tinjauan umum dan singkat - · pdf filebab iii tinjauan umum dan singkat iii.1. monografi...
TRANSCRIPT
BAB III
TINJAUAN UMUM DAN SINGKAT
III.1. MONOGRAFI KABUPATEN WAJO
III.1.1. SEJARAH SINGKAT
Dari sumber-sumber lontarak dan lisan yang dikisahkan turun-temurun, Wajo ialah
sebuah kerajaan yang merupakan kelanjutan dari Kerajaan Cinnatobi, yang dibentuk oleh
keturunan raja-raja Cina dan Mampu. Tanah Wajo diperkirakan terbentuk sekitar abad
ke-14 melalui persekutuan dari berbagai negeri kecil atau beberapa Matowa Ulu Anang
(Arung). Nama Wajo sendiri berasal dari kata ‘Bajo’, yaitu nama sebuah pohon.14 Wajo
berarti bayangan atau bayang bayang (wajo-wajo).
III.1.2. LAMBANG DAN SLOGAN
III.1.2.1. Lambang
Gambar III.1.2.1.1., Lambang Kabupaten Wajo.15
Pohon Bajo tertera pada lambang Kabupaten Wajo, yang digambarkan bercabang tiga
perlambang tiga Limpo sebagai bentuk asal Kabupaten Wajo, yaitu Majauleng (Benteng
Pola), Sabbangparu (Talotenreng), dan Takkalalla (Tua). Batangnya yang lurus
melambangkan cita-cita tinggi penuh kejujuran. Daunnya berwarna hijau melambangkan 14 Berdasarkan ulasan singkat tentang Kerajaan Wajo dan Wajo dalam Ensiklopedia Sejarah Sulawesi Selatan Sampai Tahun 1905, halaman 202-205 dan 509. 15 Diambil dari situs Kompas Cyber Media. (www.kompas.com, 2007)
19
cita-cita kemakmuran negeri, dan berjumlah 30 buah sesuai jumlah Dewan Rakyat Wajo
ketika terciptanya Republik Wajo pada abad 14. Pada akar pohon tertulis aksara bugis
yang menyatakan asal perkataan ‘Wajo’.
Pita yang terbentang menerakan salah satu pandangan masyarakat Wajo, “MARADEKA
TOWAJOE ADE’NA NAPOPUANG” yang artinya “Rakyat Wajo merdeka,
konstitusinya yang dipertuan”, dengan warna dasar hijau yang berarti subur makmur.
Gambar padi, jagung, ikan, dan gula melambangkan kemakmuran yang pokok di
Kabupaten Wajo. Sementara huruf ‘W’ yang berbentuk ornamen melambangkan seni ukir
sebagai kesenian yang berkembang di Kabupaten tersebut.
Bidang dasar lambang yang berwarna putih diapit bidang merah melambangkan
kepibadian masyarakat Wajo, yaitu keberanian yang disandarkan pada kesucian. Merah
melambangkan berani karena benar, sedangkan kuning melambangkan indah dan mulia,
kedua warna ini juga merupakan simbolis bagi jiwa masyarakat Wajo. Bentuk dasar
lambang yang menyerupai tameng diartikan sebagai kesiapsiagaan menghadapi setiap
kemungkinan yang mengancam masyarakat Wajo.16
III.1.2.2. Slogan
“Wajo Kota Sutra. Kalimat ini…menjadi slogan dan moto Kabupaten Wajo, yang berarti
Sejahtera, Ulet, Tenteram, Ramah dan Aman…” (Taslim, 2001)17
Kutipan dari artikel diatas ini sesuai dengan kalimat yang tercantum di gerbang ibukota
Kabupaten Wajo yang berbunyi, “Selamat Datang Di Sengkang Kota Sutra”.
Sebutan ini dapat dikatakan tepat sasaran, karena Kabupaten Wajo memang sudah
terkenal dengan tenunan sutranya sejak dulu. Terutama di periode 1960an hingga 1970an,
saat industri sutra di kabupaten ini mencapai puncak kejayaan. Walaupun akhirnya masa
kejayaan sutra itu perlahan menyurut, dan bangkit kembali di akhir periode 1990an.
16 Berdasarkan buku Kabupaten Wajo Dalam Angka 2007: Arti Lambang Kabupaten Wajo, halaman l. 17 Dikutip dari artikel Kota Sutra yang Kaya Potensi, harian Kompas 29 September 2001. Diakses melalui situs Kompas Cyber Media tanggal 8 November 2007.
20
III.1.3. GEOGRAFI
III.1.3.1. Peta
Gambar III.1.3.1.1., Peta Kabupaten Wajo.18
18 Dari buku Kabupaten Wajo Dalam Angka 2007.
21
III.1.3.2. Keadaan Geografis
Kabupaten Wajo, bersama Kabupaten Sidrap dan Kabupaten Pinrang, ialah rangkaian
dataran rendah alluvial-plain yang merupakan bagian dari pembatasan daerah Propinsi
Sulawesi Selatan bagian utara dan selatan (zona tengah), dan merupakan suatu depresi
yang memanjang pada arah (dan terbentur) laut tenggara dan berakhir dengan selat,
sehingga menjadi fenomena sejarah geologi Propinsi Sulawesi Selatan. Daerah dataran
rendah ini dijadikan pusat produksi pangan propinsi tersebut, khususnya produksi padi.
III.1.4. IKLIM, TANAH, DAN VEGETASI
Kabupaten Wajo memiliki iklim Musim Barat yang membawa hujan pada bulan April,
Mei, Juni, Juli, Agustus, Desember, dan Januari. Berdasarkan curah hujan rata-rata
bulanan, daerah ini memiliki kelembaban udara sedang, dengan perbandingan antara
jumlah bulan kering dan basahnya sekitar 50 persen hingga 100 persen.19
Di Kabupaten Wajo terdapat jenis tanah alluvium dan jenis batuan sedimen (batu pasir,
serpih, napal, tufa). 20
Vegetasi di Kabupaten Wajo meliputi tanaman jangka pendek (bahan makanan), tanaman
jangka panjang (bahan industri/ekspor), dan hortikultura (buah-buahan serta sayuran).21
III.1.5. SOSIAL DAN BUDAYA
Mayoritas penduduk Kabupaten Wajo menganut agama Islam, yakni sebanyak 372.123
jiwa atau sebanyak 99,51 persen. Sementara sisanya sebanyak 1.315 jiwa (0,49 persen)
menganut agama Kristen Protestan, Kristen Katolik, Hindu, dan Buddha.22 Penduduk asli
daerah ini berasal dari suku Bugis, dan bahasa asli yang digunakan ialah bahasa Bugis.
III.1.6. EKONOMI
Menurut klasifikasi tingkat perkembangan daerah, mayoritas kecamatan di Kabupaten
Wajo termasuk daerah swakarya (hasil kerja sendiri).23 Laju pertumbuhan ekonomi
Kabupaten Wajo tahun 2006 tercatat sebesar 5,66 persen. Tulang punggung sektor
19 Diambil dari Tabel 1.4.3 Keadaan Iklim Bulanan di Kabupaten Wajo Tahun 2006, data Dinas Pengairan Kabupaten Wajo, dalam buku Kabupaten Wajo Dalam Angka 2007, halaman 22. 20 Monografi Daerah Sulawesi Selatan, subbab Iklim, Tanah dan Vegetasi, halaman 5-11. 21 Id note 20. 22 Diambil dari Tabel 3.2.1 Banyaknya Penduduk Menurut Pemeluk Agama dan Kecamatan di Kabupaten Wajo Tahun 2006, dalam buku Kabupaten Wajo Dalam Angka 2007, halaman79. 23 Diambil dari Tabel 1.3 Klasifikasi Tingkat Perkembangan Desa/Kelurahan di Kecamatan Tempe Keadaan Akhir Tahun 2002, data Mantri Statistik Kecamatan Tempe, dalam buku Kecamatan Tempe Dalam Angka 2002, halaman 3.
22
ekonomi Kabupaten Wajo ialah pertanian, yang menyumbang sebesar 41,71 persen dari
total Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kabupaten Wajo.
Industri sutra di Kabupaten Wajo dari hulu ke hilir meliputi sektor-sektor ekonomi
sebagai berikut:
III.1.6.1. Pertanian
Sektor pertanian di Kabupaten Wajo meliputi tanaman jangka pendek (bahan makanan)
seperti padi, jagung, ubi kayu, ubi jalar, kacang tanah, kacang hijau, dan kacang
kedelai.24
Pembudidayaan tanaman murbei, sekaligus budidaya sutra spesies Bombyx mori L.,
dilakukan terutama di Kecamatan Sabbangparu. Luas lahan yang terdata untuk
pembudidayaan murbei sebanyak 224 hektar, dengan jumlah petani sebanyak 396
kelompok kerja. Penyaluran bibit ulat sebanyak 1.995,50 boks, dengan produksi kokon
sebanyak 59.865 kilogram dan produksi benang sutra sebanyak 79.982 kilogram.25
III.1.6.2. Hasil Hutan
Kabupaten ini memiliki 25.141 hektar hutan, yang terdiri dari 2.541 hektar hutan lindung;
5.450 hektar hutan lindung pantai; dan 17.150 hektar hutan produksi, dengan komoditi
berupa kayu rimba campuran (logs), kayu jati, kayu indah, kayu meranti, dan rotan.26
III.1.6.3. Industri Kecil
Sektor industri kecil tekstil, pakaian jadi, permadani, dan kulit merupakan penyumbang
kedua terbesar bagi pendapatan daerah Kabupaten Wajo, setelah industri makanan,
minuman, dan tembakau.
Khusus untuk komoditi sutra, di Kabupaten Wajo terdapat 11 unit pemintalan benang
sutra yang menyerap tenaga kerja sebanyak 80 jiwa, dengan nilai produksi sebesar
5.000.000 (satuan tidak tercantum); 980 unit pertenunan Gedogan yang menyerap tenaga
kerja sebanyak 1.090 jiwa dengan nilai produksi sebesar 427.300 (satuan tidak
tercantum); dan 831 unit pertenunan ATBM yang menyerap tenaga kerja sebanyak 2.021
jiwa, dengan nilai produksi sebesar 10.150 (satuan tidak tercantum).27
24 Dari Tabel 5.1.8 dan 5.1.9 tentang produksi buah-buahan dan sayuran, dalam buku Kabupaten Wajo Dalam Angka 2007, halaman 105-107. 25 Dari Tabel 5.5.12 Bibit Ulat dan Produksi Kokon, dalam buku Kabupaten Wajo Dalam Angka 2007, halaman 156. 26 Dari Tabel 5.5.2 dan 5.5.5 tentang jenis hutan dan hasil hutan, dalam buku Kabupaten Wajo Dalam Angka 2007, halaman 146-149. 27 Dari Tabel 9.1.12 dan 9.1.13 industri kecil Kabupaten Wajo, dalam buku Kabupaten Wajo Dalam Angka 2007, halaman 267-268.
23
III.1.6.4. Pariwisata
Kabupaten Wajo memiliki beberapa wisata alam, terutama Danau Tempe. Selain itu,
pertenunan sutra di daerah ini juga menjadi salah satu obyek pariwisata yang sedang
banyak dipromosikan oleh Pemerintah Daerah. Contohnya ialah wisata industri ATBM
sutra yang dikembangkan di Kecamatan Tanasitolo, tepatnya di Desa Nepo dan Desa
Pakkanna.
III.1.7. SISTEM PEMERINTAHAN
Kabupaten Wajo merupakan Daerah Tingkat II (DATI II) dengan kepala pemerintahan
seorang Bupati. Ibukota Kabupaten Wajo ialah Sengkang, yang terletak di Kecamatan
Tempe. Masyarakat setempat lebih sering menyebut pusat dari daerah ini sebagai Kota
Sengkang. Meskipun begitu, wilayah ini tidak dipimpin oleh seorang Wali Kota, sehingga
dapat dikatakan Sengkang tidak termasuk sebagai Kota Administratif. Sebutan ‘kota’
disini hanya memiliki pengertian sebagai daerah permukiman yang terdiri atas bangunan
rumah yang merupakan kesatuan tempat tinggal dari berbagai lapisan masyarakat.28
Wilayah Kabupaten Wajo terbagi menjadi 14 kecamatan, yang kemudian dibagi-bagi lagi
menjadi wilayah-wilayah kecil. Secara keseluruhan terdapat 44 wilayah yang berstatus
Kelurahan, dan 132 wilayah yang berstatus Desa.
Tanggal 29 Maret 1399 telah disepakati sebagai hari kelahiran Pemerintah Wajo. Wilayah
Kabupaten Wajo sendiri ditetapkan sebagai daerah otonomi berdasarkan UU No.22
Tahun 1999.29
III.2. SUTRA
III.2.1. SERAT ALAM SUTRA
III.2.1.1. Serat Alam
Serat alam ialah helaian-helaian substansi alam yang dapat dipintal menjadi benang.
