tinjauan umum dan singkat - · pdf filebab iii tinjauan umum dan singkat iii.1. monografi...

49
BAB III TINJAUAN UMUM DAN SINGKAT III.1. MONOGRAFI KABUPATEN WAJO III.1.1. SEJARAH SINGKAT Dari sumber-sumber lontarak dan lisan yang dikisahkan turun-temurun, Wajo ialah sebuah kerajaan yang merupakan kelanjutan dari Kerajaan Cinnatobi, yang dibentuk oleh keturunan raja-raja Cina dan Mampu. Tanah Wajo diperkirakan terbentuk sekitar abad ke-14 melalui persekutuan dari berbagai negeri kecil atau beberapa Matowa Ulu Anang (Arung). Nama Wajo sendiri berasal dari kata ‘Bajo’, yaitu nama sebuah pohon. 14 Wajo berarti bayangan atau bayang bayang (wajo-wajo). III.1.2. LAMBANG DAN SLOGAN III.1.2.1. Lambang Gambar III.1.2.1.1., Lambang Kabupaten Wajo. 15 Pohon Bajo tertera pada lambang Kabupaten Wajo, yang digambarkan bercabang tiga perlambang tiga Limpo sebagai bentuk asal Kabupaten Wajo, yaitu Majauleng (Benteng Pola), Sabbangparu (Talotenreng), dan Takkalalla (Tua). Batangnya yang lurus melambangkan cita-cita tinggi penuh kejujuran. Daunnya berwarna hijau melambangkan 14 Berdasarkan ulasan singkat tentang Kerajaan Wajo dan Wajo dalam Ensiklopedia Sejarah Sulawesi Selatan Sampai Tahun 1905, halaman 202-205 dan 509. 15 Diambil dari situs Kompas Cyber Media. (www.kompas.com, 2007) 19

Upload: ngotuyen

Post on 05-Mar-2018

242 views

Category:

Documents


8 download

TRANSCRIPT

Page 1: TINJAUAN UMUM DAN SINGKAT - · PDF fileBAB III TINJAUAN UMUM DAN SINGKAT III.1. MONOGRAFI KABUPATEN WAJO III.1.1. SEJARAH SINGKAT Dari sumber-sumber lontarak dan lisan yang dikisahkan

BAB III

TINJAUAN UMUM DAN SINGKAT

III.1. MONOGRAFI KABUPATEN WAJO

III.1.1. SEJARAH SINGKAT

Dari sumber-sumber lontarak dan lisan yang dikisahkan turun-temurun, Wajo ialah

sebuah kerajaan yang merupakan kelanjutan dari Kerajaan Cinnatobi, yang dibentuk oleh

keturunan raja-raja Cina dan Mampu. Tanah Wajo diperkirakan terbentuk sekitar abad

ke-14 melalui persekutuan dari berbagai negeri kecil atau beberapa Matowa Ulu Anang

(Arung). Nama Wajo sendiri berasal dari kata ‘Bajo’, yaitu nama sebuah pohon.14 Wajo

berarti bayangan atau bayang bayang (wajo-wajo).

III.1.2. LAMBANG DAN SLOGAN

III.1.2.1. Lambang

Gambar III.1.2.1.1., Lambang Kabupaten Wajo.15

Pohon Bajo tertera pada lambang Kabupaten Wajo, yang digambarkan bercabang tiga

perlambang tiga Limpo sebagai bentuk asal Kabupaten Wajo, yaitu Majauleng (Benteng

Pola), Sabbangparu (Talotenreng), dan Takkalalla (Tua). Batangnya yang lurus

melambangkan cita-cita tinggi penuh kejujuran. Daunnya berwarna hijau melambangkan 14 Berdasarkan ulasan singkat tentang Kerajaan Wajo dan Wajo dalam Ensiklopedia Sejarah Sulawesi Selatan Sampai Tahun 1905, halaman 202-205 dan 509. 15 Diambil dari situs Kompas Cyber Media. (www.kompas.com, 2007)

19

Page 2: TINJAUAN UMUM DAN SINGKAT - · PDF fileBAB III TINJAUAN UMUM DAN SINGKAT III.1. MONOGRAFI KABUPATEN WAJO III.1.1. SEJARAH SINGKAT Dari sumber-sumber lontarak dan lisan yang dikisahkan

cita-cita kemakmuran negeri, dan berjumlah 30 buah sesuai jumlah Dewan Rakyat Wajo

ketika terciptanya Republik Wajo pada abad 14. Pada akar pohon tertulis aksara bugis

yang menyatakan asal perkataan ‘Wajo’.

Pita yang terbentang menerakan salah satu pandangan masyarakat Wajo, “MARADEKA

TOWAJOE ADE’NA NAPOPUANG” yang artinya “Rakyat Wajo merdeka,

konstitusinya yang dipertuan”, dengan warna dasar hijau yang berarti subur makmur.

Gambar padi, jagung, ikan, dan gula melambangkan kemakmuran yang pokok di

Kabupaten Wajo. Sementara huruf ‘W’ yang berbentuk ornamen melambangkan seni ukir

sebagai kesenian yang berkembang di Kabupaten tersebut.

Bidang dasar lambang yang berwarna putih diapit bidang merah melambangkan

kepibadian masyarakat Wajo, yaitu keberanian yang disandarkan pada kesucian. Merah

melambangkan berani karena benar, sedangkan kuning melambangkan indah dan mulia,

kedua warna ini juga merupakan simbolis bagi jiwa masyarakat Wajo. Bentuk dasar

lambang yang menyerupai tameng diartikan sebagai kesiapsiagaan menghadapi setiap

kemungkinan yang mengancam masyarakat Wajo.16

III.1.2.2. Slogan

“Wajo Kota Sutra. Kalimat ini…menjadi slogan dan moto Kabupaten Wajo, yang berarti

Sejahtera, Ulet, Tenteram, Ramah dan Aman…” (Taslim, 2001)17

Kutipan dari artikel diatas ini sesuai dengan kalimat yang tercantum di gerbang ibukota

Kabupaten Wajo yang berbunyi, “Selamat Datang Di Sengkang Kota Sutra”.

Sebutan ini dapat dikatakan tepat sasaran, karena Kabupaten Wajo memang sudah

terkenal dengan tenunan sutranya sejak dulu. Terutama di periode 1960an hingga 1970an,

saat industri sutra di kabupaten ini mencapai puncak kejayaan. Walaupun akhirnya masa

kejayaan sutra itu perlahan menyurut, dan bangkit kembali di akhir periode 1990an.

16 Berdasarkan buku Kabupaten Wajo Dalam Angka 2007: Arti Lambang Kabupaten Wajo, halaman l. 17 Dikutip dari artikel Kota Sutra yang Kaya Potensi, harian Kompas 29 September 2001. Diakses melalui situs Kompas Cyber Media tanggal 8 November 2007.

20

Page 3: TINJAUAN UMUM DAN SINGKAT - · PDF fileBAB III TINJAUAN UMUM DAN SINGKAT III.1. MONOGRAFI KABUPATEN WAJO III.1.1. SEJARAH SINGKAT Dari sumber-sumber lontarak dan lisan yang dikisahkan

III.1.3. GEOGRAFI

III.1.3.1. Peta

Gambar III.1.3.1.1., Peta Kabupaten Wajo.18

18 Dari buku Kabupaten Wajo Dalam Angka 2007.

21

Page 4: TINJAUAN UMUM DAN SINGKAT - · PDF fileBAB III TINJAUAN UMUM DAN SINGKAT III.1. MONOGRAFI KABUPATEN WAJO III.1.1. SEJARAH SINGKAT Dari sumber-sumber lontarak dan lisan yang dikisahkan

III.1.3.2. Keadaan Geografis

Kabupaten Wajo, bersama Kabupaten Sidrap dan Kabupaten Pinrang, ialah rangkaian

dataran rendah alluvial-plain yang merupakan bagian dari pembatasan daerah Propinsi

Sulawesi Selatan bagian utara dan selatan (zona tengah), dan merupakan suatu depresi

yang memanjang pada arah (dan terbentur) laut tenggara dan berakhir dengan selat,

sehingga menjadi fenomena sejarah geologi Propinsi Sulawesi Selatan. Daerah dataran

rendah ini dijadikan pusat produksi pangan propinsi tersebut, khususnya produksi padi.

III.1.4. IKLIM, TANAH, DAN VEGETASI

Kabupaten Wajo memiliki iklim Musim Barat yang membawa hujan pada bulan April,

Mei, Juni, Juli, Agustus, Desember, dan Januari. Berdasarkan curah hujan rata-rata

bulanan, daerah ini memiliki kelembaban udara sedang, dengan perbandingan antara

jumlah bulan kering dan basahnya sekitar 50 persen hingga 100 persen.19

Di Kabupaten Wajo terdapat jenis tanah alluvium dan jenis batuan sedimen (batu pasir,

serpih, napal, tufa). 20

Vegetasi di Kabupaten Wajo meliputi tanaman jangka pendek (bahan makanan), tanaman

jangka panjang (bahan industri/ekspor), dan hortikultura (buah-buahan serta sayuran).21

III.1.5. SOSIAL DAN BUDAYA

Mayoritas penduduk Kabupaten Wajo menganut agama Islam, yakni sebanyak 372.123

jiwa atau sebanyak 99,51 persen. Sementara sisanya sebanyak 1.315 jiwa (0,49 persen)

menganut agama Kristen Protestan, Kristen Katolik, Hindu, dan Buddha.22 Penduduk asli

daerah ini berasal dari suku Bugis, dan bahasa asli yang digunakan ialah bahasa Bugis.

III.1.6. EKONOMI

Menurut klasifikasi tingkat perkembangan daerah, mayoritas kecamatan di Kabupaten

Wajo termasuk daerah swakarya (hasil kerja sendiri).23 Laju pertumbuhan ekonomi

Kabupaten Wajo tahun 2006 tercatat sebesar 5,66 persen. Tulang punggung sektor

19 Diambil dari Tabel 1.4.3 Keadaan Iklim Bulanan di Kabupaten Wajo Tahun 2006, data Dinas Pengairan Kabupaten Wajo, dalam buku Kabupaten Wajo Dalam Angka 2007, halaman 22. 20 Monografi Daerah Sulawesi Selatan, subbab Iklim, Tanah dan Vegetasi, halaman 5-11. 21 Id note 20. 22 Diambil dari Tabel 3.2.1 Banyaknya Penduduk Menurut Pemeluk Agama dan Kecamatan di Kabupaten Wajo Tahun 2006, dalam buku Kabupaten Wajo Dalam Angka 2007, halaman79. 23 Diambil dari Tabel 1.3 Klasifikasi Tingkat Perkembangan Desa/Kelurahan di Kecamatan Tempe Keadaan Akhir Tahun 2002, data Mantri Statistik Kecamatan Tempe, dalam buku Kecamatan Tempe Dalam Angka 2002, halaman 3.

22

Page 5: TINJAUAN UMUM DAN SINGKAT - · PDF fileBAB III TINJAUAN UMUM DAN SINGKAT III.1. MONOGRAFI KABUPATEN WAJO III.1.1. SEJARAH SINGKAT Dari sumber-sumber lontarak dan lisan yang dikisahkan

ekonomi Kabupaten Wajo ialah pertanian, yang menyumbang sebesar 41,71 persen dari

total Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kabupaten Wajo.

Industri sutra di Kabupaten Wajo dari hulu ke hilir meliputi sektor-sektor ekonomi

sebagai berikut:

III.1.6.1. Pertanian

Sektor pertanian di Kabupaten Wajo meliputi tanaman jangka pendek (bahan makanan)

seperti padi, jagung, ubi kayu, ubi jalar, kacang tanah, kacang hijau, dan kacang

kedelai.24

Pembudidayaan tanaman murbei, sekaligus budidaya sutra spesies Bombyx mori L.,

dilakukan terutama di Kecamatan Sabbangparu. Luas lahan yang terdata untuk

pembudidayaan murbei sebanyak 224 hektar, dengan jumlah petani sebanyak 396

kelompok kerja. Penyaluran bibit ulat sebanyak 1.995,50 boks, dengan produksi kokon

sebanyak 59.865 kilogram dan produksi benang sutra sebanyak 79.982 kilogram.25

III.1.6.2. Hasil Hutan

Kabupaten ini memiliki 25.141 hektar hutan, yang terdiri dari 2.541 hektar hutan lindung;

5.450 hektar hutan lindung pantai; dan 17.150 hektar hutan produksi, dengan komoditi

berupa kayu rimba campuran (logs), kayu jati, kayu indah, kayu meranti, dan rotan.26

III.1.6.3. Industri Kecil

Sektor industri kecil tekstil, pakaian jadi, permadani, dan kulit merupakan penyumbang

kedua terbesar bagi pendapatan daerah Kabupaten Wajo, setelah industri makanan,

minuman, dan tembakau.

Khusus untuk komoditi sutra, di Kabupaten Wajo terdapat 11 unit pemintalan benang

sutra yang menyerap tenaga kerja sebanyak 80 jiwa, dengan nilai produksi sebesar

5.000.000 (satuan tidak tercantum); 980 unit pertenunan Gedogan yang menyerap tenaga

kerja sebanyak 1.090 jiwa dengan nilai produksi sebesar 427.300 (satuan tidak

tercantum); dan 831 unit pertenunan ATBM yang menyerap tenaga kerja sebanyak 2.021

jiwa, dengan nilai produksi sebesar 10.150 (satuan tidak tercantum).27

24 Dari Tabel 5.1.8 dan 5.1.9 tentang produksi buah-buahan dan sayuran, dalam buku Kabupaten Wajo Dalam Angka 2007, halaman 105-107. 25 Dari Tabel 5.5.12 Bibit Ulat dan Produksi Kokon, dalam buku Kabupaten Wajo Dalam Angka 2007, halaman 156. 26 Dari Tabel 5.5.2 dan 5.5.5 tentang jenis hutan dan hasil hutan, dalam buku Kabupaten Wajo Dalam Angka 2007, halaman 146-149. 27 Dari Tabel 9.1.12 dan 9.1.13 industri kecil Kabupaten Wajo, dalam buku Kabupaten Wajo Dalam Angka 2007, halaman 267-268.

23

Page 6: TINJAUAN UMUM DAN SINGKAT - · PDF fileBAB III TINJAUAN UMUM DAN SINGKAT III.1. MONOGRAFI KABUPATEN WAJO III.1.1. SEJARAH SINGKAT Dari sumber-sumber lontarak dan lisan yang dikisahkan

III.1.6.4. Pariwisata

Kabupaten Wajo memiliki beberapa wisata alam, terutama Danau Tempe. Selain itu,

pertenunan sutra di daerah ini juga menjadi salah satu obyek pariwisata yang sedang

banyak dipromosikan oleh Pemerintah Daerah. Contohnya ialah wisata industri ATBM

sutra yang dikembangkan di Kecamatan Tanasitolo, tepatnya di Desa Nepo dan Desa

Pakkanna.

