tinjauan pustaka tb

41
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tuberkulosis 2.1.1 Definisi Tuberkulosis adalah penyakit infeksius yang disebabkan oleh basil Mycobacterium tuberculosis. Bakteri tersebut secara khusus dapat mempengaruhi paru (TB pulmoner), tetapi dapat mempengaruhi tempat lain juga (TB ekstrapulmoner). Penyakit ini menyebar melalui udara ketika orang yang sakit TB pulmoner mengeluarkan bakteri tersebut, contohnya adalah ketika batuk. Secara keseluruhan, sebagian kecil orang yang terinfeksi dengan M. Tuberculosis akan berkembang menjadi penyakit TB. Bagaimanapun juga, kemungkinan untuk berkembang menjadi TB lebih tinggi pada pria daripada wanita, dan mempengaruhi kebanyakan pada dewasa tepatnya dalam usia produktif mereka. (WHO, 2014) 2.1.2 Epidemiologi Tuberkulosis (TB) merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting di dunia ini. Pada tahun 1992 World Health Organization (WHO) telah mencanangkan tuberkulosis sebagai Global Emergency. Laporan WHO tahun 2004 menyatakan bahwa terdapat 8,8 juta kasus baru tuberkulosis pada tahun 2002, dimana 3,9 juta adalah kasus BTA (Basil Tahan Asam) positif. Setiap detik ada satu orang yang terinfeksi tuberkulosis di dunia ini, dan sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi kuman tuberkulosis. Jumlah terbesar kasus TB terjadi di Asia tenggara yaitu 33 % dari seluruh kasus TB di dunia, namun bila dilihat dari jumlah penduduk, terdapat 182 kasus per 100.000 penduduk. Di Afrika hampir 2 kali lebih besar dari Asia tenggara yaitu 350 per 100.000 pendduduk (PDPI, 2006).

Upload: natanoiht

Post on 17-Jan-2016

18 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

TB

TRANSCRIPT

Page 1: Tinjauan Pustaka TB

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tuberkulosis

2.1.1 Definisi

Tuberkulosis adalah penyakit infeksius yang disebabkan oleh basil Mycobacterium

tuberculosis. Bakteri tersebut secara khusus dapat mempengaruhi paru (TB pulmoner),

tetapi dapat mempengaruhi tempat lain juga (TB ekstrapulmoner). Penyakit ini menyebar

melalui udara ketika orang yang sakit TB pulmoner mengeluarkan bakteri tersebut,

contohnya adalah ketika batuk. Secara keseluruhan, sebagian kecil orang yang terinfeksi

dengan M. Tuberculosis akan berkembang menjadi penyakit TB. Bagaimanapun juga,

kemungkinan untuk berkembang menjadi TB lebih tinggi pada pria daripada wanita, dan

mempengaruhi kebanyakan pada dewasa tepatnya dalam usia produktif mereka. (WHO,

2014)

2.1.2 Epidemiologi

Tuberkulosis (TB) merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting di dunia

ini. Pada tahun 1992 World Health Organization (WHO) telah mencanangkan tuberkulosis

sebagai Global Emergency. Laporan WHO tahun 2004 menyatakan bahwa terdapat 8,8 juta

kasus baru tuberkulosis pada tahun 2002, dimana 3,9 juta adalah kasus BTA (Basil Tahan

Asam) positif. Setiap detik ada satu orang yang terinfeksi tuberkulosis di dunia ini, dan

sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi kuman tuberkulosis. Jumlah terbesar kasus TB

terjadi di Asia tenggara yaitu 33 % dari seluruh kasus TB di dunia, namun bila dilihat dari

jumlah penduduk, terdapat 182 kasus per 100.000 penduduk. Di Afrika hampir 2 kali lebih

besar dari Asia tenggara yaitu 350 per 100.000 pendduduk (PDPI, 2006).

Diperkirakan terdapat 2 juta kematian akibat tuberkulosis pada tahun 2002. Jumlah

terbesar kematian akibat TB terdapat di Asia tenggara yaitu 625.000 orang atau angka

mortaliti sebesar 39 orang per 100.000 penduduk. Angka mortaliti tertinggi terdapat di Afrika

yaitu 83 per 100.000 penduduk, dimana prevalensi HIV yang cukup tinggi mengakibatkan

peningkatan cepat kasus TB yang muncul (PDPI, 2006).

Di Indonesia berdasarkan Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 2001

didapatkan bahwa penyakit pada sistem pernapasan merupakan penyebab kematian kedua

setelah sistem sirkulasi. Pada SKRT 1992 disebutkan bahwa penyakit TB merupakan

penyebab kematian kedua, sementara SKRT 2001 menyebutkan bahwa tuberkulosis adalah

penyebab kematian pertama pada golongan penyakit infeksi. Sementara itu dari hasil

laporan yang masuk ke subdit TB P2MPL Departemen Kesehatan tahun ,2001 terdapat

50.443 penderita BTA positif yang diobati (23% dari jumlah perkiraan penderita BTA positif ).

Page 2: Tinjauan Pustaka TB

Tiga perempat dari kasus TB ini berusia 15 – 49 tahun. Pada tahun 2004 WHO

memperkirakan setiap tahunnya muncul 115 orang penderita tuberkulosis paru menular

(BTA positif) pada setiap 100.000 penduduk. Saat ini Indonesia masih menduduki urutan ke

3 di dunia untuk jumlah kasus TB setelah India dan China (PDPI, 2006).

Global Tuberculosis Report tahun 2014 dari WHO telah melaporkan hasil dari jumlah

kasus TB dan kematiannya dari berbagai macam negara termasuk Indonesia. Laporan

tersebut secara ringkas dapat dilihat pada gambar 2.1 dan tabel 2.1

Tabel 2.1 Perkiraan Epidemiologi Penyakit TB Seluruh Dunia

Page 3: Tinjauan Pustaka TB

Gambar 2.1 Perkiraan Kejadian Penyakit TB dan kematiannya di Seluruh Dunia Tahun 1990-

2013

2.1.3 Patofisiologi

2.1.3.1 Tuberkulosis Primer

Kuman tuberkulosis yang masuk melalui saluran napas akan bersarang di jaringan

paru, dimana ia akan membentuk suatu sarang pneumonik, yang disebut sarang primer atau

afek primer. Sarang primer ini mugkin timbul di bagian mana saja dalam paru, berbeda

dengan sarang reaktivasi. Dari sarang primer akan kelihatan peradangan saluran getah

bening menuju hilus (limfangitis lokal). Peradangan tersebut diikuti oleh pembesaran kelenjar

getah bening di hilus (limfadenitis regional). Afek primer bersama-sama dengan limfangitis

regional dikenal sebagai kompleks primer. Kompleks primer ini akan mengalami salah satu

nasib sebagai berikut :

1. Sembuh dengan tidak meninggalkan cacat sama sekali (restitution ad integrum)

2. Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas (antara lain sarang Ghon, garis fibrotik,

sarang perkapuran di hilus)

3. Menyebar dengan cara :

a. Perkontinuitatum, menyebar ke sekitarnya Salah satu contoh adalah

epituberkulosis, yaitu suatu kejadian dimana terdapat penekanan bronkus,

biasanya bronkus lobus medius oleh kelenjar hilus yang membesar sehingga

menimbulkan obstruksi pada saluran napas bersangkutan, dengan akibat

atelektasis. Kuman tuberkulosis akan menjalar sepanjang bronkus yang

tersumbat ini ke lobus yang atelektasis dan menimbulkan peradangan pada

lobus yang atelektasis tersebut, yang dikenal sebagai epituberkulosis.

b. Penyebaran secara bronkogen, baik di paru bersangkutan maupun ke paru

sebelahnya. Penyebaran ini juga terjadi ke dalam usus

Page 4: Tinjauan Pustaka TB

c. Penyebaran secara hematogen dan limfogen. Kejadian penyebaran ini

sangat bersangkutan dengan daya tahan tubuh, jumlah dan virulensi basil.

