untuk membatasi permasalahan, penulis akan menguraikan ...repository.uinjkt.ac.id › dspace ›...
TRANSCRIPT
iv
ABSTRAK
Wahyu Fathurrahman. Nim 11150450000080. Tinjauan Ham Internasional
Terhadap Praktik Diskriminasi di Xinjiang China. Program Studi Hukum Tata
Negara (Siyasah), Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta, 1440 H/2019 M. IX + 55 halaman.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bentuk-bentuk pelanggaran
HAM yang terjadi di Xinjiang China serta meninjau bagaimana respon dan
kebijakan HAM internasional terhadap praktik pelanggaran yang terjadi.
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian hukum normatif dengan
pendekatan kasus. Penulis mengkaji Kebijakan HAM internasional terhadap
praktik pelanggaran yang terjadi di Xinjiang China dengan merujuk pada
kebijakan Human Right Watch (HRW) sebagai salah satu Lembaga HAM
terbesar dunia internasional. Adapun Sumber data yang digunakan dalam
penelitian ini Ada 2 macam. pertama sumber data primer yang terdiri dari bahan-
bahan hukum yang mengikat, misalnya perundang-undangan yang terkait dengan
objek penelitian, termasuk sumber data primer adalah Deklarasi Uniersal Hak
Asasi Manusia (DUHAM), Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Ekonomi,
Sosial dan Budaya (ICESCR), Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik
(ICCPR). kedua sumber data sekunder, yaitu semua dokumen yang berisi
penjelasan terkait tinjauan HAM internasional terhadap bentuk pelanggaran HAM
di Xinjiang China berupa tulisan-tulisan, baik dalam bentuk buku, jurnal, artikel,
maupun informasi media internet.
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu studi
dokumentasi yaitu dengan mengumpulkan informasi yang diperoleh dari bahan
hukum primer dan bahan hukum sekunder.
Hasil Penelitian ini menunjukkan bahwa praktik diskriminasi yang terjadi
di Xinjiang sangatlah bertentangan dengan HAM Internasional. Jika ditelaah satu
persatu, praktik pelanggaran HAM yang terjadi di Xinjiang China merupakan
bentuk penindasan terhadap suatu kelompok politik, ras, bangsa, etnis,
v
kebudayaan, agama, jenis kelamin, atau kelompok-kelompok lainnya, yang dapat
dikategorikan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan (Crimes against
Humanity). Selain itu, praktik diskriminasi yang terjadi terhadap Etnis Uighir
sudah mengarah pada kejahatan genosida karena dilakukan secara sistematis.
Genosida dan kejahatan kemanusiaan merupakan dua dari empat pelanggaran
HAM berat yang berada dalam yurisdiksi International Criminal Court (ICC).
Respon dunia internasional terhadap praktik pelanggaran HAM yang kian terjadi
di Xinjiang China tidak sebanyak respon dunia terhadap Rohingya di masa silam,
terutama negara-negara dengan penduduk mayoritas muslim. Mereka lebih
banyak diam dan tidak memberikan respon nyata terhadap pelanggaran HAM
Muslim Uighur. Dukungan justru datang dari negara-negara seperti Amerika,
Australia, serta Turky yang memang punya hubungan primordialisme dengan
Uighur Xinjiang. Kebijakan nyata dikeluarkan oleh Human Right Watch (HRW)
dan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sebagai salah satu lembaga
pengejawantahan HAM terbesar di dunia. Kebijakan tersebut hampir serupa yakni
mendesak Pemerintah China untuk menghentikan praktik diskriminasi yang terus
dilakukan terhadap etnis minoritas khususnya Muslim Uighur di Xinjiang.
Kata Kunci: HAM Internasional, Praktik Diskriminasi
Pembimbing : Dr. H. Mujar Ibnu Syarif, S.H., M.Ag.
Daftar Pustaka : Tahun 1979 sampai Tahun 2018
vi
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT. Karena hanya
dengan berkat, rahmat, dan keridhaan-Nya, maka penulis dapat menyelesaikan
Skripsi yang berjudul “Tinjauan Ham Internasional Terhadap Praktik
Diskriminasi di Xinjiang China” dengan baik. Skripsi ini disusun sebagai salah
satu persyaratan untuk memperoleh gelar Strata Satu (S1) di Fakultas Syariah
dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Penulis menyadari bahwa tanpa bimbingan dan dukungan dari berbagai
pihak, maka tidak akan dapat menyelesaikan skripsi ini. Pada kesempatan ini
penulis menyampaikan ucapan terima kasih dan penghormatan sebesar-besarnya
kepada:
1. Prof. Hj. Amany Burhnanuddin Umar Lubis, LC., MA., Rektor Uin Syarif
Hidayatullah jakarta. Sekaligus sebagai pembimbing Akademik yang telah
memberikan arahan serta kemudahan dalam menyetujui proposal penulis
untuk di ajukan kepada fakultas.
2. Bapak Dr. H. Ahmad Tholabi Kharlie., SH., MA., MH., Dekan Fakultas
Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Ibu Sri Hidayati, M.Ag, Ketua Program Studi Hukum Tata Negara (Siyasah)
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
4. Ibu Dr. Hj. Masyrofah, S.Ag., M.Si, Sekretaris Program Studi Hukum Tata
Negara (Siyasah) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
5. Bapak Dr. H. Mujar Ibnu Syarif, S.H., M.Ag. pembimbing skripsi penulis
yang telah memberikan bimbingan, arahan, dan segala kemudahan dari awal
hingga terselesaikannya skripsi ini.
6. Dosen-dosen Hukum Tata Negara, atas transfer ilmu yang telah diberikan.
Semoga dengan ketulusan dan keikhlasan hati, ilmu yang diberikan
merupakan bekal yang bermanfaat dan berharga bagi penulis.
7. Orang tua tercinta, Bapak Selamet, S.sos., dan ibunda tercinta Embay
Khusnul Khotimah, S.pd., serta keluarga besar penulis yang senantiasa
memberikan doa, dukungan serta ketulusan cinta dan kasih sayang yang tak
vii
terhingga. Pencapaian ini dengan bangga Penulis persembahkan untuk
kalian.
8. Kepada Nidya Vania Dwi Putri S.K.M.,yang telah memberikan support dan
memberikan semangat agar penulis dapat segera menyelesaikan skripsi ini.
9. Kepada teman-teman seperjuangan Hukum Tata Negara angkatan 2015,
yang tak bisa penulis sebutkan satu persatu.
10. Kepada teman-teman kos, Sauqi Maqi, Wahid, Samiaji, Mansyur, Didi,
Hasbi yang telah berjuang bersama dan memberikan semangat dalam
menyelesaikan skripsi.
11. Kepada Indar Dewi S.H, yang telah memberikan support agar penulisan
skripsi ini dapat segera di selesaikan.
Terima kasih atas segala bantuan yang telah diberikan oleh semua pihak,
Semoga bantuan yang telah diberikan mendapat pahala dari Allah SWT. Dan
Semoga skripsi ini bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi pembaca pada
umumnya.
Jakarta, 02 November 2019
5 Rabiul Awwal 144 H
Wahyu Fathurrahman
viii
DAFTAR ISI
LEMBAR PERSETUJUAN .................................................................................. i
LEMBAR PENGESAHAN .................................................................................. ii
LEMBAR PERNYATAAN ................................................................................. iii
ABSTRAK ............................................................................................................ iv
KATA PENGANTAR .......................................................................................... vi
DAFTAR ISI ....................................................................................................... viii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ............................................................................................. 1
B. Identifikasi, Pembatasan, dan Rumusan Masalah ....................................... 3
C. Tujuan Penelitian ......................................................................................... 4
D. Manfaat Penelitian ....................................................................................... 4
E. Metode Penelitian ........................................................................................ 4
F. Review Studi Terdahulu .............................................................................. 6
G. Sistematika Pembahasan ............................................................................. 8
BAB II HAK ASASI MANUSIA INTERNASIONAL
A. Sejarah Deklarasi HAM Internasional ........................................................ 9
B. Instrumen-Instrumen Hak Asasi Manusia Internasional ........................... 14
C. Hak Asasi Manusia (HAM) Berat ............................................................. 18
BAB III ETNIS MINORITAS MUSLIM UIGHUR
A. Sejarah Peradaban Etnis Muslim Uighur .................................................. 22
ix
B. Kehidupan Etnis Muslim Uighur sebagai Warga Negara China .............. 25
C. Konflik Uighur Xinjiang ........................................................................... 28
BAB IV TINJAUAN HAM INTERNASIONAL TERHADAP PRAKTIK
PELANGGARAN HAM DI XINJIANG CHINA
A. Tinjauan HAM Internasional terhadap Bentuk-bentuk Pelanggaran
HAM di Xinjiang China .............................................................................. 33
B. Respon Dunia Internasional terhadap Pelanggaran HAM
di Xinjiang China ........................................................................................ 43
C. Kebijakan Internasional terhadap Bentuk-bentuk Pelanggaran
HAM di Xinjiang China .............................................................................. 46
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ................................................................................................ 53
B. Saran .......................................................................................................... 54
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 55
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Setiap negara tentunya memiliki perbedaan masyarakat, etnis, suku, maupun
agama tertentu yang menjadi bagian dari kemajemukan negara tersebut. Karena hal
itulah ada yang disebut mayoritas maupun minoritas. Tidak terkecuali Islam yang
kerap disudutkan dan diperlakukan tidak adil karena selalu diidentikkan dengan teroris
oleh negara-negara di dunia khususnya bagi kaum minoritas Islam di negara tertentu.
Isu diskriminasi kaum minoritas muslim di Rohingya masih belum surut,
permasalahan muslim Uighur di Provinsi Xinjiang, China kembali jadi sorotan dunia.
Terutama, pasca-laporan jurnalisme investigatif yang dilakukan kantor berita
Associated Press (AP).1 Sejumlah media internasional, menyebut muslim Uighur
mengalami penyiksaan, pengucilan, dan pelarangan menjalankan ajaran agama yang
dianut. Sikap pemerintah Tiongkok yang menerapkan kebijakan diskriminatif dan
pelabelan negatif terhadap etnik minoritas Muslim di Xinjiang dianggap menciderai
Hak Asasi Manusia. Isu diskriminasi terhadap etnis Uighur setidaknya telah santer
sejak 2014.
Dimulai dengan adanya pembatasan kelahiran etnik minoritas Muslim di
Xinjiang yang berlangsung sejak 2014. Demikian pula dengan kebijakan yang
dibungkus agenda “memerangi terorisme". Hingga Pada 2015, Xinjiang mengeluarkan
kebijakan untuk mendobelkan pembayaran bagi pasangan Uighur yang memiliki anak
lebih rendah dari kuota mereka sebesar 6000 yuan (950 dollar). Selain itu beberapa
media juga menyebutkan bahwa terdapat kebijakan larangan memakai jilbab di ruang
publik, termasuk di kendaraan umum serta larangan pelaksanaan upacara agama ketika
menikah, jika melanggar akan dikenakan hukuman denda sebesar 353 dollar. Dalam
1“Hal-hal yang Perlu diketahui Seputar Kondisi Muslim Uighur di China”,
https://www.liputan6.com/global/read/3850073/7-hal-yang-perlu-diketahui-seputar-kondisi-muslim-
uighur-di-china, diakses pada 23 Desember 2018, pukul 09.57.
1
2
hal ini, Indonesia perlu melakukan upaya diplomatik terkait kebijakan yang telah
berlangsung bertahun-tahun tanpa koreksi tersebut.
Setelah Republik Rakyat China memproklamirkan kemerdekaan pada 1
Oktober 1949, Sebagaimana lahirnya suatu negara baru, China berusaha
mencurahkan perhatiannya kepada keutuhan wilayah, konsolidasi, kekuasaan,
serta pencegahan bahaya dari dalam dan maupun luar negeri. Menurut tata dunia
ideal China Modern, Taiwan, Xinjiang, dan Tibet adalah wilayah yang dianggap
sebagai wilayah kepentingan nasional yang sangat penting dan harus
dipertahanakan dengan cara apapun.2
Dalam Sejarah, Muslim China sering mengalami perlakuan keras dari
pemerintah yang berkuasa. Sejak pemerintah komunis berkuasa, melalui revolusi
kebudayaan menyebabkan pengekangan terhadap umat beragama dan kehidupan
beragama di RRC, begitu juga halnya dengan muslim China khususnya muslim
Uighur. Pemerintah China berusaha untuk menghancurkan budaya Islam dengan
cara mengirim ribuan etnis Han ke wilayah mayoritas Islam dengan alasan untuk
memajukan perekonomian, Akan tetapi etnis Han dikirim ke Xinjiang hanya untuk
mempropaganda Pemerintahan China di Xinjiang.
Setelah menduduki jabatan penting di Pemerintahan China etnis Han
membuat kebijakan khusus bagi etnis Uighur di Xinjiang dengan tujuan
menghilangkan agama yang dianut oleh Etnis Uighur yaitu agama Islam. Tercatat
pada Tahun 1996 Presiden China Jiang Zemin menyatakan bahwa organisasi
apapun yang mendukung gerakan separatisme dari Muslim Uighur tidak akan
ditolerir dengan membuat kebijakan “Strike Hard”, Pada tahun 1997 Pemerintah
China memerintahkan pasukan militernya menembaki ratusan warga muslim
hingga tewas, serta menahan ribuan muslim Uighur karena mereka protes akan
kebijakan permerintah yang represif terhadap muslim Uighur.
2Ridwan, “Konflik antara Etnis Muslim Uighur dan Pemerintah China”, (Universitas
Muhammaddiyah Yogyakarta, 2007), h. 3.
3
Respon dunia internasional terhadap praktik pelanggaran HAM yang kian
terjadi di Xinjiang China tidah sebanyak respon dunia terhadap Rohingya di masa
silam, terutama negara-negara dengan penduduk mayoritas muslim. Mereka lebih
banyak diam dan tidak memberikan respon nyata terhadap isu pelanggaran HAM
Muslim Uighur. Dukungan justru datang dari negara-negara seperti Amerika,
Australia, serta Turky yang memang punya hubungan primordialisme dengan
Uighur di Xinjiang. Hal ini menarik untuk dikaji bersama bagaimana tinjauan
HAM internasional serta kebijakan apa yang telah dibuat dalam permasalahan yang
terus terjadi di Xinjiang China.
B. Identifikasi, Rumusan dan Pembatasan Masalah
1. Identifikasi Masalah
Adapun identifikasi masalah yang penulis dapatkan dalam uraian latar belakang
diatas antara lain:
a. Maraknya perlakuan diskriminatif terhadap kaum minoritas muslim Uighur.
b. Terjadinya pelanggaran Hak Asasi Manusia bagi kaum minotitas muslim
Uighur.
c. Minimnya respon dunia internasioanl terhadap bentuk pelanggaran HAM yang
terjadi di Uighur Xinjiang China.
2. Pembatasan Masalah
Untuk membatasi permasalahan, penulis akan menguraikan penelitian
terkait bentuk pelanggaran HAM yang terjadi di Uighur China dalam tinjauan Hak
Asasi Manusia Internasional. Sementara untuk menguraikan kebijakan-kebijakan
yang telah dibuat, penulis akan membatasi penelitian ini pada kebijakan
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan Human Right Watch (HRW).
4
3. Rumusan Masalah
a. Bagaimana Tinjauan HAM internasional terhadap pelanggaran HAM yang
terjadi di Xinjiang China?
b. Bagaimana Respon dunia internasional terhadap pelanggaran HAM yang
terjadi di Xinjiang China?
c. Bagaimana Kebijakan Internasional terhadap pelanggaran HAM yang
terjadi di Xinjiang China?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
a. Untuk mengetahui bentuk-bentuk pelanggaran HAM yang terjadi di
Xinjiang China
b. Untuk mengetahui tinjauan HAM internasional terkait pelanggaran HAM
yang terjadi di Xinjiang China
c. Untuk mengetahui respon dunia internasional terkait pelanggaran HAM di
Uighur China
2. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat penelitian adalah sebagai berikut:
a. Secara Akademik, hasil penelitian ini akan menambah wawasan dan
pengetahuan tentang politik dan hukum internasional khususnya dalam hal
hak asasi manusia dalam skala internasional.
b. Secara Praktis, hasil penelitian ini memberikan informasi persoalan HAM
internasional.
D. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif.
Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif dengan menganalisis tentang
5
bentuk-bentuk pelanggaran HAM yang terjadi di Xinjiang China dalam tinjauan
HAM internasional.
Peter Marzuki mengemukakan bahwa di dalam penelitian hukum terdapat
sejumlah pendekatan, yakni pendekatan undang-undang (statute approach),
pendekatan kasus (case approach), pendekatan historis (historical approach),
pendekatan komparatif (comparative approach), dan pendekatan konseptual
(conseptual approach).3 Dari sudut pandang tersebut, penelitian ini merupakan
penelitian hukum dengan pendekatan kasus (case approach).
2. Sumber dan Teknik Pengumpulan Data
Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder,
yang terbagi atas dua bahan hukum yakni bahan hukum primer dan bahan hukum
sekunder. Bahan hukum primer yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, misalnya
perundang-undangan yang terkait dengan objek penelitian. Adapun bahan hukum
sekundernya, yaitu semua dokumen yang memberikan penjelasan terkait tinjauan
HAM Internasional terhadap bentuk pelanggaran HAM di Xinjiang China berupa
tulisan-tulisan, baik dalam bentuk buku, jurnal, artikel, maupun melalui informasi
media internet.