III.1.7. SISTEM PEMERINTAHAN

Kabupaten Wajo merupakan Daerah Tingkat II (DATI II) dengan kepala pemerintahan

seorang Bupati. Ibukota Kabupaten Wajo ialah Sengkang, yang terletak di Kecamatan

Tempe. Masyarakat setempat lebih sering menyebut pusat dari daerah ini sebagai Kota

Sengkang. Meskipun begitu, wilayah ini tidak dipimpin oleh seorang Wali Kota, sehingga

dapat dikatakan Sengkang tidak termasuk sebagai Kota Administratif. Sebutan ‘kota’

disini hanya memiliki pengertian sebagai daerah permukiman yang terdiri atas bangunan

rumah yang merupakan kesatuan tempat tinggal dari berbagai lapisan masyarakat.28

Wilayah Kabupaten Wajo terbagi menjadi 14 kecamatan, yang kemudian dibagi-bagi lagi

menjadi wilayah-wilayah kecil. Secara keseluruhan terdapat 44 wilayah yang berstatus

Kelurahan, dan 132 wilayah yang berstatus Desa.

Tanggal 29 Maret 1399 telah disepakati sebagai hari kelahiran Pemerintah Wajo. Wilayah

Kabupaten Wajo sendiri ditetapkan sebagai daerah otonomi berdasarkan UU No.22

Tahun 1999.29

III.2. SUTRA

III.2.1. SERAT ALAM SUTRA

III.2.1.1. Serat Alam

Serat alam ialah helaian-helaian substansi alam yang dapat dipintal menjadi benang.

Tidak semua serat dapat digunakan sebagai serat tekstil. Suatu serat dapat digunakan

sebagai serat tekstil jika memenuhi beberapa kriteria tertentu, yakni standar panjang

minimal, kekuatan, dan fleksibilitas.

Perkembangan penggunaan serat dalam industri tekstil dapat diringkas sebagai berikut,

28 Berdasarkan KBBI 2005, halaman 597. 29 Berdasarkan tulisan mantan Bupati Wajo, H. Naharuddin Tinulu, Hukum Adat Komunitas Kabupaten Wajo Tahun 2001, dalam rangka memperingati Hari Ulang Tahun Kabupaten Wajo ke-602. Halaman 1.

24

Page 7: TINJAUAN UMUM DAN SINGKAT - · PDF fileBAB III TINJAUAN UMUM DAN SINGKAT III.1. MONOGRAFI KABUPATEN WAJO III.1.1. SEJARAH SINGKAT Dari sumber-sumber lontarak dan lisan yang dikisahkan

<1600 Menggunakan serat yang berasal dari alam dan zat pewarna alam.

- Ditemukan dan mulai digunakannya zat pewarna tiruan. - Pewarna alam mengalami kemunduran

1600 – 1945 - Serat alam masih digunakan, ditambah dengan serat sintetis (mulai populer).

1945 – sekarang

- Digunakan benang/serat alam maupun sintetis. - Juga zat–zat pewarna alam dan buatan. - Dikenal bahan dasar kayu, logam, plastik dsb. - Bahan–bahan tenunan, ramuan sendiri (campuran)

Tabel III.2.1.1.1., Perkembangan penggunaan serat alam dan pewarna alam. (Anas, 1999)

Serat memiliki dua macam bentuk, yakni serat pendek (yang lebih dikenal dengan

sebutan stapel) dan serat panjang sekali (filamen). Benang dapat tersusun baik dari serat

filamen maupun stapel. yang tersusun dari satu helai serat filamen disebut benang

monofilamen. Sedangkan benang yang tersusun dari 2 helai atau lebih serat filamen

disebut benang multifilamen, dan benang yang tersusun dari serat stapel disebut benang

stapel.30

Serat alam yang berasal dari tumbuhan termasuk golongan serat alam selulosa, dan yang

berasal dari hewan termasuk golongan serat alam protein. Umumnya serat protein

berbentuk stapel, ukurannya pendek karena diambil dari rambut/bulu hewan.

Pengecualiannya adalah serat sutra yang berbentuk filamen, serat yang panjang sekali.

Jika dibakar, serat alam protein akan menjadi abu dan baunya seperti rambut terbakar.

Setiap serat alam memiliki karakter dan sifat yang berbeda-beda, yang akan

mempengaruhi proses pengolahannya dan juga sangat mempengaruhi sifat dan karakter

tekstil yang diproduksinya.

III.2.1.2. Serat Alam Sutra Spesies Bombyx mori Linnaeus

Sutra Bombyx mori Linnaeus, atau sering dikenal dengan sutra murbei dihasilkan oleh

spesias ngengat dengan klasifikasi ilmiah sebagai berikut,

Phyllum : Arthropoda

Classis : Insekta

Subclassis : Pterygota

Ordo : Lepidoptera

Sub ordo : Ditrisia

Superfamilia : Bombycoidea

30 Microsoft® Student 2007 [DVD], 2006. Diterjemahkan oleh penulis.

25

Page 8: TINJAUAN UMUM DAN SINGKAT - · PDF fileBAB III TINJAUAN UMUM DAN SINGKAT III.1. MONOGRAFI KABUPATEN WAJO III.1.1. SEJARAH SINGKAT Dari sumber-sumber lontarak dan lisan yang dikisahkan

Subfamilia : Bombycidae

Genus : Bombyx

Species : Bombyx mori

Binomial : Bombyx mori Linnaeus.

IDENTIFIKASI SERAT

SERAT TAMPILAN MIKROSKOPIS

PENCELUPAN WARNA

Nama Jenis dan

Bentuk Sumber Tampilan Memanjang Melintang

WARNA ASLI

SIFAT YANG

PENGARUHI PEWARNAAN Tipe Pewarna

Sutra: Bombyx

mori Linnaeus

Filamen protein

Budidaya ulat

Bombyx mori

Linnaeus

Bagus Halus

Berkilau Elastis

Bulat-bulat kecil

Triangular dengan sudut

tumpul

Oranye muda

kecoklatan

Daya serap tinggi,

suhu kering, lemah Alkali

Seluruh pewarna asam

rendah, Reaktif

Direct-basic

Tabel III.2.1.2.1., Identifikasi umum serat Bombyx mori Linnaeus. (Thompson, 1987: 26)

Bombyx mory Linnaeus adalah jenis ngengat berukuran kecil berwarna putih. Ngengat

jantannya umumnya berukuran sekitar 15 milimeter, dan ngengat betinanya umumnya

berukuran sekitar 20 milimeter. Telurnya bulat pipih dengan diameter kuranglebih 0,1

sentimeter hingga 0,2 sentimeter dan sedikit transparan, sementara kokon spesies ini putih

dan lonjong dengan lebar umumnya sekitar 15 milimeter dan panjang umumnya sekitar

33 milimeter.

Populasi Bombyx mori Linnaeus banyak ditemukan di berbagai wilayah Indonesia.

Spesies ini hidup di pohon-pohon murbei dan mengkonsumsi daun murbei sebagai

sumber makanan utama larvanya. Oleh karena itu, spesies Bombyx mori Linnaeus lebih

dikenal secara umum dengan sebutan ulat sutra murbei.

Gambar III.2.1.2.2., Sketsa telur, larva, kokon, dan ngengat Bombyx mori Linnaeus.31

31 Diakses dari situs Wikipedia: Online Encyclopedia. (en.wikipedia.org, 2007)

26

Page 9: TINJAUAN UMUM DAN SINGKAT - · PDF fileBAB III TINJAUAN UMUM DAN SINGKAT III.1. MONOGRAFI KABUPATEN WAJO III.1.1. SEJARAH SINGKAT Dari sumber-sumber lontarak dan lisan yang dikisahkan

Ngengat penghasil sutra termasuk serangga yang mengalami metamorfosis sempurna,

yaitu telur → larva (ulat) → pupa (kokon) →imago (ngengat). Spesies ini termasuk jenis

endopterigota, yaitu serangga yang perkembangan sayapnya terjadi di dalam badan, serta

fase pradewasanya berbeda dengan fase dewasa baik dalam perilaku makan maupun

bentuknya.

Telur spesies Bombyx mori Linnaeus umumnya menetas setelah 10 sampai 14 hari,

ditandai dengan warna semu biru pada permukaan telur yang akan menetas. Setelah

menetas, larva harus segera makan agar tidak kering dan mati. Larva pada instar pertama

ini hitam, kecil, dan berbulu, dengan panjang sekitar 0,5 sentimeter hingga 0,7 sentimeter.

Setelah 5 hari larva tersebut membesar lebih dari dua kali lipat ukuran semula, dan mulai

mengganti kulit mereka. Larva instar kedua ini lembek, berwarna putih berbercak kelabu

dengan sedikit efek transparan dan kepala hitam.

Larva memasuki instar ketiga kira-kira 8 hari, terhitung sejak menetas. Meski

penampakannya tetap sama, namun ukurannya meningkat pesat dengan panjang sekitar

2,5 sentimeter hingga 3 sentimeter. Sedangkan instar keempat yang dimulai setelah 12

hari menetas, berukuran sekitar 5 sentimeter.

Setelah hari ke 17, larva mulai memasuki instar ke lima dengan panjang sekitar 8

sentimeter. Larva spesies ini memiliki nafsu makan tinggi, semakin banyak daun murbei

yang dimakannya maka semakin cepat pula pertumbuhan larva tersebut. Dan setiap

pergantian instar ditandai dengan berhentinya makan, tidur, dan pergantian kulit. Apabila

gagal berganti kulit, larva tersebut akan mati perlahan dalam waktu kurang dari satu hari.

Proses mengokon umumnya berlangsung selama dua hari dimulai pada hari ke 20, dan

ngengat dewasa akan keluar 2 minggu setelahnya. Ngengat dewasa siap kawin dalam

waktu 3 hari sampai 5 hari setelah keluar dari kokon, dan betinanya dapat menghasilkan

sekitar 150 hingga 300 butir telur selama 2 hari sampai 3 hari. 32

Secara keseluruhan, siklus hidup spesies Bombyx mori Linnaeus membutuhkan rentang

waktu 49 hari sampai 56 hari dari satu penetasan telur ke penetasan generasi selanjutnya.

Sementara, umur kokon yang dipanen sekitar 5 hari hingga 6 hari.

Ulat sutra spesies Bombyx mori Linnaeus rentan terkena penyakit pebrine, yang menular

melalui kotoran ulat. Untuk menghindari penyakit ini dapat dilakukan penyemprotan

kaporit di tempat budidaya, dan penggunaan bibit yang bebas pebrine. Selain itu, dua hal

yang perlu diperhatikan dalam pembudidayaan ulat sutra ialah sanitasi, dan pemilihan

32 Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Andi Masalangka, mantan Kepala Balai Persutraan Alam (BPA) Kabupaten Soppeng.

27

Page 10: TINJAUAN UMUM DAN SINGKAT - · PDF fileBAB III TINJAUAN UMUM DAN SINGKAT III.1. MONOGRAFI KABUPATEN WAJO III.1.1. SEJARAH SINGKAT Dari sumber-sumber lontarak dan lisan yang dikisahkan

jenis ulat yang cocok dengan termperatur lingkungan tempat budidaya. Karena semakin

dingin suhunya, umur ulat akan semakin lama.

Saat ini, serat alam sutra kokon normal spesies Bombyx mori Linnaeus dikategorikan

sebagai serat alam nomor satu, diikuti oleh serat wol dan serat rami. Harga serat alam

sutra ini pun tergolong yang paling mahal.

Serat sutra alam dihasilkan oleh kokon yang dibentuk dari air liur ulat sutra yang

mengandung protein. Liur ini dihasilkan oleh sepasang silk gland (kelenjar sutra), yang

terdiri dari tiga bagian:

1. Anterior (fore silk gland)

2. Reservoir (mid silk gland)

3. Posterior (hind silk gland)

Gambar III.2.1.2.3., Diagram anatomi ulat sutra.33

Dalam metamorfosisnya menjadi pupa, atau yang disebut juga pengkristalan (chrysalis),

larva ulat sutra mengeluarkan filamen sutra dan bekerja dari dalam. Menambah lapisan

demi lapisan hingga membentuk lapisan pelindung yang disebut kokon.

Struktur kimia filamen serat sutra mentah terdiri dari:

Fibroin (C15H23N5O6)................................................................................... 76 persen

Serisin (C15H25N5O8).................................................................................. 22 persen

Lilin, lemak, dan garam mineral lain.......................................................... 02 persen +

Total 100 persen

Masing-masing kelenjar sutra mengeluarkan satu filamen yang disebut brin, kedua brin

inilah yang membentuk fibroin. Fibroin adalah bagian serat yang insoluble, protein yang

tidak larut dalam alkali lemah dan sabun, yang dilapisi oleh soluble gum yang disebut

serisin. Serisin adalah protein albumin yang tidak larut dalam air dingin, tetapi lunak 33 Dari buku AF Encyclopedia of Textile halaman 137.

28

Page 11: TINJAUAN UMUM DAN SINGKAT - · PDF fileBAB III TINJAUAN UMUM DAN SINGKAT III.1. MONOGRAFI KABUPATEN WAJO III.1.1. SEJARAH SINGKAT Dari sumber-sumber lontarak dan lisan yang dikisahkan

dalam air panas serta larut dalam alkali lemah dan sabun. Serisin merupakan pelindung

serat selama pekerjaan mekanik. Ketiga bagian (dua bagian brin dan satu bagian serisin)

inilah yang dikenal sebagai bave, atau raw silk (sutra mentah).

Struktur fisika dari serat alam sutra mentah:

a. Panjang serat, serat alam sutra kokon normal spesies Bombyx mori Linnaeus dapat

menghasilkan rata-rata hingga 1000 meter serat filamen tanpa terputus.

b. Diameter, serat alam sutra umumnya berdiameter antara 11 mikron hingga 12 mikron.

c. Sifat permukaan, serat alam sutra berbentuk keriting atau bergelombang pada

permukaan serat, namun tetap mudah dipintal karena adanya daya puntiran/konvulasi

pada serat.

d. Penampang lintang, serat sutra Bombyx mori Linnaeus berbentuk segitiga dengan

ujung tumpul/bulat, tidak terlalu bulat maupun terlalu pipih. Pada umumnya, serat

berbentuk penampang seperti ini memberikan kilap yang tinggi dan daya penutup kain

yang baik, serta memberikan pegangan yang enak.

Gambar II.2.1.2.4., Penampang melintang serat alam sutra dibawah mikroskop.34

e. Susunan molekul, fibroin serat alam sutra spesies Bombyx mori Linnaeus terutama

tersusun oleh asam-asam amino:

1. Glisin (dengan gugus samping –H)................................................... 43,8 persen

2. Alanin (dengan gugus samping –CH3).............................................. 26,8 persen

3. Serin (dengan gugus samping –CH2OH)........................................... 26,8 persen

4. Tirosin (dengan gugus samping –CH2CH4OH6)................................ 26,8 persen

5. Sisanya terdiri dari asam-asam amino yang lain.

Sifat kimia serat alam sutra spesies Bombyx mori Linnaeus:

a. Bersifat amfoter, dapat menyerap asam dan basa dari larutan encer.

b. Titik iso elektrik 3,6.

