tugas daniel

16
BAB 2 Tinjauan Pustaka 2.1. Otitis Media Supuratif Kronis 2.1.1 Definisi Otitis Media Supuratif Kronis (OMSK) adalah radang kronis telinga tengah dengan perforasi membran timpani dan riwayat keluarnya sekret dari telinga (otorea) lebih dari 3 bulan, baik terus menerus ataupun hilang timbul. Sekret mungkin encer atau kental, bening atau berupa nanah (Helmi 2005). 2.1.2 Etiologi dan patogenesis OMSK Ada beberapa faktor yang menjadi etiologi dari otitis media supuratif kronis antara lain : otitis media akut dan otitis media efusi, genetik dan ras, lingkungan, disfungsi tuba Eusthacius, refluks gastroesofagal, abnormalitas kraniofasial, defesiensi imun (Browning 2009). Patogenesis dari OMSK tipe bahaya dengan kolesteatoma masih belum diketahui dengan pasti. Sejumlah kasus disebabkan oleh perforasi membran timpani yang berasal dari episode otitis media akut. Di sejumlah kasus, perforasi terkadang kering dan kasus lainnya dengan telinga berair. Pada kasus OMSK dengan tube timpanostomi, hal tersebut merupakan hasil superinfeksi dari mukosa telinga tengah, organisme dari telinga luar atau nasofaring (Lee 2008). 2.1.3 Klasifikasi OMSK OMSK dapat dibagi atas 2 jenis, yaitu : • OMSK tipe aman (tipe mukosa = tipe benigna) • OMSK tipe bahaya (tipe tulang=tipe maligna) Proses peradangan pada OMSK tipe aman terbatas pada mukosa saja, dan biasanya tidak mengenai tulang. Perforasi terletak di sentral. Umumnya OMSK tipe aman jarang menimbulkan komplikasi yang berbahaya. Pada OMSK tipe aman tidak terdapat kolesteatoma sedangkan OMSK tipe bahaya biasanya perforasi marginal, atik ataupun dengan perforasi subtotal. Sebagian besar komplikasi yang

Upload: ketut-suwadiaya-p-adnyana

Post on 16-Dec-2015

8 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

tugas daniel

TRANSCRIPT

BAB 2 Tinjauan Pustaka 2.1. Otitis Media Supuratif Kronis 2.1.1 Definisi Otitis Media Supuratif Kronis (OMSK) adalah radang kronis telinga tengah dengan perforasi membran timpani dan riwayat keluarnya sekret dari telinga (otorea) lebih dari 3 bulan, baik terus menerus ataupun hilang timbul. Sekret mungkin encer atau kental, bening atau berupa nanah (Helmi 2005). 2.1.2 Etiologi dan patogenesis OMSK

Ada beberapa faktor yang menjadi etiologi dari otitis media supuratif kronis antara lain : otitis media akut dan otitis media efusi, genetik dan ras, lingkungan, disfungsi tuba Eusthacius, refluks gastroesofagal, abnormalitas kraniofasial, defesiensi imun (Browning 2009). Patogenesis dari OMSK tipe bahaya dengan kolesteatoma masih belum diketahui dengan pasti. Sejumlah kasus disebabkan oleh perforasi membran timpani yang berasal dari episode otitis media akut. Di sejumlah kasus, perforasi terkadang kering dan kasus lainnya dengan telinga berair. Pada kasus OMSK dengan tube timpanostomi, hal tersebut merupakan hasil superinfeksi dari mukosa telinga tengah, organisme dari telinga luar atau nasofaring (Lee 2008). 2.1.3 Klasifikasi OMSK OMSK dapat dibagi atas 2 jenis, yaitu : OMSK tipe aman (tipe mukosa = tipe benigna) OMSK tipe bahaya (tipe tulang=tipe maligna)