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu studi
dokumentasi yaitu dengan mengumpulkan informasi yang diperoleh dari bahan
hukum primer dan bahan hukum sekunder.
3Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana Prenada,2008), hlm. 93.
6
3. Teknik Analisis Data
Teknik analisis data dalam penelitian ini yakni teknik analisa data kualitatif
dengan cara mengolah data kemudian diuraikan untuk memberi gambaran
(deskriptif). Uraian-uraian yang berisi penafsiran, penalaran, serta argumentasi
rasional (analitik) tersebut bertujuan untuk menjelaskan dan mempertahankan
gambaran yang diperoleh.
4. Teknik Penulisan
Pada skripsi ini, penulis menggunakan metode skripsi yang mengacu pada
“Pedoman Penulisan Skripsi Tahun 2017 Fakultas Syariah dan Hukum Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta”.
E. Review Studi Terdahulu
Sejumlah penelitian tentang skripsi ini telah dilakukan, baik yang mengkaji
secara umum skripsi tersebut maupun yang menyinggung secara spesifik. Berikut
paparan tinjauan umum atas sebagian karya penelitian tersebut.
Pertama Jurnal berjudul “Muslim di Tiongkok, 1949-1976 M (Studi Tentang
Dinamika Etnis Minoritas HUI Periode Mao Zedong)”. Dalam Jurnal tersebut
menyebutkan bahwa umat islam datang pertama kali ke Tiongkok adalah nenek
moyang dari etnis HUI. Selain etnis Hui, etnis muslim lainnya adalah Muslim
Uighur, Kazak, Tatar, Khirgiz, Uzbek, Salar Tajik, Dongxiang, Baoan. Jadi
menurut penelitian ini Muslim Uighur termasuk muslim yang berkembang dengan
pesat di China dan pemerintah China ingin melemahkan hegemoni Muslim Uighur
tersebut dengan cara melanggar HAM sekalipun.
Kedua, Skripsi yang disusun James Senduk dengan judul “Analisis Yuridis
Atas Perlakuan Rasisme Berdasarkan International Convention On The
Elimination Of All Forms Of Racial Discrimination 1965 (Studi Kasus :
Diskriminasi Rasis Terhadap Etnis Uighur Di China”. Dalam skripsi ini
7
menjelaskan bentuk-betuk perlakuan diskriminasi rasial pemerintah China
berdasarkan Konvensi International tentang penghapusan segala bentuk
diskriminasi rasial terhadap etnis Uighur di China dan juga menjelaskan bagaimana
upaya-upaya yang dilakukan oleh Etnis Uighur dalam memperjuangkan haknya.
Ketiga, Jurnal yang berjudul “Tinjauan Yuridis Pelanggaran HAM terhadap
Muslim Uighur di China ditinjau dari hukum humaniter”. Jurnal ini menjelaskan
tentang peristiwa kejahatan yang menimpa Muslim Uighur di China telah menjurus
kepada Genosida, usaha pembersihan etnis karena dilakukan secara sistematis,
dimulai dengan kebijakan-kebijakan Pemerintah China yang menyudutkan
keberadaan Muslim Uighur. Jurnal ini juga menyebutkan bahwa Pemerintah China
melakukan pelanggaran HAM di Xinjiang, diantaranya pelanggaran kebebasan
beragama, warga Muslim Uighur dialarang untuk melakukan ritual keagamaan
seperti Sholat dan berpuasa pada saat bulan Ramadhan, Masjid-Masjid dijaga ketat
oleh pasukan keamanan pemerintah China. Jadi menurut penelitian ini Pemerintah
China telah melanggar Hak Asasi Manusia terhadap Muslim Uighur di Xinjiang.
Keempat, Paper karya Baiq L.S.W. Wardhani (Departemen Hubungan
Internasional, FISIP, Universitas Airlangga) yang berjudul “Respons Cina atas
Gerakan Pan-Uyghuris di Provinsi Xinjiang”. Paper ini berisi tentang upaya-
upaya pemerintah China untuk mempertahankan wilayah Xinjiang dan mencegah
meluasnya gerakan Pan-UyGhurisme berkembang di China bagian barat adalah
masalah identitas, sumber daya alam dan geografi. Dalam Paper ini juga
menjelaskan bagaimana China mengambil hati kaum Uyghur di Xinjiang dengan
cara memberi prioritas pembangunan pada provinsi tertinggal itu agar mereka
bersedia meredam keinginannya untuk mendirikan negara merdeka sendiri. Jadi
paper ini menjelaskan bahwa upaya-upaya Pemerintah China meredam Gerakan
Pan-Uyghuris di Provinsi Xinjiang.
8
F. Sistematika Pembahasan
Untuk mendapatkan gambaran jelas mengenai materi yang menjadi pokok
penulisan skripsi dan supaya memudahkan para pembaca dalam mempelajari tata
urutan penulisan ini, maka penulis menyusun sistematika penulisan ini sebagai
berikut:
BAB I Pendahuluan. Pada bab ini dibahas Latar Belakang, Identifikasi,
Rumusan, dan Pembatasan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Metode
Penelitian, Review Studi Terdahulu, serta Sistematika Pembahasan.
BAB II HAM Internasional. Pada bab ini diuraikan pembahasan mendetail
terkait HAM Internasional mulai dari Sejarah Deklarasi HAM Internasional,
Instrumen-instumen Hak Asasi Manusia Internasional, dan Hak Asasi Manusia
(HAM) Berat.
BAB III Etnis Minoritas Muslim Uighur. Pada bab ini dijelaskan mengenai
Sejarah Peradaban Etnis Muslim Uighur, Kehidupan Etnis Muslim Uighur sebagai
Warga Negara China, dan Konflik yang terjadi di Uighur Xinjiang China.
BAB IV Kebijakan Internasional Terhadap Praktik Pelanggaran Ham Di
Xinjiang Cina. Pada bab ini diuraikan Tinjauan HAM Internasional terhadap bentuk-
bentuk pelanggaran HAM di Xinjiang China, Respon Dunia Internasional terhadap
Pelanggaran HAM di Xinjiang China, dan Kebijakan Internasional terhadap Praktik
Pelanggaran Ham Di Xinjiang China
BAB V Penutup. Pada bab ini dirumuskan kesimpulan sebagai jawaban dari
rumusan masalah pada bab I dan diakhiri dengan saran sebagai masukan dalam
penelitian ini.
9
BAB II
HAK ASASI MANUSIA INTERNASIONAL
A. Sejarah Deklarasi HAM Internasional
Hak asasi manusia (human rights) merupakan hak yang melekat pada diri
manusia sejak terlahir sebagai manusia. Hak asasi manusia bersifat universal karena
hak-hak ini dinyatakan sebagai bagian dari kemanusiaan setiap sosok manusia tak
peduli apapun warna kulitnya, jenis kelaminnya, usianya, latar belakang kultural dan
agama atau kepercayaan spritualnya.1 Hak dalam hak asasi manusia mempunyai
kedudukan atau derajat utama dan pertama dalam hidup bermasyarakat karena
keberadaan hak asasi hakikatnya telah dimiliki, disandang, dalam diri manusia sejak
saat kelahirannya. Seketika itu pulamuncul kewajiban dari manusia lain untuk
menghormatinya.2
Kepedulian internasional terhadap Hak Asasi Manusia merupakan satu hal
yang relatif baru. Argumentasi yang merujuk pada sejumlah traktat atau perjanjian
internasional yang sudah ada jauh sebelum perang dunia II meskipun sudah berkaitan
erat dengan isu kemanusiaan, tidak menjadi dasar yang kuat dalam pengaturan
tentang HAM itu sendiri. Setelah dimasukkan dalam Piagam PBB pada tahun 1945,
barulah kita dapat berbicara mengenai adanya perlindungan HAM yang sistematis
dalam sistem internasional.
Kekejaman Nazi terhadap tawanannya di kamp-kamp konsentrasi di Eropa
dan kekejaman Jepang di wilayah-wilayah pendudukannya di Asia selama perang
dunia II adalah contoh-contoh pelanggaran Hak Asasi Manusia yang menggugah hati
nurani umat manusia. Berdasar pada argumen inilah akhirnya pada tanggal 10
Desember 1948, Majelis Umum PBB memproklamirkan Deklarasi Universal Hak
1Soetandyo Wignjosoebroto, Hak Asasi Manusia Konsep Dasar dan Perkembangan
Pengertiannya dari Masa ke Masa, (Jakarta: Elsam, 2007), h. 1.
2A. Masyhur Effendi, Perkembangan Dimensi Hak Asasi Manusia (HAM) dan Proses
Dinamika Penyusunan Hukum Hak Asasi Manusia (HAKHAM), (Bogor: Ghalia Utama,2005), h. 8.
10
Asasi Manusia (DUHAM). DUHAM telah menjadi teks modern pertama tentang Hak
Asasi Manusia yang dirancang pada awal kelahiran Komisi Hak Asasi Manusia
PBB.3 Sebagai dokumen Internasional pertama, setiap kali kita menyebut hak-hak
asasi, dengan sendirinya rujukan paling baku ialah DUHAM. Ini wajar dan
merupakan keharusan, karena Universal Declaration of Human Rights merupakan
puncak konseptualisasi manusia sejagat yang menyatakan dukungan dan pengakuan
yang tegas tentang hak asasi manusia.4
Dalam Mukadimah piagam PBB telah tampak kontra yang besar terhadap
berbagai pelanggaran Hak Asasi Manusia yang kian terjadi. Dalam Mukadimah
piagam tersebut diatur mulai dari hukum alam hingga martabat yang melekat dalam
diri manusia dan hak-hak yang tak dapat dicabut dari padanya. Disebutkan pula
bahwa penghinaan terhadap Hak Asasi Manusia sama dengan menghina hati nurani
umat manusia. Oleh karena itu, Hak Asasi Manusia harus dilindungi oleh hukum.
Para Pelaku pelanggaran HAM haruslah dianggap sebagai musuh seluruh umat
manusia. Pasal 28 dari DUHAM adalah salah satu pasal yang resonansinya sangat
kental bagi perlindungan HAM secara internasional. Setiap orang berhak atas suatu
tatanan sosial atau tatanan internasional dimana hak dan kebebasan yang diatur dalam
DUHAM dapat direalisasikan.5
Lahirnya DUHAM membawa konsekuensi negara-negara anggota PBB untuk
menyatakan bahwa mereka mengakui hak-hak setiap orang sebagai hak asasi yang
harus dihormati, guna mencegah atau setidaknya mengurangi berbagai tindakan dan
kebijakan negara yang sewenang-wenang terhadap warga negaranya. Berdasarkan
deklarasi ini, semua negara menyatakan kewajibannya untuk menghormati (to
3Larry Cox, A Vision of a World Made New: The Universal Declaration of Human Rights in a
Time of Fear, Jurnal Online ProQuest, (Februari 2004), h. Abstrac.
4Majda El-Muhtaj, Hak Asasi Manusia Dalam Konstitusi Indonesia Dari Uud 1945 Sampai
Dengan Amandemen Uud 1945 Tahun 2002, (Jakarta: Kencana, 2009), h. 4.
5Deklarasi Uniersal Hak Asasi Manusia (DUHAM), h.5.
11
respect), melindungi (to protect), dan memenuhi (to fulfil) hak-hak asasi setiap
warganya.6
Batas wilayah kedaulatan seharusnya tidak bisa menjadi halangan bagi
penegakan HAM yang universal, sehingga Bab VII dari piagam PBB memberikan
kewenangan bagi dewan keamanan PBB untuk melakukan intervensi terhadap
kedaulatan negara di mana terjadi pelanggaran HAM yang dapat mengancam
perdamaian dunia. DUHAM diproklamirkan oleh Majelis Umum PBB sebagai
standar umum pencapaian bagi semua orang dan semua bangsa, sehingga DUHAM
harus dipromosikan melalui pendidikan dan upaya-upaya progresif secara nasional
dan internasional untuk menjamin pengakuan dan kepatuhan universal dan efektif.
Hak asasi manusia yang telah diakui secara universal, idealnya haruslah dihormati
dan dilindungi oleh semua pihak. Hanya dengan penghormatan dan perlindungan
yang optimal, maka Hak Asasi Manusia benar-benar dapat ditegakkan dalam
kehidupan nyata masyarakat baik nasional maupun internasional.
Worldview Barat sekuler yang mendominasi deklarasi DUHAM tidak dapat
dihindarkan menjadi landasan bangunan epistemologi Universal Declaration Human
Rights yang justru membuat HAM dapat diterjemahkan secara “liar”. Akan tetapi
instrumen dan institusi PBB dianggap telah berhasil dalam beberapa hal terkait
penyusunan standar-standar hak asasi manusia secara universal. Dengan kata lain, ada
norma tertentu dalam penegakan HAM tanpa memandang latar belakang etnik,
agama, ideologi, atau kebangsaannya.7
Dalam hukum internasional, sebuah negara dianggap melakukan pelanggaran
berat Hak Asasi Manusia (gross violation of human rights) apabila: 1)Negara tidak
berupaya melindungi atau justru meniadakan hak-hak asasi warganya; 2)Negara yang
bersangkutan membiarkan terjadinya atau justru melakukan melalui aparat-aparatnya
6Suryadi Radjab, Dasar-dasar Hak Asasi Manusia, (Jakarta: PBHI, 2002), h.7.
7Chandra Muzaffar, Human Rights And New World Order, Hak Asasi Manusia Dalam Tata
Dunia Baru Menggugat Dominasi Global Barat, penerjemah Poerwanto, (Bandung: Mizan, 1995), h.
200.
12
tindakan kejahatan internasional (international crime) atau kejahatan serius (serious
crime) berupa kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity), kejahatan
genosida (crimes of genocide), kejahatan perang (crimes of war) dan atau kejahatan
agresi (agression).
Berdasarkan 2 poin di atas maka secara teoritis dapat disimpulkan bahwa
setiap subjek hukum yang berkewajiban untuk menghormati dan melindungi Hak
Asasi Manusia, berpotensi pula untuk melakukan pelanggaran Hak Asasi Manusia.
Peristiwa pelanggaran HAM dapat terjadi di mana saja di muka bumi ini, baik di
negara-negara maju maupun di negara-negara berkembang. Hal itu dilakukan oleh
negara melalui aparat-aparatnya, oleh individu ataupun kolaborasi antara keduanya.
Sejarah telah mencatat tentang pelanggaran HAM oleh negara, di mana kebanyakan
pelanggaran HAM justru dilakukan oleh negara, baik secara langsung melalui
tindakan-tindakan yang dilakukan oleh aparatnya terhadap warga negaranya sendiri
maupun warga negara lain. Selain itu dapat melalui kebijakan-kebijakan baik di
tingkatan nasional maupun internasional yang berdampak pada tidak dipenuhinya
hak-hak asasi warga negaranya sendiri atau hak-hak asasi warga negara lain.
Setelah perang dunia kedua, pada tahun 1946 disusunlah rancangan Piagam
Hak-Hak Asasi Manusia oleh organisasi kerja sama untuk sosial ekonomi
Perserikatan Bangsa-Bangsa yang terdiri dari 18 anggota. PBB membentuk komisi
Hak Asasi Manusia (Commission of Human Right).8 Sidangnya dimulai pada bulan
Januari 1947 di bawah pimpinan Ny. Eleanor Roosevelt yang diikuti oleh . Setelah
dua tahun dibentuk, tanggal 10 Desember 1948 Sidang Umum PBB yang
diselenggarakan di Istana Chaillot, Paris. Dalam sidang ini telah melahirkan karya
berupa UNIVERSAL DECLARATION OF HUMAN RIGHTS atau Pernyataan
Sedunia tentang Hak-Hak Asasi Manusia, yang terdiri dari 30 pasal. Dari 58 Negara
yang terwakili dalam Sidang Umum tersebut, 48 negara menyatakan persetujuannya,
8Desra Percaya, Indonesia, PBB, dan Hak Asasi Manusia Internasional, Jurnal Ketahanan
Nasional, (Vol VIII No 2, April 2003), h. 61.
13
8 negara abstain, dan 2 negara lainnya absen. Oleh karena itu, setiap tanggal 10
Desember diperingati sebagai hari Hak Asasi Manusia.9
Universal Declaration of Human Rights antara lain mencantumkan, bahwa
setiap orang mempunyai Hak:10
a) Hidup;
b) Kemerdekaan dan keamanan badan;
c) Diakui kepribadiannya;
d) Memperoleh pengakuan yang sama dengan orang lain menurut hukum untuk
mendapat jaminan hukum dalam perkara pidana, seperti diperiksa di muka umum,
dianggap tidak bersalah kecuali ada bukti yang sah;
e) Masuk dan keluar wilayah suatu Negara;
f) Mendapatkan Suaka;
g) Mendapatkan status kenegaraan/kebangsaan;
h) Mendapatkan hak milik atas benda;
i) Bebas mengutarakan pikiran dan perasaan;
j) Bebas memeluk agama;
k) Mengeluarkan pendapat;
l) Mengadakan rapat dan berkumpul;
m) Mendapat jaminan sosial;
n) Mendapatkan pekerjaan;
o) Berdagang
p) Mendapatkan pendidikan
q) Turut serta dalam gerakan kebudayaan dalam masyarakat
r) Menikmati kesenian dan turut serta dalam kemajuan keilmuan.