Tidak semua serat dapat digunakan sebagai serat tekstil. Suatu serat dapat digunakan
sebagai serat tekstil jika memenuhi beberapa kriteria tertentu, yakni standar panjang
minimal, kekuatan, dan fleksibilitas.
Perkembangan penggunaan serat dalam industri tekstil dapat diringkas sebagai berikut,
28 Berdasarkan KBBI 2005, halaman 597. 29 Berdasarkan tulisan mantan Bupati Wajo, H. Naharuddin Tinulu, Hukum Adat Komunitas Kabupaten Wajo Tahun 2001, dalam rangka memperingati Hari Ulang Tahun Kabupaten Wajo ke-602. Halaman 1.
24
<1600 Menggunakan serat yang berasal dari alam dan zat pewarna alam.
- Ditemukan dan mulai digunakannya zat pewarna tiruan. - Pewarna alam mengalami kemunduran
1600 – 1945 - Serat alam masih digunakan, ditambah dengan serat sintetis (mulai populer).
1945 – sekarang
- Digunakan benang/serat alam maupun sintetis. - Juga zat–zat pewarna alam dan buatan. - Dikenal bahan dasar kayu, logam, plastik dsb. - Bahan–bahan tenunan, ramuan sendiri (campuran)
Tabel III.2.1.1.1., Perkembangan penggunaan serat alam dan pewarna alam. (Anas, 1999)
Serat memiliki dua macam bentuk, yakni serat pendek (yang lebih dikenal dengan
sebutan stapel) dan serat panjang sekali (filamen). Benang dapat tersusun baik dari serat
filamen maupun stapel. yang tersusun dari satu helai serat filamen disebut benang
monofilamen. Sedangkan benang yang tersusun dari 2 helai atau lebih serat filamen
disebut benang multifilamen, dan benang yang tersusun dari serat stapel disebut benang
stapel.30
Serat alam yang berasal dari tumbuhan termasuk golongan serat alam selulosa, dan yang
berasal dari hewan termasuk golongan serat alam protein. Umumnya serat protein
berbentuk stapel, ukurannya pendek karena diambil dari rambut/bulu hewan.
Pengecualiannya adalah serat sutra yang berbentuk filamen, serat yang panjang sekali.
Jika dibakar, serat alam protein akan menjadi abu dan baunya seperti rambut terbakar.
Setiap serat alam memiliki karakter dan sifat yang berbeda-beda, yang akan
mempengaruhi proses pengolahannya dan juga sangat mempengaruhi sifat dan karakter
tekstil yang diproduksinya.
III.2.1.2. Serat Alam Sutra Spesies Bombyx mori Linnaeus
Sutra Bombyx mori Linnaeus, atau sering dikenal dengan sutra murbei dihasilkan oleh
spesias ngengat dengan klasifikasi ilmiah sebagai berikut,
Phyllum : Arthropoda
Classis : Insekta
Subclassis : Pterygota
Ordo : Lepidoptera
Sub ordo : Ditrisia
Superfamilia : Bombycoidea
30 Microsoft® Student 2007 [DVD], 2006. Diterjemahkan oleh penulis.
25
Subfamilia : Bombycidae
Genus : Bombyx
Species : Bombyx mori
Binomial : Bombyx mori Linnaeus.
IDENTIFIKASI SERAT
SERAT TAMPILAN MIKROSKOPIS
PENCELUPAN WARNA
Nama Jenis dan
Bentuk Sumber Tampilan Memanjang Melintang
WARNA ASLI
SIFAT YANG
PENGARUHI PEWARNAAN Tipe Pewarna
Sutra: Bombyx
mori Linnaeus
Filamen protein
Budidaya ulat
Bombyx mori
Linnaeus
Bagus Halus
Berkilau Elastis
Bulat-bulat kecil
Triangular dengan sudut
tumpul
Oranye muda
kecoklatan
Daya serap tinggi,
suhu kering, lemah Alkali
Seluruh pewarna asam
rendah, Reaktif
Direct-basic
Tabel III.2.1.2.1., Identifikasi umum serat Bombyx mori Linnaeus. (Thompson, 1987: 26)
Bombyx mory Linnaeus adalah jenis ngengat berukuran kecil berwarna putih. Ngengat
jantannya umumnya berukuran sekitar 15 milimeter, dan ngengat betinanya umumnya
berukuran sekitar 20 milimeter. Telurnya bulat pipih dengan diameter kuranglebih 0,1
sentimeter hingga 0,2 sentimeter dan sedikit transparan, sementara kokon spesies ini putih
dan lonjong dengan lebar umumnya sekitar 15 milimeter dan panjang umumnya sekitar
33 milimeter.
Populasi Bombyx mori Linnaeus banyak ditemukan di berbagai wilayah Indonesia.
Spesies ini hidup di pohon-pohon murbei dan mengkonsumsi daun murbei sebagai
sumber makanan utama larvanya. Oleh karena itu, spesies Bombyx mori Linnaeus lebih
dikenal secara umum dengan sebutan ulat sutra murbei.
Gambar III.2.1.2.2., Sketsa telur, larva, kokon, dan ngengat Bombyx mori Linnaeus.31
31 Diakses dari situs Wikipedia: Online Encyclopedia. (en.wikipedia.org, 2007)
26
Ngengat penghasil sutra termasuk serangga yang mengalami metamorfosis sempurna,
yaitu telur → larva (ulat) → pupa (kokon) →imago (ngengat). Spesies ini termasuk jenis
endopterigota, yaitu serangga yang perkembangan sayapnya terjadi di dalam badan, serta
fase pradewasanya berbeda dengan fase dewasa baik dalam perilaku makan maupun
bentuknya.
Telur spesies Bombyx mori Linnaeus umumnya menetas setelah 10 sampai 14 hari,
ditandai dengan warna semu biru pada permukaan telur yang akan menetas. Setelah
menetas, larva harus segera makan agar tidak kering dan mati. Larva pada instar pertama
ini hitam, kecil, dan berbulu, dengan panjang sekitar 0,5 sentimeter hingga 0,7 sentimeter.
Setelah 5 hari larva tersebut membesar lebih dari dua kali lipat ukuran semula, dan mulai
mengganti kulit mereka. Larva instar kedua ini lembek, berwarna putih berbercak kelabu
dengan sedikit efek transparan dan kepala hitam.
Larva memasuki instar ketiga kira-kira 8 hari, terhitung sejak menetas. Meski
penampakannya tetap sama, namun ukurannya meningkat pesat dengan panjang sekitar
2,5 sentimeter hingga 3 sentimeter. Sedangkan instar keempat yang dimulai setelah 12
hari menetas, berukuran sekitar 5 sentimeter.
Setelah hari ke 17, larva mulai memasuki instar ke lima dengan panjang sekitar 8
sentimeter. Larva spesies ini memiliki nafsu makan tinggi, semakin banyak daun murbei
yang dimakannya maka semakin cepat pula pertumbuhan larva tersebut. Dan setiap
pergantian instar ditandai dengan berhentinya makan, tidur, dan pergantian kulit. Apabila
gagal berganti kulit, larva tersebut akan mati perlahan dalam waktu kurang dari satu hari.
Proses mengokon umumnya berlangsung selama dua hari dimulai pada hari ke 20, dan
ngengat dewasa akan keluar 2 minggu setelahnya. Ngengat dewasa siap kawin dalam
waktu 3 hari sampai 5 hari setelah keluar dari kokon, dan betinanya dapat menghasilkan
sekitar 150 hingga 300 butir telur selama 2 hari sampai 3 hari. 32
Secara keseluruhan, siklus hidup spesies Bombyx mori Linnaeus membutuhkan rentang
waktu 49 hari sampai 56 hari dari satu penetasan telur ke penetasan generasi selanjutnya.
Sementara, umur kokon yang dipanen sekitar 5 hari hingga 6 hari.
Ulat sutra spesies Bombyx mori Linnaeus rentan terkena penyakit pebrine, yang menular
melalui kotoran ulat. Untuk menghindari penyakit ini dapat dilakukan penyemprotan
kaporit di tempat budidaya, dan penggunaan bibit yang bebas pebrine. Selain itu, dua hal
yang perlu diperhatikan dalam pembudidayaan ulat sutra ialah sanitasi, dan pemilihan
32 Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Andi Masalangka, mantan Kepala Balai Persutraan Alam (BPA) Kabupaten Soppeng.
27
jenis ulat yang cocok dengan termperatur lingkungan tempat budidaya. Karena semakin
dingin suhunya, umur ulat akan semakin lama.
Saat ini, serat alam sutra kokon normal spesies Bombyx mori Linnaeus dikategorikan
sebagai serat alam nomor satu, diikuti oleh serat wol dan serat rami. Harga serat alam
sutra ini pun tergolong yang paling mahal.
Serat sutra alam dihasilkan oleh kokon yang dibentuk dari air liur ulat sutra yang
mengandung protein. Liur ini dihasilkan oleh sepasang silk gland (kelenjar sutra), yang
terdiri dari tiga bagian:
1. Anterior (fore silk gland)
2. Reservoir (mid silk gland)
3. Posterior (hind silk gland)
Gambar III.2.1.2.3., Diagram anatomi ulat sutra.33
Dalam metamorfosisnya menjadi pupa, atau yang disebut juga pengkristalan (chrysalis),
larva ulat sutra mengeluarkan filamen sutra dan bekerja dari dalam. Menambah lapisan
demi lapisan hingga membentuk lapisan pelindung yang disebut kokon.
Struktur kimia filamen serat sutra mentah terdiri dari:
Fibroin (C15H23N5O6)................................................................................... 76 persen
Serisin (C15H25N5O8).................................................................................. 22 persen
Lilin, lemak, dan garam mineral lain.......................................................... 02 persen +
Total 100 persen
Masing-masing kelenjar sutra mengeluarkan satu filamen yang disebut brin, kedua brin
inilah yang membentuk fibroin. Fibroin adalah bagian serat yang insoluble, protein yang
tidak larut dalam alkali lemah dan sabun, yang dilapisi oleh soluble gum yang disebut
serisin. Serisin adalah protein albumin yang tidak larut dalam air dingin, tetapi lunak 33 Dari buku AF Encyclopedia of Textile halaman 137.
28
dalam air panas serta larut dalam alkali lemah dan sabun. Serisin merupakan pelindung
serat selama pekerjaan mekanik. Ketiga bagian (dua bagian brin dan satu bagian serisin)
inilah yang dikenal sebagai bave, atau raw silk (sutra mentah).
Struktur fisika dari serat alam sutra mentah:
a. Panjang serat, serat alam sutra kokon normal spesies Bombyx mori Linnaeus dapat
menghasilkan rata-rata hingga 1000 meter serat filamen tanpa terputus.
b. Diameter, serat alam sutra umumnya berdiameter antara 11 mikron hingga 12 mikron.
c. Sifat permukaan, serat alam sutra berbentuk keriting atau bergelombang pada
permukaan serat, namun tetap mudah dipintal karena adanya daya puntiran/konvulasi
pada serat.
d. Penampang lintang, serat sutra Bombyx mori Linnaeus berbentuk segitiga dengan
ujung tumpul/bulat, tidak terlalu bulat maupun terlalu pipih. Pada umumnya, serat
berbentuk penampang seperti ini memberikan kilap yang tinggi dan daya penutup kain
yang baik, serta memberikan pegangan yang enak.
Gambar II.2.1.2.4., Penampang melintang serat alam sutra dibawah mikroskop.34
e. Susunan molekul, fibroin serat alam sutra spesies Bombyx mori Linnaeus terutama
tersusun oleh asam-asam amino:
1. Glisin (dengan gugus samping –H)................................................... 43,8 persen
2. Alanin (dengan gugus samping –CH3).............................................. 26,8 persen
3. Serin (dengan gugus samping –CH2OH)........................................... 26,8 persen
4. Tirosin (dengan gugus samping –CH2CH4OH6)................................ 26,8 persen
5. Sisanya terdiri dari asam-asam amino yang lain.
Sifat kimia serat alam sutra spesies Bombyx mori Linnaeus:
a. Bersifat amfoter, dapat menyerap asam dan basa dari larutan encer.
b. Titik iso elektrik 3,6.
34 Dari buku Pengetahuan Barang Tekstil halaman 9.
29
c. Tidak mudah diserang larutan asam encer hangat, larut dan rusak dalam larutan asam
kuat.
d. Kurang tahan asam, lebih tahan alkali meski dalam konsentrasi rendah.
e. Tahan terhadap semua pelarut organik, tetapi larut dalam kuproamonium-hidroksida
dan kupi etilena diamida.
f. Kurang tahan zat-zat oksidator dan sinar matahari.
g. Lebih tahan serangan secara biologis.