Proses peradangan pada OMSK tipe aman terbatas pada mukosa saja, dan biasanya tidak mengenai tulang. Perforasi terletak di sentral. Umumnya OMSK tipe aman jarang menimbulkan komplikasi yang berbahaya. Pada OMSK tipe aman tidak terdapat kolesteatoma sedangkan OMSK tipe bahaya biasanya perforasi marginal, atik ataupun dengan perforasi subtotal. Sebagian besar komplikasi yang berbahaya atau fatal timbul pada OMSK tipe bahaya (Djaafar et al 2008)Meskipun demikian, perforasi sentral membran timpani tidak bisa di katakan sebagai safe ears. Analisis terbaru dari perforasi sentral membran timpani dari pasien otitis media kronis, 38% mengalami pertumbuhan epidermal dengan mucocutaneus junction terletak di permukaan dalam dari perforasi (Chole & Nason 2009).2.2 Kolesteatoma 2.2.1 Definisi Kolesteatoma dapat didefinisikan sebagai lesi non neoplastik dan destruktif yang mengandung lapisan keratin pada suatu kavitas yang dilapisi oleh epitel skuamus dan jaringan ikat subepitelial (Persaud 2007). Istilah kolesteatoma pertama sekali diperkenalkan oleh seorang ahli anatomi kebangsaan Jerman yang bernama Johannes Muller pada tahun 1838 dimana kata kolesteatoma berasal dari kata cole berarti kolesterol, esteado berarti lemak, dan oma yang berarti tumor, yang bila digabungkan berarti suatu tumor yang terbentuk dari jaringan berlemak dan Kristal dari kolesterol. Istilah lain yang digunakan antara lain pearl tumor oleh Cruveilhier pada tahun 1829; margaritoma oleh Craigie pada tahun 1891, epidermoid kolesteatoma oleh Causing pada tahun 1922 dan keratoma oleh Shuknecht pada tahun 1974. Bagaimanapun kolesteatoma berasal dari epitel skuamus keratinisasi dari membran timpani atau meatus auditori eksternal (Nunes 2010). 2.2.2 Epidemiologi Insiden kolesteatoma berkisar antara 3 kasus dari 100.000 pada anak-anak dan 9 kasus dari 100.000 pada dewasa dan lebih dominan terhadap laki- laki dibanding perempuan (Nunes 2010). Aquino pada penelitiannya menemukan selama 26 tahun (1962-1988) terdapat 1146 kasus kolesteatoma dengan melakukan prosedur mastoidektomi. Harker et al juga melaporkan insiden kolesteatoma sebesar 6 orang per 100.000 kasus di Iowa. Insiden lebih tinggi pada dekade ke-2 dan 3 dari kehidupan (Aquino 2012) Padgham et al menemukan insiden tahunan sebesar 13 kasus dari 100.000 pertahun di Scotland (Aquino 2012).Wisnubroto (2002) di RSUD dr. Soetomo Surabaya melaporkan telah dilakukan operasi mastoidektomi radikal sebanyak 298 (56,1%) kasus OMSK dengan kolesteatoma. Aboet (2006) menemukan pasien OMSK merupakan 26% dari seluruh kunjungan di THT RSUP H Adam Malik. Suryanti (2002) pada penelitiannya di RSUD Soetomo Surabaya menemukan 331 penderita otitis media supuratif Kronik yang berobat periode Januari sd Desember 2002. Penderita OMSK dengan kolesteatoma yang berkunjung di departemen THT-KL RSUP H. Adam Malik Medan periode 1 Januari 2009 31 Desember 2009 adalah sebanyak 47 penderita (Nora 2011). Jumlah pasien OMSK dengan kolesteatoma di Departemen THT-KL RSUP. H. Adam Malik Medan periode 1 Januari 2006 - 31 Desember 2010 sebanyak 119 pasien (Siregar 2013).Aquino pada penelitiannya menemukan selama 26 tahun (1962-1988) terdapat 1146 kasus kolesteatoma dengan melakukan prosedur mastoidektomi. Harker et al juga melaporkan insiden kolesteatoma sebesar 6 orang per 100.000 kasus di Iowa. Insiden lebih tinggi pada dekade ke-2 dan 3 dari kehidupan (Aquino 2012) Padgham et al menemukan insiden tahunan sebesar 13 kasus dari 100.000 pertahun di Scotland (Aquino 2012).

