ridwan hasbi: elastisitas hukum nukah dalam perspektif

15
JURNAL USHULUDDIN Vol. XVII No. 1, Januari 2011 23 Ridwan Hasbi: Elastisitas Hukum Nukah dalam Perspektif Hadits Elastisitas Hukum Nikah dalam Perspektif Hadits Oleh : Ridwan Hasbi Nikah merupakan satu sunnah (ajaran) Rasulullah SAW yang sangat dianjurkannya, sampai beliau mengatakan “orang yang tidak mau menikah dengan tanpa alasan yang Syar`i, dimasukkan kedalam kategori bukan dari pengikutnya”. Kalau begitu posisi dari anjuran Rasulullah SAW dan larangan Tabattul (membujang) menjadikan pernikahan sebagai salah satu tanda beriman kepadanya, dan bahkan dapat menjadi salah satu upaya untuk menyempurnakan iman. Hukum nikah disaat mengacu pada hadits Nabi tidak menunjukkan pada satu ketetapan hukum, sehingga membuat nikah elastis pada wajib, sunat, mubah, makruh dan haram dalam ketetapan hukum. Keyword : Nikah dan Hadits I. Pendahuluan Pernikahan merupakan ikatan lahir batin antara dua orang hamba Allah yang berlainan jenis, dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan untuk selamanya. Pernikahan adalah salah satu bentuk ibadah yang kesuciannya perlu dijaga oleh kedua belah pihak, baik suami maupun istri. Penyatuan ikatan batin antara dua hamba yang berlainan jenis tersebut sangat memerlukan kematangan dan persiapan fisik dan mental karena menikah adalah sesuatu yang sakral dan dapat menentukan jalan hidup seseorang. 1 Penyatuan dua hamba yang berlainan jenis bukan sekedar duduk dipelaminan. Tetapi Allah menetapkan suatu ikatan suci, yaitu akad nikah. Dengan dua kalimat yang sederhana “ Ijab dan Qabul ” terjadilah perubahan besar, yang haram menjadi halal, yang maksiat menjadi ibadat, kekejian menjadi kesucian, dan kebebasan menjadi tanggung jawab. Maka nafsu pun berubah menjadi cinta dan kasih sayang. Akad nikah bukanlah sekedar kata-kata yang terucap dari mulut laki-laki, atau sekadar formalitas untuk mensahkan hubungan suami istri, ataupun adat yang menjadi kebiasaan dalam pernikahan. Akad nikah adalah sebuah perjanjian sakral yang ikatannya amat kokoh dan kuat. Perjanjian agung menyebabkan halalnya kehormatan diri untuk dinikmati pihak lainnya. Perjanjian kokoh yang tidak boleh diciderai dengan ucapan dan perbuatan yang menyimpang dari hakikat perjanjian itu sendiri. Pernikahan juga akad untuk meninggalkan kemaksiatan, akad untuk saling mencintai karena Allah, akad untuk saling menghormati dan menghargai, akad untuk saling menerima apa adanya, akad untuk saling menguatkan keimanan, akad untuk saling membantu dan meringankan beban, akad untuk saling menasehati, akad untuk setia kepada pasangannya dalam suka dan duka, dalam kefakiran dan kekayaan, dalam sakit dan sehat. Pernikahan berarti akad untuk meniti hari-hari dalam kebersamaan, akad untuk saling melindungi, akad untuk saling memberikan rasa aman, akad untuk saling mempercayai, akad untuk saling menutupi aib, akad untuk saling mencurahkan perasaan, akad untuk berlomba menunaikan

Upload: others

Post on 20-Oct-2021

12 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Ridwan Hasbi: Elastisitas Hukum Nukah dalam Perspektif

JURNAL USHULUDDIN Vol. XVII No. 1, Januari 2011 23

Ridwan Hasbi: Elastisitas Hukum Nukah dalam Perspektif Hadits

Elastisitas Hukum Nikahdalam Perspektif Hadits

Oleh : Ridwan Hasbi

Nikah merupakan satu sunnah (ajaran)Rasulullah SAW yang sangatdianjurkannya, sampai beliau mengatakan“orang yang tidak mau menikah dengantanpa alasan yang Syar`i, dimasukkankedalam kategori bukan dari pengikutnya”.Kalau begitu posisi dari anjuran RasulullahSAW dan larangan Tabattul (membujang)menjadikan pernikahan sebagai salah satutanda beriman kepadanya, dan bahkandapat menjadi salah satu upaya untukmenyempurnakan iman. Hukum nikahdisaat mengacu pada hadits Nabi tidakmenunjukkan pada satu ketetapan hukum,sehingga membuat nikah elastis padawajib, sunat, mubah, makruh dan haramdalam ketetapan hukum.

Keyword : Nikah dan Hadits

I. Pendahuluan

Pernikahan merupakan ikatan lahir batinantara dua orang hamba Allah yangberlainan jenis, dengan tujuan membentukkeluarga (rumah tangga) yang bahagia danuntuk selamanya. Pernikahan adalah salahsatu bentuk ibadah yang kesuciannya perludijaga oleh kedua belah pihak, baik suamimaupun istri. Penyatuan ikatan batin antaradua hamba yang berlainan jenis tersebutsangat memerlukan kematangan danpersiapan fisik dan mental karena menikahadalah sesuatu yang sakral dan dapatmenentukan jalan hidup seseorang.1

Penyatuan dua hamba yang berlainanjenis bukan sekedar duduk dipelaminan.Tetapi Allah menetapkan suatu ikatan suci,yaitu akad nikah. Dengan dua kalimat yangsederhana “Ijab dan Qabul” terjadilahperubahan besar, yang haram menjadi halal,yang maksiat menjadi ibadat, kekejianmenjadi kesucian, dan kebebasan menjaditanggung jawab. Maka nafsu pun berubahmenjadi cinta dan kasih sayang.

Akad nikah bukanlah sekedar kata-katayang terucap dari mulut laki-laki, atausekadar formalitas untuk mensahkanhubungan suami istri, ataupun adat yangmenjadi kebiasaan dalam pernikahan. Akadnikah adalah sebuah perjanjian sakral yangikatannya amat kokoh dan kuat. Perjanjianagung menyebabkan halalnya kehormatandiri untuk dinikmati pihak lainnya. Perjanjiankokoh yang tidak boleh diciderai denganucapan dan perbuatan yang menyimpangdari hakikat perjanjian itu sendiri.

Pernikahan juga akad untukmeninggalkan kemaksiatan, akad untuk

saling mencintai karena Allah, akad untuksaling menghormati dan menghargai, akaduntuk saling menerima apa adanya, akaduntuk saling menguatkan keimanan, akaduntuk saling membantu dan meringankanbeban, akad untuk saling menasehati, akaduntuk setia kepada pasangannya dalam sukadan duka, dalam kefakiran dan kekayaan,dalam sakit dan sehat.

Pernikahan berarti akad untuk menitihari-hari dalam kebersamaan, akad untuksaling melindungi, akad untuk salingmemberikan rasa aman, akad untuk salingmempercayai, akad untuk saling menutupiaib, akad untuk saling mencurahkanperasaan, akad untuk berlomba menunaikan

Page 2: Ridwan Hasbi: Elastisitas Hukum Nukah dalam Perspektif

JURNAL USHULUDDIN Vol. XVII No. 1, Januari 201124

kewajiban, akad untuk saling memaafkankesalahan, akad untuk tidak menyimpandendam dan kemarahan, akad untuk tidakmengungkit-ungkit kelemahan, kekurangandan kesalahan.