Sifat fisika serat alam sutra spesies Bombyx mori Linnaeus:
a. Dalam keadaan kering kekuatan serat 4 gram/denier hingga 4,5 gram/denier, mulur 20
persen hingga 25 persen.
b. Dalam keadaan basah kekuatan serat 3,5 gram/denier hingga 4,0 gram/denier, mulur
25 persen hingga 30 persen.
c. Dapat mulur sebanyak 20 persen dari panjang semula tanpa putus. Kembali ke
keadaan semula setelah mulur 2 persen, kalau mulurnya lebih dari 2 persen maka
pemulihannya lambat dan tidak kembali ke panjang semula.
d. Moisture regain sutra mentah 11 persen, setelah serisin dihilangkan menjadi 10
persen.
e. Berat jenis sutra mentah 1,33, berat jenis sutra matang (tanpa serisin) 1,25⎯lebih
rendah dari serat lain karena itu lebih ringan.
f. Merupakan konduktor panas dan listrik yang sangat lemah, oleh karena itu sutra
terasa hangat di badan dan sering digunakan sebagai isolator listrik.
g. Sangat kuat, satu filamen sutra lebih kuat daripada filamen yang sama dari baja.
h. Sutra tahan pemanasan hingga temperatur 2840 F.
i. Tidak mudah kusut.
Sifat khusus serat alam sutra spesies Bombyx mori Linnaeus ialah scroop (bunyi
gemerisik saat serat saling bergesekan). Ini bukan sifat bawaan, melainkan hasil
pengolahan serat menggunakan larutan asam encer. Karena pegangan seratnya yang halus
dan kilaunya menimbulkan kesan bercahaya (translucent), kain sutra pun memiliki ciri
tampilan khas yang halus, lembut, berkilau, dan mewah.
Sutra mentah agak kaku dan kasar. Jika telah melalui proses scouring/degumming (proses
pembersihan gum/getah), serisinnya akan berkurang atau hilang dan serat menjadi lembut
berkilau serta mudah dicelup warna, inilah yang disebut sutra matang.
30
Serat filamen sutra umumnya diperoleh dari urutan proses sebagai berikut:
Bagan II.2.1.2.5., Proses pengolahan serat filamen sutra secara umum.
III.2.2. SEJARAH SINGKAT SERAT ALAM SUTRA
Penggunaan serat alam sutra dalam industri tekstil sudah dimulai sejak sebelum masehi.
Sebagian besar sejarawan sependapat bahwa sutra dan budidayanya dipelopori oleh
bangsa Cina lebih dari empat ribu tahun lalu.
Hasil penemuan arkeologi terbaru di sekitar Sungai Yangzi bahkan menyatakan bahwa
budidaya ini telah dimulai sejak jauh sebelumnya, dengan ditemukannya piala kecil
berukir cerita tentang budidaya sutra yang diperkirakan berumur 6000 sampai 7000
tahun.
Menurut sejarah Cina, industri sutra menjadi komoditi penting dalam aspek ekonomi
Cina sejak Ratu Hsi-Ling-Shih (istri dari Kaisar Huang-Ti yang berkuasa sekitar tahun
2640 SM) memperkenalkan pembudidayaan ulat sutra Bombyx mori Linnaeus di pohon-
pohon murbei, serta penemuannya berupa alat tenun sutra. Berkat kontribusinya yang
besar bagi perkembangan sutra dan budidayanya ini, ia dijuluki sebagai the Goddess of
Silk oleh bangsa Cina.35
35 Diakses dari situs Silkroad Foundation, 2007.
Kokon
Pengeringan (membunuh pupa dalam kokon)
Pembersihan
Seleksi
Penyimpanan
Pemasakan (sebagai persiapan reeling)
Reeling
Re-reeling
Penggintiran
Kokon normal Kokon afkir
31
Pada masa pemerintahan Dinasti Han (206 SM–25 SM), Cina sudah memiliki pabrik
pemintalan sutra yang menjadi awal dari usaha persutraan secara massal. Usaha
perdagangan ini kemudian diperluas keluar daratan Cina hingga ke negara-negara Eropa
dengan menggunakan karavan melalui Silk Road (Jalur Sutra) yang melewati Gurun
Ghobi dan Turki, serta negara-negara Asia Selatan. Sementara negara-negara Asia
Tenggara mulai mengenal sutra ketika pedagang Cina melewati wilayah mereka untuk
mengembangkan sutra ke India.
Gambar III.2.1., Peta Jalur Sutra dan detailnya dalam bahasa Inggris.36
III.2.3. PERKEMBANGAN BUDIDAYA SUTRA DI INDONESIA
Secara garis besar, perkembangan persutraan alam Indonesia selama 50 tahun terakhir
dapat dibagi menjadi 5 periode. Yaitu periode sebelum tahun 1960, dimana usaha tani
persutraan alam (UTPA) merupakan kegiatan, hobi, dan percobaan usaha di beberapa
tempat tertentu oleh masyarakat terkait; periode 1960-1970, yang merupakan kurun
waktu pengembangan secara sistematis dan melalui berbagai program pengembangan
secara meluas di Indonesia, dengan sifat pengembangan yang kuantitatif; periode 1970-
1980, yang merupakan periode peningkatan sutra alam nasional secara kualitatif; periode
1980-1990, yang merupakan perkembangan yang negatif yang ditandai dengan
penurunan kegiatan di semua tingkat usaha persutraan alam; serta periode setelah 1990,
yang merupakan periode pengembangan kualitatif intensif dimana UTPA di Indonesia
diarahkan kepada usaha tani yang berorientasi pada produktivitas dan kualitas hasil
produksi yang optimal dengan pola usaha intensif.
Pada periode 1960, berbagai organisasi dan program persutraan alam mulai dirintis di
berbagai daerah di Indonesia, seperti Koperasi Sutra Rakyat Indonesia (KSRI) di
Bandung pada tahun 1960; Pusat Koperasi Persutraan alam Dinas Kehutanan Daerah
Istimewa Yogyakarta pada tahun 1962; serta Balai Sutra Alam di Lembang yang
36 Diakses dari situs Travel Cina Guide, 2004.
32
didirikan tahun 1965 oleh Institut Teknologi Bandung untuk pendidikan pembinaan kader
persutraan.
Pada awal perkembangan usaha sutra di Indonesia, bibit sutra masih banyak didatangkan
dari luar negeri, terutama Jepang. Namun di tahun-tahun selanjutnya, Perum Perhutani
mulai melakukan pengembangan budidaya sutra alam berupa rangkaian kegiatan
agroindustri sutra alam di beberapa wilayah Indonesia⎯terutama di desa Ta’Juncu,
Kabupaten Soppeng. Pada tahun 1970, desa ini kemudian dijadikan pusat pengembangan
sutra oleh Pemerintah Indonesia. Jenis yang banyak dibudidayakan ialah sutra Bombyx
mori Linnaeus.
Tidak diketahui secara pasti kapan budidaya sutra alam mulai berkembang di daerah
Kabupaten Wajo. Ada yang berpendapat budidaya sutra dimulai di Kabupaten Wajo sejak
Balai Persutraan Alam didirikan di Soppeng, namun ada juga yang berpendapat budidaya
ini sudah ada sejak jauh sebelum itu, yakni bersamaan dengan masuknya benang sutra
akibat transaksi perdagangan kurang lebih 500 tahun lalu.
Menurut Pelras (2006) dalam bukunya Manusia Bugis, di Sulawesi Selatan “…Benang
sutra selalu didatangkan dari luar, sebelum peternakan ulat sutra mulai ada di Sulawesi
Selatan pada awal 1960an, terutama di daerah Soppeng dan bagian selatan Wajo. Pada
mulanya usaha peternakan ulat sutra menjanjikan keuntungan besar, namun setelah
sukses beberapa tahun, ulat sutra terjangkit penyakit menular sehingga ulatnya menjadi
mandul. Sejak itu, peternak ulat sutra setempat harus mengimpor kepompong langsung
dari Jepang.”
Namun, keakuratan pendapat Pelras diatas tidak dapat dipastikan. Sebab menurut
beberapa narasumber di lapangan, penurunan usaha budidaya ulat sutra terutama di
Kabupaten Soppeng selain dikarenakan bibit hasil persilangan yang dikembangkan oleh
Perum Perhutani rentan akan penyakit pebrine, juga terutama karena kualitas kokon lokal
yang kurang baik mutunya dibandingkan dengan kokon impor sehingga pasar kokon lokal
pun menurun. Sejak itu kebanyakan petani di Kabupaten Soppeng dan Wajo memang
membeli bibit/telur ulat sutra impor dari Cina, namun kualitas kokon tidak hanya
tergantung pada kualitas bibit saja melainkan juga cara penanganan dari telur hingga
menjadi kepompong.
II.2.4. SUTRA HASIL BUDIDAYA LOKAL (KABUPATEN SOPPENG
DAN KABUPATEN WAJO)
Di daerah Kabupaten Soppeng dan Wajo, petani sutra mengenal dua bibit ulat sutra, yakni
bibit Cina dan bibit Jepang. Yang dimaksud dengan bibit Cina ialah bibit yang diimpor
33
langsung dari Cina, sementara yang disebut dengan bibit Jepang ialah hasil persilangan
bibit impor dengan bibit lokal yang dilakukan oleh Perum Perhutani.
Menurut Bapak Andi Masalangka, bibit yang banyak dibudidayakan di daerah ini ialah
ulat sutra Bombyx mori Linnaeus jenis bivoltine yang diimpor dari Cina. Setiap musimnya
petani ulat sutra membudidayakan 4 boks telur yang berisi 25.000 butir hingga 30.000
butir, yang setiap boksnya menghasilkan sekitar 30 kilogram kokon. Setiap boks telur ini
dijual serharga IDR 150.000,- . Sementara kokon hasil budidaya petani lokal dijual
seharga IDR 16.000,- per kilogram. Untuk menghasilkan satu kilogram benang sutra
mentah membutuhkan kokon sekitar 6 kilogram hingga 7 kilogram kokon basah.
Permasalahan yang menghambat pembudidayaan ulat sutra lokal ialah kualitas telur dan
kualitas benang. Jika benang sutra impor diolah dengan mesin sehingga kerataan benang
(denier) terkontrol, sementara benang sutra lokal kerataan benang tidak sama. Hal ini
dikarenakan pemintalan umumnya masih dilakukan secara manual. Bahkan, menurut
beberapa sumber, alat kontrol denier pada mesin pintal di Balai Pesutraan Alam Ta’juncu
sudah rusak. Kualitas benang inilah yang mempengaruhi jatuhnya harga benang sutra
hasil budidaya lokal di pasaran, karena kerataan benang sangat berpengaruh pada
kerataan kain dan kilau khas benang sutra.
III.3. TENUNAN SUTRA
III.3.1. SEJARAH AWAL
Cerita mengenai awal kegiatan menenun tidak lepas dari sejarah perkembangan
kebudayaan manusia. Menurut buku Tenunan Khas Sulawesi Selatan dan Tenggara,
“…Keterampilan menenun ditinjau dari segi tekniknya tidak jauh berbeda dari segi teknik
menganyam…sudah ada di zaman kebudayaan Neolithikum…” (Bagian Proyek
Pembinaan Permuseuman Sulawesi Selatan bekerjasama Proyek Pembinaan
Permuseuman Sulawesi Tenggara, 1994: 1)
Pada periode Neolithikum manusia mulai hidup menetap, beternak, dan bercocoktanam,
hingga tercapailah suatau surplus makanan dan terdapatlah waktu senggang yang
dipergunakan para wanita untuk mengembangkan keterampilan menganyam dan
menenun.
Pendapat ini diperkuat oleh Yudoseputro (1983), “Pada zaman Batu Baru terjadi
perubahan besar-besaran dalam semua aspek kehidupan manusia presejarah…Apabila
sebelumnya manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya cukup dengan jalan
mengumpulkan makanan, kini manusia hidup sebagai penghasil makanan…Untuk
34
perkembangan seni kerajinan, zaman Batu Baru adalah sangat penting. Keadaan alam
Indonesia yang memberikan bahan yang berlimpah dan cara hidup manusia berdasarkan
sistem masyarakat petani yang gotongroyong, semua ini merupakan sarana yang
menguntungkan dalam rangka perkembangan seni kerajinan.”
Yudoseputro juga menambahkan bahwa untuk mengetahui hasil seni kerajinan tenun
Indonesia dari zaman Batu akan sulit karena peninggalannya pasti sudah musnah. Hal ini
dikarenakan pemakaian bahan kerajinan yang tidak tahan lama. Namun untuk
membuktikan bahwa pada waktu itu Indonesia sudah mengenal tenunan dapat dilihat
pada barang peninggalan berupa tembikar-tembikar, yang memperlihatkan hiasan berupa
teraan-teraan dari tenunan.
