visi islam

27

Click here to load reader

Upload: dadang-suryadi

Post on 27-Jun-2015

293 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Visi Islam

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Awal munculnya ide tentang integrasi keilmuan dilatarbelakangi

oleh adanya dualisme atau dikhotomi keilmuan antara ilmu-ilmu umum

di satu sisi dengan ilmu-ilmu agama di sisi lain. Dikhotomi ilmu yang

salah satunya terlihat dalam dikhotomi institusi pendidikan antara

pendidikan umum dan pendidikan agama telah berlangsung semenjak

bangsa ini mengenal sistem pendidikan modern.

Berkenaan dengan cara pandang umat Islam terhadap ilmu, di

kalangan masyarakat Islam berkembang suatu kepercayaan bahwa hanya

ilmu-ilmu agama Islam-lah yang pantas dan layak dikaji atau dipelajari oleh

umat Islam, terutama anak-anak dan generasi mudanya. Sementara ilmu-

ilmu sekuler dipandang sebagai sesuatu yang bukan bagian dari ilmu-ilmu

yang layak dan patut dipelajari.

Visi Islam adalah sebagai pembawa rahmat bagi seluru alam, pembawa

kesejahteraan umat, pembawa perdamaian, mengajarkan persamaan, serta

penegak keadilan.

Secara etimologi islam berasal dari kata Aslama, yuslimu, islaman,

berarti “keselamatan”, ”kedamaian” dan kesejahteraan dalam arti yang luas

islam dapat diartikan sebagai bentuk kepercayaan yang diajarkan nabi

Muhammad SAW yang mengajakan kepada manusia untuk senantiasa

beriman kepada Allah, melaksanakan segala yang diperintahkan dan menjauhi

segala yang dilarangNYA.

1

Page 2: Visi Islam

B. Rumusan Masalah

Rumusan masalah penulisan makalah adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana konsepsi tentang Ilmu-ilmu Ke-Islam-an?

2. Bagaimana hakikat Ilmu-ilmu Ke-Islam-an?

3. Bagaimana hakikat Integrasi Keilmuan Ke-Islam-an?

4. Apa visi Islam Sebagai Pembawa Rahmat?

5. Bagaimana membangun Ilmu dengan Visi Islam?

C. Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan makalah adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui konsepsi tentang Ilmu-ilmu Ke-Islam-an.

2. Untuk mengetahui hakikat Ilmu-ilmu Ke-Islam-an.

3. Untuk mengetahui hakikat Integrasi Keilmuan Ke-Islam-an.

4. Untuk mengetahui visi Islam Sebagai Pembawa Rahmat.

5. Untuk mengetahui membangun Ilmu dengan Visi Islam.

D. Sistematika Penulisan

Terdiri dari 3 bab, bab pertama sebagai pendahuluan. Bab kedua

sebagai isi pembahasan dan bab ketiga sebagai penutup.

2

Page 3: Visi Islam

BAB II

PEMBAHASAN

A. Konsepsi tentang Ilmu-ilmu Ke-Islam-an

Yuyun Suriasumantri, mengartikan ilmu sebagai pengetahuan yang

memiliki tiga karakteristik, yaitu: rasional, empiris, dan sistematis. Pengertian

yang hampir sama diberikan oleh Amsal Bachtiar, yang menyatakan

bahwa ilmu merupakan pengetahuan yang terklasifikasi, tersistem dan

terukur serta dapat dibuktikan kebenarannya secara empiris.

Tetapi pada umumnya, pengetahuan (knowledge) diartikan sebagai

segala sesuatu atau keseluruhan yang diterima oleh indra manusia atau

dengan menggunakan istilah Arthur Hays Sulzberger, pengetahuan

(knowledge) adalah the sum or range of what has been perceived,

discovered, or learned.

Dengan pengertian pengetahuan seperti itu, maka semua informasi

yang dapat dipersepsi, dicari, dan dipelajari masuk dalam kategori

pengetahuan. Namun demikian kebanyakan filosof membuat setidaknya

tiga kriteria yang harus dipenuhi oleh pengetahuan, yaitu beralasan

(justified), benar (true), dan dapat dipercaya (believed).