Majelis umum memproklamirkan pernyataan sedunia tentang Hak Asasi
Manusia sebagai tolak ukur dalam menjamin pengakuan dan pemenuhan HAM.
9United Nations Human Rights Council, https://www.ohcr.org/EN/HRBodies/HRC/
Pages/Membership.aspx, diakses pada Kamis, 19 September 2019, Pukul 14.46.
10
DUHAM
14
Meskipun bukan merupakan perjanjian, namun semua anggota PBB secara moral
berkewajiban menerapkannya. Konsep hak asasi manusia pada hakikatnya merupakan
konsep tertib dunia, karenanya tanpa memperhatikan konsep HAM tersebut, apa yang
dinamakan atau diusahakan manusia untuk mewujudkan tertib dunia akan sulit
dicapai. Demikian pula tujuan hukum dan tujuan ilmu-ilmu lainnya yang bersama-
sama berusaha mengangkat derajat manusia agar lebih adil, makmur, sejahtera, aman,
tertib, dan tenteram tidak akan mudah diraih.11
B. Instrumen-instrumen Hak Asasi Manusia Internasional
Meskipun DUHAM telah diterima tetapi karena sifatnya sebagai deklarasi,
maka tidak memiliki kekuatan mengikat secara hukum, sehingga tujuan deklarasi
sebagai pengakuan martabat manusia sulit diwujudkan. Untuk itu supaya tujuan
DUHAM, dapat menjadi kenyataan diperlukan alat/instrumen HAM Internasional.
Instrumen HAM Internasional merupakan alat yang berupa standar-standar
pembatasan pelaksanaan dan mekanisme kontrol terhadap kesepakatan kesepakatan
antar negara tentang jaminan HAM yang instrument hukum internasional HAM
(International Bill of Right).
Instrumen hukum internasional HAM tersebut bentuknya berupa kovenan
(perjanjian) dan protokol , Kovenan , yaitu perjanjian yang mengikat bagi Negara -
negara yang menandatanganinya. Istilah covenant (kovenan) digunakan bersarnaan
dengan treaty (kesepakatan) dan convention (konvensi/perjanjian). Sedangkan
protokol merupakan kesepakatan dari negara-negara penandatangannya yang
memiliki fungsi untuk lebih lanjut mencapai tujuan-tujuan suatu kovenan. Ketika
Majelis Umum PBB mengadopsi atau menyetujui sebuah konvensi atau protokol,
maka terciptalah standar internasional, dan negara-negara yang meratifikasi konvensi
itu berjanji Untuk menegakkannya. Ada sekitar 30 kovenan yang telah diratitikasi
11
A. Masyhur Effendy, Perkembangan Dimensi Hak Asasi Manusia (HAM) dan Proses
Dinamika Penyusunan Hukum Hak Asasi Manusia (HAKHAM), (Jakarta: Galia Indonesia, 2005), h.
127.
15
sejak DUHAM dideklarasikan 50 tahun yang lalu. Pemerintah yang melanggar
standar yang telah ditentukan konvensi kemudian dapat digugat oleh PBB.
Berbagai instrumen HAM yang berlaku secara internasional, diantaranya:12
1) Kovenan International tentang hak - hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (The
International Covenant on Economic, Social and Cultue Rights)
Kovenan ini lahir pada tuhun 1966, diadopsi pada 16 Desember 1975, dan
berlaku pada 3 Januari 1976. Kovenan ini mengakui bahwa setiap manusia memiliki
hak ekonomi, sosial dan budaya. Hak ekonomi, sosial dan budaya mencakup: hak
atas pekerjaan; hak untuk membentuk serikat kerja; hak atas pensiun; hak atas tingkat
kehidupan yang layak bagi dirinya dan keluarganya, termasuk makanan, pakaian dan
perumahan yang layak; dan hak atas pendidikan.
2) Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik (The International
Covenant on Civil and Political Right/ICCPR)
ICCPR merupakan produk perang dingin hasil kompromi politik antara
kekuatan negara blok Sosialis melawan blok Kapitalis. Situasi politik dunia semasa
perang dingin (Cold War) mempengaruhi proses legislasi perjanjian internasional
HAM yang digarap oleh Komisi HAM PBB. Hal ini terlihat dengan adanya
pemisahan kategori hak sipil dan politik dengan hak dalam kategori ekonomi, sosial
dan budaya dalam 2 kovenan (perjanjian internasional) yang semula diintegrasikan
dalam 1 kovenan. Realitas politik menghendaki lain (kovenan yang satu yakni
Kovenan Internasional Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (International
Covenan on Economic, Social and Cultural Rights/ICESCR). Kovenan kedua lahir
pada situasi tak kondusif.13
12Desra Percaya, Indonesia, PBB, dan Hak Asasi Manusia Internasional, Jurnal Ketahanan
Nasional, (Vol VIII No. 2, April 2003), h. 63.
13
Moh. Rosyid, Menggugah peran hukum humaniter internasional Islam dalam mengurai
konflik etnis perspektif sejarah, Jurnal Wacana Hukum Islam dan Kemanusiaan, (Vol. 12 No. 2,
Desember 2012), h. 197
16
Kovenan ini lahir tahun 1966, diadopsi pada 16 Desember 1975 dan berlaku
pada 23 Maret pada 1976. Pasal 27 International Convenant on Civil and Political
Rights menjamin hak atas identitas nasional, etnis, agama, atau bahasa, dan hak untuk
mempertahankan ciri-ciri yang ingin dipelihara dan dikembangkan oleh kelompok
tersebut. Dalam pasal ini tidak dibedakan perlakuan yang diberikan negara kepada
kelompok minoritas yang diakui atau tidak. Sehingga ketentuan ini berlaku bagi
kelompok minoritas yang diakui oleh suatu negara maupun kelompok minoritas yang
tidak mendapat pengakuan resmi negara.
Hak-hak sipil dan politik yang dijamin dalam kovenan ini yaitu: hak atas
hidup; hak atas kebebasan dan keamanan diri; hak atas keamanan di muka badan -
badan peradilan; hak atas kebebasan berpikir, mempunyai keyakinan, beragama; hak
berpendapat tanpa mengalami gangguan; hak atas kebebasan berkurnpul secara
damai; dan hak untuk berserikat. ICCPR memuat ketentuan pembatasan penggunaan
kewenangan oleh aparatur negara yang represif. ICCPR diratifikasi lebih dari 141
negara, artinya tidak kurang dari 95 persen negara anggota PBB -berjumlah 159
negara- menjadi Negara Pihak (State Parties) dari kovenan tersebut. Dari segi tingkat
ratifikasi, kovenan memiliki tingkat universalitas tinggi dibanding dengan perjanjian
internasional HAM lainnya.14
3) Protokol Opsional pada Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik
Protokol opsional ini, diadopsi pada 16 Desember 1975, dan berlaku pada 23
Maret 1976. Protokol Opsional/pilihan berisikan pemberian tugas pada komisi Hak
Asasi Manusia untuk menerima dan mempertimbangkan pengaduan dari individu-
individu warga dalam wilayah kekuasaan negara peserta Kovenan yang menjadi
peserta Protokol. Pengaduan itu dapat diajukan secara tertulis kepada Komisi Hak
Asasi Manusia, setelah semua upaya domestik (dalam negara warga yang
bersangkutan) yang tersedia telah ditempuhnya, tetapi tidak menampakkan hasil.
14Moh. Rosyid, Menggugah peran hukum humaniter internasional Islam dalam mengurai
konflik etnis perspektif sejarah, Jurnal Wacana Hukum Islam dan Kemanusiaan, (Vol. 12 No. 2,
Desember 2012), h. 198.
17
4) Konvensi Internasional Penghapusan Semua Bentuk Diskriminasi terhadap
Perempuan (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination
Agains Women/CEDAW)
Konvensi ini mulai berlaku tahun 1981. Dokumen ini merupakan alat hukum
yang paling lengkap (komprehensif) berkenaan dengan hak - hak asasi wanita, dan
mcncakup peranan dan status mereka. Dengan demikian dokumen ini merupakan
dasar untuk menjamin persamaan wanita di negara-negara yang meratifikasinya.
5) Konvensi Internasional penghapusan terhadap Semua bentuk Diskriminasi Rasial
(International Convention on the Elimination of All Forms of Racial
Diskrimination)
International Convention on the Elimination of All Forms of Racial
Discrimination memberikan perlindungan terhadap kebebasan dari diskriminasi.
Konvensi ini meminta Negara peserta untuk dapat mengambil langkah-langkah yang
dapat menghilangkan praktik diskriminasi dan mempromosikan kesetaraan
kesempatan dan hubungan baik antara orang-orang dari kelompok ras yang berbeda.15
6) Konvensi Hak – hak Anak (Convention on the Rights of the Child)
Konvensi ini disepakati Majelis Umum PBB dalam sidangnya ke 44 pada
Desember 1989. Menurut konvensi ini pengertian anak yakni setiap orang yang masih
berumur di bawah 18 tahun. Kecuali jika berdasarkan hukum yang berlaku bagi anak
menentukan batas umur yang lebih rendah dari 18 tahun. Konvensi ini dicetuskan
karena ternyata di berbagai belahan dunia, meskipun telah di deklarasikan DUHAM
yang juga melindungi harkat anak-anak sebagai manusia, ternyata belum
dilaksanakan dengan baik. Banyak anak di bawah umur, dikirim ke medan perang,
diperkosa, dan Perlakukan dengan tidak layak.
15
International Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination Pasal 2
18
C. Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) Berat
Pelanggaran HAM berat (The most serious crime/ Gross violation of human
rights) dalam hukum internasional diatur dalam International Criminal Court.
Menurut pasal 5 ICC dikenal empat jenis pelanggaran HAM berat, yaitu:16
1. Genosida (Genocide)
Menurut pasal 6 ICC Genosida adalah salah satu atau lebih dari beberapa
perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk memusnahkan seluruh atau sebagian
kelompok bangsa, etnis, ras atau agama seperti:
a) Membunuh anggota kelompok;
b) Menyebabkan penderitaan fisik atau mental yang berat terhadaap anggota
kelompok;
c) Sengaja menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan
kemusnahan secara fisik baik seluruhnya atau sebagian;
d) Memaksa tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran dalam suatu
kelompok;
e) Memindahkan secara paksa anak-anak dari suatu kelompok ke kelompok
lainnya.
2. Kejahatan terhadap kemanusiaan (Crimes against Humanity)
Menurut pasal 7 ICC kejahatan terhadap kemanusiaan adalah salah satu atau
lebih dari beberapa perbuatan yang dilakukan dengan sengaja sebagai bagian dari
serangan yang sistematis dan meluas yang langsung ditujukan terhadap penduduk
sipil seperti: 17
a) Pembunuhan;
b) Pemusnahan;
16I Gede Widhiana Suarda, Hukum Pidana Internasional sebuah pengantar, (Bandung: Citra
Aditya, 2012), h. 178-180.
17
Boer Mauna, Hukum Internasional: Pengertian, Peranan, Fungsi dan Era Dinamika Global
Edisi Kedua, (Bandung: Alumni, 2005), h. 295-296.
19
c) Perbudakan;
d) Deportasi atau pemindahan penduduk secara paksa;
e) Pengurungan atau pencabutan kemerdekaan fisik secara sewenang-wenang dan
melanggar aturan-aturan dasar hukum internasional;
f) Penyiksaan; Pemerkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa,
kehamilan secara paksa, sterilisasi secara paksa, atau berbagai bentuk kekerasan
seksual lainnya;
g) Penindasan terhadap suatu kelompok yang dikenal atau terhadap suatu kelompok
politik, ras, bangsa,etnis, kebudayaan, agama, jenis kelamin, sebagaimana
dijelaskan dalam ayat 3 atau kelompok-kelompok lainnya, yang secara universal
tidak diperbolehkan dalam hukum internasional sehubungan dengan perbuatan
yang diatur dalam ayat ini atau kejahatan dalam yurisdiksi mahkamah;
h) Penghilangan orang secara paksa;
i) Kejahatan rasial/ apartheid;
j) Perbuatan tidak manusiawi lainnya yang serupa, yang dengan sengaja
mengakibatkan penderitaan yang berat, luka serius terhadap tubuh, mental atau
kesehatan fisik sesorang.
3. Kejahatan Perang (Crimes of war)
Menurut pasal 8 ICC kejahatan perang adalah tindakan yang dilakukan
sebagai bagian dari rencana atau kebijakan atau bagian dari skala besar perintah
untuk melakukan kejahatan tersebut.18
Menurut ICC kejahatan perang adalah
pelanggaran-pelanggaran berat terhadap konvensi-konvensi Jenewa 12 Agustus 1949,
yaitu perbuatan-perbuatan terhadap orang atau harta benda yang dilindungi oleh
ketentuan-ketentuan dari konvensi yang relevan:
18Statuta Roma Pasal 8, h. 6.
20
a) Pelanggaran-pelanggaran serius lainnya terhadap hukum dan kebiasaan yang
berlaku dalam konflik bersenjata internasional dalam kerangka hukum
internasional;
b) Pelanggaran-pelanggaran serius terhadap pasal 3 yang berlaku bagi keempat
konvensi Jenewa dalam sengketa bersenjata yang bukan bersifat interna sional.
4. Agresi (Agression)
Sepanjang yang menyangkut kejahatan agresi, belum ada kesepakatan
mengenai definisinya atau kejahatan-kejahatan apa saja yang dapat dikategorikan
sebagai agresi, mengingat tidak cukupnya waktu untuk membahas selama
berlangsungnya koferensi di Roma. Oleh karena itu, kejahatan agresi ini hanya akan
dapat ditangani oleh maICC apabila majelis negara-negara pihak (The Assebly of
states parties) telah mencapai kepakatan mengenai definisi, unsur-unsur dan kondisi
dari agresi itu sendiri.19
Mengenai keberadaan tindakan agresi ini kita dapat merujuk pada ketentuan-
ketentuan yang terdapat dalam bab VII Piagam PBB yang berjudul Tindakan yang
berhubungan dengan ancaman terhadap perdamaian, pelanggaran perdamaian,dan
tindakan-tindakan agresi. Khusus pasal 39, dewan keamanan PBB dapat menentukan
ada atau tidaknya ancaman terhadap perdamaian dan membuat rekomendasi atau
menetukan tindakan-tindakan yang harus diambil untuk memelihara dan
memulihkanperdamaian dan keamanan internasional. Sehuibungan dengan itu statuta
dalam pasal 5 ayat 2 menyatakan bahwa ketentuan untuk memberlakukan yurisdiksi
mahkamah terhadap suatu tindak pidana agresi ini harus sesuai dengan ketentuan
yang terdapat dalam piagam PBB.
Dalam hal terjadi pelanggaran HAM internasional terdapat satu lembaga
khusus yang dibentuk sebagai upaya penyelesaian setiap permasalahan HAM yang
disebut International Criminal Court (ICC). Sebagai subjek hukum internasional,
19
I Gede Widhiana Suarda, Hukum Pidana Internasional sebuah pengantar, ............ h. 181.
21
ICC bukanlah sebagai lembaga yang berada di bawah organ PBB, ICC berada setara
dengan PBB walaupun kenyataannya, berdirinya ICC tidak lepas dari prakarsa PBB.
Hal ini terlihat dari bunyi Pasal 2 Statuta Roma 1998 yang menyatakan:
“The Court shall be brought into relationship with the United Nations through an
agreement to be approved by the Assembly of States Parties to this Statute and
thereafter concluded by the President of the Court on its behalf”
Layaknya peradilan pidana pada umumnya, ICC juga dilengkapi oleh lembaga
selain hakim dan jaksa, yaitu Staf ICC yang bertugas mengurusi segala operasional
dan administratif ICC, termasuk kepaniteraan. Panitera inilah yang mengepalai kantor
kepaniteraan (registry) dan merupakan pejabat administratif utama dari ICC. Hal ini
sesuai dengan apa yang diamanatkan oleh Pasal 43 Statuta Roma 1998. Menurut
Pasal 36 Statuta Roma 1998, hakim ICC berjumlah 18 (delapan belas) hakim yang
dipilih untuk masa jabatan 9 tahun oleh Negara-negara pihak Statuta Roma 1998.
hakim-hakim tersebut harus merupakan warga Negara dari Negara-negara pihak
Statuta Roma 1998, dan tidak ada 2 (dua) hakim dari satu warga Negara yang sama.
Hakim-hakim tersebut setidaknya menguasai salah satu dari dua bahasa kerja yang
digunakan di ICC.20
ICC memiliki yurisdiksi material terhadap empat jenis tindak pidana yang
dinyatakan dalam Pasal 5 - Pasal 8 Statuta Roma 1998. Menurut Pasal 5 Statuta
Roma 1998, Perbuatan-perbuatan yang termasuk dalam yurisdiksi ICC antara lain:
Genosida, dijabarkan dalam Pasal 6 Statuta Roma 1998; Kejahatan terhadap
kemanusiaan, dijabarkan dalam Pasal 7 Statuta Roma 1998; Kejahatan perang,
dijabarkan dalam Pasal 8 Statuta Roma 1998; dan Kejahatan agresi.