Sementara menurut hasil penelitian Rukmini (1979) yang berjudul Tenunan Tradisional
Bugis Makassar, “…Para ahli hanya memperkirakan bahwa kebudayaan menenun telah
lahir di sekitar Mesopotamia dan Mesir pada 5.000 tahun sebelum Masehi. Dari negeri itu
kemudian tersebar ke Eropa dan Asia termasuk Indonesia...Teori lain beranggapan,
keterampilan menenun tumbuh tanpa diketahui asal mulanya dan di mana sumbernya.
Melalui bukti penemuan alat-alat kerja tenun, menandakan kebudayaan menenun tumbuh
bersama-sama kebudayaan manusia…Adapun yang pasti kita ketahui bahwa di jaman
neolitikum manusia sudah mengenal pakaian, tetapi yang belum ditenun. Di Sulawesi
Selatan khususnya di daerah-daerah kediaman suku Bugis Makassar, terbukti telah
didiami manusia prasejarah dengan ditemukannya artefak-artefak dan bekas-bekas tempat
pemukiman manusia…di dalam gua misalnya di Leang-Leang Maros…di Pangganreang
Tudea Bantaeng. Secara logis dapat dikatakan, manusia-manusia inilah yang kemudian
menjadi pendukung pembuatan pakaian dari serat-serat kulit kayu…Selain itu dikenal
pula penggunaan serat-serat daunan yang panjang dari jenis tertentu. Di daerah ini
rupanya menggunakan serat daun pandan.”
Dari uraian-uraian diatas, dapat dilihat bahwa kapan dan bagaimana kegiatan menenun
dimulai di Indonesia pada dasarnya sulit diketahui secara pasti, namun diperkirakan
masyarakat Indonesia telah mulai mengenal pakaian sejak zaman prasejarah.
Sejak itu, cara mendapatkan pakaian berangsurangsur mengalami perubahan. Terlebih
dengan ditemukannya alat tenun, alat pintal, kelosan benang, dan digunakannya kapas
sebagai bahan baku utama tenunan tradisional. Hal ini terjadi secara alamiah karena
manusia selalu berusaha memenuhi kebutuhan hidupnya.
35
III.3.2. PENGGUNAAN BENANG SUTRA PADA KEGIATAN
PERTENUNAN TRADISIONAL DI INDONESIA
Tenunan sutra merupakan hasil kerajinan yang sudah dikerjakan secara turuntemurun
oleh sebagian penduduk di wilayah nusantara. Sejak beberapa abad lalu Indonesia telah
dikenal sebagai penghasil tenun, yang kaya kreasi terutama dalam hal ragam hias. Hal ini
dikarenakan letak wilayah Indonesia yang strategis dalam lalulintas perdagangan,
sehingga daerah-daerah kepulauan Indonesia dapat menjalin hubungan dagang dengan
bangsa India, Cina, Arab, dan Portugis.
Menurut Sumiati Patimari (1993) dalam hasil penelitiannya yang berjudul Studi
Deskriptif Tentang Proses Pewarnaan dan Motif Hias Kain/Sarung Sutra di Sengkang
Kecamatan Tempe Kabupaten Wajo, “…Para ahli memperkirakan bahwa aspek-aspek
kebudayaan menenun telah dimiliki oleh masyarakat pada zaman perunggu dalam zaman
Prasejarah di Indonesia, sekitar abad ke 2 dan abad ke 9 Masehi. Desain yang diciptakan
sangat unik dan mencerminkan unsur-unsur pemujaan pada nenek moyang atau leluhur
dan keindahan alam sekitarnya. Pada saat ini telah dikenal teknik desain pakan dan
lungsin…Untuk tenunan ikat pakan masuk Indonesia bersamaan ketika mulai dikenal
benang sutra dalam perdagangan sekitar abad ke 14 dan ke 15…”
Benang sutra pada mulanya memang merupakan barang impor. “…Sebagaimana
diketahui, sejak lama nusantara telah mengadakan kontak dengan luar negeri di bidang
politik, perdagangan dan kebudayaan, seperti dengan Cina, India dan Siam. Dalam kontak
inilah benang dan kain sutra mulai dikenal. Sejalan dengan itu, suku Bugis Makassar
sejak lama dikenal sebagai pengembara dan pelaut-pelaut ulung, sedikit banyaknya
terlibat dalam pengambilan nilai budaya baru ini yang kemudian setelah kembali
dikembangkannya di negerinya…Faktor lain yang diperkirakan ikut menunjang
meluasnya penggunaan sutra di daerah ini, ialah jatuhnya Malaka ke tangan Portugis
tahun 1511. Karena sejak itu Makassar mulai berperanan penting sebagai bandar transit di
kawasan Indonesia Timur yang ramai dikunjungi bangsa-bangsa lain.” (Rukmini, 1979:
9)
Selain itu, ada sumber literatur yang mengatakan benang sutra impor dibawa masuk ke
Indonesia oleh pedagang Islam yang berasal dari India dan Arab, terutama ke Sumatera,
Jawa, serta daerah-daerah pantai yang ramai dikunjungi oleh pedagang luar negeri. Sejak
masa inilah diperkirakan benang sutra mulai digunakan dalam tenunan tradisional di
Indonesia.
Tenunan sutra patola yang berasal dari India memberi pengaruh besar terhadap
perkembangan motif hias tenunan di Indonesia, bahkan di Sumatera dan Jawa terdapat
36
tenunan sutra yang disebut cindai yang memiliki desain corak yang mirip dengan
patola.37
Menurut George Junus Aditjondro38 dalam makalahnya Terlalu Bugis-sentris, Kurang
‘Perancis’39, tenun tradisional sutra di daerah Sulawesi Selatan dan Barat dirintis oleh
perempuan suku Mandar dengan teknik celup ikat (tie dye). Tenunan tradisional tersebut
kemudian berkembang pesat sekitar abad 17 dan 18. Pada kurun waktu ini pula,
kepandaian mereka dibawa merantau dan dikembangkan di daerah lain, sehingga
kemudian dikenal juga Sarung Samarinda dan Sarung Donggala.
Pada awalnya, pengolahan kapas menjadi benang dilakukan sendiri oleh penduduk di
daerah Sulawesi Selatan. Dengan masuknya benang impor yang kualitasnya lebih baik,
benang yang dipintal sendiri mulai terdesak. Ketika Perang Dunia II pecah, benang jadi
sulit diperoleh sehingga Pemerintah Jepang mengharuskan semua penduduk menanam
kapas dan pengolahan benang ini digiatkan kembali. Setelah pengakuan kedaulatan
Republik Indonesia, stabilitas ekonomi dan politik sudah semakin mantap sehingga
benang impor dapat kembali digunakan.
III.3.3. SARUNG SUTRA
Pembahasan tenunan sutra tradisional di Kabupaten Wajo Sulawesi Selatan tentu erat
kaitannya dengan pembahasan sarung sutra. Sebab kegiatan pertenunan sutra tradisional
di Kabupaten Wajo umumnya menghasilkan tenunan yang digunakan untuk pakaian adat
seperti waju ponco’ (bahasa Bugis, yang berarti baju bodo) dan lippa (bahasa Bugis,
yang berarti sarung).
Secara etimologi, ’sarung’ dalam kata benda dapat berarti bungkus. Sedangkan
’menyarung’ dan dalam kata sifat dapat berarti cara membungkus. Kata ’sarung’ ini
berasal dari bahasa Melayu , sarong, berarti kain tenun yang cara pakainya dililitkan di
pinggang. Meskipun begitu, pada dasarnya pengertian sarung dapat dibedakan dengan
kain panjang. Sebab sarung adalah tenunan panjang yang kedua sisi kiri dan kanannya
disatukan sehingga terbentuk lubang pada bagian atas dan bawah. Maka secara garis
besar, sarung sutra (atau dalam bahasa Bugis disebut lippa sabbe’) ialah tenunan sutra
yang kedua sisinya disatukan sehingga membentuk tabung.
Karakteristik sarung terletak pada corak dan ukurannya, yakni lebar berkisar 100
sentimeter dengan panjang berkisar 220 sentimeter. Corak sarung terletak pada badan,
37 Dari buku Seni Ragam Hias Kain Tenun Sulawesi Selatan, halaman 2-5. 38 Konsultan Penelitian dan Penerbitan Yayasan Tanah Merdeka, Palu; Anggota Dewan Penasehat Center for Democracy and Social Justice Studies (CeDSoS), Jakarta. 39 Ditulis dalam rangka Diskusi Buku Manusia Bugis, Bentara Budaya, Jakarta, 16 Maret 2006.
37
tumpal (kepala, posisinya memanjang ke arah pakan), tepi (corak ke arah lusi, terletak
antara pinggir dan corak badan ke arah lusi), dan pinggir (corak ke arah lusi yang
letaknya berada paling luar dari kain). Salah satu hal yang menjadi keunikan sarung ialah
perbedaan warna yang kontras antar tumpal dengan badan.
Dahulu, sarung dipakai oleh orang-orang yang berlayar di sekitar Semenanjung Malaka,
dekat pulau Sumatra dan Jawa. Mengingat orang-orang yang berlayar tersebut biasanya
pada saudagar serta pedagang Muslim dari India, dan Agama Islam menyebar dari dekat
pantai, maka diperkirakan bahwa dahulu sarung ditenun oleh pria-pria Muslim. Sementara dalam perkembangannya, di Indonesia sarung cukup berperan dalam
kehidupan setiap lapisan masyarakat tanpa memandang umur, jenis kelamin, maupun
status sosialnya. Sarung sering terlihat sebagai bawahan busana tradisonal pada beberapa
daerah, juga sebagai tenunan yang bersifat sakral.
Dari sudut fungsi dan pemakaiannya, Kuncaraningrat (1986) membagi kedalam empat
golongan, yaitu pakaian sematamata sebagai alat untuk menahan pengaruh dari alam
sekitar, lambang keunggulan dan gengsi, lambang yang dianggap suci, serta sebagai
perhiasan tubuh. Sementara dari segi sosial, secara umum sarung digambarkan sebagai
kepandaian menenun seorang wanita, berdasarkan dominannya kaum wanita pada
kegiatan pertenunan. Kemampuannya dalam menenun, diidentikkan dengan kesabaran,
ketekunan, dan keuletan. Bagi masyarakat yang masih memegang teguh tradisi, hal ini
merupakan sesuatu yang dapat dibanggakan.
Ditinjau dari segi ekonomi, kegiatan pertenunan dijadikan salah satu sumber mata
pencaharian bagi masyarakat, khususnya untuk pemenuhan keperluan seharihari. Dan bila
ditinjau dari segi religi, sarung merupakan pelengkap upacara ritual dalam kehidupan
masyarakat; untuk upacara pelantikan pejabat maupun petinggi daerah, penjemputan
tamu, kelahiran, perkawinan, khitanan, upacara kematian, dll.
Secara garis besar, Departemen Perindustrian RI dalam ketentuan Standar Industri
Indonesia (SII) membagi sarung dalam empat jenis, yaitu sarung Poleng, sarung Polekat,
sarung Songket, dan sarung bermotif.
III.4. ALAT TENUN
III.4.1. ALAT TENUN TRADISIONAL GEDOGAN
III.4.1.1. Sejarah Singkat
Alat tenun Gedogan, atau sering juga disebut alat tenun Gendong, ialah alat tenun
berteknologi sederhana yang terbuat dari kayu. Alat ini merupakan alat tenun tradisional
38
pertama yang sudah digunakan dalam kegiatan pertenunan di Kabupaten Wajo sejak
sebelum 1940 (data pasti tidak diketahui).
Seperti yang telah diuraikan di bab sebelumnya, istilah ‘gedogan’ berasal dari bahasa
Jawa gedog yang berarti ketuk. Terminologi ini pun sesuai dengan bunyi ketukan
berulang alat tersebut ketika sedang digunakan menenun, yakni bunyi ‘dog’ yang
terdengar sewaktu menekan benang pakan dengan alat pemukul khusus. Sementara
sebutan alat tenun Gendong digunakan di Pulau Jawa karena ada bagian alat tenun
tersebut yang dikaitkan di belakang pinggang seolah-olah sedang digendong.
Kegiatan menenun dengan alat tenun Gedogan dilakukan secara manual dan
membutuhkan keterampilan tangan serta kecermatan tinggi dari perajin. Bahkan, dahulu,
keterampilan menenun menjadi prestasi tersendiri yang menjadi nilai lebih bagi kaum
wanita. Sehingga kegiatan memintal benang dan menenun seringkali diajarkan kepada
gadis-gadis muda sejak dini. Namun, karena teknologinya yang masih sangat rendah,
produktivitas alat tenun ini pun rendah. Umumnya, perajin hanya mampu menghasilkan
dua lembar tenunan, yang masing-masing sepanjang 8 meter, dalam satu bulan.
Penggunaan alat tenun gedogan masih ditemukan dalam kegiatan pertenunan sutra di
Kabupaten Wajo, Propinsi Sulawesi Selatan. Hingga kini, struktur konstruksi alat tenun
tersebut tidak mengalami perubahan yang berarti.