Dengan kriteria tersebut, tidak semua informasi dapat

dikategorikan sebagai pengetahuan. Hanya informasi yang memiliki

alasan, dapat dipercaya, dan memiliki kebenaran yang dipandang sebagai

pengetahuan. Namun demikian, karena sifat pengetahuan yang memiliki

cakupan luas, maka definisi pengetahuan yang lebih tepat adalah

3

Page 4: Visi Islam

keseluruhan yang dipersepsi, ditemukan, dan dipelajari oleh manusia.

B. Hakikat Ilmu-ilmu Ke-Islam-an

Konsep ilmu-ilmu ke-Islam-an, oleh beberapa pemikir Muslim

juga biasa disbut dengan "sains Islam". Ketika mencoba menjawab

pertanyaan: mengapa sains Islam, Nasim Butt mengatakan bahwa jika sains

memang sarat nilai dengan komponen penting yang bersifat subjektif (juga

objektif), maka tentunya ia bisa dikembangkan melalui selera dan penekanan

kultural yang khas. Artinya, di dalam sebuah masyarakat Islam, nilai yang

membentuk upaya sains dan teknologi haruslah nilai Islami, yang dalam

istilah singkatnya disebut sebagai konsep sains Islam.

Keyakinan sains Islam bahwa ia tidak bebas nilai memang

bertentangan dengan keyakinan Barat yang secara tegas menyatakan

bahwa sains bebas nilai (values free). Bahwa sains tidak bebas nilai

memang banyak diyakini oleh para pendukung gagasan integrasi

keilmuan melalui konsep Islamisasai ilmu pengetahuan (Islamization of

knowledge).

C. Hakikat Integrasi Keilmuan Ke-Islam-an

Menyusun dan merumuskan konsep integrasi keilmuan tentulah

tidak mudah.

Apalagi berbagai upaya yang selama ini dilakukan oleh beberapa

perguruan tinggi Islam, terutama di Indonesia, dengan cara memasukkan

beberapa program studi ke-Islam-an diklaim sebagai bagian dari proses

4

Page 5: Visi Islam

integrasi keilmuan. Dalam praktek kependidikan di beberapa negara,

termasuk di Indonesia, integrasi keilmuan juga memiliki corak dan jenis

yang beragam. Lagi pula merumuskan integrasi keilmuan secara

konsepsional dan filosofis, perlu melakukan kajian filsafat dan sejarah

perkembangan ilmu, khususnya di kalangan pemikir dan tradisi keilmuan

Islam.

Untuk memberikan pemahaman yang memadai tentang konsep

integrasi keilmuan, yang pertama-tama perlu dilakukan adalah memahami

konteks munculnya ide integrasi keilmuan tersebut. Bahwa selama ini di

kalangan umat Islam terjadi suatu pandangan dan sikap yang membedakan

antara ilmu-ilmu ke-Islam-an di satu sisi, dengan ilmu-ilmu umum di sisi

lain. Ada perlakukan diskriminatif terhadap dua jenis ilmu tersebut. Umat

Islam seolah terbelah antara mereka yang berpandangan positif terhadap

ilmu-ilmu ke-Islam-an sambil memandang negatif yang lainnya, dan

mereka yang berpandangan positif terhadap disiplin ilmu-ilmu umum

sembari memandang negatif terhadap ilmu-ilmu ke-Islam-an.

D. Visi Islam Sebagai Pembawa Rahmat

Islam merupakan ad-din yang telah memberikan petunjuk kepada

manusia menuju Allah. Dalam perjalanan sejarah Islam telah menyumbangkan

banyak kebaikan kepada kemanusiaan. Islam telah membebaskan manusia dari

kebodahan menuju kebenaran Islam.