34 Dari buku Pengetahuan Barang Tekstil halaman 9.

29

Page 12: TINJAUAN UMUM DAN SINGKAT - · PDF fileBAB III TINJAUAN UMUM DAN SINGKAT III.1. MONOGRAFI KABUPATEN WAJO III.1.1. SEJARAH SINGKAT Dari sumber-sumber lontarak dan lisan yang dikisahkan

c. Tidak mudah diserang larutan asam encer hangat, larut dan rusak dalam larutan asam

kuat.

d. Kurang tahan asam, lebih tahan alkali meski dalam konsentrasi rendah.

e. Tahan terhadap semua pelarut organik, tetapi larut dalam kuproamonium-hidroksida

dan kupi etilena diamida.

f. Kurang tahan zat-zat oksidator dan sinar matahari.

g. Lebih tahan serangan secara biologis.

Sifat fisika serat alam sutra spesies Bombyx mori Linnaeus:

a. Dalam keadaan kering kekuatan serat 4 gram/denier hingga 4,5 gram/denier, mulur 20

persen hingga 25 persen.

b. Dalam keadaan basah kekuatan serat 3,5 gram/denier hingga 4,0 gram/denier, mulur

25 persen hingga 30 persen.

c. Dapat mulur sebanyak 20 persen dari panjang semula tanpa putus. Kembali ke

keadaan semula setelah mulur 2 persen, kalau mulurnya lebih dari 2 persen maka

pemulihannya lambat dan tidak kembali ke panjang semula.

d. Moisture regain sutra mentah 11 persen, setelah serisin dihilangkan menjadi 10

persen.

e. Berat jenis sutra mentah 1,33, berat jenis sutra matang (tanpa serisin) 1,25⎯lebih

rendah dari serat lain karena itu lebih ringan.

f. Merupakan konduktor panas dan listrik yang sangat lemah, oleh karena itu sutra

terasa hangat di badan dan sering digunakan sebagai isolator listrik.

g. Sangat kuat, satu filamen sutra lebih kuat daripada filamen yang sama dari baja.

h. Sutra tahan pemanasan hingga temperatur 2840 F.

i. Tidak mudah kusut.

Sifat khusus serat alam sutra spesies Bombyx mori Linnaeus ialah scroop (bunyi

gemerisik saat serat saling bergesekan). Ini bukan sifat bawaan, melainkan hasil

pengolahan serat menggunakan larutan asam encer. Karena pegangan seratnya yang halus

dan kilaunya menimbulkan kesan bercahaya (translucent), kain sutra pun memiliki ciri

tampilan khas yang halus, lembut, berkilau, dan mewah.

Sutra mentah agak kaku dan kasar. Jika telah melalui proses scouring/degumming (proses

pembersihan gum/getah), serisinnya akan berkurang atau hilang dan serat menjadi lembut

berkilau serta mudah dicelup warna, inilah yang disebut sutra matang.

30

Page 13: TINJAUAN UMUM DAN SINGKAT - · PDF fileBAB III TINJAUAN UMUM DAN SINGKAT III.1. MONOGRAFI KABUPATEN WAJO III.1.1. SEJARAH SINGKAT Dari sumber-sumber lontarak dan lisan yang dikisahkan

Serat filamen sutra umumnya diperoleh dari urutan proses sebagai berikut:

Bagan II.2.1.2.5., Proses pengolahan serat filamen sutra secara umum.

III.2.2. SEJARAH SINGKAT SERAT ALAM SUTRA

Penggunaan serat alam sutra dalam industri tekstil sudah dimulai sejak sebelum masehi.

Sebagian besar sejarawan sependapat bahwa sutra dan budidayanya dipelopori oleh

bangsa Cina lebih dari empat ribu tahun lalu.

Hasil penemuan arkeologi terbaru di sekitar Sungai Yangzi bahkan menyatakan bahwa

budidaya ini telah dimulai sejak jauh sebelumnya, dengan ditemukannya piala kecil

berukir cerita tentang budidaya sutra yang diperkirakan berumur 6000 sampai 7000

tahun.

Menurut sejarah Cina, industri sutra menjadi komoditi penting dalam aspek ekonomi

Cina sejak Ratu Hsi-Ling-Shih (istri dari Kaisar Huang-Ti yang berkuasa sekitar tahun

2640 SM) memperkenalkan pembudidayaan ulat sutra Bombyx mori Linnaeus di pohon-

pohon murbei, serta penemuannya berupa alat tenun sutra. Berkat kontribusinya yang

besar bagi perkembangan sutra dan budidayanya ini, ia dijuluki sebagai the Goddess of

Silk oleh bangsa Cina.35

35 Diakses dari situs Silkroad Foundation, 2007.

Kokon

Pengeringan (membunuh pupa dalam kokon)

Pembersihan

Seleksi

Penyimpanan

Pemasakan (sebagai persiapan reeling)

Reeling

Re-reeling

Penggintiran

Kokon normal Kokon afkir

31

Page 14: TINJAUAN UMUM DAN SINGKAT - · PDF fileBAB III TINJAUAN UMUM DAN SINGKAT III.1. MONOGRAFI KABUPATEN WAJO III.1.1. SEJARAH SINGKAT Dari sumber-sumber lontarak dan lisan yang dikisahkan

Pada masa pemerintahan Dinasti Han (206 SM–25 SM), Cina sudah memiliki pabrik

pemintalan sutra yang menjadi awal dari usaha persutraan secara massal. Usaha

perdagangan ini kemudian diperluas keluar daratan Cina hingga ke negara-negara Eropa

dengan menggunakan karavan melalui Silk Road (Jalur Sutra) yang melewati Gurun

Ghobi dan Turki, serta negara-negara Asia Selatan. Sementara negara-negara Asia

Tenggara mulai mengenal sutra ketika pedagang Cina melewati wilayah mereka untuk

mengembangkan sutra ke India.

Gambar III.2.1., Peta Jalur Sutra dan detailnya dalam bahasa Inggris.36

III.2.3. PERKEMBANGAN BUDIDAYA SUTRA DI INDONESIA

Secara garis besar, perkembangan persutraan alam Indonesia selama 50 tahun terakhir

dapat dibagi menjadi 5 periode. Yaitu periode sebelum tahun 1960, dimana usaha tani

persutraan alam (UTPA) merupakan kegiatan, hobi, dan percobaan usaha di beberapa

tempat tertentu oleh masyarakat terkait; periode 1960-1970, yang merupakan kurun

waktu pengembangan secara sistematis dan melalui berbagai program pengembangan

secara meluas di Indonesia, dengan sifat pengembangan yang kuantitatif; periode 1970-

1980, yang merupakan periode peningkatan sutra alam nasional secara kualitatif; periode

1980-1990, yang merupakan perkembangan yang negatif yang ditandai dengan

penurunan kegiatan di semua tingkat usaha persutraan alam; serta periode setelah 1990,

yang merupakan periode pengembangan kualitatif intensif dimana UTPA di Indonesia

diarahkan kepada usaha tani yang berorientasi pada produktivitas dan kualitas hasil

produksi yang optimal dengan pola usaha intensif.

Pada periode 1960, berbagai organisasi dan program persutraan alam mulai dirintis di

berbagai daerah di Indonesia, seperti Koperasi Sutra Rakyat Indonesia (KSRI) di

Bandung pada tahun 1960; Pusat Koperasi Persutraan alam Dinas Kehutanan Daerah

Istimewa Yogyakarta pada tahun 1962; serta Balai Sutra Alam di Lembang yang

36 Diakses dari situs Travel Cina Guide, 2004.

32

Page 15: TINJAUAN UMUM DAN SINGKAT - · PDF fileBAB III TINJAUAN UMUM DAN SINGKAT III.1. MONOGRAFI KABUPATEN WAJO III.1.1. SEJARAH SINGKAT Dari sumber-sumber lontarak dan lisan yang dikisahkan

didirikan tahun 1965 oleh Institut Teknologi Bandung untuk pendidikan pembinaan kader

persutraan.

Pada awal perkembangan usaha sutra di Indonesia, bibit sutra masih banyak didatangkan

dari luar negeri, terutama Jepang. Namun di tahun-tahun selanjutnya, Perum Perhutani

mulai melakukan pengembangan budidaya sutra alam berupa rangkaian kegiatan

agroindustri sutra alam di beberapa wilayah Indonesia⎯terutama di desa Ta’Juncu,

Kabupaten Soppeng. Pada tahun 1970, desa ini kemudian dijadikan pusat pengembangan

sutra oleh Pemerintah Indonesia. Jenis yang banyak dibudidayakan ialah sutra Bombyx

mori Linnaeus.

Tidak diketahui secara pasti kapan budidaya sutra alam mulai berkembang di daerah

Kabupaten Wajo. Ada yang berpendapat budidaya sutra dimulai di Kabupaten Wajo sejak

Balai Persutraan Alam didirikan di Soppeng, namun ada juga yang berpendapat budidaya

ini sudah ada sejak jauh sebelum itu, yakni bersamaan dengan masuknya benang sutra

akibat transaksi perdagangan kurang lebih 500 tahun lalu.

Menurut Pelras (2006) dalam bukunya Manusia Bugis, di Sulawesi Selatan “…Benang

sutra selalu didatangkan dari luar, sebelum peternakan ulat sutra mulai ada di Sulawesi

Selatan pada awal 1960an, terutama di daerah Soppeng dan bagian selatan Wajo. Pada

mulanya usaha peternakan ulat sutra menjanjikan keuntungan besar, namun setelah

sukses beberapa tahun, ulat sutra terjangkit penyakit menular sehingga ulatnya menjadi

mandul. Sejak itu, peternak ulat sutra setempat harus mengimpor kepompong langsung

dari Jepang.”

Namun, keakuratan pendapat Pelras diatas tidak dapat dipastikan. Sebab menurut

beberapa narasumber di lapangan, penurunan usaha budidaya ulat sutra terutama di

Kabupaten Soppeng selain dikarenakan bibit hasil persilangan yang dikembangkan oleh

Perum Perhutani rentan akan penyakit pebrine, juga terutama karena kualitas kokon lokal

yang kurang baik mutunya dibandingkan dengan kokon impor sehingga pasar kokon lokal

pun menurun. Sejak itu kebanyakan petani di Kabupaten Soppeng dan Wajo memang

membeli bibit/telur ulat sutra impor dari Cina, namun kualitas kokon tidak hanya

tergantung pada kualitas bibit saja melainkan juga cara penanganan dari telur hingga

menjadi kepompong.

II.2.4. SUTRA HASIL BUDIDAYA LOKAL (KABUPATEN SOPPENG

DAN KABUPATEN WAJO)

Di daerah Kabupaten Soppeng dan Wajo, petani sutra mengenal dua bibit ulat sutra, yakni

bibit Cina dan bibit Jepang. Yang dimaksud dengan bibit Cina ialah bibit yang diimpor

33

Page 16: TINJAUAN UMUM DAN SINGKAT - · PDF fileBAB III TINJAUAN UMUM DAN SINGKAT III.1. MONOGRAFI KABUPATEN WAJO III.1.1. SEJARAH SINGKAT Dari sumber-sumber lontarak dan lisan yang dikisahkan

langsung dari Cina, sementara yang disebut dengan bibit Jepang ialah hasil persilangan

bibit impor dengan bibit lokal yang dilakukan oleh Perum Perhutani.

Menurut Bapak Andi Masalangka, bibit yang banyak dibudidayakan di daerah ini ialah

ulat sutra Bombyx mori Linnaeus jenis bivoltine yang diimpor dari Cina. Setiap musimnya

petani ulat sutra membudidayakan 4 boks telur yang berisi 25.000 butir hingga 30.000

butir, yang setiap boksnya menghasilkan sekitar 30 kilogram kokon. Setiap boks telur ini

dijual serharga IDR 150.000,- . Sementara kokon hasil budidaya petani lokal dijual

seharga IDR 16.000,- per kilogram. Untuk menghasilkan satu kilogram benang sutra

mentah membutuhkan kokon sekitar 6 kilogram hingga 7 kilogram kokon basah.

Permasalahan yang menghambat pembudidayaan ulat sutra lokal ialah kualitas telur dan

kualitas benang. Jika benang sutra impor diolah dengan mesin sehingga kerataan benang

(denier) terkontrol, sementara benang sutra lokal kerataan benang tidak sama. Hal ini

dikarenakan pemintalan umumnya masih dilakukan secara manual. Bahkan, menurut

beberapa sumber, alat kontrol denier pada mesin pintal di Balai Pesutraan Alam Ta’juncu

sudah rusak. Kualitas benang inilah yang mempengaruhi jatuhnya harga benang sutra

hasil budidaya lokal di pasaran, karena kerataan benang sangat berpengaruh pada

kerataan kain dan kilau khas benang sutra.

III.3. TENUNAN SUTRA

III.3.1. SEJARAH AWAL

Cerita mengenai awal kegiatan menenun tidak lepas dari sejarah perkembangan

kebudayaan manusia. Menurut buku Tenunan Khas Sulawesi Selatan dan Tenggara,

“…Keterampilan menenun ditinjau dari segi tekniknya tidak jauh berbeda dari segi teknik

menganyam…sudah ada di zaman kebudayaan Neolithikum…” (Bagian Proyek

Pembinaan Permuseuman Sulawesi Selatan bekerjasama Proyek Pembinaan

Permuseuman Sulawesi Tenggara, 1994: 1)

Pada periode Neolithikum manusia mulai hidup menetap, beternak, dan bercocoktanam,

hingga tercapailah suatau surplus makanan dan terdapatlah waktu senggang yang

dipergunakan para wanita untuk mengembangkan keterampilan menganyam dan

menenun.

Pendapat ini diperkuat oleh Yudoseputro (1983), “Pada zaman Batu Baru terjadi

perubahan besar-besaran dalam semua aspek kehidupan manusia presejarah…Apabila

sebelumnya manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya cukup dengan jalan

mengumpulkan makanan, kini manusia hidup sebagai penghasil makanan…Untuk

34

Page 17: TINJAUAN UMUM DAN SINGKAT - · PDF fileBAB III TINJAUAN UMUM DAN SINGKAT III.1. MONOGRAFI KABUPATEN WAJO III.1.1. SEJARAH SINGKAT Dari sumber-sumber lontarak dan lisan yang dikisahkan

perkembangan seni kerajinan, zaman Batu Baru adalah sangat penting. Keadaan alam

Indonesia yang memberikan bahan yang berlimpah dan cara hidup manusia berdasarkan

sistem masyarakat petani yang gotongroyong, semua ini merupakan sarana yang

menguntungkan dalam rangka perkembangan seni kerajinan.”