III.4.1.2. Jenis
Ada dua jenis alat tenun Gedogan berdasarkan teknik pengerjaannya, yaitu:
1. Alat tenun Gedogan discontinuous warp (lungsi tidak bersambung).
Pada alat tenun Gedogan discontinuous warp, ujung benang lungsi dikaitkan dan
digulungkan pada patek (dalam bahasa Bugis disebut patekko), dan ujung benang lain
diikat pada apit (dalam bahasa bugis disebut pessa), yang juga berfungsi sebagai
penggulung hasil tenunan. Pada teknik ini, tenunan yang dihasilkan berupa
lembaran.40
2. Alat tenun Gedogan continuous warp (lungsi bersambung).
Pada alat tenun Gedogan continuous warp, kedua ujung benang lungsi dibuhul
(disambung) menjadi satu, sehingga hasil tenunannya berupa tabung, yang kemudian
digunting untuk mendapatkan selembar tenunan.41
40 Berdasarkan buku Lurik: Garis-Garis Bertuah, halaman 13. 41 Id note 40.
39
III.4.1.3. Material
Material yang digunakan untuk membuat konstruksi dasar alat tenun Gedogan ialah jenis
kayu kualitas terbaik (seperti kayu jati, kayu sonokeling, kayu meranti, dan kayu besi)
agar alat tenun tersebut dapat bertahan lama. Sementara elemen-elemen penunjangnya
dibuat dari bambu, pelepah enau, sabut maupun batok kelapa, tembikar/gerabah, benang,
dan pilinan kain.
III.4.2. ALAT TENUN BUKAN MESIN DAN ALAT TENUN MESIN
III.4.2.1. Alat Tenun Bukan Mesin
Alat Tenun Bukan Mesin (ATBM) pertama kali diciptakan oleh Tekstiel Instituut
Bandung (TIB, sekarang Balai Besar Tekstil⎯BBT, Bandung) pada tahun 1922.
Awalnya alat tenun ini dinamakan alat tenun Tijak dengan Teropong Layang, yang
dikenal sebagai alat tenun TIB dan selanjutnya sering disebut ATBM.
Alur perkembangan alat tenun ini berawal dari perkembangan alat tenun Gedogan
menjadi alat tenun Tijak. Alat tenun Tijak inilah yang kemudian dikembangkan kembali
oleh BBT Bandung menjadi alat yang dikenal luas sebagai ATBM saat ini. Ada pula yang
mengatakan bahwa ATBM merupakan hasil modifikasi alat tenun India dan alat tenun
Belanda oleh BBT.
Seperti halnya alat tenun sebelumnya, ATBM juga masih merupakan alat tenun manual
(tepatnya semimanual) yang membutuhkan keterampilan tangan perajin. Namun
efektivitas produksi ATBM mencapai tiga kali lipat hasil produksi alat tenun Gedogan,
yang juga memungkinkan efisiensi waktu pengerjaan sehingga harga tenunannya
tergolong lebih murah.
ATBM merupakan alat tenun semimanual yang konstruksinya sudah lebih kompleks
daripada alat tenun Gedogan, sehingga pekerjaan menenun dengan ATBM tidak serumit
alat tenun Gedogan meski prinsip dasarnya tetap sama.
Seperti halnya alat tenun Gedogan, material yang umum digunakan untuk pembuatan
konstruksi dasar ATBM ialah kayu kualitas terbaik.
III.4.2.2. Alat Tenun Mesin
Alat Tenun Mesin pertama kali masuk Indonesia tahun 1930, dan merupakan produk
impor dari Eropa.
40
Seluruh proses penenunan dengan Alat Tenun Mesin dilakukan secara otomatis. Mesin
sudah di set sedemikian rupa, sesuai desain tenun yang diinginkan, sehingga hanya perlu
dikontrol oleh pekerja.
III.5. TENUNAN SUTRA GEDOGAN KABUPATEN WAJO
Di Kabupaten Wajo, masih banyak terdapat perajin tenunan sutra tradisional Gedogan.
Totalnya mencapai 980 unit yang lokasinya tersebar di wilayah Kabupaten tersebut,
contohnya di Kecamatan Tempe, Kecamatan Pammana, serta di Desa Nepo, Kecamatan
Tanasitolo. Umumnya, perajin-perajin ini menenun hanya untuk mengisi waktu luang.
Seperti salah satu perajin yang ditemui di Jalan Bajo, misalnya, yang menenun sambil
menunggu warung kecil yang menjual kebutuhan sehari-hari. Perajin-perajin yang
ditemui tidak jarang yang berumur diatas 50 tahun. Pekerjaan menenun ini sulit mereka
tinggalkan karena sudah menjadi kebiasaan sejak gadis.
Dahulu, di daerah Kabupaten Wajo, wanita memang identik dengan kegiatan menenun.
Kegiatan ini menjadi semacam pingitan para gadis, bahkan harkat mereka ditentukan oleh
keterampilan menenunnya, yang konon dapat diketahui hanya dari suara ketukan alat
tenunnya. Keterampilan ini (dulu) juga dijadikan salah satu syarat seorang calon istri
dalam kehidupan masyarakat Kabupaten Wajo.
Para perajin tersebut membuat tenunan berbentuk lembaran dengan lebar sekitar 60 cm
dan panjang 8 m, yang kemudian dibagi dua dan disambung menjadi sebuah sarung.
Sarung sutra tradisional Bugis ini disebut lippa sabbe’. Selain itu, para perajin sutra
gedogan di Kabupaten Wajo juga membuat tenunan untuk bahan baju bodo, atau dalam
bahasa Bugis disebut waju ponco’, seperti yang dapat ditemukan di Desa Nepo.
Kendala yang umumnya dirasakan perajin tenunan sutra tradisional Gedogan ialah
keterbatasan modal kerja, yang mereka anggap sebagai penghambat utama perkembangan
mereka. Bahkan terkadang, perajin hanya mengerjakan tenunan pesanan tengkulak yang
menyediakan benang jadi, dengan upah kecil.
III.5.1. ALAT TENUN
Alat tenun Gedogan yang banyak digunakan di Kabupaten Wajo ialah jenis discontinuous
warp. Dalam bahasa Bugis sendiri, alat tenun ini disebut Ewangeng Tennung. Sementara
masyarakat Wajo sendiri lebih sering menyebut alat tenun ini sebagai Tennung Walida.
Istilah ‘walida’, dalam bahasa Bugis, ialah sebutan bagi salah satu bagian alat tenun
Gedogan yang berfungsi untuk merapatkan benang pakan. Bentuknya seperti pedang,
dilambangkan sebagai senjata bagi para wanita.
41
Material yang umum digunakan untuk pembuatan alat tenun Gedogan di Kabupaten Wajo
ialah kayu jati dan kayu meranti. Terutama untuk bagian walida, sering digunakan kayu
sonokeling (kayu hitam). Material ini banyak ditemukan di Kabupaten Wajo, dan
termasuk hasil Hutan Produksi kabupaten tersebut.
Di Kabupaten Wajo, alat tenun ini dibuat oleh perajin kayu setempat. Di daerah ini
terdapat sekurang-kurangnya 5 perajin kayu yang membuat alat tenun Gedogan, yang
dapat ditemukan di Kecamatan Tanasitolo (maupun kecamatan lain). Para perajin kayu
ini tidak selalu membuat alat tenun Gedogan, mereka bekerja hanya berdasarkan pesanan.
Rata-rata harga alat tenun ini sekitar IDR 250.000,-.
III.5.1.1. Struktur Konstruksi Alat Tenun Gedogan Discontinuous Warp
Konstruksi alat tenun Gedogan discontinuous warp dapat dirinci sebagai berikut,
Gambar III.5.1.1.1., Alat tenun gedogan discontinuous warp.
III.5.1.2. Material dan Fungsi Masing-Masing Bagian
Material yang digunakan dan fungsi masing-masing bagian alat tenun Gedogan di
Kabupaten Wajo dapat dirinci seperti berikut,
42
1. Caca’
Bahan : kayu berkualitas tinggi, umumnya digunakan kayu jati atau kayu meranti.
Fungsi : tempat mengaitkan pamalu’ agar tidak bergerak, biasanya dilengkapi
dengan alat yang dapat mengeluarkan bunyi nyaring ketika walida dirapatkan ke
pakan.
2. Pattupu
Bahan : kayu, berbentuk balok.
Fungsi : menghubungkan kedua caca’.
3. Pamalu’
43
Bahan : kayu.
Fungsi : tempat gulungan benang lungsi yang siap untuk ditenun.
4. Patekko
Bahan : kayu, berbentuk balok.
Fungsi : pangkal gulungan benang lungsi, ditempatkan sejajar dengan pamalu’.
5. Pessa
Bahan : kayu.
Fungsi : tempat gulungan tenunan yang selesai, ditempatkan di depan perut perajin.
6. Ana’ pessa
Bahan : kayu, atau bambu, yang cukup kuat.
Fungsi : ujung gulungan benang lungsi, ditempatkan sejajar dengan pessa.
44
7. Boko-boko
Bahan : kayu, biasanya dilapisi kain di bagian tengah agar nyaman bila digunakan.
Fungsi : penahan pessa agar posisi tetap seimbang dan memperkuat daya tahan
perajin, ditempatkan pada bagian punggung belakang perajin.
8. Ulan
Bahan : pilinan kain, atau tali.
Fungsi : menghubungkan boko-boko dengan pessa.
9. Jakka
Bahan : bambu, atau pelepah enau.
Fungsi : memisahkan setiap lembar benang lungsi, supaya tidak menjadi kusut dan
jaraknya tetap.
45
10. Pangngareken
Bahan : kayu hitam, atau kayu yang kuat.
Fungsi : tempat menyangkutkan are’.
11. Pabbiccang are’
Bahan : kayu dan benang/tali halus.
Fungsi : sebagai pegangan, bila diangkat dapat memungkinkan terjadinya jalinan
benang yang beraturan.
12. Are’
Bahan : benang.
Fungsi : menyangkutkan setiap helaian benang lungsi, agar dapat diangkat dengan
bantuan pabbiccang are’.
46
13. Walida
Bahan : kayu hitam, atau kayu besi.
Fungsi : merapatkan benang pakan.
14. Palapa tennung
Bahan : pelepah enau, bambu yang kuat, atau kayu yang lebih tipis.
Fungsi : membagi dua susunan benang bagian atas dan bawah secara teratur.
15. Awereng
Bahan : bambu.
Fungsi : membagi dua susunan benang bagian atas dan bawah secara teratur,
sebagai pelengkap fungsi pangngareken.
47
16. Panenre
Bahan : kayu hitam, atau kayu besi.
Fungsi : membantu meratakan susunan benang lungsi, sebagai pelengkap
pabbiccang are’.
17. Appajelloren
Bahan : kayu.
Fungsi : tempat tumpuan walida agar tetap dalam posisi rata saat memasukkan
pakan.
18. Taropong
Bahan : bambu yang beruas.
Fungsi : tempat kapelu yang telah diisi gulungan benang pakan.
48
19. Kapelu
Bahan : bambu.
Fungsi : tempat gulungan benang pakan.
20. Jakka sorong
Bahan : sabut kelapa dengan tangkai bambu.
Fungsi : membersihkan dan mengeringkan benang lungsi setelah diberi pattasi.
21. Jakka gemme
Bahan : ijuk.
Fungsi : sama dengan jakka sorong.
49
22. Pattasi
Bahan : kanji.
Tempat : gerabah.
Fungsi : untuk membasahi benang lungsi dan benang pakan agar tetap awet dan
tidak mudah kusut.
23. Sakka
Bahan : pelepah bambu dan peniti.
Fungsi : untuk melebarkan lebar pakan dan tenunan.
III.5.2. JENIS TENUN
Jenis tenun yang digunakan oleh para perajin tenunan sutra tradisional Gedogan di
Kabupaten Wajo umumnya ialah jenis tenun polos, tenun ikat lungsi, dan tenun angkat.
1. Tenun Polos
Adapun tenun polos ialah anyaman paling sederhana, dimana benang pakan menyilang
bergantian benang lungsi dengan rumus 1/1 yang artinya satu benang lungsi diatas satu
benang pakan dan sebaliknya. Karena silangan yang terjadi paling banyak dibanding
tenun lain, maka tenun polos dianggap sebagi anyaman paling kokoh.
50
2. Tenun Ikat Lungsi
Tenun ikat lungsi merupakan salah satu metode reka rakit, dimana ragam hias terbentuk
bersamaan dengan konstruksi kain. Jenis tenunan ini dalam Bahasa Bugis disebut
pittek/sikkok. Dalam jenis tenunan ini, ragam hias dihasilkan dari pencelupan warna
benang lungsi dengan menggunakan metode celup ikat (atau yang populer disebut tie-
dye). Celup ikat ialah metode pencelupan dimana bagian-bagian tertentu dari benang
diikat untuk menahan penyerapan warna, sehingga menghasilkan ragam hias-ragam hias
tertentu sesuai dengan yang diinginkan. Pencelupan ini dilakukan sebelum proses
penenunan dimulai.