Sarang yang ditimbulkan dapat sembuh secara spontan, akan tetapi bila tidak

terdapat imuniti yang adekuat, penyebaran ini akan menimbulkan keadaan

cukup gawat seperti tuberkulosis milier, meningitis tuberkulosa,

typhobacillosis Landouzy. Penyebaran ini juga dapat menimbulkan

tuberkulosis pada alat tubuh lainnya, misalnya tulang, ginjal, anak ginjal,

genitalia dan sebagainya. Komplikasi dan penyebaran ini mungkin berakhir

dengan :

i. Sembuh dengan meninggalkan sekuele (misalnya pertumbuhan

terbelakang pada anak setelah mendapat ensefalomeningitis,

tuberkuloma ) atau

ii. Meninggal (PDPI, 2006)

2.1.3.2 Tuberkulosis Post Primer

Dari tuberkulosis primer ini akan muncul bertahun-tahun kemudian tuberkulosis post-

primer, biasanya pada usia 15-40 tahun. Tuberkulosis post primer mempunyai nama yang

bermacam macam yaitu tuberkulosis bentuk dewasa, localized tuberculosis, tuberkulosis

menahun, dan sebagainya. Bentuk tuberkulosis inilah yang terutama menjadi problem

kesehatan rakyat, karena dapat menjadi sumber penularan. Tuberkulosis post-primer dimulai

dengan sarang dini, yang umumnya terletak di segmen apikal dari lobus superior maupun

lobus inferior. Sarang dini ini awalnya berbentuk suatu sarang pneumonik kecil. Nasib

sarang pneumonik ini akan mengikuti salah satu jalan sebagai berikut :

1. Diresopsi kembali, dan sembuh kembali dengan tidak meninggalkan cacat

2. Sarang tadi mula mula meluas, tapi segera terjadi proses penyembuhan dengan

penyebukan jaringan fibrosis. Selanjutnya akan membungkus diri menjadi lebih

keras, terjadi perkapuran, dan akan sembuh dalam bentuk perkapuran. Sebaliknya

dapat juga sarang tersebut menjadi aktif kembali, membentuk jaringan keju dan

menimbulkan kaviti bila jaringan keju dibatukkan keluar.

3. Sarang pneumonik meluas, membentuk jaringan keju (jaringan kaseosa). Kaviti akan

muncul dengan dibatukkannya jaringan keju keluar. Kaviti awalnya berdinding tipis,

kemudian dindingnya akan menjadi tebal (kaviti sklerotik). Nasib kaviti ini :

a. Mungkin meluas kembali dan menimbulkan sarang pneumonik baru. Sarang

pneumonik ini akan mengikuti pola perjalanan seperti yang disebutkan diatas

b. Dapat pula memadat dan membungkus diri (encapsulated), dan disebut

tuberkuloma. Tuberkuloma dapat mengapur dan menyembuh, tapi mungkin

pula aktif kembali, mencair lagi dan menjadi kaviti lagi

Page 5: Tinjauan Pustaka TB

c. Kaviti bisa pula menjadi bersih dan menyembuh yang disebut open healed

cavity, atau kaviti menyembuh dengan membungkus diri, akhirnya mengecil.

Kemungkinan berakhir sebagai kaviti yang terbungkus, dan menciut sehingga

kelihatan seperti bintang (stellate shaped) (PDPI, 2006).

Gambar 2.2 Skema perkembangan sarang tuberkulosis post primer dan

perjalanan penyembuhannya

2.1.4 Klasifikasi Tuberkulosis

2.1.4.1 Tuberkulosis Paru

Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan paru, tidak termasuk

pleura (selaput paru)

1. Berdasar hasil pemeriksaan dahak (BTA)

TB paru dibagi dalam :

a. Tuberkulosis Paru BTA (+)

i. Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak menunjukkan hasil BTA

positif

ii. Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif dan

kelainan radiologik menunjukkan gambaran tuberkulosis aktif

iii. Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif dan

biakan positif

b. Tuberkulosis Paru BTA (-)

Page 6: Tinjauan Pustaka TB

i. Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif, gambaran

klinik dan kelainan radiologik menunjukkan tuberkulosis aktif serta

tidak respons dengan pemberian antibiotik spektrum luas

ii. Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif dan biakan

M.tuberculosis positif

iii. Jika belum ada hasil pemeriksaan dahak, tulis BTA belum diperiksa

2. Berdasarkan Tipe Penderita

Tipe penderita ditentukan berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya. Ada

beberapa tipe penderita yaitu :

a. Kasus baru

Adalah penderita yang belum pernah mendapat pengobatan dengan OAT

atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan (30 dosis harian)

b. Kasus kambuh (relaps)

Adalah penderita tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat

pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan

lengkap, kemudian kembali lagi berobat dengan hasil pemeriksaan dahak

BTA positif atau biakan positif. Bila hanya menunjukkan perubahan pada

gambaran radiologik sehingga dicurigai lesi aktif kembali, harus dipikirkan

beberapa kemungkinan :

• Infeksi sekunder

• Infeksi jamur

• TB paru kambuh

c. Kasus pindahan (Transfer In)

Adalah penderita yang sedang mendapatkan pengobatan di suatu kabupaten

dan kemudian pindah berobat ke kabupaten lain. Penderita pindahan tersebut

harus membawa surat rujukan/pindah

d. Kasus lalai berobat

Adalah penderita yang sudah berobat paling kurang 1 bulan, dan berhenti 2

minggu atau lebih, kemudian datang kembali berobat. Umumnya penderita

tersebut kembali dengan hasil pemeriksaan dahak BTA positif.

e. Kasus Gagal

Adalah penderita BTA positif yang masih tetap positif atau kembali

menjadi positif pada akhir bulan ke-5 (satu bulan sebelum akhir

pengobatan)

Adalah penderita dengan hasil BTA negatif gambaran radiologik positif

menjadi BTA positif pada akhir bulan ke-2 pengobatan dan atau

gambaran radiologik ulang hasilnya perburukan

f. Kasus kronik

Page 7: Tinjauan Pustaka TB

Adalah penderita dengan hasil pemeriksaan dahak BTA masih positif setelah

selesai pengobatan ulang kategori 2 dengan pengawasan yang baik

g. Kasus bekas TB

Hasil pemeriksaan dahak mikroskopik (biakan jika ada fasilitas) negatif dan

gambaran radiologik paru menunjukkan lesi TB inaktif, terlebih gambaran

radiologik serial menunjukkan gambaran yang menetap. Riwayat pengobatan

OAT yang adekuat akan lebih mendukung.

Pada kasus dengan gambaran radiologik meragukan lesi TB aktif, namun

setelah mendapat pengobatan OAT selama 2 bulan ternyata tidak ada

perubahan gambaran radiologik (PDPI, 2006).

2.1.4.2 Tuberkulosis Ekstra Paru

Batasan : Tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru, misalnya

pleura, selaput otak, selaput jantung (pericardium), kelenjar limfe, tulang, persendian, kulit,

usus, ginjal, saluran kencing, alat kelamin, dll. Diagnosis sebaiknya didasarkan atas kultur

spesimen positif, atau histologi, atau bukti klinis kuat konsisten dengan TB ekstraparu aktif,

yang selanjutnya dipertimbangkan oleh klinisi untuk diberikan obat anti tuberkulosis siklus

penuh. TB di luar paru dibagi berdasarkan pada tingkat keparahan penyakit, yaitu :

1. TB di luar paru ringan

Misalnya : TB kelenjar limfe, pleuritis eksudativa unilateral, tulang (kecuali tulang

belakang), sendi dan kelenjar adrenal.

2. TB diluar paru berat

Misalnya : meningitis, millier, perikarditis, peritonitis, pleuritis eksudativa bilateral, TB

tulang belakang, TB usus, TB saluran kencing dan alat kelamin.

Yang dimaksud dengan TB paru adalah TB pada parenkim paru. Sebab itu TB pada

pleura atau TB pada kelenjar hilus tanpa ada kelainan radiologik paru, dianggap sebagai

penderita TB di luar paru. Bila seorang penderita TB paru juga mempunyai TB di luar paru,

maka untuk kepentingan pencatatan penderita tersebut harus dicatat sebagai penderita TB

paru. Bila seorang penderita ekstra paru pada beberapa organ, maka dicatat sebagai ekstra

paru pada organ yang penyakitnya paling berat (PDPI, 2006).

