tradisi pernikahan dalam adat melayu
TRANSCRIPT
Tradisi Pernikahan Dalam Adat Melayu, Roti Buaya
Singgah Di Pulau Penyengat
Roti buaya memang masuk dalam tradisi pernikahan Betawi. Namun roti
itupun akhirnya singgah juga di Pulau Penyengat kala berlangsung pernikahan H
Ahmad Faruk dan Nurliza, Sabtu (12/11) kemarin.
Karena Faruk, mempelai pria berasal dari Jakarta, ia pun akhirnya meminang
Nurliza yang berasal dari Pulau Penyengat dengan membawa kue buaya dalam 34
macam hantarannya.
Roti buaya tersebut berjumlah dua buah. Masing-masing roti buaya terdiri dari
sebuah roti buaya besar dan satu buah berukuran kecil. “Kalau di tradisi Betawi, roti
ini artinya agar pasangan pengantin diberkahi keturunan atau anak,” cerita Raja Elza
yang merupakan masyarakat Pulau Penyengat
Selain keunikan adanya roti buaya dalam tradisi pernikahan tersebut, pasangan
inipun memiliki kisah cinta yang unik hingga akhirnya bersanding di pelaminan.
Faruk memang berasal dari Jakarta namun memiliki kakek dan nenek asal Pulau
Penyengat. Sementara itu Liza asli berasal dari Pulau Penyengat namun kuliah di
Jakarta.
Kedua insan ini bertemu di Jakarta hingga akhirnya mengikat janji sebagai
sepasang suami istri alam sebuah akad nikah di Pulau Penyengat.
Tak hanya karena Faruk yang memiliki asal muasal dari Pulau Penyengat.
Rumah keluarga Faruk yang berada di pulau tersebut pun ternyata letaknya hanya
selisih dua rumah dari rumah Liza.
Acara pernikahan putra H M Yusuf dan putri dari H Abdul Jalil Muis ini
berlangsung sekitar pukul 10.00 WIB. Iring-iringan dari rumah keluarga H M Yusuf
ini dimulai dengan pihak keluarga yang membawa hataran berjumlah 34 macam.
Dalam hantaran tersebut berisi tepak sirih, mas kawin seperangkat perhiasan
berupa kalung, gelang, dan cincin, cake, roti buaya, tas dan sepatu, handuk, make up
dan produk perawatan kecantikan, serta tilam. Sementara itu mempelai pria berjalan
di belakang dengan payung berwarna emas yang memayunginya.
Setelah sampai di rumah calon mempelai perempuan, calon mempelai pria ini
duduk di ruang tamu yang telah didekorasi sedemikian rupa. Pihak keluarga kedua
calon mempelai yang hampir semuanya pria juga duduk di ruang tersebut.
Di dalam kamar pengantin, duduklah Liza, calon mempelai perempuan yang
telah dua minggu tidak dipertemukan oleh calon suaminya. “Jadi calon mempelai
perempuan istilahnya dipingit. Mereka pun nanti setelah ijab kabul baru bisa duduk
bersanding setelah acara arakan,” jelas Elza.
Sebelum ijab kabul dimulai, acara didahului dengan saling berbalas pantun
dari wakil kedua calon mempelai. Raja Al Hafidz dari calon mempelai pria dan Raja
Ibrahim dari calon mempelai wanita saling melempar pantun, seperti yang sering
terjadi dalam adat melayu.
“Bunge rampai di teluk pandan. Dicampur dengan bunge yang lain. Sudah jadi
pilihan badan. Pilihan hati tak pade yang lain.” Demikian sebuah pantun yang terucap
Hafidz dalam acara walimatul akad atau walimatul urus.
Di sela-sela saling berbalas pantun itu, dilakukan pula acara icip sirih yang
dilakukan oleh Ibrahim dari tepak sirih yang dibawa oleh rombongan calon mempelai
pria.
Para wali calon mempelai ini memang saling melempar pantun dalam setiap
kali ingin menyampaikan maksud. Termasuk ketika Hafidz menunjukkan mas kawin
berupa kalung dari calon mempelai pria kepada Liza, calon mempelai wanita.
Usai acara saling berbalas pantun selesai, demikian pula ketika maksud untuk
melamar dan lamaran tersebut diterima pun telah dilakukan, tiba gilirannya petugas
Kantor Urusan Agama untuk mengijabkabulkan kedua mempelai.
Dalam acara ini, mempelai wanita pun masih tetap berada di dalam kamar.
Barulah setelah buku akta pernikahan usai ditandatangani oleh mempelai pria, para
petugas KUA mengunjungi kamar mempelai wanita untuk meminta tanda tangan.
Kedua mempelai inipun hanya sebentar dipertemukan untuk acara foto
bersama dengan membawa akta pernikahan di tangan masing-masing. Tradisi
walimatul akad ini kemudian disambung dengan acara tepung tawar. (ika)
Komentar :
Sungguh sangat menarik prosesi pernikahan melayu, sehingga membuat kedua
mempelai pria maupun wanita menjadi berkesan, tidak hanya bagi mereka juga bagi
masyarakat sekitar. Mungkin adat – adat seperti ini mereka merasa asing meskipun
mereka berasal dari melayu itu sendiri. Apalagi setelah lama tinggal dikota yang
perilaku lingkungannya banyak remaja menyebutnya “ GAUL”. Perilaku yang meniru
budaya barat tersebut seyogyanya tidak perlu menjadikannya sebagi pergaulan hidup
baik dikota maupun didesa.
Prosesi pernikahan diatas merupakan perpaduan dari adat betawi dengan adat
melayu, yang menciptakan suasana yang berbeda saat pernikahan tersebut. Karena
dari kedua belah pihak sama-sama baru mengerti akan adat masing-masing. Seperti
adat lempar pantun dan juga icip sirih yang mungkin tidak ada dalam adat betawi.
Begitu juga sebaliknya, mungkin orang melayu juga baru tahu dengan adanya roti
buaya. Mungkin disinilah banyak bisa kita ambil hikmah dari pernikahan berbeda
suku dan budaya. Kita bisa mengetahui budaya dari suku lain dan ini menjadi bukti
bahwa begitu ragam dan indahnya budaya-budaya indonesia yang harus kita jaga
kelestariannya.
Dipandangan saya, prosesi pernikahan adat melayu tidak jauh berbeda dengan
adat kampung halaman saya (adat jawa). Yang mungkin adat jawa lebih banyak lagi
jika dalam prosesi pernikahan yang saya sendiri juga tidak sepenuhnya tahu. Namun,
disinilah keunikan dari suku-suku yang ada diindonesia. Dimana setiap suku tersebut
memiliki ciri khas masing-masing, baik suku minang, batak, betawi, jawa, maupun
suku melayu itu sendiri.
Sumber :
http://ikapunyaberita.wordpress.com/2006/10/03/tradisi-pernikahan-dalam-adat-melayu-roti-buaya-singgah-di-pulau-penyengat/