3. Tenun Angkat
Tenun angkat lebih sering dikenal dengan sebutan tenun songket. Pada jenis tenunan ini,
perajin mengangkat silangan pakan dan lungsi lalu menyelipkan benang lain untuk
membentuk ragam hias. Benang tambahan ini umumnya berupa benang emas, perak,
ataupun benanng sutra biasa yang sudah diwarnai, yang ditambahkan bersama benang
pakan biasa. Ragam hias yang dihasilkan dengan teknik ini disebut balo subik/balo jiki.
III.5.3. PROSES PENGERJAAN
III.5.3.1. Pengolahan Benang
Serat sutra mentah masih harus diolah lagi agar siap ditenun. Adapun urutannya ialah
sebagai berikut,
1. Mappaturung, yakni menggulungkan serat ke bulo-bulo atau gelendong, dengan
bantuan roweng dan ganra.
Roweng ialah tempat serat sewaktu akan dipindahkan ke bulo-bulo, agar tidak kusut.
Alat ini terbuat dari kayu dan bambu. Sementara ganra (semacam alat jantra), atau
appoliren, ialah alat untuk memindahkan benang dari roweng ke bulo-bulo. Ganra
biasanya terbuat dari kayu.
51
2. Mangempe, yakni menggabungkan atau merangkap serat yang sudah dipisahkan
dalam bulo-bulo. Penggabungan ini bertujuan untuk memperbesar lembaran benang
(memperbesar ukuran denier). Dalam tahap ini benang digintir agar jalinannya lebih
kuat, juga dengan bantuan ganra.
3. Maggatti dan makkajuneng, memindahkan benang dari bulo-bulo kembali ke
roweng, agar benang kembali menjadi gulungan besar sehingga mudah dimasak dan
diwarnai.
4. Pemasakan dan Pemutihan (degumming dan bleaching)
Proses pemasakan bertujuan untuk membuang serisin yang terkandung dalam
benang sutra, agar benang lebih halus (tidak kaku) dan warna mudah terserap.
Sementara pemutihan dilakukan untuk menghasilkan benang sura yang putih bersih
sehingga setelah dicelup warna dapat terlihat lebih cerah.
Untuk proses pemutihan, perajin umumnya hanya menggunakan rinso, sabun tangan,
atau majang ataa.
Setelah diolah menjadi benang, sutra siap dicelup warna. Proses pemintalan tidak umum
dilakukan oleh perajin tenunan tenunan sutra tradisional Gedogan. Para perajin tenunan
sutra ini biasanya hanya menggunakan benang jadi sehingga mereka tidak perlu
mengolah benang dari serat sutra mentah lagi.
Karena, para perajin tenunan ini memegang teguh sebuah konsep sederhana yakni
membiarkan setiap orang hidup damai dengan rejekinya masing-masing. Jadi meskipun
mereka mahir menenun, mereka tidak berniat untuk mempelajari cara pemintalan benang,
sehingga setiap penduduk memiliki kesempatan untuk memperoleh rejeki. Harmonisasi
inilah yang juga dinilai sebagai salah satu modal dasar bertahannya tenunan sutra di
Kabupaten Wajo.
III.5.3.2. Pewarnaan
Proses pewarnaan ialah tahap yang penting dalam rangkaian kegiatan pertenunan sutra
tradisional Gedogan di Kabupaten Wajo, karena warna sangat menentukan dalam
pembentukan ragam hias. Kecuali tenunan sutra untuk waju ponco’ yang baru diwarnai
setelah selesai ditenun dan dijahit. Proses pewarnaan dapat dilakukan dengan dua cara,
yakni celup dan colet.
Proses pencelupan warna juga terbagi lagi dalam dua cara, yakni celup panas dan celup
dingin. Celup panas ialah proses pewarnaan benang melalui pemasakan, dan celup dingin
tidak melalui proses pemasakan (cukup dengan air hangat). Penggunaannya ini dapat
52
ditentukan dari jenis pewarna yang akan digunakan, maupun intensitas warna yang ingin
dihasilkan. Umumnya, bila ingin menghasilkan warna tua/gelap, perajin menggunakan
cara celup panas. Dan sebaliknya, jika warna yang diinginkan ialah warna-warna
muda/pastel, perajin menggunakan cara celup dingin.
Perajin juga melakukan cara celup ikat, dimana bagian-bagian benang yang tidak ingin
diwarnai terlebih dulu diikat untuk merintangi warna sehingga terbentuklah ragam hias.
Cara ini dapat dilakukan baik pada benang lungsi (tenun ikat lungsi), benang pakan
(tenun ikat pakan), maupun pada keduanya.
Sementara cara colet dilakukan dengan mengoleskan/mengisi pewarna langsung pada
bagian-bagian benang yang ingin diberi warna, seperti melukis. Cara colet ini sering
digunakan untuk membentuk ragam hias tenun ikat.
Proses pewarnaan ini disebut cingga atau kasumba, kedua istilah tersebut bagi penduduk
setempat berarti warna. Setelah dicelup, benang lalu dikelos kembali ke bulo-bulo dengan
bantuan roweng dan ganra. Proses ini sering disebut proses mappaturung akhir. Benang
yang sudah diwarnai dan dikelos siap untuk disau’ (dihani).
III.5.3.3. Penghanian (Massau’) dan Pencucukan
Proses penghanian (atau dalam bahasa Bugis disebut sau’, sautan, massau’) dan
pencucukan ialah proses persiapan benang lungsi yang akan ditenun. Sebelumnya,
benang lungsi dikelos pada beberapa bulo-bulo secara terpisah sesuai warna. Lalu,
dengan proses ini, benang-benang lungsi tersebut disusun sesuai dengan ragam hias yang
diinginkan.
Benang yang telah dikelos ke bulo-bulo digantung pada umbara sebelah kiri penghani.
Umbara ialah dua kayu panjang yang digantung bersebelahan ataupun dipasang pada
tiang, tingginya sejajar dada penghani. Masing-masing ujung umbara yang searah
dihubungkan dengan tali. Di depan tali penghubung tersebut dipasangkan tali gantungan
atau tiang kayu yang dipalang untuk meletakkan pappasiala, jakka, gulungeng, dan
pangngareken. Sementara ujung sebelah dalam peralatan-peralatan tersebut disisipkan
pada kedua utas tali penghubung umbara.
Setelah persiapan selesai, ujung benang dari bulo-bulo disimpulkan pada ujung dalam
pappasiala dan disangkutkan pada umbara dari atas ke bawah dan diuraikan hingga ke
umbara berikutnya.Setibanya di umbara berikutnya, benang disangkutkan dari atas ke
bawah. Begitu seterusnya proses ini berlangsung, dengan tujuan untuk mengatur benang
lungsi sesuai desain yang sudah ada. Proses inilah yang disebut massau’.
53
Sementara, proses pencucukan ialah proses pemasukan benang lusi ke masing-masing
lubang are dan jakka. Proses ini membutuhkan ketekunan dan ketelitian yang tinggi.
Karena ribuan helai benang lungsi harus tersusun berjajar dengan rapi agar tidak menjadi
kusut saat perajinan berlangsung.
Apabila setiap sela-sela jakka dan are sudah terisi sehelai benang lungsi, sela benang di
depan pappasiala diselipkan walida dan diangkat hingga tercipta rongga diantara jajaran
benang lungsi yang sudah diatur. Kemudian patekko dimasukkan di antara rongga di
depan pappasiala, dan ana’ pessa diselipkan bersampingan dibelakang patekko. Setelah
patekko dan ana’ pessa terselip, pappasiala dapat dilepas. Maka selesailah seluruh proses
massau’ dan pencucukan. Sisa benang digulung ke kapelu untuk dijadikan benang pakan.
Setelah selesai disau’ dan dicucuk, benang lungsi pun siap dipindahkan ke alat tenun.
patekko dipindahkan ke pamalu’ dan digulung ke sampai ke umbara lalu dipindahkan ke
caca’. Kemudian ana’ pessa juga dipindahkan ke pessa, dan benang lungsi dibentangkan
untuk menyelipkan dua bilah palapa bersampingan dengan panggareken. Pada waktu
benang lungsi dipindahkan ke tempat menenun, jakka, gulungeng, pangngereken,
patekko, dan ana’ pessa tetap pada posisi yang sama.
III.5.3.4. Penenunan (Matennung)
Proses penenunan, atau dalam bahasa Bugis disebut matennung, ialah proses menyusun
benang pakan ke dalam benang lungsi sehingga terjadi jalinan menyilang antara
keduanya. Matennung dengan alat tenun Gedogan dilakukan secara manual oleh tangan.
Posisi perajin berada dalam sikap duduk diantara pessa dan boko-boko, dengan kedua
kaki menjulur kedepan. Benang lungsi direntangkan sepanjang kaki perajin, sementara
gulungan benang pakan pada kapelu dimasukkan ke dalam taropong.
Boko-boko ditempatkan di punggung perajin dan dikaitkan ke pessa dengan
menggunakan ulan. Setiap akan memasukkan benang pakan, benang lungsi terlebih
dahulu disisir dengan menggunakan jakka. Pabbiccang are’ diangkat untuk membuka
susunan benang lungsi, kemudian walida diselipkan ke sela bukaan tersebut dan di
letakkan dengan posisi tegak lurus bersampingan dengan jakka. Awereng juga membantu
memisahkan susunan benang atas bawah agar walida mudah diselipkan. Hal ini bertujuan
agar taropong mudah melewati susunan benang dan membuat jalinan antara lungsi dan
pakan. Setelah taropong dimasukkan ke dalam sela benang lungsi dari kanan ke kiri,
benang pakan dirapatkan menggunakan walida dengan cara menekannya (ditette) kearah
jakka beberapa kali, lalu walida dikeluarkan.
54
Setelah itu benang lungsi disisir kembali dengan jakka, pabbiccang are’ diangkat untuk
menyelipkan walida pada susunan berikutnya, taropong dimasukkan dari kiri ke kanan,
lalu benang pakan ditette lagi. Proses ini terus diulang hingga seluruh benang lungsi
terjalin dengan benang pakan. Hasilnya digulung pada pessa, sehingga susunan benang
lungsi yang belum ditenun (yang digulung pada patekko) terus mendekati arah posisi
perajin sampai proses matennung ini selesai seluruhnya.
Selama proses matennung, setiap saat benang lungsi dan pakan dibasahi dengan kanji
(ada pula yang menggunakan air perasan jeruk nipis⎯dalam bahasa Bugis disebut lemo
kopasa) yang ditampung dalam pattasi lalu dibersihkan dan dikeringkan dengan jakka
sorong dan jakka gemme, agar benang tidak kusut dan tetap awet. Proses ini penting
untuk menjaga kekuatan benang selama bergesekan dengan alat tenun.
Umumnya, perajin dapat mengerjakan selembar sarung dalam waktu 2 minggu hingga 1
bulan, tergantung pada kegiatan mereka sehari hari, juga pada kerumitan ragam hiasnya.
III.5.3.5. Penyempurnaan
Setelah proses penenunan selesai, pinggiran benang lungsi pada patekko dan ana’ pessa
digunting, lalu gulungan hasil tenunan pada pessa dilepas. Hasil tenunan yang berupa
lippa sabbe’ ada yang dijual berbentuk lembaran, ada pula yang disambung terlebih
dahulu dengan cara seperti berikut,
Adapun lembaran tenunan untuk waju ponco’ diolah oleh penjahit, lalu dicelup warna.
III.5.4. MATERIAL
III.5.4.1. Benang
Material benang sutra yang umumnya digunakan ialah benang sutra Bombyx mori
Linnaeus yang dipintal tangan (namun ada pula yang menggunakan benang pintal mesin).
Benang ini dibeli dengan harga sekitar IDR 400.000,- per kilogram. Selain benang sutra,
55
umumnya perajin juga menggunakan benang emas dan benang perak untuk membentuk
ragam hias.
III.5.4.2. Pewarna
Dahulu, sebelum masuknya pewarna sintetis di Kabupaten Wajo, perajin menggunakan
pewarna alam seperti ekstrak daun jati, pohon cendana, daun bixa, dan lain-lain.
Belakangan, para perajin seperti yang ditemui di lapangan lebih memilih pewarna sintetis.
Karena, menurut hemat mereka, pewarna sintetis lebih mudah dan lebih bagus daripada
pewarna alam. Pada kenyataannya, pewarna sintetis memang lebih praktis digunakan,
warna yang dihasilkan pun tidak mudah luntur dan lebih terang.