Wisnubroto (2002) di RSUD dr. Soetomo Surabaya melaporkan telah dilakukan operasi mastoidektomi radikal sebanyak 298 (56,1%) kasus OMSK dengan kolesteatoma. Aboet (2006) menemukan pasien OMSK merupakan 26% dari seluruh kunjungan di THT RSUP H Adam Malik. Suryanti (2002) pada penelitiannya di RSUD Soetomo Surabaya menemukan 331 penderita otitis media supuratif Kronik yang berobat periode Januari sd Desember 2002. Penderita OMSK dengan kolesteatoma yang berkunjung di departemen THT-KL RSUP H. Adam Malik Medan periode 1 Januari 2009 31 Desember 2009 adalah sebanyak 47 penderita (Nora 2011). Jumlah pasien OMSK dengan kolesteatoma di Departemen THT-KL RSUP. H. Adam Malik Medan periode 1 Januari 2006 - 31 Desember 2010 sebanyak 119 pasien (Siregar 2013).

2.2.3 Patogenesis kolesteatoma Kolesteatoma dapat diklasifikasikan menjadi kongenital atau acquired. Kolesteatoma acquired dibagi menjadi primer dan sekunder. Secondary acquired cholesteatoma mengacu pada kolesteatoma muncul akibat perforasi membran timpani (Chloe & Nason 2009). 1. Congenital cholesteatoma

Kista keratin bisa terakumulasi karena epitel yang dihasilkan tertutup. Pada umumnya, kista akan terbentuk sebagai kelainan pertumbuhan atau karena penyebab iatrogenik. Kista epidermal akan ditemukan pada daerahmedial dengan membran timpani yang utuh. Menurut Derlaki dan Clemis (2005), kolesteatoma dikatakan kongenital apabila memiliki syarat sebagai berikut yakni: Massa putih medial dengan membran timpani utuh. Pars tensa dan pars plaksida normal. Tidak ada riwayat telinga berair, perforasi ataupun prosedur otologik sebelumnya. Kemungkinan bahwa terjadinya otitis media tidak bisa disingkirkan sebagai kriteria ekslusi dari kolesteatoma kongenital ini karena sangat jarang anak tidak memiliki episode dari otitis media pada lima tahun pertama kehidupannya.

2. Acquired cholesteatoma

Kolesteatoma acquired dibagi menjadi primer dan sekunder. Primary acquired cholesteatoma adalah kolesteatoma yang berasal dari retraksi pars flaksida, sedangkan secondary acquired cholesteatoma adalah kolesteatoma yang terjadi akibat perforasi membran timpani, biasanya pada kuadran posterior superior telinga tengah (Chole & Nason 2009) Bentuk sisa, formasi epidermoid yang berasal dari kolesteatoma kongenital mungkin berasal dari epitimpanum anterior. Tidak seluruh kolesteatoma kongenital berlokasi di daerah anterosuperior dan tidak semua ditemukan menjadi kista epitelial seperti adanya invaginasi epitel skuamosa dari liang telinga atau masuknya elemen skuamosa pada cairan amnion (Browning 2009). Terdapat 4 teori utama sebagai etiopatogenesis kolesteatoma didapat yakni: A. Teori invaginasi

Teori invaginasi pembentukan kolesteatoma secara umum diterima sebagai salah satu mekanisme primer dalam pembentukan atik kolesteatoma. Retraction pockets dari pars flaksida terjadi karena tekanan negatif telinga tengah dan kemungkinan disebabkan inflamasi berulang. Ketika retraction pocket membesar, deskuamasi keratin tidak dapat dibersihkan dari reses kemudian terbentuk kolesteatoma. Asal dari retraction pocket kolesteatoma disangkakan adalah disfungsi tuba Eustachius atau otitis media efusi dengan resultante tekanan telinga tengah (ex vacuo theory). Pars flaksida, yang kurang fibrous dan kurang tahan terhadap pergerakan, biasanya sebagai sumber kolesteatoma. Sebagai hasil dari tipe kolesteatoma ini adalah defek yang terlihat pada kuadran posterosuperior membran timpani dan erosi dari dinding liang telinga yang berdekatan. Kegagalan migrasi epitel ini menyebabkan akumulasi keratin dalam retraction pocket. Bakteri dapat menginfeksi matriks keratin, membentuk biofilm yang menyebabkan infeksi kronis dan proliferasi epitel (Chole & Sudhoff 2005 ; Chole & Nason 2009). B. Teori invasi epitel