Page 8: Tinjauan Pustaka TB

Gambar 2.3 Skema Klasifikasi Tuberkulosis

2.1.5 Penegakkan Diagnosis

2.1.5.1 Gejala Klinis

1. Gejala respiratorik

Keluhan yang dirasakan pasien TB dapat bermacam-macam, mulai tidak ada

gejala sampai gejala yang cukup berat tergantung dari luas lesi.

a) Batuk. Gejala batuk timbul paling dini dan merupakan gangguan yang paling

sering dikeluhkan. Batuk berlangsung selama 2-3 minggu (Amin dan Bahar,

2009).

b) Dahak. Dahak awalnya bersifat mukoid dan keluar dalam jumlah sedikit,

kemudian berubah menjadi mukopurulen/kuning atau kuning hijau sampai

purulen dan kemudian berubah menjadi kental bila sudah terjadi pengejuan

dan perlunakan. Jarang berbau busuk, kecuali bila ada infeksi anaerob

(Alsagaff and Mukty, 2010).

c) Batuk darah. Darah yang dikeluarkan penderita mungkin berupa garis atau

bercak-bercak darah, gumpalan-gumpalan darah atau darah segar dalam

jumlah sangat banyak (profus). Batuk darah jarang menjadi gejala awal dari

penyakit TB karena batuk darah merupakan tanda telah terjadi ekskavasi

Page 9: Tinjauan Pustaka TB

dan ulserasi dari pembuluh darah pada dinding kavitas (Alsagaff and Mukty,

2010).

d) Nyeri Dada. Gejala ini agak jarang ditemukan. Nyeri dada timbul bila infiltrasi

radang sudah mencapai ke pleura sehingga menimbulkan pleuritis (Amin

dan Bahar, 2009).

e) Sesak napas. Merupakan gejala dari proses lanjut tuberkulosis paru akibat

adanya restriksi dan obstruksi saluran napas serta loss of vascular bed yang

dapat mengakibatkan gangguan difusi, hipertensi pulmonal, kor-pulmonal

(Amin dan Bahar, 2009).

2. Gejala-gejala umum

a) Panas badan. Biasanya subfebris menyerupai demam influenza. Namun,

kadang panas badan dapat mencapai 40-41oC bila proses berkembang

menjadi progresif. Seringkali panas badan sedikit meningkat pada siang

maupun sore hari (Amin dan Bahar, 2009).

b) Menggigil. Dapat terjadi bila suhu badan naik dengan cepat, tetapi tidak

diikuti pengeluaran panas dengan kecepatan yang sama atau dapat terjadi

sebagai suatu reaksi umum yang lebih hebat (Amin dan Bahar, 2009).

c) Keringat malam. Umumnya baru timbul bila proses telah lanjut, kecuali pada

orang dengan vasomotor labil, keringat malam dapat timbul lebih dini (Amin

dan Bahar, 2009)

d) Malaise. Gejala malaise sering ditemukan berupa anoreksia (penurunan

nafsu makan), badan makin kurus (penurunan berat badan), sakit kepala,

meriang, nyeri otot, dan lain-lain. Gejala malaise makin lama makin berat

dan terjadi hilang timbul (Amin dan Bahar, 2009).

2.1.5.2 Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan pertama terhadap keadaan umum pasien mungkin ditemukan

konjungtiva mata atau kulit yang pucat karena anemia, suhu demam (subfebris), badan

kurus, atau berat badan menurun (Amin & Bahar, 2009).

Kelainan yang didapat tergantung luas kelainan struktur paru. Pada permulaan

perkembangan penyakit umumnya tidak (atau sulit sekali) menemukan kelainan. Kelainan

paru umumnya terletak di daerah lobus superior, terutama daerah apeks dan segmen

posterior (S1 dan S2), serta daerah apeks lobus inferior (S6) (PDPI, 2006). Bila dicurigai

adanya infiltrat yang agak luas, maka didapatkan perkusi yang redup dan auskultasi suara

napas bronkial. Akan didapatkan juga suara napas tambahan berupa ronki basah, kasar,

dan nyaring. Tetapi bila infiltrat ini diliputi oleh penebalan pleura, suara napasnya menjadi

vesikular melemah. Bila terdapat kavitas cukup besar, perkusi memberikan suara hipersonor

atau timpani dan auskultasi memberikan suara amforik (Amin & Bahar, 2009).

Page 10: Tinjauan Pustaka TB

Pada TB Paru yang lanjut dengan fibrosis yang luas sering ditemukan atrofi dan

retraksi otot-otot interkostal. Bagian paru yang sakit menjadi menciut dan menarik isi

mediastinum atau paru lainnya. Paru yang sehat menjadi lebih hiperinflasi. Bila jaringan

fibrotik amat luas yakni lebih dari setengah jumlah jaringan paru-paru, akan terjadi

pengecilan daerah aliran darah paru dan selanjutnya meningkatkan tekanan arteri

pulmonalis (hipertensi pulmonal) (Amin & Bahar, 2009)

2.1.5.3 Pemeriksaan Penunjang

1. Pemeriksaan darah rutin. Pemeriksaan ini kurang mendapat perhatian karena

hasilnya kadang-kadang meragukan, hasilnya tidak sensitif dan juga tidak spesifik.

Pada saat TB Paru mulai aktif akan didapatkan jumlah leukosit yang sedikit meninggi

dengan hitung jenis pergeseran ke kiri. Jumlah limfosit masih di bawah normal. Laju

endap darah mulai meningkat (Amin & Bahar, 2009).

2. Pemeriksaan mikrobiologi.

a) Bahan pemeriksaan. Bahan untuk pemeriksaan mikrobiologi ini dapat berasal dari

dahak, cairan pleura, cairan serebrospinal, bilasan bronkus, bilasan lambung,

kurasan bronkoalveolar, urin, feses, dan jaringan biopsi (PDPI, 2006).

Pemeriksaan dahak (sputum) adalah penting karena dengan ditemukannya BTA,

diagnosis TB sudah dapat dipastikan. Selain itu pemeriksaan dahak juga dapat

memberikan evaluasi terhadap pengobatan yang sudah diberikan (Amin & Bahar,

2009).

b) Cara pengambilan dahak. Pemeriksaan dahak untuk penegakkan diagnosis

dilakukan dengan mengumpulkan 3 spesimen dahak yang dikumpulkan dalam dua

hari kunjungan yang berurutan berupa SPS:

- S (sewaktu): dahak dikumpulkan pada saat suspek TB datang berkunjung

pertama kali.

- P (pagi): dahak dikumpulkan di rumah pada pagi hari kedua, segera setelah

bangun tidur.

- S (Sewaktu): dahak dikumpulkan pada hari kedua, saat menyerahkan dahak

pagi.

c) Cara pemeriksaan dahak. Pemeriksaan mikrobiologi dari spesimen dahak dan

bahan lain dapat dilakukan dengan cara mikroskopik dan biakan. Pemeriksaan

mikroskopik dapat dilakukan dengan:

- Mikroskopik biasa: pewarnaan Ziehl-Nielsen

- Mikroskopik fluoresens: pewarnaan auramin-rhodamin

Teknik pewarnaan BTA ini digunakan secara rutin di laboratorium termasuk di

rumah sakit dan puskesmas. Teknik ini lebih cepat namun sensitivitas dan

spesifitasnya lebih rendah (34%-80%) dibandingkan kultur (Lyanda, 2012). Hal ini

Page 11: Tinjauan Pustaka TB

disebabkan oleh dalam pemeriksaan BTA diperlukan kurang lebih 5000-10.000

kuman/ml dahak sedangkan untuk mendapatkan kuman positif pada biakan yang

merupakan diagnosis pasti memerlukan sekitar 10-100 kuman/ml dahak (Brodie &

Schluger, 2005).

lnterpretasi hasil pemeriksaan dahak dari 3 kali pemeriksaan ialah bila :

• 3 kali positif atau 2 kali positif, 1 kali negatif → BTA positif

• 1 kali positif, 2 kali negatif → ulang BTA 3 kali kecuali bila ada fasilitas foto

toraks, kemudian bila 1 kali positif, 2 kali negatif → BTA positif

• bila 3 kali negatif → BTA negatif

Pemeriksaan biakan M. tuberculosis dengan metode konvensional ialah dengan

cara: Egg-based media (Lowenstein Jensen, Ogawa, Kudoh) dan agar-based

media (Middle Brook). Pada kasus-kasus tertentu dilakukan kultur untuk konfirmasi

diagnosis, karena teknik ini memiliki sensitivitas dan spesifitas yang lebih tinggi

(80-93% dan 98%). Kendalanya memerlukan waktu yang lama (lebih dari 1

minggu) untuk memperoleh hasil juga diperlukan fasilitas laboratorium khusus

untuk kultur Mycobacterium yang terjamin keamanannya (Lyanda, 2012).