20Statuta Roma Pasal 36, h. 22
22
BAB III
ETNIS MINORITAS MUSLIM UIGHUR
A. Sejarah Peradaban Etnis Muslim Uighur
Sejarah peradaban umat Islam di China dapat ditelusuri sejak masa Dinasti
Tang (618-907 M) yang ditandai dengan semakin meningkatnya pedagang Arab dan
Persia yang singgah di pelabuhan-pelabuhan China. Sumber lain juga menyebutkan
bahwa selama kurun waktu 147 tahun dari tahun 651 M hingga 798 M, Arab telah
mengirim utusannya lebih dari 37 kali ke China. Hal itu membuktikan masyarakat
China telah mengenal atau setidaknya mereka telah melakukan interaksi dengan
orang-orang Islam sejak abad ke-7 M. Selain itu bukti sejarah ini juga menunjukkan
penyebaran Islam di China dilakukan secara damai bukan dengan cara peperangan
layaknya penyebaran di wilayah Timur Tengah, Afrika dan sebagian Eropa pada
masa itu.1
Pada perkembangan selanjutnya, dinamika kehidupan umat Islam baik dalam
segi kultur, sosial, budaya dan pendidikan terbentuk selama beberapa generasi di
bawah dinasti penguasa China seperti Dinasti Sung (960-1279M), Dinasti Yuan
(1279-1368 M), Dinasti Ming (1368-1644 M), Dinasti Manchu (1644-1912 M), masa
Republik Nasionalis (1911-1949 M), dan masa Republik Rakyat China (1948-
sekarang). Penduduk Muslim terbanyak di China yakni di Xinjiang terutama suku
Uighur dan suku Hui meskipun tetap menjadi etnis minoritas di China. Xinjiang
adalah nama yang diberikan oleh Dinasti Ching (Manchu). Jauh sebelum dinasti
Ching menguasai negeri ini di abad 18, negeri ini dikenal dengan nama Turkistan
Timur yang berarti “wilayah orang-orang Turki” dan merujuk kepada wilayah Utara
Sungai Sir di Asia Tengah. Xinjiang atau Turkistan Timur awalnya merupakan
propinsi muslim dengan ibukotanya Kashgar. Bahasa Arab dan kebudayaan Islam
1Ismail Suardi Wekke Rusdan, Minoritas Muslim Di China: Perkembangan, Sejarah Dan
Pendidikan, Jurnal Ijtimaiyya Pengembangan Masyarakat Islam (Vol. 10 No.1, April 2017), h. 144.
23
tersebar di negeri ini sehingga menghasilkan sarjana-sarjana terkemuka seperti
Sadiduddin Kashgari dan Mahmud Kashgari di zaman Abbasiyah.
Pada tahun 466 H/1073 M suku-suku Turki menyerbu Turkistan Utara dan
pada abad tiga belas diikuti oleh tentara Mongol di bawah Cingis Khan, yang
ibukotanya adalah Karakorum (Pasir hitam) di Turkistan timur. Turkistan Timur
menjadi suatu negara merdeka di bawah orang-orang Mongol yang telah diIslamkan,
hingga pada abad ke tujuh belas Turki diserbu oleh penguasa Manchu China.Suatu
pemberontakan dilancarkan pada 1289 H/1872 M kepada penguasa Manchu dan
pemberontakan itu sukses menghasilkan kemerdekaan dibawah Raja Yaqub-Beg.
Namun kemerdekaan ini tidak berlangsung lama hanya bertahan selama empat tahun.
Negeri ini pun diserbu kembali oleh China pada 1293 H/1876 M yang mengubahnya
pada 1301 H/1884 M menjadi salah satu propinsi China yakni Provinsi Xinjiang.
Mao Tse Tung menawarkan daerah otonom, provinsi dan kabupaten kepada
berbagai kelompok etnis dengan janji untuk menemukan persamaan konteks seperti
itu dengan mayoritas orang China. Daerah Otonomi Uighur Xinjiang (XUAR)
diproklamirkan pada tahun 1955 namun janji komunis untuk otonomi bagaimanapun
hanya telah dipenuhi secara nominal. Ketika terjadi kerusuhan dari berbagai etnis,
Pemerintah China bersikap cukup keras dalam menyikapi berbagai kerusuhan di
Xinjiang. Pemerintah memilih agar persoalan etnis minoritas di Xinjiang dieliminasi
secara agresif melalui agresi militer. China melakukan tindakan represif dengan
alasan utama yang menyangkut kepentingan nasional China yaitu keutuhan wilayah.2
Hal yang menjadi pertimbangan sendiri bagi pemerintah China mengingat
keutuhan wilayah ialah bagian kedaulatan negara yang tidak dapat dielekan oleh
negara manapun, ditambah wilayah Xinjiang memang sangat bernilai penting bagi
China. Xinjiang bernilai sangat ekonomis. Terutama sejak penemuan ladang minyak
yang menambah posisi Xinjiang secara geoekonomi lebih penting dan merupakan
wilayah paling krusial bagi China. Pemerintah China sudah tentu tidak mau
2“Kebijakan Represif China pada Muslim Xinjiang”, https://tirto.id/kebijakan-represif-cina-
pada-muslim-xinjiang-cnA4, diakses pada 05 Oktober 2019, Pukul 03.01.
24
melepaskan wilayah ini begitu saja. Xinjiang adalah penghasil terbesar kapas,
lavender, dan hop. Areal tanaman lavender dan produksinya di Kabupaten Ili
merupakan 90% dari total tanaman nasional. Selain itu, dengan padang rumput
terbesar kedua, Xinjiang merupakan salah satu daerah peternakan domba dan wol
yang menjadi basis produksi di Cina.
Xinjiang juga kaya akan sumber daya energi. Wilayah ini memiliki cadangan
terbesar minyak, gas alam dan batu bara di dalam negeri. Adapun cadangan batubara
sebesar 40% dari total negara. Cadangan minyak dan gas yang ditemukan di Tarim,
Junggar dan Turpan-Hami wilayah Xinjiang ialah seperempat dan sepertiga dari total
negara. Xinjiang bahkan memiliki sumber daya mineral yang besar juga. Ada lebih
dari 130 jenis deposit mineral didirikan. Cadangan beryllium and mica di wilayah ini
adalah yang tertinggi.
Selain itu, berdasarkan gambar di atas secara geopolitik, wilayah Xinjiang
memang sangat penting terutama karena wilayah ini merupakan wilayah penyangga
atau buffer zone bagi China. Xinjiang tidak bisa dilihat hanya bagian dari China tapi
juga merupakan bagian dari Asia Tengah. Wilayah ini menjadi semakin penting
karena berdekatan dengan Asia Tengah. Xinjiang yang mengalami ketidakstabilan
tentu akan mengganggu China. Wilayah ini, akan sangat rentan terutama bisa
meningkatkan angka illegal trafficking seperti penyelundupan senjata dan human
trafficking dari dan menuju Asia Tengah.
Berdasarkan arti penting ekonomis dari wilayah Xinjiang ini, maka penting
bagi pemerintah Cina untuk mengamankan wilayah Xinjiang terutama dengan
menjaga Xinjiang tetap dalam wilayah bagian China. Pemerintah China cenderung
tidak akan membiarkan Xinjiang lepas dari China dan akan mempertahankan
keutuhan wilayah China.3
3Ismail Suardi Wekke Rusdan, Minoritas Muslim Di China: Perkembangan, Sejarah Dan
Pendidikan, Jurnal Ijtimaiyya Pengembangan Masyarakat Islam (Vol. 10 No.1, April 2017), h. 144.
25
B. Kehidupan Etnis Muslim Uighur sebagai Warga Negara China
Kehidupan Sosial Umat Islam di China secara garis besar dapat
dikelompokkan menjadi tiga kelompok kebangsaan utama yaitu: Turki yang terdiri
dari orang-orang Uighur, Kirghiz, Kazakh, Uzbek dan orang-orang muslim
percampuran antara bangsa Salar dan Hicu. Uighur sendiri merupakan kelompok inti
penduduk muslim yang ada di Turkestan Timur. Penduduk pribumi atau non Islam
sering memanggilnya dengan sebutan Hui Hui. Sementara Tajik merupakan sebutan
bagi muslim lainya yang menggunakan bahasa Persi. Terdapat pula muslim Mongol,
Lolo, Sihia, Tao dan juga Tibet yang merupakan bagian minoritas dari Muslim China.
Meski demikian, orang-orang Islam di China sendiri lebih suka menyebut mereka
dengan sebutan Chew-Min, sementara agamanya disebut dengan Tsing Ching Chew
yang artinya agama yang suci.4
Pada dasarnya masyarakat muslim China cenderung hidup komunal yang
terpisah dari penduduk yang memiliki kepercayaan yang berbeda, baik itu ketika
mereka tinggal di kota maupun di desa. Meski demikian, mereka selalu berusaha
untuk menjaga sikap agar terhindar dari sifat pamer atau melakukan konfrontasi yang
sekiranya dapat menyulut/menyinggung perasaan penganut agama lain. Umat Islam
China biasanya juga membuat kampung-kampung khusus untuk mereka dan bagi
orang-orang Han, sangat mudah untuk mengenali rumah-rumah orang Muslim karena
mereka memiliki konsep bentuk rumah yang berbeda.
Kehidupan sehari-hari masyarakat muslim China sepenuhnya adalah
kebiasaan dan tata cara kehidupan masyarakat setempat seperti halnya rambut
panjang yang dikucir khas ala masyarakat China. Tradisi ini sudah ada sejak zaman
Dinasti Manchu dan mereka masih menggunakan sebagian besar kebiasaaan tersebut
hingga masa kini. Cara berpakain juga tidak jauh berbeda dengan masyarakat China
non-muslim pada umumnya, yang membedakan, umat Islam China akan
4Dawoud C.M Ting, Kebudayaan Islam Di China, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1980), h. 398.
26
menggunakan tambahan sorban ketika hendak pergi ke masjid.5 Keadaan yang
sebaliknya terjadi pada umat Islam Uyghur dari Xinjiang dan umat Islam Kazakh dari
daerah barat laut China. Mereka yang tinggal di daerah tersebut umumnya memiliki
kebiasaan berpakaian yang berbeda dengan masyarakat China pada umumnya. Di
bagian barat laut, para wanita muslim menggunakan cadar atau penutup muka apabila
mereka hendak melakukan aktifitas di luar rumah. Sementara itu di beberapa daerah
para wanitanya juga mengenakan sorban dan para kaum laki-lakinya menggunakan
tutup kepala yang berwarna putih dan lebar.
Di daerah Xinjiang, kaum muslim laki-laki menggunakan penutup kepala
berukuran kecil yang berwarna-warni serta bersulam. Ada juga yang menggunakan
sorban dari bahan katun berwarna putih dan kuning. Sedangkan di beberapa daerah
Xinjiang yang lainya, kaum laki-laki muslim menggunakan peci (kufiah) ketika
menunaikan shalat jumat. Adapun pemakaian sutera hanya diperuntuhkan bagi para
perempuan muslim dan laki-laki yang dianggap sebagai pemuka agama. Perbedaan
tradisi dan gaya hidup ini yang membuat muslim Uighur sering diasosiasikan dengan
keinginan Muslim Uighur yang ingin memisahkan diri dari pemerintah China. Oleh
karena itu, akhir akhir ini kita sering melihat tindakan agresif dari pemerintah China
kepada umat Islam Uighur di Xinjiang China (begitu juga sebaliknya).6
Islam dengan tegas melarang umatnya untuk memakan beberapa jenis
makanan tertentu. Aturan ini juga diterapkan oleh masyarakat muslim di China
dengan cara berhati-hati dalam memilih makanan. Mereka tidak memakan daging
babi, darah, bangkai, hewan persembahan serta hewan-hewan yang diharamkan
lainya. Mereka juga menghindari mengkonsumsi rokok, arak dan opium (candu).
Rumah makan halal juga banyak dibangun disana dengan tidak menyediakan
masakan berbahan daging babi. Sementara itu arak masih tetap tersedia untuk
5Thomas W Arnold, Sejarah Dakwah Islam (diterjemahkan oleh A. Nawawi Rambe),
(Jakarta: Widjaya, 1979), h. 26.
6Baiq L.S.W. Wardhani, “Respon China Atas Gerakan Pan-Uyghuris Di Provinsi Xinjiang”,
(dalam Paper yang diterbitkan oleh Departemen Hubungan Internasional, FISIP UNAIR, Surabaya),
2011, h. 295.
27
kalangan orang nonmuslim dan mereka akan memisahkan cangkir-cangkir yang
digunakan untuk menuang arak dengan cangkir yang digunakan oleh orang Islam.
Tidak cukup sampai disitu, mereka juga mempunyai kedai, toko roti dan parfum yang
tidak mengandung alkohol atau obat-obatan yang tidak diperbolehkan oleh Islam.
Umat Islam di China terkenal ulet dalam bidang perekonomian dan dagang seperti
halnya masyarakat pribumi pada umumnya.
Karena terlalu lama putus hubungan dengan dunia luar secara tidak sadar
umat Islam China telah membuat mereka menjadi sedikit terpengaruh oleh ajaran
konfusianisme dan Budhisme dalam beberapa hal, diantaranya dalam hal penyebutan
tempat ibadah yang menggunakan kata syih yang berarti masjid. Kata syih sendiri
merupakan penyebutan kuil bagi agama Budha. Masjid-masjid yang ada di China
juga memiliki kemiripan dengan kuil Kong Hu Chu dan kuil Budha apabila diamati
dari luar.
Apabila melihat kehidupan sosial masyarakat Islam di China, terlihat jelas
bahwa mereka dapat membaur dengan budaya masyarakat setempat. Mereka tetap
menjunjung tinggi adat istiadat yang ada, disamping mereka tetap berusaha
menjalankan perintah agama. Akulturasi budaya semacam ini hanya dapat kita
temukan di daerah-daerah yang menerima Islam melalui cara damai. Tidak seperti
penyebaran Islam di kawasan Timur Tengah yang menggantikan budaya setempat
(pribumi) dengan budaya Arab, Islam di China lebih luwes dan mampu
menyesuaikan diri dengan situasi rezim pada masanya. Alasan inilah yang sekiranya
membuat Islam tetap eksis hingga saat ini di negeri yang berpaham komunis (China
yang sekarang) meski dengan jumlah yang minoritas.7
Pasca revolusi China, mereka berusaha untuk mempertemukan antar berbagai
golongan bangsa dan membentuk persatuan diantara masyarakat China. Orang
muslim sendiri tidak bisa lepas dari kebudayaan Hang yang sudah mengakar kuat
dalam tradisi China. Meski demikian dalam hal perkawinan, nilai moral, makanan
7Ismail Suardi Wekke Rusdan, Minoritas Muslim Di China: Perkembangan, Sejarah Dan
Pendidikan, Jurnal Ijtimaiyya Pengembangan Masyarakat Islam (Vol. 10 No.1, April 2017), h. 165.
28
dan etika sosial tetap pada batasan-batasan agama Islam. Tidak ditemukan
perkawinan campuran antara muslim dengan non-muslim, bahkan untuk bisa
menikahi seorang perempuan nonmuslim (yang menurut hukum syari diperbolehkan),
adat masyarakat muslim China tetap mengharuskan calon mempelai perempuan untuk
masuk agama Islam terlebih dahulu.
C. Konflik Uighur Xinjiang
Sejak pengambilalihan pemerintah Komunis di wilayah Turkistan pada tahun
1949, jumlah orang China Han penganut komunisme di wilayah itu meningkat dari
6,7% menjadi 40,6%, menurut angka resmi. Mereka ini yang kemudian muncul
menjadi pengendali seluruh fungsi dan aktivitas politik utama di kawasan Xinjiang.
Dengan dukungan pemerintah China, mereka juga memberlakukan keadaan yang
mengisolasi dan membatasi pelaksanaan ritual keagamaan, dan melarang Muslim
Uighur menggunakan bahasanya di sekolah. Bermula dari kebijakan-kebijakan
diskriminatif itulah mengakibatkan konflik antara Muslim Uighur dengan pemerintah
China sekaligus juga konflik etnis antara suku Uighur dengan suku Han.
Pemarjinalan kaum muslim Uighur oleh pemerintah China disebabkan salah satunya
karena wilayah Xinjiang memiliki sumber daya alam yang melimpah.8
Islam adalah bagian integral kehidupan dan identitas warga Uighur Xinjiang,
dan salah satu keluhan utama mereka terhadap pemerintah Cina adalah tingkat
pembatasan yang diberlakukan oleh Beijing terhadap kegiatan keagamaan mereka.
Jumlah masjid di Xinjiang merosot jika dibandingkan dengan jumlah pada masa
sebelum tahun 1949, dan institusi keagamaan itu menghadapi pembatasan yang
sangat ketat. Anak-anak di bawah usia 18 tahun tidak diizinkan beribadah di masjid.
Pemerintah juga berupaya menerapkan larangan berpuasa kepada masyarakat Uighur.