Pewarna sintetis yang umum digunakan oleh perajin tenunan sutra tradisional Gedogan di
Kabupaten Wajo ialah pewarna bubuk sejenis erionit, basis (zat warna asam), serta
makron/indah. Pewarna-pewarna sintetis ini didatangkan dari pulau Jawa, dan dibeli oleh
perajin dari toko ataupun tengkulak setempat.
III.5.5. RAGAM HIAS
III.5.5.1. Perkembangan
Pada tenunan sutra tradisional Gedogan di Kabupaten Wajo, ragam hias (atau dalam
bahasa Bugis disebut balo) terbagi dua jenis. Yaitu ragam hias pada jalur benang pakan
yang disebut balo makkaluk yang berarti ragam hias melingkar, serta ragam hias pada
jalur benang lungsi disebut balo metettong yang berarti ragam hias berdiri.
Menurut Album Seni Budaya Sulawesi Selatan: Seri Tenun Budaya Bugis dan Tenun
Tradisional Bugis Makassar, pada mulanya tenunan sutra tradisional Gedogan di
Kabupaten Wajo hanya mengenal tiga ragam hias geometris, yakni balo renni (kotak-
kotak kecil), balo tengnga (kotak-kotak sedang), dan balo lobang/lebbak (kotak-kotak
besar). Ragam hias pada tenunan sutra tradisional Gedogan khas Sulawesi Selatan
umumnya memang berupa bidang kotak yang berwarna-warni yang disebut tenun palekat,
yakni salah satu dari ragam hias kotak-kotak diatas maupun perpaduan dari ragam hias-
ragam hias tersebut, yang terbentuk dari jalinan benang lungsi dan benang pakan yang
beraneka warna.
Seperti pada tenunan Mandar, ragam hias pada tenunan sutra tradisional Bugis di
Kabupaten Wajo juga terbagi atas bidang kepala (puncang) dan tubuh. Dalam
penggunaannya sehari-hari, bagian kepala selalu dibelakang.
Kira-kira pada tahun 1920 dikenal ragam hias beso, yakni ragam hias yang dihasilkan
dari teknik menarik benang tenun sehingga tergeser dari posisi jalur lurus. Dan pada
56
tahun 1950, ada perkembangan ragam hias yang disebut panji, yang merupakan stilasi
dari huruf S.
Tahun 1958, ragam hias beso dikembangkan menjadi bentuk lancip atas dasar garis
zigzag, ragam hias ini disebut balo cobo (cobo artinya lancip) atau ragam hias pucuk
rebung. Dan selanjutnya lahir ragam hias jiki/subik (artinya mencukil) yang dihasilkan
dengan teknik mencukil benang pada waktu ditenun. Di samping motif-motif tersebut,
ada pula ragam hias cebang (artinya ditaburi), yang berukuran kecil-kecil dan diletakkan
di seluruh bidang tenunan dengan teratur.
Perkembangan ragam hias ini tidak hanya pada bentuk namun juga pada penggunaan
warna yang tidak lagi terbatas pada warna hitam, merah, dan putih saja, melainkan juga
warna-warna cerah seperti kuning, ungu, hijau, dan sebagainya. Tenunan sutra tradisional
Gedogan di Kabupaten Wajo memang khas dengan warna-warna cerah yang manis dan
kontras.
Pada perkembangan ini, bentuk ragam hias pun sudah mulai dipadukan dengan lebih
berani sesuai kreasi perajin. Pemaduan ini tidak dilakukan berdasarkan satu prinsip
tertentu, dan diberi nama sesuai keinginan perajin. Contohnya ragam hias balo
saputangan, dimana ragam hias hanya terdapat di bagian pucangnya saja sementara
bidang tenunan lainnya polos. Atau balo mapan giling (artinya pulang kembali), yang
merupakan perpaduan dari balo panji, jiki/subik, dan beso. Sehingga, saat ini ragam hias
tenunan sutra tradisional Gedogan jarang disebut lagi dengan nama-nama ragam hias
dasar, melainkan dengan nama-nama baru, yang diambil dari suatu peristiwa yang terjadi
pada waktu menenun.
Beberapa perajin yang ditemui di lapangan, bahkan memadupadankan beberapa ragam
hias dasar dan diberi nama sesuai kejadian-kejadian yang sedang diminati saat itu,
contohnya ragam hias KDI, ragam hias AFI, ragam hias Soeharto, ragam hias Titik
Sandora, dan lain sebagainya.
III.5.5.2. Ragam hias Dasar dan Ragam hias Perkembangan
Ragam hias-ragam hias dasar tenunan sutra tradisional Gedogan di Kabupaten Wajo
dapat diuraikan sebagai berikut:
57
1. Balo renni
2. Balo tengnga
3. Balo lebbak/lobang
4. Balo beso (dihasilkan dengan menarik benang agar tergeser dari jalur lurus)
5. Balo panji (stilasi huruf ‘s’)
58
6. Balo cobo (lancip, atas dasar garis zigzag)
7. Balo subik/jiki (penambahan benang dengan teknik mencukil)
8. Balo cebang (berukuran kecil, bertebaran menempati seluruh bidang dengan teratur)
Sementara, contoh ragam hias perkembangan dapat dilihat dalam uraian berikut:
1. Balo mapan giling
59
2. Balo saputangan
3. Balo makjamak
4. AFI
III.5.6. FILOSOFI
Filosofi yang terkandung pada tenunan sutra tradisional Gedogan di Kabupaten
Wajo tidak terletak pada ragam hias melainkan pada warna, seperti berikut:
1. Bangsawan menggunakan warna merah atau hijau.
2. Gadis menggunakan warna-warna muda dan lembut seperti merah muda,
hijau muda, dan lain-lain.
3. Janda menggunakan warna-warna cerah seperti jingga.
4. Orang tua, maupun wanita yang sudah berkeluarga, menggunakan warna-
warna gelap seperti hitam, dan lain-lain.
60
Namun, menurut Bapak Abdul Samad, saat ini semua ketentuan diatas sudah tidak
digunakan lagi di Kabupaten Wajo. Karena masyarakat Kabupaten Wajo saat ini
sudah tergolong moderat (modern).42
III.5.7. FUNGSI
Jika dahulu tenunan sutra tradisional Kabupaten Wajo memiliki fungsi sebagai
perlambang status sosial, saat ini tenunan tersebut hanya berfungsi sebagai bagian
dari pakaian tradisional masyarakat setempat yang banyak digunakan dalam
acara-acara adat terutama pernikahan. Namun saat ini masyarakat Kabupaten
Wajo pun sudah banyak yang tidak menggunakan pakaian tradisional mereka
ketika menghadiri sebuah pernikahan.
Sehingga dapat dikatakan fungsi utama dari tenunan sutra tradisional di
Kabupaten Wajo saat ini lebih cenderung bersifat ekonomi. Karena tenunan
gedogan ini sangat membantu ekonomi perajinnya, sebab mayoritas mata
pencaharian suami mereka ialah bertani di sawah tadah hujan (agraris) sehingga
ketika suami mereka bertani kebutuhan sehari-hari ditutupi oleh hasil menenun
istri/anakanak wanitanya.
III.5.8. BIAYA PRODUKSI
Untuk membuat satu lembar lippa sabbe’ diperlukan seperempat kilogram benang
sutra seharga sekitar IDR 100.000,-. Sementara upah perajin tenunan sutra
tradisional Gedogan sekitar IDR 50.000,- hingga IDR 100.000,- per lembar,
tergantung kerumitan ragam hias.
III.5.9. PEMASARAN
Biasanya, perajin Gedogan bekerja berdasarkan pesanan. Atau, mereka menjual
karya mereka pada tengkulak yang dapat ditemukan di pasar tradisional setempat
maupun pada pengusaha yang memiliki di butik-butik sutra yang lebih besar.
Harga jual satu lembar lippa sabbe’ langsung dari perajin ialah sekitar IDR
200.000,- hingga IDR 300.000,-, tergantung kerumitan ragam hias. Sementara jika
sudah masuk butik, harga jual tenunan tradisional ini minimal IDR 350.000,- dan,
menurut narasumber di lapangan, di luar pulau harganya bisa mencapai IDR
500.000,- keatas. 42 Berdasarkan hasil wawancara penulis.
61
III.6. TENUNAN SUTRA ATBM DI KABUPATEN WAJO
Di Kabupaten Wajo, sebagian besar perajin ATBM ialah asuhan dari salah satu
pengusaha tenunan sutra ATBM setempat. Seperti contohnya Losari Silk, salah
satu sentra perajinan ATBM yang berada di daerah Sempangnge, Kecamatan
Tanasitolo. Dari 100 unit ATBM yang dimiliki Losari Silk, diletakkan di studio
kerja Losari Silk serta di rumah perajin-perajin yang sudah menikah, ataupun
gadis dan janda yang berhalangan menenun di studio.
Karena pertenunan ini banyak ditemukan di kolong-kolong rumah masyarakat
setempat, ATBM disebut juga tennung bola-bola. ‘Bola’ dalam Bahasa Bugis
ialah sebutan bagi rumah panggung tradisional setempat yang terbuat dari kayu.
Seperti halnya Alat Tenun Gedogan, ATBM yang digunakan di Kabupaten Wajo
juga merupakan produksi perajin kayu lokal, yang dikerjakan berdasarkan
pesanan. Meski begitu, onderdil seperti gong, sisir, dan lain-lain dibeli oleh
perajin-perajin kayu dari Bandung. Material utama yang digunakan untuk
membuat ATBM ialah kayu kelas satu seperti jati dan cendana.
Beberapa tahun terakhir ini, salah satu sentra perajin tenunan ATBM, yakni Losari
Silk, juga sudah mulai menggunakan ATBM yang dimodifikasi dengan komponen
mesin Jacquard yang disebut ATBM-Jaqcuard. Dengan mesin ini, jenis tenunan
yang dihasilkan lebih variatif lagi.
Proses pengerjaan tenunan sutra ATBM sebenarnya tidak jauh berbeda dengan tenunan
tradisional Gedogan. Perbedaan hanya terletak pada pengoperasian ATBM yang sudah
semi manual, dan produktivitas ATBM yang lebih tinggi dari Alat Tenun Gedogan.
Dalam satu hari, perajin dapat menyelesaikan kain minimal 4 meter dengan lebar kain 60
meter hingga 110 meter. Selain itu, biasanya material yang digunakan ialah serat
sutra mentah sehingga sebelum disau’ dan dicucuk, benang terlebih dulu dimasak,
dicelup, dan dipintal.
Jenis-jenis tenunan sutra ATBM yang banyak diproduksi di Kabupaten Wajo
sendiri ialah tenunan polos, kerawangan (dengan ATBM-Jacquard), ikat pakan,
dan tenun angkat. Sementara itu, desain ragam hias tenunan sutra ATBM sudah
disesuaikan dengan selera pasar.
Meski perajin ATBM tidak memproduksi lippa sabbe’ sebagaimana perajin
Gedogan, namun sebagian ragam hias tenunan sutra ATBM diambil dari ragam
62
hias tradisional yang kemudian dikembangkan. Terutama untuk tenunan ikat,
ragam hias tradisional yang digunakan ialah balo cobo yang, menurut narasumber,
diambil dari bentuk atap rumah-rumah tradisional.
Selain itu, ada ragam hias-ragam hias baru yang filosofisnya juga diambil dari
lingkungan Wajo. Ragam hias-ragam hias ini digagas oleh seorang dosen UNM
dalam kerjasamanya dengan pemerintah daerah pada tahun 2006. Oleh karenanya,
pada tenunan sutra ATBM, masih ada filosofi yang terkandung di dalam ragam
hias. Namun ragam hias-ragam hias yang diambil dari lingkungan sekitar ini tidak
memiliki unsur-unsur mistis, adat, maupun status sosial di dalamnya, hanya
menggambarkan ciri khas Kabupaten Wajo saja. Maka fungsi yang terkandung
pada tenunan sutra ATBM ialah murni fungsi ekonomi.
Selain itu, juga ada kerjasama dengan desainer mode Oscar Lawalata (dari
program pemerintah pusat bekerja sama dengan IPMI) yang juga memesan
desain-desain ragam hias khusus. Namun hasil tenunan ATBM yang utama ialah
tenunan polos untuk bahan dasar perajin dan pengusaha batik di Pulau Jawa.
Bahan baku yang digunakan umumnya ialah serat sutra mentah Bombyx mori
Linnaeus. Tiga puluh persen dari benang yang digunakan dalam produksi di
Losari Silk, contohnya, merupakan impor dari China dengan harga IDR 70.000
hingga IDR 400.000,- (tergantung kualitas dan nilai tukar rupiah terhadap dolar
Amerika). Tujuh puluh persen sisanya merupakan produksi petani di Kabupaten
Soppeng, Kabupaten Wajo, dan Kabupaten Enrekang yang dibeli dengan harga
berkisar antara IDR 200.000,- hingga IDR 280.000,-. Pewarna yang digunakan
ialah pewarna sintetis diimpor dari Jepang dan Jerman, karena umumnya
pengusaha menilai pewarna alam kurang diminati oleh pasar. Pewarna dan bahan
baku serat impor ini umumnya dibeli dari Pulau Jawa, terutama Surabaya dan
Bandung.