Teori ini menyatakan invasi epitel skuamosa dari liang telinga dan permukaan luar dari membran timpani mempunyai kemampuan bermigrasi ke telinga tengah melalui perforasi marginal atau perforasi atik. Epitel akan masuk sampai bertemu dengan lapisan epitel yang lain, yang di sebut dengan contact inhibition (Chole & Nason 2009). Jika mukosa telinga tengah terganggu karena inflamasi, infeksi atau trauma karena perforasi membran timpani, mucocutaneus junction secara teori bergeser ke kavum timpani. Menyokong teori ini van Blitterswijk dkk menyatakan bahwa cytokeratin (CK 10), yang merupakan intermediate filament protein dan marker untuk epitel skuamosa,ditemukan pada epidermis liang telinga matriks kolesteatoma tetapi tidak ada di mukosa telinga tengah. Perforasi marginal dipahami sebagai penyebab pertumbuhan epidermal dari pada perforasi sentral, karena lokasi perforasi marginal membuka keadaan mukosa telinga tengah dan struktur dinding tulang liang telinga (Chole & Nason 2009).Palva dan peneliti lain menunjukkan perubahan histologi ini pada tulang temporal manusia. Kolesteatoma yang berasal dari fraktur tulang temporal dapat terjadi dari mekanisme ini. Fraktur liang telinga menyebabkan pertumbuhan epitel berkeratinisasi dengan mekanisme kontak (Chole & Sudhoff 2005). Meskipun demikian, perforasi sentral membran timpani tidak bisa di katakan sebagai safe ears. Analisis terbaru dari perforasi sentral membran timpani dari pasien otitis media kronis, 38% mengalami pertumbuhan epidermal dengan mucocutaneus junction terletak di permukaan dalam dari perforasi (Chole & Nason 2009). C. Teori hiperplasia sel basal

Pada tahun 1925, Lange mengobservasi bahwa sel epitel berkeratinisasi pada pars flasida dapat menginvasi ruang sub epitelial normal yang memiliki akses untuk membentuk kolesteatoma di atik (Chole & Nason 2009). Sel epitel (prickle cells) dari pars flaksida dapat menginvasi jaringan subepitelial dengan cara proliferasi kolum sel epitel. Epitel yang menginvasi lamina propria, basal lamina (basement membrane) menjadi berubah. Huang dan Masaki meneliti teori ini dengan memperlihatkan bahwa pertumbuhan epitel membran timpani dapat diinduksi dengan meneteskan propylene glycol ke telinga tengah mencit. Kerusakan basal lamina menyebabkan invasi kerucut epitel ke dalam jaringan ikat subepitel dan membentuk mikrokolesteatoma. Mekanisme ini dapat menerangkan beberapa tipe kolesteatoma, termasuk yang terbentuk di belakang membran timpani yang utuh. Mikrokolesteatoma membesar dan mengadakan perforasi secara sekunder melalui membran timpani, meninggalkan ciri khas kolesteatoma atik (Chole & Nason 2009). Perubahan diferensiasi keratinosit dan lapisan sel basal matriks kolesteatoma telah diteliti pada beberapa penelitian. Distribusi abnormal dari marker diferensiasi epidermal, seperti filaggrin dan involucrin, c-jun,p53 protein, peningkatan reseptor epidermal growth factor terlihat dalam matriks kolesteatoma telinga tengah. Peningkatan cytokeratin (CK 13 dan 16), di mana marker diferensiasi dan hiperproliferasi juga ditemukan. Kim dkk mendemonstrasikan peningkatan ekspresi cytokeratin CK 13 dan 16 pada area perifer pars tensa yang diinduksi oleh kolesteatoma oleh ligasi liang telinga dan area perifer serta sentral pars tensa yang diinduksi kolesteatoma oleh obstruksi tuba Eustachius. Peningkatan ekspresi human intercellular adhesion molecule-1 dan 2 terlihat yang memiliki peran terhadap migrasi sel ke jaringan. Adanya heat shock protein 60 dan 70 menunjukkan proliferasi dan diferensiasi aktif dari keratinosit basal yang berhubungan dengan kolesteatoma (Chole & Sudhoff 2005). Terdapat berbagai laporan bahwa respon imun terlibat dalam derajat hiperproliferasi epitel kolesteatoma. Sel Langhan's dapat menyebabkan reaksi imun dan menunjang proliferasi epitel berkeratinisasi oleh IL-1 (Chole & Sudhoff 2005).