Islam tidak hanya membawa rahmat bagi kaum muslim, tetapi juga

bagi seluruh umat. Banyak hal-hal yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan

5

Page 6: Visi Islam

bersumber dari Al-Quran ataupun bersumber dari pemikiran tokoh

cendikiawan muslim, namun diambil oleh pemikir-pemikir Yahudi sehingga

mereka mendapat nama besar sebagai penemu ilmu pengetahuan dan ilmu

pengetahuan tersebut berasal dari bangsa mereka.Ilmu tersebut sangat

bermanfaat bagi semua umat dan menjadi rahmat.

Rasulullah SAW diutus oleh Allah ke dunia ini yang padanya

diberikan agama Islam dialah yang dikatakan sebagai pembawa rahmat kepada

alam. Agama Islam yang diberikan kepada Rasulullah SAW oleh Allah adalah

untuk memimpin manusia ini, firman Allah yang maksudnya :

“Tidak Aku utuskan engkau (ya Muhammad) melainkan untuk menjadi

Rahmat kepada Alam“

Walaupun kita dapati ayat ini menunjukkan bahwa rahmat yang

dibawa oleh Rasulullah itu adalah umum kepada semua manusia tetapi

sebenarnya adalah dikhususkan oleh Allah kepada orang mukmin semata-

mata. Orang yang diluar mukmin tidak akan mendapat rahmat bahkan mereka

lebih merasa tidak senang hati dengan Islam dan kedatangan Al Qur’an yang

disampaikan oleh Allah kepada Rasulullah SAW. Manakala kedatangan

Rasulullah yang padanya disampaikan agama Islam dan dengan agama ini

Rasulullah menyampaikannya kepada umat serta memimpin umat hingga

umat ini menerima Allah dan menerima Rasulullah, disinilah letaknya rahasia

keagungan Islam dan kebesaran Islam.

1. Islam Pembawa Kesejahteraan Umat

Sebagai agama pembawa keselamatan dan kesejahteraan bagi umat

sejagat, Islam sangat anti-kemiskinan. Kemiskinan dianggap sebagai

6

Page 7: Visi Islam

sumber berbagai kejahatan dan kegiatan sumbang (Ataul Huq, 1993).

"Ureung gasien" lebih mudah dijerumuskan setan ke lembah kebejatan dan

kenistaan. Rasulullah saw bersabda: "Kemiskinan mendekati kekufuran"

(H.R. as-Sayuti). Hal ini juga diakui pakar ekonomi barat. Alcock (1993)

misalnya menyebutkan bahwa kemiskinan adalah salah satu penyakit

sosial. Tidak seperti kemiskinan konvensional yang hanya diukur dengan

material semata, kemiskinan dalam Islam jauh bersifat komprehensif

dengan mempertimbangkan baik aspek material maupun spiritual. Ini

berimplikasi bahwa tolak ukur kemiskinan antara konsep konvensional

dan Islam adalah berbeda. Bisa jadi seseorang itu kaya bila menggunakan

ukuran konvensional, tapi miskin bila dilihat dengan kacamata ekonomi

Islam. Berbedanya definisi dan ukuran kemiskinan antara konsep

kemiskinan barat dengan Islam otomatis menyebabkan kriteria sebuah

kesuksesan dalam program pengentasan kemiskinan juga berbeda.

Mungkin program pengentasan kemiskinan itu dikatakan berhasil bila

dilihat dari perspektif barat, tapi ia gagal secara Islam. Demi berhasilnya

program pengentasan kemiskinan, yang pertama sekali harus kita

identifikasikan adalah faktor-faktor penyebab kemiskinan itu sendiri.

Dengan mengetahui "root of the problems" (akar masalah), maka dengan

mudah kemiskinan yang mendera lebih separuh penduduk Muslem dapat

dientaskan.

2. Islam Pembawa Perdamaian

Allah menciptakan manusia dalam berbagai suku bangsa untuk

saling mengenal. Arti luas mengenal disini adalah seluruh manusia

7

Page 8: Visi Islam

diperintahkan untuk tidak membeda-bedakan suku, ras maupun status.

Islam mengajarkan perdamaian agar perbedaan tersebut tidak menjadi

alasan untuk saling berpecah belah. Hidup damai sesama pemeluk agama

maupun antar beda agama.