Hal ini dilakukan dengan berbagai cara mulai dari tetap membiarkan toko makanan
buka pada bulan ramadan, menambah porsi jam olahraga di sekolah pada siang hari,
8Gita Karisma, Konflik Etnis Di Xinjiang: Kebijakan Monokultural Dan Kepentingan Negara
China Terhadap Keutuhan Wilayah, Jurnal Sosiologi, (Vol. 19, No. 1), h. 41.
29
hingga peraturan pemerintah yang tidak memperbolehkan pegawai negeri atau
pekerja sektor pemerintahan untuk berpuasa dengan alasan dapat mengurangi
produktifitas kerja. Lembaga-lembaga Islami lain yang dulu menjadi bagian sangat
penting bagi kehidupan kegamaan di Xinjiang juga dibatasi termasuk persaudaraan
Sufi, yang berpusat di makam pendirinya.9
China secara ketat menempatkan pos-pos pemeriksaan di seluruh wilayah
hingga perbatasan Xinjiang. Alasan pemerintah China melakukan hal itu adalah untuk
mencegah penyebaran ideologi radikal di kalangan etnis Uighur. Pihak etnis Uighur,
justru menyatakan perlakuan pemerintah China yang memicu radikalisme dan
ekstremisme. Muslim Uighur yang berjumlah sekitar 13 juta orang juga dipaksa
menjalani indoktrinasi politik, hukuman kolektif, pembatasan gerak dan komunikasi,
pengekangan agama yang meningkat, serta pengawasan massal yang melanggar
hukum hak asasi manusia internasional.10
Semua agama di China dikendalikan oleh Administrasi Negara untuk Urusan
Agama, tapi pembatasan terhadap Islam di kalangan warga Uighur lebih keras
daripada terhadap kelompok-kelompok lain, termasuk etnis Hui yang juga muslim.11
Kemiskinan dan kecemburuan yang diperburuk dengan ketidakadilan dari pemerintah
China terhadap hak beragama etnis Uighur yang mayoritas muslim menjadikan
konflik semakin memburuk. Pemerintah China memang cukup keras dan terlalu
fokus pada homogenitas sehingga memperlebar jurang ketimpangan antara Han dan
etnis lain di China.
Berbagai kebijakan China yang represif serta monokultural menyebabkan
perbedaan antara identitas lain dengan identitas Han menjadi meruncing. Misalnya
9Ismail Suardi Wekke Rusdan, Minoritas Muslim Di China: Perkembangan, Sejarah Dan
Pendidikan,....h. 163.
10
Human right watch “Tiongkok: Penggerebekan Besar-besaran di Wilayah Muslim”, diakses
dari https://www.hrw.org/id/news/2018/09/322309, pada 02 Oktober 2019, Pukul 22.14.
11
Gita Karisma, Konflik Etnis Di Xinjiang: Kebijakan Monokultural Dan Kepentingan
Negara China Terhadap Keutuhan Wilayah,......h. 47.
30
mengatakan buruknya hubungan ini disebabkan kebijakan kultural bahasa dan agama.
Meskipun China dalam UU Kewarganegaraan 1984 dan UU Otonomi Daerah tahun
1984 telah memberi tempat bagi hak linguistik untuk penutur bahasa minoritas di
China, namun pelaksanaan hukum tersebut lemah.
Pada tahun 1990-an, setelah ambruknya Uni Soviet dan munculnya negara-
negara muslim independen di Asia Tengah, memicu kemunculan kelompok-
kelompok “separatis” di Xinjiang, yang memuncak pada unjuk rasa massal di Ghulja
pada tahun 1995 dan 1997. Pemerintah menyikapi keras pengunjuk rasa dengan
penggunaan kekuataan luar biasa, dan para akitvisi dipaksa keluar dari Xinjiang ke
Asia Tengah dan Pakistan. Cina mengeluarkan kebijakan “Strike Hard” pada 1996.
Kebijakan ini mencakup kebijakan memperketat pengendalian terhadap kegiatan
agama, pembatasan pergerakan kelompok atau orang tertentu yang dicurigai dan tidak
menerbitkan paspor dan menahan orang-orang yang didicurigai mendukung separatis
dan anggota keluarga mereka.12
Ada juga kebijakan Go West Policy pada tahun 2000
yang mendorong semakin banyaknya pelanggaran HAM yang terjadi di Xinjiang.
Hingga tahun 2016 bahkan pemerintah China, merilis larangan adat bagi
anggota partai, kader, PNS, mahasiswa, dan anak di bawah umur untuk tidak boleh
berpuasa selama Ramadhan dan tidak harus mengambil bagian dalam kegiatan
keagamaan Islam di Uighur. Arti Penting Xinjiang bagi Pemerintah China China
merupakan negara yang memiliki beragam etnis di luar 56 etnis yang diakui
pemerintah Beijing. Di antara ke 56 etnis tersebut, etnis terbesar ialah Han.13
Beberapa faktor penyebab konflik ini adalah faktor historis yang melahirkan
kenyataan adanya perbedaan identitas mendasar antara China dengan etnis asli
Xinjiang yaitu Uighur. Kedua adalah faktor, ekonomi berupa kesenjangan ekonomi
antara etnis Han dengan etnis Uighur. Ketiga, adanya faktor politik yaitu diskriminasi
12
Human right watch “Penahanan Massal, Penindasan Agama, Pengawasan di Xinjiang”,
diakses dari https://www.hrw.org/id/news/2018/09/322309, pada 02 Oktober 2019, Pukul 22.50.
13
Thomas W Arnold, Sejarah Dakwah Islam (diterjemahkan oleh A. Nawawi Rambe),
(Jakarta: Widjaya, 1979), h. 27.
31
dalam hal beribadat dan lainnya. Adanya ketidakpuasan, kemiskinan, kekerasan, dan
juga ketidakstabilan yang dialami etnis Uighur telah menciptakan sebuah kombinasi
permasalahan yang kompleks dan kemudian menciptakan lingkungan yang kondusif
bagi terbentuk dan berkembangnya Konflik Xinjiang. Sikap keras pemerintah China
dalam menyelesaikan maslah di Xinjiang semakin memperburuk konflik di Xinjiang.
Pada akhirnya muncul gerakan separatis Uighur. Pemerintah China justru semakin
bertindak keras dan akhirnya terjadi konflik dan pertumpahan darah di Xinjiang.
Berbagai kebijakan China yang represif serta monokultural menyebabkan perbedaan
dan ketimpangan antara identitas Uighur dengan identitas Han menjadi semakin
tajam.
Disatu sisi, faktor yang menyebabkan konflik internal Xinjiang berdasarkan
penjelasan sejarah di atas adalah karena ketidakpuasan, kemiskinan, kekerasan, dan
juga ketidakstabilan. Interaksi tersebut telah menciptakan sebuah kombinasi
permasalahan yang kompleks dan kemudian menciptakan lingkungan yang kondusif
bagi terbentuk dan berkembangnya Konflik Xinjiang menjadi LIC. Masyarakat sipil
di Xinjiang telah mengalami banyak kekerasan akibat langkah militer yang ditempuh
oleh pemerintah China, sehingga masyarakat semakin sulit menjadi kooperatif. Etnis
Uighur yang terpinggirkan akhirnya memilih untuk menuntuk hak merdeka dan
melancarkan aksi separatisme dan hal ini semakin memperpanjang keberlangsungan
konflik internal ini.14
Disisi lain, penyebab berlarutnya konflik Internal di China dapat dilihat dari
sisi pemerintah China. China merupakan salah satu negara yang berasal dari salah
satu peradaban tertua di dunia, karena itu juga telah menyebabkan China memiliki
catatan sejarah panjang dan dinamika politik yang cukup rumit. Salah satu masa
dimana China mengalami perubahan besar adalah pada tahun 1949 yaitu masa
dimana China berhasil ditaklukan komunis di bawah payung kekuasaan Mao. Sejak
saat itu terjadi banyak polemik terhadap pemerintahan sah China. Sistem politik
14
Ismail Suardi Wekke Rusdan, Minoritas Muslim Di China: Perkembangan, Sejarah Dan
Pendidikan,....h. 165.
32
komunisme yang dianut China yang berlanjut sampai saat ini menjadikan
pemerintahan China menjadi sentralistik dan sulit menerima heterogenitas. China
akhirnya mengambil langkah militer untuk mengatasi masalah konflik internalnya
dan mengambil langkah militer. Hal ini justru membuat etnis Uighur semakin
terdesak, dan akhirnya muncul beberapa gerakan separatisme. Tudingan yang terus
menerus memojokan Etnis Uighur memperburuk konflik di Xinjiang ini. Sebagai
sebuah negara China sampai saat ini terus mempertahankan One China Policy.
Kaum komunis yang berhasil merebut kekuasaan pemerintah di akhir tahun
1940-an benar-benar telah menyempurnakan pengawasannya terhadap masyarakat
Muslim di China. Mereka telah menghapuskan wakaf yang diwariskan ke masjid-
masjid dan lembaga-lembaga keagamaan Islam lainnya. Kondisi tersebut sangat
memukul umat Islam China dan berpengaruh besar terhadap tatanan kultur sosial,
ekonomi, politik serta budayanya. Bahkan kaum komunis juga menggantikan huruf
Arab yang sudah menjadi ciri khas dan budaya muslim di Xinjiang menjadi huruf
Cyrillik. Pajak untuk membiayai sekolah-sekolah muslim juga ikut dihapus, bahkan
dalam urusan menjalankan syariat Islam pemerintah berusaha ikut campur dengan
mengeluarkan peraturan yang melarang pegawai negeri/pejabat pemerintah untuk
menjalankan puasa.
Diskriminasi yang dialami oleh Muslim Uighur adalah merupakan kebijakan
pemerintah China yang menginginkan terwujudnya One China Policy (kebijakan satu
China). Pola-pola intergratif pemerintah China dengan melakukan civic education
terbukti tidak berhasil mengintegrasikan Muslim Uighur dengan penduduk China
mayoritas lainnya. Kebijakan keluarga berencana di China menguntungkan suku Han,
yang memiliki tingkat pertumbuhan populasi 31,6% lebih tinggi dibanding suku
lainnya yang maksimal mencapai 15,9% hal ini diklaim merupakan bagian dari
kebijakan pemerintah China untuk melakukan etnic cleansing.15
15
“Kebijakan One China policy, dan penerapannya pada etnis muslim uighur”, diakses dari
http://saveuyghur.org, diakses pada 1 Oktober, Pukul 03.13.
BAB IV
KEBIJAKAN INTERNASIONAL TERHADAP PRAKTIK
PELANGGARAN HAM DI XINJIANG CHINA
A. Tinjauan HAM Internasional terhadap Bentuk-bentuk Pelanggaran HAM di Xinjiang
China
Sejak pengambilalihan pemerintah Komunis di wilayah Turkistan pada tahun
1949, jumlah orang China Han penganut komunisme di wilayah itu meningkat dari
6,7% menjadi 40,6%, menurut angka resmi. Mereka ini yang kemudian muncul
menjadi pengendali seluruh fungsi dan aktivitas politik utama di kawasan Xinjiang.
Dengan dukungan pemerintah China, mereka juga memberlakukan keadaan yang
mengisolasi dan membatasi pelaksanaan ritual keagamaan, dan melarang Muslim
Uighur menggunakan bahasanya di sekolah.1
Bermula dari kebijakan-kebijakan diskriminatif itulah mengakibatkan konflik
antara Muslim Uighur dengan pemerintah China sekaligus juga konflik etnis antara
suku Uighur dengan suku Han. Pemarjinalan kaum muslim Uighur oleh pemerintah
China disebabkan salah satunya karena wilayah Xinjiang memiliki sumber daya alam
yang melimpah. Puncaknya, pada 1 Oktober 1955, secara resmi Xinjiang dijadikan
provinsi dengan status daerah otonomi mengesampingkan fakta bahwa mayoritas
penduduknya saat itu adalah suku Uighur.
Apabila mengacu pada sejarah konflik yang kian terjadi sejak tahun 1995,
Pemerintah China telah melakukan pelanggaran HAM di Xinjiang, diantaranya
pelanggaran kebebasan beragama, seperti yang diberitakan oleh surat kabar
internasional bahwa otoritas Pemerintah China melarang etnis Muslim Uighur di
Xinjiang untuk melakukan kegiatan dan kewajiban beribadah menurut agamanya.
Warga Muslim Uigur juga dilarang untuk melakukan ritual keagamaan seperti Sholat
1Human Right Watch (HRW), Memberantas Virus Ideologis: Kampanye Penindasan
Tiongkok Melawan Muslim Xinjiang, diakses dari https://www.hrw.org/report/2018/09/09/eradicating-
ideological-viruses/Chinas-campaign-repression-against-xinjiangs, diakses pada 02 Oktober 2019,
Pukul 22.04.
33
34
dan berpuasa pada saat bulan Ramadhan bahkan masjid-masjid dijaga ketat oleh
pasukan keamanan pemerintah PKC dan para imam diharuskan “berdiri di sisi
pemerintah” untuk dapat melancarkan propaganda bagi Muslim Uighur. Sejak tahun
1995 hingga 1999, pemerintah China telah meruntuhkan 70 tempat beribadah serta
mencabut surat izin 44 imam yang tidak mendukung pemerintahan. Pemerintah juga
secara resmi menerapkan larangan ibadah perorangan di tempat-tempat milik Negara.
Pemerintah PKC berdalih hal ini dilakukan untuk menjaga keamanan dan kestabilan
pemerintahan negara Selain kebebasan dalam beragama, Pemerintah China juga
melakukan pelanggaran HAM lainnya yaitu kebebasan untuk berkumpul dan
berpendapat, hambatan atas pendidikan, diskriminasi, serta hukuman mati terhadap
tahanan politik. Diskriminasi dalam aspek ekonomi juga dilakukan oleh Pemerintah
China terhadap etnis muslim Uighur, Sebagian besar Muslim Uighur mengalami
kesulitan untuk mendapatkan pekerjaan.
Menurut Amnesty Internasional, Xinjiang merupakan satu-satunya Provinsi di
China yang mengizinkan hukuman mati terhadap tahanan politik. Jumlah pasti
korban tahanan politik yang dihukum mati disembunyikan oleh negara China, namun
menurut penduduk yang bersangkutan, jumlah tewas akibat hukuman mati ataupun
penyiksaan oleh pemerintah China mencapai 2.500 jiwa dari tahun 1999 sampai
maret 2000 saja.
Diskriminasi yang dialami oleh Muslim Uighur adalah merupakan kebijakan
pemerintah China yang menginginkan terwujudnya One China Policy (kebijakan satu
China). Pola-pola intergratif pemerintah China dengan melakukan civic education
terbukti tidak berhasil mengintegrasikan Muslim Uighur dengan penduduk China
mayoritas lainnya. Kebijakan keluarga berencana di China menguntungkan suku Han,
yang memiliki tingkat pertumbuhan populasi 31,6% lebih tinggi dibanding suku
35
lainnya yang maksimal mencapai 15,9% hal ini diklaim merupakan bagian dari
kebijakan pemerintah China untuk melakukan etnic cleansing.2
Berikut adalah kebijakan utama China di Xinjiang sejak tahun 1990:3
1) Resentralisasi pengambilan keputusan ekonomi;
2) Etnis Han diimigrasi;
3) Eksploitasi sumber daya alam di Xinjiang;
4) Mempererat hubungan ekonomi dan politik dengan negara- negara di Asia
Tengah;
5) Negara mempererat kontrol atas agama dan budaya etnis minoritas.
Permasalahan Xinjiang sudah semakin membaik sebelum akhirnya kembali
menimbulkan kekacauan internal pada akhir 2018 lalu. Berdasarkan laporan Human
Rights Watch, Pemerintah Tiongkok China menggelar kampanye pelanggaran HAM
massal dan sistematis terhadap Muslim Turk di Xinjiang. Laporan setebal 117
halaman, dengan tajuk “Memberantas Virus Ideologis”: Kampanye Represi Tiongkok
Terhadap Muslim Xinjiang,” menghadirkan bukti baru dari penahanan sewenang-
wenang, penyiksaan dan penganiayaan massal yang dilakukan pemerintah China,
serta kontrol yang semakin meluas dalam kehidupan sehari-hari. Di seluruh wilayah
itu, penduduk Muslim Turk yang berjumlah sekitar 13 juta orang dipaksa menjalani
indoktrinasi politik, hukuman kolektif, pembatasan gerak dan komunikasi,
pengekangan agama yang meningkat, serta pengawasan massal yang melanggar
hukum hak asasi manusia internasional.4
Menurut Sophie Richardson selaku direktur urusan Tiongkok di Human
Rights Watch, Pemerintah Tiongkok telah melakukan pelanggaran hak asasi manusia
2Kebijakan One China policy, dan penerapannya pada etnis muslim uighur, diakses dari
http://saveuyghur.org, diakses pada 1 Oktober, Pukul 03.13.
3China Human Rights Watch Backgroubder, diakses dari
http://hrw.org/legacy/backgrounder/asia/china.htm, diakses pada 1 Oktober, Pukul 03.40.