D. Teori Metaplasia Skuamosa

Infeksi atau inflamasi jaringan yang kronis diketahui dapat mengalami transformasi metaplasia. Epitel kuboid pada telinga tengah dapat berubah menjadi epitel berkeratin. Epitel skuamosa berkeratinisasi telah ditemukan pada biopsi telinga tengah pada penderita otitis media pada anak. Namun progresivitas dari kolesteatoma masih belum berhasil dipaparkan (Chole & Nason 2009).

2.2.4 Inflamasi dan proliferasi sel Pada penyakit otitis media kronis dengan kolesteatoma, erosi dari tulang hampir selalu ada dan merupakan penyebab utama dari morbiditas penyakit ini. Tulang merupakan organ dinamis yang secara konstan melakukan remodeling untuk mendapatkan kondisi homeostasis kalsium dan integritas struktural. Sintesa dari matriks dilakukan oleh osteoblast sementara proses resorpsi diatur oleh osteoklas. Konsep yang bertentangan antara nekrosis akibat dari tekanan atau sekresi faktor-faktor proteolitik oleh matriks kolesteatoma, sekarang telah dipahami bahwa terjadi resorpsi tulang karena aktivitas osteoklas pada kondisi inflamasi. Pembentukan osteoklas dari sel-sel prekursor di kontrol oleh 2 esensial sitokin yaitu Receptor Activator of Nuclear Factor B Ligand (RANKL) dan Macrophage Colony Stimulating Factor (M-CSF). Pada keadaan normal, osteoblast memproduksi M-CSF dan RANKL untuk memulai pembentukan osteoklas dengan menarik reseptor- reseptor c-fms dan RANK. Pada kondisi patologis, banyak sel yang terlibat untuk menghasilkan sitokin-sitokin tersebut. Inhibitor yang penting pada proses tersebut yaitu osteoprotegrin (OPG) yang berkompetisi dengan RANK untuk RANKL. Jeong et al (2006) menemukan peningkatan jumlah RANKL pada kolesteatoma dibandingkan dengan kulit postaurikular yang normal. Hasil ini menyatakan jaringan kolesteatoma meningkatkan rasio RANKL/OPG pada proses inflamasi dan berpotensial untuk proses osteoclastogenesis. Inflammatory cytokines (Interleukin-1 (IL-1), IL 6, Tumor Necrosis Factoralpha (TNF) dan prostaglandin juga diketahui meningkatkan osteoclastogenesis. Kolesteatoma yang terinfeksi diketahui lebih cepat mendestruksi tulang. Peningkatan level dari virulensi bakteri sepertinya memegang peranan penting terhadap fenomena ini (Chole & Nason 2009). 2.2.5 Gejala dan tanda

Gejala khas dari OMSK adalah telinga berair berkepanjangan melalui membran timpani yang tidak utuh lagi. Telinga biasanya tidak terasa sakit kecuali jika bersamaan dengan otitis eksterna ataupun jika komplikasi intrakranial atau temporal. Pasien juga mengeluhkan telinga berair. Pemeriksaan otoskopi biasanya menemukan perforasi membran timpani dengan mukosa telinga tengah yang sedikit edema. Pada OMSK tipe bahaya, juga sering disertai dengan adanya jaringan granulasi pada sekitar daerah perforasi (Lee 2008)Menurut Djaafar (2007), tanda- tanda klinis OMSK tipe bahaya adalah : 1. Terdapat abses atau fistel retroaurikuler 2. Terdapat polip atau jaringan granulasi di liang telinga luar yang berasal dari dalam telinga tengah. 3. Terlihat kolesteatoma pada telinga tengah terutama di epitimpanum 4. Sekret berbau nanah dan berbau khas 5. Terlihat bayangan kolesteatoma pada rontgen mastoid

2.2.6 Diagnosis

Diagnosis OMSk ditegakkan dengan beberapa tahapan (Lee et al, 2007; Chole & Nason 2009 ; Dhingra 2010, Vercryysse et al. 2010): 1. Anamnesis