Tegasnya pernikahan adalah akad untuktidak melakukan pelanggaran, akad untuktidak saling menyakiti hati dan perasaan,akad untuk tidak saling menyakiti badan,akad untuk lembut dalam perkataan,santun dalam pergaulan, akad untuk indahdalam penampilan, akad untuk mesradalam mengungkapkan keinginan, akaduntuk saling mengembangkan potensi diri,akad untuk adanya keterbukaan yangmelegakan, akad untuk sal ingmenumpahkan kasih sayang, akad untuksaling merindukan, akad untuk tidakadanya pemaksaan kehendak, akad untuktidak saling membiarkan, akad untuk tidaksaling meninggalkan.

II. Defenisi dan Hakekat Nikah

Lafaz nikah berasal dari bahasa Arab,secara etimologi berarti: al-Dhammu dan al-jam‘u, juga al-Iqtiran dan al-Izdiwaj. Dalamkamus Mukhtar al-Shahhah2 antara lafazzuwaj dengan nikah adalah satu makna.Nikah merupakan ungkapan terhadap al-‘Aqdu (berakad), jima‘ (bersetubuh) dan al-Istimta‘ (bersenang-senang). Lafaz nikah danzuwaj merupakan kata yang menunjukan arti:bersatunya dua perkara atau ruh dan badanuntuk kebangkitan.

Realisasi dari makna nikah antara artihakiki dan majazi: setubuh (watha‘) dan akad(‘a‘qdu) yang menghalalkan hubungankelamin antara dua orang hamba Allah yangberlainan jenis. Dalam hal ini, terdapatperbedaan realisasi nikah dengan empatpendapat; (1). Hakekat nikah adalah akaddan majazinya adalah bersetubuh. (2).Hakekat nikah adalah bersetubuh dan

majazinya adalah akad. (3). Nikahmerupakan gabungan antara akad dansetubuh. (4). Nikah bermakna menghimpun(dhammu) secara mutlak, sedangkansetubuh adalah bagian dari menghimpun.3

Melihat perbedaan diatas, penulismenyimpulkan bahwa para ulamasependapat bahwa nikah adalah akad yangdiatur oleh agama untuk memberikankepada laki-laki hak memiliki penggunaanfaraj (kemaluan) perempuan dan seluruhtubuhnya untuk berhubungan badan.

Pemahaman para ulama dalampengertian nikah antara hakiki dan majazipada akad dan jima‘, memberi pengaruhpada pengertian pernikahan secaraterminologi. Untuk mempermudah kitadalam memahami istilah nikah antara parafuqaha, maka dapat dilihat dibawah ini:1. Menurut Hanafiah4, nikah adalah:

Akad yang disengaja dengan tujuanmendapatkan kesenangan

2. Menurut Syafi‘iyah5, nikah adalah:

Akad yang mengandung maksud untukmemiliki kesenangan (watha’) disertai lafadznikah atau yang semakna.

3. Menurut Malikiyah6, nikah adalah:

Akad yang semata-mata untuk mendapatkankesenangan dengan sesama manusia.

4. Menurut Hanabilah7, nikah adalah:

Akad dengan lafadz nikah atau kawin untukmendapatkan manfaat bersenang-senang.

Ridwan Hasbi: Elastisitas Hukum Nukah dalam Perspektif Hadits

Page 3: Ridwan Hasbi: Elastisitas Hukum Nukah dalam Perspektif

JURNAL USHULUDDIN Vol. XVII No. 1, Januari 2011 25

Dari beberapa terminology diatas, yangjelas bahwa pernikahan merupakankebolehan hukum antara seorang laki-lakidan seorang perempuan untuk melakukanpergaulan yang semula dilarang. Kebolehanitu dimulai dari akad yang menghalalkanpergaulan dan membatasi hak dan kewajibanserta bertolong-tolongan antara seoranglaki-laki dan perempuan.

Dalam undang-undang RepublikIndonesia Nomor 1 tahun 1974 Bab I Pasal 1:Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antaraseorang pria dengan seorang wanita sebagaisuami istri dengan tujuan membentuk keluarga(rumah tangga) yang bahagia dan kekalberdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.8

III. Hadits-hadits Nabawi TentangDasar Nikah

1. Hadits dan KedudukannyaDalam makalah ini ditetapkan tiga

hadits Nabawi yang dijadikan acuanpada pembahasan hukum nikah, sertaditambah dengan syahidnya. Hadits-hadits tersebut diambil dari kitabBulughul Maram9 nomor hadits 993,994 dan 995 sebagai landasan awaldengan merujuk kepada perawi-perawinya dalam kitab aslinya.

Pertama: Hadits TentangAnjuran Menikah

A‘masy dari ‘Umarah ibn ‘Umair dariAbdurrahman ibn Yazid dari AbdullahIbn Mas‘ud RA berkata: BahwaRasulullah SAW bersabda pada kami:“Wahai para pemuda, siapa diantara kalian yang mampumenikah (jima’ dan biayanya)maka nikahlah, karena ia lebihdapat membuatmu menahanpandangan dan memeliharakemaluan. Barangsiapa tidakmampu menikah makaberpuasalah, karena hal itubaginya adalah pelemahsyahwat.” (HR. Muttafaq ‘alaih)10

Hadits ini dalam riwayat Bukharibab puasa no.1, bab nikah no.2 dan 3,riwayat Muslim dalam bab nikah no.1dan 3, riwayat Daud bab nikah no.1,riwayat al-Nasa‘I bab puasa no.43 danbab nikah no.3, riwayat Ibnu Majah babnikah no.1, riwayat Daruqutni bab nikahno.2, riwayat Imam Ahmad no.1, 278,434, 425, 422, dan 447.11 Jalur sanadhadits diatas berjumlah tujuh orang,yaitu: Abu Bakar ibn Abi Syaibah, AbuKuraib, Abu Mu‘awiyah, al-A‘masy,‘Imarah ibn ‘Umair, Abdullah al-Rahman ibn Yazid dan Abdullah ibnMas‘ud. Uraian takhrij hadits secara rincisebagaiberikut:a. Abu Bakar ibn Abi Syaibah

(w.235 H)Nama lengkapnya: Abdullah

ibn Muhammad ibn Abi SyaibanIbrahim. Kunyah-nya: Abu Bakardan laqab-nya: al-‘Abas Maulahumal-Hafiz al-Kafy. Dia wafat padatahun 235 H. Ia meriwayatkanhadits dari guru-gurunya, antara lainadalah Abu Kuraib. Dan para muridyang meriwayatkan darinya adalahImam al-Bukhari, Imam Muslim,

Telah mengabarkan Abu Bakar ibn AbiSyaibah dan Abu Kuraib berkata telahmengabarkan Abu Mu‘awiyah dari al-

Ridwan Hasbi: Elastisitas Hukum Nukah dalam Perspektif Hadits

Page 4: Ridwan Hasbi: Elastisitas Hukum Nukah dalam Perspektif

JURNAL USHULUDDIN Vol. XVII No. 1, Januari 201126

Abu Daud, Nasa‘I dan Ibnu Majah.Para ulama hadits menilai Abu

Bakar ibn Abi Syaibah adalahseorang yang ahli ilmu, tsiqqah, danhafiz. Penilaian ini disampaikan olehYahya al-Harami, Ahmad AbuBakar, dan al-Ijli. Sedangkan IbnuHibban menilai ia dhaif sebabkadang-kadang ia salah dalammeriwayatkan hadits.12

Bila dibandingkan antara yangmentajrih dengan yang menta‘dilkannya lebih banyak yang menta‘dilkan.Dalam hal ini penulis menyimpulkan bahwa beliau adalah dapatditerima periwayatannya dengankategori tsiqqah.

b. Abu Kuraib (w. 248)Nama lengkapnya: Muhammad

bin ‘Ala‘ bin Kuraib al-Hamdani,atau Abu Kuraib al-Kufi al-Hafiz.Dia meninggal dunia pada tahun 248H. Dalam periwayatan hadits terdapatguru-gurunya, antara lain: ‘Abdullahbin Idris, Hafs bin Qiyas, Abu Bakkarbin ‘Ayyas, Hasyim, Ibn al- Mubarak,Abu Mu‘awiyah al-Dharir, Waki‘,Muhammad bin Basyar al-Aqdi.Sedangkan murid-murid yangmeriwayatkan hadits darinya antaralain: Jama‘ah, Abu Hatim, AbuZur‘ah, ‘Usman bin Khazraj,Abdullah bin Ahmad bin Hanbal.