3. Islam Mengajarkan Persamaan

Prinsip Persamaan Antarmanusia :

Artinya :

“Hai manusia, sesungguhnya Kami ciptakan kamu dari seorang laki-laki seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”

Ayat di atas secara gamblang mendeskripsikan proses kejadian

manusia. Dalam ayat tersebut dijelaskan bahwa Allah menciptakan

manusia dari pasangan laki-laki dan perempuan. Kemudian dari pasangan

tersebut lahir pasangan-pasangan lainnya.

Dengan demikian, pada hakekatnya, manusia itu adalah “satu

keluarga”. Proses penciptaan yang “seragam” itu merupakan bukti bahwa

pada dasarnya semua manusia adalah sama. Karena itu, manusia memiliki

kedudukan yang sama.

Prinsip persamaan antarmanusia ini juga dijelaskan oleh Rasulullah

SAW dalam berbagai hadisnya, seperti yang diriwayatkan oleh Ahmad

dan juga sebagaimana diriwayatkan oleh Ibn Majah.

8

Page 9: Visi Islam

Lantas apakah yang membedakan antara manusia satu dengan yang

lainnya? Ayat di atas langsung menjawab bahwa yang membedakan antara

orang satu dengan yang lainnya adalah taqwanya. Artinya Allah tidak

membedakan berdasarkan nasab (keturunan), warna kulit, suku atau

bangsa, maupun tampang yang dimiliki oleh seseorang.

Muncul pertanyaan, apakah prinsip persamaan yang dibawa Islam

tersebut dengan paham persamaan (egalitarianisme) yang selalu

didengungkan di Barat dewasa ini? Terhadap pertanyaan ini Muhammad

Husein Haykal dengan tegas menyatakan bahwa paham persamaan yang

dibawa Islam sangat berbeda dengan paham persamaan yang sering

ditonjolkan dalam peradaban Barat.

Persamaan yang diajarkan Islam adalah persamaan dalam bentuk

yang paling hakiki dan sempurna. Islam mengajarkan bahwa semua

manusia dari segi harkat dan martabatnya adalah sama di hadapan Tuhan.

Tidak ada perbedaan antara manusia yang satu dan lainnya kecuali dalam

taqwanya kepada Tuhan.

Adapun persamaan di Barat, tegas Haikal, hanya mengajarkan

persamaan di hadapan hukum yang tidak lain adalah buatan manusia

sendiri. Paham ini di Barat muncul sebagai akibat dari Revolusi Perancis

(1789). Cita-cita kemanusiaan yang amat ditonjolkan dalam revolusi ini

adalah kebebasan, persamaan, dan persaudaraan (liberte, egalite,

fraternite). Aplikasi terpenting dari cita-cita tersebut menurut Prof Dr

Musdah Mulia adalah timbulnya sistem politik yang demokratis.

9

Page 10: Visi Islam

4. Islam Penegak Keadilan

Perspektif Islam

Islam sangat objektif dan rasional dalam penegakan keadilan.

Seseorang tidak ditolelir untuk mendiamkan pelanggaran apa pun dari

orang yang dicintainya atau mengganjar orang yang dibencinya di luar

kepantasan. Penegakan keadilan mesti benar-benar adil, sekalipun

terhadap diri sendiri, ibu bapak dan kaum kerabat. Bahkan, keadilan harus

ditegakkan terhadap orang kaya dan miskin. Keadilan Islam tidak

berkompromi dengan segala prestise dan status sosial. Al-Quran sangat

mewanti-wanti poin ini, karena seringkali kekayaan seseorang membuat

penegak hukum tidak berkutik menindaknya, atau kemiskinan dan

kesengsaraan seseorang tidak jarang membangkitkan rasa kasihan dan

tidak tega menghukumnya.