3. Pemeriksaan Radiologik. Pemeriksaan standar adalah foto toraks posterior-anterior

(PA). Pada pemeriksaan foto toraks, TB Paru dapat memberi gambaran bermacam-

macam bentuk (multiform). Gambaran radiologi yang dicurigai sebagai lesi TB aktif

adalah bayangan berawan di segmen apikal dan posterior lobus atas paru dan

segmen superior lobus bawah, kavitas yang berjumlah lebih dari satu dan dikelilingi

bayangan opak berawan, bayangan bercak milier, efusi pleura unilateral atau

bilateral. Sedangkan gambaran radiologi yang dicurigai lesi TB inaktif adalah

gambaran fibrotik, kalsifikasi, dan schwarte atau penebalan pleura. Gambaran luluh

paru (destroyed lung) menunjukkan kerusakan jaringan paru yang berat. Gambaran

radiologi luluh paru terdiri dari atelektasis, ektasis atau multikavitas, dan fibrosis

parenkim paru (PDPI, 2006)

Pembagian berdasarkan luas lesi:

- Minimal tuberculosis: terdapat sebagian kecil infiltrat non kavitas pada satu paru

maupun kedua paru, tetapi jumlahnya tidak melebihi satu lobus paru.

- Moderately advanced tuberculosis: ada kavitas dengan diameter tidak lebih dari 4

cm. Jumlah infiltrat bayangan halus tidak lebih dari satu bagian paru. Bila

bayangannya kasar tidak lebih dari sepertiga bagian satu paru.

- Far advanced tuberculosis: terdapat infiltrat dan kavitas yang melebihi keadaan

pada moderately advanced tuberculosis (Amin & Bahar, 2009).

Page 12: Tinjauan Pustaka TB

2.1.6 Tatalaksana

Dalam pengobatan TB, dikenal 2 fase, yaitu fase intensif dan fase

lanjutan.Sedangkan obat yang digunakan dibagi menjadi 2 lini, yaitu sebagai berikut (WHO,

2010).

1. Lini pertama:

a. Isoniazid

b. Rifampisin

c. Pirazinamid

d. Streptomisin

e. Etambutol

2. Lini kedua:

a. Kanamisin

b. Amikasin

c. Kuinolon

d. Makrolid, amoksisilin + asam klavulanat (masih dalam penelitian)

e. Belum ada di Indonesia:

i. Kapreomisin

ii. Sikloserin

iii. PAS

iv. Derivat Isoniazid dan Rifampisin

v. Thionamides (Ethionamide dan Prothionamide)

Sedangkan dosis yang dianjurkan adalah sebagai berikut.

Tabel 2.2 Rekomendasi Dosis OAT

Dapat pula menggunakan Kombinasi Dosis Tetap (KDT) 4 obat berdasarkan rentang

dosis yang telah ditentukan oleh WHO, yang merupakan dosis yang efektif dan masih

termasuk dalam bata dosis terapi dan non toksik (WHO, 2010).

Page 13: Tinjauan Pustaka TB

Tabel 2.3 Rekomendasi Kombinasi Dosis Tetap OAT

BB

FaseIntensif FaseLanjutan2-3 bulan 4 bulan

Harian Harian 3x/mingguRHZE

150/75/400/275RH

150/75RH

150/15030-37 2 2 238-54 3 3 355-70 4 4 4>71 5 5 5

Dalam menentukan regimen obat OAT, pasien perlu diidentifikasi terlebih dahulu, apakah

pasien masuk dalam kategori 1 atau kategori 2 (Aditama dkk, 2011).

1. Kategori 1 (2HRZE/ 4H3R3)

Belum pernah mendapatkan OAT:

a. Pasien baru TB paru BTA positif

b. Pasien TB paru BTA negative foto totaks positif

c. Pasien TB ekstraparu

2. Kategori 2 (2HRZES/ HRZE/ 5H3R3E3)

Telah mendapat OAT sebelumnya:

a. Pasien kambuh (pasien yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan

tuberculosis dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap,

didiagnosis kembali dengan BTA positif pada apusan atau kultur)

b. Pasien gagal (pasien yag hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau

kembali menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan)

c. Pasien dengan pengobatan setelah putus berobat (default) (pasien yang telah

berobat dan putus berobat 2 bulan atau lebih dengan BTA positif)

Tabel 2.4 OAT Kategori 2

BB

TahapIntensifTiaphari

RHZE (150/75/400/275) + S

TahapLanjutan3 kali seminggu

RH (150/150) + E (400)Selama 56 hari Selama 28 hari Selama 20 minggu

30-37 2 tab 4KDT+ 500 mg Streptomisin inj.

2 tab 4KDT 2 tab 4KDT+ 2 tab Etambutol

38-54 3 tab 4KDT+ 750 mg Streptomisin inj.

3 tab 4KDT 3 tab 4KDT+ 3 tab Etambutol

55-70 4 tab 4KDT+ 1000 mg Streptomisin inj.

4 tab 4KDT 4 tab 4KDT+ 4 tab Etambutol

>71 5 tab 4KDT+ 1000 mg Streptomisin inj.

5 tab 4KDT 5 tab 4KDT+ 5 tab Etambutol

Page 14: Tinjauan Pustaka TB

Untuk pasien berusia 60 tahun ke atas, dosis maksimal Streptomisin adalah 500 mg

tanpa memperhatikan berat badan.Sedangkan menganai efek samping, masing-masing OAT

memiliki efek samping yang dapat dibagi menjadi efek samping mayor dan efek samping

minor.Masing-masing efek samping memiliki cara penanganan tersendiri, baik dihentikan,

maupun diberi obat simptomatis.Efek samping OAT dan tatalaksananya disajikan dalam

tabel di bawah ini (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2011).

Tabel 2.5 Efek Samping OAT

EfekSamping Mayor Obat TatalaksanaHentikanobatpenyebabdanrujuksecepatnya

Kemerahkulitdenganatautanpagatal

Strptomisin, Isoniazid, Rifampisin, Pirazinamid

Hentikan OAT

Tuli (bukandisebabkankotoran)

Streptomisin

HentikanStreptomisin

Pusing (vertigo, dannistagmus)

Streptomisin

HentikanStreptomisin

Kuning (setelahpenyebab lain disingkirkan), hepatitis

Isoniazid, Rifampisin, Pirazinamid

Hentikan OAT

Bingung (didugagangguanheparberatbilabersamaandengankuning)

Sebagianbesar OAT

Hentikan OAT

Gangguanpenglihatan (setelahgangguan lain disingkirkan)

Etambutol HentikanEtambutol

Syok, purpura, GGA Rifampisin HentikanRifampisinPenurunanjumlahurin Streptomisi

nHentikanStreptomisin

EfekSamping Minor Obat TatalaksanaTeruskanpengobatan, evaluasidosisobat

Tidaknapsumakan, mual, dannyeriperut

Pirazinamid, Rifampisin, Isoniazid

Berikanobatbersamaandenganmakananringanatausebelumtidurdananjurkanpasienuntukminumobatdengan air sedikit demi sedikit. Apabilaterjadimuntah yang terusmenerus, atauadatandaperdarahansegerapikirkansebagaiefeksamping mayor dansegerarujuk

Nyerisendi Pirazinamid Aspirin atau NSAID atauParacetamolRasa terbakar, kebas, ataukesemutanpadatanganatau kaki

Isoniazid Piridoksindosis 100-200 mg/hariselama 3 minggu. Sebagaiprofilaksis 25-100 mg/hari

Mengantuk Isoniazid Yakinkankembali, berikanobatsebelumtidurUrinberwarnakemerahanatauoranye

Rifampisin Yakinkan pasien dan sebaiknya pasien diberitahu sebelum mulai pegobatan

Sindrom flu (demam, menggigil, malaise, sakitkepala, nyeritulang)

DosisRifampisinintermiten

Ubah pemberian dari intermiten ke pemberian harian

Page 15: Tinjauan Pustaka TB

Selain pemberian OAT, perlu diberikan terapi tambahan (suportif/simptomatis) untuk

mengatasi keluhan pasien.

1. Pasien rawat jalan

a. Makan makanan bergizi, bila dianggap perlu dapat diberikan vitamin

tambahan

b. Bila demam dapat diberikan obat penurun panas

c. Bila perlu dapat diberikan obat untuk mengatasi gejala batuk, sesak napas,

atau keluhan lainnya seperti mual, dan nyeri perut.

2. Pasien rawat inap

Indikasi rawat inap:

TB paru disertai keadaan sbb:

- Batuk darah massif

- KU buruk

- Pneumotoraks

- Empiema

- Efusi pleura massif/ bilateral

- Sesak napas berat (bukan karena efusi pleura)

TB ekstra paru yang mengancam jiwa:

- TB milier

- Meningitis TB

Selain terapi menggunakan obat, dapat juga dilakukan pembedahan, namun dengan

beberapa pertimbangan sebagai berikut.

