 50 Undang-undang No. 5 Tahun 1986). menurut pendapat kelompok Garuda Peradilan Tata Usaha N egara seharusnya menyatakan dirinya tidak berwenang.

4. Permasalahan Megnenai Ganti Rugi Dalam Kasus Pertanahan.Sebelum adanya Peradilan Tata Usaha Negara, maka semua sengketa di bidang pertanahan, diajukan ke Peradilan Umum, baik mengenai per­buatan melawan hukum, mengenai pernyataan SK. Badan Pertanahan misalnya sertifikat tanah tidak mempunyai kekuatan hukum, baik mengenai ganti mgi akibat perbuatan melawan hukum.Namun setelah adanya Peradilan Tata Usaha Negara, seseorang atau badan hukum yang merasa dirugikan dengan SK. yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat dari Badan Pertanahan Nasional, maka m enurut pasal 51 ayat (1) Undang-undang No. 5 Tahun 1986 dapat m enuntut Badan atau pejabat Tata Usaha Negara tersebut ke peradilan Tata Usaha Negara, agar keputusan Tata Usaha Negara tersebut dibatalkan atau dinyatakan tidak syah.

11

Page 23: 2m i PENDALAMAN MATERI HUKUM I I - Mahkamah Agung

Bahwa untuk itu pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 43 Tahun 1991. Tentang Ganti Rugi dan Tata Cara Pelaksanaannya pada Peradilan Tata Usaha Negara dimana dalam Peraturan Pemerintah tersebut dijelaskan bahwa ganti rugi adalah pembayaran sejumlah uang kepada orang atau Badan Hukum Perdata atas beban Badan Tata usaha Negara karena adanya kerugian materiel yang diderita oleh Penggugat, dimana ganti rugi yang dapat diperoleh Penggugat paling sedikit Rp. 250.000,- dan paling banyak Rp. 5.000.000,-. Sedangkan mengenai tata cara pembayaran ganti rugi tersebut di atas diatur lebih lanjut oleh Menteri Keuangan, dengan Keputusan Menteri Keuangan No. 1129- /KM.01/1991 tanggal 13 Nopember 1991 tentang Tata Cara Pembayar­an ganti rugi pelaksanaan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara. Menurut Kelompok Garuda, meskipun Peradilan Tata Usaha Negara berwenang untuk memberikan sejumlah ganti rugi alakadamya kepada orang atau Badan Hukum Perdata yang dirugikan dengan keputusan yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara dan Badan Pertanahan Nasional, namun untuk tidak melanggar azas yang berlaku dalam hukum Perdata yaitu azas Res vudicata pro veritata habetur, sebaiknya Penggugat menuntut ganti rugi ke Peradilan Umum saja, sedangkan ke Peradilan Tata Usaha Negara hanya mengadili mengenai pembatalan atau tidak syah surat keputusan yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara dari Badan Pertanahan itu saja, dan tidak disertai gugatan ganti rugi yang jumlahnya hanya terbatas maksimum Rp. 5.000.000,-

V. KESIM PU N DAN SARAN1. Bahwa Peradilan Umum maupun Peradilan Tata Usaha Negara

berwenang untuk menangani kasus pertanahan di Indonesia dalam persi kewenangannya masing-masing.

2. Bahwa untuk menghindari kerancuan putusan Peradilan Umum dan Peradilan Tata Usaha Negara mengenai kasus yang sama, mengenai tanah, seyogyanya Hakim Peradilan Tata Usaha Negara lebih berhati- hati dalam menanganinya, apabila status kepemilikan tanah tersebut masih dipersengketakan di Peradilan Umum.

12

Page 24: 2m i PENDALAMAN MATERI HUKUM I I - Mahkamah Agung

SUATU STUDI PERBANDINGAN ANTARA WEWENANG PERADILAN UMUM DAN PERADILAN TUN

MENGENAI KASUS PERTANAHAN DI INDONESIA O leh : Kelompok MANDALA

I. PENDAHULUANSebagaimana kita ketahui bersama bahwa Badan-badan Peradilan di

Indonesia ia lah :1. Peradilan Umum;2. Peradilan Agama;3. Peradilan Militer dan4. Peradilan Tata Usaha Negara,

Sebagaimana disebut dalam pasal 10 (1) Undang-undang No. 14 tahun 1970, tentang ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.

Dengan diundangkannya Undang-undang No. 5 tahun 1986 ’’Tentang Peradilan Tata Usaha Negara” , lengkaplah keberadaan keempat lembaga Peradilan tersebut.

Baik Peradilan Umum maupun Peradilan Tata Usaha Negara, di dalam batas-batas kewenangan masing-masing sesuai dengan ketentuan Undang- undang yang berlaku, sama-sama memiliki kewenangan memeriksa dan mengadili perkara-perkara yang menyangkut masalah tanah.

II. PERMASALAHAN.Permasalahan yang bisa timbul ialah :

1. Adanya perbedaan sudut pandang antara Peradilan Umum dengan PeradilanTata Usaha negara dalam menghadapi masalah hak atas tanah ditinjau dari persepsi kewenangan masing-masing.

2. Sejauh mana batas-batas kewenangan antara Perdilan Umum dengan Peradilan Tata Usaha Negara dalam hal eksekusi atas tanah.

3. Menurut ketentuan pasal 3 (1) PP No. 43 tahun 1991, tuntutan ganti rugi yang dapat dikabulkan maksimum sejumlah Rp. 5.000.000,-.

4. Gugatan gani rugi karena kerugian immaterial tidak dapat diajukan ke Peradilan Tata Usaha Negara.

IH. PEMBAHASAN

ad.l. Dalam hal adanya perbedaan penilaian terhadap dasar hak atas tanah antara Peradilan Umum dengan PeradilanTata Usaha Negara, maka

13

Page 25: 2m i PENDALAMAN MATERI HUKUM I I - Mahkamah Agung

Penggugat dalam mengajukan gugatannya harus secara proporsional, dalam arti apabila yang akan dipermasalahkan itu mengenai keabsahan hak atas tanah, maka gugatan harus diajukan kepada Peradilan Umum. Sedangkan apabila yang dipermasalahkan itu mengenai keabsahan bukti hak atas tanah, ke Peradilan Tata Usaha Negaralah harus diajukan. Dengan demikian tidak akan terjadi tumpang tindih ataupun kerancuan dalam hal penanganan dan penyelesaian masalah tersebut.

ad.2. Apabila timbul kerancuan penanganan dan penyelesaian eksekusi lelang antara Peradilan Tata Usaha Negara dan Peradilan Umum, di mana Perdilan Tata Usaha negara sudah menyatakan bahwa penetapan pejabat Tata Usaha Negara, dalam hal ini BPUPLN, tidak sah:Kemudian oleh pemohon eksekusi diajukan permohonan lagi ke Peradilan Umum;Maka seyogyanya PeradilanUmum menolak permohonan tersebut. Adapun sebagai alasannya ialah :- Bahwa oleh karena eksekusi lelang tersebut sudah ditangani oleh

BPUPLN, dengan sendirinya masalah tersebut berasal dari kredit macet dari bank-bank milik Pemerintah. Sedangkan menurut ketentuan yang berlaku wewenang untuk masalah tersebut ada pada BPUPLN tanpa ada dispensasi khusus untuk dilimpahkan kepada Peradilan Umum. Dalam hal yang demikian Peradilan Umum hanya mempunyai kewenangan dalam eksekusi pengosongan, apabila diminta oleh yang bersangkutan.

ad.3. Berdasarkan redaksi pasal 3(1) PP. No. 43 tahun 1991 uang gani rugi yang dapat dikabulkan oleh peradilanTata Usaha Negara dalam gugatan Perbuatan melawan Hukum Oleh Penguasa maksimum Rp. 5.000.000,- apabila ganti rugi yang diminta lebih dari Rp. 5.000.000,-, agar Peradilan tetap menjaga kepastian hukum disatu dan disisi yang lain menjaga rasa keadilan; seyogyanya ditempuh cara sebagai berikut:Kepada Penggugat disarankan untuk di dalam surat gugatannya, setelah mengemukakan Positanya, dan m engajukan Petitum m engenai PerbuatanHukum Oleh Penguasa, sebaiknya Petitum mengenai uang ganti rugi direservir dahulu, untuk nantinya diajukan sebagai Petitum di dalam gugatan yang diajukan ke Peradilan Umum. Sebaliknya Peradilan Tata Usaha Negara seyogyanya mengambil sikap mengabulkan Petitum penggugat seperti tersebut di atas tanpa mempermasalahkan Petitum mengenai uang ganti rugi.Kedua saran tersebut dimaksudkan untukmelindungi pihak Penggugat agar terhindar dari ketentuan azas Res Judicata Pro Veritate Habitur

14

Page 26: 2m i PENDALAMAN MATERI HUKUM I I - Mahkamah Agung

sebagaimana diatur dalam pasal 1917 BW. ad.4. Demikian pula kedua saran tersebut diterapkan dalam hal penggugat

mengajukan gugatan yang dalam Petitumnya berisi permohonan uang ganti rugi ats kerugian immateriel.

IV. KESIMPULAN / SARAN.Dengan memahami porsi dan batas kewenangan masing-masing antara

Peradilan Umum dengan Peradilan Tata Usaha negara, maka akan dapat dihindarkan tumpang tindih atau kerancuan dalam penanganan dan penyelesaian perkara-perkara yang menyangkut tanah.

15

Page 27: 2m i PENDALAMAN MATERI HUKUM I I - Mahkamah Agung

SUATU STUDI PERBANDINGAN ANTARA WEWENANG PERADILAN UMUM DAN PERADILAN TUN

MENGENAI KASUS PERTANAHAN DI INDONESIA O le h : Kelompok MERPATI

I. PENDAHULUAN.Usaha Negara adalah didasarkan pada pasal 10 Undang-undang No. 14

tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman yang berbunyi : pasal 10 ayat (1) Kekuasaan Kejiakiman dilakukan oleh Pengdilan dalam lingkungan :a. Peradilan Umum;b. Peradilan Agama;c. Peradilan Militer;d. Perdilan Tata Usaha Negara.Bahwa dengan berlakunya secara efektif Undang-undang No. 5 tahun 1986 pada tanggal 14 Januari 1991 berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 7 tahun 1991, maka sebagian gugatan perbuatan melawan hukum oleh Penguasa yang biasanya diajukan ke Peradilan Umum, masuk dalam kompetensi Peradilan Tata Usaha Negara.

Perbedaan pokok antara Peradilan Umum dengan Perdilan Tata Usaha negara terletak pada subyek dan obyek gugatan. Subyek gugatan Peradilan Tata Usaha negara adalah orang atau Badan Hukum sebagai penggugat dan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara sebagai tergugat, dan obyek dari Peradilan Tata Usaha Negara adalah Keputusan/Penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang bersifat konkrit, individual dan final yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau Badan Hukum Perdata (pasal 1 butir 3 Undang-undang No. 5 tahun 1986). Bahwa oleh karena yang menjadi tergugat dalam Peradilan Tata Usaha Negara adalah Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, maka gugatan tidak dikenal gugatan rekonpensi.

Bahwa dalam pembahasan ini sesuai dengan judul makalah yaitu Suatu Studi Perbandingan Antara Wewenang Peradilan Umum dan Peradilan Tata Usaha Negara dalam menangani Kasus Pertanahan di Indonesia, maka Kelompok Merpati akan membatasi diri pada masalah pertanahan saja.

II. PERMASALAHAN.Dengan terbentuknya Peradilan Tata Usaha Negara seperti tersebut di

atas, maka di sana-sini banyak timbul permasalahan yang berbenturan

16

Page 28: 2m i PENDALAMAN MATERI HUKUM I I - Mahkamah Agung

kepentingannya, khususnya di Peradilan Umum dengan Peradilan Tata Usaha Negara mengenai tanah.

Permasalahan-permasalahan tersebut menurut Kelompok Merpati dapat dirinci sebagai beriku t:1. Wewenang Peradilan Umum yang berkaitan dengan permasalahan tanah.2. W ewenang Peradilan Tata Usaha Negara yang berkaitan dengan

permasalahan tanah.3. Titik singgung Peradilan Umum dengan Peradilan Tata Usaha Negara. Dengan segala pembahasan permasalahan tersebut di atas. Kelompok Merpati bermaksud untuk dapat dijadikan masukan dalam memperlengkapi dan memperbaiki peraturan-peraturan tersebut di atas demi kepentingan para Pencari keadilan dan kepastian hukum.

IH. PEMBAHASAN PERMASALAHAN.Bahwa sesuai dengan ketentuan pasal 10 Undang-undang No. 14 tahun

1970di Indonesia dikenal adanya 4 lingkungan Peradilan yaitu Peradilan Umum. Peradilan Agama, Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha negara. Dalam prakteknya ada titik singgung khususnya antara Peradilan Umum dan Peradilan Tata Usaha negara mengenai kasus pertanahan di Indonesia, oleh karena itu perlu adanya pembahasan yang memadai agar dalam menangani kasus pertanahan tersebut tidak terjadi tumpang tindih antara wewenang Peradilan Umum dan Peradilan Tata Usaha Negara.

Untuk memudahkan pembahasan mengenai wewenang Perdilan Umum dan PeradilanTata Usaha Negara dalam menangani kasus pertanahan. Kelompok Merpati akan membahas dengan sistematika sebagaimana akan diuraikan di bawah ini :1. Wewenang Peradilan Umum yang berkaitan dengan permasalahan

tanah.Peradilan Umum berwenang memeriksa dan mengadili semua gugatan yang diajukan mengenai kasus pertanahan dengan melalui proses pemeriksaan sebagaimana diatur dalam HIR dan RBg.Di dalam cara pengajuan gugatan mengenai tanah, sedikit ada perbedaan antara yang diatur dalam pasal 118 HIR dengan pasal 142 RBg. Pasal 118 ayat (3) HIR berbunyi sebagai beriku t:

’’Jika tergugat tidak mempunyai tempat tinggal yang diketahui dan juga tempat kediamannya tidak diketahui atau jika tergugat tidak dikenal, maka gugatan diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri di tempat tinggal penggugat atau salah seorang di antara penggugat-penggugat, atau jika gugatan itu adalah mengena:

17

Page 29: 2m i PENDALAMAN MATERI HUKUM I I - Mahkamah Agung

benda-benda tidak bergerak, maka gugatan diajukan kepada ketua Pengadilan negeri dalam wilayah hukum di mana benda itu berada’ ’.

Pasal 142 ayat (5) RBg yang berbunyi sebagai berikut:’’Dalam perkara yang berhubungan dengan tuntutan atas suatu benda tak bergerak, maka gugatan diajukan kepada ketua Pengadilan Negeri dalam wilayah hukum mana terletak benda tersebut; jika benda-benda tak bergerak itu terletak di dalam wilayah hukum lebih dari satu Pengadilan negeri, maka gugatan diajukan kepada salah seorang di antara Ketua-ketua Pengadilan negeri tersebut, menurut pilihan penggugat” .Cara pengajuan gugatan tanah sebagai barang tidak bergerak

menurut ketentuan pasal 118 ayat (3) HIR diajukan ke Pengadilan Negeri wilayah hukum di mana barang tersebut berada, jika ternyata tergugat tidak diketahui tem pat tinggal atau tem pat kediamannya, cara pengajuan gugatan tanah sebagai barang tidak bergerak menurut ketentuan pasal 142 ayat (5) RBg dapat diajukan ke Pengadilan Negeri di tempat tanah tersebut berada.

Perkara-perkara pertanahan yang biasanya diajukan dan diproses melalui gugatan di Peradilan Umum yang utama yang bersinggungan dengan Peradilan Tata Usaha Negara adalah yang berkaitan dengan diajukan sertifikat hak atas tanah.

Sesuai dengan ketentuan perundangan yang berlaku sertifikat hak atas tanah yang merupakan salah satu bentuk keputusan penguasa (Badan Tata Usaha Negara) dalam proses keperdataan termasuk bukti surat yang digolongkan sebagai akta otentik.

Menurut hukum akta otentik mempunyai kekuatan pembuktian mengikat/sempurna, sehingga Hakim harus menganggap apa yang tercantum dalam akta tersebut adalah benar, kecuali dapat dibuktikan sebaliknya atau palsu atau diperoleh dengan cara tidak syah.

Apabila dalam persidangan terbukti sertifikat atas tanah tersebut palsu atau diperoleh secara tidak syah, maka Hakim Peradilan Umum dapat menyatakan bahwa sertifikat tanah tersebut tidak mempunyai kekuatan pembuktian.

Meskipun Hakim Peradilan Umum dapat menyatakan suatu sertifikat hak atas tanah diperoleh secara tidak syah namun demikian Hakim Peradilan Umum tidak berwenang membatalkan sertifikat tersebut sehingga dalam diktum putusannya tidak dapat mencantumkan pembatalan sertifikat tersebut.

Page 30: 2m i PENDALAMAN MATERI HUKUM I I - Mahkamah Agung

2. Wewenang Peradilan Tata Usaha Negara yang berkaitandengan permasalahan tanah.Peradilan Tata Usaha Negara adalah suatu peradilan yang

berwenang memeriksa sengketa yang timbul antara Badan atau PejabatTata Usaha Negara dengan orang atau Badan Hukum Perdata baik di

pusat maupun di daerah sebagal akibat dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku (pasal I butir 4 Undang-undang No. 5 tahun 1986);

Di dalam Peradilan Tata Usaha Negara walaupun sebagai tergugat adalah Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara dan penggugat adalah orang atau Badan Hukum Perdata yang biasa disebut dengan istilah Pegel (Penggugat Ekonomi Lemah), namun mereka berdua di sidang Perdilan Tata Usaha Negara mempunyai kedudukan yang sama.

Apabila ada gugatan yang berkaitan dengan permasalahan tanah, maka penggugat (orang atau Badan Hukum Perdata) dengan tergugat (Pejabat yang mengeluarkan sertifikat) mempunyai kedudukan yang sama.

Di dalam Peradilan Tata Usaha Negara mengenai pengajuan suatu gugatan ada batas waktunya sebagaimana tercantum dalam pasal 55 Undang-undang No. 5 tahun 1986 yaitu gugatan dapat diajukan hanya dalam tenggangwaktu sembilan puluh hari terhitung sejak diterimanya atau diumumkannya Keputusan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, berbeda dengan di Peradilan Umum di mana batas waktu pengajuan gugatan tersebut tidak ada.

Apabila gugatan Tata Usaha Negara diajukan setelah lewat waktunya, maka dalam rapat permusyawaratan Ketua Pengadilan berwenang memutuskan dengan suatu penetapan yang dilengkapi dengan pertimbangan-pertimbangan bahwa gugatan yang diajukan itu dinyatakan tidak diterima atau tidak berdasar (pasal 62 ayat (1) sub e Undang-undang No. 5 tahun 1986).

Seseorang atau Badan Hukum Perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu keputusan Tata Usaha Negara (misalnya sertifikat tanah), dapat mengajukan gugatan tertulis yang memuat data-data sebagaimana tercantum dalam pasal 56 Undang-undang No. 5 tahun 1986, kepada Pengadilan yang berwenang (pasal 54 Undang-undang No. 5 tahun 1986) yang berisi tuntutan agar Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan itu dinyatakan batal atau tidak sah, dengan atau tanpa disertai tuntutan ganti rugi dan atau direhabilitasi (pasal 53 ayat (1)

19

Page 31: 2m i PENDALAMAN MATERI HUKUM I I - Mahkamah Agung

Undang-undang No. 5 tahun 1986).Dengan adanya gugatan tersebut, Peradilan Tata Usaha negara

hanya berwenang untuk menilai mengenai berwenang/tidaknya Pejabat Tata Usaha Negara dalam mengeluarkan Keputusan Tata Usaha Negara tersebut (misal sertifikat tanah), dengan dasar-dasar sebagaimana tercantum dalam pasal 53 ayat (2) Undang-undang No. tahun 1986 yaitu:a. Apakah Pejabat Tata Usaha Negara dalam mengeluarkan keputusan

Tata Usaha Negara tersebut bertentangan dengan peraturan perundang- undangan yang berlaku atau tidak.

b. Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara pada waktu mengeluarkan Keputusan Tata Usaha Negara tersebut telah menggunakan wewenangnya untuk tujuan lain dari maksud diberikannya wewenang tersebut.

c. Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara pada waktu mengeluarkan keputusan Tata Usaha Negara tersebut setelah mempertimbangkan semua kepentingan yang tersangkut dengan keputusan itu seharusnya tidak sampai pada pengambilan atau tidak pengambilan keputusan tersebut.

Apabila ternyata bahwa tergugat (Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara) dalam mengeluarkan Keputusan Tata Usaha Negara bertentangan dengan salah satu ketentuan dalam pasal 53 ayat (2) Undang-undang No. 5 tahun 1986 tersebut, maka Peradilan Tata Usaha negara berwenang untuk menyatakan bahwa Keputusan Tata Usaha Negara tersebut batal atau tidak sah dengan atau tanpa disertai ganti rugi.

Jadi Peradilan Tata Usaha Negara hanya menilai gugatan Tata Usaha Negara dari apakah Keputusan Tata Usaha Negara itu dikeluarkan oleh Pejabat Tata Usaha Negara yang benar-benar mempunyai wewenang, tidak sewenang-wenang dan memakai prosedure sebagaimana ditentukan dalam peraturan perundang-undangan.

Apabila disertai pemberian ganti rugi maka harus ditempuh ketentuan yang tercantum dalam pasal 120 Undang-undang No. 5 tahun 1986.(1) . Salinan putusan Pengadilan yang berisi kewajiban membayar

ganti rugi dikirimkan kepada penggugat dan tergugat dalam waktu tiga hari setelah putusan Pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap.

(2) . Salinan putusan Pengadilan yang berisi kewajiban membayar ganirugi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dikirimkan pula oleh Pengadilan kepada Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang

Page 32: 2m i PENDALAMAN MATERI HUKUM I I - Mahkamah Agung

dibebani kewajiban membayar ganti rugi tersebut dalam waktu tiga hari setelah putusan Pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap.

(3). Besarnya ganti rugi beserta tata cara pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 97 ayat (10) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 97 ayat (10) :Kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ayat (9) dapat disertai pembebanan ganti rugi.Pasal 97 ayat (9) :a. Pencabutan Keputusan Tata Usaha Negara yang bersangkutan

ataub. Pencabutan Keputusan Tata Usaha Negara yang bersangkutan dan

menerbitkan Keputusan Tata Usaha Negara yang baru, atauc. Penerbitan Keputusan Tata Usaha Negara dalam hal gugatan

didasarkan pada pasal 3.Peraturan Pem erintah yang m engatur tentang ganti rugi sebagaimana dinyatakan dalam pasal 120 ayat (3) Undang-undang No. 5 tahun 1986 yaitu dinyatakan bahwa ganti rugi minimum Rp. 250.000.00 maximum Rp. 5.000.000.00.

3. Titik singgung Peradilan Umum dengan Peradilan Tata Usaha Negara.

Sebagaimana telah diuraikan di atas, ternyata terdapat titiksinggung antara wewenang yang ada pada Peradilan Umum dan Peradilan tata Usaha Negara khususnya mengenai sertifikat tanah, masih terkait permasalahan lainnya yaitu mengenai perbuatan melawan hukum dan ganti rugi.

Peradilan Umum tidak berwenang membatalkan sertifikat tanah, melainkan hanya menyatakan bahwa sertifikat tanah tidak mempunyai kekuatan hukum.

Peradilan Tata Usaha Negara hanya berwenang memutuskan bahwa sertifikat tanah tersebut dinyatakan batal atau tidak sah dengan atau tanpa disertai tuntutan ganti rugi (pasal 53 ayat (1) Undang-undang No. 5 tahun 1986).

Sebelum berlakunya Undang-undang No. 5 tahun 1986 semua perbuatan melawan hukum yang dilakukan baik oleh orang perorangan, Badan Hukum ataupun Penguasa merupakan wewenang Peradilan Umum.

21

Page 33: 2m i PENDALAMAN MATERI HUKUM I I - Mahkamah Agung

Akan tetapi dengan berlakunya Undang-undang No. 5 tahun 1986 yang secara efektif mulai berlaku tanggal 14 Januari 1991 dengan Peraturan Pemerintah No. 7 tahun 1991, maka Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang bersifat tertulis, konkrit, individual, final dan mempunyai akibat hukum bagi seseorang atau Badan Hukum Perdata (pasal 1 butir 3 Undang-undang No. 5 tahun 1986), menjadi wewenang Peradilan Tata Usaha Negara.

Apabila ada gugatan ke Peradilan Tata Usaha Negara yang disertai dengan tuntutan ganti rugi yang besarnya melebihi ketentuan di dalam Peraturan Pemerentah No. 43 tahun 1991, (yaitu lebih dari Rp. 5.000.000.00) di mana gugatan tersebut sudah diputus oleh Perdilan Tata Usaha Negara apakah kekurangan gani rugi tersebut dapat dituntut di Peradilan Umum?

Menurut Kelompok Merpati hal tersebut tidak bisa, karena apabila suatu kasus sudah diputus oleh Pengadilan Tata Usaha Negara, maka Peradilan Umum tidak berwenang lagi memeriksa dan memutus, karena Peradilan Umum tidak berwenang menguji/menilai kembali putusan Peradilan Tata Usaha Negara mengingat kedudukan kedua Peradilan tersebut adalah sederajat.

Apabila terjadi hal yang demikian, seyogyanya Peradilan Tata Usaha Negara menyarankan kepada penggugat untuk memisahkan agar tuntutan ganti ruginya dipisahkan dari gugatan mengenai masalah sertifikat tanahnya.Titik singgung lainnya.

Salah satu masalah hukum yang sangat erat hubungannya dengan titik singgung antara Peradilan Umum dengan Peradilan Tata Usaha Negara adalah perbuatan melawan hukum.

Sebelum berlaku Undang-undang No. 5 tahun 1986 semua perbuatan melawan hukum yang dilakukan baik oleh orang perorangan Badan ataupun Penguasa adalah merupakan wewenang Peradilan Umum.

Akan tetapi dengan berlakunya Undang-undang No. 5 tahun 1986 yang secara efektif berlaku berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 7 tahun 1991, maka perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh Perorangan/Badan, Penguasa yang memenuhi syarat pasal 1 butir 3 Undang-undang tersebut menjadi wewenang Peradilan Tata Usaha Negara.

Apabila ada gugatan ke Peradilan Tata Usaha Negara yang disertai tuntutan ganti rugi yang besarnya melebihi ketentuan dalam Peraturan

Page 34: 2m i PENDALAMAN MATERI HUKUM I I - Mahkamah Agung

Pemerintah No. 43 tahun 1991 yang sudah diputus oleh Peradilan tata Usaha Negara, apakah kekurangan ganti rugi dapat dituntut di Peradilan Umum.

Menurut Kelompok Merpati tidak lain, karena apabila sudah diputus oleh Pengadilan Tata Usaha Negara, Peradilan Umum tidak berwenang lagi karena Peradilan Umum tidak berwenang menguji/ menilai kembali putusan Pengadilan Tata Usaha Negara mengingat kedudukan Pengadilan Tata Usaha Negara dan Peradilan Umum sederajat.

Apabila terjadi hal demikian, seyogyanya Pengadilan Tata Usaha Negara menyarankan kepada penggugat untuk memisahkan tuntutan ganti ruginya dari perkara Tata Usaha Negara-nya.

IV. KESIMPULAN / SARAN

KESIMPULAN1. Dalam hal ganti rugi sudah diputus oleh Peradilan Tata Usaha Negara

maka Peradilan Umum tidak berwenang lagi untuk memeriksa dan mengadili tentang gugatan ganti rugi tersebut.

2. Dalam hal gugatan ganti rugi diajukan terpisah/tersendiri dari perkara Tata Usaha Negara, maka Peradilan Umum berwenang untuk mengadili ganti rugi tersebut.

3. Bahwa Peradilan Umum tidak berwenang membatalkan sertifikat tanah melainkanhanya dapat memutuskan bahwa suatu sertifikat tanah tidak mempunyai kekuatan hukum, sedang peradilan TUN berwewenang menyatakan batal/tidak syah dengan atau tanpa disertasi ganti rugi.

S A R A N1. Agar Peradilan Tata Usaha Negara dalam hal ada tuntutan ganti rugi lebih

dari Rp. 5.000.000.00 dapat menyarankan kepada penggugat untuk dipisahkan dan mengajukan gugatan ganti rugi kepada Peradilan Umum.

2. Apabila ada permasalahan mengenai tanah dan ganti rugi yang menjadi wewenang Peradilan Umum dan Peradilan Tata Usaha Negara maka dengan terbatasnya waktu mengajukan gugatan di Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana diatur dalam pasal 55 Undang-undang No. 5 tahun 1986 maka agar disarankan kepada penggugat untuk mengajukan gugatan di Peradilan Tata Usaha Negara lebih dahulu.

23

Page 35: 2m i PENDALAMAN MATERI HUKUM I I - Mahkamah Agung

SUATU STUDI PERBANDINGAN ANTARA WEWENANG PERADILAN UMUM DAN PERADILAN TUN

MENGENAI KASUS PERTANAHAN DI INDONESIA O leh : Kelompok SEMPATI

I. PE N D A H U LU A NKelompok Sempati diberi tugas untuk menyusun makalah mengenai

’Suatu studi perbandingan antara kewenangan Peradilan Umum dan Peradilan Tata Usaha Negara dalam menangani kasus Pertanahan di Indonesia’.

Konsepsi azas-azas dan ketentuan-ketentuan pokok mengenai pertanahan ini diatur dalam Undang-undang No. 5 Tahun I960 tentang Peraturan dasar Pokok-pokok Agraria yang mulai berlaku sejak tanggal 24 September 1960.

Hak-hak atas tanah adalah hak-hak penguasaan atas tanah yang dapat dipunyai perseorangan dan badan-badan hukum yang memberikan kewenangan untuk menggunakan bidang tanah tertentu bagi kepentingan pribadi atau usahanya.

Semenjak berlakunya Undang-undang No. 5 Tahun 1986 maka wewenang untuk mengadili sengketa Tata Usaha Negara mengenai keputusan Badan/ Pejabat Tata Usaha Negara di bidang pertanahan tidak lagi dilaksanakan oleh Peradilan Umum, melainkan wewenang tersebut menjadi wewenang Peradilan Tata Usaha Negara.

Khususnya mengenai penyelesaian sengketa pertanahan ini, selain Peradilan Umum menyelesaikan sengketa tersebut, dapat pula diperiksa dan diadili pada Peradilan Tata Usaha Negara ditinjau dari segi Pejabat Tata Usaha negara yang mengeluarkan keputusan tentang hak atas tanah tersebut.

Dengan demikian baik Peradilan Umum yang memeriksa dan mengadili sengketa pertanahan yang memeriksa gugatan penggugat tentang hak-hak atas tanah maka masalah pertanahan tersebut dapat pula diadili Peradi lan Tata Usaha Negara dari segi gugatan terhadap Badan/Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan keputusan tentang hak atas tanah tersebut.

Kedua badan Peradilan itu sama-sama berfungsi untuk memberi perlindungan kepada masyarakat, tetapi masing-masing berdiri sendiri dan mempunyai wewenang yang berbeda tentang objek dan subjek perkaranya.

Dengan adanya pemisahan wewenang tersebut seringkah timbul permasalahan mengenai kewenangan untuk menangani kasus yang menyangkut pertanahan sehingga perlu diketahui batas-batas wewenang dan hubungan antara Peradilan Umum dan Peradilan Tata Usaha Negara.

24

Page 36: 2m i PENDALAMAN MATERI HUKUM I I - Mahkamah Agung

II. LATAR BELA K A NG .Untuk membuktikan hak seseorang atas tanah antara lain Hak Milik, Hak

Pakai, Hak Guna Bangunan, harus mengajukan permohonan kepada Badan Pertanahan Nasional setempat dengan memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan dalam Undang-undang.

Selama ini masalah sengketa pertanahan di Indonesia diselesaikan oleh Peradilan Umum.

Menurut pasal 10 Undang-undang No. 14Tahun 1970 tentang Ketentuan- ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman dinyatakan .

’ ’Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh Pengadilan dalam lingkungan :a. Peradilan Umum;b. Peradilan Agama;c. Peradilan Militer;d. Peradilan Tata Usaha Negara.

Sebagai pelaksanaan dari Undang-undang tersebut di atas telah ditetapkan/ diundangkan Undang-undang No. 5 Tahun 1986 tanggal 29 Desember 1986 yang mulai berlaku tanggal 14 Januari 1991 sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1991.

Sejak tanggal 14 Januari 1991 Peradilan Tata Usaha Negara mulai berfungsi dan berwenang menerima dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara di Indonesia termasuk kasus-kasus mengenai pertanahan.

Dengan demikian maka penyelesaian sengketa masalah pertanahan di Indonesia tidak saja diselesaikan di Peradilan Umum tetapi juga diselesaikan di Peradilan Tata Usaha Negara.

III. PE R M A SA L A H A N .Sejauh mana wewenang Peradilan Umum dan Peradilan Tata Usaha

Negara dalam penyelesaian kasus-kasus pertanahan di Indonesia.

IV . PEM ECAHAN PERM ASA LA H A N.Pemecahan permasahan tersebut di atas menurut Kelompok Sempati

adalah dengan cara menguraikan apa yang menjadi wewenang Peradilan Umum dan Peradilan Tata Usaha negara mengenai kasus-kasus pertanahan sehingga kita dapat mengambil kesimpulan perbandingan wewenang dari kedua Peradilan tersebut.1. W ewenang Peradilan Umum.

Peradilan Umum berwenang mengadili kasus-kasus pertanahan yang

25

Page 37: 2m i PENDALAMAN MATERI HUKUM I I - Mahkamah Agung

digugat oleh Perorangan, Badan Hukum, Negara dan Badan Hukum Negara yang ditujukan kepada Perorangan, Badan Hukum, Negara dan Badan Hukum Negara mengenai hal-hal sebagai berikut :a. Kepemilikan Hak atas Tanah.b. Perbuatan Melawan Hukum atas tindakan yang memperkosa hak

milik atas tanah.c. Perbuatan ingkar janji jual-beli, sewa-menyewa, jaminan dan lain-

lain Hak atas Tanah.W ewenang Peradilan Tata Usaha Negara.Pengadilan Tata Usaha Negara bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan Tata Usaha Negara dalam bidang pertanahan.Bukti hak mengenai tanah dikeluarkan oleh Pejabat Tata Usaha Negara yang berwenang yang dalam hal ini Badan Pertanahan Nasional. Bahwa dalam penerbitan Surat Keputusan Pemberian Bukti Pemilikan Pertanahan, Badan/Pejabat Pertanahan Nasional kemungkinan melakukan kekeliruan yang disebabkan oleh :- Data-data yang salah, keliru, palsu yang diajukan oleh pemohon.- Kekurang telitian Badan/Pejabat Badan Pertanahan Nasional syarat-

syarat yang harus dipenuhi menurut peraturan dan perundang-undangan dalam mengeluarkan Surat Keputusan bukti hak atas tanah (Sertifikat).

Dalam hal terjadinya kesalahan/kekeliruan Badan Pertanahan Nasional dalam mengeluarkan Surat Keputusan bukti hak milik atas tanah tidak mungkin lagi gugatan diajukan ke Perdilan Umum karena sudah menjadi wewenang Peradilan Tata Usaha Negara berdasarkan pasal 53 (2) Undang- undang No. 5 tahun 1986 yang berbunyi sebagai berikut :

’’alasan-alasan yang dapat digunakan dalam gugatana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah :

a. Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

b. Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara pada waktu mengeluarkan keputusan sebagaim ana dim aksud dalam ayat (1) telah menggunakan wewenangnya untuk tujuan lain dari maksud diberikannya wewenangnya tersebut.

c. Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara pada waktu mengeluarkan atau tidak mengeluarkan keputusan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) setelah mempertimbangkan semua kepentingan yang tersangkut dalam keputusan itu seharusnya tidak sampai pada

Page 38: 2m i PENDALAMAN MATERI HUKUM I I - Mahkamah Agung

pengambilan atau tidak pengambilan keputusan tersebut. Sehubungan dengan hal tersebut di atas maka yang dapat mengajukan gugatan kepada Badan/Pejabat Tata Usaha Negara melalui Peradilan Tata Usaha negara adalah seseorang atau Badan Hukum Perdata yang merasa dirugikan oleh Keputusan Badan/Pejabat Tata Usaha negara sedangkan Badan/Pejabat Tata Usaha Negara selalu berstatus sebagai Tergugat.Berdasarkan ketentuan tersebut di atas yang menjadi objek/we wenang Peradilan Tata Usaha Negara adalah Keputusan Tata Usaha Negara berupa suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara berdasarkan peraturan Perundang-undangan yang berlaku yang bersifat Konkrit, Individual dan Final yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.Bahwa berdasarkan pasal 53 ayat (1) Undang-undang No. 5 tahun 1986, Pengadilan Tata Usaha Negara dimungkinkan pula untuk memutus dengan menyatakan keputusan Tata Usaha Negara batal atau tidak sah, dengan atau tanpa disertai ganti rugi dan atau rehabilitasi.Mengenai besarnya ganti 'rugi berdasarkan pasal 120 Undang-undang No. 5 tahun 1986 diatur dengan Peraturan Pemerintah No. 43 tahun 1991 yang menentukan bahwa ganti rugi sekurang-kurangnya Rp. 250.000,- dan sebanyak-banyaknya Rp. 5.000,000,-.

V . K ESIM PULAN DAN SARAN.

A . KESIM PULAN :1. Peradilan Umum dan Peradilan Tata Usaha Negara sama-sama

berfungsi untuk memberikan perlindungn hukum kepada masyarakat mengenai kasus-kasus pertanahan.

2. Yang menjadi Penggugat di Peradilan Umum adalah Perorangan, Badan Hukum, Negara dan Badan Hukum Negara.

3. Yang menjadi Pengugat di Peradilan Tata Usaha Negara adalah Perorangan dan Badan Hukum Perdata.

4. Tergugat dalam Peradilan Umum adalah Perorangan, Badan Hukum, Negara dan Badan Hukum Negara.

5. Tergugat dalam Peradilan Tata Usaha Negara adalah Badan/Pejabat Tata Usaha Negara.

6. Objek sengketa di Perdilan Umum adalah :a. Kepemilikan hak atas tanah.

27

Page 39: 2m i PENDALAMAN MATERI HUKUM I I - Mahkamah Agung

b. Perbuatan melawan hukum atas tindakan yang memperkosa hak milik atas tanah.

c. Perbuatan ingkar janji, jual-beli, sewa-menyewa, jaminan dan sebagainya yang menyangkut hak atas tanah.

7. Objek sengketa di Peradilan Tata Usaha Negara adalah Keputusan Badan/Pejabat Tata Usaha Negara yang menimbulkan kerugian bagi seseorang atau Badan Hukum Perdata.

8. Besarnya ganti-rugi di Perdilan Tata Usaha Negara terbatas, mulai dari Rp. 250.000,- sampai dengan setinggi-tingginya Rp. 5.000.000,-

9. Menurut pasal 55 Undang-undang No. 5 tahun 1986 maka gugatan yang diajukan ke Peradilan Tata Usaha Negara adalah dalam tenggang waktu 90 hari sejak dikeluarkannya/diumumkannya Keputusannya Badan/Pejabat Tata Usaha Negara tersebut.

SARAN :Berhubung tuntutan ganti rugi atas gugatan ganti rugi dari Penggugat hanya terbatas maksimal Rp. 5.000.000,- pada Peradilan Tata Usaha negara, maka Penggugat dapat menuntut ganti rugi sesuai dengan kerugian yang diderita pada Peradilan Umum.Gugatan Penggugat terhadap Keputusan Badan/Pejabat Tata Usaha Negara yang sudah melebihi 90 hari yang merupakan batas wewenang Peradilan Tata Usaha Negara sesuai pasal 55 Undang-undang No. 5 tahun 1986 dapat mengajukan gugatan kepada Peradilan Umum.

Page 40: 2m i PENDALAMAN MATERI HUKUM I I - Mahkamah Agung

SUATU STUDI PERBANDINGAN ANTARA WEWENANG PERADILAN UMUM DAN PERADILAN TUN

MENGENAI KASUS PERTANAHAN DI INDONESIA Oleh : Kelompok SRIWIJAYA

L PENDAHULUANBerdasarkan ketentuan pasal 10 Undang-undang No. 14 tahun 1970

tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh Pengadilan dalam lingkungan :a. Peradilan Umum;b. Peradilan Agama;c. Peradilan Militer;d. Peradilan Tata Usaha Negara.Bahwa dengan berlakunya secara efektif Undang-undang No. 5 tahun 1986 pada tanggal 14 Januari 1991 berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 7 tahun 1991, maka sebagian gugatan perbuatan melawan hukum oleh Penguasa yang biasanya diajukan ke Pengadilan Umum, masuk dalam kompetensi Peradilan Tata Usaha Negara.

Perbedaan antara Peradilan Umum dengan Peradilan Tata Usaha Negara terletak pada subyek dan obyek gugatan. Subyek gugatan Peradilan Tata Usaha Negara adalah orang atau Badan Hukum sebagai penggugat dan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara sebagai tergugat, obyek dari Peradilan Tata Usaha Negara adalah Keputusan/Penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang bersifat konkrit, individual dan final yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau Badan Hukum Perdata (pasal 1 butir 3 Undang-undang No. 5 tahun 1986).

Karena Badan Peradilan Umum dan Peradilan Tata Usaha Negara berwenang menangani kasus pertanahan di Indonesia, maka Kelompok Sriwijaya berusaha akan membahas batas-batas kewenangan dari kedua badan Peradilan tersebut.

n . PERMASALAHAN.Dengan terbentuknya Peradilan Tata Usaha Negara seperti tersebut di

atas, maka di sana-sini banyak timbul permasalahan mengenai kewenangan Peradilan Umum dengan Peradilan Tata Usaha Negara mengenai khusus tanah.

29

Page 41: 2m i PENDALAMAN MATERI HUKUM I I - Mahkamah Agung

Permasalahan-permasalahan tersebut menurut Kelompok Sriwijaya dapat dirinci sebagai beriku t:1. Wewenang Peradilan Umum yang berkaitan dengan permasalahan

tanah.2. Wewenang Peradilan Tata Usaha Negara yang berkaitan dengan

permasalahan tanah.3. Titik singgung wewenang Peradilan Umum dengan Peradilan Tata

Usaha Negara yang berkaitan mengenai tanah.Dengan tiga permasalahan tersebut di atas, Kelompok Sriwijaya bermaksud akan melakukan pembahasan-pembahasan sebagai berikut:

III. PEMBAHASAN PERMASALAHAN.Bahwa sesuai dengan ketentuan pasal 10 Undang-undang No. 14 tahun

1970 di Indonesia dikenal adanya 4 lingkungan Peradilan yaitu Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara. Dalam prakteknya ada titik singgung antara Peradilan Umum dan Peradilan Tata Usaha Negara mengenai kasus pertanahan di Indonesia, oleh karena itu perlu adanya pembahasan yang memadai agar dalam menangani kasus pertanahan tersebut tidak terjadi tumpang tindih antara wewenang Peradilan Umum dan Peradilan Tata Usaha Negara.

Untuk memudahkan pembahasan mengenai wewenang Peradilan Umum dan Peradilan Tata Usaha Negara dalam menangani kasus pertanahan, Kelompok Sriwijaya akan membahas dengan sistematika sebagaimana akan diuraikan di bawah i n i :1. Wewenang Peradilan Umum yang berkaitan dengan permasalahan

tanah.Peradilan Umum berwenang memeriksa dan mengadili semua gugatan yang diajukan mengenai kasus pertanahan dengan melalui proses pemeriksaan sebagaimana diatur dalam HIR dan RBg.Di dalam cara pengajuan gugatan mengenai tanah, terdapat perbedaan antara yang diatur dalam pasal 118 HIR dengan pasal 142 RBg.Pasal 118 ayat (3) HIR berbunyi sebagai berikut:"Jika tergugat tidak mempunyai tempat tinggal yang diketahui dan juga tempat kediamannya tidak diketahui atau jika tergugat tidak dikenal, maka gugatan diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri di tempat tinggal penggugat atau salah seorang di antara penggugat-penggugat, atau jika gugatan itu adalah menganai benda-benda tidak bergerak, maka gugatan diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri dalam wilayah hukum di mana benda itu berada".

30

Page 42: 2m i PENDALAMAN MATERI HUKUM I I - Mahkamah Agung

Pasal 142 ayat (5) RBg yang berbunyi sebagai berikut:"Dalam perkara yang berhubungan dengan tuntutan atas suatu benda tak bergerak, maka gugatan diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri dalam wilayah hukum mana terletak benda tersebut; jika benda-benda tak bergerak itu terletak di dalam wilayah hukum lebih dari satu Pengadilan Negari, maka gugatan diajukan kepada salah seorang di antara Ketua-ketua Pengadilan Negeri tersebut, menurut pilihan peng­gugat".

Cara pengajuan gugatan tanah sebagai barang tidak bergerak menurut ketentuan pasal 118 ayat (3) HIR diajukan ke Pengadilan Negeri wilayah hukum di mana barang tersebut berada. Jika ternyata tergugat tidak diketahui tempat tinggal atau tempat kediamannya, cara pengajuan gugatan tanah sebagai barang tidak bergerak menurut ketentuan pasal 142 ayat (5) RBg dapat diajukan ke Pengadilan Negeri di tempat tanah tersebut berada.

Perkara-perkara pertanahan yang biasanya diajukan dan diproses melalui gugatan di Peradilan Umum yang bersinggungan dengan Peradilan Tata Usaha Negara adalah yang berkaitan dengan diajukan sertifikat hak atas tanah.

Sesuai dengan ketentuan perundangan yang berlaku sertifikat hak atas tanah yang merupakan salah satu bentuk keputusan penguasa (Badan Tata Usaha Negara) dalam proses keperdataan termasuk bukti surat yang digolongkan sebagai akta otentik..

Menurut hukum, akta otentik mempunyai kekuatan pembuktian mengikat/sempuma, sehignga Hakim harus menganggap apa yang tercantum dalam akta tersebut adalah benar, kecuali dapat dibuktikan sebaliknya atau palsu atau diperoleh dengan cara tidak syah.

Apabila dalam persidangan terbukti sertifikat atas tanah tersebut palsu atau diperoleh secara tidak syah, maka Hakim Peradilan Umum dapat menyatakan bahwa sertifikat tanah tersebut tidak mempunyai kekuatan pembuktian.

Meskipun Hakim Peradilan Umum dapat menyatakan suatu sertifikat hak atas tanah diperoleh secara tidak syah, namun demikian Hakim Peradilan Umum tidak berwenang membatalkan sertifikat tersebut sehingga dalam diktum putusannya tidak dapat mencantumkan pembatalan sertifikat tersbut.

2. Wewenang Peradilan Tata Usaha Negara yang berkaitan dengan permasalahan tanah.

31

Page 43: 2m i PENDALAMAN MATERI HUKUM I I - Mahkamah Agung

Peradilan Tata Usaha Negara adalah suatu peradilan yang ber­wenang memeriksa sengketa yang timbul antara Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara dengan orang atau Badan Hukum perdata baik di pusat maupun di daerah sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku (pasal 1 butir 4 Undang-undang No. 5 tahun 1986).

Di dalam Peradilan Tata Usaha Negara walaupun sebagai tergugat adalah Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara dan penggugat adalah orang atau Badan Hukum Perdata yang biasa disebut dengan istilah Pegel (Penggugat Ekonomi Lemah), namun mereka berdua di sidang Peradilan Tata Usaha Negara mempunyai kedudukan yang sama.

Apabila dan gugatan yang berkaitan dengan permasalahan tanah, m aka penggugat (orang atau Badan Hukum Perdata) dengan tergugat (Pejabat yang mengeluarkan sertifikat) mempunyai kedudukan yang sama.

Di dalam Peradilan Tata Usaha Negara mengenai pengajuan suatu gugatan ada batas waktunya sebagaimana tercantum dalam 55 Undang- undang No. 5 tahun 1986 yaitu gugatan dapat diajukan hanya dalam tenggang waktu sembilan >puluh hari terhitung sejak saat diterimanya atau diumumkannya Keputusan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, berbeda dengan di Peradilan Umum di mana batas waktu pengajuan gugatan tersebut tidak ada.

Apabila gugatan Tata Usaha Negara diajukan setelah lewat waktu­nya, maka dalam rapat permusyawaratan Ketua Pengadilan berwenang memutuskan dengan suatu penetapan yang dilengkapi dengan per­timbangan-pertimbangan bahwa gugatan yang diajukan itu dinyatakan tidak diterima atau tidak berdasar (pasal 62 ayat (1) sub e Undang- undang Nd. 5 tahun 1986).

Seseorang atau Badan Hukum Perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu Keputusan Tata Usaha Negara (misalnya sertifikat tanah), dapat mengajukan gugatan tertulis yang memuat data-data sebagaimana tercantum dalam pasal 56 Undang-undang No. 5 tahun 1986, kepada Pengadilan yang berwenang (pasal 54 Undang-undang No. 5 tahun 1986) yang berisi tuntutan agar Keputusan Tata Usaha N egara yagn disengketakan itu dinyatakan batal atau tidak sah, dengan atau tanpa disertai tuntutan ganti rugi dan atau direhabilitasi (pasal 53 ayat (1) Undang-undang No. 5 tahun 1986).

Page 44: 2m i PENDALAMAN MATERI HUKUM I I - Mahkamah Agung

Dengan adanya gugatan tersebut, Peradilan Tata Usaha Negara antara lain berwenang untuk menilai mengenai berwenang/tidaknya Pejabat Tata Usaha Negara dalam mengeluarkan Keputusan Tata Usaha Negara tersebut (misal sertifikat tanah), dengan dasar-dasar sebagai­mana tercantum dalam pasal 53 ayat (2) Undang-undang No. 5 tahun 1986 yaitu :a. Apakah Pejabat Tata Usaha Negara dalam mengeluarkan keputus-

an Tata Usaha Negara tersebut bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku atau tidak

b. Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara pada waktu mengeluarkan Keputusan Tata Usaha Negara tersebut telah menggunakan wewenangnya untuk tujuan lain dari maksud diberikannya wewenang tersebut.

c. Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara pada waktu me­ngeluarkan Keputusan Tata Usaha Negara tersebut setelah mempertimbangkan semua kepentingan yang tersangkut dengan keputusan itu seharusnya tidak sampai pada pengambilan atau tidak pengambilan keputusan tersebutApabila ternyata bahwa tergugat (Badan atau Pejabat Tata Usaha

Negara) dalam mengeluarkan Keputusan Tata Usaha N egara ber­tentangan dengan salah satu ketentuan dalam pasal 53 ayat (2) Undang- undang No. 5 tahun 1986 tersebut, maka Peradilan Tata Usaha Negara berwenang untuk menyatakan bahwa Keputusan Tata Usaha Negara tersebut batal atau tidak sah dengan atau tanpa disertai ganti rugi.

Jadi Peradilan Tata Usaha Negara hanya menilai gugatan Tata Usaha Negara dari apakah Keputusan Tata Usaha Negara itu di­keluarkan oleh Pejabat Tata Usaha Negara yang benar-benar mem­punyai wewenang, tidak sewenang-wenang dan memakai prosedure sebagaimana ditentukan dalam peraturan perundang-undangan.

Apabila disertai pemberian ganti rugi maka harus ditempuh ketentuan yang tercantum dalam pasal 120 Undang-undang No. 5 tahun 1986.(1) Salinan putusan Pengadilan yang berisi kewajiban membayar ganti

rugi dikirimkan kepada penggugat dan tergugat dalam waktu tiga hari setelah putusan Pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap.

(2) Salinan putusan Pengadilan yang berisi kewajiban membayar ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dikirimkan pula oleh Pengadilan kepada Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang

33

Page 45: 2m i PENDALAMAN MATERI HUKUM I I - Mahkamah Agung

dibebani kewajiban membayar ganti rugi tersebut dalam waktu tiga hari setelah putusan Pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap.

(3) Besarnya ganti rugi beserta tata cara pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 97 ayat (10) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 97 ayat (10) :Kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ayat (9) dapat disertai pembebanan ganti rugi.Pasal 97 ayat (9) :Kewajiban Pejabat Tata usaha Negara berupa :a. Pencabutan Keputusan Tata Usaha Negara yang bersangkutan ataub. Pencabutan Keputusan Tata Usaha Negara yang bersangkutan dan

menerbitkan Keputusan Tata Usaha Negara yang baru, atauc. Penerbitan Keputusan Tata Usaha Negara dalam hal gugatan

didasarkan pada pasal 3.Peraturan Pemerintah yang mengatur tentang ganti rugi sebagai­

mana dinyatakan dalam pasal 120 ayat (3) Undang-undang No. 5 tahun 1986 yaitu dinyatakan bahwa ganti rugi minimum Rp. 250.000,00 maksimum Rp. 5.000.000,00.

3. Titik singgung Peradilan Umum dengan Peradilan Tata Usaha Negara.Sebagaimana telah diuraikan di atas, ternyata terdapat titik singgung

antara wewenang yang ada pada Peradilan Umum dan Peradilan Tata Usaha Negara khususnya mengenai sertifikat tanah, masih terkait permasalahan lainnya yaitu mengenai perbuatan melawan hukum dan ganti rugi.

Peradilan Umum tidak berwenang membatalkan sertifikat tanah, melainkan hanya menyatakan bahwa sertifikat tanah tidak mempunyai kekuatan hukum.

Peradilan Tata Usaha Negara hanya berwenang memutuskan bahwa sertifikat tanah tersebut dinyatakan batal atau tidak sah dengan atau tanpa disertai tuntutan ganti rugi (pasal 53 ayat (1) Undang-undang No. 5 tahun 1986).

Sebelum berlakunya Undang-undang No. 5 tahun 1986 semua perbuatan melawan hukum yang dilakukan baik oleh orang perorangan, Badan Hukum ataupun Penguasa merupakan wewenang Peradilan Umum.

Akan tetapi dengan berlakunya Undang-undang No. 5 tahun 1986 yang secara efektif mulai berlaku tanggal 14 Januari 1991 dengan

34

Page 46: 2m i PENDALAMAN MATERI HUKUM I I - Mahkamah Agung

Peraturan Pemerintah No. 7 tahun 1991, maka Keputusan Tata U saha Negara yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang bersifat tertulis, konkrit, individual, final dan mempunyai akibat hukum bagi seseorang atau Badan Hukum perdata (pasal 1 butir 3 Undang-undang No. 5 tahun 1986), menjadi wewenang Peradilan Tata Usaha Negara.

Apabila ada gugatan ke Peradilan Tata Usaha Negara yang disertai dengan tuntutan ganti rugi yang besarnya melebihi ketentuan di dalam Peraturan Pemerintah No. 43 tahun 1991, (yaitu lebih dari Rp. 5.000.000,00) dimana gugatan tersebut sudah diputus oleh Peradilan Tata Usaha Negara apakah kekurangan ganti rugi tersebut-dapat dituntut di Peradilan Umum ?

Menurut Kelompok Sriwijaya hal tersebut tidak bisa, karena apabila suatu kasus sudah diputus oleh Pengadilan Tata Usaha Negara, maka Peradilan Umum tidak berwenang lagi memeriksa dan memutus, karena Peradilan Umum tidak berwenang menguji/menilai kembali putusan Peradilan Tata Usaha Negara mengingat kedudukan kedua Peradilan tersebut adalah sederajat.

Apabila terjadi hal yang demikian, seyogyanya Peradilan Tata Usaha Negara menyarankan kepada penggugat untuk memisahkan agar tuntutan ganti ruginya dipisahkan dari gugatan mengenai m asalah sertifikat tanahnya.

IV. KESIMPULAN/SARAN

Kesimpulan.1. Dalam hal ganti rugi sudah diputus oleh Peradilan Tata Usaha N egara

maka Peradilan Umum tidak berwenang lagi untuk memeriksa dan mengadili tentang gugatan ganti rugi tersebut.

2. Dalam hal gugatan ganti rugi diajukan terpisah/tersendiri dari perkara Tata Usaha Negara, maka Peradilan Umum berwenang untuk m engadili ganti rugi tersebut.

3. Bahwa Peradilan Umum tidak berwenang membatalkan sertifikat tanah melainkan hanya dapat memutuskan bahwa suatu sertifikat tanah tidak mempunyai kekuatan hukum, sedang peradilan TUN berwenang me­nyatakan batal/tidak syah dengan atau tanpa disertai ganti rugi.

35

Page 47: 2m i PENDALAMAN MATERI HUKUM I I - Mahkamah Agung

Saran. '

1. Agar Peradilan Tata Usaha Negara dalam hal ada tuntutan ganti rugi lebih dari Rp. 5.000.000,00 dapat menyarankan kepada penggugat untuk dipisahkan dan mengajukan gugatan ganti rugi kepada Peradilan Umum.

2. Apabila ada permasalahan mengenai tanah dan ganti rugi yang menjadi wewenang Peradilan Umum dan Peradilan Tata Usaha Negara maka dengan terbatasnya waktu mengajukan gugatan di Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana diatur dalam pasal 55 Undang-undang No. 5 tahun 1986 maka agar disarankan kepada penggugat untuk mengajukan gugatan di Peradilan Tata Usaha Negara lebih dahulu.

36

Page 48: 2m i PENDALAMAN MATERI HUKUM I I - Mahkamah Agung

MASALAH-MASALAH YANG DAPAT TERJADI SEHUBUNGAN DENGAN

PENYELENGGARAAN PERADILAN MENGENAI

HAK UJI MATERIEL DI INDONESIA

Page 49: 2m i PENDALAMAN MATERI HUKUM I I - Mahkamah Agung
Page 50: 2m i PENDALAMAN MATERI HUKUM I I - Mahkamah Agung

MASALAH-MASALAH YANG DAPAT TERJADI SEHUBUNGAN DENGAN PENYELENGGARAAN PERADILAN

MENGENAI HAK UJI MATERIEL DI INDONESIA O le h : Kelompok BOURAQ

I. PENDAHULUAN

Berbicara mengenai hal hak uji materiel dalam suatu negara, tidak mungkin kita menghindarkan diri dari pengertian negara hukum, dimana pada prinsipnya mempunyai ciri-ciri sebagai berikut :1. Adanya perlindungan terhadap hak-hak azasi manusia.2. Adanya persamaan hak dimuka hukum.3. Adanya kebebasan Kekuasaan Kehakiman.

Pada akhir-akhir ini ada gugatan dari masyarakat supaya M ahkamah Agung menguji secara materiil terhadap perundang-undangan yang berada di bawah undang-undang yang antara lain sebagai contoh yaitu gugatan diajukan oleh Surya Palon sehubungan dengan dibredelnya harian Prioritas dengan alasan bahwa harian tersebut melanggar Peraturan Menteri Penerangan.

Padahal menurut Surya Palon Peraturan Menteri Penerangan yang dijadikan dasar pencabutan SIUPP bertentangan dengan Undang-undang Pokok Pers.Dalam hal ini terjadi bahwa peraturan yang lebih rendah bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi tingkatnya.

Didalam penataan hukum tentu tidak boleh suatu peraturan perundang- undangan yang lebih rendah tingkatannya bertentangan dengan suatu peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Dalam kurun waktu yang lama, terjadi kekosongan hukum tentang tata cara pengajuan hak uji materiel di Indonesia seperti dimaksud diatas, sehingga M ahkamah Agung RI mengeluarkan suatu Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 1993 tentang Hak Uji Materiel.

Didalam pelaksanaannya yang menyangkut prosesnya, beberapa hal akan terjadi. Tulisan ini bermaksud untuk membahas masalah-masalah yang timbul tersebut dan mencari jalan penyelesaiannya.

H. PERMASALAHANAda beberapa permasalahan yang perlu dibahas dalam pelaksanaan

Hak Uji M ateriel walaupun sudah ada ketentuan yang menjadi dasar hak

39

Page 51: 2m i PENDALAMAN MATERI HUKUM I I - Mahkamah Agung

uji materiel dari Mahkamah Agung, yaitu :1. Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Pokok-pokok

Kekuasaan Kehakiman, pasal 26 ayat (1) dan (2).2. TAP MPR-RI No. III/MPR/1978, pasal 11 ayat (4).3. Undang-undang No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, pasal

31 ayat (1).Namun peraturan pelaksanaannya atau tata cara penyelesaiannya belum

ada.Baru pada tanggal 15 Juni 1993 dengan Peraturan Mahkamah Agung

No. 1 Tahun 1993 tentang Hak Uji Materiel, hal tersebut diatur.

Ada beberapa hal yang dapat dipermasalahkan.1. Apakah Mahkamah Agung sebagai Lembaga Yudikatif berwenang

untuk mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung tersebut.2. Apakah pasal 3 ayat (1) Peraturan Mahkamah Agung tersebut

memberikan hak uji materiel kepada peradilan tingkat pertama dan tingkat banding dan apakah hal tersebut tidak bertentangan dengan pasal 26 Undang-undang No. 14 Tahun 1970 dan pasal 31 Undang- undang No. 14 Tahun 1985. Apalagi bila pihak-pihak menerima putusan peradilan tingkat pertama dan atau peradilan tingkat banding yang berarti bahwa putusan perkara tersebut sudah mempunyai kekuatan hukum yang tetap.