Penyakit ini datang dengan perlahan lahan dan gejala yang paling sering dijumpai adalah telinga berair, adanya sekret di liang telinga yang berbau busuk, kadangkala disertai jaringan granulasi ataupun polip, maka sekret yang keluar berupa darah. Ada kalanya penderita datang dengan keluhan kurang pendengaran atau telinga berdarah. 2. Pemeriksaan otoskopi

Pemeriksaan otoskopi menunjukkan letak perforasi. Dari perforasi dapat dinilai kondisi mukosa telinga tengah. 3. Pemeriksaan radiologi

Pemeriksaan foto polos proyeksi schuller berguna untuk menilai kolesteatoma, sedangkan pemeriksaan CT Scan dapat lebih efektif menunjukkan anatomi tulang temporal dan kolesteatoma. 4. Pemeriksaan audiologi

Audiogram nada murni digunakan untuk menilai hantaran udara dan tulang, penting untuk mengevaluasi tingkat penurunan pendengaran dan untuk menentukan gap udara dan tulang.Audiometri tutur berguna untuk menilai speech reception threshold pada kasus untuk memperbaiki pendengaran. 5. Pemeriksaan mikrobiologi

Pemeriksaan mikrobiologi sekret telinga penting untuk menentukan antibiotika yang tepat. 2.2.7 PenatalaksanaanProsedur operasi untuk pembedahan kolesteatoma: Tujuan penatalaksanaan OMSK adalah untuk menyembuhkan gejala dan meminimalisir risiko komplikasi penyakit. Pembedahan adalah satu-satunya pengobatan yang efektif pada kolesteatoma. Granulasi dan inflamasi mukosa sementara dapat diatasi dengan obat topikal dan aural toilet untuk mengurangi otorea sambil menunggu operasi (Wright & Valentine 2008). Terdapat berbagai macam teknik operasi untuk menangani kolesteatoma, yang secara umum dapat dibagi atas open cavity (canal wall down) dan closed cavity (intact canal wall) mastoidektomi (Wright & Valentine 2008). a. Canal wall down procedures

Prosedur ini membersihkan dan mengangkat semua kolesteatoma, termasuk dinding posterior liang telinga, sehingga meninggalkan kavum mastoid berhubungan langsung dengan liang telinga luar (Helmi 2005; Dhingra 2007; Merchant, Rosowski & Shelton 2009). b. Intact canal wall procedures

Keuntungan intact canal wall mastoidectomy adalah anatomi normal dinding posterior liang telinga dapat dipertahankan tanpa perlu membuang dan merekonstruksi skutum. Prosedur ini sering dilakukan pada kasus primary acquired cholesteatoma bila kolesteatoma terdapat di atik dan antrum. Dilakukan complete cortical mastoidectomy dan antrum mastoid dapat dimasuki. Diseksi matriks kolesteatoma harus dilakukan dengan hati-hati. Rekurensi dapat terjadi bila fragmen kecil dari epitel berkeratinisasi tertinggal. Sering diperlukan second look operation setelah 6-12 bulan kemudian disebabkan rekurensi kolesteatoma (Wright & Valentine 2008; Chole & Nason 2009). 2.2.8. Komplikasi otitis media kronis dan kolesteatoma

Komplikasi dapat dibagi atas : ( Dhingra 2010) A. Komplikasi Intratemporal Petrositis Paralisis nervus fasialis Labirinitis Mastoiditis B. Komplikasi intrakranial Abses ekstradural Abses subdural Meningitis Abses otak otogenik Tromboplebitis sinus lateralis Hidrosefalus otikus