Para ulama menilai Abu Kuraibdengan mengacu pada pernyataandari Ibnu Abi Hatim: Abu Kuraibadalah seorang yang shaduq,Marrah mengatakan Abu Kuraibadalah tsiqah dan Abu ‘Amrmengatakan bahwa Abu Kuraibsebagai Di‘afadh.13

Bila dilihat dari penilaian diatasternyata Abu kuraib ada yang

mengatakan lemah, namun penilainyang sangat dominan adalah dapatdiambil periwayatannya.

c. Abu Mu‘awiyah (w. 195)Nama lengkapnya adalah

Muhammad bin Khazim al-Tamimial-Sa‘di, Abu Mu‘awiyah al-Dhariral-Kufi. Beliau meninggal duniapada tahun 195 H. Periwayatanhadits yang dia lakukan berasal dariguru-gurunya, diantaranya: ‘Asim al-Ahwal, Abu Malik al-Asyja‘i, Sa‘id,al-A‘masy, Dawud bin Abu Hindi,Ja‘far bin Barqain, Suhail bin AbuShalih, Abu Sufyan al-Sa‘di.

Sedangkan murid-muridnyaantara lain: Ibrahim, Ibn Juraij,Yahya al-Qattan, Ahmad binHanbal, Ishaq bin Rahawaih, AbuKuraib, Muhammad bin Salam al-Baikandi, Muhammad bin Abdullahbin Numair.

Pernyataan para kritikus hadistentang dirinya: Mu‘awiyah binSlahih: Dia adalah sahabat al-A‘masyyang paling kokoh, Ibnul Kharasy:Dia adalahs haduq dan Ibn Hibban:Dia orang yang hafidh lagi teliti.14

Melihat dari hasil penilainterhadap diri Abu Mu‘awiyah, makapenulis menyimpulkan bahwaperiwayatannya dapat diterima.

d. Al-A‘masy (w. 148 )Nama lengkapnya Sulaiman ibn

Mihran al-Asady al-Kahily,meninggal dunia pada tahun 148 H.Periwayatan hadits dari gurunyaantara lain: ‘Umarah ibn ‘Umair danmuridnya adalah Abu Mu‘awiyah. Iaseorang yang tsiqah, namun masyhurdalam tadliis. Di sini ia membawakandengan ‘an’anah . Ibnu Hajar

Ridwan Hasbi: Elastisitas Hukum Nukah dalam Perspektif Hadits

Page 5: Ridwan Hasbi: Elastisitas Hukum Nukah dalam Perspektif

JURNAL USHULUDDIN Vol. XVII No. 1, Januari 2011 27

memasukkannya dalam thabaqahkedua. Abul-Fath Al-Azdiy berkata: “Dan orang yang melakukan tadlisdari orang yang tidak tsiqah, makatidak diterima haditsnya tersebutjika ia memursalkannya (yaitudengan shighah riwayat : ‘an) hinggaia berkata : haddatsanii (telahmenceritakan kepadaku) Fulaan,atau sami’tu (aku telah mendengar).…… Maka, kami tidak menerimatadlis Al-A’masy karena iamelewatkan (mengugurkan) paraperawi yang tidak tsiqah.15

Bila diperhatikan kritikan yangdikemukan pada al-A‘masymerupakan memposiskannya padaposisi yang kedua bukan pertama,namun periwayatannya tetap diterima.

e. ‘Umarah ibn ‘Umair (w. 82 H)Nama lengkapnya adalah

‘Umarah ibn Umar al-Taimy,meninggal dunia pada tahun 82 Hmasa khalifah Sulaiman ibn Abdulmalik. Periwayatan hadits darigurunya antara lain adalah Abdurrahman ibn Yazid al-Nakh‘I,sedangkan murid yang meriwayatkanhadits darinya antara lain: al-‘Amasy.

Para kritikus hadits menilainya:Abdullah ibn Ahmad mengatakantsiqqah, sedangkan Ibnu Mu‘in,Abu Hatim dan al-Nasa‘Imengatakan tsiqqah juga.16

Menurut penulis penilaian yangdisampaikan para kritikus haditsdiatas menjelaskan pada kita bahwa‘Umarah ibn Umair seorang yangtsiqqah.

f. Abdur Rahman ibn Yazid (w. 83 H)Nama lengkapnya adalah Abdur

Rahman ibn Yazid ibn Qais al-

nakh‘I, meninggal dunia padaperang Jamajim tahun 83 H.Periwayatan hadits dari gurunyadiantara lain adalah Abdulllah ibnMas‘ud, sedangkan muridnya antaralain: ‘Umarah ibn ‘Umair.

Penilaian para kritikus haditsterhadapnya: Ibnu Mu‘in: tsiqqah,Ibnu sa‘ad: Tsiqqah, dan IbnuHibban: Tsiqqah.17

Bila diperhatikan tentangpenilaian para kritikus haditsmenjelaskan pada kita perawi haditsini benar dan dapat diterimaperiwayatannya dengan posisitsiqqah.

Dengan memperhatikan sanadhadits diatas, dapat diketahui bahwasanadnya adalah muttasil(bersambung) mulai dari awalsampai akhir. Setiap rawi haditstersebut antara satu dengan yanglain saling bertemu dan salingmenerima hadits secara langsung,hal ini dapat dilihat dari tahun wafatmereka yang dalam analisa penulismemungkin mereka berguru satudengan lainnya.

Disamping sanad haditstersebut muttasil, juga kwalitashadits pada posisi yang dapatditerima sebagai landasan hukum.Hal ini didasarkan pada penilaianpara kritikus hadits yang rata-ratamengatakan tsiqqah. Maka dapatdisimpulkan bahwa hadits tersebutshaheh dan dapat dijadikan hujjah.