3. Bagaimana cara mengajukan penyelesaian Hak Uji Materiel. Apakah melalui proses perdata atau melalui proses pidana. Diajukan ke Peradilan Militer atau Peradilan Tata Usaha Negara.

4. Bagaimana pengawasan terhadap pelaksanaan putusan perkara Hak Uji Materiel.

HI. PEMECAHANa d .l. Untuk menjawab apakah Mahkamah Agung mempunyai

kewenangan untuk mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 1993 perlu dilihat dasar hukumnya dalam Undang- undang No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, yaitu pada pasal 79 yang menyebutkan :Mahkamah Agung dapat mengatur lebih lanjut hal-hal yang diperlukan bagi kelancaran penyelenggaraan peradilan apabila

40

Page 52: 2m i PENDALAMAN MATERI HUKUM I I - Mahkamah Agung

terdapat hal-hal yang belum cukup diatur dalam undang-undang ini.

Penjelasannya :

Apabila dalam jalannya peradilan terdapat kekurangan atau kekosongan hukum dalam sesuatu hal. Mahkamah Agung berwenang membuat peraturan sebagai pelengkap untuk mengisi kekurangan atau kekosongan tadi. Dengan undang-undang ini Mahkamah Agung berwenang menentukan pengaturan tentang cara penyelesaian suatu soal yang belum atau tidak diatur dalam Undang-undang ini.

Dalam hal ini peraturan yang dikeluarkan Mahkamah Agung dibedakan dengan peraturan yang disusun oleh Pembentuk Undang- undang.

Penyelenggaraan peradilan yang dimaksudkan undang-undang ini hanya merupakan bagian dari hukum acara secara keseluruhan. Dengan demikian Mahkamah Agung tidak akan mencampuri dan melampaui peraturan tentang hak dan kewajiban warga negara pada umumnya dan tidak pula mengatur sifat, kekuatan alat pembuktian serta penilaiannya ataupun pembagian beban pembuktian.Dalam pasal tersebut ternyata Pembuat Undang-undang telah memberikan wewenang atributif untuk membuat peraturan.

Dengan demikian Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 1993 sudah mempunyai dasar hukum yang kuat.

ad.2. Untuk menjawab permasalahan nomor 2 yaitu apakah pasal 3 ayat (1) Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 1993 dimana Mahkamah Agung memberikan wewenang hak uji materiel kepada peradilan tingkat pertama dan tingkat banding, kita melihat isi pasal 3 ayat (1) - (2) tersebut yang berbunyi sebagai berikut :

ayat (1) : Majelis Hakim tingkat pertama dan tingakt banding yang memeriksa dan memutus tentang gugatan hak uji materiel itu dapat menyatakan peraturan perundang- undangan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tidak mempunyai akibat hukum dan tidak mengikat pihak- pihak yang berpeikara.

41

Page 53: 2m i PENDALAMAN MATERI HUKUM I I - Mahkamah Agung

ayat (2) : Bila Majelis Mahkamah Agung berpendapat bahwa gugat itu beralasan maka Majelis Mahkamah Agung mengabulkan gugat tersebut dan menyatakan bahwa peraturan perundang-undangan yang digugat sebagai tidak sah karena bertentangan dengan undang-undang atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.

Jika diperhatikan pasal 3 ayat (1) dan (2), ternyata mengandung amar putusan yang berbeda.

Pada peradilan tingkat pertama dan banding amar Putusannya menyatakan "tidak mempunyai akibat hukum dan tidak mengikat pihak-pihak berperkara" Ini berarti tidak berlaku bagi pihak ketiga atau dengan kata lain tidak berlaku umum.

Dengan demikian pasal 3 ayat (1) bukan merupakan hak uji materiel sebab yang dimaksud hak uji materiel menyatakan peraturan perundang-undangan tidak sah karena bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan bersifat umum.

Jadi dapat disimpulkan bahwa pasal 3 ayat (1) Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 1993 tidak bertentangan dengan pasal 26 Undang-undang No. 14 Tahun 1970 dan pasal 31 Undang-undang No. 14 Tahun 1985.

ad.3. Bahwa mengajukan gugatan hak uji materiel dapat dilakukan melalui acara pidana dapat kita ambil dasar hukum pasal 2 ayat (3) yang isinya :

"Badan peradilan tingkat pertama dan tingkat banding yang menerima gugatan mengenai hak uji materiel dalam perkara perdata, pidana dan atau tata usaha negara, memeriksa dan memutus perkara sesuai dengan ketentuan hukum acara yang berlaku bagi perkara masing-masing".

Dalam hubungan ini timbul suatu pertanyaan bagaimana prosesnya dalam hukum acara pidana atau dengan kata lain bagaimana menerapkannya, bagaimana diktum putusan yang menyatakan bahwa suatu peraturan undang-undang yang menjadi dasar dakwaan ?

Caranya menurut kelompok Bouraq dengan jalan memasukkan didalam eksepsi bahwa peraturan yang didakwakan tersebut

42

Page 54: 2m i PENDALAMAN MATERI HUKUM I I - Mahkamah Agung

bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.

Cara mengabulkannya : dengan menerima eksepsi dari terdakwa dengan menyatakan dakwaan tidak dapat diterima, yang berarti ketentuan peraturan yang didakwakan kepada terdakwa tidak dapat diperlakukan kepada terdakwa.

Apabila melalui acara perdata dapat menempuh dua cara :1. Langsung ke Makamah Agung melalui Tata Usaha Negara

atau melalui Pengadilan Negeri setempat untuk diteruskan ke Mahkamah Agung sebagaimana layaknya perkara peninjauan kembali (PK).

2. Dengan proses perkara perdata biasa yang mencantumkan permohonan hak uji materiel dalam salah satu petitumnya.Dalam hal pengajuan penyelesaian hak uji materiel melalui

proses Peradilan Tata Usaha Negara sebenarnya tidak mungkin, sebab yang digugat pada hak uji materiel adalah peraturan perundang-undangan yang bersifat umum sedang yang dapat melalui Peradilan Tata Usaha Negara adalah putusan Pejabat atau putusan Tata Usaha Negara yang bersifat individual, concret dan final.

ad.4. Tentang pengawasan pelaksanaan putusan Mahkamah Agung tidak ada undang-undang yang mengatur. Dalam hal ini kesadaran dan ketaatan hukum dari pejabat yang terkait sangat memegang peranan.

IV. KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan :

Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 1993 sudah memenuhi kebutuhan para pencari keadilan.

Saran :Perlu ada peraturan yang mengatur tentang pencabutan dari peraturan yang dinyatakan tidak sah oleh instansi yang bersangkutan.

43

Page 55: 2m i PENDALAMAN MATERI HUKUM I I - Mahkamah Agung

MASALAH-MASALAH YANG DAPAT TERJADI SEHUBUNGAN DENGAN PENYELENGGARAAN PERADILAN

MENGENAI HAK UJI MATERIEL DI INDONESIA O leh : Kelompok GARUDA

I. PENDAHULUANMenurut penjelasan dari Undang-Undang Dasar 1945, bahwa Negara

Indonesia adalah suatu Negara Hukum, dimana berlaku azas legalitas dan azas konstitusional yang tidak dapat mengabaikan adanya produk- produk perundang-undangan yang lebih rendah bertentangan dengan perundang-undangan yang lebih tinggi yakni :Undang-undang, Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Undang- Undang Dasar 1945 dan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum.

Kenyataannya kita sering mendengar keluhan-keluhan dari masyarakat bahwa ada peraturan perundang-undangan yang lebih rendah dari pada undang-undang bertentangan dengan undang-undang.

Bahwa Mahkamah Agung Republik Indonesia sebagai lembaga tertinggi Badan Peradilan mempunyai hak dan wewenang melakukan hak uji materiel terhadap produk-produk perundang-undangan yang lebih rendah dari undang-undang.

Sebagai dasar kewenangan Mahkamah Agung Republik Indonesia tersebut dapat dilihat :1. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia

Nomor III/MPR/1978 tentang Kedudukan dan hubungan tata kerja lembaga-lembaga Tinggi Negara pasal 11 ayat (4) menyatakan : "Mahkamah Agung mempunyai wewenang menguji secara materiel hanya terhadap peraturan-peraturan perundangan dibawah Undang- undang".

2. Dalam pasal 25 ayat (1) Undang-undang No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman menyatakan dengan tegas :"Mahkamah Agung berwenang untuk menyatakan tidak sah semua peraturan perundang-undangan dari tingkat yang lebih rendah dari undang-undang atas alasan bertentangan dengan peraturan-peraturan yang lebih tinggi".

44

Page 56: 2m i PENDALAMAN MATERI HUKUM I I - Mahkamah Agung

3. Dan pasal-31 Undang-undang No. 14 Tahun 1985 tentang MahkamahAgung menyatakan :

(1) Mahkamah Agung mempunyai wewenang menguji secara materiel hanya terhadap peraturan perundang-undangan dibawah undang- undang.

(2) Mahkamah Agung berwenang menyatakan tidak sah semua peraturan perundang-undangan dari tingkat yang lebih rendah dari pada undang-undang atas alasan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.

(3) Putusan tentang pernyataan, tidak sahnya peraturan perundang- undangan tersebut dapat diambil berhubungan dengan pemeriksaan dalam tingkat kasasi. Pencabutan peraturan perundang-undangan yang dinyatakan tidak sah tersebut, dilakukan segera oleh instansi yang bersangkutan.Bahwa pengertian Hak Uji Materiel yang akan dibahas dalam makalah ini berbeda pengertian dengan "Judicial Review" menurut pengertian di Amerika Serikat, karena Judicial Review di Amerika Serikat mengandung pengertian t yang lebih luas termasuk pengujian undang-undang terhadap Undang-undang Dasar.

Bahwa tentunya dengan adanya kewenangan Mahkamah Agung Republik Indonesia melakukan Hak Uji Materiel, akan timbul permasalahan-permasalahan seperti akan dibahas dalam Bab berikut ini.

II. PERM ASALAHAN-PERMASALAHANSehubungan dengan kewenangan Mahkamah Agung Republik

Indonesia menguji secara materiel terhadap peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang tersebut, maka akan timbul permasalahan- permasalahan, antara lain :

1. Siapa yang dapat beritndak sebagai "persona standi in judicio" didalam gugatan Hak Uji Materiel.

Dalam ketentuan yang ada belum jelas yang dapat bertindak sebagai penggugat dan tergugat.

2. Mengenai peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang yang merupakan kewenangan Mahkamah Agung untuk melakukan Hak Uji Materiel, sebagai objek gugatan, kita melihat pada Tap

45

Page 57: 2m i PENDALAMAN MATERI HUKUM I I - Mahkamah Agung

MPRS No. XX/TAP/M PRS/1966, mengenai sumber-sumber tertib hukum Republik Indonesia dan tata urutan peraturan perundang- undangan Republik Indnoesia :

- Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945.- Ketetapan M ajelis Permusyawaratan Rakyat.

- Undang-undang, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang.

- Peraturan Pemerintah.

- Keputusan Presiden

- Peraturan-peraturan Pelaksanaan lainnya sepeti :

— Peraturan Menteri.

— Instruksi Menteri.

— Dan lain-lain.

Akan tetapi karena dalam Tap MPRS tersebut m asih adanya kekaburan pengertian tentang peraturan "dan lain-lain, tim bul permasalahan dengan perkatan "dan lain-lain" itu apakah termasuk di dalamnya juga Surat Keputusan Sekretaris Jenderal, Surat Keputusan Direktur Jenderal, Surat Keputusan Gubernur, Surat Keputusan Walikotamadya, Surat Keputusan Bupati Kepala Daerah Tingkat II yang bersifat umum ?

3. Seperti halnya dalam hal sip yang seharusnya menjadi penggugat dan sip yang menjadi tergugat, dalam ketentuan yang ada, belum diatur mengenai jangka waktu mengajukan gugatan dan masalah kedaluwarsa suatu objek gugatan, karena itu akan menimbulkan suatu permasalahan.

4. Pasal 31 ayat (3) Undang-undang No. 14 Tahun 1985, tentang M ahkamah Agung, hanya ditentukan "Pencabutan peraturan perundang-undangan yang dinyatakan tidak sah tersebut, dilakukan segera oleh instansi yang bersangkutan.

Tidak diatur bagaim ana tindakan selanjurnya apabila diktum putusan Mahkamah Agung tersebut, tidak dipatuhi oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha yang telah m engeluarkan, m enerbitkan atau mengumumkan peraturan perundang-undangan yang lebih rendah dari undang-undang.

5. a. Masalah hukum yang akan timbul setelah M ahkamah Agung RepublikIndonesia dalam putusannya menyatakan bahwa peraturan perundang-

46

Page 58: 2m i PENDALAMAN MATERI HUKUM I I - Mahkamah Agung

undang yang lebih rendah dari undang-undang itu dinyatakan tidak sah karena bertentangan dengan undang-undang.Bagaimana dengan upaya hukum yang dapat ditempuh oleh penggugat yang telah dirugikan dengan peraturan perundang-undangan yang telah dinyatakan tidak sah oleh Makam ah Agung ?

5.b.Bagaimana pula dengan kepentingan pihak ketiga yang juga dirugikan dengan adanya peraturan perundang-undangan yang telah dinyatakan tidak sah karena bertentangan dengan undang-undang yang lebih tinggi tersebut.

III. PEMECAHAN PERM ASALAHAN-PERM ASALAHAN

ad.l. Menurut hemat kami, tidak semua pihak bisa menjadi penggugat seperti halnya dalam hukum perdata, dapat bertindak selaku penggugat.Yang dapat bertindak adalah hanya orang perorangan dan Badan Hukum Keperdataan, sedangkan Badan Hukum Publik tidak dapat.Sedangkan yang dapat bertindak sebagai Tergugat menurut hemat kami hanyalah : Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang telah mengeluarkan, menerbitkan atau mengumumkan peraturan perundang-undangan tersebut.

Dalam proses perkara pidana kemungkinan yang dapat terjadi adalah melalui eksepsi terhadap dasar dakwaan Jaksa penuntut Umum.

ad.2. Permasalahan dalam Tap MPRS yang dimaksud dengan perkataan "dan lain-lain" itu, meliputi juga peraturan perundang-undangan seperti :- Surat Keputusan Sekretaris Jenderal.- Surat Keputusan Direktur Jenderal.- Surat Keputusan Gubernur.- Surat Keputusan Walikotamadya.- Surat Keputusan Bupati Kepala Daerah Tingkat II yang

bersifat umum.ad. 3. Untuk mengatasi permasalahan ad. 3 perlu dibuatkan peraturan

47

Page 59: 2m i PENDALAMAN MATERI HUKUM I I - Mahkamah Agung

baru terhadap jangka waktu mengajukan gugatan dan tentang kedaluwarsa terhadap objek gugatan.

ad.4. Sebagai pemecahan permasalahan ad. 4, maka disamping untuk membuat peraturan perundang-undangan yang dimaksud perlu juga untuk mengumumkannya di Tambahan Berita Negara Republik Indoensia (TBNRI) atau dalam Berita Daerah, sebagai semula diumumkannya peraturan perundang-undangan tersebut.

ad.5. a. dan b. :Pihak yang bersangkutan ataupun pihak ketiga yang dirugikan dapat mengajukan gugatan ganti rugi dan lain-lain ke Pengadilan Negeri setempat.

IV . KESIM PULAN DAN SARAN

Dari uraian tersebut diatas dapat disimpulkan dan saran sebagaiberikut :

1. bahwa hak uji materiel di Indonesia tidak sama pengertiannya dengan Judicial Review di Amerika Serikat.

2. Bahwa Mahkamah Agung Republik Indonesia berwenang untuk memeriksa dan memutus perkara-perkara gugatan tentang hak uji materiel.

3. Bahwa dengan berwenangnya Mahkamah Agung Republik Indonesia menguji secara materiel terhadap perundang-undangan dibawah undang-undang dengan alasan bertentangan dengan undang-undang yang lebih tinggi.

Tidak berarti Mahkamah Agung Republik Indonesia mencampuri wewenang Badan Eksekutif dan Badan Legislatif.

4. Bahwa demi untuk kelancaran pelaksanaan hak uji materiel perlu segera dibuat peraturan perundang-undangan yang lengkap.

48

Page 60: 2m i PENDALAMAN MATERI HUKUM I I - Mahkamah Agung

MASALAH-MASALAH YANG DAPAT TERJADI SEHUBUNGAN DENGAN PENYELENGGARAAN PERADILAN

MENGENAI HAK U H MATERIEL DI INDONESIA Oleh : Kelompok MANDALA

L PENDAHULUANPada tahun 1993 ini kiranya patut dicatat adanya suatu peristiwa

penting di dalam dunia Peradilan di Indonesia, yaitu diwujudkannya salah satu wewenang Mahkamah Agung yang sudah diatur di dalam undang-undang, namun belum sempat terlaksana.

Kita mengetahui bahwa kewenangan Mahkamah Agung tersebut sangat penting dan diperlukan oleh masyarakat. Kewenangan Mahkamah Agung dimaksud ialah yang oleh masyarakat dikenal dengan istilah "Judicial Review".

1. PENGERTIANSebenarnya istilah "Judicial Review" tersebut tidak tepat digunakan

dalam istilaah teknis dalam tata hukum Indonesia.

"Judicial Review" hanya dikenal dalam sistem hukum Anglo Saxon yaitu kewenangan Badan Peradilan Tertinggi di negara-negara tersebut untuk menguji secara materiel keabsahan produk perundang-undangan sampai ke tingkat undang-undang.

Untuk sistem hukum di Indonesia istilah teknis yang dipergunakan ialah "Hak Uji Materieel" yang pengertiannya berbeda dengan pengertian Judicial Review.

"Hak Uji Materiel” ialah kewenangan yang diberikan undang- undang kepada Mahkamah Agung Republik Indonesia untuk menguji secara materiel apakah suatu produk peraturan perundang-undangan tertentu yang tingkatnya di bawah undang-udanng bertentangan dengan perundang-undangan yang lebih tinggi.

2. DASAR HUKUMDi atas telah disinggung bahwa adanya kewenangan Mahkamah Agung

untuk menguji secara materiel terhadap peraturan perundng-undangan di bawah undang-undang, pertama tercantum di dalam pasal 26 Undang- undang No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.

49

Page 61: 2m i PENDALAMAN MATERI HUKUM I I - Mahkamah Agung

Kemudian hal ini dipertegas oleh pasal 11 (4) Ketetapan MPR R.I. No. III/MPR/1978 tentang Kedudukan dan Hubungan Tata Keija Lembaga Tertinggi Negara dengan/atau Antar Lembaga Tinggi Negara.

Selanjurnya ditegaskan lagi oleh pasal 31 Undang-undang No. 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.

Atas dasar pasal 79 Undang-undang No. 14 Tahun 1985, maka dikeluarkanlah Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 1993.

II. PERMASALAHAN

Dalam penyelenggaraan Peradilan mengenai Hak Uji Materiel berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung No. 1 tahun 1993 ditemukan beberapa permasalahan sebagai berikut :

1. Bagaimana tindak lanjut dari putusan Mahkamah Agung tentang Hak Uji Materiel yang tidak dilaksanakan oleh instansi yang bersangkutan.

2. Sebagaimana diatur dalam PERMA No. 1 Tahun 1993 sebagai pintu yang ketiga, Peradilan tingkat pertama dimungkinkan untuk memeriksa dan mengadili gugatan tentang Hak Uji Materiel yang merupakan sebagian dari gugatan atau petitum secara keseluruhannya.Dalam hal ini sesuai dengan ketentuan pasal 3 ayat (1) PERMA No. 1 tahun 1993 Majelis Hakim tingkat pertama dan tingkat banding yang memeriksa dan mengadili tentang gugatan Hak Uji Materiel itu dapat menyatakan peraturan perundang-undangan yang ber­tentangan dengan perundang-undangan yang lebih tinggi tidak mempunyai akibat hukum dan tidak mengikat pihak-pihak yang berperan.

3. Sebagaimana diterangkan dalam ceramah Bapak TUADA TUN pada ceramah beliau hari Senin tanggal 2 Agustus 1993 antara lain disebutkan bahwa dalam perkara pidana, masalah Hak Uji Materiel dimungkinkan untuk diajukan dalam eksepsi terhadap dakwaan.Bagaimanakah kaitannya dengan ketentuan yang terdapat dalam pasal 156 ayat 1 KUHP yng memungkinkan juga adanya keberatan atas dakwaan.

50

Page 62: 2m i PENDALAMAN MATERI HUKUM I I - Mahkamah Agung

m. PEMBAHASAN

1. M enanggapi permasalahan pertama :Mengenai bagaimana tindak lanjut dari putusan Mahkamah Agung tentang Hak Uji Materiel yang tidak dilaksanakan oleh instansi yang bersangkutan.Mengenai hai ini mengingat putusan Mahkamah Agung terhadap Hak Uji Materiel tersebut adalah berisifat declaratoir dan tidak ada diktum yang menghukum salah satu pihak untuk melakukan/tidak melakukan suatu perbuatan, maka dengan sendirinya putusan tersebut tidak perlu ditindak lanjuti dengan suatu eksekusi dan pelaksanaannya diserahkan sepenuhnya kepada instansi yang bersangkutan.

2. M enanggapi perm asalahan kedua, tim bullah hal-hal yang mungkin terjadi m isalnya :Kemungkinan I :Apabila di dalam gugatan tersebut dimohonkan oleh penggugat supaya peraturan perundang-undangan yang bertentangan dengan perundang- undangan yang lebih tinggi dinyatakan tidak sah, sedangkan peradilan tingkat pertama dan tingkat banding tidak mempunyai kewenangan untuk Hak Uji Materiel atas peratruran perundang-udnangan tersebut, sehingga tidak punya kewenangan pula untuk menaytakan bahwa peraturan tesebut tidak sah.

Dalam hal penggugat tidak mengajukan tuntutan subsidiair (exaequo et bono) dengan sendirinya peradilan tingkat pertama tidak bisa untuk mengabulkan selain apa yang dituntut dalam gugatan.

Kemungkinan II :Terhadap putusan peradilan tingkat pertama, baik penggugat maupun tergugat tidak mempergunakan upaya banding, sehingga putusan tersebut telah mempunyai kekuatan hukum.

3. M enanggapi permasalahan ketiga :Kebatalan suatu dakwaan, pasal 156 KUHP mengenai keberatan atas dakwaan tersebut mengacu pada pasal 143 ayat 3 KUHAP. Sedangkan eksepsiatas dakwaan di dalam Hak Uji Materiel adalah m enilai suatu produk perundang-undangan bertentangan atau tidak terhadap ketentuan perundang-undangan yang lebih tinggi, sehingga ruang lingkupnya sudah berlainan satu sama lain.

51

Page 63: 2m i PENDALAMAN MATERI HUKUM I I - Mahkamah Agung

IV. KESIMPULAN/SARAN.

1. Bila Hakim tingkat pertama dalam memeriksa dan mengadili mengenai Hak Uji Materiel menyatakan peraturan perundang- undangan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tidak mempunyai akibat hukum dan tidak mengikat pihak-pihak yang berperkara, kemudian pihak-pihak tidak mengajukan permohonan banding, maka berarti putusan Hakim tingkat pertama tersebut sudah mempunyai kekuatan hukum, sehingga dengan demikian tidak ada kesempatan lagi untuk mengajukan permohonan kasasi untuk menyatakan perundang-undangan tersebut tidak sah.

2. Agar suatu putusan Hak Uji Materiel dapat dilaksanakan dengan baik dan tuntas, maka dismping putusn Hak Uji Materiel tersebut diberitahukan dan disampaikan kepada pihak-pihak sebaiknya putusan tersebut diberitahukan pula kepada atasan instansi yang menerbitkan produk peraturan perundang-undangan tersebut.

52

Page 64: 2m i PENDALAMAN MATERI HUKUM I I - Mahkamah Agung

MASALAH-MASALAH YANG DAPAT TERJADI SEHUBUNGAN DENGAN PENYELENGGARAAN PERADILAN

HAK UJI MATERIEL DI INDONESIA O leh : Kelompok MERPATI

I. PENDAHULUANSebagaimana kita ketahui bahwa MA RI selain bertugas memeriksa

peikara-peikara dalam tingkat kasasi, menurut Undang-undang yakni pasal 11 (4) Ketetapan MPR RI No. ni/MPR/1978, pasal 26 Undang- undang No. 14 tahun 1970 dan pasal 31 Undang-undang No. 14 tahun 1985 diberi wewenang untuk menguji secara materiel terhadap peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang.

Bahwa hak uji materiel ini pengertiannya hampir sama dengan yudicial review di negara Anglo Saxon hanya pengertian hak uji materiel tidak seluas yudicial review, oleh karena hak uji materiel terbatas pada menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang, sedangkan yudicial review selain menguji undang-undang juga termasuk Undang- undang Dasar oleh karena itu Mahkamah Agung di Anglo Saxon disebut Constitution Court.

Dengan demikian hak uji materiel adalah berbeda dengan yudicial review, hal ini disebabkan pembuat Undang-undang adalah DPR dengan persetujuan Pemerintah, sedang antara Mahkamah Agung dengan DPR mempunyai kedudukan yang sama, yaitu sebagai Lembaga Tinggi Negara, oleh karena itu Mahkamah Agung tidak dimungkinkan menguji Undang- undang, apalagi Undang-undang Dasar.

Yang dimaksud dengan hak uji materiel ini tidak selalu berpangkal pada Undang-undang tetapi didasarkan pada hirarchi urutan perundangan sebagaimana Tap MPRS No. XX/MPRS/1966 di bawah Undang-undang yaitu :

- Peraturan Pemerintah.- Keputusan Presiden.- Peraturan Perundangan lainnya seperti :

- Peraturan Menteri.- Instruksi Menteri.- dan lain-lainnya.

Mahkamah Agung dalam tugasnya menguji peraturan perundang- undangan di bawah Undang-undang ini merupakan instansi pertama dan

53

Page 65: 2m i PENDALAMAN MATERI HUKUM I I - Mahkamah Agung

terakhir yang memutus hak uji materiel tersebut, sehingga tidakmemungkinkan terhadap putusan ini ada Peninjauan Kembali.

n. PERM ASALAHAN

Setelah mendengarkan ceramah Bapak Olden Bidara, SH. Tuada Ulditun MA RI dan membaca Peraturan Mahkamah Agung No. 1 tahun 1993 tanggal 15 Juni 1993 tentang Hak Uji M ateriel, dimana diatur tata cara pengajuan gugatan hak uji materiel, menurut hemat Kelompok Merpati masih terdapat "Masalah-masalah yang dapat terjadi sehubungan dengan penyelenggaraan peradilan mengenai Hak Uji Materiel di In­donesia", yaitu yang berhubungan dengan :

1. Prosedur pendaftaran pengajuan perkara Hak Uji Materiel.

2. Proses pemeriksaan perkara perdata atau pidana di pengadilan tingkat pertama dimana terkait permasalahan Hak Uji Materiel.

3. Pelaksanaan putusan Hak Uji Materiel.

H I. PEM BAHASAN PERM ASALAHAN

Sesuai dengan ketentuan dalam pasal 1 ayat 1 PERMA No. 1 tahun 1993 tanggal 15 Juni 1993 tentang Hak Uji M ateriel ditempuh dengan cara :

1. Diajukan langsung ke Mahkamah Agung RI.

2. Melalui Pengadilan tingkat pertama yang wilayah hukumnya meliputi tem pat kedudukan tergugat dengan cara langsung m engajukan permohonan hak uji materiel tersebut kepada Ketua Mahkamah Agung RI melalui Pengadilan tingkat pertama tersebut.

Dari kedua cara tersebut di atas, Kelompok Merpati menemukan beberapa permasalahan sebagai berikut :

1. P ro sed u r pendaftaran p e rk a ra .

Didalam ketentuan pasal 1 ayat 1 PERMA No. 1 tahun 1993 tanggal 15 Juni 1993 tidak ada kejelasan mengenai apakah pengajuan gugatan langsung ke Mahkamah Agung atau harus datang menghadap sendiri ke M ahkamah Agung atau dikirim via Pos.

Dengan mengingat wilayah negara RI yang cukup luas serta ketentuan didalam pasal 1 ayat 4 Peraturan Mahkamah Agung dimana dinyatakan bahwa Direktur TUN masih dapat meminta secara tertulis kekurangan

54

Page 66: 2m i PENDALAMAN MATERI HUKUM I I - Mahkamah Agung

persuratan baik kepada penggugat maupun tergugat, maka Kelompok Merpati berpendapat bahwa pengajuan gugatan langsung ke Mahkamah Agung dapat melalui Pos. Hanya permasalahan selanjutnya untuk kepastian sampai atau tidaknya gugatan dengan cepat dan tepat di Mahkamah Agung seyogyanya dikirim melalui Pos dengan surat tercatat.Selanjutnya juga perlu ada penegasan mengenai hal biaya perkara hak uji materiel sebagaimana diatur dalam pasal 1 ayat 2 Peraturan Mahkamah Agung, dimana hanya dinyatakan bahwa biaya perkara hak uji materiel ditentukan sebesar biaya perkara Peninjauan Kembali, tanpa m enyebut besarnya ju m lah biaya p e rk a ra hak u ji m aterie l, padahal tidak semua orang mengetahui berapa besar biaya perkara Peninjauan Kembali, hal tersebut dapat menyulitkan bagi para pencari keadilan, dim ana sebelum m engirim kan gugatan langsung ke Mahkamah Agung harus lebih dahulu mencari informasi kepada Pengadilan tingkat pertama di tem pat kediaman penggugat. Permasalahan seperti tersebut di atas, juga kemungkinan besar akan timbul bagi perkara-perkara gugatan hak uji materiel yang diajukan melalui Pengadilan tingkat pertama.Disamping kedua hal tersebut di atas, m enurut hemat Kelompok M erpati, m asih ada permasalahan sebagaimana tercantum dalam ketentuan pasal 1 ayat 1 Peraturan M ahkamah Agung bahwa gugatan dapat pula melalui Pengadilan tingkat pertama yang wilayah hukumnya meliputi tempat kedudukan tergugat.Ketentuan tersebut kemungkinan dapat menimbulkan kesulitan bagi penggugat, seandainya ia akan menggugat atas dasar suatu Keputusan/ Instruksi M enteri, maka penggugat terlebih dahulu harus mengetahui dimana Kantor Menteri tersebut dan masuk wilayah hukum pengadilan tingkat pertama yang mana.Demikian pula untuk gugatan-gugatan terhadap Peraturan-peraturan yang tingkatnya lebih rendah dari Keputusan/Instruksi Menteri tersebut.

Oleh karena itu Kelompok Merpati berpendapat perlu disempurnakan Peraturan Mahkamah Agung tersebut dengan menambah kemungkinan cara pengajuan gugatan melalui Pengadilan tingkat pertama tidak hanya harus diajukan melalui Pengadilan tingkat pertama tem pat kedudukan tergugat, tetapi juga dimungkinkan melalui Pengadilan tingkat pertama tempat kedudukan penggugat, khususnya atas gugatan hak uji materiel yang diajukan langsung ke Mahkamah Agung melalui Pengadilan tingkat pertama.

55

Page 67: 2m i PENDALAMAN MATERI HUKUM I I - Mahkamah Agung

2. Proses pemeriksaan perkara perdata atau pidana di Pengadilan tingkat pertama dimana terkait permasalahan hak uji materiel. Sesuai dengan ceramah Bapak Tuada TUN, Bapak Olden Bidara, SH. bahwa perkara hak uji materiel dapat juga terjadi melalui proses gugatan perdata dengan memasukan permohonan hak uji materiel tersebut dalam salah satu petitumnya. Hal demikian dapat juga terjadi dalam suatu proses pidana.a. Melalui gugatan perkara perdata.

Oleh karena perkara hak uji materiel merupakan salah satu petitum dari proses gugatan perdata, maka acaranya harus dipergunakan HIR atau RBg.Dalam proses pemeriksaan perkara kemungkinan dapat terjadi eksepsi yang menyangkut kewenangan mengadili (kompotensi absolut), dimana kewenangan tersebut merupakan kewenangan M ahkamah Agung, dan Pengadilan tingkat pertama tidak berwenang memeriksa dan mengadili perkara tersebut. Sesuai dengan ketentuan pasal 136 HIR (162 RBg) bahwa eksepsi tersebut harus diputus teerlebih dahulu.Pasal 136 HIR (162 R B g ) : "Tangkisan-tangkisan (eksepsi-eksepsi) yang ingin tergugat kemukakan, kecuali mengenai ketidak wenangan Hakim, tidak boleh diajukan dan dipertimbangkan sendiri-sendiri, melainkan diperiksa dan diputus bersama-sama dengan gugatan pokok".Karena putusan eksepsi tersebut merupakan putusan atas eksepsi yang menyangkut kompetensi absolut maka putusan tersebut merupakan putusan akhir, sehingga terhadap putusan eksepsi tersebut dapat dimohonkan banding. Hal ini akan menghambat proses pemeriksaan pokok perkaranya.Dengan demikian sebaiknya gugatan hak uji materiel tidak digabungkan dengan perkara perdata biasa.Meskipun pada prinsipnya Pengadilan tidak boleh menolak perkara, namun demi kelancaran jalannya persidangan perkara, sesuai ketentuan pasal 119 HIR (143 RBg) Ketua Pengadilan Negeri dapat menasehati yang bersangkutan untuk memperbaiki gugatan yang diajukan agar tidak dikaitkan dengan perkara hak uji materiel. Pasal 119 HIR (143 RBg) : "Ketua Pengadilan Negeri berwenang pada waktu diajukan gugatan untuk memberi nasehat dan bantuan kepada penggugat atau kuasanya".

56

Page 68: 2m i PENDALAMAN MATERI HUKUM I I - Mahkamah Agung

b. M elalui p e rk a ra p idana .

Seperti halnya dalam perkara perdata, dalam perkara pidanapun ada kemungkinan diajukan eksepsi sebagaimana diatur dalam pasal 156 Undang-undang No. 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.

A yat 1: Dalam hal terdakwa atau penasihat hukum m engajukankeberatan bahwa pengadilan tidak berwenang mengadili perkaranya atau dakwaan tidak dapat diterim a atau surat dakwaan harus dibatalkan, maka setelah diberi kesempatan kepada penuntut umum untuk m enyatakan pendapatnya, hakim m em pertim bangkan keberatan tersebut untuk selanjutnya mengambil keputusan.

A yat 2 : Dalam hal Penuntut Umum berkeberatan terhadapkeputusan tersebut, m aka ia dapat m engajukan perlawanan kepada pengadilan tinggi m elalui pengadilan negeri yang bersangkutan.

Dalam hal yang demikian hak uji materiel dalam pasal yang dijadikan dakwaan akan sampai ke M ahkamah Agung.

Apabila terjadi hal yang demikian materi dakwaan belum dapat diperiksa lebih lanjut dan harus menunggu keputusan m engenai sah tidaknya peraturan perundangan yang menjadi dasar dakwaan karena dalam hukum pidana berlaku azas legalitas (nullum crim en nulla poena sine praevia lege).

3. P elaksanaan pu tusan hak u ji m aterie l.

Bahwa didalam PERM A ternyata tidak diatur m engenai cara pelaksanaan putusan hak uji materiel, sehingga dirasakan kurang menjamin kepastian hukum bagi penggugat.

Sesuai ketentuan pasal 26 Undang-undang No. 14 tahun 1970 yang berbunyi Pencabutan dari peraturan perundangan yang dinyatakan tidak sah tersebut dilakukan oleh instansi yang bersangkutan, sehingga ada kemungkinan Peraturan M ahkamah Agung tentang H ak Uji M ateriel tersebut tidak ditaati. Oleh karena itu untuk m enjam in kepastian hukum hak uji materiel sebagaimana juga diberlakukan atas putusan Tata Usaha Negara.

57

Page 69: 2m i PENDALAMAN MATERI HUKUM I I - Mahkamah Agung

IV. KESIMPULAN/SARANKesimpulan.1. Bahwa di Indonesia tidak dikenal yudicial review, tetapi hanya

mengenal hak uji materiel.

2. Bahwa PERMA No. 1 tahun 1993 tentang Hak Uji Materiel masih perlu disempurnakan.

3. Bahwa pengajuan permohonan hak uji materiel melalui proses gugatan perdata biasa akan menghambat pemeriksan perkara itu sendiri dan sangat merugikan penggugat.

4. Bahwa pelaksanaan putusan terhadap gugatan hak uji materiel belum diatur secara tegas.

S a r a n :1. Agar M ahkamah Agung menetapkan biaya untuk pemeriksaan

terhadap hak uji materiel baik yang berkasnya langsung dikirim ke Mahkamah maupun yang dikirim melalui Pengadilan tingkat pertama.

2. Agar gugatan hak uji materiel yang dikirim langsung ke Mahkamah Agung atau melalui Pengadilan tingkat pertama dikirim secara tercatat.

3. Agar diadakan penyempurnaan atas PERMA No. 1 tahun 1993 tanggal 15 Juni 1993.

4. Agar dimungkinkan pengajuan gugatan hak uji materiel yang ditujukan langsung kepada M ahkamah Agung RI melalui Pengadilan tingkat pertama dapat dilakukan melalui Pengadilan tingkat pertama yang wilayahnya meliputi domisili penggugat.

58

Page 70: 2m i PENDALAMAN MATERI HUKUM I I - Mahkamah Agung

M ASALAH-M ASALAH YANG DAPAT TER JA D I SEHUBUNGAN DENGAN PENYELENGGARAAN PERADILAN

M ENGENAI H A K U H M A TERIEL DI INDONESIA Oleh : Kelom pok SEM PATI

I . PENDAHULUAN

Dalam diskusi kelompok Sempati yang membahas tentang M asalah- m asalah yang D apat Terjadi Sehubungan Dengan Penyelenggaraan Peradilan M engenai "Hak Uji M ateriil" di Indonesia memperoleh suatu kenyataan bahwa sistim hukum di Indonesia belum mempunyai ketentuan yang m engatur tentang hukum acara yang berhubungan dengan pelaksanaan peradilan tentang Hak Uji M ateriil seperti halnya dengan Judicial Review yang berlaku di Negara Anglo Saxon.

Bahwa berdasarkan ketentuan yang diatur dalam pasal 11 ayat (4) Tap MRP RI Nom or III/MPR/1978, pasal 26 Undang-undang N o. 14 Tahun 1970 dan pasal 31 Undang-undang No. 14 Tahun 1985, m em beri wewenagn kepada M ahkamah Agung RI untuk menguji secara m ateriil terhadap peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang.

Berdasarkan hal tersebut diatas dipandang perlu untuk m engeluarkan peraturan yang m engatur lebih lanjut tentang hal-hal yang diperlukan bagi kelancaran penyelenggaraan peradilan mengenai Hak Uji M ateriil, khususnya m engenai hal-hal yang belum diatur dalam keten tuan perundang-undangan yang berlaku.

Bahwa dengan sosial kontrol yang hidup dalam negara hukum Republik Indonesia ini, m aka perw ujudannya akan terlihat dalam perkembangan permohonan tentang Hak Uji M ateriil ini.

Dengan keluarnya Perm a No. 1 Tahun 1993 m aka segala perm asalahan yang tim bul tentang H ak Uji M ateriil akan dapat diselesaikan dengan tuntas.

II . LA TAR BELAKANG

Akhir-akhir ini dalam masyarakat banyak dipermasalahkan m engenai Judicial Review; dan atas dasar pengertian yang salah Pancari K eadilan menurut agar Mahkamah Agung RI melaksanakan Judicial Review seperti yang dianut oleh Negara Barat (Anglo Saxon).

Sistim hukum negara Republik Indonesia memungkinkan adanya peradilan mengenai Hak Uji Materiil; akan tetapi bukanlah Judicial Review seperti yang dimaksud diatas, karena hal tersebut sebenarnya tidak dikenal di Indonesia.

W ewenang yang ada pada M ahkamah Agung Republik Indonesia berdasarkan pasal 11 ayat (4) Tap M PR RI Nom or III/M PR/1978; pasal

59

Page 71: 2m i PENDALAMAN MATERI HUKUM I I - Mahkamah Agung

26 Undang-undang No. 14 Tahun 1970 dan pasal 31 Undang-undang No. 14 Tahun 1985 adalah untuk menguji secara m ateriil terhadap peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang.

Hak uji yang dimaksud dalam Judicial Review adalah lebih luas; tidak terbatas sampai pada pengujian perundang-undangan dibawah undang-undang, tetapi meliputi hak uji terhadap Konstitusi.

Berdasarkan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia tersebut diatas maka Mahkamah Agung RI berpendapat, bahwa wewenang yang ada pada M ahkamah Agung adalah Hak Uji M ateriil, bukan Judicial Review.

I I I . PERM A SA LA H A N

1. A danya permohonan dari Surya Paloh. Pimpinan Umum/Penanggung Jawab Harian Umum "PRIORITAS" agar M ahkamah Agung RI m em batalkan Putusan M enteri Penerangan tentang Pencabutan SIUP H arian Prioritas, oleh karena dianggap bertentangan dengan Undang- undang Pokok Pers.

2. Sosial kontrol masyarakat akan mendorong banyaknya gugatan Hak Uji M ateriil di segala sektor kehidupan baik di kota-kota besar m aupun di kota kecil, sebagai contoh dalam kredit macet.

K eputusan Menteri Keuangan RI Nom or 293/KM K/09/1993 tentang Pengurusan piutang negara yang m engayur pula ketentuan-ketentu­an :

- Cekal.

- Blokir.

- Penyitaan.

- Penyanderaan dan paksa badan.

Surat Keputusan M enteri Keuangan tersebut diatas adalah contoh pula m engenai peraturan perundang-udangan yang bertentangan dengan Undang-undang yang lebih tinggi dan dirasakan tidak m anusiawi. Sedangkan sebelumnya sangat 'banyak lagi Peraturan Perundangan yang masih berlaku akan tetapi tidak sesuai lagi dengan Undang-undang yang lebih tinggi.

Perm asalahan menumpuknya perkara pada M ahkamah Agung RI akan teijadi lagi pada masa yang akan datang apalagi apabila

60

Page 72: 2m i PENDALAMAN MATERI HUKUM I I - Mahkamah Agung

gugatan Hak Uji M ateriil tersebut m enyangkut kehidupan m asyarakat banyak yang harus segera ditangani.

3. Berdasarkan pasal 2 ayat 1, pasal 3 ayat 1. PERM A No. 1 tahun 1993, seolah-olah memberikan kemungkinan gugatan Hak Uji M ateriel dapat diajukan pada pengadilan T ingkat I dan begitu pula permasalahan akan tim bul apakah Pengadilan tingkat I berw enang atau masih perlu menerima dan mengadili gugatan yang tidak m enjadi wewenangnya tersebut. Permasalahan ini akan terjadi pula terhadap gugatan Hak Uji M ateriel yang diajukan sebagai bahagian dari gugatan Contentiosa atau yang diajukan dalam eksepsi oleh terdakw a dalam perkara pidana.

4. Perm asalahan terakhir adalah : apakah terhadap pem beritahuan putusan Hak Uji M ateriel dapat diajukan perlawanan; kalau dapat oleh siapa dan kemana harus mengajukan perlawanan tersebut.

IV . PEM EC A H A N M ASALAHW ewenang M ahkamah Agung tentang Hak Uji M ateriil adalah

berdasarkan undang-undang tetapi belum ada hukum acaranya; nam un demikian berdasar pasal 79 Undang-undang No. 14 Tahun 1985 yang berbunyi :

Mahkamah Agung dapat mengatur lebih lanjut hal-hal yang diperlukan bagi kelancaran penyelenggaraan peradilan apabila terdapat hal-hal yang belum cukup diatur dalam undang-undang.

M aka M ahkamah Agugn RI mengeluarkan Perma No. 1 Tahun 1993 mengenai hukum acara tentang pelaksanaan peradilan H ak Uji M ateriil, sehingga dengan demikian dapatlah diselesaikan seperti yang telah dipergunakan untuk memutus perkara yang diajukan oleh Surya Paloh dari harian Prioritas.

Atas permasalahan menumpuknya perkara di M ahakamah Agung yang menambah beban pekerjaan di M ahkamah Agung setiap saat apalagi dengan adanya pelaksanaan peradilan Hak Uji M ateriil ini, sebaiknya M ahkam ah Agung m em ikirkan untuk m engam bil kebijaksanaan untuk melimpahkan wewenang yang diberikan Undang- undang mengenai hak Uji M ateriil tersebut kepada Pengadilan Tinggi dalam wilayah hukum tergugat.

Apabila Mahkamah Agung berkenan mengambil kebijaksanaan seperti tersebut diatas, m aka permasalahan apakah masih perlu Pengadilan

61

Page 73: 2m i PENDALAMAN MATERI HUKUM I I - Mahkamah Agung

Negeri m engadili gugatan Hak Uji M ateriil yang bukan menjadi wewenangnya, begitu pula terhadap perm asalahan yang timbul terhadap gugatan Hak Uji Materiil yang diajukan sebagai bagian dari gugatan Contentiosa atau yang diajukan dalam eksepsi oleh terdakwa dalam perkara pidana, sudah pula teratasi karena tidak perlu lagi diperiksa dan diputus dalam peradilan tingkat Pertama.Menurut Kelompok Sempati terhadap pemberitahuan putusan Hak Uji Materiel seharusnya dapat diberikan kesempatan mengajukan per­lawanan oleh orang yang dirugikan dengan keputusan tersebut tetapi bukan lagi merupakan gugatan, cukup keberatan tertulis ke Mahkamah Agung Republik Indonesia atau ke Pengadilan Tinggi melalui Pengadilan Negeri tempat orang yang dirugikan tersebut.

V. K ESIM PU LA N DAN SARAN1. Judicial Review tidak sama dengan Hak Uji M ateriil yang ada pada

M ahkam ah Agung.

2. Kewenangan M ahkamah Agung RI adalah Hak Uji M ateriil yaitu hak untuk menguji semua peraturan dibawah undang-undang.

3. Hukum Acara yang mengatur tentang pelaksanaan peradilan mengenai Hak Uji M ateriil belum ada.

4. Perma No. 1 tahun 1993 menjadi pedoman untuk memeriksa dan memutus gugatan H ak Uji M ateriil di Indonesia, dengan demikian permasalahan-permasalahan yang timbul dapat diselesaikan atas dasar Perma tersebut.

5. M enumpuknya perkara di M ahkamah Agung pada m asa yang akan datang dengan adanya peradilan Hak Uji M ateriil.

SARAN :1. Karena m enurut undang-undang Hak Uji M ateriil ini wewenang

M ahkamah Agung RI, maka sebaiknya gugatan tentang hal ini langsung diajukan ke Mahkamah Agung atau melalui Pengadilan tingkat pertama yang kemudian diteruskan ke M ahkamah Agung sesuai tata cara pengajuan perkara, peninjauan kembali.

2. Agar M ahkam ah Agung m em ikirkan kebijaksanaan untuk melimpahkan wewenang yang diberikan Undang-undang mengenai Hak Uji M ateriil kepada Pengadilan Tinggi dalam wilayah hukum tempat tergugat.

62 .

Page 74: 2m i PENDALAMAN MATERI HUKUM I I - Mahkamah Agung

MASALAH-MASALAH YANG DAPAT TERJADI SEHUBUNGAN DENGAN PENYELENGGARAAN PERADILAN

MENGENAI HAK U H MATERIEL DI INDONESIA

O leh: Kelompok MAJAPAHIT

I. PENDAHULUAN.Sebagaimana kita ketahui bahwa MA-RI selain bertugas memeriksa

perkara-perkara dalam tingkat kasasi, menurut peraturan perundang- undangan yakni pasal 11 (4) Ketetapan MPR RI No. III/MPR/1978, pasal 26 Undang-undang No. 14 tahun 1970 dan pasal 31 Undang-undang No. 14 tahun 1985 diberi wewenang untuk menguji secara materiel terhadap peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang.

Bahwa hak uji materiel ini pengertiannya hampir sama dengan yudicial review di negara Anglo Saxon hanya ruang lingkupnya hak uji materiel tidak seluas yudicial review, oleh karena hak uji materiel terbatas pada menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang, sedang­kan yudicial review selain menguji undang-undang juga termasuk Undang Undang Dasar oleh karena itu Mahkamah Agung di Anglo Saxon disebut Constitutional Court.

Dengan demikian hak uji materiel adalah berbeda dengan yudicial review, hal ini disebabkan pembuat Undang-undang adalah DPR dengan persetujuan Pemerintah, sedang antara Mahkamah Agung dengan DPR mempunyai kedudukan yang sama, yaitu sebagai Lembaga Tinggi Negara, oleh karena itu Mahkamah Agung tidak dimungkinkan menguji Undang- undang, apalagi Undang Undang Dasar.

Hak uji materiel ini tidak selaku berpangkal pada mengenai Hak Uji Materiel di Indoensia, yaitu yang berhubungan dengan :1. Prosedur pendaftaran pengajuan perkara Hak Uji Materiel.2. Proses pemeriksaan perkara perdata atau pidana di pengadilan tingkat

pertama dimana terkait permasalahan Hak Uji Materiel.3. Pelaksanaan putusan Hak Uji Materiel.

III. PEMBAHASAN PERMASALAHAN.Sesuai dengan ketentuan dalam pasal 1 ayat 1 PERMA No. 1 tahun

1993 tanggal 15 Juni 1993 tentang Hak Uji Materiel ditempuh dengan cara :1. Diajukan langsung ke Mahkamah Agung RI.2. Melalui Pengadilan tingkat pertama yang wilayah hukumnya meliputi

tempat kedudukan tergugat dengan cara langsung mengajukan per­

63

Page 75: 2m i PENDALAMAN MATERI HUKUM I I - Mahkamah Agung

mohonan hak uji materiel tersebut kepada Ketua Mahkamah Agung RI melalui Pengadilan tingkat pertama tersebut.

Dari kedua cara tersebut di atas, Kelompok Majapahit menemukan beberapa permasalahan sebagai beriku t:1. Prosedur pendaftaran perkara.

Di dalam ketentuan pasal 1 ayat 1 PERMA No. 1 tahun 1993 tanggal 15 Juni 1993 tidak ada kejelasan mengenai apakah pengajuan gugatan langsung ke Mahkamah Agung atau harus datang menghadap sendiri ke Mahkamah Agung atau dikirim via pos.Dengan mengingat wilayah negara RI yang cukup luas serta ketentuan di dalam pasal 1 ayat 4 Peraturan Mahkamah Agung dimana dinyatakan bahwa Direktur TUN masih dapat meminta secara tertulis kekurangan persuratan baik kepada penggugat maupun tergugat, maka Kelompok Majapahit berpendapat bahwa pengajuan gugatan langsung ke Mahkamah Agung dapat melalui pos. Hanya permasalahan selanjutnya untuk kepastian sampai atau tidaknya gugatan dengan cepat dan tepat di Mahkamah Agung seyogyanya dikirim melalui Pos dengan surat tercatat.Selanjutnya juga perlu ada penegasan mengenai hal biaya perkara hak uji materiel sebagaimana diatur dalam pasal 1 ayat 2 Peraturan Mahkamah Agung, dimana hanya dinyatakan bahwa biaya perkara hak uji materiel ditentukan sebesar biaya perkara Peninjauan Kembali,tanpa menyebut besarnya jumlah biaya perkara hak uji materiel, padahal tidak semua orang mengetahi berapa besar biaya perkara Peninjauan Kembali, hal tersebut dapat menyulitkan bagi para pencari keadilan, dimana sebelum mengirimkan gugatan langsugn ke Mahkamah Agung harus lebih dahulu mencari informasi kepada Pengadilan tingkat pertama di tempat kediaman penggugat.Permasalahan seperti tersebut di atas, juga kemungkinan besar akan timbul bagi perkara-perkara gugatan hak uji materiel yang diajukan melalui Pengadilan tingkat pertama.Disamping kedua hal tersebut di atas, menurut hemat Kelompok Majapahit, masih ada permasalahan sebagaimana tercantum dalam ketentuan pasal 1 ayat 1 Peraturan Mahkamah Agung bahwa gugatan dapat pula melalui Pengadilan tingkat pertama yang wilayah hukumnya meliputi tempat kedudukan tergugat.Ketentuan tersebut kemungkinan dapat menimbulkan kesulitan bagi penggugat, seandainya ia akan menggugat atas dasar suatu Keputusan-

64

Page 76: 2m i PENDALAMAN MATERI HUKUM I I - Mahkamah Agung

/Instruksi Menteri, maka penggugat terlebih dahulu harus mengetahui dimana Kantor Menteri tersebut dan masuk wilayah hukum pengadilan tingkat pertama yang mana.Demikian pula untuk gugatan-gugatan terhadap Peraturan-peraturan yang tingkatnya lebih rendah dari Keputusan/Instruksi Menteri tersebut. Oleh karena itu Kelompok Majapahit berpendapat perlu disempurnakan Peraturan Mahkamah Agung tersebut dengan menambah kemungkinan cara pengajuan gugatan melalui Pengadilan tingkat pertama tidak hanya harus diajukan melalui Pengadilan tingkat pertama tempat kedudukan tergugat, tetapi juga dimungkinkan melalui Pengadilan tingkat pertama tempat kedudukan penggugat, khususnya atas gugatan hak uji materiel yang diajukan langsung ke Mahkamah Agung melalui Pengadilan tingkat pertama.

2. Proses pemeriksaan perkara perdata atau pidana di Pengadilan tingkat pertama dimana terkait permasalahan hak uji materiel.Sesuai dengan ceramah Bapak Tuada TUN, Bapak Odlen Bidaran, SH. bahwa perkara hak uji materiel dapat juga terjadi melalui proses gugatan perdata dengan memasukan permohonan hak uji materiel tersebut dalam salah satu petitumnya. Hal demikian dapat juga terjadi dalam suatu proses pidana.a. Melalui gugatan perkara perdata.

Oleh karea perkara hak uji materiel merupakan salah satu petitum dari proses gugatan perdata, maka acaranya harus dipergunakan HIR atau RBg.Dalam proses pemeriksaan perkara kemungkinan dapat terjadi eksepsi yang menyangkut kewenangan mengadili (kompotensi absolut), dimana kewenangan tersebut merupakan kewenangan Mahkamah Agung, dan Pengadilan tingkat pertama tidak ber­wenang memeriksa dan mengadili perkara tersebut.Sesuai dengan ketentuan pasal 136 HIR (162 RBg) bahwa eksepsi tersebut harus diputus terlebih dahulu.Pasal 136 HIR (162 RBg) : "Tangkisan-tangkisan (eksepsi-eksepsi) yang ingin tergugat kemukakan, kecuali mengenai ketidak wenangan Hakim, tidak boleh diajukan dan dipertimbangkan sendiri-sendiri, melainkan diperiksa dan diputus bersama-sama dengan gugatan pokok".Karena putusan eksepsi tersebut merupakan putusan atas eksepsi yang menyangkut kompetensi absolut maka putusan tesebut

65

Page 77: 2m i PENDALAMAN MATERI HUKUM I I - Mahkamah Agung

merupakan putusan akhir, sehingga terhadap putusan eksepsi tersebut dapat dimohonkan banding. Hal ini akan menghambat proses pemeriksaan pokok perkaranya.Dengan demikian sebaiknya gugatan hak uji materiel tidak di­gabungkan dengan perkara perdata biasa.Meskipun pada prinsipnya pengadilan tidak boleh menolak perkara, namun demi kelancaran jalannya persidangan perkara, namun demi kelancaran jalannya persidangan perkara, sesuai ketentuan pasal 119 HIR (143 RBg) Ketua Pengadilan negeri dapat menasehati yang bersangkutan untuk memperbaiki gugatan yang diajukan agar tidak dikaitkan dengan perkara hak uji materiel.Pasal 119 HIR (143 RBg) : "Ketua Pengadilan Negeri berwenang pada waktu diajukan gugatan untuk memberi nasehat dan bantuan kepada penggugat atau kuasanya",

b. Melalui perkara pidana.Seperti halnya dalam perkara perdata, dalam perkara pidanapun ada kemungkinan diajukan eksepsi sebagaimana diatur dalam pasal 156 Undang-undang No. 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Ayat 1: Dalam hal terdakwa atau penasihat hukum mengajukan

keberatan bahwa pengadilan tidak berwenang mengadili perkaranya atau dakwaan tidak dapat diterima atau surat dakwaan harus dibatalkan, maka setelah diberi kesempatan kepada penuntut umum untuk menyatakan pendapatnya, hakim mempertimbangkan keberatan tersebut untuk selanjutnya mengambil keputusan.

Ayat 2 :Jika Hakim menyatakan keberatan tersebut diterima, maka perkara itu tidak diperiksa lebih lanjut, sebaliknya dalam hal tidak diterima atau hakim berpendapat hal tersebut baru dapat diputus setelah selesai pemeriksaan, maka sidang dilanjutkan.

Ayat 3 : Dalam hal Penuntut Umum berkeberatan terhadap keputusan tersebt, maka ia dapat mengajukan perlawanan kepada Pengadilan Tinggi melalui Pengadilan Negeri yang bersangkutan.

Dalam hal yang demikian hak uji materiel dalam pasal yang di­jadikan dakwaan akan sampai ke Mahkamah Agung.Apabila terjadi hal yang demikian materi dakwaan belum dapat diperiksa lebih lanjut dan harus menunggu keputusan mengenai sah tidaknya peraturan perundangan yang menjadi dasar dakwaan

Page 78: 2m i PENDALAMAN MATERI HUKUM I I - Mahkamah Agung

karena dalam hukum pidana berlaku azas legalitas (nullum crimen nulla poena sine praevia lege).

3. Pelaksanaan putusan hak uji materiel.Bahwa di dalam PERMA ternyata tidak diatur mengenai cara pelaksana­an putusan hak uji materiel, sehingga dirasakan kurang menjamin kepastian hukum bagi penggugat.Sesuai ketentuan pasal 26 Undang-undang No. 14 tahun 1970 yang berbunyi : Pencabutan dari peraturan perundangan yang dinyatakan tidak sah tersbut dilakukan oleh instansi yang bersangkutan, sehingga ada kemungkinan Peraturan Mahkamah Agung tentang Hak Uji Materiel tersebut tidak ditaati. Oleh karena itu untuk menjamin kepastian hukum hak uji materiel sebagiamana juga diberlakukan atas putusan Tata Usaha Negara.

IV. KESIMPULAN/SARAN.Kesimpulan.1. Bahwa di Indonesia tidak dikenal yudicial review, tetapi hanya

mengenal hak uji materiel.2. Bahwa PERMA No. 1 tahun 1993 tentang Hak Uji Materiel masih

belum sempurna.3. Bahwa untuk kelancaran pelaksanaan hak uji materiel perlu segera

dibuat peraturan perundang-undangan yang lengkap.4. Bahwa pelaksanaan putusan terhadap gugatan hak uji materiel belum

diatur secara tegas.

Saran.1. Agar Mahkamah Agung menetapkan biaya untuk pemeriksaan terhadap

hak uji materiel baik yang berkasnya langsung dikirim ke Mahkamah Agung maupun yang dikirim melalui Pengadilan tingkat pertama.

2. Agar gugatan hak uji materiel yang dikirim langsung ke Mahkamah Agung atau melalui Pengadilan tingkat pertama dikirim secara tercatat.

3. Agar diadakan penyempurnaan atas PERMA No. 1 tahun 1993 tanggal 15 Juni 1993.

4. Agar dimungkinkan pengajuan gugatan hak uji materiel yang ditujukan langsung kepada Mahkamah Agung RI melalui Pengadilan tingkat pertama dapat dilakukan melalui Pengadilan tingkat pertama yang wilayahnya meliputi domisili penggugat.

67

Page 79: 2m i PENDALAMAN MATERI HUKUM I I - Mahkamah Agung
Page 80: 2m i PENDALAMAN MATERI HUKUM I I - Mahkamah Agung

HUKUM ACARA PERDATA NASIONAL YANG DIHARAPKAN BERLAKU DI MASA YANG AKAN DATANG

Page 81: 2m i PENDALAMAN MATERI HUKUM I I - Mahkamah Agung
Page 82: 2m i PENDALAMAN MATERI HUKUM I I - Mahkamah Agung

O leh : Kelompok BOURAQ

HUKUM ACARA PERDATA NASIONALYANG DIHARAPKAN BERLAKU DI MASA YANG AKAN DATANG

Bahwa Negara Republik Indonesia adalah negara hukum yang berdasar Pancasila dan Undang Undang Dasar 1945.Bahwa demi pembangunan di bidang hukum seperti termaktub dalam GBHN perlu mengadakan usaha peningkatan penyempurnaan dengan mengadakan kodifikasi dan unifikasi hukum yang berwawasan Nusantara. Demikian pula khususnya di bidang hukum acara perdata.

Seperti kita ketahui pada saat ini di negara kita berlaku bermacam- macam hukum acara perdata, yaitu :1. Reglement Indonesia yang diperbaharui (HIR) yang berlaku untuk

daerah Jawa dan Madura.2. Reglement Tanah Seberang (RBg.) yang berlaku untuk daerah luar Jawa

dan Madura.3. Burgelijke Rechtsvordering.4. Kitab Undang-undang Hukum Predata BW buku IV.5. Peraturan Peradilan Ulangan (Undang-undang No. 20 tahun 1947) yang

berlaku untuk Jawa dan Madura.Menurut pendapat kami peraturan Hukum Acara yang ada pada saat ini

pada prinsipnya sudah memadai, akan tetapi berhubung perkembangan kebutuhan di dalam praktek perlu diadakan penyempurnaan.