1. Indikasi mutlak

a. Semua pasien yang telah mendapat OAT adekuat tetapi dahak tetap positif

b. Pasien batuk darah massif yang tidak dapat diatasi secara konservatif

c. Pasien dengan fistula bronkopleura dan empyema yang tidak dapat diatasi

secara konservatif

2. Indikasi relatif

a. Pasien dengan dahak negatif dengan batuk darah berulang

b. Kerusakan salah satu paru atau lobus dengan keluhan

c. Sisa kavitas yang menetap

Adapula tindakan invasive namun bukan pembedahan, yaitu bronkoskopi, pungsi pleura, dan

pemasangan Water Sealed Drainage (WSD).

Setelah dilakukan prosedur tatalaksana TB dengan baik, maka perlu dilakukan

evaluasi, baik secara klinis, bakteriologi, dan radiologi.Evaluasi klinis dan bakteriologi

dilakukan di awal, sebelum pasien mendapatkan OAT, kemudian di akhir pengobatan fase

intensif, dan selanjutnya pada akhir pengobatan.Untuk pasien yang telah dinyatakan

Page 16: Tinjauan Pustaka TB

sembuh, setidaknya tetap dilakukan evaluasi selama 2 tahun(Perhimpunan Dokter Paru

Indonesia, 2011).

2.1.7 Komplikasi dan Prognosis

Pada pasien tuberkulosis dapat terjadi beberapa komplikasi,baik sebelum atau dalam

massa pengobatan maupun setelah selesai pengobatan. Beberapa komplikasi yang mungkin

timbul (PDPI, 2006) adalah:

1. Batuk darah

2. Pneumothoraks

3. Luluh paru

4. Gagal nafas

5. Gagal jantung

6. Efusi pleura

Komplikasi ini muncul akibat adanya kerusakan parenkim paru itu sendiri karena

infeksi bakteri M. tuberculosis.Kebanyakan pasien dengan TB paru memiliki prognosis yang

baik bila pasien menyelesaikan regimen pengobatan TB hingga selesai.Angka rekurensinya

cukup rendah, yaitu 0-14% (Cox et al., 2008).Di Negara dengan kejadian TB yang rendah,

rekurensi terjadi biasanya pada 12 bulan pertama.Akan lebih banyak pasien yang ditemukan

dengan reinfeksi, di negara dengan angka kejadian TB yang tinggi.Pasien dengan

keterlibatan ekstra pulmoner, MDR TB, imunokompromise, lansia, dan pasien yang

sebelumnya pernah menderita TB dan sudah pernah mendapat OAT, akan memiliki

prognosis yang lebih buruk(van Rie et al., 1999).

2.2 PNEUMONIA KOMUNITAS

2.2.1 Definisi

Pneumonia merupakan peradangan parenkim paru yang disebabkan oleh infeksi

mikroorganisme (bakteri, virus, jamur, parasit). Pneumonia komunitas (Community-Acquired

Pneumonia/CAP) ditujukan untuk pneumonia yang sumber infeksinya berasal dari luar

lingkungan rumah sakit atau fasilitas pelayanan kesehatan (PDPI, 2003)(Schmitt, 2014).

Kriteria pneumonia komunitas adalah (Levy, dkk., 2009) :

Gejala-gejala yang berasal dari penyakit saluran napas bawah (batuk dan minimal 1

gejala penyakit saluran napas bawah lainnya)

Tanda baru pada pemeriksaan

Gejala sistemik (suhu tubuh >38oC dan /atau gejala lain seperti berkeringat, demam,

menggigil, dan nyeri)

Tidak ada penyebab lain dan keputusan medis harus ditujukan pada tatalaksana

pneumonia komunitas dengan antibiotik.

Page 17: Tinjauan Pustaka TB

2.2.2 Epidemiologi

Meskipun penggunaan antibiotik sudah banyak diberikan sebagai tatalaksana

pneumonia, namun penyakit tersebut masih menjadi penyebab kematian terbanyak ke-7 di

AS. Pada tahun 2003, tingkat kematian akibat influenza dan pneumonia adalah 20,3 per

100.000 orang. Estimasi insiden pneumonia komunitas adalah sekitar 4 – 5 juta kasus per

tahun, dengan 25% di antaranya memerlukan rawat inap di RS (Schmitt, 2014). Pada studi

prospektif, insiden tahunan dari pneumonia komunitas dilaporkan sebesar 5 – 11 kasus per

1.000 pada populasi dewasa (Levy, dkk., 2009).

2.2.3 Etiologi

Streptococcus pneumoniae merupakan organisme penyebab paling umum dari

pneumonia komunitas pada semua usia, sekitar 36% kasus CAP terdiagnosis di komunitas.

Mycoplasma pneumoniae dan infeksi legionella jarang ditemukan pada lansia, sementara

Haemophillus influenzae umum teridentifikasi pada lansia (Levy, dkk., 2009).

Tabel 2.6. Patogen yang Teridentifikasi pada Pneumonia Komunitas

PATOGEN KASUS (%)

Streptococcus pneumoniae 20-60

Haemophilus influenzae 3-10

Staphylococcus aureus 3-5

Gram-negative bacilli 3-10

Legionella species 2-8

Mycoplasma pneumoniae 1-6

Chlamydia pneumoniae 4-6

Viruses 2-15

Aspiration 6-10

Others 3-5

2.2.4 Faktor Resiko

Beberapa faktor resiko pneumonia komunitas antara lain (Price dan Wilson, 2002)

(Torres, dkk., 2013) :

Usia >65 tahun

Gaya hidup : Merokok (aktif maupun pasif) dan alkoholisme

Tirah baring yang lama

Malnutrisi

Page 18: Tinjauan Pustaka TB

Infeksi saluran napas oleh virus

Aspirasi sekret orofaringeal

Trakeostomi atau pemasangan selang endotrakeal

Bedah toraks atau abdominal

Fraktur kostae

Penyakit paru kronis (PPOK, asma, kistik fibrosis)

Kanker (terutama kanker paru)

Kondisi imunokompromais (autoimun dengan terapi steroid atau kondisi lain yang

menggunakan terapi imunosupresif) dan imunodefisiensi (AIDS)

Berbagai penyakit kronis yang menyerang sistem kardiovaskuler, serebrovaskuler,

ginjal, liver, metabolik (diabetes mellitus), atau sistem saraf pusat (demensia)

2.2.6 Patogenesis dan Patofisiologi

Dalam keadaan sehat, tidak terjadi pertumbuhan mikroorganisme di paru. Keadaan

ini disebabkan oleh adanya mekanisme pertahanan paru. Mekanisme pertahanan paru yang

terdiri atas mekanisme pembersihan di saluran napas penghantar, saluran napas subglotik,

dan respiratory exchange airway (bronkiolus dan alveolus). Mekanisme tersebut melibatkan

berbagai komponen seperti aliran lendir ataupun surfaktan, struktur anatomis seperti silia,

dan faktor humoral (IgG dan IgA) (Price dan Wilson, 2002)(PDPI, 2003).

Apabila terjadi ketidakseimbangan antara daya tahan tubuh, mikroorganisme dapat

berkembang biak dan menimbulkan penyakit. Resiko infeksi di paru sangat tergantung pada

kemampuan mikroorganisme untuk sampai dan merusak permukaan epitel saluran napas.

Ada beberapa cara mikroorganisme mencapai permukaan yakni aspirasi sekret yang berisi

mikroorganisme patogen yang telah berkolonisasi pada orofaring, inhalasi bahan aerosol

infeksius, dan penyebaran secara hematogen dari bagian ekstrapulmonal. Aspirasi dan

inhalasi merupakdua cara tersering yang menyebabkan pneumonia (Price dan Wilson, 2002)

(PDPI, 2003).

Basil yang masuk bersama sekret bronkus ke dalam alveolus menyebabkan reaksi

radang berupa edema seluruh alveoli disusul dengan infiltrasi sel-sel PMN dan diapedesis

eritrosit sehingga terjadi permulaan fagositosis sebelum terbentuknya antibodi. Sel-sel PMN

mendesak bakteri ke permukaan alveoli dan dengan bantuan leukosit yang lain melalui

psedopodosis sitoplasmik mengelilingi bakteri tersebut kemudian dimakan. Pada waktu

terjadi peperangan antara host dan bakteri maka akan

tampak 4 zona pada daerah parasitik terset yaitu (PDPI, 2003) :

1. Zona luar : alveoli yang tersisi dengan bakteri dan cairan edema.

2. Zona permulaan konsolidasi : terdiri dari PMN dan beberapa eksudasi sel darah

merah.