Kedua: Hadits Tentang Nikahsebagai sunnah Nabi

Ridwan Hasbi: Elastisitas Hukum Nukah dalam Perspektif Hadits

Page 6: Ridwan Hasbi: Elastisitas Hukum Nukah dalam Perspektif

JURNAL USHULUDDIN Vol. XVII No. 1, Januari 201128

Telah mengabarkan saya Abu Bakar ibnNafi‘ al-‘Abdy, telah mengabarkan kamiBahz, telah mengabarkan kamiHammad ibn Salamah dari Tsabit dariAnas bahwa ada beberapa orang darisahabat Nabi bertanya kepada istri Nabitentang amalannya saat sendirian, Makaberkata sebagian mereka: “Saya tidakakan menikahi perempuan”, sebagianlain berkata: “Saya tidak akan makandaging”, Sebagian lain berkata: “Sayatidak akan tidur atas kasur”. LaluRasulullah SAW bertahmid dan memujiAllah lalu beliau bersabda: “Bagaimanakeadaan orang-orang ini berkata beginibegitu, Akan tetapi aku shalat,tidur,puasa, makan dan aku menikahiperempuan, maka barang siapa tidaksenang dengan sunnahku bukanlah daripengikutku” (HR. Muttafaq ‘alaih)18

Hadits ini terdapat dalam riwayatBukhari bab nikah no.1, Muslim bab nikahno.5, al-Nasa‘I bab nikah no.4, Daruqutnibab nikah no.2 dan Imam Ahmad 2:158,2:241, 259, 285, dan 5:409.19 Jalur sanadhadits diatas berjumlah lima orang, merekaadalah: Abu Bakar ibn Nafi‘ al-‘Abdy,Bahz, Hamdan ibn Salamah, Tsabit danAnas. Uraian secara rinci takhrij haditsdiatas sebagai berikut:a. Abu Bakar ibn Nafi‘ al-‘Abdy (w.

240 H)Nama lengkapnya adalah

Muhammad ibn Ahmad ibn Nafi‘

al-‘Abdy al-Qaisiy. Kunyah-nya AbuBakar dan meninggal dunia padatahun 240 H. Periwayatan haditsdari gurunya antara lain: Bahz ibnAsad, sedangkan muridnya antaralain: Muslim, al-Turmuzi dan al-Nasai.

Ibnu Hajar al-Asqalanimengatakan bahwa Muslimmeriwayatkan hadits darinyasebanyak 54 hadits.20

Dalam kitab Tahzib al-Tahzibtidak ada penilain dari para kritikushadits terhadapnya, namunpernyataan Ibnu Hajar al-Asqalanidiatas dapat dijadikan acuan bawaAbu baker ibn Nafi dapat diterimaperiwayatannya.

b. Bahz (w. 197 H)Nama lengkapnya adalah Bahz

ibn Asad al-‘any Abu al-Aswad al-bashri, meninggal dunia pada tahun197 H. Periwayatan hadits darigurunya antara lain: Hammad ibnSalamah, dan muridnya antaranya:Abu Bakar.

Penilaian kritikus haditsterhadapnya: Abu hatim: Shaduqdan Tsiqqah, Ibnu Sa‘ad: Tsiqqah,dan Ibnu Mu‘in: Tsiqqah.21

Bila diperhatikan akan penilaianpara kritikus tersebut dapatdisimpulkan bahwa perawi hadits inidapat diterima sebagai tsiqqah.

c. Hammad ibn Salamah (w. 167H)Kunyah-nya adalah Abu

Salamah, dan panggilannya: al-Basriy, al-Hafizh, al-Buka‘iy, al-Quraisyiy. Ia meninggal dunia padatahun 167 H. Periwayatan haditsdidasarkan pada gurunya, antaralain: Hisyan ibn ‘Urwah, Tsabit.

Ridwan Hasbi: Elastisitas Hukum Nukah dalam Perspektif Hadits

Page 7: Ridwan Hasbi: Elastisitas Hukum Nukah dalam Perspektif

JURNAL USHULUDDIN Vol. XVII No. 1, Januari 2011 29

Sedangkan muridnya adalah: Aswadibn Amir dan Bahz.

Penilain para kritikus haditsterhadapnya adalah: seorang yangtsiqqah, hadits yang diriwayatkanyashaheh, sebagaimana dikemukakanoleh Ahmad, Abu Thalib, Ishaq ibnMansur, dan lainnya.22

d. Tsabit (127 H)Nama lengkapnya adalah Tsabit

ibn Aslam al-Bunany, AbuMuhammad al-Bashry. Meninggalpada tahun 127 H. Periwayatanhadits dari gurunya antara lainadalah Anas ibn Malik, sedangkanmuridnya adalah Hammad.

Para kritikus hadits menilai; al-‘ijly: Tsiqqah, al-Nasa‘i: Tsiqqah,Abu Hatim: Astbat, dan Ibnu ‘Ady:Ahaditsuhu mustaqimah danTsiqqah.23

Penulis memandang bahwa apayang dikemukakan dari krtikushadits bahwa Tsabit adalah tsiqqahdan dapat diterima periwayatannya.

Bila dilihat silsilah sanad haditsdiatas, dapat diketahui bahwasanadnya adalah muttasil(bersambung) mulai dari Abu Bakaribn Nafi‘ sampai Sahabat Anas ibnMalik, sebab setiap rawi haditstersebut antara satu dengan yanglain saling bertemu dan salingmenerima hadits secara langsung,hal ini dapat dilihat dari tahun wafatmereka yang dalam analisa penulismemungkin mereka berguru danmengajarkan pada muridnya satudengan lainnya.

Disamping sanad hadits tersebutmuttasil, juga kwalitas hadits padaposisi yang dapat diterima sebagailandasan hukum. Hal ini didasarkan

pada penilaian tsiqqah dan shaduqyang ungkapkan oleh para kritikushadits. Maka dapat disimpulkanbahwa hadits tersebut shaheh dandapat dijadikan hujjah.

Ketiga: Hadits TentangLarangan Tabattul

Telah mengabarkan kami Husain dan‘Affan berkata telah mengabarkan kamiKhalaf ibn Khalifah, telah mengabarkansaya Hafash ibn ‘Umar dari Anas ibnMalik berkata: Bahwa RasulullahSAW menyuruh kami berkeluarga dansangat melarang kami tabattul(membujang) dan selanjutnya beliaubersabda: “Menikahlah kalian denganperempuan yang subur dan penyayang,sebab dengan jumlahmu yangbanyak aku akan berbangga dihadapan para Nabi pada harikiamat” (HR Ahmad dan hadits inishaheh menurut Ibn Hibban)24

Hadits diatas diriwayatkan olehImam Ahmad no.2, 158 dan 245.25 Jalursanad hadits berjumlah lima orang,mereka adalah: Husein, ‘Affan, Khalafibn Khalifah, Hafsh ibn ‘Umar danAnas ibn Malik. Dengan uraian takhrijhadits secara rinci sebagai berikut:a. Husain (w. 213 H)

Nama lengkapnya adalah al-Husain ibn Muhammad ibnBahram al-Tamimy, Abu Ahmad.

Ridwan Hasbi: Elastisitas Hukum Nukah dalam Perspektif Hadits

Page 8: Ridwan Hasbi: Elastisitas Hukum Nukah dalam Perspektif

JURNAL USHULUDDIN Vol. XVII No. 1, Januari 201130

Meninggal dunia pada tahun 213 H.Periwayatan hadits dari gurunyaantara lain: Khalaf ibn KhalifahAyyub ibn ‘Utbah dan muridnyadiantaranya adalah Ahmad ibnHanbal.

Penilaian kritikus haditaterhadapnya; Ibnu Saad mengatakantsiqqah meninggal pada akhirkhalifah al-Makmun, al-Nasa‘Imengatakan Laisa bihi Baksun, IbnuHibban mengatakan tsiqqah.26

b. ‘Affan (w. 200 H)Nama lengkapnya adalah Affan

ibn Muslim ibn Abdullah al-ShaffarAbu Utsman al-Bashary, lahir padatahun 134 H dan meninggal duniapada tahun 200H.

Periwayan hadits dari gurunyadiantaranya adalah Khalaf ibnKhalifah, sedangkan muridnyaadalah Ahmad ibn Hanbal.