Penegakan keadilan perspektif Islam memiliki dasar pijak, standar

nilai dan tujuan sangat jelas. Al-Quran mengungkapkannya dalam redaksi

qawwâmîna lil-Lâh (orang-orang yang menegakkan keadilan karena

Allah). Upaya penegakan keadilan harus diawali karena ketundukan dan

keinginan tulus untuk mengabdi sepenuhnya kepada Allah. Tidak boleh

ada nilai-nilai lain yang digunakan sebagai standar kecuali ajaran Allah

atau nilai masyarakat yang sejalan dengan kehendak-Nya.

Poin paling esensial, keadilan ditegakkan bukanlah untuk

memuliakan sebagian orang atau menghinakan yang lain, tapi semata-mata

untuk “memuaskan” Allah. Seluruh aktivitas penegakan keadilan harus

mengarah secara jelas pada penegakan “kehendak” Allah, Tuhan yang

10

Page 11: Visi Islam

sangat menyayangi manusia dan menginginkan yang terbaik bagi hamba-

Nya. Jika Allah “puas” dengan penegakan keadilan yang dilakukan,

berarIslam sebagai agama rahmatan lil aalamin, harus dapat meningkatkan

kesejahteraan umat manusia. "Islam seharusnya menegakkan keadilan

untuk semua orang, bukan hanya untuk umat Islam. Siapa pun yang lemah,

apa pun agamanya, harus dibantu. Kita harus berpikir dalam bingkai

negara kebangsaan dengan problem-problem kemanusiaan yang lintas

batas, " Islam, aktif melakukan kritik etik terhadap sistem sosial politik

mana pun yang tidak memihak kelompok lemah.

E. Membangun Ilmu dengan Visi Islam

Sejak masa kenabian sampai saat ini, Islam tetap diakui sebagai ajaran

(risalah) agama yang sangat compatible dengan cita-cita kemajuan ilmu

pengetahuan dan pembentukan peradaban ummat. Di pandang dari segi

teologis, Islam memiliki sistem ketuhanan yang sempurna, yang mengatur

kehidupan alam semesta ini secara totalitas. Singkatnya, kehadiran Islam

selain mengajarkan bagaimana membangun transendensi yang kokoh, tetapi

juga memberi implikasi praksis-empiris, yakni membawa misi kerahmatan

bagi semesta alam.

Namun, secara faktual yang terjadi dilapangan eksistensi Islam belum

memperlihatkan suatu ajaran yang compatible dengan kemajuan sebagaimana

yang dimaksud di atas, tetapi dalam beberapa hal ajaran agama justru

dipahami secara parsial yang pada gilirannya membuat umat Islam itu sendiri

terjebak pada dataran normativ, eskatologis dan berlawanan dengan nilai-nilai

11

Page 12: Visi Islam

kedinamisannya. Munculnya wacana gagasan Islam liberal misalnya, telah

melahirkan reaksi yang justru mematikan substansi pemikiran ummat.

Nampaknya masih ada kesenjangan antara cita-cita, pesan moral dan

kenyataan yang sesungguhnya. Karena sampai saat ini, literatur keagamaan

semacam ini masih agak ‘terbatas’, dibandingkan dengan literatur keagamaan

yang ranah kajiannya berbau konseptual dan sulit diimplementasikan pada

dataran praksis.

Memahami doktrin Islam -landasan normativ- berarti harus diturunkan

menjadi pesan dan petunjuk dalam mengkonstruksi ilmu pengetahuan yang

elegan bagi kehidupan umat. Saat ini, problema yang masih dirasakan oleh

umat Islam adalah kesenjangan antara ide dan kenyataan. Sehingga fenomena

ini mengaharuskan bagi kita untuk menelaah kembali dengan menggunakan

pendekatan dan metologis yang tepat.

Salah satu upaya untuk menjembatani kesenjangan tersebut –kata

Kadir- harus dilakukan faktualisasi. Yakni suatu proses yang mengubah ide

dalam Islam menjadi fakta dalam keberagamaan pemeluk. Proses ini berisi

rangkaian kegiatan pemeluk yang merupakan pelaksanaan universalitas misi

dan petunjuk dalam doktrin Islam, bagi kehidupan konkret masyarakat. Ujung

akhir dari proses faktualisasi adalah Islam, yang bukan hanya sebagai ide,

namun sudah meruang-waktu dalam wujud tampilan konkret, lengkap dengan

sifatnya, keadaan, tempat dan waktu tertentu, dapat di indra, dalam kehidupan

konkret pemeluk, dan dapat ditunjuk sebagai satuan keberagamaan.