2.3 Stadium Kolesteatoma Pembagian stadium pada kolesteatoma secara berguna untuk pemilihan prosedur operasi dan ketika membandingkan data hasil operasi timpanomastoidektomi yang dipublikasikan. Pada tahun 1999, Saleh & Mills mengajukan stadium kolesteatoma berdasarkan perluasan lesi, keadaan osikel dan komplikasi pre operasi. Hal ini menunjukkan hubungan antara stadium penyakit, kerusakan osikel dan terjadinya komplikasi. Pembagian stadium pada kolesteatoma berguna untuk pemilihan prosedur operasi dan ketika membandingkan data hasil operasi timpanomastoidektomi yang dipublikasikan (Saleh & Mills 1999). A. Berdasarkan lokasi kolesteatoma, Saleh & Mills (1999) membagi stadium kolesteatoma menjadi: S1 : Bila kolesteatoma terbatas pada lokasi asal S2 : Bila telah terjadi perluasan lokal S3 : Bila mengenai tiga lokasi S4 : Bila mengenai empat lokasi S5 : Bila mengenai lebih dari empat lokasi. Sesuai dengan komplikasi sebelum dilakukannya tindakan operasi Saleh dan Mills membagi stadium kolesteatoma menjadi: C1 : Bila tidak terdapat komplikasi C2 : Bila terdapat komplikasi C3 : Bila terdapat dua komplikasi atau lebih (Nunes et al. 2009). B. Menurut Japan Otological Society (JOS) stadium kolesteatoma primer terdiri atas: (Ikihara et al 2011) Stadium I : Kolesteatoma tidak meluas melebihi daerah atic Stadium II : Kolesteatoma meluas melebihi daerah atic Stadium III : Sejumlah kolesteatoma yang menyebabkan sedikitnya satu komplikasi di bawah ini: Kelumpuhan saraf fasialis Komplikasi intrakranial Fistel labirin Defek luas pada kanal telinga luar Ganguan pendengaran sensorineural luas Adhesi total pada membran timpani

C. Berdasarkan derajat dektruksi tulang, kolesteatoma terbagi atas : (kuczkowski et al 2011)

Mild : erosi dari skutum dan osikel Moderate : destruksi dari tegmen dan seluruh osikel Severe : destruksi dari seluruh osikel, labirin tulang, kanalis fasialis dan liang telinga luar.

Sedangkan derajat invasi kolesteatoma terdiri atas 3 kelompok yaitu: Derajat 1 : melibatkan 1 area (epitimpanum atau mesotimpanum) Derajat 2: melibatkan 2 area (epitimpanum atau mesotimpanum dan antrum Derajat 3 : mesotimpanum, epitimpanum dan antrum

2.4. Ki-67

Proliferasi sel adalah dasar yang berperan penting terhadap proses biologis yang dikontrol oleh mekanisme yang sangat serasi. Jaringan regulasi kompleks akan bertindak sebagai mediasi pada embrio dan perkembangan normal serta bertanggung jawab terhadap respon sistemik berupa inflamasi ataupun proses infeksi. Kemajuan besar terhadap mekanisme dan regulasi dari siklus sel telah diterima akhir akhir ini. Sejumlah siklus sel yang dihubungkan dengan sejumlah protein tidak hanya bersifat sementara pada bagian siklus sel tetapi keberadaannya tidak selalu dihubungkan dengan sejumlah siklus sel (Schluter 1993). Antigen Ki-67 pertama sekali diidentifikasi karena reaksifitasnya terhadap antibodi Ki-67. Protein ini adalah protein inti dan tidak hanya dihubungkan dengan proliferasi sel somatik tapi juga diintegrasikan dengan jaringan regulasi protein yang menjalankan siklus pembagian sel. Sejak protein Ki-67 diaktifkan pada fase aktif dari siklus sel ( G1,S,G2 dan mitosis tetapi tidak aktif pada fase istirahat (G0), hal ini menunjukkan bahwa Ki-67 merupakan marker proliferasi dihubungkan dengan rangkain penyakit. Gen Ki-67 berasal dari isoform dua protein yang dihasilkan oleh penyambung alternatif dari prekusor M-RNA. Kedua isoform dengan 320 dan 359 kDa dikarakteristikan oleh sejumlah tempat posforilasi seperti protein kinase c, casein kinase II, tyrosin kinase dan cdc2 kinase. Fosforilasi dandefosforilasi dari protein Ki-67 dikendalikan oleh kunci regulasi cyclinB/cdc2 yang paralel untuk transit dari mitosis sel (Tian 2010 ; Schluter 1993). Ekspresi KI-67 mencerminkan keadaan fisiologis tertentu dari sel. Walaupun fungsi yang tepat dari protein Ki-67 selama proliferasi sel masih sulit dijelaskan. Baru- baru ini, sejumlah penelitian menunjukkan bahwa sintesis DNA dapat dihambat oleh komplimenter oligodeoksinukleotida dari mRNA Ki-67 (Tian 2010). Sejumlah penelitian yang menggunakan Ki-67 selain pada kolesteatoma juga sering digunakan pada beberapa tipe kanker seperti karsinoma, sarkoma, limfoma dan glioma (Torp 2002). 2.5. Ki-67 terhadap kolesteatoma