Page 19: Tinjauan Pustaka TB

3. Zona konsolidasi yang luas : daerah tempat terjadi fagositosis yang aktif dengan

jumlah PMN yang banyak.

4. Zona resolusi : daerah tempat terjadi resolusi dengan banyak bakteri yang mati,

leukosit, dan alveolar makrofag.

Red hepatization ialah daerah perifer yang terdapat edema dan perdarahan 'Gray

hepatization' ialah konsolodasi yang luas (PDPI, 2003).

2.2.5 Penegakan Diagnosis

Tanda dan gejala pneumonia akut berlangsung dalam hitungan jam hingga hari,

sedangkan manifestasi klinis pneumonia kronik berlangsung berminggu-minggu hingga

berbulan-bulan (Schmitt, 2014). Diagnosis pneumonia komunitas didapatkan dari

anamnesis, gejala klinis pemeriksaan fisis, foto toraks dan labolatorium. Berikut adalah

berbagai temuan yang mengarah pada diagnosis pneumonia (PDPI, 2003):

Anamnesis

Pasien umumnya mengeluh demam, menggigil, suhu tubuh meningkat dapat

melebihi 40oC, batuk dengan dahak mukoid atau purulen kadang-kadang disertai

darah, sesaknapas, dan nyeri dada.

Pemeriksaan fisik

Temuan pemeriksaan fisis dada tergantung dari luas lesi di paru. Pada inspeksi

dapat terlihat bagian yang sakit tertinggal waktu bernapas, pada palpasi fremitus

dapat mengeras, pada perkusi redup, pada auskultasi terdengar suara napas

bronkovesikuler sampai bronkial yang mungkin disertai ronki basah halus, yang

kemudian menjadi ronki basah kasar pada stadium resolusi.

Gambaran radiologis

Foto toraks (PA/lateral) merupakan pemeriksaan penunjang utama untuk

menegakkan diagnosis. Gambaran radiologis dapat berupa infiltrat sampai

konsolidasi dengan "air bronchogram", penyebab bronkogenik dan interstisial serta

gambaran kavitas. Foto toraks saja tidak dapat secara khas menentukan penyebab

pneumonia, hanya merupakan petunjuk ke arah diagnosis etiologi, misalnya

gambaran pneumonia lobaris tersering disebabkan oleh Steptococcus pneumoniae,

Pseudomonas aeruginosa sering memperlihatkan infiltrat bilateral atau gambaran

bronkopneumonia sedangkan Klebsiella pneumoniae sering menunjukkan

konsolidasi yang terjadi pada lobus atas kanan meskipun dapat mengenai beberapa

lobus.

Pemeriksaan labolatorium

Pada pemeriksaan labolatorium terdapat peningkatan jumlah leukosit, biasanya lebih

dari 10.000/ul kadang-kadang mencapai 30.000/ul, dan pada hitungan jenis leukosit

Page 20: Tinjauan Pustaka TB

terdapat pergeseran ke kiri serta terjadi peningkatan LED. Untuk menentukan

diagnosis etiologi diperlukan pemeriksaan dahak, kultur darah dan serologi. Kultur

darah dapat positif pada 20-25% penderita yang tidak diobati. Analisis gas darah

menunjukkan hipoksemia dan hikarbia, pada stadium lanjut dapat terjadi asidosis

respiratorik.

Diagnosis pasti pneumonia komunitas ditegakkan jika pada foto toraks terdapat

infiltrat baru atau infiltrat progresif ditambah dengan 2 atau lebih gejala di bawah ini (PDPI,

2003) :

• Batuk-batuk bertambah

• Perubahan karakteristik dahak / purulen

• Suhu tubuh > 380C (aksila) / riwayat demam

• Pemeriksaan fisis : ditemukan tanda-tanda konsolidasi, suara napas bronkial dan

ronki

• Leukosit > 10.000 atau < 4500

2.2.6 Tatalaksana

Tujuan utama terapi antibiotik pneumonia adalah eradikasi organisme penyebab

infeksi dengan evaluasi perbaikan klinis. Pemilihan obat yang tepat tergantung pada patogen

penyebab. Pneumonia akut bisa saja disebabkan berbagai varietas patogen. Namun,

bagaimanapun, selagi menunggu diagnosis yang lebih akurat, terapi awal bagi sebagian

besar pasien perlu dilakukan berdasarkan data-data empiris.Meskipun pneumonia

nosokomial mungkin disebabkan oleh begitu banyak jenis patogen, terdapat beberapa jenis

tertentu ditemukan pada sebagian besar kasus. ATS (2007) menjabarkan etiologi dan pilihan

terapi pada pneumonia komunitas berikut ini (PDPI, 2003) :

Page 21: Tinjauan Pustaka TB

Tabel 2.7. Etiologi dan Terapi Pneumonia Komunitas

Etiologi Terapi

Rawat jalan Streptococcus

pneumoniae

Mycoplasma

pneumoniae

Chlamydophila

pneumoniae

Respiratory virus

Tanpa faktor modifikasi; Golongan betalaktam

atau betalaktam + anti betalaktamase

Dengan faktor modifikasi; Golongan

betalaktam atau betalaktam + anti

betalaktamase, atau Fluorokuinolon respirasi

(levofloxacin, moxifloxacin, gatilfloxacin)

Bila dicurigai pneumonia atipik; Makrolid baru

(roksitromisin, klaritomisin, azitromisin)

Rawat inap S. pneumoniae

M. pneumoniae

C. pneumoniae

H. influenza

Legionella species

Aspiration

Respiratory viruses

Tanpa faktor modifikasi; Golongan betalaktam

+ anti betalaktamase iv, atau sefalosporin G2,

G3 iv, atau fluorokuinolon respirasi

Dengan faktor modifikasi; Sefalosporin G2,

G3 iv, atau fluorokuinolon respirasi iv

Bila curiga disertai infeksi bakteri atipik

ditambah makrolid baru

Rawat inap

ICU

S. pneumoniae

Staphylococcus

aureus

Legionella species

Gram-negative

bacille

H. influenzae

Tidak ada faktor resiko infeksi pseudomonas;

Sefalosporin G3 iv nonpseudomonas

ditambah makrolid baru atau fluorokuinolon

respirasi iv

Ada faktor resiko infeksi pseudomonas;

o Sefalosporin antipseudomonas iv atau

karbapenem iv ditambah fluorokuinolon

antipseudomonas (siprofloksasin) iv atau

aminoglikosida iv

o Bila curiga disertai infeksi bakteri atipik;

sefalosporin anti pseudomonas iv atau

carbapenem iv ditambah aminoglikosida

iv, ditambah lagi makrolid baru atau

fluorokuinolon respirasi iv

Yang disebut faktor modifikasi adalah keadaan yang dapat meningkatkan resiko

infeksi dengan organisme patogen spesifik, misalnya S. pneumoniae. Yang termasuk dalam

faktor modifikasi antara lain (PDPI, 2003) :

Page 22: Tinjauan Pustaka TB

a. Pneumokokus resisten penisilin

Umur > 65 tahun

Memakai obat-obatan beta laktam selama 3 bulan terakhir

Pecandu alkohol

Penyakit imunocompromised

Penyakit penyerta yang multipel

b. Bakteri enterik Gram negatif

Penghuni rumah jompo

Mempunyai penyakit dasar kelainan jantung paru

Mempunyai kelainan penyakit multipel

Riwayat pengobatan antibiotik

c. Pseudomonas aeruginosa

Bronkiektasis

Pengobatan kortikosteroid > 10 mg/hari

Pengobatan antibiotik spektrum luas > 7 hari pada bulan terakhir

Gizi kurang

Pneumonia atipikal, disebabkan oleh organisme atipik yang tidak terdeteksi dengan

pengecatan Gram dan tidak bisa dibiakkan pada media bakteri standar, antara lain M.