Proses faktualisasi dapat dipahami sebagai singularitas keberagamaan

dalam agama Islam. Perubahan universalitas menjadi singularitas ini sejajar

12

Page 13: Visi Islam

dengan perubahan dari agama menjadi keberagamaan pada diri pemeluk.

Dalam konteks ini, keberagamaan berarti menjalankan atau melaksanakan

ajaran agama. Tanpa melalui proses faktualaisasi kandungan doktrin agama

sulit mengakar rumput.

Sebagaimana digagas oleh para ilmuan Muslim terdahulu, kita dapat

menjumpai sebuah termenologi “ideal moral” dan “legal formal” untuk

merumuskan tabiat keberagamaan dalam sumber ajaran Islam. Term pertama,

menunjuk pada pesan moral dan nilai kemanusiaan yang terdapat dalam

ajaran, sedang kedua pada tampilan dan cenderung bernuansa baku dari

pelaksanaan ajarannya. Untuk term yang pertama dapat diterima, namun term

kedua terdapat banyak yang keberatan.

Gagagasan tentang ilmu Islam amali berangkat dari kenyataan bahwa

masalah-masalah kontemporer saat ini tidak dapat dijelaskan dan dijawab

dengan mewarisi intelektual Islam (kondisi sosial keagamaan mereka) begitu

saja. Sebab bukan tidak mungkin warisan khazanah mengalami suatu –yang

disebut Thomas S. Kuhn – tahap anomali. Jadi pembongkaran ulang terhadap

pemikiran sebelumnya sangat mungkin untuk dilakukan, dan jalan keluarnya

adalah merumuskan paradigma baru.

Keterbatasan ilmu Islam untuk menjawab dan menyelesaikan masalah

ummat, kata A, Kadir- mengakibatkan ketidakberhasilannya secara maksimal

untuk mencapai tujuan risalah seperti pada masa Rasullullah dan masa formasi

Islam (Golden Age of Islam). Tidak jarang, banyak penulis seperti; Lothrop

Stoddrad, George Antonius, Albert Hourani, W. Montgomery Watt, dan

penulis Barat lainnya, atau oleh Ahmad Amin, Ahmad Syalaby, Niyazi

13

Page 14: Visi Islam

Berkes, dan penulis-penulis Timur lainnya digambarkan sebagai periode

kemunduran Islam. Aspek kemunduran ini tidak hanya terbatas pada dimensi

politik semata, melainkan juga meluas sampai ke dimensi sosial, budaya, ilmu

pengetahuan bahkan yang lebih memprihatinkan adalah justru kemunduran di

bidang keagamaan.

Kondisi kehidupan seperti ini tidak hanya menghambat, melainkan

sudah menggagalkan pencapaian tujuan risalah. Oleh karena itu, -kata A.

Kadir- pokok bahasan, perspektif umum dan metode pemecahan masalah ilmu

Islam, tidak lagi berhenti pada norma atau pemikiran spekulatif, melainkan

secara pasti harus menjangkau terapan ajaran dalam kehidupan praktis atau

dimensi ‘amali dari keberagamaan Islam.

Karena itu, menurut A. Kadir, paradigma yang perlu dibangun untuk

membentuk ilmu Islam amali dapat dirumuskan dengan menggunakan

pendekatan ahkamy, falsafy dan wijdany. Membangun keberagamaan perlu

ditandai dengan kegiatan intelektual yang didasarkan pada paradigma tersebut.

Dengan demikian, kualitas risalah dalam konteks sosiokulturalnya, sangat

ditentukan oleh seberapa jauh potensi intelektual di dalam masing-masing

paradigma itu.