Penilaian para kritukus haditsterhadapnya; Abu hatim: Tsiqqah,Ibnu Hibban: Tsiqqah, Ibnu Saad:Tsiqqh.27

c. Khalaf ibn Khalifah (w. 181 H)Nama lengkapnya adalah Khalaf

ibn Khalifah ibn Sha‘id al-Asyja‘I,meninggal dunia pada tahun 181 H.

Periwayatan hadits dari gurunyaantara lain adalah Hafsh ibn Umar,sedangkan muridnya antara lainHusain dan ‘Affan.

Penilaian para kritikus haditsterhadapnya adalah Ibnu Ma‘in danal-Nasa‘i: Laisa bihi baksun, AbuHatim: Shaduq, Ibnu ‘Ady: la baksabihi, dan Ibnu Sa‘ad: Tsiqqah.28

d. Hafsh ibn ‘UmarNama lengkapnya adalah Hafsh

ibn akhi Anas ibn Malik, Abu Umaral-Madani, dikata ia adalah ibnuAbdullah atau ibnu Ubaidillah ibnAbi Thalhah, dan dikatakan juga iaadalah ibnu Umar ibn Abdullah atauUbaidillah ibn Abi Thalhah, danjuga disebutkan ia adalah anak dariMuhammad ibn Abdullah.

Ia meriwayatkan hadits daripamannya Anas Ibn Malik secaralangsung, sedangkan muridnyaantara lain: Khalaf ibn Khalifah.

Para kritikus hadits menilainya:Abu hatim: Shalihul hadits, Al-daruqutni: Tsiqqah, dan IbnuHibban mengatakan bagian dariTsiqqah.29

Dengan memperhatikan sanadhadits diatas dari awal sampaikepada sahabat, maka kita dapatmenyimpulkan: muttasil(bersambung) antara perawi. Setiaprawi hadits tersebut antara satudengan yang lain saling bertemu dansaling menerima hadits secaralangsung, hal ini dapat dilihat daritahun wafat mereka yang dalamanalisa penulis memungkin merekaberguru satu dengan lainnya.

Begitu juga status kwalitashadits, dimana penilaian parakritikus hadits yangmengungkapkan bahwa rawinyadapat diterima periwayatan dengankata tsiqqah atau laisa lahu baksun.Maka dapat disimpulkan bahwahadits tersebut shaheh dan dapatdijadikan hujjah.

2. Syahid HaditsKetiga hadits diatas mempunyai

syahid yang ditulis dalam kitab bulughulMaram dengan penomoran 996.30

Syahid itu berasal dari Abu Daud, al-

Ridwan Hasbi: Elastisitas Hukum Nukah dalam Perspektif Hadits

Page 9: Ridwan Hasbi: Elastisitas Hukum Nukah dalam Perspektif

JURNAL USHULUDDIN Vol. XVII No. 1, Januari 2011 31

Nasa‘i dan Ibn Hibban dari hadits Ma‘qilIbn Yasar.a. Syahid dalam riwayat Abu Daud:

Meriwayatkan pada kami ‘Usmanibn abi Syaibah, Jarir dari al-‘Amasydari Ibrahim dari ‘Alqamahberkata: Sungguh saya berjalanbersama Abdullah ibn Mas‘ud diMina saat itu ber jumpa dengan‘Usman maka ia minta untukdibiarkan sendiri, ketika Abdullahmelihat tidak ada keperluan iaberkata pada saya: wahai ‘Alqamahkesini, maka saya datang , laluUsman berkata padanya: Sebaiknyakamu menikah hai Abdurrahmandengan seorang jariah yang perawanagar ia kembali padamu untukjiwamu yang menjanjikan, makaberkata Abdullah: Bila kamumengatakan demikian sungguh sayamendengar Rasulullah SAWbersabda: “siapa di antara kalianyang mampu menikah (jima’ danbiayanya) maka nikahlah, karenaia lebih dapat membuatmu menahanpandangan dan memelihara

kemaluan. Barangsiapa tidakmampu menikah maka berpuasalah,karena hal itu baginya adalahpelemah syahwat”.31

b. Syahid dalam riwayat al-Nasa‘i:

Mengabarkan pada kami ‘Amru ibnZararah berkata: Ismailmeriwayatkan pada kami, berkata:Yunus meriwayatkan pada kamidari Abi Ma‘syar dari Ibrahim dari‘Alqamah berkata: Saat sayabersama Ibnu Mas‘ud dan dia sedangsama Usman RA, maka berkatalahUsman: Saat Rasulullah SAWkeluar berjumpa dengan sekelompokanak muda, lalu Rasulullah SAWbersabda: “Siapa diantara kalianpunya umur panjang makahendaklah ia menikah, makasesungguhnya demikian itu dapatmembuatmu menahan pandangandan memelihara kemaluan.Barangsiapa tidak mampumenikah maka ber puasalah,karena hal itu baginya adalahpelemah syahwat”.32

Ridwan Hasbi: Elastisitas Hukum Nukah dalam Perspektif Hadits

Page 10: Ridwan Hasbi: Elastisitas Hukum Nukah dalam Perspektif

JURNAL USHULUDDIN Vol. XVII No. 1, Januari 201132

Mengabarkan pada kami Ishaq ibnIbrahim berkata: Affan memberitahukami lalu berkata: Hammad ibnSalamah meriwayatkan pada kamidari Tsabit dari Anas, bahwa adasekelompok dari sahabat Nabi SAWberkata kepada sebagian lain: Sayatidak akan menikahi perempuan, danberkata yang lain: Saya tidak akanmakan daging, dan berkata yang lain:Saya tidak akan tidur diatas kasur,dan berkata yang lain lagi: Saya puasadan tidak akan berbuka. Maka halitu sampai pada Rasulullah SAWlalu beliau bertahmid dan memujiAllah seraya bersabda: “Bagaimanakeadaan kaum itu berkata beginidan begitu, akan tetapi aku shalat,tidur, puasa, makan dan akumenikahi perempuan, maka barangsiapa tidak senang dengan sunnahkubukanlah dari pengikutku”. 33

IV. Elastisitas Hukum Nikah

Elastisitas hukum nikah denganmerujuk pada hadits-hadits merupakansuatu hal yang berkaitan dengan keimanan,sebab Rasulullah SAW dalam persoalan

nikah ini mengungkapkan dengan kategori“bukan pengikutnya bagi yang mampu dantidak mau menikah”. Ibnu Rusydmengungkapkan bahwa pernikahan bagikebanyakan Ulama (Jumhur) adalah sunnat,al-Dzahiri mengatakan wajib, Mutaakhir dariMalikiyah membedakan penerapannya:nikah dapat hukumnya wajib bagi sebagianorang dan sunat bagi yang lain serta mubahbagi yang lainnya. Sebab perbedaanpendapat ini adalah shiqah amar (perintah)terhadap nikah yang terdapat dalam al-Quran dan Hadits, sehingga ada yangmenyimpulkan wajib, sunat dan mubah.Sedangkan yang menyimpulkan bahwanikah itu wajib bagi sebagian, sunnat bagisebagian lain dan mubah bagi sebagianlainnya didasarkan pada maslahat.34

Pernikahan adalah fitrah kemanusiaan,maka dari itu Islam menganjurkan untuknikah, karena nikah merupakan gharizahinsaniyah (naluri kemanusiaan). Bila gharizahini tidak dipenuhi dengan jalan yang sah yaituperkawinan, maka ia akan mencari jalan-jalansyetan yang banyak menjerumuskan kelembah hitam.