1. Dalam hal upaya banding dan kasasi.Perlu diadakan pembatasan perkara yang dapat dimohonkan banding- /kasasi.Terhadap gugat perceraian sepanjang tidak menyangkut harta benda perkawinan.Apabila gugatan dikabulkan oleh hakim, terhadap putusan ini sudah tidak dapat diajukan banding/kasasi bagaimanapun juga pihak-pihak tersebut tidak akan dapat akur lagi, sehingga permohonan banding atau kasasi hanya akan memperpanjang proses yang tidak ada gunanya. Sehingga terhadap gugatan perceraian, peradilan tingkat pertama adalah merupakan instansi pertama dan terakhir menyelesaikan permohonan tersebut.

2. Apabila seseorang meneruskan kesaksiannya kepada seorang yang dipercaya dan jika orang yang diserahkan kesaksian itu memberikan

71

Page 83: 2m i PENDALAMAN MATERI HUKUM I I - Mahkamah Agung

keterangan di persidangan, hendaknya keterangan itu diterima sebagai keterangan yang sah.

3. Penyanderaan hendaknya dihapuskan.Hal ini oleh karena adanya ketentuan bahwa setiap orang bertanggung jawab dengan seluruh kekayaannya untuk memenuhi prestasinya. Maka apabila ia tidak dapat memenuhi prestasinya maka semua harta benda­nya baik bergerak maupun tidak bergerak disita dan dilelang.

4. Putusan serta merta hendaknya dikembalikan kepada kedudukannya semula menurut peraturan yang berlaku.

Demikian penyempurnaan yang diusulkan oleh Kelompok Bouraq.

72

Page 84: 2m i PENDALAMAN MATERI HUKUM I I - Mahkamah Agung

Oleh : Kelompok GARUDA

I. PENDAHULUAN.Berbicara mengenai Hukum Acara Perdata di Indonesia sekarang ini

hukum acara tersebut belum dikodifikasikan dalam suatu Undang-undang dan belum berlaku secara unifikasi, kaidah hukum acara tersebut, terdapat di mana-mana, untuk hukum acara di Pengadilan negeri berpedoman pada HIR untuk Jawa dan Madura, serta RBg untuk kepulauan lainnya di luar Jawa dan Madura. Sedang untuk banding berlaku Undang-undang No. 20 tahun 1947 (pasal-pasal banding dalam HIR/RBg. tidak diberlakukan) serta untuk kasasi yang berlaku adalah Undang-undang No. 14 tahun 1985 yaitu setelah diundangkan Undang-undang tentang Mahkamah Agung tersebut pada tanggal 30 Desember 1985.

Di dalam praktek kenyataannya, kaidah-kaidah Hukum Acara tersebut terutama yang berpedoman pada HIR/RBg yang bersifat sangat sederhana tersebut adalah belum mencukupi, karena masih banyak hal-hal yang belum diatur atau bahkan ada beberapa hal yang tidak sesuai lagi dengan per­kembangan hukum dewasa ini, sehingga untuk itu dengan berdasar pasal 393 HIR, kita mempergunakan peraturan lain yang lebih sesuai atau mempergunakan lembaga-lembaga yang ada dalam Rv. ataupun RO. dan sering untuk kebutuhan praktek peradilan, Mahkamah Agung mengeluarkan SEMA, PERMA, maupun lewat putusannya (yurisprudensi).

Berdasarkan hal di atas, Kelompok Garuda berpendapat untuk Hukum Acara Perdata Nasional yang berlaku di masa yang akan datang, perlu dituangkan di dalam satu Undang-undang yang berlaku secara nasional sesuai dengan perkembangan hukum dan perkembangan masyarakat Indonesia sekarang.

II. PERMASALAHAN.Karena dalam kenyataannya kaidah-kaidah Hukum Acara Perdata yang

berlaku sekarang terdapat di mana-mana seperti diuraikan dalam Pen­dahuluan. Kelompok Garuda berpendapat dalam rangka pembentukan Undang-undang Hukum Acara Perdata yang bersifat nasional yang dapat menampung kebutuhan sesuai perkembangan hukum dan kemajuan ma­syarakat Indonesia, dengan c a ra :1. Mengambil alih/tetap mempertahankan pasal-pasal di HIR/RBg yang

masih relevan dalam Undang-undang Hukum Acara Perdata yang baru.

HUKUM ACARA PERDATA NASIONALYANG DIHARAPKAN BERLAKU DI MASA YANG AKAN DATANG

73

Page 85: 2m i PENDALAMAN MATERI HUKUM I I - Mahkamah Agung

2. Memasukan pasal-pasal dalam Rv dan RO yang dalam praktek telah dipergunakan ke dalam Undang-undang yang baru tersebut.

3. Memasukkan ketentuan dalam SEMA, PERMA dan Yurisprudensi yang tetap yang mengatur tentang hukum acara perdata dalam Undang- undang Hukum Acara Perdata yang baru.

4. Ketentuan-ketentuan banding (Undang-undang No. 20 tahun 1947) dan ketentuan kasasi dalam Undang-undang No. 14 tahun 1985, ke dalam Undang-undang Hukum Acara Perdata yang baru.

II. PEMECAHAN MASALAH.Hal-hal yang perlu diatur dalam Hukum Acara Perdata Nasional yang di­harapkan berlaku dimasa yang akan datang.

A. Sistem pemeriksaan di Pengadilan Negeri.Meskipun pada saat ini sudah banyak para Sarjana Hukum yang ber­

praktek sebagai Pengacara, baik yang telah memperoleh izin dari Menteri Kehakiman, maupun dari Ketua Pengadilan Tinggi, terutama di kota-kota besar, akan tetapi mengingat bahwa keadaan sosial ekonomi dari sebagian besar bangsa Indonesia masih lemah, maka sistem gugatan lisan masih perlu dipertahankan disamping gugatan secara tertulis. Dengan perkataan lain, bahwa tidak diwajibkan para pihak yang berperkara untuk meminta bantuan hukum pada Pengacara, sehingga dengan demikian, kemungkinan besar para pihak yang awam hukum, akan dapat beracara sendiri di Pengadilan tanpa adanya bantuan hukum dari Pengacara,

Mengingat akan hal tersebut di atas, masih diperlukan hakim yang aktif dalam memimpin persidangan. Sehingga dengan demikian Kelompok Ga­ruda berpendapat bahwa dalam Hukum Acara Perdata Nasional yang akan datang, sistem yang terdapat dalam HIR/RBg. sepanjang tidak bertentangan dengan sistem hukum Indonesia, masih dapat dipertahankan.

B. Seperti kita ketahui, masih banyak hal-hal yang belum diatur dalam HIR/RBg. yang selama ini dalam praktek selalu diambil dari berbagai sumber, seperti Rv., Surat Edaran Mahkamah Agung, Peraturan Mahkamah Agung, dan Yurisprudensi tetap.

Untuk mewujudkan Hukum Acara Perdata Nasional yang diharapkan berlaku di masa yang akan datang, maka hal-hal yang belum diatur dalam HIR/RBg. yang tersebar dalam peraturan perundang-undangan tersebut di atas, perlu dicantumkan dalam Hukum Acara Perdata nasional yang akan datang.

74

Page 86: 2m i PENDALAMAN MATERI HUKUM I I - Mahkamah Agung

1. Tentang domicili.Jika dalam perjanjian para pihak telah memilih domicili, jika terjadi perselisihan, maka pilihan domicili tersebut harus mengikat bagi kedua belah pihak, tanpa adanya alternatif pilihan lain, dalam mengajukan gugatan ke Pengadilan.

2. Tentang relas panggilan para pihak.Dalam hal pihak yang dipanggil tidak dijumpai pada alamat yang disebutkan dalam gugatan, maka relas panggilan tersebut diteruskan pada Kepala Desa, dan seterusnya Kepala Desa wajib menyampaikan dengan segera kepada yang bersangkutan, dan setelah ditandatangani oleh pihak yang bersangkutan, relas tersebut oleh Kepala Desa harus segera dikembalikan ke Pengadilan Negeri.

3. Kehadiran pihak-pihak yang berperkara dalam persidangan.Apabila dipandang perlu oleh Hakim yang memimpin persidangan pihak-pihak yang berperkara sendiri diharuskan hadir sendiri di per­sidangan, sungguhpun pihak tersebut sudah diwakili oleh kuasanya di persidangan, ia wajib datang ke persidangan.

4. Mengenai proses jalannya persidangan di Pengadilan.a. Mengenai surat kuasa, agar diatur dengan tegas, hanya diperboleh­

kan kepada mereka yang telah memperoleh izin praktek yang dikeluarkan oleh Menteri Kehakiman atau Ketua Pengadilan Tinggi. Bahwa surat kuasa tersebut harus dibuat secara khusus, tersendiri dalam tiap tingkat peradilan.

b. Agar diatur pula secara tegas, bahwa setiap gugatan harus memuat dengan teg a s :- Persona statute.- Fundamentum petendi.- Petitum.

c. Perubahan gugatan.Agar dalam Hukum Acara Perdata nasional yang akan datang, mengenai perubahan gugatan, supaya diatur dengan tegas dan nyata, hanya diperbolehkan diajukan sebelum adanya jawaban pertama dari pihak tergugat, dan hanya diperbolehkan pada peradilan tingkat pertama saja.

d. Gugatan intervensi dari pihak ketiga yang berkepentingan, agar diatur pula secara tegas.

e. Gabungan gugatan, baik mengenai subjek maupun objeknya, perlu pula diatur secara tegas.

75

Page 87: 2m i PENDALAMAN MATERI HUKUM I I - Mahkamah Agung

f. Gugatan balik (gugatan dalam rekonpensi), juga harus diatur secara tegas, hanya diperbolehkan diajukan bersamaan dengan jawaban pertama dari tergugat.

g. Mengenai jawab-jinawab, harus dibatasi sampai satu babak, artinya jawaban, replik, duplik.

h. Mengenai pembuktian.Beban pembuktian bagi para pihak harus ditegaskan dalam suatu putusan sela.

i. Mengenai unus testis nulus testis, sumpah supletoir, sumpah decicoir, masih dianggap perlu dipertahankan.Sumpah aestimatoir agar diatur dengan tegas dan lafal sumpah agar diformulasikan secara tegas, begitu juga dengan lafal sumpah saksi.

j. Mengenai sita conservatoir (CB), sita revindicatoir, sita eksekusi, masih perlu dipertahankan. Selanjutnya mengenai sita marital dan sita perbandingan agar dimasukkan dalam Hukum Acara Perdata Nasional yang akan datang.

k. Mengenai sandera, bisa diperlakukan secara terbatas (casuistis), yaitu bilamana debiturnya mampu, tapi mempunyai itikad buruk tidak mau membayar hutangnya. Mengenai paksa badan (lijfs- dwang) dan pelaksanaannya juga harus diatur dengan tegas.

l. Mengenai dwangsom, harus diatur secara tegas, hanya ditujukan kepada pihak yang harus melakukan suatu perbuatan dan ataupun tidak melakukan suatu perbuatan.

m. Mengenai lelang, yang harganya tidak lebih dari Rp. 30.000.000,- (tiga puluh ju ta rupiah), tidak usah melalui perantaraan Kantor Lelang, tapi agar diatur dapat dilaksanakan oleh Pengadilan Negeri sendiri.

n. Mengenai putusan serta merta (uitvoerbaar bij voorraad), apabila sudah memenuhi syarat-syarat adanya alas hak akta otentik, atau suatu akta di bawah tangan yang diakui dan adanya putusan Hakim yang telah mempunyai kepastian tetap.

o. Mengenai eksepsi, kecuali hal Hakim tidak berwenang, pernyataan bandingnya harus dikirimkan bersama-sama dengan banding pokok perkara.Mengenai eksepsi dilatoire, eksepsi declinatoire, dan eksepsi pe- remptoire, harus diatur pula secara tegas.

p. Mengenai acara kortgeding (acara singkat).Untuk dapat mewujudkan peradilan yang cepat dan biaya ringan, sebagaimana yang disebutkan dalam Undang-undang Pokok Ke­

Page 88: 2m i PENDALAMAN MATERI HUKUM I I - Mahkamah Agung

hakiman, hendaknya diatur pula secara tegas dalam Hukum Acara Perdata Nasional yang akan datang.

q. Mengenai acara peninjauan kembali perkara perdata, yang sekarang diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) agar di­masukkan pula secara tegas.

r. Apabila dalam suatu gugatan terdapat ada klausula arbitrase yang telah dicantumkan dalam perjanjian yang disengketakan, ada atau tidak ada eksepsi dari para pihak, Hakim harus mengatakan tidak berwenang mengadili.

s. Mengenai tenggang waktu banding, lamanya harus disamakan untuk seluruh Indonesia, yaitu 14 hari.

PENUTUP.Setelah Kelompok Garuda mencoba memberikan usul dan pendapat

yang kami anggap perlu diatur dan dimasukkan ke dalam Hukum Acara Perdata nasional yang akan datang sebagaimana telah diuraikan di atas, kami berharap semoga usul serta pendapat kami ini akan berguna dalam rangka terwujudnya Hukum Acara Perdata Nasional yang akan datang.

77

Page 89: 2m i PENDALAMAN MATERI HUKUM I I - Mahkamah Agung

Oleh : Kelom pok MANDALA

HUKUM ACARA PERDATA NASIONALYANG DIHARAPKAN BERLAKU DI MASA YANG AKAN DATANG

L PENDAHULUAN.Telah 48 tahun kita bangsa Indonesia menikmati kemerdekaan, akan

tetapi sampai sekarang ini kita belum mempunyai Undang-undang Hukum Acara Perdata yang bersifat Unifikasi dan berlaku secara Nasional.

Sebagaimana kita ketahui Hukum Acara Perdata di Indonesia diatur di berbagai perundang-undangan, seperti misalnya HIR, RBg, Undang-undang No. 20 tahun 1947 tentang Peradilan Ulangan di Jawa dan Madura, Undang- undang No. 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung RI, dan Surat Edaran Mahkamah Agung RI.

Sudah lama Pemerintah berusaha untuk menyusun seperangkat rancang­an Undang-undang Hukum Acara Perdata yang bersifat Nasional. Untuk menyongsong maksud baik Pemerintah tersebut, kami Kelompok Mandala dari Angkatan IV Pendalaman Materi Hukum Hakim Tinggi Peradilan Umum se Indonesia di Bandung, ingin turut memberikan sumbangan pikiran terhadap hal-hal yang kami anggap layak untuk dipertimbangkan sebagai masukkan pada Rancangan Undang-undang Hukum Acara Perdata yang bersifat Nasional yang sedang dibahas oleh Pemerintah.

Diharapkan rancangan tersebut akan melahirkan sebuah buku Undang- undang Hukum Acara Perdata yang modem dan lengkap, dalam arti tidak hanya mengatur acara di peradilan tingkat pertama tetapi sekaligus juga mengatur hukum acara perdata tingkat banding, kasasi bahkan juga acara peninjauan kembali putusan-putusan pengadilan yang telah berkekuatan tetap dan perihal Arbitrase.

H. PERMASALAHAN.I. Adanya keaneka ragaman perundang-undangan dalam Hukum Acara

Perdata di Indonesia.2. Dalam Hukum Acara Perdata banyak kekosongan pengaturan terhadap

lembaga-lembaga tertentu yang dibutuhkan dalam praktek peradilan.3. Ketentuan Hukum Acara Perdata yang berlaku sekarang ada di antara­

nya yang tidak sesuai dengan rasa keadilan dan kebutuhan praktek peradilan.

78

Page 90: 2m i PENDALAMAN MATERI HUKUM I I - Mahkamah Agung

IH. PEMBAHASAN.ad. 1. Adanya keaneka ragaman perundang-undangan dalam Hukum Acara

Perdata di Indonesia.Di Indonesia pada saat ini masih diperlakukan perundang-undangan yang beraneka ragam dalam Hukum Acara Perdata, seperti yang tersebut di bawah in i :a. HIR. yang berlaku untuk Jawa dan Madura.b. RBg. yang berlaku untuk luar Jawa dan Madura.c. Undang-undang No. 20 tahun 1947 tentang Peradilan Ulangan di

Jawa dan Madura, yang pada saat ini sudah diperlakukan di seluruh Indonesia.

d. Undang-undang No. 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.e. Surat Edaran Mahkamah Agung RI/PERMA yang dimaksudkan

untuk mengisi kekosongan Hukum Acara Perdata yang belum diatur dalam perundang-undangan antara lain perihal arbitrase.

ad. 2. Dalam Hukum Acara Perdata banyak kekosongan pengaturan ter­hadap lembaga-lembaga tertentu yang dibutuhkan dalam praktek peradilan.Dalam Hukum Acara Perdata Nasional yang akan datang, perlu kiranya hal-hal yang belum diatur, dalam perundang-undangan Hukum Acara Perdata yang berlaku sekarang dimasukan ketentuan- ketentuan antara la in :a. Perubahan gugatan.

HIR dan RBg. tidak mengatur mengenai perubahan gugatan, ini tidak berarti perubahan gugatan tidak diperbolehkan, perubahan gugatan diperbolehkan asal kepentingan kedua belah pihak terutama tergugat tidak dirugikan.Mengenai perubahan gugatan Mahkamah Agung Republik In­donesia telah menjatuhkan putusannya tanggal 6 Maret 1971, No. 209/K/SIP/1970, yang berbunyi : Suatu perubahan tuntutan tidak bertentangan dengan azas-azas Hukum Acara Perdata, asal tidak merubah atau menyimpang dari kejadian materiil walaupun tidak ada tuntutan subsidair untuk peradilan yang adil.

b. Verzet terhadap Conservatoir Beslag.Walaupun dalam HIR dan RBg tidak diatur, akan tetapi dalam praktek peradilan sering dipergunakan.

c. Sita Persamaan (Vergelijkend Beslag).

79

Page 91: 2m i PENDALAMAN MATERI HUKUM I I - Mahkamah Agung

Dalam sita eksekusi terhadap barang-barang bergerak yang sudah disita oleh Pengadilan Negeri lain atau oleh BUPLN, apabila Pengadilan Negeri yang bersangkutan memerlukan sita eksekusi, maka yang belum disita barang-barang bergerak ter­sebut dicatat dan dilakukan sita persamaan.

d. Sumpah Aestimatoir.Sumpah yang dapat dibebankan atau diminta dalam Hukum Acara Perdata kepada para pihak, yaitu sumpah decisoir atau sumpah penentu, sumpah supletoir atau sumpah penambah dan sumpah aestimatoir atau sumpah penaksir.

e. Pencabutan gugatan.Dalam HIR dan RBg tidak diatur, akan tetapi dalam praktek peradilan sering dipergunakan.

ad. 3. Ketentuan Hukum Acara Perdata yang berlaku sekarang ada di antaranya yang tidak sesuai dengan rasa keadilan dan kebutuhan praktek peradilan.a. Tentang Sandera.

Ketentuan mengenai penyanderaan diatur dalam HIR pasal 209 dan seterusnya dan dalam RBg pasal 242 dan seterusnya. Mengenai penyanderaan ini sudah tidak sesuai lagi dengan rasa keadilan dan dirasa tidak manusiawi.

b. Pengakuan yang tidak dapat dipisah-pisahkan.Ketentuan tersebut dianggap bertentangan dengan kebebasan Hakim dalam menilai bukti yang diajukan dan penentuan fakta- fakta yang ada, dan ketentuan tersebut oleh para Hakim Pe­ngadilan Negeri dalam praktek juga sudah tidak diterapkan lagi.

c. Pasal 118 ayat 4 HIR-RBg.Dalam ayat 4 tersebut ditentukan bahwa penggugat kalau ia mau "dapat" mengajukan gugatannya kepada Ketua Pengadilan Negeri yang dalam daerah hukumnya meliputi tempat tinggal yang telah dipilih itu.Kata "dapat" tersebut seharusnya berbunyi "wajib" karena sudah ada pilihan domisili oleh kedua belah pihaknya.

IV. KESIMPULAN/SARAN.Hukum Acara Perdata yang berlaku di Indonesia selama ini terdapat

adanya keaneka ragaman hukum yang berlaku untuk daerah Jawa, Madura dan daerah-daerah selain Jawa dan Madura, hal tersebut dipandang dari rasa

80

Page 92: 2m i PENDALAMAN MATERI HUKUM I I - Mahkamah Agung

persatuan dan kesatuan Bangsa dan Negara Republik Indonesia je las tidak menguntungkan.

Oleh karena itu sesuai dengan Wawasan Nusantara, dirasa perlu untuk adanya unifikasi dalam Hukum Acara Perdata yang berlaku secara Nasional di seluruh wilayah Nusantara.

Disamping hal tersebut di atas, dalam penyusunan Hukum Acara Perdata yang akan datang, Kelompok Mandala mengajukan saran-saran sebagai beriku t:1. Hendaknya Peradilan Tingkat Banding diberi wewenang untuk me­

letakkan sita jaminan ataupun sita revindicatoir.2. Hendaknya lembaga-lembaga yang dirasa cocok dan telah dipergunakan

dalam praktek Peradilan selama ini, tetapi tidak diatur dalam Hukum Acara Perdata di Indonesia, seperti adanya sita persamaan tetap dipertahankan.

3. Diusulkan dalam Hukum Acara Perdata yang akan datang tetap mem­pertahankan azas-azas Hukum Acara Perdata yang mencerminkan ciri- ciri Indonesia, antara la in :a. Gugatan dapat diajukan secara langsung oleh penggugat tanpa

mempergunakan bantuan Penasihat Hukum.b. Gugatan dimungkinkan untuk diajukan secara lisan.c. Hendaknya Hakim tetap aktif membimbing pihak-pihak yang

berperkara.d. Hakim mengusahakan untuk mendamaikan para pihak yang ber­

perkara.

SI

Page 93: 2m i PENDALAMAN MATERI HUKUM I I - Mahkamah Agung

O leh : Kelompok MERPATI

I. PENDAHULUAN.Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa Hukum Acara Perdata yang

berlaku di Indonesia yang dewasa ini adalah peninggalan produk kolonial Belanda yang masih terpisah-pisah yaitu HIR untuk daerah Jawa dan Madura, RBg untuk daerah di luar Jawa dan Madura serta mengenai pembuktian masih ada yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata, yaitu di Buku IV KUH Perdata dan Rv. sebagai pedoman.

Bahwa adanya hal seperti tersebut di atas ditambah lagi bahwa Hukum Acara tersebut baik yang ada di HIR, RBg maupun KUH Perdata sudah tidak sesuai dengan kemajuan dan perkembangan hukum yang ada di Indonesia maka diharapkan adanya Hukum Acara Perdata yang bersifat nasional yang berlaku untuk seluruh wilayah Republik Indonesia.

Bahwa selain itu adanya Hukum Acara Perdata Nasional tersebut dapat merupakan Pemersatu Bangsa yang pada hakekatnya akan dapat menimbul­kan ketahanan Nasional di bidang hukum yang mantap.

Adanya Hukum Acara Perdata nasional tersebut sangat penting oleh karena akan merupakan petunjuk bagi setiap orang Indonesia dalam ber­acara di muka Pengadilan dalam rangka mempertahankan haknya terhadap ancaman dan gangguan dari pihak lain.

n . PERMASALAHAN.Dari Hukum Acara Perdata yang telah kita ketahui pada dewasa ini

masih banyak diperlakukan peraturan-peraturan yang beraneka ragam, khususnya dari zaman kolonial yaitu HIR., RBg, BW dan Rv.

Seperti yang telah diatur dalam Pendahuluan di atas maka di sini masih banyak timbul beberapa permasalahan yang harus kita pecahkan. Per­masalahan yang timbul tersebut disebabkan karena beraneka ragamnya peraturan tadi, antara lain adalah m engenai:1. Gugatan.

Dalam gugatan ini yang banyak timbul permasalahan adalah mengenai :a. Perubahan gugatan.b. Domicilii.

2. Pembuktian.Dalam pembuktian ini yang timbul permasalahan adalah m engenai:a. Menggunakan Putusan Sela.

HUKUM ACARA PERDATA NASIONALYANG DIHARAPKAN BERLAKU DI MASA YANG AKAN DATANG

82

Page 94: 2m i PENDALAMAN MATERI HUKUM I I - Mahkamah Agung

b. Azas Unnus Testis NuIIus Testis.3. Eksekusi.

Mengenai Eksekusi permasalahan yang timbul adalah :a. Cara pelaksanaan lelang eksekusi.b. Eksekusi putusan Arbitrase.Ketiga permasalahan inilah menurut Kelompok Merpati perlu mendapat

perhatian agar sedikit banyak dapat menjadi bahan masukan dalam menyusun Rencana Undang-undang Hukum Acara Perdata Nasional yang akan datang.

PEMBAHASAN PERMASALAHAN.Dari permasalahan yang telah dikemukakan di atas dan dengan

memperhatikan ketentuan-ketentuan tentang Hukum Acara Perdata yang masih berlaku dewasa ini, baik yang terdapat dalam HIR, RBg, BW maupun Rv, kelompok Merpati perlu membahas lebih lanjut mengenai permasalah­an-permasalahan tersebut, sebagaimana akan diuraikan di bawah ini.1. Gugatan.

Menyangkut segala sesuatu yang berkaitan dengan gugatan, kelompok Merpati berpendapat bahwa dalam pelaksanaan tugas peradilan sehari-hari masih terdapat kendala-kendala yang perlu pemecahan lebih mendasar, agar dapat lebih memantapkan pelaksanaan tugas peradilan untuk waktu yang akan datang yang dapat dirasakan kemudahannya bagi warga masyarakat khususnya bagi para pencari keadilan.Selama ini yang dirasakan sebagai kendala dalam pelaksanaan sehari-hari antara lain adalah :a. Pembahan Gugatan.b. Domicili.

a. Perubahan Gugatan.Dalam Hukum Acara Perdata baik yang diatur dalam HIR, RBg tidak

ada pengakuan mengenai perubahan gugatan.Selama ini dalam praktek peradilan mengenai perubahan gugatan ini dianut Yurisprudensi tetap antara lain sebagaimana tersebut dalam Putusan Mah­kamah Agung RI tanggal 6 Maret 1971 Nomor 209K/SIP/1970, yang pada pokoknya menyatakan bahwa sepanjang tidak merubah Posita Gugatan, maka perubahan gugatan dapat dibenarkan.Oleh karena itu, maka sebaiknya di dalam Hukum Acara Perdata yang akan datang dapat diatur dengan tugas, sehingga tidak menimbulkan keraguan dalam penerapannya.

83

Page 95: 2m i PENDALAMAN MATERI HUKUM I I - Mahkamah Agung

Kendala lainnya adalah tidak adanya kejelasan mengenai kapan sahnya suatu perubahan gugatan tersebut dapat dibenarkan sebab apabila perubahan gugatan tersebut dapat dilakukan dalam setiap tingkat pemeriksaan dapat mempersulit dan merugikan tergugat, oleh karena itu permohonan perubahan gugatan yang diajukan oleh penggugat setelah persidangan dimulai atau setelah tergugat memberikan jawaban dapat dikabulkan oleh Pengadilan Negeri sepanjang disetujui oleh tergugat dan tidak merubah Posita gugatan, karena seorang penggugat seharusnya sudah menyiapkan sebaik-baiknya gugatan yang akan diajukan.

b. Domicili.Sebagaimana dimaklumi, bahwa domicili mengandung pengertian :

1. Tempat tinggal di mana seseorang (yang bersangkutan) tercatat sebagai penduduk.

2. Tempat kediaman di mana yang bersangkutan nyata-nyata berada.Yang masih menjadi kendala adalah adanya ketentuan mengenai

pemilihan domicili, sebagaimana tersebut dalam pasal 118 ayat (4) HIR (pasal 142 ayat 4 RBg) :Jika dengan suatu akte telah dipilih akan tempat tinggal, maka jika di­kehendaki, penggugat dapat mengajukan gugatannya kepada Ketua Pe­ngadilan Negeri yang mempunyai wilayah hukum yang meliputi tempat tinggal pilihan itu.

Pemilihan domicili tersebut dalam praktek dapat menimbulkan penafsiran yang berbeda yaitu : di satu pihak ada yang menafsirkan bahwa meskipun ada pemilihan domicili, kepada pihak penggugat masih dimungkinkan untuk memilih, antara domicili yang dipilih atau tempat tingga* (tempat kediaman) tergugat, di lain pihak ada yang berpendapat karena sudah memilih domicili, maka gugatan harus diajukan di Pengadilan yang telah dipilih sebagai domicili.

Dalam hal ini Kelompok Merpati lebih condong kepada pendapat yang pertama, oleh karena meskipun sudah ada pemilihan domicili tidak berarti harus tunduk secara mutlak, sebab pemilihan domicili tidak menghilangkan hak hukum seseorang dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku baginya, sebagaimana ditentukan/diatur dalam HIR (RBg).

2. Pembuktian.Sistem pembuktian yagn selama ini dikenal sebenarnya sudah cukup

lengkap, namun masih perlu penyempurnaan untuk mempercepat dan mempermudah proses penyelesaian perkara.

84

Page 96: 2m i PENDALAMAN MATERI HUKUM I I - Mahkamah Agung

Menurut Kelompok Merpati penyempurnaan tersebut dilakukan dengan:a. menggunakan putusan sela;b. azas unus testis nullus testis, dikesampingkan

A d.a. M enggunakan putusan sela.Acara pemeriksaan perkara perdata di persidangan masih ber­langsung lambat, oleh karena acara pembuktian selama ini ditempuh sistem kebebasan mengajukan pembuktian, sehingga pemeriksaan dapat berlarut-larut.Oleh karena itu, Kelompok Merpati berpendapat bahwa sistem pem­buktian dengan putusan sela dapat membantu mempercepat proses, karena setelah adanya jawab menjawab Hakim dapat memutus dengan putusan sela apa yang harus dibuktikan.

Ad. b. Azas unus testis nullus testis.Bahwa dewasa ini pemakaian azas unus testis nullus testis (satu saksi bukan saksi) adalah tidak tepat lagi, karena meskipun hanya seorang saksi apabila ternyata bahwa pengetahuannya betul-betul bisa meyakinkan, dapat dipercaya dan sudah disumpah tidak adil bila dikesampingkan begitu saja seharusnya tetap dinilai sebagai bukti yang mengikat.

3. Eksekusi.Dalam pelaksanaan putusan Pengadilan, masih terdapat kendala-kendala

yaitu :a. Cara pelaksanaan lelang eksekusi.b. Eksekusi putusan arbitrase.

Ad. a. C a ra pelaksanaan lelang eksekusi.Dalam praktek pelaksanaan lelang eksekusi menemui banyak kendala, karena tidak semua Pengadilan ada Kantor Lelang Negara, sehingga dalam rangka penjualan barang-barang sita eksekusi banyak menemui kesulitan, karena letak kantor lelang tersebut sangat jauh dari Pengadilan yang bersangkutan.Oleh karena itu, seyogyanya dalam Hukum Acara Perdata yang akan datang lebih terinci, agar apabila ada pelelangan yang harus di­laksanakan, dapat dilaksanakan sendiri oleh Pengadilan yang pro- sedure pelelangan sebagaimana mestinya sehingga dapat lebih menjamin rasa keadilan bagi para pencari keadilan.

85

Page 97: 2m i PENDALAMAN MATERI HUKUM I I - Mahkamah Agung

Ad. b. Eksekusi putusan arbitrase.Dewasa ini telah diatur mengenai pelaksanaan putusan arbitrase dengan PERM ANo. 1 Tahun 1990.Kelompok Merpati mengusulkan agar eksekusi putusan arbitrase dapat dimasukkan sekaligus dalam Hukum Acara Perdata yang akan datang dengan lebih terinci, khususnya mengenai putusan yang bagaimana dan Pengadilan mana saja yang harus melaksanakan, sehingga akan membantu kelancaran pelaksanaan putusan arbitrase yang demikian akan menambah kepercayaan para investor asing.

KESIMPULAN DAN SARANKesimpulan.1. Sudah saatnya di Indonesia ada Hukum Acara Perdata yang bersifat

Nasional yang dapat menggantikan Hukum Acara Perdata sekarang yang masih merupakan produk kolonial Belanda yang sudah tidak sesuai lagi dengan kemajuan dan perkembangan hukum di Indonesia.

2. Bahwa perubahan gugatan dapat diizinkan sepanjang tidak merugikan tergugat serta tidak merubah posita, dan apabila sudah ada jawaban harus seizin tergugat.

3. Bahwa satu saksi dapat dipakai sebagai bukti apabila saksi tersebut betul-betul bisa meyakinkan, dapat dipercaya dan disumpah.

Saran.1. Agar segera dibentuk Hukum Acara Perdata yang bersifat nasional dan

berlaku di seluruh Indonesia.2. Agar Hukum Acara Perdata yang akan datang berpedoman pada HIR,

RBg, BW dan Rv. dengan beberapa perubahan terutama mengenai gugatan, sistem pembuktian dan eksekusi yang disesuaikan dengan kemajuan dan perkembangan hukum di Indonesia.

3. Agar putusan arbitrase dapat dimasukkan dalam Hukum Acara Perdata Nasional yang akan datang.

86

Page 98: 2m i PENDALAMAN MATERI HUKUM I I - Mahkamah Agung

O leh : Kelompok SEMPATI

HUKUM ACARA PERDATA NASIONALYANG DIHARAPKAN BERLAKU DI MASA YANG AKAN DATANG

PENDAHULUAN.Hukum Acara Perdata yang berlaku dewasa ini masih bersifat pluralistis

seperti yang termuat dalam HIR, RBg, Rv. KUH.Perdata dan tersebar dalam peraturan-peraturan lainnya.

Perkembangan kehidupan masyarakat demikian pesat sehingga banyak hal-hal baru yang belum ada ketentuannya, dan disamping itu ketentuan- ketentuan yang lama banyak yang tidak sesuai lagi dengan keadaan dan kebutuhan para pihak yang berperkara sehingga perlu adanya perubahan- perubahan maupun penambahan-penambahan dalam Hukum Acara Perdata Nasional yang baru.

Usaha penyusunan Hukum Acara Perdata Nasional yang dapat menjangkau seluruh wilayah negara dan berlaku bagi semua golongan penduduk adalah sejalan dengan penyatuan Hukum Acara Pidana dalam KUHAP (Undang-undang No. 8 Tahun 1981).

HARAPAN DAN SARAN-SARAN.1. B entuk dan cara-cara pengajuan gguatan, isi dan p e ru b ah an

gugatan.Bentuk dan cara-cara pengajuan gugatan tetap seperti ketentuan

yang terdapat di dalam Hukum Acara yang lama (HIR), tetapi kita memerlukan pasal-pasal yang lebih tegas yang mengatur mengenai isi dan mengenai perubahan gugatan.

HIR dan RBg belum mengatur/menentukan tentang syarat-syarat isi gugatan, karenanya perlu diatur bahwa isi suatu gugatan harus menerangkan sejelas-jelasnya apa yang menjadi soal sengekta kedua belah pihak dengan memberikan penjelasan tentang kejadian-kejadian materiel yang disebut Posita Gugatan yang terdiri dari alasan-alasan berdasarkan keadaan dan alasan-alasan berdasarkan hukum.

Kemudian isi gugatan harus dilengkapi dengan Petitum yaitu apa yang menjadi permintaan yang diinginkan untuk diputus oleh Hakim.

Mengenai perubahan gugatan, perlu diatur dalam Hukum Acara dengan tegas walaupun selama ini perubahan gugatan diperbolehkan. Perubahan gugatan yang perlu diatur dan harus memerlukan syarat- syarat sebagai berikut:a. Tidak merugikan Tergugat.

87

Page 99: 2m i PENDALAMAN MATERI HUKUM I I - Mahkamah Agung

b. Tidak bertentangan dengan azas-azas Hukum Acara Perdata.c. Tidak menyimpang dari kejadian materiel yang disebut di atas.d. Sebelum Tergugat memberikan jawaban.

2. Pemeriksaan Perkara di Persidangan.a. Hukum Acara Perdata Nasional hendaknya mengatur pula tentang

ketentuan-ketentuan mengenai Pengacara, Pengacara Praktek dan Kuasa Insidentil.

b. Sepanjang tidak diperlukan oleh Hakim, persidangan diwakili oleh Kuasa pihak-pihak demi lancarnya pemeriksaan perkara dan perlu diatur pembatasan pengunduran-pengunduran sidang-sidang.

c. Perlu diatur tentang penyertaan pihak ke 3 dalam proses pemeriksa­an perkara.

d. Dalam Posita dan Petitum yang memuat permohonan tentang penyitaan dan Uitvoerbaar bij voorraad (putusan serta merta) selain diajukan ke Pengadilan Negeri dapat pula diajukan ke Pengadilan Tinggi.

e. Perlu diatur adanya Jurusita di Pengadilan Tinggi.

3. Pembuktian.Dengan kemajuan IPTEK, peraturan Hukum Acara tentang

pembuktian harus dilengkapi dengan :a Foto, film, pita suara, foto copy, transkripsi, pemeriksaan darah,

surat-surat, saksi-saksi, pengakuan, sumpah.b. Dalam mengemukakan pembuktian harus ada peraturan yang

memberikan kebebasan kepada pihak-pihak untuk membuktikan- /menguatkan dalil-dalil mereka.

4. Beban Pembuktian.a. Demi lancarnya pemeriksaan perkara di Pengadilan Negeri perlu

diatur tentang beban pembuktian mengenai apa yang harus dibuktikan dan kepada siapa harus dibebani pembuktian tersebut, karena cara-cara seperti tersebut dalam pasal 163 HIR sering membuat perkara berlarut-larut sebab para pihak mengajukan bukti- bukti yang seharusnya tidak perlu dikemukakan.

b. Untuk mewujudkan hal di atas ini perlu diatur tentang hal-hal sebagai berikut1. Kemungkinan adanya Putusan Sela tentang Beban Pembuktian.2. Tidak perlu lagi dimuat azas-azas sebagai berikut:

88

Page 100: 2m i PENDALAMAN MATERI HUKUM I I - Mahkamah Agung

Siapa yang mendalilkan sesuatu harus membuktikan. Unus Testis Nullus Testis.Azas persangkaan dalam pembuktian.Pengakuan yang tidak dapat dipisah-pisahkan.

5. Proses Penyitaan.Masalah pendelegasian penyitaan sering menimbulkan kesulitan dan

sangat memperlambat penyelesaian perkara sehingga perlu diatur hal-hal sebagai berikut:1. Penyitaan langsung dilakukan oleh Pengadilan Negeri/pengadilan

Tinggi yang menangani perkara tersebut dimanapun objek sitaan tersebut berada.

2. Perlawanan terhadap penyitaan tersebut diajukan ke Pengadilan Negeri/Pengadilan Tinggi yang memerintahkan penyitaan tersebut.

3. Ketentuan tentang Jurusita yang berwenang untuk seluruh daerah hukum, sekurang-kurangnya untuk seluruh daerah hukum In­donesia.

6. P u t u s a n .1. Perlu diatur ketentuan untuk mengabulkan dalam amar putusan hal-

hal yang tidak diminta dalam Petitum akan tetapi dalam Posita memohon hal tersebut.

2. Perlu diatur agar Pengadilan Tinggi dapat memutus permohonan atas permohonan penyitaan dan putusan serta merta (uitvoerbaar bij voorraad) jika permohonan tersebut tidak dikabulkan di Pengadilan Negeri sedangkan Pengadilan Tinggi berpendapat bahwa permohon­an tersebut harus dikabulkan.

3. Putusan Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi yang me­ngabulkan gugatan serta merta (uitvoerbaar bij voorraad) harus disertai dengan mengabulkan permohonan penyitaan agar putusan serta merta tersebut tidak sia-sia.

7. E k s e k u s i .Pelaksanaan putusan dalam perkara perdata perlu diatur :

1. Terhadap pelaksanaan Putusan yang sudah mempunyai kekuatan hukum yang pasti agar pelaksanaan itu dapat dilaksanakan dengan tuntas mengingat putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum pasti tersebut telah melalui proses untukkepastian hukum.

Perpustakaan Mahkamah Agung R.X<> 89

Page 101: 2m i PENDALAMAN MATERI HUKUM I I - Mahkamah Agung

2. Perlu diatur pelaksanaan putusan serta merta (uitvoerbaar bij voorraad) agar Pengadilan Negeri atau Pengadilan Tinggi tidak ragu-ragu lagi untuk melaksanakannya.

3. Pelaksanaan Grosse Akta dan lain-lain sangat memerlukan per­aturan-peraturan yang tegas.

Page 102: 2m i PENDALAMAN MATERI HUKUM I I - Mahkamah Agung

Oleh : Kelompok PADJADJARAN

I. PENDAHULUANBerbicara mengenai Hukum Acara Perdata di Indonesia sekarang ini

hukum acara tersebut belum dikodifikasi dalam suatu Undang-undang dan belum berlaku secara unifikasi kaidah hukum acara tersebut, terdapat di mana-mana, untuk hukum acara di Pengadilan Negeri berpedoman pada HIR untuk Jawa dan Madura, serta RBg untuk kepulauan lainnya di luar Jawa dan Madura. Sedang untuk banding berlaku Undang-undang No. 20 tahun 1947 (pasal-pasal banding dalam HIR/RBg. tidak diberlakukan) serta untuk kasasi yang berlaku adalah Undang-undang No. 14 tahun 1985 yaitu setelah diundangkan Undang-undang tentang Mahkamah Agugn tersebut pada tanggal 30 Desember 1985.

Di dalam praktek kenyataannya, kaidah-kaidah Hukum Acara tersebut terutama yang berpedoman pada HIR/RBg. yang bersifat sangat sederhana tersebut adalah belum mencukupi, karena masih banyak hal-hal yang belum diatur atau bahkan ada beberapa hal yang tidak sesuai lagi dengan perkembangan hukum dewasa ini, sehingga untuk itu dengan berdasar pasal 393 HIR, kita mempergunakan peraturan lain yang lebih sesuai atau mempergunakan lembaga-lembaga yang ada dalam Rv. sering untuk kebutuhan praktek peradilan, Mahkamah Agung mengeluarkan SEMA, PERMA, maupun lewat putusannya (yurisprudensi).

Berdasarkan hal di atas, Kelompok Padjadjaran berpendapat untuk Hukum Acara Perdata Nasional yang berlaku di masa yang akan datang, perlu dituangkan di dalam satu Undang-undang yang berlaku secara nasional sesuai dengan perkembangan hukum dan perkembangan ma­syarakat Indonesia sekarang.

H. PERMASALAHANKarena dalam kenyataannya kaidah-kaidah Hukum Acara Perdata yang

berlaku sekarang terdapat di mana-mana seperti diuraikan dalam Pendahulu­an, Kelompok Padjadjaran berpendapat dalam rangka pembentukan Undang-undang Hukum Acara Perdata yang bersifat Nasional yang dapat menampung kebutuhan sesuai perkembangan hukum dan kemajuan ma­syarakat Indonesia, dengan c a ra :I. Mengambil alih/tetap mempertahankan pasal-pasal di HIR/RBg. yang

masih relevan dalam Undang-undang Hukum Acara Perdata yang baru.

HUKUM ACARA PERDATA NASIONALYANG DIHARAPKAN BERLAKU DI MASA YANG AKAN DATANG

91

Page 103: 2m i PENDALAMAN MATERI HUKUM I I - Mahkamah Agung

2. Memasukan pasal-pasal dalam Rv dan RO yang dalam praktek telah dipergunakan ke dalam Undang-undang yang baru tersebut.

3. Memasukkan ketentuan dalam SEMA, PERMA dan Yurisprudensi yang tetap yang mengatur tentang hukum acara perdata dalam Undang- undang Hukum Acara Perdata yang baru.

4. Ketentuan-ketentuan banding (Undang-undang No. 20 tahun 1947) dan ketentuan kasasi dalam Undang-undang No. 14 tahun 1985, ke dalam Undang-undang Hukum Acara Perdata yang baru.

III. PEM ECAHAN MASALAHHal-hal yang perlu diatur dalam Hukum Acara Perdata Nasional yang

diharapkan berlaku di masa yang akan datang.A. Sistem pem eriksaan di Pengadilan Negeri.

Meskipun pada saat ini sudah banyak para Sarjana Hukum yang berpraktek sebagai Pengacara, baik yang telah memperoleh izin dari Menteri Kehakiman, maupun dari Ketua Pengadilan Tinggi, terutama di kota-kota besar, akan tetapi mengingat bahwa keadaan sosial ekonomi dari sebagian besar bangsa Indonesia masih lemah, maka sistem gugatan lisan masih perlu dipertahankan disamping gugatan secara tertulis. Dengan perkataan lain, bahwa tidak mewajibkan para pihak yang berperkara untuk meminta bantuan hukum pada Pengacara, sehignga dengan demikian, kemungkinan besar para pihak yang awam hukum, akan dapat beracara sendiri di Pengadilan tanpa adanya bantuan hukum dari Pengacara.

Mengingat akan hal tersebut di atas, masih diperlukan Hakim yang aktif dalam memimpin persidangan. Sehingga dengan demikian Kelompok Padjadjaran berpendapat bahwa dalam Hukum Acara Perdata Nasional yang akan datang, sistem yang terdapat dalam HIR/RBg., sepanjang tidak bertentangan dengan sistem hukum Indonesia, masih dapat dipertahankan.

B. Seperti kita ketahui, masih banyak hal-hal yang belum diatur dalam HIR/RBg. yang selama ini dalam praktek selalu diambil dari berbagai sumber, seperti Rv, Surat Edaran Mahkamah Agung, Peraturan Mahkamah Agung, dan Yurisprudensi tetap.

Untuk mewujudkan Hukum Acara Perdata Nasional yang diharapkan berlaku di masa yang akan datang, maka hal-hal yang belum diatur dalam HIR/RBg., yang tersebar dalam peraturan perundang-

92

Page 104: 2m i PENDALAMAN MATERI HUKUM I I - Mahkamah Agung

undangan tersebut di atas, perlu dicantumkan dalam Hukum Acara Perdata Nasional yang akan datang.1. T entang domicili.

Jika dalam perjanjian para pihak telah memilih domicili, jika terjadi perselisihan, maka pilihan domicili tersebut harus mengikat bagi kedua belah pihak, tanpa adanya alternatif pilihan lain, dalam mengajukan gugatan ke Pengadilan.

2. T entang relas panggilan p a ra pihak.Dalam hal pihak yang dipanggil tidak dijumpai pada alamat yang disebutkan dalam gugatan, maka relas panggilan terebut diteruskan pada Kepala Desa, dan seterusnya Kepala Desa wajib menyampai­kan dengan segera kepada yang bersangkutan, dan setelah ditandatangani oleh pihak yang bersangkutan, relas teresbut oleh Kepala Desa harus segera dikembalikan ke Pengadilan Negeri.

3. K ehadiran pihak-pihak yang b erperkara dalam persidangan. Apabila dipandang perlu oleh Hakim yang memimpin persidangan pihak-pihak yang berperkara sendiri diharuskan hadir sendiri di per­sidangan, sungguhpun pihak tersebut sudah diwakili oleh kuasanya di persidangan, ia wajib datang ke persidangan.

4. M engenai proses jalannya persidangan di Pengadilan.a. Mengenai surat kuasa, agar diatur dengan tegas, hanya di­

perbolehkan kepada mereka yang telah memperoleh izin praktek yang dikeluarkan oleh Menteri Kehakiman atau Ketua Pengadilan Tinggi.Bahwa surat kuasa tersebut harus dibuat secara khusus, tersendiri dalam tiap tingkat peradilan.

b. Agar diatur pula secara tegas, bahwa setiap gugatan harus memuat dengan tegas:- Persona statute.- Fundamentum petendi.- Petitum.

c. Perubahan gugatan.Agar dalam Hukum Acara Perdata Nasional yang akan datang, mengenai perubahan gugatan, supaya diatur dengan tegas dan nyata, hanya diperbolehkan diajukan sebelum adanya jawaban

93

Page 105: 2m i PENDALAMAN MATERI HUKUM I I - Mahkamah Agung

pertama dari pihak tergugat, dan hanya diperbolehkan pada peradilan tingkat pertama saja.

d. Gugatan intervensi dari pihak ketiga yang berkepentingan, agar diatur pula secara tegas.

e. Gabungan gugatan, baik mengenai subjek maupun objeknya, perlu pula diatur secara tegas.

f. Gugatan balik (gugatan dalam rekonpensi), juga harus diatur secara tegas, hanya diperbolehkan diajukan bersamaan dengan jawaban pertama dari Tergugat.

g. Mengenai jawab-menjawab, harus dibatasi sampai satu babak, artinya jawaban, replik, duplik.

h. Mengenai pembuktian.Beban pembuktian bagi para pihak harus ditegaskan dalam suatu putusan sela.

i. Mengenai unus testis nullus testis, sumpah supletoir, sumpah decicoir, masih dianggap perlu dipertahankan.Sumpah aestimatoir agar diatur dengan tegas dan lafal sumpah agar diformulasikan secara tegas, begitu juga dengan lafal sumpah saksi.

j . Mengenai sita conservatoir (CB), sita revindicatoir, sita ekseku­si, masih perlu dipertahankan. Selanjutnya mengenai sita marital dan sita perbandingan agar dimasukkan dalam Hukum Acara Perdata Nasional yang akan datang.Khusus mengenai proses penyitaan :Masalah pendelegasian penyitaan sering menimbulkan kesulitan dan sangat memperlambat penyelesaian perkara sehingga perlu diatur hal-hal sebagai beriku t:1. Penyitaan langsung dilakukan oleh Pengadilan Negeri/Pe-

ngadilan Tinggi yang menangani perkara tersebut atau di Pengadilan di mana objek sitaan tersebut berada.

2. Perlawanan terhadap penyitaan tersebut diajukan ke Pengadilan Negeri/Pengadilan /Tinggi yang memerintahkan penyitaan tersebut.

3. Ketentuan tentang Jurusita yang berwenang untuk seluruh daerah hukum, sekurang-kurangnya untuk seluruh daerah hukum Indonesia.Dan Sita Persamaan (Vergelijkend beslag).Dalam sita eksekusi terhadap barang-barang bergerak yang sudah disita oleh Pengadilan Negeri yang bersangkutan

94

Page 106: 2m i PENDALAMAN MATERI HUKUM I I - Mahkamah Agung

memerlukan sita eksekusi, maka yang belum disita barang- barang bergerak tersebut dicocokan kemudian dicatat dan dilakukan penyitaan terhadap barang bergerak yang belum disita.

k. Mengenai sandera, bisa diperlakukan secara terbatas (casuistis), yaitu bilamana debiturnya mampu, tapi mempunyai itikad buruk tidak mau membayar hutangnya.Mengenai paksa badan (lijfsdwang) dan pelaksanaannya juga harus diatur dengan tegas.

l. Mengenai dwangsom, harus diatur secara tegas, hanya ditujukan kepada pihak yang harus melakukan suatu perbutan dan ataupun tidak melakukan suatu perbuatan.

m. Mengenai lelang, yang harganya tidak lebih dari Rp.30.000.000,- (tiga puluh ju ta rupiah), tidak usah melalui perantaraan Kantor Lelang, tapi agar diatur dapat dilaksanakan oleh Pengadilan Negeri sendiri.

n. Mengenai putusan serta merta (uitvoerbaar bij voorraad), apabila sudah memenuhi syarat-syarat adanya alas hak akta otentik, atau suatu akta di bawah tangan yang diakui dan adanya putusan Hakim yang telah mempunyai kepastian tetap.

o. Mengenai eksepsi, kecuali hal Hakim tidak berwenang, pernyataan bandingnya harus dikirimkan bersama-sama dengan banding pokok perkara.Mengenai eksepsi dilatoire, eksepsi declinatoire, dan eksepsi peremptoire, harus diatur pula secara tegas.

p. Mengenai acara kortgeding (acara singkat).Untuk dapat mewujudkan peradilan yang cepat dan biaya ringan, sebagaimana yang disebutkan dalam Undang-undang Pokok Kehakiman, hendaknya diatur pula secara tegas Hukum Acara Perdata Nasional yang akan datang.

q. Mengenai acara peninjauan kembali perkara perdata, yang sekarang diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) agar dimasukkan pula secara tegas.

r. Apabila dalam suatu gugatan terdapat ada klausula arbitrase yang telah dicantumkan dalam perjanjian yang disengketakan, ada atau tidak ada eksepsi dari para pihak, Hakim harus mengatakan tidak berwenang mengadili.

s. Mengenai tenggang waktu banding, lamanya harus disamakan untuk seluruh Indonesia, yaitu 14 hari.

95

Page 107: 2m i PENDALAMAN MATERI HUKUM I I - Mahkamah Agung

IV. KESIMPULAN/SARANSetelah merinci pemecahan masalah seperti yang diuraikan dalam Bab

III, maka Kelompok Padjadjaran menyimpulkan, agar peraturan-peraturan yang terdapat dalam HIR/RBg. yang masih relevan untuk dipakai dalam Hukum Acara Perdata Nasional yang akan datang, begitu pula beberapa peraturan-peraturan yang tidak diatur, tapi dalam praktek biasanya aturan dari Rv., RO., PERMA, SEMA, agar dapat dihimpun dalam satu perundang- undangan Hukum Acara Perdata Nasional yang akan datang, seperti tentang:1. Perlu adanya pengaturan yang lebih tegas dan terperinci, khususnya

apabila ada pihak-pihak tentang domicili.2. Khususnya mengenai relas panggilan melalui Kepala Desa, agar diatur

lebih tegas cara dan prosedurnya.3. Yang berhak menjadi kuasa di muka Pengadilan adalah mereka yang

sudah mempunyai izin praktek dan kuasa insidentil yang benar-benar sudah diseleksi kebenarannya.

4. Agar persyaratan isi gugatan diatur lebih tegas dan terinci.5. Mengenai perubahan gugatan, hanya diperbolehkan diajukan sebelum

adanya jawaban pertama dari pihak tergugat, dengan tidak merugikan pihak tergugat.

6. Gugatan Rekonpensi, hanya boleh diajukan pada jawaban pertama dari Tergugat.

7. Gugatan intervensi, penggabungan gugatan, agar diatur dengan tegas.8. Mengenai jawab menjawab harus dibatasi sampai satu babak, yaitu

jawaban, replik dan duplik.9. Mengenai beban pembuktian bagi para pihak harus ditegaskan dalam

suatu Putusan Sela.10. Mengenai azas unus testis nullus testis, sumpah supletoir, sumpah

decisoir masih dianggap perlu dipertahankan.11. Mengenai sandera, bisa diperlakukan secara terbatas secara casuistis,

yaitu kalau debiturnya mampu, tapi mempunyai itikad buruk, tidak mau membayar hutangnya.

12. Mengenai acara kortgeding, agar dapat dimasukkan ke dalam Hukum Acara Perdata Nasional yang akan datang.

13. Mengenai acara peninjauan kembali perkara perdata, yang sekarang diatur dalam PERMA, agar dimasukkan juga.

14. Mengenai klausula abitrase, yang telah dicantumkan dalam perjanjian yang disengketakan, ada atau tidak ada eksepsi dari para pihak, Hakim harus menyatakan tidak berwenang mengadili.

96

Page 108: 2m i PENDALAMAN MATERI HUKUM I I - Mahkamah Agung

SUATU STUDI PERBANDINGAN ANTARA

WEWENANG PERADILAN UMUM DAN PERADILAN TATA USAHA NEGARA

DALAM MENANGANI MASALAH LINGKUNGAN

MENURUT HUKUM DI INDONESIA

97

Page 109: 2m i PENDALAMAN MATERI HUKUM I I - Mahkamah Agung
Page 110: 2m i PENDALAMAN MATERI HUKUM I I - Mahkamah Agung

SUATU STUDI PERBANDINGAN ANTARAWEWENANG PERADILAN UMUM DAN PERADILAN TUN

DALAM MENANGANI MASALAH LINGKUNGAN MENURUT HUKUM DI INDONESIA

Oleh : Kelompok BOURAQ

I. PENDAHULUANPeradilan Umum adalah salah satu pelaksana kekuasaan Kehakiman

bagi rakyat pencari keadilan pada umumnya mengenai perkara perdata dan perkara pidana. Kekuasaan Kehakiman di lingkungan Peradilan Umum dilaksanakan oleh Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi yang berpucak kepada Mahkamah Agung.

Tugas pokok Pengadilan Negeri adalah memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara pidana dan perdata pada umumnya, kecuali Undang- undang menentukan lain. Pengadilan Tinggi merupakan peradilan banding terhadap perkara yang diputus oleh Pengadilan Negeri.

Kekuasaan Kehakiman di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara dilaksanakan oleh Pengadilan Tata Usaha Negara dan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara yang berpuncak pada Mahkamah Agung.

Peradilan Tata Usaha Negara merupakan salah satu pelaksana kekuasa­an Kehakiman yang ditugasi untuk memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa dalam bidang Tata Usaha Negara. Sengketa tersebut haruslah merupakan sengketa yang timbul dalam bidang Tata Usaha N egara antara orang atau Badan Hukum Perdata dengan Badan Hukum atau Pejabat Tata Usaha Negara sebagai akibat dikeluarkannya suatu Keputusan Tata Usaha Negara yang dianggap melanggar hak orang atau Badan Hukum Perdata. Peradilan Tata Usaha Negara itu diadakan dalam rangka memberikan perlindungan kepada rakyat pencari keadilan yang merasa dirinya dirugikan akibat suatu Keputusan Tata Usaha Negara.

Dengan terbentuknya Undang-undang No. 4 tahun 1982 tentang Ke­tentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU. K LH 1982) merupakan salah satu peristiwa penting, baik dilihat dari sudut Pem­bangunan Nasional maupun dari sudut Pembinaan Hukum Nasional In­donesia.

Selain dari itu Undang-undang No. 4 tahun 1982 telah memberikan pengertian kepada kita apa yang dimaksud dengan lingkungan hidup, pencemaran lingkungan dan perusakan lingkungan sekaligus m engatur tentang ganti rugi dan biaya pemulihan serta ketentuan pidana. Apabila

99

Page 111: 2m i PENDALAMAN MATERI HUKUM I I - Mahkamah Agung

terjadi perbuatan yang menyebabkan rusaknya lingkungan hidup dan tercemarnya lingkungan hidup.

Pada akhir-akhir ini banyak terjadi kasus pencemaran dan perusakan lingkungan hidup baik dilakukan oleh orang atau Badan Hukum Perdata maupun oleh penguasa.

Di bawah ini Kelompok Bouraq mencoba mengemukakan masalah lingkungan yang ada kaitannya dengan pidana atau perdata dan pe­nyelesaiannya dari sudut Peradilan Tata Usaha Negara dan Peradilan Umum.

II. PERMASALAHAN1. Wewenang Peradilan Umum dalam menangani masalah lingkungan.2. Wewenang Peradilan Tata Usaha Negara dalam menangani masalah,

lingkungan.3. Titik singgung wewenang Peradilan Umum dan Peradilan Tata Usaha

Negara dalam menangani masalah lingkungan menurut hukum di Indonesia.

III. PEMECAHAN PERMASALAHANad. 1. Dengan melihat pasal 5 Undang-undang No. 4 tahun 1982 tentang

Ketentuan-ketentuan Pokok Lingkungan Hidup disebutkan :1. setiap orang mempunyai hak atas lingkungan hidup yang sehat.2. setiap orang berkewajiban memelihara lingkungan hidup yang

serta mencegah kerusakan dan pencemarannya.Dari pasal tersebut di atas terlihat adanya hak dan kewajiban setiap orang untuk terpeliharanya lingkungan hidup yang baik dan sehat. Peraturan yang mengatur lingkungan hidup di Indonesia sebagian besar masuk dalam lingkungan hukum publik yang menyangkut masalah administrasi misalnya Hidner Ordonantie Stb. 1926 No. 226 jo Stb 1940 No. 450, PP. No. 29 tahun 1986 tentang AMDAL dan sebagainya.Sehingga dapat dikatakan peranan hukum publik sangat menonjol dalam masalah lingkungan hidup karena menyangkut Keputusan Pemerintah/Tata Usaha Negara.Dalam pasal 20 Undang-undang No. 4 tahun 1982 mengatur tentang ganti rugi atas kerusakan lingkungan yang menimbulkan kerugian bagi seseorang atau Badan Hukum Perdata.Dalam pasal tersebut ditentukan dua macam prosedur :

100

Page 112: 2m i PENDALAMAN MATERI HUKUM I I - Mahkamah Agung

1. Ganti rugi ditentukan oleh suatu team yang pembentukan team itu akan ditentukan dengan Undang-undang.

2. Melalui Pengadilan Negeri dengan gugatan perdata biasa dengan melalui pasal 1365 B W.

Menurut pasal ini gugatan kepada Pengadilan Negeri baru dapat ditempuh jika penyelesaian melalui team tersebut angka le tidak berhasil. Karena team dimaksud, sampai sekarang belum ada Undang-undang yang mengaturnya, maka penyelesaian melalui team tidak dapat dilaksanakan sehingga jalan satu-satunya adalah melalui Pengadilan Negeri secara gugatan perdata biasa, didasarkan pada Perbuatan Melawan Hukum yang diatur dalam pasal 1365 KUH Perdata.

ad. 2. Apabila kita membicarakan tentang perbandingan antara wewenang Peradilan Umum dengan wewenang Tata Usaha Negara dalam menangani masalah lingkungan, tentu perlu terlebih dahulu me­ngetahui hal-hal apa saja yang menjadi obyek PERATUN, siapa yang berhak selaku penggugat dan siapa pula pihak tergugat, apa saja wewenangnya. Untuk maksud tersebut akan cantumkan be­berapa ketentuan-ketentuan dalam beberapa pasal di bawah i n i :

Pasal 1

Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan :1. Tata Usaha Negara adalah administrasi negara yang melaksana­

kan fungsi untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan baik di Pusat maupun di Daerah.

2. Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara adalah Badan atau Pejabat yang melaksanakan urusan pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

3. Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkrit, individual dan final yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.

4. Sengketa Tata Usaha Negara adalah sengketa yang timbul dalam bidang Tata Usaha Negara antara orang atau Badan

101

Page 113: 2m i PENDALAMAN MATERI HUKUM I I - Mahkamah Agung

Hukum Perdata dengan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara baik di Pusat maupun di Daerah sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku.

5. Gugatan adalah permohonan yang berisi tuntutan terhadap Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara dan diajukan kepada Pengadilan untuk mendapatkan putusan.

6. Tergugat adalah Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan keputusan berdasarkan wewenang yang ada padanya atau yang dilimpahkan kepadanya, yang digugat atau orang atau Badan Hukum Perdata.

7. Pengadilan adalah Pengadilan Tata Usaha Negara atau Pe­ngadilan Negeri Tata Usaha Negara.

8. Hakim adalah Hakim pada Pengadilan Tata Usaha Negara dan atau Hakim pada Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara.

Pasal 2.

Tidak termasuk dalam pengertian Keputusan Tata Usaha Negara menurut Undang-undang in i :a. Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan perbuatan

hukum perdata.

Pasal 3.

(1) Apabila Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tidak me­ngeluarkan Keputusan, sedangkan hal itu menjadi ke­wajibannya, maka hal tersebut disamakan dengan keputusan Tata Usaha Negara.

(2) Jika suatu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tidak me­ngeluarkan keputusan yang dimohon, sedangkan jangka waktu sebagaimana ditentukan dalam peraturan perundang-undangan dimaksud sudah lewat, maka Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tersebut dianggap telah menolak mengeluarkan putusan yang dimaksud.

(3) Dalam peraturan perundang-undangan yang bersangkutan tidak menentukan jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat

102

Page 114: 2m i PENDALAMAN MATERI HUKUM I I - Mahkamah Agung

(2) maka setelah lewat jangka waktu 4 bulan sejak diterimanya permohonan, Badan atau Pejabat Tata Usaha N egara ber­sangkutan, dianggap telah mengeluarkan keputusan penolakan.

Pasal 50

(1) Pengadilan Tata Usaha Negara bertugas dan berwenang me­meriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara di tingkat pertama.

Pasal 51

(1) Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus sengketa Tata Usaha di tingkat banding.

(2) Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara yang bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus di tingkat pertam a dan terakhir sengketa kewenangan mengadili antar Pengadilan Tata Usaha Negara di dalam daerah hukumnya.

(3) Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan di tingkat pertama sengketa Tata Usaha Negara sebagai mana dimaksud dalam pasal 48.

Pasal 53

(1) Seorang atau Badan Hukum Perdata yang m erasa ke­pentingannya dirugikan oleh suatu keputusan Tata Usaha Negara dapat mengajukan gugatan tertulis kepada Pejabat yang berwenang yang berisi tuntutan agar keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan itu dinyatakan batal atau tidak sah, dengan atau disertai tuntutan ganti rugi dan atau rehabilitasi.

(2) Alasan-alasan yang dapat digunakan dalam gugatan sebagai­mana dimaksud dalam ayat (1) adalah :a. Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu ber­

tentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

103

Page 115: 2m i PENDALAMAN MATERI HUKUM I I - Mahkamah Agung

b. Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara pada waktu mengeluarkan keputusan sebagaimana dimaksud dalam ayat(1) telah menggunakan wewenangnya untuk tujuan lain dari maksud diberikannya wewenang tersebut.

c. Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara pada waktu me­ngeluarkan atau tidak mengeluarkan keputusan sebagai­mana dimaksud dalam ayat (1) setelah mempertimbangkan semua kepentingan yang tersangkut dengan Keputusan itu seharusnya tidak sampai pada Pengadilan atau tidak ada pengambilan keputusan tersebut.

Dalam pasal-pasal tersebut di atas dapatlah kita ambil beberapa kesimpulan sebagai beriku t:1. Obyek-obyek Tata Usaha Negara adalah keputusan Tata Usaha

Negara yang dikeluarkan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara.

2. Keputusan Tata Usaha Negara itu harus bersifat Konkrit, Individual dan Final.

3. Keputusan Tata Usaha Negara itu harus merupakan tindakan hukum, sehingga ada pula akibat hukumnya yaitu kerugian materiel ataupun kerugian moril.

4. Ada tiga alasan yang dapat dijadikan dasar m enggugat:a. Perbuatan Melawan Hukum (Onrechtmatigedaad).b. Penyalah gunaan wewenang (Detoumement de pouvoir).c. Perbuatan sewenang-wenang (willekeur).

Dalam hubungan ini menurut penjabaran pasal 53 ayat (2) tersebut ada lagi alasan yaitu azas-azas umum pemerintahan yang baik (Algemeine Beginselen van Behearlijk Bestuur).Selanjutnya akan dibahas sampai dimana wewenang PERATUN dalam menangani masalah lingkungan.Oleh karena wewenang PERATUN itu adalah sengketa TUN antara orang atau Badan Hukum perdata dengan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, dan hanya yang berbentuk tertulis dan keputusan TUN anggaran (fiktif), maka walaupun diharapkan PERATUN yang lebih banyak berperan karena merupakan Tata Usaha Negara akan tetapi wewenang PERATUN itu hanyalah sepanjang ada hubungan­nya dengan perizinan.

Page 116: 2m i PENDALAMAN MATERI HUKUM I I - Mahkamah Agung

SUATU STUDI PERBANDINGAN ANTARA WEWENANG PERADILAN UMUM DAN PERADILAN TUN

DALAM MENANGANI MASALAH LINGKUNGAN MENURUT HUKUM DI INDONESIA

Oleh : Kelompok GARUDA

I. PENDAHULUANSebagaimana kita maklumi, bahwa Negara Indonesia telah memasuki

masa Pembangunan jangka Panjang 25 Tahun Kedua, dan ini merupakan kelanjutan proses pembangunan yang telah dicapai dalam masa Pem­bangunan 25 Tahun Pertama yang baru saja lewat.

Seiring dengan mulai Indonesia memasuki Pembangunan Jangka Pan­jang Tahap kedua ini bangsa Indonesia telah memasuki proses tinggal landas menuju terwujudnya masyarakat yang lebih maju, adil makmur dan mandiri berdasarkan Pancasila dan Undang Undang Dasar 1945. Oleh karena itu Pembangunan dalam segala bidang baik spiritual maupun phisik harus dilanjtukan.

Salah satu aspek Pembangunan dalam bidang spiritual antara lain adalah Pembangunan Hukum baru yang bersifat Nasional disamping menggantikan produk-produk Hukum Kolonial yang belum diperbaharui.

Produk-produk Hukum yang bersifat Nasional yang telah diterbitkan tersebut antara la in :1. Undang-undang Pokok Agraria, UU No. 5 tahun 1960.2. Undang-undang No. 5 tahun 1967 tentang UU Pokok Kehutanan.3. Undang-undang No. 11 tahun 1967 tentang UU Pokok Pertambangan.4. Undang-udnang No. 4 tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok

Pengelolaan Lingkungan Hidup.5. Undang-undang No. 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.

Pembangunan Hukum tersebut sesuai dengan anjuran Presiden RI, agarproduk-produk Hukum Kolonial yang kini ada dan masih berlaku di In­donesia segera diganti (Harian Kompas tanggal 8, Agustus 1993).

Bahwa sesuai dengan judul makalah pada Kelompok Garuda dalam pembahasan sesuai dengan judul tersebut di atas akan memperbandingkan wewenang Peradilan Umum dan Peradilan Tata Usaha Negara dalam menangani masalah lingkungan menurut Hukum Indonesia, dan selanjutnya berturut-turut akan dibahas lebih lanjut sebagai berikut:Bab II. Wewenang Peradilan Tata Usaha Negara dan Wewenang Peradilan

Umum dalam Menangani Masalah Lingkungan Menurut Hukum di Indonesia.

105

Page 117: 2m i PENDALAMAN MATERI HUKUM I I - Mahkamah Agung

Bab III. Masalah yang Timbul dalam Menangani Masalah Lingkungan Me­nurut Hukum di Indonesia antara Peradilan Tata Usaha Negara dengan Peradilan Umum.

Bab IV.Pemecahan Masalah.Bab V. Kesimpulan.Bab VI. Saran.

n . WEWENANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA DAN WEWENANG PERADILAN UMUM DALAM MENANGANI MASALAH LINGKUNGAN MENURUT HUKUM DI IN­DONESIA

1. Wewenang Peradilan Tata Usaha Negara.Menurut pasal 50 UU No. 5 tahun 1986, Peradilan Tata Usaha Negara bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengekta Tata Usaha Negara di tingkat pertama.Bahwa yang dimaksud dengan sengketa Tata Usaha Negara adalah sengketa yang timbul dalam bidang Tata Usaha Negara antara orang atau Badan Hukum Perdata dengan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara baik di Pusat maupun Daerah sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara.Sedang yang dimaksudkan dengan Keputusan Tata Usaha Negara adalah Suatu Penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berdasarkan Peraturan Perundang- undangan yang berlaku yang bersifat Konkrit, Individual dan Final yang menimbulkan akibat hukum bagi seorang atau Badan Hukum Perdata.

Dalam masalah lingkungan, Peradilan Tata Usaha Negara mempunyai wewenang sebagai berikut:

1. Menangani sengketa antara orang seorang atau sekelompok orang yang diwakili oleh LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) atau WALHI (Wahana Lingkungan Hidup), Badan Hukum Perdata, yang dirugikan sebagai akibat dikeluarkannya izin oleh Pejabat Tata Usaha Negara.

2. Menangani sengketa antara Pengusaha yang telah dirugikan sebagai akibat karena izin yang telah pernah diberikan oleh Pejabat Tata Usaha Negara yang berwenang, kemudian dicabut kembali.

106

Page 118: 2m i PENDALAMAN MATERI HUKUM I I - Mahkamah Agung

2. W ewenang Peradilan Umum.Menurut pasal 50 UU No. 5 tahun 1986, Pengadilan Negeri bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara pidana dan perdata di tingkat pertama.Berdasarkan ketentuan di atas, maka Peradilan Umum dalam tingkat pertama berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan semua perkara perdata kecuali yang menjadi wewenang Badan Peradilan lain termasuk Badan Peradilan Tata Usaha Negara.Selanjutnya Peradilan Umum berwenang mengadili perkara perdata dan pidana dalam masalah lingkungan, yaitu :

1. Dalam Perkara Perdata.Pengadilan Negeri berwenang memeriksa dan mengadili ber­dasarkan gugatan Perbuatan Melawan Hukum (PMH) pasal 1365 KUH Perdata dari perusahaan/pengusaha yang melakukan pe­langgaran masalah lingkungan, setelah melalui lembaga Tripartit (Surat Edaran Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup RI No. 03/SE/Men.KLH/6/1987).

2. Dalam Perkara Pidana.Pengadilan Negeri berwenang memeriksa dan mengadili perkara pidana yang diajukan oleh Jaksa terhadap orang yang melakukan pelanggaran ketentuan-ketentuan dari Undang-undang No. 4 tahun 1982.

m . MASALAH YANG TIMBUL DALAM MENANGANI MASA­LAH LINGKUNGAN MENURUT HUKUM DI INDONESIA ANTARA PERADILAN TATA USAHA NEGARA DENGAN PERADILAN UMUMSebelum membahas tentang masalah Hukum Lingkungan yang mungkin

dapat timbul, sepintas kilas terlebih dahulu akan diuraikan tentang Undang- undang No. 4 tahun 1982.

Bahwa Undang-undang No. 4 tahun 1982 tentang Lingkungan Hidup adalah merupakan Undang-undang Payung, hanya mengatur tentang pokok- pokoknya saja, bersifat Nasional dan bertumpu harapan bahwa masalah- masalah yang timbul dapat diselesaikan dengan tuntas.

Ruang lingkup Hukum Lingkungan menurut Undang-undang tersebut amat sangat luas, dan pemecahannya dapat dilakukan melalui berbagai kaidah antara la in :

107

Page 119: 2m i PENDALAMAN MATERI HUKUM I I - Mahkamah Agung

A. Kaidah Hukum Administrasi:- Pihak Aparat Pemerintah mempunyai kewenangan mencabut izin

suatu usaha.- Peradilan Tata Usaha Negara mempunyai kewenangan untuk

membatalkan atau menyatakan tidak syah suatu keputusan yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara.

B. Kaidah Hukum Perdata :Melalui pasal 1365 KUH Perdata, seseorang dapat mengajukan gugatan ganti rugi karena perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh pe- nguasaha.

C. Kaidah Hukum Pidana :Kitab Undang-udnang Hukum Pidana pasal-pasal : 172, 187, 188, 202, 203, dan Undang-undang lain khusus yang bertebaran di beberapa perundang-undangan misalnya Undang-undang No. 5 tahun 1983, Undang-undang No. 5 tahun 1990, Undang-undang No. 5 tahun 1985 dan lain-lain.

Di dalam Undang-undang No. 4 tahun 1982 tersebut yang seharusnya dilengkapi dengan 15 peraturan perundang-undangan ataupun peraturan pemerintah sebagai peraturan pelaksanaannya, yaitu : pasal-pasal 6 ayat (2), 7 ayat (3), 8 ayat (2), 10 ayat (4), pasal-pasal 11, 12, 13, 14, 15, 16, 17, 18 ayat (1) dan ayat (3), pasal-pasal 20 ayat (2) dan ayat (4), pasal 21.

Sampai kini baru ada 2 perundang-undangan sebagai peraturan pe­laksanaannya, y a itu :1. Peraturan Pemerintah No. 29 tahun 1986 tentang : Analisa Dampak

Lingkungan, ex pasal 16 Undang-undang No. 4 tahun 1982.2. Undang-undang No. 5 tahun 1990, tentang Konservasi Sumber Daya

Alam Hayati dan Ekosistemnya.Dan selanjutnya seperti diuraikan tersebut di atas, maka timbulah per­

masalahan-permasalahan hukum baik di hadapan Pengadilan Negeri maupun di hadapan Pengadilan Tata Usaha Negara, yang akan dibicarakan lebih lanjut dalam bab beriktunya.

IV. PEMECAHAN MASALAHApabila terjadi gangguan terhadap lingkungan hidup, baik mengenai

perusakan lingkungan (misalnya hutan) maupun pencemaran lingkungan yang merugikan rakyat baik karena akibat ulah manusia, maupun akibat

108

Page 120: 2m i PENDALAMAN MATERI HUKUM I I - Mahkamah Agung

pembangunan industri-industri, maka penegakan hukumnya (upayahukumnya) dapat ditempuh melalui beberapa cara yaitu :a. Melalui Peradilan Tata Usaha Negara.b. Melalui Peradilan Umum.

ad. a. Melalui Peradilan Tata Usaha Negara.Pada umumnya suatu gugatan diajukan oleh seseorang atau kelompok orang untuk kepentingan mereka dan oleh satu Badan Hukum untuk kepentingan Badan Hukum itu sendiri yang dapat diwakilkan kepada seorang kuasa atau beberapa orang kuasa.Dalam keadaan ini maka gugatan adalah untuk mempertahankan hak dan kepentingan orang yang bersangkutan atau Badan Hukum yang bersangkutan.Apabila seorang tidak mempunyai kepentingan maka ia tidak dapat mengajukan, akan tetapi dalam bidang lingkungan hidup, sekelom­pok orang dapat mengajukan gugatan dengan mengatasnamakan kepentignan umum atau kepentingan orang banyak seperti kasus yang pernah diajukan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tahun 1988 yaitu gugatan yang diajukan oleh Yayasan W ahana Lingkung­an Hidup (WALHI) terhadap Negara Republik Indonesia.Kasus tersebut adalah mengenai gugatan perbuatan melawan hukum yang berupa pengeluaran surat-surat keputusan (bechikking) oleh Tergugat (kelima instansi Pemerintah), dan kelalaian yang dilaku­kan oleh perusahaan (Pabrik Kertas) PT. Indo Rayon sehingga berakibat pencemaran dan perusakan lingkungan. Dalam putusan tersebut Majelis Hakim mempertimbangkan bahwa dalam kasus ini Walhi sebagai organisasi lingkungan hidup mempunyai "persona standi judicio" dan karenanya dapat bertindak sebagai Penggugat dengan mengatasnamakan kepentingan umum.Setelah jelas siapa yang dapat mengajukan gugatan, sampailah kita pada permasalahan, upaya hukum apa yang dapat dilakukan oleh Penggugat ke Peradilan Tata Usaha Negara ?Menurut pasal 53 ayat 91) Undang-undang No. 5 tahun 1986, seorang atau Badan Hukum Perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu keputusan Tata Usaha Negara dapat me­ngajukan gugatan tertulis kepada Pengadilan yang berwenang yang berisi tuntutan agar Keputusan Tata Usaha Negara yang di­sengketakan itu dinyatakan batal atau tidak sah, dengan atau tanpa disertai tuntutan ganti rugi.

109

Page 121: 2m i PENDALAMAN MATERI HUKUM I I - Mahkamah Agung

Alasan-alasan yang dapat digunakan dalam gugatan tersebut menurut ayat (2) adalah :a. Apabila Keputusan Tata Usaha Negara (dalam kasus ini

Keputusan tentang Izin Perusahaan/Pabrik) itu bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

b. Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara pada waktu me­ngeluarkan keputusan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), telah menggunakan wewenangnya untuk tujuan lain dari maksud diberikannya wewenang tersebut.

c. Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara pada waktu me­ngeluarkan keputusan tersebut, setelah mempertimbangkan semua kepentingan yang tersangkut dengan keputusan itu, se­harusnya tidak sampai pada pengambilan keputusan tersebut.

Selain alasan yang dapat diajukan dalam gugatan adalah terbatas seperti yang diatur dalam pasal 53 ayat (1) Undang-undang No. 5 tahun 1986. Maka menurut pasal 55 Undang-undang No. 5 tahun 1986, gugatan hanya dapat diajukan dalam tenggang waktu 90 hari terhitung sejak saat diterimanya atau diumumkannya keputusan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara.M enurut Surat Edaran Mahkamah Agung No. 2 Tahun 1991, diatur: "Bagi mereka yang tidak dituju oleh suatu Keputusan Tata Usaha Negara, tetapi yang merasa kepentingannya dirugikan maka tenggang waktu sebagaimana dimaksud dalam pasal 55, dihitung secara kasuistis sejak saat merasa kepentingannya dirugikan oleh Keputusan Tata Usaha Negara dan mengetahui adanya keputusan tersebut".Jadi menurut Surat Edaran Mahkamah Agung tersebut, walaupun surat keputusan tentang izin perusahaan/pabrik yang merugikan Penggugat itu sudah lama dikeluarkan (lebih dari 90 hari) akan tetapi karena Penggugat baru mengetahuinya, maka tenggang waktu 90 hari itu dihitung sejak Penggugat mengetahuinya.Di Pengadilan Tata Usaha Negara sampai sekarang meskipun m enurut uraian di atas pihak yang dirugikan itu bisa mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara, tetapi karena Peradilan Tata Usaha Negara adalah Pengadilan baru, sampai sekarang belum ada kasus yang diajukan ke Peradilan Tata Usaha Negara.Begitu juga halnya Peraturan Pemerintah lain yang merupakan peraturan pelaksanaan dari pasal-pasal dalam Undang-undang No. 4 tahun 1982 ini yang selalu merupakan kendala dari Penggugat

Page 122: 2m i PENDALAMAN MATERI HUKUM I I - Mahkamah Agung

sebagai penderita yang telah dilanggar haknya atas lingkungan hidup.Oleh karena itu Pemerintah harus segera mengeluarkan Peraturan Pemerintah yang berhubungan dengan Undang-undang No. 4 tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup.

ad. b. Penegakan Hukum Melalui Peradilan Umum.Apabila terjadi gangguan terhadap lingkungan hidup, baik sebagai kerusakan maupun pencemaran, penanganannya di Peradilan Umum dapat:1. Berdasarkan Hukum Perdata.2. Berdasarkan Hukum Pidana.

ad. 1. Berdasarkan Hukum Perdata.Apabila ada seseorang atau kelompok orang yang telah dirugikan oleh orang lain dengan pencemaran lingkungan, misalnya suatu perusahaan yang telah mendapat izin usaha telah mendirikan pabrik dan pabrik tersebut dalam membuang limbahnya tidak diolah dan limbah tersebut dibuang ke sungai, dimana sungai tersebut dipergunakan oleh masyarakat sekitarnya untuk minum, mandi dan untuk irigasi dan ternyata limbah tersebut mencemari sungai sehingga para penduduk menderita gatal-gatal, ternaknya pada mati, demikian juga tanam-tanamannya pada mati maka pihak-pihak yang dirugikan tersebut dapat melakukan tuntutan ganti rugi kepada perusahaan yang mencemari tersebut. Berdasar pasal 20 Undang-undang No. 4 tahun 1982 oleh para pihak dalam melakuakn tuntutan ganti rugi kepada perusahaan tersebut adalah melalui perantara yaitu lembaga Tripartit, tetapi apabila terhadap penyelesaian tersebut pihak yang dirugikan tidak puas baru ke Pe­ngadilan. Namun lembaga tersebut sebagai pelaksanaan pasal 20 Undang-undang No. 4 tahun 1982 sampai sekarang belum dilakukan karena Peraturan Pemerintah sebagai peraturan pelaksanaan pasal 20 Undang-undang No. 4 tahun 1982 tersebut belum ada sehingga menimbulkan masalah, apakah mungkin tuntutan ganti rugi tersebut langsung di-

U1

Page 123: 2m i PENDALAMAN MATERI HUKUM I I - Mahkamah Agung

ajukan ke Pengadilan serupa melalui lembaga Tripartit lebih dahulu ?Menurut hemat Kelompok Garuda, sebelum adanya lembaga tersebut para pihak yang merasa dirugikan dapat melakukan tuntutan ganti rugi lewat pasal 1365 KUH Perdata yaitu gugatan perbuatan melawan hukum.Dalam praktek di Pengadilan dengan belum adanya Peraturan Pemerintah sebagai pelaksanaan dari pasal 20 Undang-undang No. 4 tahun 1982, terdapat belum adanya keseragaman pendapat tentang gugatan perbuatan melawan hukum lewat pasal 1365 KUH Perdata, hal mana ternyata dari putusan perkara:Putusan Pengadilan Negeri Medan tanggal 11 Juli 1989 Nomor 154/Pdt.G/1989/PN.Mdn. yang memeriksa dan memutus gugatan sekelompok penduduk di sekitar Sungai Asahan melawan PT. Indo Rayo Utama, melalui gugatan perbuatan melawan hukum, gugatan tersebut tidak dapat diterima dengan pertimbangan bahwa pasal 20 Undang- undang No. 4 tahun 1982 belum mempunyai peraturan pelaksanaan, sebaliknya putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, tahun 1988 yang memutus dan memeriksa gugatan Walhi (Wahana Lingkugnan Hidup Indonesia) terhadap Negara Indonesia yang terdiri dari 5 tergugat yaitu di antaranya Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Sumatera Utara, Menteri Perindustrian, Menteri KLH dan PT.Indo Rayon Utama, gugatan tersebut juga diajukan berdasarkan perbuatan melawan hukum, oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat gugatan tersebut diterima, meskipun gugatan tersebut ditolak untuk seluruhnya tetapi karena penggugat tidak dapat membuktikan akan materi gugatannya. Walhi sebagai organisasi lingkungan hidup mempunyai : pesona standi judicio dengan mengatasnamakan kepentingan umum.

ad. 2. Berdasarkan Hukum Pidana.Penegakan hukum lingkungan melalui ketentuan-ketentuan hukum pidana diatur dalam pasal 22 Undang-undang No. 4 tahun 1982, pasal 172, 187, 188,202, 203 KUHP dan selain yang bertebaran di beberapa perundangan yaitu Undang-

Page 124: 2m i PENDALAMAN MATERI HUKUM I I - Mahkamah Agung

undang No. 5 tahun 1983, Undang-undang No. 5 tahun 1985 dan lain-lainnya.Putusan dalam peraturan Undang-undang No. 4 tahun 1982 terlalu luas dan umum sehingga kadang-kadang me­nyulitkan Hakim dalam menginterpretasikannya, misalnya dengan Badan Hukum dalam Hukum Pidana belum diatur apakah Badan Hukum dapat dipidana.Dalam Undang-undang No. 4 tahun 1982, meskipun dalam penjelasannya menyatakan Badan Hukum adalah dapat bertindak sebagai "dader" (pelaku pidana), akan tetapi dalam Undang-undang No. 4 tahun 1982 sendiri tidak memuat secara tegas bahwa "Badan Hukum" adalah dapat bertindak sebagai pelaku (dader), perbuatan pidana dalam hukum lingkungan hidup, seperti halnya dalam Undang- undang Narkotika, Undang-undang Tindak Pidana Ekonomi.Kelompok Garuda berpendapat Badan Hukum belum bisa menjadi pelaku dari tindak pidana sehingga Badan Hukum dapat dipidana.Sanksi pidana terhadap delik lingkungan hidup di Indonesia sebagaimana diatur dalam pasal 22 ayat (1) Undang-undang No. 4 tahun 1982 adalah selama-lamanya 10 tahun penjara dan denda sebesar Rp. 100.000.000,00 (seratus ju ta rupiah), sedang dalam ayat (2) adalah pidana kurungan selama- lamanya 1 (satu) tahun dan atau denda Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah).Di Pengadilan Indonesia kita mengenal 2 (dua) putusan Pengadilan mengenai lingkungan hidup, kedua-duanya berdasar atas pasal 22 ayat (1) Undang-undang No. 4 tahun 1982 yaitu :1. Putusan Pengadilan Negeri Sorong No. 96/Pid.S-

/1984/PN.Sorong jo. putusan Pengadilan Tinggi Jayapura No. lO/Pid.S/1984/PT.Jayapura tangal 25 Januari 1985, yang menghukum Terdakwa Vicky Tueyeh.

2. Putusan Pengadilan Negeri Sidoarjo No. 122/Pid.B- /1988/PN.Sidoarjo tanggal 6 Mei 1989, atas terdakwa Bambang Gunawan alias Oey Ling Gwat dengan amar, Terdakwa dilepas dari segala tuntutan hukum.

113

Page 125: 2m i PENDALAMAN MATERI HUKUM I I - Mahkamah Agung

V. KESIMPULAN1. Sampai sekarang baru ada 2 peraturan perundang-undangan sebagai

peraturan pelaksanaan dari Undang-undang No. 4 tahun 1982.2. Belum ada kejelasan apakah Badan Hukum sudah dapat dijadikan

sebagai dader dari perkara lingkungan hidup.3. Dalam perkara perdata organisasi lingkungan hidup (Walhi) mempunyai

"persona standi judicio", karenanya dapat bertindak mengatasnamakan kepentingan umum.

VI. SARAN1. Agar peraturan-peraturan pelaksanaan dari berbagai Undang-undang

yang menyangkut lingkungan hidup segera dikeluarkan untuk mem­peroleh kejelasan di dalam proses penegakan hukumnya.

2. Agar yurisprudensi dalam bidang Perdata dan Tata Usaha Negara yang berkaitan dengan lingkungan hidup dapat dikembangkan.

114

Page 126: 2m i PENDALAMAN MATERI HUKUM I I - Mahkamah Agung

SUATU STUDI PERBANDINGAN ANTARA WEWENANG PERADILAN UMUM DAN PERADILAN TUN

DALAM MENANGANI MASALAH LINGKUNGAN MENURUT HUKUM DI INDONESIA

Oleh : Kelompok MANDALA

I. PENDAHULUANSebagaimana kita ketahui bersama, bahwa Badan Peradilan di Indoensia

ialah :1. Lingkungan Peradilan Umum.2. Lingkungan Peradilan Agama.3. Lingkungan Peradilan Militer.4. Lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara.

Demikianlah ketentuan yang ada di dalam pasal 10 ayat (1) Undang- undang No. 14 tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.

Dengan diundangkannya Undang-undang No. 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, lengkaplah keberadaan keempat lembaga Peradilan tersebut.

Baik Peradilan Umum maupun Peradilan Tata Usaha Negara di dalam batas-batas kewenangan masing-masing sesuai dengan ketentuan Undang- undang yang berlaku, sama-sama memiliki kewenangan memeriksa dan mengadili perkara-perkara yang menyangkut masalah lingkungan hidup.

Perkara-perkara yang menyangkut masalah lingkungan hidup ditinjau dari aspek keperdataannya kewenangan mengadilinya oleh Peradilan Umum, demikian juga aspek pidananya sebagaimana diatur di dalam Undang-undang No. 4 tahun 1982.

Sedangkan kewenangan Peradilan Tata Usaha Negara terhadap perkara- perkara yang menyangkut masalah lingkungan hidup diatur di dalam pasal 53 jis pasal 120 Undang-undang No. 5 tahun 1986 dan Peraturan Pemerintah No. 43 tahun 1991.

Lingkungan di Indonesia sebagai suatu sistem terdiri dari beberapa daerah, masing-masing sebagai suatu sub sistem yang meliputi aspek sosial, budaya, ekonomi, dan physik, dengan corak ragam yang berbeda antara sub sistem yang satu dengan yang lain, dan dengan daya dukung lingkunan yang berlainan. Pembinaan dan pengembangan yang didasarkan kepada keadaan daya dukung lingkungan akan meningkatkan keselarasan dan keseimbangan sub sistem, yang berarti meningkatkan ketahanan sub sistem.

115

Page 127: 2m i PENDALAMAN MATERI HUKUM I I - Mahkamah Agung

II. PERMASALAHAN.- Mengenai ganti rugi.

III. PEMBAHASANBerbeda dengan prinsip ganti rugi yang dianut oleh pasal 1365 BW,

dikenal dengan onrechtsmatigedaad, yaitu ganti rugi hanya dapat dikabulkan apabila si korban dapat membuktikan adanya unsur kesalahan di pihak pelaku (pencemar) dianut oleh Undang-undang No. 4 tahun 1982.

Berlakunya prinsip ganti rugi ini pada kasus-kasus pencemaran akan memberikan lebih banyak rasa adil dan aman bagi calon korban disebabkan pada saat pencemaran si pelaku memikul tanggung jawab dengan tidak mempersoalkan ada tidaknya unsur kesalahan pada si pelaku.

Kewenangan Peradilan Umum yang menyangkut masalah ganti rugi sebagai akibat pencemaran dan perusahaan lingkungan hidup dapat dibagi dalam aspek perdata dan aspek pidana.

Aspek Perdata:Ketentuan yang dipergunakan untuk mengajukan tuntutan ganti rugi

tersebut yaitu pasal 1365 BW dengan mengacu pada ketentuan pasal 20 dan 21 Undang-undang No. 4 tahun 1982, dimana ditentukan bahwa tanggung jawab membayar ganti rugi tersebut dibebankan kepada yang merusak dan mencemarkan lingkungan terhadap penderita pencemaran, dan berdasarkan ketentuan pasal 20 ayat 3 Undang-undang No. 4 tahun 1982, si pelanggar dibebani tanggung jawab membayar biaya pemulihan lingkungan hidup pada negara.

Berdasarkan uraian di atas, maka jelaslah bahwa pasal 20 dan pasal 21 Undang-undang No. 4 tahun 1982 merupakan Lex Specialis terhadap pasal 1365 B W, maka dalam menyelesaikan ganti rugi sebagai akibat pencemaran dan perusakan lingkungan hidup tersebut berlaku Lex Specialis derogat Legi Generalis.

Aspek Pidana.Dalam aspek pidana mengacu pada pasal 22 ayat 1, 2 dan 3 Undang-

undang No. 4 tahun 1982, dimana ditentukan dalam ayat 1 bahwa ancaman pidananya selama-lamanya 10 tahun dan atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 100.000.000,- untuk perbuatan yang dilakukan dengan sengaja, sedang­kan yang dilakukan dengan kelalaian diatur dalam pasal 22 ayat 2 yang hukumannya dengan pidana kurungan selama-lamanya 1 tahun dan atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 1.000.000,-.

116

Page 128: 2m i PENDALAMAN MATERI HUKUM I I - Mahkamah Agung

Perlu diperhatikan pula apa yang ditentukan dalam penjelasan pasal 22 tersebut di atas yang berbunyi:Mengingat akibat perusakan dan atau pencemaran lingkungan dapat ber­beda-beda, maka pasal ini hanya menentukan ancaman pidana maksimal. Peraturan perundang-undangan yang mengatur segi-segi lingkungan hidup tetap dapat menetapkan ancaman pidana yang jumlahnya tidak melebihi ancaman pidana yang ditetapkan dalam pasal ini. Jumlah denda se­bagaimana tersebut dalam pasal ini adalah nilai nominal pada saat mulai berlakunya Undang-undang ini.

Untuk membuktikan benar tidaknya adanya pengrusakan dan atau pencemaran akan timbul permasalahan yaitu seberapa jauh kadar pen­cemaran itu terjadi. Untuk mengetahui secara ilmiah kadar pencemaran tersebut, tentunya harus diteliti secara ilmiah pula. Untuk penelitian tersebt pembentukan tim penelitiannya mengacu pada ketentuan penjelasan pasal 20 ayat 2 Undang-undang No. 4 tahun 1982.

Kewenangan Peradilan Tata Usaha Negara yang menyangkut masalah ganti rugi sebagai akibat pencemaran dan perusakan lingkungan hidup mengacu pada Undang-undang No. 5 tahun 1986.

Mengenai pengajuan gugatan diatur dalam pasal 53 Undang-undang tersebut dan mengenai ganti ruginya ditentukan dalam pasal 120 dihubungkan dengan Peraturan Pemerintah No. 43 tahun 1991 mengenai pelaksanaan ganti rugi yang antara lain menentukan besarnya ganti rugi berkisar antara Rp. 250.000,- sampai Rp. 5.000.000,-

Berbicara mengenai kewenangan Peradilan Tata Usaha Negara dalam hal ganti rugi tersebut, berbeda dengan kewenangan Peradilan Umum, yaitu dalam hal-hal sebagai beriku t:1. Mengenai besarnya ganti rugi.

Sebagaimana telah dikemukakan di atas kewenangan menentukan ganti rugi pada Peradilan Tata Usaha Negara hanya berkisar antara Rp.250.000,------Rp. 5.000.000,- sedangkan pada Peradilan Umum tidakterbatas.

Disamping itu dalam tuntutan ganti rugi immateriil hanya di­mungkinkan diajukan pada Peradilan Umum dan tidak dapat diajukan pada Peradilan Tata Usaha Negara.

2. Mengenai subyek.Sesuai dengan kewenangan masing-masing, karena di Peradilan

Tata Usaha Negara yang menjadi subjek gugatan adalah Pejabat Tata Usaha Negara dan di Peradilan Umum yang menjadi subyek gugatan

117

Page 129: 2m i PENDALAMAN MATERI HUKUM I I - Mahkamah Agung

adalah pencemarnya, maka dalam hal tuntutan ganti rugi dalam Peradilan Tata Usaha Negara yang digugat adalah pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan izin yang telah dibatalkan produk keputusannya dan yang mengakibatkan timbulnya pencemaran, sedang di Peradilan Umum yang digugat adalah pencemarnya untuk membayar ganti rugi akibat pencemaran tersebut kepada penderita.

IV. KESIM PULAN/SARAN- Dengan uraian yang telah dipaparkan tersebut di atas baik mengenai

kewenangan Peradilan Umum maupun Peradilan Tata Usaha Negara, kedua-duanya menyangkut masalah lingkungan hidup, ternyata bahwa titik singgung kewenangan antara kedua Badan Peradilan tersebut terletak pada masalah ganti rugi sebagai akibat pencemaran dan pengrusakan lingkungan hidup.

- Kami dari Kelompok Mandala menyarankan, untuk menjaga kelestarian lingkungan hidup dari pencemaran dan kerusakan, maka Pemerintah diharapkan dalam waktu yang tidak lama mengeluarkan Peraturan Pemerintah sebagai pelaksanaan lebih lanjut beberapa ketentuan dalam Undang-undang No. 4 tahun 1982.

118

Page 130: 2m i PENDALAMAN MATERI HUKUM I I - Mahkamah Agung

SUATU STUDI PERBANDINGAN ANTARA WEWENANG PERADILAN UMUM DAN PERADILAN TUN

DALAM MENANGANI MASALAH LINGKUNGAN MENURUT HUKUM DI INDONESIA

Oleh : Kelompok MERPATI

L PENDAHULUANPeradilan Umum maupun Peradilan Tata Usaha Negara keberadaannya

adalah atas dasar yang sama, yaitu yang tertuang dalam pasal 10 ayat (1) Undang-undang No. 14 tahun 1970 tentang : "Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman" yang berbunyi :Kekuasan Kehakiman dilakukan oleh Pengadilan dalam lingkungan:

Peradilan Umum Peradilan Agama Peradilan Militer Peradilan Tata Usaha Negara.Dengan mengacu judul makalah yaitu : Suatu Studi Perbandingan

Antara Wewenang Peradilan Umum dan Peradilan Tata usaha Negara Dalam Menangani Masalah Lingkungan Menurut Hukum di Indonesia, maka yang perlu kita ketahui tentang wewenang Peradilan Umum, wewenang Peradilan Tata Usaha Negara dan masalah lingkungan.

Dalam hubungannya dengan masalah lingkungan Peradilan Umum berwenang menangani baik masalah pidana maupun masalah perdata, sedangkan Peradilan Tata Usaha Negara hanya berwenang menangani masalah perdata terkait unsur Pejabat Tata Usaha Negara.

Lingkungan hidup di Indonesia adalah merupakan rakhmat Tuhan yang wajib dikembangkan dan dilestarikan agar dapat tetap menjadi sumber dan menunjang hidup bagi bangsa dan rakyat Indonesia serta mahluk lainnya dari kelangsungan dan peningkatan kualitas dari hidup itu sendiri. Oleh karena itu, pengolahan lingkungan menuntut dikembnagkannya suatu sistem keterpaduan antara instansi terkait sebagai suatu kebijaksanaan nasional Undang-undang No. 4 tahun 1982 menetapkan kewajiban setiap orang untuk memelihara lingkungan hidup dan mencegah serta menanggulangi kerusakan dan pencemaran di samping hak setiap orang atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.

Selanjutnya Undang-undang No. 5 tahun 1984 tentang Perindustrian, menetapkan kewajiban-kewajiban bagi perusahaan industri untuk me­laksanakan upaya kesinambungan dan kelestarian sumber daya alam kita,

119

Page 131: 2m i PENDALAMAN MATERI HUKUM I I - Mahkamah Agung

serta melakukan pencegahan timbulnya kerusakan dan pencemaran terhadap lingkungan hidup akibat kegiatan industri yang dilakukannya.

n . PERMASALAHANPembahasan dalam makalah ini sebenarnya untuk memberikan satu

ringkasan mengenai masalah lingkungan secara umum yang akan memberikan penyerahan dan pengetahuan dasar bagi konsep pengaturan hukumnya dalam prospektif yang luas tentang perbandingan wewenang antara Peradilan Umum di satu pihak dengan Peradilan Tata Usaha Negara di lain pihak.

Hal tersebut di atas kesemuanya telah lebih jelas tertuang dalam Bab I Pendahuluan di atas.

Permasalahan yang sekarang timbul menurut Kelompok Merpati adalah sebagai beriku t:1. Wewenang Peradilan Umum dalam menangani masalah lingkungan.2. Wewenang Peradilan Tata Usaha Negara dalam menangani permasalah­

an lingkungan.3. Studi perbandingan antara Peradilan Umum dan Peradilan Tata Usaha

Negara.

III. PEMBAHASANSebelum memasuki uraian pembahasan dipandang perlu memahami

beberapa pengertian yang erat hubungannya dengan masalah lingkungan yang menimbulkan akibat kepada masyarakat yaitu lingkungan hidup, pencemaran lingkungan dan perusakan lingkungan sebagaimana diatur di dalam ketentuan pasal 1 Undang-undang No. 4 tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan dan mahluk hidup termasuk di dalamnya manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi kelangsungan peri kehidupan dan kesejahteraan manusia serta mahluk hidup lainnya.

Pencemaran lingkungan adalah masuknya atau dimasukkannya mahluk hidup, zat, energi, dan atau komponen lain ke dalam lingkungan dan atau berubahnya tata lingkungan oleh kegiatan manusia atau oleh proses alam, sehingga kualitas lingkungan turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan menjadi kurang atau tidak dapat berfungsi lagi sesuai dengan peruntukannya.

Perusakan lingkungan adalah tindakan yang menimbulkan perubahan langsung dan tidak langsung terhadap sifat-sifat fisik dan atau hayati

120

Page 132: 2m i PENDALAMAN MATERI HUKUM I I - Mahkamah Agung

lingkungan, yang mengakbiatkan lingkungan itu kurang atau tidak berfungsi lagi dalam menunjang pembangunan yang berkesinambungan.

1. Wewenang Peradilan Umum dalam menangani permasalahan lingkungan.

Permasalahan yang menyangkut lingkungan hidup masih ruang lingkup dalam bidang Hukum Publik dalam hal ini khususnya Hukum Pidana dan juga ruang lingkup Hukum Perdata yakni timbulnya sengketa kepentingan hukum antara seseorang dengan orang lain atau Badan Hukum yang mengakibatkan pencemaran, sehingga menimbul­kan kerugian kepada orang lain.

a. Permasalahan lingkungan hidup dalam bidang Hukum Pidana.Akibat adanya pencemaran, maka seseorang atau Badan Hukum dapat dituntut berdasarkan ketentuan pasal 359 KUHP dan pasal 360 KUHP.Pasal 359 K UH P:Barang siapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain meninggal diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun.

Pasal 360 K U H P :(J) Barang siapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebab­

kan orang lain mendapat luka berat., diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau paling lama satu tahun.

(2) Barang siapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebab­kan orang lain luka sedemikian rupa, sehingga orang itu men­jad i sakit sementara atau tidak dapat menjalankan jabatan atau pekerjaannya sementara diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana kurungan paling lama enam bulan atau pidana denda paling tinggi empat ribu lima ratus rupiah.Kendala-kendala yang dihadapi dalam penanganan kasus ling­

kungan dalam bidang pidana yang perlu mendapat perhatian adalah mengenai hal apakah sebuah Badan Hukum dapat dituntut ber­dasarkan ketentuan-ketentuan dalam Hukum Pidana.

Apabila kita memperhatikan ketentuan-ketentuan yang term uat dalam Undang-undang Tindak Pidana Ekonomi, ternyata bahwa Badan Hukum pun dapat dijatuhi pidana. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa pada prinsipnya sebuah Badan Hukum dapat

121

Page 133: 2m i PENDALAMAN MATERI HUKUM I I - Mahkamah Agung

dipertanggung jawabkan berdasarkan perbuatan pidana. Per­masalahan yang perlu mendapat perhatian adalah oleh karena suatu Badan Hukum mempunyai pengurus yang terdiri lebih dari satu orang, sehingga harus ditentukan siapa yang paling bertanggung jawab.

Bahwa di dalam suatu Badan Hukum biasanya telah ditentukan di dalam anggaran dasarnya siapa saja yang berhak mewakili (bertindak) di luar maupun di muka Pengadilan. Memperhatikan hal tersebut, maka orang yang harus dituntut dalam hal Badan Hukum tersebut melakukan tindak pidana, ialah orang yang disebut dalam anggaran dasar, yakni para pengurusnya namun demikian pada umumnya pertanggung jawaban tersebut dalam kenyataannya bergeser kepada mereka yang benar-benar menjadi pimpinan melakukan tindakan-tindakan yang terlarang dan tindakan-tindakan yang akibatnya dilarang oleh Undang-undang.

Kesimpulan bahwa suatu Perusahaan (Badan Hukum) yang melakukan pencemaran lingkungan dapat dituntut di muka Peradilan berdasarkan ketentuan Hukum Pidana. Mengenai ketentuan pidana pelanggar lingkugnan hidup secara hukum di dalam Bab VII pasal 22 Undang-undang No. 4 tahun 1982 yang berbunyi:

(1) Barang siapa dengan sengaja melakukan perbuatan yang me­nyebabkan rusaknya Lingkungan Hidup atau tercemarnya Lingkugnan Hidup yang diatur dalam Undang-undang ini atau Undang-undang lain diancam pidana dengan pidana penjara selama-lamanya sepuluh tahun dan atau denda sebanyak- banyaknya Rp. 100.000.000,00 (seratus ju ta rupiah).

(2) Barang siapa karena kelalaiannya melakukan perbuatan yang menyebabkan rusaknya Lingkugnan Hidup atau tercemarnya Lingkugnan Hidup yang diatur dalam Undang-undang ini atau Undang-undang lain diancam pidana dengan pidana kurungan selama-lamanya 1 (satu) tahun dan atau denda sebanyak- banyaknya Rp. 1.000.000,00 (satu ju ta rupiah).

(3) Perbuatan sebagaimana tersebut dalam ayat (1) pasal ini adalah kejahatan dan perbuatan sebagaimana tersebut dalam ayat (2) pasal ini adalah pelanggaran.

Page 134: 2m i PENDALAMAN MATERI HUKUM I I - Mahkamah Agung

b. Permasalahan Lingkungan Hidup dalam bidang Hukum Perdata.Penggunaan Hukum Perdata oleh Peradilan Umum mengenai masalah lingkungan dibedakan menjadi tiga fungsi, yaitu :1. Dengan melalui Hukum Perdata dapat dipaksakan ketaatannya

pada norma-norma Hukum Lingkungan, misalnya :Wewenang Hakim untuk menjatuhkan putusan yang berisi perintah atau larangan terhadap seseorang yang telah bertindak secara bertentangan dengan syarat-syarat yang ditentukan dalam perizinan yang berkaitan dengan masalah lingkungan.

2. Hukum Perdata dapat memberikan penentuan norma-norma dalam masalah lingkungan, misalnya :Melalui putusan Hakim, dapat dirumuskan norma-norma ten­tang tindakan yang seharusnya dilakukan oleh seseorang dalam hubungannya dengan masalah lingkungan.

3. Hukum Perdata memberikan kemungkinan untuk mengajukan gugatan ganti rugi atas pencemaran lingkungan yang biasanya dilakukan melalui gugatan perbuatan melawan hukum, seperti apa yang tersebut dalam pasal 1365 KUHPerdata, yang ber­bunyi sebagai beriku t:"Tiap perbuatan yang melanggar hukum dan membawa kerugi­an kepada orang lain mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian itu karena kesalahannya untuk mengganti kerugian tersebut".Sekalipun demikian, ada beberapa segi-segi khusus yang ber­laku dalam soal pertanggung jawaban yang menyangkut kerugian Lingkugnan Hidup.

Sebagian besar dari aktifitas-aktifitas yang dapat me­nimbulkan kerugian terhadap Lingkungan Hidup didasarkan pada peraturan-peraturan yang bersifat hukum publik, terutam a dalam arti bahwa untuk pelaksanaan aktifitas yang bersangkutan itu diperlukan adanya suatu bentuk perizinan atau surat izin (vergunning).Terhadap kegiatan-kegiatan semacam itu tidak tertutup ke­mungkinan untuk dinyatakan sebagai perbuatan melawan hukum (on rechtmatige daad) apabila ternyata a d a :a. Pelanggaran suatu hak (inbrengk op een recht) ataub. Bertentangan dengan kecermatan dalam masyarakat.

123

Page 135: 2m i PENDALAMAN MATERI HUKUM I I - Mahkamah Agung

Ad. a. Pelanggaran suatu hak (inbrengk op een recht).Pengertian suatu hak" di sini diartikan sebagai hak subyektif, di dalam praktek Peradilan hak subyektif itu dapat berupa :(1) Hak-hak kebendaan, misalnya hak milik dan

sebagainya (zakelijke rechten).(2) Hak-hak atas pribadi seseorang (persoonlijkheids

rechten).(3) Hak-hak yang bersifat khusus (bijzondere rechten). Mengenai hal tersebut di atas diatur dalam pasal 5 Undang-undang No. 5 tahun 1982 Ketentuan-ketentuan Pokok Lingkungan Hidup, yang dapat dijadikan dasar seseorang untuk dijadikan dasar tuntutan baik terhadap Pemerintah maupun terhadap orang lain yang dianggap merugikan dirinya.Pasal 5 Undang-undang No. 4 tahun 1982.(1) Setiap orang mempunyai hak atas lingkungan hidup

yang baik dan sehat.(2) Setiap orang berkewajiban memelihara Lingkungan

Hidup dan mencegah serta menanggulangi ke­rusakan dan pencemarannya.

Ad. b. Bertentangan dengan kecermatan masyarakat.Ukuran yang dipakai untuk menentukan apakah norma- norma kecermatan itu dilanggar atau tidak, antara lain tergantung pada fak to r:1. Tingkat pengetahuan dari si pelaku tentang kerugi­

an lingkungan yang dapat ditimbulkan.2. Berat ringannya kerugian yang dapat ditimbulkan.3. Kemungkinan-kemungkinan teknik ada untuk

membatasi timbulnya kerugian.4. Kepentingan yang ada di dalam aktifitas yang me­

nimbulkan pencemaran itu.Dalam hal perbuatan melawan hukum yang mengenai Lingkungan Hidup harus memenuhi perbuatan melawan hukum, y a itu :1. Perbuatan tersebut bertentangan dengan kewajiban

hukum si pelaku.2. Melanggar hak subyektif orang lain.3. Melanggar kaidah tata susila.

Page 136: 2m i PENDALAMAN MATERI HUKUM I I - Mahkamah Agung

4. Bertentangan dengan kepatutan, ketelitian serta sikap hati-hati yang seharusnya dimiliki seseorang dalam pergaulan masyarakat.

Dan untuk dapat dinyatakan melanggar pasal 1365 KUHPerdata harus dipenuhi unsur-unsur sebagai beriku t:- adanya perbuatan- adanya kesalahan/kelalaiannya- adanya kerugian- adanya causalitasKerugian tersebut dapat berupa kerugian materiel maupun kerugian immateriel, dan tuntutan ganti rugi yang didasarkan atas ketentuan pasal 1365 dapat dilakukan berdasar pasal 1370 BW dan pasal 1371 BW.

2. Wewenang Peradilan Tata Usaha Negara dalam menangani permasalahan lingkungan.

Sesuai dengan ketentuan di dalam Undang-undang No. 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, di dalam pasal 1 ayat (4) dinyatakan bahwa pada dasarnya Peradilan Tata Usaha Negara adalah suatu Peradilan yang berwenang memeriksa sengketa yang timbul antara Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara dengan orang atau badan Hukum Perdata baik di pusat maupun di daerah sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara, termasuk sengketa Kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku (pasal 1 butir 4 Undang-undang No. 5 tahun 1986).

Bahwa yang merupakan subyek Peradilan Tata Usaha Negara yaitu penggugat dan tergugat, penggugat ialah seseorang atau Badan Hukum Perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu Keputusan Tata Usaha Negara (pasal 53 ayat (1) undang-undang No. 5 tahun 1986).

Tergugat adalah Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan Keputusan berdasarkan wewenang yang ada padanya atau yang dilimpahkan kepadanya yang digugat oleh orang atau Badan Hukum (pasal 1 butir 6 Undang-undang No. 5 tahun 1986).

Obyek Peradilan Tata Usaha Negara adalah Keputusan Tata Usaha Negara, yaitu suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau pejabat Tata Usaha Negara yang berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang

125

Page 137: 2m i PENDALAMAN MATERI HUKUM I I - Mahkamah Agung

bersifat konkrit, individual dan final yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau Badan Hukum Perdata (pasal 1 butir 3 Undang- undang No. 5 tahun 1986).

Dari ketentuan-ketentuan tersebut di atas, jelas bahwa dalam proses Peradilan Tata Usaha Negara harus ada penggugat, tergugat dan obyek Peradilan Tata Usaha Negara yang berbentuk suatu penetapan tertulis.

Bagi seseorang yang merasa dirugikan dengan adanya Keputusan Tata usaha Negara (obyek Peradilan Tata Usaha Negara) tersebut, dapat mengajukan gugatan ke Peradilan Tata Usaha Negara di mana pejabat yang mengeluarkan Keputusan Tata Usaha Negara sebagai tergugat.

Di dalam perkembangan selanjutnya khususnya dalam menangani permasalahan lingkungan, maka di samping Peradilan Umum we­wenang menangani (memeriksa) maka Peradilan Tata Usaha Negara demikian juga, khususnya dalam izin usahanya.

Dalam hal ini pencemaran/perusakan lingkungan yang merasakan adalah warga masyarakat di sekitar perusahaan yang mendapatkan izin usahanya dari instansi yang berwenang.

Dalam hal yang demikian seseorang (warga masyarakat) yang merasa dirugikan baik materiel maupun immateriel karena pencemaran atau perusakan lingkungan tersebut dapat mengajukah gugatan kepada Peradilan yang berwenang. Dalam hal ini sebagai tergugat adalah instansi yang mengeluarkan izin usahanya.

Yang penting tidak boleh dilupakan ialah tenggang waktu me­ngajukan gugatan ke Peradilan Tata Usaha Negara yaitu ketentuan dalam pasal 55 Undang-undang No. 5 tahun 1986 yaitu gugatan dapat diajukan hanya dalam tenggang waktu 90 hari terhitung sejak saat diterimanya atau diumumkannya Keputusan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara jo Surat Edaran Mahkamah Agung RI No. 2 tahun 1991.

Pihak penggugat hanya boleh menuntut agar Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan itu dinyatakan batal atau tidak sah, dengan atau tanpa disertai tuntutan ganti rugi dan atau rehabilitasi (pasal 53 ayat(1) Undang-undang No. 5 tahun 1986).

Dalam permasalahan lingkungan di Peradilan Tata Usaha Negara ini agar perusahaan yang telah memperoleh izin usahanya yang digugat aga dinyatakan batal/tidak sah dapat diikut sertakan dalam proses dapat ditempuh cara sebagaimana diatur dalam pasal 83 Undang-undang No. 5 tahun 1986 yang berbunyi sebagai berikut:(1) Selama pemeriksaan berlangsung, setiap orang yang berkepenting­

an dalam sengketa pihak lain yang sedang diperiksa oleh

126

Page 138: 2m i PENDALAMAN MATERI HUKUM I I - Mahkamah Agung

Pengadilan, baik atas prakarsa sendiri dengan mengajukan per­mohonan maupun atas prakarsa hakim, dapat masuk dalam sengketa Tata Usaha Negara dan bertindak sebagai:a. Pihak yang membela haknya ataub. Peserta yang bergabung dengan salah satu pihak yang ber­

sengketa.(2) Permohonan sebagaimana dimaksud ayat (1) dapat dikabulkan

atau ditolak Pengadilan dengan putusan yang dicantumkan dalam Berita Acara sidang.

(3) Permohonan banding terhadap putusan Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak dapat diajukan tersendiri tetapi harus bersama-sama dengan permohonan banding terhadap putus­an akhir dalam pokok sengketa.

Jadi pihak perusahaan tersebut dapat ditarik sebagai tergugat intervensi.

Studi perbandingan antara Peradilan Umum dan Peradilan Tata Usaha Negara.

Sebelum berlakunya Undang-undang No. 5 tahun 1986, semua per­buatan melawan hukum yang dilakukan baik oleh orang perorangan, Badan Hukum ataupun Penguasa merupakan wewenang Peradilan Umum.

Akan tetapi dengan berlakunya Undang-undang No. 5 tahun 1986 yang secara efektif mulai berlaku tanggal 14 Janauri 1991 dengan Peraturan Pemerintah No. 7 tahuni 991, maka Keputusan Tata usaha Negara yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang bersifat tertulis, konkrit, individual, final dan mempunyai akibat hukum bagi seseorang atau Badan Hukum Perdata (pasal 1 butir 3 Undang-undang No. 5 tahun 1986), menjadi wewenang Peradilan T a ta Usaha Negara.

Apabila ada gugatan ke Peradilan Tata Usaha Negara yang disertai dengan tuntutan ganti rugi yang besarnya melebihi ketentuan di dalam Peraturan Pemerintah No. 43 tahun 1991 (yaitu lebih dari Rp.5.000.000,00) di mana gugatan tersebut sudah diputus oleh Peradilan Tata Usaha Negara, apakah kekurangan ganti rugi tersebut dapat dituntut di Peradilan Umum ?

Menurut Kelompok Merpati hal tersebut tidak bisa karena apabila suatu kasus sudah diputus oleh Pengadilan Tata Usaha Negara, m aka Peradilan Umum tidak berwenang lagi memeriksa dan memutus, karena peradilan Umum tidak berwenang menguji/menilai kembali putusan

127

Page 139: 2m i PENDALAMAN MATERI HUKUM I I - Mahkamah Agung

Peradilan Tata Usaha Negara mengingat kedudukan kedua Peradilan tersebut adalah sederajat.

Apabila terjadi hal yang demikian, seyogyanya Peradilan Tata Usaha Negara menyarankan kepada Penggugat untuk memisahkan agar tuntutan ganti ruginya dipisahkan dari gugatan mengenai sertifikat tanahnya.

Salah satu masalah hukum yang sangat erat hubungannya dengan titik singgung antara Peradilan Umum dengan Peradilan Tata Usaha Negara adalah perbuatan melawan hukum.

Sebelum berlakunya Undang-undang No. 5 tahun 1986 semua perbuatan melawan hukum yang dilakukan baik oleh orang perorangan, Badan ataupun Penguasa adalah merupakan wewenang Peradilan Umum.

Akan tetapi dengan berlakunya Undang-undang No. 5 tahun 1986 yang secara efektif berlaku berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 7 tahun 1991, maka perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh orang Perorangan/Badan, Penguasa yang memenuhi syarat pasal 1 butir 3 Undang-undang tersebut menjadi wewenang Peradilan Tata Usaha Negara.

Apabila ada gugatan ke Peradilan Tata Usaha Negara yang disertai tuntutan ganti rugi yang besarnya melebihi ketentuan dalam Peraturan Pemerintah No. 43 tahun 1991 yang sudah diputus oleh Peradilan Tata Usaha Negara apakah kekurangan ganti rugi dapat dituntut di Peradilan Umum.

Menurut Kelompok Merpati tidak lain, karena apabila sudah diputus oleh Pengadilan Tata Usaha Negara, Peradilan Umum tidak berwenang lagi karena Peradilan Umum tidak berwenang menguji/menilai kembali putusan Pengadilan Tata Usaha Negara mengingat kedudukan Pe­ngadilan Tata Usaha Negara dan Peradilan Umum sederajat.

Apabila terjadi hal demikian, seyogyanya Pengadilan Tata Usaha Negara menyarankan kepada penggugat untuk memisahkan tuntutan ganti ruginya dari perkara Tata Usaha Negaranya.

TV. KESIMPULAN/SARANKesimpulan1. Peradilan Umum berwenang menangani masalah pidana dan perdata,

sedang Peradilan Tata Usaha Negara hanya berwenang menangani masalah perdata saja, khususnya mengenai izin dan ganti rugi.

128

Page 140: 2m i PENDALAMAN MATERI HUKUM I I - Mahkamah Agung

2. Penanganan masalah lingkungan tidak dapat dilaksanakan sendiri oleh aparatur pemerintah saja, tetapi harus selalu bersama-sama masyarakat dan melibatkan seluruh rakyat Indonesia dengan memperhatikan ber­bagai disiplin ilmu, seperti : ilmu hukum, kimia, teknik dan sebagainya.

3. Kesulitan dalam menangani masalah lingkungan baik oleh Hakim Peradilan Umum dan Hakim Peradilan Tata Usaha Negara, adalah mengenai masih kurangnya peraturan-peraturan pelaksanaannya dari undang-undang yang menyangkut masalah lingkungan.

S a r a n1. Agar pertama-tama pelaksanaan dari berbagai Undang-undang yang

menyangkut masalah lingkungan segera dikeluarkan untuk memperoleh kejelasan dalam proses penegakan hukum.

2. Agar khusus menyangkut pemberian izin industri dilakukan koordinasi para instansi terkait dengan menitik beratkan masalah pembuangan limbah industri yang kemungkinan dapat menimbulkan dampak negatif.

129

Page 141: 2m i PENDALAMAN MATERI HUKUM I I - Mahkamah Agung

SUATU STUDI PERBANDINGAN ANTARAWEWENANG PERADILAN UMUM DAN PERADILAN TUN

DALAM MENANGANI MASALAH LINGKUNGAN MENURUT HUKUM DI INDONESIA

Oleh : Kelompok SEMPATI

L PENDAHULUANBahwa terdapat pertautan antara Hukum Perdata dan Hukum Ling­

kungan dalam penegakkan hukum yang menyangkut masalah pertanggung jawaban dalam suatu sengketa berkaitan dengan lingkungan akibat suatu perbuatan yang bertentangan dengan hukum publik dan akibat suatu perbuatan yang melanggar hukum privat.