4Human right watch “Tiongkok: Penggerebekan Besar-besaran di Wilayah Muslim”, diakses
dari https://www.hrw.org/id/news/2018/09/322309, pada 02 Oktober 2019, Pukul 22.14.
36
di Xinjiang dalam skala yang belum pernah terlihat di negara dalam beberapa dekade.
Kampanye represi tersebut adalah ujian kunci apakah Perserikatan Bangsa-Bangsa
dan pemerintah negara-negara yang peduli akan menjatuhkan sanksi terhadap
Tiongkok yang semakin kuat untuk mengakhiri pelanggaran ini. Laporan ini terutama
didasarkan pada wawancara dengan 58 mantan penduduk Xinjiang, termasuk lima
mantan tahanan dan 38 kerabat dari para tahanan. Tingkat penindasan meningkat
secara dramatis setelah Sekretaris Partai Komunis Chen Quanguo pindah dari Daerah
Otonomi Tibet untuk mengambil alih kepemimpinan Xinjiang pada akhir 2016.5
Sejak itu, pihak berwenang telah meningkatkan penahanan massal secara
sewenang-wenang, termasuk di pusat-pusat penahanan praperadilan dan penjara,
yang keduanya merupakan fasilitas resmi, dan di kamp-kamp pendidikan politik,
yang tak berdasar di bawah hukum Tiongkok. Perkiraan yang dapat dipercaya
menunjukkan bahwa satu juta orang ditahan di kamp-kamp tersebut, di mana Muslim
Turk dipaksa untuk belajar bahasa Mandarin, menyanyikan pujian kepada Partai
Komunis Tiongkok, dan menghafal aturan yang berlaku terutama bagi Muslim Turk.
Mereka yang menolak atau dianggap gagal “belajar” akan dihukum.
Para tahanan di kamp pendidikan politik ditahan tanpa hak proses hukum -
baik dituntut atau diadili dan tidak memiliki akses ke pengacara dan keluarga. Mereka
ditahan karena keterkaitan dengan negara-negara asing. Selain itu menggunakan alat
komunikasi asing seperti WhatsApp, serta karena mengekspresikan identitas dan
agama mereka secara damai juga tidak diperbolehkan meskipun tak ada satupun dari
semua ini yang tergolong sebagai kejahatan.
Di luar fasilitas penahanan ini, pihak berwenang Tiongkok di Xinjiang
menjadikan Muslim Turk sebagai sasaran pembatasan luar biasa terhadap kehidupan
pribadi. Kombinasi dari tindakan administratif, pos pemeriksaan, dan pemeriksaan
paspor secara sewenang-wenang membatasi gerak mereka. Mereka terus-menerus
5Human right watch “Tiongkok: Penggerebekan Besar-besaran di Wilayah Muslim”, diakses
dari https://www.hrw.org/id/news/2018/09/322309, pada 02 Oktober 2019, Pukul 22.14.
37
menjadi sasaran indoktrinasi politik, termasuk kewajiban upacara pengibaran
bendera, pertemuan politik atau pengaduan, dan “sekolah malam” bahasa Mandarin.
Dengan tingkat kontrol yang belum pernah terjadi sebelumnya terhadap praktik
keagamaan, pihak berwenang telah secara efektif melarang Islam di wilayah tersebut.
Mereka juga mengincar orang-orang di Xinjiang dengan pengawasan terus-
menerus dan konstan. Pihak berwenang mendorong tetangga untuk saling memata-
matai. Pihak berwenang menggunakan sistem pengawasan massal berteknologi
tinggi yang menggunakan kode QR, biometrik, kecerdasan buatan, program mata-
mata di telepon, dan data besar. Dan mereka telah memobilisasi lebih dari satu juta
petugas dan polisi untuk memantau masyarakat, termasuk melalui program-program
intrusif di mana para pengawas ditugaskan untuk secara teratur tinggal di rumah-
rumah warga.
Kampanye ini juga telah mencerai-beraikan keluarga, di mana beberapa
anggota keluarga di Xinjiang dan di luar negeri secara tak terduga ditangkap karena
pengetatan pemeriksaan paspor dan perlintasan perbatasan. Anak-anak kadang
terjebak di satu negara tanpa orang tua mereka. Pemerintah telah melarang Muslim
Turk untuk menghubungi orang-orang di luar negeri. Pemerintah juga menekan
beberapa orang etnis Uighur dan Kazakh yang tinggal di luar negeri untuk kembali ke
Tiongkok, sementara meminta orang lain untuk memberikan informasi pribadi secara
rinci tentang kehidupan mereka di luar negeri.6
Sejumlah laporan menyebutkan kematian beberapa orang di kamp-kamp
pendidikan politik, yang menambah kekhawatiran tentang kekerasan fisik dan
psikologis, serta stres akibat kondisi yang buruk, kelebihan kapasitas dan penahanan
tanpa batas waktu. Meski perawatan medis dasar tersedia, orang-orang tetap ditahan
bahkan ketika mereka memiliki penyakit serius atau manusia lanjut usia, ada juga
anak-anak remaja, perempuan hamil dan menyusui, dan penyandang disabilitas.
6Human right watch “Penahanan Massal, Penindasan Agama, Pengawasan di Xinjiang”,
diakses dari https://www.hrw.org/id/news/2018/09/322309, pada 02 Oktober 2019, Pukul 22.50.
38
Sejumlah mantan tahanan juga dilaporkan melakukan upaya bunuh diri dan ada
hukuman berat bagi mereka yang membangkang di tempat itu.
Dari uraian di atas maka jelaslah bahwa praktik diskriminasi yang terjadi di
Xinjiang sangatlah bertentangan dengan HAM internasional. Jika ditelaah satu
persatu, praktik pelanggaran HAM yang terjadi di Xinjiang China merupakan bentuk
penindasan terhadap suatu kelompok politik, ras, bangsa,etnis, kebudayaan, agama,
jenis kelamin, atau kelompok-kelompok lainnya, yang dapat dikategorikan sebagai
kejahatan terhadap kemanusiaan (Crimes against Humanity).
Menyaksikan betapa teraniayanya kelompok minoritas, maka dalam
perbincangan hak asasi manusia, kelompok ini mendapat perhatian serius. Dengan
semakin mengganasnya eskalasi diskriminasi terhadap kelompok minoritas, umat
manusia kemudian disadarkan akan pentingnya pengakuan bahwa mereka adalah
manusia yang sama dengan manusia yang lain, setara dalam hak dan bebas dalam
menentukan pilihan. Oleh sebab itu ada hak khusus bagi kelompok minoritas. Hak
khusus bukanlah merupakan hak istimewa, akan tetapi hak ini diberikan agar kaum
minoritas mampu menjaga identitas, ciri-ciri dan tradisi khasnya. Hak khusus seperti
halnya perlakuan non diskriminatif sama pentingnya untuk mencapai perlakuan yang
sama.
Prinsip kesetaraan dan non diskriminasi (non-discrimination) menjadi sangat
penting dalam hak asasi manusia.7 Hanya ketika kaum minoritas berdaya untuk
menggunakan bahasa-bahasa mereka, mendapatkan keuntungan dari pelayanan-
pelayanan yang mereka organisasikan sendiri, serta berpartisipasi dalam kehidupan
politik dan ekonomi negara, barulah mereka mencapai status yang selama ini dimiliki
oleh kelompok mayoritas.
Secara regulasi prinsip kesetaraan dan non diskriminasi ini tertuang dalam
beberapa instrumen, baik yang levelnya Internasional maupun Nasional. Pada sekup
7Enny Soeprapto, Rudi M. Rizki, Eko Riyadi, Hak Asasi Manusia Kelompok Rentan dan
Mekanisme Perlindungannya, (Yogyakarta: Pusham UII, 2012), h. 16
39
Internasional ketentuan kesetaraan hak dan non diskriminasi termuat dalam Piagam
PBB Pasal 1 ayat (3), dimana organisasi PBB dan anggotanya mempunyai tujuan:8
”....mengadakan kerjasama Internasional guna memecahkan persoalan-
persoalan internasional di bidang ekonomi, sosial, kebudayaan atau yang
bersifat kemanusiaan, demikian pula dalam usaha-usaha memajukan dan
mendorong penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia dan kebebasan-
kebebasan dasar seluruh umat manusia tanpa membedakan ras, jenis kelamin,
bahasa atau agama.”
Selain itu, masih dalam piagam PBB, pada Pasal 55 huruf c juga
mengamanahkan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk memajukan:
”penghormatan hak asasi manusia seantero jagad demikian pula
pengejawantahannya serta kebebasan-kebebasan dasar bagi semua, tanpa
pembedaan ras, jenis kelamin, bahasa atau agama.”
Dalam dokumen klasik Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM),
Pasal 2 dan Pasal 6 menegaskan9 ”Setiap orang berhak atas semua hak dan kebebasan
yang dimuat dalam deklarasi ini tanpa pengecualian apapun, seperti perbedaan ras,
warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, politik atau pandangan lain, asal-usul atau
kemasyarakatan, hak milik, kelahiran ataupun status lainnya.” Selanjutnya tidak
diperbolehkan adanya pembedaan atas dasar kedudukan politik, hukum atau
kedudukan internasional dari negara atau daerah dari mana seseorang berasal, baik
dari negara yang merdeka, wilayah-wilayah perwalian, jajahan atau berasal dari
wilayah di bawah batasan kedaulatan lainnya”. Pasal 6 berbunyi : ”Setiap orang sama
di depan hukum dan berhak atas perlindungan hukum yang sama tanpa diskriminasi.
8Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa
9DUHAM Pasal 2 dan Pasal 6
40
Semua berhak atas perlindungan yang sama terhadap setiap bentuk diskriminasi yang
bertentangan dengan deklarasi ini dan terhadap segala hasutan yang mengarah pada
diskriminasi”.
Prinsip non diskriminasi juga dijumpai dalam Kovenan Internasional Tentang
Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya. Pasal 2 ayat (2) berbunyi: ”Negara-negara
pihak dalam kovenan ini berjanji untuk menjamin bahwa hak-hak yang tercantum
dalam kovenan ini akan diberlakukan tanpa adanya pembedaan apapun seperti ras,
warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, pendapat politik atau pendapat lainnya,
asal-usul kebangsaan atau sosial, kepemilikan, keturunan atau status lain.”10
Selain itu ditemukan pula pada International Convenant Civil and Politic
Rights (ICCPR) Pasal 2 ayat 1. Dinyatakan: ”Setiap negara pihak pada kovenan ini
berjanji untuk menghormati dan menjamin hak yang diakui dalam kovenan ini bagi
semua individu yang berada di dalam wilayahnya dan berada di bawah yurisdiksinya,
tanpa pembedaan jenis apapun, seperti ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama,
pandangan politik atau pandangan lainnya, asalusul kebangsaan atau sosial, hak
milik, status kelahiran atau status lainnya.” Sementara Pasal 26 menyatakan: ”Semua
orang berkedudukan sama di depan hukum dan berhak, tanpa diskriminasi apapun
atas perlindungan hukum yang sama. Dalam hal ini hukum harus melarang
diskriminasi apapun, dan menjamin perlindungan yang sama dan efektif bagi semua
orang terhadap diskriminasi atas dasar apapun seperti ras, warna kulit, jenis kelamin,
bahasa, agama, politik atau pendapat lain, asal-usul kebangsaan atau sosial, harta
benda, status kelahiran atau status lainnya”.11
Frasa ”semua individu” dan ”semua orang” menandakan bahwa jangkauan
subjek hak Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 26 Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil
10Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (ICESCR), 16
Desember 1966 .
11
Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik (International Convenant Civil and Politic
Rights(ICCPR)), 16 Desember 1966.
41
dan Politik luas.12
Penghormatan dan penjaminan hak yang diakui dalam kovenan
(Pasal 2) dan kedudukan sama di depan hukum, tanpa diskriminasi apapun atas
perlindungan hukum yang sama (Pasal 26) berlaku terhadap siapapun individunya
tanpa melihat ia berasal dari kelompok minoritas atau bukan.
Sebagai ilustrasi, manakala kovenan ini menjamin kebebasan untuk beragama
bagi semua orang, maka atas nama prinsip kesetaraan, jaminan hak untuk beragama
ini tidak boleh hanya berlaku bagi kelompok mayoritas saja tapi juga bagi mereka
yang tergolong minoritas. Begitupun sebaliknya, jaminan hak beragama tidak boleh
hanya berlaku bagi minoritas tapi mengabaikan mayoritas. Prinsipnya tidak boleh ada
pembedaan/diskriminasi perlakuan. Sementara mayoritas dapat beribadah dengan
aman, minoritas justru beribadah dalam tekanan. Padahal gambaran kondisi ideal di
undang-undang, baik mayoritas atau minoritas punya posisi yang sederajat untuk
memangku hak asasinya.
Hampir dalam seluruh rezim hukum HAM, prinsip non diskriminasi jadi
prinsip yang strategis. Dalam tingkatan internasional, selain instrumen yang sudah
diungkapkan di muka, prinsip non diskriminasi antara lain didapati juga dalam
Konvensi Internasional Tentang Penghapusan Semua Bentuk Diskriminasi Rasial,
Konvensi Internasional Tentang Penghapusan Semua Bentuk Diskriminasi Terhadap
Perempuan, Konvensi Internasional Tentang Pemberantasan dan Penghukuman
Kejahatan Pembedaan Warna Kulit (Apartheid), Deklarasi Tentang Penghapusan
Semua Bentuk Intoleransi dan Diskriminasi Berdasarkan Agama atau Kepercayaan. 13
Perlindungan dan pemenuhan HAM serta larangan diskriminasi terhadap
kelompok minoritas dibahas dalam sebuah dokumen tersendiri yakni, Deklarasi
Mengenai Hak-Hak Penduduk yang Termasuk Kelompok Minoritas berdasarkan
Kewarganegaraan, Etnis, Agama dan Bahasa yang disahkan dalam Resolusi PBB
12Yogi Zul Fadhli, Kedudukan Kelompok Minoritas dalam Perspektif HAM dan Perlindungan
Hukumnya Di Indonesia, Jurnal Konstitusi, (Volume 11 Nomor 2, Juni 2014), h. 361. 13
Yogi Zul Fadhli, Kedudukan Kelompok Minoritas dalam Perspektif HAM dan Perlindungan
Hukumnya Di Indonesia, Jurnal Konstitusi, (Volume 11 Nomor 2, Juni 2014), h. 362.
42
nomor 47/135 pada 18 Desember 1992.14
Majelis Umum PBB dalam
pertimbangannya mengungkapkan, deklarasi ini dicetuskan karena pemajuan dan
perlindungan hak orang-orang yang termasuk dalam bangsa atau suku bangsa, agama
dan bahasa minoritas akan memberikan sumbangan pada stabilitas politik dan sosial
di mana mereka tinggal.
Dalam deklarasi ini, kelompok minoritas selaku subyek pemangku hak
diberikan:15
I. Hak untuk menikmati kebudayaan mereka, hak untuk memeluk dan
menjalankan agama mereka sendiri dan hak untuk menggunakan bahasa mereka
sendiri (Pasal 2 ayat (1)).
II. Hak untuk berpartisipasi aktif dalam kehidupan budaya, agama, sosial, ekonomi
dan publik secara efektif (Pasal 2 ayat (2)).
III. Hak untuk berpartisipasi secara efektif dalam keputusan-keputusan pada tingkat
nasional dan regional (Pasal 2 ayat (3)).
IV. Hak untuk mendirikan atau mempertahankan perkumpulan mereka sendiri
(Pasal 2 ayat (4)).
V. Hak untuk mendirikan dan memelihara hubungan bebas dan damai dengan
anggota lain dari kelompok mereka, dengan orang yang termasuk kaum
minoritas lainnya, dengan penduduk dari negara lain (Pasal 2 ayat (5)).
VI. Kebebasan untuk melaksanakan hak mereka secara perorangan maupun dalam
komunikasi dengan anggota-anggota lain dari kelompok mereka tanpa
diskriminasi (Pasal (3)).
Sedangkan negara sebagai subyek pemangku kewajiban diberi kewajiban untuk
mengambil langkah-langkah:
14Choirul Anam, dkk, Upaya Negara Menjamin Hak-hak Kelompok Minoritas di Indonesia:
Sebuah Laporan Awal, (Jakarta: Komnas HAM RI, 2016), h. 13.
15
Deklarasi Hak Orang-orang yang Termasuk Bangsa atau Sukubangsa, Agama, dan Bahasa
Minoritas (Declaration on the Rights of Persons Belonging to National or Ethnic, Religious and
Linguistic Minorities), A/Res/47/135, 18 Desember 1992.
43
I. Melindungi eksistensi dan identitas kebangsaan, suku bangsa, budaya, agama,
dan bahasa kaum minoritass dalam wilayahnya dan akan mendorong
kondisikondisi yang memajukan identitas tersebut (Pasal 1 ayat (1)).
II. Mengambil tindakan legislatif dan tindakan lain yang tepat untuk mencapainya
(Pasal 1 ayat (2)).
III. Untuk menjamin orang-orang yang termasuk kaum minoritas dapat
melaksanakan hak asasi dan kebebasan-kebebasan fundamental mereka dengan
sepenuhnya dan efektif tanpa diskriminasi, dan dengan kesamaan seutuhnya di
hadapan hukum (Pasal 4 ayat (1)).