Yudoseputro juga menambahkan bahwa untuk mengetahui hasil seni kerajinan tenun

Indonesia dari zaman Batu akan sulit karena peninggalannya pasti sudah musnah. Hal ini

dikarenakan pemakaian bahan kerajinan yang tidak tahan lama. Namun untuk

membuktikan bahwa pada waktu itu Indonesia sudah mengenal tenunan dapat dilihat

pada barang peninggalan berupa tembikar-tembikar, yang memperlihatkan hiasan berupa

teraan-teraan dari tenunan.

Sementara menurut hasil penelitian Rukmini (1979) yang berjudul Tenunan Tradisional

Bugis Makassar, “…Para ahli hanya memperkirakan bahwa kebudayaan menenun telah

lahir di sekitar Mesopotamia dan Mesir pada 5.000 tahun sebelum Masehi. Dari negeri itu

kemudian tersebar ke Eropa dan Asia termasuk Indonesia...Teori lain beranggapan,

keterampilan menenun tumbuh tanpa diketahui asal mulanya dan di mana sumbernya.

Melalui bukti penemuan alat-alat kerja tenun, menandakan kebudayaan menenun tumbuh

bersama-sama kebudayaan manusia…Adapun yang pasti kita ketahui bahwa di jaman

neolitikum manusia sudah mengenal pakaian, tetapi yang belum ditenun. Di Sulawesi

Selatan khususnya di daerah-daerah kediaman suku Bugis Makassar, terbukti telah

didiami manusia prasejarah dengan ditemukannya artefak-artefak dan bekas-bekas tempat

pemukiman manusia…di dalam gua misalnya di Leang-Leang Maros…di Pangganreang

Tudea Bantaeng. Secara logis dapat dikatakan, manusia-manusia inilah yang kemudian

menjadi pendukung pembuatan pakaian dari serat-serat kulit kayu…Selain itu dikenal

pula penggunaan serat-serat daunan yang panjang dari jenis tertentu. Di daerah ini

rupanya menggunakan serat daun pandan.”

Dari uraian-uraian diatas, dapat dilihat bahwa kapan dan bagaimana kegiatan menenun

dimulai di Indonesia pada dasarnya sulit diketahui secara pasti, namun diperkirakan

masyarakat Indonesia telah mulai mengenal pakaian sejak zaman prasejarah.

Sejak itu, cara mendapatkan pakaian berangsurangsur mengalami perubahan. Terlebih

dengan ditemukannya alat tenun, alat pintal, kelosan benang, dan digunakannya kapas

sebagai bahan baku utama tenunan tradisional. Hal ini terjadi secara alamiah karena

manusia selalu berusaha memenuhi kebutuhan hidupnya.

35

Page 18: TINJAUAN UMUM DAN SINGKAT - · PDF fileBAB III TINJAUAN UMUM DAN SINGKAT III.1. MONOGRAFI KABUPATEN WAJO III.1.1. SEJARAH SINGKAT Dari sumber-sumber lontarak dan lisan yang dikisahkan

III.3.2. PENGGUNAAN BENANG SUTRA PADA KEGIATAN

PERTENUNAN TRADISIONAL DI INDONESIA

Tenunan sutra merupakan hasil kerajinan yang sudah dikerjakan secara turuntemurun

oleh sebagian penduduk di wilayah nusantara. Sejak beberapa abad lalu Indonesia telah

dikenal sebagai penghasil tenun, yang kaya kreasi terutama dalam hal ragam hias. Hal ini

dikarenakan letak wilayah Indonesia yang strategis dalam lalulintas perdagangan,

sehingga daerah-daerah kepulauan Indonesia dapat menjalin hubungan dagang dengan

bangsa India, Cina, Arab, dan Portugis.

Menurut Sumiati Patimari (1993) dalam hasil penelitiannya yang berjudul Studi

Deskriptif Tentang Proses Pewarnaan dan Motif Hias Kain/Sarung Sutra di Sengkang

Kecamatan Tempe Kabupaten Wajo, “…Para ahli memperkirakan bahwa aspek-aspek

kebudayaan menenun telah dimiliki oleh masyarakat pada zaman perunggu dalam zaman

Prasejarah di Indonesia, sekitar abad ke 2 dan abad ke 9 Masehi. Desain yang diciptakan

sangat unik dan mencerminkan unsur-unsur pemujaan pada nenek moyang atau leluhur

dan keindahan alam sekitarnya. Pada saat ini telah dikenal teknik desain pakan dan

lungsin…Untuk tenunan ikat pakan masuk Indonesia bersamaan ketika mulai dikenal

benang sutra dalam perdagangan sekitar abad ke 14 dan ke 15…”

Benang sutra pada mulanya memang merupakan barang impor. “…Sebagaimana

diketahui, sejak lama nusantara telah mengadakan kontak dengan luar negeri di bidang

politik, perdagangan dan kebudayaan, seperti dengan Cina, India dan Siam. Dalam kontak

inilah benang dan kain sutra mulai dikenal. Sejalan dengan itu, suku Bugis Makassar

sejak lama dikenal sebagai pengembara dan pelaut-pelaut ulung, sedikit banyaknya

terlibat dalam pengambilan nilai budaya baru ini yang kemudian setelah kembali

dikembangkannya di negerinya…Faktor lain yang diperkirakan ikut menunjang

meluasnya penggunaan sutra di daerah ini, ialah jatuhnya Malaka ke tangan Portugis

tahun 1511. Karena sejak itu Makassar mulai berperanan penting sebagai bandar transit di

kawasan Indonesia Timur yang ramai dikunjungi bangsa-bangsa lain.” (Rukmini, 1979:

9)

Selain itu, ada sumber literatur yang mengatakan benang sutra impor dibawa masuk ke

Indonesia oleh pedagang Islam yang berasal dari India dan Arab, terutama ke Sumatera,

Jawa, serta daerah-daerah pantai yang ramai dikunjungi oleh pedagang luar negeri. Sejak

masa inilah diperkirakan benang sutra mulai digunakan dalam tenunan tradisional di

Indonesia.

Tenunan sutra patola yang berasal dari India memberi pengaruh besar terhadap

perkembangan motif hias tenunan di Indonesia, bahkan di Sumatera dan Jawa terdapat

36

Page 19: TINJAUAN UMUM DAN SINGKAT - · PDF fileBAB III TINJAUAN UMUM DAN SINGKAT III.1. MONOGRAFI KABUPATEN WAJO III.1.1. SEJARAH SINGKAT Dari sumber-sumber lontarak dan lisan yang dikisahkan

tenunan sutra yang disebut cindai yang memiliki desain corak yang mirip dengan

patola.37

Menurut George Junus Aditjondro38 dalam makalahnya Terlalu Bugis-sentris, Kurang

‘Perancis’39, tenun tradisional sutra di daerah Sulawesi Selatan dan Barat dirintis oleh

perempuan suku Mandar dengan teknik celup ikat (tie dye). Tenunan tradisional tersebut

kemudian berkembang pesat sekitar abad 17 dan 18. Pada kurun waktu ini pula,

kepandaian mereka dibawa merantau dan dikembangkan di daerah lain, sehingga

kemudian dikenal juga Sarung Samarinda dan Sarung Donggala.

Pada awalnya, pengolahan kapas menjadi benang dilakukan sendiri oleh penduduk di

daerah Sulawesi Selatan. Dengan masuknya benang impor yang kualitasnya lebih baik,

benang yang dipintal sendiri mulai terdesak. Ketika Perang Dunia II pecah, benang jadi

sulit diperoleh sehingga Pemerintah Jepang mengharuskan semua penduduk menanam

kapas dan pengolahan benang ini digiatkan kembali. Setelah pengakuan kedaulatan

Republik Indonesia, stabilitas ekonomi dan politik sudah semakin mantap sehingga

benang impor dapat kembali digunakan.

III.3.3. SARUNG SUTRA

Pembahasan tenunan sutra tradisional di Kabupaten Wajo Sulawesi Selatan tentu erat

kaitannya dengan pembahasan sarung sutra. Sebab kegiatan pertenunan sutra tradisional

di Kabupaten Wajo umumnya menghasilkan tenunan yang digunakan untuk pakaian adat

seperti waju ponco’ (bahasa Bugis, yang berarti baju bodo) dan lippa (bahasa Bugis,

yang berarti sarung).

Secara etimologi, ’sarung’ dalam kata benda dapat berarti bungkus. Sedangkan

’menyarung’ dan dalam kata sifat dapat berarti cara membungkus. Kata ’sarung’ ini

berasal dari bahasa Melayu , sarong, berarti kain tenun yang cara pakainya dililitkan di

pinggang. Meskipun begitu, pada dasarnya pengertian sarung dapat dibedakan dengan

kain panjang. Sebab sarung adalah tenunan panjang yang kedua sisi kiri dan kanannya

disatukan sehingga terbentuk lubang pada bagian atas dan bawah. Maka secara garis

besar, sarung sutra (atau dalam bahasa Bugis disebut lippa sabbe’) ialah tenunan sutra

yang kedua sisinya disatukan sehingga membentuk tabung.

Karakteristik sarung terletak pada corak dan ukurannya, yakni lebar berkisar 100

sentimeter dengan panjang berkisar 220 sentimeter. Corak sarung terletak pada badan,

37 Dari buku Seni Ragam Hias Kain Tenun Sulawesi Selatan, halaman 2-5. 38 Konsultan Penelitian dan Penerbitan Yayasan Tanah Merdeka, Palu; Anggota Dewan Penasehat Center for Democracy and Social Justice Studies (CeDSoS), Jakarta. 39 Ditulis dalam rangka Diskusi Buku Manusia Bugis, Bentara Budaya, Jakarta, 16 Maret 2006.

37

Page 20: TINJAUAN UMUM DAN SINGKAT - · PDF fileBAB III TINJAUAN UMUM DAN SINGKAT III.1. MONOGRAFI KABUPATEN WAJO III.1.1. SEJARAH SINGKAT Dari sumber-sumber lontarak dan lisan yang dikisahkan

tumpal (kepala, posisinya memanjang ke arah pakan), tepi (corak ke arah lusi, terletak

antara pinggir dan corak badan ke arah lusi), dan pinggir (corak ke arah lusi yang

letaknya berada paling luar dari kain). Salah satu hal yang menjadi keunikan sarung ialah

perbedaan warna yang kontras antar tumpal dengan badan.

Dahulu, sarung dipakai oleh orang-orang yang berlayar di sekitar Semenanjung Malaka,

dekat pulau Sumatra dan Jawa. Mengingat orang-orang yang berlayar tersebut biasanya

pada saudagar serta pedagang Muslim dari India, dan Agama Islam menyebar dari dekat

pantai, maka diperkirakan bahwa dahulu sarung ditenun oleh pria-pria Muslim. Sementara dalam perkembangannya, di Indonesia sarung cukup berperan dalam

kehidupan setiap lapisan masyarakat tanpa memandang umur, jenis kelamin, maupun

status sosialnya. Sarung sering terlihat sebagai bawahan busana tradisonal pada beberapa

daerah, juga sebagai tenunan yang bersifat sakral.

Dari sudut fungsi dan pemakaiannya, Kuncaraningrat (1986) membagi kedalam empat

golongan, yaitu pakaian sematamata sebagai alat untuk menahan pengaruh dari alam

sekitar, lambang keunggulan dan gengsi, lambang yang dianggap suci, serta sebagai

perhiasan tubuh. Sementara dari segi sosial, secara umum sarung digambarkan sebagai

kepandaian menenun seorang wanita, berdasarkan dominannya kaum wanita pada

kegiatan pertenunan. Kemampuannya dalam menenun, diidentikkan dengan kesabaran,

ketekunan, dan keuletan. Bagi masyarakat yang masih memegang teguh tradisi, hal ini

merupakan sesuatu yang dapat dibanggakan.

Ditinjau dari segi ekonomi, kegiatan pertenunan dijadikan salah satu sumber mata

pencaharian bagi masyarakat, khususnya untuk pemenuhan keperluan seharihari. Dan bila

ditinjau dari segi religi, sarung merupakan pelengkap upacara ritual dalam kehidupan

masyarakat; untuk upacara pelantikan pejabat maupun petinggi daerah, penjemputan

tamu, kelahiran, perkawinan, khitanan, upacara kematian, dll.

Secara garis besar, Departemen Perindustrian RI dalam ketentuan Standar Industri

Indonesia (SII) membagi sarung dalam empat jenis, yaitu sarung Poleng, sarung Polekat,

sarung Songket, dan sarung bermotif.

III.4. ALAT TENUN

III.4.1. ALAT TENUN TRADISIONAL GEDOGAN

III.4.1.1. Sejarah Singkat

Alat tenun Gedogan, atau sering juga disebut alat tenun Gendong, ialah alat tenun

berteknologi sederhana yang terbuat dari kayu. Alat ini merupakan alat tenun tradisional

38

Page 21: TINJAUAN UMUM DAN SINGKAT - · PDF fileBAB III TINJAUAN UMUM DAN SINGKAT III.1. MONOGRAFI KABUPATEN WAJO III.1.1. SEJARAH SINGKAT Dari sumber-sumber lontarak dan lisan yang dikisahkan

pertama yang sudah digunakan dalam kegiatan pertenunan di Kabupaten Wajo sejak

sebelum 1940 (data pasti tidak diketahui).

Seperti yang telah diuraikan di bab sebelumnya, istilah ‘gedogan’ berasal dari bahasa

Jawa gedog yang berarti ketuk. Terminologi ini pun sesuai dengan bunyi ketukan

berulang alat tersebut ketika sedang digunakan menenun, yakni bunyi ‘dog’ yang

terdengar sewaktu menekan benang pakan dengan alat pemukul khusus. Sementara

sebutan alat tenun Gendong digunakan di Pulau Jawa karena ada bagian alat tenun

tersebut yang dikaitkan di belakang pinggang seolah-olah sedang digendong.

Kegiatan menenun dengan alat tenun Gedogan dilakukan secara manual dan

membutuhkan keterampilan tangan serta kecermatan tinggi dari perajin. Bahkan, dahulu,

keterampilan menenun menjadi prestasi tersendiri yang menjadi nilai lebih bagi kaum

wanita. Sehingga kegiatan memintal benang dan menenun seringkali diajarkan kepada

gadis-gadis muda sejak dini. Namun, karena teknologinya yang masih sangat rendah,

produktivitas alat tenun ini pun rendah. Umumnya, perajin hanya mampu menghasilkan

dua lembar tenunan, yang masing-masing sepanjang 8 meter, dalam satu bulan.

Penggunaan alat tenun gedogan masih ditemukan dalam kegiatan pertenunan sutra di

Kabupaten Wajo, Propinsi Sulawesi Selatan. Hingga kini, struktur konstruksi alat tenun

tersebut tidak mengalami perubahan yang berarti.