Hakim Perdata berfungsi sebagai pelengkap untuk memberi per­lindungan hukum dimana Negara sebagai pihak tergugat dalam sengketa yang tidak menjadi wewenang absolut dari Hakim Tata Usaha Negara.

Disamping itu, penegakan hukum yang menyangkut masalah lingkung­an hidup termasuk juga dalam jangkauan kaidah hukum pidana dan juga melalui hukum administrasi negara dan tata usaha negara dengan berbagai macam sanksinya.

Untuk menghindari terjadinya benturan kewenangan antara badan- badan peradilan tersebut, perlu adanya suatu studi perbandingan untuk mencari jalan ke luar mengatasi permasalahannya.

H. LATAR BELAKANGSesuai dengan ketentuan yang termuat dalam Undang Undang Dasar

1945 dan untuk mencapai kesejahteraan hidup berdasarkan Pancasila dalam rangka mendaya gunakan Sumber Daya Alam yang ada dan untuk memajukan kesejahteraan umum, perlu diciptakan kelestarian lingkungan hidup yang serasi dan seimbang dalam menunjang kesinambungan pem­bangunan yang dilaksanakan dengan kebijaksanaan terpadu dan menyeluruh serta mampu merencanakan kebutuhan sekarang dan yang akan datang.

Bahwa kebijaksanaan melindungi dan memelihara lingkungan hidup dalam kaitannya dengan kehidupan antar bangsa adalah sesuai dan selaras dengan perkembangan lingkungan hidup umat manusia.

Untuk mengatur pengelolaan lingkungan hidup sesuai dengan kebijak­sanaan nasional yang terpadu dan menyeluruh, diperlukan Undang-undang yang mengatur ketentuan pokok untuk landasan bagi pengaturan lingkungan hidup.

130

Page 142: 2m i PENDALAMAN MATERI HUKUM I I - Mahkamah Agung

Untuk menegakkan Hukum Lingkungan hidup di Indonesia dapat di­tempuh m ela lu i:1. Peradilan Umum, dan2. Peradilan Tata Usaha Negara3. Melalui Hukum Administrasi.

III. DASAR HUKUM1. Undang-undang No. 14 tahun 1970 tentang Undang-undang Pokok

Kekuasaan Kehakiman.2. Undang-undang No. 2 tahun 1986 tentang Undang-undang Peradilan

Umum.3. Undang-undang No. 5 tahun 1986 tentang Undang-undang Peradilan

Tata Usaha Negara.4. Peraturan Pemerintah No. 7 tahun 1991 tentang Pelaksanaan Peradilan

Tata Usaha Negara.5. Undang-undang No. 4 tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok

Pengelolaan Lingkungan Hidup.6. Undang-undang No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya

Alam Hayati dan Ekosistemnya.1. Peraturan Pemerintah No. 20 tahun 1990 tentang Pengendalian

Pencemaran Air.8. Kitab Undang-undang Hukum Perdata.9. Peraturan Pemerintah No. 8 tahun 1985 tentang Izin yang Berkaitan

dengan Perlindugnan Hutan.10. Kitab Undang-undang Hukum Pidana.

IV. PERMASALAHANDengan diundangkannya Undang-undang No. 5 tahun 1986 tanggal 29

Desember 1986 yang mulai berlaku tanggal 14 Januari 1991 sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. 7 tahun 1991 maka mulai tanggal 14 Januari 1991 Peradilan Tata Usaha Negara mulai berfungsi dan berwenang menerima dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara di Indonesia termasuk me­nangani perkara masalah lingkungan menurut hukum Indonesia.

Sesuai dengan judul yang harus dibahas dalam Kelompok Sempati maka permasalahan yang harus dibahas tersebut terletak dalam h a l :1. Sejauh manakah wewenang Peradilan Umum dalam masalah ling­

kungan menurut hukum di Indonesia dan sejauh mana pula wewenang Peradilan Tata Usaha Negara dalam masalah lingkungan menurut hukum di Indoensia.

131

Page 143: 2m i PENDALAMAN MATERI HUKUM I I - Mahkamah Agung

2. Pembenturan wewenang antara Peradilan Umum dan Peradilan Tata Usaha Negara dalam menangani lingkungan.Berdasarkan timbulnya permasalahan tersebut maka Kelompok Sempati

akan menguraikan pembahasan seperti tersebut di bawah ini.

V. PEMECAHAN MASALAHPasal 5 Undang-undang No. 4 tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan

Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup menyebut sebagai berikut:Ayat (1) : Setiap orang mempunyai hak atas lingkungan hidup yang baik

dan sehat.Ayat (2) : Setiap orang berkewajiban memelihara lingkungan hidup dan

mencegah serta menanggulangi kerusakan dan pencemar­annya.

Berdasarkan ketentuan pasal tersebut, ditekankan adanya hak dan ke­wajiban setiap orang mengenai pemeliharaan lingkungan yang baik dan sehat yang menjadi kepentingan setiap orang dalam mempertahankan lingkungan yang baik dan sehat tersebut.

Akan tetapi pada saat ini gangguan terhadap lingkungan hidup sudah menjadi masalah nasional, karena dimana-mana terjadi pengrusakan, pencemaran, baik karena ulah manusia maupun akibat pembangunan industri-industri.

Penegakan hukum dalam masalah lingkungan hidup tersebut dapat diselesaikan melalui Peradilan Umum dan Peradilan Tata Usaha Negara, dan dapat ditambahkan bahwa dapat juga diajukan masalah tesebut berdasarkan Hukum Administrasi.

1. Melalui Peradilan Umum.Berdasarkan Hukum Pidana.Gangguan terhadap lingkungan dapat diselesaikan menurut Hukum Pidana yang dianut dalam :- Pasal 22 Undang-undang No. 4 tahun 1992.

Pasal 172, 187, 188, 202, 203 dari KUHP (ius commune).Dalam penyelesaian masalah lingkungan oleh Hukum Pidana sering

terjadi kendala-kendala yang berupa : a. Apakah Badan Hukum dapat dihukum ?

Ketentuan yang mengatur hal tersebut belum diatur dalam Undang- undang, tetapi Kelompok Sempati berpendapat bahwa Badan Hukum dapat dipidana yang diwakili oleh Pengurus/Direktumya.

132

Page 144: 2m i PENDALAMAN MATERI HUKUM I I - Mahkamah Agung

Pendapat Kelompok Sempati tersebut didukung oleh Yurisprudensi, Putusan Mahkamah Agung No. 1479 K/Pid/1989 tanggal 20 M aret 1993, yang terkenal dengan "Kasus Sidoarjo".

b. Rumusan dalam perundangan, Undang-udnang No. 4 tahun 1982 terlalu luas, sehingga hal ini menyulitkan bagi Hakim untuk mem­buat Interpretasi.

c. Azas legalitas.Diatur dalam pasal 1 KUHP.Sampai saat ini pakar-pakar hukum di Indonesia belum sependapat terhadap azas legalitas ini.Pimpinan tertinggi Peradilan/Mahkamah Agung mempertahankan azas legalitas tersebut, sementara masalah lingkungan telah menjadi masalah Nasional karena dimana-mana terjadi pelanggaran- pelanggaran terhadap lingkungan hidup dan pencemaran ling­kungan.Menurut pakar-pakar ilmu lingkungan sudah pada saatnya Pe­ngadilan melepaskan azas legalitas tersebut, akan tetapi sebaliknya pakar-pakar penegak hukum berpendapat bahwa azas tersebut merupakan pengakuan terhadap adanya suatu kepastian hukum, sehingga Kelompok Sempati memberikan sumbangan pendapat dalam hal ini bahwa Hakim tidak perlu melepaskan azas legalitas tersebut untuk menegakkan keadilan dalam masalah lingkungan, akan tetapi dalam menghadapi kasus-kasus baru dalam lingkungan hidup yang tidak terjangkau oleh ketentuan perundang-undangan yang ada dan yang perlu segera ditangani, Hakim berwenang untuk memberikan penafsiran yang luas terhadap masalah-masalah perkara lingkungan untuk mencari jalan ke luar dari kendala ter­sebut.Dalam hal ini dituntut kebijaksanaan dan pemikiran seorang Hakim dalam memberikan pertimbangan yang baik menurut hukum dengan penafsiran yang tepat terhadap suata tindak pidana dalam masalah lingkungan.

2. Melalui Peradilan PerdataPeraturan Pelaksanaan Undang-undang No. 4 tahun 1982 belum ada, akan tetapi ketaatan pada norma-norma hukum lingkungan yang bersifat hukum privat maupun hukum publik dapat dipaksakan apabila se­seorang telah merugikan orang lain dengan pencemaran lingkungan

133

Page 145: 2m i PENDALAMAN MATERI HUKUM I I - Mahkamah Agung

berdasarkan pasal 1365 KUHPerdata, serta pihak yang dirugikan dapat mengajukan gugatan tuntutan ganti rugi.Selain dari pasal 1365 KUHPerdata, gugatan perdata dapat pula diaju­kan berdasar pasal 1243 KUHPerdata (contractuele aansparkelijkheid). Berdasarkan ketentuan dalam kedua pasal tersebut di atas, orang yang dirugikan dapat mengajukan gugatan tuntutan ganti rugi ke Pengadilan Negeri dan apabila terbukti pihak tergugat melakukan pencemaran lingkungan sehingga melakukan perbuatan melawan hukum atau apabila terbukti tanah yang menjadi obyek perjanjian tercemar sehingga orang lain dirugikan maka dapat diajukan gugatan tuntutan ganti rugi.Gugatan di Peradilan Umum diajukan oleh perorangan dan Badan Hukum. Akan tetapi dalam perkembangan hukum dalam masalah lingkungan di Indonesia, kelompok masyarakat atau organisasi yang bergerak di bidang perlindungan terhadap lingkungan hidup dapat bertindak sebagai penggugat dengan mengatas namakan kepentingan umum (algemeen belang) untuk melindungi lingkungan.

3. M elalui T a ta U saha N egaraMenurut pasal 53 Undang-undang No. 5 tahun 1986, seseorang atau Badan Hukum Perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu keputusan Tata Usaha Negara dapat mengajukan gugatan tetulis kepada Pengadilan yang berwenang yang berisi tuntutan agar Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan itu dinyatakan batal atau tidak sah dengan atau tanpa disertai tuntutan ganti rugi dan atau rehabilitasi. Alasan yang dapat digunakan adalah :1. Keputusan Tata Usaha Negara bertentangan dengan peraturan

perundang-undangan yang berlaku.2. Penyalah gunaan wewenang.3. Tindakan sewenang-wenang.Selain daripada itu, besarnya ganti rugi serta tata cara pelaksanaan diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 43 tahun 1991 yang menentukan besarnya ganti rugi minimum sebanyak Rp. 250.000,00 dan maksimum sebanyak Rp. 5.000.000,00.

Berdasarkan uraian-uraian di atas, maka apabila terjadi masalah pen­cemaran yang ditimbulkan oleh perorangan atau Badan Hukum, maka gugatan dapat diajukan ke Pengadilan Umum.

Sedangkan apabila terjadinya pencemaran lingkungan disebabkan oleh suatu putusan Badan/Pejabat Tata Usaha Negara, misalnya pemberian izin

134

Page 146: 2m i PENDALAMAN MATERI HUKUM I I - Mahkamah Agung

tanpa memenuhi persyaratan-persyaratan yang ditentukan Undang-undang, maka gugatan ditujukan kepada Badan/Pejabat Tata Usaha Negara menjadi wewenang Peradilan Tata Usaha Negara untuk membatalkan atau menyatakan tidak sah Keputusan tersebut.

Mengenai ganti rugi akibat terjadinya pencemaran lingkungan, apabila besarnya kerugian yang terjadi di bawah Rp. 5.000.000,00, dapat diajukan ke Peradilan Tata Usaha Negara, sedangkan apabila kerugian di atas Rp.5.000.000,00, sebaiknya tuntutan ganti rugi tersebut diajukan ke Peradilan Umum dengan menunjukkan sebagai bukti Putusan Tata Usaha Negara.

Dalam ketentuan Hukum Pidana pasal 22 Undang-undang No. 4 tahun 1982, Peradilan Umum dalam menangani masalah lingkungan dapat pula menjatuhkan pidana penjara selama-lamanya 10 tahun dan atau denda se­banyak-banyaknya Rp. 100.000.000,00 jika perbuatan tersebut dilakukan dengan sengaja dan berdasarkan ayat 2 pasal 22 KUHP, menentukan pula apabila perbuatan merusak atau mencemarkan lingkungan hidup disebabkan kelalaian dapat pula dipidana dengan pidana kurungan selama 1 tahun dan atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 1.000.000,00.

VI. KESIMPULAN/SARAN Kesimpulan :1. Hakim mengalami kesulitan dalam memutus perkara yang menyangkut

lingkungan hidup karena belum dikeluarkannya peraturan-peraturan pelaksanaan dari berbagai Undang-undang No. 4 tahun 1982 tentang Lingkungan Hidup.

2. Yurisprudensi tentang Lingkungan Hidup yang dapat dijadikan sebagai referensi masih sangat sedikit.

3. Hakim Tata Usaha Negara mempunyai wewenang ruang lingkup absolut dalam mengadili masalah lingkungan yang hanya terbatas pada sengketa Keputusan Tata Usaha Negara saja, sedangkan Peradilan Umum berwenang mengadili sengketa antara orang/Badan Hukum dengan orang/Badan Hukum.Sedangkan gugatan yang menyangkut negara sebagai tergugat, Pe­ngadilan Negeri dapat pula berfungsi sebagai pengisi/pelengkap dalam perlindungan hukum (aanvullende rechtsbescherming) apabila Hakim Tata Usaha Negara dalam masalah lingkungan tersebut tidak berwenang atau tidak berkompeten mengadilinya.

4. Tuntutan ganti rugi mengenai masalah lingkugnan hidup dapat diajukan ke Peradilan Tata Usaha Negara apabila besarnya kerugian di bawah

135

Page 147: 2m i PENDALAMAN MATERI HUKUM I I - Mahkamah Agung

Rp. 5.000.000,00, sedangkan tuntutan ganti rugi melebihi dari Rp.5.000.000,00 dapat diajukan ke Peradilan Umum.

5. Dalam Peradilan Tata Usaha Negara tidak mungkin gugatan masalah lingkungan diajukan oleh kelompok masyarakat atau oleh organisasi yang bergerak di bidang perlindungan terhadap lingkungan hidup dengan mengatas namakan kepentignan umum (algemeen belang) karena putusan Tata Usaha Negara adalah terhadap putusan Badan Tata Usaha Negara adalah terhadap putusan Badan Tata Usaha Negara yang bersifat konkrit, individual dan final, sedangkan di Peradilan Umum gugatan mengenai masalah lingkungan mungkin/dapat diajukan oleh kelompok masyarakat tersebut (actio popularis) sesuai pendapat Dr. Paulus Effendi Lotulung, SH dalam bukunya Penegakan Hukum Lingkungan oleh Badan Perdata, halaman 53 dan halaman 54.

S a r a n :Untuk tuntasnya penyelesaian permasalahan lingkungan di Peradilan

Umum yang pada saat ini masalah lingkungan menjadi masalah nasional, maka sangat perlu Peraturan Pelaksanaan Undang-undang No. 4 tahun 1982 segera dikeluarkan. Seperti keadaannya pada Peradilan Tata Usaha Negara, Peraturan Pelaksana sudah dapat keluar tidak lama setelah diundangkan Undang-undang No. 5 tahun 1986.

136

Page 148: 2m i PENDALAMAN MATERI HUKUM I I - Mahkamah Agung

SUATU STUDI PERBANDINGAN ANTARA WEWENANG PERADILAN UMUM DAN PERADILAN TUN

DALAM MENANGANI MASALAH LINGKUNGAN MENURUT HUKUM DI INDONESIA

Oleh : Kelompok SRIWIJAYA

L PENDAHULUANPeradilan Umum maupun Peradilan Tata Usaha Negara keberadaannya

adalah atas dasar yang sama, yaitu yang tertuang dalam pasal 10 ayat (1) Undang-undang No. 14 tahun 1970 tentang : "Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman" yang berbunyi:

"Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh Pengadilan dalam lingkungan :Peradilan UmumPeradilan AgamaPeradilan MiliterPeradilan Tata Usaha Negara.Dengan mengacu judul makalah yaitu : Suatu Studi Perbandingan

Antara Wewenang Peradilan Umum dan Peradilan Tata Usaha Negara Dalam Menangani Masalah Lingkungan Menurut Hukum di Indonesia, maka yang perlu kita ketahui tentang wewenang Peradilan Umum, wewenang Peradilan Tata Usaha Negara dan masalah lingkungan.

Dalam hubungannya dengan masalah lingkungan Peradilan Umum berwenang menangani baik masalah pidana maupun masalah perdata, sedangkan Peradilan Tata Usaha Negara hanya berwenang menangani masalah Tata Usaha Negara, yang dari segi perdatanya, terkait dengan wewenang Peradilan Umum.

Lingkungan hidup di Indonesia adalah merupakan rahmat Tuhan yang wajib dikembangkan dan dilestarikan agar dapat tetap menjadi sumber dan menunjang hidup bagi bangsa dan rakyat Indonesia serta mahluk lainnya demi kelangsungan dan peningkatan kualiUs hidup itu sendiri. Oleh karena itu, pengolahan lingkungan menuntut dikembangkannya suatu sistem keterpaduan antara instansi terkait sebagai suatu kebijaksanaan nasional. Undang-undang No. 4 tahun 1982 menetapkan kewajiban setiap orang untuk memelihara lingkungan hidup dan mencegah serta menanggulangi kerusakan dan pencemaran di samping hak setiap orang atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.

Selanjutnya Undang-undang No. 5 tahun 1984 tentang Perindustrian, menetapkan kewajiban-kewajiban bagi perusahaan industri untuk me­laksanakan upaya kesimambungan dan kelestarian sumber daya alam kita,

137

Page 149: 2m i PENDALAMAN MATERI HUKUM I I - Mahkamah Agung

serta melakukan pencegahan timbulnya kerusakan dan pencemaran terhadap lingkungan hidup akbiat kegiatan industri yang dilakukannya.

H. PERMASALAHANDalam makalah ini sebenarnya untuk memberikan suatu ringkasan

mengenai masalah lingkungan secara umum yang akan memberikan pengarahan dan pengetahuan dasar bagi konsep pengaturan hukumnya dalam prospektif yang luas tentang perbandingan wewenang antara Peradilan Umum di satu pihak dengan Peradilan Tata Usaha Negara di lain pihak;

Hal tersebut di atas kesemuanya telah lebih jelas tertuang dalam Bab I Pendahuluan di atas.

Permasalahan yang sekarang dibahas, menurut Kelompok Sriwijaya adalah sebagai beriku t:I. Wewenang Peradilan Umum dalam menangani masalah lingkungan.2. Wewenang Peradilan Tata Usaha Negara dalam memangani masalah

lingkungan.3. Studi perbandingan antara wewenang Peradilan Umum dan Peradilan

Tata Usaha Negara dalam menagani masalah lingkungan.

III. PEMBAHASANSebelum memasuki uraian pembahasan dipandang perlu memahami

beberapa pengertian yang erat hubungannya dengan masalah lingkungan yang menimbulkan akibat kepada masyarakat yaitu lingkungan hidup, pencemaran lingkungan dan perusakan lingkungan sebagaimana diatur di dalam ketentuan pasal 1 Undang-undang No. 4 tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan dan mahluk hidup termasuk di dalamnya manusia dan perilakunya, yang mempangaruhi kelangsungan peri kehidupan dan kesejahteraan manusia serta mahluk hidup lainnya.

Pencemaran lingkungan adalah masuknya atau dimasukkannya mahluk hidup, zat, energi, dan atau komponen lain ke dalam lingkungan dan atau berubahnya tata lingkungan oleh kegiatan manusia atau oleh proses alam, sehingga kualitas lingkungan turun sampai ke tingkat tertentu yang me­nyebabkan lingkungan menjadi kurang atau tidak dapat berfungsi lagi sesuai dengan peruntukannya.

Perusakan lingkugnan adalah tindakan yang menimbulkan perubahan langsung dan tidak langsung terhadap sifat-sifat fisik dan atau hayati

138

Page 150: 2m i PENDALAMAN MATERI HUKUM I I - Mahkamah Agung

lingkungan, yang mengakibatkan lingkungan itu kurang atau tidak berfungsi lagi dalam menunjang pembangunan yang berkesinambungan.

1. Wewenang Peradilan Umum dalam menangani masalah ling­kungan.

Permasalahan yang menyangkut lingkungan hidup masih termasuk ruang lingkup bidang Hukum Publik dalam hal ini khususnya Hukum Pidana dan juga ruang lingkup Hukum Perdata yakni, timbulnya sengketa kepentingan hukum antara seseorang dengan orang lain atau Badan Hukum yang mengakibatkan pencemaran, sehingga menimbul­kan kerugian bagi orang lain.a. Permasalahan lingkungan hidup dalam bidang Hukum Pidana.

Dalam aspek pidana mengacu pada pasal 22 ayat (1), (2) dan (3) Undang-undang No. 4 tahun 1982, di mana ditentukan dalam ayat(1) bahwa ancaman pidananya selama-lamanya 10 tahun dan atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 100.000.000,00 untuk perbuatan yang dilakukan dengan sengaja, sedangkan yang dilakukan dengan kelalaian diatur dalam pasal 22 ayat 92) yang ancaman hukumnya dengan pidana kurungan selama-lamanya 1 tahun dan atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 1.000.000,00.Perlu diperhatikan pula apa yang ditentukan dalam penjelasan pasal 22 tersebut di atas yang berbunyi:Mengingat akibat perusakan dan atau pencemaran lingkungan dapat berbeda-beda, maka pasal ini hanya menentukan ancaman pidana maksimal. Peraturan perundang-undangan yang mengatur segi-segi lingkungan hidup tetap dapat menetapkan ancaman pidana yang jumlahnya tidak melebihi ancaman pidana yang ditetapkan dalam pasal ini. Jumlah denda sebagaimana tersebut dalam pasal ini adalah nilai nominal pada saat mulai berlakunya Undang-undang ini.Mengenai ketentuan pidana pelanggar lingkungan hidup secara hukum di dalam Bab VII pasal 22 Undang-undang No. 4 tahun 1982 yang berbunyi:(1) Barang siapa dengan sengaja melakukan perbuatan yang

melakukan perbuatan yang menyebabkan rusaknya lingkungan hidup atau tercemarnya lingkungan hidup yang diatur dalam undang-undang ini atau undang-undang lain diancam pidana dengan pidana penjara selama-lamanya 10 (sepuluh) tahun dan

139

Page 151: 2m i PENDALAMAN MATERI HUKUM I I - Mahkamah Agung

atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 100.000.000,00 (seratus ju ta rupiah).

(2) Barang siapa karena kelalaiannya melakukan perbuatan yang meneybabkan rusaknya lingkungan hidup atau tercemarnya lingkungan hidup yang diatur dalam undang-undang ini atau undang-undang lain diancam pidana dengan pidana kurungan selama-lamanya 1 (satu) tahun dan atau denda sebanyak- banyaknya Rp. 1.000.000,00 (satu ju ta rupiah).

(3) Perbuatan sebagaimana tersebut dalam ayat (1) pasal ini adalah kejahatan dan perbuatan sebagaimana tersebut dalam ayat (2) pasal ini adalah pelanggaran.

Juga terdapat antara lain dalam pasal 172, 187, 188, 202, 203 KUHP.Akibat adanya pencemaran, maka seseorang atau Badan Hukum dapat dituntut berdasarkan ketentuan pasal 359 KUHP dan pasal 360 KUHP.Pasal 359 K U H P:Barang siapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain meninggal diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun.Pasal 360 K U H P:(1) Barang siapa karena kesalahannya (kealpaannya)

menyebabkan orang lain mendapat luka berat, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau paling lama satu tahun.

(2) Barang siapa karena kesalahannya (kealpaannya)menyebabkan orang lain luka sedemikian rupa, sehingga orang itu menjadi sakit sementara atau tidak dapat menjalankan

jabatan atau pekerjaannya sementara diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana kurungan paling lama enam bulan atau pidana denda paling tinggi empat ribu lima ratus rupiah.

Kendala-kendala yang dihadapi dalam penanganan kasus ling­kungan dalam bidang pidana yang perlu mendapat perhatian adalah mengenai hal apakah sebuah Badan Hukum dapat dituntut ber­dasarkan ketentuan-ketentuan dalam Hukum Pidana.

Apabila kita memperhatikan ketentuan-ketentuan yang termuat dalam Undang-undang Tindak Pidana Ekonomi, ternyata bahwa Badan Hukum pun dapat dijatuhi pidana. Oleh karena itu, dapat

Page 152: 2m i PENDALAMAN MATERI HUKUM I I - Mahkamah Agung

disimpulkan bahwa pada prinsipnya sebuah Badan Hukum dapat dipertanggung jawabkan berdasarkan perbuatan pidana. Per­masalahan yang perlu mendapat perhatian adalah, oleh karena suatu Badan Hukum mempunyai pengurus yang terdiri lebih dari satu orang, sehingga harus ditentukan siapa yang paling bertanggung jawab.

Bahwa di dalam suatu Badan Hukum biasanya telah ditentukan di dalam anggaran dasarnya siapa saja yang berhak mewakili (bertindak) di luar maupun di muka Pengadilan. Memperhatikan hal tersebut, maka orang yang harus dituntut dalam hal Badan Hukum tersebut melakukan tindak pidana, ialah orang yang disebut dalam anggaran dasar, yakni para pengurusnya, namun demikian pada umumnya pertanggung jawaban tersebut dalam kenyataannya bergeser kepada mereka yang benar-benar menjadi pimpinan, melakukan tindakan-tindakan yang terlarang dan tindakan-tindakan yang akibatnya dilarang oleh undang-undang.

Kesimpulannya bahwa suatu Perusahaan (Badan Hukum) yang melakukan pencemaran lingkungan dapat dituntut di muka Per­adilan berdasarkan ketentuan Hukum Pidana.

b. Permasalahan Lingkugnan Hidup dalam Bidang Hukum Perdata. Penerapan Hukum Perdata oleh Peradilan Umum mengenai masalah lingkungan dibedakan menjadi tiga fungsi, yaitu :1. Dengan melalui Hukum Perdata dapat dipaksakan ketaatannya

pada norma-norma Hukum Lingkungan, misalnya :Wewenang Hakim untuk menjatuhkan putusan yang berisi perintah atau larangan terhadap seseorang yang telah bertindak secara bertentangan dengan syarat-syarat yang ditentukan dalam perizinan yang berkaitan dengan masalah lingkungan.

2. Hukum Perdata dapat memberikan penentuan norma-norma dalam masalah lingkungan, misalnya :Melalui putusan hakim, dapat dirumuskan norma-norma tentang tindakan yang seharusnya dilakukan oleh seseorang dalam hubungannya dengan masalah lingkungan.

3. Hukum Perdata memberikan kemungkinan untuk mengajukan gugatan ganti rugi atas pencemaran lingkungan yang biasanya dilakukan melalui gugatan perbuatan melawan hukum, seperti apa yang tersebut dalam pasal 1365 KUH.Perdata, yang berbunyi sebagai berikut:

141

Page 153: 2m i PENDALAMAN MATERI HUKUM I I - Mahkamah Agung

"Tiap perbuatan yang melanggar hukum dan membawa ke­rugian kepada orang lain mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian itu karena kesalahannya untuk mengganti kerugian tersebut".Sekalipun demikian, ada beberapa segi khusus yang berlaku dalam soal pertanggung jawaban yang menyangkut kerugian Lingkungan Hidup.Sebagian besar dari aktifitas-aktifitas yang dapat menimbulkan kerugian terhadap Lingkungan Hidup didasarkan pada per­aturan-peraturan yang bersifat hukum publik, terutama dalam arti bahwa untuk pelaksanaan aktifitas yang bersangkutan itu diperlukan adanya suatu bentuk perizinan atau surat izin (ver- gunning).Terhadap kegiatan-kegiatan semacam itu tidak tertutup ke­mungkinan untuk dinyatakan sebagai perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad) apabila ternyata ada :a. Pelanggaran suatu hak (inbreuk op een recht) ataub. Betentangan dengan kecermatan dalam masyarakat.Ad. a. Pelanggaran suatu hak (inbreuk op een recht).

Pengertian "suatu hak" di sini diartikan sebagai hak subyektif, di dalam praktek Peradilan hak subyektif itu dapat berupa :(1) Hak-hak kebendaan, misalnya hak milik dan

sebagian (zakelijke rechten).(2) Hak-hak atas pribadi seseorang (persoonlijkheids

rechten).(3) Hak-hak yang bersifat khusus (bijzondere rechten). Mengenai hal tersebut di atas diatur dalam pasal 5 Undang-undang No. 4 tahun 1982 Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang dapat dijadikan dasar seseorang untuk dijadikan dasar tuntutan baik terhadap Pemerintah maupun terhadap orang lain yang dianggap merugikan dirinya.Pasal 5 Undang-undang No. 4 tahun 1982.(1) Setiap orang mempunyai hak atas lingkungan hidup

yang baik dan sehat.(2) Setiap orang berkewajiban memelihara lingkungan

hidup dan mencegah serta menanggulangi ke­rusakan dan pencemarannya.

Page 154: 2m i PENDALAMAN MATERI HUKUM I I - Mahkamah Agung

Ad. b. Bertentangan dengan kecermatan masyarakat.Ukuran yang dipakai untuk menentukan apakah norma- norma kecermatan itu dilanggar atau tidak, antara lain tergantung pada fak to r:1. Tingkat pengetahuan dari si pelaku tentang kerugi­

an lingkungan yang dapat ditimbulkan.2. Berat ringannya kerugian yagn dapat ditimbulkan.3. Kemungkinan-kemungkinan teknik yang ada untuk

membatasi timbulnya kerugian.4. Kepentingan yang ada di dalam aktifitas yang

menimbulkan pencemaran itu.Dalam hal perbuatan melawan hukum yang mengenai lingkungan hidup harus memenuhi perbuatan melawan hukum, y a itu :1. Perbuatan tersebut bertentangan dengan kewajiban

hukum si pelaku.2. Melanggar hak subyektif orang lain.3. Melanggar kaidah tata susila.4. Bertentangan dengan kepatutan, ketelitian serta

sikap hati-hati yang seharusnya dimiliki seseorang dalam pergaulan masyarakat.

Dan untuk dapat dinyatakan melanggar pasal 1365 KUHPerdata harus dipenuhi unsur-unsur sebagai berikut:

adanya perbuatan adanya kesalahan/kelalaiannya adanya kerugian adanya causalitas.

Kerugian tersebut dapat berupa kerugian materiel maupun kerugian immateriel, dan tuntutan ganti rugi yang didasarkan atas ketentuan pasal 1365 B W dapat dilakukan berdasar antara lain pasal 1367 BW dan pasal 1371 BW.

2. Wewenang Peradilan Tata Usaha Negara dalam menangani per­masalahan lingkungan.

Sesuai dengan ketentuan di dalam Undang-undang No. 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, di dalam pasal 1 ayat (4) dinyatakan bahwa pada dasarnya peradilan Tata Usaa Negara adalah

143

Page 155: 2m i PENDALAMAN MATERI HUKUM I I - Mahkamah Agung

suatu Peradilan yang berwenang memeriksa sengketa yang timbul antara Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara dengan orang atau Badan Hukum Perdata baik di pusat maupun di daerah sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara, termasuk sengketa Kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku (pasal 1 butir 4 Undang-undang No. 5 tahun 1986).

Bahwa yang merupakan subyek Peraidlan Tata Usaha Negara yaitu penggugat dan tergugat. Penggugat ialah seseorang atau Badan Hukum perdata yang merasa kepentignannya dirugikan oleh suatu Keputusan Tata Usaa Negara (pasal 53 ayat (1) Undang-undang No. 5 tahun 1986). Tergugat adalah Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang me­ngeluarkan Keputusan berdasarkan wewenang yang ada padanya atau yang dilimpahkan kepadanya yang digugat oleh orang atau Badan Hukum (pasal 1 butir 6 Undang-undang No. 5 tahun 1986).

Obyek Peradilan Tata Usaha Negara adalah keputusan Tata Usaha Negara, yaitu suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkrit, individual dan final yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau Badan Hukum perdata (pasal 1 butir 3 Undang- undang No. 5 tahun 1986).

Dari ketentuan-ketentuan tersebut di atas, jelas bahwa dalam proses Peradilan Tata Usaha Negara harus ada penggugat, tertugat dan obyek Peradilan Tata Usaha Negara yang berbentuk suatu penetapan tertulis.

Bagi seseorang yang merasa dirugikan dengan adanya Keputusan Tata Usaha negara (obyek Peradilan Tata Usaha Negara) tersebut, dapat mengajukan gugatan ke Peradilan Tata Usaha Negara di mana pejabat yang mengeluarkan Keputusan Tata Usaha Negara sebagai tergugat.

Sejak dikeluarkan Undang-undang No. 5 tahun 1986 dengan PP No. 7 tahun 1991, disamping Peradilan Umum, Peradilan Tata Usaha Negara juga berwenang menangani masalah lingkungan, khususnya tentang izin usaha.

Dalam halini pencemaran/perusakan lingkungan yang merasakan adalah warga masyarakat di sekitar perusahaan yang mendapatkan izin usahanya dari instansi yang berwenang.

Dalam hal yang demikian seseorang (warga masyarakat) yang merasa dirugikan baik materiel maupun immateriel karena pencemaran atau perusakan lingkungan tersebut dapat mengajukan gugatan kepada

144

Page 156: 2m i PENDALAMAN MATERI HUKUM I I - Mahkamah Agung

Peradilan yang berwenang. Dalam hal ini sebagai tergugat adalah instansi yang mengeluarkan izin usahanya.

Yang penting tidak boleh dilupakan ialah tenggang waktu mengajukan gugatan ke Peradilan Tata Usaha Negara yaitu ketentuan dalam pasal 55 Undang-undang No. 5 tahun 1986 yaitu gugatan dapat diajukan hanya dalam tenggang waktu 90 hari terhitung sejak saat diterimanya atau diumumkannya Keputusan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara.

Bisa terjadi bahwa terjadinya pencemaran yang merugikan orang atau badan hukum perdata itu sesudah lebih dari 90 hari sejak Surat Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan Pejabat atau Badan Tata Usaha Negara dalam bentuk izin usaha. Dalam hal ini timbul masalah apakah gugatan pembatalan izin usaha itu akan ditolak oleh Pengadilan dengan alasan sudah lewat waktu.

Dalam hal seperti itu ketentuan batas waktu 90 hari ditafsirkan berlaku bagi orang atau badan hukum perdata yang langsung ber­kepentingan yaitu orang atau badan hukum perdata yang menerima Surat Keputusan Tata Usaha Negara yang bersangkutan (pihak kedua).

Bagi pihak ketiga yang tidak ada sangkut pautnya dengan Surat Keputusan Tata Usaha Negara yang dipersengketakan itu secara lang­sung ketentuan itu tidak diberlakukan. Bagi pihak ketiga dalam Hukum Tata Usaha Negara sudah ada penafsiran bahwa batas waktu untuk menggugat itu tidak secara tegas dibatasi selama 90 hari, akan tetapi dibatasi oleh waktu yang patut atau waktu yang layak, sehingga bilamana pencemaran itu terjadi sudah 5 tahun umpamanya sejak dikeluarkan izin usaha, gugatan masih dapat dikabulkan.

Pihak penggugat hanya boleh menuntut agar Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan itu dinyatakan batal atau tidak sah, dengan atau tanpa disertai tuntutan ganti rugi dan atau rehabilitasi (pasal 53 ayat (1) Undang-undang No. 5 tahun 1986).

Dalam permasalahan lingkungan di Peradilan Tata Usaha Negara ini agar perusahan yang telah memperoleh izin usahanya yang digugat agar dinyatakan batal/tidak sah dapat diikut sertakan dalam proses dapat ditempuh cara sebagaimana diatur dalam pasal 83 Undang-undang No. 5 tahun 1986 yang berbunyi sebagai beriku t:(1) Selama pemeriksaan berlangsung, setiap orang yang ber­

kepentingan dalam sengketa pihak lain yang sedang diperiksa oleh Pengadilan, baik atas prakarsa sendiri dengan mengajukan p er­

145

Page 157: 2m i PENDALAMAN MATERI HUKUM I I - Mahkamah Agung

mohonan maupun atas prakarsa Hakim, dapat masuk dalam sengketa Tata Usaha Negara dan bertindak sebagai:a. Pihak yang membela haknya ataub. Peserta yang bergabung dengan salah satu pihak yang

bersengketa.(2) Permohonan sebagaimana dimaksud ayat (1) dapat dikabulkan

atau ditolak Pengadilan dengan putusan yang dicantumkan dalam Berita Acara sidang.

(3) Permohonan banding terhadap putusan Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak dapat diajukan tersendiri tetapi harus bersama-sama dengan permohonan banding terhadap putus­an akhir dalam pokok sengketa.

Jadi pihak perusahaan tersebut dapat ditarik sebagai tergugat intervensi, dalam hal ada gugatan ganti rugi yang diminta dibayar pihak pengusaha dan pemulihan pencemaran lingkungan hidup.

3. Studi perbandingan antara Peradilan Umum dan Peradilan Tata Usaha Negara.

Sebelum berlakunya Undang-undang No. 5 tahun 1986, semua perbuatan melawan hukum yang dilakukan baik oleh orang perorangan, Badan Hukum ataupun Penguasa merupakan wewenang Peradilan Umum.

Akan tetapi dengan berlakunya Undang-undang No. 5 tahun 1986 yang secara efektif mulai berlaku tanggal 14 Januari 1991 dengan Peraturan Pemerintah No. 7 tahun 1991, maka pembatalan Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang bersifat tertulis, konkrit, individual, final dan mempunyai akibat hukum bagi seseorang atau Badan Hukum perdata (pasal 1 butir 3 Undang-undang No. 5 tahun 1986), menjadi wewenang Peradilan Tata Usaha Negara.

Apabila ada gugatan ke Peradilan Tata Usaha Negara yang disertai dengan tuntutan ganti rugi yang besarnya melebihi ketentuan di dalam Peraturan Pemerintah No. 43 tahun 1991 (yaitu lebih dari Rp5.000.000,00) di mana gugatan tersebut sudah diputus oleh Peradilan Tata Usaha Negara, apakah kekurangan ganti rugi tersebut dapat dituntut di Peradilan Umum ?

Menurut Kelompok Sriwijaya hal tersebut tidak bisa karena apabila suatu kasus sudah diputus oleh Pengadilan Tata Usaha Negara, maka Peradilan Umum tidak berwenang lagi memeriksa dan memutus, karena

146

Page 158: 2m i PENDALAMAN MATERI HUKUM I I - Mahkamah Agung

Peradilan Umum tidak berwenang menguji/menilai kembali putusan Peradilan Tata Usaha Negara mengingat kedudukan kedua peradilan tersebut adalah sederajat.

Apabila terjadi hal yang demikian, seyogyanya Peradilan Tata usaha Negara menyarankan kepada Penggugat untuk memisahkan agar tuntutan ganti ruginya dipisahkan dari gugatan mengenai pembatalan izin usaha.'

IV. KESIMPULAN/SARANK esim pulan:1. Peradilan Umum berwenang menangani masalah pidana dan perdata,

sedang Peradilan Tata Usaha Negara hanya berwenang menangani masalah perdata saja, khususnya mengenai izin dan ganti rugi.

2. Penanganan masalah lingkungan tidak dapat dilaksanakan sendiri oleh aparatur pemerintah saja, tetapi harus selalu bersama-sama masyarakat dan melibatkan seluruh rakyat Indonesia dengan memperhatikan ber­bagai disiplin ilmu, seperti: ilmu hukum, kimia, teknik dan sebagainya.

3. Kesulitan dalam menangani masalah lingkungan baik oleh Hakim Peradilan Umum dan Hakim Peradilan Tata Usaha Negara, adalah mengenai masih kurangnya peraturan-peraturan pelaksanaannya dari undang-undang yang menyangkut masalah lingkungan.

Saran :1. Agar pertama-tama pelaksanaan dari berbagai undang-undang yang

menyangkut masalah lingkungan segera dikeluarkan untuk memperoleh kejelasan dalam proses penegakan hukum.

2. Agar khusus menyangkut pemberian izin industri dilakukan koordinasi para instansi terkait dengan menitik beratkan masalah pembuangan limbah industri yang kemungkinan dapat menimbulkan dampak negatif.

147

Page 159: 2m i PENDALAMAN MATERI HUKUM I I - Mahkamah Agung
Page 160: 2m i PENDALAMAN MATERI HUKUM I I - Mahkamah Agung

SUATU TINJAUAN MENGENAI WEWENANG PERADILAN UMUM

DAN PERADILAN TATA USAHA NEGARA DALAM MENANGANI

KASUS KEWARGANEGARAAN DI INDONESIA

149

Page 161: 2m i PENDALAMAN MATERI HUKUM I I - Mahkamah Agung
Page 162: 2m i PENDALAMAN MATERI HUKUM I I - Mahkamah Agung

SUATU TINJAUAN MENGENAI WEWENANG PERADILAN UMUM DAN PERADILAN TUN

DALAM MENANGANI KASUS KEWARGANEGARAAN DI INDONESIA

O leh : Kelompok BOURAQ

I. PENDAHULUANPeradilan Umum adalah salah satu pelaksana kekuasaan Kehakiman

bagi rakyat pencari keadilan pada umumnya baik perkara perdata maupun perkara pidana.

Kekuasaan Kehakiman di lingkungan Peradilan Umum dilaksanakan oleh Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi yang berpuncak pada Mahkamah Agung.

Tugas pokok Pengadilan Negeri adalah memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara perdata dan pidana pada umumnya, kecuali jika Undang-undang menentukan lain. Pengadilan Tinggi merupakan peradilan Banding terhadap perkara yang diputus oleh Pengadilan Negeri. Kekuasaan Kehakiman di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara dilaksanakan oleh Pengadilan Tata Usaha Negara dan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara yang juga berpuncak pada Mahkamah Agung.

Peradilan Tata Usaha Negara merupakan salah satu pelaksana kekuasaan Kehakiman yang bertugas memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa dalam bidang Tata Usaha Negara. Sengketa tersebut haruslah merupakan sengketa yang timbul dalam bidang Tata Usaha Negara antara orang atau Badan Hukum Perdata dengan Badan Hukum atau Pejabat Tata Usaha Negara sebagai akibat dikeluarkannya suatu Keputusan Tata Usaha Negara yang dianggap melanggar hak orang atau Badan Hukum Perdata. Peradilan Tata Usaha Negara diadakan dalam rangka memberikan perlindungan kepada rakyat pencari keadilan yang merasa dirinya dirugikan akibat suatu keputusan Tata Usaha Negara.

Pada waktu akhir-akhir ini ditemukan di lapangan berbagai m odus operandi adanya penyimpangan memperoleh kewarganegaraan Republik Indonesia, antara la in :1. Memperoleh surat keterangan yang tidak benar.2. Menggelapkan identitas diri.3. Memalsukan data-data pada akta-akta kependudukan dan catatan sipil.

Jika kedua macam Peradilan terebut, yaitu Peradilan Umum danPeradilan Tata Usaha Negara dihadapkan pada kasus memperoleh

151

Page 163: 2m i PENDALAMAN MATERI HUKUM I I - Mahkamah Agung

kewarganegaraan Republik Indonesia tidak wajar tersebut maka timbulpertanyaan :Badan Peradilan manakah yang berwenang menangani atau menyelesaikankasus tersebut, apakah Peradilan Umum atau Peradilan Tata Usaha ?

II. PERM ASALAHAN1. Wewenang Peradilan Umum dalam menangani kasus kewarganegaraan.2. Wewenang Peradilan Tata Usaha Negara dalam menangani kasus

kewarganegaraan.3. Titik singgung antara Peradilan Umum dan Peradilan Tata Usaha

Negara dalam menangani kasus kewarganegaraan Indonesia.

m . PEM ECAHAN MASALAH.1. W ewenang Perad ilan Um um dalam m enangani kasus kewarga­

negaraanSebelum membahas kewenangan Peradilan, dalam hal ini kami

kemukakan dua kasus kewarganegaraan.Dalam kasus Liem Yeuw Kheng alias Leonardus Sudarso

memperoleh kewarganegaraan dengan memberikan keterangan yang tidak benar. Kasus ini terjadi di Maumere (NTT).

Berdasar data dari kantor Imigrasi Maumere yang bersangkutan adalah kelahiran Tiongkok. Namun dengan berbagai cara ia berhasil menggelapkan identitas diri, menjadi Warga Negara Indonesia. Status kewarganegaraannya diikuti oleh tujuh orang anaknya yang kelahiran Maumere.

Liem Yeuw Kheng adalah pemegang surat kewarganegaraan Republik Indonesia berupa surat penetapan No.l/PWI/1982/PN.Mmr., tanggal 9 Janauri 1982 yang dikeluarkan oleh Pengadilan Negeri Maumere.

Dalam mengajukan surat penetapan kewarganegaraan tersebut ia berusaha memalsukan data dengan membuat suatu Surat Kesaksian yang dibuat di Malang tanggal 8 Januari 1982. Dalam surat persaksian dinyatakan Liem Yeuw Kheng lahir di Malang tanggal 8 Januari 1933, anak hasil perkawinan Lim Tjin Wu (RRC) dan Warsian (Pribumi).

Setelah memperoleh penetapan kewarganegaraan dari Pengadilan Negeri Maumere, ia mohon SBKRI ke Direktorat Jenderal Hukum dan Perundang-undangan Departemen- Kehakiman. Direktorat Jenderal Hukum dan Perundang-undangan mengabulkan permohonannya dengan

152

Page 164: 2m i PENDALAMAN MATERI HUKUM I I - Mahkamah Agung

mengeluarkan SBKRI No : C4-HL. 04.06-8729 tanggal 20 September 1988.

Inspektorat Jendral Departemen Kehakiman melakukan pemeriksa­an dan ternyata surat persaksian atas nama Liem Youw Kheng tidak mempunyai kekuatan hukum karena tidak dibuat oleh Pejabat yang berwenang dan tidak menurut bentuk dan syarat yang ditetapkan oleh Undang-undang. Selain itu dari segi prosedur permohonan surat penetapan kewarganegaraan No : l/PN/82/PN.Mmr tanggal 9 Januari 1992 tidak terdaftar dalam register perkara dan tidak berdasarkan surat penunjukan dari instansi yang meragukan status kewarganegaraan yang bersangkutan dari segi bentuk, penetapannya tidak diikuti dengan kata- kata :"Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa" serta tidak ikutnya Panitera Pengganti menandatangani penetapan tersebut.

Kesimpulannya dengan tidak dipenuhinya prosedur dan bentuk penetapan menurut Hukum Acara Perdata dalam pembuatan surat 'penetapan tersebut atas nama Liem Yeuw Kheng, maka surat penetapan kewarganegaraan dinyatakan tidak sah.

Berdasarkan data-data tersebut Dirjen. Imgirasi Departemen Ke­hakiman mengajukan permohonan pembatalan status kewarganegaraan yang bersangkutan ke Dirjen Hukum dan Perundang-undangan De­partemen Kehakiman. Menteri Kehakiman dalam surat keputusannya No. M. 03-HL.05.06 tahun 1992 tanggal 17 Desember 1992, dan Instruksi Menteri Kehakiman No. M.04.HL.05.06 tahun 1992 tanggal 20 Desember 1992 menyatakan bahwa Surat-surat Bukti Kewarga­negaraan Indoensia (SBKRI) dan surat penetapan atas nama Liem Yeuw Kheng dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Selanjutnya status yang bersangkutan dan anak-anaknya diasingkan kembali menjadi warga negara asing.

Kasus Peggy SylviaKasus ini menyangkut pasal 7 ayat (1) Undang-undang No. 62

tahun 1958. Ia kelahiran Manado tinggal di Negeri Belanda, dan memperoleh kewarganegaraan Belanda. Ia bermaksud tinggal dan bekerja di Indonesia.

Ia datang di Indonesia dan menikah dengan orang Indonesia. Atas dasar perkawinan tersebut ia mengajukan permohonan kewarga- negaraannya di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan mengabulkan permohonan tersebut, yang ber-

153

Page 165: 2m i PENDALAMAN MATERI HUKUM I I - Mahkamah Agung

sangkutan memperoleh Formulir I No. 05/91/JS/1991 tanggal 11 Pebruari 1991 berdasar pasal 7(1) Undang-undang No. 62 tahun 1958.

Dengan bukti kewaganegaraannya, sesuai Formulir I Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, yang bersangkutan mengurus KTP di Bekasi, dan paspor Belanda atas namanya diserahkan ke Kedutaan Besar Belanda.

Pada saat Peggy Sylvia mengajukan paspor di kantor Imgirasi Jakarta Timur, pejabat Imgirasi mencurigai akte nikahnya dan setelah diadakan pemeriksaan ternyata surat nikah tersebut palsu.

Kantor Wilayah Departemen Kehakiman DKI Jaya meneruskan kasus ini ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan untuk pembatalan Formulir I. Akhirnya Formulir I atas nama Peggy Sylvia dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Dari kedua kasus kewarganegaraan yang kami sampaikan di atas dapat disimpulkan bahwa Pengadilan Negeri (Peradilan Umum) mempunyai kewenangan untuk menangani masalah kewarganegaraan, y a itu :1. Yang bersifat tehnis yuridis.

Dalam hal ini Pengadilan Negeri menerima, memeriksa serta memutus permohonan status kewarganegaraan seseorang melalui proses perkara perdata biasa dengan keputusan yang berbentuk penetapan.2. Penyelesaian administratif.

Dalam hal ini Pengadilan Negeri (Peradilan Umum) menyelesaikan permohonan Surat Bukti Kewarganegaraan seseorang melalui proses adminsitrasi biasa yang hasilnya berupa pemberian SBKRI. Apabila terdapat kekeliruan dalam pemberian/penerbitan Surat Bukti Ke­warganegaraan ini Pengadilan Negeri berwenang mencabut- /membatalkan melalui proses adminsitrasi biasa.

2. W ewenang Peradilan T ata Usaha N egara dalam m enangani kasus kew arganegaraan

Di dalam Undang-undang No. 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara yang telah mulai operasional sejak tanggal 14 Januari 1991 dengan PP. No. 7 tahun 1991, pada pasal 1 ayat (3) telah ditentukan apa yang menjadi obyek TUN atau hal-hal apa saja yang dapat diperiksa, diputus dan diselesaikan oleh PERATUN, yaitu : "Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara berdasarkan Peraturan Per-

154

Page 166: 2m i PENDALAMAN MATERI HUKUM I I - Mahkamah Agung

undang-undangan ya n g berlaku, ya n g bersifat konkrit, individual dan final, ya n g menimbulkan akibat hukum bagi seseoran g atau badan hukum perdata".

Pasal-pasal 1 ayat (3) ini ditentukan bahwa Surat Keputusan Tata Usaha Negara harus dalam bentuk tertulis itulah yang menjadi wewenang PERATUN.

Pada pasal 3 ditentukan :(1) A pab ila Badan atau P eja b a t Tata Usaha N egara tid a k m e­

ngeluarkan Keputusan, sedangkan hal itu m enjadi kew ajibannya, maka hal tersebut disam akan dengan K eputusan Tata U saha N egara.

(2) Jika suatu Badan atau P ejaba t Tata U saha N egara tidak m engeluarkan Keputusan ya n g dimohon, sedangkan ja n g k a w aktu sebagaim ana ditentukan dalam peraturan perundang-undangan dim aksud telah lewat, m aka Badan atau P eja b a t Tata U saha N egara tersebu t dianggap telah menolak m engeluarkan K epu tusan ya n g dimaksud.

(3) D alam hal pera turan perundang-undangan ya n g bersangkutan tidak menentukan ja n g k a waktu sebagaim ana dim aksud dalam a ya t (2), m aka setelah lew at ja n g k a waktu 4 bulan se jak d iterim an ya perm ohonan, Badan atau P ejaba t Tata Usaha N egara ya n g bersangkutan dianggap telah mengeluarkan keputusan penolakan.

Alasan atau hal-hal apa saja yang dapat dijadikan sebagai dasar gugatan, dan bahwa gugatan itu hanya akan diajukan atau akan dikabulkan bilamana penggugat menderita kerugian, diatur dalam pasal 53 sebagai berikut:(1) S eseorang atau Badan Hukum P erdata ya n g m erasa kepentingan­

nya dirugikan oleh suatu keputusan Tata Usaha N egara da p a t mengajukan gugatan tertu lis kepada P engadilan ya n g berw en an g ya n g berisi tuntutan agar Keputusan Tata Usaha N egara ya n g disengketakan itu dinyatakan bata l atau tidak sah, dengan atau tanpa d iserta i tutnutan gan ti rugi dan atau rehabilitasi.

(2) A lasan-alasan ya n g dapa t digunakan dalam gugatan sebaga im an a dim aksud dalam a ya t (1) adalah :a. P erbuatan M elawan Hukum (Onrechts m atigedaad).b. Penyalah gunaan w ew enang (Detournem ent de pavo ir).c. P erbuatan sew enang-w enang (W illekeur). M ' i k

Perpustakaan Mahkamah Agung P

155

Page 167: 2m i PENDALAMAN MATERI HUKUM I I - Mahkamah Agung

ditambah satu lagi alasan yaitu pelanggaran terhadap azas-azas umum pemerintahan yang baik (Algemene Beginsellen van Beharluk Bestuur).Berdasarkan ketentuan pasal-pasal tersebut di atas, akan coba

membahas atau menguraikan peran atau wewenang PERATUN dalam menangani kasus kewarganegaraan.

Berhubugan karena setahu kami belum ada kasus kewarganegaraan yang diajukan ke PERATUN, maka kami hanya memikirkan ke­mungkinan-kemungkinan dalam hal apa atau dalam hal yang bagaimana gugatan tentang kewarganegaraan dapat diajukan ke PERATUN.

Dalam hal ini ada dua keadaan atau masalah sehingga disampaikan gugatan, yaitu sebagai beriku t:1. Seseorang yang mengajukan permohonan kewarganegaraan baik

yang berupa pewarganegaraan maupun dalam bentuk SBKRI (Surat Keterangan Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia), jika ditolak permohonannya tanpa alasan yang sah, atau permohonannya tidak ditanggapi, hanya didiamkan saja, sudah lewat 4 bulan, dapat mengajukan gugatan ke PERATUN dengan maksud agar Keputusan penolakan itu ataupun keputusan anggapan (fiktif) itu dinyatakan batal atau tidak sah/dan mohon agar Pengadilan memerintahkan Badan atau Pejabat yang berwenang tersebut mengeluarkan Surat Keputusan Tata Usaha Negara berupa Surat Bukti Kewarga­negaraan.

Suatu Surat Bukti Kewarganegaraan adalah Keputusan Tata Usaha Negara karena : bentuk tertulis, merupakan tindakan hukum, yaitu menentukan status kewarganegaraan, bersifat konkrit, individual dan final, apabila ditolak dapat mendatangkan kerugian. Dengan kata lain ditinjau dari PERATUN Bukti Kewarganegaraan adalah obyek TUN yang berarti apabila timbul sengketa maka PERATUN lah yang berwenang mengadilinya.

2. Seseorang yang memiliki bukti kewarganegaraan Indonesia, di­batalkan atau dicabut karena alasan tertentu.

Di dalam administrasi yang baik apabila bukti kewarganegaraan itu dibuat dalam bentuk tertulis dan dalam bentuk surat keputusan maka pencabutannya pun seharusnyalah dengan surat keputusan (tertulis) Apabila demikian halnya maka pencabutan suatu bukti kewarganegaraan, bilamana menjadi sengketa karena si pemilik merasa dirugikan maka Pengadilan yang berwenang untuk me-

156

Page 168: 2m i PENDALAMAN MATERI HUKUM I I - Mahkamah Agung

meriksa, memutus atau menyelesaikannya adalah Peradilan Tata Usaha Negara.

Pihak ketiga, yang menderita rugi baik kerugian materiel maupun kerugian moril, karena seseorang menjadi Warga Negara Indonesia baik dengan pewarganegaraan maupun dengan SBKRI, bisa saja mengajukan gugatan pembatalan keputusan yang berupa bukti kewarganegaraannya itu.

Gugatan pihak ketiga tersebut di atas kami masukkan dalam tulisan ini, sehubungan dengan pertanyaan atau pemikiran siapa- siapa yang dapat mengajukan gugatan pembatalan suatu bukti kewarganegaraan. Badan atau Pejabat Negara seperti Kejaksaan Agung tidak bisa bertindak selaku penggugat dalam sengketa Tata Usaha Negara.

Karena baru mengira-ngira atau berandai-andai saja tentang kemungkinan pihak ketiga akan menggugat pembatalan suatu bukti kewarganegaraan dimaksud kami belum sampai kepada pem­bahasan lebih lanjut apa kira-kira kerugian yagn akan diderita pihak in concrete.

Untuk mendukung penjelasan tentang kemungkinan orang akan menggugat Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara adalah Undang- undang Peradilan Tata Usaha Negara berlaku bagi semua orang, bukan saja Warga Negara Indonesia.

Demikianlah sekilas pembahasan kemungkinan turut berperan PERATUN dalam menangani kasus kewarganegaraan. Kami menyadari seperti telah terlebih dahulu disebutkan pada permulaan bahwa pembahasan ini hanya didasarkan pada teori-teori tentang apa yang menjadi wewenang PERATUN berdasarkan Undang- undang No. 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara saja, karena belum ada kasus nyata yang diajukan ke PERATUN.

Dengan demikian dapatlah dimengerti bahwa pembahasan ini jauh dari sempurna sebagaimana yang diharapkan.

3. T itik singgung an ta ra Peradilan Um um dan P eradilan T a ta U sahaN egara dalam m enangani kasus kew arganegaraan.a. Baik Pengadilan Negeri/Peradilan Umum dan Peradilan Tata Usaha

Negara mempunyai kewenangan menangani kasus-kasus kewarga­negaraan.

b. Peradilan berwenang menerbitkan dan membatalkan Surat Bukti Kewaganegaraan melalui prosedur administrasi biasa.

157

Page 169: 2m i PENDALAMAN MATERI HUKUM I I - Mahkamah Agung

c. Dalam hal seorang merasa dirugikan karena dibatalkannya Surat Bukti Kewarganegaraan ia dapat mengajukan keberatan dengan mengajukan guatan di Pengadilan Tata Usaha Negara.

IV. KESIMPULAN DAN SARAN.Kesimpulan.

Penyelesaian kasus kewarganegaraan dapat dilakukan melalui Peradilan berdasarkan yang ada padanya yaitu :1. Melalui Pengadilan Negeri (Peradilan Umum) yaitu melalui proses :

a. Peradilan Perdata, mengenai status kewarganegaraan dan hasilnya berbentuk penetapan.

b. Administratif sebagai pelaksanaan dari PP. No. 20/1954 jo. Undang- undang No. 62 tahun 1958.

2. Melalui Pengadilan Tata Usaha Negara, dalam bentuk gugatan pem­batalan Surat Bukti Kewarganegaraan.

S a r a nDari kasus-kasus kewarganegaraan yang ditemui, ternyata peluang

hukum yang diberikan oleh pasal 7 Undang-undang No. 62 tahun 1958 tentang kewarganegaraan Republik Indonesia, telah digunakan sebagai pintu untuk memperoleh kewarganegaraan Republik Indonesia secara tidak benar. Dan karenanya antara pejabat yang berwenang dan terkait dalam masalah kewarganegaraan ini perlu sekali adanya koordiansi yang baik dan kontinyu.

158

Page 170: 2m i PENDALAMAN MATERI HUKUM I I - Mahkamah Agung

SUATU TINJAUAN MENGENAI WEWENANG PERADILAN UMUM DAN PERADILAN TUN

DALAM MENANGANI KASUS KEWARGANEGARAAN DI INDONESIA

O leh : Kelompok GARUDA

L PENDAHULUANMasalah Kewarganegaraan Republik Indonesia adalah masalah yang

menarik, karena status Kewarganegaraan Indonesia begitu dihormati di dunia Internasional. Sikap, tingkah laku Warga Negara Indonesia di luar negeri yang tidak pernah berbuat macam-macam, hal itulah yang membuat Warga Negara Indonesia dihormati dan diminati di dunia Internasional, sehingga orang asing sangat berkeinginan untuk menjadi Warga Negara Indonesia, baik secara legal maupun cara illegal mereka tempuh.