Di Losari Silk, perajin di studio bekerja dari pukul 6 pagi hingga pukul 6 sore
dengan sistem pembayaran borongan IDR 4.000,- per meter (tergantung tingkat
kesulitan). Minimal jumlah produksi setiap perajin dalam satu hari ialah 4 meter.
Namun untuk tenunan ikat biasanya 2 meter per hari, dan yang kombinasi ragam
hias ataupun tekniknya lebih rumit kira-kira 0,5 meter per hari dengan upah
hingga IDR 7.500,- per meter. Secara keseluruhan, biaya produksi kain polos
63
sekitar IDR 30.000,- hingga IDR 80.000,- per meter. Sementara untuk kain
berragam hias, biaya produksi minimal diperkirakan sekitar IDR 50.000,-.
Perajin biasanya memasarkan tenunannya ke butik-butik sutra lokal dengan sistem
beli putus (tunai), atau menyetorkannya pada pengusaha yang mengasuh mereka.
Dengan harga pasar minimal 30 ribu per meter untuk kain polos dan 50 ribu per
meter untuk kain berragam hias, tenunan sutra ATBM juga banyak dikirim ke
butik-butik di luar Kabupaten Wajo (terutama perajin batik di Pulau Jawa) dan
diekspor.
Kendala yang dirasakan oleh pengusaha tenunan sutra ATBM di lapangan
diantaranya ialah kualitas bahan baku lokal yang masih rendah dibanding bahan
impor, sementara mereka harus memuaskan para pelanggan yang tentu menuntut
tenunan sutra kualitas terbaik. Selain itu, perajin berupa karyawan lepas yang
tidak terikat kontrak (karena hanya sebagai hasil sampingan) dan sumber dayanya
kurang. Sementara bagi para perajin kecil, kendala utama yang dirasakan
menghambat perkembangan mereka ialah keterbatasan modal.
III.7. TENUNAN SUTRA ATM DI KABUPATEN WAJO
Seperti halnya tenunan ATBM, tenunan ATM juga dihasilkan dalam bentuk
lembaran sebagai bahan dasar pembuatan pakaian maupun benda-benda yang
lebih besar. Namun, tenunan sutra ATM di Kabupaten Wajo masih dianggap
sebagai sektor nonsutra, sebab merupakan campuran dengan benang sintetis lain
seperti rayon dan viscose. Hanya ada satu unit usaha tenunan ATM ini di
Kabupaten Wajo, yaitu Piala Sutra yang terletak di daerah Sengkang, Kecamatan
Tempe.
Proses pengerjaan dilakukan secara otomatis, baik dari pemintalan, penghanian hingga
perajinan. Peralatan ini dikontrol oleh karyawan-karyawan, yang didatangkan dari
daerah-daerah sekitar maupun dari luar Pulau seperti dari Bandung, Jawa Barat.
Teknik tenun yang digunakan oleh industri pertenunan ATM di Kabupaten Wajo
umumnya ialah jenis tenun polos. Sementara ragam hias yang digunakan umumnya
geometris dasar yakni garis. Selebihnya, ragam hias tenunan ATM biasanya polos.
Sehingga, pada tenunan ATM ini hanya sebagai hasil industri massal.
64
Material benang sutra yang banyak digunakan ialah benang pintal mesin, dan benang
sintetis lain sebagai campuran seperti rayon dan viscose. Selain itu juga digunakan
benang sutra limbah, atau sutra kokon cacat. Umumnya benang yang dibeli sudah
berwarna, atau putih untuk tenunan putih polos, jadi tidak dilakukan pewarnaan lagi.
Biaya produksi tenunan ATM ialah yang peling rendah dibandingkan kedua tenunan lain
(estimasi biaya tidak diketahui). Upah pekerja lokal sebesar IDR 150.000,- per bulan,
sementara upah pekerja dari luar pulau ialah IDR 600.000,- per bulan. Tenunan ATM
dipasarkan di butik-butik sutra setempat, toko tekstil, juga perajin batik di Pulau Jawa.
Harga pasar tenunan ATM rata-rata IDR 15.000,- per meternya.
Dilihat dari uraian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa fungsi tenunan ATM
ialah murni fungsi ekonomi.
III.8. INDUSTRI TENUNAN SUTRA KABUPATEN WAJO
III.8.1. PERTENUNAN SUTRA DI SULAWESI SELATAN PERIODE
SEBELUM KEMERDEKAAN INDONESIA
Seperti yang telah diketahui, kegiatan pertenunan sutra merupakan sebuah tradisi yang
sudah lama dilakukan Sulawesi Selatan dengan menggunakan alat tenun tradisional
Gedogan, atau tennung walida. Hasil tenunannya berupa lippa sabbe’ dan waju ponco’,
keduanya merupakan bagian dari pakaian adat masyarakat Bugis.
Sejak dulu, Sulawesi Selatan memang dikenal dengan lippa sabbe’ yang sangat halus,
bercorak kotak-kotak, dan umumnya berwarna gelap. Benang sutra, atau dalam bahasa
Bugis disebut wennang/bannang sabbe’, yang merupakan produk impor dibawa masuk ke
Sulawesi Selatan melalui bandar perdagangan di Makassar sekitar abad 14 dan abad 15.
Sejak ditemukannya teknik pengecatan pakaian (dalam bahasa Bugis disebut dengan
istilah ma’bélong atau ma’bombang) yang menghasilkan warna-warna lembut dan terang
pada dekade 1930an, lippa sabbe’ semakin dikenal luas. Meningkatnya pemakaian sutra
ini menjadikan hasil panen kapas kurang penting pada dekade tersebut. Namun benang
impor dihentikan selama Perang Dunia II berlangsung, dan karenanya otomatis benang
sutra sulit didapat sehingga perajin banyak yang kembali menenun dengan benang kapas.
Pada masa inilah, penjajah Jepang memerintahkan penanaman kapas di seluruh lahan
yang cocok ditanami kapas.
Setelah Perang Dunia II berakhir, di wilayah-wilayah kekuasaan Kahar Muzakkar, kaum
pria sempat dilarang menggunakan lippa sabbe’ karena dianggap bertentangan dengan
ajaran Islam yang melarang umatnya hidup mewah. Namun setelah kemerdekaan
65
Indonesia, penanaman kapas dan pemintalan benang sudah hampir menghilang kembali
dari wilayah Bugis, kecuali di beberapa tempat terpencil.
III.8.2. PERKEMBANGAN INDUSTRI PERTENUNAN SUTRA DI
KABUPATEN WAJO PERIODE SETELAH KEMERDEKAAN INDONESIA
Seperti yang telah disebutkan di bab sebelumnya, Kabupaten Wajo merupakan sentra
terbesar perajin tenunan sutra di Propinsi Sulawesi Selatan. Berdasarkan data dari Dinas
Perindustrian, Perdagangan, dan Penanaman Modal (Disperindag dan Penanaman Modal)
Kabupaten Wajo, di Kabupaten ini terdapat perajin tenunan sutra Gedogan yang totalnya
mencapai 980 unit serta perajin tenunan ATBM yang totalnya mencapai 831 unit.
Sementara data mengenai kegiatan pertenunan sutra ATM tidak tercantum meski ATM
sudah digunakan di Kabupaten Wajo sejak tahun 2000. Sebab seperti yang ditemukan
peneliti di lapangan, ATM yang digunakan ialah untuk benang stapel karenanya hasil
industri tenunan ATM disana pun bukan seratus persen sutra melainkan campuran dengan
benang sintetis lain seperti rayon dan viscose, sehingga industri ini digolongkan menjadi
industi nonsutra oleh Disperindag dan Penanaman Modal Kabupaten Wajo.
Setelah kemerdekaan Indonesia, kebanggaan rakyat terhadap kesenian bangsa sendiri
mulai tumbuh kembali melalui pendidikan. Pemerintah pun berinisiatif memperkenalkan
ATBM untuk membantu perkembangan industri kecil di daerah-daerah, termasuk
diantaranya Propinsi Sulawesi Selatan. Sejak itu banyak perusahaan setempat mulai
menggunakan ATBM untuk memproduksi tenunan dalam jumlah relatif besar.
ATBM dalam bahasa Bugis disebut juga tennung bola-bola, karena pertenunan ini
banyak ditemukan di kolong-kolong rumah masyarakat setempat. ‘Bola’ dalam bahasa
Bugis ialah sebutan bagi rumah panggung tradisional setempat yang terbuat dari kayu.
Menurut narasumber di lapangan, ATBM yang digunakan pada awal perkembangan
industri sutra baru menghasilkan tenunan dengan lebar berukuran 60 meter. Sekitar
dekade 1970an, atas usaha UPT Tekstil Wajo, ATBM pun bisa menghasilkan kain
dengan ukuran 90 meter dan 110 meter.
Pada tahun 1965 seorang bangsawan Wajo ternama, Andi’ Bau Muddariyah atau Petta
Ballasari, memperkenalkan alat tenun baru yang berasal dari Thailand sekaligus
mendatangkan seorang ahli tenun dari Negara tersebut untuk mengajari para perajin di
Kabupaten Wajo. Harapannya kala itu ialah membantu mengembangkan produksi sutra
asli dalam skala besar, yang tak kalah kualitasnya dibandingkan Thai silk yang terkenal,
sayang usaha ini gagal (alasan tidak diketahui).
66
Meskipun begitu, industri pertenunan sutra di Kabupaten Wajo dapat mencapai puncak
kejayaannya sekitar dekade 1960an hingga 1970an. Hanya saja setelah itu sempat redup
karena sulitnya mendapatkan bahan baku yang berkualitas baik sehingga berpengaruh ke
hasil tenunan dan tuntutan pasar. Industri ini baru mulai berkembang lagi pada akhir
dekade 1990an ketika bahan baku impor diperbolehkan masuk dan pasar mulai terbuka
(terutama untuk perajin batik di Jawa).
Pada akhir dekade 1990an, alat tenun yang digunakan di Kabupaten Wajo pun mulai
mengalami pembaruan-pembaruan. Menurut narasumber di lapangan, pada masa ini
pengusaha tenunan sutra mulai menggunakan ATM walau masih merupakan ATM bekas
yang dibeli dari Pekalongan. Dan sejak beberapa tahun terakhir ini salah satu sentra
perajin tenunan ATBM di daerah Kecamatan Tanasitolo, Losari Silk, juga sudah mulai
menggunakan ATBM yang dimodifikasi dengan komponen ATM seperti Jacquard yang
disebut ATBM-Jaqcuard. Dengan mesin ini, jenis tenunan yang dihasilkan lebih
bervariasi lagi. Karena berbeda dengan pertenunan sutra Gedogan, pada dasarnya
perajinan ATBM dan ATM bertujuan membuat kain yang fungsinya bisa digunakan
untuk berbagai kebutuhan, baju, selendang, sarung, dan lain-lain. Hal ini dimaksudkan
untuk menyesuaikan diri dengan tren yang berlaku di pasar.
Melihat kegiatan pertenunan sutra Kabupaten Wajo beberapa tahun terakhir, dapat terlihat
bahwa industri ini sudah mulai digalakkan lagi dengan tujuan ingin mengembalikan
tenunan sutra setempat ke puncak kejayaannya. Kegiatan pertenunan sutra rumah tangga
masih bertahan di Kabupaten Wajo hingga kini karena kepiawaian orang Bugis dalam
mempertahankan tradisi mereka secara dinamis, yakni membuka diri kearah perubahan.
Untuk tetap menjaga ciri khas mereka, masyarakat Bugis di Kabupaten Wajo bersedia
mengadopsi inovasi teknis yang dianggap berguna, dengan dilandasi ketekunan yang
tanpa kenal lelah maupun menyerah. Etos kerja demikian dirumuskan dalam pepatah
Bugis, ‘Réso-pa teng-mang’ingi’, malomo nalété-i a’maséang Déwata’ yang berarti
‘Hanya kerja keras tanpa jemu yang memuluskan anugerah Dewata meniti turun (ke
bumi)’. (Pelras, 2006: 354)
Dari uraian diatas, secara garis besar dapat disimpulkan bahwa industri sutra di
Kabupaten Wajo tumbuh akibat ragam hias ekonomi. ATBM dan ATM mulai digunakan
di Kabupaten Wajo untuk meningkatkan hasil poduksi tenunan sutra setempat. Sementara
itu, ditengah naikturunnya industri sutra di Kabupaten tersebut, pertenunan sutra
tradisional dengan alat tenun Gedogan tetap bertahan. Bahkan menurut data yang ada,
jumlahnya masih lebih banyak dari unit pertenunan sutra ATBM maupun ATM.
67