Memenuhi gharizah insaniyah denganpernikahan dan sebuah sunnah yang terdapatperbedaan dalam aplikasinya. Sehinggasunnah Rasulullah ini, bila kita tela‘ah lebihdalam lagi perlu dibedakan antara kondisinormal dan tidak normal, sebagai berikut:

1. Hukum Nikah Dalam KondisiNormal

Realita dari kondisi normal adalahsaat seseorang yang secara jasmani,ruhiyah dan kejiwaan baik, sertakesiapan mental dan kesungguhanuntuk memikul tanggung jawab, padatataran ini terdapat tiga hukum yangmelingkupinya sesuai dengan perbedaanpendapat para Ulama, yakni wajib,mubah dan sunat.

Ridwan Hasbi: Elastisitas Hukum Nukah dalam Perspektif Hadits

Page 11: Ridwan Hasbi: Elastisitas Hukum Nukah dalam Perspektif

JURNAL USHULUDDIN Vol. XVII No. 1, Januari 2011 33

Pertama; Pendapat al-Dzahiriyah dan Ibnu hazam yangmengatakan nikah hukumnya wajib

Landasan yang dipakai merekadalam menyimpulkan bahwa hukumnikah adalah wajib, didasarkan pada:a. Dzahir dari nash-nash, baik berupa

ayat al-Qur’an, maupun hadits Nabiyang memerintahkan pernikahan.Sebab semua perintah tersebutmenggunakan shigat amar (bentukperintah) dan setiap perintahmenunjukkan wajib karenanya,nikah juga adalah wajib, al-ashlu filamr lil wujub, pada dasarnya perintahitu menunjukkan kepada wajib.

b. Larangan untuk tidak membujang(tabattul) menunjukkan bahwamembujang apapun alasanya adalahharam, sehingga menikah adalahwajib, dan Islam tidak mengenalkependetaan35

Menurut penulis pendapat diataskurang kuat, dengan alasan:

Pertama: Nash al-Quran yangmenggunakan shigat amar bukanmenunjukkan hukum wajib tapi mandubdan istihbab, sebab nash tersebutmemberi pilihan pada seseorang antaramenikah atau menggauli hamba sahayaperempuan. Kalau dihukum wajib, tentutidak ada pilihan dan secara kenyataantidak akan terjadi sebuah pilihan antarawajib dan tidak wajib.

Kedua: Hadits (yaa ma‘ayara al-syabab...) tidak menunjukkan hukumwajib tapi sunat, sebab Rasulullah SAWmemberi pilihan bagi yang tidak mampudengan puasa. Alternatif yangdikemukan Rasulullah adalah pilihan danpilihan tidak akan masuk hukum wajib.

Ketiga: Larangan tabattul dalam haditstidak dapat dipahami bahwa nikah wajib

dan tabattul haram. Namun Haditstersebut menunjukkan laranganmeninggalkan sunat bukan wajib, sebabsebagian sahabat ada yang tidakmenikah sedangkan Rasulullahmengetahuinya dan tidak menegurmereka. Ini menjelaskan bahwa nikahpada tataran normal adalah sunat.

Kedua; Pendapat SebagianSyafi‘iyah dan Syi‘ah hukum nikahmubah

Landasan yang dipakai merekadalam menyimpulkan bahwa hukumnikah adalah mubah, didasarkan pada:a. Banyak ayat al-Quran yang

menetapkan nikah dikorelasikandengan kata “hil” (halal), yangberarti mubah, seperti dalam suratal-Nisa`: 23. Kata “hil” tersebuttidak menunjukkan wajib dan sunat,tapi tetap dipahami dengan halalyakni mubah.

b. Allah memuji Nabi Yahya AS dalamkitab-NYA, dan menjadikannyasebagai orang yang pantasmendapat pujian, sedang NabiYahya tidak menikah dan iamempunyai kesanggupan untuk itu.Jika nikah itu lebih utama darimembujang, kenapa Allah puji NabiYahya AS. Ini menunjukkan hukumnikah adalah mubah.

c. Nikah merupakan urusan duniawiuntuk memenuhi kebutuhan jasaddan keinginannya, sama sepertimakan, minum dan lainnya. Olehsebab itu menikah adalahpemenuhan instink manusia dan iatidak sampai pada tataran ibadah.36

Menurut penulis pendapat diatastidaklah benar sebab:

Pertama: Kata “hil” dalam kaitannya

Ridwan Hasbi: Elastisitas Hukum Nukah dalam Perspektif Hadits

Page 12: Ridwan Hasbi: Elastisitas Hukum Nukah dalam Perspektif

JURNAL USHULUDDIN Vol. XVII No. 1, Januari 201134

dengan nikah, seperti dalam surat al-Nisa`: 32 disimpulkan bahwa nikahadalah mubah, tidak dapat diterima. Halitu didasarkan bahwa terdapat ayat yanglain menggunakan shigat amar (perintah)sehingga hukum nikah dapat wajib dansunat bila ada qarinah.

Kedua: Pujian Allah atas Nabi YahyaAS dengan kesibukannya beribadah danmembujang merupakan sesuai dengansyariat yang berlaku pada masa itu.Sedangkan syariat yang berlaku padamasa sekarang adalah syariat yangdibawa Rasulullah sehingga hukumnyaberbeda dengan pada masa Nabi Yahya.

Ketiga: Ungkapan yang mengatakannikah adalah urusan duniawi dan tidaksampai pada tataran ibadah merupakanungkapan yang salah. Sebab nikahmerupakan bagian dari ibadah danhubungan biologis suami istri bukansekedar memenuhi intsink tapi biladiniatkan ibadah maka ia akan naikketingkatan ibadah.

Ketiga; Pendapat Jumhur ulamahukum nikah adalah sunat

Landasan yang dipakai merekadalam menyimpulkan bahwa hukumnikah adalah sunat, didasarkan pada:a. Landasannya mereka memahami

perintah nikah yang terdapat dalamal-Qur’an dan Hadits kepadahukum sunnat bukan wajib. FirmanAllah yang terdapat dalam surat an-Nisa ayat 3 misalnya, yang berbunyi:Artinya: “Maka nikahilah wanita-wanita yang kamu sukai dua, tiga danempat” (QS. An-Nisa: 3).Ayat ini,menurut pendapat merekabukanlah menunjukkan wajib.Karena dalam ayat tersebut, Allahmengkaitkan nikah dengankemampuan, istitha’ah. Artinya,

barang siapa yang sudah mampuuntuk menikah, maka menikahlah.Sedangkan yang belum mampuuntuk menikah, maka tidakmengapa ia tidak menikah. Karenaitu, menikah bukanlah wajib akantetapi sunnat saja.

b. Nash-nash dalam al-Quran danHadits bahwa nikah bukanpermintaan sejati, tapi ia permintaanyang mengarah pada taujih (arahan)sehingga hukumnya sunat.

c. Rasulullah SAW melakukanpernikahan sampai ia meninggaldunia dan begitu juga para sahabatNabi.37

Menurut penulis pendapat JumhurUlama hukum nikah sunnat, dapatditerima karena:

Pertama: Bahwa pernikahan lebihutama dari pada tabattul

Kedua: Dalil yang digunakan: sangatkuat dan jauh dari celaan dan bantahan,serta ditambah lagi “la Rahbaniayata fi al-Islam” (tidak ada kependetaan dalamIslam).