Lepas dari sikap, tingkah laku serta tindak-tanduk Warga Negara Indonesia di luar negeri yang tidak berbuat macam-macam, sehingga Kewarganegaraan Indonesia diminati oleh orang asing, tetapi pada hakekat- nya Kewarganegaraan Indonesia diminati oleh orang asing adalah disebab­kan karena status Kewarganegaraan Indonesia tersebut bagi orang asing tersebut memberikan keuntungan-keuntungan, kemudahan-kemudahan yang tidak akan diperoleh oleh warga yang berstatus asing, keuntungan- keuntungan atau kemudahan-kemudahan tersebut di antaranya ialah :1. Hak memilih dan dipilih menjadi anggota DPR.2. Hak untuk memperoleh jabatan resmi di Pemerintahan Republik

Indonesia.3. Hak dalam bidang usaha, hak untuk membeli tanah dan hak-hak lain

yang hanya diberikan kepada mereka yang berstatus menjadi Warga Negara Indonesia.Karena status Kewarganegaraan Indonesia yang dimiliki tersebut, maka

seperti telah disebut di atas, banyak orang asing yang berebut/beramai-ramai ingin menajdi Warga Negara Indonesia baik bagi yang telah memenuhi syarat menurut peraturan perundang-undangan tentang Kewarganegaraan melalui saluran resmi dan bagi mereka yang tidak memenuhi syarat dengan cara-cara yang illegal (tidak resmi) dan hal ini sering menimbulkan permasalahan-permasalahan serta permasalahan-permasalahan yang timbul tersebut perlu penanganan baik oleh Peradilan Umum maupun Peradilan Tata Usaha Negara berdasarkan pada wewenangnya masing-masing.

Dalam masalah ini, Kelompok Garuda akan mencoba membahas masalah tersebut dalam makalah ini dengan sistematika sebagai b e rik u t:

159

Page 171: 2m i PENDALAMAN MATERI HUKUM I I - Mahkamah Agung

1.2.

3.

4.

5.6.

Bab I. Pendahuluan.Bab II. Akan menguraikan tentang siapa yang menjadi Warga Negara

Indonesia dan bagaimana cara memperoleh Warga Negara Indonesia tersebut.

Bab III. Akan menguraikan tentang wewenang Peradilan Umum serta wewenang Peradilan Tata Usaha Negara dalam menangani kasus Kewarganegaraan Indonesia.

Bab IV. Tentang permasalahan yang timbul dalam masalah Kewarga­negaraan Indonesia.

Bab V. Pemecahan masalah tersebut dalam Bab IV.Bab VI. Kesimpulan dan saran.

II. W ARGA NEGARA INDONESIAA. Siapakah yang dim aksud dengan W arga N egara Indonesia ?

Undang-undang yang mengatur tentang Kewarganegaraan In­donesia, diatur dalam Undang-undang No. 62 tahun 1958 (LN. 1958 -113) yang sudah dirubah dengan Undang-undang No. 3 tahun 1976.

Menurut pasal 1 dari Undang-undang ini yang dimaksud denganWarga Negara Indonesia adalah :a. Orang-orang yang berdasarkan perundang-undangan dan/atau per­

janjian-perjanjian dan/atau peraturan-peraturan yang berlaku sejak tanggal 17 Agustus 1945 sudah Warga Negara Republik Indonesia.

b. Orang yang pada waktu lahirnya mempunyai hubungan hukum kekeluargaan dengan ayahnya, seorang Warga Negara Republik Indonesia dengan pengertian bahwa Kewarganegaraan Republik Indonesia tersebut dimulai sejak adanya hubungan hukum ke­keluargaan termaksud, dan bahwa hubungan hukum kekeluargaan ini diadakan sebelum orang itu berumur 18 tahun atau sebelum ia kawin pada usia di bawah 18 tahun.

c. Anak yang lahir dalam 300 hari setelah ayahnya meninggal dunia, apabila ayah itu pada waktu meninggal dunia Warga Negara Republik Indonesia.

d. Orang yang pada waktu lahirnya ibunya juga Warga Negara Republik Indonesia apabila ia pada waktu itu tidak mempunyai hubungan hukum kekeluargaan dengan ayahnya.

e. Orang yang pada waktu lahirnya, ibunya Warga Negara Republik Indonesia, jika ayahnya tidak mempunyai Kewarganegaraan atau selama tidak diketahui Kewarganegaraan ayahnya.

160

Page 172: 2m i PENDALAMAN MATERI HUKUM I I - Mahkamah Agung

f. Orang yang lahir di dalam wilayah Republik Indonesia selama kedua orang tuanya tidak diketahui.

g. Seorang anak yang ditemukan di dalam wilayah Republik Indonesia selama tidak diketahui kedua orang tuanya.

h. Orang yang lahir di dalam wilayah Republik Indonesia, jika kedua orang tuanya tidak mempunyai Kewarganegaraan atau selama Kewarganegaraan kedua orang tuanya tidak diketahui.

i. Orang yang lahir di dalam wilayah Republik Indonesia yang pada waktu lahirnya tidak mendapat Kewarganegaraan ayah atau ibunya dan selama ia tidak mendapat Kewarganegaraan ayah atau ibunya itu.

j. Orang yang memperoleh Kewarganegaraan Republik Indonesia menurut aturan-aturan Undang-undang ini.

B. Cara memperoleh Kewarganegaraan Republik Indonesia.Ada beberapa cara untuk memperoleh Kewarganegaraan Republik

Indonesia antara lain sebagai beriku t:1. a Naturalisasi Umum.

Seorang Warga Negara Asing dapat mengajukan permohonan untuk menjadi Warga Negara Indonesia kepada Presiden Republik Indonesia lewat Menteri Kehakiman Republik Indonesia (pasal 5 Undang-undang No. 62 tahun 1958).

1 .b Naturalisasi Khusus.Pewarganegaraan juga dapat diberikan dengan alasan kepentingan negara atau telah berjasa terhadap negara, oleh Pemerintah dengan

■ persetujuan DPR (pasal 6 Undang-undang No. 62 tahun 1958).2. Anak asing yang belum berumur 5 tahun diangkat oleh seorang

Warga Negara Indonesia, memperoleh Kewarganegaraan Republik Indonesia apabila pengangkatan itu dinyatakan sah oleh Pengadilan Negeri dari tempat tinggal orang yang mengangkat anak itu (pasal 2 ayat (1) Undang-undang No. 62 tahun 1958).

3. Anak luar kawin dari seorang ibu Warga Negara Indonesia, yang ayahnya orang asing (pasal 3 ayat (1) Undang-undang No. 62 tahun 1958).

4. Seorang perempuan asing yang kawin dengan seorang Warga Negara Indonesia, apabila dan pada waktu ia dalam 1 tahun setelah perkawinannya berlangsung menyatakan keterangan untuk itu kepada Pengadilan Negeri atau perwakilan Republik Indonesia dari

161

Page 173: 2m i PENDALAMAN MATERI HUKUM I I - Mahkamah Agung

tempat tinggal orang yang menyatakan keterangan itu (pasal 7 Undang-undang No. 62 tahun 1958).

5. Seorang asing sebelum Undang-undang ini (Undang-undang No. 62 tahun 1958) berlaku pernah masuk dalam ketentaraan Republik Indonesia dan memenuhi syarat-syarat yang akan ditentukan oleh Menteri Pertahanan, memperoleh Kewarganegaraan Republik Indonesia jika ia menyatakan keterangan untuk itu kepada Menteri Pertahanan atau Pejabat yang ditunjuk olehnya.

III. WEWENANG PERADILAN UMUM DAN PERADILAN TATA USAHA NEGARA DALAM MENANGANI KASUS KEWARGA­NEGARAAN DI INDONESIA.

1. Wewenang Peradilan Umum.Menurut pasal 50 Undang-undang No. 2 tahun 1986, Pengadilan

Negeri bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesai­kan perkara pidana dan perkara perdata di tingkat pertama.

Berdasarkan ketentuan di atas, maka Pengadilan Negeri sebagai Badan Peradilan Umum dalam tingkat pertama berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan semua perkara perdata kecuali yang menjadi wewenang Badan Peradilan lain termasuk Badan Peradilan Tata Usaha Negara.

Dalam hal penyelesaian kasus kewarganegaraan di Indonesia, Pengadilan Negeri mempunyai wewenang sebagai beriku t:

a. Wewenang Judicial.Melalui proses perkara perdata, seorang dapat mengajukan permohonan untuk ditetapkan bahwa ia adalah seorang Warga Ne­gara Indonesia, jika ia diragukan status Kewarganegaraan Republik Indonesianya (pasal 1 PP. No. 5 tahun 1947).

b. Wewenang Non Judicial.Pengadilan Negeri hanya melayani permohonan yang diajukan se­seorang untuk memperoleh Kewarganegaraan Republik Indonesia dengan memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan oleh Undang- undang yang kemudian setelah syarat-syarat itu dipenuhi, Pe­ngadilan Negeri meneruskan permohonan tersebut ke Menteri Kehakiman yang kemudian setelah meneliti kebenaran syarat- syaratnya lalu diteruskan ke Presiden.

162

Page 174: 2m i PENDALAMAN MATERI HUKUM I I - Mahkamah Agung

2. Wewenang Preadilan Tata Usaha Negara.Menurut pasal 50 Undang-undang No. 5 tahun 1986, Pengadilan

Tata Usaha Negara bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara di tingkat pertama.

Yang dimaksud dengan sengketa Tata Usaha Negara adalah sengketa yang timbul dalam bidang Tata Negara antara orang atau Badan Hukum Perdata atau Pejabat Tata Usaha Negara baik di pusat maupun di daerah sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara.

Yang dimaksud dengan Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang bersifat konkrit, individual dan final yang menimbulkan akibat hukum bagi seorang atau Badan Hukum Perdata.

Kewenangan Peradilan Tata Usaha Negara dalam menangani kasus Kewarganegaraan hanya sebatas mengenai keputusan-keputusan yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang bersifat konkrit, individual dan final yang menimbulkan akibat hukum bagi se­orang.

IV. PERMASALAHAN YANG TIMBUL DALAM MASALAH KE­WARGANEGARAAN INDONESIA.

1. Pemalsuan surat-surat untuk memperoleh Kewarganegaraan Republik Indonesia.

Dengan cara memberikan keterangan yang tidak benar, seorang Warga Negara Asing Cina Liem Yauw Kheng berhasil memperoleh Kewarganegaraan Republik Indonesia.

Dengan caranya ia berhasil menggelapkan identitas dirinya menjadi Warga Negara Indonesia berikut ketujuh anaknya dengan suatu Pe­netapan yang dikeluarkan oleh Pengadilan Negeri Maumere.

Setelah memperoleh penetapan tersebut yang bersangkutan me­ngajukan permohonan SBKRI ke Ditjen Hukum dan Perundang- undangan Departemen Kehakiman, dan permohonan tersebut di­kabulkan.

Karena kewarganegaraannya diragukan, maka diteliti oleh Ins­pektorat Jenderal Departemen Kehakiman, dan dari pemeriksaan itu ternyata surat-surat atas namanya (Liem Yauw Kheng) tidak sah. Setelah diajukan masalah tersebut di Ditjen. Hukum dan Perundang- undangan, maka Menteri Kehakiman membatalkan Surat Bukti

163

Page 175: 2m i PENDALAMAN MATERI HUKUM I I - Mahkamah Agung

Kewarganegaraan tersebut dan dinyatakan tidak berlaku, dan status yang bersangkutan dan anak-anaknya kembali menjadi Warga Negara Asing.

2. Permasalahan pembatalan Formulir I yang dibuat berdasarkan Dwi- kewarganegaraan di Pengadilan Negeri Istimewa Jakarta, di mana se­orang yang bernama Kadarisman alias Khu Kusuma yang bernama mengaku lahir di Tangerang, padahal sebetulnya lahir di Tiongkok. Oleh karena itu orang tersebut bukan subjek dari Dwikewarganegaraan karena diragukan surat-surat yang bersangkutan diperiksa oleh Inspektorat Departemen Kehakiman, dan minta agar Departemen Kehakiman (Menteri) untuk membatalkan Formulir I tersebut.

Akhirnya Menteri Kehakiman dengan Surat Keputusannya me­nyatakan tidak sah dan tidak berlaku Formulir I tersebut, karena itu status yang bersangkutan kembali menjadi asing dan didaftarkan sebagai orang asing yang berada di Indonesia.

V. PEMECAHAN MASALAH.Pemecaan Masalah Kasus I :

Apabila Liem Yauw Kheng merasa dirugikan dengan Surat Keputusan Menteri Kehakiman tentang pencabutan dan pembatalan Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia dan Surat Penetapan Kewarga- negaraannya, ia dapat mengajukan gugatan ke Peradilan Tata Usaha Negara agar Surat Keputusan Menteri Kehakiman tersebut dibatalkan dan atau dinyatakan tidak sah dalam jangka waktu 90 hari sebagaimana diatur dalam pasal 55 Undang-undang No. 5 tahun 1986, serta alasan-alasan yang disebut dalam pasal 53 ayat (2) Undang-undang No. 5 tahun 1986 serta ganti rugi maksimum Rp. 5.000.000,00.

Sebelum Peradilan Tata Usaha Negara memutus sengketa tentang Surat Keputusan Menteri Kehakiman tersebut, seyogianya Peradilan Tata Usaha Negara menunggu terlebih dahulu putusan Peradilan Umum tentang kasus pemalsuan surat-surat yang dipergunakan oleh Liem Yauw Kheng tersebut dalam memperoleh kewarganegaraannya.

Pemecahan Masalah Kasus I I :Pemecahan masalahnya sama dengan kasus pertama, yaitu apabila

Kadarisman tersebut merasa dirugikan dengan pembatalan Formulir I tersebut atas namanya, ia dapat mengajukan gugatan ke Peradilan Tata Usaha Negara, untuk minta pembatalan dan atau dinyatakan tidak sah Keputusan Menteri Kehakiman tersebut dalam jangka waktu sebagaimana

164

Page 176: 2m i PENDALAMAN MATERI HUKUM I I - Mahkamah Agung

ditentukan dalam pasal 55 Undang-undang No. 5 tahun 1986 dengan alasan- alasan yang ditentukan dalam pasal 53 ayat (2) Undang-udnang Nol. 5 tahun 1986 serta ganti rugi maksimal Rp. 5.000.000,00.

Sebagaimana dalam kasus I sebelum Peradilan Tata Usaha Negara memutus sengketa tentang Surat Keputusan Menteri Kehakiman tersebut, seyogianya Peradilan Tata Usaha Negara menunggu terlebih dahulu putusan Peradilan Umum tentang kasus pemalsuan surat-surat yang dipergunakan oleh Kadarisman dalam memperoleh Kewarganegaraannya.

VI. KESIMPULAN DAN SARANA. Kesimpulan.

1. Ada peluang hukum dan kerawanan-kerawanan terutama dalam pelaksanaan pasal 7 Undang-undang No. 62 tahun 1958 dan ber­bagai kelemahan koordinasi antar instansi yang menyebabkan munculnya modus operandi pemberian keterangan palsu, peng­gelapan identitas diri, rekayasa untuk memperoleh akta-akta kependudukan maupun akta-akta catatan sipil.

2. Apabila seseorang yang semula telah memperoleh Kewarga- negaraan Republik Indonesia, kemudian kewarganegaraannya di­batalkan oleh Menteri Kehakiman, maka orang yang merasa dirugikan tersebut dapat mengajukan gugatan ke Peradilan Tata Usaha Negara untuk minta pembatalan Surat Keputusan Menteri Kehakiman tersebut.Sedangkan untuk memeriksa kasus pemalsuan surat-surat yang dijadikan dasar untuk memperoleh Kewarganegaraan Republik Indonesia tersebut dapat diadili oleh Pengadian Negeri.

B. Saran.1. Agar koordinasi antara instansi terkait antara lain Imgirasi, Catatan

Sipil, Pengadilan agar diperbaiki dan disempurnakan sesuai dengan pasal 41 Undang-undang No. 9 tahun 1992 tentang Keimigrasian.

2. Agar masing-masing instansi yang berwenang untuk mengeluarkan surat-surat yang diperlukan untuk memenuhi syarat-syarat untuk mendapatkan Kewarganegaraan Republik Indonesia lebih berhati- hati dalam melaksanakan tugasnya.

165

Page 177: 2m i PENDALAMAN MATERI HUKUM I I - Mahkamah Agung

SUATU TINJAUAN MENGENAI WEWENANG PERADILAN UMUM DAN PERADILAN TUN

DALAM MENANGANI KASUS KEWARGANEGARAAN DI INDONESIA

Oleh : Kelompok MANDALA

I. PENDAHULUANDengan diundangkannya UU No. 5 tahun 1986 "Tentang Peradilan Tata

Usaha Negara", maka lengkaplah keberadaan keempat lembaga peradilan di Indonesia sebagai mana diamanatkan oleh pasal 10 (1) UU No. 14 tahun 1970 "Tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman". Dan dengan lahirnya PP. No. 49 tahun 1991, maka secara operasional UU No. 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara berlaku secara effektif.

Menyangkut masalah Kewarganegaraan kita telah memiliki perangkat perundang-undangan yaitu UU No. 62 tahun 1958 "Tentang Kewarga­negaraan Republik Indonesia" dan PP. No. 67 tahun 1968, di dalam PP. No. 67 tahun 1968, pasal 3 (3), pasal 4 dan pasal 5, jo pasal,VII Peraturan Penutup UU No. 62 tahun 1958 dimana Pengadilan Negeri diberi wewenang untuk menyelesaikan masalah-masalah Kewarganegaraan tertentu, yang sebenarnya bukan wewenang badan Peradilan sebagaimana diatur di dalam pasal 2 (1 ) Undang-undang No. 14 tahun 1970 yang berbunyi: "Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman tercantum dalam pasal 1 di­serahkan kepada badan-badan Peradilan dan ditetapkan Undang-undang dengan tugas pokok untuk menerima, memeriksa dan mengadili serta me­nyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya

Oleh karena tentang Peradilan Tata Usaha Negara mempunyai wewenang menilai produk keputusan Badan/Pejabat Tata Usaha Negara, maka kami dari Kelompok Mandala mencoba membahas apakah kaitannya wewenang antara kedua badan Peradilan tersebut dalam masalah Ke­warganegaraan.

II. PERMASALAHANMendasarkan pada topik yang ditugaskan untuk didiskusikan pada ke­

sempatan ini, yang berfokus pada Kewarganegaraan dalam kewenangan masing-masing Badan Peradilan yakni Peradilan Umum dan Peradilan Tata Usaha Negara didapatkan adanya permasalahan sebagai beriku t:- Dapatkah Ketua/Hakim Pengadilan Negeri digugat di hadapan Peradilan

Tata Usaha Negara karena produk keputusannya mengenai masalah Kewarganegaraan.

166

Page 178: 2m i PENDALAMAN MATERI HUKUM I I - Mahkamah Agung

Berbicara mengenai masalah tersebut tidak terlepas dari batas kewenangan, yaitu apakah masalah Kewarganegaraan adalah tugas dan wewenang mumi lembaga yudikatif ataukah merupakan pelaksanaan tugas dan wewenang lembaga eksekutif yang diserahkan kepada lembaga yudikatif, dalam hal ini Pengadilan Negeri, yang pembahasannya akan diuraikan di bawah ini.

III. PEMBAHASANWalaupun sesuai dengan ketentuan sebagaimana tersebut dalam SEMA,

bahwa hakim tidak dapat digugat, namun karena tugas dan wewenang Ketua Pengadilan Negeri dalam menangani dan menyelesaikan Kewarganegaraan adalah merupakan pelaksanaan tugas dan wewenang lembaga eksekutif, maka dengan sendirinya keputusan/penetapan Ketua Pengadilan Negeri dalam hal Kewarganegaraan juga merupakan produk keputusan/penetapan lembaga eksekutif.

Sesuai dengan ketentuan Undang-udnang No. 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara jo. PP. No. 49 tahun 1991 maka dengan sendirinya produk keputusan/penetapan Ketua Pengadilan Negeri tersebut dapat digugat pada Peradilan Tata Usaha Negara.

Namun perlu diingat bahwa tugas dan wewenang Pengadilan Negeri menangani Kewarganegaraan ada yang mumi tugas dan wewenang lembaga eksekutif yang diserahkan pada Pengadilan Negeri yaitu dalam hal Ketua Pengadilan Negeri menetapkan "Seorang istri mengikuti kewarganegaraan suaminya berdasarkan pasal 7 ayat (1) Undang-undang No. 62 tahun 1958". Dalam hal ini produk penetapan Ketua Pengadilan Negeri tersebut karena merupakan produk penetapan eksekutif, konsekwensi logis dapat digugat di hadapan Peradilan Tata Usaha Negara, untuk dimohonkan dinyatakan penetapan tersebut tidak sah dan dibatalkan, oleh Ketua Pengadilan Negeri yang menerbitkan.

Lain halnya dengan keputusan/penetapan Hakim Pengadilan Negeri yang didasarkan pasal IV Peraturan Peralihan Undang-undang No. 62 tahun 1958, di mana terdapat keragu-raguan tentang Kewarganegaraan seseorang, maka hal tersebut oleh instansi yang berkepentingan dapat dimohonkan penetapan mengenai status Kewarganegaraan yang bersangkutan.

Selanjutnya pemeriksaan permohonan ini mengikuti Hukum Acara Perdata, termasuk pemeriksaan terhadap bukti-bukti yang diajukan.

Dalam hal ini menurut pendapat Kelompok Mandala penetapan tersebut tidak dapat diajukan ke Peradilan Tata Usaha Negara, karena penetapan

167

Page 179: 2m i PENDALAMAN MATERI HUKUM I I - Mahkamah Agung

tersebut adalah murni produk lembaga yudikatif dan bukan pelaksanaan tugas dan wewenang lembaga eksekutif.

IV. KESIMPULAN DAN SARAN.- Sebagaimana telah diuraikan tersebut di atas baik mengenai ke-

wenangan Peradilan Umum maupun kewenangan Peradilan TUN dalam menangani kasus Kewarganegaraan, ternyata titik singgung kewenangan antara kedua Badan Peradilan tersebut terletak pada masalah yang berhubungan dengan keputusan/penetapan Ketua/hakim Pengadilan Negeri mengenai Kewarganegaraan tersebut merupakan keputusan lembaga eksekutif yang diserahkan kepada Pengadilan Negeri. Berdasarkan hal tersebut, Kelompok Mandala menyarankan bahwa apabila diajukan gugatan kepada Peradilan TUN mengenai Keputus- an/Penetapan Ketua/Hakim Pengadilan Negeri mengenai Kewarga­negaraan harus diteliti secara seksama apakah Keputusan/Penetapan tersebut yang dibuat oleh Ketua/Hakim itu merupakan keputusan lembaga eksekutif yang diserahkan kepada Pengadilan Negeri ataukah merupakan kewenangan sebagai lembaga yudikatif.

168

Page 180: 2m i PENDALAMAN MATERI HUKUM I I - Mahkamah Agung

SUATU TINJAUAN M ENGENAI W EW ENANG PERADILAN UM UM DAN PERADILAN TUN

DALAM M ENANGANI KASUS KEWARGANEGARAAN D I INDONESIA

Oleh : Kelom pok M ERPATI

I. PENDAHULUANMengenai Warga Negara dalam Undang Undang Dasar 1945 diatur

dalam pasal 26 dan 27 yang berbunyi :

Pasal 26 :1. Yang menjadi Warga Negara ialah orang-orang bangsa Indonesia asli

dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan Undang-undang sebagai Warga Negara.

2. Syarat-syarat yang mengenai Kewarganegaraan ditetapkan dengan Undang-undang.

Pasal 27 :1. Segala Warga Negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan

pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan itu dengan tidak ada kecualinya.

2. Tiap-tiap Warga Negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.Untuk memenuhi ketentuan pasal 26 ayat 2 tersebut, maka dibentuklah

Undang-undang No. 62 tahun 1958 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia yang memberikan kemungkinan bagi Warga Negara asing untuk menjadi Warga Negara Republik Indonesia.

Wewenang Peradilan Umum dalam menangani kasus Kewarganegaraan dewasa ini hanya terbatas pada :

Meneruskan permohonan naturalisasi.Meneruskan permohonan untuk memperoleh surat bukti Kewarga­negaraan Republik Indonesia (SBKRI).

- Membuat pernyataan isteri mengikuti suami untuk menjadi W arga Negara Republik Indonesia.

- Memutus secara perdata apabila ada permohonan tentang Kewarga­negaraan yang diragukan.Selain keputusan perdata dalam hal Kewarganegaraan yang diragukan

oleh Peradilan Umum, maka selebihnya Peradilan Tata Usaha Negara ada terkaitannya dengan masalah Kewarganegaraan tersebut.

169

Page 181: 2m i PENDALAMAN MATERI HUKUM I I - Mahkamah Agung

II. PERMASALAHANBeberapa kasus aktual Kewarganegaraan dan cara penyelesaiannya

masih banyak fakta yang ditemukan di lapangan berbagai modus operandi penyimpangan dan permasalahan dalam memperoleh Kewarganegaraan Republik Indonesia.

Hal tersebut di atas khususnya berkaitan dengan "Wewenang peradilan Umum dan Peradilan Tata Usaha Negara", yang kesemuanya ini lebih jelas tertera dalam Bab I mengenai Pendahuluan.

Dalam hal ini Kelompok Merpati berpendapat bahwa permasalahan- permasalahan tersebut di atas adalah sebagai berikut:1. Wewenang Peradilan Umum dalam menangani Kewarganegaraan.2. Wewenang Peradilan Tata Usaha Negara dalam menangani kasus

Kewarganegaraan.Dengan segala permasalahan seperti tersebut di atas, Kelompok Merpati

bermaksud untuk dapat memberikan penjelasan dan pemecahan permasalah­an-permasalahan selanjutnya.

III. PEMBAHASAN1. Wewenang Peradilan Umum dalam menangani Kewarganegaraan.

Penanganan permasalahan Kewarganegaraan pada Peradilan Umum pada dasarnya merupakan kewenangan tambahan yang bersifat non justisial yang diberikan melalui peraturan perundangan.Adapun tugas bidang Kewarganegaraan yang dewasa ini masih berlaku adalah m eliputi:a. Pewarganegaraan melalui pasal 5 Undang-undang No. 62 tahun

1958.b. Memperoleh Kewarganegaraan melalui pasal 7 ayat (1) Undang-

undang No. 62 tahun 1958.c. Penanganan SBKRI.d. Pemberian status Kewarganegaraan melalui putusan perdata,

ad. a. Pewarganegaraan :Sesuai dengan ketentuan pasal 5 Undang-undang No. 62 Tahun 1958 seorang yang semula berkewarganegaraan asing dapat memperoleh Kewarganegaraan Republik Indonesia dengan me­lalui permohonan Kewarganegaraan kepada Presiden. Syarat-syarat pengajuan Kewarganegaraan dilakukan melalui Pengadilan Negeri tempat tinggal pemohon.

170

Page 182: 2m i PENDALAMAN MATERI HUKUM I I - Mahkamah Agung

Di dalam hal ini Pengadilan Negeri diberi wewenang untuk melakukan pengujian terhadap pemohon sebagai syarat utamanya yang meliputi ujian Bahasa Indonesia dan Sejarah Perjuangan Indonesia, apabila semua persyaratan telah terpenuhi dan setelah dilengkapi dengan keterangan tidak berpolitik dari Kejaksaan, Polisi dan Pemda, berkas permohonan tersebut diajukan kepada Presiden melalui Menteri Kehakiman.Dalam hal ini Pengadilan hanya sebagai perantara tanpa me­ngeluarkan suatu keputusan.

ad. b. Memperoleh Kewarganegaraan melalui pasal 7 ayat (1) Undang- undang No. 62 Tahun 1958.Menurut ketentuan pasla 7 ayat (1) Undang-undang tahun 1958, seorang wanita asing yang kawin dengan seorang Warga Negara Indonesia dapat memperoleh Kewarganegaraan Indonesia apabila yang bersangkutan dalam waktu satu tahun setelah perkawinan­nya menyatakan memilih Kewarganegaraan Republik Indonesia mengikuti Kewarganegaraan suaminya.Pada umumnya sebagai bukti Kewarganegaraannya hanya diberi­kan keterangan dari Pengadilan itu sendiri.Memperoleh Kewarganegaraan Republik Indonesia dengan cara mengikuti suami sebagaimana tersebut dalam pasal 7 ayat (1) Undang-undang No. 62 tahun 1958 dalam praktek juga dipakai sebagai sarana memperoleh Kewarganegaraan dengan tidak wajar. Banyak terjadi perkawinan-perkawinan semu yang bertujuan agar sang isteri memperoleh Kewarganegaraan Republik Indonesia seperti:1. Kasus Patricia Alma Williams, yang terjadi di Mataram

dimana dia (Patricia) yang sudah berusia 72 tahun menikah dengan seorang pria pribumi yang berusia 28 tahuri.

2. Kasus Paggy Silvia, yang bersangkutan adalah kelahiran Manado dan tinggal di Belanda serta telah menjadi Warga Negara Belanda. Ia bermaksud tinggal dan bekerja di Indonesia. Yang bersangkutan datang ke Indonesia dan melakukan pernikahan secara Islam dengan laki-laki Warga Negara Indonesia, akte nikah dikeluarkan oleh Kantor Urusan Agama Kecamatan Matraman, Jakarta Timur.

171

Page 183: 2m i PENDALAMAN MATERI HUKUM I I - Mahkamah Agung

ad. c. Penanganan SBKRI.Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI) adalah surat keterangan Kewarganegaraan yang dikeluarkan oleh Menteri Kehakiman cq. Direktorat Jenderal Hukum dan Perundang-undangan.SBKRI diberikan kepada mereka yang sudah berstatus Warga Negara bukan karena pewarganegaraan.Proses pengajuannya dilakuan melalui Pengadilan Negeri di­tujukan ke Menteri Kehakiman.

ad. d. Pemberian Status Kewarganegaraan melalui Putusan Perdata.Dapat terjadi seseorang yang berkewarganegaraan Indonesia tidak mempunyai bukti-bukti sebagai Warga Negara sesuai dengan ketentuan pasal 4 Peraturan Pemerintah orang yang bersangkutan dapat mengajukan permohonan ke Pengadilan Negeri tempat tinggal yang bersangkutan dan mohon keputusan Kewarga- negaraannya. Dengan kata lain status Kewarganegaraannya dilakukan melalui perkara perdata biasa.Memperoleh status Kewarganegaraan dengan cara melalui putusan perdata ternyata juga mengandung kerawanan, karena dengan mempergunakan data-data palsu untuk memperoleh Kewarganegaraan Indonesia seorang Warga Negara Asing dengan mudah dapat memperoleh Kewarganegaraan Republik Indonesia seperti ha lnya :1. Kasus Kadarisman alias Khu Yun Teuw alias Khu Kusuma.

Kasus ini adalah salah satu modus operandi dengan cara memberikan keterangan tidak benar untuk memperoleh Kewarganegaraan Republik Indonesia.Surat Keterangan Kelahiran No. 69/1963 tanggal 14 Oktober 1963 menyebutkan bahwa Khu Yun Teuw lahir di Tangerang tanggal 26 Agustus 1930.Hasil penyidikan Direktorat Jenderal Imigrasi dan Pemeriksa­an Badan Koordinasi Pemantapan Kestabilan Nasional (Bakorstranas) terbukti bahwa yang bersangkutan lahir di Tiongkok tanggal 26 Agustus 1928.

2. Kasus Liem yauw Kheng alias Leonardus Sudarso.kasus ini juga merupakan upaya dari orang asign dengan cara memberikan keterangan yang tidak benar untuk memperoleh Kewarganegaraan.

172

Page 184: 2m i PENDALAMAN MATERI HUKUM I I - Mahkamah Agung

Kasus ini terjadi di Maumere (NTT).Kasusnya adalah sebagai beriku t:Berdasarkan data dari Kantor Imigrasi Maumere, yang bersangkutan adalah kelahiran Tiongkok. Namun dengan berbagai cara ia berhasil menggelapkan identitas diri menjadi Warga Negara Indonesia.Status Kewarganegaraan yang bersangktuan juga diikuti oleh tujuh orang anaknya yang kelahiran Maumere.I iem Yauw Kheng adalah pemegang surat Kewarganegaraan Republik Indonesia berupa surat penetapan No.l/PW I/1982- /PN.MMR. tanggal 9 Januari 1982 yang dikeluarkan oleh Pengadilan Negeri Maumere.Bahwa seseorang yang memperoleh Kewarganegaraan Republik Indonesia maka akan mempunyai hak-hak dan status yang mengantungkan bagi orang tersebut oleh karena itu pemohon untuk memperoleh Kewarganegaraan Republik Indonesia harus melalui seleksi yang ketat.

2. Kewenangan Peradilan Tata Usaha Negara dalam menangani kasus Kewarganegaraan.Pada dasarnya setiap Warga Negara Asing yang berada di Indonesia dapat mengajukan Kewarganegaraan agar mereka dapat menjadi W arga Negara Indonesia berdasarkan ketentuan-ketentuan yang telah ditetap­kan dalam Undang-undang No. 62 tahun 1958.Di dalam Undang-undang tersebut dapat diketahui adanya 4 cara mem­peroleh Kewarganegaraan, sedang yang berkaitan dengan wewenang Peradilan Tata Usaha Negara hanya 3 cara, yaitu :1. Kewarganegaraan dengan cara naturalisasi.2. Kewarganegaraan melalui pasal 7 ayat (1).3. Kewarganegaraan melalui SBKRI.

ad. 1. Kewarganegaraan dengan cara naturalisasi.Hal ini diatur dalam pasal 5 Undang-undang No. 62 tahun 1958 antara lain :(1) Kewarganegaraan Republik Indonesia karena pewarga­

negaraan diperoleh dengan berlakunya Keputusan Menteri Kehakiman yang memberikan pewarganegaraan itu.

(2) Untuk mengajukan permohonan pewarganegaraan pemohon harus :

173

Page 185: 2m i PENDALAMAN MATERI HUKUM I I - Mahkamah Agung

a. Sudah berumur 21 tahun.b. Lahir dalam wilayah Republik Indonesia atau pada

waktu mengajukan permohonan bertempat tinggal dalam daerah itu selama sedikit-dikitnya 5 tahun ber­turut-turut yang paling akhir atau sama sekali selama 10 tahun tidak berturut-turut.

c. Apabila ia seorang laki-laki yang kawin mendapat persetujuan isteri (isteri-isterinya).

d. Cukup dapat berbahasa Indonesia dan mempunyai sekedar pengetahuan tentang sejarah Indonesia serta tidak pernah dihukum karena melakukan suatu ke­jahatan yang merugikan Republik Indonesia.

e. Dalam keadaan sehat rokhani dan jasmani.f. Membayar pada Kas Negara uang sejumlah antara Rp.

500,00 sampai Rp. 10.000,00 yang ditentukan besarnya oleh Jawatan Pajak tempat tinggalnya berdasarkan penghasilannya tiap bulan yang nyata dengan ketentuan tidak boleh melebihi penghasilan nyata Sebulan.

g. Mempunyai mata pencaharian yang tetap.h. Tidak mempunyai Kewarganegaraan atau kehilangan

Kewarganegaraan, apabila ia memperoleh Kewarga­negaraan Republik Indonesia atau menyertakan per­nyataan menanggalkan Kewarganegaraan lain menurut ketentuan hukum dari negara asalnya atau menurut ketentuan hukum perjanjian penyelesaian dwikewarga- negaraan antara Republik Indonesia dan negara yang bersangkutan. Seorang perempuan selama dalam per­kawinan tidak boleh mengajukan permohonan pe­warganegaraan.

ad. 2. Kewarganegaraan melalui pasal 7 ayat (1) Undang-undang No. 62 tahun 1958.Yaitu seorang perempuan asing yang kawin dengan seorang Warga Negara Republik Indonesia memperoleh Kewarga­negaraan Republik Indonesia apabila dan pada waktu ia dalam satu tahun setelah perkawinannya berlangsung menyatakan keterangan untuk itu, kecuali jika ia apabila memperoleh Ke­warganegaraan Republik Indonesia masih mempunyai Ke-

174

Page 186: 2m i PENDALAMAN MATERI HUKUM I I - Mahkamah Agung

warganegaraan lain, dalam hal mana keterangan itu tidak boleh dinyatakan.

ad. 3. Kewarganegaraan melalui SBKRI.Apabila orang tua telah menjadi Warga Negara, maka anak- anaknya secara otomatis menjadi Warga Negara Republik Indonesia yang berhak memperoleh Surat Bukti Kewarga­negaraan Republik Indonesia (SBKRI).

Dengan telah berlakunya Undang-undang No. 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara sejak tanggal 14 Januari 1991 berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 7 tahun 1991, yang dirasa oleh Kelompok Merpati menimbulkan masalah dalam penyelesaian kasus kewarga­negaraan adalah ketentuan yang tercantum di dalam Pasal 3 Undang- undang No. 5 Tahuni 986, dimana dinyatakan :(1) Apakah Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tidak mengeluarkan

keputusan, sedangkan hal itu menjadi kewajibannya, maka hal tersebut disamakan dengan Keputusan Tata Usaha Negara.

(2) Jika suatu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tidak me­ngeluarkan keputusan yang dimohon, sedangkan jangka waktu sebagaimana ditentukan dalam peraturan perundang-undangan yang dimaksud telah lewat, maka Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tersebut dianggap telah menolak mengeluarkan keputusan yang dimaksud.

(3) Dalam hal peraturan perudang-undangan yang bersangkutan tidak menentukan jangka waktu sebagaimana dimaksud ayat (2), maka setelah lewat jangka waktu 4 bulan sejak diterimanya permohonan, Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang bersangkutan dianggap telah mengeluarkan keputusan penolakan.

Dari ketentuan tersebut di atas, maka bagi setiap pemohon Kewarga­negaraan setelah lewat batas waktu yang ditentukan dalam peraturan dasarnya atau telah lewat waktu 4 bulan sejak diterimanya permohonan oleh Pejabat Tata Usaha Negara yang berwenang mengeluarkan keputusan Kewarganegaraan yang dimohon, maka dalam hal ini pemohon tersebut dapat mengajukan gugatan ke Peradilan TUN yang berwenang.

Walaupun pemohon Kewarganegaraan belum menerima keputusan Kewarganegaraan, karena pejabat yang berwenang tidak mengeluarkan keputusan, maka hal ini dianggap telah mengeluarkan keputusan penolakan

175

Page 187: 2m i PENDALAMAN MATERI HUKUM I I - Mahkamah Agung

(fiktif negatif). Maka dengan dasar permohonan Kewarganegaraan yang telah lewat dari waktu yang ditentukan dalam peraturan dasarnya yang telah ditolak tersebut, dapat diajukan gugatan atas keputusan penolakan tersebut kepada pejabat TUN yang berwenang mengeluarkan keputusan Kewarga­negaraan. Dengan demikian sekiranya semua pemohon Kewarganegaraan mengetahui ketentuan pasal 3 Undang-undang No. 5 tahun 1986 tersebut, maka mereka dapat mengajukan ke Peradilan TUN yang berwenang apabila ada setelah lewat waktu yang telah ditentukan dalam peraturan dasarnya apabila tidak ada setelah lewat waktu 4 bulan.

IV. KESIMPULAN/SARAN Kesimpulan1. Walaupun ada perbedaan namun pada prinsipnya, baik Peradilan Umum

maupun Peradilan TUN berwenang mengenai masalah Kewarga­negaraan.

2. Bahwa masalah Kewarganegaraan adalah sangat penting oleh karena dengan memperoleh Warga Negara RI seseorang akan mendapatkan hak-hak dan yang menguntungkan.

3. Setiap pemohon Kewarganegaraan yang dalam waktu 4 bulan belum memperoleh keputusan dapat mengajukan gugatan tepatnya ke Peradilan TUN.

176

Page 188: 2m i PENDALAMAN MATERI HUKUM I I - Mahkamah Agung

SUATU TINJAUAN M ENGENAI W EW ENANG PERADILAN UM UM DAN PERADILAN TUN

DALAM M ENANGANI KASUS KEW ARGANEGARAAN D I INDONESIA

Oleh : Kelom pok SEM PATI

I. PENDAHULUAN.Kenyataan menunjukkan bahwa bukan hanya kesuburan serta keindahan

alamnya saja yang menarik bagi seluruh dunia, tetapi juga tingginya nilai budaya dan kesejahteraan hidup rakyat Indonesia sangat diminati oleh rakyat dari negara lain.

Kepindahan penduduk serta peralihan kewarganegaraan merupakan hal yang sangat rawan dan masuknya orang asing dapat mengganggu keamanan ataupun mendesak kepentingan rakyat sendiri sehingga perlu diseleksi dengan ketat.

Fakta yang ditemukan di lapangan terdapat bermacam-macam kasus kewarganegaraan yang cukup banyak jumlahnya dengan modus operandi yang lain-lain pula yang memerlukan penanganan dengan cepat dan tepat.

Berdasarkan pasal 7 ayat (1) Undang-undang No. 62 tahun 1958, maka seorang wanita Warga Negara Asing dapat menjadi Warga Negara Indonesia bercjasarkan perkawinan campuran dengan seorang laki-laki Warga Negara Indonesia.

Selain berdasarkan ketentuan pasal 7 ayat (1) Undang-undang No. 62 tahun 1958 tersebut, seseorang Warga Negara Asing dapat menjadi W arga Negara Indonesia berdasarkan permohonan dengan cara Naturalisasi atau­pun berdasarkan Surat Bukti Kewarganegaraannya (SBKRI) mengikuti kewarganegaraan orang tuanya yang sudah lebih dahulu menjadi Warga Negara Indoensia.

Permasalahan kewarganegaraan ini timbul berhubung terdapat fakta- fakta di dalam masyarakat bahwa kewarganegaraan yang diperoleh seorang wanita aisng berdasarkan perkawinan campuran berdasarkan pasal 7 ayat (1) Undang-undang No. 62 tahun 1958 diperoleh berdasarkan bukti-bukti yang tidak benar, sehingga kewarganegaraan Indonesia yang diperolehnya ter­sebut harus dimintakan peninjauan kembali untuk pembatalannya.

Prosedure peninjauan kembali dan pembatalan kewarganegaraan ter­sebut dengan dengan cara si wanita asing yang memperoleh kewarga­negaraan Indonesia berdasarkan pasal 7 ayat (1) Undang-undang N o. 62 tahun 1958, dapat mengajukan permohonan kepada Peradilan Tata Usaha

177

Page 189: 2m i PENDALAMAN MATERI HUKUM I I - Mahkamah Agung

Negara agar Surat Penetapan Kewarganegaraan Indonesia tersebut dinyatakan batal atau tidak sah.

Peradilan Tata Usaha Negara dapat memberikan keputusan mem­batalkan Penetapan Pengadilan Negeri tentang pemberian kewarganegaraan Indonesia wantia asing tersebut karena penetapan tersebut dibuat oleh Badan Peradilan Umum/Ketua Pengadilan Negeri sebagai Pejabat Tata Usaha Negara.

II. PERMASALAHANYang menjadi pokok permasalahan di sini adalah status kewarga­

negaraan seseorang yang telah menjadi Warga Negara Indonesia dan yang kemudian ternyata bahwa kewarganegaraan yang diperolehnya itu adalah berdasarkan data-data/bukti-bukti yang tidak benar, maka dalam hal ini terjadilah permasalahan yang perlu ditinjau apakah permasalahan tersebut dapat diajukan kepada Peradilan Tata Usaha Negara sebagai instansi yang berwenang menanganinya.

III. PEMECAHAN MASALAHMenurut ketentuan pasal 7 ayat (1) Undang-udnang No. 62 tahun 1958

seorang perempuan Warga Negara Asing yang kawin dengan seorang Warga Negara Indonesia apabila dalam jangka waktu 1 (satu) tahun menyatakan keterangan untuk itu kecuali jika ia apabila memperoleh kewarganegaraan Republik Indonesia masih mempunyai kewarganegaraan lain dalam hal mana keterangan itu tidak boleh dinyatakan.

Berdasarkan pasal 7 ayat (1) Undang-udnang No. 62 tahun 1958 tersebut memberikan kesempatan bagi seorang perempuan Warga Negara Indonesia untuk menjadi Warga Negara Indonesia.

. Proses seroang wanita Warga Negara Asing menjadi Warga Negara Indonesia berdasarkan pasal 7 ayat (1) Undang-undang No. 62 tahun 1958 adalah sebagai berikut:a. Mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan Negeri dengan

melampirkan bukti surat kawin, akte kelahiran, kewarganegaraan orang tua dan kewarganegaraan pemohon beserta surat keterangan dari Kepala Desa di mana ia bertempat tinggal dan melampirkan surat berkelakuan baik dari POLRI.

b. Setelah bukti-bukti lengkap, Ketua Pengadilan Negeri menentukan hari tertentu untuk menyidangkan permohonan tersebut.

c. Ketua Pengadilan Negeri setelah memeriksa bahwa bukti-bukti atas permohonan wanita Warga Negara Asing sudah lengkap maka per-

178

Page 190: 2m i PENDALAMAN MATERI HUKUM I I - Mahkamah Agung

mohonan tersebut yang memohonkan Warga Negara Indonesiaberdasarkan pasal 7 ayat (1) Undang-undang No. 62 tahun 1958dikabulkan oleh Ketua Pengadilan Negeri.

Berdasarkan fakta-fakta dan bukti-bukti yang ditemukan di lapangan ternyata banyak ditemukan kasus bahwa bukti-bukti yang dipergunakan sebagai bukti permohonan berdasarkan pasal 7 ayat (1) Undang-undang No. 62 tahun 1958 ternyata lampiran-lampiran tersebut tidak benar ataupun perkawinan tersebut adalah perkawinan semu.

Sebagal contoh dapat dikemukakau kasus-kasus sebagai beriku t:Kasus I, yaitu : Kasus Patricia Alma Williams dari Mataram - NTB.

Dimana yang bersangkutan melakukan perkawinan dengan seorang Warga Negara Indonesia bernama Lalu Amalaka sesuai akta nikah tanggal 2 Desember 1989 No.l38/XII/5/1989. Dalam akta nikah tersebut tidak tertera nama Patricia Alma Williams melainkan atas nama Halimah seorang W arga Negara Indonesia.

Pada saat perkawinan jelas bahwa status yang bersangkutan adalah Warga Negara, yaitu Warga Negara Australia.

Dari kasus ini dapat dilihat bahwa oknum aparat Pemda telah salah memberikan keterangan yang diperlukan kepada yang bersangkutan untuk menikah dan dengan keterangan tersebut Pengadilan Negeri Mataram menerima perkawinan tersebut sebagai perkawinan campuran antara orang asing dengan Warga Negara Indonesia.

Kemudian Ketua Pengadilan menerima permohonan kewarga- negaraannya sebagai subjek pasal 7 ayat (1) Undang-undang No. 62 tahun 1958.

Kejaksaan Negeri setempat melakukan penuntutan kepada Pengadilan Agama untuk meminta pembatalan atas perkawinan semu antara Patricia Alma Williams dengan Lalu Amalaka, dan hingga kini proses persidang­annya masih berjalan.

Dalam kasus ini di mana kewarganegaraan Indonesia yang diperoleh Patricia berdasarkan pasal 7 ayat (1) Undang-undang No. 62 tahun 1958 sebagai perkawinan campuran, akan tetapi ternyata aparat Pemda salah memberikan keterangan yang bersangkutan untuk menikah.

Sebagai akibat kesalahan aparat Pemda memberikan keterangan ter­sebut, maka kewarganegaraan Patricia tersebut harus ditinjau kembali- /dibatalkan.

Menurut hemat Kelompok Sempati, Kejaksaan Negeri Mataram me­nurut pembatalan perkawinan Patricia dengan Lalu Amalaka pada

179

Page 191: 2m i PENDALAMAN MATERI HUKUM I I - Mahkamah Agung

Pengadilan Agama adalah karena Kejaksaan berkedudukan sebagai mewakili kepentingan negara.

Selanjutnya menurut ketentuan perundang-undangan yang lama, pembatalan kewarganegaraan dilakukan sebagai beriku t:1. Sesuatu Beschikking/Penetapan Pengadilan Negeri tidak dapat

dibatalkan oleh Pengadilan Negeri yang memberikannya ataupun penetapan sepihak yang tidak bisa dimohonkan banding kecuali kasasi.

2. Kasasi dapat dilakukan atas permohonan Kejaksaan dalam hal ini diwakili Jaksa Agung yaitu kasasi demi hukum untuk membatalkan kewarganegaraan yang diperoleh berdasarkan pasal 7 ayat (1) Undang- undang No. 62 tahun 1958.Dengan terbentuknya Undang-undang No. 5 tahun 1986 tentang

Peradilan Tata Usaha Negara maka kasus Patricia akan ditinjau apakah dapat diajukan pembatalannya melalui Peradilan Tata Usaha Negara.

Menurut Kelompok Sempati maka jalan keluar yang harus ditempuh untuk membatalkan kewarganegaraan Patricia adalah :1. Karena kasus ini adalah kasus perdata maka jalan yang terbaik adalah

agar Patricia mengajukan permohonan kepada Pengadilan Tata Usaha Negara demi keselamatan dirinya dengan memohon ^gar penetapan Pengadilan Negeri Mataram mengenai kewarganegaraannya agar dinyatakan batal atau tidak sah.

2. Jalan keluar yang lain adalah Kejaksaan yang dalam hal ini diwakili Jaksa Agung agar kewarganegaraan Patricia itu dibatalkan.

Kasus II, yaitu : Paggy Silvia.Yang bersangkutan kelahiran Manado dan tinggal di Belanda serta telah

menjadi Warga Negara Belanda. Ia bermaksud tinggal dan bekerja di Indonesia. Yang bersangkutan datang ke Indonesia dan melakukan pernikahan secara islam dengan laki-laki Warga Negara Indonesia sesuai akte nikah yang dikeluarkan oleh Kantor Urusan Agama Kecamatan Matraman Jakarta Timur.

Atas dasar perkawinan tersebut yang bersangkutan mengajukan permohonan kewarganegaraan Indonesia ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan sesuai domisili suaminya yang bertempat tinggal di wilayah Kebayoran Baru Jakarta Selatan.

Pengadilan Negeri Jakarta Selatan mengabulkan permohonan tersebut berdasarkan pasal 7 ayat (1) Undang-undang No. 62 tahun 1958 dan memperoleh formulir I.

180

Page 192: 2m i PENDALAMAN MATERI HUKUM I I - Mahkamah Agung

Dengan bukti kewarganegaraan tersebut yang bersangkutan mengurus Kartu Tanda Penduduk di Bekasi dan paspor Belanda atas namanya diserahkan ke Kedutaan Belanda.

Pada saat ia mengajukan permohonan paspor di Kantor Imigrasi Jakarta Timur, petugas Imgirasi mencurigai akte pernikahannya sehingga terbukti pada pengecekan tempat tinggalnya tidak benar. Pencocokan selanjutnya dilakukan ke Kantor Urusan Agama maka terbukti pula akte pernikahannya palsu.

Menurut pendapat Kelompok Sempati dengan terbentuknya Undang- undang No. 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara maka dalam hal ini :

Jika seandainya perkawinan Paggy terjadi pada saat ini maka permasalahan ini dapat ditangani oleh Peradilan Tata Usaha Negara karena Formulir I tersebut dikeluarkan oleh Ketua Pengadilan Negeri sebagai Pejabat Tata Usaha Negara yang kedudukannya mewakili instansi Kehakiman memberikan formulir tersebut.

Akan tetapi karena kejadian ini terjadi sebelum adanya Peradilan Tata Usaha Negara maka jalan yang ditempuh saat tersebut adalah Kanwil Departemen Kehakiman DKI meneruskan masalah ini ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dan Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan membatalkan Formulir I dan akhirnya formulir atas nama Paggy tersebut dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Berdasarkan keadaan tersebut menurut pendapat Kelompok Sempati sebaiknya oleh Kanwil Departemen Kehakiman DKI masalah pencabutan Formurlir I tersebut diajukan ke Menteri Kehakiman kecuali jika Menteri Kehakiman mendelegasikan tugas tersebut kepada Kanwil untuk pem­batalannya dan jika Menteri Kehakiman menyetujuinya maka Menteri Kehakiman memerintahkan Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan untuk mencabutnya, sekalipun masalah kewarganegaraan ini adalah wewenang dan tugas eksekutif (Departemen Kehakiman) yang didelegasikan kepada Ketua Pengadilan Negeri, akan tetapi tidaklah harus diajukan ke Pengadilan Tata Usaha Negara walaupun hal ini dapat diajukan ke Peradilan Tata Usaha Negara.

TV. KESEMPULAN/SARAN1. Bahwa berdasarkan pasal 7 ayat (1) Undang-undang No. 62 tahun

1958 seorang wanita asing dapat memperoleh kewarganegaraan Indonesia bedasarkan perkawinan campruan dengan seorang laki- laki Warga Negara Indonesia.

181

Page 193: 2m i PENDALAMAN MATERI HUKUM I I - Mahkamah Agung

2. Dalam kenyataiannya terdapat bukti-bukti bahwa perkawinan yang diperoleh berdasarkan pasal 7 ayat (1) Undang-undang No. 62 tahun 1958 berdasarkan bukti-bukti yang tidak benar ataupun suatu perkawinan semu.

3. Hendaknya pejabat yang ada kaitannya dengan pemberian surat bukti sebagai lamprian permohonan perkawinan campuran agar memeriksa dengan teliti bukti yang akan diberikan dan mengadakan koordinasi antar instansi yang terkait.

4. Apabila teijadiformulir yang dikeluarkan Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan berdasarkan surat-sruat palsu maka pembatalan dapat diajukan ke Peradilan Tata Usaha Negara tetapi tidaklah merupakan keharusan.

182

Page 194: 2m i PENDALAMAN MATERI HUKUM I I - Mahkamah Agung

SUATU TINJAUAN MENGENAI WEWENANG PERADILAN UMUM DAN PERADILAN TUN

DALAM MENANGANI KASUS KEWARGANEGARAAN DI INDONESIA

Oleh : Kelompok MAJAPAHIT

L PENDAHULUANMasalah kewarganegaraan Republik Indonesia adalah masalah yang

menarik, karena status kewarganegaiaan Indonesia begitu dihormati di dunia Internasional. Sikap, tingkah laku Warga Negara Indonesia di luar negeri yang tidak pernah berbuat macam-macam, hal itulah yang membuat Warga Negara Indonesia dihormati dan diminati di dunia Internasional, sehingga orang asing sangat berkeinginan untuk menjadi Warga Negara Indonesia, baik secara legal maupun cara illegal mereka tempuh.

Lepas dari sikap, tingkah laku serta tindak-tanduk Warga Negara In­donesia di luar negeri yang tidak berbuat macam-macam, sehingga kewarga­negaraan Indonesia diminati oleh orang asing, tetapi pada hakekatnya ke­warganegaraan Indonesia diminati oleh orang asing adalah disebabkan karena status kewarganegaraan Indonesia tersebut bagi orang asing tersebut memberikan keuntungan-keuntungan, kemudahan-kemudahan yang tidak akan diperoleh oleh warga yang berstatus asing, keuntungan-keuntungan atau kemudahan-kemudahan tersebut di antaranya ialah :

1. Hak memilih dan dipilih menjadi anggota DPR.2. Hak untuk memperoleh jabatan resmi di Pemerintahan Republik

Indonesia.3. Hak dalam bidang usaha, hak untuk membeli tanah dan hak-hak

lain yang hanya diberikan kepada mereka yang berstatus menjadi Warga Negara Indonesia.

Karena status kewarganegaraan Indonesia yang dimiliki tersebut, maka seperti telah disebut di atas, banyak orang asing yang berebut/beramai-ramai ingin menjadi Warga Negara Indonesia baik bagi yang telah memenuhi syarat menurut peraturan perundang-undangan tentang kewarganegaraan melalui saluran resmi dan bagi mereka yang tidak memenuhi syarat dengan cara-cara yang illegal (tidak resmi) dan hal ini sering menimbulkan permasalahan-permasalahan serta permasalahan-permasalahan yang timbul tersebut perlu penanganan baik oleh Peradilan Umum maupun Peradilan Tata Usaha Negara berdasar pada wewenangnya masing-masing.

Dalam masalah ini, Kelompok Majapahit akan mencoba membahas masalah tersebut dalam makalah ini dengan sistematika sebagai b e rik u t:

183

Page 195: 2m i PENDALAMAN MATERI HUKUM I I - Mahkamah Agung

1. Bab I. Pendahuluan.2. Bab II. Akan menguraikan tentang siapa yang menjadi Warga Negara

Indonesia dan bagaimana cara memperoleh W arga Negara Indonesia tersebut.

3. Bab III. Akan menguraikan tentang wewenang Peradilan Umum sertawewenang Peradilan Tata Usaha Negara dalam menangani kasus Kewarganegaraan Indonesia.

4. Bab IV. Tentang permasalahan yang timbul dalam masalah Kewarga­negaraan Indonesia.

5. BabV. Pemecahan masalah tersebut dalam Bab IV.6. Bab VI. Kesimpulan dan saran.

II. WARGA NEGARA INDONESIAA. Siapakah yang Dimaksud dengan Warga Negara Indonesia ?

Undang-undang yang mengatur tentang Kewarganegaraan Indonesia,diatur dalam Undang-undang No. 62 tahun 1958 (LN. 1958 - 113) yangsudah dirubah dengan Undang-undang No. 3 tahun 1976.Menurut pasal 1 dari Undang-undang ini yang dimaksud dengan WargaNegara Indonesia ada lah :a. Orang-orang yang berdasarkan perundang-undangan dan/atau per­

janjian-perjanjian dan/atau peraturan-peraturan yang berlaku sejak tanggal 17 Agustus 1945 sudah Warga Negara Republik Indonesia.

b. Orang yang pada waktu lahirnya mempunyai hubungan hukum ke­keluargaan dengan ayahnya, seorang Warga Negara Republik In­donesia dengan pengertian bahwa kewarganegaraan Republik In­donesia tersebut dimulai sejak adanya hubungan hukum ke­keluargaan termaksud, dan bahwa hubungan hukum kekeluargaan ini diadakan sebelum orang itu berumur 18 tahun atau sebelum ia kawin pada usia di bawah 18 tahun.

c. Anak yang lahir dalam 300 hari setelah ayahnya meninggal dunia, apabila ayah itu pada waktu meninggal dunia Warga Negara Republik Indonesia.

d. Orang yang pada waktu lahirnya ibunya juga Warga Negara Republik Indonesia apabila ia pada waktu itu tidak mempunyai hubungan hukum kekeluargaan dengan ayahnya.

e. Orang yang pada waktu lahirnya, ibunya Warga Negara Republik Indonesia, jika ayahnya tidak mempunyai kewarganegaraan atau selama tidak diketahui kewarganegaraan ayahnya.

184

Page 196: 2m i PENDALAMAN MATERI HUKUM I I - Mahkamah Agung

f. Orang yang lahir di dalam wilayah Republik Indoensia selama kedua orang tuanya tidak diketahui.

g. Seorang anak yang ditemukan di dalam wilayah Republik Indonesia selama tidak diketahui kedua orang tuanya.

h. Orang yang lahir di dalam wilayah Republik Indoensia, jika kedua orang tuanya tidak mempunyai kewarganegaraan atau selama kewarganegaraan kedua orang tuanya tidak diketahui.

i. Orang yang lahir di dalam wilayah Republik Indonesia yang pada waktu lahirnya tidak mendapat kewarganegaraan ayah atau ibunya dan selama ia tidak mendapat kewarganegaraan ayah atau ibunya itu.

j. Orang yang memperoleh Kewarganegaraan Republik Indonesia menurut aturan-aturan undang-undang ini.

B. Cara Memperoleh Kewarganegaraan Republik Indonesia.Ada beberapa cara untuk memperoleh Kewarganegaraan RepublikIndonesia antara lain sebagai beriku t:1 .a. Naturalisasi Umum.

Seorang Warga Negara Asing dapat mengajukan permohonan untuk menjadi Warga Negara Indonesia kepada Presiden Republik Indoensia lewat Menteri Kehakiman Republik Indonesia (pasal 5 Undang-undang No. 62 tahun 1958).

1. b. Naturalisasi Khusus.Pewarganegaraan juga dapat diberikan dengan alasan kepentingan negara atau telah berjasa terhadap negara, oleh Pemerintah dengan persetujuan DPR (pasal 6 Undang-undang No. 62 tahun 1958).

2. Anak asing yang belum berumur 5 tahun diangkat oleh seorang apabila pengangkatan itu dinyatakan sah oleh Pengadilan Negeri dari tempat tinggal orang yang mengangkat anak itu (pasal 2 ayat (1) Undang-undang No. 62 tahun 1958).

3. Anak luar kawin dari seorang ibu Warga Negara Indonesia, yang ayahnya orang asing (pasal 3 ayat (1) Undang-undang No. 62 tahun 1958).

4. Seorang perempuan asing yang kawin dengan seorang W arga Negara Indonesia, apabila dan pada waktu ia dalam 1 tahun setelah perkawinannya berlangsung menyatakan keterangan untuk itu kepada Pengadilan Negeri atau perwakilan Republik Indonesia dari tempat tinggal orang yang menyatakan keterangan itu (pasal 7 Undang-undang No. 62 tahun 1958).

185

Page 197: 2m i PENDALAMAN MATERI HUKUM I I - Mahkamah Agung

5. Seorang asing sebelum undang-undang ini (Undang-undang No. 62 tahun 1958) berlaku pernah masuk dalam ketentaraan Republik Indonesia dan memenuhi syarat-syarat yang akan ditentukan oleh Menteri Pertahanan, memperoleh Kewarganegaraan Republik Indonesia jika ia menyatakan keterangan untuk itu kepada Menteri Pertahanan atau Pejabat yang ditunjuk olehnya.