IV. Upaya-upaya untuk menciptakan kondisi-kondisi yang menguntungkan agar
orang-orang yang termasuk kaum minoritas dapat mengekspresikan ciri khas
mereka dan mengembangkan budaya, bangsa, agama, tradisi, dan kebiasaan
mereka (Pasal 4 ayat (2)).
V. Agar kaum minoritas punya kesempatan yang cukup untuk mempelajari.
B. Respon Dunia Internasional terhadap Pelanggaran HAM di Xinjiang China
Perhatian media internasional di Xinjiang sejauh ini terfokus pada kamp
pendidikan politik. Meskipun pemerintah Tiongkok tidak memberikan informasi
secara terbuka mengenai jumlah tahanan di kamp-kamp ini, perkiraan yang dapat
dipercaya menyebutkan jumlah orang yang berada di kamp-kamp ini sekitar satu
juta.16
Dalam fasilitas-fasilitas rahasia ini, para tahanan dipaksa untuk menjalani
indoktrinasi politik selama berhari-hari, berbulan-bulan dan bahkan lebih dari
setahun. Para pejabat Tiongkok telah membantah adanya penyiksaan, sebaliknya
mereka mencirikan kamp-kamp ini sebagai “pendidikan kejuruan dan pusat pelatihan
kerja” untuk “para pelaku kejahatan ringan”.
16Adrian Zenz dalam “New Evidence for China’s Political Re-Education Campaign in
Xinjiang,” China Brief, vol. 18, terbitan 10, 15 Mei 2018, https://www.nchrd.org/2018/08/china-
massive-numbers-of-uyghursother-ethnic-minorities-forced-into-re-education-programs/, diakses 24
September 2019, Pukul 22.45.
44
Selama lima tahun terakhir, sejumlah insiden kekerasan yang dikaitkan
dengan pelaku Uighur telah dilaporkan di Xinjiang dan tempat lain di Tiongkok, dan
ada sejumlah laporan tentang pejuang Uighur yang bergabung dengan kelompok
ekstremis bersenjata di luar negeri. Pemerintah telah memberlakukan pembatasan
yang jauh lebih besar pada Uighur daripada etnis minoritas lainnya. Pelanggaran hak
asasi manusia di Xinjiang saat ini sudah berada dalam cakupan dan skala yang tak
pernah terlihat di Tiongkok sejak Revolusi Kebudayaan 1966-1976. Pembentukan
dan perluasan kamp pendidikan politik dan sejumlah praktik kejam lainnya
menunjukkan bahwa komitmen Beijing untuk mengubah Xinjiang seperti dirinya
bersifat jangka panjang.
Dalam berbagai laporan Human Right Watch mengungkapkan respon negara-
negara lain terhadap praktik pelanggaran yang terjadi di Xinjiang, khususnya negara-
negara dengan penduduk mayoritas Muslim memang sangat minim. Mereka justru
diam dan tidak ikut berkomentar. Sejumlah kesamaan utama di balik kebisuan
mereka, yakni pertimbangan politik, ekonomi dan kebijakan luar negeri.17
Sebaliknya, negara-negara seperti Australia dan Amerika Serikat secara terbuka
mengecam tindakan Pemerintah China di wilayah tersebut.
Tekanan yang dilakukan oleh pemerintah Tiongkok terhadap etnis Uighur dan
banyaknya korban yang jatuh dalam kerusuhan memunculkan reaksi dari publik dan
pemerintah Turki. Dilandasi oleh kedekatan etnis dengan Uighur, Turki bereaksi
keras terhadap tragedi tersebut publik Turki melakukan demonstrasi di Ankara dan
Istanbul. Perdana Menteri Turki Recep Tayyip Erdogan turut menyatakan dukungan
terhadap demo anti Tiongkok di depan Kedutaan Besar Tiongkok di Ankara yang
dilakukan untuk memprotes tindakan pemerintah Tiongkok sebagai suatu bentuk
genosida dan mengkritik sikap pemerintah Tiongkok yang cenderung tidak terlalu
bereaksi terhadap peristiwa tersebut, PM Erdogan juga mengancam akan membawa
17Mengapa Pemerintah Negara Muslim, Termasuk Indonesia Diam Soal Uyghur?
https://www.tempo.co/abc/3377/mengapa-pemerintah-negara-muslim-termasuk-indonesia-diam-soal-
uyghur, diakses pada 01 Oktober 2019, Pukul 17.20.
45
isu ini kepada Dewan Keamanan PBB. Selain reaksi dari Perdana Menteri dan
masyarakat sipil, media - media di Turki juga memberikan perhatian lebih terhadap
tragedi di Xinjiang. Mereka memberitakan peristiwa tersebut dengan lengkap dan
memberikan artikel khusus tentang hubungan etnisitas Uighur – Turki serta
nasionalisme Turki.18
Adanya ikatan primordialisme yang ditimbulkan dari kesamaan – kesamaan
tersebut, tercipta suatu afiliasi yang erat dengan Turki. Turki menjadi salah satu
tujuan utama dari pelarian Uighur dari Xinjiang. Keberadaan etnis Uighur di Turki
tidak dapat dilepaskan dari peran dua pemimpin Uighur yang memimpin pengungsian
tersebut, yaitu Isa Yusuf Alptekin dan Mehmet Emin Bugra. Keberadaan mereka di
Turki merupakan simbol perjuangan pengungsi Uighur dalam perlawanannya
terhadap Tiongkok. Etnis Uighur berhasil mendirikan beberapa organisasi
kemerdekaan East Turkestan seperti Eastern Turkestan Refugee Committee (Doğu
Türkistan Göçmenler Derneği) pada 1950an dan jurnalnya yang bernama Doğu
Türkistan, dan organisasi East Turkistan Foundation atau Doğu Türkistan Vakfi pada
tahun 1976 yang mempromosikan budaya dan kehidupan sosial Uighur hingga usaha
Alptekin untuk membentuk East Turkestan World National Congress (ETNC) yang
diadakan pertama kali di Istanbul pada 1992.19
Perjuangan dari Alptekin terus menurun dikarenakan usia yang telah lanjut.
Selain menurunnya perjuangan Alptekin, tekanan pemerintah Tiongkok terhadap
Turki terus meningkat. Dimulai pada sekitar tahun 1990, pemerintah Turki mulai
memperketat kegiatan komunitas Uighur dan melarang etnis Uighur terlibat di dalam
politik, melakukan pidato – pidato serta memperketat pemberian izin pengungsi.
Pada tahun 1993, ETNC telah sepenuhnya tidak diijinkan untuk mengadakan
kongresnya di Turki, kini ETNC memindahkan markas mereka di Munich, Jerman.
Namun perpindahan ini masih membuat ETNC tidak efektif, melemahnya organisasi
18Siti Nida Laylia, Respon Turki Terhadap Pelanggaran Ham Minoritas Muslim Uighur Yang
Dilakukan Oleh Pemerintah Tiongkok 2009-2010, Jurnal Jom Fisip (Vol. 5 No. 1, April 2018), h. 4. 19
Siti Nida Laylia, Respon Turki Terhadap Pelanggaran Ham Minoritas Muslim Uighur Yang
Dilakukan Oleh Pemerintah Tiongkok 2009-2010, .... h. 4.
46
kemerdekaan di Uighur juga diperparah dengan adanya perpecahan dan perbedaan
pendapat di dalam organisasi, terdapat pihak yang menginginkan kemerdekaan
penuh, namun sebagian hanya menginginkan otonomi yang lebih besar.
C. Kebijakan Internasional terhadap Bentuk-bentuk Pelanggaran HAM di Xinjiang
China
Dukungan positif datang dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). PBB
mendesak China untuk memberi akses ke 'kamp konsentrasi' di Wilayah Otonomi
Xinjiang. Mereka ingin melihat langsung dugaan pelanggaran hak asasi manusia
terhadap sekitar satu juta etnis Muslim Uighur yang ditahan, dengan alasan untuk
dididik mengenal budaya China. Dalam rapat dengar pendapat di Markas PBB di
New York, Amerika Serikat pada November lalu, sejumlah negara sudah mendesak
supaya China mengakhiri perlakukan diskriminatif terhadap etnis Uighur dan para
pegiat HAM.
China menyangkal seluruh laporan dan mengabaikan tekanan dengan
mengklaim catatan penerapan HAM mereka baik-baik saja dan disebut meningkat
selama empat dasawarsa. Pemerintah China menolak tudingan pelanggaran hak asasi
manusia terhadap etnis Muslim Uighur di Wilayah Otonomi Xinjiang, dengan
memaksa mereka masuk ke kamp khusus. Mereka malah menganggap etnis Uighur
bukan orang normal dan mencoba 'mendidiknya'.20
Dalam sebuah laporan Human Right Watch setebal 117 halaman bertajuk
“Memberantas Virus Ideologis”, HRW ikut memberikan rekomendasi kepada
Pemerintah Republik Rakyat Tiongkok, sebagai berikut:21
20
CNN Indonesia, PBB Desak China Buka Akses ke Kamp Konsentrasi Uighur,
https://m.cnnindonesia.com/internasional/20181206203220-113-351721/pbb-desak-china-buka-akses-
ke-kamp-konsentrasi-uighur, diakses pada 02 Oktober 2019, Pukul 21.45.
21Laporan Lengkap Human right watch “Memberantas Virus Ideologis”, diunduh dari
https://www.hrw.org/id/news/2018/09/322309, pada 02 Oktober 2019, Pukul 22.50.
47
I. Menutup segera semua kamp pendidikan politik di Xinjiang dan bebaskan
semua orang yang ditahan;
II. Menghentikan segera “Kampanye Gebuk Keras Melawan Terorisme Kejam”
di Xinjiang termasuk tim “ fanghuiju ,” “Menjadi Keluarga” dan sejumlah
program wajib lain yang bertujuan mengawasi dan mengontrol Muslim Turk;
III. Menghormati hak atas kebebasan berekspresi, berkumpul, berserikat,
beragama dan budaya untuk memastikan bahwa Muslim Turk dapat terlibat
dalam aktivitas damai dan menyuarakan keprihatinan dan mengemukakan
kritik;
IV. Secara tidak memihak menyelidiki Sekretaris Partai Chen Quanguo dan
pejabat senior lain yang terlibat dalam dugaan praktik-praktik kejam terkait
dengan Kampanye Gebuk Keras, dan dengan tepat meminta para pihak yang
terlibat untuk bertanggung jawab;
V. Memeriksa semua kasus dari mereka yang ditahan atau dipenjarakan atas
tuduhan keamanan negara, terorisme atau ekstremisme dan membatalkan
semua tuduhan yang keliru, serta meminta sidang ulang yang adil dalam
kasus-kasus di mana mereka yang dinyatakan bersalah tidak menerima
persidangan yang memenuhi standar proses hukum internasional;
VI. Menangguhkan pengumpulan dan penggunaan biometrik di Xinjiang sampai
ada hukum nasional dan komprehensif yang melindungi privasi orang,
menghapus data biometrik dan data terkait yang telah dikumpulkan
berdasarkan kebijakan saat ini;
VII. Menahan diri dari pengumpulan dan penggunaan biometrik kecuali sesuai
hukum dan didemonstrasikan seperlunya dan sebanding dengan tujuan
pemerintah yang sah;
VIII. Menghentikan pengoperasian program data besar, Platform Operasi Bersama
Terpadu;
IX. Mengembalikan segera paspor ke para warga Xinjiang dan menghentikan
kebijakan penarikan paspor;
48
X. Berhenti menekan umat Muslim Turk di luar negeri untuk kembali atau
mengumpulkan informasi tentang mereka. Berhenti menekan pemerintah tuan
rumah untuk secara paksa memulangkan warga negara Muslim Turk di luar
negeri kecuali berdasarkan permintaan ekstradisi untuk alasan penegakan
hukum yang sah;
XI. Memberikan kompensasi yang cepat dan memadai, termasuk perawatan medis
dan psikologis, bagi orang-orang yang secara sewenang-wenang ditahan dan
diperlakukan tidak semestinya di bawah Kampanye Gebuk Keras;
XII. Memberikan akses ke Xinjiang seperti yang diminta oleh beberapa prosedur
khusus PBB.
Dalam hal isu pelanggaran HAM yang terjadi di Xinjiang China, ketua Dewan
Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia Din Syamsudin juga turut mengecam keras
penindasan yang dilakukan Tiongkok terhadap muslim Uighur. Menurutnya,
Penindasan seperti itu merupakan pelanggaran nyata atas Hak Asasi Manusia (HAM)
internasional. Din Syamsudin yang juga merupakan President of Asian Conference
on Religions for Peace (ACRP) meminta agar penindasan yang dilakukan terhadap
muslim Uighur segera dihentikan. Selain itu dia juga mendesak Organisasi Kerja sam
Islam (OKI) dan masyarakat Internasional untuk bersikap tegas dan menyelamatkan
nasib muslim Uighur dari rezim pemerintahan Tiongkok.22
Selain itu, sebagai wujud kepedulian MUI terhadap umat Muslim Uighur,
pada Februari 2019 MUI Bersama beberapa perwakilan Ormas Islam telah
melakukan kunjungan ke Xinjiang guna mendapatkan informasi yang akurat.23
Ketua
Bidang Hubungan Luar Negeri Majelis Ulama Indonesia, KH Muhyiddin Junaidi
22“MUI Kutuk Keras Masalah Krisis Kemanusiaan di Uighur”
https://news.detik.com/video/181220102/mui-kutuk-keras-masalah-krisis-kemanusiaan-di-uighur,
diakses pada 02 Oktober 2019, Pukul 23.50.
23
“Kunjungi Uighur, MUI Ingin Tabayun soal Kabar Diskriminasi Etnis Muslim”,
https://m.detik.com/news/berita/d-4435730/kunjungi-uighur-mui-ingin-tabayun-soal-kabar-
diskriminasi-etnis-muslim, diakses pada 19 Desember 2019, Pukul 13.05.
49
menegaskan, perwakilan ormas Islam tidak ada yang setuju dengan kebijakan
pemerintah China terhadap Muslim Uighur di Xinjiang.24
KH Muhyiddin
menjelaskan, konstitusi China memang mengatakan agama hanya bisa diterapkan di
tempat tertutup, sehingga Muslim Uighur tidak bisa melaksanakan ibadah di tempat
umum atau di tempat pelatihan kerja yang dibuat pemerintah Cina. Ia menyampaikan,
perwakilan ormas Islam yang ke Xinjiang sudah sepakat meminta pemerintah China
memberikan izin beribadah kepada umat Islam. Bukan hanya umat Islam yang ada di
Uighur tapi juga yang da di wilayah lain.
Anwar Abbas selaku Sekjen MUI turut memberikan himbauan atas kasus
Uighur. Menurutnya sangat sulit bagi pemerintah China untuk membantah dan
mengingkari bahwa di Uighur tidak ada pelanggaran terhadap hak-hak asasi manusia
terhadap umat Islam yang ada di sana. Untuk itu MUI mengimbau dan meminta
kepada pemerintah China agar lebih menghormati hak semua orang untuk tinggal di
muka bumi ini.25
Muhammadiyah sebagai ormas yang bergerak di ranah kemanusiaan, moral
sebagai kekuatan Islam tak tinggal diam terkait masalah ini. Suara yang mereka
keluarkan tanpa ada kaitannya dengan agama, ras, etnik, maupun suku bangsa. Ketua
Umum PP Muhammadiyah, Haedar Nashir menegaskan pihaknya sudah memberi
masukan pada pemerintah Indonesia mengenai permasalahan itu.26
24“MUI: Tidak Ada yang Setuju Kebijakan Cina Atas Uighur”
https://www.google.com/amp/s/m.republika.co.id/amp/q2gb9l430, diakses pada 19 Desember 2019,
Pukul 13.01.
25
“Sekjen MUI ke China dan AS: Setop Pelanggaran HAM Muslim Uighur-Palestina”,
https://m.detik.com/news/berita/d-4824093/sekjen-mui-ke-china-dan-as-setop-pelanggaran-ham-
muslim-uighur-palestina, diakses pada 19 Desember 2019, Pukul 13.15.
26
“Tujuh Poin Pernyataan Sikap Muhammadiyah Terkait Isu Uighur”,
https://nasional.tempo.co/read/1284582/tujuh-poin-pernyataan-sikap-muhammadiyah-terkait-isu-
uighur/full?view=ok, diakses pada 19 Desember 2019, Pukul 13.15.
50
Pimpinan Pusat Muhammadiyah juga memprotes pemberitaan media Amerika
Serikat Wallstreet Journal yang menuding adanya fasilitas dan lobi-lobi pemerintah
Cina terhadap sejumlah ormas Islam Indonesia terkait permasalahan HAM
muslim Uighur di Xinjiang. Muhammadiyah menilai pemberitaan itu tak berdasar
dan memfitnah mereka dan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) dan Majelis
Ulama Indonesia (MUI).
Muhammadiyah mengeluarkan pernyataan resmi terkait pandangan mereka
mengenai isu pelanggaran HAM di Uighur. Berikut isi lengkapnya:27
1. Menyesalkan pemberitaan Wallstreet Journal yang menyebutkan adanya fasilitas
dan lobi-lobi Pemerintah Tiongkok terhadap PP. Muhammadiyah, Pengurus Besar
Nahdlatul Ulama, dan Majelis Ulama Indonesia sebagai upaya mempengaruhi
sikap politik Muhammadiyah, NU, dan MUI atas permasalahan HAM di
Xinjiang.