Kerangka paradigma di atas, merupakan kunci pokok untuk

memperoleh universalitas pesan moral dan nilai kemanusiaan yang terkandung

dalam kitab suci maupun dari sunnah Rasulullah. Di sinilah faktualisasi itu

bergerak menuju kondisi sosial yang saat ini berkembang sebagaimana

substansi ajaran agama itu diturunkan di muka bumi ini. Jadi tidak ada

kesulitan yang berarti, jika ada upaya untuk menafsirkan dan menta’wilkannya

14

Page 15: Visi Islam

dengan secara kritis. Karena secara epistemologis, upaya melakaukan hal itu

selaras dengan pandangan al-qur’an yang sangat tinggi menghargai kedudukan

akal.

Kesemprnaan ajaran bukan bukan berarti tidak membutuhkan kerja

keras untuk berusaha memahami dan menangkap substansi kandungannya.

Karena itu, kajian keilmuan baik yang bersifat keagamaan, masalah ilmu-ilmu

sosial, humaniora sangat membutuhkan kerangka metodologis yang sistematis

yang dapat diuji kebenarannya. Ilmu dan agama sama-sama memiliki sifat

yang mendorong pada nilai pragmatis. Jika terjadi pemisahan antara kedua

jantung keilmuan tersebut, maka kehancuran dan sekularisme sulit bisa

disembuhkan.

Sebagai sebuah kajian temporal, buku ini memuat banyak hal yang

berkaitan dengan permasalahan ummat, khususnya kajian keagamaan dan

keislaman. Hampir keseluruhan bagian pembahasan diwarnai dengan analisis

tentang prosedur teknis atau langkah operasional untuk membentuk kehidupan

yang sesuai dengan petunjuk atau norma agama.

Pengembangan petunjuk dalam ajaran Islam diharapkan menjadi sains

keagamaan, dan pada akhirnya dapat ditumbuhkan teknologi untuk

memberdayakan potensi agama. Jika tahap perkembangan ini tercapai, maka

keunggulan dan manfaat ajaran agama tidak berhenti pada keyakinan semata,

namun sudah dapat dibuktikan dalam praksis kehidupan.

15

Page 16: Visi Islam

BAB III

PENUTUP

Visi Islam adalah sebagai pembawa rahmat bagi seluru alam, pembawa

kesejahteraan umat, pembawa perdamaian, mengajarkan persamaan, serta

penegak keadilan.

Konsep ilmu-ilmu ke-Islam-an, oleh beberapa pemikir Muslim juga

biasa disbut dengan "sains Islam". Ketika mencoba menjawab pertanyaan:

mengapa sains Islam, Nasim Butt mengatakan bahwa jika sains memang sarat

nilai dengan komponen penting yang bersifat subjektif (juga objektif), maka

tentunya ia bisa dikembangkan melalui selera dan penekanan kultural yang khas.

Artinya, di dalam sebuah masyarakat Islam, nilai yang membentuk upaya sains

dan teknologi haruslah nilai Islami, yang dalam istilah singkatnya disebut sebagai

konsep sains Islam.

Dalam konteks sosiokultural, antara ajaran agama dan kemajuan sains

harus dapat berjalan seiring dan seirama. Secara sosiologis keduanya sama-sama

memiliki fungsional untuk membentuk diri manusia sejahtera, bahagia dan rasa

aman.

Sejak masa kenabian sampai saat ini, Islam tetap diakui sebagai ajaran

(risalah) agama yang sangat compatible dengan cita-cita kemajuan ilmu

pengetahuan dan pembentukan peradaban ummat

16

Page 17: Visi Islam

DAFTAR PUSTAKA

Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Pustaka Muhammadiyah, Jakarta, 1960

Yuyun Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Sinar Harapan, Jakarta, 1998

Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, Radjawali Press, Jakarta, Cetakan Kedua, 2005

http://pharmacistmuslim.blogspot.com/2010/02/visi-islam-adalah-sebagai-

pembawa.html

http://mujtahid-komunitaspendidikan.blogspot.com/2010/03/membangun-

epistemologi-ilmu-dalam-islam.html

http://www.ditpertais.net/annualconference/ancon06/makalah/Makalah%20Husni

%20Thoyyar.pdf

17