III.4.1.2. Jenis

Ada dua jenis alat tenun Gedogan berdasarkan teknik pengerjaannya, yaitu:

1. Alat tenun Gedogan discontinuous warp (lungsi tidak bersambung).

Pada alat tenun Gedogan discontinuous warp, ujung benang lungsi dikaitkan dan

digulungkan pada patek (dalam bahasa Bugis disebut patekko), dan ujung benang lain

diikat pada apit (dalam bahasa bugis disebut pessa), yang juga berfungsi sebagai

penggulung hasil tenunan. Pada teknik ini, tenunan yang dihasilkan berupa

lembaran.40

2. Alat tenun Gedogan continuous warp (lungsi bersambung).

Pada alat tenun Gedogan continuous warp, kedua ujung benang lungsi dibuhul

(disambung) menjadi satu, sehingga hasil tenunannya berupa tabung, yang kemudian

digunting untuk mendapatkan selembar tenunan.41

40 Berdasarkan buku Lurik: Garis-Garis Bertuah, halaman 13. 41 Id note 40.

39

Page 22: TINJAUAN UMUM DAN SINGKAT - · PDF fileBAB III TINJAUAN UMUM DAN SINGKAT III.1. MONOGRAFI KABUPATEN WAJO III.1.1. SEJARAH SINGKAT Dari sumber-sumber lontarak dan lisan yang dikisahkan

III.4.1.3. Material

Material yang digunakan untuk membuat konstruksi dasar alat tenun Gedogan ialah jenis

kayu kualitas terbaik (seperti kayu jati, kayu sonokeling, kayu meranti, dan kayu besi)

agar alat tenun tersebut dapat bertahan lama. Sementara elemen-elemen penunjangnya

dibuat dari bambu, pelepah enau, sabut maupun batok kelapa, tembikar/gerabah, benang,

dan pilinan kain.

III.4.2. ALAT TENUN BUKAN MESIN DAN ALAT TENUN MESIN

III.4.2.1. Alat Tenun Bukan Mesin

Alat Tenun Bukan Mesin (ATBM) pertama kali diciptakan oleh Tekstiel Instituut

Bandung (TIB, sekarang Balai Besar Tekstil⎯BBT, Bandung) pada tahun 1922.

Awalnya alat tenun ini dinamakan alat tenun Tijak dengan Teropong Layang, yang

dikenal sebagai alat tenun TIB dan selanjutnya sering disebut ATBM.

Alur perkembangan alat tenun ini berawal dari perkembangan alat tenun Gedogan

menjadi alat tenun Tijak. Alat tenun Tijak inilah yang kemudian dikembangkan kembali

oleh BBT Bandung menjadi alat yang dikenal luas sebagai ATBM saat ini. Ada pula yang

mengatakan bahwa ATBM merupakan hasil modifikasi alat tenun India dan alat tenun

Belanda oleh BBT.

Seperti halnya alat tenun sebelumnya, ATBM juga masih merupakan alat tenun manual

(tepatnya semimanual) yang membutuhkan keterampilan tangan perajin. Namun

efektivitas produksi ATBM mencapai tiga kali lipat hasil produksi alat tenun Gedogan,

yang juga memungkinkan efisiensi waktu pengerjaan sehingga harga tenunannya

tergolong lebih murah.

ATBM merupakan alat tenun semimanual yang konstruksinya sudah lebih kompleks

daripada alat tenun Gedogan, sehingga pekerjaan menenun dengan ATBM tidak serumit

alat tenun Gedogan meski prinsip dasarnya tetap sama.

Seperti halnya alat tenun Gedogan, material yang umum digunakan untuk pembuatan

konstruksi dasar ATBM ialah kayu kualitas terbaik.

III.4.2.2. Alat Tenun Mesin

Alat Tenun Mesin pertama kali masuk Indonesia tahun 1930, dan merupakan produk

impor dari Eropa.

40

Page 23: TINJAUAN UMUM DAN SINGKAT - · PDF fileBAB III TINJAUAN UMUM DAN SINGKAT III.1. MONOGRAFI KABUPATEN WAJO III.1.1. SEJARAH SINGKAT Dari sumber-sumber lontarak dan lisan yang dikisahkan

Seluruh proses penenunan dengan Alat Tenun Mesin dilakukan secara otomatis. Mesin

sudah di set sedemikian rupa, sesuai desain tenun yang diinginkan, sehingga hanya perlu

dikontrol oleh pekerja.

III.5. TENUNAN SUTRA GEDOGAN KABUPATEN WAJO

Di Kabupaten Wajo, masih banyak terdapat perajin tenunan sutra tradisional Gedogan.

Totalnya mencapai 980 unit yang lokasinya tersebar di wilayah Kabupaten tersebut,

contohnya di Kecamatan Tempe, Kecamatan Pammana, serta di Desa Nepo, Kecamatan

Tanasitolo. Umumnya, perajin-perajin ini menenun hanya untuk mengisi waktu luang.

Seperti salah satu perajin yang ditemui di Jalan Bajo, misalnya, yang menenun sambil

menunggu warung kecil yang menjual kebutuhan sehari-hari. Perajin-perajin yang

ditemui tidak jarang yang berumur diatas 50 tahun. Pekerjaan menenun ini sulit mereka

tinggalkan karena sudah menjadi kebiasaan sejak gadis.

Dahulu, di daerah Kabupaten Wajo, wanita memang identik dengan kegiatan menenun.

Kegiatan ini menjadi semacam pingitan para gadis, bahkan harkat mereka ditentukan oleh

keterampilan menenunnya, yang konon dapat diketahui hanya dari suara ketukan alat

tenunnya. Keterampilan ini (dulu) juga dijadikan salah satu syarat seorang calon istri

dalam kehidupan masyarakat Kabupaten Wajo.

Para perajin tersebut membuat tenunan berbentuk lembaran dengan lebar sekitar 60 cm

dan panjang 8 m, yang kemudian dibagi dua dan disambung menjadi sebuah sarung.

Sarung sutra tradisional Bugis ini disebut lippa sabbe’. Selain itu, para perajin sutra

gedogan di Kabupaten Wajo juga membuat tenunan untuk bahan baju bodo, atau dalam

bahasa Bugis disebut waju ponco’, seperti yang dapat ditemukan di Desa Nepo.

Kendala yang umumnya dirasakan perajin tenunan sutra tradisional Gedogan ialah

keterbatasan modal kerja, yang mereka anggap sebagai penghambat utama perkembangan

mereka. Bahkan terkadang, perajin hanya mengerjakan tenunan pesanan tengkulak yang

menyediakan benang jadi, dengan upah kecil.

III.5.1. ALAT TENUN

Alat tenun Gedogan yang banyak digunakan di Kabupaten Wajo ialah jenis discontinuous

warp. Dalam bahasa Bugis sendiri, alat tenun ini disebut Ewangeng Tennung. Sementara

masyarakat Wajo sendiri lebih sering menyebut alat tenun ini sebagai Tennung Walida.

Istilah ‘walida’, dalam bahasa Bugis, ialah sebutan bagi salah satu bagian alat tenun

Gedogan yang berfungsi untuk merapatkan benang pakan. Bentuknya seperti pedang,

dilambangkan sebagai senjata bagi para wanita.

41

Page 24: TINJAUAN UMUM DAN SINGKAT - · PDF fileBAB III TINJAUAN UMUM DAN SINGKAT III.1. MONOGRAFI KABUPATEN WAJO III.1.1. SEJARAH SINGKAT Dari sumber-sumber lontarak dan lisan yang dikisahkan

Material yang umum digunakan untuk pembuatan alat tenun Gedogan di Kabupaten Wajo

ialah kayu jati dan kayu meranti. Terutama untuk bagian walida, sering digunakan kayu

sonokeling (kayu hitam). Material ini banyak ditemukan di Kabupaten Wajo, dan

termasuk hasil Hutan Produksi kabupaten tersebut.

Di Kabupaten Wajo, alat tenun ini dibuat oleh perajin kayu setempat. Di daerah ini

terdapat sekurang-kurangnya 5 perajin kayu yang membuat alat tenun Gedogan, yang

dapat ditemukan di Kecamatan Tanasitolo (maupun kecamatan lain). Para perajin kayu

ini tidak selalu membuat alat tenun Gedogan, mereka bekerja hanya berdasarkan pesanan.

Rata-rata harga alat tenun ini sekitar IDR 250.000,-.

III.5.1.1. Struktur Konstruksi Alat Tenun Gedogan Discontinuous Warp

Konstruksi alat tenun Gedogan discontinuous warp dapat dirinci sebagai berikut,

Gambar III.5.1.1.1., Alat tenun gedogan discontinuous warp.

III.5.1.2. Material dan Fungsi Masing-Masing Bagian

Material yang digunakan dan fungsi masing-masing bagian alat tenun Gedogan di

Kabupaten Wajo dapat dirinci seperti berikut,

42

Page 25: TINJAUAN UMUM DAN SINGKAT - · PDF fileBAB III TINJAUAN UMUM DAN SINGKAT III.1. MONOGRAFI KABUPATEN WAJO III.1.1. SEJARAH SINGKAT Dari sumber-sumber lontarak dan lisan yang dikisahkan

1. Caca’

Bahan : kayu berkualitas tinggi, umumnya digunakan kayu jati atau kayu meranti.

Fungsi : tempat mengaitkan pamalu’ agar tidak bergerak, biasanya dilengkapi

dengan alat yang dapat mengeluarkan bunyi nyaring ketika walida dirapatkan ke

pakan.

2. Pattupu

Bahan : kayu, berbentuk balok.

Fungsi : menghubungkan kedua caca’.

3. Pamalu’

43

Page 26: TINJAUAN UMUM DAN SINGKAT - · PDF fileBAB III TINJAUAN UMUM DAN SINGKAT III.1. MONOGRAFI KABUPATEN WAJO III.1.1. SEJARAH SINGKAT Dari sumber-sumber lontarak dan lisan yang dikisahkan

Bahan : kayu.

Fungsi : tempat gulungan benang lungsi yang siap untuk ditenun.

4. Patekko

Bahan : kayu, berbentuk balok.

Fungsi : pangkal gulungan benang lungsi, ditempatkan sejajar dengan pamalu’.

5. Pessa

Bahan : kayu.

Fungsi : tempat gulungan tenunan yang selesai, ditempatkan di depan perut perajin.

6. Ana’ pessa

Bahan : kayu, atau bambu, yang cukup kuat.

Fungsi : ujung gulungan benang lungsi, ditempatkan sejajar dengan pessa.

44

Page 27: TINJAUAN UMUM DAN SINGKAT - · PDF fileBAB III TINJAUAN UMUM DAN SINGKAT III.1. MONOGRAFI KABUPATEN WAJO III.1.1. SEJARAH SINGKAT Dari sumber-sumber lontarak dan lisan yang dikisahkan

7. Boko-boko

Bahan : kayu, biasanya dilapisi kain di bagian tengah agar nyaman bila digunakan.

Fungsi : penahan pessa agar posisi tetap seimbang dan memperkuat daya tahan

perajin, ditempatkan pada bagian punggung belakang perajin.

8. Ulan

Bahan : pilinan kain, atau tali.

Fungsi : menghubungkan boko-boko dengan pessa.

9. Jakka

Bahan : bambu, atau pelepah enau.

Fungsi : memisahkan setiap lembar benang lungsi, supaya tidak menjadi kusut dan

jaraknya tetap.

45

Page 28: TINJAUAN UMUM DAN SINGKAT - · PDF fileBAB III TINJAUAN UMUM DAN SINGKAT III.1. MONOGRAFI KABUPATEN WAJO III.1.1. SEJARAH SINGKAT Dari sumber-sumber lontarak dan lisan yang dikisahkan

10. Pangngareken

Bahan : kayu hitam, atau kayu yang kuat.

Fungsi : tempat menyangkutkan are’.

11. Pabbiccang are’

Bahan : kayu dan benang/tali halus.

Fungsi : sebagai pegangan, bila diangkat dapat memungkinkan terjadinya jalinan

benang yang beraturan.

12. Are’

Bahan : benang.

Fungsi : menyangkutkan setiap helaian benang lungsi, agar dapat diangkat dengan

bantuan pabbiccang are’.

46

Page 29: TINJAUAN UMUM DAN SINGKAT - · PDF fileBAB III TINJAUAN UMUM DAN SINGKAT III.1. MONOGRAFI KABUPATEN WAJO III.1.1. SEJARAH SINGKAT Dari sumber-sumber lontarak dan lisan yang dikisahkan

13. Walida

Bahan : kayu hitam, atau kayu besi.

Fungsi : merapatkan benang pakan.

14. Palapa tennung

Bahan : pelepah enau, bambu yang kuat, atau kayu yang lebih tipis.

Fungsi : membagi dua susunan benang bagian atas dan bawah secara teratur.

15. Awereng

Bahan : bambu.

Fungsi : membagi dua susunan benang bagian atas dan bawah secara teratur,

sebagai pelengkap fungsi pangngareken.

47

Page 30: TINJAUAN UMUM DAN SINGKAT - · PDF fileBAB III TINJAUAN UMUM DAN SINGKAT III.1. MONOGRAFI KABUPATEN WAJO III.1.1. SEJARAH SINGKAT Dari sumber-sumber lontarak dan lisan yang dikisahkan

16. Panenre

Bahan : kayu hitam, atau kayu besi.

Fungsi : membantu meratakan susunan benang lungsi, sebagai pelengkap

pabbiccang are’.

17. Appajelloren

Bahan : kayu.

Fungsi : tempat tumpuan walida agar tetap dalam posisi rata saat memasukkan

pakan.

18. Taropong

Bahan : bambu yang beruas.

Fungsi : tempat kapelu yang telah diisi gulungan benang pakan.

48

Page 31: TINJAUAN UMUM DAN SINGKAT - · PDF fileBAB III TINJAUAN UMUM DAN SINGKAT III.1. MONOGRAFI KABUPATEN WAJO III.1.1. SEJARAH SINGKAT Dari sumber-sumber lontarak dan lisan yang dikisahkan

19. Kapelu

Bahan : bambu.

Fungsi : tempat gulungan benang pakan.

20. Jakka sorong

Bahan : sabut kelapa dengan tangkai bambu.

Fungsi : membersihkan dan mengeringkan benang lungsi setelah diberi pattasi.

21. Jakka gemme

Bahan : ijuk.

Fungsi : sama dengan jakka sorong.

49

Page 32: TINJAUAN UMUM DAN SINGKAT - · PDF fileBAB III TINJAUAN UMUM DAN SINGKAT III.1. MONOGRAFI KABUPATEN WAJO III.1.1. SEJARAH SINGKAT Dari sumber-sumber lontarak dan lisan yang dikisahkan

22. Pattasi

Bahan : kanji.

Tempat : gerabah.

Fungsi : untuk membasahi benang lungsi dan benang pakan agar tetap awet dan

tidak mudah kusut.

23. Sakka

Bahan : pelepah bambu dan peniti.

Fungsi : untuk melebarkan lebar pakan dan tenunan.