2. Hukum Nikah Dalam KondisiTidak Normal

Rasulullah SAW menganjur untukmelaksanakan pernikahan sebagaisunnahnya, tidak ingin menjadikanpernikahan sebagai masalah, melainkansebagai penyelesaian persoalan. Bahwapernikahan bukan sebuah beban,melainkan tuntutan fitrah yang harusdipenuhi. Seperti kebutuhan kitaterhadap makan dan minum, makamanusia juga butuh untuk menikah.Dalam melaksanakan sunnah RasulullahSAW ini serta menjadikannya sebagaisolusi kehidupan dan tuntutan fitrah,tentu realisasi nikah terhadap individu

Ridwan Hasbi: Elastisitas Hukum Nukah dalam Perspektif Hadits

Page 13: Ridwan Hasbi: Elastisitas Hukum Nukah dalam Perspektif

JURNAL USHULUDDIN Vol. XVII No. 1, Januari 2011 35

dengan individu lainnya berbeda, sesuaidengan keadaan dan kondisi masing-masing baik secara kesiapan mental,tanggung jawab, ekonomi, jasmani danlainnya.

Tataran pelaksanaan pernikahanpada kondisi yang tidak normal, ditinjaudari kesiapan mental atau lainnya tentuharus kita perhatikan secara baik, hal itudapat memberi dampak, baik positifatau negative. Dalam persoalan ini,diaplikasi hukum pernikahan tergantungpada kondisi seseorang, sehinggadibedakan antara satu dengan lainnya.Pendapat ini pendapat yang kuat padamadzhab Malikiyyah, Syafi’iyyah,Hanafiyah dan Hanabilah. Namundemikian, kalau dilihat dari segi kondisiorang yang melakukan pernikahan,maka melaksanakannya dapat dikenakanhukum wajib, sunnat, makruh danharam, sebagaimana uraian berikut:a. Hukum menikah bisa wajib, bagi

mereka yang sudah siap dan mampubaik lahir maupun bathin, sehinggakalau tidak menikah, ia akanterjerumus kepada perbuatanzina.Tidak ada cara lain untukmenjaganya kecuali dengan jalanmenikah. Dalam kaidah Ushuliyyahdikatakan: “Sesuatu yang tidakmenyebabkan terpenuhinya sesuatu yangwajib kecuali dengan sesuatu itu, makasesuatu itu menjadi wajib hukumnya”.

b. Nikah juga hukumnya bisa sunnah,bagi mereka yang syahwatnya sudahmenggebu akan tetapi masih besarkemungkinan seandainya belummenikah pun, ia masih dapatmenjaga diri dari perbuatan zina.Untuk kondisi seperti ini, nikahhukumnya sunnah saja.

c. Nikah juga bisa haram, bagi orangyang belum siap menikah, baik

secara lahir (menafkahi) maupunsecara bathin (berhubungan badan)sehingga kalau dipaksakan menikah,si perempuan akan menderita baiklahirnya maupun bathinnya. Atau,nikah juga bisa menjadi haram, bagiorang yang bermaksud jahat dengannikahnya itu, misalnya inginmenyakiti perempuan dankeluarganya atau karena balasdendam dan sebagainya.

d. Nikah juga bisa makruh, bagi orangyang kondisinya seperti disebutkandiatas, akan tetapi tidakmenimbulkan madharat bagi si isteri.Jadi, apabila ia menikah, si isteritidak merasakan dampak negativeyang sangat besar. Untuk orangseperti ini, sebaiknya jangan dahulumenikah, dan kalaupun maumenikah, maka hukumnya makruhsaja.38

Dari pemaparan aplikasi pernikahanyang disesuaikan dengan kondisiperorangan, maka penulis lebih cenderunguntuk mengambil pendapat diatas, bahwapernikahan itu hukumnya berbeda-beda,disesuaikan dengan kondisi orang yangmelaksanakannya. Pendapat ini juga lebihtepat untuk kondisi sekarang.

V. Penutup

Menikah merupakan sunnah para nabidan para rasul, disamping sebagai salah satutanda-tanda kekuasaan dan karunia nikmatdari Allah. Melalui pernikahan, manusia yangberpasangan laki dan perempuan akanmemulai menjalani kehidupan baru, yaitukehidupan rumah tangga, yang menjadidambaan dan perhatian manusia umumnyadalam kehidupannya sehari-hari.. Menikahadalah jenjang yang harus dilalui dalam

Ridwan Hasbi: Elastisitas Hukum Nukah dalam Perspektif Hadits

Page 14: Ridwan Hasbi: Elastisitas Hukum Nukah dalam Perspektif

JURNAL USHULUDDIN Vol. XVII No. 1, Januari 201136

kondisi apapun dan bagaimanapun. Iaadalah sunnatullah yang tidak mungkindiganti dengan cara apapun. Bila RasulullahSAW menganjurkan agar berpuasa, ituhanyalah solusi sementara, ketika kondisimemang benar-benar tidak memungkinkan.Tetapi dalam kondisi normal, sebenarnyatidak ada alasan yang bisa dijadikan pijakanuntuk menunda pernikahan.

Endnotes:1 Hamid Ahmad al-Thahir, Dr, Tuhfatul ‘Arus, (Kairo:

Dar al-fajr litturats, 2004), hal. 32 Zainuddin al-Razi, Mukhtar al-shahhah, (al-

maktabah al-syamilah, edisi kedua), jilid.1, hal. 1353 Abdul Aziz Muhammad Azam, Dr dan Ahmad

Abdul Mugni Syahin, Dr, Ahkam al-Zuwaj wa al-thalaq fi al-fiqh al-Islamy, (Kairo: Univ. al-azhar, 1993),hal.34.

4 Kamaluddin Muhammad ibn Abd al-Wahid, Fathual-Qadir Syar al-Hidayah, (Kairo: Mushtafa halabi,1987), jilid. 3, hal. 339, dan lihat Abdurrahman al-Jaziry, Kitab al-Fiqh Ala al-Mazahib al-Arba‘ah,(Bairut: Dar al-Kutub al-Ilmiah, 1990), jilid. 4, hal.8

5 Al-Syarbiny al-Khathib, Mugni al-Muhtaj Syarh al-Minhaj, (Kairo: al-halaby, 1985), jilid. 3, hal. 123,al-Imam Zakaria ibn Muhammad ibn Ahmad al-Anshari al-Syafi‘I, Hasyiayah al-Bujiri ala SyarhManhaj al-Thullab, (Bairut: dar al-Kutub al-Ilmiah,2000), jilid.3 , hal. 377.

6 Hasyaiah al-Shawi ala Syarh al-Shagir, (al-Maktabahal-Syamilah, edisi kedua ), juz. 2, hal.332, dan lihatAbdurrahaman al-Jazairy, Op.cit., jilid. 4, hal. 8 7.Ibnu Qudamah al-Hanbaly, Al-Mughni, (Kairo: Daral-Mannar, 1987), juz. 14, hal. 351, dan lihatAbdurrahman al-Jazairy, Op.cit., jilid. 4, hal. 9

8 Kumpulan UU RINo.1 Th. 1974 dan KompilasiHukum Islam, (Bandung: Penerbit Citra Umbara,2007), hal. 2.

9 Al-hafiz Ibn Hajar al-Asqalani, Bulughul Maram,(Bairut: Dar al-Fikr, 191352 H), hal. 200-201.

10 Ibid., hal. 200

11 A.Winski, DR, al-Mu‘jam al-Mufahras lialfaz al-hadits al-nabawi, (London: Maktabah baril, 1936),jilid.1, hal.229

12 Syihabuddin Ahmad ibn Aly ibn Hajar al-Asqalani,Tahzib al-Tahzib, (Bairut: Dar al-Fikr, 1995), jilid.4, hal. 464-465

13 Ibid, jilid.7, hal. 362-363.14 Ibid, jilid. 7, hal. 127-129.15 Ibid. jilid. 3, Hal. 506-509.16 Ibid. jilid. 6, hal. 25-26.17 Ibid. jilid. 5, hal. 20118 Al-hafiz Ibn Hajar al-Asqalani, Op.cit., hal. 200-