III. W EW ENANG PERADILAN UMUM DAN PERADILAN TATA USAHA NEGARA DALAM MENANGANI KASUS KEW A RG A ­NEGARAAN DI INDONESIA.

1. W ewenang Peradilan Umum.Menurut pasal. 50 Undang-undang No. 2 tahun 1986, Pengadilan

Negeri bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesai­kan perkara pidana dan perkara perdata di tingkat pertama.

Berdasarkan ketentuan di atas, maka Pengadilan Negeri sebagai Badan Peradilan Umum dalam tingkat pertama berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan semua perkara perdata kecuali yang menjadi wewenang Badan Peradilan lain termasuk Badan Peradilan Tata Usaha Negara.

Dalam hal penyelesaian kasus kewarganegaraan di Indonesia, Pengadilan Negeri mempunyai wewenang sebagai berikut:a. W ewenang Judicial.

Melalui proses perkara perdata, seseorang dapat mengajukan per­mohonan untuk ditetapkan bahwa ia adalah seorang Warga Negara Indonesia, jika ia diragukan status Kewarganegaraan Republik Indonesianya (pasal 1 PP. No. 5 tahun 1947).

b. W ewenang Non Judicial.Pengadilan Negeri hanya melayani permohonan yang diajukan se­seorang untuk memperoleh Kewarganegaraan Republik Indonesia dengan memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan oleh Undang- undang yang kemudian setelah syarat-syarat itu dipenuhi, Pe­ngadilan Negeri meneruskan permohonan tersebut ke Menteri Kehakiman yang kemudian setelah meneliti kebenaran syarat- syaratnya lalu diteruskan ke Presiden.

2. W ewenang Peradilan T ata Usaha Negara.Menurut pasal 50 Undang-undang No. 5 tahun 1986, Pengadilan

Tata Usaha Negara bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara di tingkat pertama.

186

Page 198: 2m i PENDALAMAN MATERI HUKUM I I - Mahkamah Agung

Yang dimaksud dengan sengketa Tata usaha Negara adalah seng­keta yang timbul dalam bidang Tata Usaha Negara antara orang atau Badan Hukum Perdata atau Pejabat Tata Usaha Negara baik di pusat maupun di daerah sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara.

Yang dimaksud dengan Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang bersifat konkrit, individual dan final yang menimbulkan akibat hukum bagi seorang atau Badan Hukum Perdata.

Kewenangan Peradilan Tata Usaha Negara dalam menangani kasus kewarganegaraan hanya sebatas mengenai keputusan-keputusan yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata usaha yang bersifat konkrit, individual dan final yang menimbulkan akibat hukum bagi seorag.

IV. PERMASALAHAN YANG TIMBUL DALAM MASALAH KE­WARGANEGARAAN INDONESIA

1. Pemalsuan surat-surat untuk memperoleh Kewarganegaraan Republik Indonesia.Dengan cara memberikan keterangan yang tidak benar, seorang Warga Negara Asing Cina Liem Yauw Kheng berhasil memperoleh Kewarga­negaraan Republik Indonesia.Dengan caranya ia berhasil menggelapkan identitas dirinya menjadi Warga Negara Indonesia berikut ketujuh anaknya dengan suatu pe­netapan yang dikeluarkan oleh Pengadilan Negeri Maumere.Setelah memperoleh penetapan tersebut yang bersangkutan mengajukan permohonan SBKRI di Ditjen Hukum dan Perundang-undangan De­partemen Kehakiman, dan permohonan tersebut dikabulkan.Karena kewarganegaraannya diragukan, maka diteliti oleh Inspektorat Jenderal Departemen Kehakiman, dan dari pemeriksaan itu ternyata surat-surat atas namanya (Liem Yauw Kheng) tidak sah. Setelah diaju­kan masalah tersebut di Ditjen. Hukum dan Perundang-undangan, maka Menteri Kehakiman membatalkan Surat Bukti Kewarganegaraan ter­sebut dan dinyatakan tidak berlaku, dan status yang bersangkutan dan anak-anaknya kembali menjadi Warga Negara Asing.

2. Permasalahan pembatalan Formlir I yang dibuat berdasarkan Dwi- kewarganegaraan di Pengadilan Negeri Istimewa Jakarta, dimana se­orang yang bernama Kadarisman alias Khu Kusuma yang mengaku lahir di Tangerang, padahal sebetulnya lahir di Tiongkok. Oleh karena itu

187

Page 199: 2m i PENDALAMAN MATERI HUKUM I I - Mahkamah Agung

orang tersebut bukan subjek dari Dwikewarganegaraan karena diragu­kan surat-surat yang bersangkutan diperiksa oleh Inspektorat Departe­men Kehakiman, dan minta agar Departemen Kehakiman (Menteri) untuk membatalkan formulir I tersebut.Akhirnya Menteri Kehakiman dengan Surat Keputusannya menyatakan tidak sah dan tidak berlaku formulir I tersebut, karena itu status yang bersangkutan kembali menjadi asing dan didaftarkan sebagai orang asing yang berada di Indonesia.

3. Dapatkah Ketua/Hakim Pengadilan Negeri digugat di hadapan Peradilan Tata Usaha Negara karena produk keputusannya mengenai masalah ke warganegaraan.Berbicara mengenai masalah tersebut tidak terlepas dari batas ke- wenangan, yaitu apakah masalah kewarganegaraan adalah tugas dan wewenang mumi lembaga yudikatif ataukah merupakan pelaksanaan tugas dan wewenang lembaga eksekutif yang diserahkan kepada lem­baga yudikatif, dalam hal ini Pengadilan Negeri, yang pembahasannya akan diuraikan di bawah ini.

V. PEMECAHAN MASALAH Pemecahan Masalah Kasus I :

Apabila Liem Yauw Kheng merasa dirugikan dengan Surat Keputusan Menteri Kehakiman tentang pencabutan dan pembatalan Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia dan Surat Penetapan Kewarga- negaraannya, ia dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara agar Surat Keputusan Menteri Kehakiman tersebut dibatalkan dan atau dinyatakan tidak sah dalam jangka waktu 90 hari sebagaimana diatur dalam pasal 55 Undang-undang No. 5 tahun 1986, serta alasan-alasan yang disebut dalam pasal 53 ayat (2) Undang-undang No. 5 tahun 1986 serta ganti rugi maksimum Rp. 5.000.000,00.

Sebelum Peradilan Tata Usaha Negara memutus sengketa tentang Surat Keputusan Menteri Kehakiman tersebut, seyogianya Peradilan Tata Usaha Negara menunggu terlebih dahulu putusan Peradilan Umum tentang kasus pemalsuan surat-surat yang dipergunakan oleh Liem Yauw Kheng tersebut dalam memperoleh kewarganegaraan.

Pemecahan Masalah Kasus I I :Pemecahan masalahnya sama dengan kasus pertama, yaitu apabila

Kadarisman tersebut merasa dirugikan dengan pembatalan formulir I tersebut atas namanya, ia dapat mengajukan gugatan ke Peradilan Tata

188

Page 200: 2m i PENDALAMAN MATERI HUKUM I I - Mahkamah Agung

Usaha Negara, untuk minta pembatalan dan atau dinyatakan tidak sah Keputusan Menteri Kehakiman tersebut dalam jangka waktu sebagaimana ditentukan dalam pasal 55 Undang-undang No. 5 tahun 1986 dengan alasan- alasan yang ditentukan dalam pasal 53 ayat (2) Undang-undang No. 5 tahun 1986 serta ganti rugi maksimal Rp. 5.000.000,00.

Sebagaimana dalam kasus I sebelum Peradilan Tata Usaha Negara memutus sengketa tentang Surat Keputusan Menteri Kehakiman tersebut, seyogianya Peradilan Tata Usaha Negara menunggu terlebih dahulu putusan Peradilan Umum tentang kasus pemalsuan surat-surat yang dipergunakan oleh Kadarisman dalam memperoleh kewarganegaraannya.

Pemecahan Masalah Kasus I I I :Walaupun sesuai dengan ketetuan sebagaimana tersebut dalam SEMA,

bahwa Hakim tidak dapat digugat, namun karena tugas dan wewenang Ketua Pengadilan Negeri dalam menangani dan menyelesaikan kewarga- negaraan adalah merupakan pelaksanaan tugas dan wewenang lembaga eksekutif, maka dengan sendirinya keputusan/penetapan Ketua Pengadilan Negeri dalam hal kewarganegaraan juga merupakan produk keputusan- /penetapan non judicial.

Sesuai dengan ketentuan Undang-undang No. 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara jo PP. No. 49 tahun 1991 maka dengan sendirinya produk keputusan/penetapan Ketua Pengadilan Negeri tersebut dapat digugat pada Peradilan Tata Usaha Negara.

Namun perlu diingat bahwa tugas dan wewenang Pengadilan Negeri Menangani kewarganegaraan ada yang murni tugas dan wewenang lembaga eksekutif yang diserahkan pada Pengadilan Negeri yaitu dalam hal Ketua Pengadilan Negeri menetapkan "Seorang isteri mengikuti kewarganegaraan suaminya berdasarkan pasal 7 ayat (1) Undang-undang No. 62 tahun 1958". Dalam hal ini produk penetapan Ketua Pengadilan Negeri tersebut karena merupakan produk penetapan non judicial, konsekuensi logis dapat digugat di hadapan Peradilan Tata Usaha Negara, untuk dimohonkan dinyatakan penetapan tersebut tidak sah dan dibatalkan, oleh Ketua Pengadilan Negeri yang menerbitkan.

Lain halnya dengan keputusan/penetapan Hakim Pengadilan Negeri yang didasarkan pasal IV Peraturan Peralihan Undang-undang No. 62 tahun 1958, dimana terdapat keragu-raguan tentang kewarganegaraan seseorang, maka hal tersebut oleh instansi yang berkepentingan dapat dimohonkan penetapan mengenai status kewarganegaraan yang bersangkutan.

189

Page 201: 2m i PENDALAMAN MATERI HUKUM I I - Mahkamah Agung

Selanjutnya pemeriksaan permohonan ini mengikuti Hukum Acara Perdata, termasuk pemeriksaan terhadap bukti-bukti yang diajukan.

Dalam hal ini menurut pendapat Kelompok Majapahit penetapan tersebut tidak dapat diajukan ke Pengadilan Tata Usaha Negara, karena penetapan tersebut adalah mumi produk judicial dan bukan pelaksanaan tugas dan wewenang non judicial.

VI. KESIMPULAN DAN SARANA. Kesimpulan.

1. Ada peluang hukum dan kerawanan-kerawanan terutama dalam pelaksanaan pasal 7 Undang-undang No. 62 tahun 1958 dan ber­bagai kelemahan koordinasi antar instansi yang menyebabkan mun­culnya modus operandi pemberian keterangan palsu, penggelapan identitas diri, rekayasa untuk memperoleh akta-akta kependudukan maupun akta-akta catatan sipil.

2. Apabila seseorang yang semula telah memperoleh Kewarganegara- an Republik Indonesia, kemudian kewarganegaraannya dibatalkan oleh Menteri Kehakiman, maka orang yang merasa dirugikan ter­sebut dapat mengajukan gugatan ke Peradilan Tata Usaha Negara untuk minta pembatalan Surat Keputusan Menteri Kehakiman tersebut.Sedangkan untuk memeriksa kasus pemalsuan surat-surat yang dijadikan dasar untuk memperoleh Kewarganegaraan Republik Indonesia tersebut dapat diadili oleh Pengadilan Negeri.

3. Sebagaimana telah diuraikant tersebut di atas baik mengenai kewenangan Peradilan Umum maupun kewenangan Peradilan Tata Usaha Negara dalam menangani kasus kewarganegaraan, ternyata titik singgung kewenangan antara kedua Badan Peradilan tersebut terletak pada masalah yang berhubungan dengan keputusan- /penetapan Ketua/Hakim Pengadilan Negeri mengenai kewarga­negaraan tersebut merupakan keputusan non judicial yang diserah­kan kepada Pengadilan Negeri.

B. S a r a n.1. Agar koordinasi antara instansi terkait antara lain Imigrasi, Catatan

Sipil, Pengadilan agar diperbaiki dan disempurnakan sesuai dengan pasal 41 Undang-undang No. 9 tahun 1992 tentang Keimigrasian.

2. Agar masing-masing instansi yang berwenang untuk mengeluarkan surat-surat yang diperlukan untuk memenuhi syarat-syarat untuk

190

Page 202: 2m i PENDALAMAN MATERI HUKUM I I - Mahkamah Agung

mendapatkan Kewarganegaraan Republik Indonesia lebih berhati- hati dalam melaksanakan tugasnya.

3. Bahwa apabila diajukan gugatan kepada Peradilan Tata Usaha Negara mengenai keputusan/penetapan Ketua/Hakim Pengadilan Negeri mengenai kewarganegaraan harus diteliti secara saksama apakah keputusan/penetapan tersebut yang dibuat oleh Ketua/Hakim itu merupakan keputusan lembaga eksekutif yang diserahkan kepada Pengadilan Negeri ataukah merupakan kewenangan sebagai lembaga yudikatif.

191

Page 203: 2m i PENDALAMAN MATERI HUKUM I I - Mahkamah Agung
Page 204: 2m i PENDALAMAN MATERI HUKUM I I - Mahkamah Agung

PENERAPAN AZAS-AZAS KEPEMIMPINAN DAN MANAJEMEN

DALAM PRAKTEK PERADILAN DI INDONESIA

193

Page 205: 2m i PENDALAMAN MATERI HUKUM I I - Mahkamah Agung
Page 206: 2m i PENDALAMAN MATERI HUKUM I I - Mahkamah Agung

PENERAPAN AZAS-AZAS KEPEMIMPINAN DAN MANAJEMEN

DALAM PRAKTEK PERADILAN DI INDONESIA

Oleh : Kelompok BOURAQ

L PENDAHULUANTugas pokok dari badan peradilan adalah : menerima, memeriksa dan

memutus perkara-perkara, baik pidana maupun perdata yang diajukan kepadanya.

Untuk melaksanakan tugas tersebut sangat diperlukan adanya ad­ministrasi, kepemimpinan dan managemen yang baik.

Titik sentral dari "Kepemimpinan dan Managemen" terletak pada Pemimpin, karena Pemimpin itulah yang sesungguhnya untuk melakukan kegiatan-kegiatan untuk mencapai tujuan.

n. SUSUNAN ORGANISASI DAN URAIAN TUGAS.Ketua dan Wakil Ketua Pengadilan bersama-sama memimpin dan

bertanggung jawab atas terselenggaranya tugas pengadilan secara baik dan lancar.

Dalam melakukan tugas peradilan, Ketua harus dapat menciptakan kerjasama yang baik dan dengan para Hakim. Karena dalam tugas peradilannya, Hakim dalam segi administrasi peradilan dibantu oleh pejabat Kepaniteraan yang dipimpin oleh Panitera Pengadilan. Maka Pemimpin Pengadilan harus membina, membimbing dan menguasai agar tugas-tugas Kepaniteraan berjalan lancar.

Dalam kelancaran tugas peradilan memerlukan dukungan administrasi, personil dan keuangan, yang dilakukan oleh Sekretariat Pengadilan, maka Pimpinan Pengadilan harus dapat mengkoordinasi dan menguasai agar tugas kesekretariatan berjalan baik dan lancar sehingga mendukung tugas peradilan dengan baik dan sesuai, mendukung tugas fungsional operasional Pengadilan. Dengan demikian diperlukan pilihan tenaga Panitera/Sekretaris yang tepat dan menguasai tugasnya.

Dalam melaksanakan tugasnya para Hakim bekerja sama dalam satu team baik dalam Majelis Hakim maupun Majelis Pleno di bawah pimpinan Ketua dan Wakil Ketua Pengadilan.

Untuk terselenggaranya tugas peradilan yang baik, maka harus ada :A. Perencanaan.B. Pelaksanaan.C. Pengawasan yang baik, serasi dan selaras.

195

Page 207: 2m i PENDALAMAN MATERI HUKUM I I - Mahkamah Agung

Perencaaan, untuk membuat program kerja jangka panjang dan jangka pendek, hendaknya dibuat oleh Majelis Hakim Pleno dan unsur-unsur pimpinan Kepaniteraan dan Kesekretariatan yang dipimpin oleh Ketua Pengadilan.

Pelaksanaan, tugas Pengadilan baik di bidang teknis Peradilan administrasi Peradilan dan administrasi umum, dilakukan oleh pimpinan para Hakim dan unsur Kepaniteraan serta Kesekretariatan dipimpin Ketua Pengadilan sebagai koordinator dan penanggung jawab dan pengelola Pengadilan.

Dalam melaksanakan tugasnya, Ketua dapat mendelegasikan ke­kuasaannya kepada Wakil Ketua, para Hakim sesuai dengan kebutuhan dan situasi serta kondisi Pengadilannya.

Tugas pengawasan diberikan kepada Wakil Ketua yang diberi wewenang untuk mengamati apakah pelaksanaan tugas sesuai dengan perencanaan.Pengawasan m elipu ti:1. Kepegawaian (man) yaitu Hakim, Pejabat Kesekretariatan dan

Kepaniteraa mengenai kemampuan teknis, administratif-sampai dengan kondite dan DP3.

2. Keuangan, baik keuangan perkara maupun anggaran rutin dan pembangunan dan peralatan.Akhirnya dengan selalu mengadakan koordinasi, sinkronisasi dan pengawasan yang baik oleh Pimpinan, pengecualian akan beralan baik dan tujuan akan tercapai sesuai yang diharapkan.

III. SASARAN DAN TUJUAN.Maksud tulisan ini adalah untuk mendalami atau membahas bagaimana

penerapan kepemimpinan dan managemen dalam melaksanakan peradilan di -Indonesia. Hal ini penting karena adanya kekhususan dalam organisasi

peradilan. Organisasi Peradilan di Indonesia terdiri dari Kesekretariatan dan kepaniteraan. Pada organisasi instansi lain tidak terdapat perbedaan seperti itu. Oleh karena itu Kelompok Bouraq berupaya untuk menemukan penerapan administrasi, managemen dan kepemimpinan dalam pelaksanaan tugas sehari-hari dari Badan Peradilan itu, demikian pula perlu ditinjau bagaimana cara koordinasi antara Kesekretariatan dan Kepaniteraan agar jangan terjadi hambatan-hambatan malahan agar dapat diperoleh kelancaran pelaksanaannya dan di samping itu agar tujuan organisasi dalam mencapai terlaksananya Peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan se­

196

Page 208: 2m i PENDALAMAN MATERI HUKUM I I - Mahkamah Agung

bagaimana ditentukan dalam Undang-undang No. 14 tahun 1970 tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman pasal 4 ayat (2).

IV. PENERAPAN AZAS-AZAS MANAGEMEN DAN KEPEMIMPIN­AN.Sebelum sampai kepada pembahasan lebih lanjut, terlebih dahulu di­

jelaskan pengertian administrasi, managemen dan kepemimpinan.1. Administrasi.

Di dalam membicarakan managemen dan kepemimpinan, kita tidak terlepas dari administrasi, karena begitu erat hubungan di antara ketiganya."Administrasi adalah suatu ilmu yang mengajarkan tentang kerja sama dari dua orang atau lebih untuk mencapai tujuan yang telah terlebih dahulu ditetapkan dengan menggunakan segala dana dan sarana secara efisien dan efektif'.

2. Managemen.Berhubung karena begitu banyak pedoman atau penjelasan tetang apa yagn dimaksud dengan managemen, dalam tulisan ini akan dicantumkan beberapa batasan dari para ahli managemen sebagai beriku t:a. The Liang Gie :

"Managemen adalah proses penggerakan tindakan-tindakan dan penggerakan fasilitas-fasilitas dari usaha kerja sama agar tujuan yang ditentukan benar-benar tercapai".

b. Prof. Dr. Prajudi Atmosudirdjo :"Managemen adalah pengendalian dan pemanfaatan daripada semua faktor dan sumber daya, yang menurut suatu perencanaan (planning) diperlukan untuk mencapai atau menyelesaikan suatu prapta atau tujuan kerja yang tertentu".

c. Prof. Dr. sondang P. Siagian :"Managemen' adalah ketrampilan untuk memperoleh hasil dalam rangka mencapai tujuan yang telah ditentukan sebelumnya dengan menggerakkan orang-orang dalam organisasi".

Dari ketiga bahasan tersebut dapat pula disimpulkan bahwa managemen itu mempunyai beberapa fungsi sebagai beriku t:1. Perencanaan (planning) :

Perencanaan merupakan serangkaian keputusan sebagai pedoman pelaksanaan kegiatan di masa yang akan datang. Rencaa yagn baik harus menetapkan :

197

Page 209: 2m i PENDALAMAN MATERI HUKUM I I - Mahkamah Agung

a. Apa yang akan dicapai.b. Alasan atau m otif perlunya kegiatan itu.c. Bagaimana cara melaksanakannya.d. Bilamana akan dilaksanakan.e. Siapa yang akan melaksanakan.f. Mengadakan penilaian, berkenaan dengan kegiatan, mana yang

telah selesai, sedang dilaksanakan dan yang akan dilaksanakan.g. Kemungkinan-kemungkinan apa yang dapat mempengaruhi

pelaksanaan dan kegiatan mengadakan penyesuaian dan perobahan rencana.

2. Pengorganisasian (organizing).Penyusunan atau pengelompokan kegiatan.Pengaturan berbagai kelompok sesuai dengan jenis kegiatan, dan tentang bagaimana hubungan antara kelompok dan jenis kegiatan masing-masing.Pembagian tanggung jawab.

3. Penyusunan personil (staffing).Menempatkan tenaga-tenga yang sesuai dengan tingkatan dan jenis pekerjaan atau kegiatan.

4. Penganggaran (budgeting).a. Menyusun anggaran.b. Mencari dan menentukan sumber-sumber dana.c. mengatur pemasukan dan pengeluaran dana.d. Membuat pencatatan arus dana atau pembukuannya.e. Laporan keuangan.

5. Pengkoordinasikan (koordinating).a. Mengkoordinir setiap bagian atau petugas.b. Menghindari hambatan.c. Mencegah tumpang tindih tugas.d. Memupuk dan mengembangkan sikap saling percaya dan kerja

sama.e. Menghindari kompetisi yang tidak sehat.f. Menghindari dan menyelesaikan segala macam perbedaan

pendapat atau pertentangan yang akan menghambat kerja sama.6. Penggerakan (directing).

a. Memberikan penerangan, penjelasan tentang kegiatan yang ber­hubungan dengan sasaran yang hendak dicapai;

b. Mengeluarkan perintah, peraturan dalam rangka pelaksanaan;c. Memberikan contoh cara bekerja (keteladanan).

Page 210: 2m i PENDALAMAN MATERI HUKUM I I - Mahkamah Agung

d. Mengawasi.e. Mengemukakan penilaian tentang kebaikan dan keburukan

dalam pekerjaannya.f. Mengadakan koreksi terhadap kekurangan atau kelemahan dan

meniadakan hambatan.7. Pelaporan (reporting).

Hal-hal yag perlu diperhatikan :a. Apa-apa yang perlu dicatat.b. Cara monoatat.c. Cara menyimpannya secara teratur dan sistematis agar mudah

ditemukan kembali pada saat dibutuhkan.d. apa yang harus dilaporkan, siapa yang harus melaporkannya

dan kepada siapa dilaporkannya.e. Cara mengolah laporan agar tercapai peningkatan dan pe­

ngembangan.8. Penilaian (evaluating).

Bertujuan untuk mengetahui sampai seberapa jauh tujuan yang telahditentukan terlebih dahulu telah tercapai, kegiatan mana yang belumdiselesaikan atau yang sedang dalam penyelesaian.Kegiatan ini m eliputi:a. mempelajari perkembangan usaha atau kegiatan secara terus

menerus dengan cara-cara pemantauan sehingga dapat diketahui dengan segera segala sesuatu faktor yang menghambat dan yang mendukung.

b. mengadakan pengukuran dan perhitungan tentang tingkat ke­berhasilan sesuatu pekerjaan atau kegiatan, sesuai dengan program.

c. mengadakan berbagai usaha untuk memecahkan berbagai hambatan yang timbul demi kelancaran pekeijaan atau kegiatan.

Dari uraian tersebut di atas secara umum dapat disimpulkan b a h w a : managemen adalah suatu sistem untuk mengendalikan serangkaian kegiatan yang dilaksanakan oleh para pemimpin untuk menggerakkan segala sumber daya untuk mencapai tujuan tertentu secara efisien dan efektif.

Dari pengertian itulah orang mengatakan bahwa sesungguhnya managemen itu adalah inti dari administrasi.

Apabila kita ingin menyederhanakan pengertian tentang apa itu managemen, para ahli membuat suatu batasan yaitu :

199

Page 211: 2m i PENDALAMAN MATERI HUKUM I I - Mahkamah Agung

"Management is to get thing done through others".Terjemahaanya ialah :Managemen adalah menggerakkan orang lain untuk mencapai atau memperoleh sesuatu (tujuan).

Agar dapat memahami managemen itu dapat pulalah diberikan perbandingan tentang cara atau sistem yang dilakukan seorang sais sado atau bendi untuk mengendalikan jalannya kuda bersama kereta atau gerobaknya.

Proses yang dilakukan mulai dari mengikat bendi dengan berbagai tali kendali, membuat penutup mata kuda agar tidak bisa melihat ke kiri dan ke kanan, karena hal itu akan mengurangi konsentrasi kuda itu untuk menerima perintah-perintah dari sais, mengikatkan tali temali pada kuda agar kereta menyatu dengan kuda, agar kuda dapat menarik dan menggerakkan kereta-nya, bagaimana cara melatih kuda untuk menerima perintah baik berupa suara maupun berupa isyarat-isyarat, bagaimana memelihara kuda itu agar tetap sehat dan sebagainya.

Sebagaimana telah diuraikan terlebih dahulu bahwa organisasi pengadilan itu telah disusun dengan Peratura Pemerintah dan segala macam juklak. Pemimpin Pengadilan terdiri dari Ketua dan Wakil Ketua. Dalam pelaksanaan tugasnya pimpinan pengadilan, dibantu oleh Panitera/Sekretaris.

Ada kekhususan struktur organisasinya jika dibandingkan dengan organisasi pemerintahan yang lain, yaitu adanya Kepaniteraan dan Kesekretariatan yang mempunyai fungsi yang berbeda, maka pimpinan Pengadilan diharapkan mampu mengkoordinir kedua organisasi tersebut dengan sebaik-baiknya. Selain daripada tugas memimpin juga harus bekerja sendiri, dalam hal memutus perkara yang dalam ilmu adminis­trasi hal seperti itu merupakan suatu hal yang tidak biasa.

Dalam hubungan ini dapat dijelaskan bahwa keseluruhan proses atau cara ataupun mekanisme tadi dipimpin.

Dalam administrasi sais atau kusir itu disebut pemimpin (leader). Antara managemen dan pemimpin terdapat suatu hubungan yang sangat erat, seolah-olah tidak dapat dipisahkan; apabila kita membicarakan managemen dengan sendirinya kita harus membicarakan pemimpin.

3. Kepemimpinan.Keberhasilan suatu organisasi sebagian besar ditentukan oleh pemimpin. Kepemimpinan itu mempunyai 2 macam pengertian :

200

Page 212: 2m i PENDALAMAN MATERI HUKUM I I - Mahkamah Agung

1. Kepemimpinan adalah kegiatan mengajak (menggerakkan) orang agar orang tersebut mau bekerja dengan suka rela untuk me­wujudkan sasaran bersama.

2. Kepemimpinan adalah suatu proses menggerakkan dan mengajak orang untuk melakukan baik untuk dirinya maupun untuk orang lain untuk mencapai tujuan organisasi.

Sedangkan tugas dari seorang pemimpin adalah :1. Melaksanakan tugas yang dipikulnya itu secara tuntas.2. Menegakkan disiplin.3. Membina stafnya.4. Meningkatkan kesejahteraan staf.

Unsur-unsur yang harus ada pada seorang pimpinan :1. Sebagai teladan.2. Sebagai manager.3. Sebagai komandan.4. Sebagai guru.5. Sebagai bapak sekaligus menjadi teman.

Sifat-sifat atau perangai yag harus dimiliki seorang pemimpin :1. Energik jasmani dan rohani.2. Kepastian akan maksud dan arah tujuan.3. Penuh antusias atau mempunyai perhatian yang besar.4. Ramah tamah, penuh rasa persahabatan dan ketulusan hati.5. Integritas atau pribadi yang bulat.6. Kecakapan teknis.7. Mudah mengambil keputusan.8. Cerdas.9. Kecakapan mengajar.10. Kesetiaan.

Seorang pemimpin mempunyai sifat-sifat kelebihan :1. Memiliki intelegensi (kecerdasan) yang relatif lebih tinggi dari

bawahannya.2. Kematangan dan keluasan pandangan sosial.3. Mempunyai motivasi dan keinginan berprestasi yang datang dari

dalam.4. Mempunyai kemampuan mengadakan hubungan antar manusia.

201

Page 213: 2m i PENDALAMAN MATERI HUKUM I I - Mahkamah Agung

V. KESIMPULAN DAN SARAN.Kesimpulan.a. Azas kepemimpinan dan managemen perlu dan dapat diterapkan dalam

pengelolaan Pengadilan.b. Di samping penguasaan ilmu kepemimpinan dan managemen, setiap

pejabat Pengadilan terutama pejabat teknis Pengadilan perlu memiliki kemampuan teknis/ilmu hukum dan ketrampilan profesional serta ketangguhan moral.

Saran.Masih diperlukan meningkatkan ketrampilan managerial dan pengetahuanHakim pejabat Pengadilan, karena itu perlu diadakan penataran-penataranyang terencana dan kontinu.

202

Page 214: 2m i PENDALAMAN MATERI HUKUM I I - Mahkamah Agung

PENERAPAN AZAS-AZAS KEPEMIMPINAN DAN MANAJEMEN

DALAM PRAKTEK PERADILAN DI INDONESIA

Oleh : Kelompok GARUDA

I. PENDAHULUANBerbicara mengenai Kepemimpinan, kita tidak bisa lepas dengan

Managemen dan Administrasi karena ketiga tiganya mempunyai hubungan yang sangat erat, hubungan, yang sangat erat tersebut disebabkan ketiga- tiganya sebagai mata rangkaian proses yang melibatkan usaha kerja sama antara dua orang atau lebih untuk mencapai tujuan.

Sedangkan berhasilnya suatu tujuan, itu tergantung dari Kepemimpinan atau lebih jelasnya tergantung pada si Pemimpin, karena pimpinan di sini mempunyai peranan strategis atau titik sentral, karena dalam Kepemimpinan itulah yang sesungguhnya kiprahnya si Pemimpin dalam menggerakan kegiatan mencapai suatu tujuan.

Kita mengenal bermacam-macam teori tentang Kepemimpinan, baik teori Kepemimpinan pada zaman Gajah Mada, teori kepemimpinan berasal dari Barat maupun dari khasanah Indonesia sendiri sampai teori Ke­pemimpinan yang bersumber Pancasila. Demikian pula kita mengenal bermacam gaya/tipe dari Pimpinan yaitu Pimpinan yang bergaya Otoriter sampai bergaya t)emokratis.

Dalam makalah ini, Kelompok Garuda akan mencoba membahas penerapan Azas-azas Kepemimpinan dan Managemen tersebut dalam praktek Peradilan di Indonesia dan segala permasalahan sebagai akibat dari penerapan teori-teori Azas-azas Kepemimpinan dan Managemen oleh Pemimpin yang dalam pembahasan ini sebatas gerak atau kiprah dari Ketua Pengadilan dalam rangka mencapai tujuan, yaitu tegaknya Hukum dan Keadilan berdasar Pancasila dan terselenggaranya Peradilan yang tepat kerja, sederhana, cepat dan biaya ringan (pasal 1, pasal 4 ayat 2 Undang- udnangNo. 14 tahun 1970).

Sesuai dengan hal itu, maka makalah ini akan disusun secara sistematik sebagai beriku t:1. B ab i. Adalah Pendahuluan/.2. Bab II. Akan diruaikan pokok-pokok pengertian tentang Administrasi,

Managemen dan Kepemimpinan.3. Bab III. Memuat tentang Azas-azas Kepemimpinan dan Tipe-tipe (gaya)

Kepemimpinan.

203

Page 215: 2m i PENDALAMAN MATERI HUKUM I I - Mahkamah Agung

4. Bab IV. Tentang Permasalahan yang timbul dalam rangka penerapanazas-azas Kepemimpinan dan Managemen dalam praktek Peradilan Indonesia.

5. Bab V. Tentang Pemecahan Permasalahan.6. Bab VI. Kesimpulan dan Saran.

Semoga pembahasan oleh Kelompok Garuda dapat dipakai sebagai bahan acuan dalam pembahasan tentang penerapan azas-azas Kepemim­pinan dan Managemen dalam rangka diskusi selanjutnya.

II. POKOK-POKOK PENGERTIAN1. Administrasi.

Menurut Prof. DR. Sondang P. Siagian (DR. S.P. Siagian Filsafat Administrasi, Jakarta Gunung Agung), yang dimaksudkan dengan Administrasi adalah keseluruhan proses kerja sama antara dua orang atau lebih yang didasarkan atas rasionalitas tertentu untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan sebelumnya.Dari pengertian tersebut di atas dapatlah disimpulkan bahwa :a. Tata Usaha:

Setiap penyusunan keterangan-keterangan secara sistematis dan pencatatannya dengan maksud memperoleh suatu ikhtiar yang menyeluruh mengenai keterangan-keterangan tersebut dan dalam kaitannya satu sama lain.

b. Administrasi:1. Memiliki unsur-unsur:

- kerja sama antara orang.- melakukan kegiatan.- tujuan.

2. Proses bekerja samanya orang-orang dalam melakukan kegiatan penataan usaha untuk mencapai tujuan.

2. Managemen.Menurut Prof. DR. Sondang P. Siagian merumuskan bahwa Ma­nagemen adalah ketrampilan untuk memperoleh hasil dalam rangka mencapai tujuan yang telah ditentukan sebelumnya dengan meng­gerakkan orang-orang dalam organisasi.

3. Kepemimpinan.Menurut pendapat dari beberapa teori tentang Kepemimpinan, maka pengertian Kepemimpinan dapat disimpulkan sebagai beriku t:

204

Page 216: 2m i PENDALAMAN MATERI HUKUM I I - Mahkamah Agung

(a) . Kepemimpinan adalah mengajar (menggerakan) agar orang tersebutmau bekerja dengan sukarela untuk mewujudkan sasaran bersama.

(b) . Kepemimpinan adalah suatu proses untuk menggerakan danmengajak orang untuk melakukan kegiatan-kegiatan baik dirinya, anggota kelompok untuk mencapai tujuan roganisasi.

4. Fugnsi Managemen.Beberapa pendapat mengenai fungsi-fungsi managemen tersebut adalah sebagai beriku t:a. George R. Terry : Planning, Organizing, Actuating dan Controlling

(POAC).b. Henry Fayoe ^Planning, Organizing, Commanding, Coordinating,

Controlling.c. Koontz and O'Donnel : Planning, Organizing, Staffing, Directing,

Controlling.d. Luther Gullich : Planning, Organizing, Staffing, Directing, Co­

ordinating, Reporting, Budgeting.e. S.P. Siagian : Planning, Organizing, Motivating, Controlling.f. Prajudi Atmosudirjo : Planning, Organizing, Directing atau

Actuating, Controlling.5. Planning (Perencanaan).

Perencanaan merupakan serangkaian keputusan sebagai pedoman pelaksanaan kegiatan di masa yang akan datang.Rencana yang baik diarahkan kepada tujuan yang mengemukakan :- Apa yang akan dicapai berkenaan dengan penentuan tujuan.- Mengapakah itu perlu dilakukan berkenaan dengan alasan atau

m otif perlunya kegiatan itu.- Bagaimana akan dilakukan berdasarkan dengan prosedur kerja,

sasaran dan biayanya.- Bilamana akan dilaksanakan yaitu berkenaan dengan penjadwalan

kegiatan kerja atau pelaksanaan kegiatan, pentahapan kegiatansampai dengan selesai.

- Siapa yang akan melaksanakan berkenaan dengan orang-orang yang turut terlibat dalam pelaksanaan kegiatan.

- Mengadakan penilaian berkenaan dengan kegiatan, mana yang telah selesai, sedangkan dan akan diselesaikan.

- Kemungkinan-kemungkinan apa yang dapat mempengaruhi pe­laksanaan dan kegiatan mengadakan penyesuaian dan perubahan rencana.

205

Page 217: 2m i PENDALAMAN MATERI HUKUM I I - Mahkamah Agung

6. Organizing (Pengorganisasian).Yang dimaksud dengan organizing ialah pengaturan terhadap berbagai kelompok sesuai dengan jenis kegiatan, dan pengaturan bagaimana hubungan antara kelompok dan jenis kegiatan masing-masing. Pe­ngelompokan; kegiatan tersebut berarti juga pengelompokan tanggung jawab, pembagian dan penyusunan tanggung jawab, serta penyusunan tugas-tugas bagi ’setiap bagian yang mempunyai tanggung jawab tertentu. Kegiatan ini diwujudkan dalam suatu bagan susunan/struktur organisasi.

7. Directing atau Actuating/Pengarahan/Penggerakan.Yang dimaksud dengan directing atau actuating adalah kegiatan untuk memberikan penerangan, penjelasan, informasi tentang kegiatan yang berhubungan secara menyeluruh terhadap tujuan yang hendak dicapai.

8. Coordinating/Pengkoordinasian.Yang dimaksud dengan coordinating adalah usaha atau kegiatan agar semua unsur yang terlibat dalam penyelesaian tugas guna mencapai tujuan dari organisasi tersebut, tidak terjadi benturan-benturan, saling tumpang tindih, yang dapat menimbulkan kesalah pahaman sehingga dapat tercipta kerja sama, saling percaya, antara sesama unsur yang terlibat dalam organisasi tersebut.

9. Budgeting/Penganggaran.Yang dimaksud dengan budgeting adalah kegiatan tentang perencanaan dan penyusunan anggaran, mencari dan mengusahakan sumber-sumber pembiayaan mengatur pemasukan dan pengeluaran dana, membuat pencatatan arus dana/pembukuan dan membuat laporan keuangan.

10. Controlling/Evaluating.Yang dimaksud controlling adalah kegiatan yang bertujuan untuk mengetahui sampai dimana atau sampai seberapa jauh tujuan yang telah ditetapkan oleh suatu organisasi tersebut telah tercapai, kegiatan mana yang belum diselesaikan atau yang sedang dalam penyelesaian.

III. AZAS DAN TIPE KEPEMIMPINAN.Kita mengenal dua pola Kepemimpinan :'d: - Kepemimpinan Administrasi, b. Kepemimpinan Perilaku Manusia.

Sebelum menyampaikan lebih lanjut tentang kedua pola Kepemimpinan tersebut dalam praktek Pengadilan, terlebih dahulu akan diuraikan tentang azas dan tipe Kepemimpinan sebagai beriku t:

Page 218: 2m i PENDALAMAN MATERI HUKUM I I - Mahkamah Agung

a. Dalam lingkugan ABRI telah dirumuskan "Sebelas Azas Kepemimpinan ABRI" yagn digali dari pusaka nilai Kepemimpinan di Bumi Indonesia. Sebelas azas dimaksud termasuk azas kepemimpinan yang telah dikemukakan oleh Ki Hajar Dewantoro.

b. Tiga azas yang ditonjolkan oleh Ki Hajar Dewantoro, tokoh pejuang dan pendidikan serta pahlawan nasional dirumuskan sebagai beriku t:1. Ing Ngarsa Sung Tullada,

artinya : Jika berada di muka memberikan teladan (contoh perbuatan yang baik).

2. Ing Madya Mangun Karsa,artinya : Jika berada di tengah ia menumbuhkan kreatifitas.

3. Tut Wuri Handayani,artinya : Jika di belakang ia menjadi daya pendorong.

c. Delapan azas lainnya, adalah :1. Takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.2. Waspada Purba Wasesa, yaitu waspada dan mengawasi serta

sanggup memberi koreksi kepada anak buah.3. Ambeg Parama Arta dapat memilih dengan tepat mana yang harus

didahulukan.4. Prasaja, yaitu tingkah laku sederhana dan tidak berlebihan.5. Satya, yaitu sikap loyal yang timbal balik dari atasan terhadap

bawahannya dan dari bawahan terhadap atasan dan kesamping terhadap teman-teman.

6. Gemi Nastiti, yang berarti hemat dan cermat yaitu kesadaran dan kemampuan untuk membatasi penggunaan dan pengeluaran segala sesuatu yang benar-benar diperlukan.

7. Blaka, yang berarti jujur yaitu kemauan, kerelaan dan keberanian untuk mempertanggungjawabkan tindakannya.

8. Legawa, yang berarti ikhlas, yaitu kemauan, kerelaan dan ke­ikhlasan untuk ada saatnya menyerahkan tanggung jaw ab dan kedudukan kepada generasi berikutnya.

Sebelas azas Kepemimpinan tersebut digali dari pusaka Kepemimpinan Indonesia dan dapat berlaku bagi sikap pemimpin dari tingkat tertinggi sampai ke tingkat terbawah.

d. Kepemimpinan di Indoensia yang merupakan perwujudan kelim a sila dari Pancasila:1. Bersumber pada Sila Ketuhanan Yang Maha Esa.2. Bersumber pada Sila Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab.3. Bersumber pada Sila Persatuan Indonesia.

207

Page 219: 2m i PENDALAMAN MATERI HUKUM I I - Mahkamah Agung

4. Bersumber pada Sila Kerakyatan yang Dipimpin oleh HikmatKebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan.

5. Bersumber pada Sila Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat In­donesia.

Selanjutnya tipe/gaya Kepemimpinan yang disebut sebagai beriku t:a. Gaya Otoriter (Sistem I) :

1. Pemimpin menentukan semua keputusan yang berhubungan dengan seluruh pekerjaan, dan memerintahkan semua bawahan untuk melaksanakannya.

. 2. Pemimpin menentukan semua standar cara bawahan melakukan tugas.

3. Pemimpin memberikan ancaman dan hukuman kepada bawahan yang tidak berhasil melaksanakan tugas-tugas yang telah di­tentukan.

4. Pemimpin kurang percaya kepada bawahan, sebaliknya bawah­an tidak/atau sedikit sekali terlibat dalam proses pengambilan keputusan.

5. Pemimpin dan bawahan bekerja dalam suasana yang saling mencurigai.

b. Gaya Otoriter yang bijaksana (Sistem II) :1. Pemimpin menyampaikan berbagai peraturan yang berkaitan

dengan tugas-tugas atau perintah, dan sebaliknya para bawahan diberikan kebebasan untuk memberikan pendapatnya.

2. Bawahan diberikan kelonggaran atau fleksibilitas dalam me­laksanakan tugas-tugas, tetapi dengan hati-hati diberi batasan serta berbagai prosedur.

3. Bawahan yang telah berhasil menyelesaikan tugas-tugasnya diberikan hadiah atau penghargaan, disamping adanya sanksi- sanski bagi mereka yang kurang berhasil sebagai dorongan.

4. Hubungan antara atasan dengan bawahan dalam suasana yang baik. Secara umum pemimpin bertindak cukup baik.

c. Gaya Konsultatif (Sistem III) :1. Pemimpin menentukan tujuan dan mengemukakan berbagai

ketentuan yang bersifat umum setelah melakukan proses diskusi dengan para bawahan.

2. Bawahan dapat mengambil keputusan sendiri terhadap cara melaksanakan tugas-tugasnya dalam batas-batas tertentu,

208

Page 220: 2m i PENDALAMAN MATERI HUKUM I I - Mahkamah Agung

sedang beberapa hal tertentu sepenuhnya menjadi keputusan atasan.

3. Penghargaan dan hukuman diberikan dalam rangka memberi­kan dorongan kepada bawahan.

4. Para bawahan merasa bebas untuk berdiskusi dengan pemimpin mengenai hal-hal ayng bertalian dengan tugas pekeijaannya.

5. Pemimpin mempunyai kepercayaan dan keyakinan kepada bawahan untuk melaksanakan tugasnya dengan baik.

6. Tcrcipta hubungan dua arah antara Pemimpin dengan bawahan secara baik.

d. Gaya Pertisipasif (Sistem IV) :1. Dalam menentukan tujuan dan pengambilan keputusan di­

tentukan oleh kelompok (bersama).2. Bila pimpinan secara formal perlu mengambil keputusan, di­

lakukan setelah ada saran dan pendapat bersama dari para bawahan.

3. Hubungan kerja sama antara pimpinan dan bawahan terjalin dalam suasana yang penuh persahabatan dan saling percaya mempercayai.

4. Motivasi terhadap bawahan tidak hanya didasarkan atas per­timbangan ekonomis, melainkan juga didasarkan atas per­timbangan pengakuan peranan para bawahan dalam me­laksanakan tugas-tugas organisasi.

e. Tipe Direktif:Tipe ini ditandai dengan adanya komuniaksi satu arah. Pimpinan membatasi peranan bawahan dan menekan kepada bawahan apa, kapan, dimana, dan bagaimana sesuatu tugas harus dilaksanakan. Pemecahan masalah dan pengambilan keputusan semata-mata menjadi tanggung jawab pimpinan, yang kemudian disampaikan kepada bawahan. Pelaksanaan pekeijaan diawasi dengan ketat.

f . Tipe Konsultatif:Pemimpin tipe ini masih memberikan direktif yang cukup besar serta menetapkan keputusan-keputusan. Bedanya dengan tipe direktif, dalam tipe konsultatif mempergunakan konsultasi dua arah dan memberikan suportif terhadap bawahan.Pemimpin mau mendengarkan keluhan dan perasaan bawahan mengenai keputusan yang diambil. Sementara bantuan terhadap bawahan ditingkatkan, pelaksanaan atas pelaksanaan keputusan tetap ada pada pemimpin.

209

Page 221: 2m i PENDALAMAN MATERI HUKUM I I - Mahkamah Agung

g. Tipe Partisipasi/:Kontrol atas pemecahan masalah dan pengambilan keputusan antara pemimpin dan bawahan dalam keadaan seimbang.Pemimpin dan bawahan sama-sama terlibat dalam pemecahan masalah dan pengambilan keputusan.Komunikasi dua arah makin meningkat. Pemimpin makin men­dengarkan secara intensif terhadap bawahannya.Keikutsertaan bawahan dalam memecahkan masalah dan pe­ngambilan keputusan makin bertambah, sebab pemimpin ber­pendapat bahwa bawahan memiliki kecakapan dan pengetahuan yang cukup untuk penyelesaian tugas.

h. Tipe Delegatif:Pemimpin mendiskusikan masalah-masalah yang dihadapi dengan bawahan, dan selanjutnya mendelegasikan pengambilan keputusan seluruhnya kepada bawahan.Selanjutnya hak bawahan untuk menentukan langkah-langkah bagaimana keputusan dilaksanakan.Bawahan diberikan wewenang untuk menyelesaikan tugas-tugas sesuai dengan keputusan sendiri. Sebab mereka dianggap telah memiliki kecakapan dan dipercaya untuk memikul tanggung jawab untuk mengarahkan dan mengelola dirinya sendiri.

IV. PERMASALAHAN.Dalam prakteknya penerapan azas-azas Kepemimpinan dan Managemen

di dalam praktek Peradilan di Indonesia menimbulkan masalah sebagai berikut:A. Faktor Intern.B. Faktor Ekstern.

Ad. A :Kurang serasinya hubungan kerja antara Ketua Pengadilan dengan

Wakil Ketua, Pantiera/Sekretaris dan para Hakim serta para Karyawan, sehingga jalannya peradilan tersendat-sendat, penyelesaian perkara menjadi terlambat.

Ad. B :Kurang puasnya para pencari keadilan karena, terlambatnya

penyelesaian perkara dan kurang mesranya hubungan dengan isntansi lain (Penegak Hukum/Muspida).

210

Page 222: 2m i PENDALAMAN MATERI HUKUM I I - Mahkamah Agung

V. PEMECAHAN MASALAH.Bahwa seperti di dalam Bab IV dalam penerapan azas-azas Ke­

pemimpinan dan Managemen dalam praktek telah menimbulkan suatu masalah seperti tersebut di atas, hal tersebut adalah disebabkan karena si "Pemimpin" (Top Manager/Ketua Pengadilan), dalam kiprahnya, dalam kridanya tidak melaksanakan azas-azas Kepemimpinan dan Managemen dengan sebaik-baiknya.

Untuk memecahkan masalah tersebut, Ketua (Pemimpin) harus :1. Melaksanakan azas Kepemimpinan, ing ngarso sung tulodo, ing madya

mangun karso, tut wuri handayani dengan berbuat dan berkehendaksebagai beriku t:a. Tidak berbuat yang neko-neko, tidak melakukan perbuatan yang

tercela, bersifat jujur dan bijaksana.b. Disiplin, masuk dan pulang kantor tepat waktunya.c. Ketua, tidak hanya memerintah, tetapi juga melaksanakan-

/mengerjakan yang menjadi wewenangnya, memutus perkara tepat pada waktunya/tidak melampaui waktu 6 bulan.

d. Perkara yang besar/perkara yang menarik perhatian masyarakat harus disidangkan sendiri, jangan sampai perkara yang sulit dan menarik perhatian masyarakat diserahkan kepada Hakim lain.

e. Memberi kesempatan, mendorong para Hakim dan karyawan dalam menjalankan tugasnya.

f. Tidak semua perkara dipegang sendiri, tetapi harus dibagi rata kepada para Hakim.

g. Memberi sugesti dan motivasi kepada para Hakim dan karyawan dalam pelaksanaan tugas.

2. Taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.a. Pemimpin/Ketua pengadilan harus memberi sarana kepada para

Hakim dan karyawan untuk melaksanakan ibadahnya sesuai dengan agamanya.

b. Di kantor harus disediakan ruang khusus untuk beribadah, kalau mungkin di areal kantor didirikan masjid/surau.

c. Pada hari-hari besar baik Islam/Nasrani, agar dirayakan di kantor- /Natal besama, Maulid Nabi.

d. Pada bulan Puasa dalam waktu tertentu diadakan acara buka bersama, shalat bersama.

3. Waspada Purba W asesa:Yaitu waspada dan mengawasi serta sanggup dan berani memberikoreksi kepada anak buah, Pemimpin/Ketua Pengadilan harus b e rb u a t:

211

Page 223: 2m i PENDALAMAN MATERI HUKUM I I - Mahkamah Agung

a. Harus bersikap waspada dan mengawasi para Hakim dan karyawan, yaitu Ketua harus turun langsung mengawasi para Hakim dalam menyelesaikan perkara/menyidangkan perkara.

b. Menegur para Hakim/Karyawan yang terlambat menyelesaikan perkara.

c. Bagi para Hakim yang tidak memutus perkaranya dalam waktu 6 bulan, dan untuk bulan-bulan berikutnya harus tidak diberi perkara lagi.

d. Kalau ada gejala-gejala Hakim/Karyawan tidak disiplin segera di­peringatkan dan ditegor agar kembali disiplin lagi dalam me­laksanakan tugas.

e. Harus memberi DP3 sesuai dengan pekerjaan yang bekerja baik harus diberi DP3 baik, yang malas harus diberi DP3 rendah.

4. Ambeg Parama Arta :Pimpinan/Ketua pengadilan harus mempunyai rencana kerja yang baik, mana rencana yang harus dilaksanakan dahulu dan mana pekerjaan yang diselesaikan kemudian. Dalam hal penyelesaian perkara, perkara- perkara yang lama harus diputuskan lebih dulu, kemudian baru perkara yang dibagi kemudian.

5. Prasaja, bertingkah laku sederhana dan tidak berlebihan.a. Seorang Ketua harus memakai pakaian kerja dalam masuk kantor.b. Meskipun mampu jangan membawa kendaraan yang mewah di

kantor, agar tidak menimbulkan penafsiran yang macam-amcam, misalnya ke kantor Pengadilan menggunakan Baby Benz meskipun mampu.

c. Agar tidak menimbulkan gejolak, mengusahakan pakaian seragam yang sederhana bagi para Hakim dan karyawan.

6. Satya, seorang Ketua Pengadilan harus loyal baik terhadap atasan ataupun para Hakim dan karyawan/bawahannya.a. Seorang Ketua harus mau dan berani membela kepentingan anak

buah/Hakim dan karyawan tersebut kalau memang patut dibela.b. Ketua harus mau bersama-sama baik dalam duka dan suka,

sehingga Ketua harus mau turba, mengunjungi anak buah baik pada waktu diudang pesta perkawinan maupun melayat pada waktu ada Hakim/karyawan yang meninggal dunia.

c. Demikian pula dengan Muspida setempat harus selalu menjaga hubungan yang harmonis baik pada Pemda, Polisi atuapun Jaksa.

7. Gemi Nastiti, berarti Ketua harus hemat dan cermat yaitu kesadaran dan kemampuan untuk membatasi penggunaan dan pengeluaran segala

Page 224: 2m i PENDALAMAN MATERI HUKUM I I - Mahkamah Agung

V. PEMECAHAN MASALAH.Bahwa seperti di dalam Bab IV dalam penerapan azas-azas Ke­

pemimpinan dan Managemen dalam praktek telah menimbulkan suatu masalah seperti tersebut di atas, hal tersebut adalah disebabkan karena si "Pemimpin" (Top Manager/Ketua Pengadilan), dalam kiprahnya, dalam kridanya tidak melaksanakan azas-azas Kepemimpinan dan Managemen dengan sebaik-baiknya.

Untuk memecahkan masalah tersebut, Ketua (Pemimpin) harus :1. Melaksanakan azas Kepemimpinan, ing ngarso sung tulodo, ing madya

mangun karso, tut wuri handayani dengan berbuat dan berkehendaksebagai beriku t:a. Tidak berbuat yang neko-neko, tidak melakukan perbuatan yang

tercela, bersifat jujur dan bijaksana.b. Disiplin, masuk dan pulang kantor tepat waktunya.c. Ketua, tidak hanya memerintah, tetapi juga melaksanakan-

/mengerjakan yang menjadi wewenangnya, memutus perkara tepat pada waktunya/tidak melampaui waktu 6 bulan.

d. Perkara yang besar/perkara yang menarik perhatian masyarakat harus disidangkan sendiri, jangan sampai perkara yang sulit dan menarik perhatian masyarakat diserahkan kepada Hakim lain.

e. Memberi kesempatan, mendorong para Hakim dan karyawan dalam menjalankan tugasnya.

f. Tidak semua perkara dipegang sendiri, tetapi harus dibagi rata kepada para Hakim.

g. Memberi sugesti dan motivasi kepada para Hakim dan karyawan dalam pelaksanaan tugas.

2. Taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.a. Pemimpin/Ketua pengadilan harus memberi sarana kepada para

Hakim dan karyawan untuk melaksanakan ibadahnya sesuai dengan agamanya.

b. Di kantor harus disediakan ruang khusus untuk beribadah, kalau mungkin di areal kantor didirikan masjid/surau.

c. Pada hari-hari besar baik Islam/Nasrani, agar dirayakan di kantor- /Natal besama, Maulid Nabi.

d. Pada bulan Puasa dalam waktu tertentu diadakan acara buka bersama, shalat bersama.

3. Waspada Purba Wasesa :Yaitu waspada dan mengawasi serta sanggup dan berani memberikoreksi kepada anak buah, Pemimpin/Ketua Pengadilan harus berbuat:

211

Page 225: 2m i PENDALAMAN MATERI HUKUM I I - Mahkamah Agung

a. Harus bersikap waspada dan mengawasi para Hakim dan karyawan, yaitu Ketua harus turun langsung mengawasi para Hakim dalam menyelesaikan perkara/menyidangkan perkara.

b. Menegur para Hakim/Karyawan yang terlambat menyelesaikan perkara.

c. Bagi para Hakim yang tidak memutus perkaranya dalam waktu 6 bulan, dan untuk bulan-bulan berikutnya harus tidak diberi perkara lagi.

d. Kalau ada gejala-gejala Hakim/Karyawan tidak disiplin segera di­peringatkan dan ditegor agar kembali disiplin lagi dalam me­laksanakan tugas.

e. Harus memberi DP3 sesuai dengan pekerjaan yang bekerja baik harus diberi DP3 baik, yang malas harus diberi DP3 rendah.

4. Ambeg Parama Arta :Pimpinan/Ketua pengadilan harus mempunyai rencana kerja yang baik, mana rencana yang harus dilaksanakan dahulu dan mana pekerjaan yang diselesaikan kemudian. Dalam hal penyelesaian perkara, perkara- perkara yang lama harus diputuskan lebih dulu, kemudian baru perkara yang dibagi kemudian.

5. Prasaja, bertingkah laku sederhana dan tidak berlebihan.a. Seorang Ketua harus memakai pakaian kerja dalam masuk kantor.b. Meskipun mampu jangan membawa kendaraan yang mewah di

kantor, agar tidak menimbulkan penafsiran yang macam-amcam, misalnya ke kantor Pengadilan menggunakan Baby Benz meskipun mampu.

c. Agar tidak menimbulkan gejolak, mengusahakan pakaian seragam yang sederhana bagi para Hakim dan karyawan.

6. Satya, seorang Ketua Pengadilan harus loyal baik terhadap atasan ataupun para Hakim dan karyawan/bawahannya.a. Seorang Ketua harus mau dan berani membela kepentingan anak

buah/Hakim dan karyawan tersebut kalau memang patut dibela.b. Ketua harus mau bersama-sama baik dalam duka dan suka,

sehingga Ketua harus mau turba, mengunjungi anak buah baik pada waktu diudang pesta perkawinan maupun melayat pada waktu ada Hakim/karyawan yang meninggal dunia.

c. Demikian pula dengan Muspida setempat harus selalu menjaga hubungan yang harmonis baik pada Pemda, Polisi atuapun Jaksa.

7. Gemi Nastiti, berarti Ketua harus hemat dan cermat yaitu kesadaran dan kemampuan untuk membatasi penggunaan dan pengeluaran segala

212

Page 226: 2m i PENDALAMAN MATERI HUKUM I I - Mahkamah Agung

sesuatu yang benar-benar diperlukan. Ketua harus mengingatkan kepada para Hakim dan Karyawan agar hemat, hidup sesuai dengan pendapatan atau gaji. Ketua harus hidup yang sederhana, tidak pamer kekayaan.

8. Blaka.Ketua harus jujur, Ketua harus berani tanggung jawab atas segala perbuatannya, jangan menyalahkan Hakim/kaiyawan bawahannya atas perbuatannya, Ketua harus menumbuhkan rasa tanggung jaw ab kepada para Hakim dan Karyawan.

9. Legawa.a. Ketua harus mau menyerahkan dengan rela apabila kena mutasi dan

menyerahkan jabatannya dengan senang hati kepada penggantinya.b. Ketua harus menyiapkan para Hakim di bawah pimpinannya se­

bagai kader/penggantinya.Di samping azas-azas Kepemimpinan yang tersebut di atas Ketua

(Pemimpin) harus berperilaku dengan mewujudkan sila-sila dari Pancaisla yaitu, Ketua harus melaksanakan butir-butir perilaku yang bersumber pada Ketuhanan Yang Maha Esa, sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, sila Persatuan Indonesia, sila Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan dan sila Keadilan Sosial.

Seorang Ketua Pengadilan Negeri dalam memimpin Peradilan harus bergaya situasional, yaitu harus bergaya/bertipe sesuai dengan situasi, yaitu suatu waktu perlu gaya Otoriter atau bergaya Demokratis, tetapi pada waktu yang lain harus bergaya Partisipatip atau bergaya Delegatip.

Kelompok Garuda berpendapat, apabila Pimpinan/Ketau Pengadilan dalam Kepemimpinannya, dalam Kridanya menerapkan azas-azas yang disebut di atas yang terkenal dengan azas-azas kepemimpinan ABRI dan dalam memimpin bergaya situasional, niscaya masalah-masalah yang tersebut di atas akan tertanggulangi.

VL KESIMPULAN.1. Dalam penerapan azas Kepemimpinan dan Managemen dalam praktek

Peradilan di Indonesia titik sentral adalah pada Pimpinan Peradilan, karena Pimpinan itulah yang sesungguhnya menggerakan kegiatan untuk mencapai tujuan Peradilan yang cepat, tepat dan biaya murah.

2. Sifat-sifat Pimpinan Badan Peradilan sekaligus juga seorang teladan manager, komandan, guru dan pengayom sekaligus kawan terhadap karyawan.

3. Seorang Pimpinan Peradilan itu harus memiliki 4 (empat) tugas :

213

Page 227: 2m i PENDALAMAN MATERI HUKUM I I - Mahkamah Agung

a. Harus menyelesaikan misi yang dibebankan kepadanya secara tuntas.

b. Menegakkan disiplin.c. Membina bawahan/karyawan.d. Meningkatkan kesejahteraan bawahan/karyawan.e. Mengawasi pelaksanaan dari tugas-tugas yang sudah dipolakan.