Pneumoniae, C. Pneumoniae, legionella secies, dan respiratory virus. Selain Legionella,

organisme ini sering menyebabkan pneumonia, terutama pada pasien rawat jalan. Antibiotik

yang direkomendasikan pada pneumonia atipik adalah (PDPI, 2003) :

Makrolid baru (azitromisin, klaritomisin, roksitromisin)

Fluorokuinolon respirasi

Doksisiklin

Kriteria Rawat Inap

Penilaian derajat keparahan pneumonia komunitas berdasarkan Pneumonia Patient

Outcome Research Team (PORT) score (PDPI, 2003) :

Page 23: Tinjauan Pustaka TB

Tabel 2.8 PORT Score

Karakteristik Poin

Faktor demografi

Usia; laki-laki

Perempuan

Perawatan di rumah

Penyakit penyerta

Keganasan

Penyakit hati

Gaga jantung kongestif

Penyakit serebrovaskular

Penyakit ginjal

Pemeriksaan fisik

Perubahan status mental

Pernapasan > 30 kali/menit

Tekanan darah sistolik ≤ 90 mmHg

Suhu tubuh < 35°C atau > 40°C

Nadi > 125 kali/menit

Laboratorium/ Radiologi

BGA; pH 7,35

BUN > 30 mg/dL

Natrium < 130 mEq/liter

Glukosa > 250 mg/dL

Hematokrit < 30%

PO ≤ 60 mmHg

Eefusi pleura

Umur (tahun)

Umur (tahun) – 10

+ 10

+ 30

+ 20

+ 10

+ 10

+ 10

+ 20

+ 20

+ 20

+ 15

+ 10

+ 30

+ 20

+ 20

+ 10

+ 10

+ 10

+ 10

+ 10

Indikasi rawat inap penderita bila;

1. PORT score > 70

2. PORT score < 70 namun terdapat salah satu kriteria berikut

Frakuensi napas > 30/menit

PaO2/FiO2 < 250 mmHg

Foto thorax paru menunjukkan kelainan bilateral

Foto thorax paru melibatkan > 2 lobus

Page 24: Tinjauan Pustaka TB

Tekanan sistolik < 90 mmHg, diastolik < 60 mmHg

3. Pneumonia pada pengguna NAPZA (PDPI, 2003)

2.2.7 Komplikasi

Komplikasi pneumonia jika tidak segera ditangani dengan tepat antara lain (PDPI,

2003) :

Efusi pleura

Empiema

Abses paru

Gagal napas

Sepsis

2.2.8 Prognosis

Prognosis penumonia secara umum baik, tergantung dari faktor penderita, bakteri,

dan antibiotik yang adekuat. Prevalensi kematian pada penderita rawat jalan adalah 5%,

sedangkan penderita rawat inap adalah 20%. Kriteria prediksi kematian pada penderita

pneumonia komunitas adalah kadar BUN > 20 mg/dL, RR > 30 kali/menit, dan diastolik < 60

mmHg. Jika terdapat dua dari tiga kriteria tersebut, resiko kematian meningkat hingga 21 kali

lipat (BTS, 2009).

2.3 Pneumotoraks

2.3.1 Definisi

Pneumothoraks adalah kondisi adanya udara di antara pleura visceralis dan

parietalis. Kondisi ini merupakan gangguan respirasi yang dapat terjadi di berbagai kondisi

klinis dan usia (Currie et al, 2007; MacDuff et al, 2010).

2.3.2 Klasifikasi dan Patogenesis

Pneumothoraks dapat dikelompokkan berdasarkan etiologinya sebagai berikut:

1. Pneumothoraks primer

Umumnya terjadi pada laki-laki usia muda, tinggi, dan kurus yang tidak memiliki riwayat

penyakit paru sebelumnya atau riwayat adanya trauma pada thoraks. Merokok

meningkatkan resiko terjadinya pneumothoraks sebesar sembilan kali. Patogenesisnya

adalah adanya ruptur dari bulla di subpleura (Currie et al, 2007; MacDuff et al, 2010).

2. Pneumothoraks sekunder

Terjadi pada orang yang memiliki penyakit paru yang mendasari sebelumnya. Tingkat

morbiditas dan mortalitasnya lebih tinggi dibandingkan pneumothoraks primer. Faktor

predisposisi yang sering mendasari antara lain (Currie et al, 2007; MacDuff et al, 2010):

1. Penyakit paru obstruktif

Page 25: Tinjauan Pustaka TB

COPD, asma

2. Penyakit paru supuratif

Bronkiektasis, cystic fibrosis

3. Keganasan

Kanker paru

4. Penyakit paru interstitial

Fibrosis pulmonal, extrinsic allergic alveolitis, sarkoidosis,

lymphangioleiomyomatosis, histiositosis X

5. Infeksi

Pneumonia, tuberkulosis

6. Lain-lain

Sindrom marfan, rheumatoid arthritis

7. Pneumothoraks iatrogenik

Umunya disebabkan oleh kanulasi dari vena sentral, terutama vena subklavia, peural tap

atau biopsi, biopsi transbronkhial, FNAB, dan bisa juga karena proses akupuntur. Pasien

yang diintubasi dan mengunakan ventilator juga dapat mengalami pneumothoraks iatrogenik

karena tekanan inflasi inspirasi yang terlalu tinggi (Currie et al, 2007).

8. Pneumothoraks traumatik

Terjadi karena adanya trauma langsung ke thoraks, umumnya trauma yang bersifat

penetrasi atau frakur costae yang kemudian merobek pleura visceralis (Currie et al, 2007).

Pneumothoraks tension adalah pneumothoraks dengan ukuran berapapun yang

menyebabkan pergeseran dari medistinum dan kolapsnya kardiovaskuler. Ini dapat terjadi

pada pneumothoraks dengan berbagai jenis etiologi (Currie et al, 2007).

2.3.3 Diagnosis

1. Anamnesis

Nyeri pleuritik atau sesak nafas dengan onset yang mendadak. Gejala pada pneumothoraks

primer biasanya minimal atau bahkan tidak ada. Sebaliknya, gejala pada pneumothoraks

sekunder biasanya lebih berat dan tidak sebanding dengan ukurannya (Currie et al, 2007;

MacDuff et al, 2010).

2. Pemeriksaan Fisik

Bervariasi tergantung ukuran dan adanya hambatan pada fungsi kardiorespirasi. Tanda yang

tipikal antara lain penurunan suara nafas, penurunan ekspansi thoraks yang ipsilateral, dan

perkusi yang hipersonor. Pada pneumothoraks tension dapat terjadi sianosis, berkeringat,

takikardi, takipneu, dan hipotensi (Currie et al, 2007).

3. Pemeriksaan Penunjang

Menurut British Thoracic Society, foto X-ray posisi erect dengan pengambilan saat insipirasi

direkomendasikan sebagai initial diagnosis dari pneumothoraks. Pemeriksaan penunjang

Page 26: Tinjauan Pustaka TB

yang paling berguna adalah pemeriksaan radiologi. Dari X-ray thoraks PA, didapatkan

adanya clear zone dari tepi pleura visceralis ke dinding thoraks. Pada lebih dari 50% kasus,

tampak adanya air fluid level di sudut costophrenicus. X-ray posisi lateral tidak rutin

dilakukan namun dapat juga memberikan informasi tambahan. Pada pneumothoraks tension,

dapat terjadi pendorongan dari trakea dan mediastinum (Currie et al, 2007; MacDuff et al,

2010).

CT Scan thoraks dapat dilakuan apabila hasil dari X-ray thoraks meragukan, misalnya pada

keadaan untuk membedakan pneumothoraks dengan bulla yang besar atau ketika lapang

paru tertutup oleh emphysema (Currie et al, 2007; MacDuff et al, 2010).

Selain berdasarkan kondisi klinis, penanganan dari pneumothoraks ditentukan juga

berdasarkan ukurannya. Menurut British Thoracic Society, ukuran dari pneumothoraks dapat

ditentukan sebagai berikut.

1. Pneumothoraks kecil, apabila jarak antara tepi paru dan dinding thoraks di level hilus

< 2 cm

2. Pneumothoraks besar, apabila jarak antara tepi paru dan dinding thoraks di level

hilus ≥ 2 cm

Pengukuran ukuran dari pneumothoraks yang paling akurat dapat dilakukan dengan

menggunakan CT scan (Currie et al, 2007; MacDuff et al, 2010).

Pada pemeriksaan BGA, PaO2 turun menjadi <10,9 kPa pada 75% pasien (Currie et al,

2007; MacDuff et al, 2010).

2.3.4 Penatalaksanaan

Penatalaksanaan pneumothoraks tergantung pada tingkat keparahan dari gejala,

ukuran, dan adanya penyakit yang mendasari. Kecepatan resolusi/ reabsorbsi dari

pneumothoraks spontan sebesar 1,25%-2,2% dari volume hemithorax setiap 24 jam.

Pneumothoraks membutuhkan waktu sekitar 6 minggu untuk dapat resolusi secara spontan

meskipun mungkin masih tetap didapatkan adanya udara bebas yang persisten untuk waktu

yang lama (Currie et al, 2007; MacDuff et al, 2010).