III.5.2. JENIS TENUN

Jenis tenun yang digunakan oleh para perajin tenunan sutra tradisional Gedogan di

Kabupaten Wajo umumnya ialah jenis tenun polos, tenun ikat lungsi, dan tenun angkat.

1. Tenun Polos

Adapun tenun polos ialah anyaman paling sederhana, dimana benang pakan menyilang

bergantian benang lungsi dengan rumus 1/1 yang artinya satu benang lungsi diatas satu

benang pakan dan sebaliknya. Karena silangan yang terjadi paling banyak dibanding

tenun lain, maka tenun polos dianggap sebagi anyaman paling kokoh.

50

Page 33: TINJAUAN UMUM DAN SINGKAT - · PDF fileBAB III TINJAUAN UMUM DAN SINGKAT III.1. MONOGRAFI KABUPATEN WAJO III.1.1. SEJARAH SINGKAT Dari sumber-sumber lontarak dan lisan yang dikisahkan

2. Tenun Ikat Lungsi

Tenun ikat lungsi merupakan salah satu metode reka rakit, dimana ragam hias terbentuk

bersamaan dengan konstruksi kain. Jenis tenunan ini dalam Bahasa Bugis disebut

pittek/sikkok. Dalam jenis tenunan ini, ragam hias dihasilkan dari pencelupan warna

benang lungsi dengan menggunakan metode celup ikat (atau yang populer disebut tie-

dye). Celup ikat ialah metode pencelupan dimana bagian-bagian tertentu dari benang

diikat untuk menahan penyerapan warna, sehingga menghasilkan ragam hias-ragam hias

tertentu sesuai dengan yang diinginkan. Pencelupan ini dilakukan sebelum proses

penenunan dimulai.

3. Tenun Angkat

Tenun angkat lebih sering dikenal dengan sebutan tenun songket. Pada jenis tenunan ini,

perajin mengangkat silangan pakan dan lungsi lalu menyelipkan benang lain untuk

membentuk ragam hias. Benang tambahan ini umumnya berupa benang emas, perak,

ataupun benanng sutra biasa yang sudah diwarnai, yang ditambahkan bersama benang

pakan biasa. Ragam hias yang dihasilkan dengan teknik ini disebut balo subik/balo jiki.

III.5.3. PROSES PENGERJAAN

III.5.3.1. Pengolahan Benang

Serat sutra mentah masih harus diolah lagi agar siap ditenun. Adapun urutannya ialah

sebagai berikut,

1. Mappaturung, yakni menggulungkan serat ke bulo-bulo atau gelendong, dengan

bantuan roweng dan ganra.

Roweng ialah tempat serat sewaktu akan dipindahkan ke bulo-bulo, agar tidak kusut.

Alat ini terbuat dari kayu dan bambu. Sementara ganra (semacam alat jantra), atau

appoliren, ialah alat untuk memindahkan benang dari roweng ke bulo-bulo. Ganra

biasanya terbuat dari kayu.

51

Page 34: TINJAUAN UMUM DAN SINGKAT - · PDF fileBAB III TINJAUAN UMUM DAN SINGKAT III.1. MONOGRAFI KABUPATEN WAJO III.1.1. SEJARAH SINGKAT Dari sumber-sumber lontarak dan lisan yang dikisahkan

2. Mangempe, yakni menggabungkan atau merangkap serat yang sudah dipisahkan

dalam bulo-bulo. Penggabungan ini bertujuan untuk memperbesar lembaran benang

(memperbesar ukuran denier). Dalam tahap ini benang digintir agar jalinannya lebih

kuat, juga dengan bantuan ganra.

3. Maggatti dan makkajuneng, memindahkan benang dari bulo-bulo kembali ke

roweng, agar benang kembali menjadi gulungan besar sehingga mudah dimasak dan

diwarnai.

4. Pemasakan dan Pemutihan (degumming dan bleaching)

Proses pemasakan bertujuan untuk membuang serisin yang terkandung dalam

benang sutra, agar benang lebih halus (tidak kaku) dan warna mudah terserap.

Sementara pemutihan dilakukan untuk menghasilkan benang sura yang putih bersih

sehingga setelah dicelup warna dapat terlihat lebih cerah.

Untuk proses pemutihan, perajin umumnya hanya menggunakan rinso, sabun tangan,

atau majang ataa.

Setelah diolah menjadi benang, sutra siap dicelup warna. Proses pemintalan tidak umum

dilakukan oleh perajin tenunan tenunan sutra tradisional Gedogan. Para perajin tenunan

sutra ini biasanya hanya menggunakan benang jadi sehingga mereka tidak perlu

mengolah benang dari serat sutra mentah lagi.

Karena, para perajin tenunan ini memegang teguh sebuah konsep sederhana yakni

membiarkan setiap orang hidup damai dengan rejekinya masing-masing. Jadi meskipun

mereka mahir menenun, mereka tidak berniat untuk mempelajari cara pemintalan benang,

sehingga setiap penduduk memiliki kesempatan untuk memperoleh rejeki. Harmonisasi

inilah yang juga dinilai sebagai salah satu modal dasar bertahannya tenunan sutra di

Kabupaten Wajo.

III.5.3.2. Pewarnaan

Proses pewarnaan ialah tahap yang penting dalam rangkaian kegiatan pertenunan sutra

tradisional Gedogan di Kabupaten Wajo, karena warna sangat menentukan dalam

pembentukan ragam hias. Kecuali tenunan sutra untuk waju ponco’ yang baru diwarnai

setelah selesai ditenun dan dijahit. Proses pewarnaan dapat dilakukan dengan dua cara,

yakni celup dan colet.

Proses pencelupan warna juga terbagi lagi dalam dua cara, yakni celup panas dan celup

dingin. Celup panas ialah proses pewarnaan benang melalui pemasakan, dan celup dingin

tidak melalui proses pemasakan (cukup dengan air hangat). Penggunaannya ini dapat

52

Page 35: TINJAUAN UMUM DAN SINGKAT - · PDF fileBAB III TINJAUAN UMUM DAN SINGKAT III.1. MONOGRAFI KABUPATEN WAJO III.1.1. SEJARAH SINGKAT Dari sumber-sumber lontarak dan lisan yang dikisahkan

ditentukan dari jenis pewarna yang akan digunakan, maupun intensitas warna yang ingin

dihasilkan. Umumnya, bila ingin menghasilkan warna tua/gelap, perajin menggunakan

cara celup panas. Dan sebaliknya, jika warna yang diinginkan ialah warna-warna

muda/pastel, perajin menggunakan cara celup dingin.

Perajin juga melakukan cara celup ikat, dimana bagian-bagian benang yang tidak ingin

diwarnai terlebih dulu diikat untuk merintangi warna sehingga terbentuklah ragam hias.

Cara ini dapat dilakukan baik pada benang lungsi (tenun ikat lungsi), benang pakan

(tenun ikat pakan), maupun pada keduanya.

Sementara cara colet dilakukan dengan mengoleskan/mengisi pewarna langsung pada

bagian-bagian benang yang ingin diberi warna, seperti melukis. Cara colet ini sering

digunakan untuk membentuk ragam hias tenun ikat.

Proses pewarnaan ini disebut cingga atau kasumba, kedua istilah tersebut bagi penduduk

setempat berarti warna. Setelah dicelup, benang lalu dikelos kembali ke bulo-bulo dengan

bantuan roweng dan ganra. Proses ini sering disebut proses mappaturung akhir. Benang

yang sudah diwarnai dan dikelos siap untuk disau’ (dihani).

III.5.3.3. Penghanian (Massau’) dan Pencucukan

Proses penghanian (atau dalam bahasa Bugis disebut sau’, sautan, massau’) dan

pencucukan ialah proses persiapan benang lungsi yang akan ditenun. Sebelumnya,

benang lungsi dikelos pada beberapa bulo-bulo secara terpisah sesuai warna. Lalu,

dengan proses ini, benang-benang lungsi tersebut disusun sesuai dengan ragam hias yang

diinginkan.

Benang yang telah dikelos ke bulo-bulo digantung pada umbara sebelah kiri penghani.

Umbara ialah dua kayu panjang yang digantung bersebelahan ataupun dipasang pada

tiang, tingginya sejajar dada penghani. Masing-masing ujung umbara yang searah

dihubungkan dengan tali. Di depan tali penghubung tersebut dipasangkan tali gantungan

atau tiang kayu yang dipalang untuk meletakkan pappasiala, jakka, gulungeng, dan

pangngareken. Sementara ujung sebelah dalam peralatan-peralatan tersebut disisipkan

pada kedua utas tali penghubung umbara.

Setelah persiapan selesai, ujung benang dari bulo-bulo disimpulkan pada ujung dalam

pappasiala dan disangkutkan pada umbara dari atas ke bawah dan diuraikan hingga ke

umbara berikutnya.Setibanya di umbara berikutnya, benang disangkutkan dari atas ke

bawah. Begitu seterusnya proses ini berlangsung, dengan tujuan untuk mengatur benang

lungsi sesuai desain yang sudah ada. Proses inilah yang disebut massau’.

53

Page 36: TINJAUAN UMUM DAN SINGKAT - · PDF fileBAB III TINJAUAN UMUM DAN SINGKAT III.1. MONOGRAFI KABUPATEN WAJO III.1.1. SEJARAH SINGKAT Dari sumber-sumber lontarak dan lisan yang dikisahkan

Sementara, proses pencucukan ialah proses pemasukan benang lusi ke masing-masing

lubang are dan jakka. Proses ini membutuhkan ketekunan dan ketelitian yang tinggi.

Karena ribuan helai benang lungsi harus tersusun berjajar dengan rapi agar tidak menjadi

kusut saat perajinan berlangsung.

Apabila setiap sela-sela jakka dan are sudah terisi sehelai benang lungsi, sela benang di

depan pappasiala diselipkan walida dan diangkat hingga tercipta rongga diantara jajaran

benang lungsi yang sudah diatur. Kemudian patekko dimasukkan di antara rongga di

depan pappasiala, dan ana’ pessa diselipkan bersampingan dibelakang patekko. Setelah

patekko dan ana’ pessa terselip, pappasiala dapat dilepas. Maka selesailah seluruh proses

massau’ dan pencucukan. Sisa benang digulung ke kapelu untuk dijadikan benang pakan.

Setelah selesai disau’ dan dicucuk, benang lungsi pun siap dipindahkan ke alat tenun.

patekko dipindahkan ke pamalu’ dan digulung ke sampai ke umbara lalu dipindahkan ke

caca’. Kemudian ana’ pessa juga dipindahkan ke pessa, dan benang lungsi dibentangkan

untuk menyelipkan dua bilah palapa bersampingan dengan panggareken. Pada waktu

benang lungsi dipindahkan ke tempat menenun, jakka, gulungeng, pangngereken,

patekko, dan ana’ pessa tetap pada posisi yang sama.

III.5.3.4. Penenunan (Matennung)

Proses penenunan, atau dalam bahasa Bugis disebut matennung, ialah proses menyusun

benang pakan ke dalam benang lungsi sehingga terjadi jalinan menyilang antara

keduanya. Matennung dengan alat tenun Gedogan dilakukan secara manual oleh tangan.

Posisi perajin berada dalam sikap duduk diantara pessa dan boko-boko, dengan kedua

kaki menjulur kedepan. Benang lungsi direntangkan sepanjang kaki perajin, sementara

gulungan benang pakan pada kapelu dimasukkan ke dalam taropong.

Boko-boko ditempatkan di punggung perajin dan dikaitkan ke pessa dengan

menggunakan ulan. Setiap akan memasukkan benang pakan, benang lungsi terlebih

dahulu disisir dengan menggunakan jakka. Pabbiccang are’ diangkat untuk membuka

susunan benang lungsi, kemudian walida diselipkan ke sela bukaan tersebut dan di

letakkan dengan posisi tegak lurus bersampingan dengan jakka. Awereng juga membantu

memisahkan susunan benang atas bawah agar walida mudah diselipkan. Hal ini bertujuan

agar taropong mudah melewati susunan benang dan membuat jalinan antara lungsi dan

pakan. Setelah taropong dimasukkan ke dalam sela benang lungsi dari kanan ke kiri,

benang pakan dirapatkan menggunakan walida dengan cara menekannya (ditette) kearah

jakka beberapa kali, lalu walida dikeluarkan.

54

Page 37: TINJAUAN UMUM DAN SINGKAT - · PDF fileBAB III TINJAUAN UMUM DAN SINGKAT III.1. MONOGRAFI KABUPATEN WAJO III.1.1. SEJARAH SINGKAT Dari sumber-sumber lontarak dan lisan yang dikisahkan

Setelah itu benang lungsi disisir kembali dengan jakka, pabbiccang are’ diangkat untuk

menyelipkan walida pada susunan berikutnya, taropong dimasukkan dari kiri ke kanan,

lalu benang pakan ditette lagi. Proses ini terus diulang hingga seluruh benang lungsi

terjalin dengan benang pakan. Hasilnya digulung pada pessa, sehingga susunan benang

lungsi yang belum ditenun (yang digulung pada patekko) terus mendekati arah posisi

perajin sampai proses matennung ini selesai seluruhnya.

Selama proses matennung, setiap saat benang lungsi dan pakan dibasahi dengan kanji

(ada pula yang menggunakan air perasan jeruk nipis⎯dalam bahasa Bugis disebut lemo

kopasa) yang ditampung dalam pattasi lalu dibersihkan dan dikeringkan dengan jakka

sorong dan jakka gemme, agar benang tidak kusut dan tetap awet. Proses ini penting

untuk menjaga kekuatan benang selama bergesekan dengan alat tenun.

Umumnya, perajin dapat mengerjakan selembar sarung dalam waktu 2 minggu hingga 1

bulan, tergantung pada kegiatan mereka sehari hari, juga pada kerumitan ragam hiasnya.

III.5.3.5. Penyempurnaan

Setelah proses penenunan selesai, pinggiran benang lungsi pada patekko dan ana’ pessa

digunting, lalu gulungan hasil tenunan pada pessa dilepas. Hasil tenunan yang berupa

lippa sabbe’ ada yang dijual berbentuk lembaran, ada pula yang disambung terlebih

dahulu dengan cara seperti berikut,

Adapun lembaran tenunan untuk waju ponco’ diolah oleh penjahit, lalu dicelup warna.

III.5.4. MATERIAL

III.5.4.1. Benang

Material benang sutra yang umumnya digunakan ialah benang sutra Bombyx mori

Linnaeus yang dipintal tangan (namun ada pula yang menggunakan benang pintal mesin).

Benang ini dibeli dengan harga sekitar IDR 400.000,- per kilogram. Selain benang sutra,

55

Page 38: TINJAUAN UMUM DAN SINGKAT - · PDF fileBAB III TINJAUAN UMUM DAN SINGKAT III.1. MONOGRAFI KABUPATEN WAJO III.1.1. SEJARAH SINGKAT Dari sumber-sumber lontarak dan lisan yang dikisahkan

umumnya perajin juga menggunakan benang emas dan benang perak untuk membentuk

ragam hias.