20119 A. Winski, Op.cit., jilid.2, hal. 27520 Ibid. jilid. 7, hal. 22-2321 Ibid. jilid. 1, hal. 521-52222 Ibid. jilid. 2, hal. 1223 Ibid. jilid. 1, hal. 546-54724 Al-hafiz Ibn Hajar al-Asqalani, Op.cit., hal. 20125 A. Winski, Op.cit., jilid.1, hal. 22926 Ibid. jilid. 2, hal. 33427 Ibid. jilid. 5, hal. 596-60028 Ibid. jilid. 2, hal. 569-57029 Ibid. jilid. 2, hal. 383-38430 Op.cit., hal 20131 Sunan Abi daud, juz. 5, hal. 42432 Sunan al-Nasa‘I, juz. 10, hal 29833 Ibid., hal. 29934 Muhammad ibn Rusyd, Bidayah al-Mujtahid wa

Nihayah al-Muqtashid, (Indonesia: Maktabah DarIhya‘ al-kutub al-Arabiyah, 1990), jilid. 2, hal. 2.

35 Al-Shan‘ani, Op.cit., juz.3, hal. 160 , dan lihat:Mahmud Abdullah al-Ukkazy, Fiqh al-Sunnah FiAhkam al-Usrah, (Kairo: Univ. al-azhar, 1994), hal.14-15.

36 Wahbah al-Juhaili, Dr, al-Fiqh al-Islami wa adillatuhu,(Bairut: Dar al-fikr, 1996), jilid. 7, hal. 33, MahmudAbdullah al-Ukkazy , Ibid., hal. 16-17, dan lihatAbdul Majid Mahmud Mathlub, al-Wajiz Fi Ahkamal-Usrah al-Islamiyah, (Kairo: Ma‘had al-Dirasat,1995), hal. 15

37 Al-Shan‘ani, Op.cit., jilid. 3, hal. 160, dan lihatMahmud Abdullah al-Ukkazy , Ibid., hal. 19-20.

38 Wahbah al-Zuhaili, Ibid. jilid. 7, hal. 31-33,Mahmud Abdullah al-Ukkazy, Ibid., hal. 21-22, danAbdurrahman al-Jazairy, Op.cit., jilid. 4, hal. 10-12

Ridwan Hasbi: Elastisitas Hukum Nukah dalam Perspektif Hadits

Page 15: Ridwan Hasbi: Elastisitas Hukum Nukah dalam Perspektif

JURNAL USHULUDDIN Vol. XVII No. 1, Januari 2011 37

DAFTAR PUSTAKA

Al-hafiz Ibn Hajar al-Asqalani, Bulughul Maram,(Bairut: Dar al-Fikr, 191352 H)

Abdurrahaman rafat al-Basya, Dr, ShuwarMin hayah al-Shahabah, (Bairut: Daral-Nafais, 1992)

Abdul Aziz Muhammad Azam, Dr danAhmad Abdul Mugni Syahin, Dr,Ahkam al-Zuwaj wa al-thalaq fi al-fiqhal-Islamy, (Kairo: Univ. al-azhar,1993)

Abdurrahman al-Jaziry, Kitab al-Fiqh Ala al-Mazahib al-Arba‘ah, (Bairut: Dar al-Kutub al-Ilmiah, 1990)

Al-Syarbiny al-Khathib, Mugni al-MuhtajSyarh al-Minhaj, (Kairo: al-halaby,1985)

al-Imam Zakaria ibn Muhammad ibnAhmad al-Anshari al-Syafi‘I,Hasyiayah al-Bujiri ala Syarh Manhajal-Thullab, (Bairut: dar al-Kutub al-Ilmiah, 2000)

Abdul Majid Mahmud Mathlub, al-Wajiz FiAhkam al-Usrah al-Islamiyah, (Kairo:Ma‘had al-Dirasat, 1995)

Hamid Ahmad al-Thahir, Dr, Tuhfatul ‘Arus,(Kairo: Dar al-fajr litturats, 2004)Hasyaiah al-Shawi ala Syarh al-Shagir,(al-Maktabah al-Syamilah, edisikedua )

Ibnu Atsir, Usud al-Ghabah, (al-Maktabah al-Syamilah, edisi kedua)

Ibnu Rajab, Jami’ul ‘Ulum wal Hikam fi syarhkhamsin haditsan min jawami` al-kalim,(Kairo: Dar al-Rayyan litturats,1987)

Ibnu Qudamah al-Hanbaly, Al-Mughni,(Kairo: Dar al-Mannar, 1987)

Kamaluddin Muhammad ibn Abd al-Wahid,Fathu al-Qadir Syar al-Hidayah ,(Kairo: Mushtafa halabi, 1987)

Kumpulan UU RINo.1 Th. 1974 danKompilasi Hukum Islam,

(Bandung: Penerbit Citra Umbara,2007)

Muhammad ibn Makran ibn Manzur al-Afriqy al-Mishry, Lisan al-‘Arab,(Bairut: Dar Shadir, 1995)

Muhammad ibn Ismail al-Amir al-Yamanial-Shan‘ani, Subul al-salam SyarhBulugh al-Maram, (Kairo: Dar al-Hadits, 1993)

Muhammad ibn Rusy, Bidayah al-Mujtahid waNihayah al-Muqtashid, (Indonesia:Maktabah Dar Ihya‘ al-kutub al-Arabiyah, 1990)

Mahmud Abdullah al-Ukkazy, Fiqh al-SunnahFi Ahkam al-Usrah, (Kairo: Univ. al-azhar, 1994)

Syihabuddin Ahmad ibn Aly ibn Hajar al-Asqalani, Tahzib al-Tahzib, (Bairut:Dar al-Fikr, 1995)

Wahbah al-Juhaili, Dr, al-Fiqh al-Islami waadillatuhu, (Bairut: Dar al-fikr, 1996)

Zainuddin al-Razi, Mukhtar al-shahhah, (al-maktabah al-syamilah, edisi kedua)

Tentang Penulis

H.M. Ridwan Hasbi, Lahir di Dalu-DaluTambusai (Kab. Rokan Hulu), 17 Juni 1970.Menyelesaikan pendidikan dasar dan menengahpertama di Dalu-dalu Tambusai, serta PondokModern Gontor Jawa Timur 1991. Pada tahun1992 melanjutkan pendidikan kejenjang S1 diFakultas Syariah wa al-Qanun dalam bidangSyariah UNIVERSITAS AL-AZHAR Kairo Mesirdan tamat pada tahun 1997. Dan pada tahun1998 melanjutkan pendidikan S2 di IAIN SusqaRiau dengan konsentrasi Pemikiran ModernDalam Islam (PMDI) dan diselesaikan padatahun 2000. Pada saat ini bekerja sebagai DosenTafsir Hadits pada Fakultas Ushuluddin UINSUSKA Riau dan aktif di MUI Kota Pekanbarusebagai Sekretaris Umum dan juga aktifdiberbagai organisasi: MDI, Ittihadul MuballighinRiau, FKUB Kota Pekanbaru, Tafaqquh StudiClub dan lainnya.

Ridwan Hasbi: Elastisitas Hukum Nukah dalam Perspektif Hadits