Pemberian oksigen dilakukan hingga tercapai saturasi >92% agar organ vital

mencapai oksigenasi yang adekuat. Namun, pemberian oksigen aliran tinggi perlu

diperhatikan pada pasien COPD karena pada pasien ini terjadi penumpukan karbon

dioksida(Currie et al, 2007).

Pada pasien dengan pneumothoraks primer spontan, apabila ukurannya kecil dan

tidak terdapat gejala yang berat maka tidak diperlukan intervensi yang aktif. Kebanyakan dari

mereka tidak perlu rawat inap dan hanya perlu diberikan KIE agar kembali ke RS apabila

gejala sesak napas dan nyeri dada memberat. Dalam 1-4 minggu setelahnya perlu dilakukan

foto X-ray dada ulang untuk mengevaluasi pneumothoraks (Currie et al, 2007).

Page 27: Tinjauan Pustaka TB

Menurut British Thoracic Society, pada pasien pneumothoraks primer spontan

dengan ukuran yang besar, perlu dilakukan aspirasi jarum dan observasi. Jika aspirasi

gagal, perlu dilakukan pemasangan chest drain. Sebesar >20% dapat terjadi pneumothoraks

ulangan setelah episode pertama. Resikonya meningkat pada episode kedua dan lebih

sering terjadi pada wanita, laki-laki yang tinggi, dan perokok. Namun, tidak ada guideline

yang merekomendasikan perlu dilakukan operasi untuk mencegah terjadinya pneumothoraks

ulangan (Currie et al, 2007).

Pada pneumothoraks sekunder, apabila ukurannya kecil dan gejala tidak berat perlu

observasi selama satu hari. Pada pasien dengan ukuran pneumothoraks yang lebih besar

dan simptomatik, perlu langsung dilakukan drainase (Currie et al, 2007).

Keadaan emergensi dari pneumothoraks adalah pneumothoraks tension.

Penanganan harus dilakukan dengan sistem ABC dan tidak perlu menunggu hasil foto X-ray.

Venflon langsung ditusukkan di MCL ICS 2. Ketika jarum venflon dilepaskan, harus

terdengar udara yang terlepas dari cavum pleura. Kanul venflon tetap ditinggalkan disana

sampai drain siap untuk dipasang (Currie et al, 2007).

2.3.5 Prognosis

Semua pasien dapat keluar dari RS setelah mendapat penanganan aktif atau

mendapatkan KIE agar segera kembali ke RS apabila gejala memberat. Pasien harus tetap

difollow up sampai terjadi resolusi total karena masih ada kemungkinan terjadinya

pneumothoraks ulangan (MacDuff et al, 2010).

Karena tidak ada bukti yang menunjukkan adanya hubungan antara terjadi ulangan

dengan aktivitas fisik yang dilakukan, maka pasien dapat disarankan untuk kembali bekerja

dan melanjutkan aktivitas seperti biasa ketika semua gejalanya sudah menghilang. Namun,

pasien diminta untuk menghindari olahraga ekstrem dan kontak fisik sampai gejala

pneumothoraks menghilang. Pasien diminta untuk menghindari perjalanan udara sampai 6

minggu setelah terjadinya pneumothoraks atau 1 minggu setelah resolusi total (MacDuff et

al, 2010).

Pada pneumothoraks berulang, dapat dilakukan pleurodesis secara kimiawi

menggunakan tetracycline. Mekanismenya adalah dengan memasukkan bahan ke dalam

cavum pleura yang dapat menyebabkan inflamasi aseptik sehingga terjadi adhesi dari pleura

(MacDuff et al, 2010).

2.3.6 Pneumotoraks Spontan Sekunder

Salah satu yang berperan dalam proses pernapasan adalah adanya tekanan negatif

pada rongga pleura selama berlangsungnya siklus respirasi. Apabila terjadi suatu kebocoran

akibat pecahnya alveoli, bula atau bleb sehingga timbul suatu hubungan anara alveoli yang

pecah dengan rongga pleura, atau terjadi kebocoran dinding dada akibat trauma, maka

Page 28: Tinjauan Pustaka TB

udara akan pindah ke rongga pleura yang bertekanan negatif hingga tercapai tekanan yang

sama atau hingga kebocoran tertutup. Tekanan negatif di rongga pleura tidak sama besar di

seluruh pleura, tekanan lebih negatif pada daerah apeks dibandingkan dengan daerah basal.

Mekanisme terjadinya pneumothoraks spontan adalah akibat dari lebih negatifnya tekanan di

daerah puncak paru dibandingkan dengan bagian basal dan perbedaan tekanan tersebut

akan menyebabkan distensi lebih besar pada alveoli daerah apeks. Distensi yang berlebihan

pada paru normal akan menyebabkan rupture alveoli subpleural. Hal lain yang sering

menyebabkan terjadinya pneumotoraks spontan adalah pecahnnya bula atau bleb

subpleural (Sahn dan Heffner, 2000).

Sebuah penelitian melaporkan bahwa meskipun secara klinis penderita

pneumotoraks spontan primer tidak menunjukkan kelainan di paru, ternyata ditemukan bula

subpleura pada 76-100% kasus dengan tindakan Video Assisted Surgey (VATS), dan pada

100% kasus dengan torakotomi. Hubungan antara rokok sebagai faktor resiko dan bula pada

pneumotoraks dapat dijelaskan dengan data bahwa dari 89% penderita yang terdeteksi

mempunyai bula dengan pemeriksaan CT-scan adalah perokok. Mekanisme terbentuknya

bula tersebut masih dipertanyakan. Suatu teori yang menjelaskan pembentukan bula pada

perokok menghubungkan proses degradasi benang elastin paru yang diinduksi asap rokok.

Proses tersebut kemudian diikuti oleh serbukan neutrofil dan makrofag. Degradasi ini

menyebabkan ketidakseimbangan rasio proteinase-antiproteinase dan sistem oksidan-

antioksidan di dalam paru, menyebabkan obstruksi akibat inflamasi. Hal ini akan

menyebabkan meningkatnya tekanan intra-alveolar sehingga terjadi kebocoran udara

menuju ruang interstisial paru ke hilus yang menyebabkan pneumomediastinum. Tekanan di

mediastinum akan meningkat dan pleura mediastinum rupture sehingga menyebabkan

pneumotoraks (Sahn dan Heffner, 2000).

Mekanisme terjadinya pneumotoraks spontan sekunder adalah akibat peningkatan

tekanan alveolar melebihi tekanan interstisial paru dan menyebabkan udara dari alveolus

berpindah ke rongga interstisial kemudian menuju hilus dan menyebabkan

pneumomediastinum. Kemudian udara akan berpindah melalui pleura parietalis pars

mediastinal ke rongga pleura sehingga menimbulkan pneumotoraks. Peningkatan tekanan

alveolus ini terjadi pada penyakit penyerta pada pneumotoraks spontan sekunder, antara lain

dapat dilihat pada tabel 1. Di Indonesia, TB paru menjadi penyebab terbanyak dan perlu

dipikirkan bila terjadi pada penderita usia muda (Sahn dan Heffner, 2000).

Perubahan fisiologis yang terjadi akibat pneumotoraks adalah gangguan ventilasi,

penurunan nilai kapasitas vital paru, dan tekanan oksigen darah (PO2) sehingga terjadi

hipoventilasi dan menimbulkan asidosis respiratorik. Evakuasi udara dari rongga pleura

sesegera mungkin akan memperbaiki gangguan ventilasi dan kapasitas vital paru, sehingga

akan membantu peningkatan PO2 (Sahn dan Heffner, 2000).

Page 29: Tinjauan Pustaka TB

Tabel 2.9 Penyebab Pneumothoraks Sekunder

Penyakit saluran napas

1. PPOK

2. Fibrosis kistik

3. Asma bronchial

Penyakit infeksi paru

1. Pneumocystis carinii pneumonia

2. Necrotizing pneumonia (oleh kuman anaerob, gram negatif atau stafilokokus)

Penyakit paru interstisial

1. Sarkoidosis

2. Fibrosis paru idiopatik

3. Granulomatosis sel Langerhans

4. Limfangileiomiomatous

5. Sklerosis tuberus

Penyakit jaringan ikat

1. Arthritis rheumatoid

2. Ankylosing spondylitis

3. Poliomyelitis dan dermatomiosis

4. Skleroderma

5. Sindroma Marfan

6. Sindroma Ehler-Danlos

Kanker

1. Sarkoma

2. Kanker paru

Endometriosis torakis

(Sahn dan Heffner, 2000)