Kolesteatoma dianggap memiliki karakteristik proliferatif dan sejumlah penelitian telah menguraikan mekanisme proliferatif dari kolesteatoma (Chae et al, 2000). Meskipun telah banyak penelitian berfokus pada mekanisme pembentukan kolesteatoma, patogenese yang tepat dari penyakit ini belum juga berhasil diungkapkan. Sintesa dari matriks dilakukan oleh osteoblast sementara proses resorpsi diatur oleh osteoklas. Konsep yang bertentangan antara nekrosis akibat dari tekanan atau sekresi faktor-faktor proteolitik oleh matriks kolesteatoma, sekarang telah dipahami bahwa terjadi resorpsi tulang karena aktivitas osteoklas pada kondisi inflamasi. Pembentukan osteoklas dari sel-sel prekursor di kontrol oleh 2 esensial sitokin yaitu Receptor Activator of Nuclear Factor B Ligand (RANKL) dan Macrophage Colony Stimulating Factor (M-CSF). Pada keadaan normal, osteoblast memproduksi M-CSF dan RANKL untuk memulai pembentukan osteoklas dengan menarik reseptor- reseptor c-fms dan RANK. Pada kondisi patologis, banyak sel yang terlibat untuk menghasilkan sitokin-sitokin tersebut. Inhibitor yang penting pada proses tersebut yaitu osteoprotegrin (OPG) yang berkompetisi dengan RANK untuk RANKL. Jeong et al (2006) menemukan peningkatan jumlah RANKL pada kolesteatoma dibandingkan dengan kulit postaurikular yang normal. Hasil ini menyatakan jaringan kolesteatoma meningkatkan rasio RANKL/OPG pada proses inflamasi dan berpotensial untuk proses osteoclastogenesis. Inflammatory cytokines (Interleukin-1 (IL-1), IL 6, Tumor Necrosis Factoralpha (TNF) dan prostaglandin juga diketahui meningkatkan osteoclastogenesis (Chole & Nason 2009). Proses inilah meningkatkan aktivitas proliferatif sel yang dinilai dengan antigen Ki-67. Sikka et al (2011) di India melakukan penelitian untuk mendeteksi proliferasi kolesteatoma dibandingkan kulit normal dengan menggunakan Ki-67 sebagai marker dan menemukan kolesteatoma memiliki overekspresi yang tinggi dibandingkan kulit normal. Kuczkowski et al (2007) di Polandia melakukan penelitian untuk menganalisis ekspresi Ki-67 pada kolesteatoma telinga tengah dengan jumlah sebanyak 51 spesimen mendapatkan hasil overekspresi Ki-67 pada 21 sampel (41,5%) dan menyimpulkan bahwa Ki-67 memiliki peran penting pada proliferasi sel. Olsweska et al (2006) di Polandia menemukan penelitian terhadap 29 pasien dengan kolesteatoma dan menemukan ekspresi kolesteatoma meninggi sekitar 22% dibanding kulit yakni sekitar 7 %. Raynov et al (2005) di Bulgaria melakukan penelitian terhadap 5 pasien dengan kolesteatoma dan menemukan bahwa ekspresi Ki-67 terjadi pada setiap fase sel, tetapi tidak terjadi pada fase istirahat. Huisman et al (2003) di Belanda menemukan ekspresi positif Ki-67 pada pasien dengan kolesteatoma dan lebih dominan ditemukan di daerah basal dan parabasal epitel. Chae et al (2000) di Korea melakukan penelitian untuk mendeteksi ekspresi pada Ki-67 pada 27 sampel dan mendapatkan hasil overekspresi Ki-67 lebih tinggi pada kolesteatoma di epitel (36, 6% 10,8%) dibandingkan pada liang telinga (23,8% 4,0%). Peneliti menemukan