VII. SARAN-SARAN.1. Agar meningkatkan kualitas Pimpinan Peradilan agar lebih memiliki

sikap dan perilaku yang berintikan pengabdian, kejujuran, tanggung jawab, disiplin, keadilan dan kewibawaan sehingga dapat memberikan pelayanan dan pengayoman kepada masyarakat sesuai dengan fungsi Badan Peradilan.

2. Agar diupayakan penataan kewenangan Pemimpin Badan Peradilan, sehingga terlaksana penyelenggaraan administrasi yang bersih, berwibawa, profesional, effisien dan effektif.

214

Page 228: 2m i PENDALAMAN MATERI HUKUM I I - Mahkamah Agung

PENERAPAN AZAS-AZAS KEPEMIMPINAN DAN MANAJEMEN

DALAM PRAKTEK PERADILAN DI INDONESIA

Oleh : Kelompok MANDALA

I. PENDAHULUANKekuasaan Kehakiman di negara kita diserahkan pelaksanaannya

kepada Badan-badan Peradilan, menurut ketentuan pasal 10 Undang-undang No. 14 tahun 1970 Badan-badan Peradilan yang dimaksud ialah :1. Lingkungan Peradilan Umum.2. Lingkungan Peradilan Agama.3. Lingkungan Peradilan Militer.4. Lingkugnan Peradilan Tata Usaha Negara.

Dalam makalah ini, Kelompok Mandala membatasi pembahasannya pada Peradilan Umum.

Sebagaimana tercantum di dalam Undang-undang No. 14 tahun 1970 tersebut di atas, praktek peradilan di Indonesia dicita-citakan untuk me­wujudkan peradilan yang cepat, sederhana dan dengan biaya ringan.

Untuk mewujudkan cita-cita tersebut, di dalam era tinggal landas ini, adalah suatu keharusan bagi Badan-badan Peradilan di Indonesia untuk menerapkan azas-azas kepemimpinan dan managemen dengan catatan disesuaikan dengan adanya sifat-sifat khusus pada adminsitrasi perkara di Badan-badan Peradilan tersebut. Untuk ketepatan dan kelancaran tugas- /jalannya peradilan dari pimpinan disyaratkan mempunyai kemampuan tehnis/ilmu hukum dan ketrampilan profesional yang memadai serta ketangguhan moral dan keteladanan yang baik, managerial skill dan seni memimpin.

n . PERMASALAHAN1. Perencanaan adminsitrasi peradilan.2. Pelaksanaan.3. Pengawasan.

m . PEMBAHASAN L Perencanaan Adminsitrasi Peradilan.

Perencanaan merupakan serangkaian keputusan sebagai pedoman pelaksanaan kegiatan di masa yang akan datang.Rencana yang baik diarahkan kepada tujuan yang mengemukakan : a. Apa yang akan dicapai, berkenaan dengan penentuan tujuan.

215

Page 229: 2m i PENDALAMAN MATERI HUKUM I I - Mahkamah Agung

b. Mengapa hal itu perlu dilakukan, berkenaan dengan alasan atau m otif perlunya kegiatan itu.

c. Bagaimana akan dilakukan, berkenaan dengan prosedur kerja, sasaran dan biaya.

d. Bilamana akan dilaksanakan, yaitu berkenaan dengan penjadwalan kegiatan kerja atau pelaksanaan kegiatan, pentahapan kegiatan sampai dengan selesai.

e. Siapa yang akan melaksanakan berkenaan dengan orang-orang yang terlibat dalam pelaksanaan kegiatan.

f. Mengadakan penelitian, berkenaan dengan kegiatan mana yang telah selesai, sedang dan akan diselesaikan.

g. Kemungkinan-kemungkinan apa saja yang dapat mempengaruhi pelaksanaan dan kegiatan mengadakan penyesuaian dan perubahan rencana.

Sehubungan dengan adanya Instruksi Ketua Mahkamah Agung agar setiap perkara perdata maupun perkara pidana pada Pengadilan Negeri maupun Pengadilan Tinggi harus sudah diselesaikan/diputus dalam jangka waktu 6 (enam) bulan, maka untuk hal tersebut di atas Kelompok Mandala seyogyanya dibuat suatu perencanaan, yang dituangkan dalam penjadwalan yang terperinci seperti contoh-contoh pada Pengadilan Tinggi di bawah ini :Perkara masuk di Pengadilan Tinggi.1. Di Kepala Sub Umum : 1 hari diagenda.2. Di Kepala Sub Perdata : 7 hari untuk penelitian kelengkapan berkas

perkara dan register.3. Di Ketua Pengadilan Tinggi : 2 hari untuk ditentukan Majelis

Hakimnya.4. Didistribusikan kepada Majelis Hakim : 1 hari.5. Diperiska dan diadili/diputus oleh Majelis : 5 bulan.6. Minutasi oleh Panitera Pengganti yang bersangkutan : 2 minggu.7. Dikembalikan pada Kepala Sub Perdata : 2 hari dengan catatan surat

pengantar pengiriman oleh Pantiera/Sekretaris.8. Di Kepala Sub Kepaniteraan Umum : 1 hari untuk diekspedisi-

/pengiriman ke Pengadilan Negeri yang bersangkutan.Khusus untuk majelis dimana perkara yang diterima seyogyanya mem­buat court calender baik meliputi perkara perdata maupun perkara pidana.

216

Page 230: 2m i PENDALAMAN MATERI HUKUM I I - Mahkamah Agung

Sebagai tindak lanjut dari perencanaan ini, maka timbulah kendala- kendala/masalah-masalah dalam pelaksanaannya sebagaimana akan diuraikan di bawah ini.

2. Pelaksanaan.Setelah menyusun rencana, selanjutnya diperlukan penyusunan atau pengelompokan kegiatan yagn telah ditentukan, yang akan dilaksanakan dalam rangka usaha kerja sama tersebut.Perlu pengaturan terhadap berbagai kelompok/bidang sesuai dengan jenis kegiatan dan tentang bagaimana hubungan antara kelompok- /bidang dan jenis kegiatan masing-masing.Pengelompokan kegiatan tersebut berarti juga pengelompokan tanggung jawab, pembagian dan penyusunan tanggung jawab, serta penyusunan tugas-tugas bagi setiap bagian yang mempunyai tanggung jaw ab tertentu.Dalam pelaksanaan inilah sering timbul masalah-masalah :1. Waktunya terlampaui di masing-masing kelompok/bidang yang

telah ditentukan penjadwalannya, umpama :Perkara masuk pada kepala Sub Umum sering terlalu lama, sehingga menghambat penjadwalan waktu yang telah ditentukan untuk kelompok/bidang yang berikutnya.

2. Berkas masuk tidak lengkap setelah diperiksa pada Kepala Sub Perdata* um pam a:Akta banding tidak ada.

3. Salah seorang anggota majelis terlalu lama mempelajari suatu berkas perkara, sehingga perkara tersebut terlambat diputus oleh majelis yang bersangkutan.

Dari uraian tersebut di atas tampak kendala-kendala yang menghambat pelaksanaan meskipun sudah direncanakan penjadwalannya dengan rapi, baik yang bersifat tehnis maupun administratif.

Untuk mengatasi kendala-kendala tersebut diperlukan kegiatan fungsi pengawasan sebagaimana akan diuraikan di bawah ini.

3. Pengawasan:Tugas pengawasan hendaknya diberikan kepada yang diberikan wewenang untuk mengamati apakah pelaksanaan tugas telah dikerjakan sesuai dengan perencanaan dan ketentuan yang berlaku.

Bahwa fungsi pengawasan ini tidak terlepas dari struktural or­ganisasi di Pengadilan Tinggi maupun di Pengadilan Negeri sebagai­

217

Page 231: 2m i PENDALAMAN MATERI HUKUM I I - Mahkamah Agung

mana ditentukan dalam Undang-undang No. 2 tahun 1986 tentang Peradilan Umum, bahwa Pemimpin Pengadilan Tinggi maupun Pengadilan Negeri terdiri dari Ketua dan Wakil Ketua. Dihubungkan dengan petunjuk pelaksanaan pembagian tugas antara Ketua dan Wakil Ketua dari Bapak Ketua Mahkamah Agung, dimana ditegaskan tugas Wakil Ketua lebih ditekankan pada fungsi pengawasan.

Dengan demikian pengawasan tersebut dilakukan :1. Ketua dan Wakil Ketua masing-masing terhadap Majelis, Ke-

pantieraan dan Kesekretariatan.2. Ketua Majelis mengawasi Hakim Anggota dan Panitera Pengganti

yang bersangkutan.3. Pantiera/Sekretaris dan Wakil Pantiera mengawasi pelaksanaan

tugas baik itu Pejabat Struktural, di bawahnya yaitu Kepala Sub perdata dan kepala Sub pidana dalam bidang tehnis, dan juga Pejabat Fugnsional, yaitu Pantiera Pengganti terutama demi kelancaran minutering perkara. Dengan demikian fungsi pengawasan melekat (waskat) ini sangat menentukan kelancaran pelaksanaan tugas masing-masing di bawahnya.

IV. KESIMPULAN DAN SARANUntuk mewujudkan cita-cita peradilan cepat, sederhana dan biaya

ringan, yang lebih dikonkritkan dengan instruksi Ketua Mahkamah Agung dengan pembatasan waktu selama 6 bulan untuk penyelesaian setiap perkara perdata maupun pidana fungsi pengawasan dirasa sangat menentukan tercapainya tujuan tersebut.

Untuk mana Kelompok Mandala mengajukan saran sebagai berikut: Pimpinan Peradilan secara periodik mengadakan pertemuan dengan para

Hakim, Pejabat Struktural dan Panitera Pengganti untuk mengevaluasi pelaksanaan tugas masing-masing berikut hambatan-hambatannya.

218

Page 232: 2m i PENDALAMAN MATERI HUKUM I I - Mahkamah Agung

PENERAPAN AZAS-AZAS KEPEMIMPINAN DAN MANAJEMEN

DALAM PRAKTEK PERADILAN DI INDONESIA

O leh : Kelompok MERPATI

L PENDAHULUANNegara Republik Indonesia yang berdasar Pancasila dan Undang

Undang Dasar 1945 adalah negara hukum bukan negara kekuasaan, sebagaimana dicantumkan dalam penjelasan Undang Undang Dasar 1945. Dengan demikian segala permasalahan yang menyangkut sengketa bidang hukum, harus diselesaikan melalui badan-badan peradilan.

Pasal 24 Undang Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa Kekuasaan Kehakiman di Indonesia dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan lain- lain badan kehakiman menurut Undang-udnang. Dan sebagai pelaksanaan lebih lanjut dari ketentuan-ketentuan pasal tersebut, maka dikeluarkan Undang-undang No. 14 tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman yang antara lain telah mengatur adanya empat macam lingkungan peradilan. Pengaturan lebih lanjut baik mengenai organisasi maupun tugas kewajiban masing-masing lingkungan peradilan diatur dalam peraturan perundangan sendiri-sendiri, antara lain diatur dalam Undang-undang No. 2 tahun 1986 yang mengatur tentang Peradilan Umum.

Sebagai suatu organisasi, badan peradilan mempunyai tugas dan kewajiban untuk tercapainya tujuan yang telah ditetapkan sebagaimana tercantum dalam ketentuan pasal 4 ayat (1) dan (2) Undang-undang No. 14 tahun 1970 yang menyatakan peradilan dilakukan Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa dan dilakukan dengan sederhana, cepat dan biaya ringan.

Untuk dapat mewujudkan hal tersebut diperlukan suatu organisasi dengan sistem managemen yang memadai yang memenuhi syarat azas-azas managemen modem. Di samping managemen yang baik, juga diperlukan kepemimpinan yang baik pula.

Dalam paper yang singkat ini Kelompok Merpati berusaha untuk memberikan gambaran, apakah organisasi peradilan yang berlaku dewasa ini sudah memenuhi persyaratan managemen dan kepemimpinan yang bagaimana yang diperlukan dalam pelaksanaan tugas-tugas peradilan.

Karena paper ini disusun dalam waktu yang sangat singkat dengan bahan-bahan yang sangat terbatas, maka paper ini sama sekali, tidak memenuhi harapan. Untuk itu Kelompok Merpati mohon dimaafkan.

219

Page 233: 2m i PENDALAMAN MATERI HUKUM I I - Mahkamah Agung

H. PERMASALAHANSesuai dengan judul makalah "Peranan Azas-azas Kepemimpinan dan

Managemen Dalam Praktek Peradilan di Indoensia", di situ terkandung maksud perlunya penerapan azas Kepemimpinan dan Managemen yang baik dalam praktek Peradilan di Indonesia.

Kesemuanya itu telah lebih jelas diuraikan dalam Bab I Pendahuluan tersebut di atas. Dalam hal ini menurut Kelompok Merpati terdapat permasalahan yang harus dibahas seperti tersebut di bawah in i :I. Penerapan Azas Managemen dan Organisasi Peradilan di Indonesia.2. Kepemimpinan yang bagaimana diperlukan untuk mencapai ter­

wujudnya peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan.Untuk itulah kedua permasalahan akan kami kupas sebagai di bawah ini.

IH. PEMBAHASANSebelum menguraikan lebih lanjut mengenai kedua permasalahan

tersebut di atas, untuk lebih memahami tujuan pembahasan tersebut, lebih dahulu akan kami kemukakan pengertian yang berhubungan dengan organisasi, peradilan, managemen dan kepemimpinan

Organisasi ialah kerja sama antara dua orang atau lebih dalam suatu wadah tertentu untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan terlebih dahulu oleh mereka.

Peradilan ialah suatu badan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman di Indonesia sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

Managemen menurut Prof. Dr. Sondang P. Siagian adalah keterampilan untuk memperoleh hasil dalam rangka mencapai tujuan yang telah ditentu­kan sebelumnya dengan menggerakan orang-orang dalam organisasi.

Kepemimpinan merupakan suatu proses mempengaruhi aktifitas kelompok dalam rangka perumusan dan pencapaian tujuan.

1. Penerapan azas managemen dalam organisasi Peradilan di Indonesia.

Sesuai dengan pengertian tersebut di atas, managemen merupakan suatu proses kegiatan yang m eliputi:

a. Perencanaan (Planning).Perencanaan merupakan serangkaian keputusan sebagai pedoman

pelaksanaan kegiatan di masa yang akan datang yang meliputi antara lain apa yang akan dicapai, alasan atau motifnya, prosedur, sasaran, kegiatan, biaya, kemungkinan-kemungkinan apa yang dapat mem-

220

Page 234: 2m i PENDALAMAN MATERI HUKUM I I - Mahkamah Agung

pengaruhi pelaksanaan dan kegiatan, mengadakan penyesuaian dan perubahan rencana.

b. Pengorganisasian (Organizing).Penyusunan atau pengelompokan kegiatan yang telah ditentukan

yang akan dilaksanakan dalam rangka usaha kerja sama tersebut.

c. Pelaksanaan (Actuating).Merupakan tindakan lebih lanjut daripada perencanaan yang telah

ada.

d. Pengendalian (Controling).Mengendalikan atau mengawasi pelaksanaan daripada perencanaan

yang telah ada untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan (di­rencanakan).

Setelah kita memahami makna dari managemen tersebut di atas, perlu dibahas apakah azas tersebut telah diterapkan dalam organisasi Peradilan di Indonesia.

a. Perencanaan (Planning).Dalam kenyataannya Peradilan di Indonesia sesuai dengan

ketentuan di dalam pasal 10 Undang-undang No. 14 tahun 1970 bahwa Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer, Peradilan Tata Usaha Negara.

Keempat Badan Peradilan tersebut telah dilengkapi dengan sarana dan prasarana yang diperlukan dalam memperlancar proses peradilan. Untuk mencapai suatu peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan maka diperlukan faktor pendukung berupa man, money dan materiel yaitu berupa sumber daya manusia, pembiayaan/anggaran, sarana dan prasarana.

Sesuai dengan ketentuan dalam pasal 11 ayat (1) Undang-undang No. 14 tahun 1970 jo. pasal 5 Undang-undang No. 2 tahun 1986 maka jelas bahwa tiga unsur tersebut di atas (man, money dan materiel) telah dilaksanakan, yang selama ini dilakukan oleh Departemen Kehakiman

221

Page 235: 2m i PENDALAMAN MATERI HUKUM I I - Mahkamah Agung

cq. Direktorat Jenderal Badan Peradilan Umum dan Peradilan Tata Usaha Negara.

Pasal 11 ayat (1) Undang-undang No. 14 tahun 1970 :Badan-badan yang melakukan peradilan tersebut pasal 10 ayat (1) organiatoris, administratif dan finansial ada di bawah kekuasaan masing-masing Departemen yang bersangkutan.

Pasal 5 Undang-undang No. 2 tahun 1986 :(1) Pembinaan teknis peradilan bagi Pengadilan dilakukan oleh

Mahkamah Agung.(2) Pembinaan organisasi administrasi dan keuangan Pengadilan

dilakukan oleh Menteri Kehakiman.(3) Pembinaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2)

tidak boleh mengurangi kebebasan Hakim dalam memeriksa dan memutuskan perkara.

b. Pengorganisasian (Organizing).Secara umum organisasi peradilan di Indonesia diatur dalam pasal

10 Undang-undang No. 14 tahun 1970 yaitu adanya 4 Badan Peradilan di Indoensia.

Pengaturan lebih lanjut mengenai organisasi dan tata kerja dari masing-masing lingkungan peradilan diatur dalam Undang-undang tersendiri, seperti halnya pasal 2 dan 3 Undang-undang No. 2 tahun 1986 tentang Peradilan Umum di mana disebutkan bahwa Peradilan Umum adalah salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman dan dilaksanakan oleh Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi yang berpuncak pada Mahkamah Agung, di mana masing-masing Pengadilan tersebut mempunyai organisasinya sendiri.

Pasal 2 Undang-undang No. 2 tahun 1986 :Peradilan Umum adalah salah satu pelaksanaan kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan pada umumnya.

Pasal 3 Undang-undang No. 2 tahun 1986 :(1) Kekuasaan Kehakiman di lingkungan Peradilan Umum dilaksana­

kan oleh:a. Pengadilan Negeri.b. Pengadilan Tinggi.

222

Page 236: 2m i PENDALAMAN MATERI HUKUM I I - Mahkamah Agung

(2) Kekuasaan Kehakiman di lingkungan Peradilan Umum berpuncak pada Mahkamah Agung sebagai Pengadilan Negara Tertinggi.

c. Pelaksanaan (Actuiting).Sesuai dengan ketentuan pasal 2 Undang-undang No. 14 tahun 1970

tugas pokok Kekuasaan Kehakiman adalah menerima, memeriksa serta menyelesaikan perkara-perkara yang diajukan kepadanya dan tugas- tugas lain berdasarkan peraturan perundang-undangan.Pasal 2 Undang-undang No. 14 tahun 1970 :(1) Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman tercantum dalam pasal 1

diserahkan kepada Badan-badan Peradilan dan ditetapkan dengan Undang-undang, dengan tugas pokok untuk menerima, memeriksa dan mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya.

(2) Tugas lain daripada yang tersebut pada ayat (1) dapat diberikan kepadanya berdasarkan peraturan perundangan.

Sedangkan petugas/pelaksana Peradilan terdiri dari para Hakim, Panitera, Juru Sita dan Petugas Administrasi lainnya yang sudah tersusun dalam suatu organisasi.

(L Pengendalian (Controlling).Di dalam pelaksanaan tugas peradilan umumnya, sudah dikenal

tugas pengendalian yaitu yang berupa laporan bulanan baik teknis maupun non teknis yang harus disampaikan ke Mahkamah Agung dan Direktorat Jenderal Badan Peradilan Umum dan Peradilan Tata Usaha Negara Departemen Kehakiman.

Dengan demikian, dewasa ini Pengadilan di Indonesia dikendalikan oleh dua instansi yang di dalam pelaksanaannya menimbulkan kesulitan. Selain daripada itu dikenal adanya berbagai pengawasan lainnya yang dilaksanakan yaitu berupa:1. Pengawasan melekat (waskat).2. Pengawasan fungsional (wasnal).3. Pengawasan masyarakat (wasmas).

Ad. 1. Pengawasan melekat (waskat) ialah pengawasan yang dilaksanakan oleh atasan langsungnya sesuai dengan struktur organisasi.

223

Page 237: 2m i PENDALAMAN MATERI HUKUM I I - Mahkamah Agung

Ad. 2. Pengawasan fungsional (wasnal) ialah pengawasan yang di­laksanakan oleh pejabat fungsional dari stiatu instansi yaitu oleh Inspektur Jenderal.

Ad. 3. Pengawasan masyarakat (wasmas) ialah pengawasan yang dilaksanakan oleh masyarakat yaitu melalui Kotak Pos 5000 (kepala Wakil Presiden) dan Kotak Pos 1992 (kepada Mah­kamah Agung RI.).

Yang kesemuanya menjadi tugas dan tanggung jawab Pimpinan untuk menyusun rencana tindak lanjut atas laporan-laporan mengenai pe­laksanaan peradilan.

Dari uraian tersebut di atas, maka pelaksanaan peradilan sudah memenuhi azas-azas managemen, namun demikian dijumpai banyak hambatan-hambatan dengan adanya ketentuan di dalam pasal 5 Undang- undang No. 2 tahun 1986.

Dalam praktek hal ini menimbulkan kesulitan yang akan meng­hambat kelancaran pelaksanaan peradilan di Indonesia misalnya dengan pengadaan sarana dan prasarana oleh Direktorat Jenderal Badan Peradilan Umum dan Peradilan Tata Usaha Negara, pemutasian Hakim (pengangkatan, pemindahan, kepangkatan dan tindakan administratif Hakim) walaupun telah dilaksanakan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang ada (di dalam Penjelasan. Undang-udnang No. 2 tahun 1986) dengan adanya kerja sama, konsultasi dan koordinasi antara Mahkamah Agung dengan Pemerintah dalam hal ini Departemen Kehakiman, namun di dalam pelaksanaannya masih dirasakan tidak sesuai dengan yang diharapkan.

Oleh karena itu Kelompok Merpati, berpendapat agar supaya Badan peradilan di Indoensia khususnya Peradilan Umum dan Peradilan Tata Usaha Negara secara teknis organisatoris, administratif dan finansiil ditempatkan di bawah Mahkamah Agung RI.

Meskipun organisasi dan managemen Peradilan telah diselenggara­kan berdasarkan atas azas-azas managemen yang benar, namun kenyataannya masih banyak hambatan uiltuk mencapai peradilan yang sederhana, cepat dengan biaya ringan.

Menurut pendapat Kelompok Merpati untuk mencapai peradilan sederhana memerlukan pembenahan yang menyangkut cara beracara atau Hukum Acara yang berlaku dewasa ini.

Hukum Acara yang berlaku dewasa ini memungkinkan terjadinya suatu proses pemeriksaan persidangan yang berkepanjangan mengingat

224

Page 238: 2m i PENDALAMAN MATERI HUKUM I I - Mahkamah Agung

para pihak mempunyai kebebasan yang sangat leluasa dalam me­ngajukan jawab maupun cara pembuktiannya.

Kelompok Merpati berpendapat mungkin sudah saatnya disusun Hukum Acara yang dapat membantu kelancaran proses, antara lain dengan cara mempergunakan sistem putusan sela.

Faktor kecepatan penyelesaian perkara juga masih dirasakan oleh para pencari keadilan yang menurut pengamatan disebabkan karena kurang kuatnya pengawasan baik oleh Pimpinan peradilan terhadap para Hakimnya maupun pengawasan para Hakim terhadap Pantiera Penggantinya dalam tugas-tugas minutering. Oleh karena itu dalam rangka usaha mempercepat proses perkara perlu ditingkatkannya pengawasan melekat yang diikuti dengan rencana tindak lanjut dalam penyelesaian tugas-tugasnya.

Untuk mendorong kecepatan penyelesaian perkara, Mahkamah Agung melalui Surat Edaran No. 6 tahun 1992 menggariskan agar setiap perkara dapat diselesaikan paling lambat dalam waktu 6 bulan untuk setiap tingkat Peradilan.

Apabila kedua sasaran tersebut di atas yaitu terwujudnya proses berperkara yang sederhana dan cepat maka dengan sendirinya akan meringankan biaya bagi pencari keadilan.

2. Kepemimpinan yang bagaimana diperlukan untuk mencapai terwujudnya Peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan.

Sesuai dengan pengertian Kepemimpinan tersebut di atas maka perlu memperhatikan hal-hal sebagai beriku t:a. Tugas Pemimpin.b. Unsur-unsur Pimpinan.c. Sifat-sifat Pimpinan.

Ad. a. Tugas Pemimpin.1. Melaksanakan tugas secara tuntas, yang berarti bahwa seorang

Pemimpin harus mampu menyelesaikan tugasnya dengan sempurna.2. Menegakkan disiplin.

Seorang Pemimpin harus mampu menggerakkan bawahannya untuk melaksanakan kewajiban-kewajibannya dan mentaati ketentuan- ketentuan yang berlaku dalam melaksanakan tugasnya.

3. Membina stafnya.Seorang Pemimpin harus mampu melakukan pengawasan terhadap bawahannya dan mampu memberikan petunjuk sehingga yang

225

Page 239: 2m i PENDALAMAN MATERI HUKUM I I - Mahkamah Agung

bersangkutan dapat mengetahui mana yang benar dan mana yang salah.

4. Meningkatkan kesejahteraan staf.Seorang Pemimpin harus mampu berusaha untuk memperhatikan dan mengusahakan peningkatan kesejahteraan stafnya sehingga dapat mendorong semangat kerja dalam rangka menciptakan etos kerja.

Ad. b. Unsur-unsur Pimpinan.1. Keteladanan.

Seorang Pemimpin harus mampu memberikan teladan baik di dalam maupun di luar kedinasan, dan berani berkorban.

2. Manager.Seorang Pemimpin punya sifat berwawasan ke depan dan berani menanggung resiko.

3. Komandan.Seorang Pemimpin punya sifat berwawasan ke depan dan berani menanggung resiko.

4. Guru.Seorang Pemimpin harus mempunyai sifat guru yang berarti bersifat sabar, tekun, telaten, tidak tercela dan dapat dijadikan panutan.

5. Ibu, Bapak dan sekaligus teman.Seorang Pemimpin harus dapat bergaul dengan bawahan, mau menerima saran dari bawahan yang membangun.

Ad. c. Sifat-sifat Pemimpin.Sifat yang harus dimiliki oleh seorang Pemimpin yang bijaksana

ialah sifat-sifat Kepemimpinan Pancasila yaitu :Ing ngarso sung tulodo Ing madiyo mangun karso Tut wuri handayaniyang kesemuanya mengandung pengertian bahwa seorang Pemimpin bila berada di depan mampu memberi contoh atau teladan yang baik untuk diikuti bawahannya.Bila ada di tengah-tengah anak buahnya, seorang Pemimpin harus mampu membangkitkan semangat dan kreatifitas kerja.Apabila berada di belakang seorang Pemimpin harus mampu men­dorong dan memberi semangat kerja.

226

Page 240: 2m i PENDALAMAN MATERI HUKUM I I - Mahkamah Agung

Di samping unsur kepemimpinan, tugas Pemimpin dan sifat-sifat kepemimpinan tersebut di atas, seorang Pemimpin harus pula mampu melaksanakan koordinasi, integrasi dan sinkronisasi sehingga tujuannya dapat tercapai dengan baik.Bahwa peranan azas-azas kepemimpinan dan managemen ini dalam praktek Peradilan di Indonesia belum terwujud, oleh karena adanya dualisme di pucuk Pimpinan Peradilan yaitu Mahkamah Agung dan Menteri Kehakiman.Oleh karena itu untuk bisa menerapkan azas kepemimpinan dan managemen dalam praktek Peradilan, dualisme seyogyanya dipisahkan yaitu pembinaan teknis, organisasi, administrasi dan keuangan Peradilan dilakukan oleh Mahkamah Agung.

IV. KESIMPULAN/SARAN.Kesimpulan.1. Organisasi Peradilan di Indonesia pada umumnya telah memakai azas-

azas managemen modem.2. Untuk dapat mewujudkan Peradilan yang sederhana, cepat dengan biaya

ringan diperlukan perangkat Hukum Acara yang memadai.3. Pimpinan Pengadilan harus memiliki sifat-sifat Kepemimpinan Panca­

sila, y ak n i:Ing ngarso sung tulodo Ing madiyo mangun karso Tut wuri handayani.

4. Bahwa pimpinan Peradilan yang baik adalah pimpinan yang dapat melaksanakan tugas secara tuntas, menegakkan disiplin, mengadakan pembinaan secara berlanjut dan terus menerus serta berusaha untuk meningkatkan kesejahteraan anggotanya.

S a r a n .1. Untuk mendapatkan pimpinan Peradilan yang profesional perlu kaderi­

sasi dan pembinaan secara terus menerus dan berlanjut oleh Mahkamah Agung sebagai puncak Peradilan di Indonesia.

2. Agar Badan-badan Peradilan di Indonesia secara teknis organisatoris, administratif dan finansial dilimpahkan di bawah Mahkamah Agung.

3. Agar Surat Edaran Mahakamah Agung No.6 tahun 1992 tentang Penyelesaian Perkara betul-betul ditaati:

227

Page 241: 2m i PENDALAMAN MATERI HUKUM I I - Mahkamah Agung

PENERAPAN AZAS-AZAS KEPEMIMPINAN DAN MANAJEMEN

DALAM PRAKTEK PERADILAN DI INDONESIA

Oleh : Kelompok SEMPATI

L PENDAHULUANBahwa meningkatnya pembangunan dalam negara Republik Indonesia

menyebabkan makin tingginya tuntutan masyarakat di bidang pelayanan, penerapan dan pengakan hukum.

Untuk pelaksanaan hal tersebut di atas diperlukan azas-azas ke­pemimpinan serta managemen yang tepat dalam rangka meningkatkan citra dan wibawa Pengadilan di Indonesia yang memiliki unsur-unsur keadilan dan kebenaran yang mampu memenuhi kebutuhan, kecepatan, ketepatan dan pengayoman masyarakat demi terwujudnya kepastian hukum yang adil dan bijaksana.

Untuk dapat mencapai sasaran tersebut diperlukan pelaksanaan ma­nagemen yang baik oleh para pemimpin yang mampu :1. Melaksanakan tugas secara tuntas.2. Menegakkan disiplin.3. Membina stafnya.4. Meningkatkan kesejahteraan staf.

II. PERMASALAHANPimpinan tertinggi Badan Peradilan di Indonesia saat ini membenarkan

bahwa citra dan wibawa Pengadilan akhir-akhir ini sangat merosot sehingga dalam masa kepemimpinan beliau, telah menjadi program untuk me­ngembalikan citra dan kewibawaan Pengadilan di Indonesia seperti keadaan pada tahun enam puluhan dimana masyarakat mematuhi Putusan Pengadilan karena atas Putusan-putusan Pengadilan tidak lagi diajukan permohonan pemeriksaan banding dan begitu pula atas Putusan-putusan Pengadilan Tinggi tidak seberapa yang dimohonkan pemeriksaan Kasasi.

Pada saat tersebut tidak terdapat tunggakan-tunggakan perkara yang menumpuk dan tidak tedapat permasalahan-permasalahan/kesulitan ekseku­si putusan Pengadilan, karena masyarakat mematuhi apa yang diputus oleh pengadilan hal mana jauh berbeda dengan keadaan sekarang di mana hampir semua putusan Pengadilan Negeri dimohonkan pemeriksaan banding dan hampir pula semua Putusan Pengadilan Tinggi dimohonkan kasasi malahan dimohon pula pemeriksaan peninjauan kembali.

228

Page 242: 2m i PENDALAMAN MATERI HUKUM I I - Mahkamah Agung

Di mana-mana kita mendengar kesalahan penerapan hukum, kesalahan pelaksanaan Administrasi Peradilan, malahan terdapat pula perilaku yang tidak terpuji dari penegak-penegak hukum di Indonesia, sehingga semuanya harus dibenahi sesuai dengan harapan dan cita-cita Bapak Ketua Mahkamah Agung RI. yang disampaikan beliau pada setiap kesempatan.

Menurut hemat Kelompok Sempati permasalahan tersebut disebabkan azas-azas Kepemimpinan dan Managemen dalam praktek Peradilan di Indonesia tidak diterapkan, sehingga menjadi permasalahan dalam makalah ini mengenai penerapan azas-azas Kepemimpinan dan Managemen yang baik dalam praktek Peradilan di Indonesia.

Dengan makalah ini kami Kelompok Sempati akan mencoba membahas permasalahan tersebut sebagaimana tersebut di bawah ini.

BEL PEMECAHAN PERMASALAHAN.Dalam pemecahan permasalahan penerapan azas-azas Kepemimpinan

dan Managemen dalam praktek Peradilan di Indonesia terlebih dahulu kita akan membicarakan tentang pengertian Kepemimpinan.

Fielder Fred D, Martin M. Cheners mempunyai pandangan tentang pembatasan kepemimpinan sebagai dikutip oleh Wahyo Sumidjo dalam bukunya "Kepemimpinan dan Motivasi" sebagai beriku t:1. Leadership is teh exercises o f authority and teh making decisions :

Kepemimpinan sebagai aktivitas para pemegang kekuasaan dan pembuatan keputusan.

2. Leadership is teh initiation o f acts and result in a consistent pattern of group interaction directed toward the solution of mutual problem : Kepemimpinan sebagai langkah pertama yang hasilnya berupa pola interaksi kelompok yang konsisten dan bertujuan menyelesaikan masalah-masalah yang saling berkaitan.

3. Leadership is the proces o f influencin group activities toward goal achievem ent:Kepemimpinan sebagai suatu proses mempengaruhi aktivitas kelompok dalam rangka perumusan dan pencapaian tujuan.Selanjutnya pengertian Kepemimpinan tersebut dapat pula disimpulkan

sebagai beriku t:1. Kepemimpinan adalah suatu kegiatan mengajak (menggerakkan) orang

agar orang tersebut mau bekerja dengan sukarela untuk mewujudkan sasaran bersama.

229

Page 243: 2m i PENDALAMAN MATERI HUKUM I I - Mahkamah Agung

2. Kepemimpinan adalah suatu proses untuk menggerakkan dan mengajak orang untuk melakukan kegiatan-kegiatan baik bagi dirinya, anggota kelompok untuk mencapai tujuan organisasi.Dari pengertian Kepemimpinan tersebut di atas, maka yang disebut

Kepemimpinan pada umumnya adalah semua gerak/gaya seorang Pemimpin dan sebagai unsur pimpinan tersebut adalah :1. Teladan, yaitu menjadi panutan, harus berani berkorban.2. Manager, harus menjadi pelaksana yang baik.3. Komandan, harus dapat mengambil keputusan yang tepat.4. Guru, harus mempunyai sifat sabar, telaten dan senang kepada murid­

nya.5. Ibu/Bapak sekaligus teman, harus mempunyai sifat pengayom, me­

lindungi anaknya, sekaligus dapat menjadi teman setia.Dengan demikian maka tugas seorang Pimpinan adalah sebagai beriku t:

1. Melaksanakan tugas secara tuntas.2. Menegakkan disiplin.3. Membina stafnya.4. Meningkatkan kesejahteraan stafnya.

Untuk terselenggaranya tugas seorang Pimpinan pengadilan yang baik dalam menyelenggarakan tugas peradilan yang baik pula, maka harus diadakan :A. Perencanaan.

Merencanakan tugas-tugas baik rencana tugas jangka pendek maupun rencana tugas jangka panjang.B. Pelaksanaan.

Melaksanakan program yang telah disusun baik untuk jangka pendek maupun untuk jangka panjang.C. Pengawasan.

Mengawasi jalannya perencanaan dan pelaksanaan, dengan pengertian pelaksanaan itu harus sesuai dengan perencanaannya.

Mengenai perencanaan tugas tersebut di atas, disusun oleh Majelis Pleno Hakim beserta unsur Pimpinan dari Kepaniteraan dan Kesekretariatan yang dipimpin oleh Ketua Pengadilan.

Sedangkan pelaksanaan tugas pengadilan dilakukan oleh Pimpinan Pengadilan, para Hakim dan jajaran Kepantieraan, Kesekretariatan sesuai dengan "job description" masing-masing di bawah Pimpinan dan koordinasi Ketua Pengadilan sebagai penanggung jawab dan pengelola Pengadilan.

230

Page 244: 2m i PENDALAMAN MATERI HUKUM I I - Mahkamah Agung

Dalam melaksanakan tugasnya Ketua Pengadilan dapat mendelegasikan sebagian kekuasaannya kepada Wakil Ketua dan para Hakim sesuai kebutuhan, situasi dan kondisi Pengadilannya.

Mengenai tugas pengawasan adalah tugas Wakil Ketua yang diberi wewenang untuk mengamati apakah pelaksanaan tugas telah dikerjakan sesuai dengan perencanaan dan ketentuan yang berlaku.

Pimpinan Tertinggi Peradilan di Indonesia telah menggariskan Pe­ngawasan Pelaksanaan Peradilan sebagai beriku t:1. Dalam langka mengatasi menumpuknya tunggakan perkara, agar

penyelesaian perkara tidak melebihi dari jangka waktu 6 bulan.2. Dalam rangka meningkatkan mutu putusan yang tepat dan bijaksana,

ditentukan bahwa seluruh perkara disidangkan dengan majelis yang terdiri dari 3 (tiga) orang Hakim.

3. Dalam usaha untuk menegakkan citra dan wibawa pengadilan di­laksanakan mekanisme pengawasan yang m eliputi:a. Masalah tehnis Peradilan.b. Pengawasan terhadap dan perilaku Hakim serta Pejabat Ke­

paniteraan.c. Pengawasan terhadap adminsitrasi Pengadilan.

Petunjuk pelaksanaan Peradilan di Indonesia oleh pimpinan tertinggi Pengadilan tersebut berdasarkan ketentuan-ketentuan Undang-undang tentang Praktek Peradilan di Indonesia yaitu :- Pasal 2 Undang-undang No. 14 tahun 1985 yang berbunyi:

Mahkamah Agung adalah pengadilan Negara tertinggi dari semua lingkungan Peradilan yang dalam melaksanakan tugasnya terlepas dari pengaruh pemerintah dan pengaruh-pengaruh lainnya.

- Pasal 1 Undang-undang No. 14 tahun 1970 yang berbunyi :Kekuasaan kehakiman adalah Kekuasaan Negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia.

- Pasal 2 Undang-undang No. 14 tahun 1970 berbunyi:1. Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman diserahkan kepada

Badan-badan Peradilan dan ditetapkan dengan Undang-undang dengan tugas pokok untuk menerima, memeriksa dan mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya.

- Pasal 10 Undang-udnang No. 14 tahun 1970 berbunyi :

231

Page 245: 2m i PENDALAMAN MATERI HUKUM I I - Mahkamah Agung

1. Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh Pengadilan dalam ling­kunganPeradilan Umum;Peradilan Agama;Peradilan Militer;Peradilan Tata Usaha Negara.

2. Mahkamah Agung adalah Pengadilan Negara tertinggi.Dalam pelaksanaan praktek Peradilan di Indonesia tersebut ditegaskan

pula oleh Mahkamah Agung bahwa Pimpinan Pengadilan terdiri dari Ketua dan Wakil Ketua bersama-sama memimpin dan bertanggung jawab atas terselenggaranya tugas Pengadilan secara baik dan lancar.

Dalam melaksanakan tugas peradilan (secara luas) Pimpinan harus dapat membimbing dan menggugah kerja sama yang baik dan serasi dengan para Hakim yang dalam tugasnya bersifat mandiri dalam suasana kolegial (azas-azas kebebasan Hakim dengan azas-azas sistem majelis). Karena dalam tugas Peradilannya para Hakim dibantu dalam segi Adminsitrasi Peradilan oleh pejabat-pejabat Kepaniteraan yang dipimpin oleh Panitera Pengadilan, maka Pimpinan Pengadilan harus membina/membimbing dan mengawasi agar tugas Kepaniteraan ini berjalan dengan baik dan lancar, agar mendukung serta sesuai - serasi dengan tugas praktek Peradilannya.

Selanjutnya pembahasan mengenai Managemen.

Pengertian Managemen.Menurut Prof. Dr. H. Arifin Abdulrachman, dikatakan Managemen

mempunyai a r t i :1. Kegiatan-kegiatan/aktivitas-aktivitas.2. Proses, jalinan kegiatan-kegiatan dalam rentetan urutan-urutan.3. Institut/orang-orang yang melakukan kegiatan atau proses kegiatan.

1, 2 dan 3 untuk mendapatkan hasil dari orang lain.Selanjutnya The Liang Gie merumuskan pula pengertian Managemen

tersebut sebagai beriku t:"Managemen adalah proses penggerakan tindakan-tindakan dan peng­gerakan fasiltias-fasilitas dan usaha kerja sama agar tujuan yang ditentu­kan benar-benar tercapai".Pengertian managemen tersebut berkaitan dengan pengertian Ke­pemimpinan.Pemimpin dengan managemen inilah sebagai pelaksana dari perencanaan suatu organisasi yang dalam hal ini organisasi Peradilan dalam tugasnya melaksanakan praktek Pengadilan di Indonesia.

232

Page 246: 2m i PENDALAMAN MATERI HUKUM I I - Mahkamah Agung

Dengan mengingat uraian-uraian tersebut di atas, maka Kelompok Sempati berpendapat penerapan azas-azas Kepemimpinan selama ini belum menuruti dengan seksama azas-azas kepemimpinan menurut azas-azas managemen yang baik dan yang sesuai dengan kepribadian bangsa In­donesia sehingga mengganggu pelaksanaan praktek Peradilan antara lain menyebabkan banyaknya tunggakan-tunggakan perkara dan timbulnya pelecehan terhadap Hakim dan Petugas Pengadilan.

Untuk berhasilnya Kepemimpinan yang baik dengan Managemen yang baik dalam Peiadilan di Indoensia maka Kelompok Sempati beipendapat bahwa gaya kepemimpinan yang akan berhasil untuk diterapkan adalah gaya situasional yagn penerapannya dengan melihat situasi dan kondisi pada waktu tertentu.

IV. KESIMPULAN/SARAN.1. Titik sentral Kepemimpinan dan Managemen adalah pada pemimpin,

karena pemimpin tersebutlah yang menggerakan kegiatan mencapai tujuan supaya berhasil.

2. Mempelajari ilmu managemen yang intinya adalah Kepemimpinan, sedang Kepemimpinan adalah ikhwal perilaku Pemimpin, yang akhirnya berinti Penggerakan.

3. Pemimpin haruslah seorang Teladan, Manager, Komandan, Guru dan Pengayom sekpligus kawan terhadap bawahan atau anggotanya.

4. Kepemimpinan yang sesuai dan berhasil dalam praktek Peradilan di Indonesia adalah Kepemimpinan yang situasional.

5. Dengan krida Kepemimpinan tersebut. Maka untuk mencapai apa yang telah ditetapkan dalam Perencanaan, Pemimpin, mengadakan job analysis dan job description serta kemudian mengendalikan pengawasan dalam pelaksanaannya.

233

Page 247: 2m i PENDALAMAN MATERI HUKUM I I - Mahkamah Agung

PENERAPAN AZAS-AZAS KEPEMIMPINAN DAN MANAJEMEN

DALAM PRAKTEK PERADILAN DI INDONESIA

Oleh : Kelompok PADJADJARAN

1. PENDAHULUANTugas pokok dari badan peradilan adalah : menerima, memeriksa

dan memutus perkara-perkara, baik pidana maupun perdata yang diajukan kepadanya.

Untuk melaksanakan tugas tersebut sangat diperlukan adanya ad­ministrasi, kepemimpinan dan managemen yang baik.

Titik sentral dari "Kepemimpinan dan Managemen" terletak pada Pemimpin, karena Pemimpin itulah yang sesungguhnya untuk melaku­kan kegiatan-kegiatan untuk mencapai tujuan.

Untuk dapat mencapai sasaran tersebut diperlukan pelaksanaan managemen yang baik oleh para pemimpin yang mampu :1. Melaksanakan tugas secara tuntas.2. Menegakkan disiplin.3 . Membina stafnya.4. Meningkatkan kesejahteraan staf.

II. SUSUNAN ORGANISASI DAN URAIAN TUGAS.Ketua dan Wakil Ketua Pengadilan bersama-sama memimpin dan

bertanggung jawab atas terselenggaranya tugas pengadilan secara baik dan lancar.

Dalam melakukan tugas peradilan, Ketua bars dapat menciptakan kerjasama yang 'baik dan dengan para Hakim. Karena dalam tugas peradilan, Hakim dalam segi administrasi peradilan dibantu oleh pejabat Kepaniteraan yang dipimpin oleh Panitera Pengadilan. Maka Pemimpin Pengadilan harus membina, membimbing dan menguasai agar tugas- tugas Kepaniteraan berjalan lancar.

Demi kelancaran tugas peradilan memerlukan dukungan administrasi, personil dan keuangan, yang dilakukan oleh Sekretaris Pengadilan, maka Pimpinan Pengadilan harus dapat mengkoordinasi dan menguasai agar tugas kesekretariatan berjalan baik dan lancar sehingga mendukung tugas peradilan dengan baik. Dengan demikian diperlukan pilihan tenaga Panitera- /Sekretaris yang tepat dan menguasai tugasnya.

Daiam melaksanakan tugasnya para Hakim bekerja sama dalam satu team baik dalam Majelis Hakim maupun Majelis Pleno di bawah pimpinan Ketua dan Wakil Ketua Pengadilan.

234

Page 248: 2m i PENDALAMAN MATERI HUKUM I I - Mahkamah Agung

Untuk terselenggaranya tugas peradilan yang baik, maka harus ada :A. Perencanaan.B. Pelaksanaan.C. Pengawasan yang baik, serasi dan selaras.

Perencaaan, untuk membuat program kerja jangka panjang dan jangka pendek, hendaknya dibuat oleh Majelis Hakim Pleno dan unsur-unsur pimpinan Kepaniteraan dan Kesekretariatan yang dipimpin oleh Ketua Pengadilan.

I slaksanaan, tugas Pengadilan baik di bidang teknis Peradilan administrasi Peradilan dan administrasi umum, dilakukan oleh pimpinan para Hakim dan unsur Kepaniteraan serta Kesekretariatan dipimpin Ketua Pengadilan sebagai koordinator dan penanggung jawab dan pengelola Pengadilan.

Dalam melaksanakan tugasnya, Ketua dapat mendelegasikan ke­kuasaannya kepada Wakil Ketua, para Hakim sesuai dengan kebutuhan dan situasi serta kondisi Pengadilannya.

Pengawasan, tugas pengawasan diberikan kepada Wakil Ketua yang diberi wewenang untuk mengamati apakah pelaksanaan tugas sesuai dengan perencanaan.Pengawasan m eliputi:’’. Kepegawaian (man) yaitu Hakim, Pejabat Kesekretariatan dan

Kepaniteraa mengenai kemampuan teknis, administratif sampai dengan kondite dan DP3.

2. Keuangan, baik keuangan perkara maupun anggaran rutin dan pembangunan dan peralatan.Akhirnya dengan selalu mengadakan koordinasi, sinkronisasi dan pengawasan yang baik oleh Pimpinan, pengecualian akan beralan baik dan tujuan akan tercapai sesuai yang diharapkan.

Di dalam pelaksanaan tugas peradilan umumnya, sudah dikenal tugas pengendalian yaitu yang berupa laporan bulanan baik teknis maupun non teknis yang harus disampaikan ke Mahkamah Agung dan Direktorat Jenderal Badan Peradilan Umum dan Peradilan Tata Usaha Negara Departemen Kehakiman.

Selain dari pada itu dikenal adanya berbagai pengawasan lainnya yang dilaksanakan yaitu berupa:1. Pengawasan melekat (waskat)2. Pengawasan lugnsional (wasnal).

235

Page 249: 2m i PENDALAMAN MATERI HUKUM I I - Mahkamah Agung

A d.l. Pengawasan melekat (waskat) ialah pengawasan yang dilaksanakan oleh atasan langsungnya sesuai dengan struktur organisasi.

Ad. 2. Pengawasan fungsional (wasnal) ialah pengawasan yang dilaksana­kan oleh pejabat fungsional dari suatu instansi yaitu oleh Inspektur Jenderal.

Ad. 3. Pengawasan masyarakat (wasmas) ialah pengawasan yang di­laksanakan oleh masyarakat yaitu melalui Kotak Pos 5000 (kepada Wakil Presiden) dan Kotak Pos 1992 (kepada Mahkamah Agung Republik Indonesia).

Yang kesemuanya menjadi tugas dan tanggung jawab pimpinan untuk menyusun rencana tindak lanjut atas laporan-laporan mengenai pelaksanaan peradilan.

HI. SASARAN DAN TUJUAN.Maksud tul isan ini adalah untuk mendalam i, atau membahas bagaimana

penerapan kepemimpinan dan managemen dalam melaksanakan peradilan di Indonesia. Hal ini penting karena adanya kekhususan dalam organisasi peradilan. Organisasi Peradilan di Indonesia terdiri dari Kesekretariatan dan kepaniteraan. Pada organisasi instansi lain tidak terdapat perbedaan seperti itu. Oleh karena itu Kelompok Padjadjaran berupaya untuk menemukan penerapan administrais, managemen dan kepemimpinan dalam pelaksanaan tugas sehari-hari dari Badan Peradilan itu, demikian pula perlu ditinjau bagaimana cara koordinasi antara Kesekretariatan dan kepaniteraan agar jangan terjadi hambatan-hambatan malahan agar dapat diperoleh kelancaran pelaksanaannya dan di samping itu agar tujuan organisasi dalam mencapai terlaksananya Peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan se­bagaimana ditentukan dalam Undang-undang No. 14 tahun 1970 tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman pasal 4 ayat (2) dapat dicapai.

IV. PENERAPAN AZAS-AZAS MANAGEMEN DAN KEPEMIMPIN­AN.Sebelum sampai kepada pembahasan lebih lanjut, terlebih dahulu di-

jelasKan pengertian administrasi, managemen dan kepemimpinan.1. Administrasi.

Di dalam membicarakan managemen dan kepemimpinan, kita tidak terlepas dari administrasi, karena begitu erat hubungan di antara ketiganya.

3. Pengawasan masyarakat (wasmas).

236

Page 250: 2m i PENDALAMAN MATERI HUKUM I I - Mahkamah Agung

, "Administrasi adalah suatu ilmu yang mengajarkan tentang kerja sama dari dua orang atau lebih untuk mencapai tujuan yang telah terlebih dahulu ditetapkan dengan menggunakan segala dana dan sarana secara efisien dan efektif'.

2. Managemen.Berhubung karena begitu banyak pedoman atau penjelasan tetang apa yagn dimaksud dengan managemen, dalam tulisan ini akan dicantumkan beberapa batasan dari para ahli managemen sebagai beriku t:a. The Liang Gie :

"Managemen adalah proses penggerakan tindakan-tindakan dan penggerakan fasilitas-fasilitas dari usaha kerja sama agar tujuan yang ditentukan benar-benar tercapai".

b. Prof. Dr. Prajudi Atmosudirdjo :"Managemen adalah pengendalian dan pemanfaatan daripada semua faktor dan sumber daya, yang menurut suatu perencanaan (planning) diperlukan untuk mencapai atau menyelesaikan suatu prapta atau tujuan kerja yang tertentu".

c. Prof. Dr. sondang P. Siagian :"Managemen adalah ketrampilan untuk memperoleh hasil dalam rangka mencapai tujuan yang telah ditentukan sebelumnya dengan menggerakkan orang-orang dalam organisasi".

Dari ketiga bahasan tersebut dapat pula disimpulkan bahwa managemen itu mempunyai beberapa fungsi sebagai beriku t:1.... Perencanaan (planning) :Perencanaan merupakan serangkaian keputusan sebagai pedoman pelaksanaan kegiatan di masa yang akan datang. Rencaa yagn baik harus menetapkan :a. apa yagn akan dicapai.b. Alasan atau m otif perlunya kegiatan itu.c. Bagaimana cara melaksanakannya.d. Bilamana akan dilaksanakan.e. Siapa yang akan melaksanakan.f. Mengadakan penilaian, berkenaan dengan kegiatan, m ana yang

telah selesai, sedang dilaksanakan dan yang akan dilaksanakan.g. Kemungkinan-kemungkinan apa yang dapat mempengaruhi pelak­

sanaan dan kegiatan mengadakan penyesuaian dan perrobahan rencana.

237

Page 251: 2m i PENDALAMAN MATERI HUKUM I I - Mahkamah Agung

2. Pengorganisasian (organizing).Penyusunan atau pengelompokan kegiatan.Pengaturan berbagai kelompok sesuai dengan jenis kegiatan, dan tentang bagaimana hubungan antara kelompok dan jenis kegiatan masing-masing.Pembagian tanggung jawab.

3. Penyusunan personil (staffing).Menempatkan tenaga-tenga yang sesuai dengan tingkatan dan jenis pekerjaan atau kegiatan.

4. Penganggaran (budgeting).a. Menyusun anggaran.b. Mencari dan menentukan sumber-sumber dana.c. mengatur pemasukan dan pengeluaran dana.d. Membuat pencatatan arus dana atau pembukuannya.e . ' Laproan keuangan.

5. Pengkoordinasikan (koordinating).a. Mengkoordinir setiap bagian atau petugas.b. menghidnari hambatan.c. Mencegah tumpang tindih tugas.d. Memupuk dan mengembangkan sikap saling percaya dan kerja

sama.e. Menghindari kompetisi yang tidak sehat.f. Menghidnari dan menyelesaikan segala macam perbedaan

pendapat atau pertentangan yang akan menghambat kerja sama.6. Penggerakan (directing).

a. Memberikan penerangan, penjelasan tentang kegiatan yang ber­hubungan dengan sasaran yang hendak dicapai;

b. Mengeluarkan perintah, peraturan dalam rangka pelaksanaan;c. Memberikan contoh cara bekerja (keteladanan).d. Mengawasi.e. Mengemukakan penilaian tentang kebaikan dan keburukan

dalam pekerjaannya.f. megnadakan koreksi terhadap kekurangan atau kelemahan dan

meniadakan hambata.7. Pelaporan (reporting).

Hal-hal yag perlu diperhatikan :a. Apa-apa yang perlu dicatat.b. Cara mencatat.

238

Page 252: 2m i PENDALAMAN MATERI HUKUM I I - Mahkamah Agung

c. Cara menyimpannya secara teratur dan sistematis agar mudah ditemukan kembali pada saat dibutuhkan.

d. apa yang harus dilaporkan, siapa yang harus melaporkannya dan kepada siapa dilaporkannya.

e. Cara mengolah laporan agar tercapai peningkatan dan pe­ngembangan.

8. Penilaian (evaluating).Bertujuan untuk mengetahui sampai seberapa jauh tujuan yang telahditentukan terlebih dahulu telah tercapai, kegiatan mana yang belumdiselesaikan atau yang sedang dalam penyelesaian.Kegiatan ini m eliputi:a. mempelajari perkembangan usaha atau kegiatan secara terus

menerus dengan cara-cara pemantauan sehingga dapat diketahui dengan segera segala sesuatu faktor yang menghambat dan yang mendukung.

b. mengadakan pengukuran dan perhitungan tentang tingkat ke­berhasilan sesuatu pekerjaan atau kegiatan, sesuai dengan program.

c. mengadakan berbagai usaha untuk memecahkan berbagai hambatan yang timbul demi kelancaran pekerjaan atau kegiatan.

Dari uraian tersebut di atas secara umum dapat disimpulkan bahwa : managemen adalah suatu sistem untuk mengendalikan serangkaian kegiatan yang dilaksanakan oleh para pemimpin untuk menggerakkan segala sumber daya untuk mencapai tujuan tertentu secara efisien dan efektif.

Dari pengertian itulah orang mengatakan bahwa sesungguhnya managemen itu adalah inti dari administrasi.

Apabila kita ingin menyederhanakan pengertian tentang apa itu managemen, para ahli membuat suatu batasan yaitu :"Management is to get thing done through others".Terjemahaanya ialah :Managemen adalah menggerakkan orang lain untuk mencapai atau memperoleh sesuatu (tujuan).

Agar dapat memahami managemen itu dapat pulalah diberikan perbandingan tentang cara atau sistem yang dilakukan seorang sais sado atau bendi untuk mengendalikan jalannya kuda bersama kereta atau gerobaknya.

239

Page 253: 2m i PENDALAMAN MATERI HUKUM I I - Mahkamah Agung

Proses yang dilakukan mulai dari mengikat bendi dengan berbagai tali kendali, membuat penutup mata kuda agar tidak bisa melihat ke kiri dan ke kanan, karena hal itu akan mengurangi konsentrasi kuda itu untuk menerima perintah-perintah dari sais, mengikatkan tali temali pada kuda agar kereta menyatu dengan kuda, agar kuda dapat menarik dan menggerakkan kereta-nya, bagaimana cara melatih kuda untuk menerima perintah baik berupa suara maupun berupa isyarat-isyarat, bagaimana memelihara kuda itu agar tetap sehat dan sebagainya.

Sebagaimana telah diuraikan terlebih dahulu bahwa organisasi pengadilan itu telah disusun dengan Peratura Pemerintah dan segala macam juklak. Pemimpin Pengadilan terdiri dari Ketua dan Wakil Ketua. Dalam pelaksanaan tugasnya pimpinan pengadilan, dibantu oleh Pan itera-/Sekretar i s .

Ada kekhususan struktur organisasinya jika dibandingkan dengan organisasi pemerintahan yang lain, yaitu adanya Kepaniteraan dan Kesekretariatan yang mempunyai fungsi yang berbeda, maka pimpinan Pengadilan diharapkan mampu mengkoordinir kedua organisasi tersebut dengan sebaik-baiknya. Selain daripada tugas memimpin juga harus bekerja sendiri, dalam hal memutus perkara yang dalam ilmu administrasi hal seperti itu merupakan suatu hal yang tidak biasa.

Dalam hubungan ini dapat dijelaskan bahwa keseluruhan proses atau cara ataupun mekanisme tadi dipimpin.

Dalam administrasi sais atau kusir itu disebut pemimpin (leader). Antara managemen dan pemimpin terdapat suatu hubungan yang sangat erat, seolah-olah tidak dapat dipisahkan; apabila kita membicarakan managemen dengan sendirinya kita ahrus membicarakan pemimpin.

3. Kepemimpinan.Keberhasilan suatu organisasi sebagian besar ditentukan oleh pemimpin. Kepemimpinan itu mempunyai 2 macam pengertian :1. Kepemimpinan adalah kegiatan mengajak (menggerakkan) orang

agar orang tersebut mau bekerja dengan suka rela untuk me­wujudkan sasaran bersama.

2. Kepemimpinan adalah suatu proses menggerakkan dan mengajak orang untuk melakukan baik untuk dirinya maupun untuk orang lain untuk mencapai tujuan organisasi.

Sedangkan tugas dari seorang pemimpin adalah :1. Melaksanakan tugas yang dipikulnya itu secara tuntas.2. Menegakkan disiplin.

240

Page 254: 2m i PENDALAMAN MATERI HUKUM I I - Mahkamah Agung

3. Membina stafnya.4. Meningkatkan kesejahteraan staf.Unsur-unsur yang harus ada pada seorang pimpinan :1. Sebagai teladan.2. Sebagai manager.3. Sebagai komandan.4. Sebagai guru.5. Sebagai bapak sekaligus menjadi teman.Sifat sifat atau perangai yag harus dimiliki seorang pemimpin :1. Energik jasmani dan rohani.2. Kepastian akan maksud dan arah tujuan.3. Penuh antusias atau mempunyai perhatian yang besar.4. Ramah tamah, penuh rasa persahabatan dan ketulusan hati.5. Integritas atau pribadi yang bulat.6. Kecakapan teknis.7. Mudah mengambil keputusan.8. Cerdas.9. Kecakapan mengajar.10. Kesetiaan.Seorang pemimpin mempunyai sifat-sifat kelebihan :1. Memiliki intelegensi (kecerdasan) yang relatif lebih tinggi dari

bawahannya.2. Kematangan dan keluasan pandangan sosial.3. Mempunyai motivasi dan keinginan berprestasi yang datang dari

dalam.4. Mempunyai kemampuan mengadakan hubungan antar manusia.

V. KESIM PULAN DAN SARAN.Kesim pulan.1. Organisasi Peradilan di Indonesia pada umumnya telah memakai azas-

azas managemen modern.2. Azas kepemimpinan dan managemen perlu dan dapat diterapkan dalam

pengelolaan Pengadilan.3. Pimpinan Pengadilan harus memiliki sifat-sifat Kepemimpinan

Pancasila, yakni :Ing ngarso sung tulodo Ing madyo mangun karsoTut wuri handayani

yang penerapannya bersifat situasional.

241

Page 255: 2m i PENDALAMAN MATERI HUKUM I I - Mahkamah Agung

4. Di samping penguasaan ilmu kepemimpinan da managemen, setiap pejabat Pengadilan terutama pejabat teknis Pengadilan perlu memiliki kemampuan teknis/ilmu hukum dan ketrampilan profesional serta ketangguhan moral.

Saran.Masih diperlukan meningkatkan ketrampilan managerial dan pengetahu­

an Hakim/Pejabat Pengadilan, karena itu perlu diadakan penataran-pena­taran yang terencana dan kontinyu.

242