Pemberitaan tersebut sangat tidak berdasar dan fitnah yang merusak nama
baik Muhammadiyah, NU, dan MUI. Pimpinan Pusat Muhammadiyah mendesak
agar Wallstreet Journal meralat berita tersebut dan meminta maaf kepada warga
Muhammadiyah. Apabila hal tersebut tidak dipenuhi, Muhammadiyah akan
mengambil langkah hukum sebagaimana mestinya.
2. Mendesak kepada Pemerintah Tiongkok untuk lebih terbuka dalam memberikan
informasi dan akses masyarakat internasional mengenai kebijakan di Xinjiang dan
Masyakarat Uighur.
Pemerintah Tiongkok agar menghentikan segala bentuk pelanggaran
HAM, khususnya kepada masyarakat Uighur atas dalih apapun. Pemerintah
Tiongkok hendaknya menyelesaikan masalah Uighur dengan damai melalui
dialog dengan tokoh-tokoh Uighur dan memberikan kebebasan kepada Muslim
untuk melaksanakan ibadah dan memelihara identitas.
27Tujuh Poin Pernyataan Sikap Muhammadiyah Terkait Isu Uighur”,
https://nasional.tempo.co/read/1284582/tujuh-poin-pernyataan-sikap-muhammadiyah-terkait-isu-
uighur/full?view=ok, diakses pada 19 Desember 2019, Pukul 13.15.
51
3. Mendesak kepada Perserikatan Bangsa-bangsa untuk mengeluarkan resolusi
terkait pelanggaran HAM atas Masyarakat Uighur, Rohingnya, Palestina, Suriah,
Yaman, India, dan sebagainya.
4. Mendesak Organisasi Kerjasama Islam (OKI) untuk mengadakan Sidang khusus
dan mengambil langkah-langkah konkrit untuk menghentikan segala bentuk
pelanggaran HAM yang dialami umat Islam, khususnya di Xinjiang.
5. Mendesak Pemerintah Indonesia agar menindaklanjuti arus aspirasi umat Islam
dan bersikap lebih tegas untuk menghentikan segala bentuk pelanggaran HAM di
Xinjiang sesuai dengan amanat UUD 1945 dan politik luar negeri yang bebas
aktif. Pemerintah Indonesia hendaknya lebih aktif menggunakan peran sebagai
anggota OKI dan anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB untuk menggalang
diplomasi bagi dihentikannya pelanggaran HAM di Xinjiang dan beberapa
negara lainnya.
6. Menghimbau umat Islam agar menyikapi masalah pelanggaran HAM di Xinjiang
dengan penuh kearifan, rasional, damai, dan tetap memelihara ukhuwah islamiyah
dan persatuan bangsa. Hendaknya tidak ada pihak-pihak yang sengaja menjadikan
masalah Uighur sebagai komoditas politik kelompok dan partai tertentu serta
mengadu domba masyarakat dengan menyebarkan berita yang menyesatkan dan
memecah belah umat dan bangsa melalui media sosial, media massa, dan berbagai
bentuk provokasi lainnya.
7. Menghimbau kepada warga Persyarikatan Muhammadiyah untuk konsisten
menyikapi persoalan dengan cerdas, berpegang teguh pada khittah dan
kepribadian Muhammadiyah, tidak terpengaruh berita media sosial yang
menghasut dan tidak dapat dipertanggungjawabkan.28
Selain MUI dan Ormas Islam, keprihatinan yang serupa turut disampaikan
oleh wakil ketua DPR RI Fadli Zon. Politisi Partai Gerindra ini menyatakan, meski
28Tujuh Poin Pernyataan Sikap Muhammadiyah Terkait Isu Uighur”,
https://nasional.tempo.co/read/1284582/tujuh-poin-pernyataan-sikap-muhammadiyah-terkait-isu-
uighur/full?view=ok, diakses pada 19 Desember 2019, Pukul 13.15.
52
diberikan status otonomi, penduduk muslim di Xinjiang justru mengalami perlakuan
represif. Dia mengatakan, lebih dari 10 juta muslim di Xinjiang mengalami
perlakukan diskriminatif, baik diskriminasi agama, sosial, maupun ekonomi. Politik
luar negeri Indonesia yang bebas dinilai bisa melakukan diplomasi atas setiap bentuk
pelanggaran HAM. Sebab, pelanggaran HAM yang terjadi terhadap muslim Uighur
sudah menjadi pengetahuan umum dan telah berlangsung lama dan berbagai laporan
LSM HAM dunia termasuk dari PBB memperkuat hal tersebut. Indonesia harus
serius menyikapi hal tersebut dan turut aktif membantu muslim Uighur melalui
diplomasi HAM, baik secara bilateral terhadap Pemerintah Tiongkok maupun secara
multilateral melalui keanggotaan PBB, OKI, dan lembaga-lembaga Internasional
lainnya.
Hal lain yang bisa diupayakan oleh Pemerintah Indonesia adalah dengan
memanfaatkan hubungan baik antara Indonesia dengan Tiongkok. Hal itu semestinya
bisa digunakan untuk saling menguatkan visi peradaban dunia yang beradab diatas
penghormatan HAM. Seyogyanya Indonesia turut berperan dalam menindak lanjuti
permasalahan Uighur ini. Meskipun belum ada langkah kongkrit Pemerintah
Indonesia sebagai tindak lanjut dari berbagai respon prihatin dari masyarakat
khususnya para elit politik serta tokoh agama.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Praktik diskriminasi yang terjadi di Xinjiang sangatlah bertentangan dengan
HAM internasional. Jika ditelaah satu persatu, praktik pelanggaran HAM yang
terjadi di Xinjiang China merupakan bentuk penindasan terhadap suatu
kelompok politik, ras, bangsa,etnis, kebudayaan, agama, jenis kelamin, atau
kelompok-kelompok lainnya, yang dapat dikategorikan sebagai kejahatan
terhadap kemanusiaan (Crimes against Humanity).
2. Respon dunia internasional terhadap praktik pelanggaran HAM yang kian
terjadi di Xinjiang China tidak sebanyak respon dunia terhadap Rohingya di
masa silam, terutama negara-negara dengan penduduk mayoritas muslim.
Mereka lebih banyak diam dan tidak memberikan respon nyata terhadap
pelanggaran HAM Muslim Uighur. Dukungan justru datang dari negara-negara
seperti Amerika, Australia, serta Turky yang memang punya hubungan
primordialisme dengan Uighur Xinjiang.
3. Human Right Watch (HRW) dan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sebagai
salah satu lembaga pengejawantahan HAM terbesar di dunia mengeluarkan
kebijakan yang serupa yakni mendesak China untuk menghentikan praktik
diskriminasi yang terus dilakukan pemerintah terhadap etnis minoritas
khususnya Muslim Uighur.
B. Saran
Secara praktik, kepada Human Right Watch (HRW) sebagai Lembaga HAM
terbesar dunia, direkomendasikan untuk lebih tegas dalam mengupayakan penegakan
Hak Asasi Manusia. Secara adil HRW perlu lebih menekankan kepada setiap negara
53
54
baik negara berkembang maupun negara maju untuk senantiasa memaksimalkan
upaya penegakan HAM. Selain itu, PBB sebagai tonggak persatuan dunia
Internasional juga harus lebih peka dan optimal dalam merespon isu-isu pelanggaran
HAM yang terus terjadi di setiap negara.
Secara akademik, kepada masyarakat khususnya umat muslim di setiap
belahan negara di dunia direkomendasikan untuk memahami konsep HAM,
setidaknya HAM yang diakui oleh negaranya masing-masing. Dengan demikian,
pengetahuan dan pemahaman mengenai HAM tersebut diharapkan mampu
menumbuhkan kesadaran untuk memaksimalkan partisipasi masyarakat dalam
menegakkan HAM.
DAFTAR PUSTAKA
Buku dan Jurnal
Adrian Zenz dalam “New Evidence for China’s Political Re-Education Campaign in
Xinjiang,” Jurnal China Brief, vol. 18, terbitan 10, 15 Mei 2018.
https://www.nchrd.org/2018/08/china-massive-numbers-of-uyghursother-
ethnic-minorities-forced-into-re-education-programs/, diakses 24 September
2019, Pukul 22.45.
Arnold, Thomas W. Sejarah Dakwah Islam (diterjemahkan oleh A. Nawawi Rambe),
Jakarta: Widjaya, 1979.
Choirul Anam, dkk. Upaya Negara Menjamin Hak-hak Kelompok Minoritas di
Indonesia: Sebuah Laporan Awal. Jakarta: Komnas HAM RI.
Cox, Larry. A Vision of a World Made New: The Universal Declaration of Human
Rights in a Time of Fear. Jurnal Online ProQuest, Februari 2004.
Deklarasi Hak Orang-orang yang Termasuk Bangsa atau Sukubangsa, Agama, dan
Bahasa Minoritas (Declaration on the Rights of Persons Belonging to
National or Ethnic, Religious and Linguistic Minorities). A/Res/47/135, 18
Desember 1992.
Deklarasi Uniersal Hak Asasi Manusia (DUHAM)
Effendi, A. Masyhur. Perkembangan Dimensi Hak Asasi Manusia (HAM) dan Proses
Dinamika Penyusunan Hukum Hak Asasi Manusia (HAKHAM). Bogor:
Ghalia Utama, 2005.
El-Muhtaj, Majda. Hak Asasi Manusia Dalam Konstitusi Indonesia Dari Uud 1945
Sampai Dengan Amandemen Uud 1945 Tahun 2002. Jakarta: Kencana, 2009.
Enny Soeprapto, Rudi M. Rizki, Eko Riyadi, Hak Asasi Manusia Kelompok Rentan
dan Mekanisme Perlindungannya. Yogyakarta: Pusham UII, 2012.
Karisma, Gita. Konflik Etnis Di Xinjiang: Kebijakan Monokultural Dan Kepentingan
Negara China Terhadap Keutuhan Wilayah. Jurnal Sosiologi, Vol. 19, No. 1.
Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (ICESCR), 16
Desember 1966 .
55
56
Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik (International Convenant Civil and
Politic Rights(ICCPR)), 16 Desember 1966.
Laylia, Siti Nida. Respon Turki Terhadap Pelanggaran Ham Minoritas Muslim
Uighur Yang Dilakukan Oleh Pemerintah Tiongkok 2009-2010. Jurnal Jom
Fisip, Vol. 5 No. 1, April 2018.
Mahmud Marzuki, Peter. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana Prenada,2008.
Mauna, Boer. Hukum Internasional: Pengertian, Peranan, Fungsi dan Era Dinamika
Global Edisi Kedua. Bandung: Alumni, 2005.
Muzaffar, Chandra. Human Rights And New World Order, Hak Asasi Manusia
Dalam Tata Dunia Baru Menggugat Dominasi Global Barat, penerjemah
Poerwanto. Bandung: Mizan, 1995.
Percaya, Desra. Indonesia, PBB, dan Hak Asasi Manusia Internasional. Jurnal
Ketahanan Nasional, Vol VIII No 2, April 2003.
Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa
Radjab, Suryadi. Dasar-dasar Hak Asasi Manusia. Jakarta: PBHI, 2002.
Ridwan, “Konflik antara Etnis Muslim Uighur dan Pemerintah China”. Universitas
Muhammaddiyah Yogyakarta, 2007.
Rosyid, Menggugah peran hukum humaniter internasional Islam dalam mengurai
konflik etnis perspektif sejarah, Jurnal Wacana Hukum Islam dan
Kemanusiaan, Vol. 12 No. 2, Desember 2012.
Suardi Wekke Rusdan, Ismail. Minoritas Muslim Di China: Perkembangan, Sejarah
Dan Pendidikan. Jurnal Ijtimaiyya Pengembangan Masyarakat Islam. Vol. 10
No.1, April 2017.
Statuta Roma Mahkamah Pidana Internasional, disahkan oleh Konferensi Diplomatik
Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tanggal 17 Juli 1998.
Ting, Dawoud C.M. Kebudayaan Islam Di China. Jakarta: Pustaka Jaya, 1980.
United Nations Human Rights Council, https://www.ohcr.org/EN/HRBodies/HRC/
Pages/Membership.aspx, diakses pada 19 September 2019, Pukul 14.46.
57
Wardhani, Baiq L.S.W. “Respon China Atas Gerakan Pan-Uyghuris Di Provinsi
Xinjiang”, (dalam Paper yang diterbitkan oleh Departemen Hubungan
Internasional, FISIP UNAIR, Surabaya). 2011.
Widhiana Suarda, I Gede. Hukum Pidana Internasional sebuah pengantar. Bandung:
Citra Aditya, 2012.
Wignjosoebroto, Soetandyo. Hak Asasi Manusia Konsep Dasar dan Perkembangan
Pengertiannya dari Masa ke Masa. Jakarta: Elsam, 2007.
Zul Fadhli, Yogi. Kedudukan Kelompok Minoritas dalam Perspektif HAM dan
Perlindungan Hukumnya Di Indonesia. Jurnal Konstitusi, Volume 11 Nomor
2, Juni 2014.
Internet
CNN Indonesia, “PBB Desak China Buka Akses ke Kamp Konsentrasi Uighur”,
https://m.cnnindonesia.com/internasional/20181206203220-113-351721/pbb-
desak-china-buka-akses-ke-kamp-konsentrasi-uighur, diakses pada 02 Oktober
2019, Pukul 21.45.
“Kebijakan Represif China pada Muslim Xinjiang”. https://tirto.id/kebijakan-represif-
cina-pada-muslim-xinjiang-cnA4, diakses pada 05 Oktober 2019, Pukul 03.01
“Kebijakan One China policy, dan penerapannya pada etnis muslim uighur”, diakses
dari http://saveuyghur.org, diakses pada 1 Oktober 2018, Pukul 03.13.
“Hal-hal yang Perlu diketahui Seputar Kondisi Muslim Uighur di China”,
https://www.liputan6.com/global/read/3850073/7-hal-yang-perlu-diketahui-
seputar-kondisi-muslim-uighur-di-china, diakses pada 23 Desember 2018,
pukul 09.57.
Laporan Lengkap Human right watch “Memberantas Virus Ideologis”, diunduh dari
https://www.hrw.org/id/news/2018/09/322309, pada 02 Oktober 2019, Pukul
22.50.
“MUI Kutuk Keras Masalah Krisis Kemanusiaan di Uighur” https://news.detik.com/
video/181220102/mui-kutuk-keras-masalah-krisis-kemanusiaan-di-uighur.
58
“Mengapa Pemerintah Negara Muslim, Termasuk Indonesia Diam Soal Uyghur?”
https://www.tempo.co/abc/3377/mengapa-pemerintah-negara-muslim-
termasuk-indonesia-diam-soal-uyghur, diakses pada 01 Oktober 2019, Pukul
17.20.
Human Right Watch (HRW), Memberantas Virus Ideologis: Kampanye Penindasan
Tiongkok Melawan Muslim Xinjiang, diakses dari
https://www.hrw.org/report/2018/09/09/eradicating-ideological-
viruses/Chinas-campaign-repression-against-xinjiangs, diakses pada 02
Oktober 2019, Pukul 22.04.
China Human Rights Watch Backgroubder, diakses dari http://hrw.org/legacy/
backgrounder/asia/china.htm, diakses pada 1 Oktober, Pukul 03.40.
Human right watch “Tiongkok: Penggerebekan Besar-besaran di Wilayah Muslim”,
diakses dari https://www.hrw.org/id/news/2018/09/322309, pada 02 Oktober
2019, Pukul 22.14.
Human right watch “Penahanan Massal, Penindasan Agama, Pengawasan di
Xinjiang”, diakses dari https://www.hrw.org/id/news/2018/09/322309, pada 02
Oktober 2019, Pukul 22.50.
“Kunjungi Uighur, MUI Ingin Tabayun soal Kabar Diskriminasi Etnis Muslim”,
https://m.detik.com/news/berita/d-4435730/kunjungi-uighur-mui-ingin-
tabayun-soal-kabar-diskriminasi-etnis-muslim, diakses pada 19 Desember
2019, Pukul 13.05.
“MUI: Tidak Ada yang Setuju Kebijakan Cina Atas Uighur”, https://www.google.com
/amp/s/m.republika.co.id/amp/q2gb9l430, diakses pada 19 Desember 2019,
Pukul 13.01.
“Sekjen MUI ke China dan AS: Setop Pelanggaran HAM Muslim Uighur-Palestina”,
https://m.detik.com/news/berita/d-4824093/sekjen-mui-ke-china-dan-as-
setop-pelanggaran-ham-muslim-uighur-palestina, diakses pada 19 Desember
2019, Pukul 13.15.
“Tujuh Poin Pernyataan Sikap Muhammadiyah Terkait Isu Uighur”, https://nasional.
tempo.co/read/1284582/tujuh-poin-pernyataan-sikap-muhammadiyah-terkait-
isu-uighur/full?view=ok, diakses pada 19 Desember 2019, Pukul 13.15.