III.5.4.2. Pewarna

Dahulu, sebelum masuknya pewarna sintetis di Kabupaten Wajo, perajin menggunakan

pewarna alam seperti ekstrak daun jati, pohon cendana, daun bixa, dan lain-lain.

Belakangan, para perajin seperti yang ditemui di lapangan lebih memilih pewarna sintetis.

Karena, menurut hemat mereka, pewarna sintetis lebih mudah dan lebih bagus daripada

pewarna alam. Pada kenyataannya, pewarna sintetis memang lebih praktis digunakan,

warna yang dihasilkan pun tidak mudah luntur dan lebih terang.

Pewarna sintetis yang umum digunakan oleh perajin tenunan sutra tradisional Gedogan di

Kabupaten Wajo ialah pewarna bubuk sejenis erionit, basis (zat warna asam), serta

makron/indah. Pewarna-pewarna sintetis ini didatangkan dari pulau Jawa, dan dibeli oleh

perajin dari toko ataupun tengkulak setempat.

III.5.5. RAGAM HIAS

III.5.5.1. Perkembangan

Pada tenunan sutra tradisional Gedogan di Kabupaten Wajo, ragam hias (atau dalam

bahasa Bugis disebut balo) terbagi dua jenis. Yaitu ragam hias pada jalur benang pakan

yang disebut balo makkaluk yang berarti ragam hias melingkar, serta ragam hias pada

jalur benang lungsi disebut balo metettong yang berarti ragam hias berdiri.

Menurut Album Seni Budaya Sulawesi Selatan: Seri Tenun Budaya Bugis dan Tenun

Tradisional Bugis Makassar, pada mulanya tenunan sutra tradisional Gedogan di

Kabupaten Wajo hanya mengenal tiga ragam hias geometris, yakni balo renni (kotak-

kotak kecil), balo tengnga (kotak-kotak sedang), dan balo lobang/lebbak (kotak-kotak

besar). Ragam hias pada tenunan sutra tradisional Gedogan khas Sulawesi Selatan

umumnya memang berupa bidang kotak yang berwarna-warni yang disebut tenun palekat,

yakni salah satu dari ragam hias kotak-kotak diatas maupun perpaduan dari ragam hias-

ragam hias tersebut, yang terbentuk dari jalinan benang lungsi dan benang pakan yang

beraneka warna.

Seperti pada tenunan Mandar, ragam hias pada tenunan sutra tradisional Bugis di

Kabupaten Wajo juga terbagi atas bidang kepala (puncang) dan tubuh. Dalam

penggunaannya sehari-hari, bagian kepala selalu dibelakang.

Kira-kira pada tahun 1920 dikenal ragam hias beso, yakni ragam hias yang dihasilkan

dari teknik menarik benang tenun sehingga tergeser dari posisi jalur lurus. Dan pada

56

Page 39: TINJAUAN UMUM DAN SINGKAT - · PDF fileBAB III TINJAUAN UMUM DAN SINGKAT III.1. MONOGRAFI KABUPATEN WAJO III.1.1. SEJARAH SINGKAT Dari sumber-sumber lontarak dan lisan yang dikisahkan

tahun 1950, ada perkembangan ragam hias yang disebut panji, yang merupakan stilasi

dari huruf S.

Tahun 1958, ragam hias beso dikembangkan menjadi bentuk lancip atas dasar garis

zigzag, ragam hias ini disebut balo cobo (cobo artinya lancip) atau ragam hias pucuk

rebung. Dan selanjutnya lahir ragam hias jiki/subik (artinya mencukil) yang dihasilkan

dengan teknik mencukil benang pada waktu ditenun. Di samping motif-motif tersebut,

ada pula ragam hias cebang (artinya ditaburi), yang berukuran kecil-kecil dan diletakkan

di seluruh bidang tenunan dengan teratur.

Perkembangan ragam hias ini tidak hanya pada bentuk namun juga pada penggunaan

warna yang tidak lagi terbatas pada warna hitam, merah, dan putih saja, melainkan juga

warna-warna cerah seperti kuning, ungu, hijau, dan sebagainya. Tenunan sutra tradisional

Gedogan di Kabupaten Wajo memang khas dengan warna-warna cerah yang manis dan

kontras.

Pada perkembangan ini, bentuk ragam hias pun sudah mulai dipadukan dengan lebih

berani sesuai kreasi perajin. Pemaduan ini tidak dilakukan berdasarkan satu prinsip

tertentu, dan diberi nama sesuai keinginan perajin. Contohnya ragam hias balo

saputangan, dimana ragam hias hanya terdapat di bagian pucangnya saja sementara

bidang tenunan lainnya polos. Atau balo mapan giling (artinya pulang kembali), yang

merupakan perpaduan dari balo panji, jiki/subik, dan beso. Sehingga, saat ini ragam hias

tenunan sutra tradisional Gedogan jarang disebut lagi dengan nama-nama ragam hias

dasar, melainkan dengan nama-nama baru, yang diambil dari suatu peristiwa yang terjadi

pada waktu menenun.

Beberapa perajin yang ditemui di lapangan, bahkan memadupadankan beberapa ragam

hias dasar dan diberi nama sesuai kejadian-kejadian yang sedang diminati saat itu,

contohnya ragam hias KDI, ragam hias AFI, ragam hias Soeharto, ragam hias Titik

Sandora, dan lain sebagainya.

III.5.5.2. Ragam hias Dasar dan Ragam hias Perkembangan

Ragam hias-ragam hias dasar tenunan sutra tradisional Gedogan di Kabupaten Wajo

dapat diuraikan sebagai berikut:

57

Page 40: TINJAUAN UMUM DAN SINGKAT - · PDF fileBAB III TINJAUAN UMUM DAN SINGKAT III.1. MONOGRAFI KABUPATEN WAJO III.1.1. SEJARAH SINGKAT Dari sumber-sumber lontarak dan lisan yang dikisahkan

1. Balo renni

2. Balo tengnga

3. Balo lebbak/lobang

4. Balo beso (dihasilkan dengan menarik benang agar tergeser dari jalur lurus)

5. Balo panji (stilasi huruf ‘s’)

58

Page 41: TINJAUAN UMUM DAN SINGKAT - · PDF fileBAB III TINJAUAN UMUM DAN SINGKAT III.1. MONOGRAFI KABUPATEN WAJO III.1.1. SEJARAH SINGKAT Dari sumber-sumber lontarak dan lisan yang dikisahkan

6. Balo cobo (lancip, atas dasar garis zigzag)

7. Balo subik/jiki (penambahan benang dengan teknik mencukil)

8. Balo cebang (berukuran kecil, bertebaran menempati seluruh bidang dengan teratur)

Sementara, contoh ragam hias perkembangan dapat dilihat dalam uraian berikut:

1. Balo mapan giling

59

Page 42: TINJAUAN UMUM DAN SINGKAT - · PDF fileBAB III TINJAUAN UMUM DAN SINGKAT III.1. MONOGRAFI KABUPATEN WAJO III.1.1. SEJARAH SINGKAT Dari sumber-sumber lontarak dan lisan yang dikisahkan

2. Balo saputangan

3. Balo makjamak

4. AFI

III.5.6. FILOSOFI

Filosofi yang terkandung pada tenunan sutra tradisional Gedogan di Kabupaten

Wajo tidak terletak pada ragam hias melainkan pada warna, seperti berikut:

1. Bangsawan menggunakan warna merah atau hijau.

2. Gadis menggunakan warna-warna muda dan lembut seperti merah muda,

hijau muda, dan lain-lain.

3. Janda menggunakan warna-warna cerah seperti jingga.

4. Orang tua, maupun wanita yang sudah berkeluarga, menggunakan warna-

warna gelap seperti hitam, dan lain-lain.

60

Page 43: TINJAUAN UMUM DAN SINGKAT - · PDF fileBAB III TINJAUAN UMUM DAN SINGKAT III.1. MONOGRAFI KABUPATEN WAJO III.1.1. SEJARAH SINGKAT Dari sumber-sumber lontarak dan lisan yang dikisahkan

Namun, menurut Bapak Abdul Samad, saat ini semua ketentuan diatas sudah tidak

digunakan lagi di Kabupaten Wajo. Karena masyarakat Kabupaten Wajo saat ini

sudah tergolong moderat (modern).42

III.5.7. FUNGSI

Jika dahulu tenunan sutra tradisional Kabupaten Wajo memiliki fungsi sebagai

perlambang status sosial, saat ini tenunan tersebut hanya berfungsi sebagai bagian

dari pakaian tradisional masyarakat setempat yang banyak digunakan dalam

acara-acara adat terutama pernikahan. Namun saat ini masyarakat Kabupaten

Wajo pun sudah banyak yang tidak menggunakan pakaian tradisional mereka

ketika menghadiri sebuah pernikahan.

Sehingga dapat dikatakan fungsi utama dari tenunan sutra tradisional di

Kabupaten Wajo saat ini lebih cenderung bersifat ekonomi. Karena tenunan

gedogan ini sangat membantu ekonomi perajinnya, sebab mayoritas mata

pencaharian suami mereka ialah bertani di sawah tadah hujan (agraris) sehingga

ketika suami mereka bertani kebutuhan sehari-hari ditutupi oleh hasil menenun

istri/anakanak wanitanya.

III.5.8. BIAYA PRODUKSI

Untuk membuat satu lembar lippa sabbe’ diperlukan seperempat kilogram benang

sutra seharga sekitar IDR 100.000,-. Sementara upah perajin tenunan sutra

tradisional Gedogan sekitar IDR 50.000,- hingga IDR 100.000,- per lembar,

tergantung kerumitan ragam hias.

III.5.9. PEMASARAN

Biasanya, perajin Gedogan bekerja berdasarkan pesanan. Atau, mereka menjual

karya mereka pada tengkulak yang dapat ditemukan di pasar tradisional setempat

maupun pada pengusaha yang memiliki di butik-butik sutra yang lebih besar.

Harga jual satu lembar lippa sabbe’ langsung dari perajin ialah sekitar IDR

200.000,- hingga IDR 300.000,-, tergantung kerumitan ragam hias. Sementara jika

sudah masuk butik, harga jual tenunan tradisional ini minimal IDR 350.000,- dan,

menurut narasumber di lapangan, di luar pulau harganya bisa mencapai IDR

500.000,- keatas. 42 Berdasarkan hasil wawancara penulis.

61

Page 44: TINJAUAN UMUM DAN SINGKAT - · PDF fileBAB III TINJAUAN UMUM DAN SINGKAT III.1. MONOGRAFI KABUPATEN WAJO III.1.1. SEJARAH SINGKAT Dari sumber-sumber lontarak dan lisan yang dikisahkan

III.6. TENUNAN SUTRA ATBM DI KABUPATEN WAJO

Di Kabupaten Wajo, sebagian besar perajin ATBM ialah asuhan dari salah satu

pengusaha tenunan sutra ATBM setempat. Seperti contohnya Losari Silk, salah

satu sentra perajinan ATBM yang berada di daerah Sempangnge, Kecamatan

Tanasitolo. Dari 100 unit ATBM yang dimiliki Losari Silk, diletakkan di studio

kerja Losari Silk serta di rumah perajin-perajin yang sudah menikah, ataupun

gadis dan janda yang berhalangan menenun di studio.

Karena pertenunan ini banyak ditemukan di kolong-kolong rumah masyarakat

setempat, ATBM disebut juga tennung bola-bola. ‘Bola’ dalam Bahasa Bugis

ialah sebutan bagi rumah panggung tradisional setempat yang terbuat dari kayu.

Seperti halnya Alat Tenun Gedogan, ATBM yang digunakan di Kabupaten Wajo

juga merupakan produksi perajin kayu lokal, yang dikerjakan berdasarkan

pesanan. Meski begitu, onderdil seperti gong, sisir, dan lain-lain dibeli oleh

perajin-perajin kayu dari Bandung. Material utama yang digunakan untuk

membuat ATBM ialah kayu kelas satu seperti jati dan cendana.

Beberapa tahun terakhir ini, salah satu sentra perajin tenunan ATBM, yakni Losari

Silk, juga sudah mulai menggunakan ATBM yang dimodifikasi dengan komponen

mesin Jacquard yang disebut ATBM-Jaqcuard. Dengan mesin ini, jenis tenunan

yang dihasilkan lebih variatif lagi.

Proses pengerjaan tenunan sutra ATBM sebenarnya tidak jauh berbeda dengan tenunan

tradisional Gedogan. Perbedaan hanya terletak pada pengoperasian ATBM yang sudah

semi manual, dan produktivitas ATBM yang lebih tinggi dari Alat Tenun Gedogan.

Dalam satu hari, perajin dapat menyelesaikan kain minimal 4 meter dengan lebar kain 60

meter hingga 110 meter. Selain itu, biasanya material yang digunakan ialah serat

sutra mentah sehingga sebelum disau’ dan dicucuk, benang terlebih dulu dimasak,

dicelup, dan dipintal.

Jenis-jenis tenunan sutra ATBM yang banyak diproduksi di Kabupaten Wajo

sendiri ialah tenunan polos, kerawangan (dengan ATBM-Jacquard), ikat pakan,

dan tenun angkat. Sementara itu, desain ragam hias tenunan sutra ATBM sudah

disesuaikan dengan selera pasar.

Meski perajin ATBM tidak memproduksi lippa sabbe’ sebagaimana perajin

Gedogan, namun sebagian ragam hias tenunan sutra ATBM diambil dari ragam

62

Page 45: TINJAUAN UMUM DAN SINGKAT - · PDF fileBAB III TINJAUAN UMUM DAN SINGKAT III.1. MONOGRAFI KABUPATEN WAJO III.1.1. SEJARAH SINGKAT Dari sumber-sumber lontarak dan lisan yang dikisahkan

hias tradisional yang kemudian dikembangkan. Terutama untuk tenunan ikat,

ragam hias tradisional yang digunakan ialah balo cobo yang, menurut narasumber,

diambil dari bentuk atap rumah-rumah tradisional.

Selain itu, ada ragam hias-ragam hias baru yang filosofisnya juga diambil dari

lingkungan Wajo. Ragam hias-ragam hias ini digagas oleh seorang dosen UNM

dalam kerjasamanya dengan pemerintah daerah pada tahun 2006. Oleh karenanya,

pada tenunan sutra ATBM, masih ada filosofi yang terkandung di dalam ragam

hias. Namun ragam hias-ragam hias yang diambil dari lingkungan sekitar ini tidak

memiliki unsur-unsur mistis, adat, maupun status sosial di dalamnya, hanya

menggambarkan ciri khas Kabupaten Wajo saja. Maka fungsi yang terkandung

pada tenunan sutra ATBM ialah murni fungsi ekonomi.

Selain itu, juga ada kerjasama dengan desainer mode Oscar Lawalata (dari

program pemerintah pusat bekerja sama dengan IPMI) yang juga memesan

desain-desain ragam hias khusus. Namun hasil tenunan ATBM yang utama ialah

tenunan polos untuk bahan dasar perajin dan pengusaha batik di Pulau Jawa.

Bahan baku yang digunakan umumnya ialah serat sutra mentah Bombyx mori

Linnaeus. Tiga puluh persen dari benang yang digunakan dalam produksi di

Losari Silk, contohnya, merupakan impor dari China dengan harga IDR 70.000

hingga IDR 400.000,- (tergantung kualitas dan nilai tukar rupiah terhadap dolar

Amerika). Tujuh puluh persen sisanya merupakan produksi petani di Kabupaten

Soppeng, Kabupaten Wajo, dan Kabupaten Enrekang yang dibeli dengan harga

berkisar antara IDR 200.000,- hingga IDR 280.000,-. Pewarna yang digunakan

ialah pewarna sintetis diimpor dari Jepang dan Jerman, karena umumnya

pengusaha menilai pewarna alam kurang diminati oleh pasar. Pewarna dan bahan

baku serat impor ini umumnya dibeli dari Pulau Jawa, terutama Surabaya dan

Bandung.

Di Losari Silk, perajin di studio bekerja dari pukul 6 pagi hingga pukul 6 sore

dengan sistem pembayaran borongan IDR 4.000,- per meter (tergantung tingkat

kesulitan). Minimal jumlah produksi setiap perajin dalam satu hari ialah 4 meter.

Namun untuk tenunan ikat biasanya 2 meter per hari, dan yang kombinasi ragam

hias ataupun tekniknya lebih rumit kira-kira 0,5 meter per hari dengan upah

hingga IDR 7.500,- per meter. Secara keseluruhan, biaya produksi kain polos

63

Page 46: TINJAUAN UMUM DAN SINGKAT - · PDF fileBAB III TINJAUAN UMUM DAN SINGKAT III.1. MONOGRAFI KABUPATEN WAJO III.1.1. SEJARAH SINGKAT Dari sumber-sumber lontarak dan lisan yang dikisahkan

sekitar IDR 30.000,- hingga IDR 80.000,- per meter. Sementara untuk kain

berragam hias, biaya produksi minimal diperkirakan sekitar IDR 50.000,-.

Perajin biasanya memasarkan tenunannya ke butik-butik sutra lokal dengan sistem

beli putus (tunai), atau menyetorkannya pada pengusaha yang mengasuh mereka.

Dengan harga pasar minimal 30 ribu per meter untuk kain polos dan 50 ribu per

meter untuk kain berragam hias, tenunan sutra ATBM juga banyak dikirim ke

butik-butik di luar Kabupaten Wajo (terutama perajin batik di Pulau Jawa) dan

diekspor.

Kendala yang dirasakan oleh pengusaha tenunan sutra ATBM di lapangan

diantaranya ialah kualitas bahan baku lokal yang masih rendah dibanding bahan

impor, sementara mereka harus memuaskan para pelanggan yang tentu menuntut

tenunan sutra kualitas terbaik. Selain itu, perajin berupa karyawan lepas yang

tidak terikat kontrak (karena hanya sebagai hasil sampingan) dan sumber dayanya

kurang. Sementara bagi para perajin kecil, kendala utama yang dirasakan

menghambat perkembangan mereka ialah keterbatasan modal.

III.7. TENUNAN SUTRA ATM DI KABUPATEN WAJO

Seperti halnya tenunan ATBM, tenunan ATM juga dihasilkan dalam bentuk

lembaran sebagai bahan dasar pembuatan pakaian maupun benda-benda yang

lebih besar. Namun, tenunan sutra ATM di Kabupaten Wajo masih dianggap

sebagai sektor nonsutra, sebab merupakan campuran dengan benang sintetis lain

seperti rayon dan viscose. Hanya ada satu unit usaha tenunan ATM ini di

Kabupaten Wajo, yaitu Piala Sutra yang terletak di daerah Sengkang, Kecamatan

Tempe.

Proses pengerjaan dilakukan secara otomatis, baik dari pemintalan, penghanian hingga

perajinan. Peralatan ini dikontrol oleh karyawan-karyawan, yang didatangkan dari

daerah-daerah sekitar maupun dari luar Pulau seperti dari Bandung, Jawa Barat.

Teknik tenun yang digunakan oleh industri pertenunan ATM di Kabupaten Wajo

umumnya ialah jenis tenun polos. Sementara ragam hias yang digunakan umumnya

geometris dasar yakni garis. Selebihnya, ragam hias tenunan ATM biasanya polos.

Sehingga, pada tenunan ATM ini hanya sebagai hasil industri massal.

64

Page 47: TINJAUAN UMUM DAN SINGKAT - · PDF fileBAB III TINJAUAN UMUM DAN SINGKAT III.1. MONOGRAFI KABUPATEN WAJO III.1.1. SEJARAH SINGKAT Dari sumber-sumber lontarak dan lisan yang dikisahkan

Material benang sutra yang banyak digunakan ialah benang pintal mesin, dan benang

sintetis lain sebagai campuran seperti rayon dan viscose. Selain itu juga digunakan

benang sutra limbah, atau sutra kokon cacat. Umumnya benang yang dibeli sudah

berwarna, atau putih untuk tenunan putih polos, jadi tidak dilakukan pewarnaan lagi.

Biaya produksi tenunan ATM ialah yang peling rendah dibandingkan kedua tenunan lain

(estimasi biaya tidak diketahui). Upah pekerja lokal sebesar IDR 150.000,- per bulan,

sementara upah pekerja dari luar pulau ialah IDR 600.000,- per bulan. Tenunan ATM

dipasarkan di butik-butik sutra setempat, toko tekstil, juga perajin batik di Pulau Jawa.

Harga pasar tenunan ATM rata-rata IDR 15.000,- per meternya.

Dilihat dari uraian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa fungsi tenunan ATM

ialah murni fungsi ekonomi.

III.8. INDUSTRI TENUNAN SUTRA KABUPATEN WAJO

III.8.1. PERTENUNAN SUTRA DI SULAWESI SELATAN PERIODE

SEBELUM KEMERDEKAAN INDONESIA

Seperti yang telah diketahui, kegiatan pertenunan sutra merupakan sebuah tradisi yang

sudah lama dilakukan Sulawesi Selatan dengan menggunakan alat tenun tradisional

Gedogan, atau tennung walida. Hasil tenunannya berupa lippa sabbe’ dan waju ponco’,

keduanya merupakan bagian dari pakaian adat masyarakat Bugis.

Sejak dulu, Sulawesi Selatan memang dikenal dengan lippa sabbe’ yang sangat halus,

bercorak kotak-kotak, dan umumnya berwarna gelap. Benang sutra, atau dalam bahasa

Bugis disebut wennang/bannang sabbe’, yang merupakan produk impor dibawa masuk ke

Sulawesi Selatan melalui bandar perdagangan di Makassar sekitar abad 14 dan abad 15.

Sejak ditemukannya teknik pengecatan pakaian (dalam bahasa Bugis disebut dengan

istilah ma’bélong atau ma’bombang) yang menghasilkan warna-warna lembut dan terang

pada dekade 1930an, lippa sabbe’ semakin dikenal luas. Meningkatnya pemakaian sutra

ini menjadikan hasil panen kapas kurang penting pada dekade tersebut. Namun benang

impor dihentikan selama Perang Dunia II berlangsung, dan karenanya otomatis benang

sutra sulit didapat sehingga perajin banyak yang kembali menenun dengan benang kapas.

Pada masa inilah, penjajah Jepang memerintahkan penanaman kapas di seluruh lahan

yang cocok ditanami kapas.

Setelah Perang Dunia II berakhir, di wilayah-wilayah kekuasaan Kahar Muzakkar, kaum

pria sempat dilarang menggunakan lippa sabbe’ karena dianggap bertentangan dengan

ajaran Islam yang melarang umatnya hidup mewah. Namun setelah kemerdekaan

65

Page 48: TINJAUAN UMUM DAN SINGKAT - · PDF fileBAB III TINJAUAN UMUM DAN SINGKAT III.1. MONOGRAFI KABUPATEN WAJO III.1.1. SEJARAH SINGKAT Dari sumber-sumber lontarak dan lisan yang dikisahkan

Indonesia, penanaman kapas dan pemintalan benang sudah hampir menghilang kembali

dari wilayah Bugis, kecuali di beberapa tempat terpencil.

III.8.2. PERKEMBANGAN INDUSTRI PERTENUNAN SUTRA DI

KABUPATEN WAJO PERIODE SETELAH KEMERDEKAAN INDONESIA

Seperti yang telah disebutkan di bab sebelumnya, Kabupaten Wajo merupakan sentra

terbesar perajin tenunan sutra di Propinsi Sulawesi Selatan. Berdasarkan data dari Dinas

Perindustrian, Perdagangan, dan Penanaman Modal (Disperindag dan Penanaman Modal)

Kabupaten Wajo, di Kabupaten ini terdapat perajin tenunan sutra Gedogan yang totalnya

mencapai 980 unit serta perajin tenunan ATBM yang totalnya mencapai 831 unit.

Sementara data mengenai kegiatan pertenunan sutra ATM tidak tercantum meski ATM

sudah digunakan di Kabupaten Wajo sejak tahun 2000. Sebab seperti yang ditemukan

peneliti di lapangan, ATM yang digunakan ialah untuk benang stapel karenanya hasil

industri tenunan ATM disana pun bukan seratus persen sutra melainkan campuran dengan

benang sintetis lain seperti rayon dan viscose, sehingga industri ini digolongkan menjadi

industi nonsutra oleh Disperindag dan Penanaman Modal Kabupaten Wajo.

Setelah kemerdekaan Indonesia, kebanggaan rakyat terhadap kesenian bangsa sendiri

mulai tumbuh kembali melalui pendidikan. Pemerintah pun berinisiatif memperkenalkan

ATBM untuk membantu perkembangan industri kecil di daerah-daerah, termasuk

diantaranya Propinsi Sulawesi Selatan. Sejak itu banyak perusahaan setempat mulai

menggunakan ATBM untuk memproduksi tenunan dalam jumlah relatif besar.

ATBM dalam bahasa Bugis disebut juga tennung bola-bola, karena pertenunan ini

banyak ditemukan di kolong-kolong rumah masyarakat setempat. ‘Bola’ dalam bahasa

Bugis ialah sebutan bagi rumah panggung tradisional setempat yang terbuat dari kayu.

Menurut narasumber di lapangan, ATBM yang digunakan pada awal perkembangan

industri sutra baru menghasilkan tenunan dengan lebar berukuran 60 meter. Sekitar

dekade 1970an, atas usaha UPT Tekstil Wajo, ATBM pun bisa menghasilkan kain

dengan ukuran 90 meter dan 110 meter.

Pada tahun 1965 seorang bangsawan Wajo ternama, Andi’ Bau Muddariyah atau Petta

Ballasari, memperkenalkan alat tenun baru yang berasal dari Thailand sekaligus

mendatangkan seorang ahli tenun dari Negara tersebut untuk mengajari para perajin di

Kabupaten Wajo. Harapannya kala itu ialah membantu mengembangkan produksi sutra

asli dalam skala besar, yang tak kalah kualitasnya dibandingkan Thai silk yang terkenal,

sayang usaha ini gagal (alasan tidak diketahui).

66

Page 49: TINJAUAN UMUM DAN SINGKAT - · PDF fileBAB III TINJAUAN UMUM DAN SINGKAT III.1. MONOGRAFI KABUPATEN WAJO III.1.1. SEJARAH SINGKAT Dari sumber-sumber lontarak dan lisan yang dikisahkan

Meskipun begitu, industri pertenunan sutra di Kabupaten Wajo dapat mencapai puncak

kejayaannya sekitar dekade 1960an hingga 1970an. Hanya saja setelah itu sempat redup

karena sulitnya mendapatkan bahan baku yang berkualitas baik sehingga berpengaruh ke

hasil tenunan dan tuntutan pasar. Industri ini baru mulai berkembang lagi pada akhir

dekade 1990an ketika bahan baku impor diperbolehkan masuk dan pasar mulai terbuka

(terutama untuk perajin batik di Jawa).

Pada akhir dekade 1990an, alat tenun yang digunakan di Kabupaten Wajo pun mulai

mengalami pembaruan-pembaruan. Menurut narasumber di lapangan, pada masa ini

pengusaha tenunan sutra mulai menggunakan ATM walau masih merupakan ATM bekas

yang dibeli dari Pekalongan. Dan sejak beberapa tahun terakhir ini salah satu sentra

perajin tenunan ATBM di daerah Kecamatan Tanasitolo, Losari Silk, juga sudah mulai

menggunakan ATBM yang dimodifikasi dengan komponen ATM seperti Jacquard yang

disebut ATBM-Jaqcuard. Dengan mesin ini, jenis tenunan yang dihasilkan lebih

bervariasi lagi. Karena berbeda dengan pertenunan sutra Gedogan, pada dasarnya

perajinan ATBM dan ATM bertujuan membuat kain yang fungsinya bisa digunakan

untuk berbagai kebutuhan, baju, selendang, sarung, dan lain-lain. Hal ini dimaksudkan

untuk menyesuaikan diri dengan tren yang berlaku di pasar.

Melihat kegiatan pertenunan sutra Kabupaten Wajo beberapa tahun terakhir, dapat terlihat

bahwa industri ini sudah mulai digalakkan lagi dengan tujuan ingin mengembalikan

tenunan sutra setempat ke puncak kejayaannya. Kegiatan pertenunan sutra rumah tangga

masih bertahan di Kabupaten Wajo hingga kini karena kepiawaian orang Bugis dalam

mempertahankan tradisi mereka secara dinamis, yakni membuka diri kearah perubahan.

Untuk tetap menjaga ciri khas mereka, masyarakat Bugis di Kabupaten Wajo bersedia

mengadopsi inovasi teknis yang dianggap berguna, dengan dilandasi ketekunan yang

tanpa kenal lelah maupun menyerah. Etos kerja demikian dirumuskan dalam pepatah

Bugis, ‘Réso-pa teng-mang’ingi’, malomo nalété-i a’maséang Déwata’ yang berarti

‘Hanya kerja keras tanpa jemu yang memuluskan anugerah Dewata meniti turun (ke

bumi)’. (Pelras, 2006: 354)

Dari uraian diatas, secara garis besar dapat disimpulkan bahwa industri sutra di

Kabupaten Wajo tumbuh akibat ragam hias ekonomi. ATBM dan ATM mulai digunakan

di Kabupaten Wajo untuk meningkatkan hasil poduksi tenunan sutra setempat. Sementara

itu, ditengah naikturunnya industri sutra di Kabupaten tersebut, pertenunan sutra

tradisional dengan alat tenun Gedogan tetap bertahan. Bahkan menurut data yang ada,

jumlahnya masih lebih banyak dari unit pertenunan sutra ATBM maupun ATM.

67